text
stringlengths
478
2.18M
Title: Rhea dan Saga Category: Adult Romance Text: Pertemuan "Duh .... Pusing gue!" keluh Rhea di balik kubikelnya, dengan kedua tangan mencengkeram kepala sangat erat. "Rhe, sehat?" tanya Nira yang hampir saja tidak bisa melihat Rhea padahal kubikel mereka bersebelahan, karena tumpukan kertas di meja Rhea bagian samping yang tingginya semakin menggunung. Rhea hanya mendengus, tidak menggubris Nira sama sekali. Matanya masih fokus menatap layar komputer yang kalaupun beralih sesekali hanya ke tumpukan kertas di depannya, dekat keyboard. Ia kesal pada dirinya sendiri yang belum juga bisa menyelesaikan pekerjaan. Kesal pada kantor yang kejam. Kesal pada kehidupan yang 'gini amat' kalau pakai bahasa ala Rhea. Tok ... Tok .... Terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruangan merchandiser, tempat Rhea dan kawan-kawannya banyak berkutat dengan seabrek tumpukan kertas yang tak pernah habis itu. Muncullah sesosok lelaki paruh baya, dengan warna rambut yang sebagian sudah memutih, tak terlampau tinggi, juga terlalu pendek, rambut klimis, dan kemeja biru muda. Yang ternyata, di belakangnya membuntuti seorang lelaki muda, dengan kemeja berwarna abu-abu, lebih tinggi dari bapak tadi. "Nah, ini ruangan merchandiser. Nanti kamu akan banyak berhubungan sama mereka." Pak Adi mengajak masuk lelaki muda itu sambil menjelaskan ruangan. "Nah, Nira, ini kenalin marketing yang baru." "Nira, gue yang pegang grocery nonfood." Nira mengulurkan tangan dan tak lupa menyuguhkan senyum termanisnya kepada pria itu. Lumayan juga, nih. Nira bergumam dalam hati. Saking terpananya sampai-sampai malah tidak mendengarkan nama si anak baru itu, selain karena suaranya yang pelan, juga karena Nira yang salah fokus ke wajah 'adem'nya. Rhea bergeming di kursinya. Bahkan ia tak sadar kalau ada ruangannya didatangi tamu tak diundang. Nira pun mencolek pundak Rhea, kali ketiga baru Rhea menoleh dan beranjak berdiri dari kursinya. "Rhe, kerja terus lu. Nih, kenalin dulu, anak marketing yang baru. Jomlo." Dengan wajah tak berdosa, alis yang sedikit diangkat dan sedikit cengiran tak menyenangkan, Pak Adi mempersilakan lelaki muda itu berkenalan dengan Rhea. "Saga," tukas lelaki muda itu tak lupa lengkap dengan lengkungan bibirnya. Berbeda dengan Rhea yang malah membeku bak nugget yang selama ini dijualnya di toko. Matanya tak berkedip. Sampai-sampai harus dipanggil berkali-kali. "Rhe. Rhe. Hellow .... Gak usah terpesona gitu, dong, lu. Yaelah, kenalan dulu aja. Minta nomor handphone juga boleh." Pak Adi malah terkekeh menggoda Rhea. Seketika Rhea mengedipkan mata dan tersadar bahwa sesi berkenalan ini harus segera selesai. "Rhea. Gue pegang grocery food." Hanya dua detik saja sudah cukup bagi Rhea untuk segera melepas jabat tangan itu. Dua lelaki itu segera pamit dan berpindah ke area kubikel lain. Ya, di ruangan dengan kubikel berwarna kuning itu, memang ada beberapa departemen. Rhea dan Nira bagian grocery. Lalu ada bagian fashion yang memiliki beberapa sub bagian lagi, home appliances, electronic, dan lain-lain. Ruangan ini adalah jantung dari segala aktivitas sebuah perusahaan retail lokal bernama Kinimart. Ya, perusahaan yang baru berdiri empat tahun dan masih berusaha melebarkan sayap bisnisnya. Nira yang mesam-mesem sendiri karena merasa ada hiburan baru di kantor, sedangkan Rhea malah masih berusaha menenangkan diri karena sesi perkenalan tadi. Jantungnya masih berusaha mereda dari degupan yang cukup kencang tadi. Maklum, Nira yang sedang menjalani LDR dengan pacarnya seringkali mengeluh bosan dengan hubungannya. Ia acap kali menjadikan cowok-cowok yang dianggap lumayan ganteng sebagai selingan. Di sisi lain, Rhea malah betah sekali menjomlo. Sudah hampir lima tahun ia menyandang status jomlo. Sebenarnya bukan betah, hanya saja memang takdir tak berpihak padanya. Paling tidak, itu alasan Rhea. "Eh, Rhe, gimana menurut lu, si ubin musala?" tanya Nira yang nampaknya masih asyik membahas si anak baru. "Ubin musala? Siape" Rhea mengerjitkan dahi, kebingungan. "Ya itu, si anak marketing yang baru tadi. Siapa tuh tadi namanya, ya. Lupa lagi gue. Haha." "Oh, si Saga. Biasa aja, sih." Rhea hanya membalas singkat. Tak tertarik melanjutkan obrolan. "Masa biasa aja, sih? Mukanya itu kan adem banget gitu, loh. Calon imam itu. Lo gak mau coba gitu, Rhe?" Rhea sudah kembali ke microsoft excelnya. Sementara Nira lama-lama kesal karena Rhea tak menanggapinya. Akhirnya, ia menyerah dan kembali tenggelam dalam tumpukan kertas. Ia berencana membahas ini lagi saat mereka pulang kantor nanti. Tangannya mungkin berada di atas keyboard. Wajahnya menatap layar monitor. Namun, hatinya? Ternyata Rhea tak secuek itu. Ia bukannya masa bodo soal anak baru yang kata Nira seperti ubin musala. Justru, jantungnya tadi berdegup sangat kencang saat tadi mereka bersalaman. Suhu tubuhnya mendadak turun drastis, walau pasti tak akan terbaca di termometer. Matanya tak berkedip beberapa detik. Mulutnya sempat terkunci bahkan hanya untuk menyebut nama. Yang terlebih membuat repot, pikirannya sekarang yang melanglang buana. Hatinya menjadi tak karuan. Jauh lebih berantakan dibanding meja kerjanya yang untuk mencari selembar kertas saja sudah layaknya mencari jarum di tumpukan jerami. Ah, si ubin musala ini, kenapa sih, membuat repot? Gumamnya dalam hati. Cari Perhatian Hari kedua Saga di kantor barunya, sudah harus dipenuhi meeting. Pagi ini ada meeting untuk membahas promosi dalam rangka HUT Kinimart yang ke-4. Seluruh tim marketing, merchandiser, kasir, customer service, operasional, sampai HRD memenuhi ruang meeting besar. Kali ini meeting akan langsung dipimpin oleh Pak Widjaja, CEO Kinimart. Ya, perusahaan ini memang belum terlalu besar. Gedung kantornya pun hanya berlantai 3. Hal ini dikarenakan Kinimart baru memiliki dua cabang. Toko ke-3 memang sudah dalam perencanaan, tetapi belum pasti kapan akan dipersiapkan. Rencananya masih digodok oleh tim manajemen. Perkembangan perusahaan yang semakin ke sini dianggap lambat, membuat perusahaan menaruh harap cukup besar kepada Saga. Staf marketing sebelumnya resign karena merasa sudah tidak sanggup lagi dengan berbagai tuntutan. Persaingan di industri retail memang cukup berat. Perang harga tak dapat dielakkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang unik untuk dapat bersaing dan menarik pelanggan. Pukul 09.00 WIB ruang meeting besar sudah penuh. Kursi-kursi sudah berjajar rapi mengelilingi meja besar berbentuk persegi panjang. Di ujung, terdapat kursi yang modelnya berbeda dari yang lain dengan ukuran yang juga lebih besar. Kursi siapa lagi selain bapak CEO. Sinar matahari yang menembus jendela-jendela besar di belakang kursi CEO itu, membuat ruangan terang alami tanpa perlu lampu. Rhea duduk di sisi kanan bersama Nira dan tim merchandiser lainnya. Jumlah mereka paling banyak dibanding tim lain, sehingga memenuhi sayap kanan ruangan. Sisi kiri diisi oleh tim lain karena beberapa divisi hanya dibutuhkan pwrwakilannya saja, tidak perlu semua anggota tim datang. Karena ujung tombak promosinya ada di merchandiser dan marketing, maka semua anggota tim mereka hadir. Rapat dibuka oleh sekretaris Pak Widjaja. Tanpa basa-basi Pak Widjaja ingin mendengar persiapan dan ide-ide dari tiap divisi. Agar nantinya semua ide itu bisa didiskusikan bersama dan mendapat hasil terbaik. "Rhe, nanti kamu yang presentasi, ya." Rhea yang tadinya duduk santai langsung menengok ke arah Bu Rima yang ada di samping kanannya dengan mata terbelalak. "Ehm ... Maaf, Bu, kenapa bukan Ibu, ya? Biasanya kan kalau meeting penting seperti ini yang presentasi para manajer." Rhea bertanya dengan takut. "Pak Widjaja pesan, katanya dia ingin tahu bagaimana kalian. Jangan kami terus. Kan kalian juga bagian dari perusahaan ini. Biar lebih kenal juga katanya." Bu Rima menjelaskan dengan sangat santuy. Seolah ini adalah hal biasa. Mungkin juga, senang karena bisa sedikit istirahat tak seperti rapat biasanya. Untungnya, Rhea dikaruniai Tuhan otak yang encer, jadi dalam hitungan menit dia bisa bersiap. Semalam memang Rhea, Nira, dan Bu Rima lembur untuk mendiskusikan hal ini. Jadi, tak sulit bagi Rhea untuk presentasi. Sejak bergabung dengan Bu Rima, kemampuan Rhea memang diuji. Ia harus cepat belajar dan beradaptasi. Bu Rima tidak suka karyawan lelet dan susah diberi tahu. Walau kadang sedikit galak dan sulit dimengerti, tak bisa dimungkiri Bu Rima adalah seseorang yang cukup berjasa dalam karier Rhea. Keahlian berkomunikasi dan negosiasi dipelajarinya dengan serius dari Bu Rima. Dua hal yang justru selama ini sangat Rhea takuti. "Baik. Selamat pagi semuanya. Saya Rhea dari tim grocery. Kali ini sa ..." Belum selesai Rhea mengucapkan kalimat pembuka, ada bunyi yang membuatnya panik seketika. Cause you only need the light when it's burning low Only miss the sun when it starts to snow Ia mematung, tetapi langsung menyadari sesuatu. Tangannya menjelajah meja dengan lincah, berharap ini bukan sesuatu yang bodoh. Hatinya lega, begitu menemukan handphonenya dalam keadaan mati. Namun, ia bingung. Kalau bukan bunyi ponselnya, lalu siapa? Seisi ruangan pun jadi saling menatap karena sepertinya bukan dari ponsel yang tergeletak di meja. "Suara ponsel siapa itu? Tolong, saya ingatkan sekali lagi harap ponsel dalam keadaan silent," ucap sekretaris. "Silakan lanjut Rhea." Rhea mengangguk sambil tak lepas memperhatikan seseorang di deret sebrang yang nampak gelisah setelah merogoh saku celananya dan berhasil mengeluarkan handphone. Siapa lagi kalau bukan Saga? Dasar bocah tak tahu diri, batin Rhea. "Oke, terima kasih Mbak Meita. Saya akan melanjutkan presentasi mengenai program yang akan ditawarkan oleh tim kami dalam rangka HUT Kinimart. Untuk promo kali ini, tentu item unggulan kami ada di komoditi. Nantinya akan ada beberapa promo bundling dengan harga murah. Selain itu, ada juga promo potongan harga hingga 50%, undian berhadiah langsung, dan beberapa kegiatan lomba serta sampling dari supplier. Nah, kami harap tim marketing dapat kooperatif dalam membantu event seperti lomba masak keluarga, juga sampling beberapa brand yang akan menggunakan booth yang dijaga oleh SPG. Juga yang tak kalah penting, nanti kita akan mengundang UMKM untuk memasarkan produknya. Kita butuh tempat khusus untuk 'Pojok UMKM' yang mungkin bisa di area samping eskalator. Untuk tim operasional, nanti minta bantuannya, ya. Bla ... bla ... bla ..." Rhea menjelaskan dengan sangat lancar. Satu dua orang angkat tangan untuk menanggapi dan memberi masukan. Nira membantu mencatat semua masukan dari peserta meeting. Ia tahu betul, bahwa diskusi soal ini akan berlanjut. Jangan sampai Rhea yang sudah bagus presentasinya, sangat timpang dengannya yang tak berbuat apa-apa. Nira memang selalu tahu diri. Sesama cungpret harus saling bantu, begitu prinsipnya. Sampailah giliran presentasi ke tim marketing. Rhea dan Nira saling bertatapan, begitu melihat yang berdiri dari tim marketing adalah Saga. Bagaimana bisa anak baru seperti Saga mewakili timnya? Rhea masih tak habis pikir. "Kali ini, kami dari tim marketing akan membuat cara promosi yang berbeda dari sebelumnya. Kita akan menggunakan endorse ke selebgram untuk berbelanja di Kinimart dan liputannya akan diposting di instagram mereka. Selain itu, juga akan kita bangun space foto yang nantinya bisa dibongkar, bertema 'Beautiful Indonesia' sesuai dengan tema HUT kita yang mengusung kearifan lokal. Nantinya, pengunjung supermarket kita bisa berfoto dan mengunggahnya ke sosial media mereka. Hasil dari foto tersebut akan kita lombakan. Dengan menggunakan hashtag yang tepat dan mention sebanyak-banyaknya teman, kami harap ini bisa meningkatkan awareness masyarakat terhadap supermarket kita. Bla ... bla ...." What the ...? Kenapa bisa presentasinya semulus wajah artis Korea? Bahkan semua yang ada di ruangan bertepuk tangan dan manggut-manggut. Padahal Rhea merasa bahwa idenya biasa saja. Setidaknya di instagram memang berseliweran promo seperti itu. Walau harus diakui bahwa ini tidak pernah dipikirkan oleh tim marketing sebelumnya. "Caper banget sih tu anak baru. Sok keren lagi." Rhea ketus sekali mengomentari. "Ih, emang dia keren kali. Keliatan pinter gitu. Sayang gue udah punya Dio. Kalau belum, mah ...." Nira malah sibuk mesam-mesem. Apanya yang keren coba? Sudah lupa mematikan ponsel, sok pintar pula. Ah, seketika Rhea ingat kalau ia harus segera mengganti nada dering ponselnya? Gara-gara Mock Up Sudah hampir seminggu sejak rapat mengenai HUT Kinimart. Itu artinya waktu Rhea untuk mempersiapkan segalanya semakin sempit. Ia dan Nira diberi deadline untuk menyetor list UMKM yang akan ikut pameran. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Jelas, PR Rhea lebih rumit kali ini. Karena UMKM kategorinya jauh lebih banyak daripada Nira. Untungnya, Bu Rima paham betul sehingga Nira diminta membantu data closingan bulan ini. Ya, bagaimana kepala tidak cenat-cenut ketika akhir bulan menanti sedangkan harus mempersiapkan event. Baru saja selesai menelepon UMKM ke-10 melalui telepon kantor. Ponsel Rhea bergetar, pertanda ada pesan masuk. Yup, aplikasi pesan berlambang bulat warna hijau itu memunculkan notifikasi. Dari nomor tidak dikenal. Tentu tanpa gambar profile, karena Rhea mengaturnya seperti itu. Gambar profilenya tidak akan bisa dilihat oleh nomor yang belum disimpan di kontaknya, begitu juga sebaliknya. Rhea memang tidak mau terlalu terbuka terhadap orang yang tak dikenal. Rhe, gue kirim desain katalog grocery ke wa dulu ya. Biar kalo ada revisi, gue cepet confirm ke bagian desain. Udah mepet soalnya. Nanti diemailnya kalau udah fix aja, supaya nggak kebanyakan email. Thanks. - Saga - Mata sayu Rhea dikuceknya berulang kali. Memastikan bahwa dia tidak salah baca. Namun, sudah tiga kali mengulangnya, hasilnya tetap saja sama. Itu artinya pesan tersebut memang benar dari Saga. Kok dia bisa punya nomor gue? Entah ini sudah kebingungan yang keberapa akibat Saga. Otaknya langsung bekerja, memikirkan berbagai kemungkinan. Tentu saja, tersangka pertama adalah Nira. Siapa lagi yang berani memberikan nomor ponselnya tanpa konfirmasi dulu selain Nira? Rhea segera memutar badannya ke kanan. "Ni, lo ngasih nomor hp gue ke Saga, ya?" tanya Rhea seperti orang yang sedang interogasi. "Hah? Apaan, sih, lo? Ngapain juga gue ngasih nomor hp lo kalo gak diminta? Eh, bentar. Cie ... cie .... Berarti lo udah chattingan sama Saga, dong?" Seperti biasa, Nira malah menggoda Rhea dengan tatapan menjijikkan. Hufftt... Menyesal Rhea sudah bertanya ke Nira. Tahu begitu diam-diam saja dia menerima pesan dari Saga tadi. "Lo tau nomor gue dari mana?" Satu kalimat saja tanpa basa-basi. "Eh iya, sorry. Dapet dari Bu Rima. Tadinya gue tanya dia, eh dia bilang ke lo aja. Hari ini beliau full meeting." Baiklah, ternyata sumber masalah ada di atasannya. Tak mungkin Rhea mengelak. Ia langsung menelepon Bu Rima untuk memastikan. Biasanya dia meeting di ruangannya saja, kecuali jika supplier datang rombongan. Halo, Bu. Maaf ganggu, apa Ibu masih meeting? Iya, lagi sama supplier minyak goreng, nih. Nggak apa-apa, kok. Ada apa emangnya? Gini, Bu. Barusan Saga tanya ke saya soal katalog. Oh iya, Rhe. Maaf saya lupa info. Kamu cek ya gambar sama deskripsinya. List finalnya ada di file sharing, di folder biasa. Tolong ya, saya banyak meeting hari ini. Baik, Bu. Rhea mengakhiri sambungan telepon. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, suka tidak suka, Rhea harus berhadapan dengan Saga one on one. Akhirnya dia membalas pesan Saga dan tak lama Saga mengirim beberapa gambar. Rhea meninggalkan urusan UMKM sementara untuk fokus mengecek desain katalog bagiannya. Paling tidak sudah banyak UMKM yang OK. Beberapa kali dia koordinasi dengan Nira. Ya, biasanya Bu Rima yang akan mengecek semua desain item-item grocery. Rhea dan Nira yang membantu mengajukan pilihan barangnya. Rhea mengedit gambar dari Saga, melingkari bagian yang salah dan memberi penjelasan apa saja yang harus diperbaiki. Agak lumayan banyak, mungkin karena mock up pertama. Setelah mengirim pesan, Rhea pun menelepon ke ruang marketing. Memastikan Saga paham apa saja yang harus direvisi. Lega. Semoga sekali revisi langsung benar, harapnya. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat hari itu. Mentari sudah mulai menyembunyikan dirinya. Pantas saja warna oranye menembus kaca jendela ruangan Rhea. Sudah pukul 18.00 WIB. Rhea berharap bisa pulang lebih cepat hari ini. Maklum, sejak kemarin ia sudah pulang malam. Memang begitu rutinitas akhir bulan. Namun, hari ini badannya sudah mulai berasa pegal-pegal. Mungkin tangannya terlalu lama mengetik. Matanya juga agak perih karena terlalu lama di depan komputer. Nira pamit duluan, katanya sudah izin ke Bu Rima karena ibunya sedang sakit. Rima pun bersandar ke kursinya. Sejenak melepas lelah. Punggungnya seperti baru bisa beristirahat. Tak lama ia bersiap-siap membereskan tasnya. Ia berencana salat di masjid kantor sekalian lewat saja nanti ketika pulang. Sial, telepon di mejanya malah berdering. Siapa lagi kalau bukan Bu Rima. Apes jilid dua. Mock up katalog harus selesai malam ini juga! Bu Rima masih harus merapikan hasil meeting seharian ini. Karena ada beberapa dokumen yang besok harus diserahkan ke Senior Manajer mereka, Pak Reza. Tas yang sudah tersangkut di pundak, apa daya harus diturunkan kembali. Tidak ada kata selain "iya Bu" untuk urusan seperti ini. Kamu tongkrongin aja deh tuh ruang marketing. Koordinasi sama Saga dan desainer grafisnya. Saya ada email beberapa tambahan soalnya. Biar cepet. Kalau nggak, lama nanti diselak divisi lain. Oke. Layar komputer yang tadinya sudah hitam, kini menjadi berwarna lagi. Dibuka email dari Bu Bos tercinta, ternyata memang ada revisi baru, lagi. Di emailnya jelas tertulis kalau besok pagi dia akan cek final mock upnya. Jadi, malam ini harus selesai. Ya, Bu Rima memang selalu selangkah lebih maju dari manajer lain. Kalau bisa selesai sekarang, kenapa menunggu besok? Rhea menelepon Saga dan mengatakan bahwa hendak mengajukan revisi lagi. Tentu saja Saga mengiyakan tanpa tapi. Walau harus menunggu Rhea salat dulu. Kebetulan Saga baru saja selesai salat. Rhea kembali ke ruangannya, mengambil print revisi-an yang diemail Bu Rima. Dengan langkah gontai, Rhea keluar ruangannya dan berjalan menuju ruang marketing. Wajahnya sudah lusuh. Jilbabnya sudah miring entah berapa derajat, tapi ia tak berminat merapikannya. Selama helaian rambutnya tak terlihat. Cukup bagi Rhea yang sudah lelah jiwa raga. Langkahnya semakin cepat ketika mendekati ruangan Saga. Begitu sampai di depan pintu, Rhea terhenti sejenak. Mematung di depan pintu, menatap ke dalam ruangan tanpa berkedip sedikit pun. Kosong. Bukan, bukan kosong sama sekali. Namun, hanya ada Saga dan secangkir kopi. Rhea belum sempat mengetuk pintu ruangan ataupun mengucap salam. Pikirannya masih menyusun berbagai kalimat dan skenario untuk menghadapi situasi ini. Sampai Saga terbangun dari kursinya dan menoleh ke arah pintu karena penasaran dengan suara sepatu yang tadi didengar, tetapi tak kunjung ada suara manusia. "Rhe, masuk aja." "Eh, iya. Gue mau bahas yang tadi." Rhea berjalan ke meja Saga. "Kok, sendiri? Desainer grafisnya mana?" "Oh, tenang aja. Nggak apa-apa kok sama gue. Desainernya udah pulang." Hah? Itu artinya mereka akan berduaan di ruangan? Sebuah bencana berkepanjangan hari ini bagi Rhea. Tepok jidat dalam hati. Saga mempersilakan Rhea duduk di sampingnya. Lalu, ia sedikit menggeser laptopnya agar layarnya dapat lebih jelas dilihat Rhea. Makin dekatlah jarak mereka. Mungkin hanya beberapa cm. Rhea menggeser sedikit kursinya, lumayanlah menjauh 5cm. "Jilbabnya berantakan, tuh." Tiba-tiba wajah Saga sudah ada di depan wajah Rhea, dengan senyuman menggoda. "Eh, serius?" Rhea yang salah tingkah segera meraba-raba sisi kanan dan kiri jilbabnya. Padahal daritadi ia juga sudah sadar akan hal itu tapi bodo amat. "Udah, udah rapi. Gak usah panik gitu. Dah, yuk, jadi mau ngerjain yang mana, nih?" Saga memang paling bisa mencairkan suasana. Mereka akhirnya tenggelam dalam pekerjaan melelahkan itu. Walaupun sudah berusaha terlihat cool di depan Saga, tak bisa dipungkiri dalam hatinya ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ingin rasanya cepat-cepat selesai. Tak disangka, Saga ternyata jago mengoperasikan Adobe Photoshop. Rhea sangat bersyukur, jadi mereka tidak pulang terlalu larut. Pukul 20.00 mereka memutuskan menyudahi drama malam Jumat itu. Mock up sudah diemail ke Bu Rima. Tinggal tunggu reaksinya besok pagi saja. "Pulang bareng aja." Rhea baru saja hendak beranjak dari kursinya, tetapi Saga malah melontarkan kalimat yang ia harap tak keluar dari mulut Saga itu. "Eh, nggak usah, nggak usah. Nggak apa-apa, kok, gue bisa sendiri. Belum terlalu malem juga." Tanpa pamit Rhea langsung balik kanan dan keluar ruangan. Baru setengah perjalanan, Rhea merasa tak nyaman. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Benar saja, ternyata Saga mengikutinya dari belakang. "Sagaaa .... Lo ngapain ngikutin gue?" Rhea yang merasa terintimidasi, langsung melotot ke Saga. "Eh, Rhe. Sorry, sorry. Gue gak maksud apa-apa, kok. Cuma mastiin lo pulang dengan aman aja. Liat sendiri, kan, di lantai ini cuma tinggal kita berdua?" Saga berusaha menjelaskan. "Berhenti, nggak? Lo pikir gue anak kecil apa? Lagian ini belum terlalu malam. Udah gitu, gue kan lebih lama di kantor ini. Gue udah hafal gimana kondisi di kantor ini kalau malam." Rhea memarahi Saga dan menyuruhnya berhenti. Saga mengangguk dan menunjukkan jari dengan lambang 'peace'. Namun, Saga tak habis akal. Ia mengiyakan kemauan Rhea. Lalu, menuruni tangga dan bersembunyi di balik tembok menunggu hingga Rhea datang. Beberapa menit kemudian, nampak Rhea yang turun sambil menelepon. Ia pergi ke mesin absen, kemudian duduk di lobby menunggu. Sang penjemput telah tiba. Siapa lagi kalau bukan abang ojek online. Saga sedikit lega. Nonton Bioskop Hari-hari melelahkan akhirnya berlalu. Segala persiapan acara HUT Kinimart sudah beres. Rhea bisa melemaskan otot sejenak. Agenda hari ini lebih banyak seremonial. Semua staf ikut meramaikan HUT Kinimart di toko pertama mereka. Toko yang satu komplek dengan kantor Rhea. Dibuka seperti biasa, tapi ternyata jumlah pengunjung tak seperti biasanya. Jam 9 pagi para emak-emak seperti sudah siap menyerbu supermarket. Padahal, sebelum toko dibuka untuk berbelanja, akan ada acara potong tumpeng terlebih dahulu. Kasir pun masih ditutup. Alhasil, pengunjung yang sudah datang pun ikut serta dalam acara tumpengan dan kebagian jatah. Pak Widjaja nampak senang. Senyum mengembang tak henti dari bibirnya. Tepat pukul 10, toko dibuka dan pengunjung berhamburan ke lorong-lorong. Karena ramainya pelanggan, maka pegawai kantor pun ikut membantu. Alhasil seharian ini Rhea, Nira, dan semua penghuni gedung Head Office tidak ada yang bekerja di depan komputer. Lagi pula, para supplier pun datang ke toko untuk memenuhi undangan peringatan HUT Kinimart. Jadi, mau berkirim surel ke siapa? Namun, sebagai kompensasi karena mereka sudah bekerja keras selama beberapa minggu terakhir, mereka diizinkan pulang tenggo. (Loh, kan harusnya memang begitu? Iya, sih, tapi ini kan retail, mana bisa pulang tenggo di hari biasa. Yah, minimal banget loyalitas setengah jamlah.) Rhea sudah tidak sabar untuk kembali ke kasurnya. Kamar bercat putih yang berukuran 3x3m itu, sudah menjadi tempat pulangnya selama hampir lima tahun belakangan ini. Cukup nyaman, walau jauh dari kemewahan. Sebagai anak kos yang budiman, Rhea memang sangat berhati-hati dalam hal keuangan. Baginya, asal bisa untuk tidur dengan nyaman dan kamar mandi bersih, sudah lebih dari cukup. Toh, seminggu atau dua minggu sekali, ia bisa pulang ke Bekasi. Yah, selama-lamanya paling sebulan sekali. Itu pun jarang. *** "Pagi semuanya ...." Bu Rima masuk ke ruangan Rhea dengan sumringah sembari melambaikan tangan. Firasat Rhea agak tidak enak. Kalau begini biasanya ada yang ingin disampaikan, tapi ia juga tak berani menebak-nebak. "Pagi, Bu." Sahut Rhea dan Nira serempak, diikuti staf divisi lain yang kubikelnya berada si sebrang mereka. "Eh, nanti pulang kantor jangan langsung pulang, ya. Kita mau ditraktir nonton sama Pak Reza. Lumayanlah, nonton film yang baru keluar itu, lho. Rhea, Nira, yang lain juga, ya. Yaudah saya cuma mau bilang itu aja, sih. Silakan lanjut kerja lagi." Secepat kilat Bu Rima membalikkan badan. Rambut sebahunya turut mengibas. "Ya ampun, baru juga kemarin bisa pulang on time. Kenapa hari ini malah kena apes lagi. Pasti kalau ga ikut bakal dicariin, deh." Rhea hanya bisa mendengus kesal. "Yaudah, sih, Rhe. Gratis ini. Tinggal duduk manis aja. Lumayan tau, daripada nonton sendiri kan bayar, hehe." Nira yang memang hobi nonton film, tentu malah senang dengan hal seperti ini. Jadilah sehabis salat Magrib, mereka semua berangkat menggunakan taksi online bersama-sama ke mal terdekat. Yah, biarpun dekat, namanya juga Jakarta, jadi tetap saja menghabiskan waktu. Sampai di bioskop, Rhea kaget sekali saat melihat ada gerombolan lain yang dikenalnya. Ternyata itu tim marketing. Ya, benar sekali. Tentu saja ada Saga di antara mereka. Menyesal ia tak pura-pura sakit perut lalu izin untuk tidak ikut. Mana ia tahu kalau semua penghuni lantai dua akan ikut. Dia pikir hanya tim seruangannya saja. Pak Reza ini memang keterlaluan dermawannya. Sampai-sampai ruangan lain juga ditraktir. Namun, tenang saja. Toh, ini nontonnya ramai-ramai. Tidak akan terjadi hal-hal aneh seperti bayangan Rhea. Pintu Teater 1 telah dibuka. Rhea segera menarik tangan Nira untuk mencari tempat duduk. "Lu mau di C7 atau C8?" Nira menawarkan pilihan kepada Rhea. "Gue C8 aja deh. Males C7 paling pinggir." Rhea segera menjatuhkan dirinya di kursi. Ia pikir sudah bisa duduk dengan tenang sambil menunggu filmnya mulai. Kehidupan nyatanya tak semudah itu. Baru saja selesai mengembuskan napas, tiba-tiba ada seorang mas-mas menundukkan badan, permisi hendak lewat. Alamak, kenapa pula si Saga mesti sederet sama gue? Semoga bukan di samping gue. Sayangnya, omongan adalah doa. Semesta memang suka sekali mengajak bercanda, ya. Apesnya, dalam beberapa bulan terakhir, yang tidak diinginkan justru menjadi kenyataan. Termasuk soal Saga yang ternyata duduk di sebelahnya. "Kok, lu, sih, yang di sebelah gue?" "Ya mana gue tau, nih, tiket gue C9." Saga menyodorkan tiketnya dengan percaya diri. Sambil menahan kesal, Rhea hanya bisa beristigfar dalam hati dan melengos begitu selesai melihat tiket yang dipegang Saga. Benar, di tiket itu jelas tertera C9. Sabar, cuma dua jam lebih sedikit, kok, Rhea. You can face it. Sebuah mantra yang diucapkannya sendiri kepada dirinya sendiri pula. Tidak ada hal aneh yang terjadi selama film tayang. Saga pun duduk dengan tenang. Seharusnya Rhea memang tak perlu overthinking. Akhirnya, film pun selesai. Meski ini bukan film kesukaan Rhea, tapi lumayan juga. Rhea sebenarnya tidak terlalu suka film action, tapi kali ini dia cukup bisa menikmati. Mungkin karena bantuan popcorn juga. Rhea segera berdiri, sudah kebelet, ingin ke toilet. Dia mengajak Nira segera turun dan keluar dari bioskop. "Rhe, gue tunggu di lobi aja, ya." Nira memilih menunggu di lobi. Karena toilet cukup penuh. Rhea tak membalas sepatah kata pun. Langsung ngibrit masuk ke antrean. Sial, ternyata Rhea bukan hanya ingin buang air kecil. Sepertinya ia juga harus lebih lama lagi di toilet karena mules tiba-tiba. Keluar dari toilet dengan perasaan lega, Rhea langsung berjalan ke lobi. Suasana sudah agak sepi, karena sudah hampir jam 10 malam. Apalagi ini bukan weekend. Celingak-celinguk, Rhea mencari Nira, tapi ia tak menemukannya. Segera ia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Betapa kecewa saat melihat layarnya hitam kelam. Sudah seperti perasaannya saja. "Nira udah pulang. Tadi dijemput pacarnya. Bu Rima sama Ibu-ibu yang lain juga dijemput suaminya. Teman-teman seruangan lo juga udah pada langsung balik." Suara khas yang muncul dari belakang, tak lain dan tak bukan adalah suara Saga. "Lo ngapain masih di sini?" Rhea tetap dengan intonasi nggak nyantainya. "Mau nganterin lo pulang." "Nggak, nggak usah. Apaan, sih." Ketusnya mengalahkan ibu tiri memang si Rhea ini. "Tenang aja, gue nggak gigit, kali. Lagian, mana ada cowok berani macem-macem sama cewek galak? Hp lo juga mati. Mana bisa order taksi online. Di Hp gue gak ada." Ya Tuhan, gini amat sih hidup gue hari ini. Mana duit gue juga udah nipis, tinggal nunggu gajian. Repot kalau naik ojek konvensional bisa mahal. Nggak apa-apa kali ya sekali ini aja? "Yaudah, deh, tapi jangan aneh-aneh ya, Lo." Jari telunjuk Rhea sudah meluncur saja, menunjuk ke hidung Saga. "Siap, Bos." Saga mengacungkan jempolnya dengan cepat. "Lo tunggu di depan aja, lobi mal yang tengah. Gue ambil motor dulu. Nggak apa-apa, kan?" "Iya, ke depan doang gue bisa sendiri." Mereka pun berpisah dan Rhea dengan jurus jalan cepatnya sudah sampai di tempat menunggu. Sudah sekitar lima menit, tapi tak kunjung ada motor yang terlihat mendekat. Eh, tak lama ada satu motor ninja berwarna merah dari arah parkiran motor ke arahnya. Ah, tapi tidak mungkin kan itu motor Saga. Laki-laki kurus begitu mana bisa mengendarai motor sebesar itu, pikir Rhea. Nah, itu di belakangnya ada motor bebek biasa berwarna hitam. Rhea yakin sekali kalau itu Saga. "Nih, pakai helm dulu." Laki-laki itu mengeluarkan helm dari tas punggungnya. Rhea masih shock dengan ini semua. Kenapa Saga harus membawa motor seperti itu? Kenapa juga dia bawa helm? Apa dia sudah merencanakan ini semua? Tapi kan baru diberi tahu tadi pagi kalau mau ada nobar. Kapan penderitaan ini berakhir? "Lu, gila, ya? Ini gue pakai high heels, loh. Lagian kenapa musti bawa motor beginian, sih? Banyak gaya banget sih lu jadi orang! Ini juga, helm. Lu tuh sengaja nyuruh Nira pulang duluan? Kok bisa bawa helm dua?" Kata-kata yang keluar dari mulut Rhea sepertinya mengalahkan kecepatan KRL Jabodetabek yang biasa ia naiki kalau pulang ke rumah. "Yaudah, sih, naik tinggal naik aja. Kalau susah ya pegangan ke gue apa susahnya. Lo masih mau di sini apa mau pulang? Buruan, deh, sebelum gue berubah pikiran." Tangan Saga hampir kaku dengan helm yang masih digenggaman. Kalau bukan karena terpaksa, gue pasti sudah menghindari situasi seperti ini. Males banget, sih, kayak gini. Udah ribet, harus pegangan ke Saga pula. Untungnya heels gue cuma 5 cm. Coba kalau lagi pake yang 7 cm ke atas. Bisa mati gue! Dengan segala perjuangan, akhirnya Rhea bisa duduk di motor Saga. Motor Ninja 250cc berwarna merah yang mau naik saja susah payah dulu ia dibuatnya. Tangannya mencengkeram erat pegangan di bagian belakang. Saga sudah tak mau komentar dan langsung tarik gas. Baru beberapa menit berjalan. "Aduh, apaan sih, ribut aja, deh." Saga terkejut tiba-tiba Rhea menepuk, eh, bukan, lebih tepatnya memukul keras-keras punggung Saga. "Jangan ngebut-ngebut," ucap Rhea sambil berteriak. Saga tetap melanjutkan dengan kecepatan yang sama. Lalu, tiba-tiba saja ia menghentikan motornya. Membuka helm dan menoleh ke belakang. "Lu pikir ini motor matic yang biasa lu naikin? Mana ada orang naik ninja jalannya pelan, Rhea? Udah, deh, bisa gak diem aja, duduk manis gitu loh, kayak cewek-cewek lain yang malah senang diajak naik ninja?" "Ya, abis, gue kan takut." Rhea membuka helm dan menjawab pertanyaan Saga singkat. "Terus, ini ngapain berhenti di sini? Kan kos gue masih jauh?" Bukannya menjawab, Saga malah meloyor saja meninggakkan Rhea yang kebingungan. "Sagaaaaa ...." Description: Hati selalu memiliki kisah sendiri dalam setiap perjalanannya. Akan ada tempat singgah, juga persimpangan. Akan ada yang membuat nyaman, juga luka yang tak bisa dielakkan. Kisah ini bukan hanya tentang seseorang, tetapi juga sesuatu untuk diperjuangkan. Rhea dan Saga harus melalui jalan berliku untuk menyelesaikan perjalanan hatinya. Akankah mereka menemukan ujung jalan yang terang benderang?
Title: Run For Your Life Category: Thriller Text: Prolog - Halloween di Bulan April Aku tak pernah membayangkan apa yang sekarang terjadi di siang hari ini. Di Sekolahku yang biasanya ramai pada jam istirahat dengan suara murid-murid yang sedang bercengkrama, kini berubah dengan jeritan histeris mereka melihat apa yang sebenarnya mereka tidak pernah membayangkan sebelumnya. "Ini bukan April Mop, dan Halloween tidak mungkin terjadi pada bulan ini" Ucapku Tidak mungkin ada orang yang seniat ini "menjahili" sekolahan ini dengan segerombolan orang yang terlihat membusuk di sebagian tubuhnya, walaupun ini tangal 1 April. Sembari aku terpaku dengan apa yang ku lihat, keadaan di sekolahku sudah kacau dengan murid-murid yang berlarian sambil menjerit meminta tolong. Mereka sebagian lari ke ruang guru untuk melaporkan apa yang mereka lihat. Walaupun para guru sudah tau keadaannya karena mendengar suara gerbang yang digoyangkan dengan keras ditambah jeritan murid-murid yang tidak mungkin para guru tidak mendengarnya. Aku berfikir Sekali lagi, ini mungkin hanya lelucon di Bulan April. Bahkan sampai gerbang sekolah roboh karena dorongan "orang-orang itu" aku menyebutnya, Aku masih berfikir ini hanya lelucon. Sampai fikiranku "ini hanya lelucon" berakhir ketika aku melihat salah satu dari "orang-orang itu" memakan kepala satpam sekolahanku. Description: Han dan teman sekelasnya terjebak di sekolahnya sendiri dengan di kelilingi oleh para zombie yang mencoba untuk memakan mereka. sanggupkah Han dan 13 orang temannya bertahan hidup dari para zombie tersebut?.
Title: Reinkarnasi Sang Dewa Naga Category: Fantasi Text: Ch.1 : Reinkarnasi Pada Suatu Ketika Dewa Iblis Menyerang Ras Manusia Dan Datanglah Seorang Pemuda Sambil Membawa Pedang Dan Menebas Dewa Iblis Itu Sampai Terbelah Menjadi Dua Akan Tetapi Kebaikannya Itu Telah Membuat Dirinya Dimanfaatkan Oleh Rekannya Sendiri "Matilah Kau!!" Teriak Orang Itu Sambil Menusuk Pemuda Yang Berjasa Itu Dengan Sebuah Pedang "K.. Kau.. Kenapa Kau.. Melakukan Ini??" Kata Pemuda Itu Sambil Memegang Dadanya Yang Sudah Dilubangi Oleh Pedang "Cih.. Kau Bukan Manusia.. Aku Sudah Tahu Itu.. Dasar Aneh.. Apa Ada Manusia Yang Sekuat Dirimu?? Kalau Saja Aku Tidak Memberi Racun Pada Pedangku.. Mungkin Aku Akan Mati" Kata Orang Itu Sambil Menginjak Kepala Pemuda Itu "K.. Kau Dasar Penghianat.. Aku Akan Membalasnya Di Kehidupan Berikutnya.." Kata Pemuda Itu Yang Langsung Mati Begitu Saja "Hah.. Hah.. Dimana Ini?? Kenapa Aku Bisa Berada Disini.." Gumam Seorang Anak Laki Laki Itu Di Dalam Hati "Apa Ini.. Reinkarnasi??" Gumam Anak Laki Laki Itu Sambil Memandang Wajahnya Di Depan Kaca "Tapi.. Wajahku Terlalu Mirip Dengan Kehidupan Sebelumnya Lebih Tepatnya Pada Saat Aku Berusia 14 Tahun.." Gumam Anak Laki Laki Itu Sambil Memandang Wajahnya Di Depan Kaca "Kun'Er!! Kau Ada Didalam??" Teriak Seorang Wanita Yang Tak Lain Adalah Ibu Dari Anak Laki Laki Itu "Kun'Er?? Sepertinya Hanya Nama Saja Yang Berubah.. Kalau Begitu Namaku Adalah.. Sheng Kun??" Gumam Sheng Kun Di Dalam Hati Krek [Suara Pintu Terbuka] "Kun'Er?? Kau Sudah Sembuh?? Syukurlah.." Kata Ibu Sheng Kun Yang Bernama Sheng Yun Sambil Menangis Memeluk Sheng Kun "Apa Ini Rasanya Memiliki Seorang Ibu??" Gumam Sheng Kun Yang Baru Pertama Kali Merasakan Kasih Sayang Seorang Ibu Ch.2 : Tekad Sheng Kun "Kun'Er.. Apa Masih Sakit?? Apa Kau Sudah Tidak Apa Apa??" Tanya Sheng Yun Sambil Menangis Memandang Sheng Kun "Ibu.. Kau Tenanglah.. Aku Baik Baik Saja Sekarang.. Dan Juga.. Ugh.." Kata Sheng Kun Yang Tiba Tiba Merasakan Kesakitan Dibagian Punggungnya "Kun'Er?! Kau Baik Baik Saja?! Siapapun Tolong Aku!!" Teriak Sheng Yun Yang Meminta Pertolongan 2 Hari Kemudian "Ahk.. Dimana Aku?? Ibu?? Ibu Bangunlah.." Kata Sheng Kun Sambil Mencoba Membangunkan Sheng Yun "K.. Kun'Er.. Huhu.. Kenapa Kau Masih Saja Seperti Ini.. Padahal Masih Sakit.." Kata Sheng Yun Yang Tidak Berhenti Berbicara "Ibu.. Berhentilah.. Aku Sudah Tidak Apa Apa.. Aku Akan Keluar Sekarang.." Mata Sheng Kun Sambil Mencoba Berdiri Namun Usahanya Sia Dia Kondisinya Belum Stabil Dan Pada Saat Dia Berdiri Dia Sedikit Goyah "Kun'Er.. Kau Istirahatlah Terlebih Dahulu.. Besok Baru Kau Boleh Keluar.." Kata Sheng Yun Sambil Membantu Sheng Kun Tidur "Baik Ibu.." Kata Sheng Kun Sambil Mengagukan Kepalanya "Anak Baik.. Kalau Begitu Ibu Pergi Dulu.." Kata Sheng Yun Yang Langsung Pergi Keluar Kamar Sheng Kun "Ada Apa Ini.. Kenapa Tubuh Ini Sangat Lemah?? Aku Harus Mencoba Mengingat Sesuatu" Kata Sheng Kun Yang Mencoba Mengingat Sesuatu "Cih.. Ternyata Mereka.. Wajah Mereka Juga Sama Dengan Rekan Rekanku Dikehidupan Sebelumnya.. Aku Harus Membalas Kalian.." Kata Sheng Kun Sambil Bertekad "Baiklah.. Lebih Baik Aku Beristirahat Terlebih Dahulu.." Kata Sheng Kun Yang Mencoba Untuk Tidur Description: Pada Suatu Ketika Dewa Iblis Menyerang Ras Manusia Dan Datanglah Seorang Pemuda Sambil Membawa Pedang Dan Menebas Dewa Iblis Itu Sampai Terbelah Menjadi Dua Akan Tetapi Kebaikannya Itu Telah Membuat Dirinya Dimanfaatkan Oleh Rekannya Sendiri "Matilah Kau!!" Teriak Orang Itu Sambil Menusuk Pemuda Yang Berjasa Itu Dengan Sebuah Pedang "K.. Kau.. Kenapa Kau.. Melakukan Ini??" Kata Pemuda Itu Sambil Memegang Dadanya Yang Sudah Dilubangi Oleh Pedang "Cih.. Kau Bukan Manusia.. Aku Sudah Tahu Itu.. Dasar Aneh.. Apa Ada Manusia Yang Sekuat Dirimu?? Kalau Saja Aku Tidak Memberi Racun Pada Pedangku.. Mungkin Aku Akan Mati" Kata Orang Itu Sambil Menginjak Kepala Pemuda Itu "K.. Kau Dasar Penghianat.. Aku Akan Membalasnya Di Kehidupan Berikutnya.." Kata Pemuda Itu Yang Langsung Mati Begitu Saja "Hah.. Hah.. Dimana Ini?? Kenapa Aku Bisa Berada Disini.." Gumam Seorang Anak Laki Laki Itu Di Dalam Hati "Apa Ini.. Reinkarnasi??" Gumam Anak Laki Laki Itu Sambil Memandang Wajahnya Di Depan Kaca
Title: Rumah Awak Category: Cerita Pendek Text: Satu Rumah Awak Oleh Vendo Olvalanda S Alan kecil duduk di sudut kelas. Mendongakkan kepala tak berkedip dari jendela. Ia berkhayal. Suatu hari bisa mengajak kawan-kawannya bermain di rumah. Memainkan apa saja. Asalkan dimainkan di rumahnya. Walau mainannya dirusak atau diacak-acak, ia akan tetap gembira. Karena kawan-kawannya sudah berkenan main di rumahnya. Sayangnya, Alan tak punya rumah. Alan tak punya rumah yang benar-benar menjadi rumahnya. Rumah yang jika kita huni akan ada orang lain yang berhak mengatur bahkan mengusir kita sewaktu-waktu. Mengusir kita karena membuat keributan dengan kawan-kawan. Itulah rumah Alan. Tak ada yang berani datang ke rumah Alan. Maka dari itu. Alan tak pernah punya kawan. *** Baru kali ini Alan dihantui risih berkepanjangan. Seorang kawan akan datang. Ia kawan pertama Alan. Sejak Alan mengenal arti kata kawan, sejak itulah Alan berkawan dengannya. Sejak itu pula Alan tahu. Ikatan seorang kawan lebih erat dari ikatan sanak saudara yang menyadari keberadaanmu saat kamu bisa menguntungkannya. Sungguh, kau bisa merasakannya. Bila kau punya seorang kawan. Namanya Ramsi. Ramsi Morino. Nama yang bertahun-tahun tak jua kunjung ia tanyakan artinya. Ramsi lah kawan yang tokoh kita ini ceritakan. Terakhir kali bertemu, empat tahun yang lalu. Alan tak sempat mengantarnya ke bandara. Entah kenapa, sepertinya Alan lupa kisahnya. Namun saat itu, ia mengaku teramat sedih. Jika saja Alan mengantarnya, Alan pun akan mengaku bahwa ia teramat menyesal. Karena membiarkan kawannya pergi. Karena itulah, Alan tak pernah mau mengantarnya. Ramsi memberi kabar tiba-tiba. Dia tak pernah tahu betapa sibuknya Alan. Kesibukan yang Alan ancang teramat jauh. Sehingga lupa kesibukan itu semata-mata ada karena janji Alan kepadanya. Janji jika suatu saat berkunjung, menginaplah di rumahnya. Janji bodoh yang seharusnya tak Alan ucapkan. Tunggu dulu, seharusnya Alan tidak usah teramat risau. Toh saat itu Alan tak sedikit pun berjanji kepadanya. Alan hanya sekedar berujar ala kadar. “Jika nanti ada perlu ke Padang, ang[1] main-mainlah ke rumah.” Alan tak pernah memilih Ramsi menjadi temannya. Ramsi pun tak meminta Alan menjadi temannya. Alan tak pernah mau berteman dengan siapa-siapa. Sejak ia tahu bahwa teman hanya ada saat ia punya rumah. Namun Ramsi menjadi kawan Alan. Seorang kawan tak butuh rumah. Malahan ia menyediakan rumah. Rumah yang tak lekang oleh waktu. Ramsi murid pindahan. Alan bukan anak yang mampu membiarkan anak baru berdiam diri karena tak punya kenalan. Sejak saat itu ramsi berteman dengan Alan. Hingga suatu malam Ramsi datang membawa sedikit pemberian ke rumah Alan. Mereka membuat keributan kecil. Pemilik rumah naik darah. Mengusir Alan dan Ramsi. Sejak saat itulah mereka berkawan. Karena sejak saat itu Ramsi tak berhenti bermain ke rumah Alan. Jika diusir, mereka akan pindah bermain ke rumah Ramsi. Mereka benar-benar berkawan! Tak ada curahan hati yang tak mereka sampaikan. Tak ada. Sedih, senang, takut, risau, gelisah. Semua disampaikan. Seperti salah satu tentang cerita Alan yang ditinggalkan seorang gadis yang sudah dianggapnya kekasih. Kisah yang ia ceritakan kepada Ramsi dengan teramat sedih. * * Dua Dimanakah sebenarnya takdirku? Kenapa aku dipertemukan dengan Cinta? Datang tak diundang, tiba-tiba pergi begitu saja. Aku duduk bersandar pada sebuah tiang rusak di Pelabuhan Teluk Bayur. Mengulangi beberapa kali rangkaian kata yang baru saja kuucapkan. Kini hidupku bagaikan sebuah kantung plastik di tengah laut, diombang ambing oleh derasnya ombak yang menghempas ke depan dan belakang. Gundah gulana sudah. Sudah beberapa bulan semenjak kepergian gadis Jawa itu. Hanya salam hangat dan senyuman kecil dibibirnya yang aku ingat. Kini seringkali kepalaku layu hingga harus ditopang dengan sebelah tangan. “Bodoh sekali.” “Kenapa tak satu pesan pun bisa ku sampaikan padanya.” Ah, jangankan berbicara, menyapa saja aku tak berani. Sekarang nasi telah menjadi bubur, gadis itu telah kembali ke daerahnya. Entah dimana, entah sejauh apa. Setelah kejadian itu hatiku masih tertutup untuk rasa yang seharusnya bisa singgah. Wajah-wajah sendu yang seharusnya bisa menggantikan senyuman gadis Jawa itu. Bukan belum ada, tapi memang belum bisa. Perasaanku diaduk-aduk rindu dan kecewa. Semoga waktu menghapuskan bayangan yang selalu melekat di belakang bola mataku. Minggu pagi yang cerah. Berlari-lari kecil dan pemanasan mengawali kegiatanku melaksanakan program rutin latihan. Aku seorang atlet atletik di bidang lompat tinggi. Prestasi tetap prestasi, tidak boleh dicampuradukkan dengan masalah pribadi. Apalagi cinta. Lompatanku belum ada perubahan. Belum bertambah ketinggiannya. Kalau terus begini bagaimana aku bisa bertemu gadis itu lagi di Kejuaraan Daerah. Padahal Kejurda hanya tinggal beberapa bulan saja. Persaingan di Padang semakin ketat. Jika pada seleksi kota aku kalah, aku tidak bisa mengikuti Kejurda. Maka pupuslah harapanku bertemu gadis itu. Kulitnya yang putih, mata sendunya, senyum tipisnya, lesung pipitnya, rambutnya yang panjang selalu mengotak-atik pikiranku hingga seketika aku akan senyam-senyum sendiri. Belum lagi tubuh atletisnya, sesuatu yang seharusnya tak boleh aku bayangkan. Oh iya, ia juga seorang atlet atletik – jalan cepat. “Sudahlah jangan dipikirkan lagi si dia,” ucapnya sambil mengeluarkan tatapan yang aneh. Seolah-olah ia tahu masalahku, selalu begitu. Ia karyawan Indomaret langgananku. Ramsi pun selalu tertawa melihat tingkahnya. Setelah meledekku ia menyelipkan sebotol vitamin. “Tak perlu bayar,” ungkapnya seolah aku tak akan menolak. Terkadang menurutku kebaikannya tidak sebanding dengan gajinya. Pernah suatu ketika ia memberi makan anak jalanan, ia lakukan ketika keuangannya sudah menipis – akhir bulan. Sungguh jarang di zaman kepala menekur ke smarthphone masih ada orang sepertinya. Sesampai di rumah, kubaringkan badan ke atas kasur. Kecewa ini masih saja meluap-luap. Semoga mimpi membangunkanku dari susah gelisah. Tiga Bakda magrib, Ramsi kembali meneleponku. Mengajakku bermain futsal di tempat langganan kami. Dikordinir oleh seorang lelaki atletis. Bekas pemain futsal nasional. Ia orang yang pendiam namun baik hati. Kelar bermain aku tak menyegerakan diri untuk pulang. Beberapa senda gurau. Senda gurau yang menjebak. Tanpa kusadari, mulutku tengah bercerita tentang kisah gadis itu pada lelaki ini. “Ini minumlah. Tadi aku membeli banyak di Indomaret depan. Tahu sendiri. Indomaret sering beri diskon dan bonus,” dia memberiku sebotol susu segar bergambar panda. Tanpa pikir panjang, aku meminumnya. Rasanya sedikit aneh tapi membuatku kecanduan. “Seperti itulah cinta kalau tidak dikatakan,” ia berujar kepadaku. Memang benar kata lelaki itu. Rada sepet, tapi setiap tegukan memiliki kenikmatan tersendiri. Begitu pula dengan rasa yang tengah kualami. Aku berdiri dan berpamitan pulang kepada lelaki pemilik lapangan futsal ini. Pagiku kali ini cerah. Hari yang baik untuk latihan. Hari ini lompatanku harus bertambah. Beberapa kali belum berhasil. Lagi, terus, dan lagi. Tiga tingkatan, 15 cm. Biasanya dalam satu minggu dengan usaha maksimal aku hanya bisa 5 cm. Apa gara-gara vitamin dari karyawan Indomaret itu? Setelah lolos seleksi kota. Kini pemusatan latihanku sudah sampai dua bulan lebih. Tinggal dua minggu lagi memasuki Kejuaraan Daerah. Kejuaraan yang sebenarnya. Aku berharap prestasiku meningkat. Harus mendapatkan medali tahun ini. Dan berharap bertemu gadis itu lagi. Walau tak besar harapan. Mungkin saja ia telah berada di Pelatnas, karena prestasinya di kejuaraan yang lalu. Atau dia sudah punya pacar? “Hah, pikiranku tak karuan”. Sampailah pada saat yang mendebarkan. Kejuaraan Daerah telah dibuka. Ini hari pertamaku di penginapan. Mess Asrama Haji Padang. Semoga aku bertemu dengan gadis itu lagi. Hari pertama ini, kegiatanku hanya mengikuti pembukaan dan menyaksikan beberapa orang rekan atlet bertanding. Karena pertandinganku baru di mulai pada hari kelima. Atlet karate, pencak silat, takraw, beberapa dari mereka telah memboyong banyak medali. Perasaanku semakin tak menentu. “Orang bisa kenapa aku tidak?” andai perkataanku mewujudkan hasil yang gemilang. * Empat Setelah agak larut, sebelum jam tidur, aku kembali memutari penginapan untuk mencari gadis itu dengan beberapa rekanku. “Sepertinya memang tak ada.” “Akan kulupakan semua tentangnya,” ujarku kepada teman-teman. Mereka diam dan merangkul bahuku untuk kembali ke dalam kamar. Malam pun mencibirkanku hingga ku terlelap. Hari kedua, ketiga, keempat, hasilnya sama saja, nihil. Dan hari ini perlombaanku berlangsung. Aku berlari-lari kecil memutari penginapan. Seketika itu sambil menggerak-gerakan tubuhku, tanganku terkena kepala seorang gadis yang berlari agak cepat dariku. “Astaga, kakak maafkan aku. Tadi itu sedang pemanasan, jadi tidak melihat ke belakang,” kataku sambil merapatkan kedua telapak tanganku kepadanya. “Sudahlah tidak apa-apa, tidak sakit kok,” gadis itu menjawab dengan senyuman. Senyumnya manis. Sontak hatiku terkaget-kaget. Senyumnya mengingatkanku kepada gadis putih, bermata sendu yang kukagumi dulu. Lalu ia berlari kembali ke arah depan. “Hahahaha, kok bisa ya?” tawaku mulai mengalir. Apa ini? Perasaan yang sama seperti yang kurasakan pada saat memandangi gadis yang kukagumi dulu. Gadis ini, yang kepalanya terpukul olehku. Cantik, pesonanya itu, loh! Kali ini aku tak bercerita kepada rekan-rekanku. Sudah cukup banyak aku menyusahkan mereka. Aku bertekat mencarinya sendiri. Malam ini aku kelilingi penginapan. Tak akan kulewatkan yang satu ini. Aku menemukannya, tengah bersenda gurau dengan teman-temannya. Berani tidak berani, kakiku seolah-olah berjalan sendiri tanpa kuperintahkan. Aku sapa dia, dia membalas sapaku. Lebih dekat, lagi, lebih dekat lagi. Aku perkenalkan diriku dan ia juga. Kali ini aku menyalami tangannya, lama, Aku lupa untuk melepaskannya. Teman-teman gadis ini menertawakanku. “Sudah ayo kita ke dalam,” salah seorang rekan dari gadis ini mengajak rekan-rekannya yang lain masuk ke kamar sambil tersenyum lebar. Obrolan kami semakin dalam. Setelah mengenal nama, aku coba mengenal daerah asalnya – Bukittinggi. Tak jauh. Setidaknya tak sejauh gadis pertama yang meremas hatiku. Tatapan matanya sungguh menawan jiwa. Bahkan rasanya aku ingin di penjara dalam hatinya. Lalu terlintas dibenakku, akan terkagum-kagum irilah teman-temanku jika aku mendapatkan gadis ini. Aku kembali ke kamar dengan perasaan menggebu-gebu. Jika ada bintang yang paling jauh, akan ku jangkau untuk gadis ini. Aku baru saja masuk ke dalam sebuah kolam susu rasa strowberry. Eaaa! Kesempatan yang sama tak datang dua kali. Aku makan siang dengannya. “Kamu sudah punya pacar?” Sambil gelagapan ia menjawab,” Su..sudah.” Lima Astaga, darahku bergejolak sampai ke ubun-ubun. Urat-urat di otakku seakan kusut berantakan. Tatapanku kosong. Aku tidak memikirkan apa-apa lagi. Aku berdiri, berencana meninggalkannya. Tapi, gadis ini memegangi tanganku dan menarikku duduk kembali. Dan berkata, ”Tapi itu dulu.” Tatapanku kembali berisi. Rasanya ingin kusentil kuping kecilnya . Kujewer hidung mancungnya. Jengkel dicampur lega. Dia tertawa terbahak-bahak. ”Memangnya kenapa?” dia bertanya padaku. Aku hanya diam membisu. Tak sanggup mengungkapkan rasaku. Padahal hatiku teramat ingin. “Apa yang terjadi pada lidah ini?” bantu aku meluruskannya. Bahkan tetiba pita suaraku tak mampu bersuara. Aku tak mampu mengatakannya. Tanpa aba-aba ia menyela, ”Besok aku kembali ke Bukittinggi.” Benar sudah dugaanku. Hatiku kacau, sekacau-kacaunya. “Apa harus aku katakan lewat whatsapp saja?” Ah, tidak! Tidak jantan sekali. “Lalu bagaimana?” “Ramsi! Kamu dimana? Di saat seperti ini aku membutuhkanmu,” gerutuku kepada kawanku yang kini entah dimana dan sedang apa. Aku singgah ke lapangan futsal lelaki kekar bekas pemain futsal nasional itu. Aku bercerita padanya. Dan aku berpamitan. ”Nak, hati-hati dijalan.” Aneh, kali ini dia tidak memberiku sebotol susu. Aku berjalan terus ke arah Indomaret langgananku. Sang Karyawan tak pula memberi vitamin lagi untukku. Firasat macam apa ini. Penutupan akan diadakan sore ini. Tepat pukul sepuluh, gadis yang kukagumi itu akan meninggalkanku. Apakah akan kembali? Atau tidak bertemu lagi? Masih pukul tujuh. Tidak akan kulepas lagi, tekadku semakin kuat. Sekurang-kurangnya akan ku sampaikan perasaanku. Apapun jawabannya, biarlah. Yang penting tersampaikan. Pukul sepuluh teng! Aku lari ke arah bus besar itu. Aku temui dia. “Dia masih mengambil beberapa barang di kamarnya,” kata seorang sahabat gadis itu. Aku menunggunya di luar. ”Hai aku akan kembali,” katanya dengan nada yang aneh menurutku. Aku berkata padanya, ”Sebelum pergi maukah kamu jadi pacarku? Walau kita jauh, semoga kelak kita akan bersua.” Dia terdiam sejenak sambil tersenyum. Enam ”Seharusnya aku tidak mengatakan ini karena bisa saja suatu saat menyakitkanmu. Tapi aku juga menyukaimu, aku rasa sekarang kita berpacaran!” ledeknya. Hatiku gembira tak karuan, serupa ketika meraih medali emas. Sama persis. Gadis ini memelukku. Sampai akhirnya tanganku melambai kepadanya. Sampai Jauh dan hilang. Kejuaraan Daerah telah berakhir aku terus berkomunikasi dengannya lewat handphone. Kami terus bersenda gurau. Berkasih sayang. Saling menggoda. Bahkan berjanji untuk bertemu di Pelatnas sekitar satu bulan lagi. Aku menunggu itu semua. Satu bulan sudah. Aku dipanggil ke Pelatnas. Namun tiba-tiba di hari pemanggilan, terjadi hal aneh. Komunikasi kami terputus. Nomor handphone-nya tak bisa dihubungi. Sesampainya di Jakarta, aku juga tidak menemukannya. Aku cari daftar namanya. Tidak terdaftar, kata panitia. Ada kabar ia mengundurkan diri. Kenapa? Ada apa? Hingga sampai pelaksanaan Kejuaraan Nasional selesai, aku tetap tidak melihat batang hidungnya. Nomornya tetap tidak bisa dihubungi. Whatsapp nya pun hanya centang satu. Sesampainya di Padang, aku duduk bersandar pada sebuah tiang rusak di Pelabuhan Teluk Bayur. Mengulangi beberapa kali rangkaian kata yang ingin kuucapkan. Kini hidupku bagaikan sebuah kantong plastik di tengah laut, diombang ambing oleh derasnya ombak yang menghepas ke depan dan belakang. Gundah gulana sudah rasa ini. Dan tidak akan ada lagi. Berakhir Sudah! “Jangan samakan hidupku dengan sebuah kata yang memiliki banyak makna sehingga bisa kau gantikan dengan kata lainnya yang ada pada sebuah thesaurus.” Dimanakah sebenarnya takdirku? Kenapa aku dipertemukan dengan Cinta? Datang tak diundang, tiba-tiba pergi begitu saja. Lagi! ** Tujuh Ramsi menertawai Alan dan cerita-ceritanya itu. Begitu pula dengan Alan. Ia tertawai segala kisah yang Ramsi ceritakan. Begitulah mereka. Saling mengisi dan saling memberi tepukan bahu saat satu di antara mereka begitu terpuruk. Sudah tak risih lagi. Risih yang berkepanjangan tadi berganti dengan amarah yang teramat sangat. Amarah yang tersulut api kebohongan. “Den alah di Padang!” Gampangnya pria ini menelpon, lalu berujar semacam itu kepada Alan. Ia membohongi kawannya. Alan yang sudah teramat panik memikirkan waktu yang akan disisihkan untuk menjemputnya, menjadi termat kesal karena dengan santainya berkata sudah sampai tanpa tahu kapan ia berangkat. Ingat, membohongi kawan itu tak masalah. Salah, bila kau mendustainya. Penerbangan singkat Jakarta – Padang, memang membuat kebanyakan orang tak begitu penting mengabari karib kerabat. Namun, akan berbeda jika ia seorang kawan. Saat bertemu, Alan akan memukulnya. Pukulan telak kepada seorang kawan tentunya. Ah, sudahlah. Setidaknya ia sudah memberi kabar kedatangannya. “Sekarang ang dimana?” “Di rumah Irvan.” Bingo! Kata yang begitu sensitif di telinga Alan akhirnya muncul. Telepon itu Alan putus. Alan benci mendengarnya. Manusia satu itu menghantam Alan teramat fatal. Terlalu menjijikkan. Rumah! Ya, rumah. Alasan terbesar Alan berjuang mati-matian di kampus hingga kini bekerja di media massa terkemuka di Indonesia. Namun doa yang satu itu belum juga sempat terkabul. Doa yang pertama kali Alan sampaikan kepada Tuhan karena seorang kawan. Doa yang tak pernah lupa Alan ucapkan selepas salat semenjak Alan mengikrarkan pesan itu kepadanya. Hanya rumah! Kalian sudah tahu. Alan berkawan dengannya sejak sekolah dasar. Sejak saat itulah Alan bermain di rumahnya. Sejak itu pula, rumahnya menjadi rumah kedua bagi Alan. Di rumah itu, mereka berbagi kisah luka, kisah penuh tawa, kisah cinta, dan beberapa kisah yang sebenarnya tak boleh dikisahkan. Semoga kalian tak mencari tahu. Di rumahnya itu Ramsi berbagi sepotong “dada super” kepada Alan. Sepotong dada ayam kaki lima yang tak pernah Alan lihat ia mau membaginya kepada teman-teman – bahkan sepupunya. Di rumah itu, ia merelakan gulingnya menjadi hak milik Alan. Guling yang kalau tidak salah terakhir kali Alan tandai dengan liur yang cukup menggiurkan. Di rumah itu ia mengikhlaskan komputer pentium tiganya, digunakan Alan berjam-jam lamanya untuk menulis beberapa esai atau cerita pendek yang Alan harap dapat nyentol di berbagai media atau menang dalam berbagai lomba. Walau honor-honor itu berakhir untuk pesta mie gaga dan pilus garuda se-kuali besar. Rumah kenangan yang teramat mereka sayangi. Ya, rumah itu menjadi kenangan. Ia diminta mamanya kuliah di Jakarta. Rumah itu mesti ditinggalkan. Rumah itu hanya rumah kontrakan. Sama dengan rumah Alan. Bedanya, di kota kelahirannya ia punya rumah lagi. Rumah yang benar-benar miliknya sendiri. Alan? Tak punya rumah, walau di kota kelahiran sendiri. Delapan Sebenarnya, Ramsi tak pernah menyinggung hal tersebut. Bahkan, mungkin ia tak pernah tahu keluh kesah Alan ini. Janji itu hanya hutang batin semata. Hutang dengan batin sendiri pula. Sejak kembalinya ia ke Jakarta empat tahun yang lalu. Alan berjuang keras agar Tuhan mengabulkan doa-doa Alan itu. Usaha Alan sudah cukup bagus. Jalannya sudah benar. Namun waktunya yang tidak tepat! Ramsi berkunjung teramat cepat. Bukan berarti Alan tidak mau menemui kawannya. Namun itu hanya akan membuat kecemberuan semata. “Halo.” “Apa?” “Kurang ajar! Mau cari gara-gara?” “Ang yang cari gara-gara?” “Hah?” “Masih bilang, hah!” “Kenapa ang matikan telepon?” “Kenapa tak minta jemput?” Percakapan pura-pura marah yang tak pernah berakhir dengan pertengkaran itu akhirnya diselesaikan dengan tidak bisa bertemu. “Salah sendiri datang tak bilang-bilang!” Alan pura-pura sibuk agar Ramsi tahu, betapa jengkelnya Alan dengannya. Walau sebenarnya Alan benar-benar sibuk dengan pekerjaan menjadi kuli tinta. Tapi Alan sudah benar-benar mempersiapkan waktu untuk kedatangannya saat ia menelpon akan berkunjung ke Padang. Karena persoalan sepele yang begitu besar itu, ia memilih mengunjungi temannya. Seseorang yang memiliki rumah tentunya! Satu dua hari. Ia kembali menelpon. Meminta menemani mengurus beberapa keperluan. Luluh pula lah hati Alan. Renyah, begitulah mereka jika sudah duduk di satu meja menceritakan banyak hal hingga tertawa terpingkal-pingkal atau menangis syahdu. Lupa waktu. Bahkan beberapa dehaman lah yang menyadarkan betapa rumah makan itu bukan milik mereka. “Lepas ini?” “Bagaimana kalau rumah Ibuy?” Alan kembali menghela nafas panjang. Kata “rumah” kembali menyinggung tukak terdalamnya. Perih benar. Kapan lah ia akan mengerti penderitaan Alan ini. Sudilah kiranya ia berpikir keras atas tindakan-tindakan janggal yang sudah Alan lancarkan kepadanya. Ah, sudahlah. Alan pun jadi berpikir. Sejak kapan Ramsi mau berpikir keras? Sejak kecil, hanya Alan yang senang berpikir. Setelahnya ia akan mengangguk. Nah, kalau persoalan angguk-meangguk memang ia keras. Semoga ia tak membaca cerita ini. Kali ini sedikit berbeda. Ia menyampaikan “rumah” tidak untuk menyakiti. Walau selama ini ia pun tak pernah berniat menyakiti. Hanya Alan yang menganggap seperti itu. Bukankah sudah Alan ceritakan di awal? Ia mengajak Alan ke rumah seorang teman yang punya rumah sendiri. Ia bermaksud menginap di sana. Bersama Alan tentunya. Tapi Alan kembali terlalu sensitif. Alan menduga ia tahu kalau sampai hari ini Alan dan keluarga tak kunjung punya rumah. Hingga ia tak mau menyakiti Alan dengan menginap di rumah yang bukan milik Alan. Salah, ia benar-benar salah. Permintaannya itu malah membuat Alan kembali mengurut dada. “Terserang ang.” Sembilan Malam ini mereka menginap di rumah Ibuy. Amat terasa bagi Alan, beberapa hal yang mereka rindukan terulang. Berbagi kisah-kisah memukau dan memalukan, menumpuk lambung dengan berbungkus-bungkus mie instan, lalu diakhiri perang bantal yang menjijikkan. Mereka sadar, sudah terlalu dewasa untuk melakukan hal-hal semacam itu. Namun, teramat sayang untuk dilewatkan. Alan menoreh ke Ramsi yang terperangkap letih. Kawannya itu tertidur pulas. Tapi kini ia terpingkal-pingkal karena kawannya itu. Tawa yang tak mengundang gaduh. Tawa yang hanya ia yang bisa menikmatinya sendiri. Gumpalan perut buncit. Ya, Alan kini menyadari betapa lamanya ia tak berjumpa karibnya itu. Dipandangnya Ramsi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Yakin benarlah ia, jika sepuluh atau lima belas tahun lagi mereka tak akan saling mengenal. Ia benar-benar benci terhadap dirinya sendiri. “Andai dari dulu saya sudah punya rumah!” Siang ini, Ramsi memaksa Alan mengajaknya ke rumah. Hanya bermaksud mengunjugi ayah dan ibunya Alan. Tak ada yang salah, bukan? Alan tak lagi pandai bersilat lidah. Terkabul jua lah permintaan kawannya itu. “Wah, Ramsi tambah gendut?” “Kumisnya juga tambah lebat.” Ayah dan ibunya Alan selalu bisa mencairkan suasana. “Jangan sungkan ya, Nak!” Di halaman mereka bermandikan sepoinya angin. Lalu, percakapan terburuk pun tak sengaja menghampiri. “Lan, pohon pepaya yang dulu mana?” “Sudah ditebang.” “Sayang sekali, itu buah pepaya termanis yang pernah saya cicipi!” “Oleh pemilik rumah.” Ramsi membisu. Alan tertunduk lesu. Sungguh, jika pun kau tak melihatnya. Kau pasti dapat menyadari air mata mereka membakar pipi. Tak ada lagi yang bisa mengurut dadamu. Pun membelai punggungmu dan berkata. “Bukankah Tuhan Maha Adil?” Setelah hari itu. Mereka tidak lagi benar-benar bertemu. Tidak pula benar-benar berkomunikasi. Jika berjumpa, itu pun tak sengaja bersua di tempat seorang teman yang mereka saling kenal. Atau jika salah seorang terketuk untuk menelpon, pasti hanya basa-basi. Sekedar bertanya – apa kabar? Lalu handphone mati. Selalu. Waktu teramat cepat berlalu. Ramsi memberi kabar akan kembali. Sungguh pun ia tahu Alan pasti ingin mengantar. Ia pun lebih tahu bahwa ia teramat sedih berpisah dengan kawannya itu. Lagi pula, ia tak mau menyinggung perasaan Alan. “Begitu saja?” “Mau bagaimana lagi?” “Salam buat mama dan Kak Nanda, ya.” “Santailah sedikit. Masih ada waktu.” “Saya minta maaf!” Kau akan tahu betapa melankolisnya berpisah dengan seorang kawan jika kau memilikinya. Tak peduli kau laki-laki atau perempuan. Alan mengakui kesalahannya. Begitu pula dengan kawannya. Mereka duduk cukup lama. Membicarakan segala hal yang tidak penting dibicarakan. Lalu berpisah dengan pesan yang terucap asal-asalan. “Jika ang masih gagal bagaimana?” “Ang tetap harus berkunjung! Punya atau pun tidak, awak[2] masih ada untuk tempat kembali.” “Di rumah awak!” Mereka menyentuh dada masing-masing. Padang, 17 April 2016 Alumnus Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNP Bergiat di Ranah Performing Arts Company [1] kamu [2] kita Description: Aland ingin sekali punya rumah. Agar kawan-kawannya tak lagi mengejeknya. Tapi ketika Aland punya rumah, bukan hanya ejekan yang menghilang. Kawan-kawannya juga!
Title: Rehan & Yuana Category: Novel Text: Satu Lelaki berkulit kecokelatan dengan kemeja warna biru muda yang kedua lengannya digulung hingga siku memasuki sebuah kafe langganannya ketika berkumpul bersama teman-temannya. Sejak masih menjadi mahasiswa semester enam, dia selalu datang ke kafe tersebut setelah selesai kuliah untuk sekadar mengobrol ngalor-ngidul ataupun mencari cewek baru untuk bersenang-senang. Di pojok ruangan dekat jendela, di sebuah meja bundar dengan empat bangku, ketiga temannya sudah menunggunya. Ia lalu duduk di bangku kosong yang tersisa. “Sori banget, gue telat. Kalian sudah lama?” tanyanya sambil menetralkan pernapasannya. Ia tadi sedikit terburu saat datang ke kafe karena ada sedikit kendala di kantornya. “Lumayan.” Sahutan datar yang menjadi jawaban pertanyaannya datang dari temannya yang duduk di hadapannya. Lelaki dengan kacamata bening tanpa frame yang bertengger nyaman di hidung mancung miliknya bernama Arga. “Akhir-akhir ini lo nggak pernah ngaret, hari ini kenapa?” tanya seorang temannya yang bertubuh tinggi tegap dengan kulit putihnya. “Jangan bilang kalau lo mau jadi Rehan semasa kuliah lagi. Si tukang ngaret,” cibir Dewa setengah menggerutu. “Lo udah dewasa, Han,” sahut Arga lagi. Rehan menggeleng. “Ya kali, gue jadi Rehan yang dulu. Nggaklah.” Ia menyangkal semua perkataan teman-temannya. “Tadi gue ditahan sebentar sama bokap, nanyain perkembangan di lapangan.” Nelon mengangguk paham. “Ya udah gih, pesan makan dulu. Bentar lagi gue balik kantor nih, ada meeting sama Kepala Jaksa.” Rehan lalu mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan, menyebutkan pesanan makanannya. Makan siang mereka seperti biasanya didampingi obrolan kecil seputar pekerjaan masing-masing dan agenda liburan bersama. “Bulan depan cuti yuk, kita liburan,” ajak si muda—Dewa. “Kemana?” Rehan tertarik dengan ajakan tersebut. “Lombok?” “Tanggal berapa? Kayaknya bulan depan gue nggak bisa cuti,” ujar Arga menyendok nasi ayamnya ke dalam mulut. “Pertengahan bulan kali ya enaknya?” tanya Dewa meminta pendapat. “Boleh tuh,” jawab Nelon, “Masa lo nggak bisa ikut lagi, Ga?” Dua bulan yang lalu lelaki yang berprofesi sebagai dokter bedah itu juga absen liburan bersama mereka. Jadwalnya sangat padat dan sulit untuk mengambil cuti mengingat betapa pentingnya posisinya. “Gue coba ajuin cuti, tapi nggak janji bakal ikut,” putus Arga kemudian. Dewa menepuk punggung Arga bangga atas keputusan cepatnya. Sementara kedua temannya mengangguk setuju. “Han,” panggil Arga tiba-tiba. Rehan yang hendak menyendokkan spaghetti ke dalam mulutnya mendongak menatap lelaki yang memanggilnya itu. “Kenapa?” tanyanya lalu melanjutkan makannya. “Kemarin Diajeng Lyla datang ke rumah sakit. Pak Sastro operasi usus buntu,” katanya memberitahu. “Serius lo? Terus keadaannya gimana sekarang?” Dewa antusias mendengar nama perempuan yang pernah dekat dengan Rehan. Sudah sangat lama mereka tidak mendengar kabar tentang mantan-mantan Rehan yang tidak terhitung lagi. Sementara Rehan tidak menanggapi perkataan Arga mengenai kabar tersebut. Ia fokus menghabiskan kopi dan spaghetti yang sedang ia makan. “Keadaannya udah membaik kok. Dia nanyain lo,” lanjut Arga. Rehan mengambil tissue di atas meja lalu mengelap mulutnya hingga bersih. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi menatap Arga serius. “Tanya apa dia?” “Tanya kabar dan minta nomor lo, katanya dia mau menghibungi lo lagi.” Rehan menggeleng. “Nggak perlulah.” “Siapa tahu dia mau minta maaf sama lo, Han,” ujar Nelon sedikit membujuk Rehan. “Gue udah maafin dia, kok.” “Kalau lo udah maafin dia, harusnya lo bisa bicara baik-baik sama dia. Bukannya menghindar,” kata Nelon lagi. “Gue belum bisa, Lon,” keluhnya. “Udah jam satu nih, gue cabut dulu ya. Bokap udah mewanti agar balik kantor cepat.” Ia melirik jam di pergelangan tangannya lalu beranjak pergi setelah mendapat anggukan dari ketiga temannya disusul oleh Nelon. Diajeng Lyla Sastrodiredjo adalah perempuan yang pernah dekat dengannya semasa kuliah, mereka berada di kelas dan jurusan yang sama. Dulu, perempuan itu sangat perhatian kepadanya dan selalu mengajak makan bersama jika ada waktu luang. Rehan tahu bahwa Lyla—panggilan khusus Rehan kepadanya—suka kepadanya, namun ia pura-pura tidak mengetahui hal tersebut dan bersikap sewajarnya kepada perempuan itu. Dia mulai lelah mengingat sudah banyak perempuan yang tergila-gila kepadanya, sebab wajahnya yang bisa dibilang good looking. Rehan merupakan seorang playboy yang cukup terkenal di kampusnya dulu, sering berganti pacar dengan masa pacaran yang tidak lama. Perempuan yang dekat dengannya bukanlah sembarang perempuan, ia hanya memacari perempuan yang berasal dari keluarga kaya. Bukan untuk memanfaatkan uang mereka, toh Rehan sendiri berasal dari keluarga yang juga kaya, hanya untuk mencari informasi dan koneksi. Bahkan kini, salah seorang mantannya dulu yang memiliki perusahaan penambangan minyak adalah klien bisnisnya. Rehan sendiri memberanikan diri berpacaran dengan Diajeng setelah ayahnya mengenalkan ayah perempuan itu saat mereka lulus. Waktu itu sang ayah memberitahu bahwa ayah Diajeng adalah rekan dekat ayahnya dan berharap kedua anak mereka bisa berjodoh suatu saat nanti. Tentu saja hal itu adalah kesempatan untuk Diajeng agar bisa mendapatkan Rehan. Perempuan itu memberanikan diri mengajak Rehan berpacaran hingga satu tahun lamanya. Hingga akhirnya Rehan memilih putus dengan Diajeng karena suatu hal yang menyakitkan. Tiba di kantor, Rehan lalu menuju ke ruangan sang ayah, di sana kakaknya—Dion sudah datang lebih dulu. “Kamu sudah kembali ke kantor?” tanya Pratama yang menyuruh anak bungsunya agar segera duduk. “Kamu sudah tahu tentang Pak Sastro?” Rehan mengangguk, tidak menyangka kalau ayahnya akan membahas perihal hal tersebut. “Jenguklah beliau bersama kakakmu, bagaimanapun Pak Sastro adalah klien kita.” “Sepertinya aku tidak bisa ikut, Ayah. Aku sudah janji pada Maudi untuk datang ke makan malam keluarganya,” sahut Dion membuat Rehan membulatkan matanya terkejut. “Nggak bisa gitu dong, Kak. Lo harus jenguk beliau juga,” rengek Rehan. Dion menggeleng pasrah, “Sori, Han. Gue bisa digolok sama istri kalau ingkar janji.” Rehan hanya mendesah setelah negosiasinya tetap tidak berhasil. Besok pagi Pak Sastro sudah dipulangkan, mau tidak mau malam ini Rehan harus datang sendiri menemui beliau. “Lagian lo cuma jenguk bapaknya, bukan anaknya. Nggak usah tegang gitu, Bro,” ujar Dion menepuk punggungnya ketika mereka keluar dari ruangan ayahnya. “Nggak bisa gitu, Kak. Gimana kalau Diajeng ada di sana?” “Lo mau jadi pecundang?” Rehan hanya menatap sang kakak dan membiarkan lelaki itu meninggalkannya. Sepulang dari kantor, Rehan datang ke rumah sakit di mana Pak Sastro dirawat. Sebelumnya, dia menyempatkan diri untuk membeli beberapa buah dan makanan ringan sebagai tanda simpatinya. Setelah bertanya kepada perawat, Rehan lantas menuju ruang rawat beliau. Saat tiba di sana, Pak Sastro tengah berbaring dengan mata yang terbuka. Beliau menyadari kedatangannya dan menyuruhnya masuk. “Rehan, kamu datang kemari?” Rehan menjawab sambil tersenyum, “Bagaimana keadaannya, Pak, apa susah membaik?” “Iya, sudah. Besok sudah boleh pulang.” “Maaf, ayah saya tidak bisa datang menjenguk Bapak,” ujar Rehan yang lalu meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja. “Tidak apa. Terima kasih ya, sudah menjenguk saya. Oh iya, Diajeng lagi di luar, sebentar lagi pasti datang.” “Saya langsung pulang saja, Pak, karena ada acara,” ucap Rehan buru-buru. Dia tidak mau bertemu Diajeng dalam situasi seperti ini. “Ya sudah, kalau memang kamu buru-buru. Sekali lagi terima kasih ya, Rehan.” Rehan hanya mengangguk lalu berpamitan pulang. Ia mempercepat langkahnya keluar rumah sakit agar tidak bertemu seseorang, namun waktu tidak membiarkannya pergi dengan mudah. Begitu sampai di parkiran, dia berpapasan dengan Diajeng. “Rehan?” Mau tak mau Rehan menghentikan langkahnya dan bertemu perempuan itu. “Diajeng?” beonya. “Kamu datang untuk menjenguk ayahku?” Rehan hanya mengangguk. “Sudah ya, aku harus segera pulang.” “Tunggu sebentar.” Perempuan itu menahannya lagi. “Terima kasih ya.” “Iya, sama-sama.” *** To Be Continued Bismillah, semoga readers suka dengan cerita ini ya. Tolong dukung dan cintai cerita ini🥰 Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya setelah baca cerita ini agar author jadi semangat nulisnya hehe😂 Apabila ada kesalahan tanda baca atau typo bisa tulis di kolom komentar ya, agar biaa diperbaiki☺️ Best regards Rehan😘 Description: Arrayhan Dimas Soedibjo adalah seorang lelaki berusia dua puluh delapan tahun yang memiliki kisah asmara yang rumit. Ia menjalin hubungan dengan perempuan semasa kuliahnya dulu, namun berujung diselingkuhi. Ia harus menerima perjodohan kedua orang tuanya dengan mantan pacarnya dan kembali dikhianati. Ariellin Hera Sanjuana adalah seorang arsitek yang bekerja di perusahaan kontraktor. Ia menerima tawaran mendesign gedung baru milik Soedibjo Grup. Yuana diam-diam suka kepada putra bungsu pemilik perusahaan tersebut yang ternyata dijodohkan dengan sepupunya sendiri. Siapakah yang akan dipilih Rehan? Akankah Yuana mendapatkan kebahagiaan perihal asmaranya?
Title: Regn Category: Young Adult Text: PROLOG - REGN -- - -LALUNA memetik senar gitarnya menggunakan kunci C. Mencoba untuk mengatur nada diintro lagu yang akan ia nyanyikan. Namun, tanpa sadar tangannya gemetar. Ia jadi teringat akan satu hal, seseorang yang terus mengatakan bahwa dirinya tidak bisa memetik gitar kunci C, dia adalah Galaksi.Tapi ia akan membuktikan kalau Galaksi hanyalah memandang remeh dirinya, sebab jika kunci lain bisa ia kuasai seharusnya kunci C juga bisa Laluna imbangi. Kini cewek itu kembali memetik senar gitarnya, tanpa gemetar, dan matanya terpejam.Lebih baik mengingat seseorang yang penting dihidupnya, ya orang itu adalah Antariksa. Entah apa yang sedang dilakukan cowok itu sekarang di atas sana tapi Laluna yakin dihatinya masih ada cinta untuk cowok itu.Jika yang lain menanti pelangitapi tidak dengankumeski ku tahu awan tak hitamku menunggu hujanSejak awal mengenal Antariksa, hujan menjadi satu-satunya yang Laluna sukai setelah cowok itu. Walaupun Antariksa terlihat bad boy namun ternyata cowok itu adalah seseorang yang tanpa dia sadari suka menangis. Tapi Laluna tetap menerima kekurangan yang ada di diri Antariksa. Tidak peduli bagaimana laki-laki yang seharusnya tidak boleh menangis.Laluna tahu bahwa sebenarnya Antariksa menangis seorang diri. Kuat menghadapi masalahnya sendiri.Mendung tak datangku tetap berharapMendung tak datangtapi ku yakin hujan kan turunTurun ke hatiku lewat senyummuTurun ke hatiku lewat namamudan hujan peluklah cintakuKalau saja bukan karena dirinya, Laluna tidak akan mengalami kehilangan Antariksa. Jika bukan karena perasaannya mungkin saja sampai sekarang mereka masih dalam keadaan baik.Rain why don't you comeplease never stoprain cause i need you more than a rainbowRain why don't you comewhy don't you comerain please never stopplease never stopOh rainKalau bukan karena Aksa yang mencintainya, seharusnya Antariksa tidak pergi."Anta mencintai Laluna."Laluna selalu sadar, apa yang dilakukannya setiap mengingat Antariksa pasti akan mengeluarkan air mata. Tapi ia tidak mengerti mengapa Tuhan meminta Antariksa untuk pergi. Bisa saja ia tidak pernah mengerti bahwasanya seseorang tak selalu bisa dimiliki, tapi hanya bisa disayangi.Antariksa mungkin akan tetap ada di dunia ini, namun kehidupannya tidak akan berjalan baik. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk cowok itu dan untuk Laluna, sebab kehidupan mereka di dunia sangat menyedihkan.Sudah empat tahun Antariksa pergi. Semuanya sudah berubah. Namun di hati Laluna, posisi Antariksa tidak pernah tergantikan."Kamu pergi, Nta. Aku kehilangan lagi dan lagi setiap harinya." - - - 1 :: KENAPA? - REGN - - - - Awalnya dia tertawa, namun ternyata dia menyembunyikan kepedihan hidup yang sulit ditata. - - - DI kantin Fakultas Ilmu Budaya memang sangat ramai. Singkat saja, kantin FIB ini memang dipenuhi oleh mahasiswa yang memiliki mulut bacot, sebab keterampilan mereka dalam berbahasa malah terkadang membentuk kubu masing-masing dengan menggunakan bahasa dari jurusan mereka sendiri. Sama seperti Rasi yang sedang duduk di satu meja panjang yang dipenuhi oleh teman-teman satu jurusannya. Bukan tidak mau bergabung dengan jurusan lain namun memiliki teman satu bidang lebih menyenangkan menurutnya. Tapi Rasi tidak membedakan siapapun, terkadang dirinya juga berteman dengan jurusan bahkan fakultas lain namun untuk kesenangan makan di kantin lebih baik bersama teman-teman sejurusannya. "Gue minjem catatan tadi ya, Ras." Rasi menoleh ke arah temannya. "Boleh. Bayar ya gocap." "Anjing!" Mendengar itu Rasi tertawa. Rata-rata teman satu kelasnya selalu meminjam catatan yang ditulis olehnya. Siapa yang tidak mengenal seorang cowok bernama Rasi Bintang. Awalnya cowok itu dipanggil Bintang, namun bagi Rasi itu terlalu menjijikan. "Gak ada gratis di dunia ini, Bro." "Tapi gak gocap juga." "Nawar lagi. Sanggup berapa lo?" Rasi dengan terpaksa harus ikhlas, toh masih ada yang memberi dari hasil kerja kerasnya mencatat materi kuliah jadi menghasilkan uang. "Setengah gocap deh." Rasi mengangguk. "Oke, bisa buat gue buang air." Temannya bernama Eza melongo. "Lo buang air dimana anjir semahal itu?" "Di Starbucks, biar adem." "Ras, Ras, gue tabok nih muka lo." Gandi yang mendengar itu langsung menyahut. Terkadang celotehan Rasi mampu membuatnya emosi. Rasi memutar bola matanya. "Ganteng gue ilang gimana? Mau cari dokter operasi plastik dari mana yang bisa kembaliin wajah ganteng gue?" "Najis!" Eza memaki dengan penuh tekanan. "Orang ganteng gak akan jomlo." "Gue pemilih." Rasi dengan bangganya membetulkan kerah bajunya dan malah menampilkan wajah sok cool yang membuat teman-temannya sangat ingin menampar wajah cowok itu. "Bukan pemilih, mata lo aja yang buta cewek secantik Airin aja lo tolak." Rasi hanya bisa tersenyum setiap mendengar temannya selalu berkata seperti itu kepadanya. Bukan masalah cantik atau tidaknya ia menyukai perempuan, tapi soal bagaimana membuat dirinya yakin kepada cewek itu. Bahkan yakin bisa melebihi rasa nyaman, jika nyaman sudah ada itu artinya perlu yakin untuk memutuskan jawaban. "Kalau gue punya muka ganteng, cewek sekelas Maudy ayunda aja mau sama gue." Eza tiba-tiba curhat. "Sayangnya orang ganteng kadang gak ngerti sama kelebihan mereka. Kayak lo tuh, Ras, menutup diri dari cewek. Di fakultas lain aja naksir sama lo, walaupun kita-kita kecipratan hadiahnya tapi ternyata ada cewek juga perlu biar hidup gak sepi." "Hei, anjing-anjing gue." Rasi lagi dan lagi tersenyum lebar. "Kita ke sini mau kuliah. Bukan mau nyari cew–" Suara Rasi terhenti ketika mendengar kepingan-kepingan kaca bersentuhan dengan lantai. Ia kira itu tidak disengaja oleh penjual di kantin, namun saat melihat ke arah salah satu meja yang hanya diisi satu orang cewek membuat matanya tertuju ke arah sana. Bukan cuma Rasi tapi seluruh orang yang berada di kantin. Melihatnya menyembunyikan wajah dengan kedua tangannya, membuat Rasi bingung siapa cewek itu. Namun suara-suara bising di sekitarnya membuat perhatian cowok itu sedikit teralihkan dan mendengar jelas apa yang sedang diucapkan. "Dia cewek gak waras!" "Dari jurusan Sastra Inggris kan, ya? Gue dengar sih suka nangis tiba-tiba." "Tuh cewek kenapa pecahin piring? Di kantin lagi. Bener-bener gila kayaknya." Rasi kembali fokus ke arah meja itu. Tidak ada pergerakan lagi di sana sementara penjual yang merasa piringnya pecah karena cewek itu tampak membersihkan namun beliau tidak marah, malah menepuk bahu cewek itu sekali lalu pergi. Di kepala Rasi penuh banyak pertanyaan sekarang, salah satunya, "Dia kenapa?" - - - 2 :: PERTANYAANNYA - REGN -- - -RASI menyelesaikan kelasnya hari ini, ia melirik ke arah jam di tangannya. Masih siang untuk segera pulang, lebih baik dirinya berdiam di kampus terlebih dahulu. Kakinya bergerak ke arah kantin lagi namun untuk sekarang tidak ramai karena masih ada yang belajar di kelas.Ingatan Rasi kembali saat beberapa jam yang lalu. Ketika pecahan piring dan gelas jatuh ke lantai. Saat ia melihat punggung yang sama sekali tak bersemangat. Sebelumnya, Rasi tidak pernah melihat keberadaan cewek itu atau dirinya memang tak pernah memerhatikan orang lain. Tapi karena bunyi pecahan itu mampu membuat Rasi jadi berpikir seperti ini.Namun ketika Rasi tak sengaja melihat tubuh rapuh yang sedang berdiri di salah satu kios makanan membuat cowok itu berdiri tegap. Dengan gitar di punggungnya, membuat cewek itu seolah semakin tenggelam karenanya.Mata Rasi masih terfokus ke arah sana. Tanpa sadar langkah kakinya terus mendekat ke arah kios itu. Tidak beralih sedikit pun dan sekarang Rasi bisa mendengar jelas bagaimana suara cewek itu."Bapak. Saya minta maaf karena perbuatan saya tadi." Terlihat alisnya terangkat penuh rasa salah. "Berapa kerugiannya ya, Pak, biar saya ganti?""Gak pa-pa, Neng. Gak usah ganti rugi," jawab Pak Jaja, penjual di kantin FIB. "Saya ikhlas, Neng. Maaf lancang, lagi ada masalah ya?"Cewek itu terdiam, menunduk sesaat namun terkekeh pelan. "Gak ada masalah, Pak. Saya orangnya ceroboh, suka gak sengaja pecahin piring dan gelas.""Duh, kalau gitu perabot saya bakal pecah terus dong, Neng?" tanya Pak Jaja dengan candaan.Mendengar itu malah membuat cewek itu semakin terlihat bersalah. "Tetap saya ganti rugi, Pak. Ini ya, Pak, semoga bisa ganti rugi gelas dan piringnya."Sementara Pak Jaja terkejut melihat dua lembar seratus ribu diberikan kepadanya. "Neng, ini mah terlalu banyak.""Permisi, Pak. Terima kasih." Tidak ingin merespons lagi, cewek itu berbalik pergi. Namun tatapannya terhenti saat bersirobok dengan mata Rasi yang sejak tadi memerhatikan. Cewek itu menunduk dan lekas pergi.Yang dilakukan Rasi kali ini bukan menguping, tapi terang-terangan untuk mendengarkan siapa cewek itu. Segera Rasi mengikuti langkahnya, entah mengapa walaupun Rasi sudah mendengar jelas suaranya, ia sama sekali tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang ia pikirkan."Hei, tunggu!" Rasi memanggilnya namun tidak ada respons sama sekali. "HEI, GUE MANGGIL LO!"Cewek itu berbalik sebentar dan melihat Rasi dengan dahi berkerut. Dengan tatapan yang tidak mengenal, cewek itu kembali berjalan meninggalkan Rasi. Sialnya langkah Rasi semakin cepat untuk mengejarnya."HEI!" Satu tarikan kuat Rasi membalikan tubuh rapuh itu.Tatapan mereka kembali bersirobok untuk kedua kalinya. Cewek itu berusaha melepaskan tangannya yang dipegang kuat oleh Rasi. "Mau ngapain lo?!""Gak berniat jahat.""Terus ada urusan apa lo sama gue?" Nadanya masih sama, penuh sarkasme.Rasi membisu, ketika ia berhasil meraihnya namun cowok itu bingung harus bertanya apa. Yang dilakukan Rasi malah memerhatikan setiap detail wajah cewek itu. Terlihat sangat rapuh pada tatapannya namun sejujurnya cewek itu sangat cantik, cantik yang membuat Rasi yakin melebihi Airin–cewek yang menyukainya itu–yang selalu dibanggakan oleh teman-temannya.Pandangan Rasi beralih pada kepalan tangan cewek itu, ia melihat sedikit bagian gambar dari sebuah foto, seperti gitar. Tapi cewek itu ternyata berhasil melepaskan dirinya dari Rasi."HEI!" Rasi kembali memanggil, sejujurnya ia ingin bertanya kenapa dengan cewek itu, namun itu terlalu lancang dipertemuan pertama mereka. "Gue mau tau nama lo?"Cewek itu berhenti dan kini menatap Rasi lagi. "Cewek gak waras. Puas lo?!"Tidak.Tidak puas.Rasi belum menemukan jawaban dari pertanyaannya.- - - 3 :: SUKA - REGN -- - -Kalau aku bisa berbicara dengan kamu, mungkin hanya dari hal yang kamu suka kita bisa tahu apa yang kita mau. Tapi tidak leluasa karena aku tidak tahu apa tanggapanmu.- - -LALUNA langsung masuk ke dalam kamarnya ketika sampai di rumah. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala kasur. Air matanya lolos begitu saja tanpa diminta. Ia memeluk tubuhnya sendiri, tidak menyangka jika hal itu dilakukan olehnya lagi. Sejak Antariksa pergi, Laluna sudah dicap tidak waras oleh teman-temannya. Bahkan teman sekelasnya waktu SMA meminta dirinya pindah ke rumah sakit jiwa, dibandingkan harus mencari keributan di antara orang normal. Laluna sendiri juga tidak ingin seperti ini namun kehadiran Antariksa dipikirannya membuat ia tidak tahu harus berbuat apa. Antariksa memenuhi seluruh diri Laluna, seolah cowok itu memang tidak ingin pergi dari dirinya. Atau ... memang Laluna yang tidak memberikan izin Antariksa untuk pergi.Kepalanya ia sandarkan di bantal agar menghindari benturan dari dinding. Laluna sudah coba mencegah agar dirinya tidak lepas kontrol karena menyakiti dirinya sendiri.Bukan kedewasaan yang Laluna dapat diumurnya yang sekarang. Melainkan kesedihan yang tak pernah terhentikan. Semua orang yang mengenalnya tahu, ia begitu egois ke mereka termasuk Antariksa. Egois karena ia tidak rela cowok itu pergi darinya, lebih tepatnya ia tidak bisa melupakan kesalahan dan janjinya kepada Antariksa.Kesalahan karena dirinya dicintai oleh Aksa, pelaku yang membuat Antariksa meninggal. Juga janjinya mengenai Galaksi, yang mengharuskan dirinya untuk tidak mencintai cowok itu. Bahkan tanpa Antariksa menyuruh pun Laluna tidak akan mencintai cowok itu. Karena bagi Laluna, Antariksa adalah cinta terakhirnya. "Non, gak makan dulu?"Pintu kamarnya terbuka, Bi Sumi seperti biasa datang dengan khawatir kepada keadaan Laluna. Namun cewek itu tidak menjawab malah memerhatikan ke arah jendela karena langit baru saja menumpahkan air dari atas sana. Karena Antariksa, Laluna memang menyukai hujan namun ia dilema karena hujan yang sekarang tidak bisa membuat dirinya bersama Antariksa. Hujan tidak bisa membantunya bermain air lagi bersama cowok itu, kadang Laluna membencinya."Nanti Non sakit, yuk makan dulu!" Bi Sumi tak kenal lelah. "Apa Non mau keluar?"Laluna menatap Bi Sumi dengan pandangan sedih. "Bi, Antariksa gak bisa di sini lagi. Saya harus gimana, Bi? Saya gak mungkin bisa bertemu hujan kalau gak ada Antariksa.""Tapi Non bisa bicara sama hujan lho. Bayangin kalau hujan itu adalah Den Anta." Bi Sumi menatap mata Laluna seolah anak majikannya itu masih seperti dulu yang sangat lucu. Namun selama empat tahun, keceriaan itu berubah. "Den Anta juga kan bisa berkomunikasi sama Non lewat hujan?""Bi, itu gak mungkin." Laluna menepis pendapat itu. "Selain doa, kadang hal-hal yang disuka bisa jadi perantara bicara dengan orang yang sudah pergi, Non."Laluna menunduk, memang semua yang disuka Antariksa–cowok hangat itu lebih menyukai hal dingin seperti hujan dan Laluna jadi menyukai apapun yang Antariksa suka, namun ia juga tidak tahu ketika hal yang disukanya menjadi hal yang paling dibencinya."Semuanya masih gak baik-baik aja, Bi.""Non, buat rame lagi?" Rame yang dimaksud mengenai keributan yang Laluna buat di dekat orang di sekitarnya.Laluna mengangguk. "Saya gak bisa lupain kejadian itu." Sangat kelam sampai tidak bisa ia lupakan sama sekali. "Saya dicap gila sama semua orang di kampus, Bi.""Apa perlu Bibi bilang ke Tuan dan Nyonya buat pindah kuliahnya, Non?" tanya Bi Sumi mencoba mencari cara agar Laluna tidak merasakan perih akan caci maki itu. Laluna menggeleng. "Kalau saya pindah semua orang semakin mengira saya gila, Bi. Saya cuma harus bisa mengendalikan emosi. Tapi ternyata saya gak bisa."Bi Sumi mengusap puncak kepala Laluna. "Non, mandi aja kalau gitu. Sebagai gantinya hujan supaya gak buat Non nangis lagi.""Bukan hujan, Bi, yang buat saya nangis." Laluna tersenyum tipis, namun air mata masih saja terjatuh ke pipinya. "Tapi Antariksa."- - - 4 :: PENASARAN - REGN -- - -DILAIN tempat Rasi menatap langit-langit kamarnya. Ia tidak peduli suara bising di sekitarnya karena teman-temannya yang memang sangat ramai sekali. Tapi tidak dengan dirinya yang lebih banyak diam sejak tadi. Walaupun kamarnya sekarang ramai tapi tidak dengan Rasi, pikirannya berkelana jauh.Rasi masih membayangkan bagaimana wajah dari gadis rapuh itu. Ia berbeda seperti orang lain, mungkin dirinya pasti akan bicara bahwa cewek itu memang tidak waras. Namun, saat mendengar permintaan maafnya Rasi rasa cewek itu waras–tidak mungkin meminta maaf jika cewek itu gila. Tetapi masalahnya Rasi tidak mengerti mengapa cewek itu menjatuhkan gelas dan piring sembari menangis. Pikiran Rasi menyetujui ucapan Pak Jaja jika cewek itu memiliki masalah namun dia tidak memberi tahu apa masalahnya. "WOY, BENGONG AJA LO RAS!"Suara itu membuat Rasi tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah teman-temannya, mereka malah tertawa meledekinya. Sudah biasa jika melihat ada yang aneh di diri Rasi. "Si anjing kek punya masalah aja sampe bengong gitu." Eza lebih dulu berkata. Lalu sahutan dari Gandi makin menjadi. "Cewek aja lo gak punya, Ras, gak usah sok punya masalah.""Catatan lo mana si Jing? Gue mau nyatet materi." Eza kembali bertanya lagi karena sejak tadi Rasi malah berdiam diri saja. "Di rak buku, cari aja sendiri sana bukunya." Rasi menghela napas kesal. "Ganggu gue aja lo pada.""Ya maaf, Ras." Eza bangkit mencari buku Rasi di rak. Sementara Gandi kembali bermain PS punya Rasi. Rasi menggeleng karena fokusnya diganggu oleh para peliharaan kesayangannya itu, begitulah Rasi menganggap sahabatnya sebagai peliharaan. Yang baik, manis, lucu, dan rasanya mau Rasi tabok satu per satu saking lucunya.Sekarang Rasi jadi tidak bisa memikirkan lagi bagaimana rupa cewek itu. Tapi ia secara tidak sadar malah bertanya kepada temannya. "Kalian tau gak cewek yang buat ribut di kantin?""Yang mana?" Gandi menyahut."Yang gelas dan piring pecah." Rasi menambahkan. "Kalian tau gak?""Laluna. Anak sastra inggris bukan sih, Za?" Gandi yang menjawab namun tidak yakin dan bertanya lagi pada Eza tetapi tidak mendapat jawaban. "Za, eh anjir gue tanya malah budek nih orang!""Buset! Sumpah. Sumpah. Demi apa?" Eza tidak merespons dan malah ramai sendiri. "Gila lo rangkum apa nulis cerita, Rav? Panjang bener anjir catatannya.""Cuma lima lembar, gak usah lebay." Rasi menjawab santai. Toh catatan itu penting mau panjang atau pendek menurutnya. Ia kembali menoleh kepada Gandi yang cukup nyahut walau masih sibuk main PS. "Namanya beneran Laluna, Di?"Gandi mengangguk. "Setau gue nama dia Laluna. Aneh banget menurut gue, tiba-tiba nangis, tiba-tiba ngamuk. Jutek juga lagi mukanya, cantik sih tapi harusnya gak judes macem emak yang punya kost juga."Rasi menautkan alisnya. Memang benar kata Gandi, cewek itu jutek sekali kepadanya. "Kenapa orang pada bilang dia gak waras?""Ya lo liat aja, Ras, orang waras pasti gak akan buat ribut. Dia aneh sendiri, emosi sendirian padahal gak ada yang mancing dia marah. Lagian kata anak sejurusannya aja gak ada yang mau deket sama si Laluna." Gandi melanjutkan. "Kasian juga liatnya sih, tapi gue juga takut kalau deketin tuh si Laluna.""Jadi dia beneran gak waras?" Rasi bertanya lagi."Menurut banyak orang," jawab Gandi. "Tapi gue juga setuju kalau misalnya dia gak waras kenapa gak pindah ke rumah sakit jiwa? Atau misalnya dia ada gangguan ya ke tempat yang bisa buat keadaan dia pulih, bukannya di kampus kita yang normal."Rasi menunduk, tampak berpikir lagi, sepertinya keadaan seperti itu tidak perlu ke rumah sakit jiwa. Ia rasa cewek bernama Laluna itu memang tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya."Kenapa lo nanya gitu, Ras?""Penasaran," seru Rasi tidak perlu berbohong kalau dirinya memang penasaran dengan cewek itu. Eza duduk di tepi kasur. "Ngomongin apa sih lo berdua? Serius amat kayak sinetron yang bentar lagi mau ending.""MAAF GAK MENERIMA NGOBROL SAMA ORANG BUDEK!" Gandi menyahut."Lah siapa yang budek?" tanya Eza merasa tidak salah. "Ras, maksudnya apa?""Lo budek diajak ngomong dari tadi." Rasi balik ke tempat tidur tanpa memedulikan Eza yang kebingungan. "Kok jadi gue ...." –Eza menunjuk ke dirinya sendiri– "yang budek?"- - - 5 :: SEPERTINYA KITA - REGN -- - -Kita bisa jatuh cinta tanpa berkenalan sebelumnya- - -HARI ini Laluna menyempatkan diri ke perpustakaan di kampusnya. Dulu saat masih SMA, bagaimana Antariksa dan Galaksi yang menemaninya. Kini dua orang itu sudah tidak ada lagi di dekatnya. Galaksi yang ada di dalam penjara dan Antariksa yang sudah tenang di alam sana.Sekarang, semua itu hanya menjadi kenangan di dalam hidup Laluna. Tidak pernah kembali dan tidak akan sama lagi."LA ... LU... NA."Suara yang menyebut namanya itu membuat Laluna menoleh dengan bingung. Di sana ada seorang cowok, cowok yang waktu itu memanggilnya tanpa menggunakan nama. Sekarang dia sudah mengetahui namanya namun untuk apa?Laluna menatapnya heran. "Udah tau nama gue ternyata.""Mudah, kan?" tanya cowok itu tersenyum. "Cewek gak waras."Rasanya menyakitkan memang mendengar kalimat itu. Laluna langsung mengambil buku yang ingin ia baca dan pergi menjauh dari cowok itu. Kalau ujungnya hanya untuk mencaci harusnya tidak perlu cowok itu mencari tahu namanya."Hei!" panggilnya lagi, Laluna tidak peduli. "Gue mau lanjutin yang kemarin."Laluna semakin bingung dengan cowok itu. Lagian tidak ada yang mau dekat dengan dirinya. Kemanapun ia pergi sendiri, hanya tatapan menjijikan yang diberikan kepadanya.Lebih baik Laluna duduk di kursi paling pojok di perpustakaan. Menjauhi keramaian satu-satunya cara agar Laluna tidak mendengar apa yang orang lain ucapkan tentang dirinya. Kalau dirinya tidak waras mungkin ia tidak akan bisa menerima pelajaran.Namun cowok itu ternyata masih mengikutinya dan duduk tepat di hadapannya sekarang. Laluna menatapnya dengan tatapan tak suka. Siapa yang suka? Cowok itu menyebalkan ternyata."Mau ngapain lagi? Lo udah tau nama gue, juga ngatain gue kan?"Cowok itu tersenyum menanggapinya. "Marah ya?"Laluna merasa risih sekarang. "Apa urusannya sama lo?""Kalau gue gak buat lo marah, lo gak akan respons ucapan gue."Menghela napasnya, Laluna menatap tajam cowok itu. "Daripada gue makin marah mending lo jauh-jauh dari hadapan gue!""Kok ngusir? Ini kan perpustakaan umum. Siapa aja boleh duduk dimana pun." "Ya, tapi lo ganggu gue!" Laluna membentak dengan suara keras hingga beberapa tatapan mengarah kepadanya. Tatapan yang membuat Laluna semakin tak nyaman. Ia langsung pergi dan meletakkan asal buku itu bukan di rak sebelumnya.Laluna tidak peduli dan keluar dari perpustakaan. Cowok itu masih mengejarnya, Laluna dapat melihatnya ketika ia menoleh ke belakang. Namun Laluna tidak ingin dekat dengan cowok itu."HEI!" Cowok itu memanggilnya. "LALUNA BERHENTI!"Laluna kini mempercepat jalannya, namun cowok itu berhasil menarik tangannya. "Laluna!""LO PUAS GANGGU GUE?!" tanya Laluna kini mengeluarkan air matanya. "Kalau gak penting gak usah lo ikutin gue!""Laluna!" panggil cowok itu lagi. "Denger gue, Na."Laluna mengatur napasnya dan menatap mata cowok itu. "Jangan panggil gue!""Laluna, gue gak bermaksud buat ganggu lo.""Lo siapa?" tanya Laluna masih bingung dengan tujuan cowok itu mengejarnya. "Gak ada yang mau temenan sama gue, terus mau lo apa?""Gue yang harusnya nanya gitu ke lo." Cowok itu berkata tegas. "Lo siapa, Na? Kenapa lo usik pikiran gue?""Gue Laluna. Dan gue gak merasa usik lo.""Tapi lo ada dipikiran gue terus."Laluna menggeleng. "Yang pasti itu bukan gue, karena gue sama lo gak saling kenal.""Gue Rasi." Cowok itu menjawab. "Rasi Bintang.""Kenapa lo jadi kenalan sama gue?" Laluna menatapnya dengan pandangan takut. "Kita bukan siapa-siapa.""Gak harus jadi 'siapa' buat saling kenal, Na." Rasi semakin membalas tatapan itu dengan meyakinkan Laluna dan juga dirinya.Namun tangan Rasi menyentuh pipi Laluna, mengusap air mata cewek itu. "Tapi ... sepertinya kita akan jadi 'apa'."- - - 6 :: RAHASIA - REGN -- - -LALUNA menepis tangan Rasi dari pipinya. "MIMPI LO!"Dia pergi sangat jauh dari cowok itu. Benar-benar tak menoleh lagi hingga Rasi mengembuskan napasnya lelah. Menjambak rambutnya frustrasi sampai Rasi tidak sadar bahwa ia mengucapkan kata-kata itu langsung kepada Laluna.Rasi baru menyadari jika dari kemarin ia lelah memikirkan cewek itu. Bahkan ia baru mengaku bahwa Laluna mengusik pikirannya. Rasi tidak kesal dengan hal itu hanya saja itu baru dirasakannya sekarang.Mungkin temannya mengira Rasi tidak menyukai perempuan cantik seperti Airin atau beberapa perempuan dari fakultas lain. Tapi bagi Rasi wajah takut Laluna lebih membuatnya yakin dan percaya bahwa dialah yang Rasi cari.Rasi berjalan balik lagi ke perpustakaan. Ia mencari kursi yang tadi diduduki olehnya. Memerhatikan keadaan sekitar, ia mengaku salah karena membuat Laluna marah namun Rasi juga tidak mengerti mengapa semua orang memberi tatapan tak suka kepada Laluna.Mengeluarkan laptop dari tasnya, Rasi membuka google dan entah mengapa ia malah mencari nama Laluna di berbagai platform sosial media. Siapa tahu cewek itu memang memilikinya dan Rasi bisa mencari tahu tentang Laluna. Tetapi sama sekali tidak ada sosial media yang mengatasnamakan cewek itu. Rasi semakin teliti lagi mencari nama Laluna yang memang benar orangnya dia. Kursor terhenti tepat pada sebuah blog bertuliskan Laluna berada di semesta.Secepat mungkin Rasi membukanya dan dengan foto di tampilan awal blog membuat senyum cowok itu mengembang. Usahanya membuahkan hasil, sepertinya Rasi akan membaca isi blog ini walaupun sudah tidak aktif selama tiga tahun terakhir tapi masih ada artikelnya."Ternyata mudah ya mencari tau tentang lo." Rasi berkata dengan senang. Walau ia tidak tahu bahwa mencari tentang Laluna tidak semudah ucapannya. Lebih tepatnya memahami tentang cewek itu.Rasi menggulir ke bawah, tepat di artikel paling awal. Jika dihitung waktu itu saat awal masuk SMA. Tanpa ba-bi-bu, Rasi membuka tulisan itu dan tampilan awalnya selalu membuat Rasi terpesona. Laluna bahkan pandai menghias blognya walaupun itu hanya media digital.Belum mulai membaca, Rasi sudah tersenyum dibuatnya. Apa Laluna membuat dirinya semudah itu jatuh cinta?Selamat datang di semesta!Di sini Laluna berada, mungkinkah kamu juga? Boleh kenalan? Sepertinya kita belum saling kenal."Baru aja kenalan." Rasi menjawab seolah sedang berbicara dengan cewek itu.Ini pertama kalinya aku menulis di blog. Terdengar aneh? Ah, salah, terbaca aneh?Rasi tertawa. "Lo memang aneh."Dan saat ini aku baru saja lulus SMP. Aku bisa masuk ke sekolah yang aku impikan lho, kamu gimana?Gak nyangka aku bisa mewujudkan impianku sejak dulu saat awal masuk SMP untuk melanjutkan sekolah di Schakel school. Ya, sekolahku terkenal karena namanya diambil saat zaman penjajahan dulu. Di sana aku ingin sekali berprestasi.Prestasi yang aku maksud bukan akademik.Rasi mengangkat alisnya penasaran. Jika sekolah itu termasuk favorit Laluna, bukankah sudah pasti akademik cewek itu juga bagus?Aku suka bermain gitar dan bernyanyi.Kamu jangan penasaran ya. Soalnya aku gak bisa kasih tau suaraku sekarang. Nanti kamu naksir hehe..."Harus sekarang dong," jawab Rasi lagi dan lagi malah bercanda untuk dirinya sendiri.Gitar dan bernyayi sudah jadi seperti nyawa aku. Tapi aku juga gak mungkin terus-terusan bersama musik, kan? Ada saatnya aku lelah bermain musik dan bisa saja mati. Sebab musik nyawaku.Aku juga mau cerita. Tapi maaf ya kalau terdengar seperti isi buku diary.Kemarin hari terakhir demo ekskul, aku melihat banyak sekali penampilan di sana. Namun ada yang berbeda di ekskul musik, IPA dan IPS tidak bergabung. Aku menonton penampilan dari band jurusanku di IPS. Mereka cukup bagus tapi tidak memiliki penjiwaan yang baik dalam bernyanyi.Lalu aku juga menonton penampilan dari IPA, hanya saja tidak ada vokalis dan gitaris di sana. Seperti ekskul musik di IPA tidak ada peminatnya, apakah murid IPA lebih mementingkan akademik? Begitu pikirku.Namun, dua murid berseragam SMP maju ke depan, sepertinya mereka sama sepertiku yaitu murid baru. Membantu sang pianis untuk tampil, di sana mereka cukup pas walau hanya tiga orang.Aku dengar salah satu dari dua orang itu berkata, "Gue Galaksi." Dia yang bernyanyi, aku ingat. Cowok tinggi itu sangat tampan, aku tau karena teman baru sekelasku berteriak histeris dan tentunya para senior pun sama.Lalu tatapanku beralih ke sebelah Galaksi, dia berkata, "Hai, gue Antariksa." Berpostur tak jauh beda dengan Galaksi, tapi dia tersenyum sangat lebar dan itu menambah nilai plus yang menurutku itu artinya Antariksa sangat ramah.Rasi menautkan kedua alisnya sekarang. Seperti lelah dan tidak ingin lanjut membacanya lagi.Ssstttt! Tolong kamu simpan rahasia ini."Rahasia apa?" tanya Rasi memicingkan matanya untuk membaca dengan jelas.Aku suka Antariksa.- - - 7 :: NYAWA - REGN -- - -Alasan aku tetap bertahan karena masih ada senyumanmu yang kunantikan.- - -SAMA seperti biasanya, Rasi dan teman-temannya kumpul mengerjakan tugas di kantin. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing, sementara bagian Rasi mencari materi sudah selesai kini cowok itu tinggal mengeditnya. Namun, bukannya mengedit tapi Rasi sibuk memerhatikan Laluna yang duduk sendirian dengan makanan yang sedikit dimakan selebihnya hanya diaduk.Melihat Laluna yang melamun membuat Rasi menghampirinya. Tidak tahu jika langkah cowok itu menjadi perhatian banyak orang. Terutama teman-temannya terkejut karena Rasi melakukan hal seperti ini."Na!" Rasi memanggilnya. Berhasil mengembalikan kesadaran Laluna.Cewek itu mendongak sesaat dan melanjutkan makan. Tidak menjawab panggilan Rasi. Bahkan makanan kali ini dilahap habis oleh Laluna yang sudah sejak tadi hanya diaduk. Rasi hanya bisa tersenyum dibuatnya, terlalu lucu jika melihat Laluna marah.Laluna minum dan asal bangkit dari hadapan Rasi namun secepat mungkin ia menahannya. "Kenapa pergi?""Karena ada lo." Laluna menjawab kelewat jujur."Gue ke sini karena mau temenin lo makan." Rasi berkata lagi, menahan cewek itu untuk tidak pergi."Tapi gue udah selesai makan," ucap Laluna menatapnya dengan bangga atas jawabannya yang berhasil membuat ia pergi dari hadapan Rasi.Laluna sekalinya menjauh, benar sangat jauh sekali. Rasi tidak ingin semua ini berakhir begitu cepat. Ia menoleh ke Gandi. "Di, tas sama laptop gue tolong bawa!""Lah, lo mau ke mana, Ras?""Cabut bentar!" Rasi berlari mengejar langkah Laluna. Ia benar-benar menghampiri cewek itu tanpa berniat untuk berhenti, sebab pertemuan mereka kali ini belum usai."GUE UDAH ADA DI SEMESTA!"Teriakan Rasi membuat langkah Laluna terhenti, dia seolah sedang mengingat suatu hal saat mendengar kata itu. Rasi berjalan perlahan mendekati cewek itu, ia senang mengenal Laluna."Bukan alam semesta, tapi semestanya Laluna." Rasi menambahkan lagi. "Kebetulan kita punya nyawa yang sama."Laluna menoleh ke arah cowok itu. "Mau lo apa?""Mengenal lo," jawab Rasi singkat."Hidup gue datar, gak ada hal spesial buat lo tau," ujar Laluna tersenyum menyedihkan. "Lo buang-buang waktu untuk cari tau tentang gue. Manfaatnya buat lo juga gak ada kan?""Kenapa gak boleh?" Rasi berbalik tanya. "Gue rasa penolakan lo pasti ada alasannya. Kalau lo merasa hidup lo datar, lo gak akan pergi dari gue dan melarang gue kayak tadi."Laluna mundur, mengalihkan tatapan mereka, dan tidak tahu harus menjawab apa karena ucapan Rasi memang benar. Rasi berhasil membuat Laluna bungkam dengan ucapannya, kini ia mendekatkan dirinya kepada Laluna."Ternyata kita punya nyawa yang sama." Rasi berkata dengan jelas. "Setiap hari lo bawa gitar ke kampus padahal itu bukan mata kuliah yang lo ambil, lo anak sastra inggris yang ... terkenal gak waras. Melihat lo bawa gitar, gue yakin kita sama-sama menyukai musik.""Semua orang pasti suka.""Tapi gak sebagai nyawa, kan?" tanya Rasi lagi. "Lo bawa gitar karena itu nyawa lo? Lo merasa kesepian kalau gitar itu gak ada.""Gimana lo merasa kalau musik itu nyawa?" Laluna bertanya seperti itu agar ia tahu jika nyawa yang dimaksud percis seperti dirinya."Gue gak bisa lepas dari musik sebelum tidur dan gue udah banyak ciptain lagu." Rasi malah promosi. "Mau dengar?""Sori, gue gak berminat."Laluna pergi lagi tapi dengan cepat Rasi menarik tangan cewek itu. "Gue gak akan berhenti, Na."Berhenti?"Gue sudah masuk ke dalam semesta lo. Dunia dan ruang waktu lo."- - - 8 :: PERGI - REGN - - - - MEMELUK tubuhnya sendiri, Laluna merasa ketakutan sekarang. Melihat cowok bernama Rasi itu terus mendekatinya membuat Laluna ingin menangis saja. Laluna menggigit daging bibirnya kuat hingga darah dapat dirasakan oleh dirinya sendiri. Laluna sangat takut jika cowok itu sama seperti Galaksi. Dulu, hanya Galaksi yang berani mendekatinya. Tapi sekarang dia sudah memiliki Kayla di hidupnya. Sementara Laluna harus berperang dengan hatinya dengan hati Antariksa. Tidak mungkin Laluna mengkhianati Antariksa, ia sudah berjanji untuk mencintai cowok itu selamanya. Tidak ada hati lain termasuk Galaksi sekali pun. Tidak mungkin ada seseorang yang mengusik kehidupannya, Rasi, cowok itu hanya ingin bermain-main dengan Laluna. "Cowok itu gak serius," ucap Laluna meyakinkan dirinya. "Sama kayak Galaksi, dia bisa dekat sama Kayla. Berarti Rasi juga bisa dekat sama cewek lain. Cowok itu cuma penasaran sama kehidupan gue." Laluna memerhatikan ke luar jendela, langit malam selalu berhasil membuat dirinya bebas. Sesuai arti namanya, bulan, ia hidup dalam gelapnya malam. Sama seperti hidupnya, begitu gelam dan kelam, berkali-kali keluarga Antariksa meminta Laluna ikhlas namun entah mengapa kata itu sulit ia lakukan. "Nta, kamu harus tau!" ujar Laluna menatap langit malam dari dalam kamarnya. Ia butuh hujan malam ini tapi sepertinya benar kata Bi Sumi, Antariksa sedang tidak ingin berbicara kepadanya lewat hujan. Maka, sebelum hujan turun Laluna sudah memberikan pesan kepada Antariksa. "Aku akan selalu mencintai kamu, Nta." Laluna yang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya malah terpeleset di lantai saat ia ingin menghampiri jendela. Ia menangis dan begitu lemah, mungkin orang akan mengira dirinya lebay namun bisakah orang lain menilai dari sisi positifnya? Jika Laluna memberikan seluruh cintanya kepada Antariksa. "Ada laki-laki selain Galaksi dan Aksa yang sedang mendekatiku, Nta. Aku gak tau kenapa dia mencari tau tentang aku." Laluna menengadah sembari menahan air matanya agar tak keluar lagi. "Aku lelah. Galaksi sudah gak mencintai aku lagi, Nta. Aku sudah berhasil membuat dia menemukan cintanya yang lain, yang benar-benar untuk dirinya." Helaan napas terdengar. "Aksa menyusul kamu pergi, Nta. Aku tau, itu balasan Tuhan karena dia telah jahat sama kamu." Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Laluna masih merasakan sakit di kakinya akibat terpeleset tadi tapi ia berusaha mengambil ponselnya di atas meja. Ada panggilan dari nomor tidak dikenal, kalau tidak diangkat takutnya telepon itu penting. "Halo!" "Hai, Laluna!" Laluna buru-buru mematikan ponselnya. Suara itu Laluna mengenalinya, cowok bernama Rasi itu berhasil mendapatkan nomornya. Ini yang membuat Laluna takut, cowok yang tidak dikenalnya itu mendadak mendekatinya. Padahal Laluna berusaha menolak cowok itu dengan caranya. "Kenapa semua cowok keras kepala, Nta?" tanya Laluna kesal. "Kenapa mereka gak lelah mendekatiku? Padahal aku sudah berusaha jahat ke mereka." Tatapan Laluna beralih ke arah bingkai foto yang ada dirinya bersama Antariksa. Penuh di dinding kamarnya foto mereka berdua, tidak ada yang seindah pemandangan itu. Tapi emosi Laluna kembali tak terkontrol, ia menarik selimut, dan menggenggamnya kuat bahkan selimut sebelumnya rusak karena dirinya. "Cuman kamu yang mudah lelah dekat denganku, Nta. Kamu yang terlalu cepat pergi tanpa memikirkan bagaimana aku nantinya." Laluna menangis lagi. Tidak peduli berapa kali orang tuanya mendatangkan psikolog untuk memeriksanya karena satu-satunya hal yang bisa membuatnya berhenti hanya kehadiran Antariksa. Ponsel Laluna berbunyi lagi, nomor yang sama seperti sebelumnya. Laluna mematikan ponselnya, tidak ada yang bisa mengganggunya. "Kamu gak akan pergi dari hatiku kan, Nta?" Laluna tidak menyadari, itu pertanyaan untuk Antariksa atau untuk dirinya? - - - 9 :: HIDUP - REGN - - - - Aku percaya, tidak hanya aku yang masuk ke kehidupanmu. Tapi diriku juga akan ada di hatimu. - - - RASI lebih memilih untuk datang ke gedung olahraga dibandingkan harus berlama di depan kelas hanya untuk menunggu dosennya yang belum hadir. Tapi Rasi juga akan bergegas ke kelas jika dosennya sudah datang. Untungnya gedung olahraga dengan fakultasnya berdekatan. Lagipula gedung ini hanya digunakan untuk tiga macam olahraga saja, ada futsal, voli, dan basket. Dari ketiga olahraga itu yang paling Rasi suka adalah basket. Kalau futsal kakinya cepat sakit sementara voli ia harus melakukan tenaga pada lengan sementara itu membuatnya cepat pegal. Berbeda dengan basket yang hanya melemparkan saja bola ke dalam ring. Baru saja sampai ke pintu lapangan, Rasi sudah melihat punggung seorang perempuan berdiam diri bersama dengan bola basketnya. Rasi awalnya hanya menganggap biasa jika seorang cewek menyukai olahraga. Namun saat melihat jelas siapa orang yang sedang berada di sana ternyata adalah Laluna, itu lebih dari luar biasa. Entah mengapa, Rasi jadi berpikir mengapa kesukaannya dengan Laluna lagi dan lagi sama. "Gue kira lo cuman suka musik." Suaranya berhasil membuat Laluna menoleh dan memasang wajah masamnya. Rasi berjalan mendekati cewek itu. Senyuman yang tidak lepas dari wajahnya menandakan jika Rasi merasa bahagia. "Berarti lo belum tau banyak tentang gue." Begitulah Laluna berkata, seolah sedang menantang Rasi untuk lebih semangat mencari tahu tentangnya. Melihat Laluna sedang memasukan bola ke dalam ring, dalam hati Rasi, mengapa ia baru bisa merasakan dan menemukan cintanya. Sejak awal melihatnya, Laluna sudah menarik perhatiannya. Tapi ia memang belum sejauh itu mencari tahu tentang Laluna. Apalagi tulisan diblog cewek itu baru satu artikel waktu itu. Belum Rasi lanjut baca lagi. "Berarti lo mau gue cari tau tentang lo?" Rasi tertawa. "Nama lo aja mudah gue cari. Memang apa lagi yang belum gue tau tentang lo?" "Cuma nama berarti lo belum tau gue." Rasi menarik cepat bola yang berada di tangan Laluna. Cowok itu menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca. Laluna tertegun ketika Rasi menghapus jarak mereka. "Ada apa sama lo, Laluna?" Laluna mengerutkan dahinya. "Gue gak ada apa-apa." "Lo kira, gue gak tau keramaian yang lo buat di kantin bukan karena diri lo yang ceroboh." Rasi semakin mendekatkan jarak keduanya. "Lo punya masalah yang lo sendiri sulit mengendalikannya." Laluna semakin membisu. Apakah semudah itu orang menebak dirinya? Atau memang hanya Rasi? Apa cuma dia yang peduli kepadanya? "RASI BERHENTI!" Kali ini Laluna ingin marah kepada cowok itu namun tidak bisa. Sebab apa yang dikatakan cowok itu memang benar. Bola di tangan Rasi langsung melempar ke ring dan tepat masuk mencetak poin. Laluna ternganga melihatnya. "Kenapa lo bisa ... lo mau cari tau tentang gue?" "Apa perlu gue jawab?" Laluna terdiam, Rasi menaikkan alisnya. "Gue juga sebenarnya gak punya alasan pasti untuk cari tau tentang lo. Dalam pikiran gue cuma dipenuhi lo." Laluna menatapnya bingung. Mana mungkin dia ada dipikiran cowok itu? "Gue juga gak ngerti kenapa kesukaan gue dan lo sama." Laluna memerhatikan Rasi yang kembali mengambil bola basket. "Pertama musik dan kedua basket." "Lo tau kesukaan gue?" Laluna menatap tak percaya. "Itu gak mungkin." Ia menarik kerah baju yang dikenakan Rasi. "CEPAT BILANG KE GUE SIAPA YANG KASIH TAU LO TENTANG GUE!" Rasi tersenyum menahan tawa. "Kenapa, Na, takut?" tanyanya menyindir cewek itu. "Gue gak butuh orang lain untuk dapat informasi tentang lo. Karena gue sendiri yang sudah masuk ke dalam hidup lo." - - - 10 :: CEMBURU - REGN - - - - Laluna menatapnya dengan tak percaya, siapa yang percaya jika cowok itu memang sudah masuk ke kehidupannya. Siapa juga yang ingin kehidupannya diusik oleh cowok yang tidak dikenalnya sama sekali. Rasi hanya penasaran atas apa yang terjadi kepada Laluna, bukan memang berniat masuk ke dalam kehidupannya dalam maksud baik. “Apa yang lo mau tau tentang gue?” tanya Laluna to the point. Rasi jadi bingung karena perubahan Laluna yang tiba-tiba. “Kenapa?” “Bukannya lo mau tau tentang gue?” tanya Laluna lagi. “Daripada lo capek dan buang waktu lebih baik gue kasih tau sekarang tanpa perlu lo ganggu gue lagi. Gue yakin rasa penasaran lo selesai setelah gue cerita semuanya.” Benar, dipikiran Rasi ada maksud yang membuat Laluna seperti ini. Cowok itu menggelengkan kepalanya pasti. “Gue gak perlu bantuan lo. Gue gak suka dibantu orang lain, biar gue sendiri yang berusaha cari tau tentang lo.” “Kenapa?” “Karena gue tau apa yang akan lo ceritakan ke gue gak semuanya lo ceritakan. Ada hal yang pastinya lo sembunyikan dari gue.” Tatapan Rasi berhasil membuat Laluna memalingkan wajahnya. Mereka terlalu larut dalam obrolan ini sampai tidak merasakan jika sejak tadi ada yang memerhatikan mereka dalam jarak sedekat itu. “Hai, Ras!” Panggilan itu membuat Rasi maupun Laluna menoleh ke asal suara. Tampak seorang perempuan dengan senyuman canggung memanggil cowok itu. “Sori ganggu. Aku datang ke sini cuman mau kasih makanan buat kamu, Ras.” Cewek itu berjalan semakin mendekat tanpa tahu jika sejak tadi langkahnya diperhatikan oleh Laluna. Ia tersenyum ke arah Rasi lalu mengulurkan kotak makanan yang entah isinya apa. “Tadi kata Eza, kamu ada di sini.” Tatapannya beralih ke arah Laluna, ia tersenyum tipis. “Hai, temannya Rasi ya?” Laluna tak menjawab tapi berbalik badan dan menghampiri bola basket yang tadi Rasi lempar. Senyuman kecut kini digantikan oleh cewek itu. Laluna merasa tidak perlu membalas sapaan itu, tidak kenal, untuk apa sok dekat? Lebih baik Laluna melanjutkan kembali bermain basketnya dibandingkan harus meladeni seorang cewek yang sepertinya naksir cowok itu. “Makasih Airin,” balas Rasi merasa tidak enak. “Harusnya lo gak perlu bawa makanan buat gue.” Cewek bernama Airin itu, yang dipuji-puji oleh teman-temannya, masih saja memberi perhatian kepada Rasi. Padahal Rasi sudah menolak permintaan cewek itu untuk menjadi pacarnya. Rasi tidak berniat memberi harapan palsu, maka sebelum semuanya terlalu jauh lebih baik Rasi langsung jujur kepada Airin bahwa dirinya tidak cinta. Namun tetap saja, cewek itu kini lagi dan lagi mendekatinya. “Itu ada makanan lebih, makanya aku kasih ke kamu, Ras.” “Gak perlu, Airin, gue masih sanggup buat beli makanan di kantin. Ini bisa lo bagi-bagi ke teman lo kan, gratis?” Airin terkekeh pelan. “Iya sih, Ras, tapi aku mau kasih itu ke kamu.” “Lain kali gak usah ya,” ucap Rasi lagi. Helaan napas kecewa Airin terlihat jelas, Laluna dapat melihat itu. Ia tahu, sepertinya cewek itu sangat mengharapkan Rasi. Namun kini cewek itu pergi menjauh, terlihat Rasi yang kembali jalan ke arahnya membuat kening Laluna berkerut. “Mau ngapain lagi lo di sini?” “Memangnya kenapa?” Laluna melempar bola ke ring. “Kan lo tadi mau berduaan sama tuh cewek. Ngapain juga lo balik lagi ke sini?” Rasi tersenyum penuh arti. “Lo juga ngapain senyum-senyum?” Laluna menatapnya kesal. “Cemburu ya?” ledeknya membuat Laluna langsung melemparkan bola basket ke perut Rasi dan bergegas pergi. “LALUNA! Kalau cemburu bilang aja!” Tawa Rasi masih ada ketika Laluna pergi dengan perasaan kesal akibat ledekan itu. - - - 11 :: BERBAGI CERITA - REGN - - - - Berbagi cerita denganku, sebelum kamu memutuskan ingin sekali menjauhiku. - - - LALUNA terdiam memandangi foto yang sudah berkali-kali ia cetak sebab sudah tidak tahu keberapa kali foto itu rusak atau hilang. Laluna bahkan menulisnya lagi sesuai dengan kalimat yang ditulis oleh Antariksa. Foto-foto ini sudah ia sediakan banyak di kamarnya karena ia tahu sifatnya yang berubah kadang merusak barang di dekatnya. Bunyi ketukan pintu menyadarkan Laluna dari lamunan. Ia menoleh ketika pintu itu terbuka sebab Laluna tidak menjawab apa-apa. Di sana mamanya tersenyum ke arah putrinya, ia berjalan dan menghampiri Laluna yang terduduk di lantai. "Ada apa, Ma?" tanya Laluna meminta penjelasan. Fina tersenyum lagi, beliau mengusap kepala Laluna pelan. "Sini peluk Mama!" Laluna memeluknya. "Ada apa, Ma?" tanyanya bingung. "Mama gak boleh peluk kamu? Mama gak boleh kangen nih sama anak Mama sendiri?" Fani menautkan alisnya ketika Laluna malah bertanya itu, ia kembali menyusap puncak kepala putrinya. "Boleh, Ma." Laluna menjawab singkat. Menikmati pelukan mamanya yang terasa nyaman. Melihat Laluna memegang sebuah foto dengan gambar gitar membuat ia tahu sebagai mamanya. "Masih cinta sama Antariksa?" Laluna menganggukkan kepalanya. "Iya, Ma. Laluna gak bisa lupain Antariksa." "Tapi dia udah jauh, Sayang!" "Laluna udah janji sama Anta, Ma. Laluna gak akan berhenti mencintai Anta," jawab Laluna dengan yakin. "Laluna merasa itu sudah takdir Laluna buat cinta sama Anta, Ma. Dan Anta pergi ... supaya Laluna yakin siapa yang mencintai Laluna dengan tulus memang cuma Anta." "Sampai buat kamu membenci Galaksi?" Laluna menggeleng tegas. "Aku gak pernah benci Galaksi, Ma. Waktu Papa pukul Galaksi, aku merasa bersalah tapi itu sudah keputusan aku untuk menjauh dari Galaksi." "Karena dia mencintaimu?" "I... Iya, Ma." Laluna menjawab takut. "Sebelum Antariksa pergi, Galaksi memang sudah bilang suka sama Laluna. Tapi ... Mama tau kan kalau perasaan cinta itu gak bisa dipaksa? Aku gak bisa mencintainya." "Kamu yang buat keputusan ini sendiri?" "Anta yang meminta aku, Ma, dan Laluna sadar kalau ucapan Anta benar: jika Laluna membalas perasaan Galaksi akan menjadi masalah besar." "Kenapa?" tanya Fani lagi. Laluna menggeleng. "Itu urusanku, Ma. Rahasia." "Mama gak boleh tau?" Fani terkejut. "Mama yakin itu masalah besar sampai Mama dengar Galaksi dipenjarakan." "Ma! Laluna gak bisa cerita semuanya." Ia menangis menjawab itu. Memang benar, Laluna lemah sekali dalam mengungkapkan perasaan yang mengganjal di pikiran dan hatinya. "Semuanya memang sudah terjadi, tapi kamu gak bisa cerita apa-apa ke Mama." Fani menatap sedih. "Na, Mama harap kamu mudah bercerita ke orang lain dan bergabung bersama mereka. Mama dengar kata Bibi kamu buat rame lagi ya?" "Ma, cuma aku yang ngerti keadaan diri aku sendiri!" Kini Laluna bangun dari duduknya, menatap mamanya dengan sedih. "Ma, aku bukan bermaksud mengusir Mama. Tapi Laluna mohon Mama tinggalin Laluna sendiri. Laluna mau sendiri, Ma." Fani menghela napasnya. "Mama gak tau apa masalah yang kamu alami, Na. Tapi Mama harap kamu mengerti dengan berbagi ke orang lain bisa membuat perasaan kamu lega." "Ke siapa, Ma? Aku gak mungkin cerita semua itu ke Mama karena itu masalah aku. Mama gak akan mengerti." "Ke siapapun, Sayang!" Fani lagi dan lagi menegaskan. "Mama gak ikut campur, hanya saja kalau kamu gak dekat orang lain ke siapa lagi kamu mau cerita kalau bukan sama Mama?" "Ma, maaf!" "Siapapun orangnya yang buat kamu yakin Laluna." Fani berjalan ke arah pintu, sebelum menutupnya beliau kembali berkata, "Mama yakin saat kamu berbagi cerita ke orang, dia adalah hal yang tepat. Yang mampu membuat kamu yakin untuk cerita. Untuk tau masalah kamu." Pintu kamarnya tertutup, Laluna terduduk lemas. Ia menatap jendela dengan penuh tanda tanya. Siapa orangnya? Siapa orang yang tepat itu? Tidak ada. Tidak pernah ada. - - - 12 :: MEMERHATIKAN - REGN - - - - MENYALAKAN lampu kamarnya, Rasi baru saja sampai rumah. Ia tadi nongkrong sebentar di warung dekat kampus bersama teman-temannya sambil mengerjakan tugas. Sekarang ia begitu lelah dengan aktivitasnya hari ini. Helaan napas ia lakukan sembari tidur di atas kasur. Ia belum mandi memang, tapi kasur memanggilnya lebih dulu untuk disapa. Kini ia memandang langit-langit kamarnya. Entah mengapa wajah Laluna kembali memenuhi isi pikirannya. Dalam hati Rasi juga bertanya-tanya, apa jangan-jangan dia menaruh perasaan kepada cewek itu? Tapi dengan memikirkan Laluna, Rasi merasakan itu sudah pertanda jika dirinya memang tertarik kepada cewek itu. Hanya saja Rasi tidak yakin jika Laluna akan jatuh cinta kepadanya. Malam semakin terasa dingin saja udara di luar sana malah membuat Rasi jadi gelisah. Ternyata langit kini menumpahkan butiran air, Rasi mematikan AC di kamarnya. Jujur saja ia tidak suka dengan udara yang begitu dingin. Memang sering dibilang kampungan, hanya saja ia tidak suka karena dingin melambangkan kesedihan. Rasi seseorang yang tidak ingin merasakan kesedihan. Ia membuka ponselnya dan mencari nomor Laluna. Mencoba meneleponnya lagi dan tak lama panggilan itu terangkat. Rasi sadar senyumnya merekah karena hal sederhana ini. "Halo Laluna." Rasi membuat dirinya sedikit geli mendengar sapaannya sendiri. "Lagi apa?" "Halo!" Suara yang terdengar berbeda. "Maaf ini dengan siapa? Non Lalunanya lagi gak ada di kamar. Ini Bi Sumi, pembantu di rumah." Rasi jadi kikuk. "Eh, halo Bi. Saya Rasi, teman sekampusnya Laluna." "Apa, Den? Teman?" tanya Bi Sumi di seberang sana terkejut. "Bibi gak salah dengar kan kalau Non Laluna punya teman?" "Gak salah, Bi." Rasi jadi bingung mendengar penuturan itu. "Saya beneran teman Laluna di kampus. Kalau bisa lebih dari teman juga boleh Bi." Terdengar tawa di seberang sana, Bi Sumi seperti bahagia. "Non Laluna lagi main hujan, Den. Soalnya baru saja selesai nangis. Dia gak mau mandi jadi Bibi suruh keluar rumah aja sambil hujan-hujanan." "HAH?!" Kali ini Rasi yang tidak percaya. "Bi, Laluna bukan anak kecil. Ngapain main hujan?" "Den Rasi, belum tau ya kalau Non Laluna memang suka main hujan?" Rasi menggeleng padahal Bi Sumi tidak akan lihat itu. "Nggak, Bi. Tapi nanti Laluna sakit kalau main hujan." "Iya, Den. Memang suka sakit tapi kalau bukan karena hujan, Non Laluna bakal nangis terus Den." "Bi," panggil Rasi lagi. Ia ingin ke sana melihat Laluba langsung. "Iya, Den? Ada pesan apa yang mau disampaikan? Nanti Bibi bilang ke Non Laluna." "NGGAK USAH, BI!" Ya, Rasi jadi ngegas jawabnya. "Maksud saya gak usah bilang apa-apa kalau saya telepon. Nanti juga pas lihat histori panggilan Laluna tau kalau saya telepon, saya cuma mau ngobrol aja sama Laluna." "Oh, gitu ya Den." Bibi mengangguk sambil menjawab. "Berarti teleponnya sudah selesai nih Den? Mau dimatiin?" "Bentar, Bi!" Rasi berpikir sejenak. "Boleh saya minta alamat rumah Laluna?" "Oh, boleh Den." Ketika Bi Sumi menyebutkan alamat rumah Laluna, Rasi sudah mencatat dalam ingatannya. Ia akan mengingat alamat itu. Panggilan selesai dan cowok itu segera memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Mengenakan jaket, kunci motor, dan juga mengambil jas hujan. Ia keluar dari kamarnya menuju parkiran motor. Malam ini Rasi tidak lelah sama sekali ketika niatnya akan bertemu Laluna. Cowok itu menerobos hujan hanya demi melihat Laluna. Hanya untuk memerhatikan cewek itu. - - - 13 :: RAMAI - REGN - - - - Bukan ramai yang kamu takuti, tapi pikiranmu sendiri yang membuatnya menjadi ngeri. - - - KANTIN selalu saja ramai dan ketika ia masuk ke dalam, Laluna tahu tatapan orang-orang memerhatikannya. Seharusnya Laluna sudah tidak peduli dengan tatapan meremehkannya itu sebab sejak SMA dirinya sudah mendapatkan teman yang jahat. "Neng, mau makan apa?" Suara memanggilnya membuat Laluna menoleh, tersenyum tipis. "Nasi goreng ya Pak, satu porsi sama minumannya air putih." "Siap, Neng, sebentar saya siapin." "Pak, piring dan gelasnya pakai plastik aja." "Lho kenapa?" "Takut piring dan gelas Bapak pecah lagi." Laluna menjawab dan pergi dari sana sebelum penjual itu membalas ucapannya. Ia mencari tempat duduk dan meja yang kosong dan ternyata semua meja sudah penuh. Ia tidak tahu harus makan dimana lagi. Laluna bahkan tidak bisa bergabung ke salah satu meja di sana. Laluna yakin mereka tidak akan menerima kehadirannya. Laluna mencoba memberanikan diri untuk duduk paling pinggir hanya agar ia mudah makan namun ketika sampai di meja, mereka semua di meja itu memberikan tatapan tak suka. "Gue gak mau lo gabung di sini." Begitulah kata salah satu orang di antara mereka, namanya Geisha, dia satu jurusan dengannya. Laluna memang tidak peduli namun karena cewek itu cukup terkenal dan ia jadi tahu. Laluna kembali ke tempat kios tadi. Ia kembali memanggil penjual dan meminta pesanannya untuk diantar ke danau yang dekat dengan kantin. Sepertinya kantin bukan lagi tempat yang nyaman untuk Laluna datangi lagi. Tubuh rapuh itu berjalan menuju danau. Untungnya danau di kampus cukup ramai dikunjungi jadi Laluna tidak merasa begitu sendirian sembari menunggu di sana. Mungkin sambil memerhatikan fotonya dengan Antariksa menjadi hal yang sangat pas. Tak lama, Rasi datang ke kantin dan menghampiri tempat langganannya. "Pak Jaja! Saya pesan nasi goreng." "Nah kebetulan nih, Bapak buat nasi goreng sekaligus dua mau gak? Satunya buat kamu dan satunya buat Eneng yang lagi duduk di danau situ?" "Lah, kok jadi saya yang anter, Pak?" Rasi tidak terima dengan permintaan itu. "Meja kantin juga udah penuh. Sana kamu temani Neng itu tuh yang suka piring dan gelasnya pecah." "Laluna, Pak?" "Nah iya, mungkin namanya Laluna. Coba sana kamu anter nih sama punya kamu juga." Rasi jadi menerima nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih. Ia menatap bingung. "Jadi berapa Pak?" "Apanya?" "Harganya lah, Pak." "Udah gratis buat kamu sama Neng itu." "SERIUS, PAK?!" "DUA RIUS." Rasi jadi semangat. "WAH, BAPAK BAIK! Terima kasih Komandan!" Senang mendengarnya saat kehadiran Laluna selalu membuatnya bahagia. Rasi menghampiri cewek itu. Dia malah duduk melamun sambil memerhatikan foto. "Kalau duduk di sini tuh gak boleh bengong, banyak penunggunya." Laluna berdecak, tersadar karena suara itu. "Mau ngapain lo ada di sini?!" "Bawa makanan buat lo dong. Nasi goreng, kan?" "Taruh di sini aja!" pinta Laluna menunjukkan ke pinggir dirinya. "Kenapa jadi lo yang anter makanan gue?" "Disuruh," jawab Rasi duduk di samping Laluna. "Sekalian duduk di sini, gue jadi bisa lihat pemandangan bagus. Kantin ramai banget." "Iya," ujar Laluna menyetujui. "Gue gak suka keramaian kayak gitu. Apalagi mereka gak welcome sama gue." "Karena lo cewek gak waras?" tanya Rasi memberikan piring itu ke Laluna. Laluna mengangguk dan mulai menyantap makanannya. "Gue memang gak waras, kan. Lo juga setuju?" "Bukan gak waras." Rasi membalasnya. Ia juga menyantap makannya. "Asin nih nasi gorengnya, pasti Pak Jaja mau kawin lagi." "Kalau gak waras, terus apa?" Pertanyaan Laluna mampu membuat Rasi berpikir sebentar. "Lo cuman gak suka keramaian orang-orang," jawabnya blepotan karena mulutnya penuh nasi. "Tapi lo suka keramaian rintik hujan." - - - 14 :: SEDIKIT PENTING - REGN - - - - UNTUK pertama kalinya, Laluna menunggu seseorang selain Antariksa. Cewek itu kini berdiri di depan kelas Rasi. Ada hal yang ingin ia bicarakan kepada cowok itu walaupun masih bingung antara harus bilang atau bungkam. Tak lama Rasi keluar dari kelasnya bersama teman-temannya. Namun awalnya ia tidak tahu jika Laluna ada di sana namun tepukan di bahunya membuat Rasi menoleh. Bahkan merasa tidak percaya jika Laluna menunggunya selesai kelas. "Ada apa?" Laluna gugup. Serius. Tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. "Gue mau kita bicara." "Berapa lama?" tanya Rasi lagi. Laluna menggeleng. "Gue gak tau." Cowok itu mengangguk. Sebenarnya mau seharian penuh pun, Rasi akan menemani cewek itu. Rasi yakin ia tidak akan bosan berada di dekat Laluna. Kalau saja cewek itu sama seperti orang lain, mungkin Rasi tidak akan merasa bahwa Laluna itu spesial tapi karena cewek itu berbeda Rasi sangat tertarik. "Mau bicara dimana?" Laluna menatapnya dengan penuh kebingungan. "Gue gak tau tempat yang bagus buat didatangi. Gue ... gak pernah pergi kemana-mana." Rasi merangkulnya tanpa berbicara lebih dulu. Cowok itu tersenyum bahagia. "Gampang cari tempat yang bagus. Lo serius mau pergi sama gue?" Dengan cepat Laluna melepas rangkulan itu, ia merasa risih ketika Rasi terlalu dekat dengannya. "Jangan rangkul!" "Maaf." Rasi jadi kikuk. "Refleks rangkul." Laluna berjalan lebih dulu. Ia meninggalkan langkah Rasi di belakangnya. Ia tidak memedulikan bagaimana Rasi tersenyum memerhatikan Laluna dari belakang. Namun ketika sampai lobi, Laluna bingung harus kemana. "Lo bawa motor?" "Iya, kita ke parkiran." Mereka jadi jalan beriringan. Laluna melihat Rasi yang menyiapkan motornya. Cowok itu terlihat seperti Antariksa dari belakang tapi dalam hati Laluna ia tidak mungkin menyamakan Antariksa dan Rasi karena dua cowok itu memang berbeda. Rasi tersenyum. "Bengong aja kerjaan lo. Buruan naik!" "Gak bawa helm lagi?" tanya Laluna memerhatikan satu helm yang kini dipakai Rasi. Rasi berdecak. "Gue mana tau kalau mau bonceng lo," ucapnya. "Jadi gue yang pake. Lain kali bilang dulu supaya gue siap-siap." Laluna tertegun. "Memangnya lo gak pernah bonceng cewek?" "Eh, lo nyindir gue nih?" canda Rasi merasa ucapan Laluna menyebutnya jomlo. Tapi memang benar sih dia jomlo dan lebih tepatnya menolak cewek-cewek yang tidak membuatnya yakin. "Gue pernah bonceng nyokap doang. Lo satu-satunya cewek yang gue bonceng selain nyokap." "Maaf, tapi gue gak merasa spesial dengan itu." Laluna naik ke motor. "Gak pa-pa. Mungkin lo anggap ini biasa aja." Rasi melanjutkan ucapannya. "Lo gak mau pegangan ke gue? Jatuh gak tanggung jawab." Laluna menghela napasnya, kalau dari cara bicara Rasi sama seperti Antariksa. Tapi cowok itu kebanyakan memaksa, sementara Antariksa meminta persetujuan Laluna. Hanya saja ketika cowok itu pergi, Antariksa sama sekali tidak mendengarkan ucapan Laluna. Cowok itu pergi begitu saja meninggalkannya. "Kita mau ke mana?" tanya Laluna. Ia dapat merasakan angin yang menusuk kulitnya. Cewek itu memang sedang mengenakan gaun selutut. Tapi untungnya motor Rasi tidak terlalu tinggi sama persis seperti milik Galaksi. "Ke tempat yang bagus menurut gue." Rasi sedikit berteriak menjawabnya. Entah mengapa, hatinya merasa bahagia melihat keadaan mereka seperti ini. "Gue gak sabar mau ngobrol sama lo. Penting ya?" "Sedikit penting. Menurut gue." - - - 15 :: PERASAAN - REGN - - - - Lebih menyakitkan ketika serius namun dianggap bercanda. - - - RASI tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat mengingat hal yang tidak bisa ia lupakan sama sekali. Kemarin dirinya memang pergi bersama Laluna ke sebuah taman kota. Rasi bisa pastikan kalau Laluna menyukainya namun ia juga merasa sedih ketika Laluna berwajah pucat pasi. "Na, kita sampai." Laluna tercenung memerhatikan sekitarnya. "Kenapa kita harus ke sini?" "Jadi lo udah tau tempat ini?" Rasi jadi merasa bersalah. Laluna terlihat tidak suka datang ke tempat ini. "Mau pindah tempat?" Dia terlihat tersenyum tipis. "Nggak. Kita di sini aja." Rasi mengangguk. "Mau duduk di mana?" "Gue mau cerita sambil jalan-jalan. Bisa kan?" Laluna belum mendapat jawaban tapi cewek itu sudah berjalan meninggalkan Rasi. Benar saja, Rasi tidak mungkin menolak permintaan Laluna. "Boleh. Tapi masa gue ditinggal? Terus lo sebenarnya mau cerita ke siapa?" Laluna berhenti, ia menoleh ke belakang. Benar juga kata Rasi. Jadinya cewek itu menghampiri Rasi di belakang. "Iya. Gue mau tau kenapa lo bisa tau gimana diri gue?" "Yang mana?" tanya Rasi jadi bingung. "Lo yang suka hujan?" Laluna mengangguk. "Lo bisa tau gue suka hujan, dari mana?" Rasi tertawa. "Gue bahkan lihat lo sendiri hujan-hujanan. Siapa yang gak tau? Gue bahkan tau kalau lo malam kemarin main hujan." "Lo ikutin gue?" tanya Laluna langsung. Jelas saja terkejut karena penuturan Rasi yang benar. "Mau lo sebenarnya apa dari gue?" "Laluna. Dari awal gue gak berniat jahat sama lo. Ibarat cowok lagi jatuh cinta dia pasti bisa tau apa aja cewek yang dia suka." Laluna mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Tapi kan lo gak lagi jatuh cinta. Terus hubungannya sama gue apa?" "Na, memangnya lo memperbolehkan kalau gue jatuh cinta sama lo?" Laluna tertegun mendengar itu. Antariksa tidak meminta apapun kepadanya selain menerima Aksa dan menjauhi Galaksi. Tapi Aksa sudah tidak ada, Laluna sekarang bingung harus berbuat apa. "Gak bisa jawab?" "Asal lo tau, gue gak pantas dicintai." "Kenapa?" "Karena gue pembawa bencana buruk." Rasi tertawa heran. "Hei, siapa yang ganti nama lo jadi pembawa bencana buruk? Lo kan gak waras. Kalau gue suka sama cewek gak waras kan masih wajar. Lagian gue sangat suka." "Intinya, sama gue semua gak akan berjalan baik-baik aja, Ras." Laluna kini menatap mata cowok itu. "Gak ada lagi cinta dihidup gue, Ras. Cinta itu memang ada tapi bukan untuk lo." "Buat siapa?" "Antariksa." "Siapa dia?" Alis Rasi terangkat. "Pemilik cinta gue, Ras." Rasi mengangguk. "Terus dimana sekarang?" Tetapi Laluna terdiam. Tidak mampu menjawab pertanyaan Rasi. "Gak ada, kan? Dia bahkan sekarang gak ada di samping lo, Na." "Jatuh cinta kepada orang lain gak semudah ucapan lo, Ras." "Itu buat lo, tapi nggak buat gue, Na." Rasi lagi dan lagi membuat Laluna terlalu banyak berpikir. "Gue bisa cinta sama lo. Tanpa peduli orang menganggap lo apa." "Gak, Ras. Itu cuma ambisi lo. Gue tau karena bukan cuma lo yang pernah cinta sama gue." "Siapapun orangnya, mungkin dia gak bisa memperjuangkan perasaannya. Tapi nggak buat gue, Na. Gue gak sama kayak orang lain. Orang lain mungkin menganggap lo gak waras, dan lo gak pernah tau gue, Na. Bisa aja gue lebih gak waras dari lo." "Sejak kapan?" "Sejak punya perasaan ini, Na." "Perasaan?" "Cinta buat lo." - - - 16 :: DI HATINYA - REGN - - - - LALUNA sesak napas mendengar itu. Dirinya tidak percaya jika niat Rasi memang karena memiliki perasaan padanya. Namun Laluna belum menemukan tatapan yang membuat dirinya yakin akan perasaan cowok itu. "Lo bohong! Lo gak mungkin punya perasaan cinta sama gue!" "Na!" panggil Rasi menarik tangan cewek itu untuk menghadap ke arahnya. "Dari awal gue bilang, Na. Gue juga gak yakin sama perasaan gue. Tapi, Na, kalau bukan karena dari hati gue ... mungkin gue gak akan ada di sini buat dengar cerita lo, Na." "Cinta tanpa balasan?" "Apapun jawaban lo, Na. Tapi gue punya perasaan. Seorang laki-laki kayak gue juga bisa jatuh cinta. Dan lo cinta pertama gue." Laluna menatapnya. Tubuhnya gemetar. "Tapi, Ras, gue cewek gak waras." "Siapa bilang?" tanya Rasi jadi emosi. "Gue gak bilang. Orang lain dan diri lo sendiri yang menyetujui itu. Lagian gue terima lo apa adanya, Na." Laluna lagi dan lagi tertegun. Ia memerhatikan taman ini. Tanpa Rasi tahu, taman ini adalah tempat yang selalu Antariksa datangi bersama dirinya. Tidak pernah terpikirkan oleh Laluna jika Rasi juga mengajaknya ke sini. Bahkan sudah Laluna tegaskan bahwa dua cowok ifu berbeda. "Laluna, lo mau pergi lagi dari gue?" Rasi bisa membaca langkah Laluna yang ingin pergi. Laluna mengurungkan niatnya. Rasi bisa saja bertindak lebih dibandingkan ini tapi dia masih cowok baik, Laluna bisa merasakan itu. Rasi tidak pernah dibawa rumit, cowok itu menganggap semua masalah adalah hal yang mudah untuk diredakan. Ketika keduanya saling bersitatap. Hujan menghancurkan segalanya. Laluna mencoba mencari tempat berteduh namun Rasi dengan sigap menahan langkahnya. Ia ingin melihat jelas bagaimana perasaan bahagia yang Laluna lakukan ketika bermain hujan. "Ras, hujan." Rasi menggeleng. "Gue mau main hujan sama lo, Na." Cowok itu meraih tangan Laluna, menggenggamnya erat. Ketika seluruh orang pergi untuk berteduh dan sekitar mereka menjadi sepi. Rasi menatap Laluna tanpa beralih sedikit pun. Ia sadar, dirinya telah jatuh cinta kepada cewek itu. "Apa yang lo bayangkan saat hujan, Laluna?" Tetes air yang sudah membasahi seluruh tubuhnya membuat Laluna semakin gemetar, ia tak mengelak bahwa genggaman di tangannya begitu hangat. "Antariksa." "Pemilik cinta lo?" Laluna mengangguk. "Dia pemilik hati gue seutuhnya, Ras." Rasi dapat menahan perih dihatinya ketika tahu: cinta pertamanya milik orang lain. Jarak keduanya semakin terhapus, air hujan yang berjatuhan tidak menghalau bagaimana perih dikedua hati sepasang manusia ini. Laluna memejamkan matanya. Menghirup wangi hujan yang menjadi favoritnya ketika mengenal Antariksa. Rasi yang dapat melihat itu tampak menelan salivanya. "Apa yang lo ingat tentang Antariksa?" Mata Laluna memang terpejam. Tapi ia menangis, mengeluarkan air matanya. "Saat dia pergi di depan mata gue sendiri." "Dia meninggal?" "Lebih tepatnya dibunuh, Ras." Rasi terkejut. "Karena apa?" "Karena gue, Ras." Laluna menangis sejadi-jadinya, cewek itu limbung dan sigap Rasi menangkap tubuh rapuh itu. "Antariksa pergi karena gue. Gue merasa bersalah. Gue pembawa bencana. Gue cewek paling buruk." "Laluna," panggil Rasi mencoba menyadarkan cewek itu yang sudah terjatuh di pangkuannya. "Antariksa gak akan benci sama lo." "Tapi karena gue, Antariksa pergi, Ras." Laluna kembali menjatuhkan air matanya. "Kenapa lo mau mendengar keluh kesah gue, Ras? Satu-satunya alasan gue suka hujan karena cuma dia yang bisa meredam suara tangisan gue." Rasi memerhatikan Laluna yang semakin rapuh dijarak sedekat ini. "Karena sekarang ada gue, Na. Gue yang bisa menghentikan tangisan ini." Sebab, Laluna yang mampu membuat Rasi yakin jika ada cinta di hatinya. - - - 17 :: SELURUH HIDUP - REGN - - - - Tawa yang tercipta telah hilang. Aku belum menemukannya lagi yang sama seperti dirimu. - - - KEHADIRAN Laluna di kelas membuat banyak tatapan mengarah kepadanya. Harusnya Laluna sudah biasa dengan tatapan itu tapi kini ia sudah dewasa, lebih menyadari jika ini sangat menyakitkan bagi dirinya. Dosen juga belum hadir di dalam kelas. Laluna kini harus menahan diri untuk tidak emosi karena tatapan itu. Bahkan teman sekelasnya saja masih enggan untuk berteman dengannya, lagipula Laluna menyadari jika dirinya tidak membutuhkan mereka. Jika pun nilainya jelek, Laluna tetap bersyukur atas hasil yang ia gapai. Namun ketika dosen masuk semuanya tampak seperti normal tetapi sama saja jika Laluna sejak Antariksa meninggalkannya ia lebih banyak melakukan banyak hal sendirian. Helaan napas dilakukannya, Laluna terlalu berharap jika Antariksa sedang berada di sebelahnya dan menenangkan hatinya bukan angin yang terus membuat Laluna merasa kantuk. Benar saja, tanpa Laluna sadari, dia sudah menidurkan kepalanya di atas meja. Memejamkan mata karena terlalu tenang, angin membuat matanya mengantuk dan ingin sekali terpejam. Dosen memang tidak peduli dengan keadaan mahasiswanya tapi seharusnya ia sudah mengerti mengapa Laluna seperti ini. Dosennya hanya berdecak melihat Laluna yang malah tertidur sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan pengajarannya. Banyak suara bisik-bisik membicarakan Laluna, memang cewek itu sungguh aneh dan patut untuk dihindari karena apa yang mereka lihat itu kenyataan jika Laluna tidak waras. Laluna terlelap dalam tidurnya namun ia memikirkan banyak hal mengenai Antariksa. Hingga terbawa di alam mimpi, banyak hal sampai rasanya ia berkata terlalu keras karena pikirannya ini. Hingga cewek itu terbangun dari tidurnya sembari melihat ke arah sekitar. Tetapi kelasnya sudah kosong. Cewek itu mengecek ponselnya, benar saja sudah dua jam Laluna berada di dalam kelas sementara kelasnya tadi hanya satu jam. Berarti selama satu jam Laluna ditinggal sendirian di dalam kelasnya. Laluna mengatur napasnya, terbiasa tidur tidak tenang, ia jadi gelisah. Keringat banyak tercipta di dahinya dengan segera Laluna bangkit untuk keluar dari kelas. Tapi saat di depan pintu, Laluna terkejut ketika melihat Rasi yang berdiri di sana. "Ngapain lo?" "Nunggu lo." Rasi menjawab singkat. Tatapannya meneliti wajah Laluna, ia tidak bisa pergi dari sana sebelum Laluna benar-benar bangun. "Ya terus mau ngapain? Gue tidur dua jam yang lalu di sini." Laluna memberikan tatapan sinis. "Gak mungkin juga lo nunggu selama itu." "Gue beneran nunggu selama itu." Rasi membantah. "Tapi gak dua jam. Satu jam lebih." "Pas dosen masih ada?" tanya Laluna tak percaya. Rasi mengangguk. "Apa yang lo pikirin, Na?" "Apanya?" tanya Laluna berjalan untuk menjauhi pertanyaan yang diajukan cowok itu. "Ini masa depan lo, Na. Kenapa lo biarin ilmu lo terabaikan gitu aja?" Rasi ingin melihat Laluna berubah. Ternyata cewek itu tidak hanyak buruk di luar seperti yang Rasi lihat namun juga di dalam kelas Laluna masih sama memiliki sikap yang dia sepelekan. "Udah gue duga," ucap Laluna tersenyum kesal. "Lo sama aja kayak mereka. Dari awal lo juga menganggap gue cewek gak waras. Gue minta dari sekarang lo jauhin gue!" Rasi menarik bahu Laluna untuk melihat ke arahnya. "Beda, Na, antara menyudutkan dan ingin lo berubah. Apa sih yang lo pikirin? Apa, Na? Antariksa lagi?" Laluna mendorong bahu Rasi. "Gak usah bawa-bawa Antariksa!" "Gue gak mau sangkut pautkan dia. Tapi memang benar kan kenyataannya?" Rasi menahan tangan Laluna agar tetap diam. "Benar karena cowok itu udah memengaruhi seluruh hidup lo, Laluna!" - - - 18 :: TIDAK SAMA - REGN - - - - "LO jadi bisa bedain mana yang cinta dan nggak." Rasi menggeleng mendengar jawaban Laluna. "Nggak gitu caranya. Antariksa gak mungkin bisa kembali lagi dan harusnya dia ngerti sama keadaan lo sekarang. Dunia lo dan dia berbeda, Na." Laluna menoleh. "Ucapan lo jadi sok ngajarin gue tau gak!" Melihat Laluna mengaduk bubur ayamnya dengan kesal membuat Rasi tertegun. Benar juga, Rasi tidak memikirkan bagaimana ia berkata mengenai masalah Laluna jadi terlihat menggurui. Tapi Rasi juga tidak ahli dalam menyampaikan perasaan khawatirnya. Tunggu, khawatir? Rasi jadi semakin memerhatikan wajah Laluna. "Apa mungkin kalimat sok ngajarin gue ini bisa disebut khawatir?" "Heh! Gue siapa lo?" tanya Laluna dengan penuh penekanan. "Lo juga siapa gue? Kenal aja baru." "Kalau gue gak berusaha, kita bahkan gak kenal." Rasi menambahkan. "Sama seperti manusia, ada saatnya punya perasaan saat ia tidak mengenal siapapun. Tapi kan konteksnya sekarang gue udah kenal lo." Laluna tersedak tiba-tiba, cewek itu mencari minum di tasnya namun tidak ada. Rasi jadi kelabakan lalu ia mengambil teh tawar dari tukang bubur ayam namun Laluna menolaknya. Terus Rasi harus membantu gimana? Sebab di sekitar mereka sedang tidak ada warung. Kini memang berada di pinggir jalan, mereka memutuskan untuk makan dengan paksaan Rasi tentunya. Mengambil tasnya memang ada botol minum miliknya tapi itu bekas dirinya. "Ini air minum." Botol itu langsung diambil oleh Laluna dan diteguk airnya ahingga habis. Rasi memerhatikan Laluna, entahlah melihat Laluna jadi hobi Rasi sekarang. Cewek itu seperti anak kecil yang sangat Rasi suka, terlalu imut untuk jadi dewasa. "Anak kecil banget bisa tersedak segala." Rasi menggodanya dengan tersenyum. Laluna masih sama, menatapnya dengan tatapan kesal. "Gue bukan anak kecil!" "Tapi air minum gue lo abisin nih," lanjut Rasi masih tetap tersenyum lebar karena merasa bahagia. "Lebainya, gue udah jadi orang terdekat lo ya?" Laluna memerhatikan botol air mineral milik Rasi. "Jadi karena gue minum di botol lo, lo jadi mikir kalau gue tadi secara gak langsung nyium lo gitu?" "Kalau boleh mikir gitu," jawab Rasi tertawa namun mendadak terhenti ketika Laluna memukul kepalanya. "Aduh, sakit!" "NGAREP BANGET!" Laluna menjulurkan lidahnya, meledek pemikiran cetek milik Rasi. "Minum di botol bekas lo gak bikin lo jadi orang terdekat gue." Laluna menggelengkan kepalanya. Dulu, ia juga pernah berpikir kalau minum bersamaan dengan orang lain itu artinya mereka ciuman secara tidak langsung. Tapi kan itu berbeda, lagi pula hal seperti ini sudah wajar saja. Tidak ada yang perlu dispesialkan dari hal sederhana. "Gak mau bilang terima kasih?" Rasi jadi ngarep benaran. "Tadi gue udah bantu lo. Kalau gak gue kasih minum udah mati lo di sini." Hembusan napas kesal Laluna dilakukan. "Terima kasih." Rasi menautkan alisnya. "Terima kasih buat siapa lo? Gue? Kok gak ada nama guenya." "Terima kasih, Rasi," ulang Laluna agar cowok itu merasa puas dengan ucapannya. "Ribet lo." "Tuh kan, nyebut nama gue empat huruf aja ribet. Rasi. Segampang itu." Rasi jadi teringat akan satu hal. "Gue udah mirip Antariksa belum, Na?" "Maksudnya?" Laluna bingung lagi dan lagi Rasi membahas Antariksa. "Lo gak akan pernah sama kayak Antariksa." Rasi mengangguk setuju. "Benar! Gue memang gak akan sama seperti Antariksa." Cowok itu bangkit, mengarahkan wajahnya ke wajah Laluna. "Gue gak kayak dia. Suka buat lo nangis. Gue gak kayak gitu, Na." Secepat cahaya, Rasi mengecup singkat pipi Laluna. Tanpa berkata. Tanpa aba-aba. Tanpa penyataan apapun. Hingga Laluna sudah melihat langkah Rasi yang menjauh dengan termenung. - - - 19 :: MEMELUKNYA - REGN - - - - Awalnya aku berharap dia tidak pergi, tapi ternyata dia memang tidak pernah ada. - - - UNTUK kedua kalinya, Rasi berada di depan kelas Laluna. Cowok itu menunggu Laluna tanpa merasa lelah, kini ia malah sangat senang karena hari ini ia tidak ada kelas. Tapi Laluna masih saja tidak ingin menoleh ke kanan-kiri. Rasi tersenyum kecil. Ia merasa bangga bertemu dengan Laluna. Apalagi setelah ia menyalurkan perasaannya yang sudah tak tentu dengan mencium pipi Laluna. Hingga akhirnya cewek itu keluar dari ruang kelas dan menoleh datar mendapati Rasi tersenyum lebar. "Lo mau pergi kemana?" "Bukan urusan lo!" Laluna berjalan mendahului Rasi. Tapi cowok itu bertahan mengejarnya toh langkah kecil Laluna sanggup ia imbangi, kecuali cewek itu sudah berlari mungkin Rasi harus berusaha. "Marah sama gue?" "Lo pikir aja sendiri. Memperlakukan orang seenaknya aja." Ucapan Laluna jelas membahas masalah itu. Rasi tidak menampik bahwa ia merasa bahagia sekali sebab tanpa Laluna sadari itu artinya cewek itu memikirkan kejadian saat itu. "Terus lo mau gue cium lagi?" "GILA LO!" "Bercanda, Na." Laluna mendorong bahu Rasi yang terlalu dekat. "Gak lucu, Ras." Ketika Laluna ingin menuju lapangan, namun hujan turun begitu derasnya. Rasi langsung menarik tangan Laluna untuk menjauh dari hujan. Ia tidak ingin melihat Laluna sakit. "Na, jangan aneh! Kita masih di kampus. Lo gak mungkin hujan-hujanan sampe rumah dalam keadaan basah." Laluna menolak tapi Rasi menahannya dengan kuat. "Gue tau lo mau nangis, Na. Tapi bukan hujan yang bisa berhentiin tangisan lo." Cewek itu menatap Rasi dengan pandangan sedih. "Gak ada lagi Antariksa, Ras." "Ada gue, Na." Di lorong sepi, Laluna kembali menangis. Keadaan kampus di sore hari ini membuat Laluna jadi semakin gelisah. Ia memeluk Rasi begitu eratnya, memberikan dinginnya keadaan dan bagaimana masalah dirinya kepada Rasi. "Lo siapa sih, Ras?" tanya Laluna dalam keadaan sadar. Rasi kira cewek itu sedang tidak dalam keadaan sadar memeluk dirinya. Namun sekarang mendengar suara Laluna yang bertanya membuat Rasi balas memeluk Laluna. "Gue cuma manusia, Na." Bukannya tertawa, Laluna malah memukul bahu Rasi lagi dan lagi. "Gue gak bercanda, Ras. Lo siapa? Lo ngapain ada di dekat gue sekarang?" "Gue juga gak bercanda, Na." Jawaban Rasi membuat Laluna tenang. "Karena gue manusia yang Tuhan ciptakan supaya ada di dekat lo sekarang." "Kalau gitu bilang ke Tuhan kenapa gue harus kehilangan Antariksa?" Rasi menatap jauh, tidak pernah ia tahu jawaban itu namun sebiss mungkin ini jawaban versi dirinya. "Karena kalau lo gak kehilangan Antariksa, lo gak akan bisa ketemu gue, Na." "Tapi gue gak mau ketemu lo!" Laluna menangis. "Gue cuma mau ada di dekat Antariksa." "Alasan lain yang menyatakan gue gak bisa jadi seperti Antariksa." Rasi menambahkan. "Gue gak bisa mendapatkan cinta lo, Na." "Karena dari awal kita memang gak diharuskan untuk cinta, Ras." Laluna membantahnya. "Kalau gue ketemu lo duluan, ceritanya gak akan sama. Gue gak mungkin juga cinta sama lo." "Alasan lain lagi, Na. Tapi Antariksa gak bisa meluk lo seperti gue, Na. Dia gak akan bisa lagi untuk ada di dekat lo." Laluna menangis. Kini cengkraman kuat di bahu Rasi, walaupun cowok itu merasakan sakit, tapi ia berharap jika tangisan Laluna segera berakhir. "Ternyata lo benar, Ras." Gue tau apa isi hati lo, Na. Gue juga ikut merasakan sakit saat lo nangis. "Antariksa gak akan bisa seperti lo sekarang." Laluna lelah dengan semuanya. "Gue gak bisa memeluknya." - - - 20 :: SELURUHNYA - REGN - - - - RASI tidak tahu harus merespons seperti apa karena memang kenyataannya mereka tidak lagi menjadi orang asing. Rasi yang datang ke kehidupan Laluna mampu membuat cowok itu sadar, di antara kebahagiaan yang ia lihat masih ada seseorang yang memendam kesedihan separah ini. Udara yang berubah dingin, mencampur adukan perasaan keduanya. Baik Rasi dan Laluna belum ingin melepas pelukan ini. Walau sejujurnya mereka memang masih di lingkungan kampus tapi entah mengapa kebersamaan kali ini terasa hangat. "Sejak Antariksa pergi, gue selalu berharap kalau itu cuma mimpi. Gue berharap dia bercanda dan bangun dari tidurnya." Laluna mengeluarkan air matanya lagi, kini cewek itu membasahi kemeja Rasi. "Tapi sampai detik ini dia gak ada, sama sekali gak terjadi atas apa yang gue harapkan." Rasi mengusap rambut Laluna, mencoba menenangkan cewek itu. "Dan sekarang cuma gue yang ngerti dan tau keadaan lo, Na." "Ras." Panggilan Laluna membuat Rasi berdeham menantikan ucapan cewek itu. "Gue cewek gak waras. Gue gak pantas buat ditemani." Dengan gerakan cepat Rasi melepas pelukan itu, kini ia meraih wajah Laluna untuk menatapnya. "Na, gue gak akan sampai sini kalau gue dari awal udah nyerah. Gue gak peduli pandangan orang lain ke lo karena sekarang gue tau mereka salah menilai lo." "Ras." "Laluna." "Kita belum mengenal jauh." "Seenggaknya gue udah tau alasan lo sedih." Tatapan yang beradu itu tak ingin segera beralih. Bahkan semakin mendalam tanpa tahu kapan berakhir, hanya hati yang mampu menghentikannya. Rasi yang semakin mengeratkan tangannya ke pipi Laluna untuk selalu menatap matanya agar dia yakin pada Rasi, dan Laluna yang juga sedang mencari mana kebohongan yang Rasi katakan kepadanya. "Rasi!" Panggilan cukup keras itu membuat Laluna menoleh ke asal suara. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang perempuan memanggil Rasi, dia lagi yang waktu itu ada di lapangan basket. "Airin." Suara Rasi juga memenuhi pendengaran Laluna ketika cowok itu menyebut nama orang lain. Yang Laluna yakini bernama Airin itu menghampiri mereka dengan senyuman canggung. "Ada apa?" tanya Rasi, ternyata cowok itu memang baik–Laluna memerhatikan cara Rasi berbicara dengan cewek itu. Rasi juga menjauhkan jarak mereka sehingga Laluna dapat terbebas melihat apa yang terjadi sekarang. Airin tersenyum ramah. "Aku mau ngobrol sama kamu bisa?" Rasi membelalak, ia kemudian menatap mata Laluna. Namun Laluna sendiri sadar jika dirinya tidak mempermasalahkan hal itu, makanya ia diam saja. Helaan napas Rasi terlihat, ia berharap Laluna melarangnya namun ternyata cewek itu lebih banyak diam. "Ngobrol apa, Rin?" "Tapi cuma berdua, Ras, aku mau cuma kita." Rasi merasa dilema sekarang, ia tidak mungkin membiarkan Laluna pulang sendiri dan juga tidak pula menolak permintaan Airin karena takutnya obrolan cewek itu saat ini memang penting. "Tapi Rin, gue sama–" Tidak ada Laluna di sebelahnya, Rasi langsung menoleh ke sana ke mari agar menemukan cewek itu. Benar saja, Laluna sudah melangkah lebih dulu keluar tanpa memedulikan perasaan Rasi yang tertahan. Tatapan lemah yang Rasi bisa lakukan sekarang dan menatap Airin sembari mengangguk kecil. "Kita mau bicara di mana?" "Ke kantin FIB aja, Ras." Untuk kali ini, Rasi menyesal akan keputusannya yang terlalu lama. Juga tentang Airin yang terus saja mendekatinya. Padahal Rasi ingin sekali berteriak keras di depan wajah cewek itu, agar dia paham bahwa Rasi tidak pernah memiliki perasaan apapun kepadanya. Sebab, perasaan itu sudah ia berikan seluruhnya kepada Laluna. - - - 21 :: BAHAGIA - REGN - - - - Repotku hanya untuk dirimu. - - - LALUNA melihat Rasi yang berdiri menunggu dirinya. Helaan napas ia lakukan, Laluna malas untuk menanggapi ucapan cowok itu karena dirinya tahu tujuan Rasi datang kepadanya hanya untuk mengganggu dirinya saja. "Na, jalan bareng ya sama gue?" Namun sebisa mungkin Laluna mengabaikan keberadaan Rasi. Tapi tetap saja cowok itu masih mengikuti langkahnya. Sampai di gerbang kampus pun, Rasi masih saja tetap mengajak Laluna tanpa merasa ingin menyerah. "Laluna. Lo marah?" Laluna kini menatap Rasi. "Gue rasa semuanya gak perlu dilanjut, Ras. Lo udah tau masalah gue kenapa dan sekarang rasa penasaran lo udah selesai." "Na, tujuan gue memang itu tapi gak lagi untuk ninggalin lo setelah gue tau masalah lo lebih penting buat gue." "Lo bisa pacaran sama cewek yang ngejar lo, Ras." Laluna berkata seperti itu. "Bukan sama gue yang penuh masalah. Lo bahkan gak bisa buat masalah gue hilang." "Tapi, Na, kalau gak Antariksa siapa lagi yang bisa berhentiin masalah lo?" tanya Rasi kali ini terpancing emosi. Namun sebisa mungkin ia menahan untuk tidak meluapkan amarah. "Antariksa udah gak ada. Harusnya lo juga mikir, Na, orang lain banyak yang bisa bantu lo lupain dia." "Gue gak mau lupain Antariksa." Laluna berkata tegas. "Antariksa gak bisa semudah itu dilupain, Ras." "Oke, bukan melupakan dia. Maksud gue menganggap dia udah gak ada," ucap Rasi merasa salah dalam ucapannya. "Karena hidup lo gak hanya untuk Antariksa, Na." Laluna menundukkan kepalanya, tidak ingin menatap mata Rasi lebih lama lagi. Cewek itu memutuskan untuk meninggalkan Rasi tapi cowok itu secepat mungkin menahan pergerakannya. Ia meraih bahu Laluna untuk melihat ke arahnya. "Lo keras kepala banget." Rasi berkata demikian. "Gue gak pernah ketemu orang yang sekeras diri lo, gue akui gue juga gak suka hidup diatur orang lain tapi masalah kali ini beda. Lo perlu orang lain." Laluna menggigit bbibirnya, ia menatap Rasi dengan penuh rasa bersalah. "Lo juga membuang waktu peduli ke gue, Ras." Rasi tersenyum mendengar itu sambil menahan tawanya. "Jadi lo beneran menganggap usaha gue peduli?" "I-Iya," jawab Laluna gugup. "Gue kira lo masih menganggap kalau gue ganggu hidup lo," senyuman Rasi belum juga pudar. "Tapi terima kasih. Itu artinya sekarang lo lebih terbuka sama gue, Na." Laluna mengalihkan pandangannya. Ia memang berpikir kalau usaha Rasi sudah lebih dari mengusik kehidupannya namun dia terlalu baik. Maka Laluna menganggap cowok itu memang peduli kepadanya dibandingkan orang lain. Sama seperti Galaksi, dia sangat baik kepadanya. Hanya saja Laluna takut dengan mudah melupakan Antariksa jika ia dekat dengan cowok lain. "Gue masih gak nyangka cowok kayak lo mau repot-repot ada di dekat gue." "Memang gue kayak gimana?" Laluna memerhatikan Rasi sekali lagi. "Lo orang baik, Ras." "Jadi lo jahat gitu?" Rasi berbalik tanya. Laluna menggeleng. "Gue berpikir lo orang yang gak mau punya masalah." "Semua orang pasti punya masalah. Memang gak semuanya sama. Berat dan ringan tergantung dari diri mereka sendiri, semampu apa menyelesaikan masalah itu." "Sok bijak." Laluna tersenyum mendengar itu. "Lho, kan memang benar ucapan gue?" "Kita jadi jalan bareng?" tanya Laluna mencoba mengganti pembicaraan. "HAH?" Rasi belum nyambung. "Maksudnya, Na?" "Kan tadi lo yang ajak gue jalan bareng, masa lupa?" Rasi tertawa menyadari kelupaannya baru saja. "Sekarang lo mau jalan bareng gue?" "Gak jadi? Ya udah gue mau pulang." "Eh!" Rasi menahan langkah Laluna lagi. "Masa gak jadi. Ayolah! Gue paling semangat malah." Senyuman kecil Laluna menunjukkan ada bahagia yang tidak ia sadari saat berada di dekat Rasi. - - - 22 :: ANTARIKSA - REGN - - - - KINI mereka sedang makan disalah satu kafe terkenal, Rasi dan Laluna menyetujui untuk makan di sana. Kini mereka duduk saling berhadapan. Laluna sibuk dengan makanannya sementara Rasi sibuk memerhatikan wajah Laluna. Rasi tersenyum terus karena untuk pertama kalinya ia merasa bahagia berada di dekat perempuan. "Ras." "Iya, Na." Laluna kini mendongak balas menatapnya. "Cewek kemarin itu pacar lo?" "Siapa?" tanya Rasi tidak mengerti. "Yang mau ngajak ngobrol lo." "Oh, Airin," seru Rasi mengingat. "Bukan." "Kalian ngobrol apa kemarin?" tanya Laluna lagi. Namun mulutnya kembali memakan makanan yang sudah dipesannya tadi. "Kebanyakan basa-basi." Laluna mengangguk. "Dia suka sama lo." "Iya," jawab Rasi lagi. "Lo tau?" Laluna membelalak saat mendapatkan informasi itu. "Dia bilang langsung." Laluna tersedak mendengarnya. "Berani juga. Dan lo suka sama dia?" Rasi menggeleng cepat. "Nggak. Gue udah tolak dia berulang kali tapi masih aja berusaha dekat." Tidak habis pikir mendengar itu, ada saja cewek yang bertahan padahal cintanya ditolak. Mungkin seperti itu yang ia perbuat, tapi Rasi pasti memiliki alasan yang membuatnya menolak. "Cemburu, Na?" tanya Rasi tiba-tiba, menggoda cewek itu agar mengaku. Namun dirinya malah mendapat toyoran dari Laluna tapi ia tetap tertawa. "Kalau cemburu ngaku aja, Na." "Heh, jangan asal nyebut ya. Gak mungkin gue cemburu." "Tapi tadi lo kepo." Rasi tidak akan berhenti menggoda Laluna. "Ah, baru tau kalau ternyata Laluna kepo. Laluna kepo. Laluna kepo." "RASI NYEBELIN!" Tatapan kesal ditujukan kepada cowok itu. "Kalau aja gak di tempat ramai, udah gue tonjok muka lo." "Jahat banget," ucap Rasi meringis mendengar itu. "Kalau wajah ganteng gue hilang gimana?" "Ih, orang sok pede. Bilang ganteng buat diri sendiri." "Kalau bukan diri sendiri yang puji entar orang lain gak percaya gue ganteng." Rasi lagi dan lagi sok percaya diri. "Bilang ganteng aja sih, Na, kalau lo gak bilang gue ganteng nanti lo yang malu lagi kalau punya pacar jelek." Laluna menatapnya jijik. "Ngarep banget lo." Walaupun Rasi menekuk wajahnya tapi ia tetap senang berada di dekat Laluna. Sepertinya kalau sudah jatuh cinta, rasanya terus saja bahagia padahal Laluna sama sekali tidak mendukung ucapannya. "Laluna gak mendukung nih," seru Rasi pasrah atas apa yang didengarnya. "Kalau lo ganteng mungkin satu kafe ini bakal ngelirik lo," jawab Laluna memang benar adanya. "Tapi mereka gak ada tuh yang terpesona sama muka lo." "Ya kan yang lagi lihat gue cuma lo doang," balas Rasi tak kalah menunjukkan bahwa dirinya lebih baik. "Gak mungkin juga mereka lihat, gue dateng sama lo kecuali kalau gue ke sini sendirian. Mereka pasti mikir kalau gue udah punya pacar." "Tapi lo bukan pacar gue." "Mereka kan nilai dari yang dilihat, masa mau nanya lo dulu?" "Lama-lama gue siram juga muka lo pake jus." Rasi tertawa. "Ampun, Na." Laluna menjulurkan lidahnya karena dirinya berhasil unggul dari perdebatan ini. Terdengar konyol memang tapi Laluna menyadari kebersamaannya kali ini dengan Rasi bisa melupakan kesedihannya akan Antariksa. Melihat Laluna yang terdiam membuat Rasi memerhatikan cewek itu. "Antariksa lagi?" Laluna mengangguk. "Gue baru ingat dia." "Ada apa?" "Ngerasa kalau Antariksa mau pergi, tapi gue juga takut dia benar-benar pergi dari pikiran gue." Rasi tidak mengerti. "Kenapa bisa?" "Gue baru sadar dari tadi gue pergi sama lo," seru Laluna menjeda, merasa sedih. "Gue gak mikirin dia." - - - 23 :: JATUH LAGI - REGN - - - - Bolehkah aku jatuh cinta lagi? - - - HARI ini Laluna lebih banyak diam di kamarnya, untungnya tugas kuliah sudah selesai jadi ia bisa menenangkan pikirannya yang dipenuhi oleh Antariksa. Sepenuhnya Antariksa memang belum hilang dari hidupnya hanya saja ingatan saat bersama Rasi membuat ia juga bertanya-tanya. Untuk pertama kalinya ia tidak memikirkan Antariksa karena asik mengobrol dengan Rasi. Tapi tunggu? Tadi ia menyebut apa? Asik? Laluna menggelengkan kepalanya heran, sepertinya ia sudah gila karena cowok itu baru saja dipuji olehnya. Dalam artian kehadiran Rasi memang tidak buruk, namun juga tidak baik karena cowok itu mampu membuat Laluna melupakan Antariksa. Ia tidak boleh melakukan itu lagi sebab dirinya sudah janji kepada Antariksa kalau ia tidak akan meninggalkan bahkan melupakan dia. Bunyi ketukan pintu kamarnya membuat Laluna merasa terusik sebab diketuk berulang kali. Suara Bi Sumi memang mendominasi sekarang membuat Laluna menyerah pada akhirnya. “Ada... 24 :: UDAH SUKA? - REGN - - - - Aku sedang tidak cemburu. Tapi bertanya siapa perempuan yang baru saja mengajak kamu bertemu? - - - UNTUK kali ini Laluna merasa ingin menjauh saja saat dirinya berpapasan dengan Rasi di kantin. Malam yang tidak bisa Laluna lupakan sama sekali. Kalau bisa jujur ia tidak pernah melakukan hal seromantis itu, memang dulu dan sekarang berbanding jauh. Dulu saat Antariksa masih ada di dekatnya mereka duduk di bangku SMA, berpikir untuk melakukan sejauh itu adalah hal yang mustahil. Namun kali ini berbeda, dirinya dan Rasi bukan lagi anak SMA. Keduanya sudah sama-sama dewasa dalam segala hal. Memang tidak ada status di antara mereka tapi untuk sekarang Laluna jadi tahu seperti apa kedewasaan itu tercipta. Apa yang diucapkan oleh Rasi sangat menunjukkan bahwa tanpa masalah mereka tidak akan pernah bertemu. Rasi berkata mengetahui dirinya saja tidak, mungkin jika sejak awal tidak pernah bertemu dengan Laluna sudah... 25 :: KETAKUTAN - REGN - - - - Dulu mungkin dia bisa memenuhi hatimu, tapi sekarang giliranku yang membuktikan kalau aku lebih pantas berada di sisimu. - - - MALAM ini Fina pulang ke rumah lebih awal dibandingkan suaminya. Ia memang dari kantor walaupun seharusnya ia masih mengambil jam lembur tetapi ketika mendengar berita dari para pekerja di rumah kalau Laluna akan pergi malam ini ke suatu pesta, tentunya itu adalah berita paling langka sejak beberapa tahun terakhir. Laluna yang selalu menutup dirinya dari banyak orang, kini malah akan menghadiri suatu pesta. Tentu saja yang namanya pesta pasti dihadiri oleh banyak orang. Sebagai seorang ibu, Fina selalu berharap kalau Laluna dapat berubah menjadi lebih baik. Ia berharap akan ada seseorang yang berhasil menyadarkan Laluna bahwa kematian seseorang tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Antariksa sudah tidak ada dan sepatutnya jika dia menerima ketenangan. Dengan Laluna yang terus berharap jika cowok itu masih... 26 :: CEWEK GUE - REGN - - - - Kamu harusnya jadi milikku. - - - SELAMA perjalanan, tidak ada yang membuka mulut sama sekali. Baik Rasi dan Laluna tidak lagi melanjutkan perdebatan mereka. Keduanya sama-sama sibuk dalam pikiran masing-masing. Walau sesekali Rasi memerhatikan lewat kaca spion karena ia merasa bersalah sebeb kata-katanya yang mungkin menyakiti hati Laluna. Ingin meminta maaf tapi Rasi yakin itu bukanlah hal yang tepat saat ini. Ketika sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar dan juga alamat yang sesuai dengan yang diberikan oleh Airin menandakan kalau mereka memang benar-benar datang ke pesta cewek itu. Laluna turun dari motornya saat Rasi ingin memakirkan motor bersamaan dengan kendaraan yang lain. Rumah Airin cukup besar, makanya cewek itu mengadakan pesta di rumahnya. Rasi bergegas menghampiri Laluna yang termatung di depan rumah Airin. Ia menggenggam tangan cewek itu namun Laluna malah bereaksi mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada sebuah kado yang... 27 :: MEMILIH - REGN - - - - Bukan aku, tapi Tuhan yang memilih kamu. - - - SETELAH acara ulang tahun Airin dan pengakuan Rasi di depan banyak orang, Laluna tidak mau lagi berhubungan dengan cowok itu. Siapa juga yang mau dipermalukan di depan banyak orang apalagi Rasi telah mencium bibirnya, itu hal yang lebih memalukan lagi. Bahkan Laluna tidak masuk kuliah dan membuat izin kalau cewek itu sedang sakit.Hari ini Laluna mengurung dirinya di kamar. Lagi dan lagi menangis atas apa yang terjadi kepadanya. Sekarang dirinya sedang memeluk sebuah bingkai yang ada fotonya Antariksa. Laluna mengutarakan isi hatinya, ia tidak menyangka kalau Rasi yang awalnya paling mengerti Laluna kini malah membuat dirinya hancur karena ucapan orang-orang yang membicarakan mereka malam itu.Aku kira, aku bakal jatuh cinta sama cowok yang sebaik kamu, Nta.Ternyata dia jahat sama aku. Dia sangat jahat sudah mempermalukan aku di depan banyak orang.Masih... 28 :: ALASAN UTAMA - REGN - - - - Disaat orang lain lebih sempurna tapi kamu malah mencintaiku. - - - TIDAK bisa dipungkiri jika panggilan Rasi malam itu membuat Laluna merasakan gelisah. Sampai hari ini ia masuk ke kelas pun pikirannya masih saja melayang pada Rasi. Lebih tepatnya, ia memikirkan mengapa Antariksa tidak muncul lebih dulu di dalam pejam matanya? Juga Rasi yang merusak segalanya dengan membuat panggilan itu? "Laluna!" Panggilan itu membuat Laluna tersadar ketika semua orang memerhatikan ke arah ya. Ia tahu karena sering melamun dirinya pasti dosen sudah tidak tahan lagi. Laluna juga tahu di antara mahasiswa yang datang dirinya lah yang memiliki nilai paling jelek. Laluna diam. Menunggu ucapan selanjutnya. "Lebih baik kamu keluar dari mata kuliah saya!" Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, maka keluarnya Laluna sebagai hukuman ini membuat semua orang terkadang tidak percaya atas apa yang dilakukan oleh cewek itu. Sebab itu tidak ada yang... 29 :: FEBS - REGN - - - - Buang seluruh tangismu, tunjukkan kebahagiaan itu kepadaku. - - - UNTUK yang kedua kalinya Rasi kembali membaca blog Laluna. Sudah lama sekali saat ia tahu siapa itu Antariksa, Rasi belum melanjutkan bacaannya lagi. Hari ini di sebuah kafe ia berniat menghabiskan waktunya sendirian sembari membaca artikel di blog Laluna. Selamat datang lagi di semesta! Rasi tersenyum padahal baru pembukaan. Belum membaca hingga bawah. Kesederhanaan cewek itu membuat Rasi jatuh cinta lagi dan lagi. Ia pikir jika tidak bertemu Laluna dirinya tidak pernah tahu bahwa bidadari itu ada dan sialnya Antariksa yang lebih dulu mengenal Laluna. Hari ini aku mau cerita. Duh jadi malu seharusnya cerita harian ini ditulis di buku diary eh malah nyampah di blog. Tapi gak apa-apa, kan? Gini... Aku mau cerita kalau Galaksi tiba-tiba saja menyapaku lebih dulu. Aku sejujurnya sedih karena teman-teman terdekat malah menggodaku sebab Galaksi lebih dulu mengajak... 30 :: GILA - REGN - - - - Aku merasa mulai hilang. Aku merasa kamu sulit aku genggam. - - - HARIKU tidak lagi sepi karena Antariksa. Dia lebih seru dari yang aku bayangkan. Orang-orang tidak pernah tau cara dia menunjukkan kasih sayangnya yang berbeda dari orang lain. Sore itu di rumah Galaksi, ya sekarang aku dan Antariksa tidak ingin menyembunyikan lagi hubungan antara aku dan Antariksa. Tapi aku bingung Galaksi terlihat sangat diam sekali dibandingkan biasanya. Aku yang sudah biasa datang ke kamar Galaksi bersama Antariksa menghabiskan waktu untuk menonton film. Tidak ada yang aneh kami lakukan. Hanya sekadar menghabiskan waktu bersama sahabat. Kalau sempat pun Galaksi dan Antariksa yang akan main ke rumahku. Aku tidak pernah melupakan hari-hari bersama Antariksa. Aku dan Antariksa selalu menunjukkan rasa suka satu sama lain. Galaksi yang tidak tertarik menonton film lebih memilih memetik senar gitarnya sembari bernyanyi sendirian. Aku dan Antariksa memilih menonton film... 31 :: RASI CINTA - REGN - - - - Tidak ada lagi yang bisa menolongku. Kamu memang ada tapi kita bukan siapa-siapa.  - - - "BUAT apa kalian bawa gue ke sini?!" Seharusnya Laluna tidak emosi saat itu. Tapi mau bagaimana lagi dirinya terlalu takut untuk berada di antara mereka. Febs? Gila, sudah sangat gila saat geng mereka dipimpin oleh Aksa. Lalu setelah Aksa tidak ada bagaimana? Sudah dipastikan akan lebih gila. Wajahnya ditarik kasar, cengkaraman pada dagunya begitu menyakitkan. Laluna menatap sedih kepada mereka semua. Ia tidak bisa meminta tolong ke siapapun. Apalagi kini dirinya disekap dalam sebuah ruangan yang tidak pernah Laluna tahu sama sekali. "Aksa meninggal cuma karena cinta mati sama lo." Nada meremehkan terdengar. "Memang apa yang bisa dibanggakan dari lo? Cantik? Banyak sekarang cewek cantik bukan cuma lo doang!" Laluna menatapnya. "Lo harusnya gak pernah ungkit-ungkit Aksa lagi! Dia udah meninggal." "Justru karena dia meninggal dan teman-teman gue... 32 :: MENDENGAR SEMUANYA - REGN - - - - Urusi saja hidupmu sendiri. Kamu saja tidak mengerti apa yang terjadi di antara kita saat ini. - - - HALO semesta! Sudah hampir satu bulan aku gak publish dan menulis apa-apa untuk blog ini. Baru hari ini aku menyempatkan waktu untuk mengungkapkan keresahan yang aku rasakan satu bulan ini. Sejak awal mengenal Antariksa, aku sudah tau kalau dia suka merokok. Aku peduli memang tapi Anta bilang dia bisa tenang karena rokok. Hanya saja aku takut saat Anta pingsan selagi merokok. Aku panik dan mencoba mencari bantuan, biasanya di sana ada Galaksi tapi karena kami sedang ingin pergi berdua jadi dia tidak ada. Anta berubah pucat, aku bingung harus gimana. Seperti biasanya aku hanya mengobati menggunakan air hangat, setidaknya ia merasa tidak sedingin ini. Nta, aku gak ngerti kenapa kamu bisa kayak gini? Jujur aku takut, Nta, kamu seperti kesakitan. Saat Anta sadar aku cuma... 33 :: PERMINTAAN TOLONG - REGN - - - - Aku sudah lebih jauh dari yang tidak kamu kira. Aku sudah lebih dalam menyelam jurang masalah yang kamu rasa. - - - "IYA. Iya tunggu sebentar." "Ma, Kayla lagi di toko buku. Sebentar aja ini lagi beli buku buat materi kuliah." "Iya, Ma. Habis ini langsung pergi ketemu Galaksi terus pulang." "Mama, sabar dong. Nanti Kayla pulang kok. Kebetulan kelas tadi cepet selesai makanya Kayla ke toko buku dulu baru ketemu Galaksi." "Laluna? Kayla udah lama gak ketemu Laluna, Ma. Dia juga gak pernah nitip pesan apa-apa ke Galaksi." Rasi menoleh terkejut ketika mendengar dua nama yang tidak asing. Laluna dan Galaksi. Ia mencoba memerhatikan cewek itu lagi dan mendengar apa yang sedang diobrolkan olehnya lewat panggilan. "Iya, Ma. Laluna gak pernah bilang dan ketemu Galaksi lagi. Terakhir waktu Kayla ajak Laluna aja setelah itu dia gak pernah ketemu sama Kayla." Rasi terus saja... 34 :: MENGUASAI - REGN - - - - Aku takut ketika ada orang lain yang menatapmu. Takut Tuhan menciptakan orang lain yang tidak pernah aku tau siapa dia, apa dia sainganku atau dia memang pilihan Tuhan untuk hidupmu. - - - GALAKSI meminta izin kepada Kayla untuk mengawasi Laluna. Sejak Rasi pergi dari rumahnya, dirinya dan Kayla saling bertukar pikiran. Jika yang diucapkan Rasi benar sudah seharusnya mereka membantu Laluna lagi. Sebab ia berpikir jika ini ulah Febs lagi, walaupun Aksa tidak ada tapi ia tahu kalau anak buah cowok itu masih ada. Tidak terpikirkan jika mereka ingin balas dendam lagi dengan mendekati Laluna. Sudah dipastikan kalau Laluna sampai kenapa-kenapa Galaksi akan menghabisi mereka semua. Persetan dengan dirinya yang kembali masuk penjara. Masalahnya sekarang mereka menampakkan diri dan sudah membuat Laluna kembali menangis. Galaksi mencengkram kesal kemudi, ia memerhatikan kampus yang menjadi tempat Laluna sebagai mahasiswa. Itulah yang Rasi berikan kepadanya. Galaksi... 35 :: ANGGAP AKU DIA - REGN - - - - Anggap aku dia jika itu membuatmu jatuh cinta. - - - DULU saat Antariksa ada, Laluna tidak pernah merasakan kesedihan. Antariksa selalu membuatnya bahagia. Namun ketika Antariksa pergi, semuanya tidak pernah sama lagi. Sampai didetik ini rasa sedih itu terus ada. "Semuanya masalah Anta dari gue, Ras." Laluna menahan untuk tidak menangis tapi ia tahu air mata sudah menggenang di kelopak matanya. Rasi terus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Laluna. "Dari awal gue udah gak mau cerita apa-apa ke lo, Ras. Tapi ternyata lo udah tau semuanya tanpa gue harus cerita." Laluna menoleh menatap Rasi sedekat ini. "Kenapa lo bisa menemukan hal menyedihkan di hidup gue? Kenapa lo masih aja gak nyerah, Ras?" Rasi menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Gue gak akan pernah menyerah, Na." "Lo bahkan dicintai banyak perempuan di kampus. Buka mata lo, Ras, mereka lebih sempurna dibandingkan gue." "Di dunia ini gak... 36 :: BUKAN TANDINGANNYA - REGN - - - - Mengingat dia membuatku kembali jatuh untuk terpuruk. - - - DI kampus, Laluna lebih banyak diam. Semalam, ia tidak tidur. Semalaman ia memikirkan keadaan Rasi yang terluka. Padahal cowok itu sudah berkata bahwa keadaannya tidak apa-apa, bahkan lukanya tidak begitu lebar. Sudah seharusnya ia menerima itu karena memang niat awalnya untuk melindungi Laluna. Jika Rasi tidak ada di sana, mungkin Laluna yang akan terluka. Langkah kaki cewek itu kini mendekati kelas Rasi. Dilihatnya Rasi dari luar, cowok itu tampak serius tidak menyadari Laluna yang memerhatikannya hingga tak lama kelas selesai. Laluna menantikan keluarnya Rasi dari kelas. Ia begitu gelisah sejak kemarin. Untungnya ia segera mengobati luka Rasi sehingga luka itu tidak infeksi. "Na." Rasi mengerutkan dahinya ketika melihat Laluna sudah berdiri memerhatikannya. Laluna tersenyum tipis namun pandangan matanya sedih. "Ras, lo gak apa-apa? Keadaan lo gimana?" Rasi terdiam lalu tersenyum. Diam karena ternyata... 37 :: JANGAN PERGI - REGN - - - - Kamu mencintaiku, kan?  Tolong jangan pergi. - - - SEBISA mungkin Laluna berada di pengawasan Rasi. Ia takut jika Febs bisa saja datang tiba-tiba tanpa ia tahu. Mendengar bahwa mereka sudah lebih dari kejam, Rasi tidak ingin apapun terjadi. Walau hari ini tidak ada kelas, Rasi masih setia menunggu Laluna dan menemani cewek itu kuliah. Tidak pernah terpikirkan bagaimana respons Laluna mengenai perasaannya karena sekarang bukan perasaan yang harus dibahas tapi keselamatan Laluna yang sedang dipermainkan. Kalau Febs ingin membunuh Laluna, itu artinya mereka harus lebih dulu membunuh dirinya. Rasi tidak ingin melihat Laluna mendapatkan kesedihan terus seperti ini. Mungkin saat Antariksa dia tidak mendapatkan kebahagiaan tapi ini Rasi, ia tidak ingin itu terjadi. Persetan dengan kejahatan Febs, Rasi tidak peduli selagi ia mampu menjaga Laluna. Mereka cuma manusia yang sama-sama makan nasi tapi sayangnya gak sampe resap ke otak dan hati jadinya memedulikan... 38 :: MENGISI KEKOSONGAN - REGN - - - - Kamu mengisi kekosongan dalam hatiku. - - - SATU hal yang Laluna ingat terakhir kali, ia melihat Rasi dibawa ke rumah sakit tapi setelah itu semuanya gelap. Ketika dirinya membuka mata ada Kayla dan Galaksi yang sedang memerhatikannya. Ia mengerjapkan matanya untuk mengatur intensitas cahaya. "Kayla!" ucap Laluna memeluk cewek itu. "Gal, Rasi mana?" "Dia ada di ruang sebelah. Karena lo pingsan sekalian gue bawa ke sini." Laluna mencoba mengatur tangisannya. "Tapi dia gak kenapa-kenapa, kan?" "Dokter bilang gak apa-apa, cuma karena pukulan itu langsung buat keseimbangannya hilang." Kayla menjawab seraya mengusap pelan punggung Laluna, berusaha menenangkan ketakutan cewek itu. "Untungnya tadi Galaksi sama yang lain langsung datang pas dengar Rasi dipukulin. Pas banget mereka lagi telepon." "Lo tau akan ada Febs?" Galaksi menggeleng. "Gue gak tau. Gue cuma mau tanya keadaan lo gimana." "Gue baik-baik aja, setelah ada Rasi." Laluna berkata jujur. "Tapi... EPILOG - REGN - - - - SUDAH tiga tahun mereka pacaran. Dan tepat hari ini mereka menghabiskan waktu tiga tahun itu untuk bersama. Laluna tidak lupa apa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Rasi. Bahkan Laluna merasakan kebahagiaan yang tidak pernah ia kira sebelumnya. Laluna sadar, mengikhlaskan Antariksa adalah hal yang paling melegakan di hidupnya. Sejujurnya ia bisa saja bertahan kepada Antariksa hingga akhir. Hingga dirinya benar-benar mati. Tapi Rasi mengatakan, "Na, jangan bengong pas lagi hujan. Nanti kesamber petir." Oke, dia menyadarkan Laluna untuk tidak mati hari ini. "Kamu apaan sih, Ras?!" Rasi terkekeh. "Kan gak lucu, Na, kamu pergi disaat seperti ini." Rasi memang menyebalkan ternyata. Cowok itu sengaja mengerjai Laluna untuk merasakan takut jika sedang melamun. Ia tidak bisa menyibukkan diri dengan bicara dalam hati jika sedang bersama Rasi. Semuanya harus fokus memerhatikan cowok itu. Nta, tujuh tahun kamu pergi dariku, aku masih mencintaimu. Tapi sekarang... Description: Bagi Laluna, mencintai Antariksa adalah hal yang harus ia lakukan sampai kehidupannya selesai. Namun bagi Rasi, mendekati Laluna seperti jarak antara bulan dan bintang, sangat jauh. Erlita Scorpio twitter @scorpioerlita instagram @erlitascorpio Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LifeinCampus 2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
Title: "Rebas" Category: Novel Text: AWALNYA Untuk Mu Kekasih Ku Bukan kah sempurna memiliki kekasih yang sempurna? Ribuan gadis menanti di balik tubuh kecil ku Bersiap menunggu waktunya tiba Agar dapat menggantikan ku… Jika dari awal aku tau ini rasanya Mungkin aku tidak akan memberanikan diriku menyapamu siang itu Mungkin aku tidak akan mengejar untuk dapat perhatian mu Mungkin aku tidak pernah berdoa agar kamu akan jadi milik ku ---Aku harap kalian tau rasanya jadi aku.--- Komandan itu. Baru beberapa sekitar 5 menit lalu sesi perkuliahan di bubarkan, tetapi kelas sudah tampak sangat sepi hanya menyisakan aku dan Jessica, murid terpintar di angkatan ku yang masih menyalin catatan dari laptopnya. Ku lirik jam tangan yang menunjukan pukul 10 pagi, Dengan malas, aku manatap sekeliling meja ku memastikan tidak ada barang yang tertinggal barulah melangkah kan kaki keluar ruangan besar berwarna coklat yang membuat ku tertidur sekitar 2 jam dan terbangun saat kelas sudah lengang. Aku melangkah kan kaki ku menuju lapangan indoor fakultas untuk bertemu dengan sahabatku Dea. Dea adalah sahabat ku sejak kita duduk di bangku SMP hingga saat ini, dia merupakan gadis yang amat cantik dan selalu manarik perhatian setiap pasang mata sedari kecil dengan rambut coklat indah ditambah warna iris yang senada dengan warna rambutnya dan wajah yang amat sangat sempurna dan selalu menjadi pusat perhatian sedari dulu. Sayangnya aku tidak popular seperti sahabat ku itu, aku amat sangat tak terlihat tanpa bantuan Dea. Namaku Analeysa Aqiva dan semua orang memanggilku Leysa. Banyak yang membandingkan ku dengan Dea, Wajah ku yang tak secantik dia dengan penampilan ku yang hanya menggunakan kemeja yang aku ganti 2 hari sekali dan jeans serta heels hitam yang hanya setinggi 3 cm yang sudah mulai usang membuatku tampak tak menarik. Hanya ada 3 kemungkinan saat seseorang dapat mengenalku, kemungkinan pertama dia satu kelas dengan ku, atau dia adalah satu member club paduan suara dan kemungkinan terakhir adalah mereka mengenalku karena Dea. “Leysaa.” Lambai seorang gadis di hadapan ku dengan setelan kemeja putih oversize yang di padukan dengan boyfriends jeans dan membawa jas almamater di lengannya yang amat sangat modis bagi gadis gadis kampus saat ini. Aku haya membalas senyuman dan berjalan cepat ke arah sahabat ku itu. “Gimana kuliahnya Pak Broto?” tanya Dea dengan riang ke pada ku. “Gue ga tau, bahkan gue ga bisa menahan kantuk.” Dea hanya tertawa dan mengajak ku masuk ke lapangan Indoor. Entah ada acara apa, tapi lapangan ini sungguh padat dengan anak anak aktivis mahasiswa yang menggunakan pakaian almamater kampus kebanggaan kami dan ikat kepala. Dari kejauhan tampak seorang pemimpin yang tengah memberi komando di atas podium dengan suara lantang nya. “De, ada acara apa sih?” tanya ku di telinga Dea, memastikan agar suara ku terdengar “Anak aktifis kampus mau ikut demo di jalan.” Jawaban Dea mampu membuatku terdiam beberapa saat sembari mencerna kembali ungkapan gadis cantik itu. “Terus kita bakal ikut?” tanya ku cepat setelah memahami maksud ungkapan Dea. “Iyalah,” jawab Dea santai dengan mengangkat ibu jari nya ke arah ku, “Wakil Komandan demonya cowok gue, masak kita ga ikut.” “Tapi gue ga bawa jas almamater.” “Ga masalah.” Jawab Dea sembari sibuk mencari kekasihnya di atas podium. Dengan cepat aku menatap ke atas podium mencari keberadaan Aga, pacar dari sahabat bodoh ku itu. Dan benar saja, aku menemukan sosok Aga di balik pemimpim Aktifis yang sibuk berorasi membakar semangat itu. Pemimpin Aktifis kampus sungguh menarik, Lelaki dengan paras tampan dengan kulit putih dan rambut hitam pekat dengan mata tajam dan kalimat keras yang keluar dari bibir indah nya mampu membuat ku terpaku padanya. Prabu Dewandra, sosok pemimpin aktifis mahasiswa yang amat terkenal di kampus ku. Sikap dingin dan keras kepala, tetapi berparas dewa adalah definisi yang tepat untuk menggambarkan lelaki yang kerap disapa Dewa itu. Pemikiran rasional dan kedisiplinannya mampu menjadi daya tarik tersendiri baginya, bahkan ia mampu membangun kepercayaan yang besar terhadap dirinya oleh mahasiswa lainnya. “Leysa, lu ga papa kan?” tanya Dea yang menyadari aku sedari tadi terdiam menatap podium yang berjarak cukup jauh dari kami. “Gue agak takut sih, ini pertama kalinya gue ikut demo.” “Santai aja kan ada Aga, pasti dia jagain lo juga Ley.” “Semoga.” Jawab ku singkat. Setelah sesi pembekalan awal oleh Dewa selesai, semua mahasiswa yang mungkin jumlahnya ratusan kini mulai keluar dari lapangan Indoor dan melangkah menuju transportasi yang sudah di siapkan oleh Dewa tentunya. Disaat yang lain meninggalkan lapangan Indoor, Dea justru menarik ku kearah podium. ”Gue penanggung wajab disini, semisal ada yang ga bisa nurut aturan gue mending lo pergi!” suara Dewa menggelegar memenuhi ruangan yang hampir kosong karena anak anak telah memasuki bis bis yang telah disiapkan. Aku dan Dewa hanya berjarak kurang dari dua meter dan hal itu membuat ku memaku menatap nya. Kini lelaki itu masih mengeluarkan umpatan kecil yang sedari tadi masih keluar dari mulutnya. “Leysa!” panggil Dea yang sudah berada di sebelah kekasihnya meninggalkan ku yang membeku sesaat tadi dan dengan cepat aku menghampirinya. “Leysa, karena bisnya udah penuh kita bareng anak panitia ga papakan?” tanya Dea dan ku balas anggukan kecil. “Dea sama gue, nanti lo sama Dewa ga papa kan Ley?” tanya Aga dan lagi lagi aku hanya mengangguk pasrah. Tuhan tolong aku ingin pulang saja, aku takut akan tinggal nama seperti aktifis mahasiswa tahun 1998. “Dewa!” panggil Aga kearah lelaki yang masih sibuk memastikan semua berjalan dengan baik. “Apa?” “Lo bisa kan ajak Leysa bareng ke jalan, bisnya penuh.” Jelas Aga Dewa memutar bola matanya, membuatku sedikit takut dengan respon yang akan dia berikan. Bahkan sungguh aku tidak keberatan jika Dewa menggelengkan kepala untuk memaksaku pulang, dan sejujurnya itu yang ku harapkan. Namun, lelaki berparas tampan itu justru menganggukan kepalanya. Tak berselang lama Aga dan Dea pun melangkah pergi meningkalkan aku dan Dewa sendirian di lapangan ini. Dewa menatapku dari atas hingga ujung kaki ku dan membuat ku tampak sedikit kikuk. “Lo mau tampil atau ikut demo?” tanya nya ketus pada ku. “Ikut demo.” Jawab ku dengan menunduk. “Lo tau ga kalo lo pake sepatu tinggi itu bisa nyusahin gue kalo ada apa apa!” “Maaf.” Jawab ku takut sembari ku tatap sepatu berhak 3 cm yang ku gunakan karena tidak tahu hari ini aku akan ikut demo. Dewa hanya menghembuskan nafasnya berat lalu melangkah pergi menuju parkiran dengan tubuh ku yang senantiasa mengikutinya. Selama di perjalanan kami sama sekali tidak berbicara, hanya aku sibuk dengan pikiran ku, dan Dewa yang sibuk mengurus mahasiswa melalui sambungan telpon yang tersambung di telinganya. Setibanya di depan gedung Wakil Rakyat sudah sangat penuh oleh ribuan mahasiswa dengan berbagai almamater yang digunakannya. Langkah ku sedikit susah menyamai langkah Dewa menembus lautan mahasiswa kampus lain untuk sampai ke kerumunan yang berasal dari kampus ku. “Lo disini, sama anak anak yang lain.” Titah Dewa setelah kita sampai di rombongan kampus kita dan aku hanya mengangguk kecil. “Waktu balik, lo kemotor gue dulu biar gue anter balik lagi.” Ujarnya lalu melangkah pergi. Description: Bukan kah sangat menarik saat aku memiliki hubungan dengan lelaki paling terkenal di kampus? Bukan kah menarik gadis seperti ku memiliki kisah cinta yang indah? Bukan kah cukup menarik saat nyatanya hanya aku yang berjuang? Dewa... Maaf aku terlalu menginginkan mu.. Maaf aku berhadap kau kan membalasnya. Terimakasih untuk kisah ini. "Dewa, terimakasih sudah membolehkan kisah kita sebentar berjalan. Aku akan berusaha terus menyelesaikan cerita ini. Walaupun aku tau hanya aku yang berjuang." - Leysa.
Title: rindu Category: Puisi Text: RIndu Rindu mulai melanda hati, Potretmu semakin menjadi-jadi aku tidak mengerti tentang rasa iniSulit semua sungguh sulitCerita ini benar-benar sakitEntah kapan aku akan bangkitKarna kini semua seperti bukitNamamu hadir di setiap langkahkuHingga membuatku takut jika harus berpaling darimuPernahkah sehari saja kau slalu mengingatku? Lagu itu pernahkah dia membuat ceritaku? Lagu itu pernahkah dia menjelma menjadi bayanganku? Lagu itu pernahkah menghadirkan rasa rindu? Ia lagu yang pernah membuat aku merasakan itu. I need youI need youI missing you maaf Kehadiranmu bukan aku menolaknya Karna aku tau ini sudah takdir dariNyaPertemuan ini membuka mataku tentang sebuah rasaTapi kita bertemu di saat yang tidak tepatKau tau diriku sudah terikat janji suciTapi perjuangan mu masih kau jalaniTau kah kau rasa yang tumbuh dihati?Bukan rasa yang kau mauAku tak mampu menggapai muKarna aku tak sanggup membuatmu kecewaJangan berjalan ke arah dimana aku berdiriCarilah jalan dimana kau benar-benar menjadi sosok yang paling berartiBukan di mataku tapi di mata dia,Wanita yang kelak akan kau beri janji suciTapi jangan kau membenci pertemuan iniAku tahu kau saat ini kecewa, Aku tahu saat ini kau menahan rasa amarahTapi kumohon buang, buang rasa yang kau punya untukuSebuah rasa yang seharusnya bukan untukuGanti rasa itu dengan rasa yang semestinyaKarna suatu saat jika kau mengharap rasa yang lain dari kuMulut ini akan berkata “maaf” , Satu kata yang memiliki penilaian bercabangKu jaga ku ukir kata demi kata, Agar kelak kau tak akan kecewaTapi meski begitu semua percuma saja rindu 2 Aku pernah berlayar tanpa harapan Dan aku sempat menyerah di tengah LautanTapi harapan yang perlahan menghilangKini datang seperti hujanBunga yang layu kini mekar Sejuk di rasa indah di pandang mataSejuta harapan datang menggulung Tinggi tinggi bagai kan gunungKu daki tanpa ragu Tanpa kulihat sejuta rintangan Rindu, semua rasa itu adalah rinduRindu yang tak pernah kau tahuDan membuat semua jadi pilu hidup cuma sekali Kepergianmu hanya menyimpan lukaHingga membuatku diam tanpa kataKehidupan yang seperti daun keringTertiup dan terlempar oleh angin terbang jauh tanpa tujuanMeski aku memegang kompas di tanganTapi tidak berfungsi sesuai harapanKu terpuruk karna arah yang burukKegelapan semakin menyelimuti diriHingga jalan pintas yang coba kulakukanDua bola mata yang tak mampu bersandiwaraKaki yang kini tak mampu berdiriDan kau datang membawa sejuta cahaya kehidupanMenyadarkan ku dari kegelapanHidup Cuma sekali RINDU 3 Hati menjerit tiada henti Memanggil namanya yang telah pergiRindu serindu rindunyaPada dia duhai ibundaHati ingin bercerita Dan meminta nasihat kehidupan NyataTurun, rasa sabarku saat ini sedang turunTapi, aku hanya bisa menitipkan rasaPada dia sang pengatur duniaLewat air mata yang jatuhTetesan nya Menandakan kerinduan yang utuhTuhan ku titipkan dia yang telah tiadaKu titipkan rasa yang bergejolak dalam dada untuntuknyaKu titipkan semua kisah kehidupanku untuknyaLewat doa rindu itu ku panjatkan padaMu untuknya Karya Maya Damayanti2-07-2019 MASALALU CAMBUK KEHIDUPAN Pencipta : Maya Damayanti P Masalalau tak harus di kuburKarna dia tidak akan bisa kaburJadikanlah kenangan itu tolak ukurAgar kita bisa terua bersyukur Cambuk hidup adalah sejarahDarinya kita bisa belajar dan lebih terarahHingga menjadi dewasa dan penuh gairahUntuk hidup yang lebih berkahJakarta,27 Agustus 2019 INGIN MENJADI ISTRI SOLEHAH Nukilan : Maya Damayanti P Kau pinang aku tanpa rasa cintaPertemuan singkat yang aku benciTali itu hadir penuh air mataIngin aku pergi tanpa permisi Duri di hati belum pulih kembaliHingga garis takdir ini tibaIstri, ya kini aku kau milikiPernikahaan ini bukan yang aku minta Jika aku pergi dan itu hanya dosaIstri solehah, aku hanya ingin iniCinta katanya dia bisa tiba setelah bersamaDan aku hanya ingin terlihat baik di hadapan suami Hati sejujurnya merontaTapi aku taku kejadian itu kembaliJika aku memenuhi hasrat didadaUntuk meraih mimpi Dua kali cukup dan jangan ada yang ke tigaKesalahan yang pernah menghampiriKarna aku ingin menjadi istri penghuni surgaDan menjadi wanita pilihan hati suami Coretan hati, 25 Agustus 2019 Description: aku bukan seseorang yang ahli bercerita, tapi aku hanya mampu menyimpan semua cerita di dalam bait bait kata yang ku susun sehingga berubah menjadi puisi
Title: REINA ANTOSOROH Category: Teenlit Text: Reina malam ini seperti rutinitasku biasanya aku sudah berada di meja tulisku. aku termasuk orang yang paling suka membaca dan menulis. sudah puluhan buku koleksiku dan puluhan buku yang sudah kutulisi. rasanya tidak ada yang tertinggal lagi semuanya sudah kuceritakan didalam buku harianku ini.Entah apa lagi yang aku goreskan dengan penaku didalam buku harianku ini.semua sudah kutuliskan dari hal apapun.bahkan sejak dulu aku masih berstatus sebagai karyawan swasta di sebuah toko baju sampai akhirnya aku menjadi seorang pengusaha. Sudah banyak hal-dan kejadian yang juga tidak terlewatkan untuk kuceritakan didalam buku harianku ini. Mulai dari makanan yang paling aku suka sampai yang tidak aku suka.pakaian yang paling sering aku pakai sampai yang tidak pernah kupakai sejak aku yang hanya menjadi perame lemariku.mantan yang paling dirindukan sampai yang paling dibenci bahkan ingin ditenggelamkan saja dia dari muka bumi.orang yang paling dirindukan,sahabat yang paling baik orang yang diam-diam disukai namun takut untuk memiliki karena takut dia sakit hati. Kalau dulu aku menulis buku ini dengan kata-yang aneh sekarang aku harus menulis buku ini dengan kata-kata semangat dan motivasi bukan motivasi untuk orang lain supaya menarik dibaca dan menjadi trending topik kalangan masyarakat akan tetapi untuk diriku sendiri. Supaya tetap bisa tegar menjalani hari-hari tanpa mengeluh dan putus asa dengan segala hal yang sedang dihadapi. Aku yang dulunya setiap melihat buku-buku yang berbaris dimeja tulisku selalu dengan penuh senyum dan tawa sekarang berubah menjadi linangan air mata dan penuh ketakutan.rasanya Aku ingin marah namun aku tidak tahu harus marah dengan siapa tidak ada tempatku melampiaskan kemarahanku ini. Selama ini aku selalu melampiaskan amarah marahku dengan rendy dia selalu jadi pelarian semua untuk menumpahkan segala amarahku.aku juga menyadari kalau ini tidak adil untuk rendy jikaku terus-terusan ingin marah selalu dia yang jadi kambing hitam dan pelarian amarahku.dia juga punya batas sabar mengalah dengan amarahku. Oke,dia memang sahabat terbaikku. Tapi dia juga punya hak bebas dari yang namanya menjadi pelarian amarahku. Malam ini rasa ketakutanku makin manjadi setelahku melihat kembali selembar kertas yang terbungkus rapi dengan amplop.disudut tempat tidurku. Rasanya kertas itu sudah seperti malaikat pencabut nyawa bagiku.yang seakan-akan membisikkan ketelingaku kamu akan lenyap dari muka bumi ini esok hari.kamu akan menjalani kehidupanmu yang baru setelah ini dan akan jauh dari keluargamu dari sahabatmu yang konyol yang kamu anggap terbaik dan selalu ada untukmu yang seakan seperti dewa penolong setiap kamu butuh bantuan dia selalu ada.rasanya bayangan kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku.pagi,siang,malam,mau mandi mau makan mau tidur bayangan suara bisikan itu terus saja mengikuti.reina kamu apa sih berhenti berhalusinasi.kamu masih hidup kamu masih dikamar kamu masih bisa bicara,masih bisa menangis.ayo bangkit semangat lupakan halusinasimu. air mataku terus saja terun dan membasahi pipiku dan juga berjatuhan dipangkuanku.terkadang juga menetesi selembar kertas yang sekarang sedang aku pegang. Dan aku paling benci dengan orang yang sok tahu tentang umurku.yang sudah menyatakan vonis belum ada bukti otentiknya.tuhan saja belum tentu tahu batas umurku sampai berapa tahun dia manusia polos cuma berilmukan teknologinya sudah bisa menghitung batas umurku.tapi walaupun dia cuma manusia polos aku tetap harus hati-hati dengan kata-katanya siapa tahu ketika dia sedang menyatakan vonis tentang batas umurku langit sedang dibuka sama tuhan bagi yang umatnya yang bicara dikabulkan apa lagi yang berdoa minta rezeki yang jomblo minta jodoh dan sakit mintah kesembuhan.kata orang kata-kata itu adalah doa. Mana tahu dia sedang berkata tuhan menganggapnya adalah doa.jika benar tuhan itu ada dan mengabulkan segala doa hambanya yang bersungguh-sungguh meminta kepadanya lalu mengapa sampai sekarang permintaanku belum dijawab apa lagi dikabulkan.namun aku tidak bisa berbohong kalau aku sangat membenci laki-laki yang pakai baju pakai blezer putih itu.karena hanya dia yang mengatakan kalau aku hanya menghitung hari bisa menghirup udara segar dipagi hari dan makan satu meja dengan keluargaku.ih dasar monster aku benci dia tuhaaaannn. "tuktuktuk...reina kamu kenapa? Rendy Pagi ini aku melihat ada seseorang yang berjalan didepan rumahku sambil berlari-lari kecil.dia bagi aku sudah tidak asing lagi karena dia adalah asisten rumah tangganya si reina.aku membalikkan badanku untuk masuk kedalam rumah.dari luar dia memanggil "mas. Mas.tunggu " sambil melambaikan tangannya yang ditangannya ada seperti amplop kecil yang aku sendiri tidak tahu isinya apa.dia terlihat begitu tergesa-gesa berlari mndekatiku.keluar mendekati dia "ada apa ?" "ada titipan dari mbak reina? "reina kemana,tumben nitip surat kayak begini" "nggak tahu,baca aja suratnya nanti mas juga tahu? Aku merasa ada yang aneh dari tingkah ART-nya reina.dia tidak menjawab pertanyaanku dengan jelas.ketika suratnya kuterima dia langsung pamit untuk pergi.aku sudah lama tidak bertemu dan komunikasi sama reina.akhir-akhir ini dia susah sekali untuk dihubungi nanya radit juga sama sudah lama juga tidak kontak sama dia. Aku tidak terlalu perduli sama isi suratnya paling dia cuma usil sama aku mau rewel karena mungkin sudah lama tidak pernah quality time lagi.biasanya satu minggu sekali,kalau nggak satu bulan sekali biasanya kalau sudah ngumpul paling suka ngeledekin dia yang sering ditinggal pacarnya keluar kota jarang pulang yang ketemunya hanya satu bulan sekali kadang-kadang sampai tiga bulan sekali.reina bagiku termasuk perempuan yang setia dan sangat percaya pada pasangan dan tidak mudah terhasut dengan cerita yang dia belum tahu jelasnya.setiap aku ngeledekin dia sama bayu selalu ada yang beda dengan perasaanku.dibilang cemburu aku bukan pacarnya,dibilang sakit hati tidak pernah ada hubungan.dan perasaan itu selalu muncul setiap aku ngeledekin dia.bagiku tidak masalah yang penting dia tetap bahagia dan bisa terus menikmati kebersamaan dengan dia. Aku cuma memandangi suratnya sambil tersenyum "reina,reina kamu itu ya dari dulu sampai sekarang nggak berubah-berubah tetap aja sama,kamu mau bilang minta maafkan sama aku karena kemarin kamu udah bikin aku kesal" aku tidak membacanya suratnya karena aku sudah bisa menebak isi suratnya apa lagi ini sudah dekat sama hari ulang tahunku paling dia mau ngerjain doang. Dulu dia ngerjain aku ketika ulang tahunku yang ke-27 tahun.dia pura-pura marah sama aku tidak bicara sama aku selama seminggu.dan ngerjain aku pakai nomor hp misterius yang ngaku-ngaku jadi mantanku terus marah-marah minta pertanggung jawaban atas apa yang telah aku lakukan. Dan yang lebih lucunya lagi perempuan itu bilang kalau sekarang lagi hamil 3 bulan mengandung anakku. Aku pura-pura tidak tahu kalau sebenarnya perempuan misterius itu reina.aku balas pura-pura tidak mau bertanggung jawab,dan bilang kalau itu bukan anakku. Dan perempuan itu marah lagi ngatain kalau aku laki-laki bajingan tidak mau bertanggung jawab. "salah siapa mau diajak melakukannya" "kan aku sayang sama kamu makanya aku kasih,nggak bisa menghargai banget sih "sayang nggak harus mau diajak melakukan itukan? Dasar laki-laki bajingan "pokoknya itu bukan anakku, Satu yang menjadi ciri khasnya dia tidak bisa lama-lama berbohong.apa lagi kalau sebenarnya dia sudah hampir ketahuan bohongnya makin kelihatan.dia punya tanda kalau lagi berbohong kalau diajak cerita kearah yang dia berbohong dia tidak bisa berhenti ketawa dan gerak tubuhnya mulai aneh seperti orang gugup. Aku mengajak dia ketemu dan mancing dia untuk memastikan apakah nomor misterius itu benar-benar dia atau bukan. Awal mula aku bercerita dia masih bisa tenang bahkan dia bisa berakting menanyakan balik tentang nomor misterius yang aku ceritakan sama dia. Awalnya juga aku hampir tertipu dengan wajah tenangnya dan nyaris niat menuduh diapun hilang.namun semakin aku mendalami cerita tentang perempuan itu dia makin menunjukaan tanda-tanda. Aku mulai tersenyum menatap wajahnya yang berusaha tenang. Dan puncaknya lagi ketika aku mengatakan "kayaknya aku tahu siapa perempuan misterius itu" dia langsung berubah menjadi tegang dan menahan tawanya.yang akhirnya aksi tahan tawanya hilang dan tertawa lepas. Emang siapa yang ngerjain kamu itu? Ada deh.pokoknya aku tahu! Cerita dong siapa tahu aku bisa bantu Kan tadi udah cerita Tapi kamu kan belum cerita siapa orang nggak dikasih tahupun kamu udah tahu orangnya siapa.dia sekarang ada didepanku dan sedang berusaha untuk tenang supaya aksi nerornya nggak ketahuan.namun sayangnya yang dia teror itu lebih jago daripada intel jadi ketahuan deh.belajar lagi ya... Maksud kamu aku.. Hahaha Dia belum mengakui juga kalau yang sebenarnya neror itu dia. Aku kembali cerita lagi untuk mancing supaya dia ngaku dengan sendirinya.dan akhirnya dia mengakui kalau yang ngerjain aku jadi perempuan misterius itu memang dia. Reina Sepertinya rendy memang benar-benar marah sama aku.biasanya apapun yang berasal dari aku mau barang,pesan,telepon dia selalu fast respon tapi sekarang tidak ada responnya sama sekali.bahkan teleponku yang sudah beberapa kali menelepon dia pun tidak pernah dijawab.pesanku juga tidak dibalas.segitu marahnya ya rendy kamu sama aku sampai kamu tidak ada satu pesan dariku yang kamu balas dan teleponku tidak pernah kamu jawab dengan baik.atau mungkin sekarang kamu sedang sibuk dengan pekerjaanmu yang selalu kamu banggakan setiap kita kumpul ditempat tongkrongan kita bahkan cara kamu membanggakannya melebihi kamu membaggakan vina pacar kamu.rendy jujur aku rindu bercerita,curhat sama kamu,sudah lama kita tidak bertemu,tidak saling berbagi cerita bagiku kamu sudah lebih dari sahabat kamu sudah segalanya bagiku. Dulu waktu aku sama rendy masih sering ketemu,paling sering nongkrong diwarung kopi tempatnya tidak jauh dari kantornya dia.tempat itu tidak terlalu mewah boleh dibilang sederhana.tapi walaupun sederhana diwarung itu hampir semua minuman dia jual kalau untuk menu makanan hanya ada mie goreng,nasi goreng sama nasi padang.dulu hampir setiap hari nongkrong disana minuman yang paling sering dipesan kalau nongkrong disana,rendy kopi capucino,kalau radit milkshake,kalau widya beda sendiri dia tidak suka kopi sama juice jadi pesannya cuma teh panas atau berubah sedikit es teh .radit suka nyeletuk kalau sudah liat pesanan widya Loh dari dulu sampai sekarang masih teh aja wid Iya,gue kan setia... Beruntung banget ya pacar loh dapatin loh,coba aja loh masih sendiri dan bukan teman lama pasti udah gue pepet loh Sih rendy mulai nyeletuk juga "radit ma nggak bisa liat yang bening dikit uda mau mepet aja.. Aku juga nyeletuk"vina suka sama loh itu dit karena ketipu sama tampang loh doang,klau udah tahu aslinya ma nggak akan mungkin dia mau sama loh Widya nyeletuk lagi "tampang kalemnya ini tipuan doang,kalau dalamnya ma palsu semua.paling vina cuma jatuh cinta sama mobil loh doang,setiap weekend numpang nebeng ke pantai ancol.widya berdiri disamping radit sambil menggerakkan tangannya kedepan radit. Kasihan banget nasib gue tiap ngumpul selalu jadi korban bulian,tapi nggak apa2 lah maklum guekan ganteng.tidak semua cowok bisa bernasib sama kayak gue dimana-mana dicintai banyak perempuan.cantik dan tajir lagi ... Aku nyeletuk"bukan ganteng kali tapi aneh sama tampang tipuan Hahahaha semua tertawa Digeng kami itu yang suka nyelene itu rendy dan paling dekat sama aku.apa-apa pasti ceritanya lebih dulu sama aku.bukan berarti dia tidak suka cerita sama radit dan widya.katanya kalau dia belum cerita sama aku hatinya belum lega.pokoknya aku harus lebih dulu tahu tentang apa yang terjadi sama dia.masalah kelurganya orang tua,adiknya.masalah pacarnya terlalu cemburuan dan ngekang apa-apa harus bilang dulu sama pacarnya.bahkan duku aku juga pernah dicemburuin waktu dulu aku baru kenal radit.diam-diam pacarnya chat aku dan nanyain soal hubungan aku sama rendy.aku tidak terlalu pusing aku jelasin aja hubungan aku sama rendy cuma sebatas teman tidak lebih daripada itu. Kalau radit lebih kepada ke-pede an suka memuji dirinya sendiri.dan kalau dia bicara suka bikin heboh satu geng.merasa keren sendiri dan suka melucu setiap bertemu perempuan yang cantik dikit langsung naksir dan minta nomor hp sampai kadang-kadang tidak bisa ngatur jadwal ketemu yang mana duluan.radit kalau sudah terdesak dia minta bantuan sama kita bertiga.buat hapus jejak biar tidak ketahuan dia pinjam mobil kita bertiga.jadi setiap beda perempuan yang diajak ketemuan mobilnya juga. Beda lagi sama widya,dia paling kecil diantara kami bertiga boleh dikatakan dia adalah bungsu geng kami.walaupun dia paling kecil dia bisa menyesuaikan diri dengan kami bertiga.tapi yang paling kasihannya dia sering jadi korban bercandaannya radit.widya boleh dikatakan masih polos cara bicaranya bercandanya.dan dia juga cantik rambutnya ikal,matanya sipit,kulitnya putih bersih dan berdarah asli kalimantan anak seorang pengusaha dikalimantan.dan untuk pacaran urusan setia jangan ditanya lagi dia orangnya. Aku sibuk cerita tentang ketiga temanku terus aku apa kabarnya ya.hubungan tidak jelas hidup boleh dikatakan tidak waras dan kata laki-laki itu sudah menghitung hari.ketika ketiga sahabatku sudah bahagia dengan pasangan mereka sementara aku masih saja menanyakan apa sekarang aku benar-benar bahagia atau sedang berpura-pura bahagia. Eh aku lupa tadikan bahasnya tentang minuman bukan tentang ketiga temab aku.aku ma orangnya suka gitu,suka menyimpang dari pembicaraan maklum aja ya pemirsa.kok sudah kayak penyiar berita aja akunya ya sudah kita kembali ke pokok pembahasan lagi ya.Kalau aku menunya beda lagi,setiap pesan tidak bisa ketinggalan nasi goreng mau apapun minumannya nasi goreng tidak boleh tinggal.nasi goreng memang sudah hobyku sejak kecil. Rendy Handphon bergetar seperti ada panggilan dan beberapa chat yang masuk.aku buka sudah ada panggilan dari reina 3 kali dan dari vina juga.vina pacarku yang sudah sejak lama menjalin hubungan sama dia.meskipun sudah lama menjalin hubungan aku belum punya niat buat membawanya kejenjang yang lebih serius. selama aku pacaran sama dia mungkin tubuhku saja yang bersama dia dn status hubungan saja yang mengikat aku sama dia. Sebenarnya sejak aku menjalani hubungan sama vina aku hanya berniat untuk menghilangkan jejak dia yang ada didalam kepalaku yang setiap dia menceritakan laki-laki lain membuat dada sesak dan merasa sakit hati.karena bagiku aku tidak mungkin mampu memiliki dia karena dia sudah jelas punya pacar dan sudah dengan terang-terangan menolakku walaupun masih dengan nada bercanda. Aku bisa membaca gelagatnya kalau bercandaannya itu adalah jawaban yang paling serius diberikan padaku.aku bingung dengan diriku sendiri aku mati-matian menperjuangkan orang yang sudah jekas hatinya bukan untukku.sementara aku mengabaikan orang yang berjuang mati-mati hanya untuk bersamaku yang perasaan cintanya memang tertuju untukku. Aku rela dihina,dijadikan pelampiasan marahnyanya dia bahuku dijadikan sandaran ketika dia mau nangis.dijadikan tempat curhat dan menampung sehala kesedihannya.demi untuk dia.terkadang aku berfikir mengapa aku harus sebodoh ini.dan mengapa harus ada perasaan cinta kalau akhirnya hanya membuat luka.mana buktinya yang kata orang-orang kalau didasari dengan perasaan cinta pasti akan bahagia.tapi aku apa bukan bahagia yang kudapat melainkan siksa batin.mana buktinya kata orang kalau melihat orang kita sayangi kita akan ikut bahagia buktinya aku justru terluka dan menahan sesak didada. Rasanya setiap aku melihat dia bersama pasangan bisa tersenyum bahagia didalam fikiranku justru berbalik andaikan laki-laki itu adalah aku sudah pasti aku sebahagia itu.andaikan tertawa lepas itu berasal dariku. "rendy,kamu masih marah ya sama aku? "rendy maafin aku. "rendy,kamu uda pulang dari luar kota kita ngumpul diwarung kopi langganan kamu yuk.. Aku hanya membaca pesannya.berharap dari sekian banyak pesannya itu ada kata "rendy aku rindu sama kamu"tapi sudahlah itu hanyalah halusinasiku saja karena kata-kata itu tidak akan pernah kudapatkan.karena dia tidak pernah rindu sama aku. Aku juga membuka chat vina dan itu makinbmembuatku berantakan. "sayang,kamu kapan pulang,aku rindu sana kamu? Jaga diri kamu baik-baik ya disana.i love you Seandainya dia bilang itu sama aku.rendy bangkit tidak seharusnya lagi kamu berfikir tentang dia.seharusnya kamu sadar dia tidak mungkin bisa jadi milik kamu kamu sadar diri dong ren.ayo reina terus saja berkeliling dikepalaku jangan berhenti siksa aja terus akunya sampai stress jangan stress masih ringan sampai gila aja sekalian.kenapa sih aku mesti harus berharap jauh sama kamu. Rendy Hallo,ren Iya,reina ada apa? Loh dimana? Bisa kerumah gue nggak ? Malam-malam gini kerumah loh,ada apa,loh kenapa? Ceritanya nanti aja,pokoknya loh kerumah gue sekarang..tutututut telepon terputus Jam 12 malam reina meneleponku dan mintaku untuk kerumahnua .sebenarnya aku sedikit keberatan bukan karena apa-apa cuma hari sudah malam takut aja orang pada berfikir aneh. Untuk reina rasa tapi itu langsung hilang apapun yang dia mau akan kulakukan jangankan cuma karena tengah malam mau nyawaku yang jadi korbannya pun aku tidak masalah.reina,reina senekad ini aku berkorban buat loh reina.begini amat sih aku berjuang untuk meluluhkan hati loh.bisa merasakan gak sih kalau sekarang aku sedang berjuang mati-matian buat meluluhkan hati loh. Apa ada orang yang berjuang mati-mati demi orang yang diacintai,rela melakukan apapun demi orang yang dia cintai bahagia atau mungkin cuma aku yang terlalu bodoh mencintai seseorang. mendapat telepon dari dia minta segera datang kerumahnya itu membuatku kehilangan alasan untuk mengatakan tidak.rasanya jika dia yang meminta apapun pekerjaanku saat itu aku tinggalin dan kalau ada perjalanan aku tunda kalaupun sudah berjanji aku batalin.yang mungkin kalau orang lain yang minta tolong masih bisa kutolak tapi kalau dia yang meminta mulutku langsung bungkam untuk mengeluarkan kata "maaf ya aku gak bisa lain kali aja atau maaf ya sekarang aku lagi capek banget,atau ngantuk banget,atau aku ada janji sama teman,atau aku lagi sibuk"semua kata itu hilang seketika. Sekarang yang jadi pertanyaanku apa yang sebenarnya terjadi sama reina,karena sangat tidak lazim dia menyuruhku datang kerumahnya malam-malam begini.aku tahu reina orangnya sangat teratur dengan waktu dia punya batasan waktu untuk keluar rumah dan terima tamu.biasanya kalau sudah jam 12 malam pagar rumahnya sudah terkunci rapat.sekarang jam satu malam dia justru nyuruh aku datang kerumahnya dengan nada bicara yang tidak biasa kudengar.aku ada feeling kalau dia sedang tidak beres alias sedang punya masalah.tapi aku belum bisa menebak masalahnya apa. Mobilku sudah hampir memasuki rumahnya dari luar terlihat pagar rumahnya belum terkunci masih terbuka.aku makin penasaran ada apa sebenarnya yang terjadi dengan reina.tanpa basa basi lagi mobilku langsung memasuki halaman rumahnya.aku keluar mobil menuju keteras rumahnya.aku terkejut melihat dia yang terduduk dikursi teras rumahnya dengan muka dipenuhi air mata.melihatku yang sudah berdiri didepannya dia berdiri dan memelukku erat dan tangisannyapun makin menjadi Rendy... Iya,ada apa kamu yang tenang dulu cerita sama aku ada masalah apa? Gue gagal nikah ren? Kenapa? Kok bisa gagal Bayu ren bayuuu... Dia sudah meninggalkanku dengan perempuan lain Kamu tahu dari mana? Gue liat sendiri,hatiku sakit rendy nggak tahu harus aku apakan lagi biar bisa sembuh. Jujur hatiku sakit melihat dia menangis lepas seperti ini.aku adalah orang yang selalu berharap bisa memilikinya dan menjaga dia dengan sepenuh jiwa ragaku dan semampuku supaya dia bisa terus bahagia.seandainya saja aku diposisi bayu pasti reina tidak akan senangis ini malam ini sayangnya aku tidak pernah bisa ada diposisi bayu karena reina tidak pernah ada hati untukku yang didalam hatinya hanya ada bayu.coba saja kamu memberiku kesempatan untuk menjaga dan menyayangimu mungkin aku bisa membuatmu terus tersenyum walau mungkin kamu masih meneteskan air,tapi bukan air mata duka tapi air mata bahagia.aku janji dengan diriku sendiri kalau reina memberiku kesempatan untuk memiliki hatimu aku akan selalu ada untukmu kapanpun kamu membutuhkanku .begitu besarnya cinta loh untuk bayu sampai loh rela disakitin berkali-kali dan masih mau bertahan dan yang terakhir ini kamu benar-benar disakiti oleh bayu.dia berpaling dengan perempuan lain. kamu sakit hati menangis karena disakiti orang lain mengaduh sama aku.sementara aku sakit hati karena melihat kamu bersedih menangisi orang lain tidak tahu dengan siapa harus mengadu karena apapun yang terjadi denganku ceritanya dengan reina mau itu cerita sedih,senang semua cerita sama reina.mungkin tidak ada lagi tentang aku yang reina tidak tahu bahkan sampai hal yang sifatnya sangat privat pun dia tahu.tentang perempuan yang sudah aku tidurin berkali-kali tentangperempuan yang diam-diam aku sukai diapun tahu.tapi dia tidak tahu perempuan yang aku ceritakan dan aku rahasiakan namanya itu adalah dia sendiri,rendy kamu jadi mellow gini sih sadar ren sadar dia sudah jelas-jelas tidak bisa memberi loh bahagia loh masih saja mengharapkan dia kamu bodoh atau gimana sih,ya aku memang bodoh. bodoh karena masih bertahan mengharap seseorang yang dia sendiri tidak pernah mengharapkanku dan rela sakit hati namun tetap berakting sok tegar dengan tersenyum setiap berada didekatnya dan sok jadi pakar penasehat dan memberi solusi setiap dia menceritakan masalah dia dengan pacarnya.yanh sebenarnya jauh dari dalam hati sakitnya sudah seperti dibacok pedang dan ditusuk pakai anak panah.bagaimana baguskan aktingku yang kalau jadi pemain film mungkin aku sudah meraih pengharagaan FFI sebagai pemeran utama terbaik.reina kamu tahu tidak kalau sebenaranya sekarang kita sedang sama-sama bersedih.hanya saja kamu bersedih penyebabnya jelas.sementara aku sakit hati,bersedih,menangis tidak jelas penyebabnyapenyebabnya. Reina Bersama teman-teman aku bisa merasakan apa yang tidak bisa aku rasakan ketika bersama pacar.bisa tertawa bersama,bercanda,ngumpul ngopi-ngopi,mulai membicarakan hal penting sampai yang tidak penting semua dibahas diceritakan.dengan teman kita tidak akrab menemukan kata aku tersinggung,kamu mau manfaatin aku ya?,atau kok kamu tidak bisa menghargai banget sih,atau sampai ada aksi marah dan saling menjelekkan.bukan berarti pula kita tidak pernah salah paham dan tidak pernah marah ataupun bertengkar adu mulut.justru terkadang hal tersebut paling sering terjadi ketika bersama teman.namun yang namanya teman hal yang mungkin bisa buat tersinggung bisa dijadikan bercandaan.yang awalnya mungkin ingin marah jadi tidak marah.itulah hebatnya teman yang tidak bisa ditemukan pada siapapun kecuali teman. Mungkin ada yang namanya mantan teman tidak akan pernah ada yang namanya mantan temab ataupun mantan persahabatan.teman selalu ada dalam keadaan apapun.mau dalam keadaan senang,sedih,galau,laper,atau lagi tidak ada duit sekalipun.bahkan siap menbantu dalam situasi apapun.sementara pacar belum tentu sepenuhnya bisa ada buat kita.dia hadir hanya karena ada maunya saja dan akan pergi ketika yang dia mau sudah dia dapatkan.pacar sebulan dua bulan awal jadian dia masih siap standy kapanpun kita butuh bantuannya.belum ada kata penolakan,belum ada alasan yang bermunculan kata-kata yang keluar dari mulut masih siap sayang,tunggu ya.segera on the way.atau ada sayang butuh berapa? Kalau minjam duit. Ketika bersama teman tidak ada yang namanya malu,canggung,gugup.tidak ada yang namanya takut diejek,gengsi,takut dibilang norak,tidak cantik,tidak ada yang namanya akting makan pelan biar dibilang anggun,cantik dan mempesona.tidak ada yang namanya ritual dandan cantik sebelum pergi jalan yang terkadang pilih bajunya saja hampir semua baju yang ada didalam lemari dikeluarin dicoba sampai terkadang baju yang sudah mati zaman pun ikut dicoba belum lagi make upnya kalau belum bunuh waktu dua jam rasanya belum maksimal demi ingin kelihatan cantik didepan pacar. Dengan teman kita bebas melakukan apa saja,bebas pergi dengan siapapun tidak ada larangan atau cemburu.tanpa harus ngumpet dulu jika melewati tempat doi sering nongkrong.yang terkadang jika pergi dengan orang baru harus merubah penampilan gaya berpakaian,gaya rambut cara berjalan supaya aksi berbohong pergi diam-diamnya tidak ketahuan. Seperti aku sama rendy yang paling suka saling jahilin dan saling kepoin tentang pribadi maSing-masing.dia paling senang gangguin dan ngekedekin aku kalau habis kencan sama bayu.aku sudah bisa meramal bahwa hari ini aku bakal habis di ledekin sama rendy karena dia tahu aku baru jadian sama bayu dan semalam adalah kencan pertamaku sama bayu setelah seminggu aku jadian sama dia.sekarang aku lagi mikirin nanti rendy bakal ngeledekin apa ya.sebenarnya aku rada takut tapi penasaran gitu.takutnya ya dia nanya yang macam-macam penasarannya cara dia nanya dan ngeledekinnya. Bagiku punya sahabat seperti rendy ini adalah segalanya dia bisa jadi apa saja yang kumau.dia lucu,suka bercanda,dan mudah ketika dimintai bantuan.aduuhh aku jadi mikirin rendy sih.mungkin karena aku terlalu deg-deg an sama ledekannya nanti. Anak itu ada saja tingkah anehnya setiap kali bertemu.selama dimobil menuju kewarung kopi tempat kami sering nongkrong senyum-senyum sendiri.mendekati warung tongkrongan itu aku sudah melihat widya,radit dan rendy yang sudah tersenyum lebar kearahku.mereka juga kompak menyapaku selamat datang calon nyonya bayu hahha Apaan sih,resek deh.. Rendy paling dulu nyeletuk"ciyeee yang semalem habis kencan,ngpain aja ama pacar barunya? Radit nyeletuk juga"Ehmz yang pacar baru PJ dong hahha Widya nyeletuk juga"asyiiikk hari ini makan gratis kita kan biasa ritual rutin kita kalau ada yang jadian di geng kita gitu..... Kalian ma nyari kesempatan aja,suka banget sama yang gratisan loh juga dit pakai pajak jadian kayak mobil aja...ya uda deh karena gue lagi baik hati ditraktir deh. Rendy nyeletuk lagi"kok belum keluar ya kata-kata nanti pesannya yang murah aja budgetnya minim .. Apa sih rendy... Sebenarnya itu bukan ritual rutin,tapi untuk hiburan kalau ada yang jadian minta makan gratisan.karena sudah terbiasa ya bolehlah dianggap sebagai ritual rutin.kami ngobrol tentang masalah pekerjaan mereka,tentang usaha yang makin hari makin naik dan masalah pacar mereka.radit cerita kalau vina sering marah-marah karena banyak chat perempuan lain dihandphonennya dia.widya cerita kalau dia sudah mau diajak nikah sama pacarnya.tapi widya belum mau karena masih mau sendiri terus katanya masih terlalu mudah untuk nikah.katanya sih mau duluin kita dulu.rendy cerita kalau dia sering ribut sma pacarnya.katanya pacarnya keras kepala tidak mau mendengarkan saran rendy tapi minta selalu didengarkan omongannya dia. Mrnurutku pacarnya rendy salah masa minta didengarin dia saja,tapi tidak mau mendengarkan orang.aku juga kalau diposisi rendy pasti pusing juga. Kupikir setelah panjang lebar pembicaraan diantara kami rendy sudah lupa sama pembahasanku yang dia ngeledekin aku diawalnya.setelah habis pembahasan dia kembali lagi godain aku.ini slaha waitressnya juga lama ngantarin makanannya jadi ngelantur lagi ini anak. Ehh loh belum selesai ceritanya tadi,kemana aja semalem? Mulai ini godain lagi,nggak kemana-kemana? Ngapain aja loh sama bayu?? Nggak kemana-mana,nggk juga ngapain-ngapain,cuma makan uda itu pulang. Beneran cuma makan nggak yang lain.. Iya,emang mau ngapain lagi.ngeres mulu fikiran loh ren,kayak butuh dirukiya otak loh biar nggak ngeres mulu. Pasti loh diciumkan sama bayu..haha Tuh tuh kan fikirannya... Makanya jangan kebanyakan nonton vidio dewasa "widya nyeletuk Sembarangan aja loh wid,biar tampang gue gini hatinya masih kiyai dong.. "kayaknya ada yang cemburu nih,radit nyeletuk Aku tidak ngerti maksud celetukan radit barusan itu apa mkasudnya.siapa sebenarnya yang dia bilang cemburu.pasti radit ada maksud dengan jawaban yang baru dia katakan.radit tidak biasanya bicara seperti itu,kecuali kalau mereka sedang bawah pasangannya masing-masing untuk ngumpul.mungkin tujuannya untuk ngomporin pasangannya.sekarang tidak ada yang bawah pasangannya.radit tiba-tiba bicara nyelene.tapi ya sudahlah nantilah aku mikirin kata-kata radit itu sekarang bahagia dulu sama mereka.nanti pulangnlah aku japri radit mau nanyain langsung sama dia. Bicara seperti yang baru rendy ucakan barusan bagi orang lain mungkin sudah membuat tersinggung dan marah,tapu kalau digeng kami itu adalah biasa bahkan sudah jadi bercandaan sehari-hari setiap ngumpul.saat aku dan bayu selesai makan aku dan bayu memang langsung pulang tidak kemana-mana lagi.sebenarnya lamanya itu pass dijalannya karena kami pilih jalan yang lumayan jauh dari rumahku sekalian muter-muter ngelilingi kota jakarta lewat monas terus kepantai ancol,terakhir keliling dibundaran HI kemudian baru pulang.dan waktu dibundaran HI mobil kami terjebak macet kendaraanya padat untuk gerak saja susahnya minta ampun. hampir satu jam lebih mobil kami terjebak tidak bisa maju apa lagi mau mundur.aku betah berada di kota ibu kota negara ini.karena dikota ini tuh semuanya yang dicari ada.apapun itu mau cari makan zaman dulu,makan milenial makanan barat dan barang-barangnya juga gitu termasuk juga orang-orangnya.banyak orang dari luar daerah ibu kota negara ini yang mrmilih merantau kesini dan mengadu nasib berharap setelah bekerja di kota ini bisa merubah nasib krluarganya dan itu salah satunya aku yang juga mengadu nasib dikota jakarta ini. Sampai akhirnya aku mendapatkan apa yang kucita-citakan.dan bisa bertahan hidup dikota yang kehidupannya sangat keras ini.kalau tidak kerja tidak bisa makan,tidak bisa membawa diri dalam pergaulan kita dikucilkan.tidak ada uang tidak punya teman bahkan tidak dihargai.tapi aku senang semua orang yang tinggal disini pekerja keras.mampu memberi penghidupan untuk dirinya sendiri walaupun mungkin hanya bisa buat makan sore,dan makan besok cari dipagi harinya.dan satu hal saja yang aku benci dari kota ini macetnya.yang terkadang bikin istigfar berkali-kali dan sangat menguji kesabaran.namun kamu juga harus tahu bahwa suasana macet dan hiruk pikuk kota ini yang selalu kurindukan ketikaku sedang berada diluar luar kota. Lama ya macetnya.. Iya sih,bikin mood langsung turun.. Kok gitu sih,sabar Bayu melihat kearahku.aku memandanginya.dia tersenyum aku tertawa.deg-deg an-kok perasaanku jadi tidak karuan gini.untung aja suasana hati sedang bersahabat berada ditengah macet malam ini.jadi tidak terlalu risih dengan suasana macetnya.tiba-tiba aja tangannya menyentuh kepalaku.membelai rambutku.kayak gini juga ya rasanya yang kata orang kalau sedang jatuh cinta jadi lupa segalanya.dia mendekatiku dan menciumku.setelah sepuluh detik dia melepaskan ciumannya dan menggenggam tanganku Maaf ya aku kalau uda sayang,suka lupa diri.. Aku tersenyum dan mengangguk"oh iya,macetnya uda mulai lumayan nih.." oh,iya sampai nggak sadar.. sekarang aku benar-benar percaya bahwa cinta itu datang setelah tujuh hari jadian.dan puncaknya perasaan itu tumbuh setelah kencan pertama.mobil kami berjalan pelan beriring-iringan mobil yang ada didepan kami.jam 12 lewat baru sampai kerumah.sampai selarut ini dan tidak berasa menhabiskan waktu setengah malam dengan orang yang bisa bikin nyaman.senyaman itu kamu rein sampai pulang selarut ini.senyum-senyum sendiri tidak sadar waitressnya sudah ada didepan meja memberi bon makan kami.lihat total bonnya bikin kantong tidak bisa bernapas dua hari.radit sama widya menunjuk kearah rendy"tuh karung ambil bagian lebih"lagi-lagi temanku yang satu ini bikin ula.tersenyum kearahku sekali-kali lah bro,kan nggak tiap hari.mampus aku hari ini. Reina Reina Terkadang kepercayaan kita itu dimanfaatkan untuk kepentingan orang yang kita percaya.ada juga orang memang benar-benar ingin mengambil keuntungan diatas kepercayaan kita.sikap percaya dan niat baik kita itu sudah dianggap sebagai kelemahan.dan dia merasa sudah menemukan kelemahan itu pada diri kita.sehingga dia mengambil kesempatan diatas kelemahan kita untuk kepentingannya. Aku sudah percaya seratus persen pada bayu.dia tidak memberiku kabar,dia jarang menemuiku,dia sibuk keluar kota terus,dia jarang menyempatkan waktu untuk mengajakku keluar.bahkan akhir-akhir ini dia cuma memberiku kabar cuma satu minggu sekali.aku masih tetap percaya bahwa dia memang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya.walau mungkin sebenarnya dar dalam hatiku sudah merasa tidak nyaman,dan mulai menaruh curiga.wajarkan jika seorang perempuan mulai menaruh curiga pada pasangannya jika pasangannya sudah mulai menunjukkan sikap tidak perduli,sikap acuhnya hilangnya sikap perhatian yang selama ini selalu dia berikan pada kita. suatu kewajarankan kalau kita sebagai seorang perempuan menuntut kembali perhatian yang sudah mulai hilang dan bahkan sudah tidak ada lagi karena sejatinya perempuan itu hidupnya ingin selalu diperhatikan dan tidak mau tidak diperdulikan apa lagi kalau sampai diabaikan. perempuan itu baperan,semua pakai perasaan semua selalu masuk kedalam hati. coba kalian survey perempuan mana yang tahan berbulan-bulan tidak ditemui pasangannya dengan alasan sibuk dengan pekerjaannya padahal tinggal dalam satu kota.kalau difikir mustahilkan waktu satu haripun dia tidak punya untuk pasangannya.tidak harus satu hari mungkin untuk dia yang super sibuk bekerja cukup luangkan waktu satu jam untuk bertemu melepas perasaan rindu saling bercerita tentang pengalaman ketika sedang berjauhan supaya hubungan tetap awet .harusnya gitu kalau memang punya niat untuk menjaga hubungan supaya tetap awet. Tapi dia tidak melakukan itu semua menurutku dia memang tidak mau lagi menemuiku.karena mungkin pekerjaannya jauh lebih penting darpada aku atau lebih tepatnya dia memang sudah ada perempuan lain yang mungkin dia anggap lebih penting dari aku.jadi wajar kalau selama ini dia susah sekali untuk dihubungi,sudah tiga bulan terakhir ini tidak pernah menemuiku lagi.apa lagi mengajakku keluar. Coba kalian bayangkan bagaimana sakitnya ketika kita melihat orang yang sudah kita sayangi dengan sepenuh hati bahkan lebih dari kita menjaga diri kita sendiri dan sudah kita beri kepercayaan seratus persen tidak akan mengkhianati kita tiba-tiba harus melihat dia berkhianat.menggandeng perempuan lain didepan kita.dan itu bukan kata orang,bukan isu,bukan lewat media sosial tetapi melihat dia langsung dengan mata kepala kita sendiri.kebayangkan sakitnya seperti ditusuk pakai pedang dari dada tembus kepunggung belakang.dan sepertinya muka kita sudah seperti disiram pakai lumpur sehingga tidak ada harganya lagi.nah yang aku rasakan persis seperti itu. Aku melihat langsung bayu menggandeng perempuan lain didepanku.makan berdua disebuah restoran dengan sangat romantis saling pegang tangan,saling menatap dan saling senyuman.sementara aku terpaku diam dan berdiri lurus seperti tiang listrik dibelakangnya tidak dihiraukan sedikitpun.dia seolah tidak melihatku.dia tetap sibuk dengan makanannya dan saling memandangi dengan perempuan itu. yang menurutku saat itu dia lebih jahat dari penjahat yang suka membunuh dan merampas barang-barang orang. sesekali dia ada menatapku dengan wajah yang menurutku sedikitpun sudah tidak ada lagi perasaan cintanya. karena terlihat jelas mukanya menampakkan muka yang sudah menjadi orang asing. Aku menggelengkan kepala ketika melihat dia memandangiku yang ada didepannya dan dibelakang kursi perempuan yang dia gandeng .setelah beberapa detik melihat kearahku fokus pandangannya kembali keperempuan yang ada didepannya.karena hampir perempuan itu juga mau menoleh kebelakang.mungkin perempuan itu melihat ekspresi wajahnya ketika memandang kearahku.paling perempuan itu bertanya melihat apa bebs atau siapa bebs tidak akan jauh-jauh dari kata itu. Rasanya aku ingin melepas sepatuku melemparnya kemuka bayu dan menjambak-jambak rambut perempuan itu sampai dia sadar dan mengakui kalau bayu itu punyaku bukan punya dia.terus mau bilang loh punya perasaan nggak sih,bagaimana kalau loh diposisiku dan melihat pacar loh berduaan dengan perempuan lain.sementara loh selama ini bela-belain buat jaga perasaan pacar loh jangan sampai terluka.bahkan ada orang yang ingin dekatpun loh tolak demi menjaga perasaannya.dan sekarang loh melihat laki-laki yang sangat loh jaga perasaannya itu bersama perempuan lain.tanpa ada penyebab ataupun masalahnya.brengsek nggak. brengsek dong. Kalau loh bilang itu brengsek dan menyakitkan artinya gue juga sama sakit woy..tanpa terasa air mataku sudah jatuh membasahi pipiku dan menetes dibaju dan ditanganku.hatiku sakit tuhaaaaan..aku memilih untuk pergi dari tempat itu tidak ada gunanya lagi aku bertahan lama ditempat yang menurutku sudah seperti neraka sangat menyiksa perasaanku. sebelum aku pergi aku menatap wajah bayu sekali lagi untuk terakhir kalinya.untuk merekam bentuk wajahnya yang sudah mengkhianatiku. Bayu coba kamu melihat kearahku dan tatap mataku dalam-dalam jangan berkedip untuk beberapa detik.kamu akan tahu dan bisa melihat nanti bahwa aku selama ini tulus menyayangimu.dimataku terpancar perasaan sayangku sama kamu bayu.apa kamu bisa melihatnya.aku berharap kamu bisa melihatnya bayu.setidaknya kalau kamu tidak bisa melihatnya kamu bisa merasakannya bahwa aku tulus sayang sama kamu.ada impian impian bahagia yang terpancar dari mataku bayu.harapanku juga besar sama kamu. Dulu aku tidak pernah percaya bahwa ada akan orang yang bisa membuatku yakin kalau cinta itu ada.seiring berjalannya waktu dengan segala kesendirianku kamupun datang meyakinkan ketidakpercayaanku itu menjadi percaya.kamu meyakinkan bahwa cinta itu memang benar-benar ada bukan hanya kata semata. Seharusnya duduk didepan kamu sekarang bukan dia tapi aku.yang kamu pegang tangannya itu bukan tangan perempuan itu tapi tanganku.saling berpandangan,saling balas senyum dan tawa itu bukan sama dia tapi sama aku,aku yu.mengapa perempuan itu yang harus merasakab itu semua.ini tidak ada untuk kita bayu.kamu ingat tidak waktu dulu waktu pertama kalu kita jadian kena macet dibundaran HI kamu bilang sama aku kalau kita tidak akan saling meninggalkan dalam masalah apapun .jika ada masalah kita akan selesaikan baik-baik dan dihadapi sama-sama.waktu itu cara kamu mengatakan itu sama aku persis seperti kamu dengan perempuan ini sekarang.kamu memandang iku dan menggenggam tanganku dengan kedua tanganmu.sambil tersenyum kamu mengatakan janji itu. Dan sekarang kita sama-sama tidak punya masalah.kamu meninggalkanku kemana janji itu,mengapa kenyataannya berbanding terbalik dengan yang terjadi. Aku membalikkan badan sambil mengentakkan kaki kelantai pergi meninggalkan tempat yang rasa sudah seperti neraka itu.apakah dia melihatku atau tidak aku tahu.aku hanya melangkah keluar menuju mobilku.yang terparkir tepat didepan restoran.rasanya aku ingin menancapkan pedal gas dan ngegas mobilku dengan kecepatan yang paling kencang.mungkin inilah satu-satunya cara yang bisa buatku tenang.kalau besok aku sudah berkabar tidak bernyawa lagi aku akan lebih tenang setidaknya aku tidak bisa lagi menyaksikan dia bersama perempuan itu dan merasakan sakit hati yang amat sangat sakit ini setiap kali melihat dia. Dalam kondisiku yang boleh dikatakan sudah hampir gila ini ada satu hal yang mampu membuatku sadar dan terus hidup.dan dalam hitungan detik dalam sekejap mata bisa membuatku membatalkan segala rencana dan niat burukku.setiap kali aku teringat akan hal itu semua kesakitan lumpuh dan semangat yang tumbuh dan menggebu.bagiku dia adalah penghibur dan pemberi tawa untukku dalam setiap suasanaku.dia adalah yang paling aku rindukan setiap aku sedang berada diluar kota. dan karena dia juga selalu berada diluar kota merinndukan suasana rumah ingin cepat-cepat pukang. tingkah manjanya,lucu,gemes dan jahilnya dia. dan kalau aku dirumah tidak mau mandi kalau tidak aku yang mandikan. tidak mau makan kalau bukan aku yang nyuapin. tidak mau tidur kalau tidak aku yang nina bobok in. "tenang ya sayang superheromu ini akan selalu ada buat kamu" aku menggumam dalam hati. Rendy Reina muter-muter didepanku sambil menangis air matanya penuh membasahi pipinya. mengepas-ngepaskan rambutnya. aku tidak ngerti maksudnya reina berputar-putar didepanku sekarang.aku hanya diam termangu sambil memperhatikan dia yang bagiku sudah seperti supermodel yang sedang ikut fashion show untuk mempromosikan fashion yang sedang dia kenakan. dia seperti menari-nari yang terkadang mengangkat baju tidurnya dan mengembangkannya didepanku. Gue cantikkan rend... Cantik.. Coba loh perhatikan apa yang kurang dari gue,cantik uda,tajir iya,baik uda pasti oke.. Bagi gue loh tidak ada kekurangannya.. Terus kenapa bayu lebih memilih perempuan itu dibandinkan aku.. Sekarang aku baru nyambung mengapa reina berputar-putar didepanku tadi.ternyata dia hanya minta dilihat sama aku tentang penampilan dirinya.dan minta pendapat sama aku.reina loh tidak perlu minta pendapat dengan bertanya seperti itu bagiku loh sudah cantik reina,mau loh baru bangun tidur,belum mandi tidak make up,dasteran,rambut gulung-gulung sendal swallow loh tetap cantik dan gue tetap suka sama loh.urusan bayu yang lebih memilih perempuan mungkin matanya sudah rusak. Kalian pernah tidak merasa nyaman dengan seseorang,setiap kali kita bersama dia selalu lupa waktu.bahkan rasanya ingin terus ada didekatnya.dan terkadang disuatu waktu kita juga pernah merasa gugup melakukan seperti selalu salah.dan kalau dia sedang merasa tersakiti kita juga merasa sakit hati.merasa cumburu kalau dia dia menceritakan orang lain apa lagi orang yang dia ceritakan adalah orang yang dia suka atau memang punya hubungan spesial.coba aja sekali-kali yang loh ceritakan,banggakan, kepada teman loh ini bukan dia reina? Dipuji dari ujung rambutnya sampai keujung kakinya dan seperti tidak ada kurangnya lagi bagi kamu.yang kalau kamu menceritakannya selalu dengan raut muka yang bahagia. kita juga rela membiarkan diri kita seperti tempat pelariannya.setiap kali dia sedang sedih nangis,marah,kesal melampiaskannya selalu sama kita. Padahal kita bukan siapa-siapanya dia melainkan hanya teman tidak lebih daripada itu Kita berpura-pura tegar dan tetap tersenyum padahal jauh didalam hati sebenarnya kita yang lebih tersakiti dan tertindas.karena kita merasa tertindas setiap dia marah-marah,kesal kita bisa membalas alasannya kita temannya dia sama siapa lagi dia mau mengadukan segala yang membenak dihatinya kalau bukan sama kita.dan merasa sakitnya kalau dia terus-terusan menceritakan orang lain sementara kita adalah orang yang juga berharap lebih sama dia. Terkadang disatu sisi aku merasa serba salah.mau memutuskan untuk menjauh rasanya tidak bisa karena perasaan ingin terus bersamanya lebih besar.mau balas memarahi dia balik kalau dia lagi marah tidak mampu karena hati lebih menerima kemarahannya daripada membalasnya.bagiku jatuh cinta itu perihal yang rumit apa lagi kalau kita jatuh cinta sama orang yang memang tidak pernah punya perasaan sama kita. Rendy Setengah sepuluh malam aku kerumah reina minta ditemanin cari makan keluar.aku mau ngajak pacarku dia masih lembur kerja .malam minggu dirumah dirumah bukan gue banget. Walaupun tidak kencan sama pacar setidaknya tidak merem dirumah tinggal kayak ayam yang lagi ngeramin telur,gue sudah punya kali dari dulu tapi sayangnya nggak netas-netas hehehe bagian ini cut,anggap nggak pernah ada. jangan sampai kena kutukan anak zaman sekarang yang katanya setiap malam minggu siap-siap menggulung badan disudut ruangan atau pura-pura tidur sambil meluk erat bantal guling biar rasanya kayak peluk pacar. atau pura-pura sibuk sama handphone biar dibilang lagi chatting sama pacar tidak tahunya cuma buka WA scroll layar dari atas kebawah,balik keatas lagi terus liat snapchat teman yang yang senang bahagia sama pasangannya. lari ke instagram kepoin kepoin postingan orang. Atau siap-siap berpakaian rapi biar dikata mau pergi jalan padahal tidak kemana-mana. setelah jam 8 malam mulai menyiapkan strategi baru buat berakting pura-pura kesal karena yang diajak janjian untuk pergi membatalkan janji. Awalnya aku tidak terlalu memikirkan malam ini malam minggu atau bukan.cuma malam ini cacing diperutku pada rewel semua.lihat makanan didapur tidak ada yang menarik selera.mau pesan makanan lewat ojek go-jek sampainya pasti lama.aku sudah tahu ritual jalan kalau malam minggu sudah pasti padat buat gerak aja susah.sementara makanan seleraku malam ini harus melewati macet itu.kalau pesan sekarang jam berapa sampainya.cacing diperutku sudah keburu demo.ada baiknya kalau aku keluar sendiri aja.sekalian ikut-ikutan macet.biar tidak terasa sepi aku ngajak reina lebih baik biar rame. Rein,gue didepan rumah loh sekarang Ngapain??? Keluar yuk,temanin gue cari makan Cari makan..??oke2 siap tunggu ya aku kebawah. Reinan paling senang kalau sudah diajak makan.dia tipe orang yang boleh dikatakan doyan banget makan.dan bersyukurnya tuhan masih berbaik hati sama dia walaupun makannya banyak terkadang jam makannya tidak teratur,tengah malam,bangun tidur pagi badannya tetap tidak berubah.tetap langsing.aku pernah nanya sama dia apa rahasia makan banyak tapi tidak gemuk.dia bilang kalau habis makan langsung dikeluarkan lagi ketoilet.biarkan nasinya cuma numpang lewat untuk mendiamkan cacing-cacing yang pada demo.aku tidak terlalu percaya dia orangnya suka bercanda.dia makan sama aku sudah tidak terhitung lagi berapa kali.setiap habis makan tidak pernah dia cari toilet atau nanya toilet ada dimana.memang porsi tubuh memang sudah seperti itu. Yuk,cuss kita.. Loh gini aja dandannya Iya,kenapa?? Jelek gini..mau pergi sama aku,kita mau makan direstoran mahal lagi bukan diwarteg,dasteran sendal jepit rambut gulung.tahu nggak tampilan loh sekarang itu kayak ibu-ibu yang habis ditinggal nikah lagi sama suaminya.tidak cocok sama dandanan gue yang sudah keren kayak gini.. Loh keren tapi nggak mandikan? Mending gue dasteran tapi mandi.. Tapi nggak keliatan kan tampang nggak mandinya,ya uda cepat ganti baju make up sana,biar gue temanin dan pilihkan baju yang cocok buat loh.. Sebenarnya ini adalah pertama kalinya aku masuk kedalam kamarnya reina setelah hampir 6 tahun umur pertemanan kami.kalau naik kelantai atasnya sudah sering bahkan sudah sampai kelantai yang paling atas yang kalau dia nyebutnya rooftop tempat untuk kumpul-kumpul sama teman keluarga kalau lagi ada acara ngumpulnya disana. Kalian bisa bayangin bagaimana kamarnya reina yang tampilannya sehari-harinya selalu sederhana tidak pernah berlebihan.selalu setia sama celana jeans dan t-shirtnya reina ini kamar apa istana sih besar dan mewah banget.kalau aku tidak nyebutnya kamar lagi tapi sudah boleh dibilang seperti istana raja dan ratu,semua barang yang ada didalam kamarnya itu tidak ada produk local semuanya import dar luar.warnanya yang dominan gold jadi serasa seperti di istana raja ratu.luas dan semua barang pernak perniknya juga di inport dari luar. Aku sempat nanya beberapa barang yang ada dikamarnya. dengar harganya kalian pasti tidak percaya. tidak perlu disebutlah ya harganya berapa takutnya nanti kalian tidak percaya atau jadi berfikir aku mau pamer barang-barangnya reina. tapi kalian pikir aja diakan seorang pengusaha muda yang lagi naik daun dan usahanya sedang naiknya sekarang. Reina Koleksi pakaian loh cuma ini rein?? Iya,kenapa ?? Loh nggak ada dress,atau baju yang panjang apa itu namanya,yang sering kalau kepesta panjangnya nyapu tanah itu. Punya sih tapi nggak sebanyak perempuan lain.yang harus punya tempat khusus buatnya nyimpannya. Loh nggak suka pakai baju yang keperempuan banget gitu.. Suka...cuma aku kan jarang banget pakainya kecuali kepesta aku nggak pakai Aku memang tidak terlalu banyak koleksi dress,gamis,dan baju yang dalam panjangnya sampai mata kaki.aku lebih banyak koleksi jeans,t-shirt blouse,karena cuma tiga item ini yang paling sering aku pakai kalau mau keluar rumah.beda kalau lagi dirumah tidak kemana-mana pakainya daster kalau mau tidur pakainya piyama tidur. skirt,kemeja,sama blezer buat ngantor sama sneakers buat kalau lagi mau pergi keluar kota. Aku mikirnya mau kemana koleksi dress banyak-banyak,dipakainya pun jarang paling pakainya keacara kawinan teman satu tahun sekali.paling sering 6 bulan sekali atau ada acara dinner.selebihnya cuma jadi penjaga lemari sampai usang didalam lemari.setiap tahun modelnya ganti.kalau sudah ketinggalan modelnya sudah pasti tidak enak dipakai. Nggak mungkinkan aku pakai dress panjang pergi hangout keluar ngumpul sama teman-teman.yang ada jadi bahan tertawa mereka apa lagi kalau ngumpulnya sama widya,rendy sama radit sudah pasti aku dibuli habis-habisan. Dan tidak mungkin juga aku pergi kewisata seperti wisata lembang di bandung,pantai anyer ditangerang,dufan,atau kemonas dengan mengenakan baju panjang kan kelihatannya tidak lucu.beda halnya kalau aku selebrity yang hampir setiap minggu,setiap bulan bahkan setiap hari pekerjaannya tidak jauh dari mengenakan dress.apa lagi kalau mau menghadiri acara resmi seperti malam puncak penghargaan aktris dan aktor terbaik,film terbaik,sutradara terbaik dan masih banyak lagi acara yang lainnya kalau mau disebutkan satu persatu tidak akan cukup satu halaman tulisanku ini. Sedangkan aku apa,tidak akan menghadiri acara seperti itu,karena aku bukan artis tapi pengusaha yang aku butuhkan cuma jass,blezer,rok mini formal/semi formal,sepatu fantopel,kemeja. Yang mungkin aku akan hadir kalau ada acara stasiun televisi yang membuat acara penghargaan patah hati sedunia.mungkin inilah nama acara yang paling cocok untuk suasana hatiku yang sekarang sedang hambur adur tidak tahu bagaimana bentuknya.aku memang sedang patah hati.aku bisa memenangkan penghargaannya sebagai kategori penghianatan tersadis.iya tersadis,karena penghianatan itu terjadi tepat didepan mataku dan parahnya aku seperti dianggap tidak pernah ada.atau sejak saat itu dia sudah memutuskan untuk amnesia dan lupa akan aku semua hal yang berhubungan denganku bahkan mungkin dia juga sudah lupa sama peristiwa ciuman pertama setelah tujuh hari dia nyatakan cinta dan aku menerima dia sebagai pacarku aku.ketika bertemu denganku dia bisa bersikap acuh seperti orang asing yang belum pernah bertemu sebelumnya. Ren,loh kanapa liatin gue gitu?? gue perhatikan loh dari ngomel,marahnya sama siapa tidak jelas.. Iya apa ? gue ngomel apa?? Penghianatan tersadis apa tadi,pokoknya gitulah..masih belum bisa move on sama bayu ? Uda bisa tapi belum sepenuhnya. Belum move on namanya,ini loh pakai ini aja ya malam ini soalnya selama kenal loh gue nyaris tidak pernah liat loh pakai baju kayak begini.. Ok... Rendy menyuruhku pakai baju yang berbeda dari baju yang sering kupakai biasanya.dia menyuruh pakai bluse putih tangan pendek,sama rok jeans blue.rendy juga memilihkan sepatu sama tasnya.dia masuk kedalam kamar tempat aku menyimpan sepatu sama tas.dia memilih sepatu hak warna hitam sama tasnya juga warna hitam.dia juga memintaku untuk keriting ujung rambutku dan dandan cantik namun tetap natural.dari baju,tas,sepatu sampai wangi parfum dia yang memilihkan sebenarnya aku bingung dia mau minta ditemanin cari makan atau ngajak kencan sih wanginya tidak alay tidak terlalu menyengat.aku menyuruh rendy keluar duku dari kamarku.aku mau ganti baju.setelah satu jam didalam kamar aku keluar dan memanggil dia untuk melihat penampilanku.rendy tersenyum dan mengangkat kedua jempolnya.aku langsung nyambung kalau itu adalah kode,bahwa dandananku oke dan siap untuk pergi keluar. Rendy Loh sekarang lagi mimpi sambil berdiri atau gimana,coba deh cubit tangan loh dan tampar muka loh,kalau terasa sakit berarti sekarang sedang tidak bermimpi dab memang sedang melihat bidadari.secantik inikah loh reina.tuhan apakah masih banyak stoknya perempuan secantik ini.kenapa cuma satu ini yang diciptakan dan dipertemukan denganku.kamu cantik reina sangat cantik,senyum loh yang manis badan mungil matanya bulat sipit mukanya menggemaskan.bagiku malam ini reina adalah perempuan paling cantik sekota jakarta ini.tidak ada yang menandinginya.pujaan hatiku malam ini benar-benar membuatku makin jatuh cinta,membuatku lupa segalanya dan membuatku serasa seperti berada dialam mimpi. Malam ini terasa indah sekali.aku tidak menyangka kalau malam ini aku bisa sebahagia ini.yang niat keluarnya cari makan dan ingin ikut-ikutan macet dijalani.kebahagiaan ini datang secara tidak terencana.aku cuma bengong melihat dia yang berdiri didepanku didepanku dengan rambut panjangnya yang dia ikal dengan tangan dipinggangnya satu sudah seperti model kelas dunia.dia berjalan mendekatiku.rasanya jantungku berdebar sangat kencang.kalau sekarang ada alat pendeteksi detak jantung boleh dikatakan jantungku sudah berdetak diata rata-rata. Bau parfumnya yang lembut,membuatku tidak sabar ingin memeluknya dan lipstiknya berwarna orange cerah membuatku tidak tahan ingin menciumnya.dia yang selama ini dandan biasa saja bahkan nyari tidak pernah style aku sudah jatuh cinta setengah mati.apa lagi sekarang melihat dia berpenampilan sangat berbeda dari biasanya,lebih cantik dari biasanya tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaanku sekarang.dan malam ini perempuan cantik pujaan hatiku ini bersamaku malam ini. Jangan berfikir yang aneh-aneh ya.jangankan mau yang aneh,dia duduk disampingku sekarang aja geroginya setengah mati.hilang fokusku nyetir melihat kearah jalan.inginnya melihat kearah dia terus.aku tidak bisa nyetir dengan kecepatan melebihi 40 km/menit.biasanya aku kalau nyetir kalau belum jarum ampernya menyentuh angka 80km paling minimal dan maksimalnya diatas 100km belum bisa berhenti nekan pedal gasnya. "Kenapa malam ini loh bawah mobil pelan banget,nggak biasanya loh bawah mobil pelan gini??" Aku cuma diam reina nanya seperti ini.rein bagaimana aku mau nyetir dengan kecepatan tinggi,tanganku yang pegang setir saja tidak bisa dikondisikan.gemetar terus dadaku tidak bisa berhenti berdebar dari tadi.dari pertama kali masuk mobil.loh enak tidak merasakan apa yang aku rasakan jadi bisa tenang sementara aku fikiran kemana,fokus pandangan kemana.semua terasa seperti campur aduk antara bagia gerogi dan benci. Bahagianya karena aku malam ini bisa pergi berduet dengan perempuan cantik yang sudah lama aku puja dan aku idamkan.geroginya aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain diam melihat kecantikannya malam ini kalau dia bertanya hanya menjawab"iya,mungkin,nggak".bencinya aky tidak suka dia selalu menceritakan bayu pacarnya.segitu cinta kamu sama dia sampai sudah putuspun masih terus mengingat dia menceritakan tentang dia.coba sekali saja kalau sedang bersamaku tidak menceritakan mantan kamu dulu.aku tahu aku tahu kamu sangat mencintai dia.sekali saja fokus pembicaraan kamu itu tentang kita berdua,jangan menceritakan orang lain dulu.ini adalah salah satu cita-citaku yang ingin banget diwujudkan oleh kamu. Ingin pelan aja perasaan gue lagi nggak enak Jangan bilang gerogi duduk disamping gue,karena gue cantik malam ini,tapi tenang loh jangan gerogi gue nggak suka sama hahaha... Ini nih yang paling gue nggak suka reina dia kalau bercanda suka kelewatan.suka membuat mood langsung turun.aku tahu dia memang tidak pernah ada perasaan ke aku tapi jangan terang-terangan begini juga bilangnya.coba sekali-sekali ucapan kamu itu yang membangkitkan semangatku,pura-pura sayang,walaupun cuma cuma pura-pura setidaknya aku bisa sedikit bahagia.loh membuatku jadi putus harapan padahal malam ini aku sudah bahagia.boleh dibilang malam ini aku adalah laki-laki tolol yang akhirnya bisa sejujurnya dari hati merasakan bahagia.walaupun orang yang membuat dia bahagia tidak merasakan bahagia atau tidak merasakan apa-apa. Reina Aku merasakan ada yang aneh dan beda dari sikap rendy sama aku.dia sepanjang jalan dia nyetir tidak ada pembicaraan yang hangat sama dia.setiap aku bertanya jawabnya singkat tidak seperti biasanya kata yang tidak bermakna jadi pembicaraan heboh.mukanya terlihat tegang seperti orang sedang menahan gerogi dan persis seperti ada yang sedang dia sembunyikan . Ren,loh kanapa diam aja dari tadi?? Nggak kok Gue ngajak bicara loh jawabnya singkat gitu,apa loh nggak suka dandanan gue Suka,loh cantik Terus kenapa loh beda banget,nggak kayak biasanya. Loh tuh bisa nggak sih sekali aja nggak ceritain bayu kalau lagi sama aku.terkadang aku juga ingin diperhatikan sama kamu. Maksud loh..?? Nggak ada maksud apa-apa,maaf yang barusan aku lagi nggak enak badan. Aku mulai curiga dengan jawaban yang baru dia katakan.aku yakin banget kalau yang baru dia katakan itu serius tidak sedang bercanda. Ada apa dengan rendy.kenapa dia tiba-tiba berubah.apa mungkin rendy diam-diam suka sama aku.tidak mungkinlah aku ini mikir apa sih ingat reina itu sahabat baik kamu.jangan hancurkan persahabatan kamu dengan perasaan yang datang tidak jelas itu.rendy kan punya pacar. Aku tanya sama dia dia masih apa nggak sama pacarnya,jawabnya masih. Apa mungkin tadi aku ada salah bicara yang menyinggung perasaan dia.ucapan aku yang mana yang menyinggung dia.rasanya aku ceritanya tertata rapi kata-katanyapun tidak ada yang ekstrim masa dia semudah itu tersinggung.aku tahu rendy dia bukan orang yang mudah tersinggung dia bukan tipe orang yang semua omongan langsung dimasukkan kehati.biasanya kalau bercanda kata-kata kasar bahkan bukan hal yang seharusnya dijadikan bercandaan lagi.tetap saja dia tidak tersinggung.aku jadi serba salah mau bicara takut memperkeruh suasana mau tetap diam makin membuat penasaran. Aku baru ingat beberapa minggu yang lalu aku pernah ingin japri radit ada yang mau aku tanyakan sama dia.tapu aku lupa. Coba aku japri radit. Dit loh dimana ?? WA radit tidak aktif aku baru ingat kalau malam ini malam minggu radit pergi kencan sama vina pacarnya.lagian ini juga sudah malam sudah hampir jam 11 malam kurang 7 menit. Mobil rendy berhenti didepan restoran aku melepas seatbeltku dan mengambil tas."kita makan disini ren. Dia tidak menjawab cuma menganggukan kepala.kami berjalan kedalam,aku meraih tangan rendy dan menggandengnya. Masuk kedalam restoran memilih tempat dilantai satu.selain suasananya bagus juga bisa melihat langsung keluar restoran.karena restorannya juga tepat berada dipinggir jalan bisa melihat lampu mobil motor lewat,waitress datang menawarkan menu makanan dan minuman rendy pilih nasi pecel ayam sama bandrek aku nasi goreng telur sama juice vokad,restoran ini memang terlihat mewah setiap orang yang melihatnya pasti berfikir untuk makan disini butuh budget yang cukup lumayan menguras kantong.makanan yang dijualpun tidak mungkin makanan warteg tapu kalau kalian berfikiran itu,pasti salah karena tidak seperti yang kalian fikirkan disini semuanya murah tidak ada harga yang bikin mikir dulu untuk pesan makanan nanti duitku cukup nggak untuk membayarnya,disini makanan khas indonesia tidak ada yang namanya makan barat.ini aku bisa rekomendasikan buat kalian yang pencipta makanan khas indonesia disini tempat,aku uda kayak bintang iklan aja promosiin tempat ini semua orang sudah tahu kali. Tapi apakah semua orang juga tahu kalau ditempat ini ada kenangan yang tersembunyi.ada kenangan yang memang belum sepenuhnya bisa kulupakan.entahlah aku mencoba menghentikan memori ingatanku yang mulai risih mengulik kembali tentang kenangan itu.aku kembali memfokuskan ingatanku kepada rendy yang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya ini.walau mungkin sesekali aku masih sering menoleh ketempat duduk bersejarah itu. sambil menungguh pesanan makanan datang aku masih menggoda rendy untuk bicara.dan syukurnya bisa digoda untuk bicara dan diajak bercerita walaupun ceritanya tidak seseru biasanya.setidaknya dia tidak diam seperti patung hidup lagi.karena sudah ada suaranya.syukur akhirnya dia bicara juga. Rendy Aku tahu reina sedang menggodaku untuk mengajakku bicara.sedang berusaha membuat cerita lucu supaya aku bisa tertawa.ini kebetulan atau gimana sih nomor meja kita sama dengan umurku 27. Aku cuma diam dan memperhatikan dia yang sejak dari dalam mobil sampai duduk dimeja ini dia tidak kehabisan cara untuk menggodaku yang akhir berhasil juga membuatku bicara. Mungkin ini adalah salah satu hal yang kusenangi juga dari reina dia tidak mudah menyerah begitu saja.dia selalu punya cara untuk orang yang didekatnya senang.aku mendiami reina bukan karena aku marah tapi aku menyadari kalau salah sudah membentak dia.sekarang hal yang paling aku takutkan adalah aku takut kalau dua marah dan menjauhiku.aku cuma berharap raut mukanya yang sekarang memang gambaran dari suasana hatinya memang sedang senang.bukan buatan hanya bertahan sampai diantar pulang kerumahnya lagi. Dulu reina pernah cerita sama aku kalau dia pernah berakting senang didepan seorang laki-laki yang sedang mengajak dia pergi kencan.ceritanya persis seperti apa aku lupa bahkan nama laki-laki itupun aku juga sudah lupa.sudah lama juga reina menceritakannya sama aku.laki-laki itu pernah menyinggung perasaannya yang membuat dia tersinggung dan merasa tidak nyaman selama pergi dengan laki-laki itu. Dia menahan emosinya.pura-pura senang dan menampakkan wajah bahagia.kalian tahu tidak alasannya kenapa dia tidak menampakkanperasaan kesal sama wajah marahnya selama dengan laki-laki itu.dia takut ditinggalkan ditengah jalan dan tidak diantar pulang. Jangan sampai kamu juga menggunakan jurus itu sama aku reina.sebenarnyabtadinya aku memang kesal sama dia,yang setiap bertemu denganku selalu menceritakan bayu dan membanggakan dia.aku juga heran mengapa aku sampai membentak dia.tidak seharusnya aku marah ketika dia menceritakan bayu.sudah sewajarnya aku sebagai sahabat dekatnya mendengarkan cerita dia dan keluhan dia tentang bayu. Hatiku tidak bisa menerima.hatiku sakit aku cemburu reina. Reina Reina Sepanjang makan meja tempat kami hening tidak ada suara cerita,gelak tawa,saling ledek,atau suara rein loh mau cicip makanan gue atau rendy ini kalau mau cicip makanan aku enak nih.tidak ada adegan saling cicip makanan.makanan tiba di meja langsung mengambil menu masing-terus disantap.rendy kok malam ini kita kayak gini sih,nggak seru tahu,yang ada hanyalah suara sendok sama garpu yang kepentok kepiring dan suara pengunjung restoran itu,suara anak kecil yang menangis marah sama ibunya karena dilarang berantakin kursi.semua terasa sepi.sesekali aku dan rendy hanya saling menatap kemudian fokus lagi pada makanan yang kami makan malam itu. Besar sekali harapanku malam itu rendy bisa kembali lagi seperti biasanya bukan diam seperti sekarang.aku sedang berusaha mengalihkan fokus fikiranku pada meja bernomor 26 itu.satu-satunya cara supaya aku tidak mengingat lagi memori meja 26 itu ya ngobrol sama rendy.tidak bisa dipungkiri juga rendy diam seribu bahasa. malam ini kedua kalinya aku kembali ketempat ini dengan orang yang berbeda.dan memilih tempat duduk yang berbeda pula tempat duduk yang kami pilih tepat didekat kaca yang membuat kami bisa langsung melihat keluar dan menikmati suasana diluar yang bisa melihat langsung kejalan.udara malam ini sangat segar,dinginnya tidak terlalu menusuk ketulang bagiku suhu udaranya malam ini sudah sangat fast untuk suasana hatiku yang sekarang.angin yang berhembus kewajahku juga rendy teras segar seakan aku berada didekat pantai dan serasa membawa ketenangan tersendiri. Tidak ada yang berubah dengan tempat ini suasananya,bentuk mejanya,tatahan barang-barangnya.lampunya semua masih sama.ada satu saja yang berbeda yaitu pengunjungnya.kalau kemarin dia datang dengan orang yang paling dia cintai sekarang dia datang dengan sahabatnya yang malam ini hening tanpa kata tanpa tahu penyebabnya. Meja kecil yang hanya cukup untuk dua orang dan tempatnya tepat disampingku malam ini kosong tidak ada yang duduk ataupun makan disana.padahal pengunjung rame.bagiku meja nomor 26 ini adalah meja paling romantis karena semua yang ada disana secara tidak disengaja entah memang disengaja sudah berpasangan.satu pasang tempat sendok dan garpu satu pasang kursi,sepasang botol saos dan kecap sepasang gelas air putih,satu cerek air putih,satu tempat sambel bakso dan satu meja.dan waktu itu yang duduk disana juga sepasang kekasih yang baru jadian dan ingin mengucap janji sehidup semati disana. Meja itu menjadi saksi bisu dari janji yang dia katakan akan mengenalkan sama oranf tuanya.tidak meninggalkan dengan yang lain tujuannya membangun hubungan untuk menikah dan menata masa depan bukan untuk main-main lagi.dan tidak akan pernah saling meninggalkan mau sebesar apapun masalahnya.yang dulu jus vokad yang menjadi saksi pemanis hubunganku dengan dia malam inu kembali kupesan namun rasanya beda,tidak semanis waktu dulu aku pesannya sama dia.sekarang jus vokad ini rasanya pahit. Apa karena pengaruh perasaanku yang sedang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ini atau memang jambunya yang kurang matang. "Ini,tisu".rendy memberikan tisu "Oh iya,bayu makasih Tidak sadar kalau ternyata air mataku sudah mengalir dipipiku.bayu aku rindu sama kamu,kamu tega bangat sama aku.kamu masih ingat nggak dulu kamu pernah ngucap janji di restoran ini.kenapa kamu yang mengucapkan janji itu kamu juga yang mengingkari. Aku benar-masuk kembali kedalam kenangan masa laluku.aku belum sepenuhnya bisa melupakan kamu bayu.mungkin sudah bisa menghilangkan aku dari memori ingatanmu.sudah bisa tertawa tanpa menanggung perasaaan sakit.kamu kan ninggalin bukan ditinggalin. Setelah memberiku rendy beranjak kursinya berjalan menuju kasir. Mungkin sudah membayar bon makanan yang kami pesan.aku melihat piringnya yang makanannya masih setengah lagi.tidak biasanya rendy makan bersisa.apa lagi kalau dia lagi kelaparan.sudah pasti semua menu yang dia pesan ludes terkadang sampai minta makananku.sekarang jangankan mau ngerecokin makananku yang dia tidak habis.ada apa sih sebenarnya sama kamu rendy.kenapa semua harus jadi beban fikiranku. Pulang yuk.. Makanan loh nggak dihabiskan dulu Uda kenyang,.. Rendy Selama didalam mobil tidak ada saut mulut sedikitpun antara aku dan reina.aku sibuk sama setir mobilku sedangnkan reina sibuk handphonennya dan tisu yang aku kasih waktu meja makan tadi.dia seperti mengetik panjang tapi pesan itu akan dia kirim untuk siapa aku tidak tahu. Mau melihat ke layar hp nya tidak bisa jelas karena posisiku sedang nyetir dan kecepatannya pun lumayan tinggi.malam jalan memang sepi jadi bisa bawah mobil dengan kecepatan tinggi.jadi tidak kesampaian cita-citaku keluar untuk menikmati macet malam ini.pulang sudah larut malam jam 12 malam lewat. Aku masih menyimpan pertanyaan besar apa yang sebenarnya membuat reina jadi menangis ketika dimeja makan.dia terlihat seperti ada yang dia pikirkan.apa mungkin dia menangis karena aku membentak dia.dan tidak memperdulikan setiap kali dia mengajak aku bicara.aku sebenarnya masih tetap ingin menetapkan untuk tetap tidak perduli sama dia sampai aku mengantarnya kerumah.aku tidak bisa melihat air mata yang bening itu keluar dari mata yang cantik seperti putri arab itu.apa lagi sampai membasahi pipinya.hatiku selalu sakit kalau melihat dia bersedih.aku tidak bisa menahan diri untuk tetap keras pada pendirianku yang ingin tetap tidak perduli. Reina,kalau loh manangis gara-gara gue membentak loh,aku minta maaf reina.gue berharap banget setelah aku ngantar loh pulang kerumah-loh tidak membenci gue. Dadaku masih tetap berdebar meskipun suasana didalM mobilku ini sedang tegang.rasa gerogiku sedikitpun belum menghilang.aku berusaha mengajak dia bicara supaya suasana tidak tegang.tadi aku yang diam tidak bisa bicara sedikitpun dia menggodaku untuk mau bicara dan dia berhasil.sekarang giliran aku untuk membuat cerita supaya dia tidak diam lagi. Aku tidak bisa bicara duluan.mulutku terasa berat untuk mengeluarkan kata.berkali-kali aku mencoba untuk mengajak dia bercerita.aku menoleh kearah dia yang fokus kedepan terkadang handphonenya.terkadang dia terlihat seperti gelisah"loh sudah nggak beta ya rein,duduk disebelahku sabar ya sebentar lagi sampai,laki-laki yang loh anggap sahabat terbaik loh ini memang pantas menerima hukuman ini,loh bolah marah sama gue rein tapi gue berharap loh tidak membenci gue. Aku bisa merasakan kalau sekarang dia sedang menoleh kearahku dan memandangi dengan tatapan tajam.reina loh mau marahkan sama gue.marah aja rein marah.gratis kok tidak bayar.loh mau tampar muka gue kan silakan tampar kalau itu bisa membuat loh bisa memaafkan gue.aku rela rein.atau loh mau ngomel-ngomel sama gue karena gue sudah membentak loh.silakan reina gue siap mendengarkan omelan loh.mungkin ini bisa jadi sejarah juga bagi gue,pertama kali diomelin sama orang yang paling gue sayang.yang selalu gue banggakan pada diri gue sendiri bahwa suatu hari dia akan menjadi milikku. Se-PEDE aku merasa bisa memiliku loh rein.walau nanti gue tidak bisa miliki loh setidaknya gue sudah pernah melihat loh menangis karena gue,walaupun ini harus menjadi yang pertama dan terakhir aku bisa bersama kamu.air mata loh malam ini sangat berarti untuk gue rein.baru malam ini juga ada perempuan yang paling gue sayangi menangisi gue.dan melihat loh marah sama gue. Mobilku perlahan memasuki halaman rumah reina. "berhenti didepan teras gue aja ya" "iya rein.. Akhirnya pujaan hatiku bicara terima kasih tuhan.aku berhenti tepat didepan terasnya.dia membuak seatbeltnya membuka pintu tanpa bicara apa-apa lagi.dia menuju teras rumahnya langsung masuk rumah tanpa menghiraukan aku lagi. Loh nggak nawarin gue buat mampir dulu kerumah loh" main dulu ren kerumah,nantu aku suruh ART-ku bikinin loh bandrek.ini ritual rutin loh setiap gue ngantar loh pulang.kenapa malam ini ritual itu hilang rein.biarpun loh sudah masuk kedalam rumah loh entah mungkin sekarang sudah tidur lelap sama bantal guling loh yang imut itu gue pamit ya mau pulang.hati-hati ya rendy nyetirny jangan ngebut-ngebut"kata-kata yang sering loh ucapan sama gue setiap gue mau pulang ini malam ini gue ucapkan sendiri.dan kuanggap itu loh yang ngucapin.walaupun cara mengucapkannya tidak selembut ucapan loh,rendy jangan sampai loh buat kesalahan lagi.malam ini loh sudah bikin orang yang loh sayang menangis. Reina Aku ada rencana japri radit ngubungi dia ngajak dia ketemu.dan untungnya haru ini radit ada dirumahnya dan tidak kemana-mana sekalian weekend bisa keluar juga.dan untungnya juga radit weekend ini tidak holiday sama vina. "dit hari ini loh kemana? "nggak kemana-mana? "kita ketemu ya,dicafe tempat biasa kita ngobrol "ada rein, "bahas tentang ada apanya ntar aja nunggu uda dicafe aja.pokonya penting bnget.loh jemput gue lagi malas nyetis.hehehe "ok.. Baru setengaj jam setelah aku chat-mobil radit uda nongol aja dihalaman rumahku.dia melambaikan tangannya kearahku memberi isyarat untuk langsung aja dia nggak mau mampir lagi kerumahku. "rein,duduk didepan aja.. "nggak apa-apa ya "iyalah,loh kayak baru kenal aja sama gue.. Sebenarnya aku bukan sungkan sama raditnya tapi lebih suka sendiri.bisa lebih tenang.biasanya kalau sama radit sering minta buka kaca mobil sama radit "dit kacanya buka setengah nggak apa-apa ya, "buka aja.. Dan hari ini aku juga melakukan hal yang sama kalau aku sudah melakukan ritual buka kaca mobil setengah .radit langsung bisa menebak suasana hatiku sekarang. Dia tersenyum aja melihat kearahku.aku membalas senyumnya sambil mendorong punggungnya"apaan senyum-senyum nggak jelas" Aku kembali memalingkan mukaku kearah kaca mobil.rasanya hatiku terasa tenang.mukaku yang ditiup angin jalan membawa ketenangan batin tersendiri.serasa lepas semua problemaku.radit juga bawah mobilnya memilih jalur yang jauh jadi sampainya lumayan lama.radit memang sudah bisa menebak aku sedang punya masalah tapi dia tidak bisa menebak jenis masalah yang membalutku sekarang. "gimana lebih tenang sekarang" aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Sekarang aku lebih memasrakan semuanya pada takdir yang sudah tuhan gariskan untukku saja.aku hanya menjalani sampai dimana batas mampuku menjalani dan menanggung.sepertinya nasibku memang sudah digariskan untuk bahagia berbalut penderitaan.jadi wajar jika dari luarnya aku terlihat bahagia.namun dalamnya aku menderita.banyak beban yang membenak dibatinku.yang harus tetap aky pikul walaupun aku sudah tidak kuat lagi untuk memikulnya.hal wajar jika aku suka bertingkah aneh. "butuh tisu,rein"radit memberikan kotak tisunya "ternyata loh bisa romantis juga dit,"aku meraih kotak tisunya "iya dong,makanya menilai dari tampilan doang,liat juga dalamnya paling romantis sedunia tepat sekota jakarta.karena sekarang lagi dijakarta.hahaha "loh ma bercanda terus.dari dulu sampai sekarang nggak berubah. Bercandaan radit yang terjadi hanya sekilas atau kalau dihitung pakai timer cuma berdurasi sepuluh detik tadi bisa sedikit menghilangkan kesedihanku.dan membuatku tertawa.punya sahabat seperti radit ini suatu keberuntungan bagiku.tidak semua orang bisa mempunyai teman segila dan sekocak dia.apapun yang keluar dari mulutnya sudah pasti diujungnya ada unsur bercandanya.lihat saja yang barusan dia katakan awalnya seperti serius tapi diakhirnya bikin serius hilang dan digantikan dengan tertawa. Mobil radit sudah memasuki halaman cafe tujuan kami.radit memarkirkan mobilnya aku menunggu radit diloby.sambil menunggu radit parkir aku membuka hansphoneku melihat pesan yang masuk.tidak ada hal yang membuatku semangat membuka hp kalau dulu ingin cepat-cepat membuka hp karena sudah pasti ada pesan yang masuk mengucapkan "selamat siang sayang,jangan lupa makan siangnya ya,atau kamu sekarang lagi dimana? Atau Aku rindu lihat wajah kamu pap dong " Sekarang buka hp pesan yang masuk cuma dari ART-ku mau bilangin bu pulsa listrik habis,bu uang belanja sayur uda habis bu ada tamu mau ketemu ibu. Atau chatting dari adekku "kak,minta uang buat bayar uang semester kuliah,mau praktek,mau bayar study banding atau minta duit mau ke mall nonton sama teman.aky hanya scroll layar hp dari bawah keatas atas kebawah sampai hafal nama-nama siapa saja yang masih ada dikontak masukku.termasuk juga nama kontak dia.hanya chatingnya yang masih tersisa selebihnya sudah tidak ada termasuk kontaknya sudah aku hapus dari WA,instagram,facebook sudah ku blokir. Radit tiba diloby mengejutkanku dari belakang.masih kepo ya sama mantannya.aku tersenyum menarik tangannya masuk kedalam cafe.aku memilih tempat duduk radit pergi kekasir pesan minuman sama makanan. "loh pesan apa ? Radit chating aku.baru mau balas sudah pesan gambar yang masuk dari chatting radit.aku membuka gambarnya.astagaaaa radit ada-ada kelakuannya.dia poto menu makanan sama minumannya.dibawag gambar"mohon cepat dan nggak pakai lama ya,takut banyak yang naksir" aku membalas pakai emoticon jempol dan senyum Aku pesan jus vokad sama spageti aglio olio.siap bu bos hehehe Setelah pesan makanan radit kembali kemeja.dia senyum-senyum melihat kearahku.loh lucu ya hari ini mata loh bengkak kayak gitu buat loh spontan kayak orang cina.aku sih cuma tersenyum masa mata bengkak dibilang mirip orang cina.dia nyeletuk lagi 'tapi orang cina yang gagal produksi'.baru nyambung sekarang kalau dia sedang ngeledekin aku. Rein,loh mau cerita apa sih ? Gini Dulukan waktu gue yang baru-baru bnget jadian sama bayu.kalian minta traktir gue diwarung kopi dekat kantornya rendy.loh pernah nyeletuk"ada yang cemburu nih,pokoknya kayak gitulah.waktu rendy habis nyeletukin gue ngapain sama bayu?.sebenarnya siapa yang loh maksud cemburu itu? Oh,itu ada deh pokoknya,aku nggak bisa bilang sama loh dan uda janji juga. Loh gitu ya sama gue,sejak kapan loh main rahasia sama gue. Jangan marah dulu,oke gue kasih tahu tapi loh janji sama gue setelah gue kasih tahu ini loh tetap berpura-pura tidak tahu meskipun loh sudah tahu.. Ok,siap gue janji.. Sebenarnya rendy itu ada hati sama loh,sudah lama dia suka sama loh. Ternyata dugaanku tidak melenceng sangat tepat.rendy memang benar-benar suka sama aku.wajar saja setiap aky menceritakan bayu sama dia-selalu sikapnya aneh dan seperti tidak suka. Reina Habis makan spageti itu perutku terasa sakit sekali,perih,mual,ingin muntah. Rasanya dia kembali kambuh lagi.perut tolong dikondisikan jangan kumat dulu dong.aku merabah tasku,mencari botol obatku.rasanya selama merabah kedalam tasku jari jemariku tidak merasakan adanya botol obat didalam tasku.aku baru ingat kalau botol obatku masih keletakkan diatas tempat tidurku.tuhan aku lupa membawa botol obatku,tertinggal diatas tempat tidurku. berharap tidak ada yang masuk kamarku dan menemukan botol obatku.aku khawatir kalau adikku si bontot yang masuk kamarku.dia tidak tahu isi dari botol itu,aku takut kalau botol obatku itu dia jadikan mainannya dan dia bawah keluar kamar,kalau sibontot yang menemukan tidak ada masalah tapi aku takut kalau adikku dila atau ibukku yang menemukannya.sudah pasti dia tahu itu obat sakit apa,sudah pasti juga penyamaranku berpura-pura tidak ada ada-apa selama ini akan terbongkar semua.aku menyembunyikan tentang penyakitku ini kepada keluargaku tujuannya supaya mereka tidak khawatir dan ikut merasakan juga penderitaan yang kurasakan ketika menahan rasa sakitku ini. si bontot paling suka masuk kamarku dia tertidur main.terkadang dia memang sengaja nunggu aku pulang.minta dimandikan,dinina bobokkan. Mukaku sudah mulai berkeringat kepalaku mulai pusing,dan seluruh anggota tubuhku gemetaran.aku mengajak radit untuk pulang, "kita pulang sekarang ya dit.. "kenapa,nggak biasanya loh cepat pulang.. Radit reina teman kamu ini bukan reina yang dulu,masih sehat reina yang bisa kamu aja pergi berjam-jam bahkan seharian.sekarang sudah beda,teman kamu ini sudah punya keterbatasan semua berbatas,dari aktivitas,makanana,perjalanan sampai waktu tidur.tidak bisa lagi seperti dulu makanan apa saja dihajar.diajak pergi kemana saja selalu bisa,tidak tidur samalaman tidak masalah.karena belum ada yang membatasi. Disituasi yang sekarang ini aku cuma berharap sama tuhan supaya tetap dikuatkan dan tetap terlihat tidak ada apa-apa didepan radit aku tidak mau radit tahu tentang rahasia penyakitku ini.aku tidak mau sakitku ini membebani banyak orang biarlah aku sendiri yang menanggung bebannya jangan sampai orang-orang disekitarku juga terkena efeknya merasa khawatir dan ketakutan .sebenarnya untuk berjalan ke mobil saja aku sudah tidak mampu.sakit perutku akan semakin bertambah sakit jika dibawah berjalan apa lagi sekarang aku paku sepatu hak.maunya jika sakitnya mulai kambuh langsung ditidurkan,diam dan tidak banyak aktivitas "dit aku gandeng loh,pacar loh nggak marah kn "gandeng aja,kayak loh baru aja . Sebenarnya bukan karena ingin terlihat romantis didepan banyak orang terutams pengunjung yang sedang makan siang di restoran ini,aku menggandeng radit berjalan keluar karena sudah tidak kuat untuk berjalan,menggandeng radit hanya untuk tumpuhan supaya tidak terjatuh.karena kondisiku sudah tidak mampu untuk berjalan.reina kamu harus kuat,kamu bisa berjalan keluar sana.kamu jangan jatuh ya. "dit,jalannya pelan aja biar romantis.. "oke,siap.. Maafkan sahabat kamu yang pembohong ini dit.aku memandangi radit sebenarnya bukan supaya romantis cuma supaya kaki tetap bisa berjalan sempurna.kalau aku terjatuh dengan menggandeng radit pasti semua orang tidak akan mengira aku sedang sakit tapi kalau aku terjatuh tidak menggandeng radit sudah pasti orang akan memvonisku pingsan dan sakit. ,kalau sekarang kamu tahu aku sedang berbohong apakah mungkin kamu masih mau jadi sahabat baikku dit.apa kamu masih mau menganggap aku ini sahabat kamu.kalau kamu tahu kondisiku yang sebenarnya apa kamu tidak akan menjauhiku. Sekarang hidupku benar-benar dipenuhi dengan rasa ketakutan.takut kalau aku akan diasingkan dan dijauhi oleh sahabatku.takut tidak bisa membuat orang yang kusayangi tersenyum.takut esok hari aku tidak bisa lagi menyaksikan matahari menyinari kota jakarta ini.dan menikmati macetnya jalanan dikota jakarta ini. Aku hampir saja terjatuh ketika mau masuk kedalam mobil.radit kaget-dia menarikku dan menuntunku masuk mobil. 'loh nggak apa-apakan? Jangan terlalu dijadikan beban fikiran. Aku tidak lagi memikirkan tentang masalah itu dit,sekarang aku sedang memikirkan bagaimana caranya supaya aku tetap bisa bertahan hidup tanpa harus menyusahkan orang lain tanpa harus menyusahkan loh,rendy dan widya juga keluargaku.aku sedang memikirkan bagaimana caranya tetap bisa terlihat tegar didepan kamu dan juga teman-teman kita.makin lama rasa sakitku makin tidak tertahan .perjalanan menuju kerumah masih jauh ditambah macet juga dijalan.rasanya perutku melilit.aku memegang perutku dengan kedua tanganku sambil menekannya,menggigit bibir dan akhirnya aku menjerit didalam mobil radit. Rein loh kanapa? Perutku..perutku sakit banget diiitt.. Kita kerumah sakit yah Nggak mau,tidak ada guna aku kesana paling besok gue juga bakal nggak dit.. Kok bicaranya gitu.. Iya,karena gue sudah tahu dit Dari mana ? Siapa yang ngasih tahu.. kedokter..bawah aku pulang dit.. Pokoknya loh harus kerumah sakit sekarang,gue yang bakal bawah loh kerumah sakit. Aku terus mendesak supaya radit tidak membawaku kerumah sakit aku sudah tidak mau lagi bertemu dengan orang yang ada disana.berada disana bukan membuatku tenang melainkan membuatku makin ketakutan.seakan semua yang ada disana akan mencabut nyawaku dan membuatku cepat mati.aku menarik tangan radit dan berusaha membelokkan setirnya yang sedang berjalan menuju rumah sakit. "dit gue mohon hentikan niat loh membawa gue kerumah sakit. "loh harus sembuh,harus berobat.. "aku nggak mau disuntik,.. "sssttt,..percaya sama aku loh nggak akan disuntik,kalau loh memang tidak mau disuntik setidaknya loh dapat obat.. "berhenti dit..gue bilang berhenti.. "gue ini sahabat loh,gue sayang sama loh sudah lebih dari apapun.diam loh disitu.. Aku tahu dit kamu sayang sama aku,kamu ingin menolongku.tapi percuma dit apapun yang kamu lakukan hasilnya tetap saja aku akan mati.sakitku ini sudah tidak ada obatnya lagi.selain pasrah dan menunggu kapan waktunya akan tiba.mobil radit memasuki halaman rumah sakit.aku memandangi rumah sakit ini.apakah mungkin nasib terakhirku nanti akan berakhir disini.atau aku akan selamat dan menikmati hidup lebih panjang lagi disini. Dulu sewaktu aku masih berumur 8 tahun masih duduk dibangku sekolah dasar aku bercita-cita ingin jadi dokter supaya meolong orang yang sakit.awalnya aku ingin jadi dokter karena aku menemani ibuku kerumah sakit karena ada saudaraku yang masuk rumah sakit karena kecelakaan.dan saudaraku itu lama sekali menunggu untuk mendapatkan perawatab dari pegawai rumah sakitnya.aku bilang sama ibuku "coba aja,kalau reina yang jadi dokternya pasti sudah reina obatin,tanpa harus menunggu lama. "ibuku bilang sama aku nanti kalau kamu besar kamu jadi dokter biar bisa nolongin orang. Sekarang aku sudah besar.aku tidak menjadi dokter bahkan aku takut untuk menjadi dokter.jangakan untuk jadi dokter bertemu dengan dokterpun aku takut.radit mengajakku turun.aku sudah tidak mampu berjalan.dia menggendongku masuk kedalam rumah sakit sampai keruangan dokter.dia mencarikan aku perawat supaya aku bisa mendapatkan perawatan.dan mencari dokter untuk memeriksa kondisiku.dia pamit keluar sebentar entah kemana.selang beberapa menit dia kembali lagi bersama seorang dokter,yang sudah tidak asing lagi bagiku.karena setiap kali aku periksa dia yang memeriksa dan menanganiku.radit membawanya kepadaku. Dok,ini dia temanku tolong segera ditangani Ini teman kamu,mari mbak reina.. Radit mencengang melihat dokter itu sudah tahu namaku.dia hanya diam dan menuntunku masuk kedalam ruangan untuk diperiksa. Dokter menyuruh radit untuk menunggu diluar selama aku diperiksa sama dokter.setelah kurang lebih lima menit aku selesai diperiksa dokter memanggil radit kedalam memberikan selembar kertas resep obatku menyuruh rsdit menebus obatnya di apotik.radit keluar lagi menebus obatnya dan membayar uang administrasi. Sebelum radit kembali lagi,aku bilang sama dokternya agar tidak memberitahu radit tentang sakit yang aku derita.radit kembali lagi membawa obat dan tanda pelunasan biaya administrasi.radit bertanya tantang sakitku. "dokter sahabatku sakit apa,?? "dia cuma sakit biasa,kacapek an aja.dokter tersenyum sambil melihat kearahku.aku juga tersenyum melihat kearahnya.dokter mengalihkan pembicaraannya dan menyarankan kepadaku supaya obatnya segera dimakan.'siap dokter'aku mengangkat jempolku.aku mencari cara supaya cepat keluar dari ruangan itu dan radit tidak bertanya lebih jauh lagi.aku mengajak radit pulang. Reina Hari-hariku sekarang selalu dipenuhi dengan obat,obat dan obat.pagi,siang,malam selalu obat.benda yang bentuknya bermacam-macam ini ada yang berbentuk bulat,panjang,segitiga dan berbentuk kapsul selalu menjadi temanku dan malaikat penyelamatku ketika aku sudah mulai kembali sekarat.berapa lama lagi hidupku akan bertahan diselamatkan benda ajaib ciptaan tangan manusia ini. Ada yang berwarna putih,hijau setengah putih setengah hijau.semua berbeda namun tetap saja rasanya tidak enak dan pahit. Aku membuka lemariku pakaianku dan membuka lacinya.disana tersimpan botol bekas obatku dan sisa tablet obat yang tidak habis aku makan.aku mengumpulkan bekas botol obatku itu sejak aku sudah mendapat vonis dari dokter waktu itu.tujuannya sangat simple aku hanya ingin tahu berapa botol aku menghabiskan obat sampai dihari terakhirku nanti.dan sekarang kurang lebih aku sudah mengumpulkan 9 botol bekas obat.aku menatap botol obatku itu satu persatu-satu.sambil berfikir aku masih bisa bernapas sampai hari ini karena botol-botol ini.kalian hebat semua.bisa membuat orang bertahan hidup walau mungkin dalam keadaan sangat singkat.mungkin kalian adalah benda yang sangat dibenci namun sangat dibutuhkan ketika keadaan darurat dan dicari jika tidak ada.namun hebatnya kalian tetap saja setia tidak menuntut untuk menghilang,pergi ataupun marah walaupun kalian dicari ketika sedang dibutukan saja dan dibuang ketika sudah tidak dibutuhkan. Aku bisa belajar banyak hal dari botol bekas ini.salah satunya adalah tentang menolong tidak harus ada imbalan,tidak harus untuk orang yang kita kasihi dan yang lebih penting kita tidak boleh balas dendam walaupun kita sudah sakiti sesakiti apapun itu.sewaktu waktu orang yang membuat kita sakit dan tidak perduli itu akan datang juga sama kita untuk minta pertolongan. Didalam lemari itu masih menyimpan surat kecil dari bayu yang dia kasih ketika aku berulang tahun tahun lalu.aku membuka membaca kembali suratnya. Dear reina kekasihku Maaf dihari ulang tahunmu ini aku tidak bisa ada didekatmu.ketika hari ulang tahunmu tiba aku masih berada diluar kota.kamu jangan sedih ya,walaupun aku tidak disampingmu aku masih tetap ingat tentang hari bahagiamu ini hari yang paling bersejarah didalam perjalanan hidupmu. Doaku yang terbaik untukmu semoga kamu bisa menjadi lebih dewasa lagi,tetap bisa menjadi kebanggaan keluargamu,tetap mandiri,sabar,rendah hati dan pastinya tetap sayang sama aku.semoga kamu senang ya sama bonekanya. Selamat ulang tahun ya,semoga segala kebaikan selalu berpihak kepadamu dan segala keburukan dijauhkan. I love you Kekasihmu Bayu Surat ini ku terima tepat dihari ulang tahunku dia mengirimkan surat ini bersama dengan sebuah boneka beruang berwarna merah.dia tahu kalau aku begitu menyukai warna merah.sesekali aku masih sering mengingat dia dan masih sering bertanya-tanya bagaimana kabarnya sekarang.setelah perpisahan itu tidak pernah ada lagi komunikasi antara aku dan dia.sampai sekarang aku masih menyimpan barang-barang pemberian darinya.termasuk surat kecil ini.surat kecil ini masih kusimpan rapi didalam lemariku dan satu lagi yang masih kusimpan sampai sekarang pesan chattingnya,meskipun aku sudah memblokir kontaknya pesannya tetap masih tersimpan rapi di handphoneku belum ada satupun chat dari dia yang aku hapus.dari chatting pertama perkenalan kami sampai yang terakhir chatting beakhirnya hubungan kami.aku menjadikan pesan itu sebagai obat ketika aku merindukan dia.ketika perasaan rinduku mulai melanda biasanya aku membaca ulang pesan-pesan dia. Bayu ternyata dulu kita pernah bahagia ya,dan aku pernah merasa sebahagia itu sama kamu.ternyata dulu kita pernah tertawa lepas hanya karena hal-hal konyol dan berantem cuma gara-gara rebutan tempat duduk. Ternyata dulu hubungan kita seseru itu.kita juga pernah sedekat denyut nadi kita dan saling membutuhkan seperti simbiosis mutualisme saling menguntungkan satu sama lain. Aku memandangi suratnya itu lama,malam ini aku rindu sekali sama kamu bayu,apa mungkin sekarang kamu juga sedang merindukanku dari kejauhan sana,apa mungkin kamu sama sepertiku sedang mengingat kembali tentang kenangan kita dulu,aku masih berharap kamu merasakan hal yang sama denganku bayu.nanti kamu akan tahu bayu kenapa aku lebih memilih mengakhiri hubungan kita daripada mempertahankannya.aku punya dua alasan ketika memilih memutuskan meninggalkanmu.yang pertama aku sudah terlalu sakit dan terlanjur kecewa kedua aku tidak akan bisa mewujudkan impianmu menjadi pendampingmu sampai kepelaminan biru dan menemanimu mendengarkan khutbah pernikahan dari KUA.yang dulu kita membayangkannya suka tertawa sendiri.langsung merasa malu sendiri saling dorong kepala.aku dorong kepala kamu dan menarik tanganku.meraih kepalaku dengan tanganmu dan mencium tengkukku.terus dulu kamu bilang mau bertanya pak pembaca khutbahnya bagaimana cara ML sama istri yang rusuh dan suka rewel tepat kayak kamu.waktu kamu mengatakan ini aku cuma tertawa dan bilang,matikan lampu tarik selimut merem.kamu jawab lagi terus langsung deh ehm..ehm.. Rasanya itu semua seperti mimpi.terjadi hanya sekilas.sisanya hanyalah linangan air mata. Ada tidak sih alat pembunuh kenangan paling ampuh didunia ini. Supaya kenangan itu itu balik lagi dan bisa seutuhnya pergi. Jangan sampai hanya pergi sebentar dan kemudian kembali lagi.aku sudah lelah tenggelam dalam kenangan. Hari-hariku selalu dipenuhi dengan mengingat kenangan tidak ada kegiatan lain kamu rein selain mengingat dan mengungkit kenangan itu. Kamu tidak bisa memikir bagaimana caranya supaya sisa hidup kamu bisa selalu dipenuhi dengan kebahagiaan bersama orang yang kamu sayangi. Kamu tidak punya keinginan untuk buat acara kumpul keluarga,makan bersama untuk menyambut hari-hari terakhir kamu ini. Membuat mereka yang selama ini selalu mensupport kamu untuk terus tegar itu tidak ada ruginya. Cuma keluarga yang bisa bikin hidup kamu tidak berakting dan paling jujur selebihnya isinya sudah berpura-pura. Berilah mereka ingatan ketika nanti kamu sudah tidak ada mereka mengingatmu dengan penuh tawa bukan diselimuti kedukaan dan linangan air mata.kamupun yang menyaksikan mereka dari atas sana nanti akan merasakan bahagia juga. Aku kembali tersadar ketika aku mendengar ada suara kecil,halus dan menggemaskan memanggilku dari depan pintu kamar. Reina Kak..kak..kak.. Puk puk puk Suara kecil itu memanggilku dan tangan mungilnya menepuk pintu kamarku. Suara kecil yang memanggilku itu tidak akan berhenti dan tangannya menepuk pintu kamarku pun juga tidak akan berhenti sampai aku membuka pintu kamar.terdengar dari luar dia berteriak kak kita main petak umpen,kak rein jaga aku sembunyi. Aku suka ngerjain dia dulu.kakak nggak mau main,kak rein capek. Aaaahhh suaranya sudah kayak bunyi knalpot motor mau nangis tapi tidak mau nangis. Main petak umpet itu adalah salah satu ritual adikku arya yang lebih sering aku memanggilnya bontot karena dia paling bungsu dari 3 bersaudara aku anak paling tua yang kedua dila sekarang masih menempuh pendidikan UI (universitas indonesia) yang ada dibandung. UI Adalah salah satu kampus terbesar dan terbaik yang dimiliki indonesia. Aku sangat bersyukur karena dila bisa lulus jalur undangan masuk kuliah disana. Kuliah di UI adalah salah satu impianku waktu aku masih SMA dulu tapi itu tidak kesampaian karena faktor ekonomi keluarga yang mengharuskanku untuk menghentikan niatku untuk kuliah dan memutuskan untuk mencari kerja dan akhirnya aku bekerja disalah satu perusahaan yang bergerak dibidang retail. Hampir kurang lebih lima tahun aku mengabdikan diri bekerja disana. Hingga akhirnya aku punya modal untuk buka usaha sendiri. Karena sebesar apapun gaji yang kita terima kalau masih bekerja dengan orang tetap saja hidup kita berada diujung tunjuk orang dan selalu berada dibawah tekanan. tidak bisa melakukan apapun. semua yang dilakukan harus sesuai perintah. kalu tidak mengikuti aturan kena sanksi. sesuai dengan aturan yang dilanggar. jika telat potong gaji,jika melakukan kesalahan dapat SP9surat peringatan) jika tiga kali mendapat SP maka akan diskorsing. jika masih melanggar di PHK (pemutusan hubungan kerja) / dipecat. Dan yang ketiga arya adikku yang paling kecil sekarang baru berumur 3 tahun jalan 4 tahun. Sebenarnya ada satu rahasia besar dibalik kehadiran arya ini.tapi aku tidak akan menceritakannya aku takut nanti ini akan membuat dia sakit hati,stress karena tidak percaya dengan peristiwa itu. Takut nanti dia besar dia membaca buku ini. Lebih baik tidak perlu kuceritakan demi keamanan kedua belah pihak. Pihak pembaca kalian semuanya dan pihak penulis aku sebagai sumber ceritanya. apapun status awalnya arya adalah bagian dari keluargaku dan aku sangat menyayangi dia. Sekarang kita kembali lagi saja kecerita sibontot yang mengajak main petak umpet tidak perlu penasaran pada asal usul cerita yang melatar belakangi kehadiran sibontot.nanti jika memang ada kesempatan aku akan menceritakan cerita sibontot ini. Dia setiap kali aku dirumah ritualnya selalu ngajak main petak umpet,main kejar-kejaran dan saling kagetkan ditempat persembunyian. Mungkin menurutku ini adalah momen yang tepat untukku tertawa bahagia lagi dan melepaskan segala beban fikiranku yang memikirkan masa lalu dan masa depan yang sudah diambang-ambang. Aku membuka pintu kamarku pelan-pelan supaya bisa mengejutkan dia dari balik pintu. "baaaa... "hahahaha..kaaakkk.. Dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar kamar dan mengajakku suit yang menang sembunyi yang kalah jaga. Kak rein kalah,kakak jaga adek sembunyi,jangan liat ya, oke siap ..aku menutup mata ketembok. Sebelum sembunyi dia mengintip mataku dulu memastikan aku menutup mata. Dia berlari kebelakang sofa,kak rein hitung ya hitungan ketiga sembunyi ya. Satu dua tiga. Aku pura-pura mencari dia supaya dia tegang. Aku lewat dibelakangnya pura-pura tidak melihat supaya dia panik. Aku menperhatikan dia yang serius bermainnya. Aku berhenti mencari dia. Ada apa yang sedang berjalan difikiranku air mataku tidak tertahan mau keluar. Aku membayangkan bagaimana kalau esok hari aku tidak bisa melihat wajah lucunya,mendengar gelak tawanya yang terkadang menjerit menyaksikannya lari-lari didalam rumah,naik turun tangga hanya karena ingin dikejar. Dan minta buatkan nasi goreng telur dadar,minta dimandikan Mendengar suara risihnya mengganggu kalau aku lagi sholat. Biasanya dia juga ngikutin gerakan aku sholat walau terkadang gerakannya masih hambur adul dan kalau sedang baca surat alfatihah dia suka berdiri tepat didepanku dan memperhatikan gerak mulutku yang sedang membaca surat-surat pendek. Entah apa Yang ada didalam fikirannya ketika melihat mulutku komat kamit membaca surat-surat pendek. Terkadang kalau aku habis sholat dia memperagakan bagaimana gerakanku dan gerak bibirku yang terkadang membuatku tertawa. Mungkin menurut dia mulutku hanya digerakkan tanpa ada bacaannya. Memang benar kata orang kalau anak-anak sedang berada pada tiga sampai empat tahun dia berada pada usia tiruan. dia lebih cenderung menirukan orang yang dekat dengan dia dan paling bersama dengan dia dan segala hal yang membuatnya senang sehingga hal itu membuat dia berulang-ulang memperagakannya sampai dia benar-benar hafal. dia paling sering menirukanku. Apa yang aku lakukan pasti dia tiru. Aku kembali tersadar dalam lamunanku. Ketika tangan kecil itu kembali meraih tanganku dan menarik tanganku. Mulut mungilnya kembali bersuara horeeee..aku menang kak rein kalah lagi. Aku cepat mengusap air mataku dan mencoba untuk tersenyum. Iya kak rein kalah lagi.. Dia mengajakku main kejar-kejaran. Iya dek kakak siap nemanin walaupun kakak sudah tidak kuat untuk banyak bergerak. Apapun yang bisa kamu senang kakak pasti turutin. Reina sekarang tenaga kamu sudah kalah sams tenaga anak umur 3 tahun berlari dikit kamu sudah mau nyerah. Rasanya aku sudah sempoyongan seperti sudah mau jatuh kelantai ngajar dia yang menurutku sesuai dengan kondisiku yang sekarang kekuatannya berlari sudah seperti anak singa tidak ada kata lelahnya. Daya tahan tubuhku mulai turun,tubuhku mulai berkeringat dingin dan perutku sakitnya mulai kambuh padahal aku ingin tetap bermain sama bontot. Aku berhenti sejenak melihat dia yang sudah jauh larinya. Sambil berteriak- teriak kak ayo kak kejar dedek,. Iya dek sesekalu aku menjawab dia meneriaki aku dari sudut kamarku yeee kak rein kalah,tidak bisa kejar dedek dia berteriak lagi dengan mengangkat kedua tangannya sambil loncat-loncat berteriak tertawa yes,yes menang seperti jonatan christie yang senang bisa meraih medali emas di cabang tunggal putra badminton diajang asian game 2018. kemenangannya dia rayakan dengan membuka baju berjalan mengelilingi lapangan sambil memutar-mutarkan baju ditangannya dan kemudian melemparkan bajunya kearah penonton diluar lapangan. Setiap orang pasti punya caranya tersendiri untuk mengungkapkan rasa senang dan bahagianya atas apa yang sudah dia dapatkan,jonatan christie membuka bajunya dan melemparnya ke penonton diluar lapangan.yang membuat orang yang menyaksikannya berteriak histeris dan rebutan nangkap baju yang dilemparnya. Ada yang langsung menemui keluarga,teman,saudara,pacar dan melakukan selfie bersama untuk mengabadikan momen pentingnya itu. Ada yang hanya teriak-teriak dan loncat kemudian langsung jongkok melakukan sujud syukur ada yang tidak melakukan apa-apa cuma menangis terharu karena masih tidak percaya atas apa yang dia dapatkan. Mungkin karena perjuangannya yang sulit atau karena hal-hal yang lainnya. begitu juga dengan bontot kesenangan karena sudah sudah merasa berhasil mengalahkan kakaknya yang ngakunya tenaga kuda tapi tidak bisa mengejar anak singa yang larinya masih seperti kelinci.terkadang suka ngomel sama diriku sendiri payah kamu rein.dia mengekspresikan kesenangan dengan loncat-loncat sambil menertawakan lawannya yang sudah berhasil dia kalahkan. sudah ya main kejar-kejarannya kita lanjutkan besok aja sekarang dedek sudah jadi pemenangnya kak rein kalah, mungkin ini adalah jurus paling ampuh untuk mengajak dia berhenti bermain tanpa harus mengatakan kakak sudah capek dek mau istirahat. Rein masa kamu nyerah sama anak kecil dia saja tidak ada nyerahnya fikiran ini terus saja mengikuti. Katanya kemarin tenaga kuda tidak akan pernah lelah. Tapi itukan reina yang kemarin bukan yang sekarang yang sudah penuh dengan problema. Reina Kak rein,mana kak ndy.. Sibontot nanyain rendy suaranya terabat-bata menyebut nama rendi. Mungkin saja dia rindu sama rendy sudah lama tidak datang kerumah.biasanya bontot selalu main main rendy setiap rendy datang kerumah rendy juga dekat sama dia. Rendy termasuk orang yang bisa dibilang bisa dekat anak kecil. Rendy juga punya jiwa kebapakannya walaupun dia suka konyol dan aneh. Aku diam melihat sejenak sambil melihat kearah bayu yang duduk disampingku. Mungkin dia masih ingin melanjutkan main petak umpet dan kejar-kejarannya.Mencari handphoneku. Aku menghubungi rendy. Rendy Handphoneku bergetar ada chat masuk. Terlihat sekilas dari layar chat dari reina yang masuk.aku belum bisa membuka chat-nya karena aku lagi main game. Aku selalu berasa aneh setiap kali aku mendapat chat dari reina. Rasanya jantungku langsung berdebar tidak bisa menunda nanti dulu,sebentar lagi atau tidak dibuka aja. Setiap kali ada pesan dari dia ingin langsung dibuka. Tidak peduli game yang sedang kumainkan akan game over. Aku membuka pesannya. 'ren,adikku nyariin loh.sekarang masih luar kota apa udah di jakarta. Loh boleh marah sama gue.tapi gue mohon loh temuin adek gue kalau loh nggak mau ada gue dirumah.loh tinggal bilang kapan mau kerumah biar gue pergi keluar dulu' aku membalas 'iya aku masih diluar kota, nanti kalau uda dijakarta aku kabarin.minggu depan uda dijakarta.nggak perlu ada adegan kabur dari rumah juga' pakai emoticon senyum. se sayang itu rein kamu sama adik kamu. Sampai rela melakukan apapun demi dia. Bahkan melebihi kamu sayang sama diri kamu sendiri. Aku bisa wujudkan apa saja yang dia mau dan dia minta dariku. Hanya ada satu hal saja yang aku tidak bisa terima dari dia. Dia menceritakan bayu setiap bertemu denganku. Aku bukan tidak suka sama ceritanya cuma hatiku terasa sakit setiap dia menceritakan bayu. Seperti ada yang bangun didalam badanku. Mental jahatku mulai keluar. Hampir 3 bulan terakhir ini aku aku tidak main kerumah reina yang pertama masalahnya memang sedikit kesal waktu aku ngajak dia makan sepanjang jalan dia membahas bayu. Yang kedua karena memang keterbatasan waktu. Aku masih sibuk keluar kota terus karena beberapa bulan terakhir ini aku sering mendapatkan job keluar kota. Dapat job keluar kota itu ada enaknya ada tidak enaknya. Enaknya bisa jalan-jalan melihat daerah orang bisa sekalian hunting mencari titik paling bagus untuk objek potoku. Aku termasuk orang yang hoby fotografy juga. Selalu mencari tempat bagus untuk dijadikan objek. Dan yang paling sering jadi objek fotografyku reina. Hampir di semua poto dicameraku isinya poto dia. Semua gaya poto andalannya dia sudah ada dicameraku.dari gaya yang paling buruk, yang paling cantik dan yang tidak ada gayanya hanya berdiri lurus seperti tiang listrik. Bagiku sejelek apapun gaya potonyo tetap saja dia adalah yang paling cantik didalam koleksi poto huntingku. Didalam cameraku ada beberapa perempuan yang sempat jadi role model fotoku. Ada yang memang aku bayar untuk jadi modelnya dan ada yang memang cuma numpang foto dicameraku. Dulu reina pernah meneleponku pagi-pagi buta mengajakku pergi ke bandung untuk foto dilembang bandung. Aku masih setengah sadar mengangkat teleponnya. Apa yang dia katakan antara mendengar dan tidak jelas. Aku minta di ulang beberapa kali sampai dia marah. Yang cuma kudengar jelas kata-katanya yang trrakhir 'ya udah deh gue chat aja ya ' Aku buka chat nya 'pokoknya hari ini loh harus nemanin gue foto kelembang bandung,bawah camera loh ya' Ya ampun reina pagi-pagi buta nelepon gue pakai nada marah cuma mau ngajak kelembang bandung. Jauh banget rein,cuma untuk foto doang kelembang bandung. Kenapa nggak Keancol,atau kekuba emas bogor biar dekat sedikit jalannya. Ini posisi mataku masih lima watt masih berat buat ninggalin kasur. Aku baru tidur jam subuh sekarang dibangunin jam 6 pagi. Berapa jam aku dapat tidur rein. Kalau tadi aku dikasih mimpi mungkin baru mulai masuk mimpi sudah dibangunkan. Reina juga melarang aku buat bawah sopir dia nyuruh aku nyetir sendiri. Aku senang pakai banget lagi kalau bisa berdua saja sama dia. Sama orang yang paling aku cintai sejagat ini. Masalahnya aku bisa nyetir bawah mobil kebandung dalam kondisiku yang super ngantuk ini. Apa masih bisa melihat jalan dengan jelas. Chat dari reina masuk lagi 'gimana loh bisa nggak sih nemanin gue kebandung?' aku membalas 'iya sebentar lagi gue sampai rumah loh,tunggu aja ya lagi kena macet jalan padet banget' Padahal sebenarnya aku memang belum on the way kerumahnya jangankan untuk siap-siap pergi mandipun belum. Aku masih tiduran dikasur sambil memeluk bantal guling doraemon pemberian reina dihari ulang tahunku tahun kemarin. Jangan berfikir aku uda nggak jantan ya gara-gara reina memberiku bantal guling doraemon. Tapi ini memang permintaannya sebagai sahabatnya harus suka doraemon. Itu adalah perjanjian geng kami. Setelah lima menit aku tinggal mandi chat dan panggilan masuk dihandphoneku sudah berbaris seperti orang yang ngantri sembaku dikantor pak RT samping rumahku. Dan itu semuanya dari reina tidak ada yang lain. Rendy kamu sekarang diambekin sama calon nyonya kamu dimasa depan. Makanya kamu jangan lelet cepat sedikit dong. Aku cepat memakai celanaku mengambil cameraku dan mengambil selembar kaos putih polosku didalam lemari dan meletakkannya diatas pundak. Aku memakai baju Sambil berlari berjalan menuju kearah mobil. Aku langsung loncat aja keatas mobil dan mengeluarkannya dari gerasi. Sabar ya cintaku jangan marah ini aku udah mau on the way. Yang tadi aku sudah mau samp\i dirumah kamu anggap aja masih kejebak macet. Mudah-mudahan ada keajaiban jalan tidak macet. Ren,kamu siap-siap aja ya nanti sampai dirumahnya kamu diomelin sama cintanya kamu itu. Pasti sekarang mukanya sudah cemberut kesal. Kalau reina kesal ngambeknya bisa bikin jera. Dan kalau dia marah bisa bikin tobat tidak mau mengulangi lagi. Menurutku ini adalah tantangan untuk kita memperjuangkan orang yang kita sayang. Yang terkadang apa yang kita perjuangkan itu membuat kita jera dan ingin menyerah. Aku tancap kecepatan gas yang tinggi. Untuk mengejar supaya dijalan tidak macet.sampai dipersimpangan jalan menuju rumah reina jalanan pada enteng tidak padat. Sepertinya hari ini aku memang sedang dapat mukjizat tidak kena macet.biasanya setiap kali mau kerumah reina disana pasti macet walaupun cuma 15 menit. Hari ini jalan sepi. Pagi ini tuham memang sedang berpihak kepadaku. Dan seakan mengerti juga kalau aku mau lerumah reina dan sudah tergesa-gesa dijalanan. Dan mengerti juga kalau aku sekarang sedang diambang ketakutan diomelin sama cintanya aku yang dari tadi sudah nelponku berkali-kali dan chatnya sudah berbaris tidak kubalas dan telponnya tidak aku jawab. Pokoknua sepanjang jalan hp-ku tidak berhenti berdering kadang nada panggilan masuk kadang nada chat yang masuk. Mobilku sudah mulai masuk halaman rumahnya. Dari dalam mobil sudah terlihat dia yang sudah duduk diteras rumahnya dan sudah siap-siao untuk pergi. Celana blue denim pakai hodie army rambut ikat satu,kacamata,sepatu snecker putih bedaknya natural. Cintanya aku cantik banget hari ini. Mukanya segar banget. Sayangnya aku keluar dari mobil dia cemberut sefikitpun tidak ada senyum. Dia berdiri mendekatiku sambil memandangku dengan tatapan sinis seperti penuh kekesalan. Sepertinya hidupku sudah tidak aman lagi ini.kalau si dia sudah marah. Yang sabar ya rendy resiko jatuh cinta sama seorang boskesannya selalu tegas. Yuk kita langsung berangkat'aku menyapa dia sambil tersenyum dia cuma diam berjalan masuk kedalam mobil tanpa menjawab apa-apa. Aku masuk kedalam mobil juga. Ada yang salah ya rei dengan sapaanku barusan.kok kamu tidak membalasan sapaanku jawab iya, paling tidak membalas balik senyumku masa iya aku sudah menyapa terus tersenyum kamu cuekin rein. Senyuman orang ganteng itu mahal loh rein. Beruntunglah kamu masih bisa mendapatkannya secara gratis tanpa membayar. Eehh apa sih aku suka memuji diri sendiri kalau dekat reina. Kesannya aku selalu merasa paling ganteng sejakarta. Karena sekarang perjalanannya mau kebandung jadi boleh hari ini aku dinobatkan paling ganteng sekota bandung tapi hanya untuk reina bukan untuk perempuan lain khususnya yang dikota bandung ini karena cintanya aku itu cuma reina dan kegantenganku cuma untuk dia. Rendy Hey kalian semua para perempuan dikota bandung sini merapat sebentar ada pengumuman penting khusus hari ini aku perkenalkan sama kalian semua. Hari ini aku bawah cintanya aku kekota bandung ini tujuannya hanya untuk hunting fotografy. Sekarang dia sedamg marah dan tidak mau bicara sama aku karena aku telat menemput dia. Tapi kalian perhatikan dalam kedaan marahpun dia masih terlihat sangat cantik sudah terbayangkan bagaimana cantiknya kalau dia tidak sedang marah. Kalian tidak perlu naksir aku karena sudah pasti saya tolak dihatiku cuma ada dia dan tidak ada yang lebih cantik melainkan dia. Oh ya untuk para laki-lakinya tidak perlu naksir karena sudah pasti juga ditolak kalian semua gantengnya belum ada melebihi aku. Yang super ganteng seperti aku saja masih ditolaknya sampai sekarang apa lagi kalian yang gantengnya masih dibawah standar kegantengan aku. Sudah ya semua kita berdua mohon untuk pamit dan melanjutkan tujuan kami. Maaf ya yang belum sempat minta poto atau mungkin minta tanda tangan. Karena kita berdua sedang buru-buru. Mohon pamit dan permisi mrs. Cantik dan Mr. Ganteng mau lewat dulu. Aku sekarang sudah seperti pekerja entertainer aja pakai penguman segala. Tanpa kamu harus umumkan saja orang sudah tahu kali rendy kamu suka dia. Dan reina satu-satunya orang yang menjadi cinta abadinya kamu. Aku hanya membayangkan seandainya segala yang kubayangkan didalam kepalaku tentang dia itu benar-benar terjadi. Cuma sepertinya itu hanya terjadi didalam khayalanku semata dan aku hanya bisa merasakannya lewat dunia khayalan juga. Seperti kebahagiaanku yang bisa memiliki kamu itu cuma bisa kurasakan lewat khayalan rein tidak untuk kenyataan. Mungkin secara kenyataan aku bisa sama kamu setiap hari tapi secara hati dan naluri belum tentu. Bahkan satu hari saja aku ada dihatimu itu sepertinya sulit bahkan tidak mungkin. Rendy come on kamu jadi melow gini sih. Kamu harus bahagia. Hari ini adalah kesempatan kamu untuk bahagia bersama dia. Waktu satu hati full kamu bisa bersama dia. Kamh pasti bisa buat mewujudkan keinginan kamu. Rendy Mobilku sudah memasuki area lembang bandung yang daerah terkenal dengan suhunya yang dingin dan daerahnya yang hijau. Penuh pohon dan tempat berfoto yang bagus. Untuk latar beckground foto dilembang bandung ini mungkin salah tempat atau objek yang bagus untuk digunakan tempat hunting fotografy. Mobilku mulai berhenti dia mulai membuka seatbeltnya. Dia keluar dari mobil langsung berjalan kedepan tanpa menghiraukanku .aku keluar juga dari mobil dan mengikuti dia berjalan dari belakang seperti pengawal yang sedang mengawal rajanya yang sedang marah kapeda staf istananya. Yang pengawalnya hanya bisa diam dan mengikuti kemana rajanya berjalan. Tanpa berani menegur apa lagi membantah. Seperti aku yanf sekarang ini hanya menjadi ekor dia. Yang hanya mengikuti dia berjalan tujuan tidak jelas mau kemana. Mau negur takut digampar habis. Ikutin aja rendy cintanya kamu ini maunya kemana ? Cari amanlah ya. Aku seperti sedang memberi semangat kepada diriku sendiri. Yang sebenarnya sekarang belum bisa dikondisikan mata melihat tapi fikiran masih dikasur. Ngantuk berat. Aku terus saja mengikuti dia mengelilingi daerah lembang bandung ini. Dari awal sampai keujung dia berjalan terus sudah 3 jam lebih mengikuti dia berjalan seperti tanpa tujuan berputar-putar bolak balik disana. Aku melihat dia membuat vidio lewat hp-nya. Dia membuat vidionya kearah belakang dengan mengangkat hp-nya setinggi mungkin. Terus aku dari belakang melambaikan tangan sambil seperti menyapa. Dia menarik hp-nya dan seperti menghapus vidionya sambil dengan ekspresi kesal. Mungkin dari hatinya bicara ngapain laki-laki jelek ini tiba-tiba muncul dicameraku. Rusak tahu vidioku. Setelah berkali-kali lipat mengikuti dia mengelilingi daerah ini. Dia manggilku rendy loh bawahkan camera loh? 'iya rein,ini.aku langsung menjawab. Aku mengeluarkan cameranya dari tasku. Eh akhirnya cintanya aku ini bicara juga. Sepertinya suara dia sudah dikembalikan sama tuhan yang tadinya dunia hening seperti tanpa kata sekarang dunia rame penuh sejuta kata . Terima kasih tuhan engkau telah kembalikan suaranya. Sekarang dia bisa bicara dan manggil namaku. Syukur reina rupanya kamu masih ingat namaku. Aku fikir kamu suda lupa namaku makanya Tidak mau bicara sama aku. Dia foto semua tempat yang menurut dia bagus untuk dia jadikan objek fotonya. Setelah dia puas fotoin semua tempat-tempat yang ada disana. Dia memberikan cameranya sama aku 'rendy loh fotoin aku disana dong' dia menunjuk kearah tempat sejenis seperti ayunan gitu. Aku tidak tahu jelas nama bendanya. Karena yang aku tahu jelas cuma nama cintaku doang REINA ANTOSOROH sicantik turunan darah palembang yang sudah membuatku jatuh hati sejak pertama kali bertemu. Dan satu-satunya orang yang bisa membuatku sakit hati dan cemburu ketika dia menceritakan laki-laki lain. Dan yang membuatku mengerti artinya rindu ketika jauh. Aku mengikuti dia berjalan menuju arah dimana tempat yang dia maksudkan. Sampai ditempat itu dia berdiri lurus sambil tangannya masuk kantong celana jeansnya. Aku memberi aba-aba satu,dua,tiga. Rein kamu dicameraku charming banget. Kamu cantik. Tanganku sampai gemetaran memegang camera buat fotoin kamu reina. Aku tidak bisa memandangi kamu lama,setiap memandangi kamu lama fikiranku jadi buyar. Kesannya jadi ingin meluk dan nyium kamu terus. Dan sayangnya kita tidak lebih dari seorang sahabat. Andaikan pertemuan kita tidak bersahabat tapi untuk sebagai pasangan pasti kamu sekarang sudah kupeluk erat-erat dan kulumat bibir kamu. Rendy sadar menghayalnya ketinggian,ingat dia bukan punyaku kamu. Aku seperti sedang berbicara dengan diriku sendiri. Uda,belum rendy.. Oh,iya uda. Mana? Ini,cantik banget.. Satu doang. Suara lembutnya menyadarku dalam lamunan memandangi dia dati balik lensa camera yang sejak tadi aku arahkan kearah dia. Aku makin gerogi dan perasaanku makin tidak terkontrol ketika dia mendekatiku dan memberikan tangannya kearahku untuk meminta camera dan melihat hasil fotonya. fotonya yang jadi dan lumayan bagus tidak blur cuma satu. Yang lainnya blur semuanya ada yang cuma setengah badan,ada yang belum siap sudah difoto ada yang cameranya goyang. Pokonya semua fotonya tidak ada yang sehat termasuk orang yang motoinpun tidak sehat lagi. Suhu badan tiba-tiba naik 45 derajat. Rein kamu jangan marah iya. Aku tahu loh nggak suka sama hasil fotonya. Apa lagi kalau loh banting cameranya. Kamu tahukan kalau untuk dapatin camera itu susahnya minta ampun. Dan harganya bisa buat buat beli cincin buat meminang kamu. Hanya yang difoto yang masih terlihat sehat,segar dan kuat. Buktinya seharian dia tidak lelah mengelilingi lembang bandung bolak balik dari ujung keujung. Dan tidak merasa haus apa lagi lapar padahal sudah lewat jam makan siang. Sudah masuk jam makan sore juga dia belum juga memberi isyarat padaku untuk mencari makan. Aduuhh reina kamu belum lapar juga cacing diperutku sudah pada demo minta makan. Rendy Jariku terus saja menslidw layar handphone-ku yang setiap slidenya itu adalah foto reina. Sepertinya aku baru disadar dari dunia kenanganku dan dikembalikan lagi kedunia nyataku. Rupanya sekarang aku sedang berada diatas sofa. Sebaiknya tidak menceritakaj kenangan lagi lah. Aku suka mellow kalau sudah didunia kenangan. Tadikan kita aku sedang membahas tentang dan tidak enaknya dapat job keluar kota. Tadi aku baru cerita tentang pengalamanku tentang bagian yang enaknya. Sekarang aku akan ceritakan bagian yang tidak enaknya dapat job keluar kota. Yang pertama kita harus percaya pada orang lain yang mungkin kita sedang membutuhkan dia bahkan mungkin diwaktu tertentu kita sangat mnggantungkan hidup kita sama dia. Contohnya saja ketika akan pergi kita akan dipilihkan pada transportasi yang akan kita gunakan. Kita akan memilih yang lebih cepat sampai tujuan tapi beresiko tinggi atau yang lambat mencapai tujuan tidak beresiko terlalu tinggi. Semua transportasi yang kita pilih ada semua resiko dan keuntungannya. Ketika kita menjadi penumpangnya selama berada didalamnya secara tidak langsung kita sudah menyerah nasib hidup kita ditangan orang lain.kalau kita naik bus maka kita akan menggantungkan nasib kita pada sopir bus,naik pesawat kita menggantungkan nasib kita pada pilot . Yang selama menjadi bagian dari penumpang itu kita harus memasrahkan diri pada semua keadaan. Seperti aku sekarang yang hanya pasrah karena duduk bersebelah dengan ibu-ibu yang sedang membawa anak kecil. Anaknya rewel nangis terus. Yang membuatku selama menjadi penumpang tidak bisa tidur. Mungkin mata sudah mulai mau tidur tapi telinga tetap saja tidak bisa berhenti mendengar suaranya menangis kakinya yang suka nendang kearahku terkadanf sampai terkena tanganku. Ibunya bilang maaf ya mas kaki anak saya kena tangannya.hanya ada dua pilihan untuk menjawabnya yang pertama mengangguk sambil sedikit senyum kearahnya dan yang kedua langsung dengan jawaban singkat 'iya nggak apa-apa" . Aku termasuk tipe orang yang tidak bisa tidur kalau ada suara yang berisik. Tapi bagaimanapun keadaannya kita tetap harus menikmatinya. Kita tidak bisa marah tidak bisa melakukan apa-apa. Karena semua yang menjadi penumpangnya memiliki hak yang sama. Sama-sama membayar,ingin punya kenyamanan. Ketika kita sedang merasa tidak nyaman hanya bisa diam dan mengelus dada'sabar,sebentar lagi sampai terminal kok atau sebentar lagi landing'. Menutup mata supaya terlihat tenang dan tidak merasa terganggu. Mungkin ini adalah alat yang paling ampuh yang aku gunakan ketika menghadapi situasi seperti ini. Reina Reina Setiap pagi kegiatanku seperti biasa menunggu matahari pagi muncul berjemur matahari pagi. Sebelum matahari naik biasanya aku bersiap-siap supaya bisa terasa segar ikat rambut cuci muka gosok gigi dan minum air putih. Minum air putih setiap bangun adalah salah satu saran dari dokter juga. Katanya sih untuk memperlancar alat-alat pencernaan dan membersihkan paru-paru. Apa lagi kondisiku seperti yang sekarang tubuhku sangat banyak membutuhkan asupan air mineral yang masuk kedalam badan. Aku menyisir rambutku. Aku merasa ada yang aneh dengan sisirku dan juga kepalaku. Aku menarik pelan sisirku dari atas kepala sampai keujung rambutku sampai sampai sisir mengenai punggungku. Aku melihat rambutku yang menggulung disisirku seperti ijuk. Aku menarik pelan rambut dari sisir segenggam tanganku. Rambutku rontok. Aku ingat kembali kata-kata dokter ketika aku terakhir periksa diantar radit kata dokter tanda-tanda jika sudah memasuki stadium akhir adalah dengan rontoknya rambut,sekarang rambutku rontok itu artinya sekarang aku sudah memasuki stadium akhir,itu artinya aku juga tidak akan lama lagi hidup didunia ini. Dokter sudah memvonis kalau aku tidak segera di kemoterapi aku akan memasuki stadium 4 atau tahap stadium akhir. Dan penyembuhan sangat susah. Bahkan tidak banyak orang yang bisa ditolong jika sudah berada pada stadium akhir. Sebenarnya dokter sudah menyarankanku untuk menjalani pengobatan kemoterapu sejak 6 bulan yang lalu sejak aku sudah sudah dipastikan positive oleh dokter. Dan 6 bulan yang lalu semua masih terasa ringan belum begitu mengganggu aku masih bisa aktifitas dan melakukan apapun. Aku tidak terlalu mengikuti saran dokter yang pertama aku memang takut sama berobat dan yang kedua aku tidak suka sama efek kemoterapinya yang membuat rambut rontok.bahkan terkadang kepala sampai botak Aku sebenarnya termasuk orang yang cuek dengan kesehatan badanku. Kalau bukan memang sudah parah aku paling anti makan obat apa lagi sampai suntik kedokter. Baru dengar mau disuntik saja aku takutnya sudah kayak melihat pocong ditengah kuburan. Apa lagi kalau sudah melihat jarum suntiknya bisa langsung kabur. Makin hari sakitnya makin sering dan makin lama efeknya makin terasa. Badanku kurus berat badan turun mual. Selera makan hilang. Setelah 3 bulan aku cek pertama aku kembali checj up yang kedua. Jantungku seperti mau copot ketika mendengar vonis dokter kali kedua ini. Karena hasil cek yang kedua ini ada penyakit baru juga yang tumbuh didalam badanku dan yang lama sudah pada tahap stadium dua. Dokter memberiku jalur pengobatan yang lebih gila lagi. Radioterapi pengobatan dengan alat yang menggunakan sinar dan operasi pemotongan usus. Aku terdiam mendengar saran dokter ini. Ditambah lagi dokter mengatakan kalau tidak segera dilakukan pengobatan radioterapi dan dioperasi pemotongan usus. Kankernya bisa menyebar keseluruh tubuh bahkan bisa menggerogoti paru-paru,jantung dan hati. Kalau kankernya sudah menyebar keseuruh tubuh bisa menyebabkan kematian dan merenggut nyawa. Aku terus diam dan berfikir tanpa mengiyahkan dan menolak saran dari dokter.jika aku mengiyahkan terlalu banyak yang sedih bahkan ketakutan dan menghawatirkanku. Pasti semua orang yang ada dirumahku terutama ibuku setiap memandang wajahku selalu dibayang-bayangi dengan kematian. Jika aku mengiyahkan tidak mungkin juga tidak memberitahu ibuku dan masih tetap menjaga rahasiaku ini. Sudah pasti ketika menjalani operasi dan rangkaian pengobatannya aku butuh dukungan penuh dari keluargaku. Sementara disatu sisi yang lain aku tidak ingin membuat mereka khawatir dan tidak bisa tenang menjalani hari-harinya. Jika aku menolak untuk operasi maka kesempatanku untuk hidup dan waktuku bersama keluargaku pun singkat. Menghitung hari kapan kematian itu akan tiba. Adalah seperti menghitung jangka hutang kepada rentenir makin dekat waktunya makin terasa dikejar-kejar. Dokter,apakah dengan operasi akan menjamin aku akan sembuh total dan bisa hidup lebih lama lagi. Kita tidak menjamin ajal seseorang,yang kita obati penyakitnya bukan ajalnya mbak reina. Tapi sebagai team medis akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasien. Kami sebagai tenaga medis sudah mengabdikan hidup kami untuk menolong orang. Terutama orang yang sangat membutuhkan kami. Kalau begitu,saya permisi pulang dok.. Iya,yang kuat ya mbak reina. Kami siap menolong kapanpun mbak butuh. Dokternya mengetahui kalau sekarang aku sedang terpukul. Dia mencoba menenangkanku. Dengan operasi belum menjamin kalau aku akan sembuh total. Aku memilih untuk tidak operasi dan memilih lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga ibu dan adikku. Air mataku tidak bisa dibendung ketika aku memandangi segumpalan rambut yang sudah kugulung-gukung ditanganku. Segumpalan rambut yang ada ditanganku sekarang adalah bukti bahwa aku tidak akan lama lagi berpijak dimuka bumi ini. Dan merasakan hangat mentari pagi yang selalu ku nikmati setiap pagi ketika langit sedang cerah. Reina ART-ku mengetuk pintu kamar. Memberitahu kalau ada yang datang sudah nunggu aku dibawah. Siapa bi? Mas rendy Bilangin tunggu sebentar ya .. Akhirnya rendy datang lagi kerumahku ini. Setelah seminggu yang lalu aku menghubungi dia bilang adikku rindu mau main petak umpet sama dia. Rendy sudah menganggap arya sebagai adiknya. Apapun yang menyangkut tentang arya dia selalu ada. Mau arya sakit,butuh teman bermain,minta ditemanin nyari telor gulung sosis goreng dia selalu siap. Dulu pernah tengah malam arya ngotot minta dibelikan telor gulung. Mau beli sama yang jual dekat rumah sudah tutup. Aku nelepon rendy mana tahu di dekat rumahnya ada jualan telor gulung. Dia bikangnya ada tapi sudah tutup. Akh matikan teleponnya. Dia nelepon baliknya 'jangan khawatir ya aku lagi on the way kerumah kamu bawah telor gulungnya,kamu ajak aryanya tungguh didepan ya ' Aku ajak arya keluar. Sekitar lima belas menit mobilnya sudah masuk halaman rumahku. Berhenti tepat didepan teras.dia keluar mobil menenten satu kantong plastik yang seperti ada wadah didalamnya. Aku sempat mikir banyak banget rendy beli telur gulungnya. Dia memberikan bingkisan plastik itu sama aku. Aku membukanya didalamnya ada sejenis tempat seperti tuperware gitu yang isinya telor gulung semua. Kamu dimana telor gulungnya banyak banget. Ada,dirumah Kamu jual telor gulung.. Nggak jualan juga,cuma kalau diminta ada Terusss... Bisa adanya gimannn. ?? Aku bingung,sedikit mikir Ya,aku bikin sendirilah,masa jam 12 malam gini aku ketuk2 pintu tukang telur gulung sampai rumah. Ganggu dong siapa tahu dia lagi... Ehmz.. Lagi apa?? ngeress mulu loh.. Hahahaha.. Ya udah de gue pulang nanti kalau misalnya ada yang kurang atau lebih ataupun pas bilang ya. Aku tersenyum sambil mengangkat jempol. Rendy,rendy ada-ada aja kelakuan dia. Aku sempat mikirnya kalau di beli bukan goreng sendiri. Ehh ternyata dia goreng sendiri. Aku tidak menyangka juga kalau rendy bisa masak. Aku sudah coba telor gukungnya yang buat sendiri itu. Rasanya sangat pas tidak ada yang kurang atau pun lebih. Aku jadi ketagihan. Ternyata dibalik kelakuan kamu yang suka kocak dan menghina masakanku yang suka keasinan. Ternyata kamu bisa masak. Aku langsung buka hp dan kirim review masakannya. Dia bilang request minta dimasakin soto medan nggak ?? Aku baru ingat kalau dia orang medan. Perasaaanku jadi tidak enak kayak gini. Buat menuruni anak tangga aja kakiku gemetaran. Ada yang beda juga dengan perasaanku. Langkah terakhir kakiku menuruni anak tangga aku melihat dia sudah tersenyum kearahku yang duduk disofa. Aku merasa tersipu malu tidak pede dengan tampilanku yang masih muka bantal,rambut gulung,celana piyama tidur gambarnya doraemon lagi. Dan syukur alhamdulillah pagi ini aku masih ditolong sama t-shirt polos kesayanganku ini. Pagi ini aku melihat dia sudah dandan rapi,mukanya charming yang pastinya bagiku dia hari ini datang kerumahku sangat ganteng. Aku bilang dia ganteng apa karena aku sudah lama tidak bertemu dia. Atau mungkin karena aku sudah lama jomblo menikmati hidup sendiri. Entahlah tapi pagi ini ada sesuatu hal yang timbul didalam perasaanku yang membuatku merasakan sedikit bahagia. Dan melupakan peristiwa air mataku pagi ini. Hey,apa kabar ?' aku menyapa dia Baik,kamu apa kabarnya ? Seperti yang loh lihat sekarang..bagaimana? Aku tersenyum melihat kearah dia Pastinya sih belum mandi,tapi tetap cantik hehe Kelihatam dari muka bantalku ya Bisa jadi,yang lebih tepatnya piyama doraemonnya ciri khas. Oh iya mana aryanya aku juga uda kangen banget sama dia. Kamu beneran cuma rindu sama arya ren,datang kerumahku cuma buat ketemu arya. Kamu tidak rindu sama sahabatmu ini. Apa kamu masih menyimpan marah sama aku. Perasaanku tiba-tiba sakit banget dan air mataku seperti mau keluar. Di area mataku terasa panas bahkan mungkin sekarang mataku sedang berkaca-kaca. Apa sekarang kamu sudah tidak punya perasaan lagi sama aku seperti yang radit ceritakan sama aku.maafin aku rendy kalau kamu masih marah sama aku tentang aku yang terus-terusan menceritakan bayu sama kamu. Aku tidak tahu kalau setiap aku menceritakan dia kamu merasakan tersakiti. Reina Sebentar di panggil ya, bi bawah arya kesini . Bilangin ada rendy biar dia mau Baik bu'ART-ku bersau bari belakang. Sambil menunggu arya datang aku dan rendy bercerita panjang lebar tentang masalah pekerjaannya,bisnisku pengalaman dia selama diluar kota. Samoau akhirnya dia nyeleletuk bertanya kenapa sekarang aku kelihatan lebih kurus. Aku cukup salah tingkah dan diam ketika pertanyaannya harus menjurus menanyakan tentang perubahan kondisiku yang sekarang. 'mungkin karena efek diet,aku tersenyum dan mencari cara mengalihkan pertanyaan yang sedang berpusat pada kondisiku. 'kamu jangan terlalu kurus tidak enak lihat badan kamu' gemukin sedikit lagi lah. Biar kelihatannya berisi bukan kurus.cuma sarab aja. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Mudah-mudahan ya ren badanku bisa benar-benar gemuk lagi sesuai yang kamu minta. Semoga aku bisa mewujudkannya. Arya datang menghampiriku sama rendy. Dia memeluk rendy dengan penuh kegembiraan rendy juga membalas memeluknya erat melihat keakraban rendy sama bayu seperti sedang menyaksikan keakraban anak dan bapak yang sedang saling bercumbu melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu. Tanpa basa basi lagi arya mengajak mengajak rendy main petak umpet. Mereka bermain aku pamit buat ninggalin mereka yang sedang asyik bermain. Kak rein nggak mau ikut sama kita? Rendy mengajakku. Nggak kalian aja,aku sudah tua cepat lah. Aku tersenyum. Rendy,membalas tua atau memang badannya kurang kuat.. Nggak kok.. Aku langsung meninggalkan dia ruang tamu dan menaikki anak tangga. Dan sialnya aku hampir terjatuh menaikki anak tangganya. 'yang pelan dong jalannya,kalau memang lagi sakit jangan dipaksakan.' rendy bersuara lagi. Aku cuma mengacungkan jempolku kebelakang tanpa menoleh dia dan terus berjalan menaikki anak tangga. Aku masuk kamar dan menjatuhkan tubuhku diatas tempat tidur. Air mataku berjatuhan keluar aku menangis. Kenapa sih ren kamu tidak pernah mau jujur sama aku. Kamu tidak pernah bilang kalau kamu ada hati sama aku. Kita sekarang sedang sama-sama saling membohongi diri sendiri,berbohong sama perasaan kita ren. Kamu suka sama aku dan aku juga ada perasaan sama aku. Kenapa jujur itu susah. Kenapa tidak semua orang bisa jujur. Kenapa mesti harus saling membohongi dan saling menyiksa diri dengan perasaan perasaan yang ada. Aku meraih handphoneku. Aku chat dia 'ren nanti kalau kamu uda mau pulang chat aku ya, Lima menit kemudian dia membalas'loh nggak mau nemanin aku main sama arya.? Aku membalas'maj cuma aku lagi nggak mood. Dia membalas,kalau ada masalah cerita,jangan dipendam.uda ya aku main lagi dulu ini tanganku uda ditarik-tarik sama dia nih.. Dia kirim foto.. Oke,selamat bermain.. Reina Handphoneku bunyi aku sedang berada dikamar mandi. Aku keluar dari kamar mandi melihat siapa yang nelepon. Rupanya si rendy yang nelepon. Aku belum sempat menjawab teleponnya sudah terputus. Aku buka WA baca chat dia. 'reina aku izin bawah arya keluar sebentar ya,dia ngajak aku ke mall minta ditemanin bermain perosotan sama mandi bola sama aku,boleh ya ?' aku membalas iya nggak apa-apa jangan lama-lama ya. Loh nggak mau ikut rein? Aku belum selesai mandi. Mandi aja aku tungguin.. Emang mau nunggu aku kan mandi sama dandannya lama. Tapi nggak bakal sampai magribkan.. Nggak juga Ya uda aku tungguin.. Aku kembali kekamar mandi buat selesaikan mandi. Kepalaku masih berbusa ,belum gosok gigi,belum pakai conditioner. Kok aku belum semua. Rasanya hari ini aku ingin cepat-cepat semua. Dari mandi,gosok gigi sampai berbedak ganti baju semua ingin cepat dan tidak sabar. Apa yang mau kamu kejar rein. Tidak biasanya kamu ingin cepat seperti ini. Biasanya kalau mandi selalu membunuh jam. Kalau belum satu jam dikamar mandi belum namanya. Sekarang cuma 30 menit aku sudah selesai aja mandinya. Dandanpun cuma butuh waktu 30 menit uda selesai juga. Rasanya hatiku hari ini enteng banget. Semua beban berasa hilang. Diajak rendy keluar hari ini tuh senangnya luar biasanya. Seakan takut kalau tidak jadi. Aku turun dengan rambut masih setengah basa tidak pakai alis,tidak pakai eyeliner,mascara,foundation. Cuma pakai alas bedak sama lipstik aja. Senatural ini dandanan kamu hari ini rein. Yakin kamu mau pergi keluar tanpa make up seperti sekarang. Yakin dong,yang penting hari ini aku bisa sama rendy. Bagi hari ini yang penting itu bersama rendy bukan bedak ataupun dandananku.aku seperti sedang berbicara dengan diriku sendiri hati dan fikiranku seakan sedang berdebat hebat. Yang mengiringiku sambil melangkah menuruni anak tangga. Aku melihat rendy terpaku menatapku. Bahkan nyaris matanya tidak mengkedip.membuatku tidak percaya diri dan merasa malu. Aku menarik nafas seperti tidak sedang gerogi aku berjalan kearah dia berdiri didepan dia sambil tersenyum 'gimana gue cantik nggak kayak gini.? Aku berputar didepan dia sambil memperlihat tubuhku. Yang makin hari makin mungil itu. Rendy Ini adalah pertemuanku kembali dengan reina setelah 3 bulan lebih aku tidak pernah lagi main dan bertemu dengan dia. Dipertemuanku ini aku menemukan banyak sekali perbedaan. Dari cara dia berbicara,menatapku dan yang khas perubahan bentuk tubuhnya kecil. Dan hari ini aku melihat dia tidak dandan. Tidak make up,cuma ada lipstik dibibirnya. Pakai kaos polos celana jeans dan sendal jepitan. Semua yang aku lihat dari dia hari ini sangat jauh berbeda dengan dia yang dulu. Dulu kalau dia mau pergi pasti sudah make up full semua dia pakai. Dan untuk namanya aku tidak terlalu kenal semua alat make up perempuan banyak. Aku pernah nanya sama dia waktu nemanin dia dandan dikamar. Dia sediakan satu lemari khusus untuk dia dandan disana penuh dengan alat-alat make up. Ada yang bentuknya besar ada yang kecil ada yang botola,ada yang bentuknya kayak pensil,ada yang bentuknya seperti kuas. Ini setiap loh make up dipakai semua Nggak juga,tergantung kebutuhan.. Ini namanya apa aja?? Aku tunjukin ya,yang ini namanya Mascara gunanya untuk menebalkan bulu mata,ini Eyeliner untuk mempertajam garis mata. Ini eyeliner untuk bawah mata gunanya mempertajam bentuk mata,supaya bentuk matanya lebih kelihatan. Ini foundation,lipstik,lip cream,lipteen, eyeshadow,blush on,contour,bedak padak,bedak tabur hand body,vitamin rambut.jepit bulu mata,bulu mata,soflen,parfum. Uda paham semua sekarang.? Ribet banget sih perempuan.. Hahaha.. Coba deh loh sekali-kali minta izin masuk kamar pacar loh,dan lihat alat make up nya.. Semua alat make up dia punya. Dari lipstinya aja banyak macamnya. Parfumnya apa lagi. Sepatu sama tasnya Ada Dua lemarI khusus. Yang didalamya dipenuhi sama semua bentuk dan jenis merek tas dan sepatu. Menurutku kamarnya itu bukan kamar lagi sudah seperti toko yang menjual barang-barang yang boleh dikatakan cari barang apapun ada disana. Perempuan satu tahun barang-barangnya sudah butuh lemari baru lagi untuk tempat barangnya. Kalau aku paling satu tahun cuma beli satu t-shirt sepatu sama celana jeans satu. Yuk kita berangkat.. Setelah dia muter-muter didepanku memperlihatkan bentuk badannya yang mungil itu. Aku cuma menganggukkan kepala dan merabah kantong celanaku mengambil kontak mobil. Pertanyaan demi pertanyaan berkeliling dikepalaku. Rasa penasaranku makin tinggi setelah didalam mobil dia hanya diam tanpa melakukan apapun termasuk berbicara. Rasanya hari ini aku merasa seperti kembali kemasa lalu dimana dulu aku baru mengenali dia. Yang perkenalan itu terjadi secara tidak disengaja sama-sama sedang berada didalam lip sebuah pusat perbelanjaan yang ada dijakarta. Saat itu aku tepat berdiri dibelakangnya. Dia persis seperti baru keluar dari kantornya. Baju kemeja putih rok selutut sepatu pantofell dan rambutnya disanggul rapi dengan sebuah tas kerja ditangannya ada seperti tas dokumen juga ditangan kirinya dan menenteng blezer hitam. Sebenarnya waktu itu dia lumayan ribut karena banyak yang dia pegang termasuk kantong belanjaannya dia. Keluar dari lip dia langsung berjalan menuju eskalator sepertinya mau menuju bioskop. Dia tidak menyadari dompetnya terjatuh. Aku mengambil dompetnya yang terjatuh. Aku kembali berdiri untuk mengambil dompetnya dia sudah tidak ada. Aku mau mencarinyapun susah karena aku tidak melihat mukanya. Aku hanya mengenali pakaian yang dia pakai dan bentuk badannya yang kecil dan mungil. Aku membuka dompetnya dan didalam dompetnya banyak sekali kartu,sepertinya semua kartu ada didalam sana. Ada juga sejumlah uang tunai,ktp dan kartu namanya dikartu namanya tercantum ada nama dia dan nomor teleponnya. Aku menghubungi dia dan bilang kalau dompetnya sekarang sama aku. Aku mendengar suaranya yang seperti cemas dan ketakutan. 'kamu jangan main-main ya' saya nggak main-main,dompetnya ada sama saya,sekarang saya ada di loby utama.temui saya disana. Mbak jangan takut saya orang baik. Oke...saya kesana..!! Lima belas menit berlalu,aku melihat perempuan yang pakai kemeja putih,rok selutut dan barang yang dia bawahpun persis sama dengan yang dia bawah ketika didalam lif berjalan kearahku. Dia menghentikan langkah terakhirnys didepanku. Aku diam dan memandangi dia. Tidak percaya rupanya dia secantik itu. Sikapnya sopan,lembut,baik,cantik. Dia menyapaku. Selamat siang mas,benar mas orang yang nelepon saya tadi,dan menemukan saya?? Iya,ini dompetnya.. Terims kasih ya mas, ini kartu namaku. Dia meraih dompetnya dari tanganku dan memberikan kartu namanya sama aku. Setelah itu dia pergi. Aku seperti sedang mondar mandir bolak balik dari alam kenanganku dan dunia nyataku. Dialam kenanganku aku seperti sedang berbahagia bahkan membawaku pada tawa dan senyum yang membuatku tidak sadar sudah senyum sendiri. Dialam kenyataanku aku seperti sedang berada pada posisi serba salah mau bicara salah,mau negur takut membangunkan macan tidur bisa disikat habis aku sama dia. Didalam otakku berkeliling ribuan pertanyaan yang harus aku jawab kalau nanti tidak dijawab akan membuat stress dan batin tersiksa. Sepertinya pertanyaan yang berkeliling itu adalah PR yang sedang diberikan olah seorang guru kepada muridnya. Yang muridnya sendiri bingung kemana mau mencari jawabannya karena gurunya tidaj pernah menjelaskan dimana mencarinya dan kalau benarnya nilainya berapa kalau salah hukumannya apa. Jika tidak mengerjakan sanksinya apa. Sekarang posisiku persis seperti itu. Aku bingung mau memulai pembicaraannya dari mana. Setiap aku tanya jawabannya iya,mungkin,gak tahu. Cuma gitu aja jawaban kamu rein. Kamu tidak mau cerita tentang masalah kamu sama aku. Atau pesan yang disampaikan sama aku. Hari ini kamu seperti menikmati banget diam kamu. Dan tidak biasanya kamu beta diam. Biasanya setiap kali berkumpul bertemu sama aku kamu selalu heboh ada saja yang yang kamu ceritakan sama aku. Atau membuat bahan cerita supaya seru. Kamu tidak minta dibelikan nasi goreng seafood disolaria rein. Atau minta dibelikab ice cream mcflurry oreo sama ice cream choco sundae di mc'donald. Atau mungkin ngotot minta ditemanin sore-sore kepantai ancol cuma untuk poto diatas perahu terus balik. Atau cuma untuk bikin snap WA yang katakan biar hits kayak anak milenial. Aku menoleh kearah dia yang sedang fokus sama semedi diamnya. Entah apa yang sedang dia katakan didalam semedinya itu. Apa yang sedang dia minta dan mohonkan sams tuhan. Atau mungkin dia sekarang sedang meminta sama tuhan untuk menghilangkan aku supaya tidak balik lagi karena sudah menyakiti dia. Rendy Kalian pernah tidak sih pada satu moment atau pada satu keadaan kamu merasa tidak dianggap dan kehadiran kamu seperti nyamuk yang ketika mulai mendekat ingin cepat-cepat ditepuk biar mati karena orang kamu dekati merasa terganggu karena kehadiranmu yang menurut dia hidupnya akan lebih baik jika tidak ada kehadiran kamu. Atau kamu berusaha menciptakan suasana biar rame tapi usaha yang kamu lakukan tetap tidak ada hasilnya karena dia yang ingin kamu ajak rame justru tetap bersikap seperti patung. Hening diam tidak cerita ataupun suaranya. Aku selama berjam-jam nyetir didalam mobil mengelilingi jakarta seperti nyetir sendiri dan tidak ada teman. Mau pergi kemana tujuannya tidak jelas. Untungnya hari ini aku keluarnya bawah arya jadi ada tujuannya mau kemana. Mungkin hari ini arya adalah penunjuk arah dan pembuka jalan kebingunganku. Yang awalnya bingung mau kemana jadi ada tujuannya. Aku bertanya sama arya dia maunya kemana. Dia bilang mau kemall ke arena permainan anak-anak dia mau mandi bola dan main perosotan. Aku mengarahkan mobilku menuju kemall. Dan beberapa menit berjalan mobiku sudah sampai dimall. Aku turun mobil dia juga turun. Kamu sama-sama memegang tangan arya posisi arya ditengah antara aku dan reina. Kalian tahu apa yang langsung terlintas didalam kepalaku saat itu. Aku membayangkan seandainya sekarang aku dan reina sepasang suami istri dan arya adalah anak kami berdua,mungkin aku adalah orang yang paling bahagia. Sebenarnya impin menikah ity sudah terlintas sejak lama didalam kepalaku tapi sampai sekarang belum terwujud karena menurutku belum ada yang cocok untuk kuajak kesana. Menurutku untuk melangkah kejenjang pernikahan itu butuh yang namanya dasar. Kita ibaratkan saja membangun sebuah rumah atau mungkin perumpamaan sederhananya membuat telor gulung,untuk membuatnya hingga jadi telor gulung pasti ada yang namanya bahan dasarnya yaitu telur dan minyak percuma ada bumbu peralatannya lengkap jika tidak ada bahan dasarnya maka telor gulungnya tidak akan jadi . Dan menurutku dasarnya untuk membangun rumah tangga itu sendiri adalah cinta,bukan hanya menjadi dasar tapi juga menjadi fondasi pembangunannya. jika tidak ada cinta yang saling menguatkan diantara keduanya maka rumah tangganya tidak akan kokoh. Dan sewaktu-waktu ada badai yang datang akan mudah runtuh dan ambruks. Karena dasar dan fondasinya tidak kuat. Aku arya dan juga reina masul mall dan menuju arena bermain anak-anak. Arya mulai rewel melihat eskalatornya yang naik turun. Dia mau naik sendiri tidak mau dibantu. Aku membujuknya reina merayunya hingga rewelnya turun dan mau dibantu. Sampai diarena permainan arya langsung tidak sabar ingin segera bermain. Dia menarik tanganku. Merengek sama reina sambil menunjuk tempat mandi bolanya dan perosotan. Aku dan reina menemani dia bermain. Yang sesekali aku dan reina ikut juga diperosotannya. Yang membuat arya tertawa senang melihat kami ikut bermain juga. Yang sesekali arya terjatuh kami sama-sama membangunkannya. Dia meraih tangan arya aku menangkap badannya. Secara tidak sadar kami saling pandang sekilas dan setelah itu kami kembali fokus sama arya. Dan diarena permainan anak-anak ini juga aku membali melihat gelak tawa yang menghiasi wajah murungnya sejak tiga jam yang lalu. Muka diamnya kini kembali bercahaya tsrhiad senyum dan tawanya. Syukurku sama tuhan dan terima kasihku kepada arya yang minta ditemani bermain kearena permainan anak-anak.gelak tawa yang sempat hilang dari wajahnya itu kini kembali lagi. Walaupun senyum dan gelak tawa itu bukan berasal dariku aku tetap senang melihatnya tertawa. Aku terus memandangi dia yang asyik bermain sama arya. Yang sesekali arya melambaikan tangannya kearahku memberi isyarat supaya aku mendekatinya dan mengikuti mereka bermain. Aku mendekati dan ikut juga bermain. Mungkin seperti inilah gambaran kebahagiaan keluarga kecilku yang sangat aku impikan selama ini. Yang impian itu belum juga terwujud sampai kini. Rendy Reina Handphoneku berbunyi. Aku membukanya ada panggilan nomor baru masuk. Aku langsung menggeser tombol hijau pada layar ponselku. Aku langsung terkejut dia bilang dompetku ada sama dia. Aku mengecek tasku dan semua barang-barangku. Memang tidak ada dompetku memang tidak ada. Dia menyuruhku menemui dia dilantai dasar diloby utama. Astaga.. Aku harus kembali lagi kelantai dasar dengan barangku yang begini banyaknya. Dan setelah itu harus kembali lagi keatas. Untuk membeli hot dog pesanan sibontot. Untung aku belum pesan hotdognya.coba kalau sudah pesan terus mau bayar dompetku tidak ada. Pasti sudah dikatai sama pelayannya kalau tidak uang jangan besar gaya. Walaupun tidak katain secara langsung setidaknya didalam hati. Tapi tetap kesannya tidak enak dan memalukan. Apa lagi disini yang pesan lagi ramai sudah ngantri panjang. Seperti ngantri sembako. Aku turun lagi sambil membawa barangku dan menemui dia diloby utama. Aku menemui dia disana. Dari kejauhan aku sudah melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri sendirian didepan loby tempat dan pakaiannya persis seperti yang dia katakan seperti ditelepon. Aku menghampiri dan menyapa dia. Dia menoleh kearahku yang menyapanya. Dia tidak menjawab hanya terdiam dan memandangku entah apa yang ada didalam fikirannya saat itu. Dia terpaku memandang kearahku. Aku tersenyum, Tuhan dia tinggi. Aku hanya sepundaknya dia ganteng rapi jujur lagi. Pasti dia sudah punya pacar tidak mungkin orang seperti dia tidak punya pacar. Dia memberikan dompetku,aku meraih dompet dari tangannya,membuka dompet yang dia berikan dan memberikan kartu namaku sama dia. Sebenarnya niatku bukan untuk tanda ucapan terima kasih karena sudah dengan jujurnya dia mengembalikan dompetku. tapi aku sudah mengharap bisa kenal lebih dekat lagi sama dia. Aku tersipu malu sama dia dengan segala barangku yang banyak. Saat itu kubutuhkan hanyalah cermin untuk melihat mukaku bedaknya masih bersahabat tidak ya,lipstik masih ada nggak. Dia melihatku cantik apa tidak. Setelah ada sedikit perbincangan antara aku dan dia aku pamit untuk kembali lagi kedalam mall. Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Satu minggu setelah pertemuan itu. Tepatnya malam minggu ada kontak baru yang masuk di whatsapku. Aku belum tahu yang menghubungiku. Namun dari cara bahasanya dia adalah orang yang baik. Dia mengucapkan salam dan menyapa menanyakan kabaraku. Aku belum sempat bertanya balik sama dia. Ada lagi chat baru yang masuk diponselku. Dia menyebutkan namanya RENDY KERTANEGARA laki-laki yang beberapa hari yang lalu mrnemukan dompetku. Aku langsung ingat kalau itu adalah dia pria berhati baik yang rela menunggu didepan mall hanya untuk mengembalikan dompetku yang dia temukan. Aku simpan nomornya baru aku bisa melihan PP-nya dia. Aku sedikit ngimel dalam hati kamu pelit amat sih fotonya tidak ditampilkan untuk semua kontak. Nyuruh banget ya buat nyimpan nomor kamu dulu biar bisa lihat fotonya. Gini nih kalau ganteng dikit, sudah mulai dikejar perempuan mulai jual mahal. Mungkin karena stok laki-laki sekarang lebih sedikit dibandingkan perempuan. Aku yidak terlalu mrmikirkan tentang hal itu. Apa lagi sekarang aku sudah punya komitmen sama bayu. Yang tahun depan akan melamarku. Tapi itu dulu waktu hubungan aku sama bayu masih baik dan belum ada perempuan itu. Tapi setelah dia bertemu dengan perempuan itu aku terbuang tidak dianggap. Aku masih sering sering ingat dia dan terkadang aku juga masih merindukan dia. Satu persatu semua yang aku sayangi hilang dariku. Mulai dari bayu yang mrninggalku dengan perempuan lain. Rendy yang sudah mulai berubah juga denganku. Tidak sehangat dan seseru seperti dulu. Radit sudah sibuk sama bisnisnya yang mulai tumbuh pesat aku senang mendengarnya brrhasil disatu sisi aku sedih karena aku sendirian seperti tidak pernah punya sahabat. Dan widya akan kuliah keamerika dalam beberapa waktu kedepan. Mungkin untuk tiga tahun kedepan. Dan aku makin hari makin tidak bisa melakukan apapun kecuali dirumah. Sekarang hari-hariku cuma ditemani sama arya yang setiap hari minta ditemanin main petak umpet kalau sore minta ditemanin nunggu tukang somay yang lewat . Rein.. Iya,.. Kenapa bengong,sakit ?? Nggak kenapa-kenapa?? Loh masih mau nemanin gue jalan-jalan kelembang bandung lagi nggak.. Mau.. Tapi nanti bawah gitar loh ya. Aku ingin dengar loh nayanyi disana nanti. Oke,siap .. Rendy mengangkat jempolnya kearahku. Reina Arya menarik tanganku dia minta pulang. Mungkin dia sudah kelelahan. Seharian full main guling-guling ditengah bola dan naik turun perosotan. Sampai keroncongan perutku menunggu dia brrmain. Demo semua cacingku. Aku melihat arya sudah menguap dan lusuh. Biasanya kalau sudah seperti ini mau tidur. Sudah paham dengan ritual dia. Capek ya dek rendy merunduk melihat mukanya dan tangan dia meraih kepalanya. Arya mengangguk "gendong kak." arya merengek minta gendong sama rendy. Arya itu kalau sudah capek manja langsung keluar. Rewelnya mulai keluar. Jadi pemalas. Dan suka merajuk tidak jelas. Rendy menggendong arya dan membawanya pulang Reina Perasaan ku mulai tidak enak kepalaKu mulai pusing dan perutku mulai kambuh lagi sakitnya. Harapanku jangan sampai aku terlihat didepan rendy aku sedang menahan sakit. Aku tidak mau dia mengetahui kalau sebenarnya aku sakit. Aku berusaha untuk terus bersikap baik-baik saja. Setiap kali sakitku kambuh selalu ada saja yang membuatku bersyukur. Hari ini aku masih bersyukur masih bersama dengan rendy dan bisa tertawa bahagua bersama arya. Bisa bicara baik lagi sama rendy. Walaupun tidak seru seperti dulu bicara lewat telepon. Kalau dulu aku sering cerita,bercanda dan membicarakan hal yang tidak penting lewat telepon. Ketika ingin bertemu tidak ada waktu karena sama-sama sibuk. Jadi bercanda lewat telepon itu adalah hal yang paling sering dilakukan. Digeng kami ada group spesial buat kamu ngobrol cerita dan saling bulli disana. Bulinya bukan saling jelekkan tapi lebih kepada bercandaan. Jadi apapun ceritanya selalu diujungnya menimbulkan tawa. Dulu aku yang paling sering membuat bahan bercandaan terlebih dahulu. Kayak aku yang lagi ketemu radit dijalanan sedang berdua dengan pacar barunya. Pacar barunya atau teman baru dekat tidak jelas juga.aku fotoin diam-diam terus aku kirim digroup ngobrol kami sebagai bahan cerita.terkadang radit juga tahu kalau aku motoin dia diam-diam tapi dia pura-pura yidak melihat. Kalau dia sudah pulang atau sedang dalan perjalanan pulang dia langsung chat aku 'tadi loh fotoin gue lagi ya?'. Ritual biasalah kalau ketemu loh sama yang baru,kan biasanya gitu. Aku membalas sambil tertawa melihat layar handphone. Terkadang adikku dila sampai penasaran mau lihat handphoneku. Karena setiap aku main handphone aku selalu seru tertawa sendiri. Yang namamya radit kalau satu bulan tidak gandeng perempuan lain itu bukan radit,dia juga pernah bilang kalau dia tidak bisa gandeng perempuan baru setiap bukan jangan panggil namanya radit lagi. Karena itu bukan dia banget. Radit memang palyboy cuma ada satu yang paling aku salut sama dia. Sebanyak apapun perempuan yang dia gandeng komitmen untuk melangkah kemasa depannya tetap sama vina. Dia sama perempuan lain itu cuma main-main dan hiburan kalau lagi bosan apa lagi kalau vina lagi marah sama dia. Dia juga pernah cerita sama kami dia tidak akan melepaskan vina. Karena menurutnya vina adalah perempuan yang paling baik yang pernah dia temui. Radit tidak dapat ciuman darinya setelah tujuh hari jadian dan tidak bisa tidur dengan dia setelah satu bulan hubungan berjalan. Radit juga bilang kalau dia setiap bertemu vina selalu seperti laki-laki culun yang baru pacaran tidak bisa melakukan apapun bicara pun susah gugupnya setengah mati. Untuk bicara sama dia itu harus tertata rapi,sopan dan harus penuh makna. Dia bilang juga kalau vina orang tegas dan tidak mudah ditaklukan hanya dengan mobil,uang dan harta yang radit punya. Rein kamu yang kuat ya. Apapun yang terjadi nanti itu adalah jalan yang telah tuhan pilihkan untukmu. Pokoknya kamu harus terlihat tegar didepan radit. Aku mulai merabah-rabah lagi tasku mencari botol obatku. Tanganku seperti sudah menemukan botol obat yang kucari didalam tasku. yang setiap kali aku menyentuh dan melihatnya selalu penuh kebencian dan cucuran air mata.karena yang tergambar didalam otakku setiap melihat botol itu adalah kematian. Mati ..mati.. Dan mati. Aku melihat kearah rendy dan disampingnya ada botol air mineral. Yang isinya tinggal setengah lagi. Mungkin sisa rendy minum kalau nyetir. Aku juga tidak mempermasalahkan air bekas siapa. Aku senang bisa satu botol minum sama rendy setidaknya aku sudah bisa mencium dua walaupun tidak secara langsung. Ren,aku boleh minta air minumnya? Boleh..rendy memberikannya sama aku Aku baru mau menelan obatku rendy bertanya lagi 'itu obat apa,kamu sakit? Berusaha menjawab dengan santai 'obat pemutih dan penundaan tua,lebih tepatnya awet mudah' rendy langsung nyeletuk dengan penampilanku yang bersih tanpa make up kecuali lipstik 'oh jadi itu yang buat loh tidak make up hari ini ' aku cuma menjawanya singkat dan tersenyum 'iya,rend' aku menelan obatnya. Maaf ya rendy aku terpaksa berbohong sama kamu. Aku tidak make uo haru ini karena aku tidak sabar ingin cepat-cepat pergi sama kamu. Rendy kamu merasakan tidak kalau hari ini aku rindu sekalu sama kamu. Kalau aku boleh jujur aku cemburu dengan kamu yang selalu memperhatikan arya dan tidak peduli sama aku. Aku ingin sekali meluk kamu dan bersandar dibahu kamu. Apa aku masih boleh melakukan itu sama kamu rendy seperti dulu aku pernah menangis dibahumu dan minta peluk erat sama kamu. Aku memandangi rendy yang fokus nyetir dan matanya fokus kejalanan. Tidak ada hal yang bisa mewakili perasaanku saat menperhatikan dia selain bahagia. Bahagia dan bahagia. Aku sayang sama kamu rendy. Mobil rendy berhenti dan baru sadar kalau aku sudah sampai dihalaman rumahku. Rendy membuka seatbeltnya langsung langsung keluar mobil dan membuka pintu belakang. Menggendong arya yang sudah tidur sejak digendong sama rendy dari dalam mall. 'nggak jadi boleh mie goreng' rendy seperti sedang bicara. Aku tidak tahu dua sedang bicara sama aku,sama arya atau sama dirinya sendiri. 'kamu mau beli mie goreng?' Aku nyambung biar ada pembicaraan sebelum berpisah dengan dia. Karena katanya dia mau langsung pulang. 'nggak tadi arya sempat dibelikan mie goreng sebelum kita pergi kamu masih diatas'. Apa rendy,loh manggil aku dengan panggilan kamu. Apa itu adalah satu kebetulan atau memang sengaja dia rubah. Dan pastinya aku bahagia sekali mendengar dia memanggiku dengan panggilan kamu. Mudah-mudahan panggilan itu tidak pernah berubah lagi sampai kapanpun. Bahkan dudetikterakhirku melihat dunia ini. Rendy mendekati untuk bilang pamit pulang. Dia bilang dia ngantuk badannya masih nyeri-nyeri karena terlalu lama di dipesawat,selama dipesawat dia tidak bisa tidur juga karena anak kecik yang sampingnya rewel nangis terus. Aku tetap tersenyum dan menganggukkan kepala.sebenarnya dibalik senyum dan anggukan kepalaku aku sedang berusaha menahan dia supaya jangan pergi dulu tetap disini bersamaku.sambil menuruni anak tangga aku berusaha membuka mulut dan mengatakan 'ren loh jangan pulang dulu' tapi mulutku bungkam tidak bisa mengeluarkan kata-kata itu.bibirku berat buat membuka mulutku.aku hanya mampu bicara dengan diriku sendiri andaikan kamu bisa mendengarkan suara dari hatiku rendy pasti sekarang kamu tidak akan pulang. Aku tahu kamu ren. Kamu pasti lakukan apapun demi sahabatmu ini termasuk mengorbankan perasaanmu. Yang seharusnya kamu sudah bahagia bersama orang yang mencintaimu sekarang. Tapi kenyataannya kamu rela sendiri dan terpuruk dalam menunggu yang tiada pasti itu. Aku bahagia ren dicintai oleh laki-laki sebaik loh. menemani dia keluar sampai teras rumah. Nungguin dia naik mobilnya dan menunggu mobilnya hilang dari halaman rumahku. Hatiku sakit melihat rendy pulang meninggalkan rumahku. Aku merasa cemburu dan curiga pasti rendy mau kerumah pacarnya. Aku seakan tidak rela melihat dia pergi. Aku ingin terus bersama dengan dia. Aku butuh dia. Aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaanku. Aku mengambil handohoneku dan chat dia'hati-hati ya rendy'. Chatku tidak dibalas WA nya ceklis. Aku tidak bisa menahan perasaanku lagi air mataku keluar. Aku cemburu. Rendy Ketika kita mencintai seseorang pasti kita mencari tahu segala hal tentang dia. Mulai daru hal-hal yang paling kecil paling sederhana sampai hal yang paling dianggap tidak berguna. Dan juga sesuatu hal yang menurutnya besar bahkan paling penting. Kita ingin tahu keadaan dia,masalah dia tentang dia bagaimana lingkungan pergaulannya,bagaimana keluarganya pasti kita mencari tahu. Hobbynya apa,makanan favoritnya,tempat nongkrong yang paling dia sukai,baju favorit,tas favorit warna lipstik favorit dan sampai ingin tahu sebelum tidu apa yang dia lakukan. Bahkan kita bisa jadi peramal mendadak ketika kita mulai melihat ada yang berbeda dengan penampilannya. Mulai berfikir dia sepertinya sedang ada masalah. Sekarang dia mulai berubah. Sekarang dia sudah mulai acuh sekarang ada yang beda dengan tampilannya. Padahal sebenarnya dia belum tentu ada masalah seperti yang kita fikirkan. Atau mungkin memang sedang ada masalah. Secara tidak disadari ketika kita sudah mulai jatuh cinta menyukai seseorang maka secara refleks hal-hal itu akan kita alami. Dan aku yakin semua orang pasti mengalami semua itu. Termasuk juga dengan aku yang sudah dari dulu mrnyukai dan jatuh cinta sama reina sejak pertemuan pertama didepan loby mall sampai sekarang ini. Aku tahu semua tentang dia makanan favoritnya,model baju,celana tas sepatu yang dia sukai. Accesories yang paling sering dia pakai dan gaya rambut andalannya ketika mau pergi hangout dan pergi kepesta. Jadwalnya tidur jam berapa aku tahu. Kalau ngambek suka diam,diajak cerita lucu sedikit langsung tertawa mangap kayak ikan. Dia suka chatting sama siapa bahkan aku juga tahu pacarnya dia siapa. Dan dia juga tahu semua tentang aku. Hanya ada satu hal saja yang dia tidak tahu dari aku yaitu harapanku dan doaku semoga dia cepat putus sama pacarnya. Dan ini kalau dia tahu pasti sudah kayak sekutu belanda mau nyerang pasukan indonesia dihajar habis aku. Dan ritual rutinku setiap bertemu dengan dia adalah menanyakan kabar tentang hubungan dia dengan pacarnya. Dibalik pertanyaan itu besar harapanku jawabannya dia sudah tidak lagi sama pacarnya. Tapi brengseknya jawabannya berbeda dengan yang aku harapkan. Dia menjawab dengan entengnya 'baik-baik aja kok kemarin dia datang kerumah beliin aku sepatu baru' aku senang banget dia memeluk tanganku. tahu nggak yang ingin aku lakukan ketika mendengar jawabannya itu,aku langsung minta sama tuhan biar diberi tongkat ajaib seperti disinetron bidadari biar aku bisa menghilangkan laki-laki itu dari dalam ingatannya dan menggantikannya dengan aku. Reina,reina coba sekali-sekali yang kamu banggakan itu laki-laki brengsek yang ada didepan kamu ini. Baru dikasih sepatu sama dia senangnya sudah kayak mau terbang kearab. Kalau cuma sepatu aku bisa kasih kamu sepuluh rein,berapa sih harga sepatu. Sepatu merek apa yang dia kasih sama kamu sampai buat kamu begitu senangnya. Sampai kemana-kemana kamu ceritain terus. Mungkin kalau ada media yang meliput dia juga akan ceritakan. Bahkan dari siang sampai malam kamu bahas terus dan ceritain terus bahkan nyaris tidak ada topik pembicaraan lain selain menceritakan laki-laki itu. Enak banget ya dia dapat pacar bodoh kayak kamu kemana-mana kamu selalu selalu membawa namanya,menceritakan dia dan membanggakan dia. Setengah jam terjebak macet lamunanku disadarkan oleh bunyi klakson mobil yang ada dibelakangku. Macetnya sudah selesai. mobil yang ada dibelakangku mulai mau marah dan mungkin sudah ada yang bergikir mau menabrak belakang mobilku. Maaf ya semuanya,jangan sama aku kalau mau marah,marah aja sama kenangan yang berputar-putar dikepalaku. Asalkan satu syaratnya jangan marah sama orang yang ada didalam kenangan itu. Itu satu-satunya pujaan hatiku yang sampai saat ini dia belum juga menyadari kalau aku memuja dia. Hari ini aku merasakan suatu perbedaan yang jaug dari reina yang kukenal sebelumnya. Tampilannya,sikap diamnya,bentuk badannya yang menurutku bukan lagi langsing tapi kurus,muka tirus dan tanpa make up. Pertanyaan demi pertanyaan yang datang bergantian didalam kepalaku yang memaksa aku untuk menjawabnya satu persatu. Apakah dia masih marah sama aku yang membuat sikapnya dingin dan diam. Apa mungkin selama tiga bulan lebih tidak bertemu denganku dia sudah punya pacar baru yang merubah sikap dan tampilan. Kalau reina sudah punya pacar baru mengapa tidak bercerita. Biasanya apapun yang baru,dia selalu cerita sama aku. Dan hari ini dia tidak bercerita apapun sama aku. Rendy Rendy Rasa penasaranku dengan perubahan reina yang seratus persen berubah belun juga terjawab. Aku tidak akan berhenti mencari tahu sampai apa yang membuatku penasaran itu terjawab. Mungkin kalau nanya sama widya bisa terjawab.widya perempuan dan reina juga perempuan biasanya perempuan hampir sama penyebab segala perubahannya. Kalau laki-laki berubah karena ada perempuan yang mampu merubahnya. Mencari handphone. Menemukannya dalam keadaan layarnya gelap semua. Aku pencet-pencet tombol on offnya cuma ada satu cahaya dilayarnya berwarna putih dan ada gambar yang merah 'low batre' batreku sekarat lagi. Aku charger handphoneku beberapa menit sampai bisa on kembali. Menunggu batre handphone dicharger dan bisa on kembali aku mengelilingi jakarta tepatnya tempat-tempat yang sering aku dan reina datangi dan mager kalau sama-sama libur. Keliling kemonas terlihat kembali kenangan-kenangan yang ada disana dia ngotot minta foto diatas monas naik keatasnya dan meneropong jakarta pakai teropong yang ada diatas. Melihat keindahan kota jakarta dari atas monas. Dia teriak senang ' kota jakarta cantik ya kalau dilihat dari atas sini' Ren,fotoin gue pakai handphone loh dong disini Ren, bagus nggak fotonya Ren sakali lagi dekat sini Dekat teropongnya ren. Ren,pinjam kacamatanya dong biar teman loh ini keren Semua yang dia minta hari itu tidak ada yang kubantah ataupun kukomentar apa lagi ditolak. Jawaban yang bisa dari mulutku hanya satu yaitu 'iya'. cuma kata yang hanya terdiri tiga huruf dan cukup singkat sangat mudah diucapkan dan paling enak didengar. setiap orang yang mendengarnya langsung senang walapun yang mendengarnya dalam keadaan marah. kata itu adalah kata andalan yang kugunakan ketika dia sudah mulai bawel dan banyak maunya. Aku keliling lagi menuju pantai ancol disana sudah menanti juga kenangan yang sudah tahu kalau sore ini pemilik kenangan itu akan datang kesana. Dan disana juga reina paling banyak berfoto. Aku berhenti dan turun dari mobil. Mengambil cameraku yang ada dibagasi belakang. Mencoba untuk memfoto ulang daerah yang dulu reina paling suka berfoto. Cekrek..cekrek..cekrekk . Rein kenapa kamu tidak ada dicameraku. Satupun tidak ada kamunya yang ada di fotoku. Biasanya dulu kamu paling suka foto diatas perahunya. Foto di view pantai ria dan foto dibende tempat yang menurut kamu paling romantis. Bende juga sering digunakan untuk sesi foto prewedding. oleh orang- orang yang mau nikah. Dia pernah bilang kalau nanti dia nikah mau prewedding juga disana. Yang kebetulan atau memang disengaja waktu aku dan reina kesana ada yang sedang melakukan foto prewedding. otakku langsung membayangkan kalau yang sedang fhoto prewedding disana adalah aku dan reina. saling menatap saling memandang dan saling tertwa. apakah kamu masih tetap menggunakan gaya andalanmu tangan dipinggang dan mengangkat dua jari diudaramu itu. Aku berjalan dari pantai ria,bende,pool ancol sampai kakiku pegal semua dan menyerah tidak sanggup lagi berjalan karena dipaksa berjalan selama berjam-jam mengelilingi ancol. dan menelusuri semua kenangan yang sore ini Dia berfoto dengan gaya andalannya yang semuanya hampir sama. Dua jari dan tangan dipinggang. Dulu aku sempat protes gaya berfotonya. Gaya foto loh gitu terus,nggak ada yang lain apa?? Nanti kalau orang nanya kenapa gayanya selalu sama bilang aja biar ingat terus dan tidak cepat lupa. Dia tersenyum dan minta difoto lagi. Ini dia model fhotografyku yang paling fenomenal sedunia. Mempertahankan gaya fotonya yang sama pada setiap photonya yang katanya biar tidak cepat dilupakan, kalau aku melihat photo-photo yang ada dicameraku selalu ingat sama dia. Walaupun kamu tidak bergaya foto sama semua juga kamu tidak akan pernah terlupakan dan hilang dari ingatanku. Karena kamu sudah hidup didalam hati,jantung dan denyut nadiku. Kemanapun aku pergi aku akan selalu ikut dan akn terus bersamaku. Dan aku tidak akan membiarkan kamu hilang dari hidupku apa lagi sampai terlupakan. Dia paling senang merekam ombak yang menghempas dibibir pantai. Dan duduk dipinggirnya yang terkena semburan airnya. Dan kalau sudah senang dia suka heboh sendiri. Reeeennn... Kenapa??? Airnya kena aku. Bikin tegang aja, kirain kamu dicomot ikan hiu.. Loh sembarangan aja kalau bicara..bibirnya monyong,mukanya kesal. Aku tertawa Hati-hati ya ikan hiu kalau uda liat cewek cantik suka nyium.. Loh ma,nyasar mulu omongannya.. Lah iya,ikan hiunya jantan terus lihat yang bening,gimana nggak tergiur sih.. Bilang aja loh yang mau nyomot cium gue. Kadang kalau bicara suka pass ya.. Apa.?? Nggak lautnya naik suka pass.. Bohong. Iya... Tiga jam lebih aku berdiri mondar mandir dipinggir pantai ancol ini. Dengan segala kenangan yang dari tadi terus saja berkeliling dikepalaku dari tadi menemaniku berjalan menyusuri pantai ancol ini. Dan tempat yang ada disini seakan sedang berbicara menceritakan ulang kepadaku kalau dulu ditempat ini pernah ada seorang laki-laki yang datang kesini bersama seorang perempuan yang sangat dia cintai secara diam-diam. Dan perempuan itu sangat bahagia walaupun cuma satu hari atau cuma tiga jam atau cuma 30 menit menghabiskan magrib dan merekam ombak yang menghempas kebatu-batu yang sengaja disusun dipinggir pantai lalu kemudian pulang. yuk pulang.. cepat banget,uda mau pulang aja..kan baru sampai. aku minta ditemani kesini buat merekam ombak doang, Jadi,loh kesini buat merekam ombak aja.. Iya.. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menepuk jidatku sendiri. Kalau tahu kamu kesini buat merekam ombak aku tidak akan bawah cameraku. Buat apa kamu nyuruh aku bawah cameraku. Aku melihat nasib cameraku yang ada ditanganku. Cuma ditenteng tidak jadi fotoin perempuan cantik yang jadi model andalan dan titik fokusnya setiap kali mengambil gambar. Yang terkadang membuat tukang fotonya tidak bisa fokus sama cameranya karena melihat yang difotonya terlalu cantik. Hanya ditempat itu dia bisa lupa pacarnya dan tidak menceritakan pacarnya sama laki-laki itu. Dia selalu asyik dengan pantainya udara dan anginnya yang bertiup sangat kencang. Itulah sebabnya mengapa tempat itu adalah tempat yang paling laki-laki itu suka datangi ketika sedang bersama dengan perempuan yang dia cintai itu. Namun sayangnya perempuan itu tidak pernah menyadari bahwa laki-laki yang yang selalu dianggap sebagai sahabatnya itu sangat mencintai dia. Yang dia tahu adalah laki-laki itu adalah sahabat terbaiknya yang selalu nurut setiap dia suruh dan minta ditemani kemanapun. Bahkan laki-laki itu jadi berubah seperti orang bodoh ketika sedang bersama perempuan yang dia cintsi itu. dia mau melakukan apapun yang dia minta termasuk pergi ketengah laut sampai ditengah-tengah lautnya perempuan itu menyuruh dia terjun dan tenggelam disana. Laki-laki itu berpura-pura bahagia ketika sedang mendengarkan cerita bahagia perempuan yang dia cintai dengan pasangannya. Walaupun sebenarnya hati sangat sakit dan terluka. Penting baginya perempuan yang dia cintai itu bahagia walaupun kebahagiaan perempuan itu harus mengorbankan perasaannya. dan laki-laki bodoh itu adalah aku,iya aku. Bertahun-tahun aku menjaga perasaannya menjaga hatinya dan menunggu dia putus dari pasangannya. Dan sekarang dia putus sama pacarnya sikapnya berubah aneh sama aku. Dan aku juga berubah menjadi segan takut dan bungkam tidak bisa bicara apapun didepan dia. Kecuali hanya mengangguk dan iya. Harusnya sekarang adalah kesempatanku untuk menyatakan isi hatiku yang sebenarnya sama dia. Harus sekarang aku sudah tahu jawaban dia apa dan perasaan dia sama aku seperti apa. Ren,loh kenapa jadi bego begini, jadi penakut. Aku sadar ada suara dari belakang memanggilku. Dan menawarkan minuman. Mas pesan minum?? Iya, teh botol aja. Beberapa menit kemudian dia membawa sebotol teh botol dan memberikannya sama aku. Ini mas.. Terima kasih.. Reina paling senang setiap kali keancol minumannya selalu teh botol. Atau berubah sedikit minumannya es serut. Loh nggak suka minuman yang mahal sedikit apa biar gue beliin... Beneran nih nyuruhnya yang mahal,nanti bisa kelar loh dompet loh.. Nggak apa-apa sekali-sekali,biar berasa berjalan sama perempuan sedikitlah. Ingin juga kayak radit setiap pulang sama pacarnya ngeluh karena bangkrut. Hahahaha.. Dia ketawa Aku melihat jam ditanganku tidak berasa sudah jam 8 malam. Aku kembali kemobil melihat handphone yang aku charger. Dan batrenya sudah full. Aku menghidupkan handphone. Baru beberapa menit dihidupkan sudah banyak chat yang bermunculan. Dan panggilan WA yang masuk salah satunya chat dari reina. Bilang hati-hati pulang 5 jam yang lalu. Dan dua jam yang lalu dia telepon aku. 30 menit terakhir dia bilang "rendy,gue rindu sama kamu". Lima belas menit yang lalu 'rendy,tolongin gue (emoticon menangis) Jantungku berdebar dan lebih kencang detaknya dari yang biasanya. Baru pertama kali ini reina bilang rindu sama aku setelah kurang lebih lima tahun pertemanan aku dan dia. Rasa mimpi apa yang aku baca malam ini. Gemetar tanganku mengetik pesan dan membalasnyaa.'kamu dimana ?' chatnya langsung centang satu. WAnya tidak aktif lagi Aku kirim pesan lagi 'rein jangan marah,tadi handphoneku habis batre, Kamu kenapa ?? Kenapa WA kamu tidak aktif.?? Tetap tidak terkirim . Aku merasa bersalah. Rendy Aku chat widya Widya,loh dimana ?? Dirumah,kenapa?? Gue kerumah loh ya Iya,rendy... Aku memutar mobil menuju rumah widya. Sambil nyetir kepalaku tetap tidak bisa konsentrasi tetap memikirkan reina yang tiba-tiba WAnya offline. Apa sekarang dia sedang main-main ngerjain aku. atau mungkin dia benar-benar minta pertolongan. Tapi Kalau dia main-main dia tidak mungkin neleponku sampai berkali-kali. Cuma ada satu hal yang bisa membuatku merasa beruntung dan bahagia malam ini jalanan jakarta tidak macet dan sepertinya memang sedang berpihak kepadaku yang malam ini butuh kecepatan rata-rata nekan pedal gas mobil supaya cepat sampai dirumah widya. Hanya dalam hitungan menit saja aku sudah sampai dirumahnya widya. Dan mobilku memasuki halaman rumahnya. Diteras rumahnya aku sudah melihat widya dan radit yang duduk. Aku kurang mengerti mengapa radit ada juga dirumah widya. Mungkin cuma main temu kangen. Atau entahlah. Aku turun dari mobil langsung berlari menuju teras rumah Widya. Dia dan radit menyapaku dengan tersenyum hangat. Hy, apa kabar ?? Baik loh gimana kabarnya baik.. Gue nggak ditanyain kabar nih,radit nyeletuk.. Loh juga sekalian gabung ajalah.. Hahha Ada apa ya ren,kayaknya mendadak banget. Bukannya kemarin loh lagi diluar kotam Mau main sekalian nanya sama loh,kalau perempuan tiba-tiba merubah penampilannya itu kenapa ya,loh kan perempuan pasti tahulah ... Oh.. Lagi jatuh cinta atau galau nih.. Radit nyambung 'jangan bilang yang loh maksud itu dia ms.R' Kayaknya sih loh bicara selalu tepat deh malam ini.. Tu kan dugaan gue bener,gimana uda jadian sama dia... Belum,dalam proses doain ajalah.. Widya nyeletuk'siapa yang kalian maksud nggak ngerti gue" Bisnis laki-lakilah.. Hahhaha Radit nyeletuk lagi'wid loh jawab aja yang dia tanya tadi nanti loh juga bakal tahu.. Widya menjawab' kalau gue ya merubah penampilan itu ada dua faktor yang pertama karena punya pasangan baru dan yang kedua sengaja dirubah karena ingin melupakan masa lalu dan ingin menjalani hidup yang baru tanpa mengingat masa lalu." Oohhh.... Hehehe.. Otakku langsung terhubung dengan bayu mantannya reina. Mungkin reina sekarang sedang berusaha melupakan bayu. Wajar reina merubah segala penampilannya termasuk merubah sikapnya yang dulu sangat hangat sekarang cenderung pendiam dan lebih kalem. Aku senangnya aja kalau perubahan sikapnya memang untuk melupakan bayu. Tapi kalau perubahan sikapnya untuk laki-laki yang akan datang masuk kedalam kehidupannya aku tidak rela. Sampai kapanpun aku tidak rela. Radit mengejutkanku dengan menepuk punggung tanganku. Wooyy.. Jangan terlalu difikirin lah. Nggak juga, cuma tadi lagi nggak fokus aja lihat widya makin hari makin cantik aja.. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan jangan sampai radit memancing lebih dalam lagi tentang reina. Radit yang yang tahu tentang perasaanku sama reina hanya membalas dengan senyum yang mungkin dia juga sudah meramal kalau yangbkumaksud dari pertanyaanku adalah reina. Aku juga sering cerita tentang perasaanku sama reina dengan radit kalau lagin berdua sama dia. Aku memang sengaja tidak bercerita soal perasaanku sama widya. Sebenarnya tidak ada alasan yang khusus untuk membuatku tidak bercerita sama widya. Namun perasaanku saja yang tidak yakin untuk bercerita sama dia. Kalau sama widya dekatnya hanya sebatas teman bermain dan teman kumpul kalau lagi kumpul. Walaupun kenalnya sudah lumayan lama. Kalau cerita pribadi aku belum pernah cerita. radit juga tahu aku pernah nangis karena cumburu reina pergi sama bayu. Loh nangis rendy... Nggak tahu dit,perasaan gue dalam banget sama dia. Gue uda nggak bisa nahan lagi. Gue nggak rela dia sama laki-laki lain. Gue udah berkali-kali buat lupakan dan tidak ingat dia lagi. Tapi gue tidak bisa, bayangnya selalu hadir didalam ingatanku. Baru kali ini gue lihat loh cengeng nangis cuma karena perempuan. Loh udah coba ungkapin isi hati loh sama dia... Belum.. Ungkapin lah,biar nggak jadi beban buat loh.. Percuma gue ngungkapin dit dia tidak akan terima gue. Hanya akan membuat dia jadi jauh aja. Gue nggak mau karena ngungkapin isi hati gue, dia jadi menjauh. Lebih baik dia tidak tahu apa-apa asal gue bisa terus bersama dia,kapanpun gue mau. Ya uda kalau itu sudah jadi keputusan loh, gue sebagai sahabat loh bisa apa lagi. Tapi kalau loh butuh bantuan gue siap jadi mak comlang. Nngak perlu dit, loh cukup jaga cerita kita jangan sampai ada yang tahu lagi selain kita. Apa lagi dia. Siap brother.. Kalau itu yang loh minta Radit nyeletuk minta pulang sama aku. Ternyata dia tidak bawah mobil. Dia pinjam mobilnya widya. Sudah hafal sama ritual radit kalau sudah pinjam mobil dan pulangnya minta diantar pasti habis pergi sama perempuan. Radit paling suka ganti pasangan. Dia orangnya paling bisa naklukan hati perempuan. Dan setiap perempuan melihatnya langsung klepek-klepek kayak ayam habis dipotong tidak bisa nolak lagi. Dia merayunya jago. Sekali saja perempuan mendengar kata-katanya langsung percaya tanpa ragu lagi. Ren,gue pulang nebeng sama loh ya.. Oh, pasti habis pergi sama cewek..yang mana lagi?? Entar pulang gue tunjukin rumahnya.. Perempuan mana lagi yang belum loh patahkan hatinya.. Menurut loh.. Kayak uda semua termasuk yang itu.. Haha Itu apa?? Gue laki-laki baik kali.. widya langsung nyeletuk 'sok turunan kiyai pula padahal bangsat' Yuk kita kita langsung pulang.. Aku nyuruh radit buat nyetir mobil sampai rumahnya. Perasaanku malam ini tidak ada enak-enaknya. Badanku rasanya panas dingin. Terutama dibagian hatiku dari tadi selalu berdenyut dan tidak ada tenangnya. Melakukan apapun rasanys tidak ada semangatnya. Aku membuka WA lagi berharap ada balasan chay dari reina. Namun tetap saja handphoneku sepi dan chat yang aku kirimkan sama reina tiga jsm yang lalu masih centang satu. Itu artinya juga dia belum online sejak meneleponku terakhir. Aku melihat jam di handphone sudah jam sebelas lewat. Sepertinya sudah tidak mungkin lagi kalau aku kerumahnya. Dia pasti sudah tidur. Walaupun dia belum tidur tetap tidak enak main kerumahnya malam-malam. Aku mencoba menelepon dia. Nomornya juga tidal bisa dihubungi. Artinya bukan cuma data internetnya yang di offline tapi handphonenya juga dimatikan. Reina kamu malam ini benar-benar bikin aku khawatir dan merasa tidak tenang. Aku membaca ulang chatting aku sama diam yamg dari pertama bertemu sampai terakhir. Terbaca juga olehku kata-kata penolakan dia yang mengatakan dia tidak menyukaiku dan aku bukanlah tipe laki-lai idaman dia. Sebenarnya saat itu dia sedang bercanda aku juga sedang bercandain dia. Tapi walaupun aku bercanda tidak sepenuhnya bercanda. Karena dibalik bercandaku ada kejujuran yang sedang kucoba untuk kusampaikan. Namun dia tidak pernah menyadari itu semua. Dia hanya menganggap kalau apa yang kukatakan tentang perasaanku sama dia adalah bercanda atau modus. Setiap orang punya rasa kekhawatirannya terhadap pasangannya orang yang dia sayang atau orang yang dia cintai. Termasuk juga aku salah satunya dari orang-orang itu yang mengkhawatirkan keadaan reina yang tiba-tiba WAnya tidak aktif dan nomor handphonenya juga tidak aktif. Itu adalah hal membuatku tidak tenang tidak bisa tidur,bahkan mataku tidak bisa diajak tidur padahal ngantuknya luar biasa. Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan ketika hatiku tidak tenang fikiran kemana-kemana. Orang yang bisa yidur dengan tenang kalau hati dan fikirannya tenang. Sekarang aku bisa menutup mataku dan terlihat seperti tidur bagi orang yang melihatku. Namun sebenarnya hanya mataku yang tertutup dan tidur tidak dengan hati dan perasaanku. Mataku tertutup juga karens dipaksa ditutup. Dalam keadaan mataku tertutupun aku masih bisa melihat bayang-bayang dia didepanku. Dia tertawa, dan mejahiliku. Dia yang sedang menggodaku. Terbayang semua tentang dia dan aku yang paling sering menghabiskan waktu libur bersama dia. Dengan berburu makanan dipinggir jalan berkeliling sambil naik motor disore hari. Membeli jajanan yang dijual dipinggir jalan. Sampai jam sepuluh malam. berkeliling kurang lebih 3 jam mondar mandir menyusuri sepanjang jalan mencari jajanan yang memang dia suka sampai pegal kakiku menemani dia. Yang setiap pedagang yang dia tanyain tentang makanan yang dia jual dari harga,rasa,bahan dasarnya kemudian dia langsung pergi ke pedagang yang lain. Masih tetap dengan pertanyaan yang sama sampai pada pedagang yang paling terakhir. Sampai dipedagang yang paling terakhir dia tidak bertanya apapun cuma diam sambil memandingi jajanan yang dijual pedagang. Apalah yang sedang dia fikirkan. Aku fikir dia berhenti didepan pedagang itu mau membeli jajanannya. Aku mendekati pedagangnya dengan maksud untuk membeli jajanannya. Aku baru berdiri didepan mejanya dia menarik tanganku dan bilang 'nanti aja ya bu,maaf ya'. Dia mengajakku kembali kepedagang yang pertama. Dia mendekatkan bibirnya dikupingku 'kita kembali kepedagang yang pertama tadi ya,cacingku sukanya gado-gado bukan gorengan'. Dia tersenyum kearahku. Aku memandang dia. Apapun yang kamu inginkan aku turutin. Tidak ada kata-kata penolakan apa lagi membantah yang bisa keluar dari mulutku. Ketika senyum manis yang mengkhiasi wajahmu itu sudah lebih dulu meruntuhkannya. Apa yang tidak bisa aku lakukan untuk orang yang aku sayang. Aku mengangguk sambil tersenyum 'ayuk' Tangannya meraih pinggangku. Refleks atau memang disengaja. Sore ini aku merasa bahagia. Aku bisa merasa lebih dekat dengan dia saat tangan itu merangkul erat pinggangku. . Sampai tidak terasa waktu sudah larut malam. Semua dilewati dengan bercanda,senyum,bahagia. Sambil menikmati hujan gerimis berdua. Ren,ini rumahnya... Radit membangunkanku dari bayang-bayang itu. Aku tersadar rupanya aku memang sedang dilanda rindu. Aku terbangun membuka mataku. Mataku masih belum jelas melihat apa yang radit tunjuk. Aku mengucek mataku dengan tanganku supaya bisa melihatnya lebih jelas. Karena mataku baru selesai melihat kenangan dimasa lalu. Wajar sekarang tidak jelas melihat yang nyata. Setelah aku mengucek mataku barulah aku bisa melihat dengan jelas apa yang radit tunjuk. Sebuah rumah putih besar. Dengan nuansa lampu berwarna kuning dan dihalamannya dipenuhi tanaman bunga. Rumah siapa dit?? Rumah yang tadi gue ceritain sama loh.. Ini rumahnya.. Cewek banget dit.. Iyalah dia itu sebelas dua belas sama reina,tapi dia lebih lembut.. Tetap aja kalau cantiknya,cantik reina .. Itu karena loh suka sama reina,kalau loh nggak suka sama reina pasti langsung kesambet melihat dia... Nggak lah, secantik apapun kalau sudah bekas loh itu,uda nggak waras semuanya.. Beneran nih.. Perempuan mana lagi yang tidak loh ajak tidur kalau sudah sama loh dit,gue ini teman loh yang kenalnya bukan kemarin sore.. Radit tertawa aku juga tertawa. Aku langsung terfikir kalau anggota keluarganya lebih banyak perempuan. Terlihat dari bentuk rumah dan tanaman yang ada didepan rumahnya semua hampir bunga. Seperti halaman rumah reina yang juga dipenuhi banyak bunga. Radit menekan pedal gas mobil untuk melanjutkan tujuan pulang kerumah. Aku melihat jam dihandphoneku. Dit, uda jam dua pagi.. Iya, kan tadi lumayan jauh perjalanannya keliling dulu. Semua kena macet. Pantas pantat gue uda perih duduk.. Loh nggak tahu gue aja,kalau bawah mobil gimana... Ya uda langsung pulang ya,gue ngantuk.. Okeeeee.... Siap 86 calon tuan bos reina. Radit menyindirku dengan menyebut nams dia. Aku cuma tersenyum melihat kearah dia. Setiap ada yang menyebut nama reina aku selalu berharap ada keajaiban datang dia benar-benar bisa jadi milikku. Aku membuka WA ku dan chat reina minta dibangunkan pagi-pagi. Kurang lebih jam 3 pagi aku baru sampai dirumah. Hampir satu malam full aku menghabiskan waktu dengan berkeliling jakarta. Aku masuk kedalam rumah dan langsung menjatuhkan badanku diatas sofa yang ada ruang tamu. Rasanya sudah seperti seharian kelaparan dan baru bertemu nasi dengan menu yang sangat disukai. Semua tulang-tulangku seperti sedang sujud syukur karena akhirnya bisa diluruskan setelah seharian disiksa dan dipaksa membengkok didalam mobil. Merasa sangat lega. Reina Pagi ini rencanaku adalah pergi kerumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Ini adalah rutinitasku yang paling aku benci namun harus tetap aku lakukan. Pergi kerumah sakit dan menemui dokter. Yang sudah pasti dokternya bilang kalau aku harus kemoterapi,radioterapi atau operasi. Sekalian dok bilang mati mati saja sekalian. Biar lebih tenang. Dan harus menerima obat-obat yang harus diminum setiap hari. Gunanya bukan untuk menyembuhkan,bukan juga menunda kematian melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit ketika sudah mulai merasa sakit. Hari ini aku memilih untuk tidak lagi kedokter. Aku memilih diam dirumah dan menahan sakit. Karena percuma aku datang kedokter jika nanti waktu kematianku tiba aku akan mati juga. Dan akan meninggalkan segala yang ada didunia ini. Meninggalkan orang tuaku,adikku usahaku dan segala hal yang aku miliki sekarang. Termasuk juga dengan rendy. Mungkin kalau aku sudah tidak lagi didunia ini aku bisa merasakan sedikit bahagia. Dan rasa sakitku ini bisa sepenuhnya hilang. Tidak adak membebani orang-orang yang ada disekitarku. Dan tidak akan lagi mendengar ocehan dokter yang setiap kali aku datang. Kamu tidak boleh terlalu capek, tidak boleh banyak gerak, harus banyak istirahat dan yang paling penting aku harus minum semua obat yang sudah dia resepkan. Dan harus terus mendengarkan saran dia kemoterapi,radioterapi dan operasi. Semua ocehan dan saran itu harus terus bisa kuterima dan kudengar setiap kali aku konsultasi. Rasanya sudah hafal semua kata-yang akan dia katakan setiap kalu aku datang konsultasi. Dan tidak ada yang beda. Pasti kata-kata itulah yang akan diucapkan. Dan prosesnyapun sudah melekat dikepalaku ditanyain kondisi kesehatanku, diperiksa sudah itu disuntik dan terakhir dikasih resep obat yang harus kutebus diapotik. Punggungku sudah hancur oleh jarum suntik. Setiap kali konsultasi selalu disuntik. Dan itu bukan satu suntikan tapi 2 suntikan setiap kali berobat. Tidak ada lagi yanf belum kenai tusukan jarum suntik dipunggungku. Semua sudah ditusuk semua. Dalam sebulan harus 4 kali dusuntik satu kali suntik itu 2 jarum suntik yang harus menancap kepunggungku. Terbayang selama sebulan berapa jarum suntik yang harus menancap dan menusuk punggungku. Rasanya telingaku sudah hampir tuli akibat minum obatnya setiap hari. Dan aku sudah tahu kalau aku sampai kesana dokternya akan bilang apa.. Saya cek lagi kondisi ibu iya.. Kondisi ibu sudah makin parah.. Ibu harus dikemoterapi atau radio terapi Ibu harus dioperasi pemotongan usus Ibu harus banyak istirahat.. Tidak sekalian aja dokter bilang sama aku dokter 'ibu mati saja gitu' biar tidak merepotkan lagi. Mulai hari ini aku mengambil keputusan untuk tidak lagi berobat dan pasrah pada kematian yang akan menjemputku. Aku hanya menghabiskan waktu dikamar menulis semua yang menurutku perlu kutulis dan mungkin bisa menjadi wasiatku ketika aku sudah tidak ada lagi. Aku menghidupkan handphoneku yang semalam aku matikan total. Karena tidak mau lihat balasan rendy yang alasannya maaf ya tadi aku ketiduran, maaf ya tadi batreku habis lagi charger. Setelah seharian seharian bersama rendy perasaanku berubah. Jadi cemburu. Aku benci dia menemui pacarnya. Dan semalam aku rindu sekali sama dia. Kalau bisa dibilang aku ingin dia kembali kerumahku dan bercerita lebih lama lagi. Bahkan aku tidak ingin dia jauh lagi dari aku. Aku chat dia dan WA dia tidak aktif .hatiku sakit sekali seperti disayat-sayat pakai sembilu. Entah mengapa aku rindu sekali mendengar suara dia ditelepon. Waktu dulu sangat sering teleponan dan vidio call an kalau lagi berjauhan. Dan sekarang aku mencoba ingin mengulang semua itu. Aku mencoba menelepon dia lewat vidio call tidak dijawab. Aku mencoba menelepon dia pakai nomor telepon,nomornya tidak aktif. Berulang-ulang kali aku mencoba meneleponnya dan nomornya tidak aktif. Terakhir aku chat dia aku sakit perutku sedang kambuh dan sakitnya tidak tertahan . Aku hanya minta tolong sama dia berharap chatku yang terakhir WA-nya sudah aktif. Namun ternyata belum juga aktif. Aku menangis dan mematikan handphoneku. Aku kesal. Aku menangis seakan dia tidak akan ada waktu lagi untukku. Beberapa detik handphone dan datanya ku online sudah banyak pesan yang masuk. Group kantorku yang percakapannya sudah tiga ratus lebih. Ada juga dari radit yang menanyakan tentang kabarku dan juga keadaanku. Widya juga chat menanyakan tentang kabarku dan mengajak kumpul dan hangout lagi. Sudah lama geng kami tidak pernah kumpul dan hangout lagi. Aku juga tidak tahu sudah berapa kali radit ganti pacar. Bagaimana kabar tentang hubungan widya dengan pacarnya. Semenjak aku sakit dan lebih banyak memilih dirumah quality time kami untuk kumpul sudah jarang sekali dan boleh dikatakan tidak pernah ada yang namanya quality time lagi. Radit sibuk sama bisnisnya dan perempuan-perempuannya. Widya juga sibuk dengan usaha orang tuanya. Yang katanya kalau orang tua tidak bisa lagi mengelolanya akan diwariskan sebagian sama widya. Sedangkan rendy sibuk dengan presentasi ke clien yang ada diluar kota. Terbang dari satu kota kekota yang lainnya selama berbulan-bulan. Sementara aku sendiri sibuk dengan penyakitku,obat-obatan, dan jadwal ruti konsutasi kedokter. Yang aku sendiri tidak tahu apakah aku akan sembuh atau tidak. Dari banyak chat yang masuk ada juga chat dari rendy yang masuk. Yang dugaanku benar tidak melenceng sedikitpun dia akan membuat alasan sesuai dengan yang aku duga. Aku masih kesal karena aku merasa perhatiannya sudah berpaling sama orang lain. Dia juga bilang 'tidak biasanya loh chat bilang rindu sama aku,aku juga rindu kamu rein sangat rindu. Bahkan lebih dari yang kamu rasakan. Kamu dimana? Kenapa WA kamu tidak aktif dan nomor kamu tidak busa aku hubungin' Kurang lebih jam tiga pagi dia chat aku lagi dan minta dibangunkan. Aku mencari namanya dikontakku dan menelepon dia. Nomornya aktif teleponku terhubung. Iya rein, suaranya sama-samar.. Uda bangun belum.. Baru mau bangun.. Iya uda,semalam kamu kemana?? Nggak kemana-mana. Kamu jahat banget sih,aku chat nggak fibalas nelepon tidak diangkat.. Batreku habis,maaf.. Aku memutuskan teleponku. Mendengar suaranya yang sedikitpun menurutku tidak ada nada perdulinya membuat perasaanku makin sakit. Padahal aku ingin cerita lebih banyak lagi. Tapi aku menghentikan niatku dan memilih mematikan telepon. Katanya kamu suka sama aku rendy tapi mengapa kamu tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Katanya kamu juga rindu sama aku mengapa aku telepon kamu acuh dan seperti tidak perduli. Kamu bisa merasakn tidak apa yang apa yang aku rasakan ini. Beberapa menit aku matikan telepon dia chat lagi 'kamu kenapa,maafin aku' aku mengalihkan pembicaraan tidak tahan lagi dengan pembahasan yang sudah pasti makin membuat hati sakit lebih dalam lagi. 'kamu jadikan nemanin aku kelembang bandung?' Jadi,kapan maunya ' dia membalas.. Besok ya .. Oke, .. Cuma satu kata itu kamu balas chatku rendy. Kamu tidak mau nanya yang lain lagi sama aku. Atau nanya keadaanku sekarang. Memang tidak ada pentingnya lagi aku buat kamu rendy. Terkadang dalam situasi seperti ini aku harus membenci diriku sendiri. Mengapa dulu semua perhatiannya sepenuhnya untukku. Aku justru menyia-nyiakannnya. Sekarang ketika perhatian itu sudah hilang dan tidak tertuju lagi untukku aku sangat mrngharapkannya. Sekarang aku merasa kehilangan perhatian itu. Aku rindu semua perhatian kamu yang dulu rendy. Yang setiap pagi meneleponku dan membangunkanku walaupun cuma bilang bawel bangun sudah siang.. Atau meneleponku malam-malam buat nanyain sudah tidur belum ataupun cuma bilang iseng aja buat habiskan gratisan telelon takut mubazir. Walaupun sangat sederhana dan terbilang tidak berpengaruh tetap saja itu adalah yang membuatku bisa nyaman. Reina Keluargaku,teman-temanku belum ada yang tahu tentang penyakitku ini. Yang mungkin akan segera merenggut nyawaku. Cepat atau lambat akan menjadi malaikat pencabut nyawa bagiku. Aku tidak pernah memberi tahunya. Aku hanya ingin menanggung dan merasakan perasaan sakitku ini sendirian. Aku menulis surat untuk nanti bisa dibaca oleh mereka ketikaku sudah tidak ada. Dan akan tahu juga alasan mengapa aku tidak pernah memberi tahu tentang sakitku ini. Tulisan-tulisanku ini akan bercerita dan menjadi saksi atas segala hal yang aku alami. Aku mengambil pulpen dan memulai menulis. Satu persatu untuk ibuku, untuk adikku dila, adikku yang bungsu. Dan untuk ketiga sahabat karibku radit,widya dan rendy sahabat sekaligus cintaku yang dalam detik-detik terakhir hidupku ini dia menyatakan perasaan cintanya padaku. Sekarang hanya ada dua hal yang kutunggu dari sisa umurku ini yang pertama menunggu maut datang menjemputku dan yang kedua menunggu rendy menyatakan perasaan cintanya sama aku. Karena aku tahu bahwa rendy juga memiliki peradaan yang sama sepertiku. Aku mulai menggoreskan pulpenku dibuku harianku. Dan mulai menetes juga air mataku ketikaku mulai bertutur bercerita dengan tulisan-tulisanku. Tanganku terasa gemetar seakan tidak sanggup memegang pulpen dan menulis. Seakan masih menolak untuk membuat catatan itu. Buku-buku yang ada dimeja tulis seakan ikut menangis melihatku menangis. Tetesan air mataku jatuh dibuku tulisku aku lingkari pakai pulpen merah yang aku beri keterangan bahwa saat aku menulis itu aku sedang menangis. Sambil menulis mataku berkeliling melihat semua sudut yang ada dikamarku. Memperhatikan semua sisi yang menjadi ciri khas dari kamarku. Letak lemari, tempat tidur, lemari make up dan lemari koleksi bonekaku. Aku berbicara dengan diriku sendiri dan juga dengan barang yang ads didalam kamarku. Mataku juga ditujukan pada album fhoto yang ada dimeja tulisku aku membukanya kembali dan melihat semua fhoto kenangan yang tersimpan rapi didalam album fhoto ini Dialbum fhoto tebal ini semua metamorfosa hidupku tersimpan dari fhoto kenangan ketikaku masih jadi staff karyawan swasta di sebuah perusahaan. Fhoto ketikaku mulai punya usaha tapi masih kecil. Fhoto persahabatanku dengan rendy,radit dan widya. Ada juga fhoto balitanya arya. Disetiap halaman album fhotoku itu semuanya menyimpan cerita tersendiri. Ada fhotoku sama rendy,yang aku lagi digendong dia. Waktu jalan-jalan dipantai ancol. Itu aku masih ingat yang fhotoin waktu itu tukang jual es serut kebetulan lagi ada disana. "tunggu disini sebentar ya" rendy berlari dan mendekati tukang jual es serut. Dia menarik tukang jual serut mendekat kearahku. Rendy meminta cameranya yang sedangku kupegang. Dia meraih pinggangku dan menggendongku. Dengan suaranya yang terbata-bata karena menarik nafasnya "langsung fhoto ya pak". Tukang es serutnya cuma tersenyum dan menangguk. Beberapa menit setelah tukang es serutnya mengambil gambar kami berdua dia memberikan kembali cameranya. Rendy menurunkanku dan meraih camera yang diberikan oleh tukang es serut kepadanya. "terima kasih ya pak". Rendy melihat hasil fhotonya yang kurang lebih ada lima fhoto. Dan dari kelima fhoto itu hanya ada satu fhoto yang hasil gambarnya bagus. Sisa buram semua. Mungkin karena cameranya goyang karena angin pantai atau karena yang motonya gemetaran. "kok hasilnya ngeblur semua sih " rendy sedikit kesal. "mungkin goyang kena angin, kan anginnya lumayan kencang" "karena angin pantainya,atau yang motoin kurang fokus karena melihat keromantisan kita??". Isengnya mulai keluar. "romantis, apanya ?? Berbisik dalam hati. Rendy mengajakku ketempat cetak fhoto. Untuk mencetak hasil fhotonya. Disana rendy mencetak tiga dua ukuran 2R dan satunya 10R . Satu yang ukuran 2R dia berikan sama aku dan dua lagi ukuran 2R sama 10R dia bawah pulang dan diletak didalam dompetnya. Yang dia berikan sama aku sengaja dia cetak kecil supaya aku bisa meletakkanya didalam dompetku dan kalau aku rindu bisa langsung melihat. Dan supaya aku selalu ingat sama dia setiap kali aku membuka dompet. Aku pandangi lama fhoto yang dia berikan sama aku itu. Rendy sekarang sedang merindukan kamu. Dan sekarang juga sedang memandangi fhoto yang dulu kamu berikan sama aku. Semoga saja kamu sekarang juga merasakan hal yang sama denganku. Sama-sama saling merindukan. Pada halaman terakhir album fhoto itu terselip fhoto kecil yang tidak lain itu adalah fhoto aku dan bayu. Fhoto pertama kami setelah aku dan dia jadian dipantai bende ancol. Waktu jalan-jalan sore dibende. Yang dia juga menginginkan kalau nanti menikah mau prewedding disana juga. Selain view nya yang bagus dan kesannya romantis suasananya juga enak. Namun sayangnya impian itu tidak kesampaian karena belum sampai ketujuan hubunganku sama dia kandas. Memandangi semua fhoto kenangan ini membuatku seperti kembali lagi dimasa yang ada didalam kenangan ini. Masa dimana aku bisa tertawa lepas,bisa bebas pergi kemanapun,bebas mau makan apapun. Bisa tidak tidur sampai pagi. Bisa membuli rendy setiap kali bertemu dengan dia. Dan tidak pernah menyangka kalau hari ini hidupku akan berakhir seperti ini. Air mataku tidak terbendung. Menangis tiada henti dan waktu yang bersamaan perutku kembali sakit. Aku hanya menahan rasa sakitnya dengan mengggigit bibir dan memegangbperutku dengan kudua tanganku sekuat mungkin. Bbibirku rasanya sudah hampir mau putus karena digigit menahan sakit,menahan tangisan jangan sampai bersuara apa lagi menjerit. Aku terjatuh kelantai dan penglihatanku gelap badanku mengeluarkan keringat. Badan menggulung. Tidak ada hal yang terlintas didalam fikiranku saat aku menahan rasa sakitku itu. Kecuali arya,dila dan adikku. Kalau nanti aku sudah tidak ada siapa yang akan mencari nafkah. Ibuku sudah tua, dila masih kuliah arya masih kecil. Rein,kamu sayang banget sama keluargamu. Dalam keadaan kritis dan sekaratpun kamu masih sempatnya memikirkan keluargamu. Yang seharusnya sekarang kamu sudah tidak waktunya lagi memikirkan orang lain melainkan tapi memikirkan diri kamu sendiri dulu. Dan nasibmu dimasa mendatang. Bagiku tidak ada alasan bagiku untuk tidak memikirkan keluargaku. Keluarga adalah satu-satunya harta yang paling berharga yang aku punya. Tidak bisa diuangkan,tidak bisa ditabung dan tidak bisa didepositokan. Akan tetapi keluarga adalah hal yang harus diutamakan dari yang diutamakan. Dan hal yang harus diperjuangkan dari sekian banyak perjuangan. Keluargaku adalah hartaku. Rumahku tempat berpulang,tempat mengadu dan bercerita tentang keluh kesah yang sedang kurasakan. Aku menutup album photoku yang dari tadi bolak balik kulihat satu persatu. Aku kembali lagi kebuku diaryku yang juga sudah basah penuh tetesan air mata. Tinta pulpen yang ditulisanku jadi buram karena terkena tetesan air mata. Rendy Rendy Pagi ini tidur nyenyakku dibangunkan oleh suara telepon dari handphoneku. Aku tidak melihat layar handaphoneku siapa yang meneleponku. Aku hanya menekan tombol untuk menjawab panggilan dan meletakkannya diatas ditelingaku. maklum karena kondisi mataku masih dalam keadaan tidur dan belum sepenuhnya sadar. terbangunpun karena suara handphoneku yang berbunyi. Boleh dikatakan masih setengah sadar,setengah mimpi,setengah melihat dan setengah tidur. Pokoknya setengah-setengahlah. Walaupun aku tidak melihat namanya aku sudah kenal jelas suara yang meneleponku pagi ini. Setelah dia berbicara mengucapkan selamat pagi dan membangunkanku. Suara Lembut,halus dan sedikit tegas atau boleh dikatakan setiap orang yang mendengar suara itu langsung bisa menebak dia adalah perempuan cantik yang baik dan bertutur kata lembut. bagiku suara itu adalah suara spesial yang tidak akan pernah kulupakan sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun bahkan mungkin dalam keadaanku sedang amnesia, otakku bisa saja melupakan hal-hal yang lain. Tapi otakku tetap tidak akan pernah bisa amnesia dengan nama dan wajah reina. detak jantung dan debar hatiku tetap bisa merasakan kehadiran dia ketikaku berada dekat dengan dia. akan selalu menjadikan suara itu selalu spesial untukku. gadis turunan palembang yang membenci kota jakarta namun menggantung hidup dikota jakarta yang setiap ditanya mengapa membenci kota jakarta jawabannya selalu macetnya, dan kalau ditanya mengapa bertahan hidup dikota jakarta jawabannya selalu karena tuntutan hidup. menurutnya sebagus apapun kota jakarta tetap saja palembang adalah kota yang paling spesial baginya. dia lebih suka hidup di daerah asalnya dibandingkan hidup didaerah orang. yang katanya hidup didaerah orang itu semuanya harus pakai duit. tidak ada yang bisa didapat hanya dengan mengucapkan terima kasih. "didaerah orang semuanya yang kita butuhkan baru bisa didapat kalau sudah diembel-embel pakai uang ren, didaerah orang kata terima kasih itu tidak berlaku. sedangkan didaerah sendiri minta tolong hanya dengan mengucapkan terima kasih kita masih bisa mendapatkan bantuan. tanpa harus ada embek-embel uang diujungnya." sempat ada perdebatan antara aku dan reina ketika reina bilang benci jakarta tapi memilih menggantungkan hidup dikota jakarta. kenapa kamu tidak suka kota jakarta?? "aku bukan tidak suka kotanya, tapi aku benci kepadatan dan kemacetan jalannya. masa untuk tidak telat sampai kekantor kita harus berangkat jam 6 pagi, kondisi langit masih gelap masih banyak embun ren. lewat jam 6 kita on the way dari rumah sudah pasti kena macet. sementara aku jam 6 itu baru mau melek buka mata bahkan terkadang masih mimpi nyenyak dikasur. macetnya bisa membunuh jam. dan kalau sudah terjebak macet kita sudah pasti telat sampai kekantor. untung ya ren, aku tinggal dijakarta sudah jadi bos, jadi mau telat jam berapapun tidak ada yang protes. tidak ada aksi potong gaji, ketakutan sampai kekantor kena omel atasan, dapat SP(surat peringatan) atau yang lebih parahmya dapat ancaman di-PHK. dijakarta buat kepasar , kemall atau kepusat perbelanjaan yang lainnya kita harus mencari jalan tikus biar cepat sampai ketujuan,kalau nggak lewat jalan tikus alamat sampai kepasarnya matahari sudah diatas kepala, dan sudah pasti tidak akan kebagian sayuran segar lagi sekalipun masih ada sudah layu." "dipalembang nggak pernah macet ya???" "ada sih ren, namanya juga kota udah maju,pasti ada yang namanya macetlah. tapi tidak separah kota jakarta juga, yang nunggunya sampai tensi jantung naik mendadak. mau marah terus." "kayak kena sakit jantung aja ya??? "kurang lebih gitulah' . dia tertawa dan menoyor kepalaku. "terus mengapa loh sampai sekarang masih bertahan dikota jakarta??" "karena memenuhi tuntutan hidup, biarpun kota jakarta macet tapi pertumbuhan ekonomi dan perputaran uang delapan puluh persen dikota jakarta ini. menoyor kepala itu salah satu dari ritual reina yang tidak bisa dia tinggalkan ketika dia sudah mulai bete. Pagi ini gadis palembang yang pada pandangan pertama dan pertemuan pertama sudah membuatku jatuh hati. Meneleponku dan membangunkanku. Yang sudah membuatku khawatir selama hampir satu malam ini memikirkan dia. Karena ketakutan dia kenapa-kenapa. Dan membuatku kembali lagi kemasa lalu. Masa dimana aku dan dia pernah bersama,tertawa lepas bersama dan pergi jalan-jalan berdua. Selama satu malam ini juga nomor handphonenya tidak bisa dihubungi dam WA-nya offlline. Dan selama satu malam ini juga membuatku sadar dan mengerti bahwa dia adalah perempuan yang kuinginkan dan dia sangat berarti untukku. Membuatku bisa merasakan khawatir,takut kehilangan, merasa rindu,cemburu,sakit hati dan harus terus berfikir tentang dia. Yang membuatku harus bertanya dan ingin tahu mengapa perempuan tiba-tiba merubah penampilan dan gaya hidupnya. Dan malam itu juga aku tahu alasannya. Walau mungkin alasan yang diberikan widya belum tentu sama dengan alasan reina mengubah penampilannya. Setidaknya aku bisa memprediksi walaupun prediksiku belum tentu juga benar. Mendapat telepon dari dia pagi ini membuatku merasa tidak seperti tidur jam tiga pagi, tapi seperti tidur satu malam full. Setelah mendapat telepon itu mataku langsung melek dan dadaku berdebar-debar membuatku merasa lega, aku merasa ada sesuatu hal yang selama ini menghilang dan pagi ini kembali lagi. Dan pagi ini aku merasakan reina membangunkanku seperti sepenuhnya pakai perasaan. Aku bisa merasakan dari dia yang bicara pelan,halus, menyentuh. Berbeda dengan biasanya yang kalau membangunkan tanpa mengucapkan selamat pagi langsung manggil "nyet,bangun udah siang". Ritual minta dibangunkan pagi-pagi sama reina itu adalah hal yang biasa. Setiap kali aku tidurnya malam pasti selalu minta bangunkan sama dia. Reina termasuk perempuan yang tidak pernah telat bangun pagi. Walaupun dia bangun paginya cuma untuk menelepon dan membangunkanku. Setelah itu tidur lagi. "rendy,bangun uda jam 6" "iya rein,uda mau bangun kok" "ya uda.. Gue lanjut lagi ya.. "lanjut apa ?? "lanjutin mimpi gue yang tertunda, keburu bangun buat bangunin loh..tadi baru mau nyium.. "nyium apanya... "boneka pandanya.. "kirain.. Ya uda lanjutin mimpi loh. Semoga bahagia dan semoga seru ya. "byeeeeee Reina Tuk..tuk..tuk Suara halus yang mengetuk pintu kamarku pagi ini. Yang suara ketukan itu masih terasa asing bagiku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan membuka pintu kamar. Setelah aku membuka pintu kamarku, Didepan pintu kamar aku sudah melihat ibu yang berdiri didepan pintu,pagi ini aku merasa sedikit aneh tidak biasanya ibu mengetuk pintu kamarku dengan halus seperti tadi. Biasanya ibu mengetuk pintu kamar sambil memanggil namaku juga. Pagi ini dia terlihat sangat berbeda dengan biasanya. Ekspresi wajahnya,tatapan matanya yang menatapku begitu dalam dan memiliki banyak makna. Ibu juga tidak bicara apapun sama aku. Aku juga tidak bicara apapun aku memandang kearah dia. Kurang lebih satu menit ibu memandangku aku memandangnya. Aku mencari cela untuk memulai cerita. Jangan Sampai suasana hening itu berlanjut. "ada apa ibu??? "kenapa akhir-akhir ini jarang sekali pergi kekantor,dan lebih banyak mengurung diri dikamar??? "aku cuma lagi.. Malas buat kekantor aja bu.. Ibu menatapku kembali "kamu ada yang disembunyikan dari ibukan... Aku tersenyum "nggak ada ibu".. "ibu melihat kamu akhir-akhir ini banyak yang berbeda dari kamu,apa kamu sakit?? "oh,nggak bu, aku sehat kok. Nha liat " Aku mencoba terlihat kuat didepan ibu dengan berputar didepan dia sambil tersenyum. Padahal waktu ibu aku berputar berputar didepan ibu sebenarnya aku sedang menahan perutku yang kambuh lagi sakitnya. Aku tidak kuat berputar didepan dia. Semakin banyak aku bergerak makan akan semakin terasa sakit. Senyuman ibu kembali menghias diwajahnya ketika melihatku berputar-putar didepannya. Dan aku senang melihat kekhawatiran diwajahnya perlahan menghilang oleh senyumannya. Tapi ibu belum langsung senang sampai disitu saja. Ternyata ibu masih menyiapkan pertanyaaan lain yang harus aku jawab dan mengharuskan aku juga untuk berbohong. "rein,tempo hari ibu pernah mendengar kamu menjerit dikamar seperti meminta tolong gitu, itu kamu kenapa ?? "kapan bu ?? "pagi-pagi kemarin kalau ibu nggak salah.. "oh,itu aku lagi nonton film hantu bu,serem banget maka aku ikutan jerit.. "ya uda, kita sarapan kebawah.. "iya bu nanti aku nyusul.. Belum mood buat sarapan.. "ibu duluan kebawah ya.. Ibu melangkah pergi meninggalkan didepan pintu kamar. Maafkan aku bu sudah membohongi ibu seharusnya aku tidak berbohong dan menyembunyikan apa yang sebenarnya aku alami. Aku hanya tidak mau ibu sedih dengan keadaanku yang sekarang. Seharusnya aku sudah menceritakan semua tentang aku yang kusimpan selama ini. Aku mengurung diri dikamar bukan karena aku sudah tidak kuat lagi untuk berjalan keluar rumah. Tapi aku tidak kuat untuk melihat muka-muka polos adikku dan juga ibuku. Yang tidak tahu apa-Apa harus kehilangan aku secara mengenaskan. Jadi sebelum kematian itu menjemputku aku lebih memilih mengisihkan diri dengan tidak sering berkumpul dengan keluargaku adikku dan ibuku. Membatasi tidak sering kumpul dengan teman-temanku walaupun aku masih punya banyak waktu untuk bertemu. Supaya nanti jika sudah tidak ada mereka tidak terlalu merasa kehilangan karena sebelum sudah ada jarak dan batasan antara aku dan mereka. Aku kembali masuk kamar dan menutup pintu kamarku. Aku kembali membaringkan badanku dikasurku. Supaya rasa sakit diperutku tidak terlalu menyiksaku. Sambil berbaring menahan sakit aku memikirkan rendy yang nanti jika aku sudaj tidak ada dia pasti akan menikah dengan perempuan lain. Dia pasti akan melanjutkan hidupnya. Secinta dan sesayang apapun rendy sama aku tetap saja dia tidak akan bisa memilikiku lagi. Jangankan untuk memiliki untuk bertemupun sudah tidak bisa lagi kecuali dalam mimpi itupun kalau termimpi. Dia pasti akan membangun impian bahagianya bersama perempuan lain. Dan dia perlahan-lahan akan belajar melupakanku dan tidak mengingatku lagi. Dia akan melupakan semua kenangan yang pernah aku lalui bersama dia. Bahkan dia akan buang semua hal yang menyangkut tentang aku. Yang mungkin selama ini adalah hal paling dia jaga karena masih ada aku. Kemudian akan menjadi sesuatu hal yang sangat dia benci karena aku sudah tidak ada lagi. Reina,perlahan kamu akan dilupakan oleh orang-orang yang menyayangi. Bahkan bukan sekedar sayang melainkan orang yang selama ini rela berkorban apapun rela mati demi kamu akan berusaha melupaksn kamu rein. Sekarang aku seperti sudah tidak ada gunanya lagi. Sekarang jika tuhan membuka langit dan memberiku permintaan aku akan meminta untuk hidup lebih lama lagi. Aku ingin lebih lama lagi bersama orang-orang yang aku sayangi. Dan orang-orang yang menyayangiku. Tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi lagi. Karena kesempatanku untuk hidup hanya dua puluh persen lagi. Sisanya delapan puluh persen adalah kematian. Mati rein mati. Air mataku terus mengalir membasahi pipiku. Yang terkadang rasanya mataku sudah perih karena seringnya menangis dan suarakupun mulai berubah serak. Aku membuka handphone melihat semua photo kenanganku bersama teman-temanku. Dengan segala kemampuan jari jemariku yang gemetaran menggenggam handphone yang sepertinya sudah tidak punya daya kekuatan lagi untuk memegang apapun. Jempolku mulai menggeser layar handphone kearah kiri melihat semua photo kenangannya satu persatu. Ada photoku yang lagi ulang tahun dirayakan oleh rendy,radit dan widya. Photo itu mengingatkan tingkah rendy yang merayuku dengan memberikan cincin kepadaku sambil tertawa dia bilang yang makna rayuan sambil bercanda itu baru bisa kutangkap sinyalnya sekarang kalau dia menyukaiku. "rein,selamat ulang tahun. Ini hadiah dari gue buat loh. Cincin tunangan semoga suka" "ini boneka panda supaya nanti loh tidur bisa dipeluk dan terus mengingatku "ini speaker sama sandisknya dan ada lagunya, nanti kalau rindu sama aku kamu bisa dengarin lagunya anggap aku yang sedang menyanyikannya. Walaupun sebenarnya iwan fals. Rendy paling banyak memberiku hadiah dihari ulang tahunku itu. Sampai-sampai aku protes. "loh ngasih gue hadiah banyak banget.. Udah kayak mau jualan aja.. " kamu tahu nggak kalau kemarin aku mau beli satu tokonya.. "ngapain, loh gila sih "apa sih yang nggk gue lakuin buat loh.. Mudah-mudahan jodoh kamu orang gila.. "iihhh amit-amit.. Semua barang dia berikan sama aku masih kusimpan rapi. Aku kepikiran buat menelepon rendy setelah melihat semua photo-photo kenangan yang ada dihandphoneku yang masih utuh bahkan satupun belum ada yang hilang. Aku rindu dinyanyiin sama dia. Dulu rendy sering meneleponku malam-malam dan nyanyiin aku. Walaupun nyanyinya masih sering menyimpang dari lirik lagu yang mungkin kalau penyanyi atau pencipta lagu itu tahu pasti akan marah dan menuntut hukum. begitulah pokoknya. Setiap dia habis nyanyi yang tidak jelas liriknya itu. Dan mau menutup teleponnya karena sudah malam dia selalu mengakhiri kata-katanya dengan pertanyaan andalannya yang aku sudah sangat hafal dengan pertanyaannya. "rein,loh merasa nyaman nggak cerita sama aku.. "iya dong,kenapa ?? "nggak nanya aja.. "loh gimana sama aku?? "aku ya, jangan ditanya lagilah satu malam teleponan sama kamu belum tentu membuatku bosan. Apalah artinya satu malam kalau akhirnya yang kuincar bisa kumiliki. "maksud loh.. "nggak ada, tidur ya uda malam.. Biasa kalau maksudnya sudah tidak jelas dan dia langsung mengalihkan pertanyaan tidak mau menjelaskan apa yang dia maksud. Aku langsung merengek, kesal,bete. Dan berpura-pura marah biar dia menjelaskan. Terkadang dia menjelaskan terkadang dia merayuku dan berusaha mengalihkan perhatianku supaya tidak lagi membahas apa yang menjadi pertanyaan dia dan balik kutanyakan sama sama dia. Jurus andalannya mengalihkan perhatianku seperti dia mendiam anak kecil yang lagi nangis. Dan aku suka ngeladenin juga kata-katanya. Yang terkadang aku memperagakan mulutku bicara seperti anak kecil "ssttt... Diam - diam nanti kita beli gorengan.. "aku nggak suka .. "terus sukanyaa apa.. "nggak tahu.. "apa mau lolipop aja.. "hahaha.. Aku sudah pasti langsung ketawa kalau mendengar dia nyebut lolipop. Pokoknya awalnya memang ada penyebabnya. Aku tidak bisa cerita tentang itu semua. Pokoknya kita fikir sendiri-sendiri sajalah la ya. Semoga saja isi fikiran kalian dengan yang diceritakan rendy sama aku bisa sama. Pokoknya yang bagian itu aku sensor ajalah nanti takutnya repot. Buat mengalihkan ini aku lagi berusaha menelepon rendy. Nanti kalau teleponku di angkat kita suruh dia nyanyi. Lima berlalu akhirnya teleponku diangkat sama rendy. "ya rein,ada apa ? "mau menelepon loh aja.. Yang ditelepon merasa ganggu nggak. "menurut yang menelepon gimana ?? "kayaknya sih kalau didengar dari suaranya...!! "sedikit mengganggu ,sok tahu" dia memotong omonganku. "hehehe.. Argument aja sih.. "argumentnya nggak bisa yang lainnya. Apa berargument sekarang aku lagi rindu kamu gitu.. "mau sih.. Tapi takut argumentnya nggak diterima.. "tahu nggak diterima dari mana ?? "kalau tahu sih nggak cuma takut aja.. "ya uda buang takutnya. Sekarang kamu lagi apa? "baru habis dengar lagu kesukaan kamu dan sekarang lagi teleponan sama kamu. Nyanyiin aku lagunya boleh nggak ?? "kan tadi uda dengarin lagunya. "aku maunya kamu yang nyanyiin..kalau yang disandisk iwak fals yang nyanyinya bukan kamu. "besok aja,kan kita mau kebandung. Nanti kita nyanyi di lembang bandung sambil menikmati alamnya biar lebih berasa. Siapa tahu harapan lima tahun yang lalu bisa terjawab disana.. "hahaha amiinn. Aku kalau sudah teleponan sama rendy. Ceritanya tidak habis-habis selalu ada benih cerita yang seru untuk diceritakan. Aku cukup mengerti dengan yang diucapkan rendy harapannya lima tahun yang lalu bisa terjawab besok. Sama rendy, aku juga berharap semoga harapanku yang terakhir mengharap kamu menyatakan perasaan cinta kamu sama aku bisa segera terwujud. Sebelum akhirnya napasku terhenti. Reina Raina Setelah hampir setengah hari aku mengurung diri dikamar karena menahan rasa sakit. Akhirnya sakit perutku mulai berkurang dan sedikit membuatku lega. Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak siang ini. Rasanya mataku ngantuk mungkin karena terlalu cepat bangun pagi tadi. Bangun pagi cuma untuk pergi kedokter. Tapi kedokternya tidak jadi. Dan melakukan rutinitas yang sudah tiga bulan terakhir ini tidak aku lakukan. Membangunkan rendy pagi-pagi. Rasanya mendapat pesan dia minta dibangunkan pagi ini adalah seperti seorang putri yang mendapat amanah besar dari seorang raja. Yang dengan senang hati putri itu menjalankan perintah yang diamanahkan raja kepadanya itu. Oke rendy aku siap melaksanakan tugasnya, pagi ini aku mendapat tugas lagi membangun kamu dipagi hari setelah tiga bulan tidak pernah mendapat tugas ini. Aku akan laksanakan sesuai dengan perintah. Aku fikir bukan cuma aku yang bertingkah laku seperti ini bila mendapat tugas dari orang yang mungkin spesial dihati kita. Pasti ingin melakukannya secepat mungkin dan berusaha untuk tepat waktu. Pagi ini tidurku dibangunkan oleh alarm jadwal kedokterku dan yang kedua pagi ini aku dikejutkan oleh pesan dari dia. Walaupun beberapa pesan dari dia ada yang bikin hatiku sakit namun setidaknya dipesan dia yang terakhir ada pesan dia yang bisa bikin aku senyum. Karena pesannya bisa membuatku menghubungi dia dan mendengar langsung suaranya. Yang mungkin dari semalam aku tunggu dan sangat aku harapkan. Dan siang ini aku juga dibuat senang oleh dia. Karena akhirnya aku bisa bicara panjang lebar lagi setelah tiga bulan tidak ada komunikasi. Walaupun cuma lewat telepon bagiku sudah cukup untuk mengobati rasa rinduku sama dia. Mendengar suaranya itu sudah membuatku senang dan membuat hatiku sedikit lega dan rinduku sedikit terobati. Kurang lebih satu jam perbincangan aku dengan dia lewat telepon yang bicaranya sudah kemana-mana, membahas hal yang memang penting, hingga akhirnya sampai kehal yang sangat tidak penting. Kami bercanda,tertawa, saling ejek dan masih banyak lagi. Akhirnya mataku menyerah untuk minta segera ditidurkan siang ini. Yang akhirnya membuatku harus mengakhiri bincang seruku dengan dia lewat telepon. Kalau aku masih kuat untuk terus cerita sama dia bahkan sampai sore. Tapi mataku sudah menyerah. Dan batreku juga sepertinya sudah setujuh dengan mataku untuk mengakhiri teleponku dengan rendy karena sudah low batre. "udah dulu ya ren, batreku uda low. Minta dicharger" "batrenya minta dicharger atau ada yang minta ditelepon ??" "nggak,batreku emang low. "ya uda charger aja dulu.." "oke, bye.. "bye, sampai ketemu besok ya "iya... Mataku benar-benar terlelap setelah aku mengakhiri teleponku dengan rendy. Entah ini adalah imajinasiku atau bukan,bunga tidur, apa karena rindu, atau kode untukku. Siang ini aku memimpikan bayu yang datang kerumahku dan memberiku undangan. Dia datang wajahnya sangat natural tidak senang,tidak bahagia, tidak juga sedih. Dia terlihat biasa sekali dengan penampilannya yang baru. Dengan celana jeans hitam t-shirt polos di mix dengan jacket warna army. Rambutnya cepak wajahnya charming. Pokoknya dia terlihat sangat ganteng. Saat itu aku menyadari kalau sebenarnya aku sudah tidak punya hubungan apa lagi sama dia. Akupun heran dengan dia yang tiba,-tiba datang kerumahku hari itu. Aku menemui dia sudah lima menit yang lalu menungguku diruang tamu. Aku mendekati dia dan duduk disebelah dia. Kurang lebih lima menit aku dan dia saling pandang. Yang aku sendiri saat saat itu bingung apa makna dari kami yang saling menatap itu. Setelah lima menit berlalu dia membuka bibirnya dan menanyakan kabarku. "kamu apa kabar?" "baik...kamu sendiri?? "seperti yang kamu lihat.. "baik..aku tersenyum "bukanya kamu lagi sakit ya.. "nggak.. Aku nggak sakit kok. Kata siapa ?? "aku tahu kamu sakit, kamu jangan keras kepala, sekali-kali mendengarkan saran orang itu ada baiknya juga, tidak semua opini orang itu salah. Dan belum tentu pilihan yang kamu pilih itu adalah benar. Aku sudah mengingatkan kamu. Untuk menuruti atau tidak itu adalah urusan kamu. Semua orang yang ada disekitar kamu,sangat menyayangi kamu. Termasuk juga aku. INGAT YA PILIHAN YANG KAMU PILIH BELUM TENTU BENAR. Aku mau pulang. Bayu meninggalkanku diruang tamu. Dan pulang. Aku hanya terdiam melihat dia melangkah meninggalkan ruang tamu rumahku. Melihat dia pergi dalam keadaan marah membuat hatiku terasa sakit dan merasa ada penyesalan atas kebohongan yang kukatakan sama dia. Seharusnya ketika bertanya keadaanku aku langsung menjawabnya dengan jujur bukan justru mengelak dan menutupi. Aku mengejarnya keluar untuk berniat menjelaskan yang sebenarnya terjadi denganku dan bertanya apa maksud dari perkataan dia yang terakhir"keputusan yang kuambil belum tentu benar". Ketika aku sampai diluar dia sudah pergi meninggalkan halaman rumahku. Maafkaj aku bayu, tidak bermaksud untuk membohongimu. Air mataku berderai-derai melihat dia yang sudah tidak ada lagi. Hanya jejak ban mobil dan bau parfumnya saja yang masih tertinggal dihalaman rumahku. Suara halus dan lembut itu yang membangunkanku dari tidur siangky yang berdurasi kurang lebih dua jam lebih. Suara kecil,halus dan kata-katanya yang madih terbata-bata bukan hanya membangunkan aku dari tidur siangku tetapi juga membangunkanku dari mimpi tentang dia. Aku membuka mataku sudah ada wajah dia yang lucu tidak ada dosa dan kesalahan sedikitpun diwajahnya. Dia hanya memperhatikanku yang wajahku sudah penuh dengan air mata dan seluruh tubuhku sudah basah oleh ketingatku. Aku mengelap air mataku dengan tanganku. Dan membuka handphone melihat ada pesan dari rendy "rein, besok kalau jadi kebandungnya kamu telepon aku ya biar aku bisa siap-siap" rendy WA ku satu jam yang lalu. Banyak juga WA yang lainnya. Yang juga masuk. Aku melihat semua pesan yang masuk berharap ada pesan dari bayu yang masuk. Mimpiku tentang dia siang ini membuatku kembali merindukan dia. Bahkan perasaan rinduku ini sama sekali sudah tidak bisa dibendung lagi. Namu sayang sampai kepesan paling bawah jempolku scroll tidak ada satupun pesan dari dia atau mungkin nomor baru yang masuk. Aku masih bingung dengan perkataan bayu yang ada dimimpiku. Apa mungkin itu adalah kode kalau pilihanku berharap ditembak rendy salah karena pada kenyataannya rendy sudah tidak suka denganku dan dia benar-benar sudah bisa membuka hatinya untuk mencintai perempuan lain. Kalau dia sudah bisa mencintai perempuan lain dia masih perhatian sama aku. Walaupun memang akhir-akhir ini dia sedikit acuh sama aku. Atau mungkin keputusanku untuk tidak mau lagi berobat kedokter dan memilih mempasrahkan hidupku pada nasib itu salah. Kalau pilihanku untuk pasrah itu salah. Itu artinya aku harus berobat dan mengikuti saran dokter kemoterapi dan operasi. Tidak rein, tidak. Kamu tidak mungkin salah. Semua keputusan yang kamu ambil adalah benar. Kamu percaya sama mimpi siang bolong begini. Anggap saja itu halusinasi kamu yang tidak baca doa terlebih dahulu. Aku mengalihkan perhatianku pada bontot yang dari tadi memperhatikanku. Supaya otakku tidak selalu berfikir tentang mimpiku itu. "hey,kok liat kak reinnya gitu sih..? "kak rein nangis.. "kak rein nggak nangis kok, kak rein cuma kepanasan dan berkeringat.. Adik sudah makan?? "udah kak.. Aku meraih kepalanya dan mengelusnya dengan tanganku. Dek kalau nanti kak rein sudah tidak ada kamu jangan nakal ya. Kamu harus tetap jadi anak yang baik jangan bandel dan nurut sama kak dila juga sama ibu. Kak rein tidak bisa menjagamu sampai kamu dewasa. Sebenarnya kak rein tidak tega ketika tahu harus meninggalkan kamu dengan secepat ini. Kak rein masih ingin merawat kamu dan melihat kamu tumbuh besar jadi orang hebat jadi kebanggaan keluarga. Dan juga kebanggaan kak rein. Kamu tetap jadi anak yang berbakti sama orang tua ya sayang. Aku bicara dengan diriku sendiri. Menurutku tidak ada gunanya dia mendengar apa yang aku katakan. Dia juga tidak akan mengerti yang ada dia bingung dengam segala yang aku katakan. Dia hanya memperhatikan aku yang terus menangis memandangi dia. Bagiku dia sudah cukup mengerti dengan kondisiku yang sekarang. Mungkin tujuab awalnya masuk kamarku adalah untuk mengajakku main petak umpet tapi niatnya itu langsung terhenti karena dia melihatku kondisiku yang tidak biasa hari ini. Dia memilih untuk ikut tidur disampingku juga tanpa bicara apa-apa lagi. Kaki dan tangannya memelukku. Tanganku membalas merangkul dia dengan dengan erat. Dan mencium keningnya. Rendy Hallo, rendy kamu uda bangun ? Iya, baru bangun mau mandi.. Jadi ya hari ini.. Oh iya rein, tunggu ya aku mandi dulu. Nanti aku kerumah kamu.. Iya ren, jangan lupa bawah gitar kamu ya.. Oke.. Pagi ini reina sudah meneleponku membangunkanku dan mengingatkan untuk pergi kebandung. sesuai dengan yang disepakati hari ini kami akan berangkat kekota bandung. Sesuai dengan permintaannya dia minta ditemani lembang bandung. Salah satu tempat hening sepi dari suara kendaraan. Yang sangat cocok untuk digunakan oleh orang-orang yang butuh ketenangan dan ingin menenangkan fikiran. Menikmati alamnya yang hijau dan udaranya yang segar dingin masih sepi suara hiruk pikuk kendaraan. Hari ini dia menyuruhku membawa gitar katanya dia rindu dinyanyiin sama aku. Aku loncat dari tempat tidurku. Dan berlari menuju kamar mandi. Sambil di iringi dengan senyum kecil diwajahku. Yang sepertinya hari ini adalah hari yang memang membuatku bisa bahagia. Tersenyum sendiri tak beralasan dan yang paling penting bangunku pagi ini tidak membuatku menyesal karena bangunku pagi ini bukan untuk cepat-cepat pergi kekantor menyelesaikan pekerjaanku yang setiap hari selalu menumpuk. Mempersiapkan berkas persentasi ke clien. Dan yang paling membosankan jika harus berhadapan dengan clien yang susah menerima penjelasan dariku. Yang sudah dijelaskan berulang-ulang tetap saja ujung nanya "maksudnya apa??". Yang membuatku harus putar balik lagi keawal penjelasan. Rasanya kalau sedang dengan clien yang seperti ini ingin sekali ambil berkasnya dan lemparkan sama dia "ini baca sendiri". Tapi yang namanya pekerjaan mau tidak mau, siap tidak siap harus bisa mengkebalkan dan menurunkan emosi. Jika dibentak dia bisa complain dengan big bos, kalau clien ada yang complain nasib pekerjaanku yang terancam kalau tidak kena SP yang di PHK. Banyak alasan big bos untuk menggeser posisi kita dengan yang lain. Jadi mau sengesalin apapun cliennya tetap saja harus bisa lembut dan tidak ada yang namanya emosi. Mungkin ini adalah salah satu alasan reina nekad untuk punya usahs sendiri. Karena sebesar apapun gaji yang diterima setinggi apapun gaji yang diterima tetap saja makan hati stress mikirin bagaimana caranya supaya usaha orang bisa maju. Sementara yang punya usaha hanya duduk diam goyang kaki, datang kekantor ngomel sama karyawan. Rendy kamu bahasnya kantor terus, tidak ada bahasan lain. Sudah untuk hari ini sku tinggalkan dulu untuk urusan kantorku. Karena yang satu ini lebih penting dari kantorku. Ini urusan menyangkut masa depan. Bagiku kesuksesan itu adalah ketika seseorang sukses membangun masa depannya dengan baik. Dan reina adalah harapan baik untuk masa depanku. Bangunku pagi ini akan menemani calon masa depanku kelembang bandung. Yang katanya sudah lama tidak keluar rumah. Tidak pernah jalan-jalan. Hari ini aku akan menemani dia sesuai dengan yang dia inginkan. Reina satu-satunya clienku yang tidak pernah membuatku bosan setiap bertemu dengan dia. Mau sebandel apapun pertanyaan yang dia tanyakan sama aku tetap saja aku tidak bisa marah. Bukan karena ditahan tapi memang dari dalam hati tidak bisa marah. Sikap bandelnya bukan membuat hati panas melainkan membuat nyaman. Terkadang bikin gereget mau cubit dan terkadang ada perasaan mau nyium. Dulu dia pernah memposisikan dirinya sebagai clien persentasiku yang bandel. saat itu aku baru pulang dari luar kota melakukan persentasi sama clienku. cerita sama dia mengeluh karena habis persentasi sama clien yang cukup membuatku resah. Dia tersenyum dan langsung berdiri didepanku. "kamu mau ngapain? "mau jadi clien loh yang bandel itu?? "untuk apa ?? "mau liat kalau loh lagi kesal gimana?? Dia mulai bertingkah aneh didepanku. Dan memancingku untuk kesal bertanya dengan pertanyaan yang aneh-aneh. Aku yang melihat dia bertingkah aneh jadi ingin tertawa terus. Bagiku dia bukan bertingkah kesal melainkan lucu. Cantik mukanya, senyumnya dan bibirnya yang berwarna merah membuatku tidak bisa berbohong jadi ingin cium dia. Andai sekarang kamu pacarku sudah kucomot tuh bibir. Kataku dalam hati sambil memperhatikan dia. "rein,bayu pacar loh pernah gemes nggak kalau liat loh brrtingkah seperti ini?? "pernahlah,malahan sering.. "berarti loh sering dicium dong.. "apa sih,loh fikirannya.. "iya,kalau gue gemes liat orang pasti ujung-ujungnya mau nyium.. "loh sekarang gemes sama aku.. "iya, lagian loh cantik banget hari ini.. "berarti loh ingin cium gue dong.. Dasaaaarrrr... Aku tertawa melihat dia sudah mulai kesal. Dan mengeluarkan jurus andalannya menoyor kepalaku sampai jatuh disofa. Sudah terjatuh dia pukul-pukul juga punggungku. Kalau lagi bahagia sama dia, aku sampai lupa kalau sebenarnya aku punya pacar. Apa lagi pacarku ketemunya tidak pernah membuatku bahagia yang ada hanyalah pertengkaran,ribut,masalah dan masalah. Tidak masalah rein aku kamu pukulin kalau itu bisa membuatku bisa lebih dekat dengan kamu dan akhirnya aku bisa memilikimu seutuhnya. Melihat kamu bisa sedekat ini denganku itu merupakan suatu hal yang bisa membuatku bahagia. Mungkin untuk saat ini hal yang paling membuatku bahagia adalah ketikaku bisa terus sedekat ini sama kamu. Dan ini merupakan suatu harapanku untuk terus bisa sedekat ini dengan kamu. Mungkin bagi orang yang mendengar harapanku terlalu kecil jika aku hanya berharap untuk selalu bisa denganmu. Namun itu tidak berlaku untukku karena menurutku perjuangan untuk terus bisa sedekat ini dengan kamu itu tidak mudah. Dan tidak semua orang juga bisa seperti aku yang sekarang. Mungkin jika kita berjuang mencari pekerjaan masih ada solusinya, bisa diterima lewat orang dalam. Bisa diterima karena ada prestasi kerja yang bagus. Bisa diterima karena pengalaman kerjanya. Bisa diterima karena pakai uang sogokan. Dan masih banyak lagi cara lain yang mungkin aku belum tahu. Namun itu semua tidak berlaku untuk aku yang berjuang untuk memenangkan hatinya dan memiliki dia. Kurang lebih lima tahun aku menunggunya. Sudah berbagai macam hal yang kulakukan. Termasuk bercanda sambil jujur dengan perasaan yang kupunya. Namun tetap saja hatinya tidak goyah, sedikitpun tidak terbuka. Menaklukkan hati reina tidak semudah menaklukkan hati perempuan yang lain. Yang cukup diajak makan tempat mahal. Cukup tampil dengan si silver atau mungkin dengan titel yang kita miliki. Sudah bisa dipegang, sudah bisa dapat ciuman dab bisa dapat gratis satu malam. Tapi ini tidak pernah untuk menaklukkan calon masa depanku reina antosoroh. Hanya orang-orang yang beruntung bisa memiliki dia. Dia tidak pernah menjual perasaannya dengan apapun. Dia juga pernah bilang sama aku. Kalau laki-laki mendekatinya hanya dengan uang yang dia punya dia tidak akan tergiur alasan simple dia juga punya uang. Bahkan bisa lebih dari yang laki-laki yang ingin mendekatinya tawarkan. "Kalau cuma karena mobil,gue juga punya mobil ... "kalau dia datang denganku cuma modal rumah gue juga punya rumah.. "terus bagaimana orang bisa jatuh kepangkuan loh.. "harus sesuai dengan isi hati dan perasaan masing-masing. Dan pastinya tidak suka pamer.. "loh nggak tergoda sama rumah,mobil atau uang yang tawarkan.. "ngpain gue tergoda ren, uang.. Gue punya kali, bahkan bisa bayar gaji kalu lipat dalam sebulan, tergiur sama mobil, yaelah ren gue juga punya malahan dua lagi.. Tergiur dengar rumah gue juga punya rumah,bahkan sekarang bukan cuma punya rumah tapi sudah punya villa juga. Gini ya ren gue kasih tahu, jadi perempuan jangan cuma bisa menerima saja. Harus cekatan, harus lincah dan punya uang sendiri. Biar tidak dikuasai sama laki-laki. Kalau mau pembalut datang bulan aja minta sama laki-laki sudah pasti akan dikuasai sama laki-laki. Kalau perempuan sudah punya segalanya laki-laki mau macam-macam kita bisa tolak dengan cara apapun.. "fikiran loh itu ya, siapa laki-laki yang bisa beruntung bisa dapatin loh nanti.. Dia tersenyum Menggelengkan kepala. Itu rahasia tuhan. Rendy IRendy Dingin air sower yang membasahi badanku pagi ini. Yang dinginnya menusuk sampai ketulangku. Menyadarkanku yang sedang tenggelam dalam kenanganku dimasa lalu bersama reina. Yang pagi ini semua ketenangan itu bangkit dan hidup lagi didalam kepalaku. Yang membuatku kembali terhanyut masuk kedalam masa-masa itu. Aku berdiri dibawah shower membasahi seluruhku sampai semua tubuhku basah semua. Yang tidak terasa semua air yang menjatuhi seluruh tubuhku sudah membuat badanku menggigil kedinginan. Mungkin karena terlalu lama berdiri dan membenamkan diri dibawah pancuran air shower dikamar mandiku. Aku melangkah dari bawah shower dan mengambil handukku. Mengeringkan seluruh tubuhku yang sudah kedinginan dari tadi. Keluar dari kamar mandi dengan suhu tubuh yang mungkin jika diukur dengan termometer badan sudah berada pada suhu minus. Bahkan tubuhku sepertinya sudah takut dengan AC yang biasanya dua puluh empat jam tidak pernah aku off kan selalu on. Handphoneku juga sudah berbunyi terus. Reina yang memanggil dan ada juga chat yang masuk juga dari dia. "tunggu ya,aku baru selesai mandi.. "nggak biasanya loh mandi lama,biasanya cuma lima menit uda selesai.. "hari ini menikmati airnya enaj banget.. " oh uda cepat ya.. Aku lama nunggu loh.. "oke.. Aku mempercepat durasiku memakai baju dan memakai minyak rambut. Sampai berantakan semua isi lemari pakaianku.karena aku mencari baju yang harus kupakai cocok untuk kupakai. Bolak balik ganti baju dari sekian banyak baju yang kucoba tidak ada yang cocok tetao harus kembali ke t-shirt polos andalanku dan sudah pasti reina juga suka. Bolak balik gue cari baju yang cocok dan tiga puluh menit dikamar mandi pakai sabun sikat gigi sisir rambut sampai membunuh menit dan jam tujuannya tidak lain hanya ingin terlihat keren dimata reina. Tidak lebih daripada itu. Rendy kamu jatuh cinta sampai harus seperti ini banget ya. Sampai hal yang selama ini kamu paling benci lama dikamar mandi sekarang kamu justru lama dikamar mandi. Tidak perduli dengan baju yang kamu pakai cocok atau tidak. Sekarang jadi pusing memilih baju yang cocok. Ternyata tanpa disadari jatuh cinta itu bisa membuat kita berubah secara tiba-tiba yang mungkin kita sendiri tidak pernah menyadari perubahannya. Yang mungkin awalnya pemalas jadi rajin, yang aslinyantidak perduli penampilan tiba-tiba ingin merubah penampilan dan ingin terlihat menonjol disetiap moment. Yang awalnya pendiam jadi ramah. Semua asfek berubah. Termasuk aku juga yang hari ini akan bertemu dengan calon masa depanku yang sejak lima tahun yang lalu aku sudah jatuh cinta sama dia. Yang sampai sekarangbaku belum menerima jawaban yang melegahkan hatiku. Karena pada kenyataannya dia tidak mencintaiku. Aku mengambil gitar yang ada disudut kamarku. Turun kebawah menuju mobil dan meletakkannya di kursi belakang. Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan menuju rumah reina kutempu dengan kecepatan rata-rata warasku. Bukan dengam kecepatan rata-rata gilaku. Yang terkadang suka merasa jalan milik sendiri. Menekan pedal gas sekehendak hati. Tiga puluh menit berlalu mobilku sudah memasuki halaman rumah reina. Dari depan gerbangnya aku sudah melihat dia yang duduk didepan diteras rumahnya bersama ibu dan juga arya adiknya. Yang arya sudah dengan khasnya dia setiap melihat si silver masuk halaman rumah dia langsung loncat-loncat kegirangan. Mungkin dia sudah hafal setiap si silver masuk halaman rumahnya itu aku yang datang. Arya berlari mendekati si silver yang sudah keberhentikan dihalaman rumahnya. Dia meraih tanganku dan menarikku kehalaman rumahnya. Aku mengikutinya menuju kearah keteras rumahnya tempat reina dan ibunya duduk. Hari perhatian pandanganku terfokuskan dengan kecantikan calon sejagatku ini. Dia kembali lagi kepenampilan awalnya yang full make up namun tetap natural. Alisnya, bedaknya, lipstik orange andalannya dan aku juga suka setiap dia pakai lipstik itu. Rambut panjangnya yang digerai blouse putih,jeans hitam, sepatu putih, jacke denim warna biru langit. Selamat datang kembali kedua diriku kamu yang dulu cintaku. Dia tersenyum kearahku. Ibunya juga bersahut menanyakan kabarku. "apa kabar kamu rendy.. "baik bu.. "mau kemana hari ini?? "kebandung.. "kamu emang harus mengajak dia keluar. Akhir-akhir ini dia sering mengurung dirinya dikamar.. "iya? Kenapa ? Aku bertanya kereina " nggak kok,ibu ada-ada aja. Yuk kita langsung cuss.. "yuk.. Reina Setiap orang tua wajar jika selalu menghawatirkan keadaan anaknya. Dan mulai curiga dengan segala perubahan yang berubah pada anaknya. Atau mungkin ada sesuatu hal yang baru. Atau mungkin melakukan hal-hal yang selama ini anaknya tidak pernah lakukan, tiba melakukan hal itu. Termasuk ibuku yang mulai curiga dengan tingkah anehku. Yang sering mengurung dikamar. Menghabiskan waktu seharian dikamar tanpa keluar atau melakukan aktivitas apapun kecuali hanya tidur dan mengurung diri dikamar. Terkadang satu hari full aku tidak makan. Tidak kumpul sama ibu dan main sama adikku. Jadi suatu hal yang wajar jika seorang ibu mulai merasakan hal yang berbeda dan mulai merasa ada yang berbeda dengan sikap dan perubahanku itu. Apalagi naluri seorang ibu kepada anaknya sangat kuat. Kata orang batin seorang ibu bisa merasakan apa yang anaknya sedang rasakan. Seorang ibu juga bisa membaca situasi dan kondisi hati anaknya. Apakah anaknya sedang bahagia,sedih,kecewa atau mungkin sedang tertekan batinnya. Mungkin ibu juga bisa merasakan setiap kali aku merasakan sakit jika sakit diperutku mulai kambuh. Setiap kali merasa sakit dia selalu datang kekamarku dan memanggilku dari luar kamar. Waktu beberapa malam yang lalu sakit peritku kambuh, dan sakitnya melilit-melilit sampai aku harus terjatuh dari kursih tempat menulis dan menjerit kesakitan. Bersamaan dengan aku menahan rasa sakitku ibu berteriak memanggilku dari luar kamar dan mengetok-ngetok pintu kamarku. Padahal sebelum aku menulis dan sakitku belum terlalu sakit aku tahu ibu sedang berada dibawah kumpul dengan adik-adikku nonton tv. Apa mungkin karena jeritanku yang terlalu kencang atau karena batinnya yang kuat sehingga dia bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan dan menariknya untuk datang kekamarku. Aku berusaha untuk tidak bersuara dan tidak menjawab ibuku yang memanggilku dari luar walaupun sedang dalam menahan rasa sakit sangat amat sakit. Aku tidak mau ibuku tahu dengan kondisiku yang sekarang. Kalau dia melihat kondisiku yang terbaring lemah dilantai seperti sekarang dia pasti akan khawatir. Aku tahu bagaimana ibuku. Pagi ini ibuku juga menyeletuk lagi tentang perubahan yang ada pada diriku. Sekarang dia menceritakan itu sama rendy. Orang yang selalu ingin tahu tentang keadaanku. Yang dia tidak akan diam sebelum rasa penasarannya hilang. Apa lagi aku adalah orang yang mungkin sudah dia anggap spesial. Selama perjalanan menuju kebandung secara perlahan dia introgasiku tentang yang dikatakan ibuku sama dia sebelum aku mengajakknya berangkat. "kamu ada masalah ya.. Aku menggelengkan kepala "nggak ada".. "terus kenapa ibu bilang suka mengurung diri dikamar?? "nggak kok, kayak nggak tahu ibu aja... "justru aku tahu ibu makanya aku bertanya, ibu tidak mungkin berbohong. Ibu itu sepuluh betul.. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan "biasanya loh kalau nyetir mobil ngebut rendy,kenapa sekarang nggak ?? Rendy tetap ngotot ingin tahu apa yang maksud yang dikatakan ibu sama dia " makin penasaran, kamu mengalihkan pembicaraan kayaknya emang ada yang disembunyikan" Aku berusaha tenang " aku tidak mengalihkan pembicaraan,. Dia mulai menyudutkanku "terus kenapa kamu langsung membahas kenapa aku bawah mobil nggak ngebut,kayaknya nggak ada hubungannya sama yang diceritakan ibu sama aku tadikan.. Aku terdiam beberapa menit dan berusaha mencari kata-kata yang bisa meyakinkan dia. Dan syukur dalam rentang waktu lima menit terhitung cukup singkat untukku sampai berfikir tentang perasaanku sama dia. Mungkin itu bisa jadi alasan sekaligus mengalihkan pembicaraan dan merupakan kesempatan untukku jujur juga. "aku rindu sama kamu rendy... Dia menatapku dan melihatnya. Aku menganggukkan kepala. Aku mencoba bicara lagi "aku takut kalau akhirnya aku tidak bisa melihat kamu lagi, karena aku fikir kemarin-kemarin kamu marah sama aku dan memutuskan untuk menjauhiku. Setiap aku menghubungi kamu, selalu diacuhkan " Ini aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya atau sedang berusaha jujur dengan perasaan yang kupunya. Saat aku mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan perasaanku terasa sakit. Dan air mataku tidak bisa dibendung yang mungkin air mataku menjadi saksi bisu kejujuranku dengan rendy. Yang menandakan sebagai tanda kejujuranku. Atas apa yang barusan aku katakan sama dia. Dia terdiam memandangiku yang menangis setelah mengatakan kejujuranku sama dia. Aku berharap kamu bisa percaya rendy. Aku sedang tidak bercanda, sedang tidak main-main aku sedang serius dengan yang aku katakan sekarang. Setelah aku mengatakan kejujuran atas perasaan yang kupunya sama dia. Sekarang aku hanya menunggu dua hal yang akan aku terima yang pertama aku akan semakin dekat dengan rendy bahkan bisa memiliki dia atau dia akan menjauh dan bahkan menghilang dari kehidupanku. Karena tidak semua kejujuran itu harus melegahkan tidak semua yang diharapkan harus berbalas sesuai dengan yang diharapkan. Rendy Rendy bangun kamu terlalu banyak bermimpi hari sudah sudah siang matahari sudah naik sudah hampir berada diatas kepala kamu. Aku mencubit tanganku sendiri. Aduh sakit, kalau aku mimpi mengapa aku masih merasakan sakit dari cubitanku sendiri. Masa aku mimpi sambil berdiri sedang dalam posisi nyetir mobil. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru aku dengar sekarang. Sicantik yang ada disampingku mengatakan dia rindu sama aku dan takut kalau dia bisa melihatku lagi. Berkali-kali melihat kearah dia untuk memastikan dia sedang ngigo atau tidak. Memastikan dia sedang dalam kedaan sadar atau tidak. Rendy sicantik kamu ini menangis. Itu artinya apa yang dia katakan tidak berbohong. Dia tidak sedang ngigo, dua dalam keadaan waras lahir dan batinnya. Mimpi apa aku semalem sampai hari ini aku harus menerima kata-kata yang sangat membuatku bahagia. Yang setelah lima tahun aku menunggunya hari ini aku mendengarnya keluar dari mulut cantik itu. Rasanya jantungku sudah hampir copot dan dadaku berdebar hampir lepas dari tulang-tulang urat yang mengikatnya. Aku mencoba untuk bicara setelah kurang lebih sepuluh menit saling diam, terkadang dia menoleh kearahku dan aku fokus melihat jalan. Dia fokus melihat jalan aku menoleh kearahnya. Dan dalam waku bersamaan disengaja atau tidak kami saling menoleh dan saling memandang. "kamu kenapa nangis ? "aku yakin tanpa aku menjelaskan aku sudah maksud dari air mataku ini.. Aku terdiam dan menganggukkan kepalaku. Satu hal saja yang tidak Pernah berubah dari reina. Mau senangis apapun dia. Mukanya tidak pernah berubah tetap cantik. Dalam keadaan nangispun kamu tetap cantik reina. Kataku dalam hati. Aku bicara lagi. "kamu cantik hari ini" "iyA makasih, tapi itu tidak penting.. "terus .. "kamu tidak tahu apa yang lebih penting, setelah kamu mendengar kejujuran didepan kamu?? Aku diam mencoba memahami maknanya. Lima menit kemudian dia bicara lagi "ya udah kita fokus kejalan aja ya takut nanti nabrak. Yang tadi lupain aja anggak tidak pernah kamu dengar." Kami saling terdiam. Dia fokus dengqn handphonenya. Aku sibuk memikirkam makna dari kata-katanya. Setelah dua jam berlalu kami perjalanan kami kebandung. Akhirnya sampai juga ditujuan yang dituju. Dia mencoba mengembalikan suasana dan mencoba mengalihkan fikiranku supaya aku tidak lagi berfikir tentang apa yang sudah dia katakan. Dia meraih tanganku dan melangkah mencari tempat untuk duduk. Reina Pagi ini aku bisa bangun lebih pagi. Dan sakit perutku hari ini sepertinya sedang bersahabat. Dia tidak kambuh. Tubuh sedikit segar seolah tahu kalau hari ini aku akan berjalan jauh. Dan butuh kesegaran tubuh. Aku beranjak dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi langsung berdiri dibawah shower, semua badanku sudah basa semua dan urat-uratku yang masih kaku efek tidur bisa kembali segar. Mataku yang masih ngantuk langsung melek. pakai shampo, sikat gigi semua kulakukan dengan penuh kebahagiaan. Yang mengembalikan kemasa yang lalu dimana setiap kali aku mandi selalu di iringi dengan nyanyian kecil yang keluar dari mulutku. Yang mungkin nyanyian dan suara falsku tidak terlalu menghibur orang yang mendengar namun bagiku sudah cukup menghibur untuk menemani mandiku setiap pagi. Dan pagi ini ritual itu kembali lagi. Aku kembali menyanyi dikamar mandi sambil menikmati air shower yang menyirami tubuhku. Lima belas menit kemudian aku selesai mandi. Dan saatnya menuju ritual berikutnya mencari baju yang cocok untukku kupakai dan bisa lerlihat cantik jika dia melihatku. Bolak balik dari lemari mencari baju mana yang akan kupakai. Sepatu mana yang cocok dan jacket yang bisa masuk dengan warna dan model baju. Setelah mencari bajunya selesai aku melanjutkan ritual selanjutnya dimeja make up. Aku memakai foundation, bedak,alis tipis, lipstik kesukaanku dan yang paling disukai juga oleh rendy warna pink. Aku memperhatikan wajahku tubuhku dan rambutku. Mencari apakah terlihat seperti orang sakit atau tidak. Mencoba trrsenyum didepan kaca. Aku tidak melihat tanda kalau aku sedang sakit. Hanya saja yang membedakan bentuk tubuhku berubah karena mungkin beran badanku menurun. Kalau cuma urusan bentuk tubuh yang berubah tinggal bilang lagi diet kan kelar urusannya. Kataku dalam hati. si rendy yang dulu kunobatkan sebagai sahabatku dan paling sering kubuly sekarang posisinya sudah berubah menjadi cintanya aku dan paling sering aku rindukan dan selalu membuatku khawatir jika dia berkabar membuatku cemburu jika mulai menceritakan perempuan lain. Termasuk mau bertemu pacarnya. Dia si rewel suka bertanya segala hal tentang aku. Dan aku suka ditanyai sama dia. Aku mengharap supaya semua pertanyaannya tidak habis dan dia tidak berhenti bertanya. Aku juga kehabisan kata-kata untuk menjawabnya. Yang membuatku harus jujur dengan diriku sendiri rendy "kamu itu punyaku kamu tidak boleh dimiliki orang lain dan orang lain tidak boleh memiliki kamu". Sekarang yang pantas memiliki kamu itu cuma aku. Aku rendy. Hari ini aku dandan membunuh jam dan ganti baju sepuluh kali lipat tidak sia-sia karena dia suka dengan penampilan dan dandananku hari ini. Terbukti dari dia yang memujiku. Walau mungkin pujiannya itu adalah untuk menghangatkan suasana karena hampir satu jam lebih suasana berubah jadi dingin. Entah efek AC mobilnya yang kekencangan atau karena perasaan hati yang sudah tidak panas lagi. Satu hal yang bisa membuatku bangga dengan diriku sendiri hari ini. Karena aku sudah berani jujur atas perasaan yang aku punya. Awalnya memang teras berat untuk jujur. Yang namanya perempuan gengsi dan harga diri lebih dipelihara daripada perasaannya. Terkadang rela memendam daripada mengungkapkan. Karena perempuan takut harga dirinya turun. Dan apa yang dia katakan mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Ini adalah salah satu alasan mengapa perempuan lebih sering galau dan sakit hati. Perempuan lebih jago memberi kode daripada mengatakan langsung. Lebih suka dipahami daripada memahami. Dan hari ini aku sudah berhasil mengalahkan ego dan gengsiku itu. Mengatakan apa yang sebenarnya selama ini menjadi beban dihatiku. Dan salah satu perjuanganku supaya cintanya aku yang sekarang duduk disampingku tidak dimiliki orang lain. Kalau aku mau jujur sebenarnya setelah aku mengatakan dengan jujur atas yang apa yang aku rasakan kepada rendy aku lebih memilih untuk menarik kembali ucapanku. Aku merasa bahwa dia tidak akan memberi jawaban sesuai dengan yang aku inginkan. Terbukti dari sikap dan tingkah dia. Sekarang aku sedikit tahu bagaimana perasaan laki-laki ketika ungkapan perasaannya yang dia ungkapkan dengan jujur tidak mendapat jawaban sesuai dengan yang dia harapkan. Malunya itu tidak bisa disembunyikan. Dan muka kamu mau diletak dimana rein. Jangankan untuk bicara bertemu ditengah jalanpun menghindar Karena malu tidak bisa mendapatkan jawaban sesuai dengan yang di inginkan. Rein kamu senekad itu. Tanpa berfikir dulu apa yang kamu lakukan itu bisa membuat kamu tidak percaya diri. Dan membuat dia akan bersikap jual mahal sama kamu. Reina Reina Suara halus, singkat sedikit tegas itu berbisik ditelingaku. Dan membangunkanku dari lamunanku. Memanggilku dan membisikkan ketelingaku "rein kita sudah sampai". Aku seperti sedang dibangunkan dari tidur panjangku yang semua tidurku itu dipenuhi oleh mimpi,harapan dan hayalan. Aku menoleh kesamping kearah suara yang baru berbisik ditelingaku. Aku melihat mukanya sangat denganku. melihatku dan memperhatikanku. Aku menganggukkan kepala sambil membuka seatbeltku yang pandanganku tetap tidak bisa lepas menatap dia. Tangan merabah pintu untuk membuka mobil. Dia juga membuak seatbeltnya dan membuka mobil. Aku dan dia keluar mobil. Aku dia berlari kearah belakangbmobil mengambil gitar sama cameranya. Aku berdiri didepan mobil menunggu dia. Dia sampai didekatku dengan menenteng gitar dan cameranya. Aku meraih tangannya dan merangkulnya layak sepasang pengantin yang baru saja menikah dan mengumbar kebahagiaan. Aku bisa melihat mukanya yang kaku dan sedikit tegang saat tanganku meraih dan merangkul tangan dia. Aku berusaha tetap tenang berusaha untuk tidak peka berusaha untuk menjadi wanita yang paling romantis sejagat . Yang tidak memperdulikan apakah orang yang dia rangkul setuju atau tidak. Marah ataupun kesal. Penting baginya dia adalah perempuan yang paling bahagia hari ini. Dia menatapku aku tersenyum. Aku dia melangkah berjalan mencari tempat duduk. Aku ingin melakukan apapun yang aku lakukan karena mungkin setelah ini aku tidak akan bisa lagi melakukan apa yang ingin kulakukan. Termasuk ingin bersikap romantis sama rendy. Mungkin setelah ini sisa waktuku akan habis dikasur. Apapun yang bisa membuatku bahagia hari ini akan kulakukan. Supaya diakhir hidupku nanti aku bisa menobatkan diri sebagai perempuan yang paling bahgia wlaupun dengan banyak masalah. Si dia bersuara lagi "kamu mau duduk dimana?" Mataku sedikit berkeliling melihat semua tempat duduk yang ada disana. Dan memilih tempat yang paling nyaman untuk kami duduk. Mataku tertuju pada tempat duduk yang berada didepan kami. Yang tempat duduknya langsung bisa melihat alam yang hijau dibawahnya. Aku mengajak rendy duduk disana. "kita duduk disana aja ya ? Oke.. Kami berjalan menuju tempat yang kami pilih. Sampai disana kami duduk langsung diatas rumput-rumput hijau yang tumbuh ditanahnya. Tidak ada kursi ataupun bangku. Rendy mengeluarkan cameranya dan mengambil fhoto hutan hijau yang ada disekeliling lembang bandung. Yang dialamnya penuhi dengan kabut embun. Dia membuat rekaman vidio yang sesekali cameranya dia arahkan kepadaku. Dan aku bergaya dengan dua jari andalanku sambil menjelikan lidahku kearah cameranya. "kamu nggak mau photo?? "nggak.. "kenapa ?? "awas nanti udah sampai rumah nyesal. "kamu berdiri disana biar aku photoin, view nya bagus nih.. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk. Dibawah pohon dan menyuruhku berdiri tepat dibawah pohon itu. Pohonnya tinggih dan dibelakang langsung background alamnya yang hijau dan awannya yang putih. "photoin yang banyak ya.. "oke siap.. Aku menyuruh rendy mengambil gambarku sebanyak mungkin. Aku bergaya dengan segala gaya photo yang aku punya. Tangan dipinggang, dua jari diatas, menjulurkan lidah,mengangkat kaki sebelah. Dan yang terakhir mencoba gaya photo model andalanku pevita pearce. Yang aku sangat dengan gaya photonya yang tersenyum kelihatan gigi sambil matanya terpejam. Bagiku gaya photonya yang itu membuat pevita terlihat sexy dan dan sangat cantik. Aku bukan hanya menyukai gaya berphotonya tetapi juga menyukai fashion stylishnya. Semua style pakaiannya aku suka. Bagiku pevita pearce adalah actress sekaligus modeling favoritku. "masih ada lagi gayanya ? "sudah habis.. "yakin "iya.. Aku berjalan mendekati rendy. Dan melihat hasil photo dicameranya. Tidak sadar lengan kami bersentuhan tangan kami secara refleks saling berpegangan. Dab muka kami saling berdekatan bahkan sangat dekat tidak ada jarak lagi antara mukaku dan muka dia. Sekarang fokus mataku bukanlah pada photoku yang gaya hambur adur dicameranya dia melainkan pada mukanya yang charming itu. Walaupun dalam keadaan panaspun mukanya tetap tidak kusam. Tanganku mulai refleks mau memegang dan mengelus pipinya. Tapi aky tahan. Loh suka photonya yang mana? Dia bertanya dan mengangkat wajahnya melihat kearahku. Aku salah tingkah dan sedikit gugup. "aku suka yang pakai gays model kesayanganku.. "pevita pearce. "iya.. Yang itu. Tanganku menunjuk kearah cameranya mataku memandangi matanya. Dan suaraku gemetaran. Tidak bisa ditahan juga air mataku kembali keluar dan aku menangis. "reina kamu kenapa ? Aku meraih kedua tangannya. "aku boleh peluk kamu nggak ? "iya, holeh tapi kamu cerita sama aku. Kamu ada masalah apa ? Aku tidak menjawab pertanyaannya yang terakhir aku meraih badannya dan merangkulnya erat-erat. Aku menempelkan kepalaku dipundaknya. Dan merasakan jantungnya berdetak. Aku merasakan menjatuhkan diri dipelukannya itu adalah waktu paling dekat aku dengan dia. Yang boleh dikatan jarumpun tidak bisa jadi pembatas bahkan tidak hal yang bisa jadi pembatas antara aku dan dia saat itu. Kurang lebih sepuluh menit aku bersandar dipelukannya rendy menarik tanganku yang merangkul erat badannya. Dan mengajakku kembali duduk ditempat kami semula. Air mataku masih terus mengalir. "rendy aku boleh bersandar dipundak kamu? "boleh,jangan untuk bersandar kamu mau tidurpun aku izinin.. "makasih ya ren kamu baik banget sama aku.. "ssstt.. Kamu nggak baru kenal aku kan.. Aku menganggukan kepala dan menjatuhkan kepalaku dipundak kanannya. Dia mengelus kepalaku dengan tangannya hingga akhirnya. Mataku terlelap dipundaknya. Untuk mengantarku ketidurku yang lebih lelap dia menyanyikanku dengan petikan gitarnya yang membuatku semakin terlelap dipundaknya. Reina Kurang lebih dua aku terlelap dipundaknya. Aku kembali terbangun karena aku merasa posisiku tidurku sudah berubah. Bukan bersandar dipundaknya lagi. Melainkan dia sudah mengalihkanku kepangkuannya. Dia mengelus rambutku dan menyuruhku tidur lagi. Tapi mataku sudah tidak mau tidur lagi mungkin sudah puas tidurnya kurang lebih dua jam ditidurkan. "kenapa posisiku dipindahkan kepangkuan kamu? "lagian aku perhatiin kamu tidurnya nyenyak banget. Tidak tega juga liat mulut kamu mangap takut dimasukin lalat hijau. "serius aku tidurnya mangap.. "iya, sebenarnya tadi mau photoin. Handphone didalam kantong celana susah ngambilnya. Mau gerak takut kamu jatuh. "perhatian banget sih... "apa sih yang aku lakuin buat kamu. "makasih ya.. Aku bangun dari pangkuannya dan duduk disampingnya. Sambil menempelkan lagi kepalaku dipundaknya. Aku menagih janji rendy yang akan menyanyikanku lagu kesukaannya dan juga lagu kesukaanku. "oh iya rendy,kemarin kamu janjikan mau nyanyiin aku lagu kesukaan loh. Terus aku request minta nyanyiin juga sama kamu lagunya virzha-tentang rindu. "virzha dulu atau iwan fals duluan.. "virzha aja deh.. Rendy mendirikan jempolnya dan langsung memetik gitarnya. Dia menyanyikan lagunya. Aku juga ikut menghayati,menyanyi dan tenggelam didalam lagunya. Reina Lagu tentang rindu yang ddinyanyikan oleh virzha mengisahkan tentang kerinduan seseorang kepada bapaknya. Virzha mengambil tema vidio clipnya tentang kerinduan kepada bapaknya. Lagu ini bukan cuma untuk mengisahkan kerinduan seorang anak dengan bapaknya bisa juga untuk pasangan yang saling merindukan. aku menjadikan lagu ini sebagai obat rindu ketika dia jauh dariku dan merindukan.Hari ini rendy menyanyikanku lagu ini. Aku berharap ketikaku sudah tidak bisa berada disampingnya lagu ini bisa selalu ada untuk dia. Menemanima dia dan jadi obat rindunya ketika dia merindukanku. Yang membuat dia selalu merasa aku ada didekatnya walaupun sebenarnya aku sudah tidak ada lagi. Sudah berada jauh dari dia. Aku akan bahagia dari kejauhan sana ketika aku menyaksikan dia juga bahagia dan ketika sedang mendengar lagu ini. Walaupun lagu ini sudah terbilang lagu lama tapi aku tidak pernah bosan mendengarinya. Setiap aku lagi sendiri, sedang merasakan rindu. Atau ketika aku tidak bisa tidur. Petikan gitarnya berhenti dan suara nyanyian lagunyapun berhenti. Yang membuatku harus terhenti juga dari menghayal hal-hal yang belum terjadi dengan diriku. Menghentikan pesimisku akan hidup. Aku mulai cepat mencari alasan supaya rendy tidak bertanya mengapa aku menangis. "kamu nyanyinya bagus banget ren,sampai terharu aku mendengarnya.. "kamu nangis terharu dengar lagunya atau memang ada masalah? "dengar lagunya.. Aku tersenyum dia membalas. Lewat lagu itu akhirnya aku dan dia bisa jadi lebih dekat lagi. Bisa saling tertawa saling toyor kepala. Dan saling jahilin. Bercerita tentang banyak hal. Saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Dia menceritakan pengalaman dia selama dapat tugas diluar kota. Aku bercerita tentang ceritaku selama tidak bertemu dengan dia. Sebenarnya kalau ceritaku itu hanyalah buatan. Semua yang aku ceritakan tidak benar adanya. Selama tidak bertemu dengan dia aku selalu ada dirumah dan menghabiskan waktuku dengan mengurung diri dikamar menukis diary dan menangis maratapi kisah akhir hidupku. Ada sebenarnya yang riil cerita dariku cerita tentang batu mantanku yang kemarin kembali menghubungiku datang kerumahku. tapi aku tidak bisa menceritakannya kepada bayu. Aku takut dia akan kecewa. Gelak tawanya langsung hilang suasana yang sedang dipenuhi dengan suasana bahagia ini langsung surak karena terbakar oleh api cemburu dan kemarahan. Aku tahu dia sangat membenciku ketikaku menceritakannya tentang bayu. Aku lebih memilih diam dan tidak menceritakan apa-apa tentang dia. Aku lebih mengarang cerita berbohong asalkan itu bisa membuat dia bahagia dan aku tidak pernah merasa bersalah. Bagiku berbohong untuk mempertahan suatu hubungan untuk membuat sesorang supaya tidak merah itu jauh lebih baik dibandingkan bicara jujur namun akhirnya membuat suasanan suram dan orang yang yang mendengarnya jadi menjauh. Dia senang mendengar ceritaku aku bercerita tidak ada beban. Aku tertawa dia tergelak aku tersenyum dia membalas. Aku menoyor kepalanya dia menjatuhkannya dipundakku. Dia mulai iseng aku aku jahil. "sekali-kali kamu buatku aku tertidur nyaman dipundak Kamu ini. Bukan ditoyor. "oh minta dibikin Tidur nyaman. Sayang bobok gi yang nyenyak. Aku mengelus pipinya dengan tanganku. Akhirnya impianku untuk mengelus pipinya tersampaikan juga. Walaupun dengan cara bercanda. "hahaha kamu pakai perasaan banget ngelus pipiku sampai mau tidur beneran ini" "ya udah tidur aja. Buat kamu hari ini gratis tanpa biaya bebas pajak. "beneran nggak minta pajak.. Nanti nyesal mie jawa yang diujung sana enak loh ya.. "untuk hari ini masih kuat iman "aku mau liat muka orang yang kuat iman itu gimana sih,penasaran deh.. "kayak gini" aku memutar wajah kedepannya sambil menunjuk mukaku sendiri. Dia tersenyum aku tertawa. Dia memegang mukaku dengan kedua tangannya. Aku memegang tangannya. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil memperhatikan dia yang dari tadi tidak bisa berhenti tertawa. Aku melihat juga bahwa tawa itu bukan buatan memang asli keluar dan tercipta dari bahagianya hari ini. Sementara aku tertawa lepas hajya untuk menghangatkan suasana. Rendy Hari ini adalah hari dimana aku lupa akan segalanya. Aku lupa sakit. Lupa kecewa, lupa untuk makan, semua seperti hilang dari otakku dan aku seperti sudah disulap amnesia oleh bahagiaku sendiri. Memang sih awalnya suasana sempat suram. Karena ada tragedi air mata saat menuju kekota bandung ini. Namun tragedi itu hilang karena terbawah suasana. Bisa dibilang hari ini aku adalah orang paling gugup dan paling bahagia sedunia. Gugupnya aku tidak percaya dengan yang dikatakan reina mengapa dia sering mengurung Dirinya dikamar. Dan tanpa masalah yang jelas dia memelukku dengan erat bahkan dia tertidur lelap dipundakku hari ini. Membuatku bertanya dalam hati apakah sekarang reina sedang bercanda atau memang serius. Wajah polos yang Membuatku mengerti apa itu cinta dan rasa sakit hati ketika menceritakan laki-lali lain dan cemburu jika ada yang mendekatinya. Yang mungkin setiap orang yang lewat ingin kupanggil dan bilang kalau dia adalah perempuanku, pacarku dan milikku. hari ini Tertidur lelap dipundakku selama dua jam lebih sampai pegal pundakku menahannya. Hasratku tidak dibendung. Aku melihat bibirnya yang merah. Mukanya cantik yang tidak pernah membuatku bosan memandanginya selama dua jam lebih. Dan rasanya munafik jika laki-laki yang melihatnya Tidak tergoda Melihat kecantikannya. Siapapun pasti mungkin akan merasakan perasaan yang sama denganku saat ini. Kurang lebih dua jam dia tidur dipundakku dia terbangun dari tidurnya Karena aku memindahkannya kepangkuan. Mungkin pundakku sudah Terasa Pegal leherku pun sudah terasa sakit dari tadi memperhatikan dia. Pundakku sebenarnya tidak pernah menyerah mEnahan dia yang tertidur. Aku memikirkan dia yang sepertinya kecapek an mungkin karena pegal tidurnya sambil duduk. Dia kembali duduk lagi dan memintakku menyanyikan lagu kesukaan dia. Sebenarnya selama dia tidur lagunya itu sudah aku nyanyikan. Mungkin saat dia tidur dia tidak mendengar dia minta dinyanyikan ulang. Aku memetik gitarku sebagai tanda lagunya sudah dimulai. Mulai menyanyi dan dia dia juga mengiringi Lagu Kunyanyikan sampai lagunya selesai. Dia menangis terharu. Mungkin terlau terbawah perasaan dan menghayati. Aku membuat bapernya itu sebagai bercandaan. Yang akhirnya bisa membuat kami tersenyum, tertawa dan saling berbagi cerita. Mungkin boleh dikatakan hari ini adalah satu hari paling dekat dengan dia. Aku bisa menatap lama wajahnya, aku bisa memegang mukanya dengan kedua tanganku, tangan dia memegang kedua tanganku, saling menatap. Merasakan pelukan hangatnya tanpa didasar dengan dia sedang galau karena laki-laki yang menyakitinya. Aku menjatuhkan kepalaku dipundaknya dia mengelus pipiku. Yang akhirnya hampir membuatku terlelap. Aku kembali mengangkat kepalaku dari pundaknya. Aku tidak mau pundaknya pegal karena menahan aku tidur. Aku tipe orang yang tidak bisa tidur hanya sebentar. Lima belas menit sudah bangun. Paling minim itu tidur satu jam baru bisa dibangunkan. Kalau kurang dari satu jam bisa jadi tanduk merah diatas kepalaku keluar. Rendy Rendy "rein, aku juga punya lagu buat kamu.. "pasti lagu izinkan aku mencintaimu-iwan fals.. "iya,kok kamu tahu.. "kan kemarin aku minta dinyanyiin sama kamu.. "oh, aku lupa.. Aku nyanyiin iya.. Dia menganggukkan kepala. Aku mulai memetik gitaku dan menyanyikan lagunya. Dari dalam hatiku berkata. Sebenarnya dari lagu ini adalah ungkapan kejujuranku yang mencintaimu rein namun tidak pernah kamu beri kesempatan. Harapanku lagu ini bisa membuatmu sadar dan tahu tentang isi hatiku yang selalu mencintaimu dan menunggu kamu juga mencintaiku. Aku sangat berterima kepada iwan fals salah satu musisi legendaris indonesia sudah menyanyikan lagu ini dengan baik. Dan sudah memperkenalkan karya-karya terbaiknya yang selaku ngena hatu parah penikmat lagunya. Termasuk aku salah satu dari sekian ratus ribu orang bahkan jutaan yang menjadi penikmat lagunya. "kamu dengarin baik-baik ya lagunya. Ini maknanya dalam loh.. "sedalam apa sih.. "bisa bikin patah hati orang yang mendengarnya. Dan bisa membuat yang mendengarnya jatuh cinta sama penyanyinya.. "iya dong, coba aja kamu dengarin nanti kamu langsung naksir sama aku.. Aku menyanyikan lagunya sambil memetik gitar. Dia mendengarkan dan menghayati. Sampai selesai lagu yang aku nyanyikan. Setelah aku menyanyikan lagunya ada tatapan yang tidak biasa dari wajah reina. Aku merasa tatapan itu bukan tatapan sebagai seorang sahabat kepada sahabatnya. Melain tatapan seseorang yang punya perasaan mendalam yang tidak bisa dia ungkapkan namun bisa dia nikmati. Reina Lagu yang rendy nyanyikan itu adalah lagu yang dinyanyikan oleh iwan fals yang menceritakan tentang sseseorang yang mencintai pasangannya namun pasangan tidak pernah peka atas perasaan yang dia punya. Hari ini lagu itu dinyanyikan kembali oleh rendy dengan suasanan dan perasaan yang sama. Dengan lagu itu dia bisa menyindirku. Dan sekaligus mengungkapkan isi hatinya. membuatku yang mendengarnya jatuh cinta sesuai dengan yang rendy katakan. rendy kamu tidak harus menyanyikan lagu ini pun aku sudah jatuh cinta sama kamu. Sekarang aku hanya menunggu kamu menyatakan tentang perasaan kamu sama aku. Aku tidak bisa berbohong lagu dengan perasaanku. Aku benar-benar mengharapkan dia menyatakan cintanya sama aku. Rendy kamu jangan cuma memandang mukaku. Kamu harus bisa melihat kalau diwajahku ada cinta yang begitu besar untukmu. Ayo rendy kamu tembak aku. Kamu bilang sama aku kalau kamu suka sama aku. Aku akan jujur juga aku juga punya perasaan cinta sama kamu. Kenapa kamu tidak peka sih ren biadanya kamu paling cepat tahu dengan gelagat seseorang. Aku mengharap sekali kamu merasakan apa yang aku rasakan. Lima menit saling berpandangan aku mencoba mengalihkan fokus dan mencairkan suasana. "kamu nggak ada yang mau kamu katakan sama aku? Dia hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab apapun. Aku bertanya lagi "rendy kalau nanti aku nggak ada kamu bakal nyariin aku nggak ? "nggak.. "serius ren.. Kita pulang yuk udah sore. Aku menarik tangannya dan mengajak dia pulang. "tunggu deh kamu sensitif banget akhir-akhir ini. Kamu tidak sedang jatuh cinta sama aku gara-gara lagu tadikan?" dia tersenyum "menurutk kamu?? "kamu sedang berusaha mengharap aku tembak. Jangan ketinggian mengharapnya aku tidak akan pernah nembak kamu.. Mungkin itu adalah suara bercandaan rendy. Yang mungkin ingin balas dendam karena dulu aku juga pernah mengatakan hal itu sama dia. Bedanya aku menolak dan dia menyatakan. Apa susahnya sih ren sekarang kata-kata itu kita balik kamu menyatakan dan aku menerima. Aku masih yakin kalau kamu masih punya perasaan yang sama denganku. Kamu mengatakan kata-kata itu sama aku karena kamu takut aku tolak lagi. Tidak ada gunanya kita saling menyimpan perasaan kita. Sementara kita sendiri punya ruang yang sangat besar untuk saling jujur dan saling membahagiakan. Kalau dengan kita saling jujur akan membuat kita saling bahagia mengapa kita jujur saja. Dan dengan diam saling berbohong akan membuat perasaan kita saling terluka buat apa kita belarut-larut mempertahankan kebohongan kita. Kamu sakit hati aku menceritakan laki-laki lain. Aku cemburu melihat kamu dengan perempuan lain. Harus sesusah itu ya untuk jujur dengan perasaan sendiri. Rela sakit hati daripada jujur. Rela saling bohongi saling diam hingga sampai pada puncaknya kita saling berjauhan kemudian saling menghilang. Dan yang tertinggal hanyalah luka. Aku menarik tangannya kembali "kita pulang ya uda sore. Nanti sampai jakartanya pasti uda malam. Dia mengangguk dan mengikuti melangkah berjalan menuju kearah mobil. Masuk kedalam mobil. Mungkin ini adalah adalah terakhir kalinya aku duduk bersebelahan dengan rendy bisa menatapnya dari jarak yang paling dekat. Tidak ada yang mrnghalalngi. Aku memperhatikan bentuk wajahnya bulu tangannya. Alisnya. Hidungnya. Mencoba mereka suaranya yang paling khas. Dan mencium bau parfumnya dia. Supaya nanti didetik terakhirku aku masih tetap bisa mengingat tentang dia. Besok rendy akan kembali terbang keluar kota dan menyelesaikan persentasinya ke cliennya. Yang kepulangannya pun tidak bisa diprediksi. Selama duduk disebelahnya aku hanya mengharap sama tuhan supaya rendy mengatakan tentang isi hatinya sama aku. Dan ini juga adalah pengharapan terakhirku sebelum nyawaku dicabut malaikat. Reina Dua jam perjalanan kami dengan suasana tertawa. Bercerita dan menikmati angin malam dijalan. Aku mmbuka kaca mobil membiarkan wajahku tertiup angin. Rendy juga membuka kaca mobilnya. Satu setengah jam berlalu mobil kami memasuki kota jakarta yang sudah mulai berhadapan lagu dengam hiruk pikuk kota jakarta menunggu berjam-jam dijalan hanya menggu macet yang tidak kunjung selesai. Cerita demi cerita sudah kami ceritakan mobil belum saja bisa bergerak yang akhirnya membuat kami saling diam tidak bicara lagi, yang mungkin sudah tidak ada lagi mau dibahas dan diceritakan atau memang menghentikan pembicaraan dan diam berpura-pura sudah habis yang ingin dibicarakan. Padahal masih banyak hal-hal yang harus dibicarakan termasuk perihal perasaan hati yang belum juga tersampaikan sampai sekarang. Sampai akhirnya kami kembali lagi ke kota jakarta. Yang membuatku akhirnya mencabut kembali niatku untuk menobatkan kota bandung sebagai kota asmaraku. Dan saksi penyatuan cinta antara aku dan rendy yang sudah menggantung sejak lima tahun yang lalu. Mungkin bandung tidak bisa menjadi saksi penyatuan cinta antara aku dan rendy namun bandung tetap bisa menjadi saksi kalau hari ini aku sangat bahagia. Karena aku bisa memeluk dia kembali dengan erat, bisa tertidur nyenyak dipundaknya kurang lebih dua jam dan yang terakhir bisa mendengar dia menyanyikan lagu kesukaanku secara langsung. Kalau besok aku sudah tidak ada lagu virzha itu akan menjadi bukti kalau aku tetap terus merindukan dia walaupun aku sudah jauh dari dia. Aku berterima kasih kepada virzha atas lagunya yang sudah mewakili perasaanku. Mataku sudah mulai memberi kode kalau dia sudah minta segera ditidurkan. Perutku juga mulai perih seperti mau kumat lagi. Tidak bisa dipungkiri pula aku dituntut untuk tetap tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Pinggangku sudah mulai keram sudah minta dibaringkan. Dan kakiku mulai kesemutan minta untuk diluruskan. Seluruh tubuhku sudah gersang minta segera dimandikan. Tiga puluh menit terjebak macet akhirnya mobi kami perlahan bisa berjalan. Suatu hal yang paling kusyukuri untuk sekarang mobil bisa bergerak dan berjalan walaupun masih seperti kura-kura. Beberapa menit kemudian mobil rendy memasuki halaman rumahku. Dan berhenti didepan rumahku. Aku membuka mobil dan turun dari mobil. Dan menawarkan dia untuk mampir dulu. "ren, kerumah dulu .. "langsung aja, uda malam soalnya. Kamu juga pasti capek kan.. "ya uda hati-hati.. Aku berdiri didepan mobilnya dan menunggu dia keluar dari halaman rumahku. Sampai akhirnya kamu mengantarku pulang kamu tidak ada mengatakan apapun sama aku ren. Sekarang aku tahu bahwa itu adalah jawabannya yang tidak perlu aku pertanyakan dan kuperdebatkan lagi. Aku masuk kedalam rumah dan langsung menuju kamarku. Ditempat ini adalah tempat paling tenang aku untuk menghabiskan waktuku setiap harinya. Malam ini aku kembali lagi ketempat ini. Menjatuhkan tubuhku keatas tempat tidur dengan segala kesakitaj yang sedang aku rasakan sekarang. Rendy Pagi ini aku kembali lagi kerutinitasku yaitu cek in kebandara dan terbang dari satu kota kekota yang lainnya. Untuk bertemu clienku dan mekakukan persentasi. Hari ini clien yang ditemui bisa dibilang adalah clien yang bisa memancing emosi. Dan terkadang membuat amarah darah mudah naik. Berbeda dengan clienku yang baru aku temui kemarin. Yang tidak ada kata bosan dan semua hal tentang dia membuatku nyaman. Mungkin ini adalah clienku yang paling membuatku nyaman. Walaupun kemarin sikap dan tingkahnya sedikit berubah dan cenderung aneh. Namun tetap dia adalah cien terbaikku sepanjang aku bekerja dan persentasi. Satu hari fuli itu bisa dikatakan aku turun naik pesawat. Bertemu clien satu dengan clien yang lainnya. Bisa dibilang satu hari itu aku tidak membuka handphone. Cuma makan,masuk pesawat keluar pesawat, masuk kantor keluar kantor. Handphoneku juga ku silince supaya tidak mengganggu aku persentasi jika ada chat atau pesan yang masuk. Jam setengah sepuluh mal aku baru bisa bebas dari persentasi dan mencari hotel untuk beristirahat dan tidur. Berkeliling mencari hotel yang harganya sesuai dengan isi kantong dan juga budget kantor. Kurang lebih jam sebelas malam aku baru bisa cek in disalah satu hotel dikota surabaya yang boleh dikatakan berbintang. Dari kejauhan aku sudah disambut hangat oleh pelayan hotelnya. "selamat malam mas.. "malam juga,mbak mau pesan kamar satu.. "buat berapa malam ?? "tiga malam,bisa ? "bisa mas,tunggu ya.. Petugasnya menyebutkan jumlah uang yang harus kubayar. Aku membayar tagihannya. Langsung berjalan menuju kamarku. Disana rasanya tulang-tulangku merasa kembali segar setelah seharian dipekerjakan bagai kuda. Aku membuka handphoneku yang seharian ini tidak ada aku buka. Pegang handphone kalau ada yang memanggil sisanya jadi tunggu kantong celanaku. Aku membuka WA sudah banyak pesan yang masuk. Dari rekan kantor, clien yang nanya. Dan tidak ketinggalan juga ada chat dari dia. "kamu hari ini jadi berangkat keluar kotanya ? Hati-hati ya. Kalau sudah selesai cepat pulang ya.. Jam sepuluh pagi "rendy kamu masih persentasi ya" jam satu tiga puluh. "rendy kamu dimana aku telepon kamu. Nggak diangkat. Jam dua lima belas menit "rendy aku boleh jujur. Aku aku ada hati sama kamu ren,kuharap kamu juga sama denganku. Jam tujuh malam "rendy, kamu dimana ?? "rendi tolongi aku. Aku sakit ren. Sakit banget. Jam dua-dua empat puluh limat menit. "suara tangisan yang dia kirimkan melalui voice note yang seperti sedang menahan sakit yang sangat luar biasa sakitnya. Aku mencoba menelepon dia. Namun handphonenya sudah tidak aktif lagi. WA nya centang satu. Dan perasaanku mulai tidak enak. Memikirkan dia. Rendy Rasanya matahari pagi ini menyambutku dan memberiku semangat untuk mulai aktivitasku. Tapi secerah apapun mentari pada pagi ini tetap perasaanku tidak tenang dan. Ada perasaan yang ingin menarikku untuk pulang. Entah apa sebenarnya yang sedang terjadi di jakarta. Hari ini aku persentasi dengan clienku boleh dibilang gagal total. Yang ada difikiranku bukan lagi persentasi ke clien tapi pulang dan ingin cepat-cepat bertemu reina. Mungkin tubuhku boleh jadi berdiri didepan clien dan mulutku mengoceh menyampaikan persentasi fikiranku sudah dijakarta. Mulutku hanya mengasal mengeluarkan kata-kata yang mungkin clienku bisa mengerti atau tidak dengan yang kusampaikan. Tiga hari berada disurabaya. Rasanya sudah seperti setahun. Susah sekali menghabiskan waktu selama tiga hari itu. Disela-sela waktu istirahatku aku mencoba brrkeliling kota surabaya mencari ketenangan. Berharap hatiku bisa sedikit tenang dengan diajak berkeliling kota surabaya. Namun kenyataan berjalan mengelilingi kota surabaya sedikitpun tidak membawa perubahan suasanan hatiku yang sedang tidak jelas inginnya mau kemana. Aku tetap mencoba menghubungi reina. Namun tetap saja dia tidak bisa dihubungi. Dia seperti menghilang bagai ditelan bumi. Aku kembali kekamar hotel Diruangan itu aku bisa sedikit tenang dan bisa membuatku tertidur. Entah itu halusinasi karena terlalu kepikiran tentang reina atau mungkin kode untukku. Aku melihat reina datang kekamarku dengan memakai gaun putih dan penampilannya layaknya seorang putri. Dia berjalan kearahku sambil tersenyum. "ren, aku pamit ya..dia membalikkan badannya dan meninggalkanku dikamar. Aku mengejarnya. Dan dia langsung meghilang aku memanggil-manggil dia. Tapi dia tidak kembali. Aku tidak tahu jelas reina mau pamit pergi kemana. Dia menghilang setelah berjalan keluar dari kamarku. Aku terbangun karena ada suara panggilan diteleponku. Aku berharap reina yang meneleponku. Ternyata bukan dia. Melainkan rekan kantorku yang menyuruhku pulang kejakarta dan menyudahi persentasiku. Rasanya itu adalah kabar yang paling baik. Dan rekanku busa kunobatkan sebagai rekak kerja paling baik sejagat. Setelah mendapat kabar yang menurutku sangat baik itu. Hari itu juga aku mememesan tiket pesawat untuk kbali kejakarta. Dan mendapat jam penerbangan jam delapan malam. Aku mengemas semua barang-barangku. Dan bersiap untuk pulang kejakarta. Aku membuka WA-ku dan chat reina "rein tunggu ya,malam ini aku kembali kejakarta. Penerbangan jam delapan". Chatku tetap centang satu. Dan itu artinya nomor dia belum aktif dari malam kemarin. Aku tetap ingin memberi dia kabar berharap nanti dia aktif dan bisa baca pesan dari aku. Rendy Rendy Jam enam sore aku sudah cek out dari hotel dan langsung menuju bandara untuk cek in. Selama menunggu penerbangan otakku masih dipenuhi pertanyaan tentang kehadiran reina yang ada dimimpiku. Yang penampilannya sangat berbeda. Apa mungkin reina mau menikah. Tapi kalau dia mau menikah dengan siapa dia mau menikah. Setahu aku dia tidak pernah punya pacar setelah putus dengan bayu. Atau mungkin dia tidak cerita sama aku. Kalau diam-diam dia mau menikah. Aku mencoba chat widya dan bertanya sama widya mana tahu. Namun widya juga tidak ada jawaban. Tepat jam delapan malam pesawatku sudah terbang menuju jakarta. Kurang lebih satu jam pesawat sudah mendarat dibandara soekarna jakarta. Aku mengambil barang-barangku dibagasi dan langsung menuju ketempat taxi. Naik taxi dan menuju rumah. Kurang lebih tiga puluh menit taxi yang mrngantarku sudah sampai didepan rumahku. Aku melihat jam ditanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Yang menurutku sudah tidak mungkin lagi untukku datang kerumah reina. Aku mencoba menyabarkan diriku untuk datang kerumah reina besok pagi. Rendy Pagi ini sesuai dengan rencanaku untuk datang kerumah reina. Aku mengambil kontak mobilku yang kuletakkan diruang tamu. Aku kegarasi mobil dan mengeluarkan. Langsung berjalan menuju rumah reina. Dari depan rumah reina perasaanku sudah tidak enak. Ditambah lagi mamasuki halaman rumahnya aku sudah disambut tenda didepan rumah dia. Yang dari luar pula tampak sepi bagian rumahnya. Halaman rumahnya berantakan. Bunga yang tumbuh dihalaman rumahnya rusak dan patah. Aku melangkah keteras rumahnya. Dan mengetuk pintunya. Terdengar suara ibunya reina dari dalam. Dan membuka pintu. "rendy,masuk ren.. Aku melangkah masuk kedalam rumahnya. Didalam rumahnya aku melihat sofa yang dipinggirkan kedinding. "habis acara apa bu.. "rendy..kamu duduk dulu ya nanti ibu buatkan minum. Mukanya ibunya reina terlihat sendu. Matanya merah seperti ingin menangis. Aku duduk disofa yang sudah dipinggirkan kedinding. Ibunya kedapur membuat teh. Beberapa menit berselang ibunya datang membawa teko teh. Dia menuangkan tehnya dan menyuruhku minum ibunya menatapku dengan wajah sangat sedih. Air matanya berurai. Seperti ada yang ingin disampaikan namun tidak tahu cara menyampaikannya. "ibu kenapa menangis.. "kamu benar-benar tidak tahu ren musibah yang sedang menimpah ibu.. "nggak bu, musibah apa? Ibunya menggelengkan kepala sambil menangis. "rendy,reina sudah pergi meninggalkan kita semua.. Tangis ibunya semakin pecah. "pergi kemana bu?? "pergi meninggalkan kita semua.. "jadi maksud ibu reina.. "iya ren.. "innalillahiwainna ilaihi rojiun.. Dia sakit apa bu.. "sakit kanker usus buntu stadium akhir. Dia meninggalkan ini untuk kamu. Ibunya memberikan amplop coklat sama aku.sambil gemetar tanganku membuka amplopnya. Dan membaca suratnya dear rendy Sebelumnya terimalah tutur maafku sama kamu yang selama ini mungkin menyakitimu. Yang selalu membuat hatimu tersinggung dan mungkin menyakiti perasaanmu. Mungkin surat ini sudah cukup untuk mewakili segala hal yang ingim kusampaikan sama kamu. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan sama kamu. pertama,aku ingin jujur sama kamu kalau sebenarnya setelah aku putus sama bayu aku ada hati sama kamu. Aku menyukai kamu. Aku sangat mengharap kalau terakhir kita kelembang bandung kemarin kamu mengatakan tentang isi hatimu kepadaku. Karena aku tahu kamu juga ada hati sama aku. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu dan aku masih brrhubungan dengan baik. Rendy seandainya kamu masih punya perasaan yang sama setelah kamu membaca suratku ini maka kamu datanglah kupusarku dan katakan kalau kamu masih mencintaiku. Dan kamu jangan takut aku tolak sudah pasti aku terima. I LOVE YOU RENDY kedua aku ingin bilang sama kamu bahwa umurku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Karena sejak enam bulan yang lalu aku diponis dokter menderita sakit kanker usus buntu stadium akhir. Aku tidak tahu awalnya mulanya aku terkena penyakit yang mematikan ini kapan. Mungkin diterakhir kita bertemu kamu merasakan hal yang aneh dan berbeda dari biasanya. Itu karena aku ingin menjauh supaya ketika aku sudah tidak ada kamu tidak terlalu merasa kehilanganku. Ketiga aku ingin mengucapkan teriam kasih sama kamu aku bisa belajar banyak hal dari yang mungkin selama ini belum pernah aku temui pada diri orang lain bisa aku dapatkan setelah mengenalmu. Aku bisa belajar sabar, artinya sebuah penantian, artinya mencintai dengan tulus dan selalu berusaha tersenyum walaupun dengan perasaan sakit. Aku bangga menjadi sahabatmu. Aku bahagia dicintai oleh laki-laki sebaik kamu. Keempat kamu jangan berkecil hati ketika nanti aku pergi dan menuju peristirahatan terakhirku tidak ada yang memberi tahumu. Itu adalah atas dasar permintaanku. Aku tidak mau persentasi dan kerjamu terganggu. Kelima aku ingin curhat terakhir kalinya sama kamu. Aku harap kamu jangan benci apa lagi merasa sakit hati. Baru-baru ini bayu datang kerumahku dia mengajakku balikkan. Tapi kamu jangan khawatir aku tidak menerima ajakan dia untuk balikan. Karena hatiku sudah persembahkan sepenuhnya untuk kamu. Keenam aku ingin menitipkan ibu dan adikku aku percaya kalau kamu bisa menjaganya. Tolong jaga mereka yan rendym anggaplah mereka adalah bagian dari keluargamu. Rendy aku pamit sama kamu untuk pergi. Sekali lagi aku pamit. Selamat tinggal rendy selamat tinggal. Ibunya juga memberikan sepucuk surat yang dia berikan sama aku. Yang dia tulis untuk ibunya. Dear ibu Ibu aku minta maaf atas segala kesalahan yang kuperbuat sama ibu selama ini. Jika besok ibu menemukanku dalam keadaan kaku dan tidak bernyawa ibu jangan sedih. Ikhlaskan saja aku. Aku hanya minta kepada ibu supaya ibu mendoakanku dan mempermudahku menuju kehidupanku yang baru. Ibu tidak hal yang bisa mewakili perasaan sayangku pada ibu. Mungkin kalau harus dibandingkan nyawaku adalah taruhannya ibu. Kalau nanti ibu butuh bantuan jangan segan untuk meminta bantuan sama rendy. Ibu jangan sungkan dia laki-laki paling baik yang pernah aku kenal sebelumya. Ibu reina pamit ya. Reina sudah tidak tahan lagi menahan perasaan sakitku. Mungkin kalau reina sudah pergi nanti rasa sakit reina bisa menghilang. Selamat tinggal ibu selamat tinggak adik. Air mataku tidak bisa kubendung aku masih tidak percaya kalau reina meninggalkan aku secepat ini. Hancur rasanya hatiku. Hilang semua pengharapan. Tumbuh juga penyesalan dalam diriku. Seandainya saat itu aku menyatakan perasaanku sama reina mungkin dia sudah jadi milikku sekarang. Aku pamit kepada ibu reina untuk pulang dan berziarah kekuburannya. "ibu aku pamit pulang mau ziarah kemakan reina. "iya rendy. Yang tabah ya kita doakan semoga dia bisa tenang disyurganya allah. "iya bu.. Aku pergi kemakam reina melihat tanahnya yang masih merah. Masih baru bahkan tanahnya belum ada yang kering. Aku duduk didekat pusarnya. Reina aku menjawab semua yang katakan didalam suratmu. Sampai detik ini aku masih memcintaimu rein. Aku masih mencintaimu. Aku menangis terisak-isak di diatas makam. Reina mengapa kamu secepat ini kamu meninggalkanku. Sampai kapanpun kamu adalah sahabat terbaikku. Yang tidak akan aku lupakan walaupun dalam keadaan apapun. Rein aku pamit pulang kamu yang tenang disana aku yakin kamu ditempatkan. Ditempat terbaik disisinya. Rendy Aku menatap langit. Membayangkan wajah reina yang cantik ada di atas sana. Reina sekarang aku sedang mendengarkan lagu kesukaanmu dan aku yakin kamu sekarang juga mendengarku. Aku akan menobatkan reina adalah perempuan yangnpaling bahagia dimasa hidupnyam bahkan diakhir hayatnya dia masih bisa tersenyum bahagia. Tidak ada masalah sedikitpun yang terpancar dimukanya.. Selamat jalan reina. Doaku selalu yang terbaik untukmu. Description: Aku punya 3 sahabat yang sudah lama bersahabat aku dan ketiga sahabatku sudah seperti keluarga sendiri.bahkan aku dan ketiga sahabatku sudah saling mengenan keluarga masing-masing.ketiga sahabatku itu adalah rendy,radit,dan widya. Kami sama-sama punya pekerjaan masing-masing.berbeda sih dengan aku karena aku sudah punya usaha sendiri karena memang dari dulu banget aku ingin punya usaha sendiri.menurutku kerja dengan orang itu adalah kerja dibawah tekanan orang kita harus mengijuti semua aturannya dia.semua harus ikut aturan harus datang tepat waktulah,kalau telat lima menit potong gaji.tidak bisa libur weekendlah dan terkadang yang seharusnya kita pakai buat libut justru dipakai buat kerja. Rasanya kerja sudah bagai kuda. Tidak ada hentinya. Itulah kenapa aku memutuskan bagaimanapun caranya aku harus punya usahan sendiri.biar bisa sesuka hati mau kerja mau tidak itu keputusan diri sendiri tidak ada yang melarang juga tidak ada yang mengatur. Namun kenyataannya membangun karir dari nol dan merintis usaha itu tidak semudah yang dibayangkan.banyak sekali halangan dan rintangannya yang harus dilewati.bahkan terkadang sampai dititik dimana kita merasa jenuh dan ingin menyerah saja karena terkadang apa yang dilakukan itu tidak menuiai hasil. Yang ada kesal,rugi,kecewa lagi dan lagi. Dibalik membanguj karir yang sepak terjang dan jatuh bangun selalu ada yang memberiku semangat dalam keadaan apapun.namun sayangnya aku tidak bisa membalas lebih dari perhatian yang dia berikan padaku.aku cukup memberinya bahagia dengan terus ada didekat dia. Namaku pitri handayani aktif di sosial media dengan nama @pitri_handayani96.cerita ini aku tulis dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerita teenlit #happygirl 2019 yang diadakan oleh storial dan nulis buku.
Title: Rasa Category: Puisi Text: Mencintaimu Mungkin aku bukanlah cinta yang paling sempurna Hanya sebatas hati yang ingin mencurah kan rasa pada mu Karna mencintaimu adalah keindahan dan kesempurnaan Aku mencintaimu Seperti bunga yang mencintai harumnya Seperti hujan yang mencintai tetes airnya Seperti bulan yang mencintai langit malam nya Seperti matahari yang mencintai cahayanya Jantung ini tak kan pernah berdetak untuk selamanya Tapi, jika tuhan mengizinkan, Mengizinkan aku untuk mencintaimu dengan ketulusan Hingga jantung ini berhenti berdetak Aku mencintaimu hanya ingin membuat mu sempurna Meski aku tak pernah bisa untuk sempurna Aku mencintaimu, bukan kemarin atau saat ini Tapi percayalah, Kemarin, kini, dan sampai kapan pun adalah saat dimana aku mencintaimu Sebuah Rasa Duduk diam menatap langit tak berbintang Sembari menikmati kopi hitam yang telah dingin karna keadaan Tatapmu yang selalu menjadi bayang ketika rindu mulai datang Tak ada yang sanggup melawan isi pikiran ketika pertanyaan mulai menghadang Angan yang semakin tinggi menjulang, Berharap kau akan datang Jarak yang kian menjauhkan raga Namun memberi banyak arti Semua telah dilakukan namun kau tak mampu untuk menoleh Untuk melihat semua perjuangan Kata yang sudah tak mampu menjelaskan Mata pun sudah tak mampu untuk mengutarakan Hati sudah berusaha untuk menguatkan Waktu sudah menjadi saksi tentang perjuangan Dan kini semua masih menjadi pertanyaan Description: semua perasaan yang tumbuh dan diugkapkan menjadi sbuah karya tulisan
Title: RAJENDRA Category: Novel Text: HE IS RAJENDRA Teeettt... Teeettt... Tepat di jam 09.15 bel istirahat berbunyi di SMA Lentera Bangsa dan seperti biasa seluruh murid berbondong-bondong keluar kelas untuk menuju kantin dan memanfaatkan waktu istirahat yang ada. Begitu juga dengan seorang siswa tampan di kelas 12 IPA 1 bernama Rajendra Yudha Dirgantara bersama kedua temannya yang kini melangkah keluar menuju kantin yang ada di sekolah ini. " Gue ga ngerti materi apa-apa anjir tadi di kelas " gerutu Kevin Gevano, teman sebangku Rajendra. " Makanya ni rambut dipotong dulu biar ilmunya cepet masuk ke otak. Orang rambut lo aja udah kaya sarang burung, yang ada ilmunya nyangkut di rambut terus ilang ketiup angin " jawab Rivo Andrean yang juga menjadi salah satu teman dekat Rajendra. Mereka bertiga sudah berteman sejak SD, mereka jugalah yang membentuk organisasi mata-mata GOJA. Dimulai dari Kevin yang dulu memata-matai mantan kekasihnya yang selingkuh di belakangnya. Dan kini GOJA sudah memiliki lebih dari 1000 anggota yang terdiri dari siswa SMA dan juga mahasiswa. Kevin mendorong kepala Rivo dengan begitu mudahnya dan tanpa bersalah. Tak ada rasa sakit hati diantara mereka berdua karena mereka selalu seperti ini jika bercanda, mereka tak pernah memasukkannya ke dalam hati. " Gini-gini gue Mayor di GOJA " ujar Kevin membanggakan dirinya " Dih pegang petasan aja meledak di tangan " " Hahahaha " tawa mereka berdua Menyadari ada yang berbeda dari ketua GOJA, Rivo berinisiatif untuk menanyakan apa yang terjadi kepada Rajendra. " Kenapa je? Ada job lagi? " Rajendra melirik ke arah Rivo disela-sela langkahnya menuju kantin. Banyak siswi melihat ke arah Rajendra dengan penuh damba. Tubuh Rajendra yang tinggi dan memiliki wajah yang tampan menambah pesona seorang Rajendra di mata para wanita. " Iya je dari tadi gue perhatiin lo diem terus. Bisu lo? " Nampaknya Rajendra enggan menjawab pertanyaan teman-temannya saat ini. Ia rasa disini bukan tempat yang tepat untuk memberi tahu teman-temannya tentang apa yang ada di pikirannya saat ini. " Kak Jendraaaaaa " histeris adik kelas Rajendra yang sudah menunggu kehadiran Rajendra di kantin " Je lo mau makan apa? " Tanya Kevin " Bakso aja " " Dih, lo kalo beli bakso, baksonya ga pernah dimakan lo cuma minum kuahnya doang. Psikopat lo sumpah! " " Hahaha iya bener psikopat banget, dia yang beli bakso kita yang makan " sambung Rivo Rajendra tak merespon perkataan teman-temannya, ia memutuskan untuk duduk di tempat yang kosong disini. Hari ini adalah hari yang suram baginya. Begitu juga nasibnya ke depan setelah keluarganya membahas wasiat mamanya. " Huuhhh " helaan nafas Rajendra terdengar begitu berat. Ia menoleh ke arah belakang dan melihat kedua temannya datang mendekat ke arahnya membawa satu mangkok bakso yang ia minta " Nih, makan je " ujar Rivo meletakkan mangkok putih berlogo ayam jago di hadapan Rajendra " Kuah doang? " " Iya sengaja gue pesenin kuahnya doang khusus buat psikopat " balas Kevin " Untung temen " gumam Rajendra yang kini mengaduk kuah baksonya dengan sambal " Gratis kata abangnya " " Pinter kan kita " ungkap Rivo merangkul pundak Kevin dan membanggakan diri mereka di hadapan Rajendra " Kalian ga makan? " Rivo dan Kevin saling bertatapan dan terkekeh tanpa dosa " Kaya lo ga kenal kita aja je, uang saku kita ditahan 3 bulan " Tanpa banyak kata Rajendra segera mengeluarkan uang 100 ribu untuk mereka. Tatapan Rivo dan Kevin berubah menjadi begitu bersemangat dan berbinar melihat selembar uang yang Rajendra berikan " Makasih je " " Vin gue nasi goreng ya " kata Rivo, Kevin mengangguk dan melangkah menjauh untuk memesan makanan " Je lo mikirin apa? " " Penyerangan besok? " " Ga vo " jawab Rajendra " Je gila kali lo! Gue kenal lo dari sd, baru kali ini gue liat lo murung kaya gini " " Ni vo, gue pesenin es teh aja ya biar ga kelamaan " kata Kevin, yang kini duduk di hadapan Rajendra yang terlihat begitu frustasi. " Je cerita je " Rajendra menatap ke dua temannya secara bergantian, dan meyakinkan dirinya untuk bercerita tentang hal ini kepada teman-temannya " Gue dijodohin " " Hah?! " Kaget Kevin dan Rivo secara bersamaan " Lo berdua bisa diem ga? " " Hehe iya je maaf, kok bisa ? Dijodohin sama siapa? " " Davina " " Uhukk uhuk " Kevin tersedak saat mendengar nama Davina disebut oleh Rajendra " Dia punya gue " Plak Rivo memukul bahu Kevin dengan cukup kencang " Enak banget tu mulut ngomongnya, dia punya gue " " Kita ga terima je, lo rebut dia dari kita " " Huh " " Eh tapi kok bisa lo dijodohin sama dia? " Tanya Kevin " Seorang Rajendra, dijodohin sama Davina iya gue akui dia cantik banget. Tapi dia korban bullying di sekolah ini. Lo tau sendiri kan? " " Iya je, hampir semua anak bully dia sampe kepala sekolah aja ga suka sama Davina cuma gara-gara dia cantik banget " jelas Rivo Rajendra menggelengkan kepalanya dan menaikkan kedua bahunya, mau bagaimana lagi ia harus melakukan hal ini demi mamanya. " Keluarga Davina udah tau je ? " " Udah " " Terus lo udah coba ngomong sama Davina? " " Belom " jawab Rajendra apa adanya " Kayanya si dia ga mau deh " ucap Kevin " Kenapa? " " Karena dia maunya cuma sama gue " Plak " Halu aja teros " ketus Rivo tak terima dengan ucapan ngawur Kevin. Kevin sendiri hanya terkekeh tanpa berdosa. " Terus alasan lo dijodohin sama Davina apa? " " Wasiat almarhumah mamah gue. Sebelum mama meninggal, dia mau gue nikah sama Davina karena Davina yang bantuin bawa mama ke rumah sakit waktu kecelakaan itu " jelas Rajendra menceritakan semuanya " Kalo itu permintaan almarhumah tante Dira kita ga bisa lakuin banyak hal selain nurutin keinginan mama lo je " ujar Rivo Rajendra mengangguk ia setuju dengan perkataan Rivo " Gue ga kenal sama Davina masalahnya " " Urusan itu biar kita yang urus. Sekarang yang harus lo lakuin coba omongin hal ini sama davina " Dengan lemah Rajendra menganggukkan kepalanya dan meyakinkan dirinya bahwa ia bisa memenuhi keinginan terakhir sang mama. " Eh hp gue ketinggalan di kelas ayo balik. A1 " kata Rajendra Mengerti akan kode yang Rajendra ucapkan Kevin dan Rivo dengan cepat menghabiskan makanannya Arti dari A1 yang Rajendra sebutkan tadi adalah salah satu kode rahasia yang hanya dimengerti oleh anggota GOJA. Kode rahasia tersebut antara lain adalah A1 : emergency / keadaan darurat B1 : untuk memberitahu bahwa kondisi lapangan aman untuk melakukan penyerangan X5 : Aba-aba dimana seluruh anggota standby di tempat masing-masing yang sudah direncanakan Tiger : Digunakan untuk memberitahu seluruh anggota untuk berkumpul Lion : aba-aba yang biasa Rajendra gunakan saat melakukan aksi di lapangan untuk menyerang atau menangkap korban sesuai permintaan klien. Dan melakukan penyerangan. K8 : Aba-aba bahwa kondisi lapangan tidak aman atau ada pihak lain yang sudah mengetahui keberadaan GOJA 90 : aba-aba untuk melindungi diri dan lari " Kak Jendra.. " Seperti biasa Rajendra selalu mendapat sapaan manis dari para siswi, banyak yang mengidolakan Rajendra karena kecerdasan dan juga ketampanannya. Namun dibalik itu semua ada sisi gelap dari Rajendra yang tak banyak orang tau. Bisa dibilang karena perintah Rajendra lah banyak nyawa berhasil melayang oleh anggota GOJA. Disatu sisi GOJA bukan lah sembarang organisasi mata-mata yang dengan mudah melakukan penyerangan. GOJA tak akan menyerang siapapun jika calon sasaran tidak bersalah. GOJA akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu dan menjunjung tinggi kebenaran. ' Yang salah harus mendapat hukuman dan yang benar akan dibela ' itulah semboyan GOJA. " Je siapa emang clientnya? " Tanya Rivo sedikit berbisik " Keluarga yang anaknya dibunuh " " Motifnya? " " Dendam lama, masih proses penyelidikan " jawab Rajendra Ketiga pria tampan ini berjalan menyusuri lorong kelas untuk menuju kelasnya di 12 IPA 1. " Ikut kita lo " " Lepasin " Ditengah-tengah langkahnya mereka melihat beberapa siswi tengah menyeret paksa seorang gadis menuju depan gudang " Bullying lagi " kesal Rivo Kasus bullying di sekolah ini adalah hal wajar. Kepala sekolah pun tak turun tangan akan hal ini. Langkah Rajendra terhenti dan memantau para siswi yang ia yakini adalah kelas 11 dari pin yang mereka gunakan. Karena tiap kelas disini menggunakan pin yang berbeda. " Tahan vo " Rajendra menahan Rivo yang hendak melangkah untuk menghentikan pembullyan ini " Je itu pembullyan " tegas Rivo tak terima " Pantau aja mereka ngapain, biar mereka gue urus " " Ikutin mereka " perintah Rajendra Rajendra, Kevin, Rivo memutuskan untuk mengikuti kemana mereka pergi. " Muka lo terlalu cantik buat sekolah disini tau ga?! Gara-gara lo semua cowo disini suka sama lo " " Pacar gue nyimpen foto lo di hpnya! Murahan lo! " " Lo harusnya sekolah di negeri aja banyak yang mau sama lo pasti, dan pasti lo bakal jadi primadona di sana " " Atau bahkan bisa tuh part time buat jadi sugar baby kepala sekolah atau guru olahraga " Rajendra masih terdiam memperhatikan bagaimana dan ke lima pelaku bullying itu belum menyadari kehadiran Rajendra Byurrr Seorang siswi menyiram korban bullying itu dengan seember air yang diberikan oleh salah satu temannya Rajendra terus memantau perlakuan adik kelasnya itu. Siswi yang memberikan ember berisi air terdiam mematung menyadari kehadiran Rajendra di belakangnya " Ekhmm " Kevin pura-pura batuk Dan sontak kelima siswi membalikkan badannya, bisa Rajendra liat mereka semua terkejut bukan main dan membeku di tempat. " Kenapa? Kaget? " Sindir Rajendra " Udah ngerasa pinter kalian bully anak orang? " " Geser lo semua gue mau liat siapa yang kalian bully " teriak Rivo dengan penuh emosi menunjuk ke gerombolan adik kelas yang melakukan bullying Deg " Je Davina je " lirih Kevin terkejut melihat Davina yang lagi-lagi menjadi korban pembullyan sembari terus menyenggol lengan Rajendra " Huh " " Kak maafin kita kak " " Kak Rajendra kita ga sengaja " " Ga usah minta maaf, gue udah liat semuanya " ujar Rajendra yamg masih menetralkan amarahnya " Kak maafin kita " " Udah jadi cantik kalian setelah bully orang lain? " Interogasi Rajendra " Ga kak " " Dengan kalian bully orang lain karena kecantikan yang dia punya secara ga langsung kalian itu ngaku kalo kalian jelek " " Kalo kalian cemburu sama kecantikan orang lain dan sadar kalo kalian jelek, jangan bully dia yang menurut kalian cantik. Tapi rawat diri kalian, percantik diri kalian sendiri ga usah urus kecantikan orang lain " " Iya kak maaf " Rajendra melangkah dengan cepat dan berjongkok mengulurkan tangannya kepada Davina yang masih duduk ketakutan " Bangun " Davina hanya mendongakkan kepalanya dan bangkit sendiri, membiarkan telapak tangan Rajendra menganggur di sana " M m maaf " lirih Davina dengan tubuh basah kuyup karena ulah adik kelasnya " Permisi " Sorot mata Rajendra mengikuti langkah Davina yang sepertinya melangkah menuju kelasnya. Dengan penuh tanda tanya Rajendra berdiri dan menepuk pundak teman-temannya, mengajak mereka kembali ke kelas tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada pelaku pembullyan tadi. " Je kenapa lo ga kejar Davina? " " Iya je kasian sumpah gue ga tega liat Davina tiap hari dibully. Gue malah seneng kalo Davina ga masuk sekolah artinya dia aman dari orang-orang jahat " papar Kevin yang begitu iba dengan kondisi Davina " Biar gue urus " ucap Rajendra " Vo, Vin kalian ke kelas cek hp gue. Urus klien A1 " " Oke " Setelah dirasa Rivo dan Kevin sudah jauh dari Rajendra. Rajendra memutuskan untuk melangkah menuju lorong kelas 12 IPS dimana Davina belajar. Bagaimana dia tau Davina ada di kelas IPS? Ayahnya lah yang memberitahunya tadi malam. Rajendra menyenderkan punggungnya di salah satu tiang sembari menunggu Davina keluar dari kelasnya. " Je ngapain lo? " Tanya salah satu teman Rajendra yang juga anggota GOJA di kelas IPS. " Jogging " jawab Rajendra asal, karena ia kesal kepada salah satu anggotanya yang menyebalkan " Hahaha sorry bro, eh A1 gimana? " Tanya nya " Kevin sama Rivo lagi urus " " Lah lo ngapain kok ga ikut urus? " " Gue ada urusan lain " jawab Rajendra Terlihat Davina keluar dari kelas dengan membawa tasnya dan masih dengan baju yang basah kuyup " Gue duluan " Rajendra berlari ke arah Davina, ia terus mengikuti kemana gadis itu pergi. " Dav " panggilnya " Hey " Davina justru berlari menuju halaman belakang sekolah, terlihat Davina membalik tasnya, banyak pasir dan juga sampah keluar dari dalam tas Davina. Rajendra terdiam melihatnya, begitu parah dan kejam kah bullyan yang Davina terima? " Dav " Namun Davina kembali berlari menuju kamar mandi perempuan dan tak menghiraukan panggilan Rajendra " Dav berhenti " Davina pun berhenti dan membalikan badannya menatap Rajendra dengan penuh tanda tanya. Mengapa pria ini mengejarnya? " Bentar " ucap Rajendra Terlihat Rajendra melepas kaos seragam yang ia pakai dan memberikannya pada Davina " Apa ini? " " Pake aja " " Ga usah, makasih " jawab Davina sembari tersenyum tipis menolak kaso seragam Rajendra " Pake, baju lo basah. Daleman lo keliatan " Davina mengecek kondisi tubuhnya dan benar saja bajunya yang basah dan memperlihatkan daleman yang ia kenakan dengan ragu menerima kaos seragam Rajendra dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak butuh waktu lama untuk Davina mengganti bajunya. Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan rok yang masih basah namun sudah lebih baik karena ia sudah berganti kaos atasnya dengan menggunakan kaos milik Rajendra. Tertera nametag Rajendra di seragam itu. Dan ya, kaos Rajendra terlihat kebesaran di tubuh Davina. " Makasih " ujar Davina " Sama-sama " " Kamu pake baju itu? " Tanya Davina menunjuk kaos hitam polos yang menempel di tubuh Rajendra " Iya " " Rajendra " Rajendra mengulurkan tangannya memperkenalkan dirinya " Aku tau kok hehe " " Aku Davina " " Aje... " panggil Davina Rajendra terdiam saat Davina memanggilnya dengan sebutan yang hanya diketahui anggota GOJA saja. " Kok ? " " Almarhumah mama kamu panggil kamu Aje kan? " Rajendra benafas lega, ia kira Davina tau tentang dirinya dan GOJA. " Iya, oh iya makasih ya udah bawa mama ke rumah sakit waktu itu " Davina tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya " Sama-sama " " Besok aku kembaliin bajunya ya " kata Davina " Iya " Davina pun segera melangkah meninggalkan Rajendra yang masih berdiri di depan kamar mandi wanita " Dav " panggil Rajendra. Ia dibuat bertanya-tanya mengapa Davina tidak berkata apapun tentang perjodohan yang sudah direncakan keluarganya? " Kenapa Rajendra? " " Panggil Aje gpp kok " " Oh ya udah " " Nanti sore siapa yang jemput? " Tanya Rajendra " Kakak " " Oh ya udah, jangan pulang dulu sebelum gue nemuin lo nanti sehabis pulang sekolah " " Ngapain? " " Lakuin aja apa yang gue mau " " Oke " Davina berjalan cepat meninggalkan Rajendra yang berjalan dengan santai dengan kaos hitam di tubuhnya. Ia tak takut jika guru bertanya kemana kaos seragamnya karena ia sendiri tak suka dengan kepala sekolah disini yang juga ikut melakukan bullying kepada siswi yang tak ia suka. ***** Tak terasa kini bel pulang sekolah telah berbunyi. Davina segera melangkah keluar dari sekolah dan melihat sosok Rajendra sudah berdiri di gerbang sekolah. " Je " panggil Davina " Gue udah ijin kakak lo, dia ngijinin " Davina mengernyitkan alisnya ia tak mengerti apa yang Rajendra ucapkan. Dengan rasa takut Davina sedikit menepi ke tembok karena kini seluruh siswa yang menunggu jemputan menatap ke arahnya karena Davina mengobrol dengan Rajendra. " Ijin apa? " Tanya Davina " Ada yang pengen gue obrolin " " Oh, bentar ya aku bilang kakak nanti jemput jam berapa sama dimana " Dengan cepat Rajendra merebut ponsel Davina dan memasukannya kedalam saku celananya dari tangan Davina Davina hanya melongo melihat kejadian itu berlalu begitu cepat " Gue anter lo ke rumah " " Ayo naik " Rajendra menggunakan helmnya dan menaiki motor ninja merahnya " Tinggi banget je " " Cepet naik waktu gue ga banyak " ******* Terimakasih Thank you Teşekkür ederim ? Kesepakatan Davina yang kini berada di jok belakang hanya bisa bertanya-tanya apa yang Rajendra ingin bicarakan dengannya? Dirinya hanyalah seorang siswi yang selalu mendapat bullyan dari para murid dan juga guru di sekolahnya, lalu mengapa seorang Rajendra mengajaknya? " Je " panggil Davina " Kita mau kemana? " Rajendra tak menjawab pertanyaan Davina dan fokus mengendarai sepeda motornya, semilir angin menerbangkan rambut Davina yang kebetulan tak memakai helm karena Rajendra hanya membawa satu helm. Dengan perasaan yang masih diselimuti rasa bertanya-tanya, Davina turun dari motor ninja Rajendra yang berhenti di depan salah satu kafe di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. " Mau pesen apa? " Tanya Rajendra menyodorkan kertas menu kepada Davina " Es teh aja " Davina terlihat begitu tak ingin neko-neko. Ia memesan yang memang ia biasa pesan karena uang sakunya diambil oleh ketua kelasnya yang juga selalu membullynya. " Jus Mangga 2 " ujar Rajendra kepada karyawan dan melangkah mendahului Davina untuk memilih meja yang nyaman " Mmm mba ganti es teh 1 ya " kata Davina mengubah pesanan Rajendra " Aje mau ngomong apa? " Tak tau harus darimana Rajendra memulai percakapannya, ia sebenarnya ragu untuk membahas tentang hal ini terlebih dirinya masih terlalu muda. " Tentang perjodohan " " Perjodohan siapa? " Tanya Davina mengernyitkan alisnya " Kita " " Ooh terus? " Mulut Rajendra membulat sempurna dengan reaksi yang Davina berikan. Gadis itu terlihat begitu santai dan tidak takut sama sekali. " Lo tau? " Dengan mantap Davina menganggukan kepalanya. " Terus? " " Aku ga ambil pusing, karena aku tau jawaban akhirnya, kamu ga akan mau sama aku " jelas Davina Rajendra menghela nafasnya, mengusap wajahnya dengan kasar. Ternyata Davina sudah tau semua dan tak ambil pusing dengan semua ini. " Je? " " Kenapa ngomongin perjodohan kita? " Tanya Davina Dengan lemah Rajendra menggeleng " Gpp dav, lo terima perjodohan ini? " " Aku ngikut kamu, karena aku tau kamu ga akan terima perjodohan ini " " Gue terima " Deg " Gue terima dav, demi almarhumah mama " " Mama di surga juga karena gue, dia berusaha cegah gue buat... " " Buat apa? " Tanya Davina. Ia menatap Rajendra dengan tatapan interogasinya " Ga Dav . Gue terima perjodohan ini " " Lo sendiri gimana? " " Aku ga mau jadi beban buat kamu je " jawab Davina jujur dari hatinya. " Finansial gue cukup kok buat hidupin lo " " Ralat, keluarga kita. " Sambung Rajendra meralat ucapannya tadi. " Kamu udah kerja? " " Udah " " Kerja apa? " " Ada deh " alibi Rajendra tang berusaha menutup soal GOJA dari Davina " Urusan bisa cinta engganya gue ke lo itu urusan belakangan. Jalanin aja dulu yang penting gue udah penuhin permintaan mama " " Tapi je kita masih muda. Masa depan kita masih panjang. Kenapa kita ga nikah besok aja? " tolak Davina dengan alasan logis " Besok ? Besok sekolah dav " Rajendra terkekeh begitu juga Davina " Papa minta secepatnya " " Yang penting kita rahasiain pernikahan kita dari orang-orang " Davina masih terdiam mendengar hal itu. " Gimana kalo kita bikin kesepakatan pranikah di kertas ? " " Oke " Davina tersenyum dan mengambil buku di dalam tasnya namun... " Kenapa Dav? " " Kok bisa basah? " Rajendra mengerti apa yang terjadi sehingga buku Davina basah, pasti kasus bullying lagi. Ia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dengan mengambil buku tulis yang ada di dalam tasnya " Pake buku gue " " Makasih " Rajendra tersenyum tipis, ia menatap Davina yang terlihat lebih baik saat tidak berada di sekolah. Ia juga yakin bahwa Davina adalah murid yang pandai bisa dilihat dari cara dia berbicara, namun ada oknum nakal di sekolah yang membuat Davina selalu berada di peringkat akhir. " Kita mau sepakat apa nih? " Tanya Davina " Lo duluan aja, nanti gue jawab setuju atau ga " " Emm gini aja kita tulis apa yang kita mau di sini " " Boleh " jawab Rajendra " Aku duluan ya? " Rajendra menganggukkan kepalanya " Lo nulis apa? Bacain biar gue denger " " Belum nulis apa-apa. Oh iya kita bakal tinggal dimana setelah nikah? " " Lo mau dimana? " " Aku ngikut kamu aja " " Oke apartemen " Davina mengangguk, begitu juga Rajendra yang antusias untuk mendengarkan apa yang Davina inginkan setelah mereka menikah. Dan ya waiters mengantarkan jus dan es teh yang mereka pesan. Davina memastikan waiters telah menjauh dari mereka " Oke satu, kita pisah kamar " Davina mulai membacakan apa yang ia tulis kepada Rajendra " Dua, jangan unboxing aku dalam waktu dekat " " Apa ? Unboxing ? " " Hahahaha " Rajendra tertawa puas mendengar hal itu, Davina sangat polos menurutnya. " Lanjut " " Aku belum siap punya anak dalam waktu dekat " " Oke lanjut " ucap Rajendra sembari terkekeh kecil " Dan yang terpenting jangan ganggu aku kalo udah di depan laptop " " Kenapa? Nonton drama korea? " " Bukan " " Terus? " " Ada lah " " Udah " " Segitu doang? " Tanya Rajendra memastikan. " Iya " " Ya udah sini giliran gue " " Permintaan pertama diterima " ucap Rajendra Rajendra memberi tanda centang pada poin kesatu " Permintaan kedua, unboxing? Mmmm.. boleh nego ? " " Apa? " " Buat permintaan poin ke dua sama tiga, gue sedikit keberatan. Karena gue laki-laki dan kapan aja bisa khilaf " jelas Rajendra " Tapi aku belum siap je, aku ga mau lakuin itu tanpa dasar cinta " " Oke boleh gue nego lagi? " " Boleh " " Buat poin ke dua dan tiga. Gue akan lakuin itu saat gue udah cinta sama lo, intinya kalo gue lakuin itu ke lo itu artinya gue udah berhasil cinta sama lo " " Gimana? " Tanya Rajendra " Boleh " " Oke poin terakhir, diterima. Dan gue juga minta jangan ganggu gue kalo gue lagi rapat " " Rapat apa? " " Dan dilarang kepo " sambung Rajendra memotong Davina yang hendak menanyakan apa rapat yang dimaksud Rajendra " Hehehe oke " " Mau beli materai ga ? " Tawar Davina " Gue ada " Rajendra mengeluarkan materai yang biasa ia bawa untuk berjaga-jaga dengan klien dadakan yang mempercayai GOJA untuk menyelesaikan urusan Rajendra dan Davina pun menanda tangani kertas itu secara bergantian. " Dav ayo balik, gue anter " Drrrd drrd " Halo vin ? " " Oke oke " Davina terkejut saat Rajendra tiba-tiba bangkit lalu melangkah keluar kafe, namun sebelum itu ia membayar minuman yang mereka pesan. Tanpa ragu Rajendra mengeluarkan HT dari dalam tasnya " Aje is talking " " Tiger Tiger Tiger biasa ya " ucap Rajendra yang Davina sendiri tak mengerti apa makna dari ucapan Rajendra " Ayo Dav naik " Davina naik ke atas motor dan betapa terkejutnya Davina saat Rajendra mengendarai motornya dengan begitu cepat. Membuat rambut Davina terbang kesana kemari secara acak Ia dibuat bertanya-tanya dengan apa yang Rajendra lakukan tadi menggunakan HT? Namun dibalik semua itu Davina senang akhirnya dirinya mendapat teman di sekolah yang juga akan menjadi suaminya karena permintaan almarhumah mama Rajendra yang mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu dan tak ada yang berinisiatif untuk menelfon ambulans ataupun menolongnya, maka dirinyalah yang membawa mama Rajendra di kondisi kritis ke rumah sakit. Mama Rajendra kritis selama beberapa hari sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. " Dav " " Iya? " Davina mencoba menjernihkan dan mempertajam telinganya agar bisa mendengarkan apa yang Rajendra hendak katakan karena terhalang angin Namun Rajendra tak mengatakan hal apapun setelah memanggil namanya. " Makasih " ucap Davina setelah dirinya tiba di depan rumah dengan selamat Tanpa mengucap sepatah katapun Rajendra menancap gasnya dengan cepat dan terlihat begitu terburu-buru. " Astaga hp aku " gerutu Davina menyadari ponselnya masih bersama Rajendra ***** Sementara itu di apartemen Rajendra kini sudah kedatangan ramai orang, perwakilan dari ke 20 timnya, pada tahun ini GOJA memiliki lebih dari 1000 anggota yang tersebar di seluruh penjuru kota. " Je " " Kita udah selidiki dan bener keluarga klien jadi korban dari dendam lama " ujar Sabrina adik perempuan Rajendra yang Rajendra percayai untuk menjadi penyelidik untuk suatu kasus di GOJA. " Oke " Rajendra segera berdiri di tengah-tengah timnya " Na biar gue baca datanya " Sabrina memberikan beberapa lembar kertas yang berisi data-data keluarga korban maupun tersangka dan kronologis kejadian kepada Rajendra Dengan cermat Rajendra membaca semua isi data-data tersebut " Je mana seragam lo? " Tanya Kevin " Lo udah tau lagi genting pake tanya mana seragam lagi " Rivo memukul lengan Kevin, Kevin sendiri hanya terkekeh tanpa dosa kepada Rivo. " Oke bagi tim " ujar Rajendra " Kabarin buat anggota baru, inget dan paham semua kode yang bakal gue, Kevin, Rivo kasih " " Kapan mulai aksi? " Tanya Salah satu anggota " Kak aku besok ada ulangan " ucap salah seorang anggota yang sepertinya anggota baru GOJA " Gue yakin sebelum lo masuk GOJA lo udah baca semua aturan yang ada " jawab Rajendra sembari tersenyum kecut. Rajendra segera mengambil kertas dan menulis agenda yang akan ia lakukan bersama timnya. " Klien minta apa na? " " Tangkap pelaku " jawab sabrina Rajendra mengangguk tanda ia mengerti " Oke, besok jangan ada yang pake atribut mencurigakan kaya biasa aja " ucap Kevin Rajendra masih sibuk menulis agenda apa saja yang akan ia jalankan untuk esok hari " Kak, klien minta waktu 1 minggu " Lagi-lagi Rajendra hanya menganggukkan kepalanya dan masih fokus mencatat rencana untuk penyerangan esok hari " Cukup 1 hari kita bakal tangkep pelaku " " Besok sebelum jam 10 kumpul di markas biasa buat ambil perlengkapan juga senjata, gue minta udah lepas seragam atau apapunn yang berbau identitas sekolah " " Tim 1, 3, 5, 8, 9, 12, 14, 17, 18, 20 tim kepung " " Sisanya tim inti satu jalan bareng gue, tangkap pelaku " " Oke je " " Tim penangkapan bagi arah penangkapan. 3 tim masuk dari pintu timur, 2 dari barat, 4 dari selatan, dan 1 tim dari pintu utama " " Tim kepung jaga semua titik mulai dari titik aman sampe titik rawan " " Jangan lakuin apapun sebelum gue kasih aba-aba. Inget kita mau lawan kejahatan bukan melakukan kejahatan " " Gunain senjata kalian saat nyawa kalian terancam bukan untuk menyakiti orang yang ga bersalah " papar Rajendra " Oke je " " Inget, HT selalu nyala " " Oke siap bos " " Sebelum berangkat, gue minta ketua tim buat absen siapa aja yang ikut " Rajendra mengangguk dan membagikan kertas dengan header logo GOJA kepada setiap ketua tim tanpa terkecuali " Gue minta kerjasamanya " ********** Malam harinya di rumah orang tua Rajendra, terlihat Rajendra tengah sibuk membaca semua dokumen kliennya yang putri kecilnya dibunuh secara tidak manusiawi oleh seorang pria yang dahulu adalah mantan kekasih dari ibu korban. Semua foto bukti dan juga foto lokasi tempat kejadian berlangsung Rajendra cermati dan teliti siapa tau ia bisa mendapat petunjuk. Polisi sudah mengurus kasus ini namun pelaku bisa lepas karena keluarga pelaku menebusnya dengan uang. " Purnomo Tirto " Rajendra membaca nama pelaku dan semua tindak kejahatan yang pernah dilakukannya " Dia bandar " ucap Sabrina yang tiba-tiba masuk kedalam kamar " Bandar apa? Togel? " " Bandar begal sama perampokan. Kejahatan yang sering terjadi disini itu ulah dia sama anak buahnya " jelas Sabrina " Kok bisa lepas terus dari hukum? " " Duit kak " " Ga akan gue biarin lo lolos lagi. Darah harus dibalas darah " tegas Rajendra Drrd drrrd " Kak hp lo baru? " " Hah? " " Itu hp lo bunyi " Rajendra meletakkan foto target sasaran yang akan ia serang besok. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel yang berbunyi dari arah mejanya Tertera nama mama layar hp itu. Rajendra mengernyitkan alisnya, bukannya mamanya sudah berada di surga? " Hp siapa ini? " Batinnya " Halo " " Je " " Hp aku kebawa kamu " " Siapa? " " Davina " Plak Rajendra terkekeh dan menepuk wajahnya, ia lupa tadi ia sempat mengambil ponsel Davina dan memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya. " Gue balikin nanti, papa, Sabrina, gue mau ke rumah lo " " Oke " Pip Panggilan terputus secara sepihak, Davina lah pelakunya. Rajendra menatap foto wallpaper Davina yang begitu cantik dan juga manis. " Kok bisa orang bully dia karena kecantikannya? " Batin Rajendra Ia membuka whatsapp Davina untuk mencuri nomor ponsel davina diam-diam. Namun ia tertuju pada banyak nomor tak dikenal yang meneror Davina dengan perkataan jahat dan hina. " Dav kok lo kuat sekolah disini? " Rajendra segera memasukan ponsel davina kedalam saku celananya. Ia segera turun ke lantai bawah dan menemui Papanya dan juga adik perempuannya, Sabrina yang kini duduk di kelas 1 SMA. " Ayo je " ujar papa Rajendra yang sudah menunggu di Garasi Rajendra mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan menuju rumah Davina, semua hening tak mengeluarkan suara apapun. Hanya ada suara radio yang mengisi kesunyian di mobil ini. " Udah mau jadi suami harus bijaksana, bimbing istri, jaga istri. Jaga amanah mama kamu " ujar papa Rajendra yang bernama Hasan Posisi Rajendra saat ini duduk di samping papanya sementara Sabrina duduk di jok belakang sendirian. " Pah " " Beda banget ya rasanya, dulu mama yang duduk di samping papa, sekarang kakak yang gantiin mama " " Papa sama kakak bakal jaga kamu kaya mama sayang sama kamu. Walaupun posisi mama ga akan pernah bisa diganti " jawab papa Hasan " Kak " " Kakak udah ngomong sama kak Davina? " Tanya Sabrina Rajendra mengangguk, papa Hasan tersenyum lebar dan begitu bahagia melihatnya " Terus gimana kata dia? " " Dia ngikut " " Kamu gimana? Terima? " Tanya papa Hasan " Aje terima demi mama " Sabrina terlihat menganggukkan kepalanya, ia setuju dengan ucapan sang kakak. " Iya kak bener, kalo kak Davina waktu itu ga ada buat nolongin mama ke rumah sakit pasti mama meninggal di jalan, dan kita ga tau siapa pelaku yang tabrak mamah " " Tapi pah " potong Davina di sela-sela omongannya " Kak Davina sering banget dibully sama anak-anak di sekolah. Kasian banget " " Loh dibully kenapa? " " Karena kak Davina cantik banget " " Astaga anak sekarang cantik dibully jelek dibully " kesal papa Hasan " Ina juga heran pah padahal kak Davina baik banget. Waktu itu Ina telat yang papa kesiangan bangun, dan kak Davina juga telat waktu itu. Dan upacara udah di mulai, dia pinjemin topi sama dasinya ke Ina " " Ina aman, tapi kak Davina yang kena hukuman " jelas Sabrina kepada yang papa " Je udah cinta sama Davina? " " Baru juga kenalan tadi siang " " Hahaha ya udah besok juga cinta " " Kalo ga? " Tanya Rajendra " Tetep jaga dia jangan tinggalin dia, gitu kata mamah " jawab Sabrina yang ingat akan ucapan terakhir almarhumah mamanya. " Gimana client A1? " " Besok nyerang pah " jawab Rajendra Papa Hasan sudah mengetahui soal GOJA sebelum istrinya meninggal dunia, istrinya lah yang memberitahunya tentang sisi gelap putra pertamanya itu. Papa Hasan tak marah justru ia senang karena dirinya juga membutuhkan GOJA untuk mengurus perusahaannya. " Semangat kalo besok ada yang ketangkep bilang papa biar papa urus " Tak terasa kini keluarga Rajendra sudah tiba di rumah Davina, Keluarga Davina sudah berkumpul di ruang tamu begitu juga dengan Davina. Mereka bertemu kali ini untuk membahas pernikahan kedua anaknya karena mereka sudah sama-sama setuju. " Dav hp lo " " Makasih je " " Syukurlah udah kenal sama ngobrol bareng " puji mama Davina " Jadi gimana kesepakatannya? " Tanya papa Hasan " Gimana kalo hari rabu? " Sambungnya " Data nikah Davina sama Rajendra udah di urus " " Gimana je Davina? " Tanya papa Hasan Rajendra menatap Davina yang duduk di depannya " Aje setuju " Davina membalakan matanya bagaimana bisa Rajendra dengan begitu mudah mengucapkan setuju tanpa bertanya kepadanya " Davina gimana? " " Eee " Davina melirik Rajendra yang menatap dirinya dengan tatapan tajam dan dingin hal itu membuat davina ketakutan " I i iya boleh " Davina tak menyangka bahwa dirinya akan menikah dan menjadi seorang istri dengan begitu cepat. Terlebih di usianya yang masih remaja. " Urusan biaya pernikahan biar kita yang urus sesuai permintaan almarhumah istri saya " " Mmm om... " Davina mencoba menyuarakan keinginannya dengan begitu hati-hati " Iya Davina ada yang mau disampein? " " Boleh ga kalo acara nikahannya rahasia aja jangan ada yang tau selain keluarga juga temen deket? " Tanya Davina Papa Hasan mengangguk " Boleh nanti kita urus " " Permisi om Davina mau ke dapur dulu " Davina bangkit dan disusul Rajendra yang juga ikut bangkit menyusul Davina " Dav, toilet dimana? " " Eh? Di belakang sini aku tunjukin " Davina meminum beberapa gelas air putih untuk mengurangi rasa gugupnya yang begitu parah, ia belum pernah segugup ini sebelumnya. " Dav " " Iya je? " " Lo kenapa? " Tanya Rajendra melihat keringat mengucur di kening Davina " Gpp je " jawab Davina berbohong. " Oh iya kertas kesepakatannya udah gue pasang figura " " Hah ? " " Ada di kamar gue di apartemen " " Buat apa? " " Biar gue inget dan bisa hargai lo sebagai perempuan dan istri gue " jawab Rajendra ******** Terimakasih Thank you Teşekkür ederim ??? Action Seperti biasa saat Rajendra menginap di rumah, ia harus bangun lebih awal untuk memasak sarapannya dan juga Sabrina. Malam tadi Rajendra memutuskan untuk tidur di rumah bukan di apartemennya karena waktu sudah terlalu malam dan dirinya sudah lelah. " Kak jeeee " teriak Sabrina dari atas " Kak je aku nanti ikut turun lapangan ya? " Rajendra yang tengah memasak nasi goreng hanya terdiam, ia tak mau adiknya terluka dan berada dalam bahaya jika Sabrina ikut turun ke lapangan. " Kak " " Papa mana? " Tanya Rajendra untuk mengalihkan pembicaraan " Papa udah berangkat subuh tadi " jawab Sabrina " Nih makan " Dengan telaten Rajendra meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar di atasnya tepat di depan Sabrina " Kak tadi malem kak Davina cantik banget ya " " Kok bisa ya orang-orang bully dia padahal dia cantik " Rajendra ikut duduk di samping Sabrina sembarik memakan sepiring nasi goreng yang ia buat sendiri " Namanya juga orang iri na " hawab Rajendra seadanya Sabrina masih tak habis pikir mengapa orang-orang begitu kejam kepada Davina " Ga usah dipikir, makan habisin terus kita berangkat "kata Rajendra sembari memakan nasu gorengnya Sabrina mengangguk " Kak nanti balik rumah harus selamat juga utuh " " Iya na " ****** Tettttt Bel istirahat berbunyi, Davina yang ingat akan seragam Rajendra pun segera bergegas untuk menuju kelas Rajendra dan mengembalikan seragam yang ia pinjam kemarin. Brak Dengan kencang dan tiba-tiba seseorang di kelas Rajendra menutup pintu dengan kencang seolah melarang Davina untuk masuk ke dalam kelas Rajendra. Beberapa siswi juga sengaja menyandung kaki Davina, membuat Davina jatuh tersungkur dan lecet di bagian lutut. " Mau ngapain lo kesini jablay?! " Bentak seorang gadis " Caper dia! Tau anak IPA ganteng-ganteng jadi kesini " " Awsshh " desis Davina kesakitan Seseorang dengan tiba-tiba menarik kasar rambut Davina membuat tubuh Davina terjengkang ke belakang " Mau ngapain lo?! jawab!! " " B ba ba " " Ba apa? Babi? " " Balikin baju Rajendra " jawab Davina " Ketauan kan lo! Main apa lo sama Rajendra ?! " " Dibayar berapa lo?! " " Percuma cantik tapi jual diri!!! " Bugh Beberapa gadis melempari sepatu mereka ke arah Davina, bahkan beberapa kali sepatu itu mengenai kepala Davina. Gadis cantik itu hanya bisa melindungi dirinya dengan tangannya. Tak ada yang berusaha melerai aksi pembullyan ini, beberapa murid asik menonton dan merekam aksi pembullyan yang sedang terjadi. " Kalian kenapa sih bully Davina terus? " Bela seorang siswa laki-laki yang berusaha melerai aksi yabg tak pantas dilakukan. " Mundur lo cupu! " Bentak gadis yang menjambak rambut Davina, ia terlihat tak terima jika ada seseorang yang mengganggunya dan ikut campur dalam urusannya. " Ga usah ikut campur lo! " " Dia jual diri sama Rajendra! Ga suci! " Seseorang berkacamata itu menarik tangan Davina dengan cepat dan berlari membawa Davina segera menjauh dari kerumunan siswi yang membullynya tadi " Kamu ngapain Dav ke kelas Rajendra? " Tanya pria itu " Aku Ilham " " Davina " " Aku boleh titip seragam Rajendra? Tolong kasihin dia ya " ucap Davina meminta bantuan Ilham Ilham mengangguk dan menerima kaos seragam yang Davina beri " Emang bener apa yang mereka bilang? " " Ga, kemarin Rajendra pinjemin bajunya gara-gara baju aku basah " jawab Davina " Dibully lagi? " Dan ya Davina hanya bisa menganggukkan kepalanya, karena benar adanya bahwa dirinya di bully kemarin. " Ga ada otak mereka emang " kesal Ilham, ia juga sudah begitu muak dengan semua drama pembullyan di sekolah ini yang tak ada tindakan tegas dari kepala sekolah maupun guru. " Rajendra ga di kelas btw " " Kemana? " Tanya Davina menyatukan kedua alisnya " Ga tau, Kevin, Rivo juga ga ada " " Sejak kapan? " " Tadi pagi jam 8 " jawab Ilham " Oooo, makasih ham " Dengan manis Ilham tersenyum kepada Davina dan menawarkan untuk menemani Davina agar gadis itu tak dibully lagi " Sini gue temenin lo ke kelas " tawarnya Namun Davina menolak lembut tawaran Ilham karena ia tak ingin merepotkan orang lain. " Ga usah ham makasih banyak, aku ke kelas sendiri aja " " Yakin Dav? " " Iya ham " Gadis itu segera membalikkan badannya dan melangkah menjauh dari Ilham " Rajendra kemana?" Batin davina Bukannya kembali ke kelas Davina justru berlari ke toilet, karena ia ingin buang air kecil, ia bahkan tak memperdulikan hinaan juga tatapan tajam anak-anak disini. ******** " Tim 1 standby " ucap Rajendra melalui HT di genggamannya Tim GOJA kini sudah tiba di salah satu gedung, dan semua anggota benar-benar tidak terlihat mencurigakan. Mereka berakting seolah mereka hanyalah pejalan kaki dan ada juga yang berakting sebagai tamu dan lain-lain. Untuk aksi kali ini Rajendra, Kevin, Rivo memilih untuk mengenakan jas dan terlihat begitu formal. Kali ini mereka menyamar sebagai klien yang ingin memesan salah satu properti yang target sasaran jual dari hasil begal dan juga tindakan kriminal yang dilakukannya bersama anak buahnya. Ketiga pria tampan ini benar-benar tampan dan tak menunjukan sesuatu sama sekali yang mencurigakan. Bahkan satpam pun berhasil dikelabui oleh mereka. Wajah tampan Rajendra benar-benar membantunya dalam penyamaran kali ini, dan hampir di setiap penyerangan banyak orang tak pernah curiga kepada Rajendra. Mereka berdiri berjejer dengan posisi Rajendra di tengah. Kevin di sisi kanan dan Rivo di sisi kiri Rajendra. " Anjir ganteng banget kita " puji Rivo " Berisik anjim! " Gerutu Kevin kepada Rivo yang masih sempat-sempatnya memuji dirinya di saat-saat genting seperti ini. Rajendra sendiri masih terlihat cool dan melangkah menuju " Pak Purnomo ada? " Tanya Rajendra kepada wanita yang bekerja sebagai resepsionis " Ada, beliau sedang rapat. Sebentar ya. Ada perlu apa kalau boleh tau? " Tanya wanita itu " Saya ingin membeli properti untuk perusahaan saya dan menjalin kerjasama dengan bapak Purnomo beserta tim " jawab Rajendra " Baiklah, mari saya antar ke ruang pak Purnomo " Rajendra mengangguk dan menyalakan HT yang ia sembunyikan di balik jasnya " Aje is talking " " We are on our way to the main office " ucap Rajendra kepada tim dengan begitu lirih menggunakan bahasa Inggris agar wanita itu tidak curiga kepadanya. " Silahkan tunggu, pak Purnomo akan segera datang " ucapnya, resepsionis itu pergi dari ruangan ini meninggalkan Rajendra, Kevin, Rivo. " Cek Tiger " Rajendra tersenyum licik saat melihat isi ruangan yang begitu mewah namun semua ini hasil dari menyiksa orang lain bahkan menghilangkan nyawa orang lain. " Target mendekat " lirih Rajendra kepada para timnya melalui HT di balik jasnya " Halo " sapa pak Purnomo menjabat tangan Rajendra dan mempersilahkan Rajendra, Kevin, dan Rivo untuk duduk. " Julian " ucap Rajendra mengelabui target " Dari perusahaan mana? Ada perlu apa? " " Saya dari PT. FRAKTUR NUSANTARA ingin menggunakan tim bapak dalam proses pengembangan properti saya " jawab Rajendra dengan begitu meyakinkan " Anjim keren bat Aje paham bahasa bangunan " " Berisik lo " ketus Kevin kepada Rivo yang lagi-lagi membuat ulah. " Tapi saya belun pernah mendegar mama perusahan itu pak " tanya target yang terlihat mulai curiga dengan Rajendra " Oh mungkin anda mainnya kurang jauh pak " " Saya aja tau kalo bapak pernah membunuh seorang anak perempuan usia 5 tahun pada tanggal 23 Juli tahun lalu di dalam kamar di jalan Teratai perumahan Jangkar Bumi jam 8 lebih 10 menit pagi " Target terlihat membeku seketika mendengarnya, bagaimana bisa pria di hadapannya ini tau tentang kronologis pembunuhan yang pernah ia lakukan? " Motif pembunuhan dendam lama karena bapak masih mencintai ibu dari anak yang bapak bunuh " papar Rajendra menjelaskan kronologi kejadian kepada tersangka Rajendra bangkit dan melangkah untuk mengepung pak Purnomo Ia tersenyum evil melihat tangan pak Purnomo yang berusaha merogoh laci dan mengambil pistol lalu mengarahkan ke arah Rajendra Dorr Dengan sigap Rajendra menghindar dari serangan peluru itu " Saya ga takut dengan anda-anda semua " ancam pak Purnomo Dor dor doorr Nyatanya peluru itu sama sekali tak berani menyentuh kulit Rajendra satu inci pun. Rajendra terus melangkah tanpa ragu untuk memojokkan pak Purnomo, dan menekan HT di dalam jas nya. " Aje is talking " " Tiger do! " " Kalian intel? " Panik pak Purnomo Rajendra tersenyum kecut meresponnya " Bisa jadi " Kevin dan Rivo sudah mengarahkan pistolnya ke arah pak Purnomo dan siap menekan pelatuk pistol itu kapan saja Dorr Pak Purnomo justru menembak ke arah Rivo, dan ya Rivo berhasil menghindar dari sasaran peluru pak Purnomo " Aje is talking " " This time for us " " LION!!! " Tegas Rajendra Dor dor dorrr Tak butuh waktu lama kini suara kericuhan sudah bisa Rajendra dengar dengan jelas. " Menyerah atau mereka berdua siap antar nyawa bapak buat ketemu anak kecil yang sudah bapak bunuh?! " Ancam Rajendra Dorr Prakk Dengan cekatan Rajendra berhasil menjatuhkan pistol dari tangan pak Purnomo, dan juga pria tampan yang sebentar lagi akan menikah dengan Davina sukses memasang borgol di tangan pak Purnomo dengan posisi tangan di punggung pak Purnomo. " Anjing!!! " Kesal Rajendra karena pak Purnomo berhasil lari namun Rivo dan Kevin dengan sigap mengejarnya tanpa menunggu perintah Rajendra. Terdengar Kevin dan juga Rivo menembak asal pistolnya untuk memperingati pak Purnomo untuk menyerah. " Aje is talking, client kabur. X5 " Rajendra berlari mengejar kemana pak Purnomo kabur dan mencari pria yang sudah menghilangkan banyak nyawa hanya demi uang dan kepuasan dirinya semata. Dor Rajendra terkejut karena sebuah peluru hampir saja mengenai dirinya. " Tim 1 are talking " " Aje tim di serang balik " ujar tim 1 dari sambungan HT. Rajendra berlindung di balik tembok untuk menghindar dari tembakan peluru yang di tembakan oleh tim yang ia yakini adalah anak buah Purnomo. " LION!! " tegas Rajendra kepada timnya untuk melakukan penyerangan Dor dor dor Bunyi pistol masih jelas terdengar di telinga Rajendra. Dengan penuh hati-hati Rajendra harus bisa kabur dari sini dan menangkap pak Purnomo dan menegakkan kembali kebenaran juga keadilan bagi keluarga korban. " K8! " " Tim 5 are talking. 2 orang terluka " " Aje is talking team 5. 90! " Dor Prang Kaca pecah dan hampir mengenai Rajendra, namun pria itu begitu lincah untuk menghindar dari pecahan kaca itu. Dor Rajendra terus berlari menghindari peluru yang ditembakkan oleh sekelompok orang yang sama. Kondisi gedung ini begitu kacau saat ini, Rajendra terus berlari sembari sesekali bersembunyi dan menghindar dari semua bahaya yang mengancam dirinya. " KV is talking, Purnomo udah berhasil kita tangkap " Akhirnya, Rajendra tersenyum puas mendengarnya. Pranggg " Anjing! " Kening Rajendra terkena pecahan kaca karena ulah anak buah Purnomo. " GOJA, X5. 90! " " DO!! " teriak Rajendra Rajendra segera berlari dengan cekatan dan lincah, namun ia harus sering memantau juga menghindar dari peluru untuk menyelamatkan nyawanya agar ia terus bisa menegakkan keadilan juga kebenaran. Ia menyalakan HT satunya untuk berkomunikasi dengan papa Hasan. " Aje is talking, K8 " " Oke kak " respon papa Hasan Rajendra tersenyum karena tak lama lagi polisi akan datang ke tempat kejadian. " Aje is talking, semua 90! Polisi mau dateng " ujar Rajendra kepada timnya " Oke je " Rajendra berlari keluar menuju Kevin dan juga Rivo yang berada di lobby utama yang sudah kacau sembari menahan Purnomo agar pria itu tak kabur lagi. Rajendra mengeluarkan ponselnya dengan nafas ngos-ngosan dan juga peluh keringat, ia mencoba menghubungi kliennya. " Halo, lapor Target udah berhasil kita tangkap " " Oke kita ke dalem sama polisi " Rajendra mengusap keringatnya yang bercucuran begitu deras dengan lengannya. Terlihat klien Rajendra datang bersama keluarganya yang ternyata sudah stand by di depan gedung bersama polisi. Para polisi segera mengamankan Purnomo dan mencari seluruh anak buah Purnomo. Sementara Rajendra memberikan dokumen yang sempat ia ambil dari dalam ruangan Purnomo kepada kliennya. Dokumen tentang bangunan ini dibangun di atas tanah milik orang lain. Juga dokumen yang ia bawa dari rumah berisi kejahatan Purnomo untuk ditindaklanjuti oleh kliennya. " Makasih banyak " ujar klien rajendra memeluk rajendra dengan rasa bangga " Uang udah saya transfer. Sekali lagi makasih banyak atas kerja samanya " Rajendra mengangguk dan tersenyum manis kepada kliennya. ******* Malam harinya Rajendra sekeluarga kembali datang ke rumah Davina, untuk menyerahkan seserahan kepada Davina. Semua itu sudah disiapkan oleh keluarga Rajendra. Sementara itu sedari tadi Rajendra terus meringis karena perih di keningnya terkena pecahan kaca tadi siang saat melakukan penyerangan. " Kak abis nikah masih mau nyerang ga? " Tanya Sabrina yang duduk di sebelah Rajendra " Pasti " " Oke berarti aku masih ada kerjaan di GOJA " Rajendra terdiam melihat Davina yang datang bersama mamanya ke arah ruang tamu. Malam ini Davina terlihat begitu cantik layaknya bidadari, dengan dress putih dan juga polesan make up tipis yang menghiasi wajahnya. Begitu sempurna Davina malam ini, Rajendra saja tak lagi merasakan sakit di keningnya saat melihat Davina. Rajendra segera berdiri di samping Davina dengan cincin berlian yang akan ia pasang di jari manis gadis itu. " Je ini kenapa? " panik Davina menunjuk ke arah kening Rajendra " Ga apa-apa " Kini Rajendra memasangkan cincin di jari manis Davina. Semua orang disini pun bertepuk tangan bahagia. " Alhamdulillah " " Kalian besok ga usah sekolah dulu. Ijin biar papa yang ijinin " " Oke om " " Ini seserahan dari keluarga kita " ucap papa Hasan menyerahkan seserahan yang terdiri dari barang-barang branded dan banyak lainnya. Rajendra mengambil benda kecil di dalam sakunya dan menyerahkan benda itu kepada Davina " Apa ini? " Tanya Davina " Memori? " Rajnedea mengangguk " Buat lo " " Buat apa je?" Davina dibuat tak mengerti dengan semua yang Rajendra lakukan, mulai dari Rajendra yang menghilang tadi pagi di sekolah, keningnya yang terluka, dan juga sebuah kartu memori yang Rajendra berikan kepadanya. " Simpen aja " jawabnya Mau tak mau Davina menerima memori itu. Davina menatap Rajendra yang tersenyum evil kepadanya, lagi-lagi Davina dibuat bertanya-tanya dengan sosok Rajendra. Terlebih dirinya belum mengenal baik sosok pria tampan yang berdiri di hadapannya ini. " Sampai ketemu besok dengan status yang berbeda " ujar Rajendra masih dengan senyum evilnya ******** Terimakasih Thank you Teşekkür ederim ??? Description: Rajendra Yudha Dirgantara, pria tampan yang berhasil mengelabui banyak orang dengan ketampanan yang ia miliki. Tak ada yang tau tentang sisi gelap seorang Rajendra yang memiliki satu rahasia besar dan tak banyak orang tau bahwa dirinya adalah ketua dari GOJA suatu organisasi mata-mata yang kapan saja siap untuk melakukan penyerangan saat mendapat perintah. Hingga Rajendra harus memenuhi wasiat almarhumah sang mama dimana ia diminta menikah dengan Davina Ayu Evans yang menjadi korban bullying di sekolahnya karena dianggap terlalu cantik.
Title: rebahan Category: Young Adult Text: prolog Remaja merupakan tongkat estafet sebagai generasi penerus bangsa. Generasi penerus dituntut untuk berwawasan luas, inovatif, kreatif, memiliki daya juang, serta tekat yang kuat. Generasi saat ini dilimpahkan dengan kemajuan tekhnologi. Segala jenis informasi bisa di dapatkan hanya dengan sentuhan jari. Kini informasi berada dalam genggaman, dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Berikut merupakan nilai positif dari perkembangan tekhnologi. Disamping itu, tentu memiliki dampak negatif. Salah satunya mereka menjadi malas atau dengan bahasa kekiniannya Kauk "rebahan". Aku Halu. Galuh Darmawan, baru saja menduduki bangku kelas 10 di SMA N 14 Padang. Sebelumnya aku bersekolah di SMP N 3 Padang yang berada di pulau karam, jaraknya tidak jauh dari rumah. Berbeda dengan SMA ku saat ini, berjarak sangat jauh dari rumah bisa dibilang berada dipinggiran kota. Diperkirakan waktu tempuhnya lebih kurang 45 menit. Aku memiliki hobi yang mayoritas kalangan anak muda menyukainya "rebahan". Bisa dibilang kebanyakan orang melakukan rebahan untuk beristirahat. Tetapi berbeda dengan diriku yang melakukan rebahan untuk membawa perubahan. Description: saat ini kebanyakan remaja malas melakukan aktivitas diluar rumah, ya terutama aktivitas berupa outdoor. terutama mereka yang memiliki hobi rebahan, tetapi membawa perubahan. setiap sesuatu mereka tuntaskan dengan sederhana dan menarik
Title: Rise Then Jump Category: BNNS Text: Prolog Bunda selalu bilang kalau mau memiliki ikatan seperti apa pun seseorang dengan orang lain, pada hakikatnya individu itu adalah sendiri. Yah, maksud beliau, mau aku punya Bunda, punya pacar (ini misalnya sih, soalnya aku memang nggak punya pacar), punya banyak teman, dan lain-lain, bahagia, sedih, sengsara, berjuang, sakit, semuanya akan kurasakan sendiri. Mungkin aku akan mendapat dukungan saat ada banyak orang yang menghujatku seperti sekarang. Tapi, kalau aku sendiri nggak bisa mengatasi hujatan itu, aku sendiri yang bakalan jatuh lalu hancur lebur. Lihat tuh bodinya! Seksi bener! Astaghfirullah. Bukannya lebih baik menggunakan baju yang lebih tertutup? Yang bilang seksi matanya buta, ya? Orang kurus banget kayak kurang gizi gitu. Nggak ada baju lain apa? Lagiankan Indonesia memang dari sananya negara tropis. Ikut lomba skating bukan budaya kita! Mencoreng budaya kita saja! Yang paling gue suka pas dia lompat tuh! Celana dalamnya kelihatan! “Hah! Sampah banget nih orang-orang! Lo susah-susah merangkak dari peringkat sepuluh sampai ke peringkat lima cuma buat di komentarin soal celana dalam lo?!” teriak temanku yang baru saja membuka akun Instagram-ku. Lebih tepatnya, dialah yang lebih sering memegang akun Instagram-ku sejak setahun lalu. “Kendalikan jari-jarimu, Mita!” ingatku cepat. “Kalau kamu sampai balas komentar netizen pakai ‘bahasamu’, namaku bakal makin tercoreng!” “Ya tapi! Ini! Sorry to say, but bahkan ada yang nawar lo!” Oke, aku mau menangis sekarang.“Makanya. Aku kan sudah bilang kalau lebih baik aku tutup akun aja.” “Heh, so-called queen of lutz. Sekarang coba lo bilang ke gue gimana caranya lo bakal update tentang pesaing-pesaing lo kalau nggak lewat Instagram. Idola lo sepanjang masa dan zaman kan juga aktif di Instagram. Masa lo rela tutup akun?!” omelnya. "Lagian, sosmed lo kan jadi ladang duit tersendiri buat lo. Uangnya lumayan buat jajan, kan?" “Iya, sih. Tapi…” Tiga tahun yang lalu akhirnya aku berhasil masuk kualifikasi buat ikut ISU Figure Skating Championship.Itu adalah lomba skating tingkat internasional yang bergengsi.Bisa berpastisipasi dalam lomba itu adalah sebuah perjuangan tersendiri bagiku juga Bunda. Aku jatuh bangun demi bisa mendaratkan lompatan-lompatan yang indah dan Bunda jatuh bangun demi membiayaiku. Untungnya, sejak musim ketigaku kemarin, akumulaidapatbanyak sponsor sehingga Bunda nggak perlu memusingkan soal biaya lagi. Sayangnya, dapat sponsor berartiakuharustampildimana-mana. Mungkin karena aku muncul di mana-mana orang-orang pun mulaimencaritahusiapasebenarnyaaku. Dan, ketika mereka tahu kalau pekerjaanku adalah meluncur di atas es dengan “punggung terbuka” serta “melompat sambil memamerkan celana dalam” mereka mulai menghujatku. Aku dan Bunda sudah berbicara soal ini sampai kami menemukan kesepakatan: biarkan saja mereka mau bicara apa. Masalahnya adalah aku tidak bisa membiarkan mereka mengusikku begitu saja. Menjadi seorang figure skater adalah impianku bahkan sejak sebelum Bunda dan Ayah berpisah. Dulu, aku sama sekali nggak pernah berpikir akan mendapat banyak komentar negative dari negeri sendiri. Impianku sederhana saja: dapat medali emas, ikut olimpiade, dan mendapat pengakuan dari Ayah. Itu saja. Lalu, kenapa orang-orang harus sampai mengomentariku sampai segininya? Bab 1 Aku merentangkan tangan lebar-lebar begitu berada di luar. Perbedaan suhu antara Indonesia dengan negara-negara Eropa di bulan April begini rasanya berbeda sekali. Sekarang masih pukul enam pagi dan aku sudah bisa merasakan hangat matahari. Orang-orang mungkin banyak mengeluhkan panas, tapi aku lebih suka udara di sini. Lari pagi dengan udara hangat adalah yang terbaik. Rute lari pagiku hanya mengelilingi kompleks apartemen saja. Aku tidak bertemu siapa-siapa, mengingat sekarang adalah Rabu. Orang lain mungkin masih sibuk tidur (termasuk Bunda) atau bahkan sudah bersiap-siap untuk kerja, sekolah, atau kuliah. Tapi aku di sini adalah seorang pengangguran yang sedang menikmati liburannya. “Sudah selesai dengan lari pagimu, Sayang?” sambut Bunda begitu aku kembali ke apartemen. Aku tersenyum. “Pagi, Buuun!” sapaku lalu memeluk Bunda. Bunda sama sekali nggak keberatan walau aku bau keringat. “Mandilah. Bunda siapkan sarapan dulu.” “Bunda masuk pagi?” tanyaku. “Jam setengah sembilan Bunda berangkat. Ada operasi soalnya, jadi harus siap-siap dulu.” Aku cemberut dan masuk ke kamar mandi. Terkadang aku berpikir untuk menyuruh Bunda pensiun. Tapi yah, dengan Bunda sebagai satu-satunya yang bekerja di sini aku tidak mungkin melakukannya. Nanti, kalau aku sudah mendapat medali emas dan mendapat uang US$ 20.000 itu sedikitnya tiga kali, aku baru berani menyuruh Bunda untuk pensiun dan jadi ibu kos saja. Habis, uang untuk membayar pelatih dan uang untuk membayar biaya hidupku cukup mahal. Kalau aku tidak menerima tawaran endorsement make up atau minuman isotonik itu, aku bakalan jadi pengemis. Selesai mandi aku melihat Bunda masih sibuk di dapur kecil kami. Aku menghampiri beliau dan menawarkan diri untuk membantu. “Tolong siapkan piring dan gelasnya. Lalu, buatkan Bunda kopi.” “Siap!” Aku membuat kopi untuk Bunda, lalu menuang susu untuk diriku sendiri. Bersamaan dengan itu, sarapan kami sudah siap santap. Kami pun sarapan sambil ditemani lagu-lagu lawas dari radio. “Oh, ini lagu yang bagus,” celetukku. Bunda menatap radio dan membiarkan sampai reff lagu selesai dinyanyikan. “Itu Luruh, lagunya Isyana dengan Rara Sekar. OST-nya film Milly dan Mamet,” jelas Bunda tanpa kuminta. Aku mengangguk mengerti. “Kamu mau menjadi lagu ini sebagai programmu yang selanjutnya?” tanya Bunda. “Hmmm, nggak juga. Lagunya terdengar pelan sekali. Aku takut nggak bisa menyesuaikannnya dengan gerakanku.” “Tapi bagian bridge-nya sepertinya cocok buat step sequence.” Aku tertawa. “Sejak kapan Bunda membuat program untukku?” “Oh, dengar. Setelah ini adalah bagian bridge-nya,” potong Bunda tanpa mempedulikanku. Bagian bridge dari lagu itu berupa uuh-uuh yang lumayan lama dengan lirik yang cukup menyentuh. Selagi lagu terus berputar, aku membayangkan ucapan Bunda: membayangkanbagianbridge ini sebagai step sequence-ku, lalu begitu masuk ke lirik, aku melakukan spin. Bagus juga sih, tapi itu Cuma dari babak terakhir programku sampai selesai. Babak pertama dan kedua, di mana aku harus melompat, rasanya akan kurang cocok dengan lagu sepelan ini. “Jadi, apa acaramu hari ini?” tanya Bunda membuyarkan lamunanku. “Oh. Berhubung Mita kuliah, mungkin pagi ini aku jadi rakyat rebahan saja.Siang aku mau ke ice rink, terus sorenya balet dengan Mita,” jawabku. “Kenapa? Bunda pulang sore terus mau ajak aku jalan-jalan, ya?” Bunda mendengus geli.“Yang benar saja, Sayang. Bunda pulang sore menjelang malam,” katanya membuatku cemberut. “Tapi kalau memang sempat kita bisa makan malam bersama.” “Aku mau bebek!” kataku cepat. “Eh? Tidak masalah? Nanti berat badanmu naik, lho.” Aku berdecak kesal.“Nanti kan bisa olahraga!”’ Bunda tertawa kali ini. "Iya, iya. Pokoknya kalau dimarahi sama pelatihmu Bunda nggak mau tanggung jawab. Pastikan juga jangan sampai cedera gara-gara berat badanmu naik." "Nggak akan!" elakku. "Bunda kenapa tumben bahas berat badanku, sih? Aku kelihatan kayak babi, ya?" "Hush! Bunda nggak bilang gitu, ya! Bunda cuma takut kamu cedera, Sayang," kata Bunda. "Jangan pikir Bunda nggak tahu kalau kamu lagi latihan lompatan baru dan jatuh terus. Bunda lihat fancam di Instagram." "Aku bakalan hati-hati kok, Bun. Lagian jatuh gitu doang mah sudah biasa," kataku. Bunda mengembuskan napas, lalu menaruh sendok serta garpunya. "Bunda serius, Sayang. Persaingan di ice skating itu ketat. Kamu sendiri yang bilang kalau sejak berakhirnya Pyeongchang Winter Olympic dulu ladies discipline mulai pakai quad jump gila-gilaan." "Bun, Pyeongchang Winter Olympic itu sudah hampir delapan tahun yang lalu. Sekarang teknologi makin maju, zaman pun ikut berubah. Aku nggak akan bisa menang tanpa quad jump," beritahku pelan-prlan. "Lagipula kan ada Bunda. Kalau aku cedera tinggal periksa ke Bunda." "Bunda lebih senang kalau kamu nggak cedera." Aku tertawa mendengarnya. Tak lama kemudian sarapan kami selesai. Aku menawarkan diri untuk mencuci peralatan mandi kami supaya Bunda bisa segera mandi dan bersiap ke rumah sakit walau sekarang masih jam tujuh pagi. Yah, sebenarnya aku cuma pengin Bunda lebih santai soalnya kemarin aku bahkan nggak tahu jam berapa Bunda pulang. Bunda pasti capek. Sisa pagi itu kami habiskan sambil ngobrol syantik dan nonton TV. Setiap ada pergantian berita, Bunda akan bercerita banyak.Meski aku hampir nggak mengerti apa yang Bunda bicarakan, aku iya-iya saja. Yang penting Bunda senang. Lalu tiba waktunya bagi Bunda untuk berangkat. Bunda sempat berpesan padaku untuk mulai serius memikirkan kuliah. Katanya, "Kita sudah membicarakan ini sejak tahun lalu. Kamu sudah sembilan belas tahun, nak. Waktunya untuk kuliah bagimu." Lagi-lagi aku cuma iya-iya saja. Sejujurnya, aku nggak pernah kepikiran untuk kuliah meski aku tahu karirku sebagai atlet saat ini nggak menjamin masa depanku. Kuliah sama saja dengan keluar uang lagi dan aku nggak mau itu. Keuangan kami nggak seburuk itu juga sih, tapi kuliah di luar negeri itu mahal. Aku juga sudah pasti akan menambah semester. Selain itu, aku nggak tahu aku mau kuliah jurusan apa. Kalau bisa sih, aku ambil kepelatihan olahraga saja. Dan, kalau bisa lagi, aku maunya berseluncur di atas es terus, lalu menghasilkan banyak medali emas untuk kujejalkan ke mulut orang-orang di luar sana. *** Menjelang siang, aku berangkat ke ice rink di salah satu mall. Yah, nasib negara tropis, mungkin investor baru tertarik membangun ice rink sungguhan kalau Indonesia turun salju. Mall cukup sepi saat aku sampai di sana. Tentu saja, sekarang Rabu siang, orang-orang mungkin sedang istirahat kerja atau sekolah. Bahkan Mita mungkin masih ada kelas. Sepinya mall merupakan keuntungan bagiku, aku nggak suka dilihatin banyak orang saat sedang latihan. Soalnya waktu latihan aku pasti sering jatuh. Bruk! “Duuuh.” Aku meringis setelah jatuh untuk kesekian kalinya. Mungkin aku harus berhenti melompat sekarang sebelum tulang ekorku kenapa-kenapa. Sialan, padahal kupikir aku bisa mengejutkan pelatihku dengan kesuksesan quad loop-ku yang meningkat selama berada di sini. Kalau dari lima lompatan quad loop-ku saja yang berhasil cuma satu itu pun unclean, aku nggak akan bisa mengejutkan pelatihku. Saat aku berpikir untuk melakukan pendinginan, lagu Luruh yang tadi pagi terputar. Aku pun iseng mengikuti lagu tersebut ketika lagu sudah memasuki verse kedua. Saat lirik bagian ini aku akan melompat, lirik bagian itu melompat lagi, di bagian yang lain kelihatannya akan bagus kalau lompatannya adalah kombinasi. Tepat sebelum memasuki bridge lagu, aku benar-benar melakukan dua kombinasi lompatan: triple axel dan double toe loop. Masuk ke lirik combination speed spin. Menjelang akhir lagu, bielman spin, gerakan yang sangat bisa kubanggakan. Dan, selesai. Kudengar beberapa orang bertepuk tangan untukku. Aku meringis, lalu membungkuk pada mereka seakan yang barusan merupakan latihan terbuka. “Seperti yang bisa kita harapkan dari queen of lutz!” seru seseorang. Seketika itu aku tersipu. Bukan karena pujian yang dilontarkan orang itu, tapi karena orang itu sendiri. “Aku sama sekali nggak melakukan lutz, lho!” kataku. Nicholaas tertawa di pinggir rink. “Maaf deh, walau sudah bertahun-tahun aku nggak bisa juga membedakan lompatan-lompatan dalam skating,” katanya. Aku pun menghampirinya. Dia, dengan pekanya, langsung menydoriku botol minuman. “Kamu ngapain di sini? Nggak kuliah?” tanyaku. “Cuma ada kelas pagi,” jawabnya. “Terus, Mita bilang kamu sudah balik. Pas aku coba hubungin kamu tapi nggak bisa, aku tahu kalau kamu pasti akan ada di sini.” “Tapi berdiri di pinggiran gitu aja kamu pasti bayar, kan? Kita kan bisa ketemu waktu balet nanti.” “Menunggu nanti sore itu lama. Aku juga nggak tahu mau ngapain.” Aku berusaha sekuat mungkin untuk nggak terlihat tersipu di depannya. “Dasar mahasiswa gabut.” Lagi-lagi Nicholaas tertawa. “Ayo, sini!” Aku menarik tangannya. “Kalau sudah bayar paling nggak kamu harus berseluncur keliling satu kali.” “Eh? Eh!” Baru berdiri sebentar di atas es Nicholaas langsung terjatuh. Aku tertawa melihatnya sebelum menolongnya. Nicholaas mengomel panjang lebar saat kutolong, tapi aku nggak peduli dan malah terus tertawa. Waktu pinjam ice rink­-ku tersisa sekitar 30 menit. Itu kugunakan untuk menuntun Nicholaas berkeliling pelan-pelan. Sesekali aku menggodanya dengan melepas tangannya. Saat kupikir dia akan jatuh, ternyata keseimbangannya sudah lebih baik daripada dulu. “Mau coba berseluncur sendiri?” tantangku. “Asal kamu langsung menolong waktu aku jatuh, aku mau,” katanya kesal. Aku tersenyum dan melepas tangannya begitu saja. Ternyata kemampuan Nicholaas memang berkembang. Dia sudah bisa berseluncur sendiri walau tangannya masih sedikit terentang untuk membantu keseimbangan dirinya. Aku pun berseluncur bebas mengelilinginya. “Sampai sekarang aku masih nggak ngerti gimana caranya para figure skater melakukan spin secepat itu di atas es,” katanya. “Kira-kira itu hampir sama dengan pertanyaan bagaimana kamu bisa berputar dengan posisi kaki pointee.” “Menurut gimana? Kira-kira kapan aku bisa juara dunia figure skating?” “Yah, kira-kira sepuluh tahun lagi lah!” Nicholaas tertawa. “Omong-omong, kamu ngapain setelah ini?” Aku mengangkat bahuku. “Makan siang?” “Count me in. Sudah lama nggak makan enak.” “Maksudmu, sudah lama nggak makan junkfood?” “Mita bakal marah kalau tahu kita makan ayam goreng.” Selama makan siang itu dengan Nicholaas, omelan Mita akan kudengarkan. Atau, setidaknya itulah yang pertama kupikirkan… “Kamu harus mulai diet, nak! Lihat angka yang tertera di timbangan itu. Kamu terlihat seperti babi! Kaki-kakimu sama sekali tidak indah!” “Ma-maaf,” cicitku takut-takut. … Karena ternyata aku kena omel pelatih baletku dulu sebelum kena omel Mita. Sesi ceramah itu berakhir lima belas menit kemudian. Setelah lepas dari sesi ceramah, aku dibiarkan untuk duduk di pojokan untuk melihat bagaimana indahnya kaki-kaki milik orang lain. Termasuk kaki milik Mita dan Nicholaas. Tentu saja kaki-kaki mereka indah. Mereka kan lebih sering balet daripada aku. Lagipula, memangnya aku terlihat segemuk itu, ya? Hmmm, kalau kuperhatikan lagi aku juga sedikit lebih tinggi. Beberapa bagian tubuhku juga terlihat lebih berisi dan keras. Tapi… uwaaah. Pahaku terlihat besar waktu aku melakukan grand battement! “Sudah tahu kan kenapa gue ikut nyeramahin elu?” tanya Mita yang tahu-tahu muncul di bayangan cermin. Aku menurunkan sebelah kaki yang terangkat dan pura-pura menangis. “Aku pengin penyetan bebek,” keluhku. Mita memutar bola matanya. “Lo belum pernah bawa pulang medali, lho!” sindirnya kejam. “Aku menang waktu ACI Skate Canada! Di Finlandia Trophy juga!” kataku tak terima. “Heh! Dua tahun lagi olimpiade. Quad loop lo masih payah gitu! Mau jadi apa nanti?!” “Ukh!” “Quad lutz juga belum bisa! Apanya yang queen of lutz?!” Sejak dulu aku tahu kalau Mita adalah tipe yang akan menggarami luka setelah membuat luka. Sakit sekali, woy! “Udahlah, Mit. Kasihan tuh Shaka mau nangis,” sahut Nicholaas. Ah. Inilah yang bikin aku suka sama Nicholaas: karena tutur katanya selalu menenangkan. Mita mengembuskan napas pendek, lalu menatapku tajam. Ada apa? Aku jadi takut melihat tatapannya. “Ka, komentar-komentar di Instgaram lo tuh mulai nggak benar. Satu-satunya cara buat matiin mereka itu dengan dapat menang, dapat medali. Gue nggak akan bilang lo kayak babi atau apa, tapi plis jaga pola makan lo dan jangan kebanyakan jatuh biar menang.” “Jangan sampai sedera juga,” sahut Nicholaas cepat-cepat. “Gue sayang sama lo, Vishaka. Gue pengin lihat lo pulang bawa medali, makanya gue ngomel-ngomel.” Aku mengangguk mengerti. “Emang separah apa komentar di IG Shaka?” tanya Nicholaas. Mita mengibaskan tangannya dan mulai mengomel soal jari-jari jahanam para netizen. Sementara Mita mengomel, tiba-tiba lagu Luruh terdengar entah dari mana… Seriusan deh, kenapa lagu itu terdengar berkali-kali hari ini? Bab 2 Efek dari terputarnya lagu Luruh terus-menerus adalah kepalaku jadi memutar lagu itu setiap saat. Seperti, benar-benar setiap saat: saat aku melihat Bunda, saat aku melihat lambang musik, saat aku sedang melihat radio tua Bunda, saat aku lari, bahkan saat aku melihat program skating yang tidak memakai lagu tersebut. Saking kesalnya, akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan lagu tersebut pada My Favorite Songs, berharap lagu tersebut akan berhenti berputar di kepalaku. Nyatanya, lagu itu malah terputar di restoran tempat aku dan Bunda makan malam saat ini. Hah! Seriusan, deh! Aku sampai hafal chorus-nya tanpa pernah membaca liriknya sekarang! “Kenapa kamu tiba-tiba terlihat kesal begitu?” tanya Bunda. Aku mengembuskan napas pendek. “Lagu Luruh ini, Bun,” aku atap restoran seolah ada pengeras suara di sana, “terputar di mana-mana berkali-kali! Itu bikin earworm!” kataku kesal. Bunda tertawa kecil. “Kalau begitu coba dengarkan lagu lain supaya kamu nggak kepikiran terus,” sarannya. “Sudah! Tapi lagunya tetap nempel di kepalaku,” beritahuku kesal. “Kenapa, sih? Padahal itu lagu sejuta abad yang lalu, kan?” “Nggak sejuta abad juga, kok,” kata Bunda geli. “Mungkin karena lirik lagunya menyentuh sesuatu dalam dirimu.” “Hah?” Perkataan Bunda tersebut membuatku mencari lirik lagu Luruh di internet dan menyanyikannya dalam hati sambil diiringi lagu itu sendiri begitu kami pulang makan malam. Harus kuakui, liriknya lumayan menyentuh. Tapi sungguh, aku sama sekali nggak merasa tersindir atau apa oleh lirik lagunya. Hanya saja… apa, ya? Lirik lagunya membuatku teringat pada sesuatu. Oh, iya. Aku teringat pada Bunda dan Ayah. Sekarang kan April, bulan di mana Bunda dan Ayah berpisah. Yah, mereka berpisah karena (kalau mengutip kata Bunda) “memang sudah tidak cocok”. “Haaah.” Pantas saja lagunya menempel terus di kepalaku dan terputar di mana-mana. Sepertinya Tuhan sedang mengingatkanku agar aku diet beneran supaya aku paling tidak menang di Grand Prix musim ini dan membuktikan pada Ayah kalau kami, aku dan Bunda, bisa walau hanya berdua. Ya ampun, cara-cara Tuhan untuk mengingatkan hamba-Nya yang keras kepala ini terkadang agak mengerikan juga, sampai bikin aku earworm gini. Yang lebih penting, kenapa Tuhan mau repot-repot mengingatkanku pada orang yang sudah meninggalkan kami itu, sih? Baiklah. Aku akan serius menjaga pola makanku selama ada di rumah. Aku juga berjanji nggak akan makan penyetan bebek sebelum aku pulang bawa medali. Aku janji akan menaikkan tingkat kesuksesanku dalam mendaratkan quad loop dan mulai belajar quad lutz waktu sampai Canada nanti. Aku janji akan membuat Bunda bahagia. *** “Lo nggak mau istirahat dulu, Ka?” tanya Mita sambil menghampiriku yang baru saja terjatuh untuk ke sekian kalinya. “Sori. Kamu capek ngikutin aku, ya?” tanyaku merasa bersalah. Kebetulan hari ini Minggu, aku bisa memanfaatkan kemampuan berseluncur Mita yang mendingan daripada Nicholaas untuk merekamku. Dari rekaman lompatanku, aku bisa tahu kesalahan apa yang kuperbuat sampai aku bisa terjatuh. Entah itu posisi kaki yang kurang pas, sikap badan yang tidak baik saat akan melompat maupun saat melompat, posisi kaki yang tidak baik saat mendarat, dan lain-lain. “Gue nggak capek. Yang capek itu elu!” katanya. “Istirahat, gih. Lihat dulu rekaman lo. Kali aja memang ada yang salah atau lo memang kecapekan.” “Aku bisa gantiin Mita!” sahut Nicholaas dari pinggir ice rink. “Hah?! Nggak, nggak! Gue tuh sakit sendiri tiap lihat Shaka jatuh tahu!” katanya galak pada Nicholaas. Aku tersenyum dan memilih untuk mendengarkan Mita untuk beristirahat. Sambil istirahat, aku menelaah video yang direkamkan Mita. Aku mempunyai kecenderungan berposisi kelewat miring saat berotasi. Kata pelatihku, itulah masalah utamaku selama ini. “Gimana?” tanya Mita. “Masalahnya tetap sama,” keluhku. “Dari sepuluh kamu sudah berhasil mendaratkan empat lompatan,” beritahu Nicholaas yang kutugasi untuk mengecek keberhasilanku. “Dengan satu lompatan yang unclean. Satu tanganku menyentuh es waktu mendarat di lompatan entah berapa,” ingatku padanya. “Tapi meningkat, kan?” “Aku nggak puas,” geramku. “Maksudku, yang benar saja, aku sudah melakukan lompatan itu sejak pertandingan musim kemarin. Dan, kau tahu? Dari seluruh pertandingan itu aku cuma berhasil mendaratkan satu quad loop!” “Okaaay, Vishaka. Apa salah satu dari pesaing lo baru saja berhasil mendaratkan quad axcel?” tanya Mita hati-hati. Aku mendelik ngeri. “Amit-amit! Jangan sampai!” kataku cepat. “Aku… Tahun lalu Indonesia akhirnya gabung di ISU, kan? Aku berhasil naik ke peringkat lima di seri Grand Prix. Aku juga menang lomba internasional lainnya yang diakui ISU. Tapi di pertandingan musim lalu pun aku belum juga dapat undangan buat ikut World Championship,” kataku. “Tahun ini menjadi musim keempatku ikut seri Grand Prix, aku mau menghasilkan peningkatan yang benar-benar bisa diakui orang lain.” Nicholaas menepuk pundakku. Dia tersenyum tipis, tapi wajahnya kentara sekali menunjukkan kekhawatiran. “Beberapa hari lalu aku iseng cek komentar di Instagram-mu, Ka. Komentar-komentar mereka memang jahat sekali,” katanya. “Aku bukan mau diakui oleh para netizen. Aku mau membuktikan diri ke Ayah kalau aku bisa,” kataku pelan. World Championship biasanya diadakan tiap bulan April. Bulan April sendiri memiliki makna yang mendalam bagiku dan Bunda. Bulan itu adalah awal kehancuran sekaligus awal kebangkitan kami. Tahun depan, aku ingat benar soal ini, tepat sepuluh tahun sejak berpisahnya Bunda dan Ayah. Kalau bisa, aku ingin merayakannya dengan kemenanganku bersama Bunda. “Lagipula, selama empat tahun ini aku belum pernah benar-benar menang,” tambahku untuk mencarikan suasana. “Aku mau menang, dapat uang banyak, terus jadiin Bunda ibu kos!” Mita dan Nicholaas saling lirik, lalu mereka tertawa bersamaan. “Oke! Kita bantu kamu buat jadiin Tante An ibu kos!” *** Latihan hari itu berakhir dengan aku yang berhasil melompotkan enam quad loop tanpa terjatuh. Unclean, tentu saja. Ujung-ujungnya aku kesal juga dengan quad loop dan berakhir dengan melatih gerakan beserta lompatan lain. Malamnya aku mengirim video latihanku pada pelatih sekalian minta saran. Lupakan soal mengejutkan pelatihku, yang paling penting sekarang adalah aku harus meningkatkan tingkat kesuksesanku dalam mendaratkan quad loop supaya aku bisa belajar lompatan yang lain. Nggak perlu waktu yang lama bagi pelatihku untuk memberi separagraf saran. Benar-benar banyak. Sarannya memenuhi satu layar ponselku sendiri. Saya pikir kamu pulang untuk liburan. Kenapa malah latihan? Aku merasa payah banget di pertandingan kemarin. Yang berhasil cuma satu. Tentu saja hasilnya masih seperti itu. Pertandingan musim kemarin adalah pertama kalinya kamu mencoba lompatan itu, kan? Kamu hanya belum terbiasa. Di pertandingan musim ini tingkat keberhasilanmu pasti naik. Pelatih, menurutmu bagaimana kalau aku mencoba quad lutz? Oh. Jadi ini karena kamu mau mencoba lompatan baru? Ukh. Iya. Apakah itu ide buruk? Tentu saja tidak. Kamu kan queen of lutz! Hanya, bukankah saat ini ada hal yang lebih penting daripada memikirkan lompatan-lompatan itu? Hah? Apa? Waktu bersama dengan keluargamu, my dear. Kamu hanya pulang setahun sekali, itu pun tidak pernah saat hari raya. Bukankah sebaiknya kamu menikmati waktu dengan keluarga dan teman-temanmu? Tiga hari lagi kamu akan kembali latihan di sini, kan? Aku meletakkan ponselku di meja dekat sofa tempatku rebahan saat ini. Mataku tertuju pada pintu keluar unit apartemen Bunda. Sekarang hampir setengah sepuluh malam, Bunda belum pulang juga. Biasanya Bunda pulang jam berapa, sih? Saya tahu semua muridku, termasuk kamu, pasti bosan mendengarkan ini: Jangan terlalu memaksakan diri. Orang di rumah memang ingin kamu menang, tapi mereka lebih ingin kamu tidak cedera sampai harus berhenti skating. Ya ampun, rasanya aku sampai hafal ke titik-komanya. Oh! Baguslah kalau begitu. Itu artinya, kamu akan mendengarkan apa kata pelatihmu ini, kan? Iya, iya. Aku mengerti. Aku akan mematuhinya. Pintar sekali! Kau tahu? Daripada kau menyakiti pantatmu, bukankah lebih baik kamu memikirkan programmu berikutnya? Hah? Kau menyuruhku membuat programku sendiri? Apa salahnya? Ada banyak skater yang membuat programnya sendiri. Bahkan sampai kostumnya! Oke, oke. Akan aku pikirkan. Tepat setelah aku mengirim pesan terakhir, aku mendengar suara pintu terbuka. Bunda masuk tanpa menyadari ada aku di sofa. Aku segera bangkit untuk menyambut Bunda. “Bunda sudah pulang?” Benar saja, Bunda terlihat kaget mendapati aku ada di ruang tengah. “Kamu belum tidur?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Bunda sudah makan malam?” tanyaku. “Sudah, kok,” jawab Bunda. “Kalau begitu… Mau aku buatkan sesuatu yang hangat?” tawarku. Bunda menatapku heran. Tak lama kemudian Bunda tersenyum penuh arti. “Hangatkan susu untuk Bunda, ya? Lalu, beri sedikit madu.” “Oke!” Selagi Bunda berganti pakaian, aku menyiapkan susu hangat dengan sedikit madu untuk kami berdua. Entah ajaran dari siapa kami bisa memiliki kebiasaan satu ini, yang jelas terkadang kami suka minum susu hangat dengan madu sebelum tidur. Terkadang aku juga melakukannya saat di Toronto. “Ini, Bun,” kataku sambil menyodorkan secangkir susu hangat yang sudah kuberi sedikit madu. Mudah-mudahan saja aku member madu dengan takaran yang pas. “Terima kasih,” kata Bunda lembut, membuatku tersenyum. Setelah beberapa tegukan susu, aku menyeletuk. “Bunda suka lagu Luruh?” “Lumayan,” jawab Bunda cepat. Itu artinya sama dengan Bunda sangat menyukai lagu tersebut. “Kenapa?” “Aku mau pakai lagu itu buat program skating­-ku yang berikutnya,” beritahuku. “Sungguh?” Mata Bunda tampak berbinar seketika. “Bukankah kamu bilang lagunya terlalu pelan?” “Tidak masalah. Beberapa hari yang lalu aku iseng bikin program ala-ala pakai lagu itu dan, yah, cukup berhasil. Gerakan lainnya bisa kudiskusikan dengan pelatihku agar semuanya cocok dengan lagu itu,” jelasku. Bunda tersenyum senang. “Programmu kali ini pasti akan menjadi program paling bagus yang pernah ada. Bunda tidak sabar menantikannya!” Aku ikut tersenyum. “Nngg, kalau begitu… Kalau misalnya di pertandingan musim ini aku dapat undangan buat ikut World Championship, Bunda mau datang?” “Oh, Sayang!” Bunda tiba-tiba saja memelukku. “Apakah selama ini kamu mau Bunda datang dalam setiap pertandinganmu? Kenapa tidak bilang dari dulu? Kamu sampai pakai lagu rekomendasi dari Bunda.” “Hah?” Aku buru-buru melepaskan pelukan Bunda. “Ya ampun! Nggak kok, Bun! Aku kan bukan anak kecil lagi!” kataku malu sendiri. “Yah, World Championship itu kan pertandingan besar, aku cuma mau Bunda ikut merasakan ketegangan dan keseruannya saja, kok!” Bunda menatapku lama, seakan berusaha mencari-cari sesuatu dalam diriku. “Sungguh?” “Sungguh!” kataku meyakinkan. “Lagian, aku malu banget kalau Bunda lihat pertandinganku yang sebelum-sebelumnya. Itu kan jelek banget, banyak jatuhnya lagi!” “Kamu ini bilang apa? Bunda kan selalu update dari YouTube!” Aku terkekeh. “Di World Championship nanti, di mana Bunda bakalan datang, aku pastikan programku clean tanpa celah! Jadi, Bunda tunggu dulu, ya!” Bunda mengelus kepalaku. “Iya, Bunda pasti akan menunggumu!” Fun Fact! (1) Cek, cek! Halooo, penulis di sini! Berhubung saya nggak bisa kasih catatan kaki dan olahraga seluncur es (skating) jarang di Indonesia, maka saya menulis bab Fun Fact! tiap beberapa bab. Tujuan menulis Fun Fact! Ini tak lain dan tak bukan adalah supaya pembaca tidak bingung kalau muncul istilah-istilah skating di sini. Meski saya sendiri bukan ahli dalam olahraga satu ini, saya harap saya bisa menyampaikan pada pembaca sekalian dengan mudah dimengerti. Oke, kita mulai dari skating itu sendiri! Intinya, skating adalah "menari dengan di atas es dengan diiringi lagu". Unsur olaharga dari skating ini ada pada elemen melompat (jumpt) serta berpitar (spin) yang merupakan elemen penilaian dari skating. Di Fun Fact! berikutnya akan saya jelaskan lebih lanjut mengenai elemen penilaian dalam skating ^^ Jadi, atlet seluncur es biasanya disebut dengan figure skater. Apakah Indonesia punya figure skater? Punya dong! Bahkan beberapa dari mereka sudah pernah ikut seri Grand Prix Junior. Nah, skating sendiri ada 4 disiplin, yaitu:1. Single men2. Single ladies3. Pairs4. Ice Dance Berhubung Vishaka adalah cewek, jadi dia ikut yang single ladies. Saya rasa untuk single men dan ladies jelas lah, ya: mereka mainnya tunggal. Terus, yang pairs dan ice dance gimana? Pairs dan ice dance sama-sama dimainkan dua orang (satu cowok satu cewek). Perbedaan dasar dari kedua disiplin itu adalah kalau pairs discipline ada lompatan, di ice dance tidak ada. Dalam suatu perlombaan, tiap skater dari masing-masing disiplin biasanya akan menampilkan dua program. Pertama, short program (SP) yang berdurasi sekitar 2 menit 10 detik. Kedua, free skating (FS) yang berdurasi sekitar 4 menit 10 detik. Penampilan program biasanya dijeda waktu satu hari. Sekian Fun Fact! kali ini. Kalau masih ada yang bingung, bisa komentar di bawah. Terima kasih! Bab 3 “Nngg, Shaka? Aku rasa kakimu kurang sedikit ke atas. Eh, itu kalau kamu tidak kesakaitan, sih--jangan terlalu dipaksakan. Aku cuma berpikir kalau gerakanmu bisa lebih bagus dari ini.” “Aku selalu berpikir kalau kamu itu terlalu baik,” komentarku. Kalau yang bersama denganku saat ini adalah Mita atau pelatihku yang sebenarnya, aku pasti sudah diteriaki atau disindiri. “Apa aku harus mengulangi gerakanku dari awal?” “Kalau kamu mau, sih.” Haha. Ya ampun, Nicholaas. Kau benar-benar cowok yang terlalu baik. “Oke. Aku akan mengulangi gerakanku dari awal.” Saat ini aku dan Nicholaas sedang ada di studio balet kami yang biasanya. Kebetulan tidak banyak yang mengambil kelas Senin, jadi aku pun menarik Nicholaas untuk membantuku membuat program free skating-ku. Selain itu, Nicholaas adalah orang terdekat terbaik yang bisa kuandalkan untuk membuat gerakan. “Tunggu. Shaka, berhenti. Tetap dalam posisimu,” kata Nicholaas, lalu menghampiriku. Sebelah tangannya mengangkat kakiku lebih tinggi. “Sakit?” Aku mengernyit. “Tidak juga.” Nicholaas mengangkat kakiku lebih tinggi lagi. “Bagaimana?” “Oke, oke. Sepertinya ini batas maksimal.” “Nah, kalau begitu gerakanmu harus seperti ini. Santai saja. Daritadi kulihat kamu terburu-buru. Ikuti tempo lagunya,” katanya. “Coba lihat aku.” Nicholaas mencontohkan gerakan yang dia maksud. “Hah? Kenapa kalau kamu yang melakukannya bisa pas dan indah begitu?” erangku kesal. "Kakimu terbuat dari bulu angsa atau bagaimana, sih?" Nicholaas tertawa. “Aku mendengar dan menunggu, Shaka. Kamu kelihatan nggak sabaran banget dengan lagu ini.” Aku mengembuskan napas panjang, lalu duduk selonjoran. “Gimana, ya? Aku nggak pernah pakai musik sepelan ini. Kamu sendiri tahu kan bagaimana pilihan musik untuk program-programku? Aku pakai musik klasik pun pasti pilih yang temponya lebih cepat dan lebih menghentak daripada ini,” kataku. “Tapi akhirnya kamu memakai lagu ini, kan?” “Ukh!” “Apa kita perlu menghentikan latihan dadakan ini supaya kamu bisa menenangkan diri?” “Aku tenang, kok!” sahutku cepat. Aku kembali berdiri, menunjukkan pada Nicholaas kalau aku siap untuk latihan lagi. Alis Nicholaas terangkat, terlihat kaget. “Nggak terlihat cukup tenang bagiku,” akunya. “Ah! Apa pakai lagu ini memang tidak mungkin bagiku, ya?” keluhku. “Kita sudah hampir dua jam di sini dan aku nggak ada kemajuan. Padahal lusa aku sudah harus balik dan mempresentasikan programku pada pelatih.” “Aku kan sudah bilang, dengar dan tunggu lagunya,” ucapnya penuh penekanan. “Kamu memilih lagu ini karena ada alasannya, kan? Apa tujuanmu memilih lagu ini? Pesan apa yang ingin kamu sampaikan pada gerakanmu? Lagu ini dalam bahasa Indonesia, nggak semua orang akan langsung mengerti apa artinya. Jadi, kamu harus sabar dalam setip gerakanmu.” Pesan apa yang ingin aku sampaikan pada gerakanku? Pesan apa yang ingin aku sampaikan dalam skatingku? Bunda dan Ayah. Sebelumnya aku nggak berpikir mereka akan berpisah dulu. Mereka berpisah saat aku berumur sepuluh tahun. Aku nggak sebegitu ingat bagaimana mereka berpisah. Tahu-tahu saja Ayah mulai jarang pulang dan Bunda mengemasi barang-barang kami perlahan. Nggak lama setelahnya kami pindah di sebuah kosan kecil. Iya, sebuah kosan kecil. Bunda mengakui tempat itu kurang layak untuk kami, terutama untukku yang masih dalam masa perkembangan. Beberapa tahun setelahnya aku sadar mengapa kami bisa terdampar di tempat seperti itu: gaji Bunda sebagai dokter memang besar, tapi biaya les skating dan baletku nggak kalah besar. Terlebih lagi saat itu Bunda sedang berkuliah. Juga... Ayah benar-benar lepas tangan atas diriku waktu itu, yang berarti Bunda juga harus menanggung biaya pendidikanku waktu itu. Untung setelahnya aku mulai menjuarai beberapa pertandingan lokal dan mendapat uang sebagai hadiah. Kuliah Bunda juga akhirnya selesai tak lama setelahnya. Keadaan kami perlahan membaik, walau ada masa-masa di mana kami masih harus berjuang untuk uang. Sampai akhirnya sekarang kami sudah cukup stabil soal keuangan. Itu semua terjadi karena Ayah mencampakkan kami begitu saja. Aku nggak bisa begitu saja menyalahkannya. Maksudku, kalau dia nggak meningglakan kami, belum tentu aku akan berada di titik ini. Terlebih dari itu, aku bisa sampai berada di titik ini karena Bunda. Aku dan Bunda memang berjuang di jalan masing-masing. Kami ini individu yang berbeda, jadi kami harus berjuang di jalan yang berbeda pula. Tapi, walau begitu, tujuan kami tetap satu: agar kami bisa terus bersama dan bahagia. Aku ingin menyampaikan pesan yang seperti itu pada orang-orang yang melihat skating-ku: kita ini sendiri tapi kita bersama. "Bagaimana? Sudah mendapat jawabannya?" tanya Nicholaas. Aku mengangguk yakin. "Mari kita mulai latihanmu lagi." Menyelesaikan suatu program hanya dalam waktu satu hari memang tidak mungkin. Tapi saat aku mencobanya on ice keesokan harinya sambil memikirkan pesan yang ingin kusampaikan dengan diiringi lagu pilihan Bunda, aku tahu program free skating-ku kali ini akan menjadi salah satu program yang bagus. Aku jadi tidak sabar untuk menampilkannya dalam pertandingan.Lalu, Rabu siang datang. Waktunya aku kembali berjuang. *** Tangan Bunda selalu berkeringat kapan pun itu, terutama saat cuaca panas begini. Tapi, aku baru tahu kalau tangan Bunda sekecil ini. "Sayang, tolong lepaskan tangan Bunda. Rasanya panas," pinta Bunda. Aku buru-buru melepasnya. "Sori, Bun. Hehehe." "Kamu mau Bunda belikan sesuatu untuk makan siang sebelum kamu benar-benar terbang?" tawar Bunda. "Masih tersisa 30 menit lagi, kan?" "Nggak usah, Bun. Sungguh. Yang lebih penting, apa nggak masalah Bunda menungguiku begini? Bunda nggak balik rumah sakit?" tanyaku khawatir. "Bunda sudah cek semua jadwal dan mendapat izin beberapa jam. Tidak masalah. Jadi, bagaimana? Kamu makan, ya? Roti saja, kok." "Oke." "Tunggu sebentar. Bunda belikan dulu." Aku mengawasi kepergian Bunda ke toko roti lalu mengecek ponselku. Saat tidak ada pertandingan begini tidak akan banyak muncul notifikasi berupa komentar jahat, jadi aku nggak perlu memusingkan sosial mediaku kecuali yang untuk berkomunikasi. Ada pesan muncul dengan banyak salah ketik dari Mita yang bertanya ada di mana aku. Aku mengedarkan pandangan dan melihat Mita di kejauhan sedang berputar-putar. Aku sengaja membiarkannya hanya untuk mengerjainya. Hahaha. Kenapa dia harus panik begitu? Perlu beberapa waktu bagi Mita untuk menyadari keberadaanku. Dia pun menghampiriku debgan raut wajah kesal. "Kenapa lu malah diam-diam bae?!" semburnya. Aku tertawa puas "Wajah panikmu terlalu sayang untuk dilewatkan." Mita memukulku main-main. "Gue pikir lu udah berangkat tahu!" "Masih ada waktu sekitar 30 menit lagi." Tak lama kemudian Bunda datang bersama dengan Nicholaas. Ternyata tadi Mita dan Nicholaas datang bersama, lalu mereka berpencar untuk mencariku. Kebetulan Nicholaas bertemu Bunda, jadi dia memilih untuk menunggui Bunda. Pengumuman datang dari pesawatku kemudian. Kami berempat terdiam memandangi langit-langit, menyimak pengumuman tersebut dengan saksama.Rotiku belum habis. "Kadang gue menyukai ide lo buat sampai di bandara 30 menit sebelum chek-in," kata Mita. "Memangnya kenapa?" tanyaku heran. "Supaya kita punya waktu buat cengengesan kayak barusan." Kami saling berpelukan kemudian. Sejak tahun lalu, di mana Mita tidak terikat lagi dengan jam sekolah, dia selalu menyempatkan diri untuk mengantar kepergianku. "Gue udah bantuin quad loop lo. Awas aja kalau sampai jatuh lagi!" Bukankah Mita adalah orang yang baik meski terkadang mulutnya terdengar pedas? "Aku nggak bisa janji bakalan mendaratkan semua quad loop-ku, tapi aku janji aku pasti bakalan mendaratkan beberapa di antaranya." Pelukan kami lepas, ganti Nicholaas yang memelukku. "Aku baru sadar kamu setinggi ini," kataku di antara malu. Ini pertama kalinya Nicholaas memelukku. Lebih tepatnya, ini pertama kalinya Nicholaas sempat melepasku di bandara. Nicholaas melepas pelukannya. Dia tersenyum lebar. "Jangan lupa cantumkan namaku di detail programmu, ya!" pesannya.Aku terkekeh geli mendengarnya. Berhubung Bunda adalah orang yang spesial, acara perpisahan dengan Bunda selalu menjadi yang terakhir. Aku memeluk Bunda sambil mendengar pesan-pesan yang mulai kuhafal: beritahu Bunda begitu aku sampai, jangan lupa untuk sarapan, jangan lupa untuk selalu menjaga kehangatan badan, jadilah anak yang baik dan tidak merepotkan orang lain, membersihkan apartemenku tiap hari, jangan mandi terlalu malam supaya tidak kedinginan, jaga kesehatan, dan masih banyak lagi. "Bunda akan datang di pertandingan terakhirmu musim ini," beritahu Bunda begitu pelukan kami terlepas. "Aku masih belum pasti ikut World Championship," ingatku. Bunda menggeleng. "Pertandingan apa pun itu, bukan hanya World Championship. Setelahnya, kita bisa pulang bersama." Aku ingin menangis. "Kalau begitu akan kupastikan aku dapat undangan buat ikut World Championship." "Bunda tidak sabar menantikannya." Aku juga, Bunda. Aku juga. *** Penerbangan Indonesia-Canada adalah penerbangan yang melelahkan karena jauh. Selain itu, sebagai rakyat jelata yang jomblo, aku harus transit beberapa kali sendirian. Inilah salah satu penyebab aku jarang pulang: karena perjalanannya jauh, aku jadi malas, lalu berdampak pada tubuhku yang tetiba menjadi sangat lelah. Penerbangannya hampir memakan waktu seharian. Heran deh, padahal selama perjalanan yang kulakukan ya tidur. Kenapa aku bisa merasa sangat lelah? Begitu sampai yang kulakukan pertama kali adalah mencari tempat duduk untuk tidur-tidur ayam alih-alih segera mengabari Bunda. Kalau bisa sih, aku ingin tidur di sini sekarang juga. Tapi potensi dicurigai sebagai orang yang mencurigakan pasti sangat besar. Bisa-bisa dikira aku tunawisma, orang tersesat, atau apa. Jadi, aku memutuskan untuk mencari kopi hangat. Kulitku kaget mencium udara di sini yang terasa lebih dingin padahal aku yakin ini suhu normal. Selain itu, aku perlu asupan yang dapat mengumpulkan nyawaku sesegra mungkin supaya aku bisa sampai apartemen dengan selamat. Begitu mendapat kopiku, aku kembali duduk di tempat tidur-tidur ayamku tadi. Aku menyesap kopiku perlahan sambil memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Hanya dari melihat mereka berjalan saja aku langsung sadar bila saat ini aku sudah berada di dunia yang berbeda. Orang-orang di sini berjalan sangat cepat, seperti dikejar sesuatu. Berbeda sekali dengan di Indonesia yang orang-orangnya masih bisa bercanda saat sedang dikejar waktu. Haha. Belum-belum aku sudah kangen Di sini aku jarang sekali menemui orang dengan wajah khas Indonesia dan sekitarnya. Bisa dibilang, aku nggak mengenal seorang pun dari Indonesia di sini-- Mataku terbelalak seketika. Seluruh indraku bangun, kesadaranku langsung pulih begitu mataku menangkap sekelebat sosok yang sangat kukenal meski aku sudah lama tidak melihatnya di mana pun selama aku pulang.Sekeras apa pun aku berusaha menolak fakta kalau sosok itu bukan Ayah, mataku tidak bisa membohongiku. Postur tubuhnya, raut wajahnya... Itu pasti dia! Aku segera menarik koperku kasar untuk menyusul sosok yang kuduga sebagai Ayah itu. Tapi karena gerakan kasarju itu koperku malah menabrak koper orang lain dan aku kehilangan sosoknya. "Apa yang kau lakukan?" tanya orang yang kopernya kutabrak itu dengan nada terdengar terganggu. Lagi-lagi, aku kaget karena bertenu seseorang. "Shin?" tanyaku tak percaya. "Kalau kamu tahu kamu lelah setelah perjalanan panjang, harusnya kamu tidak berlari-larian seperti tadi," katanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku heran, menghiraukan komentarnya barusan. "World Championship kan baru saja selesai. Kupikir kamu masih di kampung halaman." "Itu pertanyaanku," gerutunya. "Lagipula, bukankah sudah jelas untuk apa aku ada di sini?" Apa? Dia masih belum puas dengan quad axcel-nya? "Kamu masih mau berdiri di situ atau pulang ke apartemen?" tanya Shin menyadarkanku. Aku segera menyusul berjalan di sampingnya. Paling tidak, kali ini aku ada teman untuk menuju apartemen. Shin adalah senior dua tahun di atasku. Dia merupakan seorang figure skater yang paling menarik perhatian dunia setelah penampilannya di Beijing Winter Olympic dua tahun yang lalu karena akhirnya muncul juga seorang figure skater asal Jepang yang mengambil mahkota mereka kembali. Negara mereka tidak pernah benar-benar menjuarai pertandingan skating setelah seorang skater mereka mengalami cedera permanen selepas Pyeongchang Winter Olympic. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenal Shin, soalnya dia jarang berinteraksi dengan yang lain. Yang kutahu cuma dia bukan tipe orang yang banyak bicara dan selalu terlihat serius (bahkan saat skating). Sifatnya yang seperti itu membuatku agak segan untuk berbicara padanya. Terlepas dari sifatnya yang demikian, di luar dugaan, fansnya sangat banyak dan sangat berisik. Pokoknya benar-benar berkebalikan dengannya. Shin memang figure skater yang sangat berbakat, sih. Tapi heran saja orang pendiam (dan agak dingin, kalau aku boleh menambahkan) seperti dia bisa punya fans yang sangat berisik dan heboh. "Kau bisa berhenti menatapku dan melakukan hal lain, Shaka," beritahunya. Aku berkedip-kedip. "Maaf!" ucapku malu. Aku langsung menatap ke luar jendela taksi.Benar juga! Aku kan harus laporan ke Bunda! Bunda, sekarang aku lagi di perjalanan menuju apartemen. Balasan dari Bunda datang nggak lama setelahnya. Kamu sampai dengan selamat, kan? Pesawatmu kan seharusnya sampai daritadi? Aku kembali menatap keluar jendela, bingung mau menjawab pesan Bunda seperti apa. Sedikit banyak penyebab aku tidak segera laporan ke Bunda adalah karena aku melihat sosok yang kuduga adalah Ayah. Apa sebaiknya aku menceritakannya pada Bunda? Atau lebih baik tidak? "Vishaka, kopimu hampir jatuh," beritahu Shin. Aku buru-buru menyelamatkan kopiku. "Makasih," kataku. Akan sangat tidak lucu kalau kopiku tumpah di taksi orang. "Bertahanlah sebentar lagi, Vishaka. Jangan melamun terus. Sebentar lagi kita sampai dan kau bisa tidur dan melamun sepuasmu," katanya. Uwah, dia bicara cukup banyak hari ini. Sayang sekali aku tidak tahu harus membalas perkataannya seperti apa. Aku sampai dengan selamat kok, Bun. Tadi aku ngantri toilet agak lama, terus beli kopi soalnya. Hehehe. Oh. Ya sudah kalau begitu. Baik-baik di sana dan jangan lupa istirahat lalu makan. Siap 86! Lebih baik begini saja. Mungkin tadi aku salah mengira orang itu sebagai Ayah. Bab 4 Aku tidak peduli pada apa pun itu begitu aku sampai apartemenku. Meski apartemenku tipe studo yang kecil, aku sudah keburu malas untuk menyedot debu-debu tipis yang mungkin menempel di seluruh penjuru ruangan. Aku sudah sangat lelah dan merindukan kasur lebih dari apa pun. Ketika langit sudah gelap, aku baru terbangun karena kelaparan. Aku memeriksa jam, ternyata sudah hampir pukul delapan malam. Kulkasku jelas kosong (soalnya harus benar-benar kosong. Kata Bunda, setiap aku pergi aku harus memastikan kulkasku kosong agar tidak ada makanan yang terbuang percuma). Saat iseng kuperiksa lemari penyimpanan makanan sambil berharap aku menemukan mi instan, di sana malah tidak ada apa-apa. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain ke minimarket. Ya ampun, aku belum bersih-bersih juga. Sudahlah. Urusan perut lebih penting daripada yang lain. Udara dingin langsung menerpaku. Dari pengalamanku yang lalu-lalu, bulan awal Mei begini suhu masih akan pada angka belasan derajat. Meski sudah beberapa tahun tinggal di sini, aku belum juga terbiasa dengan udara dinginnya yang merpa hampir sepanjang tahun. Kalau di rumah kan matahari dan udara hangat hampir ada sepanjang tahun. “Ukh.” Aku menyeka air mata yang menggenang di ujung mataku, lalu mengeluarkan ingusku keras-keras untuk memastikan diriku baik-baik saja. Sial. Aku memang sedang menangis. Dasar cengeng. Ini sudah kelima kalinya juga aku berada sangat jauh dari rumah. “Kau flu, ya?” Tahu-tahu saja Shin sudah ada di sampingku. Aku buru memalingkan muka. Wajahku baik-baik saja, kan? Mataku tadi cuma berair sedikit. Harusnya aku terlihat normal saat ini. Aku menyedot ingusku. “Sepertinya,” kataku. Shin mengernyit tipis. “Jangan disedot begitu,” tegurnya terdengar sedikit jijik. “Ini, aku bawa tisu.” “Makasih.” Aku menerima tisu darinya. “Harusnya kau memakai pakaian yang lebih tebal kalau keluar malam-malam begini,” katanya. Sepertinya aku sedang diceramahi. “Lagipula, kenapa kau keluar malam-malam begini? Harusnya kau berisitarahat.” Haaah. Aku memang sedang diceramahi. “Aku lapar tahu!” jawabku kesal. “Kamu sendiri ngapain malam-malam begini keluar? Hah? Harusnya kau beristirahat.” Shin menatapku tajam. Aku nyengir penuh kemenangan. “Aku juga lapar,” gumamnya. Hahaha! Rasakan itu! Mentang-mentang dia laki-laki dan lebih tua dua tahun dariku dia merasa bisa menceramahiku seenaknya! Tujuan kami sama: minimarket. Segera saja kami berpisah begitu sampai di tempat tujuan kami. Aku melipir ke bagian makanan siap makan yang tersedia. Aku mengambil beberapa roti sekaligus untuk langsung kumakan malam ini. Tak lupa juga aku membeli membeli bahan-bahan untuk persedian makanku beberapa hari ke depan: roti tawar, sosis, telur, mentega, susu, olahan susu, selai, bumbu dapur, beberapa sayur, beberapa bungkus camilan, satu pack cokelat bubuk, dan lain-lain. Pokoknya bahan makanan yang masih bisa membuatku bertahan sampai besok malam. Aku dan Shin menyelesaikan belanja kami bersamaan. Dia mengantri di belakangku. Matanya yang tertuju pada keranjangku membuatku waspada seketika. “Kamu nggak sedang menyusun kalimat omelan untukku, kan?” tanyaku curiga. Shin menunjuk keranjang belanjaanku. “Sebaiknya kau membeli sayuran besok pagi supaya kau mendapat yang segar.” Aku mengibaskan tanganku. “Besok pagi aku sudah keburu malas. Aku masih harus bersih-bersih apartemenku dulu,” kataku. Dan, Shin pun diam sampai akhirnya aku selesai dengan transaksiku. Aku langsung memakan roti serta air mineral yang kubeli barusan sambil berjalan pulang. Sementara mulutku bekerja, otakku juga ikut bekerja untuk memikirkan hal-hal apa saja yang harus kulakukan besok selain bersih-bersih. Aku juga harus segera menyempurnakan programku supaya aku nggak malu-maluin waktu mempresentasikannya di depan pelatihku. “Vishaka!” Langkahku terhenti seketika. Kutebak Shin akan mengomeliku karena aku makan sambil jalan. “Kau menjatuhkan salah satu dari belanjaanmu,” katanya begitu kami berhadapan. Oh. Ternyata aku salah. “Makasih.” “Kau belanja teralu banyak. Sini, biar kubawakan satu kantong belanjaanmu,” mintanya tanpa terdengar ada niat untuk membantu. Tapi, yah, karena aku memang perlu bantuannya (soalnya aku juga sambil makan), aku menyerahkan salah satu kantong belanjaku padanya dengan tidak ikhlas. “Belanjaanmu sedikit sekali.” Kali ini aku yang mengomentarinya. Shin mengangkat sedikit kantong belanjanya. “Aku cuma belanja untuk makan malam saja. Besok aku akan kembali ke sana.” Aku mengangguk mengerti. Kami pun kembali diam. Apa pula yang kuharapkan? Dia pendiam dan aku nggak begitu mengenalnya sehingga aku nggak tahu aku harus ngobrol apa dengannya. Payah sekali aku ini. Padahal kami berlatih pada orang yang sama dan berasal dari benua yang sama. Hmmm, tapi aku baru tahu kalau dia bisa bicara sebanyak ini (meski isinya omelan dan komentar semua). Baru pertama kali ini juga aku benar-benar bicara dengannya. Habis, setiap aku melihatnya, Shin akan selalu sedang berlatih atau berdiskusi dengan pelatih. Kesannya kayak nggak ada celah bagiku untuk mengenalnya lebih dekat. Saat kami mulai memasuki kompleks apartemen kami, tiba-tiba Shin menyeletuk, “Short program-mu kemarin bagus.” “Hah?” Dia sedang memujiku? “Kau bahkan sampai berhasil naik di peringkat lima,” tambahnya. “Hah?” Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menyadarkan diri. “Ehm. Itu... karena bantuan pelatih dan koroegrafernya,” kataku ragu-ragu. Aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa waktu dipuji juara dunia tiga kali berturut-turut begini. Shin tiba-tiba berhenti. Tangannya mengelurkan kantong belanjaanku. Sepertinya kami sudah sampai di lantai tempat unitnya berada. “Kau ini bicara apa? Short program-mu bagus tentu karena dirimu sendiri,” katanya. Aku mengambil kantong belanjaanku dari tangannya. Yang benar saja! Satu-satunya quad yang kulakukan di short program-ku kemarin, yakni quad loop, bahkan gagal mendarat semua! “Cobalah untuk lebih percaya diri waktu melakukan jump,” katanya, lalu pergi. “Shin! Terima kasih!” kataku buru-buru. Ada apa dengan hari ini? Aku menemukan sosok yang kuduga Ayah di siang hari, lalu malamnya aku dipuji oleh seorang figure skater yang berjulukan “The Next King”.Sepertinya aku memang benar-benar butuh istirahat hari ini. *** "Oh! Kau datang lebih pagi daripada dugaanku, Nak!" sapa pelatihku. "Pagi, Pelatih Friday!" balasku. "Err, pagi Shin!" Pelatih langsung meledakkan tawanya, membuat Shin yang sedang melakukan peregangan tubuh geleng-geleng kepala.Awal Mei, ice rink kami masih sepi. Anak didik Friday kebanyakan masih di kampung halaman masing-masing dan mungkin baru akan kembali sekitar akhir musim panas setelah menyelesaikan tur gala mereka. Yah, bagi figure skater terkenal, tampil dalam tur gala alias pertunjukkan skating merupakan ladang uang tersendiri bagi mereka. Makanya mereka masih dapat uang kalau tidak menang. Sedangkan aku di sini, seorang figure skater yang baru mendapat pengakuan, harus puas hanya dengan menjadi model iklan dalam negeri. Itulah mengapa aku agak heran mendapati Shin sudah kembali ke Toronto. Biasanya dia selalu menyempatkan diri untuk mengikuti tur gala. "Jadi, apa yang membuatmu datang kemari, Nak?" tanya Pelatih. "Bukannya kau harus bersih-bersih?" "Bagaimana Pelatih bisa tahu?" "Shin yang menceritakannya padaku," beritahu Pelatih. Aku memicing ke arah Shin yang masih kelihatan tenang-tenang saja dalam melakukan peregangan. "Aku cuma mau stretching, lalu balet sebentar. Seharian kemarin aku sudah kebanyakan tidur. Bersih-bersihku juga sudah selesai," jelasku. "Hooo." Aku pun mengikuti Shin yang sedang melakukan peregangan juga. Dari peregangan bersama-sama ini aku jadi tahu kalau badan Shin tidak selentur itu.Mukanya merah dan napasnya terputus-putus begitu kami selesai melakukan peregangan. "Jangan memaksakan diri, dong!" tegurku ngeri. "Wajahmu kelihatan kayak kepiting rebus." Shin sampai tidak bisa membalas teguranku dengan kata-kata. Sementara Pelatih malah tertawa melihat anak emasnya tersiksa. "Dia cuma tidak mau kalah denganmu, Nak," beritahu Pelatih. Aku memutar bola mataku. "Aku nggak ngerti itu benar atau nggak. Pokoknya jangan memaksakan diri lagi. Kau bisa mematahkan sendi-sendimu, tahu!" "Kalau begitu... beritahu aku... caranya," ucapnya terputus-putus. "Beritahu apa?" "Beritahu caranya... supaya aku bisa melakukan grand battement walau sudah berusia dua puluh tahun." "Hei! Aku masih sembilan belas!" koreksiku tak terima. "Lagian wajar saja kalau tubuhmu nggak selentur aku, kan? Kamu itu laki-laki. Terus, maaf-maaf saja, aku ikut balet sejak berusia enam tahun. Jadi wajar saja kalau aku lebih lentur daripada kamu." Shin kelihatan nggak menyukai jawaban yang kuberikan. Aku sampai menghitung dalam hati, menunggu dia membalas jawabanku. Tapi, dia nggak mengatakannya juga. Malahan, dia menatapku tajam. "Seriusan deh, Shin. Kamu masih bisa juara dunia lagi tanpa spin yang seperti aku. Combination speed spin-mu masih bagus, kok," beritahuku. "Maksudku, coba lihat perbedaan antara skormu dengan yang kemarin juara dua. Beda hampir 20 poin! Itu angka yang besar." Shin masih diam saja. Lalu dia mengambil handuknya dengan kasar, dan keluar dari studio dengan langkah yang nggak kalah kasarnya. Aku terheran-heran melihat kepergiannya yang penuh amarah itu. Hah? Apa-apaan dia? Kenapa dia tiba-tiba marah begitu? Aku salah bicara, ya? "Kenapa dia?" tanyaku pada Pelatih. Beliau hanya terkekeh pelan. "Anak muda itu hanya sedang mencari jati dirinya," jawab beliau. Aku tidak mengerti maksudnya. Jadi, aku memilih untuk memulai baletku secara perlahan-lahan. Semua gerakan kuperhatikan, mulai dari sikap kepala sampai sikap kaki-kakiku. Kata pelatih baletku sikap balatku cukup buruk untuk seseorang yang sudah berlatih balet sejak dini. Terutama bila dibandingkan dengan Nicholaas yang laki-laki dan baru memulai baletnya saat berusia sepulh tahu. Kalau baletku dengan Mita disandingkan akan terlihat bagaikan langit dan bumi, maka bila baletku disandingkan dengan balet Nicholaas akan terlihat bagaikan dasar laut dengan langit ketujuh.Terkadang aku iri dengan kaki-kaki serta tangan yang dimiliki Mita dan Nicholaas. Bayangan diriku tampak di cermin. Aku membayangkan Mita dan Nicholaas di sana. Kalau mereka yang melakukan gerakan ini, dagu mereka akan sedikit lebih terangkat. Tak lupa juga dengan tangan yang terbuka sedikit lebih lebar. Dada lebih membusung. Oh! Yang barusan itu cukup bagus! "Itu programmu yang baru, ya?" tanya Pelatih. Orang itu masih ada di sini ternyata. Aku tidak menyadarinya. "Yah, begitulah," kataku malu-malu. "Kamu membuatnya sendiri, Nak?" "Eh. Nggak juga. Temanku menyumbang lebih banyak gerakan daripada aku sendiri. Aku tinggal menyesuaikan dan melengkapinya saja." "Kelihatannya bagus." "Nanti akan kusampaikan pujian Pelatih pada temanku." "Bukan itu, Nak," kata Pelatihku. "Emosinya. Tidak biasanya kau terlihat setenang itu." Aku tertawa hambar. "Sebenarnya aku jjuga nggak percaya akan memakai program yang gerakannya selambat dan setenang ini." "Ah. Saya jadi ingin melihatnya di atas es. "Masih belum jadi," kataku sambil cemberut. "Masih jelek begitu." "Yah, makanya saya mau lihat, supaya kamu bisa dapat masukan dari pelatihmu ini," kata Pelatih sambil tersenyum menggoda. "Aku dipaksa, ya?" "Tentu saja! Ikuti perintah pelatihmu ini, Nak! Kita ke ice rink sekarang!" suruh beliau dengan nada puas. Tanpa menunggu persetujuanku Pelatih Friday sudah keluar dari studio. Tentu saja dia pergi menuju ice rink. Meski aku tahu cepat atau lambat aku harus segera mempresentasika programku, aku tetap saja tidak siap. Sebelum presentasi program yang datang dari ideku sendiri, biasanya aku akan berdiskusi dulu dengan Pelatih, koreografer yang kami punya, skater lain, bahkan Mita dan Nicholaas untuk minta saran. Kecuali kalau program itu atas ide orang lain, aku cuma akan mendengarkan penjelasan mereka, menghafal koreografinya, lalu presentasi. Sedangkan sekarang, aku bahkan belum pernah membicarakannya dengan Mita yang bisa menguliti programku sampai ke bagian terkecilnya! Ya ampun! Aku pasti akan mempermalukan diriku sendiri setelah ini! Parahnya, ternyata ada Shin di ice rink! Kupikir dia sudah pulang karena ngambek! "Pas sekali tidak ada banyak orang di sini," celetuk Pelatih. Memang sih, cuma ada lima orang, termasuk Shin, yang sedang latihan skating. Tapi tetap saja aku malu menunjukkan program yang belum matang! Aku berdiri di pinggiran ice rink menunggu Shin menyelesaikan lompatannya. Aku selalu merasa ngeri untuk memakai ice rink yang sama dengannya kalau dia sedang latihan. Coba saja lihat triple axcel-nya itu. Tinggi sekali. Jaraknya juga jauh. Aku nggak mau terluka karena tersenggil lompatannya. Pasti sakit. Kaki-kakinya terlihat terbuat dari baja begitu. Mungkin menyadari kedatanganku, Shin memilih untuk berlatih sedikit lebih di pinggir. Aku pun masuk dan melakukan sedikit pemanasan sebelum benar-benar presentasi. Setelah kurasa cukup, aku memulai programku dengan berdiri tepat di depan juri nanti berada. Lalu mengambil langkah ke belakang sejauh-jauhnya. Langkah yang kuambil jarang sekali menuntunku ke arah tengah. Aku terus melangkah menjauh, berputar-putar, tapi tetap menunjukkan suatu usaha untuk menuju bagian tengah. Di akhir programku, sebuah spin, barulah aku menuju tengah. Sengaja aku memberikan bielman spin, gerakanku yang paling bagus, menurutku, sebagai tanda aku sudah meraih tujuanku. Ah, tapi yang barusan kelihatannya aku terlalu terpaku pada diriku sendiri. Harusnya aku juga memikirkan Bunda. Pelatih Friday bertepuk tangan pada akhir programku. Aku nyengir dengan muka sedikit merah. "Agak self-centerd, ya?" komentar Pelatih. "Makanya itu aku bilang aku belum siap," kataku mengingatkannya. Pelatih malah tertawa. "Tapi sudah cukup bagus. Kurang pembawaanmu saja. Mari kita kulik programmu minggu depan supaya semuanya jelas." Aku mengangguk bersemangat dan keluar dari ice rink. Saat aku melepas sepatu skating-ku, aku mendapati Shin sedang mengitari ice rink. Benar-benar hanya mengitarinya saja tanpa melakukan lompatan atau apa. Lama kuperhatikan, aku sadar kalau tempat-tempat yang dikitarinya adalah tempat di mana aku melakukan programu. Dia terlihat seperti sedang menyusuri jejakku tadi. Apa yang dilakukannya? Fun Fact! (2) Kali ini saya akan bahas tentang elemen-elemen dalam skating. Ada beberapa elemen dalam skating, yaitu:1. Lompatan (jump)2. Putaran (spin)3. Presentasi (step sequence, koreografi, kostum) Elemen tersebut digunakan untuk menilai (baca: memberi skor) skating. Jadi, kalau di olahraga lain kalah-menang ditentukan dari "mencetak" skor, di skating kalah-menangnya ditentukan oleh penilaian elemen-elemen yang sudah saya sebutkan di atas. Tiap elemen punya skor/nilainya masing-masing (biasanya juri sudah punya data panelnya tersendiri). Sistem penilaian yang demikian sering sekali menimbulkan polemik karena bisa jadi (dan sering kali) penilaian antara skater A dan B berbeda. Misalnya, skater A mendapat skor 6 untuk suatu lompatan, sedangkan skater B cuma dapat skor 5.75 untuk lompatan yang sama. Tapi, yah, saya nggak berani bahas lebih lanjut soal "cara juri menilai" karena saya bukan ahlinya. Kembali ke elemen, skor paling tinggi biasanya dimiliki oleh elemen lompatan. Tapi, itu nggak berarti seorang skater bisa (hanya) melompat di sepanjang programnya. Di SP hanya ada 4 lompatan, sedangkan di FS ada (kalau tidak salah) 10 lompatan. Ini berarti: lompatan dalan suatu program (SP/FS) itu terbatas. Sekian Fun Fact! untuk kali ini. Selanjutnya, saya akan memberi sedikit penjelasan soal lompatan-lompatan dalam skating. Terima kasih sudah membaca! Bab 5 Girl! Yang benar saja! Bahkan sayap ayam yang gue makan kemarin terlihat lebih menggoda daripada tangan lo! Oy! Jangan samakan tanganku dengan sayap ayam! Sayap ayam jelas lebih enak daripada tanganku! Lo ngaku aja, Ka. Lo jarang stretching, kan? Stretching! Peregangan! Latihan! Itu bakal membuat gerakanmu lebih bagus. Jangan latihan lompat aja! Kali ini aku setuju dengan kata Mita, Shaka. Gerakan tanganmu kurang baik. Perbanyak lagi latihanmu. Kalau perlu, aku akan mengirimkan contoh videoku. Tuh, kan. Nicholaas saja setuju sama gue. Yang penting sekarang adalah koreografi lo. Selesaikan koreografi lo, baru lanjut ke lompatan lo. Mumpung ada koreografer handal yang benerin gerakan lo. Ini masih pertengahan Mei juga. Ini sudah Mei, bung. Pertandingan pertamaku di awal Oktober dan quad loop-ku masih sama payahnya waktu aku pulang. Kenapa kamu terlihat sangat terobsesi dengan quad loop-mu itu? Karena tanpa itu aku nggak akan bisa menang! Terus, kalau aku nggak segera menguasainya juga, aku nggak akan diperbolehkan mencoba lompatan yang lain!Ini dia: lo kembali membicarakan obsesi lo pada quad lutz yang belum juga pernah lo coba itu. Shaka, aku bertanya-tanya soal yang satu ini. Tapi, apa kamu pernah benar-benar bertanya ke pelatihmu kenapa quad loop-mu nggak ada kemajuan juga dan kenapa kamu selalu harus fokus pada satu lompatan saja sampai kau benar-benar menguasainya? Memangnya perlu? Jawabannya pasti itu-itu saja. Dasar lo ini. Kalau gue jadi lo, gue langsung tahu apa jawabannya! Hah? Apa? Karena presentasi lo, Vishaka. Sekali lihat gue langsung tahu kalau di antara semua pesaing lo, cuma presentasi lo yang paling bagus. Gue dan Nicholaas memang selalu bilang kalau gerakan lo kurang ini-itu, tapi kami melakukakannya karena kami tahu lo bisa lebih bagus daripada itu. Lo unggul di presentasi dan pelatih lo tahu itu. Sayangnya, setiap kali kamu terlalu fokus pada teknik-teknikmu, konsentrasimu jadi terpecah dan berdampak pada presentasimu. Makanya pelatihmu menyuruhmu untuk selalu fokus pada satu lompatan saja yang belum kamu kuasai. Mataku menatap ice rink yang masih sama sepinya seperti kemarin-kemarin sambil memikirkan kata Mita dan Nicholaas. Memangnya aku benar seperti apa yang mereka katakan? “Hei! Shin!” panggilku tiba-tiba tepat pada saat Shin melakukan quad flip. Panggilanku yang tiba-tiba itu membuatnya jatuh mencium es. Aku ingin tertawa, tapi takut membuatnya marah. Yah, aku memang sudah membuatnya marah barusan. Hahaha! “Sori, sori!” kataku buru-buru ketika mendapat tatapan tajam darinya. “Apa maumu?” tanyanya galak. “Menurutmu, programku selama ini bagaimana?” tanyaku penasaran. Shin tampak mendengus sinis. “Menurut pendapatmu sendiri, program yang tidak pernah masuk tiga besar bahkan hanya pada seri Grand Prix itu bagaimana?” Sialan. Sepertinya aku bertanya pada orang yang salah. “Kalau kamu mau bilang programku selama ini payah, bilang saja langsung!” teriakku kesal. “Hei, aku tidak bilang begitu,” kata Shin. “Koreografimu bagus, lompatanmu bagus, spin-mu juga bagus. Yang kurang dari programmu itu hanya teknik saja, jenis lompatan yang kau pakai masih kurang untuk mendapat skor lebih.” “Serius?” Shin mengembuskan napas panjang tidak sabaran. “Kau tahu apa yang membuatmu memiliki julukan queen of lutz?” Ya ampun! Bagaimana caranya Shin bisa tahu kalau aku mempunyai julukan memalukan begitu?! “A-apa?” tanyaku penasaran. “Karena jump lutz-mu itu benar-benar sempurna seperti apa kata buku. Bahkan, bisa dibilang lebih bagus. Lutz itu salah satu jenis lompatan yang susah karena menggunakan outer edges dengan derajat kemiringan tertentu bahkan saat take-off. Banyak skater yang mendapat kritikan waktu melakukan jump lutz karena kemiringannya kurang atau malah membuatnya seperti jump flip. Tapi kau tidak; kau memberikan setiap detail pada lutz-mu dan itu membuatnya sempurna,” jawabnya panjang lebar, membuatku agak sedikit terpana. Aku nggak tahu lutz-ku sampai segitunya. Terlebih lagi, aku nggak tahu kalau Shin bisa bicara sebanyak ini. “Tidak cuma lutz-mu saja yang bagus sebenarnya, lompatan yang lain, spin, step sequence, kau memberikan setiap detail pada gerakanmu,” tambahnya. “Sebenarnya kau ini pernah melihat programmu sendiri dengan saksama atau tidak?” “Eh? Yah… Nggak sampai segitunya juga,” akuku. “Tapi apa menurutmu karena aku—yang kelihatannya—memberi detail pada setiap gerakanku itu adalah salah satu masalah? Dilihat dari cara bicaramu, kayaknya saking detailnya gerakan yang kulakukan, aku jadi lama untuk berkembang.” “Perkembanganmu memang cukup lama, tapi kualitas skating-mu selalu meningkat. Lebih tepatnya, kualitas skating-mu selalu baik dan terus membaik. Coba perhatikan skater lain yang berlomba-lomba meningkat teknik lompatannya. Bagaimana skor tiap lompatan mereka? Tidak sebegitu memuaskan. Skor quad lutz skater lain bahkan cuma beda tiga poin dengan triple lutz-mu.” “Hah? Yang benar?” Shin berdecak. “Lain kali lakukan evaluasi dengan melihat lembar penilaianmu. Jangan lupa lihat rekaman setiap programmu dengan saksama. Aku bahkan lebih tahu skating-mu daripada dirimu sendiri," sindirnya. "Intinya, semua programmu bagus, kau hanya kurang menambah jenis lompatan saja." "Hmm. Begitu, ya? Perkataanmu kurang lebih sama dengan teman-temanku." "Jose dan yang lainnya?" Aku menggeleng. "Bukan. Teman-temanku yang dari Indonesia, maksudku." "Oh. Mereka skater juga?" "Mereka balerina," koreksiku. "Mereka baru saja mengomeli gerakan tanganku yang nggak seindah sayap ayam goreng krispi keuskaan kami." Shin mendengus. "Sayap ayam," gumamnya geli. "Hei! Jangan tertawa! Sayap ayam itu enak tahu!" "Wah! Kau lapar ya, Shaka? Hari ini saya akan membebaskan pilihan makan malammu kalau kau berhasil mendaratkan tiga quad toe loop," sahut Pelatih yang tahu-tahu muncul dengan pakaian tempur yang lengkap. "Pelatih Friday!" sapa semua yang ada di ice rink serentak. "Padahal sudah agak siang, tapi kelihatannya masih bersemangat semua," komentar pelatih. "Karena hari ini cuma ada empat orang, kita latih dulu teknik meluncur kalian. Semuanya bersiap!" "Siap!" *** Aku berhasil mendaratkan tiga quad toe loop berturut-turut tanpa ada miss sama sekali pada latihan hari ini. Meski begitu, aku nggak jadi makan sayap ayam goreng krispi. Aku merasa ada yang berbeda dengan semua lompatanku hari ini. Rasanya sedikit lebih berat. Itu aneh soalnya saat sarapan aku nggak makan yang aneh-aneh. Itu membuatku was-was. Pasalnya, sejak aku berlatih skating di Indonesia waktu aku pulang kemarin, aku sudah merasa kalau lompatanku berat. Awalnya aku kira itu karena ice rink serta sepatu yang mereka sewakan nggak sebagus ice rink di sini, makanya quad loop-ku nggak ada perubahan walau aku sudah berlatih di sana. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, itu pasti karena berat badanku. Pelatih baletku waktu itu juga mengkritik gerakan baletku yang lebih jelek daripada biasanya. Gawat. Aku harus segera mencari tahu penyebab datangnya omelan dan lompatan yang terasa berat ini. Kalau masalahnya memang benar-benar karena berat badan, kegawatannya akan naik ke level waspada. Masalah berat badan ini merupakan masalah yang krusial. Orang-orang boleh saja mengataiku malnutrisi atau anoreksia di kolom komentar Instagram-ku. Tapi bagiku, berat badan 45 kg dengan tinggi badan 159 cm merupakan kombinasi yang pas. Maksudku, bruh, aku main balet dan seorang skater yang harus melakukan jump dan spin setiap saat. Kalau berat badanku sampai 50 kg dengan tinggi badanku sekarang, akan susah dan beresiko cedera saat melakukan lompatan walau aku (mungkin) masih bisa tetap melakukannya. Ini dunia olahraga skating: tiap gram dalam berat badanku sangat berarti. Itu juga sebabnya kami, para figure skater, mengenakan pakaian dengan bahan seminim mungkin. Itulah yang nggak dimengerti kebanyakan orang. Netizen asal saja berkomentar aku terlau kurus, pakaianku terlalu terbuka, bla bla bla. Mereka nggak mengerti kalau aku akan kesusahan melompat sambil berputar dengan berat badan lebih dari itu dan mengenakan pakaian syar'i. Lagi pula wajar-wajar saja bila berat badan ideal seorang figure skater dihitung dengan menggunakan rumus tinggi badan - 115. Nggak ada kata kurus di kamus seorang figure skater. Yang ada adalah: kau bisa melompat atau tidak. Makanya, walau aku nggak bisa makan sayap ayam goreng krispi malam ini, setidaknya aku makan ayam rebus sebagai pelengkap saladku. Selesai makan malam tidak ada yang kulakukan. Aku bengong, berputar-putar di kursi putar yang ada di kamar kecilku sambil menatap langit-lamgit kamar nggak tinggi-tinggi amat. Bosan sekali. Seenggaknya, kalau Jose sudah ada di sini, kami bisa masak bareng, lalu makan malam bareng, lalu ngegosip ala cewek (membicarakan berat badanku, misalnya). Sayang sekali dia belum kembali ke sini. Kira-kira lima belas menit setelahnya, aku memutuskan untuk pergi ke ice rink mumpung belum jam sepuluh dan aku sedang rajin-rajinnya. Aku nggak akan latihan, paling cuma keliling santai di ice rink hanya untuk merasa hembusan angin.Namun ternyata, di sana aku bertemu dengan Shin yang masih berlatih dengan Pelatih Friday. Rasanya akhir-akhir ini aku sering bertemu dengan Shin. Pertanda apa ini? "Hei, anak muda! Apa yang membuatmu kemari?" sapa Pelatih. Aku melambaikan tangan padanya sebagai sapaan. "Aku bosan di apartemen. Jose belum kembali, teman-temanku pasti sedang kuliah, dan ibuku pasti sedang kerja." "Kalau begitu kemarilah!" ajak Pelatih. Aku melirik Shin yang terlihat kelelahan, tapi matanya masih tampak sangat bersemangat. Gila! Pasti dia belum pulang sejak tadi pagi! "Aku nonton saja, deh!" kataku. "Ah! Omong kosong apa itu, Nak? Kalau kau sudah kemari, tentu kau harus berseluncur! Ayo, segera lakukan pemanasan dan berseluncurlah. Kita lihat lagi bagaimana quad loop-mu." Ujung-ujungnya aku turun ke ice rink juga. Seperti rencana awal, aku cuma keliling santai alih-alih melompatkan quad loop-ku. Aku merentangkan tanganku, merasakan udara yang kulawan. "Hati-hati. Di sini bukan cuma ada kau saja," tegur Shin yang tahu-tahu menyalipku dari samping. Apa-apaan dia? Tadi kan dia masih latihan dengan Pelatih! Kesal, aku pun melakukan double toe loop sebagai permulaan. Berhubung rasanya baik-baik saja, aku pun melakukan triple flip sambil mengangkat sebelah tanganku. Pendaratannya tidak sempurna dan sama sekali terasa tidak baik. Aku mencoba kombinasi triple salchow - triple loop. Lagi-lagi aku tidak mendarat dengan sempurna, bahkan aku hampir jatuh. Kekesalanku memuncak, sampai akhirnya aku nekat mencoba quad lutz dan langsung terjatuh dengan keras seketika. "Hei! Kau gila, ya?!" tegur Shin panik. Dia buru-buru menghampiriku. "Kau bisa berdiri? Apa ada yang sakit?" Pertanyaan Shin harusnya segera kujawab karena aku nggak hanya membuatnya panik, Pelatih juga terlihat panik. Sangat panik malah. Tapi aku nggak menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab Shin dan meredakan kepanikan Pelatih. Aku tidak baik-baik saja. Kombinasi triple salchow - triple loop adalah kombinasi yang sudah kukuasai bahkan sebelum aku ikut dalam pertandingan seri Grand Prix untuk pertama kalinya. Tapi yang barusan aku nggak bisa mendaratkannya dengan sempurna. Rasanya berat sekali saat aku harus melakukan kombinasi. Ada apa denganku? Apa ini benar-benar cuma masalah berat badan? Apakah karena aku terlalu banyak berpikir? Apakah aku merasa tertekan? "Nak? Vishaka?" tegur Pelatih. Dia sampai berjongkok di depanku karena aku nggak kunjung berdiri. "Apakah ada yang sakit?" Aku menggelengkan kepala sambil berusaha mengatur napasku. Tenanglah, Vishaka. Mungkin ini karena aku kurang pemanasan saja. Mungkin karena aku sudah lelah karena sekarang sudah malam. "Kamu bisa berdiri?" tanya pelatih. Meski aku mengangguk, Shin tetap membantuku berdiri. Pelatih menepuk-nepuk kepalaku pelan. "Maaf karena saya sudah memaksamu berseluncur barusan," ucapnya. Ah. Ini bukan salah Pelatih. Kenapa dia harus meminta maaf? Aku yang tidak becus dalam melakukan lompatan-lompatan tadi. "Aku akan mengantarnya pulang," kata Shin tiba-tiba. Pelatih mengiyakan dan aku diam saja saat Shin menarikku keluar dari ice rink untuk pulang. Saat aku dan Shin tiba di kompleks apartemen kami, tahu-tahu saja dia duduk di taman depan. Dari tatapan serta gesturnya aku tahu kalau dia menyuruhku untuk bergabung dengannya. Jadi, aku pun duduk di sebelahnya. "Kau yang diam saja begini rasanya aneh," katanya membuka pembicaraan. "Aku sedang berpikir," kataku pelan. "Jangan berpikir. Aku lebih suka skating-mu yang lepas dan bebas." Aku menatapnya curiga. "Kamu ini suka sekali memperhatikan skating-ku, ya?" "Jangan geer. Aku memperhatikan skating semua orang untuk mencari kekuranganku." "Memangnya orang sepertimu bisa punya kekurangan?" "Tentu saja," katanya. "Di banding kau dan semua orang, presentasiku adalah yang terburuk. Orang-orang selalu bilang kalau aku kurang berekspresi, kurang menghayati gerakanku, dan hanya terpaku pada teknik saja. Mereka menyebutku monster." "Hah? Yang benar?" Shin mengubah posisi duduknya menjadi duduk bersandar. Kelihatan sekali kalau dia tegang. "Itu julukan lama. Mungkin sejak aku berhasil mendaratkan quad axcel dan berencana melakukan lompatan lipat lima," jelasnya. "Kata mereka, aku membunuh perlahan esensi dari skating itu sendiri karena terlalu banyak melakukan quad jump. Padahal skating itu juga soal estetika." "Makanya waktu itu kamu minta aku mengajari grand battement?" tebakku. "Iya. Saat ini, bagiku, cuma kau skater yang masih benar-benar mempertahankan estetika dari skating. Jadi, kuharap kau lebih percaya diri pada skating-mu. Jangan terlalu terpaku pada lompatan yang belum benar-benar kau kuasai." "Tapi... Aku nggak bisa menang tanpa quad lutz. Dengan quad loop saja aku harus susah payah agar ada di peringkat lima," keluhku. "Kalau begitu, tingkatkan lagi nilai presentasimu. Skater seperti kau itu sudah jarang ditemui. Aku yakin kali ini kau bisa dapat medali hanya dengan quad loop." "Yang benar saja. Jangan membuatku berharap." "Aku janji," ucap Shin tegas. "Aku janji kau bisa mendapat medali di seri Grand Prix musim ini tanpa quad lutz. Aku janji kau pasti bisa berpartisipasi di World Championship tahun depan." Sejujurnya, aku agak terpana dan terharu oleh ucapan Shin. Kata-katanya membuat sebagian dari diriku ingin percaya padanya. "Kamu terdengar yakin sekali. Jangan-jangan kau punya orang dalam buat mengatrol skorku nanti," candaku. Shin tidak bereaksi pada candaanku dan malah menatapku tajam seolah mempertegas bahwa ucapannya tadi serius."Aku janji," ulangnya lebih tegas. Aku bisa merasakan mataku memanas. Jadi aku mengangguk, berusaha untuk percaya pada ucapan Shin. Kuharap ucapan Shin terbukti nanti. Aku benar-benar ingin memverikan Bunda medali yang kudapat nanti soalnya. Bab 6 "Aku baik-baik saja, Bun. Ini cuma karena aku barusan jalan-jalan malam... Iya, aku nggak bakalan keluar malam lagi dan akan selalu menjaga tubuhku supaya hangat... Sudah, dong! Aku kan bukan anak kecil lagi yang harus diingatkan jadwal mandinya!... Nggak lah! Ya ampun... Seriusan, Bun. Aku baik-baik saja. Aku cuma barusan terjatuh cukup keras waktu latihan tadi. Bukan masalah serius. Aku juga sudah terbiasa jatuh dan Bunda pasti sudah terbiasa melihatku mencium es, kan?... Aku juga berharap supaya Bunda nggak perlu sering-sering melihatku jatuh. Rasanya memang sakit... Iya, aku bakalan beritahu Bunda kalau ada apa-apa... Eh, aku lupa soal kuliah. Tapi aku janji akan memikirkannya... Oke. Bunda juga jaga diri di sana, ya! Bye bye! Shaka sayang Bunda juga!" *** Keesokan harinya aku sengaja berangkat lebih siang ke ice rink supaya aku nggak perlu bertemu Pelatih Friday maupun Shin. Aku nggak punya muka buat ketemu sama mereka. Aku pasti kelihatan cengeng dan lemah banget kemarin. Hari ini, aku mau pakai studio dan melakukan balet untuk menurunkan berat badanku. Sayangnya, Pelatih Friday terlihat sudah menungguku di loker. Aku menyapa beliau seperti biasa, berharap dia tidak mencegatku atau apa. "Kamu datang sangat siang, Nak," kata Pelatih. Aku meneguk ludahku. "Ayo ikut saya." Aku mengembuskan napas panjang dan terpaksa mengikutinya. Palatih membimbingku ke ruang kesehatan. Di sana tidak ada siapa-siapa kecuali kami berdua. "Saya akan mengangkat topik sensitif, Nak," ucap Pelath hati-hati. "Mari kita periksa berapa berat badanmu." Aku otomatis memeluk diriku. "A-aku kelihat gemuk, ya?" tanyaku takut-takut. "Tidak ada skater yang gemuk atau pun kurus, Nak," kata pelatih sambil mendorongku menuju timbangan. "Lepas sepatu dan jaketmu." Setelah melepas sepatu dan jaketku aku menaiki timbangan dengan takut-takut. Sudah lama aku tidak memeriksa berat badanku. Sekarang pun aku sangat penasaran dengan angkanya. Tapi... Tapi... "Be-berapa? Berat badanku masih diangka empat puluh limaan, kan?" Pelatih menatapku serius. "Hampir empat puluh sembilan," beritahunya. "Hah?! Empat puluh sembilan?!" teriakku kaget. "Tenanglah, Nak. Itu pasti juga karena kaos tebal serta celana jeansmu. Jadi, berat badanmu sekitar empat puluh delapan." "Itu naik tiga kilo dari berat badanku yang sebelumnya!" kataku histeris. "Mau coba ukur tinggi badan juga?" "Apa? A-aku kan sudah sembilan belas tahun. Mana mungkin aku bisa bertambah tinggi lagi?" Tapi Pelatih tetap mengukur tinggi badanku. Yah, hanya keajaiban yang bisa membuat tinggi badanku naik. Selesai mengukur tinggi badanku, bukannya segera memberitahu aku angkanya, dia malah muncur cukup jauh dariku. Dia juga menatapku dari ujung ke ujung. Pelatih menepuk tangannya sekali. "Sesuai dugaan saya, kau memang berubah," katanya. "Sori?" "Ah, begini. Sejak kau mengirimi saya video latihanmu di Indonesia, saya merasa ada sesuatu yang beberda dari lompatanmu. Apakah kamu juga merasakannya?" Aku mengangguk cepat. "Rasanya sedikit berat. Waktu melakukan combination jump kemarin rasanya juga lebih susah," akuku. "Jadi, begini, Nak. Tubuh manusia itu memang ajaib. Kamu, meski sudah sembilan belas tahun, masih mengalami perubahan bentuk tubuh. Berat badanmu naik karena tinggi badanmu bertambah menjadi sekitar 164 cm," jelas beliau. Sebelumnya aku tidak pernah bermimpi untuk memiliki tinggi badan di atas 160 cm. "Apakah ini buruk?" tanyaku khawatir. Pelatih menatapku serius. Dia memegang pundakku. "Dengar, Nak. Kamu akan butuh penyesuai dengan tubuhmu yang sekarang. Melompat akan terasa lebih berat, kecepatan putaranmu akan sedikit berkurang, tapi itu bisa dibiasakan supaya kamu kembali ke lompatan serta putaranmu yang dulu. Satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan sekarang adalah latihan dan latihan supaya kamu terbiasa dengan tubuh barumu," katanya. Dia menepuk-nepuk pundakku. "Setiap figure skater mempunyai masalahnya masing-masing. Saya percaya kamu bisa mengatasi hal ini. Kamu bisa melakukannya dan ini bukan pertanyaan." Aku mengangguk mengerti. "Sekarang kita ke studio dan merancang short program-mu. Kita akan menyelesaikannya dalam waktu bulan ini," katanya, lalu buru-buru keluar. Aku tergesa-gesa mengikuti Pelatih Friday keluar. Sifatnya yang tiba-tiba menjadi serius begini membuatku sedikit takut. "Ta-tapi, aku belum menyempurnakan program free skating-ku," beritahuku begitu aku berhasil menyusulnya. "Kalau begitu segera sempurnakan!" Aku tercengang mendengar suruhannya. "Baik!" Di studio kami mulai bekerja. Pelatih memulai diskusi kami dengan tema apa yang akan kugunakan dalam programku musim ini, lalu disusul dengan musik yang sekiranya cocok kugunakan. Aku mengusulkan Ballade No. 1 Op. 23 punyanya Chopin karena musik tersebut cocok dengan tema yang kugunakan kali ini. Sejak dulu aku selalu menggunakan tema-tema tertentu dalam satu musim programku agar memudahkanku untuk memilih musik, merancang koreografi, memilih kostum, serta melakukan penghayatan. Tidak semua figure skater melakukan ini dan lebih asal memilih lagu yang memang ingin ia gunakan. Itu bukan masalah besar, tapi aku pribadi lebih suka cara kerjaku yang seperti ini. Diskusi kami memakan waktu cukup lama. Aku baru menyadarinya waktu aku merasa lapar. Berhubung kami sudah terlalu lama mengurung diri di studio dan butuh udara segar, kami pun memutuskan untuk menyudahi diskusi kami. Meski begitu, aku tetap berada di studio. Aku memakan sedikit bekal yang kubawa untuk makan siang dan melakukan stretching. Tidak hanya lompatan dan putaran saja yang harus kulatih, kelenturan tubuhku juga. Seenggaknya, aku masih mau menampilkan step sequence koreografi yang sempurna.Mulai sekarang, aku harus berlatih lebih ekstra daripada biasanya. *** "Oh. Seperti yang sudah kuduga. Akhir-akhir ini kau selalu datang pagi," sapa Shin. Aku meliriknya sekilas dan tetap fokus melakukan sit-up. Shin tampak nggak keberatan dengan diriku yang mengacuhkan dirinya. Buktinya dia ikut melakukan sit-up di sebelahku. "Jangan terlalu memaksakan diri," kata Shin setelah kami selesai berolahraga. Dia lalu melemparkan handuk padaku. "Trims," gumamku. "Kau belum sarapan, ya?" tanyanya. "Sudah," jawabku. "Apa?" "Bubur gandum dengan brokoli." "Itu saja?" "Aku membawa jus wortel." "Kau mau mati karena anoreksia?" tanyanya tajam. "Hei!" tegurku merasa tersinggung. "Minum susu dan makan daging juga penting. Paling tidak masukkan telur dalam menu sarapan menyedihkanmu itu," katanya terdengar tidak habis pikir. "Aku sudah dengar masalahmu dari Pelatih dan dia mengkhawatirkanmu karena kau jadi mudah lelah dan terlihat sangat pucat." "Terus kenapa harus kamu yang menceramahiku?" tanyaku kesal. Shin mengembuskan napas pendek. "Sudah jelas, kan? Karena tidak ada orang lain yang bisa menceramahimu selain aku. Kau pikir ada berapa orang yang sudah kembali ke sini?" Aku meminum jus wortelku keras-keras. Perkataannya benar sekali: aku dan Shin terjebak satu sama lain saat ini. "Makan siangmu bagimana?" Oke. Dia mulai mengintrogerasiku. "Jangan bilang cuma apel." "Kau punya bakat jadi peramal rupanya," gerutuku. "Nanti kita keluar cari makan siang yang layak." "Ya ampun! Kamu kedengaran kayak orang tua!" ejekku. Lalu kejadian yang tidak pernah kuduga terjadi begitu cepat. Shin tiba-tba saja menangkup kedua pipiku dengan satu tangannya keras-keras. Aku memberontak, tapi sebelah tangannya yang lain menahanku. "Hei, bocah," katanya dingin. "Dengar, kau butuh tenaga untuk melompat. Kalau makanmu seperti ini terus, kau bisa tumbang dan tidak bisa ikut pertandingan," lanjutnya dengan penekanan di setiap katanya. "Kau mengerti?" Mata Shin menatap tajam ke dalam mataku. Dan, entah kenapa, tatapan mata--dan tindakannya--saat ini membuatku sedikit takut. Maksudku, akhir-akhir ini aku jadi sering berinteraksi dengannya dan mulai bisa menilainya sebagai "orang baik yang suka menceramahi orang lain". Tapi sekarang, pikiranku tentang Shin berubah.Apakah ini Shin yang sebenarnya? Ke mana perginya Shin yang memuji skating-ku tempo hari itu? Aku memaksakan diri untuk lepas darinya dan dia melepaskanku. Aku balik menatapnya tajam. "Kamu nggak perlu melakukan yang barusan padaku, kan?" tanyaku. "Kau susah diberitahu." "Itu karena aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa melakukan apa yang kuingnkan dan mencapai tujuanku sendiri!" "Sadar tidak? Kata-katamu barusan menunjukkan kalau kau memang masih anak kecil," ejeknya. "Kau!" geramku marah. "Masalahmu denganku apa, sih? Kenapa akhir-akhir ini kau sering sekali menceramahiku?!" "Bukan aku, tapi kau. Sebenarnya masalahmu itu apa? Kau tiba-tiba saja menjadi sangat ambisius. Pelatih sampai khawatir, lalu memintaku untuk menanyakannya padamu karena cuma ada kita berdua di sini." "Bukan urusanmu." Shin berdecak. "Apa? Kau ingin menjadi juara Grand Prix? Kau ingin membuktikan kalau kau bisa dan ada? Kau ingin tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang dari negaramu?" cecarnya. "Bukan!" kilahku cepat. "Aku... Aku mau dapat undangan World Championship tahun depan dan menang!" seruku. "Aku mau bikin Bunda senang sekali saja di Bulan April! Aku mau Bunda punya kenangan baik di bulan itu! Aku... Aku mau Ayah tahu kalau kami bisa tanpa dia!" jawabku keras-keras, setengah menangis. "Aku cuma mau itu! Aku nggak peduli kata orang, karena yang penting cuma aku dan Bunda." "Harus tahun depan?" tanya Shin. Kali ini aku merasa dia lebih kalem daripada dia. Aku mengangguk sambil menahan tangisku. "Tahun depan tepat sepuluh tahun perpisahan Bunda dan Ayah." "Lalu kenapa kau terlihat sangat khawatir begitu? Akukan sudah bilang supaya kau lebih percaya diri pada skating-mu." Aku diam saja tidak menanggapi. "Aku juga sudah berjanji padamu kalau kau pasti dapat medali di pertandingan musim ini." Aku menyeka mataku yang berair. "Kamu beneran punya orang dalam buat mengatrol skorku, ya?" Shin menepuk kepalaku. "Ayo ke ice rink. Jam segini seharusnya sudah siap pakai." Dia mengambil jaketnya, lalu keluar dari ruangan. Aku buru-buru memanggilnya. "Shin! Terima kasih!" Shin mengangguk singkat dan melanjutkan langkahnya. *** Shin benar-benar mengajakku makan siang setelah kami selesai latihan bersama. Aku nggak tahu ke mana kami akan makan siang, tapi sepertinya tempatnya cukup jauh. Kami sampai pinjam mobil Pelatih soalnya. "Tunggu!" celetukku tiba-tiba begitu menyadari sesuatu. "Ini kan jalan menuju bandara!" kataku sambil memerhatikan jalanan dengan tajam. "Ada kedai buritto yang enak dekat sana," beritahunya. "Buritto kan menu sarapan." "Tapi kedai itu buka sepanjang hari." Oke. Baiklah. Aku nggak mau mendebatnya lagi. Tapi, hei! Shin benar soal "kedai buritto yang enak". Buritto-nya memang enak! "Hati-hati kalau makan. Nanti bisa tersedak," ingat Shin. Aku mengangguk mengerti sambil mengunyah menu makan siangku dengan suka-cita. Enak sekali sampai membuatku berpikir satu saja tidak cukup. Aku mau pesan lagi, tapi Shin pasti akan mengomel... "Hei, kamu pesan dua? Aku juga mau lagi!" kataku waktu menyadari Shin memesan dua porsi. Gerakan Shin yang akan menggigit buritto-nya terhenti. "Itu bukan punyaku. Itu punyanya," katanya sambil menunjuk ke arah belakangku. Otomatis aku menoleh ke belakang. "Vishakaaa!" Mendengar namaku dipanggil mesra seperti barusan membuatku bergerak cepat untuk menghindarinya. Robb, teman sepermahoan Shin, gagal memelukku. "Ah! Kenapa kamu selalu menghindar waktu mau kupeluk?" gerutu Robb yang terlihat mengenakan pakaian berpergian lengkap. "Karena aku nggak pernah dipeluk cowok!" kataku ngeri. "Yang lebih penting, kenapa kamu bisa ada di sini?!" "Shin yang memberitahuku." Aku melayangkan tatapan tajam pada Shin. "Kita kemari sekalian menjemputnya," katanya enteng. "Harusnya kamu mengatakannya padaku dari tadi!" "Kalau Shin memberitahumu, kamu pasti nggak akan mau ke sini," kata Robb. "Ya iyalah!" ujarku defensif. Aku sedikit takut dengan kebiasaan Robb yang suka menempel pada semua orang. Aku, sebagai orang Asia Tenggara, sama sekali tidak terbiasa dengan skinship dengan lawan jenis. "Lagian, kenapa kamu sudah balik ke sini? Sekarang belum Juni. Bagaimana dengan tur galamu?" "Bambina, kenapa kamu masih mepertanyakan itu? Tentu saja karena aku merindukanmu." "Ih! Apaan, sih?!" Robb tertawa puas. "Bercanda, bercanda. Aku... Yah, aku nggak punya alasan khusus. Aku cuma pengin balik saja." "Hah?" "Karena kalau di rumah aku tidak bisa bertemu denganmu." "Hei! Hentikan! Jangan coba-coba memelukku dan mulai makan sana!" "Hahaha!" "Jangan berisik. Kalian mengganggu pengunjung yang lain tahu." Bab 7 Kembalinya Robert alias Robb ke ice rink kami sejujurnya membuatku heran sekaligus curiga. Pertama Shin, lalu Robb. Figure skater sekelas mereka biasanya sibuk melakukan tur gala. Kalau Shin sih, jelas karena dia sangat ambisius dengan karirnya sebagai skater. Tapi Robb? Dia itu tipe orang yang tidak perlu usaha banyak tetap bisa menjadi juara. Kerjaannya sehari-hari kalau tidak menempeli Shin ya menggoda para cewek yang sedang latihan. “Jangan-jangan kamu tertular virus ambisius Shin, ya?” Robb tertawa keras. “Ya ampun, little lamb! Apa yang membuatmu berpikir begitu? Aku akan menjadi dua puluh sembilan tahun depan. Sudah waktunya pensiun bagiku,” katanya santai. “Kamu mau pensiun?” tanyaku tak percaya. “Kenapa? Kamu takut merindukanku, ya?” Aku memberinya tatapan jijik. Meski usia kami terpaut sepuluh tahun, rasanya susah sekali memiliki respek padanya. “Ouch! Aku terluka!” ucapnya lebay. “Seriusan deh, Robb.” “Yah... Bagaimana, ya?” Robb duduk bersadar pada dinding sambil menatap bocah-bocah peserta short camp mengikuti arahan Pelatih Friday. “Kamu sendiri tahu kan, kalau umur seorang skater itu pendek? Setiap tahunnya selalu muncul skater muda yang berbakat. Setiap tahunnya ada saja melakukan lompatan hebat. Dengan umurku yang sudah tua ini, tinggal menunggu waktu sampai kaki-kakiku mulai protes karena aku kebanyakan melakuakn quad jump. Aku saja tidak percaya aku bisa bertahan sampai sejauh ini.” Aku menekuk lututku dan melirik Robb sekilas. “Kamu terdengar kayak orang mau mati saja,” gumamku. Robb yang tidak pernah marah itu tertawa lagi. “Bukan begitu, little lamb. Yang benar aku terdengar seakan sudah menyiapkan diri. Ehm, aku memang harus menyiapkan diri untuk kemungkinan buruk. Kalau nanti tiba-tiba rankingku merosot, aku tidak mau terpuruk karenanya,” ucapnya. “Karena aku, sama seperti skater lainnya, juga ingin terus berseluncur selamanya.” Berseluncur selamanya. Aku selalu membayangkan kehidupan yang indah tersebut meski aku tahu pada kenyataannya ide “berseluncur selamanya” adalah hal sulit dilakukan. Kehidupan seorang skater selalu dibayangin oleh skater lain yang lebih muda dan resiko cedera. Selain itu, ada banyak hal lain lagi. Seperti aku saat ini misalnya, dibayangi dengan perubahan tubuh yang akan menyusahkanku dalam pertandingan musim ini. Aku cuma berharap supaya aku tidak sampai cedera. “Terus, kenapa kamu nggak ikut tur gala?” tanyaku kembali ke pertanyaan awal. “Kata siapa? Aku ikut Star on Ice USA nanti, kok,” jawab Robb. Aku menatapnya heran. “Hah? Terus kenapa kau ke sini? Ke Canada! Rumahmu kan ada di Amerika!” “Aku sudah mengatakan alasannya padamu waktu kita pertama bertemu berhari-hari lalu, kan? Karena aku merindukanmu, bambina,” katanya dengan nada menggoda. Aku buru-buru menjauh darinya. “Jangan mendekat! Jangan mencoba untuk memelukku!” “Bambina! Tinggal kamu seorang yang belum pernah kupeluk!” “Aku tidak mau! Cari orang lain untuk kamu peluk sana!” “Ya, ya! Itu benar!” sahut Pelatih dari tengah ice rink. “Robb, pergilah dan cari Shin untuk kamu peluk. Lalu Vishaka, kemarilah dan tolong saya melatih anak-anak ini!” “Baik!” jawabku buru-buru. Sementara itu, saat kulirik, Robb terlihat muram. Dia meninggalkan ice rink dan pergi tanpa mengucapkan apa pun. Short camp hari itu selesai ketika matahari beranjak tenggelam. Aku bersama dengan beberapa skater yang sudah kembali menjadi asisten dadakan hari itu sampai lelah sendiri. Baiklah. Lupakan latihan hari ini. Aku mau pulang, makan, lalu rebahan seharian. Punggungku pegal karena kebanyakan membungkuk untuk membenarkan posisi skating anak-anak tadi. “Kamu pulang juga, Shaka? Mau ikut kami makan-makan?” tawar teman satu pelatihku. Aku mengibaskan tangan tanda menolak sambil mengatur napasku. Apa ini dampak dari tubuhku juga? “Kau yakin? Kita akan ditraktir Friday!” tambah yang lain. “Iya! Aku skip dulu untuk hari ini!” sahutku. “Oke! Kalau begitu kami duluan, ya!” “Hmm! Hati-hati!” Begitu mereka pergi hanya tersisa aku seorang yang ada di ice rink. Aku memandang berkeliling, meski sebenarnya nggak ada sesuatu yang bisa benar-benar kuperhatikan karena pada dasarnya ice rink ini cuma lapangan es yang di kelilingi dengan koridor cukup lebar dengan beberapa bangku. Ah. Ini pertama kalinya aku ada di sini sendirian. Niatku untuk pulang pupus. Aku mengenakan kembali sepatu skating-ku dan turun ke ice rink. Aku tidak melakukan sesuatu kecuali mengelilinginya sambil berpikir banyak hal. Saat pikiranku mulai tenang, aku mencoba lompatan yang akan kugunakan di short program-ku: triple lutz, tripel axcel – double toe loop, serta triple flip. Semuanya mendarat dengan mulus di luar dugaanku. Aku pun melanjutkannya dengan step sequence dan itu juga berjalan sama mulus. Lalu, seperti biasanya, programku akan kuakhiri dengan combination spin.Dan, selesai. “Itu tadi short program-mu?” tanya Shin yang tahu-tahu saja muncul. Aku menatapnya kaget. “Sejak kapan kamu ada di situ?” Shin mengangkat bahunya. “Sejak lompatan terakhirmu.” "Iya," jawabku. “Oh iya. Tadi kamu dicari Robb—dan Pelatih juga, sepertinya,” beritahuku. “Kamu sudah bertemu mereka?” “Sudah,” katanya. Shin mulai melakukan pemanasan di pinggir ice rink. “Tadi aku bertemu Pelatih dan yang lain di depan. Mereka mau makan malam bersama.” “Ah, iya. Aku sempat ditawari tadi. Kamu juga?” “Iya.” “Tumben kamu bisa lolos dari ajakan makan malam Pelatih. Bukannya kamu bertemu dengan Robb juga? Kan kalian tidak terpisahkan.” “Justru itu,” gumamnya, lalu menatapku. “Robb dan Pelatih membiarkanku tetap kemari karena tahu ada kamu di sini.” “Apaan tuh? Menu makanku masih harus diawasi?” cibirku. Aku kembali melakukan step sequnce short program-ku yang belum sebegitu kukuasai gerakannya. Bukannya susah, hanya kurang bisa memberi penghayatan, ekspresi, serta detail gerakannya. Kalau free skating-ku bercerita tentang perjalanan hidupku dengan Bunda tanpa Ayah, maka short program-ku berkisah tentang kerinduanku pada rumah selama berlatih di sini. Kurang lebih cerita sama dengan latar belakang musik yang kupilih untuk short program-ku. Ketika Shin turun ke ice rink, ganti aku yang keluar dari ice rink. Dia menatapku dengan pandangan aku-tidak-keberatan-berbagi-dengan-kau dan aku menjawabnya dengan alasan, “Aku sudah capek habis jadi asisten dadakan Pelatih.” Sambil melakukan pendinginan, aku memerhatikan Shin berlatih. Kupikir dia akan melatih lompatannya seperti biasanya. Ternyata dia melatih step sequence-nya. Harus kuakui, lompatan yang dia pilih untuk setiap programnya selalu mendebarkan sekaligus mengerikan. Tapi hanya di situ saja bagian dari skating Shin yang bisa membuatku terkagum-kagum. Selebihnya: tidak. Oke, oke. Aku tidak bermaksud menghina koreografer program Shin. Hanya saja dia memang kurang pembawaan dalam setiap programnya. Mereka menyebutku monster. Ah. Mungkin ini maksud dari perkatannya waktu itu. "Kalau mau mengkritikku, langsung katakan saja," kata Shin. Aku langsung salah tingkah ditembak begitu oleh juara dunia tiga kali berturut-turut. "Aku..." mulaiku takut-takut, "Aku tidak suka dengan koregorafimu kali ini." "Apakah ada gerakan yang kurang sesuai denganku?" Aku menatap Shin dengan tatapan horor. "Apa? Seriusan, Shin? Barusan itu kamu menyalahkan koreografer kita atas skating-mu yang tidak kusukai?" Shin mengernyitkan alisnya. "Aku tidak bilang begitu," kilahnya. "Tapi kamu terdengar kayak gitu," kataku nggak mau kalah. "Begitu aku bilang kalau aku nggak suka dengan koregrafimu, yang kamu pikirkan pasti ingin segera bertemu dengan pelatih dan entah siapa koregrafermu itu untuk mengubah gerakanmu, kan? Kau merasa mereka harus segera mengubahnya karena gerakan itu membuatmu jelek," aku balas menembaknya. "Aku..." "Ha! Sudahlah, Shin. Nggak usah mengelak," ucapku sambil mengibaskan tanganku. "Kamu bilang kamu selalu nonton rekaman skating-mu, tapi sebenarnya yang kamu lihat cuma lompatanmu saja, kan?" tebakku. Melihat Shin yang membuang muka malu-malu membuatku gemas dan geli sendiri. Aku nggak nyangka dia bisa bereaksi seperti itu. "Hei, itu bukan masalah. Yang penting sekarang kamu sadar apa poinnya." "Aku kurang di presentasi," gumamnya menarik kesimpulan. Aku mengangguk membenarkan. "Pelatih juga mengatakan itu. Tapi aku... tetap tidak mengerti." "Bukannya sudah jelas?" tanyaku bingung. "Kamu sendiri yang menjawabnya tadi: presentasimu kurang. Itu artinya gerakan, ekspresi, dan penghayatanmu kurang. Hei! Bukannya kamu pernah memuji skating-ku yang kamu sebut dengan 'memberikan setiap detail'? Nah! Kurang lebih seperti itulah." "Iya, aku tahu," kata Shin tidak sabaran. "Tapi aku tetap tidak mengerti. Maksudku, bagaimana kau... melakukannya?" Dia mulai meluncur pelan. "Sejak pertama kali melihat programmu waktu kau pertama kali pindah kemari, aku merasa tergerak." "Hentikan itu!" suruhku cepat. "Kamu membuatku malu tahu!" "Aku serius," katanya. "Dan bukan hanya program pertamamu di sini. Program-program setelahnya juga. Bahkan ketika melihat program setengah jadimu barusan, aku bisa tahu kalau programmu akan menjadi program yang bagus." "Hmmm. Bagaimana, ya? Biasanya aku mulai dengan tema. Itu akan membantuku menghayati setiap gerakanku.” Aku merentangkan tanganku, lalu memutar pergelanganku. “Setelah menentukan tema, aku akan memilih musik yang pas—itu akan membantuku untuk menari bersama dengan musik. Ah, teman baletku selalu bilang agar aku mendengar dan menunggu musik pengiringku supaya aku benar-benar bisa ‘menari bersama dengan musik’. Setelah itu, baru deh aku bikin gerakan asal, presentasi, mendapat revisi sebagian atau total, presentasi lagi sampai aku benar-benar menjalankan program sesuai dengan yang ada dalam bayanganku,” jelasku. “Yah, seperti itulah caraku melakukannya. Prosesnya banyak dan lama.” “Itu terdengar akan memakan waktu berbulan-bulan.” Aku tertawa hambar mendengarnya. “Memang. Free skating yang sudah kurancang sejak ada di rumah saja sampai sekarang belum benar-benar matang. Dan beberapa waktu lalu pelatih kita itu menyuruhku segera menyelesaikannya bersamaan dengan short program-ku akhir bulan ini!” keluhku. “Kamu kan nggak ikut tur gala. Masih ada waktu untuk merombak seluruh programmu.” Shin langsung berhenti berseluncur dan memberiku tatapan tidak percaya. “Jangan memberiku tatapan itu. Kalau memang tidak puas, perbaiki saja. Masih Mei juga,” kataku enteng. “Pelatih pasti mau mendengarkanmu.” Helaan napas panjang keluar dari mulut Shin. “Akan kupertimbangkan.” Aku nyengir lebar. Kalau dipikir-pikir, kami ini lucu juga. Beberapa hari yang lalu Shin bilang kalau aku kurang percaya diri pada lompatanku. Sekarang aku malah memberitahunya secara tersirat kalau dia kurang percaya diri dengan programnya. Mungkin, inilah pertanda dari pertemuan kami di bandara waktu itu. *** “Oh! Quad salchow yang cantik!” komentar Pelatih saat aku mempresentasikan free skating-ku. “Pertahankan! Pertahankan!” Aku terus melanjutkan programku tanpa memedulikan komentar pelatih. Fokus. Dengarkan lagunya, tunggu lagunya. Rasakan perasaan Bunda selama ini, rasakan perasaanku selama ini: bagaimana kami menderita dan bagaimana kami bangkit setelahnya. Ingat-ingat lagi perasaan ketika Ayah meninggalkan kami. Tepuk tangan menggema ke sepenjuru ice rink begitu aku menyelesaikan presentasi programku. Awal Juni, meski agak terlambat, aku berhasil menyelesaikan dua programku. “Keseluruhan presentasimu sudah bagus, Nak. Besok kita akan melakukannya lagi dengan lompatan yang lebih sulit dan melihat bagaimana reaksimu ketika kamu terjatuh. Saya harap meski ada sesuatu yang tidak berjaan sesuai dengan harapan, kamu masih bisa fokus dengan programmu,” komentar Pelatih ketika aku menepi. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengangguk mengerti. Di pertandingan yang akan datang, pelatih memutuskan agar aku tidak melakukan banyak quad jump yang tingkat keberhasilanku tidak mencapai 75%. Itu artinya, paling banter aku hanya akan melakukan quad salchow dan quad toe loop. Kalau beruntung, aku bisa mengemis quad flip atau bahkan quad loop pada Pelatih. Haha. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi pada pertandingan sebelum seri Grand Prix. Di pertandingan yang akan datang pada akhir September nanti saja Pelatih bersikukuh agar aku tidak melakukan quad jump di short program-ku. Aku nggak berani protes. Soal elemen lompatan apa saja yang akan kulakukan di setiap pertandingan selalu kuserahkan pada Pelatih karena dialah yang tahu bagaimana strategi yang terbaik untukku saat ini. Dia kan pelatih. “Apa yang terjadi pada lompatanmu?” tanya Robb yang tiba-tiba duduk di sampingku. “Kamu cuma memakai tiga quad jump di free skating-mu.” Aku mencibir. “Kamu masih di sini?” “Jahat! Aku baru akan pergi besok siang!” kata Robb terdengar sok sedih. “Aku menggendut tahu,” beritahuku kesal. “Sampai aku terbiasa dengan tubuhku yang sekarang, Pelatih melarangku jauh-jauh dari quad salchow dan quad toe loop.” “Berarti memang itu yang terbaik untukmu,” kata Robb. “Dulu, aku juga pernah mengalami yang seperti kamu. Kira-kira waktu aku seumuran denganmu.” “Oh, ya? Lalu, bagaimana?” “Bukan sesuatu yang enak diingat,” katanya lalu tertawa. “Aku sampai berpikir mungkin riwayatku sebagai seorang figure skater tamat pada saat itu juga.” “Jangan menakutiku, dong!” keluhku. Lagi-lagi Robb tertawa. “Kenapa harus takut? Buktinya aku masih di sini sampai sekarang.” “Itu nggak lucu.” “Ayolah, bambina. Percayalah dengan dirimu sendiri. Haaah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada para skater muda di sekitarku ini. Tiba-tiba saja mereka pada kehilangan kepercayaan diri mereka.” “Shin, ya?” Robb mengangguk lesu. “Ah, kawan sekaligus lawanku itu sejak World Championship kemarin kelihatannya ragu pada skating-nya sendiri. Dia kelihatan seperti orang yang kehilangan arah. Satu hari dia sangat bersamangat untuk melatih lompatannya, di lain hari dia mempertanyakan diri apakah dengan melatih lompatannya akan menjadikannya seorang figure skater yang baik. Lalu, saat kubilang agar jangan terlalu memusingkannya, dia malah mengacuhkanku. Sedih sekali rasanya.” Dia bertopang dagu kemudian. “Terus, lihat dia sekarang!” serunya sambil menunjuk Shin yang sedang giliran presentasi. “Tiba-tiba saja dia merombak semua programnya!” Aku tertawa hambar. “Sori. Itu gara-gara aku.” “Iya, aku tahu. Itu bukan salahmu, kok.” “Eh? Kamu tahu?” “Di hari saat aku membiarkannya di ice rink berdua denganmu itu, malamnya dia langsung mengorek-orek playlist laguku. Besoknya, aku dengar dari Friday kalau Shin mau membuat programnya sendiri.” Untung aku tidak sedang makan. Kalau iya, aku pasti sudah akan tersedak. Soalnya itu sama sekali nggak kayak Shin! “Eh?! Dia sampai berbuat sejauh itu?!” tanyaku setengah tak percaya setengah takjub. “Dia terinspirasi olehmu,” kata Robb dengan nada senang. “Shin itu sudah lama lho kagum pada skating-mu.” “Robb, kau terlalu banyak bicara sampai tidak sadar waktu,” tegur Shin. “Wah! Kamu sudah selesai presentasi? Cepat sekali! Aku sampai tidak menyadarinya!” ucap Robb lalu buru-buru masuk ke ice rink. Shin menatap kepergian Robb dan aku menatap Shin. Wajah datar, sikap sedikit dingin, dan hobi ceramah begitu mengagumi skating-ku? Robb pasti salah sangka. “Kenapa menatapku seperti itu?” tegur Shin. Aku buru-buru menatap ke arah yang lain. “Eh, nggak. Aku cuma berpikir kalau kamu terlihat berbeda.” Shin menepuk-nepuk pipinya. “Rasanya sejak dulu aku begini.” Aku memutar bola mataku. “Bukan itu. Kamu yang sedang presentasi tadi dengan sekarang berbeda. Waktu presentasi tadi kamu terlihat lebih hidup.” “Memangnya selama ini aku tidak hidup?” “Bukan!” kataku tidak sabaran. “Maksudku, kamu lebih berekspresi. Pokoknya beda daripada yang sebelum-sebelumnya.” “Oh. Itu karena kau,” beritahunya. “Aku belum mengucapkannya, tapi terima kasih.” “Hah?” Ada apa dengan dia? “Te-terima kasih.” Shin pun berlalu. Aku cuma bisa melihat kepergiannya dengan terheran-heran. Bab 8 Kejadiannya selalu sama: setiap kali aku mengunggah sesuatu ke Instagram, pasti akan ada saja netizen nyasar yang berkomenter jelek tentangku. Ngapain pakai miniset gitu? Badan kurus kok dipamerin. Nggak punya baju lain, ya? Pamer terus. Dance-nya payah banget! Bagusan juga sebelahnya. Malam sebelum Robb pergi untuk melakukan salah satu tur gala, kami beserta dengan skater yang ada bermain Truth or Dare selepaa latihan. Kami berkumpul di studio, bermain apa pun itu, makan banyak MSG, bahkan minum berbotol-botol soda. Ketika aku dan Robb kalah dan sama-sama memilih Dare, kami ditantang untuk menghafal satu babak gerakan tari modern dalam waktu lima minat. Singkat cerits, Robb meminta seseorang untuk merekam tarian modern kami, Robb mengirim hasil rekamannya padaku, dan aku iseng mengunggah videonya ke Instagram. Bisa ditebak apa yang terjadi setelahnya. Seriusan deh, aku nggak pakai miniset. Aku pakai bra sports yang memang biasa kupakai dan biasa dipakai oleh banyak cewek di sana waktu lari pagi di taman. Dan: nggak pernah ada yang protes sekalipun aku memakainya waktu latihan terbuka menjelang pertandingan. Bunda, bahkan Nicholaas yang notabene cowok, nggak pernah memusingkan apa yang kupakai waktu aku berolahraga. Benar-benar deh, orang-orang ini. Aku sudah hampir menghapus unggahan video itu kalau fashion brand sport serta boyband yang tariannya ku-cover dengan Robb itu menyukai video tersebut. Bung, aku ter-notice! Itu fashionbrandsportsertaboybandterkenal! Mereka yang menyukai unggahan videoku tersebut bisa membuka jalanku untuk mencari uang lebih banyak lagi. Terima kasih pada Mita yang mengedit unggahan videoku dengan menandai mereka. Jadi, tentu saja aku mengurungkan niat untuk menghapus videoku. Hitung-hitung video itu menjadi bukti bahwa aku nggak cuma bisa skating dan balet saja. Aku (harus) bisa tarian lain juga. Little lamb! Kita harus cover dance K-Pop yang lain! Follower-ku menyukainya dan menanyakan tentang dirimu! Persendianku rasanya pegal semua.Aku tidak mau. Ayolah! Sekali saja. Kita bikin full version-nya. Kau bicara begitu padahal sedang ada di mana? Ya nanti, kalau aku sudah kembali ke Toronto. Hei, berarti ini artinya kamu mau, kan? Hati-hati dengan pesendianmu. Kamu kan sudah tua. Hahaha. Yeeey! Nanti akan kuajak Josephine sekalian, ya! Dia kan K-Popers. Terserah. Omong-omong, apakah kamu bertemu dengannya? Aku kirim chat ke Jose tapi dia nggak membalasnya sampai sekarang. Belum bertemu. Aku cuma melihatnya dari jauh. Dia banyak ngobrol dengan para skater yang berlatih di Amerika. Mungkin dia sedang sharing pendapat. Kemarin kan dia sempat turun satu peringkat setelah dua kali dapat emas. Oh, begitu? Nanti akan ku-chat lagi, deh. Oke! Jangan merindukanku ya, little lamb! In your dream! Menurut jadwal yang kucari sendiri, harusnya Star on Ice menjadi tur gala terakhir Jose. Setelahnya, dia akan kembali kemari. Iya, aku mencari sendiri jadwalnya. Habis, aku merasa dia tidak mengabariku apa-apa. Itu tidak seperti Jose yang biasanya dan membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya. Oke, dia memang kenapa-kenapa, sebenarnya. Jose itu salah satu ladies figure skater yang berbakat, tapi tiba-tiba saja di pertandingan musim lalu muncul seorang figure skater yang lebih muda dan berbakat yang menjatuhkannya dari berbagai pertandingan. Sepertinya, pertandingan musim kemarin adalah pertama kalinya Jose nggak dapat medali emas di pertandingan apa pun. Bahkan dia menjadi juara ke empat di European Championship kemarin. Aku sudah berusaha menghiburnya, tapi dia mengacuhkan semua chat-ku. Mungkin dia memang butuh menenangkan diri. Hmmm... Jose kenapa, ya? *** "Vishaka! Kaki bebasmu terlihat terlalu kaku!" "Landing-mu sama sekali tidak bagus! Sikap kaki seperti apa itu?" "Triple axcel-mu kurang rotasi! Ulangi dari lompatan babak kedua!" "Lompatanmu masih kurang tinggi daripada biasanya!" "Vishaka! Mana jawabanmu? Saya tidak mendengarnya!" Aku buru-buru berdiri tegak dari sikap membungkukku dan menjawab Pelatih Friday, "Baik!" Kupikir, saat Pelatih Friday memuji presentasiku beberapa hari lalu itu berarti aku sudah baik-baik saja. Ternyata, aku salah. Sejak kemarin Pelatih menjadi lebih keras padaku tanpa ada angin dan badai.Aktivitasku dijaga ketat mulai dari bangun sampai tidur. Jam latihanku menjadi lebih padat daripada biasanya. Dan, tentunya, aku jadi lebih mudah lelah. Aku nggak pernah latihan sampai segininya dulu. "Istirahat tiga puluh menit. Makan yang benar dan jangan minum air dingin!" Saking lelahnya, aku sampai nggak bisa menjawabnya.Sebodoh amat. Aku sedang kesal dengan Pelatih Friday. Dia kayak orang kesurupan sekarang. "Ini, handuk." Sera, seorang figure skater yang baru akan mengikuti pertandingan senior musim ini menyodorkanku handuk. "Makasih," kataku setulus mumgkin karena kami senasib saat ini. Ya, skater polos ini mendadak jadi sasaran kekejaman Pelatih sama sepertiku."Kamu nggak latihan?" tanyaku sambil mengelap keringatku. "Pelatih menyuruhku latihan'dengan benar' di studio. Sekarang aku lagi istirahat " katanya sedikit manyun. "Katanya, kalau koreografiku belum bagus, aku nggak boleh berseluncur kecuali untuk evaluasi." Aku berdecak. "Orang itu kenapa, sih?" gerutuku. Sera menggelenglemah. "Nggak tahu. Mana marah-marahnya sama kita berdua saja," katanya. "Iya," kataku membenarkan. Pelatih nggak bersikap adil. "Ukh. Aku nggak ngerti lagi gimana supaya aku bisa memuaskannya!" "Apa koreografiku sejelek itu ya, sampai Pelatih Friday marah-marah terus padaku?" Aku menepuk kepala Sera. Dia menatapku sedih, jadi aku berusaha memberikan senyum untuk menyemangatinya. Kasihan skater muda ini, dia pasti kaget pada perubahan sikap Pelatih yang tiba-tiba."Hei, dia juga marah-marah ke aku, lho. Itu artinya memang ada yang kurang dari kita. Pokoknya kamu latihan sebisamu saja. Jangan terlalu memaksakan diri." Sera mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ya ampun. Kasihan sekali anak ini. Pelatih Friday sudah kelewatan kalau sampai bikin anak orang menangis. "Sera! Waktunya kembali ke studio!" panggil Shin dari kejauhan. "I-iya!" serunya. Sera buru-buru berdiri untuk kembali ke studio. Ternyata dia latihan bersama Shin. Kuharap Shin nggak menambah beban pikiran Sera. Terkadang perkataan Shin terdengar cukup tidak berperasaan. Aku kembali latihan tak lama setelahnya. Kesimpulan dari latihan hari itu adalah: Pelatih masih tidak puas dengan cara landing-ku yang, menurut pengakuannya, terlihat kayak ditahan sesuatu. Aku nggak mengerti apa maksudnya, tapi aku nggak mau bertanya apa maksudnya. Biar nanti kucari tahu sendiri dari rekaman latihanku. "Lakukan pendinginan yang benar, lalu pulang. Jangan latihan lagi setelah ini," beritahunya. Yah, aku nggak segila itu sampai mau latihan lagi. "Siap!" "Besok kita bertemu di jam yang sama." Begitu Pelatih menutup ceramahnya, aku langsung kabur ke pinggir ice rink dan melakukan pendinginan. Aku memerhatikan Pelatih yang sedanh melatih skater lain. Dia tertawa! Apa-apaan itu?! Dia bahkan belum tersenyum padaku sejak penyiksaan ini dimulai! "Aw!" Aku meringis waktu tangan basah-keringatku menyentuh kakiku. Ada banyak luka gores dan memar di sana hasil dari latihan selama ini. Ditambah dengan penyiksaan dua hari ini, lukanya makin banyak, membuat kakiku tampak jelek. Aku nggak mau memamerkan kaki yang jelek seperti ini pasa siapa pun. Tapi memikirkan betapa sakitnya nanti kakiku waktu aku harus berjalan pulang menggunakan sepatu membuatku berpikir untuk pulang menggunakan sadanl jepit. Akan kucek lokerku. Kuharap aku menyimpan sandal jepit di sana. "Aku pulang dulu!" pamitku setengah berteriak pada semua yang ada di ice rink. Aku berpapasan dengan Shin serta Sera yang baru saja keluar dari studio. Mata Shin langsung menuju kakiku yang tidak mengenakan alas apa pun. "Jangan lihat kakiku!"suruhku galak. Mata Shin ganti menatapku. "Sudah mau pulang?" tanya Sera. "Pelatih menyuruhku pulang," beritahuku. "Kamu nggak pulang?" "Setiap selesai latihan di studio, aku harus mempresentasikannya pada pelatih," katanya lesu. Biar kutebak: setelah itu Pelatih pasti akan menceramahinya. "Semangat, ya!" kataku. "Makasih. Aku duluan kalau begitu." "Oke!" "Kau akan pulang tanpa alas kaki?" tanya Shin tepat setelah Sera berlalu. "Ya nggaklah!" jawabku. "Yang ada kakiku malah tambah sakit dan jelek!" "Lalu?" "Aku pulang pakai sandal jepit. Itu pun kalau aku bawa." "Kalau tidak?" "Terpaksa pakai sepatu." Aku mendengus. "Sudah! Jangan banyak tanya! Suasana hatiku lagi jelek. Tolong jangan memperparahnya,"kataku kesal. Aku segera meninggalkannya demi menghindari diriku yang bisa-bisa marah-marah nggak jelas. Sayangnya, sandal jepit yang kuharap-harapkan itu ternyata nggak ada di lokerku. Entah aku memang nggak menyiapkannya atau sandal jepitku hilang. Yang jelas, sekarang aku terpaksa harus berjalan 20 menit menggunakan sepatu. Semoga kaki-kakiku kuat menahan rasa perih karena bergesakan denganbahan sepatuku. Aku belum selesai melewati halaman bangunan ice rink waktu aku mendengar Shin memanggilku. "Kuantar kau pulang. Tapi aku menunggu Sera dulu. Biar sekalian berdua," katanya. "Kamu mau mengantar kami balik ke apartemen pakai apa?" Shin menunjukkan kunci mobil di tangannya. "Mobil Pelatih." "Baiklah."Aku menerima tawarannya. "Masuklah kembali dan tumggu di lobi. Kau bisa melepas sepatumu. Luka-luka di kakimu butuh bernapas." Baik aku maupun Shin sama-sama menunggu Sera di lobi. Kakiku yang telanjang bercampur dengan diam di antara kami membuat Shin memilih untuk memerhatikan kaki-kakiku. "Kubilang apa tadi?" tegurku. Anehnya, Shin tampak kaget. Dia langsung mengalihkan pandangannya dari kakiku. "Kau akan baik-baik saja." "Rasanya aku ingin mempercayai itu," ucapku setengah mengejek."Friday kelihatan nggak akan berhenti menyiksaku--dan Sera--sampai kaki kami patah." "Pelatih Friday," tegurnya, mengingatkanku pada kesopanan ala Asia. Yah, persetanlah. "Pelatih hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. Kau mau menang, kan? Kenapa mengeluh? Menjadi juara tidak semudah itu." Aku berdecak kesal. "Aku mengeluh karena... entah mengapa Pelatih nggak juga puas dengan apa yang kulakukan. Kau tahu, dia mendadak terlihat ambisius dan itu menyebalkan.Aku capek, oke?" jelasku. "Dan, kau lihat bagaimana Sera? Dia bahkan hampir menangis tadi!" "Apa kau sudah bertanya pada Pelatih mengapa dia melakannya padaku." "Hah! Kayak aku punya waktu buat bernapas ketika kami bersama saja." "Tanyakan. Pasti ada alasannya." Aku melayangkan tatapan aku-kan-sudah-bilang-kalau-aku-nggak-punya-waktu-untuk-itu pada Shin. "Kalau tidak mau, anggap saja ini jalan menuju kemenanganmu." "Aku kadang berpikir: apa harus sesuah ini?" gumamku. Aku mengangjat sedikit kakiku dan meluruskannya. Lalu, kugerakkan pergelangan kakiku. "Banyak komentar jelek yang menghujaniku tiap aku membagi kemenanganku di sosial media, tubuhku yang berubah membuatku haruslebih ekstra hati-hati dna mendapat siksaan ini, Pelatih yang berubah, dan satu-satunya temanku di sini tiba-tiba tidak bisa dihubungi!" keluhku. "Aku tahu menang itu tidak mudah, tapi... apa harus halangan untuk menang itu datang dari orang lain?" Shin terdiam cukup lama sebelum mengatakan sesuatu. "Manusia itu... memang demikian. Mereka terkadang melakukan apa pun untuk menang, bahkan walau itu artinya mereka harus membunuh lawannya. Mereka tidak mudah puas dengan apa yang dicapai orang lain. Manusia... memang seperti itu." Aku mendengus. "Heh. Manusia itu memengerikan." *** Aku sudah mempersiapkan diri kalau siksaan Pelatih akan terus berlanjut sampai pertandinganku musim ini dimulai. Tapi, rasanya aku kayak sudah mendapat siksaan selama berabad-abad ketika Robb baru kembali. "Vishaka! Fokus! Fokus! Step sequence-mu sama sekali tidak bagus! Ulangi dari awal!" Sialan! Aku begitu karena luka-luka di kakiku terasa perih tahu! Setelah mengulang program free skating-ku sekali lagi, Pelatih akhirnya menyuruhku pulang. Haha, mungkin dia kesal sendiri karena aku nggak juga memenuhi ekspektasinya. "Kuperingatkan agar jangan menggodaku," kataku ketika melihat Robb mendekatiku. Robb duduk di sampingku, terlihat perlahan dan hati-hati. "Kayaknya dance cover kita batal," katanya. Tentu saja. Jatah liburku saja sekarang cuma sehari."Kalau kamu memang segitu penginnya melakukan dance cover, kamu bisa melakukannya dengan Jose." "Hah?" Robb tampak melongo kaget. "Oy, kamu punya Instagram, kan? Apa kamu nggak pernah mengeceknya?" Aku memutar bola mataku. "Kamu lihat sendiri bagaimana Pelatih menyiksaku! Mana sempat aku buka Instagram! Mending aku tidur atau menghubungi orang-orang di kampung halamanku." "Kamu serius nggak tahu?" "Apaan, sih?" Robb berdecak nggak sabaran. Akhirnya dia memberikan ponselnya padaku. "Coba lihat video itu," suruhnya. Video itu berdurasi nggak sampai lima belas detik itu memperlihatkan Jose yang sedang melakukan quad lutz dengan pendaratan super mulus. "Ice rink mana ini? Aku nggak mengenalinya," tanyaku. Jelas sekali kalau ice rink di video itu bukan tempat diselenggarakannya Star on Ice apalagi di sini. "Amerika. Ice rink tempat Stephanie Young menjadikan bace camp-nya," jawab Robb. Ah. Stephanie Young itu salah satu pelatih yang berhasil mencetak cukup banyak juara skating tingkat dunia. "Kalian studi banding waktu di sana?" "Kamu nggak paham juga?" tanya Robb. "Jelas sekali, kan? Josephine pindah pelatih!" "Hah?!" seruku kaget. Aku mengulang video itu lagi. Jose nggak bilang apa-apa padaku! "A-aku nggak tahu kalau dia pindah pelatih," ucapku terbata. "Kenapa?" Robb menganvkat bahunya. "Aku nggak sempat tanya. Lebih tepatnya, bocah itu menghindariku terus selama Star on Ice kemarin," jelasnya. "Melihat bagaimana reaksimu dan perlakuannya padaku, sepertinya Jose sengaja merahasiakannya. Yah, walau sekarang sudah nggak jadi rahasia lagi. Beritanya sudah ada di mana-mana." Kalau memang benar begitu, pantas saja Jose mengabaikan semua pesanku. "Tapi... tapi kenapa? Maksudku, sampai World Championship kemarin dia tidak mengatakan apa-apa padaku." "Mungkin, mungkin ya, dia menganggpmu sebagai rival." "Alasan macam apa itu?" tanyaku. "Yang mengalahkannya sepanjang pertandingan musim kemarin kan cewek Rusia yang nama belakangnya sulit dieja itu! Lagian, aku ini nggak pernah berada di atasnya." "Ah, kalau begitu biar kukoreksi. Mungkin, Josephine menganggapmu sebagai ancaman." "Hah?" "Dan karena dia tahu kamu adalah ancaman baginya, maka dia berganti pelatih supaya dia bisa lebih berkembang." "Hah?" "Sssh! Berhenti hah-hah terus, bambina." "Apa pelatih tahu soal ini?" Robb mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku belum tanya. Kamu nggak mau tanya?” Aku bergidik ngiri. “Hii! Nggak ah!” “Tanya, dong. Aku penasaran dengan alasan kepindahan Jose. Kalau soal ancaman sih, yah, Shin kan juga ancaman bagiku.” Aku melihat pelatih yang kini ganti menyiksa Sera.Dengan keadaan yang seperti sekarang dan aku yang akhir-akhir ini menunjukkan sikap kesal dan marah terang-terangan padanya, mungkin Pelatih nggak akan mau menjawab pertanyaanku. “Kalau ada waktu, nanti kutanyaka deh,” janjiku. Mau bagaimana lagi? Aku juga penasaran dengan alasan kepindahan Jose. Fun Fact! (3) Kembali lagi di bab Fun Fact! Seperti janji saya, saya akan menjelaskan sedikit tentang jenis-jenis lompatan. Sebelumnya, lompatan dalam skating bukan sekadar mengangkat kaki ke atas lalu langsung kembali ke permukaan. Lompat dalam skating memiliki rotasi. Jadi, sambil melompat, seorang skater juga berotasi (berputar) di atas permukaan. Putaran yang umum dilakukan ladies serta pairs adalah 2x 360° (double jump) dan 3x360° (triple jump), sedangkan dalam men bisa sampai 4x360° (quad jump). Tapi, baru-baru ini ladies (bahkan yang tingkat junior pun) mulai mencoba quad jump. *catatan: berhubung latar waktu dari cerita ini sudah melewati Beijing Winter Olympic yang bahkan belum dilaksanakan, saya membuat seolah quad jump adalah hal yang lumrah pada ladies. Jenis-jenis jump adalah sebagai berikut:1. Toe Loop (TL)2. Salchow (S)3. Loop (L)4. Flip (F)5. Lutz (Lz)6. Axcel (A) Kalau pembaca nonton suatu program skating untuk pertama kali, semua lompatan kelihatannya akan sama saja (saya dulu juga gitu, hahaha). Cara mudah untuk membedakan mereka adalah dengan melihat take-off lompatan skater (soalnya hampir semua landing (pendaratan) dari lompatan adalah sama). Menurut saya pribadi, lompatan yang paling mudah diketahui adalah axcel. Penjelasan mengenai lompatan sampai di sini saja. Menjelaskan tiap-tiap lompatan tanpa bantuan gambar dan video akan susah dimengerti, jadi kalau pembaca sekalian ingin tahu lebih lanjut lagi pembaca bisa mencari video di YouTube dengan kata kunci "how to tell a jump on skating". Semoga penjelasan saya kali bermanfaat! Terima kasih! Bab 9 Berita kepindahan Jose langsung menjadi topik hangat di antara para skater bimbingan Pelatih Jose. Aku yang sampai sekarang nggak tahu alasan pastinya dan nggak berani juga bertanya langsung ke pihak yang bersangkutan menjadi sasaran kepo yang lain. “Aku nggak tahu, teman-teman. Serius!” kataku. “Kamu nggak chat Jose?” “Dia mengacuhkan semua chat-ku.” “Tanya Friday?” “Idih! Kalian tahu sendiri bagaimana hubungan kami sekarang, kan?” Begitulah: hubunganku dengan Jose serta Pelatih Friday memburuk. Padahal, hubungan kami sangat baik dulu. Parahnya, memburuknya hubungan kami karena mereka. Iya, aku nggak sudi mengakui memburuknya hubungan kami adalah karena aku yang nggak mau usaha untuk berbaikan. Kan mereka yang mulai duluan dengan nggak mengatakan apa pun padaku! “Oy! Ladies! Kalau kalian sudah selesai menggosip, cepat ke sini! Kita mulai latihannya!” panggil salah seorang teman kami yang lain. “Iya, iya!” Pertengahan musim panas latihan bersama yang awalnya cuma seminggu sekali menjadi dua kali seminggu. Pertandingan terdekat ada di akhir Agustus, tapi nggak semua skater bertanding di bulan itu. Aku misalnya, pertandingan terdekatku sekitar September atau Oktober. Pertandingan skating ada banyak soalnya. Mulai dari yang lokal, tingkat internasional yang hanya diikuti oleh skater pemula, sampai tingkat mentereng macam World Championship. Beberapa pertandingan memiliki banyak syarat. Misalnya saja Grand Prix: kau nggak bisa asal daftar lomba itu kalau skormu nggak sampai 3/5 dari skor tertinggi tahun lalu. Pertandingan terdekat yang dimulai akhir Agustus membuat Pelatih mulai sibuk dengan skater lain. Intensitas siksaannya padaku dan Sera agak berkurang, meski sebagai gantinya kami mendapat ceramah panjang yang terkadang diikuti dengan nada tinggi. Tapi seenggaknya, latihan kami nggak sepadat dua minggu lalu. “Little lamb! Mumpung siksaanmu sudah berkurang, bagaimana kalau nanti kita makan malam bersama. Kita rayakan kebebasanmu dan Sera!” ajak Robb. Aku mendecih. “Bilang saja kalau kamu lagi cari teman makan karena sekarang ganti pasanganmu itu yang disiksa Pelatih!” kataku. Robb manyun, sebuah ekspresi yang sama sekali nggak cocok untuk dilakukan oleh seorang pria yang hampir berkepala tiga."Ayolah,little lamb. Aku yang traktir." "Nggak. Aku mau belanja." "Oh! Kalau begitu kutemani!" "Aku nggak butuh ditemani!" "Hee? Bukannya sejak Josephine pindah pelatih kamu jadi kesepian, ya? Daripada kesepian, lebih baik kutemani, kan?" Aku menendang kaki Robb sampai dia mengaduh kesakitan. "Siapa bilang aku merasa kesepian?! Aku nggak masalah walau aku sendiri. Lagian, bukannya yang kesepian itu kamu?" "Makanya, mari kita bersama-sama mengatasi rasa sepi ini." "Nggaaak!" "Kalian berisik sekali," decak Shin."Aku sampai tidak bisa berkonsentrasi pada musikku." "Shin!Latihanmu sudah selesai?" Nah, mumpung perhatian Robb teralihkan pada Shin, aku menggunakan waktu itu untuk kabur pulang. Sayangnya, setelah aku berhasil kabur dari Robb aku malah berpapasan dengan Pelatih. Kami bertatapan sebentar, aku mencoba untuk tersenyum. Sambil melangkah tenang menuju lobi depan, aku berdoa dalam hati supaya Pelatih nggak mencegatku. Bisa-bisanya kami bertemu di sini. Bukannya tadi dia sedang melatih Shin? "Vishaka," tegur Pelatih. Uh. Oh. Ini dia. "Ya? Pelatih?" "Saya belum menyuruhmu pulang." Tidaaak! "Jadwal latihanku sudah berakhir,"kataku berusaha mengelak. "Tunggu saya di studio 2 bersama dengan Sera." Sialan! Dia nggak mau mendengarku! Aku pun terpaksa berjalan kembalimenuju area ice rink.Kalau benar dia masih melatih Shin, berarti dia akan lama. Aku nggak mau menunggu sendirian sampai bosan di studio 2, jadi lebih baik aku nonton latihan Shin. "Oh. Kamu kembali, litlle lamb!" sambut Robb sumringah. Ada Sera di sampingnya. "Kenapa? Kamu berubah pikiran, ya?" "Kata siapa?"gerutuku. "Pelatih menyuruhku untuk menunggunya bersama Sera." "Eh? Aku?" Sera menunjuk dirinya sendiri. "Itu artinya kamu belum boleh pulang, Nak," beritahuku. Sera langsung terlihat lesu. "Kayaknya mau ada yang kena amuk," ejek Robb. Aku langsung memukul lengannya keras-keras. Tapi Robb malah tertawa keras-keras. Robb baru menghentikan tawanya ketika musik pengiring short program Shin terdengar. In Regards of Love: Agape oleh Taro Umebayashi. Lagu yang awalnya kalem dan akan membuat pendengarmya berdebar karena rasa haru di akhirnya. Dengan lagu yang seperti itu dan Shin yang berwajah datar-dingin-serius, aku heran mengapa dari semua lagi dia memilih lagu itu. Biasanya sih dia akan memilih musik klasik yang mendebarkan macam simponi begitu... "Uwaaah." Aku menutup mulutku. Syok bercampur terpana. Bibir serta alis yang tidak bergerak itu membuat Shin kelihatan berekspresi datar. Tapi matanya... Matanya terlihat seakan mempresentasikan agape itu sendiri: terlihat tulus tanpa syarat apa pun. Diikuti dengan gerakannya yang lebih lembut dari biasanya membuat short program-nya ini lengkap. "Selama berbagi studio dengan Shin kemarin aku tahu short program-nya sebagus ini. Tapi melihatnya di atas es begini membuatku malah ingin menangis karena terharu," kata Sera terkagum-kagum. Di sebelahku, Robb mengangguk. "Ini seperti bukan skating-nya." Ini memang seperti bukan skating-nya. Short program Shin yang tidak jadi dia gunakan dan sempat kulihat saja tidak semengena ini. Bagaimana dia melakukannya? Ketika musik pengirinya berhenti, aku otomatis bertepuk tangan. Tidak aku saja, yang lain juga ikut bertepuk tangan. Bukan jenis tepuk tangan yang meriah yang menggema di sepenjuru ice rink, melainkan jenis tepuk tangan pelan yang menunjukkan ketidakpercayaan. Pasti yang lain juga tidak percaya kalau yang barusan adalah Shin. "Bagus, Shin." Kudengar Pelatih mengomentari presentasi Shin. "Tapi ekspresimu masih kurang." Itu benar. Kalau dari dekat begini semua orang pasti bisa terhipnotis pandangan matanya. Lain lagi kalau ini ice rink untuk pertandingan, di mana bangku penonton cukup jauh untuk nggak dapat memperhatikan matanya, mereka mungkin akan merasa ekspresi Shin masih sangat kurang. Selain itu, meski gerakan Shin berubah, bagiku detailnya masih kurang. "Apakah kamu mengerti? Bandingkan lagi dengan program Vishaka." Apa? Apa? Shin menyempatkan diri untuk menatapku sekilas sebelum menjawab Pelatih, "Baik, akan segera saya perbaiki." Aku mengawasi kepergian Shin. Rasanya akan benar-benar nggak adil kalau dia sampai bisa menghayati skating-nya dengan lompatan-lompatan yang sempurna. Skating-nya bakal auto berada di level dewa. "Sepertimya Shin yang terakhir. Vishaka, ayo ke studio 2 sekarang," ajak Sera. Aku mengangguk mengiyakan. Hanya berselang 10 menit sejak kedatanganku dan Sera di studio 2, Pelatih datang. Aku nggak bisa menerjemahkan ekspresinya saat ini. Tapi, kayaknya, dia nggak akan marah. Ceramah, sudah pasti. "Pertemuan" dadakan ini dibuka dengan dehaman Pelatih. "Saya menjadi sangat keras pada kalian akhir-akhir ini," akunya. Aku mencibir terang-terangan. "Dan, itu beralasan," tambahnya tajam sambil menatapku. "Iya, tentu saja," kataku. "Setelah sekian lama, membuatku kesal sendiri, capek sendiri, bingung sendiri, akhirnya Pelatih mengatakan alasannya juga. Memangnya harus butuh waktu selama ini untuk mengatakannya?" "Maaf soal itu. Saya hanya tidak tahu bagaimana memulainya." Pelatih menatap Sera. "Sera, Nak, ini akan menjadi musim pertamamu di senior. Mulai saat ini lawan-lawanmuakan berbeda: mereka lebih kuat secara fisik dan batin. Saya diberitahu Shin kalau kamu sempat beberapa kali terlihat hampir menangis. Saya tidak melarangmu menangis, tapi tolong diingat kalau ada skateryang berjuang lebih keras daripada kamu sampai dia tidak punya waktu untuk menangis.Sakitnya kekalahan dan kekecewaan lebih parah dari yang kamu rasakan saat ini. Kamu mengerti?" "Ba-baik! Aku mengerti!" jawab Sera. "Vishaka." Pelatih beralih padaku. "Kepindahan Jose yang mendadak serta alasannya meninggalkan kita membuat saya merasa gagal sebagai pelatih. Kalian semua di sini adalah kawan sekaligus lawan, dan Jose bilang dia tidak bisabersama kita terus karena saya memperlakukan kalian semua secara sama. Terutama dalam memperlakukanmu dan Jose,"jelasnya. "Hah? Itu nggak benar! Buktinya Pelatih membiarkannya melatih banyak lompatan sekaligus, sedangkan aku hanya satu lompatan sampai aku benar-benar menguasainya." Pelatih mengembuskan napas panjang. "Tapi itulah yang dirasakan Jose. Dia merasa tidak bisa berkembang kalau berlatih bersamamu, maka dari itu dia mencari pelatih lain. Sangat wajar bila seorang figure skater akan berganti pelatih bila ia merasa tidak ada perkembangan di pelatih sebelumnya. Dan, itu membuat saya... sedikit tersinggung. Sampai akhirnya saya melampiaskannya padamu, sebagai seseorang yang dianggap Jose sebagai ancaman yang berbahaya saat ini," katanya dengan penuh penyeselan. Aku jadi merasa bersalah sendiri. "Ditambah dengan masalah perubahan tubuhmu, saya makin gelap mata untuk membuktikan bila kamu adalah seorangfigure skater setekah kepergiannya. Sikap saya ini tidak baik. Saya merasa gagal menjadi pelatihmu--dan yang lain--karena sudah bersikap kekanakan terhadap kalian. Saya minta maaf." Aku diam untuk beberapa saat. "Kalau keadaanku semengkhawatirkan itu sampai bisa kalah dari Jose, itu nggak masalah. Aku kan memang selalu kalah dari Joae," kataku pelan. "Nak! Jaga bicaramu!Jose sudah memandangmu sebagai ancaman, jadi jangan sampai kamu melihat dirimu rendah," tegur Pelatih terdengar marah. "Oke, oke." "Vishaka, mungkin kamu tidak merasakannya sekarang. Latihan dan pertandingan itu berbeda. Selama latihan, walau dengan masalah perubahan tubuhmu, kamu memang bisa melakukan semua programmu dengan baik. Tapi nanti, saat pertandingan yang sebenarnya, tidak ada yang tahu bagaimana," katanya. "Pokoknya ketika kamu bertemu Jose, jangan biarkan dirimu termakan lompatannya yang lebih baik darimu. Kamu mengerti?" "Siap, siap!" "Jangan sampai kamu frustasi pada jenis lompatanmu yang itu-itu saja. Fokus pada programmu, dan kamu akan baik-baik saja." Pelatih memegang pundak kami berdua. "Musim ini akan menjadi musin yang cukup berat bagi kalian." *** Ya gitu deh, intinya aku masih dalam proses pemyiksaan. Ukh, gue turut berduka. Semoga lo baik-baik aja, Ka. Eh, btw, kamu sibuk nugas kuliah, nggak? Nggak juga. Kenapa? Besok aku kirim video latihanku, tolong dicek geturnya. Kali aja ada yang kelewatan atau apa. What? Apaan? Lo kerasukan sesuatu tetiba minta tolong gue ngulik gerakan lo? Biasanya lo malah ngejek gue cerewet. Ada skater gila yang lompatannya udah sangat bagus yang sekarang mencoba menyempurnakan koreografinya sampai detail terkecil. Aku nggak rela kalau dia dapat skor sempurna baik di presentasi maupun teknik. Hahaha! Dasar lo! Bilang aja kalau lo iri! Emang iya! Masalah lainnya adalah: dia pakai video skating-ku buat referensi penyempurnaan koreografinya. Aku nggak mau presentasinya lebih bagus dari aku! Oke, oke. Besok langsung kirim. Gue tunggu. Uuunch. Makasih Mita, sayaaang~ Idiiih. Apaan sih, lo? Jijay! Btw, Nicholaas mana kok nggak muncul? Nggak tahu. Sibuk nugas kali. Anak FMIPA, sih. Aku tuh sejak dulu heran kenapa dari semua jurusan Nicholaas milihnya fisika. Like, bruh, dia ballerina dan pilihan kuliahnya adalah fisika. Kalau kamu kan masih ada hubungannya sama sosial gitu-gitu lah, ambilnya hubungan internasional. Lo pikir gue juga nggak heran? Yang tahu pertama kali itu gue, bukan orangnya sendiri! Fisika itu membantuku dalam bergerak, ladies. Balet itu soal gaya. Gaya = fisika. Paham? Nah, ini anaknya muncul. Kemana aja lo? Mohon maaf saudara-saudara, hamba kuliah pagi karena ada pratikum. Ah, iya. Kadang aku lupa kalau perbedaan waktu kita 12 jam. Tidur sana. Nggak bisa. Aku lapar dan belum sempat belanja gara-gara ketahan latihan ekstra tadi. Huhuhu. Kamu kedengaran kayak anak kos akhir bulan yang kehabisan uang. Kamu nggak beneran kehabisan uang, kan? Minggu kemarin kan kamu barusan aktif endors entah-apa-itu. Aku ada uang, kok. Nggak sempat belanja aja. Cuma sisa biskuit sama susu di apartemen. Itu nggak cukup mengembalikan tenagaku yang habis. Delivery, dong. Minta tolong abang ojek beliin makanan. Ya menurut ngana aja, deh. Minta makan ke temanmu yang namanya Josephine itu? Yang peka dikit dong, Nicholaas! Lo membuka luka lama Vishaka tahu! Eh, sori. Lupa kalau dia ganti pelatih. Ya udah, sih. Tahan aja. Anggap lo lagi diet. Yang bener aja, deh! Eh, eh. Gue rencana mau winter di Jepang. Ketemuan, yuk! Pengumuman penempatan belum keluar, ya? Belum. Paling awal bulan depan. Nanti aku kabari, deh. Oke, oke! Sekali-sekali gue nonton pertandingan live lo. Haha! *** “Vishaka!” panggil Sera dengan tergopoh-gopoh. Aku menguap. Sekarang minggu, aku baru mencuci muka dan turun untuk berbelanja. “Pagi, Sera. Ada apa? Mau bareng belanja?” “Penempatan Grand Prix sudah diumumkan!” beritahu heboh. Aku langsung sadar seketika. Agustus datang, bersamaan dengan pengumuman penempatan seri Grand Prix-ku yang sama sekali nggak kuduga. Bab 10 Penempatan seri Grand Prix 2024:Vishaka MEIRA - Skate Canada, NHK TrophyShin KAGAMI - Skate Canada, NHK TrophyRobert CRAINE - Grand Prix of Helsinki, NHK TrophySera LAMBERT - Grand Prix of Helsinki, Internationaux de FranceGrand Prix Final - Rostelocom Cup *** "Oh! Pertandingan pertama bersama Sera!" seru Robb senang. Tangannya terangkat mengajak tos Sera. "A-aku nggak siap. Itu pertandingan pertama," ucap Sera tergagap. Dan yang terakhir. Hahaha. Sera pasti sangat gugup karena dia mendapat penemoatan pertama sekaligus terakhir sebelum final. Kalau sampai nggak masuk final, dia pasti bakal kecewa berat. "Tenanglah, little lamb! Kau pasti bisa masuk final!" hibur Robb sambil menepuk-nepuk punggung Sera. "Bagaimana bisa tenang? Angkatanku jumlahnya sudah sedikit, aku tidak mengenal mereka semua lagi. Di dua pertandingan Grand Prix-ku kali ini yang kukenal cuma kamu, lainnya tidak ada," kata Sera kecewa. "Kenapa banyak yang berkumpul di NHK Trophy? Kau, Shin, Vishaka, bahkan Josephine!" "Harusnya kau bersyukur, Sera," kataku. "Kamu nggak lihat apa, orang-orang yang berkumpul di NHK Trophy? Semuanya pro! Juara dunia! Kalau nggak hati-hati, aku bisa terdepak dari kualifikasi final!" "Heee? Jadi kamu juga ketakutan kayak Sera? Hmm, Vishaka?" goda Robb. "Gimana nggak!?" tanyaku frustasi. "Coba lihat nama-nama itu! Jose, cewek Rusia yang namanya sulit kueja itu, temannya si cewek Rusia, dan pacar Shin! Makin dilihat, bikin aku makin yakin kalau aku nggak bakal masuk tiga besar dengan keadaanku yang sekarang." "Itu tidak akan terjadi kalau kau paling tidak mendapat peringkat pertama di Skate Canada," sahut Shin. Dia lalu memukul kepalaku pelan dengan koran yang dibawanya. "Lalu, Aoyanagi bukan pacarku." "Benar apa kata Shin." Robb mengangguk-angguk setuju. "Pokoknya, selama kalian dapat peringkat satu di pertandingan pertama, posisi kalian di final pasti terjamin."Aku dan Sera sama-sama menghela napas panjang. Musim kemarin adalah final Grand Prix pertamaku. Kalau musim ini aku sampai nggak bisa masuk final, bakal kutaruh di mana mukaku? Apalagi aku sudah menjanjikan tiket World Championship pada Bunda. Apakah memang tidak mungkin bagiku untuk ikut World Championship musim ini? "Kau berpikir terlalu jauh, Vishaka. Mana semangat ingin menangmu April lalu?” kata Shin padaku. “Kau bilang kau mau tiket World Championship, kan?” Aku bertopang dagu. Iya, aku mau. Mau sekali. Tapi kalau begini caranya… “Aku sudah berjanji padamu. Jangan khawatir,” gumam Shin, lalu menepuk kepalaku. *** Sehari setelah pengumuman penempatan seri Grand Prix, Pelatih Friday mengumpulkan kami semua seperti biasa. Dia membicarakan secara garis besar lawan-lawan kami di tiap pertandingan. Di pertandingan pertamaku, Skate Canada, aku bisa merasa lebih percaya diri. Hanya ada dua juara dunia yang sudah pasti akan menghambat perjalananku, teman si cewek Rusia serta So Yoo. Aku yakin paling tidak aku bisa masuk tiga besar. Kalau aku beruntung, mungkin aku bisa ada peringkat dua atau bahkan satu. Selain akan bertemu dengan teman si cewek Rusia dan So Yoo, aku mendapati seorang skater berasal dari Indonesia yang kelihatannya baru kali ini mengikuti seri Grand Prix senior. Itu menyadarkanku kalau Indonesia sudah menjadi anggoda ISU. Berhubung aku tidak mengenalnya, aku harus mewaspadainya. Mungkin, aku bisa mulai mencari namanya di YouTube setelah ini. Pertandingan keduaku, NHK Trophy, adalah panggung para juara dunia. Rasanya, cuma aku satu-satunya ikan teri di NHK Trophy. Habis, mulai dari kompetisi ladies sampai ice dance semuanya diisi oleh para juara. Persaingan di seri ini pasti akan sangat ketat. Aku nggak habis pikir mengapa namaku bisa muncul di antara mereka.Di pertandingan kedua itu juga lah aku akan bertemu dengan Jose. Ha! Cewek itu! Mari kulihat apa alasannya pergi nggak bilang-bilang! Sebelum Grand Prix, aku dan Shin akan mengikuti Shanghai Trophy sebagai percobaan program kami. Ini akan menjadi pertama kalinya sejak aku berlatih di Toronto tidak mengikuti ACI Skate Canada. Dan… pertama kalinya aku akan dalam satu pertandingan yang sama terus bersama dengan Shin. “Aku tidak mengenal siapa Lazuardi ini,” gumam Shin di sampingku. “Kau mengenalnya?” Aku menggeleng. “Pernah dengar namanya saja. Sejujurnya, aku nggak sebegitu mengenal skater dalam negeri,” akuku. “Kau ini anti sosial atau bagaimana?” “Aku nggak anti sosial!” kataku. “Aku… nggak akrab aja dengan mereka.” “Skater dari negaramu bakalan ikut Shanghai Trophy semua, lho.” “Serius?” “Coba kau lihat lagi sana daftar pesertanya.” Benar saja. Waktu kucek, setidaknya ada tiga skater dari Indonesia yang mengikuti Shanghai Trophy. Tumben sekali pergerakan mereka cukup kencang. Aku pun memutuskan untuk mengecek sosial mediaku. Pengumuman mengenai ikut berpartisipasinya skater dalam negeri cukup ramai diperbincangkan. Respon netizen terlihat positif. Mereka mendukung ketiga skater itu dengan sepenuh hati. Tiga skater. Ti-ga. Karena memang hanya tiga nama yang disebutkan disebutkan di berita-berita dalam negeri. Aku merasa cukup sedih sekaligus miris ketika aku mengecek foto yang baru kuungah beberapa waktu lalu. Foto itu memperlihatkan diriku yang sedang melakukan spiral side-to-side dengan skater cewek lain di sini. Isi komentarnya jangan ditanya: pokoknya nggak jauh-jauh dari menyuruhku agar menutup aurat dan berhenti pamer. Ada apa sih, dengan orang-orang ini? “Bukannya aku iri sama mereka sih, Bun. Tapi… aku juga mau didukung kayak gitu. Bunda kan tahu gimana isi komentar Instagram-ku,” aduku pada Bunda sebelum aku tidur. “Iya, aku tahu kok kalau Bunda, Mita, Nicholaas, bahkan pelatih balet super galakku itu mendukungku… Iya, Bun. Makasiiih… Oh, aku berangkat sekitar akhir September. Selang tiga minggu baru Skate Canada. Kenapa? Bunda ada acara di Shanghai?... Nggak, Bun. Serius. Aku iseng tanya aja… Oh, mereka bakal ikut Skate Canada kayak aku juga… Hmm, Bun. Jangan lupa doakan aku, ya? Paling nggak, supaya aku nggak cedera. Hahaha! Aamiin, aamiin!” *** Hari-hariku selanjutnya diisi dengan latihan sampai kompetisi Shanghai Trophy dimulai.Entah hanya perasaanku saja atau tidak, tapi Pelatih sebisa mungkin mengikutsertakan anak didiknya pada kompetisi yang dekat dengan negara asal mereka. Shanghai Trophy ini, misalnya. Para skater lain yang kampung halamannya ada di Asia, yaitu aku dan tiga cowok lainnya, pada diikutkan Shanghai Trophy semua. Aku senang sih, soalnya walau bukan Indonesia, paling nggak aku merasa dekat. “Yah. Ini bukan pertama kalinya kalian ikut Shanghai Trophy, jadi saya nggak perlu memandu kalian untuk berjalan-jalan setelah ini. Kalian bisa ajak Zhang yang memang asli sini kalau nggak mau tersesat,” kata Pelatih Weber, partner Pelatih Friday, membuat yang lain tertawa. “Tentunya, saya--dan Friday--akan lebih senang kalau kalian beristirahat di hotel karena besok pagi kita sudah mulai latihan terbuka. Tapi, eh, kalian kelihatannya tidak sabar untuk kulineran.” “Ya! Ya! Itu benar!” “Ayo ikut, Pelatih Weber!” “Kita mau makan-makan di rumah Zhang!” “Aku nggak bilang begitu!” “Hahaha!” “Oke, terserah kalian saja. Pokoknya jangan lupa check-in dulu. Mengerti?” “Siap! Mengerti!” “Baiklah! Selamat menikmati waktu kalian dan jangan lupa beristirahat!” Hari pertama sampai di Shanghai berlangsung dengan menyenangkan karena kami benar-benar jadi makan bersama di rumah Zhang. Orang tuanya tipikal Asia yang berambisius, tapi sangat baik hati dan bertutur kata lembut. Kami bertamu di rumah Zhang sampai Pelatih Weber mengomel, bilang kalau dia tak bertemu kami di mana pun. Hari kedua, latihan terbuka, di mana orang umum dan lawanmu bisa melihat programmu. Latihan umum ini biasanya dimanfatkan untuk mengamati peserta lain dan mengatur ulang strategi. "Sabrina Ratih, represent Indonesia, please be ready." Gerakan pemanasanku langsung terhenti mendengar pengumuman tersebut. Sabrina, salah satu skater Indonesia yang ikut dalam Shanghai Trophy tahun ini. Aku sengaja menunggunya di pinggiran ice rink soalnha mau tahu bagaimana programnya. Dari video-video yang kulihat sebelumnya, dia lumayan juga. "Itu dia, skater dari negaramu," bisik Pelatih Weber. "Starting number 7, setelah ini." Mataku terus mengawasi skater itu, Sabrina. Dia datang bersama pelatih dari Indonesia yang tidak kukenal pula. Saat musik pengiringnya dimainkan, aku makin fokus memperhatikannya. Bagaimana tangannya, bagaimana pergelangan kakinya, bagaimana ekspresinya... Sama sekali tidak mengecewakan. "Skating-nya lebih dari dugaan saya, walau kamu masih lebih baik dari dia," kata Pelatih Weber tepat setelah Sabrina mendaratkan triple axcel-nya yang kurang rotasi. "Meski begitu, kamu nggak boleh menganggapnya enteng. Dia tetap saja lawanmu." Aku mengangguk. "Iya, aku mengerti," kataku. Short program Sabrina di akhiri dengan combination speed spin yang benar-benar seperti namanya. Sejak programnya dimulai dengan diawali combination triple flip - double toe, aku nggak sebegitu terkesan dengan skating-nya. Biasa saja. Tapi saat dia melakukan spiral serta spin-nya, aku berubah pikiran. Senjata Sabrina ada di teknik selain lompatan. "Lo nggak perlu ngelihatin gue sampai segitunya," tegur Sabrina, ketika keluar dari ice rink. Tunggu. Dia bicara denganku? "Eh, sori. Aku nggak bermaksud mengganggu," kataku padanya buru-buru. Sabrina memicing, lalu mendecih. Sebuah respon yang sama sekali nggak kuduga. "Jangan lo pikir gue takut sama lo yang latihan sama orang asing," katanya tajam. Ce-cewek ini barusan ngomong apa? "Aku cuma mau nonton programmu saja, kok," kataku berusaha ramah. "Mentang-mentang juara dunia dan latihan di luar negeri, lo bisa ngeremehin gue. Dasar sombong," tambahnya. Hah?! Cewek ini barusan ngomong apa?! "Vishaka." Pelatih Weber menepuk pundakku. "Ada apa? Apa yang kalian bicarakan?" Aku menoleh ke arah Pelatih Weber dan tersenyum. "Nggak ada apa-apa," jawabku. Pelatih menatapku dan Sabrina bergantian, lalu ikut tersenyum. "Sabrina, ya?" sapanya ramah pada Sabrina dan langsunh bikin cewek nggak tahu malu itu bungkam dengan keramahan Pelatih. "Programmu bagus sekali! Melebihi ekspektasi saya!" pujinya. "Anda meremehkan skating saya?" tanya Sabrina berani. "Anda pikir Anda sehebat itu?" "Hei! Jaga mulutmu!" tegurku dengan bahasa kami berdua. "Pelatih Weber ngomong baik-baik sama kamu, tahu!" "Dan, memangnya lo ngomong baik-baik waktu lo pergi tiba-tiba? Lo sendiri langsung angkat kaki dan nggak bilang apa-apa. Pengkhianat." "Hah?!" Tahu-tahu Pelatih Weber menarikku ke belakang. "Saya nggak mengerti kalian ngomong apa, kedengarannya kalian sedang ribut. Tapi," Pelatih tersenyum pada Sabrina. "Kalau kau berani macam-macam dengan skater saya, Nak, kau akan menanggung akibatnya sendiri," katanya tajam. "Lalu, saya, Vishaka, dan semua skater kami tidak pernah meremehkan siapa pun." "Kalianー" "Sab! Hei!" Seorang cowok menarik pundak Sabrina. "Lo pasti cari gara-gara lagi, kan? Pak Yance cari lo." "Dia duluan yang main ancam gue!" kata Sabrina. "Heh, bocah, aku nggak melakukan apa-apa selain nontom programmu," ingatku kesal. "Salahmu sendiri bicara nggak sopan ke Pelatih Weber." "Apaー" "Sudah. Hei!" Cowok itu menarik Sabrina menjauh dariku. Mungkin karena Sabrina nggak bisa menjawab pernyataan Pelatih atau mungkin karena dia malu sendiri, dia meninggalkan kami begitu saja dengan muka masam. Haha! Rasakan itu! Berani-beraninya dia ngomong kayak tadi ke aku dan Pelatih. Pelatih Weber berdecak. "Ada apa dengan anak muda sekarang? Berani sekali meremehkan yang lebih tua." Aku terkekeh. "Oh. Akhirnya Pelatih mengakui umur sendiri!" "Kamu juga sama saja!" Pelatih menjitak kepalaku main-main. "Anu, maaf." Cowok yang melerai kami tadi maju sedikit. "Teman saya sudah berbicara tidak sopan dengan kalian." "Oh! Tidak masalah," kata Pelatih cepat-cepat. "Yang penting dia tidak mengganggu skater saya lagi. Walau, yah, sebenarnya saya nggak sebegitu mengerti apa yang mereka bicarakan tadi." "Sekali lagi, saya minta maaf," kata cowok itu lagi. "Dan, Vishaka?" ucapnya ragu. "Nngg, semangat untuk latihannya hari ini." "Eh? Ah, iya," balasku bingung. "Kamu... juga semangat, ya." Si cowok tersenyum malu dan pergi menyusul si pencari gara-gara Sabrina. Ya ampun, sikapnya manis sekali. Berkebalikan dengan temannya itu. Tapi, eh, siapa namanya, ya? Sudah pasti dia salah satu skater dari Indonesia. "Nak, jangan-jangan senyum-senyum terus. Lanjutkan pemanasanmu sana!" "Aku nggak senyum-senyum!" Si bocah sialan Sabrina adalah skater pertama dari grup B. Jadi, nggak perlu menunggu waktu begitu lama bagiku untuk mendapat giliran latihan terbuka karena ada di grup C urutan ketiga. Di Shanghai Trophy kali ini, sesuai rencana, aku tidak akan menggunakan quad jump apa pun di short program dan hanya akan memakai tiga quad jump di free skating. Pelatih Weber bilang aku nggak perlu gugup atau memikirkan masalahku meski mau tak mau aku memikirkannya. Ini adalah pertandingan (oke, ini latihan terbuka untuk pertandingan) pertamaku dengan tubuh baru. Pertandingan dengan sesi latihanku selama di Toronto jelas berbeda. Di sini, aku baru sadar kalau aku punya lawan yang ingin aku jatuh. "Fokus! Fokus!" teriak Pelatih Weber dari pinggir ice rink. Bersamaan dengan itu aku mendengar pekikan penonton latihan terbuka yang bercampur dengan tepuk tangan. Ups. Triple flip-ku kelebihan rotasi dan itu pertama kalinya setelah bertahun-tahun.Sama seperti Pelatih Friday, Pelatih Weber langsung menghujaniku dengan ceramah begitu sesi latihan terbukaku selesai. Dia langsung bisa menebak kakau aku sedang memikirkan hal lain waktu melakukan programku. "Mungkin sebaiknya kamu nggak perlu mengangkat tanganmu di triple flip-mu," kata Pelatih Weber. "No way!" tolakku mentah-mentah. "Skor dari komposisi lompatanku sekarang rendah banget. Kalau aku sampai nggak mengangkat tangan, pasti skornya bakal lebih rendah lagi." "Wah, wah. Sejak kapan kamu berambisi untuk menang, Nak?" goda Pelatih Weber. "Bukannya berambisi untuk menang. Aku pasti bakal malu kalau total skorku lebih rendah dari musim lalu," jelasku. "Kenapa harus malu? Yang penting kan kamu nggak jatuh atau mendapat nilai minus. Atau jangan-jangan, kamu nggak mau diejek sama Sabrina tadi?" Sialan. Yang barusan terdengar kayak aku nggak mau kalah dari Sabrina begitu saja. "Ayolah, Pelatih! Kan aku harus terbiasa melakukannya supaya di Grand Prix nanti aku sudah bisa!" "Kita bisa melatihnya lagi di Toronto." "Di short program kali ini saja, deh. Ya?" tawarku. "Nggak ada spiral atau ina bauer di short program-ku. Skor presentasiku nggak akan tinggi.""Oke. Baiklah." "Yeey!" Setelah sesi latihan terbuka untuk ladies, selanjutnya giliran men. Aku sengaja nonton, soalnya nggak ada kerjaan. Sekalian ngepoin pesaing Shin dkk dari Indonesia, sih. "Lazuardi Utama, represent Indonesia, please be ready." "Itu anak laki-laki yang tadi, kan?" tanya Pelatih. Aku mengangguk membenarkan. Musik pengiring yang digunakan Lazuardi terdengar. Dia nggak kunjung bergerak, hanya memandang langit-langit dengan pandangan mendamba. Setelahnya pun gerakan terlihat seakan dia ingin menggapai langit-langit itu. Lazuardi, dia... "Step sequence di babak pertama dan menggunakan seluruh babak keduanya dengan lompatan, ya?" komentar Pelatih Weber. Matanya terus mengikuti Lazuardi yang sedang melakukan spiral yang, demi dewa-dewi Yunani, terlihat sangat indah seakan dia sedang terbang. Short program cowok yang tadi menyemangatiku dengan malu-malu tadi sangat indah. Aku merasa seperti sedang melihat balet Nicholaas di atas es. Lompatamnya pun bersih meski jenis lompatan yang digunakan itu-itu saja. Tapi dari tepuk tangan penonton, aku tahu kalau semua orang terpana dengan program Lazuardi barusan. Aku bahkan sampai ikut dalam gegap gempita penonton. Sejak dulu aku berharap akan ada seorang figure skater laki-laki yang bisa menari sepert Nicholaas. Sekarang, akhirnya harapanku muncul dalam bentuk Lazuardi. Keindahan mana lagi yang bisa kudustakan? "Lazuardi Utama." Aku menoleh dan mendapati Shin berdiri di sampingku. Kulihat tangannya menggenggam erat-erat botol yang dibawanya. Bab 11 Dibandingkan dengan latihan terbuka short program-ku, latihan terbuka free skating-ku berjalan lebih lancar. Semua lompatanku mendarat dengan baik. Pelatih bilang, keseluruhan latihan terbukaku baik. Tidak seperti seseorang. "Waktu latihan kemarin kamu sudah bisa menghayati semua programmu. Ada apa dengan hari ini, Shin? Kamu terlihat tidak baik," kata Pelatih Weber pelan-pelan. Di Shanghai Trophy ini Shin nggak punya lawan yang berarti selain Zhang. Jadi, aneh sekali kalau semua quad jump-nya hari ini bermasalah. Tidak mendapat jawaban dari Shin, Pelatih berbicara lagi, "Shin, saya tidak suka dengan programmu kali ini. Tidak hanya mengacaukan lompatanmu, kereografimu sama kacaunya juga. Kamu terlihat seperti orang tersesat," kata Pelatih. "Saya tidak tahu apa penyebab menurunnya kualitas skating-mu hari ini kecuali karena kamu ketakutan." Aku langsung pura-pura batuk mendengarnya. Aku tahu kalau Pelatih Weber omongannya bisa lebih blak-blakan daripada Pelatih Friday karena dia memang lebih muda. Tapi aku nggak menyangka kalau dia bakal seblak-blakan ini. “Atasi segera rasa takutmu itu, Nak,” pesan Pelatih Weber. “Kalau masih pertandingan musim pertama saja kamu sudah mengacau, bagaimana dengan pertandingan setelah-setelahnya? Kau mengerti?” Shin mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ya, aku mengerti.” Sejak latihan terbuka selesai, Shin nggak terlihat di mana-mana. Dia juga nggak merespon waktu kami merencanakan untuk jajan malam. “Kayaknya dia memang nggak mau diganggu,” kata Zhang. “Mungkin dia sedang bertapa,” tambah yang lain. “Kamu nggak perlu memikirkannya, Vishaka. Shin itu figure skater yang hebat. Tanpa quad jump-nya pun best value-nya tetap yang paling tinggi di pertandingan ini, dia pasti akan tetap menang sekalipun dia mengacaukan quad jump-nya,” kata yang lain lagi. Aku menyeruput pelan supku. “Yah, iya sih.” “Vishaka, maaf kalau aku bilang begini. Di saat seperti ini, di mana besok adalah hari pertandingan, satu-satunya yang harus kamu pikirkan hanya dirimu sendiri,” kata Zhang. “Tetaplah fokus.” “Siap, kakak Zhang!” “Jangan memanggilku begitu!” Aku tertawa mendengarnya. “Lagian ya, Shin itu bukannya ketakutan. Bisa dibilang… syok? Dia pasti kaget melihat ada figure skater lain yang menggunakan tema yang sama dengannya tapi keseluruhan skating-nya lebih bagus dari dia,” celetuk seseorang dari kami. "Itu menurutku, sih..." “Eh? Memangnya siapa?” tanyaku heran. Zhang menatapku kaget. “Kok kamu nggak tahu? Kamu kan berdiri di sebelahnya persis waktu Shin nonton programnya,” katanya. Aku memberinya tatapan nggak mengerti. “Skater dari negaramu itu, lho! Siapa namanya? Lahyuardi?” “Lazuardi?” koreksiku. “Iya, itu!” kata Zhang nggak sabaran. “Aku tahu sih, kalau koreografi Lazuardi itu bikin aku iri banget. Lompatannya kelihatannya punya best value yang besar. Ta-tapi, kenapa dari semua skater yang bertanding besok Shin harus takut sama Lazuardi?” tanyaku heran. “Kok tanya kenapa? Karena Shin takut menghancurkan Lazuardi lah!” “Sori?” “Kamu nggak nonton World Championship kemarin?” “Ng-nggak. Lebih tepatnya, aku berani nonton.” Zhang berdecak. “Singkatnya, ada skater yang setipe dengan Lazuardi temanmu itu yang starting number-nya tepat setelah Shin. Skater ini satu-satunya harapan negara mereka waktu itu. Koreografi dan step sequence-nya sama bagusnya dengan Lazuardi, tapi nggak dengan lompatannya. Mungkin, skater itu tertekan setelah melihat gimana meriahnya tepuk tangan dari penonton untuk Shin, akhirnya skater itu malah menggunakan lompatan yang sama sulitnya dengan Shin. Tapi…” Yang lain melanjutkan cerita Zhang. “Skater itu skater yang berbakat di bidang yang berbeda dengan Shin. Di hari itu dia lebih memilih fokus pada lompatannya daripada koreografinya. Alhasil, lompatannya kacau karena dia memang tidak menguasainya dan koreografinya ikut kacau pula karena dia terlalu fokus pada lompatannya. Salah satu dari lomptan-lompatannya yang miss mengakibatkan cedera permanen pada kakinya.” Cedera permanen. Itu berarti karirnya sebagai seorang figure skater tamat sudah. “A-aku nggak tahu ada cerita kayak gitu di World Championship” gumamku syok. “Lalu, Shin merasa bersalah,” lanjut Zhang. “Banyak orang pendukung skater itu yang menyerangnya di sosial media, bilang kalau Shin itu monster yang sudah menghancurkan harapan banyak orang dengan quad jump-nya. Orang-orang pun mulai mengkritik Shin yang selalu berinovasi dalam lompatan-lompatannya dan menjelek-jelekkan presentasi Shin.” Ah, aku mengerti sekarang. Itu sebabnya Shin tiba-tiba berambisius untuk menyempurnakan presentasinya. Mereka terkadang melakukan apa pun untuk menang, bahkan walau itu artinya mereka harus membunuh lawannya. Shin... bahkan dia sendiri mengakuinya. Tapi kurasa dia tidak seperti itu. “Itu memang bukan salah Shin, tapi… Kurasa Shin jadi teringat kritikan orang-orang waktu melihat Lazuardi. Apalagi, kelihtannya Lazuardi masih muda begitu. Kalau Shin sampai menghancurkan skater lain yang bahkan lebih muda darinya, Shin sendiri pasti akan ikut hancur.” *** Rencana lompatanku untuk short program kali ini adalah triple flip, triple lutz, serta combination triple axcel - double toe loop. Aku sudah mengantongi izin Pelatih Weber untuk mengangkat sebelah tanganku waktu melakukan triple flip dan selebihnya, programku kali ini aman. Tinggal eksekusinya saja. Semoga hasilnya memuaskan. Bunda doakan yang terbaik untukmu. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sekujur tubuhku sudah terasa panas hasil pemanasan serta peregangan yang kulakukan. Anehnya, kedua tanganku malah terasa dingin. Aku gugup. Sialan. Padahal ini adalah Shanghai Trophy keempatku. Padahal ini baru pertandingan pertama dari sekian banyak pertandingan yang akan kuhadapi nanti. Padahal ini bukan pertandingan besar. "Tangkap!" seru seseorang. Konsentrasi pereganganku langsung pecah. Kabar baiknya, aku berhasil menangkap bola karet yang melayang ke arahku secara tiba-tiba barusan. "Oy!" tegurku pada Pelatih Weber yang sedang nyengir. "Saya selalu kagum pada refleksmu, Vishaka," katanya alih-alih mengucapkan maaf karena sudah mengagetkanku. "Itulah yang membuatmu bisa mengatasi landing-mu yang tidak sempurna sehingga kamu tidak sampai jatuh. Walau yah, terkadang stepped out atau kebanyakan rotasi." "Makasih pujiannya," kataku geram. Pelatih Weber tersenyum lebar. "Gulung kembali alas yogamu. Kita latih keseimbangan dan refleksmu." Latihan keseimbangan yang dimaksud oleh Pelatih adalah lempar-tangkap bola dengan satu kaki terangkat sepanjang aku melakukannya. Aku nggak mengerti kenapa dia ingin kami melakukannya. Pelatih memilih tempat yang sangat tidak tenang untuk bermain lempar tangkap. Di sekitar kami ada banyak staff dan panitia pertandingan juga jurnalis olahraga dan skater lain bersama pelatih masing-masing. Sepertinya, selain ingin melatih keseimbangan Pelatih ingin mealtih konsentrasiku. "Fokus," kata Pelatih Weber. Dia melempar bola padaku. Aku berhasil menangkapnya dan langsung mengembalikannya. "Bicaralah," kata Pelatih Weber. Aku mengernyitkan alisku. "Biacara apa?" "Apa pun itu yang membuatmu gugup." Bola yang kutangkap tetap berada di tanganku, tidak segera kulempar balik pada Pelatih. Jadi, aku memang gugup.Aku melempar balik bola pada Pelatih. "Aku nggak tahu apa yang membuatku gugup," kataku jujur. "Mungkin, daripada gugup karena peserta lain, aku gugup karena diriku sendiri." "Oh? Kenapa?" "Karena aku takut nggak bisa memberikan yang terbaik gara-gara masalahku. Padahal, aku sudah berjanji pada banyal orang untuk memberikan yang terbaik," katalu. "Apakah aku memang sesombong apa kata Sabrina, ya?" "Itu tidak benar." Bola yang dilempar Pelatih melambung kelewat tinggi. Aku sampai kesusahan menangkapnya dengan mengangkat satu kaki. Begitu mendapatkannya aku melayangkan tatapn protes padanya. "Kamu berani berjanji karena kamu tahu kamu bisa, Vishaka. Hanya saja, keyakinan itu memudar karena kamu terlalu memikirkan pendapat orang lain," kata Pelatih. "Aku tidak mengerti mengapa kamu dan Shin membiarkan orang lain mempengaruhi pikiran kalian." Pelatih melempar bolanya dengan manusiawi sekarang. "Itu karena orang-orang akan senang sekali kalau aku sampai gagal," kataku. "Mereka tidak mudah puas dengan apa yang dicapai orang lain." "Jutru itu poinnya, Nak. Buat mereka geram dengan kemenanganmu." Pelatih tersenyum. "Kamu pasti bisa. Kamu mengerti?" "Siap! Aku mengerti!" "Nah, sekarangー" Segerombolan orang lewat dengan jaket yang menarik perhatian. Mereka adalah tim dari negaraku: terlihat bangga dan percaya diri dengan jaket yang kentara sekali kalau baru. Aku otomatis merapatkan jaketku, merasa iri karena meski aku satu negara dengan mereka, jaketku berbeda. Jaket yang kukenakan bukan jaket nasional. Yah, lebih tepatnya aku nggak pernah mendapatkannya. Jadi aku membeli jaket sendiri dan memberi bordir besar bertuliskan INDONESIA di punggung, lambang garuda di dada bagian kanan, dan bendera di bagian kiri. "Hei, Nak. Setelah jawabanmu yang bersemangat barusan, kamu tidak balik merasa terpuruk atau gugup, kan?" tanya Pelatih melihat mataku terus mengikuti gerombolan skater dari negera yang sama denganku. Tepat pada saat itu, Sabrina berbalik dan memberiku pandangan sinis sekejap. Segala perasaan negatifku hilang seketika. "Hah! Sama sekali nggak! Justru sebaliknya, aku ingin sekali membungkam malu seseorang," kataku kesal. "Oh! Itu semangat yang bagus!" Selagi menunggu giliranku tampil, aku terus melakukan pemanasan, peragangan, maupun melatih programku tanpa henti. Bukannya aku sedang menghabiskan enegiku atau apa, aku hanya ingin menghindari tatapan wartawan dan jurnalis yang pasti menyadari perbedaan keberadaanku dengan skater yang berasal dari Indonesia. Kami terlihat berbeda sekali soalnya. Saat tiba waktunya Sabrina tampil, aku menghentikan aktifitasku dan menonton programnya lewat siaran langsung di TV yang terpasang. Short program-nya berjalan cukup lancar, hanya ada masalah sedikit masalah di quad toe loop-nya yang stepped out. Selebihnya, penampilannya bagus. "Hmmm, aku nggak menyangka skater dari anggota baru ISU ini berani menggunakan quad toe loop di short program mereka," komentar seseorang yang sedang menonton progran Sabrina. "Kau belum melihat free skating-nya. Di latihan terbuka kemarin, dia bahkan menggunakan lompatan yang kelihatannya belum terlalu dikuasai," tambah yang lain. "Apa mereka nggak terlalu memaksakan diri? Best value-nya terlihat nggak sebegitu memuaskan." Diam-diam, aku menyetujui mereka. Sabrina... Dia terlalu memaksakan elemen programnya. Meski begitu, skor Sabrina cukup memuaskan: hampir 80 point. Skor pertama pertandingan internasionalku bahkan tidak sampai segitu. Senyum Sabrina lebar sekali di kiss and cry. Pelatihnya juga terlihat tampak bangga sekali. Seluruh Indonesia pasti senang sekali dengan perolehan skor Sabrina meski aku yakin itu lebih karena Sabrina tidak jatuh sama sekali. Kalau aku jatuh di program hari ini, apa yang akan terjadi pada komentar-komentar di unggahan sosial mediaku, ya? Kalau aku mendaratkan semua lompatanku dengan sempurna, apakah orang-orang dari negaraku dan Pelatih Weber akan sesenang mereka? Aku... jadi ingin membuat Pelatih Friday berekspresi begitu di World Championship meski hubungan kami belum sebegitu membaik. Setelah sesi kiss and cry Sabrina berakhir, aku buru-buru menjauh dari tempat mana pun yang terlihat ada wartawan, jurnalis, dan kamera. Aku nggak boleh membiarkan diriku dipengaruhi orang lain. Aku pun kembali melatih koreografiku. Saat sesi warm-up grup C, aku sengaja tetap memakai jaketku, menunjukkan kalau ada figure skater lain Indonesia yang ikut bertanding. Aku akan mengingatkan orang-orangku kalau mereka punya seorang veteran. "Vishaka." Pelatih Weber memelukku, aku balas memeluknya. "Nanti akan saya mintakan secara pribadi pada pelatih dari Indonesia soal jaketmu," katanya begitu sesi warm-up grupku selesai. "Itu nggak perlu," kataku, lalu membuka risleting jaketku dan memperlihatkan kostumku. Kostum dengan punggung yang berjaring serta detail kain yang melambai-lambai: akan terlihat seperti sapuan air ketika aku meluncur dengan cepat nanti. Pertandingan skating itu cepat. Kau cuma perlu tampil 2 sampai 4 menit saja dan selesai. Tapi, untuk mengetahui pemenangnya membutuhkan waktu yang lama. Menunggunya pun merupakan proses yang menegangkan karena seiring berjalannya waktu, peringkatmu bisa saja terus menurun. Itulah yang terjadi pada Sabrina saat ini. Dari tempatku saat ini, aku bisa melihat Sabrina yang terlihat tegang setelah penampilan seorang skater dari Korea Selatan yang jelas sekali akan membuat peringkatnya turun satu lagi. "Kalau aku gagal di triple filp-ku, aku akan mengganti lompatan terakhirku dengan combination quad salchow - double toe loop," beritahuku pada Pelatih. "Hah? Apa?!" "And the next skater..." Aku memanfaatkan pengumuman tersebut untuk kabur dari amukan Pelatih Weber. "Representing Indonesia, Vishaka Meira!" Begitu Ballade No. 1 Op. 23 oleh Chopin diputar, yang pertama kutatap adalah Sabrina. Disusul dengan menatap pelatihnya, lalu pelatihku sendiri. Lompatan pertama, triple flip dengan satu tangan terangkat membuatku terjatuh dengan keras. Aku bisa mendengar pekikan Pelatih Weber di antara sorakan tertahan penonton. Sebelum lompatan kedua, aku melukakan spin. Sambil merasakan tempo lagunya yang cepat, aku berputar untuk menambah ketegangan. Tepat setelahnya, gerakan andalanku, lompatan kedua, tripel lutz. Sorakan penonton terdengar sangat meriah. Aku kembali mengikuti tempo dengan beberapa step. Tunggu musiknya, aku harus melompat di saat temponya terdegar menegangkan. Lompatan terakhir, combination quad salchow - rippon double toe loop. Aku tidak akan meminta maaf pada siapa pun atas pilihanku saat ini. Dan... sekarang! Aku berhasil melakukannya! Selanjutnya step sequence super melelahkan yang sengaja dirancang lebih susah dari biasanya karena Pelatih Friday tahu aku rutin ikut balet. Short program-ku pun berakhir dengan combinatin speed spin. Ini bukan short program-ku yang paling bagus. Tapi mengingat aku berhasil melakukan combination quad jump - double jump membuat kepercayaan diriku naik. Aku bisa meski tubuhku mengalami perubahan. Nah, Sabrina, bagaimana perasaanmu setelah melihat short program-ku? Bab 12 "Selamat atas keberhasilan short program-nya. Bagaimana perasaan Anda?" "Short program saya barusan tidak berjalan dengan sempurna dan itu membuat saya sedikit kecewa. Triple flip merupakan salah satu lompatan saya yang tingkat keberhasilannya tinggi dan barusan saya malah gagal mendaratkannya. Kedepannya saya akan memperbaiki kesalahan yang saya perbuat." "Di latihan terbuka kemarin Anda sama sekali tidak melakukan quad jump. Dari bocoran program Anda pun tidak tertulis rencana quad jump. Kenapa?" Aku meringis. Dari tempatku berdiri sekarang, di antara kerumunan beberapa wartawan, jurnalis, dan kamera, aku bisa menangkap tatapan kesal Pelatih Weber. "Di latihan terbuka kemarin saya gagal mendaratkan triple flip. Mungkin itulah yang memperngaruhi triple flip saya hari ini. Jadi, saya pun memutuskan untuk melakukan quad jump di detik-detik terakhir untuk mengembalilan skor saya," jawabku sambil memaksakan sebuah tawa. "Pertandingan kali ini diikuti oleh tiga skater lain dari negara Anda, Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?" Aku tersenyum. "Kalau boleh jujur, saya baru mengetahui hal tersebut di hari pengumuman penempatan seri Grand Prix," kataku. "Saya merasa senang karena akhirnya saya memiliki saingan dari negara yang sana. Saya harap suatu saat nanti kami bisa berdiri di podium yang sama," kataku. "Ah! Anda kan sudah beberapa kali berdiri di podium yang besar." Ya, ya. Tapi podium final Grand Prix belum pernah, tahu! "Kalau sudah tidak ada pertanyaan, apakah saya boleh undur diri?" "Ah, ya. Tentu saja. Terima kasih!" "Terima kasih atas kerja samanya!" "Baik. Sama-sama," pamitku. Aku menghampiri Pelatih Weber yang masih menekuk wajahnya. "Aku nggak ngomong yang aneh-aneh selama di wawancarai, kok!" kataku pada Pelatih Weber. "Bukan itu, Nak," kata Pelatih gemas. "Kita kan sudah sepakat kalau kamu nggak akan melakukan quad jump apa pun sampai pertandingan kedua Grand Prix." "Triple flip-ku parah banget tadi! Minusnya pasti banyak. Kalau aku nggak melakukan quad jump, skorku bakal terjun bebas," kataku nggak mau kalah. "Kamu bisa memperbaikinya di free skating-mu besok." "Hanya dengan tiga quad jump? Mana mungkin!" Pelatih Weber menepuk dahinya. "Dengar Nak, saya harap kamu tidak mengejutkanku lagi di programmu besok," katanya terdengar pasrah. "Siap, siap!" "Jangan tersenyum senang begitu. Friday barusan mengomeliku di telepon." "Nah, kalau begitu, sebentar lagi pasti aku yang kena omel." "Dasar kamu ini! Ini, minum dulu lalu makan snack bar-mu. Saya mau mempersiapkan yang laki-laki." Pelatih berpamitan untuk meninggalkanku. "Apa perlu dibantu?" tawarku, sambil mengikuti langkahnya. Pelatih Weber mengangguk. "Tolong, ya? Cuma mengkoordinasikan mereka saja. Dan, kalau bisa, tolong benarkan rambut mereka. Dimodel apa gitu. Haaah, mereka itu masih muda tapi kok nggak mengerti style."Aku terkikik di sebelahnya. Para cowok itu masih mengenakan kaos dan training masing-masing. Aku dan pelatih cuma bisa mengembuskan napas panjang mengetahui hal itu. Pelatih segera menyuruh mereka untuk berganti pakaian dengan diselipi omelan. Kayaknya penyebab omelannya itu adalah aku yang tadi melakukan quad jump. Hahaha. Sebagai gantinya, aku memeriksa tas para cowok itu, apakah semua keperluan mereka sudah tersedia. Air minum, tisu, snack bar, sarung tangan, kaos kaki, dan lain-lain. Cek. Ponsel, headset... "Oy! Tas siapa ini? Memang nggak bawa headset atau bagaimana?" Aku menunjuk tas berwarna hitam dengan gantungan kelinci. "Yang benar?" sahut Shin. Dia menghentikan aktifitas makannya dan menghampiriku. "Kurasa tadi aku membawanya." "Tadi sempat kamu pakai nggak?" tanya Zhang. Shin mengangguk. Dia pun meraba-raba dirinya, membongkar pakaiannya, sampai melepas jaketnya. Dia menatapku datar. "Hilang," katanya. Bisa-bisanya. "Kamu perlu banget, nggak? Atau kamu bisa melatih koreografimu tanpa mendengar musik?" "Tidak bisa." Aku pun memberikan headset-ku pada Shin. "Nih. Pakai punyaku dulu saja." "Oh. Terima kasih.""Vishaka! Skater terakhir sudah akan tampil. Kembalilah," suruh Pelatih. "Oke! Nanti aku kembali lagi." Skater terakhir adalah seorang skater dari Jepang. Dia berhasil mendepakku dari posisi nomor dua di short program hari ini. Yah, bukan masalah. Masih ada free skating besok. Yang harus kulakukan hanyalah melakukan seluruh programku sebaik-baiknya supaya aku bisa menempati posisi pertama dari penjumlahan skor kedua program. Ukh. Aku sedikit kecewa dengan perolehan skor short program-ku hari ini. Lapor. Aku ada di posisi ketiga hari ini. Gue nggak butuh live report lo, Ka. Jahat, ish. Wah! Selamat ya, Vishaka. Semoga besok hasilnya lebih memuaskan. Aamiin! Uuunch, Nicholaas memang teman yang terbaik. Oh, jadi gua nggak baik gitu? Kamu baik kalau nggak lagi rese. Sialan! Eh, btw. Orang Indo yang ikut gimana? Si Sabrina-Sabrina itu ada di posisi ketujuh. Kalau cowok-cowoknya belum, nih. Habis gini baru main. Wah! Sangar juga bisa sampai di peringkat ketujuh! Lo dapat saingan dari dalam negeri, nih! Haha. Aku nggak peduli sama dia. Sikapnya jelek banget, ya ampun. Tapi, tapi! Yang cowok, yanh Lazuardi, gilaaaak! Step sequence cantik parah! Nicholaas, pokoknya kamu harus nonton Lazuardi. Huhuhu. Spiralnya bagus banget spin-nya juga. Badannya lentur banget kayak kamu. Ya ilaaah. Malah ngegebet anak orang lo di sana! Lazuardi? Lazuardi Utama, ya? Kadang dia ikut balet sama kita, lho. Hah? Kok aku nggak pernah tahu anaknya. Oh! Ini Lazuardi yang anaknya cantik banget itu, kan? Kadang gue papasan sama dia. Makanya gue jarang lihat, ternyata dasarnya dia skater, toh? Kok aku sendiri yang nggak tahu? Lo kuper sih, Kaaa. Sialaaan! *** Pelatih Weber kentara sekali kecapekan. Senyumnya terlihat dipaksakan, berkali-kali mengela napas, dan terlihat cukup pucat. Beban pikirannya pasti cukup banyak saat ini. Soalnya, selain harus mempersiapkan skater kami untuk tampil, dia juga merasa harus menganalisis pesaing-pesaing kami dan, tentunya, program kami sendiri. Aku membantu sebisaku. Membantu teman-temanku melakukan peregangan, membuntuti mereka sambil siap sedia dengan minuman serta tisu, dan lain-lain. Aku sampai belum sempat berganti pakaian saking sibuknya. "Haaah. Kenapa Pelatih Friday nggak ikut menemani kita, sih?" gerutuku. Zhang tersenyum minta maaf. "Finlandia Trophy kali ini bersamaan dengan Shanghai Trophy. Pelatih Friday kan ingin menemani Sera yang sedang melakukan pertandingan pertama tingkat seniornya." "Iya, sih. Tapi kan kita punya dua koreografer yang bisa bantu Pelatih Weber buat nonton pesaing kita," kataku. "Lihat tuh, Pelatih Weber sampai pucat gitu. Moga-moga saja dia masih bisa bertahan sampai besok." "Nngg, Vishaka?" "Iya?" "Aku tahu kamu sedang kesal, tapi tolong jangan menekuk punggungku lebih keras lagi." "Ah! Sori, sori!" Saat ini sedang tampil skater dari grup B. Zhang adalah skater dari grup C yang maju pertama. Jadi, kami pun memutuskan untuk menuju area ice rink. Aku melihat ada Lazuardi di sana. Dia berdiri sendirian, seakan menanti sesuatu, sambil berkali-kali mencoba untuk membenarkan rambutnya.. Saat kulihat area kiss and cry, ternyata teman beserta pelatihnya lah yang ada di sana. Aku pun memutuskan untuk menghampirinya. "Hei," sapaku. "Mau kubantu menata rambutmu?" tawarku. "Eh? Ah. Ng-nggak usah--eh--kak. Gue nggak apa-apa, kok," katanya. "Kak?" Aku tertawa geli mendengarnya. "Kemarin kamu langsung menyebutk namaku tanpa embel-embel apa pun," godaku. Sebenarnya aku nggak peduli dengan yang begituan karena toh aku memanggil Robb dengan "Robb" dan aku membiarkan Sera memanggilku dengan "Vishaka". Aku cuma mau lihat bagaimana reaksinya. Sesuai dugaanku: wajah Laziardi memerah. Ya ampun. Imut sekali! Aaakh! Seumur-umur baru kali ini aku menemui cowok yang bisa nerona malu-imut kayak Lazuardi. Itu pasti karena model rambut serta tahi lalat di dekat matanya yang besar. "Maaf, Kak! Gue... Gue nggak tahu kalau kakak lebih tua dari aku," katanya tergagap. Aku menepuk punggungnya sambil tertawa. "Tenang saja! Yang barusan cuma bercanda, kok!" kataku geli. "Jadi gimana? Rambutmu mau kutata?" "Ng-nggak usah. Terima kasih." Aku tersemyum tipis padanya. "Hei, kapan giliranmu tampil?" tanyaku. "Eh? Yah, harusnya sekarang." "Hah?!" pekikku kaget. "Hei! Terus kamu ngapain di sini? Turun ke es sana!" suruhku. "Ta-tapi... jaket dan blade cover sepatu gue..." Lazuardi melirik pelatihnya yang masih menunggu perolehan skor temannya area di kiss and cry. Aku berdecak tidak sabaran. "Turun, sekarang," suruhku tegas. "Berikan padaku jaket dan blade cover-mu. Ayo, ayo!" Lazuardi buru-buru melepas jaket serta blade cover sepatunya. Sementara itu aku mengeluarkan botol minum serta tisu dari tas di dekat Lazuardi yang kuduga itu adalah miliknya. "Nah, berikan itu." Lazuardi menurut. Kemudian dia turun ke es, tapi masih berdiri di pinggiran dan menghadap tepat padaku. "The scores, please..." Temannya sementara kni berada di posisi ketiga. Lauzuardi tampak kaget dan langsung terlihat lesu. "Hei, Lazuardi," panggilku. Perhatian Lazuardi langsung terarah padaku. Aku meraih kedua tangannya, lalu menggenggamnya erat-erat. Dingin. "Aku bukan pelatihmu, tapi aku cuma mau bilang kalau kamu pasti bisa," kataku meyakinkan. "Latihan terbukamu kemarin bikin aku iri soalnya kamu bisa menjalankan program sebagus itu." Genggamanku makin erat. "Percayalah pada dirimu sendiri," aku mengulang kata-kata yang Shin sering katakan padaku. Wajah Lazuardi langsung terlihat cerah. Dia mengangguk semangat dan langsung meluncur pergi tanpa menunggu kehadiran pelatihnya. "Vishaka, ya?" tegur pelatih Lazuardi. Dia terlihat cukup muda dibandingkan dengan Pelatih Friday. "Terima kasih karena sudah menyiapkannya," katanya tulus. "Tidak masalah," jawabku. "Please welcome, representing Indonesia, Lazuardi Utama." Penonton bersorak, aku pun ikut bersorak untuk Lazuardi. Semua seruan semangat yang kulontarkan dalam bahasa Indonesia menarik perhatiannya, sehingga ia sempat memberikanku acungan jempol. Kalau mengacu pada latihan terbukanya kemarin, berarti dia akan melomptkan rippon triple flip, combination double axcel - triple toe loop, serta quad salchow. Aku nggak tahu seberapa banyak tenaganya, tapi melompatkan seluruh lompatannya di babak terakhir dan lompatan terakhir empat rotasi pasti akan melelahkan. Itu pilihan yang riskan karena tiga lompatan pertamanya nggak akan menyumbang banyak skor.Aku ingat bagaimana programnya: ketika musiknya terdengar seakan berhenti, Lazuardi akan melakukan ina bauer, disusul dengan lompatan pertamanya. "Bagus! Bagus!" teriakku begitu Lazuardi berhasil melakukan lompatan pertamanya. Lompatan berikutnya berjalan sama baiknya. Meski begitu, perasaanku makin nggak keruan. Lompatan terakhirnya benar-benar ada di akhir programnya, waktu musiknya akan berakhir. Lalu, ini dia: quad salchow.. "Wohooo!" Aku refleks berteriak kegirangan sambil loncat-loncat nggak jelas. Lazuardi berhasil melakukan programnya dengan baik! "Hei, kenapa kamu malah ada di sini?"Shin tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Wajahnya terlihat sangat muak. Aku tahu apa itu artinya, dia menyuruhku untuk kembali pada Pelatih Weber. Aku meringis, lalu buru-buru kabur dari Shin sebelum dia mengomel atau marah. Aku masih sayang nyawa dan nggak mau melihat ekspresi dingin bercamour kejam Shin kayak dulu. "Pelatih Weber!" panggilku. "Ah! Nak! Di mana Zhang dan barang-barangnya? Aku tidak menemukannya di mana-mana!" tanyanya panik. "Yang tenang, dong. Zhang suda ada di ice rink dengan barang-barangnya. Kan kita sudah sepakat kalau aku akan mengurus Zhang," kataku menenangkannya. "Begitu? Saya sampai lupa. Tunggu, sekarang starting number berapa?" "Skater terakhir dari grup B sedang ada di kiss and cry," beritahuku. "Hah? Berarti setelah ini waktunya warm-up! Ya ampun!" Aku geleng-geleng kepala. Menjadi pelatih nggak semudah itu, tinggal menyuruh-menyuruh anak didiknya melakukan ini-itu dan lain-lain. Pelatih Weber pasti kewalahan mengurus kami berempat. Pelatih dari Indonesia itu juga... Pasti berat melatih skater pemula sampai bisa membawanya ke sini. Dari siaran TV, aku mengetahui perolehan skor Lazuardi. Dia menempati posisi pertama sementara di short program. Wajahnya kelihatan senang, senyumnya terkembang lebar sekali dan matanya menyipit, membuat tahi lalat di dekat matanya terlihat mencolok. Ya ampun, dia benar-benar imut sekali... Aku senang salah satu skater Indonesia mampu mendapat skor sebesar Lazuardi sekarang. Skornya sekarang bisa dibilang masuk top 20 dunia lah. Benar-benar nggak terduga! Dan, sepertinya itu pula lah yang dipikirkan Shin. Aku nggak tahu sejak kapan Shin sudah ada di sebelahku. Yang kutahu cuma wajahnya terlhat terkejut, lalu tak berselang lama berubah menjadi marah, dan berganti menjadi serius. Shin kelihatan nggak sebegitu senang. Heran, deh. Padahal jelas-jelas Shin bisa mengalahkan peroleh skor Lazuardi sekarang. Skor Lazuardi nggak ada apa-apanya dibanding dengan rata-rata skor short programnya selama dua tahun ini. Atau, yah... Itulah yang awalnya kupikirkn. Bab 13 "Hah...? Hah..?! HAH?!" Pelatih Weber adalah tipe orang yang nggak mudah tersentuh. Misalnya saja saat ini. Short program Shin berjalan jauh lebih lancar dan bagus dari dugaan siapa pun mengingat dia mengacau di latihan terbuka kemarin. Dan dibanding dengan teknik elemennya yang tanpa celah, short program-nya kali ini terlihat bagus karena dia melakukan koreografinya dengan sangat baik. Sebagai gantinya, entah megapa teknik Shin berkurang. Dia bahkan menukar combination quad jump - triple jump-nya dengan combination triple jump - triple jump. Tapi yah, persetan dengan teknik lompatan Shin yang turun selevel. Yang dipedulikan oleh penonton saat ini adalah betapa indahnya aliran gerakan Shin bersama dengan musik pengiringnya. Kecuali... tentu saja Pelatih Weber. Yang terpentng baginya adalah skater-nya menjalankan program sesuai rencana tanpa membuat kejutan apa pun. "Oy, Nak. Kau nggak memberitahu saya akan mengubah lompatanmu," komentar Pelatih Weber. Kulihat Shin cuma meliriknya sekilas, lalu bergumam, "Maaf." Ada apa dengan Shin? Gara-gara dia mengubah elemen lompatannya dan tekniknya agak off dari biasanya, perolehan skor short program-nya sedikit lebih rendah dari apa yang telah diprediksi semua orang. Meski begitu, sebagai seorang figure skater dengan fans yang sangat banyak, sorak-sorai masih terdengar begitu meriah ketika skornya diumumkan. Dengan skor mencapai angka 100, Shin menempati posisi pertama men's short program hari ini, disusul dengan Zhang di posisi kedua, seorang teman satu pelatih kami di bawahnya, dan posisi keempat ditempati oleh Lazuardi. Lazuardi kelihatan sangat senang meski dia turun tiga peringkat dari posisi pertamanya tadi. Sebaliknya, Shin sama sekali nggak terlihat puas. "Free skating besok kelihatannya bakalan menarik," kataku sambil membantu Pelatih Weber membereskan keperluan kami. *** Hari kedua pertandingan, free skating. Hari ini akan menjadi pertandingan perdanaku dengan program yang khusus kudedikasikan buat Bunda. Aku nggak boleh mengacaukannya. Bunda! Habis ini Vishaka bakal bertanding pakai lagu kesukaan Bunda. Kalau sempat nonton rekamannya, ya! Tentu saja, Sayang. Semoga programmu hari ini berjalan dengan lancar. Saat sedang melakukan pemanasan, lagi-lagi aku bertemu dengan Sabrina. Bedanya kali ini dia nggak mengatakan apa pun, cuma menatapku tajam saja, termasuk juga seorang cowok lainnya. Apa masalah mereka denganku? Begitu aku mendengar pengumuman bila grup A sudah selesai, aku memutuskan untuk melatih koreografiku. Tapi, hei! Headset-ku masih ada di Shin! "Zhang! Kau lihat Shin?" "Tadi dia keluar!" "Oke, makasih!" Benar saja, Shin memang ada di luar. Benar-benar ada di luar arena ice rink, duduk-duduk di bawah pohon sambil mendengarkan sesuatu yang kuharap tidak dengan menggunakan headset-ku. Shin langsung menoleh begitu mendapati aku duduk di sebelahnya. "Bukannya sekarang grup B sedang bertanding?" tanyanya. "Harusnya kau latihan." "Maunya sih begitu. Tapi headset-ku ada pada seseorang," sindirku. Shin mengerjap beberapa saat sebelum menyadari satu hal. "Ah, ya. Kau benar. Maaf," katanya, lalu memberikan headset-ku yang berada di saju jaketnya. "Kamu nggak masuk?" tanyaku. "Harusnya aku yang bilang begitu." Aku mencibir. "Nanti dicari Pelatih Weber, lho. Jangan nyusahin dia. Kasihan, tahu." "Aku... menyusahkan, ya?" Hah? "Eh... Nggak bukan begituー" "Kemarin aku merubah elemen lompatanku tanpa bilang-bilang, lalu skorku menurun," gumam Shin terdrngsr sedih. "Aku sudah membuat Pelatih Weber dan Pelatih Friday susah. Mereka pasti tidak mengantisipasi hal ini." "Kamu kecewa dengan perolehan skormu?" Shin menatap dedaunan di atas kami. "Waktu melihat program Lazuardi temanmu itu, aku merasa takjub sekaligus marah melihat programnya. Maksudku, bagaimana bisa dia melakukan gerakan sebagus itu dan mendapat skor tinggi dengan hanya satu quad jump saja? Aku ingin membuktikan kalau walau dengan lompatan yang sama dengannya, aku masih bisa mendapat skor tinggi dari presentasiku. Tapi buktinya, nilai presentasiku tidak lebih tinggi dari dia," katanya. "Shin, apa yang ingin kamu buktikan dari skating-mu saat ini?" tanyaku. Shin kelihatan terkejut dengan pertsnyaanku. "Maaf sebelumnya, aku baru saja mengetahui apa yang terjadi di World Championship kemarin. Dan, kau tahu, itu bukan salahmu. Kamu bukan seperti apa yang orang-orang katakan walau suatu saat nanti kamu mau mencoba lompatan tujuh rotasi sekalipun," kataku meyakinkannya. "Tapi aku senang kamu mau memperbaiki presentasimu. Soalnya, presesntasimu memang payah. Hahaha!" Shin mendengus geli. Oh, baguslah. Kayaknya suasana hatinya sudah membaik. "Terima kasih, Vishaka." Aku memberikannya seulas senyum. "Sudah, ya! Aku kembali dulu. Jangan lupa nonton programku setelah ini!" pamitku. Aku pun segera berlari masuk untuk memulai latihan singkat koreografiku. Grup B akhirnya selesai. Sabrina berada di posisi pertama sementara ini. Salah satu lompatannya miss, menyebabkan perolehan seluruh skornya nggak jauh amat dengan peraih posisi kedua. Di grup C ada banyak skater yang lebih baik dari dia, jadi kemungkinan dia menjadi juara sangatlah kecil. Saat melintasiku, bisa kulihat wajah Sabrina marah bercampur ingin menangis. Dia bahkan sampai nggak menyadari keberadaanku. Aku kasihan padanya, tapi mau bagaimana pun aku lawannya. Satu-satunya yang boleh kulakukan pada Sabrina adalah bersimpati tanpa mempengaruhi free skating-ku hari ini. "Kak Shaka!" panggil seseorang mencegatku yang sudah akan memasuki area ice rink.Baik aku maupun Pelatih Weber sama-sama menghentikan langkah kami. Itu mebuat Lazuardi tampak tegang seketika. Aku pun mencoba untuk menenangkannya dengan tersenyum. "Ada apa?" tanyaku. Lazuardi tampak ragu. "Ini," katanya sambil menyodorkan sebuah tas karton cokelat padaku. Saat kubuka apa isinya, aku nggak bisa untuk nggak kaget. "Jaket nasional?" tanyaku membeo. "Punya siapa?" "Eh. Punya gue, sih," jawabnya ragu-ragu. "Tapi gue mau Kak Shaka memakainya di sesi warm up dan kiss and cry!" tambahnya buru-buru. Aku menatap Pelatih Weber curiga."Saya nggak mengerti apa-apa," kata Pelatih Weber. "Lazuardi, kamu nggak perlu melakukannya padaku. Aku punya jaket sendiri walau bukan ofisial," kataku kemudian. "Tapi gue yang mau," katanya sungguh-sungguh sambil menatapku dengan matanya yang terlihat jernih dan bersemangat itu. Duh, kalau ditatap seperti itu, mana bisa aku menolak. "Oke, oke. Aku pakai," kataku. Lazuardi tersenyum senang dan berkata, "Terima kasih. Gue pergi dulu kalau gitu! Semangat buat free skating-nya!" "I-iya!" sahutku. "Nanti akan langsung kukembalikan!" tambahku buru-buru. Lazuardi memberiku gestur "oke". "Ada apa?" tanya Pelatih Weber bingung karena daritadi aku dan Lazuardi berbicara pakai bahasa Indonesia. "Wajahmu kelihatan tersipu begitu." Aku mengerang gemas. "Lazuardi itu imut sekali," kataku sambil memeluk jaket yang diberikannya. Aku memakai jaket nasional punya Lazuardi itu. Ukurannya yang pas membuatku menyadari betapa langsing tubuh cowok itu. Jaketnya wangi dan tentunya hangat.Waktu warm-up aku memakainya dengan sangat bangga. Apalagi waktu namaku disebut sebagai perwakilan dari negaraku: aku dadah-dadah dengan kelewat semangat. Apa ya? Aku cuma ingin menunjukkan kalau aku ada dan aku mewakili negaraku biar apa pun itu kata orang, biar pun aku berlatih di luar negeri bersama pelatih asing, biar pun aku di sini sendiri hanya dengan dukungan Bunda. "... and the next skater. Please welcome, representing Indonesia, Vishaka Meira..." Ah, itu menyadarkanku akan satu hal. Free skating-ku ini awalnya kubuat untuk Bunda dan senagai pembuktian pada Ayah kalau kami bisa. Tapi sekarang, kurasa program ini kubuat untuk banyak orang. Tepuk tangan meriah terdengar begitu aku berhasil melakukan lompatan pertamaku, triple lutz, lompatan yang belum tentu semua skater bisa melakukannya sebaik aku, bila boleh meminjam kata-kata Shin. Seandainya orang-orang yang mengomentari unggahan Instagram-ku tahu itu. Tepat sebelum lompatan keduaku, sekilas mataku menemukan Sabrina di blok bangku khusus para skater. Quad toe loop - double toe loop, lompatan yang belum dikuasainya. Aku harap Sabrina bisa melakukan kombinasi lompatanku barusan dengan lebih baik lagi. Pelatih Weber masih saja terlihat tegang walaupun aku sudah berhasil melakukan salah satu dari dua quad jump-ku hari ini. Tenanglah, Pak. Aku nggak akan memberontak kali ini. Quad salchow-ku berjalan mulus. Aku jadi ingat waktu aku menelepon Bunda setelah selesai menangis. Bunda bilang suaraku sedikit berbeda, kayak orang sakit. Aku pun sedikit berbohong pada Bunda waktu itu, bilang kalau aku cuma sedikit kesakitan setelah terjatuh saat latiha. Aku memang terjatuh setelah dengan bodohnya mencoba quad lutz gara-gara frustasi triple salchow - triple loop tidak mendarat dengan baik. Tapi, umtungnya, aku mendaratkannya dengan baik kali ini. Mungkin nanti, setelah ladies' free skating selesai, aku akan mengaku pada Bunda. Kalau aku bilang sebenarnya waktu itu aku menangis, lalu disusul dengan kemenanganku di Shanghai Trophy, kurasa Bunda akan baik-baik saja. "Wah!" Pelatih Weber mengacak-acak rambutku. Aku tersenyum lebar sambil merapatkan jaket pinjaman Lazuardi. "Itu skor yang tinggi!" Aku menempati posisi pertama sementara dengan perbedaan skor yang cukup tinggi dibanding dengan peraih posisi kedua. *** "Perolehan skor saya hari ini memang tidak sebesar musim lalu. Bahkan, bisa dibilang ini adalah skor terendah saya sejak tahun lalu. Tapi karena satu hal dan yang lainnya, saya puas dengan peroleh skor saya hari ini karena semua lompatan di free skating hari ini clean. Seperti yang sudah Anda katakan dan lihat sendiri, hari ini saya hanya melakukan dua quad jump. Seseorang berjanji pada saya kalau saya bisa menang haya dengan sedikit sekali quad jump. Saya mencoba untuk mempercaiyainya dan inilah yang terjadi," kataku panjang lebar waktu diwawancarai. "Apakah ini berarti kedepannya elemen lompatan Anda akan tetap seperti ini?" Aku menggeleng. "Kedepannya, tentu saja, saya akan meningkatkan elemen lompatan saya. Salah satu tujuan dari dilakukannya program ini adalah untuk mengukur sejauh mana kualitas lompatan saya." "Baik. Terima kasih atas kerja samanya dan selanat atas perolehan skor-nya." "Terima kasih kembali. Saya undur diri dulu." Salah satu hal yang pertama kulakukan setelah wawancara adalah mencari Lazuardi. Aku nggak menemukannya di mana-mana, tapi aku justru menemukan Sabrina.Hah. Ya ampun. Dewasalah, diriku. Sabrina memang menyebalkan, tapi kau harus segera menemukan Lazuardi dan mengembalikan jaketnya. "Sab!" panggilku. Sabrina menoleh, wajahnya langsung terlihat jutek. "Apa?" Tolong, nada bicaranya itu, lho. "Err, kamu tahu di mana Lazuardi? Aku mau mengembalikan jaketnya." Mata Sabrina memperhatikanku dari atas sampai bawah. "Kenapa jaket Lazuardi bisa ada di lo?" tanyanya sinis. Kenapa dia nalah balik tanya ke aku? "Lazuardi meminjamkannya padaku tadi," jawabku. "Lo nggak pantes pakai jaket nasional," katanya tajam. "Kamu pikir kamu pantas mengenakannya?" balasku sama tajamnya. Hilang sudah rasa simpatiku padanya tadi. "Kamu ini ngomongnya aja gede, tapi pakai quad toe loop aja belum bener." Wajahnya memerah karena marah seketika. "Sombong," desisnya kesal. Aku menarik napas dalam-dalam. "Dengar, Sab. Aku nggak mau cari masalah sama kamu. Aku cuma mau mencari Lazuardi, lalu mengembalikan jaketnya. Soal lompatan, sorry to say, but kamu menguasai quad axcel pun, dengan teknik kayak tadi, kamu nggak akan pernah menang," kataku jujur. "Kamu kan berlatih bareng Lazuardi. Contoh dia, dong." Kayaknya, kata-kataku bikin Sabrina makin kesal. Buktinya dia langsung melengos pergi begitu saja. Dasar. Untungnya aku segera menemukan orang yang kucari... Ah! Sialan! Lazuardi kelihatan imut banget! "Kak Shaka!" sapanya duluan dengan nada senang. Ditambah dengan lambaian tangannya, membuat keimutan Lazuardi makin bertambah. "Selamat buat kemenangannya!" tambahnya. Kuharap mukaku nggak merona sekarang. "Makasih!" kataku. "Btw, ini jaketmu. Makasih ya, udah mau minjamin. Sori kalau aku ngembaliinya mentahan." "Nggak masalah kok," katanya. Dia langsung memakai jaketnya, menutupi kostum berwarna krem pastel yang terlihat sangat ringan dan pasti akan melambai-lambai indah. "Gue duluan ya, Kak!" "I-iya! Sekali lagi, makasih, ya! Semangat buat FS-nya!" Nah, urusanku sudah selesai. Waktunya kembali ke Pelatih dan mengurus para cowok. Berbeda dengan kemarin, hari ini para cowok dengan pekanya sudah siap dengan kostum masing-masing. Saat ini skater dari grup A sudah mulai bertanding dan kami sudah siap. Aku mengecek keperluan mereka. Sudah lengkap semua. Aku pun memutuskan untuk membantu siapa pun itu yang butuh pertolongan atau pasangan dalam pemanasan. Saat mereka mulai melatih koreografi masing-masing, aku menyuruh Pelatih Weber untuk sekadar makan siang dengan roti isi yang kami beli tadi. Sementara itu aku sendiri cuma berdiri nontonin mereka latihan sambil sesekali mengomentari ini-itu. Terutama Shin, yang tetiba terlihat nggak fokus sama sekali. Cowok ini kenapa skating-nya naik turun begini? "Shin. Berhenti latihan dan tenangkan dirimu. Terus, pergilah ke ice rink dan tonton bagaimana skater Indonesia itu menjalankan programnya," kata Pelatih, terdengar nggak tahan lagi. Shin mengembuskan napas panjang dan menuruti perintah Pelatih. "Pelatih, aku boleh ikut lihat juga?" izinku. Pelatih mengangguk singkat. "Yang lain kalau mau lihat juga tidak apa-apa. Toh, setelah ini waktunya grup C untuk sesi pemanasan." Lazuardi sudah masuk di ice rink waktu kami sampai. Aku meneriakinya keras-keras, tak lupa sambil dadah-dadah bersemangat, dan Lazuardi membalas teriakanku dengan lambaian tangan pula. Senyumnya terkembang sangat lebar. Hebat. Kebanyakan skater pasti sudah memasang wajah serius berkonsentrasi waktu memasuki area ice rink alih-alih tersenyum selebar itu. Tapi... Apa, ya? Lazuardi itu memang, walau kelihatannya pemalu dan sedikit pendiam, dia selalu terlihat bahagia dan senang.Itu pula lah yang ditunjukkan pada free skating-nya kali ini. Menggunakan musik pengiring Waltz of the Flowers, Lazuardi meluncur dengan sangat ringan dan lincah. Gerakannya mengingatkanku pada Nicholaas saat sedang balet: terlihat indah, seakan kaki-kaki dan tangan-tangannya terbuat bulu angsa. Kostumnya yang berbahan ringan dengan bagian punggung yang disobek sehingga terlihat sedikit terbuka melambai-lambai, menambah keindahan gerakan Lazuardi.Presentasinya yang indah ini diimbangi dengan komponen teknik yang semuanya dieksekusi dengan baik. Jump, spin, step sequence, sampai dengan ina bauer serta spiral-nya mengundang decak kagum alih-alih tepuk tangan meriah. "Aku nggak pernah tahu ada skater cowok yang bisa skating seindah ini," gumam Zhang kagum di sebelahku. Spin terakhir Lazuardi berhasil dilakukannya dengan sangat baik. Dia memang skater yang begitu indah. Kemana saja aku selama ini sampai baru tahu kalau ada seseorang yang bernama Lazuardi Utama? Lalu, kemana saja Lazuardi selama ini dengan teknik skating yang sebegini indahnya? Total skor free skating Lazuardi ada di angkat 180-an. Skor yang cukup tinggi mengingat dia hanya menggunakan tiga quad jump. Penyumbang terbanyaknnya adalah dari presentasinya. Dari sorakan penonton yang sangat ramai, jelas sudah seorang jagoan baru saja terlahir kembali. Seorang pesaing baru terlahir lagi. Bab 14 Saat ini Lazuardi menempati posisi pertama sementara. Perkiraanku, seenggaknya dia bisa masuk lima atau empat besar dalam Shanghai Trophy musim ini. Itu adalah pencapaian besar untuk seseorang yang baru pertama mengikuti pertandingan dengan beberapa juara dunia. Pencapaian Lazuardi membuat seorang skater dari grup C tertekan. Skater itu mengacaukan segalanya dan sukses membuat para skater yang akan tampil ikut tertekan. "Akan saya katakan pada kalian semua saja sekalian," kata Pelath Weber saat skater malang itu tengah menanti perolehan skor-nya di kiss and cry." Lazuardi itu hebat dan sama sekali tidak diprediksi. Di umurnya yang baru tujuh belas tahun dia sudah bisa menunjukkan kualitas skating tingkat dunia. Free skating-nya barusan akan membuat program skater setelahnya nggak ada apa-apanya karena penonton sudah telanjur terkesima oleh program Lazuardi. Tapi," Pelatih menatap tim cowok kami satu per satu, "kalian lebih berpengalaman dari dia. Kalian memiliki kualitas kalian masing-masing. Teknik serta elemen kalian jauh lebih baik dari Lazuardi. Jadi, maju dan tunjukkan skating kalian dengan penuh kebanggaan. Mengerti?" "Baik! Kami mengerti!" Pelatih Weber mengangguk puas dengan jawaban mereka. "Oke! Kalau begitu, siap-siap dan tenangkan diri kalian." Salah satu dari empat cowok di tim kami turun ke ice rink. Ekspresinya terlihat begjtu serius. Begitu pula dengan yang lainnya. Yah, tentu saja. Penampilan Lazuardi nggak bisa dianggap enteng. Paling tidak para cowok ini berpikir buat nggak membiarkan perhatian penonton pada Lazuardi. "Representing South Korea..." "Bocah itu hebat," gumam Pelatih Weber. "Iya," kataku sambil memerhatikan temanku di tengah ice rink. "Si Lazuardi dari negaramu itu, maksud saya ," tambah Pelatih. "Eh, yah... Programnya selama dua hari ini memang benar-benar hebat," kataku ragu. "Tapi kami nggak akan kalah," gumam Pelatih. "Maaf karena mengatakan hal seperti ini padaskater dari negaramu." Aku mencengkram botol minum yang ada digenggamanku dengan kuat. "Iya, itu nggak masalah," balasku ikut bergumam. Tentu saja. Meski aku berlatih di Kanada, tetap saja aku seorang perwakilan dari negaraku. Jika aku adalah lawan bagi skater dari negaraku sendiri, apalagi bagi skater negara lain. Hal yang serupa juga berlaku bagi Lazuardi walaupun baru sekali ini kemampuannya diketahui dunia. Shin pun menganggap Lazuardi sebagai lawannya, terbukti dari bagaimana sangat berkonsentrasinya dia dalam mendengarkan musik pengiringnya saat ini. Shin mendapat urutan paling akhir. Harusnya dia bisa santai alih-alih begini tegangnya. Aku jadi berpikir, apakah Lazuardi memang sehebat itu? “Untuk saat ini, dia memang terlihat biasa aja. Tapi dia memiliki potensi yang sangat besar,” jawab Shin ketika aku menanyakannya. “Kamu takut padanya? Untuk saat ini?” Shin membuka resleting jaketnya dan dia memberikannya padaku. Matanya terpaku pada megatron yang menampilkan sesi kiss and cry-nya. “Entahlah. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap skating-nya. Yang kutahu bahwa dia adalah sebuah ancaman yang menarik.” Aku melongo. “Ancaman yang menarik?” “Dia ancaman yang bisa membuat skater lain merasa tertekan. Di sisi lain, dia bisa membuat panggung pertandingan menjadi lebih menarik,” jelasnya. “Apakah kamu tidak berpikir begitu?” Sorak sorai terdengar. Aku menatap megatron. Zhang menempati posisi pertama sementara, menggeser Lazuardi yang sejak tadi ada di posisi tersebut. Wajah Zhang sama sekali tidak senang, malahan dia terlihat sangat tidak puas. “Tolong beritahu Pelatih Weber kalau aku akan menyelipkan satu quad axcel hari ini,” pamit Shin sebelum pergi. Aku belum sempat mengatakan apa-apa padanya saat dia pergi. “Semuanya terlihat sangat bersemangat, ya?” ucap Pelatih Weber saat dia kembali. Aku berdeham untuk menyembunyikan rasa gugupku. “Ada pesan dari Shin,” kataku ragu-ragu. “Oh, ya? Apa?” tanya Pelatih Weber. “Itu… Katanya dia akan menyelipkan satu quad axcel nanti,” beritahuku. “HAH?! Woy! Shiiiin!” “Representing Japan, Shin Kagami.” Sayang sekali teriakan Pelatih Weber teredam oleh sorak penyambutan dari fans Shin. Senada dengan pilihan tema dan musik pengiring Shin di short program kemarin, free skating-nya juga sama. Sejak dulu pilihan Shin pasti yang begitu-begitu sih, soalnya sosoknya yang ramping dan berkulit putih khas Asia Timur itu memang cocok dengan yang seperti itu. Begitu music pengiringnya terdengar, Une barque sur l’ocean from Miroirs, Shin langsung bergerak lembut. Babak awal dia akan terlihat lembut, di babak kedua nanti barulah dia menunjukkan skating-nya yang biasanya, yang cepat dan tidak terduga. Pasti dia akan menaruh quad axcel-nya di babak kedua. Lompatan pertama, quad flip, mendarat dengan mulus. Sampai pertengahan babak kedua, semua quad jump-nya berjalan mulus, nggak kayak latihan terbuka kemarin yang super kacau. Itu membuat semua orang senang, kecuali Pelatih Weber yang terlihat cemas. Free skating Shin kali ini memang memiliki gerakan lembut yang cenderung (terlihat) nggak akan bikin lelah. Tapi programnya sudah hampir selesai, sisa dua lompatan lagi, dan quad axcel yang dijanjikannya belum juga ada. “Dia beneran bilang seperti itu ke kamu, kan?” tanya Pelatih Weber. “Iya, kok.” Tersisa satu lompatan lagi. Harusnya Shin sudah nggak punya tenaga buat melakukan quad jump apa pun itu karena, bruh, ini free skating… Ternyata aku salah. Shin melakukan quad axcel-nya di akhir! Hah! Umur Shin itu benar 21 tahun atau tidak, sih? Pasti dia melakukan quad axcel-nya di akhir program karena kemarin Lazuardi melakukan quad jump di akhir pula. Dasar bocah! Dengan begini Shin otomatis menempati posisi pertama dari kesulurhan program dan menjadi juara pertama di Shanghai Trophy seperti yang sudah-sudah. *** "Maaf karena sudah bohong sama Bunda... Sekarang aku sudah baik-baik saja, kan aku baru saja menang. Hahaha!... Oh! Yang di foto itu namanya Lazuardi, Bun! Kata Nicholaas dan Mita dia ikut balet yang sama kayak kami, tapi aku nggak pernah lihat dia...Besok pagi baru balik ke Toronto. Yang lain masih pengin kulineran... Besok Bunda bakal aku kabari kalau mau otw Toronto... Oh, Skate Canada masih lama. Sekitar minggu pertama November, mungkin. Btw Bun,dia ikut GP juga, lho!... Iya, iya, Vishaka janji nggak akan jatuh kayak yang kemarin itu... Oke, Bun. Selamat malam juga. Mimpi indah ya, Bun!" *** "Ini dia, perjalanan panjang kita. Aku sudah mempersiapkan diri dengan nggak tidur semalaman biar aku tidur di pesawat saja." "Yah, nggak tidur semalaman karena menangisi kekalahanmu?" "Akh! Sialan! Jangan ngomong gitu lagi!" "Kamu, sih. Lagian memangnya kamu bisa tidur di pesawat kelas ekonomi yang sesak gitu?" "Hahaha!" Empat hari di Shanghai, waktunya kami kembali ke Toronto untuk mempersiakan lomba yang lain. Bagi kami, Trophy Shanghai sebagai pertandingan awal merupakan pertandingan untuk mengecek bagaiman program kami masing-masing. Programku sendiri yang berjalan dengan sukses kelihatannya tidak memiliki masalah apa pun. Jadi aku pasti bisa maju ke Grand Prix dengan programku saat ini. Meski begitu, kami nggak bisa begitu saja santai-santai sesampainya di Toronto. Justru itulah waktunya untuk latihan lagi agar program kami berjalan lebih baik untuk Grand Prix, kejuaraan nasional, sampai terakhir di Wordl Championship. Yah, antara musim gugur sampai musim semi adalah musim di mana para figure skater sedang sibuk-sibuknya mengikuti pertandingan. Kuharap aku bisa terus sibuk sampai di World Championship. "Hei, kamu tidak tidur?" gumam Shin yang duduk di sebelahku. Dia menguap lalu meregangkan tangannya tinggi-tinggi. "Tidurlah, perjalanan masih panjang." Aku meringis. Dulu aku pernah dua kali duduk bersebalahan dengan Shin di pesawat dalam perjalanan panjang. Dia selalu menanyakan soal tidur tiap kali dia berada dalam keadaan setengah sadar. Nah, nah... Buktinya sekarang dia kembali terpejam dan mendengkur halus. Saat berdiri di podium kemarin baik Shin maupun Zhang sama-sama terlihat sedikit tegang. Ada orang baru yang berdiri di podium kemanangan yang sama dengan mereka soalnya: Lazuardi. Parahnya Lazuardi kemarin justru tampak sangat senang bisa satu podium dengan mereka berdua. Kulihat dia memuji terus-terusan keduanya. Aku sendiri berakhir di posisi kedua. Agak kecewa, sih. Tapi kalau pada akhir upacara pemberian medali aku bisa berfoto bersama Lazuardi sambil merentangkan Merah-Putih di belakang kami, kekecewaanku langsung sirna. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa pamer foto bendera bersama orang lain. "Aku tidak menyukainya,"gumam Shin di antara tidurnya, membuatku sedikit terkejut. "Temanmu itu. Dia terlalu terlihat bahagia." Aku melirik sekitar kami. "Shin, tidurlah. Kamu ngelindur,"gumamku geli. "Apakah dia bodoh?" lanjutnya. "Sama sepertimu?" Sialan. Aku nggak bodoh! "Lazuardi Utama... Kamu... Kalian berdua..." Dan, Shin kembali terlelap, sukses membuatku penasaran dengan kelanjutan kalimatnya yang menggantung. Apa? Aku dan Lazuardi kenapa? Selama perjalan menuju Toronto aku hanya tidur sebentar. Selebihnya aku terjaga atau mengobrol dengan siapa pun yang sadar kecuali dengan Shin. Cowok itu selalu dalam keadaan tidur tiap kali aku terjaga. Jangan-jangan dia memang tidur terus. Aku menyenggol-nyenggol lengannya saat kami akan mendarat. "Oy, Shin. Bangun! Sudah sampai, nih." Perlahan dia membuka matanya. Begitu sadar, dia menguap lalu meregangkan badannya. "Air," mintanya bergumam. "Kamu ini," gerutuku, lalu memberikannya air. Hah, mana Shin yang biasanya bersikap dingin dan dewasa itu? Begitu turun Shin yang biasanya sudah kembali. Kalau mengingat dirinya yang tadi, aku jadi ingin sekali menertawainya. Ah, harusnya tadi kurekam saja dia. "Ada apa?" tanya Shin, terdengar risih karena dari tadi kuperhatikan. Tawaku langsung meledak. Shin benar-benar sudah kembali ke dirinya yang biasanya. "Apa, sih?" "Kamu itu lucu banget tahu nggak?" tawaku. Shin terlihat nggak suka, lalu dia cemberut. Aku kembali tertawa. “Shin memang lucu banget kalau lagi tidur,” sahut Zhang yang tahu-tahu sudah berjalan bersama kami. “Kami kan selalu berbagi kamar kalau Robb nggak ikut.” “Apanya yang lucu?” tanya Shin curiga. “Aku berbagi apartemen dengan Robb dan dia tidak pernah mengeluh.” Zhang ikut tertawa bersamaku. “Mungkin sebenarnya Robb menceritakannya pada orang lain, tapi nggak denganmu.” “Wah! Jangan-jangan Robb diam-diam merekammu waktu tidur,” godaku. “Robb tidak mungkin melakukan hal yang melanggar privasi dan etika begitu.” Aku mengangkat bahuku. Bibirku menyunggingkan senyum jahil. “Yah… Siapa tahu—“ Tapi, senyum jahilku tidak bertahan lama. Lagi-lagi, mataku menemukan sosok Ayah. Kali ini aku nggak bertindak sembarangan seperti dulu. Aku tidak mau menabrak koper seseorang. Toh, sosok itu sedang berdiri sambil ngobrol dengan seseorang di sebelahnya dan bukannya berjalan menjauh. Aku terus memperhatikan sosok itu dalam diam. Orang yangn kuduga sebagai sosok Ayah itu dari tadi menghadap depan terus, sama sekali nggak menoleh sedikit pun. Aku menanti dengan sabar untuk menunggu orang itu barang sedikit menampakkan ujung hidungnya saja. “Kalau kau berdiri di situ terus kamu bisa ditabrak orang.” Sosok Ayah itu terlihat sedang tertawa. Perlahan, dia mulai menoleh ke arah seseorang di sampingnya. “Vishaka? Hei!” Aku menahan napasku saat sosok itu menoleh. Awalnya dia hanya menoleh sedikit. Tapi, entah apa yang mendorongnya untuk menoleh ke arah belakang sehinga mata kami akhirnya bertemu. “Ayah…” “Arya? Arya sia—Hei! Vishaka! Kau mau ke mana?!” Aku langsung mengejar sosok Ayah itu. Nggak, nggak! Orang itu pasti Ayah! Kerumunan orang serta koper yang mereka geret membuatku sedikit susah untuk mencapainya. Berkali-kali aku menabrak orang, berkali-kali pula aku tersandung koper orang. Aku nggak peduli… Aku mau memastikan orang itu benar Ayah atau tidak walau aku sebenarnya nggak tahu aku mau apa kalau sudah berada di hadapannya. Sekali lagi, aku tersandung koper orang. Aku sudah hampir jatuh kalau seseorang yang keburu menarik tangaku dengan super kasar. “Apa yang kau lakukan?!” tanya Shin marah. “Tiba-tiba lari begitu! Semua orang sudah meneriakimu!” “Aku… Aku!” Saat aku menoleh di tempat Ayah tadi berada, orang itu masih ada di sana. Dia menatapku dengan ekspresi datar yang nggak kuduga. Aku langsung lemas. Orang itu pasti tahu kalau aku daritadi menatapnya, lalu berusaha meraih dirinya. Tapi… kenapa orang itu diam saja menatapiku begitu? Apa-apaan ekspresi datarnya itu? Dia lupa denganku? Sialan! “Lepaskan tanganku!” suruhku pada Shin. Shin malah mencengkeram tanganku lebih kuat. “Kau pikir aku bodoh? Kau pasti akan lari kesetanan seperti tadi, kan?” “Lepaskan!” suruhku lagi. “Aku sedang mengejar seseorang!” “Mana?” Saat aku akan menunjuk ke tempat sosok Ayah tadi berada, orang itu sudah menghilang. “Mana?” Aku langsung menepis tangan Shin kasar. “Sialan! Orangnya hilang gara-gara kamu mencegatku!” umpatku marah. Shin terlihat kaget, tapi aku nggak peduli. “Kenapa kamu harus mengejarku, sih? Urus saja urusanmu sendiri sana!” “Vi-Vishaka?” Shin menyebut namaku. “Bukankah sebelum kita bertemu di bandara dulu kamu nggak pernah peduli padaku?! Kenapa sekarang tiba-tiba kamu jadi peduli?!” “Vishaka? Tenanglah…” “Tenang?” beoku. “Bagaimana aku bisa tenang kalau kamu baru saja menghilangkan kesempatanku untuk bertemu Ayah?!” tanyaku frustasi. “A-aku… tidak tahu—“ gumam Shin. “Vishaka! Ya ampun! Kenapa kamu berteriak-teriak begitu?” Pelatih Weber tiba-tiba datang. Dia kelihatan panik. Yang lain menyusul di belakangnya, terlihat panik pula. Lalu, saat kulihat Shin, dia terlihat sangat bersalah. Apa yang baru saja kulakukan? Fun Fact! (4) Halooo. Rasanya sudah lama sekali saya nggak menulis Fun Fact! Berhubung sebentar lagi akan memasuki bab tentang pertadingan ISU Grand Prix of Figure Skater, saya akan menjelaskannya secara singkat di sini. Jadi, seri Grand Prix (GP) itu adalah salah satu pertandingan skating yang biasaya terdiri dari enam babak penyisihan 1 babak final kompetisi dan diadakan pula di enam negara berbeda. Tahun ini (2019-2020), secara bergantian tiap akhir pekan, GP ada di: 1. Skate America (LA, USA)2. Skate Canada (Kelowna, Kanada)3. Internationaux de France (Grenoble, Prancis)4. Cup of China (Chongqing, Cina)5. Rostelecom Cup (Moskow, Rusia)6. NHK Trophy (Sapporo, Jepang)7. Grand Prix FINAL (Turin, Italia) Sedikit berbeda dengan yang ada di cerita, saya memasukkan Grand Prix of Helsinki (Finlandia). GP of Helsinki memang pernah diadakan sebelumnya untuk menggantikan Cup of China. Untuk bisa berpartisipasi dalam pertandingan GP, seorang figure skater harus memenuhi skor minimal yang telah ditentukan sebelumnya. Skor minimal yang dimaksud adalah skor minimal yang diperoleh dari pertandingan seorang figure skater di musim sebelumnya. Di pertandingan GP, seorang figure skater bisa mencapai babak final bila ia telah menyelesaikan dua babak penyisihan dengan perolehan keseluruhan skor yang mampu membawanya ke enam besar babak final. Jadi, cuma top 6 figure skating saja yang bisa berpartisipasi dalam final GP. Intinya sih, sebelum final, gede-gedean jumlah skor dari :v Oke. Sekian dulu Fun Fact! kali ini. Sampai jumpa di bab berikutnya. Terima kasih! Bab 15 Sudah beberapa hari berlalu sejak berakhirnya Shanghai Trophy, yang itu berarti sudah berlalu pula hari-hari di mana terakhir aku menemukan sosok Ayah di bandara. Aku masih ingat bagaima detail ekspresi orang itu ketika kami bertatapan. Aku juga masih ingat... bagaimana detail ekspresi teman-teman dan Pelatih Weber waktu menghampiriku waktu itu. Aku... masih mengingatnya. Aku... masih belum bisa mengenyahkan perasaan yang campur aduk ini. Padahal, tiga hari lagi seri Grand Prix akan dimulai, tapi rasanya semua sudah hancur lebur. Aku... Aku membiarkan orang-orang mengacaukan programku. *** Pertandingan pertama seri Grand Prix sudah di mulai. Sera, Robb, Pelatih Friday dan Pelatih Weber sudah bertolak ke Finlandia kemarin. Para skater dari tempat kami memutuskan untuk nonton bareng demi memberi dukungan moral bagi Sera yang sedang pertama kali mengikuti pertandingan senior-nya. Aku sendiri memutuskan untuk mengurung diri di studio. Sejujurnya, aku sudah nggak punya muka untuk bertemu orang-orang yang melihatku di bandada waktu itu. Aku bahkan sampai jarang menampakkan diri di ice rink dan lebih sering berada di studio. Aku baru akan berlatih skating kalau Pelatih Friday menarikku untuk latihan atau jika ice rink sudah sepi. Aku butuh sendiri. Aku butuh memikirkan semuanya. Terutama soal bagaimana ekspresi sosok Ayah waktu itu. Aku yakin 100% waktu itu Ayah melihatku. Tapi kenapa... kenapa dia diam saja sambil memasang ekspresi datar begitu padahal jelas-jelas aku menghampirinya waktu itu. Kenapa!? "Vishaka!?" Shin, entah muncul dari mana, langsung turun ke ice rink dengan sepatu biasa dan buru-buru membantuku berdiri. Tapi, aku malah menepis tangannya dengan kasar. Shin menatapku kaget. Dia pasti nggak menyangka aku akan melakukannya. Aku pun... sebenarnya kaget dengan reaksiku sendiri. "Maaf," gumamku. "Aku baik-baik saja." "Aku bantu berdiri, ya?" Kali ini Shin meminta izin padaku. Meski aku belum mengiyakannya, Shin tetap membantuku berdiri. Lalu dia menarikku ke pinggiran ice rink. "Aku selalu tahu kalau kau latihan diam-diam di malam hari," katanya. Shin duduk berjongkok di depanku, sementara aku duduk di bangku. Perlahan-lahan dia membuka simpul tali sepatu skating-ku. "Tapi sekarang sudah terlalu malam untuk latihan," tambahnya. Aku diam dengan pikiranku sendiri, membiarkan Shin melakukan pekerjaan yang nggak kuminta. Dia mulai melepas sepatu yang kukenakan dengan sangat perlahan sekarang. Kesannya dia takut sekali untuk menyentuh kulitku secara langsung. Gerakannya terlihat makin hati-hati saat Shin akan melepas kaos kakiku. Dan saat sudah terlepas, gerakannya pun terhenti. Shin menatap kakiku yang pernuh dengan luka karena latihan. "Yang orang lain tahu, skater itu pasti menampilkan program yang indah. Mereka tidak tahu, kalai sebenarnya skater itu menyembunyikan banyak luka," katanya. Kemudian Shin menatapku sebentar, baru melanjutkan kegiatan melepas kaos kakiku. Shin bahkan sampai membereskan barang bawaanku. Memberikanku cokelat panas yang aku nggak tahu kapan dia bawa pula.Dia orang yang baik. Apa yang sudah kulakukan padanya waktu di bandara dulu? *** Sera berhasil mendapat juara dua dan Robb juara pertama di Grand Prix of Helsinki. Sekarang, waktunya bagiku, Shin, dan dua orang lain untuk bertanding di Skate Canada.Mungkin karena kehadiranku yang jarang selama latihan membuat orang-orang di sini mulai menyerah padaku. Mereka sudah tidak lagi menanyakanku. Itu bagus, soalnya aku juga nggak tahu harus bagaimana menghadapi mereka. Tapi Shin dan Pelatih Friday, sekali dua kali selalu mengajakku untuk melakukan sesuatu. Aku heran mengapa mereka masih tahan denganku. Karena saat aku latihan pun programku nggak ada yang berjalan dengan sempurna. Ah, sepertinya kali ini aku sudah hancur. Bab 16 "Vishaka? Jangan bengong." Zhang, yang kebetulan juga mendapat penempatan di Skate Canada, menyenggolku cukup keras. Aku sampai mengaduh kesakitan. "Pemanasan yang benar, dong. Nanti bisa salah otot, lho" katanya, terlihat kasihan padaku. Aku pun menuruti apa katanya hanya supaya dia berhenti memperhatikanku.Sekarang waktunya latihan terbuka bagi disiplin men. Berhubung aku, lagi-lagi, satu-satunya cewek di klub Pelatih Friday yang mengikuti Skate Canada, aku ikut mereka karena dipaksa oleh Pelatih Friday. Maksudku, aku kan bisa datang nanti saat jadwal latihan terbukaku daripada harus ada di sini dan bertemu dengan banyak orang.Latihan terbuka bagi disiplin cowok dimulai dari grup C. Saat itulah aku baru menyadari kalau Lazuardi ikut Skate Canada juga. Coba aku ingat-ingat lagi siapa saja yang akan bertanding di Skate Canada. Oh, Sabrina kemarin. Bagaimana hasilnya kemarin, ya? Sepertinya Lazuadi lebih menyadari keberadaanku daripada pesaing-pesaingnya di Shanghai Trophy kemarin. Buktinya begitu keluar dari ice rink dia langsung menghampiriku dengan wajah sangat senang tanpa ada rasa takut atau terintimadasi terhadap keberadaan Shin serta Zhang di dekatku. "Selamat siang!" sapanya pada kami semua. "Kak Shaka! Aku nggak tahu kalau kamu ada di sini sekarang." Oh. Aku sedikit terkejut karena dia memilih menggunakan bahasa Inggris untuk mengobrol denganku. Apa karena ada Shin dan Zhang? "Iya. Aku ada di sini," kataku. Lazuardi berkedip-kedip sesaat, terlihat agak bingung. Tapi, dia segera tersenyum setelahnya. "Setelah latihan terbuka nanti, kamu ada acara?" tanyanya. Aku melirik Shin, Zhang, dan juga Pelatih Friday bergantian. "Ti-tidak," jawabku ragu. "Mau temani aku jalan-jalan? Ini pertama kalinya aku ke Kanada dan aku mau lihat-lihat, tapi aku takut tersesat." Zhang di sebelahku menatapnya kesal. Ah, aku tahu apa maksudnya. "Eh? Bukannya sebaiknya kamu menyimpan tenaga buat pertandingan besok?" tanyaku. "Ini kan seri Grand Prix pertamamu." "Nggak apa-apa. Tenagaku sangat banyak. Pelatihku juga mengizinkanku jalan-jalan," katanya terdengar polos. Haha. Pelatih Friday menepuk pundakku. "Tidak apa-apa. Temani saja dia," katanya. "Baiklah," gumamku. Wajah Lazuardi terlihat cerah seketika. "Kalau begitu nanti sore, ya! Aku akan menghubungimu lewat Instagram. Sampai bertemu lagi!" "I-iya!" Begitu Lazuardi menghilang dari pandangan kami, Zhang mendecih kesal. "Bocah itu terlalu meremehkan lawan-lawannya. Mentang-mentang ini masih pertandingan pertamanya," gerutunya. "Oh, entahlah, Nak. Saya pikir Lazuardi lebih dari ingin sekadar jalan-jalan saja," kata Pelatig Friday. Dia menatapku dengan senyuman aneh. "Tapi sekarang, yang penting latihan dulu. Ayo! Semangat! Semangat!" Sore itu, tepat sesampainya aku di hotel, Lazuardi menghubungiku lewat pesan di Instagram. Dia bilang kami bisa bertemu saat petang nanti di lobi hotel kami, para figure skater yang akan bertanding di Skate Canada menginakp, sekalian makan malam. Aku mengiyakannya dan pergi tidur. Dua jam setelahnya, sesuai janji, aku turun ke lobi dengan kaos, jeans, serta coat. Perkiraan cuaca mengatakan malam ini akan turun salju. Meski aku tidak tahu malam kapan yang dimaksud aku tetap mempersiapkan diri. Lazuardi sudah menungguku di lobi. Dia sedang duduk-duduk sambil memperhatikan ponselnya. Saat aku mendrkat, dia langsung memasukkan ponselnya ke dalan tas kecilnya dan tersenyum menyapaku, "Kak Shaka!" "Nanti malam katanya bakal turun salju. Kamu nggak apa-apa cuma pakai sweater gitu?" tanyaku. Lazuardi memerhatikan penampilannya sendiri. "Oh, nggak masalah, kok. Biar gini, gue lumayan tahan dingin," katanya lalu nyengir. "Jadi, mau ke mana kita?" Ini ceritanya aku jadi pemandu wisata dadakan? "Hmmm... karena ada potensi turun salju. Kita jalan yang dekat-dekat saja. Aku sendiri nggak sebegitu hafal daerah sini, tapi... kalau buka google map aku jamin kita nggak akan tersesat." Mulailah jalan-jalan kami demi makan malam. Meski masih awal November, suhu di sini, bagiku, terasa cukup dingin. Aku heran dengan Lazuardi yang malah terlihat begitu bersemangat mengambil foto tiap sudut kota hanya dengan sweater-nya. Padahal telinganya dan ujung jemarinya sampai terlihat merah begitu. Lalu, lama-lama, aku melihatnya sedikit bergidik tiap kali berbicara. Duh, anak ini. "Gimana kalau kita makan sekarang?" tawarku saat sudah nggak sabar melihatnya kedinginan. "Tadi aku lihat ada kedai makanan yang lumayan ramai. Jadi, rasanya pasti terjamin." "Oke! Kita ke sana!" Lazuardi memesan banyak makanan di sana, bikin aku bingung dengan ini semua. Besok itu sudah pertandingan dan (harusnya) bagi Lazuardi besok adalah debut pertamanya. Normalnya, seorang skater akan menyimpan tenaganya dan nggak makan aneh-aneh dalam porsi banyak supaya keesokan harinya mereka bugar. Sedangkan bocah ini? Ya ampun... "Kenapa lo geleng-geleng kepala gitu, Kak?" tanya Lazuardi dengan mulut penuh. "Kamu terlalu banyak memesan makanan," kataku. "Memangnya nggak masalah?" "Gue dapat uang saku lumayan, kok." Duh. "Bukan itu, Nak. Perutmu. Besok itu debutmu dan kamu malah leha-leha di sini sambil menambah berat badan. Harusnya sekarang kamu mempersiapkan diri buat besok," kataku nggak habis pikir. Lazuardi menelengkan kepalanya. "Tapi Kak Shaka nemenin gue di sini, kan? Itu berarti... Kak Shaka juga sedang nggak mempersiapkan diri buat besok," ucapnya. Aku terpaku mendengar hal itu keluar dari mulutnya. "Maaf sebelumnya, Kak. Tapi... kata Kak Nicholaas lo sulit dihubungin akhir-akhir ini. Kak Shaka ada masalah, ya?" Aku membuang mukaku. "Bukan urusanmu," gumamku. "Ah. Maaf." Sialan. Kemarin Shin, sekarang Lazuardi. Aku ini sebenarnya ngapain, sih? Gara-gara ucapanku itu, makan malam kami berjalan canggung. Bahkan sampai kami memutuskan untuk berjalan pulang.Kami berjalan dalam diam. Kalau kuperhatikan, Lazuardi kelihatan seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan-tahannya terus. Aku tahu itu soalnya dia bolak-balik mencuri pandang ke arahku. Rasanya aku jadi makin bersalah padanya. Mana dia sudah bayarin aku makan tadi. Haah. Kalau sampai setelah ini kami begini terus... Entah apa yang selanjutnya akan terjadi. Hubunganku dengan Sabrina sudah cukup jelek. Bila itu terjadi pada Lazuardi juga, para skater dalam negeri pasti akan berpikiran yang nggak-nggak tentang aku. Aku kan ingin menjalin hubungan baik dengan skater dalam negeri. "Salju!" seru Lazuardi tiba-tiba. Aku mendongak ke atas dan melihat butiran putih kabur turun perlahan sekali dari langit. Kami berdua berhenti berjalan, menikmati salju pertama setelah musim-musim yang terlewat seperti orang norak, sementara orang-orang di sekitar kami terus melanjutkan aktifitas mereka. "Ini pertama kalinya gue ngerasain salju pertama," beritahu Lazuarsi tanpa kuminta. "Biasanya waktu berkunjung ke negara A, saljunya udah berserakan di mana-mana." Mataku memperhatikan tangan Lazuardi yang menengadah untuk mewadahi salju yang turun. Tangannya kelihatan makin pucat, dengan ujung jemarin yang kemerahan. Meski begitu, dia diam saja. Jadi, kulepas sarung tanganku dan kuberikan padanya. "Kalau besok kamu sampai sakit, orang-orang se-Indonesia Raya pasti bakal ngehujat aku gara-gara nggak bisa jaga kamu." Lazuardi kelihatan kaget, tapi toh akhirnya dia tersenyum juga. "Makasih!" katanya senang. Dia langsung memakai sarung tangan pinjamanku. "Ehm. Sebenarnya gue mau ngasih ini ke Kak Shaka." Dia ganti memberiku tas yang dibawanya dari tadi. "Apa ini?" tanyaku saat membuka isi tas itu. Jaket ofisial nasional. "Itu baru," beritahunya. "Sengaja gue bawain dari Indonesia khusus buat Kak Shaka pakai besok." Jariku mengusap bordir Garuda di jaket pemberian Lazuardi. Sebenarnya apa yang sudah kulakukan? Berhari-hari ini aku nggak niat latihan. Alih-alih aku malah lebih memilih untuk menggalaui sosok Ayah yang kutemui di bandara dan mengabaikan semuanya. Padahal besok aku nggak cuma membawa nama pribadi, tapi juga nama negara sekalipun aku berlatih di luar negeri. "Makasih," bisikku. "Jangan lupa dipakai, ya!" kata Lazuardi. "Besok kita pakai bareng-bareng jaketnya!" Kulepas coat-ku dan kupakaikan pada Lazuardi. Sebagai ganti coat, aku memakai jaket nasional yang baunya masih khas bau pabrik. "Aku pakai sekarang saja." Lazuardi tersenyum lebar, terlihat senang sekali. *** Seperti latihan terbuka, urutan pertandingan hari pertama, short program, sama dengan kemarin. Para cowok dari timku sudah bersiap. Aku sendiri pun mulai menyiapkan diri. Di internet, aku menemukan banyak berita tentang diriku dan Lazuardi. Tentang aku, mereka bilang hari ini mungkin aku nggak akan cukup beruntung karena latihan terbukaku kemarin kacau. Tentang Lazuardi, mereka bilang dia adalah harapan mereka saat ini. "Sekarang adalah pertandingan pertama Grand Prix kalian: waktu yang penting untuk mendapat posisi di final. Jangan lengah, jalankan program sebaiknya-baiknya walaupun kalian tidak mengenal lawan," kata Pelatih Friday padaku, Shin, dan juga Zhang saat acara pembukaan untuk disiplin men akan dimulai. "Justru ini adalah waktu bagi kalian untuk menarik perhatian penonton." "Baik!" "Kalian berdua," Pelatih menatap Shin dan Zhang bergantian, "sama-sama sudah berlatih meskipun kalian adalah lawan. Saya senang kalian tetap bisa akrab. Lalu," Pelatih Friday ganti menatapku, "yang bisa saya lakukan adalah percaya padamu."Aku mengangguk mengerti. Sejak Shanghai Trophy kemarin aku nggak pernah latihan dengan sungguh-sungguh. Aku bahkan sudah berpikiran kalau aku sudah tamat... Aku nggak tahu apa yang akan terjadi pada short program-ku hari ini. Tapi nanti, begitu musik pengiringku terdengar, yang kulakukan hanya meluncur seperti biasanya. Kuharap aku akan baik-baik saja nanti. Bab 17 Skate Canada men’s short program berakhir dengan hasil yang cukup mengejutkan: Lazuardi ada di posisi keempat dengan program yang berjalan dengan sangat sempurna dan mengalir mulus sampai akhir. Para penonton yang menonton programnya hari ini sampai terkejut karena cowok tanpa nama dan tanpa gelar itu tiba-tiba saja muncul mencuri perhatian. Tapi, tetap saja, begitu Shin maju, perhatian penonton kembali pada The Next King kesayangan seluruh orang di dunia. Shin tetaplah yang pertama, disusul dengan Zhang, seseorang dari Prancis, lalu Lazuardi. Saat sesi kiss and cry tadi aku bisa melihat wajah-wajah ketidakpuasan orang-orang yang ada di atas maupun di bawah Lazuardi. Shin terutama. Meski dia memperoleh skor di angka 100-an, wajahnya menunjukkan jelas-jelas kalau dia tidak puas. Dan, itu sama halnya dengan Zhang yang stepped out di combination jump-nya tadi. Lazuardi benar-benar hebat. Jalannya mulus sekali. Kalau begini, bisa-bisa dia ikut final di seri Grand Prix pertamanya. Padahal aku sendiri butuh waktu dua tahun buat bisa tembus Grand Prix final. “Saya perhatikan daritadi kamu menatap Lazuardi terus, Nak,” tegur Pelatih Friday. Aku mengerjap kaget. “Nggak juga,” gumamku. “Sungguh? Tidak ada hubungannya dengan jalan-jalan malam kalian kemarin? Selain dia memberikanmu jaket itu?” tanyanya. “Memang ada hubungannya?” tanyaku balik, heran. Pelatih Friday mengangkat bahunya. “Misalnya seperti anak laki-laki menyatakan perasaannya padamu?” Aku mendengus. “Yang benar saja,” kataku malas. “Aku cuma berpikir… kalau dia hebat sekali bisa mendapat posisi keempat di seri Grand Prix pertamanya.” “Ah, ya. Dia memang hebat. Pelatih Weber sangat memuja-mujanya waktu memberi laporan tentang Shanghai Trophy kemarin,” kata Pelatih Friday setuju padaku. “Tapi kamu tidak kalah hebatnya dengan dia, Nak.” “Aku nggak sedang minta dipuji olehmu.” “Ya, tentu saja itu benar. Berlatih jauh dari negaramu, jarang mengeluh pada latihan yang saya berikan, hampir selalu mendapat medali meski harus susah payah sampai sekarang, dan sayangnya, tanpa apresiasi dari orang-orang di sana dan malahan disebut dengan yang tidak-tidak. Itu semua sama sekali tidak pernah membuatmu menyerah.” Pelatih Friday mendengus geli, lalu tersenyum. “Saya sampai bertanya-tanya kapan kamu akan menyerah dan minta dukungan dari orang lain.” “Pelatih mau bilang kalau aku sekarang lagi butuh dukungan, ya?” “Tapi, kamu malah menolak semua dukungan itu,” katanya. “Nak, ibumu menghubungi saya kemarin. Dia bertanya apakah kamu baik-baik saja dengan nada yang sangat khawatir. Kapan terakhir kali kamu menghubunginya?” “Entahlah,” gumamku. “Aku nggak ingat.” Pelatih Friday mengembuskan napas panjang. “Saya nggak mengerti apa yang terjadi padamu di Shanghai Trophy kemarin kecuali kamu gagal melompatkan triple flip-mu. Bagi saya, keseluruhan programmu sudah bagus. Jadi, saya nggak mengerti kenapa kamu tidak menghubungi ibumu segini lamanya.” “Maaf.” “Jangan minta maaf padaku, Nak." Pelatih menepuk pundakku. "Sebentar lagi waktunya sesi pemanasan bagi grupmu. Bersiap-siaplah." "Baik." Di sesi pemanasan itu, aku sengaja tidak mengenakan jaket yang diberikan Lazuardi kemari. Tiba-tiba saja aku merasa takut, malu kalau aku akan terjatuh di sesi pemanasan dan orang-orang membaca nama negara di pinggungku. Aku juga nggak melakukan lompatan yang aneh-aneh kecuali triple lutz - triple toe loop. Itu pun aku stepped out. Pelatih Friday tersenyum padaku begitu sesi pemanasan grupku selesai. Dia membawaku pergi ke lorong, seakan enggan membiarkanku melihat penampilan skater yang bertanding sekarang. Padahal tepat setelah ini aku yang akan bertanding. Waktu sorak sorai panjang terdengar, barulah kami menuju ice rink. Aku turun, tapi cuma berdiam sambil menunggu skor skater sebelum aku diumumkan di megatron. Skornya hampir mencapai angka 85. Itu skor yang besar. "Vishaka," panggil Pelatih Friday. Dia tahu-tahu memelukku. "Saya percaya padamu," katanya. Aku tidak mengangguk atau apa karena namaku sudah disebut. Jadi, aku langsung ngeluyur pergi walaupun aku benar-benar nggak tahu apa yang akan dan sedang kulakukan saat ini. Berhari-hari aku nggak latihan dengan benar. Sekalinya latihan pun lompatanku nggak ada yang benar. Semuanya kacau. Lompatan pertamaku, triple acxel, stepped out bahkan hampir kelebihan rotasi dengan parah. Aku bisa mendengar pekikan orang-orang, termasuk pekikam Pelatih Friday.Pelatih Friday selalu bilang kalau lompatan pertama adalah lompatang yang akan memperngaruhi bagaiman lompatan-lomoatan berikutnya. Lompatan pertamaku gagal, pasti yang berikutnya juga sama parahnya. Triple flip, aku terjatuh. Aku segera bangun dan melanjutkan programku. Di olahraga skating nggak mengenal kata berhenti atau istirahat selama musik pengiring masih terputar. Mau sebesar apa keinginanku untuk menyerah sekarang dan berhenti, aku nggak bisa melakukannya. Tapi, nggak berselah setelah aku terjatuh, di antara sorak sorai penonton, aku mendengar seseorang berteriak "semangat!". Benar-benar kata "semangat" dalam bahasa Indonesia hanya saja terdengar samar. Mataku menemukan Lazuardi, wajahnya terlihat tegang sekali, terlihat hampir ingin menangis. Lalu, mataku menemukan Shin yang terlihat sangat marah dengan wajah memerah. Alisnya tertekuk dalam dan bibirnya menipis. Aku tahu apa maksudnya. Lompatan terakhirku, combination triple lutz - triple toe loop dengan satu tangan terangkat berjalan begitu mulus dari yang sudah-sudah. Tribun langsung terdengar meriah dengan lompatanku barusan. Dari empat lompatan, aku hanya berhasil dua. Skorku nggak sampai angka 80. Dan, aku berada di posisi ke enam di ladies short program hari ini. Short program-ku berjalan sangat buruk. *** "Aku sudah makan malam. Pelatih nggak perlu mengkhawatirkan jadwal makanku, oke? Aku pasti akan kembali," kataku pada Pelatih Friday di telepon. "Jangan cari aku. Walaupun ini bukan Toronto, seenggaknya ini masih di Canada... Iya, iya." Sambungan telepon kami akhirnya terputus setelah kami berdebat beberapa saat. Pelatih Friday terlalu berlebihan. Aku nggak akan mati cuma karena kejatuhan beberapa butir salju. Lagipula aku sudah berpakaian hangat. Setelah short program yang kacau tadi aku jadi nggak bisa berpikir kecuali satu: Ayah. Aku, dengan bodohnya, bertanya-tanya apakah orang itu menonton kejatuhanku di siaran TV hari ini? Meski aku bukan skater terkenal, seenggaknya berita tentang Skate Canada hari ini akan disiarkan di suatu tempat, kan? Dan, namaku paling nggak akan muncul di TV di posisi yang mengerikan. Yah, itu kalau dia masih ingat namaku. Saat kami bertemu mata saja ekspresinya datar begitu. Jadi, untuk menjernihkan pikiran agar free skating-ku nggak seburuk hari ini, aku memutuskan untuk jalan-jalan sendiri. Aku menyusuri tempat di mana aku dan Lazuardi kemarin malam keluar bersama. Toh, aku sekalian menghindari orang-orang. Mereka semua menatapku seakan ingin menyuruhku segera gantung sepatu saja. Aku takut ditatap seperti itu soalnya aku masih mau terus berseluncur walau entah sampai kapan. Tapi nyatanya, yang kupikirkan mash tetap ekspresi sosok Ayah waktu itu. Orang itu... kenapa menatapku seperti itu, ya? "Kak Shaka! Sudah gue duga... lo bakalan ada di sini..." "Lazuardi?" kataku nggak percaya. Lazuardi kelihatan kecapekan dan sangat merah. "Heh? Gila ya?! Keluar nggak pakai mantel atau sweater pas turun salju gini!" omelku. Aku buru-buru melepas coat-ku dan memakaikannya pada Lazuardi. Paling tidak aku masih pakai sweater dan syal. "Nggak keburu, Kak," katanya masih dengan nada kecapekan. "Begitu dengar Zhang ribut-ribut cari lo, gue langsung lari ke sini." "Gimana caranya kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?" "Hah? Gimana, ya? Insting aja, sih." Bocah ini. "Nah, sekarang kamu sudah tahu aku ada di mana. Balik sana ke hotel dan langsung hangatkan badan," suruhku. "Besok masih ada pertandingan." "Besok lo juga masih ada pertandingan." Aku cemberut mendengar Lazuardi berkata begitu. "Lagian, gue maunya balik sama lo." "Aku masih mau ada di sini." "Kalau gitu, gue juga madih mau ada di sini." "Kamu sakit atau mati kedinginan?" "Gue lumayan kuat sama suhu dingin." "Kenapa kamu balas perkataanku terus, sih?" "Kan Kak Shaka yang tanya. Jadi gue yang jawab." Sialan. "Ya sudah, ayo balik. Kita beli minuman hangat dulu biar kamu hangat." Lazuardi tersenyum cerah seketika. Dia mengangguk semangat dan segera memimpin jalan kami. Kami menemukan kafe kecil dan membeli cokelat panas di sana masing-masing satu untuk kami. Lazuardi sudah akan membeli curos juga, tapi aku langsung melarangnya demi keamanan perutnya buat pertandingan besok pagi. Dia sempat protes, tapi tetap akulah yang menang. "Kak Shaka kayak Sabrina. Dia bahkan lebih parah. Gue ragu dia pernah makan kulit ayam krispi atau nggak," gerutu Lazuardi, lalu dia menyeruput cokelat panasnya. "Oh! Ini enak!" "Sabrina... Gimana GP Helsinki-nya kemarin?" tanyaku. "Dia ada di posisi keempat," jawab Lazuardi. "Tapi dia janji bakalan dapat medali di pertandingan Grand Prix keduanya. Sabrina semangat sekali." "Oh." "Kak," panggilnya, membuat langkahku terhenti dan menatapnya. "Gue harap, lo juga sama bersemangatnya kayak Sabrina besok," lanjutnya sambil menatapku dalam. Aku, yang nggak kuat ditatap dalam lama-lama, membuang muka kayak pengecut. Aku nggak berani kasih harapan ke dia atau siapa pun soal free skating-ku besok. Tapi, Lazuardi malah berputar supaya dia bisa melihatku. "Ayo berdiri di podium yang sama besok!" Dan, di situlah Lazuardi: berdiri di depanku, sambil tersenyum lebar sampai nggak sadar kalau ada cokelat di ujung bibirnya. Dia mengajakku untuk berdiri di podium yang sama kayak bocah lagi ngajak main temannya saja. Tapi... kalau diajak sampai seperti ini dan dengan ekspresi demikian imutnya, susah juga untuk menolaknya secara langsung.Aku mengatakan apa-apa pada Lazuardi, cuma sekadar mengangguk pelan. Pun begitu, Lazuardi kelihatannya sangat puas. "Gue nggak sabar menunggu besok!" katanya bersemangat. Aku juga... Aku nggak sabar menunggu berakhirnya hari esok. Bab 18 Aku dan Lazuardi berpisah di lobi hotel. Dia bilang, setelah pertandingan besok berakhir, sekali lagi dia ingin jalan-jalan denganku untuk mencari oleh-oleh khas untuk dibawanya pulang. Yah, pokoknya dia sama sekali nggak menyinggung soal pertandingan besok maupun short program-ku tadi. Di lift, aku bertemu dengan Shin yang terlihat siap akan menghadang cuaca di luar. Kupikir dia akan keluar dari lift mengingat bagaimana pakaiannya saat ini. Tapi ternyata dia malah menyuruhku agar segera masuk ke dalam lift. “Aku hampir mencari kau keluar,” kata Shin sambil menekan tombol angka tempat lantai kamar kami semua berada. “Aku sudah kembali,” kataku. Shin mengembuskan napas panjang. “Ke mana saja kau?” “Jalan-jalan di sekitar saja.” “Jalan-jalan keluar tanpa mantel sampai kedinginan lalu akhirnya memutuskan untuk membeli cokelat panas?” Aku melirik cokelat panasku yang belum habis juga. “Tadi aku pakai mantel, kok!” kataku membela diri. Wajah Shin terlihat nggak percaya padaku. “Aku meminjamkannya pada Lazuardi waktu dia menyusulku tanpa pakaian hangat tadi.” Lift kami berhenti bergerak dan pintunya pun terbuka. Bukannya segera keluar, Shin malah menatapku sinis. “Jadi, bocah itu menyusulmu?” tanyanya dengan nada yang terdengar mengesalkan di telingaku. “Jangan meyebutnya ‘bocah’ hanya kerena kamu lima tahun lebih tua darinya,” desisku kesal. Aku melangkah keluar dari lift, tapi Shin malah menarikku masuk ke dalam dan menutup lift-nya. “Hei!” Cokelat panasku hampir jatuh. Shin menggenggam tanganku sangat kuat sampai terasa sakit. “Aku belum selesai bicara,” katanya tegas. “Dan kau nggak perlu kasar begini!” Aku menepis tangannya. “Apa masalahmu?!” “Apa masalahku?” Shin menggelengkan kepalanya. “Apa masalahmu, Vishaka?” tanyanya. O-oh ini sama seperti yang dulu itu: dia marah. “Kau menolak bicara dengan siapa pun dan menghindari semua orang. Mulai dari latihan sampai programmu hari ini kacau semu—hei! Tatap aku!” Aku menolak untuk menatapnya. “Nggak mau! Mau seperti apa pun programku juga bukan urusanmu!” Shin menarik wajahku agar aku menatapnya. “Kau membuat semua orang khawatir tahu!” katanya. “Kau membuatku khawatir!” “Nah, kuberitahu saja kalau begitu supaya kamu nggak khawatir: aku baik-baik saja.” “Baik-baik saja apanya?” sindirnya sinis. “Vishaka, kau nggak baik-baik saja dan semua orang tahu itu.” Mataku memanas. Benar apa kata Shin. Tapi dia nggak perlu mengatakannya juga, kan? “Aku nggak perlu belas kasihanmu!” kataku kesal. “Kalau begitu berhentilah mengacau dan berusahalah di programmu selanjutnya. Aku sama sekali tidak melihat usahamu sejak kembali dari Shanghai Trophy kemarin. Jadi bagaimana bisa aku dan yang lainnya tidak khawatir padamu?” Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Selama ini… ternyata aku yang bertingkah lemah? Selama ini aku yang minta belas kasihan pada orang-orang, tapi malah menolaknya? Apakah selama ini aku seperti itu? Apakah dulu aku juga seprti ini? Lift kami lagi-lagi berhenti. Shin lagi-lagi menutup pintunya. “Vishaka, aku tahu kau seorang figure skater yang hebat. Semua programmu yang mengatakan hal itu. Selama ini kau terus maju walau kata Pelatih Friday dan Jose serta Robb dulu ada banyak orang yang berkomentar tidak baik di sosial mediamu. Dan, aku yakin kau juga masih ingin terus maju di free skating-mu besok. Bukankah program free skating-mu kau buat untuk ibumu?” Aku mengangkat wajahku dan mendapati Shin sedang menatapku lembut kali ini. Dia sama sekali nggak mirip sama Bunda, tapi kata-katanya barusan mengingatkanku pada Bunda. Tentu saja. Bagaimana aku bisa lupa? Program free skating-ku kubuat untuk Bunda dan bukan untuk Ayah. Kenapa selama berhari-hari ini justru orang itu yang kupikirkan ailh-alih memikirkan Bunda? Daripada orang itu, Bunda lebih berhak untuk kupikirkan dan kubuat bangga. Aku sama sekali nggak perlu membuktikan apa pun pada orang yang bahkan nggak lagi memikirkanku. “Ja-jangan menangis!” kata Shin panik. “Ya ampun. Maaf karena aku terlalu kasar padamu, oke? Hei, Vishaka? Aku benar-benar minta maaf…” “Bodoh,” gumamku geli. *** Setelah kejadian malam itu aku sedikit lega. Begitu kembali ke kamar hotelku, aku mengirim pesan singkat pada Bunda, Mita, serta Nicholaas; minta maaf pada mereka karena sudah mengacuhkan pesan serta telepon mereka dan berjanji akan segera menghubungi mereka setelah free skating-ku berakhir. Aku juga berjanji pada mereka kalau hari ini aku tidak akan mengacau. Sebelum men’s free skating dimulai. Aku menghampiri Lazuardi untuk menyemangitinya. Entah kenapa dia terlihat begitu terharu sampai ingin menangis. Biarlah. Selama dia tetap senang dan bersemangat, aku nggak akan banyak tanya. Aku cuma berharap free skating-nya hari ini berjalan sama lancarnya dengan short program-nya kemarin. “Kak Shaka juga semangat, ya!” Dan, free skating-nya benar-benar berjalan selacar itu. Hari ini, untuk pertama kalinya, Lazuardi berhasil mendaratkan quad flip-nya dengan sangat baik. Sama seperti di Shanghai Trophy kemarin, lagi-lagi dia mendapat juara ketiga. Di atasnya ada Zhang, yang perolehan keseluruhan skornya nggak beda jauh, bahkan skor free skating-nya sedikit lebih rendah daripada Lazuardi. Kupikir Zhang akan kesal, nyatanya dia justru terlihat cukup senang karena mendapat lawan baru. “Aku nggak akan kalah darinya di pertandingan berikutnya,” janji Zhang. Juara pertama, tak lain dan tak bukan, adalah Shin. Perbedaan skornya dengan Zhang nggak sebegitu ekstrim seperti biasanya karena ada satu lompatan yang stepped out tadi. Seperti biasanya, Shin sama sekali nggak merasa puas meski sudah mendapat juara pertama. Lalu, giliranku sekarang yang maju bertanding. “Saya sudah senang dengan keberhasilan lompatanmu di sesi pemanasan tadi,” kata Pelatih Friday. “Tapi saya akan lebih senang lagi kalau free skating-mu hari ini berjalan lancar.” “Aku akan melakukannya dengan lebih baik hari ini,” kataku yakin pada Pelatih Friday. Pelatih Friday langsung memelukku. “Saya senang mendengarnya!” “Now, please welcome… Represent Indonesia, Vishaka Meira!” Aku bersiap-siap tepat di tengah-tengah ice rink. Begitu musik pengiringku terputar, aku melakukan program yang kubuat khusus untuk Bunda, orang yang selama ini sudah menyokong segala kebutuhanku di sini tanpa pernah sedikit pun mengeluh. Tapi aku, dengan bodohnya, beberapa hari kemarin malah mengacuhkannya sampai Bunda harus menghubungi Pelatih Friday. Lompatan pertamaku, combination quad toe loop – triple toe loop, berjalan tidak sebegitu baik. Satu tanganku menyentuh es demi menahan tubuhku agar tidak jatuh Tenanglah Vishaka. Aku cuma punya tiga quad jump hari ini dan di short program kemarin aku ada di posisi keenam. Hari ini aku programku harus sempurna agar aku dapat mendulang skor yang banyak. Lompatan selanjutnya, triple lutz. Tentu saja aku berhasil melakukannya dan aku yakin aku mendapat skor yang besar untuk lompatan itu. Aku melatih lutz-ku bertahun-tahun bahkan sebelum aku berlatih di Toronto. Tapi itu nggak berarti Pelatih Friday nggak punya andil dalam tiap keberhasilan lompatanku. Kalau bukan karena dia, aku teknik lompatanku yang lain nggak akan sebagus lutz-ku. Terutama quad jump. Aku heran bagaimana Pelath Friday bisa sabar menghadapi quad jump-ku yang progresnya cukup lama dibandingkan yang lain. Quad salchow-ku mendarat dengan cantik. Ini adalah quad jump yang pertama kali kucoba. Lompatan-lompatanku berikutnya berjalan cukup lancar, termasuk combination triple flip – euler – triple salchow yang nggak kusangka bakal lancar kulakukan meski aku yakin pasti terlihat jelek kalau aku mengeceknya nanti. Yah, itu nggak masalah selama aku bisa menutupi kekurangan skorku dengan step sequence. Aku tahu nggak tahu apakah aku akan mendapat posisi juara di pertandingan kali ini. Tapi rasanya, ini adalah free skating-ku yang paling baik yang pernah kulakukan. "Vishaka Meira... Indonesia!" Kulambaikan tanganku pada semua orang yang, harus kuakui, terlihat kabur sebagai tanda terima kasih dan penghormatan. Di saat begini biasanya terlihat jelas cuma Pelatih, skater yang akan maju, dan beberapa teman setimuku yang mendukung sambil duduk-duduk. Kalau nanti Bunda jadi datang, aku akan memastikan tempat duduk Bunda dulu supaya aku bisa melambaikan tangan padanya setelah programku selesai... Oh... Tunggu... Aku melihat sosok Ayah sedang bertepuk tangan ekspresi datar yang sama dengan yang kulihat di bandara waktu itu. Orang itu duduk cukup jauh dan jelas kalau aku tidak bisa melakukan apa-apa padanya. Jadi, aku melambaikan tangan saja padanya sambil tersenyum lebar. "Kamu berhasil, Nak! Kamu berhasil!" sambut Pelatih Friday sambil memelukku begitu aku keluar dari ice rink. Aku nggak bisa berkata-kata saking terharunya dengan penampilanku hari ini setelah berhari-hari kemarin nggak niat latihan. Dan aku makin nggak bisa berkata-kata setelah mengetahui hasil perolehan skor free skating-ku. Jika ditotal dengan skor short program-ku kemarin, masih ada harapan bagiku untuk menjadi juara di Skate Canada. *** Aku mendapat juara ketiga di Skate Canada hari ini. "Ah, iya. Saya rasa semua orang sudah menyadari perubahan program saya sejak Shanghai Torphy kemarin. Seperti yang kalian duga, saya memang memiliki sedikit masalah," jelasku singkat. "Lalu, bagaimana?" "Lalu bagaimana... ya?" Aku tertawa untuk menyembunyukan gugupku. Pelatih Friday sudah mewanti-wantiku untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan hati-hati. "Saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Salah satunya dengan melakukan lompatan-lompatan yang benar-benar sudah saya kuasai alih-alih mengambil resiko. Ini akan membutuhkan waktu yang lama karena yang penting bagi saya saat ini adalah memperbaiki teknik saya. Bila saya mengambil resiko, skor yang saya dapat hari ini mungkin tidak akan sebesar tadi." "Di pertandingan berikutnya Anda akan bertemu dengan teman satu pelatih Anda, Josephine. Dengan perubahan program Anda sekarang, apakah Anda bisa menghadapinya?" "Pertandingan skating adalah pertandingan yang sulit ditebak. Mungkin besok saat latihan saya bisa melakukan program saya dengan lancar, tapi saat pertandingan, bisa saja itu semua berubah. Sekali lagi, yang bisa saya lakukan adalah berusaha sebisa mungkin. Karena di pertandingan saya berikutnya pun saya tidak hanya akan bertemu dengan Josephine, saya harus melakukan yang lebih baik dari hari ini." "Pertanyaan terakhir. Hari ini skater laki-laki dari negara Anda mendapat posisi ketiga dan semua orang tampak terkejut dengan kemunculannya. Tanggapan Anda?" "Hahaha. Mungkin itu artinya, kita tidak bisa lagi meremehkan seorang pun di dunia ini. Sejujurnya pun saya baru mengenal Lazuardi saat Shanghai Trophy kemarin. Progres kemenangannya mengejutkan saya. Tapi, saya senang hari ini kami bisa berdiri di podium yang sama lagi." Wawancara terhadap juara tiga besar ladies figure skating berakhir nggak lama kemudian. Aku dan juara lainnya berfoto bersama, basa-basi sebentar, dan segera kembali berpencar. Di akhir upacara penyerahan medali, aku dan Lazuardi menyempatkan diri untuk berfoto bersama lagi. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kami berfoto bersama dengan pelatih kami masing-masing sambil mengenakan jaket nasional. Selain itu, kami juga menyempatkan diri untuk berswafoto bersama Zhang dan Shin. "Sejak pertandingan bersama dulu, gue udah kepengin banget foto sama Shin Kagami. Akhirnya sekarang keturutan juga" kata Lazuardi dengan nada terharu. "Makasih banget, kak!" "Santai aja, sih," kataku geli. "Habis, kan aneh kalau gue tanpa nama ini minta selfie bareng juara dunia berturu-turut." "Kamu salah satu fans fanatiknya Shin, ya?" "Nggak bisa dibilang fans juga, sih. Gue kagum aja. Bagi gue, skater nomer satu tetap Robert Craine karena gue mulai skating gara-gara nonton dia di TV. Tapi sebelumnya lagi, gue ikut balet. Dan pebalet nomer satu adalah Nicholaas!" "Hah?!" "Vishaka! Kita mau balik ke hotel sekarang!" panggil Pelatih Friday. "Iya, iya!" sahutku. Aku segera menggeret koperku. Lazuardi benar-benar di luar dugaanku... "Semuanya sudah lengkap? Tidak ada yang ketinggalan?" absen Pelatih begitu kami di luar arena ice rink. "Bagaimana kalau kita makan bersama? Sejak siang kalian belum makan, kan? Pasti lapar," ajaknya. "Ayo!" seru Zhang bersemangat. "Mumpung di luar kota juga. Shaka ada rekomen resto yang enak?" "Kenapa tanya aku?" tanyaku heran. "Kemarin lusa kan kamu nge-date bareng Lazuardi. Masa nggak makan-makan bareng?" "Nge-date apanya?" "Ah! Gimana kalau kita ajak sekalian rombongan dari Indonesia? Mereka cuma berdua aja, kan?" "Oy!" "Itu bukan ide yang buruk," celetuk Shin. "Hei! Kalian ini ngomong apaー" Kata-kataku terhenti ketika mataku lagi-lagi menangkap sosok Ayah. Sosok itu kali ini menatapku dengan cara yang berbeda. Dia tampak sendiri sambil membawa sebuket kecil bunga. Aku nggak mau berharap. Maksudku, bisa saja dia bukan Ayah. Kalau pun dia memang Ayah, mungkin yang sedang ditunggunya bukan aku. "Vishaka... ya?" sapa orang itu ragu-ragu. Aku diam sambil berkedip-kedip bingung. Bab 19 “Kau tak suka dengan makanannya?” tanya Ayah sambil menatapku yang sedari tadi cuma bermain-main dengan peralatan makanku. “Nggak juga,” jawabku cepat, lalu buru-buru menyendok sup bawang di hadapanku. Sialan. Panas! “Hati-hati. Itu masih panas,” katanya. Ayah segera menuangkan segelas air mineral dan memberikannya padaku. “Makasih.” “Lanjutkan makanmu dan tetap hati-hati. Kalau tak suka, kau bisa memesan yang lain.” Aku mencibir dalam hati dan melanjutkan makanku dalam diam. Suasana canggung ini nggak akan terjadi kalau aku menolak ajakan makan malam Ayah tadi. Harusnya aku nggak mengaku sebagai Vishaka mengingat dia terdengar ragu waktu menyebut namaku tadi. “Vishaka Windhira Meira, ya? Saya Wisnu, kalau kau masih ingat. Selamat atas kemenanganmu hari ini,” katanya tadi sambil memberikanku sebuket bungan kecil yang dibawanya. Sekarang, buket bunga kecil itu ada di pangkuanku. Saya Wisnu, kalau kau masih ingat, katanya. Ha! Tentu saja aku masih ingat. Aku masih harus menulis namanya di semua biodata yang harus kuisi! Kejadian berikutnya bisa ditebak: Wisnu alias Ayah mengajakku makan malam. Mumpung kami bertemu setelah sekian lama katanya. Mumpung bertemu my ass. Aku ingin sekali mengatainya begitu mengingat di pertemuan pertama kami dia diam saja sambil menatapiku datar. Bahkan sekarang dia tetap datar-datar saja! Hah. Sudahlah. Apa yang kuharapkan sebenarnya? Orang di depanku ini yang menyebabkan short program-ku kacau dan penyebab segala kesusahan yang harus Bunda hadapi waktu aku mulai berlatih di Toronto. Lagipula, harusnya aku sudah ikhlas sejak melihatnya di bangku penonton tadi. “Kau sudah selesai dengan makananmu? Kita bisa mulai memesan dessert sekarang kalau kau mau,” tawarnya. Ayah melap mulutnya. Yang benar saja. Dia bicara kayak sama klien saja. “Bagaimana, Vishaka?” tawarnya lagi.Aku sudah tidak tahan dengan suasana ini. “Nggak usah pesan. Aku mau balik ke hotel saja,” jawabku pada akhirnya. “Baiklah.” Sebuah jawaban yang sama sekali nggak kuduga. Aku memang nggak berekspektasi apa-apa, tapi… Kupikir paling nggak Ayah akan membicarakan sesuatu atau aoa. Maksudku, orang ini mengajakku makan malam berdua saja alih-alih bergabung dengan timku. Apa maunya, sih? Ayah kemudian membayar makanan kami dan mengajakku keluar. Oke, jadi begini saja ternyata. “Kau menginap di mana?” tanya Ayah. “Biar kuantar pulang.” Aku menyebutkan hotel ofisial pertandingan hari ini. “Oh. Saya juga menginap di sana.” Yang benar saja! “Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku tak tahan lagi. “Saya tinggal di sini. Kanada,” jawabnya santai. Seakan itu adalah hal yang biasa saja. “Hah?! Sejak kapan?” “Kira-kira, sejak setahun lalu. Tapi, sebenarnya saya tinggal di Vancouver. Saya ke sini karena ingin melihat bagaimana pertandinganmu secara langsung.” “Apa-apaan itu?” cibirku sinis. “Saya ingin memastikan saja apakah orang yang saya temui di bandara waktu itu benar kau. Selain itu, namamu hampir ada di semua siaran TV. Tapi sejujurnya, saya sudah lupa bagaimana wajahmu,” jelasnya. “Saya pikir saya salah. Kau kan sangat menyayangi ibumu. Hampir tidak mungkin kau meninggalkannya.” “Heh. Kenyataannya aku di sini, kan? Beratus kilometer jauhnya dari Indonesia,” kataku kesal. “Saya terkejut . Sejak kapan kau tinggal di sini?” “Empat tahun.” “Itu waktu yang cukup lama,” gumamnya. “Hebat juga kau bisa bertahan di sini.” “Tentu saja aku bisa!” kataku hampir berteriak. “Bunda yang menyokong semua biayaku sampai akhirnya aku benar-benar menang, dapat uang banyak, dan bisa merintis karirku sebagai seorang figure skater dengan uangku sendiri! Asal kau tahu saja, hidup di sini sendirian nggak gampang! Harga barang-barang lebih mahal daripada di Indonesia, bayar pelatih mahal, bayar tempat tinggal juga mahal! Bunda sampai harus tinggal di apartemen kecil!” Ayah diam, sama sekali tidak bereaksi. Wajahnya masih datar-datar saja. Terkahir kali aku bertemu dengan Ayah sekitar aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ingatanku tentangnya sangat kabur, cuma namanya saja yang kuingat dan sekelebat wajahnya. Tapi… aku sama sekali nggak menyangka kalau Ayah dulu adalah orang yang sedatar dan sedingin ini. Sejak pertama kami bertemu mata pun dia tidak bereaksi. Apakah Ayah sejak dulu memang seperti ini?“Kalian berdua sudah berjuang dengan keras rupanya,” katanya singkat, lalu mencegat sebuah taksi yang kebetulan melintas di depan kami. Apa-apaan? Jangan-jangan ini penyebab Ayah dan Bunda bercerai; karena Bunda nggak tahan dengan sikap orang yang begini ini. “Kau tahu, waktu pertama kali melihat wajahmu muncul di berita TV, yang pertama saya pikirkan adalah dua orang yang saya tinggalkan dulu. Saya ingat saya punya anak yang bernama Vishaka yang ikut les balet sekaligus les skating sampai kakinya lecet semua. Lalu, ketika saya bertemu dengannya langsung hari ini, saya tahu kalau dia baik-baik saja sekarang,” katanya tanpa menatapku. Ayah malah sedang memandangi layar ponselnya sambil memijat ini-itu. “Saya sadar saya adalah orang brengsek bagimu dan ibumu.” Aku mendengus. “Aku saja yang menganggapmu begitu. Bunda nggak.” “Dia memang orang yang baik.” “Jadi, aku orang yang nggak baik?” “Saya tidak bilang begitu.” Sialan. “Kenapa kau tinggal di sini?” “Pekerjaan yang menuntut saya demikian. Dan, sepertinya itu juga karena takdir Tuhan,” katanya. “Saya hampir lupa kalau saya pernah punya istri dan seorang putri saking sibuknya.” “Kau tidak menikah lagi?” Ayah menggeleng. “Mempunyai tanggungan batin bukan cara hidup yang saya sukai. Saya tidak bisa hidup dalam bayangan tanggung jawab yang harus saya berikan pada orang lain. Soalnya, pekerjaan saya membuat saya jarang bisa berkomunikasi dengan keluarga.” Oh. Jadi Ayah bercerai dengan Bunda karena menganggap kami adalah beban. Bunda tahu hal ini atau tidak, ya? Yang lebih penting, kenapa mereka dulu menikah?"Jadi, kau sendiri tinggal di mana sekarang?" tanya Ayah. "Di Toronto," jawabku. "Toronto, ya?" gumam Ayah. Dia duduk bersandar, lalu memejamkan mata. "Katanya itu tempat yang bagus." "Lumayan lah." Sisa perjalanan menuju hotel kami habiskan dengan diam. Begitu sampai di hotel, Ayah langsung menuju kamarnya yang ternyata cuma beda dua lantai denganku dan bilang dia akan menyempatkan diri untuk menonton exhibition gala Skate Canada-ku. Aku heran kenapa kami tidak pernah berpapasan sebelumnya. Aku sendiri memilih untuk duduk-duduk di lobi hotel. Sekarang sudah cukup malam, lobi sepi. Yang lain mungkin sudah balik dari makan malam. "Halo? Bunda? Maaf baru telepon sekarang. Aku dapat juara tiga... Iya, aku memang nggak puas, tapi itu karena salahku sendiri. Aku bertemu Ayah di sini; itu penyebabnya. Kami baru saja selesai makan malam bersama..." *** "Bambinaaa! Selamat atas kemenangannya! Ah, aku sama sekali nggak nyangka kamu bakal jadi juara tiga setelah short program yang buruk begitu." "Haha. Makasih pujiannya." "Shin! Sayangku! Ada apa dengan Skate Canada kemarin? Aku jadi bisa membayangkan medali emas di final nanti." Shin melirik tajam Robb. "Jangan mimpi," desisnya lalu berlalu meninggalkannya. Robb malah tertawa keras, kelihatan senang karena sudah berhasil menggoda temannya.Rombonganku baru saja sampai di bandara dengan dijemput Robb. Kami semua lelah setelah perjalan dari luar kota dan ingin sekali istirahat tapi malah disambut oleh keberisikan Robb. Harusnya Pelatih Weber saja yang menjemput kami. Soal Ayah, kami berpisah di Kelwona. Dia menyempatkan diri untuk melepasku secara langsung untuk menciptakan suasana canggung di antara kami semua. Saat berpisah dia tidak mengatakan apa-apa selain "hati-hati di jalan". Bertukar kontak pun nggak. Yah, aku sendiri yang nggak minta duluan. Mungkin, untuk saat ini tahu tempat tinggal masing-masing sudah cukup bagi kami. Yang penting sekarang adalah aku sudah mengikhlaskannya. Jalan hidupku dan Bunda sepertinya memang harus begini: tanpa Ayah dan berjuang bersama untuk mencapai keinginan masing-masing. "Ada apa lagi? Kau terlihat murung," tegur Shin. Aku cemberut. "Nggak apa-apa, kok. Cuma sedikit berpikir," kataku. "Soal ayahmu?" tanyanya. "Hmmm. Begitulah," gumamku. "Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya kami memang harus begini. Kalau sekarang masih ada Ayah dan hidupku sejahtera dan bahagia, mungkin aku nggak akan berjuang sekeras ini. Aku bahkan baru sadar kalau Kanada dan Indonesia sejauh itu waktu dia mengatakannya. Katanya, aku hebat bisa tinggal sendiri jauh dari Ibu selama empat tahunan ini." "Kamu memang hebat." Shin menoleh ke arahku. "Beberapa orang memang perlu kehilangan dulu untuk dapat mencapai sesuatu." Benar juga. Aku kehilangan banyak hal. Mulai dari Ayah, teman seperjuanganku Jose, beroisah dari Bunda serta Mita dan Nicholaas, sampai kehilangan semangat gara-gara latihan keras karena perubahan tubuhku. "Kalau kamu berkata begitu, aku jadi bangga sendiri," dengusku geli. "Itu memang pujian, kok," kata Shin. "Makasih." Selesainya Grand Prix of Helsinki dan Skate Canada buka akhir dari segalanya. Minggu depan ada Skate America, waktunya bagi kami untuk kembali memantau lawan. Di Grand Prix of Helsinki kemarin ada Jose yang berhasil mendapat juara pertama dan si Kawada pacar Shin tiba-tiba saja jatuh di posisi ke empat. Di Skate America nanti akan ada si duo cewek Rusia dan seseorang bernama So Yoo. Pasti mereka bertiga yang bakal juara. Setelah Skate America, ada Torino Cup, lalu baru NHK Trophy, terakhir Internationaux de France. Setelahnya baru final di Rostelecom Cup. Maka dari itu, Pelatih Friday langsung mengumpulkan semua yang ikut serta dalam Grand Prix Figure Skating untuk melakukan evaluasi. Intinya sih, nggak ada waktu untuk leha-leha bagi kami. Perjalananku menuju World Championship masih sangat panjang. Bab 20 Aku sedang melakukan peregangan waktu tiba-tiba Pelatih Friday memanggilku. "Ada apa?" tanyaku."Hmmm, begini." Pelatih Friday memggulir layar ponselnya sebentar, baru berkata lagi, "Nah, ini. Beberapa waktu lalu, saya dapat email dari asosiasi skater negaramu dan itu membuat saya sadar kalau kamu tidak pernah mengikuti perlombaan nasional apa pun selama berlatih bersama saya." Aku mengangkat bahuku. "Dulu aku pernah hampir mengatakannya pada Pelatih. Tapi opini publik nasional bilang kalau aku sudah pasti bakal menang dan malah bikin yang lain minder. Pikirku, daripada netizen nasional makin menggila dalam menghujatku, lebih baik aku nggak ikut sekalian," jelasku. "Oh. Wow. Saya tidak tahu netizen seekstrim itu hanya karena kau berlatih di sini." "Begitulah manusia." "Apakah menurutmu mereka masih berpikir demikian?" "Entahlah." "Lazuardi berhasil memdapat juara ketiga di Skate Canada kemarin. Sabrina juga mendapat tempat di enam besar Grand Prix of Helsinki. Itu berarti skater dalam negerimu sudah cukup bagus daripada yang lalu," kata Pelatih. "Maksud Pelatih sekarang sudah aman untuk berkompetisi di pertandingan nasional?" Pelatih mengangguk. "Indonesia sudah menjadi anggota ISU dan mereka memiliki juara yang berlatih di dalam negeri. Dengan ikut bertandingnya kamu di kompetisi nasional, mereka bisa mempertimbangkan untuk mengikutkanmu dalam World Championship. Kamu tidak perlu menunggu undangan lagi kalau negaramu yang mengikutsertakanmu," jelasnya. Hmmm, bagaimana, ya? "Masalahnya, pertandingan nasional negaraku itu ada di akhir November, pokoknya di tengah-tengah pertandingan GP. Ada sih Indonesia Open Skate yang diadakan sekitar awal tahun, tapi itu 'pertandingan terbuka'." "Jadwal kompetisi nasionalmu ada di jeda antara pertandingan kualifikasi GP dengan final GP. Kalau kamu mau, saya siap menemanimu ke sana." "Hah? Seriusan? Pak, Indonesia itu jauh banget dari sini. Kita bakalan terbang dari ujung ke ujung. Perjalanan pergi-pulang makan waktu dua hari," ingatku padanya. "Tidak masalah," katanya enteng. Aku menatapnya ngeri. "Toh saya tidak akan menyuruhmu melakukan lompatan yang aneh-aneh. Saya sudah merencanakan program lompatanmu kalau kamu jadi mau ikut kompetisi nasional." "Kau sudah memikirkan sejauh itu?" beoku tak percaya. "Selain agar negaramu mau merekomendasikanmu untuk ikut serta dalam World Championship, tujuan dari keikutsertaanmu dalam kompetisi nasional adalah untuk menaikkan kualitas teknik triple jump-mu," katanya. "Iya, Nak. Kamu hanya akan melakukan triple jump saja di sana dan kita lihat apakah kamu bisa tetap menang atau tidak." "Yang benar saja!" Pelatih Friday tertawa. "Tenang saja! Melihat bagaimana free skating-mu kemarin, sepertinya kamu masih bisa tetap menang!" kelakarnya. "Jadi, bagaimana? Mau tidak?" Aku mengembuskan napas panjang. "Akan kupikirkan lagi, deh," jawabku. "Oke. Jawabannya saya tunggu sampai Skate America, ya!" Ukh! "Iya, iya!" Pertandingan nasional... Terakhir aku ikut mungkin waktu aku masih di kualifikasi junior. Setelah pindah ke sini, aku sudah lupa kalau Indonesia sebenarnya cukup aktif mengadakan pertandingan ice skating. Aku nggak pernah berpikir untuk ikut pertandingan nasional lagi mengingat jarak Canada-Indonesia setera dengan memutari setengah bumi. Sebagai gantinya, biasanya aku mengikuti pertandingan-pertandingan internasional yang skalanya kecil, tapi masih dekat-dekat sini. Selain itu, pertandingan nasional rasanya nggak cocok denganku. Bukannya sombong, aku cuma nggak mau mengintimidasi peserta yang lain dan jadi sangat mencolok di sana. Itu pemikiranku dulu... Tapi kata Pelatih... "Vishaka? Kamu lihat Pelatih Weber?" Sera tahu-tahu saja sudah ada di studio lengkap dengan leging dan kaus. Dia kelihatan siap untuk melakukan peregangan. "Nggak, tuh," jawabku. "Aku ketemunya sama Pelatih Friday." "Yaaah." Sera cemberut. "Ya sudah, deh. Aku latihan sendiri saja." "Emangnya harus banget sama Pelatih Weber?" tanyaku. Sera mengangguk. "Katanya dia mau mengganti beberapa gerakan koreografiku supaya aku lebih mudah melakukannya," katanya. "Ada masalah dengan programmu kemarin?" "Ini memalukan, tapi aku bukannya jatuh waktu melompat, aku malah jatuh waktu melakukan step sequnce," akunya malu. "Sekarang, video aib itu sudah beredar di internet. Orang-orang bilang itu imut banget, tapi bagiku itu memalukan banget." Aku tertawa kecil mendengarnya. "Jangan ketawa, dong!" "Pasti Pelatih Friday ketawa sepanjang kiss and cry," kataku geli. "Memang iya!" "Omong-omong, kamu kemarin sama Sabrina, ya?" "Yang satu kampung halaman denganmu itu? Iya. Kenapa?" "Dia... gimana programnya kemarin?" Sera mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, memulai peregangan. "Maaf sebelumnya, menurutku, dia banyak mengacau," katanya. "Kurasa, itu karena dia terlalu memaksakan diri menggunakan lompatan yang belum dikuasainya." "Seperti?" "Combination quad salchow - triple loop. Itu kan susah banget. Triple loop-nya jadi double dan jatuh pula." Sera mengganti gerakannya. "Terus... rippon. Kayaknya kalau sudah tujuh belas tahun ke atas bakalan susah buat melakukan rippon, tapi Sabrina malah menggunakannya waktu melakukan triple filp." "Jatuh juga?" Sera mengangguk. "Sebenarnya, kalau dia mau menggunakan lompatan biasa yang dikuasainya, nilainya nggak akan jatuh-jatuh amat. Malahan, kata Pelatih Friday, Sabrina punya potensi buat jadi juara tiga kemarin." "Oh. Begitu, ya?" "Hmm-mm! Kenapa memangnya?" Aku mendongak, menatap langit-langit studio yang terang benderang. "Aku pengin bertanding lagi dengan Sabrina." *** Lo ketemu sama bokap lo?! Kenapa lo nggak bilang?! Wait, kamu tahu dari mana? Tahu dari aku. Hehehe. Dari semua orang di dunia, kenapa Bunda harus cerita ke Nicholaas, ya Tuhan... Eh, tapi aku tahunya dari Lazuardi, tuh. Hah? Nicholaas kebetulan ketemu sama Lazuardi tadi, terus pas gur lihat mereka ngobrol gue ikutan mimbrung mereka.Seriusan deh, Ka. Jadi itu yang bikin lo galau kemarin-kemarin itu? Sori, oke? Aku kan sudah minta maaf ke kalian. Tapi kan lo nggak bilang apa alasan galau lo itu! Seriusan deh, Shaka. Kalau Lazuardi nggak cerita ke kami barusan, kami bakalan berpikir kalau kamu memang beneran cuma butuh waktu sendiri kayak apa kata kamu itu. Maaf, maaf! Gimana lo sama bokap lo sekarang? Yah, nggak gimana-gimana. Kami cuma sempat makan malam bersama dan kami baik-baik saja sekarang. Ukh, Lazuardi sialan.... Ck! Jangan salahin Lazuardi, memang gue-nya yang pertama korek-korek informasi ke dia. Lazuardi orang enak diajak ngobrol dan polos banget, sih. Hahaha. Heh. Sejak kapan kalian akrab sama dia? Sejak saat ini, dong! Paramitha send a photo The hell?! Kalian bahkan lagi CFD bareng dia sekarang?! Ini acara kursus balet kita, kok. Lagi ngadain penggalangan dana gitu. Di luar dugaan, dia unyu juga. Hahaha! Oy! Jangan ganggu Lazuardi dengan urusan percintaan dulu, ya! Minggu depan dia masih harus bertanding. Idih! Apaan, sih? Posesif banget lo! Mon maap nih, ya. Aku kan seniornya di skating! Dan gue seniornya di balet! Tapi Lazuardi pernah bilang kalau dia lebih mengakui balet Nicholaas daripada siapa pun, tuh. Nggak ada hubungannya! Lolololol. Uwah. Aku tersanjung! Oh, iya. Btw, mumpung kalian lagi sama Lazuardi dan aku nggak punya kontsknya, aku titip pesan, dong. Bilang aja semangat buat Torino Cup-nya dan semoga bisa masuk final. Terus, bilang buat semangatin si Sabrina juga. Panjang banget! Ya udah, sih. Kamu kan tinggal nunjukin chat kita ke dia. Eh, titip satu lagi, dong. Bilang sampai ketemu di pertandingan Nasional nanti, ya! Panjang! Panjang! Kamu ngeselin banget sih, Mit! Udah aku bilangin ke Lazuardi, Ka. Katanya, nanti berdiri di podium yang sama lagi, ya! Gitu... Uuunch! Makasih, Nicholaas! Bilang, iya! Aku bakalan nunggu dia sama Sabrina buat berdiri di podium yang sama! Jadiin aku kurir pesan gini bayar lho, Ka. Paling nggak BBQ. Aku mau ditraktir pas kamu ikut pertandingan nasional nanti.Gue! Gue juga mau! Oy! Kalian pikir aku balik buat senang-senang?! Mana sempat aku bisa traktir kalian! Bab 21 Skate America, cewek Rusia yang namanya sulit kueja itu mengalami kejatuhan yang cukup parah dan membuatnya harus rela berada di posisi keenam. Wajah pelatihnya datar-datar saja saat di kiss and cry dan begitu pula dengan dirinya. Tapi semua orang pasti tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Sementara itu temannya menjadi juara pertama dengan poin yang nggak masuk akal. Tentu saja. Quad lutz-nya itu benar-benar bikin iri sampai harus membuat Jose rela berada diposisi kedua padahal komposisi lompatan yang mereka gunakan hampir sama. Posisi ketiga diisi oleh So Yoo, cewek Korea yang perolehan skornya nggak beda jauh dengan Jose. Meski begitu, perolehan skornya tetap saja nggak masuk akal. “Jangan bengong terlalu lama! Perhatikan musiknya! Kau kehilangan tempomu!” teriak Pelatih Weber dari pinggir ice rink. Eskpresiku saat ini pasti kesal sekali. Masih sama dengan Skate Canada kemarin, aku nggak akan jauh-jauh dari quad slachow atau quad toe loop. Pelatih hanya akan membiarkanku menggunakan quad flip kalau dilatihan kali ini teknik kedua quad jump-ku tersebut sudah kembali seperti semula. Sayangnya, sampai seminggu setelah Skate Canada, teknikku nggak kunjung membaik juga. “Apa-apaan ekspresimu itu, Nak?” tegur Pelatih Weber bergitu aku menyelesaikan latihan free skating-ku hari ini. “Saya sama sekali nggak merasakan apa-apa.” “Sori, deh,” gerutuku kesal. “Saya nggak mau melihat ekspresi ingin membanting sesuatu lagi waktu kamu latihan,” katanya. “Saya mengerti kok, kalau kau kesal setengah mati dengan tubuhmu yang nggak mau diajak berkompromi soal lompatan. Tapi percayalah, ini demi mendapatkan best value-mu yang selalu tinggi itu. Ingat apa jargon kita?” Aku mendengus. “Lebih baik menggunakan komposisi elemen yang biasa saja demi program yang clean, daripada menggunakan elemen yang tidak dikuasai dan mengahancurkan keseluruhan program,” uacpku. “Nah, itu kau mengerti.” Pelatih Weber nyengir. “Lagipula, kalau kau memaksakan diri yang ada kau malah cedera. Saya dan Friday nggak mau mengambil resiko kau cedera sampai kau nggak bisa melakukan bielmann spin-mu yang sempurna itu. Kau mengerti?” “Iya, iya. Aku mengerti,” gumamku. “Bagus.” Pelatih Weber menepuk pundakku. “Tenanglah, Nak. Ada seribu jalan menuju World Championship.” Aku mencibir terang-terangan. Meski dalam latihan program untuk pertandinganku musim ini aku masih belum tentu menggunakan quad flip apalagi quad loop, aku masih diizinkan untuk melatih lompatan itu beberapa kali dalam pengawasan. Pokoknya, kalau aku sudah terjatuh cukup banyak atau aku terlihat sering melatihnya salah satu dari pelatihku pasti akan langsung menyuruhku istirahat. Sekali lagi, itu sangat menyebalkan. Tapi, sekali lagi, kata mereka itu demi kebaikan tubuhku sendiri. Untungnya, ada Robb yang dengan baik hati mau mengajariku quad flip yang menjadi andalannya sejak zaman dulu. Dia berbagi tips dan sesekali memberiku saran atas teknik quad flip-ku yang dia sebut dengan “terlihat sangat mengkhawatirkan” itu. Dia bahkan dengan baik hati melakukan quad flip khusus untuk kurekam dan kujadikan referensi belajar. “Sekali-sekali aku ingin videoku disimpan oleh seorang little lamb sepertimu,” katanya waktu itu, lalu tertawa. Rasanya geli banget waktu dengar dia ngomong gitu. Kalau quad flip terindah sepanjang masa bukan dimiliki oleh Robb, aku nggak akan sudi merekam quad flip-nya. Dua hari menjelang Torino Cup, Pelatih Friday mengizinkanku untuk menyelipkan quad flip di latihan program free skating-ku dengan catatan banyaknya quad jump yang kugunakan tetap tiga lompatan. Itu bukan jaminan aku boleh melakukan lompatan itu, tapi itu adalah angin segar bagiku. Katanya, kalau aku bisa melakukannya dengan baik selama latihan, aku boleh melakukannya di NHK Trophy nanti. “Robb, kamu harus tahu kalau aku malas melakukan ini, tapi aku adalah manusia yang tahu terima kasih. Ayo, nanti kamu kutraktir makan malam,” kataku di sela-sela istirahat. Robb tertawa keras-keras. “Bukankah egomu itu tinggi sekali, Vsiahaka? Tapi, baiklah ayo makan malam bersama! Aku ajak Shin juga, ya!” “Aku nggak bayarin dia lho, ya!” “Uangmu dari hasil bintang iklanmu kan banyak, Bambina!” “Hiih! Kata siapa?!” Aku dan Robb sepakat untuk makan malam bersama bertiga (dengan Shin) sambil menonton short program Torino Cup. Yah, kami pesan makanan untuk dimakan di apartemen Shin serta Robb yang jelas lebih luas daripada apartemen tipe studioku yang imut. “Ini ladies dulu, ya?” tanya Robb begitu menemukan saluran TV yang menampilkan siaran langsung Torino Cup. “Siapa nama temanmu itu? Siberia?” “Sabrina,” koreksiku. “Kayaknya kita kelewatan yang short dance. Ladies grup pertama aja udah mulai, tuh.” “Kita bisa cek di internet, kan?” kata Shin. Dia lalu membuka ponselnya. “Sepertinya, setelah skater ini baru temanmu yang maju.” “Aku maunya nonton Lazuardi yang bikin Zhang uring-uringan aja, sih,” sahut Robb. “Cowok-cowok pertandingannya masih terakhir. Habis ini masih ada pairs’ short program dulu,” beritahuku. “Ah, moga-moga saja makanan kita datangnya masih lama. Biar nanti pas men’s short program mulai aku nggak kelaparan.” “Aku sudah lapar,” keluh Shin. “Kita masih punya beberapa bungkus keripik kentang. Makan itu saja.” “Aku tidak mau. Makan malam kita hari ini terlalu banyak kalori.” “Kalau begitu, bagian pizzamu biar kumakan saja nanti.” “Ck. Seenaknya saja,” decak Shin, tapi toh ujung-ujungnya dia menghilang lalu muncul dengan semangkuk keripik kentang di pelukannya. Hah. Jadi seperti ini cara hidup mereka berdua? Akhirnya Sabrina tampil. Wajahnya terlihat serius, sampai-sampai membuatku ingin meneriakinya. Dia terlihat nggak santai sama sekali. Hanya jeda beberapa detik setelah music pengirinyanya dimulai, Sabrina langsung mengeksekusi elemen skating-nya. Combination triple salchow – triple loop dia lakukan lebih baik daripada yang kemarin, membuat Robb bersiul pelan. Di TV tampak jelas sekali Sabrina puas dengan lompatan pertamanya. Setelahnya step sequence ditambah dengan salah satu spin. Sejauh ini programnya baik-baik saja tanpa hambatan. “Dia kurang bisa mengontrol ekspresinya,” komentar Shin. Aku mengangguk menyetujuinya. Ekspresi puas bekas keberhasilannya dalam melakukan combination jump masih terlihat, padahal music pengirinya mendayu-dayu. Selanjutnya, dia terlihat akan melakukan axcel. Aku sampai menyipitkan mata menantinya. Ternyata, Sabrina merencanakan triple axcel yang, sayangnya menurut penglihatanku masih kurang rotasi. Meski begitu, dia mendapat nilai yang cukup. Triple axcel-nya disusul oleh triple lutz. Lagi-lagi menurutku ada yang kurang, tapi dia cukup beruntung karena dia mendaratkannya dengan sempurna meski perolehan skornya nggak seberapa bagus. “Oh. Aku terkejut,” komentar Robb. “Setelah lompatan-lompatannya yang membabi buta di Helsinki kemarin, hari ini dia terlihat lebih kalem.” “Yah, mungkin dia akhirnya menyadari sesuatu,” kataku. “Kita tidak akan tahu sampai free skating-nya besok,” sahut Shin. “Selama aku memperhatikannya, Sabrina ini tipe yang tidak mau kalah.” Aku berdecak. “Kalau dia memang benar nggak mau kalah, bukannya harusnya dia memaksimalkan skor di free skating besok alih-alih di short program?” Shin mengangkat bahunya. “Mana aku tahu. Aku kan bukan Sabrina atau pelatihnya.” Sialan! Skor yang Sabrina dapat di short program-nya hari ini cukup memuaskan. Di luar dugaanku, hampir 85. Saat ini dia menempati posisi pertama untuk sementara di short program. “Mari kita berdoa agar temanmu tidak mengacau di free skating-nya besok,” kata Robb. Keseluruhan hasil dari ladies’ short program Torino Cup hari ini, Sabrina menempati posisi keempat. Aku cukup kaget dengan hal itu. Dia membuat progress yang baik. Saat pairs’ short program akan dimulai, makanan kami datang, membuat Robb sedikit kecewa karena men’s short program masih akan dimulai sekitar sejam lagi. Lazuardi ada di grup kedua urutan pertama, yang berarti dia mungkin baru akan tampil sekitar hampir dua jam lagi. Jadi, Robb sebagai pemegang kendali atas TV mengganti-ganti saluran TV sampai akhirnya tiba waktunya Lazuardi akan tampil. “Padahal kan paling nggak kamu bisa nonton short program yang lain,” kataku nggak habis pikir. “Sayangnya, Bambina, aku hanya tertarik pada Lazuardi,” kata Robb. “Memangnya apa yang kamu tunggu darinya?” “Tentu saja ina bauer-nya!” jawab Robb cepat. “Aku ini sudah tua, jadi nggak bisa melakukan ina bauer. Lebih tepatnya, aku sudah nggak memang nggak pernah melakukan ina bauer. Kau lihat sendiri kan bagaimana sit spin-ku?” katanya berapi-api. “Aku iri sekali dengan cowok-cowok yang bisa melakukan ina bauer.” Ina bauer memang jarang dilakukan para cowok. Kalaupun ada, memang nggak akan sebagus punya Lazuardi. Zhang saja masih kalahpadahal dia sama mudanya dengannya Lazuardi. "Aku jadi teringat sesuatu," celetuk Robb. "Kayaknta sudah dua musim ini aku nggak melihat bielmann spin-mu." Shin berdecak pelan. "Apa yang kau harapkan? Punggungku sama sakitnya denganmu." Robb dan aku tertawa mendengarnya. Yang barusan terdengar kayak Shin mengakui umurnya yang tua. Hahaha!"Tidak usah tertawa begitu, Robb. Setidaknya sit spin-ku masih lebih baik dari kau." "Kok hanya aku?!” Robb berkata tak terima. "Vishaka kan juga mengejekmu." Shin melirikku sekilas. "Dilihat dari bagaimana peregangan ekstrim yang dilakukannya, Vishaka masih akan bisa melakukan bielmann spin sampai usia seabad." Aku tersenyum bangga sambil mengangkat sebelah kakiku tinggi-tinggi. Tapi, Shin malah menepuk kakiku keras-keras. "Tidak sopan!" desisnya. "Apa, sih? Kamu kan barusan memujiku!" Shin pun menceramahiku soal sopan-santun serta adab-adab lain yang banyak sekali dianut oleh orang Asia seperti kami. Ceramahnya baru berhenti saat nama Lazuardi disebut di TV. Lazuardi muncul dengan senyum terkembang serta mata berbinar-binar seperti biasa. Sorakan menyertai kemunculannya di atas es. Aku sempat melihat beberapa bendara merah-putih berkelibat di antara para penonton. Wah, sepertinya Lazuardi mulai mendapat fans garis keras. Ketika Lazuardi melakukan spiral sebagai pembuka lompatan pertamanya, Robb berceltuk, "Aku baru ingat kalau nggak ada ina bauer di short program-nya!" Lompatan pertama Lazuardi adalah triple axcel. Dia mendaratkannya dengan sangat indah. Kami bertiga sama-sama bertepuk tangan pelan untuknya. "Yang barusan mulus sekali!"pujiku iri. Selanjutnya adalah combination quad toe loop - triple toe loop rippon yang lagi-lagi dilakukannya tanpa ada masalah sedikit pun. Ekspresinya masih terjaga mengikuti musik pengirinya, detail gerakannya juga. Sekilas, aku teringat Nicholaas dari gerakannya. Mereka pasti sempat ngobrol banyak waktu bertemu kapan hari itu. "Oh!" Lompatan terakhirnya adalah triple lutz. Lompatannya itu cukup bikin aku kaget karena nggak sempat memperhatikan bagaimana posisi kakiknya. Tapi, dilihat dari skornya untuk lompatan tersebut kayaknya lutz-nya nggak bagus-bagus amat. Hahaha. Di akhir program Lazuardi, meski menontonya lewat siaran TV, kami bertepuk tangan pelan untuknya. Perolehan skornya mencapai angka 90-an. "Hebat juga dia!" seru Robb sambil masih bertepuk tangan. "Ah! Moga-moga bisa ketemu di final. Tinggal aku saja yang belum pernah ketemu bocah imut itu." "Tapi skornya itu masih kecil. Ini sudah pertandingan keduanya," sahut Shin."Dia harus dapat skor 200 dulu untuk free skating-nya kalau mau mendapat tempat di final." Robb mengibaskan tangannya. "Iya, aku tahu." Aku juga pengin bertemu dengannya di final nanti. Di pertandingan nasional juga. Termasuk di World Champhionsip. Bahkan dengan Sabrina juga. Acara nonton sambil kutraktir makan malam itu berakhir bersamaan dengan selesainya Torino Cup short program. Lazuardi ada di posisi ketiga untuk short program hari ini. Lalu, keesokan harinya di Torino Cup free skating yang siaran langsungnya nggak kutonton karena aku ada jadwal latihan, Lazuardi dan Sabrina sama-sama mendapat juara. Lazuardi mendapat juara kedua di Torino Cup setelah dia berhasil mendaratkan quad loop pertamanya dan mengantarkannya pada tempat final nanti meski itu baru kualifikasi sementara. Sabrina sendiri akhirnya mendapat juara pertamanya di seri Grand Prix dengan posisi juara ketiga di Torino Cup. Dengan peroleh keselutuhan skor dari pertandingan pertama seri Grand Prix-nya dengan sekarang, dia nggak akan mendapat tiket ke final. Tapi dalam wawancaranya yang kutemukan berseliweran di media sosial, dia bilang dia akan berusaha memperbaiki diri di pertandingan nasional nanti serta di Indonesia Open Skating. Kata-katanya itu menandakan kalau dia akan mengikuti pertandingan yang lebih besar lagi. Aku jadi penasaran. Jangan-jangan Sabrina memang sudah direkomendasikan untuk mengikuti World Championship? Aku kapan, ya? *** "Baiklah, kamu boleh menggunakan quad flip di free skating-mu nanti," kata Pelatih Friday. Aku bersorak senang. "Makasih, pelatihku!" "Pokoknya ingat saja kalau quad flip-mu masih beresiko, oke?" katanya. "Sekarang istirahat dan siapkan keperluan untuk besok. Pesawat kita berangkat pagi-pagi." "Baik!" Berakhirnya Torino Cup menandakan datangnya NHK Trophy. Jarak seminggu antarpertandingan nggak berarti ada jeda tujuh hari bagi skater. Mereka harus sudah tiba di tempat pertandingan paling nggak sehari sebelumnya. Kena jetlag, masih harus berlatih di arena ice rink tempat perlombaan. Itu masih mending, sih. Tapi bagi pelatih, itu berarti mereka bisa melakukan penerbangan sebulan lamanya selama berturut-turut kalau anak didiknya mendapat penempatan yang berbeda-beda. Aku mengingatkan hal satu itu sebelum memberikan jawaban terkait keikutsertaanku pada pertandingan nasional.Jeda dua minggu antara kualifikasi Grand Prix dengan final harusnya menjadi waktu untuk istirahat. Tapi berhubung Pelatih Friday bilang dia sudah terbiasa terbang bekali-kali, jadilah kami mengikuti pertandingan nasional. Katanya lagi, Sera, juga Zhang, di Internationaux de France nanti bisa ditemani oleh Pelatih Weber dan seorang koregrafer kami. Malam keesokannya, kami sudah sampai di Jepang dalam keadaan mengantuk. Yah, akunya saja yang mengantuk, sepertinya. Kami pun, seperti biasanya, menyerahkan segala sesuatu pada Shin selaku penutur asli bahasa setempat. Aku nggak seberapa ingat dengan penerbangan menuju Jepang dan bagaimana aku sudah berada di kamar hotelku. Pokoknya tiba-tiba saja sudah ada yang menelepon kamar hotelku dan seseorang entah siapa sudah berkoar-koar marah menyuruhku untuk segara turun sarapan. “Kamu pikir sekarang jam berapa, Nak?” tegur Pelatih Friday. “Sori, sori,” gumamku lemas. “Aku nggak dengar suara alarm ponselku.” “Ya sudah, kita sarapan sekarang.” Selesai sarapan kami pergi bersama-sama menuju tempat pertandingan NHK Trophy diadakan besok. Aku memilih untuk tidur dalam perjalanan yang singkat itu. “Vishaka? Kau demam?” Mataku terbuka dan mendapati Shin tepat di depanku. Wajahnya terlihat kabur. “Hah?” Aku merasakan sesuatu di dahi serta leherku. “Ya ampun. Di saat seperti ini,” gumamnya tidak jelas. “Kau tunggu di sini dulu. Tidak usah ikut turun dulu.” Shin itu ngomong apa, sih? Aku turun dari mobil. Begitu kakiku menginjak aspal, aku merasa kepalaku berat. Aku langsung jongkok karena nggak kuat berdiri. Sialan. Ada apa dengan diriku? “Kamu demam,” kata Pelatih Friday. Sama seperti Shin, wajahnya terlihat kabur. “Ukh. Aku nggak tahu itu,” kataku. “Tapi aku masih bisa latihan, kok!” “Saya akan ke rumah sakit bersama Vishaka. Tolong temani yang lainnya berlatih. Lalu, jangan katakana apa pun kalau ada yang bertanya ke mana kami kecuali itu adalah panitia perlombaan.” Kudengar Pelatih Friday berkata cepat. “Baik, saya mengerti.” “Ada apa dengan Vishaka?” “Haaah. Dia tiba-tiba saja demam.” “Bagaimana bisa…" Detik berikutnya, aku sudah tertidur kembali. Bab 22 “Sayang? Kamu sudah bangun?” Aku berkedip-kedip untuk memastikan apakah mataku salah lihat atau tidak, soalnya yang ada di depanku saat ini adalah Bunda. Bunda nggak seharusnya ada di depanku. “Syukurlah kamu bangun. Demammu juga sudah turun,” katanya lagi. “Mau minum?” Aku mengangguk pelan. Sosok Bunda itu berdiri (sepertinya) untuk mengambilkanku minum. Aku pun berusaha untuk duduk dengan usahaku sendiri. Di luar dugaan, aku merasa lebih baik daripada tadi pagi. “Ini. Minumlah. Bunda akan memanggil dokter dan pelatihmu.” “Beneran Bunda, ya?” gumamku nggak yakin. Bunda tertawa kecil, lalu mengusap-usap kepalaku. “Kalau kamu sudah bisa berkata seperti itu, artinya kamu sudah baik-baik saja,” ucapnya geli. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung memeluk Bunda erat. “Kenapa Bunda bisa ada di sini?” tanyaku masih sambil memeluknya. “Bunda kan sudah janji kalau Bunda bakalan nonton salah satu pertandinganmu di musim ini,” katanya. Aku melepas pelukan Bunda. “Tapi… aku maunya Bunda nonton yang World Championship yang kayaknya nggak akan bisa aku ikuti tahun depan,” kataku. “Sekarang saja aku sakit begini. Pertandingan besok pasti—“ “Ssst. Kamu bilang apa sih, Sayang? Ini, minum dulu.” Bunda menyerahkan gelas berisi air padaku. Aku meminumnya. “Kamu pasti akan mengikuti World Championship suatu saat nanti. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti pasti iya.” “Tapi… tapi…” “Sebenarnya apa yang membuatmu tiba-tiba sangat berambisi begini?” tanya Bunda heran. “Bunda nonton semua pertandinganmu kemarin dan tidak ada programmu yang benar-benar berjalan baik. Kamu bahkan sempat terjatuh parah di pertandingan yang kemarin. Bunda tahu kamu bertemu Ayah, tapi pasti ada yang lain, kan? Saat di Indonesia saja kamu terus berlatih sampai kakimu lecet semua.” “Tahun depan kan tepat sepuluh tahun perceraian Bunda-Ayah,” kataku pelan. “Itu bukan ingatan yang bagus, jadi aku mau bikin sesuatu yang baik buat dikenang. Aku pengin, di waktu yang sama dengan perceraian Bunda-Ayah, kita punya kenangan baik berupa aku yang bisa masuk kualifikasi World Championship untuk pertama kalinya,” lanjutku. “Tapi… kata Pelatih Friday, aku mengalami sedikit perubahan tubuh, jadi aku butuh penyesuaian. Aku boleh melakukan quad jump yang belum kukuasai di perlombaan, padahal aku butuh itu. Ditambah dengan teman satu-satuku di Kanada yangn pindah pelatih dan pertemuanku dengan Ayah, aku programku makin kacau.” “Ya ampun.” Lagi-lagi Bunda mengusap-usap kepalaku. “Anak Bunda sudah mengalami banyak hal selama lebih dari enam bulan ini sendirian,” ucapnya lembut. “Kamu sudah berjuang sampai sejauh ini, Sayang. Dan, walaupun kamu tidak menjadi juara pun, bagi Bunda kamu sudah merupakan seorang juara.” “Juara apanya?” “Juara dalam bertahan dan berjuang,” kata Bunda. “Kamu hebat karena bisa sampai berada di sini. Ah, anak Bunda sampai sakit begini.” “Ini nggak berarti aku bakalan mundur dari pertandingan besok, lho!” ingatku pada Bunda. Lagi-lagi Bunda tertawa kecil. “Bunda sudah tahu kamu akan berkata seprti itu,” katanya geli. “Kita lihat apa kata dokter dan pelatihmu saja, ya? Turuti saja apa kata mereka. Bunda akan lebih senang kalau kamu sehat daripada menjadi juara sambil memaksakan diri.” “Ukh. Iya, iya.” Bunda pun akhirnya memanggil dokter dan Pelatih Friday. Setelah memeriksaku sebentar, Bunda dan Pelatih Friday keluar dari kamarku. Ganti Shin serta Robb yang masuk ke kamarku. Menurut cerita dari Robb. Begitu aku pingsan, Pelatih Friday langsung membawaku ke rumah sakit. Bunda ditelepon kemudian untuk mengabarkan keadaanku. Itu dilakukan Pelatih Friday karena masih berpikir kalau aku belum menghubungi Bunda juga. Jadilah Bunda langsung terbang dari Indonesia ke Jepang dengan penerbangan mana pun yang terdekat. “Aku juga ketemu Jose tadi. Dia mencarimu.” Hah. Aku kayaknya nggak akan bisa bertanding dengannya secara maksimal besok. Saat Pelatih Friday dan Bunda kembali, keduanya memberiku pilihan untuk mundur dari pertandingan atau mengubah komposisi elemen lompatanku di kedua programku besok. Demi harga diriku yang terlalu tinggi, aku memilh untuk tetap mengikuti lomba dengan mengubah elemen lompatanku.Jelas sudah: di NHK Trophy aku akan kalah dan kesempatanku untuk mendapat tiket final di seri Grand Prix musim ini gagal. Meski begitu, aku akan tetap tampil sebaik mungkin karena ada Bunda yang melihatku secara langsung. *** "Eh, iya. Saya sudah baik-baik saja, setidaknya itu menurut saya sendiri. Saya juga sudah mendapat izin dari Pelatih serta dokter untuk mengikuti short program hari ini, jadi... saya pikir tidak ada masalah." "Hari ini short program Anda memang berjalan lancar bahkan terlihat normal meski kemarin tidak mengikuti latihan. Tapi bagaimana tanggapan Anda mengenai perolehan skor Anda hari ini?" Aku menatap megatron yang sedang menampilkan short program cewek Rusia yang namanya sulit kueja itu. Dia baru saja mendaratkan triple axcel yang indah. Jelas sekali kalau skorku akan dikalahkannya. "Dari elemen yang saya gunakan hari ini, skor yang saya peroleh adalah skor maksimal. Maksud saya, skor itu adalah skor yang tinggi dengan hanya menggunakan elemen lompatan yang biasa saja. Itu menandakan bila kualitas lompatan saya bagus. Saya puas dengan perolehan skor short program saya hari ini," jawabku bangga. Para wartawan yang mengerumuniku tampak puas dengan jawabanku. "Baiklah. Sampai segini dulu pertanyaannya. Terima kasih atas kerja samanya dan semoga cepat sembuh. Semangat untuk free skating-nya besok." "Iya, terima kasih kembali." Aku pun segera ngeluyur pergi. Tapi, tiba-tiba saja aku bertemu Jose. Dia adalah skater yang tampil terakhir, kira-kira kurang dua skater lagi. Aku mencoba tersenyum menyapanya. "Hai. Sudah lama nggak melihatmu." Wajah Jose kelihatan marah. Saat kupikir dia akan mengejekku atau apa, dia malah berlari lalu memelukku. "Bodoh banget, sih!" celanya. "Padahal aku ganti pelatih supaya aku bisa bersaing denganmu! Aku tiap hari latihan biar bisa menunjukkan quad baruku ke kamu, tapi kamu malah sakit! Aku bahkan sampai menahan diri buat nggak menghubungimu! Bodoh!" "Eh. Iya... maaf." Jose melepas pelukannya dan menatapku tajam. "Aku nggak akan memaafkanmu kalau free skating-mu besok nggak bagus!" Aku tertawa hambar. "Yah, aku akan berusaha buat nggak jatuh besok." "Bakalan aku tunggu di World Championship nanti." "Haha. Kalau aku bisa sampai sana." "Jangan pesimis gitu, dong!" katanya kesal. "Mau dilihat dari mana pun, best value-mu itu nggak masuk akal! Kalau kamu bisa quad lutz, aku jelas bakal kalah tahu!" "Iya, iya," kataku menenangkannya. Jose memelukku lagi. "Kamu pasti bisa. Kamu sudah sampai sejauh ini. Jangan menyerah dulu." Aku mengangguk-angguk di pelukannya. "Josephine, ternyata kamu memang teman yang baik. Maaf karena sempat marah padamu waktu kami pergi tanpa pamit," akuku. Reuni kecil kami itu harus berakhir karena tak lama lagi Jose harus tampil. Aku pun memilih untuk melihatnya langsung dari bangku penonton. Sama seperti ingatanku dulu, Jose melakukan programnya dengan baik tanpa ada kesalahan sedikit pun. Skornya mencapai angka 86, dia ada di posisi ke dua short program. Sementara aku, dengan ada banyaknya figure skater hebat di NHK Trophy hari ini ditambah dengan elemen lompatan yang kugunakan biasa saja menyebabkanku berada di posisi ketujuh. Aku tahu sih, kalau ini akan terjadi. Tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau aku akan sejatuh ini dengan clean program. Untung ada Bunda yang menyemangatiku secara langsung. Selain itu, Shin juga ikut menyemangatiku."Kau sudah melakukan yang terbaik. Percaya dirilah dengan programmu besok. Aku sudah janji kalau kau akan menang tanpa banyak quad, kan?" katanya tepat sebelum grupnya melakukan pemanasan. Ah. Hari ini aku di kelilingi oleh orang-orang baik. *** "Ini pertama kalinya Bunda ada di sini," kata Bunda lalu tertawa. "Apa kamu yakin tidak apa-apa Bunda ada di sini?" "Ya ampun. Kan Bunda sendiri yang minta ke sini," kataku tak percaya. Hari ini adalah pertandingan terakhir NHK Trophy, free skating. Keadaanku sudah lebih baik dari sebelumnya, jadi Pelatih Friday membiarkanku untuk melakukan program sesuai rencana awal. Selain itu, tepat selesai NHK Torphy nanti, Bunda akan kembali pulang. Bunda bilang dia akan menungguku di pertandingan nasional nanti. Saat tiba giliran bagi grupku, yang merupakan grup terakhir dan beraamaan dengan cewek-cewek top, Bunda mengantarku langsung ke ice rink bersama Pelatih Friday. Di pemanasan aku berhasil melakukan combination quad salchow - triple loop dengan sempurna. Hanya saja, quad flip-ku stepped out. Selebihnya baik-baik saja. Aku adalah yang pertama bertanding di grup terakhir ini. Jadi aku tetap berada di atas es setelah pengumuman berakhirnya pemanasan terdengar. "Tetap maju dengan rencana awal kita saja," beritahu Pelatih Friday. "Quad flip-mu tadi terganggu karena ada skater lain di sekitarmu. Saya rasa nanti kamu bisa melakukannya." "Baik." "Now please welcome, represent Indonesia..." "Sayang," panggil Bunda. Aku menatap Bunda yang tersenyum padaku. "Vishaka Meira!" "Bunda senang bisa melihatmu bertanding sedekat ini," katanya. Aku mengangguk senang dan segera meluncur ke tengah-tengah ice rink. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menangkan diri. Hari ini Bunda ada di hadapanku untuk melihat program yang kubuat dengan lagu pilihannya dan koreografi yang kubuat untuk Bunda. Aku nggak boleh mengacaukannya. Begitu musik pengiringku, Luruh, terdengar, aku berseluncur sebentar, lalu melakukan lompatan pertamaku, quad toe loop, yang berjalan sempurna. Aku bisa mendengar sorakan dari para penonton. Selanjutnya adalah combination triple lutz - triple loop yang nggak lama kemudian disusul dengan double axcel. Semuanya berjalan lancar, meski harusnya aku melakukan triple axcel alih-alih-alih double axcel. Kemudian spin, sesuatu yang nggak boleh sampai salah saat kulakukan. Sudah hampir babak kedua dan semuanya berjalan dengan lancar. Aku senang karena nggak ada masalah berarti sejauh ini. Hari ini, aku merasa aku berseluncur tanpa beban. Padahal, program ini menceritakan tentang beban-beban yang kutanggung dulu dan bagaimana aku bisa sampai berhasil sekarang. Quad flip, tidak seperti saat sesi pemanasan tadi, aku melakukannya dengan sempurna. Aku bisa mendengar seruang Pelatih Friday di pinggiran ice rink. Bahkan sekilas aku menangkap pandangan terharu Robb. Selanjutnya quad jump lagi dan berupa combination. Aku berdoa dalam hati. Saat tiba di bagian musik yang kuinginkan, aku melakukan combination quad salchow - triple loop. Lagi-lagi gemuruh sorakan terdengar. Dengan begini semua quad-ku sudah aman. Step sequence pertama kulakukan. Setelah ini ada triple combination jump, aku harus bersiap-siap. Combination triple flip - euler - triple salchow, berhasil kulakukan. Disusul dengan triple axcel, kemudian gerakan andalanku, triple lutz. Di lompatan terakhirku, aku melihat Shin bertepuk tangan dengan ekspresi hampir menangis. Tersisa step sequence dan spin. Mataku bertemu dengan Bunda di mana pun aku berputar. Rasanya seperti aku meluncur bersama Bunda. Ah, tentu saja. Itu karena Bunda selalu berusaha ada untukku. Maksudku, Bunda bahkan sampai terbang kemarin waktu aku sakit. Meski hari ini aku nggak bisa memberikan medali pada Bunda, entah mengapa aku merasa bangga pada diriku sendiri. "Represent Indonesia, Vishaka Meira!" Aku melambaikan tanganku terharu pada penonton. Free skating-ku hari ini adalah program terbaik yang kulakukan. Epilog NHK Trophy menjadi pertandingan terakhirku di pertandingan besar internasionalku tahun ini. Di NHK Trophy, meski posisi short program-ku sangat mengenaskan, aku berhasil naik dua peringkat berkat free skating-ku. Jadi, aku mendapat posisi kelima dari keselutuhan program. Shin dan Robb jangan ditanya. Masing-masing dari mereka berhasil mendapat juara pertama dan kedua dengan perbedaan skor yang cukup tipis. Dilihat dari skor keduanya, mereka jelas akan mengikuti final di Rostelecom, Rusia, nanti. Bunda pulang nggak lama setelah NHK Trophy berakhir, tapi kami sempat makan bersama di restoran terdekat. Kami ngobrol santai di luar topik pertandinganku dan pekerjaan Bunda. Salah satu topiknya adalah Ayah. "Wisnu kaget waktu tahu kamu belum kuliah. Katanya tahun depan kamu harus kuliah," beritahu Bunda. "Hah? Kenapa harus?" tanyaku. "Lagian, biayanya pasti mahal banget!" Bunda mengangkat bahunya. "Karena Wisnu juga tinggal di Kanada, mungkin. Soal biaya, katanya ayahmu yang akan membiayaimu. Nanti kalau sempat, dia akan menemuimu di Toronto." Ya ampun, aku sama sekali nggak membayangkan bakalan bertemu dengan Ayah lagi dalam waktu dekat. Selain itu, di luar dugaan, muncul satu nama lagi di antara kami. "Walau ini resto acak yang kita pilih, kita cukup beruntung karena makanannya enak, ya?" celetukku. "Kata siapa Bunda asal pilih?" kata Bunda. "Restoran ini direkomendasikan oleh temanmu. Siapa namanya, ya? Shin?" Aku ber-oh kecil. Wah, gila. Aku nggak tahu kalau Bunda sempat ngobrol dengan yang lain. Setelah makan bersama singkat aku mengantar Bunda ke bandara dengan di antar Shin karena dia kebetulan punya keluarga yang bisa dipinjami mobil di sini. Aku berusaha sekuat tenaga untuk nggak menangis karena, demi Tuhan, tiga minggu lagi toh aku bakal balik ke Indonesia untuk mengikuti pertandingan nasional. "Bagaimana?" tanya Shin dalam perjalanan kami kembali. "Apanya?" tanyaku. "Perasaanmu sekarang." Aku tersenyum. "Aku senang, kok," kataku. "Paling nggak, aku nggak malu-maluin waktu tampil di depan ibuku selama NHK Trophy. Omong-omong, makasih, ya." "Untuk apa?" tanya Shin terdengar bingung. "Karena menepati janjimu." Shin berdeham aneh. "Oh. Yah, terima kasih kembali." "Tunggu..." "A-apa?" "Jangan bilang kamu sakit! Ketularan aku, ya?!" "A-apa maksudmu?" "Kamu tadi berdeham! Kenapa? Tenggorakanmu sakit? Ya ampun!" "Tidak! Ya ampun, Vishaka!" "Serius? Besok kan masih ada gala exhibition! Kalau fans-mu tahu kamu sakit gara-gara aku, mereka pasti akan menyerangku di media sosial!" "Hah? Tidak usah lebay begitu. Kalau pun mereka akan melakukannya, aku tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi padamu." "Hah? Ngomong apa kamu barusan?" "Kau tidak mendengarku?" "Ya nggak lah! Kamu ngomongnya bergumam nggak jelas gitu! Kamu ini kenapa, sih? Nggak beneran sakit, kan?" "Menurutmu, aku ini kenapa?" "Akh! Kenapa kita malah main tebak-tebakan begini?" "Tebak-tebakan? Lucu sekali." "Nggak ada yang lucu!" Shin, di luar dugaan, tersenyum lebar. Ini pertama kali aku melihatnya tersenyum selebar ini. "Aku akan merindukanmu kalau kamu mengikuti pertandingan nasional nanti," katanya. "Kayaknya kamu sakit beneran, deh. Omonganmu mulai kacau begitu," kataku ngeri-ngeri geli. "Iya... sepertinya aku memang sakit." Fun Fact! (5) Kembali lagi bersama saya di bab Fun Fact! Kali ini, saya akan membahas hal-hal random tentang cerita ini. 1. Sebenarnya disiplin ladies tidak diperkanankan melakukan quad jump di short program. 2. Nama skater favorit Vishaka yang dia follow IG-nya adalah Yulia Lipnitskaia. 3. Pemilik lutz paling indah dan paling benar sejauh ini dimiliki oleh Kim Yuna. 4. Saya berpedoman pada Judges Details Per Skater tiap kali harus menyebutkan combination jump karena nggak semua lompatan bisa dikombinasikan begitu saja. 5. Torino Cup itu hanya fiktif belaka. Lololol. 6. Saya membuat Rostelecom Cup sebagai final, padahal harusnya itu adalah salah satu dari serangkaian kualifikasi seri Grand Prix. Final sendiri diadakan di satu negara anggota ISU secara acak. 7. Sejauh ini baru 2 negara di Asia Tenggara yang sudah menjadi anggota ISU (International Skating Union). Indonesia tidak termasuk. 8. Bertambahnya usia dan berat badan adalah the real issues di antara pada skater. 9. Skating beneran olahraga yang mahal, makanya Vishaka sering mengeluh soal uang. 10. Saya membuat Vishaka berlatih di Toronto, Kanada, karena skater favorit saya berlatih di sana. 11. Bikin cerita dengan tema olahraga ternyata susah, cuy! Bingung gimana cara menarasikannua :v// Sekian Fun Fact! terakhir dari saya. Terima kasih atas dukungannya selama ini! Sampai berjumpa di cerita lain! Description: Impianku sederhana saja: dapat medali emas, ikut olimpiade, dan mendapat pengakuan dari Ayah. Itu saja. Lalu, kenapa orang-orang harus sampai mengomentariku sampai segininya? Nadiah Sekar // @bundanadser (twitter) Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #BNNS2019 yang diadakan oleh Storial.
Title: Ramadan Bercerita Category: Cerita Pendek Text: Waktu yang Habis Rani dan Rini sangat antusias berbuka di hari pertama puasa. Satu-satu makanan yang tersaji buru-buru di lahap habis. Donat coklat yang selama ini mereka inginkan, ludes paling pertama. Saking senangnya, sampai bibir mungil mereka belepotan tak karuan. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣Sambil memperhatikan jam, Rudi sesekali tersenyum memperhatikan tingkah gemas putri kembarnya. Ia sedikit lega. Apalagi setelah beberapa hari keluarganya lebih banyak menahan lapar. Karena penghasilannya yang seret. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣Sementara itu, istri Rudi hanya duduk diam. Matanya berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk. Tidak ada makanan yang disentuhnya. Sama seperti Rudi.⁣⁣⁣⁣⁣⁣“Cukup. Waktu sudah habis!” seru seseorang mengagetkan di muka pintu. Di susul suara sirine yang kembali meraung-raung.⁣⁣⁣⁣⁣Rudi pasrah menyerahkan diri. Seketika tangis istrinya pecah berhamburan, memeluk Rudi dan berbisik. ⁣⁣⁣“Pak, janji ya jangan merampok lagi” Di Pelukan Kekasih Hari kedua, kami agak telat. Matahari hampir tenggelam. Namun Ayah tetap memaksa pergi. Dari kursi rodanya ia turun tertatih, tidak mau dibantu. Mata bengkaknya mengatakan sebuah kerinduan tak berujung. Berlama-lama Ayah menciumi pusara dengan tangisan menusuk. Tanpa suara dan air mata yang sudah kering dari semalam. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣"Ayah, ayo pulang ke rumah. Besok kita ziarah lagi" bujukku. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣"Siapa bilang Ayah ziarah? Disini rumah Ayah." ⁣⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣⁣ "Ibu..mu." lanjut Ayah terisak. Lalu pingsan. ⁣⁣⁣⁣ Harapan Terakhir Meskipun puasa menghilangkan setengah tenaganya. Sejak turun dari angkot, Yeni terus berlari kencang menerobos kerumunan. Secepat kilat ia sampai di pintu kamar pasien nomor 407. Buru-buru disuguhkannya sepiring rendang yang ia buat semalam dengan hati-hati. ⁣⁣"Ini buatan Mama, untuk Yuna sayang" bisik Yeni agak cemas. ⁣⁣Yuna tersenyum, menghembuskan nafas terakhir di atas aroma rendang kesukaannya. ⁣ Salah Sangka “Ngaku kamu! mau curi kotak amal kan!” tuduh Rahmat dengan suara hampir tujuh oktaf. Memancing kerumunan jamaah subuh secepat rambatan api.⁣⁣“Dasar maling!” umpat Jody, cucu Rahmat disusul sabetan sapu ijuk.⁣⁣“Tarik aja mukenanya. Biar ketauan!” sahut seseorang, disetujui yang lain. Membuat suasana semakin panas. ⁣⁣Dipaksa keadaan, lelaki itu akhirnya pasrah melepas mukena yang ia kenakan.⁣⁣“Lho, Ayah?” Jody kaget setengah mati. Rahmat melotot merah seperti setan. ⁣⁣“Semalem saya diusir mama Jody, Pak. Jadi terpaksa tidur di masjid. Pake mukena, ya karena dingin. Bukan mau maling.” ⁣⁣“Dasar mantu malu-maluin!” ⁣⁣Jamaah bubar. Rahmat pergi mendengus kesal. Gagal jadi pahlawan keamanan. Perempuan Kesepian Di atas kursi goyang Suratmi menghabiskan sisa umurnya. Perempuan berkepala enam itu sebatang kara. Ia sudah mati dicekik kesepian panjang sebelum Izrail menjemput. ⁣⁣Tatapannya kosong, jauh ke arah langit. Menyuarakan isi hati yang tak lagi berselera hidup. Serius menanti kapan ajal datang. ⁣⁣Hanya suntikan dokter satu-satunya teman setianya. Kala gilanya kambuh di setiap adzan magrib. Persis waktu bayi merahnya dulu raib diculik.⁣ Kepikiran "Hah? Minggu depan lamaran?. Harusnya Bapak tanya dulu dong sama aku. Suka atau nggak!" kataku ketus keluar dari dapur. ⁣Selepas Anto pulang. ⁣⁣⁣"Gak perlu tanya pun. Bapak udah tau, pasti kamu suka sama Anto." jawab Bapak santai.⁣⁣⁣⁣"Tau darimana? Aku gak bilang apa-apa!" sanggahku. ⁣⁣⁣⁣"Dari kolak buatan anak Bapak, yang suka marah-marah gak jelas. Coba aja sendiri. Keliatan banget kok kepikiran Anto!" goda Bapak.⁣⁣⁣⁣Heran dengan maksud Bapak. Buru-buru kucicipi sisa kolak takjil di meja tamu. Cuih, asin bukan main.⁣⁣⁣⁣"Nah, kan?" Bapak tertawa. ⁣⁣⁣⁣Wajahku memerah. Aku cuma nyengir. Kabur ke kamar. Kehabisan kata-kata menyangkal perasaan. ⁣⁣ Terkabul Dua puluh sembilan Ramadan. Aku masih gagal membelikan kurma pesanan istriku. Hampir kukunci kantor kerjaku: Pangkas Sudirman dengan nol pelanggan. Tidak disangka Bahari dan Roma, anaknya datang. ⁣⁣Setelah mencoba memahami isyarat Bahari, tetanggaku yang tuna wicara. Akhirnya aku mengerti. Kalau Bahari berniat mencukur rambut Roma dengan berhutang. Apesnya aku. Tapi melihat sorot mata Bahari. Aku tidak tega menolak. ⁣⁣Agak sulit menaklukan rambut Roma yang kribo gondrong bak hutan belantara. Namun aku tetap berusaha maksimal sesuai mottoku “kepuasan pelanggan paling utama”. ⁣⁣“Tidak perlu bayar ya. Gratis” kataku waktu selesai. Terenyuh melihat Roma yang girang, siap menyambut lebaran. Bahari senang bukan kepalang. Ia pamit, lari buru-buru pulang. ⁣⁣Belum lima menit Bahari kembali lagi. Memberiku seplastik kurma sebagai tanda terimakasih. Aku tercengang kaget. Sujud syukur. Tuhan tidak tidur dan Bahari adalah bahasa cinta-Nya padaku. Tentang Mela Bagiku, tidak ada takjil Ramadan yang menarik tahun ini. Setelah sidang selesai dan resmi bercerai. Rupanya perasaanku belum usai. Mela masih kurindukan. Berikut senyumnya, dan takjil-takjil istimewa buatannya.⁣⁣⁣⁣Kolak, candil, bubur sumsum atau takjil apapun yang tiap hari kubeli di pinggir jalan. Terasa hambar semua. Bahkan terakhir membuatku muntah-muntah. Menelan milyaran kenangan bersama Mela. ⁣⁣⁣⁣Padahal dulu tanpa Mela, aku hampir tak menginginkan hidup. Namun sekarang aku harus menerima kenyataan. Hati Mela mantap lebih memilih Chef Yodha, rekan satu profesinya. ⁣⁣Mau dikata apa lagi?. ⁣⁣Kasih tak sampai, cinta pun abai. ⁣⁣⁣⁣Ahh, Mela. Harusnya kau beritahu aku. Bagaimana cara merayakan perkabungan ini. Televisi Akhirnya, Ayah tidak pernah marah lagi. Kalau aku habiskan waktu di sungai bersama teman-teman. Panggilanku si anak bandel pun perlahan menyusut hilang. ⁣⁣⁣⁣Kini, Ayah lebih sering tersenyum menepuk bahuku bangga. Terkadang juga memamerkanku di depan teman-temannya.⁣⁣⁣⁣Apalagi, karena Ramadan tahun ini lebih menyenangkan. Rumahku memiliki televisi paling bagus sekampung. Sampai tetangga seringkali ikut nimbrung nonton menunggu sahur. Hasil aku meraih juara satu, lomba renang tingkat provinsi. Tenggelam di Penantian Menua di kaki Eiffel, ikon ibukota Perancis yang konon katanya lambang keromantisan. Barnie justru menutup mata di penghujung usia berselimut derita tak tersentuh cinta. ⁣⁣⁣Sementara radio usang, sahabat setianya tak berhenti mengudara tiga hari tiga malam. Meneriaki kabar duka empunya dari dalam apartemen, yang tak kunjung dilayat. ⁣⁣ Kesempatan Terakhir Tengah malam di kegelapan hutan Gunung Salak, Bayu Sang Petualang terseok-seok ketakutan dikejar jeritan kuntilanak. Seluruh tubuhnya gemetar basah disergap gelisah. Terus berlari mencari jalan ke perkemahan. ⁣⁣Percuma doa-doa yang dirapalnya. ⁣Beberapa kali sekelebat bayangan putih tampak terbang membuntuti. Memacu detak jantungnya tak karuan. Belum lagi, gerombolan bocah tuyul yang menertawakannya diantara semak belukar. ⁣⁣Baru saja Bayu menyalakan ponselnya. Seketika kuntilanak menunjukkan wajah buruknya yang berlumur darah anyir. Berteriak seram memekakkan telinga. Seperti dendam kesumat, menggiring Bayu ke leher jurang. Hingga tergolek tak bernyawa. ⁣⁣Beruntung, instagram live menyelamatkan jenazahnya. Bus Malam Di perjalanan bus malam, Risa muntah-muntah hebat. Perutnya tak tahan digoncang jalur Cadas Pangeran. ⁣⁣Aroma busuk muntahannya menyapulenyapkan mimpi para penumpang. Sekaligus mengundang muntah muntah berjamaah. ⁣⁣Sia-sia ia membeli kursi eksekutif. Niat menghindari penyakit mabuk darat. Malah justru menghilangkan harga diri. ⁣ Sahara dan Amplop Bagi Sahara, amplop adalah detak kerinduan. Setiap hari waktunya habis menanti amplop datang. Telat sedikit, ia bisa menangis melengking mengganggu tetangga.⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣Terutama malam jum'at. Bejibun amplop ia tunggu dari keluarga termasuk kenalannya. Berisikan macam-macam: mulai dari surat cinta, Yasin, Alfatihah dan masih banyak lagi. ⁣Tapi kalau sudah menerima, Sahara tersenyum tak ada habisnya. Tambah betah di pekuburan. ⁣Menanti malam jum'at yang akan datang. ⁣ Serakah Setelah setahun membangkang kabur dari rumah. Mendengar ayahnya sekarat. Sona dan Sonu putri kembar pengusaha kaya raya itu, sibuk adu cuitan di twitter perihal warisan berikut jabatan. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣Tidak peduli hujatan warganet yang menyaksikan. ⁣⁣Keduanya berlomba siapa yang pulang ke rumah duluan. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣Mereka tidak tahu kalau ayahnya baik-baik saja. Mengamati dengan akun palsu. Sambil sibuk mengelap rotan, siap menyambut di muka pintu. Baju Baru Lintang bangga. Lebaran kali ini, ia mampu berbaju koko putih baru. Hasil ia menjahit sendiri dengan air mata, tenaga, dan dahaga di tahun pertama menjadi buruh ibukota. Description: Kumpulan fiksi mini yang ditulis untuk tantangan menulis storial selama Ramadan.
Title: Risawa Category: Science Fiction Text: Si Roti Hitam Namaku Sina Rimba, aku adalah siswa kelas sepuluh di SMA Hutan Hujan. Itu adalah salah satu dari sekolah paling diminati di wilayah Kerajaan Rimba Selatan. Tempatnya indah, luas, bersih, dan memiliki banyak fasilitas canggih. Aku termasuk orang yang beruntung dapat bersekolah di sana. Namun, aku bukanlah seorang yang spesial ataupun bergengsi seperti kebanyakan siswa lainnya, aku hanyalah seorang anak penjual roti. Tak ada sesuatu yang menonjol dari diriku, kecuali kulitku yang hitam legam, tubuhku yang kecil dan pendek, serta rambutku yang keriting. Teman-temanku biasa memanggilku dengan julukan Sina Si Roti Hitam, itu bukan julukan yang keren ataupun baik, tapi tidak masalah bagiku karena aku sudah cukup bahagia dengan bentuk tubuh dan kehidupanku yang seperti ini. Di sekolah aku merupakan siswa yang biasa-biasa saja tidak pandai tetapi tidak juga bodoh. Aku termasuk siswa yang pendiam dan penurut tidak banyak protes dan patuh terhadap peraturan sekolah. Temanku tidaklah banyak, hanya satu dua orang yang mau berteman dengan siswa sepertiku yang tak mempunyai kelebihan apa-apa. Aku hanyalah bocah yang beruntung karena dapat diterima di SMA Hutan Hujan ini lewan jalur tak ada dana, jalur anak orang-orang miskin yang tak punya dana untuk membiayai sekolah anaknya. Itu sungguh menyedihkan bukan, sekolah di tempat favorit dengan teman-teman yang pintar dan kaya dari hasil belas kasihan pemerintah. Tapi itu bukanlah alasanku untuk malu ataupun enggan untuk bersekolah karena tujuanku adalah sekolah bukan pamer kekayaan atau yang lainnya. Aku sangat memanfaatkan kesempatanku bersekolah di SMA Hutan Hujan untuk mencari berbagai macam ilmu yang dapat membantu serta mengembangkan usaha roti milik ayah dan ibuku. Meskipun aku hanya siswa yang biasa-biasa saja, aku tetaplah berusaha untuk menjadi siswa terbaik agar dapat membanggakan kedua orang tuaku. Namun, hidupku ternyata tidak sesederhana itu. Aku mulai bisa mersakannya, sesuatu yang amat sulit diungkapkan oleh kata dan sesuatu yang sulit diterima oleh logika. Ternyata aku bisa “mendengar”, tapi bukan seperti mendengar pada umumnya. Aku bisa mendengar sesuatu yang tidak mungkin bicara. Aku bisa mendengar sesuatu yang senyap tanpa suara. Masalah mendengar ini semakin rumit dengan bertambahnya satu lagi kemampuanku yaitu “bicara”, sama seperti mendengar, ini juga bukan hal yang umum dimiliki oleh banyak orang, bahkan ini hal yang mungkin mustahil ada. Setelah tiga bulan aku duduk di bangku SMA dan aku semakin yakin bahwa aku bukanlah Sina Si Roti Hitam, anak penurut dari orang tua yang tak ada dana. Ada rashasia besar di balik tubuh kecilku ini. Rahasia yang telah ditutupi sejak aku kecil. Rahasia yang mungkin dapat membuat dunia ini gempar. Di akhir semester pertama, aku akhirnya mendapat sebuah informasi yang sangat rahasia dan sangat berharga. Ternyata aku bukan hanya seorang bocah laki-laki biasa. Ternyata aku mempunyai kekuatan besar, kekuatan yang amat sangat langka dan amat sangat dahsyat pengaruhnya bagi dunia. Di Kerajaan Rimba Selatan kekuatan pada seorang manusia disebut Chi dan aku memilikinya. Aku memiliki Chi terhebat di Kerajaan Rimba Selatan. Aku bukanlah Sina Si Roti Hitam Aku adalah Sina Rimba pemilik Chi terhebat, bisa “bicara dan mendengar” semuanya, manusia, hewan, tumbuhan, bahkan benda tak bernyawa. Apa Itu Chi? “Kring…kring…kring…” suara alarm itu memekakan telingaku yang belum siap menerima kenyataan. Hari ini adalah hari pertamaku dalam semester ke dua. Suara alarm itu adalah pertanda telah berakhirnya liburanku yang panjang, berganti dengan kesibukan sekolah yang seakan tiada habisnya. Pagi itu aku keluar dari kamarku dengan mata yang masih merah dan mulut yang berkali-kali menguap karena kantuk yang belum juga hilang. Kubuka pintu kamarku “krekkk” suara derit pintu itu mengejek diriku karena liburan telah berakhir, ini bagai hari paling menyebalkan bagiku. Dibangunkan oleh alarm brisik dan sekarang ditertawakan oleh derit pintu. Jadi beginilah rasanya menjadi pemilik Chi. Baru saja bangun tidur sudah “mendengarkan” ocehan alarm berisik dan omelan derit pintu. Itu bukanlah hal yang menyenangkan, mendengar omelan berisik manusia saja sudah cukup menurunkan untuk mood apalagi mendengar omelan benda-benda ini. Aku meneruskan langkahku menuju kamar mandi. Belum sampai di depan pintu kamar mandi aku mendengar suara lagi, tapi ini bukan dari benda-benda tadi melainkan dari tanamanku yang ada di sudut ruangan “Hei Sina aku butuh air, apa kamu mau membunuhku secara perlahan dengan tidak memberiku air?” dasar tanaman cerewet, belum juga aku tersentuh air, dia sudah minta air. Akhirnya aku mengambilkannya satu gayung berisi air dari kamar mandi lalu menyiramkan air itu ke tanahnya yang kering. Ternyata dia tidak salah protes kepadaku karena dia tidak disirami air. Lihat, tanahnya kering sekali seperti tanah di padang tandus. “Maafkan aku wahai tanaman, sungguh aku sudah lupa untuk menyiram dirimu” aku berbicara dengan caraku “berbicara” ini lain dengan cara bicaraku dengan manusia karena tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutku dan hanya perlu untuk memikirkan sesuatu yang ingin dikatakan. “Dasar Sina, lain kali jangan kamu lupakan diriku ini, jika kamu saja lupa lalu siapa yang akan menyirami diriku? Hantu dari Distrik Hutan Hantu? Tentu itu tidak mungkin” tanaman itu melanjutkan omelannya sementara aku pergi darinya dan melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. *** Setelah beberapa menit aku menghabiskan waktuku di kamar mandi, akhirnya aku selesai mandi dan menuju ke kamar untuk berganti baju seragam SMA Hutan Hujan. Aku melangkah ke arah kamar, kulihat tanamanku tadi sudah tenang dan berhenti mengomel. Syukurlah dia berhenti “bicara”, itu membuat mood ku yang tadinya buruk menjadi sedikit lebih baik. Aku membuka lemariku yang ada di pojok kanan ruangan kamar dan mencari seragamku di tumpukan baju-baju. Tidak sulit menemukan seragam itu. Warnanya Hijau Muda dengan beberapa garis tipis berwarna Merah , itu warna yang mencolok di antara baju-bajuku yang berwarna gelap. Itu juga sangat mencolok jika aku yang mengenakannya, karena kulitku yang berwarna gelap sangat kontras dengan warna seragam yang sangat cerah. Lupakan soal warna seragam, sekarang aku sudah memakainya dan sudah duduk di ruang makan bersama ayahku. Kulihat ayahku yang berada disebelah kiriku itu. Dia lelaki yang sangat keren meskipun sama hitamnya sepertiku, tapi dengan tubuh kekarnya dan rambutnya yang dikuncir ke belakang serta dengan sebatang rokok yang menyala di sela bibirnya itu membuat siapapun terkagum ketika melihatnya. Pagi itu sepertinya semua sudah siap dengan hari yang baru. Ibuku sudah selesai memasak dan saat ini sedang menata beberapa makanan yang telah dimasaknya. Sedangkan ayahku, seperti biasanya ia telah duduk di kursi itu sedari tadi dengan membaca koran dan tidak lupa dengan rokoknya yang selalu ada di sela bibirnya. Ayah sudah mandi sebelum alarm berisik milikku berbunyi, dia selalu melakukan itu setiap hari dan tak pernah bangun lebih siang dari aku. “Ayah…” aku memanggilnya sedangkan mataku menatap langit-langit dengan otak yang penuh banyak pertanyaan. “Apa nak?” Ayah menoleh kepadaku dan meletakan korannya di atas meja makan. “Ada hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini” aku menghentikan lamunanku ketika ibu memberikan sebuah piring kaca kepadaku. “Apa yang mengganggumu Sina?” Ibu ikut bertanya kepadaku sambil menata beberapa makanan yang belum berada pada tempatnya. “Apa itu Chi?” Aku akhirnya memberanikan diriku untuk bertanya tentang Chi dan menolehkan wajahku ke ayah. “Oh inikah yang mengganggu pikiranmu?” “Iya yah apa itu Chi?” Ayahku tidak berkata sedangkan tangannya mengambil beberapa nasi yang telah dibentuk dan meletakkannya ke piring kacanya. “Apa dirimu tertarik dengan Chi?” Ayah akhirnya melanjutkan kalimatnya setelah beberapa saat berhenti dan itu bukanlah jawabkan melainkan pertanyaan bagiku. “Iya, sepertinya itu hal yang menarik” aku menerima beberapa potong Telur Burung Kecil yang disodorkan ibuku kepadaku. “Ini akan sedikit panjang nak, tapi tak apa akan aku ceritakan” akhirnya ayah memulai ceritanya. *** Chi telah ada sejak dunia ini tercipta. Tak ada satupun makhluk hidup bahkan benda mati yang tidak memilikinya. Pada dasarnya Chi adalah salah satu hal yang paling penting dalam penyusunan tubuh sebuah makhluk bahkan benda mati. Tapi Chi mulai diketahui keberadaannya setelah beribu tahun bahkan mungkin berjuta tahun manusia menghuni Bumi. Iya Bumi, planet biru itu sebelum kita manusia merusaknya hingga tempat itu menjadi planet penuh gas beracun dan tidak layak untuk dihuni lagi. Itu salah satu kegagalan terbesar kita sebagai manusia karena tidak dapat memelihara alam ini dengan baik. Jadi Chi sudah dimanfaatkan dan dikembangkan sejak nama tahun dalam tanggalan kita masih bernama Tanggalan Masehi. Saat ini kita sudah memasuki pertengahan tahun 3999 V (tiga ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan Varsa). Itu sudah empat ribu tahun yang lalu, kalau dihitung dari perpindahan kita ke Planet Risawa ini. Bukan waktu yang sedikit jika ditambah dengan selisih tahun perpindahan ke awal penemuan Chi. Pada awalnya bangsa yang menemukan Chi adalah salah satu bangsa di wilayah Asia, itu salah satu benua di Planet Bumi. Bangsa itu biasa disebut Bangsa China. Mereka bisa disebut juga bangsa pemilik Chi atau bangsa pengendali Chi. Umumnya Chi itu adalah aliran energi bersifat mandiri yang ada di tubuh sebuah makhluk atau benda mati. Tapi lain lagi saat Bangsa China mulai meneliti Chi. Ternyata di dalam aliran energi (Chi) ada sebuah pola yang dapat dimanipulasi atau dirubah arahnya sesuai keinginan makhluk atau benda tersebut. Ini juga yang menyebabkan Chi yang awalnya bersifat mandiri dan mengalir secara alami menjadi aliran energi yan dapat dikendalikan oleh si pemilik Chi itu sendiri. Setelah bertahun-tahun meneliti Chi, Bangsa China mulai menyadari bahwa Chi bukanlah sekedar aliran energi biasa. Ternyata Chi dapat mempengaruhi benda bahkan makhluk di sekitar pengguna Chi. Sungguh aneh bukan? Tapi ini bukanlah hal yang mengada-ada. Banyak pasukan Rimba Selatan yang menguasai Chi untuk kebutuhan mereka bertarung dan mempertahankan kerajaan ini dari banyak ancaman. Selain diketahui bahwa Chi merupakan aliran energi yang ternyata bisa dimanipulasi oleh pemiliknya. Chi juga memiliki beberapa jenis dan sifat. Ada lima jenis Chi yang dilambangkan dengan nama-nama elemen yaitu Chi Api, Chi Air, Chi Tanah, Chi Logam, dan Chi Kayu. Setiap jenis Chi mempunyai karakter unik dan kelebihan serta kelemaham yang berbeda. Tapi sayangnya seorang manusia hanya memiliki satu dari kelima Elemen Chi tersebut tidak kurang dan tidak lebih. Berbeda dengan hewan, mereka mungkin dapat memiliki lebih dari satu jenis Chi. Tapi itu hanya berlaku pada hewan-hewan kecil yang dapat menggabungkan serta memisahkan diri, dan mereka tidak dapat memanipulasi Chi sebaik kita manusia. Manusia dapat mengendalikan dan memanipulasi Chi sekaligus mempengaruhi Chi sebuah benda dan makhluk yang ada di sekitarnya. Contohnya adalah Kana Si Pesulap, kamu pernah menonton pertunjukannya di televisi? Tentunya kamu pernah menontonnya. Dia adalah salah satu pesulap dengan kemampuan Chi. Di saat pesulap lain sibuk dengan triknya dan sibuk mengotak-atik benda yang akan disuguhkan dalam pertunjukan, Kana Si Pesulap dengan santainya tidak menyiapkan benda atau trik apapun untuk pertunjukannya. Dia hanya muncul di atas panggung lalu meminjam salah satu pena milik penonton lalu menghanjurkannya sebelum tangannya menyentuh pena tersebut. Kana Si Pesulap adalah salah satu tokoh terkenal yang menggunakan Chi dengan Elemen Logam. Dengan sifat Logam tersebut Kana Si Pesulap dapat memanipulasi bentuk sebuah benda sesuai keinginannya. Tapi itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dia harus bertahun-tahun belajar, membaca, dan melatih Chi miliknya agar bisa seperti itu, dan dia bukan merupakan manusia dengan Chi yang cukup kuat. Jadi dia hanya bisa memanipulasi sebuah benda bukan sebuah tumbuhan atau hewan bahkan manusia. Kemampuannya hanya sebatas merubah bentuk benda. Chi cukup panjang jika diceritakan saat sedang makan pagi seperti ini dan mungkin aku kehilangan beberapa detail yang harusnya aku ceritakan padamu Sani. Tapi ada satu hal yang penting. Dari jutaan makhluk di alam semesta ini ada beberapa diantaranya adalah makhluk-makhluk terpilih dan mempunyai kekuatan Chi di atas rata-rata makhluk normal. Ada juga beberapa manusia yang beruntung memiliki Bakat Alami sebagai pengendali Chi, tanpa dia harus berlatih keras, dia bisa mengendalikan Chi dengan baik. Mungkin akan lebih hebat lagi kalau dia melatihnya dengan guru yang tepat tentunya. Tapi pada era ini Chi sudah mulai dilupakan karena dianggap sulit dimengerti dan terlalu rumit bagi orang awam. Sangat jarang sekali ada orang yang mempunyai pengetahuan tentang Chi apalagi bisa menguasainya. Hanya kalangan dan orang-orang tertentu yang bisa melakukannya. Seperti ayah ini, ayah hanya bisa menjelaskan apa itu Chi dan tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya karena ayah hanya mengetahuinya dari buku-buku kuno, sisa dari ilmu pengetahuan dari Bumi. Semoga beberapa informasi ini dapat menjawab rasa ingin tahumu itu nak *** “Oh jadi seperti itu ya? Sepertinya seru sekali kalau aku bisa menguasainya” tanggapanku setelah mendengarkan cerita panjang ayah sambil melahap satu sendok nasi dengan telur terakhirku. “Mungkin kamu bisa menguasainya Sina, kamu sekoah di sekolah yang hebat dengan guru-guru yang hebat. Bukan tidak mungkin bagimu untuk dapat mempelajarinya” ibu juga ikut berkomentar terkait cerita Chi itu. “Hahaha… pastinya kamu bisa, Sina Rimba Putra Bara. Harusnya kamu bisa melampaui ayahmu ini nak. Hahaha…” ayahku sudah menghabiskan makanan di piringnya lalu meletakannya di tumpukan piring kosong. “Tapi itu bukan hal yang mudah yah. Ayah sendiri yang cerita, Kana Si Pesulap saja harus belajar bertahun-tahun untuk bisa menghancurkan sebuah pena” aku itu meletakan piringku di atas piring ayah. “Tapi itu mungkin saja, kamu masih muda nak. Waktumu untuk belajar dan memahami dunia ini masih panjang, jangan kamu berkecil hati karena kamu hanya anak dari penjual roti. Buktinya penjual roti saja tahu apa itu Chi, apa lagi kamu yang seorang siswa SMA Hutan Hujan” ayah berbicara sambil sesekali meneguk air putih yang ada digelasnya. “Benar kata ayahmu, waktumu masih panjang dan semangatmu masih berkobar persis seperti ayahmu waktu muda, penuh ambisi dan selalu bertanya” ibu membereskan meja makan sambil melirik ayah dengan sedikit senyum. “Ah Hidra Putri Kara, kamu pintar sekali jika merayu suamimu ini hahaha…” akhirnya kita semua tertawa dengan lepas dan aku sudah lupa dengan omelan alarm, pintu, dan tanaman tadi pagi. Itu cukup membuat hari pertamaku di semester dua ini sedikit berwarna dan tidak membosankan. Akhirnya aku beranjak dari meja makan dan mengambil tas ranselku yang telah aku siapkan di ruang tamu sedari tadi. Ransel itu berwarna abu-abu polos tanpa motif, aku lebih suka tas ini dibanding seragamku yang terlalu mencolok. Aku mengambil sepatu ku yang ada di sudut ruangan di sebelah pintu rumah. Sepatu hitam polos yang kinclong karena baru aku bersihkan tadi malam. Ini hari pertama di semester kedua, aku tak ingin hari pertamaku hancur karena sepatu kusamku yang menjadi bahan olok-olok temanku. “Sina… jangan lupa air minum mu di atas meja putih” ibu tidak pernah lupa untuk mengingatkanku untuk membawa bekal air putih. Katanya jika aku kekurangan air putih dapat membuatku sulit untuk berkonsentrasi dalam belajar. “Iya bu…” setelah selesai memasang kedua sepatu, akhirnya aku mengambil air minumku dan memasukannya kedalam tas. “Ibu… ayah… aku berangkat sekolah” aku pamit lalu membuka pintu rumahku tak lupa membawa payung karena saat ini hujan gerimis sedang membasahi Distrik Hutan Hujan. Singa Merah Marun Jarak sekolah dengan rumahku kira-kira 15 menit berjalan kaki. Saat ini Distrik Hutan Hujan sedang dibasahi hujan gerimis sedari waktu fajar. Itu menjadikan perjalananku hari ini lebih lambat dari biasanya karena jalanan sedang becek. Tapi itu bukan masalah yang besar, lagipula aku tidak akan terlambat meski ada hujan deras sekalipun. Oh iya, di Distrik Hutan Hujan, kebanyakan warga berpergian dengan mesin pemindah yang berbentuk ruangan kotak. Alat itu mempermudah penduduk Distrik Hutan Hujan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain karena sesuai dengan nama distrik itu sendiri Hutan Hujan, jadi di distrik ini curah hujan lebih besar dibandingkan dengan distrik-distrik lainnya. Jadi hampir setiap hari, Distrik Hutan Hujan selalu turun hujan. Dan mesin pemindah adalah alat paling tepat jika digunakan di tempat seperti ini karena menghindarkan penggunanya dari hujan. Tapi biaya untuk menggunakan mesin pemindah tidaklah murah, cukup untuk menghabiskan uang sakuku selama satu hari untuk sekali pindah. Jadi aku memilih untuk berjalan kaki, toh tidak ada ruginya bagiku jika aku berjalan kaki. Aku justru mendapat beberapa manfaat, tubuhku lebih sehat dan mataku bisa kesana kemari menikmati indahnya pohon-pohon dan hewan-hewan liar di Distrik Hutan Hujan. Sudah lima menit aku berjalan menyusuri hutan ini dan gerimis masih saja setia menemani perjalananku. Di Kerajaan Rimba Selatan memang penuh dengan banyak hutan meskipun di distrik-distrik maju sekalipun. Kerajaan tidak ingin mengulang kejadian empat ribu tahun yang lalu. Manusia harus pindah dari Planet Bumi dan menetap di Planet Risawa ini karena kebodohannya, menggunduli semua hutan untuk keperluannya dan akhirnya malah merusak seluruh ekosistem yang ada di Bumi. Seperti namanya Kerajaan Rimba Selatan, keranjaan ini terletak dibagian Selatan Planet Risawa dan berisi ribuan hutan yang masih hijau dengan flora dan fauna yang masih terjaga. Saat ini aku sedang berada di tengah hutan menuju sekolah, dan tidak ada satupun rumah yang ada di kanan-kiriku. Hanya ada banyak pohon dan beberapa kera yang meloncat-loncat di dahannya serta satu dua singa yang berteduh dari tetesan air hujan. Omong-omong soal singa dan kera, mereka adalah hewan yang jinak dan bukan pemangsa ataupun pengganggu manusia. Di Kerajaan Rimba Selatan ekosistem masih sangat terjaga, rantai makanan tetap stabil dan berimbang, isi hutan ini sudah cukup untuk mengisi kebutuhan perut-perut singa itu. Para kera juga masih terbiasa mencari makanan bukan meminta seperti yang telah aku baca dari buku sejarah “kera di Bumi terlalu manja dengan kehidupannya yang selalu diberi makan oleh manusia” akhirnya para kera di Bumi itu bersikap seenaknya dan makin lama makin mengganggu manusia. Oleh karena itu kami penduduk Kerajaan Rimba Selatan tidak ingin mengulangi apa yang telah menjadi kegagalan pendahulu kami sewaktu di Bumi. Tak terasa kini sudah sepuluh menit aku berjalan melewati hutan-hutan lebat. Lima menit lagi Gedung SMA Hutan Hujan akan terlihat dari mulut hutan. Pemandangan hutan akan berganti dengan halaman depan sekolah yang dipenuhi beberapa rusa dan kuda dengan padang rumput seluas lapangan sepak bola. Tapi ada yang aneh dari perjalananku hari ini. Tidak ada satupun yang “bicara” padaku. Seluruh hutan terdiam dan tak berkata apapun padaku. Padahal tadi pagi tanaman di rumahku saja bicara, dan ini hutan, sangat banyak hewan, tumbuhan, bahkan batu di sini. Tapi tak ada satupun yang “kudengar” di sini, hening dan tak ada kata. Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan langkahku sejenak. Aku mengamati pepohonan dan para hewan. Tak kutemukan hal yang aneh, mereka beraktifitas seperti biasanya. Para singa masih berteduh, kera-kera bermain dengan hujan gerimis. Tapi tak ada satupun yang “bicara” kepadaku. Setidaknya aku mendengar beberapa percakapan mereka. Ini sungguh aneh hewan-hewan itu bermain tapi tanpa berkata. Sebenarnya apa yang terjadi saat ini, apa aku yang kehilangan kemampuanku untuk “mendengar” atau mereka yang memang membisu. Sekali lagi aku mencoba menggilingkan pandangan mengamati semua yang ada di sekelilingku. Di depanku ada jalan setapak menuju ke sekolah, ada satu dua kadal kecil lewat di sana. Di sisi kananku ada banyak pohon yang tinggi dengan kera-kera yang bermain di dahannya. Di sisi kanan ku juga banyak pohon tinggi tapi di bawahnya ada beberapa batu besar dan ada beberapa singa yang berteduh di sela-sela batu. Di belakangku tidak ada apa-apa hanya ada beberapa jejak kakiku. Aku mulai kebingungan dan gelisah, aku takut telah kehilangan kemampuan Chi ku. Pada saat itu aku merasa sedang diawasi oleh seekor makhluk yang ganas. Dia adalah penyebab keheningan hutan ini. Tapi aku terlambat menyadari kehadirannya. Dia sudah sangat dekat denganku dan hampir berada di sebelahku. Secara mendadak dia melompat ke pundakku dan mendorongku hingga tersungkur ke depan. “Bukkk” untunglah aku hanya sedikit kehilangan keseimbangan dan wajahku tidak sampai tersungkur ke tanah. “Kau sepertinya kebingungan anak muda?” aku mendengar suara itu, suara yang begitu berat. Aku langsung bersiap dan memalingkan badanku ke arah belakang tidak memedulikan celanaku yang basah kuyup dengan banyak tanah yang menempel. “Graungg…” suara auman makhluk itu membuat burung-burung yang bersembunyi di sarangnya keluar tak memedulikan kondisi saat ini yang sedang hujan. “Kau bisa mendengarku anak muda?” kini telah jelas sosok yang telah menakuti seisi hutan itu. Dia adalah seekor singa dengan mata yang tajam serta bulu yang berwarna Merah Marun. Aku tidak pernah bertemu dengan singa seperti ini, tidak pernah satupun singa yang pernah menyerangku selama aku melewati hutan dan tidak pernah pula aku bertemu singa dengan bulu berwarna Merah Marun. “I..i.iya” aku terlalu gugup untuk menjawab pertanyaan singa itu. Tubuhku seperti tidak bisa digerakan karena terlalu takut melihat singa itu. “Graungg.. menarik sekali” singa itu berjalan memutariku dengan tatapan mata yang tidak pernah beralih dari tubuhku. Di dalam ketakutan itu aku teringat cerita dari ayah tadi pagi tentang Chi. Chi dapat mempengaruhi makhluk ataupun benda di sekitarnya. Tapi dengan ketakutanku yang sekarang aku tidak dapat melakukan apa-apa, berdiri saja sudah gemetar. “Jarang sekali aku melihat manusia yang bisa bicara denganku, jangankan bicara mendengar suaraku saja tidak ada yang bisa” singa itu masih terus mengitariku. Sekarang seluruh hewan di dalam hutan ini menjauh dari lokasiku karena takut dengan keberadaan Singa Merah Marun itu. “A..aku bisa mendengar semuanya” meski dengan ketakutan yang amat sangat, aku masih saja sempat untuk menjawabnya, mungkin ini keberanian terakhirku. “Ternyata kau berani juga menjawabku hingga dua kali” singa itu kini berada di depanku dengan tatapannya yang tajam, dia mengamati wajahku. Aku berusaha melawan ketakutanku dan fokus untuk mencoba apa yang telah diceritakan ayah tadi. Fokus, aku harus fokus. Kini telah menghilang sedikit ketakutanku pada Singa Merah Marun itu. Perlahan aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk karena terlalu takut untuk bertatap muka dengannya. “Angkat wajahmu itu nak!!! Graungg…” dia membentakku dan memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Aku mencoba untuk terus berkonsentrasi dan memusatkan seluruh energi ku di tangan kananku. Sekarang aku sudah bertatapan dengan wajah Singa Merah Marun. Wajahnya mengerikan, terlihat sangat tidak bersahabat. “Aku akan melawanmu” entah dari mana aku mendapatkan keberanianku ini. Aku tidak sadar bahwa tangan kanan sudah berubah dan tidak seperti tanganku yang biasanya. “Graung… melawanku? Ternyata kau juga punya nyali anak muda” aku sudah tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh Singa Merah Marun itu. Aku hanya fokus pada pemusatan aliran Chi di tangan kananku dan memasang kuda-kuda dengan kuat untuk bersiap meluncurkan sebuah pukulan. “Graungg…” Singa Merah Marun itu juga bersiap dan memasang kuda-kuda untuk meluncurkan sebuah serangan. Dia telah melihat tangan kananku yang telah berubah menjadi sebuah tangan kayu yang berwarna coklat keemasan. Aku sama sekali tidak melihat tangan kananku aku hanya fokus untuk mengumpulkan Chi di tangan kananku sedangkan mataku menatap tajam ke arah Singa Merah Marun itu. Jarakku dengan singa itu sekitar dua meter, cukup dekat untuk meluncurkan sebuah pukulan. Aku hanya perlu dua atau tiga langkah untuk sampai di depan wajah singa itu. Targetku adalah wajahnya, sekarang sudah 30 detik aku memusatkan Chi di tangan kananku. Sudah cukup waktu bagiku, dan ini saatnya melepas pukulan. “Aaa…” aku memelesat meluncurkan pukulan Chi. Namun, singa itu tidak menghindar dia malah tersenyum melihatku. Tanpa banyak berpikir, tanganku sudah meluncur menghantam wajah Singa Merah Marun itu. “Bumm…brak…brak…brak” suara pukulan itu berdentum kencang sampai-sampai menggetarkan seluruh tanah di hutan. Singa Merah Marun itu terpental menabrak beberapa pohon, dan membuat pohon-pohon itu roboh. Tubuhku mendadak lemas seperti semua tulang di tubuhku terasa hilang. Akhirnya aku roboh, baju seragamku bayah kuyup oleh peluh dan air hujan. Nafasku terengah-engah, aku mencoba untuk mengatur nafas dan menenangkan diri. Tadi itu adalah pertarungan yang sangat singkat dan sangat menegangkan. Aku sudah tidak tahu lagi, apakah aku bisa melanjutkan perjalananku ke sekolah atau tidak. Tubuhku sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Aku roboh, tubuhku terlentang menghadap langit dan tak memedulikan ribuan air hujan yang jatuh dan mebasahi wajahku. Aku sudah menang dari pertarungan itu dan kini aku butuh istirahat. *** Mataku mengerjap-ngerjap, ternyata aku pingsan selama beberapa menit setelah pertarungan berakhir. Pandanganku masih kabur dan tidak jelas, cahaya matahari menyilaukan mataku dan rintik hujan masih belum berhenti. Kurasakan ada yang menyentuh perutku, rasanya hangat dan lembut. Perlahan mataku mulai bisa beradaptasi dengan sekitar, meskipun belum sepenuhnya. Aku melihan bayangan di depanku, warnanya Merah Marun. Dalam hati aku berkata “matilah aku, singa itu sekarang sangat dekat denganku, kaki kanan bagian depannya di atas perutku”. “Anda sudah sadar tuan?” akhirnya aku dapat “mendengar” lagi. Tapi apa aku tidak salah dengar, dia memanggilku tuan. Aku berusaha menggerakkan tangan kananku dan berusaha mengumpulkan Chi lagi. Tapi semua itu rasanya sia-sia, tubuh ku saat ini sangat lemah. Jangankan mengumpulkan Chi, menggerakan tangan saja sudah tidak bisa. “Jangan banyak bergerak tuan, anda belum pulih sepenuhnya” nada bicara singa itu tidak seperti tadi, sekarang dia lebih sopan kepadaku. “Sebenarnya apa tujuanmu?! argh” aku sedikit meninggikan suaraku, tapi malah tubuhku semakin kesakitan. “Maafkan sikapku tadi tuan, saya tidak tahu bahwa anda adalah Tuan Sina” kaki singa itu masih di atas perutku. Tangannya seperti menyaluran udara kedalam perutku dan mengalir ke seluruh tubuh. “Perkenalkan tuan, aku adalah Lion Si Merah Marun. Anda bisa memanggil saya Marun. Saya ditugaskan untuk mencari dan melindungi anda Tuan Sina” kini tanganku mulai bisa bergerak, begitu juga kakiku. “Menlindungiku? Lalu kenpa tadi kau menyerangku dan menatapku seperti hendak membunuhku?” akhirnya aku bisa berkata dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Singa ini sungguh membuatku kesal. Tadi dia menatapku dengan tatapan pembunuh sekarang dia mengaku sedang mencariku dan ingin melundungiku. “Sangat sulit untuk mencari anda tuan, saya harus membuktikan bahwa anda adalah Tuan Sina. Tak ada cara yang paling efektif mencari anda selain memancing anda dalam sebuah pertarungan” kaki singa itu masih di atas perutku. Aku baru sadar kalau dia ternyata berusaha mengobatiku. “Cara paling efektif adalah pertarungan? Kenapa harus pertarungan?” Aku masih terbaring di atas tanah becek dengan rintik hujan yang membasahi. “Iya tuan, pertarungan adalah cara paling efektif. Tadi saya sudah yakin bahwa anda adalah Tuan Sina karena anda bisa mendengar dan berbicara dengan saya. Tapi itu tidak cukup untuk membuktikannya. Jadi saya harus melihat langsung Chi anda, dan cara paling mudah untuk melihat Chi anda adalah memancing emosi tuan” meskipun sambil berbicara, dia masih fokus untuk menyembuhkanku. “Berhentilah memanggilku tuan, anda atau apalah itu” aku merasa aneh dengan panggilan-panggilan itu. Aku yang biasa dipanggil Si Roti Hitam sekarang dipanggil dengan sebutan-sebutan kehormatan. “Saya hanya melakukan tugas saya tuan dan anda memanglah tuan saya. Jadi saya harus bersikap hormat kepada anda” singa itu masih saja mencari alasan untuk memanggilku seperti itu. “Baiklah, jadi aku ini adalah tuanmu ya?” aku sekarang sudah bisa duduk. “Iya tuan” kaki singa itu berpindah menuju tangan kananku. “Kalau memang aku tuanmu maka saat ini aku perintahkan dirimu untuk tidak memanggilku tuan” aku menggilingkan pandangan ke pepohonan. Sepertinya ada yang aneh di tempat ini. Pepohonan yang tadi roboh dan berantakan sekarang telah kembali seperti semula. Tak ada pohon yang roboh, seakan tadi tidak terjadi apa-apa. “Hei Marun, pohon-pohon ini, kenapa tidak ada yang roboh ataupun rusak? Padahal tadi banyak sekali pohon yang roboh tertabrak tubuhmu” semuanya benar-benar kembali seperti semula. Tidak hanya pepohonan, hewan-hewan pun sudah kembali seperti semula seperti tidak ada apa-apa. “Semuanya sudah saya bereskan tuan” singa ini tidak menghiraukan perkataanku yang tadi dan masih memanggilku tuan. “Sudah kamu bereskan? Maksudmu?” aku tidak paham apa maksudnya singa membereskan sebuah hutan yang berantakan. “Iya tuan, aku sudah membereskan semuanya. Aku adalah pemilik Chi Kayu sama seperti anda tuan. Jadi aku bisa mengembalikan pohon-pohon yang tadinya roboh dan berantakan itu” aku baru tahu bahwa aku memiliki Chi dengan elemen Kayu, yang kutahu aku adalah pemilik Chi dengan kekuatan langka. “Lalu apa hubungan Chi Kayu dengan pohon-pohon itu? Apa itu kemampuan uniknya?” “Benar sekali tuan, pemilik Chi Kayu bisa mengembalikan atau menumbuhkan apa yang ada di hutan. Seperti sifat dasarnya, Kayu adalah elemen yang tumbuh, berkembang, memulihkan” singa itu telah menyelesaikan proses penyembuhannya. “Berdirilah tuan” aku pun berdiri. Tubuhku sudah pulih sepenuhnya dan kembali berenergi. Singa itu berdiri di depanku, lalu kedua kaki depannya menyentuh ujung sepatuku. Dia memandangku dari ujung sepatu hingga ujung rambu, lalu sesuatu terjadi. Tubuhnya bersinar terang, kulitnya berubah menjadi seperti kulit kayu yang berwarna merah menyala terang. Angin berhembus dari bawah dan menyapu seluruh tubuhku. Ternyata itu adalah pembersihan. Tubuhku yang tadi basah kuyup dan penuh dengan bercak tanah, sekarang sudah bersih seperti saat aku keluar dari rumah tadi pagi. Marun sudah kembali seperti sebelumnya. Tubuhnya sudah kembali seperti singa biasa tapi dengan warna yang unik, Merah Marun. “Naiklah tuan, anda sudah hampir terlambat” Marun mengingatkanku bahwa aku seharusnya sudah berada di sekolah saat ini. Ku lihat jam yang ada di tanganku. Astaga, ini sudah pukul 06.57, gerbang sekolah ditutup pukul 07.00. Kurang 3 menit lagi, aku tidak akan sempat untuk sampai ke sekolah dengan waktu 3 menit. “Cepatlah tuan” “Baiklah” aku akhirnya duduk di atas marun. Ternyata kulitnya kembali berubah menjadi kulit kayu berwarna merah menyala. “Pegangan tuan” Marun memelesat dengan sangat cepat. Aku masih khawatir, apakah aku akan terlambat? *** Saat ini pukul 06.59 dan aku sudah melewati pintu gerbang sekolah. Marun memelesat cepat sekali, tak sampai 2 menit aku sudah sampai persis di depan pintu gerbang. Tadi saat aku memelesat bersama Marun, seperti ada sebuah kaca di depanku yang membelah rintik hujan. Itu membuat pakaianku tetap kering walau memelesat dengan sangat cepat. Hari ini baru hari pertamaku di semester ke dua, tapi aku sudah mengalami sebuah kejadian besar. Bertarung dengan seekor singa dan menjadi tuan singa itu. Aku mengambil langkah seribu menuju kelasku. Aku tidak terlambat tapi aku harus sampai ke ruang kelas sebelum dia datang. Jam pelajaran pertama adalah mata pelajarannya, Sejarah. Aku harus cepat-cepat masuk kelas, kalau tidak dia akan menghukumku. Pelajaran Mr. Batang “Planet Risawa, planet ini adalah tempat tinggal kedua manusia setelah Planet Bumi. Tekanan atmosfer Planet Risawa hampir sama dengan tekanan atmosfer Planet Bumi. Hal ini juga yang menjadikan poin penting terpilihnya Planet Risawa sebagai tempat tinggal kita setelah Bumi pada empat ribu tahun yang lalu.” Dia adalah Mr.Batang, guru mata pelajaran sejarah di sekolahku. Saat ini dia sedang menjelaskan sejarah perpindahan manusia dari Planet Bumi ke Planet Risawa ini. Mr. Batang adalah seorang dengan gaya mengajar yang sangat disiplin. Tidak pernah ada siswa yang tidak pernah merasakan rasanya diusir dari kelas saat pelajaran ini berlangsung. Mr. Batang tidak segan-segan untuk mengeluarkan siswanya jika siswa itu tidak memperhatikan apa yang dijelaskannya. Bahkan kehilangan sedikit konsentrasi ataupun sedikit mengantuk dapat membuat kami para siswa bisa ditendang ke luar kelas. Meskipun rambutnya sudah beruban, tetapi Mr. Batang seperti tidak kehilangan semangat mudanya. Suaranya masih lantang dan terdengar jelas oleh seisi kelas. Tubuhnya yang kurus dan kacamata bundarnya itu adalah ciri khas tersendiri dari Mr. Batang. Dia guru paling kurus yang ada di sekolah ini dan lihatlah kacamata itu. Itu kacamata bundar yang unik dengan kerangka berukiran rumit dan berbahan dasar kayu. “Empat ribu tahun yang lalu, Bumi telah resmi ditnggalkan oleh manusia karena kondisinya yang sudah tidak layak lagi untuk ditinggali” Mr. Batang menunjuk gambar yang ada di layar proyektor dengan sebuah laser berwarna Merah. Itu gambar Bumi dari awalnya yang berwarna Biru hingga menjadi warna Ungu. “Lihatlah gambar Bumi itu…” Mr. Batang menunjuk gambar di ujung atas sebelah kiri. “Itu adalah gambar Bumi yang diambil sebelum adanya penggundulan hutan besar-besaran di banyak hutan di seluruh penjuru Bumi. Pada masa ini kondisi Planet Bumi masih sangat terjaga. Hutan-hutan di sana masih sangat rapat dan manusia masih sedikit jumlahnya. Bahkan banyak manusia yang belum mengenal tulisan. Zaman ini biasa disebut sebagai Zaman Pra Aksara. Teknologi di Bumi masihlah sangat sedikit dan primitif. Pada Zaman Pra Aksara ini tidak ada teknologi yang maju, gawai yang kalian bawa kemana-mana itu juga belum ada. Itu membuktikan bahwa manusia sebenarnya juga bisa hidup tanpa gawai” Mr. Batang selain menjadi guru paling disiplin, dia juga menjadi guru paling sering menyindir. Barusan dia menyindir para manusia saat ini yang begitu ketergantungan pada gawai. Hampir tidak ada seorang pun di Planet Risawa ini yang tidak memiliki gawai. Gawai sudah seperti kebutuhan wajib di zaman ini. “Lihatlah gambar sebelahnya…” pada gambar yang kedua Bumi sudah mulai berubah menjadi sedikit aneh. Pulau es yang ada di Kutub Utara Bumi sudah menghilang dan digantikan oleh lautan. “Itu adalah gambar Bumi pada saat tahun 2500M. Saat itu ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berkembang pesat. Banyak industri di dunia memproduksi masal barang-barang yang menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak pula pembakaran hutan di banyak tempat yang bertujuan untuk membuka lahan baru untuk tempat tinggal ataupun tempat penelitian. Pada masa itu Bumi mulai menunjukan gejala-gejala alam yang tidak wajar. Musim di Bumi tidak dapat diprediksi, volume air laut semakin lama semakin meningkat. Hasilnya pulau-pulau di seluruh dunia mulai mengecil karena banyak pulau es di kutub mencair” “Hal ini semakin lama semakin parah. Lihat gambar ke tiga, gambar yang mengerikan. Bumi penuh asap dan gas yang beracun serta hutan-hutan di dalamnya tinggal secuil. Banyak wilayah di Bumi mengalami perubahan iklim yang ekstrem, yang dulunya beriklim panas berubah menjadi bersalju serta banyak juga gunung es yang mencair. Pegunungan Himalaya adalah salah satu yang terparah. Puncak tertinggi dunia, Gunung Everest mencair dan berubah menjadi gunung yang sangat gersang dan panas” “Tapi sebelum kondisi Bumi seperti gambar yang ke tiga, para ilmuan dan peneliti bergabung untuk mencari solusi untuk kehidupan yang lebih baik. Dari upaya pengurangan penggunaan bahan-bahan berbahaya untuk industri sampai upaya penanaman hutan kembali. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Semua upaya yang dilakukan oleh banyak negara di dunia itu akhirnya sia-sia dan tak berdampak banyak untuk memperbaiki kondisi Bumi yang sudah terlanjur rusak” Para siswa masih fokus dan memperhatikan apa yang dikatakan oleh Mr. Batang. Mereka tidak ingin di hari pertama di semester ke dua ini harus ditendang keluar kelas. Itu bukanlah hal yang diinginkan oleh para siswa. Tapi lain dengan salah satu temanku yang duduk di pojok kanan depan kelas, persis di sebelah pintu masuk kelas. Namanya Agni, dia sudah berkali-kali menguap sedari pelajaran ini dimulai. Mr. Batang kebetulan tidak melihatnya sedari tadi dan hanya fokus pada gambar-gambar Bumi yang ditampilkan di layar proyektor kelas. “Setelah 100 tahun para ilmuan dan peneliti berjuang untuk menemukan solusi bagi kondisi Bumi yang semakin parah. Akhirnya ada kabar baik dari para Astronom dan para Ahli Fisika. Para Astronom menemukan beberapa planet yang mungkin bisa dijadikan tempat tinggal manusia setelah Bumi dan para Ahli Fisika juga berhasil menciptakan sebuah pesawat yang sangat canggih. Pesawat ini dapat melintasi celah ruang dan waktu dan berpindah dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Mungkin kalian berpikir itu hal yang biasa karena setiap hari kalian berpindah dengan menggunakan mesin pemindah. Tapi itu merupakan penemuan yang sangat hebat di masa itu dan merupakan cikal bakal teknologi-teknologi mutakhir saat ini” Aku yang duduk di bangku baris ke dua pinggir sebelah kiri masih menyimak dan memperhatikan apa yang dijelaskan Mr. Batang walaupun mataku mulai merasakan kantuk. Sesekali aku menoleh ke sebelah kananku. Di sana duduk teman wanitaku yang bernama Ina Baruna. Dia adalah salah satu siswi paling cantik yang ada di SMA Hutan Hujan ini, dengan wajahnya yang tampak berseri-seri, matanya yang coklat, rambutnya yang hitam lurus di ikat dan kulitnya yang seputih susu. Siapa yang tidak tertarik dengan Ina, selain memiliki wajah yang cantik, dia juga salah satu murid yang pandai. “Byurr…” mendadak lamunanku terhenti dengan adanya suara siraman air. Agni, dia ternyata tertidur pulas dan Mr. Batang yang mengetahuinya langsung menyiramnya dengan sebotol air yang ada di atas meja guru. Otomatis Agni terbangun karena kaget dengan “hadiah” pemberian Mr. Batang. Matanya mengerjap-ngerjap, tangannya mengusap-usap wajah dan kepalanya yang botak. Basah sudah kepala botak Agni dan sebagian seragam bagian atasnya. “KELUAR!!!” Mr. Batang langsung menyuruhnya keluar kelas tanpa bertanya alasan Agni. Mr. Batang memang seperti itu, dia tak mau tahu apa yang menjadi alasan muridnya. Menurutnya, saat jam pelajaran dimulai semua siswa harus siap menerima semua materi yang diajarkan dan belajar dengan sungguh-sungguh. Siswa yang tidur di kelas menurutnya hanyalah siswa yang enggan untuk belajar atau tidak serius dalam menuntut ilmu. Itu terkesan sangat kejam bagi kami para siswa, tapi Mr. Batang ada benarnya karena dengan metode belajar yang seperti itu para siswa bisa lebih serius dan lebih bertanggung jawab dalam kewajiban belajar. Agni akhirnya berdiri dan melangkah menuju pintu yang jarangnya hanya 1 meter darinya. Dengan wajahnya yang menampakan ekspresi marah Agni keluar dari kelas. Melihat itu aku merasa kasihan pada Agni, tapi mau bagaimana lagi ini jam pelajaran Mr. Batang dan hal seperti itu sudah biasa. Mr. Batang melangkah kembali ke meja guru dengan membawa gelas kosong. Suasana kelas terlihat semakin hening dan kondusif tanpa ada satupun siswa yang berbisik dengan teman sebangkunya. “Huh… Oke kita lanjutkan pelajaran.” Mr. Batang sudah duduk di atas kursinya dengan tangan membawa laser merah. “Setelah penemuan-penemuan hebat telah ditemukan oleh para ilmuan, manusia akhirnya menyusun beberapa rencana perpindahan. Saat itu ada 9 planet yang ditemukan dan diperkirakan layak untuk dihuni manusia. Ada banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum para ilmuan memberangkatkan manusia menuju planet-planet yang diperkirakan dapat dihuni itu. Mereka yang diberangkatkan menuju planet-planet itu harus menguasai kendaraan yang dipakainya, itu sedikit rumit. Tak hanya itu, mereka juga harus memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan bertahan hidup yang mumpuni karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di planet-planet itu” “Kringg…” bel tanda istirahat akhirnya berbunyi sekaligus mengakhiri pelajaran Mr. Batang yang cukup menegangkan. “Pelajaran hari ini sampai di sini, saya akhiri terima kasih” Mr. Batang membereskan laptop dan beberapa peralatannya lalu melangkah ke pintu keluar. Di depan pintu keluar, Mr. Batang berpapasan dengan Agni yang masuk ke dalam kelas. Mereka tidak saling melihat apa lagi menyapa, sepertinya Agni masih kesal atas kejadian tadi. Dia menuju bangkunya lalu mengeluarkan kotak makan yang dia bawa dari dalam ranselnya. “Sina…” suara lembut itu memanggilku dari sebelahku. “Iyaa?” aku sudah tau kalau itu adalah suara Ina yang duduk di sampingku. “Ayo ke kantin” dia berdiri di samping kananku sambil membenarkan posisi ikat rambutnya. Sementara aku masih sibuk memberesakan buku pelajaran sejarah tadi. “Ayo…” aku memasukan buku tulisku dan merapikan posisi buku-buku yang ada di dalam tasku. “Eh.. tapi aku sudah bawa bekal dari rumah Na” “Gakpapa, bawa aja ke kantin dimakan di sana aja” “Okelah” Aku dan Ina kini berdiri lalu bersama menuju ke kantin. “Ada apa Sina?” Langkahku terhenti sesaat, ketika aku melihat ada sesuatu yang janggal. Di depan kelasku aku menghentikan langkahku. Ada sesuatu yang tidak semestinya. “Lihat itu Na…” aku menunjuk pot tanaman yang ada di depan kelasku. “Iya, ada apa dengan pot itu” “Tadi pagi masih ada tanaman di sana, tapi sekarang sudah hilang tanamannya” pot itu tadi pagi masih berisi sebuah tanaman, aku sangat yakin karena tadi pagi aku masih melihatnya dan “mendengar” suaranya. “Ahh mungkin kamu tadi ga fokus Sina, tadi kan kamu hampir terlambat. Sudahlah ayo ke kantin” Ina melanjutkan langkahnya. Aku tidak langsung menyusul Ina. Penasaran dengan pot itu aku melangkah mendekat. “Ayo Sina…” belum sampai di depan pot itu Ina berteriak memanggilku. “Iya…” aku belum sepenuhnya melihat isi pot itu tapi sepertinya ada satu hal yang kulihat, sebuah abu. *** Kantin sekolahku terletak di belakang sekolah. Dari kelasku, aku hanya perlu melewati lorong kelas hingga ke ujung lorong lalu berbelok ke kanan. Kantin SMA Hutan Hujan ini cukup luas serta memiliki banyak pilihan makanan dan minuman. Bentuknya memanjang dan dipenuhi oleh banyak stan makanan dan minuman. Meja dan kursi di sini lumayan banyak dan cukup untuk menampung seluruh siswa SMA Hutan Hujan yang jumlahnya sekitar 1000 orang. “Aku duduk sebelah sini ya Na” aku memilih tempat duduk berisi 4 orang yang terletak di pojok kantin, dekat dengan pintu keluar. Kantin sekolahku ini hanya dibatasi oleh kaca-kaca tembus pandang dan di sekelilingnya ada banyak tanaman yang cantik. “Iya Sina, aku mau beli makanan dulu” Ina melangkah menuju ke stan Bu Wi. Stan itu menjual aneka masakan khas Jawa, masakan yang kuno sekali dan sudah ada sebelum manusi pindah ke Planet Risawa. Tapi rasanya cukup enak dan menggugah selera. Aku pernah makan salah satunya, namanya Rujak Cingur dan Nasi Pecel. Aku berani bertaruh Ina pasti akan membeli satu dari kedua makanan itu. Setelah beberapa saat akhirnya Ina kembali ke mejaku dengan membawa Nasi Goreng. Nasi Goreng? Apa aku tidak salah, bukannya stan Bu Wi menjual masakan khas Jawa. Nasi Goreng kan masakan umum tidak kuno tapi tidak juga modern. “Kenapa Sina, kamu kok kelihatannya bingung?” Ina meletakan makanannya dan menarik kursi. “Eh…tidak apa kok” aku tersenyum lalu membuka kotak makanku. “Yang bener?” Ina bertanya menyelidik “Iya Na” aku memandang isi kotak makanku sesekali memandang Nasi Goreng milik Ina. “Oh Nasi Goreng ya?” Ina berhasil menebak apa yang aku pikirkan. Dia tertawa hingga terlihat gigi-giginya. “Yah ketahuan deh” aku akhirnya mengaku dan ikut tertawa bersama. “Itu Nasi Goreng apa sih Na? Yang jual Nasi Goreng kan banyak, tapi ngapain kamu beli di Bu Wi. Padahal yang lain lauknya banyak dan enak-enak” aku bertanya sambil menyendok bekalku yaitu Telur Burung Kecil. “Lho ini beda Sina, cara masaknya juga beda sama penjual lain” Ina juga sudah menyendok beberapa Nasi Goreng itu. “Emang apa bedanya?” aku sesekali fokus ke wajah Ina dan sesekali fokus ke makananku. “Ini namanya Nasi Goreng Jawa, cara masaknya pakai bahan bakar arang bukan kompor cahanya seperti penjual yang lain. Bahan-bahanya juga dari cabai merah dan cabai rawit, bawang merah dan bawang putih yang di proses manual, gak pakai mesin bumbu. Apalagi penyajiannya itu yang paling spesial, alasanya pakai Daun Pisang” “Itu ga jauh beda sama Nasi Goreng lainnya Na, sama aja” aku masih meneruskan makanku. “Coba sendiri kalau kamu gak percaya” Ina menyodorkannya Nasi Gorengnya padaku. Ternyata alasnya memang Daun Pisang yang diletakan di atas piring putih. Aromanya sedikit menggodaku untuk mencobanya. “Makan aku…” suara itu bukan suara Ina. Ternyata Nasi Goreng itu “bicara” padaku. “Sini biar aku coba” akhirnya aku mencobanya. “Bagus…” Nasi Goreng itu “bicara” lagi. Dengan sendoku aku mengambil setengah sendok Nasi Goreng itu. Ina memperhatikanku yang sedang menyendok. Ku masukkan sendokku yang setengah terisi oleh Nasi Goreng Ina ke dalam mulutku. Raut wajah Ina berubah, dia seperti orang yang menahan tawanya. “Hah…hah…hah… AIR…MANA AIR” aku berteriak-teriak kepedasan dan Ina tertawa terbahak-bahak. Ternyata Nasi Goreng itu pedas sekali. “Nih air” Ina meyodorkan air putih kepadaku.“Enak kan? Apa aku bilang hahahaha” Ina mengerjai aku dengan Nasi Goreng ini. “Apanya yang enak? Pedes iya. Iya kalau kamu suka pedes” aku melanjutkan minumku yang mendadak sangat cepat. “Ini namanya Nasi Goreng Jawa khas Surabaya Sina, rasanya emang gini. Biasanya disebut Nasi Goreng Jancuk” Ina masi melanjutkan tawanya yang sedikit mereda itu. “Oh emang Jancuk…” aku tahu itu kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan sensasi yang ku rasakan. *** “Kringg…” bel masuk kelas berbunyi mengakhiri waktu istirahatku bersama Ina. Aku dan Ina sudah sedari tadi menghabiskan makanan kita masing-masing. Aku sudah tidak lagi kepedasan, setelah meneguk 1 liter air putih tadi. Aku tidak habis pikir dengan Ina, dia kuat sekali menahan pedas dan tidak minum sama sekali. Mungkin dia memang suka makanan pedas. “Ayo kembali ke kelas, Sina” wajahnya tampak tidak bersalah setelah tadi mengerjai aku dengan Nasi Goreng Jancuknya. “Okee…” aku mengambil kotak makanku yang sudah kosong dan membawanya dengan tangan kananku. Aku dan Ina kini telah berdiri dan melangkah menuju pintu keluar kantin. Langit Distrik Hutan Hujan masih meneteskan sedikit rintik-rintik hujan dan membasahi tanaman-tanaman di sekeliling kaca kantin. “Na…” aku memanggil Ina yang berjalan di sebelah kananku. “Iya?” dia menoleh ke arah kiri dan membuat rambut hitam yang dikuncir itu terkibas ke kanan. “Kamu tahu Chi?” aku masih meneruskan langkahku menyusuri lorong kantin menuju kelas. “Chi? Aku gak tahu Sina, apa itu?” Ina ternyata tidak tahu apa itu Chi dan sepertinya dia tidak seberapa tertarik. Nada bicaranya biasa saja dan tidak bersemangat. “Aku juga tidak tahu. Sudahlah lupakan saja” kami sudah melewati belokan lorong dan sedikit lagi sampai ke kelas. Seketika aku teringat dengan pot tadi. Aku ingin memeriksanya sekali lagi dengan lebih jelas. Sungguh aneh jika sebuah pot berisikan tanaman pada pagi hari tiba-tiba berubah menjadi abu 2 jam kemudian. Aku telah dekat dengan pintu kelas. Pot itu ternyata sudah tidak ada. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ada seseorang yang sama spesialnya denganku. Ada rahasia yang disembunyikan di SMA Hutan Hujan ini dan itu adalah rahasia yang sangat besar. Description: Namaku Sina Rimba, aku adalah siswa kelas sepuluh di SMA Hutan Hujan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat bersekolah di sana. Namun, aku bukanlah seorang yang spesial ataupun bergengsi seperti kebanyakan siswa lainnya, aku hanyalah seorang anak penjual roti. Tak ada sesuatu yang menonjol dari diriku, kecuali kulitku yang hitam legam, tubuhku yang kecil dan pendek, serta rambutku yang keriting. Namun, hidupku ternyata tidak sesederhana itu. Aku mulai bisa mersakannya, sesuatu yang amat sulit diungkapkan oleh kata dan sesuatu yang sulit diterima oleh logika. Aku adalah Sina Rimba pemilik Chi terhebat, bisa "bicara dan mendengar" semuanya, manusia, hewan, tumbuhan, bahkan benda tak bernyawa.
Title: Review Novel Hitam Putih Category: Review Text: Review Hitam Putih Hitam putih sebuah novel yang mengangkat kisah persahabatan antara Mualim dan Jang, dua bocah lelaki dari Desa Lembah. Persahabatan keduanya terus berlanjut hingga mereka dewasa. Bahkan, hubungan mereka pun pada akhirnya berubah menjadi hubungan persaudaraan antara kakak dan adik ipar. Terpisahkan jarak, meski tinggal di tempat yang berjauhan, komunikasi tetap terjalin lancar. Masing-masing menjalani alur kehidupannya. Namun, hidup tak sesederhana hitam dan putih. Kenyataannya hidup penuh dengan berbagai warna. Semakin kompleks pergulatan dengan lika-liku permasalahan, semakin beragam warna dalam kehidupan mereka. Mualim yang tinggal di kota menghadapi kenyataan pahit. Ia merasa teman-teman sepergaulannya telah menelikung keyakinannya, mengebiri keimanannya pada Sang Pencipta. Dia seperti terjebak dalam sebuah labirin membingungkan sekaligus menakutkan. Dalam curhatnya pada Jang, Mualim menyampaikan tekadnya akan berjihad untuk melepaskan diri dari cengkeraman dan pengaruh yang menyesatkan itu. Meski, butuh perjuangan dan taruhan nyawa, bahkan terpaksa menjadi buron agar bisa lepas dari pengaruh kekafiran mereka. Berhasilkah perjuangan Mualim kembali ke jalan kebenaran? Sepertinya demikian. Dari awal sampai akhir, novel ini sarat dengan simbol warna. Hitam putih, judul yang terus diulang-ulang, bahkan menjadi penyekat untuk setiap pergantian episodenya. Meski, melihat kaver bukunya sempat menimbulkan tanda tanya besar. Judul bukunya hitam putih, ilustrasinya justru paduan berbagai warna. Tetapi, setelah memahami isinya, terungkaplah bahwa di balik warna hitam putih tersembunyi berbagai ragam warna. Simbol hitam putih merujuk pada dua aspek realitas kehidupan yang sebenarnya berdiri sendiri, tapi masing-masing mengandung unsur dari lainnya. Keduanya saling melengkapi seperti siang dan malam, gelap dan terang, baik dan jahat, ataupun seperti persahabatan Mualim dan Jang. Di balik hitam putih, tersembunyi warna-warna lainnya. Warna-warna kompleks yang tak mudah ditebak, seperti misteri kehidupan yang tak mudah ditebak ending-nya. Tidak mudah menebak ending novel ini. Tetapi, simbol warna di mimpi Jang mungkin bisa digunakan sebagai petunjuk. Dalam mimpinya, Jang melihat Mualim berpakaian serba putih. Warna putih sering dimaknai sebagai kepolosan, kesucian, kedamaian, bahkan kematian. Mungkin saja Mualim memang berhasil meloloskan diri dari kekafirannya dan kembali pada jati dirinya. Tapi, belum tentu dia berhasil lolos dari cap hitam yang telanjur melekat dan merusak reputasinya. Wajah hitam seperti hangus, berteriak ketakutan dikejar burung, tubuh melesat ke atas, hilang entah ke mana dapat ditafsirkan akhir cerita yang tak sepenuhnya happy ending. Dalam masyarakat kita kadang seseorang masih dipandang dari masa lalunya. Meski, tidak ada ”orang baik” yang tidak memiliki masa lalu. Sebaliknya, tidak ada “orang jahat” yang tidak mempunyai masa depan. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik, seberapa pun kelam dan hitamnya di masa lalu. Bahkan, Umar bin Khattab, orang yang hampir membunuh Rosulullah, kini terbaring di sebelah makam beliau. Maka, Mualim mungkin tak perlu terus jadi buron. Tak perduli masa lalunya, dia pantas diberi kesempatan. Terlepas dari akhir cerita yang happy ending atau sad ending yang nantinya akan dipilih oleh pengarangnya, pembaca memiliki kebebasan dan hak penuh untuk memaknainya. Yang jelas novel ini sarat dengan pembelajaran bagaimana berkaca pada warna, apakah kita akan menjadi hitam, ataukah memilih menjadi putih. Karena dalam kenyataannya, yang hitam tidak sepenuhnya hitam dan yang tampak putih belum tentu sepenuhnya putih. Di balik hitam putih ada beragam warna, seperti beragamnya cerita kehidupan manusia. Description: Mencoba memaknai dan menebak novel Hitam Putih Karangan Andriyana. Ditulis dalam rangka mengikuti GA Hitam Putih Selamat atas diterbitkannya novel Hitam Puth oleh penerbit Gramedia
Title: Repeat Life Category: Novel Text: Chapter 1 - Awal Kebangkitan Hari senin tanggal 8 desember 2030, meski hari ini adalah hari ulang tahun ku namun semua nya masih terasa kelabu semenjak 12 tahun yang lalu. Diumur ke-28 tahun ini aku selalu dihujani oleh pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan keluarga ku, pertanyaan konyol yang selalu aku abaikan.Sebelumnya perkenalkan namaku Jaya seorang pekerja biasa yang menyerah pada cinta karna aku gagal melindunginya. Kehidupan ku cukup mapan karna dengan pengaruh orang tua ku aku bisa lulus masuk Universitas Tanjungpura program studi manajemen, dan karna orang tua ku juga aku bisa mendapatkan posisi yang terbilang cukup tinggi di perusahaan ku bekerja saat ini. Karna alasan itulah keluarga ku terus-terusan memaksaku untuk segera menikah.Seperti biasa aku pergi kekantor dengan berjalan kaki karna dari rumah ke kantor jarak nya cukup dekat hanya 10 menit itulah mengapa aku lebih memilih berjalan kaki meskipun sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang mengira aku hanya seorang pesuruh dikantor. Jika orang lain mengetahui pekerjaan ku mungkin orang-orang akan menganggapku orang yang berdosa.Mau bagaimana lagi pekerjaan ku adalah menilai pekerjaan orang lain atau bisa dibilang aku adalah pengamat kinerja kerja karyawan dikantorku dan aku juga memiliki wewenang untuk memecat karyawan yang ku anggap tidak kompeten untuk pihak perusahaan. Banyak orang yang tidak menyukai ku bahkan tak ad satupun dihari ini yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada ku lagi pula aku sudah terbiasa di kondisi ini. Selain itu, banyak pula orang yang dendam kapada diriku karna telah memecat mereka dan tak segan mengatakan didepan ku bahwa aku tak memiliki hati. Tapi aku tak peduli semua ucapan mereka karna saat ini aku hidup dimana kompetensi setiap individu adalah kekuatan individu itu sendiri jika ia tak memiliki kemampuan atau kompetensi yang baik maka ia akan tersingkir dari persaingan itulah anggapan ku tentang dunia saat ini.Sudah cukup membahasa tentang diriku, karna hari ini pukul 14.00 aku harus menemui seorang karyawan yang bermasalah. Lagi pula aku sudah menilai bahwa ia tampaknya harus kupecat hari ini, tapi coba kita lihat apa yang akan dilakukannya untuk mempertahankan pencapaiannya.Sudah pukul 13.50 aku harus segera pergi keruang pertemuan aku harus menciptakan kesan aku adalah orang yang menjadi panutan. Saat aku membuka pintu karyawan itu sudah duduk di sana, aku juga bisa merasakan rasa gelisah nya. Karyawan bermasalah kali ini adalah seorang wanita berumur 30 tahun ia bernama sara, ia bekerja dibagian Digital Marketing atau pemasaran produk perusahaan melalui media internet. Tepat pukul 14.00 aku langsung memulai pertanyaan. "Jadi apa alasan mu untuk tetap bekerja di perusahaan ini ?" Ucapku. "Maaf pak untuk penjualan akhir-akhir menurun karna beberapa perusahaan mulai menggunakan cara-cara licik untuk mengalahkan penjualan kita." Sara beralasan. "Jadi semua kerugian perusahaan kita ini adalah salah dari perusahaan lain begitu ?" Aku bertanya lagi. "Tidak begitu juga pak" ucap sara. "Lalu siapa yang harus disalahkan ? Anda tau sendiri kan perusahaan kita ini membutuhkan orang-orang yang berkompeten" ucapku. "Tapi penjualan selanjutnya saya akan lebih berusaha lagi pak" ucap sara. "Tak ada penjualan selanjutnya lagi" ucapku sembari menghidupkan rokok . "Ma...maksud bapak saya di..dipecat ??" Ucap sara yang terdengar seperti menggigil. "Tentu saja" ucapku. Sara hanya bisa terdiam menunduk menatap lantai, aku bisa mengetahui betapa frustrasi nya ia kehilangan harapan hidup yang telah ia perjuangkan bertahun-tahun. "Tunggu apa lagi, anda sudah boleh keluar dan kemasi barang-barang anda. Saya masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan" ucapku. Sara hanya mengangguk dan secara perlahan berdiri dan pergi dari pintu ruangan kerjaku. Sejujurnya aku pun tak suka jika harus melakukan pekerjaan ini, tapi jika tak kulakukan aku hanya akan menjadi sampah masyarakat. Jadi meski itu harus menyakiti orang lain tetap akan kulakukan.Tak terasa sudah pukul 17.00 aku benar-benar merasa lelah, mungkin perjalanan pulang aku akan singgah ke minimarket untuk membeli beberapa bahan makanan untuk dimasak dirumah nanti. Setelah semua selesai kubereskan aku langsung turun menggunakan lift dan seperti biasa tak ad yang berani mencoba untuk menyapa ku, semua itu terasa seperti sudah kebiasaan ku sehari-hari jadi yasudah lah kujalani saja.Sesaat aku sampai didekat lampu merah aku menunggu untuk menyebrang, mungkin pada saat itu adalah jam pulang kantor jadi perempatan didepan kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Aku pun menunggu sampai lampu lalulintas itu menjadi hijau agar aku dapat segera menyebrang, namun bila lampu itu berubah hijau aku pun tak akan bisa menyebrang. Karna tanpa aku sadari ada sebuah pisau yang menancap keluar dari belakang perutku.Aku pun terjatuh tersujud dan ia langsung menarik pisau itu dari perutku. Saat aku mencoba membalikan tubuh ku menghadap langit, aku terkejut ternyata yang menusuk ku adalah sara. Wanita yang baru saja aku rebut harapan hidupnya, saat aku tergeletak sara langsung menusuk-nusuk kembali sekujur tubuh. Meski terdengar samar-samar aku dapat mendengar segala ucapan nya kepadaku. "Kenapa kau harus memecatku, apa salah ku, kenapa kau selalu menyalahkan ku, kenapa kau selalu tak peduli dengan keberhasilanku dan selalu mencari kesalahan ku" ucap sara yang dengan cepat menusuk-nusuk ku. Dan saat ia ingin menancapkan pisau itu kepada ku ia berkata. "MAAFKAN AKUUU" ucapnya yang dilanjutkan dengan tangisan histeris. Aku juga dapat mendengar ucapan-ucapan kebencian karyawan lain yang memang dendam kepadaku. Alih-alih menarik sara untuk menyelamatkan ku mereka malah hanya menonton dengan tatapan puas. Lagi pula aku sadar perbuatan sara bukan lah salahnya, itu semua murni karna kesahalanku selain itu aku pun tak pernah dendam kepada sara atau karyawan lain yang tak mencoba menolong ku. "Sudahlah aku pun tau pasti akan berakhir seperti ini" ucapku. Pandangan ku perlahan menjadi hitam dan tak terdengar suara apapun. Didalam hening kegelapan aku mulai berpikir apa yang membuat ku menjadi orang yang begitu kejam kepada orang lain. Tiba-tiba terlintas satu nama yang terdengar tak asing dipikiran ku, aku mencoba mengingat parasnya namun sekeras apapun aku mencoba tak ad samasekali bayang tentang wajahnya. "Istar, nama siapa itu ? Apakah aku pernah mengenalnya ?" ucapku. Aku terus mengingat nama itu berulang kali tapi tak ada satupun ingatan yang melekat pada nama itu. Saat aku masih berusaha mengingat tentang nama itu, terdengar suara samar-samar yang semakin lama semakin jelas. Suara itu terdengar lembut dan terasa menenangkan hatiku. "Apa kau ingin mengulang ? Apa kau ingin bertemu dengan nya kembali dan apa kau ingin mengubah takdir ?" Ucap suara misterius itu berulang-ulang menanyakan hal yang sama. "Apa maksudmu ? Siapa kau ? Bukan kah aku sudah mati ?" ucapku. "Kau hanya perlu menjawab ya atau tidak. Kau tidak perlu tau aku. Dan benar kau sudah mati" ucap suara misterius. "Kalau begitu kenapa kau tak membawaku ke surga atau neraka ? Aku juga yakin kau akan membawaku keneraka dan aku sudah siap untuk itu" ucapku. "Aku tak bisa melakukannya" ucap suara misterius. "Kenapa kau tak bisa bukan kah aku mati aku harus menerima bayaran dari kehidupan ku di dunia ?" "Ya benar kau harus menerimanya, namun saat ini kau berada di antara kehidupan dan kematian. Kau tak akan bisa kemana-mana" ucap suara misterius. "Lalu aku harus bagaimana" tanyaku. "Kau harus memilih" ucap suara misterius. "Apa yang harus kupilih ?" Tanyaku. "Kau harus memilih untuk dapat hidup kembali 15 tahun lalu dan mengubah takdirmu atau kau memilih untuk tetap disini bersama kehampaan" ucap suara misterius. "15 tahun lalu ? Bearti saat aku berada dikelas 1 SMA ya. Tapi kenapa aku harus kembali kemasa itu ?" Tanyaku. "Kau harus mencarinya sendiri, tapi satu hal yang bisa kuberikan adalah temui wanita yang ada dalam ingatan mu itu" ucap suara misterius. "Nama ? Maksud mu istar ? Siapa dia aku pun tak tau siapa istar itu" tanyaku. "Aku tak bisa memberitahu mu lebih dari ini lagi" ucap suara misterius. "Satu lagi pertanyaanku, siapa kau sebenarnya dewa, malaikat, iblis, atau tuhan ?" Tanyaku. "Terserah kau mau menganggapku apa, sebut saja aku Dagon. Dan satu lagi selama kau kembali hidup 15 tahun lalu, aku akan sesekali muncul untuk membantumu" ucap Dagon. "Hmm baiklah kalau begitu aku mulai mengerti kondisinya" ucapku. "Sepertinya kau sudah siap, aku akan langsung mengirimmu 15 tahun lalu" ucap dagon "Baiklah aku siap" ucapku. Semula pandangan yang awalnya gelap perlahan menjadi sebuah cahaya yang terang. Cahaya itu terus memenuhi pengheliatan ku, akupun memejamkan mata. Saat aku sadar aku masih menutup mata dan seketika ada yang memukul kepala ku dengan sebuah buku yang tebal. "Aduhhh" ucapku sambil membuka mata. Saat aku membuka mata, aku melihat semua pandangan siswa dikelas itu terasa sedang menatapku. Saat aku mendongak keatas ada seorang guru yang terlihat marah kepadaku. Aku tak mengerti kenapa ia menatapku dengan tatapan seperti itu. "Hmm baru jadi siswa baru udah berani tidur dikelas ya" ucap guru itu. "Bukannya wajar jika aku harus tidur jika aku merasa capek ?" Ucapku. Semua orang itu hanya bisa berusaha menahan tawa sambil menatap ku. Aku merasa aneh apakah yang aku ucapkan adalah sesuatu yang salah, aku pun bergumam "memang kenapa dengan ucapan ku kenapa semua seperti menahan tawa, dan kenapa guru ini terlihat semakin marah" Sebelum sempat aku sadari telinga ku sudah ditarik oleh guru itu dan membawaku kedepan kelas. "Sekarang bapak mau bertanya, kenapa kamu tidur dikelas saat saya sedang menjelaskan ?" Tanya guru itu. "Karna saya capek pak" ucapku yang membuat seisi kelas langsung tertawa. "Diam…diam…kenapa kalian tertawa ?" Teriak guru itu yang membuat suasana hening kembali. "Sekarang kamu berdiri dipojok kelas sana, berdiri satu kaki,kedua tangan menjewer telinga" perintah guru itu. "Tapi pak…" ucapku. "Tak ada tapi tapi lagi…" perintah guru itu. Aku pun terpaksa menuruti perintah nya begitu saja. Saat aku sedang dihukum aku terus mencoba terus mengingat kembali masa ini, saat aku melihat tanggal di sebuah kalender yang terpasang didinding kelas itu aku tersadar bahwa aku kembali di tanggal 6 Juli 2015 hari Senin. Ini adalah hari pertama Masa Orientasi Sekolah atau biasa yang sering disingkat MOS. Sekarang aku dapat mengerti situasi ku saat ini, aku telah membuat kesalahan pertama di awal kebangkitan ku. Saat aku sedang mengamati sekeliling isi kelas tersebut entah mengapa pandangan ku hanya tertuju pada satu wanita yang sedang sibuk mencatat materi yang disampaikan oleh guru galak itu.Karna aku terlalu lama menatapnya, mungkin Karna ia merasa sedang diperhatikan ia pun langsung menoleh kearahku dan tersenyum aku pun kaget dan langsung memalingkan wajahku karna kelakuan nya itu. "Ke..kenapa dia tersenyum kepadaku, apakah ada yang aneh dengan wajah ku. Atau seperti nya ada yang aneh dengan dirinya, siapa juga yang mau tersenyum kepada orang yang tidak dikenali. Tampak nya aku harus mewaspadai wanita itu" gumam ku. Waktu pelajaran pun telah selesai begitu pula dengan hukuman ku, salain itu aku dapat mengetahui nama guru galak itu adalah pak sandi ia mengajar matematika disekolah. Salain itu ia juga mengingatkan ku agar tidak tidur saat sedang belajar.Saat aku kembali ke tempat duduk ku dan berencana untuk tidur lagi sembari melihat jadwal pelajaran MOS dalam 3 hari sampai dengan rabu. Saat aku sedang fokus tiba-tiba ada orang yang memegang bahu kiriku dari belakang, karna aku tak ingin mati lagi dikehidupan ini aku langsung memegang dengan cepat tangan itu dengan tangan kananku sembari melihat kebelakang. "Hei murid tukang tidur" pria itu menyapaku. "Siapa kau ?" Tanyaku. "Namaku Simon aku juga berada dikelas yang sama dengan mu" ucap Simon. "Hmm baik lah, namaku jaya salam kenal. Sekarang tinggalkan aku sendiri" ucapku. "Hei…hei jangan begitu lah jaya aku hanya ingin berteman denganmu sebagai teman pertama ku disekolah ini " ucap Simon. "Kenapa aku ? Pilih orang lain saja sana, panggil aku saat kau ingin berteman ke orang 10 juta" ucap ku yang sembari menggerakkan tangan seolah mengusir. "Hahahah kau jaya lucu juga ya… sudah ku putuskan teman pertama ku adalah kau" ucap Simon yang sembari tersenyum kepadaku. Dan aku kembali lagi bertemu orang-orang menyebalkan ini saat aku baru dibangkitkan kembali hadeh... Description: Tanggal 8 Desember 2030, hari itu adalah hari ulangtahun ku dan hari kematian ku karna ditusuk oleh seorang wanita yang baru saja aku rebut harapannya, ia menusuk ku dengan sebuah pisau. Meski banyak yang menyaksikan tetapi tak ad satupun yang berusaha menolong. Aku sungguh dibenci atau bahkan mereka dendam kepadaku sampai-sampai tak ada yang mau menolong ku, tapi saat aku sadar kenapa aku kembali 15 tahun lalu saat aku kelas 1 SMA ???
Title: Ref Rain Category: Teenlit Text: Hai.. ayo main! 9 Years old. ° ° ° Di balik kaca jendela, gadis kecil nan cantik ini sering sekali duduk sambil membaca buku kesukaan nya. Hari-harinya akan di isi olehnya dengan membaca buku-buku yabg telah di belikan oleh ayahnya. Tapi sering yang membuat dirinya kesal adalah gangguan dari tetangga sebelah rumahnya. Iya, gangguan yang selalu datang tiada henti dan mengganggu kegemarannya. Ctak!!! Batu itu mengenai kaca jendela miliknya. Gadis ini menghela nafasnya dengan kesal. Untung saja kaca jendela nya tidak pecah dan retak sedikitpun. "Cari mati anak ini," Gumamnya lalu melanjutkan membaca buku tanpa menghiraukan gangguan itu. Ctak!!! Geram, gadis kecil itupun langsung membuka jendelanya dengan sedikit kasar dan melihat sesosok anak yang tengah cengengesan tak karuan di halaman rumahnya. "Ayo main! " ajak anak itu. "Nggak! " tolaknya. Dasar anak pria, Kalau di tolak pun makin menjadi. Dia pun melempar batu kerikil lagi ke arah kaca milik gadis itu lagi dan lagi. Brakk!! Gadis ini sesekali menyesal karena telah membanting buku yang sangat bermanfaat ilmunya. Dengan kasar lagi dia membuka pintu jendelanya dengan kasar. "Apaan sih?" geramnya gadis itu. Bagaimana tidak? Sudah berkali-kali batu kerikil itu menghantam kaca jendelanya. "Ayo main Raina. Aku cuma ngajak main," ucap anak itu dengan wajah melasnya. Ya, gadis imut itu bernama Raina. Gadis berperawakan tinggi dan cantik. Sayang, sikap dinginnya membuat orang kerap salah paham terhadap dirinya. "Nggak Ryn aku nggak mau. Kalau mau main, sana ajak Lisa." titah Raina Ryn adalah pria kecil tetangga Raina. Dan sosok Lisa yang disebut Raina adalah adiknya Ryn. Dari dulu mereka tetangga. Sayang, Raina tak sama seperti para kakaknya yang sangat terlihat baik dan ramah. Jangan katakan Raina jahat. Tidak, dia sebenarnya baik. Hanya saja sikap dinginnya membuat orang salah paham. "Lisa kan sakit Na. Masa tega kamu lihat aku main sendiri," ujar Ryn. Raina tak menggubris sama sekali. Dia kembali fokus dengan buku biologi yang ada di tangannya. Kini dia bisa tenang lantaran suara Ryn sudah tak terdengar lagi. "Akhhhhh!!!!" Suara teriakan itu memekik terdengar oleh Raina lalu segera melihat keadaan di luar. Dia melihat Ryn meringkuk di bawah dengan memeluk lututnya. Runtuhlah gensi seorang Raina yang tadinya tidak mau keluarpun jadi keluar menghampiri Ryn Ya, karena Ryn. Raina berlari cepat dan keluar rumah untuk menghampiri Ryn yang sedang meringkuk di luar. Pikiran Raina tak karuan dia takut jika Ryn terluka. Jika itu terjadi, Raina pasti akan merutuki dirinya sendiri . "Ryn!!! " teriak Raina yang segera menghampiri Ryn. "Kamu nggak apa-apa? " tanya Raina sambil berjongkok mengimbangi Ryn yang terududuk di tanah dan melihat Ryn hanya menunduk. Raina semakin khawatir dan mengguncang tubuh Ryn. "Ryn ayo bicara!" pinta Raina seolah tak ingin terjadi apa-apa . Perlahan, Ryn mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arah Raina. Raina jadi tak mengerti kenapa Ryn jadi tersenyum. Hal itu membuat Raina sedikit takut. Apa dia mulai gila? - Pikir Raina "Ayo main," ucap Ryn sambil menatap Raina menunjukkan setiap senyum manisnya. Ah, jebakan! Antara kesal, khawatir dan sedih. Raina pun memukuli Ryn terus menerus lantara kesal. "Rasain ini rasain!" Bukannya kesakitan,Ryn malah tertawa melihat Raina terus memukuli dirinya. Ryn akui pukulan Raina sedikit sakit. Tiba-tiba saja langit berubah gelap. Hujan rintik turun dari langit. Raina yang tadinya cepat-cepat ingin masuk malah tangannya di tarik oleh Ryn. "Ayo mau hujan Ryn. Cepet pulang sana nanti kehujanan." ujar Raina kesal sambil mencoba menepis tangan Ryn. Tapi sayangnya hujan sudah turun begitu derasnya. Raina mengeluh kesal karena hujan. Iya, dia tidak suka basah-basahan saat ini. Yangi ingin dinikmati Raina adalah berada di atas tempat tidur sambil membaca buku dan menikmati hangatnya coklat panas buatan bundanya. Sedang kan Ryn merentangkan kedua tangannya dan merasakan air hujan yang turun membasahi dirinya. Ryn sangat menyukai hujan dan begitu sangat menikmati. Sedetik kemudian dia menatap Raina yang basah juga. Entah mengapa suasana saat ini cukup mendukung. Tangannya tiba-tiba saja meraih pundak Raina dan... Cup.. Raina membulatkan matanya. Bagaimana tidak? Tentu saja dia terkejut. Dia masih belum cukup umur. Ah tidak, tepatnya Ini terlalu cepat untuk seorang Raina. Bahkan apalagi ini adalah ciuman pertamanya. "Kata ayah, kalau kamu mencium seseorang itu tandanya dia adalah milikmu dan kamu adalah miliknya," ujar Ryn Raina pun tercengang dengan ucapan Ryn baru saja. Entah ekspresi apa yang akan di tunjukkan olehnya. "Na, kamu sahabatku kan? Jangan pernah pergi dan jangaj tinggalin aku," Entah mengapa ucapan Ryn benar-benar mampu menancapkan beribu panah dalam dada Raina. Ucapan Ryn terdengar sangat tulus dan seolah tak ingin kehilangan. Ryn tak mendapat jawaban dari Raina yang sedang bingung menata ucapan Ryn yang begitu banyak sejuta makna. Dia pun tersenyum ke arah Raina dan menarik tangan Raina. "Ayo kita main sama-sama sebelum semua terlambat." Dan lagi Ucapan Ryn membuat Raina terdiam. Persepsi nya akibat ciuman singkat itu membuatnya dia memutar otak. Dia sangat sadar,Ryn butuh teman dekat dan Ryn tidak selamanya harus sendirian. Dia benar-benar butuh teman dan hanya dia satu-satunya teman yang ada saat ini. Disini bersama Ryn Dan ucapan kata terlambat itu membuat Raina kembali berfikir. Tapi apa? "Na, Apa itu di bajumu! Katak kecil? " "Apa?" dengan segera Raina mencoba menyingkirkan katak itu dari dirinya. Sungguh, dia sangat tidak suka hewan itu. "Mana? Dimana? " Raina panik dan melompat kesana kemari. Sementara Ryn tertawa puas bisa mengelabui Raina kembali Ah Jebakan lagi!! Dan saat ini Raina makin kesal dibuatnya. Ryn masih tertawa dan tawanya makin keras. "Ngerjain aku ya?" Teriak Raina. Sejenak Ryn diam menatap wajah serius milih Raina. Sungguh wajah basah Raina terlihat menggemaskan bagai anak tak bersalah di siram dengan sengaja oleh ibunya karena sebuah kesalan. Tapi kali ini bukan siraman dari ibu yang melihat anaknya nakal. Ini adalah siraman dari Tuhan. Bukan begitu? Ryn kembali tertawa melihat Raina makin kesal. "Awas kamu ya! " geram Raina hingga akhirnya mereka pun main kejar-kejaran ah lebih tepatnya bermain hujan-hujanan. Ryn pun lari menghidar dari amukan Raina. Dan saat itulah semua berawal dimana dua anak ini menjadi dekat. To Be Countinue... Penggemarmu.. 17 Years old Bunyi bel sudah terdengar. Semua anak berlarian ke kantin terkecuali Ryn. Dia lebih sibuk lari ke lapangan. "Woi mau kemana?" tanya Juna yang tak di jawab oleh Ryn karena lebih sibuk buru-buru pergi. Tak lama Edwin pun datang menghampiri dan menyenggol siku milik Juna. "Biasa Rainbow!" kata Edwin "Rainbow apaan?" Tanya Juno. "Raina Lovers hahahaha" "Masih demen ya sama Raina?" tanya Yogi "westtt, dia sama Raina kan nempel banget kayak amplop sama perangko tapi kasihan." ujar Juno sedikit melas "Kenapa?" "Raina kan cuek, judes dingin pula." timpal Juno. "Ryn sampai kapanpun juga sukanya sama Raina. Nempelnya sama Raina terus." jelas Edwin. "Terus itu anak kelas sebelah mau di kemanain? " tanya Juna. Baik Edwin, Juno dan Yogi pun saling berpandangan. Siapa yang di maksud Juna? "Siapa? " tanya Juno "Itu loh yang namanya Chua" "Itu mah fans fanatik Ryn doang." seru Juno "Tukang taruhan tuh cewek!" kata Yogi "Weh gila! Awas jadian sama dia salah-salah jadi taruhan". gelak tawa mereka pun pecah mengisi seluruh ruangan. ° ° ° Ryn sudah sampai di lapangan tidak lupa di tangannya sudah ada sebotol air mineral dan handuk kecil. Pandangannya pun mengarah ke arah lapangan di mana para pelari sedang berlatih. Prit!!! Suara peluit dengan sangat lantang membuat seorang gadis lari dengan kecepatan penuhnya mengelilingi lapangan selebar 400 meter. Ya siapa lagi kalau bukan Raina. Gadis yang selalu menjadi pujaan Ryn setiap hari bahkan setiap detik. Semakin dewasa justru Ryn semakin ingin mendekat dengan Raina. 2,22 sekon. Raina berhasil memecahkan rekor seperti biasa. Keringat dan peluh pun membasahi tubuh Raina rasa lelahnya menghujani dirinya. Dengan bangga Ryn bertepuk tangan heboh hingga semua yang berlatih di lapangan menoleh ke arahnya. Dasar seorang Ryn, dia sangat masa bodoh dengan apa yang terjadi. "Pacarmu tuh datang hehehe." Sergah Rendy, pembina pelatihan larinya Raina. Meski Rendy ini sekelas dengannya, namun dia dulu adalah pelari putra sebelum dia mengalami cidera serius. "Apaan sih.!" ujar Raina yang kesal dan langsung menghampiri Ryn. Rendy yang melihat situasi itu hanya mengelus dadanya saja. Entah mengapa seorang Raina mempunyai gengsi yang terlalu besar. "Tadi apaan sih, tapi ending nya juga nyamperin. Dasar." gumam Rendy sambil terkekeh. Dengan segera Raina menghampiri Ryn yang sibuk menunjukkan senyum manisnya. Ah tidak, lebih tepatnya menghampiri Minuman yang di bawa Ryn. Dengan semangat Raina menghabiskan minuman itu dalam satu tegukan. "Haus bandel neng? Hahaha" goda Ryn. "Diem! ". Ryn hanya terkekeh. Dia pun memberikan handuk kecil ke arah Raina. "Makasih" ucap Raina. "Sama-sama. Ayo cepat kita makan bekal. Nanti keburu nggak ada waktu makan." ajak Ryn dan hanya di angguki oleh Raina karena saking capeknya. °°° Raina sibuk dengan bekalnya. Iya, karena sudah jadi kebiasaan Raina dan Ryn makan bekal bersama. Jujur, Ryn suka membawa bekal karena ajaran dari Raina. Karena kata Raina "Segala sesuatu makanan dari rumah adalah yang paling sehat" Raina makan sambil memandang Ryn yang sangat menikmati bekal siangnya hari ini. Alih-alih mengagumi Ryn, Raina pun berujung ceramah. "Kenapa nggak makan sama yang lain?" tanya Raina. "Nggak mau!" ucap Ryn tanpa melihat Raina. "Kenapa?" "Ntar pada jajan bakso dan lain-lain. Aku bisa tergoda nanti." jelas Ryn "Kan enak makan bakso." goda Raina sekali lagi hingga membuat Ryn menghentikan makannya "Terus, kenapa Raina nggak mau makan di kantin?" tanya Ryn balik. "Nggak nafsu." Jawab Raina enteng "Ya udah sama." balas Ryn dan melanjutkan makannya. Sumpah, hanya orang bodoh yang tidak mengakui bagaimana imutnya Ryn saat makan. Meski dua bukan anak-anak seperti dulu lagi,Raina akui dia sangat senang melihat perubahan yang ada pada diri Ryn saat ini. Mungkinkah ini yang namanya mengagumi? Tidak! Raina membuang jauh pikiran itu. Mana mungkin dia mengagumi Ryn. Dengan lahap Raina pun menghabiskan makanannya. °°° "Ryn!!" panggil Edwin sambil mengetuk pintu rumah Ryn. "Ryn!! Ini gue Edwin!!"teriak Edwin. Baik Edwin maupun Ryn, tingkah mereka hampir sama bagaikan pinang di belah menjadi dua. Tidak jauh beda kerecehan daj keusilan mereka ada saja. Sesaat kemudian pintu terbuka. Bukan Ryn yang keluar melainkan Lisa. "Kak Edwin cari siapa? " "Ryn ada?" "Ada tuh Di kamar Paling lagi main PS. " jawab Lisa. Edwinpun masuk ke kamar Ryn dan benar, Kalau nggak main PS ya baca komik dan Edwin hafal itu. Edwin bersandar di samping pintu melihat tingkah konyol Ryn jika bermain PS. "Yah mati lo!! Ah ahh yak yak mati lo!! " "Ehem! " suara Edwin sengaja di berat-berat supaya sang pemilik kamar mengetahui kehadirannya. Menyadari jika ada seseorang, Ryn menghentikan permainan nya. "Asik bener lo mainnya." kata Edwin sambil rebahan di kasur Ryn. Ryn hanya cengengesan menunjukkan gigi rapinya. "Hei. Udah makan?" "Udah sih tapi gue pengen mie goreng nih, Ada?" "Ck, nggak tau diri." Ujar Ryn sambil menendang kaki Edwin yang menggantung di kasur dan hanya di balas gelak tawa oleh Edwin. Saat Ryn turun, Edwin tak sengaja melihat sebuah figur foto di meja nakas milik Ryn. Menggambarkan sederet foto Ryn yang sangat gembul saat kecil dan Raina yang tetap cantik san imut walau kini menjelma menjadi seorang guru BK. Bukan hanya itu, disana ada foto Lisa dan Ryn. Tapi senyum Ryn tak seceria jika berfoto bersama Raina. "Dasar bucin." gumam Edwin sambil terkekeh Edwin hanya tersenyum melihat sahabatnya sebahagia itu. Dia harap Ryn akan bahagia terus seperti ini. Bagi Edwin, Ryn adalah saudara. Semenjak perginya Justin, Edwin merasa sangat kehilangan hingga akhirnya dia bertemu dengan Ryn yang bisa memahami perasaannya. Aroma sedap mie goreng pun tercium. Itu tandanya Ryn segera kembali ke kamar. Dengan segera Edwin langsung meletakkan figur foto itu di tempatnya. "Lama amat. Gue udah lapar tau." Omel Edwin. "Ye, katanya udah makan. Sini bantuin dulu." balas Ryn yang terlihat kesusahan. Dengan segera Edwin membantu Ryn meraih satu mangkok Mie goreng nya. "Asin nih. Lo tambahin garam ya?" protes Edwin menggoda. "Lo tinggal makan apa susahnya sih!!" geram Ryn dan di balas tawa oleh Edwin. To Be continue... Penghalang Prit!!!! Suara peluit membuat para calon pelari berlari dengan kecepatan penuh. Tak akan di pungkiri bahwa Raina akan menjadi yang paling depan lagi. Dia adalah pelari putri unggulan. Maka tak heran jika dia akan menjadi satu-satunya pelari paling cepat. Di ujung lapangan, Jeffrey terus menatap Raina yang berlari mengelilingi 2 putaran. Hanya melihatnya saja itu membuat Jeffrey tersenyum bagaikan orang yang sudah hilang kewarasannya. Ya, Jeffrey lelaki berwajah tampan dan sangar ini sudah lama sangat mengagumi akan sosok Raina dari awal melihat Raina. "Hoi!" Panggil Jeka dari belakang. Jeffrey pun langsung menoleh. Ah, pengganggu - batin Jeffrey "Apaan. " balasnya dengan gaya cool miliknya. "Masih demen liat itu cewek." kata Jeka sambil menatap arah Raina dan pandangan itu disusul oleh Jeffrey. "Kenapa nggak lo tembak aja sih." kata Calvin yang entah dari mana dia sudah ada disana. "Lo tau sendirikan si Atha gimana." ujar Jeffrey. Semua orang tau hubungan Atha dan Jeffrey adalah apa. Mereka tau jika Atha menyukai Jeffrey. Tapi bagi Jeffrey, Atha hanya sahabat dekatnya. Tidak lebih. Sama seperti dengan Ryn dan Raina. Keduanya dekat tapi seolah Raina lah berusaha menjauh sedangkan Ryn selalu mengikuti kemanapun Raina pergi. Melihat ada Edwin dan Ryn datang, Jeka langsung memperingati. "Jagoannya Raina datang tuh." kata Jeka Jeffrey dan Calvin pun menatap arah Edwin dan Ryn berada. Perlahan Edwin dan Ryn semakin mendekat. "Eh kalian, lagi nonton anak-anak latihan ya? " Tanya Ryn yang mencoba berfikir positif. Tapi tidak dengan Edwin yang sudah mau meledak. Dia tahu apa tujuan Jeffrey dan yang lain. Ya, dia tau kalau Jeffrey lama memperhatikan Raina. Ryn yang tau apa akan Edwin lakukan langsung meraih pergelangan tangan Edwin untuk menenangkan. Melihat situasi itu mau tidak mau Jeffrey harus mengalah. Dan meninggalkan tempat. "Oh iya. Kita disini tuh cuma nontonin anak-anak latihan kok nggak lebih. Karena besok ada pertandingan buat pelari putri jadi gue suka nonton pertandingan. Jadi jangan berfikir yang tidak-tidak. " Memang dasarnya Jeffrey ini orangnya bermuka lemah lembut. Diapun segera mengajak Jeka dan Calvin pergi dengan segera. Oh, jangan tertipu dengan figur seorang Jeffrey. Semua orang tau bahkan Ryn pun tau siapa Jeffrey. "Ryn, lo nggak tau. Jeffrey udah lama ngincer Raina? " kata Edwin sambil menahan kesalnya. "Terus?" Tanya Ryn balik dengan tampang bingung. Edwin tak melanjutkan ucapannya. Malah tak habis pikir dengan Ryn yang seperti ini. Karena dia tau, Ryn sangat menyayangi Raina. "Win, gue sadar kok gue siapa." ucap Ryn sambil menatap Raina yang terlihat lelah di tengah lapangan. "Maksud lo?" Ryn pun menatap Edwin dan dibalas dengan senyuman. "Tugas gue disini cuma jagain Raina kayaknya. Bukan hati Raina.". Ucapan ini mampu menohok hati Edwin. Ada apa dengan Ryn? "Ryn, lo kenapa ngomong kayak gitu?" tanya Edwin penasaran sekaligus iba. Pandangan Ryn masih ke depan menatap Raina. Sejenak Ryn menundukkan kepalanya. Setetes air mata membasahi pipi Ryn tanpa di ketahui oleh Edwin. "Ryn. Lo kenapa?" tanya Edwin. "Gue nggak kenapa-kenapa kok." Ucapnya dengan menunjukkan senyuman khasnya. Edwin tak berani berkata apa-apa lagi. Dia tahu jika Ryn sedang menangis. Terlihat dari raut wajah Ryn. °°°°° Hanya Raina yang kesehariaannya tidur dikelas sambil mendengarkan lagu. Saat jam akan pulang pun dia akan tertidur. Tidak ada kesenangan tersendiri selain tidur, tidur dan tidur. Saat dia membuka matapun, yang di tatapnya hanyalah bangku-bangku yang sudah kosong tak berpenghuni. Dan barulah dia akan segera pulang. Dia masih melihat beberapa anak sedang bermain bola di lapangan. Apa peduli Raina? Dia tidak peduli meski beberapa anak populer seperti Jeffrey sedang bermain bola dia akan tetap acuh. Tapi tidak dengan seorang Jeffrey. Justru berbanding balik. Dia akan terus menatap Rana sampai tak akan terlihat. Dia begitu hafal dengan keseharian Raina. Bisa dikatakan Jeffrey sedikit stalking tentang keseharian Raina. Bukan Jeffrey kalau tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Bola pun mengenai kaki Jeffrey dan banyak yang menyoraki dirinya. "Oi, Jeff! Ngelamun lo? " teriak Johnny sang kakak kelas yang sudah melemparkan bola ke arah kakinya. Tanpa berkata-kata lain Jeffrey pun menendang lagi bolanya ke arah Jeka. "Aku disini!" teriak Calvin lalu Jeka mengarahkan bolanya ke Calvin dengan segera. °°°°° Dijalan, Raina tak sengaja melihat Ryn yang sedang tiduran di atas rerumputan seperti biasa. Entah ada magnet apa yang membuat Raina menghampirinya. Rasanya melihat Ryn yang cukup teduh membuatnya senang. Entah kenapa dia suka jika melihat Ryn setenang ini. "Hei, Ryn! " panggil Raina. Bukan Ryn kalau tidak peka. Dia akan segea mengenal suara siapa itu. Begitu mendengar suara Raina dia langsung terbangun. "Hai. Ngapain. Tumben nyamperin. Kangen ya? " ujar Ryn cengengesan. "Geer banget sih. " elak Raina. Sedikit malu tepatnya mengingat wajahnya sudah sangat merah. "Sini-sini duduk." ucap Ryn menyuruh Raina duduk di sampingnya. Raina pun duduk di samping Ryn dan memandang sungai di depan matanya yang begitu indah. "Habis bangun tidur ya? " tanya Ryn. "Tau aja. " "Itu beleknya kemana-mana. Nggak nggak bercanda." ucap Ryn sambil ketawa karena Raina sudah melemparkan satu pukulan ke arahnya. "Kenapa kemana-mana suka Sendirian sih Na?" tanya Ryn. "Emang kenapa?" "Coba berbaur sama temen-temen yang lain. Yang mau kenalan sama lo banyak." Raina hanya bisa memandang Ryn yang baru saja bicara seperti itu. "Lo mau jodohin gue sama orang pake kenalan segala." "Hedeuh kuman. Siapa yang mau jodohin sih. Santai dong jangan galak-galak." Seketika Hening. "Na. " "Hm," Ryn melihat Raina sudah ikut berbarik di atas rerumputan sambil memejamkan mata. Dia pun memiringkan badannya menghadap arah Raina. "Kalau di deketin Jeffrey jangan mau ya." ucap Ryn Rainapun mengerutkan dahinya. Dia tidak paham dengan ucapan Ryn "Emang kenapa?" "Nanti dapet masalah. Lo tau Atha kan?" Seketika Raina pun bangun dan menghadap ke arah Ryn seolah ingin meminta penjelasan . Sontak waktu Ryn melihat Raina seperti itu Ryn langsung kaget. Merasa ada getaran di dadanya. Iya, jantungnya berdetak. Bagaimana tidak? Raina begitu cantik di hari-harinya. "Atha yang mana lagi! Ish gue nggak kenal." tanya Raina kesal. Ryn menatap Raina lama. Raina pun juga menatap Ryn dengan lama. Iya, Raina menunggu jawaban dari Ryn. "Ryn!! Denger nggak sih" Ryn gelagapan. Bingung Raina tanya apa. "Denger kok denger. " "Iya siapa? " "Apanya?" Raina makin bingung dengan tingkah Ryn. Entah kemana pikiran dan nyawa Ryn jika di tanya serius oleh Raina. "Tadi ngomongin apa coba?" "Lupa ." jawab Ryn asal. Raina yang sudah makin jengah lalu berdiri. "Mau kemana Na?" tanya Ryn ikut berdiri. "Udah sore lo nggak mau pulang?" "Cie ngajakin pulang." Goda Ryn. "Bodoh ah capek ngomong sama lo. " Raina pun rasanya ingin mengumpat tapi percuma rasa ingin itu sudah terjadi. "Eh Na, kebiasaan tunggu!" dengan cepat Ryn menyusul Raina yang sudah jauh. Sudah jadi kebiasaan Ryn suka menggoda Raina seperti ini. Bagi Ryn ini adalah kesenangan tersendiri. To Be Continue.... Masa laluku.. Di meja makan, keluarga Hardian sedang berkumpul menikmati makan malam mereka. Tak ada suarapun dari mereka selain suara ketukan sendok dan garpu di atas piring. Hening itu seketika pecah ketika sang ayah membuka suara. "Oh iya, Josh, Na. Besok kakak kalian pulang. Ada yang mau jemput kak Chan?" "Loh,yah. Bukan nya kak Chan pulang dua bulan lagi ya?" tanya Joshua sambil mengambil minum dia depannya. "Iya, tapi dua bulan lagi dia juga pulang. Ini masalahnya ada kepentingan." "Sok penting akhh-!" teriak Raina ketika kakinya di injak oleh Joshua. "Mulut kamu bisa sopan nggak di depan ayah?" kata Joshua sementara Raina hanya mengerucut kan bibirnya. Lagi dan lagi ayah mereka harus geleng-geleng karena ulah anaknya. Memang Raina dan Joshua sering sekali bertengkar dari hal yang tidak penting sampai yang paling penting. "Gimana? Besok siapa yang harus jemput kak Chan?" tanya Ayahnya sekali lagi. "Kak Joshua ajalah yah. Adik besok ada latihan lari." ujar Raina "Nggak! Nggak bisa besok kakak ada kerja kelompok nyelesain tugas biar cepet lulus." sergah Joshua. "Terus siapa?" tanya Ayah sekali lagi. "Kalau boleh saya yang jemput gimana,yah?" ucap seorang pemuda sambil nyengir di dekat tirai pintu dapur sambil tangannya mmemainkan kain tirai. "Lo kayak tuyul aja nongol tiba-tiba" kata Joshua yang agak kaget lihat Ryn yang sudah berdiri mana lagi ekspresi dia cengar cengir seperti biasanya yang membuat Raina ingin melempar nya sejauh mungkin "Kamu sejak kapan di situ Ryn?" tanya pak Gibral, ayah Joshua dan Raina. Iya, itu tadi Ryn yang entah dari mana sudah ada dalam rumah kediaman keluarga Hardian. "Mau nganterin kue dari mama kok yah. Tadi barusan bunda yang bukain pintu." jelas Ryn menghentikan aksi bermain kain tirainya. Iya, mereka bertiga asik debat dan kebetulan Ryn lewat pintu belakang jadi bunda Dinda sangat peka. "Habisnya kalian sibuk debat mau jemput Chan. Ya udah bunda tinggalin. Oh iya, Ryn sudah makan kamu nak?" "Sudah Bun, Kalau gitu Ryn pamit pulang ya." baru mau melangkah, sudah dipanggil duluan oleh pak Gibral. "Ryn besok beneran bisa jemput Chan di stasiun?" "Eh?" "Kalau bisa besok biar di temenin Raina mau ya?" kata pak Gibral. Seketika Raina yang sedang minum langsung tersedak. "Ha? Yah kan besok ada jadwal latihan." protes Raina "Kalau Raina nya nggak bisa jangan di paksa yah. Biar Ryn aja yang jemput kak Chan. " Plakk!! "Sakit kak!! " teriak Raina ketika Joshua memukul punggung Raina yang sebenarnya tak keras sama sekali. "Nggak kasihan sama Ryn? Udah untung mau jemput kak Chan. Kamu gimana sih. Aku curiga jangan-jangan kamu sama Ryn ketukar" kata Joshua. Plak!! "Astaga kalian berdua kenapa jadi berantem sih padahal cuma mau jemput Chan saja sudah main pukul-pukulan." Sementara bunda nya ngomel-ngomel, Ryn sibuk mengelus dadanya karena kaget. Ternyata kehidupan Raina sehari-harinya di dalam rumah suka baku hantam dengan Joshua. "Yah, Bun. Ryn pamit ya. Takut di cariin mama. " pamit Ryn. "Oh iya Ryn hati-hati ya. Salamin mama kamu makasih kue nya." "Iya Bun." Ryn pamit pulang. Kenapa Ryn memanggil orang tua Raina dengan sebutan ayah dan bunda? Itu semua karena kemauan pak Gibral yang sudah menganggap Ryn seperti anak sendiri. Karena dia tau kalau Ryn dan Raina seumuran juga apalagi berteman dekat. Seperginya Ryn, keadaan jadi hening kembali. "Kok sepi? " tanya pak Gibral. Raina menggeser kursinya dan segera membereskan piringnya menuju wastafel. "Adik kamu kenapa Josh?" tanya ayahnya dan mendapat isyarat tidak tau dari Joshua. °°°°° Usai makan malam berakhir, pak Gibral sengaja menghampiri kamar putri tercintanya. Dia pun masuk kedalam kamar anaknya. Untung sedang tidak di kunci. Dia menatap Raina yang sedang fokus dengan bukunya dengan kacamata yang bertengger di depan matanya. Senyum dibibirnya terukir melihat begitu gigihnya Raina belajar. "Anak ayah serius belajarnya." ujarnya "Eh ayah. Ada apa yah?" ucap Raina begitu tau kalau ayahnya masuk ke dalam kamarnya. "Ayah mau cerita sama kamu. Sudah lama kan ayah nggak cerita-cerita sebelum kamu tidur." Melihat ayahnya yang teduh, Raina sudah menduga pasti ayahnya akan menceritakan cerita-cerita sebelum tidur. Tidak berubah dari dulu. "Apa lagi. Tentang Hittler kah?" ujar Raina sambil menunjukkan deretan gigi miliknya. "Bukan." elak ayahnya. "Lalu?" Dengan senyum teduh ayahnya menjawab, "Sahabat ayah." Raina makin penasaran tiba-tiba saja ayahnya menceritakan seorang sahabat. Seumur-umur Raina pasti akan mendengarkan ayahnya menceritakan hal-hal mulai dari dongeng yang di sama-samakan dengan pasien-pasien dirumah sakit. Iya, ayah Raina adalah seorang dokter bedah di rumah sakit. Maka dari itu kehidupan anak-anaknya selalu di beri pengetahuan tentang pentingnya hidup dari segi kesehatan . "Sahabat ayah?" "Iya, " "Sahabat ayah kenapa? " Raina sudah makin penasaran dengan kelanjutan cerita ayahnya. Tanpa aba-aba ayahnya mengeluarkan sebuah foto dan memperlihatkan kepada putrinya. "Ganteng ya yah." ucap Raina sedikit kagum dengan gambaran foto jaman dulu. "Dia orang yang sangat lembut. Kami bersahabat ketika kami masih SMA. Dia orang yang sangat perhatian orang yang sangat luar biasa. Sikap santunnya membuat ayah suka minder." "Terus yah? " "Terus kamu lurus abis itu belok kanan". Jawab pak Gibral yang suka becanda "Ayah!! Raina serius ih!! " "Iya iya sabar. Dia selalu menyayangi siapapun di sekeliling nya. Dulu ayah sempat cemburu karena orang-orang selalu perhatian sama dia. Tapi ayah sadar, dia pure baik sama orang. Tidak tipu-tipu." Sesaat ayah Raina berdiri di dekat pintu jendela biasa putrinya bersandar. Dia melihat keadaan luar. Sedikit tersentak entah apa yang dia lihat disana lalu dia pun mengulas senyum kagum "Yah, terus gimana?" Ayahnya menatap Raina lantas tersenyum mengingat kejadian masa lalu juga. "Apa pun yang dia berikan di turunkan kepada anaknya yang ceria dan baik hati. Dan semoga titipannya bisa bertahan lama," ucap ayahnya sambil menatap luar dengan sedikit linangan air mata. "Ayah kenapa nangis?" tanya Raina yang sedikit panik ketika ayahnya menangis. "Ayah sedih ketika harus kehilangan orang baik sepertinya." "Lalu orangnya kemana? " pertanyaan Raina membuat ayahnya tak kuasa melanjutkan ceritanya. Keadaan menjadi hening namun terdengar isakan kecil dari bibir ayahnya. Baru kali ini Raina melihat ayahnya menangis. Raina tau itu. Raut wajah ayahnya sudah membuktikan bahwa ayahnya tak sanggup. Tapi batin emosi rasa ingin tau Raina sangat besar dan kuat. Ya, katakanlah saat ini Raina sangat egois. "Ayah.. " "Dia meninggal karena kanker otak." ujar ayahnya memaksakan senyuman. Raina menutup mulutnya. Rasanya tak percaya. Rasanya apa yang di dengarnya adalah sebuah drama lama. Tapi ya ini lah faktanya. Melihat ayahnya menahan tangisnya Raina jadi tak tega ingin mendengar cerita selanjut nya. "Ayah. Sudah cukup cerita hari ini. Raina tidak tega lihat ayah nangis" ucap Raina sedikit sedih. Tak lama kemudian ayahnya mendorong kepala Raina dengan terkekeh. Ya bagaimana tidak mau di tiru orang ayahnya juga mengajarkan hal yang sama. "Tidur kamu besok mulung," ucap ayahnya Sok kekinian - batin Roa Setelah ayahnya keluar dari kamar, Raina menatap keluar jendela. Bagaimana tidak kaget kalau sedari tadi Ryn dari rumahnya hingga Raina selesai bercerita dengan ayahnya masih di luar bermain dengan kucing berwarna hitam. Bukankah itu mengerikan? Pikirannya jadi kemana-mana dengan sedikit horornya. Tanpa berpikir lama, Raina segera menutup tirai jendelanya dan istirahat. °°°°° Seperti hari biasa. Kelas ini akan selalu ramai jika waktu istirahat sudah tiba. "Selamat siang wanita cantik!!" Sapa Ryn kepada Raina yang sedang sibuk duduk di bangkunya. Ryn tidak sendiri. Ada Edwin yang mengikutinya sambil meneteng beberapa kotak bekal. Raina hanya melengos ketika Ryn menyapa dengan antusias. Edwin yang di belakang Ryn hanya geleng-geleng menahan tawa. "Biasa aja dong ah kalau manggil nggak usah heboh." Ketus Raina kelewat kesal. Bagaimana tidak kesal jika dia menanggung malu. Beruntung tak ada siapapun dikelas "Bentuk rasa cinta Na, " timpal Edwin sambil menahan tawa. Bagaimana reaksi Ryn? Ryn sih bodoh amat dengan ocehan itu. Dia pun menata bangku dan duduk di depan Raina. Nggak ketinggalan Edwin juga duduk sambil bantu bukain bekal. "Tumben Win makan bareng?" tanya Raina sambil masukin satu udang di mulut nya. Baru saja mau buka mulut sudah di duluin Ryn. memang gatel mulut Ryn kalau tak bersuara. "Dia kan nggak bisa hidup tanpa aku" kata Ryn sambil nyengir dan berhasil membuat Edwin maupun Raina tersedak. "Jijik!" ucap Edwin "Kalau nyabe jangan disini coba sana! " usir Raina Ryn hanya ngerucutkan bibirnya mau gaya-gaya ngambek. "Makanya kalau makan itu yang bener nggak usah bergaya lucu. " ucap Edwin lalu di acungi jempol oleh Raina. "Lo itu udah lucu jadi nggak usah melucu." ucap Raina tanpa berhenti makan. Baik Ryn maupun Edwin menatap Raina yang tanpa sadar mengatakan sesuatu yang sangat langka. Raina yang merasa di perhatikan pun langsung bingung dan menatap mereka berdua bergantian. "Kenapa?" "Enggakk!!" ucap Edwin dan Ryn kompak lalu melanjutkan makan. Dalam hati Ryn sudah senang karena di puji Raina seperti itu seumur-umur setelah sekian lama. Sementara Edwin sudah tidak tau lagi antara mau ketawa atau malah kesal karena dalam situasi seperti ini dia jadi obat nyamuk. °°°°° Baru kali ini Raina mau berboncengan sepeda dengan Ryn. Ya kalau bukan paksaan dari seorang Ryn dia pun ogah-ogahan. "Ryn, agak cepet dong kita harus udah sampai rumah kan mau jemput kak Chan! " omel Raina Sementara Ryn sendiri mati-matian mengayuh sepedanya secepat mungkin. "Na ini bukan sepeda aku yang lemot. Ini kamunya yang berat! " teriak Ryn masih dengan mengayuh. Oh, sepertinya kali ini Ryn salah bicara. "Berenti!!" teriak Raina. Seketika sepeda Ryn langsung berhenti. Raina langsung turun dan berjalan cepat menjauhi Ryn. Dia kesal karena Ryn secara tak langsung mengatakan bahwa dia gendut. "Loh! Loh! Na!! Jangan jalan kaki! " teriak Ryn menyusul Raina. Tapi yang namanya Raina sudah berjalan lebih cepat malah lebih tepatnya lari supaya tidak bisa di kejar oleh Ryn pakai sepeda. Lantaran tidak kuat, Ryn pun berhenti di dekat penjual buah. Mengejar Raina memang melelahkan tapi tidak dengan mengejar cinta Raina itu membuat Ryn bersemangat. Tak sengaja Ryn melihat penjual buah mangga ah tidak, lebih tepatnya ke arah buah itu. Sudah musimnya dan Ryn jadi teringat ketika 12 tahun yang lalu dia dan ayahnya membeli satu kantong plastik mangga sebelum ayahnya tutup usia. To be Continue.... Description: "Judul Cerita ini Terinspirasi dari lagu Aimer - Ref:Rain" Raina Hardian, seorang siswi atlet lari yang harus berjuang bangkit dari cederanya akibat sebuah kecelakaan yang sangat dia sesalkan. Alryn Dirgantara, sahabat masa kecil Raina yang harus menerima kenyataan penyakit yang di deritanya. Akankah mereka berdua mampu melewati kesulitan yang mereka alami?
Title: Robinson FM Category: Young Adult Text: #1. Nijyuugo-sai Menjelang ulangtahunnya yang ke-25, Kashiwabara Yuu baru pertama kali mengalami jatuh cinta yang begitu dahsyat. Pemuda itu dibuat mabuk kepayang oleh Kaneshiro Miyuki, 24 tahun, seorang entertainer yang sempurna. Mereka berkenalan untuk pertama kalinya ketika Miyuki magang di tempat Yuu bekerja. Yuu adalah seorang DJ radio, programnya yang bertajuk “Hey, Yuu! with Kitaoka Arisu” disiarkan setiap pagi dari pukul 7 sampai 10 pada hari Sabtu dan Minggu dari stasiun Robinson FM yang berlokasi di Chiyoda. Selama empat pekan Miyuki menjadi guest host Yuu, menggantikan Arisu, rekan Yuu yang sedang cuti menikah dan bulan madu. Miyuki adalah seorang penyanyi, penari, aktris, model, tarento dan bahkan pernah juga menjuarai pertandingan tinju amatir. Gadis itu memiliki kecantikan yang luar biasa, dengan tubuh bak supermodel. Menurut Yuu, kalau soal kecantikan dan tubuh saja, gadis itu pantas menempati peringkat tiga besar di seluruh Jepang. Miyuki pun menguasai setidaknya tiga bahasa, yakni Jepang (bahasa Ibu), Korea (bahasa Ayahnya yang merupakan Zainichi generasi kedua dari Busan) dan Inggris. Walaupun gadis itu kaya sejak lahir, sikapnya jauh dari kesan manja dan angkuh. Miyuki yang murah senyum itu juga luwes dalam bergaul serta cukup humoris sehingga mengobrol dengannya tidak sedikitpun membosankan. Selain itu, dan inilah hal utama yang paling Yuu kagumi dari diri gadis itu, Miyuki memiliki jiwa yang tegar. Sejak masih berusia 10 tahun, gadis itu sudah mondar-mandir di dunia entertainment. Dengan giat, tanpa banyak mengeluh, dijalaninya hari-harinya yang sibuk dan melelahkan. Rupanya orangtua gadis itu mendidiknya dengan keras. Miyuki pun tumbuh sebagai gadis yang workaholic seperti orangtuanya. Banyak yang memujinya karena kerja kerasnya, namun tidak sedikit juga yang mengasihaninya sebab mereka menganggap orangtuanya telah mengeksploitasi gadis itu. Yuu tidak tahu apakah Miyuki bisa sehebat ini atas kemauannya sendiri atau di bawah dominasi orangtuanya, namun satu hal yang bisa Yuu pastikan adalah perasaannya terhadap Miyuki tak mungkin terbalas. Miyuki tak punya waktu untuk berkencan. Tentu saja, gadis itu sangat populer, banyak yang menyukainya, tapi gadis itu pun terkenal dengan sebutan Yuki-onna, wanita salju, karena menurut gosip yang beredar di internet, gadis itu senang menjebak semua laki-laki yang mendekatinya dalam hubungan tanpa status. Konon, Miyuki adalah “pemain” yang handal. Gosipnya, ia pandai memanipulasi orang, khususnya para lelaki yang punya uang dan kekuasaan. Pada awalnya, Yuu tertarik untuk mencobanya, mendekati Miyuki sehingga mungkin mereka dapat menjalin hubungan semacam itu. Yuu pun memulai aksi nekadnya dengan mengirimkan pesan lewat media sosial, namun Miyuki tak pernah membalasnya. Bahkan sekadar dibaca pun tidak. Atas dukungan Arisu, Yuu mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menelepon Miyuki pada hari ulangtahun gadis itu yang bertepatan dengan hari ulangtahunnya juga, tapi nomor ponsel Miyuki rupanya sudah nonaktif. Arisu bahkan curiga sebenarnya nomor ponsel Yuu sudah diblokir oleh Miyuki. Pemuda itu pun menyerah. Di hari ulangtahunnya yang ke-25, Yuu baru pertama kali mengalami kekecewaan yang begitu dahsyat. Yuu tak menyangka bahwa Miyuki yang selama ini dikenalnya sebagai gadis yang berhati hangat itu dapat bersikap begitu dingin kepadanya. Menurut Arisu, mungkin sikap penuh perhatian yang ditunjukkan oleh Miyuki terhadap Yuu selama magang hanyalah akting belaka. “Begitulah tabiat social climber.” Kata Arisu yang malam itu menemani Yuu minum-minum di izakaya langganan mereka. “Mereka akan menggunakan cara apapun, tak peduli selicik apapun, demi mendongkrak image mereka.” Arisu merangkul Yuu. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum simpul untuk menyembunyikan kesedihannya, lalu menenggak habis birnya dan termenung. Yuu pun bertekad untuk melupakan Miyuki sebagaimana gadis itu sudah dengan mudah mencampakkannya. Setibanya di rumah, dalam keadaan mabuk, pemuda itu mengumpulkan semua barang yang berhubungan dengan Miyuki: album-album Miyuki, film-film atau drama-drama yang dibintangi Miyuki, photobook Miyuki dan pernak-pernik lainnya. Dilemparkannya benda-benda yang sempat dianggapnya sebagai koleksi paling berharga itu ke tempat sampah. “Baiklah…” gumam Yuu sambil menatap nanar gambar Miyuki yang seolah-olah tersenyum ke arahnya. “Aku akan menyingkirkanmu dari kehidupanku…” #2. Addiction Melupakan seseorang tidaklah mudah. Terutama, melupakan seseorang yang sangat kau cintai, sekaligus yang sangat kau benci. Cinta dan benci adalah dua kutub magnet yang benar-benar kuat daya tariknya. Dan berada di antara kedua perasaan yang saling tarik-menarik itu, diseret ke sana dan ke sini, bagaikan terombang-ambing dalam amukan badai, kadang kau tenggelam, kadang kau naik ke permukaan. Kau harus mengerahkan segenap kekuatanmu untuk mengendalikan perahu kehidupanmu, walaupun kau tak tahu sampai kapan kau mampu bertahan, karena setiap detik yang kau lalui terasa begitu menyakitkan. Walaupun sudah lima tahun berlalu sejak Yuu mendeklarasikan bahwa dirinya sudah move on dari Miyuki, pemuda itu masih saja sering berhenti di depan toko kecantikan yang selalu dilewatinya dalam perjalanan pulang dari kantor, lalu Yuu pun akan berlama-lama memandangi poster Miyuki yang terpampang di etalase. Semakin dewasa, Miyuki justru semakin mempesona. Bahkan walaupun ketenaran Miyuki sudah jauh menurun, bagi Yuu perempuan itu tetaplah perempuan nomor satu di seantero Jepang, bahkan di seluruh dunia. Jantung Yuu masih berdebar keras setiap kali melihatnya. Bahkan, hanya dengan mendengar nama perempuan itu pun, hati pria itu terasa nyeri seperti disayat-sayat. Yuu tak mengerti mengapa pikirannya selalu terpaku pada Miyuki seorang. Padahal dari segala rumor tentang Miyuki yang sampai di telinga Yuu, sepertinya perempuan itu berbahaya, berisiko besar. Banyak kabar miring beredar di sekitarnya, antara lain ada yang menyebutkan bahwa Miyuki senang memamerkan keseksian tubuhnya, ada pula yang menyebutkan bahwa gadis itu perebut kekasih orang. Semua rumor itu mengganggu perasaan Yuu dan seringkali membuatnya tak bisa tidur, tapi ia masih saja membuang-buang waktu istirahatnya di malam hari sampai menjelang subuh untuk mencari-cari kabar terbaru tentang Miyuki. Saking terobsesinya Yuu pada Miyuki, hanya perempuan itu satu-satunya orang yang muncul dalam mimpi-mimpi Yuu. Terkadang, sambil berjalan lamat-lamat melewati toko kecantikan favoritnya, Yuu berdoa semoga ia bertemu dengan Miyuki lagi dan perempuan itu pun kembali akrab dengannya seperti waktu pertama kali mereka bertemu. Terkadang, Yuu juga berharap mimpi-mimpinya jadi kenyataan. Arisu, bulan Juni tahun ini usianya genap 50, adalah satu-satunya orang yang mengerti Yuu. Ia dapat menerka apa yang disembunyikan pemuda itu di balik sikapnya yang cuek dan candanya yang nakal. Bahkan walaupun Yuu bertingkah genit kepada para anggota grup idola yang jadi bintang tamu mereka, Arisu tahu pemuda itu hanya memuja dan mendambakan Miyuki seorang. Arisu pikir, jika Yuu sudah bersih dari kecanduannya terhadap perempuan yang disebutnya “social climber” itu, seharusnya saat ini rekannya tersebut sedang menjalani suatu hubungan serius dengan seorang wanita, bukan malah asyik menggoda para gadis bau kencur. Yuu adalah laki-laki yang tampan, kepribadiannya juga menarik di mata lawan jenisnya. Namun tampaknya, bagaikan pungguk merindukan bulan, laki-laki itu masih menunggu keajaiban datang kepadanya. Yuu masih menunggu pesan-pesan lamanya yang sudah bertahun-tahun diacuhkan itu dibalas oleh Miyuki. Arisu pun tidak diam saja. Wanita itu sudah memaksa Yuu untuk menghadiri berbagai acara goukon dan memperkenalkan Yuu dengan teman-teman perempuannya, tapi Yuu tak pernah menghubungi mereka. Yuu punya seribu alasan untuk tetap melajang: sedang fokus dengan karier, sedang membangun otot, sedang memperbaiki kebiasaan buruk, sedang meningkatkan kualitas hidup, sedang menabung untuk melancong ke luar negeri dan lain sebagainya. Pada akhirnya Arisu menyadari bahwa tiada seorang pun yang bisa mengubah Yuu kecuali Yuu sendiri. Arisu pun menyadari, bahwa cinta memang tak bisa diubah begitu saja. Kemauan dan usaha yang keras tak bisa mengubahnya. Waktu juga tidak bisa mengubahnya. Mungkin kau benar, Yuu… seringkali Arisu membatin sambil memperhatikan Yuu dengan prihatin apabila rekannya itu tertangkap basah sedang memandangi foto-foto Miyuki di media sosial yang dibukanya lewat ponsel. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengubah semua ini. Bersabarlah, Yuu… Aku akan ikut berdoa bersamamu agar keajaiban yang kita nantikan segera datang. #3. Miracle Arisu, yang baru saja mengunjungi kampung halaman suaminya di Kyoto, memberikan sebuah omamori khusus untuk Yuu. En-musubi itu, atau jimat keberuntungan dalam hal asmara, dibuatkan oleh pendeta Tenryuu-ji sesuai permintaan Arisu. Arisu berharap dewa atau roh yang menyertai gantungan kunci keramat itu dapat membantu Yuu mengakhiri deritanya yang berkepanjangan. “Sudah lima tahun.” Kata Arisu. Yuu menatap nanar ke arah jimat dalam genggamannya itu dan membisu cukup lama. “Kau tak boleh menantinya lebih lama lagi, lho.” Lanjut Arisu. Mendengar ucapan Arisu, Yuu hanya dapat menghela napas berat. “Hm, aku mengerti.” Pemuda itu mengangguk. “Terimakasih.” Sore itu, lagi-lagi Yuu menyatroni toko kecantikan favoritnya. Pemuda itu terkejut ketika ia tak melihat poster Miyuki yang biasanya terpampang di etalase. Tanpa berpikir dua kali, Yuu menghampiri kasir untuk menanyakan keberadaan poster Miyuki, berharap mereka hanya memindahkannya, bukan membuangnya. “Kaneshiro Miyuki-sama bukan lagi duta produk kami.” Kasir itu menjelaskan. “Eh?” kedua mata Yuu terbelalak. “Mengapa?” “Itu adalah kebijakan perusahaan.” Jawab kasir itu. “Mungkin ada hubungannya dengan skandal terbaru beliau.” Yuu mengerutkan keningnya. Ternyata sudah cukup lama ia tidak mengecek kabar tambatan hatinya. Sebelum pulang, Yuu meminta sang kasir untuk memberikannya poster Miyuki yang mungkin masih mereka simpan, dan ketika ia berjalan menuju rumahnya, pemuda itu membopong spanduk Miyuki yang berukuran sesuai aslinya. Di flatnya, Yuu meletakkan spanduk itu tepat di depan tempat tidurnya agar ia dapat memandangi wajah Miyuki sebelum tidur dan setelah bangun. Pemuda itu juga mengalungi spanduk itu dengan jimat pemberian Arisu. “Mari kita lihat apa yang terjadi…” Yuu membuka ponselnya dan menginput nama lengkap Miyuki dalam mesin pencarian. “Percobaan Bunuh Diri yang Gagal atau Drama Cari Sensasi yang Berlebihan: Aktris dan penyanyi Kaneshiro Miyuki ditemukan tidak sadar di mobilnya yang terparkir di bahu jalan tol setelah menenggak sebotol obat penenang.” Air muka pemuda itu yang sebelumnya cerah berubah mendung ketika melihat deretan tajuk berita yang muncul dalam sedetik. >>> Semua rekan Yuu di Robinson FM menyadari bahwa pemuda itu sedang dilanda keresahan yang teramat dalam. Suaranya terdengar begitu depresif. Bahkan Iwasaki Ryuji, bos Yuu, meminta langsung kepada pemuda itu untuk mengambil cuti satu atau dua kali siaran agar pemuda itu fokus memperbaiki kondisi mentalnya yang semakin menurun. Menganggur hanya memperburuk keadaan. Yuu kehilangan jam tidurnya. Awalnya ia bergadang semalaman kemudian jatuh tertidur secara otomatis saat matahari terbit, tapi akhir-akhir ini gangguan tidurnya semakin parah dan sudah lima hari ia tidak tidur sama sekali. Yuu berusaha untuk menyingkirkan pikiran-pikiran mengerikan tentang Miyuki dengan alkohol, namun asupan racun hanya membuat perasaannya semakin labil. Ketika Arisu mengunjunginya, pemuda itu bagaikan zombie di kandang babi. Setelah membersihkan rumah Yuu, Arisu memasak untuk pemuda itu dan memaksanya untuk makan. “Aku tidak lapar…” bisik Yuu lemah. “Kau tidak boleh seperti ini!” Arisu mengomel. “Kau harus kuat jika kau ingin menolong Miyuki!” “Apa maksudmu?” “Ini alamat rumah sakit tempat Miyuki dirawat.” Yuu terpana ketika Arisu meletakkan secarik kertas di hadapannya. “Yuu, temuilah gadis itu. Mungkin dia membutuhkanmu. Kalaupun tidak, selesaikanlah urusanmu dengannya.” >>> Yuu merasa aneh. Pemuda itu terpekur di dalam taksi yang membawanya ke rumah sakit untuk menemui Miyuki. Di sepanjang perjalanan berdurasi setengah jam itu, Yuu sama sekali tidak memikirkan Miyuki. Pemuda itu tak bertanya-tanya bagaimana kondisi Miyuki saat ini atau apa yang harus diucapkannya saat mereka bertatap muka. Yuu tidak mengkhawatirkan apapun lagi. Untuk pertama kalinya, jantung Yuu berdebar dalam kecepatan normal ketika ia teringat akan Miyuki. Pemuda itu sudah terlalu sering membayangkan pertemuan mereka dengan gambaran yang sangat jelas dalam benaknya, sehingga rasanya hal ini sudah terjadi berkali-kali. “Maafkan kami, kami tak bisa memberitahu Anda informasi apapun tentang pasien kami, kecuali Anda sudah membuat janji temu dengan manajer beliau.” Yuu hanya dapat memandangi wajah resepsionis laki-laki yang menolak untuk mengantarkannya menemui Miyuki itu. “Baiklah.” Kata pemuda itu tanpa sedikit pun terlihat kecewa. “Kalau begitu, tolong berikan ini kepadanya.” Yuu mengeluarkan jimat pemberian Arisu dari kantong jaketnya dan menyerahkannya kepada sang resepsionis. “Saya mengerti.” Sang resepsionis memasukkan jimat itu ke dalam sebuah kotak kardus besar yang sudah dipenuhi oleh bermacam hadiah. Yuu pun segera menyadari bahwa semua itu adalah pemberian untuk Miyuki dari para penggemar. Jimatnya tak lebih istimewa jika dibandingkan dengan semua hadiah itu. Yuu menahan napasnya. Ia merasa seperti baru saja menelan bara api setelah disadarinya pula bahwa mungkin selama lima tahun ini hanya itulah posisinya dalam kehidupan Miyuki. Mungkin bagi gadis itu dirinya hanyalah seorang penggemar. Selama ini Yuu dibutakan oleh perasaannya. Ia tak bisa melihat kenyataan bahwa sikap manis yang ditunjukkan Miyuki kepadanya ternyata cuma fanservice. “Bagaimana tadi?” Arisu menelepon Yuu malam itu. “Kau berhasil menemuinya?” “Terimakasih, Arisu-san!” “Eh?” “Terimakasih karena sudah menyadarkanku bahwa ternyata aku tak membutuhkan perempuan itu!” seru Yuu. “Dan terimakasih karena sudah menyadarkanku bahwa aku memang sudah terlalu lama membuang-buang waktu!” Arisu melongo. Begitu pula suaminya yang menguping di sebelahnya. Keduanya saling bertukar pandang. “Apa yang terjadi?” suara keibuan Arisu terdengar cemas. “Kau baik-baik saja?” “Hm!” jawab Yuu lantang. “Aku tak pernah merasa sebaik ini!” Terkadang keajaiban datang bukan untuk mewujudkan mimpi-mimpimu. Terkadang keajaiban datang untuk menyadarkanmu bahwa semua mimpi itu tak akan pernah jadi kenyataan. Begitulah Yuu berkesimpulan sambil membopong spanduk Miyuki ke tempat pengumpulan sampah di basement flat yang ditempatinya. Pemuda itu tersenyum getir dan menghela napas berat sambil mengamati wajah gadis yang disukainya itu untuk terakhir kalinya. Gadis itu seakan-akan membalas senyumnya. “Selamat tinggal, Miyuki…” Yuu mengucapkan salam perpisahan seolah-olah Miyuki benar-benar dapat mendengarnya di suatu tempat. Terkadang keajaiban datang terlambat. Terkadang keajaiban baru tiba setelah kita berhenti percaya bahwa ia ada. Dini hari itu, ketika kedua mata Yuu perlahan terpejam, Miyuki masih sepenuhnya terjaga. Ia merasa bosan dan kesepian, terkurung sendirian di ruang VIP rumah sakit yang semewah kamar hotel bintang lima itu. Gadis itu pun turun dari tempat tidurnya, berjalan dengan susah-payah sambil menggeret tiang infus menuju sudut ruangan, di mana berkotak-kotak surat dan hadiah untuknya menumpuk. Ditumpahkannya salah satu isi kotak kardus itu. Jimat dari Yuu meluncur ke kolong tempat tidur. Miyuki membiarkannya. Ia membuka beberapa amplop dan bingkisan yang bisa dijangkaunya. Keesokan paginya, seperti hari Sabtu dan Minggu biasanya, Miyuki mendengarkan program favoritnya di Robinson FM. Sudah dua pekan ia tak mendengar suara Yuu, sementara Arisu memandu acara itu seorang diri. Padahal selama ini suara pemuda itulah yang mengobati kerinduan Miyuki kepada Yuu. Miyuki melemparkan pandangannya ke langit biru yang terlihat begitu cerah lewat jendela besar di sisi tempat tidurnya. Ia bertanya-tanya bagaimana kabar Yuu dan apakah pemuda itu melihat langit yang sama. #4. First Love “Semua kontrak kerjamu sudah dibatalkan sampai tahun depan.” Miyamoto Nobara tak bisa menerka apa yang tersembunyi di balik eskpresi wajah Miyuki yang datar maupun dari matanya yang kosong itu. Pria gay berusia 45 tahun itu sudah menjabat sebagai ketua tim manajer sejak Miyuki berusia 14 tahun. Miyuki yang Nobara kenal adalah tipe gadis penurut, sederhana dan tidak merepotkan, sehingga pria itu tak menyangka bahwa selama ini gadis itu menyimpan niat untuk menghabisi nyawanya sendiri. Percobaan bunuh diri Miyuki yang gagal tidak hanya membuat Nobara terpukul. Pria itu pun harus menemui ahli jiwa setidaknya sebulan sekali untuk mengobati trauma yang dialaminya. “Dan selama itu kau harus tinggal di rumah sakit ini sampai dokter menyatakan bahwa kau tak akan pernah menyakiti dirimu sendiri lagi.” Miyuki hanya mengangguk. “Katakanlah sesuatu!” Nobara hampir menjerit karena dibuat frustrasi oleh sikap pasif gadis itu. “Jika kau sakit, kau muak, kau tak ingin melakukan apa yang kusuruh, bilang saja!” “Hm.” Sekali lagi Miyuki mengangguk. “Aku baik-baik saja.” “Bohong!” Nobara memukul tempat tidur gadis itu. “Jika kau terus seperti ini, aku akan berhenti!” Nobara meninggalkan ruangan itu dalam keadaan marah. Miyuki menghela napas berat. Kepala seorang wanita yang mengenakan semacam topi bedah sementara hidung dan mulutnya tertutup masker menyembul dari kolong tempat tidur. “Anda tak apa-apa?” tanya janitor yang sedang bersih-bersih itu. Miyuki tak menjawab dan cuma tersenyum simpul. “Ah, ettou, saya menemukan ini di bawah sini…” sang janitor menyerahkan sebuah jimat ke tangan Miyuki. “Mungkin dari kekasih Anda?” Lagi-lagi Miyuki tak menjawab. Diamatinya gantungan kunci berbentuk tas kain mungil berwarna pink itu. Miyuki pun menyimpan benda itu di laci kabinet kecil di sisi tempat tidur. >>> Higa Kaito adalah psikolog muda berusia 39 tahun yang jadi favorit para selebriti. Wajah rupawannya khas orang Ryukyu, beralis tebal, rahangnya tegas. Ia berkaki jenjang, menjulang setinggi 180 sentimeter dengan tubuh ramping namun atletis, layaknya seorang model. Iris matanya yang terang kontras dengan kulitnya yang gelap. Pria itulah yang ditunjuk oleh agensi Miyuki untuk menerapi gadis itu. Selama satu semester, Miyuki harus menemui Kaito setiap Jumat. Sejauh ini mereka baru empat kali bertemu. Kaito cukup terkejut dengan kepribadian klien barunya. Miyuki, walaupun terlihat acuh-tak-acuh, sebenarnya memiliki kepekaan yang tinggi. Tidak seperti kebanyakan kliennya, yang sebagian besar datang kepada Kaito untuk mengenal diri mereka sendiri, Miyuki sudah melampaui fase pencarian jati diri. Gadis itu bahkan dapat menjelaskan bahwa ia mengalami krisis eksistensial dan tak ingin melanjutkan hidupnya lagi karena ia sudah merasa puas dengan apa yang sudah dicapainya. “Jangan salah sangka.” Kata Miyuki. “Aku sudah bahagia.” “Jadi tak ada hal lain yang perlu kau lakukan?” tanya Kaito. “Kurasa begitu.” “Kau yakin?” “Semua kebutuhanku, menurut Piramida Kebutuhan Maslow, sudah terpenuhi.” Ucap Miyuki. “Seluruh misiku di dunia ini sudah selesai.” “Kalau begitu, coba terangkan kepadaku, mengapa kematian begitu menarik bagimu?” lanjut Kaito. “Apa yang kau bayangkan tentang kematian?” “Jika aku mati, aku bisa tidur sepuasnya.” Jawab Miyuki. “Aku tak perlu bangun pagi-pagi sekali dan dikejar-kejar waktu. Aku bebas. Aku bisa bermimpi sepuasnya, seperti Peter Pan yang tinggal di Neverland.” “Jadi kau ingin lari dari kenyataan?” “Begitulah.” “Dan kau tega meninggalkan orang-orang yang menggantungkan nasib mereka pada kesuksesanmu?” cecar Kaito. “Kau tak peduli bahwa kepergianmu akan menghancurkan kehidupan mereka, melenyapkan semua cita-cita mereka, membuat seluruh jerih-payah mereka dalam mengurusmu selama ini jadi sia-sia, kemudian mereka akan tersiksa selamanya dalam rasa bersalah seperti yang saat ini sedang dialami Miyamoto-san, manajermu?” Miyuki terdiam. “Bunuh diri adalah tindakan yang egois.” Kaito menegaskan. “Kau tidak hanya membunuh dirimu sendiri. Kau juga membunuh Miyamoto-san serta orang-orang yang mencintaimu. Kau bahkan ikut membunuh orang-orang yang menjadi tanggungan mereka.” “Cinta?” sergah Miyuki berang. “Cinta adalah ketulusan! Jika mereka tulus mencintaiku, mereka tak akan membebaniku dengan ambisi mereka! Aku sudah memberikan segalanya kepada mereka dan aku masih harus memuaskan ambisi mereka yang tidak akan pernah terpuaskan?” Gadis itu pun meraung. “Mengapa?” ia berteriak. “Apa lagi yang harus kukorbankan demi keserakahan mereka? Kumohon… Tolong biarkan aku bebas…” Kaito adalah psikolog langganan para selebriti. Ia sudah terlalu sering bertemu artis-artis cantik bertubuh seksi yang terisak dalam pelukannya. Alasan utama mengapa Kaito selalu mengenakan kemeja hitam adalah supaya ia dapat menyamarkan noda bedak dan lipstick yang terpapar pada pakaiannya. Psikolog itu pun selalu menjaga profesionalismenya. Jika ia memeluk kliennya, hal itu bukanlah tindakan kompulsif yang didasari oleh dorongan emosi. Ia melakukannya sebagai bagian dari terapi yang legal. Bagaimanapun, Kaito hanyalah manusia biasa. Terkadang, seperti hari ini, pria itu enggan melepaskan klien yang sedang dipeluknya. >>> “Kau pernah jatuh cinta?” Sesi terapi itu berlanjut keesokan harinya di waktu yang sama. Kaito memulainya dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Ia cukup terkejut sekaligus lega karena Miyuki mau menjawabnya dengan terus-terang. Keterbukaan itu, bagi Kaito, membuktikan bahwa Miyuki sebenarnya masih ingin hidup. Sang psikolog hanya perlu menemukan alasannya. “Entahlah.” Kaito membiarkan Miyuki memainkan metronom yang ada di atas meja kerjanya. “Aku pernah menyukai beberapa laki-laki.” “Kau ingat nama-nama mereka?” “Hide-chan, Masa-kun…” gadis itu terdiam sejenak. “Dan Shinobu…” Kaito menangkap adanya sedikit perubahan di air muka Miyuki yang sebelumnya setenang permukaan kolam beku ketika gadis itu menyebutkan nama yang terakhir. Suaranya juga merendah dan terdengar lirih. Kaito pun mencatat dalam benaknya bahwa Shinobu mungkin orang yang istimewa bagi Miyuki. “Apakah kau masih menyukai mereka?” “Tidak.” “Lalu bagaimana dengan Shinobu?” Miyuki tampak enggan menjawab pertanyaan Kaito. Gadis itu terdiam cukup lama. Detak jarum metronom yang terayun mengisi keheningan yang merebak di ruangan itu. “Ia sudah tiada.” Kaito tertegun. Setelah mengitari ruangan, Miyuki kembali ke kursi santai yang sudah disediakan untuknya. Gadis itu menjalin jari-jarinya dan menatap langit-langit. “Bisa kau ceritakan kepadaku seperti apa orang bernama Shinobu itu?” tanya Kaito hati-hati sambil terus mengamati gerak-gerik Miyuki. “Entahlah… sebenarnya aku sudah mulai lupa bagaimana wajahnya…” gadis itu menghela napas berat. “Tubuhnya gemuk dan pendek… dia anak yang pemalu…” Ketika mereka SMP, Miyuki dan Kurosawa Shinobu dibully karena alasan yang berbeda. Yang satu karena terlalu jelita, satunya lagi karena buruk rupa. Tapi karena bernasib sama, Miyuki dan Shinobu pun menjadi dekat. Seingat Miyuki, Shinobu adalah anak yang pintar dan baik hati. Mereka sering mengerjakan PR dan belajar bersama sebelum ujian. Rasa sayang Miyuki kepada Shinobu pun tumbuh, begitu pula sebaliknya. Namun mereka tak bisa terus bersama. Miyuki harus keluar dari sekolahnya dan mengikuti homeschooling sebab kesibukannya semakin padat. Kemudian, lima tahun yang lalu, Miyuki bertemu lagi dengan Shinobu di depan stasiun Robinson FM. Pubertas tak mengubah apapun, kecuali pelajar SMP gemuk dan pendek itu berubah jadi seorang mahasiswa teknik nuklir yang tetap gemuk dan pendek. Bagaimanapun, pertemuan itu terasa sangat berkesan sebab pada akhirnya Miyuki dapat bertatap muka lagi dengan sahabat yang begitu dirindukannya itu, walaupun mereka tak sempat mengobrol terlalu lama. Sebulan setelah reuni itu, pada suatu sore yang mendung bergemuruh, Nobara menyampaikan sepucuk surat dari ibu Shinobu kepada Miyuki. Gadis itu pun mengetahui dari surat itu bahwa Shinobu tewas akibat ditabrak oleh pengendara tak dikenal, beberapa jam setelah ia dan Miyuki berpisah jalan. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Shinobu berpesan bahwa dirinya siap meninggalkan dunia ini. “Jangan khawatir. Aku sudah bertemu Miyuki.” Kata Shinobu kepada orangtuanya sambil tersenyum. “Hidupku sudah sempurna. Aku tak butuh apapun lagi.” Kaito tak bertanya apapun selama Miyuki bercerita tentang Shinobu. “Beruntung sekali orang itu…” gumam Miyuki lirih. “Malaikat maut menjemputnya di saat yang tepat…” Kaito masih membisu. #5. Second Chance Cinta membuat dunia kita terus berputar. Cinta adalah motivasi bekerja, inspirasi berkarya. Cinta adalah sumber cita-cita yang luhur, sumber kekuatan untuk terus melangkah dan menjalani beratnya kehidupan. Cintalah, serta segala sensasinya, yang membuat eksistensi kita bermakna. Kaito tahu apa yang Miyuki butuhkan untuk tetap hidup. Cinta. Dan Kaito tahu sebenarnya Miyuki sudah kehilangan semangat hidupnya sejak ia kehilangan cinta pertamanya, Shinobu, si gendut dan pendek itu. Bagi Miyuki, kehadiran Shinobu bagaikan secercah sinar matahari yang menerangi dan menghangatkan dunia gadis itu yang biasanya gelap dan sedingin puncak gunung es. Ketika Miyuki bersama Shinobu, ia bisa menjadi gadis remaja seusianya dan menjadi dirinya sendiri. Selama ini Miyuki tak bisa mempercayai siapapun. Sejak ia kecil, orangtuanya selalu menuntutnya untuk jadi yang terbaik dengan cara membanding-bandingkan gadis itu dengan anak orang lain. Begitu remaja, Nobara menjadikan Miyuki sebagai sapi perahnya. Pujian dan perhatian yang diberikan sang manajer kepada gadis itu bukannya tanpa pamrih. Semua itu ada harganya. Begitu pula dukungan dari para penggemar. Dukungan mereka datang seperti gelombang yang pasang dan surut, tergantung popularitas Miyuki yang juga naik-turun. Gosip kecil pun bisa dengan mudah mengubah penggemar jadi pembenci. Miyuki pun kehilangan kepercayaannya terhadap nyaris semua orang dan hal itu membuatnya merasa kesepian. Kemudian, di saat Miyuki merasa begitu kesepian, seorang Shinobu yang lugu membawakannya kebaikan dan kasih-sayang yang naif. Namun, di saat gadis itu mulai merasa bahagia, ia dipisahkan dari penghibur laranya. Kaito memandangi pasiennya itu dengan tatapan iba. “Aku mengerti apa yang kau alami.” Ucap pria itu dengan penuh kesungguhan. “Dan aku minta maaf karena aku tak dapat berbuat banyak untuk membantumu melaluinya.” Miyuki hanya menggeleng. “Tapi cinta yang tulus dan setia itu selalu ada untukmu.” Lanjut Kaito. “Dan cinta semacam itu bukan hanya berasal dari Shinobu. Ada benang merah yang menyambungkanmu dengan cinta sejatimu. Benang itu tak akan pernah terputus sampai kau temukan siapa yang terikat di ujung lain benang itu. Tetaplah hidup. Jangan menyerah. Teruslah mencari.” Kata-kata Kaito membuat Miyuki tertegun. “Berikanlah keajaiban satu kesempatan lagi untuk membuktikan dirinya ada…” sang psikolog tersenyum. Air mata Miyuki menggenangi pelupuknya. Kaito sadar gadis itu sedang menahan tangisnya. Pria itu pun menarik kepala Miyuki dengan lembut ke dadanya yang bidang. “Keajaiban pasti akan mengantarmu kepada orang itu…” bisik Kaito sambil mendekap gadis itu erat. Miyuki pun mengangguk. >>> “Anda membiarkannya keluar dari rumah sakit?!” Nobara memekik. “Mengapa?!” “Ya.” Sahut Kaito tenang. “Itu bagus untuk kesembuhannya.” “T-tapi…” “Saya yang akan bertanggung-jawab jika keputusan saya ini membahayakannya. Miyuki masih pasien saya sampai setidaknya lima bulan ke depan.” Kaito tampak tidak sabar dalam menghadapi Nobara yang keras kepala. “Selain itu, keputusan saya ini sudah pula disetujui oleh bos Anda dan oleh orangtua Miyuki. Dan–ini yang terpenting–tolong dengarkan baik-baik.” Nobara yang biasanya agresif itu dibuat submisif dengan ketegasan Kaito. Selain itu psikolog itu juga sangat tampan. Nobara akan jadi lemah di hadapan laki-laki berparas rupawan. “Selama Miyuki tidak bekerja, jangan ikut campur kehidupan pribadinya.” Kaito menekankan setiap kata yang diucapkannya. “Hubungan Anda dengan Miyuki adalah hubungan profesional, dan Anda tak berhak memerintah atau melarang gadis itu di luar jam kerjanya.” Nobara terpana, kemudian terbata, berusaha membalas peringatan yang diberikan Kaito. Usaha yang percuma. Karisma psikolog muda itu terlalu kuat untuk dilawan. “T-terserah kau sajalah…” Nobara meninggalkan ruangan sang psikolog dengan perasaan yang campur-aduk. Kaito melipat tangannya dan geleng-geleng kepala. Ia pun mendengus tertawa. Miyuki mengetuk pintu tak lama setelah Nobara pergi. Kepala gadis itu menyembul dari celah yang terbuka. Kaito tertegun begitu gadis itu masuk dan berdiri di hadapannya. Miyuki terlihat berbeda. Mungkin karena ia tidak lagi mengenakan pakaian dari rumah sakit, atau mungkin karena ia sedikit berdandan, pokoknya gadis itu terlihat manis dan segar. Miyuki tersipu ketika disadarinya Kaito tersenyum sambil memandanginya lekat-lekat. “Kau merasa lebih baik?” tanya Kaito. “Hm.” “Dan kau siap menjalani babak kehidupanmu yang baru?” “Tentu saja.” Kaito menghela napas lega dan menepuk kepala Miyuki. “Sekarang kau bebas, Miyuki…” suara pria itu terdengar begitu lembut namun yakin. “Berlarilah. Telusuri benang merahmu. Tiada yang bisa menghentikan dan menghalangimu, sebab kau ditakdirkan untuk bertemu dengan orang itu…” Miyuki mengangguk dan tersenyum malu-malu. “Terimakasih, Sensei…” >>> Cinta sejati? Miyuki bertanya-tanya dalam hati sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Bagaimana aku dapat menemukannya? Miyuki membuka laci kabinet kecil di sisi tempat tidur. Ia menemukan jimat yang diserahkan oleh janitor baik hati yang setiap pukul tujuh pagi datang untuk membersihkan kamarnya. Gadis itu mengamati benda di atas telapak tangannya itu. “En-musubi?” Miyuki membaca tulisan yang dibordir pada tas mungil itu. Gadis itu merasa aneh. Intuisinya mengatakan bahwa benda itu adalah petunjuk pertamanya. Miyuki pun memasang jimat itu pada tas ransel kesayangannya. #6. Hunting Season Selama sepuluh hari, Miyuki menghindari orangtuanya dan Nobara dengan bersembunyi di Shiretoko, Hokkaido. Kemudian, atas bantuan Kaito, diam-diam gadis itu pindah ke apartemen baru setelah ia kembali ke Tokyo. Gadis itu pun membuang nomor ponselnya yang lama dan menutup semua akun media sosialnya. Tak hanya itu, ia memangkas rambutnya sampai sependek rambut laki-laki. Gaya berpakaian dan sikapnya pun berubah jadi tomboy agar semakin sulit dikenali. “Wah, kau benar-benar seorang bishounen!” Kaito terkejut dengan perubahan drastis Miyuki ketika ia mengunjungi gadis itu di tempat tinggal barunya. “Kakkoii da ne!” Miyuki terkekeh dan mesam-mesem. “Sensei, mengapa membawa begitu banyak belanjaan?” gadis itu takjub melihat isi dua tas belanja Kaito yang ditenteng pria itu di kedua tangannya. “Aku berencana untuk mencoba kompormu.” Jawab Kaito ringan. “Eh? Sensei mau masak di sini?” “Hm. Lalu makan malam bersamamu.” Dengan gayanya yang acuh-tak-acuh, Kaito pergi ke dapur. Pertama, ia mengisi rak-rak Miyuki yang masih benar-benar kosong dengan berbagai jenis bumbu, juga mengisi kulkas gadis itu dengan berbagai bahan panganan. Kemudian, ia mulai mencuci dan memotong sayur-mayur segar yang dibawanya. “Kau tak bisa memasak, bukan?” tanya psikolog itu. “Ya.” “Kalau begitu, kemarilah dan lihat baik-baik.” Kaito memanggil Miyuki. “Kau tahu apa bedanya sawi dan selada?” “Tidak.” “Yang ini sawi, ini selada.” Satu jam kemudian, menu makan malam pun terhidang di atas meja. Sambil menikmati hidangan sederhana itu, Kaito dan Miyuki berbincang santai. Miyuki tak menyangka bahwa Kaito yang terlihat serius itu ternyata punya segudang cerita lucu. “Mau lihat fotoku waktu kuliah dulu?” Kaito menunjukkan foto masa mudanya bersama teman-temannya di ponselnya. “Eeeh?!” kedua mata Miyuki terbelalak begitu melihat sosok-sosok di dalam foto itu. “Bohong, kan?!” Miyuki mengernyit dan berkonsentrasi penuh memperhatikan sesosok pemuda ceking, jangkung, kulitnya hitam legam namun wajahnya kemerahan akibat terpanggang matahari, dengan rambut afro berwarna pirang kusam, mengenakan kemeja bercorak kembang sepatu dan jaket sukajan. Ia berada tepat di tengah, di antara keenam temannya yang lain, berpose gila sambil menjulurkan lidahnya. Dengan penampilan mengerikan dan pose gila itu, pemuda itu lebih cocok jadi anggota yakuza atau gang motor, bukan mahasiswa kedokteran. “Lalu… bagaimana…” Miyuki menatap Kaito dan kembali terpana. Sulit untuk dipercaya. Pemuda bertampang ganas dan berpenampilan kumal di foto itu telah sepenuhnya bertransformasi menjadi seorang pria yang pesonanya sangat menyilaukan. “Karena seorang wanita.” Kaito tersenyum. “Wanita itu sudah menolakku berkali-kali.” “Aah… begitukah…” gumam Miyuki. “Tentu saja, jika kau ingin tahu, pada akhirnya aku memang berhasil mendapatkan hati wanita itu.” Lanjut Kaito. “Tapi ternyata dia bukan wanita yang terikat dengan benang merahku. Bukan salahnya. Akulah yang meninggalkannya.” Miyuki tersentak mendengar pengakuan psikolognya itu. “Sampai sekarang dia masih membenciku.” Kaito mendengus tertawa. “Dan sampai sekarang aku masih menelusuri benang merahku yang benar-benar kusut.” Miyuki terlalu polos untuk menaruh curiga terhadap Kaito. Padahal, sebagai psikolog, pria itu sudah kelewatan batas dan telah melanggar kode etik profesinya. Rupanya, mungkin sejak pertemuan mereka yang kedua atau ketiga, Kaito mulai menaruh hati kepada Miyuki. Bukannya menjaga jarak dari pasiennya itu, Kaito justru sengaja membangun kedekatan dengan Miyuki setelah Kaito menjauhkan Miyuki dari orang-orang yang selama ini selalu memagari gadis itu. Itulah Kaito yang sebenarnya. Ia memiliki jiwa seorang pemburu. Pria itu juga pantang menyerah dan fokus mengejar targetnya. Begitu ia mulai membidik, ia akan terus melepaskan anak panahnya sampai mengenai buruannya. Bahkan, tanpa Miyuki ketahui, Kaito sebenarnya menempatkan gadis itu di apartemen yang dekat dari tempat tinggalnya sendiri, agar pemburu itu dapat terus mengintai sang buruan. “Jadi, apa yang akan kau lakukan selama cuti panjang ini?” Kaito mengalihkan topik obrolan karena suasana di ruang makan itu mendadak terasa agak canggung. “Ettou, entahlah.” Miyuki meringis. “Aku belum memikirkannya.” Kaito hanya melirik gadis itu dengan air muka yang tenang dan tak melontarkan komentar. “Aku ingin coba magang di stasiun radio.” Lanjut Miyuki. “Stasiun radio?” “Hm.” “Mengapa?” Miyuki mengerjap matanya. Ia sendiri mempertanyakan hal yang sama. Kata-kata barusan terucap begitu saja dari alam bawah sadarnya. “Aku tidak tahu…” gadis itu berdehem dan menggosok kembang hidungnya. “Kau tidak tahu?” Kaito bingung mendengar jawaban Miyuki. “Aku hanya mencoba untuk melanjutkan hidupku dengan melakukan apa yang tampaknya menyenangkan…” “Begitukah?” “Hm.” “Aku bisa menemanimu berlibur jika kau mau.” Miyuki terdiam. Entah mengapa tawaran Kaito terdengar seperti ancaman. Aura Kaito terasa seperti perlahan hendak menguasai gadis itu. “Anda baik sekali, tapi mungkin lain kali…” tolak Miyuki halus. “Untuk sementara, aku sedang ingin menikmati kebebasanku seorang diri…” Pukul sembilan, Kaito berpamitan. Ia sadar dirinya terlalu tergesa-gesa. Ia tak ingin membuat Miyuki takut dan menjauh. Kaito pun sadar, Miyuki adalah buruan yang sangat menggiurkan. Pria itu pun harus berjuang keras untuk mengendalikan nafsunya yang ingin cepat-cepat mencengkram gadis itu dan melahapnya. #7. Homecoming Sudah lima belas menit berlalu sejak Miyuki tiba di seberang bangunan kubus putih dengan tulisan merah “94.7 Robinson FM” itu. Gadis itu hanya berdiri di sana tanpa berniat menyebrangi jalan. Benaknya terus memutar kejadian lima tahun silam. >>> “Terimakasih sudah terus bersama kami. Saya, Kashiwabara Yuu–” “Dan saya, Kaneshiro Miyuki–” “Akan menjumpai Anda pada hari dan waktu yang sama minggu depan.” Lagu “Minato” yang dibawakan oleh Spitz mengalun sebagai lagu penutup. Yuu mengulurkan tangannya ke arah Miyuki untuk memberikannya high-five. Yuu pun tersenyum ke arah Miyuki dan mengangguk sebagai pujian. “Otsukaresamadeshita!” Nobara, yang sudah menunggu Miyuki di depan pintu studio, berseru kepada semua orang yang bekerja untuk program itu. “Maaf kami terburu-buru!” Miyuki melihat isyarat yang diberikan Nobara lewat kaca pemisah ruangan. Gadis itu pun segera berdiri dan berpamitan dengan Yuu. Yuu hanya melambaikan tangannya walaupun sebenarnya ia ingin sekali mengantarkan gadis itu sampai di pintu luar. Dari jendela, pemuda itu mengamati gadis yang disukainya, berjalan cepat di belakang Nobara. Mobil van gadis itu sudah menjemput dan berhenti tepat di depan lobi sejak setengah jam yang lalu. Sementara Nobara memasuki van abu-abu itu lebih dulu, Miyuki berlari ke arah gerbang, menemui seorang laki-laki di sana. Yuu mengerutkan keningnya. >>> “Kurosawa Shinobu?!” Miyuki menggenggam tangan laki-laki itu erat-erat. “Benarkah?!” Shinobu mengangguk dengan wajah sumringah. “Miyuki-chan!” Shinobu pun menangis terharu. “Syukurlah, kau masih ingat kepadaku!” “Mengapa kau ada di sini?” “Aku dengar kau jadi penyiar di radio ini!” “Maaf, aku harus segera pergi!” kata Miyuki panik. “Bisakah kau datang lagi minggu depan?” Shinobu mengangguk lagi. Miyuki tersenyum. Gadis itu pun kembali ke mobilnya. >>> Shinobu tak datang pada siaran minggu berikutnya, padahal itu siaran terakhir Miyuki di Robinson FM. Yuu pikir gadis itu terlihat kurang bersemangat karena Miyuki harus meninggalkan Yuu. Pemuda itu tak pernah tahu bahwa gadis itu kehilangan semangatnya karena pemuda lain. “Miyuki-san, kau benar-benar berbakat jadi penyiar.” Kata Yuu kepada gadis itu sebelum mereka berpisah. “Jika kau mau, kami akan sangat senang bekerjasama denganmu lagi. Ya kan, Iwa-chan?” Iwasaki Ryuji, produser “Hey, Yuu!”, mengangguk mengiyakan. “Terimakasih, Yuu-san…” Miyuki tersipu. Belum puas rasanya Yuu mengucapkan salam perpisahan dengan Miyuki, tapi Nobara sudah memberikan sebuah isyarat, menyuruh gadis itu bergegas. Iwa pun mengerti arti isyarat khas Nobara itu. Sang produser menepuk punggung Miyuki dan mempersilakannya pergi. “Kembalilah suatu hari nanti!” seru Iwa kepada Miyuki yang berlarian kecil di belakang manajernya. “Kami akan merindukanmu!” Gadis itu beberapa kali menoleh dan membungkuk memberi salam sekaligus meminta maaf atas kelancangan sang manajer. “Kasihan gadis itu.” Gumam Iwa. “Hidupnya begitu sibuk.” Yuu, yang berdiri di samping bosnya itu, termangu tak berkomentar. “Sulit dipercaya, gadis sesibuk itu sempat meladeni banyak laki-laki yang menggodanya, dan bahkan sempat mempermainkan perasaan mereka.” Lanjut Iwa. “Aku tak percaya dengan semua gosip itu.” Yuu melirik Iwa. Iwa mengerling. Produser berusia 40 tahun itu menepuk punggung Yuu dan berlalu sambil bersiul. >>> “Miyuki-chan?” Miyuki tersadar dari lamunan panjangnya. Gadis itu menoleh. Iwa sudah berdiri di kanannya. “Iwasaki-san?” “Apa yang sedang kau lakukan di sini?” “Eh?” “Mari, ikutlah denganku!” Iwa menarik lengan Miyuki dan membawa gadis itu menyebrangi jalan. Tak sampai lima menit kemudian, Miyuki duduk di ruang rapat, berdua saja dengan Iwa. Sang produser mengamati gadis itu dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dimengerti. “Hisashiburi da ne…” pria itu membuka percakapan. “Kabarmu baik?” Miyuki tersenyum dan mengangguk. “Dengan penampilan baru seperti ini, tampaknya kau siap menjalani kehidupanmu yang baru…” Iwa menghampiri dispenser dan membuat secangkir teh panas untuk tamunya. “Bagaimana kalau memulainya di radio ini?” “Eh?” Iwa meletakkan cangkir karton itu di hadapan Miyuki. “Bukankah itu yang kau harapkan?” tanya Iwa. “Karena itulah kau berdiri cukup lama di seberang bangunan ini?” Miyuki mengerjapkan matanya. “Sebenarnya…” Iwa duduk tak jauh dari Miyuki. “Arisu-san sudah berkali-kali memintaku untuk mencari penggantinya. Arisu-san ingin segera pensiun dan pindah ke luar negeri bersama suaminya. Anehnya, aku tak ingin mengadakan audisi. Aku merasakan sesuatu yang begitu kuat. Kini, aku pun mengerti, aku tahu kau akan kembali.” “Iwasaki-san…” “Miyuki-chan!” potong Iwa. “Okaeri! Robinson FM adalah rumahmu! Dan kami adalah keluargamu!” “Tapi…” Miyuki terlihat gelisah. “Namaku yang sudah terdengar buruk di telinga masyarakat hanya akan ikut menodai nama baik radio ini…” “Tidak!” sahut Iwa tegas. “Aku yakin tidak akan demikian!” “Benarkah tidak apa-apa?” “Tidak apa-apa!” “Kalau begitu…” Iwa menunggu Miyuki melanjutkan kata-katanya. “Terimakasih sudah menerimaku kembali…” >>> Miyuki menengadah dan menghela napas berat. Hujan di awal musim gugur yang turun pada sore hari membuat suasana hatinya jadi semakin sentimental. Gadis itu menelusuri halaman kantor Robinson FM sampai ke titik di mana ia dan Shinobu bertemu dulu. Pertemuan yang begitu singkat. Terlalu singkat untuk melepaskan kerinduannya. Miyuki tak mengerti. Setiap kali gadis itu mengingat Shinobu, jantungnya terasa seperti diremas-remas, tapi ia pun tak bisa menahan senyumnya. Ne, Shinobu… Rasanya seperti mimpi… gadis itu berjongkok dan memeluk kedua lututnya. Rasanya, begitu aku terbangun dari mimpi buruk yang berkepanjangan ini, aku akan kembali ke masa SMP dan bertemu denganmu lagi… Karena itulah aku tak bisa menangis… Miyuki yang ada di dalam diriku masih belum bisa menerima kenyataan ini… Miyuki yang ada di dalam diriku masih hidup di masa itu bersamamu… Seseorang berdiri tepat di hadapan gadis itu. Miyuki mengangkat kepalanya yang tertunduk. Matanya bertemu dengan mata Yuu yang memayunginya. Miyuki terdiam. Yuu juga demikian. Keduanya hanya saling menatap. Hujan pun turun semakin deras. #8. Liebesträume “Yuu-san!” Harada Asako, creative director yang baru beberapa bulan bekerja di Robinson FM, menjemput Yuu karena pemuda itu tak juga segera masuk. “Iwasaki-san sudah menunggumu di ruang rapat!” “Pakai ini…” Yuu menyodorkan payungnya kepada Miyuki. “Terimakasih…” Miyuki pun mengambil payung itu dari tangan Yuu. Tanpa tersenyum atau mengatakan apapun lagi, Yuu meninggalkan Miyuki. Miyuki pun hanya bisa memandangi pemuda itu sampai ia tak terlihat lagi. Sementara itu, Yuu mengacuhkan Asako yang mengomelinya. Pemuda itu terhanyut dalam lamunan. Ia tampak terguncang. “Oi, Yuu!” suara Iwa menyadarkan Yuu dari lamunan singkatnya. Tanpa disadari, ia dan Asako sudah sampai di ruang rapat. Iwa menyambut pemuda itu dengan sumringah. “Aku punya kabar bagus untukmu!” Yuu menempati salah satu kursi di ruangan itu. “Aku sudah mendapatkan penerus Arisu-san yang cocok denganmu!” kata Iwa antusias. “Kaneshiro Miyuki setuju untuk kembali bekerja di radio ini!” Perlahan wajah pucat Yuu berubah merah. “Aku tidak setuju!” suara lantang pemuda itu mengagetkan Iwa dan Asako. “Kaneshiro Miyuki tak pantas menjadi pengganti Arisu-san!” “Tapi, Yuu…” “Walaupun kau menghentikan program ini, atau memecatku sekalipun, aku tak peduli!” potong Yuu sebelum Iwa berusaha untuk mendebatnya. “Aku tak mungkin bekerjasama dengan perempuan itu!” “Mengapa?” Tiga orang dalam ruangan itu serempak menoleh ke arah pintu. Arisu sudah berada di sana, berdiri berkacak pinggang. Ia terlihat tidak senang dengan sikap Yuu. “Mengapa kau menolak perempuan itu?” Arisu mengulangi pertanyaannya. “Karena perasaanmu sendiri?” Yuu terdiam. “Iwa-chan, Harada-san, tolong tinggalkan ruangan ini.” Pinta Arisu. “Aku perlu bicara empat mata dengan bocah ini.” Iwa dan Asako menuruti permintaan wanita itu. “Bocah?!” Yuu hendak protes. “Kau sudah bersikap kekanak-kanakan dengan merengek tanpa alasan!” Arisu mengomeli pemuda itu. “Tidakkah kau malu?” Yuu terdiam lagi. Ia menunduk untuk menyembunyikan matanya yang tiba-tiba terasa perih dan berkaca-kaca. Dada pemuda itu kembang-kempis menahan luapan emosi. “Aku tahu apa yang sudah kau lalui karena perempuan itu…” bisik Arisu. “Tapi sudahkah kau dengar apa yang sudah dilaluinya? Aku pun tahu dia pernah jadi perempuan yang menyakitimu… Kau pikir luka-lukamu bisa sembuh dengan menyakitinya?” Air mata Yuu menetes-netes ke sepatunya. “Yuu!” Arisu mencengkram kedua lengan pemuda itu. “Berhentilah menghindari gadis itu dan selesaikan urusanmu dengannya! Selama kau masih memendam segala rasa dan segala pertanyaan yang tak terjawab tentang gadis itu… selama itulah kau akan selalu tersiksa oleh bayang-bayangnya… kau mengerti?” Yuu berbalik dan berlari meninggalkan ruang rapat itu. Arisu berteriak memanggilnya. Begitu pula Iwa dan Asako. Pemuda itu mengayuh langkahnya secepat mungkin. Gadis yang dicarinya sudah pergi dari tempatnya berteduh. Yuu berteriak marah. Air hujan menyamarkan air matanya. >>> Di halaman kafe itu, tak jauh dari kantor Robinson FM, Yuu menikmati pagi yang cukup melankolis. Secangkir cappuccino menemaninya. Musik jazz mengalun lembut, namun tak cukup untuk menenangkan hatinya yang resah. Insiden semalam meninggalkan banyak pikiran. Setiap kata yang Arisu ucapkan terus bergema di telinganya. Apa yang Kau inginkan? tanya Yuu frustrasi kepada Sang Maha Kuasa. Mengapa Kau datangkan lagi perempuan pembawa petaka itu setelah kutemukan kedamaian tanpa dirinya? Pemuda itu menghela napas berat dan bertopang dagu. Pupilnya melebar begitu penglihatannya menangkap sesosok gadis di seberang jalan. Gadis itu berdiri menghadap pemuda itu, tersenyum ke arahnya, menenteng payungnya. Jantung Yuu berdebar keras. Miyuki berlari menuju pemuda itu dalam gerakan slow motion. Apakah aku sedang bermimpi? Tolong… seseorang… bangunkan aku dari mimpi ini… Miyuki berhenti tak jauh dari tempat pemuda itu duduk. Yuu menengadah. Sejenak mereka saling bertukar pandang. “Terimakasih…” kata Miyuki. “Telah meminjamkan payung ini…” “Mengapa kau kembali ke Robinson?” setelah cukup lama membisu, pada akhirnya Yuu bersuara. Pemuda itu tak segera mengambil payungnya yang disodorkan oleh Miyuki. Dibiarkannya tangan gadis itu terus menggantung di udara. “Karena tak ada tempat lain yang sudi menerimamu lagi?” “Eh?” Miyuki tersentak mendengar sindiran Yuu. “Apa maksud Anda?” “Aku hanya bercanda.” Yuu tertawa sinis. “Jangan terlalu serius.” “Ah…” Miyuki berusaha untuk kembali tersenyum. “Begitukah…” Gadis itu tertegun melihat perubahan ekspresi wajah Yuu. Miyuki tak bisa menebak perasaan macam apa yang tersembunyi di balik sorotan mata pemuda itu. Entah apa pula yang dipikirkan Yuu di dalam diamnya. Tiba-tiba pemuda itu bangkit. Ia bergegas mengambil barang-barangnya dan secepatnya pergi meninggalkan Miyuki tanpa berpamitan. Perlahan air mata Miyuki merembes keluar. Payung Yuu masih berada di dalam genggamannya. #9. Time Miyuki berlari di antara orang-orang yang berlalu-lalang sambil menangis. Ia tak bisa menahannya lagi. Emosinya meluap, benaknya dipenuhi oleh suara-suara yang bersahutan: suara hatinya sendiri, suara orang-orang yang membekas dalam ingatannya, suara Shinobu yang enggan untuk dilupakannya, juga suara Yuu. Suara Yuu pernah jadi suara yang paling disukai Miyuki. Setiap kali Miyuki merasa muak mendengarkan kebawelan Nobara, gadis itu akan menyumpal telinganya dengan earphone, kemudian mendengarkan rekaman siaran “Hey, Yuu!” di internet. Kini baru Miyuki sadari, alasan yang sebenarnya, mengapa ia ingin kembali ke Robinson FM. Di masa-masa paling berat dalam kehidupannya setelah kepergian Shinobu, gadis itu menemukan penghibur lara dari lagu-lagu yang didengarnya. Selain itu, benar apa yang dikatakan Iwa, Robinson terasa seperti rumah bagi Miyuki. Orang-orang di tempat itu telah menerimanya dan memperlakukannya seolah-olah mereka adalah keluarganya. Miyuki tak akan pernah lupa, Iwa bagaikan seorang ayah yang melindunginya dari orang-orang yang berusaha untuk menjatuhkannya, Arisu yang keibuan memberikannya kasih-sayang yang tak pernah dirasakannya sejak ia kecil, dan Yuu sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Miyuki berhenti. Napasnya memburu. Amarah, kekecewaan, kesedihan dan kesepian yang dirasakannya mencetuskan sebuah tekad. Gadis itu sudah kehilangan banyak hal. Namun sekarang, ia akan mempertahankan apa yang masih dimilikinya, yaitu rumahnya dan keluarganya di Robinson. >>> Yuu mengernyit ketika melihat wajah tamunya di layar interkom. Miyuki datang ke rumahnya malam itu tanpa diundang. Gadis itu tak berhenti menekan bel sampai sang tuan rumah membukakan pintu untuknya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Yuu tanpa mempersilakan Miyuki masuk. “Mengapa kau membenciku?” “Ha?” “Aku tak akan mengerti apa kesalahanku jika kau tak mengatakannya!” seru Miyuki. Tentu saja Yuu tak bisa menjawab gadis itu. “Baiklah, mungkin selama ini aku sudah salah paham, kupikir kau berbeda dengan orang-orang di luar sana yang membenciku karena gosip picisan yang mereka dengar…” kata Miyuki. “Tapi, asal kau tahu saja, aku tak akan menyerah!” Gadis itu tampaknya datang untuk menyatakan perang. “Robinson bukan hanya rumahmu, tapi rumahku juga!” Lanjut gadis itu. “Dan tak akan kubiarkan siapapun mengusirku dari sana! Karena itulah, walaupun kau adalah senpaiku, aku tak akan mengalah kepadamu! Mari kita bersaing dengan sportif!” Yuu tertegun. Miyuki membungkuk rendah-rendah di hadapan pemuda itu sebelum meninggalkannya. Gadis itu berbalik dan berjalan tegak. Ia merasa dirinya adalah seorang prajurit garda depan. Ia siap berjuang sampai titik darah penghabisan. >>> “Tidak!” “Mengapa?” “Karena Arisu-san tak pantas digantikan oleh siapapun, terutama olehmu!” “Aku memang tak berniat menggantikan Arisu-san, tapi aku bisa jadi partnermu yang bisa kau andalkan dengan menjadi diriku sendiri!” “Nama program ini ‘Hey, Yuu!’, bukan ‘Hey, Miyuki!’, jadi seharusnya kau tak perlu ikut campur dalam memutuskan siapa yang akan jadi partnerku!” “Baiklah!” Iwa terpaksa menggebrak meja untuk menghentikan perdebatan antara Yuu dengan Miyuki di ruang rapat Robinson. “Kalau begitu nama program ini kuganti!” Yuu dan Miyuki serempak menoleh ke arah pria botak itu. “Jangan lupa akulah produser program ini. Aku sudah tahu kau akan berkata begitu, Yuu. Karena itulah, aku sudah menyiapkan suatu konsep baru. Bulan depan kita akan mencoba sebuah program pilot.” Kata Iwa sambil berdiri. “Harada, nyalakan proyektor!” Program pilot itu bertajuk “Hey, Boys and Girls! with Kashiwabara Yuu and Kaneshiro Miyuki”. Dalam program baru ini, Yuu dan Miyuki harus bersaing dalam membuat playlist terbaik sesuai tema yang diberikan oleh Iwa. Playlist itu terdiri dari lagu-lagu yang mereka pilih sendiri atau yang direkomendasikan oleh orang lain, misalnya oleh teman-teman dan follower mereka di media sosial. Setiap lagu yang dipilih harus dijelaskan alasannya mengapa dipilih, apa cerita di balik lagu itu. Para pendengar akan memberikan voting di situs Robinson. Playlist yang mendapat paling banyak votes adalah pemenangnya. Tidak seperti program sebelumnya, program ini akan disiarkan langsung di beberapa platform video. Kedua penyiar harus bersikap profesional dengan tidak menunjukkan permusuhan mereka demi menghibur pemirsa. “Dan tema perdana kalian adalah…” Iwa menjentikkan jarinya dan Asako menampilkan slide terakhir pada layar proyektor. “Pembaharuan!” >>> Miyuki sadar, jika dirinya dibandingkan dengan senpainya yang mendadak berubah jadi sosok menyebalkan itu, wawasannya tentang musik masih sangat sempit. Selain itu, Yuu punya banyak teman dan penggemar di media sosial, berkat agensinya yang aktif mempromosikan pemuda itu. Sementara itu, Miyuki harus membuat playlistnya seorang diri. Gadis itu tak punya teman untuk dihubungi. Saat ini hubungan Miyuki dengan agensinya pun sedang renggang. Ia ingin menunjukkan kepada manajernya bahwa ia dapat mengurus dirinya sendiri. Sejak skandal percobaan bunuh diri yang gagal, Miyuki juga kehilangan banyak penggemar. Blognya dipenuhi oleh komentar penuh kebencian sehingga gadis itu harus menutupnya. Miyuki mendesah sedih. Air matanya menggenang lagi di pelupuk matanya. Akhir-akhir ini gadis itu memang banyak menangis. Miyuki pun meraih ponselnya. Hanya ada satu nomor yang bisa dihubunginya. Pukul sembilan malam itu, ketika Kaito sedang mengendarai mobilnya, ponselnya berdering. “Moshi-moshi, Miyuki-chan?” “A-ah, Sensei…” Miyuki tersentak dan tergagap karena tanpa disadarinya ia sudah menghubungi Kaito. “M-maaf aku, aku hanya…” “Hm, jangan khawatir, kau tidak menggangguku.” Kaito tersenyum. “Bicaralah.” Miyuki tak tahu apa yang harus dikatakannya. “Kau baik-baik saja?” tanya Kaito lembut. “Ya…” jawab Miyuki ragu. “Benarkah? Suaramu tidak terdengar begitu baik.” “Tidak… aku merasa cukup baik.” Kaito menghela napas berat. “Ne, Miyuki-chan…” senyum psikolog tampan itu mendadak hilang. “Bolehkah aku ke rumahmu sekarang?” >>> Sementara itu, Yuu masih berkutat di perpustakaan musik Robinson, tempat disimpannya ratusan keping CD dan piringan hitam. Dengan antusias, pemuda itu berencana untuk menyelesaikan playlistnya malam itu juga, kemudian memamerkannya kepada saingannya. Asako dengan sabar dan setia menemani pemuda itu. Sang creative director yang manis dan berusia 23 tahun itu rupanya menyukai Yuu. Namun, walaupun Asako sudah menunjukkan perasaannya dengan sikapnya yang atentif dan suportif, Yuu belum juga menyadarinya. “Dan ini adalah lagu terakhirku.” Yuu mencomot CD AmPm. “Jadi playlistmu sudah selesai?” tanya Asako. “Apakah kau tak terlalu terburu-buru? Kau masih punya banyak waktu untuk mengerjakannya.” “Aku akan memeriksa playlistku kembali dan mengoreksinya besok.” Pipi Asako merona karena Yuu tersenyum ke arahnya. “Kalau begitu…” kata sang creative director. “Maukah kau mengantarkanku pulang?” >>> Pada pukul sembilan lewat lima belas, Kaito tiba di sebuah bar. Ia memerlukan sedikit alkohol untuk meringankan hatinya yang terasa berat. Miyuki baru saja menolak untuk bertemu dengannya. Pada waktu yang sama, Asako termenung di taksi yang membawanya pulang. Yuu tak bisa memenuhi permintaannya dengan hanya mengucapkan kata “maaf”. Dunia ini diatur oleh waktu. Keberuntungan dan kesialan kita juga tergantung oleh waktu. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa begitu sulit bagi Kaito untuk meraih Miyuki adalah waktu. Dan satu-satunya rintangan yang harus dihadapi Asako dalam menggapai Yuu hanyalah waktu. Kaito dan Asako jatuh cinta di waktu yang salah karena Miyuki dan Yuu masih terjebak di masa lalu. Namun, siapa yang tahu, kapan waktu yang salah dan kapan waktu yang tepat. Sebab terkadang pemilihan waktu yang salah justru jadi tindakan yang tepat. Dan Miyuki adalah gadis yang benar-benar gegabah dalam soal pemilihan waktu, mungkin karena hidupnya biasa diatur oleh Nobara. Dan mungkin karena ia belum pernah punya waktu luang sebanyak sekarang, gadis itu merasa dirinya kurang produktif hari ini. Miyuki pun memutuskan untuk pergi menemui Yuu walaupun malam sudah cukup larut. “Ha?!” Yuu berseru begitu didapatinya Miyuki sedang berjongkok di depan pintu flatnya. “Kau lagi?!” Miyuki mengangguk. “Apa-apaan kau ini…” keluh Yuu. Miyuki menatap pemuda itu dengan ekspresi wajah yang datar saja. Yuu menunggu gadis itu menerangkan apa maksud kedatangannya. Keduanya pun saling terdiam. Setelah cukup lama mereka beradu mata, pada akhirnya Yuu memutuskan untuk mengakhiri keheningan yang canggung itu dengan membuka pintu. Miyuki, tanpa menunggu dipersilakan oleh sang tuan rumah, membuntuti pemuda itu dan ikut masuk ke dalam. #10. Reasons Sementara Miyuki langsung berjalan ke ruang tengah sambil mengamati sekelilingnya, Yuu mengamati gadis itu di foyer dengan mata terpicing. Ia merasa heran. Dulu, ketika Yuu begitu ingin bertemu dengan Miyuki, Tuhan seolah-olah menyembunyikan gadis itu darinya. Kini, sebaliknya, ketika Yuu berharap ia tak akan pernah bertemu dengan gadis itu lagi, Miyuki sendiri yang menghampirinya. Yuu berdecak kesal. “Karena aku tahu kau membenciku…” tiba-tiba Miyuki berkata. “Aku ingin minta bantuanmu…” Yuu melongo. “Alasan macam apa itu?” tanya pemuda itu. “Sebenarnya aku masih penasaran mengapa tiba-tiba sikapmu kepadaku berubah, tapi setelah kupikirkan baik-baik, menurutku kebencianmu dapat menjelaskan apa saja kekuranganku yang selama ini tak bisa kulihat dan tak pernah pula disebutkan oleh orang-orang di sekitarku…” jawab Miyuki. “Memperbaiki semua kekuranganku itu bisa menjadi tujuan baruku untuk terus melanjutkan kehidupan ini…” “Oi!” seru Yuu. “Aku tak mengerti!” “Aku perlu alasan untuk tetap hidup!” sahut Miyuki lantang. Gadis yang berdiri membelakangi Yuu itu tiba-tiba berbalik. Ia menatap sang tuan rumah dengan penuh kesungguhan. “Aku perlu tujuan baru, tantangan baru, hal-hal yang mengalihkan pikiranku dari keinginan untuk mati!” Yuu terdiam. “Baiklah. Duduklah, jika kau masih ingin bicara denganku.” Pemuda itu melangkah dengan cuek ke dapur. “Kau mau minum? Teh hangat, atau barangkali bir dingin?” “Bir dingin…” Miyuki pun menyelinap ke dalam kotatsu. “Terimakasih…” “Jadi… bantuan seperti apa yang dapat kuberikan?” Yuu mengambil dua kaleng bir dari kulkas kemudian menghampiri Miyuki. “Untuk saat ini… aku belum memikirkannya.” Gumam gadis itu. “Tapi, jika tadi aku berdiam diri saja di rumah, mungkin aku tak dapat menahan diri.” Yuu membukakan kaleng bir Miyuki. “Aku tak mau kembali ke rumah sakit.” Kata Miyuki. “Dan aku pun tak mau kembali ke rumah orangtuaku. Jika orangtuaku tahu aku masih punya keinginan untuk bunuh diri, mereka akan mengembalikanku ke rumah sakit dan menyuruh Miyamoto-san untuk menjagaku 24 jam. Karena itulah, aku harus bisa menjaga diri tanpa bantuan Miyamoto-san.” Gadis itu mengambil bir yang sudah disediakan untuknya dan menyesapnya sedikit. “Namun… ketika aku sendirian… aku merasa gila… aku mendengar suara-suara yang menyuruhku mati walaupun aku berada di ruangan yang kosong…” Miyuki tak melanjutkan ceritanya. Yuu mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh tamu-tak-diundangnya itu. Rupanya Miyuki sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Yuu terdiam lagi. Rasa bersalah perlahan merasuk ke relung-relung dadanya dan membuat napasnya terasa sesak. “Tak adakah orang lain yang bisa menemanimu?” suara Yuu berubah sedikit lembut. Gadis itu menggeleng. “Aku tak perlu ditemani.” Miyuki tersenyum. “Aku hanya perlu mengerjakan sesuatu. Bagaimana dengan playlistmu? Kau sudah mengerjakannya?” Yuu mengangguk. “Boleh aku mendengarnya?” Alis kanan Yuu terangkat. Apakah ini perangkap? Ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah gadis ini menceritakan hal-hal sedih tentangnya kepadaku supaya aku lengah? “Enak saja!” tolak pemuda itu. “Kudengarkan dulu playlistmu!” “Aku belum membuatnya…” Miyuki mengakui. “Sejujurnya, aku tak tahu bagaimana cara membuatnya…” “Mudah saja, bukan? Kau hanya perlu mencatat lagu-lagu yang menurutmu sesuai dengan tema yang sudah diberikan Iwa-chan!” Miyuki memandangi Yuu. Yuu menghela napas berat. Pemuda itu mengambil laptopnya dan menyalakannya di hadapan Miyuki. “Gunakan ini!” Miyuki membisu. Diliriknya Yuu yang membantunya walaupun sambil terus menggerutu. Pemuda itu membuka mesin pencarian dan sebuah platform musik yang biasa ia gunakan. “Kau hanya perlu mencari lagu-lagu itu di sini dan di sini!” Yuu menoleh. Ia tersentak. Wajah Miyuki mungkin berjarak sejengkal saja dari wajahnya. “Kerjakan sendiri!” bentak Yuu gugup sambil beranjak. “Aku ingin merokok di luar!” Dengan tenang Miyuki mulai bekerja. Yuu berjalan menuju balkon. Pemuda itu merogoh kantong celana jeansnya dan mengeluarkan sekotak rokok yang masih setengah penuh. Sambil menyulut rokoknya dengan pemantik api, Yuu memandangi langit dan panorama dari lantai tiga. Tak lama kemudian, ia menoleh. Diperhatikannya Miyuki lewat jendela balkon yang seluas dinding. Pemuda itu pun termenung. Ia masih tak percaya. Gadis yang dulu hanyalah selembar poster di etalase toko kecantikan langganannya itu kini ada di ruang tamunya, bicara kepadanya, meminum birnya dan menggunakan laptopnya. Bukankah ini yang selalu ia bayangkan? Lalu mengapa pemuda itu justru merasa semakin kesal? >>> Rasa kesal Yuu bukannya tanpa alasan. Rasa kesal muncul karena seseorang merasa terancam, frustrasi atau tak berdaya. Lima tahun yang lalu, virus cinta menyerang Yuu dan melumpuhkannya dengan begitu cepat. Pemuda itu dibuat frustrasi atas ketidakberdayaannya selama bertahun-tahun. Kini, di saat Yuu mulai dapat menjalani kehidupannya dengan normal kembali, Miyuki yang dulu telah membawa virus itu, datang lagi kepadanya. Pantas saja jika pemuda itu merasa terancam. Ia tak ingin kembali pada hari-hari traumatis itu ataupun mengingatnya lagi. Yuu meremas kotak rokoknya yang kosong. Ketika ia kembali ke ruang tengah, ia menemukan Miyuki terlelap dengan kepala di atas meja. Lagu-lagu di playlist buatan gadis itu mengalun dalam volume rendah. Yuu berdecak kemudian menghela napas berat. Dengan hati-hati, dihampirinya Miyuki dan ia pun berjongkok tepat di samping gadis itu. Dipandanginya Miyuki lekat-lekat sambil bertopang dagu. Yuu mengangkat tangannya dan nyaris saja ia menyentuh kepala Miyuki, namun pemuda itu segera menahan diri. Ia pun memalingkan wajahnya. Pupilnya melebar, jantungnya berdebar sangat keras. Apa… Yuu menekan dadanya yang seolah-olah akan meledak. Yang harus kulakukan… >>> Mimpi itu terulang kembali. “Seharusnya kau jangan ikut campur!” Di klinik sekolah, Miyuki mengomeli Shinobu sambil mengompres pipi kiri anak laki-laki itu yang bengkak akibat dipukuli oleh sekelompok berandalan. Kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Shinobu selalu muncul ketika Miyuki diganggu oleh bocah-bocah biadab itu. Walaupun tubuhnya gemetar ketakutan, Shinobu menantang mereka berkelahi. Pada akhirnya Shinobu pun babak-belur karena dikeroyok oleh mereka. “Jangan khawatir! Suatu hari nanti aku akan mengalahkan mereka!” anak laki-laki itu menyeringai. “Bukan dengan tinjuku!” lanjut Shinobu dengan penuh keyakinan. “Melainkan dengan kecerdasanku! Aku akan jadi ilmuwan ternama! Aku akan melindungimu dengan penemuanku yang diakui oleh dunia! Percayalah kepadaku, Miyuki-chan!” Perlahan Miyuki membuka matanya dan sosok Shinobu pun menghilang. Sebagai gantinya, Yuu berbaring miring di sisi gadis itu dengan berbantalkan lengan, memandanginya dengan tatapan risau. Pemuda itu pun menghapus air mata yang membasahi pipi kanan Miyuki. “Seandainya aku tidak menemui Shinobu hari itu…” bisik Miyuki seolah-olah ia mengigau. “Mungkin dia tidak akan mati begitu saja…” Yuu bergeming. “Dia bilang hidupnya sudah sempurna karena dia sudah melihatku lagi… dia bilang dia tak butuh apapun lagi…” Miyuki terisak. “Betapa bodohnya… masih banyak yang harus dia lakukan… cita-citanya belum terwujud… janjinya kepadaku belum ditepati…” Yuu menarik gadis itu ke dalam dekapannya. “Semua itu salahku… Aku tak pantas dimaafkan…” Setiap kata yang Miyuki ucapkan menikam hati Yuu dan mengoyaknya. Pemuda itu memejamkan matanya dan air matanya mengalir. Ia pun turut menangis tanpa suara. #11. Madness Yuu dibangunkan oleh alarm ponselnya yang selalu berdering setiap pukul tujuh pagi. Pemuda itu tersentak dan segera bangkit. Miyuki tak lagi di sisinya. Gadis itu sudah pergi ketika fajar menyingsing. Miyuki bertemu dengan Kaito di depan pintu apartemennya. Rupanya pria itu telah menunggunya sejak semalam. Miyuki hanya menatap pria itu sejenak kemudian berlalu tanpa mengatakan apapun. Kaito menangkap tangan Miyuki dan menahan gadis itu. “Dari mana saja kau?” “Kau tak perlu tahu…” “Tentu saja aku harus tahu!” bentak Kaito. “Aku adalah psikologmu dan keamananmu adalah tanggung-jawabku!” Miyuki menarik tangannya sampai lepas dari genggaman Kaito. “Jangan sekarang…” gadis itu memohon dengan suara lemah. “Aku sedang tak ingin bicara denganmu…” “Jika bukan aku, siapa lagi yang akan mendengarkanmu?” desak Kaito. “Jika bukan aku, siapa lagi yang akan menjagamu? Shinobu? Dia sudah mati!” Miyuki berbalik. Ia menatap Kaito dengan mata nyalang. Pria itu berjalan cepat ke arah Miyuki dan mencengkram kedua bahunya. “Shinobu sudah mati!” Kaito menegaskan. Miyuki terlalu marah sehingga ia hanya mematung di tempatnya berdiri. “Karena itulah…” bisik Kaito sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. “Sekarang kau hanya punya aku seorang…” Miyuki sadar pria itu hendak mengecup bibirnya. Gadis itu pun semakin geram. Tamparan keras dan panas mendarat di pipi kiri Kaito. Sang psikolog jatuh terjembab. Kaito memegangi pipinya yang bercapkan telapak tangan Miyuki, kemudian pria itu pun menengadah dan terpana. “Jangan coba-coba menyentuhku!” hardik Miyuki. “Maafkan aku!” Kaito segera berlutut di hadapan gadis itu. “Tapi aku sangat menyukaimu!” Miyuki terdiam. Ia teringat akan seseorang yang pernah mengucapkan pengakuan serupa. Orang itu sangat menjijikkan. “Kau… adalah yang terburuk!” gadis itu mendesis. “Enyahlah… aku tak ingin melihatmu lagi!” >>> Setelah Miyuki mengusirnya, Kaito tak tinggal diam. Ia menelepon 119 dan mengatakan bahwa ia baru saja diserang oleh pasiennya. Kaito juga menghubungi Nobara. Ia bilang Miyuki histeris karena psikosis dan paranoia sehingga gadis itu perlu dikembalikan ke rumah sakit. Tentu saja psikolog itu berbohong. Tim paramedis tiba kurang dari 10 menit kemudian untuk menangkap Miyuki yang berada di dalam apartemennya. Kaito ternyata sudah memiliki kunci rumah Miyuki bahkan sebelum gadis itu pindah ke sana. Kaito pun memimpin tim. Miyuki, yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung disergap oleh dua orang paramedis. Tangannya dibekuk di belakang dan ia ditiarapkan di lantai. Sekilas gadis itu melihat Kaito menyeringai. Pria itu melanjutkan aktingnya. Sang psikolog berpura-pura merasa khawatir dan iba kepada pasiennya. “Miyuki-chan, sadarlah, ini aku!” seru Kaito. “Dasar kau bajingan!” gadis itu meronta. “Lepaskan aku!” “Berikan dia penenang!” Kaito memerintahkan tim paramedis. “Dengan kondisi mentalnya saat ini, dia terlalu berbahaya, dia bisa menyerang Anda semua di ambulan!” “Persetan!” teriak Miyuki. Gadis itu tak berdaya melawan tiga orang laki-laki dewasa. Jarum suntik menembus nadi di lehernya. Miyuki pun jatuh pingsan dalam hitungan detik. >>> Seperti duri yang mengganjal di kerongkongan, ada sesuatu yang mengganggu perasaan Yuu sejak Miyuki pergi. Ia berusaha untuk mengacuhkan intuisinya yang terus mendesaknya untuk menyusul gadis itu. Namun, karena Yuu terus mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada aktivitasnya hari ini, pemuda itu pun memutuskan untuk mengikuti dorongan hatinya. Yuu mengayuh langkahnya secepat yang ia mampu seakan ia sedang tanding lari. Pemuda itu tiba di seberang apartemen Miyuki dengan napas yang nyaris habis dan pakaian yang basah oleh keringat. Gerbang komplek residensial mewah di hadapannya itu ditutup rapat serta dijaga ketat oleh beberapa orang security untuk menghalau jurnalis yang berdatangan. Masyarakat yang penasaran juga mulai berkumpul di sana. Tampaknya baru saja terjadi suatu insiden. Korbannya pastilah orang yang terkenal. Yuu curiga semua itu ada hubungannya dengan Miyuki. Jantung pemuda itu berdebar semakin keras akibat dipacu kegelisahan. Ia pun mencari jalan masuk lain ke dalam apartemen itu. Begitu Yuu sampai di bangunan yang ditempati Miyuki, bayangan mengerikan di dalam benaknya berubah jadi kenyataan. Ia dapat mengenali sosok Miyuki yang tak sadarkan diri, diusung oleh paramedis menuju ambulan, sementara Nobara dan seorang pria yang tak Yuu kenal mendampingi gadis itu. Pemuda itu pun segera berlari menghampiri Nobara. “Miyamoto-san!” serunya. “Apa yang terjadi?” “Yuu-kun!” kedua mata Nobara terbelalak ketika ia melihat Yuu. “Mengapa kau di sini?” Saat itu pintu ambulan sudah tertutup dan tak lama kemudian mobil itu pun berangkat. “Miyuki meninggalkan sesuatu di rumahku. Aku hanya ingin mengembalikannya.” Yuu terpaksa berbohong. “Lalu? Bagaimana dengan Miyuki?” Nobara mendesah sedih. “Tadi pagi, Miyuki menyerang Higa-sensei, psikolognya, yang berusaha menghentikan gadis itu agar tidak lompat dari gedung ini…” jawab Nobara. “Tampaknya keinginan bunuh diri gadis itu justru semakin besar setelah ia keluar dari rumah sakit…” Sejenak Yuu tertegun. Pemuda itu tak mempercayai Nobara begitu saja. Cerita itu terdengar janggal. “Tapi itu tidak benar!” tampik Yuu. “Miyuki sedang berjuang untuk tetap hidup! Buktinya, gadis itu berusaha keras agar ia dapat bekerja kembali di Robinson, bahkan walaupun aku terus menolaknya! Selain itu, ketika dia mengerjakan playlistnya di rumahku semalam, aku bisa melihat kesungguhannya! Miyuki hendak mempersembahkan playlistnya untuk seseorang bernama Shinobu!” Nobara menatap Yuu dengan bingung sekaligus terkejut. “Miyuki berharap dia dapat menyampaikan semua perasaannya kepada Shinobu lewat Robinson!” lanjut pemuda itu dengan terburu-buru. “Miyamoto-san, percayalah kepadaku, gadis itu tak mungkin menyerah begitu saja! Pasti ada kesalahpahaman antara Miyuki dengan psikolognya! Karena itulah, izinkan aku bertemu dengannya, supaya aku bisa mendengar langsung dari mulut gadis itu sendiri alasan mengapa tiba-tiba dia ingin lompat dari gedung ini atau mengapa dia menyerang psikolognya!” “Aku mengerti.” Nobara mengangguk. “Nanti, jika kondisi gadis itu sudah cukup kondusif untuk diajak bicara, kau akan kuhubungi.” “Terimakasih, Miyamoto-san!” senyum lega Yuu pun mengembang. >>> Nobara, sebelum menjadi manajer Miyuki, adalah umat Kristiani yang taat dan saleh. Namun, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di gereja sejak ia jatuh cinta kepada seorang pendeta. Imannya pun semakin terkikis begitu ia terjun ke dunia hiburan. Pria baik hati itu berubah jadi seorang pebisnis yang hanya peduli tentang uang, keuntungan dan kesuksesan materialistis. Ia hanya memikirkan tiga hal itu sampai pada akhirnya ia menyaksikan sesuatu yang melenyapkan keyakinan barunya. Harta yang banyak, pujian dari banyak orang serta status sosial yang tinggi rupanya tidak memberikannya kebahagiaan. Nobara tak pernah mengatakannya kepada siapapun. Patah hati yang pernah dirasakannya tidak sebanding dengan kegilaan yang dialaminya pada saat ia menyadari bahwa ambisinya telah merusak diri seorang gadis kecil. Tidak hanya itu, ia juga telah menghancurkan hidup gadis itu. Dan sampai kapanpun, ia akan terus menyesali segala perbuatannya. Sayangnya, Nobara tak mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia berusaha untuk memperbaiki diri gadis itu dengan menjadikannya seorang bintang, tapi semakin ia mencoba, hidup gadis itu justru kian merana. Malam itu, Nobara pun mendatangi gereja yang dulu selalu dikunjunginya pada akhir pekan. Pria itu kembali menemui pendeta yang sudah dua puluh tahun dihindarinya. Ia hendak membuat pengakuan dosa. Sebuah rahasia kelam yang selalu disimpannya pun terungkap. “Aku telah berdosa…” Nobara memulai pengakuannya. “Aku melihat apa yang mereka lakukan kepada gadis itu… namun aku berpura-pura tak tahu… karena aku terlalu takut… aku tak berani melakukan apapun…” #12. Absolution Suatu pagi, tiga hari setelah Miyuki dirawat kembali di rumah sakit, Nobara dihubungi oleh Itou Yuri, asisten pemimpin agensi. “Para jurnalis terus mengepung kantor kita.” Lapor Yuri. “Shachou sudah memutuskan. Kita harus menganulir kontrak kerjasama kita dengan Miyuki. Perilaku gadis itu tak bisa ditolelir lagi.” “Tapi!” “Tolong hubungi Miyuki dan orangtuanya sekarang juga.” Lanjut Yuri. “Surat pemberitahuan sudah kukirimkan lewat surel kepadamu dan kepada mereka. Aku pun sudah menyiapkan konferensi pers untuk pukul delapan nanti malam. Pastikan kau datang.” “Tunggu dulu!” Nobara menahan Yuri agar tidak memutuskan sambungan teleponnya. “Gadis itu sedang berjuang! Bukankah seharusnya kita mendukungnya? Bukankah tindakan seperti ini terlalu gegabah dan terlalu kejam?” “Itu bukan urusanmu lagi.” Sahut Yuri dingin. “Shachou memerintahkan agar kau fokus saja pada Ayumi.” Pembicaraan itu berakhir. Sejenak Nobara terdiam, sementara otak dan hatinya terus memburunya. Kurang dari setengah jam kemudian, pria itu tiba di rumah sakit. Ia bertemu dengan ibu Miyuki yang baru saja keluar dari kamar isolasi di mana gadis itu diamankan. Wanita itu tergopoh-gopoh menyongsongnya dengan wajah harap-harap cemas. Tampaknya beliau mengira Nobara datang membawa kabar baik. “Aku sudah menasehati anak itu!” kata ibu Miyuki. “Aku yakin dia akan berubah!” “Aku mengerti…” “Tolong bantu puteriku!” pinta ibu Miyuki. “Dia harus segera kembali bekerja! Selama ini apa yang dilakukan gadis itu masih belum maksimal! Masih banyak potensinya yang belum ditunjukkannya kepada dunia!” “Aku paham keinginan Anda…” Tapi mungkin itu bukan keinginan Miyuki… Nobara membatin. Kali ini aku tak akan memaksakan apapun lagi pada gadis itu… Kali ini aku ingin membebaskannya… Dari Anda, dari saya, dari segala penderitaannya… Nobara memasuki ruang opname khusus itu dan melihat Miyuki sedang termenung di depan jendela. Karena hanya itulah yang dapat kulakukan… untuk menebus dosa-dosaku pada gadis itu… >>> “Kau sudah dengar keputusan Shachou?” tanya Nobara. Miyuki diam saja. “Bagaimana menurutmu?” Nobara seperti bicara dengan benda tak bernyawa saja karena Miyuki tak meresponnya. Pria itu menghela napas berat. Ia melangkah ke arah sofa dan berbaring di sana. “Syukurlah…” gumam Nobara sambil menatap langit-langit. “Mulai sekarang, kau telah bebas, tidak ada lagi yang akan mengendalikanmu…” “Kau yang meminta Shachou untuk melepaskanku?” pada akhirnya Miyuki bersuara. “Tidak.” Jawab Nobara. “Lalu untuk apa kau datang kemari?” “Untuk mengucapkan salam perpisahan.” Miyuki pun menoleh. Dipandanginya Nobara yang masih berbaring di atas sofa dan sedang menatap langit-langit. Mata pria itu merah dan basah. “Mulai sekarang, pikirkan dirimu sendiri. Dan janganlah kau menjadi lemah.” Nobara pun bangkit dan beranjak ke pintu. “Walaupun kau harus berjalan seorang diri, jangan biarkan siapapun menghentikan langkahmu. Karena itulah kau harus kuat agar kau dapat melawan mereka.” Miyuki kembali membisu. Ia tak berkutik ketika Nobara meninggalkan ruangan itu. Keheningan merebak. Kekosongan menyergap. Miyuki tak dapat mendengar tangis Nobara setelah pria itu menutup pintu. >>> Miyuki dan Kaito menonton Nobara mengumumkan keputusan bosnya di konferensi pers yang disiarkan keesokan paginya di televisi. Kaito mendengus dan menyeringai puas. Ia merasa Miyuki telah sepenuhnya menjadi miliknya. Tiada lagi seorang pun yang dapat menghalanginya. “Kau lihat?” kata pria itu. “Sudah kubilang!” Miyuki melirik Kaito dan dengan tenang ia hanya melipat tangan. “Terimakasih, kau sudah menyingkirkan orang itu.” Sahut gadis itu. “Sayangnya, kau pun harus menyingkir dari kehidupanku.” “Begitukah?” tantang Kaito. “Coba saja!” “Sebaiknya kau mendengarkanku.” Miyuki tampak serius. “Atau kau akan menyesal.” Kaito tertawa. “Kau terdengar mengerikan…” sindirnya. “Dan kau akan habis…” balas Miyuki. Seseorang mengetuk pintu kamar Miyuki. Kaito pun berdiri dan berbalik untuk menyapa tamu yang berkunjung. Dua orang pria muncul di hadapannya. “Higa-sensei?” tanya salah seorang di antara mereka. “Ya?” “Saya Saitou Mamoru dari Keishichou.” Rona di wajah Kaito mendadak berubah pucat. “Anda kami tahan atas tuduhan malpraktik, pelecehan seksual dan penipuan kepada 119. Anda memiliki hak untuk tetap diam. Jika Anda mengatakan sesuatu, ucapan Anda dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Anda memiliki hak untuk berkonsultasi dengan pengacara dan meminta pengacara Anda hadir selama interogasi. Jika Anda tidak mampu membayar pengacara, seseorang akan ditunjuk untuk Anda jika Anda menginginkannya.” >>> Nobara sudah menunggu Miyuki di depan pintu rumah sakit. Beberapa menit yang lalu pria itu melihat Kaito dibawa pergi dengan mobil polisi. Kericuhan sempat terjadi antara Kaito dengan kedua polisi yang menangkapnya, namun Nobara tak peduli dan tak pula ikut campur. Pria botak itu malah asyik memainkan sebuah flashdisk di tangannya sambil bersenandung, flashdisk yang kemarin dititipkan kepadanya oleh Miyuki lewat seorang janitor baik hati. Semalam, setelah Nobara menyelesaikan urusannya dengan para jurnalis, ia membuka flashdisk itu. Hanya ada satu file yang ia temukan di dalam flashdisk itu: sebuah rekaman suara percakapan antara Kaito dan Miyuki. Nobara jijik dan geram mendengarnya. Psikolog itu rupanya hanyalah seorang psikopat mesum. Ia berusaha mendapatkan gadis itu dengan berbagai ancaman di ruang terapi. Untunglah Miyuki sempat merekamnya dengan ponselnya. Pukul satu dini hari, Nobara mendatangi Keishichou, Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo. Detektif Saitou Mamoru pun turun tangan. Dari kamera pengawas apartemen yang ditempati Miyuki, sang detektif berhasil mendapatkan bukti bahwa Kaito berusaha mencium Miyuki sebelum Miyuki menamparnya. Tak lama kemudian, Kaito pun menawan gadis itu di rumah sakit dengan membuat laporan palsu kepada 119. “Kau sudah menyelamatkanku.” Puji Miyuki ketika Nobara mengantar gadis itu pulang dengan mobil pribadinya. “Terimakasih.” “Setelah ini jalan yang harus kau tempuh semakin panjang dan berliku.” Pria botak itu mengingatkan. “Dan aku tak bisa lagi mendampingimu.” “Aku tahu.” Nobara tersenyum. Ia masih punya setumpuk kesalahan yang tak pantas diampuni. Tapi setidaknya Miyuki sudah memaafkan satu di antaranya. #13. We Too Mata Nobara terpicing dan mulutnya menganga ketika ia menurunkan Miyuki di sebuah tempat yang asing. “Rumah siapa ini?” tanya sang pengemudi sambil mengamati flat tiga lantai itu. “Keluargamu?” “Yuu-san.” Jawab Miyuki singkat. “Eeeh?!” Nobara menoleh dan memelototi gadis yang duduk di kirinya itu. “Yuu-kun?!” Miyuki mengangguk. “Sejak kapan… kau dan orang itu…” “Tenang saja, ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Miyuki segera memotong kata-kata Nobara. “Untuk sementara, aku merasa tak ingin pulang ke rumahku sendiri.” “Lalu… mengapa…” “Dia orang yang baik. Aku tahu dia tidak akan berbuat kurang ajar seperti Kaito sialan itu.” Tumben betul… pikir Nobara. Miyuki percaya kepada seseorang. Selama ini gadis itu sudah menutup pintu hatinya kepada siapapun. Kecuali Shinobu… “Baiklah, aku tak akan memaksamu untuk cerita apapun tentang kau dan orang itu.” Pria itu menghela napas berat dan tersenyum. “Jika ada sesuatu yang genting, hubungi saja aku.” “Terimakasih.” Miyuki pun turun dari mobil Nobara. Pria botak itu terus memperhatikannya sampai gadis itu tak terlihat lagi. Setelah Nobara berangkat dengan mobilnya, Miyuki menekan bel pintu unit 306 dan suara Yuu terdengar di interkom. “Miyuki?” “Yo.” Yuu segera membukakan pintu. “Kau baik-baik saja?” tanya pemuda itu cemas. “Hm.” Miyuki mengangguk. “Syukurlah…” Miyuki terperangah melihat senyum Yuu. Sosok yang tersenyum itu, Miyuki mengenalnya. Sosok itulah yang selalu dirindukannya. “Masuklah…” “Jadi, apa yang terjadi?” cecar Yuu. “Apa benar kau menyerang psikologmu?” Miyuki melangkah santai menuju spot favoritnya, kotatsu yang berada tepat di tengah ruangan. “Itu hanya kesalahpahaman saja, bukan?” lanjut Yuu berapi-api. “Lalu mengapa agensimu memecatmu? Miyamoto-san tahu kau tidak mungkin mencoba bunuh diri lagi sejak kau datang ke Robinson! Aku sudah menjelaskan kepada Miyamoto-san tentang hal itu! Aku juga sudah menjelaskan kepada Iwa-chan bahwa kita tak perlu khawatir tentang kondisi mentalmu yang sekarang! Bahkan Iwa-chan pun tahu kau sungguh-sungguh ingin kembali bekerja di Robinson!” “Yuu-san…” Miyuki menghela napas berat dan menoleh. Yuu terdiam ketika matanya bertemu dengan mata gadis itu. Gadis itu memandanginya lekat-lekat. “Terimakasih…” Sejenak kedua orang itu hanya saling bertukar pandang. “Ada suatu ikatan yang membelit tubuhku dan mencekik leherku selama ini…” kata Miyuki. “Tapi sekarang ikatan itu sudah lepas… Aku sudah bebas. Dan aku ingin merayakannya bersamamu.” “Apa maksudmu?” Yuu tak mengerti. “Aku ingin bir dingin dan karaage!” seru Miyuki. “Ha?” “Itadakimasu!” >>> Karaage buatan Yuu tidak kalah lezat dari masakan ibu Miyuki. Gadis itu makan dengan lahap. Setelah makan siang, mereka berbincang di balkon, menikmati udara awal musim gugur yang sejuk dan bir dingin yang semakin menyegarkan. “Rasanya aneh dan mencurigakan.” Yuu membuka perbincangan mereka. “Aku tak pernah melihatmu seriang dan serelax ini.” “Begitulah.” Sahut Miyuki. “Cukup satu hari, aku ingin bersenang-senang sepuasnya, karena besok aku harus bergelut lagi dengan kenyataan.” Yuu tak berkomentar dan hanya menyimak. “Makanya!” gadis yang berdiri di kirinya itu berseru. “Hari ini akan kuungkapkan semua hal yang selama ini kupendam! Kepadamu, Yuu-san, dan kepada Shinobu yang mungkin mendengarkan di langit sana! Pokoknya akan kubeberkan semuanya sampai aku benar-benar lega, lho!” “Oi, Miyuki!” Miyuki bersiap-siap memulai ceritanya. “Aku benci berpisah dengan orang itu!” teriak Miyuki. “Aku benci semua orang yang memisahkanku dengannya! Aku benci diriku sendiri karena meninggalkannya! Aku benci dia karena meninggalkanku! Aku benci kisah cintaku berakhir tragis! Aku benci kehidupan yang membosankan ini tanpanya sehingga aku ingin mati agar aku bisa menemuinya lagi!” Yuu tertegun. Akhirnya… ia membatin. Gadis itu mengucapkannya… “Namun aku mengerti… jika aku terus bersama orang yang berhati lembut itu, jika aku menyeretnya ke duniaku yang keras ini, walaupun aku bahagia, dia akan tersiksa. Itu baik bagiku… tapi tidak baginya.” Miyuki tidak menangis. Ia malah tersenyum. Kesedihannya berubah jadi rasa lega. “Dan aku pun mengerti. Aku harus tetap hidup. Aku tak boleh mati sebelum kuperbaiki martabatku dan sebelum kubalas perbuatan mereka yang telah menginjak-injak harga diriku. Setiap orang terlahir untuk menjadi pelindung dirinya sendiri.” “Mereka?” tanya Yuu. “Siapa yang sedang kau bicarakan?” “Kau akan mengetahuinya.” Jawab Miyuki sambil mengerling. “Segera.” >>> Setelah menginap semalam di rumah Yuu, di pagi harinya Miyuki pergi ke kantor Keishichou untuk bersaksi atas kejahatan Kaito kepadanya. Begitu tanggal persidangan ditentukan, Nobara mempertemukan gadis itu dengan seorang pengacara wanita yang juga merupakan pelopor gerakan #WeToo di Jepang. Wanita cerdas dan tangguh itu bernama Kusanagi Meiou. Meiou pun pernah menjadi korban kejahatan seksual. Dengan mudah pengacara itu memenangkan kasus Miyuki. Kemdian, hubungan Miyuki dengan Meiou berlanjut di luar gedung mahkamah agung, mereka tidak hanya sebatas pengacara-klien saja. Meiou melibatkan Miyuki dalam organisasi nonprofitnya yang bertujuan memberdayakan para perempuan korban kejahatan seksual. Walaupun Miyuki memiliki kesibukan baru bersama Meiou, program “Hey, Boys and Girls!” tetap disiarkan sesuai rencana. Iwa tak menyangka, rating pendengar Robinson langsung melejit drastis begitu program itu disiarkan. Miyuki berhasil memperbaiki namanya yang sempat buruk. Bahkan penggemarnya bertambah jauh lebih banyak daripada dulu ketika gadis itu hanya dikenal sebagai selebriti biasa. Yuu pun bangga karena Miyuki telah berubah. Gadis pendiam itu kini adalah seorang aktivis yang begitu vokal. Gadis itu begitu antusias dan berdedikasi dalam memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak perempuan lainnya. Ia tak lagi pasif menerima takdir. Dengan aktif ia menentukan nasibnya sendiri. Suatu pagi, ketika Yuu baru saja tiba di kantor Robinson untuk mengambil naskah siaran minggu depan, Iwa bergegas menemuinya. “Nih!” sang produser menyodorkan tabletnya kepada Yuu dan memperlihatkan pemuda itu sebuah artikel online. “Miyuki?” “Hm.” “Tentang apa?” “Baca saja.” >>> Tentang mereka: orang-orang yang menyatakan cinta kepadaku (Ditulis oleh Kaneshiro Miyuki di situs resmi We Too Organization). Usiaku saat itu masih 14 tahun. Aku hanyalah seorang pendatang baru yang gugup namun penuh harapan. Manajerku saat itu pun karyawan baru di agensi. Sepertiku, beliau selalu dibayangi oleh rasa takut sekaligus optimisme. Kami berdua mempercayai angan-angan kami, walaupun dunia hiburan adalah tempat berkumpulnya orang-orang munafik. Dari kantor, atas perintah pemimpin agensi kami, manajerku mengantarkanku ke sebuah hotel bintang lima. Di suite room, seorang fotografer sudah menungguku. Ia meminta manajerku menunggu di luar. Aku tak tahu tentang pemotretan ini. Tapi fotografer itu bilang ini hanyalah pemotretan biasa. Aku tak menaruh curiga, walaupun aku cukup khawatir, sebab kami tidak sendirian di ruangan itu. Ada seseorang yang mengatur latar dan penerangan, ada pula yang berada di balik monitor, dan ada seorang perempuan yang bertugas mendandaniku. Tiga jepretan pertama, aku masih berpakaian lengkap. Tiga berikutnya, atasan, bawahan dan dalamanku dilepaskan. Tiga yang terakhir, tak sehelai benang pun menutupi tubuhku. Sang fotografer menyuruhku beristirahat selama lima menit dan memberikanku segelas minuman. Kemudian ia kembali mengambil gambarku. Setiap kali ia menekan shutter kameranya, cahaya lampu kamera membutakanku sejenak. Tiba-tiba saja, gelap yang kulihat tak kunjung terang. Dan tiba-tiba saja, aku terbangun ketika hari sudah berganti dan matahari sudah tinggi. Sang fotografer dan seorang anak buahnya asyik bercengkrama sambil merokok di sekelilingku. Anak buahnya yang satu lagi terlelap pulas di sisiku. Ia bau alkohol. Perempuan yang semalam mendandaniku tergolek tak sadarkan diri di lantai. Aku pun tergeletak di atas tempat tidur. Kami semua yang ada di ruangan itu bugil atau setengah bugil. Dada serta pinggulku terasa nyeri. Darah segar tak hentinya mengalir di kakiku. Bahkan, walaupun aku bisa dibilang masih lugu, aku tahu apa yang sudah terjadi. Manajerku datang sesuai panggilan fotografer itu. Sebelum aku dipulangkan, sang fotografer memberikanku segepok uang. Dalam perjalanan, aku hanya bisa menangis dan aku tahu manajerku ikut menangis, walaupun kami tak membahas apapun yang menyebabkan tangisan kami. Di rumah, setelah mendengar ceritaku, ibuku hanya berkata, “Jangan cerita kepada siapapun lagi. Cukup kau dan aku saja yang tahu. Jika kau tak cerita kepada orang lain, mereka tak akan tahu. Berjanjilah, kau tak akan mempermalukan keluargamu.”… #14. With You Yuu tak sanggup membaca artikel itu sampai selesai. Ia tak sanggup membayangkan apa yang sudah Miyuki alami. Laki-laki itu berlari ke toilet dan tersedu seperti seorang anak perempuan. Iwa memblokade pintu toilet itu supaya tak ada orang lain yang masuk ke sana. Sepuluh menit kemudian, Yuu pun keluar dari toilet itu. Ia tampak cukup tenang, namun penampilannya benar-benar kusut. Iwa tahu ia tak dapat melakukan apapun untuk menghibur pemuda itu, karena itulah sang produser hanya dapat menyuruhnya pulang. Ini bukanlah kali pertama Yuu datang ke apartemen Miyuki, tapi ini adalah kali pertamanya masuk ke unit yang ditinggali gadis itu. Yuu merasa agak gugup ketika Miyuki menyambut kehadirannya dengan riang. Pemuda itu membawa selusin bir dingin dan dua bento karaage dari restoran langganan karyawan Robinson di dekat kantor. Setelah makan siang, mereka berbincang ringan tentang naskah siaran minggu depan, juga tentang playlist yang sudah mereka buat. Ada banyak hal yang Yuu hendak katakan, namun setiap kali ia melihat senyum di wajah cerah Miyuki, pemuda itu tak mampu mengucapkannya. Pada akhirnya Yuu membiarkan waktu berlalu begitu saja, apa adanya. Ia dan Miyuki hanya mengobrol santai, minum bir sambil mendengarkan ratusan lagu, dan tanpa mereka sadari malam sudah begitu larut. Yuu pun terus menguap. “Ja, aku harus pulang sekarang.” Pemuda itu bangkit dari sofa. “Apa saja jadwalmu besok?” tanya Miyuki. “Tidak ada yang penting.” “Lalu mengapa kau begitu tergesa-gesa?” “Eh?” Yuu mengerutkan dahinya. “Tentu saja aku harus pulang sekarang, bukan? Ini sudah pukul setengah dua belas. Aku pun sudah mengantuk.” “Menginaplah di sini!” rengek Miyuki. “Aku sedang tak ingin sendirian!” Yuu tersentak. Ia tak menyangka sang tuan rumah dapat bicara seterus-terang itu kepadanya tanpa sedikit pun merasa canggung. Pemuda itu mengira hubungan mereka sudah terlalu akrab dan ia hanya dapat mendengus tertawa. “Ano sa, kalau aku boleh jujur, aku senang mendengar permintaanmu.” Pemuda itu mengakui. “Aku pun ingin selalu bersamamu. Setiap malam. Setiap hari.” Kini giliran Miyuki yang tertegun. “Tapi, tidak seperti Iwa-chan, perasaanku kepadamu bukan perasaan teman biasa. Tidak pula seperti Miyamoto-san, aku hanyalah seorang laki-laki yang menyukai perempuan. Dan, sebagai laki-laki, aku menganggapmu perempuan yang istimewa.” Yuu memegang kepala Miyuki dan mengacak rambut gadis itu. “Dasar bodoh!” seru pemuda itu. “Hal sepele begini saja kau tak mengerti!” Miyuki mengerjapkan matanya. Ada suatu beban yang jatuh dari jantung gadis itu ke perutnya. Gerakannya secepat apel busuk yang ditanggalkan oleh gravitasi Bumi. Ia terbanting, terpelanting dan hancur menjadi kepingan. Tak lama kemudian, sebelum kekosongan terasa begitu mencekik, sesuatu jatuh ke dalam tenggorokan gadis itu. Gerakannya selembut daun-daun mapel yang berguguran. Dan ketika sesuatu itu menyentuh jantung Miyuki, gadis itu merasakan kehangatan yang mendebarkan, yang membuat kedua pipinya merona. >>> Artikel kontroversial yang Miyuki tulis di situs resmi We Too Organization mengakibatkan kegemparan, tak hanya di Jepang, bahkan media luar negeri pun turut menyorotnya. Didampingi oleh penasehat hukumnya, Meiou, gadis itu mengungkap kejahatan seorang fotografer kawakan berinisial AR. Ternyata Miyuki bukan korban AR satu-satunya. Belasan perempuan, sebagian besar di antara mereka berprofesi sebagai model, bergabung dengan Miyuki untuk menjebloskan AR ke penjara. Walaupun kejahatan AR itu secara langsung maupun tidak sudah melibatkan Nobara dan ibunya sendiri, dalam suatu konferensi pers, Miyuki menyatakan bahwa ia sudah memaafkan Nobara dan sang ibu. Meskipun demikian, nama Miyuki sudah dicoret dari kartu keluarga Kaneshiro. Ibunya tak sudi menemui puteri semata wayangnya itu lagi. Sang ibu bahkan menyatakan bahwa ia tak akan pernah memaafkan puterinya itu sampai mati. Drama keluarga itu sempat membuat semangat hidup Miyuki turun. Ia mengasingkan dirinya ke suatu tempat dan tak seorang pun dapat menghubunginya. Tentu saja, hal itu membuat Yuu, Iwa, Nobara dan Meiou khawatir, namun Miyuki berjanji ia tak akan melakukan kebodohan yang pernah dilakukannya dulu. Pada suatu pagi yang berkabut, seorang wanita menemukan gadis itu berdiri di hadapan sebuah batu nisan, terpekur seorang diri. Pemakaman itu berjarak ratusan kilometer jauhnya dari Tokyo. “Kaneshiro… Miyuki-san?” Miyuki menoleh. Wanita berusia 50-an itu gemuk dan pendek. Miyuki mengangguk. Wajah wanita itu tampak familiar. “Saya… ibu Kurosawa Shinobu.” >>> Yuu tidak kaget lagi setiap kali ia melihat Miyuki yang tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya. “Bir dan karaage?” Yuu langsung menawarkan setelah mempersilakan tamunya masuk. “Tidak.” Jawab Miyuki. “Aku hanya ingin bertemu denganmu.” Sejenak Yuu terdiam. Diperhatikannya wajah Miyuki yang tanpa ekspresi. Pemuda itu pun menghela napas berat dan menghampiri tamunya yang kini berada di balkon untuk menghirup udara segar. “Kau terlihat lelah.” Kata Yuu. “Aku baru saja tiba dari Kagoshima.” Miyuki mulai bercerita. “Shinobu disemayamkan di sana dan keluarganya pun pindah ke sana sejak ia tiada.” “Eeeh…” gumam Yuu. “Begitukah?” “Orangtua Shinobu mirip dengan orang itu. Mereka adalah orang-orang yang lemah-lembut. Rumah mereka di desa pun sangat nyaman untuk ditempati. Lingkungan yang ideal untuk menyembuhkan trauma.” Yuu mendengarkan cerita gadis itu dengan penuh perhatian. “Kau tahu, aku sempat takut menemui mereka.” Miyuki bertopang dagu. “Tapi sekarang, aku merasa mendapatkan keluarga baru. Mereka menyambutku dan menjamuku dengan baik. Sebelum aku pulang, mereka memberikanku oleh-oleh, juga memintaku agar mengunjungi mereka lagi.” Gadis itu menatap Yuu dan tersenyum. “Sepertinya mereka sudah memaafkanku…” “Syukurlah…” Yuu ikut tersenyum dan menatap balik tamunya itu. “Lalu apakah kau sudah memaafkan dirimu sendiri?” Miyuki tak langsung menjawab pertanyaan Yuu. Pemuda itu membiarkan obrolan itu menggantung sejenak. Ia menunggu dengan sabar. “Jika kau memaafkanku…” Miyuki pun kembali bersuara. “Kau tak punya salah apapun kepadaku!” potong Yuu tegas. “Aku bukan marah kepadamu. Aku marah kepada diriku sendiri. Aku menyukaimu! Aku suka kepadamu dan aku tak bisa mengatakannya… karena itulah…” Miyuki tampak kebingungan. Yuu mengepalkan tangannya erat-erat dan mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berdebar keras dan menjernihkan pikirannya agar ia dapat menjelaskan apa yang baru saja ia ucapkan. “Sepertimu yang takut menemui orangtua Shinobu-san karena kau takut mereka membencimu, aku menyukaimu tapi aku terlalu takut untuk menyatakan perasaanku. Aku takut kau masih mencintai Shinobu-san. Aku takut kau menolakku kemudian menjauhiku. Aku hanyalah seorang pengecut… seharusnya akulah yang minta maaf kepadamu…” “Kalau begitu!” kata Miyuki. “Karena kita sudah saling memaafkan, dan karena kau sudah jujur kepadaku, aku pun akan jujur kepadamu! Aku juga ingin bersamamu… Aku ingin selalu bersamamu… Setiap malam. Setiap hari. Aku tidak tahu sejak kapan aku menginginkannya… aku tidak mengerti mengapa aku menginginkannya… tapi…” Mata Yuu terbelalak. Ia nyaris tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Pemuda itu kembali terdiam untuk mencerna kata-kata Miyuki. Ia memalingkan wajahnya dan menundukkan kepalanya. Benaknya seperti tape recorder yang memutar kaset dengan pita yang kusut. “Yuu-san…” panggil Miyuki hati-hati. “Kau baik-baik saja?” “Miyuki.” Yuu menoleh. “Coba tampar aku.” “Ha?” “Ara? Aku benar-benar tak mengerti ucapanmu tadi! Aku pasti hanya sedang bermimpi…” Tiba-tiba Miyuki menampar pipi Yuu cukup keras. Tak hanya itu, Miyuki juga mencubit pinggang Yuu. Pemuda itu menjerit kesakitan. “Bagaimana mungkin aku dapat jatuh cinta pada perempuan galak sepertimu?” keluh Yuu sambil menggosok-gosok pipi dan pinggangnya yang berdenyut nyeri. Miyuki cemberut. Yuu nyengir dan terkekeh. Dengan satu gerakan cepat, ia mengecup bibir gadis itu. Pemuda itu tak menahan dirinya lagi. Didekapnya sang kekasih dan mereka pun berpelukan selama mungkin, seolah mereka ingin menyatu selamanya. Malam itu, seperti biasa, Miyuki menginap di rumah Yuu. Tapi keesokan paginya, ketika Yuu terbangun, kekasihnya masih terlelap di sisinya. Miyuki tak lagi muncul dan menghilang begitu saja. Ketika gadis itu membuka matanya, Yuu sedang memandanginya lekat-lekat. Miyuki tersipu. Yuu pun mengucapkan selamat pagi. >>> Yuu memandangi en-musubi pemberian Arisu yang ternyata masih Miyuki simpan. Jimat itu kini menjadi sebuah memento penghias meja kerja isterinya itu. Yuu pun mengambil benda itu untuk diperlihatkan kepada Miyuki. “Kau tahu dari siapa benda ini?” tanya Yuu. Miyuki, yang pada saat itu sedang menumis sayuran, berhenti untuk melihat benda yang dibawa oleh suaminya. “Tidak.” Miyuki menggeleng. “Memangnya mengapa?” “Benda ini dibuat khusus oleh seorang pendeta di Tenryuu-ji, Kyoto, sesuai permintaan Arisu-san.” Yuu menjelaskan. “Eeeh? Benarkah?” Miyuki membelalakkan matanya. “Lalu bagaimana benda itu bisa ada di rumah sakit?” “Aku yang meninggalkannya untukmu.” Jawab Yuu. “Eeeh? Bohong, kan?” Miyuki tak percaya. “Kau menjengukku?” Yuu mengangguk. Miyuki terperangah. Pasangan suami-isteri baru itu pun saling bertukar pandang. “Waktu itu aku selalu menunggumu!” seru Miyuki. “Setiap hari aku berdoa agar kau datang! Waktu itu aku merasa begitu kesepian… Entah mengapa aku selalu berpikir hanya kau yang dapat menghiburku… Tapi aku tak bisa menghubungimu… Ponselku disimpan oleh Miyamoto-san…” Sejenak Yuu tertegun. Kemudian ia tersenyum. Pria itu meraih kedua pipi Miyuki, lalu dikecupnya bibir sang isteri, serta dipeluknya tubuh wanita itu erat-erat. Yuu baru memahami mengapa dulu ia tak dapat berhenti mendambakan Miyuki dan tak pula ia dapat melupakannya. Bagaikan dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, mereka ditakdirkan untuk bertemu, untuk menyatu. Segala pertanyaan, kerisauan, kecurigaan yang pernah ada pun menghilang seketika. Seperti waktu yang menghilang ketika pasangan itu saling mencari dalam gelap, saling memanggil dalam senyap, dan saling menelusuri benang merah masing-masing di antara warna-warna dunia.  Description: Menjelang ulangtahunnya yang ke-25, Kashiwabara Yuu baru pertama kali mengalami jatuh cinta yang begitu dahsyat. Pemuda itu dibuat mabuk kepayang oleh Kaneshiro Miyuki, 24 tahun, seorang entertainer yang sempurna. Mereka berkenalan untuk pertama kalinya ketika Miyuki magang di tempat Yuu bekerja. Yuu adalah seorang DJ radio, programnya yang bertajuk "Hey, Yuu! with Kitaoka Arisu" disiarkan setiap pagi dari pukul 7 sampai 10 pada hari Sabtu dan Minggu dari stasiun Robinson FM yang berlokasi di Chiyoda. Selama empat pekan Miyuki menjadi guest host Yuu.
Title: Ruang Kata Category: Slice of Life Text: Sebuah sajak : Desember dan 29 ekor kunang-kunang Desember kembali datang Untuk kesekian kalinya mengantar beberapa kenang-kenangan Tentang hal-hal yang sudah berpulang Dan kembeli bergelayut di kesunyian Desember kembali menjelang Bulan keramat yang mungkin enggan untuk diulang Waktu memang nekat mempermainkan Padahal langkahku sudah lama tidak ada di pijakan 7 Desember telah menghilang Rupanya ditelan hujan yang mulai tak berperasaan Itulah kenapa kebencian terhadapnya tak bernah diusaikan Terus begitu entah sampai kapan Mungkin saja akan ada beberapa hari yang cerah Dengan 29 ekor kunang-kunang yang memberi arah Kemudian menuju lorong-lorong yang tidak lagi beralas tanah Melompati Desember yang selalu membebani Dengan rahasia yang setia mengiringi Tanpa siapapun pernah mengerti Atau mereka malah akan mencaci Karena nyatanya orang-orang menganggap itu hanya ilusi dan tak berarti Kemudian membuat langkah lagi-lagi menjadi tak berani Kemudian membuat nurani menjadi menciut tak ada nyali Kemudian hanya menjadi pengecut yang bersembunyi... Ruang Sunyi, 1 Desember 2018 Kata kata yang tersusun dari udara Aku tak punya banyak waktu Untuk sekedar menghirup udara Untuk sekedar bermain sesukanya Atau untuk sekedar tertawa bahagia Untuk kembali percaya Untuk meratapi duka Atau untuk berdoa tentang hal-hal yang tak nyata Ada banyak kata-kata Yang selalu tercekat dalam tawa Kata-kata yang tersusun dari udara Dan tak pernah sampai pada tuannya Ada banyak kata-kata Yang masih bermukim dalam kepala Kata-kata yang lagi-lagi tersusun dari udara Dia seperti memiliki nyawa, Tapi Tak terlihat siapa-siapa Tak terdengar siapa-siapa Ruang Sunyi, Awal januari 2019 Pikiran-pikiran dalam Gelembung Jadi sebentar lagi... Gelembung-gelembung itu sudah mengudara Mereka hanya saling berdesakan kemudian melesak ke atas Bebas Dan lepas Bukan seperti jiwa yang terkurung dalam sebuah ruangan gelap dan pengap bukan juga seperti mendung yang tak jadi hujan, dia tetap bertahan mengeluarkan kilatan-kilatan Jadi sebenarnya, Aku tidak pergi Hanya saja, mulai kembali pada diriku semula Sebab ada satu kata yang terjebak, sebuah kata melesap di telinga Berdiam diri di kepala Membentuk sebuah pertanyaan tanpa jawaban yang nyata Aku tidak pernah pergi Hanya saja tidak pernah ada yang menahan Atau hanya meraih lengan kemudian bertanya keadaan Manusia bebas berasumsi semau nya Beropini sebebasnya Kemudian berkonklusi sesuka hatinya Lalu, pikiranku tak berguna Pikiran-pikiran yang semulanya ingin disuarakan Tertelan diri sendiri Merangsek ke dalam gelembung Dan sebentar lagi... Gelembung-gelembung itu akan pecah Menjadi serpihan-serpihan kalimat yang berhembus menjadi angin, terbang ke segala arah Ruang Sunyi, 7 Januari 2019 Description: describe by yourself...
Title: Runyam Category: Novel Text: Ini Gue "Tari! Bangun! Udah siang!" Gue membuka kedua mata, mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandangan. Berbaring di atas ranjang yang nyaman sambil mengamati langit-langit kamar, gue mengerjapkan mata berkali-kali memastikan jika gue nggak salah lihat. Ternyata benar di sana terdapat dua cicak yang asik bermesraan. Terduduk di ranjang sambil sesekali menguap, gue masih ngantuk! Tapi gue harus bangun gak boleh males. Gue rajin aja belum tentu ada yang mau apalagi kalo gue males. "Dear kasur, please lo jangan posesif", dengan enggan gue turun lalu menuju ke kamar mandi. Pagi ini gue rencananya mau buat sarapan bareng emak. Sebenarnya gak ribet sih, cuma sayur dan ikan doang. Gue liat emak ada di dapur langsung aja gue capcus ke sana. Tapi pas nyampe, emak bilang gak usah bantuin karena udah hampir kelar. Gue diem aja liatin emak masak, gue merasa gak enak nih. "Ikan segarrr! Fish! Fish! Ikan woy bu!" Terdengar suara keras dan cempreng dari luar komplek. Pasti itu si cowok barbar yang lagi jualan ikan. "Tar, sana beliin emak ikan kering!" Gue tanpa menjawab langsung beranjak ke kamar ambil jilbab lalu keluar buat beli ikan pesanan emak. Berjalan di pagi hari memang pilihan terbaik, walaupun jaraknya kurang lebih 20 meter dari rumah. Sampai di sana gue liat udah banyak ibu-ibu yang nawar. Malah nawarnya ngegas lagi! Ada juga yang gak nawar tapi justru membandingkan harga ikan yang dia beli sama harga penjual lain yang lebih murah. Gimana gak kesel kalo digituin. Gue kira si cowok bakal lebih sabar menghadapi mereka, tapi nyatanya malah ikutan ngegas. "Eh, bu! Ikan saya ini kualitas legend. Gak liat nih ikan masih kinclong!" Ibu-ibu di sana mendengus protes, biarpun begitu mereka tetep aja beli ikan. Setelah membayar, mereka pergi sambil misuh-misuh di jalan. Ckck dasar ibu-ibu. Sekarang giliran gue yang mancing emosi. "Woy, Pin! Ikan kepala dua ada gak?" "Heh! Lo! Itu namanya ikan kering! Jangan ngerusak nama ikan ya lo!", bentak Kepin dengan sok berperiikanan. Hah? Kepin? Iya kalian gak salah baca, namanya emang Kepin. Aneh gak sih? Menurut gue sih aneh, kan harusnya 'Kevin' bukan 'Kepin'. Kalau kata si Kepin sih, dulu emak bapaknya kepengen ngasih dia nama yang keren gitu. Tapi apalah daya, rata-rata orang kuno macam emak bapaknya sulit nyebutin huruf 'V' atau 'F'. Maklum aja, orang-orang tradisional kan emang gitu. Hadeuh... "Gue ambil satu ya ikannya, ntar gue bayar" "Apaan! Utang lo kemarin juga belum lunas Markonah!", gerutu Kepin. "Lo bego ya, Pin? Kemarin kan tergolong masa lalu, udah lewat. Gak usah dibahas lagi. Kalo kata orang bijak 'kita gak boleh terpaku dan terdiam untuk meratapi masa lalu, kita harus memikirkan keadaan sekarang dan masa yang akan datang' ngerti gak lo?", asli ini gue ngarang buat manfaatin kebegoan dia. "I..iya bener juga ya, tumben lo pinter", nah kan dengan begonya dia percaya. Wkwk parah, bagonya natural banget. "Kalo gitu gue balik ya, semoga dagangan lo laris dan berkah. Bye" Gue melongos pergi gitu aja dari hadapannya sebelum dia nyadar kalau udah gue begoin. Gak jauh dari tempat gue lari sekarang, gue udah denger teriakan Kepin manggil nama gue kayak orang gila. Sebenarnya gue gak enak manfaatin Kepin kayak gitu, cuma yah seru aja jadinya keseringan deh. Setelah ini kerjaan gue cuma rebahan di kasur sambil main hp, namanya juga pengangguran. Sarapan cuma berdua sama emak jadinya suasana hening. Kami memang cuma tinggal berdua karena emak dan bapak gue cerai saat gue berumur 16 tahun. Gue juga anak tunggal. Gue ikut emak, gak tau kenapa tapi kemanapun ngikut mulu sama emak kecuali ke wc ya. Ngikut kalo ke pasar, ikut ke tempat senam ibu-ibu, ke rumah temennya sampai ke surga pun gue mau ikut emak. Aamiin... "Kayaknya hpmu bunyi, Tar. Coba di liat dulu barangkali penting", kata emak lalu kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Gue cuma ngangguk dan lari ke kamar. Langsung aja gue angkat telponnya setelah melihat kalo itu nomor yang tidak di kenal. "Assalamualaikum warahmatullah...dengan siapa dan ada apa ya?" "Dengan Mbak Mentari?" "Iya, itu saya" "Kami dari Cavan Bakery, selamat berkas lamaran anda diterima. Silahkan datang besok untuk interview. Sampai jumpa dan semoga hatimu menyenangkan". Gue cuma ngedipin mata berulang kali, hp masih stand by di telinga. Ini beneran kan? Bukan prank? Perkataan si mbak tadi masih terngiang-ngiang di pikiran gue. Masih gak percaya kalo gue diterima. Well, ini lamaran pertama gue yang diterima setelah sekian lama menganggur. Duh gue gak sabar nungguin hari esok. Itu Dia Malam harinya gue gak bisa tidur. Rasanya gue gak bisa memejamkan mata mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Gue berusaha memejamkan mata, tetap gak bisa! Gue membaca do'a lagi dan kembali memejamkan mata dan gagal lagi. Akhirnya gue memutuskan untuk merem terus sampai pagi walaupun gak tidur-tidur. Tiga hari belakangan ini kegiatan yang gue jalanin gak seperti biasa. Gue cuma diem di kamar, keluar kamar kalo laper doang. Pokoknya tidur sepanjang hari jadi rutinitas gue sekarang, mandi aja gak gue lakuin. Gue tidur jam 4 pagi dan bangun jam 2 siang. Tok.. tok... Suara ketukan terdengar, gue terpaksa harus bukain karena emak lagi pergi senam cuma ninggalin note buat gue di meja. Gue langsung berdiri kenain mukenah panjang, biar gini-gini gue juga tau aturan agama. Baru deh setelah itu gue bukain pintu. Eh! Ternyata si curut yang dateng. "Woy, lo temenin gue beli bubur ayam ya!", ujar Kepin dengan kalimat memerintah. "Gak! Di siang bolong begini, lo lagi rancang rencana supaya kulit gue tambah gosong?" "Ini udah sore bego!" "Gak mau!" "Ok, fine. Demi kesejahteraan bersama dan demi kelangsungan perut, gue traktir lo deh" "Ok sip, tunggu bentar ya", giliran ditawari gratisan langsung setuju. Emang siapa yang bisa nolak. Makanan gue aja sehari-hari cuma ikan kering. Gue buru-buru ambil jaket, rok dan jilbab segitiga yang masih belum kering langsung gue sambar gitu aja. Habis itu keluar temuin Kepin yang pasti lagi misuh-misuh nungguin gue. "Lama amat sih lo, gak usah dandan kali! Lo dandan juga tetep jelek", tuh kan udah gue bilang nih orang emang dakjal. "Bacot! Cepet!", gue jalan cepet ninggalin dia. Gak tau apa, hati gue juga sakit dikatain gitu. Gue kan gak dandan, cuma ganti baju doang! Cara gunain lipstik aja gue gak tau. Kami berjalan sekitar setengah kilometer, warungnya emang agak deket sih. Dan juga Kepin emang gak bawa motor karena motornya masih bau ikan dan masih ada keranjang ikan juga di sana. Sekalian olahraga jalan kaki katanya. "Kang, bubur ayam spesialnya dua ya", gue begitu sampai langsung mendaratkan pantat ke bangku panjang yang emang udah disediakan di sana, gak lupa juga pesan menu yang paling mahal haha. Di susul sama Kepin yang juga ikutan duduk di bangku depan gue, cuma dipisahkan sama meja. "Siap, Neng", ujar kang Eru sambil ngacungin jempol ke arah gue. "Kang! Kok di warung kakang ada sumpit sih? Di setiap meja pula! Kang Eru jualan mie juga?", kumat lagi sifat kepo gue. Habisnya aneh gitu, masa tiap meja ada sumpitnya padahal penjual bubur. "Bukan, Neng. Saya naruh sumpit cuma karena iseng aja. Siapa tau ada pelanggan greget yang mau makan bubur pake sumpit, kan seru tuh", jelas Kang Eru yang baru gue tau kalo dia juga punya selera humor. Bubur ayam tersaji tujuh menit kemudian, menu spesial plus gratisan memang luar biasa menggiurkan. Langsung aja gue nikmatin hidangan di depan gue. Suasana di antara kami canggung banget, lalat sampai kikuk untuk bergerak. Sampai bubur habis pun gak ada yang buka suara, cuma suara interaksi antara kang Eru dan pelanggan lain yang kedengeran. Kepin marah gak ya karena gue udah porotin duitnya? Kepin langsung beranjak dari bangkunya lalu membayar bubur yang kami makan. Setelah itu dia keluar dengan muka datar tanpa ngeliatin ataupun nanyain gue. Kan kesel guenya, seakan-akan dia marah sama gue padahal dia sendiri yang mau traktir. Gue kira dia udah pulang duluan, ternyata dia masih nungguin didepan warung. Astaga gue udah berprasangka buruk. "Kita ke pantai dulu baru pulang", ucapnya datar dan dingin. Tanpa nunggu persetujuan gue, dia udah jalan terus ke arah pantai. Gue cuma ngikutin dari belakang kek anak ayam. Sebenarnya mau marah tapi gue cukup tau diri untuk diam, gak sopan kalo udah ditraktir lalu malah bertingkah seenaknya. By the way, pantai di kampung kami emang agak deket dari sini. Cuma perlu jalan sekitar setengah kilometer. Tetep aja gue capek jalan plus kekenyangan. Kepin masih cuek, mana jalannya makin cepet lagi. Mentang-mentang punya tungkai yang panjang. Pemandangan pantai di sore hari sangat indah. Pantai tampak bersih dengan buih-buih putih bergradasi abu-abu yang menghampiri pasir. Semilir angin membuat perasaan hangat. Gue merentangkan tangan menikmati keindahan ini. "Lo sebenernya kenapa?", tanya Kepin sama gue. Bukannya gue ya yang harusnya nanya gitu ke dia. Kan dia duluan yang cuek. "Gue... gak papa kok!" "Dusta! Lo kenapa, Tar?" "Oh, jadi ini alasan lo ngajakin gue keluar? Siapa yang nyuruh lo? Emak gue? But, gue baik-baik aja. Gak usah lebay lo!" "Gue pura-pura percaya ajalah, biar yang boong seneng" "Ish!! Gue gak kenapa-kenapa!" "Hm" Jawaban singkat dari dia bikin gue dongkol. Hening setelahnya, hanya suara ombak menderu yang bernaung di pendengaran. Masing-masing dari kami menunggu yang berani membuka mulut. "Gu...gue lagi-lagi ditolak di tempat kerja, Pin", suara gue lirih menyatu dengan deru ombak. "Hm" "Gak cuma ditolak, gue juga dihina", masih dengan suara lirih. "Hm" "Petugas itu ngehina gue, dia bilang kalo gue gak akan diterima ditempat kerja manapun kecuali jadi p..pembantu", kini suara gue tercekat. Air mata mulai memenuhi ruang, sebisa mungkin gue tahan supaya gak menetes sedikit pun. Namun, ekspresi gak bisa gue rubah. Menunduk adalah pilihan terbaik saat ini. Gue gak mau Kepin ngeliat gue yang lemah begini, walaupun tatapannya yang datar dan dingin terpaku pada laut. "Hm" "Dia...dia juga bilang bahkan kalo gue menjual diri sekalipun, gue tetep gak laku. Gue segitu buruknya? Apa kemampuan gue tidak perhitungkan? Kenapa mereka semua cuma melihat fisik? Apa kepintaran gue ini sia-sia aja? Gue tau gue jelek! Tapi tolong jangan katakan kekurangan itu di depan gue. Lebih baik katakan di belakang gue aja supaya gue gak tau perbincangan kalian!", gue gak sanggup lagi. Air mata gak bisa gue tahan lagi. Turun sederas-derasnya membasahi pipi, jatuh ke pasir. Sebisa mungkin gue tahan isakan dengan menggigit bibir sambil tetap menunduk. "Bego lo! Gitu aja nangis!", akhirnya Kepin buka suara. Gue yang masih nangis perlahan mengangkat kepala gue ngeliat Kepin yang lagi natap gue remeh. "Gue gak nyangka lo nangis, gue kira setan gak punya perasaan", lanjutnya yang buat gue otomatis ngehapus air mata. Dongkol lagi gue sama dia. "Berapa kali gue bilang, cantik itu relatif! Kalo menurut dia si Mei-Mei jelek, belum tentu menurut gue gitu. Pandangan orang berbeda-beda. Dan lo punya keunikan tersendiri. Cuma mereka terlalu bodoh untuk sadar akan hal itu", lanjutnya. "Eh? Kok Mei-Mei sih? Kenapa bukan Susanti aja?!", gue gak tau kenapa malah nanggepin dia. "Gue di rumah tadi nontonnya Up*n&Ip*n, jadinya ke ingat Mei-Mei tadi. Susanti balik ke Indonesia karena patah hati dia", gue yakin seratus persen dia ngarang. Tapi lucu juga sih. "Hahaha... gue masih mewek nih! Sebenarnya emak juga bilang kalo kami gak bisa selalu bergantung sama uang yang paman kirim, makanya gue ngebet banget nyari kerja. Emak juga nyuruh gue nikah supaya hidup gue gak kekurangan kayak sekarang. Tapi apalah daya kalo faktanya gue emang gak laku!", mencoba untuk tersenyum tapi gak bisa. "Lo tau sendiri kan kalo Allah penulis skenario hidup yang terbaik? Makanya gak usah ngeluh dan jalanin aja, ntar lo juga ketemu sama orang yang tepat", lagi-lagi Kepin ngeluarin kata bijaknya. Apa dia baca buku kata-kata bijak ya? Tapi kok sampai segitunya. "Iya deh. Kalo gue gak nikah-nikah, lo mesti tanggung jawab!", ancam gue dengan males. Ini asli gue cuma bercanda. "Hm, gue gak akan nikah kalo lo belom nikah", ucapnya lagi yang ngebuat gue membollakan mata. Kok ditanggepin sih?! Kan gue cuma bercanda. "Bego, padahal lo lumayan ganteng", balas gue lirih hampir tak terdengar. Ganteng? Astaga gue ga sadar ngomong gitu, apa yang gue pikirin? Mudah-mudahan Kepin gak denger, kalo dia denger pasti jiwa narsisnya bangkit dari kubur. "Hah? Lo ngomong apa tadi?", Tanyanya bingung. Alhamdulillah ternyata dia gak denger. "Dasar congek! Gue bilang lo mirip genteng!", plesetin kata dikit gak papalah. Dia hanya mendengus dan beralih memandang tarian ombak di depannya. "Woy, Tar! Masih inget gak dulu celana lo hanyut waktu berenang di sini? Bikin malu aja lo tau gak! Lo sampai gak mau pulang wkwk", duh kok malah ngungkit ini sih. Iya benar, celana gue hanyut di air saat itu karena emang tuh celana udah kedodoran. "Hah? Gue inget kok! Bukannya elo ya yang harusnya malu? Hari itu kan lo pulang gak pake celana, cuma pake kardus doang!", balas gue ngegas. Haha kena lo! Kepin dulu pulang pake kardus aja karena celananya gue yang pake, itu lebih baik daripada kami gak pulang-pulang. Dia, Muhammad Kepin Pranata. Adalah teman rasa saudara bagi gue, penghibur bahkan gue anggap pengganti bapak gue sendiri. Dia sebenarnya berasal dari keluarga yang mampu, tapi gue gak tau kenapa dia malah jualan ikan bukannya kuliah. Walaupun kadang bego, cuek, dan bertindak semaunya tapi dia itu peka dan perhatian. "Dih, dasar gak tau malu lo! Tau gini, mending dulu gue tingggalin lo sendiri disini biar dimakan ikan aja sekalian!", sarkasnya masih dengan ngegas. Dan gue, Mentari. Cewek yang jelek, dekil, plus miskin lagi! Awalnya gue kira emak bapak ngasih gue nama Mentari karena mereka berharap supaya gue bisa bersinar atau menerangi orang lain, tapi faktanya karena gue lahir di siang bolong yang super terik. Emak yang kepanasan habis ngelahirin gue terus ngasih gue nama Mentari. So, kesimpulannya gue burik. Tapi bukan berarti gue cuma bisa iri, gue juga punya sesuatu yang ngebuat gue jadi menarik. Ntah apa itu, semoga gue tau dengan segera. Dan juga gue harap suatu hari akan muncul beberapa orang bisa yang memahami gue, gak perlu banyak karena beberapa orang aja udah buat gue bahagia. Leher Ikan "Emak sebenarnya mau ngomong apa? Jangan buat Tari penasaran!" tanya Tari dengan terus menatap manik hitam wanita paruh baya dihadapannya yang sama seperti miliknya. Di luar sana ayam tak hentinya berkokok dibarengi dengan matahari yang perlahan terbit. Helaan napas tak hentinya dikeluarkan oleh sang ibu. Ingin bicara tapi sulit sekali rasanya, seperti tercekat. Antara takut dengan keadaan atau mengecewakan sang anak. "Tapi dengerin omongan Emak sampai tuntas dan jangan dipotong", ucapnya dan diangguki oleh Tari. "Emak mau terima lamarannya si IB, pokoknya kamu harus setuju!" Tari refleks berdiri dari duduknya, menunjukkan wajah ketidakpercayaan. Apa yang ada dibenak emaknya ini?! Ingin menerima lamaran nikah IB katanya? Helaan napas kembali terdengar dari sang ibu. Menyuruh Tari duduk tenang kembali lalu menjelaskan semuanya. Sang ibu yang kerap disapa Ratna, sebenarnya tidak ingin terjadi. Teringat olehnya saat seorang bujang datang ingin melamarnya yang sudah lama menjanda. Menikah dengan IB aka Iwan Botak bukanlah pilihan yang diinginkannya. "Kamu jangan potong ucapan Emak! Dengerin Emak, kalau kamu gak nikah berarti Emak aja yang menikah. Kita gak boleh bergantung sama Om kamu terus walaupun dia gak keberatan, tapi kamu liat kan kalau istrinya sering judes sama kita? Emak merasa gak enak sama mereka. Jahitan Emak juga sepi pelanggan dan juga kalau Emak menikah otomatis kita ada yang nafkahin. Si Iwan walaupun botak kinclong tapi dia itu juragan loh, hidup kita mungkin gak susah lagi", jelas Ratna dengan raut serius. Tari tercengang beberapa saat, emaknya rela nikah demi kelangsungan hidup mereka, kini Tari benar-benar merasa tidak berguna. Dipeluknya sang ibu erat. "Please Mak! Jangan nikah ya!", ucapnya masih menenggelamkan wajah di ketek emaknya. "Tari akan dapat kerja secepatnya, Emak do'ain Tari aja. Jangan nikah please", sambungnya. Ratna hanya tersenyum tipis, membalas memeluk Tari. Ia sangat percaya pada anak semata wayangnya. Teringat akan sesuatu, Tari segera melepas pelukannya dan merogoh kantong celananya dengan sumringah. "Ini ada sedikit uang untuk hari ini, Emak gunain ini aja dulu", uang itu ia sodorkan ke wanita dihadapannya. Ratna memandang anaknya dan uang itu bergantian dengan bingung. Ia menampilkan ekspresi seakan berkata 'kamu dapat uang darimana?' "Ini uang halal Mak, gak usah khawatir. Kepin yang kasih kemarin", jawab Tari seolah-olah tau isi pikiran emaknya. "Berapa kali Emak harus bilang ke kamu, jangan ngutang di Kepin lagi! Apalagi kalau Emaknya tau kita bisa kena marah, Nak! Uangnya dikembalikan lagi ya", ucap Ratna tegas namun tetap tersenyum sambil mendorong kembali uang tersebut. "Bukan, Mak! Tari gak ngutang sama Kepin. Dia sendiri yang ngasih uangnya ke Tari dalam rangka syukuran atas keberhasilan dia jualan ikan selama satu semester. Dia juga nitip salam ke Emak kok. Terima uang ini ya Mak, please", tampak keseriusan di wajah Tari ketika menjelaskan. Diletakkannya kembali uang senilai tiga ratus ribu tersebut di tangan sang emak. Uang itu berpindah tangan ke Ratna. Dibalasnya senyum tipis sang anak lalu kembali memandang uang ditangannya. Kepin, anak itu lagi-lagi berusaha menolong mereka sesuai janjinya. Ratna tahu betul kalau uang itu diberikan oleh Kepin bukan karena syukuran, tapi karena niatan meringankan perekonomiannya dan Tari. Hanya saja Tari selalu salah mengartikan hal tersebut dan menganggap bahwa Kepin lebih bego darinya. "Mumpung masih pagi buta, kamu aja yang ke pasar beli bahan makanan. Emak mau nyelesaiin jahitan dulu. Kamu pergi bareng Alexa-" "Nggak mau ah! Mending aku telpon Kepin aja sekalian supaya ada yang bayarin", jelasnya memotong perkataan sang ibu. "Kepin lagi pergi jualan jam segini. Kamu jangan gangguin dia dulu, kan juga gak boleh pergi sama yang bukan mahram walaupun dia sahabat kamu. Kamu bareng Alexa aja, kebetulan dia juga mau ke pasar" "Ih! Tapi kan-" "Assalamu'alaikum....Kak Tarriiiiiii main yuk!", suara cempreng yang terdengar dari luar memotong protesan yang ingin dilayangkan Tari. "Tuh orangnya udah dateng. Nih uang buat belanja, jangan lupa nawar biar hemat!", Ratna memberi setengah dari jumlah uang yang diberikan Tari lalu pergi meninggalkan sang anak yang terus mendengus. Tari dengan malas berjalan keluar menemui Alexa yang sedari tadi teriak-teriak memanggilnya. Mungkin dia akan menginap di pasar hari ini. Bukan apanya, Alexa selalu ngotot kalau nawar dan itu memakan waktu yang lama. "Pagi kak", ucapnya riang dengan senyum manis. "Pagi juga" Setelah saling menyapa, Tari jalan mendahului diikuti Alexa yang sebenarnya masih ingin mengoceh tapi sebisa mungkin ditahannya agar tidak berlebihan. Selama perjalanan, hanya terjadi percakapan ringan di antara keduanya. "Hari ini pasar kayaknya nggak terlalu rame, mungkin karena terlalu pagi", ucap Tari memandang ke depan di mana banyak orang berlalu lalang. "Sa, lo jangan lama ya nawarnya. Gue mau buru-buru pulang soalnya", lanjut Tari. Sedangkan orang yang ditanya malah diam. Alexa celingak-celinguk memandang sekitar tanpa mendengar ucapan Tari. "Alesa! Woy! Lo denger gue gak sih?", ketus Tari setelah merasa dikacangin. "Apa sih kak! Namaku A-L-E-X-A dibaca Aleksa bukan Alesa. Ntar aku laporin Kak Tari ke mami kalo masih salah nyebutin namaku" "Hm, terserah" Mereka lalu masuk ke pasar, memulai ritual tawar-menawar. Tidak sulit bagi Tari untuk mendapat harga murah apalagi ditambah dengan ikutnya Alexa sang penakluk pasar. Tari hanya diam memperhatikan Alexa yang berdebat dengan pedagang. "Bang, ikannya kok mahal amat sih?!", protes Alexa. "Harganya emang segitu, Neng. Itu udah harga modal yang saya kasih", tegas pedagang gak mau kalah. "Ah masa sih? Ikan yang ada lehernya aja gak segini mahalnya", ngotot Alexa mulai melantur. "Mana ada ikan yang punya leher" "Ada kok! Wah penjual ikan amatir nih, leher ikan aja gak tau. Heleh cemen!" Si pedagang berpikir keras, tak pernah ia jumpai ikan yang memiliki leher. Perhatian orang-orang juga mengarah pada mereka. Dengan terpaksa ia harus mengikhlaskan ikannya dengan harga murah, tapi tetap untung sih walaupun sedikit. Pokoknya bersyukur aja. "Kalo gitu, ambil aja ikannya Neng" "Nah gitu dong, Bang. Kan kalo gini jadi gampang" Tari langsung membayar ikan tersebut. Ntahlah, ia yang ingin beli ikan tapi malah Alexa terus yang nawar dari tadi. Lumayanlah, hemat air liur. Tak terasa semua bahan sudah dibeli, uangnya pun tinggal sisa sedikit. Mereka lalu keluar dari pasar, Tari memperhatikan Alexa yang tangannya masih kosong. "Sa, lo gak beli apapun?", tanya Tari yang kepo. Pasalnya tadi emaknya bilang kalau Alexa mau ke pasar karena ingin membeli sesuatu. "Mmmm...Aku sebenarnya mau beli batagor, kak. Tapi dari tadi aku perhatiin Bang Satria gak ada. Dia kan penjual favorit aku", jelas Alexa dengan lesu. Ia sudah menunggu seminggu sekali untuk membeli batagor. "Astaga, kenapa gak ngomong dari tadi? Gue kasih tau ya, Bang Sat emang gak jualan di sini kalau hari ahad. Dia pergi mancing ikan sama anaknya sekaligus quality time katanya" "Yah...yaudah deh, yuk kita pulang aja Kak" Tari hanya mengangguk, pulang ke rumah lebih awal dari dugaan. Dilihatnya Alexa yang masih lesu. Kalau boleh jujur Tari sebenarnya merasa tidak enak. Berjalan dan menawar di pasar tidaklah mudah, tapi Alexa melakukan itu dan menemaninya. "Sa, lo jangan sedih gitu! Gue traktir deh, lo pasti haus kan?" "Beneran, Kak? Kalo gitu Alexa mau", balasnya dengan semangat seakan-akan lupa kalau ia sedang sedih tadi. Bukan apanya, mendapat traktiran dari si ratu hemat merupakan keajaiban baginya. "Lo tunggu gue di sini ya, gue mau beli minuman dulu", kata Tari lalu pergi ke arah warung kecil yang ada di sana tak lupa menitipkan barang belanjaannya pada Alexa. Tak lama kemudian, Tari muncul dengan membawa dua buah teh gilas. Diserahkannya satu pada Alexa. Terlihat Alexa enggan menerimanya. "Kok beli teh gilas, kak? Yang mahalan dikit kek!", enggan menerima tapi terpaksa diambilnya karena haus mendera. Wajahnya kembali menampilkan raut lesu. "Bersyukur, Sa. Lo jangan sedih mulu dong, ntar gue kasih nomornya Kepin deh" "Ok, deal!" Alexa kembali berseri-beri sedangkan Tari hanya menatapnya datar sambil berjalan pulang ke rumah. Yah, Alexa itu naksir sama Kepin sejak pandangan pertama mereka bertemu ditambah dia juga kagum. Kekaguman Alexa terhadap Kepin bermula hanya karena Kepin bisa menjawab pertanyaan bodohnya itu. "Kak Kepin, ikan punya leher atau nggak?" "Hm, nggak" "Kenapa?" "Karena ikan bukan jerapah yang wajib punya leher" Yah, hanya sebatas itu. Mudah sekali Alexa jatuh hanya karena kebegoan estetik. Sudahlah, tidak penting membahas mereka. Di tengah perjalanan menuju rumah, Tari tiba-tiba berhenti dan terus mengamati gelas minuman yang isinya sudah kosong di tangannya. Digosoknya label undian berhadiah pada kemasan, padahal dirinya yakin kalau hanya akan mendapat sebuah kata 'coba lagi'. "Kak, lagi ngapain sih?" Tari masih asyik dengan kegiatannya. Dugaannya benar, setelah usahanya menggosok dengan greget hasil ia dapatkan hanyalah kata 'coba lagi' pada label tersebut. Dilihatnya minuman Alexa yang belum habis dan langsung dirampasnya. "Gue pinjem dulu", kata Tari setelah merampas minuman Alexa dan dibalas dengan dengusan oleh sang pemilik. Tari kembali menggosok label minuman Alexa sambil merapalkan bismillah berkali-kali. Saat tulisan pada label yang ia gosok mulai terlihat sedikit tulisan, matanya ia tutup. Setelah dirasa sudah cukup lama menggosok, ia membuka perlahan matanya masih dengan merapalkan bismillah. Tari menatap label yang telah ia gosok. Di sana, bukan kata 'coba lagi' melainkan sebuah angka. Tari berulang kali mengucapkan alhamdulilah dengan ekspresi bahagia. Alexa hanya menatapnya jengah seakan tidak tertarik. Ditatapnya lamat-lamat label tersebut. Di sana sepertinya bukan tercantum hadiah angka rupiah melainkan lebih menyerupai nomor telepon. "Lah? Kok nomor telpon sih?!" _________________________ Berharap ada yg nungguin cerita ini:) Bagi readers tercinteh jan lupa tinggalin jejak:v Description: Ekspektasi: Cowok-cowok ganteng yang gue pikir gak akan terlibat sama gue malah bermunculan. Realita: ✓ Gue jelek ✓ Gue miskin ✓ Gue gak guna ✓ Gue barbar dan ✓ Gue gak laku Note: Ketahuilah, menjadi jelek bukan keinginan gue. Tapi takdir! Pikiran bisa salah, namun tidak akan berdarah. ~AN Melihat ke atas untuk motivasi, bukan untuk bikin iri. Happy reading:) update 1x seminggu
Title: RINDU UNTUK RANDU Category: Teenlit Text: RANDU JEVVANU NATHANIO Siang bolong. “Sumpah ini rame banget dah kayak di kuburan,” gerutunya sambil mengipasi leher yang sudah berkeringat panas-dingin. Dua kancing teratas seragamnya dibiarkan terbuka, hingga menampakkan kaos dalamnya yang berwarna hitam polos. “Kuburan mah sepi, pinterrrr!” sahut Pijar yang berdiri di sebelah cowok itu dengan suara gemas. Pasalnya sedari tadi hanya mulut Randu yang terus bersungut-sungut menggerutu seperti ibu-ibu belum di kasih uang bulanan. Matanya beralih pada jam tangan berwarna hitam di pergelangan. Ah, sudah menunjukkan pukul 13:00 WIB. Itu artinya mata pelajaran sudah di mulai dan mereka—anak-anak yang sedang mengantri giliran—rela membolos. “Yaaah gagal makan siang sama doi dong,” keluhnya kecewa. “Doi yang mana dulu nih?” tanya Pijar mengulas seringaian. Pasalnya, dua sahabat itu terkenal dengan titel fuckboy kelas kakap. Yang memiliki hobby aneh, yaitu meng-koleksi cewek. Randu mendelik ke arahnya dengan muka songong, seolah ia sudah berdiri satu tingkat lebih tinggi dari temannya. “Itu si Ivy.” “Dih anjirrr lo maen colong start aja gila, itu jatah gue woy!” balas Pijar sewot sambil merangkul bahu Randu kasar lalu mulai menjitaki jidatnya. Randu paling tidak suka kalau ada orang yang berani pegang kepala, apalagi merecoki tatanan rambutnya. “Lepasin nyet, udah lo terima kalah aja,” ujarnya sambil mendorong tubuh Pijar menjauh sampai menyenggol Lintang yang sedari tadi berdiri dengan tatapan kosong seperti ... mayat hidup. Lintang yang merasa risih lantas mendelik tajam pada kedua sahabatnya yang tampak paling heboh dari sekian banyak anak kelas X yang mendaftar jadi anggota Warlocks. “Berisik!” “Ih takuuut mas Pur-nya, malah-malah!” ujar Randu dramatis pada cowok bernama asli Lintang Purnama itu, yang kerap kali mereka sebut dengan panggilan Mas Pur. Not Akhlak emang! Cowok berwajah datar tanpa ekspresi itu tak menyahut, ia kembali memposisikan pandangannya ke depan. “Cepet insyaf,” sindirnya tiba-tiba membuat kedua sahabatnya menoleh cepat. “Tuh Jar, dengerin kata Mas Pur. Cepet insyaf, muka lo berlumuran dosa,” kata Randu tak sadar diri. “Pikiran lo berlumuran selangkangan dan belahan dada.” Pijar menabok batok kepalanya gemas. “Tolong sadar diri ya mas,” katanya. Randu malah terkekeh tak sadar situasi, kalau mereka sedang di tatap horror para siswa yang ikut mengantri demi masuk geng kebangsaan SMA ANDROMEDA. Warlocks namanya, ialah sebuah geng motor kesebelasan yang sudah berdiri sejak kau mendua. Eh salah maksudnya sejak dahulu kala! Warlocks adalah sebuah geng motor yang cukup tersohor di Jakarta timur, bukan hanya di Jakarta, namanya juga sudah berkiprah cukup luas di telinga kalangan masyarakat tanah air. Dulu Warlocks di kenal sebagai geng motor yang sangat meresahkan masyarakat. Tapi itu dulu, lain cerita dengan sekarang. Warlocks yang sekarang sudah hijrah karena kebanyakan memang para anggotanya adalah anak remaja yang sedang mencari jati diri dan memperluas pengalaman, pun circle pertemanan. Mereka kerap meneriakkan lantang tonggak-pondasi prinsip patennya, yaitu; SOLIDARITAS HARGA MATI! “Lo berdua liat aja,” Lintang berbisik horror membuat kedua manusia yang sedang asik merangkul satu sama lain itu melongo ngeri. “Suatu hari nanti bakalan ada cewek yang buat kalian ngemis-ngemis cinta,” kutuknya. Sahabat kanebo keringnya itu memang kalau sekalinya ngomong suka bikin orang panas hati pengen ngebakar roti. Pijar menegakkan tubuhnya dengan wajah tak terima. “Maksud lo apaan Pur? Nyumpahin gue?!” Lintang berdiri tenang di tempatnya, sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celana. “Lo gak boleh gitu sama gue beb,” sahut Randu menjijikkan, “tapi kalo sama monyet satu ini mah gapapa. Ikhlas gue, sumpah dah!” Randu hampir oleng karena di senggol cowok berbadan kekar di sampingnya itu. “Mulut lo emang minta di sembelih ya, nyet!” Randu menghapus tawanya.”Gak ada sejarahnya seorang Randu Jevvanu Nathanio ngemis-ngemis cinta sama cewek, lo liat deh bentukan gue udah kayak bretpitt gini. Gak kayak dia badan gede, jarang mandi, bau ketek, hobby ngupil!” Pijar gemas, ia mengangkat kedua tangan seperti orang yang siap mencakar. “Bisa gak sih, bacot lo kalo ngomong kagak usah ngasih topping penuh penghinaan buat gue!” Randu terpingkal-pingkal sambil menaboki batok kepala Pijar berkali-kali, membuat napas si empunya kepala menderu seperti banteng yang siap menyundul kain merah. “Mony—“ Belum sempat menghardik Randu, tiba-tiba suara Lintang kembali mengambil atensi keduanya. “Dan saat itu terjadi, gue yang bakalan berdiri paling depan sambil bilang—“ Keduanya diam sesaat sambil menatap Lintang horror. “MAMPUS!” “Tahan gue Ran, tahan gue Ran!” paksa Pijar kepada Randu yang masih shock mendengar kutukan Lintang barusan. Ia mengulurkan tangannya kebelakang, bermaksud meminta Randu untuk menahan pergerakannya, namun sayang tak di indahkan sama sekali. “Jangan sampe terjadi pertumpahan darah antar saudara!” ujarnya menggebu-gebu. Lintang memasang wajah tenangnya kembali. “Bentar lagi giliran lo,” ujarnya ambigu. Maksud ‘lo’ itu pada siapa? Kan banyak orang, terus dia natapnya ke tembok juga gitu loh. Jadi gemes pengen jual ginjal! “RANDU JEVVANU NATHANIO!” teriak seorang cowok berjaket hitam parasut dengan logo Warlocks dan scraft merah yang melilit di lengan kirinya. Ia berdiri di depan pintu masuk sambil mengedarkan mata legamnya mencari si empunya nama. Randu menghapus ekspresi begonya dengan mengganti ekspresi seperti biasa. Sok kegantengan. Ia berjalan maju sambil mengangkat kepalanya seperti orang ngajak ribut. Seragam sekolahnya keluar dari celana, tetapi tidak terlihat kucel kayak gembel. “Masuk,” perintah Alatas, si tukang absen sekaligus anggota inti Warlocks. Randu mengangkat tangan kanannya. Menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran sebagai pertanda ‘oke’. Ia masuk dengan gagahnya ke dalam markas Warlocks yang berada tidak jauh dari sekolah. Hanya menyerupai bangunan kecil bercat hitam pekat dengan mural-mural terbuat dari piloks yang menghiasi dinding. Cowok itu sudah berada di tengah-tengah para anggota inti yang sedang menatapnya intens seperti maling yang sedang di interogasi densus. Jumlahnya tidak terlalu banyak, sebab hanya anggota inti dari SMA ANDROMEDA. Ia berdiri di sebelah kanan Eza Giovanni, sang ketua yang memiliki wajah tegas dan menyeramkan. Randu mengambil tangan Eza. “Salaman dulu sama papa Eza biar kagak tegang-tegang amat,” selorohnya. Eza memutar bola matanya malas. “Ngapain lo disini?” “Ngantri zakat,” jawabnya asal. “Ya mau daftar atuh babang Eza yang galaknya kayak singa.” “Lo gak di terima, balik sana!” usirnya sadis, membuat semua anak yang semula membentengi ekspresi, lantas menahan tawa sampai pipi mereka kembung seperti ikan sabu-sabu. “Jahat bener dah sama adek sendiri juga,” keluhnya kecewa. “Gue bilangin sama Om Rizal baru tau rasa lo,” ancamnya seperti anak kecil yang sedang di zholimi. Randu ini memang sepupuan sama Eza. Mami-nya Randu yang bernama Raina Nathanio adalah adik kandung dari papanya Eza. “Serah lo,” balas cowok itu malas. Ujungnya, dengan sangat terpaksa ia harus bertindak adil dan mau men-seleksi Randu sebagaimana yang lain. “Apa tujuan lo gabung geng motor Warlocks?” tanyanya setengah hati. Randu kegirangan bukan main. Cowok itu berdehem sok cool menghadap kiblat. “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang—“ “Langsung intinya aja!” sindir Eza sengit. Semua anak di dalam ruangan itu sudah tidak tahan lagi ingin menyemburkan tawa, tetapi takut di gorok sama obos. Lain hal dengan Randu, ia kembali berdehem memasang wajah serius sambil mengedarkan pandangannya pada yang lain. “Gue tau Warlocks dari bokap,” ujarnya membuat semua anak mengenyitkan dahi. Cowok itu mengarahkan telunjuknya pada sebuah poto yang di pajang berukuran besar di tengah-tengah dinding. Menampilkan seraut wajah yang sangat familiar bagi Randu. “Dia yang ngediriin Warlocks susah-payah, dengan banyak penolakan dari berbagai pihak. Sampe ancam D.O, padahal dia dan kawanannya yang selalu mengerahkan tenaga militer buat mempertahankan keamanan sekolah.” Semua orang tampak berpandang-pandangan berusaha mencerna kalimat anak itu. “Tapi dengan segala kegigihan dan kesolidaritasan mereka, membuat Warlocks tetap berdiri sampai sejauh ini. Gue salut bukan sama bokap, tapi sama Warlocks yang menjunjung tinggi nilai kesolidaritasan. Jadi gue, Randu Jevvanu Nathanio berani berdiri disini buat ikut gabung sama kalian atas nama kesolidaritasan yang gue junjung tinggi. Harga sahabat, harga diri, harga mati!” Kini mulut semua anak membulat cengo, mereka baru sadar kalau yang di depannya ini adalah anak dari seorang Ryan Agung Nathanio. Bapak pandu Warlocks yang sangat mereka hormati. Mereka menyiapkan tangan bermaksud bertepuk tangan ria karena salut, namun urung sebab Eza mengambil alih atensi. “Lo tau resiko jadi anak geng, kan? Apalagi Warlocks geng besar yang udah berkiprah sampai angkatan ke-11. Kalo lo udah di sumpah dan atribut Warlocks melekat di badan lo, itu menunjukkan identitas lo sebagai bagian dari kita. Kehidupan lo gak bakalan aman, karena Warlocks punya banyak musuh,” terang Eza menceritakan bagian pahitnya. Randu menatap tenang pada sepupunya itu sambil menyeringai penuh minat. “Gue tau kok resikonya. Gue juga udah mikirin keputusan ini mateng-mateng. Gue gak bakalan jadi pengkhianat, dan gak bakalan pernah nyesel kalaupun suatu hari nanti terjadi sesuatu sama gue,” jelas Randu penuh keyakinan. Eza terlihat luluh melihat keyakinan Randu. Sebab untuk porsi manusia anomali seperti Randu, baru hari ini ia terlihat sangat serius dan berpendirian teguh akan keinginannya. “Lo gabung ke anggota inti,” ujarnya membuat Randu membulatkan mata. “Serius lo?” Eza mengernyitkan dahi. “Gamau lo? yaudah—“ “Enggak-enggak bang, gue mau banget!” sambar Randu menggebu-gebu, lalu berpindah tempat menuju anak-anak yang sudah terpilih sebagai anggota inti Warlocks. Salah satunya adalah Gera—Gerhana Wijaya—sahabatnya sedari SMP. Mereka melakukan tos ria, meskipun Gera kerap memasang wajah menyeramkan, namun Randu tahu, Gera itu kayak buah durian. Kasar di luar, lembut di dalam. Muka sekuriti, hati hello kitty. Eh enggak canda! “Dua curut masih di luar?” tanya Gera menanyakan keberadaan dua kawannya yang lain—Pijar dan Lintang. Randu mengangguk mantap di tengah barisan anak-anak berwajah suram yang sudah terpilih menjadi anggota inti. Setidaknya ada 75 lebih, yang tidak tahu tujuan asli mereka bergabung untuk apa. Entah karena niat teguh dari dalam hati atau cuman mau nampang nama dan gaya-gayaan doang biar dikata keren. Tetapi Randu tahu, Eza orang yang sangat selektif. Ia tidak akan pernah memilih orang sembarangan. Jangan kan pilih orang, pilih warna sempak buat lebaran aja dia sangat selektif. “LINTANG PURNAMA!” Mendengar itu, Gera berbisik tajam di telinga Randu. “Pokoknya kita berempat harus jadi anggota inti.” Randu mengangguk setuju. “Geng teletubies harus tetep berpelukan.” “Yang kerenan dikit kali, nyet!” Yaps, Randu Jevvanu Nathanio, Gerhana Wijaya, Lintang Purnama, dan Pijar Asmarandanu adalah empat sahabat dari kelas satu SMP yang kerap di sebut geng teletubies. Sebab, selain dari kalangan borjuis, keempatnya juga memiliki karakter unik, pun paras tampan dengan kadarnya masing-masing RINDU LAKSHITA Bel pulang baru saja berbunyi. Gadis berambut legam beriris kelabu itu segera memasukkan beberapa alat tulisnya ke dalam tas berwarna biru. Tatapannya yang tajam dan kosong selalu membuat orang lain enggan menyapa. Jangankan menyapa, sekadar menatapnya saja tidak berani. Ia segera bangkit berdiri menyampirkan tasnya ke sebelah bahu, lalu sorot kelabunya menangkap tas yang masih berdiri anteng di kursi sebelah. Itu tas Lintang, satu-satunya teman yang ia punya di sekolah ini. Segera ia mengambil ponsel di dalam tasnya, lalu mengirimkan pesan untuk Lintang. Rindu Lakshita: [Tas lo masih di kelas] Read. Tak perlu menunggu lama, ternyata Lintang memang sedang Online. Lintang Purnama: [Bawain. Gue ada di warung laperpool] Rindu memutar bola matanya malas, ia mendesah panjang karena malas pergi kesana. Pasalnya, disana itu sarangnya tongkrongan anak-anak cowok yang terkenal bengal dan nakal. Belum lagi, mereka itu suka cabul dan godain cewek. Ih Rindu males ya kesana sendirian. Lintang Purnama: [Cepetan!] Rindu Lakshita: [Males, Lin!] Read. Ah, Lintang itu memang suka menyebalkan. Mau tak mau, akhirnya Rindu menyambar tas berwarna hitam pekat itu dengan sedikit kesal. Ia keluar dari kelas X IPA 1 yang sudah nyaris sepi, hanya tertinggal tiga anak yang memang di jadwalkan piket hari ini. Tanpa menyapa atau pamitan pada mereka, gadis itu langsung melengos begitu saja. Membuat ketiga teman sekelasnya itu memicingkan mata penuh kedongkolan. Kenapa ada cewek kayak Rindu? Anti social detected. Di sekolah ini, Rindu hanya mau berteman dengan Lintang. Rindu tidak pernah sudi membuka diri pada siapapun. Setiap ada anak yang mau mendekatinya selalu saja di abaikan, atau bahkan dalam kasus terparah di usir dengan kasar. Semua orang semakin membencinya, dan enggan berdekatan dengan Rindu Lakshita. Gadis itu sudah berjalan keluar dari kelas. Mengambil arah kanan menuju parkiran. Masih banyak anak-anak SMA ANDROMEDA yang berlalu-lalang di pesisir koridor, gadis itu tampak tidak peduli. Ia terus berjalan hingga tersadar di depannya ada seseorang yang sangat ingin ia hindari kehadirannya. Luna Diana. Langkahnya melambat dan tepat berhenti di jarak satu meter dari gadis yang sedang menatapnya terkejut. Gadis berkulit putih dengan iris cokelat terang itu kelihatan menunduk dalam-dalam. Selalu saja seperti itu. Ia selalu malu pada dirinya sendiri karena sudah melukai Rindu. Sementara Rindu tidak peduli sama sekali, ia melanjutkan langkahnya dengan bersikap seperti biasa. Tidak menganggap Luna ada. Namun, ketika ia berpapasan dengan gadis itu, tiba-tiba tangannya di tahan, membuat si empunya tangan menoleh tajam. “Maafin aku Rin,” ujar Luna lirih dengan bola mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Rindu menepis tangannya, tidak berminat sama sekali membuka suara. “Aku tau aku salah, maafin aku Rin,” ulangnya berkali-kali. Gadis beriris kelabu itu melipatkan kedua tangannya di dada. Menatap dingin pada gadis berwajah lugu di depannya. “Gue gak kenal siapa lo,” tandasnya dengan suara sedingin sembilu. Setelah mengatakan itu, ia pergi begitu saja dengan langkah panjang-panjang meninggalkan Luna yang sudah runtuh di pertahanan. Gadis itu menangis dengan napas tersendat-sendat. Nyatanya, kehilangan seorang sahabat jauh lebih menyakitkan daripada patah hati itu sendiri. ** Warung Laperpool. Muhammed Salah pernah makan disini. Kiranya begitu baligho yang terpasang di sebuah warung kecil yang sering di jadikan tempat nongkrong anak-anak SMA. Khususnya dari SMA ANDROMEDA, kadang juga ada dari sekolah tetangga yaitu SMA CAKRAWALA. Warung itu di kelola oleh seorang janda anak dua bernama Mak Engkom. Dia berasal dari tanah sunda—Subang. Mak Engkom ini punya anak bernama Rohani, dia adalah salah satu anak SMA ANDROMEDA kelas X, yang kerap di panggil roh jahat karena doyan bentak anak orang. Kakaknya bernama Satrya, yang kerap kali di panggil Bang Sat. Sesuai namanya, akhlak dan tindak tanduknya juga sama ... Bangsat. Alih-alih Bang Sat ini adalah mantan leader Warlocks angkatan 5. Namun sekarang dia sudah taubat dan berkeluarga. Tidak tinggal bersama Mak Engkom dan Rohani. Warung ini berada di pinggir jalan layang, yang bersisian langsung dengan SMA ANDROMEDA. Di depannya ada sebuah pohon jambu air yang selalu dijadikan sarang persembunyian anak-anak yang bolos, apabila kalau sedang di cari guru BK. Itulah sedikit gambaran warung kecil bernama Laperpool. Tempat dimana anak cowok berkumpul sambil haha-hihi, ngopi, merokok, dan makan tentunya. Di kursi panjang sana, terduduk empat cowok yang sedang merayakan keberhasilan mereka menjadi anggota inti team Warlocks. Meja mereka penuh berjejer makanan varian jenis, dengan beberapa bungkus rokok kesukaan mereka masing-masing. Randu duduk di apit Gera dan Lintang, sementara Pijar duduk di atas meja sambil berkoar-koar seperti orang gila. Di bandingkan dengan Pijar, tentu saja Randu lebih baik. Setidaknya Randu hanya senang baperin anak cewek, tapi gak sampe nyentuh mereka. Kayak ciuman, atau bahkan hal-hal ambigu lainnya. Bahkan ada satu fakta menarik. Randu itu tidak pernah memacari semua cewek yang ia baperin, istilahnya belum ada satupun cewek yang berhasil membuatnya tertarik berhubungan secara emosional. “Woyy Ran, bagi nomer cewek dong! Stock cewek baru gue udah abis,” ujar Pijar dengan muka-muka gigolo. “Yang lama mah udah bosen.” Lintang yang sedang sibuk bermain game hanya menggelengkan kepala mafhum. Ia sudah membiasakan diri dengan perilaku teman dungunya itu. Playboy cap kaki tiga. “Kemaren elu baru aja maen sama janda anak satu,” seloroh Randu tidak sadar kalau Pijar melotot karena tidak suka aibnya di buka secara gamblang seperti itu. “Katanya janda lebih enak daripada perawan.” “Lo suka tante, Jar?” tanya Gera dengan ekspresi jijik menatap Pijar. “Kampret, kagak usah di buka disini juga aib gue!” bentaknya sambil melempari muka Randu menggunakan pilus. “Gue cuman jalan doang kok, kan lumayan dapet jajan gratis.” “Idiiihhh buaya buntung,” sindir Randu bergidik jijik padanya. “Gak modal lo jadi cowok, kayak gue dong ngajakin cewek jalan ya gue sendiri yang jajanin.” “Tapi ujungnya di tinggalin, damage anjirrr!” kelakar Pijar sambil terbahak menyemburkan tawanya. “Heran gue sama lo berdua, doyaaan banget maenin cewek,” cetus Lintang berkomentar sambil terus fokus pada game di hapenya. “Padahal cewek itu kan ribet.” Gera memicingkan matanya tajamnya kepada dua makhluk itu. “Lo berdua gak pada mikir apa, gimana kalo kelakuan bejad lo itu nimpa juga sama ibu dan saudara perempuan lo?” Randu menyeringai culas. Ia tak berminat menjawab pertanyaan Gera, justru memilih menjejali mulutnya dengan gorengan. Sementara Pijar, ia malah terkekeh geli. “Itu sih yang gue mau!” Randu menoleh pada sahabatnya itu, seolah ia sedang mengucapkan terimakasih karena Pijar sudah mau mewakili isi hatinya. “Jar, Jar, mau sampe kapan lo dendam sama ibu kandung lo sendiri?” tanya Gera. Pijar menghapus tawanya. Ia turun dari meja lalu pergi menghindari pertanyaan mereka. Pijar dan Randu berbeda, Randu cenderung menutupi rapat kisahnya. Entah itu pada keluarga maupun sahabat. Baginya, kemanisan hidup boleh di bagi, tetapi kepahitan hidup biar ia telan sendiri. Di tengah ketegangan situasi pembicaraan mereka. Di pekarangan luas warung laperpool berdiri seorang gadis berambut legam dengan sorot datar. Ia tak berbicara, hanya menatap tajam menunggu ada yang menyadari kedatangannya. Randu yang duduk termangu sambil menopang dagu refleks menyadari kedatangan gadis itu. Gadis yang berdiri mematung di sebelah motornya seperti ... mayat hidup. “Ibu negara tuh nyamperin,” tegurnya sambil menyenggol lengan cowok yang masih sibuk bermain game online. Lintang mendongak dan mendapati Rindu sedang berdiri di bawah terik matahari sendirian sambil menatap hampa padanya. Ia bangkit berdiri. “Gue duluan.” Pijar heboh kalau sudah melihat ada cewek cantik di depan mata, ia grasak-grusuk sambil membawa sepiring basreng yang tadi di pesannya. “Rin, gabung dulu sini sama babang Pijar,” teriaknya hanya di balas sorot tajam yang menakutkan. “Anjirrlah sekarang gue baru percaya kalo jodoh itu cerminan diri sendiri,” ujarnya mengadu kepada Randu dan Gera. “Pacarnya si Lintang sebelas dua belas dinginnya kayak di kutub utara. Itu gimana pacarannya ya? Lempeng banget pasti kagak ada acara grepe sana-sini.” Randu melempat sedotan ke muka Pijar. “Pikiran lo emang isinya mature doang, Jar!” Randu mengalihkan tatapannya pada Lintang yang sedang menyampirkan jaket parasut ke tubuh Rindu. “Lintang sama Rindu itu gak pacaran,” cetus Gera sambil mengepulkan asap rokoknya. “Lah terus hubungan mereka apaan?” tanya Pijar kepo. Gera mengedikkan bahu tidak tahu. “Friendzone kali.” Mata Pijar beralih pada Randu yang masih betah menonton adegan dua sejoli itu. Lintang memang anak yang sangat pendiam dan cenderung tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupannya, termasuk tentang kedekatannya dengan gadis bernama Rindu Lakshita. Namun, dari sorot mata Randu itu. Pijar tahu, pasti sahabatnya yang satu itu menaruh ketertarikan pada gadis bernama Rindu Lakshita. “MAS PUR!” teriak Pijar menoleh ke belakang, membuat si empunya nama memicingkan mata karena silau terkena sinar matahari. “LO TAU GAK! MIZONE ITU LEBIH ENAK DARIPADA FRIENDZONE!” Randu melempari muka Pijar pake pilus. “Iklan mulu lo!” Pijar terkekeh kegirangan sambil terus menjejali mulutnya dengan basreng. “Ya siapa tau gue dapet endorse-an gitu, hahaha!” “Produk orang langsung tenggelem kalo lo yang jadi endorse-nya!” hardik Randu menggelengkan kepala. “Muka remedial-an kayak lo gitu kagak bakat jadi selebgram.” Rindu pergi berboncengan menggunakan ninja berwarna hitam milik Lintang. Selepas mereka pergi, jiwa iblis Pijar menjadi-jadi. Ia berbisik tajam pada Randu sementara Gera terlihat tidak peduli. “Gue punya challenge buat lo Ran.” Randu yang sedang menyuapkan pilus ke dalam mulutnya menatap tidak minat pada Pijar. “Males ah, paling hadiahnya cuman mie lidi-lidian atau sepiring basreng Mak Engkom.” Gera yang merasa malas mendengar percakapan dua sahabatnya itu lantas membuang rokok yang sudah hampir habis. Ia bangkit berdiri meraih jaket dan kunci motornya. “Dengerin obrolan lo berdua, gue bisa ikut-ikutan jadi gila.” “Bukannya lo udah gila ya, Ge?” “Berani lo ngatain gue, nyet?!” bentak Gera membuat Pijar terkekeh sambil mengangkat kedua tangannya memohon ampun. “Ampun-ampun beb, santuy atuh jangan malah-malah,” katanya dramatis. Gera menggelengkan kepala tak berminat melanjutkan percakapan dengan Pijar. Ia pergi menghampiri motornya. “Challenge apaan sih?” tanya Randu penasaran. “Terus kalo gue menang apa hadiahnya?” Pijar menunjuk motor barunya yang masih mulus kayak pantat bayi itu. “Itu buat lo!” Randu membulatkan mata. “Serius lo?! Ah gak percaya gue, elo kan tukang ngibul.” “Kalo gue ngibul, potong kuping lo!” “Dih bangke, kenapa jadi kuping gue yang jadi korban!” kesal Randu. Pijar terkekeh pelan, lalu kembali fokus pada topik intinya. “Jadi mau gak lo?” “Hmm,” gumam Randu setengah hati sambil terus mengunyah basreng milik Pijar. “Jadi apa challenge-nya?” “Pacarin Rindu.” Uhhuukkk! Randu tersedak basreng sampai matanya berair, ia mencekik jakunnya sendiri sambil menggapai-gapai air. Pijar terkekeh sambil menyodorkan minum. Randu langsung meneguknya cepat. “Uhuuukkk bangke lo, Jar! Niat banget mau bunuh gue!” “Deal gak?” Cowok beriris kopi itu menatap tajam pada sahabatnya, ia agak ragu menerima tantangan absurd itu, apalagi mengingat raut wajah Rindu yang menyeramkan. Ih, langsung bikin bulu kuduk berdiri. Tapi ... dia gak mau di cap sebagai cowok pecundang. “Kalo gue menang, motor lo jadi milik gue!” Pijar menyeringai culas sambil mengulurkan tangannya. “Deal?” “Emang harus banget ya salaman? Jijik gue bersentuhan sama kaum dajjal kayak lo!” Baru saja akan mengumpat, Pijar berusaha mengendalikan emosi. Sabaaar Jar, sabaar! Cowok itu meraih cepat uluran tangan Pijar. “Deal! Gak perlu waktu lama buat gue naklukin cewek,” ujarnya percaya diri. “Kurang dari sebulan, gue udah gotong motor lo ke rumah!” Description: Berawal dari tantangan yang di berikan sahabatnya. Randu Jevvanu Nathanio, anggota inti geng Warlocks yang kerap di juluki sebagai playboy cap kaki tiga, harus berjuang mati-matian untuk menaklukan seorang gadis berkepribadian tsundere bernama Rindu Lakshita. Berbagai penolakan selalu di lancarkan berupa pengabaian sampai tindak kekerasan. Namun, tak menyulutkan semangat Randu untuk tetap berdiri teguh pada pendiriannya. Lambat-laun, Rindu mulai merasa ada yang beda dari sosok Randu. Di balik sikap ceria dan menyebalkannya itu menyimpan banyak rahasia yang membuat Rindu penasaran. Rindu mulai mengikis jarak dengannya, membiarkan Randu menyetarakan langkah dan mereka bisa saling menggenggam satu sama lain. Namun, hubungan keduanya tak berjalan mulus ketika banyak teror, pertentangan, pengkhianatan, lawan bahkan hal yang sampai tidak di pikirkan pun ikut serta masuk dan memporak-porandakan hubungannya secara kasar. Bersama ketiga sahabatnya. Gerhana Wijaya, Lintang Purnama, dan Pijar Asmarandanu. Persahabatan yang sudah terjalin cukup lama akan ikut serta di uji dalam cerita ini. Pun, mengingatkanmu pada indahnya masa-masa sekolah. tentang persahabatan, jatuh cinta, dan pencarian jati diri. WARLOCKSERIES #1 Copyright by nurulefreenzy ** “Rin, tadi abis darimana?” –Randu. “Hah? Dari tadi gue gak kemana-mana kok.” –Rindu. “Bagus kalo gitu.”—Randu. “Bagusnya?”—Rindu. “Berarti kita jodoh.”—Randu. “Jodoh?”—Rindu. “Iya, jodoh kan gak kemana-mana.”—Randu. ** WARLOCKS. “SOLIDARITAS HARGA MATI.”
Title: Reminder Category: K-novel Text: Prolog Suara ketukan palu dari hakim menyelesaikan persidangan hari itu. Terdakwa divonis penjara karena kasus penipuan. Pengacara yang berada disampingnya tersenyum samar. Kemudian berjalan keluar gedung membawa tasnya setelah pembubaran. Tangannya seketika ditarik oleh seorang perempuan yang langsung memakinya ketika pria itu baru saja melewati pintu utama. Pria itu,Jeon Wonwoo hanya diam,membiarkan perempuan itu mengumpatinya,menganggapnya tidak becus dalam membela ayahnya. Sampai perempuan itu berhenti,pria itu kemudian membalas. "Sepertinya anda salah mengartikan tugas dari seorang pengacara" Ucapannya membuat perempuan itu memandangnya nyalang. "Tugasku bukan membebaskan klien dari tuntutan hukum,tetapi memberikan pendampingan hukum agar seorang klien bisa mendapatkan hak-haknya selama menjalani proses hukum. Tenang saja,aku sudah melakukan tugasku sebaik mungkin, ayahmu dipastikan bebas beberapa bulan lebih cepat" Tambahnya memandang lurus pada perempuan yang saat itu masih terdiam, kehilangan kata-katanya. Pria itu kemudian menundukkan kepala sebagai tanda hormat sebelum akhirnya berjalan menjauh. Tiga meter darisana,seorang pria lain berucap pada perempuan disampingnya. "Dia Jeon Wonwoo,bisa dibilang pasienku. Aku butuh bantuanmu" Perempuan disampingnya menganggukkan kepalanya dengan netra coklat terang miliknya terus mengikuti pergerakan Wonwoo hingga pria itu masuk kedalam mobil. Strange Wonwoo menolehkan kepalanya pada seorang remaja laki-laki yang duduk disampingnya. Remaja itu tertunduk dengan punggung bergetar dan lengannya yang terbalut jaket biru tua sesekali mengusap wajahnya yang basah. Wonwoo menyimpulkan remaja itu menangis, karena terdengar suara isakan yang tertahan. Wonwoo kemudian merogoh saku mantelnya, mengambil sapu tangan yang baru saja ia ambil dari lemari pagi tadi dan menyodorkannya pada remaja itu tanpa mengatakan apapun. Remaja itu mendongakkan kepalanya, menatapnya dengan mata sembab. Wonwoo menggerakkan dagunya memberi isyarat agar ia mengambil sapu tangan itu untuk mengusap air matanya. Remaja tadi menerimanya dengan canggung kemudian kembali menunduk. Wonwoo hanya diam,memberikan waktu untuknya menyelesaikan tangisannya. Sedikit heran sebenarnya, baru pertama kali ia melihat remaja laki-laki kira-kira seumuran anak SMA menangis seperti itu. Apa masalah yang dialaminya?putus cinta? Bullying? Atau mungkin lebih buruk. Pemikiran Wonwoo tak jauh dari hal-hal itu. Yang ia tau seorang laki-laki biasanya jarang menangisi hal seperti itu, berdasarkan dari pengalamannya. Sepuluh menit yang lalu dia melihat remaja itu di stasiun dan kemudian mereka menaiki kereta bersama, sepertinya remaja itu mengikuti Wonwoo sehingga berakhir duduk disampingnya. Kemudian menangis beberapa saat ketika kereta mulai melaju meninggalkan Incheon. Wonwoo yang tidak tahu harus berbuat apa kemudian memilih mengambil ponselnya dari saku jasnya. Memainkan sebuah game online. Set Baru lima menit. Tatapan matanya teralihkan melihat lengannya dimana ada sebuah tangan yang menggenggamnya. Wonwoo menghela nafas sangat pelan menyudahi game-nya yang hampir ia menangkan dan memasukkan ponselnya kembali kedalam saku. Kalau saja yang mengganggunya barusan itu adalah Mingyu atau Jeonghan sudah pasti ia akan mengumpat. Netra coklat gelap itu kemudian bergeser menatap remaja tadi yang juga sedang menatapnya. "K-kau pengacara Jeon kan?" Tanyanya. "Benar,kau ada perlu denganku?" Balas Wonwoo sembari menanyakan hal yang sedari tadi ia pendam. Menurut pengalaman nya,biasanya orang yang mengikutinya berakhir meminta bantuannya. Selanjutnya hanya gelengan pelan yang Wonwoo dapatkan. "Aku tidak punya uang" Remaja tadi bergumam nyaris seperti bisikan dengan kepala yang kembali menunduk. "Ya?" Tanya Wonwoo,ia mencoba memastikan kalau dirinya tak salah dengar. "Ah bukan apa-apa" Jawab remaja itu. Wonwoo menatap remaja itu bingung. Sepertinya ada suatu hal yang remaja berjaket biru itu ingin ungkapkan padanya tetapi ada perasaan ragu yang menahannya. "Katakanlah,kau ada perlu denganku?" Kembali mengulang pertanyaan yang sebelumnya sudah ia lontarkan,Wonwoo menatapnya tepat dimata. Remaja tadi terlihat berfikir sejanak sebelum menjawab. "Sebenarnya,aku ingin minta bantuan. Ayahku..tidak bersalah" Ucapnya tertahan. Wonwoo yang mengerti maksudnya melepas kacamata bulat yang dipakainya dan sedikit mencondongkan tubuhnya menghadap remaja itu. "Ceritakan detailnya,Sunghyun-Ssi" Ucapnya,membaca nama yang tertempel dibagian dada jaket biru itu. Remaja itu menoleh ke arah Wonwoo,ia ragu Wonwoo akan membantunya tapi ia juga tak mungkin melewatkan kesempatan ini. Seorang pengacara terkenal dengan persentase kemenangan sembilan puluh sembilan persen sedang menanti ceritanya dan mungkin saja akan membantunya. "Eum sebenarnya itu nama ayahku,Lee Sunghyun. Namaku Lee Jeno" Okay Wonwoo mengulum bibirnya sekarang,ia sedikit merasa malu karena sudah bersikap sok tahu. Padahal tidak akan ketahuan karena bagaimanapun suasana hatinya,wajahnya akan tetap datar. "Dua bulan lalu,Ayahku ditahan atas tuduhan pembunuhan mahasiswa SNU padahal waktu itu polisi datang ke toko ayahku hanya untuk bertanya soal pria yang bernama Kim Sungmin yang diduga pelaku pembunuhan. Kim Sungmin teman dekat ayahku,aku juga mengenalnya tapi kami sudah tak pernah bertemu sekitar tiga bulan sebelum kejadian pembunuhan. Para polisi itu membawa ayahku dan mengatakan padanya kalau dirinya akan menjadi saksi tetapi mereka malah memenjarakannya dan membuatnya menjadi terdakwa pelaku" Jelas remaja itu. Wonwoo terdiam. Ingatan masa lalunya mendadak terputar. Cerita remaja itu hampir sama seperti kejadian yang dialaminya delapan tahun lalu. "Ibu menjadi depresi karena ayah satu-satunya tulang punggung keluarga. Aku baru saja mendatangi keluarga ibu berharap mereka bisa membantu, tapi nyatanya kemarin mereka malah membawa ibu ke rumah sakit jiwa" Lanjut remaja itu yang lagi-lagi membuat Wonwoo bernostalgia pada masa lalu kelamnya. Pria itu kemudian mengeluarkan dompetnya dan mengambil bussines card yang memang selalu ia bawa beberapa. Tangannya kurusnya terulur memberikan bussines card itu pada Jeno,yang diterima remaja itu dengan ragu-ragu. Ia membaca tulisan yang terdapat disana. Ada sebuah pengenal yang sengaja dicetak tebal. 'Attorney Jeon Wonwoo' Jeno menoleh pada Wonwoo dengan raut wajah bingung. "Disana ada alamatku,dan nomor ponselku, hubungi aku jika kau sudah siap,kita akan membuka kembali persidangan dan membebaskan ayahmu yang tidak bersalah" Jelas Wonwoo menjawab raut wajah kebingungan Jeno. Diluar dugaan. Ia kira Jeno akan senang tetapi sebaliknya,remaja itu kembali menunduk dengan sedikit meremas bussined card pemberiannya tadi. "Tapi,aku tidak punya uang" Ucapnya pelan. Bagaimana dia bisa membayar?dia hanya remaja SMA yang hidupnya baru saja dihancurkan oleh para polisi yang enggan melakukan tugasnya dengan baik. "Aku tidak menyuruhmu untuk membayar,aku hanya menyuruhmu untuk menghubungiku" Balas Wonwoo. Ia benar-benar ingin membantu Jeno. Ia tak ingin Jeno bernasib sama sepertinya dulu, dimana tak ada pengacara yang mau membantunya tanpa uang. Dan yang menyakitkan,Wonwoo menghidupi dirinya sendiri dan sang adik sementara ibunya menghilang entah kemana dan ayahnya membayar hukuman atas kesalahan orang lain—persis seperti ayah Jeno. Mungkin cerita Jeno terdengar sulit dipercaya dan tidak masuk akal. Tapi, apa untungnya remaja sepertinya berbohong padanya? terlebih ia pernah merasakan apa yang remaja itu rasakan. Ia melihat Jeno seperti dirinya delapan tahun lalu ketika ia berusia tujuh belas tahun. Jeno mendongak terdapat senyum tipis diwajahnya. "Terima kasih banyak pengacara Jeon" Ucapnya yang hanya Wonwoo balas dengan anggukkan. Selanjutnya Wonwoo memilih melihat keluar jendela ketika jari-jemari Jeno mulai bertautan,merasa canggung dengannya. Perjalanannya dari Incheon menuju Seoul ini akan berakhir dua jam kedepan menggunakan kereta cepat yang sekarang mereka tumpangi. Pemandangan yang terlihat selewat—akibat laju kereta itu membuatnya mengantuk dan akhirnya tertidur dengan posisi tangan yang menahan kepalanya bertopang pada kaca. ××× "Permisi tuan,sudah waktunya untuk turun" Seorang menepuk bahu Wonwoo. Sontak pria itu membuka mata dan melihat keluar jendela. Stasiun Seoul. Dia kenal betul dengan desain stasiun itu meski belum melihat tulisan yang mengatakan kalau itu stasiun Seoul. "Terima kasih banyak" Ucapnya singkat pada pria dengan mantel hijau tua didepannya yang kini mengangguk kemudian pergi keluar dengan tas dipunggungnya. Wonwoo bangkit mengambil tasnya di bagasi. Sesudahnya ia mengeryit. Kemana remaja tadi pergi?ah,mungkin sudah turun terlebih dahulu. Bersamaan dengan berbagai kemungkinan yang ia pikirkan,kaki jenjangnya melangkah keluar dari kereta. Tapi dirinya kembali dibingungkan oleh sesuatu. Bagaimana pria itu tau kalau tujuannya adalah Seoul? Mata rubahnya menelisik sekeliling memastikan kalau itu adalah stasiun Seoul—tujuannya. Dan memang benar,sebuah tulisan di dinding yang menonjol mengatakan kalau itu adalah Seoul. Netra coklat gelapnya tidak sengaja menemukan eksistensi pria bermantel hijau tadi. Wonwoo sontak mendekatinya. "Permisi tuan,kau tau kemana perginya remaja yang duduk disampingku didalam kereta tadi?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Pria itu menoleh kemudian tersenyum menatap Wonwoo,memperlihatkan keriput disekitar matanya yang menunjukkan umur pria itu tidak lagi muda. "Maaf,remaja?" Pria itu bertanya balik yang dibalas anggukkan yakin dari Wonwoo. "sedari awal anda duduk sendirian, mungkin anda bermimpi. Jika anda tidak percaya saya duduk kursi tepat dibelakang anda" Pria itu kemudian menatap kembali kedepan sebelum pamit secara tiba-tiba. Wonwoo masih berdiri ditempatnya menatap punggung pria tadi yang mulai menjauh dan akhirnya menghilang diantara lalu lalang para manusia. Wonwoo yakin dia tidak bermimpi. Dia seketika teringat ia memberikan bussines card nya pada remaja tadi. Ia memeriksa dompetnya menghitung bussines card yang ada disana. 'Sial,aku lupa berapa bussines card yang aku masukan waktu itu' Wonwoo membatin. Memasukkan kembali dompetnya kedalam saku. Dug Selanjutnya pria itu terlonjak,ketika sesuatu menabrak bahunya cukup keras. Ia bahkan sampai terdorong kedepan nyaris terjatuh jika dia tidak cepat-cepat berpegangan pada dinding. Wonwoo berbalik,netranya mandapati seorang perempuan yang berdiri sempoyongan sambil memegangi kepalanya, tangannya refleks terulur menahan tubuh perempuan itu ketika mendadak tumbang tak sadarkan diri. "Hei?anda baik-baik saja?" Wonwoo menepuk pipi perempuan dengan long Coat coklat itu yang sayangnya tak membuahkan hasil apapun. Ia melihat sekelilingnya berharap ada yang perhatian sekedar menanyakan apa yang terjadi dan berbaik hati menawarinya bantuan. Sayangnya tidak, orang-orang disana tetap beraktifitas seolah tak melihat apapun. "Butuh bantuan?" Seorang petugas stasiun menghampirinya. Wonwoo merasa sangat lega kemudian mengangguk. petugas itu membantu menahan tubuh perempuan itu. Sementara Wonwoo berjongkok membenarkan sepatunya yang hampir copot karena insiden tadi. Ketika ia hendak berdiri ia merasakan beban dipunggungnya. "Tidak perlu berterima kasih,aku harus pergi sekarang. Ada orang lain yang membutuhkan bantuan" Itulah kata terakhir yang ia dengar dari petugas stasiun sebelum mendengar derap langkah yang menjauh dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi Wonwoo kebingungan sebelum akhrinya ia sadar. 'astaga, petugas itu mengira aku berjongkok supaya aku bisa menggendong perempuan ini' Tak ada pilihan lain,Wonwoo akhirnya berdiri dengan susah payah. Memposisikan tangan perempuan itu supaya memeluk lehernya—agar perempuan itu tidak terjatuh— sebelum berjalan keluar stasiun. Wonwoo memanggil taksi untuk mengantarnya menuju apartment yang ditinggalinya empat tahun terakhir. Ia sesekali melihat perempuan yang masih belum sadar disampingnya. Harus ia antar kemana perempuan itu,ia bahkan tak pernah melihatnya sama sekali. "Kau pengacara Jeon?" Tanya supir taksi yang membuat Wonwoo menoleh sebelum membenarkan. Ia tidak menyangka dirinya cukup tenar sampai supir taksi didepannya mengenalinya. "Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu, eum apa dia mabuk?" Supir taksi itu kembali bertanya sambil menatap perempuan yang dibawa Wonwoo lewat spion tengah. Wonwoo menggeleng tidak tahu. "Entahlah,dia pingsan setelah menabrak bahuku" Setelahnya tak ada lagi pembicaraan. Supir taksi didepannya merasa sungkan untuk mengobrol dengan pengacara terkenal itu. Sedangkan Wonwoo memikirkan apa yang harus dilakukannya pada perempuan itu. Sekitar lima belas menit perjalanan mereka sampai di area apartment yang dimaksud. Pria itu memakai maskernya sebelum keluar dari taksi kemudian berjalan masuk sembari kembali menggendong perempuan tadi. Ia memasuki lift dan menakan tombol lantai tujuh di lift,pintu lift perlahan terutup. Ia melihat pantulan perempuan itu di pintu. Dia tidak bisa melihat wajahnya yang terutup oleh rambut. Percuma juga jika ia bisa melihat wajahnya,ia tak mengenalinya. Sebenarnya Wonwoo ingin meninggalkan perempuan ini di lift sebelum ia ingat kalau lift itu terpasang cctv. Tak ada pilihan lain,ia harus menunggunya sadar dan menanyakan identitasnya. Ia sebenarnya ingin meninggalkan perempuan itu di lift kalau saja dia tak ingat kalau di lift itu terpasang cctv. Pintu lift terbuka, Wonwoo segera berjalan menuju unit apartmentnya. Setelah masuk ia menurunkan perempuan itu disofa dan berniat membaringkannya. Wonwoo memegang kedua bahu perempuan itu bersamaan dengan perempuan itu yang membuka mata,mereka bertatapan beberapa saat sebelum akhirnya satu tinjuan mandarat di wajah tampan pria bermata rubah itu sehingga dirinya tersungkur kebelakang. Perempuan itu mendudukkan diri meskipun setelahnya ia mengumpat karena kepalanya yang tiba-tiba terasa sangat sakit. Wonwoo bangkit dengan tangan yang memegangi hidungnya,membuat perempuan itu menatapnya sebelum menatap lantai dan mendapati bercak darah disana. Pria itu mimisan dan matanya juga sedikit berair. Ya setahunya sangat sakit jika hidung bertabrakan dengan sesuatu yang keras. Apalagi dia memiliki bakat Taekwondo, pukulannya tak pernah main-main. "M-maafkan aku" Ucap perempuan itu lebih terdengar seperti gumaman. Wonwoo hanya menghela nafas,tangannya mengambil tissue membersihkan darah dilantai dan duduk di sofa lain dengan beberapa lembar tissue baru untuk menahan aliran darah dihidungnya. "Jika sudah baikan lebih baik kau segera pulang,sebelum temanku datang dan salah paham" Ucapnya kemudian. Tepat ketika dirinya selesai berbicara terdengar seseorang memasukan sandi pada automatic lock dan detik selanjutnya pintu terbuka menampilkan seorang pria jangkung dengan long Coat hitam. "Hyung¹ aku tidak sempat membeli—oh astaga kau tidak pernah memberitahuku soal perempuan" Mingyu tak melanjutkan ucapannya,pria itu berjalan mendekat sambil melepas long Coat hitamnya menyisakan sweater abu-abu yang cukup tebal. Wonwoo lagi-lagi menghela nafas. Terlambat, Mingyu sudah datang,ia pasti akan diinterogasi oleh pria berkulit tan itu. "Hanya sebuah kecelakaan Ming,jangan menatapku seperti itu" Balasnya santai sambil memperingati Mingyu yang tatapan matanya menajam persis seperti Super Hero yang menatap musuhnya, hanya satu yang kurang,mata pria itu tidak mengeluarkan laser. "Kecelakaan?kecelakaan apa yang kau maksud?dan kenapa hidungmu itu?" Tanya Mingyu lagi sambil menyentuh tissue yang berada di hidung Wonwoo yang langsung ditepis oleh pria itu. "Aku tidak sengaja memukulnya,maafkan aku" Perempuan tadi membuka suara. Mingyu sontak mendekati perempuan itu dengan tatapan menelisik dan menyentuh kedua bahunya. "Apa?kau tidak apa-apakan?" Tanya Mingyu memastikan yang dibalas anggukkan samar. Mingyu kemudian beralih pada Wonwoo menatap pria yang juga sedang menatapnya dengan datar sedangkan tangannya menyisir rambut bagian belakang. "Apa yang kau lakukan sehingga dia memukulmu?" Tanyanya pada Wonwoo. Wonwoo mendesis,sudah ia prediksi akan repot jika Mingyu datang. Pria yang tingginya mencapai seratus delapan puluh enam senti meter itu keras kepala dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. "Aku tak melakukan apapun,sudahlah Gyu. Biarkan kami mengurus masalah kami sendiri" Ucap Wonwoo jengah. Bukannya menurut Mingyu malah memasang wajah curiga. "Oh kau menyebut dirimu dan dia 'kami' " Mingyu mengangguk-anggukkan kepalanya. Wonwoo membuang nafas kasar. Ia harus sabar,jangan sampai ia berdebat dengan Mingyu yang mempermasalahkan hal kecil seperti itu kemudian mereka saling memukul dan berakhir di persidangan, tidak itu tidak boleh terjadi. Dan apa-apaan sikapnya itu? Ia seolah-olah sedang mengintrogasi pacarnya yang selingkuh. "Hal sekecil itu kau permasalahkan? Lebih baik kau periksa emailmu kau bilang temanmu akan mengirimkan email pukul tiga sore,ini sudah hampir pukul empat" Balas Wonwoo. Roommatenya itu sontak melebarkan matanya, seolah ia baru saja mengingat sesuatu yang sebelumnya ia lupakan. "Ah benar" Mingyu kemudian berjalan dengan teburu-buru hingga kaki kanannya tak sengaja menendang tembok sebelum masuk kedalam salah satu ruangan,kamarnya. Wonwoo menoleh pada perempuan tadi yang sedang tersenyum,menahan tawanya karena melihat tingkah Mingyu. Jujur saja,senyumnya mengingatkan Wonwoo pada seseorang yang mungkin ada dalam daftar list orang yang penting dihidupnya. 'Bisa-bisanya dia tertawa setelah membuat hidungku berdarah' "Ayo aku antar pulang,siapa namamu?" Tanya Wonwoo setelah memastikan Mingyu sudah tidak lagi menganggu mereka. "Kwon Jiwoo" ————— Hyung¹(형) Memiliki arti Kakak laki-laki, kata ini bersifat khusus karena penyebutan ini hanya digunakan oleh adik laki-laki untuk memanggil kakak laki-laki. Hope You Enjoy This See You In The Next Chapter Confused Sepuluh menit kemudian Wonwoo sudah berada didalam mobil,tangannya sibuk mengotak-atik memindahkan frekuensi radio ketika suara statis mulai terdengar,kebanyakan saluran radio memberitakan soal cuaca musim gugur yang sedang berlangsung dan akan terus berlangsung sampai dua bulan kedepan. Tangannya kemudian berhenti mengotak-atik di frekuensi yang memutar lagu jazz. Wonwoo menginjak rem mendadak di jalanan macet didepannya sampai-sampai tubuhnya mungkin menabrak stir jika ia tidak memakai sabuk pengaman. Ia menoleh pada perempuan disampingnya yang sama sekali tak terlihat terkejut. Wonwoo justru mendapati pandangan kosong yang menatap ke arah kaca depan yang sedikit berdebu dengan jari-jari yang bertaut gelisah. Ia tentu tau gerak-gerik seseorang dari pengelamannya menjadi seorang pengacara. Setelah menyebutkan alamat apartemennya lima menit lalu,perempuan yang mengaku bernama Kwon Jiwoo itu tak lagi berbicara dan hanya diam sampai saat ini. Lalu lintas mulai kembali berjalan setelah dua menit,pria itu kembali menginjak gas melajukan mobil Hyundai Tucsonnya sebelum akhirnya berbelok ke kanan dan memarkirkannya dipinggir jalan satu kilometer setelahnya. Wonwoo berniat memberitahu Jiwoo bahwa mereka sudah sampai,tetapi niat itu tertunda karena getaran ponsel disaku jasnya. Tanpa pikir panjang ia mengangkat panggilan itu,fokusnya tertuju pada panggilan itu beberapa menit kedepan. Meskipun lebih sering diam dan merespon dengan singkat seperlunya sampai akhirnya panggilan berakhir setelah lima menit. Jiwoo menoleh melihat raut kebingungan yang tergambar jelas di wajah dingin pria itu. "Ada masalah?" Tanyanya yang tak mendapat balasan apapun, hanya mendapatkan tatapan datar pria itu yang kini menatap lurus ke arahnya. Merasa tidak nyaman,Jiwoo memilih segera keluar dari mobil Hyundai Tucson hitam itu. "Baiklah,aku akan keluar,terima kasih banyak" Sayangnya pintunya masih dikunci oleh Wonwoo membuat perempuan itu kembali menoleh meminta Wonwoo membukanya lewat tatapan matanya. Wonwoo masih menatap Jiwoo, pikirannya melayang memikirkan si penelepon tadi yang mengaku sebagai Jeno. Ia kemudian teringat ia bertemu dengan Jiwoo di stasiun,mungkin perempuan itu mengetahui sesuatu. "Apa kau tau siapa yang duduk disampingku didalam kereta?" Tanyanya to the point. Jiwoo berfikir sejenak sambil menyampirkan rambut sebahunya kebelakang telinga. "Oh,remaja dengan jaket biru yang menangis...bernama Lee Jeno,anak dari Lee Sunghyun" Ucap perempuan itu. Wonwoo sedikit terkejut mendapati jawaban perempuan itu yang terbilang detail. "Kau tau? Remaja itu benar-benar duduk disampingku?" Tanya Wonwoo dengan tatapan menuntut. "Iya,jika kau tidak percaya kursiku sejajar denganmu,hanya terpisah oleh lorong untuk orang lewat" Wonwoo menautkan alisnya,menatap tepat di netra yang tertutup lensa coklat terang itu—ia tau perempuan itu memakai lensa—,mencari kebohongan disana tetapi ia hanya mendapati tatapan tanpa emosi. Jawaban Jiwoo mengingatkannya pada pria dengan mantel hijau tua yang memberitahu hal sebaliknya. "Kau juga memberikan kartu nama padanya" Tambah Jiwoo. Wonwoo mulai tertarik,ia menaruh seluruh atensinya pada perempuan dengan long Coat coklat itu yang sekarang kotor karena ada bekas tangan Mingyu di kedua bahunya. Wonwoo mengangukkan kepalanya,ia percaya. "Eum boleh aku pergi sekarang?" Wonwoo menatap perempuan itu sejenak, menimang apakah perempuan itu bisa pergi sekarang atau ada lagi hal yang ingin ia tanyakan sebelum akhirnya melepas mantel hitamnya. "Pakai ini,long coatmu kotor. orang-orang mungkin akan membicarakanmu" Jiwoo melihat area bahu long coatnya. Benar disana terlihat bekas tangan Mingyu,entah apa yang dilakukan pria itu tapi sepertinya noda hitam itu bekas oli atau semacamnya. Jiwoo membuka long coatnya menyisakan sweater krem dengan model turtle neck sebelum memakai mantel milik Wonwoo. "Terima kasih banyak,aku akan mengembalikannya nanti,aku keluar sekarang" Pamit perempuan itu sebelum akhirnya keluar sambil menenteng long Coat coklatnya. Lagi-lagi perempuan itu mengingatkannya pada seseorang. Cara pamitannya itu sama persis seperti sahabatnya yang sejak dua tahun lalu tidak pernah ia temui lagi karena suatu alasan. ××× "Sudah selesai dengan perempuanmu itu?" Mingyu berucap dengan netra yang fokus pada laptop didepannya ketika melihat eksistensi Wonwoo di ambang pintu kamarnya dari pantulan layar laptopnya. "Orang asing. Sudah" Jawab Wonwoo sekaligus mengoreksi ucapan pria yang sedang duduk membelakanginya. "Ah iya itu,ngomong-ngomong ada seorang remaja yang mencarimu" "Remaja?" "Jeno" Wonwoo terdiam. 'Jadi Jeno benar-benar nyata?' "Apa dia nyata?eum maksudku kau tau darimana?" Mendengar respon yang janggal,Mingyu memutar kursinya kemudian memiringkan kepala. "Nyata?tentu saja,Jeonghan Hyung yang memberitahuku dia ada di firma sejak pukul tiga. Dia bilang anak itu mencarimu dan ketika Jeonghan mengatakan kau tidak ada anak itu meneleponmu" Wonwoo hanya membalas dengan anggukkan. Jujur,itu seringkali membuat Mingyu kesal. Setidaknya pria itu bisa menjawab dengan kata-kata untuk menghargainya yang sudah berbicara panjang lebar. "Oh iya Gyu,entah apa yang kau lakukan, kuharap kau sudah mencuci tanganmu sebelum tanganmu mengotori hal lain dirumah ini selain long Coat Jiwoo" Ucapnya sambil melanggang menuju kamarnya. Mingyu menatap punggung pria yang satu tahun lebih tua darinya itu. Lidahnya menyentuh gigi gerahamnya. Kesal dan bingung. Tadi Jeno dan Siapa lagi Jiwoo,itu? "Dia itu benar-benar. Sekarang ia kebingungan membedakan hal yang nyata dan mimpi?" Gumam Mingyu sebelum kembali memutar kursinya. Pria itu kemudian menatap kedua tangannya. "Dia benar,aku lupa mencuci tanganku setelah terjatuh tadi" Gumamnya lagi. Tatapan matanya beralih pada laptop dihadapannya yang pada bagian keyboardnya banyak noda hitam menyerupai sidik jari. Mingyu menatap laptop seharga satu juta won¹-nya itu dengan prihatin sebelum akhirnya melangkah menuju wastafel. ××× Wonwoo terduduk dikasurnya,kepalanya menoleh ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia termenung,ada yang aneh. Ia penasaran pada pria bermantel hijau tua itu yang menganggapnya bermimpi. Pikirannya kemudian teralihkan ketika ponselnya berbunyi. "Ya,ada apa Jeonghan Hyung?" "Won?kau punya janji dengan orang?kenapa tidak datang,ada yang menunggumu sejak tadi" "Apa dia masih ada disana?" "Tidak,kubilang untuk bertemu denganmu lusa" "Baiklah" Wonwoo mematikan sambungan sepihak. Ia tahu di seberang sana Jeonghan pasti sedang mengumpat memaki dirinya yang asal mematikan sambungan telepon. Selanjutnya suara ketukan pintu mengalihkan atensinya sebelum akhirnya pintu berwarna coklat muda itu terbuka. "Hyung,aku ingin bertanya. Tadi pagi kau habis dari Incheon. Apa kau melihat mall bernama B&S di daerah dekat stasiun?" Tanya Mingyu berjalan ke arahnya kemudian mendudukkan diri di atas kasur,disamping Wonwoo. "Mall?tidak ada,satu-satunya mall yang ada disana adalah CMI milik perusahaan Choi's group, letaknya satu kilometer dari stasiun" Balas Wonwoo. Mingyu terlihat melebarkan kedua matanya kemudian mengangguk. "Baiklah" "Kau mendapat kasus penipuan?" "Iya,klienku menjadi investor di suatu departemen store yang tadi kusebut. Tetapi sudah berbulan-bulan tak ada kabar dan orang yang bersangkutan tak bisa dihubungi,polisi sedang mencari pelaku tatapi klienku sudah memutuskan akan mengajukan kasus ini ke pengadilan" Jelas Mingyu yang dibalas anggukkan oleh si lawan bicara. Mingyu kemudian memilih keluar dan kembali menuju kamarnya,membiarkan pria yang sudah ia anggap kakak kandung itu beristirahat. Dia pasti kelelahan mengingat pria itu belum istirahat sejak kepulangannya dari Incheon empat jam lalu. Mingyu menyandarkan punggungnya pada kursi. Pikirannya melayang,bukan pada pekerjaannya melainkan pada pria yang menghuni kamar sebelah. Mingyu merasa ada yang salah dengan pria itu terlebih pertanyaannya yang mengatakan padanya tadi seolah ia tidak yakin remaja yang dibicarakan Mingyu adalah nyata. Ada apa dengan Wonwoo? Apa dia kelelahan sampai-sampai berpikir seperti itu? Mingyu menggelengkan kepalanya,ia mengetikkan kata-kata random pada aplikasi pencarian di laptopnya. Sampai ia teringat akan sesuatu. Jari-jarinya mengetikkan huruf demi huruf hingga tersusun sebuah kalimat kemudian menekan ikon pencarian. Kurang dari satu menit apa yang dicarinya muncul. Kasus delapan tahun yang lalu. Mingyu membaca berita yang sudah lama itu dengan teliti. Dia terkadang bersyukur karena apa yang sudah di upload di internet tak akan pernah terhapus. Tetapi ia juga kadang kesal,karenanya foto-foto lawas dirinya di sosial media tidak bisa dihapus karena lupa sandi. Kembali ke laman tadi,laman itu menjelaskan soal pelaku dan kronologi pembunuhan seorang pria paruh baya di gang kecil dekat stasiun Changwon dengan ayah Wonwoo sebagai pelaku. Beberapa detik kemudian keningnya mengeryit,ada yang salah dengan beritanya. Sepertinya ada sesuatu yang sengaja ditutupi. Mingyu mengambil ponselnya, menghubungi email yang tertera di laman berita tadi. Selanjutnya ia mematikan laptopnya dan beranjak menuju dapur untuk membuat minuman hangat. Ia membawa coklat panas yang sudah ia buat ke meja makan. Mulai menikmatinya meskipun uap panas masih terlihat mengepul. Tangannya beralih mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Sepuluh menit dia berinteraksi dengan seseorang ditelepon. "Ya seperti yang sudah kuceritakan tadi, sudah tidak bisa dibiarkan,adakah dokter—" Mingyu mengehentikkan ucapannya ketika melihat eksistensi Wonwoo yang baru saja keluar kamar dan berjalan ke arahnya. "Eum,nanti kuhubungi lagi" Ucap Mingyu mengakhiri panggilan. "Ming,kau mengetahui sesuatu soal Skizofrenia?" Tanya Wonwoo sambil menarik kursi,ikut bergabung di meja makan. Pria bermata rubah itu diam sejenak sebelum pada detik berikutnya ia mengoreksi kata-katanya. "Eum maksudku,Alzhaimer" "O-oh,setahuku alzaimer membuat hilang ingatan tetapi secara perlahan" Respon Mingyu membuat pria itu menatapnya lurus. Mingyu seolah lega ketika Wonwoo mengoreksi pertanyaannya tadi. "Lalu,Skizofrenia?" ————— Won¹ /원 (圓; simbol: ₩) adalah mata uang di Korea Utara dan Korea Selatan. Memory Esok paginya tepat setelah sarapan,Mingyu memberikan ipadnya pada Wonwoo yang diterima oleh pria itu dengan tatapan bertanya. "Semalam kau bertanya soal Skizofrenia? Aku mencarinya di internet" Ucap Mingyu, dagunya bergerak menunjuk ipad. Wonwoo kemudian membaca tulisan demi tulisan disana. Ia sebenarnya tak tertarik,ia hanya penasaran pada respon Mingyu tadi malam meskipun pada akhirnya pria itu menjawab tidak tahu. Karenanya ia membaca cepat dan dalam dua menit ipad tadi sudah kembali ketangan pemiliknya. "Aku akan ke firma sekarang" Ucapnya kemudian sambil mengambil tas. "Ya pergilah,aku mungkin akan menyusul nanti" Wonwoo mengangguk,tadi malam Mingyu sudah bilang kalo dia akan bertemu klien dan mungkin menyusul ke firma ketika jam makan siang. Wonwoo yang sudah turun di area parkir segera masuk kedalam mobilnya. Memanaskannya sejenak sedangkan dirinya sibuk dengan ponsel, menghubungi seseorang. "Jeno-Ssi datanglah hari ini pukul sepuluh" Hanya ucapan singkat,tetapi diseberang sana respon Jeno terdengar antusias. Wonwoo kemudian memutuskan sambungan telepon setelah remaja itu menyetujui ucapannya. Kemudian mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir. Hanya perlu waktu dua puluh menit untuk sampai di firma hukum yang ia bangun bersama Jeonghan dan Mingyu satu tahun lalu. Tempatnya tak terlalu besar,tetapi cukup untuk mereka bertiga. Mereka bahkan mempunyai ruangan pribadi masing-masing disana. Keluar dari mobil setelah memarkirkannya, Wonwoo menggosok kedua tangannya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya. Angin bertiup cukup kencang saat itu,ditambah suasana pagi hari yang biasanya memang dingin. "Wonwoo-Ssi" Pria itu hendak melompat terkejut ketika dengan tiba-tiba terdengar suara panggilan yang jelas ditujukan padanya. Kepalanya menoleh dan menemukan eksistensi seorang perempuan yang sebagian wajahnya tertutup masker hitam. "Jiwoo" Ucap Perempuan itu memotongnya,ketika ia hendak membuka mulutnya menanyakan identitas perempuan itu. Menatap sejenak, perempuan itu memakai Hoodie dan training bewarna abu-abu yang sama persis dengan warna dinding firma hukum dibelakangnya. Wonwoo membuang nafas. Pantas saja aku tak melihatnya,perempuan itu sedang berkamuflase. "Ini,terima kasih" Sebuah paper bag disodorkan padanya yang langsung saja ia terima tanpa pikir panjang. Dapat ia lihat didalamnya adalah mantel hitam miliknya yang kemarin ia pinjamkan. Jiwoo membuka sedikit maskernya hingga sebatas hidung sebelum bertanya. "Kau ada urusan apa dengan Jeno?" "Lebih baik kau tidak ikut campur" "Ehm,tapi jika kau butuh informasi,aku melihatnya beberapakali,bahkan aku tau tempat tinggalnya dan siapa keluarganya" Balas perempuan itu kemudian menaikkan kembali maskernya yang berhasil membuat Wonwoo menaruh seluruh atensinya padanya. Perempuan itu merogoh sakunya. Mengeluarkan beberapa lembar foto yang sudah sedikit usang dan memberikannya pada Wonwoo. "Restoran keluarganya. Aku selalu mengambil gambar disekitar sana ketika kesana dan ya,itu tidak sengaja. Di tiga tahun berbeda aku mengambil gambar disana. Anak kecil itu Jeno, nanti tanyakan padanya" Tambah gadis itu. Wonwoo tak merespon dan memilih melihat arlojinya. Pukul sembilan. Ia pikir mengobrol sejenak dengan perempuan itu akan bagus terlebih dia mengetahui soal Jeno. "Kau sibuk? bisakah kita bicara?" Jiwoo menyetujui sebelum mengikuti Wonwoo memasuki bangunan dua tingkat itu. Wonwoo mempersilahkan perempuan itu untuk duduk di sofa hitam disana kemudian dirinya duduk di sofa lain. "Apa hubunganmu dengan Jeno?" Tanya Wonwoo memulai kembali pembicaraan. "Tidak ada" Jawaban perempuan itu berhasil membuat alisnya bertaut. "Lalu kau tau darimana bangunan dalam foto itu adalah restorannya,dan anak laki-laki itu Jeno?" "Dari sini" Perempuan itu menunjuk kepalanya sendiri. "Katakan dengan jelas" "Kau tidak mengerti? Begini,aku mengetahui itu dari ingatanku,aku pernah kesana dan ketika sedang memotret aku samar-samar mendengar nama anak itu dipanggil kemudian ada orang lain yang memanggil ayahnya sehingga aku tau nama ayah dan anak itu,kemudian setelah aku mendengar percakapanmu didalam kereta kemarin,aku ingat kalau aku mengenali remaja itu" Jelas Jiwoo. "Foto itu,berapa tahun lalu?" "Empat belas tahun lalu" Jawab Jiwoo yang membuat Wonwoo melebarkan matanya. Pikirnya ingatan perempuan ini benar-benar kuat. "Wonwoo?" Keduanya menoleh ke asal suara dimana terdapat Jeonghan yang menatap mereka kebingungan. Wonwoo sedikit terkejut,apa pembicaraannya terlalu serius sehingga ia tak tau kapan Jeonghan masuk? "Eum...siapa?" Tanya Jeonghan menatap Jiwoo. "Dia-" "Aku dokternya" Jiwoo bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat memotong ucapan Wonwoo. Membuat pria bermata rubah itu mendelik ke arahnya. "Oh dokter,baiklah aku akan ke atas sekarang" Ucap Jeonghan membungkukkan sedikit tubuhnya sebelum melanjutkan langkahnya dan menaiki tangga menuju lantai atas. Kedua orang tadi melihat pria dengan tinggi seratus tujuh puluh sembilan sentimeter itu hingga benar-benar menghilang. "Kau bukan dokterku" Sanggah Wonwoo. "Lupakan,itu tidak terlalu penting,aku hanya tidak ingin pria tadi banyak bertanya" Jawab Jiwoo,sebelum perempuan itu merutuki dirinya karena berbicara tanpa sopan santun. "Hm,namanya Jeonghan,jangan khawatir dia tidak suka ikut campur urusan orang. Apa aku bisa percaya pada ingatanmu itu?" "Terserah,itu hakmu,tapi kalau butuh bantuan kau bisa bertanya padaku,maaf aku harus pergi sekarang" Jiwoo menunduk hormat kemudian berjalan keluar dengan Wonwoo berjalan dibelakangnya, mengantar perempuan itu sampai ke pintu. "Wonwoo-Ssi,kalau ada yang bilang padamu soal sesuatu yang belum kau lihat atau dengar secara langsung,tolong jangan mudah percaya" Ucap Jiwoo sebelum berjalan menjauh. Wonwoo memiringkan kepalanya menatap perempuan itu sampai eksistensinya benar-benar menghilang kemudian tertawa geli. "Termasuk kau? Apa kata-katamu juga bisa kupercaya?" Pria itu kemudian memilih kembali kedalam, berbincang sejenak bersama Jeonghan yang sedang menikmati kopi dilantai atas. "Aku baru tahu kalau kau tidak profesional" Itu adalah pernyataan Jeonghan setelah pria itu menyeruput kopinya yang tersisa sedikit. Membuat Wonwoo menoleh ke arahnya, menunggu kelanjutan ucapannya. "Kemarin seorang remaja menunggumu satu jam lebih disini,dia bilang dia mau bertemu denganmu, seharusnya kau mengatakan kalau kau tidak bisa datang" Wonwoo berdehem,membenarkan posisi duduknya sebelum membalas perkataan pria bermarga Yoon itu. "Dia belum membuat janji denganku,aku tidak tahu" Alibinya. Menutupi kebohongan kalau sebenarnya dirinya masih ragu dengan keberadaan Jeno. Jeonghan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum netranya melihat jam dinding. "Aku harus pergi,ada janji setengah jam lagi" Ucap pria yang satu tahun lebih tua dari Wonwoo itu yang hanya Wonwoo balas dengan anggukkan. Mata rubahnya menatap Jeonghan yang sedang menuruni tangga hingga menyisakan kepala sebelum benar-benar menghilang. Ia baru menyadari kalau pria itu merubah gaya rambutnya yang awalnya comma style¹ menjadi two block². Melihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang,Wonwoo memilih untuk turun ke lantai satu. Tak lama Jeno datang dan memasuki bangunan itu setelah sang pemilik mempersilahkannya. Pertama Wonwoo menyuruh Jeno untuk menceritakan latar belakang keluarganya hingga pada peristiwa penangkapan ayahnya. Dan yang membuat pengacara itu menggelengkan kepalanya adalah ayah Jeno belum ditetapkan sebagai pelaku tetapi sudah berada di dalam penjara. "Apa kasus itu mungkin untuk dibuka kembali?" Tanya Jeno dengan raut wajah khawatir. "Tentu,bukan tidak mungkin. Aku bisa membukanya lagi ketika mendapat bukti baru" Balas Wonwoo. "Di toko mu,apa ada cctv?" Jeno mengangguk. "Ada,tetapi para polisi itu meminta untuk dimatikan" "Ayo kita ke sana,tapi sebelumnya aku ingin bertanya,apa ini kau?" Wonwoo menunjuk anak lelaki pada foto yang diberi Jiwoo. "Iya,itu aku" Balas Jeno. ××× "Apa ada lagi sesuatu yang terjadi pada Jiwon?" Suara itu memasuki indera pendengaran Jiwoo ketika dirinya baru saja memasuki sebuah ruangan di salah satu rumah sakit di Seoul setelah mengetuk pintunya sekali. Biar dia tebak,seorang pria yang duduk dibalik meja baru saja mengecek pasiennya dan mengira kalau dirinya adalah perawat. "Entahlah" Jiwoo membalas, membuat pria bermata sipit yang awalnya sibuk dengan kertas-kertas berisi rekap medis menoleh ke arahnya yang baru saja mendudukkan diri di sofa. "Oh kau?bagaimana keadaannya?" Pria itu bertanya,kembali fokus pada kertas yang baru saja ia ambil. "Aku baru dua kali bertemu,itupun tidak lama. Kak aku tidak yakin,dia terlihat baik-baik saja" Balas Jiwoo. Soonyoung,pria tadi menatap lurus ke arahnya selama tiga detik. "Kau benar,kau baru bertemu dengannya dua kali. Kau bisa kabari aku lagi nanti" "Kak,tapi bukan itu,dia benar-benar terlihat baik-baik saja. Aku tau kau mengkhawatirkannya-" "Jiwoo" Suara lembut namun tegas milik Soonyoung berhasil membuat Jiwoo bungkam. "Aku hanya ingin memastikannya" Lanjut pria itu. Pada akhirnya Jiwoo menghela nafas dan mengangguk. Ia harusnya tidak melupakan fakta kalau pria didepannya itu keras kepala. "Baiklah kak,aku kan mengabarimu beberapa hari lagi" ----- Comma hair¹ : gaya rambut ini memperlihatkan bagian depan rambut yang melengkung ke dalam, menyerupai koma. Gaya rambut ini bisa membuat wajah terlihat lebih kecil dan lebih bersudut, selain itu juga menekankan pada garis rahang yang tampak tegas. Two block² haircut : adalah salah satu gaya rambut dimana rambut dicukur pendek dan rapi,pendek di sisi samping dan di belakang kepala, namun bagian atasnya dibiarkan panjang. Continue or not? Description: Suatu acara berita memberikan laporan soal pengacara terkenal yang mengidap penyakit mental yang namanya sengaja disamarkan. Reputasi Wonwoo turun sejak saat itu, pengacara dengan persentase kemenangan 99% itu tak bodoh untuk tahu bahwa berita itu tentang dirinya meskipun ia sama sekali tak mengidap penyakit apapun. Wonwoo kemudian sadar dirinya dimanfaatkan untuk menutupi sebuah kasus besar.
Title: Revolving Door Category: Fantasi Text: SATU Lampu kecil di bagian atas ponselku berkedip secara teratur. Aku yang saat ini ada di stadion sekolah dan sebenarnya sedang fokus dengan busur dan panahku untungnya menyadari bahwa ada yang hendak ponselku sampaikan padaku. Aku menyingkirkan busurku sejenak lalu mengambil beberapa langkah ke samping untuk mengambil ponselku yang kugantung di sebuah rak, ternyata ada pesan. Aku menekan beberapa tombol lalu melihat isi pesan yang dikirimkan padaku. Setelah membacanya, salah satu sudut bibirku terangkat membentuk setengah senyum. Aku mendengus, "Heh, misi baru lagi." Aku menekan beberapa tombol lain di layar karena aku butuh meneruskan pesan itu kepada seseorang. Sesudahnya aku langsung bersiap merapikan semua barangku. Ponsel kubawa dalam genggamanku. Aku pergi ke ruangan lain yang ada di dalam stadion itu, lebih tepatnya ruang loker dimana tasku dan semua barangku yang lain kutinggalkan di sana. Tak lupa kukembalikan busur dan perlengkapan memanah ini ke raknya. Aku harusnya bersyukur karena akhirnya mendapatkan misi baru, tapi di satu sisi sedikit kesal juga kenapa misi baru harus datang ketika aku sedang berusaha menikmati diriku sendiri? Ah, ya sudahlah. Aku akhirnya mendapatkan tasku di ruang loker lalu pergi dari sana. Hai, perkenalkan aku Anzu Edyora. Kau bisa memanggilku Anzu. Aku adalah murid tingkat pertama di sekolah sihir Millenium Institute. Betul, ini sekolah sihir paling prestisius di ibukota. Kenapa aku bisa masuk sini, kau bertanya? Karena aku memang di atas rata-rata dan kemampuanku memang cocok dikembangkan di tempat ini. Namun, sekolah bukan melulu soal gengsi dan keahlian. Sekolah pilihan harus mengarahkan diri pada tujuan utama kita pada hidup. Bicara tentang itu, sepertinya aku salah memilih. Sejak awal aku sudah bermimpi ingin hidup normal saja di dunia modern ini atau paling maksimal jadi atlet panahan. Sayangnya jika sudah masuk Millenium Institute, semua siswanya pasti dididik untuk menjadi 'superhero'. Ya, menjadi penyihir di masa modern ketika teknologi sudah banyak membantu manusia, untuk apa lagi sihir digunakan? Terkadang aku berharap aku terlahir sebagai rakyat sipil saja, tapi jika aku berharap demikian itu berarti aku tidak bersyukur. Pada era modern yang masih dipenuhi oleh kekuatan sihir ini, manusia membuat sistem sendiri yang diharapkan bisa membuat kehidupan ini seimbang. Dalam sistem ini, manusia terpisah menjadi dua jenis golongan. Golongan yang pertama adalah sang penyihir. Sesuai dengan namanya, para penyihir bisa memanfaatkan kekuatan semesta dalam nadi untuk merealisasikannya dalam sihir yang terbagi atas empat elemen utama bumi; air, tanah, api, dan udara. Para penyihir dianggap kaum intelektual dan memegang fungsi pemerintahan di seluruh bagian dunia. Semenatara golongan yang kedua adalah rakyat sipil dimana mereka hanya kalangan manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan dari semesta. Dalam sistem kami, mereka memegang peran fungsional yang menggerakkan ekonomi seperti pejabat perusahaan, pengusaha, ataupun entertainer. Ketika aku sedang berjalan menuju kawasan parkir dimana aku memarkir skuterku, ponselku bergetar panjang, tanda bahwa ada telepon masuk. "Halo?" "Kau... sudah di lokasi...?" Ini Theodore Figaro, partnerku dalam menjalankan misi ini. Millenium Institute memang memasangkan semua murid tingkat pertama dalam menjalankan misi dan untuk semester ini aku dipasangkan dengannya. "Belum." jawabku di telepon "Aku sedang berada di stadion sekolah ketika misi itu datang." "Aku ... kebetulan ada ... di lokasi ..." Aku mengerutkan dahi. Jika aku tidak salah ingat, lokasi misi agak jauh dari sekolah, ada di pinggir kota, dekat perbatasan wilayah rakyat sipil. "Yang benar?" tanyaku menyelidik. Ia hanya menjawab dengan gumaman singkat, bahwa itu memang kebenaran. Sedang kususun kalimat untuk menanyakan mengapa dan bagaimana bisa ia ada di sana namun sepertinya aku tak usah mencampuri urusannya. "Dan kebetulan juga ... mereka ... ada di dekat ... sini ..." ujarnya lagi "Apa?!" aku kaget. Misi kita kali ini adalah pencurian beberapa barang magis yang digunakan oleh para penyihir, diduga oleh rakyat sipil yang adalah kriminal, lalu barang-barang itu digunakan untuk mengancam rakyat sipil yang lain. Aku bisa menduga barang yang dicuri adalah persenjataan milik penyihir, entahlah mungkin pistol dan sejenisya. Namun jika para kriminal itu ada di dekat Theodore sekarang, itu berarti dia dalam bahaya dong? "Aku segera kesana--" "Aku ... bisa tangani ..." jawabnya "Lebih baik, kau ... hubungi polisi dulu ... di sekitar sini. Aku ... akan coba ... mengalihkan perhatian mereka. Yang lebih berwenang ... tetap ... polisi ..." Aku berdecak, "Kau aneh." kataku "Sebelum sekolah memberikan misi itu pada kita, mereka pasti sudah memberitahu polisi--" "Bukan ... yang terdekat ..." Theodore memotongku "Polisi pusat ... datangnya lama. Lebih baik kau cepat ... lalu ... hubungi polisi yang di dekat sini--" "Iya iya!" aku kesal juga. Orang yang satu ini memang gaya bicaranya agak lambat, bahkan di tengah situasi seperti ini, aku tak bisa mengerti dan hal tersebut membuatku tidak sabaran. Dengan cepat aku menutup telepon lalu bergegas, mengakses skuterku yang ada di dekat itu lalu pergi ke daerah perbatasan, tempat dimana misi kami ditempatkan. Dengan pemisahan peran manusia seperti ini, wilayah pun dibagi sesuai dengan peran tersebut. Secara umum setiap kota dibagi menjadi dua, bagian dalam yaitu milik warga sipil dan bagian luar yaitu milik para penyihir. Para penyihir menempati bagian luar karena bisa dibilang kami menahan bahaya dari luar dan bisa langsung bertarung, melindungi semua yang tinggal di bagian dalam yaitu warga sipil. Tidak sembarang manusia bisa pergi ke area yang bukan merupakan wilayahnya. Jika seorang penyihir hendak pergi ke daerah rakyat sipil, ia harus memiliki wewenang, entah karena penyihir tersebut memiliki pekerjaan yang ditempatkan di daerah rakyat sipil ataupun yang lainnya. Yang jelas, mereka yang hendak bepergian lintas wilayah harus memiliki ijin dan itu berlaku berkebalikan baik bagi penyihir ataupun warga sipil. Hal ini diberlakukan untuk mengurangi adanya tindak diskriminasi antara dua kaum karena masing-masing kaum memiliki wilayahnya sendiri meskipun memang ... kesannya jadi manusia mengotak-ngotakkan sesama manusia ... ya, apa lagi yang bisa kita lakukan? Kebetulan di daerah perbatasan ada kantor polisi. Meskipun tugas polisi di sana adalah untuk menjaga wilayah perbatasan seperti mengurus ijin yang keluar dan masuk, setidaknya aku menemukan kantor polisi yang lebih dekat untuk melaporkan misi pada kali ini. Aku menyiapkan surat tugas yang dilampirkan bersama perintah dari misi yang diberikan kepada polisi yang berjaga di pos perbatasan sebelum akhirnya aku melipirkan skuterku ke kantor polisi yang berada tepat di sebelahnya. "Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas di depan yang duduk di balik meja resepsionis. "Perkenalkan saya Anzu Edyora dari Millenium Institute." aku maju ke depannya, memperkenalkan diri sambil menunjukkan surat tugas yang ada di ponselku. Petugas itu mengangguk ketika membaca surat tugas yang aku tunjukkan, sepertinya paham maksud dan tujuanku ke sini, "Mohon isi formulir pelaporan lalu kirimkan tugas beserta surat tugasnya ke surel utama kantor cabang ini." Ting! Ponselku berdenting menandakan adanya pesan masuk. Email dari kantor polisi cabang ini yang tidak mengirimkan apapun selain formulir pelaporan yang dimaksud. "Kalau kau terburu-buru karena harus segera sampai di lokasi, kau bisa tuliskan saja nama dan asalmu, kemudian tanda tangan lalu langsung kirimkan semuanya kembali." Aku mengangguk. Petugas ini tahu apa yang kubutuhkan. Dengan cepat aku menarik pen yang tersembunyi di bagian belakang ponselku lalu dengan cepat mengisi formulir itu dan mengirimkannya kembali. "Laporan sudah kami terima." kata petugas itu sambil tersenyum padaku "Semoga sukses dengan misimu!" Aku tersenyum sekilas, "Terimakasih." lalu segera pergi dari sana. Kalau aku tidak salah membaca peta lokasi misi, harusnya tempatnya tidak jauh dari sini-- Duar! Ya, sepertinya aku tidak salah. Aku mendengar suara ledakan, diikuti dengan kepulan asap di balik gedung (yang kuduga sebagai gedung pertemuan) yang menjulang di hadapanku ini. Aku langsung berlari ke arah sana dan kudapati ... "Theodore?" Theodore terbaring di jalanan, di lengannya terlihat beberapa luka lecet. Tempat itu sebenarnya ramai orang-orang yang berkumpul, terlihat saling melindungi. Aku melongok ke kanan dan kiri. Dimana penjahatnya? "Akhirnya kau datang." Theodore berkata dengan tajam "Kita-- maksudnya aku tidak terlalu beruntung bertemu dengan mereka yang ternyata mencuri benda-benda berelemen es." Aku mengerjapkan kedua mataku beberapa kali, agak terkejut dengan ... "Aku, pemegang elemen api, ingat?" Theodore menatapku sambil berusaha berdiri "Pertarungan yang sengit, harusnya kau tidak kaget. Mengingat kau bukan penyihir elemen setidaknya bisa membuat kita seimbang. Lebih baik ..." Aku tidak memperhatikan kalimatnya selanjutnya. Meskipun sudah hampir sebulan aku bekerja dengannya, ia tak pernah gagal membuatku terkejut, terutama atas perubahan sifatnya yang tiba-tiba saat sedang menjalankan misi. Gairahnya ... bahkan energinya terasa berbeda. "Hei, kau dengar aku-- whoa!" Beberapa panah es tertembak dari arah berlawanan dengan gaya parabola. Melihat apa yang datang pada kami, aku bisa menduga bahwa benda yang dicuri memang benar pistol yang menembakkan panah es. Dengan satu gerakan tangan ke atas, Theodore membawa tongkat sihirnya untuk membuat tembok api yang melingkupi kita berdua, sehingga kita terlindung dari panah-panah es yang diarahkan kepada kita sebab begitu masuk ke tembok Theodore, panah-panah tersebut lenyap menjadi uap. Aku menghela napas, "Darimana mereka mencuri barang-barang seperti itu?" "Pastinya dari pejabat." kata Theodore "Mungkin mereka habis menyelundup ke area penyihir dan merampok beberapa pejabat kalau dilihat dari perlengkapan yang mereka bawa, tapi itu urusan para polisi nanti. Kau sudah menghubungi mereka?" Aku menarik tongkat sihirku dari balik sabuk yang kukenakan lalu aku berdiri tegap dalam posisi siaga, "Aku menyampaikan laporan kita tadi ke sana, mereka akan segera datang." "Bagus." Theodore nampak siaga juga "Kalau begitu kita hanya perlu menjebak sehingga polisi bisa langsung meringkus mereka." Aku mengangguk. Lalu sambil menyatukan kedua tanganku aku merapal mantera yang kuarahkan kepada mereka. Ruang bagi mereka menjadi menyempit, mereka jadi terdorong berdempetan. Ya, aku adalah penyihir ruang dan waktu. "Kau bisa tembakkan bola apimu pada mereka, Theodore." "Tanpa kau bilangpun aku sudah siap melakukannya." Gairah dan energinya terasa berbeda. Baru kali ini aku melihat orang yang sebegitu besarnya berbeda ketika menjalani apa yang mereka suka. Perbedaan sifat Theodore di dalam dan di luar misi begitu menakjubkan bagiku. Ia hampir terlihat seperti pintu putar yang berotasi sampai kembali ke asalnya. DUA "Anzu, hari ini kau libur kan?" tanya Cica ketika kami bertemu di sekolah pagi ini. Aku mengangkat sebelah alis, bingung dengan maksud perkataannya. Jelas-jelas aku berada di sini sekarang, lebih tepatnya di lokerku, untuk memeriksa semua barangku sebelum aku beranjak ke kelas yang aku tempati. Melihat responku, Cica hanya memutar kedua bola matanya sambil berkata, "Misimu." "Oh..." "Sekarang kan hari Jumat," lanjutnya "... dimana semua siswa yang mengambil mata pelajaran 'Pengabdian Masyarakat' mendapatkan jatah libur untuk menjalankan misinya karena para guru harus menilai poin yang mereka dapatkan selama misi--" "Kau tak perlu menjelaskannya seakan-akan aku perlu diorientasi lagi." ujarku sambil meletakkan jari telunjukku ke bibirnya "Habis ini apa? Kau mau menjelaskan kalau hari Jumat ditujukan hanya untuk kegiatan klub?" Cica hanya tertawa mendengar komentarku. Aku memalingkan pandangan darinya lalu menutup pintu loker. "Ada apa memang? Kau mau mengajakku pergi?" tanyaku kemudian. Wajah Cica berubah cerah ketika aku menanyakan hal tersebut. Bibirnya yang tipis namun memiliki ukuran cukup besar jika diperhatikan di bagian ujung ke ujung bibirnya menguasai hampir separuh wajahnya karena ia tersenyum begitu lebar. Kedua matanya pun ikut tersenyum hingga bola mata kecokelatannya itu nyaris tak terlihat lagi. "Kau memang sahabatku yang paling mengerti aku!" ujarnya dengan nada senang sambil melambaikan tangannya "Sudah lama juga aku tidak 'kencan' dengan dirimu" Kata 'kencan' itu masih jadi hantaman bagi jantungku setiap kali aku mendengarnya keluar dari mulut Cica, namun aku hanya menelengkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil menaikkan alis, berusaha terlihat santai. "Ngomong-ngomong aku akan ajak Lili." tukas Cica kemudian. "Hm?" aku bergumam dengan nada tanya. Aku tahu Cica baru saja berteman dengan Liliana Scarlet, pendatang baru di Millenium Institute, apalagi mereka mengambil beberapa mata pelajaran tambahan yang sama, besar kemungkinan mereka bisa dekat dengan cepat. Aku hanya merasa agak aneh saja Cica langsung mengajak orang baru ketika ia ingin menghabiskan waktu denganku. Aku bukannya tidak menerima orang baru hanya karena aku sedekat itu dengan Cica, tapi... apakah kau tidak merasa aneh setelah mungkin sekitar dua bulan kamu jarang menghabiskan waktu bersama sahabatmu lalu dia tiba-tiba mengajak orang lain di tengah waktu kalian bersama? Aku sih sepertinya akan merasa canggung. "Ayolah, masa kau tidak mau pergi bersama 'orang spesial' ini?" Cica mengatakannya sambil menaikkan alis beberapa kali seperti berusaha meyakinkanku. Liliana Scarlet memang cukup unik. Aku menganggapnya sebagai manusia yang memiliki kombinasi gen yang sebegitu beruntungnya. Kedua orangtuanya adalah pejabat dan kakaknya sendiri cukup terkenal untuk bidang tertentu. Kemunculan Lili secara tiba-tiba di Millenium Institute membuat ia cepat dikenal meskipun baru kelas satu, dan sebagai orang yang sudah mengenal Cica begitu lama, aku tahu bahwa ia ingin berteman dengan Lili karena mereka memiliki aura yang kurang lebih sama. Maksudku, Cica juga merupakan salah satu orang yang berpotensi menjadi anak populer di Millenium Institute. Akan kujelaskan detailnya nanti. Aku mengangkat bahu dengan pasrah, "Ya, aku sedikit penasaran juga dengannya sih" Cica terkekeh, "Tidak mungkin tidak" Aku ikut tersenyum, "Baiklah. Kita akan kemana?" "Makan siang." Cica menjawab "Lili suka Ivory Oasis tidak ya?" Gantian aku yang tertawa, "Kau menanyakan itu seakan-akan dia anak sultan--" "Dia anak pejabat!" potong Cica dengan wajah cemberut "Siapa yang tahu kan kalau dia sukanya makan di tempat yang mahal-mahal?" "Ivory Oasis tidak seburuk itu lah." sangkalku "Siapa yang tahu juga kalau dia suka mengeksplor tempat baru... atau jangan-jangan itu juga tempatnya untuk bercengkerama" Cica sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang, "Ya sudah." katanya "Ivory Oasis sepulang sekolah ya!" Aku mengangguk sekali lalu mengacungkan jempol, "Oke!" Bertepatan dengan itu, terdengar melodi singkat yang bergema di seluruh lorong itu. Kami otomatis mendongakkan kepala ke langit-langit dimana suara itu berpusat sebagai reflek. Melodi itu menandakan bahwa kelas pertama akan segera dimulai. Namun karena hari ini hari Jumat, ketimbang kelas, kita diharuskan untuk pergi ke ruang klub masing-masing. Cica mundur beberapa langkah, "Sampai bertemu nanti, Anzu!" ujarnya sebelum berbalik badan dan pergi meninggalkanku. Aku hanya melambai singkat sebelum akhirnya pergi ke ruang klubku. Aku sudah pernah bilang sebelumnya bahwa jika sudah masuk ke Millenium Institute, kau pasti akan dididik untuk menjadi "superhero". Millenium Institute adalah sekolah sihir dengan kurikulum paling lengkap yang dipastikan dapat mengaktivasi seluruh potensi penyihir baik itu dari pikiran, fisik, bahkan moral... ya, menjadi "superhero", berbeda dengan sekolah-sekolah sihir lain yang sejauh pengetahuanku hanya terfokus pada aspek pikiran dan/atau fisik saja. Selain memiliki fasilitas yang begitu mewah dan tenaga pengajar yang jelas sangat berkompeten, Millenium Institute memaksa setiap siswanya untuk menggerakkan fisiknya, dalam hal ini untuk memilih kegiatan klub olahraga ataupun aktvitas fisik sebagai kegiatan di luar akademiknya (percayalah padaku, meskipun ini merupakan kegiatan di luar akademik, keaktifanmu dalam klub akan masuk dalam penilaian tahunan). Kata mereka para penyusun kurikulum Millenium Institute, menjadi penyihir tidak hanya menghapal dan memahami sihir yang kita pelajari namun harus dilengkapi oleh fisik yang aktif supaya energi yang kita dapat dari merapal sihir tersebut dapat ditranslasikan secara sempurna. Hal ini berlaku hampir sama dengan aspek moral yang diberikan sebagai kurikulum Millenium Institute, Setiap siswa diharuskan untuk memilih satu klub atau kegiatan kesenian yang harus dijalankan sebagai kegiatan di luar akademik (sepertinya aku perlu menekankan lagi ya bahwa "kegiatan di luar akademik" ini tetap menjadi bagian dari penilaian tahunan). Menurut mereka, untuk apa kita menjadi penyihir yang handal tapi menggunakan sihir itu untuk kejahatan? Kegiatan seni dapat memoles moralmu supaya menjadi orang baik, mereka bilang. Kedua kegiatan klub ini dilaksanakan setiap seminggu sekali yaitu pada hari Jumat. Kegiatan klub olahraga akan diadakan pada pagi hari, sementara kegiatan klub kesenian akan diadakan pada siang hingga sore hari. Aku sendiri memilih klub panahan sebagai pilihan kegiatan olahragaku dan klub musik sebagai pilihan kegiatan kesenianku. Sebenarnya aku ingin memilih klub paduan suara (yang ternyata terpisah dengan klub musik) supaya bisa berada di klub yang sama dengan Cica, tapi aku tak bisa memaksakan diriku yang tidak bisa bernyanyi ini untuk bernyanyi. Lebih baik melanjutkan apa yang sudah kubisa, yaitu bermain piano. "Yang sudah selesai berganti pakaian dan mengambil alat, boleh langsung ke lapangan" Rome, ketua klub panahan memasuki ruang transisi dan memberi pengumuman, disusul oleh 'baik' dan 'oke' dari semua orang yang ada di sana. Aku yang sudah berganti pakaian dan tinggal mengambil peralatan panahanku langsung beranjak. Hari ini bisa dibilang adalah hari yang baik. Setelah empat hari yang cukup padat akan tugas-tugas sekolah dan misi sepulang sekolah yang cukup menguras tenaga dan pikiran, akhirnya aku benar-benar punya waktu untuk 'memanjakan' diriku sendiri; dengan olahraga, dengan seni, dengan sahabat. Tidak banyak yang bisa diceritakan di klub panahan sih karena hitungannya aku masih pemula di sana dan masih mempelajari teknik-teknik dasar yang sudah cukup menarik minatku karena dari awal aku sudah jatuh cinta dengan olahraga panahan ini sejak pertama kali melihatnya di televisi. Tidak banyak juga yang bisa kuceritakan di klub musik karena meskipun kemampuan musikku tidak seamatir bagaimana kemampuan panahanku, tidak ada juga yang benar-benar menarik selain mencoba beberapa teknik dan interpretasi baru dalam memainkan lagu yang sedang kukerjakan. Klub musik kami mungkin akan mengadakan konser kecil-kecilan cepat atau lambat. Hal yang cukup menarik untuk diceritakan pada hari ini adalah ketika akhirnya aku pergi makan di Ivory Oasis, sebuah kafe tempatku dan Cica biasa bercengkrama yang kali ini juga ikut diramaikan oleh Lili. Aku memang cukup skeptis di awal karena seperti yang sudah kusampaikan di awal, aku akan merasa canggung bila ada orang baru yang ikut menghabiskan waktu bersamaku dan sahabatku. Namun, sepetinya aku paham kenapa Lili bisa cepat akrab dengan Cica selain karena mereka sama-sama memiliki aura yang kuat, Lili dengan 'gen orang pentingnya' sementara Cica dengan 'gen gadis cantik dan menawan'-nya. Lili handal membawa suasana jadi kita tidak ada dalam kecanggungan yang terlalu lama. Dari cara bicaranya pun terlihat seperti orang yang pintar. Ia pun juga ambisius, punya kadar energi yang tinggi, hampir sama dengan Cica. "Kalian apakah ada yang tertarik untuk ikut Magic Tournament?" ujar Lili sambil menopang dagu di kedua tangan, menatap kami berdua secara bergantian dan penasaran "Kudengar Millenium Institute punya jaringan yang cukup bagus untuk itu" Ah, bahkan ia bersemangat untuk berpartisipasi dalam turnamen sihir tahunan nasional, yang dirayakan seperti pertandingan olahraga dan diminati oleh semua kalangan mau itu penyihir ataupun rakyat sipil, Magic Tournament. Wajar sih, setelah aku tahu lebih lanjut bahwa kakaknya, Diego Scarlet, ternyata merupakan salah satu panelis dari turnamen bergengsi tersebut. Aku baru pertama kali melihat orang yang begitu antusias menyampaikan ambisinya seperti itu dan itu yang cukup kukagumi darinya. "Aku hanya tertarik sebagai penonton" Cica menimpali. "Bagaimana denganmu, Anzu?" Lili beralih bertanya padaku. "Hm?" aku mengangkat alis, tidak menyangka dia akan langsung mengalihkan pertanyaan padaku "Aku tidak memiliki tanggapan apapun soal itu. Tidak berminat menjadi peserta dan saat menjadi penonton pun bukan yang terlalu antusias" Lili hanya mengangguk paham, "Kupikir semua siswa Millenium Institute mempunyai ketertarikan yang begitu besar soal turnamen-- maksudku semua orang pasti tertarik ... tapi yang kubayangkan di sini semua muridnya begitu antusias ... antusias sekali! Apalagi di sini ada salah satu peserta tahunan kan?" "A-ah ... maksudmu Grey?" Cica bertanya dengan nada pelan, nyaris mencicit. Sudah kuduga Cica akan menyebut nama itu. William Greyson, anak walikota yang sangat berbakat ... bahkan bisa anugrah? Sejak sekolah menengah aku sudah melihat namanya sebagai peserta dan ia serta timnya selalu lolos ke babak final. Aku lupa apakah ia pernah memenangkan turnamen itu atau tidak, ... tapi nada bicara Cica yang menyebut nama orang ini dengan nada seperti itu, mungkin karena Grey adalah mantan kekasihnya dan Cica masih malu ketika setiap kali menyebut namanya. Aku hanya menarik ujung sebelah bibirku, berusaha menahan tawa geli. Sementara itu Lili hanya mengangguk cepat, masih tidak mengurangi antusiasnya, "Iya! Keren banget ya dia! Aku selalu melihat strateginya dan timnya dalam setiap permainan setiap tahun. Mereka tak pernah kehabisan akal untuk memenangkan setiap babak turnamennya. Begitu kreatif!" Sepertinya Lili memang termasuk golongan orang yang benar-benar mengikuti berjalannya turnamen ini, agak berbeda dengan Cica yang sejak awal motivasinya untuk menonton turnamen itu adalah untuk melihat Grey ... faktanya itu adalah tahun pertama Cica menonton setelah berbelas-belas tahun turnamen ini dilaksanakan. Mendengar Lili yang bahkan sampai menjelaskan apa yang membuat ia kagum dengan strategi permainan yang dimaksud sampai ke detilnya, ah ... dia memang penikmat sejati. "Eh, maaf Anzu," tiba-tiba Lili kembali mengalihkan perhatiannya padaku, setelah selama beberapa menit terakhir ia sibuk bertukar kalimat dengan Cica yang sedikit-sedikit juga paham dengan strategi permainan meskipun lebih banyak menanggapi dengan kata yang mengakhiri. "Kenapa?" aku mengerutkan alis, bingung kenapa ia harus minta maaf padaku. "Kami ... mengabaikanmu." ujar Lili "Maksudku ... tidak apa-apa kalau kamu tidak terlalu tertarik dengan Magic Tournament, tidak apa-apa kalau kamu tidak mengerti. Ketertarikan itu sifatnya individu dan bukan berarti kamu harus menyukai sesuatu yang disukai oleh mayoritas orang." Baik aku dan Cica agak kaget mendengar penyataannya. Ini bukan pertama kali yang kudengar sih, namun perkataan Lili barusan adalah sesuatu yang sangat jarang dikatakan orang kepadaku yang tidak tertarik dengan turnamen ini, apalagi Lili adalah penikmat sejati. Sebagai seorang penyihir, cukup aneh sebenarnya untuk tidak tertarik dengan penyelenggaraan Magic Tournament. 'Bagaimana kamu bisa mempelajari sihir jika tidak tertarik menonton sihir?' 'Rakyat sipil saja suka menonton acara ini' adalah pernyataan yang selalu kudapat ketika seseorang mengetahui aku bukanlah peminat, yang cenderung tidak peduli. Ya, mau bagaimana? Apakah aku harus memaksa? Sejak awal aku tidak punya tujuan menjadi penyihir. Bukan itu target terakhirku. Jika bisa memilih, aku bahkan ingin menjadi rakyat sipil saja, ... namun jika aku bilang demikian, kesannya aku tidak bersyukur. "Kita ... " Lili lagi-lagi memecah keheningan "Kita bahas yang lain saja yuk! Supaya Anzu bisa ikut ngobrol juga!" TIGA "Kalian sudah menerima misi apa saja sejauh ini?" Lili bertanya setelah menyeruput capuccino-nya dan meletakkan gelasnya kembali ke meja. "Kemarin aku mengawal pejabat dan keluarganya yang hendak berpergian ke luar kota." jawab Cica. "Oh, serius?" Lili bertanya dengan antusias "Siapa namanya?" "Aku tidak ingat. Bukan nama pejabat yang sering muncul di media." jawab Cica "Kupikir akan ada pertarungan seru ... karena kukira dia adalah pejabat penting yang mungkin diincar orang." "Ternyata tidak?" Llili menebak. Cica menjawab dengan anggukan yang dilengkapi dengan ceritanya, "Ternyata dia hanyalah orang yang paranoid yang benar-benar takut akan terjadi apa-apa ... bahkan pengawalnya pun bilang bahwa selama ini tidak pernah ada kejadian apa-apa!" "Setidaknya kau bisa ikut jalan-jalan gratis." timpalku "Kemana mereka?" "Mereka ke Sandbar ... tahu kan? Pulau kecil di sebelah yang bagus pantainya itu." jawab Cica "Anaknya ternyata sedang berulangtahun dan mereka ingin menginap di sebuah resort sekeluarga untuk merayakannya." "Biar kutebak, di sana pasti mereka menyewa permainan dan pesta pribadi padahal hanya sekeluarga?" kata Lili. Cica mengangguk makin agresif lagi, "Iya! Mereka bersenang-senang sendiri sementara kami yang ditugaskan hanya berjaga di depan bersama pengawalnya. Karena tidak terjadi apa-apa, kami malah mengobrol dengan para pengawalnya." "Ah, membosankan juga ya." kata Lili sebelum akhirnya beralih padaku "Bagaimana denganmu Anzu? Kau dapat misi apa kemarin?" "Misiku kemarin?" aku mengulang "Aku... melawan pencuri rakyat sipil." "Eh? Kriminal?!" baik Cica dan Lili nampak terkejut. "Ah... bisa dibilang begitu." aku agak canggung menjawabnya, menerima banyak antusiasme sebesar itu dalam satu waktu "Seorang rakyat sipil mencuri barang magis dari ... entahlah seorang penyihir. Kami diminta untuk melemahkannya sebelum diserahkan pada polisi." "Waaahhhh ..." kedua gadis itu bertepuk tangan pelan. "Seru sekali ya misi kalian ..." ujar Lili selanjutnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada "Kalaupun Cica menunggu orang berpesta, setidaknya kalian berinteraksi dengan manusia." "Memangnya misimu bagaimana?" tanya Cica. "Aku dan partnerku diminta untuk ... menjaga barang." jawabnya "Yang kami pada saat itu bahkan tak tahu itu barang apa dan untuk apa. Kami tidak diizinkan melihat, hanya menjaga-- huh, sepertinya itu hanya pekerjaan orang yang kebanyakan uang dan ingin menghabiskannya." "Kau dibayar banyak?" tanyaku. Lili mengangguk, "Tapi tetap saja kan sebagian komisi harus dikembalikan ke sekolah." Gantian aku dan Cica yang mengangguk. Benar juga, aku membatin. "Tapi setidaknya kau punya partner yang menyenangkan kan?" entah kenapa aku bisa merasakan tajamnya nada bicara Cica ketika mengucapkannya meskipun dengan senyum. Lili terkekeh, "Ya, seperti yang aku bilang tadi ketika kita masih membahas soal Magic Tournament ..." Sebentar ... jangan-jangan ... "... Grey memang orang yang luar biasa!" Sudah kuduga. Aku sekilas melirik Cica yang masih menyimak pembicaraan Lili dengan senyum. Di situ aku tahu bahwa Cica berteman dengan Lili bukan hanya sekadar memiliki aura yang sama, namun karena ... ia ingin tahu tentang kabar Grey. "Beruntung sekali kau bisa menjadi partner Grey." kata Cica "Banyak hal yang bisa kalian lalui bersama." Aku bisa duga Cica pasti cemburu sekali, tapi apakah Lili tidak tahu bahwa Cica adalah mantannya Grey? Ah, sepertinya Cica enggan memberitahukan hal itu. "Sayangnya aku harus dipasangkan dengan Rome." Aku mengangkat alis, "Ah, dia ketua klubku. Dia orang yang cukup menyenangkan kok asal kau tahu bagaimana cara menemukan topik yang tepat untuk dibicarakan--" "Semua orang ya begitu, Anzu." Cica memotong sambil mengibaskan tangannya sekali. Aku terdiam. Niatku mengatakan itu adalah untuk membelokkan topik supaya Cica tidak terus-menerus makin menjuruskan pembicaraan tentang Grey. Sesuatu di dalam hatiku mengatakan bahwa itu bukanlah hal yang bagus. Lili tertawa sekilas, "Cica benar sih, tapi kau juga tidak salah." katanya "Anzu, ceritakan dong tentang partnermu." Aku agak terkejut ketika tiba-tiba ditanya, "Partnerku ya ..." "Siapa sih namanya?" Cica berusaha mengingat-ingat "Theo ... Theodore ...? Pokoknya lulusan unggulan itu." "Theodore Figaro." jawabku sebelum akhirnya menyadari sesuatu "Hah? Apa kau bilang?" "Nah iya itu namanya! Theodore Figaro." Cica kembali tersenyum "Kau juga beruntung lho bisa jadi partner-nya. Kau bisa belajar banyak!" "Dia lulusan unggulan?" aku kembali ke pertanyaan pertama. Lili mengangguk, "Ketika pengumuman siswa baru yang masuk di Millenium Institute, semuanya sempat heboh lho melihat nilainya yang begitu tinggi! Apakah kau tidak mengetahuinya?" Aku mengangkat bahu spontan. Aku sebenarnya tidak pernah peduli aku mau bersekolah dimana. Orangtuaku jelas menginginkanku untuk masuk ke sekolah terbaik. Namun aku sebenarnya tidak terlalu mengusahakannya. Aku tahu bahwa Millenium Institute adalah sekolah terbaik dengan seleksi yang cukup ketat namun alasan aku masuk ke sini adalah karena Cica ingin. Aku ingin terus bersamanya. Dengan motivasi yang seperti itu, apakah mungkin aku akan peduli dengan yang lainnya? "Anzu memang orangnya cuek." Cica membelaku, melihat tatapan aneh yang diberikan Lili kepadaku "Berarti kau hanya menjalankan misi dengannya lalu di luar itu kalian selesai?" Aku mengerutkan dahi, "Memangnya apalagi yang bisa kulakukan dengannya?" "Berteman!" jawab Lili dengan nada polos "Mata pelajaran 'Pengabdian Masyarakat' diambil bukan cuma untuk memenuhi nilai dan sekadar melatih kita untuk membantu orang lain. Apalagi untuk siswa tingkat satu yang sengaja dipasangkan dalam menjalankan misi, mata pelajaran ini berguna sebagai sarana mencari teman. Kita kan tidak bisa mendapatkan ini jika kita sudah naik ke tingkat dua, apalagi tingkat tiga." Aku tahu akan hal itu. Namun aku masih belum bisa menemukan kenapa aku harus menghabiskan waktu dengan Theodore di luar misi. "Kalau aku dan Grey biasanya sesudah misi kami akan berdiskusi tentang misi yang baru kami jalani." ujar Lili "Lalu membahas kemungkinan-kemungkinan sihir apa yang bisa kita lakukan secara berbeda dalam misi tertentu. Tidak selalu sih karena ... ya kau tahu, jika misinya hanya menjaga barang apa yang harus kita bahas?" Lili tertawa. Cica ikutan tertawa. "Sejujurnya aku juga begitu dengan Rome." timpal Cica "Meskipun ... dia kaku sekali makanya berakhir dengan cepat. Kau kalau mengobrol dengan Grey pasti bisa lama kan?" "Tenang saja, Cica! Kau pasti bisa akrab dengan Rome." katanya "Jadi kau belum akrab ya dengan Theodore? Apa yang kau tahu tentangnya sejauh ini?" "Ah ..." aku berpikir sejenak karena bisa dibilang memang minim informasi yang aku dapat tentang partner-ku ini "Dia pemegang sihir api dan ... lumayan destruktif sih." Terdengan 'oh' dan 'ah' dari Lili dan Cica. "Keren juga!" Lili menyambung "Apa lagi?" Aku terdiam sambil berusaha mencari sesuatu di dalam benakku, mungkin saja aku melupakan sesuatu, tapi tidak ada yang terpikirkan, "Itu saja sih ..." "Hmm sayang sekali ya." kali ini Cica yang berkomentar "Mungkin kau harus mencari kesempatan untuk benar-benar berteman dengannya. Bisa saja kan dia nanti akan banyak membantumu!" Lili mengangguk, "Benar! Tapi untuk saat ini fokus untuk menjadi temannya saja dulu. Tidak ada salahnya berteman kan? Apakah kau tidak mau memperluas pertemananmu?" Sebenarnya ... tidak. Tidak juga sih. Aku tidak keberatan berteman tapi aku sebenarnya agak malas mengusahakannya. "Aku ingin bertanya satu hal dulu padamu, Anzu!" ujar Lili lagi. "Apa itu?" "Menurutmu sejauh ini ... apa pendapatmu soal Theodore?" "Menurutku?" aku membeo "Menurutku ..." Theodore aneh. Tentu aku tak bisa mengatakan itu. Setelah Cica dan Lili menceritakan tentang siapa Theodore, rasanya tidak tepat bagiku untuk mengungkapkannya. Apalagi, aku tidak tahu apa yang membuatku merasa bahwa dia aneh. Hawanya. Hanya itu yang bisa kukatakan. "... dia lumayan keren." Kemudian aku terdiam dan berpikir. Kalau dia memang sebegitu berbakatnya, mungkin memang aku bisa belajar darinya lewat berbagai cara. EMPAT "Jadi ... adakah yang bisa menemukan kekurangan dari strategi ini?" Seisi kelas terdiam. Pak Siegward, guru mata pelajaran 'Strategi Dasar', yang mengajar pagi ini nampak memperhatikan murid satu per satu. Ia melangkahkan kakinya, membawa badan gempalnya ke bagian belakang kelas. "Atau mungkin ada yang bisa mengubah strateginya supaya bisa lebih efisien?" Aku benci mata pelajaran ini. Bagiku mata pelajaran ini tidak penting. Untuk apa kita belajar menyusun strategi dalam berperang? Dunia sudah aman dan tidak akan terjadi apa-apa. Kenapa kita tidak kembali ke bagaimana sihir bisa tercipta atau apa energi yang menggerakkan sihir hitam dan putih seperti yang kita pelajari di 'Hitam Dasar' dan 'Putih Dasar'? Tunggu ... aku menurunkan pandanganku untuk menatap tablet catatanku, dimana aku mencatat pertanyaan yang tadi Pak Siegward ajukan untuk dijawab oleh kelas dan dijawab oleh salah satu teman sekelasku, Mest, yang menurut Pak Siegward kurang tepat. 'Di sisi kiri terdapat satu penyihir putih yang memiliki spesialisasi tameng dengan dua penyihir hitam dengan spesialisasi instrumen perang dan ahli ilusi sementara di sisi kanan, penyihir putih sudah jatuh tapi terdapat satu penyihir hitam dengan spesialisasi serangan area dan satu penyihir hitam dengan spesialisasi ahli suhu. Bagaimana para penyihir di sisi kiri meraih kemenangan yaitu untuk merebut barang yang dijaga oleh penyihir di sisi kanan?" Tiga penyihir di dua sisi ... dengan kombinasi dua penyihir hitam dan satu penyihir putih ... mengincar kemenangan dengan merebut suatu benda kepemilikan ... ... sial, ini kan format Magic Tournament. "Ya, Theodore?" Semua pandangan tiba-tiba teralihkan pada Theodore. Aku baru sadar kalau ternyata dari keheningan yang mulai menelan seisi kelas ini, Theodore mengangkat tangannya dan berkeinginan untuk menjawab. "Bolehkah saya ,,, membuat diagram ... di ... papan ...?" tanya Theodore "Baru ... saya jelaskan ..." "Boleh tentu saja!" Pak Siegward langsung memberikan ijin "Silakan maju, Theodore." Dasar maniak. Setelah beberapa pertemuan di kelas ini aku baru menyadari maksud utama dari adanya mata pelajaran ini di sini. Millenium Institute pasti mengincar medali untuk Magic Tournament dari segala kategori, menyusun strategi adalah salah satunya. Sejak awal aku tidak tertarik dengan turnamen ini, ataupun keseluruhan gagasan untuk menjadi penyihir. Aku tahu aku memang harus menjalaninya sebagai konsekuensi yang kuambil, tapi aku tidak menyangka dua hal yang tidak aku senangi harus ada di satu waktu yang sama. "Penyihir tameng ... aktifkan ... lindung ... di belakang ..." Theodore mulai menjelaskan, ia melingkari gambar diagramnya untuk memberikan petunjuk "Instrumen ... harus di dekatnya ... gunakan panah, serangan jarak jauh ..." Seberapa tidak senangnya aku di sini, aku masih berusaha mengikuti pelajarannya. 'Hitam Dasar' dan 'Putih Dasar' adalah dua mata pelajaran yang masih bisa kunikmati tapi ini ...? Tahu bahwa ini adalah salah satu percabangan dari niat sekolah untuk masuk ke Magic Tournament membuatku makin tidak bisa menyukainya. Mungkin aku harus minta tolong pada Lili-- ide bagus! Dia kan sangat antusias dengan hal ini! "Pembuat ilusi ... perbanyak diri dan kelabui musuh ... dia yang asli ... ambil barangnya." Theodore masih menjelaskan "Musuh sibuk dengan ilusi ... instrumen aktifkan alat transportasi ... kabur dengan penyihir tameng." Mengakhiri penjelasannya, Theodore memutar tubuhnya untuk menghadap ke seisi kelas yang terlihat kagum, seperti baru menyadari kekurangannya dalam usaha menyusun strategi yang menjawab pertanyaan ini. Pak Siegward tersenyum lalu mulai berjalan ke depan. "Bagus sekali, Theodore. Mungkin kau bisa mendaftarkan dirimu jadi peserta Magic Tournament." ujar Pak Siegward dengan nada canda "Kau bisa kembali duduk." Theodore mengangguk sekali sebelum kembali ke tempat duduknya, yaitu di bangku paling belakang di baris paling kanan. Ia duduk tepat di belakangku. "Minggu depan kita ulangan!" ujar Pak Siegward ketika sudah kembali ke mejanya di dekat papan. Seisi kelas terdengar mendesah kecewa. Aku hanya menopang kepalaku di dagu. "Pelajari tentang ... pelajari semuanya saja lah!" Aku mendengus. Sudah kuduga Pak Siegward tidak akan memberitahukan secara mendetail. "Pastikan kalian bisa mengoreksi strategi yang diberikan pada kalian." tambah Pak Siegward "Karena kemampuan analisis itu penting. Sekarang kalian bisa pergi ke kelas selanjutnya." Ini adalah pelajaran yang paling jauh dari jangkauanku. Aku butuh bantuan belajar dengan seseorang. Mungkin aku akan menghubungi Lili saat makan siang. "Mungkin kau harus mencari kesempatan untuk benar-benar berteman dengannya. Bisa saja kan dia nanti akan banyak membantumu!" "Tidak ada salahnya berteman kan? Apakah kau tidak mau memperluas pertemananmu?" Atau mungkin ... Aku melirik ke belakang. Theodore belum meninggalkan kelas. Ia tampak masih merapikan barang-barang bawaannya. Aku buru-buru berdiri dan menghampirinya sebelum ia pergi. "Tadi ... tadi penjelasan yang cukup bagus." sejujurnya aku bingung memulai percakapan dan hanya itu yang kudapat. Theodore memalingkan pandangannya padaku sejenak. Kedua matanya yang berwarna abu-abu gelap surut akan hasrat ataupun gairah apapun. Nampaknya ia adalah salah satu orang yang pintar dan mudah bosan. Ia akhirnya membawa barang-barangnya di tangan; tablet-nya dan satu perangkat perkakas lain dalam satu kotak kecil. Ia mulai berdiri dan berjalan keluar ruang kelas. Aku mengikutinya. "Belum cukup ..." ujarnya dengan pelan. "Hm?" aku mengangkat alis. "Aku ... belum menyampaikan ... kemungkinan ... kalau ... penyihir area ... akan melukai semuanya ..." Aku memasang wajah datar. Aku tidak di sini untuk diceramahi lagi soal strategi apa yang harusnya berjalan untuk soal bodoh itu. Namun, aku sendiri tidak tahu bagaimana meminta tolong padanya. "Kita belum ada misi lagi." aku berusaha. "Sabar ..." ucap Theodore tanpa mengubah volume suaranya "Terkadang ... misi memang menyenangkan ... untuk dilakukan, tapi ... tidak ... selalu ... ada ..." Ah, sudah kuduga ia akan salah tangkap dengan perkataanku. Sekarang aku malah membuat kesan bahwa aku sangat minat di dunia sihir ini. Bukan itu yang kumaksud! "Misi ... itu ... penuh strategi." Theodore menoleh sekilas padaku "Kita ... bisa ... belajar banyak." Aku mengerutkan alis. Apa maksud dari perkataannya? "Minggu depan ..." katanya "Ulangan." Tapi sepertinya memaksa penjelasan lengkap dari apapun yang di luar pelajaran dari Theodore cukup sulit mengingat... entahlah apa yang membuat ia bicara seperti itu. "Maksudmu kau mau mempelajari semua misi kita yang berhubungan dengan strategi?" tanyaku sebelum akhirnya ia mengangguk. Ponselku bergetar singkat, menandakan ada pesan masuk. Aku merogoh ke kantong rok sekolahku dimana aku menyimpan ponselku. Theodore tampak merogoh kantong celananya juga. Nampaknya kedua ponsel kami bergetar secara bersamaan. Tunggu, jika kedua ponsel kami bergetar di saat yang bersamaan, jangan-jangan ... "Misi baru!" seruku pelan ketika melihat apa yang ada di layar ponselku "Kita diminta untuk ... mengajar anak sekolah? Jam tiga sore nanti?" "Persiapan Magic Tournament tahun depan ..." Theodore melanjutkan sambil membaca pesan yang ternyata juga dikirimkan padanya. "Berarti setelah pulang sekolah ya?" tanyaku memastikan. Theodore mengangguk, "Lalu setelah itu ... kita ... belajar." Aku terdiam. Langkahku ikutan terhenti sementara Theodore masih melangkah, lama-kelamaan menjauh dariku. Apakah dia ... apakah dia baru saja mengajakku belajar bersama tanpa kuminta? Beginikah aku memulai pertemanan dengannya? Ini lebih mudah dari yang aku kira. LIMA "Kurang ... bagus." Theodore akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan berjalan untuk menengahi dua bocah yang pada akhirnya bertengkar secara fisik bukannya mencoba berduel dengan sihir. Orangtua dari sepasang bocah kembar bernama Jayden dan Kayden inilah yang mengirimkan permintaan ke Millenium Institute. Mereka bilang kedua anaknya ini terlalu aktif dan sulit diatur, maka dari itulah mereka ingin kedua anaknya ini mencoba Magic Tournament pada kategori anak yaitu duel. Aku paham bagaimana orangtua ingin menyalurkan keaktifan anak dengan sesuatu yang positif, tapi ... ... apa yang membuat mereka ingin kami yang masih anak sekolahan juga untuk mengajar mereka? "Magic Tournament ... bukan ... fisik." Theodore mendorong kedua anak tersebut dari tengah mereka ke arah yang berlawanan "Manfaatkan ... bakat ... yang kalian punya." Kedua bocah itu saling berpandangan. "Dia ini bicara apa sih?" "Kenapa satu-satu begitu?" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali. Apa anak-anak jaman sekarang berani mengatakan hal yang seperti itu ke orang yang lebih tua? "Kalau bicara bakat, ini juga bakat!" salah satu dari bocah itu menyingkirkan tubuh Theodore agar menjauh. Sepertinya ia memiliki kekuatan fisik yang cukup besar jika dilihat dari massa yang ia buat dengan mendorong Theodore mundur. Theodore menarik bagian belakang kerah anak itu sambil menggelengkan kepala, "Bukan ... begini ..." Anak itu menggeram, "Kau ini tidak jelas sekali sih!" Lalu ia mengangkat satu tangannya ke samping, sejajar dengan bahu. Bayangannya yang berbentuk dirinya tiba-tiba berubah menjadi tangannya yang memanjang. Bayangan itu mendekat pada Theodore dan ... CTAK! "Ow!" "Theodore!" aku buru-buru lari mendekat. Jayden dan Kayden tertawa puas. Berani-beraninya mereka menyentil dahi Theodore seperti itu. Sangat tidak sopan! Aku memandang Theodore yang memegangi dahinya dengan tangan. Ketika ia menyingkirkan tangannya, aku bisa liat bekas merah di sana. Dia menyentil Theodore sekeras itu. "Maaf ... sebentar ..." Theodore mundur beberapa langkah sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Aku yang tertinggal di sana hanya berkacak pinggang. Sedaritadi Theodore yang mengajari mereka hanya karena Theodore lebih paham masalah Magic Tournament (aku terpaksa bilang padanya bahwa aku tidak berminat dalam hal ini). Namun, karena malah ini yang Theodore dapat, sepertinya aku harus mengajari mereka tentang sopan santun. Jayden dan Kayden menyeringai. Salah satu dari mereka mengarahkan cahaya dari sudut tertentu sehingga membentuk bayangan bagi yang lainnya. Hmm... jadi si kembar ini punya kemampuan yang bertolak belakang ya? Cahaya dan bayangan. Anak yang memiliki kemampuan bayangan mulai menggerakkan bayangannya untuk menyerangku. Ia membentuk bayangannya menjadi anjing yang siap menyergapku. Aku tersenyum. Sedikit dari yang mereka tahu bahwa aku juga punya kekuatan yang sama. Ketika anjing bayangan itu mendekat, aku membuat gerakan untuk membentuk bayanganku sendiri. Aku menangkap anjing itu dan membuatnya terikat dengan pengikat bayangan yang kubuat. "Wah ..." Anak yang memegang cahaya itu tercengang, sementara yang memegang bayangan masih ingin bersikeras melawanku. Ia membuat satu gerakan, seperti menarik sesuatu, tapi tidak terjadi apa-apa. Ia mengulangi gerakannya lagi, tetap tidak terjadi apa-apa. Aku duga, ia ingin menarik bayangan anjing yang ia buat tadi, tapi anjing itu sekarang ada di sisiku. Maka aku membalas gerakannya. Aku melepas tali bayangan yang tadi kupakai untuk menahan anjing itu, membiarkannya lari untuk menerjang mereka. Mereka berteriak ketakutan dan ketika anjing itu sudah begitu dekat, aku membuat satu gerakan untuk menghilangkan bayangannya. Sadar bahwa mereka sudah terlepas dari masalah, mereka tertegun. Anak yang memegang bayangan itu berlari padaku. "Bagaimana kau melakukannya?" ujarnya "Ajari aku dong! Ajari!" Aku mengangkat kedua alis. Jika aku mengajarinya, ini bukan masalah Magic Tournament lagi ... ah, masa bodoh. Setidaknya ia belajar sesuatu. Lebih baik daripada tidak sama sekali bukan? "Kemari kamu ... Jayden?" aku takut salah memanggil namanya. "Iya!" ternyata benar, berarti si pemegang cahaya itu adalah Kayden. "Ketika kamu membuat bayangan itu berarti kamu sudah memberikan sebagian energimu pada bayangan itu ..." aku berhenti sejenak ketika melihat ekspresi Jayden yang tampak tidak mengerti "Kau tahu kalau sihir itu dari energi kan?" Jayden menggeleng. Aku mengusap wajahku. Apakah aku harus ajari dia dari awal. "Hey, aku tidak tahu kalau kau juga bisa sihir bayangan!" Aku tersentak kaget. Sejak kapan Theodore ada di sana? Dan ... "Sejak kapan kau ada di sana?" tanyaku. "Cukup lama." jawabnya singkat "Kau bisa sihir bayangan juga ternyata." ia kembali mengulang pernyataannya yang sebelumnya. "Sihir bayangan adalah dasar dari sihir ruang dan waktu." aku menyingkirkan pandangan "Ruang dan waktu hanyalah bayangan yang tak bisa kau lihat secara langsung. Ketika kau sudah paham konsep akan bayangan, ruang dan waktu pun bisa kau pegang seperti bayangan." Theodore mengangguk, "Keren. Keren juga! Keren kan?" ia menoleh ke arah Jayden dan Kayden seperti meminta persetujuan. Jayden dan Kayden hanya menganggukkan kepala. Aku menghela napas dan melihat ke arah lain. Ini yang kubilang bahwa Theodore aneh. Dia seakan-akan berotasi lagi. "Kakak, kakak!" Jayden membuyarkan lamunanku, ia menarik ujung bajuku "Bagaimana? Ayo ajari!" "Hm?" aku melihat pada Jayden dan Theodore yang berada di sisi lain secara bergantian. Karena sejak awal yang mengajar kedua anak ini adalah Theodore, aku merasa harus meminta ijin jika aku hendak mengambil tindakan. Melihat respon Theodore yang mengangguk halus memberikan persetujuan, aku langsung mengalihkan pandanganku kembali pada Jayden, "Baik, kembali ke yang tadi, sihir itu dari energi--" "Ah! Kalau Jayden belajar dengan kakak cantik itu, masa aku harus dengan si cupu ini-- aw!" Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Kayden yang ada di sisi lain tersentak karena Theodore menyentilnya di dahi. Theodore terkekeh pelan sebelum akhirnya membalas, "Sekarang kita impas!" "Kok aku?" Kayden mengelak "Tadi kan yang menyentilmu Jayden!" "Sama saja." Theodore melipat kedua tangannya di depan dada "Sekarang siapa yang kau panggil cupu? Ayo tunjukkan semua sihirmu!" Kayden langsung menyerang Theodore dengan sihir cahayanya yang dihindari Theodore dengan mudahnya. Dasar lelaki, kalau urusan berkelahi pasti cepat bertindaknya. Aku kembali pada Jayden yang masih menunggu apapun dariku. Sejujurnya aku ... bingung. "Jadi sihir itu berasal dari energi ..." aku mencoba mengulang perkataanku tadi berharap menemukan celah untuk meneruskan "Sama seperti makanan, setelah kita makan kita bisa bergerak kan--" "Kak ..." Jayden memotong kalimatku, ia menunjuk pada saudaranya yang sedang berduel dengan Theodore "Kita langsung lakukan yang seperti itu saja, kak! Nanti kakak beritahu aku!" Sebuah kombinasi yang cukup lengkap antara lelaki dan anak-anak. Mereka pasti tidak suka diajari teori seperti ini. Aku berkedip beberapa kali, mencoba mencerna informasi sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah. Kalau gitu tunjukkan apa yang kau bisa!" "Yeee! Asyik!" Theodore, aku sedikit meminjam kata-katamu, ya karena aku tidak tahu bagaimana mengajari anak kecil. Sesi pelajaran ini cukup menyenangkan, setidaknya dari sudut pandangku sebagai yang memberikan. Tidak banyak penyihir bayangan yang kutemukan di sekitarku. Meskipun aku tidak terlalu peduli, melihat orang yang sejenis denganmu pasti memberikan kehangatan di hati. Theodore juga nampaknya menikmati sesi ini, terlepas dari bagaimana Jayden dan Kayden membencinya di awal. Sepertinya ketika ia ke belakang untuk mengobati lukanya, ia memastikan dirinya sendiri untuk bagaimana bersikap di depan anak-anak ini, sehingga sikapnya yang tiba-tiba akrab itu ... sepertinya itu hanyalah akting. Orangtua Jayden dan Kayden juga terlihat senang ketika menjemput anaknya dari Arena ini, mungkin karena melihat kedua anaknya memancarkan kebahagiaan yang sama. Orangtua si kembar ini memberikan aku dan Theodore makan. Hari yang melelahkan ini terbayar dengan impas. "Untuk orang yang tidak tertarik dengan Magic Tournament kau cukup bagus juga." ujar Theodore ketika kami dalam perjalanan pulang. "Terimakasih." balasku "Bagaimana pun juga karena aku dikelilingi oleh orang yang begitu menyukai hal tersebut ... paling tidak aku harus tahu dasar-dasarnya." "Tapi untuk mengajar orang yang mempersiapkan diri di turnamen ini, tidaklah cukup." kata Theodore lagi "Kau harus banyak berlatih." "Iya, aku tahu." ujarku menyetujui "Untungnya kita hanya perlu mengajari mereka satu kali ini." "Siapa bilang?" Theodore menyanggah "Coba kau lihat pesan dari sekolah yang dikirimkan ketika kita masih makan dengan orangtua Jayden dan Kayden. Aku sudah mengintip isinya tadi dan dari kalimatmu, sepertinya kau belum melihatnya." Aku terdiam. Aku memang menyadari tadi ada pesan masuk ketika kami sedang makan, tapi aku tidak menduga bahwa itu dari sekolah. Dengan segera, aku mengambil ponsel yang ada di kantongku lalu melihat isinya. "Apa?!" langkahku sampai terhenti "Kita diminta untuk mengajari mereka lagi tiga hari dari sekarang?" "Yep!" Theodore membalas "Itu sebabnya aku bilang kita butuh latihan. Kau mau aku memesankan tempat di Arena untuk malam ini atau besok?" ENAM Hari ini aku lelah sekali. Jadwalku di sekolah penuh dengan pelajaran yang cukup menguras otak. Belum lagi siang ini kami mendapat misi untuk menyortir bebatuan magis dari seorang rakyat sipil yang bekerja untuk penyihir (karena hanya penyihir yang bisa merasakan adanya energi sihir atau tidak). Misi itu cukup mengurasku karena semua bebatuan itu sangat mirip satu sama lain jadi aku benar-benar menghabiskan energiku untuk berusaha fokus dengan intuisi sihirku bukannya inderaku yang lainnya. Lalu sore ini ... seperti yang sudah dibilang oleh Theodore kemarin, bahwa dia akan menyewan Arena ini untuk kita berlatih ... supaya aku bisa mengajari Jayden. "Sayang sekali kau punya misi yang sulit dan membuatmu lelah. Padahal aku sudah memesan Arena untuk kita berlatih--" "Iya iya aku datang." Aku tidak suka dibujuk dengan cara tidak menyenangkan seperti itu, tapi perlu kuakui cara membujuk yang seperti itu memang berhasil untukku. Entahlah, aku mulai berpikir bahwa ini adalah cara bagaimana Theodore menanggapi situasi tertentu. "Ini" yang kumaksud adalah perubahan sifatnya. Sepertinya jika itu berhubungan sentuhan langsung di dunia sihir seperti misi, dia akan semangat, namun sebaliknya jika itu berhubungan dengan teori-teori di dalam kelas. Aku baru sebentar berteman dengannya dan itulah yang kudapat. Jadi di sinilah aku, di Arena, tempat yang sama dimana aku dan Theodore melatih si kembar kemarin. Tempat ini memang di-desain khusus untuk berlatih turnamen, di tingkat apapun, di kategori apapun. Tempat seperti ini cukup banyak di penjuru negeri, bahkan di satu kota pun ada banyak jumlahnya. Namun, saat ini kita memesan tempat yang benar-benar di pusat, terkenal dengan fasilitasnya yang lengkap. Bukan aku sih yang memesan, Theodore. Setahuku jika tempatnya ada di pusat seperti ini ... ... harganya mahal. "Eh, akhirnya kau tidak sendirian lagi ke sini ya!" sapa orang yang dibalik meja resepsionis, nampaknya mereka cukup akrab "Pacarmu?" Pertanyaan seperti itu nampaknya cukup menunjukkan keakraban mereka. "Bukan!" jawab Theodore dengan lugas "Kau pikir orang sepertiku bisa berkencan?" Sang resepsionis meninju pelan lengan Theodore, "Benar juga. Kau terlalu lugu!" katanya "Kalau begitu selamat menikmati ruangannya!" Theodore tersenyum, "Kau kan tahu aku masih anak-anak yang masih ingin bersenang-senang!" Sang resepsionis tertawa seraya Theodore meninggalkan meja resepsionis dan aku hanya mengikutinya dengan kebingungan. Dia tidak benar-benar mengatakan itu kan? Kita sampai ke ruangan yang Theodore pesan. Lapangan pertandingan berada di tengah, masih menyisakan beberapa ruang di setiap sisi. Terdapat meja dan kursi makan sudut kiri, sebelah jendela. Sepertinya kita bisa memesan makanan langsung di sana. Bahkan ada beberapa kursi di sudut-sudut lain seakan-akan itu adalah kursi penonton. Tunggu ... apakah ini ruangan VIP? "Nah, karena kita sudah sampai di sini, ayo kita langsung mulai saja duelnya!" Theodore tampak bersemangat naik ke atas lapangan yang memang agak lebih tinggi dari semua lantai yang ada di ruangan ini. "Tunggu, mulai duel?" aku tertegun "Kau mau aku mencari program lawan yang sebaya denganmu? Kau kan tahu aku tidak paham soal Magic Tournament--" "Kau banyak bicara. Kan kau yang menjadi lawanku!" Aku tambah bingung, "Apa maksudmu?" tanyaku "Kau memesan ruangan VIP di Arena pusat yang terkenal dengan kapasitas Artificial Intelligence yang paling bagus; bergerak mulus, tanpa glitch sedikitpun, dan hampir bisa mewakili turnamen yang aslinya dari segi konsep." Ya, salahkan Cica yang sejak dulu menceritakan bagaimana Grey menariknya ke tempat seperti ini ketika latihan, yang mana dulu aku pernah dipaksa ikut juga menonton. Itu sebabnya aku tahu akan semua ini. "Bertarung dengan tiruan-tiruan itu membosankan." ujar Theodore "Justru aku memesan ruangan ini di sini karena akhirnya aku punya teman! Aku bisa mengajak temanku ini untuk menikmati fasilitasnya. Kamu bisa menikmati fasilitasnya!" "Tapi ... aku--" "Cepat naik! Kita berduel!" Aku tidak punya pilihan. Akhirnya aku naik ke lapangan yang agak tinggi itu. Theodore menekan satu tombol di sudut lapangan dengan ujung kakinya, lalu ia kembali dalam posisinya, sedikit meregangkan tubuhnya untuk bersiap. "Kau masih paham aturannya kan?" Peraturan dasar kategori duel Magic Tournament? Jatuhkan lawanmu dari lapangan hanya dengan ilmu sihir. Apakah ada peraturan yang lain? "Tiga ..." terdengar suara yang menyerupai narator memenuhi ruangan dan memberi aba-aba "Dua ... satu ... mulai!" Theodore menengadahkan tangannya ke atas, sebuah bola api muncul di tangannya. Tanpa jeda, ia langsung melemparnya kepadaku. Jelas aku terkejut, namun untungnya aku bisa menghindar, terimakasih pada reflekku. Aku memandang ke lantai, memperhatikan bayanganku yang terbentuk di sana. Jika aku ingin menyerang, aku harus memanipulasi bayanganku yang ada di sana ... tapi dengan apa? Aku memasang pose seperti pemanah untuk membentuk bayanganku, sebelum akhirnya aku menarik bayanganku itu dengan sihir sehingga menjadi pemanah sungguhan yang bisa menolongku. Namun, sebelum pemanahku itu siap menyerang, Theodore sudah menjatuhkan meteor dari atas, membuat cahaya yang cukup terang sehingga bayanganku memudar dan hilang. Melihat meteor Theodore semakin dekat padaku, reflekku adalah menjauhkan diriku, lebih tepatnya membuat ilusi seakan-akan lapangan ini memanjang sehingga jarak antara aku dan Theodore semakin jauh dan meteor itu jatuh di depanku. "Nah itu baru yang namanya manipulasi ruang!" Theodore nampak kagum dan bertepuk tangan di seberang "Ayo tunjukkan aku lagi yang lainnya!" Kenapa dia menganggap ini seakan-akan permainan? Kita kan sedang latihan. Theodore membentuk jarinya menjadi pistol. Lalu seperti mengokang pistol biasa, Theodore menembakkan api dari jarinya yang berukuran sama seperti peluru ke arahku. Aku langsung mengangkat bayanganku untuk menghalau peluru itu dan bayangan yang tadinya berbentuk tembok itu berubah menyerupai diriku sebanyak tiga. Aku mengkloning diriku sendiri. "Wah keren kau bisa kloning juga!" Theodore nampak bersemangat, ia melonjak kegirangan "Tapi banyaknya dirimu tetap tidak mempengaruhi sih. Kan aku bisa ... dor dor dor!" Mengikuti efek suara yang ia buat sendiri, Theodore menembakkan lagi pistolnya ke arahku dan bayangan-bayanganku beberapa kali. Aku dan bayangan-bayanganku menghindari peluru api Theodore. Aku kembali pada rencana awal yaitu membuat gestur pemanah untuk membalas serangannya. Yang aku buat memang hanyalah gestur tapi bayangan-bayanganku membuatnya menjadi pemanah sungguhan. Tiga panah terluncurkan ke arah Theodore. "Whoa!" Theodore nampak terkejut, ia kemudian menhentakkan kakinya dan muncul gelombang panas yang mendorong aku dan bayangan-bayanganku mundur, begitupun juga dengan panah yang kami luncurkan "Kau sepertinya punya sesuatu dengan pemanah ya!" "Aku kan anggota klub panahan." jawabku. "Oh begitu?" Theodore meletakkan sebelah tangannya di pinggang "Kalau begitu kau harus memanfaatkan itu dengan baik!" Sekali lagi Theodore menghentakkan kakinya dan muncul gelombang panas yang menghadangku. Aku melompat ke bayanganku dan menjadinya tumpuan untuk meloncat lebih tinggi lagi supaya bisa menghindar. Pada lompatan kedua aku mendekati sinar lampu yang menyinari ruangan ini dan ikut menghilang bersamanya. Ini adalah sebuah ilusi ruang dan waktu yang baru kupelajari pula, untuk menghilang selama beberapa saat sebelum muncul di tempat yang pernah kita pijak di beberapa detik sebelumnya. "Eh? Kau menghilang!" seru Theodore "Jangan pergi dong! Kan ini baru jadi seru." Theodore berjalan ke tengah lapangan, seperti berusaha mencariku. Aku muncul di belakangnya, tempat dimana aku mulai naik ke lapangan ini pertama kali tadi dan kembali membuat gestur pemanah untuk menembakkan panah dari bayangan. Sebuah bayangan berbentuk panah melesat cepat sebelum Theodore menyadarinya dan ketika ia membalikkan badan ia sudah terhantam oleh panah tersebut dan terdorong keluar lapangan. "Anzu Edyora. Menang!" sebuah suara yang mirip narator tadi mengumumkan kemenanganku. "Oof ..." Theodore yang terhantam sampai ke tembok meringkuk memegang bahunya yang tadi tertembak oleh panahku. Aku segera turun dari lapangan dan menghampirinya, "Kau tidak apa-apa?" Aku tak mendengar jawaban. Theodore terdiam di sana dalam posisi yang stagnan, tidak bergerak sedikitpun. "Hey ..." Aku mendekatkan tanganku berniat menyentuhnya, masih ragu karena aku tidak tahu apakah Theodore orang yang bisa menerima sentuhan dari orang lain. Sulit untuk menebak Theodore. "Theodore?" Theodore akhirnya mengangkat kepala dan tersenyum tipis, "Kerja yang bagus, Anzu." Rasanya seperti tersengat halus. Sesuatu dalam diriku seperti ingin memperingatkanku. Apakah ia berotasi lagi? Tidak, ini masih sama seperti sebelumnya tapi dia kan kalah duel. Bisa jadi itu membuat suasana hatinya buruk. Theodore berdiri dan menepuk celana panjangnya beberapa kali, "Kau mau lihat rekaman ulang duel kita tadi supaya kita bisa membahas strateginya satu per satu?" "Eh?" aku tersentak kaget atas permintaannya "Boleh ..." Theodore mengangguk satu kali, "Kita bisa bahas itu sambil makan. Di meja sana kau mau?" "Boleh ..." sekali lagi aku menjawab sebelum akhirnya Theodore berjalan terlebih dahulu ke meja makan. Nada suaranya terdengar berbeda. Apa benar suasana hatinya menjadi buruk karena aku mengalahkannya? Aku jadi merasa tidak enak. TUJUH "Ini ... kau lebih memilih strategi yang defensiif ya?" Aku mengaduk-aduk sup krim pesananku tanpa minat. Dagu yang kutopang di sebelah tangan sepertinya cukup menunjukkan ketidaktertarikanku. Namun, ketimbang tidak tertarik, aku lebih ke ... bingung. "Padahal kau berpotensi untuk ofensif, lho. Coba lihat di sini!" Theodore menghentikan tayangan ulang duel kita tadi lalu menyentuh layar dengan dua jari untuk membuat tampilannya menjadi lebih besar "Ketika aku mengeluarkan bola api di sini, bayanganku membesar dan hampir menyentuh bayanganmu." Aku melirik apa yang Theodore tunjukkan sekilas dan dirinya secara bergantian. Ia terlihat mengabaikan fakta bahwa ia kalah dan membahasnya seakan-akan itu tidak terjadi sama sekali. "Harusnya kau bisa memerintahkan bayangan kita yang menyatu untuk menyerangku." Theodore menjelaskan lagi "Aku bisa langsung jatuh di situ mengingat ... aku cukup ceroboh juga ya memilih strategi itu. Kenapa aku memilih strategi itu ya tadi?" Dia bahkan menjelaskan dirinya seakan-akan itu bukan dia yang tadi berduel denganku. Pasti dia merasa semalu itu sehingga ia berusaha menyingkirkan faktanya dan berusaha bersikap biasa saja. Aku bukan tipikal orang yang mengobservasi orang lain terlalu jauh tapi melihat perubahan yang cukup signifikan setelah duel selesai tadi membuatku mau tidak mau berpikir, apalagi karena kemungkinan besar ... pasti sih, ini merupakan salahku. "Kalau kau tadi langsung menjatuhkanku, makin banyak peluang bagimu untuk menyerang-- Anzu?" Akhirnya ia menyadari bahwa perhatianku tidak sepenuhnya kuberikan pada penjelasannya. Ia menundukkan kepalanya sedikit untuk berusaha bertemu mata denganku yang juga sedang menundukkan kepala. Namun, aku tak mau membalas tatapannya. "Anzu ...?" Theodore memanggilku sekali lagi "Ada masalah?" "Maaf ..." aku hanya membalas dengan lirih. Theodore mengerutkan dahi menerima balasan dariku, "Maaf?" tanyanya "Untuk apa?" "Karena aku mengalahkanmu." jawabku jujur. "Apa maksudmu?" Theodore kembali bertanya "Yang namanya berlatih tanding, berduel, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Untuk latihan tadi, aku kalah dan aku harus menerimanya--" "Tapi kau aneh tahu!" akhirnya aku berkata dengan jujur "Pada saat duel tadi, kau terlihat begitu semangat, tapi begitu kau kalah kau langsung bersikap tenang, seakan tidak terjadi apa-apa. Seolah kau harus menelan kekalahanmu dengan bersikap pura-pura baik-baik saja!" Theodore agak tersentak, mungkin karena mendengar nada suaraku yang agak naik. Perlu beberapa detik baginya untuk mencerna kalimatku sebelum akhirnya menberi pernyataanku itu respon: dengan tertawa. Aku makin bingung. "Dengar, Anzu." katanya "Ada yang namanya menyikapi situasi. Kau lihat aku sekarang, apakah aku berpura-pura?" Aku mengangkat wajahku untuk akhirnya menatap kedua matanya yang berkilat memantulkan cahaya ruangan memancarkan warna keemasan. Aku menggeleng pelan. "Tidak." jawabku. "Jikalau kau sedang ada dalam situasi untuk berkelahi, kau harus tunjukkan sikapmu untuk berkelahi." ujarnya "Jika kau sedang ada dalam situasi untuk membahas semua ini apakah kau harus agresif seperti tadi di lapangan?" Aku menggeleng lagi, "Tidak." "Kau paham maksudku. Jangan khawatir, Anzu. Kau melihat ini terlalu dalam." Theodore terkekeh perlahan sebelum mengacak rambutku singkat, yang dengan cepat aku tepis tangannya karena bisa-bisanya daritadi aku berpikir, takut bahwa dia bukan orang yang senang disentuh tapi dia malah menyentuhku seperti itu! "Maaf ..." sekarang malah dia yang minta maaf. "Tidak perlu." kataku tulus sambil akhirnya mengalihkan pandangan. Aku merasa malu, bukan karena Theodore mengacak rambutku, tapi karena harusnya aku percaya dengan intuisi awalku untuk tidak mengobservasi lebih jauh tentangnya. Dia baru saja menyatakan bahwa memang seperti itu sifatnya. Berarti aku tidak usah merasa aneh lagi ketika aku melihatnya berubah. "Kembali ke sini ..." Theodore mengetuk layar itu dua kali untuk meminta perhatianku ke sana "Lebih baik ini yang kau observasi. Apa yang kau pelajari dari duel tadi?" Apa yang aku pelajari dari duel tadi? Aku mengulang pertanyaannya dalam hati. Apa ya? Tadi aku terlalu fokus untuk menang sendiri atau paling tidak ... aku tidak terkena serangan yang kemungkinan bisa membuatku luka lebih dari seminggu. Namun, aku tidak mendapatkan esensi apapun dari duel tadi. "Meskipun tadi aku menggunakan api, aku tidak semata-mata bergerak untuk panas dari apinya." Theodore berbicara lagi seperti berusaha memberikanku petunjuk "Seperti di sini ketika aku mengeluarkan gelombang api ... oke, mungkin itu panas tapi bukan itu yang aku fokuskan. Niatku di sini tadi adalah supaya kau terdorong oleh gelombang." Aku memandangnya dan layar itu secara bergantian, masih tidak paham dengan arah pembicaraan Theodore. "Gelombang adalah salah satu sifat api." katanya "Satu hal yang juga punya gelombang adalah ...?" "Radio?" "Bukan, satu lagi." "Cahaya?" "Nah, itu cahaya," akhirnya Theodore membenarkan "Dan karena kau adalah penyihir bayangan maka ...?" "Kau mau bilang bahwa duel kita tadi seperti Jayden dan Kayden?" aku menebak. Theodore mengangguk, "Lebih dari itu. Kita bisa ajarkan pada mereka bahwa baik Jayden dan Kayden bisa menyerang ataupun bertahan." katanya "Kalau kau perhatikan ketika kemarin Jayden menyentilku dengan bayangan, itu karena Kayden mengarahkan cahayanya untuk Jayden. Itu berarti Jayden lebih ofensif, sementara Kayden lebih defensif." "Sementara untuk duel kita tadi, kau yang berelemen 'mirip cahaya' lebih ofensif dari aku yang berelemen bayangan?" "Kau sudah dapat maksudku!" Theodore berkata sambil menjentikkan jarinya. "Tapi kalau kita mengajarkan mereka teknik untuk menyerang dan bertahan, bukankah itu akan membingungkan mereka untuk memilih menjadi Black Mage atau White Mage?" sanggahku "Sebagaimana pun juga Black Mage akan terfokus dengan sihir menyerang dan White Mage adalah sebaliknya." "Mereka masih anak-anak. Kemampuan sihir mereka belum akan menjadi matang seperti kita sekarang." ujar Theodore "Lagipula itu bukan tugas kita. Tugas kita adalah mengajari mereka untuk bisa bertanding di Magic Tournament yang itu berarti mereka harus bisa menyerang dan bertahan." Aku terdiam. Theodore ada benarnya juga. Manusia yang menjadi penyihir seperti kita baru bisa benar-benar terspesialisasi ketika memasuki sekolah tingkat menengah atas, di usiaku dan Theodore sekarang. Jayden dan Kayden masih memiliki jalan yang panjang untuk itu. Di sisi lain juga aku lupa bahwa dalam duel yang penting kau harus bisa menyerang dan bertahan karena peraturan dasarnya adalah untuk menjatuhkan lawan dari lapangan. "Untuk ukuran orang yang tidak tertarik dengan Magic Tournament, kau tetap harus banyak belajar, Anzu." Lusanya, aku dan Theodore kembali ke tempat ini namun bukan karena kita ingin latihan, melainkan ingin melatih. Jayden dan Kayden memberi respon yang lebih antusias dibandingkan dengan pertama kali kita bertemu. Berbeda dengan apa yang kita lakukan kemarin, aku dan Theodore kali ini bertukar partner, aku dengan Kayden, sementara ia dengan Jayden. Kita ingin melatih masing-masing dari mereka bagaimana coba bertanding melawan elemen yang hampir atau bertolak belakang dengan mereka. Dari sana, kita memberikan mereka saran tentang bagaimana harus bertindak, kurang lebih sama dengan bagaimana aku dan Theodore membahas soal strategi kemarin. Aku tidak tahu apakah aku bisa menyampaikan semuanya dengan baik. Berulang kali aku meniru gaya bahasa Theodore karena sejauh dari yang aku perhatikan, dia benar-benar bisa menjelaskan dengan baik dan entah kenapa sifatnya cocok dengan Jayden dan Kayden padahal si kembar itu tidak menyukai Theodore. Aku tidak mau melakukan kebodohan yang sama seperti aku mengobservasinya secara berlebihan dua hari lalu, tapi meskipun ia sudah bilang ia tahu bagaimana menentukan sikap dari segala situasi, entah kenapa di dalam diriku aku merasa bahwa Theodore ini ... aneh. Ia tidak berbeda secara ekstrim dari satu kutub ke kutub yang lain. Bukan itu yang membuatku menganggapnya aneh. Bagiku, ia dan 'penempatan sikapnya' ini seperti layaknya pintu putar. Ia berfluktuasi secara perlahan, berotasi secara bertahap, sehingga dari Theodore yang sangat riang dan menyukai perkelahian, ia akan berputar sampai akhirnya ia kembali ke sifat yang pertama aku temui, Theodore yang mudah bosan. "Terimakasih, Anzu dan Theodore!" ujar kedua orangtua Jayden dan Kayden ketika menjemput anak-anaknya "Terimakasih karena sudah membimbing anak-anak kami sebelum kami mendaftarkan mereka ke pelatihan khusus." Aku paham sekarang. Orangtua Jayden dan Kayden ingin kami melatih anak-anak mereka supaya mereka kelak bisa terbiasa untuk berlatih bersama orang lain yang bukan orangtua mereka. Bukan hal yang aku rekomendasikan, apalagi ternyata pengajarnya adalah orang sepertiku yang tidak paham soal turnamen ini, tapi aku bisa memaklumi motivasinya. Orangtua si kembar memberikan kami uang tambahan dari komisi yang diberikan oleh sekolah. Katanya sebagai rasa terimakasih karena si kembar benar-benar senang diajari oleh kami. Aku anggap itu sebagai keberuntunganku karena ini begitu lumayan bagiku untuk mendpat uang tambahan. "Kau benar-benar senang dengan dunia memanah?" Theodore bertanya ketika kami di perjalanan pulang, aku hanya mengangguk, "Sudah mengikuti kegiatan apa saja?" "Hanya klub di sekolah." jawabku "Aku baru menemukan minatku di panahan ketika masuk Millenium Institute." "Oh begitukah?" katanya "Aku tahu satu tempat. Kau pasti akan senang." "Maksudmu?" "Besok-besok setelah di luar misi kita bisa ke sana." katanya "Kau tahu, untuk bersenang-senang!" Aku terdiam. DELAPAN "Besok-besok setelah di luar misi kita bisa ke sana. Kau tahu, untuk bersenang-senang?" Kapan terakhir ada seseorang yang mengatakan itu padaku? Lebih tepatnya ... kapan ada orang selain dia yang mengatakan itu padaku? Setiap kali aku mencoba mengingat sebuah sosok teman yang selalu mengajakku pergi, mengajakku bersenang-senang, hanya dia yang terbayang dalam benak. Mungkin ... mungkin karena memang hanya dia yang pernah mengatakan demikian. "Anzu!" Aku menoleh ke asal suara dan kudapati seorang anak remaja seumuranku. Senyumnya cerah hampir mengalahkan sinar matahari. Kedua mata cokelatnya juga menyiratkan kehangatan yang sama. Rambut panjang sepinggangnya yang senada dengan warna matanya itu dihiasi dua kepang kecil di sisi kanan dan kiri. Kedua tangannya yang mungil terulur padaku, sepertinya menyerahkan barang yang memang diperuntukkan untukku. "Vas bunganya bagus." ujarku datar. "Ah! Bukan itu yang mau kutunjukkan padamu!" ia menurunkan sedikit vas bunga porselin yang ia pegang, sehingga bunga yang berada di dalam vas itu dapat terlihat lebih jelas "Lihat ini!" Serangkaian bunga iris yang memenuhi vas itu tersusun secara rapi di sana. "Bunganya cantik." Aku tidak tahu bagaimana harus berkomentar. "Ini untukmu, Anzu!" ia mengulurkan tangannya lebih jauh lagi. Akhirnya aku menerima vas berisi bunga iris itu dengan kedua tanganku, "Terimakasih?" ujarku dengan nada bingung "Bunga ini ... maksudnya apa?" Ia terkekeh sebelum menepuk tangannya satu kali, "Aku senang kau bertanya!" ujarnya dengan semangat "Bunga ini seperti kamu, Anzu! Tangkainya yang kuat bisa menopang tinggi bunganya yang mekar merekah dan luas." Aku tersenyum tipis. Dia memang sangat tertarik dengan bunga dan dia memang senang mempelajari bagaimana merangkainya dan makna-makna dibaliknya. Aku senang melihatnya memancarkan aura seperti ini karena menyampaikan hal yang paling ia senangi, sedikit menyesali juga mengapa aku tidak menanyakannya sejak awal. "Ia melambangkan kekuatan dan keberanian. Ia melambangkan kamu, Anzu!" ia masih menjelaskan dengan semangat "Dan bunga ini sangat cocok untuk diberikan kepada sahabat, itulah sebabnya aku memberikannya padamu." Sahabat. Sejak dulu kata itulah yang menghangatkan sekaligus menghujamku. Aku mengangguk beberapa kali, "Terimakasih! Berarti kau secara tidak langsung bilang kalau aku cantik, karena bunga ini cantik sekali!" "Huh!" ia berdecak sambil melipat kedua tangan di depan dada "Kau memang tidak peduli dengan makna dibaliknya." Aku terkekeh, "Bukan aku yang peduli dengan makna bunga, tapi kau." Pipinya merona merah. Aku tahu kalau ia memang senang pengetahuan kecilnya ini diakui oleh orang lain. "Tapi memang benar cantik sih," katanya "Bunganya, dan kamu." Aku terpana. Ingatan yang indah itu tidak berhenti di sana. Tahu bahwa di dalam pikiranku sedang merasakan kebahagiaan karena kepingan memori itu, otakku memutuskan untuk menambahkan beberapa keping lagi di sana. Ingatanku terbawa mundur lagi pada satu masa lain, agak jauh sebelum itu. "Bagaimana penampilanku, Anzu?" Ia keluar dari kamar pas, melenggangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memamerkan pakaian yang baru saja ia coba di dalam sana, sebuah gaun putih yang mengembang sampai lutut dengan renda oranye bermotif bunga yang menghiasi bagian bawahnya. Ikat pinggang berwarna cokelat melengkapi keindahan gaun itu, melengkapi pula apa yang sudah terlihat pada dirinya, yaitu kecantikan. "Bagus." tentu aku tidak bisa terlalu verbal tentang itu. Ia mengerucutkan bibir melihat komentarku yang singkat, "Kau pilih juga gaunnya, Anzu!" ujarnya "Ibuku memintamu untuk memilih satu untukmu juga!" Aku tersentak. Saat itu aku dan dia baru saling mengenal. Faktanya, kira-kira minggu depan adalah pesta penyambutan murid baru di sekolah dasar dan gadis kecil yang sejak hari pertama ingin berteman denganku ini tiba-tiba mengajakku untuk memilihkan gaun. Sekarang ketika sudah sampai di sini, ia bilang ia ingin aku memilih gaun juga? "Untuk apa?" "Ya untukmu nanti saat pesta penyambutan!" jawabnya dengan senyum. "Iya. Pilih saja, Anzu!" ibunya yang saat itu ikut bersama kami hanya mengiyakan. Akhirnya aku ikut tersenyum dan memilih gaun yang kusuka. Gadis yang bersikeras ingin jadi temanku sejak awal mengikutiku ketika aku mulai menyusuri beberapa gantungan gaun-gaun yang indah itu. Ia bahkan membantu memilihkannya untukku. "Tidak perlu repot-repot membelikan anak saya gaun, bu." aku bisa mendengar suara ibuku secara samar-samar ketika sedang memilih gaun. "Terima saja sebagai ungkapan terimakasih saya." "B-baiklah ... terimakasih banyak!" Aku tidak ingat kejadian yang mendetail setelahnya, sebagaimana itu sudah terjadi cukup lama. Namun semua itu tidak berhenti di sana. Pikiran sepertinya memang sedang senang membawa semua ingatan. Dari sana pikiranku seperti ditarik lagi pada masa yang berbeda, ketika aku sudah peduli padanya, ketika aku sudah menempatkan dirinya cukup spesial di hatiku. Jika ditelusur waktu tepatnya, mungkin ini ketika awal sekolah menengah pertama. "Hey!" aku memanggilnya yang saat itu sedang sibuk merangkai bunga. "Ya?" ia menoleh, memandangku dengan kedua matanya yang selalu berbinar cerah menunjukkan semangat dan kegembiraan. "Aku membuatkan sesuatu untukmu" aku merogoh tas kecilku, mengeluarkan sebuah jepit dari bunga matahari yang kubuat khusus untuknya. Kuberikan benda itu padanya, "Ini!" Kedua matanya melebar melihat apa yang kuberikan padanya. Kedua tangannya terulur untuk menerima benda itu. Setelah sampai di tangannya, ia mempelajarinya begitu teliti dan hati-hati, seakan tidak mau benda itu rapuh dan cepat rusak. "A-aku sudah merekatkannya dengan baik kok!" ujarku yang memahami perubahan ekspresinya "Pasti tidak akan lepas." Ia tertawa kecil, "Bukan itu." katanya "Melihatmu yang jarang memberi hadiah dan tiba-tiba memberikan benda ini padaku membuatku harus benar-benar menjaganya dengan baik." "Ah ..." aku hanya mendesah tanpa suara "T-tapi ... tapi kau akan memakainya kan?" "Tentu!" ujarnya dengan semangat sambil langsung menyematkan jepit itu di bagian poni kanannya "Terimakasih, Anzu!" Dia cantik sekali, aku membatin. "Sama-sama." itu yang keluar dari mulutku. Ia terkekeh, "Kenapa bunga matahari, Anzu?" Aku tahu dari nadanya, ia pasti sedang menggodaku. Aku hanya balas tertawa dan memasang ekspresi seolah-olah aku hendak mengajarinya sesuatu. "Jadi bunga matahari itu ..." aku memulai "Simbol dari semangat yang merekah setiap pagi!" Ia mengangguk, seperti mengonfirmasi kebenaran kata-kataku. "Ia sepertimu." aku melanjutkan "Selalu semangat, berenergi dan ..." "Dan?" "Sangat cerah ..." ujarku perlahan. "Apa lagi?" tanyanya. "Ah ..." aku seperti tersadar dari lamunan sesaatku "Itu saja sih yang aku tahu." Ia tertawa lagi, "Kau tak terlalu tahu banyak tentang bunga ya, Anzu!" Aku tersenyum, "Bukan aku yang peduli dengan makna bunga, tapi kau." Itu adalah salah satu dari sekian banyak momen yang paling kuingat tentangnya. Aku takkan melupakan bagaimana senyumnya itu tampak cerah, secerah bunga matahari yang tersematkan di jepit rambutnya. Saat itu kupikir aku dan dia impas, saling memberikan sesuatu yang melambangkan diri tapi aku sendiri berharap sesuatu yang lebih. Aku sudah peduli padanya, jika itu kurang jelas aku sampaikan ... ... dan aku pikir kita akan selalu seperti itu. SEMBILAN Aku melirik ke arah sekitar. Semuanya tampak serius mengerjakan ujian. Tatapanku kulayangkan ke kursi depan. Pak Siegward setengah tertidur di kursinya. Ia pasti akan sadar tidak lama lagi karena harus lanjut mengawas ujian. Aku harus cepat! Aku mengetukkan pen-ku di meja. Satu detik ... dua detik ... tiga detik ... tidak ada jawaban. Aku menoleh ke belakang. Theodore masih tak bergeming dengan alat tulis dan tablet di meja. Ia terlihat fokus dalam ujiannya. Mungkin ia tidak dengar, batinku. Aku mengetuk pen-ku sekali lagi. Theodore, ayo terima sinyalnya! Aku menggenggam pen dengan putus asa. Setelah beberapa saat, ia masih tidak merespon. Aku tepat di depannya! Masa ia tidak mendengarnya sama sekali sih?! "Lima belas menit lagi!" Gawat! Pak Siegward sudah terbangun dan mengingatkan sisa waktu ujian. Aku memandang tablet-ku dan soal yang tertera di sana. Aku mulai putus asa. Setelah misi kemarin, Theodore sudah berjanji padaku hendak membantuku saat ujian, tetapi waktu ujian sudah hampir habis dan setelah aku mencoba mengodenya untuk memberikanku jawaban, ia tidak merespon sama sekali! Ini bukan pertama kalinya aku memberi kode pada Theodore selama ujian berlangsung. Aku tentu harus melihat situasi juga karena Pak Siegward tipikal guru yang sering berkeliling kelas untuk memastikan tidak ada siswanya yang menyontek. Padahal kesempatan sudah bagus ketika Pak Siegward ternyata hampir tertidur, tapi Theodore tetap tidak menggubris kode yang kuberikan. Ada satu soal yang aku benar-benar kesulitan karena tentang analisis pertandingan lagi seperti pelajaran sebelumnya. Yang membuat aku lebih frustasi lagi, soal itu memiliki poin tertinggi, hampir setengah dari keseluruhan ujian. Kalau aku mengandalkan kemampuanku saja aku tidak yakin bisa menjawab dengan benar. Aku sudah telanjur menggantungkan jawabanku pada Theodore yang katanya ingin membantuku, tapi melihat situasi, sepertinya aku harus pasrah saja. "Hey!" panggilku setelah ujian berakhir. Theodore hanya menaikkan kepalanya. Ia terlihat bingung sementara aku sudah hampir habis kesabaran sampai mengetuk-ngetuk ujung sepatuku. "Kenapa kau mengabaikanku?" tanyaku dengan pelan namun dengan nada yang tajam. Theodore menaikkan alisnya. Tampaknya ia masih belum paham maksudku. "Mengabaikanku!" ulangku "Kau harusnya membantuku dalam ujian tadi." Theodore mengedipkan kedua matanya beberapa kali, "Ke ... kenapa ...?" tanyanya setelah itu. Aku mendecakkan lidah "Kau kan sudah berjanji!" Theodore terdiam. Aku menghela napas. Ia seriusan tidak ingat? Ia bisa mengingat semua teori-teori tidak berguna para maniak turnamen itu tapi ia tidak bisa mengingat informasi sederhana bahwa aku butuh bantuan? "Harusnya ... kita ... belajar--" "Kan aku belajar bersamamu!" potongku "Ah, sudahlah! Semoga nilaiku tidak terlalu buruk. Aku benar-benar tidak bisa menyelesaikan soal yang satu itu!" Theodore terdiam sejenak, sebelum mengucapkan maaf. "Maaf ..." Entah mengapa timbul rasa tidak enak dari dalam hatiku. Seharusnya aku tidak terlalu menggantungkan ujian ini kepadanya. Ini kan ujian individu. Seharusnya juga aku tidak berkata ketus padanya. "Tidak apa." kataku kemudian "Kau tahu? Aku lebih suka sifatmu yang bersemangat ketika misi itu. Sekolah semembosankan itu ya untukmu?" Theodore hanya merespon dengan setengah senyum. Aku terdiam. Beberapa hari lalu ia bilang padaku bahwa ia ingin mengajakku pergi ke luar untuk bersenang-senang, tapi sekarang ia tampak dingin lagi padaku seperti pada saat pertama kali kita bertemu. Aku tahu ia memang aneh dan memang aku berpikir bahwa ia punya suasana hati yang berotasi sampai kembali ke asalnya tapi untuk kali ini ... lama-lama aku berpikir bahwa rotasinya ini ketimbang suasan hati, lebih mirip ke sifat yang lain. Aku menggelengkan kepalaku sekilas setelahnya. Apa yang kupikirkan? Kenapa aku berusaha berpikir ketika isi otakku sudah hampir habis karena ujian menyebalkan itu? Aku harus mencari penyegaran. "Kalau begitu aku pergi dulu." kataku "Sampai bertemu pada saat misi nanti!" "Sampai ... jumpa ..." ujarnya seraya aku pergi dari sana. Aku berjalan keluar kelas dan menyusuri lorong dimana semua loker siswa berada. Aku hendak meletakkan semua barangku di sana sebelum pergi ke cafetaria yang berada di lantai tiga. Cica pasti sudah menungguku. Aku dan dia biasa tidak saling berkabar dan langsung bertemu di cafetaria. Kalau pun kami sedang terlalu sibuk untuk menghabiskan waktu di luar jam sekolah, paling tidak kami makan siang bersama. Seraya aku meletakkan barang-barangku di loker, aku mendengar suara yang ramai, seperti ada yang berkerumun. Wah, ada apa ini? Aku menutup lokerku dan berjalan mengikuti arah suara. "Pokoknya kalian semua dengar ya!" sebuah suara terdengar cukup tajam di tengah keramaian. Tunggu ... aku mengenal suara itu. Kerumunan itu membentuk berlapis-lapis saking banyaknya orang di sana. Aku tidak bisa menembus lagi keramaiannya, tapi aku bisa mengintip kira-kira siapa yang membuat situasi seramai ini, terimakasih dengan posturku yang cukup tinggi untuk seorang gadis. "Setelah kita mendapatkan tongkat yang diperuntukkan untuk kita, kalian akan melihat aku dan Liliana Scarlet berduel!" Ah ... ternyata Greyson William. Harusnya aku tidak heran. Aku tahu cukup banyak tentang orang ini, apalagi ia pernah menjadi pacar Cica. Greyson William seperti kabarnya memang penyihir yang sangat hebat, seorang anugerah lewat bakatnya. Namun, memang semua manusia tidak ada yang sempurna. Grey yang kuat itu ternyata butuh pengakuan banyak orang dengan berbuat onar, ... dan sejujurnya sampai sekarang aku tidak percaya Cica pernah mengencaninya. Ternyata ini hanya hari-hari biasa Grey mencari perhatian untuk menunjukkan kekuatan yang dia punya tapi tunggu ... siapa tadi korbannya? Lili? Aku melongokkan kepalaku lagi untuk melihat ke sana. Lili tampak tersenyum bersemangat dan ikut melemparkan pandangan ke seluruh siswa yang berkumpul di sana, "Aku akan mengalahkan Grey!" Aku mendengus. Sempat terpikir olehku bahwa Lili adalah sepenuhnya korban yang dipilih oleh Grey untuk memuaskan afirmasinya. Namun, jika dilihat dari bagaimana Lili merespon, nampaknya ini adalah duel yang memang disetujui oleh kedua belah pihak dan bukan merupakan perundungan yang dilakukan oleh Grey. Apa yang dicari oleh Lili? Ah ... itu bukan urusanku. Kupikir kerumunan ini adalah hal yang penting seperti pembagian nilai atau sejenisnya. Kalau cuma tindakan maniak dari para pecinta duel ini, aku harusnya tidak memusingkan apapun. Lebih baik aku melanjutkan perjalananku ke cafetaria. Melihat banyak siswa yang berkerumun di sini, aku bisa duga bahwa cafetaria sepi. Wah, aku pasti tak perlu mengantri terlalu panjang. Aku dan Cica bisa langsung makan. Aku melangkah pergi dari sana, meninggalkan kerumunan. Semakin jauh aku dari sana, semakin sepi lorong-lorong ini, seakan semua perhatian terpusatkan pada dua orang itu, Grey dan Lili. Aku menekan tombol lift, melangkahkan kakiku ke dalamnya, lalu menekan tombol di dalamnya supaya aku sampai ke lantai tiga, tempat dimana cafetaria berada. Ternyata cafetaria begitu sepi. Penyusutannya sangat luar biasa karena kerumunan tadi. Namun yang terpenting adalah, Cica juga tidak ada di sana. Kemana dia? Hmm ... mungkin ia masih ada di loker mengingat tadi di sana sangat penuh berdesakan orang. Ya sudah, kalau begitu aku akan belikan makanan untuknya sekalian supaya nanti ketika datang, Cica bisa langsung makan. Satu menit ... Dua menit ... Ia tak kunjung datang. Lima menit ... Sepuluh menit ... Ayolah makanan ini sudah mulai dingin. Aku menunggunya, duduk di salah satu meja untuk berdua seperti orang bodoh. Lima belas menit ... Ah! Akhirnya ia datang juga! Tapi ... lihat siapa yang bersamanya ... Liliana Scarlet. Aku mengerucutkan bibir. Jujur, agak kesal dibuatnya. Aku sudah menunggunya lama supaya kita bisa makan bersama seperti biasa, tetapi ketika ia datang dengan terlambat, ia membawa orang lain pula. Aku mengangkat tangan setinggi kepala, berniat melambaikan tangan memberi isyarat pada mereka bahwa aku ada di sini. Untungnya mereka melihatnya dan segera menghampiriku. "Anzu! Maaf aku baru kemari!" ujar Cica "Tadi aku menanyakan soal beberapa hal dulu pada Lili. Kau tahu tidak sih? Tadi ramai sekali karena kerumunan orang-orang!" Cica kemudian agak mendekat padaku seolah-olah hendak memberitahukanku sebuah rahasia, "Lili menantang Grey berduel!" ujarnya setengah berbisik. Sebenarnya itu bukan rahasia untukku-- apa? Lili yang mengajak Grey duel? Aku tersenyum simpul, mengangguk menanggapi perkataan Cica sebelum akhirnya pandangan aku layangkan pada Lili, "Maaf, aku kira hanya aku berdua dengan Cica--" "Tidak apa. Tidak apa. Tidak usah dipikirkan!" Lili tersenyum ramah sambil mengibaskan kedua tangannya "Setelah ini aku hendak pergi kok. Aku ada misi yang harus dilaksanakan pada jam makan siang, saat ini!" "Ah begitu ya!" Cica menanggapi "Padahal aku masih ingin banyak bertanya." "Mungkin bisa disambung besok hari, Cica!" ujar Lili ramah "Ngomong-ngomong soal pertanyaan, aku ingin menanyakan sesuatu padamu." "Apa itu?" "Selain Magic Tournament, nampaknya kau begitu antusias jika itu tentang Grey." ujar Lili "Apakah ... apakah kau menyimpan perasaan padanya?" "Ah ... i-itu ..." Jelas Cica tidak bisa menjawab. "Cica adalah mantan pacarnya Grey." Maka aku saja yang menjawab. "Eh?" Lili tampak terkejut, sementara Cica melayangkan tatapan tajam padaku "A-aku tidak tahu soal itu. K-kalau begitu ... tidak apa-apa kah jika aku berduel dengannya?" "Oh, itu tidak masalah sama sekali!" ujar Cica kembali melayangkan senyum pada Lili. "B-baiklah ..." Lili terlihat gugup "J-jika demikian ... aku ... aku pergi dulu ya. Sampai jumpa!" Lalu Lili pergi begitu saja. Sepeninggalan Lili, Cica langsung menggebrak meja secara pelan sambil menatapku. "Kenapa kau bilang padanya kalau aku mantan pacarnya Grey?" ia berbisik tajam. Aku mengerutkan dahi, "Kupikir dia sudah tahu karena kau tampaknya cukup akrab dengannya." kataku "Lagipula memang tujuanmu mendekatinya untuk tahu kabar Grey kan?" "Aku punya tujuan lain tahu!" ia berkata dengan suara merengek "Setelah sekian lama akhirnya aku punya teman yang memiliki ketertarikan dengan Magic Tournament sebesar itu ... dan dia di dekatku--" Perkataan Cica seolah menjadi hujaman tajam untukku. 'Teman yang memiliki ketertarikan dengan Magic Tournament'? Sejak kapan Cica ... aku buru-buru melirik rambutnya. Ah, ia ternyata masih memakai jepit rambut dariku. Aku tahu keributan tadi adalah awal kompetisi antara Lili dan Grey tapi melihat respon Cica yang seperti itu, terlebih ternyata prediksiku salah soal mengapa Cica mendekati Lili, ... aku merasa ini kompetisiku dengan Lili juga. SEPULUH "Aku punya tujuan lain selain itu!" "Setelah sekian lama akhirnya aku punya teman yang memiliki ketertarikan dengan Magic Tournament ..." "... dan dia di dekatku!" "Anzu?" Aku tersentak dan akhirnya tersadar dari lamunan. Sesaat aku tidak menyadari bahwa sebenarnya aku sedang duduk di kursi penumpang dari sepeda motor yang dikendarai oleh Theodore. Dia ternyata mengajakku pergi setelah misi, terlepas dari bagaimana sikap anehnya tadi pagi ketika ujian 'Strategi Dasar' tadi. Aku terlalu banyak memikirkan persoalanku dengan Cica ketika makan siang sampai-sampai aku tidak menyadari keadaan sekitar. Aku juga baru sadar kami sudah berhenti berjalan. Apakah kami sudah sampai? "Anzu, kita sudah sampai." ujar Theodore lagi, mungkin karena sadar aku tidak memberikan respon apapun. Aku melihat ke sekitar. Meskipun hanya tampak luar dan tempat parkir, aku mendapatkan nuasana seperti Arena atau tempat-tempat berlatih lainnya yang sejenis. Namun, aku merasa benar-benar asing dengan tempat ini. Aku tahu aku memang tidak banyak tahu tentang tempat-tempat seperti ini, tapi bahkan daerah sekitarnya pun terasa asing. "Ini dimana?" tanyaku. Theodore hanya tersenyum, "Kau akan tahu." Aku masih agak ragu, tapi bukan karena kupikir Theodore adalah orang jahat dan dia akan menculikku. Meskipun dia misterius, aku yakin dia bukan orang jahat. Ini hanya refleks pertama karena aku dibawa ke tempat yang asing. Lagipula jika Theodore memang berniat menculikku, ia pasti takkan membawaku ke tempat ramai kan? Theodore melangkahkan kaki masuk ke tempat itu. Aku mengikutinya. Ketika kami masuk ke dalam aku bisa melihat meja resepsionis dan beberapa pintu untuk masuk ke ruangan yang lainnya. Sepertinya benar ini Arena, tapi untuk apa. Aku melayangkan pandangan ke televisi yang tergantung di atas meja resepsionis untuk mencari tahu informasi yang mungkin bisa kudapatkan dari sana. Layar itu menampilkan orang-orang dengan panahan. Sangat mulus, tanoa ada kekuatan sihir. Hanya memanah, seakan-akan itu hanya satu-satunya kemampuan mereka. Dahiku berkerut. Ini ... "Tuan Xavier!" orang yang berada dibalik meja resepsionis menyapa sambil sedikit membungkukkan tubuhnya, menunjukkan rasa hormat. Aku menoleh ke belakang. Aku takut aku dan Theodore menghalangi seseorang yang penting, melihat bagaimana resepsionis itu nampak begitu sopan dan penuh hormat. Namun, tidak ada orang lain di tempat ini. Hanya ada aku, Theodore, dan resepsionis itu. Siapa yang ia panggil? Theodore maju beberapa langkah supaya makin dekat dengan meja resepsionis, "Lama tidak berjumpa ya." Kalimatnya itu membuatku terkesiap. Jadi, resepsionis tadi menyapa Theodore? Kenapa menggunakan nama lain? Dan kenapa resepsionis itu sampai membungkuk begitu pada Theodore? "Cukup lama, Tuan!" respon sang resepsionis "Saya pikir Tuan sudah melupakan tempat ini." Theodore terkekeh, "Untuk apa aku memilih tempat ini kalau pada akhirnya akan kulupakan?" Theodore merogoh kantongnya dan mengambil dompet, kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya seperti kartu "Ini kartu identitasku--" "Tidak perlu, Tuan. Saya kan sudah tahu siapa Tuan." "Hanya formalitas saja." ujar Theodore "Aku harus tetap menunjukkan kartu identitas dan kau harus tetap mendatanya. Benar kan?" Resepsionis itu mengangguk, "Benar sekali, Tuan. Kalau begitu saya mohon izin." ujarnya sebelum akhirnya menengadahkan tangan seperti meminta kartu tersebut. Theodore memberikannya lalu melirikku dengan senyum. Senyumnya penuh dengan misteri namun disaat yang sama seperti memberi isyarat bahwa aku akan mendapatkan jawaban nanti. "Sudah saya data, Tuan." ujar sang resepsionis "Tuan bisa langsung pilih kelas mana yang ingin Tuan awasi." "Terimakasih banyak." Theodore mengangguk. "Ini siapa, Tuan?" tanya resepsionis itu "Apakah ini kekasih Tuan?" Aku menghela napas singkat. Pertanyaan ini lagi ... Theodore menggeleng, "Bukan." jawab Theodore singkat "Ini adalah salah satu teman baik." Aku melebarkan mata. Jawabannya kali ini berbeda. Ia menjawab dengan lebih tenang juga, berbeda dengan sebelumnya. Apakah karena kali ini orang yang bertanya lebih hormat kepadanya dibandingkan sebelumya yang terlihat lebih akrab? Tapi ... kenapa begitu berbeda. "Ayo, Anzu." Theodore memberi isyarat tangan untuk mengikutinya. Aku berjalan mengikutinya, masih dengan penuh tanya. "Jadi ... Xavier?" tanyaku dengan hati-hati. "Ya?" Theodore menoleh "Ada apa?" Aku melirik ke tangannya yang ternyata masih memegang kartu namanya tadi. Dengan cepat aku menyambarnya. "Hey--" Theodore langsung merasa siaga dan ingin merebutnya kembali. "Tunggu." aku menahan Theodore untuk merebut kembali kartu namanya. Aku ingin melihat apa yang ada di sana, apa yang membuat resepsionis tadi memanggil Theodore dengan nama itu. Namun ketika aku baca kartu namanya, tidak ada informasi yang mengatakan bahwa Theodore memiliki nama lain itu. "Kau takkan menemukan apapun di sana." ujar Theodore sambil akhirnya menarik kartu itu dari tanganku "Itu hanya nama yang aku pakai di sini." Aku terdiam. Theodore tentu bisa membaca sikapku dan apa yang kucari. Ia melanjutkan perjalanannya ke lantai atas dengan lift. Aku masih mengikutinya. "Tapi ... kenapa?" tanyaku "Kenapa kau menggunakan nama itu di sini?" "Kenapa ya?" ujar Theodore, kali ini dengan lebih santai "Entahlah. Aku hanya suka kedengarannya. Xavier. Itu terdengar keren dan cocok denganku. Aku merasa aku bisa memiliki nama itu." Aku tidak langsung membalas. Aku perlu waktu untuk mencerna perkataannya. Ia merasa memiliki nama itu? Apakah itu artinya ... "Kau mau aku panggil dengan 'Xavier' setelah ini?" tanyaku. "Hm?" Theodore melirikku sambil menaikkan alis "Boleh," katanya kemudian "Tapi di sini saja ya. Jangan panggil aku dengan nama itu di tempat lain." Aku mengerutkan dahi lagi. Kalau ia merasa memiliki nama itu bukankah ia ingin sepenuhnya dipanggil dengan itu? Semakin lama aku semakin merasa bahwa Theodore ini aneh, ... tapi aku tidak berkomentar apa-apa soal itu. Theodore akhirnya mengarahkanku ke suatu ruangan. Begitu kami sampai di sana, terdapat beberapa baris orang yang sedang mengenakan peralatan panahan, lengkap dengan busur dan panahnya. Mereka semua berhadapan pada masing-masing satu target. Ini persis seperti kegiatan yang aku lakukan di klub panahan. Tempat apa ini? "Tuan Xavier!" seseorang yang berdiri di belakang barisan orang-orang yang lain itu berbalik dan membungkuk ke arah Theodore. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya ia adalah pelatih. "Kristof!" Theodore menyapa dengan ramah. "Sudah lama Tuan tidak ke sini." lagi-lagi itu yang diucapkan, sama seperti ketika resepsionis tadi berbicara "Ada urusan apa Tuan ke sini?" "Hanya memeriksa, seperti saat yang sudah-sudah." ujar Theodore "Aku juga membawa kawan." Ia memberi isyarat padaku untuk maju. Aku mengikutinya dan memperkenalkan diri, "Saya Anzu Edyora." "Kristof Steinhard." ujarnya sambil menjabat tanganku. "Temanku ini begitu tertarik dengan dunia panahan." ujar Theodore "Mungkin kau bisa mengajarinya beberapa ilmu." "Benarkah?" Kristof tampak bersemangat "Kau ada di tempat yang tepat, nona Edyora!" "Anzu saja." aku meralat sambil tersenyum. "Nona Anzu." Kristof mengulang "Saya akan persiapkan peralatannya, nanti Nona bisa langsung ikut bersama yang lainnya. Saya izin dulu." Belum sempat aku bertanya, Kristof sudah meninggalkanku dan Theodore. Theodore hanya tersenyum melihatku. Jujur aku senang, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bisa mengetahui tentang hobiku dari luar sekolah tapi aku bingung. Ini terjadi terlalu cepat dan terlalu banyak informasi yang kuterima. Butuh waktu bagiku untuk memproses. "Theodore, ini tempat apa?" tanyaku "Dan ... kau siapa sebenarnya di sini? Kenapa kau begitu dihormati di sini?" "Tempat latihan panahan." jawab Theodore dengan lurus "Sebuah tempat bagi orang dengan hobi sepertimu di area rakyat sipil." "Daerah rakyat apa?" aku mendadak terkejut. Theodore mengangguk, "Xavier ... aku di sini, anggap saja aku berjasa untuk mereka makanya mereka begitu menghormatiku seperti itu." "Daerah rakyat sipil?" aku kembali mengulang. Daerah rakyat sipil dan penyihir terpisah dengan begitu rapinya sehingga tidak ada yang mencampuri urusan satu sama lain. Bagaimana Theodore bisa masuk ke daerah ini dan terlibat di dalamnya? Apakah ia adalah salah satu dari banyak orang yang memamerkann kekuatannya demi validasi orang lemah yaitu rakyat sipil? "Nona Anzu," Kristof kembali dengan alat panahan yang ia bawa "Ini peralatan Anda. Silakan dipakai." "Selamat menikmati pelajarannya, Anzu!" ujar Theodore dengan ramah. Tunggu dulu! Aku punya banyak pertanyaan! SEBELAS "Anda hebat juga, Nona Anzu!" Kristof menepukkan tangan satu kali "Sepertinya Anda cukup berbakat. Apakah Anda juga salah satu penyihir bangsawan yang ikut latihan memanahnya?" "Terimakasih!" ujarku menanggapi perkataan Kristof yang pertama sambil menarik tali busur yang mengikat busur dan anak panah yang sedang kupegang "Tapi bukan, aku bukan anak bangsawan yang ikut latihan memanah ala bangsawan." Aku melepaskan tali busur itu, membiarkannya melesatkan anak panahku tadi, membawanya cepat dan langsung menancap pada bagian tengah target di hadapanku. "Aku hanya ikut klub panahan saja di sekolah." ujarku. Saat ini tinggal aku, Kristof, dan Theodore di ruangan ini. Orang-orang lain yang tadi ikut latihan juga di tempat ini sudah pergi dan karena aku tadi datang agak terlambat maka aku diijinkan untuk bermain lebih lama di tempat ini. Theodore yang sejak tadi duduk di kuris yang ada di samping ruangan, menontonku, akhirnya berdiri menghampiriku. "Kecepatannya tidak biasa." ujar Theodore "Apakah tadi kau menggunakan sihir?" Aku tidak menjawab. Sejujurnya aku tidak tahu apakah aku menggunakan sihirku atau tidak. Selama beberapa bulan hanya tahu tentang panahan di klub panahan Millenium Institute, aku memang tidak diajarkan bagaimana memanah murni dengan kemampuan sendiri. Pasti sihir yang memang mengalir dalam darah kami ikut andil dalam memanah ini. Namun di sini agak berbeda, mungkin karena memang area rakyat sipil yang berisi orang-orang biasa, kami diajarkan untuk memanah murni dengan kekuatan sendiri. Aku merasa ... begitu lega. "Menggunakan ataupun tidak, Nona Anzu ini tetap berbakat, Tuan." ujar Kristof. "Tapi kau tidak seharusnya menggunakan sihirmu di sini ..." Theodore semakin mendekat dan tiba-tiba ia menarikku, memegangku di kedua bahu "Kecuali kalau kau ingin berduel denganku!" Aku terkejut atas tarikannya yang tiba-tiba, apalagi dengan nada suaranya yang sesaat menjadi meninggu dan begitu bersemangat. Aku hanya mengerjapkan mataku beberapa kali, memandang pada kedua matanya yang berkilat berwarna merah. "Ahem ..." Kristof berdehem memecah keheningan "Tuan Xavier?" "Ah ..." Theodore seperti tersadar akan sesuatu sebelum akhirnya melepaskanku "Maaf ..." Aku yang akhirnya terlepas hanya mundur beberapa langkah, "Tidak apa-apa" kataku meskipun sebenarnya canggung "Jadi ... sebenarnya siapa Theodore-- maksudku Xavier ini?" Kristof tertawa, "Theodore, Xavier, sama saja." katanya "Ia adalah salah satu dari sekian penyihir yang baik dan dermawan. Ia membantu kami, organisasi panahan ini untuk berkembang, bahkan menarik rakyat sipil lain di luar sana!" "Kau terlalu berlebihan, Kristof." ujar Theodore "Aku tidak sebaik itu." Aku terdiam, "Aku tidak mengerti." ungkapku jujur. "Theodore adalah anak Pak Gubernur Roderich Figaro." ujar Kristof "Ia memberi saran pada ayahnya untuk memberikan subsidi biaya ke organisasi ini untuk berkembang karena ia yakin organisasi ini berguna bagi rakyat sipil untuk mempertahankan diri. Ia berpendapat bahwa jika suatu saat nanti manusia dalam bahaya, rakyat sipil tidak harus sepenuhnya menggantungkan diri pada penyihir." Dua fakta yang mengejutkanku, satu bahwa Theodore anak Pak Gubernur, dan yang kedua adalah Theodore melakukan ini untuk berjaga-jaga jika manusia dalam bahaya. Memangnya ada apa? Manusia terakhir berperang satu abad yang lalu, dan setelah itu manusia hidup tentram dan aman. Apa yang ia takutkan? "Kita tidak tahu akan ada bahaya apa saja di masa depan, Anzu." ujar Theodore "Lagipula, apa salahnya mempertahakan diri?" *** "Cica, kau mau kemana?" Aku agak terkejut melihat Cica yang tampak terburu-buru untuk keluar dari gedung sekolah. Tidak biasanya Cica terlihat sesibuk itu, bahkan ketika ada misi. Ia malah cenderung malas menjalankan misi karena partnernya bukanlah orang yang menyenangkan menurutnya. Lalu kenapa ia tampak terburu-buru kali ini? "Hey, Anzu!" sapanya sekilas "Aku sedang buru-buru." "Aku bisa melihat itu." jawabku "Ada misi yang begitu mendesak?" "Tidak." jawabnya "Hari ini bahkan aku tidak ada misi." Dahiku berkerut, "Lalu kau mau kemana?" "Aku sudah janji dengan Lili karena hari ini aku tidak ada misi, aku akan menemaninya latihan di Arena." Aku tersentak. "Kau tidak bilang apa-apa padaku." kataku "Biasanya ketika jadwalmu sedang kosong, kau mengabariku dan kita bisa--" "Aku belum tahu jadwalmu kosong juga atau tidak." ujar Cica "Lagipula ini perjanjian pertemuan yang mendadak, jadi aku belum sempat mengabarimu." "Sejak kapan kau tertarik dengan hal-hal seperti ini, Cica?" tanyaku. Cica terkekeh, "Hal apa, Anzu?" "Duel, Magic Tournament." jawabku "Kau kan bukan orang yang seperti itu." Kau kan orang yang seperti aku, bukan orang yang menaruh perhatian pada turnamen-turnamen bodoh itu, batinku yang entah kenapa tak bisa kukeluarkan begitu saja. "Aku kan sudah lama tertarik dengan hal itu. Kau tahu sendiri, Anzu." Aku terdiam. Aku tidak tahu hendak membalas seperti apa. Aku kehabisan kata. "Kalau kau mau, kau bisa menyusulku dan Lili di Arena setelah misimu. Dekat kok dari sekolah. Kau hanya perlu masuk ke belokan pertama setelah halte bis lalu kau bisa melihatnya di sebelah kiri jalan." kata Cica lagi "Aku duluan ya, Anzu. Sampai bertemu di sana!" Aku ditinggalkan begitu saja tanpa aku sempat merespon. Hal yang sempat kulakukan hanyalah melayangkan pandanganku pada poninya yang berkilau memantulkan cahaya lampu. Ia tidak mengenakan jepit rambut dariku. "Ini tempatnya?" Theodore memberhentikan sepeda motornya tepat di depan Arena yang tadi Cica deskripsikan padaku. Kami baru saja menyelesaikan misi sederhana dimana kami diminta untuk menyortir buku sihir sesuai dengan golongannya. Sama seperti yang pernah diceritakan oleh Cica, terkadang sebuah misi bisa tidak sepenting itu. "Iya." aku mengangguk lalu turun dari motor Theodore "Terimakasih, Theodore." "Tumben kamu ke tempat seperti ini, Anzu." ujar Theodore "Ada apa?" "Aku sebenarnya juga tidak ingin." jawabku sambil membalikkan tubuhku untuk masuk ke dalam Arena. Aku tidak mau membahasnya untuk saat ini. Ketika sampai di dalam, aku sempat bingung, karena aku tidak tahu pada ruangan mana mereka berada. Cica juga tidak membalas pesanku bahkan setelah sepuluh menit aku mengirimkannya. Akhirnya aku berinisiatif untuk menanyakan pada resepsionis Arena dimana ruangan mereka. "Ada yang bisa saya bantu?" "Saya mencari ruangan atas nama Liliana Scarlet." jawabku Sang resepsionis membalikkan tubuhnya ke arah layar untuk mencari nama selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali padaku, "Maaf, tapi tidak ada ruangan atas nama tersebut." Aku mengerutkan dahi. Mereka benar ada di tempat ini kan? Atau jangan-jangan ... "Atas nama Cica Chevolet?" tanyaku. "Ada." jawab resepsionis tersebut setelah melihat ke layar "Ruangannya ada di Solo 42." "Terimakasih." kataku sebelum aku dengan sesegera mungkin berjalan cepat ke ruangan tersebut. Jantungku berdegub kencang. Ada perasaan berkecamuk di dalam hatiku. Cica bahkan memesankan ruangan arena itu dengan menggunakan namanya? Ketika sampai di ruangan itu, aku mengetuknya dengan berusaha tenang. Tak ada jawaban. Setelah pada ketukan ketiga tetap tak ada balasan, aku langsung membukanya. Tampak terlihat Cica dan Lili duduk di meja yang berada di sisi ruangan untuk makan. Apakah mereka tak mendengarku? Apakah mereka ... mengabaikanku? "Oh? Anzu akhirnya kau di sini!" Lili yang berujar semangat. "Sayang sekali, kita sudah mau selesai." Cica menyambung. Tidak hanya diabaikan ... ternyata aku ditinggalkan pula. "Sejak tadi kalian latihan?" tanyaku, mereka hanya mengangguk "Kurang berapa menit lagi sebelum kalian harus meninggalkan tempat ini?" "Mungkin sekitar lima menit." ujar Lili. Aku menutup pintu, "Lima menit cukup." kataku "Lili, ayo kita latihan duel." "Anzu?" "Sekarang." Lili dan aku segera naik ke lapangan. Cica memandangku dengan heran. Aku tidak mau kedatanganku di sini sia-sia saja. Setidaknya aku bisa mengekspresikan perasaanku, menumpahkan kekesalanku melalui Lili. Di sana aku benar-benar menumpahkan kekesalan. Aku hanya membuat panah-panah dari bayangan dan menembakkannya dengan agresif. Lili yang mungkin sudah kelelahan mungkin karena latihan duel dengan Cica jadi mudah oleng. "Anzu!" Cica memanggilku, tetapi aku tidak peduli. Lili juga tampaknya masih bersemangat. Ia memunculkan sesosok malaikat untuk menyerangku dengan pedangnya. Aku membiarkan diriku diserang oleh malaikat itu tapi membalasya dengan menembakkan banyak panah kepada Lili secara cepat. "Anzu! Cukup!" Aku tidak akan berhenti. Aku akan menyerangnya sampai puas. Aku membiarkan amarahku mengendalikan panah-panahku. Aku bahkan tidak peduli kalau aku terluka. Setelah panah-panahku itu melesat dengan cepat, akhirnya Lili terjatuh dari lapangan. Aku memenangkan latihan ini. "Anzu ... Anzu, cukup!" "Cica, kita perlu bicara berdua." ujarku setelah turun dari lapangan. DUA BELAS "Apa yang kau lakukan?" "Apa yang KAU lakukan?" Cica terdiam. Dahinya berkerut, alisnya bertemu. Tampak sekali bahwa ia tidak senang dengan tingkahku hari ini. Oke, mungkin bisa kuakui bahwa aku terlihat penuh amarah dan bisa saja aku melukai Lili lebih parah di lapangan itu. Namun, aku marah dengan alasan. Aku marah karena Cica. "Kau bukan orang yang seperti itu, Anzu." ujar Cica "Kau tidak pernah semarah itu sebelumnya. Ada apa? Apa yang kau pikirkan?" "Kau juga bukan orang yang seperti ini, Cica" ujarku. "Apa maksudmu?" "Kau bukan maniak." kataku "Kau tidak pernah peduli tentang duel bodoh itu. Kau bahkan tidak peduli dengan sihir--" "Jangan konyol." Cica memotong "Jangan bilang kau ingin mengungkit ..." "Bagaimana aku tidak mengungkit hal tersebut, Cica?" tanyaku "Itu adalah alasan mengapa kita berteman ... karena kau dan aku sama. Kita punya cita-cita di luar takdir kita menjadi seorang penyihir. Kita tak pernah mempedulikan hal itu--" "Anzu ..." Cica memelankan suaranya, ia memegang sebelah bahuku "Semua orang berubah, kau tahu itu kan?" Aku terdiam. Napasku menderu setelah mengeluarkan semua emosiku. Jarang aku seperti itu makanya tubuhku tak bisa menerimanya juga. Aku tercekat. "Kau selalu punya keinginan yang kuat. Itu yang tak pernah berubah darimu." ujarnya "Tapi aku ... aku berubah, Anzu." "Apa ini ... apa ini karena Grey?" "Dia memang ada andil dalam ketertarikanku yang baru." ujar Cica "Tapi aku memang menemukan minatku ..." Suaranya ... suaranya seperti memudar di telingaku, di benakku. Aku ingin melupakannya. "Anzu! Hati-hati! Saat ini aku dan Theodore kembali ke tempat panahan itu. Ini jadi tempat yang tidak pernah absen kudatangi selama tiga hari terakhir. Aku harus berterimakasih pada Theodore karena aku dipertemukan dengan tempat ini. Setidaknya aku bisa melepas penat di sini. Aku bisa melakukan hal yang aku suka tanpa mengingat fakta bahwa aku adalah penyihir. Aku bisa melepaskan diriku dari semua kekuatanku. Kita di daerah rakyat sipil. Semuanya tak memiliki kekuatan. Semuanya setara. "Selesai!" Kristof yang memandu permainan panahanku dan Theodore memberi aba-aba sambil menghentikan stopwatch-nya "Nona Anzu, kau setengah detik lebih cepat dari Tuan Xavier. Tuan Xavier, kau masih memegang rekornya." Theodore menepukkan tangannya secara perlahan beberapa kali, "Itu bagus sekali, Anzu. Kau memang berbakat!" Aku menghempaskan tubuhku di kursi istirahat yang ada di sana, "Terimakasih." jawabku. "Ada sesuatu?" Theodore mendekatiku dan memandangku "Kau tampak lebih diam tadi." "Aku selalu diam." ujarku sebelum akhirnya menenggak botol ait yang kubawa. Theodore terkekeh, "Benar juga." katanya sebelum duduk di sebelahku "Tapi energi yang kau keluarkan berbeda dan aku merasakannya." Aku tak menanggapinya dan masih menenggak airku sampai habis. "Ada sesuatu?" tanyanya sekali lagi. "Baik baik. Memang ada sesuatu." akhirnya aku mengaku "Temanku. Ia meninggalkanku." "Hm?" Theodore mengangkat alis "Jelaskan?" "Kami sudah berteman lama, mungkin sejak sekolah dasar." aku mulai bercerita "Sejak dulu kami selalu bergantung satu sama lain. Apapun selalu kami ceritakan." Theodore hanya mengangguk mendengar ceritaku, "Lanjutkan." katanya. "Akhir-akhir ini ia sering meninggalkanku, karena ia mempunyai teman baru yang 'memiliki hobi yang sama'." aku membuat tanda kutip bohongan dari tanganku ketika mengucapkannya "Padahal ketika hobi kami mulai berbeda, ia tidak pernah meninggalkanku seperti itu." "Lalu?" tanya Theodore. "Itu saja." jawabku "Aku hanya kesal." "Hmm ..." Theodore menatap ke depan dengan tatapan menerawang "Mungkin temanmu itu mengincar sesuatu dari temannya yang baru ..." Aku menopang daguku di tangan. Aku sudah bisa menebak itu, namun untuk saat ini untuk mengetahui hal itu saja sudah menyebalkan bagiku. Pasalnya, aku tidak tahu apa yang Cica incar dari Lili dan tidak tahu akan sampai kapan begitu. Bagaimana kalau Cica tidak kembali? "Setelah temanmu selesai dengan urusannya bersama teman barunya itu, ia pasti akan kembali padamu kok," ujar Theodore yang membuatku terperanjat seketika "Karena ia percaya padamu, sementara pada teman barunya itu ia hanya membutuhkan beberapa hal. Mungkin juga temanmu tidak bercerita karena dia tidak mau menggeretmu dalam masalah yang ia punya." Aku tidak memikirkan hal itu. Jika dilihat dari sisi itu, Theodore ada benarnya juga. "Kau sepertinya tahu banyak ya." ujarku sambil meliriknya dengan setengah senyum. Theodore mengangkat bahu, "Aku belajar dari pengalaman." katanya "Tidak usah banyak kau pikirkan. Terkadang kita harus fokus terhadap diri sendiri dulu. Apakah kau sudah fokus dengan dirimu sendiri?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Theodore. Aku berusaha mencerna perkataannya terlebih dahulu. Fokus dengan diriku sendiri? Aku sudah fokus dengan segala emosiku, yang akhirnya kukeluarkan ketika menembak target-target itu. Aku juga sudah fokus dengan apa yang kuinginkan, dengan melepaskan diriku dari segala hal berbau sihir dan menjadi diriku sendiri. "Sudah," jawabku "Dengan melakukan panahan ini, aku bisa menikmati diriku sendiri--" "Tuan Xavier," Kristof tiba-tiba datang lagi ke ruangan "Maaf aku lupa menanyakan ini padamu, Tuan." "Ada apa?" tanya Theodore. "Apakah Tuan Xavier akan ikut lomba panahan lagi tahun ini?" tanya Kristof "Persiapannya dalam tiga bulan lagi." "Oh, sudah hampir dekat ya?" tanya Theodore "Sepertinya aku tidak akan ikut tahun ini. Anzu saja." "Apa?" tentu karena dia menyebut namaku secara tiba-tiba, aku berseru dengan terkejut "Acara apa itu?" "Kompetisi." jawab Theodore singkat "Jika para penyihir punya Magic Tournament, rakyat sipil punya kompetisi ini, namanya Shooter Showdown." Aku menghela napas. Ternyata kompetisi lagi. Manusia mau itu penyihir atau pun rakyat sipil tetap tidak bisa jauh dari kompetisi. Aku berusaha memaklumi karena memang di dalam diri semua orang pasti punya keinginan untuk bersaing, mungkin aku saja yang belum menemukannya. Namun, kalau boleh jujur kompetisi ini agak menggetarkan hatiku. Aku hendak menjadi atlet panahan dan mungkin ini adalah kesempatanku, tapi ... ... bukankah ini untuk rakyat sipil? "Ini acara oleh rakyat sipil?" tanyaku. "Betul, Nona." jawab Kristof. "Berarti kan aku tidak mungkin ikut." kataku "Ini adalah rakyat sipil. Area rakyat sipil dan penyihir diatur sedemikian rupa supaya tidak bercampur satu sama lain. Orang sepertiku tidak mungkin ikut--" "Apakah kau tidak dengar pertanyaan Kristof di awal tadi?" Theodore memotong perkataanku "'Apakah Tuan Xavier akan ikut lomba panahan lagi tahun ini?' aku pernah mengikuti pertandingan itu." Aku terdiam. Benar juga. "Menurutmu mengapa penyihir dan rakyat sipil harus memiliki daerah yang terpisah?" tanya Theodore lagi. Aku masih terdiam. Aku tidak pernah terpikirkan sampai sana. Sejak kecil aku hanya diberitahukan bahwa salah bagi para penyihir untuk terlalau ikut campur dengan masalah rakyat sipil (kecuali kalau mereka adalah pemerintah) begitu pun juga sebaliknya. Namun, aku tidak pernah memikirkan alasan dibaliknya. Aku hanya menurutinya dengan patuh. "Penyihir dan rakyat sipil punya kekuatan yang berbeda." jawab Theodore "Bayangkan jika penyihir dan rakyat sipil disatukan dengan kekuatan yang jelas berbeda. Penyihir bisa menindas rakyat sipil." Aku berusaha mencerna perkataan Theodore. Aku akui pernyataan Theodore ada benarnya dan bisa-bisanya aku tak pernah terpikirkan seperti itu. "Selama ini, aku sering kemari, berbaur dengann rakyat sipil, aku tidak apa-apa," ujar Theodore lagi "Karena aku tidak pernah menunjukkan kekuatan sihirku ... terkadang aku malah berharap aku tidak pernah punya" Kedua mataku melebar, sebelum akhirnya dahiku berkerut. Beberapa kilasan ketika Theodore latihan duel denganku atau ketika melatih Jayden dan Kayden, bahkan ketika ia menjawab pertanyaan Pak Siegward terlintas di benakku. Theodore yang memiliki bakat alami seperti itu, berharap tidak pernah punya kekuatan sihir. "Kenapa ...?" tanyaku dengan nada hampa, sekaligus tidak percaya. "Banyak yang pernah terjadi ..." Theodore menatap ke titik kosong dengan menerawang "Aku sering berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi ..." Oh, apakah aku tidak sengaja menyentuh hal yang harusnya tak kubicarakan? "Maaf." Aku terlalu bersemangat menemukan orang yang mirip sepertiku, tanpa memikirkan perasaan orang itu. Perkataan Theodore tentu membuatku penasaran juga, tapi aku tidak boleh langsung mengoreknya. "Tidak masalah!" Theodore kembali memandangku, berusaha mengulas senyum "Jadi, apakah kau mau ikut? Kalau mau aku akan jelaskan teknisnya dan bagaimana bisa masuk ke sana." "Aku ..." aku terdiam sejenak "Aku perlu memikirkannya terlebih dahulu." TIGA BELAS Aku belum bicara lagi dengan Cica. Aku juga belum bicara lagi dengan Theodore. Cica tentu saja masih sibuk dengan dunianya yang baru bersama dengan Lili. Setelah pertengkaranku dengannya waktu itu, belum ada interaksi lagi di antara kami. Aku belum pernah bertengkar sehebat ini dengannya, jadi aku belum tahu bagaimana cara mengatasinya. Aku juga tidak terlalu memikirkannya. Aku masih setuju dengan perkataan Theodore waktu itu dan akhirnya memutuskan untuk menunggu. Sementara itu, Theodore agak sulit dicari. Belakangan ini tim kami tidak mendapatkan misi. Terkadang memang ada pasangan tim yang tidak mendapatkan misi dan sebagai gantinya tim tersebut diberikan tugas yang harus diselesaikan, tapi selain dari itu aku tidak bertemu lagi dengan Theodore. Aku malah jadi agak dekat dengan Kristof. Aku selalu ke tempat memanah itu (yang ternyata memiliki nama sesederhana 'Arrow') dan menghabiskan waktu di sana sepulang sekolah dan tidak bertemu Theodore yang mungkin sedang memiliki urusan lain. Aku jadi tahu kalau Kristof itu adalah orang yang bekerja untuk keluarga Figaro yang juga merupakan pelatih aktif di Arrow. Masa minggu tenang selama seminggu ke depan dimana tidak akan ada misi lagi membuatku makin sulit untuk bertemu dengan Theodore. Tunggu ... sudah minggu tenang? Aku mengambil ponselku untuk melihat tanggal. Ternyata benar hari ini sudah minggu tenang. Semua murid kelas satu mulai hari ini diberikan minggu tenang dengan tidak diberikan misi tambahan dari mata pelajaran 'Pengabdian Masyarakat' karena minggu depan akan ada ujian yang penting, yaitu ujian tongkat. Dalam sistem kami, penyihir baru akan mendapatkan tongkat yang memang ditujukan untuknya ketika sekolah menengah atas dan terbagi menjadi dua, tongkat putih untuk penyihir putih dan tongkat hitam untuk penyihir hitam. Penyihir putih lebih menjadi seorang penyembuh di belakang sementara penyihir hitam menjadi seorang yang lebih banyak bertarung. Untuk mendapatkan tongkat itu, setiap siswa akan dihadapkan dengan ujian bertarung untuk melihat cara mereka bertarung lebih kepada penyihir hitam ataupun penyihir putih. Minggu tenang ditujukan supaya para murid lebih fokus pada persiapan mereka sebelum ujian dan tidak terganggu oleh misi. Sementara, aku belum mempersiapkan apapun. Aku memang tidak peduli dengan sihir dan kalau bisa aku ingin jadi penyihir putih saja. Namun, seharusnya aku tetap mempersiapkannya karena setiap pembagian penyihir terbagi lagi menjadi beberapa kelas berdasarkan ranking terbaik sampai terburuk. Meskipun aku tidak peduli, aku tetap ingin berada di kelas terbaik. Aku tidak mau terjebak di kelas menengah apalagi kelas bawah. Jika aku masih dekat dengan Cica, aku pasti akan berlatih dengannya. Dia yang akan mengajakku lebih dulu. Namun untuk saat ini, ia pasti lebih memilih untuk berlatih dengan Lili. Pikiran keduaku langsung mengarah pada Theodore. Aku harap ia bisa kuajak untuk berlatih. Aku kembali pada ponselku dan membuka pesan yang dengan sesegera mungkin kuketikkan pesan sebelum akhirnya kukirimkan pada Theodore. Ternyata tak perlu menunggu selang waktu yang lama, Theodore sudah membalas pesanku. Ia bilang bahwa ia bisa berlatih sekarang jika aku mau dan ia memberi saran untuk ke Arena di tempat yang lain, bukan yang kemarin kita pakai untuk latihan Jayden dan Kayden karena lebih dekat dengan posisiku saat ini. Melihat kesempatan seperti itu, aku tentu langsung mengiyakan. Setelahnya, aku langsung keluar dari Arrow dan mencari bus yang bisa mengarahkanku keluar dari daerah rakyat sipil, masuk ke area penyihir dan menurunkanku di Arena yang Theodore maksud. "Kau ... ingin jadi ... penyihir apa ...?" tanya Theodore ketika kami sudah masuk ke ruangan dan mempersiapkan diri sebelum naik ke lapangan. "Aku?" aku mengangkat alis ketika hendak menjawab "Penyihir putih." Theodore mengangguk, "Sama ..." katanya "Akan sulit ... jika dua penyihir putih ... bertarung." Bukan mustahil, tapi sulit. Akan lebih baik jika kita dua penyihir yang berlawanan bertarung sehingga bisa mengeksplor potensi terbaik kemampuan masing-masing. Theodore ada benarnya juga. "Kalau begitu ... aku akan ... mencoba ... supaya seimbang ..." ujar Theodore. Aku mengerutkan dahi. 'Mencoba supaya seimbang'? Apakah itu maksudnya Theodore hendak mencoba untuk bertarung seperti penyihir hitam? Apakah itu mungkin? "Naik ..." ujar Theodore yang ternyata sudah ada di atas lapangan, aku hanya mengikutinya. "Persiapan pertarungan." sebuah suara menggaung di ruangan "Theodore Figaro melawan Anzu Edyora." Tiga ... Dua ... Satu ... Mulai! Theodore mengangkat tangannya. Bersamaan dengan itu muncul tembok api yang menutupinya secara vertikal ataupun horizontal, menutupi lapangan. Secara perlahan ia melambaikan tangannya ke bawah yang diikuti oleh tembok api itu dengan mendekat kepadaku. Serangan awal, aku masih bisa mempersiapkan diri untuk memikirkan strategi. Aku mengatupkan kedua tanganku di dada dan memejamkan mata, aku memanfaatkan ruang dan waktu yang ada padaku sekarang untuk membawaku menghilang dan muncul di depan tembok api tersebut sehingga tembok api itu berada di belakangku. Aku membentuk bayanganku sendiri supaya segala fitur tubuhku terlihat jelas, lalu aku membuat kloning diriku sendiri dari bayangan. Bayangan itu bergeser maju ke arah Theodore dan mulai mengincarnya dengan tinjuan. Sepertinya aku lupa membekali bayangan itu dengan persenjataan sehingga bayangan itu menyerangnya dengan menggunakan kekuatan fisik. Theodore menghindar tinjuan yang pertama. Ia mundur sampai ke pinggir lapangan dan membentuk jarinya seperti pistol. Ia mengarahkan jarinya pada kloning bayanganku itu lalu menembakkannya dengan peluru api. Sadar bahwa aku akan kehilangan kloningku, aku membuat beberapa kloning bayangan lain yang lengkap dengan senjata selama Theodore masih sibuk dengan kloningku yang pertama. Semua bayangan-bayangan itu bergeser untuk membuat Theodore semakin sibuk sementara aku mencari tempat yang aman bagiku untuk membuat persenjataan bagi diriku sendiri yaitu panah dari bayangan. Namun ketika aku sedang mempersiapkannya, ada hal lain yang aku sadari. Theodore tidak seofensif waktu aku berlatih duel dengannya sebelumnya. Ia lebih tenang dan cenderung pasif, tidak agresif seperti yang sebelumnya yang selalu mengejarku. Kupikir ia ingin mengikuti gaya bertarung penyihir hitam? Namun dengan gaya yang seperti ini ia juga bisa cocok dengan gaya bertarung penyihir putih. Kupikir ini juga hal yang disenanginya? Kenapa ia tidak terlihat bersemangat seperti waktu itu? Apakah ia takut kalah denganku? Terlalu banyak memikirkan hal tidak penting membuat akurasiku payah ketika menembakkan panahku. Aku tahu jelas bahwa aku tidak akan mengenai Theodore. Maka begitu panah itu melesat aku menarik bayagan Theodore sehingga pemiliknya bergeser ke arah panah itu menuju. Theodore memiliki reflek yang bagus. Ia dapat menghindari panah yang melesat dengan cepat ke arahnya itu. Baru saja aku hendak mempersiapkan serangan lain, Theodore melangkahkan kakinya mundur melewati garis lapangan. Artificial Intelligence dari lapangan ini menganggap bahwa Theodore telah jatuh dari lapangan. Aku memenangkan latihan ini. "Anzu Edyora, menang!" Ia mengalah untukku. "Hey!" aku berlari menghampirinya, agak tidak terima "Kenapa kau mengalah untukku?" "Kau ... sudah menemukan ... strategimu ..." jawabnya. Aku melebarkan kedua mataku, "Sudah?" aku terkejut. Theodore mengangguk, "Penyihir putih ... akan memilih ... untuk membuat dirinya ... bekerja ... di belakang ..." katanya "Kau ... sudah melakukannya ..." Aku mengedipkan mataku beberapa kali, masih berusaha memahami perkataan Theodore. "Istirahat ... lima menit ..." katanya "Setelah itu ... bergantian ..." Theodore ada benarnya juga. Aku tahu bahwa penyihir putih akan cenderung membuat dirinya di belakang kalau pun ia harus menyerang. Namun, aku tidak menyadari bahwa gaya bertarungku sudah demikian. Aku baru sadar bagaimana aku meminta semua bayanganku maju menyerangnya baru akhirnya menembakkan panahku ke arahnya. Itu menunjukkan bahwa aku hanya ingin membuat diriku menyerang di akhir. Itu adalah gaya bertarung penyihir putih. Kemampuan analisis yang bagus, bisa menjadi agresif di lapangan, bisa pula bertindak seperti penyihir putih ketika bertarung. Dengan bakat yang luar biasa seperti itu, kenapa Theodore tidak mau punya kekuatan sihir dan malah bermain di tempat rakyat sipil? "Theodore!" panggilku, aku menyusulnya turun dari lapangan "Aku ingin bertanya." Theodore mengalihkan pandangannya padaku. Sebelumnya, ia duduk di kursi yang disediakan untuk istirahat dan mengambil napas panjang. Ia terlihat sedang ingin mengatur dirinya sendiri dari dalam. "Dengan kemampuan luar biasa seperti itu ..." aku membuka kalimatku "Kenapa kau berharap tidak punya kekuatan sihir?" Ia tampak terkejut ketika aku menanyakan hal itu. Perlu waktu baginya sebelum akhirnya menjawab. "Ini ... aneh ..." katanya "Tapi ... aku mudah merasa kewalahan ... jika berhadapan ... dengan ... sihir ..." Aku tersentak. Kewalahan? Bahkan orang sehebat ini bisa kewalahan. "Ironis ..." katanya "Padahal ... aku ... penyihir ..." Aku duduk di sampingnya, memandangnya, berusaha mengerti, "Aku juga berharap aku adalah rakyat sipil kau tahu? Tapi aku tidak punya kehebatan seperti kau." Theodore menggeleng, "Aku hanya ... terlatih ..." katanya "Dan dulu ... hidupku bergantung ... pada sihir ..." Theodore mengatakan kalimatnya yang terakhir dengan nada yang pahit, seakan ada luka pedih yang ia simpan. Aku tertegun. Theodore memang misterius, tapi lebih dari itu ... ia menyimpan banyak luka. EMPAT BELAS Pagi ini stadion Millenium Institute dipadati oleh siswa kelas satu. Hari ini adalah ujian tongkat, ujian dimana semua murid akan mendapatkan tongkat yang diperuntukkan untuk mereka: hitam atau putih. Teknisnya adalah setiap siswa akan dipanggil satu per satu sesuai dengan abjad untuk bertarung melawan Artificial Intelligence yang mirip seperti di Arena pusat dan didesain untuk ujian ini. Terdapat dua guru yang akan membantu penilaian dan melihat aspek-aspek tertentu dari strategi bertarung masing-masing siswa, yang pertama adalah Bu Ivony Glass, guru 'Pertahanan Dasar' dan yang kedua adalah Pak Red Ramashel, guru 'Sihir Alam'. Karena murid kelas satu di Millenium Institute cukup banyak dan cukup memakan waktu, setelah semua murid melakukan absen kehadiran di awal acara, para murid bebas memilih mau menonton atau mau pergi sebelum atau sesudah namanya dipanggil. Kebanyakan murid menunggu di sana sambil menonton teman-temannya, beberapa murid yang ambisius akan berlatih di luar seperti di lapangan luar atau di ruangan lain sampai namanya dipanggil. Aku sendiri hendak menunggu sampai namaku dipanggil sebelum pergi, toh namaku dimulai dari huruf pertama dalam alfabet, seharusnya tidak lama. "Abess Manella." Pak Red mulai memanggilkan nama dari bawah sana lewat pengeras suara "Silakan turun ke lapangan utama." Aku tidak melihat murid bernama Abess itu, mungkin dia berada di sisi lain dari stadion ini mengingat stadion ini merupakan tempat yang luas. Namun, aku melihat seorang murid laki-laki berambut lurus panjang seleher yang mendatangi Pak Red dan Bu Ivony dari layar besar yang menampilkan kegiatan berikut. Abess diminta mengambil satu dari dua tongkat yang ada di sana untuk digunakannya dalam bertarung, yang satu hitam sementara yang lainnya putih. Pertarungan ini yang menentukan apakah ia bisa membawa pulang tongkat itu atau harus membawa yang lain. Sementara itu di sisi lain lapangan terdapat sebuah robot yang begitu menyerupai manusia. Aku menduga robot itu adalah Artificial Intelligence dalam ujian tongkat yang dibicarakan itu. "Bersiap!" suara Pak Red terdengar lagi "Mulai!" Robot itu mendekat dan menembakkan api dari tangannya. Ketimbang mengeluarkan sihir seperti manusia, api yang dikeluarkan ditembakkan langsung dari dalam. Sepertinya ada mesin yang lebih kompleks di sana. Abess berguling ke depan, menghindari tembakan robot itu lalu melakukan sesuatu dengan tanah lapangan yang ia pijaki, seperti merapal mantra. Setelahnya, ia menengadahkan kepala lagi pada robot itu, seperti memancing robot itu mendekat. Robot itu menerima sinyal dari Abess dan mendekatinya, menembakkan api lagi. Abess mundur, robot itu menempati tempat yang dipijaki Abess. Selang beberapa detik, tempat yang sekarang dipijaki robot itu mengeluarkan suara ledakan. Ledakan itu menjadi serangan dari Abess untuk robot itu. Abess adalah penyihir jebakan dan robot itu berhasil jatuh dalam perangkapnya. Beberapa langkah serupa diulang kembali oleh Abess. Abess hanya memancing robot itu untuk berkeliling lapangan sementara ia memasangkan perangkap di berbagai tempat. Pada perangkap yang kelima, robot tersebut jatuh. "Abess Manella." Bu Ivony yang membuka pembicaraan "Kau memiliki strategi bertarung yang cukup bagus. Kau cekatan, bisa memanfaatkan keahlianmu berpindah tempat dengan cepat dan mencari perhatian." "Kau menggunakan tubuhmu sepenuhnya dalam menghalau robot itu." Pak Red melanjutkan "Kau bisa bawa pulang tongkat hitamnya." Lapangan bergaung dengan sorakan. Semua orang memberikan selamat pada Abess dalam bentuk teriakan. Ya, beginilah ujian tongkat. Pertarungan berulang yang dirayakan satu sekolah. Sorakan pertama memang yang paling meriah, tapi lihat saja nanti orang-orang akan semakin bosan. "Adison Credius." "... kau bisa bawa pulang tongkat hitamnya." "Adeli Alephaen." "... maaf, kau harus berpindah ke tongkat putih." "Afora Oxon" "... kau bisa bawa pulang tongkat putihnya." "Anzu Edyora." Aku tersadar dari lamunanku. Akhirnya tiba saatnya bagiku untuk turun ke sana dan melaksanakan ujiannya. "Silakan turun ke lapangan utama." Tanpa suara aku berjalan turun ke lapangan. Sebenarnya merasa tidak nyaman karena aku tahu ratusan pasang mata sedang mengikutiku turun ke lapangan. Beberapa teman kelasku yang ada di sana bahkan menyorakiku berniat menyemangati. Namun, aku tidak nyaman dengan suasana seperti itu. Ada satu hal yang baru aku sadari, Cica tidak terlihat dimana-mana. Kemana dia? Begitu sampai di bawah, aku menghadap pada Pak Red dan Bu Ivony. Kemudian aku mengambil tongkat putih yang ada di sana sebagai pilihanku. Ini akan menjadi ujian yang mulus. Theodore kemarin bilang bahwa aku sudah menemukan gaya bertarungku yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Berarti secara alami memang gayaku adalah penyihir putih kan. "Bersiap!" Pak Red memberi aba-aba, aku sudah berada di tengah lapangan, membuat posisi siaga namun senyaman mungkin sebelum mulai "Mulai!" Kali ini robot yang kuhadapi memiliki mekanisme bertarung yang berbeda. Ia dipersenjatai dengan pedang dan pisau lempar. Gerakan pertama yang diluncurkannya adalah melempar beberapa pisau itu ke arahku. Aku agak terkejut karenanya namun berhasil mempertahankan diri, dengan membentuk kloning bayanganku untuk melindungiku. Aku perlu berterimakasih pada refleksku untuk itu. Aku mengarahkan kloning bayanganku itu untuk menyerang robot itu. Robot itu dengan lihai menghindar. Ia meluncur padaku dan menghunuskan pedangnya. Aku menarik ruang antara aku dan robot itu supaya saling menjauh. Terlalu fokus dengan itu, aku sampai tidak menyadari bahwa robot itu dengan cepat melempar pisau lagi dan lengan kiriku yang menjadi korbannya. Aku berusaha bangkit lagi dan memanggil satu kloning bayangan lagi lalu akhirnya aku menarik bayanganku untuk membentuk tali dan mengikat robot itu. Aku membiarkannnya terikat selama kedua kloninganku itu menyerang. Aku menang. Semua bersorak. "Memanfaatkan bayangan lain dan mendukung mereka dari belakang." Pak Red yang membuka pembicaraan setelah selesai "Itu adalah gaya alami penyihir putih." "Selamat. Anzu Edyora." ujar Bu Ivony "Kau boleh membawa pulang tongkat putihnya." Aku mengangguk hormat pada Pak Red dan Bu Ivony sebelum kembali ke tempat dudukku dengan tenang. Murid-murid yang masih ada di sana bersorak dengan gembira tapi aku sendiri merasa biasa saja. Hanya ini, mau penyihir hitam atau putih tidak ada bedanya. Tidak ada perbedaan signifikan. Ini membosankan. Aku berencana ingin langsung pulang begitu mendapatkan tongkatku, lebih tepatnya ke Arrow untuk menghabiskan waktuku di sana. Namun ada seseorang yang masih kutunggu. Berhubung abjad namanya tidak jauh dariku, aku berniat menunggunya dan memberi semangat padanya sebisaku. Ya, aku menunggu Cica. Meskipun aku tidak tahu apakah ia masih ingin bicara padaku setelah apa yang terjadi beberapa hari lalu. "Asani Ellanorim!" Masih di huruf A. Untuk mendapatkan namanya masih perlu menunggu satu rangkaian abjad lagi dan beberapa nama sebelumnya, tapi bagiku itu cukup dekat karena aku tidak yakin banyak nama murid yang berawalan dari huruf B. Dimana Cica? Aku membuka ponselku. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku sudah mengiriminya pesan singkat. Aku bilang padanya semoga sukses untuk hari ini dan sampai bertemu. Ia membalas dengan 'Terimakasih, kau juga' dan aku sudah kehabisan kata setelahnya. Padahal biasanya aku bisa saja menawarinya untuk berangkat ke sekolah bersamanya karena rumah kami satu arah. Entah kenapa sejak kejadian itu aku tidak bisa leluasa untuk berbicara padanya karena aku sendiri yakin ia menjaga jarak dan perkataannya dariku. Sampai sini aku hanya berpikir setidaknya ia masih membalas walaupun tidak banyak yang diucapkan. Namun terlepas dari itu, dimana Cica? Apakah ia sudah datang ke sekolah? Kenapa ia belum ke stadion? Apakah ia sedang latihan? Aku jadi banyak berpikir tapi aku tak bisa menanyakan semua itu secara langsung padanya. Sepertinya aku akan menunggunya di sini sampai ia datang karena cepat atau lambat ia pasti datang untuk ujian ini kan? LIMA BELAS "Bleu Streviar, kau bisa membawa pulang tongkat hitamnya!" "Boin Reiner, silakan turun ke lapangan." Aku memandang tiap pintu masuk stadion dengan gelisah. Aku masih belum melihat Cica dimana-mana. Secara bergantian aku pandangi pintu masuk timur, pintu masuk barat, dan layar ponselku berharap ia mengatakan sesuatu. Cica bukanlah orang yang suka datang terlalu mendekati waktu. Ia biasa datang paling lambat satu jam sebelum. Apakah ia melupakan ujiannya ...? Tidak mungkin. Bahkan aku yang sampai sekarang tidak peduli dengan sihir saja masih memikirkan ujiannya. Atau jangan-jangan ... ia tertidur karena terlalu fokus dengan persiapan kemarin (bisa saja ia melakukan persiapan sampai larut)? Ya, sepertinya itu penyebabnya. Persetan dengan kami sedang bertengkar dan menjaga jarak. Aku harus menghampiri rumahnya dan membangunkannya! Dengan tanpa suara tapi pasti aku menggeser tubuhku dan berjalan cepat keluar dari stadion. Ponselku yang sudah di tangan aku gunakan untuk berusaha menghubunginya. Akan lebih baik jika dengan usahaku meneleponnya, Cica terbangun dan segera berangkat ke sekolah. Begitu keluar stadion, aku berlari menyusuri lorong penghubung pintu masuk stadion dengan bagian luar Millenium Institute. Namun baru beberapa langkah aku berlari, aku melihat seorang dengan rambut cokelat yang familiar berdiri di belokan lorong. Sebentar, apakah itu Cica? Aku memperlambat langkahku. "Kau mau mendengarkanku kan?" terdengar suara pemilik rambut cokelat itu. Itu benar Cica! Apa yang sedang ia lakukan di sini? Ia sedang bersama seseorang juga. Apakah Cica sedang berada dalam percakapan penting? Ah, mungkin ia punya urusan yang sedang ia lakukan selama ia tidak bertegur sapa denganku. Setidaknya aku tahu ia sudah berada di sekolah dan bisa langsung masuk ke stadion jika namanya dipanggil. Aku percaya suara Pak Red dengan pengeras itu dapat mencapai lorong ini. Namun entah kenapa, aku tidak ingin memanggilnya, ataupun kembali ke stadion, ataupun pergi keluar seperti rencanaku pertama kali. Aku hanya ingin di sana, mendengarkannya berbicara dengan siapapun itu. Aku merindukannya dan aku ingin tahu apa yang dilakukannya sekarang. Maka dari itu, aku menggeser tubuhku untuk dekat ke dinding supaya tidak terlalu terlihat. Aku ingin mengupingnya. "Mendengarkan informasi tentang rival sepertinya menarik." ujar suara lain yang bersama dengan Cica "Tapi bukankah itu curang?" Tunggu, aku juga mengenal suara itu, tidak sefamiliar bagaimana aku mengenal Cica, tapi aku tidak terlalu asing juga dengannya. Itukah ... "Jangan anggap itu sebagai kecurangan." jawab Cica "Anggap saja itu sebagai mengenal rival lebih jauh sebelum bertarung, Grey." Aku tersentak. Dugaanku benar. Apa yang Cica lakukan di sini ... bersama Grey, mantan pacarnya? Grey tertawa, "Kau selalu punya cara unik untuk menyampaikan sesuatu, Cica." ujarnya "Baiklah, akan kudengarkan. Apa yang kau punya, cantik?" Darahku mendidih. Grey masih memanggil Cica dengan sebutan itu, seakan melupakan bagaimana ia yang meninggalkan Cica atas urusan paling tidak masuk akal sedunia. "Jadi Lili ini seorang pemanggil." Cica berbicara lagi "Ia bisa memanggil makhluk-makhluk magis dengan elemen, seperti malaikat dengan berbagai macam elemen yang berbeda-beda." Dahiku berkerut. Apakah Cica sedang membicarakan Lili di hadapan Grey? Untuk apa? "Menarik." ujar Grey "Lalu bagaimana?" "Malaikat-malaikat itu melindungi Lili dan Lii sangat bergantung padanya." ujar Cica "Mereka juga sangat kuat, lho! Bisa menangkal banyak jenis sihir. Kemarin aku kewalahan ketika ia mengajakku berlatih!" "Wah ... kau berlatih dengannya?" "Uh-hm! Kan sudah kubilang aku berlatih dengannya supaya aku bisa tahu bagaimana kau akan melawannya nanti! Kau masih bisa menakar sihirmu dengan sihirku kan?" "Tentu saja, cantik. Sihir dan hati adalah sesuatu yang bisa dihubungkan, hahaha!" Aku mengetatkan tinjuanku, menahan emosi. Aku masih tidak mengerti maksud dari semua ini tapi aku masih mendengarkan. Mungkin ada informasi yang bisa kudapat dari percakapan ini sebelum aku bisa mengambil kesimpulan. "Jadi, apakah aku bisa berlatih bersamamu lagi, Grey?" tanya Cica "Seperti ... masa dulu lagi? Apakah bisa?" Aku tercengang. Aku bisa mendengar Grey tertawa, "Cica cantik, kau masih belum bisa selesai dengan dirimu sendiri?" katanya "Meskipun sihir dan hati adalah sesuatu yang bisa dihubungkan tapi sihir dan hati kita sudah tidak bisa bersama kau tahu?" Cica ... masih mengincar Grey ...? "Aku bukannya belum bisa selesai dengan diriku!" Cica mengelak "Aku hanya ... aku hanya berpikir kalau kita memang bisa disatukan, hanya waktu itu adalah saat yang tidak tepat. Kita masih bisa bersama kan?" Tidak ada jawaban dari Grey. Aku yakin jantung Cica berdegub kencang menunggu jawaban karena jantungku pun berdegub kencang, namun mungkin dengan alasan yang berbeda. Aku tahu bahwa Cica masih mengincar Grey tapi mendengar langsung percakapan mereka benar-benar menamparku dengan kenyataan dan membuatku sadar akan suatu hal. "Aku punya tujuan lain selain itu!" Cica menggunakan Lili ... supaya ia bisa dekat dengan Grey? Ia rela menjadikan pertemanannya dengan Lili supaya ia bisa mengkhianatinya dengan membocorkan kemampuannya seperti itu karena Lili dan Grey akan berduel? Ini tidak benar. "Kau mungkin berpikir begitu, Cica." ujar Grey akhirnya "Tapi aku tidak yakin kita bisa bersama lagi. Lebih baik kau fokus dengan ujian tongkatnya. Bukankah sebentar lagi namamu dipanggil?" "Grey! Tunggu--" Aku makin menyembunyikan diriku dibalik dinding karena aku mendengar langkah mendekat. Grey ternyata melewatiku tanpa menyadarinya. Cica tidak di sana, dengan sesegera mungkin aku keluar dari tempat persembunyianku dan begitu aku berbelok, Cica tepat di hadapanku. Ia berhenti melangkah. Ekspresinya berubah tidak suka. Sepertinya dia tahu bahwa aku menguping. "Sudah kau dapatkan semua informasi tentangku, Anzu?" tanyanya dengan dingin "Iya. Aku akui. Aku memang mengincar Grey dan memanfaatkan semua ini--" "Cica, itu tidak benar." aku langsung berucap "Kau tidak bisa membocorkan kelemahan seseorang ketika mereka bertarung. Jangan bilang kau membocorkan kelemahan Grey juga kepada Lili?" "Kalau mereka mendapatkan pertarungan yang adil, Grey tidak akan menyukainya." ujar Cica "Lili adalah penyihir yang hebat dan mereka akan seimbang. Harus seimbang. Grey hanya menyukai gadis yang bisa dikalahkannya, seperti ia mengalahkanku waktu itu. Dia akan kembali padaku. Pasti--" "Cica!" aku menyentaknya "Tidak ingatkah kau betapa tidak sehatnya hubunganmu dengan Grey sejak dulu? Tidak ingatkah bagaimana dia menggunakan namamu untuk merendahkanmu dan membuatnya tenar? Tidak ingatkah bagaimana ia membuatmu bertarung mempertahankan hubungan kalian hanya karena banyak yang menyukainya? Tidak ingatkah kau ketika ia meninggalkanmu--" "Cukup!" Cica menyentakku balik "Kau tidak perlu mengingatkan semua hal itu padaku. Aku mengingat semuanya, tapi terlepas dari itu dia adalah orang yang paling bisa memperlakukanku dengan baik. Ia akan berubah setelah ini, Anzu. Aku percaya." "Memperlakukanmu dengan baik?" nadaku meninggi "AKU memperlakukanmu dengan baik selama ini dan kita--" "Apakah kita bisa berkencan, Anzu?" Perkataan Cica membuatku diam membeku. "Tidak kan?" Cica berkata lagi "Berkencan dengan Grey pernah menjadi sumber kebahagiaanku, Anzu. Tidakkah kau ingin sahabatmu ini mengincar kebahagiaannya?" Nafasku tercekat, tapi aku tidak boleh diam saja, "Kau ... kau benar ..." aku memaksakan senyum. "Kalau kau ingin terus mendukungku, kau bisa menyemangatiku di semua kegiatanku seperti biasanya." ujar Cica. Cica tidak pernah tahu. Ia tidak pernah membaca niatku dan sampai saat ini ia tidak tahu, dan sepertinya aku tak bisa membiarkan dia untuk tahu. "Cica Chevolet!" terdengar suara Pak Red menggema dari dalam stadion ke lorong ini "Silakan turun ke lapangan!" "Itu namaku!" ujar Cica dengan girang "Kalau kau mau mendukungku, kau bisa menyorakiku di dalam. Ayo kita masuk, Anzu!" "Kau ... kau duluan." ujarku. "Baiklah!" ujar Cica "Akan kudapatkan tongkatku itu!" "Semangat ..." Cica meninggalkanku dalam duniaku yang sudah kelabu. Aku sudah benar-benar disadarkan oleh kenyataan bahwa yang pernah sesedikit mungkin kuharapkan dalam hati takkan pernah terjadi. Aku tidak masuk lagi ke stadion. Maafkan aku, Cica tapi aku tidak akan sanggup apalagi setelah apa yang terjadi barusan dan fakta yang baru saja kudengar. Aku berlari keluar dari lorong itu dan keluar sekolah. Aku menunggu bis yang dapat membawaku cepat ke Arrow. Aku mau menjernihkan pikiranku di sana. *** "Anzu, Anzu!" Aku tersadar dari lamunanku lalu aku menoleh ke asal suara. Theodore ternyata sudah sampai di Arrow dan menghampiriku. "Untuk apa kau kemari kalau hanya untuk melamun?" tanya Theodore "Kalau mau melamun di rumah saja!" Aku tersenyum getir, "Bagaimana ujianmu?" "Aku yakin aku mendapatkan tongkat yang sama denganmu." ujar Theodore sambil menunjukkan tongkat putihnya padaku "Mungkin kita bisa sekelas lagi tahun depan." "Bagus ..." ujarku datar. "Hey, ada apa?" Theodore akhirnya duduk di sebelahku "Aku tahu kau tidak menyukai sihir seperti aku, tapi hari ini energimu begitu rendah. Ujianmu tidak seburuk itu kan? Ada apa?" Aku menghela napas. Haruskah aku cerita dengan Theodore mengenai masalahku? Maksudnya ... aku pernah menceritakan sedikit tentang Cica, tapi apakah tidak apa jika aku berbagi lagi dengannya. "Ini soal temanku." kataku pada akhirnya "Rasanya berat jika harus memutuskan tali pertemanan jika ia mengencani seseorang, tapi aku sendiri tidak suka dengan kencannya itu." Theodore megangguk beberapa kali, seperti berusaha memahami situasi, "Kenapa kau tidak suka? Apakah karea kencannya tidak baik untuk temanmu? Atau ini kecemburuan seorang teman?" Aku mengangkat kedua alis, tidak menyangka Theodore langsung menebaknya dengan benar, "Keduanya ..." jawabku "Agak berat untuk melihatnya. Dulu aku pernah ditinggalkan karena itu, dan aku tidak siap untuk ditinggalkan lagi karenanya." "Anzu, cinta itu memang membingungkan." Theodore bilang dengan tatapan menerawang "Kau bisa berkorban apapun demi cinta dan karenanya kau tidak akan peduli apapun selain itu." Aku tidak membalas, membiarkan Theodore masih berbicara. "Tetapi jika seseorang itu tidak baik untukmu, cepat atau lambat kau akan menyadarinya dan ketika ia tak lagi merasakan cinta, ia akan melihat hal yang sebenarnya." Aku melirik pada Theodore sebelum menyunggingkan senyum tipis "Kau sepertinya tahu banyak." Theodore angkat bahu, "Aku punya pengalaman tidak menyenangkan juga karenanya." katanya "Hey, daripada membicarakan itu, aku ingin menanyai kau sesuatu!" "Apa itu?" "Kau kan sudah mendapatkan tongkat ..." ujar Theodore "Apa yang hendak kau lakukan setelah ini?" "Hmm ..." aku meletakkan tanganku di bawah dagu, berpikir "Aku tidak punya target sebagai penyihir sih, kau tahu sendiri, tapi aku ingin mencoba sesuatu." "Wah! Beritahu aku!" ENAM BELAS "Kau mau ikut Shooter Showdown? Nanti akan kuajari semua yang kubisa." "Ajari semua yang kau bisa? Aku bisa belajar memanah sendiri. Kristof juga akan banyak membantumu di sini." "Bukan mengajarmu memanah tapi ... belajar menyamar jadi rakyat sipil." Aku agak menyesali perkataanku kemarin. Aku berniat memulai kegiatan yang baru sambil berusaha melupakan apa yang terjadi kemarin, yaitu menerima tawaran Theodore waktu itu yang memintaku untuk ikut kompetisi dari rakyat sipil. Kupikir semuanya hanya tentang memanah. Kalau hanya itu saja, aku bisa. Namun ia bilang perlu keahlian khusus untuk menyamar sebagai rakyat sipil. Itu yang aku tidak tahu. Dalam lubuk hatiku aku masih merasa ini adalah hal yang salah. Menyamar jadi rakyat sipil berarti menyalahi peraturan pemerintah. Bagaimana kalau ketahuan? Namun di sisi lain dari hatiku, aku agak penasaran bagaimana selama ini Theodore bisa ikut acara di daerah rakyat sipil tanpa ketahuan? Apakah ia menyamar? Apakah nama 'Xavier' yang ia pakai bertujuan untuk menutupi identitas slinya? Apalagi dia kan anak gubernur. "Theodore ..." aku memanggilnya ketika tidak sengaja berpapasan dengannya di lorong sekolah pada saat pergantian jam pelajaran "Aku ingin kau menjelaskan padaku tentang sesuatu." Menanggapi perkataanku, Theodore hanya mengangkat kedua alisnya, Ekspresinya sarat dengan tanda tanya. Namun sebelum aku berniat menanyakan lebih lanjut, baik ponselku dan ponselnya berdering. Mengetahui bahwa kedua ponsel kami berdering bersamaan, sudah pasti ini adalah misi. "Setelah ... misi ..." ujarnya, mengarah pada waktu ia akan menjelaskan. Aku dan Theodore mengambil ponsel masing-masing untuk melihat misi apa yang diberikan kepada kami kali ini. Aku mengerutkan dahi, pencurian barang magis lagi oleh rakyat sipil? "Ini ... akan mudah ..." ujar Theodore ketika selesai membaca misinya "Kau ... bisa mengikat orang ... dengan bayangan ... bukan?" Aku menengadahkan kepala untuk mengalihkan perhatianku dari ponsel untuk menatapnya. Aku hanya mengangguk, tapi tidak megerti kemana arah pembicaraan ini. "Aku melihatmu ... ketika ... ujian tongkat ..." katanya "Aku ... punya rencana." *** Ternyata benar kata Theodore bahwa sang kriminal sebenarnya sudah dipojokkan oleh polisi di tempat yang aman dari para rakyat maupun itu penyihir ataupun rakyat sipil supaya tidak makin ada kekacauan. Namun, polisi belum berani membekuknya karena benda yang dicuri kali ini mempunyai kekuatan sihir tersendiri yang tidak perlu dikendalikan oleh yang punya. Ia punya mekanisme untuk mengaktifkan sihir bila dicuri, dan siapapun yang memegangnya akan terkena serangan. Baik si kriminal ataupun polisi tidak bisa berbuat apa-apa karena jika salah langkah, semua bisa terluka. Theodore membuat rencana tersendiri. Ia akan mengalihkan perasa benda itu dengan mengelilinginya menggunakan tembok apinya sehingga benda magis itu hanya menyerang tembok Theodore. Dengan itu, semua orang selamat dari serangan, namun jadi membentuk kesempatan kriminal itu untuk lari. Untuk itu, aku harus membantu polisi dengan memanipulasi ruang agar mereka menjadi dekat dengan satu sama lain atau mengikat bayangan kriminal itu agar aku bisa menariknya. Keduanya adalah rencana yang cukup sulit karena keduanya harus dilakukan dengan menggunakan kecepatan dan ketepatan. Untungnya polisi yang bekerja sama dengan kami tidak sepasif itu. Aku akhirnya memilih untuk mengikat sang kriminal untuk kudekatkan pada polisi karena itu memakan energi lebih sedikit daripada aku harus memainkan ruang untuk membuat kami yang sebanyak ini mendekat dengan kriminal itu. Sementara itu, Theodore berhasil membungkus benda itu dengan bola apinya supaya tidak menimbulkan serangan-serangan lagi. Hal yang membuat kami beruntung adalah benda magis itu memiliki elemen angin, yang tidak bisa menangkal elemen Theodore, malah membuatnya menjadi bola yang besar. Benda itu berhasil diamankan oleh petugas benda magis sebelum dicari siapa pemiliknya. Ini adalah misi yang cukup mudah untuk kami selesaikan. "Sepertinya pencurian barang magis adalah hal yang cukup umum ya." ungkapku ketika aku dan Theodore melayangkan pandangan pada petugas-petugas yang masih repot mengurus ini dan itu. "Terkadang ... mereka ... sangat rakus." Theodore berkomentar. "Padahal rakyat sipil tak bisa menggunakan barang magis kan?" kataku lagi. "Tidak juga ..." ujar Theodore sambil menggeleng "Mereka ... hanya menggunakannya ... berbeda seperti kita ..." "Maksudmu?" pandangan aku alihkan pada Theodore. "Mereka ... menggunakannya ... supaya bisa sesetara mungkin ..." Theodore balas menatapku "... dengan para penyihir ..." Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Aku tidak bisa memahami maksud perkataannya. Sepertinya ini adalah hal yang ia pelajari selama berada di wilayah rakyat sipil? Hanya itu yang bisa kutebak. "Ngomong-ngomong soal itu, Theodore ..." aku mengalihkan pembicaraan "Bagaimana caranya supaya bisa tinggal di rakyat sipil?" Theodore tampak terkejut. Ia memandangku dari atas sampai bawah seperti mempertanyakan pertanyaanku. "Untuk ... apa ...?" tanyanya kemudian "Untuk apa ... kau ... ingin tinggal di ... tempat ... rakyat sipil ...?" "Jangan bercanda." aku meninjunya pelan "Tinggal di sini bukan tinggal sungguhan, tapi menyamar. Kan aku mau ikut Shooter Showdown, kau ingat?" Perlu jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya Theodore merespon dengan gelengan kepala, "Berbahaya ..." Sekarang gantian aku yang mengerutkan dahi, "Apa maksudmu berbahaya?" tanyaku "Kau sendiri yang bilang bahwa kita bisa menyamar dan masuk ke daerah rakyat sipil--" "Aku tidak tahu ... apa yang ... kau bicarakan." Theodore memotongku "Tapi tinggal ... di daerah rakyat sipil ... itu ... berbahaya ..." Aku semakin bingung dengan pernyataannya. Apakah ia lupa dengan apa yang ia katakan padaku kemarin? Atau ia berubah pikiran hendak mendaftarkanku di sana? Atau dia ingin dia saja yang ikut lomba itu karena ia sudah lama di sana jadi itu tidak berbahaya untuknya? Aku tidak mengerti. "Katakan bahayanya dimana ..." kataku "Kau sendiri ... kau sendiri sampai sekarang tidak apa-apa kan?" "Rakyat sipil ..." Theodore menunduk, tapi dapat kulihat ia masih melirik padaku "Tidak punya ... kekuatan ... tapi ... pintar. Tidak ... mereka licik." "Maksudmu?" "Mereka ... memanfaatkan ... barang para penyihir ... untuk ... keperluan mereka sendiri ..." ujar Theodore "Padahal ... mereka ... tidak bisa mengendalikannya. Kau ... lihat sendiri kan?" Ia mengedarkan pandangan pada petugas yang masih membersihkan area kriminal tadi. Aku menghela napas. "Tapi ... kita bisa mempertahankan diri, kan?" kataku "Kita kan penyihir, kita lebih kuat dari mereka. Kalau mereka macam-macam, kita bisa lawan mereka." "Rakyat sipil ... yang seperti itu ... terhitung kriminal ..." jawab Theodore "Penyihir ... yang ketahuan ... menggunakan sihir ... juga ... kriminal." Aku terdiam. Tidak tahu mau membalas apa. "Tahu ... kenapa ... kita semua dipisahkan ... kan ...?" kata Theodore lagi. "Supaya tidak ada penyhir yang menggunakan kekuatannya untuk menindas rakyat sipil." kataku "Tapi kan, kita tidak menindas. Kita mempertahankan diri." "Sama saja ..." ujar Theodore "Mereka ... tetap bukan ... lawan yang seimbang. Mereka ... akan tetap melaporkanmu. Kamu ... akan jadi ... kriminal ..." Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Kalau sebegitu ketatnya antara rakyat sipil dan penyihir, bagaimana ia bisa bertahan sejauh ini? "Lalu apa yang kau lakukan selama ini di area rakyat sipil?" tanyaku. "Aku ...?" Theodore membeo sambil menatapku "Aku ... hanya ... mengawasi ... Arrow." Dia bohong. Aku tahu itu bukanlah satu-satunya hal yang ia lakukan di sana. Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ia tidak hanya mengawas, tapi juga bersenang-senang di sana. Ada sesuatu yang tidak ingin ia beritahukan kepadaku. "Lebih baik ... kita ... pulang." TUJUH BELAS Aku tetap mengikuti latihan untuk Shooter Showdown itu. Kristof yang melatihku. Hari ini adalah salah satu dari hari latihannya. Karena kebetulan hari ini adalah hari Jumat, aku bisa langsung pergi ke sana sepulang sekolah tanpa harus menjalankan misi terlebih dahulu. Sebenarnya tidak serta merta aku ke Arrow sendirian sih. Aku bertemu dengan Kristof di daerah perbatasan. Itu yang selalu kami lakukan ketika aku ingin ke sana, karena tidak mungkin aku bisa ke daerah rakyat sipil. Untuk masuk ke daerah rakyat sipil, kau harus memiliki tanda pengenal yang hanya dimiliki oleh rakyat sipil, sementara untuk masuk ke daerah penyihir, kau harus memiliki tanda pengenal yang hanya dimiliki oleh penyihir. Kristof adalah kasus yang spesial karena ia adalah rakyat sipil yang bekerja untuk penyihir (dalam kasus ini adalah orangtua Theodore), itu sebabnya ia memiliki tanda pengenal khusus. Aku menggantungkan kebebasanku untuk keluar masuk dari daerah penyihir ke rakyat sipil pada tanda pengenal milik Kristof. "Kristof!" sapa penjaga di daerah perbatasan. Mereka sudah saling kenal karena Kristof sering melalui daerah ini dan penjaga itu sepertinya memang bertugas untuk menjaga daerah perbatasan di pos yang ini. "Mau mengawas lagi?" tanya penjaga itu. Pertanyaannya ditujukan padaku seiring dengan pandangan matanya yang dilayangkan padaku. Aku hanya mengangguk. "Pengawasan bukannya hanya sebulan sekali?" penjaga itu bertanya "Paling maksimal seminggu sekali. Kenapa setiap hari?" "Sebentar lagi akan ada lomba yang diadakan di Arrow." aku menjawab mulai berkelit dalam kebohongan "Jadi sebentar lagi akan padat kegiatan sehingga harus selalu diawasi." "Begitu ya?" penjaga itu tampak menyelidik selama beberapa saat "Baiklah. Silakan masuk!" "Alasan yang bagus, Nona Anzu!" puji Kristof setelah kami masuk jauh ke area rakyat sipil "Tadi kupikir aku harus membantumu mencari alasan, tapi ternyata Nona Anzu bisa menemukan alasannya sendiri untuk lolos dari penjaga itu." "Aku hanya berpikir dengan logika secara cepat." ujarku "Aku tahu aku tidak bisa berlindung padamu selamanya." "Sebuah pemikiran yang bijak." kata Kristof. "Ngomong-ngomong ... dimana Theo-- maksudku Xavier?" tanyaku. "Tuan Xavier?" entah kenapa aku bisa merasakan rasa gugup di dalam kalimatnya "Ia memang sudah lama tidak muncul karena sedang ada urusan di rumah. Setelah ujian tongkat ada hal yang harus dia urus sebagai anak gubernur." Aku mengangguk mengerti, mungkin ini masalah pemerintahan yang aku tidak mengerti, "Untuk ukuran asisten di keluarga pejabat, sepertinya kau dekat sekali dengan Theo-- Xavier ini." Kristof tertawa, "Disebut Theodore saja sebenarnya tidak masalah jika hanya kita berdua, Nona Anzu," kata Kristof "Dan betul, aku dekat dengan Tuan Theodore. Aku sudah membantu keluarga Figaro bahkan jauh sebelum Theodore dibawa ke rumah keluarga Figaro." "Dibawa?" alisku berkerut. Kristof mengangguk, "Tuan Theodore sebenarnya bukan anak kandung dari Tuan Roderich dan Nyonya Lucia. Theodore kecil dulu dibawa ke sana dalam keadaan yang ... mengenaskan." "Ada apa?" aku bertanya. Kristof menghela napas, "Sampai saat ini aku tidak tahu. Namun hari itu adalah hari yang cuacanya sedang buruk. Elayne, seorang tukang kebun di kediaman Figaro, melihat anak laki-laki sekitar umur tujuh atau delapan tahun berlari-lari, seperti panik dan tidak tahu arah. Ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong. Elayne membukakan pintu dan anak itu jatuh tepat di depannya. Auranya seperti lampu redup yang kehilangan sinarnya. Tubuhnya menggigil, ia seperti membeku. Elayne memberinya selimut untuk menghangatkan lalu membawanya ke dalam rumah. Nyonya Lucia yang saat itu sedang ada di rumah, merasa kasihan dan merawat anak itu." "Lalu apa yang terjadi?" tanyaku lagi. "Setelah anak itu siuman, ia tidak mengingat siapa dirinya, asalnya darimana, atau bahkan apa yang terjadi padanya." jawab Kristof "Semua ingatannya seperti menghilang bersama dengan hujan deras kala itu." "Apa yang ia takutkan hilang bersama informasi mendasar dalam dirinya ..." aku menyimpulkan. "Itu benar." jawab Kristof "Nyonya Lucia yang merawatnya akhirnya mengangkatnya sebagai anak, berhubung Nyonya Lucia belum juga dikaruniai keturunan. Tuan Roderich yang tentu saja mengetahui hal tersebut menyetujui kemauan istrinya. Akhirnya anak tersebut diberi nama Theodore, seperti yang Nona Anzu ketahui sekarang. Aku yang kebetulan menjaganya juga bersama dengan asisten rumah Figaro yang lainnya, makanya kami sangat mengenal anak itu." "Begitu ya ..." aku menganggukkan kepala, namun terpikirkan satu pertanyaan di benakku "Lalu apakah kalian menyadari bahwa Theodore ... agak aneh?" "Maksudnya bagaimana, Nona Anzu?" "Bukan ... bukan aneh," aku buru-buru menggoyangkan tanganku ke kanan dan ke kiri, menyadari bahwa Kristof terlihat tersinggung "Theodore adalah orang yang baik dan semuanya, tapi ... terkadang aku merasa ia seperti pintu putar." "Pintu putar?" Kristof nampak bingung. "Iya." aku mengangguk "Rasanya semua sifatnya tidak konsisten dan selalu befluktuasi. Sifat-sifatnya itu seperti ada dalam kolom setiap bagian pintu putar dan berputar terus sampai kembali ke asalnya." "Nona Anzu sudah menyadarinya ya?" Aku mengangkat kedua alisku mendengar pernyataan tersebut. Respon dari Kristof yang seperti itu bukanlah sesuatu yang kuduga sebelumnya, tapi setidaknya memberikan aku petunjuk bahwa Theodore memang orang yang seperti itu. Aku akhirnya mengangguk sambil menjawab, "Iya. Apa yang terjadi dengannya?" "Aku tidak bisa menceritakan secara lengkap," ujar Kristof "Karena hal seperti itu lebih baik Nona Anzu tahu sendiri dari mulut Tuan Theodore." Aku mengerucutkan bibirku. Rasa penasaranku yang daritadi sudah terpuaskan karena sejak tadi mendengar apa yang terjadi dengan Theodore merasa terbohongi, apalagi itu adalah hal yang paling kupertanyakan sejak aku mulai dekat dengannya karena terlalu sering bersamanya. Namun, di sisi lain Kristof ada benarnya juga. Lagipula tidak sopan juga Kristof sebagai asistennya, membeberkan semua yang dimiliki oleh tuannya. "Kristof, kau datang lagi dengan gadis itu!" resepsionis Arrow menyambut Kristof dengan seruan itu. Kristof hanya mengangguk, "Sebentar lagi Shooter Showdown dan Tuan Xavier menunjuknya sebagai pegganti pengawas--" "Bukan itu. Aku tidak terlalu peduli apakah Xavier memilihkan pengganti atau apa," resepsionis itu memotong kalimat yang kuyakin adalah kebohongan yang disiapkan oleh Kristof untukku "Ini kemungkinan adalah hari terakhir bagimu untuk diperbolehkan membawa seorang penyihir sebagai pengawas. Pemerintah pusat baru saja memberikan edaran bahwa kegiatan pengawasan penyihir dibatasi karena adanya pencurian akhir-akhir ini. Pemerintah pusat tidak ingin penyihir ada dalam bahaya di area rakyat sipil." Resepsionis itu memberikan sebuah kertas kepada Kristof. Pria itu membacanya dengan sekilas. "Baik, kalau begitu ini akan menjadi hari yang spesial bagi Arrow," ujar Kristof "Karena di hari terakhir diperbolehkannya penyihir mengawasi area rakyar sipil, benar ada peyihir yang mengawasi area kita." "Bagaimana ini, Kristof?" tanyaku ketika kami sudah sampai di luar latihan "Kalau semuanya dibatasi, bagaimana aku bisa latihan untuk Shooter Showdown?" "Tenang saja, Nona Anzu." kata Kristof sambil mempersiapkan alat-alat panahnya "Ini hari spesial untuk nona Anzu juga karena setelah ini aku akan mencoba mendaftarkanmu untuk mempunyai identitas palsu rakyat sipil." "Identitas palsu rakyat sipil?" aku membeo. "Iya," Kristof mengangguk "Untuk mengikuti Shooter Showdown juga, nona Anzu harus memiliki kartu identitas rakyat sipil karena itu adalah kegiatan rakyat sipil. Tuan Xavier juga punya atas namanya, itu sebabnya ia bisa mengikuti Shooter Showdown." "Bagaimana kau melakukannya?" tanyaku. "Aku tidak masalah jika harus memiliki anak satu lagi." ujar Kristof "Secara teknis, nona Anzu dan tuan Xavier adalah anak bimbingku di sini kan?" "Kau mau melakukan itu ... untukku?" aku terperanjat. "Kenapa tidak?" tanya Kristof "Nona Anzu punya kemauan yang kuat dan bakat yang hebat juga sebagai pemanah, sama seperti tuan Xavier. Itu sebabnya aku tidak masalah membimbing dan mendukungmu dari awal. Nona Anzu hanya tinggal mencari nama untuk dipanggil di sini saja, sama seperti tuan Theodore yang menjadi tuan Xavier di sini." Aku terdiam. Aku tak menyangka sesuatu yang hanya merupakan hobi ini menjadi sesuatu yang serius. Namun, apakah aku harus seperti ini? Bukankah ini sama saja seperti menipu? "Ini tidak benar ..." gumamku "Ini melawan hukum negara ... kan? Aku ... aku juga tidak mau berubah menjadi seseorang." "Nona Anzu ..." Kristof menatapku dan memegang pundakku "Ini tidak sepenuhnya melawan hukum. Nona Anzu kan tidak menggunakan kekuatan sihir nona sedikitpun di sini. Nona sudah berlaku seperti rakyat sipil. Itu tidak apa-apa." Aku terdiam. Entah kenapa di dalam hatiku masih berpikir bahwa ini salah, tapi aku menginginkannya. Ini seperti sebuah konflik dalam diriku. Apalagi tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Theodore bahwa daerah rakyat sipil berbahaya untuk penyihir dan sekarang wilayah rakyat sipil akan membatasi penyihir, bahkan untuk mengawasi. Bagaimana kalau ada sesuatu yang memang berbahaya yang selama ini aku belum tahu? "Kalau Nona Anzu ragu, bisa nona pikirkan dulu." ujar Kristof "Tapi ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan oleh orang berbakat sepertimu dan aku juga bisa meloloskanmu seperti aku meloloskan tuan Xavier, jadi semua akan baik-baik saja." Description: Namaku Anzu Edyora dan aku adalah penyihir tingkat awal yang baru saja masuk ke sekolah sihir paling prestisius, Millenium Institute. Sejujurnya aku tidak tertarik untuk menjadi penyihir, tapi sepertinya ini sudah menjadi takdir. Banyak hal yang harus kupelajari untuk bertahan hidup sebagai siswa di sekolah yang sangat terfokus dengan kehidupan penyihir modern ini, sampai akhirnya aku dipasangkan dengan si aneh ini dalam mata pelajaran 'Pengabdian Masyarakat', Theodore Figaro. Darinya aku belajar bahwa hidup bukan hanya tentang penyihir dan bukan penyihir tapi tentang hidup di antara mereka dengan sifat yang begitu beragam ... yang mana sebenarnya illegal. Mungkin itu kegemarannya, mungkin juga itu bagian dari kekuatannya tapi energinya seperti berbeda hampir setiap saat kita bertemu. Aku melihat sifatnya berfluktuasi seperti itu, seperti tidak bedanya dengan melihat pintu putar yang terus berotasi sampai kembali pada aslinya. Twitter/IG: ryconnecting/primavanda_ Novel Ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KejutanStorial 2021
Title: Rasa Category: Adult Romance Text: Perjalanan Kelam Disalah satu hari Jum'at di 2019. Pagi ini rasanya pagi yang berbeda untuk ku, bayang kan saja aku bangun pukul 7 pagi. Untung saja pagi ini ada acara OSIS disekolahku. Jadi ada alasan bolos deh... Kuawali pagi dengan tetap datang ke sekolah, tapi dengan niat yang berbeda. Niat ku kali ini hanya untuk bisa datang melihat jalannya LDKS. Karena bangun ku yang kelewat siang, aku harus berangkat sendiri tanpa ikut golongan sekolah. "Ah panas banget kalau harus pake motor, nyewa mobil aja deh" gumam ku. Bergegas aku menelfon persewaan mobil seraya berkata "Semoga kali ini ada..." Yah memang, rental mobil dadakan itu adalah hal yang mustahil, tapi siapa sangka. Masih ada persewaan yang mau menyewakan mobilnya ke aku. Hanya syukur yang ada di otakku, karena hanya ini alasan untuk aku tidak masuk sekolah. Perjalanan kali ini hanya ditemani oleh teman OSIS ku. Aisyah namanya. Anak pertama dari dua bersaudara. Singkat cerita aku sampai di tempat yang telah ditentukan. Sampai sana, terkejud rasanya mendengar cerita teman teman ku. Banyak yang bilang bahwa semua angkatan ku mendapat hukuman tersendiri karena banya yang terlambat datang dan tidak mengikuti peraturan. "Hah, apa apaan nih, kita disini hanya untuk bersenang senang, ngapain ikut beginian, kalo gitu ya mending aku liburan aja sekalian" ucapku ke teman yang lainnya. "Sudah lah, jalani saja, toh kita udah terlanjur datang" ucap Aisyah kepadaku. Setelah itu mulai lah, aku mendapat hukuman, caci maki, semua kata bualan keluar dari mulut trainer yang membuat teman temanku mulai tidak nyaman. Sampai lah aku di persiapan malam api unggun, aku sebagai senior mendampingi kelompok yang berisikan adik adik kelas 10 dan hanya satu yang kelas 11. Fokus ku terpecah dengan salah satu anak kelas 10. Hobi nya ketawa, sampai sampai membuat aku terpana. "Hayooo, capeerr nihh ... " ucap Villia, salah satu teman OSIS ku. "Enggah ah, apaan sih" bantah ku kepadanya. Tak lama setelah itu, ada salah satu temanku yang mendapat perlakuan kurang pantas oleh salah satu trainer disana. Tak lama setelah itu aku memutuskan pulang agar tidak ada lagi peristiwa peristiwa tak senonoh yang dialami temanku. Description: Buku ini berisikan kisah cinta remaja SMA.
Title: RUMOR(s) Category: Fan Fiction Text: Prolog Storial K-Novel Project "Dongsun Series" - R U M O R S - Rumor; (n) a story or statement in general circulation without confirmation or certainty as to facts. Gossip. -/- "Kau tau Jung bersaudara?" "Hell, siapa sih yang tidak tau kasanova kembar jurusan teknik itu." "Rumornya, hubungan keduanya tidak baik." "Sungguh?" "Eum! Ada yang bilang, semua karena Appa¹-nya." "Direktur Jung itu, maksudmu? Ada apa sih sebenarnya?" Satu orang diluar gerombolan kecil para gadis itu sedikit tersentak, makin merapatkan telinga pada celah pintu yang tanpa sengaja dibiarkan sedikit terbuka. "Entahlah, rumor bilang, semua tentang adik mereka." "Adik? Adik yang mana?" "Adik perempuan yang terbunuh tanpa sengaja ditangan kakaknya sendiri." Tarikan nafas tercekat terdengar menggema dari dalam, seirama sekali dengan milik seseorang dibalik pintu yang kini menutup mulut dengan mata membelalak super kaget dan jantung bergemuruh hebat. "Heol²! Jangan bercanda! Jaga ucapanmu, sialan!" "Aku hanya memberitahu apa yang aku dengar, okay? Jadi, mau lanjut tidak?" "Jadi, siapa yang... ....membunuh?" "Rumor bilang... ...itu Jung Jaehyun sunbae³-nim⁴." Shin Aeri tidak bisa lagi menahan diri, tubuhnya lemas dan hampir ambruk jika seseorang tidak sigap menahannya. Gadis itu mendongak dengan wajah pusat pasi, membalas tatapan datar dengan kesan dingin menusuk yang berjarak tak lebih dari satu jengkal dengan miliknya. "Dapat dongeng baru yang menarik, sayang?" lirih lelaki itu, "...rumors, are spread by fools and accepted by idiots. Mark my word, sweety, sebab kupikir kau bukan salah satu dari keduanya." Ia mengulas senyum tipis, lalu melanjutkan. "Juga.. Jung Jaehyun tidak akan sembarang memilih gadis, apalagi yang dungu dan mudah termakan rumor bodoh di luar sana. Iyakan?" *** R U M O R S by Hooneyhwang *** To be continued.. 1 Appa : Ayah (Papa) 2 Heol : semacam ungkapan kekagetan (ex: Hell, hah, wow, serius, etc.) 3 Sunbae : Kakak tingkat 4 -nim : imbuhan panggilan seseorang (umumnya digunakan untuk imbuhan panggilan/gelar. ex : hyung-nim, noo-nim, dwaejang-nim, sunbae-nim, seonsaeng-nim, dll) The Sweet One "Kepada para penumpang, kereta akan sampai di stasiun Gangdong dalam—" DEG! Seperti baru saja disengat aliran listrik, tubuh seorang gadis dengan balutan blous biru itu tersentak hebat, sebelum kemudian kepalanya terjengkang membentur badan kereta dengan sangat tidak estetik. "Ouh! Yash!" Kepalanya berdenyut dengan pandangan yang masih mengabur. Ugh! Aku benci ketiduran di sembarang tempat! "Gwaenchana¹?" Menoleh cepat dengan tatapan super horor menatap wajah mala—ah tidak, dia manusia Ri, jangan bodoh—hmm, intinya wajah tampan itu menatapnya sedikit khawatir dalam jarak tak lebih dari lima belas senti. Gila! Bayangkan saja, kau terbangun tiba-tiba lalu disuguhi pemandangan yang—tunggu! Apa? Tidur? Aku? Disini?? "Ya. Kau tertidur. Di bahuku. Lama sekali." sahut lelaki tampan itu tanpa ditanya. Gadis dengan ikat rambut berantakan itu makin membelalakkan mata. Heol, kalian dengar itu?? Seperti dalam drama—aish! Bukan saatnya menghayal Aeri! "Maaf.." gumam gadis bermarga Shin itu kemudian. Sedikit takut jika tiba-tiba lelaki tampan itu mengamuk, tapi yang Aeri dapati setelahnya malah senyum kelewat manis dengan lesung pipi sempurna yang sangat menawan. Sial, tampan sekali! "Tidak apa. Kau kelihatan sangat lelah, tidak enak jika membangunkan." "Aah, iya.." balas Aeri sekenanya. Gadis itu terdiam, dibungkam sepenuhnya oleh pahatan sempurna Tuhan dihadapannya itu. "Turun di sini?" "Apa? Ah—iya, stasiun Gangdong, kan?" Pemuda itu terkekeh sebelum mengangguk pelan, "Ngomong-ngomong Aeri-ssi² mau kemana?" Lagi-lagi manik Aeri membulat tanpa dikomando. DARI MANA DIA TAU NAMAKU?? paniknya dalam hati. "Hey, hey.. Jangan panik, jangan panik!" sergah pemuda itu cepat—oh jangan lupakan kekehan menawannya itu! "Shin Aeri, bukan? Aku tau namamu dari sini." tunjuknya pada sederet huruf yang terpatri kecil pada bagian atas koper pororo milik Aeri. Aeri mengikuti arah tangan pemuda itu lalu tertawa canggung. Agaknya si pemuda paham apa yang dirasakan Aeri, untuk itu dengan cepat Ia ulurkan tangannya ke depan sambil tersenyum, "Hyunjae." Hah? Oh.. Sial, namanya saja tampan sekali! "Aeri." disambutnya tangan besar milik Hyunjae dengan sok malu-malu. "Jadi, jawaban pertanyaanku tadi?" "Ah, itu.." Belum sempat Aeri melanjutkan, pintu gerbong kereta serempak terbuka, membawa orang-orang untuk bergegas meninggalkan bangku mereka. Dengan bingung dan sedikit tergesa Aeri melangkah mengikuti rombongan orang-orang yang tengah mengantre keluar dengan sabar. Sampai terlupa jika Ia baru saja pergi tanpa permisi meninggalkan manusia tampan bernama Hyunjae itu sendirian. Aeri mencoba melongok ke belakang punggungnya, namun pandangannya langsung terhalang oleh sesuatu yang membuat pipinya bersemu dengan jantung mencelos saking kagetnya. Shit! Lebar sekali! "Ada apa? Barangmu tertinggal?" suara sang pelaku membuyarkan lamunannya. Tergagap Aeri menggeleng lalu kembali meluruskan pandangan. Pantas saja tertidur pulas! Bantal kesayanganmu saja kalah nyaman! Gadis dalam benaknya ikut mengompori. Ah, sial! Kenapa bisa sebidang itu sih??? "Jangan melamun." sergah Hyunjae lembut sambil menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Aeri. "Tidak, tidak. Eum.. Hyunjae-ssi mau kemana setelah ini?" Pemuda itu menukikkan satu alisnya, "Pulang? Kau sendiri?" Aeri terlihat bingung, setengah frustasi. "Entahlah, aku sendiri bingung. Aku menunggu kakakku di sini." "Eh? Kau pendatang baru ya?" Anggukan pelan yang terkesan sedikit dipaksakan bersama raut wajah menyedihkan itu berhasil menggugah rasa kemanusiaan Hyunjae. "Oke, aku temani kalau begitu." "Eh?!" kaget Aeri. "Apa maksudmu?" "Tidak bermaksud apa-apa, sungguh. Hanya tidak tega jika meninggalkan seorang gadis di kota asing sendirian sore-sore begini. Hey, tidak dengar berita memangnya?" Sekelumit ketegangan menyergap dada Aeri, "Berita apa?" "Rumornya, akhir-akhir ini banyak terjadi kriminalitas di Gangdong. Target utamanya jelas para wanita." Aeri bersumpah bulu romanya serempak meremang barusan. "Jinjja³?? Seperti penculikan begitu?" "Penculikan, pemerkosaan, perampokan, bahkan yang paling mengerikan.. pembunuh—" WHAT?! "Hehehe.. bercanda, bercanda. Astaga! Serius sekali." Aeri mencebik kesal, ingin sekali memukul wajah tampan itu namun jelas tidak mungkin. Memutar kepala dan terhenyak saat maniknya bersirobok dengan seorang pria diseberang, Aeri pikir hanya kebetulan, namun setelah Ia pastikan kembali orang itu masih terus menatapnya, jujur saja tatapannya.. sedikit, agak, membuat tidak nyaman. Tiba-tiba kontak mereka diputus, terhalang dada bidang yang rasanya mulai familiar. "Ayo!" "Ha?" belum sempat Aeri merespon lebih, tangannya sudah ditarik pelan menjauh dari sana. "Maaf soal ucapanku tadi." tutur Hyunjae seraya meraih pergelangan tangan Aeri. "Maksudmu?" Hyunjae tak menjelaskan lebih, dalam diam dibawanya Aeri menghilang dari pandangan pria mesum psikopat itu. "Kutemani sampai kakakmu tiba." ujar pemuda itu serius. Entah kenapa Aeri malah menjadi tambah waspada. Hey, tidak ingat dengan Ted Bundy? Wajah boleh saja tampan, tapi kalau isi otaknya manipulatif bagaimana? "Astaga, aku berani bersumpah tidak berniat jahat sedikitpun padamu. Jinjja!" Aeri menimang, masih tetap mempertahankan kewaspadaannya. "Maaf jika tidak sopan, tapi, boleh tidak aku melihat kartu pengenalmu, Hyunjae-ssi?" Dahi pemuda itu berkerut dengan kekehan geli mengiringi. "Baiklah, kalau itu bisa membuatmu tenang." Sedetik saja, begitu sederet tulisan pada kartu berwarna biru terang itu terbaca, Aeri sontak memekik heboh dengan mata membeliak super shock. "Kau mahasiswa Dongsun???!" Hyunjae sampai terjengak, "I-iya.. wae⁴?" Spontan tanpa sadar Aeri langsung memukul lengan pemuda itu dengan terbahak. "Astaga! Hahaha.. Astaga!" Bisa jadi orang-orang yang melihat mereka berfikir kalau gadis berkulit putih dengan rambut panjang bergelombang yang diikat kuda itu sungguh gila. "Tidak, tidak. Maksudku... Wah! Ini kebetulan luar biasa kau tau?" "Maksudnya?" "Aku mahasiswa baru Dongsun!" pekik Aeri setengah histeris, gadis itu kelewat bahagia entah kenapa. "Kau masuk tahun ini?" Aeri mengangguk, dan cepat-cepat menambahi. "Tapi aku bukan mahasiswa baru, catat itu! Maksudku, aku memang baru di Dongsun, tapi kita berada disatu tingkat, kalau aku tidak salah lihat tadi." "Oya??" "Eum!" "Kau pindahan dari—" "Aeri?" Seseorang memotong kalimat Hyunjae, membuat kedua orang itu serempak menoleh dan mendapati seorang perempuan cantik bertubuh super langsing tengah menatap bingung mereka. "Eonni⁴?!" spontan Aeri. Perempuan itu masih bingung, terlebih dengan keberadaan Hyunjae bersama adiknya. "Kau...ini—" "Annyeonghaseyo, Jung Hyunjae imnida." Ujar Hyunjae dengan cepat memasang senyum dan sedikit membungkuk. (Halo, saya Jung Hyunjae) "Eoh, annyeong. Aku kakaknya Aeri, panggil saja Aera." balas Aera ramah, sedetik kemudian menoleh pada adiknya dan tatapannya seketika berubah. "Ya! Kenapa tidak memberi tau jika sudah sampai?!" "Jangan marah-marah dulu! Ponselku mati dan aku lupa membawa pengisi daya. Maaf-maaf saja, siapa ya yang meminjam powerbank ku tapi tidak pernah dikembalikan??" balas Aeri sengit. "Dan jangan lupakan janjimu soal lip balm yang sebulan lalu—awh! Ish sakit!" Aeri mengaduh saat lengannya dicubit kuat oleh sang kakak. "Maaf, dia memang berisik." Hyunjae hanya terkekeh kecil, namun sangat mudah untuk lesung pipi indahnya muncul dan membuat dua perempuan itu terkesima. "Ah terimakasih ya, Hyunjae-ssi, sudah menemani anak ini." ujar Aera kemudian. Hyunjae tersenyum, "Bukan masalah." "Kalau begitu, kita berdua pamit—eh, atau Hyunjae-ssi mau bergabung? Kita bisa mengantar—" "Ah, tidak perlu, terimakasih. Saya pamit saja. Annyeong-igaseyo.." (sampai jumpa lagi) "Eh, sungguh?" Hyunjae mengangguk mantap. "Kalau begitu hati-hati. Terimakasih ya!" "Bye, Hyunjae-ssi! Sampai jumpa di Dongsun!" Lelaki itu mengangguk lantas tersenyum sambil berlalu. Perempuan kakak beradik itu masih terus menatap kepergiannya sampai menghilang ditelan orang-orang yang berlalu lalang. "Tampan sekali, bukan? Dia tipeku sekarang." ucap Aeri sambil terkikik. Aera merotasikan bola matanya lalu berjalan pergi begitu saja. Dengan sigap Aeri menyeret kopernya menyamai langkah sang kakak. "Subjektif saja, bahkan Oh Sehun mu itu kalah tampan. Pacarmu itu casing nya saja yang laki-laki, tapi masa sama kecoa takut. Harusnya—" "Ya, ya, ya... bicara saja semaumu karena mulai besok kau sudah tidak bisa sebebas yang kau mau lagi, hahaha!" perempuan yang berada lima tahun diatas Aeri itu tertawa jahat. Hngg, sial! - R U M O R S - 1 Gwaenchana : baik-baik saja 2 -ssi : imbuhan untuk memanggil nama seseorang (formal / baru dikenal) 3 jinjja : sungguh 4 wae / waeyo : kenapa? 5 eonni : panggilan kakak perempuan (dari adik perempuan) - R U M O R S - Preview.. "Kau meneriaki ku?" "Eoh! Memangnya siapa lagi??" sengit Aeri. Bisa-bisanya berlagak tidak kenal padahal kemarin manis sekali. "Aku tidak pernah melihatmu," monolognya. "Kau mahasiswa baru? Kurasa kau memang mahasiswa baru. Tidak kenal aku, eoh?" "Tidak! Tidak kenal dan tidak pernah kenal!" kesal Aeri sambil melipat tangan. "Kurasa aku tau apa yang terjadi.." ...to be continued... The Annoying One "...terimakasih banyak kalau begitu, saem¹. Saya titip adik saya disini." Obrolan klise super panjang itu akhirnya disudahi, Aeri yang hampir terlempar ke dunia mimpi cepat-cepat berdiri mengikuti sang kakak. Aera menoleh dan tersenyum pada adiknya, memeluk sejenak lalu mengelus bahu partner adu mulutnya itu. "Nah, betah-betah ya disini? Jangan lupa makan, jangan lupa kabari eonni, hubungi jika terjadi sesuatu, dan yang penting... jangan menyusahkan." Aeri mencebik, "Jangan merusak suasana!" hardiknya sebal, diam-diam menyembunyikan jejak basah pada sudut matanya. Aera tertawa, mengacak rambut adiknya sejenak sebelum berpamitan pada Dosen Park. "Titipkan salamku pada Young Ja." Young Ja yang dimaksud Dosen Park adalah nenek mereka. "Tentu, saem. Kalau begitu saya pamit." Sekali lagi Aera membungkuk sopan. "Eonni pulang dulu okay, anak manja. Daaah! Jangan lupa makan nanti maag mu kambuh. Dan jangan lupa hubungi aku." "Astaga, iyaa! Cerewet sekali!" Dosen Park tersenyum kecil, mengangkat tas jinjing milik ini!! lalu berujar, "Ayo, ku antar ke kamarmu." "Ah, ne." Aeri bergegas menyeret koper besarnya mengikuti perempuan paruh baya itu. Wow! Rumor soal betapa mewahnya kampus Dongsun ternyata bukan sekedar isu burung. Gedung-gedung disini punya nilai arsitektur tinggi, suasananya pun sejuk dan nyaman, tidak kalah dari kampus internasionalnya dulu. Hebat! "Bagus, bukan? Itulah kenapa mengenyam pendidikan disini butuh biaya yang fantastis." jelas Dosen Park. Tidak kaget, sih. "Nah, gedung yang tadi itu Rektorat, bagian belakangnya aula besar tempat pertemuan penting. Penjelasan lebihnya bisa dilihat di—astaga!" Dosen Park tiba-tiba menghentikan langkah, membuat Aeri terkaget dan ikut menyetop kakinya. "Ada apa, saem?" "Maafkan aku, tapi aku lupa membawakan peta kampus dan jadwalmu. Bisa tunggu disini? Atau mau ikut denganku ke sekretariat? Ah tidak tidak, kau disini saja, sekretariat jauh kau pasti lelah." Uh, benar sekali, aku lelah saem. "Ne, saya tunggu disini saja." "Bagus. Jangan ke mana-mana, mengerti? Aku tidak mau kerepotan mencari mahasiswi baru yang tersesat di lahan seluas sirkuit ini." Aeri menurut, menatap sosok tinggi yang mirip Profesor McGonagall dalam serial fantasy Harry Potter itu menghilang. Lalu menyibukkan diri dengan mengamati setiap detil artistik yang melekat pada bangunan Dongsun ini dengan cermat. Tidak main-main, pantas saja biaya disini membuat tabungan menjerit. Memang semahal itu, tapi sekeren ini! Sepuluh menit berlalu dan Aeri bosan. Baru saja ingin beranjak, suara berisik dari ujung koridor mencuri atensinya dan menggagalkan niatnya. Sebab siapa sih orang bodoh yang bermain basket di koridor sepi begini?? Suara berisiknya jadi menguar kemana-mana, bukankah lap— EH?? Itu kan... Aish! Siapa sih namanya?? Bola berwarna oranye gelap itu menggelinding setelah sang empu gagal melakukan twisting di atas jari telunjuknya. "Ya! Lempar ke sini!" teriak lelaki itu penuh otoritas. Aeri bergeming saja. "Hey! Kau tuli?" Hah, dia gila? Dia punya kepribadian ganda, begitu?? "Mau ini?" Aeri memainkan bola basket dengan kakinya, "Ambil sendiri." Pemuda tanpa gurat senyum itu mendengus kesal sebelum mengalah dan memilih mendekat. Dan Aeri makin yakin dia adalah orang yang sama. "Kemarikan." tukas lelaki ini dengan ketus. Aeri mencebik, "Bukan begitu caranya meminta sesuatu dari—ugh!" Dalam hitungan detik, bola sudah berpindah tangan. Wow, gerakannya gesit sekali. Aeri sampai kaget dan hampir limbung sebab pijakannya mendadak hilang. "Ck! Ya! Tidak sopan!" geram Aeri, lebih kepada kesal sebab Ia lupa siapa nama lelaki itu. Pemuda yang baru saja mengambil tiga langkah menjauh itu sontak berbalik, menatap Aeri dengan sorot datar dan ekspresi yang sulit ditebak. Tapi yang jelas atmosfirnya jauh berbeda sekali dengan yang kemarin. "Kau meneriaki ku?" "Eoh! Memangnya siapa lagi??" sengit Aeri. Bisa-bisanya berlagak tidak kenal padahal kemarin manis sekali. "Aku tidak pernah melihatmu," monolognya. "Kau mahasiswa baru? Tidak tau siapa aku?" Tidak pernah apa katanya??? Wah! Keterlaluan! "Hey!" Ia menjentikkan jari didepan wajah Aeri dengan sangat tidak sopan. Kenapa beda sekali sih? Wah, benar, dia punya kepribadian ganda! Pemuda itu berkacak satu pinggang, tangan satunya menenteng bola dengan ekspresi yang super menyebalkan. "Kurasa kau memang mahasiswa baru. Tidak kenal aku, eoh?" "Tidak! Tidak kenal dan tidak pernah kenal!" kesal Aeri sambil melipat tangan. Berfikir bahwa lelaki itu akan balik marah padanya, namun yang terjadi setelahnya malah orang aneh ini yang menyunggingkan senyum aneh dan membuatnya makin aneh! "Kurasa aku tau apa yang terjadi." Hah, mengoceh apalagi orang ini? Perlahan tapi pasti, pemuda tampan familiar yang rasanya tidak familiar itu maju mengikis jarak. Membuat Aeri gelagapan untuk terus memberi sekat antara mereka. Shit! Kenapa sih dia ini?? "Y-ya! Kau mau ap—AAAH!" Aeri sudah bersiap untuk sesuatu yang menyakitkan saat kakinya tersandung kakinya sendiri, namun rasa sakit pada bokong yang sudah Ia bayangkan tidak pernah terjadi. Malah dirinya yang saat ini terkesima karena mampu dengan bebas memandangi wajah tampan itu dalam jarak yang sangat dekat! "Wae? Terpesona?" lirihnya sambil menunjukkan smirk menyebalkannya. Aeri mengerjap lalu berusaha meloloskan diri dari rengkuhan lelaki aneh ini. "Lepas!" "Mau dilepas? Coba sendiri." Hngg, dasar sialan! "Jadi, kau kenal dengannya?" ucapnya tiba-tiba, maniknya terus fokus menatap lurus pada netra Aeri. "Hey, matamu indah sekali!" "Terimakasih dan.... maaf." Dengan cepat Aeri menginjak kaki kiri lelaki itu dengan segenap hati. Membuatnya refleks mengaduh dan melepaskan kungkungannya. Aeri bisa mendengar umpatan lelaki itu sebelum kembali berdiri tegak dan tertawa bak orang psycho padanya. "Aku suka gadis yang agresif." Aeri mendelik. Wah, benar-benar sinting! Jarak kembali dikikis dan Aeri sudah kehabisan akal untuk menghadapi lelaki psycho ini. Jebal², jebal, kumohon.. "Jung Jaehyun, stop!" seru Dosen Park yang muncul tiba-tiba dengan dramatis. Oh, syukurlah.. EH—apa katanya? Jung... Jung Jae...hyun? Dosen Park mendekat dengan cepat. "Sedang apa disini? Cepat kembali ke kamarmu!" Lelaki yang dipanggil Jung Jaehyun itu menurut, pergi menjauh tanpa kata namun dengan terus menyunggingkan senyum anehnya pada Aeri. Tolong, ada apa sih ini? Apa yang terjadi?? "Ingat kata-kataku ini, nona Shin. Jangan pernah membuat masalah dengan anak itu. Kami sudah kewalahan mendapat laporan-laporan aneh dari mahasiswi-mahasiswi yang menjadi korbannya." peringat Dosen Park. Laporan-laporan... Mahasiswi-mahasiswi.. Sial! Kata jamak! Pikiran Aeri sontak makin bercabang tak karuan di dalam sana. "Dan satu lagi, jangan sampai salah membedakan. Anak itu kembar, dia punya satu kopian yang sama persis fisiknya namun sangat bertentangan sifatnya. Ingat itu." H—HAH??? "..yang tadi itu Jung Jaehyun, kembarannya bernama Jung Hyunjae. Dua-duanya mahasiwa teknik dan—" Aeri sudah tidak mendengarkan penjelasan Dosen Park lagi, otaknya sudah penuh dan rasanya ingin meledak. Satu kebodohan baru saja terjadi dan akan disusul oleh yang lainnya, sebab keputusannya untuk melongok ke belakang punggung adalah kesalahan besar. Disana, tepat pada ujung belokan koridor sepi itu, berdiri seorang Jung Jaehyun yang masih menenteng bola basket di tangan kirinya. Tubuhnya bersandar penuh pada dinding dengan manik tak lepas darinya. Ia memang hanya diam, tapi manik legam itu mampu menjelaskan segalanya.. "Urusan kita belum selesai." Diakhiri dengan satu serangan kedipan mata super menyebalkan dan kekehan manis yang terkesan jahat—sebab datangnya dari malaikat jelmaan iblis—Aeri sadar jika kehidupan barunya di Dongsun tak akan semudah bayangannya lagi. Ah, eommaaaa³! - R U M O R S - 1 saem : kependekan dari seonsaeng-nim (guru / dosen / pengajar) 2 jebal : kumohon, please.. 3 eomma : Ibu / Mama - R U M O R S - Preview... "Hey, hey! Mau kemana cantik?" Aya mendelik menatap cekalan Jaehyun pada tangan kiri Aeri. "Jae! Lepas atau aku akan teriak!" peringatnya serius. Dan lelaki sialan itu hanya tertawa menyebalkan, "Jangan cemburu begitu dong, sayang. Ingat kan, kisah kita sudah selesai?" "Sinting!" desis Aya geram. "Astaga! Jangan bilang kau tidak bisa move on dariku?" ...to be continued... Triple A Setelah belasan menit terlewat dan puluhan tangga berhasil didaki, Aeri akhirnya sampai ke lantai 5 gedung dengan banyak pintu ini. Tidak main-main, ini asrama tapi serasa apartemen, mewah sekali! Aeri jadi enggan membayangkan berapa nol yang mengikuti satu angka paling depan pada kertas tagihan biaya pendidikannya disini. "Baik, nona Shin, ini kamarmu dan ini kartu pass nya." Aeri menerima sebuah kartu berwarna biru terang dari Dosen Park dengan sopan. "Ingat, setiap mahasiswa hanya punya satu hak atas kartu pass. Jika hilang, pihak kampus tidak akan menanggung resikonya. Mengerti?" Aeri mengangguk patuh, "Ne, saem." "Kelas masih dimulai tiga hari lagi, jadi belum banyak yang pulang ke asrama. Teman kamarmu juga sepertinya. Baiklah, selamat beristirahat kalau begitu." "Ne, gamsahamnida¹, seonsaeng-nim." Aeri membungkuk sopan sambil mengulas senyum. Dosen Park balas tersenyum, "Ah, satu lagi! Jika terjadi sesuatu, cukup hubungi kepala asrama, Pak Choi namanya, dia ada di kantor lantai dasar." "Mengerti, saem. Terimakasih banyak." Dosen Park menepuk sekali pundak Aeri sebelum berlalu meninggalkannya. Aeri bergegas membuka kamarnya, tidak ingin lebih banyak pasang mata yang menaruh penasaran padanya. "Woah...daebak²!" Dua kata itulah yang langsung terucap kala pintu terbuka dan menyuguhkan pemandangan kamar super nyaman dengan interior berkelas. Aeri masuk perlahan, dan makin dibuat terkesima saat mendapati balkon dengan tirai tipis warna pastel disana. "Wah! Dongsun—" gadis itu memekik kegirangan, nyaris berjingkrak heboh saat suara kenop pintu dibelakangnya membuat Aeri terdiam di tempat. Pintu kamar mandi berayun terbuka, membawa sosok cantik dengan handuk tersampir dibahu ke hadapan Aeri. "Eh?" bisa Aeri lihat jika gadis itu sama kaget dan bingung seperti dirinya. "Oh, annyeonghaseyo.. Saya—" "Anak baru?" potongnya sambil tersenyum ramah. Aeri mengangguk cepat dan balas tersenyum. "Annyeong, aku Ayara." Ia mengulurkan tangan dengan ramah, membuat atmosfir canggung berangsur hilang diantara keduanya. "Saya Aeri. Shin Aeri imnida." "Astaga, tidak perlu formal begitu. Santai saja." gadis dengan wajah campuran Asia itu tertawa kecil. "Kau baru sampai? Kupikir pagi tadi." Aeri mendadak kesal teringat kelakuan tidak beradab seorang Shin Aera, kakaknya itu membiarkannya tersesat di bandara Gimpo pagi tadi sampai menggegerkan petugas sebab Aera menyangka adiknya diculik. "Seharusnya begitu, tapi sesuatu terjadi dan yah..." Aeri mengedikkan bahu lelah. Ayara terkekeh, "Kau keliatan lelah sekali. Istirahatlah, itu kasur milikmu." Aeri menoleh dan tersenyum kegirangan melihat kasurnya. Dan baru tersadar jika di ruangan itu terisi tiga kasur, miliknya yang paling ujung dekat balkon, satu di ujung lain milik Ayara dan satu lagi... "Itu milik Ahyoung. Dia belum kembali dari liburan musim panas." terang Ayara tanpa ditanya. Aeri mengangguk paham. Sedikit was-was jika sosok bernama Ahyoung tidak seramah Ayara atau mungkin malah tidak menyukainya. "Tenang, dia baik kok. Hanya penampilannya saja yang garang." terang Ayara lagi, membuat Aeri menaruh curiga jika gadis itu memiliki kekuatan supranatural yang bisa membaca pikiran orang. "Jangan kaget, okay?" kekehnya. "Aku sempat belajar bahasa tubuh dan gurat wajah dulu di Indonesia, jadi—" "Sudah kuduga!" pekik Aeri. "Apanya?" "Kau bukan asli Korea, ya?" Ayara mengangguk. "Aku punya darah Indo dari ibuku." "Daebak!" Ayara tertawa, "Apanya yang keren? Darah bangsawan ditubuhku nyatanya tidak membuatku bahagia." "Hah? Bagaimana?" Ayara hanya tersenyum, tidak menjelaskan lebih. Lalu berjalan melewati Aeri menuju balkon. "Kau di fakultas apa, Ri?" "Eum.. Tidak tau. Yang jelas aku di jurusan Jurnalis dan Komunikasi semester 5." "Wah, kau berada satu tahun dibawahku dan Ahyoung." "Eh, iyakah? Bukankah aku harusnya memanggil kalian eonni, kalau begitu?" "Tidak perlu. Senyamanmu saja." Hening sempat menyergap sebelum Ayara kembali memecahnya. "Sudah tau pamor Dongsun bukan?" "Soal menjadi kampus swasta terbaik dengan biaya fantastis?" "Hanya itu?" "Hanya itu?" ulang Aeri bingung. "Jadi kau belum tau? Sedikitpun?" tanya Ayara yang malah membuat Aeri makin dirundung penasaran. "Ada apasih? Ceritakan cepat!" "Tidak, tidak, jangan sekarang. Aku tidak ingin merusak hari pertamamu disini." Sial! Malah makin penasaran! "Intinya, jangan pernah mengunjungi asrama putra dan jangan mudah termakan omong kosong penghuni disana." - R U M O R S - Akhirnya Aeri bertemu juga dengan yang namanya Ahyoung, gadis tomboi dengan tatapan mata yang khas, seperti penuh dendam dan siap melahap siapapun yang mencari masalah dengannya. Ditambah rambut panjang warna-warninya yang menambah kesan garang pada dirinya. Detik pertama bertemu, Aeri sempat menaruh takut pada gadis itu. Namun setelah sapaan ramah ditambah senyum kelewat manis itu, Aeri jadi percaya semua cerita Ayara tentang Ahyoung. "Eonni," panggil Aeri pada Ahyoung yang sedang duduk santai bersandar pada badan kasurnya. "Hmm?" "Sebenarnya ada apa sih dengan asrama putra?" tanya Aeri yang sudah kelewat penasaran dua hari ini. "Maksudnya?" "Eum.. tidak, tidak, bukan apa-apa." "Ck! Aku tidak akan membuka sesi tanya jawab kloter dua, okay? Jadi tanyakan saja sekarang atau kau pendam sampai mati." tegas Ahyoung. Wah, rumor soal mulutnya yang bar-bar ternyata memang benar. Aeri agak takut jadinya. "Hahaha.. hanya bercanda. Kau ini kenapa polos sekali sih? Jangan gampang termakan rumor, okay? Mulutku memang pedas, tapi tidak se-bajingan mulut mereka yang berkoar tanpa mengerti fakta sebenarnya yang terjadi. Benar, bukan?" Aeri mengangguk mengiyakan. "Soal asrama putra, eoh?" ulang Ahyoung. "Pada intinya semua sama saja. Lelaki itu sama. Jika tidak hobi menyakiti perempuan, maka mereka akan menyakiti diri sendiri." Dahi Aeri berkerut jelas dengan jantung yang mendadak berpacu cepat. Apa-apaan?? "Dongsun memang kampus elit, isinya kebanyakan adalah anak konglomerat dan dari kalangan atas. Tapi bukan berarti kelakuan mereka sesuai dengan derajatnya, sampai sini paham?" Aeri mengangguk saja, masa bodoh dengan sirkuit otaknya yang ngalor-ngidul tidak jelas. Ahyoung yang melihat respon polos roomate barunya itu terbahak dalam hati. Gadis itu menegakkan punggung dan memajukan wajahnya, niat sekali menciptakan suasana yang sedikit mencekam. "Penghuni asrama putra kebanyakan adalah mereka yang melarikan diri dari kungkungan orang tua dan aturan rumah. Bahkan tidak sedikit yang sudah berurusan dengan polisi." Ahyoung menjelaskan dengan santai namun berefek luar biasa pada Aeri. "Tidak usah takut. Tidak semua seperti itu kok." Aeri mengiyakan saja, namun ada yang mengganjal dihatinya, "Tapi, maksud tentang 'jika tidak menyakiti perempuan, maka menyakiti diri sendiri' apa?" "Yah, jika tidak bermain wanita maka dengan obat-obatan. Begitulah." Aeri spontan mendelik dan membekap mulutnya. "Jinjja???" Ahyoung terdiam dengan wajah misterius sebelum kemudian terbahak keras-keras. "Yaampun, kau percaya??" Hah? Apa-apaan?? "Jangan terlalu serius, astaga! Itu hanya rumor." ujar Ahyoung masih terbahak. "Yang jelas, lelaki itu berengsek." "Cih, itu kan menurutmu. Menurutku tidak." sahut Ayara yang baru saja masuk. "Siapa? Memangnya ada yang tidak berengsek?" "Ada pokoknya." kekeuh gadis blasteran Indo itu. "Dih! Jangan lupa soal mantan pacar brengsekmu itu!" sengit Ahyoung, entah kenapa Aeri merasa Ahyoung dendam sekali dengan dia yang disebut 'mantan pacar' Ayara. "Orang Dongsun juga?" "Siapa?" "Mantan pacar Kak Ayara." "Dia anak tek—" "Sudah!" potong Ayara cepat sebelum temannya itu mengoceh yang tidak-tidak. "Ri, temani aku ke sekretariat mau tidak?" "Boleh." "Dih, melarikan diri. Cupu!" kompor Ahyoung. "Diam, ish!" geram Ayara. Lalu menggamit lengan Aeri yang masih kebingungan dan menyeretnya keluar. "Ayo, Ri." Tak butuh waktu lama untuk kedua gadis itu keluar gedung asrama. Bersyukur saja kamar mereka berada di lantai 5, sebab Kang Seulgi penghuni kamar lantai 9 sering mengeluh lelah menaiki tangga saat lift asrama sedang gangguan. "Eonni, pernah nonton Harry Potter tidak?" tanya Aeri super random. "Dangyeonhaji³! Memangnya kenap—ah! Aku tau apa maksudmu." Ayara menjentikkan jarinya semangat. "Apa coba?" "Dosen Park, kan?" "Benar. Hahaha..." keduanya terbahak bersama. "Ternyata bukan hanya aku yang berfikir beliau mirip dengan Profesor McGonagall." ujar Aeri disela-sela tawanya. "Wah wah wah! Akrab sekali, jadi senang lihatnya.." Suara familiar itu berhasil menghentikan langkah kedua gadis ini. Terlebih Aeri yang bergidik ngeri saat menoleh ke arah sisi kirinya dan mendapati sosok tampan nan menyebalkan itu sedang duduk bersila diantara pilar-pilar besar penyangga koridor. "Kita bertemu lagi, cantik." seru Jaehyun tanpa melepas senyumnya. "Ayo, Ri." Ayara cepat-cepat meraih tangan Aeri dan menariknya pergi dari sana. Melihat itu Jaehyun dengan gesit melompat turun dari semen penghubung pilar dan mencekal pergelangan tangan kiri Aeri, membuat gadis cantik itu terkesiap dan nyaris berteriak. "Hey, hey! Mau kemana cantik?" Ayara mendelik menatap cekalan Jaehyun pada tangan kiri Aeri. "Jae! Lepas atau aku akan teriak!" peringatnya serius. Dan lelaki sialan itu hanya tertawa kecil, "Jangan cemburu begitu dong, sayang. Ingat kan, kisah kita sudah selesai?" "Sinting!" desis Ayara geram. "Astaga! Jangan bilang kau tidak bisa move on dariku?" ujar Jaehyun sok kaget dengan ekspresi yang dibuat-buat. Sedang Aeri hanya mampu berdiri diam dengan sirkuit otak yang mendadak berhenti saking kelewat banyak tebakan-tebakan yang terlintas dalam otaknya. "Hey, cantik!" Aeri mengerjap sedikit kaget saat dagunya dicubit pelan tanpa permisi. "Jangan melamun, okay? Mau nomor ponselku, tidak? Atau aku saja? Baiklah.. Berikan nomor ponselmu." Apa-apaan??? "Dasar gila!" bukan Aeri, tapi Ayara. "Sudah kubilang jangan cemburu, okay? Kudengar kau sudah dekat dengan anak fakultas ekologi itu, siapa namanya? Rowon? Rawon?" Aeri bisa merasakan cekalan tangan Ayara pada tangannya menguat, sepertinya teman sekamarnya itu sedang berusaha mati-matian menahan emosi. "Seleramu boleh juga ternyata." imbuh Jaehyun dengan tatapan mata meledek. Aeri yang geram langsung berdiri didepan Ayara dan mendorong tubuh Jaehyun sekali. "Ya! Yang sopan! Dia perempuan dan dia senior!" Bukannya marah, lelaki itu malah terkekeh kegirangan. "Yaaa.. Kau galak juga ya ternyata? Aku jadi tambah suka." gelaknya dengan senyum sinting mengiringi. Aeri menggeram dalam hati. Oh, please.. Kelas bahkan belum dimulai dan kenapa semua ini harus terjadi??? - R U M O R S - 1 Gamsahabnida : terimakasih (formal using) 2 Daebak : keren! 3 Dangyeonhaji : tentu saja. Preview... "Wow! Kebetulan macam apa ini?" heboh Jaehyun menatap ketiga gadis didepannya bergantian. "Kenapa musuh, mantan, dan calon pacarku bisa akrab begini? Ckckck! Hebat!" "Berhenti mengoceh atau aku benar-benar akan membantingmu lagi sekarang!" geram Ahyoung sambil berkacak pinggang menahan katup emosinya. ..to be continued.. Cross the Line "Yaaa. Kau galak juga ya ternyata? Aku jadi tambah suka." Aeri baru akan membuka mulut namun langsung ditahan oleh Ayara. "Biarkan Ri, biarkan saja." "Tapi dia ini—" "Sudah. Lagipun bukan urusanku lagi." "Yup, exactly! Sebab urusanku sekarang hanya denganmu, cantik." ujar Jaehyun provokatif sambil memegang dagu Aeri yang sontak ditepis oleh gadis itu. "Ya! Tidak sopan!" Jaehyun terkekeh, terlihat sekali sangat menikmati drama dadakan ini. Perlahan Ia mulai mengikis jarak, membuat Aeri otomatis mundur teratur untuk tetap menciptakan sekat antara mereka. Gugup bukan main, ditambah sorot mata legam Jaehyun yang tidak lepas barang sedetikpun darinya. "Ya, kenapa aku seperti melihat diriku didalam dirimu?" Sialan! Mengoceh apa sih dia ini?? "Aku jadi yakin—" BUGH!! "Aawh!" "Sudah yakin sekarang? Nah membungkuklah lalu pergi dan jangan ganggu teman-temanku!" desis seseorang yang entah muncul dari mana. Jaehyun yang tadinya hendak mengumpat karena lemparan bola basket yang menghantam lengannya, sontak membelalak heboh melihat kemunculan Ahyoung bersama sederet kalimatnya. "Wow! Kebetulan macam apa ini?" heboh Jaehyun menatap ketiga gadis dihadapannya bergantian. "Kenapa musuh, mantan, dan calon pacarku bisa akrab begini? Ckckck! Hebat!" "Berhenti mengoceh atau aku benar-benar akan membantingmu sekarang!" geram Ahyoung sambil berkacak pinggang menahan katup emosinya. "Ck! Aku tidak pernah suka gadis kasar, terutama kau." Jaehyun menunjuk Ahyoung dengan dagunya, lalu membelokkan pandangan tepat ke arah Aeri dan mengumbar senyum. "Tapi kalau dia...ah tidak, kau bukannya kasar babe, hanya sedikit... agresif. Dan aku suka itu." Aeri bergidik dengan mata membelalak shock mendengar rentetan kalimat super menyebalkan itu. "Bajingan gila!" pertahanan Ahyoung nyaris ambrol. Melihat seniornya sudah emosi stadium akhir menghadapinya, Jaehyun dengan cepat menjauh dari sana. "Oke, oke, oke.. aku pergi. Simpan tenagamu untuk menghadapi kenyataan besok. Dan kau!" Jaehyun memutar kepalanya lagi menghadap tempat Aeri dan Ayara berdiri. "Bukan kau sayang, tapi teman barumu yang cantik itu. Oke calon pacarku, sampai bertemu besok! Dan ingat nama ini oke, Jung Jae Hyun. Jaehyun saja, tidak perlu dibalik-balik karena aku benci nama itu. Dah, cantik!" Lelaki itu lantas berbalik dengan senyum jumawa dan sok kegantengan, melambaikan tangannya sekali karena sadar Ia masih menjadi pusat perhatian ketiga gadis itu. "Sinting!" desis Ayara sambil melepas sisa emosinya. "Jadi," Aeri membuka suara. "Bisa jelaskan apa yang baru saja terjadi?" Gadis itu terlihat terguncang sekali. Ahyoung jadi tidak tega. "Pokoknya, yang jelas... Mulai detik ini, hidupmu di Dongsun tidak akan mudah, Ri. Semangat!" Aeri mendesah, "...mulai detik ini, hidupmu di Dongsun tidak akan mudah, Ri." Kesal karena kalimat Ahyoung kemarin sore itu terus berputar-putar dalam kepalanya. Padahal jika dipikir-pikir, hidupnya memang tidaklah mudah bahkan jauh sebelum kakinya menginjak pelataran Dongsun. Benar, tidak ada hidup yang benar-benar mudah sebetulnya. "..semangat!" Yah, benar, semangat menghadapi kenyataan, Ri! Sebab sekarang—tepat setelah Aeri keluar gedung asrama dan baru akan menuju tempat loker—Ia sudah disambut cengiran psycho seseorang yang sepertinya sudah menunggunya sedari tadi. "Good morning, sunshine!" riangnya seraya berjalan mendekat. "Bagaimana? Tidurmu nyenyak? Memimpikan aku ya?" Jangan pedulikan, jangan pedulikan. Titah gadis dalam benak Aeri, gadis itu memilih fokus mencari nomor lokernya. Tanpa sedikitpun memperdulikan lelaki yang terus berusaha mencari perhatiannya. "Ish! Kenapa sih dekat-dekat? Jalannya masih lebar, okay?!" geram Aeri karena Jaehyun yang mengekor kelewat dekat dibelakangnya. "Kau wangi sekali, aku suka." cengirnya tanpa dosa. Memilih bersabar dan kembali mencari dimana letak loker nomor 127. Aish! Di mana sih?? "Arah jam sembilan, tepat disisi kirimu. Tidakkah kau lihat itu?" celetuk Jaehyun sembari melipat tangan. Aeri baru akan menyahut sebelum maniknya sungguh menjumpa loker dengan nomor 127 itu, dan benar letaknya persis di sisi kirinya. "Lain kali gunakan kepala dingin. Jangan emosi terus." Aeri memilih diam dan segera menyelesaikan urusannya disana. "Bilang dong, kalau butuh bantuan." ujar Jaehyun santai lalu merampas dua buku paket besar dalam dekapan Aeri. "Tidak butuh. Cepat kembalikan!" "Ck! Aku hanya ingin membantu, okay?" kekeuhnya sambil sibuk membolak-balik halaman buku milik Aeri itu. Sesaat setelah itu Jaehyun mendongak dengan tatapan penuh arti. "Mahasiswi jurnalistik, eoh?" Ah, sial! "Aku punya beberapa kenalan di fakultasmu. Jika butuh—" "Tidak terimakasih." sambar Aeri dengan cepat sambil merampas kembali bukunya. Beruntung Jaehyun tidak menyulitkannya lagi. Lelaki itu hanya melipat tangan dalam diam, kepalanya Ia tempelkan pada pintu loker dengan manik sempurna terfokus menatap Aeri. "Ya." panggilnya tiba-tiba. Aeri memilih diam, tidak menjawab dan tidak menoleh. "Shin Aeri!" serunya membuat beberapa orang-orang yang berada disana makin menaruh penasaran pada mereka. Diam-diam Aeri menyumpah dan hampir mengumpat dalam hati. "Hey, aku disini.." Jaehyun menarik dagu gadis itu lalu memutarnya pelan menghadap ke arahnya, membuat segelintir orang yang berada disana berteriak tertahan dan heboh. Aeri dengan cepat menepis tangan lelaki itu dari dagunya. "Tatap orang yang mengajakmu bicara. Itu baru sopan." ujarnya, membuat tawa gadis itu hampir meledak saking tidak mengertinya dengan jalan pikir pemuda tampan tapi bodoh itu. Aeri mendecih, "Berkaca dulu sebelum berkoar soal tata krama, okay? Pikirmu kau ini punya sopan santun?" Begitu saja dan Aeri langsung memutar tubuh melangkah pergi dari deretan rak loker. Namun semua jelas tidak berhenti hanya sampai disitu, sebab Jaehyun bukan tipikal lelaki yang akan menyerah hanya karena satu pukulan kecil. Justru Ia makin tertantang melihat respon gadis bermarga Shin ini. Tak butuh waktu lama untuk Jaehyun menyamai langkah Aeri, sebelum kemudian dengan gesit meraih pinggang ramping itu dan mengikis habis sekat antara mereka. Aeri nyaris memekik dan hanya bisa mengerjap kaget seperti orang bodoh. Sejemang keduanya hanya bertatapan dalam diam. "Neomu yeppeo¹. Irismu indah sekali." pujinya tulus. Aeri masih belum menemukan kesadarannya. Fokusnya dicuri habis oleh sepasang mata legam pada wajah tampan tanpa cacat dihadapannya kini. "Kau ini.." lanjutnya. "Suka ya aku peluk begini?" Aeri tersentak dan langsung melepaskan diri dengan panik, nyaris mengumpat. "Ya! Kau jelas tau, itu sangat tidak sopan!" Jaehyun hanya terkekeh. "Sama-sama. Nyaman, kan? Mau lagi?" Gadis itu mendelik tak habis pikir. "Dasar gila!" lantas kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena manusia sinting itu. Baru dua langkah terambil, Aeri kembali dipaksa untuk menghentikan kakinya. Kini maniknya terpaku kaget dengan jantung mencelos, penyebabnya tak lain adalah kemunculan sosok yang menyerupai Jaehyun, tengah menatapnya dari lorong seberang. Mirip. Mirip sekali. Aeri bahkan nyaris salah tebak jika tidak menyadari perbedaan gaya berpakaian dua bersaudara itu. Sosok itu berbalut celana sedikit ketat dan kemeja serba putih, sangat mewujudkan jelmaan malaikat. Berbeda sekali dengan lelaki urakan di sebelahnya ini. "Hyun—" "Hajima²!" potong Jaehyun dengan cepat seraya memblokir pandangan Aeri dari orang itu. Ia berdiri tepat didepannya dengan wajah kaku. "Ming—" "Lihat aku saja." Aeri mengerutkan dahi bingung. "Apa-apaan sih? Minggir!" "Jangan. Lihat aku saja." ulang Jaehyun masih kukuh berdiri menghalangi pandangannya. Dan entah kenapa Aeri merasa ada pinta teramat yang terselip dari kalimat itu. "Aeri?" suara familiar yang nyaris mirip dengan milik Jaehyun menyelinap diantara mereka. Namun belum sempat kata terucap, bibir Aeri dibungkam sempurna oleh sesuatu yang hangat milik Jaehyun. Benda itu hanya diam tanpa terlalu menekan, namun sanggup membuat seluruh pasang mata mendelik heboh dan beberapa gadis di sana nyaris pingsan. Demi Tuhan! JUNG JAEHYUN!!! - R U M O R S - 1 Neomu Yeppeo : sangat cantik. Neomu (sangat) Yeppeo (cantik) 2 Hajima : jangan, stop it. Preview.. "Ya! Kau mau membawaku kemana?!" teriak Aeri dengan panik, menatap sekeliling yang sialnya tidak ada orang sama sekali. "Motel." "Jangan gila! YAA!" ...to be continued... Psycho Cheater Aeri mengurung diri di kamar malam harinya, menolak ajakan makan malam Ayara sampai menimbulkan percekcokan kecil dengan teman kamarnya itu—Ahyoung pergi entah kemana—dan lebih memilih meringkuk dibawah selimut. Gadis itu kelewat lelah seharian menghadapi kelakuan lelaki sinting bernama Jung Jaehyun itu. Ditambah dengan segala rumor ngawur yang menyebar di buletin kampus dengan headline yang tidak tanggung-tanggung.. "ANAK BARU, MAINAN BARU JUNG JAEHYUN KITA" dengan foto dirinya dan Jaehyun tengah berci—yah itu pokoknya. Jahat sekali. Tapi Aeri memilih tidak peduli setelah lelah menguras air mata selama satu jam lebih di ruang kesehatan. Iya, benar, hari pertama yang sangat sangat sangat kacau! Tidak tanggung-tanggung, Aeri bahkan sudah mencetak tiga rekor fantastis hari ini. Pertama, membuat kejadian heboh di koridor tempat loker—ralat! Bukan aku tapi si Jung sinting Jaehyun itu!— kedua, terlambat kelas pertama, dan yang terakhir bolos dua kelas sekaligus—sebab tak lain adalah rumor gila itu. Hebat, Ri. Hebat sekali! Aeri mendecak kesal saat merasakan getaran konstan disisi bantalnya, jelas merasa terusik. Ia sedang benar-benar tidak ingin diganggu sekarang. Namun panggilan masuk dari nomor tidak dikenal itu terus dan terus mengganggunya, terus gigih menyambungkan panggilan padahal sudah empat kali Aeri tolak. Ya Tuhan!! Menatap geram layar ponselnya, menggeser dengan kasar dan spontan berteriak, "WAE?!" "Astaga, hey! Ini aku." ujar suara familiar itu dari seberang. Jantungnya mencelos dan nyaris memaki orang itu. "Ini Hyunjae oke, Hyunjae. Jangan marah dulu, ini sungguh Hyunjae." "Ada apa?" ketus Aeri, masih menaruh sedikit ketidakpercayaan. "Astaga, masih tidak percaya? Perlu kusambungkan vid—" "Ck, tidak perlu. Ada apa? Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang." lelahnya dengan kembali meringkuk dibawah selimut. "Kau belum makan." Kening Aeri mengkerut, dia ini tanya atau bagaimana sih? Tidak jelas sekali! "Lalu?" "Aku tidak melihatmu di kafetaria tadi." Gadis itu mendecak gemas. "Langsung ke intinya!" "Ayo keluar!" "Hah?" "Kau jelas dengar, Ri. Ayo! Aku tau kau sedang tidak baik-baik saja." "Aku juga sedang tidak ingin menambah gosip murahan untuk buletin." Agaknya sindirian Aeri membuat Hyunjae merasa bersalah, terbukti dengan keterdiaman lelaki itu. Padahal bukan salahnya sama sekali. "Aku tidak akan membuat masalah apapun, serius. Percayalah, ini akan menyenangkan." "Sumpah, Jae. Jangan buat masalah denganku, cukup saudara sintingmu itu saja." "Sudah cepat turun. Kutunggu di lobi perpustakaan." perintahnya seenaknya. "Ck! Aku—" "Jika tidak turun dalam lima belas menit, aku akan ke kamarmu dan menyeretmu!" ancamnya berlebihan. Aeri merotasikan bola matanya jengah. "Coba saja. Memangnya kau tau diman—" "Lantai 5, kamar nomor 503 dengan balkon persis menghadap taman. Benar, bukan?" Gadis yang masih terbungkus selimut itu terduduk seketika, "Hey! Dari mana kau tau nomor—YA! Nomor ponselku! Dari mana mendapatkan nomor ponselku??!" Kekehan terdengar dari seberang. "Mudah saja. Aku hanya perlu bilang 'tolong' lalu set set set dan selesai." Belum juga Aeri membalas, Hyunjae dengan kurang ajarnya memutus sambungan setelah mengucapkan kalimat ini, "Dan sekarang waktumu tinggal 12 menit. Aku tidak main-main soal berkunjung ke kamarmu dan menyeretmu, nona Shin. Oke, najunge!" (sampai jumpa!) Aeri menatap layar hitam ponselnya dengan shock. Wah, ternyata tidak ada bedanya! Darah memang lebih kental dari air Ri, jangan bodoh. Lantas setelah merenung sesaat, Aeri akhirnya mengalah. Memilih turun menemui kembaran lelaki sinting itu dari pada menyaksikan hal gila yang membuat namanya menjadi headline news buletin untuk kali keduanya. Aku di parkiran Langsung kesini saja Begitulah kira-kira isi pop-up pesan yang mendadak muncul saat Aeri hendak mengecek jam. Dari siapa lagi kalau bukan Hyunjae. "Aish! Benar-benar!" Informasi saja, jarak asrama dengan parkiran itu tidak dekat. Ditambah dengan kondisinya yang tengah lapar dan menahan emosi, rasa-rasanya Aeri sanggup melumat mentah-mentah lelaki yang tengah tersenyum lebar ke arahnya itu. "Kau telat 3 menit, beruntung aku belum berlari ke kamarmu dan membuat keributan disana." kalimat penyambut yang sangat sangat sangat menjengkelkan keluar dari mulut Hyunjae. "Ayo, naik." titahnya begitu saja. Aeri jadi tersadar jika ternyata lelaki itu sudah duduk bersiap diatas jok motornya. "Kemana?" "Nanti juga tau. Sudah cepat!" Dahi Aeri berkerut, terang-terangan meragu atas sikap Hyunjae malam ini. "Cepat atau Hong Saem akan meng-gap kita disini." Aeri masih bergeming, sibuk menimang keputusannya. "Tapi, Jae—" "Sebentar. Diam dulu." potong Hyunjae tiba-tiba. Aeri refleks menoleh ke kanan, kiri, dan belakangnya. "Kenapa? Ada ap—AAAK! YA!" jantungnya nyaris jatuh ke lantai saat tangan kiri Hyunjae meregap pinggangnya dan mengangkat tubuh ringan Aeri dengan gesit lantas didudukkan pada jok belakang motor dengan mudahnya. "Aku hampir terjengkang, Jae!" "Makanya duduk yang benar!" gemas lelaki itu. Lalu melajukan motornya dengan posisi Aeri yang masih duduk menyamping. "Ya! Kau mau membawaku kemana?!" teriak Aeri dengan panik, menatap sekeliling yang sialnya tidak ada orang sama sekali. "Motel." "Jangan gila! YAA!" - R U M O R S - "Selamat datang di motel, nona Shin." cibir Hyunjae sebab gadis itu tak henti mengomel di sepanjang jalan hanya karena satu kata dengan lima huruf yang diucapkannya dengan asal tadi. Aeri mencebik kesal. Sialan! Dia dikerjai. Hyunjae tertawa, "Sudah, duduk sini." titahnya sambil memundurkan satu bangku plastik didepannya untuk Aeri lalu pergi memesan. Aeri diam, sibuk mengamati setiap jengkal warung tenda yang Ia tidak mengira ada di Gangdong. Karena biasanya warung tenda pinggir jalan begini kebanyakan ada di daerah Hongdae. Aeri melongok ke belakang, menatap lelaki tampan yang tengah berbincang akrab dengan Bibi penjual itu. Bahkan tak segan si Bibi mengusap pipi dan rambut Hyunjae dengan sayang. Sorot mata Bibi itu menjelaskan semuanya, beliau sangat menyayangi Hyunjae. Ah, otak Aeri jadi memunculkan pertanyaan yang tidak-tidak. Jangan-jangan— "Hey! Jangan melamun." sentak Hyunjae yang sudah kembali dengan satu nampan penuh aneka makanan. "Sudah hubungi teman kamarmu? Mereka tidak panik kau tiba-tiba menghilang dari kamar?" Hyunjae tertawa kecil, padahal tidak ada yang lucu. "Tentu saja panik! Kak Ayara sampai kelimpungan mencariku saat tau aku tidak di kamar. Tapi aku bilang sedang di perpus." jawab Aeri sambil mulai membantu menata meja. Hyunjae mengangguk-angguk, "Kau licik juga ya." "Ya! Kau tau kan siapa Ayara sunbae? Dia gadis tak berdosa yang disakiti kembaran gilamu itu!" sengit Aeri. "Kenapa jadi aku yang dimarahi?" sewot Hyunjae tidak terima. "Maaf, habisnya aku kesal. Aku benci lelaki yang suka mempermainkan wanita. Dasar tidak punya hati!" Aeri menjeda untuk meneguk air putih. "Aku jadi ingat kata-kata nenek, jika lelaki bisa menyakiti perempuan, itu tandanya Ia tidak menyayangi ibunya. Sebab lelaki yang menghargai ibunya, pasti bisa menghargai perempuan lain. Benar, kan?" Hyunjae tersenyum tipis. "Jaehyun menyayangi eomma, bahkan lebih dari apapun yang dia miliki. Dia jelas punya alasan melakukan itu, Ri." Aeri mendongak perlahan, menyambut tatapan teduh penuh teka-teki itu. Butuh lebih dari tiga detik untuk Aeri lekas menyadari apa yang sebenarnya terjadi. - R U M O R S - Hyunjae mematikan mesin motornya setelah benda roda dua itu terparkir sempurna berderet disamping kawanannya. "Kuantar sampai depan asrama." "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." tolak Aeri cepat. Manik gadis itu tertuju sempurna menelisik netra legam didepannya. "Kenapa? Ada yang aneh diwajahku?" Hyunjae beringsut mengecek wajahnya pada spion. "Tidak." "Lalu? Kenapa menatapku begitu? Terpesona?" Aeri terang-terangan mendecih, "Enak saja. Apapun itu, terimakasih makan malamnya, Jung Jaehyun-ssi." "Sam—" senyum yang tersungging kontan luntur begitu menyadari kalimat Aeri. Namun dua detik berselang, raut menyebalkan itu kembali terpasang pada wajah tampannya. "Sudah tau ya?" "Kau pikir aku bodoh?" sengit Aeri, sudah tidak dalam mode bersahabat lagi. Jung Jaehyun yang satu jam lalu berpura-pura menjadi kembarannya itu terkekeh, "Eum.. Tidak sebodoh itu ternyata." Kurang ajar! "Bagaimana kau bisa tau itu aku? Waah, jangan-jangan empat hari ini kau memperhatikanku ya?" tudingnya dengan percaya diri. Aeri membuang nafas dengan jengah, "Hyunjae tidak suka memaksa apalagi mengancam, tidak sepertimu. Hyunjae tidak tinggal di asrama dan tidak punya motor. Dan Hyunjae, bukan tipikal lelaki yang kurang ajar kepada perempuan seperti dirimu." Jaehyun terlihat acuh mendengar rentetan kalimat itu. "Wajah kalian boleh sama, tapi jelas kelakuan kalian itu sangat sangat berbeda, dan semua orang disini tau itu." imbuh Aeri. "Aku tidak tau sedekat apa kau dengan kakakku." Jaehyun menjeda, "Tapi aku hanya ingin tanya satu hal padamu..." Jeda panjang yang dibuat Jaehyun entah kenapa membuat Aeri sedikit menahan nafas. "Itu yang pertama, bukan?" tanyanya membuat kening Aeri mengerut bingung. "Yang tadi pagi. Di koridor tempat loker." Hah? Oh! Sialan! "Really? That's your first?!" kaget Jaehyun. "Maaf kalau begitu." Aeri yang baru akan meledak seketika terdiam. "Apa katamu?" "Maaf. Aku minta maaf." ulangnya. "Oh, eum... aku—" "Ck! Itu terlalu singkat dan biasa untuk jadi yang pertama, harusnya kubuat lebih lama dan seduk—" WHAT?! "Dasar mesum berengsek!" geram Aeri, menahan diri sebisa mungkin untuk tidak meninju wajah tampan itu lalu memilih pergi dari sana. Emosinya selalu tidak stabil jika bersama lelaki bernama Jung Jaehyun ini. Ouh! Ini bahkan belum genap seminggu! "Ya! Shin Aeri! Ingatkan aku untuk memberi yang kedu—ugh!" Nice! Tepat sasaran! Aeri bersorak pongah dalam hati saat sweater abu miliknya Ia lempar dan tepat mengenai wajah menyebalkan itu. Diluar dugaan, Jaehyun bukannya marah tapi malah gembira saat memungut benda itu dari wajahnya. "Waaah... Apa ini? Souvenir untukku? Ugh wangi sekali!" Jaehyun terlihat seperti orang psycho saat ini. Dan itu mengerikan. "Akan aku simpan dengan baik hadiahnya. Selamat malam, nona Shin yang cantik!" Jaehyun melempar senyum lalu melenggang pergi begitu saja dengan sweater milik Aeri yang Ia sampirkan pada bahu kirinya. Damn! Dia terlihat seperti model! Auh, Ri! Bukan saatnya memikirkan itu, okay?! "Ya! Ambil ke kamarku kalau kau masih menginginkan benda ini." Jaehyun mengangkat tinggi-tinggi sweater abu itu sebelum Ia kalungkan pada lehernya dan tertawa seperti orang sinting. "Lantai 7 kamar nomor 707, okay? Dah, sayaaang!" Oh, baiklah! Terserah! - R U M O R S - No preview hihi^^ ...to be continued... Description: Dan harusnya kau tau, tidak semua hal yang didengar oleh telinga bisa kau simpulkan begitu saja. Tidak tau ya? Kadang manusia justru berlakon sebaliknya—Rumors . . . Storial K-Novel Project "Dongsun Series" Cast : - NCT Jung Jaehyun - OC (Owner Cast) All Rights Reserved. Under copyright by Hooneyhwang, 2020.
Title: Rahasia Menghasilkan Burung Puyuh Berkualitas Category: Artikel Text: Rahasia Menghasilkan Burung Puyuh Berkualitas Burung puyuh menjadi salah satu jenis unggas yang cukup unik dan menarik. Bagi sebagian peternak yang mulai mencoba berbisnis burung puyuh tentu hal tersebut cukup menguntungkan dan memberikan hasil yang cukup bagus. Dalam budidaya puyuh sendiri perkembangan dan permintaa pasar sendiri cenderung relative tinggi, diakibatkan banyak sekali permintaan mengenai telur atau dagingnya. Maka dari itu untuk memaksimalkan pertumbuhan burung puyuh secara bagus dan sesuai dengan kebutuhan para peternak perlunya pilihan tepat untuk memaksimalkan perawatannya. Beberapa hal yang berkaitan dengan meningkatkan burung puyuh yang bagus dan berkualitas salah satunya berikut ini, 1. Memperbaiki Kualitas Pakan Pakan menjadi hal utama yang tentu harus diperhatikan sebab kualitas pakan menjadi salah satu factor penting untuk meningkatkan nafsu makan serta pertumbuhan yang baik bagi burung puyuh. Perbaikan kualitas pakan ini meliputi penambahan nutrisi maupun perbaikan secara pakan yang tentu memberikan hasil yang bagus. Salah satunya dengan menambahkan nutrisi yang berimbang. 2. Memaksimalkan Perawatan Perawatan yang maksimal tentu akan berdampak bagus kedepannya, hal inilah yang membuat burung puyuh mendapatkan perawatan yang bagus dan pastinya tidak mudah terkena penyakit ataupun hama yang menghambat pertumbuhannya. 3. Perawatan Kandang Kandang juga menjadi salah satu factor penting untuk meningkatkan kualitas hasil burung puyuh secara keseluruhan. Dengan begitu pastinya melalui perawatan kandang yang bagus dan sesuai, burung puyuh akan memiliki pertumbuhan alami yang menunjang kesehatannya. Alhasil daging maupun telur yang dihasilkan akan berdampak bagus kedepannya. Description: Burung puyuh menjadi salah satu jenis unggas yang cukup unik dan menarik. Bagi sebagian peternak yang mulai mencoba berbisnis burung puyuh tentu hal tersebut cukup menguntungkan dan memberikan hasil yang cukup bagus.
Title: Randu Category: Cerita Pendek Text: Randu Awal tahun 2018 Selamat ulang tahun. “Dari siapa?” Tubuhnya tersentak, rupanya pertanyaanku membuatnya terkejut. Kepalanya menoleh ke belakang, mendapati diriku tengah berdiri. Barisan ucapan tadi kubaca dari layar smarthphone yang tengah dipegang tangan kanannya. “Teman,” jawabnya sambil tersenyum yang harus selalu ku akui bahwa itu manis. “Masa? Teman yang mana?” ku desak untuk mengaku dia malah semakin tersipu. “Teman Bunda,” jawabnya sambil memandangi kedua bola mata coklatku. “Pasti laki-laki kan? Ayah tahu?” cecarku. “Tahu,” jawab wanita dengan beberapa keriput di sudut wajahnya itu, tapi entah mengapa tak membuat wajah cantiknya berubah. “Kok bisa?” aku terkejut. “Ayah! Tahu dia siapa?” tanyaku lagi saat mendapati pria paling tangguh dalam hidupku ini memasuki ruang tengah tempat aku dan Bunda berada. “Lelaki yang mencintai Bunda mu,” jawab Ayah sambil meletakkan plastik putih berlogo singa atau anjing atau entahlah di atas meja makan, isinya jeruk yang tadi pagi baru saja ku petik dari supermarket dekat perumahan. Ayah kemudian mengeluarkan jeruk dari dalam plastik, lalu Bunda beranjak mendekatinya. Bunda membantu Ayah menata jeruk ke atas piring. “Ayah ga marah?” tanyaku sambil berjalan mendekati mereka. “Buat Ayah yang terpenting Bunda mu tidak merespon dan pria itu tidak melakukan hal-hal bodoh untuk memisahkan kami,” lanjut Ayah. “Tapi bukankah tindakannya itu bodoh?” tanyaku masih tidak bisa memahami tindakan orang itu. “Itu ga bodoh Kal, itu cara dia mencintai Bunda dengan tidak merusak apa-apa yang membuat Bunda bahagia.” Suamiku ikut angkat bicara, muncul begitu saja di ruang tengah. Entah sejak kapan sudah mencuri dengar pembicaraan kami. “Enggak-enggak, kalau menurutku dia bodoh!” pendapatku tegas. “Menurut Bunda gimana?” tanyaku pelan. Bunda menyodorkan sebuah jeruk padaku. “Rasa cinta tidak bisa orang hentikan sesuka hati, ia tumbuh dan berkembang tanpa kita sadari,” terang Bunda teduh. “Apa yang dia rasakan hanya dia yang punya jawabannya. Kamu ga boleh sembarangan menilai bodoh, siapa tahu selama ini dia menderita.” Bunda mengupas kulit jeruk. Aku terdiam membenarkan ucapan Bunda, bisa jadi orang itu menderita selama ini. Ingin segera melupakan cinta itu, tapi ternyata rasa cinta masih betah bersemayam dalam raganya. Lambat laun rasa itu terbiasa di sana, dan enggan untuk memuai pergi. “Udah sana istirahat dulu, kasihan si kecil ini,” kata Bunda. Aku menikmati hamparan rumput jepang di halaman rumah yang terpangkas rapi, Ayah pasti rajin merapikannya. Mereka berdua sepakat mengontrakkan rumah lama kami yang terletak tak jauh dari RSUP Dr. Kariadi, dan memilih menepi ke perumahan di kawasan Banyumanik. Aku ikut suami tinggal di Bandung, sedangkan Kakakku dan istrinya tinggal di Singapura. Sebulan sekali aku pulang menjenguk mereka, menikmati Semarang. “Kring” bunyi sepeda, aku melihat dengan seksama ke halaman rumah. “Eh Mbak Kal, kapan sampai?” tanya Pak Herman, satpam komplek. “Tadi pagi Pak,” balasku ramah, aku masih berdiri di tepi teras. Setelah memarkirkan sepedanya, Pak Herman berjalan mendekat. Sebuah amplop berada di tangan kanannya. “Ada surat dari Jogja,” katanya kemudian, diserahkannya amplop itu kepadaku. “Kami ga’ punya family di Jogja Pak,” kataku “Temen Bu Semi mungkin, tadi ada orang ke pos Mbak. Mau nganter surat ke Bu Semi, tapi pas saya suruh tinggal identitas, malah nyuruh saya aja yang anter. Saya dikasih uang, katanya buat beli rokok.” “Temen Bunda? Tapi Bunda kan kuliahnya di Solo?” aku bertanya pada Pak Herman yang terlihat bingung mau menjawab apa. “Ga’ tahu Mbak, pokoknya Bapak itu seusia Ibu sama Bapak Mbak Kal. Mobilnya SUV hitam mewah Mbak.” Pak Herman menegaskan, aku diam untuk mencoba mengingat-ingat. “Udah ya Mbak Kal, saya keliling lagi,” pamit Pak Herman. Untuk : Semilir Angin Praswito “Benar, buat Bunda,” gumamku membaca barisan nama yang tertulis dengan tangan, rapi dan indah. Aku mencari nama suami di aplikasi pesan, menekan tombol panggilan suara. Beberapa kali suara tut terdengar dari seberang. “Aku di taman, jalan-jalan bentar biar ga bengkak kakinya. Bilang ke Ayah sama Bunda ya, bentar lagi aku balik,” kataku pada suami dan sambungan telefon berbasis data seluler itu seketika ku akhiri. Aku menghela nafas, memandang langit sore yang teduh. Bias cahaya matahari menerpaku dari celah pohon. Aku mengelus perut. “Jangan bilang Oma ya Dek, jangan kasih tahu siapapun.” Pelan aku membuka amplop berwarna putih tulang polos, hanya bertulis nama Bunda di bagian depan. Jantungku berdegup kencang, ku tarik secarik kertas dan membuka lipatannya. Sekejap tercium aroma tinta bolpoin berpendar. Kapan terakhir kali aku menyium aroma ini? Saat bau kertas dan tinta berpadu. Saat kata demi kata merangkai rindu. Saat akhirnya aku menyadari rasa itu tak semu. Lir Ini akan menjadi ucapan selamat ulang tahun yang terakhir dariku. Pada akhirnya aku harus berhenti mengirimimu ucapan selamat ulang tahun dan lebih memilih untuk merayakannya seorang diri dengan khusyuk. Merayakan kelahiranmu. Aku slalu bersyukur Lir kamu lahir, aku slalu bersyukur mengenalmu. Kupikir hanya maut yang bisa membuatku melupakanmu. Tolong sampaikan pesanku pada Kalih, agar dia menuliskan kisahku ini. Dariku, Randu. Jogja Expo Center, akhir Agustus 2019 Tepuk tangan dan riuh suara penonton mengakhiri sesi obrolan yang aku lakukan digelaran Festival MocoSik. Aku bahagia bisa kembali ke dunia yang membesarkan namaku. “Kal, kita makan siang dulu ya,” ajak Mbak Fara, editor senior di penerbitanku. “Abis makan kita ke Kaliurang ya, ada yang pengen ketemu kamu.” “Siapa Mbak?” “Nanti deh, pokoknya ini bisa jadi bahan untuk Novelmu selanjutnya. Dan aku bisa jamin 100% Kal, dengan cerita ini bukumu bakal bestseller lagi. Ini bagus buat comeback mu,” terang Mbak Fara, tentu saja tahun depan aku sudah harus kembali ke dunia menulis. Mbak Fara menjadwalkan akhir tahun 2020 aku sudah comeback dengan novel baru. Usai makan siang di sebuah Bakery & Resto daerah Seturan, aku dan Mbak Fara ditemani Ibas calon editor baru yang tengah berguru dengan Mbak Fara meluncur ke Kaliurang. Hampir satu jam perjalanan telah kami tempuh, kepadatan lalu lintas di Jogja tidak bisa membuat jarak tempuh sesuai dengan ramalan GPS. Mobil sudah memasuki area vila di Kaliurang. Beberapa vila terbengkalai, bahkan aku sempat membaca berita viral tentang vila berhantu di Kaliurang. Banyak vila peninggalan masa koloniah yang dibangun pada abad ke 19, fungsinya sebagai tempat tetirah.Menurutku tak lengkap rasanya jika bercerita tentang Kaliurang tapi mengabaikan gunung megah yang menaunginya. Gunung Merapi. “Kalian tahu tentang kepercayaan masyarakat sini nggak? Masyarakat percaya kalau Kaliurang ga’ akan pernah terkena awan panas Merapi karena ada bukit Turgo,” terang Ibas sembari fokus memperhatikan jalan dan GPS. “Dusun Turgo pernah terkena wedhus gembel pada tahun 1994 Bas,” kataku, Ibas terkejut seolah tak percaya.“Iya, saat itu media masa emang ga’ terlalu banyak meliputnya, mungkin juga karna keterbatasan alat. Beda sama yang erupsi 2010,” terangku, Ibas masih terlihat kurang sepakat “Kamu tahu Bas, dipercaya letusan tahun 1006 yang disebut Maha Pralaya telah membuat Candi Borobudur tenggelam, Kerajaan Mataram Hindu hancur dan membendung aliran Kali Progo,” kataku yang semakin membuat Ibas terlihat tertarik dengan perbincangan kami. “Dahsyatnya. Tapi soal erupsi tahun 2010, berita tentang Mbah Maridjan juga dahsyat lho Mbak, beliau menolak perintah Sultan untuk mengungsi sampai akhirnya ditemukan meninggal dalam posisi sujud. Apa kita ke Kinahrejo dulu, main ke Museum Sisa Hartaku?” “Fokus!!!” tegas Mbak Fara yang seketika membuat mulut Ibas terkatup, aku terkikik. “Menurut Mbah Maridjan, memintanya mengungsi itu seperti perintah para pemimpin daerah lainnya, bukan titah seorang Raja. Karena Ayah Sultan Hamengku Buwono X, tidak pernah memerintahkan beliau mengungsi. Waktu diangkat jadi abdi kerajaan, tugas beliau adalah menjaga Merapi. Kamu tahu Merapi adalah pemula garis imajiner menuju pusat istana sampai ke laut selatan?” “Maksudnya?” “Menurut kepercayaan, lokasi Merapi, Tugu Jogja, Keraton dan Pantai Selatan itu kalau ditarik garis imajiner akan ketemu garis lurus.” “Tunggu, tunggu, kenapa Mbak Kal tahu banget gini?” “Novel keduaku kan tokohnya pendaki Bas, aku riset gunung-gunung di Jawa.” “Eh stop-stop!” teriak Mbak Fara, Ibas otomatis langsung mengerem mendadak. Mbak Fara menunjuk gang kecil dengan pagar besi tua tertutup. “Coba aku telfon dulu deh,” katanya sambil menekan-nekan smartphone. Aku memperhatikan halaman luas di dalam gang, teras rumah nampak kecil dilihat dari lokasi mobil kami berhenti. Sesaat pintu teras terbuka, dan seorang wanita keluar dengan tergesa. Ia berlari kecil melewati halaman hijau yang luas menuju pagar di seberang mobil kami. Pintu pagar terbuka, dengan aba-aba tangannya yang berbalut kardigan hijau lumut mobil kami dipersilakan masuk ke halaman. Pemandangan yang sama, hamparan rumput hijau, dan bangunan rumah gaya kolonial terletak di tengah. Pohon-pohon cemara berjajar rapi, bangku-bangku taman ditata melingkar. “Monggo, silakan masuk. Saya panggilkan Mbak Ayun sebentar,” kata wanita dengan kardigan hijau lumut itu, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Aku, Mbak Fara dan Ibas memperhatikan halaman rumah yang begitu luas, suhu udara yang turun mulai kami rasakan. “Hallo.” suara lembut kami dengar yang membuat kami serentak menoleh dan mendapati seorang wanita usia duapuluhan berbalut dress berwarna putih. Dia mendekatiku dan mengulurkan tangannya “Selamat datang Mbak Kal,” katanya sambil tersenyum. Aku menjabat tangannya dan tersenyum. “Mari duduk, Mbak Fara ayo duduk,” katanya ramah, kami segera memilih lokasi kursi yang ditata mengelilingi meja bulat. “Senang rasanya bisa berjumpa langsung dengan Mbak Kalih,” katanya, binar matanya menyapaku kagum dan terkesan. “Saya paham Mbak bagaimana canggungnya situasi saat ini, saya melarang Mbak Fara untuk bercerita karena saya ingin bercerita langsung dengan jenengan.” Wanita berkardigan hijau lumut muncul membawa nampan, lalu meletakkan empat cangkir teh ke masing-masing kami. Dan, menurunkan sepiring camilan. “Monggo, diminum dulu tehnya. Hawanya sedang cukup dingin, dan ini makanan khas Kaliurang, di Bandung ndak ada. Namanya jadah tempe” terang wanita berdress putih. “Mohon maaf, saya belum memperkenalkan diri ke Mbak Kal dan Masnya. Saya Pembayun, biasa dipanggil Ayun,” katanya. Aku, Ibas dan Mbak Fara mencicip teh hangat, suhu badan kami menjadi sedikit naik. Semakin sore suhu udara semakin turun. “Bas, ikut aku aja yuk. Biar mereka lebih santai ngobrolnya,” kata Mbak Fara, Ibas meneguk teh dari cangkir dan tergesa mengikuti langkah sang senior. Aku menyeruput kembali teh, batinku sebenarnya bertanya-tanya, dengan siapa aku berhadapan, kenapa ingin bertemu denganku. Banyak. “Ini rumah Pak Banyu Geni Mbak, beliau seniman Jogja, apa mungkin Mbak Kal sudah pernah tahu beliau?” terang Ayun. “Oh Pak Banyu Geni.” Aku tersentak. “Saya pernah membaca buku beliau.” “Ngapunten Mbak, hanya itu saja?” “Iya, saya hanya membaca saja. Maaf, saya kurang mengikuti karir beliau,” kataku. “Ga’ apa Mbak Kal, itu sudah cukup. Karena yang mau saya bicarakan ini mengenai kehidupan pribadi beliau, jika Mbak Kal belum tahu menahu bisa saya ceritakan,” kata Ayun lembut. “Bapak senang sekali ketika tahu bahwa Mbak Kal akan menjadi pembicara di MocoSik, beliau sampai minta ke panitia untuk memberi waktu agar bisa bertemu. Panitia lalu menghubungi Mbak Fara.” “Mbak Fara baru memberitahu saya tadi setelah sesi saya selesai, mungkin kalau jauh-jauh hari saya diberitahu saya akan menolak karena saya harus segera kembali ke Semarang.” “Iya Mbak, Mbak Fara juga bilang seperti itu sama saya, saya maklum karena Mbak Kal kan punya anak yang masih kecil. Saya beruntung berarti hari ini.” “Terima kasih atas pemaklumannya. Lalu dimana saya harus bertemu dengan Pak Banyu Geni?” “Seminggu yang lalu Bapak terkena serangan jantung Mbak, kemudian sedo...,” kata Ayun, raut wajahnya berubah duka tapi masih berusaha untuk tegar. Aku kehabisan kata-kata. “Maaf, saya..” “Ndak Mbak, ndak apa. Sudah garisnya begitu, Bapak sudah sering sakit.” Ayun memotong kalimatku. “Bapak punya keinginan yang selalu diulang-ulang, beliau pengen kisah cintanya ditulis ke dalam novel oleh Mbak Kalih.” Aku semakin terkejut. “Tapi semua itu tergantung juga sama Mbak Kal, keputusannya bagaimana apakah mau atau ndak. Bapak ndak maksa, cuma ingin ceritanya yang nulis Mbak Kal.” “Kenapa saya?” “Saya ndak diberitahu alasannya Mbak, saya hanya diberi pesan demikian. Sebagai seorang anak, saya hanya berusaha untuk mewujudkan permintaan orang tua saya. Sebagai gambaran, saya ingin menunjukkan ruang kerja Bapak, karena saya yakin semua kisah itu Bapak kubur disana. Monggo Mbak.” Ayun berdiri, mempersilakanku untuk mengikutinya. Kami menuruni tangga teras rumah dan berjalan menuju belakang rumah. Aku bisa melihat sebuah bangunan kecil berdiri sendirian dibawah pohon Kelengkeng, mungkin itu ruang kerjanya. “Bangunan itu diberinama Semilir Angin sama Bapak, lagi-lagi ketika saya tanya, Bapak ndak memberitahu jawabannya,” kata Ayun sambil tertawa. Tunggu! “Semilir Angin?” tanyaku. “Iya Mbak.” Ayun mengambil kunci dan mencoba membuka pintu. “Maaf, apa nama Banyu Geni bukan nama asli Bapak?” “Bukan, nama aslinya Randu Caturangga Mbak. Monggo masuk,” kata Ayun, dia melangkah masuk ke dalam ruangan, aku menyusulnya dengan dada yang hampir meledak. Aku datang ke rumah orang yang mengirimi Bunda surat, dan dada ku semakin sesak menahan gejolak emosi tatkala melihat ruangan tanpa sekat ini. Lurus dengan pintu masuk, pada dindingnya terlukis wajah seorang wanita dengan senyum manisnya. Bunda. Mataku mendadak sembab. “Mbak.” Ayun menyapaku, membuatku berkedip dan sebuah airmata meluncur begitu saja. “Silakan berkeliling,” kata Ayun, entah dia melihatku meneteskan airmata atau tidak. Dia beranjak menuju kursi besar. Aku berjalan masih dengan dada yang entah mengapa terasa begitu pilu. Beberapa lembar sketsa wajah Bunda ku temukan, lengkap dengan kata-kata manis pendek. Katamu, aku tak boleh mencintaimu. Sudah ku coba berulang kali. Sulit. Aku tetap saja mencintaimu. Solo, Maret 1982 Randu. Kau bahagia. Aku remuk. Tidak bisakah aku saja? Solo, Januari 1985 Randu. Lir, akhirnya aku tahu kenapa kau memilihnya? Begitu luas hatinya menerima laki-laki gila ini yang masih saja menyimpan rasa padamu. Randu, Oktober 1990. Aku masih terlalu nyaman mencintaimu. Sangat bahagia melihat kamu dan keluargamu, slalu ku doakan kalian dalam sembahyangku. Terima kasih mengijinkanku mengenalmu, aku sangat beruntung. Jogja, Desember 2018. Aku menarik nafas panjang, dadaku seperti terhimpit rasa sakit. Aku berjalan berkeliling lagi, semakin ku temukan catatan-catatan kecil bahkan surat-surat yang enggan beliau kirim. Bahkan beberapa lembar surat yang isinya kurang lebih sama dengan yang ku baca waktu itu, mungkin beliau bingung memilih kata yang tepat. Aku seolah melihat beliau dengan perasaannya itu bekerja, melahirkan karya-karya luar biasa, tanpa orang tahu betapa hatinya sembilu. “Ayun!” aku berjalan mendekatinya, dia langsung berdiri dari duduknya. “Saya minta maaf,” kataku “Saya tidak bisa menuliskan kisah beliau.” Aku melanjutkan. Ayun terkejut. “Saya sangat menghargai keinginan beliau, saya sangat menghargai perasaannya. Tapi, ada orang yang jauh lebih saya hargai,” kataku. “Mbak sudah mempertimbangkan betul?” “Sudah. Jika tetap ingin dituliskan dan diterbitkan, silakan mencari penulis yang lain.” “Bapak ingin Mbak Kalih.” Lirih suara Ayun ku dengar. “Kalau saya boleh saran” hati-hati aku merangkai kalimat “Biarkan beliau saja yang memberitahukan perasaannya ini kepada orang-orang. Kamu bisa membuka ruangan ini untuk umum, biarkan semua orang tahu lewat beliau sendiri bukan dari saya” “Sesuai pesan Bapak Mbak, saya tidak akan memaksakan keputusan Mbak Kalih.” “Terima kasih.” “Jika Mbak mau ziarah, makam Bapak ada di bawah pohon angsana di sudut halaman ini,” kata Ayun. Makamnya masih berselimut tanah, belum hijau seperti tanah disekelilingnya yang sudah ditumbuhi rumput, bunga mawar sudah mengering. Aku menarik nafas panjang. “Saya akhirnya bertemu dengan Anda, maaf karena datang seorang diri padahal saya tahu Anda sangat merindukannya.” Aku menunduk. “Setelah menerima surat dari Anda dan dengan lancang membacanya, saya mendoakan agar Anda bahagia dengan keluarga, anak-anak, cucu-cucu, saya tidak berpikir jika Anda akan melajang seumur hidup seperti ini.” Ayun adalah anak angkat Pak Randu. “Saya berterima kasih sekali, Anda memiliki perasaan sehebat itu pada Ibu saya.” Airmataku menetes begitu saja. “Saya mendoakan agar Anda bahagia, mendapatkan kedamaian disana. Terima kasih sudah membiarkan Bapak dan Ibu saya hidup bahagia. Terima kasih.” Aku menyeka airmataku. Seusai adzan magrib berkumandang, aku, Mbak Fara dan Ibas pamit dengan Ayun. Mobil kami melaju menyusuri jalan beraspal, kabut sudah mulai turun ke bawah. “Besuk nyoba Wedang Gedang yuk ke Kinahrejo sekalian ziarah ke makam Mbah Maridjan,” kata Ibas memecah kesunyian. “Ngawur, Kalih kan udah harus balik besuk pagi.” Mbak Fara terdengar ketus, mungkin dia sedikit kesal karena aku menolak permintaan menulis kisah Pak Randu. “Ngomong-ngomong Kal, kamu menolak dengan alasan menghargai orang lain. Siapa emangnya?” tanya Mbak Fara. “Suami wanita itu,” jawabku sambil tersenyum. Description: Aku baru tahu jika setiap tahun Bunda selalu menerima ucapan atau bahkan kadang hadiah dari seseorang di hari ulang tahunnya. Kata Ayah, seseorang itu adalah orang yang mencintai Bunda. Lalu, sebuah surat yang datang jauh dari Jogja ku terima. Surat itu ditujukan kepada Bunda. Berjuta pertanyaan muncul di benakku, aku dengan lancang membaca surat itu. Dan, pada akhirnya surat itu hanya memicu pertanyaan-pertanyaan lain di benakku. *Cerita ini saya tulis untuk mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen Indonesiana x Nulisbuku 2019
Title: Resep Menulis Sederhana Category: Opini Text: Resep Menulis Sederhana Ingin menulis tetapi tidak tahu langkah apa yang harus diambil? Well, itu hal yang wajar mengingat menulis adalah sesuatu yang bisa dikatakan cukup rumit. Bukan cuma kalian aja, kok, tapi menurut aku juga rumit karena seorang penulis harus mampu membuat tulisannya hidup dan bermain bersama visualisasi dari pembaca. Jujur saja, itu adalah hal yang membuatku kebingungan. Aku memang sudah mempunyai novel sendiri dan lebih dari sepuluh antologi, tapi memang aku belum benar-benar bisa menjadi seorang penulis yang benar-benar mampu. Aku? Cuma menulis saja apa yang ingin aku tulis, berhasil atau tidak, ya, coba saja. Aku ingat salah satu penulis legendaris, beliau mengatakan "Saat kalian mampu untuk menulis, maka tulislah apa yang kalian ingin tulis", dan aku mencoba untuk melakukannya, walau banyak sekali hambatan. Kalian tahu writers block? Itu salah satu dari sekian banyak permasalahan yang ada. Jujur saja WB benar-benar membuatku depresi. Banyak tulisan yang telah aku tulis berserakan begitu saja, seperti sampah yang enggan dibuang. Aku juga bingung harus gimana. Well, enggak ada resep dalam menulis sebenarnya, aku cuma mau berbagi ke kalian untuk terus berusaha menulis walau aku sendiri terkadang malas untuk menulis. Bukannya malas, hanya saja entah apa yang ingin aku tuliskan di tulisan lainnya atau entah akan aku apakan tulisan itu. Kalau kalian punya resep sendiri, maka gunakan resep itu, dan kalau tidak keberatan mungkin kalian bisa berbagi denganku. Kuncinya dalam menulis selain tetap menulis, ya, konsisten. Memang memegang teguh konsisten itu sulit bahkan pakai "banget", aku juga merasakan hal itu, emang sulit banget. Otakku juga sampai enggak habis pikir gimana caranya bisa konsisten? Bukan cuma konsisten dalam hal menulis, tapi dalam hal lainnya juga. Untuk kalian yang tahu bagaimana cara memegang teguh konsisten itu, berbagilah tips denganku karena aku juga ingin seperti kalian. Tidak ada lagi yang ingin aku utarakan di sini, aku hanya akan terus menekankan—khususnya untuk diriku sendiri—tetaplah menulis dalam bentuk apapun, karena kalau kamu tetap menulis kamu akan mengalahkan rasa canggung dalam aksimu. Aku percaya walau aku bukan orang yang hebat. Description: Bukan resep tapi dorongan
Title: Re-Life Category: Cerita Pendek Text: Re-Life “Udah pada dengar pengumuman pemenang lomba Karya Tulis Se-Nasional, Belum? Perwakilan dari sekolah kita yang jadi juara satu, loh!” “Seriusan?! Wah, keren banget! Siapa sih, perwakilan sekolah kita?” “Siapa lagi kalau bukan Alena.” “Oalah, ternyata Alena, toh. Gue ga pernah ragu sama kemampuan dia, sih. Soalnya Alena tuh pinter banget orangnya!” “Selain pinter, dia juga friendly. Alena tuh definisi dari Princess Belle in real life banget pokoknya!” “Eh tapi... Princess Belle emang punya kembaran kayak Alena?” Seorang gadis yang berjalan melewati kerumunan koridor sembari menundukkan wajah ke lantai. Ia mengambil napas panjang yang tidak berapa lama ia hembuskan dengan gusar. Gadis itu mempercepat langkah kakinya menuju kelas XI IPA 2, dan langsung menghuni bangku miliknya yang terletak di barisan paling belakang. Gadis itu telah mendengar berita besar yang kini tengah dibicarakan dari mulut ke mulut oleh seluruh siswa sekolah. Terlebih, ialah orang pertama yang mengetahui kabar kembarannya itu. “Alana!” Seseorang memanggil namanya. Gadis itu memperbaiki air wajah, kemudian menolehkan kepala ke asal suara. “Iya, ada apa?” “Hari ini, Alena ga datang ke sekolah, ya?” Tidak bisa dipungkiri, ekspresi Alana langsung berubah seketika, meski begitu tipis untuk diketahui oleh banyak orang. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu. “Alena datang, kok! Tapi, tadi dia ditarik sama Bu Wirna, mungkin ada sesuatu yang harus dibicarakan sebelum Alena harus pergi presentasi ke Palembang nanti.” Cowok itu merespon jawaban Alana dengan mambulatkan bibirnya. “Makasih, Lan!” Kemudian, pergi entah kemana sembari menggenggam sebungkus cokelat kecil yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya. Tidak satu pun dari siswa di sekolah ini yang tidak mengetahui Alena Cemerlang Gunawan. Gadis berparas ayu yang memiliki segudang prestasi menjanjikan. Setiap perlombaan yang ia ikuti, pasti selalu mendapatkan penghargaan. Prestasi yang ia raih membuat Alena begitu sering dipanggil ke hadapan murid di sekolah ini ketika upacara bendera. Kepopuleran Alena mau tidak mau membuat Alana ikut merasakan dampaknya. Satu sekolahan juga tahu jika Alana Cahaya Gunawan merupakan kakak kembar dari Alena. Meski mereka kembar, tetapi mereka berdua begitu berbeda, hampir tidak ada satu hal pun yang serupa. Alena memiliki wajah yang sedikit chubby, dipadankan dengan kedua matanya yang cukup bulat. Apabila gadis itu tersenyum, pipinya akan mengembang seraya matanya menyipit membentuk bulan sabit. Rambut panjang yang ia miliki selalu dicepol tinggi, atau diikat ekor kuda. Sementara Kakaknya Alana, mempunyai kontur wajah yang tirus, dengan tahi lalat kecil menghiasi sudut mata kirinya. Gadis berponi itu mempunyai mata yang sedikit sipit daripada Alena. Rambut Alana dipotong pendek, dan tergerai begitu saja. Alana tertunduk begitu dalam, membiarkan poninya jatuh menutup wajahnya. Ada sesuatu yang aneh menghantam dadanya sekarang. Sesuatu yang ingin ia buang jauh-jauh. Akan tetapi, semakin ia ingin melupakan, keberadaannya justru semakin membesar. Dia pun berdiri, memutuskan untuk berjalan keluar dari kelas, sebisa mungkin tanpa ditangkap oleh teman satu kelasnya. “Lana!” Suara itu terdengar begitu familiar di telinga sang gadis. Refleks ia menghentikan langkah, menoleh ke asal suara. “Ada apa, Arya?!” Kedua netra pemuda tadi yang memanggilnya menyipit, “lo mau kemana? Bel masuk sebentar lagi bakal berbunyi.” “Toilet.” balas Alana ketus. Dia kembali melanjutkan langkah yang kini justru bergerak terburu-buru. Meski gadis itu berdalih menuju toilet, tapi langkah kakinya justru tidak mengarah ke sana. Alana berjalan tidak menentu arah, hanya membiarkan kakinya bergerak menentukan sendiri tempat di mana tidak dilalui banyak orang. Saat ini, Alana hanya butuh ketenangan, butuh kesendirian. Ia butuh tidak dilihat siapa-siapa, sehingga tidak ada yang akan menanyakan alasan mengapa air matanya turun begitu saja. ** ** “Setelah makan malam ini, ayah sama Ibu akan pergi ke mall untuk membeli keperluan Lena pergi ke Palembang. Kamu ikut ‘kan, Lana?” Pertanyaan yang baru saja keluar dari bibir sang Ayah membuat pergerakan tangan yang hendak menyuap itu terhenti. Bibirnya terasa begitu kaku untuk merealisasikan perasaannya sekarang. Alana tahu, ia tidak seharusnya menampilkan ekspresi sedih di depan keluarganya. Gadis itu memaksa sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas, meski matanya tidak mau mengikuti perintah palsu yang dikeluarkan pikirannya. “Maaf, Ayah. Alana ga ikut dulu.” Gadis itu tersenyum hambar. “Lana di rumah aja, soalnya besok ada praktik ambil nilai Seni Budaya, Yah. Sekalian Alana bisa jaga rumah juga, ‘kan?” Ayah dan Ibu saling berpandangan ketika mendengar jawaban darinya. Kebingungan dengan jelas tercetak di wajah Ayah, maupun di wajah Ibu. Begitu juga dengan Alena, ikut memprotes keputusan kakak kembarannya. “Yah, Lana ikut, dong! Lo apa ga mau nonton film dulu sebelum gue ke palembang?” ucap Alena, berusaha membujuk Alana agar mengganti keputusannya. Namun, respon yang diberikan Alana tidaklah seperti yang diharapkan oleh adik kembarnya. “Ga bisa, Lena. Ujian praktek sama Pak Firman ada di jam pertama. Gue bukan lo yang diberi keringanan untuk cuti belajar. Jadi, biarkan gue sendiri malam ini.” Tanpa sadar, air mata menumpuk di pelupuk mata Alena, membuat kedua matanya menjadi berkaca-kaca. Namun, gadis itu masih berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tidak jatuh membasahi pipinya. Pun bagi Alana, ia juga sama terkejutnya dengan hal yang baru saja ia ucapkan. Gadis itu juga tidak mengerti mengapa dirinya seberani itu untuk membentak. Wajahnya berubah pias, tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa. Demi memberikan kedamaian kepada keluarganya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk pergi dari meja makan. “Alana! Please jangan per—“ Permohonan Alena sontak terhenti. Kakak Kembarnya tiba-tiba berbalik dan menatap dirinya dengan senyuman. Senyuman yang benar-benar tulus. “Jika masih ada waktu, kita pergi lain kali, ya, Lena?” ** ** “Luar biasa, Arya!” Guru Seni Budaya yang saat ini sedang mengajar di kelas Alana bersorak sembari memberi tepuk tangan dengan semangat. “Saya tidak mengira jika Arya Wiranata akan memberikan penampilan yang begitu indah hanya dengan sebuah cangkir plastik dan harmonika. Sungguh luar harmoni yang luar biasa!” Pemuda yang bernama Arya—yang akhir-akhir ini sering mengganggu Alana—hanya mengangguk, diiringi membungkuk ragu-ragu. Beberapa detik kemudian, Arya memutuskan untuk kembali ke bangkunya, juga sebagai isyarat halus agar Pak Firman kembali melanjutkan sesi pengambilan nilai bernyanyi dan bermain alat musik secara individu. “Oke...” gumam Pak Firman sembari melihat daftar nama melalui absen harian kelas. Sedari tadi, beliau memang memanggil siswanya secara acak untuk tampil ke depan. “Nah! Selanjutnya penampilan dari siswa yang paling bapak nantikan. Siapa lagi kalau bukan Alana Cahaya Gunawan!” Alana membuang napas kecil seketika. Jantungnya otomatis berdetak tidak karuan, padahal ini bukan kali pertama Pak Firman menaruh harapan kepadanya. Hanya ini satu-satunya alasan Alana untuk bertahan melanjutkan hari-harinya di sekolah. Hanya Pak Firman, satu-satunya guru yang menganggap keberadaan dirinya sebagaimana Alana seorang diri, bukan Alana yang berada di bawah bayang-bayang Alena. Alana berjalan maju ke depan kelas dengan langkah kaki yang sedikit diseret. Gadis itu sedikit membungkuk di depan Pak Firman sebelum akhirnya menempati kursi panas yang sengaja disediakan. Kemudian, gadis itu memangku tas besar yang ia bawa, mulai mengeluarkan isinya dengan tangan yang sedikit gemetaran. Pak Firman menopang dagu demi menunggu persiapan yang dilakukan oleh Alana. Beliau tahu, Alana terlihat lebih pendiam dan pemalu daripada kembarannya. Gadis itu pun memerlukan waktu lebih untuk mempersiapkan mentalnya. Tapi, itu semua tidak masalah bagi Pak Firman, sebab apa yang akan ditampilkan Alana sebanding dengan waktu yang ia habiskan untuk mengatasi kegugupannya. Sebuah gitar klasik telah berada di pangkuan gadis itu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya seraya memejamkan mata. Seiringan dengan hembusan napas, tangan kiri sang gadis refleks memeluk senar kunci, jarinya dengan lihai menemukan kunci pertama dari lagu yang akan ia bawakan. Gitar dipetik, jari-jemari Alana dengan lincah memainkan opening dari lagu One Summer’s Day, salah satu soundtrack dari film kesukaannya. Gadis kecil itu kembali memejamkan mata, dengan suara yang sedikit bergetar ia mulai menyanyikan bait pertama dalam bahasa internasional. ** ** “All the lessons have ending for today!” Suara native speaker bergema melalui pengeras suara yang dipasang di masing-masing kelas. Pelajaran telah usai, saatnya seluruh siswa bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Alana, gadis itu mulai membereskan barang-barang yang masih berserakan di atas meja. Tangan yang telaten itu memasukkan kembali satu-persatu alat belajar pada tempatnya. Ransel telah selesai dikemas, gitar telah dibungkus tempatnya, saatnya gadis itu melangkah menuju gerbang. “Lo ga di jemput ‘kan, hari ini?” Sebuah suara bariton yang tiba-tiba berada di sampingnya membuat gadis itu terkesiap, hampir saja tangannya mengibaskan gitar ke arah pemuda itu. “Arya! Lo bikin gue kaget aja!” Melihat reaksi yang dikeluarkan Alana membuat si pemuda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue dari tadi ada di sini. Lo-nya aja yang jalan kayak ga punya nyawa—jalan ga tentu arah!” “Gue mau ke halte ini! Enak aja bilang ga ada tujuan.” omel Alana. Dari awal berada di kelas XI IPA 2, Alana memang tidak suka dengan anak tengil yang satu ini. “Oh, berarti lo ga dijemput ya, hari ini.” Ucapan pemuda itu membuat jantung Alana berhenti berdetak untuk sesaat. Mata yang semula menyala bak kucing liar seketika redup seperti koala. Pikiran gadis itu kembali terusik, membuat batin berbisik bising—kembali terjadi pertengkaran antara hati dan pikiran sendiri. “Yah....” Gadis itu bergumam, refleks tangannya terangkat untuk menggaruk pipi kirinya, “Ayah sama Ibu pasti sedang di Bandara, sedang mengantar Alena. Gue ga mau bikin mereka repot, mereka pasti kecapekan sebab jarak antara rumah gue dan bandara jauh banget.” “Yaudah, kalau gitu biar gue yang anter lo pulang.” Gadis itu bergeming, kembali membeku di tempat dengan tatapan yang tidak dapat dibaca. Arya yang telah beberapa langkah menjauh hampir kehilangan gadis itu di tengah kerumunan siswa yang berdesakkan untuk segera pulang. Mau tidak mau, pemuda itu berbalik, ia mencoba menyadarkan si gadis dengan mengetuk dahinya. Ketukan itu efektif, hanya saja tatapan kosong milik gadis itu tidak kunjung berubah. Meskipun begitu, Alana justru menghadapkan badannya kepada pemuda itu. kemudian memberikan sebuah senyuman. Senyuman yang hanya ia yang paham maknanya. “Tenang saja. Aku bisa pulang sendiri tanpa perlu diantarkan.” ** ** Jika Alana boleh mengatakan yang sejujurnya, sebetulnya gadis itu telah lama menunggu hari ini datang. Ia telah lama mendambakan hari, di mana ia tidak perlu khawatir diikuti kembarannya. Ia telah lama mendambakan hari, di mana ia tidak perlu dijemput oleh orang tuanya, sebab Alena tidak berada di dekatnya. Ia telah lama mendambakan hari, di mana ia tidak akan lagi berada di bawah bayang-bayang adik kembarnya. Alana tersenyum, mencoba meneguhkan hati dari pilihan yang telah ia rancang saban hari. Sebagai hasil dari rencananya, maka di sinilah ia sekarang, di tepi bukit yang langsung berbatasan dengan laut lepas. Gadis itu telah bersiap, bahkan ia juga telah menanggalkan seragam yang bisa mengidentifikasinya. Akan tetapi, kedua kaki gadis itu justru bergetar hebat, membuat kedua tangannya refleks memeluk gitar yang setia di dalam jangkauannya. Lana mencoba memejamkan matanya, sekali lagi menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan sekali sentak. Ia mencoba untuk melangkah sedekat mungkin ke bibir tebing, mencoba melihat ketinggiannya dan memperkirakan waktu. Sekali lagi, kedua kaki gadis itu justru tidak mau diajak bekerja sama. Kedua kakinya justru memilih untuk mundur, menghindari curamnya tebing yang ia pijaki. Gadis itu kembali memeluk tas gitarnya semakin erat. Mencoba menguatkan hati— “Kalau lo merasa yakin inilah waktu yang pas untuk membuat akhir dari kisah lo, seharusnya lo ga perlu ragu untuk melompat ke sana.” “Loh Arya?! K—kok lo bisa a—ada di sini?” Pemuda itu seolah-olah tidak mendengarkan ucapan si gadis. Ia tersenyum miring, langkahnya berjalan ringan mendekati mulut tebing. Tanpa ragu, pemuda itu memutuskan duduk di sana, membiarkan kakinya bergelantungan menantang angin laut yang lumayan kencang. “Kalau lo benar-benar yakin, seharusnya lo ga bakal takut buat duduk kayak gini, Lana.” Pikiran gadis itu sempat kosong sesaat, tidak berapa lama setelahnya Alana langsung terkesiap saat menyadari betapa bahaya perilaku yang tengah dilakukan pemuda itu sekarang. “ARYA, LO GILA APA!?” “Gue emang lebih gila daripada lo, Lan,” jawab pemuda itu acuh tak acuh. Tangannya terulur ke samping untuk meraih kerikil, kemudian pemuda itu melemparnya sekuat tenaga. “Gue bahkan pernah berakhir di ICU, koma selama seminggu, dan patah tulang sampai harus pakai tongkat selama setahun. Semua itu terjadi gara-gara gue memutuskan untuk melakukan apa yang lo rencanakan sekarang.” Jawaban Arya justru membuat Alana seperti dihantam sesuatu yang berat. Tubuhnya kaku, bahkan gemetar di kakinya hilang tak bersisa. Mata yang sedari tadi menatap cemas, kini justru menatap hampa kepada pemuda itu. Ia tahu, ada sesuatu yang membuat perasaannya kini terhubung dengan apa yang telah dirasakan oleh pemuda itu. “Gue bukan anak pertama yang harus siap menanggung beban keluarga sejak dini, gue juga bukan anak terakhir yang dipersiapkan sebaik mungkin untuk mengangkat nama keluarga. Gue.... ya gue.... anak tengah yang bahkan ga tau punya keahlian apa.” Alana masih tetap bergeming. Meskipun begitu, ia mendengarkan setiap kata yang baru saja terlontar dari bibir pemuda itu. “Gue bukan anak yang pintar. Bahkan untuk ngerti materi pascal aja gue butuh tiga bulan, waktu yang lebih lama daripada yang lain. Gue juga bukan anak yang berbakat, harmonika cuma sebatas hobi yang siapa pun bisa memainkannya. Sebab itu, gue merasa kalau gue adalah anak yang ga pernah diharapkan. Kalau gue pergi, mungkin ga akan ada dari keluarga gue yang peduli. Tapi ternyata... gue salah besar.” Jika awalnya kedua kaki gadis itu tidak mau diajak bekerja sama untuk mendekati mulut tebing. Kini justru kedua kakinya dengan ringan mendekati sang pemuda. Jarak yang ada telah diberantas, tetapi pikiran gadis itu tiba-tiba mengambil alih langkah yang bergerak tanpa perintah. Ia berhenti tiga puluh senti di belakang pemuda itu, memutuskan untuk tetap menjaga jarak. “Kalau lo?” Arya tahu jika kini Alana berada tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia menoleh, menunggu jawaban dari gadis itu sembari melihat ekspresi terkejut yang kentara di wajahnya. “K—kalau... apa?” Arya menyunggingkan senyum, seperti paham apa yang tengah bergejolak di pikiran gadis itu sekarang. “Jujur aja, Lan. Sebab gue bisa melihat kalau lo sedang melalui apa yang pernah gue alami beberapa tahun silam.” Kedua mata gadis itu mengerjap beberapa kali, pikirannya masih mencerna sebaris kalimat yang baru saja diucapkan sang pemuda. “Begini.” Tangan si pemuda kembali terulur untuk mengambil kerikil kecil, kembali membuangnya ke jurang lautan. “Akhir-akhir ini gue merasakan sikap lo semakin aneh. Lo kayak merencanakan sesuatu yang besar, dan lo tidak ingin siapapun tahu rencana ini. Beruntung, gue bisa membaca rencana lo.” “Apa untungnya bagi lo merhatiin gue sampai sebegitunya?!” ketus Alana. Kedua pipi gadis itu tiba-tiba memerah, dengan kedua alis yang saling bertaut. Sekuat mungkin, ia berusaha untuk tidak meledak, meski intonasinya kini benar-benar berubah. “Bahkan kalau gue pergi, gue ga memiliki pengaruh apapun dalam kehidupan lo! Justru, kalau gue pergi, Alena ga perlu buat menaik-naikkan nama gue di depan anak-anak yang lain! Ayah dan Ibu juga ga bakal kerepotan sebab mereka bisa fokus untuk memperhatikan anak kebanggaan mereka daripada gue yang ga punya apa-apa!” Deru napas gadis itu menjadi tidak beraturan, sesak di dada semakin menyakitkan ketika mendapati pemuda itu justru tersenyum kepada dirinya. Alis Alana semakin berkerut, ia tidak mengerti arti dari ekspresi itu, sekaligus merasa kesal. “Sampaikan aja semua yang ingin lo sampaikan, Lan. Gue dengar semuanya, kok.” Penuturan Arya membuat sang gadis tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya untuk pertama kalinya. Lututnya tiba-tiba tidak kuat menopang beban tubuh gadis itu. Ia jatuh terduduk, terpekur. Pertahanan terakhirnya runtuh. Air mata tidak lagi bisa ia tahan, jatuh berderai begitu saja. Alena mengangkat kedua tangannya, menutup wajah agar pemuda yang ada di hadapannya tidak bisa melihat bagaimana mengenaskan kondisinya saat ini. Lama gadis itu menangis, tapi Arya tidak berniat untuk menginterupsi. Pemuda itu justru menikmati hembusan angin laut yang berkibar, membelai keras mereka berdua. “G—gue... merasa kalau hidup gue benar-benar ga berguna di dunia ini.” Hening masih mengungkung keduanya. Meskipun begitu, atensi si pemuda kini beralih menatap sang gadis yang masih duduk terpekur. “Gue ga sehebat Alena, yang juara olimpiade dan juara kelas. Gue merasa diasingkan di rumah. Perhatian Ayah sama Ibu semuanya untuk Alena. Bahkan ketika gue membutuhkan saran, mereka ga terlalu mendengarkan. Ketika gue ragu untuk mengambil pilihan, mereka justru mengembalikan semuanya sama gue, sementara Alena selalu dibimbing dan diarahin oleh mereka.” “Dan satu-satunya hal yang gue dapat... cuma les gitar. Itu sebabnya gue berusaha untuk ga berhenti bermain gitar sampai sekarang.” Seseorang merengkuh gadis itu, membawanya ke dalam pelukan. Alana bisa merasakan usapan lembut di punggungnya, mencoba memberikan ketenangan yang sebetulnya justru membuat Alana semakin sesak. “Ayah dan Ibu justru menaruh harapan lebih untuk lo, Lana.” Suara yang tidak asing menyapa pendengaran Alana. Ia terkesiap, sesegera mungkin melepaskan pelukan orang itu agar ia bisa melihat wajahnya, “Lena... k—kok lo ada di sini?? bukannya lo ada di—“ Adik kembarnya dengan cepat kembali merengkuh Alana ke dalam pelukan. Ia memeluk lebih erat, menyalurkan rasa sesal, sedih, kehilangan, sekaligus frustasi. Alana tahu itu, sebab tanpa sadar, pikiran mereka justru saling terhubung. “Ayah dan Ibu sengaja membiarkan lo memilih jalan yang paling ingin lo pilih sebab mereka percaya dengan bakat musik lo, Lana. Sementara gue, gue bukan tandingan lo... m—makanya gue berusaha lebih di bidang lain, sebab hanya itu satu-satunya yang gue bisa.” Alana tidak mampu berkata-kata. Perkataan Alena benar-benar menampar dirinya sekarang. Di samping itu, kepalanya masih dipenuhi pertanyaan bagaimana bisa Alena yang seharusnya tengah berada di Bandara menuju Palembang, justru berada di depannya sekarang? Alana melirik pemuda yang kini telah berdiri dari duduknya, gadis itu pun menemukan jawabannya. Pemuda itu memamerkan layar ponselnya kepadanya. Di sana, tertulis jelas nomor ponsel Alena tengah tersambung panggilan dengannya. Berarti sedari tadi, pemuda itu benar-benar tidak sendirian. Ia berusaha mengulur waktu, menunggu kedatangan Alena di tepi tebing ini. “Kalau lo tanya kenapa gue malah ada di sini dan bukan di Palembang....” Alena bersuara di dalam pelukan, membuat kakak kembarnya seketika melirik kepada gadis itu. “Jujur, jadwal acara itu masih tiga hari lagi, gue sengaja melakukan ini setelah mendengar peringatan dari Arya, Lan. Dan... jangan lupakan kalau kita ini kembar, meski berbeda dalam banyak hal.” Pemuda itu pun melangkah mendekati kedua kembar itu. “Jangan cepat mengambil kesimpulan meski lo diperlakukan sedikit berbeda. Apalagi, lo juga memendam semua yang lo rasain sendirian. Jika lo pendam, akan ada waktu di mana lo merasa muak, dan memutuskan yang tidak-tidak. Jujur, gue ga mau lo melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah gue lakukan waktu itu, Lana.” Alena pun langsung menyambung ucapan pemuda itu, “Lo ga perlu menanggung semuanya sendiri, Lan. Ada gue di sini, ada Arya juga. Ada Ayah dan Ibu yang selalu menunggu lo bercerita tentang sesuatu. Lo bisa ceritain apa aja yang lo rasakan.” Tangan kanan pemuda itu terangkat ringan menuju bahu Alana, memberi tepukan lembut pada bahu tegap gadis itu. Pemuda itu tahu betul Alana, meski ia memiliki saudara kembar, namun predikat sebagai Kakak membuat dirinya merasa mempunyai tanggung jawab yang besar, menanggung semua beban dan enggan berbagi kepada kembarannya sendiri. “Alana, terima kasih lo udah mau bertahan sampai sejauh ini. Tapi, lo harus ingat satu hal, Lan.” Arya kembali mengambil napas, membuat kalimat terakhirnya terjeda beberapa saat. “Lo ga pernah sendiri di dunia ini.” Sekali lagi, air mata Alana berderai tanpa bisa ia tahan. Namun kali ini, ia tidak menangis akibat kebencian kepada diri sendiri yang telah lama mengakar. Gadis itu menangis haru, ternyata masih ada mereka yang benar-benar peduli dengan dirinya. Masih ada mereka yang selalu memperhatikannya. Alana bersyukur, sekaligus sesal... sebab ia baru menyadarinya sekarang. Alana tidak pernah sendirian dalam menghadapi dunia yang semakin hari semakin kejam. Description: Alena Cemerlang Gunawan yang populer mau tidak mau membuat Alana ikut merasakan dampaknya. Satu sekolahan juga tahu jika Alana Cahaya Gunawan merupakan kakak kembar dari Alena. Meski mereka kembar, tetapi mereka berdua begitu berbeda, hampir tidak ada satu hal pun yang serupa. Alena, gadis berparas ayu yang memiliki segudang prestasi menjanjikan. Setiap perlombaan yang ia ikuti, pasti selalu mendapatkan penghargaan. Prestasi yang ia raih membuat Alena begitu sering dipanggil ke hadapan murid di sekolah ini ketika upacara bendera. Alena memiliki wajah yang sedikit chubby, dipadankan dengan kedua matanya yang cukup bulat. Apabila gadis itu tersenyum, pipinya akan mengembang seraya matanya menyipit membentuk bulan sabit. Rambut panjang yang ia miliki selalu dicepol tinggi, atau diikat ekor kuda. Sementara Kakaknya Alana, mempunyai kontur wajah yang tirus, dengan tahi lalat kecil menghiasi sudut mata kirinya. Gadis berponi itu mempunyai mata yang sedikit sipit daripada Alena. Rambut Alana dipotong pendek, dan tergerai begitu saja. Puncaknya pada hari itu, ketika Alena akan berangkat ke luar kota, di mana Alana ditinggal sendirian tanpa penjagaan. Gadis itu telah mempersiapkan sesuatu yang tidak seorang pun mengetahuinya. Akan tetapi, hal yang ia persiapkan justru menghantarkan Alana pada kehidupan baru--kehidupan yang lebih luas daripada apa yang ada di dalam pikirannya.
Title: REDIVIDER Category: Science Fiction Text: PROLOG 2040, tahun dimana terjadinya pembantaian mahluk hidup. Serangan nuklir yang menghacurkan bumi membuat seleksi alam kembali berjalan. Manusia yang mampu bertahan akan selamat, sedangkan manusia tersisa akan menemui ajal’nya. Damapak dari ledakan nuklir yang mengeluarkan zat radioaktif mengakibatkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan kanker yang berujung kepada kematian. Manusia berlomba-lomba mendapatkan vaksin yang bernama “nima”. Bahkan saat itu nima lebih berharga ketimbang uang dah perhiasan. Namun tidak untuk Varost, negara kecil yang berada di tengah-tengah benua biru. Mayoritas rakyatnya yang berada di garis kemiskinan membuat mereka lari dari pemeriksaan vaksin sehingga keadaannya semakin parah. Sel mereka yang terinfeksi mulai berkembang memperkuat diri dan mulai menyerang manusia lain yang sehat. Diam-diam Varost membuat pasukan khusus untuk membunuh orang miskin yang tidak mampu membeli nima bahkan saat orang itu dinyatakan negatif dari sel mematikan. Pada akhirnya, bangkai yang disembunyikan pasti akan tercium juga bau busuknya. Dunia melihat tindakan ini sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka melarang pemerintah Varost untuk bertidak lebih jauh lagi. Varost tidak berhenti sampai di situ. Mereka merubah kebijakan dengan memberikan nima kepada rakyatnya secara Cuma-Cuma. Rakyat berbondong-bondong mengikuti kebijakan tersebut. Wajah bahagia menghinggapi nyawa yang berjalan. Mereka sadar masih ada titik cahaya dalam pekatnya kelabu kehidupan. Namun itu hanya ilusi yang diciptakan oleh pemerintah Varost. Merka tidak sadar akan menjadi objek eksperimen bio-technology yang di lakukan pemerintah Varost. Dari hasil bio-technology ini terciptalah mahluk yang luar biasa. Mereka terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama merupakan objek eksperiment sukses yang diberi nama Survivor. Golongan kedua merupakan objek eksperiment gagal yang diberi nama Creaturs. Creaturs sangatlah berbahaya. Mereka tidak mempunyai hati atau biasa manusia menyebutnya Perasaan. Mereka hanya penuh dengan nafsu membunuh yang besar. Kulit yang mengeras sepeti batu berwarna hijau muda. Tidak memiliki bulu atau rambut sedikitpun,memiliki postur tubuh seperti singa, dengan warna mata merah terang, cakar dan taring yang siap merobek daging tanpa kenal rasa takut. Cerdas,kuat,serta licin membuatnya menjadi predator teratas dalam rantai makanan. Creaturs merupakan karnivora. Kadang dia memakan manusia kadang juga dia hanya mengigitnya. Namun gigitan’nya lebih fatal jika di bandingkan dengan dimakan langsung. Creaturs akan menaruh dua telur pada objeck yang digigitnya. Telur itu akan menetas sehingga akan muncul 3 Creaturs baru. Dua telur dan satu manusian yang terinfeksi. Mereka yang sudah terinfeksi tidak dapat mengenal siapa kawan dan siapa lawan. Semua ingatan mereka terhapus seketika. Namun berbeda dengan Survivor. Creaturs akan berfikir dua kali jika ingin menyerang mereka. Gigitan pada mereka hanya menimbulkan luka. Satu-satunya cara untuk melenyapkan Survivor adalah membunuhnya. Walaupun tidak semudah membalikan telapak tangan. Creaturs dikurung dalam satu tempat yang diberi penjagaan super ketat bernama DarkPlace. Kebebasanya merupakan kiamat bagi umat manusia. Tahun 2145 kiamat itu terjadi lagi selang Satu abad manusia telah berusaha pulih dan mencoba membuat kehidupan baru dari kiamat sebelumnya. Kesalahan sistem pengaman membuat Creaturs melarikan diri. Beberapa bulan kemudian mereka menyebar dan menginfeksi manusia di seluruh dunia. Sisa manusia normal yang bertahan tidaklah menyenangkan, mereka hidup dalam bayang ketakutan, berlindung di balik dom berbentuk kubah transparan menyelimuti pemukiman warga yang di sebut Shield Barier. Tidak banyak manusia bernyali yang berani keluar dari pelindung itu. Kehidupan mereka seperti burung dalam sangkar. Setiap negara di dunia memilki caranya tersendiri untuk bertahan hidup termasuk Varost. Mereka berusaha untuk mengurangi populasi Creaturs yang memang lebih banyak dari Survivor atau manusia normal. Lalu di bentuk lah HUNTER, pasukan yang terdiri dari survivor dan manusia terpilih dengan daya kekuatan besar. Survivor sebagai senjata mematikan sedangkan manusia menjadi otak dibalik senjata itu yang bersembunyi di labolatorium eksperiment. Mereka beraksi pada malam hari dimana Creaturs sangat aktif pada waktu itu. Bisa kalian bayangkan jika bertemu dengan monster yang bernama Creaturs dengan taring dan cakarnya yang siap mengoyak daging kalian kapanpun dia mau? Mari kita mulai Ceritanya.... ACT 1 : This is My Life Hidup adalah perjuangan. Itu sudah aku sadari sejak masih anak-anak. Bahkan sebelum aku tumbuh dewasa. Aku berjalan mengikuti aliran sungai. Bunyinya gemercik seakan membawa aku ke alirannya. Pepohonan juga melambai sejak tadi. Angin membawa nada harmoni yang terasa merdu di telinga. Burungpun ikut bernyanyi mengikuti nada tersebut. Pagi ini sungguh pagi yang cerah. Oh iya, perkanalkan namaku yotta Sylvana. Mereka memangilku yotta. Sylvana yang berarti hutan dari bahasa latin dan yotta yang berarti kebahagiaan dalam bahasa jepang kuno. Andai saja aku masih bisa bertemu kedua orang tuaku, aku akan berterima kasih karena telah memberiku nama yang sangat begitu bermakna. Kita tau bahwa hutan merupakan paru-paru dunia. Tanpanya dunia akan hancur serta menggangu keseimbangan kehidupan. Contohnya sekarang, hutan telah menipis dan dunia diambang kehancuran. Aku tinggal bersama pamanku yang bernama Lim Sylvana. Dia orangnya baik dan penyayang. Berkatnya aku tidak terlalu memikirkan kasih sayang kedua orang tua. Dia juga sangat berwibawa dan memiliki jabatan yang penting di pemerintahan sebelum peristiwa itu menghancurkan semuanya. Aku berjalan menghampiri bangku kosong yang terlihat lusuh. Kayunya telah bolong tanda bukti kepemilikan rayap. Warnanya terlihat memudar sejak terakhir kali aku melihatnya. Baiklah dengan menghelakan nafas, aku akan mencoba merangkai kembali peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Aku dilahirkan di dunia yang berbeda dengan gambaran buku sejarah yang aku pelajari. Disebutkan di dalamnya manusia hidup dengan damai. Hanya daerah tengah yang memiliki konflik berkepanjangan. Manusia dengan sifat otoriternya hanya mementingkan kepentingan sendiri. Berbagai paham tersebar di seluruh dunia. Perang dingin telah berlangsung antara gagasan Karl Marx dengan John Locke. Demokrasi yang menjadi titik tengahnya. Namun itu dulu. Ketika hutan masih bisa bernafas dengan tenang walaupun asap Riau di tenggara membuat perihnya mata. Ketika sungai masih mengalir seperti darah yang berserir kencang pada urat nadi. Tak ada lagi paham antara filsafat yang di elu-elukan oleh pendukungnya masing-masing di zamannya. Hanya ada satu paham yang berkembang di seluruh dunia saat ini yaitu SURVIVE. Sekarang hanyalah keindahan maya. Manusia terkurung dengan bodohnya dalam sangkar yang bernama Shield Barier. Bahkan burung saja bisa tertekan jika tidak melihat alam. Apalagi manusia yang di takdirkan untuk bersama-sama. Aku kadang iri dengan mereka yang di anggap monster. Manusia yang tekena radiasi nuklir sehingga bervolusi dan memiliki kesempatan untuk melihat dunia luar. Sungguh ketidaksempurnaan yang sempurna. Pamanku memiliki jabatan yang strategis di pemerintahan. Oleh karenanya sejak kecil aku tinggal di daerah Gold. Kawasan khusus presiden dan pejabat pemerintah. Di daerah itulah aku dapat mengenyam pendidikan. Selain kawasan gold, terdapat kawasan silver untuk pengusaha dan orang kaya. Setelah itu terdapat kawasa bronze untuk orang bawah. Setiap kawasan memiliki tinggkat keamana berbeda untuk menghalau serangan Creaturs dan kawasan Gold-lah yang paling kuat. Pemerintah sama bejatnya dengan Creaturs yang mereka anggap ancaman dunia. Rakyat jelata di biarkan begitu saja tanpa perhatian sedikitpun. Mereka di kekang oleh pembodohan yang tak kunjung berakhir. Bagaimana bisa mendapatkan kedamaian dunia jika mengurus rakyat kecil saja tidak becus. Ini nyata mataku melihat semuanya. Telingaku dapat mendengar rintihan penderitaan mereka. hidungku dapat mencium aroma ketidak adilan. Bahakan lidah mereka sudah kering untuk sekedar merengek meminta keadilan pemerintah. Tak ada bedanya manusia sudah berevolusi. Sifat binantang masih melekat pada diri mereka. aku bersyukur bisa berada disini. Walau dengan jalan yang menyakitkan. Setidaknya aku masih bisa membela keadilan dengan kemampuan yang aku bisa. “Tulisan kamu semakin bagus ya. Semakin tajam dan menusuk. Lama-lama jika kamu seperti bisa di tangkap oleh petugas keamanan. Bahkan yang lebih parah bisa bertemu dengan Creaturs.” Sahut Gadis berparas Cantik memakai satu set setelan kasual itu memecah konsentrasi yotta yang tengah menorehkan tinta pada kertasnya. Dia mendaratkan tubuhnya tepat di samping yotta. “Aku Cuma iseng nulis doang kok. Siapa juga yang mau cari masalah?” bantah yotta malas terhadap Gadis yang memang sering di temuinya di kawasan bronze dimna dia tinggal saat ini. “Siapa sih yang gk tau tajamnya tulisan dari Amarock?” pancing Gadis itu kepada yotta. Yotta terhentak dan menatap Gadis itu dengan tajam jika di artikan “Bagaimana bisa tau nama pena ku?”. “Aku gak sengaka liat tulisan kamu kemarin dan disana ada kata Amarock. Jadi aku simpulkan kalo yang menulis semua artikel itu kamu”. Gadis itu berbicara lancar sedangkan yotta beku tak bisa mengelak lagi. “Aku janji ko gak akan kasih tau siapa-siapa tentang ini. By the way, nama aku Laura Hilton.” Gadis itu tersenyum manis sambil mengulurkan tanggan yang langsung di jabat oleh yotta dengan muka yang sedikit memerah karna malu. “Yotta Sylvana... Panggil saja Yotta.” Yotta kemudian melanjutkan aktivitasnya tadi. Tak lama kemudian terdengar suara jepretan poto di dekatnya. Yotta mengangkat kepala menemukan Laura tengah memposisikan kamera untuk mengabadikan dirinya yang sedang menulis. “Hei, kalau mau poto bilang dulu. Dasar Tante-tante lancang!” yotta mendelik kesal melihat tingkah laku Gadis didepannya. Tak terima dirinya dipanggil dengan embel-embel Tante, Laura mengaktifkan flash dan terus menerus menekan tombol shutter berulangkali mengakibatkan kilauan cahaya yang membuat yotta tidak nyaman. “Laura, stop it!! Mata aku sakit. Ini gak lucu tau.” Yotta terus menghalangi cahaya flash dengan mengunakan kedua tangan nya. Dengan kesalnya Laura pun berkata “Apa aku terlihat tua bagimu tuan yotta? Asal kau tau, umurmu sama dengan umurku. Jika kau memanggilku dengan sebutan Tante maka kau juga seorang Om om hmmmm.” Dengan raut wajah cemberut Laura memberhentikan kegiatannya tersebut. “Terserahlah apa maumu. Ide yang ada di kepalaku jadi hilang gara-gara tingkah laku bodohmu itu.” Yotta memberenggut kesal. Dia beranjak pergi meniggalkan Gadis yang bernama Laura Tersebut. Yotta melangkahkan kakinya ke suatu daerah kumuh. Gang kecil dia lalui untuk sampai menuju rumahnya. Rumahnya memang tidak terlalu bersar mengingat dirinya tinggal di kawasan daerah Bronze. Namun tidak juga bisa di bilang kecil. Nampak bunga angrek menghiasi setiap sudut halaman rumanya. Di sela-sela nya terdapat kolam kecil berisikan ikan yang beruntungnya yotta bisa lihat. Binatang peliharaan sangat langka dan perlu izin yang rumit jika ingin mendapatkanya bahkan jika itu se’ekor ikan. Kebanyakan mereka berada di daerah konservasi alam daripada di lingkungan rumah. “Paman, yotta pulang!” teriak yotta seperti biasanya jika dirinya sudah menginjakan kaki di rumah. Paman langsung menyambutnya jika ada. Semuanya sudah menjadi ritual yang sulit untuk tidak dilakukan. “kamu darimana aja?” Lim bertanya kepada yotta sembari menyiapkan makan siang untuknya. Menu hari ini adalah kare dan beef stick yang yotta suka. Makanan ini patut yotta syukuri karena dia hanya bisa makan dua kali sehari mengingat kondisi ekonomi keluarganya kini yang sedang terganggu. “Habis jalan-jalan aja hap.emhh Paman tidak bekerja lagi..?” yotta bertanya dengan mulut penuh makanan. “habisin makananmu dulu baru berbicara. Nanti jam 1 siang paman akan bekerja di Kantor miss Rose (Sebuah perusahaan kecil yang memproduksi Pakai’an). Kamu jangan lupa hari ini ada kegiatan belajar di pondok yang ada di kawasan Gold.” Lim berbicara tegas namun terselip kasih sayang didalamnya. Pondok menjadi tempat menimba ilmu di zaman ini. Sekolah sudah tidak ada lagi. Pondok memiliki jam yang lebih sedikit dan cenderung asal-asalan dalam melaksanakan pendidikan. Negara lebih memusatkan kepentingan militer daripada suber daya manusianya. Dahulu Lim memiliki pekerjaan yang mapan sebagai kepala departemen riset teknologi Varost. Namun kini dirinya sudah tidak bekerja lagi. Dia di isukan terlibat korupsi besar dengan penggelapan vaksin survivor. Yotta yang sudah tau tabiat pamanya itu menyangkal semua berita tersebut. Walaupun kini beritanya sudah menyebar di sluruh penjuru Varost dan pamannya menjadi bulan-bulanan maki’an warga. Sekarang Lim bekerja sebagai Administrasi sebuah Perusahaan kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama yotta. Yotta menggaguk lalu meminum air untuk melegakan kerongkongannya. Satu hentakan kaki dia beranjak untuk merapihkan buku dan memasukannya kedalam tas. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke pondok. Yotta lebih tertarik untuk pergi ke perpustakaan pusat yang berada di kawasan Silver. Dia memiih untuk belajar otodidak ketimbang menimba ilmu di pondok. Semua pengetahuan yang didapat dari buku-buku yang dibacanya di tempat itu. Yotta mengurungkan niatnya untuk pergi ke pondok. Dia lebih tertarik untuk menghabisakan waktunya sekedar duduk menikmati alam di pinggir Shield. Jika sudah seperti ini pastilah ide untuk menulis akan cepat mengalir. Di saat sedang menulis, suara sirine diiringi dengan cahanya berwarna merah berbunyi. Yotta hanya menatap kagum cahaya tersebut. Sebelumnya dia tidak pernah bertemu dengan cahaya sepeti itu. Yotta menajamkan penglihatnnya untuk mengetahui darimana suara dan cahaya itu berasal. Namun di saat itu juga, dia melihat sosok asing berjalan ke arahnya. Dia telihat menggeram. Suaranya berat menggema. Kulitnya seperti pahatan batu berwarna hijau muda, ternyata yotta bertatap muka dengan Mahluk itu. Dia menyeringai seram melihat yotta yang sedang berdiri sendirian. Oh tidak! Yotta baru mengigat sosok tersebut. Dia mahluk yang pernah di bacanya saat berada di perpustakaan pusat. Dia yang sering di panggil Creaturs. Tunggu, dia pemakan manusia bukan? Yotta meneguk ludahnya ketika mengingat semua tentang mahluk itu. Tubuknya bergetar ketakutan. Kakinya tak dapat bergerak mematung di tempat. Dia memejamkan matanya dan pasrah ketika Creaturs bergerak cepat dan melompat ingin menerkamnya. “Arrrggghhh...” teriakan Yotta terdengar sebelum dirinya telah hilang Kesadaran................... [Tobe Continued] ACT 2 : Where Am I? Kepalaku terasa pusing menyakitkan. Rasanya dunia seperti berputar. Aku buka kedua mataku yang berat ini. Remang-remang penglihatanku mulai jelas kembali. Perlahan aku bangkit dari tidurku dan mulai meneliti apa yang terjadi saat aku terlelap. Setelah berusaha mengingat kembali kejadian yang lalu. Aku tau bahwa aku bukanlah tidur melaikan pingsan. Aku juga tau bahwa tadi aku telah bertemu dengan mahluk paling ganas di planet ini. Aku sangat yakin Creaturs itu berhasil menerkamku. Seketika aku meraba seluruh tubuhku takut akan infeksinya namun tidak terdapat luka sedikitpun. Apa yang terjadi denganku? Aku berjalan mengitari ruangan ini. Ruangannya terasa asing. Warna putih dan hitam mendominasi. Satu kasur yang cukup besar dengan sofa di sampingnya. Tak lupa lemari berjejer di sudut kamar. Tidak ada jendela di ruangan ini. Hanya ada lubang ventilasi yang berada di langit-langit ruangan. Setelah puas memperhatikan seluk beluk ruangan ini. Terdengan suara decitan pintu terbuka menampilkan dua orang laki-laki dan perempuan yang melangkah masuk dengan satainya. Tak ada yang aneh dengan mereka. tampilan fisiknya seperti manusia biasa pada umumnya. “wah kamu sudah bangun rupanya, Aku kira kamu akan tidur untuk selamanya hehehe.” Sahut laki-laki berambut merah dengan nada bercanda yang membuatku sedikit kesal. Baru saja kesadaranku mendarat di tubuh ini tapi langsung di suguhkan dengan kata-kata pedas yang terlontar dari mulutnya. “Bagaimana keadaanmu saat ini Tuan?” giliran perempuan berambut hitam panjang dengan wajah cantik seperti keturuan orang korea itu. Yang bertanya kepadaku. “ Aku dimana?”. Pertanyaan itu yang otomatis keluar pertama dari bibirku. (Jaelah sama cewe cantik aja langsung conect hihihi.. :D) “Kamu berada di salah satu markas Hunter tingkat Lv 2 Cabang Orion, tepatnya di kamar Clara. Tadi dia yang membawamu kesinih.” Jawab laki-laki yang jika di tebak memiliki umur jauh lebih muda daripada aku terlihat dari tinggi bandan yang terpendek di antara semuanya. Laki-laki itu menggengam kaleng soft drink dan terus meneguknya. Dahiku mengkerut kebingungan. Siapa Clara ini? Dan kenapa dia bisa menyelamatkanku? Aku menepuk dahiku seakan melupakan sesuatu “harusnya aku berterimakasih kepadanya”. Batinku berbicara. “Aku mengucapkan terimakasi kepada Bu Clara. Mungkin jika tidak ada dia, aku sudah tiada dan berubah menjadi mahluk mengerikan bernama Creaturs itu”. Aku menerawang nasibku jika tidak di selamatkan Perempuan itu. “Ya sama-sama. Lain kali jika bertemu mahluk seperti itu kamu harus berlari menyelamatkan diri bukanya diam berteriak pasrah menyerahkan dagingmu. Dan bisakah kamu stop memanggilku dengan kata “Ibu” di depan namaku. Apa kamu kira aku setua itu? “Huaahh” aku menghela nafas, dan dia berkata “Kita sepertinya seumuran.” Protes perempuan itu dengan nada jengkel. Aku mencari arah datangnya suara. Mata kami bertuburuk tak sengaja dan aku bisa melihat jernihnya biru samudra yang terlihat di mata perempuan yang bernama Clara itu. “Oke Maaf kalo gitu, tapi thanks ya tadi udah nyelamatin aku”. Aku tersenyum ke arah orang itu sambil mengusap rambut kepalaku. sedangkan dia hanya menatapku datar dengan tatapan tajamnya.” Wuahhh lagi-lagi aku membuat wanita kesal karena salah menyebutkan perbedaan umur” sahut diriku di dalam hati. Lalu aku mengalihkan Perhatianku ke arah lain dan mulai berkata “Adek kecil ini Berapa umurnya?” Aku mencoba ramah kepada anak laki-laki yang sedari tadi memegang kaleng soft drink. “HAHhhh!!!! Apa katamu Tadi....?!” Dengan berteriak marah kepadaku. Lalu seorang perempuan di sebelahnya berkata ”Jhahhahaha, walaupun terlihat pendek dan seperti anak kecil ini, dia juga seumuran kita tahu” ia tertawa sambil menahan tubuh anak laki-laki yang sedang marah kepadaku itu. Aku hanya menelan ludah ku sendiri. Sudah berapa kali aku salah dalam memperkirakan umur seseorang sehingga mereka tidak menerima saat aku memberikan gelar ‘Tante’ atau ‘ibu’ sekarang aku salah lagi memanggil dia dengan sebutan “Adek kecil”. Maaf aku salah lagi.” Aku tertawa basi sambil menggaruk tengkuk kepalaku yang sejujurnya tidak gatal. “Daripada salah memanggil sebutan seseorang lagi, lebih baik kamu tau nama orang itu.” Laki-laki itu terus melanjutkan meminum soft drink-nya. Setelah berfikir kenapa soft drink itu tak kunjung habis? “Oh iya perkenalkan namaku Yotta Sylvana. Kalian bisa memanggilku yotta.” Aku tersenyum ramah kepada semuanya. “Namaku Cindy Freya. Kamu bisa memangilku Cindy.” Perempuan berambut pirang blonde itu tersenyum lebar. “ini Ben adkinson. Panggil saja Ben.” Cindy memeperkenalkan laki-laki jutek berambut biru itu. “ Ini Dave Guinivere. Biasanya sih kami memangilnya Dave.” Cindy menujuk Dave si laki-laki betubuh mungil dengan mengelus rambut kepalanya. “Nah yang terakhir kamu sudah mengenalnya tadi. Nama lengkapnya Clara frostfire.” Cindy mengenalkan teman-temanya dengan bersemangat. Lalu Clara membawa aku serta tiga orang temanya yang baru aku kenal tadi menuju sebuat lift untuk keluar dari markas Hunter. Lift kemudian bergerak. Tidak ada suara yang terdengar, nampaknya semua diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat, lift terbuka menampilkan ruangan yang sangat megah dengan hiasan lampu yang menggantung dan lukisan yang menempel di setiap dinding ruangan. Disana nampak seperti hotel, apartemen atau universitas yang pernah aku lihat dalam sebuat buku yang aku baca. Aku tidak tau secara pasti mengenai hal itu. Ruanagan yang berada di utara terlihat dari kejauhan juga nampak seperti laboratorium riset pengembangan. Aku mengetahuinya karena dulu ketika kecil aku pernah diajak pamanku untuk pergi kesana. Banyak orang yang berlalu lalang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tempat ini memiliki fasilitas yang sangat lengkap. Aku baru menyadari sesuatu tentang markas Hunter ini. Yang pertama, ruang bawah tanah ternyata hanya sebagai tempat pertemuan, latihan Survivor dan asrama bagi mereka sebagai tempat peristirahatan. Sedangkan tempat ini yang aku pikirkan berada di permukaan tersebar beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada kelas sebagai tempat belajar mengajar, perpustakaan lengkap, ruang makan, ruang Gym, lapangan indoor olahraga, dan masih banyak yang lainnya. Aku bisa pastikan tempat ini di pergunakan untuk kegiatan yang manusia biasa lakukan agar survivor juga bisa merasakannya. Yang kedua, aku tidak pernah tau tentang keberadaan tempat ini di daerah Varost. Aku telah hijrah dari kawasan Gold menuju kawasan Bronze tetapi tidak pernah kutemukan tempat seperti ini sebelumnya. Mungkin tempat seperti ini pernah ada, namun semua itu hanya berada dalam imajinasi liarku saja. Pendapat terkuatku kini adalah tempat ini mempunyai invisible mode sehingga mereka di luar sana tidak bisa melihat. Aku hanya terperangah melihat patung Clara karya Dave Guinivere yang dibuat sekitar 4 tahun lalu, berdiri dengan indah dan gagahnya. Patung itu dilapisi emas dan dikelilingi oleh air mancur yang membuatnya sebagai pusat dari tempat ini. Aku tidak percaya dengan keberadaan patung di depanku. Bayangkan saja Semua bahannya terbuat dari emas patung itu sangat indah dan kokoh berdiri. Aku mendekat untuk memastikan keaslian patung itu. “Hey,itu Cuma segelintir mahakarya dari Dave. Dia memang berbakat dalam bidang seni. Salah satunya patung itu. Patung diriku.” Clara menjelaskan dengan santai kepadaku. “Wahhhh Hebatt... Eh.. Tu..tunggu... Patung Dirimu? Clara?” Ekspresi yotta Kagum sekaligus kaget. “Tentu saja, Lihat.. Mirip Bukan!” Clara berdiri Berpose menirukan patung itu. Jujur aku kagum dengan kemampuannya. Umurnya yang masih muda namun dapat membuat karya yang begitu hebat. Harusnya aku tau dari rambutnya yang merah menandakan bahwa dia memang memiliki jiwa seniman. Selain itu, tampilanya juga selalu nyentrik. “Tadinya dia ingin membuat replika patung Goddess Nike of Samothrace. Namun karena bagian patung dalam mitologi yunani sebagai dewi kemenangan. Jadi kalo Dave membuatnya pasti akan bagus.” Penjelasan Clara yang di hadiahi anggukan kecil olehku. Setelah itu aku bergegas menysusul Ben,Dave, dan cindy yang telah meninggalkanku disini bersama clara. Jujur aku lupa akan waktu jika seudah bertemu sesuatu yang menarik. Mereka sepertinya sudah cukup jauh. “Hey.. Yotta Cepat Kemari, maaf karena tidak bisa berlama-lama di sinih karena kamu adalah warga sipil, Dan kami pun harus pergi karena ada Misi, Nah silahakan naik, Kendaraan ini akan mengantarmu Pulang ke kawasan Bronze”, setelah keluar dari markas Hunter, bangunan itu sudah tidak tampak lagi. Sepertinya anggapan Yotta selama ini benar. Nampak para teman survivor-nya sedang menjalankan misi penting sehingga terburu-buru langsung meninggalkan yotta tanpa salam perpisahan... [Tobe Continued] ACT 3 :The Dawn Of Abbys Mentari telah tersenyum memelukku dalam dekapan hangatnya. Angin bahkan telah mengetuk jendela seakan mengajakku ikut bermain bersama. Lavender telah bergoyah mengikuti irama menyebarkan bau semerbak nya. Ikan Nemo juga begerak kesanah kemari seakan tak mau kalah dengan yang lain. Aku binggung kenapa mereka membangunkanku. Aku membuka kedua kelopak mata yang berat ini. Kepalaku menoleh pada jam yang berada di atas naskah. Sontak aku melocat kaget, “Wah Gawat, udah jam seginih”. Buru-buru aku merapihkan kasurku kemudian lari kecil pergi menuju kamar mandi. Setelah aku rasa siap, aku bergegas menuju ruang makan menemui paman yang sudah menugguku sejak tadi untuk makan bersama. “Pagi paman, maaf aku telat bangun”. Suaraku yang terbata-bata terlihat gugup di tambah sedikit khawatir. “iya gapapa, yaudah makan gih. Paman hari ini mungkin tidak akan pulang cepat, kerjaan paman sangat banyak soalnya. Ingat hari ini kamu harus pergi ke pondok. Jangan pulang terlalu malam.” Paman dengan tegas berkata padaku tanpa adanya bantahan. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk. Jika aku membantah perkataannya sekalipun juga paman akan tetap memaksa. Setelah menghabiskan sarapan pagiku. Aku melesat pergi menuju pinggiran Shield seperti biasa sebelum menuju pondok. Disinilah tempatku. Aku menghirup penuh sampai ke paru-paru udara segar yang berlarian memaksa daun-daun untuk menari. Pinggiran kota yang jarang terjamah oleh kaum hedonis pencinta lembaran kertas yang berwarna. Aku tak habis fikir. Mereka orang Altair yang mengaku memiliki segalanya. Tapi aku memiliki jawaban untuk menyanggah stigma mereka itu. Kasih sayang dan kepercayaan tidak ada dalam diri mereka. mereka hidup seakan jiwa hilang terbang telepas dari raga. Hidup dalam ketidakpercayaan untuk bertahan. Menduduki tingkat teratas. Seperti lintah yang terus menghisap darah sesama lintah. Tak ada yang untung, hanya kesakitan yang di terima. Padahal kepercayaan seseorang itu sangat mahal harganya. Anggaplah kepercayaan itu sehitam tinta. Semakin banyak kamu torehkan kesalahan dalam kertas putih hidup mereka. tinta akan semakin habis meresap dalam kertas itu merubahnya menjadi hitam tak percaya lagi. Menganggap kebahagiaan hanya sekedar bergelimpangan materi? “Karena pada dasarnya manusia memiliki sifat yang selalu inggin lebih dari sebelumnya. Setelah mengetahui bahwa memiliki materi tersebut adalah sebuah kenikmatan. Mereka terus menggali hingga menjadi sebuah tumpukan. Mereka makan semua itu hingga perutnya meledak mengeluarkan isinya.” Senyum jahil melengkapi wajah Laura yang kini mengambil inisiatif duduk di sampingku. “Awalnya kamu benar, Akhirnya kamu ngaco.” Aku berkata ogah-ogahan kepadanya. Sudah terlalu lelah menghadapi sikap aneh Gadis itu. “Bisa tolong geser sedikit,Aku butuh Ruang untuk bernafas nih.” Sahutku dengan wajah datar. “Uhhhk Dingin sekali kamu” Dia hanya tertawa kecil melihat reaksi yang aku berikan. Lihat saja saat ini, Disamping dia terus menerus menggodaku. kami sudah seperti bayi kembar siam yang menempel erat. Untung saja kepalaku tidak satu kepala dengan dia. Jika iya pasti otakku sudah sama erorrnya. “Habisnya Kamu lucu Banget sih” jawabnya singkat, menatapku sambil tersenyum. laura yang membuat wajahku seketika memerah karna tersipu malu. Ia pun berkata “Ya..ya.. seperti ini lah yang membuatku tertarik padamu, saat wajah tampanmu yang dingin itu memerah karena malu.. hehehe ^_^” berhentilah menggodaku dasar wanita kurang kerjaan. Haduh buyar sudah konsentrasiku ,ide-ideku pun mulai semrawut hilang dari pikiran, suasana tenang dan damai tadi ,hilang seketika saat dia datang. Aku menghela nafas dan berkata “Haaah.. sebenarnya apa yang kamu ingginkan dariku laura?” sambil menutup buku dan menyerah untuk mengabaikannya. “Aku hanya bosan di rumah, dan tidak ada teman seumuranku yang bisa di ajak bermain keluar. Karna mereka takut akan teror mahluk buas yang sekarang sering di beritakan, lalu aku bertemu denganmu yotta. “Awalnya kamu terlihat sangat pendiam dan dingin. Tapi setelah kita berbicara, ternyata kamu orangnya sangat menarik dan menyenangkan.. Untuk ku godain hehehe :D”. Sahutnya dengan tertawa kecil. “Duh kamu ini laura, mengganguku hanya untuk rasa bosan mu itu, kejam sekali” -_- lihat tulisanku tak kunjung selesai karenamu. “Iya deh iyah maafin aku yah.” Sahut laura. “Oh iyah, kemarin kamu kemana kok gak kelihatan batang hidungnya.” Laura bertanya padaku. Karena kejadian kemarin yang cukup membuatku shyok berat, menggingat apa yang telah terjadi padaku. Pertanyaan itu membuatku terdiam melamun membayangkan peristiwa kemarin. “Hello yotta, yotta?! Aku sedang bertanya padamu, kenapa malah melamun, Apa kamu sakit?” yang membuatku terkejut dan kembali dari lamunanku . “Oh tidak, kemarin aku ada urusan di pusat kota, jadi tidak sempat kesinih” begitulah alasan yang ku buat, karna tidak ingin menceritakan kejadian mengerikan itu pada laura. “Oh begitu, aku kira kamu sakit yotta, soalnya kamu terlihat pucat sekali” laura menempelkan dahinya pada dahi’ku sambil menutup matanya untuk mengukur temperatur tubuh. Mataku terbelalak dan Wajahku lagi-lagi memerah, karna kaget akan kelakuannya itu. “De,,de..ka,,tt.. wajahnya terlalu dekat di hadapanku” dalam batinkun berkata. Bibir mungil merona’nya itu hampir menyentuh bibirku. “Gawat Bisa-bisa aku hilang kedali olehnya.” Kesadaranku pun mulai kembali, lalu kedua tanganku buru-buru mendorong kecil tubuhnya untuk memberi sedikit jarak diantara kita. “Apa yang kamu lakukan laura?” sahutku. “Ehhh bukannya memang seperti itu memeriksa orang yang sedang tekena demam ?!” ia berkata dengan santainya di tambah wajah polos. “Tentu saja bukan dasar Kamu ini, memeriksa suhu tubuh seseorang yang demam itu menggunakan alat termometer kecil” kataku. “Tapi kan aku tidak bawa, jadi kugunakan cara Manual saja. Hehehe.” Lagi-lagi ia tertawa kecil dengan polosnya. Aku menghela nafas “hah kamu ini, yasudah aku mau kembali ke perpustakaan kota, ada buku yang harus ku baca untuk refrensi tulisanku” Bye laura!”. “Tunggu dulu yotta! Ada yang inggin aku bicarakan denganmu, ini serius” ia berlari menghampiriku. Saat aku berbalik ke arahnya, Tiba-tiba ia tersadung batu dan jatuh tepat di pangkuanku saking tiba-tibanya sampai tubuh kita terjatuh ke matras tanah di situh. posisi aku di bawah dan dia di atas, Dengan bibirnya yang menempel di bibirku,”Ehmmm,ciuman pertamaku dengan gadis ini.. lembut sekali bibirnya dan berasa seperti rasa ayam goreng” dalam batinku berkata. selang beberapa detik kita berdua kaget terdiam sesaat karna ciuman itu. “belum sempat aku meminta maaf, laura mengatakan “Maafkan aku yotta,itu tadi gk sengaja” sabil salah satu tanganya menutup bibirnya dan Akupun kaget melihat wajahnya yang merona karna malu. Sebenarnya itu juga ciuman pertama bagi laura. “Aaa.. aku juga minta maaf laura, karna tidak sigap menangkapmu saat terjatuh tadi, sampai terjadi hal ini.” Sahutku. “Ti..tidak apa-apa yotta, lagi pula itu salahku juga,Oh iyah.. sekarang aku ingin bicara serius denganmu tolong ikuti aku.” Sahutnya Dengan suara gugup dan terbata-bata . Ia langsung memegang tanganku dan menarikku ke suatu tempat. “Ehhh ,tunggu ,tunggu laura, kamu inggin membawaku kemana?” “Nanti aku beri tau, sudah ayok ikut aku saja dulu” dengan wajah serius dan tajam menatapku. Karna penasaran juga ,Aku hanya menurut dan mengikutinya. Laura mengajakku pergi ke tepian hutan. Semak-semak yang berjejer rapat terlihat menghalangi perjalanan kami. Pohon yang menjulang tinggi dengan daunnya yang rindang menghalau sinar matahari yang masuk. Kami terus berjalan hingga aku melihat sinar matahari dari kejauhan. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat sekarang. Lubang besar menganga yang cukup dalam diameter yang aku perkirakan sekitar 6 meter terpampang nyata disana. Hutan terlihat rusak berat. Pantas saja sinar matahari dapat masuk. Laura mengambil gambar dengan kameranya. “Sebenarnya aku telah menemukan lubang ini sekitar 3 hari yang lalu ketika terjadi tragedi itu.” Seketika aku bergidik ngeri memutar kembali kejadian tersebut. Lubang ini tak jauh dari tempat biasanya aku kunjungi. Lubang ini juga tak jauh dari letak Creaturs yang pernah aku temui. “Mengerikan sekali, apa Creaturs yang membuat lubang ini?” “Aku tidak tahu sepertinya terjadi perkelahian hebat mengingat kerusakan yang sangat parah pada hutan ini. “Laura mengedikkan bahunya padaku, dengan begitu hubungan kami sedikit menjadi lebih dekat dan akrab”. {next time} Setelah pemeriksaan ketat, yotta melangkah menuju pondok yang jaraknya sekitar beberapa blok dari pintu gerbang kawasan Gold. Sepanjan perjalanan banyak pasang mata yang melihatnya dengan tatapan merendahkan. Yotta tampak acuh melanjutkan perjalanan. Dia melenggang masuk ke dalam kelas dengan sopan mengucapkan salam. Tatapan intimidasi guru langsung diterimanya ”Selama ini kamu kemana aja tuan Yotta?” Bu Lawrence berkata dengan juteknya. “Saya sakit bu” yotta cengengan tidak jelas memperliatkan barisan giginya yang putih menutupi kebohongannya. “Yaudah kamu duduk sanah” perintah Bu Lawrence yang langsung dilaksanakan oleh yotta. Pelajaran dimulai sedangkan yotta hanya terus menulis ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Bel istirahat berbunyi. Seluruh murid berhamburan keluar kelas. Pondok memang seperti sekolah. Hanya saja karena evolusi, nama sekolah sudah tidak di pakai lagi. Yotta hanya duduk asyik dengan dunia menulisnya. “Hey yott?, kamu gk makan apah?” sahut Fani dan Dimas teman sebangku yotta yang dari tadi terus memperhatikannya .”Kayaknya enggak dulu deh.” Yotta tersenyum kikuk menghadapi teman-temannya itu. “Temenin gue makan ayo.” Dimas dan fani membujuknya dengan merangkul pudak yotta. Sedangkan yotta yang tadi asik menulis mulai menuruti kemauan teman-temanya itu. Kantin pondok ini menang luas. Banyak makanan lezat disajikan disana. Tentu dengan harga yang lezat pula. Maklum pondok ini berada di kawasan Gold yang terkenal dengan tempatnya orang berduit. Jika saja yotta masih seperti dulu, dia tidak akan segan makan di kantin. Namun dengan kondisi ekonomi yang sedang terpuruk saat ini, yotta mengurungkan niatnya itu. Yotta mengambil tempat yang paling ujung. Tak lama kemudian dimas dan fani datang menghampirinya dengan membawa tiga paket makanan A class yang tentunya mahal sekali. “udah gk usah di tolak, aku tau kamu lagi laper saat ini.” Lagi pula dimas yang traktik ko” sahut fani. “Terimakasih.” Yotta tersenyum manis yang di balas dengan senyuman seta anggukan kecil kedua sahatnya itu. Dimas dan fani tau latar belakang yotta karena dulu kedua orang tua mereka pernah bekerja sama dengan paman yotta dalam penelitian pemerintah. Dia juga tau bahwa sekarang kodisi perekonomian keluarga yotta sedang terpuruk. Yotta berbincang dengan kedua sahabatnya itu seputar tragedi yang terjadi di kawasan Bronze. Kemudian loncat berbicara tentang motif yang menyebabkan yotta tidak masuk sekolah. Sahabtnya tersebut memang memiliki satu pikiran dengan yotta. Jika Mereka itu sudah di pertemukan seperti saat ini, pasti akan terjadi obrolan yang seru diantara mereka. Saat sedang menikmati makanannya, baju yotta disiram sengaja dengan kuah makanan sehingga menyebabkan baju itu bau dan bernoda. “Wow, anak korupsi telah masuk. Kau harus menerima hukuman dariku karena telah tidak ada selama ini.” Laki-laki itu menyeringai seram. “Hey Sialan, apa yang kau lakukan terhadap sabatku?!” sahut Dimas dengan amarah sambil menarik kerah baju orang itu ke atas. Lalu yotta melerai mereka berdua fani pun menatapnya dengan tajam kepada laki-laki tidak sopan itu. Yotta sadar betul akan posisinya yang sedang terpuruk oleh rumor dan gosip yang merendahkan keluarganya itu, jika ia membuat masalah terhadap anak-anak itu ,ia hanya akan membuat pamannya dalam kesulitan. Yotta meminta dimas dan fani untuk tenang dan bersabar, dan mencoba mengerti keadaannya.... [Tobe Continued] ACT: 4 The Kidnaping and Haters Yotta berjalan menyusuri koridor sendirian. Dia terus asik dengan buku di tanggannya saat ini bahkan sedari tadi yotta tidak sadar banyak murid yang melihatnya dengan tatapan aneh. Entah kebetulan atau takdir di ujung koridor yotta bertemu dengan laura. “Hey?! Yotta aku tak menyangka bisa bertemu kamu di sinih, apakah kamu murid di salah satu cabang pondok ini. Bagaimana bisa?” sahut laura memanggil yotta. “Hmm Oh iyah, aku bersekolah juga di pondok ini, maaf aku belum menceritakan latar belakangku padamu, karena mungkin aneh bagimu seorang warga dari wilayah Bronze bisa bersekolah di pondok Wilayah Gold”. Balas yotta dengan tetap membagi konsentrasinya antara membaca dan berbicara dengan laura. Mereka berdua pun berjalan bersama sambil mengobrol ringan. Laura pun tidak menanyakan lebih lanjut tentang latar belakang yotta. Ia menahan rasa penasaranya karena melihat yotta yang enggan membicarakan latar belakangnya itu. Tanpa di sadari mereka berdua terlalu jauh berjalan menuju area pondok yang murid biasa takut untuk melangkah ke wilayah itu. Karena di sanah ada sekumpulan anak dari sebuah oraganisasi yang cukup berpengaruh di Varost. Bisa di bilang anak dari mafia. “Hey kalian?!, apa yang kalian lakukan di area terlarang ini?!” seketika orang berbandan besar dan kekar menghadang di depan dan belakang mereka menutupi jalan keluar dan masuk. “Aduh Gawat, saking asiknya membaca dan mengobrol aku tidak menyadari telah menginjakan kaki di area Asing ini” sahut yotta dalam hati. Laura pun kaget dengan keadaan saat ini karena sedari tadi dia asik menggoda dan bertanya pada yotta. “Yotta?! Bukankah ini gawat sekali?, tanpa di sadari kita datang ke tempat yang salah dan berbahaya”. Tiba-tiba Kedua tangan besar salah satu pria yang sedang menghadang mendekap laura. Pria itu membekamnya dengan sapu tangan yang telah di beri obat bius, laura yang sedang memberontak lama-kelamaan mulai lemas dan mereka memaksa membawanya pergi. Yotta yang melihatnya pun tak tinggal diam dan berusaha menyelamatkan laura. Yotta mendaratkan pukulan tanggannya ke beberapa orang yang berada di situh, sayangnya ia kalah jumlah dan Ntah kenapa yotta tiba-tiba merasa pusing dan kesakitan di pundaknya, ternyata salah satu teman dari pria tadi sudah memukul tengkuk yotta dari belakang dengan keras memakai tongkat Bat baseball. Yotta pun pingsan seketika setelah memberikan perlawanan untuk menyelamatkan laura. {Beberapa jam Pun berlalu} “Duh.. Awww.. Mataku berat sekali, dan kepalaku sangat pusing” yotta bergumam. Saat kedua matanya terbuka telihat samar-samar Laura sedang terduduk terikat di kedua tangan dan kakinya mulutnya pun di sumpal lakban kiri dan kanannya ditemani pria-pria besar dan seram menatap tajam padaku dan pada laura dan aku melihat pria yang mengenakan seragam persis sperti kami berdua kenakan. Yaitu seragam sekolah podok REM. Ahhh.. aku ingat dia... dia adalah orang yang sengaja menumpakan kuah ke seragamku di kantin waktu itu . Akupun sadar bahwa tangan dan kakiku juga di ikat mulutku pun tersumpal lakban. Aku melihat sekeliling, aku seperti berada di sebuat kendaraan yang sedang melaju, di lihat dari interiornya ini sebuah MobileWorker : sebuah kendaraan lapis baja, yang di gunakan untuk keluar area sheild. Ntah kami berdua mau di bawa kemana, yotta sangat kasihan dan tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat laura merintihkan air mata karena sangat ketakutan. Tiba lah kendaraan ini di sebuat area luas di luar perlindungan Shield tepatnya di Area Terbengkalai. Setelah di turunkan dari kendaraan kami berdua di bawa ke tengah lapang yang di sekelilingnya menjulang tembok besar setinggi 5meter menutupi lapang itu. “Ini seperti area latihan mereka bertarung” sahutku di dalam hati sambil berfikir. Hanya ada 3 orang yang berdiri disanah, karena sebagian lagi telah pergi mengunakan Mobileworker ntah kemana hanya menurunkan kami di lapang senyap ini. Nampaknya ketiga orang itu menuggu sesuatu. “Dalam hati aku bersyukur bahwa laura berada di dekatku, dan mereka tidak melakukan hal yang tidak-tidak padanya, walaupun keadaan kami ber dua masih terikat.” Salah satu pria itu menghapiri kami, lalu ia melepaskan lakban yang menutupi mulutku. “Hey! Kamu orang kampung, anak dari seorang Koruptor.. masih ingat denganku? Orang yang waktu itu sengaja mengehinamu di kantin sekolah.. Haha, sekarang rasakan ini..” sebut saja [Gruls] ia seumuran dengan ku namun memiliki koneksi dengan mafia, karna ayahnya adalah bos salah satu mafia yang ada di Varost... Sialan kau anak miskin. Kau harus menerima pembalasan.”. Bhuuhk.. satu pukulan mendarat di wajah yotta dengan keras. “Sialan!... Apa yang inggin kau lakukan Kepada kami..” jawab yotta berteriak setelah terkena pukulan.. “Anak miskin tidak pantas untuk berada di kawasan Gold. Di sinih juga tidak menerima keluarga dari orang menjijikan yang korupsi seperti paman bodohmu itu.” Gruls tersenyum sinis melihat yotta yang mengeram. lalu ia menyuruh salah satu pria yang berawakan besar seperti bodyguarnya itu melepaskanku dan menantangku bertarung..”Ku Beri kau 1 kesempatan, coba kalahkan pengawalku ini lalu aku akan melepaskan bidadari kecil cantikmu itu.. “Ini mungkin kesempatanku untuk membalikan keaadan” dalam hati yotta. Sambil tersenyum kecil di hati. Pria besar itu pun menjauh sedikit memberi ancang-ancang seperti siap bertarung. Gruls yang menyuruh salah satu pengawalnya itu bertarung denganku. “Sialan kau Gruls..! Bukannya dirimu sendiri yang maju melawanku.. kau malah bersembunyi di balik bodyguardmu itu..” gerutu yotta dalam hati sambil menatap tajam ke arah Gruls. Mau tak mau yotta bersiap dengan kuda-kuda tegap seperti seorang petinju, “Aku bersyukur masih mengigat baik bela diri ajaran paman. Dulu aku menganggap semua itu hanya membuang waktunya. Namu kini Yotta merasakan manfaat dari ajaran pamannya tersebut.” Secepat mungkin yotta meredakan amarahnya. Yotta tau dengan amarah yang membara tidak akan dapat berfikir dingin untuk keluar dari masalah ini. Pria besar dan kekar itu pun mulai berlari menyerang ke arah yotta dengan terus membabi buta menghajar yotta. Sepertinya dia tidak memandang perbedaan ukuran dalam melancarkan pukulan kerasnya. Yotta yang masih sempat bisa menghindar pun tekena satu pukulan di wajah yotta, berhasil membuatnya terhuyung ke belakang.. “Shit!!” Yotta berdiri kesusahan dengan keseimbangan tubuhnya yang mulai terganggu. Sedangkan Gruls tersenyum senang melihat yotta di hajar oleh pengawalnya itu. Di sisi lain, “Sudah Cukup Hentikan!!!.. Kumohon Jangan sakiti dia Lagi..!!” Laura yang sedari tadi Berteriak dan menagis tak tahan melihat yotta di hajar habis-habisan oleh pria besar itu terduduk terikat di bawah tembok sisi lapang. “Cepat Habisi dia!” sahut Gruls di belakang meneriaki pengawalnya itu. Ketika Pria besar itu berbalik kebelakang menaggapi permintaan Gruls, Yotta mengambil kesempatan untuk membalas pukulan pria besar itu. Dia menendang keras bagian belakang kepala pria itu hingga orang itu terjatuh.”Bruggg.. What the Fuck!” Gerutu Pria besar itu yang kini mencium tanah.”Hey bodoh,Jangan biarkan Ia lolos” Grus berkata ke salah satu bodyguardnya yang berdiri di sampingnya. Yotta pun bergegas berlari ke arah laura dan dengan cepat melepaskan tali yang mengikatnya lalu berlari meniggalkan Gruls dan kawananya. Yotta mendobrak pintu pagar lapang dengan mudahnya yang telihat sudah rapuh itu karena sudah lama tidak di gunakan. Mereka berdua berhasil menjauh dari area itu dan berlari ke area lapang. Mereka berhenti Ketika sudah di anggap aman di tengah hutan jauh dari kejaran Gruls dan Gengnya itu. “Apa kamu baik-baik saja Laura? Maafkan aku yang sudah menyeretmu ke dalam masalah ini”. Yotta bertanya dengan halus kepada laura.. “Iyah aku baik-baik saja..bagaimana denganmu aku melihat darah mengalir keluar dari betis kakimu. Sinih biar aku lihat, kebetulan aku membawa handyplast di saku’ku karena sebelum bertemu denganmu aku habis dari UKS sekolah” sahut laura setelah memeluk erat yotta dan menangis ketakutan di pelukannya. “Awww- Awww- Oh ini.... mungkin karena tadi aku mendobrak pintu pagar dan kakiku tergores sedikit” dengan wajah sedikit terseyum dan sedikit menahan rasa perih karena sedang di obati oleh laura. “Ini hanya pertolongan pertama, lukamu harus di obati lebih lajut supaya tidak terjadi infeksi” gumam laura. Kodisi hari itu sekitar jam 3 sore. Dan berada di hutan luar Shield. Dimana banyak mahluk buas bisa saja memangsa kapan saja.. “Lebih baik kita pergi dulu dari area sinih dan mencari tempat berlindung sementara, ayo laura pegang tanganku dan kita pergi dari sinih” yotta membujuk laura. Mereka pun mulai menyusuri hutan berharap menemukan tempat berlindung sementara, dalam perjalan mereka telah banyak melihat serangga yang aneh dan tak pernah terlihat oleh manusia yang ada di kawasan Varost. Yotta dan laura sedikit memperhatikan dan mempelajari serangga yang sudah berevolusi akibat radiasi nuklir yang terjadi dulu. Sambil mengawasi sekitar waspada akan mahluk buas lainnya, sekitar 2 jam berjalan tanpa arah dan sang mentari mulai terbenam, cahaya Langit pun mulai gelap.. “Shingghhtt..” terdengar suara pesawat terbang lewat diatas kepala kita berdua. “Bukankah itu pesawat dari Salah satu militer Varost?” sahut Laura sambil menujuk ke atas. Melintas Sebuah Pesawat kargo(pengangkut) dan dua pesawat Drone(penyerang) yang mengawalnya “Iyah Benar itu dari Militer Varost”. Balas yotta. Mereka pun bergegas mengikuti ke arah pesawat itu pergi. Ternyata tidak jauh sekitar 400meter mereka berhasil keluar dari hutan dan sampai di pinggiran jalan raya besar mereka sampai di sebuah daerah asing, tak lama kemudian pesawat Kargo lain datang dari arah berlakang mereka lalu mendaratkan para tentara bersenjata lengkap dan dua pesawat drone sibuk menembaki sesuatu yang ada di depan sanah. Ketika kami mendekat dan melihat dari kejauhan, terlihat seperti kota yang sudah porak-poranda terkena ledakan roketdan misil yang di luncurkan dari pesawat Drone tadi. Tepatnya seperti kota tua. Tempat ini adalah Peniggalan peradaban lama. Lalu keluar pasukan Survivor dan tentara dari kapal kargo itu dan pesawat drone itu berusaha melindungi Tentara di bawah. Mereka sedang bertempur menghadang Creaturs yang sedang mencoba menyerang kota. Kami ber dua hanya terdiam terpaku memandang dari jauh Susana mencekam di depan itu. Darah yang bertebaran, bagian tubuh yang terlempar kemana-mana. Dentuman suara ledakan dan tembakan terus melesat dari senjata api yang mereka bawa. Pertempuran terus berlanjut, Banyak sekali Pesawat Tempur yang terus berdatangan ke daerah ini,”Itu Apa?... Yang ku lihat banyak cairan biru Meluncur dengan cepat mengarah ke pesawat-pesawat itu”, Cairan itu mengikis dan melehkan badan pesawat, satu persatu pesawat tempur yang tekena cairan itu jatuh hancur dan meledak menghatam tanah, dengan jumlah korban tentara dan survivor yang tidak sedikit terkena puing-puing pesawat yang menghantam ke tanah. Kami yang tadinya berdiam hanya melihat kejadian itu, akhirnya memutuskan untuk segera pergi dari tempat ini. Lalu seorang Petugas tentara menghadang kami “Hey! Kalian .. Datang dari mana?... Ini Tempat yang sangat Berbahaya.. Dan Siapa kalian?... Tunggu dulu.. apakah itu anda Nona Laura Hilton?” sahut petugas garis belakang yang kita temui. Petugas itu pun segera menghubungi yang lainnya, lalu mereka langsung memprioritaskan untuk membawa kami segera Pergi dari tempat ini dan pulang ke Varost. “Tunggu dulu kenapa bisa terjadi? Seharusnya kita di introgasi dulu oleh mereka dan memakan waktu lama. Lalu kenapa tanpa basa-basi setelah mendengar nama Laura mereka langsung membawa kami pulang ke Varost, siapakah sebenarnya Laura ini?” dalam hati yotta terus bertanya. Di samping itu aku benar-benar lega kami ber dua bisa selamat. Dan terjawab sudah kenapa dalam perjalana tadi di hutan tidak ada Binatang Buas satu pun. Ternyata mereka Semua di tarik ke arah pertempuran Dengan Survivor di kota itu”. [Tobe Continued] ACT: 5 Penyesalan Dan Kerinduan Saat Ku buka kedua mataku ini. Aku bersyukur bisa pulang dengan selamat ke Varost. Setelah apa yang di alami Yotta dan Laura waktu itu beberapa hari telah berlalu namun diriku masih saja membayangkan kejadian yang sangat menyeramkan itu dimana darah bebas mengalir dan tubuh manusia tercerai berai di tanah, aku hampir tidak bisa makan apapun setelah melihat itu. “Ahhkk sial.! Ini memberiku efeck trauma ringan padaku.. Setiap ku mengigat hal itu kepalaku sakit dan perutku mual” gerutu yotta pada dirinya sendiri. Lalu yotta menyalakan tv di livingroom rumahnya, ia mendengarkan berita tentang tertangkapnya geng SkyWalker beserta pengikut-pengikutnya karena terbukti mengedarkan obat berbahaya ke kawasan kota Gold dan silver. Salah satunya Gruls anak dari mafia Skywalker yang di tangkap di luar zona Shield oleh pasukan militer Varost. “Hahaha, Rasakan itu Keparat!...” Gumam yotta berseri-seri bahagia setelah apa yang di lakukan Gruls terhadap yotta dan Laura terbalaskan oleh hukum yang ada. Tapi semenja itu diriku menjadi murung , emosi kadang tak terkendali dan mudah drop. Bahkan tulisanku mulai di tinggalkan karena kondisi yang belum stabil ini. Oh iyah mulai hari ini adalah Golden time’ku yah, sekolah podok libur untuk 1bulan kedepan setelah mengadakan ujian Bio-genesis(semacam ujian untuk menjadi orang yang berguna dalam sistem pemerintahan ketika besar nanti) “Ahhhhk aku bosan sekali, Aku bisa Frustasi jika lama berdiam diri di kamar ini..” gumam yotta. Lalu pagi itu ia pamit ke pamannya setelah sarapan pagi dengan alasan menuju perpustakaan kota Bronze. Yotta pun bergegas menuju perpustakaan namun di tengah jalan tiba-tiba ia kehilangan mood untuk membaca buku di sanah. Ia pun berbelok ke arah hilir sungai dekat dinding Shield yang biasa ia kunjungi untuk menulis buku di sanah. “Udara yang segar hari ini..” gumam yotta. Aku akan mencoba melanjutkan tulisanku yang tertunda ini. Hari ini sepi sekali yah di sinih, hanya ada aku dan pena di tanganku yang menemani. “Hmmm Terlalu sunyi, Biasaya Selalu ada yang tiba-tiba datang ntah darimana dan meledek kata-kata dalam tulisanku dan selalu berisik membuat gaduh di saat aku sedang menulis.. Kemana dia yah biasaya selalu datang kemari untuk mengganggu ku. Duh Aku merindukan suasana itu” gumam yotta dalam hati. Kenapa sekarang aku malah tiba-tiba ingin bertemu dengan Laura yah. “Ini aneh” dulu ketika dia selalu ada di dekatku, aku selalu mengeluh ingin sebuah kedamaian dan sunyi saat menulis. Tapi sekarang ketika dia gk ada malah aku rindu sekali kata-kata ejekannya kepada ku inih.. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?! Aku Rindu kamu Laura” gumam yotta dalam hati. “Duarrrrrrr” Tiba-Tiba Lamunan Yotta Terpecah Saat suara Dentuman keras terdengar di dekat daerah nya.“Apa yang Terjadi?!, Dari mana asal suara itu?” Perhatianku tertuju pada suara ledakan yang tertangkap oleh telingaku. Aku pun berlari menuju arah datangnya suara. Hutan yang lebat menganggu pejalananku saat ini. Hingga aku tiba pada ujung dinding Shield. Aku bersembunyi di balik semak-semak untuk mengetahui apa yang terjadi di sanah aku melihat para Survivor dan tentara pemerintah sedang berkumpul dan membuka segel shield. Mereka keluar dari kubah perlindungan ini. Aku mengikuti mereka sebelum shield menutup dengan hati-hati agar mereka tidak menyadariku. Mataku tidak pernah diam untuk bekerja sedari tadi. Ini kedua kalinya aku bisa keluar dari shield. Kini aku melihat mereka berhenti. Para survivor mengambil senjatanya bersiap untuk sesuatu hal yang mungkin akan datang. Suara gemuruh terdegar dari depan. Ternyata para Creaturs berlari menghujam mereka dengan pukulan mengakibatkan lubang tanah yang cukup besar. Aku tidak bisa memastikan kondisi para survivor dan tentara Varost saat ini akibat debu yang menghalangi penglihatanku. Semoga mereka selamat menghindari pukulan tersebut. Jika tidak, aku akan terjebak disini bersama Creaturs ganas yang menyerang survivor tadi. Untuk keduakalinya aku menyesali tindakan yang telah aku lakukan. “Tapi mengapa para Creaturs itu bisa sampai di sinih? Jangan bilang kalau tentara militer garis depan telah terbantai habis dan gagal menghadang Creaturs pada saat itu?” gumam hati yotta membayangkan skenario terburuk yang terjadi. Debu perlahan mulai pergi dari pandangan mata. Terlihat tiga survivor berdiri dengan gagahnya mereka berhasil menghidari serangan tersebut. “Tunggu Bukankan itu Dave di tengah dengan postur tubuh kecilnya itu?” jawabku dalam hati. Aku masih tak habis pikir. Serangan tersebut sangat cepat. Namun mereka tak tergores sedikitpun. Tiga survivor melawan satu lusin Creaturs yang lebih banyak dari survivor. Aku tak yakin mereka dapat mengalahkanya. Namun seharusnya aku tak boleh mengambil keputusan terlalu cepat. Selain karna masalah jumlah aku juga belum pernah melihat kemampuan bertarung para survivor secara langsung. Mungkin saja mereka dapat mengatasi Creaturs tersebut. Mereka terlibat percakapan yang serius. Aku yang dari kejauhan hanya bisa melihat mimik mereka saja .terutama dave, iya dengan beraninya berdiri di garis paling depan dari teman-temannya itu. Lalu para Creaturs itu mulai menyerang ke arah para survivor, mataku terbelalak saat melihat dave menahan hantaman Creatus besar itu dengan tangan kosong lalu ia memegang kakinya dan mengayunkannya hingga tubuh Creaturs itu menabrak ke arah pepohonan. Menyebabkan dentuman bunyi yang keras dari pohon itu. “Luar biasa tenaga dave, dengan tubuh kecilnya mampu dengan ringan melemparkan se’ekor Creaturs berukuran 10x dari tubuhnya itu” gumam yotta terkejut. Lalu Creatrus yang lainnya geram. Mahluk itu mengumpulkan cairan pekat berwarna kebiruan dari mulutnya. ”Tunggu.. Bukankah cairan itu sama seperti yang kejadian di kota mati kemarin, Cairan yang bisa mengikis dan melelehkan baja tebal, seperti badan Pesawat tempur” yotta bergumam dalam hati.. Survivor yang melihat cairan tersebut segera menghidar. Merekapun mengambil senjata dan senapan yang tadi melingkar di punggungnya. Kebanyakan senjata survivor berbentuk senapan laras panjang . kecuali Dave yang berbeda dengan yang lainya , bentuk senjatanya adalah sebilah Pedang tajam di kedua sisinya dan pedang itu mengeluarkan cahaya biru terang menyala. “Wah keren sekali Dave, yang sedang mengacungkan pedang ke arah Creaturs itu” Yotta memujinya dalam hati. Pertarungan terus berlanjut, para survivor dan tentara militer terus menerus menembakan timah panas ke arah Creaturs. Tapi apa daya peluru itu memang bisa menembus kulit Creaturs namun tidak menghentikan langkahnya yang terus menerjang dan menyerang para survivor dan tentara militer. Dave sendiri kesulitan di saat 5 Creatrus mengepungnya dan memisahkannya dari para Survivor. Dave terus mengayunkan pedangnya kesanah kemari menebas danging para Creaturs itu. Dan 7ekor lainya menyerang dengan membabi buta di belakang dave melihat rekan-rekanya dalam kesulitan namun ia sendiri sulit untuk bergerak karna kepungan 5 Creaturs itu. Para Creaturs Mengayunkan cakar tajamnya ke arah salah satu Survivor yang sedang membakinya, membuat tubuh survivor malang itu terkoyak menjadi dua bagian. Hal itu membuat yotta mual dan muntah saat melihat kejadian itu. Survivor lainya datang membantu, namun na’as ia pun malah di terkam oleh gigi-gigi tajam Creatus yang langsung melahap habis setengah badan atasnya itu dan hanya menyisakan tubuh bagian bawah saja. Melihat keaadan semakin gawat, Tentara militer yang telah banyak berguguran lari terbirit-birit meninggalakan para survivor yang tersisa dan masih terjebak dalam pertarungan. Sekitar 40 survivor masih betahan dari jumlah awalnya sebayak 100 survivor dan 200 tentara militer yang tinggal hitungan jari tersisa lari ketakutan. Melihat keadaan yang mulai makin kacau yotta pun ingin sekali beranjak pergi dari tempat itu. Tapi satu hal yang membuatnya tidak bisa pergi saat melihat seorang survivor perempuan tersungkur dan merangkak ketakutan akan di lahap oleh monster kejam itu. Tiba-tiba yotta pun tergerak dan berlari ke arah pertempuran itu demi menyelamatkan survivor perempuan yang hapir di lahap oleh mahluk ganas itu. Yotta berteriak keras dan mengambil sebuat senjata tempur yang berada di belakang mobileworker itu dan langsung mengayunkan senjata itu tepat di leher Creaturs dan memutuskan kepala monster itu. Ternyata senjata itu adalah pedang khusus yang hanya bisa di pakai oleh survivor elite seperti dave. Bermata pisau di satu sisi dan mengeluarkan cahaya merah terang, yotta sedang mengakat pedang berbentuk katana. Yotta sendiri pun kaget kenapa ia bisa dengan lancar mengunakan pedang itu. Survivor perempuan itu pun berterimakasih karena sudah menyelamatkan dirinya dari serangan Creaturs. Namun apa daya akibat kecerobohan nya itu , yotta pun malah ikut terkepung oleh 5 creatus lainnya yang sudah selesai menyatap dan menebas tentara yang menyerang. perempuan itu pun langsung berdiri berlindung di belakan punggung yotta dan mereka mudur pelahan saat para creatus mendekatinya di saat yotta mengatakan “ Mungkin ini akan menjadi kematian Keren ku karena menyelamatkan seseorang” Gumamnya kepada diri sendiri. Lalu di saat detik-detik creatus melompat ingin menerjang kedua manusia itu. Terdengar suara ledakan keras dari langit menuju ke arah mereka. “Duarrrrr” seketika tubuh para Creaturs itu hancur berantakan , yotta dan perempuan itu pun terpental karena efeck ledakan yang terjadi di dekat mereka. beruntung kedua manusia itu hanya tersungkur dan selamat tanpa luka serius . Creaturs yang tersisa pun mulai berlarian mundur ke arah hutan. “Hey yotta apa kamu baik-baik saja?!” terdengar samar-samar suara gadis dari atas pesawat yang sedang mendarat turun di dekatku.. “Ahkkkk, kepalaku pusing dan penglihatanku jadi kabur, aku melihat sekitar samar-samar melihat dave selamat dengan tubuh penuh darah di sanah lalu ia terjatuh pingsan dan seorang gadis turun dari pesawat tempur menghampiriku dan membawaku pergi, Oh tidak pandanganku mulai gelap” sahut yotta dengan sempoyangan sambil mengenggam erat senjata di tangan kanannya dan tangan kirinya menggengam lengan perempuan yang di selamatkanya tadi . Yotta pun langsung hilang kesadaran......... [Tobe Continued] ACT : 6 Invansi dan Teror {Setelah pertempuran} “saat aku membuka kedua mataku.. Ahhhk.. kepalaku masih terasa sakit, Dimana aku!?” sahut yotta sambil memegang kepalanya. “Ruangan ini? Terasa tidak asing lagi bagiku.. ber’aromakan harum mawar khas wanita dan corak hitam putih mendominasi dinding sekitar.. Tidak salah lagi.. ini ruang milik Clara Frostfire” Decitan pintu pun terdengar terbuka. Seorang gadis cantik pun masuk menghampiriku lalu berkata “Hey yotta? Kamu sudah sadar yah.. bagaimana kodisimu saat ini. Apa masih terasa sakit?” sahut Clara dengan wajah tersenyum. “Owh.. Clara, sudah mendingan kok, Terimakasih banyak. lagi-lagi kamu menyelamatkanku..” balas yotta. “Tidak, Tidak . harusnya aku yang beterimakasih padamu yotta, karena sudah berani mempertaruhkan nyawamu demi menyelamatkan salah satu anggota kami waktu itu” Clara balas menjawab. “bagaimana keadaan gadis itu? Apakah baik-baik saja?” tanya yotta. “Tentu saja dia baik-baik saja hanya luka kecil yang dialaminya. Tidak separah dirimu yotta” bukankah kamu bilang padaku tadi bahwa diriku hanya terkena luka ringan dalam pertempuran itu clara?.. “iyah memang untuk luka fisik luarmu baik-baik saja tidak ada yang perlu di khawatirkan. Tapi yang didalam tubuhmu berbeda. Kamu terluka parah bukan karena pertempuran itu, tapi karena kamu sudah menggunakan Senjata elite kami diluar batas kemampuan manusia normal, terlebih lagi kamu melakukanya tanpa latihan sekalipun. Yang mengakibatkan aliran mana dalam tubuhmu tidak beraturan dan memaksa organ-organ vitalmu bekerja terlalu keras dan membuat robekan dan kebocoran darah. Beruntung kamu masih bisa di selamatkan” begitulan penjelasan Clara tentang kondisiku saat ini. “Sekarang boleh aku yang bertanya?” sahut clara. “Kenapa kamu bisa sampai di area pertempuran itu? “Tadinya aku sedang berdiam diri di wilayah Hilir sungai dekat dinding Shield di wilayah Bronze, lalu aku mendengar suara ledakan, aku mengikuti arah suara itu dan melihat tentara militer serta prajurit Survivor sedang berkumpul, mereka membuka gerbang sheild lalu pergi ke luar area itu, akupun terus mengikuti dan tak lama terlibat dalam pertempuran” Penjelasan singkat dari yotta. “Oh iyah clara!? dalam pertempuran itu aku melihat Dave sedang bertarung dengan monster-monster itu, Sekarang bagaimana keadaanya? Apakah dia selamat?” tanya yotta. “Kamu tidak perlu khawatir soal itu, Tentu saja dia selamat, Jendral kecil itu orang yang tanguh, Tak mudah untuk di kalahkan, namun ia kehilangan banyak pasukan yang di pimpinnya” sahut Clara “Hah... Dave adalah seorang Jendral?..” dengan terkejut yotta bertanya. “Oh maaf yotta, kami belum cerita tentang jabatan kami di markas Hunters ini, Jabatan Dave adalah seorang Jendral GroundArmy (pasukan Darat) yang kamu lihat waktu itu adalah sebagian kecil dari pasukannya, sedangkan Ben adalah jendral AirForceArmy (pasukan Udara), Cindy pun memiliki jabatanya yang cukup tinggi ia adalah seorang Jendral IntelSquadron (Pasukan Pengintai)” penjelasan Clara dengan nada santai. “Wah.. aku tak menyangka mereka adalah orang-orang penting di negara ini, Oh iyah... bagaimana denganmu Clara, Apa jabatanmu di Militer Hunters ini?” sahut yotta. “hehehe, tentu saja jabatanku adalah seorang Komandan tertinggi mereka, pemimpin The Hunters” ia berkata dengan tertawa kecil kepadaku. Lalu tiba-tiba “Beeeep”Terdengar suara alarm.... “Untuk Komandan Clara tolong segera menuju Pusat Control” 2x pengumuman itu di serukan. “Maaf yotta, Aku tinggal dulu yah, Sepertinya ada hal penting yang harus ku urus” Clara yang mendengarpun segera berlari keluar ruangan, “Clara tunggu, Apa yang terjadi? dan Bolehkah aku ikut keluar ruangan ini denganmu. Clara, hey Clara?” yotta terus memanggil namun tak di gubris oleh clara yang sedang terburu-buru itu, yotta bangkit dari kasur dengan keadaan telanjang dada. ia mengambil jaket yang tergantung di sisi kasur (milik Clara yang tertinggal) dan membawanya sambil berjalan ke arah pintu kluar ruangan clara, belum sempat ia mengancingi jaket yang ia kenakan, saat keluar pintu(tepatnya di area Koridor) yotta terperangah kaget melihat sosok Gadis cantik di depannya yang sedang memandanginya dengan tatapan tajam dan terlihat sangat marah... “Hah.. Bukankah itu Laura?... Hey lau...” belum sempat yotta menyelesaikan kalimatnya itu , Tiba-tiba laura berbalik dan berlari menjauhi yotta (terlihat ia menitihkan air mata sambil berlari menjauh). “Tunggu laura, Laura hey.. Kenapa kau ini, Laura......?!” yotta terus berteriak memanggil laura, ia hanya bisa terdiam di tempat sambil berteriak memanggil laura. Ia tidak bisa bergerak cepat untuk mengejar laura, karena kondisi tubuh yang belum pulih. “Kenapa sih dia?. Aku panggil malah lari menjauh..” gerutu yotta dengan nada kesal ditambah sedih. Tiba-tiba ada yang memanggil nama yotta di belakang nya (tepatnya di sisi lain koridor) “Hey.. Yotta, Kenapa kau keluar ruangan, kondisimu belum pulih benar..Dan tadi kenapa kau berteriak-teriak memangil seseorang?” sapa Cindy ke yotta. “Aku bosan jika terus berada di atas kasur.. dan tadi aku melihat seorang yang ku kenal namun ntah knapa ia malah berlari menjauhiku” jawab yotta dengan nada kecil. “Hahaha, Mungkin dia takut dengan wajah dingin mu itu yotta” ledek Cindy sambil tertawa kecil. “lagi pula, Akupun sempat kaget, Ku kira kau tadi pria simpanan Clara sewaktu keluar ruangannya, terlebih lagi.. Pakai dulu bajumu dengan benar, kancingi tuh jaketnya.. Duh Clara inih, kenapa selalu membawamu ke kamarnya. Padahal ruang Medis banyak yang kosong... Oh iyah yotta apakah kau sudah bisa berjalan sekarang? Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Ayo ikuti aku ” sahut Cindy sambil menuntun yotta. “Baiklah..” jawab singkat yotta. {Area Pusat Ruang Control} Ketika aku melangkah masuk Ruangan Control, Suasananya sangat mencekam. Banyak orang berkumpul di dalam Ruangan itu Dengan mimik wajah yang sangat serius, “Ntah apa yang terjadi di sinih, Kenapa semuanya telihat tegang, dan serius...Ahhhk canggung sekali di sinih..” dalam hati yotta mengerutu. Disanah terlihat ada Clara, Presiden Varost, Kolonel Militer Varost, dan mentri-mentrinya, Bahkan paman lim pun ada di sanah. Mereka semua sedang membahas Sesuatu yang sangat penting dan mendesak “Wahhhhhhh... Semuanya para Petinggi di negara ini berkumpul di sinih.. Canggung sekali suasananya..” “Apakah Benar Dia orangnya, Komandan Clara? Yang dapat memakai senjata elite itu..” pertanyaan Kolonel kepada Clara, sambil menunjukan jarinya ke arah yotta. “Yes, Sir. Namanya yotta Slyvana, salah satu dari sedikit orang yang bisa menggunakan Grime Weapons(senjata elite), Penduduk Kawasan Bronze dan Walinya adalah mantan Peneliti Bio-Tehcnology Pemerintahan bernama Lim Slyvana” jawab tegas Clara. “Baiklah saya akan segera memberi sedikit penjelasan kepada anda yotta dan sluruh petinggi-petinggi yang sudah datang. Sekarang negara kita dalam situasi Siaga level 2(keadaan berbahaya seperti: bencana,krisis,perang), satelit kita menangkap gambar bahwa sejumlah 6 divisi(sekitar 600rb) tentara pasukan negara Ribelion(negara tetangga Varost) telah melanggar perjanjian damai dan melakukan invansi besar-besaran ke negara kita, Dan sekarang pasukan militer kita sedang bertempur berusaha menahan invansi mereka di perbatasan Negara.” Penjelasan dari Kolonel. “Ya tuhan, Tamat lah sudah negriku ini. Belum selesai dengan Teror abadi monster Creaturs yang selalu berusaha memusnahkan umat manusia, sekarang negara ini terlibat perang dengan negara tetangga, tak terbayang Berapa banyak lagi nyawa yang harus menjadi korban nanti..” sambil menepuk dahinya, yotta berkata dalam batinnya. Sekarang inti permasalahannya. Sudah pasti bahwa Varost akan memusatkan untuk mengirim seluruh kekuatan armada pasukan Militernya ke Rhine(wilayah dekat perbatasan negara) untuk menahan laju invansi musuh. Karena keterbatasan Sumber tenaga manusia, kita akan melakukan wajib militer kepada seluruh pemuda di negeri ini dalam rangka melindungi kota-kota wilayah Varost dari serangan Creaturs, dan oraganisasi HUNTER pun di tunjuk langsung oleh presiden untuk menjadi penanggung jawab urusan melatih para militer muda nanti..... [Tobe Continued] ACT : 7 Kebangkitan dan harapan baru Setelah semua permasalah di bahas dan di setujui seluruh dewan petinggi negara, clara dan cindy di perintahkan untuk langsung membawaku ke Pesawat Cargo(kapal pengangkut) dan terbang menuju suatu wilayah Kawasan Silver di kota Antropolist(kota di wilayah terluar dari ibu kota Varost) Sebuah tempat yang kurasa adalah sebuah Pusat dari riset dan penelitian labolatorium Besar yang di jalankan pemerintah, setelah kita sampai dan menurunkanku dari pesawat, Clara dan Cindy langsung berpamitan kepadaku.. “Sekarang Ku titipkan padamu Sarah...” sahut clara kepada seorang wanita yang sudah menunggu kedatangan kami di bandara.. “Nah sekarang kami harus kembali lagi ke ibu kota Varost, jaga dirimu baik-baik yotta. Kalau ada apa-apa tanyakan saja pda wanita yang ada di sebelah mu itu..., Byee... kita pasti akan berjumpa kembali”... sahut mereka tersenyum sabil melambaikan tangan.. “Hallo yotta, Perkenalkan namaku Sarah A Worden, kamu bisa memanggilku Dr Sarah, Karena pekerjaanku adalah seorang Profesor dari Pusat penelitian Varost...” “Salam kenal juga, Namaku Yotta, Lengkapnya Yotta Slyvana, panggil saja yotta.. baiklah aku akan memanggilmu Dr Sarah..” lalu kami berangkat menuju pusat kota Antropolist. Terlihat bagunan besar(hanya 1tingkat) yang di jaga ketat oleh tentara militer, setelah kami masuk ke dalam sebuah lift.. sarah mengakses kartunya ke arah pintu lift. Lift pun turun 100meter ke bawah tanah... barulah terlihat ruangan yang amat besar di penuhi orang-orang yang memakai jas putih sedang bekerja... Setelah Mendengar Penjelasan Tentang Bangunan dan fasilitas dalam bangunan ini.. Tiba lah Pembicaraan serius dokter sarah dengan yotta... “Dengar yotta. Mungkin kedepannya akan menjadi hari-hari yang sangat berat, karena kami semua sudah melihat adanya potensi dalam dirimu,karena Kamu adalah salah satu aset penting negara ini, kami ingin mengajakmu bergabung ke dalam pasukan militer dari sekarang. Sebelum kamu di paksa dengan keras mengikuti wajib militer yang akan segera di laksanakan negara ini dan pamanmu akan di eksekusi sebagai pembelot” sahut Dokter Sarah. “kenapa harus aku? Lalu bagaimana dengan pendapat pamanku, apakah dia mengijinkan diriku untuk bergabung ke dalam militer?, Aku tidak inggin kehilang satu-satunya keluarga yang kupunya”.. jawab cemas yotta. “Kami sudah mengurus semuanya dan mendiskusikan’nya dengan pamanmu, paman mu tidak punya pilihan karena dewan petinggi negara memaksa untuk setuju atau dia akan di eksekusi(dengan kata lain,Kematian)”.Sarah menjelaskan dengan nada datar, sambil memalingkan matanya ke kanan terlihat sedikit berbohong kepadaku.. “Baiklah.Baiklah.... aku menyetujuinya asalakan keselamatan pamanku terjamin” jawab cepat yotta. “Mulai sekarang para dewan akan ber’ekperimen dan menjadikan tubuhmu sebagai objeknya..” Mereka akan mencoba serum virus baru yang sudah di kembangkan di laboratorium selama bertahun-tahun ini, jujur saja, Clara,Dave,Cindy dan Ben. mereka semua dulu adalah Objek penelitian pemerintah , yang ketika kecil di ambil dari sebuah panti asuhan dan dari sekian banyak anak yang menjalani ekperimen hanya beberapa yang berhasil menjadi Evo-Survivor(survivor baru yang lebih kuat) selebihnya mereka semua telah gagal atau bisa di bilang sudah tiada. Kemungkinan hanya 25% tingkat keberhasilannya.. ku harap kamu juga berhasil melaluinya yotta.. “Laura dan Paman’mu dikabarkan sedang di antar oleh komandan Clara menuju kesinih untuk menemani’mu saat melakukan Operasi” Jawab Dr Sarah dengan senyuman,Memberikan kabar gembira kepada ku. “Selang 2 hari kemudian” Dimulai lah proses Operasi dimana tubuh yotta di baringkan dan dipasangkan berbagai alat medis penunjang kehidupan serta tangan dan kakinya di ikat kuat.. sekitar 10 orang Dokter ahli, Paman lim, Laura serta Clara yang menemani yotta dalam melakuakan Operasinya itu... Mari kita mulai... Mereka menyuntikan Cairan E-Virus Ke dalam sumsum tulang belakang yotta.. Dengan keaadan sadar dan ketakutan, yotta Berteriak sangat keras ketika jarum suntik menembus tulang belakangnya ia merasakan sakit yang amat luar biasa.. sampai-sampai kesadarannya hampir hilang karena tidak tahan menerima rasa sakit itu.. “Arghhh!!” Teriaku nyaring, tubuhku berguncang hebat seluruh kulit dan dagingku membengkak seolah akan meledak. Mata-ku berubah merah pekat, seluruh pembulu darahku membengkak, demam tinggi menyerangku. Pengikat yang menjerat seluruh tubuhku seakan tidak mampu menghentikan ku, kasur yang kutiduri berderit-derit akibat gerakan tubuhku. “Aku tak sanggup lagi!” Tidak mampu lagi aku berucap, setiap kata yang hendak ku ucapkan berubah menjadi jeritan dan desahan rasa sakit, hanya dalam batinku aku dapat mengeluh dan menjerit sekeras yang aku mampu. “Maafkan aku ayah,ibu,paman..” “Aku rasa aku tak mampu mengalahkan virus ini..” “Arghhh...” Air mataku mengalir membasahi pipiku, sedari awal aku memang bukanlah seorang yang pemberani dan bahkan cenderung penakut. Namun ku atupkan mulutku dan berusaha menahan rasa sakit yang menyerang seluruh tubuhku. ...... Terlihat sebuah ilusi yang terlihat sangat nyata, ilusi dimana orang tuaku tertawa begitu lepas, begitu bahagianya mereka terlihat dan memandang kearahku sambil melambaikan tangannya. Namun belum beberapa saat bayangan itu menghilang digantikan tangisan dan jeritan kedua orang tuaku, darah menggenang dihadapanku menunjukkan sebuah kejadian yang ntah nyata atau tidak, aku berlutut dan tertelungkup. “Kumohon, kau bisa mengambil apapun, akan kujual jiwa-ku padamu lepaskan mereka!” Aku menjerit, menangis namun aku tidak mampu melakukan apapun. “Tidakkk!!! Ayah! Ibu!” mahluk itu membunuh mereka dihadapanku, dan mahluk itu menghadap kearahku, tersenyum, seakan menghinaku. “Tidak! Ini tidak mungkin, it.. it.. itu aku! Kenapa aku ada disanah! Hentikan mahluk jahanam! Aku bilang Hentikan!” Aku melihat diriku sendiri yang gagal menguasai E-Virus dalam tubuhku, berubah menjadi monster yang begitu mengerikan, aku menjadi Creaturs yang dipenuhi kabut hitam yang terlihat kabur seperti bayangan, mataku berwarna keemasan seperti ular. Aku menjadi monster yang mengerikan! “Aku mohon..! Aku mohon..!!” Kepalaku tertunduk hingga ketahan, air mataku seakan menjadi kolam yang menengelamkan aku. Darah, air mataku berwarna merah! Aku mengalami kesedihan yang amat sangat, air mataku telah habis dan di gantikan darah dari mataku. “Swish.. Swish..” Seluruh bayangan berputar membentuk sebuah pusaran, dan semua itu tiba-tiba menghilang ditengah kegelapan,”Apakah aku mati..? “Dimana ini? Dimana ayah dan ibu? Perlahan kegelapan itu menjadi semakin pekat, dan tubuhku terjatuh diatas tanah. “Inikah kematian?...” Aku menyerah untuk melawan, kesedihanku menutupi semua kesakitanku hanya itu yang kurasakan, sakit tubuhku tidak lagi terasa, namun sakit dalam hatiku, perasaan bersalah terasa begitu menusuk dan membuatku sulit bernafas, aku berlutut dan memandang keatas dan hanya kegelapan yang kutemukan. “Aku menyerah!” aku berucap dan berusaha berhenti berjuang dan akan menutup mataku.. “Nak..” “Yotta Slyvana..” “hei.. Kawan..” Sesaat sebelum aku memejamkan mataku, terdengar suara memanggilku, dan cahaya mulai terbit dan seakan membawaku kembali ke kesadaranku, cahaya yang membuat wajahku tersenyum. “Cahaya ini?” Aku memandang keatas dan kutemukan bayangan Laura dan Paman lim berada di sisiku menangis sambil menggenggam tanganku dan Clara berdiri di sampingku. Sebagian tubuhku telah berubah menjadi setengah monster, laura membenamkan kepalanya di dada-ku, menangis memanggil namaku. “Yotta..” “Kamu harus hidup! Kamu sudah janji!” Laura menangis keras dan tidak sedikitpun terlihat takut pada tubuhku yang berubah. Kehangatan menyeruak kedalam hatiku, laura, paman lim dan sahabatku begitu mengasihi aku. “Benar!” “Aku harus hidup! Demi mereka!” Aku kembali membuka mataku dan memandang rantai yang membelenggu tangan ku dengan berdarah-darah kulepaskan keduanya. .... “Beep.. Beep.. Beep” Suara monitor EKG (Electro Kardio Gram) menunjukan detak jantungku kembali normal, laura dan paman yang sedari tadi menangis disampingku kini berdiri. Tak lama berselang, aku membuka mataku, ruang itu dipenuhi ilmuan, perwat dan juga tentara militer yang siap mengambil tindakan bila terjadi masalah. Aku membuka mataku dan kulihat senyum Clara dan paman lim, dan Laura yang masih menangis di dada-ku. “Paman Lim, Aku berhasil” Aku berujar pelan sambil memandang wajahnya. “Laura, aku berhasil, terimakasih Banyak!, I Love You!” ujarku sambil mengusap kepalanya yang masih tertunduk di dada-ku. “Yotta..?!” Laura melihatku binggung dan kemudian melompat kearahku sabil mengatakan “I Love you to!”. Tubuhku sudah kembali normal, perubahan fisik monster pun sudah berhasil kutekan dan kuhilangkan. “Sepertinya Serum Obat itu berhasil” Pikirku. “Namun ini juga berkat, paman,laura dan Clara yang memberiku harapan” Masih teringat mimpi buruk itu, mimpi buruk yang tidak ingin ku ingat selamanya. Segala sesuatunya terlihat begitu nyata. Bahkan rasa sakitnya begitu terasa nyata. “Eh!?” “Mataku mampu melihat lebih jelas, Pendengaranku, tubuhku terasa lebih ringan! Ini..?” “Inikah Evolusi yang Dokter Sarah Ceritakan?” “Otaku dapat berfikir lebih Cepat” “Semua kenangan semenjak kecil hingga saat ini muncul begitu saja di kepalaku, dan aku bisa mengingatnya dengan jelas, bahkan seluruh bacaan dibuku sekolahku, dari setiap huruf juga titik dan koma” Aku masih terlamun memikirkan setiap kemungkinan yang aku alami, ottaku menjadi seperti komputer canggih yang dapat memberikan setiap informasi yang aku mau, setidaknya semua informasi yang telahku baca, lihat dan dengar sebelumnya. Namun lamunanku harus terhenti saat dokter Sarah datang keruanganku, Dokter Sarah yang sebelumnya memberikan pengarahan kepadaku. “Selamat malam! Saya turut bersukacita atas keberhasilan keponakan anda mengatasi evolusi E-Virus, kedatangan saya hanya ingin memberitahukan bahwa setiap manusia yang berhasil melakukan evolusi harus bergabung ke dalam kesatuan militer, dan harus melakukan pelatihan disana” Dokter Sarah menjelaskan langsung ke topik pembicaraan. “Apa?Bukan kah keponakan ku sudah memberikan nyawanya untuk percobaan serum baru yang kalian buat! Untuk apa lagi dia harus bergabung ke kemiliteran?” Paman sontak berdiri dan membentak Dokter Sarah, kesal. “Tapi anda sebagai walinya yang telah menandatangani surat perjanjian dengan Kami dan pihak Dewan pemerintah, Mungkin anda tidak membacanya, surat perjanjian tersebut, terdiri dari 5 lembar kertas dengan serangkai poin perjanjian.” Dokter Sarah menjelaskan. “Hmmm..” Paman terdiam, dibukanya surat salinan perjanjian dengan pemerintah, dia menyadari kesalahan yang ia lakuan, bapak tidak membaca semuanya secara teliti karena begitu sedih dan panik saat keponakan anda terluka akibat pertarungannya saat itu. Melihat paman lim terdiam, akupun menarik nafas panjang : ”Sigh...,Ternyata mereka menjebakku..” yah, tidak apa-apa lah, toh yang penting aku berhasil selamat.” “Dokter, tolong jelaskan apa saja yang harus aku lakukan setelah ini?” tanya yotta. “Seluruh korban yang selamat dan berhasil melakukan Evolusi pertama-tama akan di kirimkan ke camp pelatihan The Hunter untuk menerima pelatihan dan pengalaman melawan para Creaturs” Dokter Sarah menjelaskan. “Serangan para Creaturs waktu itu tidak hanya Berakhir kemarin..” “Dari 50 Creaturs yang menyerang Varost sekitar 85% berhasil di musnahkan oleh para Survivor di garis depan, tapi mereka kalah dan terbatai semua, lalu sisa para Creaturs yaitu berjumlah 1lusin(12 ekor) itu menerobos hingga ke depan pelindung Shield di mana kamu dan teman-teman survivor bertempur dan mengalahkannya, Dan kenyataan pahitnya di kabarkan para Creaturs itu hanya sebuah Grup Pengintai yang berada di depan, di belakanganya Kawanan Besar Creaturs Yang di Perkirakan berjumlah Ribuan terlihat di luar garis wilayah Varost karena mereka berjalan di darat dan aktif hanya pada saat matahari muncul di perkirakan mereka akan sampai di kota ini dalam waktu 2 bulan atau lebih cepat, Belum lagi Sekarang Varost sedang berperang dengan Negara Ribelion yang berusaha menjajah negara kita” penjelasan singkat Dokter Sarah. “Jadi kota masih dalam keadaan bahaya dok? Lalu bagaimana kita mengatasi masalah ini? Bagaimana kita menyelamatkan seluruh penduduk kota?” Aku bertanya penuh kecemasan, Penyebabnya sudah jelas, Keluarga,Teman-teman dan kekasihku Laura. Namun diluar dugaan, jawaban yang kuterima membuatku sangat geram, seorang anggota militer, seorang Survivor yg ku lihat dari seragamnya, yang menemani Dokter sarah tersenyum, senyumnya terlihat merendahkan ku berucap: “Naif! Kaupikir kita memiliki kemampuan untuk menyelamatkan seluruh kota? Di dunia setelah serangan Para Creaturs menyebar, hukum baru lah yang berlaku, hukum dimana yang kuatlah yang bisa bertahan, dan untuk mereka yang lemah, alamlah yang akan menyeleksi dan menentukan kehidupan mereka” Kutahan amarahku dalam-dalam, aku tau aku bukanlah lawan untuk Survivor itu, terlihat perbedan fisik dan survivor itu memancarkan aura dingin yang mengerikan. Aura yang sama seperti yang dimiliki Dave saat sedang bertempur melawan Creaturs, aura itu, Aura membunuh! “Lalu bagaimana dengan Pamanku dan kekasiku? Aku tidak akan meninggalkan mereka meski kau membunuhku!” ucapku marah, kesal dan merasa kecewa dengan cara mereka memperlakukan manusia, bagiku mereka yang lemah adalah alasan seseorang yang kuat di ciptakan. Manusia memang lemah awalnya namun bukan berarti dia tidak bisa berubah menjadi kuat. “Pamanmu akan di berikan satu Rumah di pangkalan Militer kota ini, sehingga mereka akan lebih aman dari orang-orang lain yang tinggal didaerah pendudukan.”Dokter Sarah yang sedari tadi diam akhirnya berucap, berusaha menenangkanku. “Itu bisa di terima, jadi kapan kita akan berangkat?” Ucapku sambil mengangguk. “enam jam dari sekarang, aku harap kau bersiap-siap, bawalah apa yang perlu dibawa dan tinggalkan hal yang tidak penting di belakang. kota ini akan menjadi reruntuhan dalam beberapa minggu kedepan!” dokter sarah menjawab. {tobe continued} Keterangan Tambahan : Sebuah Pesawat Cargo(Pengangkut) yang dapat membawa personel tempur, berkapasitas max 20 orang. ACT : 8 Camp Pelatihan dan Konflik Aku meminta paman lim mengantarkanku ke camp pelatihan Hunter, setelah berhasil melakukan evolusi aku merasakan tubuhku menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Pendengaran, penglihatan, penciuman seluruh indera ditubuhku menjadi berfungsi lebih baik dari sebelumnya. Namun hal yang paling mengejutkan adalah perubahan pada otak-ku, aku dapat mengingat segala hal yang pernah ku dengar, kubaca, dan kulihat, bahkan mataku mampu melihat semut yang berada beberapa meter dari mobileworker yang ku tumpangi. Perjalanan berlangsung sangat lancar, jalan-jalan kosong bagaikan kota tak berpenghuni, toko-toko ditinggalkan orang, semua warga mengungsi ke kota lain untuk menyelamatkan diri, gedung-gedung disisi jalan menjulang tinggi, koran-koran berserakan dijalan dan menggulung di roda mobileworker yang kami kendarai. “Berhenti!” penjaga pintu masuk pangkalan camp Hunter menghentikan kami, dan meminta tanda bahwa aku merupakan salah seorang peserta camp, dan juga bukti untuk melakukan claim rumah tinggal dalam pangkalan. Aku menemani paman, dan laura sampai ke kediaman kami dipangkalan hunter, tertera kode diatas pintu tempat tinggal kami. “D4051” ucap ku sambil melihat nomor rumah kami yang tertera diatas pintu masuk, rumah itu cukup nyaman meski tidak terlalu luas, didalam juga telah tersedia beberapa perabotan penting seperti kompor,kulkas,televisi serta telepone. “Beep” Jam ditangan kiriku berbunyi, jam itu adalah alat komunikasi yang diberikan pangkalan Hunter kepada para pasukan baru. Jam tersebut berfungsi seperti handphone pada masa lalu, jam tersebut dapat menampilkan hologram orang yang menghubungi kita. “Selamat Siang! Saya Clara Frostfire Komandan tertinggi Pasukan Hunters, bagi para tentara baru harap segera berkumpul di lapangan utama district 13. Tim Elite Survivor akan melakukan uji kemampuan kalian, terimakasih.” Hologram wanita cantik yang ku kenal itu muncul dari jam tersebut, setelah menyampaikan pesan yang harus di sampaikan hologram itu pun hilang. “Beep” jam tangan tersebut berbunyi lagi saat panggilan telepone diakhiri. Mendengar pemberitahuan itu tentunya akupun bergegas untuk berkumpul di lapangan pelatihan, karena aku sedikit banyak tau bahwa dalam militer kedisiplinannya sangat keras dan dilaksanakan dengan ketat. ..... Seluruh peserta pelatihan yang merupakan survivor lv 1 yang berhasil melalui Operasi dan ber’evolusi berkumpul dengan rapih di sebuah lapang militer yang sangat luas, terlihat wajah-wajah yang cukup familiar, beberapa merupakan sahabat baik’ku sewaktu di pondok, itu Dimas dan fani dan juga beberapa merupakan teman satu jurusanku. Namun aku tidak mengenal mereka karena aku sangat pendiam dulu, kecuali dengan sahabat-sahabatku sedari kecil itu. “Dengar!!” Saat aku sedang memandangi kerumunan peserta pelatihan, aku dikagetkan oleh teriakan kepala pelatihan, Badannya sangat besar dan menakutkan. Pria itu bertinggi kira-kira 2,5 meter, berbadan kekar, yang mengerikan dari pria tersebut bukanlah ukuran tubuhnya, namun adalah aura dingin yang ia pancarkan, jika aku lihat-lihat dengan cermat, bukannya itu ben adkinson : Jendral AirForceArmy(pasukan udara) salah satu sahabat Clara dan seorang temanku. Tapi dia selalu cuek denganku dari awal bertemu.. “Perhatian Untuk Semuanya!!!” kepala pelatih itu berteriak dengan lantang. “Gila, auranya saja membuat aku merinding! Dia pasti telah membunuh sangat banyak monster dan juga manusia!” pikirku, tidak semua orang bisa memancarkan aura seperti ini, aura ini memang tidak dapat digunakan untuk membunuh namun merasakannya membuat hatiku bergetar. “Saya adalah Jendral AirForceArmy(pasukan udara) yang di tugaskan menjadi kepala pelatih disinih, namaku Ben Adkinson, Survivor Level-B.” “Kalian akan berada dibawah perintahku! Disini peritah adalah kehidupan, berlaku diluar itu kalian sama saja sudah mati!!” Mendengar hal itu semua peserta pelatihan menelan ludahnya, tentu saja aku juga menelan ludahku, karena hal ini merupakan hal yang benar-benar baru bagiku. “Kalian akan terlebih dulu menjalani serangkaian Test, test untuk mengetahui tingkat kekuatan kalian. Nilai test kalian juga yang akan menentukan Level kalian sebagai seorang Survivor, Survivor dibagi menjadi beberapa Level, yang paling Rendah adalah “F” mereka tidak ada bedanya dengan tentara biasa. Kemudian level E, mereka yang mampu membunuh Mahluk Creaturs lv D, dan biasanya mereka yang baru bergabung dengan kemiliteran Hunter.” Pria itu menjelaskan sesingkat mungkin dan menggunakan bahasa yang cukup sederhana, namun ekspresi wajah dinginnya tidak berubah. (jadi teringat aku dulu sama seperti dia, saat meladeni ocehan Laura waktu itu) aku tertawa kecil dalam hati. “Para Survivor yang mencapai level D dan seterusnya akan mendapatkan pangkat yang berbeda dengan yang berpangkat dibawahnya! Namun persyaratan untuk semua level tetap sama, mereka yang inggin menaikan levelnya harus berhasil membunuh mahluk Creaturs dengan tingkat sesuai yang mereka ingin capai, bila ingin meraih level C seorang Survivor level D harus mampu membunuh mahluk Creaturs dengan level C.” “Survivor adalah manusia yang berhasil melakukan Evolusi, dan kalian semua yang telah hadir saat ini adalah survivor baru, namun kalian masih membutuhkan pelatihan agar kalian mampu mengendalikan kekuatan kalian.” Jendral Ben menjelaskan. “Baiklah kita akan Mulai tesnya” Jendral Ben berujar sambil berjalan ke arah bangunan besar dibelakangnya. “Kalian akan di panggil berdasarkan nama kalian, test akan dilakukan satu persatu, dan selama menunggu kalian harus tetap di posisi kalian, jangan bergerak ataupun berbicara, Mengerti?!” Jendral Ben berucap dengan nada suara yang tinggi. “Siap! Mengerti Pak!” Seluruh peserta camp menjawab dengan lantang tidak terkecuali aku, test sudah dimulai dan kami sebagai peserta menunggu nama kami disebut dan bergantian untuk masuk ruangan test. “Celion!” seorang dengan wajah lugu dan kulit putih serta rambut yang terlihat sedikit culun berjalan kearah tempat test, meski parasnya cukup lugu tapi badanya tegap besar dan terlihat cukup gagah. Sambil melihat pria itu berjalan kearah tempat test, aku mengalihkan pandangan ke beberapa sudut dan ada sesuatu yang menarik pandanganku, aku baru tersadar bahwa bukan hanya pria yang menjadi peserta test, tidak sedikit pula wanita yang menjadi peserta test. Sedang asik memandang ke kanan dan kekiri, tiba-tiba kurasakan sakit di belakang leherku. “Ahk sial!! Siapa yang memukulku?!” seseorang memukulku dari belakang, saat aku melihatnya amarahku memuncak. Pria yang memukulku adalah Survivor berkepala botak yang sebelumnya merendahkanku di rumah sakit. “Apa?! Kau tidak dengar apa kata Jendral?! Tidak boleh bergerak saat menunggu, aku hanya melakukan bagianku. Jadi diam dan berdiri dengan benar” Pria botak itu berkata dengan nada suara yang kasar, mulutnya menunjukkan senyuman jahat yang biasanya kita temui di film-film drama. “Kamu Ikut Denganku!” pria botak itu menyeretku ke belakang lapang bersama ketiga temannya. “Wosh....” Pria botak itu menghujamkan pukulannya kearah Ku, Pukulannya Sungguh cepat namun aku mampu menghindarinya dengan meloncat ke belakang. Lalu ketiga temannya yang melihat aku menghindar langsung berlari menerjangku sambil memegangi kedua tanganku.. Pria botak itu menghujamkan kembali pukulannya ke arah perutku,”Bang!!” sampai aku terpental kebelakang menhujam tembok hingga tembok itu retak meninggalkan bekas hingga mengalir darah segar keluar dari mulutku. Pria botak dan ketiga teman-temannya itu adalah Survivor Level D, pukulan seorang survivor level D bisa menghancurkan tembok rumah dan mematahkan besi dengan mudah, Karena amarahku sudah sangat memuncak, aku bangkit dan berlari ke arah tiga orang tersebut, ku ayunkan tanganku sekuat tenagaku ke arah pria botak terkutuk itu! Belakangan aku mengetahui namanya adalah andre. “Keparat Kau Sialan!!” Aku berteriak, dan berharap setidaknya dapat menjatuhkan dia, tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaanku. Pukulanku dengan mudah dihentikan hanya dengan satu tangan oleh pria botak itu. “Smack!!” Tanpa menunggu lamunan kebinggunganku, dia membalas pukulanku. “Bang!!” aku berguling lebih dari 10meter sebelum menabrak kaki Jendral Ben yang sedang berjalan ke arah kami. “CUKUP! DASAR KALIAN BODOH” jendral ben berteriak, entah kepada siapa. “KALIAN ADALAH SENIOR, TAPI MEM-BULLY JUNIORMU! PERGI JANGAN BIARKAN AKU MELIHAT MUKA KALIAN LAGI!” ketiga orang itu bergegas melangkah pergi sambil melihat kearahku dengan tatapan jahat, mulutnya terlihat tersenyum. Entah mengapa mereka melakukan itu padaku, meskipun aku tidak pernah melakukan apapun yang menyakiti mereka. “DAN KAU! BERDIRI!, KEMBALI KE BARISAN!” jendral ben terlihat sangat kesal dengan kejadian yang terjadi dihadapannya. Terasa beberapa tulangku patah oleh pukulan tadi, dengan susah payah aku berdiri untuk kembali kebarisan. Jendral ben berdiri memandang kearahku, dia terdiam beberapa saat lalu berujar. “Tangkap! Dan minumlah itu, Kamu masih harus menjalani test! Itu adalah serum pill yang terbuat dari beberapa tanaman obat serta daging Creaturs level C, itu akan menyembuhkan seluruh luka-lukamu” Jendral Ben melemparkan Pill ke arahku ,dan berbalik kembali ke arah bangunan dimna tes dilakukan. Tidak menunggu waktu lama, aku langsung menelan Pill itu, setelah menelannya dan masuk kedalam tenggorokanku, obat itu lalu mencair dan menjadi bentuk cair, seketika tubuhku seperti dialiri tenaga yang menyebar keseluruh tubuhku, bahkan bagian tubuhku yang terdalam yaitu organ dan tulangku. Aku bergegas untuk kembali ke barisan, pakaianku menjadi lusuh dan penuh dengan debu dan tanah, luka-luka dan tulangku sudah sembuh berkat pill yang kumakan tadi. Hal itu tentunya mengejutkan aku, pill itu merupakan obat yang mahal dan sulit di dapatkan. ..... Sudah 2 jam test berlangsung dan aku masih berdiri dibawah terik matahari yang menyingsing siang itu, sekarang jam menunjukan pukul 1 siang. Perang nuklir bukan hanya menimbulkan Virus bermutasi namun juga mengakibatkan pemanasan global. “Yotta Slyvana!” setelah menunggu cukup lama akhirnya namaku pun di panggil, tanda kini giliranku menjalankan test. “Tap..tap..tap” Aku berjalan kearah gedung dimana test dilakukan, sesaat sebelum masuk aku berpapasan dengan seorang gadis. Gadis itu memiliki tinggi 175cm dan rambut panjang terikat rapih di belakannya, gadis ini tidak bisa dikatakan sempurna tapi memberikan atmosfir yang menarik hati bagi yang melihatnya, terutama mata birunya yang begitu mempesonaku, hal yang paling menarik adalah cara dia berjalan dan mengenakan pakaian sama sekali tidak mirip gadis pada umumnya. Entah berapa lama aku memandangnya, hingga ku dengar suara panitia memanggil namaku lagi, yang sontak membangunkan lamunanku. “Duh ngebayangin apa aku tadi....Inget,... inget... Aku sudah memiliki Laura.. Bisa-bisa aku di bunuhnya jika berani-berani bermain di belakannya” sahut yotta dalam batin. “Yotta Slyvana!!” “Eh!” Tersentak kaget aku bergegas, tanpa sadar gadis itu juga melihat kearah kemana aku pergi. “Tes pertama adalah tes kekuatan fisik” “Angkat beban ini mulai dari yang teringan hingga yang terberat.” Panitia tes itu menjelaskan. “Baik!” Aku menjawab singkat. Dihadapanku terdapat beberapa beban, bentuknya seperti barbel untuk latihan fisik, namun berat masing-masingnya mengejutkan, yang paling ringan adalah 100kg sedangkan yang paling berat mencapai 10 ton. “Oh Tuhan 10 ton!!” Ujarku dalam hati. “Yossht... Baiklah kita mulai dari yang teringan terlebih dahulu” ujar dalam hati sambil mengangkat berbel dengan Label 100kg. “Grip-Grip” “Wosh” “Oh!?” Aku terkejut beban ini ternyata tidak berat, rasanya hanya seperti mengangkat galon air. Kepercayaan diriku mulai muncul, aku beranjak dan mengangkat beban yang Label 500kg. “Woshh” Keringat mengalir dari dahiku, setidaknya aku sampai harus mengeluarkan 60% kekuatanku untuk mengangkatnya. “Hmmm... ini mulai menjadi sulit, kira-kira peserta yang lain mampu mengangkat hingga berapa kilogram ya?” Aku berfikir sesaat sebelum mencoba mengangkat beban yang ber Label 1 ton. “Gripp..Gripp” Aku berusaha mengangkatnya sesaat setelah kedua tanganku menempel pada Barbel itu. Dan hasilnya mengejutkanku. “Eh?!..Lah.. Lah.. Tidak terangkat?!” kucoba kerahkan seluruh kemampuanku, hingga wajahku memerah. “Ayolah terangkat!” Ucapku penuh harap, beberapa saat kemudian barbelnya terangkat dan aku harus mempertahankannya selama 5 detik sebelum menurunkannya lagi, mataku melotot karena beban tersebut melebihi kemampuanku. “Bang..!!” setelah lima menit menjalani tes itu dan berhasil kulewati, kulemparkan barbel berat itu ketanah, seluruh otot tanganku keram, karena kupaksakan untuk mengangkat beban diluar kemampuanku. “Huh..Few.. Setidaknya aku berhasil mengangkat beban satu ton, dengan ini pasti hasilku akan baik” Ucapku pelan, agar tak terdengar orang lain. Aku merasa cukup puas dengan hasil yang aku raih, karena ku pikir aku telah mencetak prestasi yang baik, dengan percaya diri aku bertanya kepada panitia latihan. “Mmmaaaff pak, rata-rata peserta bisa mengangkat beban hingga berapa kilogram yah pak?” Aku sedikit terbata-bata, iya, inilah salah satu kekuranganku yang lain, aku selalu kesulitan untuk berbicara dengan orang lain dan itu juga membuatku tidak percaya diri untuk berbicara banyak ke teman-teman di kampusku dulu. “Hmm... Rata-rata dari mereka bisa mengangkat 3 ton, dan malah ada yang mampu mengangkat hingga 5 ton.” Ucap sang panitia, pria itu menjawab sambil melihatku sebentar, kemudian kembali sibuk dengan pekerjaanya. “Boom!” perkataan itu seperti bom nuklir yang jatuh ke atas rasa percaya diriku, seluruh rasa percaya diri itu runtuh hanya dalam sesaat. Kekuatan fisiku ternyata dibawah rata-rata dengan para peserta yang lain. Dengan pikiran yang agak sedih dan kesal aku berjalan ke tempat test selanjutnya. Test selanjutnya adalah test kecepatan, yang tentunya diuji dengan lari lurus dan zigzag, selain itu juga dilakukan uji ketangkasan, uji ketangkasan dilakukan dengan menembakan pluru karet kearah peserta ujian yang sedang berlalri lurus dan zigzag. Untuk para survivor peluru karet bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena tidak akan menyakiti mereka, namun aku mempunyai firasat ini akan menjadi ujian yang penuh rasa sakit. “Mulai tetsnya!” panitia ujian berbicara singkat sambil mulai menjalankan pencatat waktu. “Swish” Aku berlari secepat yang aku bisa, saat kakiku menginjakan zona tempat berlari banyak titik bidik terarah padaku, jumlahnya cukup banyak dan tanpa menunggu aku mempersiapkan diri mulai menembakkan peluru karet kearahku. “Bang...Bang...Bang” Puluhan peluru karet berterbangan kearahku, sangat sulit untuk menghindar dan memepertahankan kecepatanku disaat yang bersamaan. Rasa sakit mulai menjalar di permukaan kulitku serasa beberapa darinya mengenai tubuhku, beruntung mataku dapat melihat dengan jelas seluruh proyeksi peluru, namun sial tubuhku tidak mampu mengikuti gerak mata dan otak-ku. 10 dari 20 peluru yang ditembakan mengenai tubuhku, dan meninggalkan bercak merah pada kulitku, awalnya tidak seberapa sakit, namun mendapatkan tembakan secara terus menerus mulai menyiksaku. “Hoohh..huahhh.hooh..” Setelah test selesai, seluruh tubuhku dipenuhi bercak merah dan energiku benar-benar terkuras. Kulihat papan LED besar diatas tempat ujian menunjukan waktu lari garis lurusku membutuhkan waktu 15 detik untuk 100meter,dedangkan test lari zigzag aku berhasil selesaikan dalam waktu 20detik, dan jumlah peluru yang mengenai tubuhku lebih dari 135 peluru dari 220 peluru yang di tembakan. Perasaanku mengatakan hasilku sangat buruk, sehingga aku tidak menanyakannya pada panitia yang bertugas saat itu. ... Test terakhir yang harus aku lakukan adalah tes IQ, test yang tidak membutuhkan kekuatan fisik sekalipun. Kulihat dalam ruang test ternyata aku tidak sendirian melaikan bersama dengan 10 orang yang telah melakukan test sebelum aku. “Berarti gadis itu masuk saat aku berkelahi dengan si botak keparat itu” Teringat akan gadis yang kutemui di pintu masuk, kugelengkan kepalaku untuk kembali fokus pada test yang kuambil. “Hey kau! Duduk disini!” Panitia wanita berambut pendek dengan tubuh tinggi semampai dan memiliki otot yang membuatnya terlihat seksi, memanggilku. “Baik!” Aku menjawab singkat sambil berjalan kearah meja dan kursi ujian. “Isi semua test ini dalam waktu 60 menit!” Wanita itu menjelaskan tata cara dan waktu test secara mendetail. Ku buka lembaran soal dan membalikannya sampai halaman terakhir, kutemukan ujian ini terdiri dari 400 soal yang harus di selesaikan dalam waktu 60 menit. (Mengangguk) aku mengangguk tanpa membalikan pandanganku. “What!? 60 menti, bagaimana mungkin!” pikirku dalam hati, sambil mulai mengerjakan soal-soal itu. Namun diluar dugaan, soal-soal itu sangatlah mudah bagiku. ... “Anak ini! Dia mampu menyelesaikannya seolah-olah ini hanya menulis cerita anak-anak” Wanita cantik itu tersentak dan membatin, sambil melihat jari-jari Yotta mengerjakan soal-soal test IQ yang sedang ia kerjakan. Aku tentunya tidak mengetahui apa yang wanita itu pikirkan, dengan bersemangat ku kerjakan semua soal yang ada dan aku merasa sangat yakin bahwa tidak ada satu pun soal yang tidak mampu aku jawab. Hal ini membuat rasa percaya diriku yang telah hancur berkeping-keping sebelumnya, kembali bangkit. Puas dengan soal-soal yang berhasil ku jawab, aku memberikan kertas hasil jawabanku kepada panitia wanita yang berdiri di dekatku. Ku layangkan pandanganku ke peserta lain yang masih mengerjakan soal, diluar duguaan akulah yang pertama menyelesaikan test tersebut. “Ternyata begini rasanya menjadi orang yang pintar”Ucap dalam hati, sedikit tersenyum bangga. Aku keluar dan melihat peserta lain yang telah mengikuti test kembali keposisi semula dalam barisan. Aku kembali ke tempat aku berbaris sebelumnya, belum sempat aku sampai pada barisanku, aku merasakan ada mata yang memandangiku dari kejauhan ketika kulihat ternyata itu adalah si botak keparat! Andre dan kawan-kawannya sepertinya merencanakan hal yang buruk terhadapku. “Sial!, Mereka sepertinya Merencanakan sesuatu yang buruk terhadapku, bagaimana mungkin aku dapat mengalakan mereka, apa lagi mereka bertiga.” Aku berfikir keras bagaimana cara untuk menyelamatkan diri, kenangan waktu di pondok dulu terulang kembali, sewaktu aku di culik bersama Clara oleh Gruls, akan kah ini terulang kembali dan mungkin jika ia, kemungkinan selamatku kecil... Setelah menunggu setengah jam Jendral Ben naik keatas Podium, sepertinya hendak mengumumkan sesuatu. “Perhatian! Pengumuman hasil test akan di bagikan di layar yang ada di belakangku, nilai masing-masing test akan terpampang disanah. Akumulasi nilai dari semua test kalian akan menentukan level kalian. Tanpa banyak menunda silahkan liat nama kalian masing-masing.” Mendengar hal itu aku menjadi sedikit pesimis karena aku tau hasil testku tidaklah memuaskan, dari keempat test yang aku jalani hanya satu test yang membuatku percaya diri melakukannya. Para peserta sontak berjalan mendekati layar besar yang menempel pada bangunan test, sedangkan aku justru mundur kebawah pohon besar dibelakangku. Meskipun aku berada jauh dari layar pengumuman aku dapat melihat dengan Jelas hasil dan nama-nama yang tercantum disanah, dan aku tau peserta yang lain tidak memiliki mata yang sama sepertiku. Kupandangi layar besar didekat bangunan itu, dari barisan teratas kutelusuri untuk mencari namaku. “Dimas sanjaya Survivor Lv D : [test 1 = 2000kg], [test 2 = 11,1detik], [test 3 = 80], [test 4 =120]” “Fani Denalia Survivor Lv D,: [test 1 = 2000kg], [test 2 = 11,2detik], [test 3 = 90], [test 4 =125]” “Rona Marta Survivor Lv D, : [test 1 = 3000kg], [test 2 = 12,1detik], [test 3 = 95], [test 4 =118]” “Celion Devato Survivor Lv C : [test 1 = 3000kg], [test 2 = 9,4detik], [test 3 = 50], [test 4 =140]” “Apa!? Celion? Lelaki lugu itu? Dia kuat sekali” Melihat hasil yang ditunjukan oleh Celion aku terkejut, sungguh terkejut. Celion memiliki kekuatan setara dengan para Survivor senior yang telah masuk sebelum peserta lain. Aku menghela nafas panjang mencoba menenangkan diri, setelah aku lebih tenang, kulanjutkan membaca hasil yang di umumkan. “Samuel bayu Survivor Lv C, : [test 1 = 2000kg], [test 2 = 6,01detik], [test 3 = 30], [test 4 =138]” “Dinda Evelyn Survivor Lv C, : [test 1 = 5000kg], [test 2 = 5,1detik], [test 3 = 20], [test 4 =150]” Melihat nama Dinda, aku teringat gadis yang kutemui dipintu masuk bangunan pelatiha tadi, kaki lemas, mataku serasa kabur. Gadis itu memiliki kekuatan yang amat besar di tambah lagi hasil test keduanya membuatku tercengang : “Lari 100 meter hanya dalam 5,1 detik? Hanya terkena 20 peluru? IQ 150? Oh tuhan dia ini manusia atau monster” Sungguh dunia tidak bisa ditebak pikirku. Belum habis rasa terkejutku, tampilan pada layar membuat jantungku seperti mau berhenti, aku merasakan hari itu adalah hari terburuk yang pernah aku alami seumur hidupku. “Yotta Slyvana Survivor Lv E : [test 1 = 1000kg], [test 2 = 15,0detik], [test 3 = 135], [test 4 =400]” [To be Continued] ACT : 9 Hari yang buruk! “Yotta Slyvana Survivor Lv E : [test 1 = 1000kg], [test 2 = 15,0detik], [test 3 = 135], [test 4 =400]” Semua mata memandang kearahku dari kejauhan, sepertinya mereka juga melihat hasil testku, sebagian dari mereka memandangku dengan wajah kasihan, sebagian lagi memandangku dengan tatapan merendahkan dan sebagian yg lain bahkan tidak perduli. Kusandarkan tubuhku pada pohon besar dibelakangku, Aku merasa diriku tidak berguna waktu itu. “Survivor level-E? Mungkin setara dengan membunuh bayi Creatur yang bisa kulakukan dengan tingkatan serendah itu!” Andai saja Senjata pedang Elite ku ada, tapi Clara yang menyitanya dariku, ia berkata tidak boleh bergantung pada sebuah benda.. “Ha...aahh..Payahnya diriku..” Aku merasa sangat putus asa hari itu, beberapa saat kemudian aku mendengar suara tawa dari kejauhan, saat kuarahkan mataku untuk melihat dari mana suara itu datang, ternyata suara tawa itu berasal dari tiga orang yang memukuliku sebelumnya. “Haruskah aku kembali ke kamar?” Aku bertanya dalam hati, namun sebelum pertanyaanku terjawab suara Jendral Ben terdengar dari kejauhan. “Seluruh Peserta Berkumpul!!” suaranya terdengar hingga seluruh sudut markas. “Tap..tap..tap..” Seluruh peserta latihan berlari ke barisan mereka masing-masing, langkah kaki mereka menimbulkan suara yang khas. Aku berjalan dengan santai ke tempatku berbaris sebelumnya, aku berdiri di bawah pohon yang tidak jauh dari lapang pelatihan, jadi aku bisa mencapai barisanku tanpa berlari. ... Mata Jendral Ben memandang keseluruh barisan peserta latihan, ke kanan, kemudian ke kiri, yang mengejutkan adalah matanya terhenti ke arahku dan memandangku tajam. “Oh Gawat.. Matilah aku, Ben terlihat sangat marah dan kecewa padaku, Walapun kita sahabat di luar sanah berbeda dengan di sinih, ia menjadi orang Super Sadis dan mengerikan karna Tugasnya Mendidiku!” pikirku,sambil menelan ludahku sendiri dan keringat mulai menetes di punggung dan dahiku, sedang mata Jendral tertuju padaku seluruh peserta lain tentunya menyadari tatapan mata Jendral juga, Firastku gak Enak baget nih, makin bertambah buruk. “Kalian yang telah menjalani test akan dibagi kedalam masing-masing tim, setiap tim terdiri dari 4 orang.” Diluar dugaan Jendral Ben kemudian menarik tatapannya dari diriku dan melihat kearah peserta lain, dan mulai menjelaskan informasi selanjutnya. “Huahh Fewww” Aku bernafas lega memikirkannya, entah mengapa tubuhku terasa lemas saat Jendral Ben melihat kearahku. “Lihat Jam pada tangan kalian, jam itu juga berfungsi sebagai alat Navigasi dan identifikasi Creaturs, beberapa diantaranya telah berhasil diidentifikasi oleh Tim Hunters kita, salah satunya adalah Mr.Gilbert yang menjadi pemandu kalian dirumah sakit.” “Alat itu akan otomatis menunjukan informasi tentang Creatus yang kalian temui dimana saja, namun, kalian harus berhati-hati kepada spesies-spesies Creaturs yang belum teridentifikasi karena kita belum mengetahui kekuatan mereka. jam tersebut juga secara otomatis akan merekam kecepatan, kekuatan dan berbagai informasi yang kalian sampaikan saat bertarung melawan Creaturs. Tentunya kalian akan mendapat hadiah dari markas Hunters untuk setiap spesies Creaturs yang berhasil diidentifikasi.” (wow, Aku baru tau bahwa Creaturs Bermacam-macam jenisnya dan Level kekuatanya, hal ini tidak pernah di jelaskan di buku manapun yang pernah ku baca, ku fikir mereka semua sama. Mahluk mengerikan yang Hanya bisa membunuh dan memangsa manusia) gumam yotta dalam hati. “Selanjutnya adalah rec-Drone, Rec-Drone adalah robot otomatis yang akan merekam jumlah Creaturs yang kalian bunuh beserta tingkat masing-masing Creatus, semakin banyak dan tinggi tingkatan mahluk yang kalian bunuh maka Ranking kalian akan naik. The Hunters telah menyiapkan berbagai macam peralatan khusus yang dibuat terbatas bagi mereka yang berhasil meraih Ranking teratas. “Jendral Ben menjelaskan secara Detil mengenai informasi dasar yang dibutuhkan para peserta latihan.” “Untuk saat ini hanya itu informasi yang bisa saya sampaikan, informasi lainnya kalian bisa mendapatkannya melaui jam di tangan kalian,. Survivor! Bubar” Jendral ben membubarkan pasukan, sebuah perintah yang sudah dari tadi aku tunggu. “Sebentar! Khusus untuk Yotta Slyvana, kau tinggal ditempat!” Belum sempat bergembira karena test awal selesai, aku sudah harus bersedih karena firasat buruk-ku tadi terbukti benar. “Hadeuhh,Sial! Firasatku terbukti” ujarku dalam hati, perasaanku bercampur aduk, antara binggung, kesal dan takut. Peserta yang lain melihat kearahku perihatin. “Kasihan dia,habis sudah masa depannya” Seorang peserta ujian bercanda dengan kawan disebelahnya. “Betul, malang betul nasibnya, sudah di bully oleh senior, dan juga mendapatkan nilai test yang buruk” Seorang disebelahnya menimpali. ..... “Lapor pak! Peserta Yotta Slyvana siap menerima perintah pak!” Aku berdiri dihadapan Jendral Ben sambil memberikan hormat militer. “Baiklah! Ikuti Aku!”katanya singkat sambil berjalan menjewer telingaku. “Aww...awww... Ben.. sakit.. ini..Rasanya mau copot...” melihat responnya aku semakin binggung, namun aku ikut dan menurut saja ke arah fasilitas penelitian. {Fasilitas Penelitian} Gedung besar yang terlihat megah dan dipenuhi senjata berteknologi tinggi terpampang disetiap sudutnya, gedung itu terlihat seperti markas besar yang ada di ibukota varost, mataku melihat setiap detil bangunan tersebut, dengan cepat seluruh informasi dan jumlah senjata telah aku hafalkan dan ingat. “Shing.. Shing..” Pintu baja tebal dihadapanku terbuka secara otomatis, tepat di belakangnya terdapat dua orang pasukan dengan badan tinggi tegap, melihat kehadiran Jendral Ben, kedua orang tersebut dengan sigap memberi hormat. “Selamat sore pak!” ucap kedua orang tersebut, seraya mengangkat tangan kanan mereka secara bersamaan. “Ya” jawab Jendral Ben singkat, kedua orang tersebut tidak terlihat terganggu dengan cara Jendral menjawab mereka, aku lihat kembali raut muka mereka berdua seperti menahan tawa, jelas karena melihat aku sedang di jewer oleh Jendral mereka.. setidaknya sudah 10-11 meter berjalan menjauh, telingaku mendengar obrolan mereka ”Apa-apaan itu,hahahaha, apa itu adik jendral ben yang berbuat ulah, sampai di jewer seperti itu?” keduanya tertawa kecil menertawakan diriku. “Ahk.. sial!..Di hadapannya aku diperlakuan seperti anak kecil.. awas kau ben..”memaki ben dalam hati yotta. .... Sudah lepas tangan Jendral ben dari telingaku, tiba-tiba jendral ben berhenti di depan sebuah Koridor, aku merasa binggung sangat jelas bahwa kami belum sampai ketempat tujuan kami, namun dia berhenti. Jendral kemudian menekan tembok besi didepannya, kemudian muncul sebuah alat Scanner tempat men’scan sebuah kartu. “Eh?! Darimana munculnya?”kataku terkejut sambil mengusap telingaku yang memerah, dan sekaligus kagum atas kemajuan teknologi yang sampai saat ini baru pertama kali ku lihat. “Melakukan Scan” beberapa saat kemudian, terdengar suara aneh entah dari mana datangnya yang datang bersamaan sinar laser X-ray yang kemudian melakukan Scanning wajah Jendral Ben dan Wajahku. “Data diterima! Selamat datang Jendral Ben Adkinson dan Prajurit Yotta Slyvana! Mohon memasuki lift dalam 3..2..1..” Bersamaan dengan suara itu Jendral bergegas masuk dan aku mengkutinya dari belakang. “Whinggss!” Lift itu meluncur dengan kecepatan tinggi kebawah tanah, kecepatannya mencapai 150km/jam. Jantung rasanya inggin copot saat itu. “Wowww!! Gila!! Apa lagi ini!” Ucapku seraya lift dengan cepat menuju inti bumi, 1 menit kemudian lift berhenti. “Dengan kecepatan 150km/jam, selama 1menit, setidaknya kita berada 10 kilometer di bawah tahan” Dengan cepat otakku berkarkulasi, ini belum pernah terjadi sebelumnya dan aku merasa sungguh aneh dengan pengalaman ini. Tidak lama berselang lift terbuka, dan Jendral Ben berjalan keluar, aku bergegas mengikuti dari belakang, lift tersebut menghilang dan menjadi tembok biasa, seperti tidak ada apa-apa disanah. Kualihkan pandanganku dan berusaha mencari arah kemana Jendral ben pergi, namun pemandangan dihadapanku mengejutkanku! Sebuah ruangan besar penuh dengan alat-alat berteknologi tinggi berada didepanku, berbagai jenis manusia dari berbagai negara ada disanah, tidak jarang hewan mutan (mahluk yang diciptakan untuk membantu manusia dan ada juga yang tujuannya untuk memburu para Creaturs) juga terlihat, tentunya partner dari para tentara. Ruang itu begitu luas, sehingga tidak melebih-lebihkan bila menyebutnya sebagai kota bawah tanah. Mungkin sekitar 3juta manusia bisa masuk kedalamnya, bahkan mataku yang dapat melihat dengan baik, kesulitan melihat ujungnya. “Yotta! Kesinih! Aku tidak menyukai Prajurit yang tidak disiplin!” lamunanku buyar oleh teriakan dingin Jendral Ben dari kejauhan, para peneliti itu sepertinya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Aku bergegas berlari mengikuti Jendral ben, saat itu aku benar-benar gugup. Jendral kemudian masuk kedalam sebuah bangunan di kota tersebut, di pintu masuk terdapat 2 orang penjaga yang membawa pedang besar di punggungnya, tinggi mereka masing-masing 2,6 meter dan 2,7meter. Wajah mereka dingin sama seperti Jendral Ben, aku tentunya tidak berani memandang wajah mereka lama-lama, aku masuk mengikuti Jendral melewati kedua penjaga tersebut. “Permisi” Ucapku seraya aku masuk melalui pintu besi tadi, saat aku masuk kulihat meja rapat Oval disertai beberapa orang ilmuan dan Menteri pertahanan Varost dan lagi-lagi aku melihat sosok Indah menawan yaitu Clara Forstfire, yang duduk mengelilinginya. Seluruh individu yang ada didalam ruangan melihat kearahku, tak lama seorang diantara ilmuan berdiri dan memandangku. “Dokter Sarah?”Ujarku pelan, wajahku jelas terlihat kebingungan tentang seluruh hal yang terjadi hari ini. “Yotta! Kemari!” Dokter Sarah memanggilku, dan aku berjalan kearahnya. Seluruh mata mengikuti setiap langkahku, namun aku sudah biasa dengan hal-hal semacam ini, karena begitulan cara orang memandangku semenjak rapat waktu itu. -_- “Bingung?” Dokter Sarah bertanya seakan mengetahui isi pikiranku, aku hanya mengangguk tanda setuju. Sambil memandang wanita cantik dihadapanku ini. “Hadirin sekalian, dan yang terhormat Komandan Clara Frostfire, serta Jendral Ben Adkinson Serta bapak Fendler Smith selaku Menteri Pertahanan, juga Rekan-rekan Ilmuan dan Anggota militer.” “Yotta Slyvana merupakan Prajurit survivor baru terburuk dalam sejarah Varost” Ucap Dokter Sarah yang mengejutkanku seraya menatapnya dan berusaha mencerna arti perkataanya. “Uhhhuukk... Buset... nusuk amat tuh kata-kata tante sarah” bantinku mengoceh. Seluruh individu yang ada didalam ruangan melihat kearahku, sebagian bingung, sebagian melihatku dengan wajah serius. Tidak lama kemudian Dokter Sarah melanjutkan penjelasannya. “Itu Bila Memandangnya dari kekuatan fisiknya! Yotta Slyvana memiliki nilai terendah dalam seluruh tes fisik yang ia lakukan, namun dia mendapatkan nilai test tertinggi dalam test Intelligent Quality (Kualitas kecerdasan), nilai IQ-nya adalah 400 atau skor sempurna, satu-satunya manusia di seluruh dunia yang mampu melakukannya hanyalah dia.” “IQ tertinggi yang pernah diraih manusia adalah 220, dan orang itu adalah saya. Saya yakin bahwa ada suatu yang berbeda dengan evolusi yang dialami yotta. Dia mengalami gejala evolusi yang lebih berat dari sluruh peserta test yang lain, dan dia hampir mati karenanya. Hal itu lucu karena meskipun evolusinya gagal setidaknya dia akan tetap hidup sebagai setengah monster. Namun, diluar dugaan dia hampir mencapai titik kritis.” “Yotta, apakah setelah evolusi kamu merasa dapat berfikir lebih cepat?! Atau dapat menghafal lebih mudah?” Dokter Sarah mengalihkan pandangannya dari Audien dan memandang kearahku, matanya bersinar penuh harap. “B..Betul dokter, dan bukan hanya itu, aku juga dapat mengingat setiap karakter dari semua buku yang pernah aku baca semenjak kecil dulu” Sambil terbata-bata aku menjawab pertanyaan dokter sarah. Ruang tersebut sontak menjadi riuh, seorang antara yang lain saling berbicara tentang keanehan pada diriku. Keculai Komandan Clara yang sedari tadi santai memandangku karena dia tau semuanya yang telah terjadi padaku. “Pernyataan itu membuktikan hipotesisku yang pertama, bahwa yotta mengalami Evolusi Otak bukan tubuh, dan beberapa penelitian dari tahun 2012 hingga sekarang memberikan hipotesis baru, bahwa manusia yang memiliki IQ diatas 380 mampu menggunakan Telekenesis meskipun itu belum terbukti” Dokter sarah menjelaskan mengapa Jendral Ben memberikan Pill berharga itu padaku. Kini aku tau bahwa diriku mengalami kasus Evolusi yang benar-benar berbeda dengan peserta lain, bahkan berbeda dengan manusia-manusia lain Dokter sarah menjelaskan mengapa Jendral Ben memberikan Pill berharga itu padaku. Kini aku tau bahwa diriku mengalami kasus Evolusi yang benar-benar berbeda dengan peserta lain, bahkan berbeda dengan manusia-manusia lainnya. “Yotta Coba pusatkan perhatianmu pada pulpen ini!” Dokter Sarah memerintahkan ku. “Baiklah!” jawabku singkat sambil memfokuskan perhatian dan pikiranku pada pulpen ditangan dokter sarah. “Sekarang bayangkan pulpen ini melayang 30 centimeter dari tanganku” Tambahnya. Tanapa mengeluarkan suara, aku melakukan apa yang disuruhkannya padaku, beberapa saat kemudian kurasa sebagian energiku mulai bergerak, dari setiap bagian tubuhku mengalir kekepalaku. “Whoshh!” Dengan cepat pulpen ditangan dokter sarah terangkat, terkejut, aku kehilangan fokus dan pulpen itu jatuh ke lantai. [hening seketika] Tidak ada suara dalam ruangan tersebut, bahakan mata Komandan Clara pun bersinar memandang kejadian dihadapannya. “Hal itu membuktikan hipotesisku yang ketiga” dokter sarah menambahkan, keringat mulai menetes di pipiku, entah mengapa aku merasa meleleh. “Yotta, coba lakuan hal yang sama pada kursi ini” dokter sarah memerintahkanku lagi, kali ini objeknya lebih besar dan berat. Tanpa basa-basi aku memfokuskan pandanganku pada kursi tersebut, sedikit rasa senang dalam hatiku, mengetahui bahwa aku ini bukanlah orang tidak berguna. Bersemangat kukerahkan seluruh energi dari tubuhku dan membayangkan kursi dihadapanku terangkat. “Whosh” “Whoshhhhh” Perlahan-lahan bangku itu mulai beranjak meninggalkan lantai ruangan, keringat mengucur deras dari dahiku. Menetes hingga leher dan bahuku. Karena bigitu senangnya dengan kekuatan baru yang kumiliki, aku tidak menyadari bahwa wajahku pucat pasi, sangat pucat hingga terlihat seperti orang mati. “Whoshhh” Bangku besi yang setidaknya memiliki berat 20kg itu melayang 1 meter diatas tanah, semua orang dalam ruangan terfokus pada kursi yang melayang dibagian terdepan dari ruangan. “Eh, tubuhku kehilangan Energi” Mataku mulai kabur, kurasakan energi dalam tubuhku seperti menghilang lenyap, dan rasa kantuk yang sangat besar menyerangku secara tiba-tiba. “Brukk!” Yotta jatuh kelantai tidak sadarkan diri, dia tidakmenyadari bahwa telekenesis membutuhkan energi yang besar. Hal tersebut juga berlaku sama dengan berfikir, manusia normal akan merasa lebih lelah saat berfikir, ketimbang melakukan pekerjaan fisik. Tentu saja hal itu mengejutkan beberapa orang di dalam ruangan, berbeda dengan respon yang ditunjukan oleh sebagian orang dalam ruangan, dokter sarah tersenyum sambil melanjutkan. “Hal ini membuktikan hipotesisku yang terakhir, bahwa telekenesis membutuhkan energi yang besar untuk dilakukan, permasalahan terpenting untuk kita dan juga yotta adalah energi dalam tubuhnya sangat sedikit. Hal tersebut berhunbungan langsung dengan tinggkat kekuatannya, saat ini dia masih jauh dari cukup untuk menggunakan telekenesis untuk membunuh musuh.” Dokter sarah menjelaskan, sambil memandang yotta yang terbaring diatas lantai ruangan. “Dan dalam hal ini aku hanya mampu membantu memberikan supplemen, untuk latihannya yotta, aku serahkan pada Jendral Ben” ucap dokter sarah sambil tersenyum ke arah Ben adkinson. Jendral Ben juga tersenyum membalas senyum dokter Sarah, jika Yotta masih terbangun dia akan terkejut mengetahui hal tersebut, Jendral yang selalu dingin pada seluruh bahawan dan Prajuritnya, Tersenyum membalas senyuman seorang wanita. Jelas terlihat dokter Sarah dan Jendral ben saling menyukai. ...... “Dimana aku, mengapa aku terbangun di tempat ini?” Aku tersadar di atas meja perawatan fasilitas bawah tanah milik The Hunters, mataku menyusuri setiap sudut-sudut kamar. Namun aku dikejutkan oleh Aura pembunuh dari arah sudut kamar, saat kulihat kearah Aura tersebut sambil mengucur kembali keringat dinggin di tubuh,: “Jendral!?” Aku di kejutkan oleh sosok Jendral Ben yang duduk di pojok ruang yang gelap, aura membunuhnya sepertinya sengaja ia lepaskan, aku tidak mengetahui apa yang ia ingin dilakukan. [To Be Continued!] ACT : 10 Rasa sakit adalah bumbu kehidupan! “Jendral!?” Yotta dikejutkan oleh sosok Ben adkinson yang berdiri di sisi gelap ruangan itu, yang paling mengejutkan adalah aura pembunuh yang dipancarkan oleh sang Jendral yang membuat Yotta merinding ketakutan. Yotta memandang sang Jendral yang berjalan perlahan kearahnya, mulutnya kelu, tekanan yang di berikan oleh aura itu membuat dia tidak mampu berkata-kata. “Apakah dia akan membunuhku?” aku bertanya dalam hati. “Tapi mengapa?”lanjutku. Jendral ben kini telah berada satu meter dari kasur dimana aku berbaring, aku berusaha untuk dukuk dengan bersandar pada besi penyangga tempat tidur. “B-Ben, Mengapa kau ingin membunuhku?” Aku bertanya ketakutan, Wajah ben saat itu seperti biasanya, dingin dan penuh mistery, tangan kanannya terangkat dan aura pembunuhnya menyeruak semakin menjadi-jadi, aku semakin ketakutan. Mataku mengikuti gerakan tangannya yang terlihat bergerak kearah ku, ketakutan pundak-ku meninggi dan aku memejamkan mataku. Ben mungkin benar-benar ingin membunuhku, namun hal yang terjadi mengejutkanku. “Tap” Tangannya menepuk kepalaku pelan, dan kemudian tertawa keras. “Hahahhaha! Membunuhmu? Dasar Bodoh! Mengapa kau bisa berfikir seperti itu?!” Jendral Ben tertawa terbahak-bahak mendengar perkataanku. “Eh?!” aku tidak pernah berfikir Jendral yang sangat dingin, bisa tertawa seperti itu. “Mana mungkin aku membunuh Sahabatku sendiri! Bisa-bisa aku di bunuh si Ratu Sadis Clara duluan..! Oh, Mengenai aura pembunuhku sebelumnya? Itu untuk menunjukkan kelemahan terbesarmu!” “Kelemahanmu yang sebenarnya bukan pada fisikmu tapi disini!” Ben berkata sambil menunjuk kepalaku. “Kelemahanmu adalah engkau akan merasa lemah bila melihat seorang yang kuat, dan akan menyerah bahkan sebelum bertanding! Untuk menjadikan fisikmu kuat, kau hanya perlu berlatih! Namun bagaimana dengan mental?” Wajahnya terlihat menjadi serius kembali, serti tawa dan senyum beberapa detik lalu, hanya asap yang hilang dihembuskan angin. “Clara telah memutuskan bahwa kamu akan berada dibawah pengawasanku! Aku sendiri yang akan melatihmu! Jadi Bersiaplah! Tidak ada kata mengeluh dan malas! Keringat darah itu diperlukan untuk menjadi kuat! Baiklah kembali ke barak! Besok jam 05.00 pagi, jangan Terlambat!!” Ben adkinson berucap sambil berjalan keluar, kedua tangannya berada dibelakang, membuat dia terlihat seperti sosok ayah bagi-ku hanya saja dia lebih muda dan hampir seumuran denganku, hanya beberapa tahun diatasku. “Kau harus berjuang, berjuang untuk bangsa kita” Ucapnya pelan seraya membuka pintu keluar. Jendral ben memelankan suaranya hingga yotta tidak mampu mendengarnya. .... Yotta kembali ke barak, saat dia keluar ruangan dan kembali dari kota bawah tanah sebelumnya, dilihatnya sebagian besar mereka yang tinggal didalamnya adalah orang asing(berbeda ras). Dan pintu masuknya dijaga ketat oleh Survivor yang berbadan besar serta memancarkan Aura membunuh seperti yang dimiliki Jendral Ben. Timbul pertanyaan dalam hatinya : “Hmmm.. Mengapa sebagian besar dari mereka adalah orang asing? Mengapa penduduk asli kota ini justru mengungsi ke ibu kota?” Yotta tentu merasa keanehan, namun untuk saat ini dia hanya menyimpan hal tersebut dalam hatinya. Baginya terlalu banyak hal yang masih abu-abu dan membingungkannya. “Mungkin Perlahan-lahan tapi pasti! Aku tidak bisa terburu-buru, cepat atau lambat aku pasti mengetahui segalanya!” [Dibarak] Paman, Aku pulang?!...”Eh?! mana laura?”tanyaku pada paman lim, (ia sering mengunjungiku ke rumah). “Selamat datang yotta, Oh laura, dia sudah pulang ke ibukota Varost!.” “Oh,begitukah” Padahal aku ingin banyak bercerita padanya. karena Aku merasa begitu lelah hari ini, terlalu banyak hal yang mengejutkan, terutama kekuatan baruku. Aku memandangi awan penuh bintang dari dalam barak, para Survivor pemula yang lain telah tidur, beberapa saat kemudian semua menjadi gelap, dan aku pun tertidur.. .... [05.50 subuh] “Duar!!!” Suara tembakan membangunkanku, terjadi keriuhan di barak, dan seluruh prajurit mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru dan berlari kearah lapang pelatihan. “Sial!!” Aku melihat kearah jam ditangan kananku, jam itu menunjukan bahwa saat ini adalah pukul 05.50 pagi. “Mati aku!” bergegas aku berlari, aku berlari secepat yang aku bisa, seakan-akan ada monster besar yang mengejarku. “Tempat latihanku berbeda dengan yang lain, Jendral memerintahkanku datang ke lapangan latihan yang biasanya digunakan untuk latihan sepak bola, dan ukurannya jauh lebih besar dari lapangan latihan yang digunakan prajurit lain. Tidak lama berselang terlihat Jendral Ben sedang duduk dibangku besi didepan kantornya. Tiga orang berperawakan tinggi besar berkulit gelap berdiri dibelakangnya. .... “Maaf Jendral!” Hanya Ucapan singkat itu yang mampu ku ucapkan, karena pikirku semua alasanku akan percuma dihadapannya. “____” Jendral Ben hanya terdiam dan tidak menjawab apapun, hal ini justru membuat perasaanku menjadi bertambah buruk. “Ricco!,Jax! Dion! Kalian tau apa yang harus kalian lakukan!” Jendral Ben berujar datar seraya masuk kekantornya seolah tidak perduli padaku. Ketiga orang itu berjalan kearahku tanpa mengurangi sedikitpun dari aura membunuh mereka. Ketiga orang itu berjalan kearahku, dan salah satu diantaranya tiba-tiba meloncat dan sudah berada di belakangku. “Bang!!” Pria tersebut memukulku sangat keras, terasa tangan kanan dan tulang rusuk-ku patah, menghasilkan suara yang membuat telinga ngilu. “Dag..Dag... Gresss..” Aku terpental hingga 20meter dari posisiku berdiri sebelumnya, darah mulai mengalir dari hidungku dan mulutku. Ketiga orang tersebut merupakan Survivor Elite tingkat C yang hanya setengah jalan dari Survivor tinggkat B, tentu saja pukulannya dapat mengalahkanku dengan mudah. Sang pria tersenyum mengejekku, dua orang lainnya masih terdiam menonton sambil menikmati melihatku di serang. “Whipss~” aku menghapus darah dari mulut dan hidungku, berusaha berdiri dengan bersusah payah. “Crakle..Crakkk!” tulang rusukku berbunyi saat aku memaksakan berdiri, aku sangat bingung mengapa Jendral membiarkan kami. Lalu kedua orang yang tadi hanya menonton mulai berlari kearahku, kali ini dia mengincar kaki kiriku, dia berlalri lurus tanpa strategi apapun. “Swoshh..Swohss!” kecepatan berlarinya sungguh diluar kemampuanku untuk mengimbanginya terlebih lagi aku dalam keadaan terluka parah, rasa sakit mulai menjalar disekitar perut dan dadaku, tulang yang patah mulai mengenai bagian dalam organ tubuhku. “Bang!!” kaki kanan Jax menyapu kaki kiriku dengan keras, aku berputar diudara kerena begitu keras tendangannya. “Sial!! Aku benar benar lemah!” ucapku dalam hati sambil melihat tanah merah yang semakin lama semakin mendekat ke arah wajahku. Tendangan itu begitu kuat hingga aku harus mendarat mengunakan kepalaku. “Ahhkk..Sial!” Aku membantin sambil menutup mataku, aku menyerah, perbedaan kekuatannya begitu jauh. Otak-ku berputar lebih cepat dari sebelumnya, terlintas ingatan dari ruang bawah tahan saat pengujian kekuatan telekenesis pertamaku. “Itu Dia!” Dengan cepat seluruh sel dalam otak-ku, aku memusatkan pikiranku membayangkan bahwa aku melayang diatas tanah. Terasa seluruh energi mulai mengalir kearah otak-ku, hal itu terjadi sangat cepat dan kemudian. “Woshhh!” Benturan tangan yang dilanyangkan Jax tidak terjadi, malahan sebuah kejadian menakjubkan terjadi dihadapannya. Aku melayang-layang 2 meter diatas tanah Dengan mata sayu menatap kearahnya. Yang terlintas saat itu dipikiranku adalah bertahan hidup, amarah, kekecewaan dan seluruh hal buruk dalam hidupku menjadi motivasi untuk terus bertahan. Pernah aku miliki sebelumnya, keinginan untuk membunuh! Jax terkejut melihat perubahan yang terjadi, tanpa sadar ia mengambil langkah mundur hingga beberapa meter! Mataku berwarna merah pekat penuh amarah, seluruh hal buruk yang terjadi padaku membuatku kehilangan kendali atas diriku. “Swoshh...!” Sangat cepat aku terbang kearahnya, hanya satu hal yang terlintas dipikiranku saat itu : “BUNUH DIA!!!” Aku mulai menbagi pikirannku untuk menyerang dan mempertahankan kemampuan terbangku. Aku melancarkan serangan otak kearah Jax, yang tentunya tidak menyadari kedatangan seranganku itu. {Otak dapat menangkap rangsangan gelombang elektromagnetik dan bila manusia dapat mengatifkan kemampuan otaknya, mereka dapat memanfaatkannya sebagai saran telepati dan mengirim gelombang pikiran ke orang lain} “Whenggg!” Gelombang elektromagnetik yang aku kirimkan lebih besar dari kemampuan otaknya yang hanya memilik IQ sekitar 120-145. “Brag!” Jax jatuh ketanah, terlihat pupilnya terlihat kosong dan matanya terbuka, otaknya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengirimkan pesan pada selaput matanya untuk menutup. “Swosh..Swosh..!” Jendral Ben yang semenjak tadi hanya melihat dari dalam kantornya, berlari keluar dengan kecepatan penuh, dia pun sangat terguncang dengan apa yang terjadi pada Jax, salah satu orang kepercayaanya yang mengikutinya semenjak dulu. Jendral Ben meraba leher jax untuk memastikan denyut nadinya, wajahnya terlihat sangat serius, namun kemudian melepaskan nafas panjang. “Singhhh..! Yotta!! Turunlah untunglah dia masih hidup, kupikir dia akan langsung mati karenamu” Jendral Ben memandang kearahku yang melayang diatas tanah, sambil menggedong Jax kedalam kantor. “MATI, Mati.. Akan Kubunuh Kalian..!!!” Seolah tidak mendengar suara Jendral, Aku memandang kedua orang lainnya yang sedang menatapku tajam dan terkejut.. “Ricco!!!, Dion!!! Cepat Pergi dari sinih!!...” Jendral ben beteriak kepada dua orang itu.. Belum sempat mereka bergerak, Aku langsung Meluncur terbang Cepat ke arah mereka “Swosh!” Aku yang telah kehilangan kendali atas tubuhku , Aku memusatkat Gelombang elektromagnetik ke arah kedua orang tersebut, seluruh energi terasa terkuras hebat. “Zinggk!” Aku melepaskan kedua Gelombang itu ke arah Ricco dan Dion, namun Jendral ben sudah terlebih dahulu menyelamatkan kedua orang itu jauh sebelum gelombang itu mengenai kedua orang tersebut,, Miss(tidak kena) malah mengenai tembok sampai membuat Dua buah lubang Besar disanah. “Hey Yotta Sadarlah!” Jendral ben berteriak sambil memandang aku yang berlumuran darah, tubuhku yang melayang diatas tanah mulai terguncang dan Akhirnya terjatuh. .... Yotta kehilangan kesadarannya dan berakhir di tangkapan Jendral Ben, Wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka serta tulang-tulangnya patah. “Oh Sial! Sepertinya aku salah! Hah..” Jendral ben sedikit menyesal dalam hatinya, dan menyadari mungkin dia terlalu kelewatan, sebenarnya ia hanya ingin mengajari Yotta apa artinya bertarung dalam garis antara hidup dan mati, namun diluar dugaan kekuatannya malah keluar dan hampir membunuh 3 orang kepercayaannya. “Dia hanya Survivor tingkat E, dan hampir membunuh tiga orang anak buahku! Huft.. Aku harus merahasiakannya dari para Dewan dan Pemerintah pusat!” Jendral membatin sambil melihat pemuda yang terbaring lemah diatas kedua tangannya. Ricco dan Dion masih terkejut memandang atasan mereka menarik mereka dari ambang Kematian. “Ric! Dion! Jangan beritahu siapapun tentang semua ini! Mengerti?!” suara jendral ben terdengar dari belakang mereka, kedua orang itu membalikan wajahnya dan mengangguk. “Kalian berdua pasti sudah mati kalau bukan Aku yang menarik kalian tadi, Anak ini berbeda dan Akan menjadi kunci Negara ini lepas dari kekangan PBB dunia dan penindasan Negara lain.” Jendral ben berujar sambil berjalan didepan mereka, Ricco dan Dion memandang satu sama lain dan mengangguk, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seakan mengerti satu sama lain. Sesampainya di dalam kantor, Jendral memberikan 2 buah Pill kepada yotta dan jax, dan beberapa saat tubuh mereka mulai melakukan penyembuhan. 5 Jam setelahnya Jax terbangun, Wajahnya pucat dan terlihat sedikit binggung. Jax kemudian bertanya kepada kedua temannya dan kepada sang Jendral, secara mengejutkan Jax kehilangan ingatannya tentang hari itu, Yotta hanya Survivor Tingkat E, sehingga jumlah gelombang yang dihasilkan oleh dirinya masih terbatas karena jumlah energi yang harus dikeluarkannya akan sangat besar. “Oh tuhan, anak ini hanyalah Survivor tingkat E?!” jax membatin sambil melihat yotta dengan Ekspresi takut dan juga terkejut. “Tugas kita sekarang adalah menjaganya dan melatihnya sehingga menjadi lebih kuat, dan detail seluruh hal yang terjadi hari ini harus dirahasikan, terutama dari anggota Dewan pemerintah.” “Ini akan berbahaya bagi Yotta” Jendral Ben menambahkan, Dewan akan menggunakan Yotta sebagai alasan mempersatukan dunia, namun kenyataannya orang-orang di dalamnya tidak jauh berbeda dengan penjahat, mereka memonopoli sumber makanan dan kesehatan, terutama pill-pill dan serum berharga yang mampu meningkatkan kekuatan seorang Survivor. ..... [To Be Continued] ACT : 11 Creaturs dan Kepanikan! Aku terbangun hari itu dan langit sudah hitam pekat, bintang terlihat lebih terang dari biasanya, semakin lama ozon semakin menipis dan membuat malam menjadi lebih gelap dan berbahaya dari sebelumnya. Aku memalingkan wajahku kekanan dan kekiri, mencari seseorang untuk mendapatkan penjelasan, masih teringat jelas pertarungan yang sebelumnya terjadi, dan mengapa Ben Tega mengijinkan ketiga anak buahnya menghajarku habis-habisan. “Creakk” pintu besi terbuka secara perlahan, seraya dua sosok manusia berjalan kedalam ruangan, jendela kamar itu terbuka dan angin malam berhembus melaluinya. “Hallo!” Dokter Sarah menyapaku seraya berjalan masuk berdampingan dengan Jendral Ben. Ben yang berjalan di sebelahnya nampak seperti biasa, dingin dan misterius. “Jendral! Mengapa kau membiarkan ketiga pria itu menghajarku!” Belum sempat dokter Sarah menyapaku, kuhujani Orang yang ku anggap sahabat itu, Jendral Ben dengan pertanyaanku, Aku bertanya dengan nada kesal dan marah. Lucu memang jika sedang marah, Aku melupakan rasa takut dan aku dapat berbicara dengan Biasa(Seperti ke sesama teman) pada jendral ben yang harusnya tidak begitu. “DIAM!” Jendral Ben menghentakku dengan bentakkan keras, mendengar itu aku tidak takut dan tetap menatap tajam sambil marah. “Tidakkah Kau Belajar?! Aku ingin membuatmu tau apa itu rasanya bertarung diantara hidup dan mati! Kau harus sadar, Dunia dimana kita tinggal sekarang sudah berubah, bukanlah dunia dimana keadilan bisa dinikmati semua orang. Didunia ini yang kuatlah yang Benar! Dan mereka yang lemah selalu salah dan akan menjadi korban!” “Namun diluar dugaanku kau hampir membunuh tiga anak buahku! Seharusnya kau juga menyadari itu! Bahwa kita manusia, adalah mahluk yang menjadi kuat saat tekanan datang, dan hal itu juga untuk mengajarkanmu disiplin.” Ben Adkinson Berteriak sambil menjelaskan segala sesuatunya, Aku hanya terdiam, memang benar bila dia memberitahukan aku sebelumnya tentulah aku tidak akan merasa bahwa itu hanyalah latihan. “baiklah Jendral, lalu apa yang harus kulakukan?” Setelah hatiku lebih tenang, aku dapat menentukan keputusan dengan lebih baik. “Berlatih! Namun kita harus melakukannya secara rahasia, mereka tidak boleh mengetahui kemampuanmu menyerang menggunakan Gelombang EMP(Elekro Magnetic Pulse) itu adalah salah satu kunci keberhasilan kita. ... Yotta berlatih pada hari esoknya, program latihannya sangat Ekstrim, pagi hari hingga jam 2 siang ia harus melatih fisiknya terus menerus tanpa henti, kerap kali ia terjatuh karena kelelahan namun terus ia berusaha berdiri lagi. Ingatannya akan perkataan Jendral ben dan kenyataan tentang dunia dimana hanyalah yang kuat yang bisa terus hidup seakan menyadarkan dia. “Terus berlari!” Jendral ben berteriak sambil memandang yotta dari kejauhan, yotta yang berlari sambil membawa beban seberat 500kilogram. Jendral ben juga terlihat berlatih, di kedua tangannya terlihat barbel seberat 10 ton. Bergantian dia mengayunkan tangan kiri dan kanannya. Setelah beberapa hari berlatih bersamanya, yotta baru mengetahui bahwa Jendral Ben menggunakan dua Senjata Grim Weapon(Senjata Elite Khusus) berbentuk pedang besar. Yotta selanjutnya berlatih menggunakan berbel 500kilogram di kedua tangannya, bergantian dia melakukannya mengikuti cara sang Jendral latihan. Latihan yang Jendral ben berikan sangat sederhana dan mudah ditiru namun mengejutkan adalah latihannya sungguh efektif. Latihan yang paling dibenci yotta adalah latihan sparring(bertanding) dengan ketiga orang anak buahnya itu, namun kali ini yotta di larang menggunakan serangan EMP nya ,dan hanya boleh menggunakan kemampuan fisik saja. Setelah melakukan fisik dia harus pergi ke Laboratorium bersama dokter Sarah untuk mempelajari banyak hal, seperti pembuatan senjata, pengolahan daging dan darah mahluk Creaturs, dan juga mengenai hasil penelitian tentang telekenesis. Pil-pil yang diberikan oleh jendral ben sangat berharga, dan itu merupakan simpanannya untuk meraih tingkatan Survivor Level A namun ia memberikannya kepada yotta. Hari ini adalah hari ke 25 dari hari pertamaku memulai latihanku, aku melakukan test ke gym dan mendapatkan tubuhku sudah mencapai Tingkat Survivor Lv D. Aku merasakan tubuhku sudah bertambah kuat, ku aktifkan jam pada pergelangan tangan kiriku : “Beeep!” “Menunjukan laporan hasil latihan terakhir” Dilayar hologram terpampang hasil latihanku kemarin. “Yotta Slyvana Survivor Level D, [test 1 = 2000kg], [test 2 = 10,4 detik] [test 3 = 92], [test 4 = 400].” Perih di hatiku karena latihan yang kejam serta berat yang kulalui rasayanya terbayar oleh perubahan yang juga aku alami. Ben benar, kerja keras dan proses , tidak akan pernah membohongi kita. Dan selalu akan ada jalan bagi mereka yang mau berusaha. “Beeep!” Masih dalam lamunanku, tiba-tiba muncul pesan dari jam tangan milikku, seperti sebelumnya Komandan Clara memberikan informasi pemanggilan bagi semua prajurit baru agar berkumpul di lapang pelatihan. Siang itu matahari tepat berada diatas kepala, bahkan suhunya mencapai 50 drajat Celcius, suhu tersebut dapat dengan mudah membuat manusia normal pingsan karena dehidrasi dan pusing kerena panas terik yang menyerang kepala. Pemanasan global menjadi salah satu faktor penyebab utama dari iklim dan keadaan lingkungan yang rusak, sementara itu Ratusan Ribu prajurit biasa dan Survivor baru, dari seluruh penjuru negara Varost berkumpul dan berbaris dengan rapih di lapangan yang sangat besar setara dengan 4 lapang bola jika disatukan. “Perhatian!” Seorang Kapten perempuan berbadan tegap berdiri diatas podium, sambil berteriak keras, suaranya menggema hingga barisan paling akhir dari barisan prajurit itu.(gk pake spiker loh, kebayang ratusan ribu orang jika ada di satu tempat sedang berjajar dan berbaris, akan sepanjang apa barisannya.) “Lalu Muncul Hologram Raksasa dari arah depan barisan, menampilkan wanita berparas yang sangat cantik yang sudah sangat ku kenal” saat itu juga sluruh manusia yang ada di sanah serentak memberikan Hormat! Tanpa kecuali Aku. “Perkenalkan Saya adalah Komandan Tertinggi The Hunters, Clara Frostfire. Saya ucapkan Selamat untuk Para Pejuang Baru yang telah Bergabung di kemiliteran, Dan Karena Waktu Pelatihan dasar kalian telah selesai, dan Pembagian pangkat kalian akan segera di sesuaikan dengan masing-masing kemampuan fisik kalian, dan Inggat! kalian harus tunduk dan mengikuti perintah dari mereka yang memiliki Pangkat lebih tinggi! Perintah bagi kalian adalah Mutlak, Melanggar berarti Mati!... Sekian!” Sebelum menutup hologram raksasa itu Seluruh manusia yang hadari mengatakan “Yes, Mam!” dengan lantang dan serentak! Sambil memberi hormat (lalu hologrampun di tutup). Lalu di lanjut oleh Kapten wanita tadi memberikan arahan lebih lanjut kepada ratusan ribu prajurit baru. Pada saat yang bersamaan Di Sisi lain ... [Pedalaman Hutan] Dap!!... Dap!!.. Dap!!.. suara gemuruh langkah kai segerombolan kawanan besar Creaturs terdengar dari kejauhan, jumlah mereka sangat mengejutkan, lebih dari 500rb Creaturs bergerak dengan cepat kearah Shield benteng pertahanan kota tersebut. “Roarrr..! Roarrr!!.. Roarrr!!..” Monster-monster itu mengaum dan meraung dengan keras, beberapa mahluk yang berkururan sangat besar bahkan menghancurkan pohon-pohon yang dilewatinya. Pergerakan mereka tidak dapat dihentikan, mereka terbagi menjadi beberapa kawanan, sesuai dengan jenis spesiesnya masing-masing. “Wiuww..! Wiuww! Wiuww!” Belum sempat menyelesaikan perkataan, sang kapten wanita dan seluruh peserta pelatihan lainnya di kejutkan suara alarm darurat yang berbunyi begitu keras. Sontak seluruh prajurit menjadi panik dan menimbulkan kekacauan dibarisan prajurit. Ribuan prajurit Survivor senior berlarian keluar barak, sebagian dari mereka yang sedang berlatih di lapangan pelatihan bergegas mengambil perlengkapan mereka masing-masing. “Kepada Seluruh pasukan bersiap Untuk Berperang! Ini bukan latihan, Sekali lagi ini bukan latihan!” Dalam kebingungan dan kegaduhan, pengeras suara di seluruh sudut markas memberikan pengumuman yang mengejutkan. Sang kapten wanita tentunya lebih siap dari seluruh prajurit baru, yang mungkin belum pernah melihat darah dan pembunuhan, sang kapten dengan sigap menenangkan kekacauan dengan suara lantang dan keras. “Dengarkan!! Hai Kalian, Mahluk Penakut dan Bodoh!!!” “Hentikan kekacauan ini dan Kembali kebarisan! Berdiri diluar barisan dan hanya kematian yang menuggu kalian!” Sang kapten Wanita berteriak dengan keras, amarah bercampur dalam suaranya. Wajahnya yang sebelumnya dingin dan tenang, kini berubah menjadi serius dan seram, mendengar teriakan sang kapten seluruh pasukan kembali kebarisan, sebagian dari mereka tidak sabar untuk berperang, sementara beberapa dari mereka gemetar dan ketakutan. Sambil memandang dengan tatapan dingin kearah kerumunan pasukan baru, sang kapten meneriman pengumuman detail dan perintah melaui alat pendengaran pada telinganya. “Rec-Drone menemukan ratusan Ribu Creaturs sedang bergerak, berjarak 30 menit dari pangkalan!” “Disinih Mentri Pertahanan mengambil alih, Segera Siapkan beberapa batalyon dari prajurit baru itu, letakkan mereka pada barisan paling depan!” Suara dibalik alat pendengaran itu terdengar serak dan bernada tinggi, wajah sang kapten wanita berubah karena ucapan atasannya itu. “Pak! Mohon pertimbangan Ulang! Dan Konfirmasi dari Komandan Clara Frostfire, Mereka semua pasti akan mati bila kita melakukan hal itu!” “DIAM!!!” Komandan sedang melakukan rapat penting antar perwakilan negara sekarang, dan otomatis kami mengambil alih sebagai Mentri pertahan negara ini!, Jangan Membantah ini Perintah!!” ...... “Ada apa ini? Creaturs Menyerang?” Pikirku, jantungku mulai berdegup kencang. Perasaan ku Bercampur antara takut, penasaran dan sedikit tertantang. “Namun bukankah ini hal biasa bagi mereka? Mengapa mereka terlihat begitu gugup?” pikirku sambil memandang ke arah para prajurit yang berlalu-lalang membawa perlengkapan perang mereka. “Untuk Regup 1 sampai regup 15 total = 25ribu prajurit kalian sekarang adalah batalyon 013, Segera Berkumpul di pintu masuk pangkalan, Sisanya Pergi ke Dalam bungker utama!” Aku yang berada di Regup 12 tentu harus ikut berkumpul. “Cepat Berbaris dengan teratur dan persiapkan diri kalian!” sang kapten wanita memberikan perintah sambil memimpin pasukan, lalu berjalan ke arah dinding Shield yang melindungi pangkalan Perang. Sesampainya di pintu masuk pangkalan, ku temukan puluhan ribu pasukan survior dan non’survivor berdiri di pintu masuk pangkalan dan memberikan jalan kepada batalyon 013(yang hanya terdiri dari para Prajurit baru) untuk maju kebarisan paling depan. Melihat hal itu sudah dapat kutebak maksud dari hal itu, Mereka ingin mengorbankan batalyon pasukan baru ini, karena dari segi kekuatan batalyon ini tidak lebih berharga dari para batalyon senior yang rata-rata memiliki kekuatan fisik level C dibandingkan mereka batalyon yang baru terbentuk kurang dari 1 bulan ini tentunya tidak terlalu berharga. “Sial! Seharusnya aku tahu mereka hanya memikirkan dirinya sendiri!” “Apa yang harus kulakukan?!” Aku yang Sedang terhanyut dalam rasa panik dan takutku, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari kejauhan. “Yotta?!” Jendral Ben dan Batalyon yang dipimpinya berjalan kearahku dengan terburu-buru. “Beep!” jam di tangan Jendral di aktifkan dan membuka transmisi suara.. “Perhatian pada Pusat AirForceArmy, ini Jendral Kalian Ben adkinson.. Segera luncurkan bantuan Udara ke base pangkalan pelatihan di area Antropolist, saya ulangi Segera luncurkan bantuan Udara ke base pangkalan pelatihan di area Antropolist” sahut Jendral Ben, memanggil Pasukan utamanya, lalu mengakhiri panggilannya. “Beep!” jam dinonaktifkan. [Pusat Base Militer Hunter] { “Perhatian Pada seluruh Unit AirforceArmy Segera berangkat menuju Kota Antropolist, Saya Ulangi pada seluruh Unit AirforceArmy Segera berangkat menuju kota Antropolist!” seru dari alrm di pusat militer hunter itu. } “Bantuan Udara akan datang selama 2 jam, Dan sekarang kau RISKA!! Jelaskan apa yang kau lakuan?!!” Jendral ben berjalan kearah sang kapten wanita yang belakangan ini aku baru tau bahwa namanya adalah Riska. Ben terlihat begitu marah, auranya menyebar kesekeliling membuat beberapa pasukan yang berada disekeliling kapten riska gemetar. “Mohon maaf Jendral! Aku hanya melakukan perintah!” kapten riska menjawab, wajahnya jelas terlihat ekspresi malu dan takut disaat yang bersamaan. Memang pada dasarnya kapten riska hanya menerima perintah atasan. “Yotta! Dinda! Dimas! Fani! Celion! Kalian ikut denganku! Sekarang kalian bagian dari batalyonku! (batalyon jendral ben hanya berkisar 5ribu orang yang ada di base pelatihan ini).!” Jendral ben berteriak sambil melihat kearah batylon prajurit baru, matanya memandang bibit-bibit unggul dari para anggota baru. Suara seperti air yang menyiram tubuhku disaat udara begitu terasa panas membakar kulitku, ternyata Jendral tidak membiarkan aku mati sia-sia sebagai perisai bagi batalyon lain. “Jendral! Ini peritah atasan!” kapten riska berusaha menahan Jendral ben mengambil para anggota baru. “Aku yang bertanggung jawab, Lagi pula Yotta berada dalam pengawasanku! Itu juga merupakan perintah atasan” Jendral menjawab namun matanya tidak memandang riska, seolah tidak perduli. Jendral memang termasuk Survivor Tingkat B+ karena hanya sedikit lagi kemampuan fisiknya akan mendapatkan terobosan dan menjadi Survivor Level A, sehingga para Kapten sangat segan dan takut padanya. ”Jendral berjalan kearah barisan batalyon uang dipimpinya, anggotanya terdiri dari 5000 orang yang semuanya Survivor level C+, dan yang paling lemah survivor level C sedangkan ketiga wakil Jendral adalah Survivor level B. “Pasukan!... Bersiap!.. Kita akan menahan para Creaturs sampai bantuan Udara Tiba di sinih...!.” Yotta, Dimas, Fani, Celion dan Dinda Berjalan dibelakangku berjalan ke arah batalyon Khusus Regu AU(anggkatan udara) yang dipimpin oleh Jendral Ben sendiri. Terlihat mereka kebingungan dengan apa yang dilakukan Jendral Ben. “Kami berbaris di bagian paling belakang barisan, sedangkan Jendral Ben berdiri di bagian paling Depan dari Batalyon. Dinda memandang kearahku sambil bertanya: “Apa yang terjadi? Pasti kamu mengetahui sesuatu kan?!” Wajahnya jelas menunjukan keraguan dan kecurigaan. Aku hanya diam dan mengangkat jari telunjukku kearah bibirku mengisyaratkan dia untuk diam, keadaan seluruh barisan sangat tegang karena seluruh prajurit tidak mengetahui kapan serangan akan dimulai. Tiba-Tiba : “Goarrrr!!!” Raungan keras seekor Creaturs besar dengan tinggi 5 meter dan kedua lengan besarnya di lengkapi cakar sepanjang 30 cm. Bersamaan dengan bayanggannya menutupi barisan depan batalyon baru. “Itu Creaturs Tipe raja! Dengan code name : RENGAR!!” Jendral Ben berteriak sambil menghunuskan pedangnya, sontak seluruh batalyon di belakangnya juga bersiap. Aku sempat membaca beberapa nama Creaturs Tipe Raja yang berhasil di identifikasi, saat Jendral berteriak “Rengar” hatiku terguncang! Rengar adalah salah satu jenis Creaturs yang ber Evolusi dan menjadi pemimpin kawanannya. Kekuatan fisiknya adalah level B+ di tambah dengan kemampuan pergerakannya sangat cepat, membuatnya lebih kuat dari Survivor level A. Jelas terlihat wajah Jendral Ben menjadi sangat serius, hanya dia yang benar-benar mengetahui kemampuan Creaturs Besar yang ada dihadapannya itu. Meskipun Survivor memiliki kekuatan super namun mereka juga tetaplah manusia. Di tambah lagi Rahang besar penuh gigi runcing dan tajam, Cakar, dan Sisik tebal yang melindunginya membuat Rengar menjadi Creaturs pembunuh yang sangat berbahaya. Namun kehadiran Rengar hanyalah Awal dari kengerian yang sebenarnya, tidak lama berselang beberapa menit terdengar dentuman keras dari dinding Shield yang melindungi pangkalan. “Boom!! Boom!! Boom!!” Bunyi dentuman keras itu tidak berhenti, hingga Shield yang begitu tebal itu di penuhi bekas tanduk besar menyerupai tanduk badak dan cakaran beruang. “Sial!!!” Aku berusaha keras untuk melawan ketakutanku dan menghunuskan dua pedang yang terbalut di punggungku. Walaupun bukankah ini hanya senjata biasa, tak seperti Gream weapons yang di sita Clara dariku, Aku harus tetap berusaha memusatkan fokus dan pikiranku untuk bertarung. “Aku harus Bertarung! Atau Paman, Clara dan teman-teman akan berada dalam bahaya!” Aku membulatkan tekadku, Seluruh pasukan berlari ke arah pagar penutup pintu masuk dan sebagian mulai menggunakan Rocket launcer ke arah Rengar yang sedang bertarung dengan Jendral Ben. “Duarrrr!!, Jedum!!!... Duarrr!!... Ledakan senjata Rocket mengenai Rengar namun tidak mempan karena Sisik yang melindunginya terlalu tebal dan keras. “Bhugggkk...!!” Jendral Ben terlempar beberapa meter kebelakang, kedua pedang ditangannya saling bersilang berusaha menahan hantaman Cakar besar mahluk itu. “Jendral!” teriak ketiga wakilnya melihat sang Jendral berguling diatas tanah menerima serangan mahluk besar itu. Ketiga Wakilnya itu dengan sigap berlari ke arah Rengar sambil mengayunkan senjata mereka, Ricco menggunakan Tombak Besar dan mengayunkannya dengan kedua tangannya ke arah leher Creaturs besar itu, sedangkan Jax menggunakan pelontar Rocket besar pada tangan kirinya dan pedang di tangan kanannya. Dion bergegas ke arah sang Jendral berusaha membantunya. “Gruaaaa!!!” Mahluk besar itu tentunya tidak bodoh, melihat serangan dari dua arah yang berbeda mahluk besar itu langsung melompat beberapa belas meter kebelakang, sehingga serangan Ricco dan Dion hanya memukul angin. “Yotta!! Gunakan serangan Gelombang EMP’mu padanya!!!” Jendral Ben berlari kearah Rengar sambil beteriak, seluruh aura Pembunuhnya menyebar ke sekeliling tubuhnya. Mendengar teriakannya bergegas aku berlari dan memfokuskan pikiranku dan memasukan kedua Pedangku ke dalam sarungnya. Aku harus memfokuskan pikiranku hanya pada serangan Gelombang EMP yang akan kulakukan, Meski aku tidak yakin hal itu akan berguna atau tidak. Dengan Cepat aku sampai dihadapan mahluk besar yang sedang Mengaum dan menghempaskan cakarnya ke arah prajurit yang mendekat. Kepalaku mendangah ke atas memandangnya. Kulancarkan seranganku, Pusaran Gelombang EMP dengan cepat merambat kekepala Rengar dan membuatnya seperti kehilangan kemampuannya bergerak dan seketika terjatuh ke tanah. “Jedum!” Debu dan tanah berterbangan kerena tubuh besar Rengar jatuh menghantam tanah. “SEKARANG!!!” Jendral ben berteriak sambil berlari kearah Rengar diikuti ketiga Wakilnya kearah Creaturs besar yang tergeletak dihadapannya, masing-masing dari mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk membunuh mahluk tersebut. Di sisi lain.... “Crakkk...Crakkk..” Terlihat dinding Shield mulai menunjukan ke’retakan di berbagai sudut karena hantaman Ratusan Ribu Creaturs yang berusaha memaksa masuk. Beberapa saat sebelum pedang, tombak dan puluhan peluru rocket mengenai tubuhnya , Creaturs besar itu tiba-tiba tersadar!... “Sial!” Pikirku.. [To Be Continued] ACT : 12 Kejadian yang tak diinginkan! “Crakkk...Crakkk..” Terlihat dinding Shield mulai menunjukan ke’retakan di berbagai sudut karena hantaman Ratusan Ribu Creaturs yang berusaha memaksa masuk. Beberapa saat sebelum pedang, tombak dan puluhan peluru rocket mengenai tubuhnya , Creaturs besar itu tiba-tiba tersadar!... Heaarrr!!! Monster itu mulai membuka matanya, tersadar dari kondisi yang setengah sadar dari serangan sebelumnya. Amarah terpancar dari kedua mata monster itu, berwarna Merah terang dengan pupil berwarna hitam pekat. “Sialan!!!! Aku hanya bisa menahannya selama 5 detik” “Semuanya Cepat Menghindar!!!” Aku berteriak sekeras yang aku bisa namun tidak ada gunanya, mereka hanya berjarak beberapa meter dari Creaturs besar itu. “Groarrrr!!” Amarah Monster itu meledak seperti erupsi gunung berapi, terbangun dalam keadaan yang terjepit Monster itu melihat ke arah Jendral Ben. Creaturs ini Memiliki kecerdasan diatas Monster normal, Dengan cepat Insting mahluk itu dapat merasakan dari empat orang yang menyerangnya, Jendral Ben Lah yang paling menjadi ancaman terbesar bagi monster itu. “Slash..!! Cringg..!!.. Duarr...!! Bomm!!.. Bomm!!..” Pedang, tombak dan puluhan peluru rocket meledak di Leher Monster itu, Dan menimbulkan Luka parah pada Monster besar itu, Asap mengepul pekat mengelilingi Jendral Ben, Ricco,Jax dan Dion, mereka tertutup asap. Melihat hal itu Seluruh pasukan yang lain terdiam, mereka tentunya khawatir dengan keselamatan Jendral Mereka.. “Dimas!.. Fani!... Kalian mundurlah, kondisi kalian sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertempuran” “Dan aku memiliki satu permintaan pada kalian,maukah kalian mendegarkannya?!” sahut yotta pada kedua teman masa kecilnya itu. “Tolong pergilah ke barak, pastikan keluarga ku aman, Dan juga laura, ia tadi berkunjung menemuiku di pagi hari, pastikan dia juga selamat..!” “Mereka berdua menganguk tanda setuju” Baiklah kawan. sedangkan Aku, Dinda dan Celion akan membantu Jendral” teriak’ku pada kedua sahabatku itu. “Pasukan!!.. Serang!!..” Seru yotta Menggema ke telingga seluruh pasukan garis depan.. Goarrrrr!!!... Monster itu mulai panik melihat para Survivor yang memancarkan aura membunuh berlari ke arahnya.. Tiba-tiba seluruh pasukan terdiam kaget, Wajah mereka pucat pasi dan kesedihan terpancar dari wajah mereka, ketika asap mulai memudar dan melihat Jendral berlumuran darah, salah satu taring besar Mahluk itu menembus perutnya. Darah menetes seperti hujan kecil yang membasahi tanah dibawahnya dengan darah sang Jendral, Creaturs itu berhasil menerkam Jendral. “JENDRAL!!!” Aku dan seluruh pasukan lain berteriak melihat pemandangan tersebut, Jendral Ben masih menggenggam kedua pedangnya, Monster itu melihat ke segala arah, berusaha untuk meninggalkan medan pertempuran sambil membawa Jendral ben di Mulutnya. “Aku takkan Membiarkanmu pergi Dengan mudah!!” Jendral ben tersenyum sambil mengerahkan seluruh kekuatannya yang terakhir untuk mengayunkan kedua pedang besar di tanggannya. “Matilah bersamaku!!!” Jendral Ben berteriak sesaat sebelum pedangnya menembus leher Monster itu dan pedang di tanggan kirinya menebas pundak monster itu. Bersamaan dengan Jeritan Monster itu, tubuh Jendral ben Terlepas dari Mulut moster itu dan menghujam permukaan tanah dengan keras, terlihat jelas mulutnya mengeluarkan darah yang begitu banyak. Dengan Luka parah yang sangat Besar monster itu mengeluarkan tenaga terakhirnya dan berhasil Kabur, ia melompat sangat tinggi melewati Lubang besar dingding shield di atas sanah, akibat serangan rudal pasukan yang meleset. Aku berlari secepat yang aku bisa ke arah Jendral, “Jendral! Jendral! Bertahanlah, maafkan aku! Ini semua adalah kesalahanku!” Aku berlutut sambil memegang kepalanya, perasaan bersalah merasukiku, sebab hal ini terjadi karena kesalahanku yang terlalu lemah, kekuatan fisik kami terpaut sangat jauh , aku hanyalah Survivor yang baru naik level dari E ke level D sedangkan mahluk itu memiliki keuatan fisik sama seperti Jendral. Tentunya serangan gelombang EMP ku hanya mampu menghentikannya untuk beberapa saat. “Jendral!” Air mataku mengalir dikedua pipiku, Pria di hadapanku adalah sahabat, guru sekaligus sosok ayah yang mengajarkanku banyak hal. Namun diluar semua ekspetasi ku, Jendral tersenyum dan menepuk punggungku dengan tangan kirinya. “Nak! Tidak perlu bersedih, Mahluk itu tidak akan selamat sama sepertiku! Hahaha” “Jangan salahkan dirimu bocah! Perbedaan kekuatanmu sungguh jauh, sudah mampu menghentikannya beberapa detik saja sudah sangat membantu!” “Lari! Jangan bertahan di pangkalan ini, lihat di sanah, dingding shield sudah hampir tidak mampu menahan para Creaturs itu yang jumlahnya ratusan ribu, tempat ini akan menjadi lautan api dan tidak akan bertahan lebih lama lagi, Ratusan Pesawat pengebom sudah hampir sampai.. Pergi lah sejauh mungkin dan bawa Keluargamu ke tempat aman !” “Huek!!” Jendral ben memuntahkan darah dari mulutnya karena berusaha terus berbicara padaku. “Jendral!!!” Aku dan ketiga wakilnya berujar bersamaan, Jendral ben menutup matanya dengan senyuman diwajahnya, dia selalu berkata mati di medan perang memiliki kebanggaan tersediri, banginya mati di medan perang lebih baik daripada mati karena penyakit. Belum sempat kami meratapi kematiannya terdengar ledakan besar menghantam tanah, dan dinding shield yang mulai hancur roboh diikuti ribuan Creaturs yang menerobos masuk, bersamaan dengan pasukan Udara dan pesawat pembom mulai menyerang ke wilayah kami berdiri. “Boom!! Boom!! Boom!! Duarrr!!” Ledakan misil dan rokket menghatam tanah. Seluruh pasukan baru yang berdiri di barisan paling depan langsung terlibat dalam pertempuran, jeritan dan teriakan para survivor yang terluka dan raungan Creatus terdengar begitu keras. “Ahhkk! Tidakkk!! Tolong!!! Selamatkan aku!!! Kiahhhhhh!!!” “Roarrr!!!, Groarrr!!! Boom!! Duarrr!!” “Jax!! Ricco!! Bawa jasad Jendral Sejauh yang kalian bisa, dan Kuburkan dengan layak, tempat ini akan berubah menjadi tempat pembantaian!!” Dion berdiri sambil merentangkan tombak besar ditangannya, mereka bertiga adalah anak asuh sang Jendral ben. Jax dan ricco mengangguk sambil mengangkat jasad Jendral ben dan berjalan kearah sebaliknya dari pintu masuk dan bayangannya menghilang dibalik kerumunan perajurit. “Hunters!! Dengarkan perintaku!! Hunuskan Pedang dan Senjata kalian!!” “MARI BALASKAN DENDAM KITA UNTUK JENDRAL !!!” Dion berteriak, sambil berlari kearah ribuan Creatus yang menerobos masuk dihadapannya di ikuti Puluhan ribu pasukan di belakanya, terlihat butiran airmata disudut matanya. Dion merupakan anak pertama yang mendapat arahan sang Jendral, pada waktu itu umurnya hanyalah 18tahun. Benar-benar sudah menjadi lautan api, Banyak sekali Creatus yang Mati hancur karena ledakan bom dari serangan pesawat Drone, bengitu pula para Survivor dan Tentara yang terkena ledakan, terkaman (gigitan), serta tebasan cakar tajam para Creaturs. Aku yang sedari tadi terduduk karena melihat pemandangan mengerikan ini, mulai menghapus butiran air mata di kelopak mataku, dan memerintakan dinda dan Celion untuk mundur, sesaat setelah melihat banyak pesawat kargo mulai mendarat di lapangan pelatihan untuk mengevakuasi tentara, warga sipil dan Para Survivor pemula. Sedangkan aku mulai kehilangan kesabaran, dan amarah merasuki seluruh pikiranku, kedua Senjata Pedang Jendral ben yang ku pegang telah melayang di atas kepalaku dan berputar seperti perisai yang melindungi kepalaku. Aku berlari kearah sekumpulan Creaturs itu berusaha menaiki tembok besar untuk menyerang mereka dari atas tembok. “MATI KAU MONSTER KEPARAT!!!..” “Goarrrr!!!.. Goarrr!!! Ahhhhkkk Tolong...!! Tidakk!!!..” Raungan Monster dan Jeritan para Tentara serta Survivor Menggema di telinggaku, situasi sudah mulai sangat kacau banyak sekali rekan-rekanku terbunuh di hadapan mataku. Aku rasa ini bukan lagi medan pertempuran tapi sudah mengarah ke pembantaian. “Prajurit..!! Semuanya Mundur...!! Mundur ke parimeter tembok pertahanan terakhir!!” Aku berteriak keras memerintahkan para prajurit yang tersisa mundur menyelamatkan diri. Aku pun berlari dengan tergesah-gesah menghindari ledakan dan puing-puing pesawat yang berjatuhan di atas kepalaku menuju tembok pertahanan terakhir, sesampainya di depan pintu gerbang tembok yang di baliknya adalah camp warga sipil dan lapangan pelatihan kami tadi. Terlintas di pikiranku rasa bersalah karena lari dari medan perang meninggalkan dion dan ribuan tentara lainnya..Maafkan aku Dion..!!... {Front Main Gate Wall Defense} Melihat Gerumunan Tentara dan Survivor saling dorong dan memaksa masuk ke arah pintu Gerbang utama. Langkahku terhenti.. “Ada apah?.. Kenapa kalian berkumpul di sinih?.. Cepat kita harus masuk ke dalam!!” tanyaku henran menghujani pertanyaan kepada seorang perajurit yang terduduk sambil menutup telingga dengan kedua tanggannya dan meringis ketakutan. “Mati.. Mati... Kita Pasti akan Mati..!! Mereka Menutup Gerbang utama dan menembaki perajurit yang memaksa masuk kedalam” prajurit itu membalas perkataanku sambil meringgis mengigil ketakutan. “Hey.. Tenangkan Dirimu.. Hey Sadarlah..!! Siapa yang menutup Gerbang Utama?!!, Ahhk sial ini tak ada gunanya!!” aku berhenti bertanya pada perajurit itu, mengerti akan kondisinya jiwanya yang sedang terguncang hebat. Bepp!!! Bepp!!.. Tiba-tiba Suara panggilan dari jam tanggan ku berbunyi, ini dari sahabatku Fani yang sedang menghubungiku. ”Iyah Fani ada apah? Kalian dimana?” tanyaku dengan nada khawatir. “Gawat Yotta! Para Senior Keparat itu Memberontak dan mereka mulai Menembaki para warga serta membakar camp dan rumah warga sipil, Mereka juga yang menutup Gerbang utama, sekarang Aku dan Dimas sedang berlindung di dalam rumahmu bersama paman lim dan laura. Kami tidak bisa keluar karena di hadang oleh Para pemberon......” Beep!!.. Beppp!! Tiba-tiba sambungan panggilan kami terputus.. “Fani..??.. Fani..?.. Ahhhk Sial Kenapa Koneksinya Terputus!!!” sentak ku kepada jam yang ada di tanggan kananku. Aku harus bisa masuk dan menyelamatkan Keluarga serta Sahabat-sahabatku , Jika aku menerobos masuk lewat Gerbang utama pasti Para pemberontak itu tidak akan membiarkanku masuk. “bagaimana ini.. Ahkkk Sial.. Siall... Keparatt...” Nada kesalku membentak. Aku melihat dinda dan Celion berlari menghampiriku, Bagaimana ini yotta, kami gagal memasuki gerbang utama, kalau terus begini kita bisa mati di habisi Oleh para Creaturs yang semakin mendekat itu, Aku berusaha memutar otakku bekerja memikirkan sesuatu hal agar bisa menemukan jalan keluar dari kondisi kritis ini.. Lalu terlintas Ide di benakku, Setelah melihat tali kawat yang ada di pinggang Celion, Hey Dinda aku memiliki ide ,dan mungkin ini akan berhasil. Kalau tidak salah dinding pertahanan ini tingginya sekitar 25meter bukan, baiklah ayo kita coba.. “PRAJURIT..!! jika kalian masih menyayangi nyawa kalian Dengarkan AKU!!.. Dan JAUHI GERBANG UTAMA..!! Bergerak ke sisi lain tembok” Teriakku kepada prajurit yang tersisa di luar tembok pertahanan, Mereka pun mengganguk setuju dan mulai mendengarkan apa yang ku perintahkan. “Dengar.. Mungkin ada beberapa Rekan kalian yang membawa tali kawat baja di pinggangnya, Gunakan itu!.. Mungkin benar kalau kita tidak bisa melompati tembok tinggi ini” yotta menjelaskan sambil memukul menuju ke arah tembok. Dan sudah pasti kita juga tidak mungkin bisa meruntuhkan atau menghacurkan tembok baja yang di perkirakan setebal 5meter ini, TAPI...!!! Akan beda hasilnya jika kalian inggin saling bekerja sama. Kita para Survivor memang memiliki kekuatan di atas normal dan kemampuan luar biasa, tapi tetap saja tubuh kita tidak berbeda jauh dengan manusia normal kita memiliki berat badan yang sama jadi kalian pasti mengerti maksudku. “1 hal yang perlu di Inggat, di balik tembok itu pun bahaya masih mengancam nyawa kalian semua, karena di kabarkan Terjadi pemberontakkan oleh para senior survivor..Jadi berhati-hatilah Sesampainya kalian di balik tembok” “Celion berikan kawat baja itu.. aku akan tunjukan caranya.. Karena kamu adalah survivor dengan kekuatan Lv D angkatlah tubuhku dan lemparkan ke atas sanah dan aku akan menarik kalian naik melewati tembok” yotta menunjuk jarinya ke atas tembok. “NICE IDE Yotta..!!” Dinda memujiku dan mengikuti arahanku. Sekitar 5 menit berlangsung selesai memberi pengarahan dari yotta , para prajurit mulai bergerak melewati tembok dengan cara yang terbilang gila dan nekat. ........ [Tobe Continued] Description: Berceritakan Tentang Dunia Baru yang Penuh Terror, Peradaban Baru dimana Seusai Bencana Perang Nuklir Terjadi.. Dunia yang Di Penuhi Monster Kejam Predator Puncak yang Mengancam Umat manusia. Selengkapnya saya Jelaskan di Prolog ACT Pengenalan. Pokonya Seru Deh.. ;-) Semoga anda sekalian Para Pembaca Terhibur Oleh Ceritaku ini.
Title: Renjana Senja Category: Novel Text: Renjana Lelaki yang pintar adalah lelaki yang seharusnya dijadikan teman hidup. Hal itu yang selama ini ada dan menjadi patokan bagi Rena untuk mencari seorang pacar, pujaan hati atau kekasih. Pintar baginya, bukan berarti mereka yang selalu menjadi juara kelas berturut-turut dari bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Tapi lelaki yang pintar melihat situasi, pintar membaca kondisi dan menetralkannya, lelaki yang bisa diajak diskusi dari jokes-jokes receh yang bikin geli-geli buat senyum, sampai membicarakan mengenai isu nasional. Jatuh cinta bagi Renjana adalah jatuh pada pemikiran orang itu, karena itu mengingatkannya pada sosoknya yang tidak mungkin digapai, namun selalu memindai kenangan. Ketika dia jatuh hati pada orang yang tidak mungkin untuk dimiliki, namun selalu mengusik hati. Seseorang dengan segala kesederhanannya namun memberi berjuta makna bagi orang disekitar. "Ngelamun aja lo, pake acara segala sok-sok kayak adegan sinetron, menatap manja ke arah jendela saat senja. Kenapa sih kenapa? Sini cerita sama kakak. Gara-gara artis yang baru tunangan itu?." "Apaan sih lo mas, nanya itu satu-satu, gak berentet gitu. Gimana gue bisa jawab sih coba.. Gue kan emang cocok jadi artis sinetron, sinetron religi tipikal hidayah gitu.. ha..ha..ha. Ngomong-ngomong yang baru tunangan, iya sih gue patah hati, patah hati nasional, tapi sadar diri juga sih, gue mah apa, kerak kuah gulai di nasi padang." Giga membetulkan kacamatanya yang otomatis turun, karena mendengar ucapan dari Renjana. Renjana Aluna Senja, begitu nama gadis itu, gadis berambut sebahu hitam legam, yang sangat menyukai senja, sama seperti namanya. Rena begitu orang-orang memanggilnya, walaupun tak jarang orang menanyakan, mengapa tidak Senja daripada Rena? Entahlah, mungkin karena Rena terdengar lebih mudah untuk dilafalkan, atau karena Renjana berarti rindu, begitu kata orang tuanya ketika memberi tahu arti namanya. Orang tuanya yang sangat menyukai senja, dan berharap Rena dapat menjadi seseorang yang selalu dirindukan dan diingat kehadirannya, sama seperti senja. Senja yang selalu membuat banyak orang rindu, senja yang menyimpan banyak kenangan di setiap sudut kota yang kita singgahi. Giga dan Rena memang baru mengenal kira-kira setahun kemarin, ketika Rena baru pertama kali menjadi anak baru di kantornya. Namun jika orang melihat bagaimana mereka berinteraksi dan bersenda gurau, mereka mengira jika Giga dan Rena adalah teman atau kakak tingkat yang lama mengenal sejak dari bangku kuliah. Karena begitu akrabnya mereka berinteraksi, meskipun jarak umur yang terpaut 3 tahun. "Udah ah, makin gak jelas lo. Mentang-mentang kita gak ada kerjaan, demi nunggu waktu pulang. Mending ikut gue yuk, ada gigs gitu di Gudang Sarinah. Lo suka band yang sesuai nama lo itu kan? Sore?" ujar Giga sambil menaikkan alis matanya dengan jahil. "Eh bener lo? Kok gue gak update sih beritanya. Boleh-boleh, ini boyband yang lain diajakin gak? Kan udah lama kita gak pernah jalan bareng." ujar Rena sambil langsung membereskan berkas-berkas yang ada di mejanya. Boyband yang dimaksud adalah dua teman lelaki Giga yang lain, dua orang lelaki dengan umur menjelang 30 tahun, dengan tinggi yang hampir sama sekitar 178 cm, namun berbeda gaya dan kepribadian. Tapi diantara semua perbedaan itu, ada satu hal yang sama dari mereka bertiga, tipikal lelaki kantoran dengan paham menggulung lengan kemeja hingga siku. Gigantara Angkasa lelaki menjelang 30 tahun yang masih menyukai menonton gigs, hobi naik gunung, walau kadang suka mengeluarkan jokes-jokes receh yang diluar nalar. Tapi dibalik semua ketidakjelasan, keabsurdan dirinya, urusan analisis hukum, dia ini anak emas pak Boss. Tipikal yang sekali telfon si Boss, langsung diangkat, bahkan ditelfon balik, sementara yang lain, wajib kudu telfon berkali-kali baru dijawab sama si Boss. Abyandra Narendra Putra, termasuk dalam golongan lelaki yang sekali lirik, mata gak bisa balik lagi. Alias tipikal lelaki masa kini, dengan kacamata frame klasik berwarna hitam, rambut dengan gaya John Mayer lengkap dengan lesung pipi di kedua pipinya, ditambah kulit mulus tak bernoda. Tak jarang dan tak ayal dia, selalu jadi idola anak magang, ibu-ibu hamil sampai mereka yang sudah punya pacar juga. Terakhir adalah Mahesa Girindra Setia, atau biasa dipanggil Ica, pelengkap duo maut Giga dan Abyan, penganut paham lempar poni, sembunyi jidat. Dia yang paling rame dan suka mendobrak aturan katanya, walau kenyatannya gitu. Ketika disuruh untuk sedikit membenahi poninya yang terlalu panjang, dia justru berkelit kalau itu adalah asetnya. Mereka berempat dipertemukan di satu situasi yang membuat mereka dekat, dekat karena pekerjaan, dekat karena jarak umur yang tidak terlalu jauh dan dekat karena kesamaan hobi menonton acara musik dengan aliran yang kadang sama, namun tak jarang berbeda. Mereka yang memberi sedikit kehangatan diantara tumpukan berkas dan deadline yang menyiksa iman dan takwa. Bagi Rena, mereka itu kehangatan di tengah dinginnya pendingin ruangan. Terlalu dingin bikin sakit, tapi ketika dimatikan, bikin rindu. "Yuk berangkat. Jadi kan? Udah siap nih, outfit wajib nonton konser, jaket jeans andalan, yoyoy. Siapa tau ada dedek-dedek emes nih, lumayan kan, dilirik sebagai mas-mas kantoran siap menyongsong masa depan, tapi gaya gak kalah saing ya kan?" Ica menanggapi obrolan Rena dan Giga sambil memakai jaket jeansnya. "Dedek emes pale lu Ca... Dikira tukang majalah mah iya, ngaca wooy hahahaha... Udahlah satu aja gak abis, pake cari dua segala.." Abyandra menanggapi celotehan Ica dengan semangat 45, kalau sudah menyangkut masalah hati. Ica suka lupa diri atau mungkin merasa percaya diri, punya pujaan hati tapi paling terdepan dalam hal mencari-cari. Ya karena wajahnya juga yang bisa dijadikan modal, gitu katanya. Tapi sejauh ini cuma manis di bibir, dia tetap setia mengingat cincin di jari manis tangan kirinya. "Halah lagu lama, kaset bundet lo... Lama ah, udahan yuk langsung cabs aja. Lo bawa mobil kan Ndra? Bareng aja kita semua. Dedek Rena, mau dimana nih? Dipangku abang atau dibelakang?" "Hah? Heh? Apaan? Gimana gimana?" entah Rena yang kurang fokus, atau memang dia selalu tidak fokus jika Giga yang memanggilnya. "Duh dek, udah deh kalian ini, udahan main-mainnya Ga, Ren. Kebablasan loh nanti." "Nah nah itu Ca.." Abyandra dan Ica sama-sama tertawa melihat Giga dan Rena yang malah saling pandang, mendengar ucapan mereka. Rena dan Giga memang cuma bisa tersenyum, karena mereka tahu, ada yang tidak bisa ditentang namun selalu membuat nyaman, entah apa itu. Layaknya hangatnya malam di sepanjang jalan Sudirman. Banyu "Di Jatinegara kita kan berpisah. Berilah nama alamat serta. Esok lusa boleh kita jumpa pula. "Yok semuanya, nyanyi yang kompak, mana suaranya..... " Banyu dengan segala tingkah usilnya, menyemarakkan heningnya ruangan BEM, disaat mereka semua sedang menunggu hujan reda, setelah berjibaku memikirkan dana yang tak kunjung mengucur demi keberlangsungan acara mereka. "Halah udah to, ndak usah banyak dipikir, dicari lagi aja sponsornya, itu yang bener kan? Hahaha" Rena tergelak melihat tingkah Banyu, kakak angkatan yang selalu dielu-elukan, karena ketampanannya? Bukan. Karena kepintarannya, mungkin iya. Tapi lebih tepat karena ocehan-ocehannya yang selalu bisa meriuhkan suasana. Dielu-elukan dan dinantikan kehadirannya, demi terciptanya foto yang bagus. Karena kunci dari foto yang bagus adalah ketika di foto itu tidak ada fotografer yang handal, justru fotografer itu yang mengambil momen tersebut. Dialah orangnya, Segara Banyu Biru. "Eyang subur, begini kan caramu." "Gila lu, gila, coba balik badan deh." "Apaan sih..eh Bapak, apa kabar Pak? Lancar radisinya?" Giga hanya bisa tersenyum kaku sambil menggaruk kepalanya yang gatal, diterjang badai lembur berkepanjangan, membuat dia lupa keutamaan seorang lelaki, menjaga rambut dalam keadaan suci. "Kamu ke ruangan saya ya sekarang, Ga." "Nah mampus kan lo, mandi makanya mandi." Ica mengambil buku agenda untuk diberikan ke Giga, menyangka dirinya juga aman dari sesi "keramas" kali ini. Jika yang dimaksud keramas adalah membersihkan diri selayaknya kewajiban Giga yang lupa ditepati minggu ini, itu salah. Keramas itu istilah paling keren dalam strata kehidupan perkantoran, diskusi yang berujung narasi dalam diri, meminta ampunan ilahi, agar si Boss, Dewa Boss dan Super Dewa Boss lupa segala macam target perusahaan yang kian merajalela. "Loh kamu kok malah bengong Ca, sini ikut masuk, itu panggil juga si Andra, malah senyam senyum aja dia." si Boss keluar dari ruangannya. "Keramas itu emang enakan rame-rame sih mas. Sabar ya kalian." Rena tersenyum usil ketika akhirnya Ica dan Andra ikut masuk ke ruangan si Boss. "Apa kabar senja." Satu pesan muncul di handphone milik Rena. Bab 1 "Jauh-jauh nonton babang Chris Martin, cuma bawa coklat doang? Sebungkus buat rame-rame pula? Sungguh ter..la..lu" Giga datang dengan senyuman khas di wajahnya, senyum jahil yang otomatis membuat matanya sedikit menyipit, that smiley eyes. "Gak usah banyak cakap deh, pagi-pagi ngerusak mood aja. Tabok nih ye, ngeselin." Walau kelihatannya galak, Rena menanggapi ucapan usil Giga dengan senyum di wajahnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika mereka berdua adalah kuncen di divisi Hukum. Datang sebelum OB membersihkan meja, tapi pulang bahkan lebih larut dari OB itu sendiri. Tapi itu khusus berlaku untung Giga, anak kesayangan pak Boss, yang rasanya tiada hari tanpa lembur berkepanjangan. Rena cukup menuntaskan kewajiban sebagai muslim yang baik saat maghrib tiba dan alangkah lebih baik jika disambung dengan pulang ke rumah tercinta. "Jadi gimana, satu album full nyanyi? Joget macem pas kita karaoke lagu Galantis gak lo? Gak kebablasan kan? Hahahaha." "Ngajak ribut pagi-pagi bener deh. Gue mah anaknya kalem, cukup joged hempas manja aja. Tapi gila sih gila, dapet banget feelnya, sayang aja mereka gak mainin In My Place, padahal udah ngebayangin banget tuh gue. Apalagi kalau nonton di standing sama suami ya, lengkap udah bucket list gue. Hahahaha." Jika sudah menyangkut hal-hal yang disukai oleh Rena, dia bisa bercerita tanpa jeda, satu hentakan nafas, biar sah. Lengkap dengan mata bulatnya yang ekspresif bercerita. Hingga dia tidak sadar, bahwa selagi dia menceritakan hal itu, Giga selalu tersenyum melihat tingkahnya. "Iya jadi gitu, gue sen.." "Hmm. Iya, gimana? Aku udah di kantor kok, iya nanti jadi, see ya." Giga menutup pembicaraan di telfonnya, lalu membalas pesan singkat yang muncul di handphonenya. Tanpa sadar, Rena sudah menghentikan celotehannya, tepat ketika dia melihat ID caller yang muncul di handphone milik Giga. "Sampai mana tadi Na?" Giga kembali melihat Rena tepat di manik matanya. "Sampai nanti mas Giga, adek udah sampai kantor kok, jangan lupa makan ya, jangan lupa kerja, jangan lupa bernafas juga, jangan lupa janji kita juga." ucap Rena yang membalas pertanyaan Giga tersebut dengan senyum selebar jalan provinsi antar kota, sambil tetap mengetik laporan di komputernya. "Cumi asin, lo dengerin gue ya tadi? Sirik aja lo, makanya kalau ada yang deket udah sampai nganterin antar planet itu, jangan cuma dianggurin, dijabanin woy! Hahaha." sekarang giliran Giga yang kembali membalas sindiran halus dari Rena, sambil melempar bungkus coklat ke arah Rena. "Eh apaan nih pagi-pagi udah ngebahas cumi asin aja. Jadi gimana dek Rena, babang Chris lebih hot nyanyinya nih dibanding babang Genta? Atau lebih manis mas Giga tersayang?" ujar mba Citra yang kini sudah duduk manis di bangkunya, setelah melihat Rena dan Giga asyik mengobrol, tanpa menyadari kedatanganya. Mba Citra ini sesepuhnya divisi mereka, yang dipertuan agung, begitu Giga menyebutnya, sejarah awal pembentukan perusahaan sampai nama-nama OB sudah di luar kepala mba Citra. Iya di luar kepala, karena yang ada di dalam kepala itu review perjanjian yang harus segera dipenuhi, demi terciptanya stabilitas sore hari divisi mereka. "Eh mba Cit, tumben dateng pagi. Itu tuh si cumi asin mba, pagi-pagi ngajak ribut, tapi udah ayang-ayang aja. Hahaha Segala pake ngeributin oleh-oleh, tapi udah abis lima bungkus aja. Laper atau doyan mas?" Rena tersenyum. "Aku juga bawain mba Cit dan mba Tan, gantungan kuci tuh, di atas meja, sama kok, biar gak terjadi Perang Dunia 3." "Buat gue mana dek gantungan kuncinya? Atau gantungan hati deh?" Giga memasang muka memelas sambil menyodorkan tangannya ke arah Rena. "Buat abang, cukup hati adek aja deh, udah puas kan? Atau mau ayang-ayang juga? Tapi takut deh dimarahin sama si mba pacar, kabuur. Udah ah, kerja woy, kerja." Rena selalu mengawali paginya dengan menghadapi celotehan tak berbobot milik Giga atau nyindir halus nyelekit ala mba Citra yang tak jarang membuat seluruh tim Hukum tertawa. Justru itu yang menjadi penyemangatnya di tengah gempuran laporan yang merajalela, dimana semua anggota divisnya, punya prinsip "pantang pulang sebelum berhasil bikin teman digoyang" . Prinsip mereka itu, kalau bisa dinyinyirin di depan, kenapa harus nyinyir di belakang. Satu detik bisa jadi teman, detik berikutnya jadi lawan, tergantung posisi yang menguntungkan, apalagi menyangkut urusan traktiran ulang tahun berantai. "Udah Ga, jangan ditanggepin lagi itu adeknya, kamu gak tau kan, kalau dia selain ketemu babang Chris Martin, tapi ketemu kenangan indah masa lalu. Ya gak Ren?" Mba Citra mendahului Giga yang sudah tidak sabar membalas ucapan Rena sebelumnya, tapi hanya berujung makan angin dengan satu alis yang dinaikan ke arah Rena. Duh kenapa mesti dibahas sih ini. Rena bergumam dalam hatinya, tidak mengiyakan ataupun menolak ucapan mba Citra dan hanya melempar senyum manis manja ke arah Giga. Karena dia tahu, jam makan siang nanti, akan menjadi ajang interogasi terbuka, antara dirinya dan boyband. "Gue selalu punya keinginan buat nonton Coldplay live deh, dan itu harus berhasil dicentang di list permohonan gue. Tapi gue yakin, pasti bisa, sekarang nonton via Youtube dulu aja tapinya Na. Hahaha" Banyu mengakhiri diskusi panjang mereka yang diselingi petikan gitrar dan alunan suara berat milik Banyu menyanyikan lagu Yellow milik Coldplay. Rena selalu menyukai saat yang dia habiskan dengan Banyu membicarakan berbagai hal, dari diskusi pergerakan mahasiswa, hobi fotografi milik Banyu dengan paham bahwa 'jangan suruh gue buat ambil foto lo, karena gue lebih suka ambil momen, bukan gaya sok manis manja kalian itu' paham yang bikin dia akhirnya mendapat cubitan dan tabokan dari wanita-wanita pemuja kamera di BEM fakultas. Hingga pembicaraan mengenai band-band indie yang selama ini hanya Rena kenal dari cerita Banyu. Tapi Coldplay adalah pengecualian, begitu juga dengan Oasis yang selalu menjadi lagu wajib bagi Banyu untuk dimainkan menghibur anggota BEM. Bagi Rena, Banyu adalah sosok kakak idaman, tapi ada sosok lain yang lebih membuatnya penasaran. Lelaki berambut ikal dengan kulit sawo matang yang dia jumpai saat diskusi mahasiswa baru mengenai gerakan mahasiswa dan semangatnya berbagi untuk sesama. Description: Ren-ja-na. (n) rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi, dan sebagainya) Renjana itu rindu. Jika nyaman sudah cukup mewakili proses pencarian kepingan hati, akankah pencarian itu akan terhenti? Ataukah mimpi juga harus diakhiri? "Kalau senyum kayak gini kan jadi lebih adem Ren, kamunya, suasananya juga. Gak kayak tadi dari siang sampe kita duduk disini, hawanya panas banget, serem banget buat sekedar nyapa ke kamu." Rena tertawa mendengar ucapan Andra yang tidak kunjung menurunkan tangannya dari puncak kepalanya "Iya kenapa? Gue tahu, mata lo warna coklat kan?" Giga menatap hangat Rena, tepat di manik matanya. "Nyari istri itu gak harus yang jago masak, kan gak mau bikin rumah makan. Tapi bikin rumah tangga. Iya gak Na?" Banyu Biru dengan lugasnya menyambut keraguan Renjana.
Title: Ratu Hutan Category: Fantasi Text: Prolog 1000 tahun yang lalu....Jauh sebelum per-adabanmanusia tercipta. Lahirlah seorang gadis yang dibuang oleh ayahnya sendiri, raja dari kerajaan The elder sky. Ia tak mau harkat martabat nya turun gara gara aib nya, yaitu anak hasil perzinaan Sang Raja dengan seorang penyihir cantik . Itulah dia KAYONNA. Sejak kecil ia diurus dihutan belantara oleh para mutan mutan. Beruntung nya orang orang aneh ini lebih beradab dari manusia pada masanya yang gila kursi. Para mutan mutan ini hidup selama berabad-abad dihutan yang luas tak terurus ini. Mereka disana bertahan hidup menjauhi para penyihir yang keji. Mereka awalanya manusia yang lahir sebagai manusia seutuhnya, atas ulah penyihir yang keji inilah yang mengutuk leluhur mereka hingga sampai anak cucu cucunya sekarang. Chapter #1 Belasan tahun yang lalu,Koloni salah satu mutan sedang bertugas mencari pundi-pundi makanan di sekitar sungai. Untuk kelangsungan hidup mereka setiap harinya bergantung pada makanan yang tersedia disana. Mulai dari sana mereka sudah mulai belajar tentang gotong royong, walaupum dari hakikatnya mereka tidak pernah belajar sama sekali. Entah mengapa semesta rasanya adil, mereka seolah dibuat nyaris sempurna, kekeluargaan, kompak dan bijaksana. Konon katanya mereka adalah orang orang yang kemudian dikutuk untuk selama-lama nya karena mereka melanggar perintah sang penyihir. Peradaban mereka dari tahun ke-tahun semakin terbentuk. Rumah, kepimpinan, dalam hal makanan, rupanya mereka telah berevolusi dengan sangat sangat pesat. (tambah cerita awal tentang mereka) chapter #2 Tepat 1000 tahun yang lalu.... (kejadian lahiran KAYONNA) Turunlah kebumi seorang permaisuri yang cantik nan seksi, ia bernama Kayonna. Naas paduka raja tak menginginkan kehadiran putrinya, malah dari 9 bulan lama nya sang raja ingin mengugurkan nya tapi sang penyihir menolaknya. Tiba saat nya sang raja menyuruh panglima Edmund untuk membunuhnya. Tak lama setelah kelahiran putri kayonna, Edmund secara diam diam membawa sang putri. Dengan kuda gagah nya Panglima Edmund bersama kedua prajuritnya berangkat menuju suatu lembah yang jauh dari kerajaan, sambil membawa katana yang telah lama ia siapkan untuk membunuh putri kayonna. Tibanya di suatu lembah, diletakan lah sang putri diatas tanah, dialasi dengan sebuah box kecil. Bayi tak berdosa itu sebentar lagi akan dieksekusi oleh si panglima. Saat hendak mengangkatkan katana nya, ia baru sadar prajuritnya menghilang, senyap tanpa di ketahui nya. Panglima Edmund tanpa berfikir panjang ia langsung pergi secepat cepatnya menjauhi tempat yang dalam mitos sangat angker, karena tidak ada kehidupan satu pun disana dan sering melihat makhluk makhluk aneh, panglima mungkin akan berpikir ratusan kali untuk menginjakan kakinya disana lagi. chapter#3 Kala itu.... Sang putri yang terlantar di tepi lembah langsung dibawa oleh seorang mutan bernama Dean. Dia merupakan mutan setengah manusia setengah rusa, orang orang menyebut kelompok nya DEERMAN, rupanya dialah yang menyelamatkan sang putri ketika hendak dibunuh oleh panglima Edmund. Putri Kayonna dibawa dan dibesarkan oleh kelompok nya DEERMAN . Mulai dari berbicara, berprilaku, mengembara, mencari makan, Kayonna belajar banyak dari keluarga DEERMAN. Ada satu hal yang belum sang putri ketahui, ketika sang putri berusia 15 tahun. dan ketika ia sedang memburu hewan di tengah hutan itu, tiba tiba hal aneh ditemui nya , ia melihat ada sesosok aneh seperti jelmaan ular, dan benar saja ia di kejar oleh si jelmaan ular itu. Mereka sebenarnya adalah kelompok SNAKE MAN. Snake man terus mengejar sang putri, dan putri Kayonna terjatuh terbentur mengenai kayu hingga akhirnya putri Kayonna menyerah pada ular. "Kenalkan, nama saya Keana" . "Tenang saja nona manis, aku tidak akan menyakitimu. Mari ikut dengan ku, ada hal yang harus aku sampaikan". Sautnya kembali. Tanpa berfikir panjang ia berjalan bersama Keana menuju semacam sebuah perkampungan. "Itulah kerajaan ular, kelompok kami biasa disebut SNAKE MAN, banyak hal yang sebenarnya belum kamu ketahui. Mari sini, akan ku ceritakan satu persatu" ujar Keana. Description: Hi! Sorry ya ini cerita tulisan saya mohon maaf bila banyak kekurangan otodidak soalnya hehe. Saya akan senang bila kalian mengoreksi nya : ) #Acha
Title: Rainbow from Us Category: Adult Romance Text: Makna Indah Pelangi "In another life, I would make you stay.. So, I don't have to say you were The One that got away," Katheryn E. Hudson Hidup di dunia pelangi tidaklah mudah. Meski begitu, andai kamu benar-benar menyadari kita bisa memiliki kisah berbeda nan indah seperti pelangi. Kalau kita melihat pelangi, warnanya memang begitu mengilhami. Bentukannya yang terlihat merintangi, tidak menutup hati untuk tetap saja mengagumi. Dia terlahir dari kumpulan spektrum cahaya, sayang tak berumur lama selepas badai berjaya. Sama seperti pelangi dan birunya langit, dunia pelangi dan kehidupan kasihnya memiliki cerita yang rumitnya kurang lebih sama. 'Dunia ini' tak hanya berisikan siang dan malam yang senantiasa silih berganti, rutin menemani semesta. Kisah romansanya pun mungkin sama-sama memiliki alur pertemuan dan perpisahan selayaknya semiliaran cerita cinta normal manusia. Namun, cantiknya warna cinta yang hadir di dunia pelangi, biasanya harus dibayar mahal terlebih dahulu dengan terpaan badai kehidupan yang terlihat lebih besar daripada biasanya. Banyaknya spektrum cahaya yang membentuk pelangi mungkin mengartikan bahwa setiap pilihan hidup sebagai pelangi harus melibatkan lebih banyak faktor. Komposisi pelangi di langit harus tepat: berisikan triliunan butiran air langit yang mampu membiaskan satu sinar terang surya menjadi tatanan ragam warna di kanvas angkasa. Terbentuknya pelangi mengajarkanku bahwa 'dunia ini' dinamai pelangi karena meski kita punya komposisi kehidupan yang lebih rumit, nyatanya kita bisa kok menjadi indah sepertinya. Wujud pelangi yang kebanyakan kita lihat hanya setengahnya bak kelokan lingkaran pun justru makin memukau mata bagi siapapun yang memandangnya. Irama kehidupan dunia pelangi mungkin akan pertama kali melantun memekat kenyataan, jikalau pendendangnya merasa gelisah sejak menyadari bahwa rasa kesukaannya berbeda dari kebanyakan. Perjalanan waktu ke depan akan mendatangkan limpahan rintangan untuk memperkuat pilihan seseorang, sekaligus menghempaskan bagi mereka yang seharusnya bukan berada di dunia pelangi. Hanya orang-orang yang masih memiliki keyakinan atas pilihannya tersebut yang dapat mencari cinta sejati untuk menjadikan dunia pelangi benar-benar indah. Perlahan tapi pasti, sekelumit tantangan tersebut pasti akan bertumpuk menjadi kelok tajam dalam sebuah lantunan cinta sejati di dunia pelangi. Akibatnya, hampir semua orang, bahkan bagi para pendendangnya sendiri, malah merasa menjadi paling pesimis akan eksistensi kisah romansa di dunia pelangi. Tak sedikit pula makin ke sini, ditambah tabir informasi yang sebegitu makin luas terbuka, justru makin memandang sebelah mata atas kasih sayang tulus di dunia pelangi. Kehidupan dunia pelangi mungkin sedikit lebih beruntung di negara atau daerah yang memiliki keterbukaan dan respon positif atas perbedaan pengungkapan rasa sayang. Sedikit berlawanan, di negara atau daerah yang masih kurang terbiasa, mungkin saja banyak menyebabkan kehidupan dunia pelangi dilakukan dalam praktik tersembunyi. Padahal, yang namanya kehidupan romansa tetaplah membutuhkan dukungan sosial untuk tetap menyala, atau setidaknya tidak mengalami penolakan. Kehidupan romansa ini lagipula tetap dijalankan oleh dua insan manusia saling mencinta, dengan rasa kasih yang tak pernah memandang latar belakang pemiliknya. Banyak faktor rumit yang menyebabkan manusia menaruh pilihan untuk merasakan cinta sejati di dunia pelangi. Manusia bukanlah makhluk yang bebas karakter, bahkan sedari dirinya dilahirkan di dunia. Bermacam ekspektasi, harapan, situasi, yang hadir bersama dengan datangnya seorang bayi akan banyak sekali membentuk karakter dari si bayi. Bentukan nalar yang terukir, akan menciptakan beragam pengalaman yang semakin kuat menumbuhkan dan menetapkan kepribadian diri manusia tersebut. Pertanyaan kecil tentang diri dan kesukaan, secara alami akan menguat hadir sejak usia pubertas. Pernahkah kita menyadari bahwa rasa kesukaan itu hadir begitu saja di dalam diri? Di awal-awal, aku sendiri juga selalu mencari tahu. Ketika menyadari kalau diri ini berbeda, aku bahkan meminta pada Tuhan, bolehkah aku memilih untuk ke kehidupan normal saja? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bentuk pendalaman pada diri yang seharusnya akan menjadi penyaring kuat apakah kita memang sebaiknya bertumbuh di dunia pelangi. Jika spesifik berbicara tentang diriku, sayangnya sedari awal aku menyadari rasa kesukaan yang berbeda itu, aku merasa sulit untuk memilih ke kehidupan normal. Atau mungkin, aku bahkan seperti tidak diberikan kesempatan hanya untuk memilih. Jalan dunia pelangi sepertinya tersedia untukku begitu saja (given), terasa lebih nyaman bagiku terutama untuk menyembuhkan kesendirian dan mengajariku banyak hal tentang kebutuhan akan panutan serta belajar menjadi pelindung. Rasa sayang ini juga semakin menguat sejak hadirnya sosok penyeimbang terbaik yang pernah kumiliki sebelum kamu. Sejujurnya, masih terbesit di pikiran akan ketidakmengertian jalan kisah romansa di 'dunia ini'. Semuanya terasa bagaikan sebuah misteri besar yang aku harap semoga banyak memberikan manfaat terbaik dan terindah bagi kehidupan ini nantinya. *** Satu, atau Dua Pelangi Belum selesai aku menyelesaikan diri. Namun, tantangan-tantangan kepelangian dari luar malah semakin banyak bermunculan. Seiring perkembangan zaman, pelangi seperti semakin sulit tercipta. Di langit kota-kota besar dengan seluruh penatnya kehidupan, pelangi seperti barang langka yang seolah hanya tertinggal menjadi sebuah kisah. Di tengah hiruk pikuknya kota, polusi udara dan gedung pencakar langit seakan makin memalingkan wajah pelangi. Dulu, masih banyak gedung landai, tanah lapang, dan biasanya selepas hujan dengan formulasi awan yang tepat, pelangi lebih sering menampakkan diri. Sekilas memiliki kemiripan fenomena, dunia pelangi sekarang cenderung makin sepi pelangi. Di tengah dunia yang semakin terbuka pada informasi, seharusnya makin banyak pelangi indah tercipta. Bukankah dunia yang terbuka memudahkan para pendendang kehidupan pelangi yang selama ini bersembunyi untuk saling menemukan satu sama lain? Namun nyatanya, mencari pasangan yang tepat memang sulit serta hanya orang-orang yang bersabar dan beruntung dikehendaki-Nya yang bisa melakukannya. Keterbukaan informasi memang membantu menyodorkan lebih banyak pilihan, namun ini mungkin justru hanya akan memperketat seleksi alam dan memperpanjang waktu proses penciptaan pelang-pelangi baru. Di banyak kejadian, makin banyak orang yang tersodor akan peningkatan ragam varietas sosok pendendang di dunia pelangi. Semakin banyak pola, pun semakin banyak bias yang akan tersingkap. Di awal booming keterbukaan informasi, mungkin para pendendang akan hanya ditawarkan sedikit atau beberapa orang yang menjadi terbuka di komunitasnya. Para pendendang ini masih meraba-raba menggunakan aplikasi pendukung keterbukaan informasi, dan belum begitu mahir mengenali berbagai macam minat dan keinginan yang akan semakin mengemuka nantinya seiring semakin banyak orang. Saat itu, sebuah pertemuan yang tepat dengan kesendirian yang menjalar, biasanya akan diakhiri dengan ketetapan hati untuk menetap. Kini, ragam varietas pendendang telah banyak memunculkan minat dan keinginan yang secara terbuka diinformasikan oleh semakin banyak orang. Setiap pendendang baru akan semakin lebih sering melakukan seleksi melelahkan untuk menemukan kecocokan, terlebih untuk sama-sama beranjak membangun cinta sejati. Belum lagi, bias informasi dan ketidakterbukaan atas minat dan keinginan di awal, menjebak para pencipta pelangi dan mengurungnya karena rasa trauma yang mungkin justru tercipta. Alih-alih semakin banyak pelangi hadir, informasi yang terbuka lebar sekarang justru semakin banyak diikuti dengan kejenuhan, kesenangan sesaat, dan penciptaan kamuflase rasa sayang yang sangat semu. Entah mengapa, aku juga terkadang merasakan hal tersebut di tengah keterbukaan informasi kontemporer. Seperti pepatah usang: "Hadirnya teknologi telepon genggam yang canggih mungkin akan menjauhkan yang dekat. Sedangkan, telepon genggam yang hanya bisa pesan pendek (SMS) dan telepon justru akan mendekatkan yang jauh". Sepertinya, tantangan ini perlu disikapi dengan bijak. Ragam varietas dan bias informasi harus bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Setidaknya, benar-benar jelas dan jujur menyampaikan ke sesama pendendang apa minat dan ketertarikan kita di awal, agar tidak sesat dan merugikan salah satu atau mungkin kedua belah pihak. Kepekaan dan rasa peduli perlu ditingkatkan sehingga sikap saling menghargai akan menjadi prioritas dalam meluruskan bias informasi. Tidak ada yang salah atas minat dan ketertarikan yang dimiliki (1). Tidak ada yang salah jika seseorang memilih untuk mencari kesenangan sesaat di dunia pelangi. Tidak ada yang salah jika seseorang juga bekerja mencari nafkah di 'dunia ini'. Tidak ada yang salah pun kalau seseorang mencoba-coba masuk ke 'dunia ini' karena rasa penasarannya. Mungkin saja benar kalau seseorang bisa mengungkapkan fantasi seksualnya dengan memiliki kesempatan bertemu lebih banyak orang yang sealiran. Bisa jadi benar untuk seseorang yang hanya ingin membina lebih banyak pertemanan termasuk dari para pendendang dunia pelangi. Atau, mungkin saja masih banyak yang ingin mencari cinta sejati di dunia pelangi. Namun kejujuran dan kejelasan akan minat dan ketertarikan harus senantiasa disampaikan dengan baik agar meningkatkan manfaat positif dari keterbukaan informasi. Harapannya makin banyak hubungan baik yang tercipta, makin banyak pula nantinya kita melihat pelangi yang tak malu-malu hadir. Menurutku, sikap bijak tersebut perlu banyak diterapkan sebagai bentuk penghargaan terhadap rasa manusia dan kemanusiaan. Aku percaya, masih banyak pendendang pelangi di sana ingin menjadi pencipta pelangi selanjutnya. Membina kisah kasih yang begitu indah di dunia pelangi merupakan sebuah cerita kesuksesan tersendiri yang sangat luar biasa mengingat banyaknya dan rumitnya perjuangan yang perlu digelorakan. Nyala api kisah cinta di dunia pelangi akan lebih mudah dan riskan untuk diredupkan, mempertimbangkan masih susahnya sokongan sosial pada pengungkapan rasa ini. Hanya pendendang yang berani dan begitu yakin akan pilihannya, yang mampu menciptakan sinar pelangi di langit lebih indah dan lebih lama. Sebenarnya, apa sih rasa sayang yang nyata? Dari kacamata psikologi, dari teori yang paling umum digunakan, rasa sayang yang nyata atau disebut rasa sayang hakiki terbagi menjadi tiga aspek yang kesemuanya harus dimiliki. Pertama, intimasi. Kedua, passion/gairah. Ketiga, terpenting, komitmen. Ketiganya harus ada untuk membentuk kesempurnaan dalam rasa sayang. Intimasi adalah kesukaan suatu hubungan untuk selalu dilakukan, gairah adalah pengungkapan suatu hubungan dilakukan, dan komitmen adalah rekatan suatu hubungan untuk niat dilakukan. Membina rasa sayang yang nyata tersebut, memperoleh ketiga aspek untuk bersama-sama hadir di dalam hati dua insan yang saling mencinta, teramat sulit. Dibutuhkan kesabaran, perjuangan, dan waktu. Dari yang kurasa selama ini, khusus untuk dunia pelangi, nyala api dan keyakinan cinta bersama yang sama-sama kuat, juga tak luput selalu dibutuhkan. Menyerah, hanya akan berujung pada kegagalan tanpa pernah kita tahu kita sebetulnya dapat melangkah lebih jauh. Bersikap realistis pun penting, oleh karenanya mengkomunikasikan apa yang kita mau secara baik juga teramat sangat mendukung proses. Tanpa komunikasi yang baik, kesalahpahaman akan selalu hadir untuk membiaskan persepsi atas suatu hal, sehingga keduanya akan menjadi berada di frekuensi yang tak sama. Jerih payah, jatuh bangun, suka duka, akan menghiasi perjalanan bagi mereka yang memang benar-benar niat menyusun warna pelangi di birunya langit. Semuanya memang terlihat menyusahkan di awal, tapi seiring dengan semakin cocoknya kehidupan, dan nyala api yang tetap menyala di hati, apa yang diupayakan akan terbayarkan dengan rasa kagum dan syukur atas pencapaian terbaik. Tuhan tidak akan pernah bohong atas firmannya mengenai waktu dan kesabaran, serta kemauan untuk tetap berbuat kebajikan. Manfaat baik dan keberuntungan niscaya akan menjadi titik akhir yang meneduhkan, menenangkan hati, dan membuat kita tersenyum bahagia. Setidaknya, aku berusaha menjalani kehidupan di dunia pelangi sebaik mungkin. Aku hanya dapat meyakini, rasa sayang tulus yang hadir di hati kepada seseorang di dunia pelangi, sama besarnya, sama kadarnya, sama bentuknya dengan rasa sayang antara satu manusia ke manusia lainnya. Bahkan, karena analogi tersebut, aku pun berusaha keras untuk mengartikan bahwa diriku sebetulnya bisa dan mungkin saja pindah ke kehidupan normal. Toh, bukannya rasa sayang sebetulnya tidak mengenal latar belakang manusia, dan aku berharap nantinya di masa depan, aku bisa secara perlahan-lahan merasakan indahnya kehidupan normal. Soal ini pun, aku juga sangat menyadari bahwa pelangi punya batas waktu tayang. Selama-lamanya pelangi di angkasa, sinar rembulan tidak akan pernah mampu mempertahankan keberadaannya ketika matahari sudah mulai tenggelam di ufuk senja. Kecuali tentu saja ketika kita berbicara mengenai moonbow (2) yang sangat teramat langka terjadi. Menurutku, bagi seorang manusia yang mendambakan kasih sayang, dan penuh dengan segala rasionalitas atas kondisi sosial sekitar di kepalanya, dirinya hampir pasti akan selalu kembali ke titik yang diharapkan dan disediakan hati dan lingkungannya. Semesta hanya bisa menjanjikan, bahwa pelangi-pelangi yang indah akan kembali muncul keesokan harinya, atau mungkin lusa, dan bisa jadi di waktu berikutnya. Aku percaya, orang-orang yang memiliki keyakinan kuat pada cinta sejati akan selalu menjadi pelangi-pelangi itu dan tentunya menjadi keluarga bahagia itu yang menikmati keindahan komposisi warnanya selepas kelabu. Semesta juga hanya bisa menjanjikan, bahwa kehidupan akan selalu berisikan komposisi mutlak dan sempurna dari keniscayaan dan misteri. Terlepas apapun itu, karenanya, cerita pelangi merupakan sebuah representasi dari harapan yang selalu mengajak manusia untuk berani menghadapi kesulitan. Thus, bolehkah aku menceritakan satu kisah pelangi kepadamu, boleh ya... Satu kisah rasa sayang aku padamu. Aku berharap kamu suatu saat akan mengerti bahwa aku berusaha membuat pelangi atas hubungan kita. Aku sesiap dan seserius itu. Sampai-sampai, seandainya kita tidak bisa menetap di lokasi yang sama, aku ingin kamu membuat pelanginya dari titik sini dan aku dari titik baru di sebelah sana. Aku yakin kita bisa membuat dua pelangi kembar di langit sana, bahkan di tengah malam yang bermandikan cahaya bulan. Katheryn mungkin salah sehingga seseorang yang disayangnya harus pergi selamanya bersama dengan penyesalan dirinya yang begitu kelam. Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengannya. Kamu dan aku masih sama-sama berada di dunia ini. Semoga kisah pelangi ini bisa menjelaskan semuanya kepadamu, agar kita yakin bahwa dunia pelangi memang bisa begitu indah meski mungkin kita tak lagi berada di satu pelangi. ------------------------ (1) Asalkan, tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan mengenai kejahatan/pidana. (2) Moonbow merupakan pelangi yang terjadi di malam hari karena bantuan sinar bulan. Sebuah Perkenalan Aku kenal kamu pertama kali sekitar akhir Februari tahun 2019. Itupun lewat aplikasi kencan yang punya warna kuning. Waktu itu aku iseng saja main aplikasi karena hati ini sudah seperti membutuhkan sosok yang baru. Tapi, aku masih ragu dan belum begitu benar-benar yakin. Sebelumnya aku sudah lama pacaran, sekitar tujuh tahun lebih. Namun aku harus mengikhlaskannya untuk pergi karena dia sedang menjalankan visi dan misi lanjutan kami. Dia akan memiliki keluarga dan memproduksi calon ponakan aku yang lucu-lucu, sementara aku harus terus melanjutkan kehidupan. Sedih dan bahagia menjadi satu ketika membayangkan itu semua. Terpenting dari semua itu adalah kami justru telah menjadi sahabat hidup yang begitu dekat, rasa sayang nyata yang pernah kami bangun bersama-sama tetap hidup menjadi memori yang baik dalam ruang yang lapang di hati. Ya, semua orang pasti memiliki kenangan yang menurutku wajib disimpan dengan baik dan dikelola secara bijak. Kembali lagi dengan kamu. Aku mungkin yang pertama kali menemukanmu di aplikasi kencan itu. Lokasi kita saat itu sangat dekat, hanya satu atau dua orang sebelum kamu. Mungkin, kamu sedang jalan-jalan di sekitar sini dan aku baru pertama kali lihat kamu. Aku chat kamu duluan. "Hi, boleh kenal?" sapaku. "Hi, iya boleh." jawabmu kemudian. Dari profil, kamu tidak mencantumkan kata-kata yang cukup aku hindari ketika pertama kali kenal dengan orang, seperti 'fun' dan its related words. Banyak hal di luar those things yang aku cari. Tidak ada informasi umur, hanya sebatas 'NPNR atau no pic no reply' seperti aku 'NPNC atau no pic no chat'. Akhirnya aku memberikan foto asli lebih banyak, dan memutuskan sepakat untuk bertemu. Waktu itu karena lokasi kamu cukup dekat, aku menawarkan untuk bertemu di tempatku saja. "Tunggu di Bank xyz di depan ya, nanti aku samperin," pesanku. "Oke," jawabmu. (10 menit kemudian) "Sudah sampai nih," infomu. "Oke, tunggu aku ke sana," jelasku. Tidak beberapa lama aku datang ke lokasimu menunggu. Aku menemukanmu. Aku tahu itu kamu, karena kamu sedang menunggu seseorang. Di pertemuan pertama kali itu, aku ingat betul kamu menggunakan motor matic ringan sejenis Mio. Kamu mengenakan helm hitam. Kepalamu menunduk sembari melihat telepon genggam. Aku berjalan ke arahmu, wajahmu belum terlihat jelas. Beberapa detik kemudian aku bisa melihat wajahmu. Kepalamu mendongak ke depan, bertatapan denganku. Di saat itu, aku sangat jelas melihat tatapan matamu. Ya, tatapan mata yang sejak saat itu tanpa kusadari telah merobek hatiku. Tidak berselang lama, aku langsung menyapamu. "Hi, Matt," kataku. "Hi, Dave," ujarmu. Menggunakan kode mata, aku langsung membonceng di belakang motormu. "Kita naik motor aja ya ke tempatku. Nggak jauh sih, nanti aku kasih tahu arahnya," pintaku. "Oke," jawabmu. Beberapa belokan, sekitar 150 meter, kamu telah tiba di tempatku. Pertemuan itu, selain impresi dengan matamu, kesan awal lain yang aku cukup melekat di pikiranku yaitu badanmu yang lumayan gempal hehe. Selain itu, tinggi kita sama. Kalau dilihat dari gelagat, kita sama-sama tidak mementingkan urusan role. Bisa dibilang, kita sama-sama memiliki role versatile (3). Saat aku masuk ke dalam rumah, dan kamu masih di luar, aku mengintip dari jendela. Ketika kamu membuka helm, aku tahu bentukan face kita mirip-mirip sama-sama chubby berisi pipinya. Kamu tergolong rapi, lepas helm masih bercermin di spion motor sambil membenarkan rambut yang agak tipis lembut itu. Kamu pun masuk ke rumah, pintu masih aku buka. Aku persilakan kamu untuk duduk di kursi merah dekat pintu depan. "Silakan duduk, jangan sungkan ya," ujarku. "Sebentar, aku siapkan minum dulu. Eh, tapi ini sirupnya habis, hanya air putih dingin tidak apa-apa ya," lanjutku. "Tidak apa-apa, terima kasih, air putih dingin sudah cukup," jawabmu. Suaramu cukup memiliki tone bass-nya, dan kulihat ada senyum kecil di wajahmu. Dari lantunan suaramu, aku tahu kamu sebetulnya orangnya hangat sejak itu. "Ini minumnya," sapaku. Aku pun duduk di sofa di sebelah kursi yang kamu duduki. "Oh iya, kamu mau nonton apa?" tanyaku, sembari menyalakan televisi. Waktu itu televisi aku hanya terkoneksi dengan saluran youtube dan internet saja, langganan tv kabel baru saja dicabut karena suatu provider telah bangkrut. Kutayangkan channel Kompas TV. "Bebas channel apa saja," jawabmu. Beberapa saat hening. Kamu sepertinya bertipikal pendiam dan tenang. Tidak apa-apa, aku senang mengobrol dan merasa sudah senang ada yang mengunjungi, kamu sepertinya bisa jadi teman baru suatu saat nanti. Akhir-akhir ini terkait romansa, aku memang merasa semakin sepi namun masih ingin sendiri dulu, hanya saja tidak menutup kemungkinan untuk perlahan membuka hati apabila menemukan kecocokan. Semasa-masa ini, aku lebih banyak menenggelamkan diri pada pekerjaan rutin harian di kantor. Memilih menyibukkan dengan pekerjaan kantor merupakan salah satu bentuk pengalihan terjitu atas keadaan hati yang harus dipaksa untuk lepas dari seseorang meski sekali lagi merasa tidak memerlukan pengganti. "Kamu sibuk apa, kok tiba-tiba aku baru lihat kamu di aplikasi," tanyaku memecah keheningan. "Oh ini, baru pulang kerja, memang biasanya rute lewat sini, cuma pas tadi buka aplikasi," jawabmu. "Kerja dimana?" tanyaku lagi, daripada tidak ada obrolan. "Kerja di Thamrin," jawabmu. "Wah, sama dong, aku juga kerja di Thamrin," infoku. "Loh, kerja di Thamrin kenapa jauh banget sampai sini rutenya? Nggak ngekos saja di sana?" tanyaku lebih lanjut, mengalihkan dari topik pekerjaan karena agak pribadi. "Iya, tinggal di daerah Pamulang situ, biasa bolak-balik, tapi di dekat sana ada tempat teman, biasa juga main di tempat teman situ, kadang nginep," jawabmu. "Wah, teman apa pacar, hehe," ledekku. "Teman, tapi dulu juga ada pacar, biasanya main ke tempat pacar," jawabmu. Ya, saat itu aku cukup senang karena mungkin kamu memang juga sama-sama sendiri. Sejujurnya, aku akan bisa membuka hati pada siapapun yang punya kondisi sedang sendiri, selain tentunya menemukan kecocokan baru. Berkenalan dengan seseorang yang juga masih sendiri setidaknya akan mempermudah pendekatan lebih lanjut tanpa drama dan karma. Dengan kondisi tersebut, aku akan lebih nyaman memulai kedekatan dengan orang yang juga sama-sama sendiri. Siapa tahu apabila jodoh bertemu, aku bisa memulai romansa baru secara serius. Lagipula, aku bukan tipikal orang yang mau menjadi pihak ketiga untuk mendapatkan hubungan romansa baru dengan orang lain. Aku sangat menghargai sebuah jerih payah dalam suatu hubungan, dan ingin mengawali sebuah romansa baru dengan cara-cara yang benar-benar baik. "Di sini tinggal sendiri?" tanyamu. "Iya, tinggal sendiri, tapi biasanya ada sepupu yang masih main," jawabku. "Oh, sepupu.." responmu. Aku belum tahu sih maksud responmu ini, tapi biasanya sih orang yang mendengar jawabanku akan bilang mungkin sepupu-sepupuan. Tidak apalah, mau berpikir apa, setidaknya memang sepupuku asli dan pacarku sebelumnya yang sering main ke sini. Entah kenapa, aku mudah merasa nyaman dengan kamu. Bahkan, saat pertama kali bertemu. Kamu pun sepertinya begitu. Hanya saja, satu hal kesan tambahan aku saat itu. Kamu sepertinya agak kaku, dan lebih menunggu adanya instruksi dari aku. Mungkin kamu belum terbiasa dengan cara meet-up seperti ini, mungkin kamu masih punya beberapa hal yang belum mau diceritakan, tapi jujur pada saat itu ketika melihat fisik muka kamu sepertinya nggak terlalu jauh beda umurnya. Percakapan pun berlanjut. Aku tidak mau mengakhiri pertemuan ini dengan ritual perkimpoian dan hanya menjurus ke sana semata. Aku lebih suka kenyamanan dan keakraban (intimasi), yang apabila kita klop dan butuh, maka aktivitas itu akan menjadi proses tambahan yang meningkatkan rasa bahagia. Obrolan kita terus berlanjut, sampai beberapa jam menjelang pukul 12 lewat. Beberapa kali kamu mengingatkan bahwa kamu seharusnya akan pulang karena waktu sudah cukup larut. Tapi tetap saja aku lanjutkan dengan obrolan, dan tayangan di televisi. "Oh iya, ini sudah mulai larut, kasihan kamu, sebaiknya kamu pulang ya, jauh juga ke Pamulang sana," ujarku. "Iya," jawabmu. "Terima kasih ya sudah menemani, sudah mampir," ujarku lagi. "Oh iya, aku boleh minta nomor handphonemu?" tanyaku kemudian. "Iya sama-sama, ini nomornya," jawabmu. Akhirnya kita berpamitan, kamu pulang. Awal yang baik dan memorable. Aku punya impresi terdapat kemungkinan untuk dekat dengan kamu. Beberapa hal yang kusuka, mata, dan sifat tenang atau bisa dibilang teduh kamu. Muka kamu juga agak familiar seperti keluarga dekat. Aku pernah bilang ke kamu di awal "wah kamu kok seperti sepupu aku sih wajahnya". Ada feeling suatu kekakuan di sikap kamu yang masih menjadi misteri di aku. Seperti suatu sikap butuh tapi memilih membatasi diri. Banyak kesamaan yang tidak disengaja terutama soal romansa, aku sendiri, kamu juga mungkin sendiri. Entahlah, ini hanya impresi awal, yang kuharap bisa berlanjut jika berjodoh. Sejak itu, aku simpan kontak kamu di telepon genggamku dengan nama Ran. Simpel, aku suka olahraga lari karenanya aku bisa sehat.Semoga kalau jodoh, aku bisa benar-benar menyukai kamu seperti aku menggemari olahraga lari, supaya kehidupanku makin sehat. ---------------------- (3) Versatile merupakan salah satu istilah di dunia pelangi untuk menunjukan preferensi kenyamanan peran seksual yang memposisikan sebagai double agent. Pertemuan Kedua Sebulan lebih kita tidak bertemu. Aku juga tidak mengkontakmu sama sekali. Aku sedang disibukkan oleh kerjaan yang lumayan banyak. Allah mengabulkan doaku agar aku bisa tenggelam dalam pekerjaan yang hebat, mengalihkan perihal romansa. Aku harus mempersiapkan beberapa hal, termasuk tur perjalanan pekerjaan ke beberapa daerah di seluruh Indonesia dalam setahun ke depan. Di suatu malam, di saat aku tidak ada kesibukan berarti, aku kembali meng-install aplikasi kencan itu. Sudah mulai menjadi kebiasaan akhir-akhir ini, di saat hati kosong, aku mungkin akan beberapa kali hadir di aplikasi kencan. Hati kosong adalah keadaan dan realita. Dulu, di saat aku masih memiliki pacar dengan segala kondisi baik mendukung untuk menjalani hubungan, fokus kehidupan aku selain keluarga dan pekerjaan adalah pacar. Daripada menggunakan aplikasi kencan, aku lebih memilih kencan menghabiskan waktu bersama dengan pacar yang pastinya aku minta untuk sering tinggal di tempatku—rumah kami bersama. Tapi itu dulu, sebelum kami memperkuat hubungan dan menginginkan masa depan terbaik buat kami. Sayangnya, berbekal fakta bahwa saat ini diriku memang sedang sendiri, perihal romansa justru semakin sering melintas meski banyak pekerjaan minta dilibas. Aku memang tidak bisa menyalahkan perihal romansa ini. JK Rowling saja pernah berkata setidaknya begini, "kamu bukanlah manusia kalau kamu tidak memiliki romansa kehidupan dengan seseorang yang menjadi fokus kamu." Aku seorang manusia biasa, memiliki romansa kehidupan sudah pasti akan menjadi sebuah desiran yang akan senantiasa menghidupkan sindiran di hati. Aku kesepian, aku butuh seseorang yang bisa menjadi fokus hidup ini lagi. JK Rowling benar, hal ini, rasa ini, memang lumrah dan wajar sebagai seorang manusia. Terlebih bagi seorang manusia yang selama ini sudah sangat terbiasa untuk memiliki seseorang sebagai fokus dalam kehidupan romansa. Bunyi notifikasi terpasang dari aplikasi datang, aku membukanya kembali setelah beberapa waktu. Aku hanya melihatnya sebentar, kemudian menaruh telepon genggam. Selanjutnya, aku ke kamar mandi untuk sikat gigi sebelum tidur. Waktu menunjukkan pukul 21.00 malam lewat. Sekembalinya dari kamar mandi, selepas mencuci kaki dan beranjak ke tempat tidur, aku melihat aplikasi kencan tersebut sebentar. Tiba-tiba ada kamu. "Hi, apa kabar," chatku cepat di aplikasi. "Masih ingat?" tanyaku. Beberapa lama kemudian, kamu menjawab "iya masih, baik." "Sini main," ajakku. "Iya, lagi di sekitaran Senci, nanti ke sana ya," jawabmu. "Oke, kabarin ya," bilangku. Aku sebetulnya ingin terlelap. Tapi kamu membuatku seperti betah menunggu. Tak lama, notifikasi pesan menunjukan informasi darimu. "Otw ke sana ya," lanjutmu. "Oke," responku. Aku senang. Kantuk yang tadi unjuk gigi mendadak pergi. Aku siap-siap, berganti baju dengan pakaian yang lebih sopan. Sebentar lagi kamu datang. Entah kenapa aku merasa senang ya. "Nanti tunggu di Bank xyz, ya, in case kamu lupa ancer-ancer-nya," pintaku di aplikasi. "Iya, ini sudah mau sampai," jawabmu. Singkat kata, kamu sudah sampai. Aku menjemputmu di Bank xyz. Kali kedua ini aku bertemu denganmu. Kamu masih sama, bersikap kalem dan teduh. Tatapan hangat matamu yang paling aku ingat, tidak berubah. Aku membonceng di belakangmu, kamu masih lancar mengendarai motormu tidak tersesat hingga sampai ke tempatku. Aku hanya perlu memberikan panduan kecil di awal, khawatir kalau-kalau kamu lupa. "Selamat datang," sapaku ketika kamu masuk rumah. Kamu tersenyum kecil. Aku menjadi hapal dengan senyuman itu. "Mau minum apa? Kali ini ada sirup," tanyaku. "Sirup boleh, terima kasih," jawabmu. "Apa kabar banget kamu?" tanyaku sembari meletakkan minumanmu di atas meja. Kuhidupkan televisi. "Baik nih, baru balik kerja," ujarmu. "Wah, kamu pasti capek ya, sering pulang kerja malam-malam gini, mana jauh Thamrin ke Pamulang," responku. "Iya, dinikmati aja," jawabmu. "Kerjanya malem banget ya, shift-shift-an begitu ya?" tanyaku. "Sebenarnya, ini kerja part-time," ceritamu. "Oh, gitu.. Ya udah sini duduk sini deket sini," pintaku. Kamu berpindah bangku, meletakkan pantatmu di atas sofa duduk bersampingan denganku. "Nih, badan kamu kaku hehe, aku pijetin ya," bilangku sembari memegang lengan kamu, lalu memijat lembut. Aku kemudian mengalihkan pembicaraan dari soal pekerjaan menjadi obrolan ringan karena aku paham kamu pasti sudah cukup lelah bekerja dan berkendara. Saat kusentuh badanmu, lumayan berisi juga a.k.a gempal terutama di bagian lengan dan pinggang. "Kamu gym?" tanyaku. "Dulu, tapi sekarang nggak," jawab kamu. "Hmm, tapi ini lumayan berisi kok, dulu pasti isinya keras. Sekarang, masih kencang tapi agak mengendur," ujarku. "Coba bandingin sama punyaku, aku masih lumayan sih main barble," lanjutku. Kamu pun memegang lenganku, dan mengangguk. Kita sempat beberapa kali saling pandang bertatapan mata. Waktu itu aku merasa kita sama-sama nyaman meski kamu terlihat agak canggung dan seperti menunggu suatu gerakan dari aku. Saat itu, sembari malu-malu menatap mata kamu lebih dalam, hati ini secara tidak sadar mengarahkan diriku untuk memadu kasih dengan dirimu. Apa yang kulakukan berbalas lembut olehmu. Kita sempat saling melihat, lalu memejamkan mata dan menikmati momen itu tanpa tapi. "Eh, aku minta maaf ya," ujarku kemudian. Kamu terdiam. Wajah kita masih saling berdekatan. Aku kembali menatap matamu. Tak tahu mengapa, caramu membalas ungkapan kasih ini, merespon tatapan mataku, menunjukkan sepertinya dirimu ini memiliki karakter penyayang. Jantungku berdegup lebih kencang, kuberanikan untuk melanjutkan momen itu. Kamu kembali membalasnya. Kita semakin nyaman dan pasrah. Selanjutnya, kita siap menghabiskan waktu bersama menikmati ungkapan kasih dalam fisik terjauh. Aku tipikal seseorang yang susah untuk percaya dengan orang lain. Termasuk perihal mempercayai dirimu. Namun, rasa kesedihan dan kesendirian yang semakin sering berkecamuk di hati akhir-akhir ini seperti menyadarkan diri ini bahwa aku memang serapuh dan sebutuh itu akan kehadiran seseorang. Mengandalkan pengamatanku sementara akan karaktermu, aku hanya bisa pasrah pada Allah. Mungkinkah kamu, dihadirkan Allah untuk membantuku kembali bangkit, dan akhirnya bisa menaruh kepercayaan baru pada diri yang baru? Atau, mungkinkah aku hanya sedang mengalami ketertarikan fisik dengan dirimu. Terdapat beberapa kesamaan fisik kita yang mempermudahku untuk mengalami ketertarikan fisik denganmu. Bukankah pepatah orang sakti pernah bilang begini, "kalau kamu mirip dengan pasanganmu, most likely kalian jodoh." Disadari atau tidak, kemiripan fisik merupakan salah satu petunjuk besar dimulainya ketertarikan pada seseorang, selain tentu nantinya kemiripan karakter, sifat dan tujuan, serta beragam penyesuaian. Mungkin juga, feromon dan radar sinyal kita cocok. Atau, mungkinkah ini jalan untuk membuat hubungan kita lebih dekat lagi? Mengapa diri ini secara sukarela menginginkan ini sedangkan kita masih bukan apa-apa? Ini bukan yang utama aku cari. Atau kamu memang diri yang sedang aku cari dan kita telah sama-sama saling menemukan satu sama lainnya? "Apakah kamu, seseorang yang bisa aku percayai itu lagi, dengan karakter-karakter diri yang aku nilai siap untuk saling memupuk rasa sayang tulus di dunia pelangi," tanyaku lagi dalam hati, berupaya sekuat mungkin untuk meyakinkan diri dan membaca situasi. Yang kutahu, di tengah berbagai pertanyaan hati itu, kita masih bersama-sama malam itu. Rasa percaya pada dirimu seakan mencoba bertumbuh memberanikan diri ini untuk tenggelam lebih banyak. Aku hanya berharap, langkahku tepat, semuanya tidak akan berakhir selepas kebersamaan pada malam itu. Aku pun menarik pergelangan tanganmu. Aku pasrah malam itu. Kamu juga terlihat berusaha melakukannya dengan baik. Aku hanya bisa menatap matamu lekat, memeluk dirimu erat. Ada harapan yang tumbuh, semoga kamu menjadi titipan yang utuh dari Allah. Menjalani malam itu, pertama kali dengan dirimu, sejujurnya menyemangati diri ini untuk melangkah lebih jauh pada kisah romansa baru. Aku menyukainya jika dilakukan dengan rasa. Semoga kamu membawa perasaanmu ke dalamnya. Mungkinkah? Harapan itu terlintas di pikiranku, karena kuyakin sejak saat itu benih-benih rasa di hati ini sudah hadir untukmu. Aku berharap rasa itu juga muncul di hati kamu agar kuyakin diri ini memang bisa jatuh hati kembali. Tidak mudah bagiku untuk memupuk cinta jikalau orang yang ditaksir tidak memiliki respon yang sama. Semuanya terjadi secara lembut. "Tapi, kamu sehat kan?" tanyaku pasrah. "Iya, aku sehat," jawabmu sambil mengangguk. Di kegelapan, aku tahu matamu masih lekat menatap mataku. Aku kembali pasrah, aku seperti bisa percaya kamu begitu saja. Kita saling berpelukan lebih erat. Kita menyudahinya, dan masih dengan mata yang saling menatap. Dari cara kamu ini, aku tahu kamu berbeda dari kebanyakan. Aku bertambah yakin ada satu karakter lagi yang aku kenal dari kamu, yang benar-benar aku butuhkan, yaitu penyayang. Namun, karakter ini seperti tertutup oleh sesuatu yang sudah aku rasa ada di kamu sedari awal pertemuan. Sesuatu yang seperti membatasi keleluasaanmu untuk bisa menyayangi seseorang lagi secara apa adanya, dan tanpa batasan. Kita membersihkan diri masing-masing. Selagi dirimu mandi, aku merapikan pakaianmu dan menaruhnya di atas kasur. Kuberikan handuk bersih untukmu. Selepas merapikan diri, kita sama-sama kembali duduk di sofa, di depan televisi yang masih menyala. "Maafin aku ya," ucapku ke kamu. Kamu terdiam, tapi mata kamu menunjukkan menerima. "Hari ini kamu capek, bermalam saja di sini," tanyaku. "Belum bisa nih, nanti dicari orang rumah," jawabmu. "Iya, kamu istirahat yang cukup ya, semoga besok lebih segar badannya," ujarku. "Iya..." ucapmu. "Eh kamu aslinya darimana? Aku dari Jogja sana," ceritaku. "Dari dekat Bogor, Pamulang," ceritamu. "Pamulang yang deket Depok?" tanyaku. "Iya, dekat Depok," pungkasmu. Kita kemudian melanjutkan nonton televisi sebentar. Lalu kamu meminta pamit pulang ke rumah. Aku mengiyakan. Kita berpisah. Kesan aku malam ini, kamu anaknya baik, dan aku menemukan karakter penyayang dari berbagai sikap kamu. Suatu karakter yang aku cari melebihi apapun. Rasa sayang akan menjadi bara api yang menurutku akan sangat dibutuhkan untuk menghidupkan energi cinta dalam sebuah hubungan. Perilaku sayangmu itu, yang ditunjukan kepada diriku,sebetulnya cukup banyak membantu diri ini untuk lebih membuka ruang hati lebih banyak untukmu. Aku memang bisa saja kagum dan suka pada banyak orang. Tapi untuk menjalani kisah romansa, hatiku sepertinya hanya bisa dibuka oleh seseorang yang juga menyayangi diri ini. Semoga kamu memang menjadi seseorang yang aku sedang cari itu. Seseorang yang kubiarkan memasuki hati ini dengan kata sandi: "aku sayang Matt". Lama Tak Berjumpa Sekarang bulan November. Menjelang akhir tahun. Sudah banyak beberapa tempat baru aku kunjungi di tahun ini. Semuanya karena pekerjaan ini yang sedemikian sibuk dan teramat menyita waktu. Makassar, Bali, Bandung, Palembang, Batam, Padang, ya you name it lah. Tahun ini aku juga punya segudang kesibukan rupa-rupa di luar kegiatan pekerjaan rutin. Beberapa di antaranya, terjadi di menjelang akhir tahun ini untuk meeting dan meeting di luar kantor, bekerja antar-organisasi. Malam ini aku ada kerjaan yang mengharuskan menginap di hotel. Kantor yang melakukan pembayaran atas tagihan hotel. Aku hanya diharuskan menyediakan tenaga dan pikiran untuk mempersiapkan segala hal terkait pekerjaan sampai dengan larut malam. Kelihatannya menyenangkan dan mudah, namun serius, sangat-sangat menguras energi. Kesibukan ini semakin memuncak dan diperkirakan akan menjadi hantu seram sampai dengan akhir tahun. Beruntungnya, aku sempat berfirasat untuk tidak memesan tiket pulang atau perjalan ke daerah lain untuk akhir tahun ini. Jadi, mungkin ini sudah jalan Allah. Beberapa minggu ini di setiap akhir pekan, pasti akan ada kerjaan yang menginapkan aku di beberapa hotel di Jakarta. Di pertengahan Desember nanti juga akan ada aktivitas kembali di Bali. Aku begitu lelah. Setidaknya, semua kesibukan ini akan berakhir di penghujung tahun. Memang, aku boleh sesibuk itu. Tapi, kata romansa selalu beberapa kali mengetuk hati. Aku mencoba tidak ambil pusing. Ketika rindu romansa datang, aku selalu berpura-pura lupa. Biasanya taktik ini berhasil karena aku bisa mengalihkan pikiran ke pekerjaan. Tapi menjelang akhir-akhir ini, pekerjaanku seolah semakin terlihat monoton dan mudah, serta pikiranku semakin sulit teralihkan ke pekerjaan. Ada kalanya, di pikiran ini merayap imajinasi untuk mengundang seseorang yang aku nilai spesial dan sekiranya bisa datang menginap ke hotel menemani. Banyak hal, aku ingin ada seseorang yang aku sayang hadir untuk mungkin sekadar berbagi cerita dan menyemangati. Entah kenapa, satu nama yang paling sering muncul adalah Ran (nama julukanku untukmu, Dave). "Ran, aku lagi di hotel dekat Bundaran HI nih, kamu sibuk nggak?" tanyaku lewat whatsapp. Aku sudah lama tidak menghubungi Ran. Jadi, aku tambahkan, "Kamu masih ingat aku kan, apa kabar?" Mungkin kamu sibuk. Whatsapp yang dikirimkan pagi hari baru dibalas sore hari. "Jauh, lagi di Bogor," jawabnya singkat. "Wah, enak lho di sini bisa lihat Bundaran HI," rayuku. "Iya, tapi jauh," chat kamu. "Iya, lain kali saja," balasku. Keinginanku hanya menyisakan imajinasi. Tidak ada kemauan untuk mencobakan ke orang lain. Rasanya sudah terlalu lelah. Aku sendirian saja di hotel, tenggelam dalam pekerjaan, meski sempat memandangi Bundaran HI. Sendiri. Tapi lupakan sendiri, memang tidak tepat membicarakan kesendirian, lebih baik menikmati kesendirian. Lebih baik bersyukur, tidak setiap orang bisa tinggal di beberapa hotel berbintang dengan mudah dan kamu bisa melakukannya. Lain itu, beberapa teman kantor di sini banyak yang masih single, jadi ya kami bisa ber-ha-ha-hi-hi meledek single-itas, bahkan saling melemparkan jokes lawas jodoh perjodohan. Ada satu Mbak-mbak umur 30 ke atas yang sangat energetik, sepertinya kesengsem dengan diri ini, tapi apa daya, masih belum siap Mbak, punten, hehe. At foremost moment, lagi-lagi entah mengapa, meski gagal menemui Ran saat itu, mungkin karena terbawa halusinasi gemerlap akhir tahun dan kesendirian, aku menjadi semakin sering mencoba menghubungi Ran. Ya, semuanya berlanjut kembali pada bulan Desember. "Hei kamu apa kabar?" tanyaku lewat whatsapp. Belum dibalas. "Kamu akhir tahun kemana, jalan yuk," tanyaku lagi. Belum dibalas. "Jalan-jalan ke luar negeri yuk, ke Malaysia nih, bagus, ada tiket murah," rayuku. "Wah boleh, tapi lagi nggak diskon, nanti saja," akhirnya kamu membalas. "Nanti kita ketemu lagi ya," pintaku. "Iya," jawabmu. Akhirnya tibalah pertengahan bulan Desember. Aku dan tim kerja jadi berangkat ke Bali. Merampungkan seluruh tugas-tugas kerja. Di sela-sela pekerjaan, entah karena mungkin lokasinya indah, aku sering melakukan foto-foto lokasi. Tak lupa, anehnya, foto-foto itu beberapa yang bagus aku kirimkan juga ke Ran. "Main sini yuk, aku bayarin deh tiketnya, hehe," godaku lewat Whatsapp. Padahal tidak mungkin. Aku hanya meledek kamu, mencoba lebih dekat denganmu. Seandainya pun ke sini, aku tidak punya banyak waktu untuk kita dan pasti harus reschedule penerbangan untuk menyesuaikan jadwal di Bali yang akan menjadi lebih lama apabila dirimu hadir. Jadwalku di sini juga sudah sedemikian padat dari pagi sampai malam. "Iya bagus," responmu. "Iya, ini lihat kamarnya bagus ya, buat pasangan kayaknya, hehe," ceritaku. Ya begitulah, aku makin suka flirting dan memulai pendekatan ke kamu. Suasana di Bali dengan segala kesakralannya dan ke-Sang Hyang-annya ini banyak membantuku untuk memperkaya diri dengan perihal romansa. Bali mengajarkanku untuk semain cinta pada semesta yang begitu indah. Allah dan kasih sayangnya mengingatkanku bahwa cinta harus ditebar tidak hanya kepada alam tapi juga mendukung kebaikan kepada sesama manusia. Keberadaanku di Bali yang ceritanya sedang ditemani kesendirian ini, justru semakin mengarahkanku untuk mendekati seseorang bernama Ran ini. Mungkin karena aku belum tahu nama aslinya kamu, aku belum berani memasukkan nama kamu dalam setiap doa-doaku kepada Allah. Nuansa Bali pula dan kuasa Allah seperti juga terus membisikkan banyak strategi baru untuk mendekatimu. Semoga saja kamu tidak merasa jengah karena diri ini semakin sering memulai komunikasi dengan dirimu. Banyak obrolan, tapi masih terkesan satu arah dariku. Tapi seolah-olah tiada kehabisan daya, Allah selalu hadir menyemangatiku dan membukakanku beberapa jalan baru selanjutnya. Sampai di suatu hari, kita sepakat untuk bertemu kembali sebelum akhir tahun. Malam itu kamu sudah main ke tempatku lagi. Kalau kamu tahu, aku benar-benar senang atas kehadiranmu ini. "Kamu habis darimana aja, long time no see you, Ran?" tanyaku ke dia. Aku menyebutmu Ran, tentu bukan nama aslimu sebagaimana kamu memperkenalkan dirimu padaku. Tapi sepertinya kamu tidak merasa risih dengan julukan itu. "Aku habis liburan dari Semarang, kemarin sama sepupu naik mobil ke Semarang," jawabmu. "Wah kamu, habis dari Semarang, kenapa nggak bilang-bilang? Aku kan tahu kota itu," "Iya waktu itu kemana gitu, lupa kayak daerah yang ada Cina-cinanya," ceritamu. "Oh, aku kenal, itu Pecinan namanya, kalau siang biasanya ada yang jual Lunpia basah enak di sana, hehe, tapi biasanya sih kata orang ada babinya," ucapku. "Iya betul, tempat Pecinan gitu," responmu. "Terus kemana lagi?" tanyaku. "Lupa, pokoknya habis itu naik tol aja," lanjutmu. "Wah, ke Kota Lama nggak, kamu kalau ke Semarang belum ke Kota Lama, berarti belum ke Semarang," ujarku. "Nggak deh, kayaknya nggak ke kota lama, nggak sempat," balasmu. "Kalau gitu, kapan-kapan aku ajak ke Semarang ya, nanti kita sewa mobil, terus aku ajak ke Kota Lama, bagus lho itu, hehe," ajakku. "Boleh, hehe," jawabmu. Obrolan kita pun beralih. Menjadi soal umur. "Eh kamu itu umurnya berapa sih?" tanyaku. "Coba tebak, hehe," tanyamu balik. "Hmm, jangan, nanti aku takut salah tebak, malah nggak enak," jawabku. "Tebak aja, hehe," ujarmu. "Oke, 24 atau 25? Eh salah, haha, around 24? Maaf kalau salah nebak," ujarku. Kamu terdiam. "Salah, memangnya kelihatan setua itu ya?" tanyamu. "Mungkin bukan tua kok, mungkin lebih matang tepatnya, kamu itu seperti nggak asing dan kelihatan dekat, umur kita itu sepertinya deket, pemikiran kamu itu sepertinya mencoba terlihat lebih dewasa dari umurmu seharusnya," asumsiku. Mungkin banyaknya permasalahan dalam hidupmu membuatmu terlihat lebih bersikap tenang di perawakan luar. "Aku masih 20," jelasmu. "Ha?? Seriusan masih 20?" aku agak terkekeh. Serius, aku benar-benar melanjutkan tawa dalam hati sebentar. Agak kocak sih, aku juga berusaha memberikan makna. "Tapi gini, berapapun usiamu, aku nggak masalah, kamu juga kelihatan lebih dewasa gitu, nggak tahu kenapa, sikap kamu itu nggak kayak umur 20, jadi aku merasa agak deket aja gitu umurnya," namun aku berdehem dan mencoba meluruskan. Kamu terdiam lagi. Duh, di dalam hati, aku mengucapkan kata maaf soalnya aku tidak bermaksud menyinggung kamu soal umur. Tapi ini memang impresi aku pertama kali ketika mengenalmu. Bahkan jauh sejak di awal pertemuan. Ditambah dengan dandananmu mengenakan kumis tipis lumayan lebat di atas bibirmu. Aku beberapa kali memang melihat sosok seusiamu memelihara kumis tipis begitu, apa mungkin sedang tren di kalangan milenial usia 20-an ya? Gaya itu beserta dengan sikapmu yang terlihat tenang dan pendiam lebih membuat aura umur berada di sekitaran 25. Mungkin juga karena impresi ini, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dan kedekatan lebih banyak dari kamu. Kamu juga belum tahu pasti usiaku berapa ya? Selain itu, sejak obrolan umur, kamu mulai memanggilku dengan beberapa sapaan kakak seperti 'Bang, atau Mas'. Senang dipanggil begitu. Dari obrolan lanjut, kita semakin bercengkrama dan terasa semakin intim. Aku semakin percaya kamu semenjak ini, mungkin dengan dirimu. Beberapa informasi pribadi kita juga saling tertukarkan dengan baik sejak selepasnya. "Aku sudah nggak kerja lagi, karena mau sibuk ngelanjutin nyelesain kuliah," ceritamu. Perjalanan waktu seperti terasa begitu cepat ya. Dulu kamu terlihat begitu sibuk dan agak lelah karena kerja, sekarang waktu luangmu akan menjadi semakin banyak karena penyelesaian kuliah kadangkala mengkondisikan kita pada 'stuck nowhere' yang menyita banyak waktu meskipun padahal sebetulnya terlihat seperti tidak melakukan apa-apa. Semoga kuliahmu memang benar-benar segera selesai. Aku mengerti rasanya terombang-ambingkan oleh waktu di masa transisi perkuliahan akhir yang membuka kehidupan nyata after school. "Oh, kamu masih kuliah, kuliah dimana?" tanyaku. "Kuliah di deket Pamulang," jawabmu. "UIN? Universitas Pamulang?" tanyaku lagi. "211*ascs@$" ujarmu. Jujur aku lupa, dimana. Seingatku di salah satu universitas itu. "Oh, wah hebat dong, diselesain kuliahnya biar nanti bisa fokus kerja lagi, nggak enak kerja terus mikirin kuliah, nggak fokus," timpalku. "Iya, doain ya," responmu. "Aamiin, aku doain, yang terbaik," ucapku. Obrolan ini cukup hangat. Aku suka akan suasana cair. Kamu sudah mulai semakin membuka diri, namun ya lagi-lagi aku masih merasakan adanya sikap kamu yang agak sangat dibatasi. Aku hanya bisa sedikit menganalisa, dan mencoba memahami kondisi kamu. Sepertinya kamu membatasi diri supaya tidak mudah untuk terbuka atau mungkin tidak mudah untuk jatuh hati dengan orang lain. Tak apa lah, mungkin kamu memang baru mengenal diriku. Mungkin juga, kamu punya masa lalu yang membuatmu trauma dan memaksamu bertingkah laku seperti itu. Terkait pembatasan diri ini, setiap orang memang mempunyai kadar yang berbeda-beda. Setiap diri manusia itu unik. Kamu unik, aku pun juga. Aku tidak mau mempermasalahkannya di awal yaa, kalau bisa dikata, di awal masa pendekatan kita. Aku hanya perlu cukup bersabar lebih banyak untuk memahami dan mengerti diri kamu. "Pelan-pelan, nanti kita bicara banyak ya soal rasa, tentang mau kamu apa, mau aku apa, dan mau kita apa," semangat aku dalam hati. Ketika berbicara tentang diriku soal kamu, di lain sisi, aku memang sudah bisa membuka hati sedari awal bertemu dirimu. Intensitas pertemuan dengan dirimu yang semakin meningkat setelah sekian lama dalam tahun ini terpisah jarak, membantuku meningkatkan perihal rasa ke kamu. Pelan tapi pasti. Ketidakmudahan untuk percaya dengan orang lain merupakan salah tipikal diri ini. Lamun, aku tidak pernah mau menutup kemungkinan untuk bisa saling berharap dan percaya dengan orang lain di masa sekarang, siapapun dia yang kuhadapi sekarang, dan sebagaimanapun kisah masa laluku termasuk seberapa kelam masalah lalunya. Etos dan cara hidup ini banyak kupelajari dari sisi misterius masa depan. Imbangan kemungkinan yang dimiliki masa depan memang mempunyai dua sisi yaitu baik dan buruk, gagal dan sukses. Naluri kita di masa sekarang hanya perlu diarahkan untuk mengubah kemungkinan-kemungkinan tersebut menjadi kesempatan yang lebih banyak memiliki manfaat daripada benar-benar menutup asa atasnya. Masa lalu akan selalu menjadi cerita dan kenangan. Aku selalu berusaha dan berdoa kepada Tuhan, semoga aku memiliki kisah-kisah sebelumnya yang terselesaikan dengan baik. Rekaman perbuatan yang sudah-sudah akan membantuku nantinya menyusun prioritas dan tujuan hidup selanjutnya. Selain itu, aku tidak ingin ada tanggungan masa lalu yang akan menjadi sangkutan di masa depan. Entah apapun itu. Masa depan memang akan selalu ada sehingga para peramal menjadi memiliki pekerjaan, dan para pejuang akan selalu memiliki harapan. Masa lalu yang beres, hari ini yang mentas, sesuai ridho Allah akan membantuku menyintas masa depan dengan orang, kehidupan, dan pengalaman yang lebih baik. Aku juga tentu punya trauma masa lalu. Tapi itu semua sejauh ini sudah tuntas. Aku sudah ikhlas. Saat ini di depanku yang sedang kuhadapi adalah kamu. Aku ingin sekali membangun harapan baru dengan orang yang baru. Aku ingin sekali membangun kepercayaan dan kisah yang lebih baik denganmu. Aku memang perlu mengetahui siapa kamu, bagaimana latar belakang kamu, dan sekelumit kisah masa lalumu. Hanya untuk sekadar tahu saja. Tidak ada niatan untuk membandingkan apapun atau dengan siapapun. Pelan-pelan nanti kita cerita ya. Aku berusaha memaklumi dan membuat ini lebih mudah dan smooth. Semoga kita benar-benar makin berjodoh dan sayang tulus nyata itu semakin terukir di jiwa kita. Waktu semakin menunjukan larut malam. Selepas melepas rindu, kamu izin pamit. Aku menawarkan untuk menginap, tapi kamu masih belum berani menginap. Aku tidak mau memaksa, sepenuhnya kuserahkan pada hati dan intuisi kamu. Salam terbaik untuk keluarga kamu di rumah. Aku peluk kamu. Ini pertama kalinya aku memeluk dirimu sebelum pamit. Aku peluk erat, supaya kita tidak lama berpisahnya, dan memastikan kamu akan kembali lagi. Tidak apa-apa meski aku saja yang memelukmu. Sudah cukup bagiku. Sekali lagi, aku paham sikap kamu yang masih enggan untuk melibatkan hati lebih dalam. Aku justru yang minta maaf mungkin mulai terbangun rasa. Waktu terus berlalu. Desember sudah menjelang berakhir. Awal tahun baru telah tiba. Aku akhirnya jadi berkunjung ke Semarang. Aku liburan di Semarang. Aku bolak-balik di akhir tahun ini, ke Semarang sebanyak dua kali. Sebelum dan setelah awal tahun. Terakhir kali aku pulang, aku mengunjungi pernikahan teman dekat di Semarang. Tak lupa aku juga mengunjungi spot pecinan, lagi-lagi mengambil beberapa gambar untuk memamerkannya ke kamu. Membicarakannya dengan kamu. "Hayo ini dimana, ini tempat yang kemarin kamu kunjungi," sapaku di whatsapp. "Ini Pecinan yang kemarin kamu kunjungi," ujarku, sembari mengirim foto Pecinan yang aku capture dari dashboard mobil. Saat itu aku sedang menyetir sendirian, setelah membeli oleh-oleh siang hari selepas melakukan beberapa kegiatan. Kamu masih belum membalas. "Kapan-kapan aku ajak ke sini ya, hehe, kamu harus puas main ke Semarang," timpalku. "Dave, ini aku bawain oleh-oleh ya, nanti diambil ya," pintaku kemudian. "Iya, bang," jawabmu singkat. Aku tersenyum. Hati ini senang karena pesan masih berbalas baik meskipun tampak kurang semangat di kamunya. Aku membeli beberapa kotak 'Tahu Baxo' yang terkenal dari Semarang, dan beberapa olahan kripik, untuk kamu. Namun, sesampainya di Jakarta, akhirnya aku goreng sendiri tahu baksonya karena mungkin kamu lagi sibuk jadi tidak sempat mengambil. Padahal brand 'Tahu Baxo' ini enak banget lho, you should try. Next time kalau ke Semarang lagi, kalau masih berjodoh dengan dirimu, pasti aku akan membawakannya lagi dan kamu harus ambil, ya. Di Januari ini, mungkin kita belum sempat bertemu kembali ya, don't we? Tidak apa-apa, masih ada bulan Februari dan bulan-bulan berikutnya. Mungkin, Januari terasa sepi tanpamu karena hanya aku yang mulai membutuhkanmu lebih sering. *** Februari Bulan Cinta Februari bulan cinta. Sepertinya asumsi tersebut ada benarnya. Di bulan ini, aku merasa semakin dekat dengan kamu. Banyak hal baik yang kita lalui bersama di bulan ini, aku sangat bersyukur pernah merasakan Februari bersama kamu. Banyak kenangan manis di bulan ini yang pertama kali aku rasakan bersamamu. Terima kasih ya. Awal Februari, sebelum pergi menyinggahi sebuah kota, aku merasa senang karena masih dipertemukan denganmu. Sebelum pertemuan ini, aku pernah mengungkapkan awalan rasa suka dan niatan membina rasa sayang ke kamu di hubungan ini ke depan, melalui whatsapp. Aku juga berterus terang mengungkap nama asli diriku siapa. Selanjutnya, aku janji akan mengungkapkannya dan membicarakannya langsung kepadamu. Tapi next time di saat yang tepat. At least, kamu sudah tahu rasa aku ke kamu maksud aku ke kamu di awal, dan kamu sudah tahu aku siapa. Aku minta kita bertemu. Aku minta ditemani kamu untuk mencari kado ulang tahun untuk adik perempuan dan adik laki-lakiku. Bahagia, ketika kamu mengiyakan. "Kita makan dulu ya, aku pengen makan di salah satu ramen di deket sini," ajakku di Whatsapp. "Oke, sudah berangkat ya Bang," jawabmu. "Iyaa, nanti kabarin ya kalau sudah sampai," balasku. Kamu pun tiba. Bawa helm satu karena helm satunya dibawa adikmu. Tidak apa-apa, aku ada helm juga. Kita pun langsung berangkat jalan-jalan ke mall. Ini kali pertama aku jalan-jalan bersamamu, setelah sebelumnya hanya menghabiskan waktu di rumah kalau bertemu. Jika kamu bisa mendengar rasaku saat itu: Aku seneng banget, benar-benar sesenang itu, bisa diajak jalan sama kamu, dari dulu aku ingin begini hanya mungkin baru saja kesampaian. Sore hari ini benar-benar terasa sangat nyaman dan membahagiakan. Rasanya seperti melihat kamu membawakan se-bouquet bunga sakura yang indah, memberikannya kepadaku. "Aku pengin makan ramen, kamu ada ide? Pengennya di mall xyy sih, tapi kalau kamu ada ide lain boleh," tawarku. Aku berharap kamu ada tawaran lain. Aku gembira karena kamu ternyata memang punya tawaran lain, ramen yang aku tahu enak. "Gimana kalau ramen abc? Tapi kalau di dekat sini dimana yaa? Jauh kalau ke mall ghi," tawarmu. "Aku tahu kok, ada di deket sini, mall pqr, kita ke sana saja ya," ujarku. "Oke, tapi itu mahal lho Bang, hehe," ucapnya. "Nggak apa-apa, santai," balasku. Bagiku, yang penting makan bersamamu. "Lagipula rasa ramennya enak kok, aku tahu itu," lanjutku. Di sepanjang perjalanan menuju mall pqr, aku sangat bersyukur. Sore hari itu juga teduh. Langit senja berwarna oranye terang, menambah rasa syukur. Ingin sekali aku memegang erat memeluk pinggangmu. Aku pengin memelukmu dari belakang, menempelkan dadaku di punggungmu. Aku ingin agar kamu merasakan detak jantungku yang berdegup tak karuan. Tapi aku takut kamu menjadi merasa kurang nyaman karenanya. Aku pun hanya bisa menempelkan tanganku ke pahamu. Aku sudah senang bisa jalan-jalan dengan kamu, seseorang yang aku ingin benar-benar memulai kehidupan baru dengannya. Saat itu, hatiku terenyuh bahagia sampai-sampai tak terasa setetes air mata pun mengalir namun segera terusap oleh angin. Sepanjang perjalanan, kita banyak berdiskusi soal kesibukan masing-masing. Bercerita juga soal lokasi jalan-jalan apa saja di sekitaran yang pernah dikunjungi. Kamu ternyata anaknya asyik juga, obrolan kita juga semakin nyambung. Padahal kalau dibanding-bandingkan dengan usiaku yang sudah 30 dan kamu yang 20—terpaut 10 tahun—, rasa-rasanya ini mungkin agak muskil tapi bukan berarti mustahil. Namun, serius! Bagiku, kita benar-benar cocok seperti dekat sekali, dan ini kocak. Tibalah kita di mall pqr. "Seumur-umur belum pernah ke sini lho, Bang," celetukmu. "Beneran? Hehe, bagus lah kalau begitu, jadi pengalaman baru buatmu," tanggapku. "Ini mall bagus, kalau hari kerja biasanya rame banget, tapi kalau hari libur begini, sepi, coba deh nanti kamu lihat," lanjutku. Benar saja, ketika kita sudah di dalam mall, sepi. "Aku senang ke sini, sepi, jadi possibility kita ketemu orang yang kita kenal makin kecil," gurauku. Soal jalan-jalan, aku sangat menikmati tempat yang nyaman dan tidak banyak yang mengusik. Aku hanya saja merasa takut apabila orang-orang yang mengenal diri ini tidak nyaman jika berpapasan dengan diri yang sedang menikmati hari bersama seseorang dari dunia pelangi. Mall pqr merupakan salah satu lokasi mall yang aku favoritkan untuk menghabiskan waktu dengan orang tersayang. Meskipun tidak setiap waktu yang mungkin, aku akan mengunjungi tempat yang sama, tempat yang itu-itu lagi. Aku justru suka mengunjungi tempat-tempat baru dan hampir tidak pernah mengunjungi tempat yang sama dalam jarak waktu yang berdekatan, kecuali tempat itu merupakan tempat favorit yang disukai bersama. "Kita langsung ke ramen itu ya, kayaknya sudah pada kelaparan, nanti habis makan kita baru cari kadonya ya," ucapku. Kita pun ke ramen. Setelah sedikit pesan makanan, kita mulai berbincang soal kehidupan masing-masing dan visi misi masing-masing. Tak terasa, makanan datang dan kita santap bersama. "Aku sekarang sudah mulai ngajar," ceritamu. Aku baru tahu kalau kamu mengajar. Aku semakin kagum dengan dirimu, ternyata dirimu seseorang yang berlatar belakang pendidikan keguruan. Aku kagum dengan profesi guru karena guru punya kemauan besar untuk memberikan perhatian bagi orang lain, bagi dunia pendidikan. Membuat muridnya menjadi semakin berwawasan, memiliki pola pikir cerdas, guna mempersiapkan kehidupan nyata after school merupakan pekerjaan hebat. "Wah, ngajar dimana? Sampai kapan ngajarnya?" tanyaku. "Mungkin sampai Maret nanti, Bang," jawabmu. "Wah enaknya, hebat nih Pak Guru, kamu ambil jurusan apa memang?" tanyaku. "Pendidikan Pasar, jadi aku ngajar beberapa mata kuliah termasuk prototype, abang tau prototype kan?" ujarmu. "Iya tau, prototype yang kayak miniatur itu kan?" jawabku singkat. "Ih, iya, kirain abang nggak tau prototype apa, hehe," responmu. Aku berharap kita akan semakin sering bertemu, setidaknya melalui pertemuan seperti ini. Kalau kamu bosan bertemu di rumah, kita bisa jalan-jalan seperti ini. Sepertinya kamu juga tipe anak yang suka melakukan perjalanan. Seandaianya iya, berarti kita sama-sama memiliki hobi. Aku punya beberapa rencana ke depan yang semoga kalau dipermudah, membantu kita banyak untuk mendukung keinginan kita untuk jalan-jalan bersama. Pertemuan seperti ini penting bagiku. Pertemuan yang sederhana, tapi aku dan kamu ada di sana. Kita sama-sama meletakan telepon genggam, dan terlibat dalam percakapan apapun itu. Di sini, aku juga mengetahui kamu ternyata cukup bijak ketika berinteraksi dengan seseorang seperti diriku. Aku sangat menghargai orang yang bisa menghargai orang lain terutama dari beberapa hal sepele seperti ini. Model komunikasi seperti ini juga semakin membuat kita sama-sama makin terbuka. Itu tandanya sudah mulai ada rasa percaya di antara kita. Terima kasih Ya Allah. "Aku juga sibuk nih. Aku kan kerja di sebuah lembaga," ungkapku. "Oh iya? Wah hebat dong, ini kerjanya yang itu kan... (menyebutkan beberapa hal)," responmu. "Iya betul, masak Pak Guru nggak tahu, hehe," ujarku. Kamu tersenyum. Kita bercerita banyak hal. Termasuk soal kesehatan dan visi misi menjaga kesehatan. "Iya kita harus sama-sama menjaga diri dari virus ya, sekarang kan mulai ada Covid tuh di Cina, nggak tahu sampai sekarang sudah masuk ke Indonesia atau belum," ujarku memulai. Saat itu memang Covid sudah mulai menyebar di Cina dan beberapa negara Asia, namun belum termasuk Indonesia yang menyatakan adanya kasus. "Iya Bang, kita harus jaga kesehatan," responmu. "Virus juga nggak hanya Covid, tapi juga virus-virus lain seperti HIV-AIDS, dsb.," lanjutmu. "Betul. Kita harus menjaga kesehatan dari bahaya virus-virus itu. Bahkan, virus HIV yang menyebabkan pandemi AIDS saja belum bisa diselesaikan karena belum dapat ditemukan vaksinnya. Nggak hanya virus itu sih sebetulnya, tapi penyakit menular lainnya yang disebabkan bakteri atau virus lain misalnya penyakit sipilis, HPV, dsb.," tambahku. "Betul Bang, mereka itu makhluk kecil tapi bisa punya dampak besar ya terhadap kehidupan mansuai," tanyamu. "Iya, karena mereka itu punya kekebalan, bahkan HIV-AIDS susah ditemukan vaksinnya. Dulu aku pernah belajar Biologi saat SMA, jadi lumayan tahu lah soal cara kerja virus. Mereka itu juga bisa bertahan di beberapa kondisi ekstrim, makanya mereka bisa bertahan sehebat itu di dalam tubuh manusia. Pemberian vaksin meskipun membantu banyak, tapi pencegahan merupakan aspek penting yang harus dilakukan," jelasku. "Abang IPA, aku dulu IPS, hehe," jelasmu. "Tak masalah IPA atau IPS, yang penting selepasnya lanjut kuliah, memperkaya ilmu, terus kerja. Nantilah pasti kamu juga akan sampai ke sana," lanjutku. Aku sangat suka visi dan misi kesehatanmu. Aku saat ini mungkin menjadi orang yang paling beruntung karena telah menemukan lagi diri yang selama ini aku cari-cari. Aku hanya perlu meyakinkan diri dan karaktermu lebih banyak. Selepas makan, kamu menemani aku mencari hadiah untuk adikku. Memang sih, belum ketemu. Tapi adanya waktu kamu buat aku sudah lebih dari cukup membuatku tetap tersenyum. Menjelang malam, kita kembali ke rumah. Kita kembali mengobrol. Di depan televisi, duduk di sofa, aku kemudian memberanikan diri untuk memelukmu erat pundakmu sembari kita duduk bersebelahan. "Aku Matt," ujarku. Sembari mengajak kamu bersalaman kembali. Kamu terkekeh. "Aku Dave," ujarmu, membalas ajakan salamanku. "Makasih banyak ya untuk hari ini," ujarku. Menatap matamu, mengecup bibirmu sayang. Sekali, tapi aku begitu menikmatinya karena aku merasa diriku memang makin sayang ke kamu. Sebelum kamu pamit, aku kembali memelukmu erat-erat. Mungkin sampai-sampai kamu agak tersedak ya haha. "Ngapain sih Bang, kok meluknya begitu, kayak kita nggak akan ketemu lama gitu," tanyamu. "Nggak apa-apa, aku memang suka meluk kamu," jawabku. Aku makin suka memeluk kamu erat karena aku ingin menikmati masa-masa aku bersamamu. Aku tidak tahu kapan aku akan terus bersamamu seperti ini. Aku hanya ingin tidak ketinggalan momen bersamamu. Itu saja. "Aku juga mau kiss ya, di sini," ujarku untuk menunjukkan rasa sayang, sambil menempelkan jari telunjukku ke bibirmu. Lalu tanpa banyak aksi dan jawabanmu, aku torehkan kecupan itu. Kupeluk erat dirimu kembali. Sejak itu, ketika aku hendak mengajakmu bersalaman, kamu salam menempelkan tangan aku ke pipimu, seperti menunjukkan salam sayang. Aku sebenarnya tersipu malu tapi aku sembunyikan. Sekali lagi, terima kasih banyak buat kamu. Selamat Datang di Bogor Kota yang baru saja kukunjungi bagus, tenang dan damai. Dua minggu aku sudah menghabiskan waktu di sana. Selama itu pula aku selalu menghubungi kamu, menjaga komunikasi kita tetap lancar. Aku ingin segera pulang ke Jakarta. Tidak sabar karena sebentar lagi setelah dari kota ini, aku langsung beranjak ke Bogor melakukan kunjungan berikutnya. Aku tidak sabar ke Bogor karena aku tahu kalau kamu berasal dan dekat dengan kota Bogor. Aku ingin kamu bisa lebih banyak meluangkan waktu di sana bersamaku. Biarkan saja aku yang menjemput bola lebih banyak. "Hotel yang bagus di Bogor apa, hotel terbaik deh, kalau hotel jkl bagus nggak?" tanyaku lewat Whatsapp. "Bagus Bang itu hotelnya," jawabmu. "Ada yang lebih bagus lagi? Sepertinya ada sih, tapi ini lokasinya agak masuk dan jauh dari lokasi yang perlu dikunjungi," ucapku. "Ya sudah, di hotel ini ya, tapi kamu nanti main ya," tanyaku. "Iya Bang," jawabmu. Di hari yang ditunggu-tunggu, aku naik kereta commuter ke Bogor. Tak lupa aku sempatkan untuk share live location dengan kamu, supaya kamu tahu aku dimana dan sudah sampai di hotel di Bogor. Kamu pasti lagi sibuk mengajar. Aku paham. Semoga kamu masih sempat main ke sini karena saat ini aku berada di lokasi yang dekat dengan daerah asal kamu, sehingga bisa lebih banyak menghabiskan lots of togetherness berdua. Minggu pertama kamu datang. Minggu kedua kamu datang. Aku benar-benar senang dan bahagia. Hati aku benar-benar seperti dibumbungkan ke atas tinggi-tinggi, dan tidak pernah dibiarkan jatuh begitu saja. Aku benar-benar berharap kita memang bisa jodoh. Aku sudah berjanji akan bilang sesuatu ke kamu secara langsung, terkait rasa sayang ke kamu di hati ini. Terima kasih Allah telah mempermudah jalan ini. Minggu pertama kamu datang. Ini adalah momen pertama aku pada akhirnya bisa menerimamu untuk menginap. Aku sudah lama memimpikan untuk bisa tinggal bersama denganmu, setidaknya bisa bersamamu sampai terlelap dan bangun keesokan harinya melihat muka kamu lagi di sebelahku. Walaupun cuma satu pergantian malam saja. "Bang, aku sudah di depan ya, di sini banyak orang," ucapmu sesampainya di hotel. "Tunggu sebentar, aku jemput ya ke sana," jawabku. Selang beberapa waktu, aku sudah menjemputmu. Aku ingat betul kamu memakai baju kaos putih, mengenakan tas biru, sepertinya isinya baju ganti. Tak lupa kamu juga mengenakan jaket coklat yang biasanya kamu pakai. Tapi satu hal, lucu saja lihat kamu pakai tas biru itu karena kamu sedang memposisikan dirimu sebagai anak milenial yang pas di umurmu. Aku cuma tersenyum kecil sedikit terkekeh. Kamu mengikutiku dari belakang. Sesampainya di kamar, setelah berjalan cukup jauh karena memang hotelnya lumayan luas, aku peluk kamu lagi. "Selamat datang," sapaku sambil tersenyum. Kuberanikan menatap mata kamu. Kemudian kamu duduk di sebelah aku di sofa hijau panjang itu. Selanjutnya, aku berganti baju, kamu juga berganti baju. "TV nya kecil banget, Bang," ujarmu sambil berpindah duduk di atas kasur. Haha aku cuma tertawa, mengiyakan memang TV nya kecil. Aku lupa itu TV merek apa, hanya saja memang ukurannya mini seperti TV tahun 2000-an dan berbentuk kubus. Untungnya TV itu tidak mengenakan antena pemancar panjang berbentuk V ke atas. Haha. "Namanya juga hotel lama, tapi hotelnya bagus kan, adem suasananya," ujarku. "Iya," jawabmu. "Di sini juga ada mistisnya, aku bisa merasakan," ceritaku. Kamu mulai konsen ketika mendengar hal-hal mistis. "Kemarin waktu aku sendirian sih sempet seperti ada yang datang menghampiri," ceritaku. "Wah, abang nggak serem?" tanyamu. "Serem sih, tapi sudah biasa, mungkin dia mau menyapa tamu baru," ucapku. Aku suka saja memperhatikan kamu yang seperti begidik ketakutan mendengar cerita seram. Kalau kamu ketakutan, aku siap untuk menenangkanmu, mendekapmu, dan menjagamu. Aku memang punya bakat untuk melihat atau merasakan dunia selain kita. Hanya saja, bakat itu sudah aku tutup perlahan karena aku merasa tidak mau terganggu, lagipula dunia ini dan dunia itu berbeda. "Aku terakhir melihat makhluk dari dunia lain di usiaku 22. Ya sekitaran usiamu. Ada sosok makhluk halus menyerupai pocong dan kuntilanak di cermin kamarku di rumah sana. Esoknya, sosok tersebut tertangkap kamera telepon genggam. Percaya nggak percaya sih kalau kamunya. Tapi kalau kamu percaya Allah, kamu juga harus percaya ada makhluk selain kita," ceritaku. "Ihh Bang, kenapa cerita serem deh," tanggapmu. Kamu lalu pindah haluan menjadi duduk di tengah dekat televisi. Aku terbahak. Lalu memelukmu dari belakangmu. Kuciumi lehermu dari belakang. "Haha, iyaa, nggak akan kenapa-napa kok. Selama kita percaya Allah yang akan melindungi kita, insya Allah kita akan aman," ujarku di belakangmu. Di TV, setelah beberapa kali setel ganti channel, akhirnya kita menemukan film yang bisa ditonton berdua. Aquaman. Kita lalu menikmati film tersebut sampai habis. Dari film itu aku baru tahu kamu ternyata juga suka nyanyi. Waktu film selesai, dan terdapat soundtrack Skylar Grey yang berjudul "Everything I Need", kamu ikut bernyanyi. "Cause baby, everything you are Is everything I need You're everything to me Baby, every single part Is who you're meant to be 'Cause you were meant for me.." Lagu itu indah, seandainya kita bisa merasakan hal yang sama ya bersama-sama. "I know there's pain in your heart And you're covered in scars Wish you could see what I do.. You can say I'm wrong You can turn your back against me But I am here to stay" Aku janji akan bersabar, untuk bisa bersamamu. Aku tahu, mungkin kamu sedang memiliki luka dari masa lalumu yang membatasi dirimu untuk jatuh hati lagi. Aku sudah pernah bilang ke kamu, kita ke sini untuk senang-senang ya, menikmati saja apapun itu kebersamaan. Semoga aku benar-benar bisa menepati janji itu ke kamu ya waktu di Bogor. Aku ingin di sini bersamamu, bersenang-senang bersamamu. Aku tidak akan pernah memaksakan sebuah rasa yang mungkin kamu belum siap. Tapi kamu harus tahu kalau aku memang sudah siap, dan aku ingin benar-benar membuatmu menikmati rasa ini sampai kamu benar-benar merasakan cinta yang sama dengan diriku. Aku sangat suka mata kamu. Berawal dari suka, mungkin rasa ini menjadi sayang yang cukup teramat dalam. Aku bahagia bisa membuatmu bahagia, merasakan rasa sayang yang aku beri. Aku tidak bisa berhenti menatap matamu ketika kita berpelukan dan bermesraan bersama-sama saat itu. Aku ingin aku merasakan dan yakin bahwa kamu benar-benar nyaman, benar-benar bahagia, dan menikmati rasa sayang yang aku hadirkan ini. Aku benar-benar tulus sayang kepadamu. Aku dekap kamu erat-erat dengan lembut, merasakan kamu seutuhnya. Mendengar suara bahagiamu, melihat tatapan matamu yang begitu dekat, teduh dan butuh. Menciumi aroma seluruh tubuhmu, membelai halus helai rambutmu, mengecup keningmu penuh rasa sayang. Menyatu dalam kebahagiaan, membuat hati dan jantung ini sama-sama bergetar kencang. Aku yakin, rasa sayang ini rasa yang teramat tulus dihadirkan Allah dariku untukmu. Semoga hati kamu bisa mencair, merasakan rasa sayang ini, dan kita semakin didekatkan oleh-Nya. Aku masih ingat, di malam menjelang tanggal 29 bulan Februari itu, aku mengungkapkan isi hatiku kepadamu. Sebelumnya saat masih di rumah, aku membuat sebuah surat kecil. Isinya, aku ingin layaknya menjadi sebuah lilin yang menerangi kehidupanmu, membantumu keluar dari rasa masa lalu yang berkepanjangan, menggantikannya dengan kebahagiaan baru yang lebih indah. Aku ingin jadi lilin, juga, karena aku betah menatapmu lama-lama. Hatiku benar-benar berdebar-debar ketika mata indahmu itu menatap balik mata ini. Aku rela jadi lilin di tengah kegelapan untukmu, agar kamu bisa terus menatapku, menjadikan aku sumber cahaya yang benar-benar hangat dan menerangi. Aku siap dengan segala konsekuensi. Aku memberikan surat itu, mengungkapkan semua rasa ini dan arah hubungan denganmu yang aku ingin. Namun, mungkin kamu seperti belum siap, atau menganggap rasa sayang ini hanya main-main. Aku tahu, mungkin bagimu masih terlalu cepat untuk menghapus luka-luka itu dan menggantikannya dengan diriku. Aku tidak mempersalahkan apapun. Aku sudah berjanji akan bersabar untuk membangun rasa sayang ini di kamu. Aku akan terus mencoba selama kamu belum ada yang punya atau kamu belum membina hubungan dengan yang lain. Bantu aku ya, semoga kita benar-benar bisa bersama-sama. Aku tahu kamu suka nyemil. Makanya aku sampaikan ucapan itu dengan hadiah smarties coklat sehat. Aku sebenarnya ingin membawakan kamu bunga saat itu, tapi aku takut bunga itu keburu layu karena mungkin saja kamu tidak datang malam itu. Coklat smarties sebenarnya juga baik, mengenyangkan cukup, dan membantu meningkatkan hormon dopamin ke otak, membuat kamu makin rileks dan bahagia. Aku juga tak mau lupa pada diri ini kalau di Bogor aku ingin kita senang-senang bersama. Sebelum tidur, kita juga sempat beberapa kali bercerita singkat. Termasuk aku yang kikuk ketika aku agak lupa soal kamu berasal dari kampus mana, hehe. "Err.. bukannya Universitas Pamulang ya?" jawabku. "Salah, kan kemarin sudah pernah dibilangin, lupa nih," sergahmu. "Seingetku Universitas Pamulang deh, eh apa kalau salah, UIN yaaa?" tanyaku balik. "Salah, ya sudah nggak apa-apa, nanti kalau sudah inget, bilang aja ya," ucapmu. Kita juga bercerita tentang latar belakang asal asli kita. "Aku, tebak, dari mana?" tanyaku. "Jawa kan, Abang sudah pernah cerita kan?" "Masih inget ya kamu, hehe, tapi aku half blood, aku Jawa dan Padang. Ayahku Jawa asli Jogja, Mamaku Padang," ceritaku. Kamu tersenyum mendengarnya. "Kalau kamu?" tanyaku. "Aku ada Jawanya juga, tapi dari Ibu. Ibu Jawa dan Sunda. Kalau Bapak Sunda asli," kisahmu. "Wah, kita sama-sama half blood ya, tapi banyakan aku half blood-nya haha," candaku. Keesokan pagi pun datang. Kamu pamit karena akan menghadiri pernikahan saudara di Cirebon. Sebetulnya aku sedih karena sudah harus berpisah lagi. Aku ingin kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama di sini. Apalagi hari ini sudah memasuki akhir pekan, kita bisa menyewa mobil untuk menghabiskan waktu berkeliling Kota Bogor. Atau, nanti kamu kalau weekdays tidak ada kesibukan mengajar, bisa main kembali ke hotel ini. Selagi aku bekerja, mungkin kamu bisa menghabiskan waktu dengan berkeliling hotel, menikmati fasilitas hotel, atau menyelesaikan laporan perkuliahanmu. Di akhir pekan pertama itu kita berpisah. Lagi-lagi aku nggak pernah mau lupa untuk memelukmu erat sebelum kamu pergi, mengecup bibir kamu dan kening kamu dengan penuh rasa kasih. Aku tersadar aku sudah membuka diri cukup jauh untukmu. Aku sayang kamu dan aku ingin benar-benar menikmati momen ini, lebih, lebih lama lagi. *** Hujan-hujanan Bersama Kamu Hari-hari aku di Bogor aku selesaikan dengan baik-baik. Pekerjaan aku selesaikan lebih cepat, untuk menyambut kedatanganmu berikutnya. Berharap kamu datang kembali di minggu berikutnya. Pekerjaanku memang banyak, tapi aku enggan pekerjaan yang menggurita itu mengganggu waktu kita bersama yang sebentar lagi datang. Aku juga menyempatkan olahraga lari pagi setiap dua kali sehari, dari hotel ke Kebun Raya Bogor yang segar dan teramat hijau itu. Hidup perlu dipersiapkan baik-baik, dan banyak-banyak disyukuri, bukan? Aku meminta maaf ya, mungkin agak setengah memaksa untuk mendatangkan kamu kedua kalinya di minggu ke dua ini. Minggu terakhir di Bogor. Sekaligus aku mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, di tengah hujan rintik, kamu tanpa menggunakan jas hujan, hanya menggunakan jaket cokelatmu itu, akhirnya tetap datang menghampiriku di hotel. Untung saja, saat itu hujan, jadi aku tidak dapat menampakkan tetesan air mataku yang menetes perlahan karena mungkin terlalu egois. Sebagai gantinya, aku yang berangkat mengendarai motormu dari hotel ke tempat makan Rusa Kehujanan. Lokasinya tak jauh dari hotel. Meski di tengah hujan gerimis ini, aku masih ingin bisa mengajakmu makan di tempat yang bisa kita nikmati bersama-sama. Aku mengendarai motor ke tempat makan itu dengan cukup berhati-hati mengingat arah hujan yang belum juga menampakkan reda namun masih merintik pelan. Aku sebetulnya sangat merindukan hujan. Aku rindu akan bau harum hujan apabila dirinya menabrakkan diri menyentuh muka bumi. Hujan seperti ini menurutku indah. Takarannya pas, dan kita menikmatinya bersama di pinggiran kota Bogor yang masih dipenuhi hijaunya hutan buatan kawasan perumahan elit. Di tengah rintikan ini, kamu menemaniku untuk mengucapkan syukur pada Tuhan akan nikmat hujan yang didatangkannya pada dunia. Sesampainya di restoran, kita segera merapikan pakaian dan memesan makanan. Kita lalu memilih meja dan duduk di bangku tersebut berhadap-hadapan. Aku sebetulnya canggung karena tempat ini sebetulnya cukup menarik dan tepat disinggahi oleh pasangan. Aku cukup tersipu mengingat kamu ada di seberang sana, memilih mengawali akhir pekan untuk bersama diri ini. Aku berharap, kita bisa sering-sering ke tempat seperti ini di banyak kota di Indonesia dan luar negeri nantinya. Aku sepertinya makin banyak menetapkan impian-impian baru bersamamu sejak itu. Kita sempat foto bersama ya untuk pertama kali. Mungkin hasil fotonya kurang bagus karena tampang kita kisut kehujanan, tapi aku tetap saja suka karena kebersamaannya. Foto ini juga satu-satunya menggambarkan momen kebersamaan bersamamu sejauh ini yang aku punya. Selepas makan, aku minta kamu antarkan ke hotel. Bukan apa-apa, selain karena sudah larut, semuanya karena aku ingin kamu menghabiskan pergantian malam ini bersamaku. Mungkin nih, ke depan kita belum tentu bisa menginap bersama-sama seperti ini. Aku hanya mengoptimalkan potensi manfaat baik yang belum tentu kita dapat di masa depan. Banyak pengalaman sih kenapa aku bisa berpikir begitu. Misalnya dulu pernah pacarku sebelumnya menyemangati aku, pasti akan ke suatu tempat yang direncanakan dikunjungi bersama lagi bareng-bareng di masa depan tapi gagal, cuma karena dia terlambat bangun pagi. Tapi nyatanya, sampai sekarang dan seterusnya, tidak akan pernah terealisasi. Sama seperti itu, belum tentu kita menginap di hotel ini lagi atau hotel lain. Meski, aku masih sangat berharap kita bisa bersama-sama lagi menginap di hotel-hotel baru di beberapa daerah dan luar negeri. Tidak harus di hotel sih, pakai airbnb menginap di apartemen atau rent house juga boleh. Malam itu, selesai makan, kita betul-betul kenyang. Terutama kamu mungkin, karena memesan sejenis karbo Fettuccine gitu. Aku melahap salad saja sudah begitu lumayan full. Malam itu kita cuma bisa bercerita singkat dan lanjut melelapkan diri. Aku hanya teringat satu hal malam itu. Sebelum tidur, kamu bercerita bahwa kamu ulang tahun tanggal 29 Maret. Terima kasih telah menceritakannya. Aku akan ingat tanggal kamu itu. Aku juga berniat merencanakan sesuatu yang baik untuk hari ulang tahunmu. Selepasnya, seperti biasa kita terlelap, dan kamu tidak lupa mengorok. Pertama kali mendengarnya sih sebetulnya minggu lalu saat kita pertama kali rebahan bersama. Aku hanya bisa terkekeh mendengarnya. Aku sudah menebak pasti kamu punya bakat ini. Aku tahu karena biasanya orang yang punya suara agak bass dan agak berat biasanya mengorok. Namun, perlu kamu ketahui terkait perihal mengorok ini, aku merasa hal tersebut wajar sehingga aku tidak akan pernah mau mengkomplain kamu. Aku sadar, aku juga tidak akan pernah bisa mengubah fisik yang merupakan pemberian Tuhan. Bersyukurlah karena aku juga punya ayah yang memiliki bakat mengorok. Jadinya, aku sudah terbiasa dengan suara mendengkur khas itu. Aku hanya kesulitan tidur di awal, tapi setelahnya aku tetap dapat terlelap seperti biasa. Sembari selalu ingin memeluk kamu saat kita tertidur. Dua malam di Bogor adalah malam yang terindah buatku ketika bersamamu di pergantian bulan Februari ke Maret. Banyak hal. Tapi intinya, aku dan kamu mulai terbiasa dengan kebersamaan kita. Malam pertama ketika aku akhirnya bisa tidur sambil memelukmu. Bisa melihat kamu tertidur lebih dulu dari samping sebelum aku menyusulmu ke alam mimpi. Bahkan, mungkin ketika kamu sudah bermimpi indah, aku bahagia karena bisa mendaratkan kecup sayangku ke kening kamu sembari merapikan selimut kamu supaya kamu nyaman dan lelap tidurnya. Keesokan harinya, aku semakin amat bersyukur karena kita masih bersama-sama. Kita bisa menikmati bangun pagi bersama, dan bergairah bersama. Dari awalnya kita ingin berendam bersama di kolam renang jacuzzi indoor a la jadul, sampai-sampai akhirnya kita memutuskan untuk menjadikan suara air keran yang terus mengalir sebagai saksi atas luapan salah satu ekspresi cinta kita lagi. Kamu menikmati setiap ekspresi cintaku padamu. Kamu memeluk leherku lembut dan membalas rasa sayang ketika diriku berada di dirimu. Kamu terlihat semakin percaya pada diriku. Tatapan matamu pada mata ini benar-benar menyatu dalam ritme ini, membuat kita semakin lekat dan dekat. Segala tingkah laku kita pagi itu serasa semakin memperkuat bahwa sebetulnya kita ini memang sepasang kekasih, atau setidaknya memiliki peluang besar untuk menjadi pasangan yang memiliki masa depan kisah kasih cerah. Aku sangat berbahagia karena rasa sayang ini sepertinya sudah sampai tahap memiliki intimacy dan passion, baik di aku maupun di kamu. Hanya kurang satu hal terpenting yaitu komitmen, yang aku yakin akan kita bisa merealisasikannya bersama suatu saat nanti dalam waktu dekat. Semoga kita benar-benar bisa menyalakan dan merasakan rasa sayang yang nyata di hati kita berdua. Hari itu juga aku checkout lebih cepat, karena memang aku berlama-lama di Bogor hanya untuk bersamamu saja. Seluruh urusanku di Bogor telah selesai. Aku sebenarnya masih ingin berlama-lama di sana bersamamu, telah menghubungi receptionist untuk late checkout jam 2. Tapi tidak apalah, karena kamu mungkin ada kesibukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, ayuk kita pulang saja bersama-sama hehe. Terima kasih ya sudah diantar sampai di daerah yang lumayan dekat untuk moda transportasi mobil online menjemput. Sebelum pergi meninggalkan penginapan, tak lupa aku memeluk erat dirimu, mencium keningmu, dan bersalaman sayang denganmu. Aku kemudian menggenggam kedua tanganmu, masing-masing, kiri dan kanan. Sembari menatapmu aku mengucapkan terima kasih karena aku sudah diberikan kesempatan untuk merasakan rasa indah ini. Oh iya, sebelum kita berpisah di Bogor, kita saling bertukar nama lengkap. Aku akhirnya mengetahui nama lengkap kamu. Sebelumnya aku hanya tahu nama kamu Dave. Sekali lagi terima kasih ya sudah bisa saling meningkatkan kepercayaan. Aku sangat-sangat menghargainya. Mengintip Twitter Kamu Aku minta maaf. Aku cukup ingin tahu akan orang yang aku sayang. Begitu tahu nama lengkapmu, aku mencari sebanyak mungkin informasi. Dari internet aku menemukan akun twittermu. Seharusnya, aku tidak usah mencampuri apapun terkait dirimu. Aku sebetulnya sangat tidak suka mencampuri kehidupan orang. Siapapun itu, termasuk orang yang aku sayang. Sebagai orang yang memiliki sebagian darah Minang, aku sangat mengapresiasi dan menjunjung tinggi kebebasan hidup setiap orang. Aku tidak akan mencampuri pilihan orang, mau jadi kaki semut kecil dibanding ekor gajah besar, atau jadi ayam yang tidak bisa terbang dibanding elang raksasa yang mengitari langit. Tapi, hati ini mengatakan bahwa aku mungkin hanya perlu cukup tahu tentang diri orang yang aku sudah siapkan tempatnya di hati ini. Awalnya aku agak kecewa, karena ternyata kamu lumayan tenar di twitter. Terlebih ketika menemui beberapa media foto kamu yang agak rentan dibagikan di media sosial bahkan di laman mesin pencari. Saat itu aku ingin sekali menegur langsung ke kamu. Supaya kamu jaga diri baik-baik, berhati-hati membagikan gambar di media sosial, dengan banyak orang yang secara jelas-jelas dapat mengamatimu langsung. Terkait hal ini, aku pun sudah punya cukup banyak pengalaman mengenai foto diri yang terbagikan. Tapi langkahku terhenti. Itu media sosial kamu, tidak ada hak aku untuk mencampuri. Lagi pula, aku takut kamu tersinggung dan mengira aku mengatur-ngatur kehidupan kamu di awal hubungan kita yang semakin dekat. Aku pun masih teringat kisahku dulu... *** Berawal di Media Sosial Aku bertumbuh di waktu yang tepat bagi media sosial untuk berkembang. Masa remaja aku habiskan di tengah-tengah periode booming media sosial rintisan. Sebut saja, Friendster, Myspace, beragam rintisan dari Facebook yang sekarang jadi mainstream. Media chat pun juga ada, sebelum Whatsapp dan Telegram merajai ada M1RC dan Yahoo Messenger. Kalau sekarang kebanyakan orang menggunakan Bigo, Instagram Live, dulu juga ada yang namanya Camfrog yang masih menggunakan web based. Beruntungnya, karena rintisan, piranti software yang dipakai belum canggih-canggih amat untuk merekam dan mengenal jejak digital. Sebagai seorang remaja, semua media sosial rintisan itu pernah aku gunakan. Apalagi saat sadar diriku berbeda, media sosial rintisan ini cukup membantu menemukan orang yang memiliki kesamaan. Media sosial rintisan ini juga sangat mendukung pertemuan dengan seseorang spesial yang pernah ada di hatiku lama, kurang lebih sembilan tahun lamanya sebelum kita benar-benar berpisah di dunia fana ini karena dirinya berpulang ke Rahmatullah. Dulu, aku juga lumayan tenar seperti kamu, salah satunya di media Camfrog. Tapi aku nggak mau aneh-aneh, hanya saja seringkali menampilkan wajah asli. Kelebihan dari media ini yang aku suka, bisa mempertemukan diriku dengan banyak orang dari seluruh dunia. Satu tujuanku saat itu ialah hanya ingin menemukan sebanyak mungkin teman, dan jika bisa orang yang mau menetap di hati ini. Teman-teman aku banyak, ada yang dari Meksiko, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Australia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Thailand, Arab Saudi, dan Indonesia. Dari media Camfrog itu pun, aku bisa jalan-jalan ke beberapa tempat di Indonesia, seperti Makassar, Surabaya, Bali, hanya untuk sekedar bertemu dan kumpul-kumpul membuat relasi pertemanan baik. Beberapa orang yang aku temui itu sekarang sudah ada yang berkeluarga, bekerja di perusahaan penerbangan, jadi desainer, dan banyak lainnya. Di jaman itu, rintisan aplikasi perkencanan khusus untuk dunia begini juga mulai ada. Namun, sebelum aku begitu familiar dengan aplikasi perkencanan khusus tadi, aku sudah bertemu dengan seseorang yang spesial tadi. Seseorang yang merupakan cinta kedua aku di rasa ini, tapi punya kisah sangat panjang yang sudah pasti punya salah satu tempat terbaik di hati ini. Kami bertemu dari Camfrog. Aku saat itu ada di Depok, dia ada di Serpong. Kami banyak chat dan video call ngobrol sana-sini, apapun untuk lebih saling kenal. Aku merasa punya ketertarikan, begitu juga dengan dirinya. Aku ingat, saat itu sekitar Desember 2011 kita mulai kenal, dan di awal tahun 2012 aku diajak seseorang untuk berlibur ke Thailand. "Wah enak banget, bisa ke Thailand," ujar seseorang spesial tadi, namanya Nathan. Aku kenal Nathan secara kebetulan. Waktu itu aku nggak sengaja melakukan klik id dirinya, nathanlee. Dia salah satu dari sekian yang sering melakukan view kalau aku sedang online video cam. Begitu di-klik, entah mengapa hati ini langsung klik juga. Aku tipikal agak susah langsung suka pada seseorang, meski orang itu mungkin saja memiliki fisik sesempurna apapun. Dia melambaikan tangan dan tersenyum ketika menyadari bahwa aku juga sedang melakukan viewke video cam-nya. Aku membalas senyum. Ada sesuatu yang membuatku tertarik. "Iya nih, ke Thailand, kebetulan aku sedang buntu nyelesain skripsi nih." ceritaku. "Beruntungnya, ada yang ngajakin ke Chiang Mai. Dia yang menawariku. Aku mau," lanjutku. "Chiang Mai?" tanya Nathan. "Iya, tau kan? Lebih bagus dari Bangkok katanya, katanya lho," jawabku. Aku pun belum pernah ke kota itu sebelumnya. Aku hanya sekadar tahu kota ini pernah masuk di RPUL sebagai kota beragam inisiatif atas kerjasama ekonomi negara-negara ASEAN. "Nggak tau. Tapi aku suka banget Thailand, pengen banget ke sana," ujarnya. *** Kalung Gading dari Chiang Mai Chiang Mai memang salah satu kota terbesar di Thailand yang pada awal tahun 2010-an sangat gencar dipromosikan Kementerian Pariwisata pemerintahnya. Tiket penerbangan ke sana lagi banyak diobral murah. Bahkan, untuk tiket Jakarta ke Bangkok dan Bangkok ke Chiang Mai bisa dibeli lebih murah sekaligus dalam satu paket promosi, daripada membelinya terpisah. "Nanti bawain oleh-oleh yaa.." pinta Nathan. Eh, sebentar-sebentar, waktu dia bilang minta membelikan oleh-oleh, aku hanya terpikir kan kita baru saja kenal, belum pernah bertemu. Tapi rasa-rasanya seperti sudah akrab begini. Dia dan aku juga sama-sama tidak ragu untuk mengakrabkan diri. Sambil terheran-heran dengan sikap diri ini, aku justru bisa mengiyakan. Dia senang. Aku pun terbang ke Thailand. Perjalanannya cukup jauh. Jakarta Bangkok ditempuh selama tiga jam. Saat itu Bandara Suvarnabhumi masih progres konstruksi, mendaratlah aku di Bandara Don Mueang. Transit di bandara sekitar dua jam, untuk melepas lelah sebentar dan beribadah. Aku sempat mampir di beberapa toko serba ada, banyak sekali kulihat pernak-pernik makanan sehat khas Thailand terutama hasil perkebunan kerajaan. Jajanan sehat yang jarang aku temui di Indonesia dan rasanya enak. Lepas landas, roda pesawat mengakhiri pijakannya dari runway Don Mueang menuju Chiang Mai. Perjalanan ditempuh satu setengah jam, kurang lebih seperti waktu terbang Jakarta ke Semarang. Mendarat di Chiang Mai, satu kesan, kota ini mirip sekali dengan Jogja atau Ubud. Kota ini kental dengan nuansa budaya, ketenangan, lebih sepi, dan mungkin sangat nyaman untuk disinggahi sampai berbulan-bulan. Perawakan orang-orang yang aku temui juga lebih ramah dan banyak perpaduan dengan orang-orang suku asli lokal. Chiang Mai terletak di utara Thailand. Rencananya, kami nanti akan berkeliling tidak hanya ke Chiang Mai, tapi juga sekitarannya termasuk di daerah bukit-bukit berkelok di perbatasan Thailand dengan Myanmar. Dalam rentetan wisata ini, kami akan mengunjungi beberapa kota termasuk kawasan Mae Hong Son, dan Pai. Tak lupa kami melewati track Mae Hong Son Loop, taman bunga matahari yang begitu luas, serta taman nasional yang sangat asri dan hijau. Terima kasih banyak aku ucapkan kepada seseorang yang telah mengajakku itu. Pengalaman berwisata ke Thailand dan ke banyak kota yang non-mainstream ini betul-betul membuka jalan dan rasa ingin tahuku akan indahnya dunia. Sejak itu, aku makin punya banyak impian untuk lebih banyak melakukan perjalan ke berbagai tempat baru. Kota dengan banyak budaya menyadarkan diri ini bahwa ternyata aku seorang penikmat budaya. Aku suka mempelajari budaya baru, manner orang, adat istiadat dan bagaimana mereka mengapresiasi alam dan sesama manusia, serta membangun banyak wisdom dan kebaikan untuk kesinambungan kekal manusia bersama alam. Salah satu lokasi yang juga banyak dikunjungi di runutan wisata ini selain alamnya yang begitu mempesona, yaitu pasar lokal. Tentu saja aku begitu senang. Mengunjungi pasar lokal di daerah sini begitu nikmat. Bersih sekali, dan banyak pernak-pernik lucu yang aku pun jarang menemuinya di Indonesia. Apalagi, pada saat itu mendekati momen-momen adat sehingga banyak lampion dan parade tarian yang disuguhkan secara arakan mengelilingi kota termasuk sudut jalanan pasar. Beragam keajaiban yang dimiliki Thailand ini tidak mengherankan menempatkan negara gajah putih itu sebagai salah satu tujuan pariwisata paling populer dunia sampai saat ini. Mataku tertuju pada sebuah kalung. Talinya terbuat dari benang coklat tebal. Ketika diraba, tali ini begitu lembut. Dari ujung pengait, kuraba sampai menuju buah kalung. Di sana, sesosok miniatur muka gajah beserta belalainya berbentuk gading kemudian aku letakkan lembut di atas telapak tangan. Bagus. Aku mantap membelinya untuk Nathan. Aku tersenyum kecil. Melihat kalung ini, hati ini bertanya, mengapa aku perhatian sama orang ini ya? Ketika cukup senggang di Thailand pun, aku masih menyempatkan diri melakukan video call dengan dia. "Ini lhoo.. Aku di Thailand, haha," ledekku. Padahal kita belum pernah bertemu sama sekali. "Janji ya, bawain oleh-oleh," ujarnya. Kalung ini ternyata menjadi salah satu penggerak utama pertemuan pertama aku dan dia. Mengendarai motor dari Depok ke Serpong. Waktu itu belum banyak penggunaan aplikasi Google Maps, jadinya aku menggunakan insting dan pengalaman sebelumnya menelusuri rute tersebut. Berawal dari Kober, Bundaran UI Kelapa Dua, Kampus UI rute selatan dekat PNJ, Kukusan, Tanah Baru, Meruyung, Pondok Cabe, KFC McD Pondok Cabe, Polsek Pamulang, Puspitek, Ciater, Teras Kota, BSD Junction, WTC Serpong, dan sampailah di tempatnya. Beberapa kali nyasar, tapi akhirnya aku hafal rute itu seiring semakin seringnya aku berkunjung ke tempatnya. Aku takjub mengenal Serpong. Daerah ini begitu luas dan sangat baru. Jalanannya begitu lebar dan sangat terencana pembangunannya. Sebagai salah satu orang yang pernah punya kegemaran akan tata kota, pernah juga diterima di Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Kota ITB semasa SPMB, bisa dibilang Serpong merupakan salah satu area multifungsi terbaik di Indonesia saat itu. Lokasi dia strategis. Aku ingat, dari tempatnya, aku dan dia bisa berkelana ke seluruh penjuru Serpong dengan mudah. Dulu masih belum ada Aeon, IKEA. Bahkan, Aeon dan perumahan mewah sekelilingnya masih berupa danau/situ dengan banyaknya pohon rindang. Dari sana biasanya kami menjelajahi banyak tempat publik seperti Summarecon Mall Serpong, Gading Serpong, Lippo Karawaci, Teras Kota, Alam Sutera, Kota Tangerang, bahkan ke Parung Bogor. Ketika kami bertemu, aku langsung jatuh hati. Kalung itu aku sematkan di lehernya. Benar saja, kalung itu cocok untuknya. Aku bukan jatuh hati pada perawakannya saja. Dia memang cakep, perpaduan tepat beberapa etnis, Sunda, Arab, dan Cina. Tapi, terdapat beberapa karakter misterius yang justru lebih banyak menggiringku untuk membuat tempat yang lebih luas di hati ini untuknya. Usianya lebih tua empat tahun dari aku. *** Restu Sang Kakek "Itu ada kakekku, dia di depan pintu, mukanya tersenyum ke kita," ujar Nathan suatu ketika. Seingatku, dia mengucapkan ini di pertemuan kami yang kedua. Setelah itu dirinya tersenyum ke aku. "Kakek?" aku agak bingung, karena aku hanya melihat pintu yang masih terbuka. Tidak ada seorang pun di sana. Tapi, aku memang merasakan sesuatu. "Iya, kakekku. Dia mengunjungiku, dan senang sepertinya sama kamu," ujarnya. Aku membalas senyum. Dia bercerita, dia memang diberikan kelebihan khusus. Itu anugerah. Dia sejak lahir sampai sekarang belum pernah melihat kakeknya. Tapi kakeknya ini sepertinya sudah hadir di hatinya, untuk menjaganya dengan kehendak Allah. Aku percaya dengan Allah, kekuasaan-Nya, termasuk hal-hal ghaib. Aku dulu juga punya kelebihan untuk melihat hal-hal yang mungkin oleh orang lain tidak terlihat. Aku percaya, setiap pertemuan tidak akan terjadi begitu saja. Setiap pertemuan pasti memiliki arti dan tujuan. Allah pasti akan mempertemukan kita yang benar-benar serius, hanya karena ingin mempermudah umat-Nya memperoleh jalan terbaik. Apalagi pertemuan ini diiringi oleh kehadiran Kakek Nathan. Meski begitu, tetap saja hubungan kami juga sebetulnya tidak mudah. Naik dan turun. Pasang dan surut. Tapi api keberasamaan tetap masih konsisten menyala di hati kami, membantu kami menapaki, dan memberikan solusi atas setiap kendala yang dihadapi. Aku hanya melihat, api ini susah dipadamkan di hati ini, begitu juga di dia. Ketika keluh menghampiri, kembali adalah satu-satunya jalan terbaik yang kita punya. Hal-hal misterius seperti ini, menjaga hati kami tetap bersama, melenyapkan seluruh permasalahan yang datang. Saat itu, aplikasi perkencanan khusus dunia begini pun semakin populer. Aku dan dia juga sama-sama menginstall di telepon genggam kami masing-masing. Kami juga saling tahu kami bahwasanya sama-sama menggunakan aplikasi perkencanan khusus tersebut. Namun, lambat laun seiring semakin dekat dan jauh hubungan ini, kami meninggalkan aplikasi tersebut. Begitu juga dengan Camfrog. Akan tetapi, kami masih menggunakan Camfrog lebih lama dibandingkan aplikasi kuning tadi. Menurut kami, Camfrog lebih interaktif dan ternyata banyak pertemanan kami yang memiliki circle sama di sana. Aku dan dia sebetulnya di kehidupan nyata memiliki circle pertemanan yang sangat berbeda dan tidak terkait sama sekali. Tidak ada satupun temanku yang kenal dengan dia, begitu pula sebaliknya. Hanya di Camfrog, sebagian besar teman dia juga temanku. Teman-teman tersebut bahkan saling mengetahui kalau kami bersama. Kami juga beberapa kali pernah bertemu dengan mereka. *** Bersahabat dengan Media Sosial Circle pertemanan di media sosial tersebut lambat laun juga membantuku tersadar untuk lebih berhati-hati perihal bagi membagi. "Dek, kamu lagi di dekat tempat kakak nih," ujar seorang teman, Ara. Dia di Tangerang, dekat bandara. "Kamu deket banget, ayok jalanlah kita," bilangnya lagi. BBM ku beberapa kali ke-ping. "Lagi sama si Nathan nih," jawabku. "Tapi kita lagi di tempatku di Depok," lanjutku. Beberapa saat kemudian, Ara nge-ping dengan beberapa foto yang diperolehnya dari aplikasi perkencanan warna kuning. Foto itu sepertinya diperoleh dari video cam-ku di Camfrog. Tidak hanya itu. Banyak kali kesempatan, dari awal kemunculan Friendster sampai beberapa tahun berikutnya masih sama. Fotoku seringkali dipakai dan disampaikan infonya ke aku. Awalnya aku terkejut dan bingung harus berbuat apa. Akhirnya aku memilih untuk diam, dan memilih untuk membatasi soal bagi membagi di media sosial. Tekanan dari aplikasi kuning tidak hanya berasal dari fotoku sendiri. Popularitas juga terkadang kalau tidak dikelola dengan baik, justru menambah tekanan. Seingatku, setidaknya ada dua orang berkesan yang berusaha menemuiku di dunia nyata hanya karena Camfrog. Satu dari Padang, satu dari Singapura. Mereka rela di saat bertandang ke Jakarta, mampir menghampiri tempatku. Keduanya juga sama-sama pengguna aplikasi kuning, aku tahu karena foto mereka ada di aplikasi kuning yang juga masih aku pakai saat itu. Aku menemui mereka, di saatnya masing-masing. Aku sadar, aku sudah menjalin kebersamaan dengan Nathan. Tapi ini hanya merespon upaya mereka saja untuk bertegur sapa. Mungkin saja, bisa berkembang menjadi relasi kerja ke depan. Awalnya aku mengira pertemuan dengan keduanya memang hanya untuk bertegur sapa. Aku menghargai upaya keras mereka untuk bertemu. Aku menemui sosok dari Padang di Mal, dan sosok dari Singapura di Kampus. Pertemuannya sih awalannya biasa saja, tapi lambat laun terkesan menjurus ke arah realisasi impulsif atas imajinasi ketertarikan seksual. Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja aku menolak secara halus. Tapi tidak mudah. Kesan keduanya sama-sama memaksa. Aku pergi. Pulang ke kos. "Aku main ke tempatmu ya.." BBM masuk, dari orang pertama. "Kamu tinggal di gang ini yaa?" BBM masuk lagi. Kok dia bisa tahu ya. Aku bingung. Aku diam, tidak menjawab apapun pesan yang masuk. "Maaf, aku nggak bisa ke arah sana," responku beberapa saat kemudian. "Ayolaah, jauh-jauh nih ke sini," jawabnya. "Udah dekat tempat kamu juga, keluarlah, samperin aku di depan pagar kos kamu nih," lanjutnya. Masih di BBM. Hening. Tahu dari mana sih, orang ini. Lebih baik diam dan tenang. Jam masih menunjukkan sekitar pukul 8 malam. Di saat bingung tersebut, aku memainkan telepon genggam kembali, dan iseng membuka aplikasi kuning. Kulihat persis di sebelah profilku, ada gambar dia. Sedekat itu jaraknya hanya beberapa feet. Aku langsung tutup aplikasi dan memilih tidur. Sekitar dua sampai tiga hari, setiap aku buka aplikasi tersebut, orang yang sama masih muncul di sebelah profilku. Selama beberapa hari itu pula, aku selalu keluar kosan menggunakan motor dengan wajah tertutup helm. Sampai dia tidak pernah muncul kembali. Kejadian kedua di lain waktu hampir sama. Bedanya, dia sempat cerita bahwa dirinya mampir sebentar ke Depok karena besok akan kembali ke Jakarta dan lusa pulang ke negara asalnya. Persamaannya, ketika membuka aplikasi perkencanan kuning, aku menemukan dirinya dekat sekali dengan lokasi kosku. Belajar dari yang pertama, aku sudah mulai tak acuh dan lebih memilih berhati-hati ke depannya kalau diajak melakukan pertemuan dengan orang lain. Selain itu, sejak itu aku mulai jarang menggunakan foto asli di aplikasi tersebut dan hanya memberikan foto asli ketika diminta. Fitur kedekatan lokasi (proximity) di aplikasi kuning sebetulnya bermanfaat hanya untuk memudahkan kita menjalin pertemanan dengan orang-orang senasib yang memiliki kedekatan lokasi. Tapi fitur ini juga sekaligus menjadi boomerang bagi sebagian orang yang mungkin tidak sedang ingin dekat dengan orang lain. Bahkan sampai beberapa hari setelah lusa, orang Singapura ini masih saja memiliki kedekatan lokasi sehingga aku memutuskan untuk uninstall saja aplikasi kuning itu sementara waktu. "Kenapa kamu masih di Depok? Bukannya sudah di Singapura sekarang?" tanyaku keesokan harinya melalui BBM. "Haha, iya masih di Depok," bilangnya. "Ya udah, ayok ketemu, tapi sekarang, aku mau bilang terima kasih saja sudah menyempatkan menemui dirimu, tidak lebih," kataku. "Tapi sebelumnya aku minta maaf, aku nggak mau gituan ya, tolong dimengerti. Aku juga sudah bersama orang yang aku sayang," lanjutku. Dia diam, dan kemudian mengucapkan maaf. "Aku kira kamu masih sendiri. Sebetulnya aku sudah di Singapura, tapi aku menggunakan fitur tertentu untuk menempatkan posisiku di aplikasi tepat dekat dengan lokasimu." terangnya. Dia sekaligus meminta maaf kembali sudah berbuat seperti itu. Aku maafkan. Terpenting buatku, aku sudah berhasil menyelesaikan suatu masalah dengan baik. Aku sebetulnya masih berteman baik dengan orang Singapura ini sampai beberapa saat kemudian dia dan BBM nya hilang. Darinya aku tahu beberapa fitur tipu muslihat lokasi di android dan kelemahan aplikasi kuning yang bisa diakali oleh fitur tersebut. Dari dua kejadian tersebut serta banyaknya foto diri yang terbagikan, aku belajar banyak hal supaya lebih menjaga hal-hal pribadi. Aku juga memilih untuk lebih sadar diri untuk membagikan kontak pribadi termasuk pin BBM. Jikalau masih ada informasi lain mengenai fotoku yang dipakai oleh orang lain di aplikasi apapun itu, ya sudah lah, aku ambil sebagai pembelajaran supaya tidak mengekspos hal-hal nggak penting di media sosial. Terlebih, aku sudah bersama Nathan. Aku berharap ketika aku bersama dengan seseorang, kehidupanku akan lebih mudah dan fokus ke arah yang lebih baik. *** Lebih Memilih Bersama Nathan Kebersamaan Nathan pula yang telah mencuatkan keinginanku untuk meninggalkan beberapa aplikasi begituan. Keinginan tersebut makin menguat ketika di 2013 aku mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Begitu pula dengan Nathan. Masih di perusahaan yang sama, dia diberikan kesempatan bekerja customer service di Mal, melayani langsung nasabah yang haus akan penjelasan dan informasi seputar telekomunikasi selular dari perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Mal tempatnya bekerja, ternyata tidak terlalu jauh dari lokasi kantorku saat itu. "Kita tinggal bareng yuk. Lumayan ongkosnya bisa lebih dihemat, berdua kita share. Nanti lambat laun kalau kita makin sukses, kita bisa sewa tempat yang lebih besaran lagi," ajakku. Awalnya mengajak dia susah. Aku tahu, tidak mudah, karena berbagi tempat tinggal adalah kehidupan yang sedemikian rumit. Keseharian di luar pekerjaan kantor akan dilalui bersama. Ranah privasi pastinya akan terbagi. "Kapan lagi, kita bisa belajar banyak hal, bisa semakin terbuka dan kalau niat kita baik, kita pasti akan tetap bersama-sama," pintaku. Jujur, aku juga sependapat dengan Nathan, seperti ada rasa risih dan agak penolakan. Share tempat tinggal dengan orang yang ada di hati ini merupakan keadaan dilematis. Pikiranku melayang, kalau tidak cocok pasti akan runyam dan pisah. Tapi, bukankah hal yang seru dan menguji kesetiaan masing-masing. Kapan lagi bisa hidup bersama seperti di hubungan normal pun. Toh, bagi pasangan normal pun nggak selalu mudah untuk bisa serumahtangga. Benar sih. Awal-awal menjalani kehidupan bersama satu tempat dengan Nathan tidak mudah. Banyak hal yang aku harus adaptasi, terlebih menghadapi dirinya yang ternyata cukup memiliki ego lumayan tinggi. Namun, entah mengapa, tinggal satu atap dengannya membuat pikiranku tidak meracau kemana-mana. Aku selalu teringat bahwa ada Nathan yang selalu menemani, jadi aku bisa bebas menjaga pikiran untuk fokus pada pekerjaan dan bukan pada hal-hal yang aneh. Apalagi aku semakin tahu kalau dia ini juga berupaya maksimal untuk mengadaptasi diri dengan beberapa permintaanku. "Eh, itu berantakan bajunya, diberesin ya." ujarku. "Eh itu, sampah jangan dilempar begitu, masukin yang benar," pintaku. "Kalau sudah dipakai barangnya, ditaruh tempatnya lagi yang bener, biar nanti kalau kita cari, nggak susah nemuinnya," jelasku. Banyak ya permintaanku ke dia. Tapi aku memang cukup teliti dan perhatian ke hal-hal yang lumayan detil. Aku juga suka akan kebersihan karena akan meningkatkan mood hari dan kenyamanan. Aku tahu, di dirinya mungkin harus cukup bersusah payah menyesuaikan. Tidak dapat dipungkiri, dari hal-hal kecil seperti ini, kita menjadi lebih sering bertengkar tapi setelahnya banyak hasil positif yang bisa diraih seperti hadirnya rekatan-rekatan pemahaman baru yang justru membuat kita semakin kuat bersama. Kebersamaan itu pula yang akhirnya memutuskan diriku untuk secara perlahan tidak menggunakan aplikasi perkencanan apapun termasuk Camfrog. "Kita sudahi saja ya pakai aplikasi beginian. Aku sudah nggak mau pakai Camfrog juga," ucapku ke dia suatu malam. Dia mengiyakan. Beruntungnya, pada saat itu aplikasi Path yang sangat privat dan mengedepankan circle pertemanan kehidupan riil juga muncul. Kepergianku dari aplikasi sebelumnya pun makin terbantu. Facebook pun lambat laun juga aku tinggalkan, hanya tersisa Twitter yang lebih sebagai referensi informasi yang tetap happening dan dapat diandalkan. *** Menanti Cuitan Baru Kamu Sejak bulan Maret, dari Twitter kamu itu, aku menjadi mengetahui beberapa permasalahan romansamu sebelumnya. Sekali lagi, aku mohon maaf atas keingintahuan ini ya. Beberapa hal, sebagian besar tersingkap sesuai dengan asumsiku. Rasa trauma, yang aku bisa trasir sejak tahun 2016, berulang dan berulang terjadi terutama sejak dirimu mulai menjelajahi dunia pelangi. Aku hanya takut dari permasalahan romansa ini, kamu jadi mati rasa. Selain itu, hati ini sebetulnya merasa bertambah insecure karena melihat tingkat popularitasmu di sana. Aku terkadang membayangkan apa yang terjadi di posisi tersebut dengan mengingat kembali apa yang terjadi pada diriku saat dulu juga populer di Camfrog. Banyak pesan pribadi masuk, mengajak pertemuan, itu baru salah satu contoh. Aku cuma cukup beruntung, saat itu belum begitu lama terjun dipermainkan dinamika media sosial, telah dipertemukan dengan Nathan. Seseorang yang sangat menjauhkan diri ini dari rasa hambar akan kejemuan dinamika dunia pelangi di media sosial. Aku berharap, kamu belum merasakan kehampaan yang aku maksud. Semoga diri ini datang kepadamu belum dalam keadaan serba terlambat. Semoga, diri ini masih dapat memperkuat keyakinan dirimu bahwa masih ada rasa sayang yang nyata di dunia pelangi. Hanya saja, beberapa petunjuk yang diperlihatkan pada diri yang peka ini sepertinya mengarahkanku akan bayangan sosokmu yang mendekati rasa hampa itu. Aku hanya bisa merasakannya dan menemukan beberapa kecocokan. Kesan pertemuan dengan dirimu di awal yang terlihat menjaga jarak agar, komunikasi yang terbatasi, keadaanmu yang tidak ingin dekat dengan siapapun, serta beberapa bentuk kebelumpercayaan lain bahwa aku siap dan bisa serius dengan kamu. Padahal, aku sebenarnya bisa merasakan jauh di dalam dirimu, seperti merindukan kasih sayang tulus yang bisa terbangun bersama-sama dengan manis. Sekali lagi, aku tidak akan pernah mau mencampuri urusan dirimu, dan duniamu. Aku hanya ingin mengetahui saja apa rasa kamu secara umum yang paling terkini tentang dunia pelangi dari cuitanmu. Beberapa di antaranya membantuku untuk menentukan langkah selanjutnya tentang apa yang harus kulakukan terhadapmu. Termasuk terutamanya, ketika aku memutuskan untuk segera mencari jawaban komitmen dari kamu nantinya. Aku berharap kepada Allah, semoga kalau kamu benar-benar jodohku, kita akan senantiasa sayang satu sama lain dengan baik dan tulus. Semoga aku memang belum terlambat, dan bisa menjadi cuitan baru kamu tentang indahnya dunia pelangi. Mulai Galau Mikirin Dirimu.. Februari berakhir indah. Memasuki bulan Maret, keadaan tidak menentu tentang rasa ini semakin mengemuka. Kesabaranku dan komitmenku benar-benar diuji. Kita sudah semakin dekat, semua fase rasa sayang sejati sudah semakin mengerucut membentuk segitiga yang kokoh. Hanya satu titik fase tersebut yang masih mengganjal di hati ini karena belum sama sekali terungkap darimu. Satu fase terpenting: Komitmen. Namun, aku bertekad dalam hati akan bersabar beberapa saat lagi, terlebih, aku ingin membuatmu bahagia sehingga kamu lupa akan kesedihan dan trauma masa lalu mu. Semoga, kita benar-benar dapat mewujudkan dan menikmati rasa sayang sejati yang nyata. Semenjak aku tahu namamu, aku semakin banyak menitipkan namamu dalam doa-doaku ketika sholat dan beribadah kepada Nya. Aku hanya berharap semoga kamu juga benar-benar sayang pada diri ini. Once again in this life, aku ingin aku bisa dengan mantap memekarkan kembali rasa cinta pelangi di hati ini. Aku ingin bisa dengan lebih baik mengembangkan rasa sayang sejati dengan orang yang juga merasa sayang kepada diriku. Aku berharap kita memang sedang saling menemukan. Tapi tidak mudah memastikan rasa kamu ke aku. Liputan rasa traumamu untuk membuka hati lebih banyak membuatmu memilih menjaga hati. Meskipun kita sama-sama saling menikmati proses peningkatan rasa sayang, sepertinya masih terlalu jauh bagi dirimu untuk mengucap "Iya, aku juga sayang sama yang namanya Bang Matt,". Keadaan ini seringkali membuatku galau, karena aku beberapa kali sering memastikannya kepada dirimu. Aku hanya takut nantinya hanya aku seorang yang merasa menyayangi dan terjebak pada cinta satu arah. Aku juga takut, tanpa kuketahui ternyata kamu sedang dalam fase menyukai seseorang yang justru aku mungkin sedang menganggu proses pendekatan kalian. Kegalauan tapi diikuti dengan tekad untuk terus bersabar, terkadang membuatku semakin menganggap diri ini justru sedang membuat susah dirimu. Ada rasa tidak enak di hati ini, seperti merepotkan dirimu jikalau aku terlihat terlalu memaksakan rasa yang sebetulnya kamu belum siap. Di sini, aku benar-benar meminta maaf atas hal itu ya ke kamu. Kesendirian diri ini, dan adanya pertumbuhan rasa sayang yang baru, disertai tanpa arah yang pasti, seringkali menumbuhkan rasa penasaran tidak karuan tentang kamu. Ditambah dengan komunikasi yang tidak lancar, merunyamkan persepsi pikiran seperti terjebak pada sebuah labirin yang entah kapan akan berujung di pintu keluar. Aku pun sudah beberapa minggu ini tidak bertemu dirimu kembali semenjak dari Bogor. "Apa kamu sedang pada fase menjauh dariku ya? Tapi mengapa secepat itu, dan semendadak itu?" pikirku. Aku semakin penasaran, karena yang kutahu seharusnya kamu bukan tipikal ghosting—sebuah fase dalam hubungan yang mulai trending di dunia pelangi akhir-akhir ini, ya karena kehampaan dan cinta semu. Daripada terperangkap pada pikiran sendiri, aku berencana mengajakmu untuk jalan-jalan bersama ke Bandung. Di pertengahan bulan ini, aku sempat mengemukakan rencana tersebut padamu. "Yuk, kita ke Bandung, naik kereta. Nanti di sana kita sewa mobil," ajakku. Aku mengajukan pilihan tanggal di menjelang akhir bulan, mendekati tanggal lahir dirimu. Namun dirimu sepertinya masih belum memberi respon mengiyakan beserta dengan lambatnya balasan komunikasi dari dirimu. Alhasil, perihal rasa dan komitmen ini selalu aku ungkit kembali kepada dirimu. Aku tahu aku salah karena ternyata aku tidak dapat menjaga tekadku padamu. Aku memang sedang pada fase terparah soal jodoh. Beberapa rasa insecure tentang kesendirian sedang begitu besarnya menyerang diri ini. Aku sedang berada pada salah satu tahap penting di kehidupanku. Menata ulang hati untuk mempersiapkan secara mantap masa depan romansa yang baru, merupakan salah satu agenda utama tahun ini yang kurencanakan. Aku sudah menjadi sedemikian yakin bahwa kamu adalah pilihan selanjutnya dari kisah romansa ini. Berawal dari tatapan, aku ingin kita saling menetap. Mungkin, karena rasa insecure itu, ditambah lagi berita isu soal Covid dengan segala kemungkinan lock down, makin menjadi-jadi menambah ruwet penat pikiran. Bagaimana nanti, bila aku nggak ketemu kamu lagi selama lock down. Bagaimana nanti, kalau ada hal-hal ricuh lainnya selama lock down, dan pertanyaan overthinking lainnya. Belum lagi, soal pekerjaan yang semakin lama semakin cukup banyak menumpuk karena lock down meningkatkan kebiasaan pertemuan virtual yang justru menambah pekerjaan. Akhir triwulan pertama sampai dengan bulan Oktober setiap tahunnya memang menjadi momok tersendiri bagi pekerjaan ini karena biasanya peak pekerjaan akan selalu terjadi. Mungkin kamu marah akan sikapku yang suka bertanya-tanya soal rasa. Kemudian, pilihan mendiamkan aku sejenak kamu lakukan supaya aku tidak terlalu banyak memberikan pertanyaan rasa yang berlebih ke kamu. Kamu belum siap bukan tidak mau. Itu saja yang mungkin kamu ingin aku mengerti. Tapi lucunya, Allah malah mempertemukan kita menjelang hari ulang tahunmu ya. Aku bersyukur akhirnya ajakanku untuk bertemu denganmu kembali membuahkan hasil. Dulu sewaktu kita di Bogor, ketika aku tahu tanggal lahirmu, aku sudah berniat dalam hati untuk memberikanmu surprise. Allah masih menyediakan kesempatan yang besar untuk merealisasikan kejutan itu ke kamu. Di sehari menjelang hari ulang tahunmu, Allah mengetuk hatimu untuk membalas ajakanku bertemu. "Dave, yuk aku mau minta maaf, sebagai minta maaf aku traktir kamu ya makan di restoran bakar-bakar ABC, hehe," pintaku. Kamu belum membalas. "Aku beneran mau minta maaf soal diskusi rasa ini terus. Maafin aku ya," tanyaku lagi. Kamu belum membalas. "Yuk, jadiin siang ini," tanyaku lagi. "Oke, nanti sore ya, mau siap-siap dulu," balasmu. Aku lega, akhirnya pesan balasanmu tiba di telepon genggamku. "Tapi jangan makan di situ, makan di restoran yang ini OPQ, karena ABC ini di mall, takut ada Covid," saran kamu. "Bebas, terserah mau dimana, tapi kita coba dulu ya di mall karena sekalian mau ada yang aku cari," jawabku. Aku sengaja mau ke mall, karena sekalian ingin memastikan kira-kira kado ulang tahun apa yang kamu suka saat ini. Tanggal 28 Maret, aku kembali melihat kamu hadir datang ke rumahku. Setelah hampir lewat sebulan. Kali ini kamu membawa dua buah helm. Aku merasa senang, kita berdua bisa menaiki motor jalan-jalan bersama kembali. Sebetulnya, saat itu aku ingin mengkonfirmasi beberapa hal terkait dirimu yang membuat diriku cukup galau. Sekaligus, aku ingin menegaskan kembali komitmen serius aku untuk memulai hubungan lebih dalam dengan kamu. Aku mungkin makin terkesan demanding akhir-akhir ini, namun segala kejelasan yang aku pinta tersebut aku sangat butuhkan untuk menentukan pilihan masa depan aku selanjutnya. Aku hanya ingin bersama satu orang saja yang aku dan dia bisa saling berkomitmen satu sama lain, mengarungi kehidupan yang alirannya semakin deras. Aku ingin sekali menanyaimu, mengapa dirimu seolah membatasi komunikasi dengan diriku. Hampir di setiap hari selama bulan ini, pesan yang aku kirim ke telepon genggamu seolah hanya dibaca tanpa mengharapkan balasan. Meskipun pada akhirnya kamu membalas, namun seolah antusiasme untuk melakukan perbicangan dengan diri ini seolah tenggelam terlebih dahulu. Selain itu, aku ingin memastikan bahwa memang aku tidak sedang berada di antara hubungan kamu dengan seseorang yang mungkin belum kamu ceritakan. Aku benar-benar sangat menghargai susah dan jerih payahnya suatu hubungan untuk dibangun serta tidak ingin terlibat dalam perselisihan yang mungkin ditimbulkan karena kehadiran diriku. Aku juga punya teman sebagai tempat cerita. Meski dia sekarang jauh di Palembang, dia dan aku lumayan masih beberapa kali saling bercerita. Saran dia banyak mengingatkanku akan kenyataan bahwa aku memang sedang sendiri, takut, demanding dan berjuang. "Hati-hati, mungkin dia memainkan perasaanmu saja, takutnya hanya perasaan bayangan ke kamu, ketika dia sudah dapat yang tepat malah meninggalkanmu pergi dengan orang lain," ujar temanku itu. "Iya sih, aku mungkin aku harus tahu batasan. Tapi saat ini biarkan aku menikmati rasa ini ya. Aku pasrah ke Allah karena aku merasa kalau rasa ini tulus dihadirkan Allah," jawabku. "Betul sih, semua bagus dipasrahkan ke Allah. Aku juga salut sama perjuanganmu. Semoga berhasil dan membuahkan hal yang baik ya," responnya. Akan tetapi, kuurungkan keingintahuanku itu. Aku memang seperti terlihat kecewa saat itu, namun rasa senang bertemu dengan mu menutupi semua rasa lainnya. Aku benar-benar merasakan rindu yang terobati ketika melihat kehadiranmu. Seandainya aku bisa menjadi seseorang yang begitu tak acuh, aku ingin sekali melupakan soal rasa. Biarlah rasa ini mengalir begitu saja, tidak usah diyakinkan, tidak usah diperjuangkan. Lagipula, kamu pernah bilang memang kamu yang belum siap untuk membuka hati ke siapapun. Setidaknya, ingatan akan pernyataanmu itu cukup menenangkanku sedikit. Aku berharap, kamu memang tidak sedang memainkan hati ini. Aku hanya-hanya perlu bersabar lebih banyak lagi untuk membuka hatimu sedikit demi sedikit untukku. Kondisi traumatik masa lalu membuatmu memilih untuk masih menutup hati ke siapapun. Termasuk aku. Ini yang hanya aku bisa simpulkan pada saat itu dan membantuku makin bersemangat. *** Your Present is the Most Worthed Present, now "Berarti kamu harus berupaya lebih keras untuk mendapatkan hatinya Dave, Matt," ujarku dalam hati. Aku semakin bersemangat untukmu Dave. Apabila saatnya tepat nanti, aku ingin kita bisa saling bertukar pikiran, berbicara hati ke hati, aku ingin membantu hatimu pulih secara perlahan. Aku punya beberapa pengalaman sebelumnya yang mungkin bisa menjadi obat alternatif membuka pikiran dan wawasanmu lebih luas. Menerima kepahitan masa lalu merupakan salah satu bentuk pelatihan diri guna mendewasakan seseorang. Sekali lagi, setidaknya kini aku masih bisa bertemu denganmu lagi. Saat ini yang terpenting adalah ini. Aku benar-benar ingin bisa bersamamu saja. Your present is the most worthed present. Allah mengabulkan ini, terima kasih ya Allah. Kita pun telah duduk berhadapan makan di restoran bakar-bakar di sebuah mall. "Kamu apa kabar, sudah lama ya kita nggak ketemu?" tanyaku memulai obrolan. Jujur, pada saat itu rasa rindu benar-benar terbakar habis pada hari itu. Aku senang sekali kamu ada di hadapanku. Aku merindukanmu, tatapanmu, suaramu. Aku juga rindu memelukmu erat, sebulan ini kita belum memeluk satu sama lain. Kamu datang tadi pun sudah langsung menunggu di depan rumah, dan kita langsung berangkat menuju mall. Aku semakin yakin kalau aku memang sedang jatuh hati pada orang ini. "Baik Bang, Abang apa kabar?" tanyamu. "Aku baik, akhirnya kita ketemu ya, ayo silakan dipilih makanannya, di sini terkenal daging irisnya gitu, terus seasoning-nya ngangenin," ajakku. Kita pun mengambil makanan dan minuman, membakar daging sapi, mengunyah sampai kenyang. Sekenyang itu. "Haha, bisa juga ya kamu keliatan kenyang bego begitu, hehe," celetukku. Mukamu memang keliatan kekenyangan bengong begitu, haha. Aku bahkan masih bisa membayangkannya sampai sekarang. "Dulu adikku yang hobi makan banyak aku ajakin ke sini, juga sama-sama nyerah, nggak kuat makan lagi," lanjutku. Kita tertawa. Aku senang melihat kamu tertawa. Kita melanjutkan obrolan. Apapun. Aku bercerita tentang keluargaku, dari pekerjaan ayahku sampai kondisi nenekku yang umurnya sekarang sudah 85. Aku sempat menunjukkan foto nenekku. Kamu juga bercerita tentang keluargamu, pekerjaan bapak dan ibumu. Beberapa saat kemudian aku ditelpon adik perempuanku. Dia curhat tentang masalah keluarganya. Aku hanya bisa membantu lewat doa dan apapun yang bisa aku bantu. Aku senang, kamu sepertinya mau menunggu sesi curhat telepon adikku dengan sabar sebelum sama-sama mengakhiri sesi makan. Lalu, kita lanjut menikmati minum sebentar, tak lupa mencoba mencicipi makanan penutup terutama es krimnya. Selepas mengucap syukur karena telah diberi nikmat Tuhan, kita meninggalkan restoran. Aku mengajakmu untuk mengunjungi beberapa toko, termasuk toko sepatu. Soal pernak-pernik di tubuh kamu, ku hanya teringat pada satu hal. Kamu selalu menggunakan sepatu yang sama setiap kali bertemu dengan diriku. Warnanya hitam, ukurannya sedikit lebih kecil dibanding punyaku. Asumsiku pada saat itu, mungkin kamu begitu sayang dengan sepatu itu sampai-sampai dipakai berulangkali, atau kamu hanya punya satu sepatu jalan. Kedua asumsi itu membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan kado ulangtahunmu pada sepasang sepatu. "Aku mau lihat beberapa barang nih," ajakku, memasuki beberapa gerai mulai dari pakaian sampai akhirnya.. "Yuk, ke sana," ajakku lagi. Kakiku melangkah masuk ke salah satu toko yang menyediakan beragam merek sepatu. Aku pura-pura mencari sepatu yang akan kubeli. Aku melirik dirimu, sedang mengamati salah satu merek sepatu asal Eropa. "Dicoba aja, siapa tahu cocok, terus kebeli," ujarku bergurau. "Nanti saja Bang, mau nabung dulu, tapi sepatu ini bagus," katamu, melihat sebuah sepatu, warnanya gelap. "Kalau ini?" tanggapku, mengarahkan pada sebuah tipe yang menurutku tepat. Kebetulan, aku salah satu yang hobi mengamati sepatu, dan tentunya membeli kalau dirasa cocok bagi dari segi kualitas, fungsionalitas, dan harga. Aku tahu untuk merek ini, tipe ini cocok di kamu. Sepatu yang kupilih tadi, tepat untuk diajak jalan dan dipakai olahraga. Dari segi model juga tepat, tidak kentara sebagai sepatu olahraga apabila digunakan untuk berkunjung ke pusat keramaian, atau tepat pula apabila dibawa lari. "Tapi sepertinya aku sudah punya model ini," tanggapmu. "Coba pastiin dulu," ujarku. "Nanti aja deh Bang, mau nabung dulu," responmu, lalu terhuyung menuju beberapa pilihan sepatu lain. Aku mengambil foto dari sepatu-sepatu tersebut. Lalu mengajakmu mengunjungi beberapa store lain. Setelah mendapatkan cukup informasi dari sepatu yang mungkin kamu tertarik untuk memilikinya, dan selepas kita cukup puas menjelajahi mall itu sampai menjelang mala,, aku mengajakmu pulang ke tempatku. Apalagi, perut kita masih sedang kenyang-kenyangnya menampung limpahan makanan. "Istirahat di rumah aja ya, lebih enak," ajakku. "Iya Bang," jawabmu. Ketika sampai di tempat parkir, aku meminta supaya aku saja yang mengemudi. Kamu mengizinkan. Pikiranku sekilas terbayang pada kenangan kita di Bogor. Di malam terakhir aku menginap di Bogor, aku mengajakmu untuk mengunjungi diriku ini. Kita menghabiskan malam untuk menikmati santap a la Eropa beserta segelas kopinya di sebuah restoran dekat hotel. Selain senang dengan upayamu menempuh perjalan lumayan jauh ke hotel di tengah hujan gerimis, pikiranku terngiang pada sebuah momen perjalanan pulang ke hotel dari restoran tersebut. Aku yang mengemudikan motor. Saat itu udara begitu sejuk, hujan gerimis telah berhenti. Kita menempuh jalanan khas perumahan yang sunyi senyap. Aku mengemudikan motor dengan pelan, ingin berlama-lama menikmati suasana malam itu bersama kamu. Tangan sebelah kiriku kuturunkan ke atas pahaku, sembari tangan sebelah kanan masih memegang kendali motor. "Aku boleh pegang tangan kamu, nggak?" tanyaku. Tangan kiriku kuayunkan kecil, lalu menggenggam tangan kirimu yang juga kamu letakkan di atas paha kirimu. Kamu terdiam, sayup-sayup aku mendengar suara pelan lanjutan kamu "Iya". Tak lama menggengam tanganmu, aku bawa tanganmu ke arah pinggang dan perutku. Aku letakkan telapak tangan kirimu di sana, di atas punggung tanganmu kusandarkan pula telapak tangan kiriku. "Boleh ya, kita pegangan tangan seperti ini?" tanyaku. "Tapi malu nanti kalau ada yang lihat," responmu. Tangan kita masih di sana. Hatiku ikutan bertambah sejuk malam itu. Meski sesederhana itu, entah mengapa aku sangat menghargainya. Seperti ada aliran energi yang perlahan-lahan mengisi relung hati menggantikan sunyi yang sendiri. "Iya, tapi sebentar aja ya, sebenarnya sekarang juga lagi sepi," ucapku. Beberapa saat kemudian, kamu menarik tangan seiring terlihat di kejauhan nyala lampu mobil semakin mendekat. Sekarang aku mengemudikan motor kembali. Harapannya bisa dipeluk kamu dari belakang. Tapi ternyata sepanjang jalan yang sudah malam ini masih ramai. Padahal aku sengaja melewati jalan tikus, tapi tetap ramai. "Memang bisa ya lewat sini?" tanya kamu. "Bisa. Lihat ya," jawabku. Jalanan yang dipilih memang kecil, tapi langsung tembus ke jalanan utama. Arah lurus sekitar sepuluh menit, kita sudah sampai di tempatku. "Aduh begah banget ya, haha," celotehmu setelah melepas sepatu, dan duduk di kursi merah. "Banget," timpalku. Televisi kunyalakan. Aku masih menunggu jaringan terkoneksi televisi sembari memikirkan saluran apa yang akan kita tonton malam itu. Akhirnya, kupilih Youtube. Kusetel lagu yang sebelumnya sudah ada di saluran Youtubeku. Kutinggal perlahan ke toilet untuk merapikan diri. Sekembalinya, kulihat kamu sudah menyetel salah satu lagu di Yotube. Saat itu pertama kali aku mendengar dirimu menyanyi. Beberapa lagu yang kamu pilih nuansanya sendu dan galau. "Haruskah ku mati karenamu.. " Lagu dari Ada Band kamu setel. Aku terkikik di hati, kenapa lagu kamu banyak yang galau ya? Sejak itu, lambat laun aku menyadari bahwa tipikal lagu kamu memang lebih didominasi suasana downside, berbanding terbalik dari nuansa upside ku. Meski berbeda alunan, sepertinya kita saling melengkapi, dan kita sama-sama cukup familiar dengan lagu yang masing-masing kita pilih. Kamu menyanyi, aku mulai menyaut. Akhirnya kita bersenandung bersama. Aku juga memilih lagu, beberapa di antaranya lagunya Adera yang berjudul Lebih Indah dan Somewhere only we know-nya Keane. Tak berapa lama, kamu pamit. Aku memelukmu erat, begitu erat dan hangat. Aku sudah lama merindukan ini dan benar-benar ingin kembali menikmati masa-masa ini. Seandainya kita bisa berlama-lama seperti ini. Lalu kulepaskan pelukan dan mengecup bibirmu sebentar. Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungan ini, sudah menemani hari ini. Kita bersalaman. Kamu tak lupa menempelkan tanganku di pipimu. *** Pesta Ulang Tahun untukmu Kamu hari itu pulang tidak begitu larut. Aku sudah menyiapkan sebuah rencana untuk menyambut hari ulang tahunmu tengah malam nanti. Sekembalinya kamu ke Pamulang, aku pergi membeli sekotak kue ulang tahun di sekitaran komplek tempat tinggalku. Waktu menunjukan hampir pukul sepuluh malam, toko tersebut nyaris tutup tapi beruntung aku masih sempat membeli kue tersebut. Rencana kejutanku saat itu: Aku ingin membuat video ucapan selamat ulang tahun dan mengirimkannya tepat tengah malam. Sepulang dari membeli kue, aku mulai mempersiapkan dialog singkat ucapan, menghapalnya, serta mengatur titik letak pengambilan gambar. Meski hanya sebuah video dengan durasi sekitar lima menit, pengambilannya butuh waktu setengah jam lebih. Semuanya karena kamera telepon genggam yang ternyata bapuk (4) dan rusak. Lagi-lagi aku beruntung, penggunaan kamera telepon genggam bisa disiasati sehingga video kejutan ini jadi. Namun, masih ada satu masalah lagi. Video ini ternyata memiliki ukuran berkas yang lumayan besar sehingga akan menyulitkan untuk dikirim melalui Whatsapp. Menggunakan kompresi berkas pun justru menambah masalah karena resolusi video menjadi rusak. Akhirnya setelah atur sana atur sini, aku mengunggah video tersebut di Yotube Private yang hanya kamu dan aku bisa melihatnya. Proses editing ternyata jauh memakan waktu sehingga hampir tengah malam aku berhasil menyelesaikannya. Sekitar lewat tengah malam sedikit, aku mengirimkan pesan singkat berisi tautan Youtube dan ucapan selamat ulang tahun. Aku senang, saat itu kamu genap berusia 21 tahun. Aku berdoa banyak buat kamu. Doa terbesar aku, semoga kamu semakin dewasa karena usia kamu sudah lepas dari remaja beranjak ke kehidupan yang sebenarnya. Semoga bisa menjadi diri sendiri yang punya arah menjadi makin baik. Tak lupa, semoga perkuliahan dipermudah dan bisa meraih pekerjaan kelak. Aku pun terlelap. Keesokan hari tiba. "Terima kasih banyak ya Bang, doa-doanya semoga dikabulkan Allah," kamu membalas pesanku. Aku mulai menanyaimu, perihal sepatu yang kemarin kita sama-sama lihat. Aku langsung terus terang saja ingin memberikanmu kado sepatu setelah mungkin aku kepergok menanyai detil sepatu yang kamu suka, warna yang kamu suka, ukuran sepatu. "43, Bang" ujarmu. "Eh? Beneran ukuranmu segitu, sepertinya lebih besar deh. 44 aku yakin," bantahku. Aku terkekeh di dalam hati, yang punya ukuran kaki saja bilang 43 tapi kenapa aku yang kukuh mengira 44. Mungkin, aku membandingkan dengan diriku yang memiliki porsi tubuh mirip dengan dirimu saja memiliki ukuran kaki 45. Siangnya, aku menjelahi hampir semua toko ritel yang menjual sepatu yang aku lirik cocok untuk dikenakan kamu kemarin. Semua toko ritel di bilangan Jakarta Selatan. Ternyata tidak mudah, karena ukuran kaki kamu cukup umum sehingga di hampir semua toko ritel tersebut dinyatakan telah habis terjual. Akhirnya, berbekal keberuntungan, aku berjodoh menemukan sepatu itu dengan ukuran yang tepat di sebuah mall di Senayan. Aku membelinya, menyisipkan sebuah kartu ucapan di dalam bingkisannya. "Kamu datang ya. Aku ada kado nih yang kemarin kita obrolin. Kamu pokoknya harus menerimanya ya," ujarku, di satu hari setelah hari ulang tahunmu. "Iya, nanti aku main ke sana ya Bang," jawabmu. Sore harinya, kamu mengunjungiku. Hati ini riang, karena kembali menemuimu di jarak waktu yang dekat. Baru kemarin lusa kita melepas rindu, sekarang sudah bertemu lagi. Aku sepertinya menjadi ketagihan dengan kahadiran dirimu. Sejujurnya, aku memang butuh seseorang yang bisa selalu ada setiap saat. Aku pun akan ada setiap waktu untuk seseorang yang memang benar-benar sayang dengan diri ini. Aku memelukmu setibanya kamu di sini. Aku memelukmu erat. Aku persilakan kamu duduk, dan kubuatkan minuman. Selepasnya kita menonton televisi. Tak berapa lama aku menuju dapur. Kubuka kulkas, aku ambil kue ulang tahun yang telah aku beli kemarin. Aku taruh kue ulang tahun itu di atas meja dapur. Kubuka laci dapur. Aku mencari sesuatu. "Mana sih itu lilin, sepertinya aku masih menyimpan lilin itu," ujarku dalam hati. Kucari-cari kembali lilin-lilin kecil. Lilin-lilin kecil yang merupakan lebihan dari lilin yang digunakan Nathan untuk merayakan hari ulang tahunku tepat hampir setahun yang lalu. Aku sedikit teringat akan Nathan dan momen itu. "Happy birth day to you.. happy birth day to you..." Nathan membangunkanku di suatu malam. Tepat di malam pergantian memasuki hari esok yang merupakan hari ulang tahunku. Aku terkejut tapi segera membangunkan diri, menegakkan badan. Nathan membawa sekotak kue ulang tahun kecil. Aku tahu Nathan berjuang menghadirkan kue ulang tahun itu untukku. Sembari terenyuh membayangkannya, aku memejamkan mata. Nathan kembali menyodorkan kue ulang tahun yang telah dilengkapi dengan nyala lilin-lilin kecil itu, menungguku untuk meniup lilin tersebut. "Ayo dong berdoa, sebelum meniup lilinnya," sahut Nathan senang. Aku berdoa dalam hati. "Semoga banyak hal baik yang akan datang, semoga kita bisa terus bersama-sama dalam kondisi yang lebih baik dan nuansa yang benar-benar bahagia. Meskipun aku harus mengalah demi kebahagiaanmu. Semoga Tuhan mempermudah kehidupan kita, semoga Tuhan mempermudah rencana kamu untuk membina rumah tangga, semoga Tuhan mempermudah rencanaku untuk studi di luar negeri. Semoga Tuhan semakin membuat kita sukses, aamiin ya Rabbal alamin," doaku lalu mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah mengamini. Aku meniup lilin itu. "Horeee, selamat ya buat kamu," kami bersalaman dan saling memeluk. Aku benar-benar terharu, aku memeluk Nathan sekali lagi dan mengucapkan terima kasih. Aku sangat menghargai perhatian seperti ini. Aku tersadar dari lamunanku. Aku kembali mencari lilin-lilin kecil itu. Akhirnya aku menemukannya. Lilin-lilin itu tersembunyi di bawah tumpukan makanan ringan. Aku mengambilnya, dan kupasang satu per satu di atas kue ulang tahun. "Selamat ulang tahun ke-21, Dave" begitu ukiran manisan berwarna merah di atas kue ulang tahun itu. Aku menancapkan tujuh lilin beserta wadah kecilnya di atas kue tersebut, melambangkan angka keberuntungan. Semoga kita bisa beruntung saling menemukan. Lalu, kunyalakan lilin itu satu per satu dengan api dari kompor. Aku memasuki ruangan tengah. Kamu sedang duduk di atas sofa dengan santai sembari menikmati acara televisi. "Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun untuk Dave," sambutku sembari membawa kue ulang tahun memasuki ruang tengah. Kamu agak terkejut, tapi sepertinya sudah sedikit mengetahui persiapan ini. Aku tahu pasti kamu tadi mendengar suara percikan kompor untuk menyalakan api, dan menungguku lama kembali dari dapur. "Apa ini Bang?" tanyamu berpura-pura. "Ayo dong ini ditiup lilinnya," lanjutku tanpa membalas pertanyaanmu itu. "Ehh, tapi jangan lupa berdoa dulu," ucapku cepat-cepat sebelum kamu merespon ajakanku untuk meniup lilin. Kamu kemudian memejamkan mata, berdoa sesuatu dalam hati. Wajahmu terlihat sumringah. Aku senang melihatmu merasa bahagia. Lalu kamu membuka mata dan mengusapkan tangan lalu mengucapkan aamiin. "Nah, sekarang tiup lilinnya," ajakku lagi. "Eh, tapi kita foto dulu yaa sebelum tiup lilin, haha," aku kembali mencegah kamu meniup lilin. Aku tidak tahu mengapa cukup persiapan dalam mengadakan momen ini. Aku seperti tidak ingin kita melupakan beberapa hal detil yang bisa kita nikmati bersama. "Teleponku mana ya, eh itu, pakai telepon kamu saja," pintaku. Telepon genggammu memang sedang berada di atas meja ruang tengah, terparkir di situ. Kamu lalu mengambil telepon genggamu, dan memasang mode selfie. Kita pun bergaya. Kita sama-sama meletakkan kue ulang tahun itu di antara kita. Kamu dan aku sama-sama memegang kue ulang tahun itu. Aku mendekatkan diri ke kamu. Aku menaruh lengan kiri aku ke atas pundakmu. Posisi dan pose kita sudah pas di depan layar kamera telepon genggamu. Kamu lalu menyetel mode timer, dan menyentuh tombol klik. Hitungan mundur lima detik. Kita sama-sama memperkuat pose dan akhirnya cekrek. Satu lagi foto kita bersama jadi. Fotonya kali ini bagus karena kita tidak terlihat lusuh habis kehujanan seperti yang terjadi di Bogor. "Nanti dikirim ya fotonya ke whatsapp," pintaku. "Naah, sekarang saatnya kamu meniup lilin," ujarku, kemudian mengarahkan kue ulang tahun ke dekat muka kamu. "Satu, dua, tiga," hitungku. Puff, kamu meniup lilin. Mukamu terlihat memerah, sepertinya kamu bahagia. Aku merasa senang karena itu. "Selamat ulang tahun ya Dave. Ini kue ulang tahun yang kemarin aku rekam juga di video semalam. Sekarang saatnya potong kuenya, sepertinya enak kuenya," kataku. Aku kembali ke dapur, mencari pisau plastik di atas kotak kue ulang tahun yang kutinggal di dapur. Aku juga mengambil beberapa piring kecil dan sendok. Aku kembali ke ruang tengah, menyerahkan pisau plastik itu kepadamu. Kamu pun memotong kue ulang tahun itu. "Wah enak nih kuenya sepertinya. Ini aku beli yang coklat dark karena coklat dark itu sehat dan enak meski pahit," kataku. "Terima kasih banyak ya Bang," syukurmu. "Sama-sama, Dave," jawabku. "Wah kamu sudah 21 tahun ya sekarang, semoga banyak hal baik ya yang akan menghampiri kita, aamiin," lanjutku. "Aamiin," jawabmu. Kita sama-sama menikmati kue ulang tahun itu. Karena begitu merasa enaknya, kamu sampai tambah beberapa kali, dan memotong kembali sehingga lapisan kue baru yang lebih kecil dapat diambil. Bibirmu belepotan dengan coklat. Aku ambilkan tisu, kamu lalu mengusap bibirmu itu dengan tisu itu. "Iya Bang, ini kuenya enak," katamu, lalu mengambil lagi lapisan kue baru. "Haha," tanggapku. Aku hanya tertawa. Coklat dark memang pahit. Tapi coklat dark memiliki kadar coklat yang lebih banyak, biasanya di atas 50% atau mungkin bisa mencapai sekitar 75% s.d. 80%. Rasa pahit pada coklat dark menunjukkan bahwa coklat tersebut memang lebih pekat dengan coklat. Aku dari dulu penggemar coklat dark karena pekatnya kandungan coklat itu kaya dengan zat yang dapat memicu hormon endorfin. Sejenis hormon yang dapat meningkatkan rasa bahagia kita sekaligus menghilangkan stress. Semoga coklat dark ini semakin menguatkan rasa bahagia kita ya, Dave. Kamu kembali memutar channel Youtube di televisi. Kamu menyetel lagu-lagu yang lebih bernuansa gembira. Kita melanjutkan kebersamaan dengan menyanyi bersama. *** -------------------- (4) Bapuk dalam bahasa jawa memiliki arti usang. Sepatu untuk Menapaki Kedewasaan Sekitar satu jam kemudian, mendekati pukul delapan malam, aku menuju ke kamar tidur. Aku mengambil sesuatu yang telah aku sembunyikan di dalam lemari. Aku mengambil sekotak bingkisan yang telah kumasukkan dalam sebuah tas kantong kertas. Aku membawa bingkisan itu ke ruang tengah. "Ini yang dari kemarin aku uring-uringan tanyakan ke kamu," bilangku, sambil menyerahkan bingkisan ini ke kamu. "Ini apa Bang?" tanyamu. "Ah jangan Bang, ini sepatu kan?" tanyamu lebih jauh. "Buka dulu, pokoknya harus diterima yaa," celotehku. Kamu pun menerima bingkisan itu. "Ini aku buka Bang?" tanyamu. "Iyaa, dibuka saja, Dave," kataku. Kamu pun membukanya. Kamu menemukan sekotak sepatu, lalu kamu menyingkap isi kotak itu. Di atasnya kamu melihat sebuah kartu ucapan. Kamu mengambil kartu ucapan itu. Aku melihat dirimu membaca isi kartu ucapan itu dan tersenyum. Sebuah sikap yang tidak biasa seandainya dilakukan oleh seseorang yang hanya mengincar materi. Di momen itu, bayangan ingatanku tentang Nathan kembali hadir sesaat. Sebuah ingatan tentang Nathan dengan seluruh kemandirian dan kesederhanaannya. Nathan merupakan sosok yang tidak pernah berkeluh tentang kehidupan. Susah dan senang sama-sama dia jalani dengan senyum dan tawa. Aku bisa bilang begitu karena aku sebagai orang terdekatnya memang mengetahui salah satu kesusahan hidupnya yang paling besar, namun dia tetap saja melaluinya dengan rasa syukur dan kegembiraan hati. Karenanya, mungkin saja rupa dia selalu terlihat lebih awet muda mengurangi usianya seharusnya. Dia selalu bersyukur aku belikan hadiah ulang tahun di setiap hari lahirnya itu tiba. Dia juga tidak lupa mengucapkan terima kasih atas setiap perhatian yang aku berikan. Hampir semua pernak-pernik barang untuknya telah aku berikan. Aku juga pernah memberikannya kejutan special dinner di rooftop SKYE saat momen spesialnya itu. Selain itu, memang ada satu hal yang menguatkanku untuk terus memberikan perhatian padanya, bahkan sampai perayaan ulang tahunnya di tahun 2019. "Kamu masih ya mengangkat telepon aku, tengah malam begini," ujarku. Di seberang sana, Nathan memang sedang menerima teleponku. Waktu berjalan pukul 00.01 malam di sebuah tanggal cantik di bulan 11. "Iya laah, kan yang nelpon kamu," jawabnya manja. "Idiih, masih manja gitu, haha. Nggak dimarahin istri kamu ntar?" celetukku. "Hahaha, istri nya masih diproses, doain yaaa," responnya. "Ada apa nih..?" tanyanya kemudian. "Happy birth day yaaa, semoga panjang umur, sehat selalu, dan bahagia selalu. Dilancarkan semua yang direncanakan, aamiin!!" ucapku. "Aamiin, makasih ya Matt," doanya. Dia merayakan malam pergantian peringatan hari lahirnya di daerah asalnya. Pagi harinya, dirinya bercerita merencanakan acara perayaan ulang tahun sederhana bersama keluarga, teman-teman terdekat di sana, dan anak yatim di sekitaran rumahnya. "Nanti malam ada ngeliwet kecil di sini," pesan whatsapp masuk. "Wah pasti pesta yaa di sana, hehe," tanggapku. "Alhamdulillah, nanti aku main ke sana ya. Sekalian aku mau cerita tentang berapa hal," balasnya cepat. "Iyaa, main aja. Nanti temenin aku jalan-jalan ya," responku. Aku sangat beruntung pernah memiliki Nathan yang senantiasa tak lupa bersyukur. Aku seperti melihat kemiripan ini di salah satu karakter dasar kamu, yang lebih menempatkan rasa syukur dan penghargaan atas perhatian seseorang di atas materi. Benarkah kamu seperti itu juga? "Aamiin, makasih ya Bang, ucapannya," katamu sambil mengamini, setelah membaca tulisan di dalam kartu ucapan itu. "Iya, semoga kamu makin dewasa ya Dave, bisa menjadi diri sendiri, dan sayang-menyayangi dengan orang terdekat," doaku. "Semoga kamu juga lekas selesai sekolahnya ya," lanjutku. "Eh itu yang di bawah, dipakai dong, hehe," sahutku. "Bang, ini beneran? Tapi janganlah Bang," responmu. "Pokoknya harus diterima. Kalau nggak diterima nggak bisa aku pakai juga, ukuran kakimu lebih kecil dibandingkan ukuran kaki ku, haha," ujarku sambil melucon. Kamu mengambil sepatu itu. Warnanya hitam lembut dengan merek logo tersemat bercorak putih pudar. "Ayo dong dicoba, pas nggak?" pintaku. Tak lama kemudian, kamu membuka tali sepatu, melonggarkan ruang di sepatu, dan memasukkan kaki kamu ke dalamnya. Ukurannya cocok. Pilihanku juga tepat karena sepatu itu terlihat mampu menyesuaikan dengan tubuh dan pakaian yang kamu kenakan. "Bang, tapi ini beneran?" tanyamu kembali. "Betulan Dave. Ini buat aku, tulus aku kasih ke kamu. Diterima ya, kalau nggak, aku nggak tahu nanti yang pakai sepatu ini siapa," jawabku. Kamu terdiam sebentar. Lalu menceritakan sesuatu. "Abang tahu, sepatu aku yang aku sering pakai itu?" tanyamu mengawali cerita itu. Aku hanya mengaguk pelan dan menatapmu untuk menunggu apa yang ingin kamu ceritakan. "Aku juga memperolehnya dari orang yang dulu dekat sama aku," suaramu memelan, sembari masih menatap mataku. Aku suka akhirnya kamu pelan-pelan mau menceritakan hal pribadi terkait kedekatanmu dengan seseorang di masa lalu. Menurutku, salah satu hal terpenting dari bekerjanya suatu hubungan yang baik adalah menjadi terbuka dengan pasangan yang ada di hubungan tersebut. Termasuk perihal masa lalu, sepedih dan sesenang apapun. Aku termasuk pribadi yang menyukai keterbukaan, dan mencoba memahami seseorang seoptimal mungkin dari sudut pandangnya. Sedari awal aku sudah niat membantu kamu melewati masa trauma masa lalu. Bercerita padaku tentang masa lalumu itu mungkin bisa membantumu lebih cepat release. Aku pasti mendengarmu. "Dia membelikanku untuk kenang-kenangan," lanjutmu. Kamu terdiam sesaat. "Dulu aku juga suka beli sepatu merek ini tapi di Taman Puring situ. Kata temenku, sepatu yang dibeli itu bagus. Tapi ya karena beli disitu jadi kurang awet," ucapmu, mengalihkan kisah. "Iya, semoga sepatu ini awet ya," aku terdiam sebentar, lalu merespon dua ceritamu dengan kalimat ini. "Aku suka kalau sepatu ini kamu pakai. Sepanjang aku menggunakan merek sepatu ini yang aku beli di tempat orisinal, awet sih," saranku sekaligus berkomentar. "Tapi, aku mau menyimpan sepatu ini saja. Aku mau memakainya di momen tertentu. Biar makin awet, hehe," niatmu. "Eh, tapi nanti waktu jalan sama aku, kamu pakai ya sepatu itu, bagus ya," pintaku. "Iyaa Bang, sekali lagi terima kasih ya," kamu berucap sekaligus tersenyum. Aku membalas senyum. Malam itu sudah semakin larut. Aku besok juga bekerja pagi. Kamu juga mungkin akan dicari oleh keluarga dan orang tuamu. Aku merasa tidak enak kalau dirimu dikhawatirkan oleh orang-orang rumah. Kamu merapikan kado itu dengan tas kertas yang membungkusnya tadi. Aku menyarankan memakai tas ransel aku yang lumayan besar agar kamu lebih mudah membawanya ke rumahmu. "Pakai ini saja ya, sebentar, aku ambil dulu," anjurku. "Nggak usah Bang, ini bisa kok," kamu menyarankan dan membereskan bungkusan itu. "Seriusan nggak apa-apa?" lanjutku. "Bener Bang, ini bisa," responmu. Lalu kamu telah merapikan bungkusan itu. "Ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya," ucapku. "Terima kasih sudah mau menerima kado itu. Semoga kamu suka ya?" kataku melanjutkan. Kamu mengangguk. "Sekali lagi terima kasih ya Bang," bilangmu. Kamu berdiri tegap. Aku memelukmu erat. Dengan tinggi yang sama ini, dan kamu membalas pelukanku, aku merasa nyaman. Aku mengantarkanmu sampai pagar depan. Kamu kemudian melajukan motormu. Aku bisa melihat kamu menatapku di belakang dari spion. Selamat ulang tahun birthday Boy! Selamat menapaki awal kehidupan di usiamu yang sudah tidak lagi remaja :D Makin Intens, Apakah Kamu Sayang? Sekali lagi, terima kasih karena kamu telah membuka diri lebih banyak. Aku semakin yakin bahwa kita memang berada di track yang sama. Aku dan kamu sama-sama memiliki intimacy dan passion satu sama lainnya. Hanya tersisa komitmen. Perjuanganku selama sekitar empat bulan ini hingga akhir Maret 2020 makin menyemangatiku. Di pikiranku, aku hanya ingin meyakini bahwa kita memang sama-sama memiliki cinta tulus. Saling menggenggam rasa sayang nyata kita dan menggelorakannya di hati masing-masing. Aku ingin, tak lama lagi, kamu akan menyatakan komitmen itu. "Dave sayang Bang Matt". Meski hanya berupa ucapan terdiri dari empat kata, aku memang ingin sekali mendengarnya. Agar kesemuanya, apapun itu yang telah kita kembangkan sampai saat ini, menjadi jelas dan terang benderang. Soal komitmen ini. Meski terdengar sepele dan cenderung disepelekan di banyak kasus permasalahan hubungan yang pernah ada antar manusia, tetap saja aku ingin mengetahuinya dari sisi mu. Kejelasan yang disertai dengan penjelasan yang baik, merupakan bentuk komunikasi terbaik yang amat sangat mendukung penghargaan atas rasa manusia dan kemanusiaan. Bukan menjadi permasalahan jika nanti kamu akan bilang tidak. Bukan hal yang selamanya menggembirakan juga apabila kelak kamu akan mengatakan iya. Aku juga teramat yakin kalau perihal rasa itu soal proses tanpa ujung. Sekali lagi, asal kita mau jujur dan berkomunikasi dengan baik atas rasa ini satu sama lainnya agar tidak ada salah satu pihak yang merasa ditinggalkan begitu saja atau bahkan dipermainkan. Sejauh ini, memang kuakui pendekatan pada dirimu terhitung cukup memakan waktu yang lama. Aku paham, kamu memang seseorang yang berbeda. Rasa traumamu itu pada masa lalu yang menjagamu untuk terkesan betah pada diri sendiri. Namun aku tahu, kita ini manusia biasa yang pasti akan selalu butuh pasangan. Aku juga berharap. Kasih sayang yang aku tunjukan kepadamu selama ini bisa meyakinkan dirimu bahwa aku memang orang yang tidak bisa dipersamakan dengan masa lalumu. Aku juga bukan masa lalumu. Aku adalah sosok yang kamu hadapi sekarang, punya karakter dan sifat yang tidak sama dengan yang terjadi di waktu lampau. Kondisi yang meliputi kisah kita juga berbeda. Semoga kamu dapat memisahkan secara baik antara masa lalu dan masa sekarang, sehingga bisa membangun masa depan dengan lebih baik lagi. Aku pun berharap. Kamu memang masih menyimpan banyak keyakinan bahwa dirimu pantas bahagia. Dengan orang lain. Atau mungkin bersamaku. Pelangi yang indah sebenarnya sudah siap kita torehkan di kanvas langit. Aku sudah menyediakan butiran air, cahaya matahari, Kamu hanya perlu keberanian lebih banyak untuk menyalakan bara api cintamu kepadaku di hatimu. Semoga kamu masih punya semangat membangun pelangi itu dengan diriku. Beberapa rencana kehidupan baik denganmu tentunya sudah aku punyai. Namun jika aku yakin bahwa kita seserius itu satu sama lain. Rencana-rencana itu pasti akan teramat mendukung cara bagaimana kita membangun impian masa depan kita nantinya. Aku ingin meniti karir yang lebih sukses. Kamu ingin segera lulus kuliah. Aku akan memiliki tempat tinggal tetap. Kamu akan mendapatkan pekerjaan baru. Aku bisa menyediakan perangkat kehidupan baru untuk mendukung petualangan kita, seperti mobil. Kamu bisa menggantikanku menyetir kendaraan. Kita bisa menikmati kehidupan baru kita bersama-sama. Kita dapat melakukan perjalanan menyelusuri pelosok dunia berbarengan. Kita bisa bertukar pikiran, berbagi dan membuat cerita lebih banyak bersama-sama. Kita dapat saling percaya, menaruh fokus cinta hanya pada kita sehingga bisa melakukan banyak hal tanpa kekhawatiran baik itu pada kehidupan pertemanan maupun pekerjaan. Aku sudah pernah merasakan hal ini sebelumnya bersama Nathan. Kehidupan percintaan yang sedemikian baik memang betul dapat mendukung kesuksesan karir dan manfaat baik pertemanan. Makanya, aku percaya sih dengan slogan jadul bahwa di balik kesuksesan seorang pria pasti terdapat seorang pasangan yang hebat. Kamu mungkin akan memahami ini seandainya telah benar-benar memiliki kisah cinta yang baik, dan sudah bekerja nantinya. Setidaknya, kisah cinta yang baik juga akan mendukung perbaikan emosi dan pendewasaan seseorang. Kehidupan benar-benar menjadi sangat bisa dinikmati, untuk mendukung pencapaian kebahagiaan dan peningkatan rasa syukur. Aku yakin, kita juga bisa saling mengimbangi satu sama lain ke depannya. Aku hanya saja perlu membawamu lebih banyak untuk mengubah rasa trauma menjadi sebuah pembelajaran yang menghidupkan kesempatan baru. Aku berjanji akan mendampingimu dan membantumu sebisa mungkin. Kamu hanya perlu terbuka lebih banyak pada diri ini. April mungkin menjadi bulan kedua setelah Februari yang dipenuhi dengan kisah cinta kita berdua. Kalau mengingat bulan April ini, sebetulnya kita ini sudah sangat melangkah jauh. Kita sudah seperti layaknya pasangan kekasih. Namun tanpa status komitmen apapun karena belum ada jawaban apapun darimu. Di bulan ini pula, kamu terlihat makin keranjingan atau bisa dibilang keracunan film drama Thailand yang mengisahkan boys' love story (BL). Kamu sepertinya begitu terpana dengan kisah percintaan dunia pelangi khas Thailand. Kamu terlihat terpana seolah-olah baru menyadari bahwa memang dunia pelangi bisa memiliki kisah indah seperti yang didramakan di televisi negeri Gajah Putih itu. Ada satu drama itu, memiliki beberapa seri belum selesai dan bersambung, berjudul 2gether the series. Aku tersenyum kecil saja ketika mengetahui kamu tiba-tiba bercerita menjadi keranjingan akan film drama seri itu. "Bang, tahu nggak ini, 2gether, kemarin ada yang kasih tahu dari teman," ceritamu di Whatsapp. "Tahu, itu kan yang lagi viral," responku. "Pemainnya cakep ya, hehe," lanjutmu lagi. Di minggu pertama bulan April, kamu datang ke tempatku. Aku mengajakmu untuk menyaksikan film drama itu di sini. Bersamaku. Kamu mengiyakan. "Ih, itu pemainnya ganteng banget ya, haha," aku merespon seseorang yang bukan pemain utama. Wajahnya menawan. Aku menggoda kamu yang juga sama-sama sedang serius menyaksikan film drama tersebut. Kamu terkekeh. Terlihat agak malu-malu kemudian mengangguk pelan. Kita berdua sedang sama-sama duduk di atas sofa, menyaksikan drama tersebut melalui channel Youtube yang ditayangkan di televisi. Tangan kiriku kemudian aku gerakkan perlahan menjadi berada dan bersandar di belakang pundakmu. Jemari tangan kiriku tak berapa lama sudah merapat menyentuh bahu lengan kirimu. Kita sudah duduk sedemikian dekat samping-sampingan sembari melanjutkan episode yang sedang disiarkan. Aku nyaman dengan posisi itu. Ketika aku bisa menunjukkan rasa sayang dan perhatian aku seutuhnya kepada kamu yang aku sayang. Termasuk melalui perilaku fisik. Tangan kiriku kemudian menyentuh pelipis bagian kiri wajahmu. Kamu juga terlihat sangat nyaman dengan apa yang aku ungkapkan. Kita semakin menikmati film tersebut di tengah lampu ruangan yang dipadamkan layaknya menonton di bioskop. Sayangnya tidak terlengkapi dengan Popcorn, haha. Aku menciumi pelipis kananmu lembut. Kupegang jemari tangan kananmu dengan jemari tangan kananku juga. Aku menciumi bau rambutmu dan kuhirup sesaat. "Kamu tadi mandi pakai shampoo ini yaaa.." ujarku. "Iya Bang, kok tahu?" tanyamu balik. "Iya, aku tahu laah, hehe. Tapi kayaknya kamu beberapa kali ganti shampo yaa?" kataku. "Betul Bang, seadanya itu yang dipakai," responmu. Kuciumi lembut lagi rambut di dekat pelipis kananmu. Aku juga masih dan makin menggenggam erat tangamu. Lalu kusenderkan kepalamu di bahu kiriku. Mata kita masih sama-sama menatap film 2gether di layar kaca. Saat itu beberapa episode sekaligus kita selesaikan karena aku tidak banyak mengikuti episode tersebut. "Kenapa sih Bang, nggak pernah nonton rutin film ini setiap minggunya? Kan setiap hari jumat di menjelang akhir pekan akan ditayangkan di Youtube," bilangmu. "Iya, tapi kadang aku masih sibuk," jawabku. "Terus, aku maunya nonton sama kamu. Baru aku mau nonton. Nggak enak kalau nonton nggak bareng kamu," lanjutku. Kamu terdiam. Entah apa yang dipikirkan. Tapi, memang menurutku lebih nikmat melihat film yang kita sukai dilakukan bersama-sama. Aku sudah terlalu sering menjalani keseharian di tahun ini dengan sendiri. Menemukan sosok yang aku sayang sepertimu aku harap bisa menghancurkan kesendirianku. Aku memang sedemikian rapuh atas rasa sendiri mengingat aku selalu bersama-sama dengan Nathan sebelumnya. "Makanya, kamu tiap akhir pekan main ke sini ya, biar aku bisa nonton film drama BL itu sama-sama kamu, hehe" godaku ke kamu. Kamu masih terdiam. Aku berharap semoga di dalam hati kamu, kamu mengiyakan. Episode terakhir yang diputar untuk minggu ini telah selesai kami tonton. Aku menghidupkan kembali lampu ruangan. Malam itu cukup sejuk sehingga nyala lampu akan semakin menghangatkan ruangan. "Kamu baru tahu ya ada film model begini?" tanyaku. Kamu mengangguk. Kamu sepertinya memang tersihir dengan film BL itu. Mungkin menjadi pengalaman pertama kamu bisa mengagumi film BL. Aku senang, setidaknya kamu bisa punya optimisme baru akan kehidupan percintaan di dunia pelangi yang diinisiasi dari bantuan sebuah film BL untuk membuka sudut pandangmu lebih lebar. Aku sendiri sudah lama mengagumi film BL Thailand dan tentunya negara Thailand. Aku terpesona dengan keindahan negara itu, beserta dengan pluralisme kehidupan dunia pelangi di sana. Terakhir kali aku mengunjungi Thailand, negara ini begitu ramah dengan kehidupan dunia pelangi, meskipun ya sama-sama belum terdapat pengakuan dari negara. "Banyak kok ini film BL. Nggak hanya 2gether," bilangku, sembari mengganti channel Youtube ke beberapa judul film BL Thailand. "Iya ya?" tanyamu seperti belum memercayainya. "Iyaa bener, niih, aku dulu sih sering lihat film BL begini. Bagus-bagus," ungkapku. "Contohnya nih, dari yang paling jadul, rintisan awal tapi salah satu terbaik, Love of Siam," lanjutku. "Pernah denger?" tanyaku balik. Kamu menggeleng. "Nanti ditonton saja, ini aku puterin awalannya," aku menyetel video trailer Love of Siam di Youtube. Kamu menyaksikan sebentar. "Gimana, bagus kaan? Ini pemainnya juga lucu-lucu.. Aku suka film ini karena mengajarkan kita terkait rasa sayang yang tidak mengenal sosok pemiliknya. Mereka tumbuh dari kecil, bersahabat, dan entah mengapa merasa sayang satu sama lain. Sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan," aku sedikit menerangkan. "Hmm.. begitu yaa.." respon kamu. "Ada lagi nih, judulnya Grey Rainbow," aku memutar judul tersebut di channel Youtube. Kamu menyaksikan sedikit trailer-nya. "Hehe, mereka pintar ya cari pemainnya. Pasti pemainnya yang memiliki bodi-bodi ramping seperti itu ya," komentar kamu. "Haha, iya. Memang pemainnya cakep-cakep. Tapi mereka aslinya normal kok. Aku pernah lihat di media sosial mereka. Cuma akting mereka menurutku sih cukup bagus ya di film ini," tanggapku. "Kalau mau, ini kita coba putar satu episode awal saja ya," aku menyarankan. Kamu mengiyakan. Kita menyaksikan kembali film BL Thailand berjudul Grey Rainbow. Aku melirikmu sebentar dan tersenyum. Pikirku, mungkin kamu perlu banyak membuka wawasan kamu tentang dunia ini. Aku belum tahu betul sih seperti apa sosok kamu yang asli. Aku hanya merasakan bahwa sepertinya kamu memang senasib dengan diriku yang memang lebih banyak diberikan naungan given di dunia pelangi ini. "Nanti kita lihat yang lainnya ya, masih banyak kok judul film lain, hehe," gumamku. Kita duduk terpisah tapi masih di satu sofa. Kamu di sebelah kiri dan aku di sebalah kanan. Aku menyenderkan badanku di lengan sofa sembari memeluk bantal sofa. Kamu masih duduk tegap di posisi kamu sebelumnya. Kamu terlihat agak serius melihat film tersebut. Episode pertama dari Grey Rainbow telah kami saksikan. "Gimana, bagus kaan? Hehe," tanyaku. Kamu mengangguk. "Film BL Thailand yang model begini banyak, dan aku suka. Mereka sang pembuat cerita dan filmnya menyadari betul bahwa makna film tersebut yang disuguhkan. Bukan adegan mesum yang biasanya menghinggapi awam ketika membayangkan film gay," tuturku. "Di Indonesia sih bisa dibilang masih jarang film model begini," lanjutku. "Mungkin bisa dibakar massa kali ya kalau di sini. Tuh misalnya ada pasangan sejenis jalan berdua bergandengan tangan model begitu, atau mengungkapkan cinta di depan umum seperti di 2gether," tanggapmu. "Haha, bener sih. Aku juga nggak tahu kenapa. Padahal ada message atau makna yang baik di balik film tersebut. Bahkan, nggak ada adegan esek-esek yang kentara, paling menyerempet tapi itu konsentrasinya adalah pengungkapan rasa sayang bukan ekspresi cabul," komentarku. Kamu terdiam. Sepertinya ada optimisme terbangun di kamu untuk memiliki perspektif lain yang lebih baik dalam membangun kehidupan dunia pelangi. Mungkin saja itu hanya asumsiku. Tapi setidaknya kisah cinta dunia pelangi memang sebetulnya sama seperti kisah cinta manusia pada umumnya, dan memang bisa dimaknai begitu indah. "Bagusnya film BL Thailand ini, pasti nanti ujung-ujungnya dari kisah romansa di dunia pelangi yaitu akan ada pertentangan dramatis dengan ekspektasi sosial pada umumnya," lanjutku. "Coba aja nanti kamu membandingkan dengan beberapa film-film BL lainnya, pasti akan terdapat satu kesamaan makna itu," bahasku lagi. "Entah nanti pemainnya ada yang meninggal, berpisah, tapi penuh makna mendalam," aku masih berkomentar. "Mungkin aspek makna ini yang membuat film-film BL digandrungi di negara asalnya. Bahkan digandrungi banyak perempuan di sana, hehe," bicaraku makin panjang lebar menerangkan. "Oh gitu ya Bang?" tanggapmu. "Iyaa... tentunya selain karena pemainnya cakep-cakep ya hehe," ujarku. Di dalam hati, aku kemudian berpikir sejenak. Seandainya kamu memang pernah memiliki kisah romansa di dunia pelangi dengan durasi yang begitu panjang sampai menahun. Pasti kamu akan paham apa informasi tadi yang aku coba untuk sampaikan kepadamu. Kalau kamu sukses membina kisah cinta di dunia pelangi, kamu pasti akan sangat teramat bersyukur. Titik pencapaian kamu tersebut akan memiliki makna sangat mendalam. Kamu akan menyadari bahwa rasa sayang bisa saja hadir begitu saja, tanpa mengenal sosok yang dihinggapinya. Jika jodoh itu begitu kuat, kita hanya akan diberikan kesempatan untuk terus menerus menyalakan nyala cahaya cinta di hati masing-masing. Sampai suatu saat, kita harus menghadapi kenyataan bahwa pelangi juga pasti akan memiliki masa tayang di angkasa kehidupan. "Yang terpenting, mereka ketika menjalaninya berusaha sedemikian tulus. Kamu pasti akan melihat aspek penting itu sebagai sebuah makna mendalam dari film BL Thailand. Kerelaan, pengorbanan, dan kesabaran juga banyak menjadi cerita yang membuat kisah cinta itu menjadi sangat hidup serta membuat hati kita menjadi haru," lanjutku. Aku sedemikian bersemangat menceritakan pemahamanku akan dunia pelangi padamu saat itu. Aku berharap, intensitas hubungan kita nantinya akan semakin mudah meningkat karenanya. Aku ingin kamu benar-benar bisa sayang pada diri ini. Mungkinkah itu terjadi? Aku tak tahu dan hanya bisa mencoba bersabar, dan mempersiapkan rasa ikhlas sebesar-besarnya. Aku akan menanti tanggapan komitmen kamu pada rasa sayang diri ini ke kamu, entah apapun bentuknya. *** Bukan Esek-esek yang Aku Cari Suatu malam di pertengahan bulan April. Minggu kedua bulan ini mungkin. Kita sudah hampir terlelap bersama di atas kasur. Gaya tidurmu begitu kaku. Terlentang dengan lengan dilipat di atas dada. Sementara itu, aku memiringkan posisi tubuh menghadap tubuhmu. Aku memandangi wajahmu dalam kegelapan. Seberkas sinar cahaya malam yang berasal dari lampu kendaraan bermotor temaram memasuki kamar. Samar-samar karenanya aku dapat melihat wajahmu lebih jelas. Kamu telah memejamkan mata tapi aku tahu sepertinya kamu masih belum tertidur. Sepertinya, kamu mengetahui kalau aku juga sama-sama belum bisa memasuki alam mimpi. Kamu kemudian mengubah posisi tidur sehingga menyamping ke kiri. Memunggungiku. Kemudian kamu terbangun sejenak. Aku segera menutup mata. Kamu menaikkan selimut yang kecil itu sedikit ke atas, menutupkannya kepada dirimu, dan tak lupa kepada diriku juga. Lalu kamu kembali memposisikan tubuhmu ke posisi semula. Aku tersenyum kecil. Aku memberanikan diri untuk menggeser posisi tubuhku. Aku mendekati tubuhmu. Aku semakin merasakan energi dari tubuhmu mendekati diriku yang semakin merapat. Aku menyelipkan tangan kananku, memasuki sela antara bahu kananmu dengan ruang dadamu. Aku memelukmu erat dari sana. Karena posisi itu, aku jadi menempelkan tubuhku bagian depan pada seluruh ruang belakang tubuhmu. Karena tinggi kita sama, aku dapat merasakan bibirku menempel di lehermu. Kuciumi lagi rambutmu itu, dan semakin kudekap dirimu nyaman. "Aku sayang Dave," suara bisikanku pelan menderu di tengah keheningan malam. "Abang belum tidur?" kamu bergumam pelan, bertanya padaku. "Nih mau bobo, hehe," gumamku lagi, sembari membetulkan posisi tubuh agar lebih nyaman selagi memelukmu. "Kamu belum bobo?" godaku. Seandainya kita belum tidur, aku ingin bercerita ringan denganmu. "Hemmm.." dehemmu. Sepertinya kamu sudah mulai memasuki mimpi tapi masih belum terlalu dalam. Pergelangan tangan kananku mencari tangan kirimu. Aku ingin menggenggam tanganmu itu. Akhirnya aku menemukannya, dan aku menggenggamnya. Kamu menggenggam balik jemari tanganku yang agak terlihat lentik itu. Aku benar-benar merasa hangat saat itu. Kita mungkin sekarang sudah saling melelapkan diri masing-masing. Tapi benarkah begitu? Kamu kemudian memutar tubuhmu. Sekarang posisimu telentang dengan tangan bersila di atas dada. Aku melepaskan genggamanku atas jemarimu lalu setelah kamu berganti posisi, aku meletakkan kembali tanganku di atas tanganmu. Aku melepaskannya kembali, kemudian memeluk perutmu yang agak berisi itu. Saat itu memang sepertinya kita masih belum sama-sama bisa tertidur. Sepertinya ada yang masih perlu kerjakan sehingga membuat kita masih terjaga. Memang, waktu itu masih belum terlalu larut malam, kira-kira masih jam 10 lewat. Aku membuka suara. "Aku ingin lanjut cerita nih. Kamu ingat nggak yang kemarin aku pernah cerita ke kamu di whatsapp? Aku mimpi kita punya anak, wajahnya lucu banget. Matanya mirip aku bulat besar gitu. Lalu yang lainnya mirip kamu," ujarku. "Iya, abang pernah cerita," jawabmu singkat. Kulihat memang matamu masih terpejam tapi dari lantunan nafasmu masih menunjukan kesadaran cukup tinggi. "Lucu ya bisa mimpi seperti itu. Memang nggak mungkin sih kalau kita nanti ada anak. Itu hanya mimpi saja, bunga tidur, entah karena imajinasi atau apa," sambungku. "Tapi ya sekali lagi lucu aja sih. Aku juga paham kalau dunia begini di Indonesia pasti tidak mungkin," komentarku lagi. "Iya Bang. Memang sebaiknya jangan terlalu berharap kalau di Indonesia. Susah sih, juga nggak akan bisa nikah juga," responmu. "Iya betul. Tapi yang namanya rasa sayang itu nggak ngelihat jenis kelamin," tanggapku. Kamu terdiam. Aku mencoba memahamimu sih. Kamu masih cukup belia di usiamu sekarang. Baru beranjak dewasa. Mungkin saja, kamu belum pernah memulai sebuah kehidupan yang benar-benar isinya adalah kebersamaan yang murni dihidupkan oleh rasa sayang, tanpa memandang identitas siapa pemilik rasa sayang itu. "Eh aku iseng tanya nih, kalau pengalaman kamu gimana?" tanyaku. "Pengalaman apa Bang?" tanyamu. "Pengalaman di dunia begini, apapun, mungkin paling gampang soal seks deh kalau misalnya perihal rasa terlalu berat untuk dibahas," jawabku. "Kalau seks sih aku sudah jenuh. Paling ya sekarang sering sendiri saja," responmu. "Oh... memang masih bisa mimpi basah ya?" tanyaku. "Masih, terkadang mimpi basah," jawabmu. "Ha? Serius? Aku sekarang sudah mulai jarang," ujarku. "Kalau memang jarang, pasti akan alami keluarnya," ucapmu. "Aku juga jarang sih, tapi jarang juga mimpi basah, haha," tanggapku. "Soal esek-esek, bukan prioritas sih. Aku dulu hanya melakukannya dengan pacarku sebelumnya. Ya karena aku sayang, aktivitas itu jadi pelengkap kami," ceritaku. Aku sedikit teringat beberapa bulan lalu ketika aku mulai banyak mengungkapkan perihal rasa pada dirimu. Namun dirimu seolah menganggap seperti angin lalu karena menilaiku hanya bermain-main dengan perasaanmu. "Abang juga kalau setiap ketemu pasti gituan kan sama aku?" tanggapmu saat itu. "Aktivitas itu hanya pelengkap. Tapi aku betulan sayang sama kamu. Aku mencoba serius sama kamu," responku. "Aku lagi nggak minat bicara ini. Aku memang lagi nggak dekat dengan siapa-siapa saat ini," balasmu kemudian. "Iya, aku akan bersabar buat kamu. Aku janji ingin membahagiakan kita bersama. Umurku sudah di ujung, kamu akan aku jadikan yang terakhir di dunia begini. Aku ingin punya kisah cinta baru lagi yang benar-benar makin baik dan makin bahagia," tambahku. Namun tak berbalas cepat. Kamu juga seperti terdiam lebih lama dan membatasi komunikasi. Sampai akhirnya kita dipertemukan kembali di makan malam sehari sebelum kamu merayakan hari ulang tahun. Aku memang tidak mencari esek-esek. Kalau kamu bilang dirimu jenuh, aku mungkin malah lebih jenuh dengan esek-esek. Seperti kataku tadi, perihal esek-esek memang hanya menjadi pelengkap dan penambah kebahagiaan. Terpenting menurutku adalah sosok pasanganku yang merasa bahagia dan sayang pada diri ini. Terpenting adalah itu, karena kebersamaan membutuhkan niat, nyala api, dan listrik cinta yang selalu bergelora di hati pemilik kasih sayang ini. Kehidupan romansaku sebelumnya yang begitu lama dan sangat dalam bersama Nathan, benar-benar mengajari aku untuk menjadi sosok yang lebih dewasa. Kami masih bisa begitu bersama-sama, berbahagia dan tertawa gembira, meski tanpa esek-esek. Ada kalanya kami membutuhkannya. Aku pun banyak melakukannya hanya untuk semakin melihat dirinya merasa nyaman, terlindungi, dan bahagia bersama diri ini. Aku kembali menggenggam tanganmu. Aku sentuh tangan kananmu yang masih berada di atas dada itu, dengan tangan kiriku. Kusematkan jemari ini ke sela-sela jemarimu itu. Kamu membuka jemari tanganmu itu, merespon halus dan membiarkanku menggenggam erat telapak tanganmu. Kutaruh kedua tangan kita ini di tengah-tengah antara dirimu dan diriku. Aku merasakan kita sama-sama saling menggenggam erat tangan masing-masing. Tak terasa, mataku semakin lelah dan berat. Aku mulai dapat memasuki alam mimpi. Sesaat sebelum aku benar-benar terlelap, aku merasakan dirimu memiringkan posisi tubuhmu menjadi menghadap diri ini yang sedang tidur telentang. Sementara tangan kita masih sama-sama saling menggenggam. Lalu kita sama-sama terbang melayang di awan kembang tidur. Keesokannya kita sudah terbangun dari nyenyaknya tidur. Aku pertama kali yang beranjak dari tempat tidur. Aku membersihkan diri, bersembayang, dan merapikan ruangan. Sesaat kemudian kamu juga beranjak bangun dan menyambung bersih-bersih diri. Kita kembali menghabiskan waktu bersama dengan menyaksikan televisi dan bersenandung sebentar. "Kruuk.. kruuk..." perut aku berbunyi. "Yuk, kita cari makan pagi, sebentar lagi mall dekat sini buka. Kita ke sana saja ya?" ajakku. "Boleh Bang," ujarmu. Sepertinya kamu juga terlihat agak kelaparan. Tak butuh banyak waktu, kami sudah berada di mall tersebut. Hari ini masih menjadi salah satu hari implementasi awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta. Beberapa toko dan restauran di mall tersebut terlihat tutup. Mall pun terlihat cukup sepi. Jakarta sedang mulai beradaptasi untuk membiasakan diri dengan pencegahan salah satu pandemi virus global. "Kita coba ke lantai atas yuk. Ini di lantai sini biasanya cafenya pada buka, tapi ini masih tutup. Apa mungkin baru buka nanti agak siangan jam 12 ya?" ajakku. "Iya Bang," tanggapmu. Kita pun sudah ke lantai atas, dan menemukan satu tempat makan umum yang biasanya ada di hampir setiap mall. Mungkin karena popularitasnya itu, tempat makan ini ternyata buka. Kita lalu memilih menu makanan, dan duduk di salah satu corner yang masih sepi. "Hore, makanan sudah datang, ayok silakan dimakan," tampangku senang karena aku betul-betul sedang kelaparan. Biasanya aku sudah sarapan jam segitu. Namun karena PSBB, banyak tempat makan di luaran yang masih tutup. Bersyukur menemukan tempat makan ini dan makan bersama dirimu, daripada makan mie atau bubur instan sendirian. Apalagi kita duduk saling berhadap-hadapan seperti ini dan begitu dekat. "Hari ini minggu, kamu rencana mau ngapain habis ini?" tanyaku. "Aku mau berberes rumah Bang. Aku lagi ada ngerapiin kamar dan ruangan rumah gitu Bang," jawabmu. "Wah, ngerapiin sendiri?" lanjutku menanyaimu. "Aku bantuin kok Bang, ini juga dikerjain sama-sama," responmu. "Semoga segera rapih ya rumahnya hehe," tanggapku. "Iya Bang," ucapmu. Obrolan pun berlanjut. Kamu mulai bercerita lebih banyak tentang dirimu. "Aku jadi terkenang deh Bang. Salah satu cerita yang menurut aku cukup berkesan. Dulu itu ada bosku waktu aku masih kerja di café. Dia galak, ke semua orang. Tapi kalau ke aku nggak," celotehmu. "Wah, kok bisa? Bosnya cewek apa cowok?" tanyaku. "Cewek Bang. Panggilannya Bunda. Dia juga tahu kalau aku gitu haha," lanjutmu. "Eh beneran? Unik ya haha. Enak ya kalau di swasta gitu, pasti nggak ngelarang deh malah ngesupport, bener nggak?" responku. "Bener Bang. Dia tahu karena dia pernah lihat handphoneku dan ngebuka twitterku. Jadi dia tahu ternyata aku begitu, haha," kamu tertawa. "Kalau ketemu bos kayak gitu, dipertahanin aja. Kamu kenapa resign dulu?" tanyaku. "Iya, dulu memang mau lanjutin selesain kuliah dulu. Karena capek kerja sambil kuliah itu," bilangmu. "Bingung juga sih. Padahal sebetulnya aku ditawarin untuk tidak part time tapi full time kayak pegawai biasanya gitu. Ada juga yang ditawarin gitu. Tapi ya mau gimana lagi. Aku harus nyelesain kuliah dulu," ucapmu. "Iya betul sih. Kerjaan nanti insya Allah akan datang kok. Aku pernah di posisi kamu, kuliah dan kerja juga. Akhirnya milih nyelesain kuliah. Karena bener kok, kalau kita sudah kuliah, selesai, punya ijazah, itu akan meningkatkan daya tawar kita dan mendukung kesuksesan kerja ke depan. Lagian nggak pusing pecah pikiran antara kuliah dan kerja," tanggapku. "Apalagi ini yang kerja di café di Thamrin itu ya?" tanyaku. "Iya.." jawabmu. "Tuh kan, itu jauh dari rumahmu. Pasti banyak waktu habis di jalan, hehe. Menurutku langkah kamu sudah tepat kok. Yang penting, kuliahnya memang harus benar-benar diseriusin untuk diselesaikan dulu ya," semangatku padamu. "Iya Bang, aamiin," doamu. Aku senang. Aku merasa dibutuhkan dirimu lebih banyak. Aku berharap bisa memberikan beberapa masukan untuk mendukung kehidupan kamu ke arah yang lebih baik. Aku insya Allah akan siap membantu kesuksesan kehidupan kita bersama. Aku akan selalu ada untuk itu. Biarkan aku menemanimu, mendengarkanmu bercerita, dan bawakanmu rasa bahagia. "Kalau menurut Abang, aku cocoknya kerja dimana ya setelah kuliah? Lanjut di café atau jadi profesional sesuai dengan jurusanku ya?" tanyamu. Aku cukup terkejut ditanyaimu seperti itu. Mungkinkah kamu sudah makin benar-benar mempercayai diri ini, dan meyakini rasa kita bersama? Menurutku, memberikan saran untuk menentukan masa depan seseorang merupakan salah satu titik lanjut pertumbuhan kepercayaan ke arah yang lebih dalam. Aku berupaya memberikanmu saran terbaik. "Menurut Abang, pilihlah pekerjaan yang kamu benar-benar sukai sesuai passion dan memiliki jenjang karir yang jelas. Nggak masalah kalau kerja di café karena aku tahu di situ juga punya jenjang karir yang bagus. Nggak masalah juga kalau mau kerja jadi profesional sesuai latar belakang pendidikan karena itu juga sama-sama memiliki jenjang karir. Lakukan yang terbaik menurut kamu, dan pasti aku dukung," tanggapku. "Iya Bang, terima kasih ya Bang," ucapmu. "Terpenting sekarang, kamu benar-benar selesaikan kuliahmu ya. Biar nanti nggak kepikiran terus. Kalau satu sudah selesai, tinggal step berikutnya yang pasti akan lebih mudah," saranku. "Siap Bang, makasih ya Bang," kamu tersenyum mengiyakan. Santap sarapan menjelang siang ini pun telah kita habiskan. Kamu mengantarkanku pulang. Lalu kamu berpamitan untuk pulang ke rumahmu. Aku memelukmu erat kembali sebelum kamu beranjak pulang. Benar-benar erat, karena aku merasa makin sayang pada dirimu. Kamu juga membalas pelukan ini. Lepas itu, kamu berpamitan mencium tanganku. Bolehkah kita selamanya dekat seperti ini, dan semakin dekat, dekat, dekat lagi? *** Description: Pernahkah kalian menjalani kisah romansa di dunia pelangi, hingga sembilan tahun lamanya dengan seseorang? Lika-likunya terasa begitu lebih rumit seperti banyaknya warna pelangi di lautan langit luas selepas badai. Meski banyak tantangan, aku sepercaya itu bahwa cerita cinta di dunia pelangi juga bisa seindah spektrum cahaya pelangi yang menginspirasi. Mungkin, cerita ini bisa menjadi perspektif alternatif bagi kita yang berupaya memahami interaksi kita di atau dengan dunia pelangi. Harapannya, kita dapat memberikan penghargaan yang sama bagi sebuah rasa cinta tulus yang diungkapkan antar dua insan manusia, tanpa memandang apapun perbedaan orientasi seksual. Story ini berawal dari titik waktu di saat aku, Matt, berjuang untuk menghidupkan sebuah rasa sayang tulus dari diri seorang baru bernama Dave yang memiliki trauma romansa. Tak mudah memang, karena tembok tebal dan besar yang sedang aku hadapi. Sampai-sampai aku harus melakukan sebuah kesalahan fatal yang memisahkan kami sementara waktu, hanya untuk meyakinkan diri bahwa kami memang sedang berada di track yang benar. Di saat yang hampir bersamaan, aku harus menghadapi kepergian selamanya dari seseorang bernama Nathan. Kami pernah menghidupkan mungkin salah satu kisah romansa terbaik di dunia pelangi karena bersamanyalah aku menyalakan hubungan selama hampir sembilan tahun lamanya. Kepergiannya sangat mengejutkanku namun di luar dugaan justru sangat memberikan makna terdalam akan arti rasa sayang yang tulus di dunia pelangi.
Title: Rasa Rahasia Category: Puisi Cinta Text: kata diary Aku tidak tahu sejak kapan duniaku sepiSungguh seorang aku ini juga ingin bicara mengenai hatiTapi semua itu cukup ku tulisDan ku pinta dalam doa sajaTanpa siapapun yang harus tahu ***Mengertilah Aku juga pernah mendambakan senjaSenjaku begitu indah di waktu pertama Kita bertemuMeski hanya bisa ku tulis ribuan puisi Dan ku lukis matanya dalam sebuah diaryLengkap dengan senyuman indah di sudut-sudut bibirnya ***Saat pertama Tak sengaja mata kita saling menatapSeperti ada rasa yang belum pernah aku kenali sebelumnyaKau yang duduk dari kejauhanTak bisa lepas dari penglihatankuSaat itu kau yang tersenyum kecilTerlihat manis sekali ***Dan di sini aku yang memandangimupunMenghayal tentang banyak halKau tersenyum bersamakuCerita tentang hari-harimuDan tertawa di sampingku ***Sedikit berhayal mungkin tidak masalah bagikuKarena dengan itu aku bisa bahagiaMeski bahagiaku semuDan tawaku hanyalah ilusiSebuah jiwa yang menarik untuk ku milikiAku berharap banyak halKarena bisa menatapmu dari jauh saja sudah bahagia bagikuApalagi memilikimu seumur hidupkuTentu anugrah tuhan yang aku tungguMeski senja sudah bertemu malamAku berharapSuatu hari nanti kau membaca puisiku iniYang tertulis hanya dengan sebuah RASA :) ***Bacanya sambil diresapi biar lebih kerasa kaya ada manis-manisnya gitu hhe♡. like follow subscribe yaaaaa nanti next puisi selanjutnya pantengin terus dong🤗 Oleh: selfi Hilda Alfyrdaus 📝 Description: hanya bisa ku pinta dalam do'a perihal realita serahkan Allah yang menjawab Qodar-Nya cinta sebuah kata rumit dirasa mengharukan mendebarkan merindukan yang menjadi sejarah di perasaan inilah rasa rahasia
Title: Rassa Category: Puisi Text: Jeda Kau menulis kata tanpa jeda Kau melupakannya, seolah kata-kata indah itu tak memerlukannya Kau berpikir jeda tidak ada kaitan dengan kata-kata itu Kau salah Kau tak paham Kata-kata tak akan punya makna tanpa jeda Seperti kisah kita Yang harus terpisah karena punya makna Makna rindu yang tak mungkin bisa kau artikan tanpa adanya pisah Atau jeda yang berarti koma Bukan titik atau selesainya sebuah kata Kau tahu berpisah kita ini hanya jeda Untuk tahu betapa sempurnanyamu karena telah kusiakan Aku kini tahu sakit ini bukan kemauanmu Tetapi, Akulah yang meminta jeda itu datang Dan menyuruhku menikmati rindu Semarang, 8 Agustus 2019 Ingatkah Denganku? Ingatkah denganku?Aku yang berusaha melupakanmu Ingatkah denganku?Aku yang sedang berusaha mengabaikanmu Ingatkah denganku?Aku yang sedang mencoba menerima semuanya Aku sedang membuka buku yang baruKutulis namanya dan kali ini bukan kamu... Tulisan pertama aku tertawaAku belum siap membacanya... Dan untuk kedua kalinyaAku tersenyum bahagia Karena... Ada dia yang sedang menyambut hatiku dengan ramahnya Dan selanjutnyaSemoga aku terbiasa tanpa adanya kamu dan kenanganmuYang ingin kubuang dan kubakar lembaran lama yang tidak pernah benar untukmu... Kini aku dan juga lembaran baruku... Apakah Kita Telah Usai? Hei... Kamu yang pernah terluka karena ulahku Jangan kau anggap disini aku baik-baik saja tanpamu Jangan menganggap aku bahagia menyakitimu Hei... Yang dulu mencintaiku Aku dengar kamu telah berdua dengan seseorang Aku dengar kini kau telah bahagia dengannya Apakabar dengan kita? Apakah telah usai? Bukankah Engkau Yang Menjauh? Uh... Aku harus selalu tersenyum melihatmu Mendengar pertanyaanmu, sepertinya Kau belum benar-benar mengerti aku Belum benar-benar mengenalku Duduklah, akan ku jelaskan Kau menamparku dengan kata-kata kasar Yang melukaiku Kau pergi begitu saja dengan amukan yang setiap kali mengenai wajahku Apakah dengan seperti itu, Aku tetap harus melihatmu membelai rambutku Tetap terus menggenggam jemari jahatmu Sepertinya, aku ini Wanita Iya Wanita... Yang kerap kau acuhkan Jika kau sedang bersama teman-temanmu Ingat Aku Wanita yang juga butuh kasih sayang Dari seseorang yang aku cintai, selain dari orang tuaku... Ku harap kau mengerti... 23 November 2019 Adakah Maaf Untukku? Dengarkan aku, Aku mencintaimu lebih dari apa yang kau kira Aku menyayangimu lebih dari apa yang kau mau Aku tak sanggup melihatmu bersama teman-temanmu Sedangkan aku? Menunggu sendirian di depan rumahmu Aku tidak suka dengan perlakuan teman yang dia ketahui aku adalah lelakimu Meski aku bukan Suami Atau Ayahmu Tetapi bukankah itu sudah cukup untuk dia tidak mendekatimu Dan kamu juga tidak memberinya cukup luang untuk mencuri hatimu? Sepertinya kau tahu jika aku ini seorang pencemburu Bahkan kau tahu bahwa aku ini adalah temanmu dahulu Apakah belum cukup aku memberi cinta yang berlebih ini untukmu? Maaf jika aku menyakitimu dengan begitu Aku mencintaimu dengan caraku Adakah maaf Untukku? Semarang, 25 November 2019 Mungkin Aku, sengaja tak menulis pesan untukmu Aku tidak ingin kau merasa berjasa mencintaiku Iya, aku sejahat itu... Aku tidak bisa berfikir jika itu tentangmu Tentang semua kekasaranmu untukku Jika kau memintaku untuk terus bersamamu? Lalu bagaimana denganku? Yang tidak pernah kau beri waktu luangmu? Atau... Jika kau cemburu dengan teman baikku, Bagaimana denganku? Yang juga tidak bisa terima dengan perlakuan manismu untuknya? Aku butuh kamu Bukan kemarahanmu Aku butuh kamu Bukan kamu dengan temanmu itu... Mungkin, Aku bisa memaafkanmu Tapi tidak bersamamu lagi Mungkin, Aku bisa memaafkanmu Tetapi tidak untuk seperti dulu Semarang, 25 November 2019 Kenapa Kau Tak Membalasnya? Apa kau benar-benar tidak akan memberi maaf untukku? Apa kesalahanku sangat menyayat hatimu? Aku ini manusia Aku juga punya rasa... Aku bukan tidak ingin memberimu maaf Tetapi..., Aku sedang tidak ingin membalasnya Jika kau saja tidak ingat ini juga salahmu Lalu apa yang membuat seolah Aku pergi meninggalkanmu? Meski benar aku memilih pergi Tapi..., Ini semua atas ulahmu bukan mauku Lalu..., Kenapa Kau Tak Membalasnya? Untuk Kamu Dan Kau Untuk kau..., Jangan dulu menggangguku Aku sedang tidak ingin memikirkanmu Aku sedang malas berkirim pesan denganmu Untukmu..., Jangan dengarkan dia yang sedang tidak bersahabat dengan kita Dia hanya sedang menyesali perbuatannya... Jangan pula menganggap aku akan kembali ke pelukannya... Karena aku disini sedang menggenggam jemarimu yang juga butuh aku Begitu juga dengan jemariku yang butuh kamu Dan untuk kau... Aku sedang tidak ingin berseteru Kau Membuatku Cemburu Sayup-sayup ku dengar kau menyebut namanya Ku mohon jangan dihadapanku Bisa saja aku membunuhnya di depanmu Jangan remehkan emosiku Bukankah kau tahu jika aku sudah cemburu Pisau saja bisa menggores tanganku Atau kau mau itu terjadi padaku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku sekarang? Daripada aku tersiksa karena cemburu... Terserahku Ini pesan terakhir untukmu Dariku, yang ku tulis lewat hati... Aku sejujurnya telah membencimu... Setelah hari lalu kau menyakitiku Melukaiku hingga aku terluka karenamu Sebenarnya, aku sedang tidak ingin menganggapmu ada... Atau menganggapmu pernah hadir disampingku Kau pikir? Aku biasa saja melihatmu berbinar menatapnya Disini, aku juga mencintaimu Bukan kau saja yang mencintaiku Sekarang, aku tampak asing melihatmu Seperti, bukan Bayu yang dulu mencintaiku Bukankah dihatimu Sudah ada dia yang juga kau cintai seperti aku dulu? Perihal dia, itu urusanku Terserah aku meski kau adalah kekasihku Karena mulai saat ini, Kau... Bukan siapa-siapa lagi untukku... Maafkan Aku Begitu marahnya kamu padaku? Seberapa besar cintamu itu? Sampai kau mematahkan hatiku ini? Aku tidak ingin kamu melupakanku Jika itu adalah kemauanmu Maafkan Aku Ambarawa, 6 Desember 2019 Kamu Kemana? Apakah kau telah membacanya? Apa, kau malah membuangnya? Aku khawatir... Beberapa hari ini aku belum membaca pesanmu Dimana kamu hari ini? Apakah kau benar-benar tidak ingin membalasnya? Untuk sekali lagi, aku minta maaf... Ambarawa 13 Des 19 Sudah Lama Hai.... Apa kabar dia yang kini meninggalkanku? Menggantiku dengan orang baru Dan tak pernah lagi, mau memaafkanku... Aku datang lagi Mengamati pesan, yang tak akan ada lagi gunanya Aku masih tetap disini Mengirim pesan walau tak pernah lagi terbalaskan... Mungkin, dia sedang bahagia dengan pilihannya Dia juga sedang bahagia melupakanku... Aku sedang mengurung diri saat ini.. Menyesali perbuatan tempo hari Bukan salahnya.... Ini hasil perbuatanku yang semena-mena... Yang dulu ku anggap biasa saja... Maaf jika aku terlalu memaksa untuk kau selalu ada Kini berbahagialah... Meski aku terluka... Secarik Rindu Apa kabar? Sudahkah kau memikirkanku? Disini aku sedang tidak enak badan Aku merindukanmu sejak kemarin Semalam, Sedari pagi hingga larut Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu Separah inikah rindu untukmu? Kembali Seperti Dahulu Selamat untuk tahun yang baru Kamu berhasil melupakanku Dan kamu berhasil mematahkan hatiku Untuk kesekian kali Lagi, dan lagi... Harapanku Sesederhana mimpiku Jangan pernah aku terlalu melarutkan berjuta kenangan yang membuatku berhenti tertawa Buatlah aku tersenyum Sebagai mana aku pernah tersenyum Jangan terlalu membuatku menangis tersedu.... Semoga Kamu... Kembali Seperti Dahulu Semoga Terbiasa Aku sudah mencoba melupakanmu hari ini... Jika kau tak keberatan, Ingin aku tulis dengan tanganku bahwa kau pernah mencintaiku... Semoga hari ini adalah hari terakhir aku memikirkanmu... Dan aku mulai terbiasa tanpa adanya kamu... Masihkah Kau Rindu Di Heningnya malam Aku mengingatmu Di luar jendela Aku memikirkanmu Sedang apakah kamu? Masihkah Kau rindu tentangku? Dan Kau Hadir Lagi Setelah sekian lama pergi Setelah sekian lama kau hilang Setelah sekian lama tanpa kabar Kau ketuk lagi pintu yang masih saja bimbang Kau ceritakan lagi semuanya yang untukku sudah usai Kau datang membawa semuanya yang hampir membuatku hilang disemayamkan Kau bawa semua luka itu dan mungkin aku senang Tapi menurutku Tunggu... Itu menurutmu Semua ini percuma Karena kau hanya datang Membawa kabar bahwa kau baik-baik saja Tanpaku di setiap sore dan malammu... September 2020 Description: Rasa yang pernah terluka
Title: Ruang Putih Category: Puisi Text: Ruang Putih Putih, Putih artinya, Suci maknanya Kosong tanpa goresan, Tenang tampaknya Ruang, Berarti tempat, Beragam bentuk, Berjuta tujuan, Tentunya memiliki pemilik Ruang putih, Tempat perenungan Tempat pertimbangan Tempat penyejukan Tempat penyadaran Di situlah, aku bertemu dirinya Dia, sang penjaga Dia, sang penyadar Dia, sang penceramah Dia, sang pembimbing Di sini, Tempat menuju jalan keluar Di sini pula, Diriku tenang -LeanAfy Description: Aku hanya menulis apa yang aku rasa Bagi kalian yang belum tau tentang hal ini, akan ku beritahu lewat kata-kata ku ini. Aku harap kalian paham dan tidak menganggap ini aneh.
Title: Resah Category: Teenlit Text: Takdir Takdir Jika dua orang ditakdirkan bersama, maka dari sudut bumi manapun mereka berasal, mereka pasti bertemu. -Tere Liye June 2021 Sore itu, langit dipenuhi warna jingga dan kebiruan di ujung barat. Sekolah yang dulu terasa rindang hijau pohon, kini telah berubah padat bangunan dan fasilitas sekolah. Namun, semua masih terasa sama. Setidaknya itu yang dirasakan seorang perempuan yang tengah berdiri, menghadap banner setinggi dua meter di depan aula pertemuan. “Hana, sialan lo, udah dateng tapi nggak nge-chat gue!” Seru Lusi. Dia berlarian kecil dari aula sekolah menuju Hana yang masih bengong menatapi bangunan yang dulu dia anggap rumah keduanya. “Lo tahu nggak, gue udah mirip banget kayak patung selamat datang karena nungguin elo.” “Ya maaf, lagi nostalgia, nih.” sahut Hana. Raut mukanya berseri-seri, kentara akan rasa rindu pada sekolah lama dan sahabatnya. Lusi menghela nafas. “Dasar baperan!” Ditariknya lengan Hana, lalu menuntun perempuan itu hati-hati karena mereka sedang memakai jarik. “Kalau mau baperan itu di dalem, banyak muka-muka yang dijamin pasti bikin paling, deh.” Hana tertawa. “Iya, juga ya. Eh, berapa tahun sih, kita nggak ketemu? 10 tahun, ya? Pasti banyak juga yang udah punya buntut.” Ia masih saja tertawa, dan membayang-bayangkan bagaimana rupa kawan-kawan lamanya saat ini ketika mereka sudah sampai di tempat duduk. Di depan meja-meja bundar tamu undangan, band lokal sedang bersenandung merdu di atas panggung. Menyanyikan tembang-tembang lawas bertema masa sekolah. Pada dinding panggung, banner bertuliskan reuni angkatan 2011 menjadi tajuk pertemuan hari ini. Yang menjadi alasan Hana untuk rela menempuh ribuan kilo meter demi bertemu kawan lama. “Gue tadi aja, butuh beberapa detik buat sadar kalau yang pakai kebaya cantik ini, itu elo.” Tuturnya sambil menarik-narik pelan kebaya di bagian pinggang Lusi. Sejauh mereka berteman, ia mengenal Lusi sebagai perempuan yang sedikit tomboy. Selalu pakai celana dan jauh dari barang feminim. Jadi, tidak salah jika dia butuh beberapa saat sebelum sadar bahwa perempuan berwajah mulus dan bersanggul sleek low bun itu sahabatnya. Lusi cemberut. Tangannya menjulur, mengambil kue kering yang tersedia di meja, lalu mengunyahnya. “kan, emang dresscode-nya kebaya. Yah, terpaksa deh.” Hana tersenyum dan mengangguk, lalu ikut mengambil kue kering. “eh, lo mau tahu soal dia, nggak?” Gerakan menguyah Hana tiba-tiba berhenti, raut wajahnya yang berseri-seri seperti sehabis cuci muka pakai sabun, hilang digantikan raut murung. ada jeda beberapa saat, sebelum Hana malah balik bertanya. “Dia sudah nikah belum, ya?” Lusi tercenung. Cukup terkejut dengan lontaran pertanyaan Hana. “Han, elo inget kalimat ‘Jika dua orang ditakdirkan bersama, maka dari sudut bumi manapun mereka berasal, mereka pasti bertemu’? “Inget. Qoutes-nya Tere Liye, kan?.” “Itu kan, kata-kata yang dulu sering elo ucapin ke gue sebelum pindah ke Jogja. Dan gue yakin itu, masih elo yakinin sampai sekarang, iya kan?” Hana mengangguk. “tapi, kenapa elo nggak jawab aja pertanyaan gue dulu? Atau emang apa yang gue yakinin ternyata salah? Sepuluh tahun itu waktu yang lama, Lus” kepalanya tunduk, ditatapnya dua ibu jarinya yang saling beradu kuku. Ada getaran di saat suaranya mengalun sendu. Lusi memegang bahu Hana, membuat Hana mendongak dan mereka saling tatap. Lusi dengan tatapan menguatkan dan Hana dengan tatapan putus asanya. “Kalau elo emang masih yakin sama qoutes yang jadi prinsip asmara elo itu, kenapa nggak lo buktiin sendiri aja?” tanya Lusi penuh tantangan. Hana gelagapan. diraihnya jus jeruk bagiannya dan meminumnya pelan-pelan. dari dinding gelas yang bening, perempuan itu bisa melihat Lusi yang masih terus menatapnya datar. jus jeruk yang manis, entah bagaimana malah terasa menusuk-nusuk tenggorokannya. “Elo haus banget, ya?” Lusi tak habis pikir, Hana meminum satu gelas jus dalam satu tarikan nafas. Dengan punggung tangan, Hana mengusap bibirnya yang basah, sekalian mengusap rasa gugup yang menyusup dirinya. Mencoba meredupkan detak jantungnya yang bertalu-talu setelah mendengar tantangan Lusi, yang menurut Hana mustahil. “Itu nggak mungkin.” “Kenapa nggak mungkin?” “Ya, enggak mungkin aja. Elo tahu sendiri, seberapa banyak perempuan yang dengan mudah terpikat sama dia, padahal dia cuma merem doang.” “Termasuk elo?” Lusi terkekeh geli. Hana cemberut. “Iya, termasuk gue. Dan bikin gue yang cinta damai ini, berantem sama bunga putih abu-abunya sekolah cuma gara-gara rebutan cowok.” Ia menopang dagu. Mencomot kue kering lainnya, lalu mengunyahnya dengan gerakan bosan. matanya lebih memilih menatap band di atas panggung ketimbang memandang Lusi yang terus cengengesan tak karuan. Lusi tertawa pelan. Matanya ikut beralih pada band yang kini bernyanyi lagu ‘kisah kasih di sekolah’. Ada rasa hangat dan haru saat gendang telinganya mendengar deretan lirik yang dilantunkan dengan indah itu. Kilasan-kilasan masa SMA terkenang di kepala seperti film dokumenter putih abu-abu. “tapi, waktu itu emang seru banget, ya? Cuma pas waktu itu aja, gue bisa lihat elo, yang katanya cinta damai, uring-uringan.” Hana mencibir. Hening beberapa lama, mendengarkan tembang yang sangat fenomena itu, Lusi kembali menarik suara. “dia ada di lapangan basket.” Hana melengok, menatap Lusi yang memasang senyum tulus. “bangkit, Hana! Ini sudah terlalu lama buat elo dan dia saling menunggu. Jangan buat jarak lagi, dan raih apa yang bisa bikin elo senyum dan hati lo kembali berbunga.” Hana termenung. Ada lelehan air mata di sudut matanya, Hana seperti terhipnotis kata-kata Lusi. Seperti punya raga yang lain, tubuh Hana bangkit dengan sendirinya dari kursi. Tanpa menoleh pada sang sahabat yang masih setia mengumbar senyum, Hana menjalankan kaki keluar aula. Melewati ratusan tamu undangan yang seumuran dengannya. Mengindahkan tatanan bunga yang berderet di sekitar taman aula. Terus berjalan hingga berubah menjadi lari kecil, bahkan ia sampai menjinjing jariknya, melewati kelas-kelas yang sepi, lorong-lorong yang remang, dan melewati taman tengah hingga ia sampai di tempat tujuannya. Selama sepuluh tahun, dia tidak pernah tidur tenang di atas kasurnya yang terbuat dari kapuk. Ia selalu menatap keluar jendela sebelum lelap benar-benar menjemputnya untuk bermimpi. Dan selama sepuluh tahun itu, dengan jarak yang terbentang diantara mereka, Hana hanya bisa memimpikan satu wajah saja. Wajah yang selama tiga tahun masa sma-nya, menjadikannya senang, gembira, sedih, gelisah dan takut secara bersamaan. Membuatnya kuat tanpa alasan, dan menjadi insecure dengan berbagai macam kenyataan. Di tengah lapangan basket, yang sangat berbeda dari terakhir Hana lihat dulu, pria itu berdiri tenang sambi mendrible bola. Hana menghapus air matanya yang jatuh, sebelum menyuarakan nama yang sangat ia rindukan. “Danang.” Hana menangkap semua gerakan pria itu, seperti gerakan slow motion di film. Gerakan mendrible pria itu berhenti, tubuhnya tegang dan bolanya menggelinding jauh. pelan-pelan, sepatu pantofel mengkilap itu bergerak, berputar 180° hingga menghadap seorang perempuan yang sangat-amat dia rindukan. “Hana.” Ia menangkap suara syarat kerinduan itu dengan haru, bahkan hanya dari sorot mata yang Danang pancarkan, Hana tahu bahwa takdir memang mengikat mereka. Description: Bercerita tentang Hana dan Danang, sepasang kekasih di masa SMA.
Title: Rasa Untuk Raka Category: K-novel Text: 01 Arnevia Margareta Siapa yang tak mengenal Arnevia? Gadis yang selalu dipanggil Arnev ini mempunyai daya tarik yang mampu membuat lawan jenisnya sampai bertekuk lutut, dirinya berjalan saja sudah membuat mata para lelaki tak ingin lepas menatapnya. Bukan hanya cantik, gadis ini juga memiliki kecerdasan otak di atas rata-rata. Setiap tahun ia selalu menjadi perwakilan sekolah dan selalu mengharumkan nama sekolah. Ia juga tak lepas menjadi sorotan di sekolah, hampir seluruh warga sekolah mengenalnya. Selain cantik dan cerdas, Arnev ini tipikal sosok perempuan yang anggun, ramah, dan point plus lainnya. Namun sayang, dirinya tak percaya cinta, Menurutnya cinta hanya membuat hidupnya rumit tak bisa membuatnya hidup bebas. Selama hampir 18 tahun ini ia benar-benar belum pernah berpacaran. Baginya, tanpa berpacaran pun ia masih bisa hidup. Persetan dengan perkataan manusia yang mengatakan jika seseorang tak bisa hidup tanpa manusia lainnya, toh ketika seseorang itu mengakhiri hubungannya mereka tetap masih hidup atau manusia yang mengatakan tak bisa bahagia tanpa manusia lainnya. Kebenarannya adalah manusia tak bisa hidup tanpa oksigen dan manusia tak akan bahagia tanpa bantuan tuhan. Sampai saat ini, prinsip itu lah yang gadis itu pegang. Ia juga bukannya terlalu pemilih atau semacamnya, hanya saja setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda-beda bukan perihal cinta? Sudah banyak laki-laki yang berusaha mendekatinya bahkan menyatakan perasaan pada nya tapi selalu ia tolak. Seperti saat ini, Arnev kini tengah menjadi tontonan semua siswa-siswi di koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan basket. Apa yang ada di pikiran kalian? Apa gadis itu membuat kesalahan? Tidak, Arnev tidak melakukan kesalahan hanya saja saat ini seorang senior kelas yang Arnev tau bernama Kevin itu kini tengah bertekuk lutut tepat di hadapannya. Membuat keduanya menjadi tontonan gratis, menjadi pusat perhatian dan menjadikan mereka hot news lagi di lingkungan sekolah. Sedari tadi Arnev mencoba menghindar dari laki-laki itu namun usahanya gagal, laki-laki jangkung itu tetap saja membuntuti Arnev sampai-sampai membuatnya jengah. "Apa-apaan sih?" Ia menatap sekelilingnya, situasi seperti ini sudah sering ia rasakan namun tetap saja ia merasa risih Dirinya terlalu malas jika harus masuk akun gosip sekolah lagi. Kevin menatap Arnev begitu dalam, berharap gadis itu akan luluh dan menerima cintanya "Gue tadi udah bilang, gak bisa." Ia tak tau harus berkata apalagi untuk memberikan penjelasan pada Senior kelasnya itu Sedangkan Kevin masih berada di tempatnya, ia tetap pada posisi awal -berlutut, Sorot mata yang tegas itu kini menyendu mendengar jawaban Arnev yang tetap sama. "Kenapa Nev? Lo udah berapa kali nolak gue Nev, gak ada sedikit pun gitu rasa buat gue?" Tanyanya pelan Arnev diam cukup lama, dirinya kembali memandangi sekeliling dan semua pasang mata masih tertuju padanya juga Kevin. Ada pula beberapa orang yang setia merekam juga memotret keduanya, itu semakin membuat Arnev jengah. "Ya gue gak bisa, Kev jangan kek gini dong." Jarang sekali Arnev melontarkan kata-kata tegas seperti ini, mungkin karna sudah pengap dengan situasi yang baginya benar-benar tidak mengenakan. Kevin terdiam ditempatnya berlutut, ia juga ikut memandangi sekeliling. Ia mencoba untuk menahan rasa malu saat pernyataan nya mendapat penolakan tegas. "Nev," Arnev menatap Kevin sejenak, lalu ia berlalu pergi begitu saja meninggalkan Kevin dengan perasaan kesal. Kevin tercengang melihat Arnev yang tak mengindahkan perjuangannya, ia berdiri menatap kepergian gadis itu. Rahangnya mengeras serta tangannya terkepal keras di samping saku celana kotak-kotak merah hitam itu, kini matanya beralih kembali menatapi beberapa murid yang masih setia menontoni aksi penolakan dari Arnev tadi "Ngapain kalian?!" Cibirnya tajam membuat semua murid itu membubarkan diri. Ia sebenarnya malu, ditolak mentah-mentah lagi oleh gadis itu apalagi kali ini di tontoni banyak orang. Ia juga akan malu jika seseorang mempostingkan kejadian ini di akun gosip sekolah lagi. "Arghhh" Kevin mengerang, ia meninju udara dengan emosi "Gue akan lakuin apapun untuk dapetin lo Nev." --- Terima kasih sudah membaca, Jangan lupa berikan dukungan kalian yah dan sampai jumpa di bab 2 ✨ Description: Ketika rasa yang selama ini Arnev dan Raka pendam di balik status pertemanan mereka sudah saling terucap, kebahagiaan pun datang menghiasi hubungan indah yang baru saja tercipta itu. Namun kisah cinta mereka tak semulus yang dibayangkan, kemulusan kisah mereka terhalang oleh keadaan. Dalam sekejap kebahagiaan itu lenyap tergantikan dengan kesedihan yang begitu menyayat perasaan keduanya, Keadaan ini membuat mereka harus memilih bertahan atau saling melepaskan. Ingin bertahan namun begitu kecil kemungkinan yang mereka dapat, ingin melepaskan namun begitu sulit dirasa, di coba pun mereka tak akan sanggup. Begitu berat jika memang harus saling melepaskan disaat mereka baru memulai kehidupan indah, Akankah mereka tetap bersama?
Title: RISALAH Category: Puisi Text: Hakikat Jatuh itulah sebabnya Tuhan menciptakan hujan agar kita memahami hakikat jatuh bahwa jatuh tak selamanya luruh bahwa jatuh tak selalu membuat kita lumpuh bahwa jatuh mengajarkan kita tumbuh seperti air yang rela tubuhnya dijamah agar bumi tetap teduh dan kita tetap utuh Mengatasnamakan Dia tidak seperti itu wahai saudara penyair tak pernah berduka karena ia telah menganggapnya sebagai saudara tak seperti itu pula wahai dinda penyair tak pernah lupa pada puisi yang pernah ia puja dan tidak seperti itu juga wahai kanda penyair tak pernah menjadi syuhada karena doa telah porak poranda oleh mereka yang mengatasnamakan Dia Mulai Rabun di kedua bola mata yang mulai gamang ketika mata saling memandang tak ada yang terbayang hanya bayangan mengambang di kedua bola mata yang mulai tua ketika saling melupa siapakah pencipta duka dia ataukah Dia jika dia, maka sudah sewajarnya dia hanya manusia begitulah hakikatnya jika Dia pencipta duka, masihkah kita menyembahnya? dan ketika kedua mata yang mulai rabun tayabayun layaknya halimun garnisun yang tertimbun melesatlah wahai harpun, hati yang bergurun Ratna Ratna sudah sampai di depan teras rumahnya entah mengapa kedua bola mata memandang jauh kesana kearah hulu kemala mengapa ia tak pernah betah datang namun enggan singgah mawar putih yang ia petik di kaki Wilis layu selayu-layunya di atas bumi Jawa raya ia berdoa agar simpati tak lepas dari kedua tangannya Aroma Hujan sejenak aku terdiam mengingat kembali aroma hujan apakah ia seperti wangi kesturi di pagi hari ataukah ia seperti wangi lili di musim semi entah mengapa sangat sulit mengingatnya namun ketika aku melihat kembali foto dirimu aku teringat kembali bahwa aroma hujan seperti aroma kepergianmu Altar di atas singgasana semua warga mematuhi titah raja di atas altar luka aku tak menyesali dosa pertama jika memang mencintaimu ialah hal berdosa aku hanya akan menertawakannya meski kita tak mampu lagi tertawa bersama, tak apa karena cinta sejak purbakala tak pernah berubah aku tak tahu siapakah yang berubah jika itu aku, mengapa kau tak mengatakannya? jika itu kamu, akan aku terima kau apa adanya di lembah neraka mulut api menertawakan kita di atas unggun membara ia tersingkir, berjalan menuju belantara jika dunia tak mengizinkan kita, tak apa kelak di surga nanti aku akan meminta Dia, agar kita dapat bersama pun jikalau surga itu ada Rembulan meski pagar rajin ku pugar mengapa bayang-bayang selalu melanggar entah siapa yang ingkar yang ku inginkan hanya terbebas dari sangkar wahai rembulan yang menghancurkan gelapnya malam janganlah kau membalaskan dendam bagi ia yang telah membuat lebam karena dendam ialah perbuatan haram Sembilan Ratus Tahun Wahai senja yang terpendam sembilan ratus tahun lamanya Wahai badai yang memporak porandakan semesta Atas nama kegelapan Datanglah Minumlah darahku Darah yang lebih pekat dari malam Tulang yang lebih rapuh dari hati seorang wanita Tidurlah... Tidurlah... Terjatuhlah menuju neraka tak berdasar Tafsir Tengah Malam Ada sebuah kisah tentang seekor gembala yang telah menempuh sebuah perjalanan Ia telah melewati lembah kematian Dimana sebuah luka tak pernah menunjukkan jati dirinya Dan jati diri tak pernah menunjukkan luka darinya Purnama perlahan menuju puncak tengah malam Purnama demi purnama terlewati Luka semakin lama akan terganti Namun hakikat luka tak pernah tersebuhkan Ia hanya mengalami penuaan Di dalam ruang dan waktu luka melayang layang Mengitari dimensi manusia sebagai pusatnya Membabi Buta sayangnya babi tak pernah buta hanya manusia yang hobi membabi buta buta akan tamasya yang menyejukkan jiwa buta akan cinta di depan mata cinta tak pernah buta hanya manusia yang mencintai membabi buta buta bahwa ia telah dilupakan buta bahwa ia telah dicampakkan perjuangan tak pernah buta hanya manusia yang berjuang membabi buta buta bahwa perjuangannya hanya sia-sia buta bahwa ia tak pernah dianggap ada memang hidup penuh tragedi itulah yang menjadikan romeo abadi terkadang hidup membutuhkan bukti itulah yang menjadikan juliet puisi Lazarus air yang terjatuh makam yang tak lagi utuh dimana aku kini tersesat di antara lorong abadi mereka bilang cinta akan membawa bahagia lalu mengapa aku seakan berada di neraka mereka bilang cinta seakan nikmat surga lalu mengapa aku curiga ia tak pernah ada pisau yang terhujam jangtung yang bergumam lebih kelam dari malam lebih kejam dari dendam wadah telah mati di kubur bersama sunyi namun malaikat membangkitkan aku (lagi) atas perintah Gusti aku tak pernah mengerti, mengapa di hidupkan kembali Tapi Mengapa tapi mengapa hati Tuhan ciptakan jika kelak, hanya untuk kau dustakan tapi mengapa hati Tuhan kuatkan jika kelak, hanya untuk Dia lemahkan lalu, mengapa kita mempertanyakan jika kelak, hanya Dia puncak segala pelukan Tak Lagi Murni masihkah kau simpan pelukan itu kehangantan yang dulu menempel di sudut bajumu masihkah kau simpan pelukan itu kepala yang kau usap dengan manja, penuh dengan cinta masihkah... masihkah... masihkah... kini hadirmu telah lenyap bagai rumah tanpa atap kini hadirmu mulai sirna bagai mentari tanpa purnama wahai jiwa yang mendambakan mati adakah puisi yang mampu melukiskan kesunyian hati dan adakah mantra yang meluruhkan luka ketika kesunyian tak henti berdialektika wahai wadah, bumi yang tak lagi indah puisi kini telah punah layaknya sebongkah jenazah wahai sunyi tak bertepi mengapa kau ciptakan tungku tanpa api dan mengapa hujan bulan juni tak lagi murni Bukanlah Akhir perpisahan bukanlah akhir pertemuan ia hanyalah bahasa rindu yang tak sempat diucapkan Aku Suka aku suka cara dirimu melupakan kenangan kita aku benci diriku membuatmu menderita Adakah? senja, kau ingat ketika kita berjumpa? malam seolah binasa diterkam oleh senyumanmu angin timur menjadikannya syahdu membuatku membiru adakah yang lebih menyesakkan dari rindu yang tak berujung temu? Aku Lupa aku lupa kau memesan apa apakah sebuah intan atau batu permata aku hanya membawakan kata coba kau lihat ke angkasa penuh dengan doa Salju meski sikapmu sedingin salju namun jika kau tak tau tempat kembali datanglah padaku aku akan menyambutmu sehangat pertemuan pertama kita Titik dalam tiap percakapan tak pernah ku sisipkan koma karena menujumu aku tak penah lupa dalam tiap percakapan tak pernah ku sisipkan titik karena kita adalah sebuah cerita yang selalu berdetik Maskawin saya terima nikahnya dan kawinnya rindu binti sepi dengan maskawin seperangkat alat ngopi dibayar nanti. Sah! Sah! Sah! Biksuni sekali lagi saja ingin ku lukiskan senja diantara kita berbagi hangatnya kota Venesia di antara dingin yang tersembunyi tinta-tinta sudah lelah bernyanyi asal kau tahu bahasa Tuhan ialah bahasa sunyi tentang dingin Himalaya yang meracuni para biksuni mulai mengamini sekali saja, bisakah kau tenangkan rindu ini? Terimakasih Terima kasih atas segala rasa Namun tak pernah kadaluarsa Berlari dan berdansa Berpuluh-puluh dasawarsa Kau telah berjasa Dan kini berkuasa Mungkin aku telah berdosa Tersiksa hingga binasa Obituari Di Arab ada unta Yang selalu berdansa di setiap desa Kuba dan Rusia pernah terjadi kudeta Jiwa-jiwa yang ingin berkuasa Di Jakarta ku menemukan cinta Ia tak pernah puasa, penuh dengan rasa Kupasangkang ia mahkota Esok atau lusa kau cipta nuansa penuh romansa Lalu datang berita Sebuah obituari yang membuatku tersiksa Di kedua kelopak mata Tak ku temukan dosa Tak terima! Ku mulai meronta Ku mengadukan ke angkasa Semoga Yang Maha Mulia merubah cerita Meski demikian hal yang sia-sia Kuharap semesta menyampaikan kata Bahwa cakrawala rasa tak akan kadaluarsa, hingga dunia binasa. Tamat Nak Nak kemari lah cepat Lihatlah itu pohon-pohon yang sekarat Seperti itulah rasa yang menyayat Harkat per harkat Hidup mulai tersekat-sekat Marilah kita bersyalawat Bagi mereka yang tersesat Lima Perjalanan Mengembara dari utara Dibawanya lara Suatu masa Seorang musafir bercerita Bertemu dengan pria Tepat di tengah Shangri-La Pria itu bertanya Wahai musafir, adakah surga bagi orang pandir? Sungguh, sejauh apapun kau mengayuh Tak akan dapat kau tempuh Ia hanya imaji yang runtuh Bagi jiwa yang angkuh dan lusuh Rapuh Kau Berkata Kau berkata Bahwa Tuhan bersama orang miskin Namun ia hanya labirin Yang kau bacakan surat yasin Kau berkata Bahwa Tuhan bersama manusia renta Namun kini, bangunan telah rata Kau bangun griya atau graha untuk penguasa Kau berkata Bahwa Tuhan bersama nenek tua Namun kau hanya bersandiwara Merencanakan agenda, memusnahkan mereka Kau gadaikan alam secara diam-diam Seteguk zam-zam demi segenggam logam Kau singkirkan para imam Dengan alasan dirham Aku bertanya Pada mereka yang mengaku manusia Tak cukupkah segala harta Hanya demi nafsu semata Jawabmu terbata Merangkai kata untuk berdusta Jika gubuk telah remuk Dimana lagi ku hilangkan suntuk? Jika gubuk telah remuk Bagaimana Tuhan bisa masuk? Atap Mendoakan mu tak akan lengkap tanpa senyap Meski tak dianggap Rumah akan selalu dijaga atap Berharap berganti sikap Rokok ku hisap Malam ku suap Agar menyampaikan harap Kau jatuh dalam dekap Perlu Kau Pahami Perlu kau pahami Bahwa di dunia ini Kita tak pernah benar-benar senidiri Ilahi selalu menemani Kendati manusia selalu mengingkari Hendaknya kita selalu mensyukuri Fase dan Bingkai Dirangkainya rambut yang menjuntai Disambut senyuman yang menyeringai Di pinggir pantai Di ujung pesisir Seorang manusia telah lahir Di bibirnya tertuliskan zikir Berkata seorang muzakir Tiada sempurna jiwa yang terantai Hati yang damai Akan selalu tersemai. Bingkai Lekaslah Jika kau merasa sendiri Diserang sunyi Lekaslah minun kopi Persis di dasar gelas Kau kan menemukan dalil agar tak mencaci Kepalsuan Kau adalah pembohong ulung Mengombang-ambing hati yang terapung Ntah sampai kapan kau akan berkungjung Meski selongsong peluru merobek hati Namun kau tak lelah menanti Jika kau saja tak mampu Berempati kepada diri sendiri Lalu bagaimana mungkin kau berharap Cakrawala akan akan terlihat Berhentilah mencari pembenaran Atas segala kepalsuan Terkulai Jika hanya badai Akan aku hadapi dengan santai Namun jika kau mulai abai Lebih baik terantai dan mati terkulai Tak Akan Reda Melalui puisi aku marah Mengungkapkan segala resah Melalui puisi aku sakit Sakit jika hati mulai terjangkit penyakit Melalui puisi aku bercerita Cerita tentang manusia yang berduka Melalui puisi aku menderita Ambisi manusia meraih takhta Seorang musafir pernah bersabda Jika kau bahagia melihat genosida Karma tak akan berjeda Murka tak akan reda Terciptalah Hawa Namun bagaimanapun juga Kita adalah anak cucu Adam Yang dikutuk sepi Mencoba saling melengkapi Tak ada satu manusia Yang mampu hidup sendiri Betapa pun nikmatnya surga Namun Adam masih saja terluka Tengah malam ia masih terjaga Memohon kepada yang Maha Kuasa Membuat sebuah pinta Agar menghilangkan sepi di antara nikmat syurga Untuk Apa Untuk apa bersama Jika hanya timbulkan lara Untuk apa saling rindu Jika saling menanam pilu (Tak) Kunjung Usai Kita sudah tua Dan tak lagi muda Kau, anak dan istrimu Saling bertukar madu Sedang aku, sejak muda hingga tua Selalu bertikai Tentang kedua bola mata yang telah terbingkai Bagaimana mungkin aku bisa abai Perihal badai yang tak kunjung usai Perihal esai yang tak akan selesai Aku Setuju Kau boleh memilih menikah dengan siapa saja Dengan wanita mana saja Semua putusan ada padamu Selama itu aku Aku akan setuju Saling Menipu Ketika ragu dan rindu bertemu Terbelenggu dan saling membisu Solusinya hanya satu Saling menipu Kau Bertanya Jika kau bertanya kapan terakhir aku menangis Aku tak tahu Jika kau bertanya kapan terakhir kali aku tertawa Aku pun tak pernah terbawa suasana Jika kau bertanya kapan terakhir kali aku egois Sepertinya aku ingat Saat sebuah hal manis menjadi pahit Saat sebuah senyum dibalas dengan arogan Saat itulah dunia menjadi gelap gulita Karena saat itu matahari mengakhiri dirinya sendiri Dialektika Luka Apakah ada dunia dibalik kata-kata Selain luka yang berdialektika Selain petaka atas romantika Apakah kau bisa terka? Jika hingga alam baka Kau tak memahami estetika duka Bahka durhaka pun tak mampu berkata apa-apa Kenduri Bukankah setiap manusia adalah para pejuang Mereka berani melawan ketakutannya sendiri Menghindari kematian paling tragis Mati dalam kesendririan yang perlahan mengiris Jiwa-jiwa yang perlahan menipis Dihantam secara sporadis Wahai tuan… Wahai puan… Berdamailah dengan sunyi Dan taklukan ketakutanmu sendiri Mari… Mari… Marilah ngopi Kita adakan kenduri Mengenang mereka yang telah mati Puisi Itu Sederhana menulis puisi itu sederhana kau dan aku duduk bersama berbicara tentang masa depan kita tak terlalu sulit yang sulit ialah mengajak kau duduk bersama lagi seperti dahulu Secukupnya Cintailah aku secukupnya Karena kelak kita akan tinggal di surga selamanya Gema Waktu yang aku punya tak akan lama Jika memang kita tak bisa seirama Setidaknya dengarkanlah dengan seksama Bagiku kata adalah gema Yang selalu bercerita tanpa koma Dan kau adalah rima Yang dialunkan oleh sukma Oh Negeriku Negeriku memang seram Terdapat banyak sekali hantu Namun ada satu hantu yang paling aku takuti Ialah senyum manismu ∞ Bagaimana cara menghitung waktu? Cukup mudah, hitung saja cintaku Hanya Aku ingin kau pergi Namun (di lain sisi) aku ingin kau selalu di sisi Di atas itu semua, aku hanya ingin kau ada Jika kau ada, puisiku tak akan sirna Tak Akan Suaramu telah aku simpan dalam kaset Aku dengar setiap waktu Meski kau menjadikannya keset Tak akan aku melupakanmu Aku Turut Berduka aku turut berdukakini bibirmu tak lagi basahbunga-bunga kian layupada bibir yang tak lagi ku basahi itu Agama ia pindah agama karena cintadengan gegabah kau celasedang orang lain pindah agama yang sama denganmudengan mudahnya kau belasejak kapan agama penuh celadan kita menjadi pembela celaberagamalah dengan cintadan tak ada salahnya Catatan untukmu senja, aku hanya ingin kau tau bahwa aku tak akan mengalah oleh takdir. Bagiku takdir tak lain hanya sebuah catatan kehidupan, dan karna itu aku akan merubah catatan itu. Di Di matamu, ku menemukan tawa Di senyummu, ku menemukan senja Pada suaramu, ku menemukan bahagia Pada seluruh hidupmu, ku melihat semesta Dan pada setiap kenangan, ku tak akan lupa Goresan-goresan Sebelum bait pertama, kota-kota hilang binasa Dipenuhi manusia munafik nan celaka Goresan-gorasan tinta hilang ditelan masa Sebelum bait kedua, arca mulai dipuja Di antara petaka-petaka Hingga tiap-tiap mata menjadi buta Saat bait ketiga, prasasti bercerita Tentang cinta di antara kita Hingga luka menjadi nyata Seribu Jika Tuhan memberkati Akan aku lewati Seribu kehidupan dan kematian Hanya untuk menyelesaikan penantian Kau Akan... Jika tak ingin sendiri Sudikah kau ku temani? Di malam minggu ini Jangan lah kau dekati sepi Atau berteman dengan sunyi Datanglah padaku, kau akan abadi dalam puisi Telah Berdosa Terima kasih atas segala rasa Namun tak pernah kadaluarsa Berlari dan berdansa Berpuluh-puluh dasawarsa Kau telah berjasa Dan kini berkuasa Mungkin aku telah berdosa Tersiksa hingga binasa Tak Lengkap Mendoakanmu tak akan lengkap tanpa senyap Meski tak dianggap Rumah akan selalu dijaga atap Berharap berganti sikap Rokok ku hisap Malam ku suap Agar menyampaikan harap Kau jatuh dalam dekap Hingga Lengkap Jika ia memintamu pergi maka aku akan pergi Bagi para perindu Hal itu bukan masalah Karna aku akan selalu mendoakanmu Meski kau tak tahu Aku pergi bukan karna ingin Namun aku tahu, setiap kata yang terucap Tak akan lenyap Bertanggung jawab hingga lengkap Beritahu Beritahu pada kata Jangan suka bercanda Karna suatu saat akan menjadi luka Beritahu pada kata Jangan suka menyandera Rasa yang tersiksa Beritahu pada kata Ada yang bergembira Namun suka berdusta Beritahu pada kata Aku suka senja Namun tidak dengan dia Description: Sebuah puisi tentang kehidupan manusia dan segala isinya.
Title: Ruang Baca [2:01.9] Category: Review Text: [01/18] Membaca Ruang Judul Buku : Bentuk, Ruang, dan Tatanan (ed. kedua) Pengarang : Francis DK Ching Penerbit : PT Erlangga Tahun : 2000 Tebal : xiv + 386 halaman Buku ini dibagi menjadi tujuh bab yang diawali dengan membahas unsur-unsur pokok, bentuk pola dasar, dan bagaimana unsur dan bentuk tersebut membentuk sebuah ruang. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana ruang saling berhubung, bagaimana sirkulasi pergerakan dan pencapaian di dalam, di sekitar, atau menuju sebuah ruang, serta tentang proporsi dan skala dalam ruang. Dan, diakhiri dengan pembahasan tentang prinsip-prinsip penataan. Buku ini adalah salah satu bacaan wajib bagian mahasiswa arsitektur tahun pertama. Karena apa yang dibahas dalam buku ini sebagian besar adalah materi perkuliahan. Selain itu, buku ini mengenalkan dan menjelaskan arsitektur dari unsur yang kecil hingga yang kompleks. Ilustrasi dan sketsa yang disertakan memudahkan pembaca memahami pembahasan setiap babnya. Meski, penjelasan yang tertulis pada kalimat atau paragraf seringkali sulit dimengerti. Hingga perlu membaca beberapa kali untuk bisa memahami maksud dari kalimat tersebut. [02/18] Musashi Judul Buku : Musashi, Buku Kelima - Langit Pengarang : Eiji Yoshikawa Penerbit : PT Gramedia Tahun : Oktober 1985 Tebal : 379 halaman Otsu dan Jotaro kembali harus berjalan terpisah dengan Musashi. Namun di tengah perjalanan, mereka bertemu Matahachi yang berusaha menculik Otsu. Musashi yang telah berjalan lebih dahulu merasa khawatir karena Otsu dan Jotaro tak juga segera menyusul. Akhirnya, ia berbalik mencari tahu apa yang menghambat mereka. Setelah tahu apa yang terjadi ia segera mencari mereka. Dari Narai, Inojigahara, Kamisuwa, hingga Celah Wada. Musashi belum juga menemukan keberadaan Otsu maupun Jotaro. Satu setengah tahun berlalu dan Musashi tak juga berhasil menemukan mereka. Hingga ia sampai di Hotengahara. Di sana, Musashi bertemu seorang anak laki-laki. Ia dibuat heran dan terkesan oleh paras dan laku anak itu. Selain munculnya tokoh baru, di buku kelima ini, ada beberapa tokoh di buku-buku sebelumnya yang dimunculkan kembali. Otsu, Osugi, dan Kojiro pun masih terus diceritakan secara bergantian. Pada beberapa kesempatan, diceritakan secara tersurat hal-hal yang menjadi permenungan Musashi. Apa yang menjadi konsennya dan bagaimana ia melihat serta merespon hal-hal tersebut. Secara keseluruhan, buku kelima ini cukup menarik meski di beberapa bagian terasa monoton dan mudah ditebak. Pada bagian yang lain terasa kurang penting dan cukup jauh dari cerita utama - perjalanan Musashi. [03/18] Catatan Seorang Demonstran Judul Buku : Catatan Seorang Demonstran Pengarang : Soe Hok Gie Penerbit : PT LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) Tahun : Mei 1983 Tebal : xiv + 454 halaman Buku harian yang ditulis dari masa remaja, 15 tahun - 1957, hingga beberapa hari sebelum kematiannya, Desember 1969. Buku harian yang menarik untuk diikuti. Kita bisa melihat bagaimana Soe Hok Gie melihat dan merespon orang-orang, lingkungan di sekitarnya, dan kondisi Indonesia saat itu. Ia sedari remaja sudah terbuka dengan banyak dan bermacam bacaan. Bagaimana ia sangat idealis. Guru dan lingkungan sekolah menjadi sasaran kekritisannya. Pada masa kuliah, ia termasuk yang aktif dalam kegiatan organisasi. Dan semakin terlihat idealis, ketika ia bertemu beragam orang dan ia tetap pada prinsipnya. Tetap berjalan lurus meski harus 'bertabrakan' dengan kawan-kawannya. Bagi saya, buku ini masuk dalam daftar teratas buku yang harus dibaca dan dibaca lagi. Lebih dari itu, saya merasa buku ini meninggalkan kesan positif. Saya jadi bisa meredam emosi-emosi yang tak tersampaikan. Atau, memberi sedikit keberanian untuk melanjutkan 'perjalanan'. Karena saya melihat buku ini banyak berisi kemarahan, keresahan, dan kekhawatiran hari ini dan hari esok. Hingga sedikit banyak buku ini menyalurkan emosi yang saya rasakan. [04/18] Musashi Judul Buku : Musashi, Buku Keenam - Matahari dan Bulan Pengarang : Eiji Yoshikawa Penerbit : PT Gramedia Tahun : 1985 Tebal : 251 halaman Musashi bersama anak muridnya, Iori, kembali meneruskan perjalanannya. Mereka telah sampai di Dataran Musashino. Di sana, Musashi memutuskan untuk tinggal dan membangun rumah seperti waktu di Hotengahara. Tidak untuk bertani tapi untuk semedi dan memulai pelajaran main pedang pada Iori. Pada kesempatan yang lain, mereka pergi ke Kuil Mitsumine di Chichibu atas permintaan Iori yang ingin melihat tarian suci Asagaya. Saat Musashi dan Iori berangkat mendaki gunung ke kuil bagian dalam. Di tengah perjalanan mereka diserang oleh gerombolan dari Baiken. Beruntung mereka dibantu oleh Gonnosuke. Namun pada akhirnya, Musashi tetap ditangkap ketika ingin melaporkan kejadian tersebut. Iori dan Gonnosuke pun harus berpisah. Gonnosuke berusaha membebaskan Musashi dari penjara. Iori disuruhnya kembali ke Dataran Musashino. Seri keenam ini masih menceritakan tokoh lainnya. Osugi, Kojiro, dan Matahachi silih berganti mengisi alur cerita dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini agak menyulitkan pembaca. Pembaca harus cermat. Teliti dalam membaca dan merangkai alur cerita yang seringkali berjalan paralel. [05/18] Memaknai Ruang Judul Buku : Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis Pengarang : YB Mangunwijaya Penerbit : PT Gramedia Tahun : 1988 Tebal : viii + 352 halaman Setelah buku sebelumnya - Bentuk, Ruang, dan Tatanan dari Francis DK Ching, yang lebih menitikberatkan pembahasan arsitektur pada unsur dan bentuk fisik arsitektur. Maka, pada buku ini - Wastu Citra, lebih membahas apa yang melatarbelakangi bentuk fisik tadi. Wastu Citra ini memberi opsi lain dalam melihat bentuk dan material arsitektur. Komposisi dari bentuk dan material akan menciptakan suasana dan gambaran atau karakter yang berbeda. Komposisi tersebut akan direspon dengan berbeda oleh tiap orang. Dijelaskan juga bahwa komposisi dari bentuk dan material tadi sangat dipengaruhi oleh konteks tertentu. Sebagai contoh, pandangan dan penghayatan pada 'Tuhan' dan makro kosmos masyarakat dan komunitas menjadi yang utama dalam menentukan bentuk arsitektur. Kemudian, letak geografis atau lingkungan dan kondisi 'sosial' juga akan mempengaruhi bentuk dan material yang akan ditampilkan. Meski terkesan berat dan filosofis, Wastu Citra bisa menjadi satu bahan introspeksi. Arsitektur bukan sekadar bentuk ataupun material yang digunakan. Arsitektur melibatkan dan merangkum banyak hal di sekitarnya. Dari arsitektur kita belajar. Dengan arsitektur kita mengubah dunia. [06/18] Kereta Tidur Judul Buku : Kereta Tidur Pengarang : Avianti Armand Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : cet. kedua, Juni 2018 Tebal : 152 halaman Sebenarnya, sulit bagi saya untuk menggambarkan apa dan bagaimana isi buku ini. Di beberapa cerita, saya kesulitan untuk memvisualisasikan alur cerita hingga gagal memahami maksud dari cerita tersebut. Berikut sekadar kesan saya selama membaca buku ini. Lima belas cerita yang ada membuat saya mengerutkan dahi dan bertanya 'siapa aku siapa kamu'. Berbahasa dengan cara yang tidak biasa, puitis, walau sedikit rumit. Ada banyak hal yang bisa ditemukan dibalik tiap kata dan kalimatnya. Sulit untuk menerka maksud dari apa yang tertulis. Alur dan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Dari sana terkesan penulis 'enggan' mengantar pembaca hingga akhir, meski begitu penulis juga berbaik hati memberi sedikit petunjuk ke mana pembaca harus pergi. Beberapa cerita memiliki nuansa yang cukup 'gelap'. Tema yang diangkat pun bukan hal yang umum walaupun tak asing juga bagi pembaca. Seperti tentang relasi, keinginan, dan pengorbanan yang tak biasa tapi dapat dimaklumi oleh pembaca. [07/18] Musashi Judul buku : Musashi - Buku ketujuh : Cahaya Sempurna Pengarang : Eiji Yoshikawa Penerbit : PT Gramedia Tahun : Desember 1985 Tebal : 282 halaman Setelah pengangkatan Musashi sebagai instruktur shogun dibatalkan, ia kembali menyepi, mengasingkan diri. Ia mengalami pergolakan batin yang membuatnya ragu pada kondisinya saat itu maupun masa depannya. Perjalanan dimulai dengan meninggalkan Edo hingga sampai di Kamakura. Di mana Musashi bertemu kembali dengan Matahachi dengan kondisi yang tidak lebih baik dari dirinya. Kondisi Musashi yang hancur dan hilang arah, serta Matahachi yang memutuskan menjadi pendeta zen membawa mereka sampai di daerah Okazaki. Mereka berharap dapat bertemu dengan pendeta Gudo di sana. Gudo adalah pendeta yang juga membantu Musashi pada awal ia memilih Jalan Pedang. Musashi dan Matahachi berharap bisa mendapatkan pelajaran dan pencerahan dari pendeta Gudo untuk kebuntuan kondisi mereka saat itu. Buku ketujuh ini adalah penutup dari rangkaian perjalanan Musashi. Di luar ekspektasi, buku ini tidak memiliki alur cerita seperti buku-buku sebelumnya. Selain keterangan lini masa yang minim dan kadang membuat bingung, lompatan yang cukup jauh memberi kesan tergesa-gesa. Banyaknya tokoh dan sudut pandang cerita dari masing-masing tokoh dirangkai dengan kurang rapi. Hingga akan terasa ada banyak lubang di sebagian cerita yang mengurangi kenyamanan dalam menikmati cerita itu sendiri. [08/18] Jiwa Baru Untuk [Gelora] Bung Karno Judul buku : Arsitektur Gelora Bung Karno Asian Games 2018 Pengarang : (Tim) Imelda Akmal Architectural Writer Studio Penerbit : PT Imaji Media Pustaka Tahun : 2018 Tebal buku : 88 halaman Kompleks Gelora Bung Karno dibangun untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962. Pada tahun 2018 kemarin, Asian Games XVIII kembali diselenggarakan di kompleks ini. Gelora Bung Karno menjadi stadium utama untuk upacara pembukaan dan penutupan, serta arena untuk beberapa pertandingan. Kegiatan renovasi pun dilakukan untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan acara akbar olahraga se-Asia itu. Buku ini membahas proses renovasi di kompleks GBK yang terdiri dari lima belas objek arsitektur. Ide, tantangan, dan hasil renovasi dipaparkan bersama foto-fotonya. Diceritakan juga bahwa kegiatan renovasi ini tidak ingin sekadar mengembalikan GBK seperti tahun 1962. Visi utama dari kegiatan renovasi ini adalah melahirkan kembali kompleks GBK dengan citra dan jiwa yang baru. Pembahasan dituliskan dengan singkat dan sederhana. Pembaca secara umum akan memahami tulisan dan informasi mengenai proses renovasi, dari awal hingga akhir. Di mana di akhir buku disertakan juga esai dan hasil wawancara dari pihak KemenPU, Tim Pelaksana Satgas Infrastruktur AG XVIII-2018, Ketua IAI, dan tim arsitek. Foto dan gambar (denah, tampak, dan potongan) yang ada melengkapi pembahasan. Namun hanya bangunan utama, seperti stadion utama, stadion akuatik, dan istana olahraga/istora, yang menampilkan foto dan ilustrasi secara lengkap dan bervariasi. Sedangkan, bangunan 'minor' lainnya tidak ditunjang dengan foto atau gambar yang memadai. Padahal dengan adanya foto dan gambar akan sangat memudahkan pembaca memahami teks pembahasan. Seperti pembahasan stadion softball. Pada teks dijelaskan arsitek mengubah ukuran lapangan dan memperpanjang area tribun. Hal ini tentu akan menghasilkan tata letak / orientasi yang berbeda dari kondisi awalnya. Jika ada foto atau ilustrasi tambahan, maka pembaca tak perlu menebak-nebak posisi dan tata letak dari lapangan maupun bangunan penunjangnya. Satu lagi yang cukup krusial adalah tidak adanya ilustrasi yang memadai yang menampilkan kompleks GBK secara keseluruhan. Gambar siteplan yang ditampilkan pada halaman 58 terkesan terlalu teknis dan rumit untuk orang awam. Pembaca tidak 'diajak' secara langsung untuk memahami kompleks GBK secara utuh. [09/18] Pilihan : Dari Mana dan Bagaimana Melihat Dunia Judul buku : Veronika Memutuskan Mati Pengarang : Paulo Coelho Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : 2018 Tebal buku : 272 halaman Hidup yang baik-baik saja. Pekerjaan yang baik. Umur yang (mungkin) masih panjang. Dan, segala yang baik lainnya membawa Veronika pada keputusan untuk mengakhiri hidupnya. 11 November 1997 akan menjadi hari kematiannya. Setelah menimbang-nimbang, ia memilih mati dengan meminum empat bungkus pil tidur. Sayangnya pil tidur tak membawanya langsung pada kematian. Ia dibawa pada ruang tunggu kematian, di Villete - sebuah rumah sakit jiwa. Di sisa hidupnya, Veronika dihadapkan pada situasi dan emosi yang selama ini coba ia tekan dan hindari. Veronika mau tidak mau harus melihat dan merenungkan kembali apa itu hidup dari pasien-pasien yang ia temui di sana. Cerita yang menarik dan dituliskan dengan sangat ringan. Pembaca kembali diingatkan bahwa untuk melihat satu hal bisa dari banyak sudut pandangan. Hidup dan mati pun bukan sesuatu yang pasti. Apa yang tak umum tak selalu salah dan tak berarti itu tak ada. Buku ini menjadi istimewa dengan caranya membuka mata dan menunjukkan dunia yang berbeda pada pembaca. Dunia tak lagi terlihat sama setelah membaca buku ini. [10/18] Dari Mana dan Ke Mana Arsitektur Indonesia Judul buku : Tegang Bentang - Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia Pengarang : Pusat Dokumentasi Arsitektur Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : 2012 Tebal buku : 180 halaman Di setiap zaman selalu ada orang-orang yang gelisah, mencari dan mencoba mendefinisikan diri. Buku ini, Tegang Bentang, merupakan ringkasan tentang perjalanan arsitektural beserta tokoh-tokohnya di Indonesia. Di mulai pada awal abad 20, ketika orang-orang Belanda datang dan membawa arsitektur Eropa ke Nusantara. Dilanjutkan dengan perdebatan tentang arsitektur yang sesuai dengan karakter dan iklim Nusantara yang tropis lembab, perlu tidaknya bentuk atau arsitektur tradisional pada arsitektur modern. Dan bagaimana arsitektur mengambil bagian di masa kepemimpinan Soekarno. Di akhir abad 20, dipaparkan bagaimana gairah arsitek muda terus eksis dengan adanya diskusi, open house, dan pameran secara berkala dari beberapa kelompok di berbagai daerah. Kelompok-kelompok ini kebanyakan bersifat organik hingga dokumentasi dan arsip kegiatan yang minim atau tidak ada sama sekali. Hal ini akhirnya berefek pada publikasi yang sangat sedikit dan mungkin juga memperlambat perkembangan arsitektur di Indonesia. Buku ini bisa menjadi pintu awal untuk mempelajari perkembangan arsitektur di Indonesia. Setidaknya bisa menjadi dasar atau tambahan informasi mengenai perkembangan arsitektur modern di Indonesia. Karena di perkuliahan pun arsitektur Indonesia seringkali hanya dibahas sebagai arsitektur tradisional, pra modern. Pembahasan tentang arsitektur modern lebih banyak mengacu pada arsitektur dari luar negeri, meski memang itu yang terjadi secara global dan menjadi acuan dunia. Tapi, mengetahui dan mempelajari arsitektur dalam negeri pun tak kalah penting. [11/18] Surealis Multiverse Judul buku : Interworld Pengarang : Neil Gaiman, Michael Reaves Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : Juni 2010 Tebal buku : 280 halaman Neil Gaiman, bersama Michael Reaves, kembali dengan ceritanya yang tak biasa. Kali ini bercerita tentang seorang anak yang bisa dikata buta arah, ia kesulitan menentukan orientasi. Ia sering kali tersesat, bahkan di rumahnya sendiri. Sungguh kondisi yang aneh dan tak masuk akal. Di balik kesulitannya itu, ia memiliki satu bakat istimewa. Ia adalah seorang penyintas, seorang yang bisa berpindah dari dunia yang satu ke dunia yang lain. Kurang lebih seperti perjalanan antara dimensi. Multiverse ini, kumpulan dunia-dunia dari berbagai dimensi, di dominasi oleh kekuatan sihir dan ilmu pengetahuan, science. Suatu hari tanpa sengaja dan tanpa ia sadari, ia telah melintas ke dimensi yang lain. Hal ini memperuncing perebutan antara kubu HEX - sihir, dan Binary - science. Mereka bersaing dan memburu para penyintas untuk memanfaatkan kemampuan berpindah antara dimensi. Di mana tujuannya menguasai seluruh multiverse dalam kekuatannya masing-masing. Kesulitan yang mungkin ditemui adalah banyaknya istilah yang tak biasa, kata-kata yang jarang kita gunakan sehari-hari. Selain itu, agak sulit membayangkan tempat - setting, si tokoh berada. Di mana, penulis, Neil dan Michael, mendeskripsikannya dengan sangat surealis. Di samping itu, Interworld adalah cerita yang menarik, unik, dan berbeda dari yang lain. Interworld memiliki alur cerita yang ringan, sederhana, dan mudah dipahami. Tanpa disadari cerita selesai dalam beberapa jam hingga mungkin akan sedikit kecewa karena cerita selesai begitu saja. [12/18] Ketukangan: Kesadaran Material Judul Buku : Ketukangan: Kesadaran Material Editor : Avianti Armand, Setiadi Sopandi, David Hutama, Robin Hartanto, Achmad D. Tardiyana Penerbit : PT Imaji Media Pustaka Tahun : 2014 - edisi kedua Tebal Buku : 184 halaman "... kebudayaan di Indonesia senantiasa dalam proses pencarian yang penuh dinamika." Pameran Arsitektur Venezia Biennale pertama kali diselenggarakan pada tahun 1980, meski sudah menjadi bagian dari 'art biennale' sejak tehun 1968. Pameran ini salah satu pameran arsitektur yang bergensi, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika. Pada penyelenggaraannya ke-14 tahun 2014 menjadi istimewa karena untuk pertama kalinya Indonesia turut serta bersama 64 negara lainnya. Di mana judul utama pameran ini adalah Fundamentals. Rem Koolhas, arsitek asal Belanda, dipercaya sebagai kurator utama dalam pameran kali ini. Beliau menerjemahkan judul pameran, fundamentals, sebagai 'absorbing modernity: 1914-2014' yang mengajak partisipan untuk menelaah perjalanan arsitektur di negaranya selama seratus tahun terakhir. Bagaimana modernitas masuk dan bersinggungan dengan karakter arsitektur lokal. Buku ini, Ketukangan: Kesadaran Material, merupakan pengembangan/bagian dari katalog paviliun Indonesia pada pameran Venice Biennale ke-14 tersebut. Buku ini menerangkan alasan dan bagaimana 'absorbing modernity: 1914-2014' dikemas dalam topik ketukangan yang berkaitan langsung dengan material yang digunakan. Tim kuratorial melihat ketukangan sebagai suatu yang fundamental dari proses penciptaan sebuah arsitektur di Indonesia. Selain itu, dipaparkan juga enam jenis material - kayu, batu, bata, baja, beton, dan bambu, dominan yang ikut mewarnai perjalanan ketukangan dan arsitektur di Indonesia. Di mana material tersebut, silih berganti menjadi penanda pada dekade tertentu. Dan memperkaya bentuk arsitektur lokal, serta mendorong keterampilan dan teknik ketukangan para tukang. Buku ini disajikan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, dan bisa dipahami oleh masyarakat umum tanpa latar belakang arsitektur sekalipun. Bahasa yang digunakan sederhana dan minim istilah teknis. Untuk mahasiswa dan praktis arsitektur pun, buku ini bisa membuka ataupun menambah wawasan akan perjalanan arsitektur di Indonesia. Dan tentu saja, buku ini memperkaya literasi Indonesia, khususnya dalam bidang arsitektur. [13/18] Menghardik Gerimis Judul Buku : Menghardik Gerimis Pengarang : Sapardi Djoko Damono Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : Juli 2019, cetakan pertama Tebal Buku : 96 halaman "... menghadapi gerimis ia sama sekali tidak pernah bisa menahan amarah." Siapa yang tak kenal Sapardi Djoko Damono. Beliau adalah salah satu sastrawan yang dihormati karena karya-karyanya. Di usianya yang ke-79, beliau tetap aktif bidang penulisan yang sudah ia geluti sejak usia SMA. Puisi, esai, cerpen, dan novelnya telah diterbitkan dan kita kenal. Salah satu yang terkenal adalah Hujan Bulan Juni, yang juga sudah diadaptasi menjadi film layar lebar. Menghardik Gerimis adalah kumpulan cerita pendek karangan beliau yang baru saja terbit Juli lalu. Tema yang diangkat pun sangat beragam dan dekat dengan keseharian kita. Namun, beliau juga meletakkan kejutan-kejutan kecil di beberapa bagian hingga kita tak akan bosan membacanya. Kumpulan cerpen karya Sapardi ini memberi kesan yang segar, sederhana, dan ringkas. Panjang cerita yang dimuat tak lebih dari tiga halaman, hingga cocok untuk mengisi waktu luang atau teman di jalan, khususnya bagi kita yang mudah terdistraksi. Selamat menikmati gerimis yang.... "... selalu jatuh pelan-pelan, diam-diam, tidak memberi tahu, dan dengan licik membasahi lantai..." [14/18] Harry Potter and the Cursed Child Judul Buku : Harry Potter and the Cursed Child Pengarang : J.K.Rowling, John Tiffany, Jack Thorne Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : November 2018, cetakan ketiga Tebal Buku : 384 halaman Seri Harry Potter pertama kali terbit tahun 1997 dengan judul "Harry Potter dan Batu Bertuah (Harry Potter and The Philosopher's Stone)". Sekitar tahun 2001, seri ini menjadi sangat populer dan dibicarakan hampir di seluruh dunia setelah seri pertama ini diadaptasi menjadi film layar lebar. Kepopuleran seri ini terus berlanjut hingga tahun 2011, ketika film ke delapannya rilis. Hingga kini pun - 2019, seri dan karakter Harry Potter ini telah dikembangkan dan diadaptasi ke beragam bentuk, dari spin off prequel berupa Fantastic Beasts atau pertunjukan teater. Harry Potter dan Si Anak Terkutuk (Harry Potter and the Cursed Child) sendiri adalah karya baru dari Rowling, Tiffany, dan Thorne. Dan, buku ini berupa naskah drama, dengan judul yang sama, yang dipentaskan di West End London pada musim panas 2016. Pementasan drama ini mendapat sambutan positif dari para penonton dan kritikus teater. Cerita kali ini mengambil latar waktu sembilan belas tahun setelah Harry berhasil mengalahkan Voldemort di pertempuran terakhir di Hogwarts. Di mana Harry telah menjadi auror di kementerian sihir, menikah dengan Ginny Weasley, dan memiliki tiga orang anak. Harry, Hermione, dan Ron masih bersahabat karib dan terlihat bagaimana "ketenaran" mereka bertiga bertambah setelah pertempuran terakhir. Konflik cerita terpusat pada Albus Severus Potter, anak kedua Harry. Di mana ia cukup tertekan dan tak nyaman dengan statusnya sebagai anak dari Harry Potter, dan juga dengan ketenaran Harry dan pandangan orang-orang padanya. Kondisi ini bisa dikatakan bertambah buruk ketika hubungannya dengan Harry pun tak berjalan lancar. Dengan diterbitkannya naskah Si Anak Terkutuk (The Cursed Child) ini, pembaca bisa mengetahui jalan cerita meski tak menonton pertunjukannya secara langsung. Namun sayangnya, pembaca tidak bisa mendapat cukup emosi dan suasana di tiap adegan karena narasi yang sangat minim. Dan, untuk mereka yang tidak memiliki imajinasi visual akan sedikit kesulitan membayangkan adegan yang ada, terlebih lagi pembaca akan cenderung berfokus pada dialog antar tokoh. Jika dibandingkan - meski tak perlu juga, dengan tujuh seri sebelumnya, Si Anak Terkutuk ini tidak sebanding dan sekompleks cerita-cerita sebelumnya. Konflik Si Anak Terkutuk tidak cukup kuat dan mendalam hingga terkesan dibuat-buat. Selain itu, penyelesaian konflik dan akhir cerita cukup mudah ditebak, hingga pembaca tak perlu berekspektasi terlalu besar pada cerita ini. [15/18] Aroma Karsa Judul Buku : Aroma Karsa Pengarang : Dee Lestari Penerbit : Penerbit Bentang Tahun : Maret 2018, cetakan pertama Tebal Buku : xiv + 710 halaman Dewi Lestari atau yang lebih dikenal dengan Dee Lestari adalah salah satu penulis yang populer dan selalu ditunggu karya dikalangan pembaca Indonesia. Karya yang beragam dengan gaya penulisan yang sederhana dan ringan membuat pembaca mudah mengerti. Beberapa karyanya pun telah diadaptasi menjadi film layar lebar, di antaranya Rectoverso, Perahu Kertas, Madre, dan Filosofi Kopi. Setelah tahun 2016 lalu, Dee menuntaskan serial Supernova yang telah dimulai dengan Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh di tahun 2001. Dee kembali menerbitkan buku yang berjudul Aroma Karsa. Aroma karsa terlebih dahulu diterbitkan secara digital melalui www.booklife.com sebelum versi cetaknya yang diterbitkan oleh Bentang pada Maret 2018. Di mana, ia ingin memberi pengalaman yang berbeda bagi pembaca untuk merasakan sensasi membaca cerita bersambung yang populer di medio '80 - '90an. Riset yang dilakukan Dee untuk buku ini pun tak main-main. Pada media Dee mengatakan bahwa ia menghabiskan waktu selama satu setengah tahun untuk menulis dan meriset. Riset ia lakukan mulai dari ikut kursus meracik parfum, berkunjung ke Mustika Ratu, TPA Bantar Gebang, mendaki Gunung Lawu, dan melibatkan dosen UI untuk mempelajari Bahasa Jawa Kuno dan sejarah Majapahit. Hasilnya pun bisa dilihat dari bukunya sendiri, Aroma Karsa, yang sangat natural dan menyamarkan batas fiksi dan nonfiksi. Aroma Karsa sendiri bercerita tentang Raras Prayagung, seorang pemilik perusahaan parfum, yang terobsesi pada sebuah bunga sakti - Puspa Karsa, dari sebuah lontar kuno. Di mana bunga ini bisa mengendalikan kehendak dan hanya bisa diidentifikasi melalui aroma yang dikeluarkannya. Pencarian yang dilakukan Raras ini, mempertemukannya dengan Jati Wesi yang memiliki indera penciuman di atas rata-rata orang pada umumnya. Jati Wesi sendiri ada seorang yatim piatu yang besar di TPA Bantar Gebang dan diasuh oleh seorang penadah di sana. Indera penciuman yang luar biasa itu mengantarnya pada profesi dan keahlian yang ia sendiri banggakan, yaitu meracik parfum. Kemampuan dan keahlian ini yang akhirnya memikat Raras Prayagung untuk merekrut Jati bergabung dengan perusahaan parfumnya. Dalam perjalanannya, Jati semakin mengenali secara pribadi kehidupan Raras dan anak tunggalnya, Tanaya Suma. Tak hanya itu, keterlibatannya dalam pencarian Puspa Karsa menguak banyak misteri tentang dirinya, keluarga Prayagung, dan masa lalunya. Aroma Karsa ini bisa jadi karya terbaik Dee, sampai saat ini. Pembaca akan sangat dimanjakan dengan cerita yang dituturkan dengan alur yang mengalir, diksi yang bervariasi, dan konflik yang kompleks. Namun pembaca tak perlu khawatir, gaya penulisan yang ringan akan menuntun pembaca menemukan dan menyusun tiap puzzle hingga menjadi cerita yang utuh. Di samping itu, secara pribadi saya sedikit berharap akan lebih banyak dibahas Desa Dwarapala di Gunung Lawu. Karena desa tersebut baru muncul di bab ke 48 dan pembahasan pun cukup singkat dan tak detail. Tapi ini tak mengurangi apapun juga, mungkin ini sekadar ketertarikan pribadi pada hal-hal berbau fantasi, mistik, sejarah, dan tradisi. [16/18] Revitalisasi Kota Tua di Dunia Judul Buku : Revitalisasi Kota Tua di Dunia Pengarang : Sri Pare Eni, Adjeng Hidayah Tsabit Penerbit : Rajawali Pers Tahun : Juli 2011, cetakan pertama Tebal Buku : xii + 110 halaman Peradaban manusia sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Di mana peradaban ini membangun berbagai kota di penjurus dunia, banyak yang menjadi reruntuhan atau hilang tak berjejak. Kota-kota besar di dunia saat ini pun telah melalui sejarah panjang hingga menjadi sedemikian kompleks. Di beberapa kota tersebut masih ada jejak peninggalan dari era sebelumnya yang menjelma menjadi kota tua yang unik. Kota tua di antara kota 'modern' yang melaju cepat ini menjadi semacam oasis. Di mana umum kota tua menjadi unik dan potensial dalam ragam bentuk dan nilai-nilai yang dibawanya. Nilai sejarah, tradisi, dan budaya yang mewujud dalam beragam bentuk - dengan penanganan yang tepat, akan mengundang nilai ekonomi yang berpengaruh pada kemajuan kota itu sendiri. Buku ini, Revitalisasi Kota Tua di Dunia, membahas bagaimana kota tua perkembangan menjadi pusat sejarah, budaya, serta wisata hingga bisa tetap eksis di antara laju pembangunan. Taman Fatahillah Jakarta - Indonesia, Alexander Platz Berlin - Jerman, Plodiv - Bulgaria, dan Medina Tunis - Tunisia akan menjadi bahan pembahasan dengan permasalahan dan kondisi sosial budaya yang tentu berbeda. Pembahasan dalam buku ini sangat detail. Sejarah kota, ciri khas, objek cagar budaya, permasalahan yang dihadapi, serta penanganan dan arah kebijakan dipaparkan satu per satu. Hal ini sangat membantu pembaca untuk melihat kota secara utuh. Pembaca yang asing dengan kota-kota tersebut tak akan kebingungan 'menvisualisasikannya'. Informasi yang ada pun menarik untuk kulik lagi, dari sini pembaca bisa mengeksplorasi lagi kota-kota tersebut. Topik yang menarik dan informatif ini menjadi tidak maksimal dengan penyajian yang terkesan seadanya. Di awal dikatakan buku ini diharapkan bisa dinikmati oleh masyarakat luas, walau secara khusus dan spesifik diperuntukkan mereka yang bergelut di bidang arsitektur, perencanaan kota, antropologi budaya, dan pariwisata. Hal ini mungkin yang membuat penyajian buku ini setengah-tengah. Sebagai pembaca, saya merasa penyajian buku ini terlalu kaku untuk karya populer yang bisa dinikmati masyarakat umum. Dan, sebagai karya ilmiah pun buku ini terkesan kurang profesional, seperti tidak runtun, tidak konsisten, serta gambar dan ilustrasi yang kurang informatif. Pembaca - yang sedari awal memiliki minat pada kegiatan revitalisasi dan kota tua, mungkin tidak mempermasalahkan teknik penyajiannya karena topik dan infomasi yang menarik. Tapi, untuk yang lain mungkin perlu sedikit bersabar. [17/18] Pasung Jiwa Judul Buku : Pasung Jiwa Pengarang : Okky Madasari Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun : Oktober 2015, cetakan kedua Tebal Buku : 328 halaman Okky Madasari, salah satu penulis yang secara khusus memiliki kepedulian pada isu sosial yang terjadi di Indonesia. Dari novel pertamanya, Entrok yang terbit di 2010, hingga Kerumuman Terakhir di tahun 2016. Kekonsistenan pada isu hak asasi manusia, kebebasan, dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan membawanya menjadi penerima Khatulistiwa Literary Award 2012 di Kategori Buku Sastra Terbaik atas karya yang berjudul Maryam, 2012. Setelah namanya cukup lama terdengar dan banyaknya rekomendasi dari kawan, Pasung Jiwa merupakan karya pertama Okky Madasari yang saya baca. Pasung Jiwa adalah novel keempatnya yang terbit pada Mei 2013, bercerita tentang kebebasan individu untuk memilih bagaimana mengekspresikan dirinya. Indonesia sebagai latar sosial budaya pun membuat topik kebebasan memiliki konflik yang sangat kompleks. Di mana sebenarnya masyarakat Indonesia masih terkungkung oleh 'aturan-aturan semu' yang berdasar pada tradisi, agama, ataupun perspektif masyarakat sisi yang sebenarnya tak relevan lagi. Bagi saya sendiri, cerita dibuka dengan kalimat yang cukup mengejutkan. Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala hal yang kulakukan. (hlm. 09) Pertama kali membaca kalimat tersebut, saya dibuat terhenyak bingung antara ke mana cerita ini akan dibawa dan bagaimana kalimat tersebut secara gamblang menggambarkan kondisi kebanyakan dari kita yang terpasung oleh hal-hal di sekeliling kita. Sasana, sang tokoh terkungkung oleh persepsi masyarakat terhadap dirinya, atau "tanggung jawabnya" sebagai anak terhadap persepsi masyarakat pada keluarga atau orangtuanya. Ia melakukan segala yang diminta padanya agar orang-orang menilai baik ia dan orangtuanya. Hingga ia tak sempat mencari apa yang ia suka. Kebebasan sedikitnya Sasana rasakan ketika ia kuliah di Malang. Ia bisa mengekspresikan kesukaannya pada musik dangdut yang sebelumnya selalu ditentang oleh orangtuanya. Pertemuan dengan Cak Jak membantunya, menemukan dirinya yang lain. Hingga Sasana harus ditangkap dan mendapat perlakuan tak mengenakkan dari aparat. Kejadian ini membawanya kembali ke rumah orangtuanya dan berharap bisa menata kembali hidupnya. Harapan dan keinginan untuk kembali hidup normal seperti kebanyakan orang tak berbuah baik. Trauma menghantui, mengganggu kesehariannya. Sasana membutuhkan pertolongan medis, yang berujung pada perawatan intensif di rumah sakit jiwa. Bagian ini mengingatkan saya pada novel Veronica Memutuskan Mati, karya Paulo Coelho. Atau mungkin aku akan mengakhiri semuanya, lari sejauh-jauhnya. Lari meninggalkan tubuhku, meninggalkan tembok-tembok yang mengungkungku, meninggalkan hidupku. (hlm. 10) Seperti halnya Veronica, pertemuan Sasana dengan mereka yang dianggap gila menjadi fragmen yang cukup filosofis. Di mana, menjadi gila membutuhnya memiliki sedikit kebebasan, hingga memicu pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang waras siapa yang tidak, tentang sistem yang membelenggu, juga tentang kematian. Selain Sasana, Cak Jek juga tokoh pengerak dalam cerita ini yang bergelut dengan belenggunya sendiri. Menurut saya pribadi, Cak Jek adalah kebanyakan dari kita yang fokus pada perut sendiri. Bagaimana diawal ia terlihat tidak peduli dan tidak peka dengan isu-isu sosial di sekitarnya, hingga akhirnya ia dihadapkan pada persoalan tersebut. Penyesalan dan stigma masyarakat pada dirinya menjadi konflik yang intens ia hadapi. Secara keseluruhan, Pasung Jiwa adalah cerita yang menarik dan menggugah. Alur dan penuturan yang sederhana dan ringan, meski dengan konflik yang kompleks. Akhir kata, semoga kita bisa melepas semua belenggu dan menjadi bebas karena... Tak ada yang bisa melarang apa yang kami lakukan. Tak ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini kebebasan kami. (hlm. 321) Description: daftar buku-buku yang telah dibaca sepanjang setahun ini - 2019, dari Januari sampai Desember nanti. bukan review yang mumpuni, sekadar kesan-kesan selama dan setelah membaca. #1tahun18buku
Title: Rely On You Category: Young Adult Text: Unexpected Moment Shanin menghembuskan napasnya setelah melihat pesan yang berasal dari benda pipih digenggamannya. Jika tahu begini gadis itu memilih pulang dari tadi, hampir setengah jam ia menunggu dosen pembimbingnya terkait masalah skripsi yang Shanin kerjakan dan ternyata berakhir sia-sia. Gadis berkuncir kuda itu berjalan menuju tempat parkir dan segera beranjak meninggalkan kampus menggunakan motor matic miliknya. Hari ini Shanin harus mencari pekerjaan baru, karena beberapa hari lalu ia diberhentikan sebagai waiters di cafe dekat kosnya hanya karena ia terlambat datang ketika pengunjung sedang ramai-ramainya. Sebagian hati kecil Shanin bersyukur karena ia tidak harus menghadapi bosnya yang super galak, namun merasakan betapa sulitnya mencari pekerjaan membuat sedikit menyesal. Ah seandainya saja mendapatkan perkerjaan semudah membalikkan telapak tangan. Shanin tenggelam dalam lamunannya dan seketika ia tersadar saat melihat mobil berhenti dengan jarak kurang dari 5 meter, mata gadis itu membulat dengan bibir terbuka menyadari motornya masih melaju dengan cepat. Bagaimana bisa ada orang yang parkir mobil sembarangan seperti itu? Dan ketika jarak semakin dekat pintu mobil itu terbuka, Shanin berusaha menekan klakson berkali-kali dan kedua tangannya menarik rem kuat-kuat. Oh tidak! Tetap saja hal ini tidak bisa dihindari. BRAKKK!! *** Mobil keluaran terbaru Nissan Leaf berwarna putih itu berhenti didepan sebuah toko bunga kecil yang ada dipinggir jalan. Sang pengemudi bernama Mario iku berdecak singkat, jika bukan perintah ibunya ia tidak akan mau membeli bunga ditempat ini. Selain kecil dan sempit toko bunga didepannya ini tidak memiliki sedikit space untuk memarkirkan mobil. Ah seharusnya Mario ingat bahwa hari ini peringatan kematian neneknya dan menyiapkan bunga sejak awal agar tidak terjadi hal dadakan seperti ini. Ponsel mahal pria itu berdering. Tanpa melihat siapa penelfon itu pun Mario sudah tau bahwa itu mamanya. Tak menunggu lama Mario langsung mengangkat panggilan tersebut. "Halo Ma, ini Mario masih cari bunga." "..." "Iya bentar lagi sampe sana kok, " "..." "Mario kan sudah bilang Ma, Mario nggak akan jual apartemen itu." "..." "Iya secepatnya Mario cari pengganti." Pria itu memindahkan ponsel ke tangan kiri sedangkan tangan satunya berusaha mencari earphone yang mungkin terjatuh pada bagian bawah kabin mobil. "Iya Mario paham, Ma. Mario juga nggak bisa pilih orang sembarangan buat jagain apartemen itu." Jawab Mario, ekor matanya melirik jam tangan bermerk Tudor Heritage Blackbay yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Seharusnya ia sampai di rumah orang tuanya saat ini, mengingat jadwal hari ini cukup padat. Seusai acara keluarga nanti Mario bersama dengan Mas Andre-Manager pribadinya akan bertemu dengan beberapa kru dan sutradara terkait film yang akan dibintangi oleh Mario nanti. "Ya sudah Mario tutup dulu Ma, nanti di bahas lagi disana." Masih fokus dengan ponsel di genggaman tangannya, Mario membuka pintu mobil tanpa melihat jalanan belakang yang tentu saja banyak orang berkendara. Bahkan pintu mobil Mario belum sepenuhnya tertutup tetapi di belakang sana sebuah motor matic melaju cepat dengan pengendara yang memasang wajah panik. Ini pertanda buruk! Niat hati ingin menghindar tetapi sepertinya gerakan Mario terlalu lambat, hingga kemudian kejadian yang tidak di inginkan keduanya pun terjadi. BRAKKK!! Tabrakan itu cukup membuat Mario terpental, entah bagaimana pemotor itu baik-baik saja malah sebaliknya. Mario tidak sanggup memikirkan hal tersebut kepala Mario terasa pening melihat keadaan sekitar yang dikerumuni banyak orang, tangan kanannya terasa panas hingga detik berikutnya pria itu tidak sadarkan diri ketika orang-orang berusaha menolongnya. Beralih pada kerumunan lain yang berada tak jauh dari tempat itu, seorang gadis yang menjadi pelaku tabrakan tersebut pingsan walau hanya memiliki beberapa luka kecil. Orang sekitar membawanya ke toko kecil di depan sana. Wanita paruh baya yang tak lain pemilik toko itu mengolesi minyak kayu putih dan melepas sepatu yang dikenakan Shanin. Tak butuh waktu lama Shanin tersadar dan langsung meneguk segelas air putih yang diberikan oleh wanita tadi. Seketika Shanin teringat kejadian beberapa menit lalu dan sesegera mungkin bertanya. "Bu bagaimana keadaan pria yang saya tabrak tadi?" tanya Shanin dengan nada khawatir yang terdengar jelas. "Saya tadi nggak liat lebih jelasnya, soalnya keburu dibawa ke rumah sakit, Nak." "Kira-kira rumah sakit mana ya, Bu?" "Kemungkinan rumah sakit Cempaka Putih. Apalagi yang kecelakaan tadi Mario yang sering nongol di tv itu." Jawab wanita paruh baya tersebut dengan enteng namun berdampak besar pada Shanin yang seketika merasakan pening. Gadis itu paham betul bahwa Cempaka Putih bukan rumah sakit yang di tempati orang biasa. Selain fasilitas yang lengkap dan terjamin, biaya di sana tidak bisa dikatakan murah. "Mario?" Shanin tertegun sesaat. Aduh bagaimana ini? Shanin baru saja menabrak pria yang tentu saja bukan orang biasa. Bagaimana jika masalah ini dibesar-besarkan media dan wajahnya terpampang di televisi, apa reaksi orang tuanya di kampung nanti? Shanin merutuki kebodohannya sesaat. Sepertinya ia harus segera mengecek keadaan pria itu, sebelum orang-orang menyebutnya tidak bertanggung jawab. Meskipun Shanin tidak sepenuhnya salah karena Mario sendiri tiba-tiba membuka pintu mobil tanpa melihat ke belakang. Iya benar, Shanin tidak perlu merasa takut. "Bu, boleh saya minta antar ke sana?" tanya gadis itu setelah melihat kondisi motornya yang mengenaskan. Ya Tuhan berapa banyak masalah yang dihadapinya kali ini? "Oh iya biar saya panggilkan anak saya sebentar ya." "Maaf ya Bu, merepotkan." Shanin berkata dengan sungkan. Sedangkan wanita itu tersenyum seolah hal tersebut bukanlah sesuatu yang penting. *** Bangunan kokoh berwarna putih terlihat ramai, beberapa tenaga medis tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Begitu banyak ekspresi yang tergambar di wajah orang-orang sekitar sini. Ada yang bahagia mendengar kabar dari orang tercinta sembuh dari penyakit. Ada yang khawatir ketika menunggu informasi dari dokter. Dan yang paling menyakitkan adalah, ekspresi sedih saat kehilangan orang terdekat. Dari berbagai macam ekspresi itu, Shanin tidak tau apa yang ia rasakannya kini. Setelah bertanya resepsionis, Shanin berjalan menuju ICU dan mendapati seorang pria berpakaian rapi duduk di samping pintu yang juga menjadi tujuannya. Tidak mudah untuk sampai pada tempat ini mengingat di luar sana begitu banyak wartawan yang berusaha mendapatkan berita dari sang artis yang kini masih dalam penanganan medis. Bahkan Shanin sempat tidak diperbolehkan masuk tetapi setelah berkata pada security bahwa ia adalah si pelaku, Shanin langsung mendapat tatapan kasihan. Pria itu mengerutkan kening ketika mendapati seorang gadis yang menghampirinya. "Maaf, ada keperluan apa?" Ia berdiri ketika Shanin kini berada di hadapannya. Shanin bingung harus menjawab apa. Apakah dia benar-benar disebut pelaku? Atau korban yang bahkan dirinya tidak memiliki luka parah di bagian tubuh? Ah sejak kapan menjawab pertanyaan orang menjadi sesulit ini bagi Shanin. Belum sempat Shanin menjawab, seorang wanita berpenampilan modis diikuti dengan pria yang menggunakan jas begitu rapi berjalan mendekat. Tatapan khawatir tergambar jelas pada keduanya. "Andre bagaimana keadaan Mario? Apa begitu parah?" tanya wanita itu tanpa menunggu sampai di depan pria yang ternyata bernama Andre. "Masih dalam penanganan dokter, Bu." "Kamu tau bagaimana kronologinya? Setidaknya kita bisa menuntut orang yang mencelakai Mario." sahut pria paruh baya itu sukses membuat Shanin terkejut bukan main. Hal itu membuat dua orang tua yang baru saja datang menyadari seseorang asing yang berada di antara mereka bertiga. Tatapan menilai Shanin dapatkan dari ketiga orang penting di hadapannya. Pasalnya Shanin yang hanya memakai jeans dan cardigan biasa tak lupa sepatu putih lusuhnya sangat tidak pantas berdiri didaerah ini. "Maaf saya tidak bermaksud mencelakai Mario, memang saya yang salah berkendara sambil melamun. Saya tidak tahu ada mobil berhenti dan tiba-tiba pintunya terbuka, dan hal tersebut tidak bisa saya hindari." Shanin hanya bisa berkata seperti itu dan tentu saja dengan menundukkan kepala. Detik berikutnya semua perhatian tertuju pada ruangan di depan sana ketika seorang dokter keluar dengan memasang wajah serius. Tanpa menunggu aba-aba mereka menanyakan hal yang sama yaitu tentang bagaimana keadaan Mario. "Bisa bicara di ruangan saya sebentar?" Ketiga orang berpengaruh itu saling pandang hingga akhirnya pasangan paruh baya tersebut yang berjalan menuju ruangan dokter. Andre kembali mendudukkan tubuhnya. Sempat terjadi keheningan beberapa saat namun akhirnya pria itu membuka suara bertanya pada Shanin yang hanya menunduk meremas ujung cardigannya. Gadis iku tampak gelisah, kepalanya di penuhi pertanyaan berawalan kata bagaimana. "Jadi-" Andre menjeda kalimatnya, mencoba mencari kalimat yang pas. "Kecelakaan itu murni ke tidak sengajaan?" Ucapan itu sukses membuat Shanin sempat terperangah seraya menatap Andre. Bagi Shanin kejadian saat ini adalah musibah, bagaimana mungkin orang lain bisa menganggapnya di sengaja. Hah sepertinya dunia mulai terbalik atau mungkin memang sudah. "Kehidupan saya sudah cukup rumit, tidak mungkin saya mempunyai niat untuk mempersulit keadaan saya sendiri." jawan Shanin dengan lugas. Andre berdeham kemudian melanjutkan perkataannya. "Menjadi tokoh publik itu sulit. Apalagi saat ini Mario sedang di atas langit. Banyak sekali haters atau bahkan juga orang-orang yang fanatik dengan dia, sampai terkadang saya tidak bisa membedakan hal yang murni atau memang disengaja mencari perhatian Mario." Shanin berani bersumpah selama 22 tahun hidupnya, ia tidak pernah mempunyai rencana konyol seperti itu. Masih banyak hal penting lain yang bisa Shanin lakukan. Gadis biasa sepertinya tidak mempunyai waktu untuk mengejar atau bahkan mengemis perhatian orang lain, apalagi untuk seorang bintang seperti Mario. Lihat betapa realistisnya hidup Shanin. Andre menatap gadis didepannya yang terdiam, membuat pria itu merasa tidak enak hati. Mungkinkah kata-katanya terlalu jahat? Tetapi bukankah itu salah satu cara demi kebaikan Mario? Hah kenapa jadi dia yang repot sendiri. "Maaf jika kalimat saya terkesan menuduh." ujar Andre pada akhirnya setelah terlibat perdebatan kecil dalam batin. "Tidak apa-apa, saya mengerti." Shanin menjawab dengan senyuman tipis. Beberapa kemudian sepasang orang tua yang tadinya di panggil ke ruangan dokter, kini kembali dengan wajah murung. Tanpa mengatakan apa-apa mereka melewati Shanin begitu saja dan langsung menuju tempat Mario dirawat begitu pula dengan Andre yang ikut berjalan menyusul. Gadis itu menghembuskan napas berat, bahkan ia sempat mendapat tatapan tidak bersahabat dari wanita yang dia yakini sebagai ibu Mario. Shanin seratus persen yakin bahwa ada sesuatu yang buruk menimpa Mario, walaupun dalam hatinya merapal sebuah doa agar hal tersebut tidak terjadi. *** Description: Kehidupan Shanindya Maharani (22) sudah cukup pelik. Apalagi setelah masalah lain muncul membuat gadis itu pusing tujuh keliling. Karena kecerobohannya, Shanin menabrak Mario Januardy (29) yang notabenenya adalah seorang artis terkenal hingga membuat pria itu patah tulang dibagian lengan kanannya. Itu masalah besar. Bahkan untuk membayar biaya rumah sakit pria itu saja Shanin tidak mampu. Belum lagi dengan mobil Mario yang lecet karena kecelakaan tersebut. Hingga kemudian Mario membuat kesepakatan diantara mereka berdua. Dan dipastikan untuk tidak memperlibatkan masalah hati, Mario sudah memperingatkan hal itu sejak awal pada Shanin. Tetapi kenapa justru Mario sendiri yang terjebak? _____ Copyright ® 2020 by daniyahay
Title: RINDU AKSARA AISYAH Category: Flash fiction Text: RINDU AKSARA AISYAH Part 1 "Calon suamimu dan orang tuanya akan datang nanti sore, kalian akan menikah malam ini, setelah Maghrib pakailah gaun yang sudah disiapkan ibumu." "Aku tidak mau, Ayah. Aku hamil oleh Dito, bukan oleh laki-laki udik itu." "Lantas dimana sekarang laki-laki brengsek yang sudah menghamili kamu itu? Kabur melarikan diri dari tanggungjawab?" "Dito belum bisa pulang ke Indonesia sekarang, Ayah. Dia sedang sibuk untuk persiapan ujian akhir untuk masternya, setelah semua urusan kuliahnya selsesai dia pasti pulang untuk menikahiku dan mempertanggungjawabkan semuanya." "Kapan? Nunggu sampai kamu hamil besar dan melahirkan? Mau disimpan dimana muka Ayah dan Ibu kalau kamu sampai melahirkan tanpa seorang suami? Kamu hamil di luar nikah saja itu sudah tamparan keras bagi Ayah dan Ibu, kami sebagai orang tua merasa gagal mendidikmu." Rindu terdiam, laki-laki yang selama dua puluh lima tahun ini ia panggil Ayah, matanya tampak berkaca-kaca dan merah, ada amarah yang tertahan, ada luka menganga yang telah Rindu torehkan di hati Ayah dan Ibu karena kekhilafannya. "Maafkan Rindu, Ayah. Rindu menyesal, tapi Rindu akan tetap menunggu Dito, tidak mau menikah dengan lelaki udik yang tidak Rindu kenal sama sekali dan tidak Rindu cintai." "Persetan dengan cinta, sekarang tugas kamu cuma satu, menuruti Ayah dan Ibu demi nama baik keluarga yang sudah terlanjur kamu coreng karena kelakuanmu yang menimpakan aib besar pada keluarga. Beruntung ada Aksara yang bersedia menikahimu meski dia tahu kamu sedang hamil di luar nikah. Kamu harusnya bersyukur, ada laki-laki baik yang mau menikahi perempuan yang hamil karena laki-laki lain." "Itu namanya laki-laki bodoh, Ayah, dan aku tidak mau hidup dengan laki-laki bodoh itu." "Menikahlah dengan dia meski tidak cinta, setidaknya sampai kamu melahirkan, setelah melahirkan kalian bercerai lagi juga tidak apa-apa." Nada suara Ayah meninggi, ia meninggalkan Rindu yang berderai air mata di kamarnya. Di tempat lain, tampak Aksa bersimpuh di hadapan umi dan abah. "Abah, Umi, tidak adakah jalan lain untuk membalas utang budi dan utang jasa kepada Pak Ridwan selain dengan menikahi putrinya yang sedang hamil itu?" Aksara mencoba meminta pengertian kedua orang tuanya. Abah menggeleng lemah. "Utang harta bisa kita bayar dengan harta, tapi utang budi tidak bisa dibayar dengan apapun. Selama ini keluarga Pak Ridwan tidak pernah meminta apapun pada keluarga kita, ini adalah satu-satunya permintaan yang Pak Ridwan minta setelah begitu banyak kebaikannya pada keluarga kita." "Tapi Aksa tidak mau menikahi perempuan yang sedang hamil di luar nikah yang dihamili laki-laki lain. Bukankah haram hukumnya menikahi perempuan yang sedang hamil?" Aksa masih bersikukuh mencari alasan. "Aksa, para ulama memiliki pendapat yang berbeda sesuai dengan mazhab yang dianutnya dalam menghukumi menikahi perempuan yang sedang hamil. Menurut para ulama Syafi'iyah, pernikahan tersebut diperbolehkan selama memenuhi syarat nikah, jadi hukum menikahi perempuan yang sedang hamil itu sah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ulama Hanafiyah juga mempunyai pendapat yang senada dengan para ulama Syafi'iyah. Coba kamu baca lagi surat An Nisa ayat 23 tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi, perempuan yang sedang hamil bukanlah salah satu perempuan yang haram dinikahi menurut ayat itu. Memang para ulama Hanabilah dan Malikiyah memiliki pendapat yang berbeda dengan ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah, ulama Hanabilah dan Malikiyah berpendapat bahwa tidak sah menikah dengan perempuan yang sedang hamil dan perempuan itu baru boleh menikah setelah melahirkan bayinya. Aksa, kita ini kan kan bermazhab Syafi'iyah, jadi kita mengambil pendapat itu karena kita menganggap dalil yang digunakannya lebih kuat." Aksa terdiam, umi merengkuh pundak Aksa. "Ayo Nak kita siap-siap, Umi sudah siapkan pakaian untuk pernikahanmu. Bersikaplah seperti seorang kesatria yang bertanggungjawab, jadilah suami yang baik untuk Rindu, bimbing dia setelah jadi istrimu, Umi percaya kamu mampu, Nak." "Bagaimana dengan Aisyah, Umi? Aksa sudah melamarnya, Abah dan Umi juga sudah setuju, apa yang harus Aksa katakan pada Aisyah?" Abah dan Umi saling melempar pandang. "Telepon Aisyah sekarang, minta maaf padanya dan batalkan lamaranmu." Description: Cinta sejati akan selalu menemukan pemiliknya, sejauh apapun berlari, ia pasti kembali, seperti cinta Aksara untuk Aisyah yang tidak berkurang karena Rindu.
Title: Room Category: Adult Romance Text: Kini Aku lima tahun hari ini. Waktu aku tidur di Lemari semalam, aku masih empat. Namun, waktu aku bangun di Tempat Tidur dalam kegelapan, simsalabim, aku berubah jadi lima tahun. Sebelum itu aku tiga tahun, sebelumnya lagi dua, lalu nol. “Apa sebelumnya aku minus?” “Hmm?” Ma meregangkan tubuhnya. “Di Surga. Apa aku minus satu, minus dua, minus tiga—?” “Tidak, angkanya belum dimulai sampai kau memelesat keluar.” “Lewat jendela langit. Kau sangat sedih hingga aku ada di perutmu.” “Begitulah.” Ma mencondongkan tubuhnya dari tepi Tempat Tidur untuk menyalakan lampu yang membuat segalanya terang, wush. Aku memejamkan mata tepat saat lampu menyala, lalu membuka sebelah mata, lalu keduanya. “Aku menangis sampai tidak ada air mata yang tersisa.” Ma memberitahuku. “Aku hanya berbaring di sini menghitung detik.” “Berapa detik?” tanyaku. “Berjuta-juta detik.” “Tidak, berapa tepatnya?” “Aku sudah tidak menghitungnya lagi,” jawab Ma. “Lalu kau berharap pada telurmu sampai kau jadi gendut.” Ma tersenyum. “Aku bisa merasakan tendanganmu.” “Aku menendang apa?” “Aku, tentu saja.” Aku selalu tertawa saat Ma bilang begitu. “Dari dalam, bum bum.” Ma mengangkat baju kaus tidurnya dan membuat perutnya melonjak-lonjak. “Lalu aku berpikir, Jack sedang kemari. Pagi sekali, kau meluncur jatuh ke karpet dengan mata membelalak.” Aku menatap Karpet yang berwarna merah, hitam, dan cokelat saling berzig-zag. Di atasnya ada noda yang tidak sengaja kutumpahkan saat aku lahir. “Kau memotong tali pusar dan aku bebas,” kataku pada Ma. “Lalu aku berubah menjadi anak laki-laki.” “Sebenarnya, waktu itu kau sudah menjadi anak laki-laki.” Dia turun dari Tempat Tidur dan berjalan menuju Termostat untuk menaikkan suhu. Sepertinya setelah pukul sembilan semalam, dia tidak datang. Suhunya selalu berubah setiap kali dia datang. Aku tidak bertanya karena Ma tidak suka kalau aku membicarakannya. “Jadi, Tuan Lima, apa kau mau hadiahnya sekarang atau nanti setelah sarapan?” “Apa itu, apa itu?” “Aku tahu kau bersemangat,” katanya, “tapi ingat, jangan menggigiti jarimu, kuman bisa menyelinap masuk ke mulutmu.” “Membuatku sakit seperti waktu aku tiga dengan muntah-muntah dan diare?” “Bahkan lebih buruk dari itu,” kata Ma, “kuman bisa membunuhmu.” “Dan kembali ke Surga lebih awal?” “Kau masih menggigitinya.” Ma menarik jariku dari mulut. “Maaf.” Aku menduduki tangan nakalku. “Panggil aku Tuan Lima lagi.” “Jadi, Tuan Lima,” katanya, “ sekarang atau nanti?” Aku melompat ke Kursi Goyang untuk melihat Jam. Katanya, 07.14. Aku bisa bermain skateboard di atas Kursi Goyang tanpa memegangnya. Lalu aku kembali ke Selimut sambil berseru wiiiii dan main snowboard. “Kapan kado-kado sebaiknya dibuka?” “Kapan pun menyenangkan. Perlukah kupilihkan waktunya?” tanya Ma. “Sekarang aku lima, aku harus memilih.” Jariku di dalam mulut lagi, aku menempatkannya di ketiak dan menjepitnya rapat. “Aku memilih—sekarang.” Dia menarik sebuah sesuatu dari bawah bantalnya, kupikir itu disembunyikan semalaman tanpa terlihat. Itu adalah sebuah silinder kertas bergaris yang diikat dengan pita ungu dari ribuan cokelat yang kami dapatkan saat Natal. “Bukalah,” katanya. “Pelan-pelan.” Aku tahu cara melepaskan ikatannya, lalu kuratakan kertas gulung itu. Di dalamnya ada sebuah gambar, hanya goresan pensil, tanpa warna. Aku tidak tahu gambar apa itu, lalu aku membaliknya. “Ini aku!” Seperti di Cermin tapi lebih mirip, kepalaku, lenganku, dan bahuku, dalam baju kaus tidurku. “Kenapa mataku tertutup?” “Kau sedang tidur,” kata Ma. “Bagaimana kau membuat gambar saat sedang tidur?” “Tidak, aku sedang bangun. Pagi kemarin dan dua hari lalu dan tiga hari lalu, aku menyalakan lampu dan menggambarmu.” Ma berhenti tersenyum. “Ada apa, Jack? Kau tidak menyukainya?” “Bukan—ketika kau di saat yang sama dengan aku tidur.” “Yah, aku tidak bisa menggambarmu saat kau bangun, atau ini tidak akan jadi kejutan, kan?” Ma menunggu. “Kupikir kau akan suka kejutan.” “Aku lebih suka kejutan dan aku tahu.” Ma tertawa. Aku naik ke Kursi Goyang untuk mengambil paku payung dari Perkakas di Rak. Dikurangi satu artinya sisanya lima. Tadinya ada enam tapi satu hilang. Satu paku payung menempel Great Masterpieces of Western Art No. 3: The Virgin and Child with St. Anne and St. John the Baptist di balik Kursi Goyang, dan satu lagi menempelkan Great Masterpieces of Western Art No. 8: Impression: Sunrise di sebelah Bak Mandi, satu lagi menahan gambar gurita biru, dan satu lagi gambar kuda gila yang disebut Great Masterpieces of Western Art No. 11: Guernica. Semua mahakarya itu kudapatkan dari oatmeal, tapi gambar gurita buatanku, itu karya terbaikku bulan Maret, gambar itu sedikit keriting karena uap panas dari Bak Mandi. Aku menempelkan gambar kejutan Ma di tengah kotak di atas Tempat Tidur. Ma menggeleng. “Jangan di sana.” Dia tidak ingin Si Nick Tua melihatnya. “Mungkin di Lemari, di balik pintu?” tanyaku. “Ide bagus.” Lemari terbuat dari kayu, jadi aku harus mendorong paku payung dengan lebih kuat. Aku menutup pintu bodoh yang selalu berderit itu, bahkan setelah kami memberikan minyak jagung di engselnya. Aku melihat lewat celah-celah lemari, tapi terlalu gelap. Aku membuka pintu Lemari sedikit untuk mengintip, gambar rahasia itu kelihatan putih kecuali di garis tipis berwarna abunya. Rok terusan biru Ma menutupi mataku yang mengantuk. Maksudnya, mataku yang di gambar, tapi rok terusan itu benar-benar nyata di Lemari. Aku bisa mencium aroma Ma di sampingku, aku punya penciuman paling tajam di keluargaku. “Oh, aku kelupaan minta mimik waktu bangun.” “Tidak apa-apa. Karena sekarang kau sudah lima tahun, mungkin kita bisa melewatkannya sesekali?” “No way, Jose.1” Maka, Ma berbaring di Selimut putih. Aku berbaring di sebelahnya dan aku mimik banyak sekali. *** Aku menghitung seratus sereal dan mengguyurkan susu yang seputih mangkuknya, tanpa mencipratkannya, kami berterima kasih pada Bayi Yesus. Aku memilih Sendok Meleleh yang seluruh bagian pegangannya menggumpal putih saat si sendok tanpa sengaja bersandar ke panci berisi pasta yang sedang dimasak. Ma tidak suka Sendok Meleleh, tapi itu favoritku karena itu beda. Aku mengelus guratan-guratan di Meja untuk membuatnya merasa lebih baik, si meja berwarna putih seluruhnya kecuali bagian guratan bekas memotong makanan yang berwarna abu-abu. Saat kami makan, kami memainkan Senandung karena tidak perlu membuka mulut. Aku menebak lagu “Macarena” dan “She’ll be Coming ‘Round the Mountain” dan “Swing Low, Sweet Chariot” yang ternyata sebenarnya “Stormy Weather”. Jadi nilaiku dua, aku mendapat dua ciuman. Aku menyenandungkan “Row, Row, Row Your Boat,” Ma menebaknya langsung. Lalu aku menyenandungkan “Tubthumping”, Ma mengernyit dan berkata, “Argh, aku tahu ini, ini lagu tentang terjatuh dan bangkit lagi, apa judulnya?” Pada bagian akhir lagu dia berhasil mengingatnya. Pada giliranku yang ketiga, aku menyenandungkan “Can’t Get You Out of My Head.” Ma sama sekali tidak tahu. “Kau memilih yang sulit .... Apa kau mendengarnya dari TV?” “Bukan, darimu.” Aku menyanyikan bagian chorus-nya, Ma bilang dirinya bodoh. “Otak udang.” Aku mencium Ma dua kali. Aku menggeser kursiku ke Wastafel untuk mencuci. Aku harus mencuci mangkuk dengan hati-hati, tapi sendok aku bisa kling klang klong. Aku menjulurkan lidahku di depan cermin. Ma di belakangku, aku bisa melihat wajahku menutupi wajahnya seperti topeng yang kami buat saat Halloween. “Kuharap gambarnya lebih bagus,” katanya, “tapi, setidaknya gambar itu menunjukkan seperti apa dirimu.” “Seperti apa aku?” Dia mengetuk Cermin tepat di bayangan dahiku, jarinya meninggalkan jejak lingkaran. “Seperti pinang dibelah dua.” “Kenapa aku pinang yang dibelah?” Lingkaran itu menghilang. “Itu artinya kau mirip denganku. Kurasa karena kau terbuat dari bagian diriku, seperti belahanku. Mata cokelat yang serupa, mulut besar yang serupa, dagu lancip yang serupa....” Aku menatap kami pada saat yang bersamaan dan kami di cermin menatap balik. “Hidungnya beda.” “Yah, hidungmu masih hidung anak-anak sekarang.” Aku memegangnya. “Apa hidung ini akan lepas dan hidung orang dewasa tumbuh?” “Tidak, tidak, hanya akan membesar. Rambut cokelat yang serupa—” “Tapi, rambutku memanjang sampai setengah badanku sedangkan punyamu hanya sampai bahu.” “Benar,” kata Ma, sambil meraih Pasta Gigi. “Seluruh selmu dua kali lebih hidup dibanding milikku.” Aku tidak tahu kalau sesuatu bisa hanya setengah hidup. Aku melihat ke Cermin lagi. Baju kaus tidur kami juga beda, begitu pula pakaian dalam kami, punya Ma tidak ada gambar beruangnya. Ketika dia meludah untuk kali kedua, giliranku dengan Sikat Gigi, aku menggosok setiap gigiku seluruh sisinya. Ludah Ma di Wastafel sama sekali tidak mirip denganku, begitu pun ludahku. Aku menyiramnya dan membuat senyuman ala vampir. “Argh.” Ma menutupi matanya. “Gigimu bersih sekali, membuat mataku tersilau.” Gigi Ma agak membusuk karena dia lupa menggosoknya. Ma menyesal dan tidak lupa lagi tapi gigi itu tetap membusuk. Aku melipat kursi dan menyandarkannya ke samping Pintu, di seberang Jemuran. Si Jemuran selalu mengeluh tidak ada ruang, padahal sebenarnya masih ada banyak ruang kalau ia mau berdiri tegak. Aku juga bisa melipat tubuhku tapi tidak sedatar lipatan kursi karena otot-ototku, karena aku hidup. Pintu terbuat dari logam mengilap ajaib. Bunyinya bip bip setelah pukul sembilan, dan itu berarti aku harus tidur di Lemari. Wajah kuning Tuhan2 tidak datang hari ini. Ma bilang, ia kesulitan menembus salju. “Salju apa?” “Lihat,” katanya, menunjuk ke atas. Ada sedikit cahaya di atas Jendela Langit, sisanya gelap. Di TV, salju berwarna putih, tapi salju sungguhan tidak putih. Itu aneh. “Kenapa saljunya tidak jatuh ke kita?” “Karena itu di luar.” “Di Luar Angkasa? Kuharap saljunya di dalam jadi aku bisa main dengannya.” “Ah, tapi nanti saljunya meleleh, karena di dalam sini nyaman dan hangat.” Ma mulai bersenandung, aku langsung menebaknya. Itu lagu “Let It Snow”. Aku menyanyikan bait keduanya. Lalu aku menyenandungkan “Winter Wonderland” dan Ma mengikutiku dengan nada yang lebih tinggi. Kami punya ribuan hal yang harus dilakukan setiap pagi, misalnya memberikan Tanaman segelas air di atas Wastafel supaya tidak tumpah, lalu menempatkannya kembali di alas potnya di atas Laci. Dahulu, Tanaman tinggal di Meja, tapi wajah Tuhan membakar salah satu daunnya. Dia hanya punya sembilan daun sekarang, semuanya selebar tanganku dengan bulu halus di permukaannya. Kata Ma, anjing juga berbulu. Tapi anjing-anjing cuma di TV. Aku tidak suka sembilan. Aku menemukan satu daun mungil akan tumbuh, itu dihitung sepuluh. Laba-laba nyata. Aku pernah melihatnya dua kali. Aku mencarinya tapi hanya ada jaring di antara kaki Meja dan bagian atasnya. Keseimbangan Meja sangat bagus. Buatku agak sulit. Waktu aku berdiri dengan satu kaki, aku bisa bertahan cukup lama tapi akhirnya aku jatuh. Aku tidak bilang pada Ma soal laba-laba. Dia selalu menyingkirkan jaring laba-laba, katanya jaring itu kotor tapi menurutku jaring itu kelihatan seperti perak supertipis. Ma suka binatang yang berkeliaran dan saling makan dalam kehidupan liar, tapi bukan di kehidupan nyata. Waktu aku empat tahun, aku melihat semut berjalan di kompor. Ma berlari dan menyingkirkan mereka supaya mereka tidak memakan makanan kami. Semenit mereka hidup dan menit berikutnya mereka jadi kotoran. Aku menangis sampai mataku hampir meleleh. Pernah juga pada suatu malam, ada makhluk yang berdengung nnnng nng nnng menggigitku dan Ma memukulkannya ke Permukaan Pintu di bawah Rak. Makhluk itu adalah nyamuk. Bekasnya masih menempel di gabus walaupun Ma sudah melapnya, bekas darahku yang dicuri nyamuk, seperti vampir kecil. Itu satu-satunya saat darahku keluar dari tubuhku. Ma mengambil pilnya dari bungkusan perak yang memiliki dua puluh delapan kapal angkasa mungil. Aku mengambil vitamin dari botol bergambar anak laki-laki yang sedang melakukan handstand. Lalu Ma mengambil satu vitamin dari botol besar bergambar wanita yang bermain tenis. Vitamin adalah obat supaya tidak sakit dan kembali ke Surga saat ini. Aku tidak mau pergi, aku tidak suka mati. Tapi, Ma bilang mati itu tidak apa-apa kalau kita sudah seratus tahun dan lelah bermain. Ma juga mengambil obat penghilang sakit. Kadang dia makan dua, tidak pernah lebih dari itu, karena sesuatu yang baik untuk kita akan tiba-tiba buruk jika kita mengambilnya terlalu banyak. “Apakah itu Gigi Jelek?” tanyaku. Gigi Jelek ada di baris paling belakang dalam mulut Ma, gigi yang paling parah. Ma mengangguk. “Kenapa kau tidak memakan dua penghilang sakit seluruhnya setiap hari?” Ma mengernyit. “Lalu aku akan ketergantungan.” “Apa itu—?” “Seperti bergantung pada sesuatu, karena aku membutuhkannya setiap saat. Sebenarnya, aku mungkin membutuhkannya, lebih banyak lagi dan lagi.” “Memang kenapa kalau butuh?” “Susah menjelaskannya.” Ma tahu segalanya kecuali hal-hal yang tidak benar-benar dia ingat, atau kadang dia bilang aku terlalu muda untuk diberikan penjelasan olehnya. “Gigiku terasa agak membaik jika aku tidak memikirkannya,” jelasnya padaku. “Bagaimana mungkin?” “Itu disebut kekuatan pikiran. Kalau kita tidak memikirkannya, tidak akan terasa.” Ketika aku sedikit terluka, aku selalu memikirkannya. Ma mengelus punggungku walaupun punggungku tidak sakit, aku justru menyukainya. Aku masih tidak mengatakan kepadanya tentang jaring laba-laba. Rasanya aneh punya sesuatu yang kumiliki tapi Ma tidak. Segala yang lain milik kami berdua. Kurasa tubuhku milikku dan ide-ide yang muncul di kepalaku juga. Namun, sel-selku terbuat dari selnya jadi bisa dibilang aku miliknya. Juga saat aku mengatakan apa yang kupikirkan dan dia mengatakan apa yang dia pikirkan, ide-ide kami melompat ke kepala yang lain, seperti mewarnai dengan krayon biru di atas kuning yang mengubahnya menjadi hijau. Pada 08.30 aku menekan tombol TV dan mencoba di antara ketiganya. Aku menemukan Dora the Explorer, hore. Ma menggerakkan si Kelinci amat pelan di bagian telinga dan kepalanya untuk membuat gambarnya lebih baik. Suatu hari saat aku empat tahun, TV mati dan aku menangis, tapi saat malam Nick Tua membawa kotak konverter ajaib dan membuatnya hidup kembali. Saluran lain setelah tiga itu sangat buram dan kami tidak menontonnya karena menyakiti mata kami, hanya kalau ada musik, kami menutupinya dengan Selimut dan hanya mendengarkan layarnya yang kelabu seraya menggerakkan pinggul kami. Hari ini aku menempelkan jari-jariku di kepala Dora untuk mendapatkan pelukan dan mengatakan kepadanya tentang kekuatan superku bahwa sekarang aku lima tahun, dia tersenyum. Dia memiliki rambut paling besar yang mirip helm cokelat dengan bagian bekas potongan tajam, rambutnya sebesar tubuhnya. Aku duduk di Tempat Tidur di pangkuan Ma untuk menonton, aku menggeliat-geliut sampai aku tidak menduduki tulang-tulangnya yang menonjol. Ma tidak punya banyak bagian yang empuk tapi bagian empuknya superempuk. Dora mengatakan hal-hal yang bukan bahasa nyata, disebut bahasa Spanyol, misalnya lo hicimos. Dia selalu membawa Tas Ransel yang cenderung ke dalam daripada ke luar. Isinya segala kebutuhan Dora seperti tangga dan baju luar angkasa, untuk dipakainya menari dan bermain sepak bola dan flute dan bertualang dengan Boots si monyet sahabat baiknya. Dora selalu bilang dia butuh bantuanku, seperti apakah aku bisa menemukan benda ajaib, dia menungguku mengatakan “Ya.” Aku berteriak, “Di belakang pohon palem,” dan panah biru mengeklik dengan tepat ke balik pohon palem. Setelah itu, Dora bilang, “Terima kasih”. Orang-orang lain di TV tidak mendengarkan seperti Dora. Peta selalu menunjukkan tiga tempat, kami harus ke tempat pertama untuk bisa ke tempat kedua dan untuk bisa ke tempat ketiga. Aku berjalan dengan Dora dan Boots, menggenggam tangan mereka, aku juga ikut menyanyikan semua lagu dan terutama ikut bersalto atau tos atau menari Tarian Ayam Bodoh. Kami harus hati-hati dengan Swiper yang licik, kami berteriak, “Swiper, jangan mencuri,” sebanyak tiga kali agar ia marah dan berkata, “Ya ampun!” lalu kabur. Suatu hari, Swiper pernah membuat robot kupu-kupu dengan alat kendali, tapi tidak berfungsi dengan baik, sehingga robot itu justru mengambil topeng dan sarung tangannya, itu lucu sekali. Terkadang kami mengambil bintang-bintang dan meletakkannya dalam saku Tas Ransel. Aku akan memilih Bintang Berisik yang bisa membangunkan apa pun dan Bintang Pengubah yang bisa berubah menjadi berbagai bentuk. Di planet lain, isinya banyak sekali orang bahkan ratusan bisa masuk ke layar, kadang satu orang terlihat besar dan dekat. Mereka memakai pakaian dan tidak telanjang, wajah mereka berwarna merah muda atau kuning atau cokelat atau belang-belang atau penuh rambut, dengan bibir yang amat merah dan mata besar dengan tepian hitam. Mereka sering tertawa dan berteriak. Aku suka menonton TV setiap saat, tapi TV merusak otak kita. Sebelum aku turun dari Surga, Ma selalu membiarkannya menyala sepanjang hari dan berubah menjadi zombie. Itu semacam hantu tapi berjalan bum bum bum. Jadi, sekarang Ma selalu mematikan TV setelah satu acara selesai, lalu sel-sel otak mengganda lagi saat siang dan kami akan menonton acara lain setelah makan malam dan membiarkan otak kami tumbuh saat tidur. “Satu lagi, ya, soalnya ini ulang tahunku? Kumohon?” Ma membuka mulutnya, lalu menutupnya. Kemudian dia berkata, “Kenapa tidak?” Ma memasang mode bisu saat iklan ditayangkan karena iklan-iklan melelehkan sel-sel otak lebih cepat hingga menetes-netes keluar dari telinga kita. Kini-2 Aku menonton mainan-mainan, ada truk yang bagus dan trampolin dan Bionicle. Dua anak lelaki bertarung dengan Transformer di tangan mereka tapi mereka baik dan tidak seperti orang jahat. Lalu acaranya mulai, Spongebob Squarepants. Aku berlari mendekat untuk menyentuhnya dan Patrick si bintang laut, tapi tidak Squidward, dia menakutkan. Ceritanya seram, tentang pensil raksasa, aku menonton dari balik jari-jari Ma yang dua kali lebih panjang daripada jariku. Tidak ada yang membuat Ma takut. Kecuali Nick Tua mungkin. Sering kali Ma memanggilnya hanya dengan sebutan dia. Aku bahkan tidak tahu namanya sampai aku menonton film kartun tentang pria bernama Si Nick Tua yang datang saat malam. Aku memanggil yang nyata dengan nama itu karena dia datang saat malam, tapi dia tidak mirip dengan yang di TV yang berjanggut dan bertanduk dan lainnya. Aku pernah bertanya kepada Ma apakah dia tua, dan Ma bilang usianya dua kali usia Ma yang berarti cukup tua. Ma bangkit dan mematikan TV begitu bagian kredit acara muncul. Air kencingku kuning karena vitamin. Aku duduk untuk berak. Aku bilang, “Dadah, selamat jalan ke laut.” Setelah membanjurnya, aku melihat tangki toilet mengisi ulang dengan suara blup blup blup. Lalu aku membasuh tanganku hingga rasanya kulitku mengelupas, itu tanda kalau aku sudah mencucinya cukup bersih. “Ada jaring laba-laba di kolong Meja,” kataku, aku tidak tahu kalau aku akan mengatakannya. “Itu buatan laba-laba, dia nyata. Aku pernah melihatnya dua kali.” Ma tersenyum tapi tidak benar-benar tersenyum. “Tolong jangan singkirkan laba-labanya, ya? Karena ia tidak di sana, tapi ia mungkin akan kembali.” Ma berlutut melongok ke kolong Meja. Aku tidak bisa melihat wajahnya sampai dia menyelipkan rambutnya ke balik telinga. “Begini saja, aku akan membiarkannya sampai jadwal kita bersih-bersih, ya?” Itu hari Selasa, tiga hari lagi. “Iya.” “Kau tahu?” Ma berdiri. “Kita harus mengukur berapa tinggimu sekarang, kau sudah lima tahun.” Aku melompat tinggi ke udara. Biasanya aku tidak boleh menggambari bagian-bagian Kamar maupun perabotannya. Waktu aku dua tahun, aku mencoret-coret kaki Tempat Tidur yang dekat Lemari. Setiap kali kami bersih-bersih, Ma mengetuk coretan itu dan berkata, “Lihat, kita tidak bisa menghapusnya selamanya.” Namun, beda ceritanya dengan tinggi badanku saat ulang tahun, itu angka-angka mungil di samping Pintu. Angka 4 hitam dan 3 hitam di bawahnya, dan 2 merah itu warna Pena tua kami sebelum habis, dan angka 1 berwarna merah di paling bawah. “Berdiri tegak,” kata Ma. Pena menggelitik ujung kepalaku. Saat aku menjauh, ada angka 5 hitam sedikit di atas 4. Aku paling suka angka lima dari semua nomor, aku punya lima jari di tiap tangan dan juga di kaki dan Ma juga punya, kami adalah pinang dibelah dua. Sembilan angka yang aku paling tidak suka. “Berapa ketinggianku?” “Tinggimu. Yah, aku tidak tahu pasti,” jawabnya. “Mungkin kita bisa minta alat ukur kapan-kapan, untuk Traktiran Minggu.” Kupikir alat ukur cuma di TV. “Jangan, kita minta cokelat saja.” Aku menempelkan jariku di 4 dan berdiri dengan wajah menghadapnya, jari-jariku di puncak kepalaku. “Aku tidak bertambah tinggi terlalu banyak kali ini.” “Itu normal.” “Apa itu normal?” “Itu—” Ma menggerakkan mulutnya. “Itu artinya baik-baik saja. No hay problema.” “Tapi, lihat betapa besar ototku.” Aku melompat-lompat di atas Tempat Tidur. Aku Jack sang Pembunuh Raksasa dengan sepatu bot liga tujuh. “Gede,” kata Ma. “Raksasa.” “Masif.” “Sangat besar.” “Agung,” kata Ma. “Besargung.” Itu kata gabungan saat kita menyatukan dua kata. “Bagus juga.” “Apa kau tahu?” kataku padanya. “Saat aku sepuluh tahun aku akan tumbuh besar.” “Oh ya?” “Aku akan membesar dan membesar sampai aku berubah menjadi manusia.” “Sebenarnya kau memang manusia,” kata Ma. “Kita berdua ini manusia.” Kurasa kata yang bisa menggambarkan kami adalah “nyata”. Orang di TV terbuat dari kumpulan warna. “Maksudmu perempuan, dengan ‘p’?” “Iya,” aku bilang, “seorang perempuan engan anak laki-laki dalam telur di perutku dan dia akan jadi nyata juga. Atau aku akan tumbuh menjadi raksasa, tapi yang baik, sampai sebesar ini.” Aku melompat untuk menyentuh Dinding Tempat Tidur sangat tinggi, hampir di dekat sudut Langit-langit. “Kedengarannya hebat,” kata Ma. Ekspresinya datar, artinya aku mengatakan sesuatu yang salah dan aku tidak tahu apa. “Aku akan memelesat menembus Jendela Langit menuju Luar Angkasa dan tuing tuing di antara planet-planet,” kubilang. “Aku akan mengunjungi Dora dan Spongebob dan semua temanku, dan aku akan punya anjing bernama Lucky.” Ma tersenyum. Dia merapikan Pena kembali di Rak. Aku bertanya kepadanya, “Berapa umurmu saat ulang tahun nanti?” “Dua puluh tujuh.” “Wah.” Kurasa itu tidak membuatnya senang. Sembari menunggu Bak Mandi terisi, Ma menurunkan Labirin dan Benteng dari atas Lemari. Kami telah membuat Labirin sejak aku dua tahun. Labirin adalah kumpulan bagian karton tisu gulung yang kami rekatkan, membentuk terowongan yang bercabang-cabang. Bola Membal suka tersesat dalam Labirin dan bersembunyi. Aku harus memanggilnya dan menggoyangkan Labirin dan memiringkannya dan membolak-baliknya agar Bola Membal keluar, wew. Lalu aku akan memasukkan benda lain ke dalam Labirin seperti kacang dan pecahan Krayon Biru dan potongan pendek spageti mentah. Mereka saling kejar di dalam terowongan dan merangkak naik dan berteriak, Hiiii. Aku tidak bisa melihat mereka, tapi aku mendengarkan dari luar karton dan aku bisa menebak posisi mereka. Sikat Gigi ingin ikut masuk, tapi aku bilang padanya tidak bisa, karena terlalu panjang. Akhirnya si Sikat Gigi melompat ke dalam Benteng untuk menjaga menara. Benteng terbuat dari kaleng-kaleng dan botol vitamin, kami membangunnya lebih besar setiap kali ada botol atau kaleng yang kosong. Benteng bisa melihat segala arah. Ia menyemprotkan minyak panas kepada para musuh, mereka tidak tahu tentang pisau sayat rahasianya, ha-ha. Aku ingin membawanya ke Bak Mandi untuk menjadikannya pulau, tapi Ma bilang air akan membuat perekatnya tidak lengket lagi. Kami melepaskan kuncir dan membiarkan rambut berenang. Aku berbaring dekat Ma tanpa bicara, aku suka degup jantungnya. Ketika dia bernapas kami naik-turun sedikit. Penis mengambang. Karena ini hari ulang tahunku aku bisa memilih apa yang kami pakai. Pakaian Ma ada di laci atas Bufet dan punyaku di bagian bawah. Aku memilih jins biru favoritnya dengan jahitan benang merah yang hanya dipakainya saat acara khusus karena celana itu mengetat di lututnya. Aku memilih kaus bertudung warna kuning untukku, aku berhati-hati dengan lacinya tapi ujung kanannya masih tetap menonjol keluar sehingga Ma harus mendorongnya keras untuk memasukkannya kembali. Kami memasukkan kaus bertudung bersamaan dan kaus itu menelan wajahku, tapi kemudian wajahku muncul lagi. “Bagaimana kalau aku potong sedikit di bagian tengah kerah V-nya?” kata Ma. “No way Jose.” Saat pelajaran olahraga, kami tidak memakai kaus kaki. Telanjang kaki lebih mantap. Hari ini aku memilih Trek duluan, kami mengangkat Meja dan membaliknya di atas Tempat Tidur lalu menaruh Kursi Goyang di atasnya dan Selimut di puncaknya. Trek itu ada di sekeliling Tempat Tidur dari Lemari ke Lampu, membentuk huruf C hitam di lantai. “Hei, lihat, aku bisa bolak-balik dalam enam belas langkah.” “Wah. Waktu kau empat tahun kau butuh delapan belas langkah, kan?” kata Ma. “Menurutmu kau bisa lari berapa kali dari sana ke sini hari ini?” “Lima.” “Bagaimana kalau lima kali lima? Itu bisa jadi perkalian favoritmu.” Kami mengalikannya dengan jari. Aku dapat dua puluh enam, tapi Ma bilang yang benar dua puluh lima jadi aku mengulangnya dan dapat dua puluh lima juga. Dia menghitungku sambil melihat Jam. “Dua belas,” teriaknya. “Tujuh belas. Kau melakukannya dengan amat baik.” Aku bernapas huh huh huh. “Lebih cepat—” Aku berlari lebih cepat, secepat Superman terbang. Saat giliran Ma lari, aku harus menuliskan angka saat dia mulai dan angka setelah dia selesai di Buku Catatan Bergaris, lalu kami menghitungnya untuk mengetahui secepat apa dia berlari. Hari ini Ma berlari sembilan detik lebih lama daripada aku, artinya aku menang, jadi aku pun melompat naik turun dan membuat menggembungkan mulutku seraya menjulurkan lidah dan meniupnya. “Ayo berlomba.” “Kedengarannya memang menyenangkan,” katanya, “tapi kau ingat, kan, kita pernah mencoba dan bahuku menubruk bufet?” Kadang, kalau aku lupa sesuatu, Ma mengingatkan dan setelah itu aku ingat. Kami menurunkan semua perabotan dari Tempat Tidur dan mengembalikan Karpet di tempatnya semula untuk menutupi Trek supaya Nick Tua tidak melihat huruf C yang kotor itu. Ma memilih Trampolin, tapi cuma aku yang melompat di Tempat Tidur karena Ma bisa merusaknya. Ma membuat komentar: “Sebuah putaran di udara yang berani dari juara muda Amerika ....” Pilihanku selanjutnya adalah Simon Says3, lalu Ma menyuruhku memakai lagi kaus kaki kami untuk bermain Mayat. Dalam permainan itu, kau berbaring seperti bintang laut dengan kuku kaki terkulai, pusar terkulai, lidah terkulai, dan otak terkulai. Ma bergerak karena bagian bawah lututnya gatal, jadi aku menang lagi. Sekarang pukul 12:13, jadi kami bisa makan siang. Bagian kecil kesukaanku dari berdoa adalah santapan rohani. Aku bos permainan, tapi Ma bos makanan, semacam tidak membiarkan kami makan sereal untuk sarapan, makan siang dan makan malam agar kami tidak sakit dan lagi pula kalau seperti itu serealnya akan terlalu cepat habis. Waktu aku masih nol dan satu, Ma biasanya memotong dan mengunyahkan makanan untukku, tapi kemudian aku mendapatkan kedua puluh gigiku dan aku bisa melumat apa pun. Makan siang kali ini adalah tuna dan biskuit, tugasku adalah menutup kembali tutup kaleng karena lengan Ma tidak bisa melakukannya. Aku sedikit bergoyang, jadi Ma bilang, ayo main Orkestra. Orkestra adalah saat kami berlari berkeliling mencari tahu bunyi apa yang bisa kami dapat dengan memukul benda-benda. Aku menabuh Meja dan Ma mengetuk-ngetuk kaki Tempat Tidur, lalu menepuk-nepuk bantal-bantal. Aku memakai garpu dan sendok untuk memukul Pintu dan membunyikan ding-ding dan kaki kami membunyikan bam di kompor, tapi entakan kesukaanku adalah di pedal Tempat Sampah karena itu akan membuat tutupnya terbuka dengan bunyi bing. Instrumen favoritku adalah Twang, sebuah kotak sereal yang kusatukan dengan warna berbeda mulai dari kaki dan sepatu dan mantel dan kepalanya dari katalog lama, lalu kurentangkan tiga karet gelang di tengahnya. Nick Tua tidak pernah lagi membawakan katalog agar kami bisa memilih baju. Ma bilang dia jadi semakin jahat. Aku menaiki Kursi Goyang untuk mengambil buku-buku dari Rak dan aku membuat pencakar langit sepuluh tingkat di atas Karpet. “Sepuluh cerita,4” kata Ma lalu tertawa, itu tidak terlalu lucu. Dulu kami punya sembilan buku tapi hanya empat yang bergambar di dalamnya— My Big Book of Nursery Rhymes Dylan the Digger The Runaway Bunny Pop-Up Airport Juga lima yang gambarnya cuma ada di depan— The Shack Twilight The Guardian Bittersweet Love The Da Vinci Code Ma hampir tidak pernah membaca yang tidak bergambar, kecuali kalau dia sedang putus asa. Waktu aku empat tahun kami meminta satu buku bergambar lagi untuk Traktiran Minggu dan Alice in Wonderland pun muncul. Aku menyukainya, tapi terlalu banyak kata di dalamnya dan kebanyakan kata-katanya kuno. Hari ini aku memilih Dylan the Digger. Letaknya dekat dengan bagian paling bawah hingga membuat pencakar langit runtuh. “Dylan lagi,” keluh Ma, lalu berteriak dengan suara terkerasnya: “‘Inilaaaaaaah Dylan, si penggali yang kuat! Tanah yang dikeduknya semakin besar dan besar. Perhatikan lengan panjangnya mengeduk ke dalam bumi. Tidak ada penggali yang begitu menyukai mengunyah tanah. Cangkul raksasanya berputar dan mengungkit di sekitar gedung. Menyekop dan menggerus siang dan malam.’” Ada kucing di gambar kedua, pada gambar ketiga kucing itu ada di atas tumpukan cadas. Cadas adalah batu, yang artinya berat seperti keramik yang merupakan bahan dari Bak Mandi dan Wastafel dan Toilet, tapi cadas tidak mulus. Kucing dan cadas hanya di TV. Pada gambar kelima, kucing itu jatuh, tapi kucing punya sembilan nyawa, tidak seperti aku dan Ma yang hanya punya masing-masing satu. Ma hampir selalu memilih The Runaway Bunny karena cara ibu kelinci menangkap bayi kelinci di akhir cerita sambil berkata, “Makanlah wortel.” Kelinci-kelinci cuma ada di TV tapi wortel nyata, aku suka suara mereka yang berisik. Gambar kesukaanku adalah bayi kelinci berubah menjadi cadas di gunung dan ibu kelinci memanjat naik naik naik untuk mencarinya. Gunung-gunung terlalu besar untuk jadi nyata. Di TV, aku pernah lihat seorang wanita bergelantungan di gunung dengan tali. Para wanita tidak nyata seperti Ma, begitu juga anak perempuan dan anak lelaki. Laki-laki tidak nyata kecuali Nick Tua, dan aku sebenarnya tidak yakin kalau dia nyata. Mungkin setengah nyata? Dia membawa belanjaan dan Traktiran Minggu lalu menghilangkan sampah, tapi dia bukan manusia seperti kami. Dia cuma muncul saat malam, seperti kelelawar. Mungkin Pintu membangunkannya dengan bip bip dan udara pun berubah. Kurasa Ma tidak suka membicarakannya, takut dia jadi makin nyata. Aku menggeliat-geliut di pangkuan Ma sambil memandang lukisan favoritku, lukisan Bayi Yesus bermain dengan teman sekaligus sepupunya, Yohanes Pembaptis. Mary juga di sana, bergelung di pangkuan Ma-nya, yang artinya nenek Bayi Yesus, seperti abuela-nya Dora. Itu gambar yang aneh tanpa warna dan beberapa tangan dan kakinya tidak ada. Ma bilang, lukisan itu belum selesai. Yang membuat Bayi Yesus tumbuh di perut Maria adalah malaikat yang meluncur turun, seperti hantu tapi hantu yang keren karena bersayap. Maria kaget dan bilang, “Bagaimana mungkin?” lalu, “Oh, ya sudahlah.” Ketika Bayi Yesus keluar dari vaginanya waktu Natal dia menaruhnya di tempat makan ternak tapi bukan untuk dikunyah para sapi, hanya menghangatkannya dengan napas mereka karena bayi itu ajaib. Ma mematikan Lampu dan kami berbaring. pertama, kami mengucapkan doa gembala tentang lahan baru. Kurasa lahan itu seperti Selimut, tapi lebih gemuk dan hijau tidak putih dan datar. (Gelas yang kepenuhan pasti membuatnya berantakan). Aku mimik sekarang, yang kanan karena di kiri tidak terlalu banyak. Waktu aku tiga, aku mimik banyak sekali, tapi sejak aku empat, aku sangat sibuk melakukan berbagai macam hal, jadi aku cuma mimik beberapa kali di siang dan malam hari. Kuharap aku bisa bicara sambil mimik, tapi aku hanya punya satu mulut. Aku hampir redup tapi tidak benar-benar tidur. Kurasa Ma sudah lelap karena suara napasnya berubah. *** Kini-3 Setelah tidur siang, Ma bilang kalau kami tidak perlu meminta meteran, kami bisa bikin penggaris sendiri. Kami mengolah kotak sereal dari Piramida Mesir Kuno. Ma mencontohkan cara memotong satu garis yang sebesar kakinya, makanya disebut satu kaki, lalu dia membuat dua belas garis kecil. Aku mengukur hidungnya yang panjangnya dua inci. Hidungku satu inci seperempat, aku menuliskannya. Ma membuat Penggaris berputar salto perlahan di atas Dinding Pintu di mana tinggiku tertulis, katanya aku tiga kaki tiga inci. “Hei,” kataku, “Ayo mengukur Kamar.” “Hah, semuanya?” “Memangnya kita punya hal lain untuk dikerjakan?” Dia menatapku aneh. “Kurasa tidak.” Aku menuliskan semua angka-angkanya, seperti tinggi Dinding Pintu sampai garis batas awal Langit-langit adalah enam kaki tujuh inci. “Tebak,” kataku pada Ma, “setiap ubin gabus hampir lebih besar daripada Penggaris.” “Duh,” katanya, menepuk kepala, “Kurasa ubin itu satu kaki persegi, aku pasti membuat penggarisnya terlalu pendek. Kita hitung jumlah ubinnya saja kalau begitu, lebih mudah.” Aku mulai menghitung tinggi Dinding Tempat Tidur, tapi Ma bilang semua dinding ukurannya sama. Meja berbentuk lingkaran jadi aku bingung, tapi Ma mengukur di garis tengah yang merupakan tempat terlebarnya, ukurannya tiga kaki sembilan inci. Kursiku tiga kaki dua inci tingginya dan kursi Ma sama tinggi, lebih satu inci daripada aku. Lalu Ma bosan menghitung jadi kami berhenti. Aku mewarnai angka-angka dengan warna berbeda menggunakan lima krayon kami yang berwarna biru, oranye, hijau, merah, cokelat. Saat aku selesai seluruh halaman itu tampak seperti Karpet tapi lebih berantakan, Ma bilang kenapa tidak menggunakannya untuk alas makan malam. Aku memilih spageti malam ini. Ada brokoli segar juga yang tidak kupilih, itu cuma bagus buat kami. Aku memotong kecil brokoli menggunakan Pisau Zigzag, kadang aku menelan beberapa ketika Ma tidak melihat dan dia bilang, “Oh, tidak, ke mana hilangnya potongan besar itu?” tapi dia tidak benar-benar marah karena makanan mentah membuat kita ekstrahidup. Ma memanaskan di atas dua cincin Kompor yang memerah, aku tidak dibolehkan menyentuh kenopnya karena itu pekerjaan Ma untuk memastikan tidak ada kebakaran seperti di TV. Jika cincin-cincin itu menyentuh benda seperti lap piring atau baju kami, api akan berlari ke seluruh bagian kain dengan lidah oranye dan mengubah Kamar menjadi kelabu dan kami terbatuk dan tercekik dan berteriak dengan rasa sakit parah yang pernah ada. Aku tidak suka bau brokoli yang dimasak, tapi itu tidak seburuk bau kacang. Sayuran memang nyata tapi es krim hanya ada di TV, kuharap es krim juga nyata. “Apakah Tanaman mentah?” “Iya, tapi bukan untuk dimakan.” “Kenapa ia tidak berbunga lagi?” Ma mengedikkan bahu dan mengaduk spageti. “Ia lelah.” “Seharusnya ia tidur.” “Ia masih lelah walaupun sudah tidur. Mungkin tanah di potnya tidak punya sisa makanan yang cukup.” “Dia bisa makan brokoliku.” Ma tertawa. “Bukan makanan seperti itu, makanan untuk tanaman.” “Kita bisa memintanya, untuk Traktiran Minggu.” “Aku sudah punya daftar yang panjang untuk diminta.” “Di mana?” “Ada di kepalaku,” katanya. Dia menarik satu cacing spageti dan menggigitnya. “Kurasa mereka suka ikan.” “Siapa?” “Tanaman, mereka suka ikan busuk. Atau tulang ikan, ya?” “Iih.” “Mungkin lain kali kalau kita punya ikan, kita bisa menguburnya di bawah Tanaman.” “Jangan punyaku.” “Oke, bagianku saja.” Aku paling suka spageti karena lagu bakso, aku menyanyikannya ketika Ma mengisi piring kami. Setelah makan sesuatu yang menakjubkan untuk makan malam, kami membuat kue ulang tahun. Aku bertaruh pasti akan delicioso dengan lilin-lilin sejumlah umurku dan menyala seperti yang belum pernah kulihat di kehidupan nyata. Aku peniup telur terbaik, aku membuat cairannya terus keluar tanpa henti. Aku harus meniup tiga telur untuk adonan kue, aku menusuk ujungnya dengan paku payung yang dipakai menempel gambar Impression: Sunrise karena kupikir si kuda gila akan marah kalau aku menurunkan Guernica, meskipun aku selalu menempelkan kembali paku payungnya setelah selesai. Menurut Ma, Guernica adalah mahakarya terbaik karena ia paling mendekati nyata, tapi sebenarnya semuanya kacau-balau. Si kuda berteriak hingga semua giginya kelihatan karena ada tombak menancap di tubuhnya, ditambah seekor banteng dan seorang perempuan yang memegang seorang anak yang terkulai dengan kepala terbalik dan lampu yang seperti mata, dan yang paling buruk adalah kaki besar bengkak di pojok. Aku selalu berpikir kalau kaki itu akan menginjakku. Aku boleh menjilat sendoknya, lalu Ma meletakkan adonan kue bolu ke dalam perut panas Kompor. Aku mencoba memainkan lempar tangkap dengan cangkang telur semuanya ke atas pada saat bersamaan. “Jack kecil dengan muka?” “Bukan,” kataku. “Apa kita akan membuatkan mereka sarang dari adonan tepung? Kalau kita mencairkan buah bit besok, kita bisa menggunakan sarinya untuk membuatnya berwarna ungu....” Aku menggeleng. “Kita tambahkan ke Eggsnake saja.” Eggsnake jauh lebih panjang daripada keliling Kamar, kami sudah membuatnya sejak aku tiga tahun. Ia bergelung di Kolong Tempat Tidur, menjaga kami tetap aman. Kebanyakan telurnya berwarna cokelat tapi ada juga yang putih, beberapa punya pola di permukaannya karena pensil atau krayon atau pena atau bagian yang menempel dengan lem tepung, mahkota dari kertas timah dan sabuk pita kuning dan benang-benang dan beberapa tisu untuk rambutnya. Lidahnya adalah jarum, yang membuat benang merah menembus tubuhnya. Kami tidak sering membawa Eggsnake keluar lagi karena kadang-kadang ia tersangkut dan telur-telurnya retak di sekitar lubang atau bahkan terlepas, dan kami harus menggunakan pecahannya untuk mozaik. Hari ini aku menaruh jarumnya di salah satu lubang telur-telur baru, aku harus menggantungnya hingga jarum itu keluar dari lubang lain dengan tajamnya, cukup sulit. Sekarang ia bertambah panjang tiga telur, aku meniupnya lagi dengan ekstralembut supaya semua bagiannya masuk ke Kolong Tempat Tidur. Menunggu kue boluku membutuhkan jam demi jam, kami bernapas di udara yang menyenangkan. Saat kue mendingin, kami membuat sesuatu bernama icing tapi tidak dingin seperti es, icing ini gula yang meleleh dengan air. Ma meratakannya ke seluruh permukaan kue. “Sekarang kau bisa meletakkan cokelatnya sementara aku mandi.” “Tapi tidak ada cokelat.” “Aha,” katanya, mengangkat kantong kecil dan menggoyangkannya shik shik, “Aku menyimpan beberapa dari Traktiran Minggu tiga minggu lalu.” “Kau curang, Ma. Di mana?” Ma menutup mulutnya rapat-rapat. “Bagaimana kalau lain kali aku butuh tempat persembunyian?” “Beri tahu aku!” Ma tidak tersenyum lagi. “Teriakan menyakiti telingaku.” “Beri tahu di mana tempat ngumpetnya.” “Jack—” “Aku tidak suka ada tempat ngumpet.” “Apa masalahnya?” “Para zombie.” “Oh.” “Atau ogre atau vampir—” Dia membuka Kabinet dan mengeluarkan kotak beras. Ma menunjuk lubang gelap. “Aku cuma menyembunyikannya bersama beras. Oke?” “Oke.” “Tidak ada hal mengerikan yang bakal muat di sini. Kau bisa mengeceknya kapan pun.” Ada lima cokelat di kantong; merah muda, biru, hijau, dan dua merah. Beberapa warnanya luntur di jariku saat aku menatanya, aku terkena icing dan menjilatnya. Lalu waktunya untuk lilin-lilin tapi tidak ada lilin. “Kau berteriak lagi,” kata Ma, sambil menutup telinganya. “Tapi kau bilang kue ulang tahun, ini bukan kue ulang tahun kalau tidak ada lima lilin yang menyala.” Ma mengembuskan napas. “Seharusnya aku menjelaskan dengan lebih baik. Itu fungsi lima cokelatnya, cokelat itu menunjukkan kalau kau sudah lima tahun.” “Aku tidak mau kue ini.” Aku benci kalau Ma menunggu dengan diam. “Kue bau.” “Tenanglah, Jack.” “Kau harusnya minta lilin waktu Traktiran Minggu.” “Yah, minggu lalu kita butuh penghilang rasa sakit.” “Aku tidak butuh, cuma kau yang butuh,” teriakku. Ma menatapku seolah aku punya ekspresi baru yang belum pernah dia lihat. Lalu dia berkata, “Omong-omong, ingat, kita harus memilih benda-benda yang bisa dia dapatkan dengan mudah.” “Tapi dia bisa mendapatkan apa pun.” “Yah, iya sih,” katanya, “kalau dia repot—” “Kenapa dia repot?” “Maksudku, dia mungkin perlu ke dua atau tiga toko, dan itu akan membuatnya kesal. Dan kalau dia tidak menemukan benda yang tidak mungkin, bisa jadi kita sama sekali tidak akan mendapakan Traktiran Minggu.” “Tapi, Ma.” Aku tertawa. “Dia tidak mungkin pergi ke toko. Toko cuma ada di TV.” Ma menggigit bibir. Kemudian dia menatap kue. “Yah, pokoknya, aku minta maaf, kupikir cokelat-cokelat itu bisa menggantikan lilin.” “Konyol, Ma.” “Bodoh.” Dia memukul kepalanya. “Otak udang,” kataku, tapi tidak dengan nada kasar. “Minggu depan saat aku enam tahun sebaiknya kau minta lilin.” “Tahun depan,” kata Ma, “maksudmu tahun depan.” Matanya tertutup. Kadang-kadang kedua matanya selalu terpejam begitu dan Ma tidak mengatakan apa pun selama beberapa menit. Waktu aku kecil kupikir baterai Ma habis seperti yang pernah terjadi pada Jam satu kali, kami harus meminta baterai baru untuknya pada Traktiran Minggu. “Janji?” “Janji,” katanya, sambil membuka matanya. Dia memotongkan sepotong besar kue untukku dan aku diam-diam mengambil kelima cokelat ke kue bagianku saat Ma tidak melihat, yang dua merah, merah muda, hijau, biru lalu dia berkata, “Oh, tidak satu lagi dicuri, bagaimana itu bisa terjadi?” “Kau tidak akan pernah menemukannya sekarang, ha ha ha,” kataku seperti Swiper saat dia mencuri barang dari Dora. Aku mengambil salah satu yang berwarna merah dan memasukkannya ke mulut Ma, dia memindahkannya ke gigi depannya yang tidak terlalu sakit dan mengunyahnya sambil senyum. “Lihat,” aku menunjukkan pada Ma, “ada lubang di kueku di tempat cokelatnya tadi.” “Seperti ceruk,” katanya. Dia meletakkan ujung jarinya di salah satu lubang. “Apa itu ceruk?” “Lubang tempat sesuatu terjadi. Seperti gunung api atau sebuah ledakan atau sesuatu.” Aku meletakkan kembali cokelat hijau di ceruknya dan menghitung sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu, bum. Cokelat itu terbang ke Luar Angkasa dan berputar ke mulutku. Kue ulang tahunku adalah yang terbaik yang pernah kumakan. Ma tidak terlalu ingin makan sekarang. Jendela Langit menyedot semua cahaya, ia hampir hitam. “Itu equinox musim semi,” kata Ma, “Aku ingat pernah diceritakan di TV, pada pagi hari kelahiranmu. Tahun itu saat kau lahir juga masih bersalju.” “Apa itu equinox?” “Artinya seimbang, ketika jumlah kegelapan dan cahaya sama.” Sudah terlalu malam untuk TV karena tadi makan kue. Jam bilang 08.33. Tudung kuningku hampir mencopot kepalaku saat Ma menariknya. Aku berganti kaus tidur dan menggosok gigi sementara Ma mengikat kantong sampah dan meletakkannya di samping Pintu bersama daftar yang kutulis, malam ini tulisannya Tolong, Pasta, Lentil, Tuna, Keju (kalau tidak terlalu mahal), Jus Jeruk, Trims. “Bolehkah kita minta anggur? Anggur bagus untuk kita.” Di bawah Ma menulis Anggur kalau boleh (atau buah segar apa pun atau kalengan). “Bolehkah aku dibacakan cerita?” “Yang cepat saja. Bagaimana kalau... Ginger Jack?” Ma menceritakannya dengan sangat cepat dan lucu, Gingerjack melompat dari kompor dan berlari dan bergulung dan berguling dan berlari sehingga tidak ada yang menangkapnya, tidak si wanita tua ataupun si pria tua atau perontok padi atau pembajak. Tapi pada akhirnya dia bodoh, dia membiarkan si rubah membawanya menyeberang sungai dan dimakan tiba-tiba. Kalau aku terbuat dari kue, aku akan memakan diriku sendiri sebelum orang lain melakukannya. Kami berdoa secepat kilat dengan tangan tertangkup, mata terpejam. Aku berdoa agar Yohanes Pembaptis dan Bayi Yesus datang untuk bermain bersama Dora dan Boot. Ma berdoa agar sinar matahari mencairkan salju dari Jendela Langit. “Boleh minta mimik?” “Besok saja, pagi-pagi sekali,” kata Ma, menarik turun baju kausnya. “Tidak, malam ini.” Ma menunjuk Jam yang berkata 08.57, tiga menit sebelum pukul sembilan. Jadi aku berlari ke Lemari dan berbaring di bantalku dan membalut diri dengan Selimut yang seluruhnya berwarna abu dan lembut dengan garis merah. Aku tepat di bawah gambarku yang aku lupa ada di sana. Ma melongokkan kepalanya ke dalam. “Tiga ciuman?” “Tidak, lima untuk Tuan Lima.” Dia memberiku lima ciuman lalu menutup pintunya yang berderit. Masih ada cahaya yang masuk lewat celahnya jadi aku bisa melihat sebagian diriku di gambar, bagian yang mirip Ma dan hidungnya saja yang mirip aku. Aku menyentuh kertasnya, permukaannya lembut. Aku mendengar Ma mengganti kaus tidurnya dan mengambil obat penghilang sakit, selalu dua saat malam karena katanya rasa sakit itu seperti air, menyebar begitu Ma berbaring. Dia meludahkan pasta gigi. “Teman kita Hansel memanggul ransel,” katanya. Aku memikirkan sesuatu. “Teman kita Zah bilang bla bla bla.” “Teman kita Ebeneezer tinggal di freezer.” “Teman kita Dora pergi ke toko-ra.” “Itu rima yang curang,” kata Ma. “Oh, ya ampun!” aku menggeram seperti Swiper. “Teman kita Bayi Yesus... suka minum jus.” “Teman kita Meilan bertamasya ke bulan.” Bulan adalah wajah perak Tuhan yang hanya terlihat pada saat-saat khusus. Aku duduk dan menempelkan wajahku di celah-celah pintu lemari. Aku bisa melihat bagian TV yang mati, Toilet, Bak Mandi, gambar gurita biruku yang keriting, Ma yang sedang meletakkan kembali baju kami di Bufet. “Ma?” “Mmm?” “Kenapa aku diumpetin seperti cokelat?” Kurasa dia sedang duduk di Tempat Tidur. Dia berbicara pelan hingga aku hampir tidak bisa mendengarnya. “Aku hanya tidak ingin dia melihatmu. Bahkan saat kau masih bayi, aku selalu menyelubungimu dengan Selimut sebelum dia masuk.” “Apakah akan sakit?” “Apa yang sakit?” “Kalau dia melihatku.” “Tidak, tidak. Tidurlah sekarang,” pinta Ma. “Nyanyikan lagu serangga.” “Malam-malam, tidur nyenyak, jangan biarkan serangga menggigit.” Para Serangga tidak terlihat tapi aku bicara pada mereka dan kadang menghitungnya, terakhir kali aku dapat 347. Aku mendengar bunyi tombol dan Lampu padam semua pada saat yang bersamaan. Suara Ma yang masuk ke bawah Selimut. Aku pernah melihat Nick Tua lewat celah pintu beberapa malam tapi tidak pernah secara keseluruhan dari dekat. Rambutnya beberapa berwarna putih dan lebih kecil daripada telinganya. Mungkin matanya bisa mengubahku menjadi batu. Zombie-zombie menggigit anak-anak untuk membuat mereka tidak bisa mati, vampir menyedot darah mereka hingga lemas, ogre menarik kaki mereka dan memakan mereka. Para raksasa bisa sejahat mereka, hidup atau mati aku akan menggerus tulang mereka untuk membuat roti, tapi Jack berlari dengan ayam betina emas dan dia meluncur turun lewat Pohon Kacang cepat-cepat. Raksasa menyusulnya turun tapi Jack berteriak kepada Ma-nya untuk meminta kapak, itu seperti pisau kita tapi lebih besar. Ma-nya terlalu takut untuk memotong Pohon Kacang sendiri, tapi ketika Jack sampai di tanah mereka melakukannya bersama dan Raksasa hancur dengan seluruh isi tubuhnya keluar, ha ha. Lalu Jack menjadi Jack Pembunuh Raksasa. Aku penasaran apakah Ma sudah redup. Di Lemari, aku selalu mencoba memejamkan mataku rapat-rapat dan redup dengan cepat supaya aku tidak mendengar saat Nick Tua datang, lalu aku akan bangun dan hari sudah pagi dan aku akan ada di Tempat Tidur bersama Ma sambil mimik dan semuanya baik-baik saja. Namun, malam ini aku masih menyala, kue meruap di perutku. Aku menghitung gigi atasku dari kiri ke kanan, lalu kembali ke arah sebaliknya. Aku harus mendapat angka sepuluh setiap menghitung dan dua kali sepuluh adalah dua puluh, itulah jumlah gigiku. Tidak ada bip bip, sekarang pasti sudah jauh dari pukul sembilan. Aku menghitung gigiku lagi dan mendapatkan sembilan belas, aku pasti salah hitung atau satu gigi telah hilang. Aku menggigiti jariku. Aku menunggu beberapa jam. “Ma?” bisikku. “Dia datang atau tidak?” “Sepertinya tidak. Ayo kemari.” Aku melompat bangkit dan membuka Lemari, aku di Tempat Tidur dalam dua detik. Di bawah Selimut rasanya ekstrapanas, jadi aku harus mengeluarkan kakiku supaya tidak terbakar. Aku mimik banyak sekali. Yang kiri lalu yang kanan. Aku enggak mau tidur karena nanti ulang tahunku tidak ada lagi. *** Cahaya terang menyorotku, sinarnya menusuk mata. Aku mengintip dari Selimut dengan mata menyipit. Ma berdiri di samping Lampu dan segalanya terang, lalu snap dan gelap lagi. Terang lagi selama tiga detik lalu gelap, lalu terang untuk sedetik. Ma menatap ke Jendela Langit. Gelap lagi. Ma melakukan ini saat malam, kurasa itu bisa membantunya untuk tidur lagi. Aku menunggu hingga Lampu benar-benar padam. Aku berbisik dalam gelap, “Sudah selesai?” “Maaf membangunkanmu,” katanya. “Tidak apa-apa.” Ma kembali ke Tempat Tidur, tubuhnya lebih dingin daripada aku, aku melingkarkan lengan di perutnya. *** Kini-4 Sekarang aku lima tahun satu hari. Penis Bodoh selalu berdiri setiap pagi, aku mendorongnya turun. Ketika kami mencuci tangan setelah pipis, aku bernyanyi “He’s Got the Whole World in His Hands,” lalu aku tidak bisa memikirkan lagu lain tentang tangan, aku malah memikirkan lagu burung kecil tentang jari. “‘Terbanglah Peter, Terbanglah Paul.’” Kedua jariku memelesat ke seluruh Kamar dan hampir bertabrakan di udara. “‘Kembalilah Peter, Kembalilah Paul.’” “Kurasa mereka sebenarnya malaikat,” kata Ma. “Hah?” “Atau bukan, maaf, para santa.” “Santa itu apa?” “Orang-orang ekstrasuci. Seperti malaikat tapi tanpa sayap.” Aku bingung. “Kalau begitu, bagaimana mereka bisa terbang dari dinding?” “Bukan, maksudku burung-burung itu mereka bisa terbang dengan baik. Maksudku nama mereka diambil dari Santa Peter dan Santa Paul, dua teman Bayi Yesus.” Aku tidak tahu dia punya teman selain Yohanes Pembaptis. “Sebenarnya, Santa Peter pernah dipenjara, sekali—” Aku tertawa. “Bayi-bayi tidak masuk penjara.” “Ini terjadi saat mereka semua tumbuh dewasa.” Aku tidak tahu kalau Bayi Yesus tumbuh dewasa. “Apakah Santa Peter orang jahat?” “Tidak, tidak, dia dimasukkan penjara karena kesalahan, maksudku beberapa polisi jahat memasukkannya ke sana. Jadi, dia berdoa dan terus berdoa agar bisa keluar, dan kau tahu apa? Malaikat terbang turun dan menghancurkan pintunya hingga terbuka.” “Keren,” kataku. Tapi aku lebih memilih mereka jadi bayi yang berlari-lari ke sana kemari sambil telanjang. Terdengar suara bantingan yang aneh dan srek srek. Cahaya masuk melewati Jendela Langit, salju yang gelap hampir hilang. Ma juga melihat ke atas, dia tersenyum, kurasa doa memang bisa melakukan hal ajaib. “Apa ini masih kejadian seimbang itu?” “Oh, equinox?” katanya. “Tidak, cahaya mulai menang sedikit.” Ma mengizinkanku makan kue untuk sarapan, aku belum pernah sarapan seperti ini sebelumnya. Kuenya sudah mulai mengeras, tapi masih enak. TV sedang menyiarkan Wonder Pets!, gambarnya kabur, Ma terus menggerakkan Kelinci tapi gambarnya tidak kunjung tajam. Aku membengkokkan telinga kawatnya dengan pita ungu. Kuharap acaranya Backyardigans, sudah lama aku tidak bertemu mereka. Tidak ada Traktiran Minggu karena Nick Tua tidak datang semalam, sebenarnya itu hal terbaik dari ulang tahunku. Lagi pula, yang kami minta tidak terlalu menyenangkan, celana baru karena punyaku yang warna hitam sudah berlubang di bagian lututnya. Aku tidak masalah dengan lubangnya, tapi Ma bilang lubang itu membuatku seperti gelandangan, dia tidak bisa menjelaskan apa itu gelandangan. Setelah mandi, aku bermain dengan baju-baju. Rok merah muda Ma adalah ular pagi ini, dia sedang bertengkar dengan kaus kaki putihku. “Aku sahabat Jack.” “Tidak, aku sahabat Jack.” “Kubanting kau.” “Kumusnahkan kau.” “Aku akan menyerangmu dengan pompa penembak terbang.” “Yah, kalau begitu, aku punya megatron jumbo transformerblaster—” “Hei,” kata Ma, “mau main Tangkap Bola?” “Kita tidak punya Bola Pantai lagi,” aku mengingatkannya. Si Bola kempis tanpa sengaja waktu aku menendangnya ke Kabinet dengan supercepat. Aku ingin meminta bola baru ketimbang celana bodoh. Namun, Ma bilang kami bisa membuat bola sendiri. Kami meremas semua halaman latihan menulisku dan memasukkkannya ke kantong belanja dan membentuknya hingga menyerupai bentuk bola, lalu kami menggambar wajah menyeramkan di luarnya dengan tiga mata. Bola Kata tidak memantul setinggi Bola Pantai, tapi setiap kali kami menangkapnya ada bunyi srek yang kencang. Ma paling jago menangkap, hanya saja bola itu kadang mengenai pergelangannya yang sakit, dan aku jago melempar. Karena aku sarapan kue, kami makan panekuk Minggu saat makan siang. Tidak banyak adonan yang tersisa jadi panekuknya tipis, aku suka itu. Aku bisa menggulungnya, beberapa panekuk retak. Tidak banyak jeli, jadi kami mencampurnya dengan air. Ujung panekukku menetes, Ma menggosok Lantai dengan Spons. “Gabusnya rusak,” katanya dengan gigi terkatup, “bagaimana kita bisa membuatnya tetap bersih?” “Di mana?” “Di sini, tempat kaki kita bergesek.” Aku turun ke kolong Meja, ada lubang di Lantai dengan benda kecokelatan di bawahnya yang lebih keras daripada kukuku. “Jangan membuatnya lebih parah, Jack.” “Tidak, aku cuma melihatnya dengan jariku.” Itu seperti ceruk kecil. Kami memindahkan Meja ke sisi Bak Mandi supaya kami bisa berjemur di atas Karpet tepat di bawah Jendela Langit, rasanya ekstrahangat. Aku menyanyikan “Ain’t no Sunshine,” Ma bernyanyi “Here Comes The Sun,” aku memilih “You Are My Sunshine”. Lalu aku minta mimik. Yang sebelah kiri sangat kental seperti krim sore ini. Wajah kuning Tuhan memancarkan sinar kemerahan lewat kelopak mataku. Ketika aku membuka mata, terlalu silau untuk dilihat. Jari-jariku menimbulkan bayangan di Karpet, bayangan mungil mengerut. Ma mendengkur. Aku mendengar sebuah suara jadi aku bangun tanpa membangunkannya. Dekat Kompor, ada suara krasak-kresek kecil. Seekor makhluk hidup, seekor binatang, nyata dan bukan di TV. Di Lantai, memakan sesuatu, mungkin remahan panekuk. Binatang itu punya ekor, kurasa itu adalah, itu adalah seekor tikus. Aku mendekat dan wush ia pergi ke bawah Kompor hingga aku hampir tidak melihatnya, aku tidak tahu ada yang bisa bergerak secepat itu. “Hei, Tikus,” kataku dalam bisikan supaya dia tidak takut. Begitu caranya bicara dengan tikus, diceritakan di Alice, hanya saja yang dia maksud adalah kucingnya, Dinah, dan tikusnya ketakutan lalu berenang menjauh. Aku memosisikan tanganku untuk berdoa sekarang, “Hei, Tikus, kembalilah, kumohon....” Aku menanti selama berjam-jam, tapi dia tidak keluar. Ma benar-benar tidur. Aku membuka Kulkas, isinya tidak banyak. Tikus suka keju, tapi kami tidak punya keju tersisa. Aku mengeluarkan roti dan memotongnya secuil di piring dan meletakkannya di tempat Tikus tadi. Aku meringkuk dan menunggu selama berjam-jam. Kemudian, terjadilah hal yang paling menakjubkan, si Tikus mengeluarkan moncongnya yang lancip. Aku hampir melompat tinggi, tapi tidak kulakukan, aku ekstradiam. Ia keluar mendekati remah-remah roti dan mengendusnya. Aku hanya sejauh setengah meter, kuharap aku punya Penggaris untuk mengukur tapi ia sudah dirapikan dalam Kotak di Kolong Tempat Tidur dan aku tidak mau bergerak dan menakuti Tikus. Aku melihat tangannya, kumisnya, ekornya yang melengkung. Ia hidup dan nyata, ia makhluk hidup terbesar yang pernah kulihat, jutaan kali lebih besar daripada semut ataupun Laba-laba. Lalu sesuatu jatuh ke Kompor, braaak. Aku berteriak dan tidak sengaja menginjak piring. Tikus menghilang, ke mana dia? Apa buku itu menghancurkannya? Yang jatuh adalah Pop-Up Airport, aku melihat seluruh halamannya tapi Tikus tidak ada di sana. Tempat Pengambilan Barang hancur dan tidak bisa berdiri lagi. Wajah Ma tampak aneh. “Kau membuatnya pergi,” aku berteriak kepadanya. Ma mengambil sapu dan pengki, dia menyapu pecahan-pecahan piring. “Kenapa piring ini ada di lantai? Sekarang kita hanya punya dua piring besar dan satu piring kecil, itu saja—” Tukang masak di Alice melempar piring-piring ke si bayi dan juga panci kecil yang hampir melukai hidungnya. “Tikus suka remah-remah.” “Jack!” “Dia nyata, aku melihatnya.” Ma menarik Kompor, ada lubang kecil di ujung bawah Dinding Pintu, dia mengambil gulungan aluminium foil dan mulai memasukkan bulatan aluminium ke dalam celah itu. “Jangan, kumohon.” “Maafkan aku. Tapi kalau ada satu berarti ada sepuluh.” Itu perhitungan yang gila. Ma meletakkan foilnya dan memegang bahuku dengan keras. “Kalau kita membiarkannya di sini, kita akan dikuasai oleh bayi-bayi tikus. Mencuri makanan kita, membawa kuman di jari-jari kotor mereka ....” “Mereka boleh makan makananku, aku tidak lapar.” Ma tidak mendengarkan. Dia mendorong kembali Kompor ke Dinding Pintu. Setelahnya, kami menggunakan sedikit pita perekat untuk membuat halaman Hangar berdiri dengan lebih baik di buku Pop-Up Airport, tapi bagian Pengambilan Barang sudah terlalu rusak untuk diperbaiki. Kami duduk bergelung di Kursi Goyang dan Ma membacakan Dylan the Digger tiga kali, itu artinya dia menyesal. “Ayo kita minta buku baru untuk Traktiran Minggu,” kataku. Dia memiringkan mulutnya. “Aku sudah memintanya, beberapa minggu lalu; aku ingin kau dapat hadiah buku untuk ulang tahunmu. Tapi dia bilang untuk tidak meminta buku lagi, bukankah kita sudah punya satu rak sekarang.” Aku melihat di atas kepala Ma, ke Rak, ia masih bisa menampung ratusan buku lagi kalau kami meletakkan beberapa barang di Kolong Tempat Tidur di samping Eggsnake. Atau di atas Lemari... tapi di sana tempat tinggal Benteng dan Labirin. Agak sulit menentukan tempat tinggal semuanya, Ma terkadang bilang kita harus membuang beberapa barang ke tempat sampah tapi aku biasanya berhasil menemukan tempat untuk mereka. “Menurut dia, sebaiknya kita terus menonton TV.” Itu terdengar menyenangkan. “Lalu otak kita akan rusak, seperti otaknya,” kata Ma. Ma merunduk untuk mengambil My Big Book of Nursery Rhyme milikku. Dia membacakan satu cerita yang kupilih di tiap halaman. Cerita terbaikku adalah yang ada Jack-nya, seperti Jack Sprat atau LittleJack Horner. Jack gesitlah, Jack cepatlah, Jack melompati batang lilin. Kurasa Jack ingin tahu apakah Lilin bisa membakar baju tidurnya. Di TV ada piama, atau gaun tidur untuk anak perempuan. Kaus tidurku adalah bajuku yang paling besar, ada lubang di bagian pundaknya yang suka kumasukkan jari dan menggelitik diri sendiri saat aku mulai redup. Lalu ada cerita Jackie Wackie pudding and pie, tapi saat aku bisa membaca sendiri, sebenarnya itu Georgie Porgie. Ma mengubahnya untuk menyesuaikan denganku, itu bukan kebohongan. Itu cuma pura-pura. Sama dengan Jack, Jack anak pemain seruling, Mencuri babi dan jauh dia mengacir. Sebenarnya di buku, namanya Tom, tapi Jack terdengar lebih enak. Mencuri adalah ketika anak lelaki mengambil sesuatu milik anak lelaki lain, karena di buku-buku dan TV semua orang memiliki barang yang hanya milik mereka, itu rumit. Pukul 05.39 jadi kami bisa makan malam, menunya mi cepat saji. Sementara mi dimasak dalam air panas, Ma mencari kata-kata sulit untuk mengujiku dari karton susu seperti bernutrisi yang berarti makanan, dan pasteurisasi yang artinya senjata laser yang membunuh semua kuman. Aku ingin lebih kue lagi, tapi Ma bilang makan potongan bit yang berair dulu. Lalu aku makan kue yang lumayan garing sekarang dan Ma juga, tapi dia makan sedikit. Aku bangun dari Kursi Goyang dan melihat Kotak Mainan di ujung Rak, malam ini aku memilih Dam dan aku memainkan warna merah. Keping Dam seperti cokelat mungil, tapi aku sudah menjilati mereka sering sekali dan mereka tidak punya rasa. Mereka menempel di papan karena magnet ajaib. Ma paling suka Catur tapi itu membuat kepalaku sakit. Pada waktu nonton TV Ma memilih planet kehidupan liar, ada kura-kura yang mengubur telur-telur mereka di pasir. Ketika Alice menjadi tinggi karena makan jamur, sang merpati marah karena dia pikir Alice adalah ular raksasa jahat yang mencoba memakan telurnya. Sekarang bayi kura-kura keluar dari cangkangnya, tapi ibu kura-kura telah pergi, itu aneh. Aku penasaran apakah mereka terkadang bertemu di laut, para ibu dan bayinya, apakah mereka saling kenal atau mereka hanya berenang saja sambil lalu. Acara kehidupan liar selesai terlalu cepat jadi aku menggantinya ke dua pria yang hanya memakai celana pendek dan sepatu olahraga dan berkeringat kepanasan. “Oh-oh, tidak boleh memukul,” kataku pada mereka. “Bayi Yesus akan marah.” Pria yang bercelana pendek kuning menyerang pria berambut di bagian matanya. Ma mengerang seolah dia kesakitan. “Apa kita harus menonton ini?” Aku bilang kepadanya, “Sebentar lagi polisi akan datang wiiuu wiiiuu wiiiuu dan mengurung orang-orang jahat itu di penjara.” “Sebenarnya, tinju... itu agak kasar tapi itu permainan, tinju diperbolehkan jika mereka memakai sarung tangan khusus. Sekarang waktunya sudah habis.” “Satu permainan Beo, itu bagus untuk kosakata.” “Oke.” Dia mendekati TV dan menggantinya ke planet sofa merah. Ada perempuan dengan rambut menggembung yang adalah bosnya bertanya kepada orang-orang lain pertanyaan-pertanyaan dan ratusan orang lainnya bertepuk tangan. Aku mendengarkan dengan ekstrakeras, dia berbicara kepada pria dengan satu kaki, kurasa dia kehilangan kakinya saat perang. “Beo,” teriak Ma sambil memasang mode bisu di TV. “Aspek paling lara, kurasa bagi para pemirsa itulah yang paling menggugah dari apa yang kau alami—” aku kehabisan kata-kata. “Pelafalan yang bagus,” kata Ma. “Lara artinya sedih.” “Lagi. “Acara yang sama?” “Tidak, yang lain.” Dia menemukan sebuah berita yang lebih sulit. “Beo.” Dia memasang mode bisu lagi. “Ah, dengan seluruh perdebatan hukum perburuan yang akan datang di ujung reformasi perawatan-kesehatan, dan perlu diingat tentunya tengah semester—” “Lalu?” Ma menunggu. “Bagus, lagi. Tapi yang benar perburuhan, bukan perburuan.” “Apa bedanya?” “Perburuan itu mengejar binatang, misalnya, dan perburuhan—” Aku menguap lebar. “Lupakan.” Ma menyeringai dan mematikan TV. Aku benci ketika gambar-gambar menghilang dan layar menjadi abu lagi. Aku selalu ingin menangis tapi sebentar saja. Aku naik ke pangkuan Ma di Kursi Goyang dengan kaki kami bergelung. Ma adalah penyihir yang berubah menjadi gurita raksasa dan aku adalah Pangeran JackerJak dan aku kabur pada akhir cerita. Kami saling menggelitik dan Melompat Lompat dan membuat bayangan di Dinding Tempat Tidur. Lalu aku meminta JackerJackKelinci, dia selalu melakukan trik licik kepada Brer Fox. Dia berbaring di jalan berpura-pura mati dan Brer Fox mengendusnya lalu berkata, “Sebaiknya aku tidak membawanya pulang, dia terlalu bau....” Ma mengendus sekujur tubuhku juga dan memuat wajah jelek dan aku mencoba tidak tertawa supaya Brer Fox tidak tahu kalau aku sebenarnya masih hidup tapi aku selalu tertawa. Aku meminta lagu lucu, Ma mulai bernyanyi, “‘Cacing-cacing melata masuk, cacing melata keluar—’” “‘Mereka memakan perutmu seperti parutan lobak—’” “‘Mereka makan matamu, mereka makan hidungmu—’” “‘Mereka makan kotoran di jari kakimu—’” Aku mimik banyak di Tempat Tidur tapi mulutku mengantuk. Ma menggendongku ke Lemari dan menarik Selimut hingga sebatas leherku, aku menariknya turun lagi. Jari-jariku choo-choo di sepanjang garis merahnya. Bip bip, itu Pintu. Ma melompat berdiri dan bersuara, kurasa dia membenturkan kepalanya. Dia menutup Lemari dengan rapat. Udara yang masuk dingin, kurasa itu secuil Luar Angkasa, wanginya enak. Pintu berdebum artinya Nick Tua sudah di dalam. Aku tidak mengantuk lagi. Aku bangun berlutut dan mengintip lewat celah pintu, tapi yang bisa kulihat hanyalah Bufet, Bak Mandi, serta lengkung Meja. “Kelihatannya enak.” Suara Nick Tua ekstradalam. “Oh, itu sisa terakhir kue ulang tahun,” kata Ma. “Seharusnya kau ingatkan aku, aku bisa membawa sesuatu untuknya. Berapa dia sekarang, empat?” Aku menunggu Ma untuk menjawab, tapi dia diam. “Lima.” Aku membisikinya. Tapi Ma sepertinya mendengarku, karena dia datang mendekat ke Lemari dan berkata “Jack” dengan nada marah. Nick Tua tertawa, aku tidak tahu dia bisa tertawa. “Itu bisa bicara?” Kenapa dia bilang itu dan bukan dia? “Mau keluar dari sana dan mencoba jins barumu?” Dia tidak mengatakan itu kepada Ma, tapi kepadaku. Dadaku mulai berdegup dug dug dug. “Dia hampir tidur,” kata Ma. Tidak, belum. Kuharap aku tidak berbisik lima sehingga dia mendengarku, kuharap aku tidak melakukan apa pun. Sesuatu yang lain yang tidak terlalu jelas terdengar— “Oke, oke,” Nick Tua berkata. “Boleh aku minta sepotong?” “Kuenya sudah mulai keras. Kalau kau memang mau—” “Tidak, lupakan, kau bosnya.” Ma tidak berkata apa pun. “Aku cuma si tukang belanja, membuang sampahmu, pergi ke lorong baju anak, naik tangga untuk membersihkan atapmu, siap melayani Anda, Nyonya....” Kurasa dia sedang berkata dengan nada sarkasme, ketika dia mengatakan sesuatu hal berlawanan dengan nada yang berputar-putar. “Terima kasih untuk semuanya.” Ma tidak terdengar seperti biasanya. “Sekarang jadi lebih terang.” “Nah, tidak menyakitkan, kan?” “Maaf. Terima kasih banyak.” “Seperti mencabut gigi, kadang,” kata Nick Tua. “Dan terima kasih untuk belanjaannya, dan jinsnya.” “Sama-sama.” “Kemari, aku ambilkan sepiring, mungkin bagian tengahnya masih lumayan.” Ada suara dentingan, kurasa Ma memberikannya kue. Kueku. Setelah semenit dia berbicara dengan kurang jelas. “Ya, lumayan keras.” Mulutnya penuh dengan kueku. Lampu langsung padam hingga membuatku terlompat. Aku tidak keberatan dengan gelap tapi aku tidak suka kalau mengejutkanku. Aku berbaring di bawah Selimut dan menunggu. Ketika Nick Tua membuat Tempat Tidur berderit, aku mendengarkan dan menghitung sampai lima di jariku, malam ini 217 deritan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku tidak menghitungnya, karena aku selalu melakukannya. Bagaimana dengan malam-malam saat aku tertidur? Entahlah, mungkin Ma menghitungnya. Setelah 217 kali, segalanya sunyi. Aku mendengar TV menyala, hanya planet berita, aku melihat secuil, ada tank lewat celah, dan itu tidak terlalu menarik. Aku memasukkan kepalaku ke dalam selimut. Ma dan Nick Tua berbicara sedikit tapi aku tidak mendengarkan. *** Kini-5 Aku bangun di Tempat Tidur dan hujan turun. Saat hujan, Jendela Langit tampak kabur. Ma memberiku mimik dan dia bernyanyi “Singing in the Rain” dengan sangat pelan. Yang sebelah kanan rasanya tidak enak. Aku duduk teringat sesuatu. “Kenapa kau tidak bilang kepadanya kalau kemarin ulang tahunku?” Ma berhenti tersenyum. “Seharusnya kau tidur kalau dia ada di sini.” “Tapi, kalau kau bilang padanya, dia akan bawakan sesuatu buatku.” “Membawakanmu sesuatu,” katanya. “Itu kata dia.” “Sesuatu kayak apa?” Aku menunggu. “Harusnya kau ingatkan dia.” Ma meregangkan lengan di atas kepala. “Aku tidak mau dia membawakanmu barang-barang.” “Tapi Traktiran Minggu—” “Itu beda, Jack, itu barang yang kita perlukan, yang aku minta untuk dibelikan.” Dia menunjuk Bufet, ada sesuatu yang biru yang terlipat. “Omong-omong, itu jins barumu.” Ma pergi pipis. “Kau bisa memintakan hadiah untukku. Aku belum pernah dapat hadiah seumur hidupku.” “Kau dapat hadiah dariku, ingat? Hadiahnya gambar itu.” “Aku enggak mau gambar bodoh.” Aku menangis. Ma mengeringkan tangan dan datang memelukku. “Tak apa.” “Mungkin—” “Aku tidak bisa mendengarmu. Tarik napas panjang.” “Mungkin—” “Katakan kepadaku apa masalahnya.” “Mungkin saja anjing.” “Apa yang mungkin?” Aku tidak bisa berhenti, aku harus berbicara sambil menangis. “Hadiahnya. Hadiahnya mungkin bisa membuat anjing jadi nyata, dan kita bisa menamainya Lucky.” Ma menyeka mataku dengan telapak tangannya. “Kau tahu kita tidak punya tempat.” “Kita punya.” “Anjing perlu jalan-jalan.” “Kita berjalan.” “Tapi anjing—” “Kita berlari di sepanjang Trek, Lucky bisa berlari di samping kita. Aku bertaruh dia bisa lebih cepat daripada kau, Ma.” “Jack. Anjing bisa membuat kita gila.” “Tidak akan.” “Ia akan membuat gila. Harus dikandangi, dengan gonggongannya, cakaran....” “Lucky tidak akan mencakar.” Ma memutar bola mata. Dia berjalan ke Kabinet untuk mengeluarkan sereal, menuangkannya di mangkuk kami tanpa menghitung. Aku mengaum seperti singa. “Pada malam ketika kau tidur, aku akan bangun, aku akan menarik foil itu keluar dari lubang supaya Tikus bisa kembali.” “Jangan konyol.” “Aku tidak konyol, kau yang otak udang konyol.” “Dengar, aku mengerti—” “Tikus dan Lucky temanku.” Aku menangis lagi. “Tidak ada Lucky.” Ma berbicara dengan gigi terkatup. “Ada dan aku menyayanginya.” “Kau hanya mengarang.” “Juga ada Tikus, dia temanku yang nyata dan kau membuatnya pergi—” “Ya,” teriak Ma, “supaya dia tidak berlarian di wajahmu saat malam dan menggigitmu.” Aku menangis tersedu-sedu sampai napasku tersengal. Aku tidak tahu kalau Tikus bisa menggigit wajahku, kukira hanya vampir yang melakukannya. Ma menjatuhkan diri di Selimut dan tidak bergerak. Setelah semenit aku menghampirinya dan berbaring di sampingnya. Aku mengangkat kausnya dan mimik. Aku harus terus berhenti untuk menyeka hidungku. Yang kiri enak tapi tidak sisa banyak. Setelah itu aku mencoba jins baruku. Celana itu terus melorot. Ma menarik benang yang menjulur keluar. “Jangan.” “Ini sudah lepas. Dasar muraha—” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. “Denim,” kataku padanya, “itulah bahan dasar jins.” Aku menaruh benangnya di Kabinet di dalam Kotak kecil Kerajinan. Ma mengambil Perkakas untuk menjahit beberapa jahitan di pinggang, setelah itu jinsku tidak melorot lagi. Pagi itu kami cukup sibuk. Pertama kami membongkar Kapal Bajak Laut yang kami buat minggu lalu dan mengubahnya menjadi Tank. Balon adalah pengemudinya. Dulu ia sebesar kepala Ma, merah muda dan gemuk, sekarang sekecil kepalanku dan jadi merah dan keriput. Kami hanya meniup satu setiap hari pertama tiap bulan, jadi kami tidak bisa memberikan saudara untuk Balon sampai April. Ma bermain dengan Tank tapi tidak lama. Dia cepat bosan dengan barang, karena sudah dewasa. Senin hari mencuci. Kami masuk ke Bak Mandi berisi kaus kaki, baju dalam, celana abu-abuku yang dinodai saus, seprai dan lap piring, dan kami menginjak-injaknya agar kotorannya keluar. Ma menaikkan suhu Termostat amat tinggi untuk mengeringkannya. Dia menarik Jemuran dari samping pintu dan mendirikannya dan aku bilang pada Jemuran agar kuat. Aku ingin menaikinya seperti saat aku bayi, tapi aku sudah besar sekarang aku mungkin akan mematahkan punggangnya. Keren juga kalau kita bisa mengecil dan membesar lagi seperti Alice. Setelah kami memeras airnya dari semua cucian dan menggantungnya, Ma dan aku harus melepas kaus kami dan bergiliran mendorong diri kami ke dalam Kulkas untuk mendinginkan diri. Makan siangnya salad buncis, makanan nomor dua yang paling tidak kusuka. Setelah tidur siang, kami Teriak setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Kami berdeham dan naik Meja agar lebih dekat ke Jendela Langit, berpegangan tangan agar tidak jatuh. Kami bilang, “Siaga, siap, mulai,” lalu kami membuka mulut lebar-lebar dan berteriak melolong menjerit meraung sekeras mungkin. Hari ini aku yang paling keras karena paru-paruku melebar karena usiaku lima. Lalu kami menaruh jari di bibir untuk diam. Aku pernah tanya kepada Ma apa yang kami sedang kami dengarkan dan dia bilang jaga-jaga saja, kau tidak pernah tahu. Lalu aku menggosok garpu dan Sisir dan tutup stoples dan sisi celana jinsku. Kertas bergaris yang paling halus untuk digosok, tapi tisu toilet bagus untuk digambari dan tidak akan habis. Hari ini aku menggambar aku dan kucing dan burung beo dan iguana dan rakun dan Santa dan semut dan Lucky dan semua temanku di TV sedang dalam pawai dan aku adalah Raja Jack. Ketika aku selesai, aku menggulungnya kembali supaya kami bisa menggunakannya untuk membersihkan pantat kami. Aku menyobek sedikit dari gulungan lain, menulis surat untuk Dora. Aku harus menyerut pensil merah dengan Pisau. Aku menekan pensil dengan kuat karena pensil itu sangat pendek dan hampir habis, aku menulis dengan benar tapi kadang huruf-huruf yang kutulis bergerak maju-mundur. Aku lima tahun dua hari lalu, kau boleh makan potongan terakhir kueku tapi tidak ada lilin, dah, salam sayang, Jack. Hanya sobek sedikit di bagian “ku”. “Kapan dia akan dapat suratnya?” “Yah,” kata Ma, “Kurasa akan butuh beberapa jam untuk mencapai laut, lalu surat itu akan terdampar di pantai....” Ma mengeluarkan suara lucu karena menyedot es batu untuk Gigi Jelek. Pantai dan laut ada di TV tapi kurasa ketika kita mengirim surat, keduanya jadi nyata sebentar. Semua kotoran tenggelam dan surat-surat mengambang di ombak. “Siapa yang akan menemukannya? Diego?” “Mungkin. Dan dia akan membawanya ke sepupunya, Dora—” “Dengan jip safarinya. Zoom zoom menembus hutan.” “Mungkin besok pagi, kurasa. Paling lambat saat jam makan siang.” Es batu sekarang mengecil dan tidak membuat wajah Ma terlalu bengkak. “Kita lihat saja?” Ma menjulurkan es itu di lidahnya. “Kurasa aku juga sakit gigi.” Ma mengeluh, “Oh, Jack.” “Sungguh benar nyata. Aw, aw, aw.” Wajahnya berubah. “Kau boleh mengisap es batu kalau kau mau, kau tidak harus sakit gigi.” “Asyik.” “Jangan menakut-nakutiku seperti itu.” Aku tidak tahu aku bisa menakutinya. “Mungkin gigiku akan sakit saat aku enam tahun.” Dia menggembungkan pipinya ketika dia mengambil es batu dari Freezer. “Tukang bohong, tukang bohong hidungnya memanjang.” Tapi aku tidak berbohong, cuma pura-pura. Hari itu hujan sepanjang siang, Tuhan tidak terlihat sama sekali. Kami menyanyikan “Stormy Weather” dan “It’s Raining Men” dan satu lagu tentang gurun yang merindukan hujan. Makan malamnya nugget ikan dan nasi, aku kebagian memeras lemon yang tidak asli tapi plastik. Kami pernah punya lemon asli tapi lemon itu mengerut terlalu cepat. Ma meletakkan sedikit nugget-nya di bawah Tanaman di tanah. Planet kartun tidak ada saat malam, mungkin karena gelap dan di sana tidak ada lampu. Aku memilih acara masak malam ini, itu tidak seperti masakan asli karena tidak punya kaleng. Si perempuan dan si laki-laki saling tersenyum dan memasak daging dengan pie di atasnya dan sesuatu yang hijau di sekitar hijau lainnya yang banyak. Lalu aku mengganti ke planet olahraga di mana-mana orang-orang memakai pakaian dalam dengan semua mesin-mesin harus terus melakukan sesuatu berulang-ulang, kurasa mereka dikurung. Acara itu segera selesai dan sekarang knockerdowner, mereka mengubah rumah-rumah ke bentuk lain dan dengan jutaan warna cat, tidak cuma di lukisan tapi di seluruh rumah. Rumah-rumah seperti Kamar yang ditempel bersama. Sering kali, orang-orang TV tinggal di dalamnya, tapi kadang-kadang mereka pergi ke luar dan di sana juga ada cuaca. “Bagaimana kalau kita taruh tempat tidur di sana?” kata Ma. Aku menatapnya, lalu aku melihat ke arah yang ditunjuknya. “Itu dinding TV.” “Itu hanya sebutan kita,” katanya, “Tapi tempat tidur sepertinya muat di sana, antara toilet dan ... kita perlu menggeser lemarinya sedikit. Lalu bufet akan di sini menggantikan posisi tempat tidur, dan TV di atasnya.” Aku menggeleng-geleng. “Nanti kita tidak bisa melihat.” “Bisa, kita duduk di sini di kursi goyang.” “Ide buruk.” “Oke, lupakan saja.” Ma melipat lengannya dengan erat. Perempuan di TV sekarang menangis karena rumahnya berwarna kuning. “Apa dia lebih suka warna cokelat?” tanyaku. “Bukan,” kata Ma, “Dia sangat senang hingga dia menangis.” Itu aneh. “Apa dia senang-sedih, sepertimu saat ada musik bagus di TV?” “Tidak, dia cuma bodoh. Ayo kita matikan TV-nya sekarang.” “Lima menit lagi? Kumohon?” Ma menggeleng. “Aku akan main Beo, aku semakin jago.” Aku berusaha menyimak si wanita TV. Aku bilang, “Mimpi menjadi nyata, harus kukatakan kepadamu Darren, ini benar-benar di luar bayangan terliarku, hiasan temboknya—” Ma menekan tombol mati. Kurasa Ma masih kesal soal memindahkan perabotan, itu rencana gila. Seharusnya aku tidur di Lemari, tapi aku menghitung pertengkaran. Ada tiga selama tiga hari ini, satu soal lilin dan satu soal Tikus dan satu soal Lucky. Aku memilih balik lagi jadi empat tahun kalau jadi lima berarti harus bertengkar setiap hari. “Selamat tidur, Kamar,” kataku dengan amat pelan. “Selamat Tidur, Lampu dan Balon.” “Selamat Tidur, kompor,” kata Ma, “dan selamat tidur, meja.” Aku menyeringai. “Selamat tidur, Bola Kata. Selamat tidur, Benteng. Selamat tidur, Karpet.” “Selamat tidur, udara,” kata Ma. “Selamat tidur, suara-suara di mana pun.” “Selamat tidur, Jack.” “Selamat tidur, Ma. Dan Serangga-serangga, jangan lupakan Para Serangga.” “Met tidur,” katanya, “tidur nyenyak, jangan biarkan serangga menggigit.” *** Kini-6 Saat aku bangun, kaca Jendela Langit berwarna biru seluruhnya, tidak ada salju yang tersisa bahkan di sudutnya. Ma duduk di kursinya sambil memegangi wajah, itu artinya kesakitan. Dia melihat sesuatu di Meja, dua benda, aku melompat dan mengambilnya. “Ini jip. Jip dengan Remote!” aku memelesatkannya ke udara, warnanya merah, sebesar tanganku. Remote-nya berwarna perak dan berbentuk persegi, ketika aku menggoyangkan tombolnya dengan jempol roda jip berputar syuuuung. “Itu hadiah ulang tahun yang terlambat.” Aku tahu siapa yang bawa, si Nick Tua tapi Ma tidak bilang. Aku tidak mau makan serealku tapi Ma bilang aku boleh main dengan jip setelah makan. Aku makan dua puluh sembilan sereal, lalu aku tidak lapar lagi. Ma bilang itu mubazir, jadi dia makan sisanya. Aku mencari tahu cara menggerakkan Jip dengan Remote. Aku bisa memanjangkan dan memendekkan antena perak tipisnya. Satu tombol membuat Jip maju dan mundur, dan tombol lain membuatnya bergerak ke samping. Kalau... Bongkar Kebohongan Pagi harinya kami makan bubur gandum dan aku melihat tanda. “Ada kotoran di lehermu.” Ma cuma minum air, kulitnya bergerak ketika dia menelan. Sebenarnya itu bukan kotoran, kurasa bukan. Aku menyuap sedikit bubur gandum tapi terlalu panas, aku memuntahkannya lagi ke Sendok Meleleh. Kurasa Nick Tua yang membuat tanda itu di lehernya. Aku mencoba bicara tapi tidak keluar. Aku coba lagi. “Maaf aku menjatuhkan Jip semalam.” Aku turun dari kursiku, Ma membiarkanku duduk di pangkuannya. “Apa yang kau coba lakukan?” tanyanya, suaranya masih serak. “Memperlihatkan kepadanya.” “Memperlihatkan apa?” “Aku cuma, aku cuma, aku—” “Tak apa, Jack. Pelan-pelan.” “Tapi Remotenya rusak dan kau marah kepadaku.” “Dengar,” kata Ma, “Aku tidak peduli dengan jip itu.” Aku mengedipkan mata kepadanya, “Itu hadiahku.” “Yang membuatku marah,”—suaranya semakin keras dan kasar—“adalah kau membuatnya bangun.” “Jip?” “Nick Tua.” Aku terlompat karena Ma menyebut namanya dengan keras. “Kau menakutinya.” “Dia takut kepadaku?” “Dia tidak tahu kalau kau... Bongkar Kebohongan-2 Hari ini adalah salah satu hari ketika Ma Hilang. Dia tidak mau bangun dengan benar. Dia di sini tapi tidak benar-benar di sini. Dia diam di Tempat Tidur dengan bantal di atas kepala. Penis Bodoh berdiri, aku mendorongnya turun. Aku makan seratus serealku dan berdiri di kursiku untuk mencuci mangkuk dan Sendok Meleleh. Rasanya sangat sepi ketika aku mematikan keran. Aku penasaran apakah Nick Tua datang semalam. Kurasa dia tidak datang karena kantong sampah masih di dekat Pintu. Mungkin dia datang, tapi tidak mengambil sampahnya? Mungkin Ma tidak hanya Hilang. Mungkin dia mencekik leher Ma lebih keras dan sekarang dia— Aku naik sangat dekat dan mendengarkan hingga kudengar desah napas. Aku hanya satu inci darinya, rambutku menyentuh hidung Ma dan dia menutup wajahnya dengan tangan hingga aku mundur. Aku tidak mandi sendirian, aku hanya mengganti pakaian. Ada berjam-jam, ratusan jam. Ma bangun untuk pipis tapi tidak bicara. Wajahnya kosong. Aku... Bongkar Kebohongan-3 Pada hari Sabtu rambutku dikepang tiga agar berbeda. Rasanya geli. Aku menggoyang-goyangkan kepala untuk mencambuk wajahku dengan kepang. Aku tidak menonton planet kartun pagi ini, aku memilih berkebun sebentar dan fitnes dan berita, dan semua yang kulihat kukomentari, “Ma, apa itu nyata?” dan dia bilang ya, kecuali waktu ada film tentang serigala jadi-jadian dan wanita yang menggembung seperti balon. Itu memakai efek khusus, hasil gambar di komputer. Makan siangnya sekaleng kacang polong kari dan nasi. Aku ingin melakukan Teriakan ekstrakeras tapi kami tidak bisa melakukannya saat akhir pekan. Sebagian waktu siang kami habiskan dengan bermain Cat’s Cradle5, kami bisa membuat Lilin dan Wajik dan Palungan dan Jarum Rajut dan kami terus melatih Kalajengking, tapi jari Ma selalu tersangkut. Makan malamnya piza mini, masing-masing satu dan satu tambahan untuk dibagi. Lalu kami menonton planet yang orang-orangnya memakai baju berenda dan rambut putih besar. Ma bilang mereka nyata tapi mereka... Bongkar Kebohongan-4 Aku mendongak ke Langit-langit ketika tiba-tiba ia terangkat dan langit terbuka dan roket-roket dan sapi-sapi dan pepohonan runtuh ke kepalaku— Tidak, aku di Tempat Tidur. Jendela Langit mulai meneteskan cahaya, sekarang pasti pagi. “Cuma mimpi buruk,” kata Ma, mengusap pipiku. Aku mimik tapi tidak banyak, kiri yang enak. Lalu aku ingat, dan aku menggeliat-geliut di Tempat Tidur untuk melihat apa ada tanda baru di lehernya tapi aku tidak melihat tanda apa pun. “Maaf, semalam aku keluar dari Lemari.” “Aku tahu,” katanya. Apa itu sama dengan memaafkan? Aku mengingat lebih banyak. “Apa itu kecil aneh?” “Oh, Jack.” “Kenapa dia mengatakan ada yang salah denganku?” Ma mengerang. “Tidak ada yang salah denganmu, kau baik-baik saja dari kepala sampai kaki.” Dia mencium hidungku. “Tapi kenapa dia mengatakan itu?” “Dia hanya mencoba membuatku gila.” “Kenapa dia—?” “Kau tahu betapa kau suka bermain dengan mobil dan balon dan mainan lainnya? Yah, dia suka bermain dengan... Bongkar Kebohongan-5 Aku memegang tangannya. Dia ingin aku percaya jadi aku mencoba tapi kepalaku sakit. “Kau benar-benar pernah hidup di TV?” “Sudah kubilang, itu bukan TV. Itu dunia nyata, kau tidak akan percaya betapa besarnya dunia itu.” Lengannya berputar, dia menunjuk ke seluruh dinding. “Kamar hanya bagian kecil yang bau dari dunia.” “Kamar tidak bau.” Aku hampir menggeram. “Hanya bau kadang-kadang ketika kau kentut.” Ma mengusap matanya lagi. “Kentutmu lebih bau daripada aku. Kau hanya mencoba menipuku dan kau sebaiknya berhenti sekarang juga.” “Oke,” katanya, napasnya berdesis seperti balon. “Ayo kita makan roti lapis.” “Kenapa?” “Katamu kau lapar.” “Tidak, aku tidak lapar.” Wajahnya marah lagi. “Aku akan membuat roti lapis,” katanya, “dan kau akan memakannya, oke?” Itu selai kacang saja, karena kejunya sudah lengket semua. Ketika aku selesai makan, Ma duduk di sampingku, tapi dia tidak makan. Dia bilang, “Aku tahu ini semua terlalu berat untuk diterima.” Roti lapisnya? Untuk makanan penutup,... Bongkar Kebohongan-6 Yang membangunkanku adalah suara yang berulang-ulang. Ma tidak ada di Tempat Tidur. Ada sedikit cahaya, udaranya masih sedingin es. Aku melihat ke ujung, dia di tengah Lantai memukul dug dug dug dug dengan tangannya. “Apa salah Lantai?” Ma berhenti, dia mengembuskan napas panjang. “Aku perlu memukul sesuatu,” katanya, “tapi aku tidak ingin merusak apa pun.” “Kenapa tidak?” “Sebenarnya, aku ingin merusak sesuatu. Aku ingin merusak semuanya.” Aku tidak suka dia seperti ini. “Makan apa untuk sarapan?” Ma menatapku. Lalu dia berdiri dan melangkah ke Kabinet dan mengeluarkan bagel, kurasa itu yang terakhir. Ma hanya makan seperempat, dia tidak terlalu lapar. Ketika kami mengeluarkan napas ada uapnya. “Itu karena hari ini lebih dingin,” kata Ma. “Katamu tidak akan lebih dingin.” “Maaf, aku salah.” Aku menghabiskan bagel. “Apa aku masih punya Nenek dan Kakek dan Paman Paul?” “Ya,” kata Ma, dia tersenyum sedikit. “Apa mereka di Surga?” “Tidak, tidak.” Ma mencebik. “Kurasa... Sekarat Segalanya terasa hangat. Ma sudah bangun. Di Meja ada kotak sereal baru dan empat pisang, asyik. Nick Tua pasti telah datang saat malam. Aku melompat dari Tempat Tidur. Ada makaroni juga, dan hot dog dan jeruk mandarin dan— Ma tidak makan sama sekali, dia berdiri di dekat Bufet menatap Tanaman. Ada tiga daun yang jatuh. Ma menyentuh batang Tanaman dan— “Jangan!” “Ia sudah keburu mati.” “Kau merusaknya.” Ma menggeleng. “Yang hidup akan bengkok, Jack. Kurasa itu karena dingin, membuat Tanaman beku di dalamnya.” Aku mencoba memasang daunnya kembali. “Ia perlu pita perekat.” Aku ingat tidak ada yang tersisa, Ma memakai potongan terakhir untuk Kapal Luar Angkasa, Ma bodoh. Aku berlari untuk mengambil Kotak dari Kolong Tempat Tidur, aku menemukan Kapal Luar Angkasa dan menarik sedikit selotipnya. Ma hanya menonton. Aku menekan pita perekat ke Tanaman tapi tergelincir hingga ia berserakan. “Maafkan aku.” “Buat dia hidup lagi,” kataku kepada Ma. “Aku... Sekarat-2 Kami melakukannya berulang-ulang. Kami membuat petanya di kertas bergaris dengan gambar, gambar sakit adalah aku dengan mata tertutup dan lidahku terjulur, lalu ada truk pikap cokelat, lalu ada orang dengan mantel putih panjang yang artinya dokter, lalu mobil polisi dengan sirene yang menyala, lalu Ma melambai dan tersenyum karena bebas, dengan obor las yang menyala seperti naga. Kepalaku lelah tapi Ma bilang kami harus berlatih menjadi sakit sedikit, itu yang paling penting. “Karena kalau dia tidak percaya, yang lain tidak akan terjadi. Aku punya ide, aku akan membuat dahimu sangat panas dan membiarkannya menyentuhnya....” “Tidak.” “Tak apa, aku tidak akan membakarmu—” Dia tidak mengerti. “Tidak mau dia menyentuhku.” “Ah,” kata Ma. “Hanya sekali, aku janji, dan aku akan ada di sisimu.” Aku terus menggeleng. “Ya, ini bisa berhasil,” katanya, “mungkin kau bisa berbaring di dekat ventilasi....” Dia berlutut dan meletakkan tangannya di Kolong Tempat Tidur dekat Dinding Tempat Tidur, lalu... Sekarat-3 Aku terbangun ketakutan dan aku tetap ketakutan. Ma tidak mengizinkan kami menyiram setelah berak, dia mengaduknya dengan pegangan Sendok Kayu supaya itu terlihat seperti sup kotoran, baunya sangat tidak enak. Kami tidak main apa pun, kami hanya berlatih aku menjadi lemas dan tidak mengatakan satu kata pun. Aku jadi merasa sakit betulan, Ma bilang itu hanya kekuatan sugesti. “Kau sangat jago berpura-pura, kau bahkan menipu dirimu sendiri.” Aku mengemas tas ranselku lagi yang sebenarnya sarung bantal, aku memasukkan Remote dan balon kuningku, tapi Ma bilang tidak. “Kalau kau membawa sesuatu, Nick Tua akan menebak kau melarikan diri.” “Aku bisa menyembunyikan Remote di saku celanaku.” Dia menggeleng. “Kau hanya akan memakai kaus tidur dan pakaian dalam, karena itu yang akan kau kenakan kalau kau benar-benar terbakar panas karena demam.” Aku membayangkan Nick Tua membawaku ke truknya, aku pusing kayak mau jatuh. “Saat ini, kau merasa takut,” kata Ma, “tapi yang kau... Sekarat-4 Sudah 08.21, aku tidur cukup lama dan sekarang aku sedang mimik, yang kiri sangat kental. Nick Tua tidak kembali, kurasa tidak. “Apa ini Sabtu?” tanyaku. “Benar.” “Asyik, kita keramas.” Ma menggeleng. “Kau tidak boleh berbau bersih.” Aku lupa untuk semenit. “Apa itu?” “Apa?” “Rencana B.” “Apa kau siap mendengarnya sekarang?” Aku tidak berkata apa pun. “Yah. Jadi begini.” Ma berdeham. “Aku sudah memikirkannya berkali-kali dari berbagai sisi, dan kurasa ini bisa berhasil. Aku tidak tahu, aku tidak bisa yakin, ini terdengar gila dan aku ini sangat berbahaya tapi—” “Bilang saja kepadaku,” kataku. “Oke, oke.” Dia menarik napas dengan keras. “Apa kau ingat the Count of Monte Cristo?” “Dia dikurung di penjara bawah tanah di sebuah pulau.” “Ya, tapi ingat bagaimana dia bisa keluar? Dia berpura-pura menjadi temannya yang mati, bersembunyi di balik kafan dan para penjaga melemparnya ke laut, tapi Count tidak tenggelam, dia bergerak keluar dan berenang.” “Ceritakan apa... Sekarat-5 Aku sungguh tidak bisa percaya ini. “Apa aku bahkan boleh membunuhnya?” Ma berlari ke Kabinet tempat barang-barang dikeringkan setelah dicuci. Dia mengambil Pisau Mulus. Aku menatap kilaunya, aku memikirkan tentang cerita Ma meletakkannya di tenggorokan Nick Tua. “Apa kau bisa memegang ini dengan erat, di dalam karpet, dan kalau—” Dia memandang Pisau. Lalu dia meletakkannya kembali bersama garpu-garpu di Rak Piring. “Apa yang kupikirkan?” Bagaimana aku tahu kalau dia saja tidak tahu?” “Kau bisa menusuk dirimu sendiri,” kata Ma. “Tidak akan.” “Kau bisa saja, Jack, bagaimana tidak, kau akan memotong dirimu sendiri sampai tipis, berserakan di dalam karpet dengan pisau yang terbuka—kurasa aku hilang akal.” Aku menggeleng. “Ada di sini.” Aku mengetuk rambutnya. Ma mengelus punggungku. Aku mengecek Gigi masih di kaus kakiku, catatan di celana dalamku di depan. Kami bernyanyi untuk membuat waktu berlalu, tapi dengan pelan. “Lose Yourself” dan “Tubthumping” dan “Home on the Range.” “‘Di mana si... Sekarat-6 Dia mengangkat manusia bayi itu sekarang, dia menggendongnya di lengan dan kantong kotoran di sisi lain dan dia tampak benar-benar bingung. Nick Tua menurunkanku, dia menekankan jarinya di bahuku sehingga bahuku terasa terbakar. “Semuanya di bawah kendali.” “Dan lututnya juga, kelihatannya parah. Raja tidak melakukan itu. Apa gadis ini terjatuh?” tanya pria itu. “Aku bukan gadis, “ kataku tapi hanya dalam tenggorokanku. “Bagaimana kalau kau urus urusanmu sendiri dan aku akan mengurus urusanku?” Nick Tua hampir menggeram. Ma, Ma, aku butuh kau berbicara. Dia tidak di kepalaku lagi, dia tidak di mana pun. Ma menulis pesan, aku lupa, aku memasukkan tanganku yang tidak dimakan ke celana dalamku dan aku tidak bisa menemukan catatan tapi kemudian aku menemukannya, itu semua terkena pipis. Aku tidak bisa bicara tapi aku melambaikannya pada seseorang pria. Nick Tua merobeknya dari tanganku dan membuatnya menghilang. “Oke, aku tidak—aku tidak suka ini,” kata pria itu. Dia mengeluarkan... Sekarat-7 Aku tidak melihat Raja dan Ajeet dan Naisha lagi sama sekali. “Apa anjing masuk penjara?” “Tidak, tidak,” kata Petugas Oh, “itu adalah kesalahan yang tidak sengaja.” “Katakan,” polisi pria berbicara di teleponnya. Dia menggeleng pada Petugas Oh. Petugas Oh berdiri. “Hei, mungkin Jack bisa menemukan rumahnya untuk kita. Apa kau mau naik mobil patroli?” Aku tidak bisa bangun, dia mengulurkan tangannya tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku meletakkan satu kaki di bawah lalu kaki satunya dan aku sedikit pusing. Aku memanjat ke mobil pada pintunya yang terbuka. Petugas Oh duduk di belakang juga dan memasangkan sabuk pengaman padaku, aku mengerut hingga tangannya tidak menyentuhku kecuali selimut biru. Mobil bergerak sekarang, tidak begitu bergetar seperti truk, lembut dan berdengung. Sedikit mirip wanita berambut mengembang yang duduk di sofa di planet TV yang suka bertanya-tanya, hanya saja itu Petugas Oh. “Kamar ini,” katanya, “Apa itu di sebuah bungalow, atau apa ada tangga?”... Kemudian Petugas Oh duduk di depan, dia terlihat berbeda dari belakang. Dia berbalik dan tersenyum kepadaku, dia mengatakan, “Inilah markas polisi.” “Bisakah kau keluar?” tanya Ma. “Aku akan menggendongmu.” Dia membuka mobil dan udara dingin masuk. Aku mengerut. Dia menarikku, membuatku berdiri dan aku menabrakkan telingaku di mobil. Dia berjalan sambil menggendongku dipinggulnya, aku melekat ke bahunya. Saat itu gelap tapi kemudian ada lampu cepat cepat seperti kembang api. “Burung Bangkai,” kata Petugas Oh. Di mana? “Tidak boleh mengambil gambar,” teriak polisi pria. Gambar apa? Aku tidak melihat burung bangkai apa pun, aku hanya melihat wajah orang dengan mesin berkilat dan tongkat hitam gemuk. Mereka berteriak tapi aku tidak mengerti. Petugas Oh mencoba menutupi kepalaku dengan selimut, aku mendorongnya. Ma berlari sampai aku terguncang-guncang, kami sekarang berada dalam bangunan dan itu seribu persen terang jadi aku menutupi mata dengan tangan. Lantai di sini semua mengilap keras tidak seperti Lantai, dinding biru... Kemudian-2 Dr. Kendrick menempelkan Dora dan Boots juga ke jariku, menempel ketat. Gigi masih aman di sisi kaus kaki kananku. Waktu aku memakai baju kaus dan selimutku lagi, para dokter berbicara pelan-pelan, kemudian Dr. Clay bertanya, “Apa kau tahu apa itu jarum, Jack?” Ma mengerang. “Oh ayolah.” “Dengan begini laboratorium dapat melakukan tes darah besok pagi. Penanda infeksi, kekurangan nutrisi.... Ini semua bukti yang bisa diterima, dan lebih penting lagi, itu akan membantu kami mengetahui apa yang paling dibutuhkan Jack.” Ma menatapku. “Bisakah kau menjadi superhero selama satu menit lagi dan membiarkan Dr. Kendrick menusuk lenganmu?” “Tidak.” Aku menyembunyikan kedua lenganku di balik selimut. “Tolonglah.” Aku tidak mau. Aku sudah menghabiskan semua keberanianku. “Aku hanya perlu sebanyak ini,” kata Dr. Kendrick, memegang tabung. Itu jauh lebih banyak daripada yang diambil anjing atau nyamuk, aku hampir tidak akan punya darah tersisa. “Lalu kau akan mendapatkan... apa yang dia mau?” Dia bertanya pada... Kemudian-3 Di dekat kami ada orang-orang yang makan persegi aneh dengan persegi-persegi kecil di atasnya dan daging sepek keriting. Bagaimana bisa mereka makan sesuatu dari piring biru dan membuat warnanya menempel? Aromanya lezat tapi terlalu banyak dan tanganku licin lagi. Aku menaruh si Paskah kembali persis ke tengah piring. Aku gosok tanganku di jubah tapi tidak jariku yang digigit. Pisau dan garpu salah juga, tidak ada warna putih di pegangannya, cuma logam, itu pasti sakit. Orang-orang punya mata besar, mereka semua memiliki wajah yang berbeda dengan beberapa kumis dan perhiasan menggantung dan bagian tubuh yang dicat. “Tidak ada anak-anak,” bisikku ke Ma. “Apa?” “Di mana anak-anak?” “Kurasa tidak ada di sini.” “Kau bilang ada jutaan di luar.” “Klinik ini hanya sepotong kecil dunia,” kata Ma. “Minum jusmu. Hei, lihat, ada anak laki-laki di sana.” Aku melirik ke arah yang dia tunjuk, tapi dia panjang seperti seorang pria dengan kuku di hidung... Kemudian-4 Ketika aku bangun cahayanya ada di tempat yang salah. “Tidak apa-apa,” kata Ma, dia menempatkan wajahnya menyentuhkannya ke wajahku, “semuanya baik-baik saja.” Aku memakai kacamata hitam kerenku untuk melihat wajah kuning Tuhan di jendela kami, cahaya meluncur tepat di seberang karpet abu-abu pudar. Noreen datang membawa kantong-kantong. “Kau bisa mengetuk dulu.” Ma hampir berteriak. Dia memasangkan maskerku dan miliknya. “Maaf,” kata Noreen. “Saya sudah mengetuk, sebenarnya, tapi aku akan pastikan dan melakukannya lebih keras lain kali.” “Tidak, maaf, bukan maksud—aku sedang berbicara dengan Jack. Mungkin aku mendengarnya tapi aku tidak tahu kalau itu ketukan pintu.” “Tidak usah dipikirkan,” kata Noreen. “Ada suara dari—kamar lain, aku mendengar banyak hal dan aku tidak tahu apakah itu nyata, di mana itu atau apa.” “Itu semua pasti terasa sedikit aneh.” Ma tertawa. “Dan untuk anak muda ini—” Mata Noreen berbinar-binar. “Maukah kau melihat baju barumu?” Itu bukan baju kami, baju-baju dalam kantong itu berbeda... Kemudian-5 Kupikir semua hal-hal aneh terjadi kemarin tapi ada lebih banyak hari ini. Kotoranku sulit untuk didorong keluar karena perutku tidak terbiasa dengan banyak makanan. Kami tidak perlu mencuci seprai kami di kamar mandi karena petugas pembersih tak terlihat melakukannya juga. Ma menulis dalam buku catatan yang diberikan dr. Clay untuk pekerjaan rumah. Kupikir hanya anak-anak sekolah yang melakukan itu, itu berarti pekerjaan untuk dilakukan di rumah tapi Ma mengatakan Klinik bukan rumah siapa pun, semua orang pulang pada akhirnya. Aku benci maskerku, aku tidak bisa bernapas melalui itu tapi Ma mengatakan sebenarnya aku bisa. Kami sarapan di ruang makan itu untuk makan saja, orang di dunia pergi ke ruangan yang berbeda untuk setiap hal. Aku ingat tata krama, itu adalah saat orang takut untuk membuat yang lain marah. Aku berkata, “Tolong, bisakah Anda menambah panekuk untukku?” Wanita dengan apron mengatakan, “Dia lucu.” Aku tidak lucu, tapi Ma berbisik itu berarti... Kemudian-6 Bahkan setelah tidur siang aku masih lelah. Hidungku terus menetes dan mataku juga, seolah mereka mencair di dalam. Ma bilang aku baru saja mengalami flu pertamaku, itu saja. “Tapi aku pakai masker.” “Tetap saja, kumannya bisa menyelinap. Aku mungkin akan tertular darimu besok.” Aku menangis. “Kita belum selesai bermain.” Dia memelukku. “Aku tidak ingin pergi ke Surga, belum.” “Manis—” Ma tidak pernah memanggilku seperti itu sebelumnya. “Tidak apa-apa, kalau kita sakit, dokter akan membuat kita lebih baik. “ “Aku mau.” “Kau mau apa?” “Aku ingin Dr. Clay membuatku lebih baik sekarang.” “Yah, sebenarnya, dia tidak bisa menyembuhkan pilek.” Ma menggigit bibir. “Tapi pilekmu akan sembuh dalam beberapa hari, aku janji. Hei, kau mau belajar membuang ingus?” Butuh hanya empat kali mencoba, ketika aku mendapatkan semua ingus keluar di tisu, dia bertepuk tangan. Noreen membawa makan siang sup dan kebab dan nasi yang tidak nyata yang disebut quinoa. Sehabis makan, ada... Kemudian-7 Dia biru. “Bagian dirinya dalam tubuhnya, pergi langsung kembali ke Surga.” “Dia didaur ulang?” Ma hampir tersenyum. “Aku senang memikirkannya seperti itu.” “Kenapa kau ingin berpikir itu yang terjadi?” “Mungkin itu benar-benar kau, dan setahun kemudian kau mencoba lagi dan kembali turun sebagai anak laki-laki.” “Aku adalah aku yang nyata saat itu. Aku tidak kembali.” “No way Jose.” Air mata jatuh lagi, Ma menyekanya. “Aku tidak membiarkannya masuk ke Kamar waktu itu.” “Kenapa tidak?” “Aku mendengar pintu, bunyi, dan aku meraung, ‘Keluar.’” Aku bertaruh itu membuatnya marah. “Aku sudah siap, kali ini aku ingin menjadi hanya aku dan kau.” “Apa warnaku?” “Merah muda.” “Apakah aku membuka mataku?” “Kau dilahirkan dengan mata terbuka.” Aku menguap sangat lebar. “Bisakah kita tidur sekarang?” “Oh, ya,” kata Ma. *** Saat malam gedebug aku jatuh di lantai. Ingusku mengalir banyak tapi aku tidak tahu cara meniup hidung dalam gelap. “Tempat tidur ini terlalu kecil untuk... Kemudian-8 Setelah kami tidur siang, pilekku masih juga belum sembuh. Aku bermain dengan hartaku, batuku dan samaraku yang terluka dan lilac yang melemas. Nenek mengetuk bersama lebih banyak pengunjung, tapi dia menunggu di luar sehingga tidak akan terlalu banyak yang berkerumun di dalam. Orangnya dua, mereka disebut pamanku yang bernama Paul yang memiliki rambut lemas sebatas telinga dan Deana itulah bibiku dengan kacamata persegi panjang dan satu juta kepang hitam seperti ular. “Kami punya seorang gadis kecil bernama Bronwyn. Dia pasti akan sangat senang bertemu denganmu,” katanya padaku. “Dia bahkan tidak tahu dia punya sepupu—oke, kami semua tidak tahu tentangmu sampai dua hari lalu, ketika nenekmu menelepon memberi kabar.” “Kami hendak masuk ke dalam mobil tapi dokter bilang—” Paul berhenti bicara, dia menempatkan kepalan tangan di matanya. “Tidak apa-apa, Sayang,” kata Deana dan dia mengelus kakinya. Dia berdeham sangat keras. “Hanya saja, itu membuatku terpukul.” Aku tidak melihat apa pun yang... Kemudian-9 “Hari apa pagi ini?” “Kamis,” kata Ma. “Kapan hari Minggu?” “Jumat, Sabtu, Minggu....” “Tiga lagi, seperti dalam Kamar?” “Ya, di mana pun satu minggu itu tujuh hari.” “Apa yang akan kita minta untuk Traktiran Minggu?” Ma menggeleng. Sore harinya, kami pergi dengan van yang bertuliskan Klinik Cumberland. Kami benar-benar berkendara di luar gerbang besar menuju sisa dunia. Aku tidak mau, tapi kami harus pergi untuk menunjukkan gigi Ma yang masih sakit pada dokter gigi. “Apakah akan ada orang di sana yang bukan teman kita?” “Hanya dokter gigi dan asisten,” kata Ma. “Mereka sudah mengirim yang lain pergi, ini kunjungan khusus hanya untuk kita.” Kami memakai topi dan kacamata hitam keren kami, tapi tidak memakai krim tabir surya karena sinar buruk mental dari kaca. Aku harus memakai sepatu melarku. Di van ada seorang sopir dengan topi, aku pikir dia sedang dalam keadaan senyap. Ada peninggi kursi khusus di kursi yang membuatku... Kemudian-10 “Jadi, kau mengerti?” tanya Ma. Aku berbaring di tempat tidur kami di Kamar Nomor Tujuh, tapi Ma cuma duduk di tepinya. “Aku di sini tidur siang, kau di TV.” “Sebenarnya, diriku yang sesungguhnya akan ada di bawah, di kantor Dr. Clay dan berbicara di kantor Dr. Clay kepada orang-orang TV,” katanya. “Hanya gambarku yang akan berada di kamera video, jadi nanti malam itu akan berada di TV.” “Kenapa kau ingin berbicara dengan burung bangkai?” “Percayalah, aku tidak mau,” katanya. “Aku hanya perlu menjawab pertanyaan mereka sekali untuk selamanya, agar mereka berhenti bertanya. Aku segera kembali, oke? Pada saat kau bangun, aku cukup yakin.” “Oke.” “Dan besok kita akan melakukan petualangan, apakah kau ingat ke mana Paul dan Deana dan Bronwyn akan membawa kita?” “Museum Sejarah Nasional untuk melihat dinosaurus.” “Itu benar.” Dia berdiri. “Satu lagu.” Ma duduk dan menyanyikan “Swing Low, Sweet Chariot”, tapi terlalu cepat dan dia masih serak... Kemudian-11 Saat aku bangun keesokan paginya, Ma Hilang. Aku tidak tahu kalau dia bisa mengalami hari-hari seperti ini di dunia. Aku menggoyang lengannya, tapi dia hanya mengerang pelan dan menaruh kepalanya di bawah bantal. Aku sangat haus, aku menggeliang dekat-dekat dan berusaha mimik, tapi Ma tidak mau berbalik dan mengizinkanku. Aku tetap meringkuk di sampingnya selama ratusan jam. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Saat Ma Hilang di dalam Kamar, aku bisa bangun dan membuat sarapan sendiri lalu menonton TV. Aku menyedot hidung, tidak ada apa pun di hidungku. Kurasa aku telah kehilangan pilekku. Aku menarik tali jendela agar kerainya terbuka sedikit. Cahayanya terang, memantul dari jendela mobil. Seekor burung gagak berlalu dan membuatku takut. Kurasa Ma tidak menyukai sinarnya, jadi aku menutup kembali kerainya. Perutku berbunyi krucuuk. Lalu aku ingat bel di tempat tidur. Aku menekannya, tidak ada yang terjadi. Namun, setelah semenit, pintu berbunyi tok tok. Aku membukanya... Kemudian-12 Deana menatapnya. “Jack, Sobat, apa yang terjadi?” kata Paul, menunjuk kaus kakiku. “Terima kasih banyak,” kata Deana, mengambil sepatu dari wanita itu dan berlutut. Dia mendorong kakiku untuk masuk ke yang kanan kemudian kiri. “Kau terus mengatakan namanya,” katanya kepada Paul melalui giginya. Aku bertanya-tanya apa yang salah dengan namaku. “Maaf, maaf,” kata Paul. “Kenapa dia berkata putri?” Aku bertanya. “Ah, itu karena rambut panjangmu dan tas Dora,” kata Deana. Perempuan tua itu menghilang. “Apakah dia orang jahat?” “Bukan, bukan.” “Tapi kalau dia tahu kau adalah Jack,” kata Paul, “dia mungkin akan mengambil gambar dengan telepon selulernya atau sesuatu, dan ibumu akan membunuh kita.” Dadaku mulai berdentam-dentam. “Kenapa Ma akan—?” “Maksudku, maaf—” “Dia benar-benar marah, itu saja maksudnya,” kata Deana. Aku sedang memikirkan Ma yang berbaring dalam gelap Hilang. “Aku tidak suka dia menjadi marah.” “Tidak, tentu saja tidak.” “Bisakah kau mengembalikanku ke Klinik sekarang, kumohon?” “Secepatnya.” “Sekarang.” “Apakah kau... Hidup Aku sedang di rumah yang ada hammock-nya. Aku mencarinya ke luar jendela, tapi Nenek bilang hammock itu akan dipasang di halaman belakang, tidak di depan, lagi pula itu belum digantung karena ini masih hari kesepuluh bulan April. Ada semak-semak dan bunga-bunga dan trotoar dan jalan dan halaman depan lainnya dan rumah-rumah lainnya. Aku menghitung kesebelasnya, di sana para tetangga tinggal, seperti dalam Beggar My Neighbour8. Aku mengisap untuk merasakan Gigi, ia tepat di tengah-tengah lidahku. Mobil putih di luar tidak bergerak, aku naik di dalamnya dari Klinik meskipun tanpa peninggi kursi. Dr. Clay ingin aku tinggal di klinik demi kontinuitas dan terapi isolasi, tapi Nenek berteriak kalau dia tidak boleh membuatku seperti tahanan padahal aku punya keluarga. Keluargaku adalah Nenek, Steppa, Bronwyn, Paman Paul, Deana, dan Kakek, hanya saja dia gemetar kalau melihatku. Juga Ma. Aku memindahkan Gigi ke pipiku. “Apakah dia mati?” “Tidak, aku sudah bilang berkali-kali... Hidup-2 “Sayang,” kata Nenek. “Kau tidak akan menghabiskan seharian penuh di depan TV lagi.” “Hah?” Dia mematikan TV. “Dr. Clay berbicara di telepon tentang kebutuhan perkembanganmu, aku harus mengatakan kepadanya kita sedang bermain Dam.” Aku berkedip dan menggosok mataku. Mengapa dia berbohong kepadanya? “Apakah Ma—?” “Katanya, dia masih stabil. Apa kau ingin benar-benar bermain catur?” “Mainan punyamu adalah untuk raksasa dan mereka berjatuhan.” Dia mendesah. “Aku terus mengatakan, mereka yang biasa, dan sama dengan catur dan kartu. Set magnetik mini yang kau dan Ma-mu punya itu untuk bepergian.” Tapi kami tidak melakukan perjalanan. “Ayo kita pergi ke taman bermain.” Aku menggeleng. Ma bilang, jika kami bebas, kami akan pergi bersama-sama. “Kau sudah keluar sebelumnya, sering sekali.” “Itu di Klinik.” “Ini udara yang sama, bukan? Ayo, ma-mu bilang kau suka memanjat.” “Ya, aku memanjat Meja dan kursi dan Tempat Tidur ribuan kali.” “Tidak di mejaku, Tuan.” Maksudku dalam Kamar. Nenek mengikat rambutku... Hidup-3 Nenek mengguncang tubuhku agar bangun karena dia bilang sudah tiga jam, dan dia cemas aku tidak bisa tidur malam ini. Sulit untuk berbicara dengan Gigi jadi aku memasukkannya ke sakuku. Di kukuku masih ada sabun tersangkut. Aku butuh sesuatu yang tajam untuk mengeluarkannya, seperti Remote. “Apakah kau merindukan ma-mu?” Aku menggeleng. “Remote.” “Kau merindukan apamu... marmut?” “Remote.” “Remote TV?” “Bukan, Remote-ku yang digunakan untuk membuat Jeep brum zoom tapi kemudian dia rusak di Lemari.” “Oh,” kata Nenek, “baiklah, aku yakin kita bisa mendapatkannya kembali.” Aku menggeleng. “Mereka ada di Kamar.” “Mari membuat daftar kecil.” “Untuk menyiram toilet?” Nenek tampak bingung. “Tidak, aku akan menelepon polisi.” “Apakah ada keadaan darurat?” Dia menggeleng. “Mereka akan membawa mainanmu ke sini, setelah mereka selesai memeriksanya.” Aku menatapnya. “Polisi bisa masuk Kamar?” “Mereka mungkin ada di sana saat ini juga,” dia memberitahuku, “mengumpulkan bukti.” “Bukti apa?” “Bukti apa yang terjadi, untuk menunjukkan pada hakim. Gambar,... Hidup-4 Saat malam hari ada sejuta komputer mungil berbicara satu sama lain tentangku. Ma memanjat pohon kacang dan aku ada di bumi menggoyangkannya dan menggoyangkannya agar dia jatuh— Tidak. Itu hanya mimpi. “Aku dapat ide menarik,” kata Nenek di telingaku, dia mencondongkan tubuhnya ke bawah, setengah bagian tubuhnya masih di tempat tidurnya. “Ayo kita pergi ke taman bermain sebelum sarapan agar tidak akan ada anak-anak lain di sana.” Bayangan kami benar-benar panjang dan melar. Aku melambaikan kepalan raksasa. Nenek hampir duduk di bangku, tapi atasnya basah, jadi dia bersandar pagar saja. Ada basah kecil di segala sesuatu, katanya itu embun yang terlihat seperti hujan tapi tidak keluar dari langit, itu semacam keringat yang terjadi saat malam. Aku menggambar wajah pada papan seluncur. “Tidak apa-apa kalau kau membasahi pakaianmu, silakan saja.” “Sebenarnya aku merasa dingin.” Ada bagian berisi pasir, Nenek bilang aku bisa duduk di situ dan bermain dengan pasir-pasir itu. “Apa?”... Hidup-5 Bagian atas surat kabar mengatakan Sabtu 17 April, artinya aku sudah berada di rumah Nenek dan Steppa satu minggu penuh. Aku satu minggu di Klinik sebelumnya, berarti aku sudah dua minggu di dunia. Aku terus menambahkan itu untuk memeriksa, karena rasanya seperti satu juta tahun dan Ma masih tidak datang untukku. Nenek mengatakan kita harus keluar dari rumah ini. Tidak ada yang akan mengenaliku sekarang karena rambutku pendek dan akan keriting. Dia memberitahuku untuk melepas kacamata hitam karena mataku harus digunakan untuk melihat luar sekarang dan kacamata hitam hanya akan menarik perhatian. Kami menyeberangi banyak jalan berpegangan tangan dan tidak membiarkan mobil menabrak kami. Aku tidak suka memegang tangan, aku berpura-pura Nenek sedang memegang tangan anak laki-laki lain. Kemudian Nenek punya ide cemerlang, aku bisa berpegangan pada rantai tasnya sebagai gantinya. Ada banyak jenis hal di dunia tapi semua butuh uang, bahkan hal-hal yang akan dibuang. Misalnya, orang yang mengantre... Hidup-6 Aku ingin makan pad thai-ku dengan Sendok Meleleh, tapi Nenek bilang itu tidak higienis. Kemudian aku di ruang tamu berselancar di saluran, itu berarti mencari di semua planet secepat peselancar, dan aku mendengar namaku, bukan yang nyata, tapi di TV. “... perlu mendengarkan Jack.” “Bisa dibilang, Kita semua adalah Jack,” kata pria lain yang duduk di meja besar. “Jelas,” kata yang lainnya. Apakah mereka disebut Jack juga, apa mereka beberapa dari jutaan? “Anak batin, terjebak dalam Kamar pribadi kami, oh malangnya,” kata laki-laki lain, sambil mengangguk. Aku tidak berpikir aku pernah ada di kamar itu “Namun, kemudian, anehnya, saat terbebas, kita menemukan kita sendirian dalam kerumunan....” “Goyah karena kelebihan indrawi modernitas,” kata yang pertama. “Postmodernitas.” Ada seorang wanita juga. “Tapi tentunya, pada tingkat simbolis, Jack anak yang berkorban,” katanya, “direkatkan ke dalam fondasi untuk menenangkan roh.” Hah? “Kupikir contoh sempurna yang lebih relevan di sini adalah Perseus—Lahir dari perawan yang... Hidup-7 Wajah Tuhan muncul pucat merah di mataku. Aku berkedip dan membuat cahaya datang dan pergi. Aku menunggu sampai napas Ma ada. “Berapa lama kita tinggal di sini di Hidup Mandiri?” Dia menguap. “Selama kita suka.” “Aku ingin tinggal selama satu minggu.” Ma merentangkan tubuhnya. “Kalau begitu, kita akan tinggal selama seminggu, setelah itu kita akan lihat.” Aku menekuk rambutnya seperti tali. “Aku bisa memotong rambutmu dan kita akan menjadi sama lagi.” Ma menggeleng. “Aku pikir aku akan membiarkan rambut panjangku.” Saat kami membongkar barang-barang, ada satu masalah besar. Aku tidak bisa menemukan Gigi. Aku mencari ke semua barang-barangku dan ke seluruh tempat siapa tahu aku menjatuhkannya tadi malam. Aku mencoba mengingat ketika dia di tanganku atau di mulutku. Bukan semalam, tapi mungkin malam sebelumnya di rumah Nenek, kupikir aku mengisapnya. Aku memikirkan hal mengerikan, mungkin akau tidak sengaja menelannya saat tidur. “Apa yang terjadi pada hal-hal yang kita makan jika... Hidup-8 Rasanya sedikit lebih panas setiap hari, Ma mengatakan itu memang terjadi saat April. Kemudian hujan. Dia mengatakan mungkin menyenangkan untuk membeli dua payung dan pergi keluar dengan hujan memantul dari payung dan tidak membasahi kami sama sekali, tapi aku tidak berpikir begitu. Hari berikutnya kering lagi jadi kami keluar, ada genangan air tapi aku tidak takut dengan mereka, aku pergi di sepatu empukku dan kakiku tepercik melalui lubang, itu tidak apa-apa. Aku dan Ma telah membuat kesepakatan, kami akan mencoba semua hal satu waktu agar kami tahu apa yang kami sukai. Aku senang pergi ke taman dengan bola sepakku dan memberi makan bebek-bebek. Aku benar-benar menyukai taman bermain, kecuali kalau ada anak laki-laki meluncur di perosotan di belakangku dan menendang punggungku. Aku suka Museum Sejarah Alam, tapi ternyata dinosaurusnya cuma kerangka yang sudah mati. Di kamar mandi aku mendengar orang berbicara Spanyol, tapi Ma bilang itu adalah bahasa Cina. Ada... Description: Novel karya Emma Donoghue ini menggisahkan pengalaman nyata seorang wanita yang diculik dan kemudian disekap di dalam kamar sempit selama 7 (tujuh) tahun. Selama disekap, sang perempuan dijadiin 'pemuas' si penculik sampe akhirnya melahirkan anak, bernama Jack. Perempuan ini berusaha merawat anaknya dalam kondisi apa pun. Bagaimana kisah selanjutnya, apakah perempuan tersebut berhasil melarikan diri dari si penculik dan membawa anak nya ? dan bagaimana dia beradaptasi dengan dunia luar yang selama ini dia tinggalkan ? Komentar mengenai buku ini : “Eksekusi cerita yang cerdas. Kisah Jack dideskripsikan dengan jelas dan sangat masuk akal.” —New York Times. “Mengharukan dan kompleks.” —The Washington Post Cerdas menggambarkan kondisi psikis anak yang dibesarkan dalam kurungan, membuat pembaca enggan berpaling.”—Publishers Weekly http://www.emmadonoghue.com/books/novels/room-the-novel.html Penerjemah: Rina Wulandari
Title: Ruang Singgahku Category: Slice of Life Text: Tempat bersinggah Setiap orang memiliki tempat untuk bersinggah. Tempat tuk berhenti sejenak. Beristirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Sebuah ruang untuk berkontemplasi tentang arti hidup. Bagiku, setiap lembaran kertas kosong, adalah ruang singgahku. Tempatku menuliskan semua keluh dan kesah dalam pikiranku. Tempatku bercerita; melepaskan segala keluh kesahku. === Menulis adalah caraku berekspresi, tiap halaman buku menjadi tempatku singgah untuk bercerita. === Diabaikan Jika ditanya, hal apa yang rasanya lebih menyakitkan dari sekarat? Jawabannya pasti adalah diabaikan. Setiap orang pasti tak suka diabaikan. Diabaikan sama halnya dianggap tidak ada. Saat diabaikan, tak jarang kita memilih untuk lari, dan menjauh meninggalkan mereka yang mengabaikanmu. Menyendiri, tak ingin bersosialisasi karena takut diabaikan. Karena pada dasarnya Manusia itu adalah makhluk sosial. Yang membutuhkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Bukan untuk menjadi terabaikan. === "Penolakan terpahit itu ketika eksistensimu dianggap ga ada." === Usia Kepala Dua Memasuki usia kepala dua, membuat hidupmu menjadi lebih kompleks. Hidupmu bukan perihal handphone dan aplikasi chat semata. Namun, tentang kehidupan dan masa depanmu Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Prioritasmu telah berbeda. Kau pun telah memikul tanggung jawabmu. Mungkin kamu mulai merasa lelah dari biasanya. Jangan menyerah. Jangan gundah. === Ayo Semangat! Kamu itu kuat. === Selamat Pagi Terima Kasih. Untuk senyumanmu. Untuk tawamu. Berjuanglah. Untuk dirimu. Untuk orang terkasihmu. Jangan menyerah Jangan bersedih. Jangan mati. === Kopi boleh pahit, tapi hidupmu jangan sampai. === Menyoal Waktu Kalau soal berubah. Setiap orang pasti akan berubah, Seiring dengan bergulirnya waktu, perlahan ia pun pasti berubah. === People may can change, but memories do not. === The Unspoken Things Kini semuanya telah berbeda Tak seperti yang kita harapkan Dulu, jarak tak berarti bagi kita, begitu pula waktu. Menghabiskan waktu dengan berbagi obrolan Mulai dari hal konyol seperti kenapa ayam menyebrang jalan, hingga kenapa kita bisa dipertemukan. Kalau dipikir-pikir, banyak hal yang telah kita lalui. Dan semua tersimpan rapi di dalam kenangan. Menjadi kenangan terindah dalam hidup. === Namun, bolehkah kita mengulang sekali saja memori indah di masa itu? === Suka setelah Duka Berduka itu wajar, manusiawi. Salah satu cara untuk meredam luka di hati adalah berduka. Kalau dipendam terus akan menjadi paku, yang nantinya bisa menancap menusuk di dada. Kalau kau jenuh, biarlah aku yang jadi penghiburmu. Penyemangat saat kau terpuruk jatuh. Menjadi pengagummu dalam diamku. Tentang Kita & Jarak Jarak adalah hal yang selalu dipermasalahkan. Ketika dua orang yang dulu sangat dekat saat terpisahkan oleh jarak, maka semuanya akan berubah. Dari yang dulu sangat dekat, akan terasa sangat jauh Kini aku pun selalu bertanya-tanya. Kenapa jarak membuat kita begini? Aku pun menuliskan kegusaran hatiku ini teruntuk kau. Teruntuk kau yang dulu pernah dekat atau sangat dekat dengan diriku. Apakah kita sekarang kita baik-baik saja? Apakah sekarang ada jarak yang membentang di antara kita? Yang tercipta akibat rasa benci ? Atau karena kecewa ? Teruntuk kau yang dulu pernah dekat denganku namun kini terasa sangat jauh. Kenangan itu tak akan pernah terlupakan Goresan memori yang kita ciptakan bersama Akan selalu berbekas Karena ingatan ada untuk dikenang, bukan tuk dilupakan Teruntuk kau yang pernah kubuat kecewa atau mengecewakanku Maaf kan aku atas perbuatanku, dan aku selalu memaafkanmu karena mengecewakanku Aku tak mau kita tidak baik-baik saja karena jarak Jarak yang tercipta karena rasa benci dan kecewa Aku hanya ingin kita baik-baik saja seperti dahulu === Andai kau tahu bahwa aku merindukan dirimu yang dulu. === Tentang Rindu Apa yang kau harapkan dari rindu? Sebuah perasaan yang menghantui dua insan. Saling diam dan mengharapkan, tapi hanya bisa saling mengamati dari jauh. Terpisahkan oleh jarak. Dua dunia yang berbeda. Yang mencoba mencari titik temu. Apa yang menyedihkan tentang rindu? Bisa bertemu, saling mencuri pandang. Namun tak bisa saling sapa. === Membayar rindu memang dengan bertemu, tapi tak begini. === Description: Ini adalah ruang singgahku, melepaskan segala keluh kesahku melalui tulisan.
Title: Rumah Tanah Category: Horor Text: Chapter 1 - Pria Misterius Sebelum baca kebawah mohon bantu vote yah gaess. Kasih vote dan follow . Nanti ku follow back. Support terus agar ceritanya lekas selesai dengan akhir yang takkan difikirkan banyak orang ?? ***************************************** pagi yang redup cahayanya, sedikit berkabut dan matahari enggan melepaskan embun yang masih menempel di dedaunan. Langkah kecil bersepatu kulit eksklusif bergegas keluar pintu rumah menuju garasi dan memilih mobilnya sembari memanggil ajudan nya untuk menemaninya ke suatu tempat. Ya, Bandung saat itu tak seramai biasanya. Hanya sedikit orang yang sedang duduk di taman dan meneguk kopi di warung pinggir jalan sambil menghisap rokok yang mengudara dengan asapnya. Pria gagah ini asyik berbincang dengan ajudan nya yang mengemudikan mobil sambil membuka sedikit jendela untuk melihat suasana kota di pagi hari. Mereka bergegas menuju stasiun Padalarang. Sampai di depan stasiun, ia pun segera memangkas waktunya dengan berlari menuju kursi di peron stasiun. " Tepat jam 07.00 pagi " ucapnya perlahan. Dan ia pun mengeluarkan ponselnya sembari mengetik nomor kontak seseorang. Pak Sofyan namanya, ia seorang insinyur sekaligus arsitek kaya yang memiliki banyak perumahan. Sebagai developer ternama ia saat itu sedang sibuk menunggu kedatangan kliennya. Klien itu tak segera tiba sesuai schedulenya, ia mulai merasa gelisah dan menatap ponsel sambil mencoba menelepon kliennya berulang kali. Sepertinya ia sedang terobsesi untuk mengerjakan proyek perumahan mewah lagi dengan klien tersebut. Namun sayang saat telepon diangkat, sang klien hanya menjawab dengan " pak, maaf saya rasa proyek perumahan itu harus di cancel karena sulitnya pemberian izin dan legalisasi surat tanah. Lebih baik kita akhiri saja disini " jawabnya. " tapi kita sudah deal dan saya sudah menandatangani kontrak proyek perumahan baru ini. Kenapa harus tiba tiba ada kabar begini? " sahut pak Sofyan dengan nada keras dan sedikit bersedih. Tak lama kemudian telepon pun ditutup paksa. Setelah lima belas menit waktu berselang lamanya, ia pun bangkit dari kursinya. Namun, tiba tiba tangan sosok di sebelah kirinya pun menahannya pergi. Seseorang dengan wajah kusut, berjenggot tebal, berkacamata dan berparas polos itu membuat pak Sofyan sontak terkaget kaget. " siapa orang ini? " jawabnya dalam hati. Entah mengapa pak Sofyan kembali duduk dan tak segera meninggalkan tempat itu. " bapak sedang membutuhkan sesuatu untuk proyek besar ya pak? " tanya sosok misterius itu. " iya pak. Memangnya bapak siapa kok tiba tiba menahan saya seperti ini? " jawab pak sofyan dengan bingung. " tak perlu tahu saya siapa. Saya hanya ingin berbagi hal besar untuk anda pak. Saya ada sebentang lahan sekitar 12 hektar namun lokasinya tak jauh dari kota ini. Tak jauh pula dari perkampungan dan area publik. Semoga bapak berkenan untuk bisa sefikiran dengan saya. " jawabnya meyakinkan pak Sofyan Tentu karena sangat bingung pak Sofyan pun tak menghiraukan kata katanya. Lalu menenteng kopernya untuk segera pergi. Namun, lagi lagi sosok misterius itu mengejarnya. Dan berkata " pak saya tak butuh uang untuk itu semua. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu" Langkah pak Sofyan kembali terhenti dan berfikir keras tentang hal ini. Ia pun mencoba mendengarkan sejenak apa yang ingin sosok misterius itu sampaikan. " baiklah. Jelaskan pada saya apa yang bapak mau dan bapak harapkan dari saya. Tentu tak mungkin saya mempercayai orang asing dan saya sama sekali tak ingin tahu tentang bapak " " tenang pak, saya hanya ingin memberikan aset saya itu pada bapak. Karena saya rasa waktu saya sangat sempit dan saya takkan salah memberikan itu pada bapak karena menurut saya bapak orang yang tepat " jawab sosok misterius itu meyakinkan. " apa?! " " apanya yang tepat? " " tak usah pak, saya tidak mengharapkan apa apa pada orang asing " jawab pak Sofyan tegas. " pak saya berikan aset itu, mohon jaga amanat saya, pergunakan dengan baik, karena waktu saya sangat terbatas " jawab sosok itu tegas pula . Dengan sedikit memaksa ia mengeluarkan semua surat dan dokumen asetnya pada pak sofyan lalu beranjak pergi menjauh dengan terburu buru. Karena tak sempat mengejarnya. Sosok itu pun lolos dari pandangan pak Sofyan dan menghilang di balik kerumunan orang. Dengan berat hati pak Sofyan menyimpan file file itu dan ingin mencari tahu siapa sosok itu sekaligus mengembalikan dokumen itu kembali. Berbulan bulan lamanya. Pak Sofyan tak kunjung menemukan keberadaan sosok itu dan menceritakan hal ini pada istrinya. Karena sudah mulai pasrah, pak Sofyan pun penasaran dengan lokasi tanah yang diceritakan sosok itu dulu. Lalu meminta ajudannya mengantar sesuai titik lokasi. Tepatnya di dekat Tanjakan Emen, Kabupaten Subang. Betapa kagetnya ia melihat lokasi yang tercatat itu. Karena lokasi itu terkenal angker dan tak layak untuk dihuni. Sedangkan lokasinya pun jauh dari perkotaan . Tak sesuai seperti yang diucapkan sosok misterius itu. Untuk mengobati rasa penasaran, ia tetap bersikeras kesana untuk melihat titik lokasi secara detail. Sesampainya di lokasi ia hanya melihat sebidang tanah seukuran 50 x 75 m². Yang kemungkinan hanya mampu untuk membangun dua rumah berjajar saja. Namun ia mencoba menghilangkan pikirannya itu untuk tetap fokus pada amanat sosok misterius itu. Mau tidak mau ia mencoba memikirkan apa yang bisa ia lakukan dengan tanah itu hingga dalam hati teringat akan pernikahan putrinya yang tinggal enam bulan lagi. Entah apa yang terbersit dalam pikiran pak Sofyan, ia tiba tiba ingin membangun sebuah rumah di lokasi itu untuk hadiah pernikahan putrinya kelak. Hingga ia dan istrinya berfikir sama lalu segeralah mereka menyetujui tanah itu untuk segera dibangun rumah. Selama lima bulan lebih dua minggu dengan pembangunan yang ekstra cepat. Maka terwujudlah rumah dua lantai yang megah dengan taman dan kolam renangnya yang indah menjadi sesuatu yang diharapkan akan berharga untuk putrinya kelak. Pak Sofyan dan istrinya tentu merahasiakan hal ini hingga hari pernikahan putrinya terjadi. Tinggal menunggu waktu. Setelah puas melihat hasil rumahnya yang indah lalu pak Sofyan beranjak pergi dari tempat itu. Masuk kedalam mobilnya dan bergegas pulang. Setelah mereka sampai di rumah, karena jam sudah larut malam. Maka mereka pun tertidur pulas. Tanpa sedikitpun membahas hal ini di depan putrinya yang saat itu sedang asyik bermain ponsel di depan TV. Dan, dimalam yang sama. Ibu Sandra, istri pak Sofyan tiba tiba saja terbangun karena mimpi buruk. Ia bermimpi ada sekumpulan burung gagak yang bertengger di atap rumah mereka dan hujan darah membanjiri rumahnya. Tapi ia coba tak menghiraukan mimpi itu. Dan kembali terlelap. ***********Next Chapter*********** Chapter 2 - Pernikahan Jam 07.15 pagi. Perumahan Santos Elegance, di daerah Dago, Bandung. kediaman pak Sofyan sekeluarga. Terdengar perbincangan kecil di ruang tengah. " Anita, dua hari lagi adalah hari terindahmu, pernikahan dengan lelaki yang kamu cinta sejak lulus kuliah. Apa kamu sudah siap sama semua ini? " tanya bu Sandra saat Anita sedang sibuk melipat seragam kerjanya dan mempersiapkan undangan untuk teman temannya. " ya siaplah ma, emangnya mama kurang setuju dengan mas Donny? kan dia orangnya baik. Udah gitu juga ga jarang kan perhatiin mama? " jawab Anita dengan balik bertanya pada ibunya. " ya ngga gitu, maksud mama. Apa nanti kamu udah siap dengan segala resiko untuk menjalani dan nerima si Donny apa adanya? Kan dia juga kadang sibuk, kerja jadi manager seperti dia kan ga selalu stay dirumah. Kadang mesti keluar kota atau negeri buat nyelesain kerjaannya " jawab bu Sandra sambil menyisir rambut Anita. " iiih.. Mama ngeselin dehh.. " " ya kalo ga siap ngapain juga Anita harus siapin sampe sejauh ini ma ? " " lagian kan Anita juga sama sibuknya kalo mas Donny lagi kerja, kan Anita di Rumah Sakit juga kadang sibuk nanganin pasien jadi kerja kadang juga sama, sampe larut malam " jawab Anita dengan sedikit kesal. " ya udah ya ma. Anita kerja dulu takut telat nih. " sahut Anita singkat. " iya sayang, ya udah berangkatnya hati hati yah. Mobil kamu dah jarang dicuci tuh. Bersihan dikit dong " jawab bu Sandra selagi menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi. Paras cantik Anita dengan titel dan seragam kebanggaannya pun turun dari tangga dan menemani orang tua nya yang tengah menikmati sarapan pagi. " kamu ngga telat nih? Udah hampir 07.58 loh. Kan masuknya jam 08.00 ? " tanya pak Sofyan dengan putrinya. " ngga pa, kan kemarin sudah ada anjuran untuk beberapa dokter diperpanjang hingga malam jam kerjanya untuk menangani pasien Covid-19. Jadi ntar kaya nya Anita sampe malem deh. " ujar Anita santai. " jangan kebut kebutan yah. Awas kalo ntar ada apa apa kita juga yang bingung loh. Kenapa ga minta cuti aja sih kan dua hari lagi kamu harus nikahan? " tanya bu Sandra " iya ma . Gampang mah masalah itu. " sambil melahap roti bakar ia pun bergegas berangkat dan mencium pipi kedua orang tuanya. Lalu menuju garasi. Brumm .. Brumm.. Toyota Fortuner yang masih mulus walau keluaran 2019 itu berjalan lirih keluar pagar rumah dan beranjak pergi melewati jalan aspal. Dari Dago menuju jalan Ir. H. Juanda arah Rumah Sakit Santo Borromeus. Disanalah Anita bekerja sebagai Dokter Muda Spesialis Penyakit Dalam dan Pernapasan. " eh cin, kamu baru dateng? " " Adit baru aja dapet kabar buruk loh. " tanya Fina teman baik Anita disana. Adit yang dimaksud adalah dokter muda di Spesialis yang sama yang baru berkarir disitu setelah dipindahkan dari Rumah Sakit Kebon Jati. " iya baru aja nyampe kan cuma telat 20 menitan. " jawab Anita. " emang si Adit kenapa? " tanyanya lagi. " Adit tuh diidentifikasi kena penularan Covid-19 loh!! Tau ga sih, kita tuh besok dah ga kerja dulu sementara karena menurut Pak Hendra kita dirumahkan sementara untuk menjaga kesehatan kita selaku dokter muda supaya tidak semakin menyebar! " jawab Fina dengan ketakutan. " Ya tuhan, serius kamu??! " tanya Anita tegang. " iya seriusan. Makanya kita dua jam lagi ada rapat besar nih. Gimana coba nasib kita. Kamu sih enak dua hari lagi malah nikahan. Eh jangankan minta cuti kita dah keburu diliburin " jawab Fina kencang. // " seluruh tim medis dan dokter diharap menuju ruang A-22 untuk menghadiri rapat internal Rumah Sakit " // suara yang muncul dari mikrofon Resepsionis Rumah Sakit. " hey kalian. Ayo cepat masuk " pak Hendra berkata dengan muncul tiba tiba di belakang pintu. " i.. Iya pak. Kami kesana sekarang " jawab Anita dan Fina bersamaan. Seluruh tim medis berkumpul di ruang A-22 dan rapat pun berlangsung untuk membahas dampak Covid-19 yang menyebar di rumah sakit. Hal ini menjadi beban baru yang mengharuskan rumah sakit merekonstruksi kembali susunan kerja di bulan depan. Hingga rapat selesai Anita dan Fina pun berusaha menengok Adit yang menjadi pasien baru dengan mengintip melalui kaca pintu Ruang Isolasi. " kasian si Adit yah cin. Trus ini gimana kita. Apa kita ga sebaiknya aja ngajuin diri untuk berhenti ngurusin pasien Covid-19. Aku takut loh cin " Ucap Fina ketakutan lagi. " jangan deh. Mending kita ikutin aja prosedur yang ada. Karena itu juga bakal bahayain karir kamu disini Fin. " jawab Anita. Sementara dari sudut lorong pak Hendra memanggil mereka untuk kembali bekerja dan menghindari Ruang Isolasi. " Fina ! Anita ! Ngapain kalian disana. Cepat kerja lagi. Jangan acuhkan pasien kita. Tetap pakai masker dan disinfektan. Nanti kita harus pulang lebih awal. Karena besok kita harus merekonstruksi seluruh tim disini. " jawab pak Hendra. Lalu beranjak lah mereka ke ruang sibuk para pasien. Dan memulai aktifitasnya. Hingga matahari terbenam, Anita pun pulang bersama Kevin, Fina dan Santi menuju rumah masing masing. Menuju parkiran mobil. Anita menenteng tas kecilnya dan turun menaiki lift ke lantai UG. setelah membereskan pekerjaan dan semua berkasnya. Dua hari berlalu dan inilah saat yang dinantikan keluarga pak Sofyan dan bu Sandra. Inilah pernikahan Anita dan Donny. Berlangsung selama 7 jam dan suasana indah itu diadakan di taman kediaman mereka. Gaun putih yang anggun disertai wewangian bunga yang menghiasi spot pernikahan mereka. Dunia terasa milik berdua. " Anita, Donny.. Papa ingin menyampaikan sesuatu. " kata pak Sofyan berbisik pelan. " apa itu pa? " jawab mereka berdua. " papa dan mama ingin memberikan kado pernikahan spesial untuk kalian. Yaitu rumah yang sudah papa persiapkan untuk kalian tinggali nanti. Tolong dijaga baik baik. Semoga kalian bahagia " jawab pak Sofyan " hah? Benarkah pa? " tanya Anita " ya. Besok kita kesana. Biar kalian tahu " jawab pak Sofyan " semoga bahagia ya kalian " bu Sandra ikut menambahkan. " terimakasih pa, ma.. Atas semuanya. Kalian memang yang terbaik " jawab Anita diikuti senyum bahagia sang suami. ************Next Chapter************ Chapter 3 - Rumah Baru Rerumputan di tebing itu dihembus angin dan suara kicau burung, tak ada sedikitpun orang yang tersadar bahwa betapa sepinya suasana di sekitar rumah itu. Tak ada tetangga, tak banyak kendaraan lalu lalang. Hanya gemericik suara air sungai mengalir dan pepohonan pinus yang lebat di belakang rumah. Sedikit menjorok ke belakang pula tebing terjal menjauhkan kesan dari ramainya kota. Hanya beberapa lalu lalang petani tua yang sibuk mengumpulkan rumput kering dan kayu bakar untuk dijual. Dan, tak banyak orang yang tahu lokasi itu bisa dijamah sebelum dipangkas menjadi rumah mewah seperti itu. Yang sebelumnya hanya lahan kosong di bawah bebatuan. Bahkan warga kampung seberang pun jarang melewati daerah itu terkecuali untuk mencari ikan. Sungguh daerah yang sangat asing bagi penduduk sekitar. Itulah yang menyebabkan pak Sofyan sekeluarga dipandang aneh saat melewati jalan itu dengan mobilnya. Beberapa kali tatapan mata mereka terkesan cuek dan sinis. Mungkin karena dianggap sama asingnya. " horeeee... Waaah bagusnyaa.. " kata Anita dengan girang. Melihat rumah mewahnya dibangun dengan sempurna. " sudah sudah. Ayo kita lekas masukin barang barang ke rumah baru. Kan ga enak juga ama papa kalo ditungguin lama lama. Yuk " ajak mas Donny suami Anita sambil menarik lengannya masuk ke dalam rumah.. " lihat interiornya dan semua perkakasnya nak, itu kado spesial kita untuk kalian " kata pak Sofyan menambahkan. " ya ampun papaa.. Apa ini ngga berlebihan? Semuanya dilengkapin kaya gini? " tanya Anita dengan bingung. " iya pa. Kami bisa kok cicil isiin barang sedikit demi sedikit . Kasihan papa kalau begini. " ucap Donny " ga ada masalah nak. Yang penting bahagia " jawab pak Sofyan. " ini semua juga berkat kalian yang sudah bisa memberikan apresiasi untuk kita. Semoga berjodoh dan bisa menjalankan sebaik baiknya. " imbuh bu Sandra " ya udah yuk mulai angkatin barang kita. " ajak Donny ke Anita Setelah memindahkan seluruh barang yang masih acak acakan. Mereka pun makan bersama dan menikmati semua sudut rumah dengan berjalan hingga maghrib pun menjelang. " sudah ya, papa sama mama mau balik pulang. Kalian baik baik disini semoga betah dan selamat menjalankan kehidupan baru " ucap pak Sofyan sambil memapah bu Sandra menuju mobil. Karena pak Ridwan ajudan nya sudah menunggu terlalu lama di teras depan. " makasih papaaa.. Love you pa.. Ma " ucap Anita sambil memeluk kedua orang tuanya. Dan menemani mereka menuju gerbang depan. Setelah itu mereka kembali setelah mengunci pagar. Barulah mereka mandi dan beranjak tidur seperti biasanya. " mas, rumah ini gede banget yah. Beruntungnya kita masih diperhatikan sama orang tua kita. Moga moga mereka sehat selalu. " kata Anita ke Donny sambil memainkan bantal di atas kasurnya. " iya. Yah semoga aja gitu dan semoga aja rumah ini membawa berkah yang baik " " amiiinn.. " ucap Donny " amiinn " jawab Anita. Lalu mereka pun memejamkan mata tertidur pulas. Ditengah tidurnya yang lelap. Dimana waktu menunjukkan tepat jam 02.00 malam. Anita tiba tiba bergumam dalam tidurnya dan merasakan panas di kaki dan tangannya. Ia gelisah dan bergerak sesak seakan sulit bernafas. Ia mengalami mimpi buruk.. Mimpi yang menyeramkan yang dirasakannya padahal baru saja sehari tinggal di rumah itu.. " aaaammm... Jangaan apa itu.. Siapa itu?? Jangan menakutiku.. Siapa kamuu? " teriaknya di hening malam yang membangunkan suaminya. " hey hey hey.. Ada apa. Apa kamu sedang sakit? Kenapa sepanas ini??! Kenapa bergumam saat tidur. Apa yang kamu mimpiin?? " tanya Donny kebingungan.. " entah mas. Baru saja aku mimpi seakan terjatuh dalam banget di suatu lubang dan disana aku dihantui sosok aneh.. " kata Anita dengan takut dan berkeringat. " mungkin cuma perasaan kamu aja. Udah tidur lagi yah. Besok kerja pagi kan? " tanya Donny Lantas mereka mencoba tidur kembali. Dan selang sejam. Lagi lagi anita bermimpi buruk lebih jelas dari sebelumnya. Ia setengah sadar. Seakan dia terbangun padahal tertidur. Ia seakan berada di kamar kosong dimana mas Donny tak ada disitu. Ia mencoba menyadarkan dirinya dengan menampar pipinya sendiri dan bertanya dalam hati dimana sebenarnya ia berada.. Tiba tiba ada suara aneh yang seakan merangkak dibawah kasurnya. Dengan mencoba melelapkan mata ia bersembunyi dibalik selimutnya. Walau ia sadar sosok itu ada dan bersanding di belakangnya. " ga mungkin.. Aku ada dimana ini?? Ya Tuhan. Dia dibelakangku.. Sosok apa ini... Suaranyaaa.. " Anita sadar sosok itu mencoba mencengkeram punggungnya dan berada dibelakangnya. Ia berteriak tapi susah mengeluarkan suaranya " mas Donny.. Maass. Tolong aku dimana kamuu?!!! " " aku takuut apa ini?? " teriaknya namun seakan suara itu menjepit lehernya.. Sungguh terbelalak mata Anita saat melihat sosok itu semakin dekat di belakangnya . Seakan ia bisa melihat kebelakang tanpa menoleh sedikitpun.. Di dimensi lain, Donny suami Anita pun mengalami hal yang sama. Seakan dia tidur sendiri . Dia bingung dan menyangkal Anita pergi dari kasurnya dan mencari keberadaan Anita. Donny mencoba keluar kamar dan turun ke lantai bawah. " Anitaa.. Anitaa.. Dimana kamu. Kenapa terbangun sendiri. Apa kamu dibawah?? " teriak Donny kencang sambil berlari menuruni tangga. Sampai di ujung ruang tamu. Pandangan Donny tertuju di pintu kamar mandi bawah. Ia merasa ada suara air gemericik dan keran air mengucur deras. Apakah Anita berada disitu. Ia mencoba berfikir mengiyakan. " Anita, kamu di kamar mandi kah?? Kenapa harus disitu? Kan dikamar ada?? " teriak Donny di tengah malam. Namun tak ada sedikitpun suara menjawab pertanyaan Donny. Hanya suara perempuan yang bernyanyi lirih yang terdengar di dalamnya. Ia semakin penasaran dan mencoba mendekati pintu itu karena ia yakin itu Anita. Ia khawatir Anita tak kunjung keluar. Malah mungkin hanya bermain main. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Karena mengikuti berhentinya pula suara nyanyian itu. " Anita, udah deh ga usah main main. Di dalam kamar mandi berlama lama dan berpura pura ga denger suaraku. Ayo kita balik tidur. " ucap Donny ke arah pintu itu.. Tiba tiba Donny terpental . Dan terjatuh ke lantai. Ada aura aneh yang melempar Donny menjauh dari pintu kamar mandi itu. Di sisi lain, di dimensi berbeda Anita yang ketakutan melompat dari kasur dan mencoba meyakinkan sosok itu. Namun sayang ia tak melihat apa apa.. Ia hanya melihat kamar nya sepi. Sehingga melaburkan keyakinannya tentang apa yang baru ia alami. " mas Donny.. Maaaasss dimana kamuu?! " teriak Anita kencang. Entah apa yang terjadi, seluruh ruangan yang mewah itu berubah menjadi rumah tua dan reyot. Betapa takutnya Anita saat itu. Ia mencoba berdoa dan meminta pertolongan Tuhan melalui doa. Dan Alhasil tiba tiba suasana berubah kembali menjadi rumahnya yang semula. Mewah dan indah.. Dengan bergegas ia masih tak percaya karena ia melihat sendiri mas Donny masih tak ada di kasurnya. Ia pun berlari menuruni tangga dan melihat Donny terkapar tak sadarkan diri di lantai bawah.. Ia mencoba membangunkan Donny suaminya.. " mas mas.. Masss.. Bangun.. Kamu kenapa?? Ya Tuhan ada apa ini?? Mas bangun tolong jangan bikin takut akuuu.. " isak tangis Anita ketakutan dengan hal yang baru ia alami dan rasa khawatirnya tentang keadaan mas Donny. Tak lama dengan batuk batuk Donny pun terbangun dan sadar dari pingsan nya.. " Anita.. Apa yang terjadi barusan. Apa kamu alami hal aneh? Aku liat kamu ga ada di sampingku.. " tanya Donny.. " iya sama.. Sumpah aku bingung mas ada apa ini. Besok kita harus ceritakan ini sama papa dan mama.. " jawab Anita terengah engah.. Dan entah kenapa mereka berdua masih tidak sadar bahwa keberadaan mereka berdua sekarang ini masih ada di dalam dimensi lain. Hingga salah satu dari mereka membaca doa lalu tersadarlah mereka dari bangun tidur yang sesungguhnya. Dan mereka membuka mata bersamaan. Barulah mereka menyadari mereka baru benar benar terbangun di dunia nyata. Dengan keadaan yang sama sama di atas kasur dan terengah engah. Malam itu menjadi saksi bagi mereka untuk pertama kalinya mengalami hal aneh di rumah itu.. ***********Next Chapter*********** Chapter 4 - Wanita Bermuka Rata Minggu 26 April 2020, Jam 2 siang, Gazebo taman, Rumah pak Sofyan. Anita dan Donny berbincang serius dengan pak Sofyan dan menceritakan secara detail kejadian yang mereka alami semalam. Sambil menyirami bunga, bu Sandra menengahi untuk ikut mendengarkan dan menyimak pembicaraan. " kalau papa ga percaya ya udah. Anita bisa apa lagi? Toh juga yang tau asal usul rumah itu kan papa?! " bantah Anita. " bukannya papa ga percaya nak. Tapi papa bangun rumah itu juga sudah maksimal kalaupun gangguan itu ada itu juga diluar nalar kita. Memang mereka ada dan hidup berseberangan. Cukup doakan saja dan selalu berdoa " jawab pak Sofyan " sebenarnya apa kamu jarang ibadah di rumah? Karena itu penting loh. Makhluk begituan ga bakal berani nakutin manusia yang sering ibadah khusyu " jawab bu Sandra " mama iiiihh.. Mana mungkin juga sempet ibadah di rumah kan di tempat kerja udah kelar. Kita mah di rumah cuma tinggal tidurnya aja. Kalopun bangun itu juga buat makan malam kalo laper ma. " sahut Anita " Donny, kamu harus bisa menjaga Anita. Apapun itu di keluarga dan kehidupan baru ini harusnya kamu yang menguatkan " pangkas pak Sofyan " iya pa. Donny paham . Ini mungkin faktor kelelahan kita aja selepas kerja. Ya positive thinking aja lah pa. Mungkin sekedar perkenalan. Namanya juga rumah baru " jawab Donny sambil tersenyum. " tapi perkenalannya ngeri banget sih mas aku takut tau " jawab Anita " udah yang penting kalian jaga diri. Kalaupun ada jangan dihiraukan. " sahut pak Sofyan " eh emang. Apanya yang serem sih. Sini mama pengen tau. Pengen buktiin kalo emang ada. Kalo mama sih penasaran malah ama makhluk gituan. Kalo perlu pengen ketemu aja sekalian hehe " canda bu Sandra ke mereka semua. Sambil tertawa " mama.. Ga boleh gitu. Apaan siihh " jawab Anita tegas " ma. Kalau bicara hati hati. Mending jangan mengganggu atau membahas makhluk lain. Ga bagus. Pamali " kata pak Sofyan " ya ampun. Kan cuma becanda. Kenapa kalian malah sewot sih.. " sambil mengangkat pot bunga dan menata nya di greenhouse. Lalu pergi masuk ke rumah. " mama tuh bahaya kalo ngomong suka ngawur " kata Anita " husss ga boleh gitu " sahut Donny Lalu mereka semua berpamitan dan kembali ke rumah masing masing. " mas nanti mampir ke supermarket yah.. Aku mau beli sosis, keju, telur, sama kebutuhan dapur lah. Yang deketnya Bank HSBC aja yah.. Biar ga jauhan " kata Anita dalam mobil saat Donny sibuk mengemudi " iyah. Sekalian aku nitip rokok yah.. Asem banget nih mulut ga ngerokok dua hari " imbuh Donny sambil memutarkan setir nya ke kanan. Dan berbelok menuju ATM Saat Donny sibuk mengambil uang di ATM. Tampaknya Donny kesusahan dia tampak menunggu lamanya uang di proses sedangkan kartunya terlanjur masuk ke mesin. Di mobil Anita menunggu Donny sampai bosan Seketika ada bau amis dan busuk dari belakang jok mobil.. Bau itu menusuk Anita sampai ia mau muntah. Ditambah dari cermin dashboard Anita sempat melihat sosok perempuan dengan wajah hancur rata dan penuh darah duduk di jok belakang sambil membuka mulutnya yang lebar. Karena takut Anita spontan berteriak dan histeris. Anita mencoba keluar mobil namun seketika mobil mendadak terkunci rapat dan tak bisa dibuka. Jendela pun tak bisa dibuka. Mesin mobil mati. Anita tampak lemas dan mencoba berteriak sambil mengarahkan tangannya memukul jendela agar Donny mampu melihat ia sedang meminta tolong. " mas Donny .. Maaaas tolooong.. Tolong akuuu aaghrhhb aaaaaahhhhggg.!!!! " ia merasa seperti tercekik lehernya. Makhluk itu masih duduk di jok belakang dan berusaha mencengkeram mulut Anita.. Anita hampir mati. Hampir saja kehabisan oksigen.. Sedangkan di pandangan mata Donny yang sempat menoleh ke mobil melihat Anita, ia bahkan sempat tersenyum karena ia melihat Anita baik baik saja. Entah mungkin makhluk itu menutupi matanya dengan pandangan ghaib agar ia tak bisa melihat fakta sesungguhnya. " haapp yes. Baru nih keluar. Duit susah amat diambil. Lanjut jalaann " ucap Donny sambil berjalan arah mobilnya. Kagetlah Donny melihat kondisi mesin mobil mati dan Anita di dalam nya. Ia bergegas membuka mobil dan melihat Anita lemas di jok depan.. Dengan bantuan memijat pergelangan tangannya dan menyalakan mesin mobil lalu memberikan udara untuk Anita, maka sadarlah dia. " hey sayang kamu kenapaa.. Maafin Donny kelamaan.. Kamu gapapa kan?? Ya Tuhan.. Donny khawatir. " tanya Donny ke Anita " haahh.. Anita kenapa emangnya mas.. Kok lelah ya rasanya. Anita gapapa kok. Mungkin baru aja ketiduran " jawab Anita menyimpan ketakutannya untuk menjaga perasaan suaminya agar tidak ikut khawatir. " ya udah.. Sekali lagi maaf ya sayang " jawab Donny " iya mas. Yuk cepet balik. Pengen masak aku. Mampir yah ke supermarket " ajak Anita " iya " jawab Donny. Berangkatlah mereka ke supermarket di tengah kota. Dan lekas berbelanja. Setelah itu pulang menuju rumahnya.. Di rumah, Anita masih merasa merinding. Sambil mengiris sosis dan bawang putih ia mencoba merahasiakan ketakutannya dari Mas Donny yang sedang duduk di sofa dan merokok di depan TV sambil terbahak melihat serial film favoritnya. " aku harus gimana nih " umpat Anita dalam hati " maass. Tolong bantu aku bentar yah. Ini tolong mas ambilin bumbu dapur yang kelupaan tadi masih kutaruh di mobil. Kayak nya ketinggalan deh " pinta Anita ke Donny " oh oke. " sahut Donny selagi menuju garasi Di garasi Donny bersiul kecil untuk menyamankan dirinya dari suasana yang teramat sepi. Maklum di daerah itu jam 06.00 maghrib sudah benar benar sepi. Mungkin hanya sedikit lalu lalang kendaraan. Itupun Bis Antar Kota yang terkadang melewati jalan itu. " nah ini dia belanjaannya " ucap Donny sambil tetap bersiul siul. Belum sempat keluar garasi. Ia dikagetkan dengan suara bayi menangis di sudut belakang. Ia tak berani menoleh atau menghiraukan suara itu. Ia tetap berjalan menuju garasi yang luasnya cukup untuk empat mobil. Lagi lagi ia dikagetkan dengan lampu garasi yang padam tiba tiba. Karena kaget ia pun spontan berlari menuju teras depan. Dan langkahnya terhenti mendadak karena ia melihat seseorang yang berdiri di depan pagar rumahnya.. " ya Tuhan apa itu????!!! " ucap Donny, ia takut sekali Sosok perempuan cantik berambut panjang hitam legam dengan gaun putihnya. Tersenyum manis dan melambaikan tangan seakan mengenal Donny. Sosok itu terlalu cantik dan membius Donny untuk tak bisa berhenti menatapnya. Bahkan tetap cantik dalam kegelapan dibawah rindang pohon Pinus. Donny terperanjat untuk mendekati sosok itu. Langkah kakinya perlahan sambil matanya enggan berkedip. Ia seperti kerasukan dan susah untuk mengontrol tubuhnya. Karena merasa terlalu lama Anita pun berlari ke teras menuju garasi untuk mengamati Donny. Ia kaget melihat Donny hampir saja memanjat pagar lalu bersiap untuk melompat ke tebing dari sisi pepohonan pinus. " Mas Donnyy.. Maaaas!!!!! Apa apaaan maaas??!! Sadaaarr!! " teriak Anita sambil berlari menahan kaki Donny untuk melompat lalu sadarlah Donny dan berucap terbata bata.. Mereka lagi lagi bingung dengan kejadian kedua di rumah ini. " apa yang kamu lakuin mas? Kenapa gitu. Kaya mau lompat bunuh diri gitu??!! " tanya Anita sedikit keras " sumpah aku aja ga tau apa yang aku lakuin dan apa yang terjadi. Aku bingung aku tadi kenapa disitu " jawab Donny kebingungan Lalu mereka masuk ke rumah sambil menenangkan diri. Donny bercerita ia melihat sosok wanita cantik Dan Anita mulai menceritakan kejadiannya tadi di mobil. Karena mereka sepertinya merasa melihat wanita yang sama tapi dengan keadaan yang berbeda " sumpah deh besok kita harus panggil paranormal untuk usir makhluk jahil itu " umpat Anita karena kesal " biarin lah sayang. Mending sekarang kita coba ibadah malam dulu. Kita makan masakan kamu lalu ibadah malam terus tidur yah. Besok Senin udah waktunya aku kerja juga persiapan buat monitorin ke luar Kota loh " jawab Donny " haah? Kamu mau keluar kota? Ninggalin aku sendiri gitu?? Ga ga .. Aku ga bisa tidur sini sendiri. Kalo kamu keluar kota aku tidur di rumah papa mama.. Yah " jawab Anita ketakutan " iyah iyah mending kamu disana aja dulu " sahut Donny Mereka makan dan terlelap tidur setelah ibadah malam. Malam kedua membuat mereka semakin yakin rumah itu berhantu dan bermasalah. ************Next Chapter*********** Chapter 5 - Nyawa Yang Tenggelam " tin tin tiiinn " bel mobil Anita di pintu pagar rumah papa setelah teleponnya tak kunjung diangkat. Hanya pak Bambang dan Mas Rizal yang keluar membukakan sembari bertanya " mama kamu keluar non. Kaya nya sih di rumah neng Selvi, tapi bapak ada di dalam lagi istirahat di sofa belakang. " jawab mas Rizal. " ah iya seh kan dari tadi juga udah di telpon tapi ga ngangkat. Kirain lagi apa eh ya udah kalo lagi tidur mah. " jawab Anita. " pak Donny mana non? " tanya pak Bambang sambil membersihkan teras depan. " ke Jambi dia nya. Lagi ada urusan kerjaan tuh. Ya udah tolong bilangin mbak Watik yah suruh buatin nasi goreng. Aku lapar. " sahut Anita ke pak Bambang. " siap non " sahut pak Bambang. Ia berjalan masuk menuju sofa hijau di depan mini bar. Dan memeluk papanya tiba tiba. Maka tersenyum dan ramah tamah sang papa tersemai di bibirnya. " maaf nak papa ketiduran. Oh iya mama mana? Kok papa ga liat dari pagi sampe sore ini? " tanya pak Sofyan ke Anita " lah mana Anita tau pa. Kan papa tau juga Anita baru aja pulang kerja. Mas Donny aja baru berangkat pa . Tadi sejam di bandara katanya keberangkatan sempat pending tapi ga jadi. " ujar Anita " maaf pak. Tadi ibu titip pamit ke saya katanya ada janji ke bu Selvi mau urusin butik baru ibu yang di Bogor. " kata mas Rizal menambahkan sambil mengelap meja makan. " butik apa lagi? Oh apa yang kapan hari mau jual online tapi salah kode produk itu ya. Hemm kenapa ga laporan ke saya? " tanya pak Sofyan " mungkin karena bapak tadi sedang tidur. " ucap mas Rizal Pak Sofyan menerima chat Whatsapp dari bu Sandra dan berkomunikasi dengannya sejenak. Lega sudah hati pak Sofyan mengetahui kabar istrinya memang di rumah temannya melalui kirim lokasi. " non. Nasi gorengnya " ucap mbak Watik sambil menyiapkan makan untuk Anita " iya mbak makasih ya " sahut Anita. Sambil lahap memakan nasi goreng, Anita pun mengatakan ia ingin menginap disitu selama mas Donny masih di luar kota karena rasa takut yang teramat dalam. ------- " selvi mana si Agustin dan Risma? Katanya mau ikut join nih bisnis. Kalo ga jadi ya udah. Bukannya jadi malah ajak hangout ke Bali gimana sih? " kata bu Sandra " yaelah kaya ga paham mereka aja. Kan pikiran mereka cuma vacation doang. Bukannya sukses malah minus kalo kumpul mereka sis, kecuali kalo hangout ya happy banget. Mereka kan traveler sejati. Ajak lah kemana gitu " sahut bu Selvi sambil ngakak " bentar bentar. Aku coba deh kontak mereka " kata bu Sandra Setelah mengetik chat ke temannya mereka pun janjian bertemu di cafe Solemaze. Dan berbincang sekitar 15 menitan. bu Sandra akhirnya memutuskan untuk pindah lokasi untuk have fun bersama ketiga sahabatnya. " eh eh, gimana kalo kongkow nya di rumah anak aku aja. Bagus kok rumahnya bisa asik asikan masak sambil nonton home theater. Kalo demen renang silahkan aja ada kolam tuh dibelakang. " kata bu Sandra ke ketiga sahabatnya. " ah boleh tuh " jawab ketiganya. Akhirnya mereka sampai di pagar rumah Anita dan melihat pagar rumah kok tidak terkunci. Maka untuk itu mereka langsung masuk tanpa berfikir dua kali. Meskipun sebenarnya hal ini ganjil bagi bu Sandra ia berhenti untuk menghubungi Anita bahwa ia berada di rumahnya. Karena pikirnya esok ia akan pulang ke rumah dan Anita pasti sedang menginap di rumah mereka. Asik asikan ber kongkow ria sambil karaoke di mini karaoke mereka lanjut memasak dan melihat film di home theater dan kedua sahabatnya Agustin dan Risma berpamitan untuk pulang. " lah kamu kenapa ga ikut nginep aja? " tanya bu Sandra " engga deh sis. Kan kamu tau sendiri aku ada laki. Dan lagian tahu sendiri kan diluar gelap kalo kemalaman aku ngeri deh lokasi ini kan juga angker katanya. " sahut bu Agustin sedikit gugup. " ah kamu percaya aja ama yang gituan " jawab bu Sandra. Sekelebat bayangan putih lewat di belakang bu Sandra dan bu Selvi. Mata bu Risma terbelalak diikuti dengan tangan bu Agustin yang menggenggam erat tangannya untuk memaksa lekas pulang. Mereka tak sanggup berkata kata untuk menyimpan fenomena itu. Agar kedua sahabatnya itu tidak takut juga. " sis duluan yah udah malem. " " iyah kita pamit ya " kata mereka berdua " iya iya deh buruan gih " jawab bu Sandra " kamu ikut pulang juga? Hemm " tanya bu Sandra kepada bu Selvi sambil tertawa " engga lah kan kamu tau ndiri aku janda. Mana ada laki anak pun masih belum momong sampe setua ini. Mending karir lah ngumpulin duit hahaha " jawab bu Selvi sambil meringis Kedua teman mereka pun pulang dan semua pintu ditutup rapat tanpa kunci. Karena pikir mereka takkan ada yang bakal masuk ke rumah. Di kamar Anita lantai atas, bu Sandra dan bu Selvi sedang asyik berbincang tentang rumor artis dan beberapa hal lucu tentang masa SMA mereka. " eh kamu gerah ga sih cin? Malem malem gini asik loh berenang. Suwer deh. Yuk cobain kolam renang kamu. Sapa tau sama asiknya kaya punya aku. Cuma punyaku jarang ku kuras airnya haha " kata bu Selvi iseng. " ya ayok kalo mau mah turun kebawah. Biar aku nemenin aja. Cuma pengen masak Spaghetti sambil liatin kamu mainan air hahaha " imbuhnya sambil tertawa lagi. -------------- Di rumah pak Sofyan, tengah malam " pa, mama ga pulang nih?? Kemana sih ni orang kan harusnya nemenin aku di rumah malah keluar ga jelas ama temennya " kata Anita ke pak Sofyan yng sedang sibuk di ruang kerjanya tengah menggambar denah perumahannya untuk cluster baru. " biarin aja lah kan mama juga maennya sama Tante Selvi temen dia. Paling juga disana mamamu asik fitness kan Tante Selvi punya alat yang lebih lengkap daripada di rumah kita. " jawab pak Sofyan santai " ya tapi pa?? Apa papa ga khawatir. Mana ini Donny susah banget di telpon. Huft " jawab Anita kesal sambil utak atik Instagram miliknya. " udah tidur sana. Papa masih sibuk. Ini harus kelar besok Selasa. Karena papa mungkin juga mau ke apartemen pak Syarif untuk konferensi. " kata pak Sofyan " iya iya.. Aku tidur di sofa papa aja. Males di kamar. Trauma " sahut Anita memanja ingin tidur berdekatan dengan ruang kerja papanya. ---------- " sis ayo renang siniii woooyy.. Asik nihh. Adem banget . Gila kolam renang anak kamu jauh lebih keren lohh " kata bu Selvi yang memang hobi berenang itu. " ya ya ya tapi nemenin doang yaah habis makan aku pasti ngantuk nih.. " buruan renangnya kelarin . Bisa sampe pagi nurutin kamu kalo lagi renang. " kata bu Selvi sambil memanggang sosis. Setelah makan dan menemani bu Selvi mereka pun kecapekan lantas beranjak istirahat di kamar atas. Mendengarkan musik Maroon 5 untuk merelaksasi suasana. " cin ngantuk nih cape juga habis renang. Suwer ngantuk berat. Kamu ga ngantuk?? Tidur yuk. " ajak bu Selvi sambil berselimut " entar aja dulu. Aku mau kebawah bentar yah ada yang kelupaan. Tas aku sama handphone aku dibawah. Mau cek online store aku yang ruwet incomenya nih. " jawab bu Sandra " okeee.. Tidur duluan ya cin besok aku balik lohh . " jawab bu Selvi dengan mata sayu ngantuk berat bu Sandra pun turun dan sibuk mengurus handphonenya di bawah. Sambil duduk santai di sofa depan TV ia sedikit menguap dan lama lama mengantuk juga. Ia berjalan untuk mengecek seluruh pintu san berusaha menutup semua akses pintu. Terakhir ia menuju dapur dan ingin menutup akses kolam renang dan dapur. Namun saat berada di ruang tengah ia terperanjat dengan suara nyanyian kecil di kamar mandi. Ia ingat kamar mandi itu yang diceritakan anaknya sering terdengae suara seperti itu. Tanpa rasa penasaran dan cuek ia berfikir itu adalah bu Selvi yang mungkin sedang bersih bersih. Tapi ia sadar rasa takutnya sedikit mengganggu walau ia termasuk orang yang sangat cuek.. Ia melanjutkan ke arah dapur untuk mengunci pintu sambungnya ke kolam renang.. Betapa kagetnya ia melihat sosok bu Selvi sedang duduk di pinggiran kolam sambil memainkan kakinya ke dalam air. " Selviiii gila kamu heyyy.. Ini udah jam segini masa mau renang lagi???!! Dasar aneh nih orang. Tadi katanya ngantuk, malah balik lagi kesitu.. Ayo naik udah ah jangan bercanda " teriak bu Sandra memecah keheningan. " woyy ga denger apa?? Ayo balik. Udah deh.. " teriak bu Sandra lagi. Tapi sosok itu tetap diam dan tetap memainkan kakinya di air. Sosok itu tiba tiba menceburkan dirinya ke air dan mulai berenang menjauh ke seberang dan sesekali menyelam lalu menyelam lebih dalam. Karena bu Sandra masih cuek ia tak menghiraukan sosok itu. Tapi waktu berselang 15 menit dan sosok itu tak kunjung naik ke permukaan air. Bu Sandra jelas khawatir dan takut bila sosok yang ia kira temannya itu kenapa kenapa dan tenggelam di dasar kolam.. " Selviii Selviii !!! Heeyy gilaa nih orang. Naik laaah jangan bercandaa please. Ayoo lah ntar kamu sakit. Ayo naik. Ya ampun ngesusahin banget nih orang!! " teriak bu Sandra tergesa gesa sambil berlari menuju kolam. Namun bu Sandra sama sekali tak melihat adanya sosok itu. Ia mencoba menceburkan diri ke air untuk memastikan sosok yang mirip temannya itu hanya bercanda. Namun tiba tiba ia histeris saat ia merasa ada yang menggenggam kakinya dan memaksanya masuk kedalam air. Hingga ia berteriak ketakutan sesekali tenggorokannya kemasukan air sehingga sulit berbicara dan bernafas. " aaarfkkllppp... Toloooongg.. Toloongssrpp.. Aaghhrrrpp.. Tolooooong " teriaknya di kolam renang itu. Makhluk itu menerkam kakinya dan menariknya lebih dalam ke dasar air hingga ia tenggelam dan akhirnya tewas seketika. Bu Sandra meninggal di dasar air hingga mengambang ke permukaan air dengan tubuh pucat. Keesokan harinya bu Selvi terbangun dan melihat keberadaan sahabatnya tak ada disampingnya. Karena ia berfikir realistis bisa saja sahabatnya biasa bangun lebih pagi. Maka dia membersihkan wajah ke kamar mandi kamar Anita lalu turun kebawah sambil menenteng tas Gucci nya untuk berpamitan pulang. " cinn cinn... Dimana kamu cin. Eh aku balik dulu yaahh " teriaknya kearah lantai dasar beranggapan sahabatnya pasti mendengar suaranya. Hingga ia berjalan menuju kolam renang dan melihat sosok sahabatnya sudah tewas dan mengambang di permukaan air kolam lalu ia menjerit ketakutan. Dengan segera ia menelepon polisi dan keluarga bu Sandra untuk meminta pertolongan dan berbagi kabar. Sungguh hari itu menjadi hari berduka bagi pak Sofyan sekeluarga. Sampai Donny pun pulang ke pulau Jawa kembali untuk melihat keadaan mertuanya. Pagi itu segenap polisi dan investigator menginvestigasi bu Selvi, begitu pula pak Sofyan. Mereka semua menanyakan kronologis kejadian sebenarnya. Karena yang ditakutkan bisa saja bu Selvi menjadi tersangkanya. Namun untunglah semua kronologis dan bukti sudah cukup menjamin ditambah kedua temannya bu Agustin dan bu Risma hadir juga di pagi itu. " kenapa tante kemari tanpa sepengetahuan Anita? Kenapa tante ga tanya mama saat itu udah menghubungi kita belum? Ya Tuhan kenapa ini terjadi " tangis Anita di bahu mas Donny sambil menunjuk muka bu Selvi. " nak nak.. Ini salah papa. Papa yang kurang peka melihat keberadaan mama . Papa terlalu santai. Maafkan papa ya nak. " jawab pak Sofyan berusaha untuk tegar dan menerima kenyataan Setelah kejadian itu Anita dan pak Sofyan merasa bersalah dan berusaha mengikhlaskan di pemakaman bu Sandra. Ditemani oleh puluhan ajudan nya dan beberapa polisi serta warga setempat. Hari itu menjadi saksi betapa angkernya rumah Anita yang bisa memakan nyawa orang tuanya sendiri. Sehingga Anita dan sekeluarga menjadi lebih berhati hati saat berada disana. Seluruh tim forensik dan investigasi dari kepolisian menyimpan kasus ini sebagai dokumen yang akan ditelusuri secara bertahap. ************Next Chapter*********** Chapter 6 - Tersesat Enam minggu setelah kematian bu Sandra, suasana rumah kembali seperti biasa. Aktifitas Anita dan Donny yang dulu sering intens lalu lalang dari rumah baru ke orang tuanya kini berubah drastis. Sejak mereka memutuskan tinggal di rumah orang tuanya untuk menemani pak Sofyan. Maka rumah pribadi Anita sudah lama pula tak dikunjungi. Untuk memastikan keadaan rumah tetap terjaga dan bersih. Mereka sering mengutus mas Rizal untuk memperbaiki furniture rumah, mengecek keadaan listrik dan merawat tamannya. Tak jarang pula mereka meminta pak Bambang dan Jarwo untuk membantu membersihkan kolam renang. Hari itu kamis malam jum'at, tak seperti biasanya. Karena urgent sekali, ia meminta mas Rizal dan pak Jarwo dan mas Edi untuk kerumah Anita malam malam mengambil laptop mas Donny sekalian mengisi kembali air kolam dan membersihkan pekarangan depan. Jam 11 malam dan langit menunjukkan cerahnya kegelapan disambut sinar bulan purnama. Sepoi angin yang kencang dan sepinya jalanan tak mengukuhkan mereka untuk tetap melakukan tugas dari anak bos nya. Mereka menuju Tanjakan Emen menggunakan Avanza dan berhenti ditengah jalan karena mobil mogok tiba tiba. " Zal, coba deh lu cek air akinya. Kok kayaknya nih mobil gangguannya di kelistrikannya ya. Ga bisa nyala nih. Apa karena starternya error. " tanya Jarwo. " iya wo, coba deh gua cek dulu. Behh sepi gini agak merinding gua. Temenin dong pak Edi. " ajak mas Rizal ke pak Edi si tukang kebun. " iya iya bentar. Yuk kita lihat dulu. Elu bawa senter kaga? " tanya pak Edi dengan logat Jakarta nya yang kental. " ada nih. Ini hape bisa bersinar juga ? Kan sama sama ada senternya pake flash " sahut mas Rizal Dengan menggunakan aplikasi kamera dan menyalakan flash mereka pun turun untuk mengecek keadaan mesin. Membuka kap depan dan melihat kondisi aki. Yang tampaknya baik baik saja. Namun tanpa sengaja mas Rizal melihat sosok wanita berwajah rata di layar handphone nya saat ingin menutup aplikasi. Dengan tangan gemetar ia berusaha menunjukkan layar handphonenya ke pak Edi. " pakkk.. Paaakk lihat!!!! Apaaa itu??!!! Sumpaah paaak apa ituu??!! " bisik mas Rizal ke pak Edi dengan tangan gemetaran dan ketakutan. " ya Tuhann.. Apaaa ituuu??!! Ya Tuhann. Ya Tuhaannn... Ya Tuhaannn.. !!!! " teriak pak Edi yang ikut ketakutan. Sosok itu berdiam di bawah pohon. Berdiri melayang diatas tanah, bergaun putih, rambut terjurai panjang dan tingginya hampir 7 meter.. Mukanya rata dan tertawa melengking. Sungguh mengerikan penampakan itu bagi mereka berdua hingga mereka lari terbirit birit masuk kedalam mobil yang sontak membuat Jarwo bingung dan kaget " woyyyyy... Apaan sih?? Lu berdua gila apa ye? Kok kayak orang dikejar harimau gitu?? " teriak Jarwo saat bertanya pada mereka. " sumpah deh wo.. Sumpaaah ngeri banget jangan liat kebelakang. Ngerii banget" jawab mas Rizal ketakutan " udah woo. Lu aja yang ngecek kita mah takut keluar mobil.. Udah gitu kita yang mati lu yang enak enakan disini " jawab pak Edi memaksa Jarwo untuk melakukan cek mesin. " halaaahh emang lu berdua aja yang penakut. Ya udah lah. Sini hapenya. Gua butuh cahaya!! " jawab Jarwo dengan nada tinggi. Berbekal handphone mas Rizal, Jarwo pun mengecek mesin dan aki mobil. Lalu ia mencoba menstarter mesin dan akhirnya mobil nyala kembali. " lihat tuh. Gitu aja susah.. Gua yang ngecek sekali aja dah selesai. Lu berdua pake acara takut ama setan setanan segala. Setan aje takut ma gua. Nongol sekali ya gua pentung pake jempol gua. Hahahaha " tawa Jarwo agak sedikit menyombongkan diri. " iye iyee ya udah lu yang pemberani " sahut mas Rizal dan pak Edi Lalu mereka melanjutkan perjalanan dan sampai di rumah Anita. Mereka masuk dan mengambil laptop mas Donny di meja ruang kerja lalu bergegas ke kolam renang untuk mengisi air kolam sambil menikmati megahnya rumah Anita. " gila ni rumah gede amat yak. Kalo gua yang punya nih bakal gua ajak sodara gua semua buat renang disini juga " khayal mas Rizal di depan pak Edi yang sibuk membenahi taman sekitar kolam " kalo gua yang punya. Bakal gua ajak bini bini gua semua buat masakin gua empat puluh makanan sekaligus di dapur yang segede gudang itu hahaha " canda pak Edi ke mas Rizal sambil mencabut rumput tembok. " eh si Jarwo mana? " tanya pak Edi " Jarwooo lu dimana wooyy bro ?!! " teriak pak Edi menggema di ruang tengah. " elu ga liat apa gua lagi benahi kabel CCTV sama Wi-Fi. Jangan ganggu gua. Gua lagi sibuk!! " teriak Jarwo membalas suara pak Edi sambil bergoyang menikmati musik dangdut di radio lama kesayangannya. " zalll. Rizalll. Lu udah belom isi air kolam? Gua minta tolong " teriak Jarwo ke mas Rizal " apaan??! " kata mas Rizal " ambilin alat listrik gua dong. Ketinggalan di dashboard mobil deh " pinta Jarwo " oke meluncurrr " kata mas Rizal. Ia pun berjalan menuju teras depan dan membuka pintu mobil dan mengambil Electrical Box lalu memeriksa keadaan pagar dan menutup pintu mobil kembali. Saat ia akan menutup pintu mobil ia melihat kembali sosok menyeramkan sepotong tangan yang bergerak gerak dan mencengkeram jok tengah mobil. Sungguh pemandangan yang menyeramkan dan membuatnya teriak lalu lari terbirit birit " setaaaaaaaaannnn!!!!!! " teriak ketakutannya sampai hampir menangis. Sontak Jarwo dan pak Edi terkaget dengan hal itu lalu mereka berusaha menenangkan mas Rizal. Dan terburu buru membereskan perkakasnya untuk segera kembali ke rumah pak Sofyan. " ada setan beneran kayaknya di rumah non Anita ini. Bener ceritanya mereka. Sekarang gua bener bener percaya dan takut " kata mas Rizal " eh eh inget baca doa . Gua juga takut. Yuk buruan balik aja. Kan udah kelar semua tinggal si Jarwo nih gimana. Kelar belom kerjaannya " tanya pak Edi merujuk pada Jarwo " bentar lagi kelar. Kalian tunggu di mobil aja atau ruang tamu kalo takut. Biarin gua selesain dulu kerjaan gua. " jawab Jarwo Akhirnya pak Edi dan mas Rizal menunggu Jarwo sembari duduk di ruang tamu hingga pulas tertidur karena begitu lamanya Jarwo tak memberikan kabar Sedangkan Jarwo malah asyik menonton TV saat pekerjaan dia telah selesai. Karena asyik sendiri dan tak memperdulikan kedua rekannya, ia pun diganggui makhluk halus itu saat tengah menonton acara bola. " ssss... Sssshhhh " suara berbisik itu muncul di kamar mandi bawah yang diikuti suara perempuan sedang bernyanyi lirih. Dan Jarwo pun penasaran terhadap asal suara itu muncul. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi itu dan membuka dengan lancang untuk mencari tahu. Namun, ia hanya melihat sepotong kain tergantung di atap kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ia mencabut kain itu begitu saja. Tapi betapa kagetnya ia saat mencoba mencabut kain itu, tangannya tak mampu mencabut kain itu dari gantungannya. Malah kain itu lepas dan didalam kain itu berisi kepala perempuan berambut panjang dan berwajah rusak. Spontan Jarwo shock dan tak bisa berkata kata. Jantungnya tiba tiba berhenti saking kagetnya yang membuat ia mati tiba tiba tanpa berteriak. Suara jatuhnya tubuh Jarwo ke lantai membuat pak Edi dan mas Rizal terbangun dan melangkahkan kaki mereka ke ruang dapur. Betapa histeris mereka melihat Jarwo yang tak lagi bernyawa. Karena bingung mereka membawa mayat Jarwo dan menelepon pak Sofyan untuk memberi kabar akan hal ini. Tapi sayang panggilan telepon tak kunjung pak Sofyan angkat. Mereka sangat bingung lalu menancap gas mobil Avanza kembali ke jalan pulang. Dan yang terjadi malah sebaliknya, mereka lupa akan arah pulang dan tersesat ke dasar hutan pohon pinus. Disanalah mereka terperosok dan mobil bergelinding jatuh ke dasar jurang. Hal itu menyebabkan pak Edi yang berada di samping mas Rizal yang mengemudi akhirnya tewas tertusuk kaca mobil. Sedangkan mas Rizal pingsan sementara dengan luka ringan. Setelah dua jam. mas Rizal terbangun dari pingsannya dan mencari jalan pulang dengan menahan sakit serta histerisnya malam itu. Ia menyesali kematian dua rekannya dan berusaha mencari seseorang untuk dimintai pertolongan. Ia berjalan menyusuri sungai namun malah tersesat semakin dalam. Handphone yang menjadi satu satunya harapan dia untuk bisa berkomunikasi dengan semua orang pun telah hancur tertimpa badan mobil. Ia hanya memiliki kesempatan menggunakan satu kakinya yang menahan satu kakinya lagi yang pincang. Dari kejauhan ia melihat ada sinar merah dan cahaya seperti sekelompok orang sedang membakar api unggun. Ia merangkak tertatih tatih menuju cahaya tersebut. Dengan menahan perih dan darah yang mengucur dari keningnya ia berteriak meminta tolong. " toloooonngg... Tolooong sayaaa " rintih kesakitan mas Rizal sambil meminta pertolongan. Namun sayang cahaya dan beberapa orang yang ia lihat membakar api unggun itu hanyalah ilusi. Yang sejatinya hanya tanah retak yang kosong dan diinjak kakinya lantas membuat ia malah terperosok kedalam kubangan tak berair sedalam 25 meter dan pingsan kembali seketika dalam kegelapan. Entah bagaimana yang terjadi esok, mas Rizal telah tertimpa reruntuhan dalam kubangan itu dan tak sadarkan diri. ***********Next Chapter*********** Chapter 7 - Hutan Misterius Mendung mencekam di rumah pak Sofyan membuat Anita semakin hening dan ketakutan memikirkan pertanyaan ayahnya, lima puluh menit yang lalu di ruang UGD, mereka harus menyaksikan mayat Jarwo dimandikan dan dikuburkan oleh warga kampung tempat Jarwo dilahirkan. Lantas di ruang keluarga mereka berdebat tegang. " sudah kamu temukan jawabannya nak? " tanya pak Sofyan sedikit menekan kekuatan mental Anita. " Anita ngga pernah tahu pa kalau dirumah itu berhantu, kalau ngga karena banyaknya kejadian kejadian yang udah terjadi. Mulai dari aku sendiri, mas Donny, mama sampe sekarang Jarwo dan hilangnya mas Rizal sama pak Edi. Masa papa masih aja menyalahkan Anita karena udah suruh mereka malem malem ?!! " tanya Anita ketakutan dan kesal. " apa ga sebaiknya kita cari di dekat lokasi tkp?? Karena mungkin saja mas Rizal dan pak Edi bukan pelakunya, jangan jangan mereka bukan berniat mencuri mobil seperti yang papa kira " kata mas Donny sambil duduk di kursi tamu. " yang papa maksud, apa sudah ada jawabannya kemana Rizal dan Edi bawa mobil itu. Karena di mobil itulah dokumen dan surat rumah kamu tersimpan. Kalau ada apa apa nanti nama baik kita juga yang celaka ! " bentak pak Sofyan ke Anita. " aku udah coba nelpon mereka, keluarga mereka bahkan kucari informasi ke temen temennya pun ga ada jawaban dan ga ada yang tahu, lalu kita bisa apa. Udahlah pa ikhlaskan aja. " kata Anita memasrah " kita ke lokasi saja pa. Kita cari sendiri ajak beberapa tim penyelamatan. Saya ada beberapa kontak yang bisa dimintai pertolongan " sahut mas Donny menambahkan. " ngga usah Don, bahaya. Karena kita belum tahu medan disana. Apalagi beberapa titik memang sedikit curam dan mudah longsor. Lebih baik kita tunggu kabar dari tim kepolisian dan SAR " jawab pak Sofyan " ya udah saya ikut aja pak " kata mas Donny Dua hari sudah kabar berlalu pak Sofyan mendapat berita bahwa mobilnya terperosok di jurang tak jauh dari rumah. Hanya 1,5 km dari tempat kejadian. Kemudian mas Donny dan pak Sofyan pun bergegas bersama sama tim SAR serta kepolisian menuju lokasi menggunakan peralatan lengkap untuk ikut mengevakuasi jenazah kedua ajudannya yang kemungkinan terkubur disana. Menuruni jalan terjal dan curam. Mereka disambut dengan dua tebing sempit di bawah muara sungai dan menemukan mobil dalam keadaan ringsek serta berbau busuk. Disitulah mereka menemukan mayat pak Edi namun tak menemukan keberadaan mas Rizal. Hal ini menjadi tanda tanya dan memperlambat proses pencarian. Segenap tim mencari dan menyebar ke seluruh pedalaman hutan. Namun saat kembali ke titik kumpul mereka bersepakat untuk menunda pencarian esok hari karena malam sudah menjelang dan kabut sudah turun. Tim hanya menemukan mayat pak Edi tanpa sedikitpun ada tanda kehidupan dari mas Rizal. Yang bisa jadi menurut klarifikasi para tim ekspedisi pencarian. mas Rizal takkan selamat. Walau ia sempat keluar dan menyelamatkan diri dari mobil. Setelah seluruh tim kembali pulang. Dedaunan basah menjatuhi kap mobil pertanda hujan lebat akan turun agak deras malam itu. Pak Sofyan menutup kasus dan menganggap mas Rizal telah tiada. Keputusasaan mereka semakian menguat setelah jejak kaki yang ditelusuri tim hilang dikubur genangan air dan lumpur. Namun Anita masih saja merasa bersalah. mas Donny tak bisa melanjutkan proyeknya karena laptopnya pun rusak tertindih mobil. Dan setelah kejadian petaka itu rumah Anita semakin sunyi, sepi dan dibiarkan begitu saja tak berpenghuni. Bahkan kemungkinan menurut rencana akan dijual dan dipasarkan ke media sosial. " buruan deh kita ambil semua barang dan berkas dari rumah kita. Kalo bisa bawa pindah aja sekalian semua furniturenya. Kita pindah ke rumah baru aja. Aku baru aja mau ambil rumah di perumahan Artamega deket kota. " kata mas Donny ke Anita. " iya mas. Tapi kapan? Apa ga mending suruh orang aja buat bersih bersih sekalian ringkes barang kita? Biar lebih gampang gitu loh. Entar tinggal bayar aja " timpal Anita sambil memeluk selimutnya karena dinginnya udara hujan. " jangan.. Nanti akan muncul korban lagi. Kalo kamu takut mending aku aja sendiri yang beresin. Entar aku ajak temen aku buat bantuin. " jawab mas Donny agar Anita tak khawatir. " Anita, besok papa mau ke Batam untuk selesaikan pengurusan tanah. Kamu jaga rumah sini yah. " kata pak Sofyan saat melewati kamar tempat mereka beristirahat. " iya pa. Tapi besok Anita cuti kerja nih. Jadi pasti rumah sepi. Terus Donny sementara juga gagal di proyeknya. Dia gimana. Biar nemenin Anita aja yah " jawab Anita dengan gemetar karena sedikit kedinginan " engga. Besok kamu ditemenin Safira. Biar Donny ikut papa ke Batam. Dia perlu kenal temen papa untuk proyek baru dia. Biar dapet kenalan baru dan bisa kerja sama. " jawab pak Sofyan " ya udah pa. Nanti Safira sama mbak Eny biar nemenin aku disini " ucap Anita agak tenang karena dirumah pak Sofyan dia selalu merasa aman. Keesokan harinya, pak Sofyan dan mas Donny pun berangkat menuju bandara dan tinggal landas jam 2 siang. Anita sedang bercanda dengan Safira adik suaminya yang masih duduk di kelas 2 SMP di depan taman ditemani mbak Eny pembantunya. " kak, Fira pengeeeen banget nonton film Narnia kak. Ke bioskop yuuukk " ajak Safira memanja. Anita teringat akan home theater nya dirumah. " kakak ada home theater di rumah. Tapi nontonnya entar aja yah nunggu kakakmu pulang dari Batam biar bisa barengan " jawab Anita menenangkan adik iparnya. " ga mau ga mau.. Pengeen banget kaak. " Safira memanja dan merengek. " aduh gimana ini. " ucap Anita dalam hati. " Kalo sampe Safira kenapa napa malah aku stress ntar. " gumamnya. Akhirnya Anita memutar otak untuk merubah keinginan adik iparnya itu. Ia mengajaknya bermain ke mall hingga mengantuk pulas dan tertidur di ruang keluarga bersama mbak Eny. Tengah malam Anita duduk di meja dekat mbak Eny dan Safira yang tertidur, TV kabelnya pun lupa mereka matikan. Sembari mengerjakan laporan dan absensi untuk data kerjanya, Anita sesekali meneguk Cappucino agar matanya tetap terjaga. Namun, rasa kantuk melebihi kapasitas kesadarannya. Ketika ia sadar rasa kantuknya tak lagi tertahan, ia merebahkan diri diatas bantal Doraemon besar di atas karpet belakang sofa mereka. Sayangnya ia harus tetap menahan kantuk karena laporannya tak kunjung selesai. Terlelap sedikit dan terlelap lagi. setengah sadar Anita lemas tak berdaya. Ia lunglai diatas karpet. Dalam setengah sadarnya, ia melihat mas Donny berpakaian kemeja rapi. Wangi dan membawa koper. Ia berdandan sangat maskulin seakan mau berangkat kerja. Dan itu membuat Anita terbangun seketika karena langkah kakinya disamping telinga Anita. " mas Donny????!!! Lah mas kok udah pulang? Apa jadwalnya ditunda? Apa jangan jangan mas mau jemput Safira disini?? " tanya Anita kebingungan Sedikitpun mas Donny tak menjawab. Ia hanya lalu lalang naik turun tangga seakan sibuk mencari sesuatu. Dan itu membuat Anita berdiri untuk menarik bahunya. " kamu denger ga sih aku nanya?? Kok kamu jadi aneh??! " tanya Anita kebingungan " aku dengar.. " jawab mas Donny pelan " lalu kenapa kayak orang bingung gitu. Naik turun tapi acuhin aku? Apa mau jemput adek kamu?? " tanya Anita " enggak " jawab mas Donny pelan " lalu kamu mau jemput siapa rapi kayak gini?? " tanya Anita mulai cemburu " kamu " jawabnya pelan " aku??! " jawab Anita dengan bingung " kenapa aku? Kan katanya kita tinggal disini aja. Kok kamu malah mau jemput atau jangan jangan kamu mau ajak aku pulang ke rumah kita???! " tanya Anita dengan khawatir " ya " jawab mas Donny pelan Karena takut sikap aneh mas Donny ini mungkin karena marah, atau Anita mungkin ada salah, maka Anita pun mengikuti kemauan mas Donny dengan memberesi sedikit pakaian, membawa tas kecil dan bergegas pulang tanpa sepengetahuan Safira dan mbak Eny yang masih tertidur pulas " kita naik apa?? Lah mobil kamu mana??!! Oh iya papa mana??!!! " tanya Anita makin bingung. " disana " jawab mas Donny " hah papa disana? " " mungkin aja sih kalo papa jadiin rumah aku tempat meetup sama kliennya. " ucap Anita dalam hati untuk meyakinkan dirinya " terus mobil kamu mana??!! " " kita kesana mau naik apa?? " tanya Anita kebingungan Mas Donny terlihat tak menjawab pertanyaan itu. Diam tanpa ekspresi. Wajahnya pucat dan kaku. Anita tampaknya masih belum curiga. Ia pun mengambil mobilnya untuk pulang bersama mas Donny Disepanjang perjalanan pun tampaknya mas Donny masih diam, kaku dan tanpa ekspresi. Tatapannya kosong memandang lurus kedepan melihat gelapnya jalan dan tak sedikitpun melakukan pergerakan. Hingga sampai di rumah. Mas Donny dan Anita turun lalu masuk kerumah dan menyalakan lampu lampu rumah. Setelah Anita mengunci pintu dia pun mencoba memanggil pak Sofyan. " paaa.. Papaaa.. Papa dimana?? Anita disini paa. Katanya papa disini?? " teriak Anita diikuti suaranya sendiri yang bergema. Namun tak ada jawaban. Tak ada sosok pak Sofyan hanya rumah kosong. Anita mencoba menoleh kebelakang melihat mas Donny namun sosok itu menghilang. Ia tersadar bahwa ia hanya sendirian dalam rumah itu. Dan sosok tadi bukanlah mas Donny melainkan makhluk halus. Gemetaran sudah kaki tangan Anita dan menahan bibirnya untuk tidak menjerit atau menangis karena ketakutan. Ia mencoba diam dan berdoa pada Tuhan agar diberikan keselamatan. Tiba tiba lampu seisi rumah mati total dan ia semakin ketakutan. Semua badannya kaku tak bisa digerakkan hingga tergeletak lantai dengan mata terbelalak. Ia mampu merasakan adanya hawa ghaib dan mendengar suara suara percakapan banyak orang namun tak berwujud. Ia akhirnya tak kuat menahan tangisan ketakutannya yang menetes dan membasahi wajahnya. Ia memasrah " Ya Tuhannn.. Selamatkan akuu. " ucapnya dalam hati. Ia beranikan diri untuk berdiri dan berlari tapi sayangnya ia terjerembab ke kolam renang yang belum penuh terisi air. Dan tiba tiba retaklah lantai kolam hingga membuat keramik lantai kolam terperosok membentuk satu lubang besar yang ikut menjatuhkan Anita di dalam sesuatu yang gelap. Dibawah kolamnya Ia terjatuh dalam sekali dan terperosok sedalam 15 meter kebawah. Entah apa yang ada dibawah itu ia lalu tak sadarkan diri dalam kegelapan. Entah apa yang ada didalam sana ***********Next Chapter********** Chapter 8 - Mayat Di Rumah Tua Dalam gelap, kaki Anita merinding merasakan dinginnya lantai yang basah dan bau busuk yang menyerang pernapasannya itu. Tak ada penerangan,tak ada cahaya sedikitpun. Lantas ia hanya berteriak meminta tolong " halloo ada orangkaah disini.. Tolong akuu !! " teriaknya dalam gelap. Sedangkan kedua tangannya sibuk meraba raba objek kanan kirinya yang tidak terlihat. Percuma pula isak tangisnya karena takkan ada seorangpun yang mendengar. Ia seperti orang yang baru merasakan kebutaan matanya. Sesekali ia menggenggam sesuatu yang tipis seperti kain dan menjadikannya alas kakinya agar tidak basah dan kedinginan. Bau busuk yang amis seperti darah pun menggenang dimana mana tanpa ia sadari. Ia hanya berjalan maju mengikuti arah lorong yang ia terka. Hingga jari jarinya menyentuh sesuatu yang mirip sekali dengan senter. Ia coba menyalakan beberapa kali namun tampaknya senter itu tidak berfungsi, hingga percobaan ketiga saat ia pukulkan ke objek keras sebelah kanannya senter itu mampu menyala agak temaram. Betapa terkejutlah ia saat ia mampu melihat tempat ia berada, dibantu dengan cahaya senter ia mulai memahami dirinya sedang dalam sebuah bangunan tua yang tampaknya seperti sebuah rumah yang sudah hancur dan tidak karuan bentuknya. Tampak beberapa kursi, bangku, meja, lemari tua meja makan, kasur dan kamar yang sudah porak poranda dimakan zaman. Dan ia melihat bekas bekas peninggalan ritual iblis. Serangga serangga menjijikkan seperti Kecoa, Tikus, Laba Laba dan Kelabang sudah bukan hal yang tabu didalam rumah itu. Ia hanya diam dan kaku mengingat tempat ia jatuh hingga analisanya benar benar terjawab. Ia meyakini bahwa dibawah rumahnya ada sebuah rumah tua yang terkubur tanah " astaga, inikah yang sebenarnya, apa asal usul ini semua, dimana aku sebenarnya dan ini rumah siapa dulunya " tanya Anita dalam hati. Ia sungguh ketakutan seperti jantungnya ingin berhenti berdetak. Ia mencoba mencari jalan keluar untuk kembali naik ke atas tanah Berbekal sebuah senter tua ia menyusuri dalam rumah tua itu. Yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Ada banyak hal didalam sana, adanya lukisan kuno, lemari penuh dokumen, kotak besar bekas perhiasan, perabotan pecah, dan yang paling membuat ia shock serta gangguan mental adalah sebuah mayat yang digantung diatas plafon dengan posisi terbalik, sekujur tubuhnya seperti pernah dirantai dan dibakar. Ia terkejut melihat tulang belulang mayat itu. Spontan ia berteriak dan teriakan itu disambut oleh suara lengkingan pula dari dalam lorong rumah. Yang membuat Anita semakin gila dan ketakutan akut. Ia mencoba mencari tempat berlindung dari suara yang seakan menghampirinya itu. Ia bersembunyi dibawah kasur tua dan mencoba menahan ketakutannya disitu. Ia membungkam mulutnya, dan melihat suara lengkingan itu berasal dari sosok makhluk berwujud perempuan dengan rambut terjurai dan penuh darah. Sungguh suatu pengalaman mengerikan yang pernah Anita rasakan sendirian. Goncangan dalam jiwanya mencoba untuk merusak kenormalannya menerima hal ini. Bisa saja Anita sudah menjadi gila karena rasa takutnya itu. Makhluk itu lewat begitu saja tanpa menyadari ada manusia yang sedang berada dalam rumah itu bersamanya. Anita menunggu waktu yang tepat untuk keluar dan mencari jalan kembali. Karena makhluk itu bisa saja menerkam dirinya. Kapan saja saat ia lengah. Anita berdoa agar ia dapat selamat dari hal ini. Ia mencoba berjalan perlahan sampai ia menemukan kamar mandi kuno yang dipergunakannya untuk membenahi senternya yang baru saja mati tiba tiba. Dan nyala tiba tiba lalu mati kembali. Sedang jauh disana mas Donny dan pak Sofyan baru saja ke bandara untuk kepulangannya ke Bandung dengan membawa kabar baik yang tentu saja akan membuat Anita bahagia. Namun sayang, sesampainya dirumah mereka tak kunjung menemukan Anita kecuali mbak Eny dan Safira yang juga tengah kebingungan mencari keberadaan Anita Mereka berlari ke rumah Donny untuk memastikan apakah Anita ada didalam rumah itu. Namun pencarian selesai karena Anita tak ada dirumah ? Sejenak mereka duduk dan pandangan mas Donny tertuju ke kolam renang. Ia sempat melihat retakan namun tak menyadarinya. Lantas mas Donny menuju kolam renang dan melihat lubang besar itu. Ia sempat bertanya dan yakin dalam hati bahwa Anita pasti ada didalam situ karena gangguan setan. Untuk memastikan papanya tidak khawatir maka mas Donny menginginkan papanya pulang saja untuk beristirahat. Dan menutupi hal itu didepan pak Sofyan. Pak Sofyan mencoba mencari kabar tentang Anita dan sebenarnya mulai curiga dengan kelakuan mas Donny, beliau melihat mas Donny sibuk mengambil palu, sebilah pisau dan tali tampar, dengan bantuan senter dan jas hujan ia mencoba berjalan menuju kolam renang namun dihadang oleh pak Sofyan. " Donny!! Apa yang mau kamu lakukan?? Kemana kamu?? " tanya pak Sofyan sedikit menegur dengan keras ke mas Donny. " saya cuma mau memeriksa pak kenapa kolam renang itu retak dan berlubang. Takutnya ada sesuatu didalam. " jawab mas Donny " apa kira kira yang menyebabkan kolam itu retak dan airnya merembes kedalam? Lalu kamu sudah menghubungi Anita??! Dan buat apa kamu membawa pisau??!! " tanya pak Sofyan dengan heran dan penuh curiga. " sejujurnya saya merasa Anita sedang dalam bahaya pak. Saya secara insting menerka Anita sedang terjatuh didalam sana. Saya harus segera mencari tahu. Karena saya ga bisa ngehubungi Anita sama sekali " jawab mas Donny dengan jujur " apa??!! Benarkah itu??! Sini biar papa yang masuk? " jawab pak Sofyan " jangan pak biar saya saja " jawab mas Donny kembali " papa lebih baik berjaga bersama polisi dan beberapa tim medis saja diatas sini. Saya ga mau makin runyam nanti " jawab mas Donny menambahkan untuk menahan situasi " kamu yakin!!! " jawab pak Sofyan " iya pak saya saja " kata mas Donny Lalu ia menceburkan diri kedalam lubang itu dan masuk dalam suasana yang gelap gulita. Ia merasakan tubuhnya jatuh terjerembab melewati genangan air dan pasir berkerikil. " Brakkk..!! " suara tubuh mas Donny jatuh dan punggungnya memecahkan kayu kayu tua di tempat gelap itu. Ia mencoba membangunkan kakinya dan menyalakan senter dengan waspada. Barulah ia melihat dengan kedua matanya betapa mengerikannya suatu kenyataan. Bahwa dibawah rumahnya ada sebuah rumah tua yang selama ini tertimbun tanah bertahun tahun. Karena khawatir ia pun berteriak memanggil nama Anita dan berusaha mencari tahu. Dengan sigap ia melihat ada jejak kaki dan darah mungkin dari tubuh Anita yang terluka. Terlihat jelas sepatu Anita yang tertinggal disitu. Menandakan Anita tak jauh dari posisinya. Ia menelusuri ruangan demi ruangan berlumut dan lembab itu. Mengikuti arah jejak kaki Anita ------------------- Anita menahan perih di lututnya akibat terjatuh tadi. Lampu senternya pun meredup dan hampir mati. Entah sebesar dan seluas apakah bangunan yang sekarang menjebaknya. Tiba tiba ia mendengar suara erangan dari dalam lorong dan membuatnya berlari ketakutan hingga ia membuka satu ruangan untuk bersembunyi. Namun ia semakin histeris kala melihat sosok penampakan makhluk halus berwujud perempuan yang menakutinya dengan memutar kepalanya kebelakang. Makhluk itu membius kesadaran Anita dan membuatnya tersihir untuk menahan kengerian yang sudah ia saksikan. Ia tak sanggup berkata kata lagi. Separuh akalnya sudah mati dan ia seperti orang yang sedang gangguan jiwa. Secara mental ia tak kuasa menahan pandangannya menatap secara langsung makhluk itu dan ia pun mencoba menguatkan dengan berdoa lalu kembali berlari dan berlari. Sepanjang pelarian itu Anita selalu dihantui dan diperlihatkan penampakan penampakan mengerikan hingga akhirny ia lemas tak berdaya dan jatuh ke lantai dengan lutut mengucurkan darahnya. Ia hanya memasrah dan memasrah. ------------- Begitupun di lain sisi, ms Donny yang tengah mencari Anita dikejutkan dengan sosok tengkorak dan tulang belulang yang membuatnya sedikit merinding. Dengan keberanian yang ada ia lebih khawatir dengan keadaan istrinya. Ia berlari melalui lorong dan ruangan kosong sambil meneriaki nama Anita. Tak lama kemudian ia bertemu dengan sosok misterius itu. Perempuan cantik dengan parasnya yang pernah membius kesadaran mas Donny dan sempat mempengaruhinya untuk bunuh diri. Maka kali ini ia tak lagi percaya dan tak lagi peduli akan halusinasi dan imajinasinya. Ia mengambil pisaunya dan menusukkan pisau itu ke perut makhluk itu lantas merubah wajahnya yang tadinya cantik menjadi hancur. Lalu tertawa terbahak bahak dan terbang melewati kepala mas Donny. Makhluk halus itu mungkin arwah penasaran atau hanya makhluk keji yang berusaha mempermainkan manusia untuk menjadi tumbalnya. Dengan keberaniannya, mas Donny membacakan ayat dan doa kepada Tuhan untuk mengusir makhluk itu dari pandangannya. Yang seketika membuat makhluk itu jatuh ke lantai dan menangis tersedu. Ia mencoba mengajak mas Donny berkomunikasi. Dengan bahasa isyarat bahwa ada sesuatu yang ganjil dan rahasia akan bangunan ini. " apa yang kamu mauu??!! " tanya mas Donny berteriak pada makhluk itu Dengan menunjuk ke arah lemari tua dan tetap menangis tersedu, makhluk itu mengeluarkan darah dari matanya dan mencakar cakar lantai. Ia seakan menunjukkan rasa amarahnya pada sesuatu dan terus meminta mas Donny membuka lemari yang ia maksud. " jangan ganggu aku.. Apa yang kamu mauu??!! Apa kamu mau aku membuka lemari itu untuk apa??! " tanya mas Donny menahan rasa takut Makhluk itu terus menunjuk kearah lemari dan memintanya membuka lemari agar mengungkap sesuatu yang tersimlan selama ini. Bergeraklah mas Donny menuju lemari besar itu dan mencoba membuka paksa dengan palu yang ia genggam. Dengan merusak pintunya akhirnya ia bisa membuka paksa lemari itu. Dan benar kenyataannya, didalam lemari itu ternyata tersimpan mayat seorang perempuan tua dan lelaki tua yang diikat menjadi satu dengan penuh luka bakar yang sudah membusuk dan tidak dikebumikan. Masih menjadi misteri bagi mas Donny seraya menahan betapa mengerikannya hal itu yang telah ia saksikan. Setelah ia membuka lemari tersebut, makhluk itu pun menghilang dari depan mata mas Donny dan ia mencoba meneruskan pencariannya untuk Anita. **********Next Chapter********** Chapter 9 - Gadis Berkerudung Hitam Mas Donny menemukan satu pintu disebuah tangga yang rusak diujung lorong. Setelah itu dia mendobrak masuk namun hanya ruang kosong sempit yang ia temukan. Ia terus berlari menuju lorong sebelumnya dan menemukan Anita sedang tergeletak di lantai dengan lutut berlumuran darah. " Anita..!! Ya Tuhan, apa kamu baik baik saja?? " kata mas Donny dengan khawatir. Setengah tersadar, Anita terbangun dengan menahan perih. Ia menggenggam tangan mas Donny dan mencoba mengangkat tubuhnya. Dengan rasa rindu ia memeluk suaminya untuk menghilangkan rasa takutnya. " mas Donny, ya tuhan aku bersumpah. Baru kali ini aku menemukan hal hal yang sangat mengerikan. Apakah kamu baru saja melihat mayat mayat itu ? " tanya Anita dengan ketakutan. " iya aku sudah melihatnya, sudah jangan lagi kamu merasa sendiri. Ada aku disini " jawab mas Donny menenangkan istrinya. Sejak menyusuri lorong demi lorong mereka menemukan lemari tua dengan laci sedikit reyot yang menutupi ujung lorong. mas Donny mencoba menggeser lemari seakan otaknya berfikir bahwa ada sesuatu dibalik itu. Dan ternyata benar lemari itu terbanting ke kanan dan meremukkan kayunya yang lapuk. Puluhan dokumen dan surat berharga tersebar di atas lantai. Dokumen dokumen itu terlihat sangat tua. Terlihat dari debu tebalnya yang menempel dan beberapa laba laba yang berlarian dari tumpukannya. Mereka memilah satu persatu dan keyakinan mereka semakin benar. Dokumen dokumen itu menjelaskan informasi pemilik bangunan itu dan siapa mereka dan beberapa surat tanah bernilai tinggi yang bisa jadi disimpan oleh seseorang untuk tujuan tertentu. Namun pertanyaan mereka berdua adalah siapakah mayat mayat yang tergeletak di sepanjang penyusuran tadi. Dibalik lemari itu ada lubang besar dan gelap. Hanya itu satu satunya lorong yang bisa dilalui. Mereka memberanikan diri untuk masuk kedalam dan menahan nafasnya dari bau bangkai yang teramat kuat. Seketika sosok gadis berkerudung hitam muncul dari belakang mereka dan melengkingkan teriakannya sambil menunjuk kearah tembok di sisi kiri mereka. Sesekali sosok itu terbang dan menempel di plafon lalu berteriak sambil mengungkapkan amarah sambil terus menunjuk arah tembok di sisi kiri mereka berdua. Sungguh dengan perasaan terkejut mereka mencoba mengikuti kemauan sosok tersebut. Dengan mencoba membongkar tembok lapuk dengan semen yang sudah hampir hancur itu mereka menemukan satu mayat lagi. Dengan tubuh yang masih belum rusak dan setengah membusuk.Sosok seorang perempuan dengan kaki dan tangan terikat dibalik dinding yang disemen paksa oleh seseorang entah untuk tujuan apa. Sontak hal ini membuat kedua suami istri ini shock dan meneteskan keringat ketakutan, bulu kuduk mereka merinding diikuti syaraf mereka yang tiba tiba berhenti berfungsi. Mereka terdiam di lantai dengan mata terbelalak dan mencoba memberanikan diri untuk mengeluarkan mayat itu dari lubangnya. Setelah itu sosok berkerudung hitam itu pergi dan menjatuhkan lampu tua di atas plafon yang akhirnya jatuh dan pecah di lantai. Diantara pecahan kaca bohlam itu terdapat sepucuk surat dari seseorang yang berisi tentang rencana pembunuhan dan identitas korban. Mereka berdua masih terdiam dan terpaku . Rasa takut yang menghantui mereka tak kunjung hilang hingga mereka berusaha menyeret kaki mereka untuk lekas keluar dari bangunan tua yang terkubur tanah itu. Mereka tetap berusaha mengalihkan rasa takutnya dengan terus mencoba melewati lorong gelap dan busuk itu. Di dalam lorong mereka kembali merekam kejadian mengerikan, saat sosok makhluk halus berwujud ribuan tangan hendak mencengkeram mereka. Anita sangat histeris kala itu dan berusaha melindungi diri dibalik punggung mas Donny. Dengan pisau yang ada, mas Donny akhirnya mampu mengusir makhluk itu dengan menebaskan pisaunya hingga beberapa tangan dari makhluk halus itu terputus dan jatuh menjadi darah. Mereka melanjutkan menyusuri kegelapan di lorong itu hingga ujung dan menemukan bekas retakan di dekat pipa pipa yang kemungkinan adalah pipa selokan dan pembuangan. Dengan tenaga yang ada, mas Donny mencoba mencongkel sedikit demi sedikit tembok itu menggunakan pisau dan alat seadanya. Hingga retakan itu tergerus dan melebar. Ia memaksa untuk menabrakkan dirinya ke tembok itu hingga temboknya pecah berhamburan. Dan ia menemukan cahaya menembus serpihan retakan yang semakin membesar itu. Ia mendobrak lebih keras dan akhirnya berlubanglah tembok itu dan cahaya menyilaukan menerangi gelapnya tempat mereka berada. Seketika seluruh penampakan ruangan itu terlihat jelas. Betapa pemandangan mengerikan, ternyata bangunan itu adalah rumah besar yang sudah bertahun tahun terbengkalai. Dan mereka juga baru memahami bahwa lubang yang mereka gali itu ternyata bersambungan langsung dengan halaman pekarangan depan rumah mewah mereka. Sungguh pemandangan yang mengagetkan. Setelah itu mereka mencoba menghubungi pak Sofyan, Detektif, Paranormal dan Kepolisian. Beberapa menit berlalu mereka pun dijemput oleh Ambulans dan diminta menceritakan kronologis kejadian serta detail detail yang mereka saksikan didalam sana. Karena sudah cukup bukti dan data mereka sudah terlalu lelah, mereka diharuskan beristirahat dan proses evakuasi dilanjutkan oleh tim kepolisian. Setelah beberapa tim khusus masuk ke bangunan itu dan mengumpulkan semua bukti yang ada, akhirnya setelah seminggu kasus yang lama belum terpecahkan itu terkuak. Atas dasar motif apa pembunuhan itu direncanakan dan siapa saja korban yang terbunuh menjadi jawaban atas misteri yang selama ini terlupakan. Walaupun pak Sofyan awalnya tidak percaya, namun pada akhirnya beliau memutuskan ikut membantu mengusut hal ini di kantor polisi. Ia mengatakan bahwa beberapa bulan yang lalu ia menemui seseorang yang tak ia kenal di stasiun kereta Padalarang. Dan orang tersebut menyerahkan dokumen surat tanah. Yang akhirnya berkaitan dengan ini semua. Pria asing tersebut diduga bernama Handoko, seorang pembunuh berdarah dingin senior yang sudah lama menjadi incaran polisi karena memiliki sekelompok penjahat bersenjata yang selama ini selalu membunuh korbannya untuk mengumpulkan kekayaan dengan merampok surat surat wasiat dan surat akta tanah. Lalu memperjualbelikannya secara ilegal. Sedangkan enam belas tahun yang lalu, rekan rekannya yaitu Muchlis, Janet dan Arwin sudah ditembak paksa oleh kepolisian karena mencoba melawan proses penangkapan di kepulauan Sumbawa. Dari semua tim hanya Handoko yang lolos dan saat ini masih berkeliaran di kota Bandung. Entah karena dihantui rasa bersalah atau dihantui korban korbannya, Handoko saat ini kemungkinan sedang merasa tertekan dan ingin melepaskan semua kejahatannya dengan memberikan aset aset hasil perampokannya pada beberapa orang di bidang yang sama, yaitu penadah tanah atau para insinyur bangunan. Karena ditengarai bila aset tersebut diberikan pada mereka. Maka hal itu mampu mengelabui kepolisian dari proses pencarian, sehingga saat penangkapannya pun takkan memiliki bukti apa apa. Melalui informasi pak Sofyan, maka sejak hari itu banyak polisi dan intel berjaga di stasiun Padalarang untuk mencoba menangkap basah Handoko yang bisa jadi masih membawa puluhan dokumen lain yang akan ia berikan pada orang asing disana. Ternyata benar adanya, saat itulah polisi mencurigai sosok berkacamata itu. Yang tak lain adalah Handoko yang sedang menyamar menjadi tukang parkir. Dengan sigap polisi menyergapnya dan meringkusnya untuk dibawa ke kantor polisi untuk sebuah pengakuan. ***********Next Chapter********** Chapter 10 - Final Setelah teringkusnya Handoko di kepolisian, lantas semua mata memandangnya penuh ambisi untuk menanyainya ribuan pertanyaan. Secara mental mungkin Handoko adalah pria yang sangat terganggu. Dia memiliki sifat Bipolar yang dimana mudah berubah ubah dari pendiam, periang lalu pemarah. Untuk mengontrol emosinya, beberapa batang rokok dan kopi disuguhkan untuk pendamping klarifikasinya sebelum dipenjarakan seumur hidup atas dakwaan pembunuhan berencana belasan tahun yang lalu. Kepolisian dan pak Sofyan tengah menjadi saksi untuk pengakuannya. " apa yang pernah kamu lakukan, apa motif kamu hanya sekedar merampok aset tanah, atau sekaligus membunuh nyawa mereka?? " tanya kepala kepolisian. " saya??? Hahhaaha. Saya ingin tertawa berada disini. Lebih baik bunuh saja saya agar cepat mati " kata Handoko dengan manantang dan tertawa. Pukulan telak di pipinya untuk menutup mulut Handoko dari penertawaannya. Lantas ia tergeletak di meja dengan kesadaran dan tangisnya. Mungkin ia gila mencampuradukkan tangisan dengan tawaan yang membuat seluruh orang di ruangan menjadi bingung. Maka tak ingin proses berlama lama Kapolda Braga menunjukkan foto korban terakhir yang ia kubur beserta rumahnya tepat dibawah rumah pak Sofyan. Korban itu bernama Rahma. Dia adalah mahasiswi universitas swasta di Kota Bandung. Yang tengah menjalani semester 4 dan terpaksa keluar kampus karena hamil muda. Dia terlahir dari keluarga sederhana namun warisannya tiada tara dari sang nenek. Tinggal berempat dengan orang tua dan adiknya Bella. Saat itu Bella masih sangatlah kecil. Kira kira berusia 4 tahun dan menyaksikan pembantaian keluarganya. Kehamilan Rahma juga diduga karena perbuatan Handoko dan kawan kawannya selepas merampas hak aset keluarganya. Lalu lari dan mengubur rumah beserta mayatnya dengan tanah menggunakan excavator. Belasan tahun bergaya layaknya seorang insinyur palsu, Handoko berkeliaran untuk memperjualbelikan aset asetnya secara ilegal. Dan kini semua cerita Handoko menjadi saksi betapa terpuruknya kejadian yang menimpa keluarga Rahma. Masih menjadi misteri kemanakah selama ini Bella adiknya yang saat dibongkar itu tidak kunjung ditemukan. " lalu kamu kemanakan adiknya? " tanya kepala kepolisian. " saya ga tau, yang saya tau cuma uang dan setelah menghabisi Rahma saya kubur didalam tembok lalu pergi begitu saja " jawab Handoko santai. Beberapa bukti yang ditemukan dibawah sana sudah cukup memperkuat bahwa Handoko akan dipenjara selamanya, dan setelah evakuasi semua mayat yang ditemukan pun telah dikuburkan dengan layak. Dan Handoko masuk kedalam jeruji setelah itu. Kini polisi melanjutkan pencarian terhadap Bella, adik Rahma yang menghilang secara misterius. Beberapa bulan dihabiskan untuk penelusuran mereka ke seluruh kota dan masih belum menemukan hasil. Sedang rumah mewah Anita terpaksa dihancur leburkan sejak kejadian itu. Mereka meratakan tanah dan bersepakat untuk memberikan surat dan aset itu pada Bella apabila ditemukan. Saat ini semua dokumen sudah diserahkan pada kepolisian dan Anita tinggal bersama suaminya di perumahan baru. " syukurlah pa, Anita masih selamat dari bencana itu. Cukup menjadi pelajaran ya pa " kata Anita " iya nak, maafkan papa. Ini semua karena papa terlalu cepat mengambil tindakan. Lagipula kita harus mengembalikan hak tanah itu pada yang memiliki hak. Kita harus bantu polisi untuk mencari tahu dimana Bella berada. Kalau dulu ia berusia 4 tahun pasti sekarang ia sudah berumur 23 tahun. Semoga cepat ketemu ya " kata pak Sofyan bijak. " oh iya pa kita tetap telusuri pencarian mas Rizal kah? " tanya mas Donny " entahlah " kata pak Sofyan ---- Di sebuah lorong kecil berlubang, tepat di bawah hutan pinus. Dalam proses penyembuhan luka disitulah ternyata mas Rizal masih hidup dan bertahan . Ia terselamatkan dari kematian. Ia menemui seorang gadis cantik dan baik hati. Yang ternyata adalah Bella. Sosok yang selama ini sedang dicari kepolisian dan pak Sofyan. Selama berbulan bulan. mas Rizal memang memiliki hubungan khusus dengannya dan setelah sembuh mereka mencoba keluar hutan untuk kembali pada pak Sofyan. Dengan menumpang pick up mereka menuju rumah pak Sifyan dan betapa terkejutnya keluarga pak Sofyan. " mas Rizall???!!!!!"" " ya Tuhan kamu masih hidup??!!" teriak mereka dan memeluk mas Rizal dengan baik. Lalu memberikan sambutan atas kembalinya dia. Sungguh betapa mukjizat tuhan ia masih bertahan hidup dan kembali ke rumah itu. Yang menjadi pertanyaan adalah gadis yang berada disampingnya. Yang dikenalkannya sebagai pendampingnya yang menyelamatkannya dari hutan itu. Bella namanya. Betapa terkejutnya mereka melihat adanya kesamaan wajah antara foto dan wajah Bella saat itu. Mereka semua mencoba menceritakan kisah itu dan Bella pun menangis tersedu karena dengan tidak sengaja bertemu mereka yang mengingatkan kembali kisah kelam itu. Namun beberapa hal bahagia juga akan menyambutnya karena ia memiliki kembali apa yang sudah menjadi haknya yang lama terenggut dan membuatnya hidup sebatang kara didalam hutan itu. Setelah kejadian ini seluruh kepolisian menutup kasus ini dan menjadikan hal ini sebagai warta berita di media sebagai penyelesaian kasus yang telah terkuak. Setelah itu mereka hidup dengan keadaan layak dan seharusnya. " Thanks for support, udah bantu baca hingga selesai cerita ini. Semoga bisa menjadi hiburan dan cerita yang menginspirasi secara positif " Description: Misteri sebuah rumah tua yang terkubur dibawah sebuah rumah, kejanggalan dan kasus misterius yang sudah lama menghilang, sedikit demi sedikit terungkap secara tidak sengaja.
Title: Rose's Queen Anne Category: Adult Romance Text: PATTERN #1 Menunggu adalah hal yang menyebalkan. Dan menunggu untuk satu hal yang sudah menjadi harapan selama beberapa minggu lamanya, menjadi hal yang berkali-kali lipat menyebalkannya. Kubuka kembali laman e-mail di laptop, mengetik Eastfin Group di kolom pencarian inbox, lalu menemukan beberapa e-mail dengan e-mail teratas pada tanggal 13 October 2019. E-mail yang menyatakan aku lulus di tes tahap dua sebagai Strategic Manager di perusahaan yang bergerak di bidang finansial di Melbourne. Di sana, ada link yang mesti kubuka untuk mengikuti tes online tahap tiga, alias tes terakhir sebelum ikut interview langsung ke kantor pusat Eastfin di Melbourne kalau lulus. Aku sudah ikut tesnya, dan sekarang, aku sedang galau menunggu hasilnya. Beberapa tahun lalu aku mendapatkan kesempatan beasiswa kuliah magister di kota itu. I just love staying there. Suasananya, orang-orangnya, semuanya. Tapi Mam selalu bilang, “Jangan jauh-jauh dong, Rose. Mam ini udah tua. Sienna juga udah nikah dan tinggal sama suaminya. Masa Mam sendirian? Kalau kamu kerjanya di luar kota aja, Mam masih bisa kuat berangkat sendiri nengokin kamu. Nah kalau di luar negeri? Gimana? Di sini aja cari kerjaan barunya, Rose.” Do I have another choice? Absolutely, no. Bagaimana bisa aku tega membiarkan Mam memintaku sebegitunya untuk tetap stay di Jakarta? “Kerjaan bagus juga banyak di Jakarta, Rose. Kamu kan pinter, background pendidikan oke, nggak mungkin kamu nggak dapet kerjaan bagus di sini. Kamu belum kerja lagi sekarang juga pasti karena kamunya yang terlalu milih. Coba dulu deh, cari kerjaan lagi di Jakarta, kayak dulu setelah kamu lulus kuliah S2.” That was the time when I decided to work in one of start-up companies di Jakarta. Aku bergabung di start-up yang bergerak dalam bidang kuliner in a very huge volume, from the very beginning. Dari menjadi HRD, menjadi marketing, menjadi analis, semua dihajar. Bersama Aiden, teman kuliahku di Melbourne, kami bergabung di perusahaan yang dirintis oleh Kevin, sobatnya Aiden, yang juga anak dari pengusaha tambang sukses di Indonesia. He’s rich from top to toe, tapi bukan cuma jadi anak-orang-kaya, Kevin memang berjiwa bisnis banget. So when the money is good enough, you really use your brain properly, then the big business will show themselves—itulah yang Kevin miliki. Bertahun-tahun bekerja bersama timnya Kevin adalah zona nyamanku. I mean, it was hard. Banyak ups and downs yang gila-gilaan dan nyaris tak terprediksi kapan terjadinya. Tapi pada akhirnya, kami bisa mengantarkan start up-nya Kevin itu ke skala nasional, dan sebentar lagi akan merambah ke Asia Tenggara. “Kenapa kamu resign dari kantor coba, Rose? Kan udah enak kerja di sana. Kamu bilang juga temen-temenmu nyenengin....” But Kevin is my ex—itu, Mam. Itu alasan sebenarnya. He was cheating on me. Mam tidak pernah tahu anak perempuannya ini beberapa minggu lalu memergoki Kevin check out dari hotel dengan si jalang Catherine, Finance Manager di perusahaan Kevin juga. “Bosen Mam, mau nyari tantangan baru. Mam ikut ke Melb, ya, kalau aku lulus tes Eastfin.” Kupeluk Mam saat memintanya setuju dengan rencananku. Minggu pagi, seperti biasa, Mam menyiapkan teh hangat dan roti mentega di meja makan. Dan seperti biasa, hanya ada kami berdua saat weekend karena Sienna sibuk menghabiskan waktu bersama suaminya—they seem having their honeymoon days for every single day! Serius! Dikit-dikit, tiap weekend: Mau ke Bali, Mam; Mau ke Lembang, Rose; kami mau datang ke acara launching kafe baru temennya Mas Dave—and so on, and so on. Mam meletakkan cangkir teh hangatnya, menatapku. “Kenapa sih ke sana? Jauh, Rose. Ntar Mam nggak cocok jadi orang sana gimana?” “Kalau gitu... boleh aku kerja di sana? Dua atau tiga tahun…? Bentar aja, Mammm....” Mam menatapku lekat, seakan ingin membaca apa yang sebenernya kupikirkan hingga ingin pergi sejauh-jauhnya dari Jakarta. “Kasih Mam alasan kenapa kamu ingin ke sana, dan bukan di sini.” Kuangkat bahu, bersikap sok santai. “Cuma pengen, Mam.” “Kamu pikir cuma pengen bisa jadi alasan cukup kuat untuk kita pergi, Rose? Gimana dengan urusan bridal punya Mam?” “Ada Tante Sandra yang pastinya akan sangat happy kalau Mam mempercayakan bisnis bridal Mam ke dia.” Muka Mam langsung berubah sedih, saat itu juga aku langsung menyesal sudah berbicara demikian. “Maaf, Mam. Aku nggak bermaksud menyepelekan bisnis Mam yang udah puluhan tahun itu....” “Tapi kamu memang nggak pernah memikirkan serius soal bridal Mam, Rose. Buktinya, cuma Sienna yang mau turun bantu Mam. Kamu nggak pernah mau ikut. Kan kalau suatu saat Mam—” “Jangan mulai,” rajukku. “Mam akan baik-baik aja. Sehat, sehat, sehat, panjang umur. Amiin!” “Ya gimana mau sehat kalau tiap hari mikirin kamu yang maunya kabur mulu ke luar. Waswas tau nggak sih, Rose, kalau mikirin keinginan kamu tuh. Kalau kuliah dua tahun, Mam bisa maklum. Ini kalau udah kerja di sana, asyik di sana, kamu bisa lupa sama Mam di sini.” “Ya nggak gitu juga, Mam. Aku bukannya nggak pengen tinggal sama Mam. Cuma… ya pengen aja ke sana, Mam.” Mam lagi-lagi menatapku dengan tatapan seperti di film-film, “You better tell me, Little Girl. I know you hide something from me.” “Jadi, apa yang terjadi sampai kamu keukeuh begitu?” Mam bertanya straight to the point. Kupandangi kedua mata Mam yang begitu serius menunggu jawaban. Rambut bercat hitamnya yang terurai melewati bahu, menambah kesan tegas di dirinya. Dan aku menyerah. Daripada ada air mata yang berkhianat keluar dari persembunyian karena aku memendam semua ini sendirian, kukatakan saja pada Mam, “Aku putus dari Kevin. And it broke my heart. Aku pengen self-healing dulu. Boleh ya, Mam, aku coba lanjut tes di Eastfin?” Mam membuang napas panjang sebagai respons atas pertanyaanku. PATTERN #2 Another next day, dan aku masih belum juga menemukan e-mail terbaru dari Eastfin untukku. Berusaha mengenyahkan kecemasan, aku kembali menekuni laman job seeker, sampai mengubek-ubek LinkedIn. Ada banyak pekerjaan menarik yang sesungguhnya ingin kucoba apply, tapi mencoba berpikir positif, pada akhirnya aku menutup semua laman itu dan memutuskan membaca artikel lain saja sambil menunggu kabar dari Eastfin. Sebetulnya, seperti yang Mam bilang, history pengalaman kerjaku tidak buruk-buruk amat untuk dapat pekerjaan yang baik di perusahaan yang ada di Jakarta. Tapi tetap saja, aku masih ingin untuk mencoba mendapatkan pekerjaan yang proper di Melbourne, seperti Eastfin ini. I have many reasons to miss the city. I missed the cricket games, the river cruise, ah jangan lupa Yarra Valley Winneries with lunch-nya. Bagiku, Melbourne adalah tempat yang menyenangkan untuk menikmati momen bersama diri sendiri. Bersama dengan teman-teman juga, tentu saja. But don’t ask me about love. Selama tinggal di sana, aku sukses menjomlo. Bukan berarti aku tidak didekati cowok-cowok sono untuk berkencan. Yes, we were having fun. I had many dates with the boys. Tapi yang membuatku jatuh cinta? I found none. Sampai akhirnya aku kembali ke Jakarta, aku malah bertemu dengan si Kevin berengsek. Oh, damn. Better to not to talk ‘bout that disgusting man. Man? Sorry, kuralat. Dia bahkan bukan seorang pria. Rayap saja lebih baik daripada dirinya. Beberapa spesies rayap bisa sangat setia terhadap pasangannya. Ratu rayap bisa jadi pasangan seumur hidup bagi rayap jantan yang jadi raja. See? Tell me which one is better. Rayap, or that disgusting.... thing. “Si!” Aku kaget waktu mendengar suara Mam yang memekik kaget begitu. Buru-buru aku keluar dari dapur, tidak menyelesaikan acara makan sereal sambil menatap laptop sepanjang pagi. “Kenapa, Mam?” tanyaku ikut panik, bergegas menuju ruang tamu. Suara pekikan Mam datang dari arah sana. Di dekat pintu, Sienna berdiri dengan kepala menunduk. Bahunya naik turun, tanda sedang menangis. Aku mencoba mencerna apa yang terjadi. Kenapa Sienna yang biasanya tampil supermodis bak seorang model, sekarang kelihatan kuyu dan tak peduli fashion dengan pakaian yang nggak matching sama sekali itu? Sienna yang biasanya, will say no to green top with red pant seperti yang dia pakai sekarang. Bukan Sienna banget! Kakakku itu seperti asal ambil pakaian dari lemari bajunya! Dan, astaga! Kenapa Sienna bawa-bawa koper besar bersamanya? Apakah dia minggat dari rumahnya?! “Si? Kenapa, Si? Kok nangis begini?!” Mam bergerak mendekat pada Sienna yang semula dalam posisi berdiri dan kini ambruk duduk di lantai. Menonton pemandangan seperti itu, aku bingung bukan main. Apa yang terjadi pada Sienna sampai terlihat berantakan seperti ini? Pelan, namun tak ingin merecoki kakakku, aku berjalan mendekati dia dan Mam. Mam ikut berjongkok, memeluk Sienna yang masih menundukan kepala. Saat Mam memeluk dirinya, Sienna langsung menangis keras. Mam langsung ikut menangis sambil mengusap-ngusap kepala Sienna. “Kenapa, Si? Kasih tau Mam. Jangan bikin Mam takut kayak gini.... kenapa kamu kalut begini? Buat apa bawa koper? Mau ke mana?” Di tempatku, aku tetap diam melihat semuanya. Sienna yang tampak frustrasi luar biasa sampai menangis histeris seperti itu, dan Mam yang putus asa karena kakakku itu hanya menangis keras tanpa memberikan jawaban. Di sela-sela tangisnya, sesekali Sienna bersuara, “Dave, Mam… Dave…." Mencoba mempertahankan akal sehatku dan tidak ikut terbawa emosi yang bahkan tidak aku pahami alasannya, aku bergegas beranjak ke dapur. Kuharap secangkir teh dapat meredakan emosi Sienna—juga Mam. *** “Aku mau cerai.” HAAA?!! Bibirku terbuka lebar saking kagetnya mendengar ucapan Sienna. Cerai darimana ceritanya? Bukannya kehidupan rumah tangga mereka harmonis banget? Romantis luar biasa? Ke mana Sienna yang selama ini selalu menunjukkan dirinya yang jatuh cinta banget pada Mas Dave-nya? Sementara aku terbengong-bengong sendiri, Mam bereaksi jauh lebih kalem daripada aku. Mungkin Mam bisa langsung menebak kenapa waktu tadi Sienna menangis sebegitunya dan menyebut nama Dave, sampai akhirnya saat Sienna mulai tenang dan bisa bercerita, Mam sudah siap dengan apapun yang akan diberitahukan Sienna pada kami. Sienna mengangkat wajah. Cewek yang usianya tiga tahun di atasku itu tampak menegarkan diri waktu berbicara, “Aku nggak bisa diperlakukan seperti ini terus. Seperti orang bodoh yang cuma diam sementara suaminya selingkuh sama wanita lain selama dua tahun terakhir. Aku nggak sanggup terus berbohong tentang kebahagiaan pernikahan, padahal aku sama sekali nggak punya itu semua. Dan Dave secara terang-terangan bilang kalau perasaan dia untukku nggak seperti dulu lagi. Buat apa aku mempertahankan rumah tangga yang penuh omong kosong ini, Mam?” AP— APA YANG TADI DIA BILANG?! Teriakanku itu bahkan hanya kuungkapkan di dalam kepala. Tapi kepalaku langsung sakit saat mencerna perlahan apa yang terjadi pada kakakku satu-satunya itu! “Kamu sudah memikirkan matang-matang?” Mam meneguk tehnya. Dia mengalihkan pandangan ke taman kecil di belakang rumah melalui jendela kaca di ruang makan, tempat favorit kami bertiga bila sedang berbincang. “Apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu, juga sudah memikirkan bagaimana hidupmu ke depannya nanti tanpa dia? Kita nggak bahas soal finansial, toh kamu juga punya pekerjaan. Bisnis bridal kita adalah pekerjaan buatmu. Yang Mam bicarakan sekarang adalah perasaanmu, kesiapan mentalmu untuk menghadapi perubahan besar dalam hidupmu. Kamu harus pertimbangkan semuanya, Sienna. Kamu yang paling tau apa yang terbaik untuk kamu lakukan....” Menutup kembali bibirku, aku menyadari satu hal kenapa Mam bisa tak emosional seperti yang kukira: karena Mam pernah berada di posisi yang sama dengan Sienna. Dia meminta bercerai dari Papa saat aku masih kelas dua SMP. Mam pasti bisa memahami perasaan Sienna sekarang. Jadi, bukannya membombardir kakakku itu dengan pertanyaan dari A sampai Z kenapa perselingkuhan Dave bisa terjadi dan kenapa Sienna diam saja selama dua tahun, Mam memilih untuk tak berkomentar banyak. Mam cukup menemani Sienna, memberi kekuatan di titik terendah hidup kakakku itu. At that same time, I feel like all the boys in the world are so suck. PATTERN #3 “Selamat siang, Bu Nina! Apa kabar? Udah lama banget, Bu, nggak ketemu!” Seorang cewek ber-pantsuit hitam dan blouse ungu terang, tampak begitu antusias waktu melihat Mam datang. Cewek yang sebelumnya berdiri di samping meja resepsionis dan berbincang di telepon, bergerak semangat ke arah Mam setelah menutup teleponnya. “Ika, kayak yang nggak ketemu aja tiap hari,” sahut Mam ringan, lalu mereka pun cipika-cipiki. Cewek yang dipanggil Ika pun tertawa pelan. “Kan kemaren dua hari Bu Nina nggak dateng ke sini. Rasanya udah lama aja gitu, Bu, nggak ketemu.” “Iya, Ka, saya perlu mengurusi beberapa hal beberapa hari belakangan. Tapi semuanya oke-oke saja, kan? Planning-planning kita berjalan baik?” Yap, ‘beberapa hal yang perlu Mam urusi beberapa hari belakangan’ adalah persiapan perceraian Sienna. Tentu saja, aku hanya memberitahu cewek bernama Ika-Ika itu di dalam hati. Mam sudah meminta Dave datang ke rumah untuk bicara enam mata—Mam, Dave, Sienna. Melalui telepon, pria itu bilang dirinya sedang dinas di beberapa kota di Sulawesi, jadi baru bisa datang menemui Mam besok lusa. Dari prioritas Dave yang ‘bukan tentang mempertahankan rumah tangganya dengan Sienna dan lebih memilih kesibukan pekerjaan’, membuka mata Mam lebar-lebar bahwa Sienna sudah membuat keputusan yang tepat. “Oh gitu, sedang ada urusan ya, Bu. Pantesan, Bu Nin, Jenny dari kemarin kasak-kusuk nanganin klien. Kayak ayam kehilangan induknya pas Ibu nggak ada. Apalagi Bu Sienna juga kan sudah seminggu nggak handle, Bu,” sambung Ika lagi. “Tapi Bu Sienna udah nggak dirawat lagi, Bu? Sudah sehat kan, ya?” Mam menoleh kikuk padaku. Siapa yang bilang Sienna sakit? Dia kan— “Iya, kecapean kali dia sampai typhus begitu. Tapi sekarang udah pulih kok, tinggal istirahat buat pemulihan aja.” I see. Mam berbohong pada teman-teman kerjanya tentang alasan Sienna absen cukup lama dari Belle Ame. Oh, by the way, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantor Belle Ame. Seumur-umur Mam merecokiku untuk mengurusi Belle Ame—dan aku selalu menolak—baru kali ini akhirnya aku mengalah untuk setidaknya mengabulkan permintaan Mam. ‘Liat dulu aja, Rose. Biar kamu tau bridal kerja sama kita di Belle Ame itu gimana. Ntar Mam kenalin juga sama Bu Sandra, owner-nya. Dia orangnya oke banget buat handle wedding organizer begini. Makanya Mam nggak sungkan kerja sama dengan dia. Sudah enam tahun kita kerja sama. Walaupun orangnya agak galak dan tegas, tapi yah, dalam bisnis sih biasa, ya. Yang penting dia jago nge-manage urusan permintaan klien.’ Itu yang Mam bilang semalam, di saat aku terbangun dari ketiduran di depan TV di ruang tamu. Sudah pukul sebelas malam, dan kulihat Mam masih bergelut di dapur untuk menyiapkan secangkir susu hangat. Buat Sienna, bukan buatku. Aku baik-baik saja. Kakak sulungku yang tidak baik-baik saja—sangat tidak baik-baik saja. Sebelum beranjak menuju kamarku yang sedang ditempati Sienna, Mam berjalan ke arahku. Segelas susu masih Mam pegang di tangan kanannya. Diam selama dua detik, Mam akhirnya berkata, “Rose, bantu Mam di bridal, ya? Mam bakal kerepotan kalau sendirian handle. Kamu lihat sendiri kondisi Sienna sekarang bagaimana. Biasanya dia yang bantu. Tapi sekarang kan, ada urusan jauh lebih penting yang mesti dia pikirkan dan selesaikan. Bisa kamu pertimbangin untuk bantuin Mam, Nak?” Mam serius. Benar-benar serius dengan permintaannya. Mam tidak pernah memintaku dengan cara sehalus—dan seputus asa ini. Menyadari diamku, Mam cuma tersenyum dipaksakan. “Ya udah nggak apa-apa, kalau kamu memang nggak minat di bisnis ini. Mam mungkin akan rekrut orang untuk—” “Aku liat dulu aja ya, Ma? Aku belum bisa memutuskan untuk ikut handle atau nggak, tapi... yah, aku coba liat dulu. Siapa tau aku bisa nyari sesuatu yang bisa kulakuin di sana...?” Ucapanku pada Mam lebih bernada pertanyaan pada diriku sendiri. Cause, yes... I doubt myself. Apa iya aku mau terjun juga mengurusi urusan pernikahan orang lain bersama teman-temannya Mam di Belle Ame? Apa iya aku mau melepaskan harapanku untuk bekerja di Eastfin demi Belle Ame...? Tapi, apa iya... aku ngotot tetap pada pendirianku, sementara Mam sudah memohon padaku seperti itu? “Iya, Bu, Semoga Bu Sienna cepet aktif lagi.” Ucapan Ika menyeretku kembali pada masa kini. Detik berikutnya, dia tersenyum padaku. “Ini....” “Oh, saya sampe lupa!” Mam mengibaskan tangan kanannya. “Ika, ini anak saya, adiknya Sienna. Namanya Rose. Rose, ini Ika.” Ika mengangguk ramah, lalu menjulurkan tangan. “Halo, Mbak. Saya Ika, resepsionis di sini.” Aku ikut mengangguk dan membalas juluran tangannya. “Halo, saya Rose.” Setelah jabatan tangan terlepas, Ika lanjut bertanya dengan nada semangat—entah kepo. “Mbak, Mbak ntar di sini juga? Nanganin bridal di sini? Kayak Bu Sienna?” Lalu, dia pun menoleh cepat pada Mam, bahkan sebelum memberiku kesempatan untuk menjawab. “Wah, pasti asyik, Bu, kalau timnya Bu Nina makin banyak. Sekarang klien makin banyak, Bu. Mereka puas dengan arahan Bu Sienna. Kalau dibantu sama Mbak Rose, pasti lebih rame lagi. Mbak Rose kayaknya pas banget nih jadi orang bridal.” Hello, excuse me? Dari mana dia bisa tahu dan memutuskan bahwa aku cocok di bisnis bridal? But wait, I need to shut my mouth. Jangan sampai aku mempermalukan Mam karena menunjukkan dengan jelas bagaimana aku tidak sreg pada cerocosan salah satu karyawan di tempat ini. “Pengennya gitu, Ka. Saya berharap Rose mau gabung, semoga saja. Dia sedang menimbang-nimbang,” sahut Mam tidak kalah semangat, lalu tersenyum padaku penuh makna. Oh, Mam, jangan menaruh harapan terlalu tinggi padaku, please. “Nin! Nina!” Mam memutar kepala, menemukan seorang wanita berusia empat puluhan yang tampak fabulous dengan well fitted blazer putih yang dia kenakan. Givenchy’s Antigona berwarna hitamnya dia tenteng di tangan, sedang tangan kirinya memegang ponsel. “Talk to you later, bye.” Aku bisa mendengar wanita itu berbicara sebelum menutup telepon, sampai akhirnya berjalan ke arah Mam dan cipika-cipiki dengan Mam. “Anaknya Pak Dewan, Henri sama Belinda, bikin pusing kepalaku, Nin. Heran, udah dikasih venue terbaik, masih aja rewel pengen ini-itu. Tapi urusan baju nikah dan lainnya, udah oke, kan?” Mam mengangguk. “Nggak ada masalah, sih. Kemaren sempet pengen ngubah warna gold-nya, tapi udah beres. Sienna udah koordinasi sama pihak mereka.” “Sounds good,” jawab wanita di hadapan Mam mantap. Seperti Ika tadi, butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya dia menoleh padaku dan berkata, “Ini Rose, ya? Yang kuliah di Melbourne?” “Iya, ini anakku yang susah banget diajakin ngurus bridal, San. Susahnya minta ampun. Coba kamu yakinin dia buat bantu aku di sini,” keluh Mam. Nadanya bercanda, tapi aku tahu pasti, Mam serius dengan ucapannya itu. Aku senyum kikuk. Kok Mam tega membuatku merasa berada di posisi bersalah seperti sekarang? Kuulurkan tanganku dan berkata, “Salam kenal, Tante. Saya Rose. Mam banyak cerita tentang Tante.” “Hai!” responsnya semangat. “Cerita tentang saya... in a good way atau malah sebaliknya?” “Good dong, Tante—eh, Bu...,” jawabku. “Ya, ya, you can call me Bu Sandra while we are working,” sahut wanita itu sambil mengibaskan sebelah tangan. Momen itu, ada nada bossy banget yang sempat kubaca dari Bu Sandra. Tapi, buru-buru kuenyahkan pikiran itu dan menunggu Mam dengan dirinya mengobrol soal pekerjaan. Sampai beberapa saat kemudian, Ika memotong, “Bu Sandra, Bu Nina, itu anaknya Pak Iryawan datang. Mbak Neisya sama calon suaminya, Mas Yasta.” Yas... ta? Nama yang tidak banyak dipakai orang itu baru kali ini kudengar lagi... .... HAHAHA! Ada ribuan nama yang sama. Ada ribuan nama Yasta di dunia ini. Aku pasti sudah gila bila berpikir Yasta yang Ika maksud adalah Yasta yang ‘itu’. Bu Sandra berbalik badan, diikuti dengan Mam yang maju selangkah hingga berdiri di samping Bu Sandra. Di samping mereka, aku refleks memutar badan, melihat ke arah yang sama—pada pintu utama Belle Ame, di mana kini sepasang kekasih baru saja melangkahkan kaki masuk ke lobby. Dan detik itu juga, tubuhku membatu. Ada air dingin yang rasanya disiram begitu saja di atas kepalaku saat melihat sosok cowok yang sialnya, kini menatapku dan menyadari keberadaanku di sini. Haven’t I told you ‘bout Kevin? Sebegitu bencinya aku padanya hingga rasanya tak ingin mendengar namanya lagi? Let me tell you, Kevin tidak ada apa-apanya dibandingkan Yasta. Yasta, dia jauh, jauh, jauh lebih berengsek! Bisa-bisanya aku kembali berjumpa dengan manusia paling berengsek yang pernah kukenal seumur hiduku?! Oh, damn! My life is just totally fucked up! PATTERN #4 A few years back. Satu hal yang jadi pertanyaanku tadi malam adalah: kenapa sih interview kerjaan untuk positioning di Jakarta, but I need to meet the director, directly, di Starbucks Bandung? Yes, I repeat. Bandung. Betul, Bandung yang itu. Yang kalau pergi ke sana di Sabtu pagi, bakal kena macet puaanjaang banget di Gerbang Tol Pasteur-nya! Bukannya aku tidak suka dengan atmosfer Bandung. Seriously, I love it anyway, homey banget. Apalagi kalau sudah nongkrong di kafe-kafe yang bertebaran di sana. Masalahnya adalah, aku baru mendapatkan email undangan interview di perusahaan kosmetik yang baru berdiri di Bandung ini pada pukul delapan malam—yap, di Jumat malam. Dan aku perlu menghadari interview-nya pada Sabtu pukul sepuluh pagi. Genius, bukan? “Kamu udah pesen travelnya, Rose?” Aku cuma mengangguk sambil mendorong dengan jari telunjuk tangan kanan sisa roti panggang ke dalam mulut. Kuteguk cepat-cepat susu cokelat yang Mam buatkan untukku. “UHUK!” Oh, bagus, sudah nyaris telat pergi ke tempat travel, dan barusan I almost die gara-gara keselek! Semoga ini bukan pertanda buruk aku telah membuat keputusan salah dengan mengiakan interview di Bandung ini. “Pelan-pelan sih makannya, Rose. Kayak anak kecil aja,” Mam ngedumel sembari menyodorkan kotak tisu padaku. Aku mengelap bibir dengan tisu, berdiri dari kursi makan, mendorongnya dengan punggung tanpa hati-hati sampai terdengar decit yang memekakkan telinga, membuat Mam sekali lagi geleng-geleng kepala melihat tindak-tandukku. “Yang kalem, santai. Mam tahu ini interview penting setelah kamu lulus kuliah S1 bulan lalu, dan kamu belum dapet kerjaan sampai sekarang.” “Yap, Mam, aku masih pengangguran, jadi interview ini penting buatku,” kuperjelas sambil buru-buru beranjak mendekat ke pintu depan. Kuambil black stilleto heels yang bagiku paling lumayan lah untuk dipakai interview, dibandingkan deretan sepatuku yang lain, yang kebanyakan adalah flatshoes. “Makanya doain Rose biar dapet kerjaan ini ya, Mam.” Mam yang sudah ada di dekatku, melipat tangan di depan dada. Wajahnya masih terlihat mengantuk setelah bangun dini hari untuk menyiapkan sarapan dan memastikan aku tidak bangun terlambat demi pergi ke Bandung. “Selalu. Tapi kamunya jangan kasak-kusuk begitu, ntar malah kejedot. Hati-hati lah. Pas diwawancara juga, jangan lupa smiling voice, yang percaya diri tapi jangan overconfident, lalu jawab seramah mungkin dan sespesifik yang kamu bisa, terus tunjukin walau kamu ini baru lulus S1, tapi kamu punya capability untuk—” “Mam, aku paham,” kataku, menghentikan cerocosan Mam. Kulihat Mam menarik napas panjang, jelas menunjukkan kekhawatirannya padaku. Kuterbitkan senyum, lalu bergerak maju dua langkah mendekati Mam. “I’ll do my best, Mam. Doain aja kalau memang ini rezekinya Rose, Rose bisa keterima. Tapi kalau nggak keterima—” “Berarti bukan rezeki kamu, dan kamu bisa apply lagi, nyoba lagi ngelamar kerjaan ke tempat lain yang pasti Tuhan rencanakan lebih baik buat kamu,” kali ini Mam yang memotong ucapanku, lalu melepaskan pelukannya. Dia tersenyum, “Anak gadis Mam udah gede, udah mau cari kerja sendiri. Nggak mau nemenin Mam aja di usaha keluarga kita?” Aku nyengir, Mam paham maksudku. “Ya udah, Mam doain yang terbaik buat kamu, Sayang.” “I love you, Mam. Terima kasih pengertiannya,” ucapku, lalu kukecup pipi Mam sebelum berbalik badan dan membuka pintu rumah. *** “Mbak, kursinya di barisan paling belakang mobil, di tengah.” Aku yang sebelumnya memperhatikan tiket travel di tangan, mendongak. Sudah ada seorang bapak-bapak yang duduk di barisan belakang, seperti apa yang dibilang Mbak-Mbak pihak travel di sampingku. “Oke, makasih,” ucapku, lalu menaiki mobil. Untungnya bawaanku tidak banyak, jadi tidak perlu ada adegan tas atau koper kecilku nyangkut di jok mobil yang kulewati. Hampir lima menit, aku masih memperhatikan para penumpang yang mulai naik. Mobil travel pun sudah hampir penuh. Asumsiku, aku bisa sampai tempat interview sesuai jadwal, karena travel ini schedule keberangkatannya pada pukul enam pagi. “Udah semua, Bang! Yang satu kayaknya nggak jadi dateng, nggak bisa ditelepon. Lanjut aja kata Bang Dedi.” Cewek travel yang tadi bicara padaku, berbicara dengan suara keras pada driver yang sudah duduk di depan sana. Setelah berbicara, dia bersiap untuk menutup pintu tengah travel, sampai kemudian sayup kudengar suara cowok, “Bentar-bentar. Ini saya duduknya di kursi belakang.” Refleks, aku menengok ke sebelah kiri, pada kursi tak bertuan. Tak lama kemudian, seorang cowok berkaus polo hitam dan jins biru luntur masuk. Topi bisbol hitam yang dia pakai saat naik, dia lepaskan setelah duduk tepat di sampingku. “Udah, Bang. Jalan.” Cewek travel tadi bersuara keras lagi. Setelahnya, pintu travel benar-benar tertutup semua. Dan aku... ah, saatnya memejamkan mata. Tidur sepanjang jalan Jakarta-Bandung adalah pilihan paling tepat. Aku berharap bisa tidur nyenyak setidaknya dalam setengah perjalanan. Tapi, baru juga mobil travel jalan sepuluh menitan, aku mendengar suara mendengkur cukup keras dari sebelah kananku. Bapak-bapak di sebelahku ketiduran dengan mulut setengah terbuka, mendengkur seakan dia sedang tidur di kamarnya sendiri. Aku membuang napas keras-keras, refleks karena merasa terganggu, yang ternyata reaksiku barusan membuat ngeh cowok di samping kiriku. Dia menoleh padaku, melirik sekilas pada bapak-bapak di ujung barisan kami, lalu berkata pelan padaku, “Lo bawa headset?” Dari jarak bicara yang cukup dekat, aku bisa melihat dengan jelas hidung mancung dan bibir tipisnya. Matanya yang agak menyipit, menatapku, menunggu jawaban. “Nggak,” jawabku sekenanya. Cowok itu lalu berbicara lagi, “Gue bawa headphone, kalau lo mau minjem. Yah, kayaknya lo nggak bisa istirahat karena....” Dia tidak meneruskan ucapannya, malah melirik sekali lagi ke arah bapak-bapak berkemeja abu di ujung, sebelum kembali memfokuskan pandangannya padaku. “Mendingan lo dengerin lagu dari HP lo biar lo bisa istirahat lagi,” tawarnya. Kali ini senyum tipis di ujung bibir kanannya terlihat. Not a bad idea, kataku dalam hati. Daripada sepanjang jalan aku mendengar dengkuran yang bisa membuatku sakit kepala? “Okay. Makasih,” sahutku. That was the beginning. The day one I knem him. Yasta, dia bilang namanya saat itu. Perjalanan berjam-jam menuju Bandung yang tidak sepenuhnya kupakai memutar lagu sampai ketiduran, diisi dengan percakapan friendly dengan cowok yang di ujung perjalanan, berbagi nomor ponsel denganku. *** “Halo, Mas Yasta, Mbak Neisya, apa kabar?” Ika berjalan agak tergesa menyambut kedua tamunya. Sementara itu, kedua kakiku seperti dipaku ke permukaan lantai. Aku bahkan tidak bisa memutuskan apakah sebaiknya aku berbalik badan dan pura-pura pergi ke toilet, atau... but, wait. Apakah aku harus bersikap sepengecut begitu?! Hei, he’s the villain. Bukan aku! Setelah akal sehatku terkumpul semua, aku baru sadar Mam menoleh padaku. Oh, Tuhan. Aku lupa Mam ada di sini! Mam tidak mengucapkan apapun padaku, tapi kuyakin, pulang dari sini, Mam pasti akan mengajakku berbicara. Yasta hanya berjarak tiga meter dari tempatku dan Mam berdiri. Dia tampak sama terkejutnya denganku dan Mam, tapi kulihat dia berusaha untuk mengusir keterkejutannya dengan berkata, “Tante Nina, Rose. Apa kabar? Nggak nyangka ketemu Tante dan Rose di sini.” Dia berbicara seramah mungkin—as if we never had a history. As if he’s not the bad one who ever ruined my life. Aku mengangkat daguku sedikit, tersenyum seterbaik dan semenarik mungkin, “Kabar baik, tentu saja. Kamu gimana?” “Kabar baik, aku—” dia melirik pada cewek berambut sebahu di sampingnya, “Aku dan Neisya, tunanganku, akan menikah dengan bantuan Belle Ame.” “Oh, ini Mbak Neisya, anaknya Pak Iryawan yang mau menikah empat bulan lagi? Waduh, saya baru ketemu nih. Apa kabar? Mas Yasta juga, bagaimana kabarnya?” kali ini Bu Sandra yang memimpin pembicaraan, nyerocos panjang lebar tentang beberapa hal terkait pernikahan anaknya Pak Iryawan-Pak Iryawan itu. Sementara itu, aku menoleh pada Mam yang menggeser tubuhnya dan berjalan menjauh ke arah meja resepsionis. Diambilnya ponselnya dari dalam tas, meng-scroll entah apa. Mam menyibukkan diri dengan dirinya sendiri—tidak dengan kedatangan Yasta dan wanita yang akan dinikahi pria itu. Segelintir perasaan bersalah kembali menyeruak di dadaku. I’m sorry, Mam. I’ve been hurt by him. Luka yang sama, yang juga pernah membuat Mam kecewa sangat dalam. PATTERN #5 Aku tak pernah berpikir bahwa istilah ‘hidup penuh lelucon’ akan mampir dalam hidupku. Kupikir pertemuan kembali dengan seseorang dari masa lalu hanyalah satu dari sejuta kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, circle kehidupan sehari-hariku saat ini sama sekali jauh dari circle orang itu. Kedua, relasi pertemanan atau kolega kami sama sekali tidak beririsan. Jadi, kenapa harus dia yang kutemui lagi saat ini? Kenapa bukan orang-orang yang memang kuinginkan untuk datang kembali ke dalam hidupku yang muncul? “Mam nggak tahu kalau anaknya Pak Iryawan akan menikah dengan dia.” Mam menyesap teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh Alya, asistennya di kantor urusan bridal di Belle Ame. Alya baru saja pergi, meninggalkan Mam dan aku berdua di sini. “Sandra memang sempat bilang sama Mam, Belle Ame akan dapat klien bagus kalau keluarganya Pak Iryawan ambil Belle Ame sebagai WO mereka. Nama Pak Iryawan lagi hangat-hangatnya diperbincangkan karena pemilihan gubernur periode kemarin. Dia jadi kandidat favorit orang-orang, jadi tentu saja, acara pernikahan putri tunggalnya akan jadi sorotan. Dan, kalau Belle Ame berhasil dengan acara pernikahan ini, Belle Ame bisa dapat untung besar. Finansial, tentu. Tapi yang paling penting, nama Belle Ame bisa jadi lebih dikenal masyarakat.” Mam berbicara panjang lebar, aku hanya mendengarkan. “Rose,” Mam melihat ke arahku, memelankan nada bicaranya. “Misalkan mereka jadi deal dengan Belle Ame, Mam akan serahkan saja urusan terkait bridal kita pada Alya dan team. Biar dia yang pegang dan ngurusin nanti sama Sandra. Sisi juga nggak mungkin bisa bantu dalam kondisi dia seperti ini. Kalau Mam... Mam nggak bisa deh handle langsung acara pernikahan itu. Mam bisa-bisa aja ngoordinir, tapi Mam nggak akan terlibat langsung. Lagian Mam masih punya klien-klien lain yang mesti Mam tanganin. Jadi... yah, Mam nggak mau lah pokoknya handle pernikahan anaknya Pak Iryawan itu.” Aku melihat gurat kecewa yang kembali tergambar di raut muka Mam. Tak ingin membuat Mam risi karena merasa aku memahami apa yang sebenarnya Mam pikirkan, aku mengalihkan pandangan. Kutatap cangkir cappuccino instan milikku yang panasnya mulai menguap. Jeda tercipta selama beberapa saat, sampai kemudian.... Tok, tok. Mam mengetuk meja di hadapan kami dengan buku jari telunjuk tangan kanannya. “Kamu melamun?” “Nggak lah, cuma lagi mikir aja.” “Soal Yasta?” Aku mengernyit, seakan tebakan Mam itu salah besar. “Dia? Buat apa, Mam? Udah nggak penting juga. Dia nggak lebih dari sekadar orang asing.” Mam mengangguk pelan. Dia menatap jendela, terdiam beberapa saat sementara aku menghabiskan sisa kopiku. “Dulu, Mam sempat berpikir, mungkin akan lebih baik kalau kamu nggak pernah ketemu Yasta hingga akhirnya kalian menjadi dekat dan nyaris menikah.” Setelah lebih dari lima tahun berlalu, Mam baru membahas ini kembali. Tentang pernikahan yang nyaris terjadi, namun gagal di dua bulan sebelum hari H. Saat itu kami sudah melakukan booking gedung, sudah menyicil beberapa foto pre-wedding, sudah deal dengan salah satu wedding organizer dari keluarganya Yasta, draft undangan pernikahan sudah sampai tahap final design, sampai akhirnya... Yasta membatalkan sepihak rencana pernikahan itu. “I’m all good, Mam. Aku udah nggak pernah memikirkan hal itu lagi. Aku justru khawatir Mam kembali seperti sekarang ini, mengkhawatirkan kondisiku yang sungguh, sudah sangat baik-baik saja. Aku serius, Mam,” ucapku sambil tersenyum, berusaha meyakinkan Mam. “Tenang aja Mam, sejarah percintaanku nggak cuma sama tuh orang. Suka duka udah banyak aku alamin dalam ngadepin mantan-mantan, yaaah, walaupun masih anak bawang lah kalau dibanding sama pengalaman Mam.” Aku terkekeh di akhir kalimat, merasa agak lega waktu Mam ikut tertawa kecil mendengarkan gurauanku. “Cuma itu yang Mam butuh, Rose. Kamu yang kuat dan tetap berjalan tegak menghadapi semua problema hidup.” “Oh, Mam. Kok serius banget, sih?” gelakku. “Merinding nih dengernya.” “Lho, beneran, kok, Mam bilang gini.” Aku manggut-manggut sambil menahan tawa, lalu meletakkan ujung jari tangan kanan di pelipis mata, bersikap siap sedia. “Siap, Bos! Laksanakan!” Mam mengacungkan jempol tangannya, “Bagus. Nah, sekarang kita balik lagi sama urusan kerjaan. Terlepas orang itu jadi klien Belle Ame atau nggak—kita lupakan itu—kamu mau kan, bantu Mam di sini?” Here we go again. “Hmmm, setelah maen ke sini hari ini, ketemu Tante—oppss, Bu Sandra, maksudnya,” Mam mengerling menahan tawa melihat tingkahku, “Kayaknya aku—” TING! Suara pesan masuk mendistrak ucapanku. Sebuah nama yang tertangkap mata di ponsel yang ada di hadapanku, di samping cangkir kopiku yang sudah tandas, membuatku terdiam seketika. Aku tidak pernah menghapus nama orang itu, atau cowok manapun yang statusnya adalah mantan pacarku, dari kontak ponselku. Bukan karena aku mengharapkan mereka kembali ke dalam hidupku, sama sekali tidak. Memikirkannya saja membuatku ingin muntah. Justru, dengan tidak menghapus nama-nama itu, artinya tidak ada yang ‘spesial’—even in a bad way—dari diri mereka. Yah, jadi ya biarkan saja nama-nama itu dalam ponselku. Toh aku juga tidak akan menghubungi mereka, bukan? “Rose?” Aku mendongak. Mam menatapku. Kurasa, Mam juga bisa melihat nama yang tertera di ponselku. “Apa tadi kataku, Mam? Oh, soal Belle Ame. Aku—” TING! Di mana, Rose? Aku ingin bicara. Holy shit! Manusia itu sudah kehilangan akal sehat atau bagaimana? Berani-beraninya dia mengirimi pesan bernada instruksi seperti itu—after all those things he had done to me?! ================================================================ Cuap-cuap dari penulis: Hai, hai! Terima kasih buat para pembaca yang sudah berkenan mampir ke ceritanya Rose :) Kalau kalian nih, Gaes... misal dihubungi kembali sama sang mantan, bakal bersikap kayak gimana? Perasaan kalian cem mana? Makin bete, atau malah bikin hidup jadi nggak tenang karena malah mikirin si doi lagi, lagi, dan lagi? Kindly let me know if you don't mind :) Cheers, and have a nice day! PATTERN #6 Di mana, Rose? Aku ingin bicara. “Aku nggak ngira akan ketemu kamu lagi di sini.” Kusesap pelan vanilla latte di cangkir putih, lalu kusimpan lagi di meja dengan gerakan anggun dan percaya diri. Tentu saja, aku perlu bersikap begini di depan orang paling berengsek yang kutahu dalam hidupku. Image positif mesti terpancar untuk menyatakan pada dunia bahwa, ‘hey I’m totally fine without you’. “Yah, Jakarta kan sempit. Lagipula kalaupun kita bertemu lagi seperti ini, nggak ada masalah,” sambungku, kali ini dengan menambahkan gestur mengangkat bahu dan menarik sedikit ujung bibirku. Yasta tidak menjawab untuk beberapa saat, dia hanya menatapku tanpa kata, seakan mencari tahu apakah pertemuan kami ini benar-benar tidak berdampak apapun pada perasaanku. “Good to hear, Rose. Aku senang dengernya.” “Bisa kita berbincang dengan saya-kamu atau saya-anda aja, Pak Yasta? Yah, seperti yang sama-sama kita tahu, anda berada di sini sebagai kliennya Bu Sandra.” Aku tahu tak seharusnya memberi batasan yang jelas pada Yasta dengan cara sekasar barusan. Tapi yah... bodo amat! Apa yang kukatakan barusan jauh-jauh-jauh lebih baik dari apa yang dia lakukan padaku dulu. Yasta memajukan posisi duduknya di kursi salah satu meeting room di lantai 1 Belle Ame. Ponselnya sempat berdering saat akan berbicara lagi padaku, namun dia segera me-swipe up layar ponselnya itu, lalu kembali memfokuskan pandangannnya padaku. Dia me-reject telepon barusan. “Agak susah, Rose. Aku nggak terbiasa dengan saya-kamu atau saya-anda seperti yang kamu bilang barusan. Lagipula, bukankah kita akan bekerja sama? Kurasa akan lebih baik kalau komunikasi kita seperti dulu, biar bisa lebih nyaman kerjanya.” Aku membulatkan mata dan spontan berkata pelan, “Ha?” Oke, lebih baik aku mengendalikan diri. “Biar saya perjelas, Pak Yasta. Anda mungkin akan bekerja sama dengan Bu Sandra dan Belle Ame, tapi tidak dengan saya. Kalaupun saya perlu berbuat sesuatu untuk Belle Ame, saya rasa, saya lebih dibutuhkan untuk meng-handle klien lain. Anda tahu sendiri, mungkin anda memilih Belle Ame karena nama WO ini cukup ramai dibicarakan belakangan ini. Jadi yah, Belle Ame punya cukup banyak klien untuk kami handle.” Ponsel Yasta yang tergeletak di samping cangkir kopinya berdering lagi. Dia menunduk, meraih ponselnya dari atas meja, menatapku sekali—yang kubalas dengan memalingkan wajah tak peduli—kemudian berkata pada seseorang di seberang telepon, “Ya, Nes. Aku masih di ruang meeting. Tadi abis kamu pergi duluan, Bu Sandra ada brief beberapa hal sama aku. Sekarang aku masih di sini, discuss sama salah satu team-nya.” Sekali lagi aku ber-‘ha?’, tapi tanpa suara. Ingin rasanya kuamuk cowok yang kini menatapku lekat seakan tidak ingin memberiku ruang untuk menghindari tatapannya itu. “Oke, nanti aku kabarin. Hati-hati di jalan, kabari kalau sudah sampai.” “Apa maksud anda dengan ‘discuss sama salah satu team-nya?’” aku langsung bertanya setelah cowok itu menutup teleponnya. Yasta membenarkan posisi duduknya, kemudian berkata santai. “Apa ada yang salah dengan itu? Kamu kan memang salah satu team di sini.” Rasanya ada bara api yang ditumpahkan di atas kepalaku. Ingin kumaki keras-keras manusia di hadapanku. Tapi saat kulihat Ika dan seorang pegawai lain yang tadi sempat berpapasan denganku dan Mam—Mila, namanya—berjalan melewati ruangan ini, aku mengurungkan niat. Ruang meeting berdinding full kaca ini bukan tempat yang tepat untuk dijadikan ajang pertarungan antara aku dengan Yasta. Gila aja kalau semua orang yang lewat bisa melihat! Kutegakkan punggung, berkata penuh nada penekanan, “Anda nggak berubah ya dari dulu. Tetep aja seorang pembohong.” “Di bagian mananya aku bohong?” balasnya tenang, sepertinya sama sekali tidak terintimidasi dengan ucapanku sebelumnya padanya. “Kita tidak sedang berdiskusi apapun tentang pernikahan anda dengan tunangan anda. Saya sudah membuang waktu saya di sini. Silakan hubungi Bu Sandra terkait urusan pernikahan anda. Permisi.” Aku bangkit berdiri, meraih tas kecilku di atas meja, sampai kemudian mesti menghentikan niatku untuk membuka pintu saat Yasta tiba-tiba meraih pergelangan tangan kananku. “Bu Sandra sudah setuju. Aku minta dia untuk menunjuk kamu sebagai penanggung jawab bridal acara pernikahanku dengan Neisya.” Detik itu juga, rasanya aku ingin melemparkan pria kurang ajar itu ke antartika! “Biar saya perjelas, Pak Yasta. Saya tidak akan terlibat dalam acara pernikahan anda seperti yang anda bilang barusan. Saya akan klarifikasi tentang ini pada Bu Sandra. Dan saya harap, anda melepaskan tangan saya sebelum saya melaporkan ini sebagai tindakan tidak menyenangkan.” Kuempas tangan Yasta keras-keras. Dia yang dalam posisi duduk, menatapku, lalu sedikit mengangkat kedua tangannya. “Sorry, kalau kamu tersinggung dengan apa yang kulakukan. But please, silakan klarifikasi pada Bu Sandra. Aku nggak akan ngomong begini kalau memang dia tidak menyetujui kamu lah yang bertanggung jawab untuk bagian bridal.” “Ini salah paham. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak punya urusan dengan anda. Permisi.” Tanpa menoleh lagi, kubuka pintu kaca cepat-cepat. Urusan ini benar-benar membuat kepalaku mau pecah! Ngomong-ngomong, di mana sih ruangannya Bu Sandra?! We really need to talk. For sure. “Mbak Rose, Mbak!” Kuhentikan langkah dan berbalik badan saat seseorang memanggil namaku. Ah, Ika! Pas banget! Luar biasa betapa aku bisa bersyukur bertemu cewek ini, padahal kalau bisa, tipikal cewek seperti Ika-Ika ini ingin kuhindari dalam pergerakan hidupku. “Tadi Bu Sandra bilang, kalau Mbak Rose sudah selesai bicara sama Mas Yasta, saya diminta info ke Mbak untuk Mbak temuin Bu Sandra.” “Kebetulan saya lagi nyariin Bu Sandra. Bisa tolong tunjukkin di mana ruangannya Bu Sandra?” Ika tersenyum lebar—jelas, senyum kepo yang dia tunjukkan padaku itu. Mengingat bagaimana dia melirik ke belakang, ke arah Yasta yang baru keluar dari ruang meeting tempat kami adu argumen tadi, lalu melihat padaku lagi dan berkata, “Kayaknya tadi agak serius ngobrolnya, Mbak? Sampe... eh, dipegang gitu tangannya Mbak Rose sama—” “Di mana ruangannya Bu Sandra? Saya perlu segera ketemu beliau.” Ika langsung mingkem, mukanya memerah. Kurasa dia paham kalau aku tak mau diganggu dengan urusan ‘dia melihat si berengsek itu memegang tanganku’. “O-oh, oke Mbak, lewat sini,” sahutnya pelan, lalu berjalan selangkah di depanku. Sepanjang jalan menuju ruangan Bu Sandra, aku hanya bisa berharap tak ada tindakan gila yang sanggup kulakukan pada partner kerja Mam itu. Lagian, bisa-bisanya wanita itu bilang ‘SETUJU’ menjadikanku sebagai penanggung jawab bridal pria berengsek itu?! Astaga, jangan sampai migrainku kumat karena semua ini! PATTERN #7 Sebetulnya bila aku tidak sedang emosi seperti ini, pasti aku akan terpukau dengan desain interior ruangannya Tante Sandra yang spacious. Ada dinding kaca dan cermin besar di ujung ruangan, juga beberapa tanaman hias dalam pot kecil yang disimpan di rak khusus di seberang pintu. Beberapa accent[1] disimpan mengarah ke arah lukisan abstrak berukuran sedang, juga ada ambient[2] yang menambah kesan nyaman di ruangan ini. Semuanya seakan ditata sedetail mungkin. Tidak bisa dipungkiri dari cara Tante Sandra berbusana maupun menata tempat kerja, kurasa dia tipikal orang yang cukup perfeksionis dengan segala sesuatu. Oh, tapi itu bukan masalah utama sekarang. Setelah Ika yang selangkah di depanku membukakan pintu dan mempersilakan masuk, aku tidak berniat berlama-lama di tempatnya Tante Sandra. Kulihat wanita itu sedang duduk di balik meja kerjanya. “Bu, ini Mbak Rose sudah selesai berbicara dengan Mas Yasta. Saya panggilkan kemari sesuai permintaan Ibu tadi. Saya tinggal dulu ya, Bu.” Tante Sandra pun pun mendongak melihat ke arahku. Dia mengangguk sekilas, mempersilakan Ika pergi. Setelah Ika menghilang di balik pintu, dia menyunggingkn senyum tipis padaku. “Hai, Rose. Saya pikir kamu akan cukup lama ngobrol dengan Yasta. Yasta ini orangnya menyenangkan banget kalau ngobrol. Iya, kan?” tanyanya padaku, meminta verifikasi. Rasanya kupingku langsung gatal mendengarkan kalimat pujian dari Tante Sandra barusan untuk pria berengsek yang malas kusebutkan namanya itu. Aku mempercepat langkah, bergerak mendekat ke meja Tante Sandra, lalu tanpa basa-basi lagi duduk di kursi di hadapannya. Tante Sandra meletakkan kedua tangannya di bawah dagu, menungguku berbicara. Seakan dia sudah tahu bahwa aku ingin mengajaknya berbicara serius—super serius. “Bu Sandra, sebelumnya saya minta maaf karena saya harus berbicara straight to the point. Menurut saya ini hal besar. Kenapa saya mendengar dari klien Belle Ame, yaitu—“ oh, Tuhan, haruskah aku menyebutkan nama pria itu? “Yasta, namanya Yasta,” potong Tante Sandra, memberitahu. Aku mengangguk sekali, tidak terlalu menggubris fakta bahwa—ya, tentu saja aku tahu nama orang itu! “Ya, Bapak Yasta,” sambungku, terpaksa menyebut nama itu walaupun aku alergi menyebutnya. “Beliau bilang, saya lah yang ditunjuk oleh Bu Sandra untuk mengurusi pernikahan dia. Dari sisi bridal yang dipegang oleh ibu saya, bukankah antara saya dengan Mam, ataupun saya dengan Bu Sandra, tidak ada kesepakatan bahwa saya yang akan meng-handle pernikahan tersebut?” Sekali lagi Bu Sandra hanya tersenyum menjawab perkataanku. Dia seperti menilaiku dalam hitungan 5 detik, kemudian baru berkata, “Okay,” ujarnya santai. Dia memundurkan punggung, melakukan gerakan sedikit stretching dengan lehernya, dan sempat-sempatnya meneguk air infus buat jeruk di botol minum transparannya—apakah dia tidak paham kalau aku ingin masalah ini cepat clear? Sabar. Sabar, Rose. Aku mendikte diriku sendiri. “Rose,” akhirnya dia mengakhiri aktivitasnya barusan—thanks, God! “Saya rasa ini adalah kesempatan yang baik buat kamu untuk memulai karir di Belle Ame. Sebetulnya saya sudah tahu apa yang terjadi dengan Sienna, kakakmu. Mamamu tidak sengaja menceritakannya tadi. Jadi, saya merasa kamu akan sangat membantu meringankan beban pekerjaan mamamu di Belle Ame saat ini. Bulan ini kami sudah punya deal banyak lho dengan klien. Kamu nggak mau kan, deal yang sudah disepakati itu gagal? Ini perkara usaha mamamu selama puluhan tahun lho. You better help her. Don’t you think so?” Aku agak tercengang karena ternyata Mam tidak cukup kuat untuk menutupi persoalan rumah tangga Sienna dari orang di luar keluarga kami. Rupanya at the end of the day, Mam bercerita juga pada sahabatnya, Bu Sandra ini. Aku mencoba berpikir sejenak, lalu mencoba berargumen, “Bu Sandra, saya tidak punya pengalaman di bidang bridal. Mungkin Mam sudah bekerja dengan Bu Sandra bertahun-tahun lamanya, begitu juga dengan Sienna. Mereka punya skill dan sangat capable untuk bekerja mengurusi bridal ini. Kalau saya yang handle, Bu, memang Ibu tidak khawatir malah jadi berantakan? I have no background for this. At all.” “Tentu saja saya tidak khawatir. Walaupun kamu tidak pernah handle bridal ini secara langsung, tapi setidaknya kamu tahu bagaimana mama dan kakakmu bekerja. Dan saya rasa persoalan mengurusi bridal ini bukanlah hal yang harus kamu pelajari dari nol banget. Background kamu bagus. Untuk pendidikan, jelas-jelas kamu nih bagus. Pasti kamu mampu belajar cepat. You don't have any other reasons to skip this job, Honey. And the most important thing is… you help your mom! Kecuali kamu memang punya alasan lebih besar untuk tidak meng-handle pekerjaan di Belle Ame, termasuk mengurusi pernikahannya anak Pak Iryawan.” God, aku tidak mungkin kan memberitahu Tante Sandra tentang siapa Pak Iryawan yang dia sebut itu? Tidak mungkin kan, aku bilang kalau calon menantu Pak Iryawan adalah mantan calon suamiku? “Wait a minute, Rose. Apakah kamu benar-benar punya alasan lain kenapa kamu tidak ingin bekerja dengan anaknya Pak Iryawan? Neisa dengan calon suaminya, Yasta?” Apakah Tante Sandra bisa membaca pikiranku? Hello?! Kurasa aku tidak ingin memperumit hidupku dengan memberi tahu wanita di hadapanku tentang perkara sebenarnya kenapa aku malas bekerja dengan si pria berengsek! “Terlepas dari pertanyaan Ibu barusan. Kenapa Bu Sandra memutuskan secara sepihak bahwa saya sudah ditunjuk untuk mengurusi pernikahan anaknya Pak Iryawan itu? Kenapa tidak berdiskusi dulu dengan saya secara langsung? Itu pun kalau seperti yang Ibu bilang, Ibu memikirkan kebaikan mama saya yang butuh bantuan dalam mengurus bridalnya.” Sebelah alis Tante Sandra yang dibentuk sempurna, terangkat. Dia berkata antusias, “Karena saya merasa kamu adalah orang yang tepat untuk mengurus sepasang klien yang sangat-sangat-sangat penting. Kamu bayangkan! Pak Iryawan calon gubernur pilihan masyarakat. Dia pasti punya nama! Dan kalau hasilnya resepsinya nanti baik, Belle Ame pasti akan untung besar! I know you know the benefit!” cetusnya. Sedetik kemudian, dia lanjut berkata, “Saya tahu, saya tidak mungkin bergantung pada Sienna dengan kondisinya saat ini. Karena dia pun butuh waktu untuk memulihkan dirinya. Untuk mamamu, pasti akan ada celah buat Nina memikirkan Sienna. Pikirannya akan terbelah antara pekerjaan dan kondisi putrinya.” Aku sudah mulai letih untuk lanjut berargumen. Tapi kupaksakan diriku untuk membuat Tante Sandra paham bahwa aku tidak mau berurusan dengan Pak Iryawan dan keluarganya. “Bu Sandra, anda punya banyak karyawan. Tadi saya bertemu dengan… eh, siapa namanya? Ika! Ya, Ika. Lalu ada Jenny asistennya Mam, ada Alya juga. Lalu, Mila. Dan mungkin ada puluhan orang lain yang bisa bekerja dengan Bu Sandra. Tidak harus saya kan, Bu?” “Kamu mungkin percaya atau tidak—Itu terserah kamu. Tapi saya sangat yakin kamu bisa meng-handle urusan ini dengan sangat baik. Lagipula, memangnya kamu tidak ingin menunjukkan pada mamamu bahwa kamu benar-benar baik-baik saja? That you have moved on from your bitter past? From your memory of your ex-fiance?” Rasanya ada kejutan listrik yang dialirkan oleh tatapan wanita itu—tepat ke mataku! Gawat! Kurasa Mam bukan hanya bercerita tentang Sienna padanya. Tapi juga tentang hubunganku yang sudah lama kandas dengan pria berengsek itu! “Eh, Tante—Bu Sandra, kenapa anda—“ aku kehilangan kata. Dia memajukan lagi tubuhnya, sekali lagi meletakkan kedua tangannya di bawah dagu. “Rose, bukankah ini adalah kesempatan buat kamu untuk menunjukkan bahwa your life is totally fine right now padanya? And he's the one yang rugi sudah meninggalkanmu dulu?” Mam… benar-benar… membocorkan… semuanya “Tante, aku rasa percakapan ini sudah terlalu personal. Kayaknya lebih baik aku tidak terlibat lebih jauh dengan—“ “Just think about your mom. Anggaplah kamu membantu beban kerja mamamu, terlepas klien Belle Ame yang harus ditangani sekarang adalah Yasta ataupun orang lain. Tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan, bukan?” Di akhir kalimat tanya darinya, Bu Sandra tersenyum sekali lagi. Seakan mengatakan kepadaku: come on, kamu tidak sepengecut itu kan, Rose? *** Aku menelpon Mam setibanya aku di mobil yang terparkir di depan kantor Belle Ame. “Mam udah sampe rumah. Tadi ada meeting lain bentar sama klien di Belle Ame, terus pas Mam mau ngajak kamu pulang, tadi Mam melihat kamu sedang berbicara sama… tamu.” Oh, ternyata Mam juga menghindari menyebut nama pria berengsek itu saat bicara denganku. “Terus, Rose. Tadi juga Mam ngobrol sama Sandra sebelum pulang. Sandra bilang dia mau membantu Mam untuk membujuk kamu biar mau kerja sama Mam. Jadi… ya sudah, Mam jalan duluan. Kasih tahu Mam dong Rose, apa yang kamu bicarakan tadi sama Sandra? Mama harap Sandra bisa berhasil meyakinkan kamu.” Suara Mam melunak saat membicarakan harapannya itu. Kurasa Mam tidak menyadari bahwa Tante Sandra bukan hanya memintaku untuk bekerja di Belle Ame. Tante Sandra ingin aku mengurusi pernikahan pria—ah, sudahlah. “Mam, kurasa aku nggak bisa—“ “Rose, tolong pertimbangkan sekali lagi. Kamu nggak tahu sebesar apa harapan Mam agar kamu bisa meneruskan bisnis keluarga kita.” Di saat Mam selesai berucap, dari balik setir mobil, aku melihat seorang pria baru keluar dari pintu kantor Belle Ame. Dia berjalan menuju mobil SUV hitamnya, kemudian berdiri di samping mobilnya itu saat bersiap membuka pintu. Dia lantas tak sengaja menoleh ke arahku yang melihatnya dari jarak tiga meter. Akhirnya pandangan kami bertemu. Dia menatapku… dan kukira aku akan segera menghindari tatapannya itu. Tapi sialnya, aku malah memperdalam jurang sakit hati di dalam dadaku. Aku baru sadar kini setelah bertemu lagi dengannya, luka itu masih ada. Masih basah. Selama ini rupanya aku hanya terlalu keras kepala, berpikiran bahwa aku telah benar-benar melupakannya. [1] Lampu highlight untuk objek spesifik tertentu [2] Lampu untuk iluminasi atau pijar total PATTERN #8 Saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, aku hanya mendengar suara TV dari ruang keluarga. Kuputar kepala untuk mencari Mam dan Sienna. Tadi kan Mama bilang sudah sampai rumah, tapi kok sekarang tidak ada? Aku melanjutkan langkah ke kamar Sisi di lantai dua. Dari lantai bawah, aku lihat pintunya terbuka. Tumben. Biasanya Sisi selalu menutup rapat pintunya itu. Kondisi psikisnya masih drop karena rencana perceraiannya, makanya dia lebih suka mengurung diri, dan tidak jarang sulit sekali untuk diajak makan. Sesampainya di lantai atas, aku melongokkan kepala ke dalam kamar. Benar saja, Mam sedang ada di sana, duduk di ujung tempat tidur Sisi. Mam memijat pelan kaki kakakku yang berselimut. Kulihat Sisi berbaring membelakangi kami, tubuhnya menghadap pada dinding ber-wallpaper warna broken white. Dia memeluk bantal gulingnya erat. Sekilas aku melihat dia seperti anak kecil yang tidak ingin melepaskan boneka kesayangannya. Ada sebersit sedih yang kurasa di dada saat melihat kondisi kakakku yang seperti ini. Ke mana Sisi—Sienna-nya—yang dulu selalu cheerful? Mam menoleh, mendongakkan kepalanya sedikit untuk menatapku. “Sisi baru tidur. Badannya panas. Susah makan juga. Dia sempat muntah,” kata Mam pelan, lalu pandangannya kembali beralih pada kakakku. “Nggak berobat ke dokter aja, Mam?” “Sisi-nya nggak mau. Udah Mama paksa juga, susah banget. Dia nggak mood ngapa-ngapain. Jadinya minum obat aja.” Mam membetulkan posisi selimut Sienna, bangkit berdiri, lalu berjalan ke arahku. Mam melingkarkan sebelah lengannya ke lenganku. “Kita ngobrol di bawah, yuk? Biar istirahat dulu Sisi-nya.” Aku mengangguk. “Mas Dave udah dateng, Mam?” Mam tak menjawab. Kami tak bersuara sampai akhirnya kami tiba di dapur. “Trus langkah selanjutnya gimana, Mam?” tanyaku, memecah keheningan. Mata Mam menerawang ke halaman belakang. Kami duduk berhadapan di stool di dapur. “Katanya sih dia mau datang, tapi Mam nggak tahu kapan dia datang. Entah lah, Rose... pun kalau dia datang, apakah kedatangan dia bisa bikin kondisi membaik... khususnya buat Sienna? Mam juga nggak tahu Sienna bakalan bersikap gimana saat ketemu Dave lagi. Bukan nggak mungkin Sisi bakal histeris, melihat kondisi dia saat ini. Dia banyak diam, tapi entah kalau pelatuk emosinya meledak. Seperti bom, mungkin?” Mam meneguk secangkir teh yang baru kubuatkan untuknya. “Kalau Mam sendiri... setuju dengan perceraian ini?” tanyaku. Entahlah, aku penasaran bagaimana Mam melihat perceraian Sienna ini dari sudut pandangnya. Mam yang dulu pernah ada di posisi yang sama dengan Sisi. Mam mengangkat bahunya. “Ibu mana sih, Rose, yang senang melihat anaknya terpuruk karena perceraian seperti ini? Mam inginnya pernikahan mereka awet. Tapi kalaupun mereka tetap bersama dan malah bikin Sisi menderita, karena jelas-jelas Dave punya perempuan lain, ya sudah... lebih baik berpisah sekarang. Daripada Sisi menderita selamanya.” “Dia akan baik-baik aja, kan?” tanyaku pelan. Mam yang masih duduk sambil merenung, tak langsung menjawab. Mungkin, mungkin saja... aku hanya menebak, Mam sedang memikirkan kondisi Sisi yang dulu sama dengan posisinya. Mau tidak mau, Mam kembali merasakan apa yang dulu dia rasakan. Hanya saja ini berbeda. Karena kali ini, anak perempuannya yang tengah terluka dalam. “Harus. Sisi harus baik-baik saja. Tidak ada pilihan untuk tidak baik-baik saja, Rose. Hidupnya masih panjang. Kalau dia terpuruk selama-lamanya karena perceraian ini, Mam akan jadi orang yang paling sakit hati dan mungkin sanggup membenci Dave selamanya.” Mam menjatuhkan pandangannya pada cangkir teh, jari telunjuk tangan kanannya bergerak memutari leher cangkir. “Tapi Rose... membenci dia pun tidak akan bisa mengubah keadaan. Pada akhirnya mereka tetap berpisah. Mam kecewa, tentu saja. Bukankah dulu Dave yang meminta Mam untuk merestui pernikahan mereka? Sekarang keadaannya seperti ini... bohong kalau Mam bilang Mam baik-baik saja.” Mam lalu mendongak. “Rose?” “Hmm?” Ada jeda selama tiga detik sebelum akhirnya Mam bersuara lagi. “Mam berharap kamu bahagia, Rose. Dengan hidupmu. Dengan pekerjaanmu. Dengan masa depanmu. Dan... dengan pria yang nantinya kamu pilih untuk jadi pasangan hidupmu. Mam harap tidak ada lagi perpisahan yang perlu dialami oleh anggota keluarga kita. Sudah cukup Mam dan Sisi saja yang mengalaminya....” Aku terdiam mendengar ucapan Mam. Ada perih yang kurasa. Di keluarga kami, mungkin kisah cinta tak pernah berakhir indah layaknya di film atau novel romansa. Mam berpisah dari Papa. Sienna sudah akan bercerai dari Mas Dave. Sedangkan aku? Aku pernah gagal menikah, dan saat aku mencoba bangkit kembali untuk menata hidupku, kisah cintaku dengan kekasih yang kukira akan menjadi masa depanku, ternyata tamat juga. Just think about your Mom. Itu kata Tante Sandra. Kalimat yang kini malah menggaung keras di kepalaku. Saat ini, Aku tidak bisa membahagiakan Mam dengan merencanakan masa depan bersama seorang pria yang kupilih. Kali ini Tante Sandra mungkin benar. Ada hal yang harus kulakukan untuk mengobati sedih di hati Mam. Kurasa aku perlu berbesar hati untuk meneruskan usaha Mam di Belle Ame. Mungkin dengan begitu, aku bisa sedikit mengobati luka di hati Mam...? *** Seminggu kemudian. “Gue nggak mau makan bubur. Bisa delivery pizza aja, Rose?” Aku berhenti mengunyah keripik bawang yang dibuatkan Mam kemarin. Kukecilkan volume TV dan menoleh pada Sisi yang duduk di sampingku di sofa. Kami berdua sedang menghabiskan hari Sabtu dengan duduk berjam-jam memutar film di Netflix. Nafsu makan Sisi sudah mulai membaik. Bagus lah. Setidaknya kondisi fisiknya membaik, walaupun aku tahu hatinya masih babak belur karena tanggal perceraiannya semakin dekat. “Mau pesen pizza apa?” kataku sambil membuka aplikasi pembelian makanan secara online. Kuserahkan ponsel di tangan kepadanya. Berikutnya, dia sudah sibuk meng-scroll down pilihan pizza yang ada di sana. “Nih, gue udah masukin order. Percaya aja pilihan pizza gue enak,” ucap Sisi. Setelah selesai memesan, kuambil ponselku lagi. “Iyee!” sahutku. “Eh, pesen juga buat ntar makan malem, dong!” Sisi mengambil keripik bawang dari piring di atas meja. “Pilih, gih. Tambahin aja sama martabak susu keju spesial. Gue pengen banget makan martabak.” Aku melongo. Mulutku terbuka lebar. “Itu perut atau kulit badak! Belum juga pizza-nya dateng!” ucapku, lalu terbahak keras. Sisi, walaupun barusan dia tidak tertawa sengakak aku, setidaknya kini dia sudah bisa tertawa kecil lagi. Tidak semurung beberapa hari belakangan. Seharian ini kami bedua memang full pesan makanan secara online. Berhubung kami sudah sepakat untuk leyeh-leyeh dan malas memasak hari ini. Mam juga belum pulang dari Tangerang karena bertemu salah satu klien Belle Ame yang rencananya mengubah tanggal pernikahan jadi minggu depan—mendadak sekali. Jadi, deh, kami berdua full menjadi kaum rebahan hari ini. Begitu aku memasukkan pilihan makananku ke dalam keranjang, notifikasi telepon masuk. Dari Mam. “Kenapa Mam?” “Rose! Tolong dong kamu ke tempat Tante Sandra sekarang. Ke Belle Ame. Mam ngehubungin dia susah banget. Nelepon ke kantor juga dibilangnya Tante Sandra lagi meeting penting, nggak bisa diganggu. Ada komplain klien yang nggak bisa ditunda-tunda. Ini Mam masih di tempatnya Bu Alma di Tangerang. Kan nggak mungkin juga Mam nyuruh Sienna yang ke sana,” Mam berkata panjang lebar—aku sampai khawatir aku tidak bisa mencerna ucapan Mam dengan lengkap, saking cepatnya Mam berbicara. Tapi yang jelas kutangkap, Mam menyuruhku pergi ke Belle Ame. Duh! Aku melirik pada Sisi yang masih asyik mengunyah keripik. “Sisi udah baik-baik aja kok, Mam. Makannya juga bany—“ Ucapanku terhenti karena Sisi yang menoleh padaku dengan ekspresi datar. Pandangan yang menyiratkan, “Lo aja sih yang berangkat. Gue masih nggak mood buat ngapa-ngapain.” Jadi lah... aku tidak menyelesaikan ucapanku pada Mam. Mam juga keburu nyamber, “Mau ya, Rose? Tolongin Mam. Nanti Mam info kamu rinciannya seperti apa untuk case Bu Alma ini. Lagian Tante Sandra udah nanyain kamu mulu lho dari minggu lalu, Rose. Kamu juga kan udah mengiyakan dan bilang sama Mam nggak akan berubah pikiran lagi.” Skak mat. Aku memang mengatakannya dua hari yang lalu. Iya, akhirnya setelah aku berpikir panjang berhari-hari, dan mempertimbangkan kondisi Mam juga Sisi... aku mengiyakan permintaan Mam. Hanya saja, aku memang belum bertemu dengan Tante Sandra langsung dan membahas tentang ini. Dan yang lebih penting lagi, harapan terakhirku adalah Tante Sandra menyuruhku untuk tetap meng-handle rencana pernikahan anaknya Pak Iryawan dengan si pria berengsek itu! “Mam buru-buru nih, Rose. Tolong bantu, ya!” Tut, tut, tut. Telepon pun terputus. Mam tidak memberiku kesempatan untuk pergi ke Belle Ame lain kali saja. “So you go?” Sisi bertanya. Aku mengangguk lemah. Masih tidak yakin seratus persen apakah keputusanku dua hari lalu adalah pilihan terbaik. Sisi menoleh lagi padaku. Dia menarik sedikit ujung bibirnya, tersenyum kecil, “Thank you, Rose. Gue juga mesti minta maaf karena jadi nyusahin lo. Tapi percaya deh, ngurusin bridal itu bukan satu hal yang buruk kok. You gonna love it.” I wish that's true. Aku pun bangkit berdiri dan beranjak menuju kamar mandi. Tidak mungkin kan aku pergi ke Bella Ame tanpa mandi terlebih dulu? PATTERN #9 “Oh, Rose! Akhirnya kamu datang juga! Thank you for coming, Honey. Saya tahu kamu pasti akan berubah pikiran dan nggak akan mengecewakan Nina maupun saya. ” Aku mencoba tersenyum senatural mungkin di hadapan Tante Sandra. Kami berdua berpapasan di lobi Belle Ame. Sekarang masih tengah hari, tapi wanita itu sudah siap berangkat entah ke mana—lihat saja dua paper bag besar yang dia tenteng dengan tangan kiri, semantara tangan kanan sibuk menggenggam ponsel. Dia baru saja menutup telepon, sesaat sebelum menyapaku. “Mam memberitahu ada situasi genting, jadi saya yang diminta ke sini.” “Oh! Nina sudah menelepon saya. Sorry, tadi hectic berat sampai saya nggak sempat angkat telepon. Soal Bu Alma, sekarang saya mau nyusul Nina ke sana. Kamu tahu kan problemnya gimana?” Tanya Tante Sandra sambil mengibaskan sebelah tangan ke arahku. “Iya, Mam bilang jadwal pernikahan diubah, lalu klien pengen mengubah semua dan merasa ada perencana dari kita yang nggak matang, makanya ada komplain—“ Tante Sandra kini mengangkat sebelah tangannya ke udara. “Yap, itu! Nina pasti sudah jelasin dengan lengkap. Tapi nggak apa-apa, client is client, and Bu Alma is the queen kan, ya. So, saya berangkat dulu untuk koordinasi dengan Nina tentang masalah ini. Dan kamu, Rose—“ Tante Sandra menghentikan cerocosannya sambil berbalik badan. “There you are. Ikaaa!! Ikaaa!! Siniii!” Ika yang hari ini mengenakan zip-waist blazer berwarna abu, bergerak cepat di atas stiletto yang senada dengan pakaian yang dia kenakan. “Ya, Bu?” tanya Ika. Dia menutup black case tabletnya, lalu fokus pada Tante Sandra. “Kamu guide dulu Rose hari ini, from the very basic. Oke, Ika?” ucapnya pada Ika yang berdiri di sampingku, lalu, “Nggak apa-apa ya, Rose?” Tante Sandra mengalihkan pandangannya padaku dengan gerakan cepat. Dia bertanya, tapi caranya bertanya seakan bukan menanyakan izin dariku, namun memberikan instruksi. “Nggak apa-apa,” jawabku pendek. “Okay, good. The next problem you need to solve is—” Tante Sandra agak mengendurkan tali paper bag-nya. “Sebentar lagi Bu Sasya akan datang, nanti Ika akan brief kamu dulu. Bu Sasya ini akan mengadakan resepsi pernikahan anaknya dua minggu lagi. Anaknya ini sudah memilih baju nikahnya, sudah discuss panjang lebar sama mamamu, tapi kemudian dia berubah pikiran gara-gara calon suaminya bilang: warna gaun yang akan dipakai oleh pengantin wanita, mirip banget dengan gaun pengantin impian mantan si cowok. Duh, kacau banget!” seru Bu Sandra dengan penekanan nada. “Alasan yang mungkin bagi kita terlalu mengada-ngada, tapi jadi mahapenting buat klien. Am I right?” “Oke, saya paham,” sahutku, berusaha mencerna informasi dari Tante Sandra sebanyak mungkin. “Jadi tolong kamu handle ya, Ika akan bantu, nanti kami ketemu team yang lain juga. Saya pergi dulu, mungkin nanti sore baru kembali.” Aku mengangguk, lalu Tante Sandra berjalan menuju ke arah pintu depan kantor Belle Ame. Tiba-tiba, setelah sosok Bu Sandra menghilang dari pandangan, Ika meraih sebelah lengan kiriku. “Ayo Mbak, sini aku kenalin dengan orang-orang di sini. Yang pertama—“ dia bicara sambil menyeret kakiku, tapi aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemana dia pergi. “Yang sekarang ada di ruang meeting itu Mbak Willow sama Mbak Petra. Saya kenalin ya, sambil nungguin Bu Sasya datang.” *** “Halo, saya Rose,” aku memperkenalkan diri begitu tiba di ruang meeting. Dua orang cewek mendongak berbarengan. Cewek berkucir rambut dan mengenakan blouse dongker melambaikan tangan sekilas, tersenyum seadanya, lalu kembali menatap laptop di depan matanya. Sedangkan cewek yang satunya, mengenakan sweater agak gombrong berwarna krem, tersenyum sambil menyapa, “Hai! Gue Willow!” Aku mengangguk saja. Ika yang berdiri di sebelahku, malah berbicara heboh. “Mbak Petra! Mbak Willow! Ini tuh Mbak Rose anaknya Bu Nina. Jadi urusan bridal akan di-handle sama Mbak Rose. Bu Nina kan belakangan lagi sibuk banget, trus Mbak Sienna juga lagi istirahat, nahhh… jadi Mbak Rose deh yang ngurusin bridal Belle Ame. Untuk event kita dalam minggu-minggu ini sudah dipastikan….” Ika terus nyerocos menjelaskan, sampai dia lupa bahwa dia—dan aku—mungkin akan berdiri kelamaan di ruang meeting seandainya Petra tidak memotong ucapan Ika. “Ka, lo nggak pegel berdiri begitu? Kursi di sini kan banyak.” Ika langsung mingkem, lalu nyengir kagok ke arahku. “Oh iya, Mbak Rose. Silakan duduk. Biar diskusinya enak.” “Ok, thanks,” sahutku seadanya, lalu menarik pelan kursi di hadapan Petra dan Willow. Sementara itu, sebelum duduk di sebelahku, Ika berinisatif membawakan air mineral dalam botol dari ujung ruangan untuk aku, Willow, dan Petra. “Jadi, Mbak Rose—“ “Panggil Rose aja,” kataku. Aku lebih nyaman dipanggil nama langsung daripada ada embek-embel 'Mbak'. Apalagi sepertinya kami berempat yang ada di ruangan ini masih seumuran. Ika manggut-manggut. “Okay, Rose. Berhubung Bu Sandra minta saya untuk brief kamu—“ Petra mengangkat wajah, berdecak singkat. “Ka, straight to the point. Keburu subuh ini kalau pembukaannya lama banget. Gue masih ada janji abis ini.” Ika manyun, tapi buru-buru memasang tampang netral lagi. “Iyeee, bawel! Gue emang resepsionis, tapiii kan Bu Sandra ngasih gue amanah buat brief Rose.” “Amanah banget nih, Ka?” Petra berdecak lagi. Willow cuma terkekeh di samping Petra melihat apa yang sedang terjadi. Ika membenarkan letak duduknya, membuka tabletnya, lalu berkata, “Kita sedang intens ngegarap persiapan untuk acara nikahan anaknya Bu Sasya yang… ugh! Rewel banget!” Ekspresi kalem Ika hanya bertahan sesaat. Mimik wajahnya kembali lagi seperti artis sinetron. “Bayangin aja, mereka ngeganti konsep mereka sendiri gara-gara alasan yang uh-so-wow, nggak banget!” “Ka, fokus please,” Patra memotong lagi. Sepertinya dia mulai habis kesabaran menghadapi Ika. Ika memutar bola matanya. “Iya, Bu Petra yang baik hatinya,” jawabnya sinis. “Ini nih, dia mau ngeganti konsep gaun pengantinnya padahal waktu udah mepet. Bentar lagi mereka dateng… nggak tau deh mau minta ganti apaan lagi. Ganti calon penganten juga kali!” *** Rencana meeting selama satu jam berujung pada pembahasan hampir dua jam lamanya. Belum lagi Bu Sasya ingin kami menjelaskan dalam bentuk Power Point tentang tetek bengek konsep pernikahan yang semula rustic menjadi glamour. Banyak item dari A sampai Z yang berubah signifikan. Benar kata Ika, Bu Sasya banyak maunya. Anaknya Bu Sasya juga nggak kalah ribet soal konsep baru yang dia inginkan. Untung saja Willow sangat cekatan dalam presentasi berbentuk Power Point ini. Kami jadi bisa membahasnya lebih rinci, namun pemaparannya efektif. Petra juga ternyata orangnya efisien. Mendengar maunya Bu Sasya dan anaknya, dia langsung memberi gambaran besar bagaimana konsep fotografi yang bisa dipilih. Dari sisi bridal, aku memaparkan beberapa konsep yang pernah Mam usung di event-event sebelumnya. And it’s not bad at all, of course. Rasanya bebanku untuk gabung di Belle Ame jadi agak ringan saat aku membuka banyak file punya Mam untuk konsep bridal yang glamour. Meeting ini membantuku meraba apa yang harus kulakukan ke depannya. Kurasa aku bisa melakukan improvisasi nantinya. “Gue duluan, ya. Mau lanjut ke Kemayoran dulu, ada jadwal foto pre-wed.” Patra berkata cepat sambil membereskan barang-barangnya, selepas meeting selesai. Bu Sasya beserta anaknya sudah pulang. Willow tak kalah sibuk merapikan desain-desainnya yang berserakan. “Gue juga cabut dulu. Masih ada deadline siang ini.” “Thank you, Beb,” Ika menyahut, menyunggingkan senyum pasta giginya. “Syukurlah Bu Sasya bisa agak melunak hari ini, nggak merong-merong kayak biasanya.” Selepas Petra dan Willow pergi, hanya ada aku dan Ika di ruang meeting. Aku masih mempelajari desain-desain baju pengantin yang pernah Mam prepare untuk Belle Ame saat kudengar ponsel Ika berbunyi. “OMG! Bu Iryawan nelepon!” Bu… Iryawan…? Do I need to care? Nope. Urusan pekerjaan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadi. Oh, lagipula aku sudah tidak punya urusan personal dengan bu Iryawan—atau calon menantunya. “Siang, Bu. Oh, iya, Bu Sandra lagi keluar Bu, mendadak. Nggak apa-apa, Bu. Bu Sandra sudah info ke team tadi. Silakan Ibu datang saja, nanti kami yang follow-up segala sesuatunya.” Ika berbicara antusias, berbanding terbalik denganku yang entah kenapa mulai kehilangan semangat untuk mempelajari desain gaun pengantin karya Mam. Setelah menutup telepon, Ika langsung menoleh cepat padaku. “Bu Iryawan mau kemari. Ayo kita siap-siap dulu, Rose! Dia mau melihat beberapa final touch untuk persiapan pernikahan anaknya nanti! Duh, emang ya, anaknya Bu Iryawan cocok bangettt sama Mas Yas—“ Ika tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah menatapku. Hell, no. Kurasa dia sedang menebak-nebak sejarah apa yang pernah ada antara aku dengan pria berengsek itu—berhubung saat aku bertemu dengan pria itu, Ika menyaksikan bagaimana pria itu mencoba menghentikan langkahku dengan meraih tanganku. “Rose…. umm, lo sama Yasta—“ “Gue mau bikin kopi dulu, Ka. Ke pantry dulu, ya,” kataku cepat. Aku malas bila Ika atau siapapun berniat kepo tentang apa yang pernah terjadi antara aku dan pria berengsek itu. Description: Dalam satu pekan yang sama, kehidupan Rosanna Imelda yang semula adem ayem, berubah jadi penuh huru-hara. Batal bergabung di perusahaan yang diidamkan, juga mamanya yang ngotot memintanya melanjutkan bisnis bridal keluarga, berhasil membuat Rose sakit kepala. Ditambah lagi, Rose juga harus berurusan dengan mantan calon suami, Adyasta, yang menjadi calon kliennya. Kini, Rose malah tergoda untuk membalas perbuatan Yasta dulu—membatalkan rencana pernikahan mereka. ============================================================================== Rose’s Queen Anne adalah salah satu novel dari Belle Ame The Series. Belle Ame adalah serial yang bercerita tentang serba-serbi kehidupan percintaan para tokoh yang bekerja bersama sebuah Wedding Organizer bernama Belle Ame milik Sandra Reinoff. Flo, pemilik sebuah katering; Petra, sang fotografer; Willow, seorang desainer; Rose, pengusaha bridal; dan Aurora, MC sekaligus penanggung jawab souvenir. Tugas Aurora, Flo, Willow, Petra dan Rose adalah menyempurnakan pesta pernikahan para klien Belle Ame. Namun, apakah kehidupan percintaan mereka juga sempurna?
Title: Rasa Category: Novel Text: Kota Mati SEHARIAN INI langit mendung. Mungkin dia sedang murung, bingung, atau mungkin dia sedang berduka tapi tidak tahu cara mengungkapkannya. Tapi anehnya manusia suka, manusia senang karena udara jadi lebih sejuk bahkan burung - burung menari di angkasa tanpa takut kepanasan, tanpa takut jika bulu sayapnya terbakar. Begitu pula sungai air keruh dipinggiran kota, merasa bersyukurlah sungai itu karena mampu menunjukkan betapa keru dirinya. DI TEMPAT lain seorang gadis tengah berduka karena satu - satunya keluarga yangia punya diambil Sang Pencipta. Sedih bukan karena ditinggal pergi tapi sedih karena dia harus hidup sendiri di tengah hiruk pimuk kota yang kian pelik. Gadis itu masih punya saudara, hanya saja mereka tidak psrnha menganggap dia ada. Satu - satunya keluarga yang dia punya cuma ini tapi mungkin semesta tidak menginginkan hal itu terjadi. " Nak Bintang, ayo pulang nanti bapak antar sampai rumah." Gadis itu bernama Bintang. Bintang. Itu saja nama yang diberikan orang tuanya dulu, satu - satunya peninggalan yang tersisa dari kedua orang tuanya setelah tiada. Mungkin kalian bisa memanggilnya dengan nama itu. " Iya pak, terimakasih." Sesampainya di rumah, Bintang kembali merasakan perasaan ini. Perasaan sunyi, perasaan kosong, hampa, dan merasa sendiri. Bintang melihat lagi foto ukuran 2R yang dari tadi ia bawa sejak di pemakaman di pandanginya foto itu lamat-lamat semakin di lihat wajahnya semakin memerah hingga air matanya tumpah. Foto yang ia pegang adalah foto sekitar 14 tahun lalu, saat dunianya masih utuh, saat bahagianya masih penuh, saat dia cuma bisa menangis karena tidak dibelikan gulali atau permen warna-warni. “ Seandainya ibu tidak pergi, apa hidupku akan seperti ini ? kenapa kau tak pernah berpihak padaku sekali saja semesta ? kenapa kau selalu membenciku? Aku salah apa padamu, hingga duniaku kau renggut bahkan saat aku belum tahu dunia ini seperti apa?” Bintang menangis lagi menyalahkan semesta yang selalu dia anggap membencinya. Semesta yang selalu ia benci dari dulu. Tanpa minta permisi terlebih dulu, kantuk menyerangnya mungkin tahu bahwa Bintang perlu istirahat untuk melupakan dukanya walau hanya sesaat. # Satu minggu setelah pemakaman neneknya, Bintang kembali ke kehidupan normalnya. Kehidupan yang kosong dan tanpa warna. Pukul enam pagi Bintang sudah berangkat ke sekolah maklum saja menunggu bus kota sedikit lama, untung saja keadaan bus kota pagi ini sedikit lengang hingga tak perlu berdesak – desakan. Ibu Kota Provinsi yang serasa seperti Ibu Kota Negara itulah yang selalu Bintang rasakan setiap hari baik pagi, siang, sore, atau pun malam hanya suara klakson yang terdengar atau mungkin suara orang yang mencaci karena terlambat ke tempat pertemuan. Jika rumah adalah kota mati maka sekolah adalah kota hidup yang seakan mati. Kehidupan sekolah Bintang tak seindah dan selancar seperti siswa kebanyakan. Tak indah karena karena tidak pernah ada kisah cinta yang mewarnai bagaimana mau punya kisah cinta jika teman saja dia tidak punya bukan tak punya teman, temannya hanya satu itu pun karena satu SMP dengannnya dulu. Namanya Aya gadis yang sangat bertolak belakang dengan Bintang. Gadis ceria yang menyukai banyak hal yang Bintang tidak suka. Tapi untung saja kota hidup yang seakan mati itu akan lenyap dalam kurun waktu tiga hari. Setelah pentas seni kehidupan masa SMA nya akan segera berakhir. Saat Bintang berjalan di koridor sekolah menuju kelas nya, tiba-tiba ada yang mengagetkan dirinya dari belakang. “ Bin, ke kantin yuk, laper nih gue.” orang itu Aya teman satu satunya yang dia punya di sekolah ini. Satu-satunya teman yang mau menerima segala keanehan sikap Bintang. “ Males ah, Lo aja.““ Ayolah, masa makan sendiri. Gue traktir deh.” Tanpa meminta persetujuan Bintang terlebih dulu, Aya menyeret lengan Bintang.Aya dan Bintang segera meluncur ke kantin atau lebih tempatnya ke warung Bu Lis, mencicipi nasi goreng bertabur bawang goreng, baru membayangkannya saja cacing diperut mereka sudah tidak tahan apalagi saat nasinya sudah turun ke perut. Sesampainya di kantin mereka mencari meja yang kosong, maklum saja kantin cukup ramai akhir – akhir ini karena kegiatan belajar mengajar terhenti untuk persiapan pentas seni sekaligus persiapan pelepasan kelas 12. Setelah menemukan meja yang kosong. Mereka duduk, untung saja meja kesukaan mereka masih kosong meja paling ujung adalah kesuakaan mereka berdua atau yang lebih jelas adalah kesukaan Bintang. “ Pagi Bu Lis.“ Bintang dan Aya menyapa Bu Lis dengan ceria, dengan senyuman yang lebar. Bu Lis menyapa sapaan dengan hangat seperti sapaan seorang ibu yang menyapa dan memberi kehangatan kepada putrinya. Mungkin itu sebabnya warung Bu Lis sering ramai, karena kehangatan seorang ibu itulah siswa jadi betah tak terkecuali Bintang dan Aya. “ Pagi neng Bintang sama neng Aya, nasi goreng dua kan ? bentar ya, duduk dulu”“Iya Bu Lis “ Beberapa saat kemudian nasi gorengnya datang, benar-benar seperti masakan seorang ibu. Nikmat dan penuh kasih sayang di dalamnya, entah karena Bintang tidak pernah merasakan masakan ibunya dan Aya yang jauh dari ibunya atau memang tangan Bu Lis yang istimewa hingga masakannya terasa luar biasa. “ Ya udah, dimakan ya. Bu Lis tinggal dulu.” Setelah Bu Lis pergi, mereka berdua menikmati nasi gorengnya. Sampai satu pembicaraan keluar dari mulut Aya. “Emm… ta.““ Apa.““Emm…”“ Ngomong aja sih, dari tadi emm.. terus, mau ngomong apa sih cepetan ““ Emm… temen gue ada yang mau kenalan sama lo “Kalimat yang tadi Aya sampaikan membuat Bintang seketika tersedak dengan segera Aya memberikan minum ke temannya itu.“ Kan gue udah bilang, gue gak mau berususan dengan hal-hal semacam itu Ay!”“ Cuma kenalan Bin, kenalan. Hitung-hitung lo tambah temen lah masa temen lo Cuma gue doang gak bosen apa lo.““ Ay, gue kan udah bilang sama lo dari dulu kan. Gue gak mau Ay ! ““ Karena dia ya ? “ Satu kata itu “ dia “ teman masa kecil Bintang yang entah dimana keberadaannya sekarang. Satu kata itu, membuat raut muka Bintang berubah jadi masam. Satu kata itu membawa Bintang kembali ke masa empat tahun lalu, saat dunianya terasa lebih hidup. Jika kalian beruntung, mungkin kalian akan bertemu dengan “ dia “ tapi jika tidak nikmati saja kata “dia” sampai diakhir cerita. “Bukan karena dia kok “ Bohong, Bintang bohong tentang hal itu. Tentu saja karena dia, tentus aja alasannya “ dia” jika tidak kenapa Bintang sampai tidak mau berkenalan dengan orang lain dan memilih mengasingkan diri. “ Bohong, lo itu gak pinter bohong tahu ! udah empat tahun dia pergi tanpa kabar Bin lupain dia”“ Terserah kalau lo gak percaya” Aya menurunkan sedikit nada bicaranya, berharap temannya yang satu ini bisa sedikit mengerti dan mau bersosialisasi dengan orang lain. Sudah banyak cara yang Aya coba tapi masih tetap saja temannya yang keras kepala ini bersih keras untuk menolak dan ini adalah usahanya yang terakhir. “ Alan.““ Ha ? ““Orang yang mau kenalan sama lo namanya Alan, waktu pensi dia bakal kesini. ““ Bodo. ““ Ayolah Bin coba kenalan sama dia, orangnya baik kok. ““ Gak mau Ay, gue kan udah bilang.“ Bintang pergi meninggalkan Aya dan setengah piring nasi gorengnya di atas meja, percakapannya dengan Aya barusan membuat perutnya tiba tiba kenyang atau lebih tepatnya membuat Bintang tidak selera makan. # HARI pentas seni dan pelepasan kelas 12 pun tiba. Jika kalian lihat siswa yang paling heboh dan paling bersemangat maka orang itu adalah Aya. Tapi kalau cari Bintang lihat saja di gazebo dekat taman, dia disana mendengarkanlagu – lagu indie kesukaanya lewat ipod milik almarhumah ibunya. Keramaian adalah hal yang paling menakutkan bagi Bintang, gazebo adalah satu – satunya tempat yang cocok saat ini karena sunyi adalah teman terbaik Bintang dan keramaian, keramaian adalah musuh terbesarnya. “ Kenapa nggak nonton pensi ? “Tiba – tiba ada lelaki yang sedang duduk bersila di depannya. Lelaki itu mengenakan kaus berwarna biru dan jeans abu – abu. “ Ngomong sama gue ? ““ Enggak, lagi ngomong sama kesunyian.”“ Oh.” Bintang mengacuhkan lelaki itu dan kembali menikmati lagu yang di putar dari ipod milik ibunya. Bintang sama sekali tidak peduli bahwa ada lelaki tampan tengah duduk didepannya sambil menatap wajahnya. Bintang sama sekali tidak peduli. “ Alan.” Lelaki itu menyodorkan tangannya seraya menyebutkan nama. “ Ngomong sama kesunyian ya ? ““ Kali ini ngomong sama lo.”“ Bintang.”Tanpa menyambut jabatan tangan Alan, Bintang menyebukan namanya.“ Nama lo Tata ? “ Nama itu membuat raut muka Bintang kembali masam. Selama empat tahun nama itu tidak terdengar ditelinganya, nama itu kembali lagi lewat lisan yang berbeda tapi masih tetap tidak akan sama seperti asalnya.“ Bukan Tata tapi Bintang.”“ Nggak masalah, bagi gue sama aja.”“ Terserah.”Jam empat sore pensi baru selesai tapi sekolah masih cukup ramai itu gara – gara para siswa perempuan berebut minta foto dengan band alumni.“ Kenapa pada ngefans sama gitarisnya sih.” Tiba – tiba ada seseorang yang bicara disampingnya, suaranya seperti tidak asing ditelinga Bintang. Lelaki itu Alan.“ Alumni sini juga ? ““ Iya.”“ Ikut main band ? ““ Enggak, cuma ada urusan aja disini.”“ Terserah.”“ Kenapa sering banget sih ngomong terserah, nggak ada kata lain ? ““ Nggak.”Bintang pergi karena kerumunan orang makin banyak disekitarnya untuk minta foto atau sekedar bersalaman dengan band alumni itu. Alasan lain, karena memang dia harus pulang.“ Ta, tunggu ! hh..hh..hh…”Aya memanggil Bintang dengan nafas ngosg – ngosan seperti habis lari keliling lapangan 3 putaran, sambil mengatur nafasnya Aya bicara kepada Bintang.“ Habis ngaapain lo, sampe ngos-ngosan begitu ? ““ Oh, tadi hh..hh.. Gue habis rebutan minta foto sama gitaris hh.. nya hh.. eh tunggu, gue gak mau ngomongin itu sama lo.““ Terus, lo mau ngomong in apa ? ““ Alan gimana ? ““ Alan ? Alan siapa ? “Bodoh. Jika ada manusia paling bodoh dalam persoalan pertemanan dan bersosialisasi dengan orang maka orang itu adalah Bintang. Bagaimana tidak disebut dengan bodoh, jika mengingat nama orang yang baru dikenal saja dia sudah lupa satu jam setelah berkenalan.“ Ya ampun Bin , dari tadi lo ngomong sama dia di gazebo terus lo gak tahu dia siapa ? ““ Memangnya dia siapa ? “Benar bukan ? Bintang bodoh kalau membahas soal pertemanan. Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa Bintang tidak punya teman selain Aya disekolah karena mengingat nama orang yang baru berkenalan dengannya saja Bintang sudah lupa.“ Dia yang mau kenalan sama lo. ““Oh.”“ Orangnya nyebelin jadi gue tinggal, bye gue mau pulang.“ # “ BINTANG PULANG “ Rumah , benar benar kota mati. Rumah ini terlalu besar untuk Bintang hidup seorang diri, setelah kepergian neneknya rumah ini jadi sangat sepi. Walau ada saudara dari ibunya, tapi mereka tak mau menemui Bintang, bahkan untuk mengecek apakah keadaan Bintang baik-baik saja atau tidak itu pun tidak pernah. Hanya uang mereka saja yang sampai tapi kasih sayang mereka tidak entah karena lupa alamat, bingung cara mengirim, atau karena memang tidak pernah ada kasih sayang untuk Bintang. Jadi, dari pada duduk dirumah sampai pagi selanjutnya, Bintang memutuskan untuk berjalan jalan ke luar, entah mau pergi kemana Bintang tak tahu, dia hanya mengikuti kakinya melangkah mau sejauh mana kakinya membawa dia pergi, Bintang tidak peduli yang terpenting dia tidak sedang terjebak dalam kota mati. Lalu, satu pertanyaan tentang masa depannya itu pun menghatuinya kembali selepas SMA mau jadi apa Bintang ? melanjutkan pendidikan atau kerja saja. Lalu ada SMS masuk dari Bibinya, dari Bibi yang dari dulu membiayai kehidupannya semenjak ibu Bintang tiada. Kamu akan lanjut kuliah, sudah Bibi pilihkan kampusnya. Kamu Cuma tinggal pilih mau masuk jurusan apa tapi jangan masuk jurusan yang aneh-aneh dan uang bulanan juga sudah Bibi kirim. Sudah, itu saja. Setiap bulan hanya SMS itu yang disampaikan, atau jika ada SMS lain cuma memberi tahu jika uang bulannya harus mundur karena Bibi Bintang kekurangan uang. Tapi, bagaimana pun juga semuanya harus disyukuri bukan ? bersyukur karena masih ada Bibi yang bisa membiayai sekolah dan kehidupannya sehari-hari dari pada Bintang harus jadi gelandangan dan tidur dijalanan. Bersyukur karena setidaknya satu persalahan berhasil terurai.“ Loh Ta, ngapain malam malam jalan sendiri ? “ Suara itu lagi, sepertinya Bintang pernah mendengarnya. Tapi dia lupa dimana pernah mendengarnya. Jadi dari pada salah, lebih baik bertanya.“ Lo siapa ? ““ Lo udah lupa ya ? oke kita kenalan lagi, gue Alan. ““ Oh. ““ Lo gak mau kenalan lagi ? ““Lo kan udah tahu gue siapa , jadi gak usah. Oh ya, minggir gue mau lewat. “Sebelum pertemuan Bintang dengan Alan di pensi, empat hari sebelumnya Aya dan Alan tak sengaja bertemu. Mereka membahas semuanya yang terlintas dibenak sampai ada satu pertanyaan dikatakan Aya.“ Lo, mau bantuin gue nggak ? ““ Bantuin apa ? kalau buat jadi pacar pura-pura lo gue nggak mau.““ Ya nggak mungkin itu lah dasar bego. ““ Terus apa ? ““ Lo bantuin gue ya, supaya temen gue mau temenan sama yang lain.““ Emangnya dia kenapa ? ““ Pokoknya lo kenalan aja, kalau ketemu sama orangnya pasti lo bakal tahu apa alasannya.”Benar saja setelah bertemu Bintang dua kali saja Alan sudah tahu apa alasannya. Walau Bintang hanya bicara satu kata saja “ terserah “ sudah menjelaskan semuanya, bahwa kesepianlah penyebabnya Dua kali bertemu Bintang matanya selalu Nampak seperti itu, tampak kosong, tampak merasa kesepian, dan menanggung kepedihan. # ALAN berjalan di koridor kampusnya, bingung mau apa karena dosennya hari ini tidak masuk, lalu salah satu MABA ( Mahasiswa Baru ) mencuri perhatian Alan. Membuat Alan yang tadinya malas menjadi bersemangat.“ Ta !”Mahasiswa baru itu Bintang atau Alan sering menyebutnya dengan nama Tata, Alan memanggil Bintang dengan nama Tata bukan tanpa alasan nama Bintang memang sudah bagus tapi entah kenapa dengan memanggil Bintang dengan sebutan Tata lebih cocok dengan wajah Bintang. Setelah pertemuan Alan dengan Bintang di pensi SMA, entah kenapa membuat Alan ingin selalu berada didekat Bintang dan mengetahui setiap hal dalam hidup Bintang. Bintang adalah gadis terunik yang pernah Alan temui , gadis yang mampu menjawab segala pertanyaan dengan satu kata saja.“ Lo ngapain disini ?”Bintang heran, kenapa manusia ini bisa berada disini ? apa manusia ini menguntitnya sampai kesini ?“ Lo kuliah disini juga ? ““ Iya.”“ Bagus deh.”“ Maksudnya ? ““ Bagus aja, kan gue bisa ketemu lo terus.” Bukan marah atau salah tingah mendengar jawaban Alan, Bintang malah pergi meninggalkan Alan di koridor, karena masa Ospek sudah selesai kegiatan perkuliahan pun di mulai hari ini. Fakultas Ekonomi itu saja piihan yang bisa Bintang pilih, bukan untuk mengejar impiannya tapi untuk memenuhi permintaan Bibinya karena hanya fakultas ekonomii adalah satu satunya jalan supaya Bintang bisa melanjutkan pendidikannya“ Ta, tunggu ! kalau kelas lo udah habis gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Gue tunggu lo di parkiran.“Tanpa menanggapi ucapan Alan, Bintang terus berjalan, entah karena sudah jauh jadi tidak terdengar atau karena memang Bintang tidak peduli.“ Pas ospek aja dateng paling awal, giliran udah mulai malah paling telat. ““ Sebelum dosen dateng, belum bisa dikatain telat. “ Oh ya, Aya juga kuliah di Fakultas Ekonomi satu kelas dengan Bintang. Bintang bisa berfikir masuk ke jurusan ekonomi pun juga karena Aya. Bintang sama sekali tidak berminat masuk ke jurusan ini, semua yang dia lakukan adalah upaya agar bibinya tidak merasa kecewa kepadanya. Semua ini adalah permintaan bibinya, memang dari SMS kemarin Bintang boleh memilih jurusan sesuai keinginannya sendiri tapi Bintang sadar bahwa keinginan bibinya adalah supaya Bintang masuk ke jurusan ekonomi, jurusan yang menurut bibinya jelas. jelas mampu mengubah hidup Bintang. Setelah kelas selesai, bukannya pergi ke parkiran Bintang malah mencari angkot dan pulang. Bukan karena ucapan Alan tidak didengar tapi karena memang Bintang tidak peduli. Siapa dia, meminta bintang pergi dengannya teman saja bukan.“ Bintang pulang “ Rumah. Kota mati. Dulu masih ada neneknya, yang bisa membalas sapaanya sepulang sekolah. Masih ada orang yang akan menanyakan kabarnya sepulang sekolah, bagaimana harinya disekolah, bagaimana teman-teman barunya disekolah, tapi sekarang… sekarang sudah tidak ada. Seandainya rumahnya bisa bicara, mungkin rumahnya sudah menjawab sapaanya.“ Hei, aku mau cerita. Tadi aku ketemu dengan dia, iya dia orang aneh yang sok kenal bahkan tadi dia mau mengajakku pergi tapi gak tahu mau pergi kemana. Tapi, dia namanya siapa ya? aku lupa. oh ya namanya Alan, orang aneh itu namanya Alan bagaiman menurutmu ? “ Lagi - lagi kesepian mengajak Bintang berkhayal, dinding kamarnya saja Bintang ajak bicara. Sebegitu kesepiannya dia sampai dinding berwarna abu-abu itu dia ajak bicara. Tapi, mau bagaimana lagi kalau bukan pada dinding Bintang cerita lalu harus kemana. Auva TIN… TIN … “ Ta, cepetan ! kemarin suruh jemput, sekarang gue udah dateng lo belum siap. “ Hari ini rencananya Bintang akan berangkat bersama Aya, tapi karena semalam Bintang bicara dengan dinding kamarnya semalaman jadi Bintang tidur larut malam. “ Lama amat sih.““ Lagi PMS ya lo marah marah mulu, cuma nunggu bentar gak bikin lo tambah tua kali Ay. ““ Suka suka lo aja deh Bin. ““ Iya, ya sorry . Yaudah ayo berangkat.”“ Eh Bin, lo udah sarapan belum ? ““ Ya belum lah, orang tadi mau sarapan lo udah keburu dateng.”“ Kita ke kantin dulu ya.”“ Lo traktir gue kan ? ““ Iya dah gue traktir, kalo gratisan aja lo semangat banget.”“Makasih Ayyyyy.” Fakultas Ekonomi, salah satu fakultas yang paling diminati di kampus Bintang tapi bukan Bintang namanya jika tidak menyukai hal yang disukai orang lain. Bagaimana bisa suka jika menghitung saja membuat kepala Bintang pusing, mungkin beberapa semester kedepan akan membuat Bintang merasa mual karena menghitung. Padahal dulu Bintang pernah bilang pada Aya bahwa jurusan ekonomi itu aneh. “Masa ngitung uang tapi gak ada uangnya hilang nol satu aja pusing padahal cuma tulisan.” Tapi lihat sekarang Bintang malah masuk ke jurusan ekonomi, jurusan yang menurutnya aneh adalah jurusan yang sekarang ia pilih atau lebih tepatnya terpaksa Bintang pilih. Mungkin ini yang disebut semesta sedang bercanda. Sambil makan gado-gado Bintang mengambil buku catatanya tapi bukan untuk mencatat materi kuliahnya. Buku catatan Bintang hanya dipenuhi dengan gambar – gambar Bintang tanpa ada satu pun materi kuliah disana. Entahlah, yang jelas dengan menggambar membuat Bintang bahagia, satu – satunya kebahagiaan yang bisa Bintang rasakan adalah dengan menggambar. “ Bin.”“ Hmm?”“ Lo kenapa masuk ekonomi bukannya lo gak mau masuk jurusan yang nggak ada matematikanya ya?”“ Karena Bibi gue.”“ Masih ya ? ““ Ya.” Bibi dari keluarga ibunya adalah satu-satunya orang yang mau membiayai kehidupannya sampai sekarang tapi entah jika tidak ada wasiat dari neneknya apakah Bibi Bintang mau membiayai kehidupannya atau tidak. Sejak ibu Bintang meninggal tak ada satu pun keluarga dari ibunya yang pernah bertanya bagaimana keadaan Bintang apakah Bintang baik-baik saja atau tidak. Jangan tanya dimana keluarga dari ayah bintang, bahkan ayahnya sekarang ada dimana, Bintang pun tidak tahu karena Ayahnya pergi setelah 40 hari kepergian ibunya. Pukul tiga sore kelas Bintang sudah usai. Kelas yang sudah membuat kepala Bintang terasa hampir meledak kini sudha benar – benar usai. “ Bin, sorry ya gue nggak bisa anterin lo balik. ““ Kenapa ? ““ Nggak tahu tuh gue mau diajak kemana sama ayah gue.”“ Oh, oke gak masalah.”“ Tapi tenang aja, gue udah minta Alan buat anterin lo pulang ?”Alan ? alan siapa ? perasaan pernah dengar tapi dimana ya ? batin Bintang dalam hati“ Alan siapa Ay ? ““ Ya ampun Bin ! penyakit pelupa lo gak berkurang aja dari SMP. ““ Ye mana gue tahu, bawaan dari lahir kali. Terus Alan siapa ?”“ Cowo yang lo bilang nyebelin itu.”“ Oh.”Aya Cuma bisa geleng-geleng kepala melihat sikap temannya itu, Aya sudah memaklumi sikap Bintang karena memnag mereka sudah lama berteman. Lalu tiba-tiba saja Alan datang.“ Hei Ay ! Tata jadi pulang bareng gue kan.”“ Iya jai.” Aya menjawabnya dulu padahal BIntang belum bilang setuju.“ Eh.. tunggu tunggu, gue beneran pulang bareng sama orang ini ? nggak - nggak mending pulang naik angkot dah gue.”“ Iyalah lo balik bareng gue. Mau gak mau lo harus pulang bareng sama gue, ingat lo punya satu hutang sama gue.”“Sejak kapan gue punya hutang sama lo.”“ Kemaren gue udah nunggu lo lama ternyata lo malah udah pulang.”“ Nggak ! gue nggak mau.” Baru saja mau melangkah pergi, Alan keburu memegang lengan Bintang dan menariknya supaya Bintang mau pulang bersamanya. Setelah perjuangan yang panjang akhirnya Alan berhasil membawa Bintang ke mobilnya. “ Cepet masuk.” Alan menyuruh Bintang segera masuk ke mobil“ Naik ini ? “ “ Iya lah, mau naik apa lagi ? ““ Ayo ikut gue.”“ Kemana ? “Terus mobil gue ? ““ Biarin aja” Bintang mengajak Alan berjalan menuju Halte, Alan masih bingung kenapa Bintang mengajaknya kesini memangnya mereka mau pulang naik bus kota? Tanpa menunggu lama Bus Kotanya datang Bintang masuk disusul dengan Alan dibelakangnya tapi sayangnya Busnya ramai jadi mereka tidak dapat tempat duduk. “ Ngapain naik Bus sih Ta ? gue kan bawa mobil jadi berdiri gini kan kita.““ Siapa suruh ikut. Lo tahu nggak sih Jakarta itu masuk urutan ke tiga kota paling berpolusi di dunia ?”“ Gue tahu kok, terus apa hubungannya ?”“ Terus lo mau kota ini juga sama seperti jakarta ? sebisa mungkin kita kurangi tuh bawa mobil kalau masih bisa naik angkutan umum.”Mendengar jawaban Bintang tadi Alan cuma bisa terpesona bagaimana gadis ini bisa sangat peduli dengan hal-hal seperti itu ? “ Oke, gue kan udah nurutin mau lo. Sekarang giliran lo nepatin janji.”“ Oke.”Baru saja setuju, Alan meminta bus berhenti dan kemudian turun. Bintang Cuma bisa heran.“ Kok turun disini ?”“Kan lo mau nepatin janji.”“ Terus kita mau kemana ? ““ Udah ikut aja.” Sudah 15 menit mereka berjalan tapi Alan tak kunjung memberi tahu Bintang mau diajak kemana, kalau mau pulang pun Bintang tak tahu jalan jadi terpaksa harus ikut dengan manusia menyebalkan itu. Alan tidak tega melihat Bintang yang sudah kelelahan karena berjalan cukup jauh. “ Istirahat dulu ya Ta.”“ Nggak usah nanti tambah lama, sebenarnya lo mau ajak gue kemana sih.” Dari kejauhan nampak anak kecil yang melambai-lambai kearah mereka, mulanya satu tapi ketika langkah mereka berdua semakin dekat mulai terlihat ada sepuluh orang anak yang melambaikan tangan ke mereka di depan rumah. tapi jika langkah mereka semakin dekat, yang terlihat bukan sebuah rumah tapi sebuah panti asuhan. “ Panti asuhan ? “ Dengan nada heran Bintang bertanya pada Alan.“ Iya kenapa memangnya ? “ Sebelum sempat menjawab terlebih dahulu ada anak perempuan yang kira – kira berumur tujuh tahun menarik kaosnya sambil tersenyum lebar. Bintang segera menyamakan tingginya dengan anak perempuan itu, bertanya siapa namanya sambil tersenyum, senyum yang tidak pernah ditunjukan kepada Alan. “ Halo adik manis, namanya siapa ? “ Tapi tidak dijawab anak kecil itu masih tetap tersenyum sambil terus menarik kaos Bintang.“ Dia tuna rungu Ta. Namanya Auva.” Mendengar jawaban Alan barusan membuat Bintang sedikit terkejut, bagaimana anak sekecil ini mampu memikul beban seberat ini ? Auva gadis kecil tuna rungu dan tuna wicara yang sudah tinggal dipanti asuhan sejak kecil. “ Jadi..”“ Ini panti asuhan khusus bagi anak-anak tuna rungu dan tuna wicara Ta.”“ Terus aku kenalan sama mereka gimana ? “ Alan mengajarkan bahasa isyarat berkenalan pada Bintang, awalnya Bintang merasa Bingung tapi lama kelamaan jadi lancar. Satu persatu Bintang mengenal anak-anak disana termasuk dengan ibu panti yang mengurus anak-anak itu. “ Namamu Auva ya ?” Bintang bicara dengan bahasa isyarat walaupun sedikit kebingungan menggerak-gerakkan tangganya karena belum terbiasa. Gadis kecil bernama Auva itu mengangguk sambil tersenyum manis. “ Kakak temannya kak Alan ?” Bintang masih bingung apa yang dikatakan Auva padanya, Bintang melirik Alan minta bantuan untuk menjelaskan apa yang dikatakan Auva. “ Auva bilang, kamu temanku ya ? “ Bintang cuma menjawab dengan senyuman. # “ Yuk pulang Ta, udah sore”“ Eh bahasa isyaratnya sampai jumpa lagi gimana gimana?” Alan memegang tangan Bintang, mengarahkan bagaimana bahasa isyarat dari sampai jumpa lagi. Setelah berpamitan, mereka pun pulang. Selama diperjalanan Bintang cuma diam, tapi tidak seperti sebelumnya diamnya seperti sedang memikirkan sesuatu. “ Kenapa Ta?”“Gapapa kok, aku cuma kepikiran aja sama Auva, gadis sekecil Auva dan temannya yang lain sudah memikul beban seberat ini tapi masih bisa tersenyum manis seperti itu. Al, gimana kamu bisa ketemu mereka? ”“ Eh.. kamu Ta ? ““ Maaf”“Nggak masalah kok Ta, lebih enak didengar seperti itu. Gimana aku bisa ketemu mereka ya? dulu waktu SMP sekolahku pernah pergi kesana jadi keterusan deh sampai sekarang.”“ Auva dan anak-anak lainnya hebat ya Al.”“Iya, mereka hebat-hebat.”“ Aku saja masih sering ngeluh sama semesta.” # BINTANG sampai di rumah jam Sembilan malam, terlalu larut memang tapi mau bagaimana lagi saat Alan ingin mengantar Bintang samapi rumah Bintang bersih keras menolak ajakan Alan. Sesampainya di rumah Bintang masuk kamar, berdiam diri dan duduk diatas ranjang sambil menatap dinding berwarna abu – abu yang selalu jadi teman ceritanya sedari dulu.“Aku terlalu menyalahkan semesta ya ? sampai aku tak pernah tahu bahwa aku lebih beruntung dari pada mereka.“ Manusia Menyebalkan#1 KRING… KRING.. Kringg… Kring…. Ini baru jam empat tapi kenapa ada suara bel sepeda sepagi ini? perasaan Aya jemput pakai mobil kenapa suara klaksonnya seperti bel sepeda ? Batin Bintang karena bingung ada suara bel sepeda terdengar dari luar rumahnya. “ Ta bangun !! Ayo berangkat nanti kita kesiangan ! “ Suara lantang Alan sontak menyadarkan kantuk Bintang, segera Bintang keluar rumah dengan masih memakai kaos dan dengan rambut yang masih tidak keruan. Teriakan Alan tadi benar – benar membuat Bintang kaget sampai tidak memperhatikan dirinya dalam kondisi seperti apa. “ Al kamu ngapain disini ? ““ Jemput kamu lah Ta, nggak lihat aku sudah bawa sepeda? Aya kemarin bilang mobilnya mogok jadi gak bisa jemput kamu.”“ Ini baru jam empat pagi Al, mana ada orang yang berangkat ke kampus jam empat pagi sih Al ! ” Dengan nada kesal Bintang membalas perkataan Alan, tentu saja kesal masa baru enak bermimpi tiba – tiba dibangunin untuk berangkat ke kampus jam empat pagi, mana ada orang yang berangkat jam segini . “ Ada kok, sebentar lagi aku sama kamu akan jadi orang pertama yang akan berangkat ke kampus jam empat pagi.“ Sambil menunjukkan senyum jahilnya Alan menanggapi pertanyaan Bintang, mungkin ini akan jadi hobi barunya karena melihat wajah Bintang yang sedikit kesal ini entah kenapa begitu lucu. “ Terus kenapa harus pakai sepeda ? ““ Kan kemarin kamu sendiri yang bilang, jangan sampai kota ini juga seperti Jakarta makanya sekarang aku jemput pakai sepeda. Jadi sana mandi ganti baju terus kita berangkat.”“ Nggak. Aku nggak mau. ““ Kamu nggak kasihan sama aku ya Ta, pagi – pagi aku naik sepeda buat jemput kamu terus kamu nolak gitu aja”“ Siapa suruh jemput, aku juga nggak minta jemput.”“ Ini namanya inisiatif tahu. Bukannya bilang terimakasih, aku malah di omelin.” “ Salah kamu sendiri jemput jam empat pagi. Bintang mendengus sebal, ingin rasanya dia pergi saat itu juga kemana pun asalkan tidak ada si manusia menyebalkan ini. “Yuk, berangkat ! “ Alan masih terus memaksa, entahlah hari ini Alan seperti ingin terus bersama dengan Bintang. Itu sebabnya sepagi ini Alan begitu semangat, terlalu semangatnya sampai menjemput Bintang jam empat pagi “ Nggak, sana pulang. ““ Ya udah aku tetep disini sampai kamu mau.”“ Al !” Bintang kesal karena Alan sangat keras kepala, mungkin ini yang dirasakan Aya saat Bintang tetap kukuh pada pendiriannya untuk tidak mau berteman dengan yang lain. “ Terserah, pokoknya aku tetap disini.”“ Bodo. “ Kring…Kring….Kring…………. Alan terus saja memainkan bel sepeda miliknya, membuat Bintang merasa kesal, sebal, pokoknya perasaan Bintang tidak bisa dijelaskan. Kalau semua tetangga bangun bagaimana? pasti Bintang yang kena marah. Benar saja, ada salah satu tetangga Bintang yang bangun karena terganggu dengan bel sepeda yang dimainkan Alan sedari tadi. “ Dasar anak muda jaman sekarang, nggak bisa lihat waktu. Ini jam berapa ? pagi – pagi udah bikin berisik ! ““ Hehehe.. maaf bu sebenarnya itu saya nggak maksud ganggu ibu tidur tapi temen saya ini loh, nggak mau saya jemput padahal kan saya udah capek – capek naik sepeda buat jemput dia, eh malah dia-nya nggak mau ““ Yaudah, aku mau. Bintang tiba – tiba keluar rumah dan tiba – tiba pula setuju untuk berangkat ke kampus bersama Alan. Mungkin merasa tidak enak dengan tetangganya yang tiba – tiba bangun karena terganggu dengan tingkah Alan. “ Maaf ya Bu, orang ini memang agak…” Bintang meletakkan jari telunjuknya di dahi dengan posisi sedikit miring. Sontak hal itu membuat Alan marah. “ Ta, aku masih waras tahu !““ Dasar anak jaman sekarang! “ “ Sekali lagi maaf ya bu.” Ibu yang tadi marah - marah pada Alan pun pergi dan masuk ke rumahnya kembali. Sekarang tinggal Alan dan Bintang yang masih di luar. “ Kamu tadi bilang mau kan ? ya udah sekarang masuk, mandi, ganti baju, terus kita berangkat.” Bintang berusaha dengan keras untuk menolak, tapi mungkin usahanya kurang keras karena Alan yang berhasil membuat Bintang setuju untuk berangkat bersamanya. Cuma butuh waktu lima belas menit Bintang sudah kembali dengan pakaian yang sudah rapi. “ Ayo Ta naik, kita berangkat. “ Muka Bintang masih cemberut, hari ini mungkin akan jadi pagi terburuk bagi Bintang karena Alan sudah merusak paginya. Kenapa setelah bangun tidur yang pertama kali di dengar harus suara Alan ? kenapa yang pertama kali dilihat harus wajah Alan ? si manusia menyebalkan. “ Hm.” Bintang masih tak terima, karena kalah adu mulut dengan manusia menyebalkan ini. Di perjalanan pun Bintang cuma diam. “ Ta kok diem aja sih, ngomong dong sepi tahu ini kan masih pagi. ““ Siapa suruh jemput jam empat.”“ Kan biar nggak telat. ““ Naik angkot jam 6 masih bisa keburu, nyusahin aja sih.““ Enakkan juga naik sepeda lah Ta, pagi-pagi udaranya masih seger dari pada jam 6 udah banyak polusi kan ? ““ Terserah. “ Hei semesta ! kenapa kau kirim manusia menyebalkan ini dalam hidupku ? lihat saja bagaimana manusia ini mengganggu pagi ku. Kalau mau ngasih teman pilih-pilih dong kenapa harus orang aneh ini sih ! hei semesta kau sedang tidak bercanda denganku kan ? Bintang benar – benar mengutuk dirinya sendiri, karena saat pensi SMA nya dulu Bintang bicara dengan Alan. Seandainya dia tak menanggapi ucapan Alan saat pensi SMA mungkin Bintang tak akan bersama dengan orang ini sekarang. “ Ta ngomong dong, ini beneran Tata kan ? jangan-jangan yang lagi aku boncengin bukan Bintang tapi…”“ Huss ! ini masih aku tahu enak aja aku disamain sama itu.““ Aww ! sakit Ta ! “ Bintang mencubit pinggang Alan, sungguh ini benar-benar menyenangkan kenapa tak Bintang lakukan dari tadi saja kepada manusia menyebalkan ini ? “ Habis nyebelin. ““ Siapa suruh dari tadi diem.”“ Bodo. " Semesta ada apa dengan gadis ini ? kenapa dia sulit sekali tertawa ? apa begitu menyakitkan masa lalu yang di alaminya dulu sampai lukisan diwajahnya sulit sekali untuk aku lukis. Semesta jika boleh, aku bersedia membuat lukisan indah diwajahnya jadi mudahkanlah jalanku untuk mewujudkannya. “ Ta, kelasmu mulai jam berapa ? kira-kira keburu nggak ya ?”“ Nggak tahu, salah siapa ke kampus naik sepeda.” Bintang masih kesal dengan Alan karena pertama Alan mengganggu tidurnya, kedua menyuruh Bintang berangkat bersama naik sepeda, ketiga mengira Bintang adalah hantu, dan entah manusia menyebalkan ini akan membuat Bintang kesal seperti apalagi. “ Yah Ta, kan…”“ Apa ? biar Semarang gak banyak polusi kayak Jakarta?““ Iya lah.”“ Terserah.” Benar bukan “ terserah “ adalah kata Bintang paling mujarab untuk menjawab segala pertanyaan Alan. Membuat mulut Alan seketika bungkam dan diam. “ Al, aku turun sini ya. “ Belum saja sampai setengah perjalanan Bintang sudah meminta turun, entah mau apa dan mau kemana Bintang pergi tapi yang jelas hari ini Bintang tidak mau berangkat ke kampus. “ Kamu mau kemana Ta ? kalau gitu aku ikut.”“ Nggak, nggak perlu kamu berangkat aja.”“ Berangkat ke kampus itu udah sering Ta, kalau temenin kamu kan nggak pernah.”“ Terserah.”“ Terus kita mau kemana ? tenang aja kaki ku masih sanggup ngayuh sepeda seharian kok Ta.“ Dengan nada yang senang Alan meyakinkan Bintang bahwa dia mau menemani Bintang kemana pun yang Bintang ingin pergi. Bahkan jika Bintang ingin pergi ke gunung sekalipun Alan siap. “Nggak jadi deh,nanti aja setelah dari kampus.”“ Kenapa ? nggak mau aku kecapekan ya ? perhatian banget sih Ta sama aku.”“ Ngapain perhatian, aku cuma gak mau terjebak lama-lama sama kamu.““ Yaelah Ta, tinggal bilang iya apa susahnya sih. ““ Bodo, ngomong sana sama batu.” Bintang turun dari sepeda merasa kesal dengan tingkah si manusia menyebalkan Alan. “ Ta, tunggu dong. Kamu mau jalan kaki sampai kampus ?" To be continue Manusia Menyebalkan#2 MEREKA sampai di kampus jam enam pagi padahal rata-rata kelas di mulai jam delapan, benar kata Alan bahwa mereka berdua akan jadi orang pertama yang sampai di kampus. Kampus masih sepi jam segini, cuma ada beberapa cleaning service dan ibu kantin yang tengah menyiapkan dagangannya. “ Tuh kan Ta, kita jadi orang pertama yang datang ke kampus sepagi ini. ““ Iya sih pagi, tapi gak sepagi ini juga kali. ““ Ke kantin yuk Ta, laper nih. ““ Siapa suruh berangkat pake sepeda.” Bintang memutar bola matanya, merasa jengah dengan tingkah laku Alan hari ini. Jika Bintang benar-benar bisa menghilang pasti Bintang akan menghilang sekarang, detik ini juga supaya Alan si manusia menyebalkan ini tidak bisa mengganggunya. Tapi apa daya Bintang tidak akan pernah bisa. “ Yuk Ta." Alan menarik lengan Bintang, memaksa supaya Bintang mau ikut dengannya lagi. # “ AL…”“ Iya Ta.”“ Kamu tahu Al, semesta tidak pernah bersikap adil pada siapa pun. ““ Kamu bilang begitu karena ini kan ? “ Mereka pergi ke pemakaman, tempat eyang Bintang beristirahat dengan tenang satu bulan terakhir, sekaligus tempat yang jadi satu-satunya bukti bahwa kehidupan Bintang sudah benar-benar berakhir. Setelah kelas mereka selesai atau lebih tepatnya kelas Alan selesai, Bintang mengajak Alan pergi, awalnya Alan bingung kenapa Bintang tiba tiba mengajaknya pergi tapi ya sudahlah asalkan bersama Bintang Alan juga pasti senang. “ …..”“ Semesta masih adil kok.““ Kalau semesta adil kenapa masih ada banyak anak anak seperti mereka, bukankah mereka juga punya hak yang sama ? hak untuk disayangi sebagaimana mestinya seorang anak pada umumnya.” Disekitar pemakaman umum, tempat makam eyang Bintang berada memang banyak anak jalanan, yang hidupnya tidak seberuntung Bintang. Mereka harus kerja dulu supaya bisa makan, yang harus putus sekolah karena tidak punya uang, yang sebenarnya mau main dengan kawan-kawan tapi terhalang oleh pekerjaan. “ Kamu tahu Ta, semesta maha adil dan maha rencana. Mereka memang tak pernah mau terlahir dan hidup seperti itu, jika punya pilihan pasti mereka akan lebih memilih jadi anak orang kaya yang orang tuanya masih utuh, yang kasih sayangnya bisa penuh, yang serba kecukupan, sebagaimana para anak mendambakan keluarga impiannya. Tapi bukan itu yang mau disampaikan semesta Ta, mereka adalah perantara dari semesta untuk menunjukkan bahwa apa pun yang terjadi semuanya patut untuk disyukuri. ““ Al, ibuku meninggal saat umurku tiga tahun. Ayahku pergi setelah empat puluh hari kepergian ibu, eyangku pergi saat aku mulai merasa semesta masih bersikap baik, dan keluargaku yang lain tidak pernah menganggapku ada lalu apa yang harus aku syukuri ? semesta tidak pernah adil Al ! semesta membenciku ““ Jangan selalu menyalahkan semesta Ta, dia masih bersikap baik padamu”“ Apa buktinya ? ““ Aku. ““ Maksudnya ? ““Aku dikirim semesta untuk menghiburmu Ta, untuk membuktikan padamu bahwa semesta masih bersikap baik padamu bintang kecil. “ Mendengar jawaban Alan, Bintang cuma bisa diam. Sampai saat ini cuma ada satu orang yang pernah membuat bibirnya benar – benar terkunci. Bahkan orang seperti Aya yang banyak bicara tak pernah bisa menyangkal setiap perkataan Bintang dan sekarang ditambah dengan Alan menjadi dua orang. Semesta apa kau masih benar menyayangiku seperti perkataan manusia menyebalkan ini ? apa dengan mengirim manusia menyebalkan ini, jadi bukti bahwa kau masih menyayangiku? semesta jawab aku ! jangan cuma diam saja semesta, jawab aku semesta, apa kau masih menyayangiku ? “ Ta ? “ Panggilan Alan kepada Bintang barusan menghancurkan lamunan Bintang, membangunkan Bintang dari pertanyaannya pada semesta yang masih saja diam. “ Hmm..”“ Kita pulang ? ““ Tunggu sebentar ya Al, aku masih mau ngomong sama eyang sebentar “ Alan yang semula berdiri, mengambil posisi duduk, mungkin merasa pegal karena dari tadi berdiri. Alan duduk disebelah kanan makam sementara Bintang duduk disebelah kiri. “ Eyang… “ Bintang bingung, kenapa Alan tiba tiba bicara dengan makam eyangnya padahal dari tadi Alan cuma diam saja mendengar celoteh Bintang yang sudah tidak jelas arahnya mau kemana. .... ada apasih dengan cucumu ini setiap kali Alan tanya kenapa jawabannnya Cuma satu kata, memangnya gak ada jawaban lain. Memang…”“ Nggak !”“ Stttt !!! Diam Ta, aku lagi bicara sama Eyang bukan sama kamu !” Dengan nada seolah – olah sedang marah, Alan menjawab Bintang karena mengganggu obrolan dengan eyang Bintang. “Memangnya nggak ada kata lain ya Eyang, apa Tata juga seperti ini juga ya dari dulu ?““ Iya ! memangnya kenapa ? “Bintang menjawab pertanyaan Alan yang seharusnya ditujukan kepada Eyangnya Bintang. “ Ta ! aku kan lagi tanya sama eyang kenapa kamu yang jawab? Waktu kamu aku tanya malah nggak jawab, sekarang aku nggak nanya malah dijawab.”“ Kita pulang !” Bintang minta pulang, mungkin merasa sebal dan kesal dengan sikap Alan hari ini. Padahal sebenarnya, Bintang masih mau bicara panjang lebar pada Eyangnya lagi. Tapi, harapannya harus Bintang buang jauh – jauh karena manusia menyebalkan yang tengah duduk dihadapannya ini. “ Yah Ta, kan aku lagi ngomong sama eyang masa pulang nanti aja ya.”“ Ya udah aku pulang sendiri !”“ Ta, tunggu dong ! nanti aku diganggu eyangmu kalau nggak nganterin kamu pulang.”“ Bodo ! Eyang ganggu saja Alan, Bintang ikhlas kok.““ Jahat kamu Ta.”“ Ayo ah pulang, udah sore juga.“ Alan menggandeng tangan Bintang, membuat Bintang sedikit terkejut atas perlakuan Alan terhadapnya barusan. “ Al ? ““ Apa Bintang kecil ? ““ Kenapa harus digandeng sih ? ““ Biar kamu nggak hilang “ Tempat Singgah #1 “ MA! Ma ! Mama dimana ? “Seperti anak kecil yang sedang mencari ibunya yang hilang, Alan mencari mamanya di seluruh rumah. ingin menyampaikan hal yang sangat penting.“ Apa ? Mama di kolam ikan.“Dengan suara lantang Mamanya Alan menjawab panggilan anaknya, segera Alan menyusul mamanya ke kolam ikan tempat dimana mamanya sekarang berada.“ Bintang ma ! Bintang !““ Bintang ? “Dengan nada bingung Mamanya Alan menjawab anaknya, sambil melihat langit karena barusan anaknya mengatakan bintang refleks saja mama Alan melihat langit.“ Ini masih sore belum ada bintang. ““ Bukan bintang dilangit Ma. ““ Terus Bintang siapa ? ““ Bintang ma !Bintang !““ Bintang ? Bintang siapa ? ““ Perempuan yang membuat Alan jatuh cinta. “ # HARI INI adalah hari Sabtu, jadi hari ini kampus libur. Bintang memutuskan untuk pergi ke rumah singgah, tempat saat dulu Bintang bertemu Auva dan anak – anak lainnya untuk pertama kali. Untuk kali ini, Bintang tidak mau mengajak Alan bisa - bisa harinya jadi buruk nanti karena tingkah laku Alan yang menyebalkan.Bintang memutuskan untuk naik angkot, memang jarak rumahnya dengan rumah singgah cukup jauh tapi tidak jadi masalah bagi Bintang asalkan bertemu dengan Auva dan anak - anak lainnya sejauh apa pun jaraknya Bintang masih akan tetap pergi kesana.Karena rumah singgah terletak cukup jauh dari temat angkot berhenti jadi Bintang terpaksa jalan kaki dan begitu terkejutnya Bintang karena melihat Alan juga berada disana. Apasih yang semesta mau dariku ! gak cukup ya kemarin menjebakku seharian dengan manusia menyebalkan ini ? kenapa hari ini ketemu dia lagi sih ! “ Loh Ta, kamu disini ? Stalker aku kok sampai segitunya sih Ta.““ Jangan kepedean deh, aku bukan mau ketemu kamu ya. ““ iya, ya. Aku cuma bercanda .“Hai semesta ! Baik sekali kau padaku, baru saja aku mau menjemputnya untuk kesini malah kau kirim dia kesini sendiri. Terimakasih semesta.“ Ta, kamu tahu gak. ““ Gak tahu.““ Aku belum selesai ngomong Ta. ““ Aku kira sudah. ““ Kayaknya semesta lagi berpihak denganku deh. ““ Maksudnya ? ““ Iya, barusan aku mau jemput kamu buat kesini makanya sekarang aku di luar rumah tapi ternyata kamu udah dateng sendiri. Bener kan semesta selalu berpihak padaku? ““ Bodo ! dah aku mau masuk. ““ Bilang aja kamu lagi iri Ta, karena semesta di pihakku.” Description: " Maumu apa sih !" " Mauku cuma kamu " Untuk semua orang yang masih mempertanyakan semesta. Untuk semua orang yang pernah patah dan terluka. Untuk semua orang yang masih percaya bahwa cinta akan selalu ada.
Title: Reign of the Fallen Angel Category: Novel Text: Buku bergembok Buku-buku berjatuhan tatkala seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang tidak kuat membawanya. Mengakibatkan dia juga ikut ambruk bersama buku-buku yang berserakan di lantai. Dua temannya ternganga melihat kecerobohannya itu. "Azumi, hati-hati dong!" ucap Amami Kimiko seraya menyusun buku ke lemari. Dia seorang gadis berambut hitam panjang yang menyerupai ekor kuda. "Ya. Bawa buku itu sedikit saja. Jangan banyak begitu," sahut Naomi Scadalario. Dia membantu Kimiko menyusun buku. "Maaf," tukas Kido Azumi sambil duduk di lantai, "aku ingin menyelesaikan hukuman ini secepatnya." "Makanya jangan datang terlambat terus." Kimiko menggerutu. "Iya. Tapi, terima kasih karena kalian sudah membantuku." Azumi tersenyum, bersyukur sekali karena memiliki dua teman baik seperti Kimiko dan Naomi. Kemudian dia bergegas memungut buku-buku berserakan itu satu persatu. Membawa tumpukan buku berjumlah sedikit untuk dimasukkan ke lemari. Sisa buku yang berserakan, dipungut oleh Kimiko dan Naomi. Mereka bertiga bekerja cekatan agar cepat pulang sebelum malam tiba. Ada satu buku yang menarik perhatian Azumi saat menyusun buku. Buku itu berukuran sebesar kepalan orang dewasa dan berwarna merah seperti darah dengan simbol dan tulisan yang aneh. Azumi ingin membukanya, tetapi bergembok. Hal itu membuat rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Buku apa ini, ya? Kalau bergembok, berarti ini buku diari," gumam Azumi yang memperhatikan setiap sisi buku. Dia berpikir ingin membawa buku itu pulang bersamanya. Lalu keinginan itu diikutinya. Beberapa menit kemudian, Azumi dan dua temannya selesai menyusun buku-buku di perpustakaan. Guru yang memberi Azumi hukuman, datang menghampiri mereka. "Sudah selesai, ya?" tanya Matsumoto Hibiki yang memegang kacamatanya. "Sudah, Pak Hibiki," jawab Azumi tersenyum, sementara Kimiko dan Naomi bersembunyi di balik lemari agar tidak ketahuan membantu Azumi oleh Hibiki. "Bagus. Kalau begitu, kamu boleh pulang." "Terima kasih, Pak." Azumi membungkukkan badan untuk memberi hormat pada Hibiki. Dia segera mengambil tas yang tergeletak sejak tadi di meja. Tidak lupa buku misterius yang didapatkannya, sudah dimasukkan ke tas. Gadis itu menyandang tas di punggung dan buru-buru melangkah menuju luar perpustakaan. Hibiki yang menyaksikan kepergian Azumi, hanya tersenyum simpul. Matanya bersinar misterius di balik kacamata yang dikenakannya. *** Azumi tiba di rumah tepat pada pukul tujuh malam. Dia sendirian di rumah sederhana bertingkat dua. Yatim piatu karena orang tuanya meninggal saat pesawat yang ditumpangi lenyap saat ditelan awan Cumulonimbus. Menyisakan duka yang mendalam di hatinya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Azumi harus bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah restoran. Dia menjalani kehidupan mandiri ini selama setahun ini. Kesepian selalu mengisi kehidupannya saat sampai di rumah. Hanya bertemankan game yang selalu dimainkannya jika merasa bosan. "Aku pulang!" seru Azumi seraya membuka pintu. Tidak akan ada yang menjawab salamnya itu. Azumi melepaskan sepatu, lalu diletakkannya di pojok ruangan depan. Menemukan ruang tamu minimalis dan ada lorong sempit menuju ruang keluarga yang bersatu dengan dapur. Ada tangga di sisi ruang tamu, Azumi menaikinya untuk pergi ke kamar. Begitu tiba di kamar, Azumi menghidupkan lampu dan meletakkan tas di atas meja belajar. Dia duduk di kursi beroda dan menyandarkan punggung di kepala kursi. Merenggang badan sejenak untuk melepaskan keletihan sehabis menjalani hukuman menyusun buku di perpustakaan. Napasnya terasa lega setelah dihembus berkali-kali. "Wuaaah, capek sekali!" Azumi menengadah melihat langit-langit merah muda. "Untung sekali, aku tidak bekerja sekarang." Azumi menurunkan pandangan. Mendadak dia teringat sesuatu, dan mengobrak-abrik isi tasnya. Mengambil buku misterius yang ditemukannya di perpustakaan. Kemudian buku itu dipegangnya dengan kedua tangan. Menatap sampul depan buku yang bergambarkan menyerupai jam berangka romawi. "Ini buku apa, ya? Tidak ada buku berwarna merah seperti darah ini sebelumnya di perpustakaan," kata Azumi pada dirinya sendiri karena dia hafal semua buku yang ada di perpustakaan. Sudah lama sekali Azumi meneliti buku itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membuka buku bergembok itu. Rasa penasaran yang semakin tinggi dikesampingkannya. Dialihkannya untuk meletakkan buku itu ke atas meja. Dia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. *** Malam semakin larut. Angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan apa saja yang dilaluinya. Semua tanaman menari-nari bersama dersik. Sesekali percikan kilat hilang-timbul di kaki langit. Menerangi kegelapan sekilas untuk memberi tanda pada manusia. Hawa dingin menyeruak, masuk ke ventilasi sehingga menusuk kulit. Azumi sudah terlelap dalam balutan selimut yang hangat. Terbuai ke alam mimpi. Di mimpi itu, dia mendapatkan sebuah kunci emas berkepala menyerupai jam berangka romawi. Seseorang terbungkuskan kegelapan memberikan kunci itu padanya. "Tolong, gunakan kunci itu untuk membuka buku portal dimensi yang kamu temukan di perpustakaan. Seseorang terjebak di alam dimensi, sedang terluka parah. Kumohon, tolonglah dia," ucap orang misterius itu. Suaranya menggema nyaring di alam kegelapan. Tidak diketahui entah dia perempuan atau laki-laki. Azumi ternganga saat memperhatikan kunci yang tergeletak di telapak tangan kanannya. "Seseorang? Siapa dia?" "Kamu akan tahu siapa dia setelah kamu membuka kunci gembok buku portal waktu itu." "Baiklah. Aku akan menolongnya." "Terima kasih, Azumi." Orang misterius segera menghilang sebelum Azumi bertanya padanya. Azumi seakan ditarik sesuatu sehingga menjauh dari dunia hitam tanpa cahaya. Membawanya kembali ke dunia nyata. Tiba-tiba, Azumi tersentak bangun. Dia duduk di atas ranjang dengan napas yang tersengal-sengal. Rambut hitam berantakan. Teringat dengan orang misterius yang memberikan sebuah kunci. "Mimpi yang aneh," gumam Azumi sembari memegang rambutnya. Sesuatu jatuh dari tangan kanannya. Karena tidak bisa melihat, Azumi menyalakan lampu tidur yang kebetulan terletak di meja di samping ranjang. Azumi bisa melihat jelas sesuatu yang tergeletak lemas di samping tubuhnya. Dia memungut sesuatu berkilau itu. Matanya pun terbelalak saat tahu benda apa itu. "Kunci ... emas?" Azumi tercengang. Mengerjapkan mata beberapa kali. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mencoba mencubit pipi sendiri, ternyata terasa sakit. Cukup membuktikan bahwa kejadian ini bukanlah mimpi. Butuh waktu yang lama, Azumi pulih dari syok. Berpikir ingin mencoba apa yang diminta orang misterius di mimpi itu. Kemudian dia menyibak selimut, turun dari ranjang, dan berjalan mendekati meja khusus untuk belajar. Buku bergembok itu tetap terletak di posisi yang sama. Azumi mengambilnya dan mencoba membuka gembok yang mengikatnya. Terdengar bunyi halus saat kunci berputar sebanyak dua kali. Gembok pun terbuka, terlepas dari buku tersebut. Sesuatu yang tidak disangka terjadi. Tiba-tiba, buku terbuka sendiri. Portal dimensi muncul dari dalamnya yang disertai cahaya ungu menyilaukan dan angin kencang. Mengagetkan Azumi sehingga buku itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. Bersamaan sesuatu juga keluar dari portal dimensi itu. Cahaya ungu perlahan menghilang. Menampakkan sosok yang terbujur kaku di lantai. Seorang laki-laki berambut hitam yang dipenuhi luka bakar di sekujur tubuhnya. Azumi membeliakkan mata. "Siapa dia?" *** Vampire Laki-laki misterius tak sadarkan diri di kamar Azumi. Kemeja putih berompi coklat, celana panjang hitam, dan sepatu hitam membalut tubuhnya. Luka-luka bakar tercetak di seluruh tubuhnya. Tertelengkup di lantai yang dingin. Azumi bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Ketika panik menguasai dirinya, dia hanya bisa terpaku seperti orang bodoh. Tidak bisa berpikir panjang hingga teringat perkataan seseorang yang muncul di mimpinya. "Tolong, gunakan kunci itu untuk membuka buku portal dimensi yang kamu temukan di perpustakaan. Seseorang terjebak di alam dimensi, sedang terluka parah. Kumohon, tolonglah dia," ucap orang misterius itu. Atas permintaan orang itu, Azumi berusaha melenyapkan kepanikan. Seakan mendapatkan dorongan kekuatan besar, dia mengangkat pria itu untuk dibaringkan ke tempat tidur. Kemudian mencari tas perlengkapan kesehatan yang terletak di lemari pakaian. Mengobati pria itu dengan cara yang dipelajarinya selama kuliah di jurusan kedokteran. Pria itu selesai diobati. Sekujur tubuhnya dililit dengan perban putih, hampir menyerupai mumi. Azumi tersenyum karena berhasil menolong pria itu. Bergegas keluar kamar dan membiarkan pria malang itu beristirahat total. Azumi masih mengantuk, memutuskan kembali melanjutkan tidur. Dia merebahkan diri di sofa panjang dengan berbungkus selimut tebal untuk menghalau dingin yang ditimbulkan dari hujan. Angin mengamuk bersama petir yang marah menggelegar. Siapa pun takut dengan mereka, menyembunyikan diri di tempat yang aman. *** "Hei, bangun!" Sayup-sayup terdengar suara yang memanggil. Azumi merasakan badannya digoyang-goyang oleh seseorang. Spontan, dia membuka mata perlahan dan mendapati wajah asing putih pucat yang berada di atasnya. Seketika teriakan Azumi memecahkan keheningan di pagi buta. "Aaah! Hantu!" Azumi mendorong kasar orang yang membangunkannya. Sehingga orang itu terjerembab dengan punggung yang membentur pinggir meja kaca. "Aduh, sakit!" Laki-laki berambut hitam itu meringis. Gigi-gigi putihnya menggeretak tajam dengan kedua mata emas yang melotot. "Hei, aku bukan hantu! Tapi, aku ini vampire!" lanjutnya lagi. "Apa? Vampire?" Azumi membulatkan mata dan langsung melompat dari sofa. Dia menutupi dirinya dengan selimut, takut digigit. Berlari menjauhi pemuda yang mengaku sebagai vampire. "Hei, tunggu! Jangan lari!" Laki-laki itu berusaha bangkit, tetapi tidak bisa karena tubuhnya masih terasa lemah. Dia hanya bisa merangkak lambat di lantai. Azumi sangat ketakutan. Dia mencoba keluar rumah, tetapi pintu terkunci. Baru teringat kunci rumah ada di kamarnya, lantas segera berlari menuju tangga. Tiba-tiba, kakinya ditangkap oleh tangan yang sangat dingin, membuat dirinya kembali menjerit. "Aaah! Jangan pegang kakiku!" Azumi meronta dan melayangkan tendangan pada orang yang menangkap kakinya. Kepala orang itu sukses terkena hantaman kaki Azumi. "Hei, jangan injak kepalaku seperti itu!" Laki-laki itu semakin kesal dan langsung menggigit kaki Azumi. Teriakan Azumi kembali memekakkan telinga. Kaki Azumi memberontak ingin melepaskan diri, namun gigitan laki-laki itu melemahkannya. Gadis itu roboh bersama rasa sakit karena darahnya dihisap sedikit demi sedikit oleh lelaki yang tidak dikenalnya. Setelah kenyang, pria itu melepaskan gigitannya dari kaki Azumi. Mendadak dia sehat dan kuat. Bisa berdiri tegap seraya meregangkan badan. "Sudah lama sekali, akhirnya aku bisa menghirup udara kebebasan," ucap laki-laki itu menghembuskan napas berkali-kali, "terima kasih atas darahmu yang terasa nikmat sekali." Azumi menggigit bibirnya untuk menahan sakit pada betisnya yang berdarah. Tidak mampu berkata-kata, hanya bisa menangis tanpa suara karena menganggap dirinya akan berubah menjadi vampire yang sama dengan laki-laki itu. Menunduk ketakutan dengan tubuh yang berguncang hebat. "Hei, kamu kenapa?" tanya pria itu sambil berlutut di hadapan Azumi. Azumi tidak berani menatap pria itu. Tetesan air matanya terus berlinang hingga jatuh ke lantai. Menyentuh hati laki-laki vampire itu. "Kamu menangis?" Suara laki-laki itu terdengar lirih, "maaf, jika aku menakutimu dengan cara seperti ini. Sungguh, aku sangat lapar karena sudah lama tidak meminum darah. Jadinya, kamu menjadi mangsaku." Azumi menengadah untuk menatap wajah yang ada di depannya ini. Senyuman hangat seperti mentari terbit di wajah putih pucat laki-laki itu. Tangan yang berwarna sama, bergerak untuk menyeka air mata Azumi. "Namaku Drake Stevenson," ungkap Drake yang menatap wajah Azumi lekat-lekat, "wajahmu sangat mirip dengan istriku, tetapi rambut dan penampilanmu berbeda dengannya." "Kamu ... sudah menikah?" Suara Azumi yang semula tercekat, akhirnya lolos keluar dari tenggorokannya. Dia menjauhkan tangan Drake dari pipinya. "Ya. Tapi, istriku sudah meninggal karena dibakar oleh seseorang. Padahal kami baru saja menikah di hari itu." Wajah Drake yang semula cerah berubah drastis menjadi kusam. Sorot mata emasnya meredup. Menunduk karena membayangkan kejadian masa lalu yang tragis. Potongan adegan itu berputar bagaikan film di otaknya. Membekas dalam memori yang tidak akan pernah bisa dilupakannya. Lama sekali Drake terdiam. Azumi menunggu perkataannya, namun tak kunjung bersuara. Akhirnya suara Azumi yang memecahkan kesunyian di tempat itu. "Begitu, ya. Aku mengerti dengan apa yang kamu alami. Tapi, kamu sudah menghisap darahku. Apa itu berarti aku akan menjadi vampire sepertimu?" Azumi berwajah kusut. "Aku tidak menghisap darahmu sampai habis, Nona. Kamu tetaplah manusia." Drake mengangkat wajahnya dan menunjukkan senyum yang menawan. "Syukurlah." "Tapi, kamu tidak akan kubiarkan bebas karena kamu sudah menjadi sumber makananku." Drake menyeringai. Gigi-gigi taringnya menyembul dari sudut mulutnya. Kedua matanya berubah merah menyala dengan wajah yang menyeramkan. Sungguh membuat nyali Azumi menciut. "Ja ... jangan gigit aku lagi! Menyingkir dariku, vampire!" Azumi perlahan mundur. "Tenang saja. Aku tidak berniat menggigitmu lagi karena aku sudah kenyang, Nona." Drake berwajah datar tanpa ekspresi. "Ta ... tapi, kamu menakutiku begitu." "Aku hanya bercanda." Gigi-gigi taring Drake menghilang. Matanya berubah menjadi emas lagi. Wajahnya berseri-seri dengan senyuman yang mampu mempesona setiap perempuan. Azumi terpaku, rona merah tipis terukir di parasnya. Drake mendekati dan berlutut di depan Azumi. Dia menatap kedua mata coklat gadis itu lekat-lekat. "Lalu, namamu siapa, Nona?" tanya Drake penasaran. "Kido Azumi," jawab Azumi cepat. "Seperti nama orang Jepang." "Aku memang orang Jepang." "Benar juga." "Tapi, namamu seperti orang barat, tetapi kamu fasih berbahasa Jepang." "Aku bisa berbahasa apa pun." Drake menampilkan senyum yang menawan lagi. Mencoba memegang dagu Azumi, namun ditepis kasar oleh Azumi. "Apa yang ingin kamu lakukan?" bentak Azumi dengan suara yang keras. "Kamu memang mirip dengan istriku," sahut Drake tersenyum lagi, "bagaimana kalau kita menikah saja sekarang?" "Apa?" Azumi membelalakkan matanya. Mulutnya ternganga lebar. Drake serius dengan perkataannya, lalu memegang tangan Azumi erat. Azumi menepis tangan Drake lagi dan melayangkan tinju ke arah Drake. Tinjunya ditahan oleh Drake. "Jangan bermimpi! Kita baru saja bertemu, lalu seenaknya saja kamu mengajakku menikah! Kamu tidak waras, ya?" sanggah Azumi melototi Drake. "Aku waras!" timpal Drake dengan nada tenang, "aku ingin menikahimu karena kamu sudah menolongku terbebas dari buku portal waktu yang telah mengurungku selama bertahun-tahun. Apa lagi kamu sudah menjadi bank darah-ku. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, Azumi." "Jangan harap! Aku tidak sudi menikah dengan vampire sepertimu! Kamu tidak bisa memaksaku seperti itu!" "Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku mulai hari ini!" Drake bersikap serius. Matanya menajam hingga menusuk hati Azumi. Azumi terdiam dengan kedua pipi yang merona merah. Hening. Tidak ada yang saling berbicara lagi. Azumi menggeram kesal, dan langsung mendorong Drake lagi. Drake terjungkal jatuh ke belakang. "Aduh!" Kepala bagian belakang Drake terbentur lantai. Dia melihat Azumi lari menaiki tangga. Azumi mengabaikan rasa sakit di betisnya, yang penting bisa selamat dari gangguan vampire itu. *** Jangan ikuti aku! Azumi mencari sesuatu di laci ketika tiba di kamarnya. Dia panik sekali. Tiba-tiba, Drake muncul di hadapannya. "Kamu mau kabur, ya?" Drake berwajah bosan, "kemana pun kamu pergi, aku akan mengikutimu. Ingat itu, Azumi." "Menyingkir dariku!" bentak Azumi seraya mengacungkan sebuah kalung berbandul putih, "aku punya kalung yang memiliki air suci. Kalau kamu memegangku, kamu akan terbakar." "Gawat!" Drake membulatkan mata saat melihat Azumi memakai kalung itu. Giliran dia yang ketakutan ketika Azumi mendekatinya. Azumi menjulurkan tangannya untuk menggapai tangan Drake. Sebelum itu terjadi, Drake pergi dari sana. Larinya cepat sekali, tidak bisa dilihat oleh mata biasa. Azumi menghela napas lega. "Syukurlah, aku selamat dari vampire itu. Untung sekali, kalung milik kakek menyelamatkanku." Keadaan aman merengkuh Azumi. Gadis itu tersenyum senang saat memegang kalung itu erat. Usai itu, dia memutuskan untuk segera mandi karena harus bersiap pergi ke rumah sakit. Di luar rumah, Drake berdiri dengan tampang khawatir. Dia memandang rumah itu lama sekali. Berpikir keras untuk tetap mendekati Azumi walau pun apa yang terjadi. "Azumi, lihat saja. Aku akan mengikutimu dan mengawasimu," gumam Drake menggeretakkan gigi-giginya seraya meremas kedua tangannya, "aku yakin suatu hari nanti kamu akan mencintaimu. Aku tunggu saat itu tiba." Tekad semangat berkobar di hati laki-laki vampire itu. Bersama angin dingin yang bertiup, menyambut sang mentari terbit dari ufuk timur. Cahaya surya yang hangat, menerangi Bumi. Tersenyum membangunkan manusia untuk segera beraktivitas hari ini. *** Azumi tiba di rumah sakit bersama teman-teman yang satu magang dengannya. Mereka dipandu oleh dua dosen dan Kepala Perawat untuk menjelajah tempat yang akan menjadi pelatihan. Kepala Perawat menjelaskan ruang-ruang dan berbagai hal yang penting agar masa magang selama enam bulan berjalan baik. Di koridor yang dilewati beberapa orang, Azumi berjalan bersama kelompoknya. Mereka pun berhenti ketika di dekat pintu ruang dokter. "Seperti itulah peraturannya, mulai besok kalian bisa magang sesuai jadwal yang ditentukan oleh pihak kampus," ucap seorang dosen perempuan berambut hitam pendek, "sekarang kalian boleh pulang." "Baik, Bu!" balas Azumi dan beberapa orang lainnya. Mereka mengangguk kompak. Kepala Perawat membungkukkan badan, lalu pergi ke bangsal untuk memeriksa keadaan pasien. Kelompok Azumi melihat kepergiannya sekilas, lalu berjalan bersama keluar dari rumah sakit. Aroma obat-obatan tercium tatkala mereka melewati koridor dan menemukan lift untuk turun ke lantai satu. Azumi berpisah dengan kelompoknya ketika tiba di tempat parkir. Dia berjalan pelan sembari mengecek ponsel untuk melihat jam. "Masih jam sebelas. Aku masuk kerja jam satu siang. Hm, lebih baik aku pergi cari makan dulu," gumamnya seraya memegang perutnya yang mulai bernyanyi, "aku lupa sarapan tadi pagi." Tiba-tiba, sebuah mobil masuk lewat pintu gerbang rumah sakit. Azumi terus berjalan tanpa melihat keadaan sekitar, tetap fokus melototi layar ponsel. Jaraknya dengan jarak mobil itu sangat dekat. Tidak ada seorang pun yang bisa memperingatinya, tetapi mendadak muncul seseorang yang menyelamatkannya sebelum bagian depan mobil menabraknya. Mobil berhenti karena seorang laki-laki berambut hitam menahannya dengan dua tangan. Pemilik mobil membelalakkan mata saat melihat tampang dan mata yang menyeramkan dari laki-laki berambut hitam itu. Dia berucap terbata-bata. "Han ... hantu!" Pemilik mobil syok dan langsung pingsan. Terkulai lemas di kursi kabin depan. Azumi sadar dengan apa yang terjadi. Dia hampir melompat begitu tahu siapa yang menyelamatkannya. "Drake!" seru Azumi dengan suara yang keras, "kenapa kamu bisa ada di sini?" "Jangan bertanya. Pokoknya cepat kita pergi dari sini," pinta Drake yang hendak meraih tangan Azumi, tetapi niatnya batal karena melihat Azumi masih memakai kalung air suci. Kalung itu tampak menyembul dari balik baju Azumi yang berlapis jas dokter. "Iya. Aku juga mau pergi." "Kalau begitu, kamu harus ikut aku sekarang." "Tidak." Azumi membantah permintaan Drake. Dia berjalan melewati Drake. Kekesalan timbul lagi di hati Drake, buru-buru menyusul Azumi yang keluar dari pintu gerbang. "Azumi, tunggu!" Drake berhasil menyamakan langkahnya dengan langkah Azumi. "Aku akan mengikutimu kemana pun kamu pergi." "Jangan ikuti aku!" Azumi menunjuk muka Drake. "Suka atau tidak suka, aku tetap akan mengikutimu." "Kamu keras kepala, dan pemaksa!" "Kamu juga keras kepala dan ceroboh!" "Jangan katakan aku ceroboh!" "Kenyataannya jelas, 'kan? Kamu benar-benar ceroboh! Kalau aku tidak menyelamatkanmu, sudah pasti kamu akan tertabrak mobil itu!" "Aku tidak butuh bantuanmu!" "Dasar, gadis yang tidak tahu berterima kasih!" Drake dan Azumi berperang adu mulut di sepanjang perjalanan. Orang-orang yang melewati mereka, melihat dan saling tersenyum. Menyangka mereka sepasang kekasih atau suami-istri. Hingga Drake mengalah dan memilih diam ketika Azumi mengancamnya akan memegang tangannya agar terbakar dengan kalung air suci. "Baiklah. Aku tidak akan mengikutimu lagi. Sekarang aku pergi," ujar Drake mengangkat kedua tangannya seperti penjahat yang ditodong pistol oleh polisi. Dia berlari secepat kilat, menghilang dari tempat itu. Kemenangan kedua diraih Azumi. Gadis itu menghelakan napas lega. Orang-orang yang melewatinya, tidak memperhatikannya lagi. *** "Aku pulang duluan, ya, Azumi," ucap Seira sambil melambaikan tangan dari balik kaca jendela mobil yang terbuka lebar. Seorang gadis berambut hitam pendek model bob, teman kerja Azumi di restoran milik keluarga terkaya di kota Tokyo. Dia dijemput oleh pacarnya, lalu pergi meninggalkan Azumi. Azumi mengangguk sembari melambaikan tangan pada mobil hitam yang membawa Seira. "Iya, hati-hati." Keheningan yang menemani Azumi sekarang. Semua penghuni restoran sudah pulang kecuali pemilik restoran. Pintu baru ditutup oleh pemilik restoran sehingga menarik perhatian Azumi. "Azumi," panggil Kobayashi Mizuto yang berjalan mendekati Azumi, "kamu mau naik apa malam ini?" "Kereta, Pak," sahut Azumi cepat. "Jam sebelas lewat begini, tidak ada kereta mau pun bus yang lewat." "Eh? Benar juga. Hari ini hari Sabtu, 'kan?" "Ya. Kereta dan Bus berhenti beroperasi lebih awal." "Aduh, bagaimana? Aku pulang dengan apa?" Azumi panik dan terpaku. Tidak bisa berpikir lagi. Mizuto tersenyum simpul, dan memberikan solusi terbaik untuk gadis itu. "Tenang saja. Kamu bisa pulang denganku. Itu jika kamu mau sih." Mizuto menatap Azumi dengan kedua pipinya yang merona merah. "Aku mau." Azumi menjawab cepat. "Oke." Wajah Mizuto berbinar cerah. Senyuman tipis terpatri di wajah coklatnya. Dia berjalan beriringan dengan Azumi menuju mobilnya yang terparkir di tempat parkir. Membuka pintu kabin depan dengan tangan terjulur ke depan. Memperlakukan karyawatinya dengan lemah lembut. "Silakan masuk," ujar Mizuto tersenyum. "Ya, terima kasih," tukas Azumi mengangguk seraya tersenyum dan langsung masuk ke mobil. Mizuto menutup pintu, bergegas berlari masuk ke kabin depan. Duduk di samping Azumi. Mobil hidup dan mundur. Berbelok pelan hingga berjalan menuju jalan raya. Berhenti sebentar di tepi jalan, untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat. Ada celah kosong, Mizuto memajukan mobilnya untuk bergabung bersama kendaraan-kendaraan lain. Mobil melaju bebas di jalanan yang sepi. *** Description: Kehidupan Kido Azumi terusik oleh kehadiran Drake Stevenson yang keluar dari buku bergembok. Drake seorang vampire berusaha membuat Azumi jatuh cinta padanya. Dia juga harus mengalami bahaya karena diburu Vampire Hunter. Saingannya, Kobayashi Mizuto, turut berusaha mendapatkan cinta Azumi. Azumi yang sedang berusaha menyelesaikan kuliah kedokteran, juga harus menghadapi konflik yang berhubungan dengan vampire.
Title: Ramban l Cinta dan Kutukan Category: Fantasi Text: Gadis Dongengku (My Fairytale Lady) "Kenapa sih tiap kita liburan ke Yogya kita ke sini?" Itulah yang diucapkan Kinasih begitu turun dari mobil yang baru saja diparkir Rena. Mendengar itu, Edi sebenarnya mempunyai jawaban dalam benaknya. Namun, jawaban itu pada akhirnya ditahan sendiri olehnya. Sebaliknya, Rena malah bingung terhadap pertanyaan yang diutarakan Kinasih itu. "Memang Bunda belum cerita ya?" "Belum." "Tapi perasaan sudah..." "Belum ah!" Edi hanya terdiam mendengar perdebatan kecil itu. Dia memang punya alasan sendiri mengapa dia senang bisa datang ke candi ini. *** Edi merupakan seorang anak lelaki yang sangat menyukai cerita-cerita rakyat yang diceritakan oleh ayah dan ibunya, walaupun kebanyakan cerita dari ayahnya membuatnya takut. Dia dulu bahkan memiliki buku Kumpulan Mitos dan Legenda yang kini sayangnya sudah hangus terbakar. Padahal dari buku tersebutlah dia tahu berbagai macam kisah nusantara, salah satunya legenda candi ini. Legenda yang sangat dia cintai. *** "Edi duluan ya Tante?" Pertanyaan Edi itu cukup menarik perhatian Rena dan Kinasih hingga menghentikan perdebatan diantara keduanya. "Eh iya! Ayo masuk!" "Terus ceritanya?" "Nanti deh, lain kali Bunda cerita lagi" "Tapi kan Bunda belum pernah cerita..." Namun, Rena tidak menjawab karena tidak ingin melanjutkan perdebatannya. Lagipula, Rena yakin dia sudah menceritakan kisah itu. Kinasih kesal pada sikap bundanya dan melihat senyum kemenangan di wajah Edi membuatnya makin kesal. "Seneng kamu!" *** Perasaan kesal Kinasih tidak hanya karena Edi mendapatkan apa yang diinginkannya, namun lebih kepada sikap Edi yang begitu antusias datang ke tempat terkutuk ini. Meski begitu, Kinasih menyesal karena sudah memarahi Edi. Sempat ia berpikir sikapnya itu dikarenakan mereka berdua sudah seperti kakak-beradik. Padahal jika ingin jujur, dia ingin lebih dari sekedar saudara. Tapi kalau terus-menerus datang ke tempat yang terkutuk ini, kesempatannya bersama Edi mungkin makin menipis. *** "Apa sih bagusnya candi ini?" "Masa kamu enggak..." "Iya, iya, tahu! Ada cewek nolak cowok terus dikutuk deh jadi batu!" "Eh, tapi ceritanya..." "Bunda di mana sih lagian? Katanya foto-foto tapi kok..." "Hei, dengerin dong!" "Udah deh! Aku gak peduli ini juga!" "Gini nih! Gara-gara orang kayak kamu, budaya kita hancur!!!" "APAAN SIH KAMU!? KALAU KAMU EMANG CINTA BANGET BUDAYA, KAMU NIKAHIN SAJA ITU PATUNG!!!" "YA SUDAH! AKU NIKAHIN PATUNG ITU SEKARANG JUGA!!!" Seketika orang-orang di sekitar candi melirik kedua remaja itu dengan keheningan yang sebelumnya tak pernah dialami tempat itu semenjak dibuka menjadi lokasi wisata. Mereka pun melihat bagaimana remaja lelaki itu dengan marahnya meninggalkan sang gadis yang tampak baru saja menyadari apa yang telah ia perbuat. Segera sang gadis mengejarnya untuk menghentikan hal bodoh yang lelaki itu akan lakukan. *** Cukup. Itulah yang ada di pikiran Edi saat itu. Dia tahu betapa benci Kinasih kepada candi ini, namun Edi tidak pernah mengatakan apa pun. Meski hal itu tak membuatnya membenci Kinasih, kelakuannya kali ini benar-benar sudah keterlaluan. Paling tidak, patung itu tidak akan membuatnya kesal. Paling tidak, patung itu tidak akan meremehkan cerita-cerita kesukaannnya. Paling tidak, patung Roro Jonggrang yang didambakannya itu akan segera dinikahinya. *** Dengan amarah yang menggebu-gebu, Edi segera mendatangi tempat arca Durga terletak. Arca Durga memanglah patung yang diduga merupakan jelmaan Roro Jonggrang, walaupun kebanyakan orang malah mengira tiga arca yang lain sebagai jelmaan wanita legendaris itu. Berbeda dengan Edi yang segera mengentakan kakinya ke tempat arca Durga berada. Namun, sesaat setelah kaki Edi menjejaki lawang candi, Kinasih segera berdiri di depan menahan lajunya. "Hei, kamu ngapain sih???" Dia tidak menjawab dan hanya menepis bahu Kinasih dengan tangan kanannya dan langsung mendekati arca. Kinasih yang menerima penolakan tersebut makin khawatir atas apa yang akan lelaki itu perbuat. "Apa sih mau kamu???" Edi tidak menghiraukan perkataan Kinasih dan tetap melangkah mendekati arca. Mata Kinasih mulai berkaca-kaca melihat kelakuan lelaki yang dicintainya itu. "AKU MINTA MAAF! AKU MINTA MAAF!" Deraian air mata mulai berlinang dari matanya dan itu sempat membuat Edi bergeming sejenak, namun tekadnya untuk menikahi patung itu sudah bulat. Dia menaiki pijakan patung dan menatap Kinasih dengan berat hati. Dia pun menggenggam tangan patung itu dan mulai mendeklarasikan pernikahannya. "Dengan ini, saya terima nikahnya Roro Jonggrang dengan mas kawin kecintaan saya pada keberaniannya dibayar tunai!" Setelah ikrarnya tersebut, Edi kemudian mencium kening patung yang telah menjadi istrinya tersebut. Setelah ciuman itu berakhir, Edi meminta maaf, Kinasih kesal namun tetap memaafkannya, dan akhirnya mereka berdua pun menyadari betapa konyolnya tingkah laku mereka; namun, tentu saja bukan itu yang terjadi. Begitu Edi melepaskan kecupannya, di sekitar kepala patung muncul retakan-retakan yang menyembulkan berkas-berkas cahaya. Tiba-tiba, terjadi ledakan yang mengempaskan tubuh Edi ke lantai. Kinasih yang sedari tadi menutup wajahnya pun membuka matanya dan dia melihat sesosok gadis yang cantiknya bagaikan berasal dari dunia lain. Edi yang terduduk di lantai hanya terdiam melihat sosok gadis cantik yang diidamkannya itu sungguh-sungguh berdiri di depannya. Rambut hitam legam dengan mahkota menghiasi di kepala, senyuman yang misterius, kulit berkilauan, dan tubuhnya yang langsing begitu menawan hatinya sekaligus membuatnya merinding. Sambil tersenyum, gadis itu mengulurkan tangannya untuk membantu Edi berdiri. "Kamu bisa bergerak!?" "Karena kamu mencium aku." Seketika wajah gadis itu kian merah merona. Ucapan itu membuat Edi diam seribu bahasa, begitu juga dengan Kinasih yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Eh, kalian di sini rupanya!" Semua langsung melihat ke arah Rena yang baru saja datang. Rena awalnya heran mengapa semuanya terdiam, namun dia pun melihat kejanggalan di dalam candi itu. "Ada apa ini?" Edi dan Kinasih saling bertatapan. Mereka bingung apa yang harus mereka katakan pada Rena. Tiba-tiba, gadis itu melepas tangan Edi dan berjalan ke arah Rena. "Aku Roro Jonggrang. Edi baru saja menikahiku." Rena, Kinasih, dan Edi terkejut bukan kepalang. Edi yang mendengar ucapan gadis itu pun merasakan beban yang teramat sangat berat di kepalanya. Penglihatannya mulai kabur dan untuk kedua kalinya, badan Edi terempas ke lantai. Dialas Bagai Memengat "Ma, kok kita sering banget ke sini?" "Kamu lihat patung itu? Itu patung Roro Jonggrang. Dia itu wanita cantik yang pemberani. Mama tuh pengen banget kayak dia." "Kalau gitu, nanti Edi mau deh nikah sama Roro Jonggrang!" "Iya, nanti kalau kamu udah gede semoga nikahnya sama wanita cantik lagi pemberani kayak Roro Jonggrang ya." *** Perlahan-lahan, Edi mulai membuka matanya. Dia melihat sekeliling dan menemukan dirinya terbaring di daerah berumput di sekitar candi. Saat itu juga, dia melihat Rena dan Roro duduk di sampingnya. Begitu ia duduk, Rena segera memeluknya dengan erat. "Akhirnya kamu siuman juga! Tante khawatir tahu!" Pipi Edi memerah, apalagi ketika dia menyadari Roro yang tersenyum melihat dirinya dipeluk oleh Rena. Mendadak dia pun menyadari sesuatu. "Kinasih mana?" *** Kinasih menendang-nendang kerikil kecil di sekitaran candi dan tidak peduli bila sepatu flat hitamnya kini dibalut debu. Meski sedikit khawatir, dia yakin lelaki itu baik-baik saja. Dia bahkan merasa bahwa yang harusnya pingsan itu dirinya. Bagaimana tidak, dengan semua kegilaan yang terjadi, dia heran mengapa dirinya masih bisa berdiri hingga kini. Pikiran itu membuatnya tambah kesal hingga ia menendang sebuah kerikil dengan kerasnya. Tanpa disengaja kerikil itu ditendangnya ke atas salah satu reruntuhan candi. Saat ia melihat tumpukan candi itu, sesuatu muncul dari dalamnya dan berusaha keluar. Sesosok tangan manusia menggeliat berusaha menarik tubuhnya keluar. Kalau saja hari itu berjalan seperti biasa, mungkin dia akan lari ketakutan. Sebaliknya, Kinasih justru mendekati tangan tersebut secara perlahan. Dari dekat, ia mendengar seseorang berteriak dengan kepayahan. Dengan bergetar, dia menarik tangan tersebut dan keluarlah sesosok gadis dengan rambut berantakan. Namun, ada satu hal yang disadari oleh Kinasih saat melihat pakaian gadis itu. "Kamu temannya Roro?" Gadis itu mengernyitkan dahinya. Dia tampak kebingungan mendengar apa yang diucapkan oleh Kinasih. *** "Tadi sih katanya mau pergi sebentar..." Roro mengangguk setuju dan Edi hanya menghela napas. Edi sadar bahwa Kinasih mungkin masih marah padanya. Namun, dia sadar bahwa ada masalah yang lebih besar: Roro Joggrang sungguh-sungguh nyata. "Jadi benar kamu Roro Jonggrang?" "Iya." "Berarti ceritamu diubah menjadi batu itu benar?" "Benar." "Dan Bandung?" "Bandung?" "Bandung Bondowoso, yang mengutukmu jadi batu!" "Oh, itu juga benar." Edi makin bingung. Kalau cerita itu benar, cerita mana lagi pikirnya yang benar terjadi. "Sepertinya aku harus menceritakan kejadian malam itu..." *** Penghujung malam itu merupakan momen yang tak akan pernah dilupakan oleh siapa pun yang menyaksikannya. Ribuan demit dan momok beterbangan di langit bergegas menuntaskan urusan mereka. Makhluk-makhluk tersebut nyaris menyelesaikan tugasnya ketika suara ayam jantan yang berkokok menghentikan laju mereka. Segeralah mereka menghentikan segalanya yang tengah dikerjakan dan lari tunggang langgang berusaha kembali ke asalnya masing-masing. Di tengah hiruk pikuk tersebut, seorang gadis berjalan mendekati pria yang marahnya bukan main berdiri di depan pintu candi. "Ayam sudah berkokok, perjanjiannya dibatalkan!" Dengan marah dia berbalik melihat gadis itu "Engkau pikir aku tidak tahu apa yang engkau perbuat!? Engkau berbuat curang!" "Curang? Perjanjiannya tidak pernah menyebutkan apa pun soal campur tanganku." "Engkau harus menikahiku atau..." "TERKUTUKLAH AKU KALAU AKU MAU MENIKAHI DIRIMU!" "DASAR WANITA TAK TAHU DIRI!!!" Si gadis itu tak menghiraukan ucapan lelaki tersebut dan segera meninggalkannya. Namun tanpa diduga-duga, lelaki itu sudah muncul di hadapannya begitu ia berbalik. Dilihatnya mata si lelaki yang penuh dengan amarah. Lelaki itu terlihat seperti hendak menyuruhnya berhenti, namun dari tangannya keluar sebuah kekuatan yang sangat kuat hingga melontarkan si gadis ke dalam candi. Begitu gadis itu berdiri, sejumlah tangan patung mencengkeramnya dengan kuat. Ia berusaha melepaskan diri namun sia-sia. Lelaki itu lalu mendatangi gadis yang kepayahan tersebut. Mata lelaki itu kini memancarkan cahaya yang sangat panas. "Kalau kutukan yang engkau mau, maka itulah yang akan engkau dapatkan!" Kaki si gadis perlahan-lahan mengeras. Dia berusaha melepaskan diri tapi tidak berhasil. Akhirnya dia pun merelakan nasibnya hingga sekujur tubuhnya kini berubah menjadi batu. *** "... dan akhirnya kau menciumku." Muka Edi merona mendengar kalimat terakhir itu. "Hey, lihat aku ketemu siapa!" Kinasih datang dan tiba-tiba meneriakan kata-kata itu dengan sedikit panik. Semua orang segera melirik ke arahnya. Edi yang kebingungan pun segera bertanya. "Siapa???" Kinasih berbalik ke belakang dan mendapati gadis yang mengikutinya sedari tadi itu kini sudah menghilang bagai ditelan bumi. Rarayana Roro merasa aneh dengan apa yang dikenakannya. Mungkin itu karena kaus, celana jeans, dan sandal plastik murahan bukanlah hal yang biasa ia pakai. Tapi untuk orang yang dikutuk menjadi batu selama ratusan tahun mengenakan pakaian yang sama, dia mestinya bersyukur. Lagipula, dia tidak terlalu keberatan karena itu semua ide Edi. Dia sangat bersyukur orang yang memecahkan kutukannya adalah Edi. Edi pula yang meyakinkan Rena untuk mengajaknya tinggal bersama mereka. Bahkan, alasan Roro kini menonton pertunjukan bersama pun juga berkat Edi. "Oh iya Kinasih, terima kasih sudah meminjamkan bajumu." "Sama-sama. Untung saja kamu seukuran sama aku." "Iya, untung saja." "Tapi sih, masih lebih cantik kalau aku yang pakai." Mendengar itu, Edi menepuk pundak Roro di sebelahnya. "Jujur, kalau menurutku masih lebih cantik kamu." "Terserah!" Jawaban Kinasih itu membuat Roro tertawa kecil. Sebaliknya, Rena hanya bisa menghela napas melihat tingkah kedua anak itu. Sudah bukan hal yang aneh bila Edi dan Kinasih langsung bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Tanpa disadari, lampu panggung menyala menandai pertunjukan akan segera dimulai. Cahaya lampu menerangi panggung berlatarkan tiga candi dan gelapnya malam. Roro berbinar melihat hal tersebut. Tak hanya senang melihat sesuatu yang baru, ia juga senang tidak lagi harus melihat dunia dari dalam candi saja. Edi yang melihat wajahnya makin menyadari betapa cantiknya gadis itu. Kemudian pembawa acara pun keluar dan mulai menyapa penonton. Dia kemudian memberitahukan berita duka mengenai hilangnya patung Roro Jonggrang yang dibalas senyum kecut tiga orang di bangku penonton. Setelah basa-basi, akhirnya musik kembali dimainkan dan pertunjukannya benar-benar dimulai. Pertama-tama, beberapa penari mengadakan semacam upacara penyambutan. Keluarlah penari dengan dandanan Rawana dari atas tangga panggung. Dia berlenggak-lenggok bak seorang raksasa. Roro makin tak kuasa menahan keterpukauannya. Beberapa adegan selanjutnya turut membuat Roro terpukau. Lincahnya tarian rusa emas yang berhasil mengecoh Rama dan Dewi Sita, tipuan Marica yang terungkap oleh Rama, usaha Jatayu untuk menolong Dewi Sita, tarian kawanan kera di Gua Kiskenda, dan Dewi Sita yang berusaha menolak rayuan Rahwana sangat menarik hatinya. Namun dari semua adegan itu, ada satu hal yang paling membuatnya terkesan, si kera putih bernama Hanoman. Terutama saat dia dibakar namun malah menyebabkan kebakaran di Kerajaan Alengka. Senyum Edi merekah melihat Roro yang dengan antusias menonton pertunjukan. Edi kemudian membisikan sesuatu pada Roro dengan harapan dapat membuat gadis itu lebih terkesan. "Tahu gak, cerita ini sebenarnya diukir di candi lho!" "Hah, cerita ini diukir di candi?" Edi menganggukan kepala. Saat itulah Roro melihat adegan Rama yang tengah bertarung melawan Rahwana. Mengingat siapa yang membangun candi, ia pun yakin apa yang pertunjukan itu sebenarnya ceritakan. Muncullah seseorang di dalam pikirannya. Seseorang yang sangat disayanginya. *** "Maaf, anakku tidak bersedia menikahi dirimu." "Kalau begitu, semoga engkau siap berperang!" Lelaki dan beberapa pengawalnya itu kemudian pergi meninggalkan Sang Paduka yang bersedih hati. Begitu para tamu kerajaan itu pergi seluruhnya, anaknya pun menangis sambil berlari mendekati tahta. Dia segera berlutut dan menyandarkan kepalanya di pangkuan ayahnya. "Ayahanda, maafkan hamba yang sudah menyebabkan semua ini terjadi!" Paduka menyuruh gadis itu berdiri dan memeluknya dengan erat. Tak tertahankan tangisnya melihat anak gadisnya berduka. Dia lalu mengelus kepalanya berusaha menenangkan anaknya. "Engkau tiada salah. Ayahandalah yang bersalah apabila tidak bisa membahagiakan anaknya." Tangis dari anaknya pun makin kencang. Begitu juga Sang Paduka yang janggutnya kini dibasahi air matanya. Si anak pun sadar ayahnya harus menerima konsekuensi dari keegoisan dirinya. Dalam hatinya ia berharap andai saja dirinya tidak dirundung oleh cinta. *** "Aku mau keluar sebentar..." "Mau ke mana? Sebentar lagi bagian Dewi Sita membuktikan kesuciannya." "Aku ingin sendiri dulu." Jawaban itu membuat Edi terpaku. Dia tidak yakin apa yang harus ia lakukan hingga akhirnya ia hanya terdiam melihat Roro meninggalkan bangkunya. *** Terang rembulan menyinari Roro yang mondar-mandir di sekitar area pertunjukan. Dia melihat keadaan di sekitar dan menyadari bahwa semua orang yang dikasihinya kini sudah tiada. Bertemu dengan orang baru memang menyenangkan, tapi kini dia merasa kesepian di zaman yang baru dikenalnya itu. Tak terasa air matanya menetes. Mungkin ini memang harga yang harus dibayar karena keegoisannya. "Mungkin wanita murahan sepertimu akan lebih bahagia kalau kau membakar dirimu sendiri seperti Dewi Sita. Itu bagian favoritku." Roro menghentikan tangisannya. Jantungnya berdegup kencang mendengar suara itu. Ia hampir tak mempercayai pendengarannya, tapi suara itu dikenalinya di mana saja. Itu adalah suara lelaki yang dulu berusaha mengawini dirinya. Ba[n]dung Badan Roro mematung memandang lelaki yang pernah mengutuknya menjadi patung. Dia hampir tak mempercayai matanya sendiri saat melihatnya. Pakaiannya boleh saja berbeda, tapi ia mengenali lelaki itu dimana saja. "Oh? Apa setelan jas ini terlalu mewah untuk reuni kecil kita ini?" Dia lalu menjentikan jari dan seketika kobaran api menyelimuti dirinya. Dari kepulan asap yang mulai menguap tampaklah lelaki itu mengenakan pakaian sudah lama tak dijumpainya. "Bagaimana sekarang? Membuatmu mengenang masa lalu?" Tidak ada jawaban keluar dari mulut Roro. Wajah lelaki itu tampak kesal dan dengan jentikan jari berikutnya ia kembali mengubah pakaiannya seperti sediakala. Lelaki itu kemudian menjulurkan tangannya seperti hendak bersalaman. "Mungkin kamu lupa, kenalkan namaku Bandung Bondowoso dan kamu pasti Roro Jonggrang, si patung wanita yang terkenal itu!" Dia tertawa terbahak-bahak tak bisa menahan dirinya sendiri, namun Roro hanya membalasnya dengan tatapan dingin. Tatapan yang merupakan campuran antara dendam dan takut itu membuatnya makin kesal. "JAWAB BODOH!!!" "Kamu... masih..." Tawanya kini lebih keras dari sebelumnya. "Apakah itu yang sedari tadi membuatmu diam seribu bahasa? Dasar bodoh!" "Jadi... bagaimana mungkin..." "Aku tak percaya ternyata kamu memang masih sebodoh dahulu. Apakah otakmu masih terkutuk jadi batu?" "Jawab... saja... bodoh!" Roro mengatakannya sambil bergidik dengan hebat. Mata lelaki tersebut kembali memancarkan cahaya yang pernah diperlihatkannya dahulu, namun dia kembali menutup matanya dan kemudian membetulkan kerah bajunya. "Dengar, tidak penting bagaimana aku bisa berada di sini! Lagipula, aku tidak akan pernah sudi menginjakan kakiku di sini kalau bukan karena seorang bocah mesum yang memecahkan kutukanmu!" "Apa maumu?" "Aku hanya ingin memperingatkanmu akan sesuatu." "Apa?" "Jatuh cinta akan menjadi kutukan terburuk yang pernah kau rasakan!" "Aku tidak mengerti..." "Apa yang kau tak mengerti, hah?" Roro mengepalkan tangannya berusaha mengumpulkan keberanian. Dia menarik napas dan lalu diungkapkanlah apa yang ada di dalam benaknya. "Apa kamu belum puas mengutukku? Apa lagi yang kamu inginkan?" "Yang aku inginkan? Aku ingin melihatmu menderita karena cinta! Aku tidak akan pernah puas sebelum hatimu hancur bak arang yang dilahap api membara!" "Tapi lihat sekarang! Aku menemukan cinta kembali!" "Kamu bilang itu cinta? Tahu apa gadis ingusan sepertimu soal cinta?" "Tidak banyak, tapi paling tidak aku bukanlah pecundang yang menggentayangi orang yang jelas-jelas tidak akan pernah membalas cintanya!" Perasan jengkelnya kini sudah tidak bisa dibendung lagi mendengar sindiran itu. Matanya kembali bersinar dengan cahaya yang panasnya dapat melelehkan baja. Tak kalah panasnya, dari telapak tangannya keluar api yang menjilat-jilat. Dia pun berjalan mendekati Roro yang kini bermandikan keringat dingin. "Dengar ya gadis bodoh, aku sudah tidak peduli apabila kamu mencintaiku atau tidak! Aku bahkan sudah tidak peduli bila kamu mati sekarang juga!" Tangannya berusaha menggapai leher Roro saat di luar dugaannya datang seorang gadis yang segera menarik Roro ke belakang. Gadis itu lalu menodongkan sebilah keris ke leher si lelaki yang terkejut melihat kedatangannya. Tak hanya si lelaki, Roro juga terkejut melihat gadis itu. Mereka tambah terkejut ketika mendengar gadis itu mengucapkan kata-kata yang sudah lama tak didengar keduanya. "Sakiti dia dan engkau akan rasakan akibatnya!" Tanpa disadari, Roro menyebutkan sebuah nama. "Sumi?" Gadis yang Hilang "Kamu nggak ngerti aku ngomong apa ya?" Sumi hanya melihat kinasih dengan tatapan kosong. Gadis itu memang tidak mengerti tiap kalimat yang Kinasih ucapkan. Kinasih tidak tahu apa yang harus ia lakukan kecuali satu hal. "Ayo, ikut aku!" Sumi sadar bahwa Kinasih berusaha mengajaknya ke suatu tempat, maka ia segera berdiri dan mengikuti orang yang baru ditemuinya itu. Kinasih masih berusaha berkomunikasi dengannya, namun apa daya dirinya tidak dapat mengartikan apa yang disampaikannya. Mendadak Kinasih memutuskan untuk bergegas menuju ke tempat ketiga orang lainnya berada. "Kita agak cepetan deh jalannya! Mereka udah deket kok!" Sumi melihat Kinasih mempercepat laju jalannya. Saking tergesa-gesa, Kinasih tidak menyadari bahwa sesuatu tengah terjadi pada gadis tersebut. Sekumpulan makhluk berwarna hitam legam mencengkeram tubuhnya. Para makhluk itu berusaha menariknya ke suatu tempat, namun Sumi berusaha memberontak. Namun ada yang janggal, Kinasih bersikap seperti tidak mendengar teriakan minta tolongnya. Dengan susah payah, Sumi menutup mata dan mulutnya mulai membisikan semacam mantra. Matanya lalu terbelalak dan bersinar putih terang hingga pupil matanya tidak terlihat lagi. Sebilah keris muncul di tangan kanannya dan segera ditusukannya benda tajam itu ke salah satu makhluk yang menggerayangi tubuhnya. Melihat salah satu kawannya terbunuh, para makhluk itu berhenti menyeret tubuhnya dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Beruntung bagi Sumi, ia berhasil menangkap salah satu makhluk yang menyerangnya. Dia menarik rambutnya sehingga wajah makhluk itu tepat berada di hadapannya. Dia lalu menancapkan keris ke leher makhluk itu hingga ujungnya hampir melukainya. "Apa maksud kalian menggangu manusia?" "Kami hanya menjalankan perintah majikan kami!" *** "Aku hanya memerintahkan mereka menyerang orang yang berniat mengganggu pembangunan candi ini. Aku tidak menyangka mereka masih saja menjalani perjanjian itu." Si lelaki tertawa mendengar kebodohan makhluk suruhannya itu. "Maaf Kanjeng Putri, saya tidak menyadari keberadaanmu sebelumnya. Saya berusaha mencari lelaki ini ke seluruh penjuru tempat ini." "Tak apa Sumi, aku mengerti." "Cukup bernostalgianya! Dengar ya! Aku tak peduli ajian apa yang kau kuasai, tapi kau tak akan bisa menghentikan kutukan cinta! Bahkan aku yakin itu pun akan menimpa kalian berdua... tidak! Itu akan menimpa kalian semua!" Seketika lelaki itu menghilang meninggalkan kepulan asap. Roro dan Sumi bernapas lega. Roro berpikir paling tidak Bandung tidak akan berani mengganggu kehidupannya lagi. Keris di tangan Sumi perlahan menghilang, begitu juga tenaganya hingga akhirnya ia terjatuh ke tanah. Roro berusaha membantu Sumi yang terkulai lemah, tapi perhatian Roro tertuju pada kedatangan tiga orang yang sedari tadi mencari keberadaanya. Mereka hanya saling memandang tak tahu harus bereaksi apa mengetahui kehadiran orang baru di antara mereka. Takdir yang Mempertemukan "Kamu juga pasti ingin Roro tinggal bersama kita, kan?" Edi tidak mempercayai tantenya mengetahui isi pikirannya yang sudah dipikirkannya semenjak ia memecahkan kutukan gadis itu. Iya, dia ingin Roro tinggal bersama dengannya. Namun sejujurnya, pikiran itu membuat pipinya memerah. Tidak pernah dibayangkannya lelaki biasa sepertinya dapat kesempatan tinggal bersama orang yang dicintainya. "Nih, dia sudah ganti baju!" Kinasih dan Roro tampak baru saja keluar dari kamar mandi umum. Terlihat Roro mengenakan pakaian ganti Kinasih dan sandal jepit plastik yang baru saja dibeli dari warung sekitar. Edi tak bisa berkata apa-apa ketika melihatnya. Kecantikan yang dilihatnya tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Roro, Edi punya ide jadi Tante akan tanya saja langsung ke kamu!" "Apa itu Tante Rena?" "Maukah kamu tinggal bersama kami?" Roro terperanjat mendengarnya. Dia pun segera memeluk Edi dan mengucapkan terima kasih padanya. Edi hanya bisa mematung dipeluk olehnya, sementara Kinasih terlihat kesal dibuatnya. Dikutuk menjadi batu membuatnya sangat menghargai setiap kebaikan yang diterimanya, tidak peduli sekecil apapun bentuknya. "Terima kasih Edi!" Dia lalu melepaskan pelukannya dan memeluk tubuh Rena. "Terima kasih Tante Rena!" *** "Ada apa dengannya Roro?" "Sumi kelelahan Tante Rena..." "Jadi kamu tuh Sumi! Kemana kamu..." Rena berbalik dan tatapannya seketika membuat Kinasih langsung merapatkan bibirnya. "Edi! Kinasih! Ayo kita bawa dia ke penginapan!" Rena segera membantu Sumi berdiri, dibarengi oleh Edi dan Kinasih yang segera memapah si gadis ke mobil. Sumi sebenarnya tidak terlalu suka diperlakukan seperti orang yang tidak berdaya, namun apa daya dia terlalu lelah untuk protes. Sebaliknya, Roro yang melihat perlakuan ketiga orang tersebut makin bersyukur karena ia bertemu dengan orang-orang sebaik mereka. *** "Terima kasih lagi Tante Rena." Ucapan terima kasih Roro tentu saja dapat didengar oleh Edi dan Kinasih kalau saja mereka tidak tertidur di belakang. Akan didengar pula oleh Sumi seandainya ia dapat mengerti apa yang diucapkan Roro. Akhirnya hanya Rena yang membalas ucapan Roro dengan sebuah senyuman. "Tante..." "Iya?" "Bukan Edi kan yang punya ide untuk mengajakku tinggal bersama?" "Mungkin. Tapi toh, Tante yakin Edi pasti ingin kamu tinggal bersama kita." "Tapi Tan..." "Sudahlah. Memangnya kamu tidak tahu..." Rena menghentikan omongannya saat ia menatap Roro. "Dasar Tante ini bodoh! Ya, kamu pasti nggak tahu ceritanya lah..." "Cerita apa?" "Dulu sekali, Tante mendapat kabar bahwa orang yang Tante cintai sudah tiada. Tante kesal dan sedih sekali karena kepergiannya. Namun, kemudian Tante didatangi seorang anak lelaki. Anak lelaki itulah yang kemudian datang dan menemani Tante dan anak perempuan Tante." Roro segera melihat kedua remaja yang tertidur di belakangnya. "Saat melihat mereka berdua, Tante sadar bahwa Tante masih memiliki mereka. Tapi, kedua anak itu pasti berpikir bahwa sudah tiada lagi orang yang mencintai mereka. Tante hanya tak ingin kamu dan Sumi merasakan hal itu juga." Roro hanya terdiam setelah mendengar cerita Rena. Dia baru menyadari bahwa bukan hanya dirinya saja yang mempunyai kisah memilukan di masa lalu. "Jujur. Tante masih tak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi, tapi semenjak kejadian itu Tante yakin semua terjadi karena takdir." Kata terakhir yang diucapkan Rena membuat Roro terdiam seribu bahasa. Takdir. Meski yang didengarnya berbeda, kata tersebut membangkitkan kenangan akan seseorang. Seorang lelaki yang dulu tak hanya ia sayangi tapi juga sangat ia cintai. Setiap kata tersebut diucapkan olehnya, ia selalu merasa tenteram. Mendengar kata tersebut diucapkan juga oleh Rena membuatnya merasa tenteram. Dia tidak tahu apa lagi yang akan dihadapinya, tapi paling tidak ia tahu takdir sudah menolongnya saat ini. Setelah sekian ratus tahun lamanya, untuk pertama kalinya Roro yakin bahwa dirinya tidak sendirian lagi. Description: "Jatuh cinta akan menjadi kutukan terburuk yang pernah kau rasakan!" Seorang remaja lelaki biasa berhasil meruntuhkan kutukan di candi Prambanan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Tanpa disadari, memecahkan kutukan tersebut justru menciptakan kutukan lainnya. Kini, ia pun harus menjalani sebuah kisah cinta yang tak hanya romantis tapi juga dipenuhi mistis.
Title: Re Install Category: Spiritual Text: Prolog Mereka bilang dia gila. Memang ada benarnya juga. Orang normal mana yang tidak bisa tidur selama berhari-hari, juga tidak makan dan hanya terdiam di pojokan ruangan, dengan tatap mata kosong yang mengerikan? Lalu kemudian tertawa-tawa sendiri, lalu kembali menangis. Lalu tiba-tiba memeluk orang asing di koridor. Mereka bilang, dia dirasuki. Aku percaya bahwa hal ghaib pasti ada, karena kepercayaanku juga mengajarkan adanya malaikat dan setan. Tapi aku juga belajar berbagai ilmu, sedikit paham beberapa pengetahuan dasar tentang perilaku manusia, juga hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan alamiah, yang kadangkali disebut penyakit. Karena faktanya, aku salah satu yang pernah memiliki penyakit itu. Aku, mahasiswa akhir yang kebetulan beruntung. Aku datang ke Bogor, kota yang dikenal sebagai kota hujan, untuk mendaki tangga mimpiku. Meski itu berarti aku keluar dari zona nyamanku. Dan dia, seorang yang kau bisa bilang orang penting dalam jajaran kampusmu. Sosok manusia yang bisa kau umpat atas nilai dan prestasinya yang jauh ada di atasmu. Figur kakak tingkat yang disegani adik tingkatnya, aktivis penuh semangat yang mungkin kau pikir hidupnya terlalu menyenangkan, bahkan mungkin… sempurna? Tapi kehidupan manusia tak pernah ada yang tahu lengkapnya. Selalu ada topeng, selalu ada saat-saat di atas dan di bawah, juga sisi baik dan sisi jahat. Dan ada saat-saat dimana kau akan menyadari, kemana sebenarnya kau harus berjalan… Sibuk #KisahALFIANRIZAL “Habis ashar jangan lupa ke ruang rapat D. Kita bahas lagi soal acara kita. Sherina, bilang sama anak baru juga buat ikutan. Rapat general, semua harus dateng. Nggak dateng, kasih hukuman aja. Naila, jangan lupa buat bawa catatan, atau laptop. Notulensinya harus ada, ya. Jangan kayak kemarin. Rian juga ini, sama anak logistik jangan kabur-kaburan terus. Oke? Gak ada dispensasi. Tepat waktu semua.” Lelaki itu menaruh ponselnya dengan cepat. Voice notes yang baru direkamnya segera meluncur cepat masuk ke aplikasi teman-teman grupnya. Membuat ponsel siapapun yang menerimanya bergetar menampilkan notifikasi. Ia kini sibuk membereskan kertas-kertas di atas mejanya, memasukkannya ke dalam map biru. Wajahnya terlihat lelah, namun masih semangat mengurus beberapa kertas di depannya yang terlihat berantakan. Seorang gadis berambut panjang menarik kursi di dekatnya, menopang dagu menatap lelaki itu. Yang di tatap tak banyak bertingkah, sibuk menandatangani kertas-kertas di hadapannya. “Gila.. Pak Ketua mah sibuk banget, ya.” “Alfi! Ya ampun, tega banget ya lo ngacangin gue!” “Pak Boss sibuk. Jangan ganggu, heh.” Ruangan itu terlihat ramai. Satu persatu orang berdatangan, mengambil kursi dan melingkar membentuk kelompok. Dosen mereka sedang keluar sebentar, jadilah ruang kelas itu ribut sendiri. Beberapa asyik dengan ponsel masing-masing. “Eh, sudah mau mulai? Sori ya.” Lelaki yang bernama Alfi itu tersenyum, menyimpan semua kertas-kertas miliknya ke dalam tas. Namun saat melihat orang-orang di depannya, ia mengangkat alis heran. Kemana anggota kelompoknya tadi? Di depannya, dua orang wanita masih sibuk memperhatikannya. Lelaki itu entah mengapa memiliki aura yang dapat memikat perempuan. Penampilannya tak terbilang rapi, bahkan terkesan asal. Mungkin karena wajahnya yang sedikit rupawan, meski ada bekas luka besar di dahi yang mencolok, yang membuatnya bisa dengan mudah dikenali. Ia memiliki rambut yang sedikit gondrong, sorot mata tajam yang tampak ramah dengan alis tebal, hidung mancung, kumis tipis di atas bibir, serta senyum menawan dengan sedikit lesung pipi. Kemampuan komunikasinya juga baik, membuat siapapun nyaman berada di dekatnya. “Gapapa. Santai aja sih, Dosen belum masuk ini.” “Fi, kamu itu kok kuruuus banget. Makan atuh.” Gadis itu tiba-tiba saja memegang pergelangan tangan Alfi, mengukur-ukurnya. “Ih, jangan pegang-pegang tangan Mas Alfi gue!” gadis lain berambut panjang kini menarik tangan temannya, cemberut sok kesal. Sementara yang satu lagi sibuk membentangkan karton besar di atas meja mereka. “Dasar kalian, mentang-mentang ada orang cakep saja, pada heboh sendiri. Lebay!” ucapnya sinis. Sedangkan kedua wanita di sampingnya tertawa-tawa, masih sibuk mencuri perhatian Alfi yang tak terlalu peduli, malah asyik membalas pesan di grup organisasinya. “Sirik aja. Kan gue mau PDKT-in Alfi!” “Alfi udah punya pacar kalii..” “Ih, kan sudah putus, iya gak Fi? Hahaha” “Minggir kalian, cewek-cewek genit. Bu Dosen sudah masuk, balik ke kelompok kalian.” Dua orang lelaki muncul secara tiba-tiba, diiringi derap langkah suara wanita paruh baya yang melangkah masuk ke kelas. Dua wanita genit itu bersungut-sungut bangkit dan pergi, ke tempat duduk mereka seharusnya. Alfi menyimpan ponselnya, tersenyum lega. “Dari tadi dong, pusing gua dikelilingi cewek-cewek norak.” Ucapnya. “Kan ada Sania disini. Ih, lo mah nggak becus jagain Alfi, San.” “Tauk lah. Males gua sama cewek-cewek begituan. Gak paham.” Sania, gadis berambut pendek itu membuang muka. “Yaudah. Ayolah bikin tugasnya, sudah sampai mana kita.” “Mending buat laporan buat besok, cuy.” Salah satu diantara mereka berbisik. “Push rank laah.. laporan mulu.” “Skuy!” “Cakep.. ini nih, yang gua suka.” “Kalian push rank aja, gua mau meriksa data dulu nih, ada yang nggak beres.” Tolak Alfi, kembali membuka dokumen online di ponsel miliknya. Sementara teman lelakinya mengeluh, Sania malah menghela napas kesal melihat kelakuan rekannya. “Ih, dasar cowok-cowok gak guna. Bodoamat lah!” ### Sore ini, hujan mengguyur bagian bumi yang berjulukan Kota Hujan ini. Petir menyambar-nyambar, dan angin menambah kecepatan dari bulir air kiriman langit itu. Terlihat pepohonan yang merebah-rebah seolah memohon ampun pada penguasa langit, menahan betapa derasnya hujan yang turun. Alfi sudah duduk di ruang rapat yang ia bicarakan di grupnya, menarik napas kesal karena hujan seperti mengejeknya kini. Dengan cuaca yang tak baik, pastinya sebagian besar anggotanya terjebak hujan, dan tenggelam dalam kemalasan diri untuk keluar ruangan. Namanya Alfian Rizal, sang ketua pelaksana kepanitiaan. Acara yang ia sudah siapkan sejak lama bersama teman-temannya. Acara yang ia yakini akan sukses, nampaknya tak semudah yang ia bayangkan. Selama dua minggu pertama, progress anggotanya lancar, tanpa kendala. Surat yang disetor untuk meminta dana pun sukses, walau memiliki akses lambat. Namun semakin bertambah waktu, entah mengapa urusan ini justru jadi tak terkendali. Satu dua anggotanya mulai kehilangan loyalitas. Kucuran dana yang deras tiba-tiba seolah mengering. Belum sempat Alfi mengurusnya, tugas kuliahnya terlalu membebaninya. Jadilah seminggu ini acaranya terbengkalai, dan Alfi yang sibuk dengan tugas kuliahnya malah tidak bisa maksimal mengerjakan tugasnya, terbayang-bayang akan acaranya yang ia tinggalkan. Dering nada telepon membuyarkan lamunan akan keadaannya. Sebuah nama muncul di layar notifikasi. Pria itu menghela napas, lupa kapan terakhir kali nomor ini menghubunginya, atau ia yang menghubungi nomor ini. Kakak kandungnya, Hanna. “Halo, kak.” “Assalamualaikum, kasep.. mana, jawaban salamnya, heh?!” “Waalaikum salaam warahmatullah wabarakatuh, kakakku yang cantik tiada tara. Ada apa gerangan menghubungi adiknya yang tampan menawan nan rupawan ini?” Alfi tersenyum menahan tawa. Pikirannya membayangkan ekspresi wajah kakak kandungnya yang kini pasti cemberut masam kesal. “Bisaan aja. Sukses ya di sana jadi raja gombal. Eh, eh.. kamu kapan pulang sih?” “Pulang kemana?” “Yaa ke rumah, gantengku. Masa ke kandang sapi!” Alfi tertawa mendengar jawaban kakaknya. Sayup-sayup, di dengarnya suara batuk di seberang sana. Telinganya masih bisa menangkap jelas suara itu. Ada perasaan bersalah yang tak terdefinisikan menyeruak tiba-tiba, membuatnya seketika terdiam. Kakaknya tak lagi fokus kepadanya, seperti terburu-buru meninggalkan ponsel. “Ayah meriang lagi.” Ucap Hanna, sesaat kemudian. “Kakak ajak ke dokter, nggak mau. Katanya mau menikmati beristirahat di rumah, cukup minum obat warung aja. Padahal batuknya nggak hilang-hilang, rasanya kayak makin parah.” “Panas?” “Nggak demam sih. Normal suhu tubuhnya. Tapi Ayah bilang kalau malem dingin, jadi kalau sekarang tidur pakai selimut. Katanya nggak mau ngerepotin kakak, karna kakak lagi hamil.” “Eh, kakak hamil?” “Makanya kamu pulang! Jenguk ayah! Telpon ayah! Kirim pesan ke kakakmu juga nggak. Mulai lupa diri dia.” Hanna seolah mengomel di ujung sana. Alfi tahu nada itu terdengar bercanda, namun rasa bersalahnya kini muncul. Menyesakkan dada. Ia hanya tinggal memiliki ayah dan kedua kakaknya yang sudah sama-sama memiliki dunianya sendiri. Sang ibu telah lama tiada, meninggalkannya saat masih berseragam putih biru. Kakak pertamanya, Rendi, sudah berkeluarga dan menetap di pulau seberang. Sedangkan kakak keduanya Hanna, sejak kepergian sang ibu menjadi ibu kedua bagi Alfi. Ia sudah bersuami, memilih tetap tinggal bersama sang ayah. Hanna adalah sosok wanita yang cerewet, perhatian, dan penuh kasih sayang. “Bercanda, deh. Kalau kamu masih sibuk sama urusan di kampus nggak apa-apa. Kakak nggak maksa, kok. Tapi jangan lupa telpon ayah, kamu kan tahu ayah gengsi buat nelpon kamu duluan. Dari kemarin ayah nanyain kamu terus, kapan pulang. Kakak lagi mual-mual kalau megang telpon lama-lama, makanya baru sekarang sempet nelpon kamu nih.” Alfi mengangguk pelan, masih memperhatikan hujan yang turun menderas. Pikirannya mulai melayang kemana-mana. “Jal?!” “Iya.” “Kamu jangan melamun, ih! Ya sudah, kakak mual lagi nih. Hmmph..” Tuut.. tuut.. tuut... Sambungan telepon terputus. Ia tak perlu menebak lagi apa yang terjadi pada kakaknya itu. Dilihatnya hujan yang masih menderas, membuat kakinya melangkah keluar, ingin menikmati tetes air itu secara nyata. Di balkon gedung yang di pijaknya, Alfi mengulurkan tangannya, menyambut tetes air yang turun dengan derasnya dari atap. Angin masih betah bermain-main dengan hujan, membuat wajahnya kini basah terkena cipratan nakal angin dan hujan yang menari-nari. Pikirannya entah mengapa terbayang tentang seseorang di masa putih abu-abunya dulu. Seorang perempuan yang amat membenci hujan, ketakutan tiap kali hujan turun. Dan di kejauhan, sosok gadis itu seolah nyata. Alfi mengucek-ucek matanya, menggeleng-geleng. Namun bayangan itu tampak semakin jelas. Bukan lagi bayangan hitam yang dilihatnya, tapi sosok gadis dengan jilbab panjang, berseragam putih abu-abu. Dan entah darimana asalnya, suara tangisan kini memenuhi telinganya. Tangisan wanita, yang sempat ia dengar dulu. Menjerit-jerit, menggema ke seluruh ruangan. Alfi kini menutup telinga, jongkok dari posisi semulanya yang berdiri. “Alfi? Ngapain lo?” Suara seseorang mengagetkannya. Dan di saat itulah semuanya hilang. Suara yang tadi didengarnya juga tiba-tiba menghilang. Alfi mengusap wajahnya yang basah, entah karena keringat dingin yang tiba-tiba saja keluar, atau bekas hujan yang menamparnya barusan. “Gama?” “Iya, ini gua. Bukan setan. Jadi rapat nggak? Gua sudah ujan-ujanan begini.” “Gak tahu, nggak ada kabar.” Alfi bangkit berdiri, tangannya merogoh saku, mencari sesuatu. Namun tangannya hampa, tak ada satu barangpun yang berhasil keluar dari sakunya. Sedangkan Gama lebih dari paham apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh temannya yang satu itu. Ia memutar bola mata, nampak kesal. “Gaada rokok di kantong?” Rizal nyengir kuda. Alisnya terangkat, memberi isyarat pada Gama. “Gaada. Lo tuh ya, ngerokok kayak make narkoba. Kecanduan! Bahkan lu lebih sering megang rokok daripada hape lu sendiri. Tobat, njir! Sakit aja, mampus lu!” “Ya itu obat gua.” Alfi menarik napas, mengacak rambutnya. Menampilkan wajah memohon-mohon. “Please Gam, gua bisa makin stress kalo nggak ngisep rokok.” “Nah itu. Udah stress emang. Sadar gak sih, dalam sehari, lu bisa ngabisin satu bungkus lebih! Belom lagi kalo lu lagi banyak pikiran, tiga bungkus bisa habis saat itu juga.” “Nah, kan lu tau.” “Bodo amat, gua kesini buat rapat. Menghormati elu yang jadi ketua gua, meskipun kalo gua mau, gua bisa ngelobi elu buat absenin gua sekarang. Pasti bakal lama nungguin yang lain. Mending lo tidur dulu, deh.” Gama masuk ke dalam ruang rapat yang masih sepi, mengambil posisi tidur. Hujan mulai melunak, derasnya berkurang. Pantas saja Gama berani menerobos. Alfi masih menyendiri di luar sana, melihat ponselnya. Jemarinya berhenti pada sebuah kontak yang tertulis kata Ayah disana. Teringat pertengkaran hebatnya dulu dengan sang ayah, yang menambah luka-luka di tubuhnya pasca kecelakaan hebat yang menghadiahkan bekas luka mencolok di dahi dan jemari tangan kirinya yang cacat. Amarah terhebat dari sang ayah yang pernah diterimanya seumur hidup. ___________ "Aku bilang bukan urusan Ayah, ini urusanku sendiri. Biar aku yang mengurus hidupku sendiri!" PLAK! Sebuah tamparan panas mendarat di pipinya. Remaja tanggung itu hanya menunduk. Matanya mengembun. Tangan besar ayahnya kemudian mendorongnya hingga terbanting di atas lantai, lalu menghujaninya dengan berbagai pukulan. Ia sendiri hanya bisa menggigit bawah bibirnya, pasrah. Kebenciannya memuncak. "Dasar nggak sopan! Saya kerja juga demi kamu! Buat makan kamu! Jadi anak emang nggak bener! Sia-sia aja saya besarin kamu!" "Iya. Sia-sia aja Ayah besarin aku!" Remaja kurus itu justru menatap tajam lelaki di hadapannya, menentang. Membuat lelaki bertubuh besar di depannya semakin kasar melampiaskan kemarahannya. Entah setan apa yang merasuki pikirannya saat itu. Tahu-tahu tubuh lemah yang penuh luka itu sudah menjadi bahan pelampiasan. Alfi meringis kecil. Sekuat tenaga menahan sakit yang terus menghujani tubuhnya. Rasa sakit dari bekas luka-luka sisa kecelakaan kembali menghujami tubuhnya. Alfi memilih tak melawan. Diam-diam mengeluarkan air mata dari sudut matanya. Menahan sakit perih yang ia rasa. Namun semua itu masih tak seberapa baginya. Luka di hatinya yang sempat menutup ternganga lebar, lagi. Dan rasanya lebih perih dibanding menahan siksaan sang ayah. Lelaki itu tampaknya sudah tak berfikir lagi dengan apa yang dilakukannya. Darah segar perlahan mengotori lantai itu. ____________ “Mas Alfi, punten kita telat, bener-bener terjebak hujan.” Suara seorang wanita membuyarkan memori kelamnya. Sekertarisnya, Naila, kini berdiri dengan pakaian setengah basah di hadapannya. Wajahnya tampak takut-takut, tak berani menatap Alfi yang mengaktifkan ‘mode tidak ramah’-nya. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi, namun sorot matanya seolah membunuh siapapun yang bertatap dengannya. Biasanya, di saat seperti ini Alfi sedang tidak dalam mood baik. “Masuk ke dalam. Bilang sama yang lain di grup buat datang cepat, hujannya sudah reda. Saya ada keperluan lain, bukan cuma ngurus kalian.” “I-iya, mas.” Naila tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan, diikuti beberapa wanita di belakangnya. Alfi kembali menyendiri, dengan ponsel di tangan. Layarnya masih menunjukkan nomor telepon yang dinamainya dengan kata ‘Ayah’. Wajah lelaki paruh baya itu sekilas muncul dalam ingatannya. Sosok manusia yang dulu amat dibencinya, namun kini ia sayang dan hormati setulus hati. Diliriknya para anggota panitianya yang sibuk di dalam ruangan, tak mempedulikan dirinya yang masih berada di luar ruangan. Dan dengan ragu-ragu, di tekannya tanda hijau memanggil di kontak bertuliskan Ayah. Layar ponsel miliknya segera berganti, sebuah kata tertulis disana. Calling Ayah… Kota Hujan #CeritaRARA Katanya, tiap kali hujan turun, saat itulah waktu yang tepat untuk berdoa. Mereka menyebutnya waktu mustajab, waktu dimana doa-doa bisa di dengar Sang Maha Pendengar lebih cepat dari biasanya. Meski begitu, manusia kadangkali terlalu egois untuk sekedar merintih di hadapan Sang Maha Segala. Lebih memilih berjalan dengan kepala tegak seolah tanpa masalah. Seolah mereka tetap akan tegak berdiri di atas tanah, bukan akan dikubur di bawah tanah. Dalam ruangan bercat hijau muda ini, kumpulan doa berpilin memenuhi langit-langitnya. Suara lantunan ayat suci terdengar sayup-sayup. Lirih dan lembut, seolah mengetuk tiap gendang telinga yang mendengarnya. Bibir kecil pemilik suara itu bergetar sebenarnya. Jemarinya menunjuk tiap huruf di dalam kitab suci dengan gemetar. Namun ia tetap memaksakan diri melanjutkan kegiatannya, berkali-kali menarik napas gelisah, berusaha menutup telinganya agar tak mendengar suara berisik yang diciptakan pasukan air kiriman langit yang sejak tadi menghantam bumi. “Raraa!” Sebuah suara melengking memecah hening suasana sakral yang telah tercipta. Suara pintu terbuka dengan paksa. Gadis pelantun ayat suci itu kini terpecah konsentrasinya, beristigfar kecil mendengar jeritan yang meneriakkan namanya itu. “Iya, Desya.” “Raraa, lo nggak apa-apa kan? Nggak pingsan, kan? Tenang, ada gue. Ada gue!” Gadis berambut pendek hingga telinga itu memeluknya seketika. Rara, nama gadis itu, masih dengan mukena biru pucat yang di pakainya tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung kawannya yang nampak basah kehujanan. Quran kecil yang dibacanya sudah aman di atas meja. “Hei.. I’m okay. Aku nggak apa-apa.” “Gue lari dari halte sampai kosan, tauk! Khawatir gue sama elo.” “Kenapa? Aku kan nggak apa-apa. Hehe.” “Aih, gila. Semenjak lo cerita tentang itu, gua selalu kepikiran tauk! Tadi saja pas mulai mendung, yang gue pikirin bukan payung, Ra! tapi elo!” “Saking sayangnya sama aku?” “Iya, bangeeeet. Sampe gemes mau cubit ginjal lo. Kenapa baru ngasih tahu sekarang, bukan dari awal? Tiga bulan kita satu kosan. Dan lo baru bilang tentang itu sekarang? Untung Ning bisa peka.” Rara hanya tertawa, meski dalam hati, rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. Ia berusaha bicara lagi dengan Desya, tertawa lebih banyak, hingga hujan benar-benar berhenti, dan ia bisa kembali normal tanpa pikiran-pikiran gila yang membayang-bayangi otaknya. Sebelumnya, tepat sekitar tiga hari sebelumnya, Rara tertangkap basah mengalami sesak napas di kamarnya. Saat itu hujan tengah deras-derasnya mengguyur bumi. Ning, salah satu teman kontrakan Rara yang amat keibuan itu menemukan Rara di kamarnya, menenggak pil obat. Sebenarnya, bukan masalah sesak napasnya yang membuat Rara merasa keberatan berbagi cerita. Mejanya yang sedang dipenuhi dengan surat hasil pemeriksaan dokter dan psikiaternya ternyata tertangkap juga oleh mata teman-temannya. Jadilah ia terpaksa berbicara, tentang ‘penyakit kecil’ yang selalu ia simpan dalam-dalam seorang diri. ________________ “Ayah akan pulang cepat, kan?” “Tentu, sayang.” “Kenapa lama sekali? Aku sudah tidak sabar.” Seorang wanita dengan perut buncit yang tengah mengandung tersenyum. Perlahan-lahan ia menundukkan tubuhnya yang terasa lebih berat, menyejajarkan tingginya dengan gadis kecilnya yang sudah lebih dulu melihat dunia. Dicubitnya gemas hidung kecil gadis itu. “Ingat kata Ayah? Sabar. Allah bersama orang yang sabar, dan menyayanginya.” Gadis manis usia sembilan tahunan itu nampak ceria dan bersemangat. Ia mengangguk dengan cepat, lalu kembali asyik dengan boneka miliknya. Keluarganya adalah sebuah potret keluarga kecil yang bahagia. Ayah, ibu, kakak lelakinya serta adik kecil mereka yang akan lahir. Hari sudah menggelap. Ia duduk seharian di depan pagar rumahnya, memeluk boneka beruang kesayangannya. Katanya menunggu sang Ayah yang pergi sebentar. Ada urusan. Lelaki yang dibanggakannya itu berjanji tak akan pergi lama, dan akan membawakan buku cerita bergambar baru yang akan dibacakannya sebelum tidur. Bagaimana ia bisa sabar menanti, dengan hadiah menyenangkan yang ditawarkan itu? Bahkan hingga matahari tenggelam, gadis kecil itu setia menunggu di depan pagar. Menoleh tiap kali mendengar derum mesin motor yang lewat. Sayangnya, ayah tak kunjung datang. Sore itu, langit mulai gelap. Awan-awan hitam sudah memenuhi langit. Bersiap menumpahkan bebannya. Rara kecil semakin cemas. Ayah tak kunjung datang. Kemana ayah? Diam-diam, tanpa diketahui ibu, gadis kecil nekad mengambil jas hujan mungilnya dari lemari buku miliknya. Ia memakai benda itu, lalu mengendap-endap pergi keluar rumah. Dibawa serta boneka beruang kesayangannya. Sayang, ia membiarkan pintu tak tertutup rapat. Angin jahil iseng meniupnya hingga terbuka lebar. Membiarkan hawa dingin mengingatkan sang ibu akan anaknya yang tiba-tiba tak merengek-rengek lagi, bertanya-tanya kapan ayahnya pulang. Terkejutlah wanita paruh baya itu melihat gadis kecilnya tak lagi di kamar. Di tambah pintu belakang yang terbuka lebar, membuatnya semakin yakin kalau gadis kecilnya pasti sudah melangkah ke jalanan. Menunggu sang ayah disana. ______________ “Hei. Kok melamun? Mending kita masak, trus makan deh. Ning mau makan di luar katanya. Tadi kirim chat di grup.” Ujar Desya, tiba-tiba merangkul pundak Rara yang sedang melipat mukena dan sajadahnya, membereskan setelan untuk beribadah itu. “Hmm… tapi aku lagi males masak, maunya langsung makan. Hehe.” “Huh, gitu ya.. tapi aku juga males sih. Yaudah, kita cari makan ke luar aja yuk, sebelum gelap. Ayo, pakai jilbabmu sana. Hujannya mumpung lagi berhenti nih!” Desya melepas rangkulannya, iseng mendorong Rara agar segera menjauh dan memakai jilbabnya. Rara kembali tertawa, bergegas pergi mengambil jaket dan jilbab miliknya. Dua manusia itu melangkah keluar, menyambut jalanan basah yang baru diguyur hujan. ### Gelap malam memeluk langit bumi. Ribuan lampu bersinar serentak, menerangi bumi dengan cahaya kecil bagai kunang-kunang. Menolak kegelapan yang bisa mencekik. Beberapa terlihat meredup, mengantar manusia ke alam mimpi yang memanjakan. Namun beberapa dari manusia itu masih ada yang terjaga. Kamar bercat hijau itu salah satunya. Dalam sunyinya malam, di tengah pulasnya ribuan manusia yang terlelap kelelahan, ia bangkit berdiri. Mencari waktu dengan Ar Rahmaan yang Maha Pengasih. Mereka bilang, malam terbagi tiga. Dan di sepertiga malam terakhir, batas antara doa dan telinga Sang Maha Mendengar tipis sekali. Lagi-lagi, disebut waktu mustajab untuk mengucap permintaan dan berkeluh kesah pada Sang Pemilik Hari. Ada tetes air mata yang mengalir di pipi perempuan itu. Hati seolah mengambil kendali mulutnya, menumpahkan segala keluh kesah di atas sajadah kecil yang mengalasinya. Kegiatan rutin yang suka ia lakukan tiap harinya, secara diam-diam tanpa ingin orang lain mengetahuinya. “Ra? Udah shubuh?” Sebuah suara lembut mengagetkannya. Gadis itu buru-buru mengelap bekas air mata di pipinya, meninggalkan bekas di mukena miliknya. Gelap kamar menyamarkan wajahnya. “Ning?” “Uhm.. iya, kebangun ini. Hehe. Sudah shubuh, kah?” “Sebentar lagi, kok. Hmm.. sepuluh menit lagi, deh.” “Wah, pagi juga aku bangun. Eh... Rara rajin banget ya, shalat malamnya. Oaahhmm..” gadis berambut panjang yang menegurnya tadi mengambil langkah menuju kamar mandi. Sedangkan kedua temannya yang lain masih terbuai dalam mimpi. Nampak pulas sekali. Rara menyelesaikan doa terakhirnya, lalu melepas mukena miliknya, melangkahkan kaki ke dapur. “Rara mau puasa?” “Hehehe. Ning nggak mau ikut puasa?” “Masyaa allah. Salut Ning teh sama Rara. Nanti sore aku belikan es cendol deh buat buka puasa. Ning tadi ke kamar mandi, kedatangan tamu bulanan. Pantesan langsung kebangun, terus nggak enak begitu. Semangat puasanya ya, Ra!” “Ih, si Mamah mah memang paling baik.” Ning duduk di samping Rara yang sibuk mengunyah makanan, sambil sesekali melihat ke arah jam dinding. Ia takut tiba-tiba adzan shubuh berkumandang, yang menandakan puasanya akan segera dimulai. “Ra, kamu ikut beasiswa X kan, ya.” Ning sibuk dengan smartphone miliknya, menyipitkan matanya melihat sosial media. Rara hanya mengangguk-angguk, meneguk air dari gelas yang ada di sampingnya. “Ada pelatihan dan seminar... apa ini. Menarik juga temanya. Kuliah ke luar negri. Wah, skalanya nasional, Ra. Lumayan kalau kamu ikut. Nanti sertifikatnya bisa buat tambah-tambahin achievement di CV kamu. Kamu kan, minat kuliah S2 ke luar negri setelah ini. Iya, gak?” Ning tampak bersemangat, menyodorkan layar smartphone miliknya ke arah Rara. Gadis itu menyipitkan matanya, merasa kontras layar ponsel kawannya terlalu terang, hingga ia sulit membacanya dengan jelas. “Boleh juga ini.” “Sini, biar aku lihat. Pelatihannya di universitas itu... Wah, kamu ke luar kota, dong!” “Yes, aku bisa jalan-jalan. Hahaha.” “Iya, ih. Enak banget kalau kamu daftar. Bisa jalan-jalan ke Bogor.” Sejenak kemudian, hening tercipta di antara keduanya. Ning segera tersadar akan suatu hal, segera menoleh ke arah Rara yang juga terdiam, nampak berpikir. Wajah sumringahnya yang tadi seolah tertarik, seirama dengan gelap malam yang akan digantikan cahaya terang mentari. Ning menelan ludah, tiba-tiba menyesal dengan apa yang dibicarakannya barusan. “Rara?” “Ya?” “Kamu nggak aku izinin ikut acara itu!” Anak Ratu Buaya #KisahALFIANRIZAL Kak Hanna : one hour ago Hola dedek gantengku. Ayah tadi mukanya seneng banget. Katanya kamu semalem nelpon? DAN JANGAN LUPA SHOLAT! SESIBUK APAPUN KAMU! Salam sayang dari kakak cantik :) Alfi baru saja bangun dari tidurnya, melihat notifikasi di smartphone miliknya ini, seketika bisa menumbuhkan senyum hangat di awal harinya. Layarnya memunculkan angka 11.15, dan Alfi terkaget-kaget melihatnya. Semalam ia tidak bisa tidur dengan tenang. Ada suara-suara berisik yang memekakkan telinganya, membuat matanya semakin sulit terpejam. Padahal rapat yang ia pimpin setelah matahari terbenam itu cukup menguras emosi dan tenaganya. Ia sudah amat lelah saat jam menunjukkan pukul sebelas malam, kala semua anggotanya sudah bubar, meninggalkannya sendirian di gedung sekertariat BEM. Namun, ia baru bisa tidur saat jam hampir menunjukkan pukul empat pagi. Buru-buru ia menelepon Gama. Hari ini ada kelas pagi. Ada beberapa panggilan tak terjawab terkapar di log panggilan miliknya. Dari Gama, dan beberapa teman kelasnya. Alfi menggigit bibirnya, seketika mood baiknya menghilang. “Bro..” “Iya. Bangun telat, kan? Tahu kok, gua. Kelas siang bisa dateng nggak?” “Ah, thank you so much, bro! Lo memang teman gua yang terbaik!” “Iye. Kelas siang dateng buruan. Gua nggak mau di cekal pas ujian akhir nanti gara-gara bikin tanda tangan elu, pret.” “Siap. Siap. Mau makan apa, lo? Nanti gua bawain.” “Sok-sokan lo mau bawain gua makan. Paling lo cuma sempet bawa gorengan doang, kan? Buruan gih, jam siang nanti abis dzuhur loh. Sekarang udah jam berapa?” “Iya ih, bawel.” Alfi bergegeas menutup telepon. Bangkit ke kamar mandi kosan kecilnya, membuka konser dadakan di kamar mandi. ### Kelas siang itu terasa amat membosankan bagi Alfi. ia hanya datang untuk sekadar mendengar penjelasan awal dosen, lalu menguap saat mencatat tugas-tugas selanjutnya yang hampir memecahkan kepalanya. Padahal, tugas minggu kemarin belum ia selesaikan dengan baik. Beberapa temannya terlihat mengeluh. Satu dua diantaranya bahkan terang-terangan tertidur tanpa mau peduli. Sedang beberapa yang lainnya sibuk dengan ponsel masing-masing. Main game. Bahkan beberapa teman perempuannya sibuk bergaya di layar kamera smartphonenya. Beberapa saat kemudian, Alfi yakin sekali, pasti salah satu diantara teman-temannya akan ada yang meng-upload story dengan embel-embel ‘Kuliah siang, bosan. Mengantuk’. Alfi kadangkali merasa miris dengan keadaan kelas yang seperti itu. Di sisi lain ia juga sama seperti yang lainnya, kesal, bosan, mengantuk dan ingin segera pergi saja. Namun ia ingat perkataan seseorang yang menyuruhnya untuk tetap peduli dan hormat pada seorang guru, apapun kondisinya. Bagaimanapun, guru tetaplah seorang mulia yang bertugas berbagi ilmu, bukan? Lelaki itu melirik jam tangannya. Beberapa temannya kini melakukan hal yang sama. Mengecek jam. Kuliah ini harusnya sudah berakhir sejak lima menit yang lalu. Beberapa diantara temannya mulai mengetuk-ngetuk meja, berdehem-dehem memberi isyarat. Para mahasiswi juga sudah mulai gelisah. Berbisik-bisik dengan pembicaraan seru mereka, menampakkan wajah sebal. “Eh Fi, kok gua baru ngeh, ya. Tangan lo kenapa?” Afi menoleh kaget. Sania, teman kelompoknya yang hari ini secara tak sengaja duduk bersebelahan dengannya bertanya. Alfi hanya menghela napas kecil. Sementara gadis berambut pendek itu masih memperhatikan tangan kirinya. Alfi sudah sering mendengar pertanyaan semacam itu. Juga ledekan ‘tangan cacat’ pernah telinganya terima. “Ini? Lo baru sadar?” Alfi menunjukannya di depan wajah Sania, membuat wanita itu refleks bergidik ngeri. Tangan kiri Alfi tak sempurna seperti kebanyakan orang. Jari manis dan kelingking kirinya tampak lebih pendek, tanpa ada kuku yang menghiasi ujungnya. Bekas luka yang cukup besar hingga pergelangan tangannya cukup menjelaskan bahwa hal itu terjadi bukan tanpa sebab. “Dulu, San.. gua suka maen ke sawah..” Sania mengangguk-angguk, serius menatap Alfi yang bercerita. “Terus, gua suka nyebur ke kali..” “Pantes lo item, ya.” “Sialan.” Ujar Alfi, tertawa kecil. “Lanjut gak?” “Iya.” “Nah, dulu itu, gua di tangkep sama ratu buaya di kali. Dianya suka sama gua, soalnya gua ganteng. Tapi gua gak suka, gua mau pulang, eh dia malah nyerang. Jadinya, jari gua begini deh. Berbekas sampe sekarang.” “Sialan. Kok gua mau aja dikibulin elu sih, Fi? Kampret.” Alfi tertawa cekikikan melihat ekspresi gadis yang dijuluki tomboy itu. Tadi Sania sudah memasang wajah serius mendengarkan, namun kalimat-kalimat terakhir dari Alfi malah merubah raut ekspresi wajahnya. Sania kemudian mulai meluapkan emosinya tentang kelas siang yang dirasa amat membosankannya ini. Alfi tak serius benar mendengarkan, dengan malas melirik pria paruh baya di depan kelas yang masih asyik membicarakan materi mereka, sambil sesekali mengganti isi power point di layar. Ia tampaknya pintar sekali menjawab beberapa keluhan teman kelas Alfi yang mulai mengeluh dan memprotes jam kuliah yang mulai melewati batas. Lelaki berambut gondrong itu menguap malas, menaruh kepalanya di atas meja. Sudut matanya melihat ke arah jari-jemari miliknya yang barusan ditanyai Sania. Sesaat, percikan kejadian itu tiba-tiba saja berputar di kepalanya. Sebuah kejadian penyebab segala luka fisik yang amat membekas hingga sekarang. ________________ Di tengah malam yang gelap, dengan udara dinginnya yang khas, kawanan itu berdiri menantangnya. Lelaki itu mana takut. Jiwa mudanya berontak bergejolak, menantang kembali. Motor ditangannya ia gas agar suaranya menderu-deru. Jalanan yang menjadi saksi kelakuan para remaja tanggung itu, memilih bisa tak bicara. Hingga akhirnya, suara klakson motor polisi mengagetkan mereka. Refleks, semua orang yang sedang berkerumun menjadi penonton langsung bubar. Kalang kabut meninggalkan lokasi. "Bubar!! polisi!!" Lelaki itu awalnya tak peduli dengan teriakan teman-temannya. Namun sesaat kemudian, ia mengurangi kecepatannya. "Lari, bego! polisi di belakang!!" Motor lain melewatinya, dengan kecepatan tinggi. Bayangan motor polisi tiba-tiba saja terlihat di kaca spion motor miliknya. Ia terkejut. Buru-buru ia kembali menancap gas, memacu motornya lebih cepat. Untuk menghindar. Disamai kecepatan motornya dengan temannya yang berteriak memperingati. Degup jantungnya seirama dengan keceatan motor yang dikendarainya. Suara angin menderu dan knalpot membuat komunikasi antar mereka harus dilakukan dengan teriakan. "Kita kemana?" "Kemana aja! yang penting selamatin diri dulu!" Sebuah gerakan menukik ke arah gang tercipta. Lelaki itu mengikuti. Namun motor yang di kendarainya bergerak jauh lebih cepat. Jadilah ia memimpin di depan. "Kita ke.." "WOI, AWAS!!" Remaja laki-laki itu langsung menoleh ke depan. Tepat di depannya, sebuah mobil dari arah yang berlawanan. Ia mulai panik. Dengan lincahnya ia meliuk, menghindari mobil. Mungkin spion mobil itu sempat terbentur olehnya. Pemiliknya berseru marah. Mana peduli. Yang penting, ia selamat. Namun tampaknya, semua itu belum berakhir dengan begitu mudahnya. Seorang gadis tahu-tahu saja ada di depan jalan, tengah menyebrang. Ia semakin panik. Tangannya buru-buru menekan rem, dan hal itu tak mengurangi banyak dari kecepatan motornya. Ia memacu kecepatan terlalu tinggi. Mulut dan otaknya berkolaborasi mengeluarkan kata-kata umpatan. Sekilas, ada sesuatu yang membuyarkan emosi dan rasa paniknya saat itu. Wajah gadis di depannya terlihat pucat pasi, dengan tangan yang gemetar. Menatapnya dengan tatapan kosong yang menyakitkan. Ia sudah kehilangan kendalinya. Dibanting stang motornya ke kiri, menabrak keras pembatas jalan. Mungkin, lebih baik menghancurkan diri daripada menghancurkan orang lain yang tak hanya memperpanjang urusannya. Ia terlempar dari motornya, jatuh bergesekan dengan aspal dengan kepala yang sempat membentur trotoar. Tangan dan kaki kirinya tergores aspal. Dirasakan nyeri yang luar biasa di bagian kiri tubuhnya. Darah segar mengucur deras dari tubuhnya. Sementara itu si penyebrang jalan jatuh terduduk di tengah jalan. Plastik bawaannya jatuh, isinya berserakan. Lelaki itu tak peduli. Yang dirasakannya saat itu hanyalah nyer dan sakit yang luar biasa, juga tetes air langit yang memperperih keadaannya. Mengotori jalanan yang hitam dengan darah miliknya. Sebuah suara lalu menarik kesadarannya, terdengar jelas, ketakutan dan tampak marah. "HENTIKAAN!! HENTIKAN HUJAN INI, AKU MOHON HENTIKAAN!!" _______________ “Heh, ngelamun dia. Keluar kelas, Anak Ratu Buaya.” Alfi menggeleng-gelengkan kepalanya. Setengah tertawa mendengar kata-kata terakhir dari kalimat yang baru saja Sania ucapkan untuknya. Anak Ratu Buaya? Yang benar saja. Gama yang mendengarnya melontarkan tatap mata heran pada sahabatnya itu. Alfi hanya tersenyum lebar, membuat isyarat tangan mulut buaya dengan mengatupkan kedua tangannya. Orang-orang mulai keluar ruangan, berhamburan ke tempat lain. “Nanti malem nugas lah, Fi. Acara bisa diatur sama kadiv bawahan lo ini.” “Iya, ya. Tugas kita banyak banget, gila.” “Eh, lo mau kemana?” Gama nampak heran melihat langkah Alfi yang tak sejalan dengannya. “Masjid sini. Gua tahu lo pasti tadi nggak solat shubuh, kan?” “Ahaha. Laper, Gam. Nanti kantin rame..” “Solat dulu lah, bro.. Udah sunat mah wajib solat.” “Sialan, dikira gua bocah SD yang baru sunat apa.” “Makanya, ikut sini ke masjid. Solat!” ### Sesuai janjinya, malam itu Alfi memilih berkumpul dengan teman-teman sekelasnya, menyelesaikan tugas serta laporan yang sedari kemarin seolah tak pernah berakhir. Di matikannya smartphone miliknya, tak berkeinginan untuk membuka. Padahal malam ini, para panitia acaranya masih ada rapat lagi, membahas final dari acaranya yang hanya hitungan hari. Gama sengaja tak membiarkan Alfi ikut campur, membiarkan lelaki dengan bekas luka di dahi itu tertawa bebas bersama temannya, meski kepalanya penuh dengan tugas. Namun nampaknya, semesta tak ingin Alfi sejenak menghirup udara ketenangan. “Gama! Hape lu bunyi, noh!” seru seseorang, ketika mereka masih asyik begadang mengerjakan tugas. Gama yang sedang sibuk di samping Alfi segera angkat kaki, mengambil ponsel miliknya. Ia merasa aneh, karena yang menelepon adalah salah satu bawahannya dalam kepanitiaannya bersama Alfi. “Halo?” “Halo, Bang Gama?” “Iya, kenapa?’ “Sori Bang, lagi bareng sama Bang Alfi nggak? Ada donatur yang minta bicara sama Bang Alfi, tapi kayaknya teleponnya nggak aktif.” Gama melihat ke sekitarnya. Alfi nampak santai-santai saja, tertawa-tawa bercanda dengan teman lainnya. Sudah hampir seminggu ia tak pernah melihat temannya seceria itu, meski terbebani tugas. Juga tanpa rokok. Alfi merokok hanya saat ia stress, dan meninggalkannya jika sedang senang. Seminggu ini, Gama tahu persis Alfi sudah menghabiskan hampir sepuluh bungkus rokok karna mengaku banyak pikiran. Ia tak ingin merusak sahabatnya, karna Gama tahu, jika Alfi mendengar keluhan lagi seperti ini, ia akan merokok lagi dan berdiam diri sendiri. Seperti biasa. “Bang.. gimana, nih? Pihak donaturnya bilang, kalau Bang Alfi nggak bisa dihubungi, Dana nggak bisa cair... Kita juga masih ada kendala sama tim designer. Donatur yang lain minta gambaran poster fix sama logo mereka. Kita sudah bilang sih, kalau...” “Memang harus banget sama Alfi? kalian nggak bisa handle dulu?” Gama mulai emosi. “Eh, nyebut-nyebut nama gue. Kenapa, Gam?” Sang tokoh utama pembicaraan tiba-tiba muncul. Alfi masih dengan wajah bahagianya, menyeruput kopi di tangan. Gama menelan ludah, seperti akan menyerahkan racun pada sahabatnya. Namun jika tidak diberikan juga, Alfi bisa marah besar padanya. Mengatakan bahwa itulah resikonya menjadi seorang ketua. “Telepon.” Ucap Gama, menghela napas. Sambungan panggilannya belum putus. “Siapa, sih? Sampe nyariin gue? Anak-anak panitia?” Gama mengangguk, Berat hati menyerahkan teleponnya pada Alfi. lelaki itu akhirnya bicara sebentar, dengan raut wajah yang langsung berubah drastis. Gelas kopi yang dipegangnya langsung ditaruh dan ditinggalkan, lalu segera mengambil teleponnya yang masih tersambung dengan kabel penghubung daya. Setelah itu Alfi mengambil jarak dengan teman-temannya, berbicara di sambungan telepon. Lelaki itu tidak tahu, di sela-sela log panggilan yang tak terjawab terselip sebuah nama kontak lelaki yang merindukan kepulangannya. “Kenapa si Alfi, Gam?” Gama hanya menjawab dengan helaan napas, melihat Alfi dengan sorot mata yang prihatin. Di sambarnya kopi milik temannya yang barusan bertanya, Arka. “Biasa. Bawahannya bermasalah.” “Duh, kasian juga itu anak. Gua takut dia kenapa-kenapa, soalnya kelakuan dia kayak mencurigakan gitu akhir-akhir ini.” Arka menggeleng-geleng. Sedangkan Gama menegakkan kepalanya, sedikit heran. “Maksud lo?” “Gam, kita bertiga kan emang sering nongkrong. Ya gua juga tahu kelakuan Alfi kayak bagaimana. Semenjak kalian masuk kepanitiaan sama organisasi gituan, Alfi makin sering ngerokok sama melamun. Kayak orang nggak punya gairah hidup. Kosong matanya.” “Ya kalo masalah rokok sama melamun gua juga tahu, Ka.” “Nggak cuma itu, Gam. Lo pernah liat dia suka nutup kuping sendiri gak, sih? Dia suka bilang kalau dia denger suara berisik yang bikin kuping dia sakit, padahal suara di sekitarnya nggak berisik-berisik amat. Udah gitu kalau hujan nih, dia suka bilang, ‘gua inget teman gua dulu, yang takut hujan’. Terus ntar dia bengong lagi. Takut gua Gam, takut dia kenapa-napa.” “Masa, sih?” “Yee, kalo sama elu sih sibuk ngomongin acara mulu! Atau elunya yang nggak peka, makanya sering gagal PDKT!” “Sianjir.” “Tapi kalo soal Alfi, gua serius ini. Lu kan yang lebih sering sama dia, coba lu perhatiin deh. Gua kadang kan suka sibuk sama komunitas gua, makanya udah jarang nongkrong sama lu pada. Ntar kalo ada apa-apa, ya jangan takut buat manggil gua. Gua ada kenalan orang pinter, kalau-kalau si Alfi kerasukan.” “Heh, mulut lu jaga, pret. Perkataan bisa jadi doa!” Arka buru-buru menyikut Gama begitu melihat Alfi berjalan kembali ke arah mereka. Arka berusaha normal, menyapa kawannya itu, tapi lelaki itu tak menggubrisnya, malah mengambil jaket dan kunci motornya yang ada di meja. Lelaki itu memakai jaketnya, terlihat bersiap-siap untuk pergi. Dan tanpa pamit, lelaki itu segera melesat pergi. Hanya berpesan pada Gama untuk menitip tugasnya yang masih berantakan. Ayah Kangen... #KisahALFIANRIZAL Hawa dingin sepertinya memang berjodoh dengan malam. Kala mentari tak lagi bersinar untuk membagi cahayanya, maka dingin mengambil alih gelap malam. Mengetuk berharap masuk pada tiap celah rongga rumah yang berusaha menciptakan kehangatan di dalamnya. Seorang lelaki paruh baya duduk di kursi depan rumahnya. Pakaiannya khas seorang yang sudah berumur. Kaus oblong dan sarung yang menutup pinggang hingga kakinya. Sesekali tangannya mengibas nyamuk yang iseng ingin mencicipi darahnya yang ia rasa sudah tak lagi segar. Di sampingnya, tersedia kopi yang mulai mendingin. Juga telepon genggam yang dulu sempat menjadi yang terbaik pada masanya. Benda segi panjang empat itu mengedipkan layarnya yang berwarna kuning, berbunyi nyaring khas ringtone zaman keemasannya. “Ayah, belum masuk juga?” Seorang wanita muda dengan piyama merah muda keluar dari pintu. Wajahnya terlihat pucat dan nampak lemas. Pria itu menoleh, terbatuk-batuk mengambil ponsel di sampingnya, melihat benda itu dengan tatap mata sayang. “Kata Ayah kemarin, kalau malam dingin. Kok sekarang malah keluar, Yah?” wanita muda itu menarik napas, memperhatikan tangan ayahnya yang masih memegang ponsel tua miliknya. Pria itu hanya tersenyum, kembali terbatuk-batuk. “Ayah tunggu adikmu telepon.” “Kemarin malam bukannya dia nelpon?” Hanna, wanita muda itu menarik kursi di samping ayahnya, ikut duduk. Angin malam berhembus, membuatnya semakin ingin menarik ayahnya yang mulai senja ini ke dalam rumah. “Ya.. tapi sekarang ayah kangen lagi.” Pria tua itu nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang tidak rapi lagi. Hanna tertawa kecil melihatnya. Ia selalu senang melihat ayah dan adik bungsunya itu bisa akur. Dulu, saat SMA, keduanya bahkan saling membenci atas kesalahpahaman yang sebenarnya sepele. Hanna bersyukur masa-masa itu telah lewat, hingga kini hubungan keluarga mereka baik-baik saja, meski tanpa ibu. “Dia orang sibuk. Di kampus.” “Oh ya?” “Ho oh. Katanya dia jadi ketua panitia. Mahasiswa... apa namanya? Aktivis, Yah.” “Wah.. baguslah...” pria itu menerawang jauh ke arah langit. “Tapi ayah kangen, Han. Dia sibuk, ya?” pria itu kembali mengulang ucapannya, melihat ponsel di genggamannya. Hanna kini sudah mulai terbiasa dengan kelakuan ayahnya yang suka mengulang kata-kata yang diucapkannya. Hanna akhirnya mulai bercerita tentang kegiatan adik bungsunya yang ia ketahui. Mata pria tua itu terlihat berbinar-binar. Senyumnya seolah tak ingin pudar dari wajahnya melihat putrinya berbicara. “Nanti, kalau dia lagi istirahat bakal nelpon Ayah. Mungkin dia pikir baru kemarin nelpon, kok sudah nelpon lagi, gitu. Kan gengsi juga dia, hahaha.” Pria itu mengangguk-angguk. Meski ia belum puas benar dengan jawaban Hanna atas pernyataan rindunya pada sang anak bungsu, ia memutuskan untuk kembali menaruh ponsel di genggaman tangannya, kembali menatap putrinya yang sudah memiliki lembar kehidupan baru dengan kasih sayang, lalu menyeruput kopinya yang sudah mendingin. “Ih, sudah malem. Kamu masuk, tidur sana. Suamimu nggak nyariin?” “Dia tahu kok aku di luar sama Ayah. Makanya Ayah masuk, yuk.” Hanna menggenggam lengan ayahnya yang mulai kurus. Tubuh yang dulu kekar itu kini mulai keriput. Meninggalkan bekas cerita dan perjuangan yang lalu. “Iya. Ayah cuma takut, nggak ada waktu lagi buat bicara sama adikmu, atau ngobrol berdua begini sama kamu.” “Ayah ngomong apa, sih.” “Kehilangan selalu ada, dan kematian itu pasti, Hanna. Tak ada yang tahu, besok mungkin saja kamu duluan.” Ayahnya tertawa keras, khas seorang bapak-bapak. Hanna memaksakan diri untuk tersenyum, meski ia tak paham dimana letak kelucuan dari kalimat ayahnya. “Kamu tahu surat Al Kahfi, Hanna?” Hanna mengangguk. “Ada hadits yang menganjurkan kita agar membacanya tiap hari jumat. Maka cahaya akan menerangi kita dari jumat ini, hingga jumat depannya.” Ayahnya terbatuk, lalu melanjutkan, “Ayah mah nggak pinter-pinter amat soal agama, Han. Cuma suka denger khutbah jumat dan kajian subuh, jadi yang dibilang ustad bagus, amalin aja. Nah, khutbah jumat kemarin ternyata ngebahas surat itu. Kamu tahu apa ternyata?” Hanna kini menggeleng, masih antusias mendengar ayahnya bercerita, seperti anak kecil yang mendengar dongeng ayahnya. “Dalam surat itu, dikisahkan tentang kehilangan. Tentang pemilik kebun yang kehilangan kebunnya yang terbakar, Nabi Musa yang kehilangan Nabi Khidir sebagai murid kehilangan gurunya, juga kehilangan kekayaan, anak dan perhiasan. Tiap pekan kita membacanya, bukankah seolah mengingatkan kita untuk bersiap menghadapi kehilangan?” “Ayah sudah pernah merasakannya.. saat ibumu meninggalkan ayah dulu, ayah merasa amat kecewa… Hingga meninggalkan kalian, terus bersedih hingga adik bungsumu juga amat membenci sifat pengecut ayah ini. Kalau kata ustad yang suka mengisi kajian shubuh itu… Allah itu Maha pencemburu, gak seneng diduakan. Saat kita terlalu cinta pada sesuatu hingga lupa pada-Nya, kita dihadapkan dengan kehilangan agar kembali pada-Nya.” “Rendi, kamu, dan Rizal… anak-anak ayah yang kuat… kalaupun ayah nanti pergi, kalian tahu harus kembali kemana. Ayah sudah tua, tak ingin mengharap banyak. Cukuplah kalian menjadi anak sholeh-sholehah, yang bisa mendoakan orangtuamu ini. Sekarang, saatnya tidur. Calon cucuku juga harus ikut ibunya tidur.” Sang ayah segera bangkit, masuk ke dalam rumah. Hanna masih terdiam mendengar kalimat terakhir ayahnya. Diambilnya gelas bekas kopi di meja, mengikuti masuk ke dalam dengan perasaan yang tak bisa didefinisikan. Ia senang, sudah lama sekali rasanya tak bicara bercerita hanya berdua dengan sang ayah. Namun di sisi lain,ia juga takut akan kalimat terakhir dari sang ayah. Bagaimanapun, setua dan sebesar apapun seorang anak, di hadapan orang tuanya, ia tetaplah menjadi seorang anak yang tak ingin ditinggalkan. ### Terkadang, ada saat dimana kita merasa bahwa usaha yang kita sudah lakukan sekuat tenaga, tetap berakhir tidak baik. Kini Alfi merasakan hal itu. Kedatangannya ke perkumpulan panitia, serta usahanya untuk bernegosiasi dengan pihak donatur terasa sia-sia. Amarahnya sudah berkumpul ke atas ubun-ubunnya. Jadilah malam itu, seluruh panitia yang ada disana terkena imbas kemarahan Alfi. Lelaki itu memilih pergi, naik ke lantai atas gedung fakultasnya yang jarang didatangi orang-orang. Sudah selarut ini, tapi beberapa orang masih berkeliaran di kampus. Telepon genggamnya menyala, menunjukkan waktu yang sudah lewat dari tengah malam. Dirogohnya sesuatu di saku pakaiannya, bungkus rokok sisa hari ini. Percik api dibuatnya, dan kini asap-asap rokok mulai mengambang di sekitarnya. Entah sejak kapan, rokok digunakannya hanya saat sedang stress dan merasa kacau seperti ini. Sejak SMA, ia sudah mengkonsumsi batang berasap ini. Namun semenjak kuliah, dengan tingkat permasalahan yang semakin kompleks, Alfi merasa butuh sesuatu untuk melampiaskan kekacauan dirinya. Dan rokok, telah menjadi pilihan hidupnya. Dibukanya smartphone miliknya. Puluhan notifikasi pesan masuk dari grup di tiap aplikasi chatting online memenuhi layar. Ia mendengus kesal, sedang tidak mood melihatnya, yang hanya membuat emosinya kembali meluap-luap. Log panggilan masuk juga tampak penuh. Dan dari beberapa nomor tak dikenal yang masuk, dilihatnya sebuah nama yang selalu menggetarkan hatinya. Ayah. Tiga panggilan tak terjawab dari sang ayah. Waktu panggilan masuk saat itu juga terpaut jauh, bukan hanya barang satu atau dua menit. Tiga puluh menit, bahkan sejam. Dan teganya, Alfi tak sempat mengangkatnya. Dan dari semua panggilan tak terjawab itu, ada satu pesan di kotak masuk SMS miliknya, yang sebagian besar hanya berasal dari operator. Terselip sebuah pesan yang indah, tulus dari nurani orang tua untuk anaknya. Ayah kangen. Buru-buru dibukanya aplikasi chatting miliknya, mengirim pesan pada Hanna. AlfiRizal : Kak, udh tidur? : Kak. Tadi ayah nelpon aku, kenapa?! Kak Hanna : Tadinya udh. Kebangun lg. Sebel -__- : Iya, tau. Ayah bilang kangen. Alfi Rizal : Sekarang Ayah udh tidur? Kak Hanna : YAA UDAHLAAH. SUDAH AH KAKA NGANTUK, MAU BOBO. KASIAN DEDE DI PERUT KAKA GABISA BOBO GARA-GARA KAMU. Alfi bisa sedikit tersenyum melihat pesan terakhir dari kakaknya itu. Teringat jelas saat-saat ia masih SMP-SMA dahulu, saat ia sedang senang-senangnya mengganggu kakaknya. Saat-saat yang menyenangkan, saat bisa berkumpul bersama dengan keluarga, bercanda tertawa-tawa. Juga saat-saat ia berbaikan dengan sang Ayah, yang dahulu ia pernah mengira sebagai pembunuh ibunya sendiri. Padahal semua itu hanya salah paham sepele yang tak kunjung terselesaikan karena tak ada yang ingin bicara perlahan-lahan. ___________________ Bagaimana perasaanmu, saat bertemu orang yang hampir berbulan-bulan kau benci? Melihat lelaki itu disana membuat perasaannya terlalu kacau untuk di lukiskan. Sisa rasa marah, emosi, kesal yang masih sedikit membekas. Namun di balik semua itu ia tetap rindu. Rindu merasakan kehangatan yang dulu selalu di dapatnya. Rindu bercengkrama, tertawa bahagia seolah tanpa beban. Lelaki itu tahu-tahu sudah berdiri di depannya, memeluk dirinya yang masih terdiam menatap keramik lantai yang dipijaknya. Ia tak sanggup berkata-kata. Pelukan itu masih sama hangatnya, masih sama menenangkannya. Mengapa ia begitu egois? “Maafkan ayah, nak.” Suara itu berbisik di telinga Alfi. Matanya terasa panas, dan mungkin sudah muncul bulir air di sudut matanya. Hanna berdiri tak jauh dari mereka, memeluk Rendi yang lebih dulu ada disana. Ini yang Hanna selalu rindukan. Pertemuan hangat keluarga. Menerima mereka, tak peduli sekelam apapun masa lalu. Karena masa lalu selalu ada di belakang, tak boleh kita diperbudak perasaan untuk larut dalam masa-masa yang entah jauh di belakang sana. “Ayah salah. Selama ini ayah hanya melarikan diri dari kesedihan ayah. Ayah hanya ingin menghibur diri, kehilangan ibumu adalah hal paling menyakitkan setelah kehilangan kakek nenek kalian kala itu. Tak seharusnya ayah melakukan ini, bukan? Ayah memang lelaki yang tak bertanggung jawab. Meninggalkan kalian begitu saja. Hanya peduli dengan kesedihan diri. Padahal kalian juga sama sedihnya. Bahkan kalian masih punya jalan hidup yang luas.” “Maafkan aku, yah.” “Ayah yang harusnya minta maaf.” Lelaki itu tersenyum, menatap anak lelakinya. Putra bungsunya yang dulu lucu dan bersemangat, yang mempunyai wajah paling bersih diantara anak-anaknya yang lain kini mempunyai luka membekas di pelipisnya. Wajah yang nampak garang dengan sorot mata tajam mengerikan, bak preman jalanan yang kerap di temuinya. Namun sorot mata itu masih sama. Masih seperti Alfi kecilnya yang selalu tersenyum dan tertawa. “Ibumu pasti marah pada ayah, kalau tahu kamu luka begini.” _______________________ Sebatang rokok masih terselip disela jemari tangan kanannya. Dilihatnya tangannya yang nampak cacat. Ia ingat, ayahnya dulu memegang tangannya yang ini dengan mata berkaca-kaca saat itu. Meminta maaf karena telah memperparah lukanya. Dulu ia tak terlalu terima. Namun kini, semua hal berbau ayahnya menjadi hal yang paling ia rindukan. Hanya Ayah, yang tetap ada untuk menyemangatinya memilih kampus yang ia tempati saat ini, meski pada awalnya ia sendiri juga ragu. Ayahnya yang suka minum kopi hingga dingin gelasnya, berbeda dengannya yang menyukai kopi panas yang mengepul uapnya. Diam-diam, matanya berkaca-kaca. Ia rindu. Rindu ibunya, rindu ayahnya, rindu kakak-kakaknya. Kesibukan masing-masing membuat mereka semakin jarang bertemu. Ah, bukan kesibukan masing-masing, tapi hanya Alfi yang merasa sok sibuk. Padahal, kakaknya Hanna yang kini sudah bersuami dan bekerja masih sempat meluangkan waktu untuk ayah dan dirinya. Dirinya kini merasa amat kecil dan egois, lebih memilih hal yang tak terlalu penting, lalu mengabaikan harta paling berharga yang ia punya. Ada getaran tak mengenakan yang lewat di hatinya yang dingin. Jenis perasaan yang tak bisa diungkapkan, namun nampaknya akan menyakitkan bagi dirinya. Gadis Kecil #CeritaRARA Kertas-kertas nampak bertumpuk sembarang di atas meja kayu. Sebuah tangan mungil sibuk memilah-milahnya, membereskan lembaran putih itu ke dalam file folder besar berwarna biru. Sudut matanya melirik ke arah pintu, seolah takut aksinya tertangkap. Fotokopi identitas pribadinya ia pisahkan, dimasukkan ke dalam sebuah map terpisah. Juga surat berlogo unit kedokteran, dengan tanda tangan seorang yang gadis itu sering menemuinya. Di dekat mejanya, kertas berwarna-warni tertempel dekat dengan kalender. Angka-angkanya dilingkari dengan spidol berwarna dan ditulisi berbagai macam kata. Rara tersenyum, tangan kecilnya melingkari sebuah angka baru di kalender, dan menulis kata bismillah di sampingnya. Layar ponsel di mejanya terlihat berkedip-kedip. Ia lupa mematikan mode silent di smartphone miliknya, membuat semua panggilan masuk dan notifikasi pesan di aplikasi online miliknya tak terdengar olehnya. Hingga akhirnya, suara kunci yang diputar mulai menghentikan gadis itu dari kegiatan yang dilakukannya. Ia buru-buru merapikan berkas, seolah tak pernah menyentuhnya. Suara riang seseorang memanggilnya dari depan kontrakan. “Raraa!” “Masyaa allah, ngagetin aja ya kamu.” Gadis berambut pendek itu tertawa kecil, langsung melompat di atas kasur Rara yang bermotif bunga-bunga berwarna biru lembut. Matanya memperhatikan barang-barang milik temannya yang tertata rapi, dengan dominan warna biru. Rara diam-diam menyimpan map file folder miliknya, namun Desya menangkap gerak-gerik temannya tersebut. Merasa heran. “Ra, itu file folder konsultasi kamu, kan?” “Uhm.. iya.” “Abis konsultasi? Bukannya jadwalnya masih lama, ya. Eh, ini tanda apaan, Ra?” Desya bangkit dari posisi tidurannya, mendekati kalender yang tertempel di dinding. Perhatiannya tertuju pada tanda lingkaran yang baru saja Rara buat tepat sebelum Desya datang. Ia menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk bicara pada teman merantaunya ini. “Itu tanggal buat aku pergi, ikut pelatihan seminar dari komunitas beasiswaku. Aku akan keluar kota. Selama.. kurang lebih lima hari, mungkin.” “Waw! Keren banget! Temanya apa?” Desya tampak antusias. Tampaknya Ning masih belum mengatakan apapun tentang kepergian Rara pada Desya. Gadis berambut panjang itu akhir-akhir ini lebih sibuk, lebih sering berada di luar kontrakan. Jadilah Rara dan Desya yang lebih sering menghuni tempat tinggal mereka. Desya terlihat masih sangat antusias mendengar ceritanya, tak sabar mendengar kelanjutannya. “Study abroad. Kuliah ke luar negri. Acaranya skala nasional. Kalau aku ikut, sertifikatnya bisa aku gunakan buat nambahin achivement di CV-ku nanti, Sya. Lumayan, buat ‘tabungan’ kuliah S2 ke luar negri. Hehe. ” “Gilaa. Keren banget temenku ini. Kamu jadi ikut? Pakai seleksi?” “Yap. Aku sudah lolos seleksinya. Dan.. minggu depan aku berangkat.” “Kemana, Ra? ke luar kota?” “Iya. Ke Bogor. Universitas Z.” “Bogor?” “Iya, Desya. Bogor.” Rara tersenyum lebar. Ia tahu, sebentar lagi temannya pasti tidak lagi antusias dengan semua informasi yang baru di katakannya. Desya hampir menganga tak percaya. wajahnya menunjukkan sebuah penolakan atas keputusan Rara, persis seperti reaksi Ning saat mendengarnya. “Rara, lo tahu Bogor itu terkenal dengan apa?” wajahnya terlihat serius. Sementara Rara yang sudah menduganya bersikap santai-santai saja. Merapikan tumpukan bukunya. Ia tahu persis, jika Desya sudah memakai kata ‘lo-gue’ maka tandanya ia sedang serius. Atau emosinya naik. Dan kali ini, Desya tampak benar-benar tak ingin bercanda. “Tahu. Bolu talas, kan? Nanti aku bawakan, hehehe.” “Raa.. bogor itu kota hujan! Meskipun kemarau, tetap akan hujan disana. Lo yakin nggak apa-apa disana, heh?!” “Sya, penyakit kecilku ini sudah sejak lama ada. Kalau aku terus-terusan takut untuk menghadapinya, selamanya juga aku bakal terus-terusan takut atas hal yang seharusnya nggak aku takutkan. Lagipula, ini salah satu bagian dari usaha mewujudkan mimpiku, kok.” “Ra, gue bukannya melarang. Gue itu peduli sama elo.” Desya menghela napas, menggeleng-geleng, tak percaya dengan keputusan Rara. “Ini jadi salah satu bentuk terapiku. Melawan keterbatasan..” “Melawan keterbatasan kata lo? Lo bilang pernah pingsan cuma gara-gara kehujanan. Ra, lo harus tahu, hujan di Bogor itu lebih mengerikan daripada disini. Kencang, berangin, dan petir besar yang menyambar-nyambar. Lo mau menjemput kematian disana?!” “Desya!” Rara mencoba bicara, namun kata-katanya seolah tak keluar. “Ya sudahlah, terserah lo aja! Seenggaknya, gue sudah kasih nasehat yang berguna.” Desya bangkit berdiri, keluar dari kamar Rara dengan luapan emosinya yang tak terkendali. Rara beristigfar dalam hatinya. Sebagian kecil dirinya merasa kecewa dengan perlakuan Desya, menganggap Desya berlebihan dan hanya menakut-nakutinya. Namun sebagian lagi dari dirnya membenarkan semua iu. Desya tak salah. Semua yang dikatakannya itu benar. Ia memang bukan seperti manusia kebanyakan yang ketika hujan turun akan senang atau mengeluh karna becek. Sejak lama, hujan adalah musuhnya. Musuh besar yang selalu membuat nyalinya ciut, ketakutan. _______________ Dalam malam yang mulai menyelimuti bumi, seorang ibu kini mulai berselimut kekhawatiran. Mencari anaknya yang tak lagi di dalam rumah. Gadis kecilnya tak lagi menunggu di dekat pagar rumah. Dilangkahkan kakinya keluar, mencari buah hati yang teramat disayanginya. Walau sebenarnya kondisinya amat tak memungkinkan untuk bepergian jauh. Ia tengah hamil tua. Tubuhnya terasa berat untuk diajak melangkah. Namun firasatnya merasa akan ada hal buruk yang akan terjadi. Maka ia segera pergi. Dan.. benar saja. Gadisnya berdiri disana. Di gang dekat jalan raya yang cukup ramai. Hujan masih saja mengguyur kota. Namun ia tetap menunggu disana. Memperhatikan motor yang lewat satu persatu. Hingga akhirnya.. Gadis kecil itu melonjak senang. Itu motor ayah yang ditunggu-tunggu. Sang ayah tersenyum senang, melambai sesaat. Gadis kecil yang polos itu tiba-tiba berlari di pinggir jalan raya. Menjemput manusia kesayangannya itu. Namun, entah dari mana asalnya, sebuah mobil tahu-tahu melaju dengan kencangnya dari arah yang berawanan. Menabrak mobil lain di depannya. Mobil itu ikut terseret kencang dan naas, motor yang dikendarai sang ayah ikut terseret. Ayahnya tepental, jatuh di jalanan. Sedangkan motornya ikut terseret. Gadis kecil menjerit histeris. Dengan segala kepolosan seorang bocah, ia berlari. Mendekati ayah. Hujan masih turun. Jalanan yang becek kini berubah merah. Percik darah mengalir bersama air hujan. Gadis kecil histeris memanggil ayahnya. Ia hanya ingin ayah pulang. Lupakan buku cerita bergambarnya. Tanpa ayah, buku-buku di kamarnya tak berguna banyak, Ayah lah yang membacakan semua itu. Selalu. Gadis kecil tak sanggup berkata-kata. Ayahnya disana, terbaring di tengah jalan. Kehujanan. Wajahnya meringis menahan sakit. Kaki dan tangannya tampak lecet, berdarah. Tak tanggung-tanggung dipeluk ayahnya, bulir air mata jatuh di pipinya. Bajunya yang berlapis jas hujan kini terkena bercak merah. Pria itu tertawa kecil. Tangannya perlahan bergerak, menyentuh pipi gadis kecilnya. “Hu-jan.. di-ngin,” “Ayah,, sakit?” Rara menatap mata pria itu. Tak dipedulikan lagi kepalanya basah. “Di-ngin. I-bu.. pasti ce-mas..” pria itu perlahan bangkit. Jalanan masih ramai. Kendaraan masih saja berlalu lalang. Padahal mobil di seberang jalan jelas-jelas rusak berat. Mengeluarkan asap, mengepul dihujani air. Tatap mata lelaki itu mengisyaratkan ke seberang jalan. Rara kecil menoleh. Ibunya disana, dengan perut membesar dan payung ditangan. Memperhatikan mereka sejak tadi. Raut wajahnya nampak shock. Namun wanita itu tiba-tiba berteriak.. dan.. Gadis kecil merasakan dorongan kasar dari ayahnya. Dan sebelum ia sadar apa yang terjadi, sebuah truk melintas dihadapannya. Gadis kecil berteriak histeris. Entah mengapa, sebuah rasa sakit tiba-tiba menyerang kakinya. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Rintik hujan seolah meredam suara jeritannya. Percik darah berhamburan, menyatu bersama air. Ibu diseberang jalan tahu-tahu sudah tak sadarkan diri. Begitulah. Ayah pergi. Truk itu sempurna melintasinya, mengambil serta nyawa sang ayah yang seharian ditunggu pulang gadis kecilnya. Menyisakan trauma hebat di otak gadis kecil. Sejak saat itu, ia selalu pucat mendengar rintik hujan. Bahkan, beberapa bulan setelah kejadian itu ia selalu hiseris setiap kali hujan muncul. Berteriak kalap, menutup telinga. Menangis, bayangan kejadian itu bagai hantu yang terus menggentayanginya. Dan hal itu terjadi berulang-ulang. Hingga gadis kecil sempat menemui psikolog. Menjalani terapi-terapi yang entah dia sendiri tak tahu apa namanya. Kata psikolog yang merawatnya, ia menderita PTSD. Post Traumatik Stress Disorder, sebuah kondisi mental yaitu mengalami gejala panik yang dipicu oleh trauma pengalaman masa lalu. Gadis kecil hanya mengangguk angguk mendengar penjelasan dokternya. Tak paham benar. Cukup lama gadis kecil menjadi ‘hampir gila’ tiap kali hujan turun. Mungkin sekitar setahun atau lebih, gadis kecil pasti berteriak histeris kala hujan. Membuat beberapa tetangga menggunjingnya, mengatakan bahwa ia mungkin saja sudah gila. Dan gadis kecil itu adalah Rara. Seiring berjalannya waktu, Rara mencoba mengontrol diri. Menahan rasa ingin berteriak-teriaknya seperti dahulu. Dibantu dengan keluarga dan dokterinya perlahan, ia mulai bisa menguasai diri. Tak berubah drastis memang, tapi setidaknya Rara tak perlu berteriak histeris kala hujan. Entah sudah berapa lama Rara menjalani terapi itu, yang jelas di pertengahan terapi ia berhenti. Bukan karena sudah sembuh benar, tapi karna biaya. Rara masih harus melanjutkan sekolahnya, juga kakaknya yang tengah kuliah. Lagipula, pada kondisi saat itu Rara sudah tak perlu histeris lagi. Ia hanya mengalami ketakutan, gemetar, dan sesak napas. Pada awal-awalnya, Rara pasti dijemput atau diantar pulang tiap kali turun hujan. Di kamarnya nanti, Rara biasanya menutupi diri dengan selimut, atau menenangkan diri dengan menonton TV atau apapun itu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari suara hujan. Sedikit terbantu memang, dan ia akhirnya mencoba memberanikan diri untuk tidak pulang di saat hujan. Sebenarnya itu membuat Rara pingsan seiring dengan semakin derasnya hujan yang turun, namun Rara tak ingin dianggap lemah. Ia kembali memaksakan dirinya, terus melawan ketakutannya, hingga kini. ________________ Desya masih tak mau bicara padanya hingga malam hari. Ning yang akhirnya mengetahui penyebab Desya yang lebih banyak diam dan cemberut hanya memaklumi kelakuan temannya. Sebenarnya, iapun sama khawatirnya seperti Desya. Mendengar cerita Rara dan semua kejadian yang pernah dialaminya, Ning hanya ingin temannya itu merasa aman dan baik0baik saja. Dengan pergi ke Bogor, ia tak tahu dengan siapa Rara akan ada disana, dan dengan siapa Rara jika ia ingin meminta bantuan. Rara tidak ingin merepotkan orang lain, maka dari itu ia selalu menyembunyikan penyakit kecilnya. “Ra, kamu tahu kan, kalau Desya khawatir sama kamu. Dan.. dia nggak benar-benar marah besar?” Ucap Ning malam itu. Gadis berambut panjang itu memainkan rambut indahnya, duduk di tepi kasur milik Rara. Sedangkan Desya masuk ke kamar dan membanting pintu setelah adzan isya, berdiam diri disana. Rara hanya mengangguk-angguk. Ia tahu, teman-temannya hanya khawatir dan peduli padanya, bahkan amat mencemaskannya. Seperti saudara sendiri. “Desya cuma nggak mau kamu kesulitan disana, Ra. kamu sudah izin ibumu?” “Sudah, Ning. Ibu juga khawatir sebenarnya, tapi aku meyakinkannya. Kubilang jujur aja tujuanku ikut ini. Lagipula, ini juga sebagai bentuk terapi. Siapa tahu, bisa sembuh total, tanpa harus gemetar atau sesak napas lagi. Hehe.” “Ning nggak mau ngelarang Rara juga. Semuanya terserah Rara. Tapi Rara harus inget, disini banyak yang sayang sama Rara. Banyak yang khawatir sama Rara. Tapi sejauh ini, Ning yakin, Rara orangnya kuat, dan mandiri. Ah, pokoknya Rara harus jaga diri, ya. Jangan sungkan minta bantuan orang lain disana.” Ucap Ning, memeluk Rara. Gadis itu merasakan kehangatan dari temannya, tersenyum lega. Ucapan Ning tadi benar-benar membuatnya merasa jauh lebih baik, dan sadar bahwa masih ada orang-orang baik yang menyayanginya. Pintu kamar terbuka. Sosok gadis berambut pendek terlihat di sana, diam-diam mendengar percakapan kedua perempuan itu sejak awal. Ia menghampiri kedua temannya yang masih melihatnya dengan tatap mata canggung, lalu tersenyum. “Jaga diri lo ya, cewek sholehah. Maaf gue agak kasar tadi. Makanya, nanti bawain oleh-oleh bolu talas, biar gue nggak ngomel-ngomel lagi.” Rara tertawa, merangkul Desya yang masih berdiri di tempatnya. Black Screen #KisahALFIANRIZAL Tiap orang punya pada dasarnya mempunyai dua waktu. Waktu hidup, dan mengakhiri hidup. Sebut saja, kematian. Saat itulah perpisahan yang abadi antar manusia tercipta. Perbedaan dimensi dunia membuat orang yang telah mati dan yang masih hidup tentu menggariskan garis batas yang terlampau jauh. Tak terlihat, dan amat berbeda. Mereka bilang, hanya doa yang bisa menghubungkan kedua dimensi itu. Walau rasanya terdengar mustahil, Karna aku hampir lupa cara berdoa. ### Di lantai paling atas gedung fakultas yang berwarna merah maroon, kepulan asap tipis terlihat mengambang disana. Mengotori udara malam yang harusnya tetap dingin dan berangin. Derap langkah kaki terdengar dari ujung koridornya. Namun lelaki di sudut sana nampak tak terlalu peduli. Hingga akhirnya sosok bertudung hoodie itu muncul, menghela napas melihat lelaki di sudut sana mengepulkan asap dari mulutnya perlahan. “Astagfirullahaladzim. Weh, Fi.. Istigfar coy. Jangan ngerokok mulu, ih.” Lelaki itu berpura-pura tak mendengar. Ia sibuk memperhatikan gedung yang bercahaya redup dari balkon fakultas. Gama, lelaki berambut ikal, dengan hoodie warna biru gelap di sampingnya menoleh prihatin. Pasalnya, manusia bernama Alfi ini bukan hanya menghabiskan satu atau dua batang rokok. Tapi ini adalah batang terakhir dari bungkus rokok di sampingnya. Bekas abu dan puntung rokok bersebaran di lantai. Asap rokok sibuk terbawa angin yang berhembus. “Nanti ketahuan Pak Sarmin lagi, dilaporin ke dosen pembimbing, mampus lu.” “I’m trying to lost my stressfull, Gam.” “Tapi kan bukan gini caranya.” Gama gemas mengambil rokok di tangan Alfi dengan paksa, menginjak-injak benda yang menyala itu hingga mati. Temannya itu hanya menoleh dengan tatap mata kosong, lalu kembali memperhatikan ke pemandangan di bawah. Mereka sedang berada di lantai paling atas fakultas, di tempat yang paling jarang didatangi para civitas akademika kampus. Tadinya memang hanya Alfi sendiri kesini. Setelah rapat organisasi yang alot dan hanya menimbulkan amarah kesal, Alfi angkat dari tempat duduknya dan pergi. Gama yang sudah kenal kebiasaan teman kampusnya sejak awal masuk kuliah segera menyusul. “Fi, gua tahu acara kita hampir berada di ujung tanduk. Kita masih punya harapan, bro! Mana jiwa diri lo yang dulu! Kenapa yang gua liat sekarang malah Alfi yang payah, hah?!” Alfi tak menggubris. Ia meraih sesuatu di sakunya, bungkus rokok yang baru. Gama menghela napas kesal dibuatnya. Lelaki itu hampir saja kehilangan kesabarannya. Ia mengacak rambutnya sendiri, gemas. “Lo pulang ke kosan duluan saja, Gam. Udah malem, nanti gua menyusul.” Ucap Alfi singkat, kembali menghisap sebatang rokok. Andai tempat ini lebih terang, mungkin Gama akan melihat betapa kosongnya tatap mata lelaki itu. Tak beraura kuat seperti biasanya. Gama yang mulai kehabisan kata serta kesabarannya akhirnya angkat kaki, sembari mengambil bungkus rokok baru Alfi. Bagaimanapun, ia juga khawatir akan keadaan temannya yang semakin nampak menyedihkan itu. Tubuh kurus, penampilan yang kacau, juga menelantarkan semua tugas dan kewajibannya. Tugas-tugas dan laporan kelas yang menumpuk hanya dikerjakan Alfi dengan asal. Bahkan ada laporan yang ia biarkan kosong dikumpulkan ke meja dosen. Padahal, lelaki itu termasuk peraih nilai tinggi diantara yang lain. Beberapa kali ia juga dipanggil dosen pembimbing akademik. Keluar masuk membawa berkas beasiswanya yang memasuki zona gawat. Bagaimanapun juga, Gama lebih dari tahu bahwa temannya tidak baik-baik saja. Dan keesokan harinya, Alfi tak kunjung pulang ke kosan. Ia juga tak terlihat dimanapun, tidak di kelas, kampus, bahkan tempat terakhir yang dilihat Gama pada malam itu. Pintu kosan kamar Alfi terkunci seperti biasanya. Hingga setelah tiga hari, lelaki dengan bekas luka di dahinya itu kembali muncul, di depan pintu kamar Gama dengan penampilan kusut dan semakin tak terurus. Namun tatap matanya masih kosong, kantung matanya menghitam, tampak seperti tak tidur selama berhari-hari. Saat itu, yang keluar dari mulut Alfi hanyalah tiga kata yang langsung dapat di pahami Gama. “Ayah... pergi... meninggal.” ### “Alfi masih belum ketemu, Gam?” Seorang lelaki bertubuh besar yang membawa mangkuk bakso menghampiri Gama yang sedang fokus memberi asupan pada perutnya yang keroncongan. Kantin fakultas yang di dominasi warna merah itu tampak tak begitu ramai. Gama nampaknya tak terlalu peduli dengan sekitarnya. Sibuk makan, tak ingin diganggu. “Gama! Buset, lu makan kayak orang gak makan setahun, ya.” Tegur lelaki itu lagi. “Belooom. Bacot, lu.” “Eh, galak amat mas-nya. Hmmm... Stress kali ya si Alfi. Kesian sih gua. Organisasi dia lagi kacau banget, gak keurus. Acara budget puluh jutaan yang direncanain juga batal, gagal total. Uangnya defisit. Anggota bubar. Mana tugas-tugas kita lagi kan lagi banyak banget. Laporan gak berenti-berenti nyekek, mana bapaknya meninggal lagi. Duh, kalo gua sih, rasanya mau mati aja.” “Astagfirullah, ghibah aja lu. Makan daging sodara sendiri. Udah ah, gua mau cabut. Kuping gua suka sakit denger orang ghibah.” Gama, lelaki berambut ikal itu bangkit dari kursi yang ditempatinya. Tangannya menyambar tissue makan di meja, dengan kasar mengelap mulutnya yang belepotan kuah bakso. Jam baru menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Kelas terakhirnya kosong, karena dosennya sedang berhalangan hadir dan hanya memberikan tugas yang dikeluhkan seluruh penghuni kelas.Gama memilih bergegas pergi dari kampus. Telinganya terasa bebal karena hampir setiap tempat yang ia datangi di kampus, ada saja orang-orang yang membicarakan temannya itu. Alfi, diketahui orang-orang pergi menghilang. Dan ia bukanlah mahasiswa biasa-biasa saja di kampus. Ia menjabat menjadi ketua himpunan mahasiswa, ketua organisasi pecinta alam, dan ketua pelaksana acara fakultas yang ramai jadi pembicaraan. Belum lagi, nilainya yang stabil dan menjadi pemegang beasiswa sebuah forum terkenal membuatnya juga dikenal baik di mata dosen. Sepeda motor milik Gama akhirnya berhenti di sebuah kosan. Tempat itu tampak sepi, tak ada perubahan semenjak terakhir kali ia kesini. Diketuknya pintu, mengucap salam. Dan yang ia dengar hanyalah sebuah erangan manusia dari dalam sana. Lelaki berambut ikal itu membuka pintu perlahan. Bau rokok segera menyengat penciumannya. Dan di dalam sana, ada Alfi yang sedang duduk di pojokan, dengan sisa rokok kecil yang menggantung di bibirnya yang mulai menghitam. “Dinner, bro.” Ia berjalan pelan-pelan. Alfi masih tak mau bergerak, menjawab perkataan Gama pun tidak. Dilihatnya cutter di samping temannya, ada noda merah disana. Otaknya menangkap sinyal buruk. Saat itu Alfi memakai jaket hitamnya. Sama seperti tiga hari yang lalu. “Tutup pintunya!” Alfi tampak marah. Ia bangkit dari tempat duduknya, melompat-lompat sembari menggapai-gapai sesuatu di atas kepalanya. Ia kembali berteriak-teriak marah, tak tentu. Gama menelan ludah, sedikit takut menghampiri sahabatnya sendiri. “Hei. Lo belom makan juga dari kemarin?” tanya Gama, hatinya teriris melihat bungkusan yang sejak kemarin rutin ia bawakan untuk Alfi masih tetap utuh di tempatnya. Beberapa diantaranya tercium bau tak sedap, mulai basi. Semenjak Alfi datang ke kosannya dan mengabarkan bahwa ayahnya telah tiada, lelaki itu memaksa Gama untuk berbohong ke seluruh warga kampus, juga kakak kandungnya yang khawatir bahwa ia menghilang. “Ini apa, heh?!” Gama memegang cutter di samping Alfi dengan gemetar. Noda merah disana nampak kering. Seperti sudah lama. Gama merasa menyesal kemarin ia tak sempat kesini, buru-buru pergi karena harus mengumpulkan laporan. “Pedang! Pedang sakti!” Gama menatapnya heran. Apa-apaan temannya ini. Alfi tertawa keras, melengking. Suaranya menusuk telinga, mengiris hati. Ia akhirnya buka mulut, namun berbicara dengan cepat dan tak terkendali. Otak Gama menyimpulkan Alfi sedang meracau. Dan fix, kondisinya benar-benar buruk. Ia tidak bisa menahan semua ini sendirian lebih lama. Ketika Gama tengah memegang ponselnya, Alfi berbica keras-keras, menunjuk-nunjuk ke arahnya. Seperti bertanya. “Lo abis dari kampus?” kalimat itu yang terdengar, dengan tangan kurusnya menunjuk-nunjuk dan matanya yang memperhatikan sebuah proposal yang sudah dijilid tangan Gama. Matanya menyipit, berusaha melihat dengan jelas. Gama mengangguk pelan, masih tak percaya dengan kondisi kawan baiknya saat ini. Bibir Alfi terlihat menghitam dan pecah-pecah, bekas rokok tercium dari mulutnya saat ia bicara. “Kampus! Hahahaha!” Ia tertawa lagi, menggeleng-geleng. Alfi kembali tertawa-tawa. Mulutnya mengucap kata-kata kasar yang pernah diketahuinya. Gama diam-diam menyimpan cutter Alfi. Jaket hitam Alfi tampak bernoda, dan Gama noda itu sama dengan yang ia temui di cutter. Berasal dari tubuhnya sendiri. Tiba-tiba lelaki itu terdiam. Wajahnya tampak panik, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri, lalu mengacak rambut gondrongnya. Berteriak-teriak, meracau. Sesaat kemudian, Alfi melempari Gama dengan barang-barang di dekatnya, membuat cutter yang sebelumnya dipegang Gama jatuh ke lantai. Ia lalu berlari ke luar kamar kosan, menyambar kunci motor Gama dan menyambar cutter dari jangkauan Gama. Lelaki itu panik bukan kepalang, melihat Alfi yang mengancamnya dengan benda tajam itu. Ia seperti hewan buas yang terlepas saat ini. Kaki-kakinya refleks berlari mengikuti Alfi. Namun pria itu tampaknya sudah berada di ambang batas waras. Ia menghidupkan motor milik Gama, melesat pergi dengan kecepatan tinggi, hampir menabrak ibu-ibu yang menjerit mengomel. Saat itu Gama langsung mengambil ponselnya dengan gemetar, mencari kontak orang yang bisa ia hubungi saat ini. Ingatannya hanya tertuju pada Arka. Dengan gemetar, dikirimnya voice notes melalui sebuah aplikasi chatting. Ia tahu, temannya bukan gila. Alfi sakit. Mentalnya sakit. “Arka! Tolong gue.. Aa.. Alfi! Dia lagi stress, tahan dia! Ke kampus, pakai motor gua.. sekarang!” The Lost Database #CeritaRara Kukira, manusia mudah melupa. Tapi terkadang, otak tak sejalan dengan hati. Memilah masuk hal yang paling ingin kau buang. Membuat ruang tersendiri, yang kerap menusuk tanpa peduli. ### “Ra, are you really sure for this?” Desya, gadis dengan rambut ikal sebahu itu kini geleng-geleng kepala melihat kelakuanku yang sibuk merapikan baju ke dalam tas. Aku sendiri tak banyak merespons, kecuali dengan senyum manis dan beberapa anggukan kecil. Mataku masih mencari-cari beberapa barang yang harus kumasukkan ke dalam tas, takut terlupa. “Absolutely. Saatnya out of comfort zone. Aku bakal baik-baik aja, Sya.” “Bukannya gue mau ngelarang elo, ya. Tapi sebagai temen yang baik, gue cuma mau mengingatkan lo aja, Rara sayang. Bogor itu kota hujan, dan hampir tiap hari bisa hujan. Lo tahu sendiri kalo cuaca akhir-akhir ini lagi nggak bisa di prediksi? Masih ada waktu.. untuk berubah pikiran. Maybe.” “Percaya sama aku.. Doain aku disana, ya? Aku butuh ikut acara dan pelatihan ini, buat dapet sertifikatnya yang bakal ku pakai buat pendaftaran beasiswa. Kamu dukung aku buat meraih mimpiku kan? Ini salah satu caranya.” Aku menutup resleting tas. Sudah cukup, aku memilih merebahkan diri di atas kasur. Sementara itu Desya bangkit menuju meja belajar milikku yang berantakan, mencari-cari sesuatu. Sorot matanya nampak miris melihat kertas-kertas yang berserakan di meja. Aku tahu persis ada benda apa saja disana. Surat dokter, kertas-kertas hasil therapy, botol kecil penuh tablet obat, serta pil penenang yang kerap kali dibawa ke dalam tas. Di depan meja juga tertempel kalender dan mading yang berisi kertas-kertas berwarna-warni. Jadwal kuliah, pengingat, juga jadwal kunjungan dokterku. “Ra..” Aku menoleh. Melihat wajah Desya yang khawatir. “Lo bilang, lo punya firasat yang tak mengenakkan tentang perjalanan ini. Kenapa lo tetap ikut buat berangkat sih? Gua nggak mau ada hal yang nggak baik terjadi sama lo!” “Ehm.. hahaha. Itu kan cuma firasat. Nggak mesti benar, kan. Doain aku saja, Sya. I’ll be okay there.” Aku memasang senyum terbaikku. Berusaha meyakinkan Desya untuk terakhir kalinya. Desya menghela napas panjang. Nampaknya ia masih merasa tak aman membiarkan aku pergi seorang diri ke Kota Hujan itu. Bukan masalah khawatir aku tersesat, aku tahu jelas alasan kuat Desya serta teman-teman dekatku melarangku kesana. Sakitku, ‘penyakit kecil’ yang hanya muncul jika hujan. Lebih tepatnya, hujanlah yang membuat ‘penyakit kecil’ itu akan kambuh. Desya akhirnya menghampiriku, memilih untuk memeluk diriku erat-erat. “Take care. Jangan lupa kabari gue sama Ning. We’ll miss you so much, dear.” ### Stasiun, salah satu tempat yang terbiasa akan kepulangan dan kepergian. Aku sudah sampai disini, di kota kecil yang dijuluki kota hujan. Kota yang sempat amat kubenci karena julukan serta kenyataan dibalik namanya itu. Namun sekarang, aku memberanikan diri untuk menantangnya. Lebih tepatnya, menentang keterbatasan dalam diriku ini. Rombonganku sampai di kala pagi-pagi buta. Mentari masih malu-malu menampakan wajah di ufuk timur. Udara dingin yang menusuk tulang mulai terasa seketika, juga aroma basah bekas guyuran hujan. sepagi ini, aku cukup takjub melihat ke luar jendela sepanjang perjalanan. Mataku dimanjakan oleh paduan warna langit serta liuk gunung dari kejauhan yang menawan. Kurasakan ponsel milikku bergetar. Notifikasi pesan masuk dari teman-temanku. Aku tersenyum, bersyukur mendapat banyak orang baik masih ada di sekitarku. Desya : Sudah sampai Ra? Rara : Alhamdulillah. Sudah :) Ning : Raraaa, makan yang banyak ya disana! Jangan lupa makan, nanti jangan sampai sini makin kurus! Desya : Iyanih si Raraa :( Ning : Payung! Jas hujan! jangan lupa taruh di tas selalu, Ra! we love u ! “Ra, ayo turun ih. Seru banget ya di dalam bus main hape.” Ujar seseorang dari luar bus. Aku tertawa, bergegas mengambil ranselku yang tersimpan di tempat penyimpanan barang yang ada di atas kepalaku, menyusul kawan-kawanku yang telah lebih dulu turun. Hari ini, meski baru saja sampai, kami langsung mengikuti rangkaian acara yang telah tertulis. Bus kami bahkan sudah tiba di lokasi tepat waktu. Sebuah universitas ternama yang rindang dan sejuk. “Ayo, ayo. Lewat sini, jangan sampai terpisah ya, soalnya bangunannya berbentuk heksagonal gituloh. Cukup bikin bingung buat yang baru datang mengunjuungi.” Ucap salah satu ketua divisi rombonganku. Kami tertawa, sesekali bercanda dan berkomentar jenaka seputar perjalanan kami. Namun aku memilih untuk memperhatikan sekeliling. Berkunjung ke tempat baru selalu menyenangkan, sayang untuk dilewati hanya dengan candaan dan obrolan receh. Acara ini adalah acara semacam study banding dan silaturahmi antar anggota komunitas penerima beasiswa. Kami berkenalan, mendengarkan sedikit ‘ceramah’ dari beberapa dosen yang terlibat, donator, dan beberapa orang sukses ternama yang entah siapa saja mereka. Aku terlampau lelah karena selama perjalanan tak tidur seperti yang lainnya. Mungkin diantara ceramah itu aku sempat tertidur. Hingga akhirnya, di tengah-tengah acara yang katanya disebut sebagai puncak acara, aku merasa harus segera ke kamar mandi. “Kamar mandi? Aku mana tahu tempatnya.” Bisik Thalia, salah satu teman komunitasku saat kubilang kalau aku butuh ke kamar mandi secepatnya. “Izin aja sama panitia yang pakai nametag disana aja, Ra. Duh, maaf ya aku nggak bisa anter dulu. Kakiku sakit banget nih, gara-gara kelamaan di perjalanan. Gapapa, kan?” aku mengangguk cepat. Perlahan-lahan aku keluar dari barisan, menghampiri seorang panitia dan menyampaikan maksudku. Mereka nampak berdiskusi sebentar. Dalam hati aku merutuki mereka. Duh, ini tuh udah nggak bisa ditahan lagi tauk! “Ayo kak, lewat sini.” Seorang gadis muda menunjukan jalan padaku. Aku berbisik padanya, memohon untuk berjalan lebih cepat. Jadilah kami setengah berlari. Menaiki tangga kecil di sudut, karna toilet di lantai bawah entah mengapa tertutup rapat. Ada orang, mungkin. Untunglah wanita muda ini bisa berpikir cepat. “Makasih banyak ya!” aku tak sempat lagi melirik ke arah wanita muda itu. Terbirit-birit aku memasuki kamar mandi, bahkan hampir membanting pintunya. Dan setelah semua urusan selesai, aku masih sempat merapikan jilbabku yang berantakan serta mengusap wajah dengan air di depan cermin dalam kamar mandi. Namun begitu keluar dari tempat itu, aku merasa aneh. Kemana wanita muda yang mengantarku tadi? Lorong koridor ini nampak sangat sepi, menyisakan suara angin yang meniup tepi jilbabku. Sayup-sayup, kudengar suara speaker dari acaraku. Ah, mungkin aku bisa sedikit mengingat arah tadi. Aku pun dengan percaya diri bergegas menuruni tangga, karna sebelumnya aku baru saja naik. Namun aku tersentak karena yang kutemui bukanlah lantai dasar, tapi ada tangga lagi di bawah lantai bangunan yang ku pijak kini, dengan angka tiga berwarna hijau di dekat tangga. Aku tahu kalau aku tak benar-benar payah dalam mengingat arah, tapi bangunan ini memang sangat membingungkan. Apa katanya tadi? Bentuk heksagonal? Aku bahkan hampir ingin menangis mengingatnya. Semakin kumelangkah, semakin kebuntuan yang kudapat. Entah kenapa, tempat ini juga amat sepi. Kemana para mahasiswanya? Dan disaat yang membingungkan seperti itu, aku mendengar sayup-sayup suara orang berteriak, dan lengkingan tawa yang keras. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri. Angin kembali menerbangkan jilbab milikku. Membangunkan bulu kudukku. Ah, kenapa tempat ini jadi terasa amat menyeramkan? Aku merapal dzikir-dzikir yang biasa kubaca, masih memperhatikan sekitar. Tiba-tiba terdengar derap kaki orang berlari. Bukan hanya satu, tapi banyak. Aku semakin merasa takut. Pikiranku menggambarkan hal yang tidak-tidak. Sesaat kemudian aku bisa melihat asal sumber suara berisik itu. Seorang lelaki berlarian di koridor, memakai jaket hitam dan celana jeans. Penampilannya tampak buruk, dengan rambutnya yang gondrong berantakan tertiup angin, menutupi wajahnya. Ah, lagipula, ini bukan urusanku. Aku hampir saja pergi hingga tahu-tahu ia berdiri di depanku. Terpisah jarak sejauh tiga meter diantara kami, dan aku baru sadar ia memegang benda berkilauan yang berlumuran noda merah nan menetes-netes. “Rara?” ia bergumam pelan, namun aku masih bisa mendengarnya. Nyaliku ciut seketika. Apa?! Siapa ia, dan bagaimana ia bisa tahu namaku?! “Rara! Itu lo, nggak salah lagi!” Belum sempat keherananku sirna, ia berlari ke arahku, memelukku begitu saja. Tubuhnya bau rokok, dan ia tampak menangis dalam pelukanku. Aku tentu saja kaget, tubuhku berontak berusaha melepas lelaki ini, tapi pelukannya begitu kuat. Kulihat beberapa lelaki berhenti di sekitarku, dan aku yakin lelaki ‘kurang waras’ ini sedang di kejar temannya. Entah apa dan bagaimana. Aku berkali-kali ber-istigfar, masih berusaha melepaskan diri. Ini gila. Aku, dipeluk manusia nggak waras? Dan dia tahu namaku? Kudengar ia mulai bicara, sambil masih menangis. Aku tak terlalu mengerti, namun yang kudengar adalah kata-kata, jangan pergi, ayah, dan rindu. Seorang lelaki dengan hoodie biru gelap berambut ikal maju ke arahku, ia memberi isyarat minta maaf, lalu tangannya menarik pria ini untuk melepasku. Beberapa pria lain juga ikut maju. Melepas lelaki kurang waras ini dariku. Pelukannya melemah, namun ia masih menangis, meracau menggumamkan kata-kata yang aku tak paham apa maknanya. Tangannya yang berlumuran darah mengotori jilbab milikku. “Lo lupa gua, hah?! Jahat lo! Jahat banget, Ra!” ia berteriak, berusaha berontak dari tangan temannya yang menahan tubuhnya. Aku sendiri masih terpaku di tempat, ketakutan. “Lo lupa?! Sini, biar gua bikin lo inget, cewek takut hujan!” ia kembali berteriak. Tiga kata terakhirnya sukses membuatku terpaku di tempat lebih lama. Sekelebat ingatan lewat di dalam memoriku. Dan kini suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Ia tampak mengacak rambut yang menutupi wajahnya, hingga dahinya terlihat. Dan saat itulah aku akhirnya mengerti, mengapa ia bisa mengenalku. Luka di bagian itu lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Jantungku berdegup lebih cepat. Dan ia masih berontak diajak pergi oleh temannya, walau tenaganya melemah. “Lo pasti masih inget luka ini kan! Ini, tangan gue!! Tangan gue yang cacat! Kemana saja lo! Jangan tinggalin gua, Ra... jangan...” ### “Uhm... Hei. Sori ya, buat kelakuan Alfi.” Lelaki dengan hoodie biru itu kembali, menyapaku dengan kikuk. Aku sendiri masih berdiri ketakutan bersandar di tiang. Lelaki ‘kurang waras’ itu memang sudah menjauh. Kulihat ia tidak banyak bertingkah, hanya terdengar suara tangisnya yang kini justru mengiris-iris hatiku. Sekelebat bayangan muncul dalam rekaman kepalaku, menampilkan cuplikan kejadian saat aku di masa putih abu-abu dahulu. Aku balas tersenyum, mengangguk. Ketakutanku masih belum hilang, dan kini kurasakan tanganku mulai gemetar. Ujung mataku menangkap sosok lelaki yang disebut Alfi itu. Ia tengah duduk di pojok koridor, dikelilingi tiga orang lainnya dan kembali meracau tak jelas. “Alfi? Namanya.. Alfi?” aku menaikkan alis. Rasanya nama itu bertentangan dengan ingatanku. Walau sebagian diriku mengiyakan saja. “Iya.. Alfian Rizal. Teman gue. Dia.. bukan gila, kok. Kayaknya...” Lelaki itu tanpak ragu dengan kalimatnya sendiri. Aku mengangguk-angguk kembali mendengarnya. Kerongkonganku terasa kering. Banyak kata yang ingin kukeluarkan, tapi semuanya tertahan. Otakku mengambil kendali atas mulutku, mengeluarkan kalimat tanya dimana ruang seminar yang kutinggalkan. Pria itu bersedia mengantarku, dan sepanjang jalan otakku masih pikiranku masih berkecamuk, tak jelas. Tepat sebelum aku masuk ke dalam ruanganku, aku akhirnya angkat bicara. “Sejak kapan.. temanmu begitu?” Ia tampak terkejut. Tak menyangka dengan pertanyaanku. “Kemarin.. ah, hari ketiga. Tapi ini yang paling parah dari semua kelakuan dia. Eh... Kalau ikut seminar ini, berarti kamu bukan mahasiswa sini, kan? Duh, punten. Maafin Alfi ya.” Aku mengangguk. Aku masih menimbang-nimbang akan mengatakan ini atau tidak. Tanganku bergerak-gerak, cemas. Kakiku masih tak mau melangkah masuk sebelum aku bicara. Namun aku memaksakan kakiku untuk melangkah. Otakku mengatakan, aku tak boleh terlibat lebih jauh dari ini. Description: Blue Mapples | ig : @bluemapples | Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #HijrahHati 2019 yang diadakan storial dan nulisbuku. Pernah merasa terkesan.. dengan seorang yang kau bisa bilang, orang penting dalam jajaran kampusmu? Sosok manusia yang bisa kau umpat atas nilai dan prestasinya yang jauh ada di atasmu. Figur kakak tingkat yang disegani adik tingkatnya, aktivis penuh semangat yang mungkin kau pikir hidupnya terlalu menyenangkan, bahkan mungkin… sempurna? Ketika kehidupan terlalu banyak topeng. Kebahagiaan yang terlihat, kadang menyimpan kesedihan mendalam yang tak terduga. Kala kesibukan yang kau pikir menyenangkanmu, malah membuat hidupmu tak terkendali, jauh dari segala yang kau pikir biasa saja. Tentang sebuah perjalanan seseorang yang terlanjur jatuh pada lubang bernama depresi, berusaha untuk bangkit… dengan bantuan orang disekitarnya. Dua insan yang dipertemukan kembali dalam garis takdir ciptaan-Nya, untuk kembali meneruskan rotasi kehidupan.
Title: Rewind Category: Cerita Pendek Text: Prakata Enam tahun lalu seseorang pernah berkata pada saya, “Lagu yang kamu dengarkan adalah sesuatu yang menggambarkan isi hatimu.” Baginya, tak perlu jauh-jauh mencari tahu apa yang tengah seseorang alami, cukup dengarkan apa yang berkali-kali dia putar di pemutar musik di ponselnya. Sebenarnya, Rewind adalah project tahun lalu. Sekumpulan cerita pendek di balik lagu-lagu yang sering saya atau orang-orang di sekitar saya dengarkan berulang-ulang. Sebab, saya percaya, selalu ada sebuah kisah tak tersentuh di balik sebuah lagu kesukaan. Marilah kita dengarkan kisah mereka. Semoga kalian terhibur. September ‘Maaf dan maaf.... Tak ada lagi yang diperdebatkan. Semua kesalahan itulah yang aku berikan. Apakah sang waktu telah menyembuhkan lukamu? Apakah dirimu mau memaafkan aku?’ – The Finest Tree, Sedikit Waktu *** JAM dinding belum genap mengarah ke angka sepuluh, masih ada enam menit lagi. Namun, dingin yang merasuk berhasil membuat Adrien Elyas semakin merapatkan sweter kelabunya. Sama halnya dengan langit malam ini. Alih-alih kerlipan bintang menghias, gumpalan awan tipis tersebar di setiap penjuru. Keadaan yang bertolak belakang. Seolah baru saja beberapa menit lepas dari kepergian senja. Seolah dua jam lagi bukanlah waktu di mana pergantian hari terjadi. Pun, seolah tidak ada rapat penting menantinya esok. Adrien tahu, seharusnya dia kembali ke kamar. Merebahkan diri. Berusaha mengundang kantuk. Berakhir dengan mimpi indah. Seperti hari-harinya biasa. Namun, Adrien pun tahu, hidupnya tak lagi sama semenjak kehadiran perempuan satu itu. Septembernya. Tidak ada dua pasang mata saling menatap dengan sorot terkejut. Tidak ada gerak tubuh kaku cenderung canggung. Tidak ada ucapan yang terpatah-patah. Hanya Adrien yang melihat. Tidak dengan perempuan itu. Hanya Adrien yang menyadari selagi sang perempuan semakin jauh memunggunginya. Hanya Adrien yang berusaha mengejar, tetapi perempuan itu malah menghilang dibawa pekatnya malam. Ya, semua hanya tentang Adrien, tidak dengan Septembernya. Helaan napas berat melepaskan diri. Adrien sungguh-sungguh tidak tahu apakah dia harus bersyukur dengan pertemuan tak terduga tersebut atau malah mengumpat. Sekian tahun berlalu, setelah segala sesuatunya perlahan membaik, Septembernya kembali hadir. Seakan dia tak pernah lenyap begitu saja. Tidak begitu saja, sebenarnya. Septembernya tidak mungkin pergi kalau saja dia tidak melakukan kesalahan. Septembernya adalah perempuan paling pengertian. Septembernya adalah perempuan yang paling memahaminya. Septembernya adalah perempuan yang paling peduli padanya ketika orang lain bahkan tak ingin menolehkan kepala barang sejenak. Septembernya adalah segalanya. Hanya Septembernya yang berhasil membuatnya bicara ketika bibirnya selalu bungkam berhadapan dengan orang lain. Bukan karena lawan bicaranya tak pandai, Adrien hanya tidak ingin. Namun, berbeda dengan Septembernya. Perempuan itu tahu benar bagaimana bersikap. Kapan dia harus mengusap punggung tangan Adrien. Kapan dia harus menepuk pundak Adrien. Kapan dia harus memberi pelukan menenangkan. Lantas, mengapa Adrien Elyas begitu bodoh bila memang benar Septembernya seberharga itu? Pernahkah kau mendengar kutipan bijak yang kurang lebih berbunyi begini, Jangan pernah menggenggam terlalu erat. Sebab, bukannya membahagiakan, kau justru melukai? *** NAMANYA bukan September. Namun, Adrien suka memanggilnya September. Mengapa September? Karena mereka bertemu di pertengahan bulan September. Pada siang yang begitu menyengat. Saat jarum jam mengarah tepat di pertengahan hari. Di antara orang-orang yang sibuk meneliti dari satu rak buku ke rak buku lain. Beberapa tampak girang setelah menemukan apa yang dia inginkan, lalu mendekap seerat mungkin selagi langkah tertuju ke meja kasir. Beberapa lainnya terlihat tak begitu peduli. Setelah mendorong pintu membuka, tersenyum senang ketika pendingin ruangan berhasil menyegarkan sekujur tubuh, mereka berputar-putar tak tentu arah. Seakan sekadar menghindari kenyataan di luar sana. Belakangan, Adrien baru mengetahui bahwa hari itu adalah hari yang istimewa bagi Septembernya. Hari di mana usia sang perempuan bertambah—atau, lebih pantas disebut berkurang? Entahlah, Adrien tak begitu peduli mana yang lebih tepat. Keduanya bukanlah dua teman lama. Adrien dan Septembernya tidak saling mengenal. Tidak pula datang dari dunia pekerjaan yang sama. Pun, tidak dari latar pendidikan yang sama. Mereka berkenalan karena sesuatu bernama: ketidaksengajaan. Masih lekat dalam ingatan Adrien bagaimana hari itu untuk kali pertama sepasang matanya bertemu tatap dengan sepasang mata sayu nan misterius. Sepasang mata yang berhasil menyedot Adrien hanya dalam satu kali kerjapan. Sepasang mata yang membuat Adrien, detik itu juga, ingin mengenal pemiliknya lebih jauh. Sepasang mata yang sukses menerbitkan rangkaian tanya. Sepasang mata yang berusaha tampak baik-baik saja di balik goresan luka. “Maaf,” bisik perempuan itu. Adrien buru-buru menunduk. Tak dapat dia mengerti bagaimana mereka bisa berakhir dalam keadaan sama-sama memegang sebuah novel bersampul hitam. Ujung telunjuk sang perempuan menyentuh punggung tangan Adrien. “Tidak apa-apa,” balas Adrien sama pelannya. Alih-alih berlalu, perempuan itu malah mengamati Adrien. Netra yang mencuri ketidaksadaran Adrien, kini meneliti sang lelaki. “Bukunya hanya tersisa satu,” perempuan itu berujar lagi. Adrien menatap rak buku di sisi kirinya. Benar, novel berjudul Pekat tersebut hanya tersisa satu. Berada dalam kekuasaan Adrien. Sekilas, lelaki itu membolak-balik buku di tangannya. Helaan napasnya memberat kala dia mendongak. “Tidak apa-apa,” perempuan itu bicara lagi, bahkan sebelum Adrien sempat menanggapi. Sepertinya dia dapat menangkap keengganan yang kilat mata Adrien pancarkan. “Tunggu,” Adrien menahan ketika sang perempuan memutar tubuh. “Untuk kau saja.” Dia menyerahkan buku itu, lalu mengangguk singkat. Tanpa basa-basi, Adrien berlalu. Mungkin belum rezekinya. Dia akan mencoba peruntungan di toko buku lain. Meskipun sedikit banyak Adrien tak yakin. Adiknya mengatakan, “Buku itu langka, Mas!” Benar saja, toko buku yang baru saja dia tinggalkan adalah toko buku keenam yang dia kunjungi dalam satu minggu terakhir pencariannya. “Mas.” Seseorang menyentuh pundak Adrien tepat ketika lelaki itu bersiap memasuki mobil tuanya. “Ya?” Oh, perempuan tadi! “Ada apa?” Perempuan itu mengangkat plastik putih di tangan kanannya. “Bisa bicara sebentar? Ada restoran cepat saji tidak jauh dari sini.” Adrien menimbang-nimbang. Baru saja dia ingin menolak, sepasang matanya lagi-lagi berhasil dikunci oleh pemilik mata sendu di hadapannya. “Oke.” *** SEBELUM hari itu Adrien tidak tahu mengobrol dengan orang asing bisa begitu menyenangkan. Mereka memulai dengan mengenalkan diri masing-masing. Kemudian, perempuan itu dengan cerianya berkisah tentang betapa dia begitu menggemari penulis novel Pekat. Katanya, dia memiliki semua karya sang novelis. Pekat adalah yang terbaik. Sesuatu yang membuat gadis itu terheran-heran. Mengapa tak ada lagi penerbit yang tertarik menerbitkan ulang? Mengapa pembaca harus seperti mereka—kerepotan mencari? Untuk yang pertama, betapa luar biasanya Pekat, Adrien mengangguk setuju. Bukan informasi baru. Adiknya mengatakan itu saat menitahkan padanya untuk mencari novel tersebut sampai ketemu. Untuk yang kedua, pertanyaan perempuan itu, Adrien hanya mampu memberi gelengan. Dia pun sama tak tahunya. Adrien bahkan tak pernah membaca satu pun karya sang penulis. Lelaki itu tahu Pekat hanya karena adiknya. Sesuatu yang tidak Adrien ketahui kemudian adalah bahwa perintah adik semata wayangnya berhasil membuatnya menjalin kedekatan dengan orang asing yang duduk di hadapannya. Orang asing yang terang-terangan tidak menolak saat Adrien melirihkan panggilan, “September,” kepadanya. Dia bahkan tak meminta penjelasan. Hanya sepotong tanya diikuti kerlingan mata antusias. “Kalau begitu, aku boleh memanggilmu Ed, kan?” “Kenapa Ed?” Adrien tak kuasa menahan diri. Namanya Adrien. Adrien Elyas. Selama ini tak pernah ada yang menyingkat namanya. Semua orang selalu memanggilnya lengkap. Tidak Ad, tidak pula En. Namun, Adrien. “Tidak apa-apa.” Perempuan itu tersenyum manis. “Sampai bertemu lagi, Ed.” Kemudian, sang perempuan berlalu bersama payung biru malam membentang di atas kepalanya. Masih berpijak di tempat yang sama, Adrien melepas kepergian Septembernya. Tak sepenuhnya lelaki itu sadari, ada yang menghangat di hatinya. Bukan hal besar. Sederhana saja. Sesederhana panggil September dan Ed yang tercipta di tengah teriknya bulan September hari itu. *** “SIAPA dia?” “Siapa?” September masih asyik mengamati lembar-lembar foto di kedua tangannya. Memilah mana yang terbaik. Tampak tak begitu fokus dengan keberadaan Adrien di sisinya. “Kau semakin sulit ditemui akhir-akhir ini,” keluh Adrien. Semenjak perkenalan mereka lima bulan lalu, Adrien dan Septembernya semakin dekat saja. Dalam satu minggu, keduanya selalu menjadwalkan pertemuan. Awalnya, Adrien pikir, kalimat yang sang gadis ucapkan di pelataran restoran cepat saji siang hari itu hanyalah basa-basi belaka. Meskipun mereka telah bertukar nomor telepon, tak ada jaminan apa pun suatu waktu September akan menghubunginya. Namun, keraguan Adrien terpatahkan pada pekan berikutnya. September mengiriminya pesan. Menanyakan apakah dia memiliki waktu luang. Tidak ada alasan apa pun yang menyertai selain September ingin berjumpa dengannya. Adrien yang memang mati-matian menahan rindu, segera saja mengiakan. Sungguh, dia tak butuh penjelasan. Hanya butuh segera bertemu tatap dengan pemilik mata sendu nan misterius itu. Kemudian, semenjak hari itu, semenjak lebih banyak tawa yang mereka lontarkan, semenjak lebih banyak kisah yang Septembernya bagikan, Adrien mulai menumbuhkan keberanian dalam dirinya. Pekan berikutnya datang, lelaki itu mencoba keberuntungan. Mengajak Septembernya bertemu. Lagi dan lagi. Lantas, pertemuan mereka menjadi rutinitas mingguan. Seakan, ada yang kurang bila tak berjumpa. Seakan, puluhan pesan berbalas setiap harinya tak lagi cukup. Seakan, telepon-telepon tengah malam—pengantar tidur menuju alam mimpi—belumlah mampu menggerus rindu. Namun, selalu ada akhir bagi setiap awal. Sebuah akhir yang tak pernah Adrien masukkan dalam agenda perkenalan mereka. Sebuah akhir yang tak pernah Adrien duga. Sebuah akhir yang bahkan tak pernah Adrien persilakan untuk mengisi ruang di antara dirinya dan September. Sebuah akhir yang ingin Adrien lenyapkan. Sayangnya, hanya inginnya Adrien, tidak dengan Septembernya. “Aku sibuk, Ed.” “Sesibuk apa, September?” Adrien meluruskan punggung, lalu memilih untuk mengistirahatkan sisi kepala pada pundak seseorang di sebelah kanannya. “Aku juga sibuk, tapi aku masih memiliki waktu untukmu.” September memutar kepala. Ujung hidungnya nyaris menyentuh puncak kepala Adrien. Ketika dia menghela napas, aroma segar berasal dari helai-helai rambut lelaki itu ikut masuk ke paru-parunya. “Hari ini aku meluangkan waktu untukmu.” “Kemarin-kemarin tidak,” sangkal Adrien. “Kenapa harus membahas yang kemarin?” Adrien menegakkan kepala. Sebab aku rindu, bisik suara kecil di hatinya. “Karena kau semakin sulit ditemui.” “Kita akan terus-menerus kembali ke sana, ya?” Tidak ada jawaban. Bukannya tidak tahu harus mengatakan apa, tetapi terlalu banyak kalimat tumpang-tindih di kepala Adrien. Dia tak tahu harus mengeluarkan yang mana lebih dulu. Satu-satunya yang Adrien yakini, mereka harus menyelesaikan semuanya malam ini. Sudah cukup dirinya diabaikan. Sudah cukup pesan-pesannya tak lagi sesegera dulu dibalas. Sudah cukup tak ada lagi telepon tengah malam. Sudah cukup dia mengemis pertemuan, tetapi September hanya berjanji dengan: aku hubungi nanti. Yang mana kemudian terlupakan. Kalau saja Adrien tak menuntut, mungkin malam ini tak pernah datang. “Aku kehilanganmu, September,” bisik Adrien. “Ed,” September memperbaiki posisi duduk menjadi berhadap-hadapan, “kau tahu aku tidak ke mana-mana.” “Kau menghilang, September. Aku kehilanganmu. Ada banyak hal menyebalkan terjadi di hidupku. Tumpukan pekerjaan, atasan dan rekan kerja menyebalkan, hari-hari yang buruk. Tapi, kau tidak ada di sana. Aku kelimpungan mencari. Kau tidak pernah membalas pesanku.” “Aku membalasnya, Ed.” September tampak tak terima. “Iya, setelah aku menunggu berjam-jam.” Itu jelas bukan kau yang dulu, tambah suara di kepala Adrien. September mendesah lelah. Tangannya terkulai di sisi tubuh. Beberapa lembar foto yang tadinya seakan lebih menarik dibanding sosok makhluk hidup di sisi kirinya, kini berserakan di atas pangkuan sang perempuan. Sedikit banyak Adrien tahu kapan foto-foto itu diambil. Atau, lebih tepatnya, dia ada di sana kala Septembernya mengabadikan setiap keindahan itu dalam tangkapan lensa kamera. Tak sekali dua kali Adrien mendampingi. Tak sekali dua kali pula Adrien menangkap kilatan bahagia di mata September atas kehadirannya. Lalu, ke mana perginya semua itu? Mengapa hanya kehampaan yang tersisa? “Aku benci mengatakan ini,” ujar September. Netranya memejam sesaat. “Hidupku bukan hanya tentang kau, Ed. Ada banyak hal yang harus kulakukan.” Adrien sukses membeku. Apa tadi katanya? Menolak harga dirinya terjun bebas, Adrien berusaha menyunggingkan senyum. “Apa ini karena dia?” “Siapa?” “Dia.” Adrien meraih salah satu lembar foto terbawah. Seseorang tersenyum lebar dengan latar matahari terbit di belakang punggung. Luka menganga itu semakin menjadi saja. “Apa dia alasannya?” September mengambil lembaran foto tersebut, mengamati sejenak, kemudian menggabungkan dengan foto-foto yang lain dan menyimpan di tas selempangnya. “Kami hanya berteman.” Adrien tersenyum sinis. Berteman, katanya? Salahkah Adrien menyimpulkan ada yang spesial di antara mereka? Lima bulan bersama, tak pernah satu kali pun September memotret dirinya, tak peduli berkali-kali dia menemani gadis itu bertugas. September hanya membiarkannya mengiringi gadis itu. Atau, duduk di sudut, mengamati dari jauh, memastikan dirinya selalu siap sedia kapan pun September membutuhkan. Pun, salahkah bila kenyataannya, tepat ketika orang itu hadir, September justru menjarak darinya? Tak lagi selalu ada untuknya. Tak lagi selalu meminta bantuan Adrien, seolah dia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. “Ed, aku tak ingin berdebat. Pulanglah.” Dan, salahkah kesimpulan Adrien setelah Septembernya terang-terangan mengusirnya? Adrien bergeming. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.” “Tidak ada yang menghilang, Ed.” September mendesah. “Berapa kali harus kutegaskan? Tidak ada yang menghilang. Aku masih di sini.” “Kau masih di sini, tetapi semakin sulit untuk kugapai.” September melekatkan punggung ke sandaran kursi. “Sudah malam, Ed.” Lagi, sang gadis memilih mengalihkan pembicaraan. “Sampai kapan kita harus menghindar?” kejar Adrien. Jelas-jelas tak peduli. Yang ada di kepala lelaki itu saat ini adalah sesegera mungkin menuntaskan rasa sakit yang menderanya. Dengan harapan, segalanya membaik seperti sedia kala. Seperti sebelum kehadiran orang ketiga di antara mereka. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin membahas.” “Apa bedanya?” Adrien masih saja keras kepala. “Oke.” September mengangguk tegas. “Jelaskan padaku apa yang kau inginkan?” “Kita yang dulu,” tutur Adrien. “Kita masih kita yang dulu, Ed.” “Kau semakin sulit kujangkau, September.” “Itu menurutmu. Bagiku, segalanya masih baik-baik saja. Kalau kita semakin jarang bertemu, itu karena keadaan tak lagi memungkinkan. Pekerjaanku menumpuk akhir-akhir ini, Ed.” “Tapi kau memiliki waktu untuknya.” September memicingkan mata. Dia tampak ingin bertanya, tetapi hanya dalam hitungan detik perempuan itu buru-buru mengatup bibir. Kemudian, hening. Seperti hujan yang rinainya tak terdengar. Dingin sekaligus mencekam. Namun, tidak menutup kemungkinan gelegar petir bisa muncul sewaktu-waktu. “Aku tidak tahu apa yang sesungguhnya menjadi alasanmu, tetapi pesanmu semakin hari semakin berkurang. Kau semakin sulit untuk kutemui. Kau bilang sibuk, tapi kau selalu ada waktu untuk dia. Aku tahu kau tidak pernah keberatan ditemani saat bertugas, tetapi kau tak pernah lagi menghubungiku. Lalu, salahkah aku merasa kehilangan ketika aku justru melihat tempatku diisi orang lain?” September tidak menjawab. Hanya sorot matanya yang menegaskan bahwa perempuan itu masih duduk di sisi Adrien. Sorot yang perlahan-lahan kian meredup. Seperti lampu pijar yang kehilangan arus listrik. “Aku tidak pernah menggantikanmu dengan orang lain, Ed. Bagiku kalian berdua sama.” Adrien tercekat. Sama?! Tidak! Adrien tidak ingin itu. Dia tak ingin disamakan dengan siapa pun. Dia ingin menduduki posisi istimewa. Seperti yang selama ini berhasil Septembernya dapatkan sekalipun tak pernah dipinta. Sebuah ruang yang Adrien berikan tanpa alasan. Selain, karena September memang pantas berada di sana. “Hidupku bukan hanya aku dan kau. Ada banyak orang lain di dalamnya. Haruskah kita selalu bersama?” Adrien tak menjawab. Mengapa pertanyaan itu baru kau tanyakan sekarang, September? Mengapa setelah aku terikat begitu erat denganmu? “Aku tidak mengerti mengapa kau seperti ini, Ed,” tambah September. Tak menyadari setiap kalimatnya berhasil menghancurkan hati Adrien selapis demi selapis. Alih-alih menuntut tanggung jawab sebab dirinya sudah terseret masuk terlalu jauh dalam kehidupan September, lalu secara tidak langsung diminta untuk berhenti, Adrien malah berujar, “Maaf.” Lirih sekali. Lengkap dengan segenap penyesalan. “Tidak apa-apa.” September tersenyum tipis. “Meskipun ..., aku kecewa.” Adrien mendongak. Wajahnya pias. Satu kata terakhir berhasil membuat sekujur tubuh sang lelaki mati rasa. Adrien merasa sakit tak terkira. Baginya, lebih baik dimaki habis-habisan daripada dilontarkan satu kata itu, terlebih dengan sorot terluka parah, tak peduli ada senyum tipis yang menyertai. “Maafkan aku,” bisik Adrien. September tidak langsung menjawab. “Seandainya kau mengikuti keinginanku, kita tidak akan seperti ini, Ed,” katanya. “Tapi, sudahlah, kita tidak boleh berandai-andai, kan?” “Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Adrien ingin mendekat, meraih tangan September, tetapi dia tidak siap mendapat penolakan lagi. Jadi, lelaki itu memutuskan duduk sejauh mungkin. Menahan diri dari keinginan yang menggila di dasar hati. “Jadikan pelajaran saja, Ed. Untuk ke depannya, jangan lagi berpikir, bersikap, dan berbicara sesukamu. Pikirkan orang lain juga.” Alih-alih mengiakan permohonan maaf Adrien, September malah memberi petuah. Sesuatu yang semakin menegaskan betapa bersalahnya Adrien Elyas. Adrien sendiri, yang terlalu menyayangi, yang terlalu takut kehilangan, mendengar kekecewaan sang gadis, seakan terlupa apa awal dari pembicaraan mereka malam ini. Bahwa dia tak mungkin menuntut bila tak ada yang berubah di antara mereka. Bahwa dia tak mungkin melontarkan kata-kata yang memancing luka bila September mau bekerja sama dengan baik, menjelaskan bahwa orang ketiga itu bukanlah siapa-siapa. Seperti yang selalu Adrien harapkan selama ini. “Pulanglah, Ed,” ujar September setelah keduanya terdiam cukup lama. “Apakah kau memaafkanku?” “Entahlah.” September menghindari pandangan. Mata perempuan itu tertuju ke langit-langit teras rumahnya. “Aku telanjur kecewa. Luka ini sempat memunculkan diri.” Sekonyong-konyongnya, tersadar dirinya semakin ditekan, padahal sudah memohon maaf berkali-kali, Adrien berkata, “Aku juga terluka menjeda darimu, September. Aku terluka kau abaikan. Aku terluka bertanya-tanya sendiri, mengapa kau menghilang. Aku terluka karena aku tidak tahu apa sesungguhnya kesalahanku—selain karena kehadiran dia.” September memicingkan mata. Sorot tak senang tampak jelas di sana. “Jadi, apa yang harus kulakukan, Ed? Apa aku juga yang harus menyembuhkan lukamu?” “Tidak, itu tugasku.” Tugasmu hanyalah berhenti menyakitiku. Bisa? Namun, hanya dalam hati. Adrien tahu benar, sedikit saja dia berani berujar, September akan lari meninggalkannya. “Beri aku waktu,” putus September. “Sampai kapan?” September terdiam lama. “Tidak pernah ada yang tahu, Ed. Satu, dua, tiga bulan ... entahlah. Tidak pernah ada yang tahu kapan luka itu sembuh. Biarkan waktu yang mengobatinya.” *** SEPTEMBER boleh saja berpikir waktu akan menyembuhkan. Namun, bagi Adrien, bukan waktu, tetapi keinginan. Waktu hanyalah sebuah ruang. Media di mana kita diberi tempat untuk memperbaiki apa-apa yang salah. Jika keinginan tak ada, sekalipun waktu terbentang dengan luasnya, mereka tak akan lagi bisa kembali seperti sedia kala. Benar saja, bulan demi bulan berlalu, tahun berganti, sepotong kata, “Aku memaafkanmu,” tak kunjung datang. Malam itu resmi menjadi malam terakhir mereka. Bukannya Adrien tak pernah mencoba, tetapi tak pernah ada buah manis yang lelaki itu dapatkan. Pesan-pesan yang dia kirim, pertemuan-pertemuan yang diajukan, selalu berakhir dalam penolakan. Atau, berakhir di sebuah janji yang tak pernah ditepati. Satu waktu, Adrien tersadar. Ada dua jenis janji. Pertama, dibuat untuk ditepati. Kedua, dibuat untuk sekadar menenangkan. Janji yang September buat untuknya jelas-jelas termasuk jenis janji yang kedua. Hanya untuk membuatnya tenang, dengan harapan berlalu setelahnya, tak lagi merecoki kehidupan sang gadis. Mungkin, agar dia dapat hidup bahagia bersama seseorang yang berhasil merebutnya dari Adrien. Seseorang yang pada akhirnya berhasil menyurutkan segenap keinginan Adrien. Berhasil membuat Adrien kalah dan memutuskan berhenti. Doa-doa yang Adrien panjatkan pun berubah. Tadinya, lelaki itu selalu memohon agar Tuhan menyembuhkan luka di hatinya dan luka di hati September, lalu berkenan mempertemukan mereka kembali sebagai dua orang yang saling menyayangi. Namun, ketika Adrien sadar bahagia September bukan bersamanya, tawa September bukan karenanya, waktu September lebih senang gadis itu berikan pada orang lain, dan yang paling penting: orang itu tak pernah melukai September seperti apa yang Adrien lakukan, Adrien berdoa, “Tuhan, bantulah aku mengikhlaskannya.” Sudah cukup. Adrien lelah. Kalau memang bukan dirinya, kalau memang keberadaannya tak diinginkan, lebih-lebih kalau memang orang itu yang lebih bisa membahagiakan September, Adrien rela melepaskan. Sakit, tetapi lebih sakit lagi bertahan dalam sesuatu yang tak dikehendaki. .... .... .... “Mas.” Sebuah panggilan membangunkan Adrien dari lamunan panjangnya. Aruna berdiri di tengah-tengah ruangan. Mengenakan kimono tidur merah marun. “Sudah malam,” beri tahu perempuan itu. “Besok kerja, kan?” Adrien mengangguk. “Duluan saja. Nanti aku menyusul.” Aruna tak mendebat. Perempuan itu menuju kamar tidur mereka. Sedikit pun tak tahu bahwa saat ini sang suami tengah terganggu akibat kehadiran perempuan masa lalunya. Perempuan yang berhasil mencuri segenap ruang di hati dan kepala Adrien. Perempuan yang lelaki itu pikir berhasil dia lenyapkan, tak tahunya hanya butuh sebuah pertemuan sepihak untuk kembali mengenang kisah-kisah terdahulu. Adrien mengesah. Ini tidak benar! Dirinya telah memiliki Aruna. Perempuan baik hati yang dia temui dua tahun setelah perpisahannya dengan September. Perempuan yang perlahan berhasil membuatnya berani memercayakan hati kembali. Tak seharusnya dia memikirkan perempuan lain. Terlebih, seseorang yang telah dia ikhlaskan. Sekilas, Adrien melirik meja kecil tak jauh dari tempatnya berdiri. Secangkir kopi hitam dingin dan ponselnya tergeletak di sana. Mata lelaki itu memejam. Kemudian, dia memutar tubuh, menatap gumpalan awan di langit malam ini. Sendu. Dingin. Menusuk. Tanpa menyadari, di belakang sana ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Hai, Ed. Bagaimana kabarmu? —Odys [ ]. Langit Abu-abu ‘Di bawah basah langit abu-abu, kau di mana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana?’ – Tulus, Langit Abu-abu *** TANGANKU memutari bibir cangkir. Belum ada perubahan pada langit di luar sana. Masih seabu-abu saat aku tiba di Ruang. Sebuah kedai kopi yang lucunya juga menyediakan cokelat hangat terenak. Letaknya di sudut pertigaan jalan. Kalau kalian menatap ke depan, kalian akan menemui warung tenda yang penuh dengan lautan manusia. Aku tidak pernah mampir ke sana, meskipun aku penasaran apa yang warung tenda itu sediakan sampai orang-orang lebih tertarik berada di tempat itu alih-alih kedai kopi senyaman Ruang—yang selalu sunyi dari hari ke hari. Sama halnya aku tidak tahu mengapa aku masih saja tega menyakiti mataku menatap jendela kaca tidak jauh dari tempatku duduk, padahal aku tahu benar kamu tidak akan datang. Tidak akan pernah kembali. Entah apa yang terjadi padamu, tetapi aku yakin sorot matamu hari itu adalah jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah berani kuajukan. Bahwa kamu tidak menginginkanku, sebab itu kamu memutuskan menghilang. Pergi ke tempat di mana tidak ada aku. Menjalani hidupmu seperti sebelum menyadari ada sepasang mata yang diam-diam terus memperhatikan gerakmu. Sekarang, pertanyaanku hanya satu. Maukah kalian berkenalan denganku dan mendengar kisahku? Benar, aku. Seorang gadis yang tidak suka kopi, bahkan hanya dengan mencium aromanya kepalaku bisa pusing tujuh keliling, tetapi anehnya aku tidak keberatan duduk di Ruang berjam-jam hanya untuk menunggu kedatangan lelaki itu. Pun, aku—seorang gadis yang mengaku menyukai hujan, tetapi meragu berada di bawahnya, sebab aku tidak siap basah. Namun, lagi, aku tidak masalah andai saja kamu menghampiriku lalu mengajakku pergi berjalan-jalan di bawah rintihan langit abu-abu. Sebab, bersamamu akan selalu ada pengecualian. Jadi, apa jawaban kalian? *** AKU tidak tahu siapa namamu. Kita tidak pernah berkenalan. Lalu, bagaimana ceritanya aku bisa tahu kamu? Hari itu aku sedang menikmati waktu senggang di toko buku bekas langgananku. Berharap menemukan harta karun. Sebuah novel yang tampak lusuh, menguning, terlipat di beberapa bagian, tetapi ada keajaiban besar tersimpan di dalamnya. Semisal, menumbuhkan semangat menulisku—yang entah lenyap ke mana selama beberapa waktu terakhir. Di tengah-tengah pencarian, di antara rak-rak buku yang tak lebih tinggi dari kepalaku, aku melihatmu. Seorang lelaki menggunakan kacamata berbingkai hitam. Pandanganmu lurus tertuju pada lembaran kertas kuning di hadapanmu. Sedikit pun tampak tak terganggu keriuhan pengguna jalan di luar toko buku. Aku memiringkan kepala, berharap dapat membaca judul yang tercetak di sampul. Sayangnya, kamu buru-buru menutup, lalu melangkah menuju bapak-bapak tua pemilik toko. Dalam diamku, tak kulepas pandangan darimu. Entah dari mana datangnya magnet, selepas kamu menyelesaikan pembayaran, beranjak keluar, aku malah mengekori langkahmu. Terus saja, meskipun aku tidak sungguh-sungguh tahu di mana pemberhentian yang kamu inginkan. Kita melewati beberapa blok. Gerak kakimu stabil, tak menyadari ada gadis penguntit beberapa meter di belakangmu. Sedikit banyak aku bisa mengembuskan napas lega. Sampai akhirnya, tiba-tiba saja kamu bergegas, mendekap kantong plastik hitam di tangan kananmu, kemudian berlari kecil. Bukan hanya kamu, tetapi orang-orang di sekitarku pun melakukan hal serupa. Sepintas, aku mendengar gumaman. Hujan akan segera turun, katanya. Praktis, aku mendongak. Langit abu-abu di atas kepalaku. Tak ingin mengambil risiko, aku mempercepat langkah. Saat itulah aku menyadari lelaki berkacamata yang berhasil menyeretku sejauh ini telah menghilang. Kepalaku menoleh ke sana kemari, berusaha mencari. Sayang, jejakmu tak bisa kutemukan. *** RINTIK-RINTIK hujan memaksaku memasuki sebuah kedai kopi. Sekilas, aku menilai dan menimbang-nimbang. Tempat ini tidak terlalu luas. Hanya ada empat meja persegi panjang lengkap dengan empat sofa bulat, satu meja panjang persis berseberangan dengan pintu—ada berbagai mesin pembuat kopi di atasnya, dan seorang barista—yang sepertinya juga merangkap sebagai pelayan. Aku sudah memutuskan. Kalau tempat ini tidak menyediakan minuman selain kopi, aku akan memesan air mineral saja. Bertepatan dengan langkahku yang kian mendekat pada sang barista, aku mendengar derit pintu membuka. Mengundangku mencari tahu. Betapa terkejutnya aku mendapati sosokmu berdiri di sana. Rambutmu yang dipotong rapi sedikit basah, begitu pun pakaianmu. Kacamatamu ditanggalkan, entah di mana kamu menyimpannya. Aku tidak tahu. Satu yang kuketahui, kamu berhasil membuyarkan isi kepalaku. Bagaimana mungkin kita bisa sama-sama berakhir di kedai kopi ini? Bahkan, setelah aku memilih menyerah mencarimu. Rupanya Tuhan memiliki cara-Nya sendiri. Lihat, kita kembali dipertemukan di tempat yang tak terduga. Tersadar aku mengamatimu terlalu lama, sebelum kamu menangkap sorot mataku, aku buru-buru memutar tubuh dan menyibukkan diri dengan pesananku. Secangkir cokelat hangat. Sebuah kejutan lain untukku. Tak kusangka kedai kopi ini menyediakan cokelat di antara banyaknya pilihan kopi. “Terima kasih,” ucapku ketika sang barista mengangsurkan uang kembalian. “Sama-sama, Kak. Silakan ditunggu.” Aku mengangguk, tetapi tidak buru-buru menjauh. Sengaja kubuat langkahku sepelan mungkin saat melewatimu yang berdiri di belakangku. Sejujurnya yang aku inginkan adalah memperhatikan wajahmu dari jarak sedekat ini, sekaligus mencari tahu apa yang ada di dirimu sampai aku bisa berbuat nekat. Mengikuti seseorang yang tidak kukenal. Namun, alih-alih melakukan, aku hanya mampu berjalan dengan kepala tertunduk. Membiarkan sepasang Converse putih milikmu memenuhi netraku. Bersamaan dengan itu aku mendengar nada berat menyusup ke gendang telingaku. “Seperti biasa, ya, Di,” katamu pada barista. Seperti biasa? Apa itu artinya kamu sering berkunjung ke tempat ini? *** PERTANYAANKU terjawab pada pertemuan berikutnya. Dua pertanyaanku, lebih tepatnya. Pertama, kamu bukan pengunjung baru sepertiku. Bagimu, kedai kopi ini sama seperti toko buku bekas langgananku. Rumah kedua. Aku tidak pernah bertanya, tetapi selalu mendapatimu duduk di meja favoritmu setiap kali aku datang, aku bisa menyimpulkan demikian. Kedua, aku baru tahu Ruang adalah nama kedai kopi tempat pertemuan kita. Bodohnya aku, tidak peduli seberapa sering berkunjung, aku selalu saja terlupa memperhatikan detail dari nama kedai kopi kita. Sepertinya aku terlalu fokus padamu. Setiap di jalan pulang, barulah aku sibuk bertanya-tanya pada diriku sendiri: apa nama kedai kopi yang menjadi saksi bisu perasaanku untukmu? Perasaan yang tumbuh perlahan, tetapi begitu pasti. Sayangnya, aku tidak pernah menyangka, setelah pertanyaan-pertanyaanku terjawab, benakku malah sibuk dengan serangkaian pertanyaan lainnya. Seperti, mengapa kamu selalu pergi padahal kopimu masih tersisa setengah? Lebih-lebih, kamu pasti bergegas keluar ketika langit begitu kelabu di luar sana. Anehnya, bukannya langsung pulang, kamu malah berdiri di pinggir jalan. Tatapanmu tertuju lurus ke atas. Aku yakin kamu tidak berkedip. Seakan kamu tak ingin kehilangan satu momen pun. Seakan bila matamu melepaskan satu detik saja, dunia akan runtuh di bawah kakimu. Namun, rasa penasaranku tak pernah tersampaikan. Aku hanya mampu menatap. Hingga akhirnya kamu berlalu bersama rinai-rinai hujan. Membungkus tubuh tegapmu. Membasahimu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Aku begitu takjub. Kamu tampak begitu menikmati. Tak peduli seluruh mata orang-orang di sekitarmu tertuju padamu. Menjadikanmu pusat perhatian. Kamu terus saja tenggelam bersama kebahagiaan yang hanya kamu sendiri yang tahu. Kebahagiaan yang—lucunya—berhasil menyergapku. Mataku. Aku sungguh-sungguh tak sanggup melepaskanmu. *** “BERHENTILAH berharap pada sesuatu yang tak pasti.” Aku terdiam. Lama. Namun, sepasang mataku rupanya tak menyukai ide tersebut. Terus saja memandang jendela kaca. Sekat di mana aku selalu bisa menemukanmu. Media perantara di antara kita setelah kamu memutuskan meninggalkan cangkir kopimu sendirian di meja favoritmu. Dua minggu berlalu, kamu tak pernah kembali. Aku tidak tahu mengapa, tetapi sepertinya penyebabnya adalah diriku sendiri. Kamu pasti tidak nyaman setelah mengetahui ada seorang gadis yang memperhatikanmu diam-diam. Selalu datang ke dua tempat favoritmu hanya demi memuaskan rasa rinduku. Kejadian tempo hari bukan kali pertama. Aku yakin benar, kamu pasti semakin tidak menyukaiku. “Aku tidak menyangka ramalan cuaca itu benar,” aku bersuara setelah cukup lama membisu. Kasihan juga perempuan di depanku didiamkan, sementara aku sendiri yang mengundangnya kemari. “Prakiraan.” Sahabatku mengoreksi. “Rindu?” tanyanya tiba-tiba. “Hm?” “Merindukan dia lagi?” Sahabatku mengulang. Sepenuhnya kulepas tatap dari jendela, beralih menekuri wajah lawan bicaraku. Andai saja kamu ada di sini, aku yakin kalian bisa menjadi dua teman baik. Perempuan di depanku ini satu-satunya orang yang mengetahui tentang kamu. Aku begitu memercayainya. Dia adalah aku di wujud yang berbeda. Oh, atau kami tidak sepenuhnya sama? Dia pandai berbicara, sedangkan aku tidak. Dia senang bertemu orang baru. Dia selalu tahu bagaimana memulai sebuah perkenalan—itu mengapa kukatakan kalian pasti bisa berteman baik. Berbeda denganku. Aku kerap kali terkelu berhadapan denganmu. Seakan ada yang merekatkan lidahku di langit-langit. Kamu tahu, perempuan di hadapanku ini mengenalku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri. Aku boleh jadi bisa berbohong pada siapa saja, memamerkan senyum yang menyiratkan aku baik-baik saja, tetapi semua itu tidak berlaku padanya. Dia tahu apa saja mengenaiku bahkan tanpa perlu bertanya. Lama terdiam, aku menjawab, “Hujan.” Jelas tidak mewakili keingintahuan sahabatku. Lihat saja bagaimana dia kemudian menanggapi dengan gelengan kecil. Aku tahu dia tahu. Bahwa aku tidak ingin membicarakanmu, meskipun hatiku tak jua berhenti mencarimu. “Rindu ya rindu saja. Hujan ya hujan saja. Andaipun dipertemukan, sebab sudah saatnya. Kalaupun tidak, Tuhan maha baik telah memberi momen terbaik.” Kalimat sahabatku berhasil memancingku kembali menegakkan punggung. Mataku menyepit. “Tidakkah boleh menyama-nyamakan hujan dan rindu?” “Boleh.” Dia tersenyum kecil. Pasti sahabatku senang bisa menarik atensiku, setelah sekian menit aku tidak mengacuhkannya. “Tidak ada yang melarangnya.” Sekilas, perempuan itu memandangku dari balik cangkir kopinya, menyeruput perlahan. Beberapa detik berlalu dalam senyap. “Kamu tahu benar maksudku. Aku tidak mengatakan tidak boleh menganalogikan hujan dan rindu. Aku hanya ingin kamu....” Mengakui perasaanmu, sambungku dalam hati. “Aku tahu,” putusku, lebih pada tidak ingin mendengar penghakiman darinya. “Mengapa saat hujan tingkat sensitif seseorang lebih tinggi? Kenangan-kenangan muncul dengan sendirinya. Yang tadinya tertanam jauh, berusaha mencuri tempat kembali.” Sahabatku mengernyit. Bisa jadi dia menyadari lagi-lagi aku dengan sengaja mengalihkan pembicaraan. Namun, alih-alih mendebat, dia langsung saja berujar, “Karena suara hujan yang berisik.” Aku memiringkan kepala. Tak sepenuhnya setuju dengan jawabannya. Hujan memang berisik, lalu kenapa? “Karena hujan menempuh perjalanannya, begitu juga kenangan.” “Perjalanan?” “Untuk menjadi hujan, butuh proses perjalanan, kan?” Aku tersenyum. Kepalaku mengangguk berkali-kali. Perempuan ini masih sama seperti kali pertama aku mengenalnya. Jawabannya selalu saja berhasil membuatku takjub. Terpukau pada pemikirannya. Lebih dari itu, semakin meyakinkanku, hanya dia yang mampu menyeimbangi berisiknya isi kepalaku oleh pertanyaan-pertanyaan cenderung tak penting. Tanpa sepenuhnya kusadari, posisimu sedikit tergusur oleh rasa penasaranku. Ah, lagi-lagi aku mengingatmu. Berusaha mengelak, aku kembali berbicara. “Jadi karena hujan dan kenangan memiliki perjalanan dengan caranya sendiri, rindu memiliki alasan untuk hadir lebih besar saat hujan.” Aku sengaja mengakhiri kalimatku dengan nada final. Sebab itu pernyataan, bukan pertanyaan. Namun, tak urung sahabatku menjawab, lengkap dengan kedikan bahu. “Mungkin.... Kita—aku dan kamu—atau setiap orang di luar sana memiliki cara yang berbeda saat menikmati hujan dan kenangan. Kamu seperti ini karena dia dan hujan melekat satu sama lain dalam ingatanmu.” Lagi-lagi sahabatku menyinggung tentangmu. Entah mengapa aku lebih senang mengenangmu dalam kesenyapanku daripada membicarakan terang-terangan bersama orang lain. Karena itu aku memutuskan meluncurkan pengakuan. “Kamu tahu, aku suka hujan, tetapi masih ragu untuk berada di bawahnya.” “Takut basah?” “Iya. Sama seperti ... beberapa orang siap mengenang, tetapi bisa jadi takut semakin merindu.” “Segala sesuatu memiliki risiko,” tandasnya. Aku mengangguk setuju. “Kalau saja aku tidak tertangkap basah, mungkin tidak seperti ini kejadiannya. Mungkin dia masih ada di sini. Kamu bisa mengenalnya secara langsung, bukan hanya dari cerita-ceritaku,” keluhku panjang lebar. Sahabatku memajukan tubuh, ditumpukannya telapak tangannya di punggung tangan kananku. “Kalau dia menginginkanmu, dia tidak akan pergi. Tempat ini....” Pandangan perempuan itu mengedar ke seisi ruangan, melewati sang barista sekaligus pelayan Ruang yang berdiri di balik meja kekuasaannya, kemudian kembali lagi padaku. “Kalau benar tempat ini rumah keduanya, dia tidak akan menyerah begitu saja hanya karena ada seorang gadis yang diam-diam memperhatikannya.” Aku ingin menyanggah, tetapi apa yang sahabatku katakan tidak salah. Dia benar. Mengapa kamu harus meninggalkan sesuatu yang kamu sukai hanya untuk hal baru yang tidak kamu sukai? Bukankah bila benar sesuatu itu berarti untukmu akan selalu ada alasan lebih besar untuk tetap tinggal sekalipun beberapa hal lain di sekitarmu terasa mengganggu? Dalam kediamanku, aku menghela pandangan kembali ke jendela. Langit masih begitu abu-abu. Basah tanah di luar sana membuatku bertanya-tanya, “Ada di mana kamu saat ini? Masihkah kamu menikmati rintihan hujan dengan caramu sendiri?” [ ]. Dua Puluh Delapan ‘Sejujurnya ingin kukatakan saja dari hati ini kumencintaimu. Kuharapkan kau mengerti dan percayakan hatimu. Semuanya kini terserah padamu.’ – Adera ft. Nadiya Rawil, Dengarkan Hatiku *** Jakarta, Maret 2019 “KAMU enggak suka aku di sini, ya?” Suara berat Kian menyusup masuk; memblokir pikiranku untuk terus berkelana. Aku mengerjap mendapati telapak tangan lelaki itu bersarang di pipi kiriku. Hangat. Selalu hangat. Sepasang mataku masih menyesuaikan objek yang ditangkap saat Kian tahu-tahu memusnahkan jarak di antara wajah kami dengan begitu anggunnya. Dia mengecupku. Pelan. Mengalirkan getar samar. Mengantar hawa hangat di sisi-sisi wajahku. Sungguh, Kian tak pernah berubah. Dia dan rasanya masih sama. Namun, mengapa tiba-tiba— Aidan! Wajah sahabatku tahu-tahu muncul di antara kecupan Kian yang semakin mendalam. Sekonyong-konyongnya aku menarik satu langkah mundur. Melepas cengkeramanku di lengan kiri kekasihku. Kian sepertinya sama terkejutnya denganku. Lelaki itu menatapku dengan ekspresi cemas yang menggemaskan. Sayangnya kotak tertawaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tawaku kering. Jelas-jelas dipaksakan. Aku menggigit bibir, tak tahu harus bereaksi seperti apa. “Aku pulang aja.” Kian mengusap kepala belakangku, lantas berbalik. Tidak ada kecupan selanjutnya. Tak pula ada salam perpisahan yang biasa dia lepaskan di keningku. Kian berlalu begitu saja. Aku tahu benar dia bersikap seperti itu karena penolakan secara tidak langsung dariku. “Ki.” Aku menangkap sebelah tangan kekasihku sebelum dia sempat menjauh. Kurangkul sisi tubuhnya. Bibirku berbisik pelan, “Maaf.” “It’s okay.” Kian memutar tubuh ke arahku. Kami berdiri berhadap-hadapan. “Kamu pasti capek. Hari ini teman-teman kamu sudah menyabotase seluruh waktumu. Aku seharusnya tahu diri. Gimana bisa aku malah nambah-nambahin dengan berkunjung sampai selarut ini.” Kian tersenyum tipis. “Aku cuma kangen.” Oh, Kian ..., andai aja kamu tahu. Aku juga rindu kamu. “Kita ketemu besok?” Aku menatapnya dengan penuh harap. Mengabaikan gejolak aneh di dasar hatiku. “Gampang aja. Kalau aku kangen, aku main ke sini, kok. Sekarang kamu istirahat, dan aku pulang. Oke?” Belum sempat aku menjawab, Kian menambahkan, “Enggak perlu antar aku ke bawah. Aku bisa sendiri.” “Oke.” “Oke,” Kian mengulang. Kali ini, lelaki itu merundukkan sedikit tubuhnya untuk mengecup dahiku. “Selamat tidur, Sayang,” katanya, kemudian meninggalkan balkon, menghilang di anak-anak tangga yang mengantarnya ke lantai bawah. Samar-samar kudengar Kian berpamitan pada Papa. Rumah ini sudah seperti rumahnya. Kian bebas masuk kapan saja dia mau. Ke mana saja yang dia inginkan, kecuali satu: kamarku. Mama cukup tegas dengan aturan satu itu. Meskipun kedua orangtuaku teramat memercayai lelaki itu, tetap saja tak ada yang ingin mengambil risiko. Siapa yang bisa menjamin dua orang yang tengah dimabuk cinta seperti kami tidak melakukan macam-macam jika hanya ditinggalkan berduaan di ruang tertutup. Meskipun, ya, aku tak juga pernah berpikir macam-macam. Kian pun kurasa demikian. Untuk apa, kami toh hanya perlu menunggu tiga pekan lagi sampai akhirnya kami sah di mata agama dan negara. Benar, hubunganku dan Kian memang sudah sejauh itu. Kami berpacaran dua tahun terakhir. Sebulan lalu, Kian ke Yogyakarta. Mengunjungiku. Hanya satu malam, tetapi dia berhasil mengguncang duniaku dengan kalimatnya yang memintaku untuk mengizinkannya menjadi teman hidupku di masa-masa mendatang. Aku tak memiliki alasan untuk mengatakan tidak. Aku tahu Kian mencintaiku. Kian pun tahu aku mencintainya. Kami partner yang hebat. Tadinya. Tadinya. Sebelum Aidan menghancurkan segalanya. Lelaki itu tahu-tahu melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan seorang sahabat. Aidan bukan hanya membuatku meragukan keputusanku bersama Kian, tetapi juga mengacaukan semua momenku dengan Kian. Dulu, setiap kali Kian menyentuhku, tak ada siapa pun yang berhasil mencuri tempat. Kian satu-satunya. Selalu satu-satunya. Namun, selepas sentuhan Aidan malam itu, segalanya tak lagi sama. Aku tak bisa tidak memunculkan bayangan Aidan di antara kecupan-kecupanku dan Kian. Aku tak bisa tidak membandingkan kehangatan antara sentuhan Kian dan sentuhan Aidan. Pun, aku tak bisa melihat Aidan seperti Aidan yang dulu. Sahabat terbaikku. Lelaki yang kusayang, yang telah kuanggap sebagai abang kandungku. Lelaki yang selalu kutuju, terlebih dalam keadaan terpuruk. Lelaki, yang aku tahu, akan selalu bisa menopangku saat aku jatuh. Lelaki yang kupercaya. Sangat aku percaya. Yang nyatanya mengkhianati kepercayaanku dengan memendam rasa padaku selama bertahun-tahun. Masalahnya, kuakui ataupun tidak, akulah yang membuat Aidan bersikap demikian. Aidan Sjarief hanya menuntut janjiku kepadanya. Janji yang kuucapkan dalam keadaan sepenuhnya sadar. Janji yang kuharap tidak dianggap main-main, hanya karena kali pertama reaksi Aidan saat mendengarnya adalah tergelak hingga jatuh merebah di lantai teras rumahku. Janji yang kuucapkan ... ratusan hari sebelum aku mengenal Kian Abiyoga. *** Yogyakarta, Februari 2019 AKU mendorong pintu dengan pundakku. Di tanganku aku membawa nampan berisi dua cangkir cokelat hangat dan stoples kecil cookies. Seseorang yang kutuju sedang asyik memainkan gawai. Sepasang kakinya terjulur ke kolam renang. Mengepak-ngepak pelan. Melihatku mendekat, sigap dia menyimpan benda di tangannya ke saku belakang celana jeans-nya. Senyumnya mengembang lebar ketika netranya mendarat di nampan yang kuletakkan di sisi kiri tubuhku. “Terima kasih,” katanya saat aku menyerahkan secangkir cokelat hangat untuknya. Dia menunduk pelan. Menghidu aroma yang menguar. “Masih enggak suka kopi?” “Enggak akan pernah suka,” aku mencibir. Lelaki itu tertawa. Diseruputnya cokelat buatanku. “Enak,” pujinya. “Terima kasih.” Aku melebarkan sudut-sudut bibir. Alih-alih bersikap sepertinya, kubiarkan saja cangkir milikku. Aku malah merapat padanya. Merebahkan sisi kepalaku di pundak kirinya, lalu fokus ke gawai. Memeriksa aplikasi WhatsApp. Benar saja, ada pesan dari Kian. Mengingatkanku untuk tak lupa makan sekaligus mengabari dia akan terjebak rapat sampai pukul sembilan. Aku mengetik beberapa kalimat, balas mengingatkan Kian untuk jangan terlalu lelah. Terkadang aku heran dengan pekerjaan lelaki satu itu. Kantornya senang sekali mengadakan rapat sampai menjelang malam. “Gue dengar dari Tyas, Kian ngelamar lo.” Aku buru-buru meletakkan gawai di nampan. Kepalaku menegak. Dengan mata menyipit aku berujar, “Lo kepo juga, ya.” Dia mendengus. “Kapan lo berencana kasih tahu gue?” Lelaki itu tampak tak peduli dengan tuduhanku. “Nanti,” kataku. “Gue pasti kasih tahu lo, kok. Gue cuma tunggu momen yang tepat aja. Lo sibuk banget belakangan ini. Lagian, belum lamaran resmi. Kian baru bicara ke gue, belum ke Mama dan Papa.” “Ya, ya, bener, gue sibuk banget belakangan ini.” Dia jelas-jelas menyindir. “Tyas tahu, tapi gue enggak.” Aku tergelak. “Bisa-bisanya lo cemburu sama Tyas.” “Yeah, right, gue bukan siapa-siapa lo.” Alih-alih menyurutkan tawa, aku malah terbahak semakin hebat. Kupeluk lelaki di sisiku. “Bicara apa, sih, lo? Lo itu ... best friend forever-nya gue, tahu!” Aku melonggarkan dekapan demi memandangi sosok di sisiku. “Aidan,” pelasku, “sudah, deh, jangan kayak anak kecil gini. Gue minta maaf, ya. Kan, sekarang lo juga sudah tahu. Enggak ada bedanya, kan?” Tidak ada jawaban. Aidan menatap lurus tembok di seberang kolam renang, tetapi entah mengapa aku merasa tatapannya lebih jauh daripada batas yang mengukung. Aku ingin bertanya, tetapi khawatir akan diabaikan lagi. Jadilah kubiarkan saja lelaki itu berkelana selagi aku kembali merebahkan kepalaku di pundaknya dan kakiku berkecipak pelan di kolam renang. Aku selalu suka berada di dekat Aidan. Lihat saja, bahkan dalam senyap pun aku tahu dia tak akan ke mana-mana. Kenyamanan dan keamanan itu masih dapat kurasakan. “Kalau gue enggak susulin lo ke sini, lo enggak bakal cerita, kan?” Napasku tercekat. Entah mengapa tuduhan Aidan terasa begitu tajam. Aku tak pernah tahu dia bisa membuatku seterluka ini dengan sepotong kalimat bernada pertanyaan. Selama ini, seperti apa pun kami berselisih paham, Aidan selalu pandai memilih kata. Dia selalu dan sebisa mungkin menghindari pertingkaian yang disebabkan olehnya. Sesuatu yang sering kali membuatku merasa bersalah setelah bersikap tidak sepantasnya kepadanya. Aku mengembuskan napas. Berusaha tak terpancing. “Gue sudah bilang, gue pasti cerita. Mungkin nanti,” aku mengedikkan bahu, “sekembalinya gue ke Jakarta.” “Kapan? Ketika hari pernikahan lo dan Kian semakin dekat? Biar apa? Biar gue enggak menuntut janji ke lo, Re?” “Janji?” “Bagus.” Aidan mengangguk-angguk. Air wajahnya mengeras. “Lo bahkan lupa janji lo sendiri.” Keningku mengernyit semakin dalam. Janji apa yang Aidan maksud? Kapan aku pernah berjanji padanya? Lebih dari itu, mengapa dia bersikap seolah janji itu begitu penting sampai dia harus semarah ini? Aidan yang kutemui malam ini seperti bukan Aidan yang kukenal. Terlalu penuntut. Selama persahabatan kami, Aidan lebih banyak—tidak, tidak, Aidan selalu mengalah. Lelaki itu tak pernah terpancing untuk membalas sikap kekanakanku dengan emosi pula. Aidan selalu tahu caranya meredam kekesalan akibat ulahku. Kami bersahabat bukan sejak kemarin sore. Aku mengenal Aidan dengan baik. Namun, mengapa aku tak pernah melihat sisi yang satu ini? “Gue enggak tahu lo bakal seserius ini bareng Kian.” Pernyataan Aidan yang diucapkan begitu pelan itu membuatku menolehkan kepala ke arahnya. Apa maksudnya? “Gue pikir Kian akan sama seperti pacar-pacar lo lainnya,” Aidan berujar lagi. Seperti bicara seorang diri. “Kalian kenal, menjalani, lalu suatu waktu lo bakal mendepak lelaki itu karena rasa penasaran lo sudah terpuaskan.” Aku semakin tak paham dengan racauan lelaki itu. Sesudah menghela napas, aku berkata, “Gue pikir lo ikut bahagia mendapati seorang Audrey Tereza berubah.” Aidan memejam. Saat menelengkan kepala ke arahku, aku mendapat kilat terluka di bola matanya. Berbanding terbalik dengan kalimat yang meluncur dari bibirnya. “Gue bahagia, Re. Tentu bahagia.” Lalu masalahnya di mana, Aidan? Lelaki ternyata sama saja, ya. Mereka bilang perempuan sulit ditebak, tetapi lihat sikap kaum mereka satu ini. “Mungkin sebaiknya gue balik. Enggak seharusnya gue ada di sini.” Aidan mengurai tanganku yang melingkar longgar di lengannya. Lelaki itu bangkit. Tampak menjulang dilihat dari tempatku duduk. “Masuk, Re. Sudah malam,” dia berujar tanpa menatapku. Sesudah menurunkan gulungan celananya, Aidan lekas mengenakan kembali sepatunya. Tak peduli kakinya masih basah. Membuatnya agak kesulitan. Aku tidak bersuara selagi lelaki itu sibuk seorang diri. Ketika dia kembali menegakkan tubuh, kubilang, “Gue enggak tahu lo bisa sekekanakkan ini.” Aidan memicing. Dientasnya jarak di antara kami. Kini kami berdiri berhadapan-hadapan. Bibirnya tidak terlalu terbuka saat dia berkata, tetapi aku dapat mendengar kalimatnya teramat jelas. “Gue datang ke sini untuk menuntut janji lo. Bodohnya gue, gue berharap pada orang yang salah. Seorang perempuan yang bahkan enggak ingat dia pernah berjanji ke gue.” “Gue enggak ngerti lo ngomong apa, Aidan,” gemasku. “Bisa enggak, sih, lo terus terang? Enggak usah mutar-mutar begini? Lo buat gue bingung.” “Dan lo buat gue kecewa,” tandas Aidan. Aku gegas meraih tangannya. “Lo enggak pernah bilang begitu ke gue selama ini. Lo—” “Karena nyatanya memang malam ini lo, akhirnya, berhasil melakukannya, Re.” Aidan menatapku dalam-dalam. Tepat di bola mata. “Sudahlah, kita enggak perlu berdebat. Lo masuk sekarang. Anggap aja apa yang gue bicarain malam ini enggak pernah gue bicarain.” Untuk kali kedua, Aidan melepas genggamanku. Lelaki itu melewatiku. Langkahnya tegas, mengandung amarah. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Sementara itu pundaknya sedikit menunduk, dan bergetar. Sungguh, Aidan seperti bukan Aidan. Inilah kali pertama aku melihat Aidan versi yang satu ini. Apa sesungguhnya yang telah kubuat sampai-sampai aku berhasil membangunkan monster dalam dirinya? “Aidan,” panggilku, “lo enggak bisa bersikap begini ke gue.” Serta-merta Aidan berbalik. “Lo yang enggak berhak bersikap seperti ini ke gue, Re!” kecamnya. Kemudian, hal yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar bayanganku. Aidan berbalik ke arahku. Geraknya lebih cepat. Aku bahkan tak ingat bagaimana dia bisa-bisanya sudah berdiri tepat di hadapanku. Dia seperti menerjang, tetapi terlalu anggun. Tangannya menangkup kedua pipiku. Napasnya menderu persis di depan wajahku. Selanjutnya, hanya dengan kedipan tak kentara, Aidan seolah meminta izin kepadaku. Lelaki itu, sahabatku bertahun-tahun, tahu-tahu mendaratkan kecupan di bibirku yang terbuka. Satu kecupan, aku tak bereaksi. Dua kecupan, aku masih sama. Tiga kecupan, aku nyaris saja membalas—kalau tak ingat aku telah termiliki. Gadis yang telah berstatus tunangan seseorang. Kian …, aku berbisik, memanggil nama kekasihku. “Aidan,” aku mendorong lelaki itu sekaligus memundurkan wajahku darinya, “no. We can’t do it.” Sepasang mata tajam Aidan mengerjap beberapa kali. Dia seperti baru terbangun dari tidur panjang. Sedikit banyak aku mendapati kilat terluka bercampur permohonan maaf di sana. “Re,” lembut Aidan mengucap namaku, “aku cinta kamu. Plis, nikah sama aku, ya?” “Lo—” Aku sungguh-sungguh tak tahu apa yang ingin kukatakan. Cinta? Nikah? Kami bersahabat, terlalu dekat. Bagaimana mungkin Aidan terpikir— “Beberapa tahun lalu kamu pernah minta ke aku untuk nikahin kamu. Aku ke sini untuk itu, Re. Aku mau nikah sama kamu.” Aidan kembali menipiskan jarak di antara kami. “Ayo nikah sama aku, Re.” Diraihnya tanganku. Tatapannya melembut. Tak ada lagi gelegak amarah. “Nikah sama aku, ya, Re. Ya?” Aku tak bersuara. Aidan terus saja meracau. Rasanya kepalaku penuh. Penuh dengan banyak hal. Kenangan kami, kalimat-kalimat Aidan, janji yang memudar di ingatan, yang kemudian dipaksa untuk hadir kembali. Demi Tuhan, rasanya sesak sekali. “Cukup, Aidan,” bisikku. “Cukup.” “Re….” “Pulang. Pulang sekarang,” tegasku. “Pulang sekarang, Aidan.” *** Jakarta, Maret 2019 HUJAN jatuh pagi itu. Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain merebahkan diri di tempat tidur. Menatap langit-langit. Memikirkan kembali apa yang telah terjadi di hidupku. Satu bulan berlalu, tetapi permohonan sekaligus permintaan Aidan masih mengiang di kepalaku. Sementara itu, sang pelaku menghilang. Entah di mana keberadaannya. Kemarin, saat teman-temanku berkumpul di rumah, melakukan pesta penyambutan kepulanganku setelah dua tahun menempuh pendidikan pascasarjana di luar kota, batang hidung Aidan tak terlihat. Lelaki itu menghilang, seperti ditelan bumi. Namun, tidak dengan ucapannya. Benar ternyata, perkataan yang terucap sama seperti hujan, tak bisa kembali ke langit. “Yas,” aku memanggil sosok yang ikut berbaring di sisi kiriku, “menurut lo, apa yang akan terjadi andai gue batalin pernikahan gue?” Tyas, yang saat itu menatap lurus langit-langit kamarku, menelengkan kepala. Sebelah tangannya terangkat, berhenti di keningku. “Enggak panas,” katanya. Kujauhkan tangan Tyas. “Gue lagi enggak bercanda.” Tyas terkekeh dengan leluconnya sendiri. “Lo kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu? Lo ragu sama Kian?” Gue ragu sama diri gue sendiri, Yas. Aku tak memiliki cukup keberanian menjawab langsung. Biarlah, biar hatiku saja yang mengakuinya. “Yas….” Aku merangsek mendekati Tyas, kupeluk perempuan itu, lalu kusembunyikan wajahku di pundaknya. Yas, gue capek banget, Yas. “Rasanya gue cuma mau begini aja, Yas. Enggak usah nikah. Hidup gue udah sempurna dengan adanya lo.” Tyas menjauhkan tubuhnya dariku. “Lo kenapa nyeremin gini, sih, Re? Takut, lho, gue.” Namun, aku tahu dia hanya bercanda. Tyas dan aku adalah sahabat terbaik. Tyas mengenalku sebaik aku mengenalnya. Benar saja, detik berikutnya, perempuan itu malah melingkarkan tangan di punggungku, menarikku; memupus jarak di antara kami. “Katanya, setiap calon pengantin memang sering kali diserang ragu, Re. Semakin mendekati harinya, semakin ragu kalian dibuatnya.” Aidan pelakunya, Yas. Aidan. Sahabat kita. “Lo tahu,” Tyas berujar lagi, “lo beruntung dapat laki-laki sebaik Kian. Lihat gue, sampai umur segini, gue enggak juga ketemu pasangan yang tepat, yang baik, yang sayang gue, kayak Kian sayang sama lo.” Aku tergemap. Ini bukan tentang Kian, Yas. Kian sempurna. Gue yang enggak. “Udah, ah, yang ganggu di kepala lo enggak selalu harus lo dengerin.” Tyas mengusap tanganku yang berada di atas perutnya. “Saran gue, coba ambil waktu dulu dari Kian. Ngobrol sama diri lo sendiri. Jangan cepat ambil keputusan, apalagi saat lo enggak waras.” “Sial. Lo bilang gue gila?” Tyas tergelak. Kami tergelak. Bersama. “I love you, Yas.” “I know,” sahut Tyas dengan congkaknya. Lalu, kami tertawa lagi. Sejenak, aku lupa beban yang mengimpitku. *** SUATU malam, tujuh tahun lalu, di balkon rumahku, aku pernah meminta sesuatu, yang ketika itu begitu aku yakini, tetapi kini begitu aku sesali. Kalau saja waktu itu aku tak meminta Aidan berjanji, tak akan aku dilingkupi keraguan menjelang hari pernikahanku. Keraguan yang berkembang semakin besar hari ke hari. Keraguan yang membuatku bertanya-tanya kembali. Jika memang cintaku pada Kian sebesar yang kupikir, Aidan seharusnya bukanlah halangan. Aku akan tetap meyakini Kian sebagai lelaki satu-satunya. Tak akan ada orang lain yang berhasil menghancurkan segalanya di detik-detik terakhir. Tidak. Akan. Pernah. Ada. “Lo bercanda ya, Re?” “Ih, gue serius, tahu!” “Tapi permintaan lo enggak masuk akal.” “Apa, sih, susahnya mengiakan permintaan sahabat lo sendiri? Gue, kan, cuma minta lo janji untuk nikahin gue, Aidan. Kalau, tentu aja pakai kalau lo, ya. Kalau sampai usia gue yang ke dua-puluh-delapan, enggak ada laki-laki yang nikahin gue, lo harus nikahin gue.” Aku menekan wajah dalam-dalam ke bantal. Meraung sejadi-jadinya. Kebodohan apa yang sudah kulakukan? Bagaimana mungkin aku meminta hal demikian pada Aidan? Oh, aku ingat! Selain karena aku masih terlampau muda, begitu labil, saat itu aku juga kesulitan mendapatkan lelaki sesuai inginku. Ada saja cela dari mereka yang membuatku memiliki alasan untuk meninggalkan. Sungguh, manalah aku tahu pada akhirnya aku akan bertemu dengan Kian, yang kemudian melamarku beberapa hari setelah aku menginjak usia ke-28. Yang lebih bodoh lagi, sebenarnya aku bisa saja menegaskan pada Aidan kalimat yang pernah kuucapkan padanya. Ada kata kalau di sana. Kenyataannya saat ini, kan, ada lelaki yang berniat menikahiku, itu berarti janji di antara kami gugur. Aidan tak berhak menagihnya. Aku tak berkewajiban menepatinya. Namun, mengapa aku begitu terganggu seperti ini? Mengapa aku meragukan segala yang telah kuyakini? Cintakah juga aku pada Aidan? Tentu saja, Tere! Kalau enggak, lo enggak mungkin ada di sini sekarang. Aku mengesah. Gawai di nakas menarik perhatianku. “Ki …,” panggilku setelah sambungan telepon terhubung. “Sayang,” Kian terdengar ragu. Mungkin juga cemas. Tak pernah sebelumnya tunangannya ini mengucap namanya dengan nada begitu. “Ada apa?” “Aku enggak bisa nikah sama kamu, Ki. Aku enggak bisa. Maaf, tolong maafin aku. Maafin aku, Ki.” Begitu saja. Panggilan telepon segera kuakhiri, tanpa merasa perlu mendapat jawaban dari lawan bicaraku. Kekasihku, tunanganku. Yang kini bukan lagi. Kian telah kubebaskan. Dia bebas. Dia berhak bahagia, alih-alih terikat dengan perempuan meragu sepertiku. Perempuan yang mempertanyakan perasaannya sendiri di detik-detik menuju pernikahannya. Sungguh, tak semestinya Kian bersamaku. Sesudahnya, aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Namun, aku tahu, aku merasakannya benar, ada lega yang menguar di dadaku. Ada sakit yang terlepas. Ada sesak yang tak lagi mengikat. Aku merasa bebas dan … bahagia. Ya, aku bahagia. Kurasa aku bahagia. [ ]. Biru Untuk Re // 1 ‘Cantik, bukan kuingin mengganggumu, tapi apa arti merindu selalu. Walau mentari terbit di utara, hatiku hanya untukmu.’ — Kahitna, Cantik *** BIRU tahu sampai kapan pun dia tak akan pernah menjadi warna favorit Re. Ada banyak warna di hidup gadis itu, Biru mungkin salah satunya, tetapi bukan yang paling utama. Warna lain, nama lain, yang tak pernah absen dibicarakan di setiap pertemuan mereka. Biru mengenalnya, sekalipun Biru tak pernah bertemu dengan lelaki itu. Memang, tak satu kali pun Re mengutarakan secara gamblang tentang perasaannya; isi hatinya, tetapi kilat bahagia di bola mata Re tak bisa Biru abaikan begitu saja. Re selalu lebih bersemangat setiap kali warna satu itu menjadi topik pembicaraan mereka. Biru menyebutnya Kelabu, tetapi sepertinya Re lebih suka memanggilnya Baskara. Ya, Baskara yang itu, yang memiliki arti matahari. Matahari buat Re. Namun, langit keruh pertanda hujan bagi Biru. Sayangnya, setidak suka apa pun Biru pada Kelabu, dia tetap saja tak bisa menyingkirkan Kelabu dari hidup mereka. Kelabu akan tetap di sana. Mengisi celah kosong tak kasatmata di antara Biru dan Re. Meski wujudnya tak pernah nyata, tetapi namanya tak pernah absen. Namun, sungguh, Biru tak keberatan. Baginya Re adalah segalanya. Gadis itu semesta Biru yang lain. Apa pun akan Biru lakukan demi membahagiakan Re. Apa pun. Benar-benar apa pun. Bahkan, dia rela memberi nyawanya kalau memang itu yang paling Re butuhkan. Meski, Biru yakin, seandainya Re diberi pilihan, warna apa yang gadis itu mau, bukan dia yang jadi jawaban. Biru memejamkan mata selagi tangan kanannya menekan tuas untuk menurunkan sandaran jok. Pelan coba diusirnya pemikiran aneh yang sejak tadi menghuni isi kepalanya. Kelabu enggak ada di sini, pikir Biru. Re bersamaku. Tak seharusnya dia memusingkan rivalnya di saat dia sedang menunggu kedatangan Re. Pelupuk mata Biru semakin rapat. Cuaca di luar cerah, terlalu cerah. Syukurnya pendingin mobil bekerja maksimal. Setidaknya, dia bisa terlelap sebentar sampai gadis yang ditunggunya itu datang. Sabtu …, Biru tersenyum miring. Hanya Re satu-satunya yang bisa membuatnya meninggalkan kamar di hari Sabtu. Akhir pekan adalah waktu yang paling Biru tunggu-tunggu. Senin sampai Jumat bekerja, dia lebih suka hanya berada di rumah saat Sabtu dan Minggu. Namun, ini Re! Gadis yang dicintainya. Kalau Re sudah memberi titah, tak ada yang bisa menolak. Bahkan Biru yang kelelahan sekalipun. Tidak, tidak, Biru tidak lelah. Tadinya, iya. Namun, saat membayangkan akan bersitatap dengan wajah Re, capai itu meluap, hilang, sirna. Yang tersisa hanyalah semangat. Re memang seajaib itu. Perempuan itu tak perlu melakukan apa-apa, tetapi semesta Biru berhasil dibuatnya jungkir-balik. Jangankan mengorbankan Sabtu, kalau Re meminta tujuh hari dalam sepekannya, Biru yakin dia akan langsung mengiakan. Ketukan di kaca jendela membangunkan Biru. Dia segera membuka kunci pintu otomatis. Re, dengan napas satu dua, duduk di sebelahnya, mengisi tempat kosong yang sejak tadi disiapkan Biru hanya untuknya seorang. “Ru ….” Re menggoyang pelan bahu Biru. “Kamu tidur?” “Hhhh.” Biru menggeliat, tetapi pelupuknya tetap merapat. “Ponsel aku enggak di aku, jadi aku enggak tahu kamu ada telepon berkali-kali,” Re menjelaskan alasan mengapa beberapa panggilan Biru tidak mendapat respons. “Aku lagi menghadap atasan, ponselnya ketinggalan di kubikel. Ru …, bangun, dong. Aku lagi bicara sama kamu, nih.” Biru tersenyum samar. “Aku dengar, Re,” katanya. Dia akhirnya membuka netra, mendapati Re menatapnya cemas. Kamu cantik, Biru memuji diam-diam. “Aku kepikiran kamu terus, tapi atasanku enggak juga mau berhenti. Aku yakin kamu pasti sudah nunggu aku. Aku telat banget, ya?” Re masih saja tenggelam dalam rasa bersalahnya. Perempuan itu melirik jam di dasbor. Lewat lima belas menit dari janji mereka. Biru tidak menjawab. Namun, di hati kecilnya, Biru sebenarnya tidak peduli. Apalah arti lima belas menit bila hadiah dari menunggunya adalah seorang Re. Lagian, Biru sudah lama menunggu Re, lebih dari lima belas menit, bertahun-tahun, dan dia tidak keberatan sama sekali. Re saja yang tidak tahu. “Atasan kamu pasti enggak tahu apa itu hari Sabtu,” keluh Biru, tentu saja pura-pura. “Aku berencana kasih tahu beliau, sih. Bisa-bisanya bos aku minta aku ke kantor di hari Sabtu. Sabtu, kan, waktunya aku enggak ke mana-mana, mendekam di kamar.” Tapi, kalau atasanmu enggak minta kamu ke kantor, kamu juga pasti enggak minta aku buat jemput kamu, Re. Biru jelas tidak menyuarakan. Dia malah berkata, “Jadi kita mau ke mana? Langsung balik?” “Jangan, ah! Nanggung. Sudah di luar ini. Jalan-jalan dulu, yuk. Ke mana, gitu.” “Ke mana?” ulang Biru. “I have no idea, Re. Kamu tentuin, aku ngikut.” Ya, seperti yang sudah-sudah. Re selalu memutuskan, dan Biru tak pernah keberatan. Ingat, Re adalah semestanya Biru. “Aku juga enggak tahu.” Re cengar-cengir. “Ikut arah angin aja, Ru,” katanya lagi. Biru berdecak, tetapi tentu saja tak keberatan. Ditegakkannya sandaran jok. Sebelum menginjak pedal gas, Biru mengenakan sabuk pengaman. Dia nyaris siap meninggalkan kantor Re, kalau saja tak menyadari satu hal. “Seat belt-nya dipakai, Re,” Biru mengingatkan. “Oh, iya!” Re terkekeh. “Biru perhatian, deh.” If only you knew, Re. *** “KAMU ingat Elmira enggak, Ru?” Biru, yang sedang fokus menyetir, dengan telunjuk mengetuk-ngetuk kemudi, bibir mendendangkan pelan Cantik-nya Kahitna, memiringkan kepala ke arah Re. Keningnya mengernyit. Siapa? “Biru, mah, gitu. Pelupa!” Re menggerutu. Gadis itu sengaja mengubah posisi duduknya, persis menghadap Biru. Dengan semangat, Re melanjutkan, “Elmira yang dulu pernah naksir kamu itu, loh.” Biru tidak merespons. Bukannya dia tidak mendengar. Apa pun yang Re ucapkan, tak pernah melintas begitu saja. Selalu berhasil mencuri tempat di kepala Biru. Bahkan, bertahan sedikit lebih lama dari kalimat-kalimat orang lain. Re memang sespesial itu, Biru tak akan bosan mengingatkan dirinya sendiri. Namun, sekali ini, mereka sedang membicarakan perempuan lain. Siapa tadi kata Re? Elmira? Elmira siapa? Biru tidak peduli. Biru tak pernah peduli dengan perempuan mana pun. Mana pun—terkecuali Re. “Ih, Biru, diajak ngomong juga, malah nyanyi!” Re mencubit lengan Biru yang sedang memindahkan persneling. Biru tak memedulikan kekesalan Re. Pemuda itu, masih tak menaruh atensi pada siapa-itu-Elmira, malah menaikkan volume suaranya. Memperjelas senandungnya. Sesekali melirik Re. “Ada hati yang termanis dan penuh cinta, tentu saja, kan, kubalas seisi jiwa. Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita. Ini kesungguhan, sungguh aku sayang kamu.” Re terkekeh kala Biru membenturkan pundaknya ke pundak Re. Gadis itu ikut menyanyi. Melupakan sejenak obrolan mereka. Ikut hanyut dalam kesantaian yang Biru ciptakan. Re hanya tidak tahu betapa tulusnya lagu itu untuknya. Re tidak tahu ada harap yang diam-diam Biru sematkan dalam setiap untaian katanya. Re tidak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu. Perempuan ini memang sangat berhasil membuat Biru jatuh padanya, tetapi di sisi lain Biru pun sadar, sekalipun Re bukan sosok terlarang untuk dimiliki, nyatanya Re tak pernah melihatnya sebagai lelaki, sebagai lawan jenis. Bagi Re, Biru hanyalah sahabat. Seseorang yang selalu ada. Yang siap menjadi telinga, pundak, dan kawan berlari saat suntuk melanda. Namun, hanya sebatas itu. Tidak lebih. Diam-diam Biru tersenyum miris. Menertawakan nasibnya. Takdir yang tak berpihak padanya. “Beneran enggak ingat Elmira, nih?” “Astaga …, ya, Tuhan! Kita balik ke sana lagi?” “Kan, belum selesai, Ru.” Re terkikik. “Lebay, deh!” katanya. “Waktu aku ke Bandung tempo hari, aku ketemu Elmira. Dia tanya, kita masih bareng enggak. Kubilang, aku harus klarifikasi dulu. Bareng-nya Elmira dan bareng-nya aku jelas beda.” Sembunyi-sembunyi, Biru tersenyum masam. Re selalu saja keberatan jika ada yang berpikiran jauh mengenai hubungan mereka. Berkebalikan dengan Biru. Kalau ada yang mengira Re adalah kekasihnya, Biru tak pernah mengelak. Malah, diam-diam, dia mengaminkan. Siapa yang tahu ada malaikat lewat saat itu, pikirnya. “Sewaktu tahu kamu masih available—” “Available banget, nih, Re,” sindir Biru. Re terkekeh lagi. “—dia lalu titip salam buat kamu.” Biru menoleh. Tatapannya dan Re bersinggungan di udara. Re pikir Biru menyangsikan kalimatnya. Namun, kenyataannya, Biru sedang mencari ketidaknyamanan di kilat mata sang gadis. Tidak ada. Biru tidak menemukan apa pun. Sorot itu hanya dia dapati saat mereka membicarakan Kelabu. Kecemburuan itu hanya milik Kelabu, tidak untuk Biru. “Salamin balik enggak, nih?” “Kamu balik ke Bandung? Kapan?” “Ih, enggak. Kan, bisa lewat WhatsApp. Hehehe.” Biru hanya berdecak. Tidak mengiakan, tidak pula menolak. Buatnya, terserah. Mana saja yang bisa membuat Re bahagia. “Gimana enggak awet jomlonya, ada cewek cantik deketin, kamunya sok jual mahal gini,” komentar Re. Gadis itu membuang pandangan ke jalanan yang mereka lewati. “Eh, nanti kalau ada minimarket, mampir, ya. Biar ada yang dikunyah-kunyah, gitu.” Biru mengangguk saja. Kalimat pertama Re sengaja tidak digubris. Ah, Re, if only you knew. [ ]. Biru Untuk Re // 2 ‘It’s you, it’s always you. If I’m ever gonna fall in love, I know it’s gon’ be you. It’s you, it’s always you. Met a lot of people, but nobody feels like you.’ — Alie Gatie, It’s You *** PEKERJAAN Re membuat gadis itu sering bepergian. Sebentar-sebentar Re di Bandung, sesekali ke Yogyakarta, Malang, dan beberapa kota lainnya di pulau Jawa. Pernah juga Re pergi ke Kalimantan dan Sumatera. Biasanya, karena jarak tempuhnya lebih jauh, harus naik pesawat, Re pergi lebih lama. Maksimal sepekan. Namun, buat Biru, sepekan rasanya lama sekali. Biru selalu saja dibuatnya uring-uringan. Syukurnya, sekalipun jarak membentang, Re tak pernah keberatan dirusuhi dengan telepon-telepon tak penting dari Biru. Ada saja yang lelaki itu jadikan topik obrolan. Entah bos menyebalkan, kantin kantor yang lebih penuh dari biasanya, deadline naskah yang harus direvisi, atau sesederhana Jakarta macet—demi Tuhan, Jakarta tak pernah tak macet, Biru tahu itu. Pernah, dari semua perjalanan Re, ada satu kali Biru mendapati Re tidak seperti biasanya. Gadis itu pulang dengan wajah setingkat lebih cerah. Re juga lebih sering tersenyum. Biru pun kerap menangkap basah pipi Re bersemu merah jambu setiap kali menatapi layar gawainya. Entah pesan dari siapa yang berhasil membuatnya demikian. Biru tak bertanya, tak ingin. Pertama, dia tak ingin mengusik. Re selalu cerita, apa saja. Kalau Re tidak cerita, mungkin gadis itu lupa. Atau, hal tersebut memang tidak terlalu penting. Tak seharusnya mereka bahas. Yang pasti, Re tidak suka didesak. Tidak peduli sekeras apa usaha Biru mengorek informasi, kalau Re tak ingin, dia tak akan dapat hasil apa-apa. Jadi, Biru menyepakati satu hal, lebih baik menunggu. Selama apa pun itu. Kalau dia memang pantas untuk tahu, dia akan tahu, langsung dari yang bersangkutan. Kedua, jujur saja, Biru takut mendengar kenyataan. Biru takut mengetahui siapa sesungguhnya yang berhasil menghuni hati Re. Sejak lama mereka bersama, dekat sebagai sahabat, tak pernah ada yang sukses tinggal lama di sana, di hati Re. Termasuk Biru. Sayangnya, Semesta ingin Biru tahu. Hari itu, setelah merasa cukup menyimpannya sendiri, Re akhirnya memberi tahu Biru perihal lelaki itu. Baskara, katanya. Bukan nama sebenarnya, tetapi Re senang memanggil demikian. Biru, tentu saja, diam-diam menolak keras! Dia lebih suka menyebut si perusuh itu sebagai Kelabu. Awan keruh yang mengundang badai. Badai di hubungan mereka. Biru tahu Re tidak berubah—Re tidak meninggalkannya, tetapi Biru pun sadar ada jembatan tak kasatmata di antara mereka sejak kehadiran Kelabu. Re lebih senang berlama-lama memandangi gawainya daripada berbincang dengan Biru. Re juga kerap memilih berakhir pekan di rumah daripada mengitari Jakarta tak tentu arah bersama Biru—seperti kebiasaan mereka. Belum lagi betapa seringnya Kelabu jadi topik pembicaraan mereka. Demi Tuhan, Biru muak. Sangat. “Aku pikir kamu marah karena aku enggak cerita.” Biru ingat Re berkata demikian. “Kamu enggak pernah tanya apa pun.” Biru diam. Lama sekali. “Kamu enggak suka didesak, aku tahu itu, Re. Aku cuma ngerasa, kalau kamu mau cerita, enggak perlu aku tanya pun, kamu bakal cerita.” Re terdiam di ujung panggilan. Ya, mereka terhubung melalui sambungan telepon. Terpisah jarak Jakarta dan Bandung. Seperti biasa, Re dapat tugas ke luar kota. Seperti biasa pula, Re kesulitan tidur di malam pertamanya. Juga, seperti biasa, Biru orang satu-satunya yang tak keberatan direpotkan. Jadilah mereka ngobrol ngalor-ngidul. Niat awalnya mengundang kantuk. Namun, semakin tinggi rembulan menuju peraduan, semakin terang mata keduanya. Belum lagi, malam cenderung menguak kejujuran, berbanding terbalik dengan gelap yang disuguhkan. “Kamu juga enggak marah sewaktu aku ninggalin kamu di Bandung sendirian, padahal kita sudah janjian ke Jogja bareng-bareng.” Biru ingat kejadian itu. Hampir dua tahun lalu. Dia sengaja menyusul Re ke Bandung menggunakan kereta terakhir. Rencananya mereka akan bertolak ke Yogyakarta, melewati akhir pekan bersama-sama. Namun, tahu-tahu Re mengubah rencana. Gadis itu membeli tiket baru dan berangkat tanpa Biru. Tidak ada alasan apa pun. Esok sorenya, Biru hanya mendapati foto Stasiun Tugu Yogyakarta di Instagram Story Re. “Kamu serius kita mau bahas ini? It’s already more than a year ago.” Re tidak menjawab. “Kenapa, Ru?” tanyanya lagi. Beberapa jenak Biru terdiam. Menimbang-nimbang jawabannya. “Kamu selalu punya alasan ketika melakukan sesuatu, Re. Kamu orang paling penuh pertimbangan. Aku mungkin enggak dapat alasanmu, tapi aku yakin kamu sudah memilih risiko yang paling kecil.” Re diam. Katanya kemudian, “You know me so well, Ru.” Biru tersenyum lebar. Biar saja, Re, toh, tidak bisa melihatnya. Aku selalu berusaha memahamimu, Re. Selalu. Namun yang Biru utarakan, “Aku percaya kamu, Re.” Re mengesah di seberang sana. Seakan ada beban yang menduduki pundak gadis itu. Benar saja, kalimatnya selanjutnya sukses mengiakan dugaan Biru. “Aku ketemu Baskara sebelum kamu tiba di Bandung. Aku … aku pergi bareng dia ke Jogja.” Biru memejam. Dipijatnya celah di antara dua matanya. Dia kalah. Kalah dengan seseorang yang baru saja hadir di kehidupan Re. “Yang buat aku bingung—” “Ya?” “Kenapa kamu bersikap seolah-olah enggak ada yang salah, Ru? Aku pikir, sekembalinya aku ke Jakarta, kamu bakal, yah, marah sama aku. Ngomel. Apa pun. Tapi, enggak, kamu diam, kamu bersikap seperti biasa. Kamu bahkan mau direpotin buat jemput aku di bandara. “Kamu enggak nanya apa pun, Ru. Kamu menyambutku kayak sambutan-sambutanmu biasanya setiap aku pulang. Kenapa kamu enggak marah sama aku, Ru?” Biru duduk dari rebahnya. Dia berdeham. Suaranya terdengar serius kemudian. “Kalau kamu mau tahu, aku tentu aja marah, Re. You left me, remember? Tapi, kupikir lagi, marah pun enggak bisa memperbaiki keadaan. Kupikir juga, saat waktu yang tepat itu tiba, aku pasti bisa dengar alasan sesungguhnya dari kamu. Yah, kalaupun saat itu enggak kunjung datang, enggak apa-apa juga. Mungkin itu yang lebih baik. Mungkin enggak tahu bisa menyelamatkan kita berdua.” Re tidak menanggapi. Gadis itu tenggelam dalam hening. Larut dalam kalimat-kalimat Biru. Andai saja Biru bisa mengakui satu hal, dia ingin sekali menambahkan, aku hanya enggak ingin kehilangan kamu, Re. “Sudah mau dua tahun, kenapa kita membicarakannya, Re?” Biru bersuara lagi. Kali ini dia yang penasaran. Di seberang sana, Re tersenyum tipis. Beban itu tak lagi terdengar. Hanya embusan lega sang gadis. “Aku enggak berencana buat bicarain hal itu sebenarnya. Yah, kamu tahulah aku bukan perencana.” Biru terkekeh. “Ya, ya, I know you.” “Mungkin karena sekarang aku lagi di Bandung?” “Ya?” “Aku sekarang di Bandung. Aku ninggalin kamu waktu itu di Bandung. Mungkin memang ini waktu yang paling tepat. Semesta enggak ingin berlama-lama biarin aku sembunyiin ini dari kamu.” Lagi-lagi, Biru tertawa. Lepas. Meski kejujuran Re menyakitkan, tetapi mengetahui kenyataan Re mengingatnya, mendatangkan kesenangan tersendiri di hati Biru. “Bilang aja kamu kangen aku,” godanya. “Dih, mau banget dikangenin!” “Kapan lagi coba dikangenin seorang Re?” Re tergelak hebat. “Nyindir banget, nih?” Biru ikut terbahak. Tentang Re yang kesulitan merindu, bukan lagi rahasia. Bahkan, mereka kerap menjadikannya lelucon. Biru pernah berkata pada Re, dikangenin Re itu mungkin kejadian paling langka di dunia. Selangka hujan di tanah Yaman. “Aku juga enggak ngerti kenapa aku sulit banget buat kangen, ya, Ru?” “Hahaha. Udah, ah. Makin panjang, nih, obrolan. Tidur, gih, Re. Sudah jam tiga subuh ini.” “Oh, iya, aku lupa besok kamu harus kerja.” “Enggak usah diingetin! Tahu, deh, di sana bisa bangun sesukanya.” Biru mencebik. “Aku mau banget, lho, kapan-kapan diajak tukar kerjaan sama kamu. Kan, enak, bisa kerja sembari liburan.” “Dih, kamu pikir enak jadi aku? Capek, tahu!” Biru tergelak lagi. “Ya udah, tidur,” putus Biru. “Iyaaa, oke. Selamat malam, Biru.” Biru tidak langsung menjawab. Diresapinya baik-baik suara di seberang panggilan. Belum apa-apa, Biru sudah rindu Re. Lagi. “Selamat malam, Re. Selamat tidur.” *** BIRU menguap. Pemuda itu akhirnya menyerah. Diliriknya sosok di sisinya. Dengan punggung jok diturunkan, Re asyik memainkan gawai. Bukannya Biru tidak tahu, Re juga sama mengantuk sepertinya. Biru sudah menawarkan untuk tidur saja, tetapi Re menolak tanpa satu dua. Sejak dulu memang begitu. Re tipikal yang waspada. Sekalipun dia memercayai Biru, Re merasa lebih baik dia juga tetap sadar, setidaknya keputusannya meminimalkan risiko tak diinginkan selama perjalanan. Mereka telah berkendara lebih dari dua jam—hampir tiga malah, Biru melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Tujuan mereka masih jauh. Masih kurang lebih dua jam lagi, itu pun kalau tidak macet. Jakarta-Bandung di akhir pekan bukanlah pilihan tepat. Bandung? Iya, Bandung yang itu. Seperti yang sudah-sudah, Biru yang rumit berhasil disederhanakan semestanya. Semestanya yang bernama Re. Tadi, kala mereka bingung, tak tahu arah tujuan, Re tetiba saja menceletuk, “Bandung, yuk, Ru.” Kening Biru sukses mengernyit. “Ini gegara El—El siapa itu tadi, sampai kamu kepikiran ke Bandung?” “Hahaha. Enggaklah. Tiba-tiba pengin weekend di Bandung aja. Yuk?” Biru mendengus. Dia tak langsung mengiakan. Ada banyak komplain yang Biru ajukan—tentu saja untuk mengesankan betapa keberatannya dia, padahal dalam hati Biru sudah membuat keputusan. Ya—akan selalu ya untuk Re. “Doyan banget, sih, ngerepotin sesuatu yang enggak harus dibuat repot,” Re menanggapi. “Nggak bawa pakaian ganti? Gampang, bisa beli, toh. Ini Bandung, Ru, bukan pedalaman.” “Dih, orang kaya ….” Re tergelak. “Lalu, apa tadi katamu lagi? Senin kerja? Ah elah, Ru, kayak aku enggak tahu aja kantormu itu gampang banget kalau kamu mau izin.” “Ck, bukan cuma kantorku. Kan kamu juga harus kerja Senin. Kalau nanti kita kecapaian, gimana?” Re masih tergelak-gelak. Ditimpuknya pundak Biru. “Gampang, bisa diatur. Enggak perlu masuk juga, aman aja, kok.” Biru menolehkan kepala. Dahinya lagi-lagi melahirkan garis-garis kernyitan. “Ya udah, deh, oke.” Re tersenyum lebar. Dicoleknya dagu Biru. “Gitu, dong. Kan, ganteng jadinya. Hehehe. Tapi, tapi, kalau—” “Enggak usah pasif-agresif gitu. Aku udah mutusin, nih.” Begitulah ceritanya. Sesudah perdebatan itu—yang tentu saja dimenangi Re, Biru tak pernah menang, omong-omong, kalaupun menang, Biru biasanya dengan berbesar hati membiarkan posisi itu diduduki Re—mobil Biru berhenti di minimarket. Re membeli banyak camilan. Re juga mampir ke warung makan, untuk membeli nasi bungkus. Gadis itu terlalu lapar. Biru sendiri tidak nafsu makan. Sejak tadi Biru hanya minum susu kemasan dan tak berhenti mengunyah makanan ringan. “Gantian, yuk.” Re menegakkan posisi duduk. Gawainya diletakkan di pangkuan. “Kamu yang nyetir?” Biru menggeleng. Ide buruk. Bukan karena Re tidak bisa menyetir. Gadis itu cukup lihai. Lagian, mereka sedang di jalan tol. Lebih mudah berkendara di sini dibanding di jalan raya. “Setega itu apa aku minta cewek nyetirin aku?” “Dih, ego lelaki,” cibir Re. Biru tidak menggubris. “Aku selalu ngantuk nyetir di jalan tol. Mobil ini berasa enggak jalan. Bawaannya pengin injak gas aja.” “Ingat-ingat, ada batas kecepatan maksimal,” tegur Re. Kini, gadis itu sudah sepenuhnya memfokuskan perhatian pada kawan perjalanannya dan juga jalanan yang mereka lalui. Punggung jok Re pun telah kembali menegak. “Ngobrol aja kalau gitu. Biar enggak makin ngantuk.” “Ngobrolin apa, coba?” Re merenung sejenak. Detik berikutnya dia tersenyum lebar. Terlalu lebar. Praktis saja sikapnya membuat Biru geleng-geleng kepala. Mereka sama tak tahunya. Tak rela membiarkan hening menguasai atmosfer di antara mereka, Biru menaikkan volume radio digital. It’s You-nya Ali Gatie tengah mengalun. Biru sadar suaranya tak bagus-bagus amat, tetapi dia suka mendengarkan lagu di sepanjang perjalanan sekaligus menyanyikannya sesekali. Lumayan melepaskan penat di dada. “I’ve been broken. I know how it feels to be open and then find out your love isn’t real. I’m still hurting, I’m hurting inside. I’m so scared to fall in love, but if it’s you then I’ll try.” Re yang tidak terlalu familier, kali ini hanya ikut menggoyangkan tubuh. “Sam Smith?” tebaknya. “Bukan,” Biru menjawab di antara senandungnya. “Ali Gatie.” “Oh, ya? Mirip Sam Smith enggak, sih, jenis suaranya?” Biru memasang telinga baik-baik. Ali Gatie, syukurnya, belum selesai. Di dalam kepalanya terputar pula Too Good At Goodbyes-nya Sam Smith. Re benar, suara mereka nyaris serupa. Kalau saja Biru tak mengetahui Ali Gatie lebih dulu, mungkin dia akan sama terkecohnya dengan Re. “Tapi, Sam Smith rada melengking, sih, Re.” Re mengangguk-angguk saja. Sekilas, Biru dapat menangkap perubahan suasana hati Re. Ada sesuatu yang gadis itu sembunyikan. Ah, Re dan rahasianya. Padahal, kalau saja dia mau cerita, Biru akan menjadi pendengar terbaik. Sayangnya, seperti yang Biru hafal, Re tak pernah suka dikejar. Keputusan yang paling tepat adalah diam dan menunggu. Sampai Re sendiri yang merasa tak mampu menyimpannya seorang diri. “Baskara—ah, Kelabu, enggak sebaik itu.” Serta-merta Biru menelengkan kepala. Kecepatan mobil sedikit menurun. Fokus Biru terbelah. Ini kali pertama Re menyetujui panggilan yang Biru buat untuk si perusuh. Dulu, saat Biru menceletuk, “Kelabu warna yang cocok untuk dia, Re,” Re langsung saja menyuarakan protes. Tidak setuju. Kekeh dengan Baskara. Pilihannya. “Kenapa kamu bilang gitu?” “Karena dia nyatanya memang enggak sebaik itu.” Biru berdecak. “Maksud aku, kenapa kamu bisa bilang begitu? Jangan lagi kamu jawab, ‘Karena dia memang enggak sebaik itu.’ Awas aja! Aku turunin kamu sekarang.” “Tega.” Re menyikut lengan Biru. “Dia punya banyak kebohongan yang ditutupi.” Itu bukan lagi rahasia. Biru sudah mengetahuinya. Setelah fase Re yang tampak sangat jatuh cinta pada Kelabu—apa-apa Kelabu, semua hal dihubung-hubungkan dengan Kelabu, Re juga sudah melalui fase menghindari lelaki itu. Kejadiannya sekitar satu tahun terakhir, sepulangnya Re dari liburan khususnya di Yogyakarta. Hari itu, Re bukannya pulang dengan wajah setingkat lebih cerah—seperti yang pernah Biru dapati, di luar dugaan Biru, Re benar-benar muram. Jauh lebih pendiam. Sering tidak fokus. Bahkan, pernah satu dua kali Re menolak ajakan keluar Biru. Re mengesankan dia hanya butuh dirinya sendiri, berduaan, tanpa orang lain. Biru tentu memberinya, meski sisi lain dirinya tak bisa menahan rindu. “Perempuan yang dia nikahi ….” Re berhenti sejenak. Biru tidak menyela. Biru juga tidak terkejut. Dia tahu Kelabu telah menikahi gadis lain. Kabar itu didengarnya beberapa bulan lalu. Biru menduga, perubahan status Kelabu yang menjadi alasan perubahan sikap Re satu tahun lalu. Namun, ini Re yang dibicarakan. Si gadis penuh rahasia. Asumsi Biru tersebut tak pernah mendapat konfirmasi. Biru pun, sesungguhnya, tak benar-benar ingin tahu kebenaran dugaannya. “—bukan pacarnya,” Re melanjutkan. Sekali ini Biru tak dapat menutupi. Saking terkejutnya, Biru tak bisa berkata-kata. Selama ini yang Biru pikir, Kelabu meninggalkan Re untuk kekasihnya yang sesungguhnya. Re hanyalah kesenangan sesaat bagi lelaki itu. “Dia enggak menikah dengan pacarnya,” ulang Re. “Aku tahu betul itu.” Biru masih diam. Sesekali dia melirik Re. Gadis itu melarikan tatapan ke luar jendela. Ada senyap sesaat sebelum Re melanjutkan. “Nama yang dia sebut waktu itu, bukan nama yang sama dengan perempuan yang dia nikahi.” Biru tetap saja tak bersuara. Sejujurnya, dia tidak tahu harus menyahut apa. Dia takut tanggapannya disalahartikan. Dan, jujur saja, dia tidak peduli dengan Kelabu, juga dengan perempuan yang Kelabu nikahi. Siapa pun itu. Kekasihnya atau pun bukan, terserah. Terserah—asal bukan Re-nya. “Dia berengsek, ya, Ru?” Biru tersenyum serba salah. “Dia hanya enggak perlu kamu ingat-ingat lagi, Re.” Biru berhenti, mengatur napas. Lanjutnya, “Bukannya kamu yang ajarin aku untuk melepaskan apa yang enggak ditakdirin buat kita? Kelabu hanya bagian dari perjalananmu.” Re sukses dibuat bungkam. Tak berdaya. Perempuan itu menatap lurus, jauh, ke depan—mungkin juga ke belakang, ke masa lalu. “Laki-laki sama aja,” gerutu Re. “Hei, aku masih laki-laki, loh!” Biru tidak terima. Re terbahak. “Aku lupa,” katanya, begitu santai. Jelas-jelas dia sengaja memancing keributan. “Ingatkan aku buat ninggalin kamu di jalan tol. Biar kayak anak hilang.” Lagi, Re melepas gelak. Kali ini dia dihadiahi jitakan di kening. “Biru, ih!” “Kamu yang mulai,” Biru tak mau kalah. Sesudah berhasil mengontrol diri, Re mengalihkan topik. Entah sengaja atau memang itu cukup mengganggunya. Katanya, “Kamu kadang capek enggak, Ru?” “Dengan apa?” “Dengan perjalanan-perjalanan ini. Kadang, aku butuh tempat pulang. Aku lelah melompat dari satu tempat ke tempat lain.” “Kamu sudah enggak suka jalan-jalan sama aku?” Re mencebik. “Bukan itu yang aku maksud.” Gadis itu memandangi Biru lekat-lekat. “Kamu tahu, kan, sampai saat ini aku enggak juga menemukan satu tempat untuk bertahan, untuk tinggal, menetap, enggak ke mana-mana lagi.” Kenapa, Re? Kamu pikir Kelabu berhasil membuatmu menemukan rumah itu? Lalu, akhirnya, kamu kecewa karena kenyataannya enggak seperti harapanmu. Begitukah, Re? “Gimana rasanya menemukan rumah, ya, Ru?” Re menerawang. Biru menggeleng. Biru tidak tahu. Mungkin …, mungkin rasanya seperti aku menemukanmu, Re. Sayangnya, hanya aku yang menemukan. Kamu enggak. [ ]. Description: Behind every favorite song, there’s an untold story.
Title: review film danur Category: Horor Text: review movie Risa Saraswati is famous for her horor novels and she's a musician. Many of her novels have been featured in movies and Danur: I can see gosts one of the first movies adapted from her novel published in 2012 and adapted to a movie in 2017, which is the true story of Risa experience with seeing friends who are different dimensions. Danur in the movie describes Risa with her life as a child of indigo. Alone with both parents left to work, then befriending three Dutch ghosts, she finally realized that they were not human. That Risa grew up, she was asked to look after her sick grandmother and her sister Riri was brought up by the Asih of none other than the ghost. Risa says that a movie of Danur will be different from her novel "this movie of danur is like the next of the story of the book" but I feel so much different, one of which In the novel, Risa has been friends with her five ghosts since childhood Petter, Janshen, William, Hans, and Hendricks. While in the movie with Three Her ghost friends Petter, Janshen, and William who came after Risa blew out the candle on the birthday, Her eighth year for blowing out a candle, Risa prayed to god for a friend She was no longer lonely and then In Danur's novels she is already school and in movies Danur is not school yet. Danur's movie starring talented actors and actresses like the Prilly that performed Risa also performed her act so well, not to mention Shaarefa Daanish that performed Asih she had caught up with her heart. The fact that this movie was a true story. Made the movie even more exciting to watch and I was happy that it was at the beginning of the movie to be dominated by three friends to get fell that Risa and her three friends were so close. And then my favorite scene is When Risa was helped by her 3 invisible friend pulled up Riri in the bathroom after she was kidnapped by Asih. I am one of the connoisseurs of horror movies glad that the movie Danur gives a different impression than the other Indonesian horror film, which demands pornography. While some Indonesian horror movies are presented without pornography, it is somehow a gateway to horror movies in Indonesia. So I recommend this movie for viewing by all parties including children. Although the difference between books and movies is so far away but for me this film is 8/10. I can't help but think of the fact that the Risa who are the real figure, not the Fixed figure that makes the movie Danur feel special. Title: Danur : I can see ghosts Director : Awi Suryadi Main Actors : Prilly LatuConsina, Sandrinna Michelle, Shareffa Daanish Length : 1h 18m Year : 2017 Rating : 8/10 Description: A girl feels lonely at eight years of age and wishes she had friends. Then there were the three peers all of a sudden
Title: Ruminasi Category: Chicklit Text: 1. Asumsi "Lucu ya, liat orang awam mikir kalau semua cewek yang kerja malam di bar itu pelacur," kata salah satu penari senior, yang sudah bekerja selama empat tahun di bar tempat Abigail Kanara mencari nafkah. "Pengen gue tampar aja rasanya." Abigail Kanara, biasa dipanggil Kanara, hanya mengulas senyum kecil mendengar keluh kesah seniornya tersebut. Senior itu bernama Hanisa. Seorang perempuan yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Kanara sendiri masih berusia dua puluh tiga tahun. "Udah konsekuensi kita juga kan milih pekerjaan ini?" ujar rekan yang lainnya dengan santai. Kanara berdeham pelan. Ia bangkit dari duduknya. "Tuhan tau kok apa yang sebenarnya kita kerjakan. Asumsi orang lain itu kan di luar kendali kita. Mau nggak mau, ya ditelan dan diterima aja." Hanisa terkekeh sinis. "Iya sih, cuma kadang manusiawi aja gue tersinggung. Omongan orang di luar sana kesannya gue pelacur hina gitu. Padahal gue cuma penari. Itu juga pake kostum. Nggak striptis kayak gosip yang beredar." "Mau gimana lagi? Kita cuma punya dua tangan, nggak akan bisa nutup mulut mereka semua. Cukup tutup telinga kita aja," kata Kanara bijak. Namun, hati kecilnya mengeluhkan hal yang sama. Sebenarnya ia juga menjadi korban gosip, salah informasi. Di mata orang-orang terdekatnya, ia sama buruknya seperti Hanisa; pelacur. Padahal sama sekali bukan. Hanisa berbalik mencoba menatap Kanara sambil memasang anting di telinganya. "Tapi, Nar. Lo sendiri gimana ngatasin asumsi buruk yang beredar? Kok keliatannya tenang-tenang aja?" Sambil telinganya mendengar pertanyaan Hanisa, mata Kanara menerawang jauh ke depan. Menatap dirinya dalam pantulan kaca besar seraya menghirup bau jeruk pengharum ruangan yang terendus samar. "Hmmm," Ia berpikir sejenak. Mencoba mencari kata yang paling tepat. "Apa ya? Mungkin karena aku merasa apa yang orang pikirkan tentangku itu salah, makanya aku tenang? Maksudku, untuk apa aku repot-repot marah? Kalaupun aku berusaha untuk menjelaskan situasi asliku, apa mereka mau percaya dan mau mendengar? Nggak juga kan? Jadi lebih baik diam." Di ujung pintu, Hanisa diam termangu. Ia terkagum-kagum dengan jawaban bijaksana Kanara. Kemudian, Gina, salah satu rekan mereka juga yang paling pemarah tertawa cekikikan. Membuat Hanisa dan Kanara menoleh serentak. "Bantai aja orang-orang yang sok tau kayak gitu! Kasih makan nggak, hobinya gosipin orang. Biar mati mereka dimakan cacing," pekik Gina, terlihat berapi-api. "Udah yuk, ah. Siap-siap." Mereka semua, para penari itu, memang selalu dituntut untuk menjadi seorang wanita yang cantik dan rupawan. Mereka dituntut untuk menutupi segala kecacatan yang ada, sekecil apapun, dengan memoles tubuh sedemikian rupa. Kecantikan adalah segalanya di sana. Melebihi konsistensi dewa dan dewi. Penari-penari itu harus bisa menghibur sekaligus memanjakan mata para tamu yang datang. Beruntungnya, selalu ada koordinator yang siap menjaga mereka dari para lelaki hidung belang. Tidak ada yang boleh dan bisa menyentuh penari-penari tersebut tanpa seizin pribadi masing-masing. Keputusan itu sudah bulat. Sesuai standar SOP antara bar, penari dan bos-bos manajemen mereka. Tidak boleh dilanggar dan tidak boleh pula ada yang melanggar, atau kasus akan ditindaklanjuti ke jalur hukum. Dan tidak semua orang mengetahui standar tentang hal itu. Seperti yang Hanisa katakan, orang hanya tahu perempuan yang bekerja malam di dalam bar, sudah pasti pelacur. Kenyataannya tidak seperti itu. Mereka semua dijaga dan terjaga. Semua saling bahu-membahu demi kenyamanan segala pihak. Namun, siapa yang bisa mengubah asumsi dan persepsi yang telah lama berakar tersebut? Entah awalnya bagaimana, tapi bukan hal baru kalau tiap-tiap perempuan yang bekerja di dalam bar akan dipandang sebelah mata. *** Sambil menunggu jadwal menarinya tiba, Kanara selalu terduduk diam di pojok ruangan bar bersama rekan-rekannya yang lain. Ia selalu sibuk mengamati tamu-tamu kelas atas yang mencoba menghilangkan penat dengan cara meminum minuman keras. Sesekali Kanara menertawakan ladang uangnya tersebut. Aneh kenapa pria-pria itu lebih memilih menghabiskan waktu bersama wanita lain ketimbang berdiam diri di dalam rumah bersama anak dan istrinya. Ruangan di sana cukup besar. Ada banyak meja-meja bundar untuk para tamu. Ada panggung yang cukup megah untuk diisi para penari dan pengiring musik bergantian, juga di sudut kanan dan kiri ruangan ada meja khusus untuk bartender dan singgasana para DJ yang nantinya akan mengiringi musik untuk para penari. Selain sekawanan penari, juga tersedia kawanan pengibur lainnya, yaitu pekerja seks komersial. Hampir setiap hari Kanara selalu sibuk mengamati kawanan PSK itu bekerja. Kanara mengamati wajah-wajah yang memaksakan senyumannya. Wajah sendu yang berusaha keras ditutupi. Wajah penuh luka dan menahan malu demi sesuap nasi. Kanara yakin, PSK-PSK itu juga tak pernah bermimpi bisa berakhir hidup menjadi seorang PSK. Hati Kanara terasa pilu. Ia semakin sering mengucap syukur. Meskipun ia harus selalu bergelut dengan asumsi buruk orang di luar sana, toh kenyataannya ia tak sampai bertindak sejauh itu. "Nar, jadi PSK duitnya banyak ya. Sekali dapet tip jutaan. Kita mah apa sih?" tawa Gina. "Rejeki udah ada yang ngatur. Mungkin emang jalan mereka seperti itu kan?" "Kalau lo mau kaya, jangan jadi penari," cicit Hanisa dari bangku belakang. Menendang-nendang bangku Gina. Keduanya kemudian bertengkar kecil. Pertengakaran mereka selalu terlihat menggemaskan. Saling lempar sindiran, tetapi terlihat sekali kalau mereka juga saling menyayangi satu sama lain. Gina pun berceletuk, "Jadi penari juga bisa ambil sampingan jadi PSK." "Gih! Kalo berani," balas Hanisa. "Jadi penari striptis aja belum tentu ada nyali. Sok-sok mau jual diri." Kanara menengahi. "Gimana kalau kita jualan aja? Jual apa gitu di luar kerjaan kita? Kita bangun bertiga." "Kanara anaknya agak halu ya, Han?" tawa Gina. Lalu menepuk-nepuk pundak Kanara. "Kita aja pulang jam empat subuh. Tidur kayak orang mati. Bangun sore. Maghrib udah harus rapih-rapih. Jam tujuh udah harus stand by lagi di sini. Kapan punya waktu buat jualannya sih?" Berbeda dengan Gina, Hanisa malah kelihatan tertarik. "Emang kira-kira mau jualan apa kita?" "Apapun. Yang bikin kita punya uang tambahan. Gaji kita cukup lah digabung untuk memulai bisinis, di luar bayar kosan, makan, dan untuk kelluarga.. Relain aja uang belanja pribadi kita?" "Nggak ah. Belanja is my life," kata Gina. Tak peduli. Hanisa mengusap-usap puncak kepala Kanara. "Gue suka punya rekan kerja sepositif lo, Nar. Nggak kayak Gina. Otaknya belanja dan ngeretin orang mulu. Nggak ada usahanya." "Berarti mulai besok kita pikirin mateng-mateng ya mau jualan apa?" Kanara merengkuh jari-jemari Hanisa. "Kita pasti bisa dapetin kehidupan yang lebih layak dari ini. Nggak mau kan kalau kita terlalu lama di sini? Jangan sampai asumsi orang tentang kita benar-benar terjadi." Gina menyela. "Percuma. Orang taunya kita pelacur. Nggak akan bisa diubah lagi." "Tapi kita masih bisa buktiin kalau asumsi mereka salah, kan?" *** 2. Kawan Baru Saat Kanara tengah sibuk memoles ulang make up nya di ruang tunggu, tiba-tiba saja seorang perempuan bertubuh bak gitar spanyol, memakai pakaian serba minim, melipat kedua tangan di atas dada seraya bersiul memanggilnya. Sontak saja, Kanara menoleh cepat. "Manggil aku?" Perempuan itu tersenyum, sekaligus mengangguk. "Siapa lagi?" "Ada apa?" tanya Kanara, memutar balik tubuh tanpa beranjak sedikitpun. Ia menghadap langsung ke arah perempuan cantik tersebut. Sangat cantik. Rambut panjang ikal pirangnya terlihat sangat menawan sekaligus elegan. "Maaf, tapi kamu siapa?" Perempuan itu melangkah maju, menghampiri Kanara yang sedang duduk. Suara derap sepatu hak tingginya terdengar manis. Ia mengayunkan tangannya ragu, sebelum mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. "Kasih," ucapnya. Senyum menawannya semakin menjadi-jadi. Bibir berlipstik merah menyalanya terlihat menarik. "Nama palsu sih. Tapi, panggil aja kayak orang-orang di sini. Kasih." Kanara membalas tangan Kasih yang terulur. Mereka bersalaman. "Kanara." "Gue suka liatin lo nari," cetus Kasih. Duduk di bangku samping Kanara, sambil lancang mengambil kotak bedak milik Kanara dan mengaplikasikan ke wajahnya sendiri. "Di mata gue, lo itu seksi banget kalau udah nari. Temen-temen lo mah nggak ada apa-apanya. Saat nari, lo keliatan jadi orang yang berbeda." Kanara tercekat. Ia dalam sepersekian detik hanya terpusat pada bau bedak yang harum menyengat. "Ah, makasih," balasnya. Seusai mengaplikasikan bedak, Kasih meraih alat pengeriting rambut yang tergeletak di atas meja rias panjang tempat ia dan Kanara sedang berbincang. "Ini punya lo, kan? Pinjem ya." Kanara manggut-manggut. Dalam beberapa detik tak ada perbincangan lain di antara mereka. Kanara ikut sibuk merapikan dandanannya. Sampai ketika, matanya tertuju pada lebam yang berwarna keunguan di tengkuk leher Kasih saat perempuan itu menyibakkan rambutnya. Dan celakanya, Kasih memperhatikan mata Kanara melalui pantulan kaca. "Kok kaget gitu sih?" tanya Kasih seraya terkekeh. Kanara jauh lebih kaget. Ia tersentak. Segera mengalihkan pandangan matanya ke arah tas make up. "Maaf aku lancang." Ia buru-buru merapikan alat make up yang berserakan di atas meja sambil menghindari kontak mata dengan Kasih. Namun, Kasih malah membeberkan apa yang seharusnya Kanara tak perlu tahu. "Gue sering dipukulin sama cowok gue. Yang lo liat itu jejak kasih sayangnya dia. Kalau belum biru atau bengkak, berarti belum tersampaikan rasa sayang dan cintanya." Kanara diam. Ia sampai tak sanggup menggerakan tangannya. Kemudian Kasih kembali angkat bicara. "Udah dua tahun gue pacaran sama dia. Gue tinggal satu kosan. Dia jadi kayak supir gue, bolak-balik anter gue kemanapun. Ke tempat kerja, bahkan anter ke hotel saat gue ditawar sama om-om idung belang." "Dia nggak marah?" tanya Kanara pada akhirnya. Kasih terbahak-bahak mendengar celotehan Kanara. "Lo itu beneran polos atau pura-pura polos sih?" "Nggak," sanggah Kanara. Matanya menatap tajam kedua bola mata Kasih. "Tapi, aku bertanya serius. Dia nggak marah?" "Kalau dia marah, yang rugi kan dia juga, Nar." "Rugi dalam hal apa emangnya?" "Duitlah. Dia aja numpang hidup sama gue. Yang kerja gue. Timbang nahan cemburu liat gue tidur sama cowok lain aja mah, buat dia itu hal yang mudah," jelas Kasih. Ia meraih lipstik merah milik Kanara dan kembali memoles bibirnya yang sudah merah jadi semakin merah mencolok. "Lebih baik nahan cemburu, daripada dia nggak makan dan nggak ketemu narkoba." Kanara terus-menerus memperhatikan raut wajah Kasih yang bercerita tentang kehidupan pribadinya dengan begitu santai. Meski sudah mendapat penjelasan yang tepat, tetap saja rasanya sulit menerima kenyataan-kenyataan dari mulut Kasih. "Lo sendiri gimana? Udah punya pacar?" Kanara menggeleng. Tersipu malu. "Belum." Kasih mengernyitkan dahinya. Memutar ke samping dan menarik dagu Kanara kasar. "Lo cantik. Lo baik. Lo juga polos. Seriusan belum punya pacar? Alasannya apa? Lo juga seksi, loh. Kalau gue jadi laki-laki, udah pasti lo udah gue jadiin mangsa." Kanara tertawa mendengar omongan Kasih. Ia menarik napas panjang sejenak, sebelum mengutarakan balik kekhawatirannya. "Gimana ya ... Citraku di mata orang lain udah buruk. Apa ada cowok baik yang mau sama aku? Aku selalu memikirkan hal itu." "Astaga, Kanara. Lo tau nggak? Orang-orang berhati baik sama sekali nggak cocok kerja di tempat kayak gini. Endingnya jadi kayak lo gini. Jadi rendah diri. Kebanyakan khawatir." "Tapi aku yakin, bukan cuma aku yang ngerasain hal ini." "Iya, emang bukan cuma lo. Tapi, ketika lo memilih kerja di kandang setan, lo cuma punya dua pilihan; berubah jadi setan, atau sebaiknya lo pergi menjauh. Cuma dua itu." Kanara diam. Sibuk berpikir. Kasih benar, tapi hidup harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Ia belum boleh menyerah. *** Pukul empat pagi, saat hendak masuk ke dalam mobil milik bosnya Kanara, yang dititipkan padanya untuk dipakai kerja. Ia melihat orang-orang yang berkerumun dalam jarak beberapa meter dari mobilnya terparkir. Kelihatannya ada pertikaian hebat. Saat celingukkan kesana-kemari, ia sama sekali tak menemukan batang hidung Hanisa dan Gina. Sambil sibuk memainkan kunci mobil di tangannya, ia berlari ke arah kerumunan tersebut. "Jangan bilang Gina ribut lagi." Ia mendadak panik. Ia tahu betul barusan Gina minum alkohol cukup banyak, dan Gina punya kecenderungan tempramen yang tinggi sehabis minum alkohol. Benar saja, ia melihat Gina sedang bergulat hebat dengan entah siapa. Yang jelas, Kanara melihat ada Hanisa dan Kasih yang sibuk melerai antar dua orang yang bertikai tersebut. Hanisa sibuk menarik Gina, sementara Kasih sibuk menarik lawan dari Gina. Sepertinya Gina bertikai dengan temannya Kasih. "Stop, stop!" teriak Kanara. Ia dengan berani menyodorkan tubuhnya, masuk ketengah-tengah dua orang yang bertikai. Tentunya ia kena tendang dan kena pukul. Tapi ia hiraukan. Ia segera membantu Hanisa untuk menarik Gina menjauh. "Bawa ke mobil aja cepetan. Udah, kamu jangan berantem-berantem. Idung kamu udah berdarah-darah gitu ya!" "Lo kalo nggak tau apa-apa, diem!" Gina meneriaki Kanara. "Dia yang salah. Bukan gue. Gue mau laporin ke polisi." Hanisa malah tertawa konyol. "Yang pinter dikit deh! Ngapain lo repot bikin berkas perkara kayak gitu?" Kanara membuka pintu mobil, mendorong Gina masuk ke bangku belakang. Ia tak langsung menutupnya, malah bertolak pinggang menatap Gina yang sedang menyeka darah dari hidung dengan tangannya. "Ada apa lagi sih sebenernya? Kamu kenapa berantem mulu? Kasian badan kamu." "Bodo," jawab Gina, acuh. Lirikannya setajam silet. "Lo denger omongan gue nggak tadi? Ayo, porotin aja," kata Hanisa bersemangat. Kanara dan Gina masih tak mengerti kemana arah pembicaraan yang disampaikan Hanisa. "Lo berdua nggak paham apa maksud gue ya?" Kanara menggeleng cepat. Gina hanya melirik sekilas. Hanisa berbisik, "ancem aja kasih uang ganti rugi kalau nggak mau dibuat berkas perkara di kepolisian. Tapi, itu kalau lo emang bener nggak salah ya, Gin. Lo bisa minta 30 Juta. Itu belum dinego pasti sama dia. Dia kan model, punya manajemen sendiri. Manajemennya kaya. Gassss!" "Tau dari mana dia model?" tanya Kanara. "Bukan foto model ya, Nar. Model tuh ya kelas PSK yang harganya middle lah. Bos-bos nanggung yang bisa bayar mereka. Bos kere nggak akan mampu. Manajemennya dia tuh besar." Kanara teringat dengan Kasih yang juga ikut melerai. "Terus kamu juga kenal cewek yang ngelerai model tadi?" "Kasih maksudnya? Siapa sih yang nggak kenal dia?" "Emang dia siapa?" tanya Kanara lagi. Hanisa mengungkap rasa penasaran Kanara. "Dia model kelas A di bar tempat kita kerja. Katanya sih servicenya mantep. Menjamin kepuasanlah pokoknya. Dia paling disukai sama bos-bos besar yang dateng ke bar kita. Tapi ... " Gina menoleh, ia terlihat penasaran. "Tapi apa?" "Katanya dia itu cukup misterius," jawab Hanisa. "Gue juga nggak pernah kenalan, apalagi deket. Desas-desusnya dia cukup sulit didekati sama orang. Sesama manajemennya aja susah, gimana kita? Mungkin di mata dia, penari kayak kita cuma cabe-cabean." Kanara lagi-lagi dibuat berpikir keras. Padahal tadi malam ia cukup lama bercengkrama dengan Kasih. Dan kelihatannya, Kasih bukan orang yang misterius. Malah cenderung terbuka. Namun, Kanara memilih untuk menutup mulut tentang pertemuannya dengan Kasih di hadapan Hanisa dan Gina. "Ya udah, keputusannya apa? Tuh, tuh liat. Koordinator modelnya nyamperin koordinator kita. Abis ini pasti lo dipanggil untuk diskusiin uang damai. Mereka paham konsekuensinya kalau sampai kasus ke kantor polisi, Gin," kata Hanisa, meyakinkan. Mata mereka bertiga melihat ke arah dua koordinator yang sedang berbicara persis di tempat kejadian pertikaian sebelumnya. "Minta 40 Juta aja." Kanara menepuk jidatnya kasar. "Nyeletukin uang puluhan juta kayak lagi ngomongin gorengan ya?" *** 3. Orang-orang Baik Setiap pulang bekerja, Kanara memang harus lebih dulu mengantar Hanisa dan Gina ke kosan masing-masing. Jarak kosan mereka bertiga memang cukup jauh dan tidak bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Kanara lebih dulu mengantar Gina, kemudian Hanisa. Saat Kanara sudah tinggal berdua saja dengan Hanisa, ia mulai membicarakan tentang masa depan. Sebenarnya, Kanara bukan tipe pribadi yang mudah terbuka. Namun, pembawaan Hanisa yang tenang dan mampu mengerti isi hati orang lainlah yang membuat Kanara nyaman dan dapat membuka diri. "Kak Han, aku mau cerita deh," kata Kanara, seraya mengemudikan mobil matic hitam milik bosnya dengan kecepatan sedang. "Soal keluargaku sih. Mau denger, nggak?" Hanisa yang sedang melamun mengamati jalan, melirik. "Cerita aja. Ada apa sama keluarga lo emangnya?" "Ibuku sakit, Kak. Kena stroke ringan." "Innalillahi. Terus? Lo kok nggak pulang aja?" Kanara mendengus pasrah. "Kalau aku pulang, orang rumah siapa yang handle pemasukannya? Ibuku belum bisa masuk kerja lagi kan. Adeku masih kecil. Nenekku juga udah tua." "Bokap lo sebenernya kemana sih?" "Ada. Tapi, jarang ada kabar. Nggak bisa diandelin juga." "Makin banyak aja ya cowok yang nggak bertanggung jawab." Kanara menyimpulkan senyum tipis. "Mau gimana lagi? Gimana pun juga kan dia tetap Bapakku. Aku cuma bisa perluas sabar, perbanyak ikhlas dan terus cari jalan keluar untuk Ibu, Nenek dan Adikku. Kadang aku jadi ngerasa sedih aja." "Sedihnya kenapa? Coba jelasin." "Sedih nggak bisa kerja di tempat yang baik. Toh, yang menderita sebenarnya bukan cuma aku. Di luar sana banyak juga yang berjuang di tempat yang lebih baik. Kenapa aku nggak bisa kayak mereka? Aku selalu merasa jadi anak yang gagal, nggak bisa ngasih yang terbaik untuk Ibu." Hanisa mengusap-usap puncak kepala Kanara. "Cup, cup, cup," Ia menenangkan Kanara yang terlihat sedih namun wajah sendunya tertutup senyum yang dipaksakan. "Selalu ada alasan, Nar, kenapa Tuhan bikin kita memilih jalan ini dan itu. Jangan kecewa dulu sama diri sendiri. Lo harus percaya kalau semua ini tuh proses untuk menjemput kehidupan yang lebih baik. Nggak semua orang bisa sekuat lo. Meski gue tau, banyak juga di luar sana yang mungkin punya masalah lebih besar dari lo. Tapi, hidup kan bukan untuk adu nasib siapa yang paling menyedihkan. Lo nggak boleh terus-terusan merasa gagal. Lo harus percaya diri." Kali ini Kanara benar-benar tersenyum. Tidak dipaksakan. Senyuman tulus itu bergerak dari hatinya yang hangat. "Kok kamu jadi bijak banget sih, Kak? Biasanya aku yang selalu nenangin Kak Han. Sekarang jadi aku nih yang dikasih petuah-petuah bijak." "Apa ya, Nar ... Mungkin karena gue juga ngerasain hal yang sama, makanya gue bisa meyakinkan lo, bahwa semua ini tuh ya bakalan baik-baik aja dan bakalan indah juga pada waktunya." "Indah pada waktunya. Kira-kira hari itu kapan tiba ya, Kak?" "Nanti," jawab Hanisa, yakin. "Nanti, di saat Tuhan liat lo percaya sama semua Kuasa-Nya. Sekarang lo itu tuh terlalu banyak meragukan eksistensi Tuhan. Ditambah kepercayaan diri lo juga nol banget. Jadi Tuhan kayak lagi ngetes lo nih. Ngeluh apa nggak. Berani hadapin apa nggak. Nyerah apa nggak. Gitu... " "Mungkin gitu kali ya?" "Ya, mungkin aja. Siapa yang tau?" Dan, tak terasa obrolan mereka telah sampai dipenghujung malam. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dan mereka telah sampai di depan pintu kosan Hanisa. Hanisa meraih sling tas kecil dan tas tenteng berisi make up sekaligus sepatu hak tingginya. Ia melirik sekilas ke arah Kanara yang melamun sambil memegang kemudi dengan kedua tangan. "Heh? Lagi mikirin apa? Jangan bengong," pekiknya. Kanara menoleh pelan. Menyunggingkan senyum manis ke arah Hanisa yang sedang menatapnya lekat-lekat. "Makasih banyak ya, Kak Han. Petuah kamu bikin aku jadi mikir dua kali." "Ah, lo itu kebanyakan mikir! Hidup itu dijalani dan dihadapi aja, Nar. Jangan terlalu sering dipikirin juga. Yang ada lo cuma buang-buang waktu dan stuck di satu tempat aja. Bikin lo nggak maju." "Iya, iya, paham," balas Kanara seraya terkekeh. "Udah sana turun. Mandi dulu ya, Kak Han! Jangan langsung tidur. Jorok tau nggak." "Bawel deh," kata Hanisa seraya membuka pintu mobil. Kemudian menunduk sejenak. "Makasih ya, Nar! Lo hati-hati di jalan ya. Kalau udah sampai kosan jangan lupa kabarin. See you!" *** Seusai memarkirkan mobil, Kanara lantas memboyong bawaannya ikut serta masuk ke dalam kosan. Penjaga kosan, Mang Ading dan Mang Ujang, duduk manis dari balik meja kayu besar yang persis seperti meja resepsionis. Ya, kosan yang dihuni Kanara memang kosan yang cukup mahal. Setiap bulannya, Kanara harus merogoh kocek sebanyak dua juta setengah. Semua itu bukan karena gengsi, tapi memang saat ia memulai sepak terjangnya menjadi seorang penari di kota itu, hunian-hunian murah sudah penuh terisi. Akhirnya, bermodal uang kasbon di awal karir, ia memutuskan untuk tinggal di kosannta saat ini. Padahal bosnya menawarkan Kanara untuk tidak di apartemen, namun Kanara tak pernah berani harus menetap di hunian bertingkat tinggi. Kosannya saat ini hanya empat lantai, dengan lift yang terkadang ngadat dan mati total. "Tumben pulangnya lebih lama, Neng?" tanya Mang Ujang. "Iya, Mang. Nganterin temen dulu, biasa. Terus lupa ngobrolnya kelamaan," jawab Kanara dengan nada yang ramah. Kemudian ia ingat kalau ia membeli nasi goreng kambing untuk dua penjaga kosan yang loyal itu. "Eh, iya ... ini makanan untuk Mang Ujang sama Mang Ading. Abisin ya. Enak tuh." Mang Ading dan Mang Ujang lantas mengambil kantung kresek hitam yang ditaruh Kanara di atas meja. Mereka membukanya. Ada dua bungkus nasi goreng dan dua air mineral botol besar. "Emang Neng Kanara doang kayaknya yang sayangin satpam macam kita di sini," kata Mang Ading. Berseri-seri. "Makasih banyak ya, Neng, udah peduli sama orang kecil kayak kita gini." "Husss! Apa sih, Mang Ading? Kan Mang Ading sama Mang Ujang juga udah baik jaga kosan tiap hari." Mang Ujang berseloroh, "tapi kebanyakan penghuni kosan ini pelit. Nggak sebaik Neng Kanara. Ini serius. Nggak modus." Kanara tertawa cekikikkan, lalu pamit masuk. "Ya udah, dihabisin ya, Mang. Aku pamit masuk dulu. Lift nggak error kan, ya?" "Nggak kok, Neng. Abis dibenerin lagi tadi sore," jawab Mang Ujang. Namun, saat Kanara hendak masuk ke lift, ia memanggil lagi. "Neng, tadi malem pas Mang Ujang nyapu lorong, denger kalo token kamar Neng Kanara bunyi. Kayaknya abis." Ah, benar. Kanara segera menepuk jidatnya kasar. "Iya, ya? Sebelum berangkat kerja padahal aku udah liat tinggal dua puluh ribu. Mana masih jam segini lagi. Belum ada penjual token yang buka kan ya, Mang?" Mang Ujang menganggukkan kepalanya. "Iya, paling nanti jam delapanan, Neng, baru pada buka penjualnya." "Mau titip ke Mang Ading nggak? Nanti pagi Mang Ading cariin." Mendengar tawaran Mang Ading, Kanara setuju. Ia segera merogoh tas dan mengambil dompetnya. "Isi dua ratus aja dulu, Mang. Ini sisanya buat Mang Ading aja." "Nggak usah, Neng. Sisanya kan paling dua puluh ribuan, Mang Ading masukin ke uang kas kebersihan aja, ya? Biar bulan depan Neng Kanara nggak usah bayar lagi." Mang Ujang angkat bicara. "Iya kayak gitu aja. Neng Kanara udah kebanyakan ngasih-ngasih kita terus ah. Makasih banyak, Neng." Kanara merasa senang dengab sikap kedua penjaga tersebut. "Kalau gitu, Mang Ading dan Mang Ujang atur aja. Aku masuk dulu ya, Mang." Ia melangkahkan kakinya menuju pintu lift. Menunggu beberapa detik, menunggu lift turun dari lantai tiga. Pintu lift terbuka, ia lantas memencet tombol nomor tiga. Letak lantai kamar kosannta berada. Pintu lift pun perlahan tertutup. Namun, ada tangan mungil berkuku merah jambu, menahan keras pintu lift agar tidak tertutup. Membuat Kanara cepat-cepat memencet tombol buka pada pintu lift, agar pintu batal tertutup. "Oh, kamu... ?" kata seseorang yang menghadang pintu lift. Kanara membelalakkan matanya terkejut. "Kasih?" *** 4. Tanda Tanya "Lo ngekos di sini juga toh? Dari kapan?" Pertanyaan itu sama seperti pertanyaan yang hendak Kanara layangkan, tapi keduluan oleh Kasih yang penasaran. Kanara dan Kasih berdiri bersebelahan. "Baru setahun aku di sini. Kamu sendiri?" Hanya kalimat itu yang bisa tersampaikan. Kasih melihat tombol angka tiga yang menyala lalu menggumam. "Ternyata kita juga tinggal di lantai yang sama," Ia tertawa gemas. "Aku udah tiga tahun di sini. Males pindah." Seketika kepala Kanara menghitung berapa biaya perbulan yang dikeluarkan Kasih selama tiga tahun tinggal di hunian itu. Ia diam, sibuk berpikir. Dan lagi-lagi, Kasih selalu mengamati tindak-tanduknya. Kasih cengengesan sambil memainkan rambut. Pintu lift terbuka, Kasih lebih dulu keluar dari dalam lift. "Jadi, kamar lo yang mana, Nar?" Kanara menunjuk kamar paling pojok. "Di sana... " Kasih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, menunjuk kamar yang paling dekat dengan pintu lift. "Kalau gue di sini." Ia mengayunkan tangannya, mempersilahkan Kanara untuk pergi menuju kamarnya sendiri. "Kalau pacar gue lagi ngamuk, gue boleh nginep nggak?" Kanara yang sudah melangkah, tiba-tiba saja terhenti. Ia berbalik. Tersenyum kecut. "Boleh," jawabnya ragu. Ia tak nyaman dengan pertanyaan terbuka seperti itu. Tapi ia tetap ingin membantu Kasih, apapun yang perempuan itu butuhkan. "Ketok aja." "Oke. Sampai jumpa lagi, Kanara!" Kasih pun masuk ke dalam kamarnya. Sementara Kanara juga kembali melangkah menuju pintu kamarnya sendiri. Saat sedang merogoh saku celana, ponselnya berdering. Itu dering pesan singkat. Ia mengabaikan dering itu dan fokus membuka pintu. Pintu kamar terbuka, ia masuk dengan repot membawa barang-barangnya. Lebih dulu ditutup, sebelum ia menaruh barangnya di sudut kamar. Ia tak terlalu peduli pada ponsel. Tidak ada yang peduli dan menghubunginya juga selain Ibu atau Neneknya. Dan tidak mungkin juga Ibu atau Nenek menghubunginya di pagi buta begini. Jadi, ia mengabaikan dering itu dan bergegas mandi. Kamar itu cukup luas. Dengan kamar mandi yanh terbilang mewah untuk sebuah kosan. Lemari besar berwarna coklat, furnitur kayu yang manis, tempat tidur yang besar, penyejuk ruangan keluaran terbaru, juga ia menambahkan rak buku di sisi kanan jendela kamar. Ia mencintai buku. Buku apapun, ia baca. Selesai mandi, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang besar dan nyaman, tanpa melepas handuk yang ada di atas kepalanya. Untung, ia punya kebiasaan yang baik tiap selesai mandi; langsung berpakaian. Tidak membiarkan tubuhnya hanya dibalut handuk. Rasanya tenang sekali ketika sudah melungkup seperti itu. Sendi-sendi punggungnya melemas. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali sibuk dengan tugas kuliahnya. Oh! Aku belum memberi tahu pembaca kalau Kanara itu kuliah. Ya, Kanara kuliah di salah satu universitas swasta. Dengan nekatnya, ia mengambil kelas reguler. Masuk pagi, pulang sore. Malamnya harus bersiap-siap untuk kerja sampai subuh. Hebat bukan? Kanara sekuat itu. Ia tak mudah tumbang. "Tidur bentar deh sebelum ngerjain tugas," ucap Kanara, pada dirinya sendiri. Ia pun berguling-guling di atas tempat tidur. Menikmati kasurnya yang dingin dan halus. "Eh, hape mana hape? Bikin alarm dulu deh biar nggak terlambat." Ponsel. Akhirnya ia mengecek ponselnya. Ada sesuatu yang menunggunya di ponsel itu. "Fadil?" gumamnya. Melihat notifikasi pesan singkat dari Fadil Sasono. Mantan pacarnya yang labil banget. "Tumben..." Kanara lantas membuka pesan singkat tersebut. Fadil: Kangen. Kanara terkekeh geli. "Kangen katanya? Bulshit." Kanara mengabaikan pesan singkat tersebut. Hanya membacanya dan ia tinggal pergi tidur. Ternyata, sudah tidak ada Fadil di dalam hatinya yang kosong. Entah benar atau hanya ditahan olehnya; kita cari tahu nanti. *** Alarm berbunyi kenyang dibarengi suara ketukan pintu kamar. Ia terbangun. Membuka matanya perlahan dan berusaha untuk benar-benar sadar dari mimpinya. Kali ini ia memimpikan Fadil. Semua karena pesan singkat yang sesingkat-singkatnya. Ini celaka. Bisa saja hatinya kembali terpaut pada Fadil yang sangat tidak menyenangkan sekaligus mengecewakan itu lagi. "Kanara, Kanara," teriak seseorang. "Kanara!!!" Kanara yang sudah sepenuhnya sadar pun melompat dari tempat tidurnya. Itu suara Kasih. Otaknya langsung berpikir bahwa Kasih membutuhkannya. Kasih mungkin habis dipukuli lagi. "Ada apa?!" tanyanya, dengan nada suara yang panik. Kasih mendorong Kanara masuk. Ia ikut masuk dan lekas mengunci pintu. "Sssttt," pinta Kasih. Rambutnya berantakan. Pakaiannya compang-camping. Kemeja putih panjang tanpa celana. "Please, diem dulu ya, Nar. Oke?" Kanara hanya berdiri diam di tempatnya berdiri. Memperhatikan Kasih yang ketakutan. "Kamu nggak pake celana?" Dengan lancangnya ia menarik ke atas kemeja yang Kasih pakai. "Kamu nggak malu keluar kayak gini? Tunggu. Biar aku ambilin celana pendek buat kamu." "Nggak perlu," kata Kasih, menarik lengan Kanara. "Lo cuma perlu biarin gue di sini sampai polisi dateng." "Hah?" desah Kanara, bingung. "Masih bagus gue sempet pake baju! Dia maksa gue untuk making love dan gue lagi nggak mau. Dia maksa-maksa terus. Sampe akhirnya kita berantem hebat. Dia nggak pernag terima kalau gue nolak permintaan dia dan akhirnya jadi abusive." Kanara memijat-mijat keningnya. "Psikopat ya!" "Iya," jawab Kasih. Tapi terlihat acuh. Ia tetap sibuk menempelkan telinganya di pintu. Mencoba mendengar apa ada suara derap langkah kaki yang menuju ke kamar Kanara atau tidak. "Boleh pinjem hape lo? Buat telepon polisi lagi." "Boleh," balas Kanara, seraya menuju tempat tidur dan meraih ponselnya. "Ini. Pake aja. Tapi aku nggak tau nomornya." Kasih meraih ponsel dari tangan Kanara. "Gue udah hapal mati nomor kantor polisi daerah sini. Tenang aja." Ia sibuk mengetik nomor dan menganyunkan ponsel ke telinga. Bukkkkk. Suara tendangan tepat di pintu kamar Kanara. Kanara dan Kasih sontak terperanjat. "Dia tau gue di sini," kata Kasih. Gelisah. Menghentakkan kakinya di tempat sekaligus menggigit-gigiti kukunya. "Duh! Angkat dong... " Bukkkkk. "Keluar anjing! Gue tau lo di dalem." Kanara tak bisa menutupi rasa kejutnya. Ia menarik kedua bahu Kasih. "Kamu masuk ke dalem sini," pintanya, seraya membuka pintu lemari. "Tetep telepon polisi, sampai diangkat. Biar aku yang hadapin pacar kamu. Oke? Pokoknya diem aja!" Kasih yang sudah didorong masuk ke dalam lemari pun menarik tangan Kanara yang hendak membuka pintu. "Jangan pernah buka pintunya," ucapnya yakin, "atau kita berdua bakal mati." "Nggak akan!" Kanara menyanggah omong kosong yang dilontarkan Kasih. Ia kembali mendorong Kasih dan menutup pintu lemari. "Jangan pernah keluar sampai aku buka lemarinya." Untuk pertama kalinya Kasih diam dan menurut. Mungkin, ini pertama kalinya juga ada orang yang bisa menolong Kasih dan seberani Kanara dalam menghadapi kekasihnya yang kasar. Kanara memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ia mengacak-acak rambut agar terlihat bangun tidur. Lalu, ia membuka pintu tersebut. "Ada apa? Kamu siapa?" Sungguh di luar dugaan. Kanara pikir, wajah kekasihnya Kasih seperti orang psikopat dalam bayangannya. Ternyata tidak. Wajah pria itu terlihat tenang dan polos, namun matanya menyiratkan banyak kebencian. Pria itu melongo ke dalam sebelum menjawab pertanyaan Kanara. Pria itu juga memaksa masuk dan ingin mendorong Kanara. "Woy! Jangan kasar-kasar dong lo sama Neng Kanara!" Waktu yang tepat. Mang Ading dan Mang Ujang datang bersama tiga dua polisi di belakangnya. Dan ternyata, ada tiga warga lainnya yang ikut datang bersama mereka. Rasanya seperti dilindungi Tuhan di waktu yang pas. Kalau tidak, mungkin Kasih dalam ancaman. Mang Ading menghadang pria itu, membuat Kanara melangkah mundur, agak masuk ke dalam kamarnya. Begitu pula Mang Ujang yang menghadang pria itu dari samping. "Mas, jangan buat keributan terus dong. Udah dua tahun kayak gini terus. Emang nggak malu? Atau saya laporin aja lah ke pemilik gedung biar Mas Alif diusir sekalian," kata Mang Ujang. "Saya cuma nyari Kasih. Saya tau dia ada di dalem, Mang." "Jangan sok tau," kata Mang Ading. "Nggak ada kan, Neng?" Kanara yang sedang sibuk memperhatikan pria bernama Alif itu, mendadak kikuk. "Ah ... iya .... nggak ada. Saya nggak kenal siapa yang dia cari. Dia tiba-tiba... " "Sayang... ?" Tubuh Kanara melemas kala menyadari suara Kasih dari belakangnya. Dia ngapain keluar? batin Kanara. Hanya bisa melihat Kasih yang berjalan pelan menghampiri Alif yang sudah merubah raut wajahnya dari wajah iblis menjadi malaikat. Semanipulatif itu. "Maaf Mang, Pak Polisi, dan Mas-Mas yang ada di sini. Ini salah saya. Bukan salah Alif," kata Kasih. Tanpa tahu malu. "Kanara, maaf udah bikin heboh kayak gini. Gue bener-bener minta maaf." "Sayang," kata Alif. Menarik lengan Kasih. Dan, mereka berpelukan di depan semua orang. "Maafin aku. Maafin aku. Jangan kabur-kaburan lagi. Ayo, kita balik ke kamar." Kanara mengangkat sebelah alisnya, bingung. "Kalian gila ya?" *** 5. Pikiran Yang Terpecah Di dalam kereta menuju Kawasan Kalibata, tempat di mana Kanara berkuliah, ia melamunkan banyak hal. Terutama tentang kejadian tadi pagi antara dirinya dan Kasih. Sebelumnya, ia tak pernah melihat hubungan yang seperti itu. Ini pengalaman baru untuknya. Melihat seorang perempuan yang berlari ketakutan menghindari kekasihnya, juga sekaligus membela di waktu yang bersamaan. Ditambah lagi, Fadil yang dengan berani mengiriminya pesan singkat penuh bujuk rayu. Selain kata kangen, Fadil juga mengumbar rasa penyesalannya setelah berselingkuh dengan seorang perempuan yang katanya jauh lebih baik dari Kanara. Bulshit, bukan? Tentu saja. Kenapa baru menyesal setelah lima bulan menghilang dan melukai hati Kanara? Membuat kepercayaan diri Kanara hancur lebur. Fadil sungguh tak tahu diri, batin Kanara. Sedari tadi Kanara bolak-balik melamun dan mengecek pesan singkat Fadil. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia balas atau tidak? Hati kecilnya berkata, balas. Namun, pikirannya berkata, tidak. Sungguh rancu. Membuat pikirannya terpecah. Di sisi lain, ia penasaran dengan maksud kedatangan Fadil. Ia penasaran bagaimana hubungan Fadil dengan perempuan selingkuhannya itu. Kenapa Fadil mendatanginya lagi? Apa alasan dari kedatangannya? Benar-benar penasaran. "Arggggh," geram Kanara. Mengacak-acak poninya frustasi. Kereta berhenti tepat di Stasiun Kalibata. Ia turun dan menghirup udara segar, bau tanah yang bercampur hujan. Ia sangat menyukainya. Kebetulan, di luar memang sedang turun rintik hujan. Dan celakanya, tidak ada satupun ojek di sekitar sana yang siap mengantarnya dari stasiun menuju kampus. Apes. Kanara berjalan kaki dengan langkah yang cepat. Kalau tidak, ia bisa terlambat masuk kelas pertama. Mana baru tidur dua jam, dalam keadaan lelah dan banyak pikiran, ia juga harus dikejar waktu. Betapa berat beban Kanara hari itu. "Kanara! Ayo, naik. Keburu deres." Gilang! Sang penyelamat Kanara di kampus. Teman satu kelasnya yang bawel dan lucu. Selalu ada untuk Kanara di kampus. Namun, hubungan pertemanan mereka hanya sebatas di dalam kampus saja. Kanara belum sepenuhnya membuka diri pada teman-teman kampusnya, tentang identitas siapa dirinya yang sebenar-benarnya. Ia tak mau ada temannya yang tahu. "Malah bengong Si Kampret! Naik!" Gilang menarik paksa tangan Kanara. Seketika mengingatkan Kanara dengan Kasih dan Alif lagi. Hal-hal kecil seperti itu cukup menghantuinya hari ini. Kanara naik ke atas motor, dan Gilang segera menancapkan gas menuju kampus. Rintuk hujan semakin lama semakin deras. Untungnya Gilang sampai tepat waktu. Hujan mengguyur deras saat keduanya telah sampai di dalam parkiran kampus. Kanara menyeka air di atas kepalanya. Sementara Gilang turun dari atas motor dan membuka helm. Pemuda itu melirik sekilas, lalu mengusap kasar puncak kepala Kanara. "Yah, pilek dah," kata Gilang. Santai. Kanara menghindar. Mundur selangkah. "Apaan sih lo pegang-pegang? Sok manis. Geli." "Dikasih hati, minta jantung ya anda!" "Udah buruan. Keburu telat kelas pertama." "Nggak ah. Lo aja sana yang masuk. Gue mau ngopi di Babeh." Kanara memukul tengkuk leher Gilang. "Ngapain lo dateng pagi ke kampus kalo cuma buat ngopi? Mending lo tidur di rumah." "Biar dapet uang jajan dari nyokap," jawab Gilang. Saat Gilang hendak pergi, Kanara menarik paksa parka yang dipakai Gilang. "Nggak ada bolos-bolos. Ayo, masuk!" "Ya udah deh. Gue masuk," kata Gilang. Cengengesan. Sambil menyelipkan jari-jemarinya ke tangan Kanara, hingga keduanya malah berpegangan tangan. "Gue tuh suka ya dipaksa-paksa." Kanara menoleh, agak mendongak karena Gilang bertubuh tinggi. "Fakboy banget sih, Lang? Jijik dengernya." Tapi, Kanara tak berusaha melepas pegangan tangan Gilang. Mencurigakan. *** Tidak ada proses kuliah yang menyenangkan. Tidak ada. Sekiranya begitulah yang ada dipikiran Kanara dan Gilang saat ini. Keduanya duduk bersebelahan. Di bangku paling belakang. Berniat tak ingin terlihat mencolok, tapi gagal. Siapa yang tidak tahu dan tidak mengenal Gilang? Dikenal sebagai pemuda cuek tapi humoris. Supel tapi juga menyebalkan. Tidak ada kata yang tepat untuk menguraikan sosok Gilang. Yang semua orang tahu, Gilang itu mampu menarik perhatian semua kalangan. Termasuk orang-orang penting di universitas. Sampai disebut dengan panggilan seleb kampus. Padahal, Gilang sama sekali tak peduli mau dipanggil sampah ataupun seleb. Ia hanya berusaha menjadi dirinya sendiri dimanapun ia berada. Ia tak suka diatur dan diperintah, hingga semua orang di sekitarnya yang mengikutinya. Kecuali, Kanara. Kanara tidak terlalu mencolok di kampus. Hanya dikenal sebagai mahasiswa yang cantik, namun tertutup. Tidak pintar, tidak juga bodoh. Benar-benar mahasiswa biasa. Hanya paras cantiknya saja yang di atas rata-rata. Cukup menarik perhatian kakak tingkat. Membuat Gilang merasa perlu menjaga ketat Kanara. Kanara sendiri tak pernah minta untuk dijaga. Gilang saja yang terkadang sok berpengaruh di depan Kanara. Membuat keduanta cocok. Seperti Tom and Jerry dalam dunia nyata. "Nyesel gue ambil akuntansi," geram Gilang. Sambil duduk bersandar. Menatap dosen yang sedang menerangkan. "Harusnya gue ambil DKV atau Teknik Informatika. Biar gak suntuk-suntuk amat kayak gini." "Salah siapa?" "Salah bokap. Maksa-maksa masuk sini." "Katanya suka kalau dipaksa-paksa?" Gilang nyengir. Tersipu malu. "Itu kan kalo kamu yang maksa." "Nggak ada ya, Lang, ngomong aku-kamu sama gue!" "Latihan dulu," paksa Gilang. Mencubit-cubit gemas pergelangan tangan Kanara. "Siapa tau minggu depan kita pacaran?" Kanara sontak menjentik dahi Gilang. "Jangan ngayal!" "Yang di belakang. Tolong jangan berisik," pinta dosen. Gilang dan Kanara mengangguk bersamaan. Keduanya hening sejenak sampai Gilang lagi-lagi menggoda Kanara. "Pikirin dulu aja coba. Minggu depan gue usahain nembak lo. Terus kita pacaran. Jalan bareng. Makan bareng. Kuliah bareng. Seru kan ya? Iya kan, Nar?" Kanara malah tertawa. Tak sanggup lagi menghadapi keanehan Gilang. "Lang, udah deh, jangan ngelawak mulu. Gue mau belajar. Lanjut nanti aja. Nanti kita diskusiin lagi baiknya gimana." "Awww! Berasa mau diskusiin lamaran rasanya." "Bocah gila!" Gilang pun diam. Mulai mencatat apa yang ada di papan tulis dengan serius. Rambut Gilang yang cenderung ikal gondrong menutupi wajahnya saat sibuk menunduk, menulis di atas buku catatannya. Dan tanpa sadar, Kanara curi-curi pandang. Wajah Gilang lebih mulus dari wajahnya. Hidungnya yang tinggi dengan bibir kemerahan alami, cukup enak dipandang. Namun, sikap Gilang yang menyebalkan dihadapannya, membuatnya mengurungkan niat untuk menaruh harap. Gilang melirik genit. Kanara sontak buang muka. "Cie, lirik-lirik." Kanara berdeham, lalu bersikap arogan. "Sotoy." "Kalau suka bilang. Kalau sayang bilang." "Nggak akan pernah terjadi ya, Lang! Jangan ngarep." Gilang mengusap-usap lagi puncak kepala Kanara. "Duh, Sayangku. Belum pacaran aja udah marah-marah. Nanti pulang ngampus, jalan yuk? Aku traktir makan nasi uduk Si Eneng." "Nggak," balas Kanara, acuh. Gilang tak patah arang. "Kalo ke kosanku, mau nggak?" "Issssh! Fakboy! Fakboy! Fakboy!" "GILANG! KANARA! KELUAR!" Teriakan dosen sekeras toak masjid. Seluruh mahasiswa yang ada di dalam kelas sontak terbahak-bahak melihat pemandangan Gilang yang menghadang pukulan tangan Kanara. Semua terjadu begitu saja. Tanpa diduga. Tanpa direncanakan. Tapi entah mengapa, Gilang merasa senang. *** 6. Nasi Uduk Eneng Bukannya takut setelah diusir dosen untuk keluar kelas, Gilang malah mangajak Kanara menuju warung Nasi Uduk Eneng di belakang kampus. Lagi dan lagi, Gilang melilitkan tangannya di tangan Kanara. Tubuh Kanara yang kecil sesekali terhuyung alibat tarikan tangan Gilang dan langkah kaki Gilang yang cepat. "Jangan cepet-cepet kenapa sih?" gerutu Kanara. Gilang menghentikan langkahnya tiba-tiba. Membuat Kanara sontak menabrak punggung Gilang. "Aduh," lirih Gilang. Padahal yang seharusnya mengaduh, Kanara. Ia berdiri tegap seraya cengengesan. Menoleh ke arah Kanara yang sedang mengelus-elus dahi. "Kenapa jidatnya? Benjol nabrak punggung gue?" "Lecet malah nih!" "Ih, gemes deh," kata Gilang seraya sebelah tangannya mencubit gemas pipi Kanara. "Udah mulai bisa ngelucu dia loh." Kanara menghempas tangan Gilang. Ia juga melepas pegangan tangan pemuda itu. "Ayo, buruan makan. Laper," cicitnya, jalan mendahului Gilang. Tapi Gilang masih diam di tempat. Konsisten dengan senyum sumringahnya di ujung sana. Akhirnya, ia berbalik dan mengayunkan tangan memanggil Gilang. "Ayo, Sayang. Buruan. Aku laper." Gilang sontak cekikikkan mendengar ucapan Kanara. "Ya Allah, jauhkan aku dari godaan Kanara." Mulutnya mengucap hal itu, tapi langkah kakinya bertolak belakang. Ia malah berlari ke arah Kanara dan merangkul pundak Kanara. "Syahdu banget dipanggil sayang sama lo, Nar. Mau lebih sering lagi dong denger itu." "Nggak akan." "Ah, sayang," rajuk Gilang. Melompat ke depan Kanara. Tapi Kanara mengabaikan rajukan Gilang dan terus berjalan. "Ya, ya, ya? Panggil sayang terus aja ya? Aku-kamuan ya?" Kanara menahan senyumnya. "Never!" Keduanya kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jalan mereka seiring. Kanara yang diam-diam menyimpulkan senyum, juga Gilang yang sedaritadi tak bisa menahan rasa senangnya. Jalan itu seakan-akan dipaksa menyimpan memori tentang keduanya. Memori yang unik sekaligus lucu. Jalan yang ramai dihiraukan keduanya. Dengan Gilang yang melangkah di sisi jalan, menjaga Kanara dari sambaran motor ataupun mobil. Dan Kanara yang sesekali menarik lengan Gilang saat bunyi klakson motor yang berisik. Keduanya saling menjaga. Namun, keduanya masih tak yakin apa yang sebenarnya dirasakan. Keduanya hanya tahu kalau gurauan singkat itu menyenangkan. Membuat keduanya ketagihan untuk saling merajuk dan bertengkar lagi dan lagi. "Lo udah berapa lama nggak pacaran?" tanya Kanara. Gilang mengerucutkan bibirnya. Dahinya berkerut. "Hmm.. seminggu kali ya?" jawabnya tanpa dosa. Membuat Kanara kesal. "Salah nggak sih gue nyebut lo fakboy?" "Nggak kok." "Ada ya orang yang terima dibilang fakboy?" "Mau bela diri buat apa? Emang lo percaya? Nggak kan?" Kanara terhenyak barang sedetik. Ia mendadak ingat percakapannya dengan Hanisa kemarin malam. "Iya ya?" "Iya kan? Makanya mau lo pandang gue baik atau buruk, softboy atau fakboy, bebas... Sesuka lo aja, Nar. Gue nggak terlalu mikirin juga. Nggak usah penilaian lo, penilaian orang lain aja nggak gue pikirin. Mereka bebas dan berhak menilai gue juga kok." "Sepasrah itu? Sama sekali nggak ada pembelaan?" Gilang menggeleng mantap. "Nggak. Males. Ribet." Keduanya sampai di Warung Nasi Uduk Eneng. Gilang menyentuh bahu Kanara untuk duduk lebih dulu. Kanara menurut, ia duduk dan menatap Gilang yang sibuk memesan makanan. "Mau minum apa?" "Es teh tawar aja," jawab Kanara. Gilang benar-benar mengatur semuanya. Gilang cukup gentle memperlakukan Kanara dan tak membiarkan Kanara sibuk memesan makanan sendirian. "Kalau gue, dimana-mana pasti bakal nyarinya es jeruk. Apapun makanannya, es jeruk minumnya." Kanara tertawa. "Kayak pernah denger slogan kayak gitu." "Ssssst," desis Gilang seraya meniup ujung telunjuknya. Ia duduk berhadapan dengan Kanara. Meraih tisu di atas meja, menyeka meja bagiannya dan di bagian Kanara hingga bersih. Kanara masih tetap diam memperhatikan. "Gantian dong. Udah berapa lama lo jomblo? Terus kenapa lo suka telat? Terus kenapa mata lo tuh kayak mata capek gitu tiap ngampus? Lo kerja juga kan?" Dan, raut wajah Kanara berubah. Wajahnya mengeras. "Mau cerita nggak? Kalau belum siap ya nggak apa-apa." Kanara menelan salivanya kasar. Terlihat gelisah, namun juga ada rasa siap untuk membuka diri di hadapan Gilang. "Kalau gue cerita. Lo kira-kira bakal kayak orang-orang nggak?" "Orang-orang emang biasanya ngelakuin apa?" "Ngejudge gue." Gilang menghentikan aktifitas bersih-bersihnya. Ia menatap kedua bola mata Kanara, serius. "Gue tanya balik. Lo udah siap cerita apa belum? Itu aja. Jangan pikirin pendapat orang lain." *** Kanara keluar dari dalam kelas. Ia melihat saat ini sudah pukul empat sore. Ia cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju stasiun. Saat hendak menuruni tangga, Gilang memanggilnya dari arah belakang. Kanara sontak terhenti. "Kenapa?" Gilang ikut berlari menuruni anak tangga sambil menenteng kantung kresek hitam. "Ini bawa. Gue beli nasi uduk lagi. Tadi lo makannya lahap banget. Pasti doyan," katanya, seraya menyelipak kantung plastik di tangan Kanara. Kanara mengernyit. "Tapi gue udah kenyang?" Gilang mengacak-acak rambut Kanara dengan sebelah tangannya yang lain diselipkan ke dalam saku almamater. "Udah sana ke stasiun. Ojek lo udah nunggu tuh. Hati-hati ya!" Kanara hanya menghela napas kasar. "Ya udah. Makasih ya!" Gilang berteriak lagi saat Kanara berlari. "Kalau ada waktu luang, sempetin chat gue ya! Itu juga kalo lo mau." Kanara tak berputar balik, tapi ia tertawa mendengar ucapan Gilang. Juga tersimpan rasa khawatir karena ia baru saja mengutarakan semua yang terjadi dalam hidupnya pada Gilang. Entah apa yang saat itu merasukinya, sosok Gilang tiba-tiba saja terasa seperti tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Penerimaan Gilang juga baik. Gilang tak banyak berkomentar. Benar-benar hanya diam dan mendengarkan. Diakhiri dengan semangat singkat yang diutarakan Gilang, juga sentuhan tangannya yang terasa menghangatkan. Tidak, tidak. Aku tidak boleh terlalu cepat jatuh cinta, batin Kanara. Terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa semua ini hanya awalan. Siapapun yang tertarik pada seseorang, akan bisa menerima segala kekurangan di awal. Perjalanan tidak akan semulus di awal dan bisa saja berakhir menyakitkan. Sesampainya di stasiun, ia duduk di salah satu bangku peron. Memeriksa ponselnya yang berisik. Ada pesan dari Gina, Hanisa dan juga Fadil. Fadil masih berusaha keras untuk bisa berkomunikasi dengan Kanara secara baik dan agak memaksa. Kanara mulai membalas pesan singkat Fadil. Kanara: Sebenernya kamu mau apa, Dil? Lama menunggu. Tak juga dapat jawaban. Kereta pun datang. Kanara naik. Kereta dalam keadaan kosong dan lengang. Ia duduk di dekat pintu gerbong. Menghirup aroma khas gerbong kereta, yang menyejukkan namun tak begitu wangi pengharum. Ia menyandarkan kepalanya di badan gerbong, memasang earphone di teling dan menyetel lagu Stand Up For Love milik Destiny Child. Ia memang pecinta musik-musik jadul. Ponselnya berdering. Menyadarkannya dari lamunan. Ia mengecek ponsel tersebut. Dan ada dua pesan dari Fadil dan Gilang secara bersamaan. Secara naluri, ia ingin lebih dulu membuka pesan singkat dari Gilang, namun jempolnya lebih dulu membuka pesan dari Fadil. Fadil: Aku ke kosan ya? Aku mau ngomong langsung. Kanara menyipitkan sudut-sudut matanya. Sejak kapan Fadil mau bertandang ke kosannya? Ah, sejak hari ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya sampai-sampai semaksa ini. Kanara: Aku kerja. Jalan abis maghrib. Fadil: Sekalian aku anter. Aku on the way kosanmu. Tak bisa menolak. Entah kenapa, Kanara hanya berdiam diri. Tak mengetik apapun lagi selain kata; iya. Dan membiarkan Fadil mendatanginya lagi dengan mudahnya. Sampai-sampai ia lupa harus membuka pesan singkat dari Gilang. Yang ternyata isinya; Kanara cantik. Kanara sayang. Lo lagi buka lowongan untuk tempat bersandar nggak? Gue mau daftar. Celakanya, sore ini Kanara hanya terfokus pada masa lalunya. Sungguh menyebalkan. *** 7. Menaruh Harap Baru sampai di depan kosan, Kanara sudah melihat Fadil berdiri di depan mobil sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada. Pria itu menunduk kaku, sambil memainkan kunci mobil dengan gelisah. Sementara Kanara diam sejenak, memerhatikan Fadil dari jarak yang cukup dekat. Pria itu belum menyadari kehadiran Kanara. Kanara sempat merogoh tas untuk meraih ponselnya. Ia melihat ada panggilan masuk dan pesan singkat dari Fadil. Juga ada pesan singkat dari Gilang yang belum juga ia baca. Pesan singkat terakhir dari Fadil memang menyatakan bahwa dirinya sudah sampai di depan kosan Kanara. Dan pesan itu sudah ada dari dua puluh menit yang lalu. Saat Fadil hendak merogoh saku celana, berdiri tegak dan menghadapkan pandangannya lurus ke depan. Ia tak sengaja bertemu mata dengan Kanara yang masih berdiri beberapa meter dari tempatnya menunggu. Ia sontak tersenyum sumringah. Merapikan rambutnya yang ikal dan membetulkan kaca mata bulatnya. Secara paras, Fadil seringkali dicap sebagai playboy kelas kakap dengan wajah yang tenang namun menghanyutkan. Ketampanannya cenderung biasa, tapi pesonanya cukup menarik hati. Berbeda dengan Gilang. Jauh berbeda dan bertolak belakang. "Hai, Beb," kata Fadil. Menarik pundak Kanara dan memeluknya saat Kanara telah sampai di hadapan. "Kamu lama banget." Kanara diam. Sibuk menghirup bau parfum yang biasa mereka beli bersama saat masih berpacar. Kanara menduga-duga sendiri, apa mungkin Fadil tak mengganti parfumnya setelah putus? Atau pria itu sengaja memakainya kembali untuk mengecoh dirinya? Fadil tersenyum lebar. "Kamu apa kabar? Kangen banget sama kamu. Sumpah." Kalimat-kalimat bulshit yang terdengar tulus di telinga Kanara. Sungguh menyebalkan. "Baik," jawab Kanara. Merespon dengan biasa. Fadil menunjuk pintu kosan. "Kapan ajak aku ke dalem?" "Dulu kamu nggak pernah mau dateng kalau aku minta. Kenapa sekarang malah menawarkan diri?" "Lho, itu kan dulu, Nar. Sekarang kamu minta aku datang kemanapun, aku pasti bakalan datang," balas Fadil, seraya merengkuh pinggul Kanara yang mungil. "Ayo. Ke dalem?" Kanara menarik napas panjang. Ia mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Keduanya melangkah beriringan dengan tangan Fadil yang tak lepas dari pinggulnya. Mencengkram erat, seolah-olah bahasa tubuhnya menyiratkan rasa rindu yang mendalam. "Neng, token udah saya isi ya," kata Mang Ading. Kanara mengangguk ramah. "Makasih banyak, Mang." Tatapan mata Mang Ading menyorot lekat ke arah Fadil. Tatapan-tatapan penuh curiga, namun ditahan dan tak melontarkan pertanyaan apapun. Sampai akhirnya, Fadil tersenyum pada Mang Ading dan keduanya berkenalan singkat. Kanara segera mengajak Fadil masuk ke dalam lift saat pintu lift sudah terbuka. Fadil berpamitan pada Mang Ading yang tatapannya sudah berubah ramah kala mengetahui bahwa Fadil orang yang cukup supel dan mudah didekati. Di dalam lift, Kanara hanya diam menatap pintu. Sementara Fadil yang berdiri di belakang Kanara, sedang bersandar pada badan lift sambil memperhatikan Kanara dari pantulan besi pintu lift. Kanara yang menyadari hal itu hanya bisa buang muka dan menghindari kontak mata. Ia tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan atas apa yang dilihatnya barusan. Sampai di lantai kosannya, Fadil mengikuti arah langkah Kanara. Menunggu Kanara dengan tenang sampai pintu kosan terbuka. Setelah terbuka, Kanara mempersilakan Fadil untuk masuk. Kanara berdiri di sisi kamar mandi. "Maaf kalau sempit." Fadil masuk dengan langkah perlahan. Melihat-lihat isi kamar. "Wah, nyaman ya? Rapih. Bersih. Kamu banget." "Maksudnya gimana?" "Iya, kamu kan dari dulu orangnya rapih. Bersih juga. Juga jago bikin orang nyaman," tawa Fadil, seraya melepas sepatu pantofel coklatnya. "Aku boleh duduk di sini?" Melihat Fadil menunjuk tempat tidur, Kanara mengiyakan. Memang hanya ada kasur untuk dijadikan tempat duduk selain lantai. "Boleh," jawabnya seraya menutup dan mengunci pintu. Mata Fadil tertuju pada rak buku kayu bercat putih. "Kamu masih suka baca buku?" "Masih," kata Kanara, seraya membuka lemari pakaian. Meraih pakaian yang hendak ia pakai ke tempat kerja. "Aku mau mandi. Kamu madep sana. Kamar mandiku cuma pakai tirai, nggak ada pintunya. Ini juga kaca. Jadi jangan macem-macem." Fadil terkekeh geli. "Kamu kayak sama siapa aja sih?" "Emang kamu siapa?" balas Kanara, nyelekit. "Udah jangan banyak omong. Kalau aku bilang madep sana, ya sana." Fadil menggeser tubuhnya menghadap rak buku. "Iya, iya. Masih judes juga ternyata ya. Tapi itu yang bikin kamu menarik." Kanara mengabaikan ocehan-ocehan Fadil. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan bergegas mandi. Ia menyalakn shower. Tapi tak langsung mandi dan hanya melamun di bawah air yang menyala deras. Ia berulang kali menghela napas. Sesekali menoleh, memastikan kalau Fadil tak bertingkah kelewatan. Ternyata Fadil cukup bisa dipercaya. Beberapa menit melamun ditambah aktifitas mandi yang cukup lama, Fadil menuruti Kanara untuk duduk menghadap ke arah lain. Malah, saat Kanara keluar, ia melihat Fadil sedang berselonjor di atas tempat tidur seraya membuka salah satu buku. Fadil mengangkat kepalanya, melihat Kanara keluar. "Kirain bakal keluar pake handuk doang." "Berisik," cicit Kanara seraya menyeka rambut basahnya dengan handuk. Ia sudah berpakaian rapih saat keluar dari kamar mandi. "Inti dari kedatengan kamu kesini tuh apa sebenernya?" Fadil menutup buku dan beranjak duduk perlaha. "Hmm," desahnya, terlihat mencari kata yang tepat. "Aku kangen." "Setelah sekian lama hilang dan selingkuh, baru bilang kangen?" "Namanya juga laki-laki," balas Fadil acuh, tapi berusaha tenang. "Emang gitu kan? Nggak cuma aku pasti. Semua laki-laki itu telat kangenin mantannya. Apalagi kalau lagi ada yang baru. Fokus ke yang baru. Tapi, pas ada kekurangan sama pasangan barunya, laki-laki pasti langsung teringat sama mantan terakhirnya." Seterbuka itu perangai Fadil. Pria itu berani menyalahkan dirinya demi fakta. Kanara sampai tak bisa melawan. "Bagus kalau sadar." "Kamu nggak mau nanya apa bedanya kamu sama dia?" "Nggak. Nggak mau tau dan nggak penting juga untuk tau." Fadil berdiri, mendekati Kanara yang tengah duduk di depan meja rias kecil seraya menyalakan hari dryer. "Emang kamu nggak kangen sama aku, Nar?" tanyanya. Sambil tiba-tiba memeluk. Kanara tersentak. Namun, pelukan Fadil terlalu erat untuk dilepas. Ia menatap Fadil dari pantulan kaca. Diam tak bergeming. "Aku minta maaf kalau aku pernah punya salah. Bahkan, sebenarnya aku juga sadar kalau kesalahanku itu sangat fatal dan menyakiti. Aku pergi gitu aja tanpa pamit. Kamu pasti terluka banget saat itu. Tapi jujur, semakin jauh dari kamu, semakin aku nggak bisa lupain kamu," ujar Fadil tenang dan penuh penekanan. Tangannya masih tetap mendekap erat Kanara yang diam saja. "Kalau kamu mau kasih aku kesempatan, aku mau ulang segalanya dari awal lagi. Aku mau memperbaikinya." Mendengar hal itu, Kanara tersentuh. Di saat yang bersamaan, ada panggilan telepon dari Gilang. Ia beranjak bangun dan mangambil ponsel di atas meja televisi. Ia menatap ponsel beberapa detik sebelum menjawab panggilan dari Gilang. "Hallo, Sayang? Aku udah di kosan. Baru selesai mandi." Dan, di ujung panggilan sana, ada Gilang yang terkejut-kejut. *** 8. Langkah Yang Salah "Kamu kapan mau pulang?" tanya Kanara, seusai bersiap-siap menuju tempat kerja. Di hadapannya ada Fadil yang menahan kesal. Masih kecewa dengan harapannya sendiri. "Heh?" Fadil menghela napas sejenak. "Sekarang..." Kanara mengangguk-angguk tenang. Sementara Kanara sibuk merapikan barang bawaan, Fadil duduk diam memperhatikan Kanara yang masih tampak acuh. "Siapa pacar kamu? Aku kenal dia nggak?" "Kenal atau nggak, apa urusanmu?" "Tentu urusanku kalau pacar kamu orang terdekatku." Kanara segera bangkit dari jongkoknya dan berkacak pinggang. Tertawa sinis. "Kamu masih egois ya?" Ia mulai kesal. "Kamu selingkuh sama sahabatku sendiri, tapi kamu nggak pernah terima kalau aku punya hubungan sama orang terdekatmu." "Ya, karena aku bukan kamu," jawab Fadil, dengan entengnya. "Oh, benar! Kamu bukan aku." Melihat Kanara secepat itu mengalah, Fadil berdiri dan berusaha kembali memeluk Kanara. Namun, Kanara menolak tegas. "Aku mau peluk, Nar. Kenapa nggak boleh? Aku cemburu." Ah, selalu saja Fadil berhasil mengelabui Kanara dengan kata-kata manisnya. Kanara sampai terhenyak. "Nggak," Ia berusaha menolak lagi. "Aku nggak mau pasanganku kecewa." "Kamu dulu juga jaga hatiku kayak gini?" "Menurutmu?" Fadil kali ini diam. Terlihat menyesal dan bersalah. "Makanya udah deh, nggak ada hal baik dari ketemu sama mantan. Kalau nggak ribut, saling pamer pasangan baru, ya ngajak balikan tapi sebenernya tau nggak akan bisa nyatu juga." Fadil menunduk kaku. Tak setuju. "Tapi selagi masih bisa kita perbaiki, kenapa nggak kita coba?" "Kamu itu bego apa tolol sih?" Melihat Kanara bersikap kasar untuk pertama kalinya, meyakinkan Fadil bahwa perempuan itu sedang benar-benar muak dan marah. Akhirnya, ia memilih melangkah mundur. "Oke, oke, maaf... Aku kasih kamu waktu. Kamu pikirin semuanya. Aku datang lagi nggak cuma untuk ajak kamu pacaran. Aku mau kita menikah ke depannya. Tolong pikirin baik-baik." Menikah? Pernikahan adalah mimpi Kanara yang telah tersimpan rapat dan terkubur dalam. Tak ada lagi ruang di hati dan pikirannya untuk memikirkan hal itu. Kanara terkekeh. "Udah kubilang, aku udah punya pasangan! Jangan maksa." Kanara meraih kunci mobil, mengangkat barang bawaanya dan membuka pintu kosan. Ia tak mempedulikan Fadil yang masih berdiri diam menatapnya. Dalam sejenak, keduanya bertahan dengan ego masing-masing. Sampai akhirnya Fadil menahan lengan Kanara. "Kamu berubah banget sih, Nar? Kamu jadi cuek. Kamu jadi tempramen." "Kalau aku masih kayak dulu, aku bakalan dibodohi kamu lagi." "Nggak gitu," lirih Fadil, tetap berusaha menghentikan Kanara keluar dari dalam kosan. "Aku serius. AKU MAU MENIKAH!" Kanara berbalik dan melepas tangan Fadil dengan kasar. "Gih! Mau kamu menikah atau melajang seumur hidup pun aku nggak peduli, Fadil. Sama sekali nggak peduli." "Bohong!" Fadil mendadak bersikap kasar. Menarik kasar lengan Kanara, membanting pintu kosan dan menguncinya. Kanara terhempas ke dinding. "Nggak! Ini nggak boleh terjadi..." "Apa?" tanya Kanara, ia mulai waspada. Fadil mendekat dan mencumbu bibir Kanara dengan paksa. Sementara Kanara menolak dan terus-menerus menghindar. Namun, kekuatan Fadil tak mudah untuk dilawan. "Fadil! Fadil.... Berhenti...." Fadil tak menghiraukan lirihan Kanara, ia malah semakin menjadi-jadi. Berusaha membuka kancing kemeja Kanara dengan sembarangan. Napasnya memburu, wajahnya merah padam. Dengan segenap kekuatannya, Kanara mendorong bahu Fadil hingga pria itu terhuyung. Ia pun segera menendang lutut Fadil sekeras yang ia mampu. "Brengsek! Bajingan!" pekiknya. Kembali merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. "Nggak usah lo ketemu-temu gue lagi. Pergi lo dari sini." Fadil mengacak-acak rambutnya frustasi sambil berteriak. "Arghhhh.... Anjing.... !" Ia sudah tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi Kanara yang mulai bersikap dingin. "Maafin aku, maafin aku... Aku mohon... " Kanara menendang Fadil kala pria itu bersimpu di lututnya. Menggelayuti kakinya, memohon-mohon seperti anak kecil. "Nggak gini, Dil, caranya ngedapetin hati perempuan!" "Aku minta maaf. Aku minta maaf. Kanara, aku minta maaf." Hanya itu yang terucap dari bibir Fadil seraya menangis histeris. Ini untuk pertama kalinya Kanara melihat Fadil sefrustasi ini. Bodohnya, Kanara berhati sangat lembut. Semarah apapun, jika melihat situasi seperti ini, ia akan berubah baik kembali. Ia merengkuh kedua bahu Fadil, berjongkok di hadapan Fadil yang masih bersimpu haru. Ia menatap Fadil dengan sedih. Fadil balik menatapnya. Matanya merah penuh emosi bercampur kesedihan. Sepertinya kali ini Fadil benar-benar serius meminta maaf dan benar-benar frustasi dengan kesalahannya sendiri di masa lalu terhadap Kanara. "Maafin aku..." Lagi, ia mengucap maaf seraya mengangkat kedua tangannya, memohon. Kanara yang iba, tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Kanara menari bahu Fadil dan memeluknya. "Fadil, sebenernya kamu mau apa? Harus sampai kapan kita kayak gini terus?" Ya, Kanara ikut menangis. Keduanya menangis bersama. *** Kanara menolak tawaran Fadil untuk diantar ke tempat kerja. Ia ingat kalau ia harus menjemput Hanisa dan Gina. Selepas pertengkaran penuh drama itu, Fadil pulang dengan langkah yang gontai. Ia berpamitan pada Mang Ading yang masih menjaga di pos bawah, sementara Kanara sudah berada di dalam mobil dan menyalakan mesin. Fadil menghampiri Kanara. Mengetuk-ngetuk kaca mobil, minta dibukakan kacanya. "Nar, Nar," lirihnya, terdengar sendu. Kanara menurunkan kaca mobil. "Apa?" "Kapan kita bisa ketemu lagi?" "Nanti kalau aku libur." Fadil tersenyum. Jawaban Kanara menyiratkan bahwa mereka berdua akan ada kesempatan untuk bertemu kembali. "Kabarin aku ya kalau kamu libur?" Kanara mengangguk. "Iya." Dengan suasana hati yang membaik, Fadil menarik lengannya yang bersimpu pada pintu mobil. Ia membiarkan Kanara menutup kaca mobil dengan sempurna. Diam memerhatikan perempuan itu mengeluarkan mobil dari parkiran kosan. Seketika ia ingat, bahwa yang mengajarkan perempuan itu sampai bisa mengemudi ialah dirinya. Ia bangga pada Kanara yang berani. Seingatnya, ia hanya mengajarkan Kanara tak lebih dari lima kali, namun perempuan itu bisa mengemudikan dengan benar dan baik sampai saat ini. Kanara membunyikan klakson, lalu pergi. Melihat Fadil tersenyum dan melambaikan tangan seperti itu membuat Kanara kembali mengingat kenangan mereka berdua. Bagi Kanara, kejahatan Fadil sungguh luar biasa. Pria itu seakan tak bisa hanya bertumpu pada satu wanita. Selalu haus perempuan dan minta lebih. Namun di sisi lain, sikap baik Fadil tak ia temui pada lelaki manapun sejauh ini. Kanara menyandarkan kepalanya di bangku mobil seraya menyetir. Ia berulang kali menghela napas kasar. "Kalau aku balikan sama Fadil, apa yang akan terjadi lagi nanti? Gimana kalau dia selingkuh lagi? Gimana kalau aku disia-siain lagi?" Nah! Ini yang Fadil inginkan tanpa Kanara sadari. Bagi Fadil, kalau Kanara mulai bimbang, maka peluang dan kesempatan mereka untuk balikan bisa jauh lebih besar, ketimbang Kanara kekeh menutup pintu hatinya. Fadil tak akan bisa menembus ruang hati dan pikirannya Kanara yang misterius. Kanara pun tak sadar kalau hati dan pikirannya sedang dikecoh oleh Fadil. Ia tak habis pikir kenapa selalu harus sosok Fadil yang ada di dalam kepalanya? *** Description: Bagi Abigail Kanara, hidup hanya diisi oleh ketidakadilan. Sampai-sampai, ia tak lagi berusaha mencari apa itu keadilan dan menjalani kehidupannya seperti air yang mengalir tanpa arah dan tujuan yang jelas. Perjalanan hidupnya memuakkan. Bahagia tak kunjung menghampirinya, sampai ketika ia bertemu dengan seorang pria dari masa lalu, yang tetap melihat Kanara sebagai seorang perempuan yang baik. Pria itu sebenarnya tahu siapa Kanara saat ini, tapi pria itu menutup mata dan telinganya dari segala hal buruk tentang Kanara. Pria itu yakin, Kanara masih bisa berubah. Pria itu yakin, Kanara bisa keluar dari kehidupan kelamnya. Dan, pria itu yakin, Kanara kelak yang akan menjadi pendamping hidupnya. Namun, kekhawatiran Kanara melebihi kepercayaan pria tersebut. Mampukah Kanara mengatasi kekhawatirannya? Atau Kanara lebih memilih menjauhi pria baik hati tersebut? // Nama lengkap: Sarashiba Nanda // Instagram: Sarashibaaa // Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #BNNS2020
Title: Ratna Stories Category: Teenlit Text: Masa Orientasi Siswa Hari ini adalah hari dimana aku akan mendaftarkan diri di SMK Cendikia. Gak kerasa banget ya, aku sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi orang yang lebih bisa menata masa depan. Akan ku simpan semua kenangan yang ada di masalaluku di dalam hati kecilku dan mengingatnya semua menjadi kenangan. Sekarang aku sedang berada di SMK Cendikia untuk mendaftar menjadi siswa di sekolah ini. Awalnya aku minder banget untuk mendaftar di sini karena di sekolah ini kebanyakan orang berada dan orang-orang yang sangat pintar, sedangkan aku berasal dari keluarga yang sederhana yang hanya mampu membiayai kehidupan sehari-hari. Aku juga bukan orang yang pintar, tapi bukan berarti aku bodoh ya. Dan kalian tau apa yang terjadi denganku? Aku diterima di sekolah ini dengan nilai rata-rata, maksudnya gak tinggi gak juga rendah, aku senang banget ketika melihat nama ku tertera menjadi siswa baru di sekolah ini. Kini aku sedang menyiapkan segala hal untuk pertama kalinya aku masuk sekolah, eh gak juga sih, ralat deh pertama kalinya aku menginjak masa-masa SMA yang semua orang menganggap masa-masa SMA adalah masa yang paling indah dan masa yang paling sulit untuk dilupakan. Tapi bagiku semua tingkatan sekolah sama saja, sama-sama tidak bisa dilupakan. Oiya, aku di sini tidak memilih masuk SMA, tapi aku memilih untuk masuk SMK karena apa? karena setelah lulus dari sini, aku ingin mencari kerja untuk bisa membiayai sendiri kuliahku kelak. Aku tau hidup tidak akan selamanya bergantung kepada orang tua, maka dari itu aku belajar untuk mandiri dan mencari pengalaman sendiri. Kalian mau tau jurusan apa yang aku ambil di SMK ini, aku mengambil jurusan akuntansi, wow applause dong buat aku hihihi…. Hari ini hari dimana kita harus mutusin urat malu untuk menghadapi situasi ini. Ya, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah dan hari pertama menjadi siswa baru di sekolah baru, dan kalian pasti taukan setiap ada penerimaan murid baru pasti ada yang namanya masa orientasi siswa atau yang sering disebut dengan mos. Dan sekarang aku sedang mengenakan tas yang terbuat dari karung beras dan disuruh buat sendiri, syukurlah tas karung buatanku tidak terlalu jelek. Aku juga memakai name tag yang dikalungkan kedada dan juga aku memakai topi SMP yang banyak sekali pitanya. Pita yang ada di topi harus sesuai dengan tanggal lahir, kalian bayangkan saja aku lahir tanggal 21 dan pita yang kutempel di topiku sebanyak itu, owh sangat memalukan, tapi tak apalah yang penting bukan rambut karena SMK Cendikia mengharuskan siswa perempuan yang beragama islam harus berjilbab. Seperti mos yang pernah ku lalui di masa SMP dulu, pasti pada hari pertama mos akan dilaksanakan upacara yang berlangsung selama 1 jam, dan baris berbaris selama 2 jam atau lebih. Dan kalian tau, aku paling gak suka panas-panasan karena itu akan membuat kepalaku terasa pusing. Pada saat acara baris berbaris, aku merasa asing dan canggung dengan suasana baru ini, terlebih yang masuk jurusan akuntansi cuma aku dan seorang temanku yang dari sekolah SMP-nya sama, itupun beda kelas, aku kelas X A AK, sedangkan dia X C AK. Padahal banyak sih teman-teman ku dari SMP yang mendaftar dan masuk di sekolah ini, tapi mereka semua mengambil jurusan perkantoran. Huh, benci deh kalau sudah begini. @@@@@ Lonceng untuk pulangpun sudah terdengar, orang-orang yang ada di dalam kelas sudah bersiap untuk pulang, bahkan ada yang sudah keluar kelas. Baiklah ini rekor pertama ku tidak mendapatkan teman pada hari pertama masuk sekolah, biasanya aku memiliki teman saat hari pertama. Huh, hari yang melelahkan dan juga hari yang menyebalkan rutukku dalam hati. “hei, lo kenapa belum keluar ?” Aku yang sedang asik membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam taspun langsung mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang sedang berbicara. Orang yang berbicara ini berada di depanku, lebih tepatnya dia duduk di depan tempat dudukku. “Mmm, lagi nunggu jemputan. lo sendiri, kenapa belum keluar?” Tanyaku balik ke dia yang aku tidak tau siapa namanya karena name tag nya sudah dimasukkan ke dalam tas abu-abunya. Aku menggunakan aksen lo-gue ke orang-orang sebayaku biar terkesan gak canggung. “sama, gue juga lagi nunggu jemputan. Oiya, btw kenalin nama gue Marissa June, lo bisa panggil gue Rissa” Ujarnya sambil menjulurkan tangan untuk berkenalan yang ku sambut dengan senang hati. Dari nama belakangnya sih, aku sudah pasti tau kalau dia lahir bulan juni, sama sepertiku. “Nama gue Ratna Junia, lo bisa panggil gue Ratna”. Kami saling melempar senyum kemudian melepaskan jabatan tangan kami. Ternyata ini bukan rekor pertamaku karena tidak mempunyai teman buktinya aku memiliki teman sekarang, yaa walaupun baru 1 orang. “Yaudah kita nunggu jemputannya di depan gerbang aja yuk, kalau nunggunya di dalam kelas entar kita gak tau orang yang menjemput kita udah nyampe atau belum”. Benar juga sih kata dia, ngapain juga aku berada di dalam kelas yang sepi seperti ini, cuma ada aku dan Rissa aja di dalam kelas. “Yaudah ayo kita keluar Ris” Ucapku sambil menyampirkan tas gendong ku yang berwarna hitam ke bahuku, sedangkan Rissa berdiri di depan kelas menantikanku. “Ayo Ris kita kedepan, bokap gue kayaknya udah ada di depan deh”. Setelah mendengar ucapanku barusan, kamipun langsung berjalan beriringan keluar kelas dan menuju gerbang utama. Benar saja, papaku sudah ada di depan gerbang duduk dengan santai di dalam mobilnya. “Ris, gue duluan ya. Bokap gue udah ada di depan gerbang tuh”. “Iya, hati-hati ya”. “Iya, lo juga hati-hati ya, sampai jumpa besok Ris” Ujarku sambil melambaikan tangan ke arahnya, begitupun sebaliknya. @@@@@ Mos di hari kedua ku jalani dengan semangat. Bagaimana aku gak semangat aku sekarang sudah mempunyai seorang teman. Ya walaupun baru satu, tapi aku senang karena saat istirahat dan saat jam kosong aku mempunyai teman ngobrol. Kalian tau, Marissa itu orangnya asik banget, dia mudah bergaul dan banyaaakk sekali topik pembicaraan yang ia bicarakan, seolah tiada hari untuk besok untuk melanjutkan cerita yang ia lantunkan- -ralat yang ia bicarakan, emangnya dia ngaji- - Saat di dalam kelas, aku tidak ada perasaan boring sama sekali saat Rissa bercerita tentang sekolah SMP-nya dulu, tentang teman-temannya dulu, dan tentang mantan-mantan pacarnya. Kadang aku heran, kami kenal belum sampai seminggu dan kami sudah akrab layaknya sahabat lama yang baru bertemu dan aku gak segan-segan bercerita tentang masa-masa SMP yang ku lalui. Kalian tau, tanggal lahirnya Rissa cuma beda satu hari dengan tanggal lahir ku, ulang SATU HARI. Aku lahir tanggal 21 dan dia lahir tanggal 22 di bulan yang sama dan di tahun yang sama. Wow, kebetulan yang tidak disangka-sangka. *apa’an sih bacotku ini terlalu lebay, abaikan! Di mos yang kedua ini tidak terlalu lama berjemur di lapangan karena kami semuuuanya dibawa keliling sekolah untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan, katanya. Aku selalu bergandengan tangan dengan Rissa layaknya sepasang kekasih *hey aku masih normal ya, gak suka sesama jenis. Saat tiba di kelas, semua orang mengira kalau aku dan Rissa sudah berteman lama, padahal sih no. Tapi aneh juga ya, aku dan Rissa tidak duduk satu bangku tapi kami bisa seakrab ini, sedangkan orang yang duduk di sampingku, tau namanya aja enggak, gimana mau ajak dia ngobrol, masa aku harus bilang hey hey hey, nama kamu siapa? asal sekolah dimana? umur berapa?, kalian pikir aku mau wawancarain dia. Tapi gak papalah, walaupun aku mempunyai teman baru satu, tapi aku beruntung karena gak kesepian disaat kondisi di dalam kelas masih dalam keadaan awkward. Saat di kelas, banyak pasang mata yang sedang memandang aku dan Rissa dikala kami sedang bercanda gurau. Ya ya, aku dan Rissa adalah dua orang yang paling heboh di kelas, karena kami aja yang terlihat akrab. Lumayan seru, tapi aku sedikit merasa risih karena menjadi pusat perhatian semua orang, aku tidak suka itu. @@@@@ Tbc Masa Orientasi Siswa (2) Tadahh, sekarang hari ketiga aku mos, dan hari terakhir juga untuk bertemu kakak-kakak senior yang membimbing dan acara baris-berbaris ini. Gila, sumpah deh tiga hari berturut-turut ini cuacanya panas bener. Tapi aku bersyukur selama dua hari yang ku lalui aku tidak pingsan gara-gara kepanasan yang langsung membuat kepalaku pusing tujuh keliling. *ett dah lebay amat. Di hari ketiga ini, seluruh murid-murid sedang berbaris untuk mengikuti upacara penutupan mos sekaligus penyambutan murid baru. Dan kalian tau, hari ini mataharinya teriiik banget, sampe keringat ku bercucuran membasahi seragam yang ku kenakan. Di hari terakhir ini, kami disuruh membawa kado yang nantinya masing-masing kado akan diputar seperti tukeran kado, tapi kita gak tau itu kado dari siapa. Semua murid membuat lingkaran besar sebesar lapangan sekolah yang ada di sekolahku, cukup luas sih. Kemudian kami bernyanyi dengan nyanyian yang sudah ditentukan, misalnya seperti balonku ada lima, potong bebek angsa dan sebagainya *seperti anak kecil ya, hihihi…. Selama lagu masih dinyanyikan, kami diharuskan memutar kado yang ada ditangan masing-masing dengan cara menyerahkan kado ke sebelah kanan dan mengambil kado yang lain dari sebelah kiri dan dilakukan berulang-ulang sampai lagu yang kami nyanyikan berhenti, maka memutar kadonya juga berhenti. Kami bernyanyi sebanyak tiga lagu, dan memutar kado selama tiga kali putar dan banyak sekali bentuk kado-kado yang sudah ku oper ke kanan. Setelah selesai bernyanyi dan memutar kado, kado yang sudah berada di tangan kita, itulah kado untuk kita yang aku sendiri tidak tau siapa pemilik kado yang ku pegang sekarang. Hari terakhir mos ini paling seru, selain mendapatkan kado, kita bisa mengungkapkan kekesalan kita kepada senior yang kita anggap menyebalkan. Hari ini aku sudah tidak bisa menahan pusing yang ada di kepalaku gara-gara panas yang sangat terik ini. Aku hampir pingsan, tapi untungnya saat ada sesi untuk mengungkapkan kekesalan kepada senior, murid yang lain disuruh untuk duduk di lapangan dan siapa yang ingin mengungkapkan kekesalannya harus berdiri. Dan disaat itulah, aku mengistirahatkan kepalaku dengan cara memijat keningku dan memejamkan mata untuk relaxing sebentar. Untungnya Rissa tidak menyadari kalau wajahku sedang pucat, jika dia tau pasti dia akan heboh dan panik dan aku tidak mau hal itu terjadi karena bisa mengundang perhatian senior yang berlebihan dan aku tidak suka perhatian dari senior-senior itu, aku merasa risih kalau sedang diberi perhatian lebih. Hari sudah siang, mos-pun sudah berakhir dan aku sekali lagi bersyukur karena tidak sampai pingsan di tengah lapangan. Aku senang, dan sangat amat senang karena besok aku resmi menjadi siswa SMK Cendikia, yayy…. @@@@@ Hari ini adalah hari yang ku tunggu tunggu. Hari dimana aku berangkat ke sekolah baru, dengan seragam baru, teman-teman baru, dan semuanya serba baru kecuali diriku yang masih tetap seperti dulu. Saat SMP dulu, aku menjadi orang pendiam, gak pendiam amat sih cuma…. ya gitu deh sulit diartikan. Biarpun dulu aku pendiam, tapi kalau aku sudah membuka suara, ucapan yang ku keluarkan pasti pedas apalagi dengan orang yang aku benci. Jujur, aku orangnya blak-blakan, ceplas-ceplos, tapi yang ku ucapkan itu nyata, bukan mengada-ada. Dan banyak sekali teman-temanku yang gak mau membuat mood ku berantakan, mereka sangat menjaga mood ku supaya tetap bagus, karena mereka tau kalau aku sudah badmood, semua yang ada di otakku tentang orang yang membuat mood ku berantakan pasti ku ucapkan secara kasar, Aku mah gitu orangnya….*oke, itu tidak penting. Sekarang aku sudah sampai di sekolah baruku, SMK Cendikia yang berlantai 3 tingkat. Aku menempati kelas di lantai dasar, untunglah jadi aku gak perlu tuh yang namanya naik turun tangga, capek. Aku sekarang sudah berada di dalam kelasku sendiri, tapi aku belum lihat Rissa di kelas. O My God, batinku menjerit karena mengingat suatu hal. Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah dan hari pertama aku berjumpa dengan guru-guru yang ada di sini. Duh kenapa aku bisa lupa ya? hari ini pasti gak bakal langsung memulai pelajaran, karena nantinya akan ada sesi perkenalan di setiap pergantian guru, setiap murid harus maju ke depan kelas satu-satu untuk memperkenalkan diri. Du du du duhh gimana nih, gugup woy, ni juga jantung kenapa deg deg serr gini? padahal saat SMP aku melakukannya sudah tiga kali kenapa masih gugup-gugup aja sih? Oh atau mungkin efek sekolah baru dan orang-orang baru juga kali ya? “Hai” Ada sebuah suara, ku lirik ke sebelah tempat dudukku, ternyata teman sebangku ku sedang menyapaku. Aku tersenyum ramah kepadanya dan menyapanya juga. “Hai juga, ada apa?” “Gak papa. Mmm, boleh kenalan gak?” Aku mengerutkan kening, tapi setelah tau maksudnya apa, aku tersenyum. Lelet banget yah otakku untuk mencerna kata-kata kek gitu. “Boleh, kenalin nama gue Ratna Junia, lo bisa panggil gue Ratna. Kalo lo?” “Nama gue Talitha Febrianty, lo bisa panggil gue Itha”. Dan sekarang aku tau nama teman sebangku ku setelah 3 hari duduk sebangku dengan nya saling tidak tegur sapa. Aneh juga ya hehe “Hai Ratna”. Ini dia orang yang sudah aku tunggu-tunggu dari tadi. Kenapa dia baru nyampe kelas ya? eh, kan tadi lonceng masuk sudah berbunyi, apa dia telat? “Hai Ris, kemana aja lo? lama amat ke sekolah nya, kena macet di jalan ya?” “Gue dari tadi kali nyampe di sekolah, sebelum lo datang malah”. Hah, masa sih, kok aku gak liat tadi ya? perasaan kursinya emang kosong tadi, gak ada orang yang duduk ditempatnya selain teman sebangkunya itu. “Perasaan lo tadi gak ada di sini deh”. Ucapku bingung dengan mengernyitkan dahi sampai kedua alisku menyatu. “Gue tadi ke perpustakaan dulu, sambil liat-liat koleksi buku perpustakaan di sini, gue tadi liat lo juga pas masuk kelas”. “Ooo gitu ya. Oiya Ris, kenalin ni Itha teman sebangku gue. Tha, dia Rissa”. Setelah aku berucap seperti itu, merekapun saling bersalaman dan mengenalkan diri masing-masing. Selesai acara berkenalan, guru yang masuk di jam pertamapun masuk ke dalam kelas. Kami semua disuruh untuk berdo’a menurut kepercayaa masing-masing. Setelah selesai berdo’a, guru itu memperkenalkan dirinya, kemudian berlanjut ke perkenalan murid-murid dan maju ke depan kelas secara bergantian. Jumlah siswa yang ada di kelasku ada 38 orang. Dan kalian tau, jumlah siswa perempuannya sebanyak 30 orang, sisanya laki-laki. Kok aku gak sadar ya kalo jumlah laki-laki di kelasku ini sedikit banget. Tapi kata senior sih kalau di jurusan akuntansi siswa laki-lakinya emang sedikit, berarti di kelas B AK dan C AK siswa laki-lakinya juga sedikit. Gak apa apalah yang penting sama-sama sedikit hehe.. @@@@@ Mata Rissa Sudah satu minggu aku sekolah di sini, sekarang suasananya tidak terlalu awkward lagi karena siswa laki-lakinya sudah mulai akrab satu sama lain, jadi yang ribut di kelas ini bukan hanya aku dan Rissa lagi, tetapi laki-lakinya juga ribut. Gak nyangka banget deh, walaupun jumlah laki-lakinya sedikit, tapi ributnya minta ampun, suaranya kenceng-kenceng semua. Aku sekarang sedang duduk di kursi ku sambil memainkan handphone dan memasukkan headset ke telingaku, aku gak tahan dengan suasana ramai. Oiya, kalau kalian mau tau, aku tidak pernah suka dengan keramaian, apalagi berdesak-desakan, aku paling gak suka. Aku juga gak pernah mau pergi ke kantin karena di sana pasti banyak siswa lainnya yang sedang istirahat. Kalau sedang jam istirahat, aku cuma ke koperasi atau ke taman belakang sekolah dan bersantai-santai di sana, lumayanlah di taman kan banyak angin alami karena di sana banyak tumbuh pepohonan yang rimbun dan juga bunga-bunga. “Ratna, Rat, Ratnaaaaa”. Siapa sih yang teriak-teriak, nyebelin banget deh. Ku lepas satu headset dari telingaku, sedangkan yang satunya lagi masih nempel di telinga sebelahnya. Kemudian aku menoleh ke samping, ternyata Itha sedang manggil-manggil aku. “Ya elah, tenyata kuping lo disumbat toh, pantesan aja gak denger dari tadi”. Aku hanya terkikik mendengar ucapan Itha. “Ya ya maaf, emangnya ada apa sih lo manggil-manggil gue sampe teriak-teriak kek gitu?” “Gimana gak teriak, lo dari tadi gue panggil gak denger-denger.” “Hehehe, terus ngapain lo manggil gue?” “Lo daritadi liat Rissa gak? perasaan dia dari tadi gak ada di kelas, apa dia telat yah?” “Paling Rissa di perpustakaan, dia kan suka tuh liat-liat koleksi buku perpus. Bentar ya aku line dia dulu”. Aku membuka line dan mengirim pesan untuk Rissa. Ratna Junia Ris lo dmna skrng ? Itha nanyain lo nih Gak lama kemudian, ada satu notifikasi line masuk dari Rissa. Marissa June Gue lgi di perpus Ratna Junia Tu kan bener, lo pasti ke sana. gue dan Itha kesna ya Marissa June Ke sini aja, seblm lonceng bunyi. Ratna Junia Ok ! gue ke sna skrng bareng Itha “Tha, kita ke perpus nyok”. “Ngapain?” “Ya nyamperin Rissa, dia tadi bilang lagi ada di perpus jadi kita kesana aja ngumpul, daripada di sini dengerin ocehan anak laki-laki”. “Ya udah ayo”. Setelah itu kami menghampiri Rissa. Dan yang bener aja, dia di perpustakaan cuma ngaso doang, di kira baca buku perpus, eh ternyata malah numpang AC doang. Aku dan Itha juga ikut bersantai sambil membaca novel yang ada di perpus sampai lonceng masuk-pun tiba. Seperti sekolah pada umumnya, kami sedang memulai pelajaran. Pelajaran kali ini yang kami laksanakan adalah matematika. Ada satu orang cowok yang membuatku terus memperhatikannya sedari tadi. Dia Mmm pintar juga humoris, aku suka dengan caranya membuat lelucon untuk memecah suasana yang masih rada-rada awkward ini. Dan kalian tau, aku sangat suka dengan cowok yang humoris, padahal dia sih gak terlalu ganteng, tingginya juga masih tinggian aku sedikit kira-kira, tapi entah mengapa aku sangat tertarik dengannya, pengen sekali aku mengenalnya lebih dekat. Oiya, dia juga ketua kelas di kelasku. Kalau kalian mau tau siapa namanya, nama dia adalah Lutfi Qurahman. Aku gak tau, aku ini sedang jatuh cinta dengannya atau aku hanya kagum dengan sosok dia yang sangat humoris itu, soalnya dia itu enggak sama sekali masuk kreteria cowok idaman aku. Pelajaran berlalu sangat cepat, gak juga sih, akunya aja yang lagi bersemangat. Coba aja pelajarannya yang membuat aku mengantuk, pasti itu terasa sangat lamaaaaaaa banget. Ya walaupun begitu, aku tetap harus mengikuti jam pelajaran itu, kan sayang orang tuaku sudah bayar mahal-mahal, aku malah tidak belajar dengan sungguh-sungguh apa kata dunia. *mulai deh lebaynya. Bel istirahatpun sudah berbunyi, guru yang ada di kelasku sudah pamit undur diri dan memberikan tugas untuk di rumah. Aku sedang membereskan buku yang berantakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Tak sengaja mataku melihat ke arah Lutfi si ketua kelas. Lama aku menatapnya, hingga Rissa menyadarkan ku dari sebuah lamunan yang tidak seharusnya di lamunkan. “Hey lo, kenapa bengong aja sih?” Akupun hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan dari Rissa. “Lo kekantin gak Rat?” “Gak ah, males. Di kantin pasti banyak manusianya, gue gak suka desak-desakan”. “Ya udah, kita ke koperasi aja nyok, laper nih udah minta di isi”. Rissa berucap sambil menepuk-nepuk perutnya. “Ya udah ayo. Oiya, Itha mana ya?” Aku baru sadar kalau Itha dari tadi gak ada di sampingku. “Itha sudah ke kantin duluan, bareng anak yang di seberang barisan kita.” “Ooo gitu”. Kamipun berjalan keluar kelas dan menuju koperasi yang tidak terlalu ramai. Koperasi di sini gak kalah sama kantin, sama-sama menyediakan makanan, tapi banyak siswa yang tidak berkunjung ke situ, karena letaknya yang kurang strategis, akan tetapi makanannya lebih enak dan lebih terjamin kesehatannya daripada di kantin, secara orang yang mengelola koperasi ini kan guru smk Cendikia juga. “Lo ngapain sih tadi di kelas ngelamun?” “Gak kenapa-kenapa kok Ris”. Aku mencoba untuk mengelak, ya kali aja aku selamat dari tatapan menyelidiknya Rissa. “Jangan bohong deh sama gue. Ngaku gak!” Rissa berucap sambil memasang tatapan mata tajamnya, dan aku tak berani melihat matanya. Aku mengalihkan pandangan ke lain, dan kami sudah masuk ke koperasi. Di smk ini ada dua koperasi, yang pertama koperasi yang kami kunjungi ini dan yang kedua koperasi siswa. Di koperasi siswa yang dijual cuma makanan ringan. Pengelolanya sama-sama guru dari smk ini. “Ris, lo mau beli apa?” Aku mencoba mangalihkan pembicaraan, ya kali aja Rissa kepancing. Gak salah kan kalo mencoba. “Mmm… NasGor enak tuh”. “Bu, beli nasi gorengnya dua dan teh es nya dua juga” Ujarku memesan makanan kepada ibu penjaga koperasi. Setelah aku dan Rissa mendapatkan makanan dan minuman kami, kami memilih pergi ke taman belakang sekolah untuk makan, disana kan udaranya enak, pemandangan masih hijau, juga banyak bangku panjang yang tersedia di sana. Ketika kami sudah sampai, kamipun memakan nasi goreng kami masing-masing tanpa suara, hingga akhirnya Rissa membuka pembicaraan terlebih dahulu. “Oiya Na, lo belum jawab pertanyaan gue tadi tentang kenapa elo ngelamun di kelas”. Aku yang sedang meminum teh es ku langsung menyemburkannya. Rissa ini, ingetan nya bagus banget sih, Dikirain udah gak inget tentang topik yang kami bicarakan beberapa menit yang lalu. Huh, padahal aku bersyukur banget kalo dia gak inget, kalo gini sih harus jujur, biar gak terus-terusan di tanyain mulu sama dia. Tbc Sahabat Baru “Oiya Na, lo belum jawab pertanyaan gue tadi tentang kenapa elo ngelamun di kelas”. “ Ck gue tadi lagi merhatiin someone” ucapku dengan nada kesal. “Hah, siapa? cewek apa cowok? pasti cowok ya! dia siapa? jawab dong!” “Rissa, gimana gue mau jawab, lo nya aja nyrocos mulu. Nanya satu-satu dong”. Rissa hanya cengar cengir tanpa dosa. “Baiklah. Dia Lutfi ketua kelas kita, puas Ris?” Kataku sambil menekankan kata puas supaya dia tidak bertanya lagi. Dan benar aja, dia gak nanyain lagi, dia melanjutkan makan. Aku merasa cukup lega, dan akupun mengikutinya untuk kembali memakan makanan yang sempat ku abaikan tadi. Setelah kami selesai makan, kami berjalan menuju kelas. Dan kalian tau, Rissa kambuh lagi. “WAAAHHH, TERNYATA LO SUKA DIA YA, CIEE CIEE...” Aku langsung menutup kedua telingaku menggunakan tangan, ada beberapa anak yang melihat ke arah kami gara-gara Rissa teriak. Suaranya itu loh, cettarr membahana *kok tiba-tiba jadi syah**ni sih. “Ris, bisa gak sih lo gak teriak-teriak, gak malu apa diliatin satu sekolah?” kataku sambil memasang wajah kesal. Dia hanya cengengesan saat memperhatikan keadaan sekitar. Aku kembali berjalan dan di susul oleh Rissa. “Emangnya elo suka sama Lutfi ya Na?” “Gue gak suka dia, gue cuma……. ya gitu deh, susah di jelasin. Tapi intinya gue gak suka dan jangan nanya lagi”. “Iya, eh tapi lo suka gak sama dia?” “Rissa, gue bilang enggak ya enggak, Mmm mungkin gue cuma kagum aja ke dia, dia itu humoris dan gue suka cowok yang humoris, tapi dia gak termasuk tipekal cowok idaman gue Sa, dia itu jauuuuuhhhhh banget dari standar gue”. “Elo yakin?” “Iya yakin, ih Rissa mah gitu”. Aku cemberut dan mempercepat langkah ku menuju kelas. @@@@@ Hari-hari sudah ku lalui di sekolah ini bersama dengan Rissa. Ya, aku belum terlalu akrab dengan yang lain, Dengan Itha aja aku gak terlalu akrab-akrab amat. Itha memiliki teman baru dan dia sering mengobrol dengan teman barunya. Suasana sudah tidak terlalu awkward lagi. Tapi sayangnya di sini berkelompok gitu, mengingatkan aku saat smp aja. Sekarang ini semua senior sedang mempromosikan ekstrakulikuler-nya masing-masing. Aku bingung ingin mengikuti ekskul apa. Di sini tidak ada ekskul yang aku minati, tidak ada silat ataupun karate. Tiba-tiba ada suara menginterupsi saat aku bingung ingin memilih ekskul apa yang akan aku pilih, Padahal kalau tidak mengikuti ekskul tidak apa-apa, tapi aku mau dong coba-coba. “Hey, lo mau ikut ekskul apa?” “Gak tau. Masih bingung mau ikut apa”. Aku ini sedang bicara dengan anak yang duduk di belakang tempat dudukku. Aku sih gak tau nama mereka berdua. Sampai kami berbicara lebih lanjut tentang ekskul ini. “Kita ikut ekskul paskibra aja yuk”. “ya udah deh, gue ngikut aja, yang penting ada temennya”. Ujarku cengar cengir tanpa dosa. Tiba-tiba Itha juga bersuara. “ya udah, paskibra aja. Gue juga mau”. “Ada usul lain gak tentang ekskul yang pengen di ikuti?” Yang ngomong ini adalah anak yang duduk tepat di belakang Itha. “Kalau bahasa Mandarin gimana? kan itu juga penting untuk kita”. Rissa tiba-tiba bersuara. Akupun langsung memalingkan muka, yang tadinya berpaling ke belakang tempat dudukku, sekarang berpaling ke depan, menghadap ke tempat Rissa duduk. “lo mau ikut bahasa Mandarin Ris?” Bukannya aku menjawab pertanyaan Rissa, aku malah bertanya balik. “Iya, maunya sih begitu. Tapiiii kayanya gak jadi deh, gak ada yang pada minat kayaknya”. “Ya udah Ris, jangan sedih gitu kenapa. Gue mau kok masuk ekskul Mandarin, asalkan lo juga ikut”. “Beneran Rat lo mau ikut bahasa Mandarin?” Rissa bicara dengan mata yang berbinar-binar penuh harap. “Iya dong, kapan sih gue pernah bohong kecuali dalam keadaan mendesak?” Rissa langsung berdiri dari tempat duduknya, dan langsung memelukku yang masih duduk di kursiku sendiri. Dia tidak sepenuhnya memeluk tubuhku dia hanya memeluk leherku, karena kami terhalang mejaku dan aku juga tidak berdiri. “Makasih Ratna, lo baik dehhh”. “Ish lo mah, saat ada maunya aja muji-muji gue”. Aku melepas pelukannya dan pura-pura cemberut. “Yeee bebeknya keluar deh”. Kami berlimapun tertawa. “Oiya, nama kalian siapa?” Tanya anak yang duduk di belakang Itha. Akupun berpaling ke belakang dan mengenalkan diri. “Gue Ratna Junia, lo bisa panggil gue Ratna.” “Gue Itha, Talitha Febrianty”. “Gue Marissa June, panggilannya Rissa”. Kami bertigapun langsung bergantian menyalami kedua orang yang ada di belakang aku dan Itha. “Kalian siapa?” Tanya Rissa. “Gue Eka Yuliani. Panggil aja Eka”. Kata anak yang duduknya di belakang Itha. “Gue Jeni, Jeni Januria”. Dan yang ngomong ini anak yang duduk di belakang aku. Selama sebulan aku, Rissa, Itha, Eka dan Jeni berteman dengan akrab tanpa ada rasa canggung. Akupun juga mengenal empat teman lainnya yang duduk di barisan dua terbelakang dari barisan yang aku tempati. Yang duduk di belakang Eka dan Jeni bernama Linda Januariana dan Ratih de Juni. Dan yang duduk paling belakang, bernama Annissa Noviani dan Dina Novianty. Nama belakang kami semua sama-sama nama bulan lahir kami. Cuma kami bersembilan di kelas ini yang mempunyai nama akhiran bulan lahir dan cuma di barisan kami juga yang namanya kompakan gitu. kecuali anak yang duduk di sebelah Rissa, dia tidak mempunyai nama akhiran bulan lahir. Namanya adalah Shela Permana. @@@@@ Didunia nyata mah awam ada yang namanya kompakan gitu. Karena ini hanya imajinasinya author, suka suka author aja kali ya ngasih mereka nama hehe... Kenangan Hari-hari sudah ku lalui di smk Cendikia ini bersama teman-temanku. Sekarang sudah hampir empat bulan aku berada di sekolah ini. Banyak yang berubah suasana yang ada di sini. Yang dulunya sangat awkward, sekarang kondisinya sangat bersahabat. Yang dulunya anak-anak di sini suka ngumpul dengan cara berkelompok, sekarang kami semua sudah bisa berbaur satu sama lain. Oiya, kalau kalian mau tau di kelasku ini ada yang CinLok loh. Kalian mau tau siapa orangnya? Mereka adalah Lutfi dan Fitria. Kadang aku di buat cemburu oleh mereka berdua, bukan karena aku suka dengan Lutfi melainkan karena aku cemburu melihat keromantisan mereka berdua. Jika aku melihat mereka, aku terkadang sedih tapi ada bahagianya juga sih karena dapat tontonan romantis gratis hihihi…. Saat ini aku sedang memperhatikan mereka berdua. Aku jadi teringat masa-masa aku masih duduk di bangku smp, di saat kelas 1 smp yang mempunyai pacar satu kelas, persis seperti Lutfi dan Fitria. Tapi sayangnya aku tidak seromantis mereka karena aku sendiri dulu bingung pacaran itu kayak gimana. Mmm ia pacar pertamaku dan cinta monyetku. “Woyy…” Ish, siapa sih yang suka ngagetin aku saat lagi ngelamun gini ? Ku tolehkan kepalaku ke empunya suara yang tadi membuat aku kaget. “Woy Riss, gak usah ngagetin juga keles, kasian nih jantung gue.” Rissa yang mendengar ucapanku hanya cekikikan gak jelas. “Hahaha, maafin gue deh Rat, lo juga sih ngelamun di jadiin hobi, kan gue nya pengen ngagetin mulu.” “Hobi kepala lo.” “Mmm….. Rat, btw lo ngelamunin apa sih tadi ?” Rissa kembali ke sisi keponya. Siap-siap ya Ratna, sesi curhat akan dimulai batinku. “Coba lo liat Lutfi dan Fitria deh, mereka berdua romantis ya.” “Cieee, lo cemburu ?” “Ya enggak lah, ngapain juga gue cemburu sama mereka berdua.” “Tapi lo pernah suka kan sama dia.” Mulai deh penyakit sotoy nya. “Rissaaaa, berapa kali gue harus bilang gue gak suka sama Lutfi, gue cuma kagum ke dia, ngerti !” “Terus, ngapain lo nyuruh gue liatin mereka ? lo ngapain juga liatin mereka mulu ?” “Gue keinget mantan gue dulu Ris.” “Lo pernah pacaran ? astaga gue kira lo jones alias jomblo ngenes, hahahaha.” “Sialan lo Ris ngatain gue gitu amat.” “Abisnya, selama kita kenal gue gak pernah liat lo deket sama cowok.” “Gue mah gak kaya lo Ris, playgirl kelas kakap. Gue tipe orang yang setia, gue ini susah move on, makanya gue gak deket sama cowok.” “Cerita dong tentang mantan lo, gue penasaran nih.” Dan dimulailah sesi curhatnya. “Jadi gini Ris, dulu waktu gue masih duduk di bangku smp, gue sempat pacaran. Yaa walaupun baru satu kali gue pacaran, tapi pengalaman yang di petik itu buanyaak bangeettt.” “Yaaa elah, lebay banget sih lo Rat, sejak kapan lo kayak gini ?” Eh bener juga sih, kenapa gue jadi lebay kalo cerita tentang mantan ? tau ah, sebodo amat. “Hehehe…. Mau dengerin gak nih ? kalo gak mau gak apa-apa sih. Gak ada ruginya juga buat gue.” “Ya elah, gitu aja ngambek. Cepat tua nanti elo neng.” “Terus mau lanjut atau enggak nih ?” “Ya lanjut dong, jarang-jarang gue denger lo curhat tentang mantan lo yang susah terlupakan itu.” “Lebay lo Ris. Jadi gini, gue dulu pernah punya pacar. Dulu tuh gue nerima dia bukan karena gue sayang sama dia, tapi karena gue pengen aja ngerasain indahnya pacaran tuh kek gimana. Pas gue udah jadian dengan dia, ternyata gue baru tau kalau dia itu adalah cowok yang mempunyai banyak penggemar dari kalangan kaum hawa. Gue gak mau dong di bully sama semua cewek yang ada di sekolah gue termasuk kakak kelas gue gara-gara ketahuan pacaran sama dia. Jadi gue cari aman dengan cara gue mutusin dia. Dia nya sih gak terima kalau gue putusin. Dia terus aja minta alasan yang jelas. Gue juga salah sih, gue gak beri dia alasan kenapa gue mutusin dia gitu aja. Tapi gue gak tanggapin tuh ucapan dia, karena pada dasarnya gue emang gak sayang apalagi cinta dengan dia.” “Jadi lo pacaran diem-diem gitu ?” “Iya, gue yang minta kok. Jadi pas gue tau dia cowok populer di sekolah, maka dari itu gue putusin dia.” “Eh tapi bukannya elo bilang gak sayang sama dia, tapi kenapa lo gak bisa move on ?” “Belum selesai ceritanya. Gue balikan lagi sama dia.” Rissa membeo, tidak percaya dengan ucapanku barusan. “Lo balikan ? Lo aneh ya, katanya gak sayang, tapi lo mau aja di ajak balikan sama dia. Apalagi dia cowok populer, bisa-bisa lo di bully sama penggemarnya.” “Jadi gini, tiga hari setelah kita putus, dia ngajak gue balikan, awalnya sih gue nolak, tapi dia maksa mulu. Terus gue ceritain ke dia tentang penggemarnya, dia bilang ‘ jangan peduliin mereka, emangnya mereka itu siapa ? sok ngurus pilihan gue ’ . Gue sih pernah nanya ke dia kenapa dia jadi milih gue yang gak ada apa-apanya ketimbang penggemarnya yang cantik-cantik itu, dia cuma bilang gue unik. Gue aja bingung, gue ini unik dari sisi mananya.” “Tapi lo bener unik loh Rat. Gue kagum dengan lo. Gue juga bangga bisa temenan sama lo.” Ni Rissa kenapa bikin aku jadi bingung sendiri ? “Unik dari sisi mananya coba ?” “Gini ya, lo itu mempunyai banyak sifat yang berbeda-beda ke semua orang. Contohnya gini, saat lo sama gue, Itha, Eka, Jeni, Linda, Ratih, Dina dan Annissa, lo bersikap heboh kek orang habis kebakaran jenggot. Terus, kalonya lo lagi ngumpul dengan anak-anak yang lain, apalagi kumpul rame-rame, lo pasti akan jadi kalem. Oh ya, dan juga sikap lo ke cowok rada-rada dingin gitu.” “Emang gue gitu ya ? kok gue gak ngerasa sih ?” “Lo nya aja yang gak ngerasa perbedaan nya, kite-kite yang deket sama lo mah ngerasain banget sifat-sifat lo yang banyak itu. Udah ah, jangan bahas itu lagi. Lo pasti ngeles mulu. Sekarang back to topic.” “Oiya, sampai mana tadi ?” Rissa memutar bola matanya kesal gara-gara aku gak ingat cerita yang udah ku ceritain tadi. Hahaha… aku mah gitu orangnya. “Sampai doi bilang kalo lo itu unik.” “Oiya. Nah terus gue jadian deh sama dia. Dan pada saat itu gue gak lagi nyembunyiin status berpacaran gue dan dia. Kami terbuka, tapi gue dan dia gak pernah pegangan tangan, kita pernah jalan beriringan tapi gak pernah tuh namanya pegangan tangan. Gue selalu nyari cara supaya gue bisa putus dengan dia. Tapi lagi-lagi cara yang gue dapat tidak masuk akal. Sampai gue melihat dia berduaan dengan cewek dan berpegangan tangan, dari situ gue putus dan gak balikan lagi ke dia. Awalnya kan gue cuma iseng pacaran sama dia. Gue juga bosen kalo dikintilin mulu sama dia. Seharusnya gue seneng kalo gue putus sama dia. Tapi, saat gue putus dengan dia, gue baru nyadar Ris, kalo gue udah terlanjur sayang ke dia. Saat gue ngeliat dia berpegangan tangan dengan cewek lain, hati gue sakit Ris, rasanya tuh gue pengen nangis di situ juga tapi gue tahan karena gue gak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Saat gue mutusin dia, dia memberi penjelasan tentang cewek yang di gandengnya itu, dia bilang itu adalah sepupunya dan pengen dia kenalin ke gue. Dan bodohnya gue, kenapa gue gak percaya ke dia. Dan sampai detik ini gue nyesel banget mutusin dia.” Gak terasa setetes air mataku sudah meluncur ke pipi. “Gue sadar Ris, gue butuh dia sampai saat ini. Gue juga sadar, selama kami pacaran gue udah mulai menyayanginya. Waktu kami balikan, gue tetap gak memiliki rasa dengannya. Tapi dia selalu mencoba membuat gue tersenyum, selalu buat gue tertawa. Sedangkan gue, gue malah sibuk mencari cara supaya bisa putus dengan dia. Dan sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Gue yang sampai saat ini masih menyayangi dia, dan dia sudah mempunyai pengganti gue yang lebih baik dari gue. Yaaa mungkin ini karma untuk gue karena gue telah menyia-nyiakan orang yang benar-benar tulus sayang sama gue.” “Maafin gue ya Rat, gue gak tau kalo cerita lo endingnya sedih gitu.” “Gak papa kok Ris, gue lega bisa berbagi cerita sama lo.” Ucapku sambil menghapus air mata yang keluar tadi dan tersenyum tulus ke Rissa. “Gue gak tau harus bilang apa ke lo Rat, gue salut banget sama lo. Lo bisa menyayangi orang sampai setulus itu. Lah gue, merasakan sayang ke seseorang aja gue gak tau rasanya kayak gimana.” “Ya iyalah, lo kan playgirl mana bisa ngerasain kayak yang gue rasain sekarang. Tapi gue saranin lo tobat deh dari sekarang. Gak takut kena karma apa ? entar kalo karma itu terjadi sama lo, mampus deh lo.” “Idiiih, karma itu siapa sih ? kok nyeremin banget dengernya.” Dan kamipun tertawa, menghilangkan rasa sedih yang menghampiri kita beberapa menit yang lalu. “Oiya Rat, selama lo pacaran dengan dia, gak ada yang labrak lo atau nge-bully lo gitu ?” “Gak ada. Soalnya dia bilang ke semua penggemarnya, kalau gue adalah miliknya, dan siapapun yang berani menyakiti gue, dia sendiri yang akan bertindak.” “Gila, keren bat tu cowok. Dia bener-bener sayang sama lo. Beruntung banget lo. Gue setelah ini mau tobat deh. Gue juga mau dong dapet cowok kek dia. Oiya, btw siapa nama mantan lo itu ?” “ Namanya Muhammad Saputra.” “Gue nanti pengen pacaran sama namanya Saputra aja deh, kalo-kalo aja dia seromantis mantan lo itu.” Dan kami berdua kembali tertawa. @@@@@ Mencintai Seseorang Semester ke-2 pun sudah di mulai. Aku sudah melewati masa-masa tegang, yaitu ulangan umum. Di semester ke-2 aku udah gak ikut-ikutan ekskul, karena aku mudah lelah. Selama setengah tahun di smk Cendikia ini, aku udah deket dengan beberapa anak cowok yang ada di kelasku dan juga ada yang gue taksir. Namanya Hendra Syaputra. Kalau kalian mau tau orangnya gimana, biar ku deskripsikan dia. Ehm ehm Hendra itu orangnya cool, ganteng, pinter, mempunyai mata tajam, alis yang lebat, hidung mancung dan bibir merah pucat. Oh jangan lupa dibagian dia rajin beribadan dan juga banyak banget penggemarnya, kurang lebih Putra lah (mantan aku). “Hai Ratna.” “Hai Ris. Tumben banget lo langsung ke kelas, biasanya lo nangkring dulu di perpus.” “Hehehe… lo terlalu tau kebiasaan gue Rat, tapi untuk hari ini gue gak ke sana dulu. Ada hal yang harus lo ketahui.” “Emangnya ada apa Ris ?” “Buka grup bbm.” Akupun langsung mengambil handphone ku dan langsung membuka percakapan grup di bbm. Belum sempat aku membaca percakapannya, tiba-tiba layar ponsel ku mati. “Yah yah yah Riss, ponsel gue lowbat nih. Ish menyebalkan. Kenapa gue gak inget untuk men-charge sih ?” Akupun langsung mencari charger-an di dalam tasku. “Saat di perluin kayak gini malah gak ketemu.” Aku bergumam sambil mengobrak-abrik tasku. Sedangkan Rissa hanya menatapku saja, tanpa berniat meminjamkan ponselnya atau meminjamkan charger-an nya ke aku, ish rese banget ni anak. “Bukannya gak ketemu, tapi lo nya aja yang gak bawa charger-an nya.” Suara Rissa kok berubah jadi besar ya ? Akupun langsung menoleh ke belakang dan tepat saat aku membalikkan badan terpampanglah empunya suara tadi. Ternyata bukan Rissa. Rissa aja udah duduk ke tempatnya dan memakai headset. Jarak wajah kami hanya satu kilan. Aku langsung terduduk di kursi untuk menjauh dari wajahnya. Gugup deng…. Setelah dia berucap tadi, aku hanya cengar-cengir. Kalian tau siapa yang ada di hadapanku ? dia adalah Hendra, orang yang aku taksir. “Nih pake handphone gue kalo emang penting.” Hendra menyodorkan ponselnya ke arahku, yang ku balas dengan gelengan. “Gak usah Dra, gue nanti buka di rumah aja.” “Ya udah, mmm… mau keluar gak ? yaaa nyari angin gitu.” Aku mikir sejenak. “Gak ah, males gue keluar. Lagian bentar lagi lonceng masuk bakalan bunyi.” Dan bener aja, setelah aku berucap loncengpun berbunyi. Alhamdulillah aku terselamatkan. Hendra langsung balik ke tempat duduknya. Setelah aku berhasil menetralkan detak jantungku, aku langsung mendorong bangkunya Rissa sampai kursi yang di duduki Rissa bergerak sedikit. Empunya bangku-pun langsung menoleh ke belakang, tempat aku duduk. “Apaan sih Rat, dorong-dorong kursi orang.” “Lo tuh yang apa-apaan. Kenapa lo malah anteng-anteng duduk di sini, sedangkan gue gugup mau ngapain tadi. Temen apa temen lo ?” “Gue kan cuma mau bantu lo supaya lo bisa dekat dengan dia, supaya lo bisa move on dari Putra. Niat gue kan baik.” Rissa cemberut sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. “Iya deh Ris, lo menang.” Rissa tersenyum dan kembali ke posisi duduk semula. Akupun duduk dengan santainya di kursiku sambil mendengarkan lagu di mp3. Untung aja aku bawa headset dan mp3, jadi aku tidak bosan gara-gara ponsel mati. Tiba-tiba anak-anak yang lain bersorak riang, akupun terpaksa melepas headset ku dan bertanya kepada Itha. “Tha, ada apa sih ? kok anak-anak yang lain pada seneng gitu ?” “Kita free class. Guru-guru rapat semua. Nanti sehabis istirahat kedua baru guru-gurunya ngajar.” “Ohh gitu.” “Eh Rat, Tha, nonton film yuk, gue bawa laptop nih.” Tiba-tiba Eka bicara dari. “Ayo.” Itha langsung kebelakang dan menarik kursi yang tidak ada orangnya. Aku melihat ke arah Rissa. Rissa sekarang sedang nonton drama korea bersama teman sebangkunya. Kalau Rissa sudah nonton drama korea dia pasti lupa dengan kehidupan nyatanya. Aku ingin berdiri untuk menyusul Itha yang sudah ke belakang duluan, tiba-tiba Hendra datang dan langsung duduk di tempat duduk Itha membuat aku tidak bisa lewat, terpaksa aku duduk kembali. “Gimana ponsel lo ?” Kata Hendra basa-basi. Udah tau handphone aku lowbat dan gak bawa charger-an ya pasti matilah dan gak akan nyala sebelum aku menchargernya. Aku tau kok dia itu pengen deketin aku, makanya dia basa-basi kayak gitu ke aku.*pede banget sih gue. “Tetep mati, kan belum di carger. Males juga gue pinjem charger-an. Entaran aja dirumah sekalian. Mmm…. Emangnya ada apa sih Dra di grup ? kok Rissa sampe nyuruh gue buka grup segala ?” “Kalo lo pengen tau, baca aja sendiri. Kalo di ceritain entar gak seru.” “Tadi lo kan pengen pinjemin handphone lo. So, sini handphone lo gue pinjem.” “Kalo buat nelfon atau sms gue kasih. Tapi kalo liat bbm, gak akan gue kasih.” “Gue gak buka chat-an lo kok. Gue cuma mau liat grup kelas doang.” “Tetap gak mau.” “Terserah lah.” Aku berusaha bersikap cuek ke dia dan bersikap biasa saja. “Jutek banget sih.” “Lo nya juga sih ngebete-in, gue kan kepo ada apa di grup, sampai-sampai dia nyuruh gue buka grup biasanya juga enggak.” “Entar lo juga tau sendiri.” Hendra mengeluarkan senyum miringnya. Ih dia tambah ganteng deh kalo senyum kayak gitu. “Ish, sejak kapan lo jadi sok misterius kayak gini ?” Dia tertawa dan aku gak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku terus memandangi wajahnya saat dia sedang asik tertawa. Sekarang dia sudah berhenti tertawa dan menatapku tepat di kedua bola mataku. “Udah puas menikmati pemandangannya ?” Yaelah Ratna, pake acara kepergok segala lagi, batinku. Aku langsung membuang muka ke arah yang lain, malu cuy. “Siapa juga yang liatin situ.” “Gak usah malu gitu kali, gue gak papa kok di perhatiin kayak tadi asalkan orangnya itu lo.” Wajahku, wajahku, air, air mana air ? kenapa pula wajahku jadi panas ? “Ciee pipinya merah tuh.” Ujar Hendra sambil menjawil pipi ku. Aku langsung memukul lengan atasnya. “Ih, kenapa sih jadi orang jahil banget ? udah deh, daripada lo gangguin gue, mending lo pergi dari sini.” “Ngusir nih ceritanya ?” “Iya, emangnya kenapa ?” “Gak nyesel neng ?” “Gak. Ngapain juga gue nyesel dan lo jangan manggil-manggil gue neng nang neng nong, gue gak suka.” “Biarin dong, suka-suka mulut gue. Gue yang ngomong kok malah lo yang sewot ?” “Ish lo mah gitu.” “Hahahahahahaha…. kalah nih ceritanyaaaa gue menang niiiih.” “Gue tabok juga lo Dra. Lucu aja enggak, ketawanya ngakak bener.” Setelah itu kamipun tertawa dan bercanda bareng. Dan gak lepas dengan acara nge-bully aku. @@@@@ Sekarang aku sudah berada di rumahku. Aku langsung masuk ke kamarku dan mencari charger-an handphone ku. “Ini dia. Kenapa pake acara ketinggalan segala sih.” Setelah aku menemukan charger-an nya, aku langsung mencharger ponselku dan menyalakannya. Setelah menunggu beberapa saat, ponselku-pun nyala. Aku tidak membuang-buang waktu, langsung aja aku aktifkan sambungan datanya dan ku buka bbm. Setelah bbm-nya terbuka, aku langsung membuka grup A Accounting. Banyak sekali percakapan yang belum aku baca. Aku langsung membaca percakapan paling atas dan ku baca satu-satu. Ramadhan : Hey guys, Hendra sedang menyukai seseorang. Rio fahreza : Lo tau drimna Ram ? Hendra Syaputra : Gue sendiri yg ngomong ke dia. Kalo tau mulut Rama ember, gue gk akn prnh deh cerita ke dia. Ramadhan : Maafin gue bro. Lo tau kan, di kls kita ini bnyk bgt yg suka sama lo, mereka smua harus pd tau klo lo sedang ngincer cewek. Fitria : Bnrn Dra, lo lgi suka sama seseorng ? Hendra Syaputra : Iya. Fitria : Gue mau dong jdi cewek yg lo incer :p Lutfi Qurahman : Ooo jdi km suka sama Hendra, kalo gitu kita putus aja :p Fitria : Bukan gitu Fi, aku syng sama km. Aku cuma mau liat ekspresi km aja kayak gmna. Jgn ngambek dong yang. Ramadhan : Hey kalian berdua, gue disni memberitau kalo Hendra menyukai seseorng, bukan untk acara pcrnnya klian. Lutfi Qurahman : Hehehe, maaf. Annissa Noviani : Kalau smpai ketahuan siapa cewek yg disukai Hendra, gue yakin pasti tu cewek bakal di bully, secara Hendra kan termasuk salah satu anak populer yg bnyk digemari cewek-cewek. Hendra Syaputra : Benar juga lo Nis, mksih sarannya ya. Gue gak akn terang-terangan deketin dia, kasian juga dia kalo di bully. Dan selanjutnya aku gak baca lagi, karena sisanya itu mereka semua bicara yang gak penting. Duh, Sakit nih hati serasa di iris-iris pakai pisau kemudian di buang ke sungai. Gak kerasa setitik airmata meluncur bebas di pipiku. Aku gak nyangka akan seperih ini. Luka lama yang belum kering, sekarang terbuka lagi dan tambah parah. Tiba-tiba ponsel yang masih ku genggam berbunyi, tanda ada panggilan masuk. Ku lihat called name-nya kemudian ku angkat. “Ada apa Dra ?” Ya, yang menelpon ini Hendra. “Lo udah baca chat-an di grup bbm ?” “Udah. Lo lagi suka sama seseorang kan.” “Nanti malem bisa ketemuan gak ? ada yang mau gue bicarain ke lo.” Tiba-tiba airmata ku keluar lagi tanpa bisa aku cegah. “Dimana ?” “Di taman deket komplek rumah lo.” “Iya. Udah dulu ya, bye.” Langsung ku akhiri panggilan secara sepihak, karena aku gak kuat lagi untuk mendengar suaranya, terlalu menyakitkan di telinga. @@@@@ Mencintai Seseorang (2) Sekarang sudah jam 8 malam. Aku tadi udah dapat pesan dari Hendra, kalau jam 8 malam kita bertemunya. Sekarang aku sudah siap-siap dan berangkat ke taman dekat komplek rumahku. Setelah sampai di tujuan, aku memarkirkan sepeda motorku dan berjalan menuju taman. Aku mengedarkan pandanganku ke semua penjuru taman untuk mencari sosok Hendra, setelah mendapatkannya, aku langsung menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Hay Dra, maaf gue telat.” “Maaf diterima.” “Ada apa lo ngajak gue kesini ? gak bisa besok aja di sekolah ?” “Sejak kapan hari minggu sekolah ?” Hah, besok hari minggu ? langsung aja aku membuka hape ku dan melihat kalender. Setelah itu aku hanya cengar-cengir. “hehehe, besok hari minggu ya. Gak kerasa banget.” “iya. Gak kerasa banget. Gak kerasa juga ya kita sudah seakrab ini.” Aku mendongakkan wajahku, dan menatap Hendra yang kini sedang menatapku juga. Akupun tersenyum. “Iya. Oiya Dra, ngapain lo ngajak gue ke sini ?” “Gue mau nanya, lo sudah belum baca chat-an di bbm.” “Sudah. Perasaan lo sudah nanya ini saat lo nelpon gue. Kenapa lo nanya lagi ?” Kenapa Hendra mengungkit masalah itu lagi ? aku aja hampir lupa dengan itu, tapi kenapa dia ingatkan kembali. Gak kerasa airmata ku melesat keluar. Aku langsung memalingkan wajahku kearah lain. Hendra memegang daguku dan menuntunnya sampai dia bisa melihat wajahku. “Hey, kenapa kamu nangis ?” Langsung ku usap airmataku dan tersenyum ke dia. “Sejak kapan lo pake aku kamu ?” “Sejak kapan-kapan. Jalan-jalan yuk keliling taman.” Aku langsung mengangguk dan tersenyum kecut. Hendra berdiri dan menjulurkan tangan ke arahku untuk membantuku berdiri. Kemudian kami berjalan beriringan menuju taman. “Lo mau tau gak orang yang gue taksir siapa ?” “Gak, ehh maksudnya iya. Siapa orang yang lo taksir ?” Enggak Dra, enggak. Aku gak mau denger nama cewek yang lo suka itu. Aku gak terima Dra, gak terima, Batinku brontak. Tiba-tiba Hendra berhenti dan memegang kedua bahuku. Dia memperhatikanku dalam-dalam. “Kenapa sih daritadi lo nangis mulu ?” Ucap Hendra sambil menghapus airmata ku yang keluar. Aku aja gak nyadar kenapa aku bisa mengeluarin air mata. “Gak tau juga. Keluar sendiri. Oiya, siapa cewek yang lo taksir itu ?” Aku mencoba mengembalikan ke topik yang seharusnya di bicarakan. Hendra kembali memegang bahuku, kemudian melepasnya dan melangkah mendekatiku. “Cewek yang gue taksir itu ada di hadapan gue. Gue suka sama lo Na, gue sayang sama lo. Lo orang yang selama ini gue incar, makanya gue selalu deketin lo. Lo nyadar gak Na ? di sini gue selalu ngerasa kalau cinta gue ke elo itu bertepuk sebelah tangan. Karena apa ? karena lo gak pernah ngerespon perhatian yang gue berikan ke lo. Lo cuek ke gue. Lo gak peka ke gue Na.” Aku memandangi wajah Hendra yang terlihat sangat jelas keseriusan dia saat bicara seperti itu ke aku. Aku menangis dan langsung memeluknya. Dia terlihat kaget saat aku tiba-tiba memeluknya, tapi kemudian dia membalas pelukanku. “Gue juga sayang sama lo Dra. Kenapa gue gak ngerespon perhatian lo, karena gue gak mau terlalu berharap ke lo, gue gak mau yang nantinya cinta gue ke elo bertepuk sebelah tangan. Gue bersikap cuek ke lo karena gue gak ingin anak-anak tau kalau gue punya rasa ke lo. Maafin gue, maaf karena gue gak peka terhadap perasaan lo ke gue. Gue minta maaf. Jujur, saat lo bilang ada cewek yang lo suka, gue sedih Dra, gue sedih. Gue ngira lo suka sama cewek lain dan itu bukan gue.” “Jadi dari tadi kamu nangisin aku. Hahahaha lucu banget kamu ya. Kamu aja belum tau siapa cewek yang aku maksud, kamu malah ngeluarin air mata duluan.” Aku langsung memukul dadanya pelan, dia terkekeh. “Sekarang kenapa kamu malah nangis ? bukannya cewek yang aku maksud itu kamu. Seharusnya kamu seneng dong di antara kita tidak ada yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan.” Aku langsung melepas pelukan kami dan menatap dia, kemudian tersenyum. “Karena gue terharu plus senang akhirnya cinta gue terbalas.” “Aku juga senang cintaku juga terbalas oleh orang yang aku sayang. Sekarang kamu gak usah nangis lagi.” “Iya, ak.. eh gue gak akan nangis lagi.” Kenapa tiba-tiba aku jadi salah tingkah gini ya ? Uhh pipiku panas. “Mulai sekarang kamu jangan pake lo gue ke aku, tapi pake aku kamu. Bisa ?” Aku hanya menganggukkan kepala dan tertunduk. “Hahahaha pipi kamu kaya tomat Na, lucu banget.” Hendra mencubit kedua pipiku dan aku langsung memukul dadanya. Malam ini adalah malam terindah yang pernah aku rasakan. Aku sangat senang dan sangat merasa bahagia. Aku tau, Hendra belum nembak aku. Tapi dengan mengetahui perasaannya terhadapku, itu sudah membuatku bahagia. Aku heran, kenapa Hendra tidak nembak aku aja langsung *atau akunya yang terlalu berharap untuk ditembak. @@@@@ Hari Pertama Hari ini aku berangkat sekolah dengan hati yang berbunga-bunga *alay mode on. Di depan gerbang sekolah, aku melihat sosok yang sedang aku pikirkan dari tadi. Ya, dia Hendra. Aku menghampirinya dengan senyuman yang merekah dan diapun membalas senyumku. “Hay my sweet heart.” “Gak usah lebay Dra.” Kami tertawa bersama dan berjalan beriringan menuju kelas kami. Banyak pasang mata yang memperhatikan kami. Aku mulai risih. Susah juga ya kalau punya gebetan populer kayak Hendra ini. Dari tadi orang yang menatapku seperti ingin membunuhku kemudian mencincang-cincang tubuhku dan dibuang begitu aja ke sungai. Tidak ada yang menatapku dengan tatapan memuja. Miris memang tapi cuekin aja lah orang kayak gitu. “Merasa risih ya ?” “Iya nih. Kenapa juga mereka menatapku sampai segitunya. Aku kayak tersangka pembunuhan aja.” Hendra senyum-senyum kearah ku, dan aku mulai tidak nyaman dengannya. “Kenapa kamu Dra senyam-senyum gitu ? Kesambet apaan dah pagi-pagi ?” “Aku suka sekarang kamu pakai aku kamu, kedengarannya manis.” Aku senyum-senyum sendiri sambil menundukkan kepalaku untuk menyembunyikan rona merah di pipiku. Aku berlari kecil, berjalan mendahuluinya dan masuk kelas duluan. Aku sempat mendengar dia berkata ‘ciee blushing’ , pasti dia melihat pipiku yang tiba-tiba memerah ini. Menyebalkan memang. Setelah masuk ke dalam kelas, aku langsung duduk di kursi yang biasanya ku tempati. Aku mencoba menetralkan detak jantungku dan menghilangkan rona merah yang ada di pipiku. “Kenapa pipi lo Na ? kok merah gitu ?” Rissa berkata sambil menunjuk pipiku. “Gak kenapa-kenapa kok Ris.” Rissa langsung menyipitkan matanya dan menatapku dalam-dalam. Aku menghindari tatapannya dan kebetulan Hendra menghampiriku, jadi aku gak perlu lagi merasa risih dengan tatapan yang di keluarkan Rissa tadi. “Kamu kenapa ninggalin aku tadi di jalan ?” Hendra bertanya dengan senyum jahilnya. “Gak papa. Aku mau duluan aja masuk kelasnya. Aku gak mau deket sama kamu.” Hendra cemberut mendengar kata-kataku barusan. Mampus kamu Dra, aku kerjain tau rasa kamu. Akupun mengeluarkan senyum jahatku, hihihi... “Ehm ehm.” Ku alihkan pandangan ku ke Rissa. Dia menatapku tajam. Aku yang di tatap tajam olehnya pun tidak tahan, langsung aku bersuara. “Kenapa lo Ris natap gue sampe segitunya.” “Ke gue pake lo gue, ke Hendra pake aku kamu. Miris memang.” Rissa langsung melenggang keluar kelas. Ish dasar tu anak, nyebelinnya pake BGT. Aku langsung menatap ke Hendra yang juga menatapku balik. 1 detik, 2 detik, 5 detik kami bertatapan, kemudian kami tertawa bersama mengingat ucapan Rissa beberapa detik yang lalu. “Keluar yuk. Bosen aku nungguin lonceng masuk di kelas. Mending di luar, jadi gak kerasa lonceng masuknya.” “Gak ah males. Gue mau di sini aja.” Tiba-tiba Hendra memasang wajah masamnya. Eh kenapa ni anak ? “Kenapa Dra ? muka lo kok masam gitu ?” “Kamu kenapa pake aksen lo gue lagi sih ?” Emangnya aku pake aksen lo gue ya tadi ? gak nyadar nih. Aha, aku kerjain aja ni anak. “Biar sama kayak yang lain pake lo gue.” Hendra gak menjawab. Dia malah duduk di kursi Itha dan memasang wajah datar ke aku. “Gak usah gitu deh Dra, udah jelek tambah jelek deh kalo lo cemberut.” “Aku akan tetap kayak gini sebelum kamu pake aksen aku kamu lagi ke aku.” “Hahahahaha, Hendra Hendra. Kamu itu kaya anak kecil tau gak. Wajah aja yang ganteng, tapi kelakuannya kayak anak TK.” Akupun tertawa sambil ngelirik Hendra. Eh eh, kenapa dia senyum-senyum ? kan aku lagi ngeledekin dia. “Kenapa kamu Dra senyam-senyum gitu ?” “Aku senang.” “Because ?” “Karena 2 hal. Yang pertama kamu udah pake aksen aku kamu ke aku. Yang kedua, kamu mengakui kalau aku ini ganteng, gak jelek seperti yang kamu bilang beberapa menit yang lalu. Ya ya, aku akui aku ini emang ganteng.” Tu kan, kambuh penyakit ke pede-annya. “Serah kamu deh Dra.” “Eh Na, aku tinggal dulu ya. Mau ngumpul bareng anak-anak yang lain.” “Iye. Sono-sono. Pergi hush-hush.” “Ciee ngusir.” Hendra berucap sambil mencolek pipiku dan langsung ngacir ke tempat anak laki-laki berada. “Lo harus jelasin semuanya ke gue.” “Astagfirullah hal’adzim , ngagetin aja lo Ris. Untung aja gak jantungan.” Aku mengelus-ngelus dada karena kedatangan Rissa yang mengagetkan. “Ayo cerita. Cerita, cerita, cerita.” “Iya bawel.” Akupun menceritakan tentang pertemuanku dan Hendra di taman dekat sekolah. Aku juga menceritakan perasaan Hendra ke aku gimana. Aku bercerita se-detail mungkin, gak ada satupun yang tertinggal. “WAAAAAAAAAHHHHHH JADI LO UDAH JADIAN SAMA HE…..” Aku langsung menutup mulut Rissa pake tanganku. Banyak anak-anak yang menatap ke arah aku dan Rissa. Akupun berbisik ke telinga Rissa. “Jangan teriak. Entar anak-anak yang lain heboh. Gue gak mau di kepoin mereka.” Rissa mengangguk, kemudian ku lepaskan tanganku yang menutup mulutnya. Rissa hanya cengar-cengir melihat ke sekeliling, dan akupun mengikutinya. Tanpa ku sengaja, aku melihat ke arah Hendra. Dia menatapku sambil tersenyum, sepertinya dia tau maksud dari ucapan Rissa yang kepotong itu. Akupun langsung memalingkan wajahku kearah lain dan langsung mengajak Rissa ngobrol lagi setelah anak-anak yang lain kembali ke kondisi seperti semula. “Gue gak jadian sama dia. Gue cuma……….. deket aja. Mungkin lebih tepatnya HTS (hubungan tanpa status).” “Jadi maunya kita jadian nih ?” Tiba-tiba ada suara di sampingku. Refleks aku menoleh dan ternyata Hendra sudah duduk di sebelahku. Aku langsung menoleh kearah Rissa dan menepuk jidatku sendiri. Rissa hanya tersenyum jahil. “Gak, siapa bilang?” “Raut wajah kamu yang bilang. Tadi saat kamu bilang ke Rissa kalau kita gak jadian, raut wajah kamu tiba-tiba jadi murung. Berarti kamu maunya kita jadian kan. Iya kan. Ngaku aja deh.” “Gak tuh, biasa aja.” Aku membalas dengan wajah cuek. “Iya Hen, gue juga liat tadi raut wajah Ratna berubah jadi sedih gitu pas dia bilang kalo kalian gak jadian.” Ish Rissa, bukannya belain aku, malah mojokin aku. Temen apa bukan sih dia ini. Tbc Truth or Dare? “Iya Hen, gue juga liat tadi raut wajah Ratna berubah jadi sedih gitu pas dia bilang kalo kalian gak jadian” ucap rissa dengan tidak berperipembelaannya denganku. “Ya ya, pojokin aja aku terus. Aku mah apa atuh.” Sontak kamipun tertawa bersama. Dan bel masuk berbunyi. “Aku kembali ke mejaku dulu ya Na, Ris.” “Iye iye, kembali sono kealam kamu.” Hendra terkekeh dan mengusap kepalaku pelan, kemudian pergi ke tempat duduknya. @@@@@ Jam istirahatpun tiba. Semua anak-anak yang ada di dalam kelas langsung berhamburan keluar kelas, aku masih sibuk dengan tugas yang diberikan oleh guru. Tiba-tiba Hendra duduk di tempat duduk Itha. “Udah selesai tugasnya ?” “belum. Tinggal satu soal lagi selesai kok.” “Mau aku bantuin gak ?” “Gak usah. Makasih.” Satu menit kemudian. Aku sudah menyelesaikan semua soal-soal itu. “Yeee selesai. Akhirnya.” Aku langsung memasukkan buku dan peralatan menulisku ke dalam tas. “Ke kantin yuk.” “Kamu duluan aja deh. Aku bareng temen-temen aja.” “Ya udah deh. Duluan ya sayang.” Ucap Hendra. Dia bilang ‘sayang’ dengan berbisik ke telingaku, jadi tidak ada yang mendengar kata sayang itu, kecuali aku. Aku hanya tersenyum dan menundukkan kepalaku, menyembunyikan pipiku yang sudah memerah seperti tomat. Setelah Hendra pergi, aku menghampiri teman-teman sebarisku satu persatu. Mereka sudah selesai semua mengerjakan tugas dan kamipun ke kantin bersama. Eh bukan ke kantin, tapi ke koperasi yang jarang dikunjungi oleh siswa-siswi disini. Setelah kami membeli makanan yang kami inginkan masing-masing, kami pergi ke taman belakang sekolah untuk bersantai dan memakan makanan kami masing-masing. “Eh girls, selesai makan kita main T.O.D yuk.” Dina memberi usul ke kami untuk menghilangkan rasa bosan setelah selesai makan nanti. “Boleh tuh.” Dan kami semua mempercepat makan kami kecuali aku. Aku gak mau tersedak. “Uhuk-uhuk. Air gue.” Tu kan bener. Annissa tersedak makanannya gara-gara kecepetan makan. “Selesai.” “Gue juga udah.” “Sama.” Mereka yang udah selesai makan langsung menghampiri tong sampah dan membuang bungkus nasi dan botol air mineral. “Ya elah Ratna, lo lama amat sih makannya.” “Bentar ya.” Mereka berdelapan menunggu aku selesai makan. Setelah aku menyelesaikan makanku, kamipun memulai permainannya. Untungnya aku selalu bawa pulpen, jadi kami bermain dengan memutar pulpenku. Kami duduk di rerumputan, tidak duduk di salah satu bangku panjang yang ada di taman, karena bangkunya tidak cukup untuk kami bersembilan. “Yeee Jeni kena. Truth Or Dare ?” “Truth. Kalo Dare kalian pasti nantangin macem-macem.” “Hahahahaha, tau aja lo Jen.” “Terus apanih pertanyaan kalian ?” “Oke oke, gue dulu. Lo udah punya pacar belum ?” Ini Rissa yang nanya. Dia memang kepoan, jadi wajar kalo dia nanya kek gitu. “Udah.” “Siapa orangnya ?” “Satu orang satu pertanyaan Ris, jadi lo gak bisa nanya lagi. Kalo gitu pertanyaan Rissa tadi dari gue aja, siapa pacar lo ?” Dan ini aku yang nanya. “Namanya Dhika.” “Anak mana ?” “Anak SMA Mawar Dua.” “Acieee cieee Jeni. Diam-diam menghanyutkan nih.” Kamipun menggoda Jeni sampai pipinya jadi merah. “Sekarang putar lagi.” “Itha kena. Truth Or Dare Tha ?” “Truth aja deh.” “Lo punya pacar belum ?” “Belum.” “Ada yang lo incer gak di kelas kita ?” “Ada.” “Siapa orang yang lo incer ?” Dan ini aku yang nanya. *Kepo mode on nih hihihi… “Dia Hendra.” Itha langsung salah tingkah setelah menyebutkan nama Hendra. Aku dan Rissa saling pandang dan cengo bersama. Aku gak tau kalau Itha mempunyai perasaan yang sama seperti yang ku rasakan ke Hendra. “Ceritakan kenapa lo jadi suka sama Hendra.” Rissa langsung memberi pertanyaan yang enggak banget buatku. “Gue suka sama dia sejak pertama kali kita masuk sekolah. Gue juga lagi ngincer cewek yang dia suka, beruntung banget tuh cewek bisa dapetin Hendra yang super ganteng dan termasuk cowok populer di sekolah ini. Kalian ada gak yang naksir sama Hendra ?” Semuanya menggeleng kecuali aku. Rissa menoleh ke arahku dan memberikan tatapan ‘sabar ya Ratna’. “Lo suka sama Hendra Rat ?” Aku langsung melongo mendapat pertanyaan dari Itha. “Iiyy…… Gak, gue gak suka sama dia.” “Baguslah, jadi gue gak bersaing sama kalian.Gue gak mau persahabatan kita hancur gara-gara rebutan cowok.” “Iya, gue harap kita tetap sahabatan dan jangan sampai di antara kita menyukai cowok yang sama deal.” Eka berkata dan semuanya setuju dengan perkataan Eka. Huh nasibku malang banget sih. Tak lama kemudian lonceng masuk berbunyi, kami menyudahi permainan T.O.D kami dan beriringan beranjak pergi dari taman menuju kelas. Aku dan Rissa berjalan paling belakang. “Lo sih saat Hendra bilang ‘maunya kita jadian’ seharusnya elo iya-in, biar kalian jadian. Lah elo malah pura-pura gak mau. Nyesel-nyesel deh lo.” Rissa bicara dengan berbisik. “Yee, mana gue tau kalo Itha juga suka sama Hendra. Ini diluar dugaan gue. Dan lo, seharusnya buat gue tenang, bukan buat gue gelisah kek gini.” Akupun membalas ucapan Rissa dengan bisikan. “Oke oke. Yang sabar ya Ratna.” Kalau begini jadinya, Aku harus bertindak, aku harus mundur demi Itha. Itha sudah jatuh cinta dengan Hendra sejak pertama masuk sekolah, aku harus mundur demi Itha, oke DEMI Itha. Aku harus membicarakan ini dengan Hendra sepulang sekolah, HARUS, batinku berkata. @@@@@ Mengalah Untuk Sahabat Lonceng pulang terdengar, tanda jam terakhir telah usai. Huhh, waktu berjalan terlalu cepat. Baru aja aku dan Hendra bersenang-senang dengan perasaan kami masing-masing, ehh taunya adaa aja masalah di antara kami berdua. “Hey Na, pulang yuk ?” “Lo duluan aja Ris, gue mau bicara dulu sama Hendra tentang Itha.” Aku menyebut nama Itha sepelan mungkin, takut ada yang dengar. Dan untung aja Itha udah pulang sama anak-anak yang lain. “Kamu pulang sama aku aja ya Na.” Tiba-tiba Hendra datang menghampiriku. Dia kayak setan aja, datangnya selalu tiba-tiba hehe... “Eh, iya Hen. Lagian ada yang mau aku omongin ke kamu.” “Apaan ?” “Ada deh. Nanti kamu juga bakal tau.” “Ehh jangan-jangan kamu mau nembak aku ya ?” Henda tersenyum jahil. Sayang sekali kebersamaan kami tinggal beberapa jam lagi. “Eh gak mungkin lah aku nembak kamu. Geer banget sih jadi orang.” “Duhh kalian romantis banget sih sampe gak inget kalo di sini masih ada orang.” Aku hanya tertawa mendengar ucapan Rissa barusan. Emang sih, aku lupa kalo ada dia tadi. “Lah, katanya tadi mau pulang ya mana gue tau kalo lo masih ada di situ.” Rissa cemberut dan langsung berdiri. “Gue pulang dulu ya Rat. Gue gak dianggep juga di sini.” “Hahahaha gak Ris, gue becanda doang jangan dibawa ke hati kenapa.” “Tau. Gue tetep mau pulang.” “Yaudah sih ya. Pulang aja. Repot amat bu.” “Huhh, elo ya kayak gitu sama gue. Awas kalo nanti nyari gue.” “Sensitif amat. Lagi PMS lo ya ?” “Gak deng, gue tadi lagi akting doang hehehe… dah dulu ya, gue mau pulang. Bye bye.” Dan Rissapun langsung keluar kelas dengan gaje-nya dan menyisakan aku berdua dengan Hendra. “Mmmm.. kita langsung pulang atau mau jalan dulu ?” “Pulang aja deh Dra, aku lagi gak mood buat jalan-jalan.” “Yaudah ayo.” “Nyok.” Kamipun berjalan bersama menuju parkiran motor dan aku dibonceng Hendra menuju rumahku. @@@@@ Sesampainya di rumahku, aku menahan Hendra supaya dia tidak langsung pergi. Dan ini saatnya untuk ngomong ke dia tentang perasaan Itha ke dia. “Dra, aku mau ngomong sesuatu ke kamu.” “mau ngomong apa ? mau nembak aku ya.” “Ih Hendra aku seriiiuuus.” “Hahaha... iya iya, mau ngomong apa ?” “Mmm… tapi kamu gak boleh motong sebelum aku selesai oke.” “Sip.” Hendra mengacungkan kedua jempolnya. Duh, apa ini akhir dari hubungan kami berdua ? tapi kan kita berdua aja belum pacaran. Oke, ini demi Itha. “Mmm… jadi gini Dra, diantara aku dan temen-temenku ada yang suka sama kamu selain aku.” “Ya aku tau. Aku banyak di sukai oleh para wanita, tapi aku sayangnya cuma sama kamu. Aku milih kamu dari sekian banyak wanita yang suka sama aku.” Mendengar ucapan Hendra barusan wajahku langsung memanas, menandakan kalo pipiku sedang merah. Aku langsung menunduk untuk menyembunyikan pipiku yang kayak tomat. Tiba-tiba aku langsung mengingat kalau aku mau bicarain tentang perasaan Itha ke Hendra. Langsung ku dongakkan wajahku dan menatap Hendra. “Ih, dibilangin jangan dipotong sebelum aku selesai juga, malah dipotong.” “Hahaha maaf maaf lannjutttt.” “Di antara kami bersembilan ada satu orang cewek yang suka sama kamu dari pertama kita masuk sekolah, dan itu bukan aku. Kamu tau, dia masih ngincer kamu sampai saat ini. Aku gak enak sama dia. Dia udah baik banget ke aku. Dia mau bantuin aku kalo aku sedang kesusahan mengerjakan soal, pokoknya dia baik ke aku. Aku juga udah terlanjur bilang ke dia kalo aku gak suka sama kamu. Aku gak mau nyakitin perasaan dia, makanya aku bilang kek gitu ke dia. Kami bersembilan mempunyai prinsip, yaitu tidak menyukai orang yang sama. Dan saat aku tau dia menyukai kamu, aku mulai berfikir untuk menghilangkan perasaan aku ke kamu. Walau itu sulit aku akan berusaha demi sahabatku.” Setelah selesai menceritakan perasaan Itha ke Hendra, aku langsung melihat ke wajah Hendra. Wajah hendra berubah menjadi datar. “Udah ?” Tanya Hendra dengan nada datar. “U…u… udah.” “Oke. Sekarang giliran aku. Ehm… Di kelas kita ada delapan cowok kan. Nah, diantara kami berdelapan ada satu orang cowok yang suka sama kamu dari hari pertama kita masuk sekolah, dan itu bukan aku. Tapi aku tidak bilang ke dia kalau aku gak suka sama kamu seperti yang kamu bilang ke sahabat kamu itu. Aku langsung bilang kalo aku juga menyukai kamu. Kami berdua bersaing untuk mendapatkan kamu. Saat aku dan kamu mulai dekat, dia tetap tidak menyerah untuk bisa mendapatkan kamu. Walaupun kemungkinannya kecil, karena dia gak dekat dengan kamu dan kalian juga jarang ngobrol bareng. Tapi aku gak berfikir tuh yang namanya mau ngilangin perasaan aku ke kamu demi dia, ya walaupun dia itu baik ke aku, sama seperti sahabat kamu itu.” Aku langsung cengo mendengar ucapan Hendra. Jadi dia memiliki kasus yang sama kayak aku. “Tapi Dra, kita memiliki prinsip bahwa di antara kita gak boleh ada yang namanya menyukai cowok yang sama. Aku juga udah terlanjur bilang ke Itha kalo aku gak suka sama kamu.” “Oh, jadi Itha orangnya. Demi seorang Itha kamu rela ngorbanin aku.” “Enggak Dra. Aku gak ngorbanin kamu. Aku ngorbanin perasaan aku ke kamu demi Itha.” “Kamu rela sakit hati demi Itha ?” “I..i..ya, aku rela. Aku rela melepas kamu, karena dia lebih berhak daripada aku. Dia udah lama suka sama kamu.” “Tapi enggak ada yang bisa memprediksikan kapan datangnya cinta Ratna.” “Ya, aku tau itu. Tapi aku mencoba menjadi sahabat yang baik ke dia. Walaupun dia tidak tau sakitnya saat aku melepas kamu, tapi aku senang kalo dia bahagia karena aku.” “Gak, aku gak mau ngelepas kamu.” “Please Dra lepasin aku relain aku pergi dari hati kamu.” “Gak, gak akan dan gak bakal pernah.” Air mataku langsung turun sangat deras. Aku tidak bisa lagi menahan airmata yang mendesak ingin keluar sejak tadi. “Aku tau, kamu pasti bisa. Aku harap kita tetap berteman Dra, jangan ada rasa canggung di antara kita gara-gara masalah ini. Aku masuk dulu Dra, bye.” Aku langsung berlari dan masuk ke dalam rumah, kemudian menutup pintu dan bersandar di belakang pintu kemudian menangis sepuas-puasnya. Aku mendengar Hendra berteriak dari luar. “RATNA, AKU AKAN TETAP MENCINTAI KAMU WALAU AKU DEKAT SAMA ITHA. AKU AKAN IKUTI JALAN FIKIRAN KAMU. AKU AKAN BERUSAHA MENDEKATI ITHA, TAPI JANGAN HARAP PERASAAN AKU KE KAMU BISA HILANG. AKU AKAN TETAP SAYANG KAMU.” Setelah mendengar teriakan Hendra, aku mendengar bunyi motor Hendra menjauh dari halaman rumahku. Hendra sudah pergi. Sekarang tinggal aku sendiri dengan perasaan yang masih sama ke dia. Ending aku dan Hendra kok gak menyenangkan gini sih ? Selamat tinggal Hendra, selamat tinggal perasaan, selamat tinggal hari ini, selamat datang besok dan selamat datang hari…….tanpa perasaan ku ke Hendra. @@@@@ Sandiwara Sesampainya di dalam kelas, aku berjalan ke arah tempat dudukku, tapi aku melihat Hendra sedang duduk di bangku Itha, dan Itha duduk di bangkuku. “Eh elo Na. Kenapa baru datang ?” Tanya Itha. “Gue dari tadi kali datangnya, cuman tadi gue ke taman dulu, cuci mata.” “Ohh gitu. Eh Hen, lo gak punya foto cewek ya di handphone lo ? perasaan dari tadi gue cek, gak ada foto ceweknya.” Itha menyodorkan ponsel Hendra yang sedari tadi dipegangnya. “Ngapain juga nyimpan foto cewek di hp gue, secara gue kan bisa liat dia secara langsung.” “Emangnya siapa cewek yang lo suka ?” “Dia sedang berada di samping gue.” Tiba-tiba pipi Itha memerah. Kan yang ada di samping Hendra bukan cuman dia aja. Aku di sampingnya juga keleus, batinku. Eh, kok aku jadi cemburu gini sih ? daripada aku jadi obat nyamuk merek berdua, mending aku ke tempat duduk Ridho. Aku menyerahkan tas ku ke Itha. “Tha, tolong lo taroh tas gue ke kursi gue ya. Kalian lanjutin aja bicaranya, gue mau nyamperin Ridho dulu.” Itha hanya mengangguk dan menaruh tasku di belakang dia duduk tepatnya di bangkuku, tapi sebelum Itha menaroh tasku, aku tidak lupa mengambil ponselku beserta headset nya. Aku melirik sebentar ke arah Hendra, tapi dia tidak melihat ke arahku. Sombong banget kamu Dra, batinku. Kemudian aku berjalan ke barisan paling pojok, dekat dengan meja guru tempat duduk Ridho yang notabennya teman sebangkunya Hendra. Dia sedang mengipas-ngipas bajunya yang basah akibat air mataku sambil melihat sebuah foto, yang ku yakini itu adalah foto perempuan. “Hai Dho, serius amat ngeliatin tu foto. Foto siapa sih ?” Ridho yang menyadari kedatanganku langsung gelagapan seperti maling yang ketangkap basah. Setelah dia menyadari sesuatu yang masih di pegangnya, dia langsung memasukkannya ke dalam buku dan buku itu dimasukkannya ke dalam tasnya. Kenapa dia seperti itu sih ? pengen sih nanya, tapi tiap orang kan punya privasi yang gak harus di ketahui oleh orang lain. “Eh elo Rat. Ngapain ke sini, tumben banget.” “Gue mau bilang makasih aja, karena lo udah buat gue tenang. Dan baju lo yang basah karena air mata gue, gue minta maaf ya.” “Gak papa kali. Santai aja.” “Tapi belum kering tuh. Sini gue bantu kipasin.” Aku mengambil buku tipis yang ada di atas mejanya kemudian aku mengipas-ngipas baju di bagian dada Ridho yang basah. Tiba-tiba ada notifikasi line masuk di ponselku. Ku buka notifikasi line tersebut, ternyata pesan dari Hendra. Ku buka pesannya. Hendra Syaputra : akrab bener km sama ridho, sampe ngipasin dada dia. Ratna Junia : gak juga tuh. Lo tuh yg akrab bener dgn Itha Hendra Syaputra : loh, knp aku juga kena semprot ? dan jgn pake aksen lo-gue ke aku OK Ratna Junia : yaaaa krna km deket dgn Itha dan mengabaikan aku tadi. Iya-iya bawel Hendra Syaputra : km juga sih sok tegar, sok mau ngerelain aku. Skrng aku udah dekat dgn Itha, km nya malah nyesal Ratna Junia : siapaaaaaa juga yang nyesal, gak tuh wleeee :p Hendra Syaputra : tapi aku tetap cinta sama kamu. Setelah membaca pesan tersebut, aku tidak lagi membalas pesan darinya, aku fokus lagi dengan acara kipas-kipas seragam Ridho yang basah. “Yeyyy udah kering.” “Makasih Rat. Oiya, btw lo line-an sama siapa ?” “Sama orang yang duduk di samping Itha.” Aku dan Ridho melihat ke arah tempat duduk Itha yang notabennya tempat dudukku juga. “Hendra ?” “Yap. Ohiya, kalo gue boleh tau foto siapa yang lo pandang tadi ?” “Dia itu orang yang gue sayang. Gue cinta sama dia, tapi dia mencintai orang lain. Mungkin gue gak pantes dapetin dia, tapi gue akan tetap berusaha untuk bisa dapetin dia walau kecil kemungkinannya.” “Beruntung banget cewek yang lo taksir itu. Lo sayang ke dia begitu tulus. Lo itu sudah ganteng, baik, pinter, sempurna lah dimata gue, andai orang itu adalah gue, gue pasti beruntung...” Aku melihat ke arah Ridho, dia seperti terkejut mendengar perkataan ku barusan. “...Hahaha becanda deng.” Tiba-tiba Ridho berubah ekspresi menjadi datar, kemudian tersenyum kecut dan bergumam, aku sih cuma mendengar kata 'lo' di akhir gumam-an nya. “Tadi lo bilang apa Dho ? kok ada kata 'lo' tadi ?” “Ohh eee…. gak papa.” “Kalo boleh tau dia anak mana.” “Dia sekolah di sini juga, di kelas ini juga lagi.” “Oh ya ? siapa ?” “Rahasia.” “Inisialnya ?” “Adadeh.” “Entar gue cari tau tuh cewek. Kalo perlu gue curi foto yang tadi lo pegang.” “Fotonya aja selalu gue bawa tiap gue keluar kelas.” “Wahh, bakalan susah nih. Oiya, ngemeng-ngemeng lo dapet foto dia dari mana ?” “Gue foto dia secara diam-diam. Yaa gue itu seperti secret admirer nya dia.” “Keren lo. Gue salut sama lo.” Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. “Serius amat kalian berdua. Lagi ngomong apaan sih ?” “Ini loh Dra, Ridho ini punya foto cewek, dan cewek itu adalah orang yang dia suka. Lo tau gak siapa ceweknya ?” “Ya tau lah.” Bukk. Ridho memukul dada Hendra pakai buku yang aku pakai untuk mengipasi baju Ridho tadi. “Jangan coba-coba buka kartu orang.” “Hahaha iya-iya gue gak bakal keceplosan kok.” “ih kalian kok mainnya rahasia-rahasiaan gini sih cerita doooong ?” Mereka berdua saling tatap kemudian saling melotot dan tertawa bersama seperti melakukan telepati gitu. Hendra pandai menyembunyikan kesedihannya, beda banget sama aku. Dia juga mulai mendekati Itha karena itu permintaan aku. Aku kagum dengannya. Dia pandai bersandiwara ke semua orang, dia pandai memperlihatkan kalo dia itu baik-baik saja. Tapi seandainya orang itu sangat mengenal Hendra, pasti orang itu akan bilang kalo Hendra sedang menyembunyikan kesedihannya, kelihatan dari sorot matanya yang menggambarkan kesedihan. Aku sebagai orang yang sudah dekat dengannya, aku tau kalau dia sedang bersedih dan itu semua karena aku. Maafin aku Dra, maafin aku. Kemudian lonceng masuk berbunyi. Aku kembali ke tempat dudukku dan meninggalkan mereka berdua. Percuma juga aku di sana. Toh aku di kacangin juga, kayak tadi saat Hendra berduaan dengan Itha. Mungkin ini saatnya aku untuk move on dari Hendra. @@@@@ Cerita di Sekolah Sekarang aku sudah menduduki bangku kelas 11. Gak kerasa banget ya. Oiya, aku sekelas lagi dengan teman-teman ku yang ada di kelas 10 dulu. Gimana gak sekelas coba, wong murid-muridnya gak di acak kayak smp dulu dan kelasnya tetap di kelas A AK. Mungkin cuma di sekolah ini aja kali ya yang gak di acak, tapi aku senang, karena tidak ada rasa canggung lagi dan tidak ada perkenalan lagi, yey.. Mmm... kalian tau gak, Itha dan Hendra udah jadian beberapa bulan yang lalu. Yang menyatakan perasaan duluan itu jelas bukan Hendra, tapi Itha. Saat beberapa minggu mereka pacaran, aku merasa cemburu dan ingin menangis. Tapi di saat aku ingin menangis, selalu ada Ridho di samping aku untuk menguatkanku. Sekarang, aku bisa move on dari Hendra, maybe. Aneh juga sih, padahal kalo aku sangat menyayangi orang, aku akan sulit untuk melupakannya. Tapi kenapa saat melupakan Hendra begitu mudah ? atau memang akunya yang gak terlalu sayang sama dia ? tapi kenapa setiap dia dekat dengan cewek lain aku merasa cemburu ? Ohiya, aku juga sedang dekat dengan seseorang loh, anak AP alias anak Administrasi Perkantoran, namanya Sammy, orangnya keren. Dia satu angkatan sama aku. "Eh Ratna." "Ya. Ada apa Tha ?" "Noh di depan, Sammy nyariin lo." "Oh oke." Akupun menemui Sammy di depan kelasku. Dia mengajakku untuk pulang bareng dan aku pastinya tidak menolak hehehe... "Eh Tha, Ris, ikut gue yuk. Gue mau beli makanan ke koperasi nih laper." "Nyok." Saat kami ingin keluar kelas, tiba-tiba Jeni bersuara. "Eh eh eh, kalian mau kemana ?" "Mau ke koperasi beli makanan. Mau ikut ?" "Kita ikut dong." "Kita ikut juga." "Kita juga deh." Dan jadilah aku, Rissa, Itha, Eka, Jeni, Annissa, Dina, Linda dan Ratih ke koperasi bersama. Setelah kami sampai di koperasi, kami membeli makanan kami masing-masing dan kami pergi ke taman belakang sekolah. Seperti biasa, aku duduk di kursi panjang yang ada di bawah pohon yang rindang, mereka berdelapan ku paksa untuk ikut duduk di sana. Di sana sudah ada Ridho. Yaaa kalian tau sendirikan, Ridho juga suka duduk di bangku ini. "Ngapain sih Na, lo ngajak kita semua duduk di sini ? udah tau kita gak suka duduk di tempat yang jauh dari keramaian, malah di paksa." "Tau lo Rat. Suka banget maksa orang." "kenapa sih lo Rat suka banget duduk di sini ?" "Karena Ratna gak suka keramaian. Siapa sih makhluk yang tidak suka keramaian kecuali dia." "Bukan dia aja kali Tha. Noh makhluk yang udah duduk dari tadi di sini, dia kan juga gak suka keramaian." "Eh kenapa kalian jadi bawa-bawa gue." Ridho membela diri dari ocehan yang gak jelas dari teman-temanku. "Ya jelas lah kita bawa-bawa lo. Secara lo kan juga penghuni babahon ini." "Apaan tuh babahon." Kali ini aku dan Ridho bertanya serempak. "BAngku BAwah poHON." "kalian berdua cocok banget siiiiiihh." "Iya. Udah tempat tongkrongannya sama di bawah pohon, tempat duduk di kelas sama-sama di bagian pojok ruangan, duduknya sama-sama di barisan nomor dua ke belakang, ngomongnya tadi juga samaan." Ih Dina kok ngomong gitu sih ? wajahku kenapa panas banget sih ? "Ih Ratna blushing. Ciee Ratna blushing ciee." Aku memelototi ke delapan temanku dan membuang muka. Tapi aku salah memalingkan wajah, aku memalingkan ke arah Ridho, dia tersenyum. Aaaaaa aku malu ketahuan blushing sama dia. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah lain. "Susah ya Na jadi single, diomongin mulu sama teman-teman lo yang sudah taken." Ucap Ridho yang ingin ku jawab tapi keduluan teman-teman aku. "Dia bukan single, dia jones." "Dia gak jones. Buktinya aja dia punya gebetan. Kalian pasti liat kan siapa laki-laki yang ada di sampingnya itu." "Dia itu kena Friendzone." "ya ya ya, bully aja gue terus." Kemudian aku berdiri dari tempat duduk dan menggandeng lengan Ridho. "Yuk Dho, kita ke kelas. Males gue di sini, kena bully mulu dari tadi." Ridho-pun berdiri dan mengikutiku berjalan. Aku menoleh ke belakang. "Dadah teman-teman, Wleeeee." Hahahaha, lucu deh. Mereka semua cengo sama sikapku barusan. Aku langsung menoleh ke arah sampingku. Deg. Kenapa aku jadi gugup saat melihat wajah Ridho dari samping ? sumpah deh, ini baru pertama kalinya aku merasakan segugup ini. Aku memalingkan wajahku ke arah lain karena aku tau, wajahku pasti merah. Kan gak asik kalo ketauan blushing dua kali. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Aku menggandeng tangan Ridho. Aku buru-buru melepasnya. "Eh, maaf Dho. Gue gak sengaja gandeng tangan lo." "Santai aja kali." "Gak mungkin lah gue santai. Entar kalo cewek lo liat gimana ?" "Gue gak punya cewek." "Masa sih ? lo tuh ganteng, pasti banyak cewek yang naksir sama lo." "Yaa karena gue masih mengharapkan cewek yang gue taksir itu." "Tau ah Dho. Ape lo kate dah." Dan kamipun berjalan beriringan menuju kelas. @@@@@ Aku sekarang sedang berada di tempat tunggu yang menghadap langsung ke gerbang sekolah. Aku sedang menanti Sammy, ini sudah jam pulang sekolah dan dia belum juga menghampiriku. Teman-temanku semuanya sudah pulang, kecuali Rissa dan Itha. Mereka mau menemaniku untuk menunggu kedatangan Sammy. "Rat, gue mau ke toilet dulu ya. Nanti kalo Hendra ke sini bilangin aja gue ke toilet sebentar oke." "Iya. Lo sendirian aja ke toiletnya ? gak mau di temenin Rissa atau gue gituh ?" "Gak usah lah. Gue bisa sendiri kok. Entar kalo Rissa ikut gue, lo nya sendirian di sini." "Ya elah, gak papa keleus. Entar Sammy juga datang." "Iya kalo datang, kalo enggak ? Yaudah deh gue ke toilet dulu ya kebelet nih." "Iya iya sono." Sudah setengah jam aku menunggu Sammy di sini, dia belum juga datang. Niat ngajak pulang apa gak sih dia ini ? "Eh Na, ngapain lo di sini ? kenapa belum pulang ?" Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara yang menegurku. Ternyata Ridho. Tbc Cerita di Sekolah (2) “Gue lagi nunggu Sammy. Eh, lo kenapa belum pulang Dho ?” “Nih, gue nemenin Hendra nungguin Itha pulang.” “Maaf ya Dra. Gara-gara gue lo dan Itha pulangnya telat.” Ucap gue menyesal. “Demi kamu apa sih yang gak Na. Orang yang paling aku sayang.” “Makasih Dra. Lo sahabat yang pengertian.” Aku menampakkan senyum tiga jariku. “Aku bersikap pengertian kayak gini bukan karena aku sahabatan sama kamu. Karena aku masih memiliki perasaan yang kayak dulu. Aku sayang kamu Na, aku cinta banget sama kamu.” Aku melongo mendengar ucapan Hendra barusan. Untungnya Itha belum datang dari toilet, jadi dia tidak mendengar apa yang diucapkan pacarnya barusan. “Lupain gue Dra. Lo sekarang ini sudah punya Itha, jadi lo harus menyayangi dia seperti dia menyayangi lo.” “Itu karena kamu yang mau Na. Aku gak mau pacaran dengan Itha, aku maunya sama kamu, dan stop pakai lo-gue ke aku.” “Tapi Dra, Itha sayang banget sama kamu. Kamu jangan sia-siakan dia. Kalo kamu nyakitin Itha, berarti kamu juga nyakitin aku.” Hendra mengangkat kedua tangannya tanda dia menyerah. “Oke oke. Kamu menang Na. Aku gak akan nyakitin dia, tapi kamu harus janji ke aku, kamu jangan pernah lupain aku janji.” “Janji.” Kami menautkan jari kelingking kanan kami, pinky promise. Aku tersenyum tulus ke Hendra yang dibalasnya dengan senyum merekahnya. Kemudian aku melihat ke arah Ridho, dia membuang muka, kenapa dia ? Aku melepaskan tautan jari kelingking kami dan menoleh ke arah Rissa. “Kemana sih Itha, lama banget.” Ucap Rissa. “Iya. Gak biasanya dia lama ke toilet.” Hendra dan Ridho sudah terduduk di ruang tunggu menantikan Itha juga Sammy. “Hay guys, maaf gue telat. Toilet udah di kunci semua. Jadi gue ke toilet umum.” “Ya gak papa. Santai aja kali lo sama gue, lo seharusnya minta maaf ke pacar lo.” “Hehehe. Eh Hen ma…. Rat Rat, itu bukannya Sammy ya sedang boncengan dengan cewek tuh mau pergi.” Aku menajamkan mata ku ke arah yang ditunjuk oleh Itha. Bener, itu Sammy. Tanpa pikir panjang, aku mengambil ponselku dan men-dial nomor Sammy. Pada bunyi ke tiga, Sammy mengangkat panggilannya. “Halo Rat, ada apa ?” “Lo kemana ? gue nunggu dari tadi di ruang tunggu kok belum datang ?” Mataku terus mengarah ke arah Sammy dan cewek itu. Mereka mesra banget di atas motor Sammy, pake peluk-peluk gitu lagi, gatel banget tuh cewek. “Maaf ya Rat, gue mau nganter nyokap gue ke rumah sakit. Ini sekarang gue mau berangkat ke rumah sakit. Maaf ya, gue gak ngabarin lo dulu kalo gue pulang duluan dan udah nyampe rumah.” “Iya gak papa. Udah dulu ya, bye.” Aku langsung mematikan sambungannya secara sepihak kemudian aku tertunduk dan memejamkan mata. Dia bohong sama aku, tega banget kamu Sam. “Gimana Rat ?” “Dia bohong sama gue Ris. Dia bilang mau nganter mamanya ke rumah sakit, dan dia udah di rumah sejak tadi katanya.” “Sialan.” “Eh Dho ? mau kemana ?” “Mau beri dia pelajaran karena dia udah bohongi lo.” “Gak usah lah Dho. Daripada tenaga lo dibuang untuk ngejar dia dan mukulin dia, mending lo nganter gue pulang.” Ridho cengo, mungkin dia gak percaya dengan kata-kataku barusan. “Lo minta anter sama gue Na ? gue gak salah denger kan ?” “Ya gak lah. Kalo bukan sama lo, sama siapa lagi ? gue lagi gak bawa dompet untuk naik ojek. Bokap gue gak bisa jemput.” Ridho menunjuk ke arah Rissa dengan slow motion. “Lo nyuruh gue Dho ?” Ridho hanya mengangguk. “Bukannya gue gak mau ya Dho. Tapi lo pikir aja, jarak rumah gue dan Ratna beda jauh. Gue juga gak searah dengan Ratna. Masalahnya bukan itu sih sebenarnya, gue kan juga sering nganterin Ratna. Masalahnya, sekarang ini udah jam berapa ? udah sore banget Dho, gue harus jemput nyokap gue di tempat dia bekerja, lo tau sendiri kan Rat ?” “Iya, gue tau kok, makanya gue gak minta antar ke lo. Dho, lo mau gak ? kalo lo gak mau gak papa sih, gue ngerti kok. Mmm Ris, pinjem duit dong, besok gue ganti. Sekarang ini gue lagi gak bawa dompet.” “Buat apa Rat ?” “Buat bayar tukang ojek.” “Gak ada ojek-ojekan. Lo ikut gue aja.” Ridho tiba-tiba menyela percakapanku dengan Rissa. “Lah ? bukannya lo tadi gak mau nganter gue Dho ?” “Bukannya gak mau. Gue cuma kaget aja. Tiba-tiba lo minta anter ke gue. Kan jarang eh bukan jarang sih tapi gak pernah.” “Hehehe gue malu mau ngomong minta anter ke lo. Tadi tuh gak tau aja dapet kekuatan dari mana jadi gue berani ngomong kek gitu.” “Heleh, Sejak kapan seorang Ratna jadi pemalu ? lo kan cewek pendiam, cewek dingin, cewek bar-bar, jadi gak ada sifat pemalu di diri lo itu.” Semuanya tertawa setelah mendengar ucapan Rissa. Sialan ni anak. Aku cemberut ke arah Rissa. Tiba-tiba ada yang megang tangan aku, refleks aku langsung menoleh. “Daripada lo cemberut, mending kita pulang.” “yaudah nyok. Ris, Tha, Dra, gue duluan ya.” “Iya. Hati-hati.” Jawab mereka serempak. Aku senyum ke arah mereka bertiga, tapi Hendra memasang wajah datar dan terus memandang tanganku yang di gandeng oleh Ridho. Sebodo amat sama Hendra, yang penting aku bisa pulang. Masalah Sammy, gak usah terlalu difikirin, toh besok aku juga ketemu. Entah kenapa, aku senang bisa boncengan dengan Ridho, seperti sekarang ini. Aneh sih, aku juga tidak tau apa penyebabnya. Apa aku menyukainya ? sepertinya tidak mungkin. Aku kan menganggapnya hanya sebatas sahabat. Tapi gak tau kedepannya kayak apa. Aku akan tetap mengikuti waktu yang nantinya akan menuntunku bertemu dengan pujaan hatiku yang sesungguhnya *fix kata-kata yang ini alay pake bgt. @@@@@ PHP Hari-hari di sekolah ku lalui dengan tidak bersemangat. Huh entahlah, kenapa aku jadi gak semangat kayak gini. Aku sih gak mau yang namanya malas-malasan, tapi mau gimana lagi ? ragaku pengennya malas-malasan. Aku sekarang sedang main handphone, dengerin musik, dan baca novel. Huh, bosen banget kalo gak ada guru di kelas, batinku. Aku menutup novel yang aku baca, kemudian mematikan musik yang sedang aku dengar dan melepas headset yang ada di telingaku. Menyimpan ponselku ke dalam saku bajuku kemudian berdiri. “Misi bentar Tha, gue mau keluar.” Itha-pun memberiku jalan untuk keluar dari tempat dudukku. “Lo mau kemana Rat ?” “Gue mau ke taman.” Itha celingak-celinguk seperti mencari seseorang. “Lo kenapa Tha ? lagi nyari siapa sih ?” Aku mengikuti arah pandang Itha, tapi aku tidak tau siapa yang sedang di carinya. “Mau ke taman atau mau nyamperin Ridho ?” “Hah ?” Aku menganga. Tidak mengerti dengan ucapan Itha barusan. “Iya. Lo Liat deh, Ridho sedang tidak ada di tempat duduknya, pasti dia sedang berada di taman.” “Ah masa ? mungkin dia ke kantin atau ke toilet.” “Kalo lo gak percaya sama gue, lo buktiin aja sendiri.” “Malessss.” Aku langsung melenggang keluar meninggalkan Itha tanpa mengajaknya untuk ikut ke taman. Sesampainya aku di taman, aku langsung berjalan ke tempat paling pojok yang sangat jauh dari keramaian. Saat jarakku ke pohon rindang itu tinggal beberapa centi, aku melihat ada orang yang sudah duduk di bangku yang ada di bawah pohon itu. Aku mendekatinya untuk mengetahui siapa yang duduk di sana. Ohh Ridho toh, dia sedang memandangi selembar foto. Aku duduk di sampingnya dan melirik foto yang di pegang Ridho. Belum seutuhnya aku bisa melihat foto itu, Ridho menyadari keberadaan ku dan buru-buru memasukkan foto tersebut ke dalam saku bajunya. “Eh elo Na. Sejak kapan lo ada di sini ?” “Umm sejak lima menit yang lalu mungkin.” “Eh, jadi lo-” “Hampir liat sih tadi, tapi lo langsung memasukkan fotonya ke dalam saku baju lo saat lo menyadari keberadaan gue.” Aku langsung memotong ucapan Ridho. Aku tau pasti yang ingin ia tanyakan tadi itu masalah foto yang ia pegang. Ridho menghela nafas lega dan mengucapkan syukur dengan suara berbisik, tapi aku masih bisa mendengarnya. “Oiya Dho, foto yang tadi itu kok gue kayaknya kenal ya. Gue kayak familiar dengan orang itu, tapi gue lupa.” “Lo kan emang gak bisa nginget orang secara jelas. Taunya cuma familiar doang.” “Hehehe. Tau aja lo Dho.” “Oiya, ngapain lo ke sini ?” “Bosen gue di kelas, gak ada kerjaan. Kalo lo, ngapain ada di sini ?” “Menurut lo ?” “Menurut gue ya sama seperti gue, bosen.” “Nah tu lo tau.” Kemudian kami terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing dan menikmati hembusan angin yang menyegarkan. “Eh eh, Dho Dho Dho. Lo liat deh cowok yang itu, cowok yang sedang merangkul cewek tuh, yang sedang duduk di depan bunga, lo liat gak ? kayaknya gue kenal deh, tapi siapa ya ?” “Kapan sih lo bisa inget orang yang dekat dengan lo ?” “Kapan-kapan. Gue kan emang gak bisa mengingat orang, kecuali gue udah kenal banget sama tuh orang, baru gue bisa mengingatnya. Eh kok ngomong ini sih ? Dho, lo kenal gak sih sama tu cowok ? kok gue familiar banget yah ?” “Ya iyalah lo familiar, itukan gebetan lo.” “Hah, gebetan ? Maksud lo Sammy.” “Iya. Siapa lagi ?” Aku langsung merasa sedih. Ya, sekarang aku tau orang yang sedang berangkulan itu siapa. Sammy. Pantas saja chat-an ku gak di bales-bales, kalo nge-bales paling sejam kemudian, ternyata dia sedang berduaan dengan cewek lain. Kok nyesek sih ? “Dho.” “Hmm.” “Kok sakit ya ? kok gue bisa nyesek gini sih ?” Tiba-tiba Ridho merangkulku, membawaku ke dalam dekapannya. Hangat dan sangat menenangkan. “Lo jangan menangisi orang kayak dia Na, lo harus kuat. Buktiin ke dia kalo lo itu bukan cewek yang gampang dimainin perasaannya. Lo harus jadi cewek yang kuat. Gue tau lo bisa.” Duuuhhh, kata-katanya itu loh. “Bilang aja lo gak mau seragam lo basah gara-gara air mata gue.” Aku mencoba mencairkan suasana sedih-sedihan ini. “Eh bukan gitu loh Na. kalo lo mau nangis ya nangis aja. Kan gue cuma mau nyemangatin lo doang.” “Hahaha. Iya iya Dho. Makasih ya udah nyemangatin gue.” Aku melepas tangan Ridho yang sedang merangkulku. “Gak sedih lagi kan ?” Masih. “Enggak.” “bagus, kalo gitu ke kelas yuk.” “Yuk.” @@@@@ Bel istirahat berbunyi dan aku sama sekali tidak bersemangat untuk keluar kelas apalagi beranjak dari posisi nyaman ku ini. Aku galau ? ya, tentu aku galau. Gimana gak galau, coba kamu bayangin deh, ketika kamu suka sama seseorang dan dia malah berangkulan dengan cewek di hadapan mata kamu sendiri. Gimana tuh rasanya, pasti nyes banget kan di hati. Nah itu, itutuh yang sedang aku rasain sekarang. “Kenapa ni orang ?” “Tau nih, kesambet setan mana dia ?” “Lo apain dia Tha ?” “Eh, kok gue sih ? gue aja baru nyadar kalo dia kayak gini dari tadi.” “Gak jelas banget ni anak.” “Mikirin apaan sih ?” “Tanya sama orangnya langsung keleus.” Dan suara-suara mistik mulai terdengar mengalun indah di telingaku. Dalam ke hitungan ke lima. Satu… Dua… Tiga… Empat… Lima… “RATTTTTNAAAAAAAA…….” Aku langsung menutup telingaku dengan kedua tangan ku. Seperti dugaan ku, kalau ke delapannya sudah ngomong dan tidak ada balasan, maka cara terakhir yaitu tadi, neriakin telinga sampe gendang telinga pecah mungkin. “Pa’an sih kalian ? ganggu aja.” “Yeee lo tuh yang apaan, ngelamun mulu, apaan sih yang lo lamunin ?” “Kepooo.” Dan aku langsung melenggang keluar kelas dan meninggalkan mereka yang melongo melihat kepergianku. Terkadang aku bingung, kenapa aku bisa berteman sama mereka. “Hai Rat.” Duh kaget. Siap….oh Sammy. Aku langsung memasang wajah datarku. “Oh hai.” “Lo mau kemana ?” Gue aja bingung mau kemana, batinku. Aku celingak-celinguk. Eh inikan jalan menuju taman. “Mau ke taman.” “Gue ikut yah.” “Terserah.” Dan kamipun berjalan beriringan. Sammy merangkulku, tapi aku selalu menepisnya. Aku mulai risih dengannya. “Hai Sammy.” Tiba-tiba datang seorang cewek yang kemaren aku liat sedang boncengan dengan Sammy. “Oh, hai.” “Nanti pulang bareng lagi ya.” “Lah, bukannya lo ngajakin gue pulang bareng tadi Sam ?” Padahal sih gak ada, itu mah kemaren. Gue bongkar kedok lo Sam (Senyum licik). “Emangnya lo siapanya Sammy ?” Tanya cewek yang menyapa Sammy tadi. “Tanya aja sama Sammy-nya langsung.” “Dia siapa kamu Sam ?” “Dia emm.. temen gue.” “Gue gebetannya Sammy.” Ucap gue langsung sambil memasang senyum licik. “Kamu kenapa pake lo-gue ke aku ?” Si cewek bersuara lagi. “Lo itu sebenarnya siapanya Sammy sih ?” Aku bertanya kepada cewek yang ada didepanku ini. Aku mulai melancarkan aksiku sodara-sodara. “Gue pacarnya.” “Dia pacar lo Sam ? Tega lo ya.” Aku pura-pura marah dan berjalan maju kedepan. Tiba-tiba Sammy memegang pergelangan tanganku. “Tunggu Rat, dia cuma temen gue. Gue cuma sayang sama lo doang.” “Jadi lo selama ini nganggep aku hanya teman Sam ? apa aku gak ada artinya dimata kamu ?” “Maaf Rika, tapi gue sayang sama dia.” Cewek yang bernama Rika itu langsung menampar Sammy dan menangis kencang. Ini diluar dugaan ku, beneran deh, sumpah. Plak… Entah dapat kekuatan darimana, aku malah menampar Sammy juga. “Tega ya lo. Lo memberi harapan ke GUE, seolah-olah gue cewek yang paling lo sayang. Tapi ternyata lo udah punya PACAR dan masih MODUSIN gue. Bingung gue sama jalan pikir lo.” “Ratna, lo kenapa sih ? gue milih lo dibanding dia kenapa lo malah bela dia ?” “Terus lo pengen gue ngebela lo gituh ?” “IYA.” “GAK BAKAL. Lo seharusnya milih pacar lo dibanding gue, karena gue bukan siapa-siapa lo sedangkan dia, dia udah jadi pacar lo Sam. Ngertiin perasaan dia dong.” “TAPI GUE SAYANGNYA SAMA LO RAT.” “Berarti selama ini kamu gak sayang sama aku ? kamu gak cinta sama aku ?” Rika bicara disela tangisannya. “GAK. Karena lo cuma pelampiasan gue disaat Ratna sedang tidak ada disamping gue.” Gila nih Sammy. Plak… Aku menamparnya lagi. Dan Plak… Ditambah tamparan dari Rika. “Tega banget kamu Sam, TEGA. AKU BENCI SAMA KAMU.” Dan Rikapun lari menjauh. “Kebangetan lo Sam, gak nyangka gue pernah suka sama orang kayak lo. Orang yang gak punya hati.” “Jadi lo suka sama gue ?” “YA. Tapi itu dulu, sebelum lo nyakitin perasaan Rika dan PHP-in gue terus. Sekarang…. Entahlah. Perasaan itu sudah hilang entah kemana.” “Secepat itu kah ? bisakah kita mengulangnya dari awal lagi Rat ? karena gue benar-benar sayang lo.” “Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi gak akan bisa diulang kembali. Lo sudah membuat kesalahan sendiri dan lo harus terima karma itu sendiri.” Aku langsung lari menjauh dari Sammy. “RATNA ASAL LO TAU GUE SAYANG BANGET SAMA LO.” Teriak Sammy. “MASA BODO.” Dan aku berlari menuju taman yang disana sudah ada Ridho yang sedang asik memandangi sebuah bingkai foto. Tidak perduli dengan foto itu, aku langsung duduk di sebelah Ridho dan memeluknya dari samping, menyembunyikan wajahku ke dada bidangnya dan menangis sekeras-kerasnya. Ridho tampak tegang, kemudian dia menaruh foto itu ke dalam saku celananya dan mengelus kepalaku. “Lo kenapa Na ?” “Sammy Dho, Sammy.” “Dia kenapa ?” “Lo masih ingatkan cewek yang dibonceng Sammy ? dia namanya Rika, dia… dia… dia pacarnya Sammy.” Aku bicara sambil sesenggukkan. Aku merasakan tegangnya tubuh Ridho. “Terus tadi itu dia bilang ke Rika kalo dia cuma pelampiasannya Sammy. Dia cuma sayang sama gue katanya. Tapi dia sering PHP-in gue. Gue gak tega liat Rika nangis di hadapan Sammy, terus tadi gue juga nampar Sammy.” “Sialan. Lo yang tenang ya. Apa yang lo lakuin itu udah bener kok.” “Tapi…tapi… gu..gu.. ah susah amat ngomongnya.” Aku melepas pelukanku ke Ridho dan menyeka air mataku lalu mengatur nafas. “Tapi gue benci sama diri gue sendiri. Gue mengacaukan semuanya. Kenapa gue bisa salah mencintai seseorang kayak dia. Seandainya dia emang sayang sama gue, dia seharusnya putusin Rika dan ngejar gue. Bukan malah sering PHP-in gue dan masih jadian sama Rika. Dia itu terlalu mengumbar janji.” “Lo gak salah. Jatuh cinta itu tidak memandang apapun. Sammy nya aja yang sok kegantengan.” Hah, kegantengan ya. Dan aku tertawa dengan suara parau. “Lo bener nyet. Lo bener.” “Sialan lo. Ngatain gue monyet lagi.” Dan akupun tertawa kembali. Dan inilah akhir dari kisahku bersama Sammy. Dia udah ketahuan mempunyai pacar dan sering PHP-in aku. Cintaku dia balas dengan harapan palsu dan janji-janji manis yang semu. Kenapa aku bisa bertemu sama orang yang sering menghambur-hamburkan harapan ke semua orang ? mungkin disini bukan cuma aku yang menjadi korban PHP-nya. @@@@@ Kakak Kelas Semester kedua dikelas sebelas. Aku sekarang ini sedang dalam tahap magang pertama, ya karena aku sekolah smk maka dikelas sebelas dan dikelas dua belas harus magang. Setiap hari sabtu seluruh murid yang magang harus hadir kesekolah untuk absen dan mengambil tugas ke guru-guru dan sekarang ini aku sedang berada di sekolah dan mau ke taman tempat dimana teman-teman aku ngumpul. Kenapa kita ngumpulnya ditaman, karena kita gak boleh masuk ke kelas kita sendiri, kelasnya aja dikunci rapat. Kalo kita ngumpul di kantin, inikan masih jam pelajaran, jadi semua siswa dilarang ke kantin kecuali yang selesai olahraga. Aku tadi barusan keluar dari kantor guru dan aku mendapatkan beberapa tumpuk buku paket yang baru aku pinjem di perpus untuk mengerjakan soal, punyaku sih padahal cuma satu, tapi ini punya temen-temenku, mereka nitip ke aku gara-gara mereka gak mau masuk ke kantor guru buat nanyain tugas. Tapi parahnya lagi aku disuruh membawa sendiri lks-lks ini sebanyak 9 buku. Wow, temen-temen durhaka mereka itu. Bukkk.. Dan buku-buku yang ku pegang jatuh semua. Ya, tadi aku barusan nabrak seseorang, mampus gak tuh. “Eh maaf gak sengaja gak liat.” Aku meminta maaf dan langsung berjongkok untuk memunguti buku-buku sialan ini. “Sini, biar gue bantu.” Aku tetap mengambil buku-buku yang tadi terjatuh, dibantu juga dengan orang yang tadi aku tabrak. Sekilas aku melihat lambang kelas di lengan sebelah kanannya, ternyata dia kakak kelasku. Setelah buku-bukunya sudah tidak ada lagi di tanah, aku langsung berdiri. “makasih kak udah bantuin aku sekali lagi aku minta maaf.” Aku menundukkan badanku sedikit sebagai rasa hormatku setelah itu aku berusaha mengambil buku yang ada di tangannya. “Panggil gue Daniel. Dan buku-buku yang ada di tangan gue ini biar gue bantu bawain.” “Gak usah kak aku bisa sendiri kok.” “Gue bilang panggil gue Daniel dan biarin gue bantu elo.” “Terserah kak El aja lah.” “El ?” Cowok yang bernama Daniel ini menatapku dengan raut wajah bingung. “Iya El. Namanya kakak itu D-A-N-I-E-L kan, bukan D-A-N-I-L.” Aku mencoba mengeja nama kak El. “Iya emang benar nama gue pake E.” “Nah jadi aku manggil kakak El kalo Dani entar ketuker sama temen aku.” “tapi lo bisa manggil gue Niel (e nya dibaca juga).” “Kalo aku manggil Niel, entar aku bisa nyebut nil, kan jauh dari nama kakak.” “Terselah lo aja deh mau manggil gue apa. Tapi jujur, lo adalah orang pertama yang manggil gue dengan nama El.” “Hehehe kan aku maunya simpel gak mau ribet kak.” “Gak usah manggil gue kakak panggil El aja dan lo gak usah pake aku kamu kayak akrab aja.” “Kalo gue manggil lo El aja tanpa ada embel-embel kak itu gak sopan tau.” “Serah. Oiya, ni buku mau diapain ? pegel nih tangan gue.” “Lah, siapa yang nyuruh kakak bawa itu buku. Bawa sini bukunya.” “Gak, gue mau bantuin lo bawa buku ini.” “Emangnya kakak gak ada kelas hari ini ?” “Gue bolos masuk kelas gue bosen denger ocehan guru-guru yang gak jelas itu.” “Serah lo aja lah ka.” Dan akupun berjalan menuju Babahon (kalo kalian masih inget kepanjangannya). Disana temen-temen aku udah pada ngumpul semua. Wajah mereka merah menahan kesal, kesal nungguin aku teralalu lama kali. Tapi biarin ajalah, siapa suruh aku disuruh bawa buku sebanyak ini sendirian. “Hai guys, I’m coming.” Aku berusaha ceria dan tak memperdulikan tatapan kesal dari mereka. “Kemana aja lo Rat ? lama amat kesininya.” “Kalian kira gue super hero kalian yang bisa dengan cepat berjalan kesini sambil membawa buku-buku sialan ini. Cepetan ambil, berat tau.” Mereka semua seakan terhipnotis langsung mengambil buku-buku yang kubawa. Setelah buku ditanganku sudah habis, aku berbalik badan dan mengambil buku lainnya di tangan kak El. Setelah aku berbalik lagi temen-temenku melongo semua. “hey girls, kalian kesambet penunggu disini ya ? kok gitu semua ?” “Rat, kenapa lo bisa bareng sama kak Niel ?” Ucap Dina. “Tadi dia nolongin gue bawa buku-buku kalian. Kalian kenal sama dia ?” “Ya kenal lah, siapa sih yang gak kenal sama kak Niel.” “Iya, orang paling ganteng satu sekolah.” “Banyak disukai cewek-cewek lagi, termasuk kita, hihihi.” “pinter, jago main basket, kapten basket, tinggi, keren, kece.” Nah, itulah temen-temen ku. Selalu menilai orang terlalu berlebihan. “Iya dong, gue gitu loh.” Idih pede banget dia. Dipuji-puji temen gue malah melayangkan diri sendiri. Gue jatuhin dari ketinggian baru tau rasa lo. “Girls, gak usah lebay deh tadi kalian bilang ‘siapa sih yang gak kenal dengan kak Niel’ nah, gue baru aja kenal sama dia. Seandainya dia gak gue tabrak mungkin gue gak akan pernah kenal dia dan gak akan pernah mau kenalan sama dia.” “Ih elo Rat, nolak cowok seganteng kak Niel mubazir banget lo. Dan lo itu emang gak up to date banget ya, masa gak tau sama kak Niel. Up to date dikit kek jadi orang.” Ucap Annissa. “Bodo amat. Terserah kalian aja deh mau bilang apa. Gue capek.” Aku langsung duduk di bangku yang ada di bawah pohon. Aku melirik kak El sekilas yang sekarang sedang digerumbungi temen-temenku. Dia melongo melihat tingkahku, dan senyam-senyum gak jelas sama temen-temen aku. Sok keren ni orang. “Udah gue duga, kalian pasti disini.” Tiba-tiba Ridho datang dan duduk di samping kananku. “Ya iyalah, mau dimana lagi coba.” “Eh, yang digerumbungi temen-temen lo itu kak Niel kan, kenapa dia bisa ada disini ? dia kan anti banget kalo jauh dari keramaian.” “Lo kenal juga sama kak El ?” “Yaiyalah gue kenal, gue kan satu ekskul sama dia, dan dia kaptennya. Eh btw kok lo manggil dia kak El ?” “Gue gak mau aja manggil Niel, soalnya ribet sih. Entar gue bisa-bisa manggil dia Nil, emangnya kudaNil.” “Serah lo dah.” Tiba-tiba kak El duduk disamping kiriku. “Lo beneran gak kenal sama gue ?” “Iya. Emang gak kenal.” “Pantes aja lo manggil gue El. Biasanya juga cewek-cewek disini manggil gue Niel. Dan semua orang tau kalo gue Niel, orang paling ganteng dan paling pinter disekolah elit ini.” “Pede banget lo kak. Jangan ngayal ketinggian entar kalo jatoh sakitnya dimana-mana.” Aku berdiri dari tempat dudukku. “Gue gak ngayal tapi itu fakta.” “Serah lo deh kak.” Aku menarik tangan Ridho dan Ridho-pun berdiri di sampingku. Baru maju selangkah, aku sudah dicegat oleh kak El. “Eh, lo mau kemana.” “Kemana aja asal jauh dari kakak.” Aku berjalan sambil menarik tangan Ridho. Dan aku berteriak. “Girls, kalian ikut gak ?” “Iye baweeeeelll.” Ucap mereka serempak. Dan kita semua ninggalin kak El sendirian di sana. @@@@@ Kakak Kelas (2) Seperti hari biasanya, tiap pagi sampai sore aku berada di kantor, dan tiap pulangnya aku mampir dulu ke sekolah tapi gak tiap hari juga sih kesananya, cuma kalo ada jadwal ekskul basket aja. Padahal aku capek banget untuk pergi ke sekolah setelah seharian magang, tapi karena Itha yang minta yang memiliki alasan mau liat Hendra latihan, jadi kami semua ikut untuk MENEMANI bocah satu ini. Sekarang ini aku sudah sampai didepan sekolahku dan langsung kena semprot sama teman-temanku. “Ratna, kenapa sih lo lama banget kesininya ? kita semua kepanasan nih nungguin lo.” “Bukannya bersyukur gue datang kesini malah disemprot kayak gini. Tau gitu gue gak kesini tadi.” “Ih elo Rat ambekan banget jadi orang. Lagi pms lo ya ?” Ucap Annisa. “Gue lagi gak pms tapi gue ini capek bisa gak jangan langsung disemprot gitu.” “Aduuuhhh kacian Ratna capek ya. Ini minum dulu biar seger.” Ucap Itha sambil memasang wajah sok imutnya dan menyodorkan air botol mineral ke arahku. “Gak ah, kalonya air doang mah gak seger. Temenin gue ke pondok cokelat aja deh biar segeran dikit.” “Tapikan Rat, Hendra bentar lagi latihan gue nanti gak liat dia lagi.” “Udah tenang aja, bentaran doang kok. Oiya, kalian juga mau ikut gak ? Itha mau traktir kita minum di pondok cokelat.” “Ayo ayo ayo.” Dan kamipun berjalan menuju pondok cokelat dekat sekolah dan meninggalkan Itha yang masih melongo di tempatnya. Setelah kami semua sampai di pondok cokelat dan meminum minuman kami semua, tiba-tiba Hendra, Ridho dan kak El menghampiri kami. “Itha, ternyata kamu di sini. Aku kira kamu gak jadi dateng.” Ucap Hendra. “Aku pasti jadi datang, tapi gara-gara curut ini, aku jadi kehilangan uang dan gak bisa liat kamu latihan.” Itha bicara sambil nunjuk-nunjuk aku. Ih enak aja ngatain aku curut. “Kita belum latihan kok.” Ucap Ridho. “Benaran ? Yeyyy gue bisa liat Hendra latihan.” “Kayak bocah aja lo Tha.” Ucapku menyindirnya. Tapi sebenarnya cuma becanda doang kok, suwerr.. “Biarin, wleee…” “Eh, lo Ratna kan cewek yang manggil gue El, bener kan ?” Tiba-tiba kak El bersuara. “Iya kak. Emangnya kenapa ?” “Ternyata lo cukup terkenal juga ya di smk Cendikia, ya walaupun lebih terkenal gue tapi.” “Bodo. Yuk guys, kita masuk ke sekolah aja. Males gue lama-lama disini.” “Rat, kalo lo gak mau sama kak Niel, buat gue aja deh ya.” Ucap Linda. “Ambil sono.” “Eh, buat gue aja ya Rat jangan kasih Linda.” Ucap Ratih. “Aduh kalian ini, bisa gak sih jangan kegatelan kek gitu. Kalian semua kan udah punya pacar jaga perasaan pacar kalian dong.” “Kita semua single.” Ucap mereka serempak. “Kecuali gue.” Ucap Itha langsung. “Kata-kata lo bijak amet.” Kak El bicara lagi tapi gue hiraukan dan memilih berjalan menuju sekolah unuk melihat anak-anak main basket. @@@@@ Jam menunjukkan 06.18 pm yang artinya latihan anak basket selesai dan ini menjelang senja. Mati aku, bakalan dimarahin abis-abisan nih sama mama papa. “Eh Rat, udah mau magrib nih, gue anterin lo pulang ya.” Ucap Ridho sambil menyeka keringat yang masih bercucuran di wajahnya. “Gak usah deh Dho. Gue bisa sendiri kok.” “Lo sendirian kan. Lo bawa motor kan. Bahaya tau kalo perempuan naik motor terus jalan sendirian saat jam segini.” “Gak apa-apa lah. Gue berani kok.” “Ah elo, terlalu belagu. Dalam hati pasti takut tuh.” Tiba-tiba ka El datang. “pa’an lo kak, ikut campur urusan orang aja.” “Suka-suka gue dong.” “Terserah apa kata lo deh kak. Gue duluan ya Dho.” Aku berjalan meninggalkan Ridho dan kak El di belakang. Temen-temen aku ? mereka udah kabur semuanya dan ninggalin aku. Jahat memang. Tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan aku terseret ke depan. “Eh eh eh, apa-apaan lo kak, lepasin tangan gue.” Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya, tapi nihil dia terlalu kuat. “Kak, lepasin !!!” Dan kak El-pun melepaskan genggamannya. “Gue anter lo pulang.” “Gak usah kak. Makasih. Gue bisa sendiri kok.” “Iya, gue tau lo bisa sendiri secara lo Ratna Junia. Tapi tetep aja lo itu cewek, dan gue sebagai cowok harus bisa jagain lo sebagai cewek.” Aku melongo. Bukan melongo gara-gara ucapannya tadi, tapi aku melongo gara-gara kak El tau nama aku ralat, nama lengkap aku. Setahuku, aku belum ngasih tau nama lengkap aku ke dia. “Kak El kok tau nama gue ?” “Ya iyalah gue tau. Kelas lo kan punya akun instagram 'a accounting'. Ya gue buka aja disitu. Dan nyari foto lo dan pas banget di caption nya ditulis biodata masing-masing anggota, jadi gue bisa tau nama lo.” “Ciee yang nge-stalk gue ciee.” “Kalo gue nge-stalk elo emangnya kenapa ?” “Ya gapapa sih. Tapi aneh aja. Orang yang ngakunya populer di sekolah elit ini, bisa nge-stalk orang. Biasanya jua di stalk orang.” “Tau ah bodo. Cepetan nyalain motor lo. Gue akan ngikutin lo dari belakang.” Dan akupun menyalakan motorku dan menjalankannya, disusul oleh kak El. Kak El benar-benar mengantarkanku sampai pulang kerumah. Dia juga meminta maaf kepada orang tuaku gara-gara aku pulang terlambat. Dia juga sholat dirumahku dan kami berbincang-bincang sedikit, kemudian dia berpamitan pulang dengan orang tuaku. Dan aku sudah mempunyai niatan, khusus malam ini, aku mau nge-stalk dia. Jadi stalker sekali-kali tak apalah hihihi. @@@@@ Kelas Setelah kejadian kak El mengantarkanku pulang, kami berdua semakin akrab. entah kenapa aku jadi suka sama kak El. Sikapnya selalu membuat aku tidak merasakan bosan dan selalu ingin tersenyum setelah bertemu dengannya. Entahlah, kebahagiaan ku saat bersamanya tidak bisa diukur dengan apapun, oke mungkin itu terlalu berlebihan. “Ciee ciee, ngelamun aja lo. Kesambet entar baru tau rasa.” Dan orang yang sering menggodaku ini tidak lain dan tidak bukan adalah Rissa. Ya, dia selalu begitu disaat aku sedang ngelamun atau apapun lah itu. Mmm oiya, kami semua sudah selesai magang dan kami kembali beraktivitas seperti murid-murid pada umumnya. Dan sekarang aku sedang ada di kelasku dan berada di tempat ternyamanku a.k.a bangkuku. “Ih elo Ris, ganggu gue aja. Ancur kan khayalan gue gara-gara lo.” “Ngayal apaan sih.” “Pengen tau aja lo urusan orang. Kepo lo.” “Emang gue kepo, baru tau ya lo, kasian banget sih.” “Gue udah tau kelesss.” Dan tiba-tiba, temen-temen absurd aku yang lain masuk ke dalam kelas dan mengerumbungi mejaku. Aduh, berasa jadi gula kalo kayak gini hihihi…. “Ngapain kalian pada ngumpul disini ? udah puas kalian cuci mata liat-liat adek kelas yang ganteng-ganteng diluar sana ?” Ucapku. “Ini lebih penting dari pada liatin adek kelas.” Ucap Ratih. “Apaan apaan.” Dan ini keponya Rissa. “Kak Niel otw kesini.” Ucap Linda. Setelah Linda berucap seperti itu, kak El mucul dari depan pintu dan berteriak. “RATNAAAAA, KAK EL COMING.” Ka El berteriak dengan lantangnya sehingga membuat semua pasang mata yang ada dikelasku langsung melihat kearah kak El, kemudian beralih melihatku. Akupun langsung melempar buku yang ada diatas mejaku mengenai kak El. “Berisik lo kak.” “Eh eh eh, bukannya disambut dengan senyuman malah ditabok pake buku.” Ucap kak El. “RATNAAAAA, buku gue itu. Sialan banget sih lo.” Rissa yang notabennya pemilik buku yang tadi ku lempar kearah kak El langsung berdiri dan mengambil buku tersebut. “Lah, siapa suruh lo naroh buku diatas meja gue ya gue manfaatin lah.” “Ratna emang gitu Ris, jahat. Dia aja nabok gue tadi. lo liat kan tadi.” Cibir kak El. “Iya kak, Ratna emang jahat.” Dan terjadilah rumpi antara Rissa dan kak El. “Kalian kalo ngomongin gue awas aja ya, gue mutilasi kalian berdua.” Ucapku mengancam keduanya. Ya, hanya mengancam. Aku mana berani memutilasi anak orang. Bisa-bisa aku masuk penjara dan membusuk disana. “Ampun bu ampun.” Ucap mereka berdua. Kompak amat. “Lo juga kak, ngapain sih kesini ?” “Aduh, gue sampe lupa tujuan gue kesini mo ngapain, hehehe.” Kemudian kak El nyamperin aku dan melanjutkan bicaranya. “Ehm, jadi gini, nanti setelah istirahat kedua kan guru-guru ada rapat nih, mungkin sampai jam terakhir rapatnya, jadi lo nanti samperin gue ya ketaman belakang.” “InsyaAllah kalo gue inget.” “harus inget dong, entar gue sms lo, gue BBM lo, gue Line lo, gue tel-” “Ya ya, teror aja gue terus kak sampe gue mati muda gara-gara stress diteror lo mulu.” “Biarin, yang penting lo bisa inget dan datang nyamperin gue kesana.” “Ape lo kate deh kak. Mending lo sekarang keluar aja dari kelas gue udah lonceng tuh.” “Okedeh, bye bye babi.” “Iye anjing.” “Kok anjing sih ?” “Kakak kenapa ngatain aku babi ?” “Kan babi itu panggilan sayang dalam bahasa Inggris.” “Itu baby kaaaaaaak. Tau ah sono-sono pergi.” “Ciee ngambek ciee. Gemes deh.” Dan kak El-pun langsung ngacir keluar kelasku setelah tadi dia sempat mencubit pipiku. Kesel sih, tapi ini yang membuat aku gak bosanan sama dia. “Ciee yang senyum-senyum sendiri.” “Ciee yang pipinya merona.” “Ciee yang salting.” Dan temen-temenku mulai menggodaku. “Cii…” “Udah lah ya, duduk ketempat masing-masing sono, bentar lagi guru mau masuk.” Seakan terhipnotis, mereka semua duduk ke tempat masing-masing dan mengeluarkan buku pelajaran. Akupun melakukan hal yang sama seperti mereka. Setelah itu guru yang mengajar di jam pertamapun masuk dan kami memulai aktivitas belajar mengajar seperti biasanya. @@@@@ Bel istirahat keduapun akhirnya berbunyi. Aku sudah menantikan ini daritadi karena saat lonceng masuk nanti, aku akan ketaman dan bertemu dengan kak El. Uhh senangnya, oke ini terlalu lebay. “Ratna, temenin gue ke koperasi yok. Gue tiba-tiba laper nih.” Ucap Itha. “Nyoks.” Aku berdiri dari tempat dudukku dan berbalik kebelakang. “Eh, kalian mau ikut gak kekoperasi, nanti kalonya lonceng masuk udah bunyi, kita langsung ketaman aja, gak usah kekelas lagi.” Ucapku mengajak teman-temanku yang lainnya. “Ikut ikut ikut.” Ucap mereka kompak. Dan kami bersembilan-pun keluar dari kelas dan berjalan beriringan dikoridor menuju koperasi. Setelah sampai di koperasi, kami memesan makanan yang sesuai dengan selera kami masing-masing dan memakannya di tempat duduk yang sudah disediakan oleh pihak koperasi. Kami makan sambil bercanda tawa bersama. Inilah yang aku suka dari mereka. Walaupun mereka nyebelin akar kuadrat, tapi mereka bisa menciptakan suasana sehangat ini saat sedang ngumpul bareng. Biasanya kalo aku dengan teman yang lain (tidak termasuk sahabatku yang berdelapan ini), pasti mereka asik dengan handphone mereka masing-masing, entah itu main sosial media, BBMan, sms-an, dan sodara-sodaranya yang lain. Aku sangat menyayangi sahabat-sahabatku ini, mereka ini the beast banget eh best maksudnya, hihihi… “Ratnaaaaaa, cepetan makanannya di abisin. Entar keburu lonceng masuk.” “Tau lo. Ngelamun mulu kerjaannya.” “Iya. Kesambet baru tau rasa.” “Kelamaan jones ya gini deh.” Dan inilah mereka, dibalik kehangatan yang mereka ciptakan, selalu ada ejekan dibaliknya. “Iye-iye. Bawel lo semua.” Dan akupun langsung memakan makanan yang sudah aku pesan tadi. Setelah kami semua selesai dengan makanan kami masing-masing, kami semua menyempatkan diri untuk bercanda tawa dengan riangnya sehingga pengunjung koperasi yang tidak terlalu banyak ini melihat ke arah kami. Beberapa menit kemudian, lonceng masuk berbunyi dan teman-temanku pada heboh semuanya. Tbc Jadian “Hey girls, kalian bisa tenang gak sih ? kok jadi heboh gini sih ? pusing nih guenya.” Aku menutup kedua telingaku untuk mengurangi kebisingan yang mereka buat. “Eh Rat, lo gak inget apa ? lo kan ada janji sama kak Niel ?” “Janji apaan ?” “ASTAGA RATNAAA, LO LUPA ?” Ucap mereka serempak teriak di depanku, otomatis kedua tanganku langsung menutupi kedua telingaku. Huhh refleks yang bagus, kalo enggak aku bisa budek gara-gara mereka. “Pa’an sih ? biasa aja keleus.” Aku berusaha acuh tak acuh dengan mereka. Toh aku beneran ngerasa gak ada janji sama kek El. “Aduh Ratnaaa.” “Lo harus ketaman sekarang.” “Kak Niel pasti udah lumutan.” “Kak Niel pasti udah lama nungguin lo.” “Lo harus cepetan kesana Ratna.” “Iya, kasian kak Niel nungguin lo.” “Jangan sampe kak Niel nunggu lebih lama lagi.” “Ratna cepetan doooong.” Huhh celotehan ke-8 teman-temanku udah kedenger semua, sekarang siap-siap tutup telinga. “RATNAAAAA, DENGER GAK SIH KITA NGOMONG ?” Tu kan, diteriaki lagi akunya. “Kalian ini kenapa sih ?” “Ih Ratna mah gitu. Belum juga tua udah pikun. Lo kan ada janji sama kak Niel untuk ketemuan di taman. Lo inget gak ?” Ucap Rissa mengingatkanku. Aku terdiam beberapa saat untuk mencerna maksud dari perkataan Rissa tadi. “Astaga, GUE LUPAAAAAAA…” Temen-temenku semua langsung memasang wajah datar. “Baru nyadar deh dianya.” “Baru heboh sendiri deh.” Ucap annissa dan Dina. “Dududuh gimana nih ?” “Ya disamperin kak Nielnya sono Ratna ku sayang.” Ucap Itha memasang wajah imut yang dibuat-buatnya. “Oke oke. Tapi kalian semua harus ikut oke.” “Tap-” “Gak ada tapi-tapian come on girls.” Aku berjalan menarik tangan Annissa dan Rissa dan yang lainnya mengikuti dari belakang. Setelah jarakku tinggal lima langkah lagi menuju gerbang taman, aku menarik napas dalam-dalam dan memantapkan langkahku untuk masuk ke taman. Saat aku sampai di depan gerbang, ada seorang siswa yang memberiku surat. “Apaan isinya Rat ?” Ucap Itha. “Mana gue tau.” “Buka dong, gue penasaran nih.” Ucap Jeni. “Iye-iye.” Dan kubuka surat tersebut dan membacakannya supaya teman-temanku mendengar semua. “Hei Rat, lo inget gak tempat ini ? disini adalah tempat kita pertama kali bertemu. Lo inget gak, lo nabrak gue dan buku-buku lo jatoh ke tanah ? dari kejadian itu gue suka liat lo. Dari kejadian itu juga, gue rela jadi stalker, padahal gue belum pernah ngestalk orang, hehe… D” Pipiku memanas setelah membacakan isi dari surat itu. “Ciee yang dapet surat.” “Ciee yang blushing.” “Udah ah udah, kalian ini kenapa sih ? ayo kita lanjut jalan.” Setelah kami maju beberapa langkah ada seorang murid lagi ngasih kertas ke aku. “Ke Babahon ya. Tempat favorit lo. D” Aku mempercepat langkahku untuk segera sampai ke babahon. Setelah tiba disana, aku melihat kak El berdiri di bawah pohon. “Emm, hai kak maaf telat.” “Gak telat kok. Ehm, jadi gini...” Kak El berhenti ngomong dan membuatku penasaran tingkat dewa. *Lebay mode on. “Gini apa kak ?” “Bentar dulu Rat, aku mau ngerangkai kata dulu.” Pipiku panas setelah mendengar ucapan kak El barusan. Dia ngomong ke aku pake aksen aku gak pake gue, duh melayang nih akunya. Tiba-tiba ada yang menoel pipi kananku, aku menengok ke sebelah kanan. Ternyata Linda. “Pa’an Lin ?” “Lo blushing Rat.” “hah ???” Aku langsung menutupi pipiku dan tunduk. Aku gak mau keliatan kak El kalo aku sedang blushing gara-gara dia. Entar dianya kepedean lagi. “Emm jadi gini Rat,” Aku mendongak dan menatap kak El. Dan kak El-pun melanjutkan ucapannya. “Kamu pasti udah tau kan, aku ini jadi stalker kamu. Aku juga mencari tau semua yang kamu suka dan yang tidak kamu sukai. Aku bisa jadi gini karena aku suka sama gaya kamu. Kamu itu orangnya susah di tebak, yang pertama kali aku ngira kamu itu seperti kekanak-kanakan, ternyata kamu ada sisi dewasanya. Yang aku kira kamu itu orangnya cuek, ternyata kamu ada sisi care-nya. Kamu itu sangat perhatian sama sahabat-sahabat kamu, meski mereka tidak mengetahui itu, tapi kamu tetap menyayangi mereka. Aku salut sama kamu, belum pernah aku menemukan perempuan seperti kamu. Hanya satu perempuan istimewa yang ada di hatiku, yaitu kamu.” Wow, kak El ternyata tau banyak tentang aku. Stalker yang hebat. Aku aja gak bisa tau sampai dalam tentang kak El. Applause deh buat kek El. Prokprokprok. “Jadi Ratna Junia…” Kak El stop di kata-kata itu dan tiba-tiba banyak siswa yang mengelilingi kami dan memegang masing-masing satu huruf, dan akupun mengejanya. “W-I-L-L Y-O-U B-E M-Y G-I-R-L-F-R-I-E-N-D. Will you be my girlfriend.” Aku melongo setelah mengeja dan membaca huruf yang di pegang oleh siswa-siswi yang mengelilingi kami. “Ratna Junia, Will you be my girlfriend ?” Ucap kak El dan menyodorkan bunga matahari yang daritadi dipegang dan disimpannya di balik badannya, bunga kesukaanku tuh, tau banget siiih. “Mmm….” Aku melihat kearah sahabat-sahabatku, mereka semua mengangguk. “Yes.” Setelah aku mengucapkan kata tersebut, aku mengambil bunga matahari di tangan ka El dan tersenyum kearahnya. “Terimakasih Rat. Aku seneng banget kamu mau nerima aku.” “Iya, Ratna juga seneng kak.” Aku senyum senang ke arah kak El dan beralih ke sahabat-sahabatku. Mereka semua tersenyum kearahku dan semuanya memelukku. “Akhirnya Ratna gak jomblo lagi.” “Dan akhirnya kita makan gratis malam ini.” Ucap Linda dan Jeni. Akupun langsung melepas pelukan mereka. “Kalian ih, temen lagi seneng malah di porotin.” “Hahahaha becanda Ratnaaaa.” Dan kamipun tertawa bersama hingga aku melihat sosok Ridho, orang yang telah lama tidak aku temui. “Ridho.” Karena Ridho menyadari aku melihatnya, dia pergi dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. “Ridho tunggu, berhenti.” Aku berteriak tapi Ridho mengacuhkanku. “Kenapa Rat ?” Tanya Rissa. “Gini Ris, tadi Ridho ada di sana dan melihat kearahku, dia melihatku dengan tatapan…..entahlah, aku gak bisa mengartikannya.” Aku panik, gak tau mau ngapain. Tiba-tiba kak El menghampiriku. “Sudahlah, jangan kamu pikirin Ridho, kan ada kak El. Lagian kita kan baru jadian, seharusnya Ratna sedang bersenang-senang. Kita makan-makan yuk.” Ucap kak El. “Ayo kak ayo.” Ucap sahabat-sahabatku. Aku hanya tersenyum kaku dan mengikuti arah mereka pergi. Kenapa aku merasa sedih saat Ridho mengacuhkanku tadi ? aku, aku, ahh tau lah. Perasaanku sekarang tidak ada senang-senangnya, aku sedih. Aku merasa hampa kalau tidak ada Ridho. Entahlah, mungkin aku sudah terlalu akrab dengan dia, jadi aku meraskan hampa saat dia tidak ada di sampingku. Aku melihat kearah sahabat-sahabatku yang tertawa lepas, dan melihat kearah kak El yang senyum-senyum sendiri. Mereka semua terlihat bahagia, tapi kenapa aku seperti ini ? ahh aku gak tau harus bilang apa saat ini. Aku senang, aku senang bisa jadian sama kak El, tapi ada rasa yang janggal di hatiku dan akupun gak tau itu rasa apa. @@@@@ Description: Blurb : Aku Ratna. Salah satu siswi SMK Cendikia yang memiliki kisah rumit di dalam ruang lingkup sekolah, menurutku. Kata orang-orang, di masa SMK itu hanya ada cerita tentang persahabatan. Siapa yang bilang? Aku mendapatkan keduanya, yaitu tentang persahabatan dan cinta. Keduanya balance. Disaat kisah cintaku kandas, sahabatku selalu merangkulku. Dan ketika persahabatanku retak, sebuah cinta dapat menyatukan kami kembali. Tapi apa jadinya kalau kamu harus berpisah dengan sahabat yang paling kamu sayang hanya karena cintamu kepada seseorang yang tidak terlalu mencintaimu? Haha itu adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tapi siapa yang bisa menyangka kalau hal bodoh itu dapat mempertemukanku kepada cinta sejatiku. -----**----- 《《 Nama Lengkap : Maulidatul Hasanah Media Sosial : IG ; maulidhasanah 》》 Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerita teenlit #HappyGirl2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku. #HappyGirl #KompetisiStorial #CeritainAja #Teenlit
Title: Ratapan Harian Anak Kost Category: Horor Text: Chapter 1 The Orientation Di dalam sebuah ruangan yang dingin, nampak dua orang pria sedang bebincang serius. Mereka nampaknya tidak terganggu sama sekali dengan kondisi ruangan tersebut. Mereka berdiri di antara sebuah peti yang terlihat mahal. Warna coklat yang sudah di pernis dan juga ukiran-ukiran indah melengkapi peti tersebut. Sumber penerangan yang hanya terdapat di atas peti tersebut. Seisi ruangan gelap gulita, sosok kedua pria itu pun hampir tenggelam di dalam kegelapan. "Sudah berapa persen proses persiapannya?" tanya pria yang nampak lebih tua. "Semua berjalan lancar tuan. Tidak lama lagi penerimaan mahasiswa baru akan dibuka," jawab pria yang lebih muda. "Kau yakin tidak ada yang terlupakan?" tatapannya tajam menatap pemuda itu. "Sangat yakin tuan. Saya sendiri yang mengawasi semua persiapannya. Semua dosen, staff, petugas kebersihan, keamanan sudah kita pastikan dalam kendali kita." Matanya terlihat meyakinan sang tuan yang nampak ragu dengan kinerja pemuda tersebut. "Hmmmm, baiklah kalau begitu. Tapi ingat, bila sampai ada sedikit saja masalah yang terdengar di telingaku, kau tamat. Mengerti!" tegas sang tuan. Pemuda itu hanya mengangguk sembari sang tuan beranjak pergi dan menghilang dalam kegelapan. Kepalanya tertunduk sambil tangannya di peti untuk menopang tubuhnya. Terlihat begitu berat beban yang dibawa pemuda itu. Dia mencoba mengangkat kepalanya dan menegakkan tubuhnya. Hela nafas diikuti langkah menuju kegelapan, meninggalkan peti mati tersebut di tengah kegelapan yang dingin. ~ Hari Orientasi Kawasan parkir, lapangan dan taman kampus dipenuhi mahasiswa baru yang sedang menunggu mulainya MOS[1] mahasiswa baru. Sekitar 200 mahasiswa baru mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, rok hitam untuk wanita. Ini merupakan angkatan pertama di kampus ini. Terdapat 3 jurusan dengan kurang lebih 80-90 mahasiswa di setiap jurusan. Hari ini semua mahasiswa akan dikenalkan dengan seluruh staff dan dosen yang bertugas di kampus. Saat pintu kampus dibuka nampak seorang staff kampus mengenakan pakaian yang sangat rapih, mengenakan kacamata, rambut disisir klimis dan nampak gugup. Dia membawa megafon[2] yang nampaknya akan digunakan untuk mengumumkan sesuatu. Dengan tangan gemetar dia mengangkat megafon tersebut dan mencoba untuk berbicara. "Per..permi..permisi," ucapnya gugup melalui megafon. "Permisi..ehm..permisi untuk mahasiwa baru tolong diam sejenak," ucapnya lagi dengan ragu. Tak ada seorang mahasiswa pun yang memperdulikannya. Dia nampak semakin gugup dan bingung. Tapi dia harus menjalankan tugasnya. "Ehm.. PERHATIAN KEPADA SEMUA MAHASISWA DIMOHON UNTUK BERBARIS DAN MASUK KEGEDUNG KAMPUS DAN NAIK KE LANTAI 3. ORIENTASI AKAN DIMULAI SEBENTAR LAGI DI DALAM AULA KAMPUS!" teriak staff tersebut sambil memejamkan mata. Seketika semua nampak sunyi, seluruh mahasiswa terdiam dan tatapan tertuju ke staff tadi. Sebagian dari mahasiswa pun mulai membentuk barisan, beberapa menunggu dengan santai. Barisan pun mulai panjang, mahasiswa pun mulai dipersilahkan masuk. Staff tadi memimpin di depan untuk menunjukkan jalan menuju aula kampus. Lantai demi lantai dilewati, suara derap kaki 200 lebih mahasiswa seperti menggetarkan gedung kampus. Saat tiba di depan pintu aula kampus staff tadi meminta seluruh mahasiswa untuk masuk ke dalam aula dengan teratur. Seluruh mahasiswa pun mulai memasuki aula, seketika pun aula penuh sesak oleh seluruh mahasiswa. Seluruh mahasiswa berdiri menatap ke bagian depan aula. Kemudian masuklah seorang pria tua mengenakan jas rapih dengan tampilan yang sangat necis[3]. Pria tersebut berdiri di podium dan mulai berbicara. "Selamat datang seluruh mahasiswa baru angkatan pertama di kampus tercinta kita ini. Saya sangat berharap kalian dapat menjadi bibit-bibit baru untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa kita. Dan tentu saja saya sangat berharap kalian dapat membanggakan kampus tercinta kita ini. Mungkin sekian pembukaan dari saya, acara akan dilanjutkan dengan pemutaran video perkenalan kampus." Dengan tatapan dingin ke seluruh mahasiswa dan seringai kecil terlihat di bibirnya, pria tua itu pun meninggalkan aula dan membiarkan seluruh mahasiswa kebingungan dengan maksud tatapannya. Aula tiba-tiba menjadi gelap, proyektor pun menyorotkan layar yang terletak di bagian depan podium. Seluruh pintu aula ditutup, udara dingin dari AC pun terperangkap didalam aula. Seluruh mata mahasiswa terbelalak menatap layar, entah apa yang mereka lihat. Diwaktu yang sama, di luar kampus "Ngosh..ngosh.. duh kok bisa bangun kesiangan gini sih," ucap seorang gadis sambil berlari. "Padahal ini hari pertama orientasi, aku malah datang telat, mudah"an acaranya blum mulai dan mudah-mudahan aku gak kena hukuman," harap gadis itu. Gadis itu terus berlari mengitari kampus menuju gerbang masuk kampus. Kampus ini memang cukup luas, dulunya tanah di sini merupakan tanah kosong yang tidak terpakai. Disekitar kampus terdapat sawah-sawah milih penduduk sekitar, ya memang kampus ini terletak di daerah yang agak terpencil. Tapi dengan fasilitas perkuliahan yang mewah dan memadai, tidak sulit bagi kampus ini untuk mengumpulkan mahasiswa baru. Setelah tiba di depan gerbang, gadis itu sadar kalau acara orientasi sudah di mulai. Dia mencoba bertanya ke bagian keamanan dimana acaranya diadakan. Tapi ruang keamanan kosong, tidak ada seorang pun di sana. Dia pun kembali berlari dan langsung masuk ke dalam kampus menuju meja informasi. Tapi lagi-lagi disana tidak ada siapa-siapa. Dia coba berkeliling kampus dan mencoba setiap ruangan yang ada. Staff, dosen, kebersihan, dapur, kantin, bahkan toilet tapi tidak ditemukan siapapun di sana. Benaknya bertanya-tanya, kemana semua orang pergi? Kenapa kampus ini kosong di hari pertama? Apa mungkin karena masih hari pertama jadi kampus belum berjalan dengan optimal. Tapi itu tidak masuk akal, paling tidak bagian kebersihan sudah harus ada. Sambil ditemani oleh kebingungan gadis itu mencoba untuk naik ke lantai 2, tapi yang dia temukan masih saja sama. Nihil. Tapi gadis itu masih penasaran, dia yakin hari ini merupakan hari orientasi dan tidak mungkin kampus kosong seperti ini. Dengan sedikit keyakinan dia melanjutkan percariannya ke lantai 3. Beberapa ruangan di lantai 3 kosong, tapi dia menemukan sebuah pintu yang lebih besar dari ruangan lain. "Aula! Pasti di sini kegiatan orientasinya diadakan," yakin gadis itu. Tanpa pikir panjang dia pun segera menuju pintu tersebut, mengesampingkan rasa bingung yang ada di benaknya akan kekosongan di kampus tersebut. Dia memegang gagang pintu aula tersebut, dengan perlahan dia membukanya. Dia tidak mau membuat semua orang menatapnya ketika dia membuka pintu tersebut, tentu saja akan sangat memalukan menjadi orang yang terlambat pada hari pertama kuliah. Pintu mulai terbuka sedikit, gadis itu berhenti, dia berfikir mungkin sebaiknya dia mengintip terlebih dahulu. Perlahan dia mencoba melihat kedalam aula, ruangan itu gelap, sangat gelap. Dia dapat merasakan udara dingin keluar dari dalam aula, suhu pada AC-nya pasti rendah sekali. Mata gadis itu perlahan mulai terbiasa dengan kegelapan itu, dia mulai dapat melihat samar-samar sosok manusia. Banyak orang di dalam aula, tapi hanya ada kesunyian. Hampir tak ada suara selain suara AC. Tapi gadis itu dikejutkan dengan apa yang dia lihat. Para mahasiswa yang berdiri dibagian paling depan podium terlihat jelas karena pantulan cahaya dari proyektor. Tapi bukan itu yang membuatnya kaget. Justru apa yang terjadi pada para mahasiswa tersebut. Mata mereka terbelalak dengan mulut terbuka. Bola mata mereka menatap lurus kedepan, tepat arah sorot proyektor. Tapi bukan itu saja, seluruh mahasiswa itu pun dalam kondiri telanjang bulat. Tak satupun dari mereka yang mengenakan pakaian. Seluruh pakaian mereka dilepaskan dan diletakkan dibawah kaki mereka. Mereka pun hanya berdiam dan tetap menatap lurus ke arah proyektor sambil mulut mereka terbuka. Benak sang gadis pun tahu kalau ini bukan hal yang normal. Tapi dia tidak tahu harus apa, merinding kini menyelimuti tubuhnya, rasa takut cemas mulai merasukinya. Dengan gemetaran dan berat kakinya coba melangkah menjauhi aula. Perlahan demi perlahan hingga kakinya mampu berlari sangat kencang. Gadis itu berlari meninggalkan kampus, menuju kearah perumahan penduduk. Suasana normal kembali terlihat di sana, tapi di benak gadis itu dia hanya ingin sampai di kostannya segera. Dia tidak berfikir untuk mencertiakan apa yang dia lihat di kampus ke siapa pun. Tidak ada yang dia kenal disana, baru beberapa hari dia memulai kehidupannya disini. Setibanya ia di kostnya, dia segara membuka pintu kostnya. Masuk lalu segera mengunci pintu kamarnya. Di rebahkan tubuhnya di atas kasur, ditarik selimut dan menutupi seluruh tubuh. Dia memejamkan mata, dengan tubuhnya yang masih gemetaran dia hanya berharap apa yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Hingga kantuk mulai membelainya dan dia pun tertidur. [1] Masa Orientasi Siswa - kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan para peserta didik baru dengan tujuan memperkenalkan siswa pada lingkungan sekolah yang baru mereka masuki. [2] Alat pengeras suara [3] Bersih dan rapi Chapter 2 The Girl Cahaya pagi mulai mengintip dari celah-celah gorden dan membelai lembut wajah sang gadis. Sang gadis mulai terbangun dan hanya terdiam. Dirinya menatap langit-langit kamar kost nya, meyakinkan dirinya bahwa yang dialaminya kemarin hanyalah mimpi. Dia menutup mata kemudian menghela nafas, sembari berdiri dan menuju kamar mandi. Usai membersihkan tubuhnya, sang gadis bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia belum mendapatkan info apa-apa soal perkuliahan hari ini. Dikarenakan kemarin dia terlalu takut untuk mengikuti kegiatan tersebut. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai seragam dan membawa beberapa buku kosong ke kampus. Dengan langkah pasti dia pun berjalan menuju kampus. Berusaha untuk tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya dia berjalan dengan cepatnya. Langkahnya terhenti, dia menoleh ke kanan dan teringat akan sesuatu. Dia menghampiri sebuah warung dan membeli 1 botol air mineral dan 1 roti kemasan. Sambal berjalan dia pun memakan roti itu. Sesampai di depan gerbang kampus dia membuka botol air mineralnya dan mulai meneguknya perlahan. Dia pun kemudian masuk kedalam kampus. “Permisi, ee.. saya mau tanya, apa saya bisa dapat informasi jadwal kuliah saya disini?,” tanya gadis itu kepada bagian informasi kemahasiswaan di kampus. “Kalo boleh tahu kemarin memangnya kamu tidak ikut orientasi? Seharusnya semua siswa sudah dibagikan kelas dan mendapatkan jadwalnya,” jawab petugas informasi. “Ee.. saya ikut, tapi di tengah kegiatan saya jatuh sakit, dan saya ijin pulang lebih dulu,” jelas gadis itu. “Hmmmm, berarti kamu tidak mengikuti seluruh sesi kegiatan orientasi?,” tanya petugas. “Iya,”, jawab gadis itu. “Baiklah, nanti sore usai semua kegiatan perkuliahan tolong kamu menghadap bagian Kemahasiswaan di lantai 2,” kata petugas. “O..oke,” balas sang gadis. “Oke sekarang saya bantu kamu dengan kelas dan jadwal kuliahmu, coba sebutkan namamu!,” ucap petugas. “Na..nama saya Karunia Senja, panggilan Senja,” jawab gadis itu. Petugas itu kemudian mulai mengetik dan alat print di sampingnya mulai bekerja. Lalu petugas itu memberikan selembar kerja kepada Senja, Dia melihat kertas tersebut dan terkejut karena saat ini ada jam kuliah yang harus dihadirinya. Senja pun langsung bergegas tapi langkahnya terhenti dan kembali menoleh kearah petugas tadi. “Terima kasih,” ucap senja. Petugas itu hanya diam dan menatap layar komputernya. Senja pun tidak terlalu memperdulikannya. Dia berlari berusaha mencari kelasnya. Dia melihat setiap pintu yang ada di kampus, sampai dia berhenti di sebuah pintu. Dia mengintip kedalam ternyata perkuliahan sudah dimulai. Senja pun memberanikan diri untuk masuk. “Tok..tok..tok” “Permisi pak, maaf saya terlambat,” kata senja. Dosen yang ada di kelas itu hanya diam, begitu pula seisi kelas. Karena dirasa tidak ada masalah senja pun mengambil tempat duduk kosong yang ada di belakang. Dia mengeluarkan salah satu buku kosong nya. Semua mahasiswa duduk diam menatap sebuah buku di meja mereka. Senja menengok ke papan tulis yang ada di depan. “AMBIL BUKU DI DEPAN DAN BACA BAB 1 LALU KERJAKAN LATIHAN SOAL, PERTEMUAN BERIKUTNYA AKAN DIEVALUASI” Senja beranjak dari kursi nya dan berjalan ke depan dan mengambil sebuah buku dari meja Dosen. Dosen itu nampaknya tidak memberikan respon apa-apa kepada senja. Dia kembali ke kursinya dan mulai membaca Bab 1. ……. Dosen berdiri dan beranjak pergi dari mejanya. Setelah dosen keluar dari kelasnya, para mahasiswa pun mengikuti keluar dari kelas dengan sangat rapih. Mereka seperti robot yang diprogram. Senja mencoba menyapa salah seorang mahasiswa tapi nampaknya dia tidak mendengarkan. Senja pun tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Masih ada beberapa mata kuliah yang harus diikutinya hari ini. Tapi entah kenapa dirinya merasa sangat lelah. Bukan karena pelajarannya, tapi suasana yang dirasakan Senja agak memberikan tekanan pada dirinya. Dia hanya berharap hari ini cepat berakhir. ……. Perkuliah pun berakhir. Semua mahasiswa mulai keluar kejalanan dan kembali ke tempat mereka tinggal. Semua mahasiswa berjalan dengan rapihnya, nampak seperti sekumpulan semut yang akan pergi keluar dari sarangnnya. Tidak ada yang saling bertubrukan bahkan bersenggolan saja seperti hal yang tidak mungkin terjadi. Senja hanya menatap dari pojok lobi kampus melihat keanehan itu. Entah memang kampus ini sangat disiplin atau semua mahasiswa di sini sudah di cuci otak. Senja menggelangkan kepalanya berusaha menghilangkan fantasi itu dari pikirannya. Saat kondisi pintu keluar di kampus sudah agak renggang Senja pun mencoba untuk masuk ke dalam barisan untuk keluar. Tapi langkahnya terhenti karena dia ingat harus menghadap bagian Kemahasiswaan di akhir perkuliahan. Senja pun mulai menerobos barisan tersebut. Membuat susunan rapih itu jadi berantakan. Tapi semua mahasiswa nampaknya tidak memperdulikannya dan kembali memposisikan diri mereka. Setiba di lantai 2 senja berjalan pelan sambal melihat-lihat nama yang ada di setiap pintu. Nampaknya lantai 2 merupakan tempat para dosen dan juga administrasi. Dia kesulitan menemukan bagian Kemahasiswaan, hingga dia menemukan sebuah pintu yang terbuka dan terdengar ada orang yang sedang berbicara. Senja bermaksud bertanya tapi niatnya terhenti ketika mendengar apa yang dibicarakan orang di dalam ruangan tersebut. “Nampaknya ada 1 mahasiswi yang tidak ikut upacara akhir di aula pada saat orientasi kemarin. Apakah itu akan jadi masalah?,” tanya seorang pria. “Hmm harusnya tidak akan jadi masalah. Kita bisa lakukan upacara untuk dirinya sendiri. Kalo dirinya menolak kita terpaksa memasukkan ‘Itu’ kedalam tubuhnya. Hitung-hitung sebagai bahan percobaan, siapa yang tahu kalo tubuhnya cocok,” ucap seorang wanita. “Baiklah, nanti saya akan berbicara padanya bila dia sudah datang. Harusnya sebentar lagi. Saya akan kembali ke ruangan saya dulu kalo begitu,” ucap pria itu sambil beranjak pergi. Senja sudah berada di sisi lain dari ruangan tersebut saat pria itu keluar. Jantungnya bedegup sangat kencang. Kepalanya berasa akan pecah memikirkan apa yang tadi didengarnya. Apa maksud mereka dengan upacara untuk dirinya sendiri? Apa yang akan dimasukkan kedalam tubuhnya bila dirinya menolak? Sebagian dari jiwanya seperti hilang membuat tubuhnya lemas terduduk di lantai. Dia hendak menangis tapi dia terlalu takut ada yang mendengarnya. Dikuatkan kaki-kakinya, perlahan Senja mulai berdiri dan melangkah dengan normal meninggalkan lantai 2. Seketika saat dia melewati gerbang kampus dirinya berlari secepat mungkin kembali menuju kostnya. Keramaian yang terasa palsu di sekitarnya semakin membuat dirinya ingin cepat kembali kedalam kamarnya. Tubuhnya letih, bukan karena berlari tapi karena beban pikiran yang ditanggungnya. Saat ini dia tidak berfikir dengan jernih. Semua bercampur aduk. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain menangis. Hingga malam pun mulai menyelimuti hari. Senja menghapus tangisnya. Diambil tasnya dan mulai diisi dengan pakaian dan semua barang-barangnya. Dirinya berencana untuk pergi di tempat terkutut ini. Setelah semua siap senja segera keluar dari kamarnya dan berlari pergi meninggalkan kostannya. Langkah kaki Senja terasa sangat berat tapi dia memaksakan dirinya untuk tetap berlari. Tidak sedetikanpun dia menoleh kebelakang dan menyesal dengan keputusannya. Kini senja berlari di depan kampusnya. Tepat saat dia melintasi gerbang kampus, sesosok tubuh terlihat diujung jalan dalam kampusnya. Langkahnya melambat, rasa penasaran dan takut menyelimuti dirinya. Senja tidak dapat melihat dengan jelas apa yang dilihatnya, karena gelapnya malam. Tapi satu hal yang dirasakannya, yaitu ancaman. Diambilnya langkah seribu meninggalkan sosok itu di tengah gelapnya malam. Tanpa melihat kebelakang Senja berusaha sesegara mungkin meninggalkan lingkungan kampus. Satu hal yang baru dirinya sadari, bukan hanya kampus tapi seluruh wilayah sekitar kampus nampak mati. Tidak ada suara selain langkah kakinya. Bahkan suara serangga malam pun tak terdengar. Ini benar-benar ane, tapi Senja tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut. Senja kini dapat melihat dengan jelas jalan raya yang terdapat di depannya. Dirinya menangis bahagia karena akhirnya dia dapat pergi dari tempat ini. Sungguh suasan yang berbeda di sisi jalanan. Keramaian terlihat dengan jelas walau Senja tidak sadar dia tidak dapat mendengar suara keraiaman tersebut. Satu langkah lagi Senja resmi keluar dari lingkungan kampus itu, tapi sialnya dirinya terjatuh dan tersungkur kejalanan. Senja menahan sakit dan memejamkan mata. Lalu perasaan senangnya terganti dengan rasa cemas, dia membuka mata dan menyadari dirinya tidak di jalanan. Dia terduduk di dalam aula kampus. Senja sangat bingung, semua hal semakin tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa harus dirinya? Semua pertanyaan berputar-putar di dalam kepalanya. Tapi dirinya kembali tersadar bahwa bukan saatnya untuk bingung. Dia harus keluar dari tempat ini. Senja perlahan keluar dari dalam aula, kembali ke lorong-lorong kampus. Dia mencoba untuk tidak membuat suara karena dia merasa dirinya tidak sendiri di dalam kampus. Benar saja, saat hendak menuruni tangga Senja melihat sesosok tangan sedang memengangi lengan tangga di lantai bawah. Senja panik, dia takut karena dia tidak tahu sosok apa itu. Aura mencekam menyelimuti sosok tersebut. Senja mencoba berfikir dengan cepat. Tidak mungkin dia dapat melalui sosok itu tanpa ketahuan. Dilihat nya sekeliling dan pandangan Senja tertuju pada ruangan perlengkapan kebersihan. Tanpa pikir panjang Senja langsung saja masuk ke dalam nya. Bau kain pel tidak lagi dihiraukannya. Dia berusaha untuk bernafas dengan lambat. Langkah kaki sosok itu terdengar dengan jelas. Senja semakin panik, sosok itu mendekatinya. Bayangan hitam dapat dilihatnya dari bagian bawah pintu. Senja berdoa dan berharap kalo sosok itu tidak menemukannya di situ. Perlahan sosok itu mulai menjauh, harapan Senja menjadi kenyataan. Tapi ini belum berakhir, Senja terduduk di lantai di antara sapu, pel, kemoceng dan berbagai alat kebersihan lainya. Dirinya sangat letih dan mengantuk. Disandarkan kepalanya ke tembok dan dirinya mulai memejamkan mata. Saat ini dia hanya ingin tidur menunggu pagi tiba. Berharap hari esok kan lebih baik. Chapter 3 You're not alone Sang fajar mulai menyelinap masuk melalui celah-celah tirai di jendela. Sesekali tanpa segan menyentuh wajah Senja dengan rasa hangat. Senja sudah kembali tidurnya, mencoba menangkap semua gambaran objek yang ada di sekitarnya. Sembari mengakses ingatan terakhirnya, mata senja perlahan mulai dapat melihat dengan jelas. Ruangan yang tak begitu gelap, cukup cerah malahan walau jendela tertutup tirai. Tidak ada suasan suram yang dirasakan Senja. Tapi saat ingatan dan penglihatannya mulai bertemu dalam otak, Senja sadar dia tak lagi di tempat yang sama ketika terakhir dia tertidur. Entah harus panik atau tidak, tapi Senja mencoba untuk tetap tenang. Tubuhnya masih utuh dan baik-baik saja, tak sehelai rambut pun yang hilang. Dia berada di Kasur putih empuk lengkap dengan bantal dan selimut yang nyaman. Tapi ini justru membuat Senja semakin bertanya-tanya. “Di mana aku? Kenapa aku bisa di sini? Siapa yang membawaku?”, semua pertanyaan itu yang terlintas dalam benak Senja. Dia belum mau bersuara, karena dia merasa saat dia sedang tertidur semua aman-aman saja, tapi bagaimana bila dia terbangun? Entah apa yang akan menantinya kelak. “Kau yakin dia bukan bagian dari mereka?”, terdengar suara dari balik tembok tempat Senja berbaring. “Sangat yakin, dia terlihat sangat ketakutan malam itu. Bayangan hitam itu pun tampaknya mengejar dia. Tidak mungkin dia bagian dari mereka. Mereka tidak memiliki rasa apapun.”, jelas suara lainnya. “Tapi ini dapat membahayakan kita semua. Bagaimana kalua dia Cuma jebakan untuk kita semua?”, ucap suara sebelumnya. “Sudah-sudah, lebih baik kita tunggu dia bangun dan mulai bertanya.”, ucap seorang wanita. Senja bingung dengan apa yang didengarnya, siapa yang mereka maksud dengan “mereka” dan “dia”. Apakah mereka membicarakan dirinya? Atau orang lain? Pikiran Senja masih penuh dengan tanda tanya sehingga dia sulit untuk mencerna hal-hal lain yang baru dia dengar. Dipikirannya sekarang adalah bagaimana kembali ke kostannya dan pergi dari tempat ini, segera mungkin! Tiba-tiba terdengar langkah kaki masuk ke tempat Senja berbaring. Dengan cepat Senja menutup matanya dan berpura-pura tidur kembali. Dalam hati dia berdoa semoga mereka tidak tahu kalau dia sudah bangun. Seseorang masuk kedalam ruangan tersebut dan membuka tirai di jendela sehingga sang surya kali ini benar-benar menyinari Senja. Sambil menahan cahaya matahari yang mengenai matanya, Senja mencoba mengintip. Terlihat seorang pria sedang berdiri menghadap keluar jendela, menatap horizon dan membiarkan matahari menyelimuti dirinya dengan kehangatan. Sang pria menghela nafas, Senja tidak dapat melihat dengan jelas sosok pria tersebut. Hanya bahunya yg terlihat jatuh lesu, agak bungkuk mengenakan sweater berwarna hijau daun dan celana bahan berwarna hitam. Nampak dia menggunakan kemeja putih di dalam sweater itu. Terlihat gagang kacamata menghiasi wajahnya, rambutnya disisir rapih kesamping, pipinya terlihat tirus dan lehernya terlihat cukup panjang dan kurus. Tapi mata sang pria terlihat penuh akan keyakinan walaupun Senja hanya melihat satu sisi saja. Pria itu berbalik, Senja kembali memejamkan mata. Dia masih belum tahu siapa dia dan apa yang dia inginkan darinya. Seusai pria itu pergi, Senja kembali berfikir tentang bagaimana dia harus keluar dari tempat itu. “Hey sebaiknya kita segera kembali, mereka akan bertanya dan curiga bila kita telat. Kalian tahu kan mereka semua disiplin dan terorganisir”, ucap seorang pria. Ucapan pria itu kemudian diikuti oleh langkah kaki beberapa orang dan mulai menjauh dari ruangan tempat Senja berbaring. Terdengar suara pintu tertutup dan terkunci dari luar. Senja bangun dan duduk di pinggiran tempat tidur. Dia kembali melihat sekeliling, menginvestigasi segala hal yang mungkin dapat memberikan informasi di mana dia berada. Semua serba putih, hanya tanda silang yang ada di sebuah kotak yang berwarna merah. Ruangan ini terlihat seperti ruangan kesehatan, ditambah bau alkohol yang cukup kuat. Yak tidak salah lagi, dia di ruang kesehatan. “Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apa mereka akan membedahku?”. Pikiran Senja kembali dipenuhi dengan pertanyaan. Tapi bukan itu yang harus dia lakukan sekarang. Dia harus mencari jalan keluar dari tempat itu. Senja beranjak dari tempat tidurnya, berjalan melewati tirai yang menjadi batas antar ruangnya dengan sebuah ruangan yang lebih besar dengan sofa dan meja. Tidak ada yang special, hanya beberapa ada beberapa ruangan lain yang ternyata sama dengan ruangan tempat Senja tertidur. Senja mencoba untuk membuka pintu keluar, tapi terkunci. Senja tidak kehabisan akal, dia kembali ke kamarnya tadi dan mencoba membuka jendela. Jalan keluar, akhirnya Senja melangkah keluar dari ruangan itu. Hari sudah mulai siang, mungkin pukul 10. Senja masih mengenakan pakaian kemarin, bau badannya pun sudah mulai tak enak, dia sangat ingin mandi. Perlahan senja mulai menjauh dari ruangan kesehatan tersebut. Melewati lorong panjang yang berakhir pada lapangan rumput. Bagian belakang kampus, di sanalah Senja berada sekarang. Senja mencoba mencari pintu akses untuk keluar dari kampus tanpa melewati gerbang depan. Untung saja terdapat pintu kecil di pagar belakang kampus. Karena tidak ada siapa-siapa di sana, tanpa pikir panjang Senja berjalan menuju pagar tersebut. Ya dia berjalan agar tidak terlihat mencurigakan, saat ini tidak ada hal yang bisa dia percayai. Perjalan singkat itu terasa sangat lama dalam benak Senja, entah karena tubuhnya yang belum benar-benar fit, atau pikirannya yang masih kalut dengan semua kejadian yang menimpanya. Tiba dirinya di kostan, suasana sepi. Tidak ada seorang pun disana, semuanya pergi kuliah pada waktu yang sama. Itu aneh, menurutnya. Tapi Senja tidak peduli, saat ini yang dia inginkan adalah mandi dan makan, dia sangat lapar. Setelah masuk kedalam kamarnya, dia segera membersihkan tubuhnya. Setelah itu Senja ingin mengisi perutnya dengan makanan. Tapi tidak ada apa-apa di kostannya. Stock indomie habis, air galon pun belum ia isi. Dan yang lebih parahnya dia belum ke ATM buat mengambil uang tunai. Ya semua hal yang terjadi padanya belakangan membuat hidupnya sudah cukup sulit sehingga dia tak sempat memikirkan hal-hal penting untuk hidupnya. Senja mencoba mengintip dari balkon kamar kostnya, tak ada satupun warung makan yang buka, semua tutup. Apa ini hari minggu? Tapi semua anak kostannya tidak ada. Tempat itu terasa semakin aneh. Rasa lapar semakin menjadi-jadi, pilihan terakhir Senja adalah kantin kampus. Walaupun harga makanan lebih mahal, tapi saat ini yang penting dia ingin makan. Dia melihat jadwal kuliahnya, walaupun dia sebenarnya tidak ingin kuliah. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah bayar uang semester ini. Setelah memastikan jadwal kuliahnya, dikenakan seragam kuliahnya dan Senja pun berangkat ke kampus. Kampus yang sangat-sangat ingin dia tinggalkan. Suasana jalanan sangat sepi, tidak ada kendaraan bahkan manusia yang berjalan. Kemana semua orang? Walaupun baru beberapa hari di sana, tapi tempat ini benar-benar sangat aneh bagi Senja. Tempat itu terasa seperti kota mati, bahkan saking sunyinya, Senja dapat mendengar suara angin yang berbisik di telinganya. Rasa dingin masuk melalu celah baju di leher senja, memberikan nuansa kelam yang semakin menjadi-jadi. Langit terlihat cerah, tapi aura sekitar tempat ini seakan membuat cahaya itu menjadi biru kelabu. Semakin ia mendekati kampusnya rasa itu semakin kuat, tapi dia harus bergegas, karena dia sangat lapar. Setiba di dalam kampus, Senja langsung menuju kantin. Ini kedua kalinya Senja ke kantin, dulu waktu pendaftaran pertama bersama orang tuanya Senja sempat makan disini. Dari situlah dia tahu kalau makanan disini mahal. Kantin kampus memiliki banyak sekali konter makanan, dari daerah sama luar negeri. Ada sekita 10 konter makanan, dan tak satupun yang murah bagi anak kostan seperti Senja. Karena lapar yang dimilik Senja cukup tinggi, dia memilih memesan Nasi Goreng Telur Jumbo ditambah dengan Jus Melon. Kedua menu tersebut senilai 35 ribu, dan itu benar-benar membuat Senja ingin meratapi isi dompetnya. Sialnya ketika hendak membayar Senja lupa dia belum ke ATM untuk mengambil uang tunai. Sang petugas menawarkan pembayaran dengan kartu debit miliknya. Dengan berat hati Senja mengiyakan, karena akan makan waktu bila harus ke ATM. Terpaksa dia merelakan uang di ATM nya terkena biaya tambahan untuk penggunaan mesin debit. Saat sedang menunggu proses pembayaran, percakapan yang aneh pun terjadi antara Senja dan penjaga konter. “Maaf, kamu tidak kuliah?”, tanya penjaga itu. “Owh, kuliah kok tapi nanti agak siangan”, jelas senja. Penjaga itu hanya menunduk sembari melihat proses pada mesin debit. Senja pun mulai merasa tak nyaman. “Mas, belum selesai?”, tanya Senja. “Masih proses, kenapa terburu-buru? Bukannya kuliah siang?”, tanya petugas. “Iya sih, tapi saya sangat lapar sekarang”, jelas Senja. “Tenang, makananmu sudah mulai disiapkan, tidah harus menunggu pembayaran selesai”, jawab petugas sambal memberikan senyum yang aneh. Senja merasa semakin tidak nyaman, dia menoleh kekanan dan semua petugas konter lain mendongakkan kepala keluar dari konternya dan melihat kearah Senja. Begitu pula konter di bagian kiri. Semua itu membuat Senja merinding, sangat tidak nyaman dan aneh. Senja mulai panik dan memberanikan diri bertanya kepada petugas yang melayaninya. “Maaf, kenapa semua orang melihat saya?”, tanya Senja. “Tidak apa-apa, abaikan saja”, jawab petugas kembali sambal tersenyum semakin menyeramkan. “Tapi saya rasa ini cukup aneh”, jelas Senja. “Justru anda seorang yang aneh di sini. Ini kartu debit anda, silahkan tunggu makanan anda”, kata penjaga sembari memberikan kartu debit Senja. Senja terdiam membisu menerima kartu debitnya, ucapan penjaga itu yang menyatakan dirinyalah yang aneh semakin membuat dirinya penuh kecemasan. Dalam kecemasan itu Senja berjalan ke meja makan dan duduk. Dia kemudan mengangkat kepalanya, dan melihat hanya dirinya yang sedang makan saat itu. Senja kembali menundukkan kepala, apa yang terjadi? Ada apa dengan dirinya? Kenapa ini harus menimpa dirinya? Makin banyak pertanyaan yang tak memiliki jawaban memenuhi kepala Senja. Makanan Senja pun tiba, tapi nafsu makannya seakan perlahan hilang digantikan rasa mual. Tapi dia sadar itu hanya ada di pikirannya saja. Senja pun tetap makan agar tubuhnya tetap kuat dan memiliki stamina. Saat sedang makan, semua penjaga konter duduk di konternya masing-masing. Tapi semua kepala itu melihat kearah Senja, dengan tatapan dingin dan kosong. Mereka tidak seperti manusia hidup, hanya daging yang tak memiliki jiwa. Senja makan dengan penuh rasa takut, sedih, cemas, panik dan segala macam emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. Saat dengan makan terdengar langkah kaki yang kompak dari kejauhan. Langkah-langkah itu seakan menggetarkan lantai kampus. Dengan rapihnya semua mahasiswa masuk kedalam kantin dalam barisan. Semua barisan itu pun mulai menyebar dan mengisi kursi-kursi yang ada di kantin. Hanya kursi-kursi di meja Senja yang tak diisi. Padahal sebagian dari mahasiswa tersebut ada yang berdiri di belakang mahasiswa lain yang sedang duduk. Seperti sedang menunggu waktu gentian untuk duduk. Senja kembali menyendok makanan dan memasukkan kemulutnya. Saat Senja melakukan itu, semua mata mahasiswa tiba-tiba mengarah ke Senja, rasa grogi, panik, takut semakin menyelimuti Senja. Ada apa dengan mereka? Apa yang salah dengan dirinya? Apakah benar mereka bukan manusia lagi? Apa sebenarnya meraka? Apa yang terjadi di kampus ini? Senja ingin menangis, dia sudah menundukan kepala. Tiba-tiba datang 3 orang duduk di kursi-kursi pada meja makan Senja. Salah seorang dari mereka, seorang wanita berbisik pada Senja. “Tegakkan tubuhmu, angkat kepalamu, dan berhenti makan. Makanlah saat semua orang makan, dan berusahalah ikuti ritme saat mereka semua makan”, ucap wanita itu. Senja kebingungan, tapi wanita itu adalah wanita pertama yang berbicara dengannya, secara normal. Senja dapat merasakan hawa kehidupan dari dirinya, bukan rasa dingin dan kososng seperti penjaga konter ataupun dosen di kelasnya. Tanpa pikir panjang Senja mengikuti perintah wanita itu. Senja kini melihat 2 sosok pria di hadapnya, memberikan senyuman hangat padanya. Salah seorang pria tersebut adalah pria berkacamata dan bersweater hijau yang dilihatnya tadi di ruang kesehatan. “Siapa?”, kata-kata Senja terhenti saat wanita itu menyentuh bagian pahanya. “Diam, cukup diam dan ikuti kami bertiga. Saat ini selesai, kami akan jelaskan semuanya, tapi tidak di sini”, ucap wanita itu. Wanita itu menoleh dan mencoba mencuri pandangan ke mata Senja. Dia berbicara tapi tanpa suara. Senja perlahan mencoba membaca bibir wanita itu. Senja pun membalas dengan senyuman setelah wanita itu berkata dalam diam “Kau tidak sendirian”. Chapter 4 Night at the Campus Masa kecil merupakan masa-masa paling indah yang di alami setiap manusia. Tapi ada kalanya saat kecil kita ingin segera dewasa dan mulai menuntut hak-hak kita. Semua itu terjadi begitu saja hingga kita menduduki bangku SMA. Saat ini puncak dari kebahagian itu terjadi, pertemanan, cinta pertama, petualangan dan banyak lagi. Tapi itu pun tak berlangsung lama, titik jenuh akan muncul dan pemikiran kita akan semakin luas. Saat inilah pemikiran kalau dunia perkuliahaan akan jadi masa paling tepat untuk menikmati hidup. Kalian tahu, kebebasan. Sebuah hal yang mungkin akan dimiliki bagi mereka yang hidup jauh dari keluarganya sebagai anak kost. Tapi itu bukanlah kenyataan yang sebenarnya akan di alami. Banyak hal yang harus kalian bayar untuk sebuah kebebasan. Tak perlu dijabarkan, cukup kalian rasakan kelak pada waktunya. Hal itulah yang mungkin kini Senja rasakan. Dia hanya berharap dapat maju ke masa depan atau mundul ke masa lalu. Karena masa yang sedang dia hadapi ini adalah mimpi buruk. Dia pun mulai membenci dirinya sendiri karena memilih untuk jauh dari keluarganya hanya demi sebuah kebebasan. Tapi nyatanya jauh berbeda dari mimpi-mimpinya dulu semasa SMA. Senja terduduk di sofa dalam ruang kesehatan. Kepalanya tertunduk, bahunya jatuh, kakinya gemetaran bagai sedang memikul sekarung beras 10 kg. Terdapat sebuah meja panjang di depannya. Terlihat kokoh, tapi sangat berdebu. Perlahan Senja mengangkat kepalanya, menatap wanita yang duduk di depannya lalu menoleh ke pria di samping wanita itu dan di sampingnya. “Kalian bisa mulai menceritakan semuanya” kata Senja. “Baiklah, biarkan aku memperkenalkan diri kami terlebih dahulu. Aku Niko, ini Rani dan ini Felix” jelas pria yang di seberang Senja. “Oke, sekarang dari mana aku harus menjelaskannya” jelas Niko. “Biarkan aku saya Niko yang menjelaskan, mungkin sesama wanita akan lebih mudah untuk mengerti” jelas Rani sambi tersenyum ke Niko. “Ya terserahlah” balas Niko agak jengkel. “Oke, maaf tapi kamu belum mengenalkan diri kamu ke kami” tanya Rani ke Senja. “Oh maaf, perkenalkan namaku Senja” jawab Senja. “Wah nama yang bagus, baiklah to the point saja ya Senja. Kau pasti bingung dengan apa yang terjadi di sini. Aku akan mulai dari awal sekali ini semua bermula” jelas Rani. “Kami merupakan angkatan pertama di kampus. Semua berjalan lancar hingga malam sebelum hari orientasi dimulai. Malam itu kami berempat sedang ingin beli makan. Oh iya kami merupakan teman dari SMA dan memang ingin masuk kampus ini bersama-sama. Salah seorang teman kami tidak selamat pada hari orientasi. Jadi begini, aku seorang indigo. Kemampuan yang kumiliki adalah dapat melihat potonga masa depan dari orang yang aku sentuh, tapi tidak berlaku ke diriku sendiri dan orang yang terikat batin denganku. Dalam artian mereka yang sudah memiliki tempat di hatiku. Keluarga dan teman. Kemampuan ini hanya berlaku pada orang yang yang baru aku kenal, dan aku tidak dapat mengontrol kemampuan itu. Tapi aku sadar akan satu hal, potongan yang ditampilkan itu hanya akan muncul bila hal tersebut berhubungan denganku ataupun keluarga dan temanku. Cukup tentang diriku entah kau percaya atau tidak. Oke jadi pada malam itu semua sangat normal, semua mahasiswa baru tumpah ke warung-warung makan untuk mengisi perut. Dan malam itu merupakan mimpi buruk, hanya bagiku. Pada saaat membeli makan dan mengantri, aku tak henti-hentinya bersentuhan dengan mahasiswa lain yang lewat. Dan semua orang yang bersentuhan dengan ku memberikan potongan masa depan. Itu berarti akan terjadi hal yang besar dan melibatkan semua mahasiswa baru yang berakibat pada diriku ataupun teman-temanku. Niko dan Felix sudah tahu akan kemampuanku sejak dulu. Jadi mereka mau mendengarkan penjelasanku. Sayangnya salah seorang teman kami lagi merasa kalau hal itu berlebihan dan tidak mungkin hal sebesar itu terjad di kehidupan kami. Aku sudah berusaha meyakinkannya tapi itu semua sia-sia. Esok harinya pada hari orientasi aku,Niko dan Felix tidak hadir. Dan benar saja yang kami takutkan pun terjadi, seluruh mahasiswa seperti dicuci otaknya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi karena potongan gambar yang aku terima hanya sampai saat itu dan tergantikan dengan cahaya putih. Setelah hari itu aku mencoba menyentuh salah seorang mahasiswa untuk melihat apakah ada hal yang akan terjadi lagi dalam hidupku. Dan lagi-lagi aku mendapatkan gambaran, dari semua mahasiswa. Tapi aneh nya gambaran itu bukanlah potongan. Bila sebelumnya gambar yang aku dapat adalah potongan dari pandangan setiap mahasiswa, ini hanya memberikan gambar dari satu sisi yang sama. Hal ini baru peretama kali terjadi dalam hidupku. Penjelasan yang benar-benar masuk akal adalah semua kepala mahasiswa itu terhubung ke satu kepala. Mungkin mereka semua dikendalikan oleh satu orang. Itulah yang menyebabkan semua langkah, kegiatan bahkan ketika mereka mengedipkan mata pun serentak. Mereka seperti di program untuk bekerja sesuai aturan dan jadwal yang pasti, bahkan mungkin saja jumlah langkah kaki mereka pun diatur. Dari gambaran itu lah aku sadar kalau ada yang tidak beres dan aku memutuskan untuk mengikuti aturan main mereka sekarang. Kami tidak ingin menimbulkan kecurigaan dan menyebabkan kami tertangkap karena berbeda. Nah yang lucunya, informasi yang ditangkap mereka tidak langsung menjadi alarm bagi orang yang mengontrol mereka. Seperti sistem mereka masih mentolerir bila ada 1 atau 2 mahasiswa yang terkadang berbeda, tapi bila itu berkelanjutan barulah itu menjadi masalah. Kami pernah mencoba beberapa hal yang berbeda didepan mahasiswa lain dan kembali mengikuti mereka segera setelah mereka mulai menatap, dan semua normal. Begitu pula yang terjadi padamu waktu di kantin” cerita Rani. Senja menghela nafas, hal yang terjadi merupakan hal yang juga hampir menimpanya. Hanya saja dia harus menanggung itu semua sendirian. Senja masih belum dapat berkata apa-apa. Rani beranjak dari kursinya dan mengambil air mineral untuk Senja. Tanpa berkata Rani memberikan segelas air dan Senja meraihnya. Senja tak langsung meminumnya, tatapkan jatuh kedalam dasar gelas, tangannya gemetaran. Hingga tiba-tiba Felix meraih meraih tangan Senja seraya mengucpkan “Tenang, sekarang ada kami di sini”. Kecemasan Senja perlahan reda, dia mulai mengangkat kepalanya dan melihat ketiga orang teman barunya. Sambal tersenyum kecil Senja meminum air tersebut dan menghela nafas lega. “Aku ingin bertanya satu hal, bagaimana kalian menemukanku?” tanya Senja. “Berterimakasihlah pada Felix, malam itu Felix tidak sengaja melihat kau berlarian dari sebuah sosok gelap di kampus. Tidak seperti biasanya Felix seberani itu, tapi dia memberanikan diri karena dia merasa kau butuh pertolongan” jelas Rani. “Hahaha, Felix sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama padamu Senja” canda Niko. Felix hanya tertunduk dan wajahnya memerah. Senja menatap Felix, ya pria kurus dengan kacamata dan memiliki leher yang cukup panjang itu adalah orang pertama dilihat Senja pada pagi hari ini. Dia memberikan senyum kepada Felix, seketika wajah Felix seperti tersiram air panas. Sangat merah. Rani dan Niko tertawa melihat tingkah Felix, sudah lama mereka tidak merasa sesantai ini. Dan Senja pun merasakan kehangatan, dia mereka hidup. Rasa cemas yang ada di dalam dirinya perlahan pudar dan tergantikan dengan harapan. Senja masih tersenyum dan menikmati suasana tersebut. Dia tidak ingin hal ini cepat berlalu, dan ini cukup membuat rasa letihnya pun hilang. 1 hari ini sudah cukup berat bagi Senja. Perlahan tawa canda itu mulai reda, Senja kembali hendak bertanya satu hal “Jadi selama ini kalian berpura-pura menjadi salah satu dari mereka?”. “Yak benar sekali!” kata Niko. “Ini semua ide Rani, dia merasa semua mahasiswa itu tidak akan curiga kita bertingkah seperti mereka. Bahkan menurut Senja mereka lebih manusiawi dari pada manusia yang di luaran sana. Kau tahu, berantakan, selalu tidak mengikuti aturan, membuang sampah sembarangan dan banyak lagi. Lucu rasanya menganggap hal ini lebih baik ketimbang manusia normal yang hidup dengan pemikirannya masing-masing” jelas Niko. “Yah memang seperti itu kenyataanya, di dunia nyata kau tidak bisa menemukan disiplin yang mutlak, tapi yang kau lihat di kampus ini itulah yang terjadi. Jadi kami merasa selama hal ini baik kami tetap mengikutinya” sambung Rani. “Lalu kenapa kau tidak ikut saja pada waktu orientasi?” tanya Senja. “Well, ada ketakutan dalam diriku. Mungkin semua manusia, bila kau sadar otakmu akan diambil alih dan kau tidak bisa hidup dalam keinginanmu sendiri tentu kau akan takut” jawab Rani. “Ya kau memang benar”, balas Senja. “Oh iya, bagaiman kau bisa selamat Senja?” tanya Niko. Senja pun menceritakan hal yang terjadi padanya dari awal hingga akhir, mereka sempat kaget dengan keberuntungan yang dia alami. Dan mereka baru sadar bahwa mereka tidak dapat meninggalkan lingkungan kampus ini. Seperti ada hal yang menghalangi dan tetap membuat mereka berada di dalam. Hanya saja yang mereka bingungkan, kenapa Senja dipanggil ke lantai 2 hari itu? Apa karena dia tidak hadir waktu orientasi? Atau karena hal lain? Tapi dari cerita Senja hanya karena masalah orientasilah yang memungkinan menjadi penyebab kenapa dia dipanggil. Tapi kenapa mereka bertiga tidak? Masih banyak tanda tanya yang harus dijawab. Dan jawabannya masih tersimpan rapat di kampus ini, mungkin di lantai 2. “Mungkin kita harus mencari tahu di lantai 2” Felix akhirnya berbicara. Ucapan Felix membuat semua terdiam, bukan karena tiba-tiba dia dari sepanjang obrolan itu. Tapi gagasan yang ia berikan cukup membuat mereka ketakuan. Tapi bila Senja dapat masuk dan keluar dengan aman, hampir aman dari lantai tersebut. Mungkin mereka bisa melakukannya juga dengan persiapan yang lebih matang. Lagi pula sekarang hanya tempat itu yang memiliki petunjuk bagi mereka. ******** Malam itu suasana lebih dingin dari biasanya, memang tadi siang seharian cuaca sangat panas sehingga malam ini jadi lebih dingin. Langkah kaki 4 pemuda/i agak berat, bukan karena cuacanya tapi karena tempat yang akan mereka tuju bisa jadi mimpi terburuk mereka. Mereka berangkat dari ruang kesehatan, dari tadi semenjak mereka memulai obrolan hingga malam, mereka tidak keluar sama sekali. Cuma Felix yang pergi keluar untuk mencari makanan karena Senja merasa lapar. Suara angin seakan menjadi bisikan halus yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Langkah kaki mereka pun menciptakan gema yang membuat seakan mereka diikuti, walau mereka mengendap-endap. Dari ruang kesehatan cukup dekat untuk mencapai pintu belakang kampus. Pintu belakang ini sama besarnya dengan pintu depan, pintu ini biasanya diakses oleh mahasiswa setelah kegiatan olahraga seperi softball, judo, futsal dan sebagainya. Yang cukup mengherankan, mereka tidak menyangka pintu ini terbuka, bila tidak mereka terpaksa harus turun ke ruangan genset kampus dan mengambil tangga darurat untuk keluar di depan toilet lantai 1. Kengerian yang harus mereka rasakan akan lebih panjang bila mengambil jalur tersebut. Lantai 1 terdiri dari ruangan terbuka dan sebuah meja panjang resepsionis dan informasi kampus. Beberapa sofa dan meja disiapkan untuk tamu-tamu kampus. Normalnya ruangan sebesar ini akan diisi oleh mahasiswa pada malam hari dengan kegiatan UKM dan sejenisnya. Tapi kampus ini tidak normal dan terlihat betul dari suasana malam itu. Helaan nafas pun dapat menjadi gema yang malah membuat dirimu sendiri ketakukan, seakan ada sesorang yang bernafas kembali di belakangmu. Tidak ada hal yang nyaman di kampus ini saat malam hari, bila sesepi ini. Cahaya bulan masih masuk kedalam kampus, dikarenakan sekililing kampus menggunakan kaca sebagai dinding luarnya, mewah tapi tetap saja membuat suasana jadi lebih menaktukan. Bayangan dirimu seakan menjadi sosok hitam yang berdiri di sisi lain dari dirimu. Kadang kau akan berharap bahwa lebih baik gelap gulita dari pada harus terkejut karena bayanganmu sendiri. Berat langkah sudah dirasakan bahkan sebelum menaiki tanggal. Tidak mungkin menggunakan lift karena sudah pasti dimatikan. Tangga untuk ke lantai 2 memang tidak terlalu tinggi, tapi saat sudah mulai menginjak lantai 1 cahaya bulan mulai habis dan berganti kegelapan yang pekat. Mungkin cukup memakan waktu untuk mata agar dapat menyesuaikan dan mampu melihat dalam kegelapan. Lantai 1 merupakan zona perkuliahan, dan terlihat normal-normal saja. Saat hendak menaiki tangga menuju lantai 2 langkah mereka sempat tertahan oleh cahaya merah di ujung lorong yang tepat lurus dengan tangga. Niko menyerngitkan dahi untuk memfokuskan penglihatannya. “Oh Cuma CCTV”, jelas Niko. Semua menghela napas dan melanjutkan langkah mereka. Ternyata tidak seberat yang mereka kira, lantai 2 terasa cukup normal. Tidak ada hal yang mungkin selama ini di benak mereka. Sebelum memulai mencari, mereka memutuskan untuk mengelilingi seluruh lantai 2, hanya memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di lantai ini. Semua normal, terlalu normal. Kau tahu suasananya seperti sekolah-sekolah pada malam hari, yang kadang dalam benak kita aka nada hal-hal horror yang muncul tapi itu hanya di pikiran saja. Yak seperti itulah yang dirasakan ke 4 orang itu. Ketegangan mulai mereda, mereka pun memutuskan untuk memeriksa salah satu ruangan yang ada di sana. Mereka memulai dari ruangan adminsitrasi yang terdekat dengan tangga, jadi mereka akan dapat kabur lebih cepat bila muncul hal-hal yang tidak diinginkan. Saat mereka memasuki ruangan tersebut, bukannya terkejut tapi rasa bingung yang mereka dapati. Ini ruangan administrasi tentu banyak berkas yang akan disimpan di sini, bahkan paling tidak meja kerja pun akan memiliki tumpukan map. Tapi ini sangat kosong, meja-meja di sana seakan tidak pernah digunakan. Berdebu dan sangat pengap. AC ruangan ini sepertinya tidak pernah digunakan dari awal, terlihat dari jaring laba-laba yang sudah bersarang di AC. Tidak ada apa-apa di ruangan ini, terlalu aneh. Ada apa dengan kampus ini sebenarnya. Setelah cukup lama terjebak dalam kebingungan, mereka memutuskan untuk beranjak dan pergi ke ruangan selanjutnya. Tapi langkah mereka terhenti, dari lorong tepat di luar ruangan mereka berada. Suara langkah kaki dan benda yang tergesek di lantai seakan sedang ditarik, menyerbu masuk kedalam telinga mereka. Langkah itu pelan dan berat, seakan suatu yang besar sedang menuju kearah mereka. Bulu kuduk merinding dan tulang-tulang pun mulai lemas. Mereka bersembunyi di balik meja yang tepat menghadap pintu ruangan, berharap apapun itu tidak akan masuk ke ruangan ini. Kalau pun dia membuka pintu, mereka berharap dia hanya melihat dan tidak masuk. Mereka berharap apapun itu tidak sedang menuju ruangan mereka sekarang. Rasa takut pun mulai menyelimuti Senja, bayangan sosok yang dulu mengejarnya masih sangat melekat dalam benaknya. Dia berharap makhluk itu tidak menemukannya. Rasa takut Senja membuat dirinya menggenggam tangan Rani. Saat itu pula Rani terkejut hingga tesedak karena suatu hal sehingga mengeluarkan suara “AKK” yang cukup kuat. Niko dengan sigap menutup mulut Rani. Rani terkejut dan menyesal akan apa yang baru saja dia lakukan. Tapi mata Rani menatap Senja sungguh dalam seperti hendak mengatakan sesuatu yang serius. Namun fokusnya teralihkan, gagang pintu ruangan mereka berdecit pelan. Seseorang atau sesuatu sedang membuka pintu ruangan tempat mereka berada. Mereka bergidik ketakutan, akankah malam ini jadi malam terakhir mereka di kampus? Apakah masih ada hari esok bagi mereka? Mereka kini semua berpegangan tangan, menunduk dan memejamkan mata. Terlalu takut untuk melihat entah apapun itu yang menghampiri mereka. Dalam hati mereka ingin sekali berteriak dengan keras “TOLONG KAMI!!”. Chapter 5 Silence Keberuntungan merupakan hal yang jarang terjadi berkali-kali dalam hidup seseorang. Apalagi keberuntungan itu berhubungan dengan nyawa seseorang. Senja malam itu hanya tertunduk dan berharap bahwa dirinya dan ketiga teman barunya itu tidak ditemukan. Detak jantungnya hendak berhenti memikirkan hal yang sedang menimpanya. Paru-parunya seakan berhenti memompa udara. Sekeliling ruangan serasa menyempit. Padangannya mulai bergoyang, tubuh Senja benar-benar lemah saat itu. Pintu pun terbuka, keempat orang itu berusaha menunduk serendah mungkin agar diri mereka tidak terlihat oleh siapapun itu yang masuk. Dalam kondisi tubuhnya yang semakin lemas, keringat mulai bercucuran dari ubun kepalanya. Bibirnya yang kecil mulai memucat. Perlahan mata Senja tertutup. Lagi-lagi Senja tertolong. Pintu tertutup kembali, dan siapapun itu yang tadi hendak masuk mengurungkan niatnya. Rani menghela nafas sembari mengelus dada. Tapi seketika ia terkejut melihat kondisi Senja. Mereka terlalu fokus terhadap ketegangan yang menyelimuti mereka. “Hei, Senja sepertinya tidak sehat!” ucap Rani panik. “Gawat tubuhnya panas” Felix sambal meletakkan telapak tangannya di dahi Senja. “Kita harus bagaimana ini?” tanya Rani. “Kita harus kembali, pencarian malam ini kita hentikan!” kata Felix. Tak seperti biasanya Felix sangat tegas. Mungkin karena hal ini menyangkut kondisi Senja. Tanpa fikir panjang, Felix mengendong tubuh Senja. Dibalik tubuhnya yang kurus ternyata terdapat tenaga yang cukup besar. Atau mungkin ada booster tenaga yang dia dapat dari Senja. Rani tersenyum menatap Niko. Mereka hendak menggoda Felix tapi kondisi Senja saat ini lebih penting. Felix memulai langkahnya mendekati pintu. Niko membuka pintu ruangan itu perlahan dan mengintip keluar. “Aman!” tegas Niko. Langkah mereka pun dilanjutkan. Felix terlihat sangat fokus dan berhati-hati selama mengendong Senja. Walau begitu tempo langkahnya terbilang cukup cepat. Dia sangat khawatir saat ini. Dia tidak mau terjadi hal-hal yang mengerikan menimpa Senja. Lantai 1 mereka lewati dengan aman. Tapi ketika hendak turun ke lantai dasar, Felix terhenti. “Sssttt, diam. Coba kali dengar!” perintah Felix. Mereka berusaha fokus dan mencoba mendengarkan entah apa itu yang didengar Felix. Didalam kesunyian malam itu, mereka dapat mendengar suara yang tidak terlalu jelas. Suara itu terdengar seperti bisikan dan tidak keluar dari satu orang. Sepertinya ada beberapa orang yang sedang berbisik. Felix, Niko dan Rani pun saling bertatap-tatapan. “Kau bawa Senja ke ruang kesehatan, aku dan Niko akan memeriksa sumber suara ini!” perintah Senja. Felix mengangguk tanda setuju. Tanpa berlama-lama dia pun melajutkan menuruni tangga dan meninggalkan lobby kampus. Tinggalah Rani dan Niko. Mereka saling bertatapan, tanpa ada sepatah katapun mereka mulai melangkah. Sumber suara itu terdapat di lobby kampus, tapi masih terasa agak jauh dari mereka. Kondisi kampus yang gelap, membatasi jarak pandang Niko dan Rani. Mereka harus menyipitkan mata untuk memfokuskan penglihatan mereka. Langkah demi langkah pun membawa mereka menuju pintu masuk utama yang terdapat berlawanan dari pintu masuk waktu mereka datang. Sesampainya di sana Rani dan Niko mencoba bersembunyi di balik dinding yang dekat dengan pintu. Mereka perlahan mengintip dan terkejutnya Rani dan Niko saat melihat beberapa mahasiswa/i sedang berdiri kaku di teras kampus. Mulut mereka berkomat-kamit seperti sedang mengucapkan sesuatu tanpa henti. Suara itulah yang tadi di dengar Felix, Niko dan Rani. “Kenapa mereka ada disini malam-malam?” tanya Rani. “Bukannya kita juga lagi di kampus malam-malam?” balas Niko bercanda. “Dasar kau ini, masih saja bisa bercanda dalam kondisi seperti ini” kata Rani sambal tersenyum. Tapi hiburan itu tak bertahan lama. Muncul 2 sosok orang pria menghampiri para mahasiswa itu. Niko dan Rani pun berusaha menyembunyikan tubuh mereka. Mereka berusaha mendengar apa yang terjadi diluar, tapi mereka terlalu takut untuk mengintip. Suara yang dikeluarkan para mahasiswa itu cukup menganggu telinga Niko dan Rani. Mereka kesulitan untuk mendengarkan ucapan dari kedua orang pria itu. Kedua pria itu berpakaian sangat rapih. Menggunakan setelan jas lengkap. Seperti sedang akan menghadiri acara resmi. Tapi acara penting apa yang akan diadakan pada jam segini? “Aku yakin, sesuatu yang buruk akan terjadi” ucap Niko. Rani hanya menatap Niko dengan penuh kecemasan. Tiba-tiba salah satu dari pria itu mengucapkan sesuatu ke arah para mahasiswa itu. Tapi tetap Niko dan Rani tidak dapat mendengar apa yang dikatakanya. Mereka pun terlalu takut untuk mendekati, tidak ada jaminan mereka akan tetap hidup bila tertangkap basah sedang berada di kampus pada malam ini. Tetapi tidak lama setelah itu para mahasiswa itu mulai berjalan berbaris menuju arah samping kampus, tepatnya ke arah danau kampus. Kedua pria itu pun mengikuti para mahasiswa itu, Niko dan Rani pun mengikuti dari jauh. Walaupun ini beresiko tapi setidaknya mereka bisa mendapatkan informasi yang berguna untuk mereka. ******** Felix berjalan dengan perlahan berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Bukan hanya agar tidak membangunkan Senja, dia pun tidak ingin entah itu orang atau makhluk lain yang menemukan mereka. Ruang kesehatan tidak cukup jauh, tapi suasana dan hal yang baru dialami Felix malam ini membuat langkah kakinya berat. Sebenarnya tubuhnya pun lelah, tapi dia sangat senang bisa menggendong Senja. Sepertinya Felix sudah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Senja. Hal itulah yang menjadi tenaga untuk Felix, dirinya berjalan pelan sambil tersenyum. Dia sangat ingin menikmati malam itu, dia berharap malam itu tak akan berakhir. Tapi tiba-tiba Felix tersadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki dari arah depan. Felix panik, dia menoleh kebelakang untuk memastikan keadaan aman. Felix memutuskan untuk kembali ke lobby kampus. Dengan langkah pelan tapi pasti, Felix perlahan mencapai pintu lobby dan langsung masuk ke dalam. Dari kejauhan Felix dapat melihat Niko dan Rani sedang mengintip, tapi mereka terlihat jelas dari pintu lobby. Felix berusaha memanggil dengan berbisik tapi tidak berguna. Kembali ia menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa siapapun yang tadi ia dengar langkah kakinya tidak muncul tiba-tiba di belakangnya. Saat Felix kembali menoleh kedepan, Niko dan Rani beranjak pergi meninggalkan lobby. Felix lega, tapi langkah kaki tadi semakin jelas. Adrenalin Felix pun meningkat, tanpa fikir panjang Felix melangkahkan kakinya menuju toilet yang berada di lorong sebelah kanan dari pintu lobby. Saking paniknya Felix tidak memikirkan toilet wanita atau pria yang ia masuki. Dia langsung masuk dan memilih salah satu bilik toilet dan menguncinya. Felix menurunkan dan mendudukan senja pada closet. Setelah itu dia menempelkan telinganya ke pintu bilik, berusaha mendapatkan pendengaran yang lebih jelas. Sembari itu, dia berfikir apa lagi yang harus ia lakukan bila-bila orang ataupun makhluk itu masuk kesini. Lalu Felix terpikirkan satu hal, bagian bawah bilik ini terbuka, bagaimana bila kaki mereka terlihat? Tiba-tiba dari kejauhan suara langah kaki semakin mendekati toilet. Tanpa fikir panjang, Felix menggapai kedua kaki Senja, lalu dirinya berusaha untuk menempelkan kaki-kakinya pada kedua sisi dinding bilik seperti di film-film. Hal itu tidak mudah, karena dia harus tetap memberikan tekanan yang cukup ada dinding bilik agar dirinya tidak terjatuh, dan kedua tangannya pun harus memegang kaki Senja agar tidak terlihat. Felix benar-benar seperti seorang ninja profesional saat itu. Pintu toilet terbuka, Felix mendengarkan langkah kaki yang berat dan besar diikuti suara helaan nafas yang sangat berat. Terdengar seperti hanya ada 1 orang, tapi itu tidak menjadi jaminan apa-apa untuk keselamatan mereka. Felix hanya berharap makhluk atau siapapun itu tidak terlalu pintar untuk mengecek setiap bilik. Tapi harapanya itu salah, pintu bilik pertama terdengar terbuka. Walau langkah kaki makhluk itu terdengar besar, tapi pintu itu terbuka dengan cukup lembut, hanya suara decitan engsel. Selang beberap detik pintu kedua terbuka. Felix berada di bilik ke 5, bilik terakhir. Bilik 3 pun dibuka, dan itu membuat jantung Felix semakin berpacu dengan cepatnya. Tapi dia harus tenang, kini hanya dirinya yang bisa menyelamatkan Senja. Bilik ke 4 pun terbuka, jelas terdengar di telinga felix bilik disampingnya terbuka perlahan. Kini giliran bilik tempat Felix dan Senja bersembunyi. Langkah berat itu semakin mendekat, Felix berusaha menahan kakinya agar tidak gemetaran. Otot di seluruh tubuhnya berteriak memohon agar Felix berhenti. Tapi dia tidak mau membuat Senja dalam bahaya. Tekad Felix melawan batas dirinya, tapi itu semua akan sia-sia bila apapun itu yang mendekati mereka mengecek bilik ini. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara benturan keras pada dinding lobby. Sontak hal itu membuat makluk yang hampir mengancam keselamatan Senja dan Felix beranjak pergi dengan cepat meninggalkan toilet. Dengan perlahan Felix menurunkan kaki Senja, lalu ia pun menurunkan kaki nya dari dinding bilik. Kakinya gemetaran, dia tak sanggup berdiri. Felix terlihat pucat, disatu sisi Senja masih tak sadarkan diri. Felix terduduk dihadapan Senja, kakinya kehilangan tenanga, kepalanya terasa berat. Perlahan penglihatan Felix menjadi gelap, kepalanya pun jatuh di pangkuan Senja. Kini keduanya tak sadarkan diri. ******** Barulah langkah Niko dan Rani hendak dimulai. Belum jauh beranjak dari tempat mereka sebelumnya, langkahnya terheni. Rani menatap Niko dan berkata “Apa kau mendengarnya? Seperti suara langkah kaki di belakang sana”. “Mungkin itu Felix? Tapi kenapa dia kembali?” tanya Niko. “Tidak, itu bukan suara langkah kaki Felix. Langkah ini terdengar berat dan besar, tidak mungkin kaki Felix dapat membuat suara sebesar itu dari kejauhan” jelas Rani. “Jadi kita harus bagaimana?” kembali Niko bertanya. “Hmmmm, sepertinya kita harus berpisah dulu. Kau cobalah ikuti rombongan mahasiswa tadi. Aku akan menyusul bila tidak ada apa-apa yang terjadi” balas Rani. “Mungkin itu yang terbaik, kita tidak ada waktu untuk memilih. Tapi apa kau yakin akan baik-baik saja Ran?” tanya Niko. “Hey, tenang saja. Kamu kayak baru kenal aku aja. Aku justru lebih khawatir dengan dirimu” canda Senja. “Baiklah Ran, take care ya” balas Niko sambil tersenyum. Niko melanjutkan langkah kakinya mengikuti rombongan mahasiswa tadi. Sedangkan Rani kembali masuk kedalam lobby. Rani mencoba berjalan dengan perlahan berusaha untuk tidak membuat suara. Saat dirinya hampir memasuk bagian tengah lobby, Rani bersembunyi diantara pot-pot besar tanaman hias. Kondisi malam itu cukup gelap jadi itu bisa jadi keuntungan bagi dirinya. Saat itulah Rani melihat sesosok makhluk besar, tapi hanya siluet saja yang mampu dilihatnya. Makhluk itu seakan menyatu dengan gelapnya malam. Tapi garis bentuk tubuh makhluk itu terlihat jelas. Tinggi dan besar. Makhluk itu berdiri sejenak setelah memasuki lobby. Dia tambak clingak clinguk memperhatikan sekelilingnya. Rani berfikir apa yang dia cari, lalu Rani teringat dengan Felix dan Senja. Makhluk itu datang dari arah seharusnya Felix dan Senja pergi. Apa Felix menyadari keberadaan makhluk tersebut dan kabur dan kembali ke dalam lobby kampus? Rani hanya bisa berasumsi kalo Felix dan Senja baik-baik saja. Tiba-tiba makhluk itu mengambil langkah menuju toilet kampus. Rani semakin panik, kalau Felix beresembunyi di dalam sana, tidak ada kesempatan untuk dirinya dan Senja selamat. Rani sangat kebingungan, dia hendak menghampiri Niko dan meminta pertolongannya. Tapi waktunya tidak akan cukup. Rani dapat merasakan makhluk itu sudah memasuki toilet. Dia berfikir dengan keras apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya Rani memutuskan untuk mengambil keputusan yang berat tapi sangat efektif. Mungkin hanya itu satu-satunya jalan. Rani mengambil jarak dari dinding kampus, lalu ia berlari dan menabrakkan bagian bahu tubuhnya ke dinding sehingga membuat suara yang cukup keras dan bergema. Rani sangat kesakitan, dibalik tekad yang kuat tubuhnya tak sekuat itu. Tapi ia masih mampu untuk berdiri dan melangkahkan kakinya. Rini berhasil, makhluk itu kini keluar dari toilet dan berdiri di ujung lobby dekat toilet. Menatap Rani dengan penuh kekosongan yang mengerikan. Tanpa fikir panjang, Rani langsung berlari, ia memutuskan naik ke lantai atas, karena dia tidak ingin Niko tahu keadaannya dan menyelamatkan yang akhirnya membuat mereka berdua dalam keadaan bahaya. Rani dengan tegarnya mengambil keputusan menjadikan dirinya umpan untuk menyelamatkan Felix dan Senja tanpa melibatkan Niko. Rani kini di ambang kematian. ******** Senja terbangun dengan kepala yang sangat berat dan tenggorkan yang kering. Penglihatannya kabur dan bergoyang. Tapi dia dapat merasakan ada sesuatu di pahanya, terasa berat. Saat penglihatannya kembali jelas, ternyata kepala Felix sedang tersandar di pahanya. Senja kaget, tapi dia tidak ingin membuat kepala Felix terjatuh. Dia pun nampak sangat nyaman, Senja hanya tersenyum kecil. Ada perasaan aneh dalam hatinya, tapi itu membuatnya nyaman. Lalu Felix nampak tersadar juga. Senja kaget dan wajahnya memerah. “A..a..apa aku membangunkanmu Felix?” tanya Senja. “Oh tidak Senja, aku terbangung karena kedinginan. Lantai toilet ini sangat dingin” jelas Felix sambil mengangkat kepalanya dari paha Senja. Felix pun baru sadar bahwa ia tertidur di paha Senja, wajah Felix pun kini memerah. Dia hanya menunduk malu, begitu pula Senja. Suasana canggung itu berlangusng sebentar saja. Senja kembali melihat dan baru fokus kalo dia sedang ada di toilet. Diapun sedang duduk di sebuah closet. Felix berusaha bangkit dan berdiri sambil membersihkan bagian bokong celananya. Lalu dia mengulurkan tangan kepada Senja untuk membantunya berdiri. Senja meraih tangan Felix, dan saat itu kembali suasana canggung terjadi. Felix dan Senja tertunduk malu, berduaan didalam toilet sambil berpegangan. Itu bukan sebuah pengalaman yang wajar untuk mereka. Tapi Felix kembali memfokuskan pikirannya untuk cepat kembali ke ruangan kesehatan. Dia masih menggandeng Senja dan dengan langkah yakin dia membawa Senja meninggalkan toilet itu. Kondisi diluar masih gelap, mungkin sudah subuh. Felix mengendap-endap memastikan bahwa kondisi aman. Dia menoleh ke arah Senja dan mengangguk. Mereka mengambil langkah seribu, melawan dinginnya subuh menuju arah ruang kesehatan. Untungnya tidak ada masalah apapun yang menghampiri mereka. Langkah mereka terhenti tepat di depan ruang kesehatan. Felix membuka pintunya dan menemukan Niko sedang duduk di sofa dengan tatapan gusar. “Hei Nik” sapa felix. Niko berdiri dengan tatapan cemas “Kemana saja kalian? Aku kira kalian tidak selamat? Apa kalian baik-baik saja?”. “Kami baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” jelas Felix. Senja pun masuk mengikuti Felix. Niko berusaha mengintip keluar seperti menunggu sesuatu. “Hey, mana Rani?” tanya Niko. “Rani? Bukannya ia pergi bersamamu?” jawab Felix. “Tidak tadi dia kembali karena mengkhawatirkan kalian. Kami mendengar langkah kaki yang cukup mengerikan dan kami pun memutuskan untuk berpisah dulu dan dia akan menyusul bila keadaan terkendali. Tapi sampai sekarang pun Rani tidak datang. Aku kira dia bersama kalian” cerita Niko panik. “Jangan-jangan, suara yang membuat makhluk yang mengikuti kami pergi itu adalah rani? Apa dia membuat dirinya sebagai umpan untuk menyelamatkan kami?” Felix kembali bertanya-tanya. “Jadi dimana Rani??!” Senja ikut panik. Niko terduduk di sofa. Felix dan Senja tetap berdiri dengan kaki yang gemetar. Sambil menundukan kepala, apa yang terjadi kepada Rani. Apa mereka telah kehilangan Rani? Untuk selamanya? …. Chapter 6 Confusion Cuaca dingin malam ini tidak membuat langkah kaki Niko untuk melakukan tugasnya. Entah apa yang akan ia dapatkan nanti, walau pun tidak seberapa tapi semua informasi sekarang sangatlah penting bagi kelangsungan hidup Niko dan teman-temannya. Para mahasiswa dan 2 orang misterius yang dari tadi diikuti Niko menuju kearah danau yang berada di belakang kampus. Niko mengikuti dari jarak yang cukup jauh. Tidak terlalu sulit mengikuti sekelompok orang di tengah malam seperti ini. Karena mereka terlihat sangat mencolok. Niko mengendap-endap diantara pilar-pilar penyanggah gedung kampus. Dia hanya berharap semoga nafas dan langkahnya tidak memecah kesunyian malam ini dan membuat dirinya berada dalam masalah. Akhirnya kelompok mahasiswa itu tiba di pinggir danau. Entah apa yang akan mereka lakukan di danau, pada tengah malam seperti ini. Niko bersembunyi di antara kursi dan meja bagian teras kantin yang tepat menghadap danau. Tidak terlalu sulit untuk melihat apa yang dilakukan kelompok itu di bawah sinar bulan yang terang. Ya bulan malam ini terlihat sangat terang dan besar, seakan hendak menutup langit. Cahayanya bahkan cukup menyilaukan bila dilihat terlalu lama. Pemandangan yang lebih menarik lagi, seluruh permukaan memantulkan bulan. Benar-benar memantulkan dengan utuh, menutupi setiap sisi danau seakan danau itu memang dibuat seukuran pantulan bulan. Entah sebuah kebetulan atau ini memang waktu yang sudah direncanakan. Satu-satunya hal yang tidak dapat Niko adalah percakapan dari 2 orang misterius yang mengikuti para mahasiswa itu. Kondisinya tidak ada tempat untuk bersembunyi lebih dekat. Akhirnya sekarang yang bisa dia lakukan hanya melihat dan menunggu. Lalu salah seorang misterius itu seperti memberikan instruksi kepada para mahasiswa. Lalu para mahasiswa itu mulai kembali berjalan, ke danau. Niko sangat kaget dan bingung. Apa yang mereka lakukan, dia tahu betul kalau semua mahasiswa di kampus ini sudah aneh semenjak usai insiden masa orientasi. Tapi ini sangat aneh, masuk ke dalam danau di tenah malam seperti ini. Satu persatu mahasiswa itu berjalan masuk ke danau. Makin ke tengah perlahan bagian tubuh para mahasiswa itu mulai terendam semakin dalam. Hingga seluruh tubuh para mahasiswa itu benar-benar hilang tenggelam. Niko masih tidak tahu harus berbuat apa selain melihat dan menunggu. Kedua pria misterius itu pun belum beranjak dari danau. Mungkin masih ada kelanjutan dari hal yang tadi ia lihat. Cuaca dingin mulai membelai tubuh Niko, dirinya mengembuskan nafas pada kedua telapak tangannya lalu menggosok-gosokkan ke bagian lengannya untuk mendapatkan rasa hangat. Sama sekali tidak membantu. Tapi penantian Niko terbayarkan. Dari tengah danau Niko dapat melihat pergerakan. Gerakan itu menuju pinggir danau, dan Niko pun kaget bukan main melihat mahasiswa yang tadi sebelumnya masuk kini kembali lagi. Tapi mahasiswa itu tidak terlihat normal, dia merangkak. Bukan seperti bayi, lebih seperti laba-laba dengan empat kaki. Aneh dan mengerikan sekali. Tapi tidak itu saja, satu persatu mahasiswa yang tadi masuk ke dalam danau kini kembali muncul dan dengan kondisi yang sama. Mengerikan. Entah mahasiswa atau makhluk apa itu, mereka melingkari kedua orang misterius itu lalu salah seorang misterius itu kembali memberikan instruksi. Tiba-tiba sekelompok makhluk itu mulai melakukan sesuatu. Tubuh mereka seakan bergerak dengan aneh. Perlahan mereka mencoba berdiri, dan itu terlihat sangat aneh dan mengerikan. Tulang-tulang di tubuh mereka seakan di putar dan di susun ulang untuk dapat berdiri. Hingga akhirnya mereka semua dapat berdiri dengan normal. Niko masih bertanya-tanya apa yang terjadi kepada mereka. Lagi-lagi cuaca malam membelai Niko, kini tepat di hidungnya. Membuat Niko tidak dapat menahan rasa gatal dan dirinya pun bersin. Niko sudah berusaha menahan suara bersinnya, tapi malam terlalu sunyi hingga suara kecil bersin Niko pun sudah cukup untuk memecah kesunyian itu. Benar saja, sekelompok mahasiswa dan 2 orang misterius itu serentak memalingkan pandangan mereka ke tempat Niko berada. Niko bersembunyi di antara meja dan kursi, untuknya cahaya bulan membuat atap teras kantin membuat bayangan gelap di tempat Niko berada. Niko tidak bergerak sama sekali, bahkan dirinya menahan nafasnya. Rasa cemas Niko pun hilang ketika tatapan-tatapan dingin itu berhenti melihat kearah tempat ia berada. Niko masih belum berani untuk mengintip. Tapi dia harus mengambil resiko untuk mengetahui apa selanjutnya yang akan mereka lakukan. Dia melihat mereka mulai kembali berjalan ke arah awal mereka datang. Posisi, gaya, langkah yang sama. Mereka seperti robot yang di program untuk melakukan segala sesuatunya persis dengan perintah. Niko kali ini tidak mengikuti mereka karena tubuhnya sudah tidak kuat dengan cuaca dingin yang menusuk. Niko pun beranjak dari tempatnya dan berjalan memutari kantin, menuju bagian belakang sekolah. Jalur ini lebih cepat bila dia hendak menuju ruang kesehatan. Tidak ada hambatan yang dijumpai Niko selama perjalanan. Setibanya di ruang kesehatan dia masuk dan langsung duduk di sofa. Menyandarkan punggungnya dan melepaskan rasa letih yang menyelimutinya. Ruang kesehatan cukup hangat untuk pada waktu seperti ini. Kini dia hanya perlu menunggu Rani dan menceritakan apa yang terjadi. Sudah cukup lama dari waktu Rani dan Niko berpisah. Niko mulai cemas, karena harusnya tidak membutuhkan waktu selama ini untuk Rani kembali kesini setelah menolong Felix dan Senja. “Apakah Rani baik-baik saja?” Tanya Niko pada dirinya sendiri. “Harusnya tidak selama ini.” Niko semakin cemas. Lelah yang telah hilang kini berganti rasa cemas yang sangat mendalam. Mungkin karena perasaan Niko terhadap Rani pun cukup dalam. Niko menundukkan kepalanya, kedua tangannya memeluk kepalanya sendiri. Dia benar-benar tidak bisa berfikir. Ingin dirinya beranjak untuk mencari Rani. Tapi apa jadinya ketika dia pergi lalu Rani datang? Dan Niko tau betul Rani pun akan berfikir untuk kembali mencari dirinya. Itu akan sangat merepotkan bila mereka saling mencari satu sama lain. Apa lagi di sarang monster seperti ini. Niko menghadapi konflik batin yang cukup berat. Felix dan Senja pun belum kembali. Bagaimana jika mereka bertiga tertangkap? Apakah mereka semua masih hidup. Penuh pertanyaan yang pesimis pada benak Niko. Tapi dirinya tidak boleh gegabah. Kalo memang ketiga temannya dalam bahaya, maka hanya dirinya yang bisa menolong mereka. Tapi dia harus memikirkan semua rencana dengan matang. Pikiran Niko benar-benar kalut. Hingga pikiran disadarkan oleh suara Felix. ****** Kini kecemasan Niko pun menular kepada Felix dan Senja. Rani yang sudah berkorban untuk menyelamatkan Felix dan Senja dan tak kunjung kembali. Felix tak henti-hentinya menyalahkan dirinya tapi Senja meyakinkan ini bukan kesalahanya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Niko. Dia hanya diam. Dahinya mengkerut diikuti oleh urat-urat yang saling menarik. Emosinya benar-benar akan meledak. Lalu Senja menghampiri Niko. Digenggamg ke dua tangan Niko sembari berkata “Kita akan menyelamatkan Rani, aku janji”. Emosi Niko mereda, dirinya menghela nafas panjang lalu mengusap wajahnya. “Baiklah, kita akan kembali untuk Rani. Tapi sebelum itu kita harus kembali menjalani aktivitas kita. Sudah pagi dan kita tidak mungkin berkeliaran mencari Rani”. “Baiklah, kita kembali ke kost kita masing-masing lalu bertemu kembali menjelang sore. Bagaimana?” saran Felix. “Boleh juga, aku memang perlu cukup istirahat. Aku sangat mengantuk” ucap Senja. Tanpa berbicara panjang lebar mereka melangkahkan kakinya meninggalkan kampus. Kost Felix dan Niko searah utara dari kampus. Sedangkan Senja kebalikannya. Tapi Felix tidak langsung pulang, dirinya menemani Senja sampai kostnya. Selama perjalanan tidak ada yang mereka bicarakan, hanya kecanggungan yang luar biasa menyelimuti mereka berdua. Yang mereka alami tadi sudah cukup untuk membuat hubungan mereka menjadi tidak biasa. Tapi mereka tidak tahu harus bagaimana. Wajah Senja memerah begitu pula Felix. Mereka seakan sedang berkomunikasi melalu perasaan mereka satu sama lain. Tanpa adanya satupun lisan. Hingga tak terasa mereka sampai di kost Senja. Senja beranjak meninggalkan Felix di gerbang kostnya. Lalu dirinya berhenti sejenak dan menoleh kea rah Felix. Dirinya melambai dan tersenyum ke Felix. Lagi-lagi tak ada kata yang terucap. Felix pun hanya membalas dengan senyuman. Mungkin ini hal terbaik yang pernah dialami Senja selama di kampus. Dadanya terasa hangat dan sangat nyaman. Dirinya tersenyum sendiri dalam langkah kaki menuju kamarnya. Hingga dia merebahkan seluruh tubuhnya dan jatuh membiarkan rasa kantuk menyelimuti dirinya. Senja pun terlelap. ***** Langit sudah gelap. Matahari pun kini bersembunyi dari sang bulan. Senja tersadar dan kaget. Dirinya lupa akan janjinya untuk menyelamatkan Rani. Dia melihat jam tangannya, pukul 7. Dia sangat terlambat. Senja pun bergegas, dirinya bahkan tak sempat. Hanya sikat gigi, cuci muka, dan mengikat rambutnya. Sedikit wewangian mungkin dapat menutupi dirinya yang belum mandi. Ketika Senja membuka pintu, dirinya terkejut melihat kondisi langit yang aneh. Sudah wajar bila malam hari itu gelap. Tapi kegelapan ini berbeda. Seakan langit ditutupi oleh kain hitam, sangat gelap. Anehnya lagi kegelapan di langit itu tidak membuat pemandangan sekitanya gelap. Seakan setiap benda yang ada memiliki cahayanya sendiri. Tapi bukan berarti bersinar, hanya terlihat jelas saja walau dengan kondisi langit seperti ini. Kebingungan Senja terpecah oleh suara keramaian dari kejauhan. Dari arah kampus tepatnya. Senja pun mulai melangkah, dirinya sudah berjanji kepada Niko untuk mencari Rani. Kondisi jalanan sekita kostnya cukup ane. Sangat-sangat sepi untuk waktu seperti sekarang. Entah karena langitnya atau ada suatu hal lain yang terjadi. Senja berjalan dengan cukup cepat. Semakin ia mendekati kampus, maka semakin jelas pula suara yang keramaian dari kampus. Ketika hendak mendekati kampus, Senja mengendap-endap. Dirinya mengintip dari luar pagar kampus dan mendapati sedang ada semacam acara. Seperti konser, semua orang mengerumuni pintu lobby kampus. Senja semakin mendekatin keramaian tersebut. Hingga dirinya berada di gerbang depan kampus. Dia coba melihat apa yang menjadi sumber keramaian ini. Tapi satu hal yang jelas terlihat, mereka semua bukan manusia. Entah makhluk apa, walau secara fisik terlihat seperti manusia, tapi ada hal yang janggal, terutama pada bagian wajah. Lebih panjang dan mengerikan. Mata dan mulut mereka terbuka sangat lebar bahkan 1 buah bayi mungkin dapat masuk. Tatapan mata mereka kosong. Dan mereka semua mengeluarkan suara berisik yang tidak jelas. Entah itu kata atau hanya suara yang dikeluarkan dari mulut mereka. Senja hanya berani untuk melihat dari jauh. Tiba-tiba keramaian itu pecah oleh suara seseorang pria di tengah kerumunan. ‘Tidak’, itu kata yang diteriakkan oleh pria itu hanya saja dengan teriakan. Senja mencoba melihat siapa itu. Hanya Niko dan Felix pria yang masih manusia yang dikenal Senja. Tapi Senja tidak dapat menduga itu suara siapa karena dia berteriak. Senja coba melihat dari kerumunan. Pria itu terduduk dikerumuni semua makhluk itu. Dia terlihat normal. Apakah dia salah satu mahasiswa yang masih selamat? Kenapa dia ada disini? Senja hanya mampu bertanya dalam benaknya saja. Hingga dia melihat ada tangan yang menarik tangan pria itu dan pria itu menghilang. Tepat setelah itu, bahu senja di pegang oleh seseorang yang membuat Senja sontak berteriak kaget. Seketika semua berubah. Senja kini berada di dalam kamarnya. Dan dia masih di tempat tidur, dengan pakaian yang sama ia kenakan sebelum tidur tadi. “Apa tadi hanya mimpi? Tapi itu terasa sangat nyata” tanya Senja dalam pikirannya. “Hei sadar Senja!” bentak seorang wanita. “Rani!” Senja kaget. “Bagaimana kau bisa ada di kamarku? Apa yang terjadi? Dari mana saja kau? Niko sangat menghawatirkanmu” tanya Senja bertubi-tubi. “Aku akan jelaskan semuanya. Tapi waktuku tidak banyak. Temui aku dikampus tengah malam nanti. Dan datanglah sendirian.” Jelas Rani. Lalu Rani berdiri dan bersiap untuk pergi. Meninggalkan Senja dengan kebingungan. Dirinya masih belum begitu tersadar dari tidurnya. Dia menatap Rani yang sedang berdiri di pintu kamarnya. Lalu beranjak sambil menutup pintu kamarnya. Tapi tepat sebelum pintu tertutup, Rani mengucapkan suatu hal yang membuat Senja makin tenggelam dalam kebingungan. “Jangan percaya kepada Niko dan Felix”. Chapter 7 Fade Gelap gulita, kepergian Rani meninggalkan Senja dalam kegelapan. Bukan pengandaian, tapi memang kondisi gelap yang sebenarnya. Senja dapat merasakan fisiknya tapi tidak dapat melihat raganya. Senja tak dapat membedakan antara menutup mata atau tidat. Rasanya sama saja, kegelapan masih tetap menyelimutinya. Tiba-tiba di depan pandangannya, di kejauhan terdapat cahaya yang tumpah menyinari sesosok pria. Tapi cahaya itu tidak membuat Senja dapat melihat dirinya. Senja pun mencoba melangkah meski dirinya tak dapat meliha pijakan kakinya. Langkah demi langkah Senja semakin mendekati sosok itu. Semakin dekat sosok itu makin terlihat jelas fisiknya, tapi tidak dengan wajahnya. Cahaya itu terlalu membasahi wajah pria itu hingga tak terlihat. Tapi Senja merasakan sosok itu menatap dirinya, memanggil dirinya. Senja semakin dekat, dirinya berharap dapat berbagi cahaya dari pria itu agar dapat melihat dirinya. Senja menjulurkan tangannya mencoba menggapai cahaya dan pria itu. Senja tak tahu sudah sampai di mana posisi tangannya. Hingga ujung jemari Senja merasakan hangat, Senja dapat melihat ujung dari jari tengahnya. Tiba-tiba dirinya ditarik mundur menjauh dari cahaya dan pria itu. Kembali dalam gelap. **** 07:00 AM Senja membuka mata, dirinya masih terbaring di kasurnya. Hanya mimpi, tapi tidak biasa. Terasa nyata, ujung jemari Senja masih dapat merasakan sentuhan hangat dari cahaya itu. Rasa penasaran Senja pun bertambah dengan sosok pria itu. Apakah itu Felix? Atau Niko? Tapi fisiknya tidak terlihat seperti mereka berdua. Tapi itu hanya asumsi Senja, dia belum begitu mengenal kedua pria itu pula. Lalu terlintas nama Rani di benak Senja. Dia teringat Rani datang ke kamarnya dan membuat janji serta memperingatkan sesuatu. Dirinya coba mengingat-ingat, tapi Senja pun ragu. Kalo Rani kemari lalu pergi, kenapa aku tidak mengejarnya? Apa itu juga cuma mimpi? Berapa kali dirinya telah bermimpi dan tetap belum terbangun kalau begitu. Apa sekarang dirinya benar-benar telah terbangun? **** 09.00 AM Senja masih bingung dengan mimpi-mimpinya. Apakah itu nyata? Kalo benar berarti Rani baik-baik saja. Tapi kenapa dia meninggalkannya lagi dan mengajak bertemu tengah malam ini? Lalu kenapa dirinya tidak boleh percaya kepada Felix dan Niko? Kalo itu benar apa yang harus Senja lakukan? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Senja termenung lama di kelas, hingga dosen berdeham dan membangunkan lamunan Senja. Meskipun Senja sadar kalau itu bukan manusia. Usai dari kuliah Senja bergegas ke ruangan kesehatan. Tempat itu sudah menjadi tempat paling nyaman bagi Senja. Dia tidak ingin merasakan nuansa dingin yang dulu ia alami di kantin. Senja semakin dengan dengan ruangan kesehatan itu. Ketika sampai pun dia langsung membuka pintu ruangan tersebut dan terkejut menemukan seorang wanita yang duduk di balik meja petugas ruang kesehatan. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu seraya melihat Senja. “E..e… saya mencari teman saya bu.” Jawab Senja kebingungan. “Teman? Belum ada satupun mahasiswa yang beristirahat kesini hari ini. Kau yakin temanmu sedang disini?” tanya kembali wanita itu. Diselimuti oleh kebingungan Senja pun meninggalkan wanita itu tanpa menjawab pertanyaannya. Senja berlari menjauh dari ruangan itu. Sekali ia menoleh ke belakang dan melihat wanita itu berdiri di depan pintu ruang kesehatan itu sambil melihat ke arah Senja. Langkah kaki Senja tak tentu. Dirinya diselimuti kegelisahan. Tidak seharusnya dia menanyakan soal teman-temannya. Karena tidak ada satupun mahasiswa disini yang akan beristirahat selain dirinya dan teman-temannya. Apakah setelah ini dirinya akan ditangkap? Bagaimana nasib Felix, Niko, dan Rani? Pikirinya lagi-lagi dipenuhi dengan banyak hal yang memusingkan. Tanpa sadar senja tidak sengaja menabrak seseorang hingga dirinya hampir terjatuh. “NIKO!” ucap Senja terkejut melihat sosok yang ia tabrak. Tanpa sempat Niko membalas panggilan Senja, tanggannya langsung di Tarik Senja dan ditarik menuju pintu yang menuju tangga darurat. Ketika memasukin ruangan itu Senja spontan memeluk Niko dan menangis. “Aku panik sekali Niko, Rani tadi subuh mendatangiku dan mengucapkan hal yang membuat aku tak mengerti sama sekali” cerita Senja. Niko hanya diam saja. “Lalu aku tadi ke ruang kesehatan dan menemukan seorang wanita yang aku yakin dia adalah salah satu dari makhluk-makhluk itu” lanjut Senja. Niko masih saja diam. “Aku kira kalian sudah tidak ada lagi, dan aku sangat khawatir dengan kondisi Rani. Karena setelah hilang tadi malam dia kembali dengan mengucapkan hal-hal aneh” lanjut Senja. Niko masih diam terpaku tanpa ada respon. “Nik..” hentak Senja kepada Niko. “Eh.. maaf, tadi aku juga sedang memikirkan Rani” balas Niko. Senja merasa agak bingung. Sebelum Niko berbicara dia merasakan nuansa yang berbeda. Tapi Senja tidak terlalu memikirkan hal itu karena dia sudah sangat senang bertemu Niko. “Dimana Felix?” tanya Senja “Felix? Oh iya aku sedang dalam perjalanan untuk bertemu dia. Mungkin kamu sebaiknya ikut” jelas Niko. Tanpa pikir panjang Senja pun mengikuti langkah Niko untuk bertemu Felix. Langkah kaki Senja terasa agak lebih ringan. Tapi ada rasa yang tidak mengenakkan yang masih mengikuti dirinya. Dia merasa semua mata makhluk-makhluk itu menatap dirinya. Seakan dirinya terlihat berbeda. Senja mencoba untuk bersikap normal agar tidak dicurigai. Niko malah sebaliknya. Dia berakting dengan sangat baik. Dia sama sekali tidak menunjukan gerak-gerik yang mencurigakan. Dia semakin jago dalam hal ini. Senja pun mencoba mengimbangi sikap Niko. Langkah kaki Niko membawa mereka menuju tangga ke lantai 2. Senja masih berusaha tenang dan tetap mengikuti Niko. Lantai 2 merupakan lantai yang paling berbahaya bagi mereka berdua. Jadi Senja merasa Felix ada di lantai 3. Tapi saat di lantai 2 kaki Niko tidak beranjak untuk naik ke lantai 3, melainkan menuju Lorong yang ada di lantai 2. Senja ingin memanggil Niko, tapi dia tahu itu akan menarik perhatian. Senja pun terpaksa hanya diam. Semakin jauh mereka memasuki lorong hingga lorong tersebut berbelok dan langkah kaki Niko belum juga menandakan akan berenti. Lorong ini terasa begitu panjang bagi Senja. Dia merasakan lorong ini tak ada ujungnya. Senja mencoba mengintip dari sisi baju Niko untuk melihat ujung dari lorong ini. Sebuah pintu tapi suasanya yang agak berbeda disana. Bagian ujung lorong itu tak diterangi lampu sama sekali. Hanya cahaya bias dari lampu terakhir di ujung lorong tersebut. Tampaknya ruangan itu yang dituju Niko. Tapi kenapa harus di lantai 2? Kenapa Felix berada disini? Apa yang sebenarnya Niko dan Felix rencanakan? Langkah kaki Niko terhenti tepat di depan ruangan di ujung lorong tersebut. Dia membuka pintu dan meminta Senja untuk masuk terlebih dahulu. Senja yang masih tak mengeri apa yang terjadi pun hanya mengikuti ucapan Niko. Ruangan itu gelap, hanya ada 1 lampu yang menerangi tepat di ujung ruangan, menyinari sebuah meja kerja. Dalam kegelapan itu, bias cahaya lampu menerangi sosok seorang pria di sisi ruangan. “Felix!” panggil Senja seraya berlari mengampiri Felix. Tapi saat Senja akan mendekati Felix tiba-tiba tangan Felix mencengkram leher Senja sangat kuat. Senja kaget dan panik. Dirinya coba berteriak tapi suaranya tak dapat keluar karena cengkraman Felix. Dirinya pun sulit untuk bernafas. Senja mencoba menoleh kebelakang untuk meminta pertolongan Niko. Tapi yang dilihatnya adalah senyuman aneh di wajah Niko sembari menutup pintu ruangan itu. Senja pun tahu tak ada harapan bagi dirinya. Lalu terdengar suara decitan dari arah meja kerja yang ada di ujung ruangan tersebut. Sebuah kursi yang dari tadi berada di meja kerja dengan posisi memunggui meja kini berbalik. Senja mencoba untuk melihat siapa yang duduk disana. Tapi kesadaran Senja mulai memudar. Pandangannya kabur, wajah dari sosok itupun tak terlihat. Hanya bayangan hitam. Dan kegelapan pun menyelimuti Senja. **** Gelap. Dingin. Sunyi. Sepi. “Jangan percaya kepada Niko dan Felix!” Sontak Senja terbangun usai mendengar pesan terakhir dari Rani. Dirinya menatap langit-langit kosong yang ada di ruangan tempat dirinya berbaring. Senja mencoba duduk dan memandang sekitar. Ruangan ini tidak memiliki lampu, tapi cahaya bulan cukup menyinari dari jendela. Tidak ada apa-apa di dalam ruangan itu. Kosong. Senja masih mencoba mengumpulkan kesadaran dan remah-remah ingatannya. Dirinya masih bingung dengan ingatan terakhir yang dirinya alami. Apakah itu benar yang terjadi? Apakah benar Felxi mencekik dirinya dan Niko hanya tersenyum melihat hal itu terjadi? Lalu siapa sosok yang duduk di kursi tersebut? Dirinya masih tak bisa percaya dengan yang terjadi. Apakah ini yang dimaksud Rani? Apakah Felix dan Niko kini bagian dari makhluk-makhluk itu? Senja mencoba berdiri dan melihat dimana dirinya berada sekarang. Dia melangkahkan kaki menuju jendela. Di bawah terang cahaya bulan Senja terkejut bukan main dengan apa yang dirinya lihat. Dia menatap Gedung kampus lengkap dengan danau dan daerah pemukiman warga. Posisinya ia melihat pun lebih tinggi dari Gedung kampus. Senja mundur tak percaya. Dimana dirinya berada sekarang? Dengan panik Senja mengambil langkah meninggalkan ruangan tersebut. Semakin dirinya tak percaya. Lorong panjang dengan banyak ruangan di sepanjang lorong. Tanpa pikir panjang dia pun berlari mencoba mencari jalan keluar. Hingga di ujung lorong Senja menemukan tangga turun. Tapi tidak ada tangga naik. Berarti dia berada di lantai paling atas di Gedung tersebut. Tempat apa ini? Senja sangat ingat tidak ada bangunan ini tadi pagi. Tak mungkin dirinya tak sadar dengan adanya Gedung setinggi ini di sekitar kampus. Belum lagi posisi Gedung ini lebih tinggi dari kampus, mungkin 2-3 lantai lebih tinggi dari Gedung kampus. Senja mundur hingga tembok dan terduduk. Dirinya benar-benar kebingungan. Dimana dirinya? Sudah berapa lama ia tak sadarkan diri hingga berdiri Gedung setinggi ini? Apa yang terjadi dengan Felix dan Niko? Dimana Rani? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar-putar dalam pikiran Senja. Dirinya kini kembali harus bertahan seorang diri. Titik terang yang diharapkan senja kembali pudar. Hanya kamar kost-nya lah yang kini bisa jadi tempat untuk dirinya menenangkan diri. Tapi Senja tak tahu apa lagi yang akan ia temui dalam perjalanannya untuk pulang. Malam dan kegelapan selalu menjadi musuh bagi dirinya. Chapter 8 The Woman Sunyi menjadi sahabat karib Senja malam itu. Dirinya terlelap diselimuti cahaya bulan dan dinginnya malam. Bukan karena Lelah fisik yang membuatnya mengantuk. Tapi lelah pikiran dan jiwa menghadapi masalah yang ia hadapi sekarang. Tangis pun tak ada guna. Dirinya mencoba menguatkan tekad untuk mengahadapi apapun itu yang akan ia temukan di depan. Tapi esok hari, saat sang fajar menemani. … Dingin lantai membelai pipi Senja. Dirinya terlelap hingga terbaring di lantai. Wajahnya penuh debu, rambutnya berantakan. Matanya sudah cukup ringan. Tak disangka tidur di tempat seperti ini cukup membuat Senja tidur pulas. Dirinya masih menatap vertikal bidang horizontal gedung kosong tersebut. Dirinya masih malah berfikir tentang dimana ia berada sekarang. Yang dipikirkannya hanya pulang ke kost nya dan mandi lalu makan. Dirinya sangat lapar. Perlahan Senja mulai menegakkan tubuhnya, menyandarkan dirinya ke tembok sambal meluruskan kedua kakinya yang kesemutan karena tertekuk semalaman. Cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup kayu menjadi sumber penerangan yang ada. Hanya sebagaian kecil saja, sisanya gelap. Bahkan tangga menuju lantai bawah lebih tepat disebut gelap pekat. Sekeras apapun mata Senja mencoba untuk membiasakan, tapi tetap saja sulit. Hanya 2 sampai 3 anak tangga yang bisa ia lihat. Bahkan dirinya ragu apa ada ujung dari anak tangga tersebut. Senja menundukan kepala sembari mengangkat tubuhnya hingga berdiri. Sedikit peregangan karena tubuhnya terasa sangat kaku. Langkah kaki nya berat tapi tidak ada pilihan, berdiam diri disana pun tidak akan membuat masalah selesai. Senja dengan perlahan meninggalkan lorong tersebut dan beranjak ke lantai bawah. Melalui anak tangga pertama dan kedua dirinya menoleh ke belakang. Menatap cahaya hangat dari matahari pagi yang segera berganti dengan kegelapan yang pekat. Langkah demi langkah Senja makin dalam masuk ke dalam kegelapan. Nuansa dingin dan lembab menyelimuti Senja. Mata Senja perlahan makin terbiasa dengan kondisi gelap di gedung itu. Anak tangga demi anak tangga dilalui Senja. Belokan pertama pun ia lalui hingga sampai dirinya di lantai berikutnya. Kegelapan belum juga sirna. Bau tembok yang yang lembab membuat Senja semakin kurang nyaman. Dirinya tidak dapat mendengar sedikitpun suara makhluk hidup disana. Benar benar seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara nafasnya yang terhela-hela serta detak jantungnya yang terdengar jelas ditelinga. Senja melanjutkan langkahnya. Tidak ada niat di dirinya untuk memeriksa setiap ruangan di lantai ini. Dirinya ingin cepat melihat matahari. Tapi langkahnya kembali terhenti saat hendak menapaki anak tangga menuju lantai berikutnya. Mata Senja terpaku dan mencoba mefokuskan tepat ke ujung lorong. Sesosok wanita berdiri tepat di ujung lorong. Diam terpaku, wajahnya tidak terlihat jelas karena gelapnya bagian ujung lorong. Ditambah rambut yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Senja mencoba memaksimalkan penglihatanya agar dapat melihat dengan jelas apa dan siapa yang sedang ia lihat. Wanita itu mengenakan seragam mahasiswa kampus. Senja mulai merasa tidak nyaman, tapi rasa penasaran mulai mendorong Senja untuk mencari tahu. Langkah agak berbelok, tapi tepat ia memulai langkahnya wanita itu bereaksi. Mulutnya terbuka lebar seakan berteriak. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wanita itu lalu mulai komat kamit seperti mengucapkan sesuatu. Senja menjadi ragu. Ada hal yang salah disini. Diri Senja mulai balik arah dan kembali menuju lantai berikutnya. Kali ini dirinya agak mempercepat langkahnya. Tibalah di lantai berikutnya Senja kembali melihat wanita itu. Tapi kini wanita berpindah posisi menjadi lebih dekat. Sontak Senja makin ketakutan. Dirinya ambil langkah seribu dan segera turun ke lantai berikutnya. Tetapi di lantai berikutnya wanita itu masih ada bahkan semakin dekat. Senja semakin panik kali ini dia tidak berhenti di tiap lantainya tapi matanya masih melihat sosok wanita itu. Lantai demi lantai Senja lewati. Dirinya bahkan tidak sempat menghitung berapa lantai yang sudah ia lewati. Rasa takutnya membuat fikiranya hanya focus untuk keluar dari gedung ini dan juga tidak bertemu wanita itu. Wajah Senja pucat, keringat mulai bercucuran. Nafas Senja semakin tak beraturan. Tapi rasa letih itu ia lawan karena rasa takut benar benar memberi tenaga yang tidak masuk akal. Sosok wanita itu semakin dekat. Senja kini dapat melihat dengan jelas sosok wanita itu walau wajahnya masih tidak dapat terlihat karena tertutupi oleh rambutnya. Tapi itu tidak membuat Senja semakin tenang justru semakin panik. Lalu tiba-tiba Senja berhenti di tangga dan berfikir. Dari setiap lantai yang ia lalui, wanita itu seakan semakin dekat beberapa langkah kea rah dirinya datang. Senja pun makin panik, seingatnya terakhir wanita itu sudah sangat dekat. Bisa jadi di lantai berikutnya Senja akan bertemu dengan wanita itu. Tubuh Senja gemetar. Dirinya sangat ketakutan, karena dia merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu. Tapi dia tidak mungkin naik keatas. Senja beranikan langkah kakinya. Tapi kali dirinya melangkah perlahan dan mengendap endap. Tepat di belokan tangga menuju lantai berikutnya Senja mengintip melihat ke lantai berikutnya. Wanita itu tidak ada disana. Entah memang tidak ada atau dia belum sampai. Senja maju untuk melihat ke sisi lebih dalam lorong lantai itu. Kosong. Wanita itu benar — benar hilang. Langkah Senja agak cepat dan dirinya pun berhenti. Menatap hingga ujung lorong. Agak bingung, tapi dirinya lebih tenang sekarang. Senja pun kembali menerukan langkahnya, tapi tiba-tiba ia terhenti. Lagi. Tepat di belakang lehernya Senja dapat merasakan udara dingin yang aneh. Seperti hembusa nafas, tapi dingin. Senja mencoba untuk memalingkan wajahnya melihat sumber udara dingin tersebut. Tapi Senja dapat menduga apa yang sedang ada di belakangnya dan hal itu membuatnya sangat takut. Senti demi senti kepalanya mulai berputar untuk melihat. Baru berapa senti kepala senja hendak menoleh, dirinya sudah dapat melihat sosok kepala muncul di samping wajahnya. Senja tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Lagipula dirinya pun tak berani bila harus bertatapan dengan wajah tersebut. Tubuh Senja membatu, tapi langkah kakinya mencoba untuk lari dan meninggalkan sosok itu. Senja menangis dan berdoa dalam hati. Perlahan ia mencoba menguatkan langkahnya dan memaksa tubuhnya untuk bergerak. Tubuh Senja pun berhasil malawan. Tapi gerakan tiba-tiba Senja tersebut membuat tubuhnya tidak seimbang. Senja pun terjatuh. Perlahan tubuh Senja berbalik sembari jatuh dan menatap sosok wanita itu yang ternyata berada di belakangnya. Waktu seakan melambat. Senja dapat melihat sosok wanita itu mengucapkan sesuatu. Bibirnya menyampaikan lisan tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut wanita itu. Lalu tubuh Senja jatuh dalam kubangan air. Sebagian tubuhnya terendam air dan sonta membuat Senja gelagapan mencoba mencari udara. Dirinya dengan cepat mengangkat kepalanya dan terduduk melihat dirinya sedang di dalam semacam rawa — rawa. Tepat di depanya dirinya melihat akses masuk kesebuah gedung tanpa pintu. Matanya melihat keatas dan nampak bangunan yang tinggi menjulang. Tapi Senja tidak dapat melihat ujung dari bangunan tersebut. Disitupun Senja tersadar bahwa hari sudah gelap. Dia melihat ke dalam gedung tapi hanya hitam pekat yang ia lihat. Senja melihat sekelilingnya tapi jarak pandang Senja sangat pendek. Matanya ia paksa untuk menyesuaikan dengan gelap. Tapi ini bukan gelap malam. Ini benar benar gelap yang sangat gelap. Seakan akan dirinya di dalam ruangan bercatkan hitam dan tidak ada cahaya sama sekali. Senja berdiri dan mendapati dirinya sudah basah kuyup. Tapi bukan itu yang jadi masalah. Tapi dimana tepat dirinya berada. Senja mencoba mencerna yang terjadi. Dirinya tidak berani bergerak karena dia tidak tahu ada apa di balik kegelapan. Hanya gedung ini yang nampak oleh matanya dan dirinya merasa itu satu satunya tempat teraman. Saat ini. Klise memang, dari tadi ia berusaha keluar dari gedung itu tapi sekarang dia tidak bisa jauh jauh dari gedung itu. Senja mencoba memfokuskan pikiranya, dirinya pun teringat dengan sosok wanita tadi. Senja mulai berfikir kalo wanita itu mencoba mengucapkan sesuatu. Tapi hanya gerak bibir yang Senja dapat dari wanita itu. Senja pun mencoba menirukan gerap bibir wanita itu. Perlahan ia mencoba memahami apa yang hendak disampaikan wanita itu. 2 kata, setidaknya itu yang Senja bisa dapatkan. Huruf demi huruf ia coba rangkai. Konsonan demi konsonan hinggak membentuk 2 kata yang jelas. SADAR dan BANGUN. Kata itulah yang disampaikan wanita itu kepadanya. Tapi apa maksudnya Senja sendiri masih mencoba memahami. Lalu dirinya pun tersentak, dan berfikir. Mungkinkah semua ini hanya mimpi? Tapi ini terasa sangat nyata. Keraguan Senja akan realitas saat itu membuat matanya menujukan hal — hal yang aneh. Dirinya melihat sekelebat gambaran orang orang sedang menatap dirinya. Mereka semua menggunakan jas lab. Tapi gambaran itu hanya sesaat dan Senja tidak mendapat kejelasan dan maksud dari gambaran itu. Senja tetap memaksakan otaknya untuk memfokuskan apa yang disampaikan wanita tadi. Karena hanya itu yang bisa menjadi petunjuk saat ini. Mungkin wanita itu tadi benar benar ingin menyampaikan sebuah pesan untuk Senja dan tidak memiliki maksud jahat. Tapi kenapa dirinya merasa sangat takut pada wanita itu masih membuat Senja bingung. Otak Senja terus berkerja menelaah semua informasi yang ada saat itu. Gambaran — gambaran itu kembali muncul tapi kali ini semakin jelas. Senja pun memberanikan diri untuk bersuara. “SIAPA KALIAN?!!” teriak Senja. Orang — orang yang berada dalam gambaran disekitar Senja sontak terkejut. Gambaran itu datang dan pergi tidak menentu. Tapi potongan gambar itu menampilkan saat ini mereka semua sedang melihat Senja secara langsung dan mendengar apa yang dikatakan Senja. Tiba — tiba kegelapan mulai menyempit. Perlahan gedung itu mulai tertelan oleh kegelapan. Senja panik tapi ia tak berani beranjak dari tempat ia berdiri sekarang. Kegelapan mulai memakan sekitar hingga menyelimuti Senja. Senja benar benar di dalam kegelapan. Dirinya sadar. Tapi semua terlihat gelap. Lalu Senja pun sadar kalo dirinya tidak dapat bergerak. Seakan tangan dan kakinya terikat. Senja mencoba berontak tapi mulutnya pun bungkam. Senja mulai menangis dan meneteskan air mata. Dirinya sangat ketakukan. Kondisi ini jauh lebih menakutkan ketimbang saat ia berada dalam gedung tadi. Karena saat ini ia benar — benar hilang control akan dirinya sendiri. Hanya otak dan pikirannya yang masih bisa ia gunakan. Di dalam kegelapan itu Senja mendengar suara — suara beberapa orang sedang berbicara. Tidak jelas apa yang mereka ucapkan. Atau memang ucapan atau bahasa mereka terasa asing di telinga Senja. Tapi Senja tau dirinya tidak sendiri dalam kegelapan itu. Senja henda meminta tolong tapi apa daya suara pun tak ia miliki saat ini. Dirinya benar — benar dalam kondisi tak berdaya. Kini ia hanya memohon semoga ada bantuan dari siapapun. Bahkan dari wanita yang ia jumpai di dalam gedung tadi. Description: Mengisahkan sebuah peristiwa yang dialami seorang anak kost di kampus nya, membawa dirinya dalam sebuah tragedi kegelapan dan mengharuskan nya bertahan dan berjuang agar dapat membuat semua kembali menjadi normal.
Title: Ramadhan Diary Category: Cerita Pendek Text: Diary #Day1 Diary# Day1 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatab dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali. (Al-Mujaadila: 9). Seorang perempuan yang usianya sekitar 20an itu nampak duduk sendirian. Dia tengah asyik memandangi sekumpulan anak laki-laki dan anak gadis usia belasan. Nampaknya wanita usia 20-an menikmatinya. Dia nampak tertawa lebar saat menyaksikan sekumpulan anak-anak itu tidak diam. Mereka berlarian kesana dan kesini. Mereka nampak saling kejar-kejaran. Mereka nampak sedang tertawa tebahak-bahak. Bahkan ada satu sampe dua diantara mereka tertawa terpingkal-pingkal. Ada juga yang berguling di tanah. Entah karena memang ada hal yang sedang mereka lakukan itu sangat lucu. Atau mereka hanya melebih-lebihkannya. Wanita usia 20-an itu bernama Yana. Dia tidak pernah bilang nama aslinya siapa. Cukup memanggilnya Yana. Dia juga enggan menyebut pasti angka usianya. Dia akan selalu bilang usianya 20-an. Dan itu dia ucapkan dengan nada tegas. Oke cukup kan kenalan dengan Yana? Tiba-tiba saja anak-anak gadis dan laki-laki yang jumlahnya lebih dari sepuluh itu diam. Dan semuanya memandangi Yana yang masih tertawa. Seketika Yana pun terdiam dan berhenti tertawa. Dia merasa semua anak-anak laki-laki dan gadis-gadis itu memandanginya. Mata mereka begitu awas menaruh curiga. Yana nampak menunduk seakan-akan memaruh rasa malu. Karena ketahuan ikut tertawa dan hanyut pada permainan dan kegembiraan mereka. Sekali lagi kepala Yana semakin dalam menunduk. Dia bersiap jika ada salah satu mereka tiba-tiba datang dan mempretelinya dengan banyak pertanyaan. Waktu terus berlalu tak ada yang datang satupun. Kini mereka nampak fokus kembali berkumpul. Kini mereka tidak lagi berlarian kesana-sini. Malahan duduk melingkar di atas rumput taman yang kering dan nyaman. Sedangkan Yana masih duduk di bangku taman seorang diri. Bisik-bisik dikejauhan terdengar. Nampaknya mereka sengaja tidak berbicara keras. Seperti takut apa yang mereka bicarakan didengar orang-orang. Yana melirik ke seluruh isi taman. Tak ada orang. Hanya dirinya dan anak-anak itu yang berdiam di taman. Kini Yana yakin. Mereka semua. Anak laki-laki dan para anak gadis belasan tahun itu tengah membicarakannya. Sahut-sahutan “sssstt” terdengar diantara mereka saat salah satu mereka melihat Yana yang melihat mereka dikejauhan. Yana berdiri kini tidak ada ragu dan takut. Baginya usia dia lebih dari mereka untuk datang menghampiri. Bertanya tentang apa yang mereka bicarakan. Karena tatapan mereka tidak membohongi bahwa mereka sedang membicarakanku. Entahlah apa yang mereka bicarakan. Mungkin tentang keanehanku yang menikmati kegembiraan mereka. Memang apa salahnya? Sungguh. “Kalian membicarakanku?” tanya Yana to the point. “Tante jangan pede begitu. Tidak ada waktu untuk kami membicarakan tante.” Yana mundur. Meski tidak yakin dengan ucapan salah satu dari mereka. Alasannya adalah kata “tante” yang dilontarkan cukup membuatnya terkesiap dan kembali menciut nyalinya. Semoga saja benar mereka sedang tidak membicarakanku. Sahut Yana pada dirinya sendiri. Yana menginginkan jika memang dibicarakan. Kenapa tidak langsung di depan matanya saja. Biar tidak ada curirga berlebih. Yana lari secepat mungkin menjauh dari mereka dengan perasaan-perasaan tadi yang terus berjalan di otaknya. Diary #Day2 Diary #Day2 “Sungguh, Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari Jalan-Nya; dan dialah yang paling mengetahui siapa orang yang mendapat petunjuk (Al-Qalam:7).” Perempuan berusia 20-an tahun itu memiliki satu kegiatan yang selalu dilakukannya setiap hari. Rumah sakit menjadi tempat yang selalu Yana kunjungi setiap hari. Yana bisa bertemu banyak orang baru di sana. Yana tidak melakukan konsultasi akan penyakit yang sedang diderita atau sedang berobat karena badannya sedang tidak sehat. Dia hanya ingin pergi ke rumah sakit untuk duduk di bagian antrian orang-orang yang mununggu hendak berobat. Dia hanya akan duduk begitu saja dari pagi hingga menjelang siang hari. Yana juga lupa dari kapan dia memiliki satu kebiasaan aneh ini. Kata Yana dia selalu menemukan hal baru yang menarik disetiap harinya. Atau bahkan sama sekali Yana tidak akan menemukan hal apapun selama apapun dirinya duduk. Biasanya jika bosan dia akan pergi ke mesjid yang ada di rumah sakit. Kata Yana di sana akan banyak orang yang duduk untuk menunggu sanal saudara yang sedang dirawat. Atau beristirahat setelah berobat. Seperti yang dilakukannya sekarang. Karena kesal tidak ada satupun yang bisa menarik perhatiannya selama ia duduk di ruang tunggu para pasien yang hendak berobat. Baru saja dia berjalan menuju mesjid. Ada seorang wanita yang berjalan tanpa melihat keberadaan Yana di depannya. Wanita itu nampak terburu-buru sambil memegang sesuatu di tangannya. Tabrakan diantara mereka tak terelakan. Hingga sesuatu yang sedari tadi dibawa oleh wanita mengenai seluruh pakaian Yana. Dan saat merembes ke bagian paha dan perutnya itu terasa panas. Ini nampak seperti sayur yang baru dimasak. “Maaf maaf mbak saya tidak sengaja.” Kata wanita itu terus mengucap maaf pada Yana sampai ratusan kali. “Iya gak papa mbak.” Yana menenangkan si wanita. Yana mengurungkan niat menuju ke mesjid. Dia berbelok ke kamar mandi. Membersihkan pakaian dan bagian paha dan perut yang terasa lengket. Saat Yana di dalam salah satu kamar mandi. Tiba-tiba ada seorang yang masuk ke kamar mandi itu. Masuk ke kamar mandi di samping Yana. “Aku hamil. Gimana kamu mau tanggung jawabkan?” Seru seorang wanita yang seperti ta sedang berbicara kepada seseorang di telpon. Yana mendengarkan seksama. Bukan ingin menguping. Tapi kamar mandi ini tidak besar. Pastilah akan terdengar jelas. “Iya beb yang tahu cuma kita berdua pokoknya. Aku terserah kamu. Aku gugurin ya ayok. Aku lanjutin ya ayok.” Tiba-tiba hening. Nampaknya wanita di samping Yana menangis. “Kamu sih tidak pakai pengaman saat itu. Makanya jadi gini sekarang. Aku hamil. Pokonya jangan ada yang tahu selain kita.” Dengan tangis wanita itu terus meracau kepada seseorang di sebrang telepon sana. Yana merasa tidak enak bila harus keluar duluan. Dia akan menunggu sampai wanita yang akan keluar duluan. “Ternyata kamar mandi menjadi tempat baru untuk dia mendapatkan sesuatu menarik di rumah sakit.” Pekik Yana didalam hati. Diary #Day3 Diary #Day3 “Sesungguhnya azab Tuhan-Mu benar-benar keras.” (Al-Buruj: 12) Yana nampak semangat untuk pergi ke rumah sakit hari ini. Dirinya tengah bersiap untuk menemukan kisah-kisah menarik di sana. Setelah kemarin dia amat riang karena menemukan kisah menarik itu di dalam kamar mandi. Kini dia akan mencari ke berbagai juru rumah sakit. Langkahnya begitu mantap dan penuh kegirangan. Tetapi akhirnya langkah itu harus terhenti oleh sebuah hadangan dari seorang satpam penjaga pintu utama rumah sakit. Yana saja merasa heran tumben sekali ada dua satpam berjaga di pintu utama. Biasanya satpam akan berjaga di dalam lobi atau di dekat UGD. “Maaf mbak ada keperluan apa ya?” Tanya salah satu satpam itu kepadaku. “Iya mau ke rumah sakit pak.” Yana berkata nampak percaya diri. “Iya tapi keperluannya apa?” Yana sempat bingung untuk menjawab keperluannya untuk ke rumah sakit. Karena dia tidak punya tujuan selain mencari kisah menarik. Apabila hal itu disampaikan kepada satpam galak ini. Dia yakin akan ditertawakan kemudian diusir dari sini. “Maaf ya mbak. Jika tidak ada keperluan mendesak. Sebaiknya mbak kembali pulang saja.” Tiba-tiba perkataan satpam itu melembut. Juga meruntuhkan pikiran bingung Yana. “Saat ini kan sedang ada pandemi Covid-19 mbak. Jadi rumah sakit disterilkan dahulu bagi pasien yang tidak mendesak. Apalagi hanya akan menjenguk atau berkunjung kepada pasien. Kalo boleh saya tahu apakah keperluan mbak mendesak? Jika iya bisa kami bantu.” Belum saja Yana membuka mulut hendak bertanya kenapa dia harus pulang. Satpam itu melanjutkan kalimatnya. Yana hanya mengangguk. Dirinya langsung paham akan penjelasan satpam. Dia tidak berpikir panjang sebelum berangkat dan tiba di rumah sakit ini. Lagian tidak ada keperluan mendesak juga. Akhirnya Yana membalikan badan menjauh pergi meninggalkan dua satpam yang nampak heran dan rumah sakit yang agak lengang. Yana menyetop salah satu angkutan umum yang lewat di depan rumah sakit. Angkot itu berhenti. Penumpangnya sepi. Hanya ada Yana dan satu orang yang duduk di samping supir. Yana menunduk. Betapa bodohnya dia tidak berdiam di rumah di tengah keadaan seperti ini. Malah jalan-jalan bahkan pergi ke rumah sakit. Di sepanjang jalan banyak yang dipikirkan olehnya. Tentang bagaimana bisa sebuah pandemi, wabah penyakit ini dapat melumpuhkan segala aktifitas manusia. Melumpuhkan segala rencana-rencana yang telah disusun oleh manusia. Bahkan penanganannya pun sangat serius. Dia mengingat bahwa semalem dirinya menonton berita. Berita itu mengabarkan bahwa kematian akibat pandemi ini hingga jutaan orang di seluruh dunia. “Corona ini bikin susah aja tau bang.” Kata seorang penumpang ibu-ibu yang duduk di samping supir. “Iya tuh. Saya aja dapet penghasilannya cuma dikit bu. Belum bensin. Tapi kalo gak keluar gak dapat uang. Takut corona ada tapi ya bagaimana masa saya gak makan. Disuruh lockdown saya bakal marah. Apa mereka akan kasih saya makan sama keluarga.” Sekarang giliran supir yang mengeluh ke si ibu-ibu. “Negara ini sedang kena aizab sepertinya.” “Bukan cuma negara ini. Dunia ini kena azab bu.” “Semoga saja kita semua dilindungi Tuhan dari azab-azab ini.” “Iya bu semoga Tuhan selalu kasih saya dan keluarga uang untuk makan.” Yana yang duduk di belakang. Nampak seksama mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Terakhir Yana mengaminkan doa dan harapan-harapan dari mereka berdua. Diary #Day4 Diary #Day4 “Bacalah dengan (Menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (Al-Alaq: 1) Selain rumah sakit, Yana juga menyukai perpustakaan. Perpustakaan kampus di mana dia kuliah merupakan tempat favorit dalam hidupnya. Dia sering ke sana saat tidak ada jam kuliah. Ketika sedang liburpun dia akan pergi ke kampus hanya untuk mengunjungi perpustakaan. Atau bahkan jika sedang bandel dan setan berhasil menggodanya untuk tidak kuliah. Makan perpustakaanlah tempat dia melarikan diri. Yana suka sekali menyibukkan diri dengan rak-rak yang berjejer di perpustakaan. Dia juga senang memegang seluruh buku yang berjejer rapi di dalam rak. Sebelum dia memilih satu buku. Dia akan berkeliling satu perpustakaan. Dia akan memegang seluruh ujung buku dengan ujung-ujung jemarinya. Dia merasakannya. Yana merasa ada sebuah rasa mengguggah selera untuk segera melahap habis buku-buku itu. Nah jika ritual mengelilingi seluruh rak telah tuntas ditunaikan. Maka saatnya berdiri memikirkan buku apa yang akan dia baca hari ini. Seperti hari ini dia tengah berdiri setelah selesai mengelilingi perpustakaan dan memegangi ujung buku. Nampaknya bahasa meraba lebih tepat dibandingkan dengan memegangi. Oke kita ganti meraba ya. Lalu Yana mantap akan memilih sebuah buku yang ada pada sebuah rak yang ada ditengah-tengah ruang perpustakaan ini. Dia meraih sebuah buku bersampul merah. Berjudul MEMBACA PIKIRAN ORANG LEWAT BAHASA TUBUH penulisnya adalah Dianata Eka Putra. “Apakah mungkin? Bisa membaca pikiran orang lewat bahasa tubuh orang?” Tanyanya pada dirinya sendiri dengan dahi mengernyit. Sebelum dirinya tambah pusing. Yana meraih buku itu. Mencari tempat duduk yang kosong. Yang nyaman supaya dia bisa melahap buku ini seharian. Karena kebetulan tidak ada jadwal apapun untuknya hari ini. Yana mulai tersenyum dan kernyitan di dahinya perlahan hilang. Saat halaman pertama berganti halaman-halaman selanjutnya. Dia mulai menikmati buku yang menurutnya sangat menarik. Dan dia rasa dia tidak salah pilih. Dia takjub bahwa berawal dari kegiatan membaca. Berawal dari membaca teks yang ada di buku ini. Dia bisa membaca pikiran-pikiran orang yang ada di sekitarnya hanya lewat bahasa tubuh mereka. Yana bertekad akan membaca betul-betul buku ini. Akan memahami setiap kalimat dan kata tanpa terlewati. Dia ingin menjadi orang hebat yang bisa membaca pikiran orang lewat bahasa tubuh. Meski sedikit berlebihan dan tidak percaya tapi dia harus yakin. Dirinya merasa tidak rugi karena telah memilih membaca menjadi aktifitasnya sehari-hari. Diary #Day5 Diary #Day5 “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari mamusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman;19) Hari ini Yana berniat pergi ke taman kota. Setelah dirinya kebingungan karena kehabisan cara untuk mengisi waktu liburnya. Sedari pagi hingga sore menjelang dia hanya berguling-guling di atas kasur. Menonton film, membaca novel online, membaca caption-caption dari penulis-penulis hebat secara gratis. Hingga mungkin saja kuotanya sekarang menipis. Daripada dia keburu mati karena bosan. Yana harus segera menyelamatkan dirinya. Dia menyetop sebuah angkot yang lewat di depan rumahnya. Menyetop angkot yang dapat mengantarnya langsung ke taman kota. Di dalam angkot ternyata penuh. Dia saja duduk dihimpit oleh beberapa orang ibu-ibu dan di depannya beberapa bapak-bapak. “Pada mau kemana sih nih semua orang?” Dengusnya pada diri sendiri. Persis di hadapannya ada seorang bapak. Usia sekitar 50 an tahun. Mengenakan kemeja warna merah maroon. Dia nampak sedang kesusahan merogoh ponsel yang sedari tadi bergetar yang ada di dalam saku celananya. Mungkin karena posisi duduk yang berhimpit membuatnya kesusahan mengambil ponsel di dalam sakunya itu. “Iya hallo ada apa pak?” Ucap bapak itu membuka percakapannya dengan seseorang di sebrang telepon. Sebenarnya Yana tidak ingin menguping apa yang akan dibicarakan si bapak dengan orang di sebrang telepon. Namun apa daya angkot ini tidak luas. Penumpang di angkot ini juga begitu sesak. Yana menjadi kesal dan menyesal kenapa dari tadi dia gak pakai headset saja biar hanya sekedar mendengarkan musik juga tak apa. “Sudahlah mungkin saatnya dia menemukan sesuatu menarik itu di dalam angkot. Sebelum sampai di taman kota nanti.” Ucap Yana di dalam hati pada dirinya sendiri. “Oh mau ngabarin progres proyek?” Sepertinya si bapak sudah masuk ke dalam inti pembicaraan. Nampaknya tidak hanya Yana yang mendengarkan tetapi seluruh orang di dalam angkot juga. “Ah iya baguslah kalo sukses. Berarti uang 5 M itu akan cair bang?” Seakan suaranya semakin ditinggikan sekarang oleh si bapak. “Iya 5 milyar aku tahu. Semua orang juga tahu kalo 5 M itu 5 milyar bang.” “Apa? Ngebagi? Ya tentu kamu aku bagi bang. Mana mungkin uang 5 M aku habiskan sendiri.” “Ini di angkot aku bang.” “Haha iya ya nanti kalo uangnya cair beli lah satu mobil. Angkot sudah penuh sekarang tidak ada lagi kursi untuk kita yang punya uang haha.” Sumpah obrolannya sekarang membuatku bersiap menendangnya dengan kakiku yang jaraknya sangat dekat dengan kakinya. “Iya tinggal pilih ajalah mau mobil yang mana. Uang kan banyak. Apalagi coba? Haha.” Yana sudah tidak kuat mendengar bualan omong si bapak. Ingin rasanya meninju dengan tangannya. Tapi keinginannya harus diurungkan mengingat ini tempat umum. Bapak itu juga bukan tandingannya. Kemudian Yana melirik ke seluruh penumpang lainnya memastikan bagaimana ekspresi mereka. Sepertinya mereka juga sama kesalnya denganku. Wajah mereka nampak mendengus. Mengatakan hal yang sama di dalam hatinya denganku. Bahwa mereka tidak suka bapak sombong yang satu ini. Diary #Day6 Diary #Day6 “Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan (MAHDAN) dan yang telah menjadikan (SALAKA) bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam” ( Thaahaa; 53). “Yana bangun sudah siang.” teriak mama Yana membangunkan Yana yang masih tertidur pulas di atas kasur kesayangannya. “Mmmm iya ma.” ucapnya singkat sambil terus menggeliat. “Pamali.” “Apanya?” “Itu menggeliat kamu. Ayo bantu mama.” “Iya.” “Jangan iya-iya aja. Bangun terus mandi sana.” Yana sudah tidak berdaya. Sudah tak mungkin baginya untuk melanjutkan tidurnya yang sudah terganggu oleh mamanya. Entah apa maksud mamanya yang meminta Yana untuk membantunya. Entah akan membantu mengerjakan apa. Sebelum mamanya menyeretnya dia langsung bangun lalu menuju kamar mandi. Selesai mandi dia menuju ke depan rumah. Ternyata di sana sudah ada mama dan Bi Edoh tetangga yang suka bantu-bantu mama. “Neng Yana baru bangub?” “Iya bi. Minta dibantu apa ma?” tanya Yana ke mamanya. “Kita tunggu bapak pulang.” “Ko harus nunggu bapak?” “Ya emang gitu. Bapak lagi di sawah terus katanya mau mampir ke kebub. Jadi nanti kita harus beresin apa yang dibawa bapak Yan.” Akhirnya mama Yana sudah tidak main tebak-tebakan lagu. Ternyata Yana dimintai bantuan untuk mengangkut hasil panen bapak hari ini. Juga mungkin ngeberesin hasil berkebun bapak. “Cabe nya mau dipetik sekalian bu?” tanya Bi Edoh ke mama. “Yan kamu ambil gunting petikin cabe nya pake gunting ya. Terus itu bawang daunnya juga. Yang rapi ambil wadahnya di dapur.” bukannya menjawab pertanyaan Bi Edoh tapi mama malah menyuruhku dengan banyak perintah. Tapi lagi lagi aku tidak bisa berkutik. Jika mama sudah menyuruh tidak mungkin Yana berani mengelak. Saat Yana balik badan hendak menuju dapur. Tiba-tiba Bi Edoh bilang ke mama. “Biar saya saja bu.” “Gak usah biar Yana aja. Dia harus belajar bi.” Langkah Yana menjadi mantap dan terus menuju dapur setelah kalimat terakhir yang diucapkan mamanya. Saat Yana kembali dari dapur. Di depan sudah rame ada bapak yang datang pake mobil bak ditemani Pak Otoy. Lalu mereka menurunkan berkarung-karung padi. Entah berapa karung tapi yang pasti itu lebih dari sepuluh karung lah. Aku terus berjalan menuju kebun kecil milik mama di depan rumah. Memetik cabe dengan hati-hati. Kemudian setelah menurunkan semuanya. Bapak kembali pamit ke mama mau ambil hasil berkebun katanya. Tanpa mobil bak bapak ditemani Pak Otoy berjalan berdua. Sedangkan mama dan Bi Edoh merapikan karung-karung yang sudah di masukan ke dalam gudang. Akhirnya pekerjaanku memetik semua cabe dan daun bawang telah selesai. Aku menuju dapur menyimpan hasil petikan cabe dan daun bawangnya. Kemudian kembali ke depan. Takut mamanya menyuruhnya lagi. Daripada nanti dia diam di kamar atau di dalam rumah malah diteriaki lagi. “Sapuin ya Yan.” “Iya ma.” Kini Yana pasrah mengerjakan tugas selanjutnya dari mamanya. Dia disuruh menyapu sisa-sisa padi yang jatuh saat menurunkannya dari mobil bak tadi. Saat dia menyapu tiba-tiba bapak dan Pak Otoy datang masing-masing mereka memanggul karung di atas punggung. Kemudian menurunkannya dengan kasar di atas tembok di depan rumah. Tembok yang sedari tadi sudah di sapu bersih oleh Yana itu kini sudah kembali kotor oleh tanah. Entah apa yang dibawa bapak dan Pak Otoy. Kemudian Yana berhenti dari kegiatan menyapunya. Bi Edoh disuruh membereskan semua yang ada di dalam karung. Saat dibuka Yana dapat melihat bawa yang ada di dalamnya adalah. Singkong, kentang, ubi dan ada beberapa rempah yang nampak seperti kunyit dan lainnya. Dari mana bapak dan mama memiliki ini semua. Apakah hasil berkebun bapak segini banyaknya. Ucap Yaan di dalam hatinya. “Kamu kudu banyak bersyukur Yan. Tuh liat Allah kasih kita rejeki tanah subur. Kita tanami tumbuhan yang menghasilkan. Jadi kita bisa hat buat beli ini semu.” ucap mamanya Yana membuat pikiran-pikirannya Yana yang dari tadi ada menjadi hilang. Diary #Day7 Diary #Day7 Dan (ingatlah juga), tatkaa Tuhamu memaklumkan ; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim; 7) Yana terbangun dari tidur pagi ini karena mendengar perkelahian antara Bi Edoh dan Mang Otoy di depan rumah. Mereka itu suami istri. Dan sudah ikut kerja sama mama dan bapaknya Yana sejak lama. Bahkan Yana sedari kecil sudah diurus sama Bi Edoh jika mamanya Yana sibuk bekerja. Bahkan katanya Mang Otoy sudah ikut kerja dengan kakeknya Yana terlebih dulu sejak kecil sebelum akhirnya menjadi kerja untuk bapak Yana seperti sekarang. “Bi Edoh sama Mang Otoy kenapa berisik banget? Kalian bertengkar?” Tanya Yana saat sampai di ujung pintu sambil mengucek-ngucek mata yang nampak masih belekan. “Bi Edoh tuh neng. Minta ini itu. Nuntut ini itu sama mamang.” Mang Otoy nampak mengeluh kepadaku. “Emang Bi Edoh minta apa?” “Minta dibeliin kompor gas baru gera neng.” “Emang kompos gas yang lama kenapa?” “Gak papa sih baik-baik aja padahal. Cuma gara-gara cumq punya satu tungku neng.” Bi Edoh tidak berkutik sedikitpun hanya diam. Mendengarkan suaminya mengeluh terus kepadaku. “Ya kan neng kalo cuma satu mah lama masaknya kalo dua mah kan aduh gimana neng lama. Harus nunggu ini itu dulu.” “Kompornya masih bagus tapi kan bi?” Bi Edoh hanya mengangguk. “Padahal sudah saya buatin tungku loh neng saya juga udah siapin kayu bakarnya. Kalo emang butuh dua tungku buat masak. Eh malah ngeluh katanya susah sama ribetlah. Harus tiup-tiup dulu.” “Disyukuri aja tuh bi. Udah ada dua tungku meski satunya bukan dari kompor gas juga kan ada dua. Gimana loh kalo kompor gasnya rusak. Atau diambil orang. Berabe kan nanti kalo masaknya hanya ditungku kayu?” Bi Edoh melirik ke arah Mang Otoy. Nampak menyesal. Ingin meminta maaf. Mungkin bi Edoh tersadar oleh perkataan asal-asalan Yana. “Mama belum pulqng ya bi?” “Belum neng.” “Bapak juga?” “Iya neng.” Diary #Day8 Diary #Day8 “Tetapi aku (percaya bahwa), dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi; 38) Hari ini Yana nampak tergesa menuju ke bank untuk mencari Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dia ingin menarik uang untuk dirinya berbelanja buku kesukaan di toko buku yang terdekat dari rumahnya. Kata teman-teman Yana hari ini sedang ada banyak diskon besar-besaran di toko buku. Dan Yana yang memang penggemar buku sudah sangat menantikan momen ini. Namun saat dirinya turun dari angkot tepat di depan bank dan terlihat dari kejauhan ruang mesin ATM nya. Ternyata ada antrian yang begitu banyak. Tak ada pilihan dia sudah turun dari angkot sekarang. Tak mungkin jika harus menuju ATM lain dan harus naik angkot lagi. Bikin boros ongkos saja. Yana memang hemat anaknya. “Baiklah tidak ada salahnya aku mengantri dengan mereka.” ucap Yana pasa diri sendiri sambil memegang erat tali tas selempangnya. Lalu berjalan mantap menuju ruang mesin ATM untuk bersiap mengantri. “Mbaknya mau ambil uang juga?” tanya seorang wanita paruh baya secara tiba-tiba ke Yana. Yana hanya mengangguk tanda bilang iya ke si ibu paruh baya tersebut. “Antri ya mbak. Orang-orang lagi pada banyak uang. Jadi lagi pada mau ambil uang semua.” Lagi-lagi Yana hanya mengangguk. Sebenarnya dia malas untuk menimpali obrolan ringan ketika antri seperti ini. Tapi Yana tidak bisa berkutik apapun sekarang. “Kerja di mana?” “Masih kuliah bu.” akhirnya Yana membuka mulut untuk menjawab pertanyaan. Karena tidak mungkin tidak dijawab. “Oh anak kuliahan toh. Yang masih nunggu tranferan ortu ya?” Yana dongkol dengan ucapan si ibu barusan. Namun berusaha menyembunyikan raut dongkolnya dengan senyuman terpaksa sambil mengangguk lagi. “Kalo saya mah gak kerja mbak. Tapi setiap bulan bahkan minggu enak tinggql nunggu ditransfer.” Sumpah Yana tidak menanyakan apapun ke si ibu. Tapi entah kenapa ini ibu-ibu malah terus ngotot untuk cerita. “Oh dari anak ibu yang kerja?” Yana merasa memiliki kewajiban untuk akhirnya menimpali obrolan si ibu. “Bukan mbak. Saya hidup sebatang kara. Saya ikut temen saya ke jawa timur waktu itu. Ditunjukin dan dikenalin sama orang yang hebat banget. Dia bisa menggandakan uang. Saya hanya perlu memberikan modal saya eh uangnya jadi berlipat ganda. Awalnya saya tidak percaya atas ajakan teman saya. Tapi setelah saya lihat sendiri. Ternyata itu benar adanya. Dan saya masih menerima transferan sampe sekarang. Kalo tertarik hubungi saya aja. Ini kartu nama saya. Antriannya udah selesai bagian saya masuk. Saya duluan ya mbak.” Yana hanya berdiri tidak mengatakan apapun. Dengan kartu nama yang ditaruh oleh si ibu di tangannya. Dia menggenggamnya sambil memasang wajah melongo. Diary #Day9 Diary #Day9 “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman; 22) Hari ini Yana diajak oleh Clara temannya untuk pergi menemaninya ke caffe di sebuah mall besar di kota tempat mereka tinggal. Sudah dari pagi-pagi sekali Clara merecoki Yana dan merangsek paksa masuk ke dalam kamarnya. Dan malah didukung oleh mamanya Yana. Katanya biar Yana tidak terus tidur di dalam kamar. Biar Yana bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. “Kita naik angkot aja yuk?” kata Yana saat keluar dari rumah Yana. “Naik taksi online aja gimana?” “Kalo nggak mau naik angkot ya udah gak aku temenin ke mall.” Yana nampak melepaskan pegangan tangan Clara. “Ya udah ya udah Yana kita naik angkot ya.” Yana tidak menimpali lagi ucapan Clara barusan dan mantap berjalan terus ke depan rumah sampai tiba di punggir jalan. Hingga saat sampai sudah ada angkot stand by. Tinggal dinaiki oleh Yana dan Clara. “Kita ke caffe dulu ya Yan.” Yana mengangguk. “Kamu mau pesen apa Yan?” “Terserah kamu aja Clar aku ikutan aja kan ditraktir kamu.” “Oke deh. Kalo red velvet mau?” “Terserah.” “Kamu gak mungkin kan ajak aku tiba-tiba ke sini Tanpa ada tujuan Clar.” Yana membuka obrolan saat pesanan mereka telah sampai. “Aku lagi galau Yan.” “Putus cinta?” “Bisa dibilang gitu.” “Sama yang mana?” “Kamu pikir pacarku ada berapa Yan. Ya sama Teguh lah.” “Kenapa dia? Kamu diputusin?” “Dia selingkuh. Aku putusin dia.” “Ya baguslah keputusan bagus itu Clar.” “Cewek selingkuhannya lebih cantik dari aku.” “Terus? Masalahnya sama kamu apa?” “Aku takut gak bakal dapetin cowok lagi. Setelah sama Teguh aku gak yakin dapat deket lagi sama yang lain. Aku juga takut bakal telat nikah takut diomongin jomblo tua sama orang lain. Aku gak tau lagi cara mulai lagi sama cowok gimana. Teguh satu-satunya yang mau deketin aku Yan.” “Rasa hawatir mu berlebihan sungguh. Aku bahkan muak mendengarnya. Kalo gini terus aku pulang duluan aja ya Clar.” “Yana masa kamu juga mau ninggalin aku.” Nampak wajah memelas Clara kepada Yana sambil memegang lengannya erat seperti menahan. Membuat Yana tidak mampu meninggalkan temannya sendirian. Diary #Day10 Diary #Day10 “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah;216) Dosen di kelas Yana pada mata kuliah Epidemiologi membagi setiap mahasiswa menjadi berpasang-pasangan untuk mengerjakan tugas yang akan beliau berikan. Yana paling malas jika harus mengerjakan tugas seperti ini. Mengerjakan bersama kelompok atau berpasangan dengan teman sekelasnya. Karena Yana berpikir itu semua hanya sia-sia. Hanya akan ada satu orang saja yang mengerjakan dan yang lainnya akan diam saja menonton dan menitip nama. Tapi apa boleh buat Yana pun tidak bisa tidak menuruti perintah dosen. Mungkin kalo dia menolak perintah dosen hanya akan ditendang keluar dari kelas. Bukannya mendapat nilai malah mendapat mala petaka. “Yana akan satu kelompok dengan Ziad.” ucap dosen yang sedang membagi kelompok saat menyebutkan namanya. “Kenapa harus Ziad sih diantara puluhan mahasiswa di kelas ini.” Yana ngedumel di dalam hati. Selain malas mengerjakan tugas dengan cara berkelompok. Yang paling membuatnya kesal lagi adalah kalo dipasangkan satu kelompok dengan cowok. Kalo dengan cewek sih oke-oke aja. Cowok biasanya lebih menyebalkan dibanding cewek. Dan entah kenapa Ziad salah satu cowok freak di kelas yang Yana paling tidak suka malah menjadi teman sekelompoknya sekarang. “Hallo Yan. Senang deh bisa sekelompok sama kamu.” ucap Ziad saat seluruh mahasiswa diberikan perintah untuk duduk berpasangan sesuai kelompok yang sudah dibagi tadi. “Jelas senang karena kamu tinggal nunggu saya buat ngerjain kan?” “Maksudnya?” “Nggak perlu saya jelaskan kamu juga paham.” “Yan, boleh saya tanya satu hal?” “Apa?” seru Yana dengan nada kesal dan raut yang tak kalah kesal. “Kamu segitu bencinya sama saya? Padahal waktu itu aku sudah meminta maaf sama kamu Yan.” “Kesalahan yang kamu lakukan waktu itu gak akan pernah bisa aku maafin Ad.” “Baiklah saya tidak bisa memaksa seseorang untuk memaafkan kesalahan saya Yan.” Yana hanya mengangguk kesal mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ziad. “Tapi kamu ingat satu hal ya Yan.” “Apa emang?” “Kalo benci bencilah secukupnya. Kalo cinta cinatilah secukupnya. Kita gak akan tahu bagaimana hati dibolak-balikan seperti apa.” Yana hanya melotot memandang mata Ziad tanpa ada dihalangi oleh apapun. Yana tersentak oleh kalimat Ziad barusan. Diary #Day11 Diary #Day11 “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40) Hari ini Yana berangkat ke kampus dengan begitu ogah-ogahan karena ada salah satu dosen di kampus yang dia tidak suka akan masuk hari ini. Lalu pulang ngampus dia juga harus bertemu dengan Ziad pasangan kerja kelompoknya. Mereka sudah deal untuk mengerjakan tugas hari ini sepulang ngampus. “Yan nanti siang pulang ngampus bisa mampir ke supermarket kan? Persediaan makanan dan bahan buat masak sudah kosong.” “Yana ada kerja kelompok mah nanti sore. Yana juga beres kuliahnya hampir sore nanti ma.” “Jadi gak bisa nolongin mama?” “Sepertinya bisa tapi mungkin Yana pulang malam ma. Gak pap?” “Iya gak papa ko. Nanti mama kirimin ya apa-apa aja yang perlu kamu beli nanti.” “Iya ma.” kini wajah Yana lebih masam dari sebelumnya. Ternyata hari ini akan menjadi hari yang sangat sibuk dalam hidupnya. Yana semakin ogah saja untuk keluar rumah hari ini. Tapi Yana tidak mungkin menolak perintah mamanya. Bisa-bisa Yana tidak akan diakui anak oleh mamanya. Tapi bukan itu sih sebenarnya alasan sesungguhnya. Tetapi lebih ke Yana memang anal yang berbakti kepada orang tua. Bagi Yana orang tua adalah segalanya apalagi mamanya. Yana anak satu-satunya maka siapa lagi yang akan berbakti dan bisa diandalkan oleh orang tuanya selain dia. Setelah menerjang jalanan panjang yang lumayan macet . Angkot yang mengantar Yana sampai di depan kampus. Yana turun dari angkot. Dan berjalan lumayan jauh untuk sampai ke gedung tempat dirinya kuliah. Setelah sampai dia langsung menuju lantai dua tempat kelas Yana hari ini berada. Kelasnya masih lengang hanya ada beberapa teman Yana yang sudah duduk di tempat yang mereka pilih. Yana juga memilih satu kursi di pojokan yang bahkan terhalang oleh satu tihang. Sengaja Yana memilih tempat duduk itu. Agar dosen menyebalkan yang dia tidak suka tidak perlu menyksikan wajah sebal Yana. Begitupun Yana tidak perlu melihat dosen yang baginya adalah dosen menyebalkan. “Boleh saya duduk di sini?” suara seorang laki-laki yang amat dirinya kenal tiba-tiba berkata mengagetkan Yana yang tengah fokus pada ponsel. “Boleh. Ini tempat umum ko.” “Terimakasih.” Yana tidak menjawab ucapan terimakasih dari Ziad laki-laki yang kini sudah duduk di sampingnya. Sebenarnya Yana tidak mau jika harus menjadi dekat dengan teman satu kelompoknya si Ziad ini. Tapi tidak ada aturan juga baginya untuk melarang seseorang duduk di sampingnya. Ah sudahlah Yana hanya berharap semua rasa sebalnya hari ini selesai dengan cepat. Akhirnya Yana bisa bernafas lega. Saat mata kuliah dengan dosen yang dia tidak suka sudah selesai. Itu berarti satu hal yang membuat harinya terasa berat sudah dia lewati dengan baik. Sekarang saatnya menghadapi satu hal berat itu lagi. Ya mengerjakan tugas kelompok dnegan Ziad. Tugas yang kurang lebih seminggu lagi harus sudah dikumpul. Dan tugasnya memang agak sulit. Yana perlu meluangkan waktu seperti ini dengan rekan kerja kelompoknya. Untungnya Yana tidak perlu memaksa Ziad untuk ikut ngerjain. Bahkan Ziad sendiri yang mengajak. “Tumben sekali bisa kerja kelompok kayak gini.” ucapnya dalam hati. “Jadi ngerjain di mana?” tanya Ziad. “Kemarin kan sesuai kesepakatan kita bakal ngerjain di perpustakaan Ad.” ucap Yana memasang wajah yang sebisa mungkin tidak terlihat sebal. “Oke. Mau langsung? Atau mungkin kamu mau makan dulu?” “Kamu mau makan dulu?” “Saya terserah kamu. Kalo kamu makan ya saya juga ikut. Kalo kamu nggak ya saya juga nggak.” “Kamu laper?” “Lumayan. Hehehe” Ziad memasang wajah nyengir kuda. “Ya sudah sana makan. Saya tunggu di perpus aja. Saya sudah kenyang saya sudah makan.” “Gak enak lah kalo gitu.” “Terus? Mau kamu apa?” “Mau temenin saya makan?” “Ad gak usah maksa ya. Saya santai ko orangnya. Kalo mau makan makan aja. Saya tunggu di perpus.” Tanap menunggu Ziad mengatakan sesuatu lagi. Yana berdiri dan melangkah meninggalkan Ziad menuju ker perpustakaan. Lalu sesampainya di perpustakaan Yana membuka catatan-catatan dan buku-buku bahan tugas yang akan mereka kerjakan. Tidak lama saat Yana sibuk dengan aktifitasnya Ziad datang. “Sudah selesai makannya?” tanya Yana saat Ziad duduk di depannya. “Sudah. Maaf nunggu lama.” “Nggak usah minta maaf gak lama juga ko.” “Yan aku boleh tanya?” “Apa?” “Kamu udah maafin saya kan?” “Apa alasan saya tidak maafin kamu Ad.” “Kesalahan saya dimasa lalu sudah kamu maafin.” “Saya manusia biasa Ad. Yang sudah seharusnya maafin orang yang minta maaf ke saya. Tapi saya memang tidak akan lupa kesalahan kamu.” “Makasih Yan. Kamu berhak kok untuk mengingat semua kesalahan saya.” “Ngrjain yuk.” ucap Yana sambil melempar senyum ke Ziad dan Ziad juga membalasnya dengan senyuman terbaiknya. Sepertinya saat ini Zias sedang bahagia karena akhirnya Yana bisa melempar senyuman itu lagi kepadanya. “Sudah sore ni Ad. Udahan dulu yuk. Kita lanjut nanti. Ini juga udah banyak kok yang kita kerjain.” ucap Yana ditengah mereka mengerjakan tugas. “Iya Yan udahan aja. Abis ini langsung pulang?” “Saya harus ke supermarket. Mama saya titip belanjaan banyak banget hari ini. Tuh.” Yana menunjukkan ponsel yang berisi pesan dari mama Yana daftar belanjaan yang harus dibeli. “Mau saya temenin?” “Nggak usah. Nanti kamu bosan.” “Saya anter ke supermarketnya mau?” “Kamu gak bawa helm dua Ad.” “Naik angkot juga gak papa.” “Terus kamu balik lagi gitu ke kampus?” Ziad mengangguk. “Merepotkan. Saya pergi duluan ya.” Yana menolak tawaran Ziad dan pergi meninggalkan Ziad tanpa sepatah katapun yang bisa keluar dari mulut Ziad. Diary #Day12 “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)” (Al-Baqarah; 156) Hari minggu begini biasanya Yana hanya akan menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar. Menghabiskan buku-buku yang sudah dibeli atau yang sudah dirinya sewa dari perpustakaan kota atau perpustakaan kampus. Atau Yana akan menghabiskan waktu untuk menonton puluhan drama di laptop. Drama-drama yang sudah Yana unduh sebelumnya. Karena kalo nonton streaming sering terhambat sinyal. Akan lebih aman jika nonton hasil unduhan. Tapi hari ini mau tidak mau Yana harus ikut ajakan mama dan bapaknya. Mama dan bapak ngajakin Yana untuk ikut olahraga pagi di taman komplek. Meski ogah-ogahan sekali lagi Yana mana bisa menolak ajakan kedua orang tua yang sangat amat dicintainya itu. “Yan bapak sama mama tunggu di depan rjmab ya.” “Iya pak Yana bentar lagi ko ini.” “Oke Yana.” “Yana mana pak?” “Masih siap-siap katanya.” “Lama bener pak.” “Sabar ma. Eh tuh Yana.” bapak Yana yang selalu berbaik hati kepada satu-satunya anak perempuannya itu tersenyum menenangkan mama yang tidak sabaran. Yana kedua orang tua berjalan kaki menuju taman komplek perumahan yang jaraknya tidak begitu jauh. Mereka bertiga mengenakan pakaian olahraga dengan sepatu olahraga. Bapak menggunakan tas selempang membawa dompet di dalamnya. “Hari ini kita olahraga apa pak?” tanya Yana saat mereka sampai di taman komplek. “Kita lari muterin taman komplek ini aja yuk.” “Hayuk pak.” seru mama dan Yana kompak. Saat ini Yana dan kedua orang tuanya sedang berlari kecil mengelilingi taman komplek. Setelah sebelumnya melakukan peregangan terlebih dahulu. Tetapi saat mereka sampai di salah satu ujung taman komplek mereka melihat orang-orang sedang berkerumun dan nampak sedang ada yang mereka bicarakan. “Ada apa itu ya pak?” tanya ibu. “Sebentar ya bapak tanya dulu ke mereka.” Lalu bapak berlalu meninggalkan Yana dan Mama. Menuju kerumunan hendak menanyakan ada apa orang-orang berkerumun dan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. “Maaf pak, mau tanya ini ada apa ya?” tanya bapak Yana ke salah satu bapak-bapak yang juga mengenakan pakaian olahraga yang sedang ikut berkerumun di sana. “Ini pak ada berita duka.” jawab bapak-bapak itu singkat. “Maaf memang siapa yang meninggal Pak?” “Itu pak didi kempot meninggal.” “Innalillahi wainnailihi rajiun.” “Barusan jam 07.45 meninggalnya pak. Serangan jantung katanya meninggal dadakan pagi ini.” bapak-bapak itu nampak menjelaskan tanpa diminta. Bapak Yana pamit dari bapak-bapak yang masih berkerumun. Menuju Yana dan mama. Saat sampi di sana bapak memberitahu apa yang terjadi kepada mereka. “Ada yang meninggal ma. Didi kempot. Penyanyi campur sari yang terkenal itu.” jelas Bapak tanpa diminta. Yana dan mama tampak mengangguk langsung paham. Dan berbarengan mengucapkan kalimat “Innalillahi wainnailihi rajiun.” Diary #Day13 Diary #Day13 “Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (An-Nisa; 29). Menunggu jeda kuliah memang membosankan bagi Yana. Bagaimana tidak. Yana yang tidak mempunyai teman untuk diajak nongkrong di perpustakaan. Atau tidak punya teman yang bisa mengajaknya nongkrong makan di food court kampus atau ke tempat-tempat makan hits di sekitaran kampus yang ada di kota tempatnya tinggal. Tetapi jika ada yang mengajak juga Yana tidak akan mau sih. Soalnya Yana lebih senang menghabiskan waktu sendiri di tempat-tempat yang tidak pernah dipikirkan oleh orang menjadi tempat untuk menikmati waktu. Ya seperti rumah sakit, toilet rumah sakit, taman kota, perpustakaan, kamarnya sendiri, berdesakan di dalam angkot dan masih banyak lagi. Seperti hari ini di tengah menunggu jeda masuk kelas selanjutnya Yana memutuska untuk pergi ke atap gedung. Berbekal makan siang yang sudah disiapkan mama dan minuman dingin yang dibelinya asal di kantin tadi. Tentunya dengan buku novel tebal yang siap menemaninya melebur waktu. Padahal sebelum kelas usai tadi. Ada Clara yang mengajak Yana pergi ke mall. Tentunya ajakan Clara ditolak mentah-mentah oleh Yana. Selain Clara tidak ada lagi yang akan mengajaknya. Lalu sesampainya di atap gedung. Yana langsung mengambil posisi duduk yang nyaman. Sempat menikmati dulu angin sepoy yang menghantam dirinya yang duduk sendirian. Kemudian akhirnya Yana membuka kotak bekal makan siang. Ternyata perutnya sudah keroncongan meminta jatah makan siangnya. Suapan pertama mendarat di mulutnya begitu indah. Membuat mulut yang tadi pahit dipenuhi rasa enak makanan mama. Tapi saat memasuki suapan selanjutny. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berlari masuk ke atap gedung. Menuju ke ujung gedung dan berdiri cukup lama di sana. Awalnya Yana hanya memperhatikan laki-laki itu. Laki-laki yang nampaknya berbeda jurusan dengannya. Namun bisa jadi satu angkatan dengannya. Itu juga belum pasti. Karena Yana tidak pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Belum pernah sama sekali. Yana berpikiran bahwa laki-laki itu juga sama seperti dia hanya ingin menghabiskan waktu di atap gedung sendirian sepertinya Namun lama kelamaan ko tingkah laki-laki itu menjadi aneh. Hingga menjadikan Yana tidak fokus dan tidak melanjutkan makan siangnya. Yana malah fokus pada laki-laki yang kini malah menaiki pagar atap gedung dan berdiri di sana. Seakan siap kapanpun jika dia ingin terjun ke bawah. Awalnya Yana berpikir mungkin lagi menikmati angin sepoy sepertinya. Namun tingkahnya lama kelamaan jadi aneh. Nampak sedang mencoba bunuh diri. Yana merasakan dilema. Hendak menolongnya. Atau membiarkannya saja. Jika saja membiarkannya mungkin Yana akan menyaksikan kematian seseorang saat ini. Dan Yana akan direpotkan oleh investigasi polisi karena dia berada di TKP. Bisa jadi diinterogasi sebagai saksi bahkan pelaku. Tapi jika menolongnya pun belum tentu berhasil kan? Toh kenal laki-laki itu pun nggak. Buat apa juga kan? Hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Akhirnya Yana membuang semua pikiran dan mencoba menimbang-nimbang. Dan tanpa diriny sendiri sadari Yana telah berlari menuju laki-laki itu. “Mau apa? Bunuh diri?” tanya Yana lalu terus memgang tangan laki-laki itu. Laki-laki itu melirik ke arah Yana. Matanya yang berwarna cokelat itu nampak sembab. Wajahnya teduh dan menenangkan. “Siapa kamu? Tidak usah ikut campur.” katanya kasar melepaskan pegangan Yana. “Oke kita emang gak saling kenal. Tapi satu kita sama-sama manusia bukan?” Laki-laki itu tidak menjawab dan hanya melihat Yana begitu tajam. “Kita sama-sama manusia. Yang diperintahkan untuk saling tolong menolong dan mengingatkan. Ingat bunuh diri bukan solusi.” “Kamu tau apa soal hidup? Untuk apa juga aku dengarkan kata-kata kamu. Memang kamu akan bantu aku hadapin semua masalahku haah?” kini laki-laki itu berteriak dan bersiap melemparkan dirinya ke bawah sana. Tangan Yana sigap menarik tangannya lagi dan dengan sekuat tenaga Yana menarik tubuh tangan laki-laki itu hingga tubuhnya terbanting ke lantai atap gedung. Bersamaan dengan Yana yang juga sama tersungkur di atas lantai atap gedung. “Setidaknya saya sudah melakukan tugas saya sebagai manusia. Saya memang tidak bisa membantu kamu menyelesaikan masalah hidupmu yang memang berat. Tapi saya bisa kasih tau kamu bahwa selalu ada cara untuk keluar dari masalah-masalah. Tapi kalau mau tetap bunuh diri setidaknya sampi saya pergi dari sini. Agar saya tidak jadi saksi atau pelakunya.” Setelah mengatakan kalimat tadi. Yana lalu bangkit dan menuju barang-barangnya. Lalu Yana meninggalkan atap gedung. Sedangkan laki-laki itu hanya diam di posisinya tadi. Terus diam sampai menyaksikan Yana meninggalkannya sendirian. Diary #Day14 Diary #Day14 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah;2) Hari ini Yana san Ziad kembali bertemu untuk merampungkan tugas mereka. Karena lusa tugas mereka harus benar-benar sudah jadi dikumpulkan untuk kemudian dipresentasikan di depan kelas, di depan dosen dan di depan seluruh mahasiswa. Kini bukan lagi perpustakaan yang dijadikan tempat mereka untuk mengerjakan tugas. Hari ini mereka memilih tempat yang lain yang lebih asyik. Yaitu atap gedung kampus. Yana yang mengusulkannya. Ziad hanya menuruti permintaan Yana tanpa bisa menolak. “Baru tahu aku ada tempat kayak gini di kampus.” ucap Ziad saat mereka sudah duduk bersisian di pojok atap gedung. “Makanya jangan jadi mahasiswa kupu-kupu.” “Kuliah pulang-kuliah pulang?” “Iya, itu tahu.” “Saya emang mau fokus kuliah aja di kampus. Gak mau neko-neko. Mau jadi mahasiswa apa adanya.” “Bukan berarti gak eksplor tempat-tempat di kampus kayak aku kan?” Ziad hanya mengangguk sangat mantap mendengar kalimat Yana barusan tanda menyetujui apa-apa yang diucapkan Yana sampai nampk tidak berdaya untuk menyanggah ataupun menolak. Setelah itu mereka fokus mengerjakan tugas. Atap gedung menjadi pilihan yang sangat tepat. Hingga tidak ada yang dapat mengganggu mereka untuk mengerjakan tugas. Kecuali sepoy-spoy angin yang menerpa mereka berdua. Belum lama mereka mengerjakan tugas. Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan mereka. Berhasil mencuri fokus mereka. “Kamu yang kemarin nolong saya kan?” tiba-tiba sosok laki-laki itu mengucapkan kalimat yang nampaknya ditujukan kepada Yana. “Kamu kenal dia Yan?” tanya Ziad. “Iya saya yang nolong kamu. Akhirnya kamu selamat. Dan gak jadi bunuh diri?” ucap Yana mengacuhkan pertanyaan Ziad dan menjawab pertanyaan sosok laki-laki asing itu. “Kenapa kamu menolong saya?” “Bukannya saya sudah bilang kemarin? Bahwa setidaknya jangan bunuh diri saat aku masih di sini. Nanti saya bisa jadi saksi pahitnya bisa saja jadi tersangka.” Ziad yang masih duduk di samping Yana melongo mendengarkan pembicaraan antara Yana dan sosok laki-laki asing itu. Ziad bahkan bingung ap yang sebenarnya sesang Yana dan laki-laki itu bicarakan. “Saya ingin berterimakasih. Apapun alasanmu kemarin menolong saya.” “Oke sama-sama.” Setelah mengatakan kalimat singkat barusan. Sosok laki-laki itu lalu meninggalkan Yana dan Ziad yang nampaknya masih tidak mengerti dengan situasi yang sedang dihadapinya. “Siapa tadi Yan?” “Nggak tahu Ad. Saya gak kenal.” “Tapi dia bilang makasih ke kamu Yan.” “Kemarin saya narik tangannya waktu dia mau loncat dari gedung ini.” “Kamu menolongnya?” “Entah apa namanya. Yang pasti dia masih hidup sekarang.” Diary #Day15 Diary #Day15 “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali (bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat besar." (An-Nisa; 114). “Yan kamu mau ikut acara sosial kampus nggak?” tanya Clara kepada Yana saat kuliah siang ini selesai. “Acara apa emang Clar?” “Bakti sosial penggalangan dana gitu Yan. Nanti uangnya bakal disumbangin Yan.” “Oh hari ini?” “Besok Yan.” “Oke kita lihat besok aja ya Clar. Aku gak janji.” “Oke Yan.” Setelah percakapan Yana dan Clara barusan. Yana langsung pulang. Dia berjalan menuju gerbang depan kampus. Hendak menyetop angkot. Rencananya Yana ingin pergi ke toko buku. Semalem dia baca disalah satu website toko buku andalannya hari ini banyak diskon dan banyak buku baru di sana. Tanpa pikir panjang dia tak akan melewatkan kesempatan bagus ini. Dia akan siap meluncur ke sana. Saat di dalam angkot. Penumpangnya hanya ada beberapa orang. Yana memilih duduk di paling pojok belakang dekat jendela. Duduk di sana Yana dapat melihat ke belakang melihat banyak orang dan kendaraan yang seperti mengikutinya dari belakang. Sampai saat lampur merah menyala. Dan angkot berhenti. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapk bertopi nampak tiak memiliki tangan. Dia memegang ember kecil yang seperti dipeluk oleh bagian ketiaknya. Yana tidak dapat memalingkan pandangan ke arah lain. Pemandangan di belakang angkot itu membuat dia tidak dapat memalingkan pandangan ke arah lain. Nampak bapak-bapak itu menyodorkan ember kecil yang dimilikinya kepada pengguna motor dan mobil. Ada beberapa pengendara yang nampak memasukkan koin recehan ke dalam embernya. Ada juga yang melambaikan tangan tanda maaf tidak bisa memberinya apapun. Hati Yana menjadi tergerak. Dia memutuskan untuk turun sekarang juga. Sebelum lampu merah itu berubah menjadi hijau. Lalu setelah nya Yana membayar ongkos kepada supir angkot. Nampaknya niatnya untuk membeli banyak buku harus diurungkan. Pikirnya uang yang dimilikinya sekarang lebih baik diberikan sebagian kepada bapak itu. Untuk membeli buku dia bisa menabung lagi. “Pak bapak sedang apa di sini?” tanya Yana kepada bapak yang sejak tadi dipandanginya lewat kaca jendela angkot. “Sedang cari nafkah mbak.” ucap bapak itu sembari mengusap keringat yang mengucur di dahinya. Wajarlah saat ini matahari sedang sangat terik. “Bapak cari nafkah di jalanan?” “Iya mbak. Mau di mana lagi dengan kondisi saya seperti ini.” “Bapak tinggal sama siapa?” “Orangtua saya sudah meninggal. Saya abak satu-satunya. Tidak bakal ada wanita yang ingin menikahi saya.” “Bapak tinggal seorang diri?” “Saya sebatang kara.” “Rumah bapak di mana?” “Ada di salah satu gang di jalan besar ini.” Obrolan di antara Yana dan bapak itu menjadi sangat panjang. Saat Yana menyadari bahwa mereka sudah sangat lama dan cukup berbincang. Yana pamit dan sebelumnya memasukkan uang ke dalam ember kceil si bapak. “Makasih ya mbak. Tapi ini besar sekali.” “Sama-sama. Nggak papa Pak. Itu rejeki bapak. Saya pamit” Sebelum bapak itu berkata banyak lagi. Yana berjalan meninggalkan bapak itu sendirian. Di salah satu tempat di bawah lampu lalu lintas jalanan. Diary #Day16 Diary #Day16 “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab; 21). Yana terbangun dari tidur pulasnya oleh suara melengking Ceu Edoh yang sedang mengobrol entah dengan siapa di depan rumah. Sambil menyapu halaman rumah Yana. Ceu Edoh memang orang yang dipercaya oleh mamah nya Yana untuk bantu-bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Karena terkadang mamahnya Yana sibuk dengan pekerjaannya. Jadi sangat butuh orang yang bantu-bantu. Tapi juga tidak full menginap di rumah. Hanya dari pagi sampe menjelang sore. “Ceu lagi ngomongin apa sih? Berisik tahu suara Ceu Edoh sampe bangunin aku tidur.” ucap Yana saat sampai di depan rumah dan menyaksikan Ceu Edoh sedang mengobrol dengan seseorang yang Yana tidak kenal. “Kalo begitu saya duluan ya Ceu.” ucap seseorang yang dari tadi berbicara dengan Ceu Edoh nampak hendak pamit dan pergi. “Mangga Ceu.” ujar Ceu Edoh. Lalu dia menghampiri Yana yang masih berdiri di daun pintu. “Maaf ya neng Euceu berisik jadinya Neng Yana kebangun.” lanjut Ceu Edoh. “Iya gak papa. Emang tadi ngomongin apa sih Ceu sama bibi itu tadi?” “Itu neng lagi ngomongin anak-anak kami. Anak saya yang kelas 2 SMP yang sekelas sama Ceu Aoh tadi lagi suka sama artis-artis tik tok gitu katanya. Malahan setiap hari mereka tuh joged-joged gak jelas di depan ponsel.” “Wajar lah Ceu. Anak remaja namanya juga.” “Iya sih. Tapi Euceu khawatir kalo anak Euceu malah nonton yang gak jelas gitu. Kayak di youtube-youtube tuh prano-prank sampe diburon dan ditahan di penjara.” “Ya anak Euceu tontonannya jangan kayak begitulah.” “Tapi kan Euceu gak bisa tuh merhatiin terus-terusan apa yang ditonton anak Euceu. Sedangkan Euceu sama Mang Otoy aja sibuk kerja.” “Euceu gak mau neng, kalo anak Euceu malah nonton yang salah, nonton yang gak jelas, terus diikutin tuh jadi jelek juga. Ih nauzdubillah.” lanjut Ceu Edoh berisi nada khawatir sambil terus mengusap-ngusap dadanya. “Iya juga sih Ceu. Tapi ya bangak diajak ngobrol aja. Akrab sama anak Euceu. Kasih tahu dengan cara yang gak kayak nasehatin. Siapa-siapa aja idola yang bagus untuk dicontoh. Atau ambil-ambil saja yang baiknya dibandingkan yang buruk.” “Kalo neng Yana sukanya atau nge fans nya sama siapa?” “Siapa ya?” Yana nampak terus mikir. “Ohya, aku ngefansnya sama Nabis Muhammad SAW Ceu. Contoh paling baik dan bagus kan baginda kita semua Ceu.” jawab Yana sembari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ceu Edoh yang masih berdiri di halaman rumah dengan sapu yang masih dipegang erat. Diary #Day17 Diary #Day17 “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS.Al-Hujurat {49}:10) Yana sedang duduk santai di depan rumah. Lalu di kejauhan tiba-tiba nampak mobil mamahnya masuk ke halaman rumah. Dan terparkir pada tempatnta. Setelah mematikan mesin mobil. Mamah Yana langsung berlari menuju Yana dengan wajah yang sangat masam. Sepertinya sedang kesal. “Mamah sebel Yan sama temen mama.” ucap Mamah Yana seketika saat duduk di kursi samping kursi yang Yana duduki. “Waalaikumsalam mah.” Yana malah mengucap kalimat tersebut. “Eh iya lupa. Assalamualaikum Yan.” “Waalaikumsalam. Mamah tadi bilang sebel sama temen mamah?” “Iya.” “Kenapa emang?” Sebelum menjawab pertanyaan Yana. Mamah nampak menarik nafas panjang. Bersiap menceritakan segala hal yang menbuat wajah ya masam sedari tadi sampai. “Itu loh Bu Tita Yan. Temen mamah di tempat kerja. Nyebelin banget tau. Padahal mamah udah jelasin tugas buat dia. Yang harus selesai hari ini. Dan mamah juga suruh dia buat kumpulin tugasnya langsung ke atasan mamah. Eh mamah malah didatangi atasan mamah. Ditagih tugasnya. Dimarah-marahi. Ternyata Bu Tita gak ngerjain tugasnya. Dan malah asyik mainan ponsel di meja kerja. Saat mamah tanya. Dia hanya nyengir jawab lupa. Dengan wajah datar tanpa dosa.” “Dia anak baru ya mah?” “Ko tau?” “Ya belum lihai aja kali tuh kerjanya. Masih kagok jadi gitu.” “Ya tapi kan itu resiko dia harus inget apa yang harus dikerjain. Masa kerja kayak gitu. Dia diterima kerja di tempat mamah kerja ya buat ngerjain kerjaan-kerjaan tepat pada waktunya kan?” “Terus ada satu lagi yang buat sebel Yan.” ucap mamahnya Yana lagi menyambung ceritanya yang tadi. “Apa mah?” “Atasan mamah malah nyalahin mamah. Terus atasan mamah bilang begini. Bisa-bisanya nerima orang yang gak kompetesn. Gitu coba. Padahal kan orang bisa diterima kerja di situ ya keputusannya atasan mamah. Emang semua orang gak jelas banget hari ini.” “Sabar mah. Di dunia kerja kan emang gitu.” “Kamu sih Yan. Belum rasain kerja gimana. Nanti kalo rasain siap-siap aja.” “Ya mah. Tapi setidaknya Yana ingin menghibur mamah. Bair mamah gak naruh benci ke orang. Jadi mamah juga harus bisa kendalinin emosi mah.” “Udah ah Yan. Percuma cerita sama kamu. Mamah mah gak bakal lupain si Bu Tita. Pokoknya mamah benci sama dia.” ucap mamah Yana dengan ketus sembari berbalik dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Yana masih duduk di kursi teras rumah sendirian. Diary #Day18 Diary #Day18 “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya.” (Fussilat; 49) Yana sudah kehabisan buku untuk dibaca. Akhirnya meski tidak ada jadwal kuliah. Dirinya memaksakan untuk pergi ke kampus. Menumpang angkot yang lewat depan rumahnya. Dan harus membayar saat tiba di tempat tujuan. Harusnya saat ini Yana sedang menikmati buku-buku yang baru dirinya beli di toko buku. Tapi kan karena Yana memberikan uangnya ke pada bapak-bapak yang ditemui di dekat lampu lalu lintas di sebuah jalan besar di kota tempatnya tinggal. Akhirnya Yana tidak jadi membeli buku. Sesampainya di depan gerbang kampus. Yana langsung menuju ke perpustakaan. Perpustakaannya nampak sepi. Sepertinya dijam-jam seperti ini. Para mahasiswa masih banyak yang kuliah. Jika tidak kulaih pun tidak memaksakan ke kampus seperti dirinya. Setelah menitipkan tas di loker perpus. Yana hanya membawa ponsel, kartu anggota perpus dan kunci loker. Kemudian Yana menuju rak-rak buku. Mencari buku yang hendak dirinya baca. Kini Yana tengah berdiri di ujung rak buku bertulisan buku-buku novel. Yana berjalan meraba buku-buku itu dengan ujung tangannya. Mencari dengan rasa buku mana yang akan dirinya baca. Akhirnya setelah berkeliling beberapa waktu. Tangannya berhenti meraba. Ujung jari Yana berhenti memegang sebuah buku novel lumayan tebal. Itu adalah sebuah novel berjudul Toska Berujung Luka. Karya seorang penulis pemula. Yang Yana saja tidak pernah kenal dan tahu sebelumnya. Setelah meraih buku itu. Dan kini bukunya sudah berada di genggaman. Yana menuju ke tempat duduk pilihannya. Yaitu di sebuah pojokan perpustakaan. Mengambil posisi enak. Mematikan data seluler ponsel dan merubah nada dering menjadi mode diam. Setelah merasa nyaman. Yana mulai membaca halaman pertama. Hingga terus menuju halaman-halaman berikutnya. Hingga tiba-tiba ada seorang yang duduk di depannya. Awalnya Yana menghiraukan seseorang itu. Sampai ucapan seseorang itu mengalihkan fokusnya dan mengangkat kepalanya hingga mata mereka saling bertatap. “Maaf ganggu. Boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang yang sedari tadi membuat fokus Yana hilang. Ternyata seseorang itu adalah seorang pria yang dia temui di atap gedung beberapa waktu lalu. Seorang pria yang sempat ingin meloncat dari atap gedung. “Silahkan. Ini tempat umum kok.” ucap Yana ketus. Karena sebal waktunya diganggu. “Sendirian?” “Keliatannya?” “Ohya. Kenalin nama saya Ibrahim. Kamu bisa panggil saya Baim.” “Saya Yana. Panggil aja Yana.” “Senang berkenalan sama kamu.” “Ada perlu apa?” tanya Yana semakin ketus. Karena dengan tiba-tiba pria yang mengaku bernama Baim ini mengajak berkenalan dan sekarang so kenal dengannya. “Pingin ngobrol aja sama kamu. Nggak papa kan?” “Sebenarnya ganggu sih. Saya lagi baca.” “Maaf. Tapi boleh minta waktunya sebentar. Untuk bicara.” “Ya udah silahkan. Mau bicara apa emang?” “Meski kamu pasti bosan. Tapi saya pingin bilang makasih karena sudah menolong saya. Meski saya tahu kamu bilang tidak berniat menolobg saya kan?” Yana mengangguk. “Tapi tetap saja. Tuhan sudah mengirim kamu untuk saya. Saya memang bodoh. Waktu itu pilih untuk bunuh diri. Gak pikir panjang. Tapi saya punya alasan. Saya putus asa. Putus asa akan seluruh hidup saya. Dari mulai masalah keluarga, ekonomi, hubungan temna, kuliah dan lainnya. Jadi sampai saya beripikir sepertinya tidak ada jalan keluar lagi kecuali bunuh diri.” “Apapun alasan kamu. Apapun masalah kamu. Mau kamu putus asa atau tidak. Toh putus asa dan kehilangan harapan memang bagian dari manusia. Sebenarnya itu bukan urusan saya. Tapi saya cuma mau bilang. Selama manusia hidup. Berarti selama itu pula masih ada yang namanya harapan. Putus asa boleh hanya untuk beristirahat. Tapi bangkit dan meneruskan hidup kamu itu yang terpenting.” “Saya ingin lanjut baca buku. Saya pergi dulu ya. Semoga masalahmu cepat selesai. Jangan coba bunuh diri lagi Baim.” lanjut Yana sembari pergi meninggalkan Baim duduk sendirian. Dengan wajah yang sedikit tersenyum dan ada harapan di sana. Diary #Day19 Diary #Day19 Mengabdilah kepada Allah dan jangan mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga-tetangga dekat, tetangga-tetangga orang yang asing, teman yang di sampingmu, dan orang dalam perjalanan, dan yang menjadi milik tangan kananmu. Allah tidak menyukai orang yang congkak, membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36) Yana disuruh mamah untuk tidak kemana-mana dihari Minggu ini. Awalnya mamah dan papah mengajak Yana untuk pergi ke acara pernikahan anak teman mamah. Tetapi Yana menolak mentah-mentah karena dipikirnyq acara seperti itu akan membosankan bagi dirinya. Alhasil Yana malah diberi tugas oleh papah untuk mengawasi Mang Otoy yang hari ini kerja. Papah menyuruh mang Otoy untuk membersihkan rumput liar dan tanaman-tanaman milik papah dan mamah yang ada di depan rumah. Iya papah dan mamah Yana membuat semacam taman kecil di depan rumah mereka. Di sana ditanami bunga-bunga indah kesukaan mamah. Juga ada beberapa tumbuhan kesukaan papah. Meski begitu rumput liat terus ada dan menuntut untuk dirawat sang pemilik. Alih-alih mamah dan papah merawatnya sendiri malah menyuruh Mang Otoy. Dan sekarang berakhir Yana menjadi mandor untuk Mang Otoy. “Masih lama mang kerjaannya?” tanya Yana pada mang Otoy saat menunggui Mang Otoy yang sedang kerja. Yana duduk di lantai depan rumahnya. “Ini kan baru mulaing neng Yana.” jawab Mang Otoy sembari terus mengerjakan tugasnya. “Iya juga sih. Berarti saya juga masih lama ya duduk di sini nemenin Mang Otoy.” “Ya iya dong neng.” Saat mereka terlibat dalam obrolan kecil. Tiba-tiba ada seorang lelaki usia 50 tahunan lewat depan rumah dan nampak menyapa mang Otoy yang masih terus bekerja. “Siapa itu mang? Mamang kenal?” tanya Yana. “Tentangga saya neng. Rumahnya diujung jalan ini. Berarti tetangga neng Yana juga.” “Iya tetangga mang Otoy aja lah. Kan rumahnya di ujung jalan. Itu mah deketnya sama mamang bukan dengan rumah saya.” “Iya juga sih. Saya mah gak suka neng sama dia.” “Gak boleh gitu. Ngomongin orang pamali.” “Semua orang yang dekat rumahnya. Bahkan satu kampung ini gak ada yang suka neng sama dia.” Mang Otoy malah terus menceritakan tanpa diminta. Dan terus ngomongin orang itu menghiraukan suruhan Yana. “Kenapa emang mang?” Yana bertanya bukan karena pensaran karena ingin mengobrol dengan mang Otoy aja supaya gak bosen. “Dia itu tinggal sendirian di rumahnya neng. Istrinya kabur gak tahan sama sikapnya. Dia dulu mantan preman. Atau masih preman saya gak tahu juga. Terus dia tuh sering ketahuan selingkuh sama istrinya. Tapi diawal ketahuan istirnya masih kasih kesempatan eh tapi sabar ada batasnya neng. Istrinya gak tahan jadi ditinggal.” “Anaknya?” “Nah itulah mereka gak pernah dikasih anak sama Allah. Kasian juga sih. Tapi ya gimana nyebelin gitu ko.” “Kerja apa dia sekarang?” “Nggak jelas lah neng. Buat makan dia selalu minta dikirimin uang ke anak buahnya yang masih preman. Kadang ada orang-orang gak dikenal gayanya nakutin kayak preman tato di mana-mana neng.” “Kata siapa itu preman?” “Ya keliatan dong neng. Ohya tahu yang bikin parah lagi dari dia?” “Apa?” “Dia itu jarang solat, gak pernah ke mesjid, gak pernah jumatan. Terus ya kerjaannya ngadu ayam. Gak pernah puasa masa. Saat yang lain puasa dia anteng ngerokok depan rumah. Terus dia tuh ganggu rumah-rumah yang deket sama dia. Suka nyalain musik kenceng bahkan karokean coba. Gak habis pikir mamang mah.” “Dia gak solat karena non islam kali mang.” “Dia islam neng. Mamang tetanggaan sama dia kan udah lama. Istrinya solat. Pernah sekali waktu dia solat ko.” “Pindah agama berarti.” “Ah si eneng mah. Gak percaya sama mamang teh. Katanya sih dia mau pindah terus lagi nunggu rumahnya kejual. Semoga segera terjual.” “Semoga tetangga mang Otoy soleh dan solahah ya nanti.” “Iya nah amiin neng.” “Udah mang kerjain jangan ngomongin tetangga. Ingetin jangan malah diomongin. Rangkul jangan malah dibiarin.” ucap Yana sambil berdiri dan terus masuk ke dalam rumah. Meninggalkan mang Otoy yang terjongkok sendirian sedang menyabuti rumput-rumput liar. Diary #Day20 Diary #Day20 “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji." (Luqman; 12) Hari ini tumben sekali banyak makanan dan minuman di atas meja makan. Saat Yana pulang ngampus betapa bahagianya dia. Bisa langsung melahap semua makanan. Bisa langsung mengusir dahaga saat tadi panas-panasan di kampus. Desak-desakan di dalam angkot yang juga panas. Pokoknya hal seperti ini yang akan Yana selalu inginkan terulang. Meski mamah dan papa tidak kelihatan saat Yana datang. Yana nampak tidak menghiraukannya. Yang penting perutnya terisi penuh. “Udah bismillah dulu belom?” tiba-tiba suara papa Yana terdengar disela Yana terus mengunyah makanan. “Hehe udah pah barusan. Pas papa ingetin.” “Hmm kebiasaan. Gimana enak ya?” Yana mengangguk beberapa kali. Dia kegirangan. Mulutnya penuh dengan makanan sambil terus mengunyah. “Alhamdulillah. Seneng papa liatnya. Anak papa satu-satunya lahap banget makannya.” “Tumben banyak makanan gini pah.” ucap Yana ditengah-tengah kesibukannya mengunyah. “Alhamdulillah tadi papa pulang kerja mampir beli. Tiba-tiba aja pengen beliin Yana sama mamah makanan. Eh taunya mamah juga sama dia juga beli makanan sama minuman tuh. Jadi banyak gini deh.” “Jarang-jarang ya pa? Barengan beli gitu. Gak janjian dulu?” “Niatnya sama-sama mau kasih kejutan sama orang terkasih Yan.” “Hmm iya deh so sweet. Haha.” “Eh Yana abisin tuh. Papa sama mamah lagi baik beli banyak makanan sama minuman hari ini.” ucap mamah saat keluar dari kamar dan ikut bergabung duduk melingkar di meja makan. “Iya mah. Nikmat banget pulang ngampus, capek eh disuguhin ini semua.” “Eh iya pa sampe lupa. Itu di depan ada mang Otoy cari papa.” “Oh gitu? Ya udah papa temuin dulu ya mah.” Lalu papa berjalan meninggalkan Yana dan mamah yang saat ini keduanya nampak seperti sedang lomba mengunyah. Lalu setelah beberap menit dan itu cukup lama. Papa kembali ke meja makan. Menghampiri mamah dan Yana yang saat ini sedang mengobrol setelah kekenyangan. “Mah, makanan kita kan banyak. Tolong bungkusin buat mang Otoy ya sebagian.” ucap papa saat baru sampai di ruang makan. “Ohya pa. Mamah ambil wadah dulu kalo gitu.” “Iya mah.” “Kasian Yan mang Otoy.” ucap papa saat sudah duduk berhadapan dengan Yana di meja makan. “Kenapa emang? Mang Otoy masih nunggu di depan?” “Iya Yan. Kasian dia ke sini mau minjem uang. Katanya lagi sepi kerjaan. Mang Otoy kan kerjanya serabutan ngerjain pekerjaan yang disuruh orang. Kayak papa sering nyuruh dia bersihin rumah sama taman. Katanya lagi gak ada yang nyuruh. Ke sini pinjem uang. Papa kasih sebisa papa. Dan kasih makanan juga. Nggak papa kan Yan?” “Ko tanya Yana. Gak papa lah. Itu juga makanan punya mamah dan papa. Eh pa alhamdulillah ya kita mah gak sampe ngalamin kayak gitu.” “Makanya banyak-banyak bersyukur kita dikasih hidup cukup Yan. Nah di mana punya lebihnya kasih ke orang yang membutuhkan.” kali ini bukannya papa yang menjawab tapi malah mamah. “Iya tuh bener kata mamah Yan. Alhamdulillah Allah kasih kita hidup berkecukupan. Jika merasa lebih saatnya berbagi untuk sesama. Jangan sampai Allah cabut lagi segala nikmat yang diberikan kepada kita karena kita lupa bersyukur.” “Iya mamah, iya papa.” Yana menunduk seakan sedang diberikan ceramah oleh dua orang. “Ya udah mah, papa ke depan dulu kasihin ini ke mang Otoy.” lalu papa berjalan terus ke depan menemui mang Otoy yang masih menunggu di ruang tamu. Diary #Day21 Diary #Day21 “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”(Al Hajj: 46). Yana tersenyum sumringah saat baru sampai di sebuah taman yang asri yang hijau yang ada di kota tempatnya tinggal. Sudah lama dia tidak menyambangi salah satu tempat favoritnya ini. Di mana dia bisa bertemu dengan wajah-wajah baru. Dengan cerita-cerita baru dan hal-hal baru lainnya. Meski sendirian, Yana tidak peduli yang penting dirinya bahagia dengan cara-cara yang dia bisa lakukan. Saat setelah berkeliling mengitari taman yang hari ini cukup ramai oleh pengunjung. Juga terik panas matahari seakan tiada ampun. Makanya Yana mencoba mencari tempat yang agak teduh. Biar wajahnya tidak gosong oleh terik panas matahari. Akhirnya senyuman Yana kembali sumringah. Karena akhirnya dia menemukan satu spot yang nampaknya indah dan teduh. Sepertinya tempat yang dipilib Yana ini adalah tempat terbaik untuk menikmati taman ini. Setelah duduk dengan nyaman. Yana melempar pandangan ke arah yang nampaknya satu keluarga. Mereka terdiri dari ayah, ibu dan empat anak yang usianya masih dibawah 10 tahun ke bawah. Mereka nampak tertawa bersama. Tengah menikmati waktu bersama di taman kota. Juga nampak si ibu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk mereka semua. Pemandangan tersebut cukup membuat Yana tersenyum kembali. Dan terus tersenyum. Lalu tiba-tiba ada yang duduk di samping Yana. Dan wajahnya tidak begitu asing. Sepertinya Yana pernah melihat. Setelah berpikir beberap waktu. Yana mengingat sosok itu. Dia adalah Baim. Pria yang hampir bunuh diri. Ah Yana tidak akan menyapa duluan. Dia hanya ingin menunggu disapa duluan. “Yana ya?” tak lama Baim akhirnya menyapa Yana. “Iya. Baim kan?” “Ngapain di sini? Sendirian?” “Main aja. Iya saya sendirian. Kamu juga?” “Hehe iya aku juga sendirian. Ternyata gak cuma saya aja yang ke sini sendirian. Ada juga yang ke sini sendirian dan itu kamu Yan.” “Kan gak salah?” “Ya emang gak salah lah. Malah bagus. Kita adalah orang-orang pemberani.” Disela Yana dan Baim yang terus mengobrol. Tiba-tiba ada seseorang datang diantara mereka menyodorkan sebuah mangkuk berisi uang recehan. Nampak meminta kepada Yana dan Baim. Saat mereka berdua melihat wajah seorang itu. Ternyata kedua matanya tertutup. Nampaknya bapak usia 50 tahunan yang menggunakan kopiah dan pakaian lusu ini tidak bisa melihat. Lalu Baim dengan sigap menyerahkan uang ke dalam mangkuk itu. Hingga si bapak merengkuhkan badannya sedikit tanda terimakasih. Lalu bapak itu pergi meninggalkan mereka berdua. Menggunakan tongkat untuk melihat. “Kamu tahu tujuan saya ke sini untuk apa?” tiba-tiba Baim bertanya. Lalu dijawab Yana dengan menggelengkan kepalanya. “Saya sengaja ke sini. Mau kasih rejeki semua orang yang saya temui. Semua orang yang sama seperti bapak itu.” “Kamu sedang pamer?” “Bukan. Tapi selalu ada kisah yang menarik. Saya hanya ingin membagi kisah tentang bapak tadi. Mau dengar kisahnya?” “Boleh.” “Saya sudah sering bertemu dengan bapak tadi. Nama bapak itu Pak Kosim. Dia sebatang kara. Matanya tertutup dua-duanya. Sampai tidak bisa melihat. Dan itu bawaan dari lahir. Tetapi saya takjub setiap hari pak Kosim berkeliling taman kota hingga alun-alun untuk mencari recehan untuk dirinya makan. Saya pernah tanya. Memang gak takut jatuh atau apa. Kan bapak gak bisa lihat. Pak Kosim hanya menjawab dengan senyuman seperti ini. “Mata saya memang tidak bisa melihat apa yang kamu lihat. Tetapi hati saya dan mata saya bisa melihat dengan cara yang berbeda. Dengan cara unik yang Allah kasih ke saya. Dan saya gak bisa jelasin dengan kata-kata. Karena percuma saat mata dapat melihat. Namun hati seakan tertutup rapat tak dapat melihat dan merasakan apapun.” “Kalimat itu terngiang dan tak akan saya lupakan Yan.” Yana hanya mengangguk paham dengan kisah tentang Pak Kosim barusan. Membuatnya ingin kenal lebih dalam. Lalu akhirnya Yana mendapatkan hal baru dan menarik perhatiannya. Sehingga keputusannya untuk datang ke taman kota hari ini. Bukan keputusan yang salah. Diary #Day22 Diary #Day22 “Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (Al-Hujuraat: 12). Hari Sabtu ini Yana mengikuti kegiatan seminar yang diadakan prodinya. Yana hanya menjadi peserta. Seumur dia sekolah, kuliah, tidak pernah terbersit dalam hatinya untuk ikutan atau menyibukkan dirinya dalam kegiatan-kegiatan apalagi jadi panitia atau pengurus. Yana merasa cukup jika hanya berperan sebagai anggota saja. Seminar yang diikutinya hari ini begitu penting. Meski cuek untuk urusan kuliah, dan ilmu Yana akan maju paling depan. Meski sendirian Yana pikir tak apa-apa. Sebenarnya Yana sudah mengajak Clara temannya untuk ikut acara semunar hari ini. Tapi dia beralasan ingin istirahat di kosan saja. Menanfaatkan waktu liburnya. Alhasil Yana harus berserah lagi-lagi menjadi solois yang kemana-mana sendirian. Yana tiba di aula tempat diadakannya seminar cukup pagi. Sepertinya dia datang lebih awal. Karena aula masih kosong. Baru ada beberapa orang peserta. Kebanyakannya para panitia yang lalu lalang hilir mudik kesana kemari. Tadi pun saat di meja registrasi baru ada beberapa orang yang mengisi daftar hadir termasuk dirinya. Iseng Yana membuka ponsel yang sedari tadi bertandang di dalam tasnya. Niatnya untuk mengusir bosan. Daripada tiba-tiba ada orang yang tidak dikenal mengajaknya kenalan, lalu mengobrol basa basi. Yana tidak suka itu semua. Tapi dasarnya milik si Clara. Baru saja Yana bermain-main dengan ponselnya tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada telepon masuk dan itu dari Clara. “Udah mulai Yan seminarnya?” tiba-tiba Clara bertanya di ujung telepon. “Belom Clar. Ada apa telpon? Katanya mau istirahat?” ujar Yana bernadakan sindiran ke Yana. “Yah Yana jangan gitu dong. Iya sih aku nyesel gak ikut kamu seminar. Di kosan boring. Bete kesel juga gara-gara si Gania tuh.” “Kenapa Gania?” “Aku tuh kayak gak salah apa-apa ya ke dia. Tqpi dia kan apdet status tentang tugas-tugas gitulah. Kan kemarin aku sekelompok waktu kerjain tugas sama dia. Aku sempet bilang ke dia tentang disiplin kerjain tugaslah. Terus aku jadi kepikiran dia lagi buat status buat nyindir aku bukan ya?” “Daripada punya pikiran sama perasaan negatif jadi nyangka yang nggak-nggak telpon aja Gania. Tanya itu status buat kamu apa bukan? Kan gampang?” “Ya gak sampe dihubungi langsung juga kali Yan.” “Ya terus? Mau aku aja yang tanyain?” “Jangan!! Nanti dia malah ngira aku tukang aduan lagi.” “Terserah kamu aja ah Clar. Serba salah. Kamu gak akan tenang hidup kayak gitu terus tau.” Tak ada suara jawaban di sebrang telpon. Karena Yana kesal akhirnya Yana matikan ponselnya. Dan tak lama dari itu aula sudah penuh dan ramai nampaknya seminar akan dimulai saat ini juga. Diary #Day23 Diary #Day23 Wahai Dawud, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah bagi mereka azab yang sangat keras, karena mereka melupakan Hari Perhitungan.(Saad; 26) “Yan ada yang nyari tuh.” ucap mamah saat membuka pintu dan mendapati Yana sedang membaca buku di dalam kamarnya. “Siapa mah?” tanya Yana dengan lanjut menutup buku dan memberinya tanda supaya bisa melanjutkan baca nantinya. “Euis tuh Yan nunggu di depan cepet.” “Ohya mah.” “Tumben banget Euis maen ke sini. Biasanya jarang.” ujar Yana pada dirinya sendiri. Lalu Yana berjalan menuju ruang tamu. Setelah membenah diri lebih rapi. Saat sampai di ruang tamu Yana mendapati Euis sedang duduk sendirian nampak menunggu seseorang. Dan seseorang itu adalah Yana. Yana dan Euis adalah sepasang teman dari kecil. Mereka sudah berteman sejak TK bahkan sepertinya dari sejak mereka dilahirkan hanya berbeda jam saja. Namun nasib Yana dan Euis berbeda. Yana berkuliah di salah satu universitas ternama di kotanya. Yana juga sejak SMP selalu masuk ke sekolah favorit. Iya Euis dan Yana berpisah saat masuk SMP. Euis selalu bersekolah di Sekolah swasta yayasan yang dekat dengan rumah. Bahkan setelah SMA Euis tidak melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Tapi meski begitu mereka bertetangga dan mereka masih tetap dekat. “Yan maaf ya ganggu.” ucap Euis sebagai kalimat pembuka dipertemuan mereka. “Nggak lah gak ganggu ko Is. Gimana ada apa?” “Aku pengem curhat. Bingung mau cerita ke siapa. Yang aku pikirin cuma kamu Yan.” “Mau cerita di kamar aja?” “Udah gak papa di sini aja Yan.” “Ya udah sok atuh kamu mau cerita apa Is?” “Kakak aku kemarin kena masalah Yan.” “Kena masalah apa?” “Dia dipanggil sama Pak Ade ketua RW kita Yan. Karena dia bikin masalah bikin status difacebook gitu.” “Terus masalahnya apa?” “Kamu tahulah, aku dan keluargaku dari keluarga kurang mampu. Dimasa pandemi kayak gini aku dan keluarga kesusahan. Buat makan aja susah. Nah si kakak aku tuh kayak ngeluh di facebook dia. Ngomong kemana mana gak jelas intinya ngeluh gitu. Ngeluh juga karena gak dapat bantuan. Dan yang dikasih bantuan cuma orang-orang yang deket sama pak RW. Karena emang gosipnya di warga gitu Yan. Kamu mah mana ngerti.” “Pak Ade RW gak adil gitu? Dia subjektif dalam memilih penerima bantuan Is?” “Iya bisa dibilang gitu Yan. Dan sekarang kakak aku malah dimarahin katanya mitnah Pak Ade RW. Segala bawa mau dilaporin polisi karena udah nuduh tanpa ada bukti.” “Ya sebenarnya kedua belah pihak salah. Kakak kamu Is dia tidak bisa mengontrol diri dalam mengunggah sesuatu di media sosial. Tahulah sekarang itu apa-apa udah diatur dalam undang-undang. Terus Pak Ade juga salah lah jelas soalnya dia itu mentang-mentang punya kekuasaan tapi menyalah gunakan kekuasaannya jadi nyusahin yang lain.” “Aku harus gimana sekarang Yan?” “Kamu gak harus gimana-gimana Is. Temenin kakak mu kasih tahu dia apa-apa yang baik. Dan bantu dia untuk meminta maaf kepada Pak Ade yang terlanjur sakit hati. Kalo masalah Pak Ade yang jadi penguasa gak adil mah biarin aja. Urusan orang gede itu mah.” “Iya Yan makasih yah.” “Sama-sama. Kalo ada apa-apa cerita terus ke aku kayak gini ya.” ucap Yana pada Euis sembari tersenyum dan dibalas senyuman lagi oleh Euis. Diary #Day24 Diary #Day24 “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (Al-Isra`: 23). Hari ini Yana sudah janjian dengan Euis akan pergi ke suatu kafe di sekitar alun-alun kota. Sekalian menghabiskan waktu bersama. Untuk mengobrol tentang kehidupan masing-masing mereka. Ingin mengobrol tentang hal yang sama-sama mereka lewati tanpa bersama. Seperti biasa Yana mengajak Euis menuju Kafe naik angkot saja. Padahal jika mau Yana bisa minta antar ke mamah dan papa nya. Atau menggunakan motor padahal dia bisa. Atau bisa saja naik taksi online, ojek online yang merupakan moda transportasi yang lebih praktis dibandingkan angkot. Tapi angkot tetap primadona di mata Yana. “Assalamualaikum, Euis.” Yana mengucap salam saat sampai di depan pintu rumah Euis. “Waalaikumsalam. Yana ya? Euis ada di dalam tunggu dulu yuk di dalam.” ucap kakak Yana yang tadi juga membuka pintu. “Iya kak makasih.” “Sama-sama. Tunggu dulu ya. Euisnya lagi ngerjain dulu apa tuh di belakang.” “Ohya kak gak papa saya tunggu di sini.” Yana menunggu Euis yang entah sedang apa. Kakaknya saja tidak bilang. Yana hanya duduk di ruang tamu yang juga menyatu dengan ruang tv yang nampaknya juga ini adalah ruang keluarga. Dalam ruangan itu juga ada dua dua pintu berjejeran yang itu adalah kamar kakak Euis dan kamar Euis. Lalu ada satu pintu menuju ke belakang. Yang di sana ada sebuah ruangan makan juga satu kamar lagi. Lalu masih di ruangan yang sama juga menyatu dengan kamar mandi dan dapur. Begitulah rumah Euis rumah yang setiap jengkalnya Yana hafal jelas. Sedari kecil Yana sudah sering bermain bersama Euis di sini. Begitupun Euis yang sering bermain di rumah Yana. “Yan maaf ya nunggu lama.” pungkas Euis saat menghampiri Yana yang masih duduk dan terus pikirannya berkelana. “Nggak papa Is. Gimana udah siap?” tanya Yana melihat Euis yang nampak sudah seperti siap untuk berangkat. “Udah yuk Yan. Ohya bentar aku ambil tas dulu. Eh iya mau minum dulu? Kasian nunggu lama gak aku kasih apa-apa.” “Nggak usah. Nanti kan minumnya di kafe sama kamu.” “Oke deh hayu Yan.” “Aku pamit ibu kamu dulu?” “Hmm gak usah. Ibu lagi tidur. Tadi abis minum obat. Terus ibu tidur.” “Kakak kamu?” “Kak aku sama Yana berangkat ya?” “Iya Is. Hati-hati ya Euis Yana.” ucap kakak Euis sembari berdiri di depan pintu kamarnya. Yana dan Euis berjalan terus hingga keluar jalan kecil di depan rumah Euis. Menuju jalan utama untuk menyetop angkot yang akan mengantar mereka. Hingga akhirnya mereka sampai di jalan utama dan tak lama angkot yang akan mengantarkan mereka datang. Siap mengantarkan Yana dan Euis ke kafe dekat alun-alun kota. Dan beberapa waktu setelahnya mereka sampai di kafe yang dituju. “Kamu mau pesen apa Is?” “Aku mau pizza mini sama thai tea aja.” “Oke. Kalo gitu aku mah mau salad aja sama jus tom jerry (tomat jeruk dan strawberry) aja ya mas.” “Oke mbak ditunggu ya pesanannya.” “Oke.” “Eh Is kabar ibu kamu baik-baik aja kan?” “Ya gitu Yan harus terus minum obat setiap hari. Terus dia juga harus kontrol setiap sebulan sekali.” “Kelian berdua kamu sama kakak kamu yang urus ibu?” “Iyalah Yan. Mau siapa lagi. Aku sama kakak gantian jagain ibu. Gantian juga rawat ibu. Bahkan aku pilih kerjaan yang sebisa mungkin gantian sama kakak. Kayak shiftnya disesuain sama kakak aku.” “Keren deh kamu Is. Kamu sama kakak dan ibu kamu keren.” “Itu udah kewajiban anak Yan. Kewajiban anak buat urusin orang tuanya. Orang tua yang aku punya cuma ibu. Dulu pas bapak tiba-tiba kabur terus ilang ninggalin kami ibu banting tulang sendirian Yan. Aku benci bapak aku. Tapi sebagai anak gak boleh sedikit saja benci. Ibu aku baik banget malah nyuruh kami berdua buat selalu buka pintu maaf buat bapak. Jadi saatnya aku sama kakak berbakti balas semua yang ibu udah perjuangin buat kita Yan.” ucap Euis panjang lebar tanpa ada henti sedikitpun. Dan Yana mendengarkan begitu sesksama. “Yan maaf aku malah curhat gak jelas.” lanjut Euis lagi. “Ih nggak papa. Kan emang niat kita ke sini buat curhat-curhat. Aku banyak belajar dari kamu.” “Belajar apa?” “Bahagiain orang tua. Apalagi kedua orang tuaku lengkap. Tugasku dobel Is.” “Kamu nih ada-ada aja.” tawa Euis lepas. Begitulah kehidupan Euis. Seorang teman sedari kecil yang dengan hebatnya berjuang tiada henti untuk kehidupannya. Dia selalu bilang kepada Yana untuk jangan lupa bahagia dan terus berbagi kebahagiaan. Yana yakin bahwa Euis hidupnya baik-baik saja. Bahwa Euis bahagia. Dan menikmati hidupnya. Meski keras. Diary #Day25 Diary #Day25 “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar (155), Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepadanya kami akan kembali)” (156). – (Al-Baqarah: 155-156) Malam-malam begini aktifitas yang sering dilakukan Yana adalah. Nongkrong di depan televisi bersama mamah dan papa. Menonton acara-acara seru yang tentunya bisa ditonton bersama. Kebetulan dipukul antara 7 ke 8 waktunya menonton berita bagi papa. Maka otomatis mamah dan Yana siap menemani. Di meja sudah disiapkan cemilan. Ada pisang goreng, tahu goreng dan es teh manis yang sudah mamah siapkan. Saat berita pertama menampilkan tentang nuansa ramadhan di berbagai tempat, di berbagai belahan negara di dunia ini. Lalu sang pembaca berita membacakan berita keduanya. Tentang wabah Virus Corona yang telah menyita seluruh perhatian pasang mata di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia. Negara tempat Yana dan keluarganya tinggal. Berita tersebut menjelaskan tentang tenaga medis yang membuat sebuah video. Yang curhat di media sosialnya. Mereka bercerita betapa lelahnya mereka memakai Alat Pelindung Diri dari atas kepala hingga telapak kaki. Memakai pakaian hazmat yang panasnya tiada ampun. Demi mendampingi para pasien. Demi menyembuhkan pasien yang terjangkit virus corona. Mereka para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan mencurahkan hati merekq. Mereka gemas dan geram menyaksikan perialku masyarakat yang malah berdesakan di bandara. Mereka geram dengan masyarakat yang memenuhi pasar-pasar, swalayan dan pusat perbelanjaan demi memburu baju lebaran murah. Mereka geram menyaksikan masyarakat yang malah pergi ke tempat makan demi melepas tempat yang akan tutup selamanya. Mereka geram dengan masyarakat yang lalai atas aturan pemerintah yang melarang mudik. Mereka sangat geram. Dan seakan merasa percuma berjuang sendiri. Sehingga yang diperjuangkan tidak juga sama ikut berjuang. Padahal jika egois mereka para tenaga medis pun ingin seperti mereka. Mereka bisa saja melakukannya. Padahal jika mereka berpikir bahwa yang mereka tolong itu bukan siapa-siapa dan tidak ada hubungannya dengan mereka, mereka sangat ingin membiarkan saja. Mereka ingin melakukan apapun yang mereka inginkan sesuka hati mereka. Mereka juga ingin belanja, mudik sampai berkumpul dengan orang tesayang seperti kalian semua. Tapi please ini bukan tentang ingin dan keinginan. Ini tentang perjuangan yang harus sama-sama dilakukannya. Tidak bisa hanya dilakukan seorang saja. Berita barusan pun berakhir. Diganti dengan tayangan iklan. “Kan pa. Percuma kita di rumah aja tiga bulan ini. Percuma kalo mereka semua malah seenak diri mereka keluar begitu aja. Ikutin ego dan hawa nafsu mereka.” tukas Mama Yana sesaat berita selesai dan berganti iklan. “Kalo semua orang seperti mereka tambah hancurlah semuanya ma.” Yana menimpali. “Kamu tahu apa Yan? Kamu juga bosen kan?” “Iya sih ma. Bosen banget. Yana pengen ke toko buku, ke taman kota, ke kampus, ke perpustakaan, ke rumah sakit, dan ke tempat-tempat lainnya yang menyenangkan.” “Mamah juga Yan. Mamah pengen banget ke mall. Belanja bebas lagi kayak dulu. Mamah pengen banget ke tempat makan langganan kita. Makan baso sama mie ayam yang makannya di tempat biar bebas nambah sambel. Mamah kangen belanja baju tanpa was-was dan gak harus pake online online hilang feel nya. Mamah jugaa...” kalimat mamah terhenti saat papa mengangkat tangan dan mulai berkata. “Udah ya Yana, mamah sabar. Semuanya pasti akan berlalu. Kita hanya butuh bersabar. Lalu melaksanakan perintah pemerintah dengan sebaik mungkin. Kita berusaha, kita berjuang dengan apa yang kita bisa.” “Peraturan pemerintahnya aja bikin pusing mah pa ganti-ganti mulu. Gak jelas.” “Sabar Yana. Ikhlas sayang ya.” papa tersenyum dangat menenangkan. Yana selalu suka dengan senyuamn papa nya. Apalagi mamah. Diary #Day26 Diary #Day27 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada sebahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa ayat 32) Tumben sekali malam-malam begini Yana masih di luar rumah. Iya sekarang pukul 21.00 dan Yana masih berada di kosan Clara. Biasanya paling malam Yana akan pulang ke rumah sebelum pukul 19.00. Hari ini perkuliahan padat sekali. Setelah berkeliling toko buku mencari bahan untuk tugas bersama Clara. Lalu mereka makan di salah satu restoran ternama di kota tempat mereka tinggal. Mumpung awal bulan Calara yang anak kosan tumben sekali mengajak Yana makan di tempat bagus. Kalo Yana sih santai anak tunggal ini isi ATM nya selalu banyak. Setelah lelah seharian berkeliling sana sini menggunakan motor Clara. Iya Yana akhirnya mengalah untuk menggunakan motor Yana mengantar mereka ke sana kemari hari ini. Ya seperti diketahui Yana lebih memilih angkutan umum angkot daripada kendaraan pribadi atau angkutan lainnya. Clara tidak habisnya memaksa untuk naik motornya saja. Hingga akhirnya Yana memilih untuk ikut pulang ke kosan Clara saja alih-alih diantarkan langsung oleh Clara ke rumahnya. “Tumben mau main ke kosan aku?” tanya Clara saat tadi mereka sampai di kosannya. “Di rumah ku tidak ada siapa-siapa Clar. Bosan harus sendirian di rumah.” Ternyata alasannya sesederhana itu. “Kamu enak ya Yan?” ucap Clara memecah kesibukan diriny dan Yana dengan pikiran masing-masing di dalam kamar kosan Clara. “Enak apanya?” “Enak aja. Orang tua kamu dua-duanya kerja. Pekerjaannya bagus. Terus kamu tinggal di kota tempat kamu kuliah. Jadi kamu gak usah kos.” “Apa lagi?” tanya Yana dengan nada ejekan. “Kamu enak bisa keterima di kampus keinginan dengan mudah. Beda denganku yang berjuangnya sungguh luar biasa. Hingga harus berjauh dengan orang tua seperti sekarang.” “Masih ada?” “Ada, kamu juga enak selalu bisa lakuin apapun yang kamu senangi. Kamu selalu nampak bahagia melakukan apapun yang kamu lakukan. Hidupmu seperti tanpa beban. Aku juga heran sama kamu yang bisa punya rasa percaya diri tinggi jalan-jalan sendiri pake angkot kemanapun dengan senang hati. Padahal aku yakin kamu minta mobilpun orang tua mu pasti kasih. Kamu juga enak isi ATM mu gak pernah kosong selalu berisi banyak dengan digit 0 hampir 7. Yana memang keren.” Clara terus berkata tanpa henti seperti tanpa berpikir apapun yang diucapkannya. “Udah?” Lalu dibalas anggukan oleh Clara. “Aku pulang duluan. Inget satu hal dari aku. Kamu kalau kayak gitu terus. Ngebandingin hidupmu dengan yang lain. Merasa iri dengan keadaan orang. Mengukur diri dengan orang. Aku yakin betul 100% hidupmu dijamin gak akan bahagia. Hati-hati Clara. Tapi tenang aku tetep ko mau berteman denganmu.” Setelah mengucapkan kalimat seakan menusuk hati Clara tersebut. Yana langsung mengemasi barangnya. Merapikan diri dan meninggalkan kamar kos Clara. Sedangkan Clara hanya diam seribu bahasa. Diary #Day27 Diary #Day27 "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui." (Al-Baqarah; 261) Yana selalu menjadikan orang tuanya sebagai teladan dalam hidupnya. Terutama papa nya. Papa Yana yang di mata Yana miliki kharisma yang bagus. Bijaksana dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi dalam hidupnya dan kehidupan keluarganya. Jika ada orang yang marah kepada Papa Yana maka tidak akan dibalas dengan kemarahan lagi. Melainkan akan dibalas dengan senyuman tulus bahwa dia telah memaafkan dengan caranya. Dan tidak akan memperpanjang masalah apapun yang ditaruh oleh orang lain di hidupnya. Papa Yana juga paling cerdas dalam membuat kehidupan orang yang ada di hidupnya menjadi bahagaoa. Yana paing salut sama papa nya yang selalu berbagi. Setiap tahun dihari raya idul fitri saja misalnya. Semua orang yang bekerja dengan papa. Tetangga papa. Teman-temannya yang kurang baik sebaik kehidupan papa. Dan yang lainnya. Papa berbagi sedikit apa yang dimilikinya untuk mereka. Papa pernah bilang pada Yana bahwa berbagi menjadikannya bahagia dan lebih merasakan makna hidup sesungguhnya. Sebenarnya tidak hanya dihari raya. Kapanpun saat papa merasa rejekinya lebih dia akan melakukannya. Kali ini cerita Yana seluruhnya tentang papanya. Dia sedang bercengkerama bersama papa nya di ruang tv keluarga. Saat mamahnya masih belum pulang dari arisan ibu-ibu komplek perumahannya. “Yan, kamu bahagia sama hidupmu?” tiba-tiba pertanyaan tidak terduga seperti itu keluar dari mulut papa memecah keheningan diantara mereka berdua yang hanya diramaikan oleh suara tv. “Bisa dibilang iya pa.” jawab Yana tanggung. “Kenapa jawabannya gitu?” “Gimana ya pa? Yana belum yakin tentang apa arti bahagia.” “Saat hidup kamu terasa ringan apapun yang kamu lakukan meski berat kamu melaluinya dengan senyuman Yan.” “Kalo emang itu maknanya. Sepertinya aku belum bahagia pa.” “Kenapa tuh?” “Papa ah ko tiba-tiba banget nanya gitu?” “Jawab aja Yan. Masa papa nya mau tahu tentang itu gak mau jawab.” “Kalo aku yang nanya papa dulu boleh gak?” “Silahkan saja. Siapa takut.” “Papa bahagia saat apa?” “Yang pasti papa bahagia saat dulu mamah mu berkata bahagia hidup dengan papa. Papa juga bahagia saat kamu menjadi sumber bahagia papa dan papa pastikan kamu juga bahagia. Terus satu lagi, papa bahagia saat papa berbagi kepada sesama.” “Berbagi uang?” “Ya gak hanya uang Yan. Apapun yang mampu kita berikan dan apapun yang bermanfaat untuk orang.” “Papa ikhlas melakukannya?” Papa mengangguk seakan ragu tapi ada keyakinan. “Ikhlas tidaknya papa tidak bisa menilai sendiri. Yang pasti papa bahagia saat melihat yang papa beri tersenyum bahagia Yan.” “Berarti papa ikhlas tuh. Papa gak takut uang papa atau apa yang papa punya habis?” “Kamu pernah merasa kekurangan gak? Selama jadi anak papa?” “Nggak lah malahan papa ngasih banyak banget buat Yana.” “Itulah. Gak akan ada yang namanya merugi saat kita berbagi. Tidak terasa semua terasa cukup bahkan terasa bertambah meski kita gak tahu dari mana arah itu berasal.” Papa tersenyum begitu tulus kepada Yana. Seakan mengajak Yana mengikuti jejaknya. Meski suruhannya tersebut tidak tersirat dengan jelas. Tapi Yana menimpali senyuman tulus papa setuju bahwa suatu saat Yana ingin melanjutkan apa yang papa nya lakukan. Diary #Day28 Diary #Day28 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah; ‘Wahai Tuhanku, kasihilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka berdua telah mendidik hamba sewaktu kecil.” (Al-Israa; 24) Yana terus dibuat tersenyum lebar saat hari ini dia ditemani papa nya untuk berangkat ke kampus. Entah kenapa Yana sangat gembira dan ingin diantarkan papa nya. Padahal angkot selalu menjadi primadona dalam hidupnya. Diakui Yana bahwa papa nya adalah seorang pegombal dan perayu yang andal. Bagaimana tidak? Yana berhasil takluk saat papa nya menawarkan diri untuk ingin mengantarkan anak gadis semata wayangnya ini. “Papa seneng deh, usaha papa gak sia-sia anterin kamu ke kampus hari ini Yan.” ucap papa di kursi kemudi dan Yana duduk di sebelahnya. “Pantesan seorang mamah bisa mau sama papa. Kayaknya dia takluk sama rayuan dan gombalan papa deh dulu.” “Itulah keahlian papa. Papa tau mendapatkan hati kedua wanita speasial di hidup papa itu sulit sekali. Makanya papa akan bertahan dan selalu berjuang untuk menjadi yang terbaik untuk kalian berdua.” “Tuh kan mulai lagi.” ucap Yana sambil terus mengangkat dan menggoyangkan badannya seakan bergidik mendengarkan ucapan papa barusan. “Kamu kayaknya sering digombalin cowok ya di kampus atau sekolah dulu.” Tiba-tiba papa Yana membuka obrolan aneh. “Gak ada cowok yang berani deketin Yana pa. Apalagi gombalin atau rayu Yana kayak papa barusan.” “Kalo pun ada cowok itu harus menghadap papa dulu Yan. Papa akan melindungi kamu dari cowok-cowok yang pandai menyakiti tanpa bertanggung jawab mengobati Yan.” “Yana beruntung deh punya papa. Yana gak butuh cinta atau rasa sayang dari cowok-cowok itu kalo cinta dan sayang papa yang diberikan untuk Yana seluas dunia ini pa.” “Tapi papa yakin kamu akan mendapatkan cinta dan sayang yang layak bahkan lebih dari apa yang papq berikan dari seorang cowok yang baik hatinya, bertanggung jawab dan tentunya menyayangi dan cinta padamu dengan tulus Yan.” “Gimana udah ada?” lanjut papa bertanya. “Udah ada apanya?” “Cowok yang kayak papa barusan bilang.” “Gak mungkin adalah pa, cowok yang bisa gantiin papa di hidup aku. Yana cuma butuh papa dan Yana cukup dicintai dan disayangi oleh satu pria hebat yaitu papa.” Papa tidak menimpali perkataan Yana barusan. Dan malah memandang Yana dengan tulus dan senyuman bahagianya. Yana pun demikian. Hingga mobil tiba di depan kampus Yana. Papa menberhentikan mobil tepat di depan gerbang. Mengikuti Yana turun dulu dari mobil dan Yana mencium tangan papanya. “Hallo Yan.” tiba-tiba suara cowok yang sungguh dikenal Yana datang. Iya itu suara cowok bernama Baim. Dan dia sekarang berdiri di depan Yana dan papanya. “Hay.” jawab Yana singkat. Dia merasa kagok karena ada papa di sampingnya. “Temennya Yana?” tiba-tiba papa bertanya. “Iya.” ucap Baim sedikit bingung memandang ke arah Yana. Sepertinya dia belum tahu itu papa nya Yana. “Ohya kenalin Im, ini papa aku. Pa ini Baim temen kampus ku.” Yana menjelaskan secara singkat seakan mengerti situasi Baim yang bingung. “Oh...hmm maaf om. Kenalin saya Baim.” Baim salah tingkah mengenalkan dirinya lalu menyalami papa Yana. Sedangkan papa Yana terus tersenyum ke arah Yana. Seakan bertanya apakah sekarang Yana sudah hampir menemukan tentang cowok yang diomongin oleh mereka saat di mobil tadi. Yana yang diberi senyuman oleh papa. Malah memberi pandangan tegas bahwa itu bukan seperti yang ada di pikiran papa nya. Kalo Baim sih tidak seperti sedang memikirkan apa-apa. Dia biasa saja. Bahkan tesenyum ke Yana dan papanya. Diary #Day29 Diary #Day29 “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman;18) Hari ini tiba-tiba sekali Ziad salah satu teman kampus Yana dan menjadi akrab semenjak mengerjakan tugas dalam satu kelompok mengajak untuk bertemu. Awalnya Ziad mengajak bertemu di luar kampus. Tepatnya di sebuah kafe yang sudah Yana kenal akrab. Tapi tentunya Yana menolak. Dan menyarankan untuk bertemu dengannya di atap kampus saja. Daripda tidak bisa dan Yana terus menolak tentu Ziad mengiyakan dan menyetujui ajakn Yana. Siang hari tepat pukul 13:00 Ziad sudah sampai di atap gedung kampus. Dia ingin duluan nyampe ke atap dibanding Yana. Itu pikirnya. Tetapi sungguh diluar keyakinan dan pikirannya. Ternyata saat dirinya baru saja sampai di atap gedung kampus. Sudah ada Yana sedang berdiri di depan salah satu pagar tembok dan sedang memandang ke bawah gedung. “Yan kamu nyampe duluan?” ucap Ziad cukup membuat Yana sedikit kaget. Karena tidak tahu adanya tanda-tanda Ziad datang. “Iya.” “Maaf jadi kamu duluan yang sampe. Udah lama?” “Jadi mau ngomong apa?” tanya Yana langsung begitu saja mengacuhkan pertanyaan Ziad sebelumnya. “Mau sambil berdiri gini?” “Kenapa? Gak mau?” “Nggak papa ko. Ya udah sambil berdiri aja.” “Ya udah mau ngomong apa?” “Saya sedang merasa kacau Yan. Entah kenapa perasaan saat saya SMA dulu kembali muncul.” “Perasaan apa emang?” “Perasaan rendah diri Yan. Aku merasa bahwa aku tidak ada apa-apa nya dibandingkan yang lain. Kamu lihat kan? Di kelas kita. Semuanya pintar dan cerdas Yan. Semuanya saling mengejar dalam mengerjakan tugas dan nilai dari dosen. Sedangkan aku? Dengan kemampuan otak yang alakdarnya ini gak bisa ngikutin keadaan kelas. Gak bisa ngikutin kemampuan yang lain.” “Setiap orang punya daya tampung otak yang beda Ad.” “Sepertinya aku salah masuk jurusan dan kelas Yan.” “Terus mau keluar? Pindah kelas? Atau pindah jurusan?” “Sempat sih kepikiran gitu. Saya malah kepikiran mau cari kerja aja. Daripada kuliah gak bener ngabisin duit orang tua.” “Kalo saya jadi kamu sih. Mending lanjut kuliah. Terus berusaha berdamai dengan diri. Menerima diri. Memahami kekurangan diri. Terus cari cara biar kekurangan itu bisa ditutupi dengan menemukan apa yang menjadi kelebihan kita. Cari orang yang bisa jadi tutor buat kita. Soalnya kalo kamu berehenti kuliah sekarang, kamu malah ngecewain orang tua kamu. Uangnya abis buat pecundang yang menyerah di medan perang kayak kamu.” “Kalo begitu kamu mau jadi tutor selama aku kuliah?” “Kenapa harus saya?” “Saya merasa kamu yang paling bisa membantu saya. Saat kita ngerjain tugas kelompok. Saya paham apa yang kamu jelasin.” “Itu kan cuma saat kerja kelompok Ad. Gak bisa disama ratain dengan keadaan lain. Cari aja dulu yang lain ya. Tapi aku gak maksa kamu ikut sarn aku sih. Inget Ad kamu harus nerima diri kamu apa adanya. Jangan pernah bandingin diri dengan yang lain. Apalagi sedih dan menyalahkan diri atas takdir kamu.” “Iya Yana saya akan terus ingat semua yang kamu katakan kok. Cuma kamu yang bisa saya denger omongannya. Dan cuma kamu yang mau dengerin saya. Makasih ya Yan. Saya harap kamu mau jadi tutor saya.” “Ada yang mau diceritain lagi?” “Nggak Yan.” “Saya duluan. Ohya inget coba deh banyak bersyukur Ad. Udah gak ada yang mau diomongin kan?” Sebelum Ziad menjawab ucapan Yana. Yana keburu langsung berjalan membalik badan meninggalkan Ziad yang memandangi punggung Yana yang semakin menjauh. Ziad suka seluruh kalimat yang diucapkan Yana kepadanya. Dan kini dia bisa tersenyum karenanya. Diary #Day30 Diary #Day30 “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan” (Al-Imran: 186) Tidak seperti biasanya. Dan ini bukan hal yang mudah dilakikan oleh Yana. Dirinya hari ini keluar dari zona nyaman. Dirinya nampak mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Baim. Iya seorang asing yang dirinya temui dengan tidak sengaja di sebuah atap gedung kampus. Yana hanya merasa sesak merasakan semua ini sendiri. Sepertinya Yana butuh seseorang untuk bercerita. Berbagi kisah berat yang sudah dirinya simpan terlalu lama sendirian. Padahal dirinya bisa saja menelpon Clara, Euis atau Ziad tetapi nama Baimlah yang justru terlintas. Dan tidak ada ragu Yana langsung saja mengirimkan pesan singkat. Hingga Baim tidak alasan untuknya menolak. Dia hanya menyetujuinya mantap. “Yan, saya sudah sampai di atas gedung. Kamu santai saja kalo emang masih jauh.” ucap Baim pada sebuah pesan suara yang dikirimkannya. Dan Yana mendengarkan pesan suara itu masih di dalam angkot dengan menggunakan headset. Kok bisa Baim sampi atap gedung cepet banget. Itulah pikir Yana. Tapi apa boleh buat Baim harus menunggu di sana dengan sabar. Menunggu Yana diantarkan oleh angkot yang sepertinya sesang terkena macet dan jika menemui jalanan lengang dia akan melaju hanya sedikit karena harus menaikan dan menurunkan penumpang. “Baim.” seru Yana di daun pintu menuju atap gedung. Saat melihat Baim sedang berdiri di salah satu ujung atap memandang jauh ke bawah. Baim menjawabnya dengan lambaian tangan. Lalu tersenyum simpul. Berjalan ke arah Yana. Lalu mereka duduk di sebuah bangku terbut dari semen yang ada tidak jauh dari pintu. Tempat Yana dan Ziad sebelumnya mengerjakan tugas di sini. “Dulu ada seorang perempuan yang sedang menikmati makan siang duduk di sini Yan. Dia berlari ke arah saya. Menarik tubuh saya lalu saya dan dia jatuh terjerembab ke lantai.” ujar Baim nampak menceritakan awal kisah mereka saat pertama bertemu di atap gedung ini. “Iya dulu ada laki-laki pengecut yang lebih memutuskan untuk meloncat dari atap gedung ini. Mungkin dia bersiap akan menjadi setan penunggu gedung ini setelah mati nanti.” Yana menyeimbangkan diri dengan melemparkan pikirannya barusan. “Hahaha. Konyol memang saya Yan. Eh iya, ada apa ajak saya ke sini? Kamu bukan tipe yang tiba-tiba ajak orang ketemuan di atap gedung kan? Kecuali ada sesuatu?” “Untung kamu mudah menebak. Sebelumnya maaf saya ajak kamu ke sini. Dan harus menunggu lama tadi.” “Ah gak perlu minta maaf.” tangan Baim seperti bertepuk tangan namun hanya satu. Hanya satu tangan kanannya saja. “Saya sedang merasa gak karuan Im.” “Gak karuan kenapa? Ada alasannya?” “Awalnya saya kira gak ada alasannya. Tapi setelah saya pikir ada satu alasan yang terbersit di pikiran saya Im.” Baim hanya terus mengangguk. Nampak menyimak dengan baik apa yang diucapkan Yana. Jarak duduk mereka sekarang nampak begitu berjarak. Mungkin masih ada rasa canggung diantara keduanya. Mereka nampak duduk dari ujung ke ujung kursi. Sampai-sampai yang bicara harus agak teriak supaya didengar. Apalagi harus bercampur dengan deburan angin. “Lalu alasannya apa?” “Saya terganggu oleh banyak cerita yang masuk ke diri sayq. Tentang mereka yang mengeluhkan kehidupan mereka. Mama saya yang mengeluh tentang lelahnya bekerja dan rekan kerjanya yang menyebalkan. Tentang Euis teman saya dari kecil hidupnya susah. Dia mengeluh tentang banyak hal yang sekarang menimpa hidupnya. Tentang Clara teman kuliah saya. Tiada hari tanpa mengeluh kepada saya. Bahkan dia membandingkan hidupnya dengan saya. Terus ada Bi Edoh yang mengeluh tentang anaknya yang menginjak remaja. Ada Mang Otoy suami Bi Edoh yang mengeluh tentang tegangganya yang berkelakuan tidak baik dan mengganggu. Lalu tiba-tiba ada kamu yang asing bagi saya. Tiba-tiba ingin bunuh diri dan juga tiba-tiba mengeluh tentang hidup kamu. Kamu tentu mengenal Ziad cowok yang bersama saya beberapa waktu lalu kamu temui di sini. Dia kemarin banyak mengeluh tentang kemampuan dirinya selama kuliah. Dia merasa rendah diri.” Yana mengambil nafas panjang setelah selesai mebceritakan semua keluh kesahnya barusan. Nampak belum selesai dan masih ada lagi cerita lainnya. Namun Baim dengan begitu sabar dan pengertian tidak merecoki cerita Yana barusan. Baim seperti menunggu cerita kelanjutannya. Dia tahu bahwa Yana tentu belum selesai cerita. Masih ada sebuah kisah yang merupakan plot twist dari ceritanya hari ini. “Hanya satu orang yang saya kenal di hidup saya. Yang hanya menceritakan tentang indahnya hidup. Dia tidak pernah menyerah sedikit pun tentang hidupnya. Dia selalu menjadi pengingat dan penyemangat bagi saya. Saya mengeluh sedikit dia yang siap paling depan untuk mengingatkan saya bahwa mengeluh bukanlan jalan-jalan satunya. Masih banyak jalan lainnya yang lebih baik dan menyenangkan. Kenap semua orang tidak bisa sehebat dia sih? Kenapa semua orang tidak seperti dia. Di mana dia dihidup saya hanya menaburkan tentang kebahagiaan.” Yana benar-benar terdiam sekarang. Dia memandang ke arah Baim. Menunggu Baim memberikan tanggapan tentang ceritanya. “Boleh saya tebak orang yang tidak mengeluh itu siapa?” tanya Baim begitu Yana sudah tenang dan nampak sudah teratur nafasnya. Yana mengangguk tanda mempersilahkan Baim melakukan apa yang ingin dilakukannya. “Papa kamu kan?” “Iya. Kamu bisa tahu karena sedari tadi hanya papa kan? Yang tidak saya sebutkan?” “Bukan begitu Yan. Itu memang salah satu alasan. Tapi bukan alasan utama. Karena alasan utamanya adalah karena begitu beberapa waktu lalu saat bertemu dengan papa kamu. Saya dapat melihat sorot mata penuh keyakinan dalam hidupny. Di tatapan matanya nampak tidak ada keraguan tentang kehidupan Yan. Benar kata kamu bahwa papa kamu adalah satu-satunya orang yang selalu optimis dan selalu siap memberikan semangat hingga dukungan kepada kamu saat kamu ingin menyerah. Saya yakin itu benar.” “Iya itulah papa saya.” “Berarti kamu salah Yan. Tidak semua orang di hidup kamu seperti itu.” “Iya hanya satu Im.” “Saya sempat berpikir jika saya juga ingin mengeluh ingin menyerah tentang kehidupan saya yang tidak semua orang tahu.” lanjut Yana lagi. “Kamu ingin membagikannya dengan saya?” Baim menawarkan diri. “Hidup saya sebenarnya tidak seindah yang dipikirkan Euis, Clara dan Ziad. Saya tidak punya banyak teman Im. Saya hanya punya tiga orang teman. Itupun saya tidak terlalu dekat. Saya tidak pernah cerita apapun ke mereka. Karena untuk apa? Mereka saja mengeluh kepada saya? Saya orang yang tidak pandai bersosialisasi. Terkadang saya disebut aneh saat kecil dulu. Di mana saya lebih memilih menyendiri dibandingkan bergabung dengan teman-teman. Saya sempat telat bicara waktu dulu. Saya pendiam yang ulung Im. Bahkan saat SMP dan SMA saya disebut aneh lagi saya freak orang-orang bilang gitu. Karena saya melakukan hal-hal yang orang tidak lakukan. Sebenarnya saya terganggu dengan omongan jelek orang tentang saya. Tapi saya bisa apa? Saya tidak bisa menutup mulut merekq satu-satu kan?” Yana berhenti bicara, menyucurkan air mata tanpa disadarinya. Baim terus memandangi Yana. Yana yang memandang jauh ke depan. Lalu tiba-tiba Yana beralih memandang Baim. Maka mereka kini saling beradu. “Mamah saya sudah lelah mengingatkan saya untuk menjadi normal seperti orang-orang lainnya. Tapi saya bebal saya tidak bisa. Makanya mamah saya terkadang tidak ramah kepada saya. Hingga hanya papa yang bisa menguatkan saya.” kini Yana kembali menunduk. “Kamu berhak mengeluh sekarang Yan. Karena hanya ada saya di sini. Dan saya senang kamu mengeluh untuk saya. Mulai sekarang saya siap menjadi tempatmu untuk mengeluh. Kamu hebat dengan semua ceritamu di masa lalu. Kamu bisa berdiri kokoh hingga sekarang. Hingga bisa menguatkan semua ornag di hidup kamu. Termasuk saya. Saya sudah ditolong oleh kamu. Saya seperti kamu m, saya aneh. Tapi saya sempat menyerah dan hanpir terjun dari gedung ini. Tapi berkat seorang hebat sepertimu. Saya bisa menata dan melanjutkan hidup saya.” Kini Yana dan Baim hanya terus saling memandang. Mereka seakan bicara dalam hening dan diam. Mata mereka yang beradu terus bicara. Tentang kehidupan dan saling menguatkan. Sungguh tidak ada satupun yang hidup kekal tanpa cobaan dan terpaan di dunia ini. Description: Diary ramadhan akan menjadi kumpulan cerita pendek yang menyenangkan. Diangkat dari ide-ide yang berseliweran selama bulan Ramadhan. Sayang jika hanya berseliweran tidak pada tempatnya. 30 hari ke depan ini akan terus berjalan menuliskan diary di bukan ramadhan. Atau menulsikan diary ramdhan? Pilih saja.
Title: Romero&julieta Category: Novel Text: Romero&Julieta Sepertinya banyak hal yang tengah aku hadapi,mungkin inilah jalan terbaik dalam menapaki hal baru disetiap langkah kedepanku.Setelah perpisahan menyakitkan akibat sebuah insiden kecelakaan yang menyebab aku beneran jatuh dalam kehidupan begitu gelap.Tanpa ada yang mendukungku untuk bangkit,malahan banyak yang menyalahkanku akibat dari kecelakaan itu.Menghela nafas dalam lorong rumah sakit,hati yang selama ini aku berikan untuk dia,selalu melindungi dengan segala rasa langsung saja sirna. Perlahan bangkit dalam keterpurukan,hanya keluargaku yang mampu meredam rasa bersalahku dalam masalah ini.Seakan merekalah nafas terbaruku untuk bisa hidup bahkan tanpa secuilpun mereka tidak menyakitiku tentang hinaan yang selalu menyeretku dilubang keterpurukan.Mereka selalu mendukungku bahkan merelakanku untuk menuai keberhasilanku disetiap sajak hidupku ini. Sampai detik ini aku berusaha bangkit dan menemukan semuanya dalam keadaan baik-baik. "Maaa,paa.Aku pamit pergi ya,mungkin cara ini adalah yang terbaik buat aku yakin bahwa aku bisa menjadi orang lebih baik lagi"ketika dirinya menyentuh dan mencium tangan sang Mama. "Iya nak,mama berharap kamu bisa lepas dari hinaan yang selama ini menghantui kamu.Mama sangat kehilangan bila kamu sangat rapuh dan ga bisa kembali memutar kehidupanmu yang lebih baik" "Kamu juga harus hati-hati ditempat baru.Apapun itu kamu harus bisa memecahkan setiap masalahmu sendiri dengan sikap dewasa,jangan terlalu membuat seseorang malah menyepelekan apa yang kamu miliki."Imbuh sang Papa. Melihat barang-barang berupa koper dan tas jinjing yang sudah disiapkan oleh pembantunya.Dia bergegas untuk bisa meninggalkan rumah kenangan selama hidupnya kini,hati yang sudah sirna ga mungkin bisa dibuat lagi dalam waktu singkat ditempat ini lagi.Kini setelah berpamitan dengan dramastis bahkan air mata menjadi saksi perpisahan dirinya untuk meninggalkan semua yang sudah dia anggap sebagai tempat paling bahagia pun akan malah membuat semakin terpuruk. Dengan menggunakan sebuah mobil,dia pun berpamitan serta melambaikan tangan untuk terakhir kalinya meninggalkan kedua Orang Tuanya dalam situasi berkabung. Mobil pun melaju pelan keluar dari halaman rumah megah milik keluarga Denis Wiguna Artawijaya.Hatinya begitu kacau saat beneran dia melepaskan semuanya untuk berani membuat perubahan dalam hidupnya kelak. "Semoga banyak hal yang sudah aku lakukan nantinya akan membuat orang tuaku bangga sepertu apa anaknya dalam menyingkirkan dirinya sendiri dalam nestapa ini. "Aku bersumpah akan kembali dengan kuat bahkan bisa membuktikan siapa aku sebenarnya.Tanpa ada hal lain dalam hidupku ini untuk bisa menyentuh kehidupan lain." Begitu sedihnya Sang Mama hingga memeluk Papa dan mengikhlaskan kepergian sang anak untuk bisa kembali menempuh kehidupannya yang normal serta rasa berat begitu menyayat hatinya. Dibandara kekeberangkatan,terasa berat ketika dia mendapati sebuah tiket yang sudah dipesankan untuknya.Segera Ia masuk kedalam melakukan cek in,serta bergegas untuk melewati ruangan perjalanan menuju ruang tunggu keberangakatan. Tengahdah dalam kesendirian,mungkin saat melihat sesosok wanita yang berada disebuah pinggiran danau dengan wajah pucat serta melambaikan tangan kesedihan akan ditinggalkan oleh kekasih terbaiknya.Sungguh itu membuat hatinya begitu tersayat.Apalagi inilah terakhir kalinya dia melihat wanita pujaannya meninggal dalam insiden kecelakaan tunggal hingga menyeret dirinya dalam jurang permasalahan mendalam karena ketidak puasan kedua orang tua kekasihnya dalam hal tuntutan bebas karena tidak dalam hubungan yang menyebabkan kecelakaan sang wanita. Beberapa saat kemudian datang petugas bandara tengah mendekatinya dengan memberitahukan bahwa pesawat tujuan Prancis akan segera berangkat.Inilah hal tersedih akan dia alami selama dinegeri orang.Berada dalam kesendiriannya dia terasa berat untuk meninggalkan semuanya. "Permis Pak,untuk penerbangan anda segera berangkat mari saya antar"pintanya sambil meraih koper yang tengah berada disampingnya. Ia mendongak dengan senyum khas perpisahan,serasa berat tapi inilah awalku memulai sebuah perjalanan hidup baruku.Menjalani semua dengan sebuah keterpaksaan untuk bisa memulihkan sebuah nama baik buat keluarga adalah moment terbaiknya. "Anda rencana berapa tahun Pak disana?"sapa hangat sang pendamping. "Setidaknya sampai fikiranku bisa kembali dingin,dan bisa membuat hati semua orang kembali percaya bahwa aku memang pergi bukan untuk sebuah rasa takutku.Tapi disinilah aku akan memulai hal baru untuk membuktikan kalau ini semua bukan hanya terpaksa melainkan untuk kebaikan semua orang."Jelasnya pasti. "Aku akan support untuk hal ini Pak,saya tahu apa yang bapak alami memang sesuatu yang berat.Semua pasti ada jalan keluar menuju kebuntuan ini.Semoga Bapak betah dan bisa menjalani hidup dengan baik" Melangkah menuju antrian tiket untuk segera busa berangkat meninggalkan negara kesatuan Indonesia dan meyakinkan diri bahwa inilah perjalanan terpanjang dalam hidupku untuk merubah segalanya.Diruangan kabin pesawat,dia mencoba tegar dan yakin saat tengah mendapatkan sebuah solusi bersama bisikan hatinya untuk mengobrol dengan nyaman secara baik.Penerbangan pertama dalam hidupnya berada dalam setiap rasa ragu dan berat memang sangat membebani. Tak mungkin juga kalau aku kembali,serta mengecewakan Orang tuaku hanya untuk masalah ini.Mungkin dengan cara inilah aku menjadi orang hebat pada akhirnya. kedatanganku memang menangangkan diri Setelah perjalanan yang melelahkan sepanjang waktu dan masih saja aku membayangkan seperti apa kehidupanku setelah kepindahanku dinegeri orang.Entah apa lagi yang akan aku perbuat untuk bisa kembali dalam kebaikan disetiap langkah hidupku ini.Banyak sekali keinginan untuk bisa merubah dan menjadikan semua pelajaran hidup untuk selalu dalam perjuangan. Sebuah mobilpun telah menantiku dipelantaran Bandara internasional Prancis.Tubuhku yang masih lemas dan berusaha kuat untuk menyapa seorang pria tengah menantiku selama beberapa waktu.Mungkin kalau aku tebak seeh dia berumu 35 an lah,dengan pakaian rapi kemeja berbahan katun dengan aksen kotak-kotak berwarna hijau bergaris putih menutupi tubuh proposional juga celana jeans dan sepatu boath berwarna hitam. Begitu ramah saat menyapaku dengan khas,Senyuman serta berjabat tangan. "Selamat datang Mas Romero Dimitri Artawijaya,bagaimana perjalanan anda?apakah melelahkan!"Sapanya hangat sambil mengulurkan tangan padanya. "Anda siapa ya?"Tanya Romero penasaran sambil mengernyitkan kening. "Saya Samuel Dakota.Wakil Direktur anda,apa anda siap dengan suasana baru dinegara ini?"Tanta Samuel ramah. "Yaaaah,mungkin belum tahu ya.Apa aku masih butuh waktu,bisa kan!" "Sangat bisa sekali Mas,mari saya bawakan kopernya!"Tantang Samuel sambil meraihnya,dan membawanya kebagasi mobil. Sambil mendekati Samuel diapun memberikan isyarat untuk lebih dekat dan sejajar dengannya. "Kamu ga pake supir atau siapa gitu,untuk menemani kita perjalanan?" "Tenang Mas,aku jamin kali ini kita akan aman.Jangan khawatir,nanti akan ada orang yang akan menemani anda esok.Dan ini adalah rahasia,untuk kali ini saya yang menghandle anda,khusus dan akan menjadi lebih special!"Jawabnya sambil memberikan pelayanan membukakan pintu belakang untuk Tuan Muda. Ia mendongak keatas serta menatapnya dengan heran. "Kenapa ini?kok kamu membukakan pintu buat saya?emangnya harus ya saya duduk dibelakang!"Tanya Romero kaku. "Lho itu kan keharusan untuk pemilik perusahaan,Tuan Muda harus duduk dibelakang dan,,,,,,"Belum selesai menjelaskan kronologinya malahan Romero menyela. "Dan saya hari ini duduk didepan bareng kamu,ga enak kalau aku dibelakang dan bertanya-tanya soal kesibukan kita nantinya.Kamu sering menoleh kebelakang.Jadi aku pilih didepan ya!"Jawabnya sambil menujuk kearah kursi kemudi depan. "Tapiiii,Mas?"Mencoba menghalanginya. "UDAH SANTAI AJA,AKU GA BAKALAN MAU DUDUK DIBELAKANG.AKU MAUNYA DUDUK DISAMPINGMU,OKE!"Langsung berjalan kedepan dan membuka pintu,masuk dikursi depan bersanding bersama Samuel. Dengan senyum hangat dan pasti mengerti apa yang dimau sama Romero.Dia mencoba untuk lebih dekat dengannya serta ingin banyak mengobrol tentang kehidupannya dan keberadaannya dinegara ini.Itupun juga dibalas dengan santai pula olehnya.Layaknya pertemanan yang mulai terjalin seperti kedekatan secara alami. "Memangnya udah berapa lama anda kerja diperusahaan Ayahku?sepertinya betah sekali dengan kinerja perusahaan yang tengah anda tangani saat ini?"Tanya Romero sambil menoleh kearahnya. "Cukup lama,dan kepercayaan memang menjadi kunci kesuksesan yang tengah saya alami dengan baik sampai berada dititik seperti ini.Saya sangat menghormati orang tua anda,Mas!" "Waoooow,memang ayah tiada duanya ya.Sampai bisa percaya sepenuhnya dengan anda!"Candanya geli. "Memang beliau sangat percaya dengan saya,serta ketika ada kabar kalau anaknya berada dalam kondisi yang butuh pemulihan.Saya akan membantunya.Dan anda datang dengan sikap yang flamboyan sampai saya ga percaya hal itu!"Kembali memujinya dengan segala hal. "Apa aku akan tinggal dengan anda atau sendiri?"Kembali mempertanyakan hal tersebut. "YAAA,,,ada rumah yang sudah lama disiapkan untuk anda,dipinggiran kota dengan aksen yang cukup membuat anda takjub.Karena tempat ini cukup indah bahkan anda tidak akan menolaknya."Jawab Samuel yakin akan pandangannya terhadap tempat tinggal milik Romero. "Apakah cukup buat aku tinggalin sendiri atau ada teman untuk menemaniku dirumah baru itu Sam?"Tanya Romero lagi. "Nanti akan ada orang yang akan menemani anda dengan sepenuh hati.Saya tidak bisa memastikan apakah dia akan mau berada disamping anda atau gimana?kemarin staff saya sudah menerima seseorang untuk tinggal sama Anda.Gimana anda setuju atau menolak?" "Aku sangat tidak sopan bila menolak permintaan anda sendiri dalam proses penerimaan asistan saya nantinya.Aku akan menerima dengan melihat wajah dan keyakinan dia untuk bekerja denganku.Aku pasti akan yakin itu."Jawabnya yakin. "Yaaap,itu pilihan yang bijak bagi seorang pria yang berhati besar.Saya sangat senang dalam hal ini."Memberikan senyuman untuknya. Disetiap jalanan pun kembali menjadi sebuah rasa penasaran diantara keduanya,senja memang tengah menyapa perjalanan keduanya menuju sebuah pelataran hutan hijau hingga menuju rumah yang sangat indah dengan aksen monocrom dan cukup mewah untuk dia tinggali.Rumah yang terbuka dan aksen privat pun didapatkan oleh Romero secara exclusive dan indah,saat memasuki garasi rumah. Terhenti dengan tepat,keduanya pun keluar dari mobil,saat Samuel melihat reaksi wajah sumringah dari Romero dipastikan akan betah berada dirumah yang mempesona ini. Sambil mengeluarkan koper dibagasi Mobil Bentle hitam metalik dan mewah,tak henti-hentinya pujian dan kekaguman Romero disetiap sudut rumah barunya. "Sepertinya anda menyukai rumah ini ya?"Ujar Samuel sambil menyerahkan koper kepada Romero. Sambil mengangguk pasti,dia memberikan senyuman untuknya. "Aku pasti akan tinggal dengan nyaman dirumah ini.Aku masuk dulu ya,atau aku buatkan minuman sebentar sebagai ucapan terima kasih Sam?"Kata Romero menawarkan. "Maaf,untuk kali ini saya punya waktu sampai jam segini.Mungkin lain kali kalau saya tidak sibuk akan datang kerumah anda,gimana?" Berfikir kembali,dan menyetujuinya aku harus bisa mengerti dengan pekerjaan yang tengah diemban oleh Samuel.Untung saja,dia mau menemaniku sampai kerumah."Mendongak kembali dan menarik kopernya untuk masuk kedalam. "Semoga tidak ada lagi permasalahan lagi disini.Aku tidak ingin membuat kerumitan lagi disini."Sambil berjalan menuju kepintu utama. Mengeluarkan kunci didalam saku,setelah Sam memberikan padanya saat dirinya tengah meninggalkan kediaman milik Romero.Sangat indah dan menyatu dengan alam liar sampai dia harus tengak-tengok melihat apakah tempat ini akan aman untuk dia tinggal.Masuk kedalam dan menutup rapat,menghidupkan lampu-lampu dengan nuansa remang-remang.Tempatnya memang indah dan ga salah kalau Sam memilihkan tempat bagus untukku. Setelah menata semua peralatan yang sudah dia keluarkan dari koper,menata rapi dan beres dirinya pun mandi dengan shower yang tengah membasahi tubuhnya hingga segar.Tak lama kemudian dirinya mengeringkan tubuhnya sambil menatap kecermin dengan senyum khas miliknya. Setelah merapikan diri dengan pakaian santai,Romero mencoba untuk bisa menghangatkan tubuhnya dengan membuat perapian dan membuat minuman untuk dirinya sendiri.Dapur elegan dan bernuansa monocrom telah memberikan kehangatan tak kala segelas kopi panas telah terseduh dengan tepat,seraya menoleh dan sepertinya ada yang datang kali ini.Suara lonceng pintu berbunyi membuatnya yakin itu adalah Samuel. "Ada yang datang?siapa ya.Apa mungkin Sam!pasti ada yang ketinggalan!" Melangkah dengan santai juga dalam pengawasan yang cukup waspada,apalagi saat menengok kearah luar sebuah kaca suasana sudah mulai gelap sampai hati dia membukakan pintu. Saat membukakan pintu,terlihat sesosok wanita cantik dengan postur tubuh ideal serta wajah khas blasteran Oriental dengan Prancis sehingga membuat keduanya berdiri membisu tanpa kata,saat saling memuji dalam hatinya masing-masing. "KAMUUUU,,,,SIAPA?"Tanya Romero dengan wajah heran. "Saya Alexa Diaz, ditugaskan oleh Tuan Samuel Dakota untuk menjadi asistan pribadi anda!"Sambil memberikan senyuman hangat. "WAOOOW,,,,hebat sekali Sam.Bisa menggaet seorang wanita secantik kamu!"Kemudian dia berdiri miring sambil mempersilahkan masuk. "Silahkan masuk,sepertinya kamu butuh kehangatan dimalam ini"Sambil memberikan senyuman. Sambil mengangkat koper miliknya,diapun berjalan masuk kedalam.Dengan ramah Seorang Pria bernaman Romero pun memberikan langkah hangat didalam rumah yang tengah dia tinggali sendirian.Bahkan ini adalah sikapnya kembali kalem saat melihat wanita tersebut. "Maaf ya kamu harus datang sendiri kesini?"Sambil mengajaknya kekamar pribadinya. "Tidak apa-apa Tuan,itu sudah menjadi tugas saya nantinya menjadi asistan pribadi anda kan!"Jawabnya penuh kehangatan. Membukakan pintu dilantai bawah dan terasa mewah juga ketika Romero memberikan kamar special untuknya. "Special kamar buat kamu,semoga kamu nyaman.Mau istirahat dulu atau kita langsung bicara?"Tanya Romero sambil berdiri serta menyandarkan dirinya ditengah dinding pintu sembari bersedekap. "Saya ganti baju dulu tuan sambil menata barang-barang saya,beri saya waktu sepuluh menit untuk menata semuanya!"Sambil melirik dengan wajah sumringah padanya. "OKE,aku tunggu ya diruang tengah.Supaya kita lebih santai berbicara lebih jauh dan mudah mengenal satu sama,,,aku tunggu ya."Sambil berlalu ia meninggalkan Alexa menuju ruang tengah. Dari dalam kamar,senyuman bahkan kehangatan tengah dirasakan oleh Alexa.Wanita yang tengah menjadi bagian dari seorang pria bernama Romero Dimitri Artawijaya,sebuah kepercayaan akan dia emban dalam keluarga konglomerat. Aapakah ini adalah sebuah pilihan dalam hidupnya untuk bekerja dibawah pengaruh seseorang dalam sikap ini. Cukup lama Romero tengah menanti kedatangannya,diapun membaca sebuah novel misteri untuk mengisi keheningan malam juga menanti kedatangan wanita menarik dalam hidupnya saat ini. Tak lama kemudian datanglah wanita yang tengah memberinya senyum,pakaian khas kemeja polos berwarna pink cerah dengan celana katun berwarna hitam jenjang sampai mata kaki serta sebuah sepatu pantofel berwarna hitam pula.Rambut yang terkuncir dan ia tengah berdiri untuk menyapanya. "Selamat malam Tuan Romeo!"Sapanya singkat membuatnya segera mendongak dan heran dengan penampilan khas seorang pengawal executive. "Haiii,Malam juga.Silahkan duduk!"Jawabnya sambil membalas senyum,perlahan Romero meletakkan novel serta menutup dan menaruhnya dimeja,kembali fokus untuk menatapnya dengan senyuman. Perlahan ia duduk dengan wajah cerah,bahkan sejak dalam pandangan ini adalah sebuah hal yang mustahil untuk Sam dalam memperkerjakan seorang wanita dalam keseharian seorang Romero.Antara tak percaya itulah dia,dalam beberapa kesempatan mungkin inilah pilihan darinya untuk kehidupan selanjutnya. "APA BENAR KAMU YANG MELAMAR DIPERUSAHAAN MILIK SAMMUEL DAKOTA?"Tanya Romero penasaran. "Iya betul tuan,saya sempat mengirimkan email langsung ke Pak Sam tak lama kemudian dia membalasnya dan meminta saya untuk datang kekantornya dan melakukan wawancara serta menyetujui semua persyaratan yang telah beliau berikan kepada saya." Memang dari cara bicaranya tak bisa dipungkiri kalau dia memiliki beberapa kelebihan yang mungkin bisa dia pelajari selanjutnya,dan juga ketika Alexa Diaz memberikan sebuah berkas pendidikan dan prestasinya. "Untuk berkas yang sempat saya berikan kepada Tuan Sammuel,beliau minta memberikan lagi kepada anda supaya anda percaya dengan kapasitas saya sebagai asistan pribadi anda."Sambil memberikan berkas untuk segera dipelajari oleh Romero. Duduk sembari menompangkan kedua tangan,dia pun bertanya kembali.Senyum hangat pun diutarakan oleh Romero. "Oke,saya sangat percaya dengan apa yang kamu berikan kepada saya.Tapi sebenarnya aku lebih suka dengan sikap non formal dari pada harus bersikap antara kita sebagai atasan dan bawahan.Itu sangat tidak relevan okey.Selamat bergabung dengan Romero Dimitri Artawijaya."Sambil mengulurkan tangan. "Terima kasih Tuan,atas kesempatannya untuk mendampingi anda!"Jawabnya sambil menyambut tangan Romero dengan senyum menawan. "Jadi kamu siap kan untuk tinggal disini sama aku?ga ada masalah kan!"Tanya Romero mulai membuat suasana hangat dirumah ini. "Siap Tuan,,,"Jawabnya hangat. "Bagaimana kalau sekarang,aku masak?atau kamu juga bisa masak,untuk membantuku?"Tanya Romero menawarkan diri. "Kenapa tidak Tuan,,,aku sangat suka memasak.Atau saya saja yang akan menyiapkan semuanya untuk anda?Bagaimana."Tanya lagi,sigap untuk memberikan pelayanan untuknya. Tertawa geli "Kenapa tidak?" Akhirnya keduanya pun berada dalam satu team dapur dalam membuat menu makan malam.Walau masih gugup dan saling menjaga jarak tapi setiap kegiatan yang dilakukan oleh Alexa membuat senyum mantap Romero untuk mengimbanginya.Apalagi saat ini keduanya berusaha membuat menu yang cukup formal dan lebih flexibel yaitu membuat pasta dengam sensasi pedas kesukaan khas indonesia,sampai-sampai Alexa tak bisa menahan rasa pedasnya dalam situasi seperti ini.Tawa pun berada dalam dekapan Romero untuk melihat seperti apa rasa dalam masakan dirasakan olehnya. Description: Seorang pria yang berusaha keluar dari masa lalunya untuk kembali hidup normal dan bisa melupakan wanita tersayangnya telah meninggal.Banyak hal yang harus dia hadapi saat berada ditempat baru,kedai kopi adalah tujuan utama untuk kembali membuka kariernya sebagai seorang barista.Disanalah dia berhadapan dengan lawan barunya hingga persaingan serius terjadi,apalagi wanita yang tengah ia hadapi mirip sekali dengan kenangan kekasihnya.mungkinkah akan kembali menjalin cinta antara Romero dan julieta ataukah hanya ilusinya selama ini?
Title: RAKALULA Category: Adult Romance Text: Suara ini? Rasanya Lula baru saja terlelap setelah berjuang melawan rasa lelah yang menghalanginya untuk tidur, saat telinganya menangkap suara benturan keras tepat di dekatnya. Suara yang bukan hanya terdengar sekali itu, namun berkali-kali sesudahnya pun. Bruk ... bruk ... bruk .... Suara apa itu? Masih dengan rasa lelah dan mengantuk yang menggelayuti, ingin rasanya Lula mengabaikan suara itu. Memaksa matanya tetap terpejam rapat dan mencoba terlelap dengan segala cara. Namun saat benturan demi benturan tidak kunjung usai, dengan berat hati Lula mulai membuka kedua matanya perlahan. Refleks, masih dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, Lula mengarahkan matanya menatap jam digital di atas nakas di samping ranjang yang bersinar di kegelapan kamarnya. Waktu menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul 02.13 WIB. Apa sebenarnya yang dilakukan tetangga sebelah kamarnya dini hari begini? Belum juga mereka berkenalan, entah bagaimana Lula merasa tidak akan menyukai siapa pun yang menempati kamar sebelah. Tidak tahukah dia bahwa hari ini Lula merasa sangat lelah diakibatkan harus bekerja keras membersihkan dan merapikan kamar yang baru saja ditempatinya ini? Menyapu dan mengepel lantai kamarnya dengan sebersih mungkin. Memberi komando pada tukang jasa pindah untuk menunjukkan di mana seharusnya mereka meletakkan barang-barangnya. Tidak lupa mengelap kaca jendela yang setelahnya harus dipasangi gorden. Belum lagi memperbaiki lipatan-lipatan pada bajunya yang disimpan di koper sebelum memasukkan mereka ke lemari dan menggantung beberapa baju yang tidak pas jika harus dilipat. Kemudian dia juga harus menata koleksi buku-buku yang dimilikinya. Itu hanya sebagian kecil yang harus dilakukannya hari ini. Sendirian. Tanpa seorang pun yang membantu. Dan apa? Saat waktunya istirahat, Lula justru mendengar suara yang mengganggu dan mengagetkan ini? Argh! Benar-benar tetangga tak punya hati! "Ya Tuhan, biarkan aku tidur dengan tenang malam ini." Dengan rasa lelah yang memuncak Lula hanya bisa mendesah panjang saat mengucapkan doa tersebut. Harapan yang terdengar sederhana, namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Suara benturan tadi, tiba-tiba sekarang diikuti dengan suara berdecit yang sekarang Lula tahu bahwa itu suara ranjang tetangganya yang bergerak maju mundur. Disertai dengan sebuah suara wanita yang saat itu juga membuat Lula membeku di tempat. "Oh, yes ... terus ... please, jangan berhenti." "Ya ... ya ... ya, di situ. Yang keras!" Apa-apaan ini? Jantung Lula berdetak dengan sangat keras. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin yang tiba-tiba membuatnya tidak nyaman. Lula tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari apa yang sedang terjadi di kamar sebelahnya tersebut. Apa yang ... Lula tidak dapat lagi meneruskan apa pun yang dipikirkannya tersebut. Otaknya seolah berhenti bekerja, namun entah bagaimana kinerja telinganya justru semakin meningkat. "Terus ... terus ... lagi!" Suara-suara mendesah yang merupakan suara seorang wanita itu diikuti oleh erangan keras dari seorang pria. Jangan lupakan juga beberapa kali suara benturan dan decitan ranjang yang sekarang Lula sadari letaknya tepat di balik tembok di mana Lula juga meletakkan ranjangnya. Salahnyakah yang meletakkan ranjang di sisi yang tepat dengan ranjang tetangganya tersebut? Mungkin seharusnya dia mendatangi ahli fengshui dulu untuk meminta pendapat tentang bagaimana mengatur kamarnya tersebut sebelum benar-benar pindah ke sini. Ah, sial! Tidak mungkin juga dini hari begini Lula menggeser posisi ranjangnya menjauh dari posisi yang sekarang. Lula sudah sangat lelah dan mengantuk. Sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Bahkan untuk meneriaki tetangganya untuk diam saja dia merasa tidak sanggup. Mata Lula yang awalnya masih sedikit tertutup, kini sudah terbuka dengan sangat lebar. Bahkan bibirnya pun ikut terbuka. Merasa terlalu terkejut dengan apa yang didengar dan disadarinya sedang dilakukan oleh tetangga kamarnya tersebut. Apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiran Lula seolah terhenti saat itu. Kelelahan fisik yang dirasakannya dan suara-suara yang ditimbulkan oleh tetangganya tersebut seolah menjadi double combo yang menyerangnya telak. Dan yang bisa dia lakukan adalah kembali tidur, menjauh dari keributan di sisi tembok tersebut. Dengan berat hati, Lula meraih selimut dan bantalnya, menyalakan senter ponsel untuk membimbingnya berjalan menuju ke sofa di dekat pintu kamarnya. Berusaha sejauh mungkin dari sumber suara tadi. Namun sejauh apa pun dia berusaha pergi, walaupun terdengar sayup, suara tadi seperti sedang mengikutinya, menghantuinya. "Yes ... yes ... yes ... terus ...." "Oh, Tuhan, aku bisa gila!" Dengan kesal Lula mulai menata bantal dan selimut di sofa. Membaringkan tubuhnya, Lula menatap nyalang pada langit-langit kamarnya. Erangan dan desahan tadi seharusnya semakin memudar, namun seolah semua sudah terpatri di otaknya, suara-suara tersebut seperti bergema di telinganya. Tanpa sadar Lula bergidik geli. Katakanlah dia wanita polos yang kuno dan kolot. Menurutnya, kesucian seorang wanita hanya boleh diberikan kepada suaminya. Dan dia tahu kalau tetangga sebelahnya jelas merupakan pria single, bukan seorang suami. Jadi jelas, yang mereka lakukan saat ini adalah kesalahan atau dosa besar menurut Lula. Dari mana Lula tahu kalau penunggu kamar sampingnya adalah pria single? Karena itulah yang dikatakan oleh induk semang mereka. Mengutip kata-kata induk semang, pria single yang tampan. Lula hanya bisa berdecak sebal. Karena induk semangnya sudah terbutakan oleh ketampanan pria kamar samping ini hingga tidak menyadari kalau pria single tampan tersebut juga adalah pria mesum menyebalkan yang mengganggu istirahat malam Lula. Abaikan saja! Lebih baik Lula mencoba istirahat dan besok ... besok barulah dia akan membuat perhitungan dengan tetangga samping kamarnya tersebut. Pembalasan yang Gagal Sejak bangun tadi, Lula sengaja membuat kegaduhan di dalam kamarnya. Dengan kekuatan yang tidak tahu dimilikinya, Lula berhasil memindahkan ranjang yang kini posisinya sudah menjauh dari tembok laknat yang terhubung dengan kamar tetangganya tersebut. Sekarang sisi tembok tersebut digantikan oleh rak buku yang awalnya berada di posisi ranjangnya sekarang. Suara menyeret dan memindah-mindahkan benda dilakukan Lula dengan seberisik mungkin. Berharap tetangga kamarnya tersebut dapat merasakan apa yang dirasakannya semalam. Bayangkan kegiatan mereka yang semalaman tersebut pastinya akan membuat mereka kelelahan sehingga pagi ini pastinya mereka akan berusaha tidur nyenyak. Dan Lula memastikan mereka tidak akan mendapatkannya. Tapi sial! Pembalasan yang sudah Lula susun sedemikian rupa sejak saat matanya terbuka di pagi hari itu ternyata gagal untuk dilakukan. Keributan yang gantian dia lakukan sejak pagi sama sekali tidak berpengaruh pada tetangga kamarnya tersebut. Karena apa? Tetangganya sudah pergi sejak subuh hari tadi. Sepertinya begitu selesai melakukan keributan semalam, pria itu pergi bersama wanitanya. Entah ke mana. Meninggalkan kekesalan berkali-kali lipat pada Lula yang saat ini merasa lelah, baik fisik maupun mentalnya. Yang lebih menyebalkan lagi, Lula mengetahui bahwa tetangga kamarnya tidak ada setelah dia sudah memindahkan ranjang, rak buku, lemari dan sofa yang ada di dalam kamarnya. Yang sama artinya dengan mengatur ulang kamarnya mulai dari awal. Benar-benar double sialan! Kosan baru, berharap mendapat pengalaman baru, tapi justru Lula mendapatkan kekesalan baru. Andai saja di kosan ini masih ada kamar kosong yang lain, Lula pasti akan meminta pindah ke kamar kosong tersebut saat ini juga. Dengan rela, tulus, dan ikhlas memindahkan lagi barang-barangnya dan membereskan dari awal. Karena menurutnya hal itu sebanding dengan lelah fisik dan mentalnya saat harus mendengarkan suara-suara tidak senonoh semalam. Tapi sayang sekali, kamar kosong di kosan ini hanya kamar yang saat ini ditempatinya. Mungkin memang nasibnya sedang buruk hingga harus mengalami hal seperti ini. Helaan napas Lula seolah memenuhi kamar 7 x 10 yang disewanya tersebut. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 21.15 WIB. Biasanya jam segini Lula masih akan berselancar di dunia maya, mencoba mencari berita dan gosip terpanas saat ini. Tapi membereskan kembali kamar kosnya membuat Lula merasakan lelah seperti semalam, dengan intensitas dua kali lipat lebih lelah dari semalam. Yang artinya juga kesabarannya menipis dua kali lipat dari semalam. Semoga saja malam ini tetangganya tersebut tidak pulang ke kamarnya. Sehingga Lula bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada suara-suara yang mengganggu. Sebenarnya Lula mempertimbangkan, apakah sebaiknya dia melaporkan kelakuan menjijikkan tetangga kamarnya ini pada induk semang? Namun setelah dipikirkan, dia tidak mau jika nantinya akan dicap sebagai pengadu. Toh tetangga kamar lain tidak ada yang komplain mengenai hal itu. Jika hanya dia yang komplain, bisa-bisa berbagai macam titel akan disandangnya sebelum masa sewa satu tahunnya habis. Apalagi ini masih hari keduanya di kosan. Bisa-bisa nantinya dia akan menjadi bahan omongan di antara para penghuni kos yang lain. Oh, tidak boleh begitu! Mencoba berpikir positif, kejadian tersebut hanya terjadi semalam. Jadi malam ini Lula pasti dapat tidur dengan nyenyak. Dengan sebelumnya berdoa, supaya malam ini bisa tidur dengan nyenyak, Lula mulai merapatkan selimut dan berusaha untuk tidur, walaupun rasa lelah masih menggelayutinya. ♡♡♡ Rasanya baru juga memejamkan mata saat lagi-lagi Lula mendengar suara yang sama seperti semalam, hanya saja dalam versi yang lebih pelan. Deja vu. Kejadian kemarin malam terjadi lagi. Dengan mata yang masih belum sepenuhnya membuka, Lula menengok ke arah jam digitalnya, pukul 01.12 WIB. "Argh! Lebih awal dari kemarin!" Teriak Lula kesal, bergema di dalam kamarnya. "Darling, lebih cepat! Lebih keras! Oh, yes ... yes ... yes ...." "Tuhan ... Kau pasti senang mencandaiku." Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Dan Tuhan membiarkannya mengalami nasib yang sama sebanyak dua kali. Lula seakan sedang ditertawakan oleh Sang Pencipta. "Darling, teruuusss ...." Ah, benar-benar tetangga laknat, tidak punya hati! "Candaan-Mu kali ini benar-benar tidak lucu." Sepertinya Lula sudah mulai gila. Berbicara dengan Tuhannya di antara suara-suara tidak senonoh yang melingkupinya. Merasa putus asa, Lula mengambil bantal dari bawah kepalanya dan berusaha menutupi wajah dan telinganya dengan bantal tersebut, berusaha meredam semua suara yang ada. Tetapi hanya butuh tiga menit sebelum Lula akhirnya menyingkirkan bantal tersebut. Suara-suara memang teredam, tapi bisa-bisa dia mati kehabisan napas karenanya. Dan kalau dia mati karena hal ini, dia akan memastikan dirinya menjadi hantu dan akan membalas dendam pada tetangganya tersebut. Lula sebenarnya adalah tipe gadis yang selalu berpikiran positif terhadap orang lain. Berusaha bersikap baik terhadap orang lain walaupun orang tersebut berbuat sebaliknya. Tetapi rasanya untuk kali ini dia akan menyingkirkan pikiran positifnya tersebut. Karena setelah hari ini, Lula memutuskan bahwa dia tidak akan bersikap baik pada tetangga kamarnya tersebut. Dan itu adalah janji. Melabrak Melabrak. Sebuah kata kerja yang ingin sekali Lula lakukan saat ini juga. Lelah fisik dan mental yang dialami seseorang benar-benar bisa memicu korsleting dalam emosinya. Dan itulah yang sedang Lula rasakan saat ini. Semalam, setelah mencoba dengan berbagai cara supaya bisa tidur, Lula berakhir dengan ponsel yang tidak berhenti memutar lagu-lagu dari Guns N' Roses lengkap dengan headset yang terpasang rapat di telinganya. Mencegah suara-suara tak diharapkan yang berasal dari luar dan berakhir dengan mata yang menatap nyalang pada langit-langit kamar berbalut kegelapan. Lula tidak bisa melanjutkan tidurnya malam itu. Sayang sekali, objek penderita dari labrakan yang akan dilakukannya sama sekali belum terlihat batang hidungnya hingga saat ini. Sejak pagi, Lula berulang kali mencari alasan untuk keluar kamar. Entah membuang sampah, berpura-pura menyapu depan kamar, membeli makanan ke warung, bahkan sekedar iseng membeli batu baterai ke supermarket mini di dekat sana. Tapi berkali-kali itu juga Lula melihat belum ada tanda-tanda keberadaan manusia di kamar sampingnya. Pintu dan gorden masih tertutup rapat, tempat sendal dan sepatu yang Lula amati masih seperti saat rumah itu ditinggalkan sang pemilik kemarin. Jadi jelas, pria itu belum pulang. Kemudian Lula mulai berpikir, sampai kapan dia harus menyimpan emosinya dan menunggu seseorang yang tidak pasti seperti ini? Jika harus seperti ini dalam satu jam, sepertinya Lula akan menjadi gila. Jadi saat ini dia harus melakukan sesuatu yang dapat mengisi waktunya sembari menunggu tetangga kamarnya. Tapi apa? Mengamati sekeliling kamar, rasanya tidak ada lagi yang bisa Lula lakukan. Kamarnya sudah sangat rapi, setelah dua hari kemarin berulang kali dia membereskan semuanya. Hingga matanya tertuju pada gulungan bubble wrap yang kemarin digunakannya untuk membungkus barang-barang pecah belah miliknya. Ya. Kegiatan yang sangat sesuai untuknya. Selain sebagai kegiatan healing, memecahkan balon-balon udara kecil di bubble wrap juga dapat menjadi saran pelampiasan emosi. Bayangkan saja balon-balon kecil itu adalah wajah tetangga kamar yang dengan sekali pencet akan pecah menjadi udara bebas. Ya ... walaupun harus Lula akui, dia tidak bisa membayangkan wajah tetangganya karena sama sekali belum pernah melihatnya. Ah, tapi persetan! Kalau tidak bisa membayangkan wajahnya, bayangkan saja balon-balon kecil tersebut seperti jerawat di wajahnya. Tahu sendiri kan rasa sakit dan leganya memencet satu jerawat di wajah? Lula akan membayangkannya berkali-kali setiap satu balon kecil tersebut pecah bayangkan jerawat di wajah tetangganya juga pecah. Pasti memuaskan! Dengan bersiul riang, Lula meraih gulungan bubble wrap-nya dan berjalan menuju depan kamarnya. Di depan setiap kamar disediakan dua buah kursi bulat dan juga sebuah meja sebagai sarana jika ada tamu yang mengunjungi masing-masing penyewa kamar. Dan di salah satu kursi itulah kini Lula duduk. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.23 WIB yang menandakan satu per satu para penghuni kos akan pulang dari kerja, kuliah atau kegiatannya yang lain. Pikiran positifnya, memerintahkan Lula untuk tetap menunggu. Walaupun tak dipungkiri, rasa ragu jelas ada. Menyadari kemarin tetangganya datang setelah Lula tertidur pulas. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap berharap, kan? Mengedikkan bahunya, akhirnya Lula memulai kegiatannya. Memencet balon-balon kecil pada bubble wrap. Pletok. Satu. Pletok. Dua. Pletok. Tiga. Pletok. Pletok. Pletok. Pletok. Selanjutnya Lula sudah tidak menghitung lagi berapa balon yang sudah dipecahkan. Kepuasan yang didapatkan kala mendengar suara pecah tersebut benar-benar sebuah healing atau penyembuhan. Suara yang pastinya menghibur hati yang dipenuhi emosi seperti miliknya. Kebahagiaan dari kegiatan sederhana ini mau tak mau membuat Lula tersenyum dan berakhir dengan tawa terbahak-bahak yang membuatnya terlihat benar-benar seperti orang gila. Dan saat itulah disadarinya sepasang sepatu lengkap dengan sang pemakai sedang berdiri di hadapannya. Karena fokusnya yang sedang berada di titik terendah pandangannya, yaitu pada bubble wrap di tangannya, Lula hanya dapat mengamati sepatu tersebut terlebih dahulu. "Ehem ... penghuni baru, ya?" Pertanyaan yang didahului dengan sebuah deheman tersebut membuat Lula dengan perlahan namun pasti menaikkan pandangannya, menelusuri paha kencang yang berbalut celana jins, perut rata, dada dan bahu bidang yang berbalut kaos polo berwarna hitam, hingga akhirnya pandangan tersebut sampai pada sebuah mahakarya. Tanpa sadar Lula menelan air ludah yang terasa menggumpal dan mengeras di dalam kerongkongannya. Lula bahkan seperti kehilangan kinerja jantungnya yang saat ini terlalu bersemangat memompa darah hingga berdegup dengan sangat kencang. Wajah pria yang ada di hadapannya benar-benar tampan dan sempurna. Alis hitam tebal yang dilengkapi dengan bulu mata panjang dan lentik, terlihat menghiasi mata yang sepekat malam. Hidung mancung dengan bentuk sempurna tersebut seolah dapat menjadi taman bermain para peri untuk bermain perosotan. Lalu bibir seksi yang saat ini sedang melengkungkan senyum seolah memaksa Lula untuk membalas senyumnya. Dan semua itu dilengkapi dengan garis rahang yang sangat seksi. Paket yang benar-benar lengkap untuk menggambarkan sebuah ketampanan sempurna. Kenapa Lula baru tahu kalau dia memiliki tetangga kos setampan ini? Ke mana saja dia selama dua hari ini hingga tidak menyadari wajah tampan sempurna seperti ini begitu dekat dengannya? "I ... i-ya." Tergagap Lula berusaha mencoba merapikan penampilannya. Sebelah tangannya otomatis terulur berusaha membenahi rambutnya yang keluar dari ikatan rambut. Dan tiba-tiba saja Lula menyadari satu tangannya yang lain masih memegang gumpalan bubble wrap yang sebagian besar balonnya sudah pecah. Sebuah ingatan muncul begitu saja, suara tawa terbahak yang Lula keluarkan sebelum pria tampan ini datang tiba-tiba seperti menggema di otaknya. Apa yang dia lakukan? Sementara seorang pria tampan berdiri di hadapannya, Lula justru tertawa-tawa seperti orang gila? Apa yang akan dipikirkan pria tampan di hadapannya ini? Entah kenapa bayangan tadi terasa horor melebihi film horor mana pun. Namun Lula berusaha tetap tenang. Dia sudah melakukan hal memalukan tadi. Tentu saja setelah ini tidak boleh ada lagi hal memalukan yang terjadi. Dalam hati Lula menarik napas dalam. Mencoba mencari ketenangan dengan melakukan hal tersebut. "Ah ya ... perkenalkan namaku Lula." Ucap Lula setelah memperoleh ketenangannya. Jantungnya masih berdetak kencang dan kini telapak tangannya terasa basah oleh keringat, tanda bahwa perasaan Lula sedang tidak karuan. "Salam kenal, Lula. Namaku Raka." Jawab pria tampan tersebut yang namanya langsung dicatat Lula dengan bolpoin berwarna pink dalam hatinya. Namun kalimat selanjutnya pria tampan tersebut menghancurkan harapan yang bahkan belum sempat Lula bangun, "Aku tetangga samping kamarmu." Bahkan film horor mana pun tidak akan dapat menandingi bulu kuduk Lula yang sudah berdiri saat ini. Jadi, pria tampan di hadapannya ini adalah pria mesum menyebalkan yang juga adalah tetangga kamarnya? Oh ... Tuhan pasti benar-benar sangat senang bercanda dengannya. Pria Tampan Lula masih tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya tadi. Pria tampan yang membuat jantungnya berdetak tak karuan adalah tetangganya yang juga merupakan playboy mesum menyebalkan? Bolehkah dia mengulangi? Tuhan pasti benar-benar senang bercanda dengannya. Dengan keras Lula memukul bagian dada di mana jantungnya masih berdetak kencang. Seolah dengan memukulnya Lula dapat menghentikan detakan kencang tersebut. Tapi tentu saja kenyataannya tidak. Jantungnya masih terus berdetak tak beraturan. Sebentar kencang, sebentar melambat, seolah sedang mengajak Lula untuk goyang ajojing. "Ya ampun, Lula, sadarkanlah dirimu. Kendalikan jantungmu." Seperti orang gila Lula berkata pada dirinya sendiri. Lagi-lagi berharap sesuatu yang mustahil. Karena saat ini dirinya menolak sadar, dan jantungnya justru semakin tak terkendali. Tiba-tiba saja Lula seolah mendengar ucapan induk semangnya kemarin. "Beruntung loh Nak Lula dapat kamar nomor empat ini. Pas banget penyewanya habis masa sewa." "Kenapa beruntung, Bu?" "Tahu nggak? Penyewa kamar nomor lima itu ...." "Kenapa dengan penyewa nomor lima? Jangan bilang dia itu psikopat, orang gila, atau jangan-jangan kleptomania?" "Ehei ... bukan itu. Mana mungkin saya bilang beruntung kalau tetangga kamarnya seperti itu." "Ya terus? Ih, Ibu malah bikin saya parno nih." "Ih ... nggak perlu parno. Makanya dengerin saya dulu." "Ya si Ibu juga yang jelasinnya gantung gitu." "Iya, makanya ini saya jelasin. Tetangga Nak Lula ini pria. Lebih jelasnya pria yang tampan banget. Dan satu yang pasti, dia single." Penjelasan tentang status single tetangganya diucapkan induk semang dengan bisikan penuh semangat. Lula bergidik mengingat pembicaraannya dengan induk semangnya tersebut. Ya sekarang Lula mengerti kenapa induk semangnya termehek-mehek oleh ketampanan tetangga samping kamarnya, karena dia sendiri merasakan efek yang ditimbulkan oleh pria itu. Dan entah bagaimana Lula tidak terima dengan efek yang ditimbulkan pria itu padanya. Ingin rasanya mengomeli jantungnya atas kinerjanya yang buruk hari ini. Namun Lula sadar, bukan salah jantungnya dia berdetak tidak jelas dan tidak sesuai kemauannya. Jantungnya hanya menuruti perintah otak yang sudah merekam dengan matanya kesempurnaan yang dimiliki oleh tetangganya. Salah Lula sendiri terpesona oleh ketampanan pria itu. Tapi bagaimana tidak terpesona kalau pria itu memang mempesona. Dirinya tidak buta. Dan pria itu jelas tidak mengandung sedikit pun gen jelek dalam dirinya. Ugh! Menyebalkan! Hidup benar-benar tidak adil! Bahkan setelah dipikirkan, namanya pun terasa sangat cocok untuk mendampingi wajah tampan tersebut. Raka. Lula sampai mencari arti nama tersebut di google. Raka menurut Bahasa Sansekerta memiliki arti bulan purnama. Dan menurut Bahasa Indonesia memiliki arti keteguhan, kebijaksanaan, pengaruh dan kekuasaan. Arti yang sama bagusnya walaupun dalam bahasa yang berbeda. Nah, tetapi kenapa Lula justru kagum bahkan oleh namanya? Ini tidak bisa dibiarkan. Lagipula dia sudah berjanji dia tidak akan bersikap baik pada tetangga samping kamarnya yang ternyata bernama Raka. Jadi dia harus mengukuhkan niatnya. Dia tidak boleh menyukai Raka. Dia tidak boleh bersikap lemah pada Raka. Dia tidak boleh bersikap baik pada Raka. Dengan kata lain, Lula harus membenci Raka. Walaupun tanpa alasan. Tepat saat niat dan janji tersebut selesai dibuat, terdengar bunyi ketukan di pintu kamarnya. Selama tiga hari Lula tinggal di kamar ini, belum pernah ada suara ketukan dari pintu kamarnya. Dan suara ketukan ini tiba-tiba saja terasa mencurigakan. Siapa yang mengetuk pintunya? Dan kenapa? Dengan hati-hati Lula berjalan menuju pintu kamarnya. Namun sebelum membuka pintu, Lula mengintip melalui jendela untuk mengetahui siapa yang mengetuk pintunya. Menggeser sedikit gorden kamarnya, Lula mengintip hingga matanya tepat melekat pada seseorang yang berdiri di depan kamarnya. Mau apa orang itu kemari? Sengaja berlama-lama membuka pintu kamarnya, Lula hanya mengizinkan dirinya membuka sedikit pintunya. Paling tidak kedua matanya terlihat dari luar. "Halo, Lula." Ucap Raka yang saat ini berdiri dengan tampannya di depan kamar Lula. Dan sekali lagi jantungnya berulah. Mulai berdetak kencang dengan seenaknya. "Ya. Ada apa?" Tanya Lula malas berbasa-basi. Semakin cepat Raka menyampaikan maksudnya, akan semakin cepat juga Lula mengatur kinerja jantungnya supaya normal kembali. "Oh, sibuk ya? Maaf kalau ganggu." Lula hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan dan pernyataan basa-basi dari Raka. "Ini ... aku datang hanya bermaksud memberikan sedikit oleh-oleh." Raka mengacungkan kantong kresek hitam yang sejak tadi tidak Lula lihat berada di genggamannya. Lula heran mendengar kata oleh-oleh tersebut. Pergi dari mana? Kenapa membawa oleh-oleh? Oleh-oleh adalah kesan yang ditangkapnya merupakan bawaan seseorang yang sudah pergi jauh. Tetapi tidak mungkin tetangganya ini pergi jauh, jelas-jelas semalam suara wanitanya masih mengganggu tidur Lula. Hah?! Lula tidak akan luluh hanya karena diberi oleh-oleh. Dengan canggung Lula bermaksud menerima kantong kresek tersebut saat menyadari telapak tangannya yang basah. Sekarang bukan hanya kinerja jantungnya yang semena-mena tanpa izin berdetak kencang, bahkan pori2 di telapak tangannya ikut-ikutan membuat ulah. Merasa kesal, Lula mengusapkan telapak tangannya ke kaos yang dipakainya sebelum kembali mengulurkan telapak tangan tersebut untuk menerima bungkusan kantong kresek yang katanya berisi oleh-oleh. "Terima kasih." Ucap Lula setelah menerima kantong kresek tersebut dari tangan Raka. "Sama-sama. Kalau begitu, sekali lagi maaf karena sudah mengganggu aktivitasmu." Setelah kalimatnya tersebut, Raka segera beranjak kembali ke kamarnya. Dan saat itu juga Lula menutup pintu kamarnya rapat, bahkan lehih ekstrim saat dia langsung mengunci pintunya keras-keras. Sengaja supaya Raka dapat mendengarnya. Lula merasa sedikit tidak enak dengan sikapnya yang agak kasar pada Raka. Tapi di satu sisi dia tidak seharusnya merasa seperti itu, apalagi jika mengingat selama dua hari ini dirinya tidak dapat tidur dengan nyenyak. Jadi bukan salahnya kalau Lula harus bersikap menyebalkan pada Raka. Raka sendiri yang memulainya. Awas saja kalau sampai nanti malam suara-suara tidak senonoh itu kembali terdengar, saat itu juga Lula akan menegur Raka di tempat. Terserah jika nantinya akan terjadi keributan. Karena Lula merasa sudah lelah jika harus diam saja. Tapi sebelum emosi kembali menelannya bulat-bulat, ada baiknya Lula menengok dulu, oleh-oleh apa yang Raka berikan padanya. Dengan pelan dibukanya kantong kresek tersebut dan dilongoknya isi di dalamnya. Sebuah kardu bergambar blangkon yang khas itu segera saja membuat kedua mata Lula membelalak kaget. Hampir saja Lula berteriak dan melompat-lompat. Bakpia kukus Tugu Jogja. Bakpia yang merupakan salah satu kesukaannya. Dan Raka memberinya satu kotak. Oh, Lula tidak akan luluh. Lula tidak akan luluh. Lula tidak akan luluh. Mantra yang diucapkannya tiga kali tersebut diharapkan dapat meredam detak jantung yang tadinya sudah kembali normal mulai bangkit menuju ketidaknormalannya. Tapi harapan tidak pernah sesuai kenyataan. Karena pada kenyataannya Lula sudah luluh, dan jantungnya sudah kembali bergoyang ajojing. Hanya satu kalimat yang dapat Lula katakan, "Oh, sial! Aku benar-benar tidak menyukainya." Description: Sial adalah saat dua malam pertama tidur di kosan baru, kamu harus terbangun saat mendengar hal-hal yang tidak diinginkan-eh, atau justru yang kamu inginkan-dari kamar sebelah. Apalagi setelah hari-hari berikutnya kamu melihat parade wanita cantik keluar masuk kamar sebelah. Jelas hanya satu pemikiran yang masuk ke otakmu. Pria mesum playboy. Itulah penunggu kamar sebelah. Namun kesialan itu tidak separah saat akhirnya kamu melihat penampakan pria tersebut. Tampan adalah salah satu kelebihannya selain memikat dan memesona. Apalagi setelah melihatnya entah kenapa dirimu seolah kehilangan kendali terhadap kinerja jantungmu-yang berdetak tak beraturan setiap melihatnya. Dengan prinsipmu yang agak kuno jelas pria itu terlarang bagimu, namun hatimu jelas berpikiran lain. Jadi hanya satu cara yang kamu tahu mengatasi semua perasaan yang membingungkan itu, yaitu membencinya tanpa alasan.
Title: Rue Category: Fantasi Text: Hidup dengan tujuan baru Hembusan nafas Mark terdengar sudah tidak beraturan. Zirah yang di kenakannya terlihat sudah tidak dapat melindungi tubuh Mark dengan baik. Bahkan sebuah pedang yang masih di pegangnya pun terlihat sudah tidak mampu digunakan untuk memotong sebuah ranting kayu. Tapi kenapa Mark masih berdiri dengan tatapan yang seolah berkata "Kalau aku masih bisa melawan"? Sedikit hembusan dari angin saja sudah mampu untuk menggoyangkan tubuhmu. Bagaimana bisa kau masih dapat memberikan ekspresi wajah seperti itu dihadapan seekor Naga yang sudah berhasil membunuh ke 4 anggota partymu dengan mudahnya? "Ke-kenapa aku bisa sebodoh ini?--- Padahal aku ini ketua mereka... Tapi kenapa diriku sendiri sudah menuntun teman-teman yang sudah percaya kepadaku menuju ajal mereka!" Mark menangis meratapi kesalahannya yang telah membuat teman-temannya mati. Di gua yang merupakan sarang sang Naga. Tongkat dari seorang penyihir, perisai dari seorang paladin, kalung jimat seorang pendoa dan sebuah liontin yang berisikan foto kekasihnya seakan telah menjadi hiasan dari sarang sang Naga. "AKU TIDAK DAPAT MENERIMA SEMUA INI! KENAPA SEORANG YANG DITAKDIRKAN MENJADI PAHLAWAN TIDAK DAPAT MELINDUNGI SESUATU! KENAPA HARUS AKU YANG LEMAH INI MEMILIKI TAKDIR MENJADI SEORANG PAHLAWAN! KENAPA?-" *Burn* Semburan api dari Naga seketika melahap dan membakar tubuh Mark. "Takdir Pahlawan?! Omong kosong! Karena takdir ini~ Sama sekali tidaklah pantas untuk diriku yang tidak berguna ini!" ****************************************** "Kael! Ayo bangun, Kael!" Teriak Sisti sambil mencoba membangunkan Kael yang terlihat sedang nyaman tertidur diatas jerami yang ada di kandang Kuda. Teriakan keras Sisti, perlahan membuat Kael membuka matanya. "Hmmmm... Ada apa sih, Sisti?" Dengan santai Kael bertanya sambil menghusap matanya. Sisti mengepalkan ke dua tangannya dan wajahnya terlihat begitu kesal. "Katanya kau akan membantuku mengurus ternak ya kan, Kael?" "Tentu saja! Akukan sudah berjanji!" Kata Kael dengan penuh semangat. "Pletaaaakkkk~" Dengan keras Sisti memukul kepala Kael sampai-sampai membuat Kael memegangi kepalanya yang dipukul oleh Sisti. "Hari sudah mau siang! Cepat beri makan dan sikat kuda-kuda itu! Atau kita akan ketinggalan upacara pembaptisan kita!" Kata Sisti berjalan pergi. "I-iya~" "Dia masih saja tidak berubah-" Setelah Sisti pergi menjauh. Kael pun mulai berdiri dan raut wajahnya yang semula santai, berubah menjadi serius. "Jadi ini harinya ya? Setelah 10 tahun bereinkarnasi di dunia yang bernama Jildra ini. Apa aku akan dapat melindungi sesuatu kali ini?" Kael mengeluarkan sebuah tongkat kayu yang berada didalam jerami tempat dia tertidur sebelumnya. Tanpa menjalankan perintah yang diberikan oleh teman sebayanya Sisti. Kael berjalan keluar sambil membawa tongkat kayu menuju sebuah pohon besar berusia 100 tahun yang berada tak jauh dari kandang kuda. Kael menarik nafasnya dalam-dalam sambil mengarahkan tongkat kayu yang di pegangnya ke arah pohon besar berusia 100 tahun itu. Tatapan matanya terlihat fokus menatap ke arah batang pohon yang begitu besar. Dan dengan perlahan dia pun mulai memasang kuda-kudanya yang terlihat aneh. Hembusan angin mulai bertiup kencang. Dan sekali lagi Kael menarik nafas panjang dan dengan cepat menebas pohon besar itu dengan tongkat kayu yang di pegangnya. *Slash* Pohon besar itu masih berdiri tegap tanpa goresan sedikitpun. Akan tetapi, entah kenapa wajah Kael malah terlihat tersenyum puas. Hembusan angin yang cukup kencang tiba-tiba datang berhembus menerpa pohon besar itu. Dan perlahan, hembusan itu membuat pohon tersebut mulai tumbang karena batang bekas ayunan dari tongkat kayu milik Kael telah berhasil membelah dengan rapih batang dari pohon tersebut. "Duuaaaaakkkk" "Dengan ini, semua sudah beres~" Kata Kael tersenyum menatap pohon yang tumbang, "KAEL!~" Teriakan keras Sisti dari kejauhan sontak membuat bulu kudup Kael pun berdiri ketakutan. Seakan segan untuk menoleh ke arah asal suara. Kael perlahan mulai berjalan menjauhi Sisti yang memanggilnya. Baru 3 kali melangkahkan kakinya. Kael sudah mendapati cengkraman kuat memegang pundak kanannya. Dan dengan perasaan takut menghantui dirinya, Kael mulai menengok ke arah belakangnya. Betapa terkejutnya Kael ketika mendapati Sisti sudah berada dibelakangnya dalam sekejap mata. Kael semakin merasa takut ketika melihat ke arah Sisti yang tersenyum bagaikan seorang Iblis dengan aura membunuh yang begitu kuat. "Bisa kau jelaskan alasanmu, Kael?!~" Kael hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah yang terlihat pucat. Cengkraman tangan Sisti semakin keras mencengkram pundak Kael. Kael yang merasakan cengkraman itu hanya bisa tersenyum dengan wajah yang penuh dengan keringat. Dia tau betul kalau saat ini nyawanya sedang terancam. "KENAPA KAU MASIH SAJA TIDAK BERUBAH, KAEL!" Description: Mark masih mencoba dan terus menerus mencoba... Akan tetapi; Takdir berkata lain. Dan pada akhirnya membuat usahanya berujung dengan kegagalan... Kehilangan nyawa dan sekaligus semua yang berharga dalam hidupnya dalam sekejap mata. Tentu saja akan membuat rasa penyesalan yang teramat dalam baginya... Kematiannya yang penuh dengan rasa penyesalan, pada akhirnya membuat Mark mengutuk dirinya sendiri. Kutukan itu pada akhirnya membuat jiwanya tidak dapat diterima di surga maupun neraka. Sehingga pada akhirnya membuat jiwa Mark berinkarnasi di sebuah dunia yang berbeda dari dunianya dan di dunia baru itu Mark berjanji tidak akan membuat dirinya merasakan perasaan yang sama untuk ke dua kalinya.
Title: Regrets Category: Adult Romance Text: Prolog Aku duduk dengan kepala tertunduk di kursi ini, di ruangan ini bagaikan seorang pesakitan. Berada di ruang pengadilan - meski bukan pengadilan kriminal, sangat membuatku tidak nyaman. Perutku menjerit-jerit. Darahku berdesir dingin, penuh dengan emosi yang tertahan. Air mataku seperti sudah sulit lagi untuk keluar. Sudah habis kukeluarkan beberapa bulan kemarin, sejak Bian mengajukan tuntutan itu. Ingin aku segera keluar dari sini, ingin ini tidak pernah terjadi. Sementara Bian yang duduk di sampingku, terlihat sangat tenang. Wajahnya datar dan mendengarkan dengan seksama apapun yang diucapkan oleh Ibu Hakim Ketua. Bian benar-benar menginginkan ini. Semakin sesak rasanya. Tak kudengar lagi apa yang mereka ucapan untuk meluluskan permohonan Bian. “Baiklah. Sebelum saya memulainya, adakah yang dirubah kembali dari surat-surat ini?” tanya Ibu Hakim Ketua pada kami berdua terlebih padaku. Kami berdua menggeleng. “Tidak ada, Yang Mulia.” Ibu Hakim Ketua mengangguk. “Setelah melalui beberapa kali mediasi untuk mencoba menyelamatkan perkawinan kalian dan sepertinya tetap tidak dapat merubah pendirian kalian untuk tetap bercerai, apa kalian setuju sepenuhnya dengan keputusan kalian ini, dan tidak akan menyesal di kemudian hari?” Bian menggeleng sementara aku mulai tertekan, tapi aku pun mengangguk setuju. “Baiklah, kita akan segera mulai. “Tertanggal 18 April 2018, Febrian Maulana Wiranatasasmita bin Erwin Wiranatasasmita mengajukan gugatan cerai terhadap Arunaya Larasati binti Prasetyo Suryolaksono yang telah menikah pada tanggal 5 April 2013, dengan alasan …” Selanjutnya aku tidak mau mendengarkan semua yang Ibu Hakim Ketua ucapkan. Ingin kumenutup kedua telingaku. Bahkan saat Abdi Negara paruh baya berjilbab hijau lumut itu, membacakan perjanjian kami pun, aku tidak mengikutinya penuh. Hingga saat dia sampai pada, ”Maka tertanggal 10 Mei 2018, Pengadilan Agama Kota Bandung mengabulkan permohonan Talak Cerai atas nama Febrian Maulana Wiranatasasmita bin Erwin Wiranatasasmita kepada Arunaya Larasati binti Prasetyo Suryolaksono.” Ketukan palu tiga kali di atas meja sebagai pengesahan keputusannya semakin membuatku tersadar dan kepalaku siap pecah. ”Sejak keputusan ini dijatuhkan, kalian bukan lagi pasangan suami istri, dengan saksi paman dari kedua belah pihak. Kalian dipersilakan menanda-tangani kertas ini," Ibu Hakim Ketua bersiap menyelesaikan tugasnya. Jantungku mulai berdegub kencang saat Ibu Hakim menyodorkan selembar kertas ini pada kami dan memintanya untuk mendekatinya. Bian sempat menolehku sejenak, untuk meyakinkan reaksi wajahku. Kemudian mengambil pena yang disodorkan Ibu Hakim padanya. Aku melihatnya tanpa berkedip. Dia menghela napas dalam-dalam dan mulai menorehkan goresan tangannya di kertas itu. Hatiku tersayat-sayat. Ini sudah terjadi. Ini bukan mimpi lagi. Dia menandatangani suratnya! Aku tidak bisa bernapas, pandanganku mulai kabur. “Giliranmu, Nay.” Suara Bian menyadarkanku. Aku terjaga kembali dan melihat kertas itu yang tinggal menunggu tanda-tanganku. “Naya…?” Suaranya kembali terdengar pelan. Dengan gugup aku mengambil pena dan mataku tak lepas dari kertas itu. Aku berharap, aku mendengar tangis Akhtar yang bisa membatalkan semua ini. Tapi tak terdengar tangisannya. Tidak akan ada yang bisa menghalangi ini semua. Kami memang harus bercerai. Aku menarik napas dalam-dalam, tapi dadaku semakin sesak. Aku berusaha menahan tangisku. Dengan gemetar aku menarik garis berbentuk tanda-tanganku di sana. Aku sama sekali tidak dapat bernapas saat aku menarik kembali pena itu. Aku benar-benar melakukannya. Sudah kutanda-tangani surat ini. Ya, Allah. Berkeping-keping sudah hati ini. Hancur sudah pengorbananku untuk mempertahankan cinta kami, menjaga perkawinan ini dari semua badai yang menghadang kami. Semua sudah berakhir. Air mataku kembali mengalir tak tertahankan. “Nay…?” Suara Bian kembali menyadarkanku. Aku menengok padanya dan melihatnya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Aku menatapnya dengan tidak percaya. Segampang ini melepas semuanya? Secepat ini!!?? Refleks aku menamparnya keras penuh amarah. “Kamu mengkhianati cinta kita, Bee,” aku mendesis kecewa. “Kamu mengkhianati keyakinan kita, kamu mengkhianati janji kita, dan kamu mengkhianati diri kamu sendiri!” tekanku tajam. “Aku benci kamu, Bee! Aku sangat membencimu! Aku bersumpah, kamu akan menyesal melakukan ini padaku!” aku memekik tak tertahan lagi. Air mataku sudah tumpah ruah. Penuh kemarahan dan kekecewaan, aku berlari meninggalkannya keluar dari ruangan yang telah meruntuhkan hidupku. Duniaku hancur sudah. Menambah panjang deretan berita perceraian artis Indonesia tahun ini. Bersambung Serpihan 1 Aku pulang dengan perasaan aneh. Menyadari rumah ini hanya tinggal diriku dan Akhtar. Rumah ini terlalu besar untuk dihuni berdua tanpa Bian. Rumah hasil gono goni yang diberikan Bian untukku, sementara ia mengambil rumah yang di Jakarta. Sengaja aku tidak pulang ke rumah orang tuaku, karena hanya akan menambah rasa sakit ini. Mereka juga yang menginginkan perceraian ini terjadi. Semua tidak akan sama lagi. Bian tidak akan menemani kami lagi. Dia tidak akan tinggal bersama kami lagi. Air mataku kembali mengalir. Terlebih dengan foto pernikahan kami yang besar, menempel di dinding ‘Galery’, bersanding dari puluhan foto-foto kami bertiga, Bian, Akhtar, dan aku. Sebuah gambar keluarga bahagia. ITU DULU. Bian telah menghancurkannya. Tangisku semakin tak tertahankan. Aku hanya berharap publik tidak mengetahuinya, dan para wartawan infotainmen tidak sampai mengejarku. Dan kami sudah cukup pintar menutupinya. Belum ada yang tahu. Bukan aku ge-er, tapi itulah yang kurasakan selama 5 tahun ini menjadi istri dari keyboardis sekaligus motor band ternama Indonesia; ’Soralus’. Bukan keinginanku untuk menikahi seorang selebritis. Bukan juga impianku untuk memiliki suami anggota band terkenal. Aku pun bukan seorang grupis ataupun penggemar Soralus. Tapi Bian memang cinta sejatiku. Kami bertemu di SMA, hampir 12 tahun yang lalu. Dia kakak kelasku di salah satu di SMA. Aku kelas satu sementara dia kelas dua. Kisah cinta monyet kami berjalan lancar. Bahkan saat Bian memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya dan lebih memilih untuk konsentrasi dengan bandnya yang memang selalu menang di setiap festival SMA se-Bandung Raya, kami tetap bersama. Ia telah menentukan jalan hidupnya untuk terus bermain musik bersama Shindu, Raka, dan Rifki dan sepakat membawa bandnya yang bergenre pop Go National bahkan International. Dengan nama ‘Soralus’ atau dalam Bahasa Sunda berarti ‘suara bagus’, mereka berhasil memikat hati seorang manajer musik untuk memegang mereka. Dan sepertinya dewi fortuna berada di atas mereka. Mereka berhasil menaklukan Indonesia hanya dengan satu lagu di album kompilasi yang langsung menarik perhatian sebuah label musik nasional untuk mengontrak mereka. Dari sana semua seperti dalam mimpi, mereka dengan cepat merajai tangga lagu nasional dan menjadi salah satu band ternama di Indonesia. Tidak hanya Indonesia, tapi juga telah merambah negeri tetangga hingga ke Australia. Namanya mungkin sudah bisa disandingkan dengan Dewa, Noah, Ungu, D’Massive, Geisha dan yang lainnya. Itulah yang membuat Bian menjadi seorang publik figur yang dikejar-kejar penggemar mereka. Ketenaran mereka sama sekali tidak menghalangi hubungan kami. Kami tetap saling mencintai dan menjaga kesetiaan untuk tetap bersama. Hingga Bian memberanikan diri melamarku 5 tahun yang lalu, menjelang ujian sidang skripsiku. Meski sempat ditentang ayahku karena profesinya yang sebagai anak band, Bian tidak gentar dan tetap menikahiku. Kehidupan yang berat dan menguji mental selama aku bersamanya. Bukan karena dirinya yang menjadi anggota band dengan para penggemar yang selalu mengejar dan mengelu-elukannya atau juga para model model cantik ataupun perempuan perempuan yang mencoba memanfaatkannya (mereka tidak pernah menjadi sainganku), tapi karena sifat dan egonya yang cukup aneh. Aku harus super sabar dan lebih banyak mengalah. Entah sudah berapa banyak air mata yang kukeluarkan karena dia dan untuk dia. Dan aku tetap bertahan, demi cintaku pada Bian, demi kelanggengan perkawinan, demi membuktikan pada keluargaku bahwa Bian tidak seburuk yang mereka kira, dan demi menjaga kesetiaan kami. Karena itu, aku sangat kecewa, saat akhirnya justru Bian-lah yang menyerah dan lebih memilih untuk melepaskanku karena letih selalu menyakitiku. Di saat kami telah memiliki Akhtar, buah cinta kami yang sudah berusia 3 tahun. Ia melepaskanku untuk mengembalikan kebahagiaanku, yang sebenarnya adalah siksaan untukku. Aku tidak pernah menginginkan perceraian ini, di usiaku yang masih 26 tahun. Untuk kedua kalinya, duniaku runtuh berkeping-keping. Tapi ini lebih menyakitkan. Cinta dan perkawinan yang sudah kami bangun selama empat tahun harus berakhir seperti ini. Aku masih belum percaya ini semua benar terjadi, Bian telah melepasku. Mataku semakin sembab dengan air mata. Selama ini aku memegang kuat keyakinan cinta kami, tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang tentang kami ataupun tentang dia, hanya untuk mempertahankan perkawinan kami. Pernikahan yang kami bangun dari rasa percaya, saling memberi dan menerima selama bertahun-tahun. Aku tahu penyebabnya bukan karena hilangnya rasa saling percaya itu, tapi karena ketakutan Bian akan apa yang mungkin menghadang kami lagi nanti dan rasa bersalah karena selalu menyakiti hatiku. Sungguh, aku tidak mempermasalahkannya. Sakit memang, tapi aku sudah terbiasa. Dia sudah melakukannya bertahun-tahun, bahkan sebelum kami menikah! Karena itu aku sangat kecewa, dengan dia begitu menyerahnya membangun cinta kita, mempertahankan perkawinan kami dan terlebih, mengkhianati hatinya. Aku tahu dia masih mencintaiku, dan akan selalu mencintaiku, tapi kenapa harus seperti ini? Dia seharusnya lebih kuat dari aku. Dia menginginkan cinta ini. Kenapa, Bee!? Kenapa!? Air mataku kembali tumpah ruah. Dadaku sesak karena marah kesal dan kecewa. “Maa…” Suara Akhtar membawaku ke dunia nyata. Aku langsung menyeka air mataku, lalu menoleh ke arahnya. “Iya, Sayang?” Aku memberinya senyuman kemudian mengangkat tubuh mungilnya dan memangkunya. “Temapa Maa nangis?” Tangan kecilnya menyentuh pipiku yang masih basah. “Nggak pa-pa, Sayang.” Aku mengecup tangan dengan gemas. “Jangan tatut, Daa pasti pulang.” “Maa tahu, Sayang, Dadda pasti pulang.” Aku tersenyum tanpa dapat menyembunyikan rasa banggaku. Akhtar yang masih 3 tahun, sudah bisa diajak bicara dengan lancar. Perbendaharaan katanya sudah banyak. Aku yakin, dia akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, menjadi kebanggaanku. Satu-satunya milikku sekarang. Aku harus bisa menerima perpisahan ini, tapi bukan memupuskan cinta kami bertiga. “Kakak sayang Dadda?” Panggilan ‘Kakak’ pada Akhtar sudah kubiasakan, saat ia hampir memiliki calon adik setahun kemarin. Tapi sayang, karena kecerobohan Bian, kami harus kehilangan buah cinta kami yang kedua. Sebuah kecelakaan kecil membuatku harus melepas janin yang masih berusia 3 bulan di perutku ini. Akhtar mengangguk. “Sebesar apa?” “Cebeca ini.” Tangan kecilnya membentuk sebuah lingkaran besar tak terhingga. Aku tertawa gemas, “Dan untuk Maa?” “Cebeca ini juga.” Sekali lagi dia membentuk lingkaran besar tak terhingga. Aku langsung memeluknya gemas dan menciuminya tanpa henti membuatnya tergelak-gelak. Terima kasih, Ya Allah, aku masih memiliki Akhtar yang membuatku tetap hidup. *** Aku bangun dengan mata yang sembab dan lelah keesokan harinya. Jujur, semalam penuh aku menangis, terus mengingkari bahwa ini telah terjadi. Tapi aku harus bisa menerima. Aku tahu ini bukan mimpi. Aku di sini, sementara Bian entah di mana sekarang. Dalam hatiku penuh dengan keyakinan, kalau dia masih mencintaiku. Dia sedang mencoba untuk hidup dengan hatinya sendiri. Mungkin memang harus aku biarkan. Tapi aku yakin suatu hari nanti dia akan membiarkanku kembali di hatinya. Dia akan kembali padaku. Dan akan kutunggu hari itu. Akan kutunggu dia, berapa pun lamanya waktu itu. Kutarik napas dalam-dalam, menyambut hari tanpa Bian. Hanya aku dan Akhtar. Aku segera menuju kamarnya, menyambut malaikat kecilku. “Pagi, Sayang?” Akhtar tersenyum girang menyambut kedatanganku. Aku memberinya kecupan selamat pagi. “Coba, Kakak ngompol, nggak?” Akhtar langsung menggeleng-gelengkan kepala dengan semangatnya. “Nggak?” Aku memeriksanya. Dan memang kering. “Hii, pinter anak Maa nggak ngompol.” Aku menciumnya gemas. “Nah, siap untuk hari yang baru? Kita pergi ke toko buku Kakak.” “Ada buku lagi, Maa?” “Ada, kita punya banyak buku lagi. Dan kita bisa seharian di sana, Kakak mau?” “MAU!!” pekiknya penuh semangat. Aku tersenyum bahagia, “OK! Kalau begitu kita mandi dulu, terus ke sana, oke?” “Okeee!” Aku semakin tersenyum bahagia. “Aih anak Maa, pinter.” Aku segera mengangkatnya dan membawanya ke kamar mandi. Setelah memandikannya dan sarapan, kami siap pergi ke ‘Naya’s Little Wordsland.’ ’Naya’s Little Wordsland’ adalah toko buku milikku yang kudirikan satu tahun yang lalu bersama sahabatku, Gita, yang juga adalah sepupu Bian dan istri Shindu, sahabat Bian. Katakan dunia kami sempit, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Dan meski termasuk dalam harta gono gini yang harus dibagi, Bian memberikan sepenuhnya padaku. Ia tahu, Naya’s adalah nyawaku. Memiliki sebuah toko buku telah menjadi ambisiku sejak sebelum menikah dulu, dan Bian mengabulkannya sebagai hadiah pernikahan kami yang ketiga. Memang manis, tapi kini menyimpan pahit di sana. Bian telah menyerah akan cinta kami. Tapi aku belum, dan memiliki Naya’s adalah salah satu cara aku mempertahankan cinta kami. “Cemamat pagi, Nteh Gita!” Akhtar memekik dengan semangatnya begitu ia memasuki toko dan melihat sahabatku di sana. Gita terkaget dengan kedatangan kami, tapi dia langsung menyambut kami dengan hangat. “Selamat pagi, Kakak,” dia memeluk dan mencium Akhtar. Setelah menerima kecupan dari tantenya, Akhtar langsung menuju pojok favoritnya, dan mencari buku-bukunya. Gita hanya tersenyum melihatnya. Kemudian beralih padaku. Pandangan matanya penuh keprihatinan. Ia langsung memelukku hangat, menenangkanku. Gita memang selalu ada untukku, yang selalu mennjadi penolongku di setiap aku jatuh dan rapuh menjalani hidupku bersama Bian. “Bagaimana perasaanmu, Cinta?” tanya Gita penuh perhatian. “Baik, cuma masih sedikit sakit.” Aku tersenyum tipis. Gita tersenyum hangat, “Dan kamu seharusnya jangan ke sini dulu. Kamu belum kuat, Nay.” “Oh ya, menghabiskan waktu di rumah dengan bayangan dia di setiap sudut rumah?” aku menepis tipis. “Tidak, terima kasih.” Aku tersenyum lepas, meski terasa sakit. Tapi justru Gita terdiam. “Kamu juga, Git. Lihat dirimu, kamu sudah dekat waktunya.” Aku mengalihkannya dengan menyentuh perutnya yang besar dan siap lahir dalam waktu seminggu ini. Gita sedang hamil anak keduanya. Putra pertamanya, Fathir, seumur dengan Akhtar. “Aku tahu. Shindu juga sudah bilang untuk tetep tinggal di rumah, tapi aku yang nggak mau. Sebenarnya aku mau menengokmu, untuk lihat keadaanmu.” Aku menghela napas. “Aku menangis semalaman, Git.” Aku menjawabnya ringan. Gita menggenggam tanganku. “Nggak cuma kamu, Nay. Bian juga sama.” Aku terpaku. “Dia nangis sepanjang perjalanan ke Jakarta kemarin," lanjut Gita. “Oh, ya...?” Aku terkatup tak percaya. “Shindu yang lihat. Aku minta Shindu untuk mengikuti dia, dan mengawasinya. Dia menyetir dengan kecepatan tinggi, nggak tahu pikirannya ke mana. Sampai-sampai Shindu harus meng-klakson dia, menghentikan mobilnya dan menyadarkannya lagi. Shindu sampe harus mengantarnya ke Jakarta.” Aku terdiam tak percaya. “Percayalah, perasaan dia sama dengan perasaan kamu.” “Aku tahu, Git, dan aku masih bisa merasakan cintanya. Karena itu aku nggak ngerti dengan semua ini Dan aku masih belum percaya Bian benar-benar melakukannya,” aku terduduk lesu, berharap bangun dari mimpi buruk ini. Gita hanya menarik napas. Sama-sama tidak percaya bahwa ini sudah terjadi. Bersambung Serpihan 2 Tidak banyak yang mengetahui tentang perceraian kami, dan mereka, teman-teman juga keluarga, menyimpannya rapat-rapat. Karenanya aku bisa melanjutkan hidupku bersama ‘Naya’s Little Wordsland’-ku, melakukan pekerjaan yang sangat kusukai. Seminggu berlalu berlalu sejak perceraianku. Gita sudah kuminta untuk istirahat, karena kelahiran bayinya tinggal menunggu hari. Hingga hari ini, Bian belum menemuiku ataupun menemui Akhtar. Telepon pun tidak ada. Kami benar-benar seperti putus komunikasi. Aku sangat kecewa dengan sikapnya ini. Putusnya komunikasi sangatlah tidak aku inginkan. Tapi untuk menghubungi atau menemuinya aku pun tidak berani. Akhtar tidak merasa kehilangan Bian, ia mengira kepergian ayahnya untuk tur.. Dia sudah terbiasa ditinggal lama oleh ayahnya. Itu memudahkanku. Meski aku berusaha menerima perpisahan kami dengan hati ikhlas, tetap tidak bisa menahanku untuk menangis. Aku selalu menangis sendiri tanpa ada yang mengetahui. Aku lebih menangis saatku mandi dan melihat tato simbol cinta kami di pinggulku. Cintaku akan tetap aku simpan seperti tato yang akan menempel seumur hidupku dan akan kubawa sampaiku mati. Seminggu ini pula aku belum menemui orang tua Bian. Aku tahu, walau kami berdua telah bercerai, bukan berarti aku memutuskan hubungan kekeluargaan dengan mereka. Mereka tetap kakek dan nenek Akhtar, dan aku tidak mungkin memutuskannya. Lagipula aku sudah terlanjur sayang. Bagaimana baik dan pengertiannya kedua orang tua Bian, padaku. Itu membuatku merasa sangat bersalah, hingga kini belum menemui mereka, dan Akhtar sudah merindukan mereka. Mungkin ini kesempatanku untuk kembali menemui mereka. Aku berdiri ragu dan gugup di depan pintu rumah mereka. Tapi tanganku sudah menekan bel mereka dan beberapa saat kemudian, “Assalamu’alaikum...” ”Wa’alaikum salam...” ”Enin[1]!!!!!” Akhtar memekik penuh semangat begitu melihat neneknya yang membukakan pintu. Tante Liliana yang masih terlihat kaget langsung memeluk Akhtar, “Waaa, siapa ini ya, yang datang?” Wanita berusia 65 tahun itu tersenyum sumringah. Akhtar mencium pipi neneknya erat sekali. Hingga Tante Liliana beralih padaku. “Naya, Sayang,” ia memelukku erat dan hangat. Aku merasa sangat tenang. “Mamih.” Aku tersenyum canggung. Aku bahkan masih boleh memanggilnya Mamih, sama seperti Bian memanggilnya. Dia mempersilakanku masuk. “Mamih senang Naya datang.” Senyum hangat tersungging manis di bibir wanita paruh baya berwajah oriental. Wajah yang menurun kuat pada Bian; sipit, putih, bak artis Korea – meski tidak secantik mereka. “Maafkan, Nay, Mih, karena lama tidak berkunjung ke sini. Hanya saja…” “Kami mengerti, Sayang,” Liliana memotong pelan. ”Dan kami juga masih sangat menyesalkannya. Tidak seharusnya ini terjadi. Dan tidak seharusnya melakukannya.” “Tapi Bian sudah melakukannya, Mih.” Aku menghela sesal. Tante Liliana terdiam. Aku pun terdiam. “Mamih yakin, Nay sudah membenci Bian sekarang?” tanyanya halus. “Nggak, Mih, Nay tidak membencinya.” Aku menggeleng lirih. “Nay tidak bisa membencinya, Rey masih mencintai Bian.” Tante Liliana hanya tersenyum. “Terima kasih. Dan Nay juga tahu kan, Bian masih mencintai Rey?” Aku mengangguk. Tante Liliana menggenggam tanganku. “Kami juga sangat menyayangimu, Sayang. Terima kasih untuk semua yang sudah Nay berikan untuk Bian. Bian tidak akan mendapat cinta yang lebih besar dari yang Nay berikan. Bian sangat beruntung mendapatkanmu, Sayang, dan kami sangat bersyukur memilikimu sebagai menantu kami. ” Aku tersenyum tersanjung. “Terima kasih. Tapi Nay bukan menantu Mamih lagi.” Tante Liliana tersenyum, “Mungkin tidak sebagai menantu, tapi sebagai anak Mamih. Apa pun yang terjadi, Nay tetap anak kami. Nay sudah menjadi anak kami, sejak Bian pertama kali mengenalkan Nay. Dan Mamih harap Nay juga masih melihat kami sebagai orang tua Rey.” “Tentu saja. Mamih dan Bapak masih kuanggap orang tua Nay. Dan Nay berharap Nay punya Bapak seperti Om Erwin.” “Sayang…., teu kenging kitu. Awon, Geulis[2] ...” Nada Tante Liliana langsung memperingatkanku dengan halus. Aku tersenyum malu. Aku tahu, tidak seharusnya aku berkata seperti itu. “Nay sayang Mamih, Nay sayang keluarga ini.” Tante Liliana tersenyum, “Kami semua juga menyayangimu, Nay. Kami sangat menyayangimu.” Aku langsung memeluknya, “Terima kasih, itu sangat berarti untuk Nay.” Memang, setelah apa yang orang tuaku lakukan pada perkawinanku. Aku berharap merekalah orang tuaku. Sudah. Mereka masih orang tuaku.’ Sementara aku masih merasa sangat nyaman dengan kedua orang tua Bian, aku merasakan kecanggungan di hadapan kedua orang tuaku. Meski mereka memaklumi keadaanku sekarang ini, mereka sama sekali tidak mengerti perasaanku. Mereka turut andil, dalam perceraianku. Mereka menyambutku dengan senyuman, saat kami berdua (aku dan Akhtar) mengunjungi mereka. “Bagaimana perasaanmu sekarang, Sayang?” Mama memelukku hangat. “Baik, Ma. Nay bisa sedikit menerimanya sekarang.” Aku dengan tersenyum. “Yah, memang kamu harus bisa menerimanya, Sayang. Papa yakin, tanpa dia, tidak akan ada tangisan lagi.” Papa mengusap pipiku layaknya aku masih berumur 18 tahun. Aku tersenyum tipis dengan menahan emosiku dengan ucapannya. “Seharusnya sudah dari dulu kamu meninggalkannya, seperti yang sudah kami bilang dari dulu,” lanjutnya. “Naya nggak akan pernah meninggalkan dia, Pa.” “Tapi dia meninggalkanmu sekarang. Kamu tidak akan sesedih ini kalau kamu tinggalkan dia lebih dulu. Dia memberimu tangisan lagi.” “Ya, kalian sudah melihatnya sekarang. Kalian senang, melihat kami berpisah, dan Nay menangis?” tanyaku tenang dan sinis. Aku menggeleng kepala dengan tersenyum, “Nay masih nggak percaya, Papa Nay sendiri, senang melihat rumah tangga putrinya hancur berantakan. Menghancurkan pernikahannya.” “Bukan itu maksud Papa, Sayang. Papa hanya ingin kamu bahagia, menghentikan penderitaanmu.” “Oh, sudahlah, tidak usah diucapkan lagi” pekikku keluar kendali. “Peduli amat dengan kebahagiaan Nay!” “Naya!” Mama bereaksi keras dengan ucapanku. “Nay nggak peduli!” balasku hampir histeris. “Kalian semua nggak tahu apa-apa. Papa sama Mama sama sekali nggak tahu apa kebahagiaan Nay! Jadi jangan bilang ini semua, demi kebahagiaan Nay!” Mereka menahan napas melihatku meledak. Aku membaca suasana menjadi dingin. Kutarik napas dalam-dalam, mengatur emosiku. “Sepertinya Nay harus pergi. Karena nggak ada gunanya Nay di sini juga. Maaf sudah merepotkan kalian.” Aku beranjak dari dudukku dan menuju Akhtar untuk mengambilnya. “Sayang, Mama mohon…” Mama mencoba menahanku. “Maafkan aku, Ma.” “Sayang....” pohonnya halus. “Biarkan dia pergi, Rum…” Suara Papa sedingin es. “Dia boleh pergi dari rumahku.” Aku hampir tak bernapas dengan ucapannya. Papa mengusirku? Baiklah, tidak masalah! “Terima kasih. Jangan khawatir Nay tidak akan merepotkan kalian lagi.” Tanpa ragu aku segera keluar dari rumah mereka. Mataku basah dengan air mata. Kemarahan dan kekesalanku menumpuk di dada menyesakkanku. Aku benci dia. Papa yang selalu menghalangi semua kebahagiaanku. Ayahku sendiri yang selalu membuat hidupku tertekan. Orang kedua yang sangat membuatku kecewa adalah papa. Dan aku benci dikecewakan. Aku tidak tahu harus ke mana, melimpahkan sesak di hati ini. Aku butuh seseorang untukku bersandar, meringankan sakit hati ini. Gita, aku butuh kamu… Aku langsung ke rumah Gita yang berada di daerah Cisarua. Sesampainya kami di sana, Gita sedang duduk di teras rumah memperhatikan Shindu yang menemani Fathir berkuda. Shindu sudah meminta cuti dari aktifitas band-nya karena sudah merasakan kelahiran bayinya yang kedua ini semakin dekat. Dia tidak akan melewatkannya. Gita menyambutku dengan hangat sementara Akhtar tidak berkutik dengan kecupan dari tantenya karena mata dan perhatiannya tertuju penuh pada kuda yang sedang ditunggangi Shindu dan Fathir. “Bagaimana hari ini?” Gita tetap memperhatikan perasaanku. “Parah-” Kalimatku terpotong dengan teriakan Akhtar, “Maa, pengen naik Tuda!” “Ok, tunggu sampai mereka ke sini, ya.” Aku segera memegangi tangannya, takut-takut dia akan lari mengejar kuda itu. Tak lama, Shindu dan Fathir menghampiri kami. Dia memberiku senyuman hangat. Shindu segera turun dari punggung kuda setelah menurunkan Fathir. “Heya, Kasep[3],” Akhtar yang pertama kali disapa oleh Shindu. Akhtar hanya memberinya senyuman tipis. Shindu beralih padaku, “Hey, Nay.” Ia memelukku hangat. “Kamu terlihat kacau sekali. Kamu nggak pa-pa, kan?” Nadanya penuh perhatian. “Yeah, aku nggak pa-pa. Cuma sedikit sering menangis beberapa hari ini.” Shindu hanya mengangguk penuh perhatian dan memberiku pelukan sekali lagi. “Ng… Shin, kamu tahu di mana Bian sekarang?” tanyaku ragu. Pertanyaanku membuat mereka diam. Terlihat jelas, putusnya komunikasiku dengan Bian. “Dia lagi ada di Jakarta.” “Oh.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. “Bian baik-baik saja, Nay. Dia menenggelamkan dirinya dengan pekerjaannya,” lanjut Shindu untuk menenangkanku. “Yeah, aku tahu,” dengan tersenyum lega. “Maa, pengen naik tuda!” “Ok. Tanya Mamang[4] Shindu dulu.” Sesaat Akhtar berkerut takut memandang pamannya, tapi Shindu langsung tersenyum, “Yuk, kita naik kuda.” Shindu langsung menggendong Akhtar dan menaikannya di atas kuda kemudian menaikkan dirinya di belakang Akhtar. “Tenang aja, nggak ada Bian, kok, jadi nggak akan ada yang teriak-teriak,” ucapku ringan. Teringat bagaimana paniknya Bian dulu saat pertama kali melihat Akhtar naik kuda dengan Shindu, padahal Akhtar senangnya bukan main. Aku tersadar dengan mata Gita dan Shindu terpaku padaku. Yup, aku menyebutkan Bian. Aku memberi mereka senyuman mengartikan aku baik-baik saja. Senyum lega mereka dari mereka berdua. “Yah, kamu benar, Nay, berisik kalau ada dia.” Shindu tertawa geli, kemudian mulai menjalankan kuda besar itu Aku tersenyum bahagia melihat senyum girang merekah di bibir Akhtar. Dia sangat menyukainya. Gita kembali padaku, “Nah, apa lagi sekarang, Nay? Shindu bener, hari ini kamu kelihatan kacau sekali.” Dan dengan ucapan itu, meruntuhkan semuanya. Aku langsung berhambur ke pelukannya dan menangis di sana. Tak kupedulikan mata Fathir yang terheran melihatku menangis di pelukan Ambu[5]-nya. Maaf, Sayang, aku butuh ambu-mu*. Gita hanya bisa membiarkanku menangis, hinggaku lebih ringan… “Akan kutelepon dia. Dia nggak boleh memperlakukan kamu seperti ini!” putus Gita. “Huh? Jangan!” Apa dia sudah gila ingin menelepon papa dan membuat kami berbaikan!? “Harus, Nay. Bian belum meneleponmu sejak dari pengadilan kemarin, kan? Dia nggak mau menemui kamu. Aku nggak bisa biarin ini. Aku nggak akan membiarkan dia menyakiti kamu lagi.” Astaga, dia pikir ini gara-gara Bian? (Ya, memang sih). “Bukan, Git, bukan Bian,” sahutku lirih. “Ini nggak ada hubungannya sama dia.” “Nggak ada?” Gita terheran. Aku menggeleng, “Ini Papaku, Git! Aku baru saja bertengkar dengannya. Dan aku menyumpah tidak akan bertemu dengannya lagi.” “Astaghfirullah, Naya. Istighfar, Neng...[6]” Gita menahan napas. “Apa lagi sekarang, masalahnya?” Aku menceritakan semuanya. Mengeluarkan sesak di hatiku. “Oh, Sayang…” Ia langsung memelukku. “Tapi tetap kamu nggak boleh seperti ini. Dia bapakmu.” “Yea, seorang bapak yang ingin membuat sedih putrinya, seorang bapak yang sangat membenci menantunya, seorang bapak yang nggak bisa melihat kebahagiaan putrinya, dan menghancurkannya dengan menceraikan dia dari suaminya. Itu namanya seorang bapak? Iya!?” ”Sayang, dia hanya _ ” “Git, Jangan kamu bilang ini semua untuk kebaikanku!” potongku langsung. “Jangan bilang dia hanya mau aku bahagia! Karena mereka nggak tahu apa kebahagiaanku. Kebahagiaan yang mereka bicarakan adalah penderitaanku. Aku hidup dalam kesedihan, sementara mereka bilang ini kebahagiaanku.Persetan semuanya!” “Naya!! Bahasamu! Anak-anakku di sini semua!” Ia langsung memperingatkanku. Seketika aku tersadar, “Astaghfirullah, maaf, Git!” Aku jatuh menyesal. “Maafin aku, aku kelepasan. Aku nggak bisa mengendalikan ucapanku.” “Kamu harus bisa, Nay. Kita sudah punya anak sekarang.” “Yeah, aku tahu.” Gita menarik napas, dan kembali menarikku ke dalam pelukannya. “Aku nggak akan bilang apa-apa. Aku nggak tahu, apa akan ada artinya buat kamu?” “Kamu nggak harus mengucapkan apa-apa, Git. Aku memang nggak membutuhkannya sekarang. Aku hanya membutuhkan seseorang untukku bersandar, menghapus tangisku.” “Kalau begitu, aku di sini.” Gita mempererat pelukannnya dan mengusap air mataku. “Terima kasih, Git.” Aku tersenyum tenang, sedikit lebih baik sekarang. Kulepaskan pelukanku. “Sudah mendingan?” Aku mengangguk. “Terima kasih,” “Ng... tapi aku yang nggak...” Yang kemudian menahan napas, atau lebih tepatnya, menahan sakit. “Git…?” aku langsung siaga. “Kontraksi…, bayinya…” engah Gita. Aku melihat wajahnya berusaha mengatur napasnya. “Ya ampun…, Shindu!!!!” pekikku langsung memanggil Shindu, “Bayinya!!! MAU LAHIIIIIRRR!!!!!!” Bersambung [1] Nenek – (Bahasa Sunda) [2] Tidak boleh begitu. Itu jelek, Cantik – (Bahasa Sunda) [3] Cakep/ Ganteng – (Bahasa Sunda) [4] Paman – (Bahasa Sunda) [5] Ibunya – (Bahasa Sunda) [6] Panggilan perempuan muda – (Bahasa Sunda) Serpihan 3 Tak berapa lama , kami sudah berada di rumah sakit, menunggu persalinan Gita. Shindu bersamanya di dalam sana, sementara Fathir bersama kakek dan neneknya di luar sini bersama kami yang menunggu dengan cemas. Aku harus memberitahukan Bian. Entah dari mana pikiran itu terlintas di kepalaku. Tapi Bian harus mengetahuinya, Gita – sepupu tersayangnya- sedang melahirkan, sementara Shindu tentu tidak akan sempat menelepon. Aku ragu melakukannya, tapi aku harus memberitahukannya! Dengan gugup, aku menekan satu nomor yang langsung tersambung pada ponsel Bian. Dadaku berpacu kencang, menunggu penerimaan. Beberapa kali berdering, tidak ada jawaban. Hatiku kecilku kecewa, mungkinkah Bian enggan menerima teleponku? Ya ampun, Bee. Aku bersiap menutup kembali telepon saat tepat terdengar dari sana, “Ya, Nay!? Sori, aku lagi mandi!” jawaban langsung mengagetkanku sebelum aku sempat menekan tombol ‘off’. “Assalamu’alaikum, Bee…?” “Wa’alaikum salam, yea, Nay…?” Suaranya terdengar biasa saja. Suara yang sangat kurindukan. Aku terkesiap sadar. “Gita mau melahirkan, Bee. Dia di rumah sakit sekarang dengan Shindu.” “Oh gitu? Ya udah, aku ke sana sekarang!” Seketika itu juga hubungan telepon terputus. Mataku langsung basah perih kecewa. Dia bersikap seperti ini. Dia menolakku. Dia tidak mau berbicara lebih lama denganku lagi. Kenapa!!? Kutarik napas dalam-dalam dan mencoba mengalihkan perhatianku. Gita sekarang yang harus kukhawatirkan. ** Syukurlah persalinan berjalan normal. Dalam waktu hanya tiga jam, sosok bayi perempuan cantik, lahir dengan selamat dan sehat. Aku sangat bahagia dan lega, Gita dapat melahirkan bayinya dengan lancar dan selamat. Aku sudah ketakutan, setelah sebelum membuat repot dia dengan aku yang menangis di pundaknya membuatnya memikirkanku. Aku lebih senang lagi saat diperbolehkan untuk melihat bayinya. “Dia cantik sekali ya, Kak?” ucapku pada Akhtar yang duduk di pangkuanku memperhatikan sepupunya. Akhtar mengangguk tanpa melepaskan matanya dari bayi mungil di pelukan Gita. Penuh takjub. “Kakak Akhtar, ini Feeya.” Gita memperkenalkan bayinya pada Akhtar. “Feeya?” Aku tersenyum dengan namanya. Aku melirik Shindu yang menggendong Fathir. “Yup, Ashafeeya,” ucapnya bangga. “Nama yang bagus, Shin.” Shindu dan Gita tersenyum bahagia. Aku kembali pada bayi mungil itu. Dia mirip sekali dengan Gita. Hidungnya milik Gita, tapi rambutnya sama seperti kakaknya (yah, mereka dapat rambut ayahnya). “Coba Kakak panggil, Feeya ; ‘Hai Feeya’.” Aku memintanya, karena mata Akhtar belum juga lepas darinya. “Hi, Feeya,” panggilnya datar. Kami tersenyum gemas mendengarnya. “Dadda!” seru Akhtar tiba-tiba seraya turun dari pangkuanku dan lari keluar kamar. Kami terkaget dan terheran. Bian kan, belum datang. “Akhtar!” Aku segera mengejarnya keluar. “Hiya, Kakak.” Sebuah suara dan sosok, membuatku tak dapat bergerak dan bernapas. “Kakak tahu Dadda datang, ya?” Lanjutnya lagi pada Akhtar yang kini sudah menggendongnya. “Dadda pulang?” Kedua tangan kecilnya melingkar di leher Bian. “Yup, Dadda pulang.” Ia mencium gemas Akhtar. “Kakak kangen?” Akhtar mengangguk pasti. “Sama, Dadda juga kangen Kakak.” Akhtar tersenyum girang. Aku masih terpaku berdiri di depan mereka. Ingin rasanya aku menangis. Aku juga merindukan dia!! “Maa, Dadda pulang.” Akhtar menoleh padaku. Aku hanya tersenyum. Bian memandangku hangat. “Apa kabar, Nay?” ia menyapaku hangat. “Baik.” Entah kenapa pipiku memerah dengan sapaannya. “Terima kasih sudah meneleponku.” Aku hanya mengangguk. Aku nggak tahu harus ngomong apa. “Kakak sudah lihat adeknya?” Bian kembali pada Akhtar. Akhtar mengangguk. “Kayak Nindya,” menyebutkan sepupunya lain dari pihakku, yang baru satu bulan kemarin lahir. “Oh ya? Wah, Dadda belum lihat, nih. Kita lihat dia lagi.” Bian berjalan menuju kamar. “Mamang Shindu ada di dalam?” Akhtar mengangguk di gendongan ayahnya. Aku terpaku tak dapat bernapas saat dia melewatiku. Dia tidak memberiku pelukan. Dan sekarang dia melewatiku tanpa sepatah katapun seperti aku tidak ada di sana!? Hatiku bagai teriris-iris, tapi aku berusaha menahannya dan tidak menunjukkannya. Aku hanya mengikuti mereka berdua masuk ke kamar, menemui keluarga bahagia itu. Kami menghabiskan waktu bersama mereka. Bian bersikap seperti tidak terjadi apa-apa pada kami berdua. Dia normal sekali, tapi aku, jelas hati ini semakin teriris-iris. Aku seperti sedang menagih sesuatu dari Bian. Dia belum mengatakan apa-apa yang menyangkut kami berdua. Tapi aku tidak mungkin menunjukkannya. Tidak di depan mereka. Jadi aku berusaha menahannya. Kalau boleh aku ingin berteriak sekeras-kerasnya dan mengumpatnya habis. Aku merasa sangat kedinginan. Bian ada di dekatku tapi sama-sekali tidak memberiku kehangatan. Dia belum memelukku, dan aku sangat ingin berada di pelukannya. Aku sangat merindukannya. Jangan seperti ini, Bee!!! Bahkan saat dia mengantar kami pulang, tidak ada percakapan tentang kami berdua. Akhtar sudah tertidur pulas di pundak ayahnya, dan Bian langsung membawanya ke kamarnya. Tapi ketika Bian menaruhnya di tempat tidur, Akhtar kembali terbangun dengan menangis. Bian harus kembali menina-bobokan dia hingga tertidur. Tapi kembali, saat Bian menaruhnya di tempat tidurnya, Akhtar terbangun dengan menangis. “Dia ingin tidur dengan kamu, Bee,” aku berusaha menutup kegugupanku. Bian terdiam. “Ya, aku tahu.” Kemudian mengangkat Akhtar untuk tidur bersamanya di tempat tidur yang lebih besar. Aku melihat mereka dengan perih dan lega. Dia di sini tapi aku tidak bisa menyentuhnya. ** “Dia sudah tidur.” Suara Bian mengagetkanku saat duduk di perpustakaanku. Aku tidak bisa tidur. Aku tidak mau tidur, lalu terbangun tanpa menemukan Bian di pagi harinya. Seperti perkiraanku, Bian pasti akan segera pergi setelah menidurkan Akhtar. “Sepertinya aku harus pergi juga,” ucapnya berpamitan kemudian beranjak dari tempat dia berdiri. “Tetaplah di sini,” sahutku hampir tak bersuara. Langkah Bian terhenti. “Kumohon, Bee. Tetaplah di sini… Aku ingin penjelasan kamu.” “Tentang apa?” Ia menoleh sedikit. “Tentang kita!” Aku setengah kesal. Bian terpaku. “Apa kamu membenciku, Bee?” Aku berusaha menahan tangisku. “ Nggak.” “Apa kamu marah sama aku?” Aku masih menahan emosiku. “Nggak.” “Apa kamu malu sama aku?” desakku. “Nggak. Nay, kumohon…” Ia mulai tak nyaman. “Nggak! Aku yang seharusnya memohon!” Lepas juga aku, akhirnya. Bian terdiam. Aku mengendalikan emosiku. “Aku setuju kita bercerai, tapi aku nggak pernah setuju untuk kita memutuskan komunikasi kita. Kamu belum meneleponku sejak hari itu. Kamu tidak menelepon kami, atau paling tidak untuk Akhtar. Mungkin ini baru 2 minggu, tapi aku nggak tahan lagi.” Bian terdiam. “Aku ingin kita tetap seperti dulu, Bee. Aku mau kita masih saling berhubungan. Aku kira itu yang kita sepakati. Kita hidup terpisah tapi masih tetap berhubungan. Ya, kan, Bee?” “Aku memegang ucapanmu, Nay...” Aku terkatup, “Huh?” Aku tidak mengerti. “Ucapan terakhirmu.” Aku langsung tertusuk. Kata - kata itu? “Kamu bilang kamu membenciku.” Pipiku langsung basah, “Nggak…, aku nggak pernah membenci kamu. Aku nggak bisa benci kamu.” Tanpa dapat kutahan lagi aku langsung memeluknya. “Jangan siksa aku seperti ini, Bee. Aku mohon…” “Oh, Nay.” Bian membalas pelukanku dengan erat. Aku terkaget sendiri, tapi tidak ingin kulepaskan ini. “Kumohon biarkan kami tetap ada di hatimu.” “Kalian selalu ada di hatiku, selamanya.” “Lalu kenapa kamu lakukan ini padaku, pada Akhtar?” “Aku takut sekali bertemu kamu. Aku takut sekali mendengar suaramu. Aku nggak bisa lihat semua yang berhubungan dengan kamu, tapi aku juga nggak bisa hadapi semuanya tanpa kamu. Aku tahu kamu sangat membenciku. Karena itu aku nggak bisa menemuimu juga meneleponmu. Rasa bersalah ini menyiksaku.” “Cukup, Bee!” Aku melepaskan pelukanku. “Aku nggak mau mendengarnya. Kamu tahu, aku nggak pernah benci kamu, ya mungkin sedikit, tapi nggak sebesar rasa cintaku. Aku sangat membutuhkanmu.” “Aku juga sayang dan butuh kamu. Percayalah. Kamu nggak tahu bagaimana beratnya aku menghadapi hari pertama tanpa kamu.” “Aku juga," aku mulai ada asa dia akan menyesali ini semua. “Tapi aku nggak bisa hidup denganmu," cetus Bian. Pisau tajam seperti tertoreh di hatiku. Dia masih menginginkan perceraian ini. “Maafin aku, Nay,” sesalnya pelan. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Aku maafkan.” Aku berupaya menahan perasaanku. “Kamu harus membiarkan aku hidup sendiri,” Bian mencoba untuk membuatku mengerti. “Aku sudah membiarkanmu, tapi bukan berarti harus memutuskan hubungan kita, ya kan?” aku menyahut perih. “Iya. Maafkan aku." Ia tertunduk menyesal. Aku menghela napas. “Inilah yang aku takutkan sebelum kita bercerai. Kita sulit menjaga hubungan kita selepas kita bercerai.” “Aku yang salah,” selanya. “Aku juga. Ingat waktu kita putus yang kedua kalinya?” Aku memberinya senyuman. “Yeah.” Ia membalas senyumanku. “Dan kamu yang menemuiku lebih dulu. Sekarang kamu melakukannya lagi. Kamu yang datang duluan padaku.” “Nggak, kalau bukan kamu telepon duluan,” sahut BIan. “Terima kasih pada Gita. Dia yang membuatku menelepon kamu,” aku mendesah pahit. Bian terpaksa tersenyum. Aku menarik napas. “Sekarang yang aku mau adalah; jangan bikin keadaan jadi sulit lagi. Aku sudah sakit kamu ceraikan, tapi lebih sakit lagi kalau kamu tidak memedulikan aku, seperti aku yang nggak ada. Itu sangat menyiksaku, Bee. Kamu nggak mau menyiksanya lagi kan, … itu kalau kamu memang masih mencintaiku,” aku menatapnya penuh harap. Bian tersenyum kembali, “Aku sangat mencintaimu, Nay.” Aku tersenyum geli bercampur lega. “Kuharap selepas ini, kita tidak ada masalah lagi dengan komunikasi kita. Kita akan menelepon dan bertemu sebisa kita, dan jangan tidak memedulikanku,” pintaku. “Nggak akan. Aku janji,” tekannya pasti. “Bee…” aku mengingatkannya. “Ya ya, ya aku tahu, jangan bikin janji yang belum tentu bisa aku pegang. Tapi untuk yang satu ini aku harus memegangnya. Untuk Akhtar juga. Aku nggak mau kehilangan dia untuk yang kedua kalinya,” ia menyerah. Aku mengangguk, “Yup kamu benar. Aku nggak pernah menyangka dia lebih menyayangi kamu dibanding aku.” “Oh, yea?” “Yeah. Kamu nggak sadar, kalau perasaannya padamu sangat kuat. Ingat, dia merasakan kedatanganmu sebelum kamu datang. Saat itu dia sedang duduk di pangkuanku melihat Feeya, lalu tiba tiba ia berteriak memanggilmu dan keluar menuju. Dan memang kamu datang. Dia bisa merasakan kamu, Bee.” Bian terpaku takjub mendengarnya. “Ya ampun, aku nggak pernah menyangkanya.” “Aku juga,” aku tertawa geli sendiri, membuat Bian ikut tertawa. Bian menarik napas dalam-dalam. “Terima kasih, Nay, kamu membuat semuanya menjadi mudah.” Aku memandang matanya, “Aku mencoba untuk membuat semuanya mudah untukku.” “Juga untukku. Ya, untuk kita berdua..” Aku mengangguk. “Terima kasih, Nay.” Ia memelukku erat. “Aku mencintaimu, Bee, ingat itu. Dan beritahu aku kalau kamu siap untuk kembali pada kami.” Aku merasakan Bian menahan napasnya, tapi kemudian, “Pasti. Aku juga mencintaimu. Jangan ragukan itu.” Aku hanya menggeleng. Tidak akan. Tiba-tiba terdengar tangisan Akhtar. Bian mengisyaratkanku untuk segera menemui Akhtar tapi aku menggeleng, “Pergilah, Bee. Dia nyari bapaknya.” Bian terlihat ragu, karena biasanya aku yang menangani Akhtar di tengah tidurnya. “Dadddaa!!!” teriaknya memanggil di tengah tangisannya. Aku tersenyum, “Sudah kubilang, dia kangen kamu.” Bian tersenyum. “Daddaaaaaa!!!!” teriakan dan tangisannya semakin kencang. “Ok, Dadda datang, Kaak!” seru Bian seraya berlari menuju kamar Akhtar. Aku menghela napas lega. Terdengar suara tangisan Akhtar mereda, lalu berhenti sama sekali. Aku beranjak dari dudukku dan keluar mencoba untuk melihat mereka. Aku hanya bisa tersenyum lega dan bahagia. Pemandangan yang sangat kusukai; Akhtar berada di pelukan Bian dengan tertidur pulas. Tangan kecilnya berada pipi Bian. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka, tapi aku tidak ingin mengganggunya. Kututup pintu kamar mereka dan menuju kamarku sendiri. Untuk kesekian kalinya aku menangis dalam tidurku. Aku terbangun dengan rasa takut langsung merasukiku. Bian? Aku segera menuju kamar mereka. Aku harap ini bukan mimpi berada di pelukan Bian. Semalam Bian di sini, dan membicarakan tentang kami berdua. Aku memeluknya dan menangis di sana. Hangat dan nyaman sekali. Kuharap itu bukan mimpi. Aku benci bila harus terbangun dari mimpi indahku. Dan betapa leganya aku saatku masuk ke kamar tamu dan melihat Bian dan Akhtar masih saling meringkuk di sana. Dia benar-benar di sini. Ini bukan mimpi. Terima kasih Ya, Allah. Bersambung Serpihan 4 Bian menghabiskan waktu bersama Akhtar selama dua hari, setelah itu ia harus kembali ke Jakarta. Dia benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, karena ben-nya sedang menyelesaikan album mereka. Tapi dia berjanji pada Akhtar akan sering menemuinya dan meneleponnya. Aku harap dia bisa memegangnya. Terima kasih, Bee, itu sangat berarti buatku. Bian juga menepati janjinya. Dia menelepon Akhtar. Akhtar senangnya bukan main mendengar suara ayahnya (aku juga). Gita sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan beberapa hari untuk beristirahat, karena bulan depan, Shindu meminta Gita juga Fathir dan Feeya menemaninya peluncuran album terbaru Aku harus berterima kasih pada Feeya, karena kelahirannya membuatku kembali bertemu Bian dan memperbaiki hubungan kami yang hampir terputus. “Kamu membuatku melahirkan Feeya lebih awal. Dia kan, harusnya lahir minggu ini.” Gita tidak dapat menahan tawa gelinya. Aku pun tertawa geli, mengingat bagaimana aku ambruk menangis di pundak Gita yang mungkin memancing kontraksinya karena memikirkanku. “Maaf, Git.” Gita masih tertawa geli, “Nggak pa-pa. Itu juga membuatmu lebih awal berbaikan dengan Bian, kan?” Kali ini aku tersipu. “Yeah.” “Masya Allah, Nay, kamu kuat sekali. Aku nggak akan sekuat kamu Nay, kalau aku jadi kamu.” “Jangan. Ini terlalu berat, Git, dan aku yakin Shindu tidak akan berbuat apa yang dilakukan Bian. Aku nggak tahu apa yang membuatku kuat. Keajaiban mungkin. Ya, mungkin untuk cinta kami.” Gita tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, Git, karena selalu mendukungku.” “Yah, aku lebih baik mendukungmu, daripada mendukung anak jelek itu.” Aku tersenyum geli mendengar sebutannya untuk Bian. Aku terus bersyukur kami masih berhubungan baik, paling tidak hingga hari ini. Dan besok adalah hari ulang tahun ‘pernyataan cintanya padaku’ yang ketujuh. *** Hari ini setahun kemarin, kami sedang berada di Bali menikmati bulan madu kedua kami. Aku tersenyum bahagia mengingatnya, tapi membuatku tersadar dengan hubungan kami sekarang ini. Jelas tidak akan ada lagi bulan madu bagi kami berdua, tapi paling tidak mungkin kami masih bisa menikmatinya dalam hati kami masing-masing, kalau rasa cinta itu masih ada. Aku tahu dia masih memilikinya. Tanggal 16, ‘Asking Day’- ku. Aku belum mendapat telepon apa-apa dari Bian sebagai ucapan selamat. Yeah, aku memang tidak boleh berharap, daripada akan menyakitkanku bila memang dia tidak melakukannya. Aku harus kuat. Tanpa kusadari, aku mengajak Akhtar ke tebing keramat kami di daerah Dago Atas. Aku tidak tahu apakah Bian akan kemari. Aku juga tahu untuk jangan terlalu berharap, akan mendapat kejutan apapun darinya dan aku pun tidak berani membuat kejutan untuknya seperti tahun lalu. Semua telah berubah. Masih teringat jelas bagaimana indahnya kami merayakan ulang tahun ini, sekaligus semua ulang tahun kami berdua yang terlewatnya. Perih aku mengingatnya. Lagu Celine Dion itu menghantamku keras. Kalau boleh, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, mengingkari dan menyesali, kenapa semua ini harus terjadi, dimana cinta kami masih tetap tumbuh indah? “Maa, Dadda mau kecini juga?” Suara Akhtar membawaku ke bumi. Aku menoleh ke arahnya. “Maa nggak tahu, Sayang. Maa juga menunggu Dadda datang. Tapi kalau Dadda nggak datang, kita bisa menghabiskan waktu di sini hanya kita berdua saja, ya?” Akhtar hanya mengangguk. Aku tersenyum dan mendekapnya erat. Pandanganku kembali ke pemandangan kota Bandung Aku menggeleng lirih, “Nggak, Kak, kayaknya Dadda nggak akan datang.” “Dadda!” seru Akhtar tiba-tiba dengan kepala menoleh ke belakang. Refleks aku menoleh ke arah belakang mengikuti matanya. Terlihat sebuah CRV hitam meluncur kencang menjauh dari kami. Aku terpaku tak dapat bernapas. Itu Bian. Dia di sini! “Daddaaaa!” teriak Akhtar memanggilnya. “Dadda, Maa,” Akhtar mulai menangis. “Ya, Kak, itu Dadda.” Kepalaku masih belum penuh. “Mau Daddaa!” pekik Akhtar marah disertai tangisnya. Aku langsung menggendong Akhtar dan turun menuju mobil. Aku harus mengejarnya. Aku tahu, ini gila untuk seorang ibu, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dengan anak dua tahun duduk di belakang. Sangat berbahaya. Tapi aku tidak lagi memikirkannya. Yang aku tahu, aku harus bisa mengejar Bian dan meminta penjelasannya. Dia datang ke sini tapi tidak menemuiku. Dia mengingat hari ini, karena itu dia datang ke sini, tapi kenapa tidak menemuiku? Sangat tidak membuatku terkejut saat aku melihat mobilnya terpakir di depan Callista Lounge, tempat favorit kami. Aku segera menyusulnya masuk. “Dadda!!” pekik Akhtar langsung begitu melihat ayahnya duduk di depan meja bar. Bian menoleh terkaget, “Akhtar?” ia langsung menyambut dan mengendongnya. Akhtar mendekap erat ayahnya dengan terus menangis. “Kakak kenapa nangis?” Bian terheran, kemudian menoleh ke arahku seakan meminta penjelasan. “Kamu ninggalin dia, Bee.” Aku masih berdiri beberapa langkah darinya. Bian terpaku mengakuinya. “Seharusnya kamu nggak usah datang, kalau kamu tidak ingin bertemu denganku. Jadi kamu tidak harus menghindari kami. Kamu lupa dia punya perasaan yang kuat denganmu. Dia tahu kamu datang, dan dia kecewa saat melihatmu pergi.” Bian terdiam, sementara Akhtar masih terisak memeluk erat di lehernya. “Shh, nggak pa-pa, Sayang, Dadda di sini. Maaf sudah meninggalkan Kakak,” Bian menenangkannya. Entah mengapa aku merasa harus pergi dari mereka berdua. Dengan hati perih, diam-diam aku melangkah keluar tanpa mendengar Bian memanggilku. Di mobil aku menangis sejadi-jadinya. Apa lagi sekarang, Bee!!?? Sore hari, Bian baru mengantarkan Akhtar pulang. Hingga Bian berhasil menidurkan Akhtar, kami belum bicara sepatah kata pun. Aku berusaha tidak menangis di hadapannya, dan tidak mengharapkan apa-apa darinya. “Maafkan aku, Nay, aku tidak menemuimu.” Aku terdiam. Akhirnya Bian membuka suara terlebih dahulu. “Apa betul kamu tidak mau menemuiku?” tanyaku lirih. “Bukan… hanya….hanya saja, tahun kemarin begitu indah …” “Terlalu indah untuk dikenang, Bee?” “Iya! Dan itu membuatku semakin tersiksa.” “Merasa bersalah?” Bian tercekat dengan ucapanku. Baru kali ini aku berani mengucapkannya. “Hentikan rasa bersalah itu, Bee.” “Kalau saja aku bisa.” Aku tak menyahutnya, hanya memandangnya datar. Ia menarik napas dalam-dalam, “Hari ini, setahun yang lalu, aku menghambur di pelukanmu menangis seperti bayi, memohon maafmu untuk semua yang sudah kulakukan padamu. Kamu memaafkanku, dan kamu menangis memintaku untuk jangan pernah meninggalkanmu. Dan aku berjanji untuk tidak akan meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama. Lalu kita mengakhirinya dengan malam yang sangat indah. Tidak hanya dengan pesta kita, tapi juga merasakan betapa beruntungnya aku berada di pelukanmu. Aku bersumpah itulah malam terindah untukku.” Aku menelan ludah perih. Aku juga mengingatnya. Saat itu memang sangat indah. “Tapi sekarang aku merusaknya. Aku jahat, Nay.” “Jangan, jangan bilang begitu. Kamu nggk jahat,” aku memohon untuk berhenti menyalahkan diri. Bian tersenyum tipis. “Kenapa kita punya banyak sekali kenangan indah bersama?” Nada suaranya melayang. “Karena kita menyukainya. Kita saling mencintai, dan kita membuatnya,” aku tersenyum tipis tapi pasti. ”Lalu kenapa, aku selalu melukai dan menyakitimu, Nay?” tanyanya penuh sesal. Aku terdiam tidak bisa menjawabnya. “Aku sudah melupakannya, Bee. Tidak ingin mengingatnya lagi. Itu yang juga harus kamu lakukan sekarang. Seperti yang kita lakukan sekarang. Sudah jelas kita sedang mengenang sesuatu yang indah tentang kita.” Bian tersenyum. “Aku nggak pernah mengira kamu akan datang ke tebing. Aku tidak memintamu pergi, kan?” Aku menggeleng. “Tapi, kita banyak menghabiskan waktu di sana. ” Bian mengangguk. “Aku juga tidak menyangka akan pergi ke sana, karena aku yakin kamu juga tidak akan datang. Tapi hatiku membimbingku ke sana. Membawaku kepada kenangan kita berdua.” “Tidakkah itu menyakitkanmu?” “Jujur, ya. Tapi jangan salah sangka, karena aku menyukainya. Sangat baik, Bee, memiliki kenangan indah untuk dikenang. Itu membuat kita tetap hidup dan menghapus luka kita.” “Kalau saja aku bisa sepertimu. Tapi kenangan kita bersama justru semakin membuatku merasa bersalah.” “Jangan dibiarkan, Bee. Seharusnya itu yang menyembuhkanmu. Kalau kamu mencintaiku, biarkan kenangan itu mengobati lukamu.” Bian terdiam. “Kamu masih marah dengan perceraian kita?” tanyanya lirih. Aku terkatup. “Marah tidak, tapi mungkin kecewa.” Bian memandangku ragu. “Kamu berharap kita bisa kembali lagi?” Aku tercekat. Ya, aku sangat berharap itu. Itu yang selalu aku doakan setiap harinya! “Meski aku sangat mengharapkanmu kembali, aku tidak akan berani memintanya sekarang. Aku tidak mau membuatmu semakin terluka lagi,” sahutku pelan. Bian kembali terdiam. “Jadi tidak apa-apa kalau kita tetap seperti ini?” Suaranya terdengar ragu dan ketakutan. Walau hatiku bernapas perih, aku memberinya senyuman dengan menggeleng. “Apa pun yang membuatmu lebih baik, Bee.” Bian terpaku memandangku. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya dan menyentuh pipinya. Kukecup pipinya dengan lembut. “Semuanya, Bee. Semuanya demi kamu,” Sekuat tenaga aku menahan tangisku dengan jantung berdebar kencang. Bian menangkap tanganku dan mengenggamnya erat. Diciuminya tanganku, membuatku sulit untuk menahan diriku untuk tidak meledak. Dia memelukku erat. “Peluk aku, Nay, dekap aku dengan cintamu. Tolong, bantu aku menghapus rasa bersalah ini,” rintihnya. Tanpa ragu aku memeluknya erat seakan tidak akan kulepaskan lagi. Saat itu juga tangisku tak tertahankan lagi dan meledak di pelukannya. Aku mencintai kamu, Bee. Aku sangat mencintai kamu. Kamu nggak tahu betapa kerasnya aku berdoa untukmu kembali lagi padaku. Aku sangat berharap kita bisa bersama lagi, Bee. Bersambung Serpihan 5 Kami membuat malam itu menjadi indah. Kembali memperbaiki sesuatu yang hampir menghancurkan hubungan kami. Bian memang tidak memintaku rujuk, dan tetap hidup terpisah. Dia di Jakarta sementara aku di Bandung, tapi mencoba untuk tidak berpikir bahwa kami telah bercerai. Kami mencoba untuk hidup sebagai teman, dengan Akhtar sebagai penghubung dan perekat kami. Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk sekarang ini. Yang terbaik untuknya. Dia bahkan memintaku untuk menemaninya pada saat peluncuran album terbaru mereka awal bulan nanti. *** Tanggal 1 Juli, Soralus mengeluarkan album keempat. Kami sang istri (termasuk aku) datang pada acara tersebut beserta pasukan-pasukan kecil kami. Selama acara berlangsung, kami berdua bersikap senormal mungkin, seakan tidak terjadi apa-apa. Publik belum mengetahui perceraian kami, dan mereka belum mencurigai kami. Aku cukup lega dan tenang dengan kebodohan mereka. Dan bila mereka yang mengetahui perpisahan kami, ini menjadi bukti bahwa hubungan kami masih baik-baik saja. Kami kembali menjadi sahabat. Kami bersenang-senang, tertawa dan bahagia, dikelilingi penggemar yang sangat mencintai mereka dan sangat mendukung mereka!! Ini membuatku melupakan luka di hatiku. Paling tidak, aku masih bisa melihatnya tertawa dan berada di sampingnya. Itu cukup buatku. Acara peluncuran album berjalan lancar dan sukses. Di akhir acara, disebutkan jumlah penjualan album yang telah mencapai 10.000 hanya beberapa jam setelah peluncuran. Luar Biasa! Tidak ada yang menyangka setinggi itu. Bian memandangku dengan hangat. Kalian tahu bagaimana rasanya dipandangi oleh sepasang mata yang terindah di dunia? Membuatku gila! Aku rindu mata itu. Aku sangat merindukannya!’ “Terima kasih, Nay, sudah menemaniku, mendukungku. Sekali lagi kamu membuat semuanya menjadi mudah buatku. Menghadapi mereka.” Aku tersenyum, “Aku senang bisa menemanimu. Yah, mudah-mudahan mereka nggak tahu tentang kita, jadi kita bisa begini terus.” Dia tersenyum, “Ya, mudah-mudahan.” “Terima kasih,” lalu menciumku di kening. (Sedikit kecewa dia tidak menciumku di bibir! Tapi tidak apa-apa). Aku mengecup balik di pipinya. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Itu CD album barunya. Dia menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan tanda tanya. “Aku tahu, kamu sudah mendengar semua lagunya. Tapi aku minta kamu dengarkan baik-baik satu lagu di trek 16, trek terakhir, dan direkam di ujung waktu. Aku memang tidak bermaksud memasukkannya dalam album, tapi sesuatu mengatakan aku harus memasukkannya.” Aku terdiam dan melihat lagu pada trek 16 dan berbahasa Inggris! Berjudul ‘Whole Mistake’ Jantungku berhenti seketika. Tapi aku hanya mengangguk dan beranjak menuju CD Player untuk memutarnya. Tapi dia menahanku, “Jangan. Dengarnya kalau aku nggak ada.” “Ini isi hatimu?” aku terkatup. Ia mengangguk. “Mudah-mudahan kamu suka, dan tidak marah aku membuatnya.” Aku tersenyum memaksa, “Kamu tahu, aku selalu suka semua yang kamu buat.” “Aku ragu dengan satu ini.” Aku tersenyum menggeleng, “Aku pasti menyukainya, Bee. Percaya, deh.” Akhirnya ia mengangguk dan ia memelukku erat. Esok harinya, aku kembali ke Bandung bersama Akhtar, karena Bian akan langsung berhadapan dengan tur promo album. Kupandangi, CD ini dengan kebimbangan. Aku tidak berani mendengarkannya sebelum jauh dari Bian, sesuai permintaannya. Aku memang sudah mendengar album mereka sehari sebelum peluncuran, yang tentu saja belum cukup waktu untuk memperhatikan secara jelas semua lagu mereka di sana. Jadi inilah saatnya aku mendengarkannya lagi, dan Bian memintaku untuk mendengarkan lagu pada trek 16 tersebut, tanpa ada seseorang di dekatku. Aku masih ragu untuk mendengarnya. Rasa takut lebih menghantuiku. Aku bahkan tidak berani untuk melihat sampul dalam yang berisi teks lagu tersebut. Lagu ini pastilah tentang isi hatinya, dan aku takut mengetahui isi hatinya, yang mungkin akan menyakitiku atau juga pencerminan rasa sakit hatinya. Tapi Bian memintaku untuk mendengarkannya. Akhirnya kumasukkan keping CD tersebut ke dalam CD Player dan langsung menuju trek 16. Jantungku berdebar kencang saat mulai terdengar petikan gitarnya yang mendominasi intro lagu tersebut. “Once I did mistake, you forgive me. Jantungku semakin tak karuan begitu mendengar suara Bian menyanyikan bait pertamanya. Aku menguatkan diri untuk mendengarkannya. “Twice I did mistake, you forgive me. Then another one, another one and another one, you still forgive me I did those mistakes, and you always forgive me. But I know you’re aching. I see your tears I feel your heart break I feel your agony It’s clear in your face You told me to leave it, but I can’t You told me to forget it, but I can’t I just can’t, can’t let it go, it’s so hurts me You say you could take it, but I couldn’t I know you hurts I know you disappointed I know you mad It’s hidden in your eyes. Reff: I can’t believe I did those things I can’t believe I broke your heart (guess I did) You know I never meant to hurt you I can’t believe I was so fool I can’t believe I was so blind (guess I was) But you know I never meant to hurt you Now I have to go, have my own space Have to leave you, keeping my cruel heart Freeing your pain, freeing your tears Have no right for begging your forgiveness I know you hurt I know you disappointed I know you mad It’s hidden in your eyes Back to reff Aku tak dapat menahan tangisku lagi. Lagu ini jelas permintaan maafnya. Aku terus menangis tanpa dapat menghentikannya. Aku memutar kembali lagu itu, membuatku semakin tak dapat menghentikan tangisku ini. “Kenapa Bee, kenapa!? Kamu tahu kamu nggak harus menyerah. Kita bisa menghadapinya bersama. Aku tahu kita bisa, tapi kamu nggak pernah mau mencobanya. Kenapa!?” tangisku kembali meledak. Aku tak tahu berapa lama aku menangis, tapi setelah sedikit dapat meredakan tangisku, kuberanikan diri untuk melihat sampul dalamnya, khususnya pada lagu tersebut. Terlihat jelas nama ‘Bian/Shindu/Rifki’, sebagai pencipta lagu tersebut. Aku kembali menangis tak tertahankan. Hingga aku tertidur dalam tangisku untuk yang kesekian kalinya. Aku dibangunkan oleh dering ponselku yang langsung kutahu siapa itu. Aku menyadari tangisku sudah berhenti dengan meninggalkan rasa sangat tebal di kedua mataku. Kulirik jam, masih jam 3.15 pagi!’ Dia meneleponku jam segini!? “Assalamu’alaikum…” aku mencoba menyapa dengan suara normal. “Wa’alaikum salam, Nay. Gimana?” tanyanya langsung tanpa basa-basi dengan suara datar dan bersih. “Kamu nggak tidur, ya?” “Sori, Ney. Tapi aku nggak bisa tidur. Terus memikirkan kamu mendengar lagu itu.” Aku harus tersenyum perih. “Kamu di mana?” “Ada di kamar kita. Jangan takut, Nay, aku sendirian.” Aku hanya menghela napas, enggan menjawabnya. Aku nggak berhak lagi untuk tahu, dia bebas sekarang, meski akan menyakitkan untukku jika aku tahu dia bersama wanita lain. “Gimana?” Dia menanyakan lagi. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jelas lagu itu menyakitiku. “Aku sudah memaafkan dan melepasmu, Bee. Sekarang kamu yang harus bisa melupakannya.” “Sedang kucoba,” ia terkekeh kecil. “Kamu suka lagunya?” “Bikin aku nangis semalaman.” Terdengar helaan sesal. “Ya, aku sudah mengiranya. Kayaknya aku bikin kamu nangis lagi. Aku terus membuatmu menangis, ya kan?” Mau tidak mau aku tertawa kecil dengan ucapannya. “Kok ketawa?” Dia terheran dengan tawaku. “Nggak. Tapi ya, memang kamu selalu membuatku menangis.” “Memang.” Suaranya kembali penuh sesal. “Hey, cukup. Aku nggak mau denger permintaan maafmu lagi, nanti aku nangis lagi. Aku nggak mau nangis lagi, nggak di pagi hari kayak gini. Aku capek nangis semalaman dengerin lagu kamu. Giliran Bian yang tertawa geli. “Yeah, maaf.” “Lagunya bagus Bee, terima kasih.” “Yeah.” Bian menarik napas. “Akhtar mana?” ia mengalihkannya. Aku tersenyum kecil, “Bee, kamu menanyakan dia jam segini. Kamu tahu sendiri jam berapa dia bangun.” “Yup, jam 6.” Bian tertawa geli menyadarinya. “Tidur sana, Bee. Kamu masih punya …(aku melirik jam)…4 jam sebelum kamu menghadapi pagi hari yang sangat kamu benci.” “Yeah, kamu benar. Ok, aku tidur sekarang. Makasih, ya, Nay, dan maaf sudah bangunin kamu jam segini.” Aku hanya tertawa kecil. “Kamu selalu bangunin aku jam segini. Istirahat, Bee, tidur. Mimpi yang indah.” Bian tersenyum, “Makasih, Nay. Aku akan memimpikanmu dengan Akhtar. “Dan aku akan memimpikanmu juga, kalau aku bisa tidur lagi.” Bian tergelak-gelak. “Daah, love you.” “Love you too, Bee.” Kemudian terdengar suara hubungan telepon terputus. Aku menghela napas. Ingin rasanya aku menangis lagi. Tapi tidak, cukup untukku menangis. Lagipula, dengan dia meneleponku dan mendengar tawa lebarnya yang normal, membuatku sangat lega. Kami kembali normal. Kulirik jam, mudah mudah masih sempat untuk shalat malam, sebelum terdengar adzan shubuh dan Akhtar membangunkanku.’ Aku tersenyum kulum dan beranjak mengambil air wudlu. * Tangisan Akhtar terdengar saat aku baru saja selesai Shalat Shubuh. Aku segera bangun dan menyambutnya. “Pagi, Kakak.” Akhtar menyambutku dengan merubah langsung tangisnya dengan senyum lebarnya. “Tadi malam ngompol, nggak?” aku memeriksa celananya. Dia menggeleng dengan bangga. Dia memang sudah mulai bisa untuk tidak pipis di celananya. “Nggak ngompol? Aih, pintar.” Aku bersiap hendak menggendongnya saat kudengar ponselku berdering dari kamarku. Kukira itu Bian, tapi setelah kudengar jelas nada deringnya, bukan dari Bian. Tapi aku tahu siapa itu. “Nteh Gita nelepon, Kak, Kakak mau angkat?” Aku menawarkan padanya. Akhtar mengangguk pasti, dan tidak perlu menunggu, ia sudah langsung turun dari tempat tidur menuju kamarku atau tepatnya menuju ponselku. “Pagi, Nteeh !!” sambut Akhtar Aku tersenyum bangga melihatnya. Masya Allah, dia pintar sekali! “Apa? Maa?…” Akhtar menoleh ke arahku, “Nteh Gita, Maa,” seraya menyerahkan ponselnya padaku. Aku menerimanya. “Assalamu’alaikum. Ya, Git?” “Semuanya sudah ada di medsos infotaimen, Nay?” tanyanya langsung Jelas aku terheran tidak mengerti, tapi darahku langsung berdesir dingin, “Apa yang sudah ada di infotaimen?” tanyaku ketakutan. “Kamu nggak tau? Kamu belum baca, ya?” “Aku baru saja bangun, belum sempat buka hape. Apa yang ada di medsos, Git?” aku semakin ketakutan “Mereka tahu perceraian kamu.” Jantungku berhenti mendadak, tapi aku langsung turun ke bawah dengan menggendong Akhtar. Aku membuka salah satu akun infotaimen yg paling dicari netizen dan membaca satui berita dengan gambar fotoku bersama Bian saat peluncuran album Soralus, namun dengan tulisan besar : “Mengejutkan, Bian Soralus telah menceraikan istrinya.” Aku langsung membaca keseluruhan redaksinya. Topeng Keluarga Bahagia: Bian Maulana, telah berhasil menutupi perceraiannya. Kibordis Soralus asal Bandung berusia 28 tahun itu selalu muncul bersama sang istri, Arunaya Larasati, sebagai keluarga yang bahagia. Namun nyatanya, tak banyak yang mengetahui, keduanya telah bercerai sejak bulan Mei lalu di Pengadilan Agama Kota Bandung. Banyaknya permasalahan yang mereka hadapi menjadi alasan pasangan yang menikah pada bulan April 2013, untuk berpisah. Kini Naya memilih tinggal di Bandung bersama putra semata wayang mereka yang masih berusia 2 tahun. Aku hampir tak dapat bernapas membacanya. Yang kutakutkan akhirnya datang juga. Publik mengetahuinya... Bersambung Serpihan 6 Aku dikagetkan dengan dering ponselku, dan langsung aku mengangkatnya, “Siapa yang membeberkannya, Bee?” tanyaku langsung tanpa basa-basi, bahkan lupa mengucapkan salam. “Kamu sudah baca?" Terdengar desahan sesal di sana. "Aku nggak tahu, Nay. Bukan aku. Aku juga kaget waktu Shindu bangunkan aku dan memberitahukannya.” Aku terduduk lemas di kursi. “Mereka semua sudah tahu, Bee. Sekarang bagaimana? Gimana aku bisa menghadapi mereka? Pasti banyak sekali pertanyaan kenapa kita bercerai. Kamu yang buat ini semua.” “Iya, tahu. Maafkan aku,” sesalnya lagi. “Lindungi aku, Bee, aku nggak mau ketemu mereka. Jangan sampai mereka mengejarku. Aku nggak akan kasih pernyataan apapun. Kamu yang beresin.” “Iya, iya, aku tahu." Bian menarik napas dalam. "Jangan takut, mereka nggak akan mengejarmu. Aku yang akan hadapi mereka, Nay.” Aku terdiam. “Aku takut, Bee” “Bukan kamu yang harusnya takut, Nay, tapi aku. Perceraian itu, kan, aku yang minta.” “Tapi tetep saja aku takut. Wartawan infotemen itu.” Aku tahu betapa ganasnya mereka. “Jangan khawatir, mereka nggak akan mengejarmu. Aku janji, kamu akan baik-baik saja, Nay.” “Yeah, aku percaya.” “Yah, kayaknya aku cuma tidur dua jam,” keluhnya. “Ini berita bangunin aku. Brengsek!” umpatnya kesal. Aku tak dapat menahan untuk tidak tertawa. Tapi dia sudah menutup teleponnya. Aku kembali terdiam dalam kebingungan dan ketakutan. Lebih rasa takut yang menyiksaku. Bagaimana aku bisa ke ‘Naya’s’? Para pelanggan pasti akan menghujaniku dengan pertanyaan. Ya Allah!! Aku tidak akan bisa ke ‘Naya’s Little Wordland’ hari ini. Pagi itu aku benar-benar dihujani dengan telepon dari Mama, Gita, dan teman-teman yang menanyakan keadaanku? Apa aku bisa menghadapinya? Gita bahkan menawarkan untuk menemaniku setelah tahu aku tidak mampu pergi ke toko, tapi aku menolaknya dengan halus. Jujur aku butuh seseorang, dan sebagai penggantinya, Mama datang menemaniku. Aku memang belum berbaikan dengan Papa, tapi hubunganku dengan Mama sangat baik. Dia sangat mengerti aku, dan selalu mendukungku apapun yang kulakukan. Aku tahu dia juga menginginkanku berpisah dari Bian, tapi paling tidak, dia tidak membenci Bian, dan Mama masih menyayanginya. Seharian aku berada di rumah dengan perasaan takut akan terus dihujani pertanyaan tentang perceraianku dari para pelanggan yang tahu nomor teleponku. Aku takut orang mentertawakan kegagalanku bersama Bian. Tidak ada lagi, dongeng cinta dan kesetiaan. Semua orang tahu kisah kehidupan kami berdua, sebelum kami menikah hingga kami menikah. Mungkin mereka benar, aku gagal mempertahankannya. Aku tidak mampu mempertahankannya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku, Nay?” Aku terkaget dengan suara yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Andre?” Aku tak menyangka dia akan datang ke rumah. Satu-satunya laki-laki yang belum ingin kutemui dalam keadaanku seperti ini. Tapi ia sudah muncul di hadapanku. “Ya Tuhan, kenapa kamu tidak bilang? Aku kira kita sahabat. Kamu menutupinya dariku!” Aku terdiam. “Sepertinya aku tahu sekarang, aku bukan sahabatmu, aku hanya teman biasamu,” ia terdengar begitu kecewa. “Bukan, bukan seperti itu,” protesku tidak enak. “Lalu?” Aku menelan ludah gusar. “Kamu nggak tahu ini sangat menyakitkanku. Ini akan lebih menyakitkanku kalau kamu mengetahuinya, karena aku tahu kamu pasti mengejarnya dan menghajarnya.” “Itu sudah pasti,” sahutnya pasti. “Itulah. Aku nggak mau semuanya jadi tambah buruk.” Andre terdiam. “Kamu yang meminta untuk bercerai?” “Tidak akan pernah!” sahutku langsung. “Kamu tahu sendiri aku sangat mencintainya. Aku nggak akan pernah meminta untuk berpisah terlebih bercerai.” “Jadi dia yang menginginkannya?” Aku tidak perlu menjawabnya lagi. “Untuk alasan apa?” desaknya ingin tahu. “Kamu nggak perlu tahu,” aku menyahut semakin gusar. “Apa ini ada hubungannya dengan aku? Dia cemburu, kan? Aku tahu dia cemburu.” Aku menggeleng pasti, “Bukan. Ini sama sekali nggak ada hubungannya denganmu.” “Jadi, kenapa dia minta cerai?” “Kamu sudah dengar beritanya. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi sampai dia memutuskan untuk bercerai. Kamu tahu sendiri bagaimana perkawinan kami selama ini. Dia pikir dia selalu menyakitiku.” “Tapi memang, kan,” sahutnya pasti. “Tapi aku tahu kamu nggak akan melepaskannya. Apapun yang sudah dia lakukan padamu, sesakit apapun dia menyakitimu, kamu masih mencintainya, dan tetap bersmanya. Lalu kenapa sekarang kamu membiarkan perceraian ini terjadi? Kenapa kamu membiarkan dia pergi?” desaknnya tidak mengerti. “Karena aku nggak punya pilihan lain!” sahutku keras, terlepas. “Dia yang minta cerai dan aku nggak bisa menolaknya. Kamu nggak tahu betapa kerasnya aku memohon untuknya jangan bercerai!” air mataku sudah mulai mengalir. “Aku nggak mau bercerai, Ndre. Aku nggak pernah menginginkannya. Berulang kali kukatakan aku sudah memaafkan semua yang ia lakukan padaku, bahkan yang terburuk sekalipun. Tapi dia tidak mau mendengarnya. Dia bilang dia akan semakin bersalah jika kami tetap bersama. Gusti, aku nggak mau cerai, Ndree!” aku sudah tak dapat menahan air mataku. Andre langsung memelukku, aku pun jatuh menangis di sana. Andre teman masa SMA-ku (juga musuh Bian) yang sempat menjadi kekasihku saat kuliah, tapi ternyata hatiku tetap untuk Bian dan kami pun hanya sebatas sahabat. Meski aku telah menikah, Andre tetap ada untukku. Bukan aku yang meminta, tapi dia yang tidak pernah melepaskanku. Tidak sekali keberadaan Andre membuat Bian cemburu. Tapi sungguh aku hanya mencintai Bian dan Andre sangat tahu itu. “Kenapa dia melakukannya, Ndre? Kenapa? Kenapa sekarang dia meninggalkanku!?” tangisku tumpah di pelukannya. “Sssh....” Andre semakin erat memelukku, menenangkanku. “Kamu sangat mengenalnya, kamu tahu kenapa dia melakukannya.” Aku tak menyahutnya. Tentu saja aku tahu dia. Dia sedang membohongi hatinya. Karena itu aku sangat membencinya. Aku terus menangis dengan pertanyaan 'Kenapa?' memenuhi kepalaku. Dan seperti Bian, Andre menungguku dengan sabar hinggaku mengeluarkan semua sesak dadaku. Setelah beberapa saat, tangisku mulai mereda. Kulepaskan pelukanku. Kutarik napas dalam-dalam, “Maaf, Ndre...” “Nggak pa-pa.” Ia tersenyum hangat. “Aku setuju bercerai karena dia pikir inilah yang terbaik untuknya. Aku cuma nggak tahu bagaimana menghadapi mereka. Orang-orang di luar sana, dan hidup tanpa dia. Hampa sekali. Aku nggak bisa melakukannya. Aku nggak mau.” “Tentu saja kamu bisa. Kamu bisa menghadapi mereka. Kamu kuat, Naya. Kamu bisa hidup tanpa dia. Coba untuk melihat dunia tanpa dirinya. Jangan tunjukkan kelemahanmu, karena kamu adalah wanita yang terkuat yang pernah kukenal. Nggak pernah mengira kamu bisa sekuat ini, dan dia bodoh sekali melepaskanmu. Dia seharusnya belajar apa cinta dan keyakinan itu, sebelum menikahimu.” Aku terdiam mendengarkan. “Dia hanya takut, Ndre. Aku tahu dia masih memilikinya. Kami berdua sama-sama menyimpannya sejak pertama kali kami bertemu. Dia hanya takut.” Andre tak berucap lagi. Aku menarik napas dalam-dalam dengan tersenyum memaksa, mengendalikan emosiku. “Sudah 2 bulan aku hidup tanpa dia, dan ya, aku masih tetap bisa hidup, karena sebenarnya kami tidak berpisah sepenuhnya juga. Kami masih sering bertemu, kapanpun kami menginginkannya. Tapi sekarang yang menjadi masalah adalah publik mengetahuinya, dan aku takut sekali.” “Jangan, kamu nggak perlu takut. Ini bukan kesalahanmu, dan kamu bisa menghadapinya. Peduli amat, dengan orang yang bicara macam-macam. Mereka nggak tahu apa-apa.” “Yah, kamu benar, Ndre. Peduli amat dengan mereka. Mereka nggak tahu apa-apa tentang diriku, tentang kami berdua,” aku tersenyum membesarkan hati sendiri. Andre tersenyum mendengarnya. “Dan tolong, Ndre, jangan kamu apa-apain dia,” aku langsung mengingatkan dia dengan panik. Andre justru tersenyum geli, “Lho, kamu pikir aku mau apain dia?” “Entahlah, aku tahu kamu, Ndre,” aku mengendikkan pundak penuh yakin. Andre semakin tersenyum geli. “Iya, iya, nggak aku apa-apain dia, meski aku ingin sekali.” “Aku mohon, Ndre ...” Tapi Andre memberiku senyuman, membuatku lega. “Terima kasih, Ndre. ..,” aku tersenyum tipis. Tapi ternyata masih mengganjal juga, “Ya Allah, aku masih cinta dia!!” seruku gemas setengah kesal. “Sh..., nggak apa-apa, semuanya pasti baik-baik saja,” Andre mengusap-usap punggungku. “Yeah!” Aku berusaha mengikhlaskannya dan sedikit dapat tersenyum dan bernapas lega. Keesokan harinya, termuatlah di semua akun gosip media sosial dan elektronik. ‘Bian Soralus : Naya Terlalu Baik Untuk Saya.’ Bian mengakui perceraiannya dengan sang istri untuk sesuatu yang tidak bisa mereka jelaskan. Dia mengatakan: “Perceraian ini permintaan saya. Banyak sekali permasalahan di antara kami berdua, dan semuanya kesalahan saya. Kami sudah berusaha mempertahankan pernikahan kami, tapi saya tahu saya tidak bisa lagi menahannya. Tidak akan adil untuknya. Kami harus berpisah, tapi kami masih saling mencintai, dan menyayangi. Kami kembali menjadi teman. Ini jauh lebih sehat untuk kami. Kami masih sering bertemu, dan saya selalu memintanya untuk menemani saya pada acara-acara tertentu. Naya adalah wanita yang hebat, berhati besar, dan saya sangat beruntung pernah menikahinya. Putra kami, Akhtar, tinggal bersamanya, tapi saya dapat menemuinya kapanpun saya ingnkan. Dia tidak akan kehilangan cinta kami berdua. Mungkin kami tinggal dalam atap yang berbeda, tapi hati kami kami masih tetap sama. Saya sangat mencintainya melebihi apapun, begitu juga dengannya.” Pentolan ben asal bandung yang memiliki nama lengkap Febrian Maulana resmi bercerai dua bulan lalu setelah tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama Arunaya Larasati. Cerita indah yang bermula dari teman semasa kanak-kanak, pada akhirnya kandas dan keduanya memilih untuk kembali menjadi sepasang sahabat.’ Aku tak dapat menahan tangisku saat membaca pernyataan Bian. Yea, dia masih mencintaiku. Dia masih sangat mencintaiku. Dering ponselku segera menyadarkanku. “Nay, kamu sudah baca? Gimana, itu nggak apa-apa buat kamu?” tanyanya langsung tanpa basa-basi. Aku memaksa tersenyum, “Yeah, itu nggak apa-apa, Bee.” “Jangan takut, mereka tidak akan mengejar kamu,” sahut Bian pasti. “Aku sudah bilang pada mereka untuk jangan dekati kamu. Kalau mereka berani,… awas aja!” Aku tak dapat menahan untuk tergelak dengan ucapannya yang serius. “Kok, ketawa? Aku serius tau?” dia terdengar tersinggung. Aku langsung berusaha menghentikan gelakku, “Maaf, Bee, iya tau kamu serius. Cuma… ya, makasih Bee. Trimakasih banyak,” tawaku benar-benar telah berhenti. “Ya, aku tahu kamu benci mereka, dan aku nggak mau kamu jadi membenciku karena membiarkan mereka mendekati kamu.” “Benci kamu? Pernah aku benci kamu?” aku tertawa kecil. “Kamu membenciku sekarang. Mungkin kamu tidak mengatakannya, tapi aku tahu, kamu membenciku,” suaranya menjadi lirih dengan penyesalan, membuatku berair kembali. “Aku nggak pernah benci kamu, Bee. Percayalah, aku nggak pernah membenci kamu.” Aku berusaha menahan air mata ini agar ia tidak melihatnya. Sesaat Bian terdiam di sana. “Aku sayang kamu, Nay. Percayalah, aku masih sangat mencintai kamu.” Wajahnya lurus tak berekspresi. “Aku, tahu, Bee.” Hingga dia memutuskan hubungan telepon. “Aku sangat mempercayaimu, Bee.” Air mataku sudah menetes di pipiku. Jangan khawatir, selama kamu tidak merubah cintamu, cintaku tetap untukmu, dan aku akan tetap bertahan, karena cintamu membuatku hidup, dan tentunya karena Akhtar. Aku sayang kamu, Bee. Allah tahu betapa sayangnya aku padamu, dan aku menghabiskan hidupku hanya untukmu. ** Kukira setelah Bian memberikan pernyataannya pada publik, akan membuatku lebih ringan dan mampu untuk menghadapi orang-orang, tapi ternyata tidak! Perasaan takut itu tetap ada. Aku takut dengan pandangan orang tentangku, anggapan mereka tentang diriku. Aku lebih takut bila pers mengejarku ke sini meminta pernyataanku. Tapi ternyata tidak. Bian benar-benar mengatasinya dengan baik. Dia sudah berjanji untuk melindungiku dari pers yang kubenci (selalu), dan tidak akan ada pers yang mengejarku. Terima kasih, Bee. Itu sangat membantuku. Aku masih belum berani keluar rumah, terlebih ke ‘Naya’s Little Wordsland’. Tapi aku tahu, aku tidak akan bangun-bangun kalau aku masih seperti ini. Mereka justru akan lebih membicarakan aku, bila aku tidak menghadapinya sendiri. Ya, aku tahu aku tidak sekuat itu, tapi aku harus kuat. Selain itu Gita masih belum bisa sepenuhnya berada di ‘Naya’s Little Wordsland’, karena Feeya yang masih 2 bulan, kasihan tokoku, tidak ada yang mengurus. Lagipula aku masih punya tanggung jawab dengan ‘Story Corner’ -ku. Anak-anak masih menungguku untuk dibacakan cerita, itu sedikit berarti mereka (orang tua mereka) masih baik padaku, juga para pelanggan yang selalu mencari aku dan menyakan kabarku. Mereka bersimpati dengan perceraianku ini, tapi sepengetahuan Gita, tidak ada yang berbisik-bisik tentang aku (Yah, siapa yang tahu. Tapi peduli amat dengan mereka). Aku tahu aku harus keluar rumah, menghadapi mereka. Menghadapi duniaku tanpa Bian. Sialan, kamu, Bee, kamu membuat hidupku seperti ini, tapi akan kubuktikan, aku bisa menghadapinya. Aku tahu ini berat, karena aku selalu bergantung padamu. Tapi sekarang sudah berubah. Kamu tidak lagi di sampingku, dan aku harus menerimanya. Terima kasih sudah membuat hidupku bagaikan di neraka lagi. Aku bangun untuk hari yang baru. Hari baru untuk menghadapi mereka. Mereka semua yang membicarakan aku, yang membicarakan perceraianku. Mereka semua!!! Dengan berpegangan kuat tangan Akhtar, (‘Terima kasih, Ya Allah, aku masih memiliki Akhtar, yang membuatku tetap kuat dan tetap bertahan), aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki memasuki ‘Naya’s Little Wordsland’. Hanya sedetik, saat menyadari diriku sudah berada di dalamnya’. Aku berdiri di depan pintu, dan semua orang memperhatikanku. Puluhan mata memandangku!! Termasuk Gita. Aku terpaku gugup! Kenapa juga aku harus terpaku gugup? Ini kan, tokoku. Aku pemiliknya. Jika mereka tidak menyukaiku, mereka yang bisa pergi. Malu-malu aku memberi mereka senyuman, “Assalamu’alakum,” Mereka berbalik tersenyum, ”Wa’alaikum salam,” balas mereka lalu menghampiriku untuk bersapa denganku. Bahkan memelukku hangat. Tidak ada mata yang membicarakanku dari belakang. “Akhirnya kamu keluar juga, Nay,” sahut Gita tanpa dapat menyembunyikan kelegaannya. “Aku harus keluar, Git, bagaimanapun juga aku harus menghadapinya.” “Memang kamu harus menghadapinya,” Gita tersenyum manis. Aku hanya tersenyum tipis. “Nah, apa lagi yang kamu tunggu, mereka sudah menunggumu,” seraya mengarah pada sudut berkarpet yang telah dipenuhi anak-anak untuk ‘Story Corner’. Reni, gadis yang masih duduk kelas 2 SMA dan bekerja paruh waktu di sini, yang menggantikanku, sudah siap dengan bukunya, Akhtar pun sudah duduk bergabung dengan mereka. “Biar dia saja yang membacakan,” aku segan mengganggu mereka. “Nggak bisa, ini bukan giliran dia untuk membacakannya. Ini giliranmu. Kamu yang seharusnya membacakannya.” Aku tetap masih ragu. “Sudah, itu ‘Story Corner’-mu, kamu tidak merindukannya?” dorong Gita memaksaku. “Maa!!” pekik Akhtar memanggil. Aku harus tersenyum kulum, “Aku sangat merindukannya, Git,” lalu beranjak menuju mereka. Mereka menyambutku dengan riang dengan memelukku, dan Reni segera memberiku tempat di antara mereka semua. “Ok, apa cerita kita hari ini?” tanyaku pada mereka semua. “Gadis Berambut Emas dan 3 Beruang,” celetuk seorang anak. “Aah, baiklah, kita mulai, ya…” Aku menebarkan senyum, dan mulai berkosentrasi pada bukuku. “Pada suatu hari, ada seorang gadis berambut pirang, seperti emas, tersesat di dalam hutan.……………” Berhasil!! Aku berhasil! Dengan wajah ceria mereka, menghapus ketakutanku! Membuatku melupakan apa yang kutakutkan. Aku tenggelam dalam ceritaku, dalam dunia mereka. Aku sangat menyukainya. Satu hari berlalu, dan tidak ada yang menanyakanku. Mereka masih baik dan hangat padaku, dan anak-anak, Masya Allah, mereka membuatku tertawa seharian. Aku sangat menyukainya. Membuatku santai dan berpikir tidak ada yang harus kutakutkan. Aku aman di dalam tokoku. Terima kasih, Ya Allah, aku tidak pernah mengira akan semudah ini. Tapi aku itu hanya ketakutanku, dan aku lega semua telah berakhir, dan aku bisa menghadapi hariku seperti biasanya. ** “Nah, itulah cerita hari ini, kita akan punya cerita baru lagi nanti. Ok?” aku mengakhiri ‘Story Corner’-ku. Anak-anak segera membubarkan diri setelah memberiku peluk dan kecup, dan berlarian menuju orang tua mereka yang menunggu mereka. Aku tersenyum melihat keriangan mereka. Kini aku benar-benar dapat bernapas lega. Seminggu berlalu sejak hari aku keluar dari perlindunganku. Dan hingga saat ini tidak ada yang menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang usil dan menyinggungku. Semuanya masih baik padaku. Mereka mendukungku sepenuhnya. Mereka masih menyayangiku. Terima kasih semuanya, terima kasih banyak. Love you. Aku kembali pada buku yang tersebar di karpet dan merapikannya. “Daddaa!!!” Sebuah pekikan girang, yang langsung membuatku terpaku. Darah berdesir dingin. “Dadda datang. Kok peginya lama? Ata kan, kangen,” “Dadda juga kangen. Makanya Dadda datang sekarang.” Aku masih terpaku dengan suara mereka. Jantungku berdebar kencang. ‘Dia datang.’ Perlahan aku berbalik dan melihat mereka. Dan di sana, mereka berdiri di sana! “Hi.” Suaranya langsung menyadarkanku. “Hi, Bee,” aku sedikit tergagap, berusaha mengendalikan emosiku. ‘Kenapa aku gugup seperti ini?’ Dia mendekatiku dan memberiku pelukan hangat. ‘Bee, peluk aku seperti ini selamanya.’ Tapi ia segera melepaskannya. Ia memandangku, dan menangkap sesuatu dariku. “Kamu nggak apa-apa, Nay?” tanyanya penuh perhatian. “Yeah, aku nggak apa-apa,” aku berusaha bersikap normal. “Semuanya baik-baik saja?” “Sangat baik, Bee,” aku tersenyum melegakannya. “Syukurlah.” “Jadi kamu baik-baik saja, sekarang?” “Tentu saja,” aku tersenyum pasti. “Dadda, ikut pulang sama Ata, kan?” tanya Akhtar tiba-tiba. Bian melirik sesaat padaku, tapi aku segera menganggukkan kepala. “Pasti, Dadda ikut pulang sama Ata,” sahutnya pada Akhtar. Aku tersenyum lega. Kedatangan Bian dan melihat hubungan kami masih baik-baik saja, menjadi bukti untuk mereka, bahwa kami tidak ada masalah, dan apa yang dikatakan Bian, yang mengatakan dia masih mencintaiku, memang benar. Mereka percaya kami masih saling mencintai, dan mereka sangat menghormati kami. Terima kasih. Setiba kami di rumah, belum ada kata terucap di antara kami. “Maafkan aku, Nay,” Bian mulai membuka pembicaraan setelah Bian menidurkan Akhtar. Dia menginap di sini untuk Akhtar. “Aku tahu ini sangat berat untukmu.” Aku terdiam dengan memandangnya hangat. “Aku melawannya.” Bian mengangguk mengerti. “Tapi itu yang membuatku kuat. Aku melawannya dan aku menang!” aku tersenyum renyah untuk menenangkannya. Bian ikut tersenyum renyah. Dan kamipun kembali terdiam. Dia menatapku sangat dalam. “Rambutmu mulai panjang,” komentarnya mengagetkanku. Aku terdiam, aku pun tak sadar aku tak lagi peduli dengan rambutku yang mulai panjang, dari rambutku yang selalu pendek, sependek rambut Sarah Sechan. Aku tersenyum, tak menimpalinya. Dia pun terdiam, seakan membaca aku enggan membahasnya. Ia mengalihkannya dengan mengecup pipiku, “I love you, Nay,” ucapnya dengan mata yang hangat tanpa ekspresi. “I love you too.” Bian menawarkan pelukan, dan aku segera meringkuk di pelukannya. Bukan hanya Akhtar yang merindukanmu, tapi aku juga. Peluk erat aku, Bee, biarkan aku tidur pelukanmu. *** Beberapa hari berselang dari hari itu, Bian mengajakku pada suatu acara yang dihadiri banyak banyak pers. Aku tahu hal ini ia lakukan untuk menunjukkan secara jelas pada mereka semua bahwa kami masih baik-baik saja. Bahwa yang dikatakannya tentang ia masih mengajakku pada acara-acara tertentu, memang benar. Walau tidak sesuai dengan hatiku, aku tidak menolaknya. Yea, kalian tahu motoku; Kulakukan semuanya untuk Bian (Hey, jangan bilang aku gila, meski kuakui memang gila). Lagipula, mungkin ini juga bisa membantuku untuk dapat menghadapi mereka semua setelah aku bisa menghadapi orang-orang di Bandung. Aku bisa menghadapi mereka semua. Aku tahu semuanya baik-baik saja. Bian dan aku kembali menjadi teman lagi, dan sepertinya itu lebih menyehatkan untuknya. Kami percaya pada cinta kami, dan aku percaya dia akan kembali padaku. Akan kutunggu dia, tidak peduli berapa lama waktu itu. ‘I love you, Bee. Kumohon jangan terlalu lama untuk kembali.’ Bersambung Serpihan 7 Memasuki bulan puasa, kujalani semua cobaan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Terlebih mengikhlaskan Lebaran kali ini tanpa Bian. Mungkin silahturrahim akan tetap terjaga tapi perasaan itu akan tetap beda. Dia bukan lagi suamiku, dia bukan lagi imamku. Tapi aku harus kuat, untuk Akhtar. Mendekati Lebaran pun, ‘Naya’s Little Wordsland’ tidak ketinggalan untuk terus berbagi. Di akhir pekan selama bulan puasa kami mengadakan buka bersama dengan anak-anak yang kurang beruntung dan tentu saja, berbagi buku untuk mereka. Semua untuk berbagai keberkahan dan kebahagiaan. Melihat senyum kebahagiaan mereka suduh cukup menjadi obat untukku melupakan rumah tanggaku. Tak ketinggalan Andre pun kembali ikut melibatkan diri. Dia selalu menyempatkand datang ke ‘Naya’s’ untuk berbuka bersama kami. Dia benar-benar telah melupakan percakapan kami, dan tidak lagi memikirkannya. Dia masih tetap baik. Terima kasih, Ndre. Di bulan yang suci inipun aku mengintrospeksi diri atas apa yang telah kuperbuat. Mungkin banyak yang telah kusakiti, khususnya hubunganku dengan Papa yang buruk. Betapa aku sudah menjadi anak durhaka dengan membencinya, di saat yang dia tunjukkan dan lakukan hanyalah karena dia sangat menyayangiku, karena dia ingin melihatku bahagia, dan yang pasti dia benci melihatku menangis. Aku yang salah, aku yang jahat. Aku buta dan sangat egois. ‘Putri yang egois dan bodoh.’ Betapa menyesalnya aku, betapa aku ingin memohon maaf padanya. Sebuah berkah di hari nan fitri saat maaf itu terbuka untukku. Aku datang padanya, bersujud padanya selepas Shalat Ied, dan memohon maaf padanya. Matanya hangat menatapku. Senyumnya mulai tersungging di bibirnya, disentuhnya pipiku dengan tangannya yang mulai berkeriput kokoh. “Maafkan, Nay, Pa,” aku mulai terisak menahan tangis. Ia mengangguk, “Papa juga minta maaf, Sayang.” Tanpa dapat kutahan lagi, kupeluk dia dengan erat melepaskan sesak penyesalan hatiku. “Aku sayang Papa, aku sangat sayang Papa,” air mataku tak tertahankan lagi di pelukannya. Pelukannya semakin erat, tanpa mengucapkan kata cinta, tapi aku tahu, itu yang ingin diucapkannya. Dia pun meminta maaf juga berjanji untuk tidak lagi mencampuri kehidupanku. Hidupku milikku seorang dan hanya aku yang bisa menentukan apa yang ingin kulakukan dengan hidupku. Lebaran pertamaku tanpa Bian sebagai seorang suami. Sakit memang, tapi aku harus bisa menerimanya. Dan kami, Bian dan aku, berusaha untuk menciptakan Lebaran yang bahagia untuk Akhtar. Untuknya, kami merayakan Lebaran bersama di rumahku dengan penuh kehangatan dan kebahagiaan. Hubunganku dengan papa yang kembali membaik menambah kebahagianku ini, menghapus perihnya kenyataan aku sudah bercerai dengan Bian. Aku pun meminta keluargaku untuk memaafkan Bian dan tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga Bian. Aku tidak mau masih terjadi perselisihan atau ganjalan di antara keluarga kami. Kami menjadikan momen ini sebagai momen untuk menjaga hubungan kami semua tetap baik, setelah semua yang terjadi selama ini. ** Semuanya masih baik-baik saja, dan aku harap tetap seperti ini. Hubunganku dengan teman-teman band Bian dan keluarga mereka masih baik dan dekat. Hidup tanpanya tidak seburuk yang kutakutkan. Mungkin karena kami masih berhubungan dan masih sering bertamu. Bahkan, percaya atau tidak, kami pergi bersama ke Dago atas di hari kami biasa merayakan hari pertunangan kami. Entahlah, kenapa kami melakukannya, (ok, aku yang minta). Dan tidak ada yang kami lakukan di sana, hanya duduk di tebing dan melihat indahnya Bandung. Jujur aku menjerit menangis, tapi meyakini diri sendiri, bahwa Bian memang masih mencintaiku, dan aku akan bisa menghadapinya. Walau tidak lagi tidur dengannya, atau menyentuh tubuhnya seperti saat kami masih bersama. Terkadang Bian membawa Akhtar ke Jakarta dan tinggal bersamanya untuk beberapa hari. Saat ini Bian sedang disibukkan dengan persiapan turnya, yang akan dimulai bulan depan. Bian benar-benar tidak ingin kehilangan Akhtar dengan perpisahan ini. Banyak yang terheran dengan kami berdua, tapi sepertinya mereka mengerti. Beginilah kami, pisah atau bersatu, kami tetap bersama. Aku mengurus sepenuhnya ‘Naya’s Little Wordsland’, bersama Gita dan tiga bayi kami, Akhtar, Fathir dan Feeya. Dan tanpa Bian, sedikit memberi udara untuk Akhtar mengunjungi ranch Shindu dan menunggangi kuda di sana. Akhtar semakin tergila-gila dengan kuda, dan tentu saja aku yang menemaninya, hingga membuatku akrab dengan binatang itu. (Aku tidak bisa membayangkan kalau Bian berada di posisiku). Pertemanannya dengan Fathir pun semakin lekat. Walau dengan sifat dingin dan cueknya, Akhtar bisa berteman dengan siapa saja. Ke mana-mana mereka selalu bersama (nggak heran lah, orang aku dan Gita juga sama-sama terus!), bermain, membaca buku, juga berkuda di ranch. Itulah putraku yang selalu membuatku bangga. Selepas Lebaran, Bian memulai tur album terbarunya ini untuk tiga bulan lamanya. Aku masih mendapat kehormatan untuk melihat malam pertama konser mereka di Malaysia bersama keluarga Soralus lainnya. Setelah itu, Bian harus meninggalkan Akhtar untuk keliling Indonesia. Sudah kutitipkan Bian pada mereka. Ada perasaan tidak tenang saat melihatnya pergi. Entah, apa ini karena perasaanku saja yang sudah tidak menjadi istrinya lagi, ataukah aku yang selalu mengkhawatirkannya? Tapi selama anak-anak menjaganya, aku bisa sedikit tenang. Aku percaya pada mereka untuk menjaga Bian. Mereka yang terbaik! Akhtar sudah sedikit mengerti mengapa ayahnya tidak lagi sering tinggal bersamanya hanya sesekali saja. Kami memang belum mengatakan yang sebenarnya, karena kasihan dia, masih terlalu kecil untuk mengerti (ok, ini kesalahan kami). Pekerjaan Bian yang sering mengadakan pertunjukan atau konser, sedikit membantu untuk menjelaskan mengapa ayahnya tidak lagi tinggal bersamanya. Namun kami masih sering mengunjungi Keluarga Bian, bagaimanapun di sana kakek dan neneknya tinggal. Sejak aku berpisah dengan Bian, Andri mulai menunjukkan sesuatu yang belum berani aku simpulkan. Dia memberiku lebih perhatian, dan lebih sering mengunjungiku. Aku tahu, dia ikut andil dalam ‘Naya’s Little Wordsland’ini, dan tidak mungkin terjadi tanpa bantuannya, wajar bila ia sering mengunjungi ‘Naya’s Little Wordsland’. Setengah tahun sudah aku bercerai dari Bian. Masih terasa perih di hati dan menyesalkan kenapa harus terjadi. Tapi melihat kami bisa hidup normal kembali dengan perpisahan kami dan tetap dekat, membuatku menerima semua ini. Dan juga, kelihatannnya dia nyaman dengan hidup kami seperti ini. Kembali berteman. Ternyata beban sebagai suami istri sangatlah berat untuknya. Tapi aku tetap yakin, dia masih mencintaiku, karena itu aku bisa hidup sampai sekarang. Rambutku yang sudah panjang mencapai pundak belum juga aku potong pendek seperti biasanya. Biarkanlah untuk sementara ini aku biarkan panjang dulu. Ingin aku mencoba sesuatu yang baru, sama seperti aku mencoba menjalani hidup tanpa Bian. Sejauh ini pun Bian tidak memprotes rambutku, atau memang dia sudah tidak peduli lagi? Hubunganku dengan Andre kembali dekat tanpa gangguan dari Bian. Hingga kini aku tidak melihat sesuatu yang aneh dari Andre. Dia masih baik dan penuh perhatian. Dia juga mencoba lebih mendekatkan diri dengan Akhtar. Dia juga jarang menyinggung tentang Bian. Semua masih wajar saja, seperti layaknya seorang teman. Yah, dia memang sahabatku *** Bulan berikutnya, menjadi sibukku, karena tanggal 17 genap satu tahun ‘Naya’s’ –ku dibuka, dan kami akan merayakannya dengan spesial. Akan ada ‘Party of Reading’ selama satu minggu penuh. Dalam ‘Party of Reading,‘ kami mengadakan peluncuran buku-buku terbaru, ‘Story Corner’ non-stop, beserta anak-anak yang ingin menujukkan kemampuannya untuk membacakan di depan umum; ‘Hear My Story’. Ada pula, ‘Your Own Story’, di mana anak-anak membuat sebuah cerita sesuai imajinasi mereka sendiri dengan tema yang bebas yang nantinya hasil karya mereka dibacakan di depan umum. Ini semua sebagai tanda terima kasihku atas atensi semua orang dengan ‘Naya’s’-ku, juga anak-anak yang setia dengan ‘Story Corner’, bahkan di saat aku menghadapi ketakutanku dengan perceraianku. ‘Naya’s’ telah membantuku dan membuatku terlindungi. Ini saatnya untuk membayar kebaikan mereka. Banyak yang membantuku. Selain Gita dan Andre yang sudah pasti terlibat penuh, juga pegawaiku yang baik-baik dan menyukai anak-anak, ada beberapa relawan dari pelangganku yang akan ikut membantu. Juga Bian nanti. Kebetulan Bian akan kembali dari konsernya, beberapa hari sebelum pekan ‘Party of Reading’ dimulai. Itu semua sangat membantuku. Acaraku mendapat perhatian yang sangat baik, khususnya anak-anaknya. Aku tak mengira akan ada banyak anak yang mengikuti ‘Hear My Story’ dan ‘Your Own Story.’ Mereka mengikutinya dengan semangat dan penuh kegembiraan. Tidak ada pemenang di sini, karena semua peserta adalah pemenang dan semuanya mendapatkan hadiah. It’s happy day. Tidak ada yang dapat kukatakan selain terima kasih yang sebesar-besarnya. Perhatian mereka juga atensi mereka pada ‘Naya’s’. Ini membuat hidupku kembali hidup. Aku bisa menjalani hidupku sendiri tanpa Bian. Aku kuat sekarang. Dan, lebih kuucapkan terima kasih lagi, adalah Gita dan Andre. Semua ini tidak akan terlaksana tanpa kerja mereka. Ok, Gita dan aku sama-sama pemilik ‘Naya’s’ ini, sehingga dia memang sedikit bertanggung jawab dengan acara ini. Tapi tidak dengan Andre. Dia hanya seorang relawan yang mau mengorbankan tenaganya untuk bolak-balik Jakarta-Bandung mengurus keperluan acaraku ini hingga semuanya siap dan sesuai rencana, juga menyisihkan waktunya untuk selalu hadir di acara ini selama seminggu penuh di sini. Apa yang bisa kukatakan? Dia memberikan semuanya untukku, untuk ‘Naya’s’ - ku.’ Terima kasih banyak, Ndre. “Kenapa kamu sebaik ini, Ndre?” Aku tak tahan lagi untuk bertanya. “Apa itu mengganggumu?” Ia berbalik tanya dengan tersenyum hangat. “Nggak, tentu saja nggak,” sahutku langsung. “Justru aku sangat berterima kasih untuk semua yang kamu lakukan. Dan aku nggak tahu bagaimana caraku untuk mengucapkan terima kasih. Aku sangat terhormat, Dre. Tapi kamu nggak perlu melakukan ini semua. Ini sudah terlalu berlebihan.” “Nggak ada yang berlebihan untuk kamu, Nay. Aku senang melakukan semuanya untukmu. Bahkan yang terberat sekalipun.” Wajahnya berubah serius saat mengucapkan kata terakhirnya. Aku terdiam. “Melihatmu bersama dia adalah yang terberat untukku. Semakin berat lagi melihat bagaimana dia memperlakukanmu. Menyakitimu. Tapi untukmu, aku menerimanya.” Aku semakin terdiam terpaku tak dapat berucap. Dia mulai menyinggung aku dengan Bian. “Ndre….” Aku semakin bingung bagaimana menjawabnya. Tiba-tiba dia tertawa lebar, “Maaf, Nay. Nggak seharusnya aku mengatakan itu. Maafkan aku. Jangan diambil hati.” Ia mengajakku untuk tidak memedulikan ucapannya. Aku hanya tersenyum tipis. “Maafkan aku…,” ia masih dengan penuh penyesalan. “Kumohon, Ndre,” potongku langsung, “Jangan ucapkan maaf lagi. Aku tidak bisa mendengarnya lagi sekarang. Sudah cukup aku mendengarnya, aku sudah capek,” aku tak dapat menahan air mataku. Giliran Andre yang terdiam. “Baiklah, maa-, mhmm, baiklah,” terlihat sekali ia berusaha untuk tidak mengucapkan kalimat ‘Maaf.’ Dia menggenggam tanganku, saat aku menyeka air mataku. “Kumohon, izinkan aku menjadi sahabatmu,” ucapnya hati-hati. Aku tersenyum di tengah isakku yang mereda, “Kamu sudah menjadi sahabatku.” “Lebih dari seorang teman,” tekannya halus. Aku terdiam. Kupandangi wajahnya, meminta pengertian, “Kamu temanku, Ndre, sahabatku, tapi kalau kamu memintaku lebih dari itu,… Maaf, aku belum bisa,” aku menjawab dengan hati-hati. “Aku belum siap.” Sesaat Andre terdiam dengan memandangku hangat, lalu ia tersenyum. “Baiklah aku mengerti.” Aku tersenyum lega. Maafkan aku, Ndre. Aku belum bisa. Andre sepertinya cukup mengerti. Perhatian dan kebaikannya pun tidak berkurang. Dia masih baik seperti dulu. *** Hubunganku dengan Bian masih sama. Tidak ada yang berubah di antara kami. Dia masih belum memintaku kembali, tapi aku bisa merasakan dia masih mencintaiku. Karena itulah aku bertahan untuknya. “Sepertinya dia sedang mendekatimu lagi,” ucap Bian, saat kami bertemu untuk Akhtar yang merindukan ayahnya. Aku berkerut kening tak mengerti. “Andre,” ucapnya ringan. Aku sempat terdiam, namun segera tersenyum, “Kenapa berpikiran seperti itu?” “Tahulah, gimana sibuknya dia pada pestamu,” sahutnya tanpa emosi, “dan perhatiannya padamu.” Aku semakin tersenyum, “Jadi kamu pikir dia sedang mendekatiku lagi?” “Kamu tidak berpikir seperti itu?” dia sedikit terheran. “Kamu tahu dia masih mencintaimu.” “Dan kamu, apa kamu masih mencintaiku?” Bian terdiam, “Ya, aku masih mencintaimu,” jawabnya lirih. “Kalau begitu aku nggak peduli kalau dia masih mencintaiku, atau sedang mendekatiku, karena aku tidak pernah memikirkannya.,” dengan senyum renyahku, untuk melegakannya. Namun wajahnya tetap serius. “Kamu masih menungguku, Nay? Kita untuk kembali bersama?” Aku tercekat dingin. Aku membalas tatapannya, “Apa itu salah? Aku menunggumu kembali?” “Bukan. Tapi aku nggak mau kamu membuang waktumu untuk menunggu. Hidupmu harus berlanjut.” “Aku memang melanjutkan hidupku,” dengan tersenyum pasti, “Tapi aku juga menunggumu.” Aku terdiam, karena merasakan air mata mulai menumpuk tapi berusaha kutahan, “Aku hidup untuk kamu, Bee. Cintamu yang membuatku tetap hidup.” “Nay, tapi aku nggak tahu, apa kita bisa kembali lagi. Sekarang aku sedang hidup dengan rasa bersalahku, dan aku belum bisa menghapusnya, aku nggak tahu kapan aku_,” “Aku nggak peduli,” potongku halus, “Aku tetap akan menunggu. Tidak peduli berapa pun lamanya waktu yang kamu butuhkan, aku tetap menunggu kamu.” Bian sudah siap untuk memprotes lagi, “Kumohon, Bee, biarkan aku menyimpan harapan itu,” aku memohon. “Jangan bodoh, Nay.” “Mencintai dan menunggumu bukanlah hal yang bodoh. Itu adalah hal yang termanis untukku.” Bian terdiam dengan tetap memandangku. “Dan tolong, jangan marah.” Bian tersenyum. “Aku tidak akan marah.” Tak dapat kutahan lagi, kupeluk dia, “Kumohon, Bee, izinkan aku untuk tetap mencintaimu, aku tidak bisa menahannya.” Bian membalasnya dengan mempererat pelukanku. *** Semua kembali seperti semula. Bian dan aku bersikap seperti biasa, dan Andre tetap baik padaku. Hingga akhirnya, Andre mengajakku untuk makan malam, dan dia mengatakan ini bukanlah kencan, hanya makan malam biasa, tanpa ada perasaan mendalam, hanya teman biasa. Aku tak dapat menolaknya, karena dia sudah begitu selama ini. Akhirnya aku menerimanya. Aku sudah ketakutan, dia akan menyinggung Bian. Tapi ternyata tidak. Dan kami benar-benar keluar sebagai teman, tanpa menyinggung ke arah sana. Ini yang membuatku nyaman. Aku harap dia mengerti, kalau aku tidak pernah berpikir untuk menggantikan Bian dari hatiku. tidak akan pernah. Setelah dia berhasil mengajakku keluar, ia kembali mencoba untuk mengajakku di lain kesempatan. Aku kembali tak dapat menolaknya, dan akhirnya ia semakin sering mengajakku keluar. Bian tahu bila aku keluar dengan Andre karena aku terkadang memberi tahu padanya, dan kelihatannya dia tidak keberatan. Aku benar-benar tidak ingin berpikir yang aneh-aneh dengan ajakan makan malam Andre yang sering ini, karena aku masih menganggapnya teman. Karena itu aku terpaku saat dia memberikan sepucuk kertas padaku. Aku menerimanya dengan sedikit candaan, untuk menutupi jantungku yang berdebar keras. “Apa ini, Ndre?’’ Tapi dia tidak mengucapkan apa-apa selain, “Bacalah, dan kamu akan tahu apa yang kurasakan,” dengan wajah yang datar. Dengan kalimat itu, sudah sangat jelas, kertas ini bertuliskan sesuatu dari hatinya. Ya, ampun…” Tapi akhirnya kubuka juga kertas itu, saat kusendiri dengan menahan napas. ‘Melihat apa yang dilakukannya padamu, dan itu sangat menyakitkanku. Berharap aku bisa mencurimu, tapi kau tidak ingin pergi. Sesuatu membuatmu bertahan, sesuatu yang tak bisa kulihat. Tapi hingga hari itu, kau telah cukup mendapatkannya, berharap kau akan berlari padaku Karena jika kau menjadi milikku, aku tahu bagaimana cinta seharusnya. Dan jika kau menjadi milikku, akan kucintai dirimu selamanya, jika kau menjadi milikku. Ps: Maaf, aku tidak pintar berkata-kata, tidak seperti dia, jadi aku mengambil beberapa kata dari sebuah lagu lama, yang kau tahu dari mana aku mengambilnya. Aku tidak bisa berkata-kata. Tentu saja aku tahu dari mana kata-kata ini berasal. Ini dari lagu boyzone ‘If You Were Mine’. (See what’s he’s doing to you, and it hurts me so. Wish I could steal you away, but you just won’t go. Something’s holding you close to him, something I can’t see. But come that day, that you’ve had enough, pray you come running to me. Cos if you were mine, I know how good love could be. And if you were mine, I’d love you eternity, if you were mine. –(If You Were Mine; boyzone,When All Said And Done ‘94) Aku benar-benar tidak bisa berucap apa-apa. Air mataku kembali menetes dengan tersenyum. Oh, Andre… Saat aku bertemu kembali dengannya, aku tidak tahu harus berucap apa, selain menyerahkan kembali kertas itu padanya. “Tolong, jangan salah mengerti. Aku kira kamu sudah mengerti apa yang kukatakan. Aku_” “Kamu masih mencintainya?” tanyanya tanpa ada kemarahan sedikitpun. Aku menarik napas dalam-dalam, “Kamu sudah tahu. Ya, aku masih mencintainya.” Andre terdiam. “Aku tahu ini terlalu cepat. Maafkan aku.” “Bukan, bukan terlalu cepat. Aku sedang menunggunya, Ndre.” “Menunggunya?” ia terkatup. “Menunggu dia untuk kembali.” Andre terdiam mencoba mengerti. “Kau pikir dia akan kembali?” “Ya. Dia masih mencintaiku. Dia akan kembali,” sahutku yakin. “Kapan?” Kapan? Aku terdiam pucat. Aku juga tidak tahu. “Kapanpun dia menginginkannya,” pahit aku mengucapkannya. “Bagaimana kalau dia tidak mau?” Aku menelan ludah. “Dia pasti kembali. Dia masih mencintaiku, dan akan kembali lagi padaku. Kami ditakdirkan untuk bersama.” Andre terdiam kembali. Dia menghela napas. “Maafkan aku, Ndre,” aku memejamkan mata, tidak kuat memandangnya. “Nggak. Aku yang seharusnya minta maaf, Nay. Aku mengerti,” ia mengangguk penuh pengertian. “Tolong, jangan marah, ya,” aku memohon. Andre menggeleng dengan tersenyum, “Nggak.” Aku tersenyum dengan leganya. ”Kita masih teman, kan?” tanyanya hati-hati. “Tentu saja kita masih berteman. Aku kira kamu yang marah,” aku tersenyum gugup. “Marah? Mana mungkin aku bisa marah sama kamu.” Aku tersenyum semakin lega. “Jadi kita baik-baik saja?” aku masih memastikan. “Sangat baik,” jawabnya pasti dengan tersenyum hangat. “Terima kasih, Ndre. Kamu memang yang terbaik.” “Memang,” ia mengerling disertai senyum simpulnya. Aku langsung memeluknya hangat. Terima kasih. Kutahan semua perasaanku. ’Maaf, aku belum bisa membalas rasa cintamu, Ndre, maafin aku.’ Bersambung Serpihan 8 Awal tahun yang baru, tahun penuh pengharapan untukku, setelah mengalami kepahitan selama satu tahun kemarin. Aku bersyukur semua tetap baik. Hubunganku dengan Bian, normal tanpa dibumbui dengan pertengkaran yang biasa kami lakukan saat kami masih bersama. Mungkin inilah yang diinginkan Bian, berpisah untuk meredam pertengkaran kami. Bian masih disibukkan dengan Soralus sering melakukan show off-air mereka. Sementara Bian di sana bersama Soralus , aku di sini bersama Akhtar dan ‘Naya’s’-ku. ‘Party of Reading’ yang menggelar pekan buku seminggu dan mengadakan lomba pembacaan cerita juga lomba menulis cerita pendek dan dongeng untuk anak-anak, kemarin, sangat bermanfaat dan berdampak positif. Kini banyak anak-anak berusia 13 sampai 18 yang meminta untuk bekerja paruh waktu sebagai pembaca cerita di ‘Story Corner’-ku. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya. Akhirnya aku menerima beberapa dari mereka yang memang benar-benar mampu membacakan cerita dengan baik dan dapat pula berinteraksi dengan anak-anak. Yah, sebagai penggantiku bila aku mendapat undangan untuk membacakan cerita di sekolah-sekolah. (Bisakah kalian percaya? Sekarang duniaku hanya buku dan anak-anak. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi aku sangat menyukainya!) Akhtar pun semakin hari semakin menunjukkan kepintaran dalam membaca. Memang belum lancar benar tapi telah dapat mengejanya dengan baik. Ini yang membuatku sangat bangga mengingat umurnya belum genap 3 tahun. ASI-nya sudah berhenti dan diganti dengan susu formula. Dia juga sudah tidak lagi pipis di celana dan bisa meminta bila ingin pipis. Pintar bermain sepeda, walau masih roda tiga, dan juga bermain bola. Dia sangat pintar! Aku dan Bian mulai berpikir untuk mendaftarkannya sekolah tahun ini, meski lebih awal setahun. Usia masuk sekolah adalah empat tahun, sementara dia masih tiga tahun. Hubunganku dengan sekolah-sekolah cukup baik, dan bisa menitipkan Akhtar di sana bila mereka belum menerima murid berumur 3 tahun. Kita lihat nanti. Masya Allah, pangeran kecilku akan sekolah? Cepat sekali waktu berlalu!! Bulan berikutnya, Bian dan Soralus sudah masuk masuk studio rekaman untuk album berkutnya. Kini mereka telah mengeluarkan single terbaru dari album terbaru mereka. Singel sedang direncanakan akan keluar tanggal 20 nanti. Akhtar semakin sering bersama Bian di Jakarta, menemani ke mana dia pergi, bahkan menemaninya di studio, membuat Akhtar ingat semua lagu Soralus dan bisa mengikuti bernyanyi dengan baik. Aku belum berani mengatakan ini sebuah bakat dari Bian, tapi semua anak pasti akan cepat menangkap sesuatu bila sesuatu itu ia dengarkan hampir setiap hari. Begitu juga dengan Akhtar. Tapi bila memang itu sebuah bakat, ya apa boleh buat, Bian berhasil menurunkan bakat musiknya pada Akhtar. Seimbang sekarang. Akhtar yang menyukai buku dan pintar menyanyi. Sementara Akhtar bersama Bian di Jakarta, Andre semakin sering menemaniku. Dengan alasan sebagai pengganti Akhtar yang tidak ada. Aku hanya bisa menerima kebaikannya tanpa berani memberinya harapan apapun. Aku belum bisa pindah ke lain hati. Hatiku masih untuk Bian. Satu yang membuatku sedikit lega dan tenang, Bian tidak pernah terlibat dengan gadis manapun, baik hanya semalam terlebih untuk berkencan. Shindu yang memperhatikan itu semua. Dia tidak pernah melihat Bian mengajak seorang perempuan keluar. Dia sepertinya sedang menutup hatinya untuk perempuan manapun, termasuk aku. Dia sedang menenangkan hatinya. Tidak apa-apa, Bee, selama kamu merasa baik, dan membuat kamu lebih baik, dan menghapus rasa bersalahmu, aku akan baik-baik saja. Pertengahan bulan, Soralus mengeluarkan album kelima mereka dan akan langsung melakukan promo tur ke beberapa kota di Indonesia. Aku masih mengikuti berita dan memantau keadaannya. Toh kami masih menjaga hubungan kami dengan rajin bertelepon menanyakan kabar masing-masing dan tentunya menanyakan keadaan Akhtar. Selepas hampir tiga minggu promo tur yang melelahkan, terlihat jelas wajah kelelahan Bian saat mengunjungi Akhtar. “Istirahatlah dulu, Bee,” ucapku langsung saat tahu ia hanya mampir sebentar dan akan segera kembali ke Jakarta. “Wajahmu bener-bener nggak bisa bohong.” Aku menyentuh pipinya, juga kantung di bawah matanya yang sedikit berwarna hitam. Bian hanya tersenyum dengan menggenggam tanganku dan mengecupnya. “Aku pasti istirahat, Nay, jangan khawatir.” “Mungkin kita harus membatalkan pesta Akhtar. Kita tidak harus merayakannya dengan besar kali ini,” aku mengusulkan, karena Bian telah berencana mengadakan pesta meriah untuk ulang tahun Akhtar seperti tahun kemarin. “Kenapa? Ini ulang tahun Akhtar yang ke-4, kita nggak bisa membatalkannya. Kita selalu membuat pesta ulang tahun untuknya.” “Aku tahu, tapi kita bisa membuat pesta yang lebih sederhana. Hanya keluarga atau mungkin hanya kita bertiga, seperti kita merayakan ‘Asking Day’ kita,” seketika itu juga, leherku tercekik dengan kalimat itu. ‘Akankah kita merayakan ‘Asking Day’ Juni ini?’ Bian terdiam dengan ucapanku. “Maaf, Bee, nggak seharusnya aku menyinggung ‘Asking Day’ kita. Jangan pikirkan,” otomatis aku menjadi gugup. “Nggak, nggak pa-pa, Nay, kita masih bisa merayakannya. Aku menyukainya juga. Itu hari yang istimewa untukku sampai sekarang.” Aku tersenyum lega, “Ya, udah, sebenarnya bukan itu inti dari pembicaraan kita. Ini soal Akhtar. Bisakah kita merayakannya dengan lebih sederhana, tidak dengan pesta besar? Aku sangat khawatir denganmu, Bee, kamu terlalu capek untuk mengadakan pesta.” “Nggak, aku nggak apa-apa. Aku sudah biasa. Aku hidup dengannya, kan?” Bian tersenyum menenangkanku. Aku mengangguk membenarkannya. “Kita tetap akan membuat pesta itu. Telepon Callista untuk mempersiapkan semuanya. Aku mau buat pesta yang hebat buat Akhtar.” Akhirnya aku hanya bisa menghela napas mengalah tidak bisa membantahnya, “Kamu bener-bener nggak berubah, Bian.” “Kenapa aku harus berubah?” tanyanya dengan raut terheran. “Oh, nggak, nggak pa-pa,” sahutku langsung. “Cuma mau bilang, kamu masih sama, masih suka pesta.” “Hey, aku selalu suka pesta!” serunya dengan tersenyum lebar. “Ya aku juga tahu,” sahutku tak kalah lebar senyumku. Aku tak berani mengatakan, dia tetap menjadi Bian yang dulu setelah kami bercerai. Aku takut dia justru memikirkanku yang masih belum menerima perceraian ini, padahal sudah delapan bulan berlalu. Aku memang belum menerimanya, dan terus berharap Bian akan kembali padaku. “Terus gimana dengan Andre?” tanyanya. “Berjalan lancar?” “Andre? Aku nggak ada apa-apa dengan dia,” aku tersenyum. “Ayolah, Nay, kamu tahu dia akan lebih baik dariku. Aku yakin dia akan selalu membuatmu bahag_,” “Bee, kumohon...,” potongku. “Aku belum siap untuk itu.” Bian terdiam. “Maaf.” Aku mengecup pipinya, “Nggak ada pria selain kamu , Bee.” Bian hanya mengangguk dan membalas kecupanku di pipi. Akhtar merayakan ulang tahunnya yang keempat dengan meriah sesuai dengan rencana Bian. Kami berhasil membuat semua sama seperti saat sebelum kami bercerai. Akhtar masih mendapatkan kehangatan kami bertiga. Dia belum mengetahui orang tuanya telah bercerai, dia hanya tahu ayah – ibunya tidak lagi tinggal bersama sesering dulu, dan kini ia melihat kehadiran Andre yang sering datang menjemputku dan memberinya banyak perhatian. Itu saja. Kami belum tahu, kapan akan kami jelaskan tentang keadaan kami. Mudah-mudahan saat itu adalah saat yang tepat untuk menjelaskannya, dan tidak memberi efek buruk padanya. Kami tahu, sebagai orang tua, kami telah melakukan kesalahan. Perceraian ini. Di ulang-tahunnya ini, Bian menghadiahkan sebuah lagu yang ia buat khusus untuk Akhtar. Dengan ditemani Akhtar yang duduk di atas piano, Bian mulai memainkannya, “Your little brown eyes is so beautiful,” Bian menyanyikannya tanpa lepas matanya dengan tersenyum pada Akhtar yang terus memperhatikan ayahnya bermain piano untuknya. “Your small nose is so cute. Your sweet smile is so lovely. Well, that’s you, that’s you my little man. “First time I heard your loudly cry, first time I touched your soft skin, first time I hold your little hand, God! It feels like heaven. You complete me as a man,” tanpa henti menebarkan senyuman pada Akhtar, dengan balasan senyuman Akhtar yang mahal. “My little man, you’re my sunrise,” Bian masuk pada reff. “Make me prouder than I have ever felt. My little man, you’re my hero. Make me safe and comfort in everyway. You are always being there for me, and I would be there for you. My little man.” Akhtar masih memamerkan senyumnya. “You came from our beautiful and honored love,” kemudian Bian melirik dan tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyumku. “You come to make us in love again. You there for make us still loving. You are the greatest gift of our lives.” Aku tersenyum haru mendengarnya. Iya, Nak, kau adalah anugrah terindah kami’. Bian kembali pada reff. “Sometimes your old man thinks he knows the right thing. Don’t be mad if he don’t,” kali ini wajah Bian menunjukkan penyesalannya. Aku tercekat mendengarnya. Aku tahu apa yang dia maksud. “You will teach him the right from wrong. But I promise, I did the best for you.” Aku tersentuh hingga tak menyadari pipiku sudah basah oleh air mataku. Bian kembali ke reff. “No matter what happened, I will always there for you. My little man,” Bian mengakhirinya dengan sangat bagus. Akhtar semakin menebarkan senyumnya dengan lagu itu, diikuti dengan riuh tepuk tangan para tamu. Ok, mungkin Akhtar tidak begitu mengerti semua isi lagunya, tapi ia tahu ayahnya sangat bahagia. Bahagia terhadapnya. Aku pun tersenyum haru dan bahagia tanpa dapat lagi menahan air mataku terlebih saat Bian menoleh padaku dan memberiku senyumnya. Terima kasih, Bee. Selamat Ulang Tahun, Sayang, Maa dan Dadda sangat mencintaimu. Kau adalah malaikat kecil kami, satu-satunya yang membuat kami bertahan.’ *** Memasuki bulan Maret ini, Bian kembali langsung disibukkan dengan persiapan tur konser selanjutnya. Tur konser dari album terbaru mereka. Sementara aku di sini, masih bersama Naya’s. Aku bersiap untuk pulang dari ‘Naya’s’- ku sendirian karena beberapa hari ini Akhtar bersama Bian di Jakarta. “Ada waktu kosong?” Aku dikejutkan dengan suara yang semakin familiar di telingaku. Aku tersenyum menyambutnya. “Mau makan malam denganku?” tawarnya. “Ndre...” Aku menyahut lirih, terasa enggan. “Ayolah, aku yakin kamu belum makan, dan kamu tidak punya alasan untuk menolaknya. Akhtar sedang bersama Bian, jadi tidak ada yang harus kamu tidurkan, ya, kan?” Senyumnya membujuk. Dengan senyumnya itu, aku tak kuasa menolaknya. Lagipula ini sudah beberapa kali aku menolak setiap ajakan makan malamnya. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya. “Baiklah.” Akhirnya aku tersenyum menganggukinya. “Bagus!” Senang sekali ia menyambutnya. Aku hanya tersenyum, dan berpamitan dengan pegawaiku masih berada di sini. “Sampe besok, Wi...” “Ya, Mbak...” Dewi menyahut dengan tersenyum manis. Bersama Andre, aku mengajak ke sebuah restauran yang biasa kami datangi. Aku sengaja tidak pernah mengajak Andre ke tempat yang biasa aku dan Bian datangi bila kami makan malam. Tempat itu hanya untukku dan Bian. Seperti makan malam yang biasa kami lakukan, kami isi dengan obrolan ringan. Kuakui dan tidak mungkin kupungkiri, Andre memang sangat baik. Itu sebabnya aku tidak bisa memberinya harapan apa-apa, sebelum aku yakin benar dengan hatiku ini. Aku takut akan kembali mengecewakannya. Dia terlalu baik untuk disakiti. Tapi dari perlakuannya padaku, sangat tidak bisa menutupi bahwa dia masih mengharapkanku. “Ada rencana untuk ulang tahunmu? Ada pesta?” tanyanya tiba-tiba dengan tersenyum. Seketika aku tercekat seakan diingatkan. Ulang tahunku yang sekaligus ulang tahun pernikahanku dengan Bian. Tapi kami sudah tidak lagi menikah. Perih aku mengingatnya. Aku tersenyum pedih sendiri, “Ya, mungkin tidak ada pesta tahun ini.” “Biar kutebak, kamu sudah merencanakan sesuatu dengan Bian dan Akhtar seperti tahun lalu?” Aku terpaku dengannya mengingatkan ulang tahunku tahun lalu, berdua dengan Bian. “Nggak. Kami belum merencanakan apapun, dan kurasa kami nggak merayakannya,” aku semakin perih mengingat apa yang terjadi setahun yang lalu di hari ulang tahunku. Dengan kalimat itu, Andre langsung tersadar yang mungkin hampir ia lupakan, “Astaga, maaf. Ulang tahun pernikahanmu.” Aku menarik napas perih, dengan menggeleng, “Dipastikan tidak ada ulang tahun pernikahan, Ndre.” Aku memaksa tersenyum perih. Andre menggenggam tanganku dengan tatapan simpati. Dengan perhatian itu, hatiku runtuh juga, aku tak mampu menahan keperihan hati ini. Mataku mulai basah, “Dia meminta untuk bercerai di hari kami merayakan ulang tahun kami,” tapi aku tetap berusaha untuk tidak menunjukkannya. Aku tidak akan menangis di hadapan Andre, terlebih menangisi tentang aku dan Bian. “Aku minta maaf, Nay, seharusnya aku tidak menyinggungnya,” ucapnya penuh nada penyesalan. “Tidak apa-apa, bukan salahmu, kamu hanya menanyakan ulangtahunku, bukan perceraianku. Kayaknya, memilih hari pernikahan di hari ulang tahun, sangatlah salah!” aku tertawa sendiri. Tapi bukan aku yang memilihkan tanggal itu. Bian yang memilihkannya! “Kamu yang memilih harinya?” Aku menggeleng, “Dia yang pilih. Dia bilang, ulang tahunku adalah hari di mana dia melihat gadis yang cintainya tumbuh setiap tahunnya,” aku tersenyum sendiri mengingatnya. “Aku suka idenya," lanjutku. “Kami merayakan ulang tahunku, sekaligus ulang tahun pernikahan kami. Kedengarannya manis, kan? Tapi tidak pernah mengira akan menjadi sakit sekali sekarang.” “Karena kamu tidak pernah terpikir untuk berpisah,” sambut Andre berempati. “Tidak juga dia.” Aku menghela napas, “Kami tidak pernah membicarakannya, dan kami berjanji tidak akan seperti itu. Kita sudah pernah berpisah dan kami sangat tersiksa. Sepertinya dia tidak sekuat itu. Akhirnya kami berpisah di hari pernikahan kami dan ulang tahunku.” Andre terdiam, seperti tidak tahu harus berucap apa lagi. “Kamu masih mencintainya?” tanyanya hati-hati. Aku meliriknya datar. “Kamu sudah tahu jawabannya. Aku tetap menunggunya...” “Tapi dia tidak memberikan tanda-tanda untuk kembali padamu.” Aku terdiam mengakuinya. “Dia takut kalau dia melukaiku lagi. Dia tidak pernah memberikan dirinya untuk mencobanya.” “Tapi aku mau, dan aku tidak akan melukaimu.” Aku terpaku dan memandangnya. “Aku tahu kamu mencintainya, dan kamu tahu aku mencintaimu. Mungkin dia masih mencintaimu, sangat mencintaimu, tapi kamu juga tahu dia tidak memberikan kesempatan untuk dirinya sendiri. Tapi aku akan memberi kesempatan itu. Kalau kamu bersedia, aku akan menjadi pria yang tidak akan pernah melukai hatimu. Tidak akan kubiarkan air mata menetes lagi di pipimu. Cukup itu semua. Akan kuhapus lukamu. Kalau kamu mengizinkannya, kalau kamu memberiku kesempatan.” Jantungku langsung berpacu cepat, Dia melakukannya lagi. “Ndre...?” aku semakin gugup. “Aku tidak akan berhenti mengatakan ini, Naya, kalau apa yang dia lakukan padamu, dia melukaimu, sangat menghancurkanku, Nay, dan semakin hancur melihatmu membangun tembok yang tinggi untuk melindunginya, bahawa kamu menunggunya. Kamu tutup hatimu dari siapapun, bahkan dariku,” matanya menatap dalam ke arahku. Aku tidak kuat melihatnya, “Kamu tahu aku sangat mencintainya.” “Aku tahu!! Tapi kamu juga harus lihat, kalau dia menyerah dengan cinta kalian, cinta yang kalian bangun bersama.” Dia terlihat menahan kesal. Aku tak dapat menahannya, air mata sudah menumpuk, “Terus, maumu apa, Ndre!?” “Menikahlah denganku, Nay,” ia memohon. “Beri aku kesempatan untuk menunjukkan apa itu cinta yang sebenarnya. Cinta tidak seharusnya menyakiti. Cinta adalah penuh kasih sayang. Biarkan aku menjadi bagian dari hidupmu. Aku tidak mengatakan kamu harus membuangnya, karena aku tahu, kamu tidak akan pernah membuangnya. Tapi kasih aku kesempatan, kasih kamu kesempatan untuk mencintai pria lain selain dirinya. Aku tidak akan membuatmu menangis. Aku janji.” Aku tertunduk, luluh Ia menggenggam erat tanganku, “Naya...?” “Aku nggak mau disakiti lagi, Ndre,” aku masih tertunduk. “Tidak akan, aku janji.” Aku terdiam dengan kebingungan ini. “Maukah kau menikah denganku, Naya?” tanyanya hati-hati. Aku mengangkat wajahku untuk memandangnya. Kehangatan matanya mendamaikanku, tapi aku tidak bisa membohongi hati ini. Aku menggeleng dengan menyesal, “Aku masih mencintainya, Ndre, aku belum bisa memberikan cintaku pada pria lain. Aku masih menunggunya. Maafkan aku.” Andre menunduk, menghela napas kekecewaan. “Ya, sepertinya aku juga harus menunggumu.” Aku memandangnya dengan perasaan bersalah, Dia benar-benar sangat mencintaiku sebesar ini. “Aku minta maaf dengan percakapan ini, aku hanya tidak bisa menahan perasaanku.” Aku tak menyahutnya hanya memberinya senyuman, tapi ia mengerti perasaanku. Saat ia mengantarku pulang, ia selalu menanyakan bolehkah ia menciumku, dan hampir selalu aku menolaknya, tanpa dia memaksa. Tapi tidak untuk kali ini. Aku yang memberinya kecupan. Aku mengecup tepian bibirnya. “Tolong jangan membenciku, Ndre.” Dia menggeleng, “Aku tidak pernah membencimu.” Dan memberiku kecupan di pipi. “Terima kasih.” Aku mengangguk, Terima kasih juga, Ndre. Kami berpelukan tanda persahabatan sebelum ia pergi. Aku masuk ke kamarku dengan perasaan campur aduk, dan membuatku menangis sepuas-puasnya. Aku menolaknya lagi untuk Bian. Bian yang tidak ada kepastian akan kembali padaku. Bian yang takut untuk membangun kembali cinta kami. Bian yang sangat aku cintai. Aku meringkuk menangis di tempat tidur, rasa kesepian menghampiriku. Aku mau Akhtar di sini, aku mau Bian di sini, aku mau mereka ada di sini malam ini. Aku nggak mau sendirian. Bee, kumohon kembalilah padaku... Bersambung Serpihan 9 Serpihan 9 Besok hari ulang tahunku. Tidak ada yang berubah antara aku dan Andre selepas malam itu, malam dia memintaku untuk menikah dengannya dan aku menolaknya. Dia masih bersikap baik padaku, bahkan dia masih datang mengunjungiku sore ini untuk melihat keadaanku. Keadaanku? Yaa, kuakui aku sedang sedih dan sedikit kecewa, karena Bian sudah mengatakan dia tidak akan bisa pulang, terlebih mengantarkan Akhtar untuk merayakan ulang tahunku besok, sementara aku pun tidak bisa lari ke Inggris menemui mereka, karena jujur aku takut untuk bertemu dengannya dan membuatku teringat semuanya. Tapi aku pun tidak ingin berulang tahun sendirian. Aku berbaring di tempat tidur, berguling-guling, tanpa dapat memejamkan mata. Perasaan kecewa menyiksaku. Bian dan Akhtar tidak ada di sini, dan besok aku akan merayakan ulang tahunku tanpa mereka. Aku tidak menyampingkan orang-orang di ‘Naya’s’, yang mungkin mengingat hari ulang tahunku, tapi aku hanya ingin dua pria penting dalam hidupku itu ada di sini! Aku kembali menangis. Ya Allah, aku cengeng sekali! Tiba-tiba suara ponsel mengagetkanku. Aku semakin ingin menangis mendengar nada deringnya. “Assalamu’alaikum, Bee...?” Aku tak dapat menyebunyikan isakku melihat wajahnya di layar monitor melalui video call. "Wa’alaikum salam. Eh, kenapa, Nay?” Bian langsung ketakutan melihatku. Aku memaksa untuk tersenyum, “Nggak, pa-pa Bee, nggak ada apa-apa,” dan berusaha menghentikan isakku. “Terus kenapa kamu nangis?” “Aku cuma senang kamu menelepon. Dengar suara kamu.” Aku masih tersenyum. Tapi ia terlihat tak percaya. “Nay, kenapa? Ada apa? Cerita...” Aku semakin tersenyum meyakinkannya, “Beneran, Bee, nggak ada apa-apa, cuma kangen kamu aja. Aku kangen kamu sama Akhtar. Dia lagi tidur sekarang?” suaraku kembali normal. “Ya, dia lagi tidur. Maaf aku menelepon jam segini. Seharusnya aku telepon saat dia masih bangun.” “Nggak pa-pa,” aku tersenyum. Dia menghela napas dengan tersenyum, “Selamat ulang tahun, Nay,” ucapnya lembut. Aku hanya bisa tersenyum bahagia dan lega. Dia masih melakukannya. Dia memang selalu mengucapkan selamat ulang tahun hanya semenit setelah jam menunjukkan angka dua belas tengah malam, pukul 00:01, di hari ulang tahunku. Walau aku tahu, dia tidak akan lagi mengucapkan selamat hari ulang tahun pernikahan kami, tapi tetap membuatku bahagia. “Makasih, Bee,” aku kembali ingin menangis saking bahagianya. Ia masih tetap seperti dulu. “Aku harap, aku tidak membuat ulang tahunmu sebagai ‘Hari Sakit’, setelah apa yang terjadi pada kita sekarang, dan apa yang aku lakukan tahun lalu.” Aku terpaku seketika. Ia juga masih mengingatnya! Aku menghela napas, mencoba mengendalikan perasaanku, “Nggak Bee. Selama kamu masih mencintaiku, itu akan menjadi hari ulang tahun terbaikku. Lupakan masa lalu, apalagi tahun lalu.” Aku memaksakan diri untuk bersikap normal “Kamu tahu aku masih mencintaimu?” ucapnya memandangku lekat dan hangat. Aku mengangguk pasti. “Berarti ini masih menjadi ulang tahun terbaikku,” aku tertawa kecil. Dia ikut tertawa. Aku senang melihatnya dan mendengar tawanya renyahnya. “Kamu mau kado apa, nanti aku sama Akhtar beli?” “Nggak,” aku menggeleng ringan. “Kamu tahu aku nggak pernah mengharapkan kado apapun di ulang tahunku. Mendengar suaramu sudah lebih dari cukup untukku. Itu hadiah terbaikku.” Ia hanya tersenyum hangat. “Okey. Jam berapa kamu mau aku mengantarkan Akhtar?” “Kamu besok libur?” “Nggak sih, tapi aku bisa mengusahakannya.” “Nggak, nggak usah. Biar dia sama kamu dulu. Dia nggak nakal, kan?” “Nggak lah. Ya, dia memang nggak bisa, lari sana-lari sini, bikin aku keringetan, tapi nggak pa-pa, aku suka, kok,” ia terkekeh bahagia. Aku tersenyum senang mendengarnya. Bian menghela napas, “Okey, Akhtar akan telepon kamu nanti begitu dia bangun. Tunggu saja.” “Ok,” aku tersenyum. “Bye, Nay. Love you, dan selamat ulang tahun.” “Thanks, Bee, love you too,” (love you so much!). Aku menutup hubungan telepon setelah ia menutupnya terlebih dahulu, dan kembali menangis. Aku benci menangis, tapi aku nggak bisa menahannya. Aku bener-bener cengeng! Selanjutnya telepon berbunyi kembali. Kukira dari Bian lagi, tapi dari deringnya, bukan. Aku langsung menghapus air mataku, sebelum kubukan layar video call. “Selamat Ulang Tahun, Nay,” ucapnya di layar monitor. Aku tersenyum dengan ucapannya. “Terima kasih, Ndre. Ini masih tengah malam, lho...” godaku. “Eh, aku mengganggu ya??” aku langsung terlihat takut. “Maaf, tapi aku cuma ingin jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun,” ia tersenyum kulum. “Apa aku yang ngucapin pertama?” senyumannya berubah manis. Aku terdiam. ‘Kamu yang kedua Ndre. Bian selalu yang pertama, tapi aku tidak mau mengecewakannya. Aku mengangguk tersenyum, “Iya, kamu yang pertama. Terima kasih banyak, Ndre,” “Kamu nggak marah, kan?” tanyanya masih sedikit takut. “Nggak lah.., malah aku suka, mendapatkan ucapan pertama di hari ulang tahunku,” aku semakin tersenyum renyah untuk menghargai perhatiannya. “Terima banyak atas pehatiannya, Ndre.” Andre mengangguk, semakin tersenyum senang. “I love you, Nay,” ucapnya lirih. Sesaat aku terkatup dengan ucapannya, dan tak mampu membalasnya. Terasa canggung di antara kami. “Mhmm, kadonya besok yaa.” Andre langsung mengalihkan kecanggungan kami. Aku tersadar. “Eh, nggak usah.” Andre tertawa ringan. “Nggak pa-pa, sudah kubeli, kok. Semoga kamu suka ya?” Aku tersenyum, “Kado apa?” dengan menggoda penasaran. Ia tersenyum kulum, “Lihat saja besok. Tapi kayaknya kamu bakalan suka deh. “Yakin?” Aku masih menggodanya. “Yakin.” Ia mengangguk pasti. “Oke.” Aku mengangguk dengan senyum renyah. Andre menarik napas, tampak bahagia. “Ya sudah, aku ke rumahku sorean yaa. Dan maaf sudah membangunkanmu malam-malam.” “Nggak apa-apa, Ndre,” aku tertawa kecil. “Oke, ketemu besok, ya. Bye. Love you Nay.” “Love you too, Thank you,” balasku sebagai ungkapan terima kasih. Aku memutuskan hubungan setelah ia terlebih dahulu menutupnya. Aku menarik napas dalam-dalam. Dua orang yang begitu mencintaiku sudah memberikan selamat ulang tahunku. Belum cukupkah itu, untuk menunjukkan aku tidak sendirian? aku tersenyum geli sendiri. Perlahan-lahan aku dapat memejamkan mata dan tertidur. Aku bermimpi indah. Bian, aku dan Akhtar merayakan ulang tahunku, hanya bertiga. Aku terbangun dengan sedikit perasaan tenang, setelah tadi malam Bian dan Andre mengucapkan selamat ulang tahun, sebagai dua orang pertama yang mengucapkannya. Sekarang aku tinggal menunggu malaikat kecilku mengucapkannya. Kulirik jam, masih pukul 6 kurang, sudah bangunkah dia? Aku tersenyum memikirkannya. Aku bangkit dari tempat tidurku, menyambut hari seperti biasanya. Aku keluar dari kamar dan menuju tangga. “HAPPY BIRTHDAY!!!” Sebuah pekik bersama dari bawah sana mengagetkanku. “Selamat Pagi!” Aku mati terkejut dengan suara mereka. Di bawah sana menunggu orang-orang tersayangku disertai ruang tengah yang telah dihias manis (aku tidak mengatakan hiasan meriah. Sederhana tapi manis). Kemudian terdengar paduan suara mereka menyanyikan selamat ulang tahun untukku, dengan Gita yang seperti biasa selalu membawa kue ulang tahun dengan sebuah lilin menyala, menujuku disertai senyumnya didampingi Akhtar dan Fathir. Aku masih terbengong, speachless. Mereka semua di sini, jam 6 pagi!? Bian, Shindu, Mama, dan Papa!? Aku disadarkan dengan Akhtar yang sudah berada di bawahku memintaku untuk menggendongnya, juga Gita yang berdiri di hadapanku memegang kue. Aku segera mengangkat Akhtar, kemudian meniup lilinku setelah sebelumnya mengucapkan permintaan dalam hati. (Kalian tahu apa yang kumohonkan) Akhtar melingkarkan tangannya di leherku, “Selamat Ulang tahun, Maa,” ucapnya dengan tersenyum manis dan memberi kecupan di pipiku. Aku tak bisa menahan tangis haruku, “Terima kasih, Sayang,” aku mengecupnya balik dengan gemasnya “Selamat Ulang tahun, Tante,” suara kecil Fathir terdengar dari bawah. Aku segera merendah untuknya, “Terima kasih, Sayang,” dan menerima kecupan manis Fathir. Aku mengecupnya gemas. “Selamat ulang tahun,” giliran Gita mengecup pipiku. “Terima kasih, Git,” tanpa dapat menahan tersenyum haru. Aku melihat ke semua orang yang menunggu di bawah sana, tanpa dapat mempercayainya, terlebih Bian! Bukankah dia tadi malam masih meneleponku dari Jakarta? Dari Jakartakah? Atau dia memang tidak berada di Jakarta?’ Penuh tanda tanya disertai senyum kebahagiaan dan keharuan, aku menuruni tangga menuju mereka semua. “Selamat Ulang tahun, Sayang,” Mama mengucapkan terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan yang lainnya. Hingga Bian menjadi orang yang terakhir menunggu giliran. “Ayo, bilang, kamu di mana tadi malam?” todongku langsung masih penasaran, setelah mendapatkan kecupannya. “Di rumah mereka,” ia melirik Shindu dan Gita. Aku melirik tak percaya pada Shindu, terlebih pada Gita, yang selama sehari penuh bersamaku, tidak mengatakan Bian bersembunyi di rumahnya. (Aku tahu dia tidak bisa bersembunyi di rumah orang tuanya, atau di rumah orang tuaku, karena aku sangat mengenali rumah mereka!) “Aku sudah ada di sini sejak kemarin, tapi aku tidak menemui.” “Bahkan Akhtar!?” “Hey, kejutan ini nggak akan sukses kalau aku muncul kemarin. Dan Gita melakukan tugasnya dengan baik,” dengan melirik Gita penuh bangga. “Keterlaluan kalian, ya!!” aku tak dapat menahan kesal dengan kekompakan mereka ini. Tawa kami meledak, tapi segera terhenti dengan Shindu yang melihat Akhtar tertidur di pundakku. “Jam berapa kamu bangunin dia, Bee?” aku melirik sedikit kesal pada Bian. “Jam 5.” “Sejam lebih awal,” aku mengangguk mengerti. “Maaf.” Aku tersenyum geli. Tapi tidak ada keinginan untuk mengantarkan Akhtar naik ke tempat tidurnya. Aku ingin memeluknya sebentar, membiarkan dia tidur di pundakku. Aku sangat merindukannya. Aku tidak tahu harus berucap apa, tapi kami berpesta di pagi hari ini. Jam 7 pagi. Bian memberiku kejutan seperti dulu lagi. Dia benar-benar belum berubah. Yah, sudah pasti aku tidak merayakan ulang tahunku sendirian. Seluruh keluargaku di sini, khususnya 2 pria favoritku, dua pria tersayangku. “Kamu melakukannya untukku, Bee,” ucapku setelah mendapat kesempatan hanya berdua. “Aku hanya ingin membuat pesta ulang tahun, untuk kamu, seperti yang biasa aku lakukan, kan?” ”Iya, Bee, makasih .” ”Aku nggak mau membuat hari ulang tahunmu sebagai hari terburuk setelah yang kulakukan tahun lalu. Perceraian kita pastinya sangat menghancurkanmu, ya kan?” “Jangan ditanya lagi. Kamu menikahiku di hari ulang tahunku dan meminta bercerai juga di hari ulang tahunku,” dengan tertawa kecil, walau hati ini perih menjerit. Bian tertawa. “Air mata lagi, ya kan?” Aku menggeleng dengan tersenyum, “Pagi ini, kamu membuat ulang tahunku kembali menjadi ulang tahun terbaikku. Kamu di sini bersama Akhtar, sudah cukup untukku.” “Yah, cuma itu yang bisa aku lakukan.” Aku mengangguk, kemudian memeluknya erat. “Terima kasih, Bee.” “Aku mencintaimu, Nay, jangan berhenti untuk mempercayainya.” “Tidak akan pernah. I love you too, Bee.” Kejutan tidak sampai di situ, sore harinya Andre datang dan mengajakku makan malam hanya berdua untuk merayakan ulang tahunku, yang kebetulan memang Akhtar masih bersama Bian. Dan sesuai ucapannya tadi pagi, ia telah menyiapkan hadiah untukku. Tidak hanya satu, tapi dua hadiah. Sebuah jam cantik dari merek ternama bernilai mahal dan seuntai gelang cantik yang juga kuyakini bernilai mahal, ia berikan untukku. Antara bingung dan bagaimana aku menanggapinya. Aku takut pemberiannya yang bernilai tinggi ini akan menjadi hutang bagiku atas perasaannya padaku, sementara aku belum bisa membalas perasaanku yang sama padanya. Tapi ia meyakinkan, bahwa ini benar benar sebatas hadiah ulang tahun, dan bukan sesuatu yang menuntut balasan perasaan untuknya. “Aku tahu, jika kuberi hadiah cincin, kamu tidak akan mau menerimanya, Nay, jadi aku memilih gelang ini, karena aku yakin akan sangat cantik berada di pergelangan tanganmu ini.” Aku menelan ludah kebingungan dengan hadiah-hadiah mahal ini. “Ndre...” “Percayalah, hadiah ini murni hadiah ulang tahunku, tidak ada maksud lainnya. Aku tahu, kamu masih belum bisa menerima cintaku, dan aku tidak akan memaksamu. Tapi izinkan aku aku memberikannya untukmu dan kau akan menerimanya. Terserah apakah akan kau pakai, atau bagaimana. Aku hanya ingin memberi hadiah untukmu. Itu saja.” Aku terdiam, dan memandang wajahnya yang terlihat begitu tulus mencintaiku dan bersabar dengan perasaanku. Sekali lagi aku tidak ingin menyakiti hatinya dan mengecewakan kebaikannya. Kuhela napas dan tersenyum mengangguk, “Kuterima ini, Ndre, dan aku kusimpan baik-baik. Terima kasih banyak.” Tampak jelas helaan napas lega darinya disertai senyuman bahagia, “Aku yang terima kasih, Nay. Terima kasih.” Ia memberanikan untuk mengecup pipiku, dan aku tidak menolaknya. Rona bahagia semakin terpancar di wajahnya. Ya, kusimpan baik-baik hadiah darinya, dan sesekali kupakai jam pemberiannya, tapi apakah aku mulai luluh akan perasaannya? Aku tidak tahu, tapi Bian masih memenuhi hatiku. Aku masih belum berpaling darinya. Apakah aku jahat pada Andre? Entahlah. Aku hanya tidak ingin mengecewakannya. Semoga Andre bisa memahaminya. *** Beberapa hari menjelang Bian pergi Tur keliling Sumatra. Aku melihat sikap Bian sedikit berubah. Dia terlihat lebih diam. Aku tidak tahu, apa ini dikarenakan dia akan memulai tur panjangnya, yang selalu membuatnya gugup? Aku tidak tahu, dan itu membuatku semakin khawatir. “Bee, ada apa? Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” aku memberanikan diri untuk bertanya. Bian tidak menjawabnya hanya memandangku. “Ada sesuatu yang mengganggumu? Apa tur ini?” Tapi ia menggeleng. “Kamu.” Aku terpaku. Aku? “Bee..?” “Aku nggak akan kembali padamu, Nay. Kita nggak akan kembali bersama lagi,” ungkapnya lirih. Jantungku berhenti, kemudian berganti dengan berpacu sangat cepat. Ada apa ini, Bee? “Y..ya, aku tahu kita nggak akan kembali bersama lagi,” aku berusaha menutupi kegetiran hati ini. “...apa itu mengganggumu?” aku langsung ketakutan. Apa sikapku selama ini, mengganggunya? Apa keberadaanku tidak membuatnya nyaman? “Cari laki-laki lain, Nay.” “Huh?” aku tercenung . Apa maksudnya? “Jangan menolak cinta yang lain,” lanjutnya. Aku kini berkerut kening. Setelah tadi ketakutan, sekarang aku keheranan tidak mengerti. “Andre. Dia sangat mencintaimu. Jangan tolak dia.” Aku terdiam. Bian mengucapkan ini. Jantungku kembali berpacu, Tolong, Bee, jangan ucapkan ini. “Biarkan seseorang mengisi hatimu.” “Kamu yang mengisi hatiku, Bee.” Tapi ia menggeleng, “Bukan, bukan aku, Nay. Aku nggak akan kembali lagi padamu. Aku nggak bisa,” tekannya pelan. Ia menghela napas, “Jadi jangan buang waktu untuk menungguku. Kita nggak akan kembali lagi. Terima itu.” Mataku langsung basah tak tertahankan. Sakit hati ini, ia menegaskan kembali. “Andre pernah melamarmu?” tanyanya langsung, mengagetkanku. “Dia pernah memintamu untuk menikah dengannya, kan?” ia memperjelas kalimatnya. Aku terpaku. Bagaimana dia tahu? “Siapa yang cerita? Dia?” tanyaku penasaran. Bian menggeleng, “Wajahnya memberitahukanku.” “Dia menemuimu?” aku semakin penasaran. Untuk kali ini ia tidak menyahutnya yang kuartikan sebagai jawaban ‘Iya’. Ia memandangku hangat. “Dia sangat mencintaimu, Nay. Dia sangat baik dan lembut. Kamu seharusnya bersama dia, bukan bersamaku. Dia bisa membuatmu bahagia, tidak akan membuatmu menangis.” “Bee...” aku tak mau mendengarkannya lagi. “Menikahlah dengan dia, Nay. Kamu berhak mendapatkan pria seperti dia. Aku jamin hidupmu akan penuh dengan kebahagiaan dan cinta,” ucapnya pasti. “Aku nggak mau. Aku hanya mau kamu, bersama kamu,” sahutku lirih. “Tapi itu nggak akan terjadi, Nay. Kehidupanmu harus berlanjut. Coba untuk menerima cinta yang lain, coba untuk memberikan cintamu padanya,” ia menekan. “Tapi aku nggak bisa!” aku membalas tidak terima. “Aku hanya bisa mencintaimu, Bee, bukan laki-laki lain. Aku nggak bisa dan aku nggak mau!” “Tentu saja kamu bisa,” ia masih membujuk. “Aku tahu, nggak akan mudah, tapi kamu harus belajar. Dia pria yang hebat, Nay, percaya padaku, percaya padanya.” “Nggak akan!” sergahku. “Kenapa kamu melakukan ini Bian, apa kamu membenciku sekarang?” aku semakin tidak mengerti, kenapa ia begitu memaksaku untuk menikah dengan orang lain, yang tidak bisa kucintai. Aku hanya mencintai dia, bukan orang lain. “Bukan.” Ia mendesah hampir putus asa. “Kamu tahu aku nggak pernah membenci kamu. Tapi kamu harus lihat, ada seorang di luar sana pria yang sangat mencintai kamu dan sedang menunggumu.” “Seperti aku menunggumu,” tekanku pasti. “Bukan,” potongnya. “Dia menunggu untuk sebuah harapan, yang mungkin saja terjadi. Tapi kamu, kamu menunggu untuk sesuatu yang nggak ada. Kita nggak akan kembali bersama lagi, Nay.” “Kamu tidak punya perasaan, Bian,” desisku perih. “Untuk ini aku tidak akan berperasaan. Untuk kebahagiaanmu, Nay. Dia bisa memberimu itu, dan akan diberikannya,” ucapnya pasti. Aku terdiam masih tidak mengerti. “Menikahlah dengannya, Nay,” tekannya entah yang keberapa kalinya. Aku tak mau mendengarnya lagi. Ucapannya sungguh membuatku kecewa. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Bersambung Serpihan 10 Sejak malam itu, malam dia kembali menyakiti hatiku dengan mengatakan secara jelas dan tegas dia tidak akan kembali padaku, aku menjadi sulit bertemu dengannya. Aku tidak bisa menemui dia dengan ucapannya yang selalu menyakitiku. Tapi begitu ia pergi, aku pun kembali seperti kehilangannya. Rasa khawatir dan tidak tenang bila dia pergi jauh, selalu menghantuiku. Aku hanya bisa menitipkan Bian pada keempat temannya untuk menjaganya. Tidak ada yang berubah selama Bian pergi. Aku di sini bersama Akhtar, dan Andre yang terus bersikap baik. Setiap akhir pekan ia tetap datang ke ‘Naya’s’ dan mengajakku dan Akhtar keluar. Ia bersahabat dan selalu memperhatikan Akhtar. Aku tidak ingin melihat apa yang dilakukannya pada Akhtar sebagai penarik simpati agar Akhtar menyukai kehadirannya. Aku tahu dia tulus melakukannya. Dia juga menyayangi Akhtar. Dia benar-benar tidak peduli bila aku menerima kebaikannya hanya untuk menyenangkan hatinya. Dia tetap menungguku untuk berubah pikiran. Mungkin sama dengan yang aku lakukan, menunggu Bian untuk berubah pikiran, walau aku tahu, Bian tidak mungkin merubahnya. Dia masih seorang Bian Wiranatasasmita yang keras kepala dan super egois. Kedua orang tuaku melihat dengan jelas kedekatanku dengan Andre. Jangan ditanya lagi, mereka tentu menerimanya. Mereka melihat Andre lebih baik daripada Bian, dan dapat menjadi suamiku yang kelak akan selalu membahagiakanku. Dia baik dengan Akhtar, dan bisa menjadi ayahnya untuknya. Yah, mereka benar, Andre adalah pria yang terbaik yang pernah kutemui. Sangat berkebalikan dengan Bian. Aku mengenal keduanya sejak aku kecil. (Aku bertemu Andre saat aku berumur 13 tahun), dan hampir mengenal mereka dengan baik. Bian seperti ini, dan Andre seperti itu, mereka saling berbeda, tapi dengan satu kesamaan; mereka sama-sama sangat mencintaiku, dan akan melakukan semuanya untuk kebahagiaanku. Dan ya, aku mencintai keduanya. Tapi takdirku memilih Bian untuk mendapatkan semua cintaku dan hidupku, dan aku tidak akan menyesalinya. Tapi orang tuaku tidak bisa melihatnya. Mereka mengharapkan untukku melupakan Bian, dan mencari pria yang baik hati untuk kebaikanku, dan mereka mendapatkanya pada sosok Andre. Mereka sangat menerimanya, dan berharap menjadi mantunya, menggantikan Bian Ya Allah! Apa yang harus kulakukan!? “Untuk keyakinanku, aku tetap menunggunya. Bian adalah cintaku seorang.” Beberapa minggu selepas ulang tahunku, Bian berulang tahun yang ke-29. Dengan terpaksa, ia merayakannya bersama penggemarnya di atas panggung. Aku dan Akhtar hanya bisa mengucapkan selamat melalui hubungan telepon, begitu juga dengan keluarganya. Sebenarnya ingin aku merayakannya dengan spesial mengingat untuk tahun ini lumayan unik; berulang tahun yang ke-29 pada tanggal 29, sekali dalam seumur hidup. Tapi apa boleh buat, tidak dapat dilakukan. Mungkin mereka akan merayakannya dengan gila-gilaan selepas turun panggung. Aku terlalu mengenalnya hingga sangat tahu kebiasaannya. Tapi tidak apa, aku akan tetap mencintainya. “Happy birthday my love!!! Santai saja, aku akan tetap menunggumu’ Pagi yang cerah di awal bulan Mei, bukan waktu yang tepat untuk menemukan suatu berita yang membuatku hampir pingsan. Di sebuah infotaimen pagi di salah satu televisi swasta, aku menyaksikan sendiri berita itu, aku bahkan belum melihatnya di media sosial. ‘Menggandeng pacar baru: Bian Soralus terlihat merayakan ulang tahunnya yang ke 29 dengan kekasih barunya. Belum diketahui siapa wanita itu, tapi mereka terlihat mesra sekali. Mungkinkah Bian telah membuka hatinya setelah perceraiannya dengan Naya? Kita lihat saja.’ Sumpah aku tidak bisa bernapas menontonnya. Semua lengkap dengan beberapa foto yang tertangkap kamera, kemesraan Bian dengan wanita itu. Langsung kumatikan tivinya dan tidak ingin menontonnya lagi. Yang ada air mata mengalir deras di pipi. ‘Dia melakukannya lagi. Tuhan. Dia tidak berubah!’ Aku tahu, aku tidak seharusnya marah atau menangis. Itu urusan dia. Dia bukan milikku lagi, dia bebas sekarang. Tepi kenapa sakit sekali? Rasanya seperti ribuan pisau menancap di jantungku. Aku merasa telah dikhianati. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Lalu kenapa dia selalu bilang dia mencintaiku!? Dia tidak mau mempertahankan cinta kami, keyakinan kami! “Bener-bener keterlaluan, dia.” Dengan besar hati, aku meneleponnya untuk memastikannya, meski aku tahu ini bukan hakku lagi! “Apa benar berita di TV, Bee?” ludahku pahit sekali, Hening sesaat di sana. Kemudian helaan napas cepat, “Aku nggak akan menjelaskannya, Nay, karena itu akan lebih menyakitkanmu.” Suaranya terdengar datar. Aku terkatup. “Jadi itu bener?” dadaku langsung terasa sesak “Itu sudah nggak ada lagi urusannnya dengan kamu. Aku bebas melakukan apa saja.” Semakin sesak dadaku. “Yah, kamu benar, ini bukan lagi urusanku. Maaf, Bee,” aku menguatkan diri. “Sudah kubilang, jangan menungguku, Nay,” tekannya seakan mengingatkanku. “Aku nggak baik buat kamu , dan aku nggak akan kembali lagi padamu. Harus aku bilang sampai sampai ribuan kalikah buat menjelaskannya? Cari laki-laki lain!” tegasnya setengah kesal. Hatiku sudah menangis menjerit, tapi dia tidak boleh tahu. Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diriku untuk tidak meledak. “Baiklah, Bee,... kalau itu maumu, dan aku yang selalu mengikuti apa maumu, akan kuhentikan sekarang juga. Aku tidak akan pernah mengharapkan kamu kembali!!” Aku langsung menutup teleponku dengan meledak tak tertahankan. Aku menangis, menangis dan menangis lagi. *** Dengan cepat ulah Bian terdengar sampai juga di Bandung. Mereka yang mengetahui aku yang masih menunggu Bian, langsung menunjukkan simpatinya dan membesarkan hatiku. Terutama Gita dan Andre. Gita tidak dapat menyembunyikan kekesalannya pada sepupunya yang ‘istimewa’ ini. Istimewa yang selalu ber-ulah konyol, menyebalkan, dan membuat hati panas. Aku duduk terdiam nanar seperti anak kecil yang baru saja melihat kenyataan yang mengecewakannya. Andre di hadapanku menungguku untuk berucap. Hatiku masih campur aduk antara marah, kecewa, kesal dan tidak percaya. Aku seperti berada di dunia lain. Aku tidak tahu di mana aku. Aku merasa sangat kesepian. Aku tak merasakan tangan besar Andre menyentuh tanganku dan menggenggamku, sampai suaranya memanggilku halus, “Nay...?” Aku mendongak perlahan, belum bisa menyembunyikan air mata sakit hati ini. “Kenapa dia suka sekali menyakitiku?” suaraku lirih nanar dan parau. Genggaman Andre semakin kuat dan hangat, “Aku nggak tahu, Nay. Aku juga nggak bisa mengerti dia,” sahutnya dengan penyesalan. “Ndre, tolong aku..., aku nggak tahu lagu bagaimana aku bisa menahan sakit ini?” aku tak dapat menahan tangisku lagi Andre langsung memelukku hangat, “Shss... aku di sini,” mempererat pelukannya dan aku semakin menumpahkan kesedihanku. “Aku selalu di sini, dan aku akan menghapus lukamu itu, kalau kamu mengizinkanku masuk.” Aku tak menjawabnya, hanya memperat pelukanku di pundaknya. “Aku izinkan, Ndre,” ucapku lirih hampir tak bersuara, tapi ia mendengarnya dan melepaskan pelukanku. “Huh?” “Kalau kamu berjanji tidak akan menyakiti seperti yang dia lakukan, aku akan mengizinkanmu masuk, dan aku… aku bersedia menikah denganmu...,” suaraku bergetar gugup. “Nay...?” Suaranya penuh keraguan. “Aku capek disakiti, Ndre. Aku capek! Aku nggak mau merasakan seperti ini lagi. Tolong hentikan rasa sakit ini!” Aku mulai meledak lagi. Andre langsung memelukku, “Oke...okey...aku janji,” ia berusaha menenangkanku. “Aku tidak akan menyakitimu. Bunuh aku, kalau aku melanggarnya.” Aku semakin memeluknya erat dengan menangis. “Aku sangat mencintaimu, Nay, aku tidak akan melukai hatimu, tidak akan pernah!” tekannya pasti. Hingga keesokan harinya, aku belum mengerti kenapa aku menerima lamaran Andre. Tapi mungkin, aku memang sudah capek mendapatkan semua sakit dari Bian. Aku tidak menginginkannya lagi. Bukankah ini juga yang diinginkan Bian? Aku bersama Andre selamanya. Baiklah akan kulakukan. “Apa kamu yakin dengan semua ini, Nay?” Andre seakan masih meragukan keputusanku, karena aku mengucapkan dalam tangisan dan penuh emosi. “Karena aku akan mengerti jika kamu tidak yakin...” “Aku yakin, Ndre,” potongku cepat. “Aku benar-benar ingin menikah denganmu.” Ia mengangguk mengerti. “Dan, kumohon...izinkanku untuk tetap memakai kalung ini,” menyentuh kalung yang masih tergantung cincin pernikahanku di sana, “dan...aku mau kita tetap seperti ini hingga kita menikah, tidak lebih.” Andre sempat terdiam, tapi kemudian mengangguk menyetujui. Aku tersenyum lega, “Terima kasih, Ndre. Kamu memang sangat mengagumkan.” Andre hanya tersenyum. “Aku tahu kamu masih mencintainya, tapi ini sudah cukup untukku. Paling tidak kamu akhirnya menerimaku dan mengizinkanku masuk ke dalam hatimu.” “Aku mencobanya, Ndre,” jawabku sejujurnya. “Aku tahu,” sahutnya lembut lalu memelukku erat. “Terima kasih, Ndre, terima kasih banyak.” Aku segera memberitahukan keputusanku pada keluargaku juga pada Gita, terlebih pada Bian. Keluargaku sangat menyambut lega keputusanku ini, dan keluarga Bian,... well, apapun untuk kebahagiaanku. Bian? Dia tidak bisa menutupi keterpakuannya saat mendengar dariku sendiri aku akhirnya menerima lamaran Andre, tapi ia segera menutupinya dengan sikap dingin dan mengatakan inilah yang ia harapkan, demi kebahagiaanku. Dia mendoakan kebahagiaanku selamanya. ‘Peduli amat dengan kebahagiaanku, Bee! Kamu bahkan nggak tahu apa kebahagiaanku. Yang bisa kamu lakukan cuma menyakitiku! “Life without taking chances, is no kind of love at all. You’ve got to stand up for something, even if you might fall. Got to take that road, wherever it might go. No matter where, no matter why, I want you to know, I want you to know. I tried to do my best, to do the best I could. I had to give my all, it’s what I had to do. I do it all again, and that’s the all honest truth. I did it for you Maybe I was crazy, I guess I was sometimes. And maybe it’s hard to changes things. But I had to know I tried. Everyday you’ve got to live, for what you believe. Please understand, I had no choice. It’s what had to be, I tried to do my best, to do the best I could. I had to give my all, it’s what I had to do. I do it all again, and that’s the all honest truth. I did it for you. No, and I had no choice. No,iIt was something that I believe, a dream that was driving me, a fire inside of me.” (*I Did It For You; ‘Turnaround ’03) Bersambung Description: Perceraian itu menghancurkan keduanya. Dan Naya yakin Bian akan sangat menyesalinya. Tapi Naya akan tetap menunggu untuk kembali kepada lelaki yang sangat dicintainya itu, sampai kapan pun ....
Title: Rembulan Merah Jingga Category: Thriller Text: I Jingga duduk menatap rembulan yang temaram dari jendela kamarnya. Sesekali ia melirik buku tulis di meja belajarnya. Ia bosan dan benci sekali mengerjakan PR Matematika itu. Memangnya kalo PR Matematika ini dapat nilai 100, kelak aku bisa sekaya Bob Sadino atau Sandiaga Uno, apa? Batin Jingga. Jingga melirik jam weker di atas meja belajarnya. Pukul delapan malam. Besok pagi PR harus dikumpulkan. Jingga duduk di kelas lima SD dan bulan depan ulangan umum kenaikan kelas. Jingga membayangkan, seandainya tidak perlu ada ulangan atau ujian. Tidak perlu ada rapor. Langsung naik kelas saja, betapa nikmatnya. Andai bisa sekolah dari rumah, tidak perlu harus bangun pagi, buru-buru sarapan, bermacet-macetan di jalan. Sampai di sekolah ketemu Pak Wishnu, guru Matematika yang super killer, atau Bu Endah, guru kesenian yang membosankan. Belum lagi harus menghadapi Ulie dan teman-temannya di kelas enam yang senang merundungnya. Ah! Bosan sekali sekolah itu. Kenapa sih tidak dibubarkan saja? Jingga mengalihkan pandangannya ke arah jendela, kembali menatap Sang Rembulan. Rembulan itu tertutup kabut tipis. Warnanya merah, lebih merah dari darah. Siluet makhluk raksasa mengerikan bergerak-gerak di dalamnya, seperti ingin berontak. Bentuk makhluk itu seperti bola raksasa yang dipenuhi paku di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba makhluk itu melambaikan tangannya yang seperti paku itu, seolah memanggil Jingga. Jingga menutup tirai jendela. Ia berlari keluar kamar, menghampiri ibunya yang tengah asyik menonton sinetron di ruang tengah. “Ma, ada makhluk aneh di dalam rembulan merah.” “Aduh, kamu jangan suka ngayal yang enggak-enggak deh. Tidur, gih! Mama mau nonton jadi keganggu nih. Mana sinetronnya lagi seru banget.” “Tapi, Ma..,” “Udah, Jingga. Tidur sana! Besok kamu harus sekolah.” “Yaah, sekolah lagi. Aku bosan!” “Jingga!” “Kenapa sih harus sekolah? Kenapa Mama selalu memaksaku jadi juara kelas? Mama tahu nggak, Bill Gate, Ted Turner, Bob Sadino, hingga perancang busana Tex Sevario asal Indonesia yang merancang busana untuk Lady Gaga, semuanya sekolahnya tidak selesai. Mereka bukan juara kelas. Tapi mereka semua kaya raya. Setidaknya jauh lebih kaya dari kita.” “Jingga, cukup! Masuk ke kamarmu sekarang juga! Kerjakan PR!” Jingga berlari ke kamarnya dengan kesal dan galau. Ia mengintip dari balik tirai jendela. Makhluk raksasa aneh tak berjenis kelamin itu telah berhasil keluar dari rembulan merah. Ia menggelinding turun ke bumi. Kini Jingga dapat melihat makhluk itu dengan jelas. Persis seperti bola raksasa yang penuh paku di sekujur tubuhnya. Warnanya merah serupa darah. Makhluk itu seperti punya satu mata dan satu mulut. Kini, bola raksasa itu menyentuh atap-atap rumah penduduk. Tiba-tiba, makhluk itu membelah diri menjadi jutaan makhluk-makhluk kecil berwujud sama dengannya. Bola-bola kecil itu ribuan jumahnya. Mereka masuk ke rumah-rumah penduduk lewat ventilasi udara atau pintu dan jendela yang terbuka. Jingga menutup tirai jendela dan mematikan lampu. Ia menggigil ketakutan. *** Ernawati asyik menonton sinetron di tivi sambil menunggu suaminya pulang. Akhir-akhir ini, Dicky, suaminya,sangat jarang pulang. Kadang jam sebelas malam baru tiba di rumah. Bulan lalu, Dicky resmi dipromosikan menjadi kepala divisi marketing di perusahaan sekuritas. Setiap ditanya, Dicky selalu memberi alasan sibuk mengejar target, harus memprospek klien hingga ke luar kota, dan seribu satu alasan lain yang membuat Erna bosan mendengarnya. Kadang, hari Minggu pun Dicky harus ke luar kota untuk prospek. Kini, sudah tak ada lagi acara akhir pekan keluarga seperti jalan-jalan ke mall, nonton di bioskop, atau makan siang di restoran favorit mereka yang biasanya sering mereka lakukan sebelumnya. Erna ingin agar sekali saja Dicky bisa sedikit saja meluangkan waktu untuk mereka berempat, Dicky, Erna, beserta kedua putri mereka, Jingga dan Nila. Apalagi, bulan depan adalah perayaan hari jadi pernikahan mereka ke-12. Tapi Erna bahkan tidak berani berharap. Sebelum menikah dengan Dicky, Ernawati merupakan seorang bankir di sebuah bank BUMN. Dicky adalah salah seorang nasabah bank tersebut. Setelah melahirkan Jingga, Dicky memintanya berhenti kerja agar fokus mengurus anak. Untuk mengisi waktu luang, Erna sempat kursus menjahit dan dibelikan Dicky mesin jahit. Tapi setelah kelahiran Nila, putri keduanya yang berjarak tiga tahun dari Jingga, Erna praktis meninggalkan hobi menjahitnya hingga kini putri sulungnya mulai beranjak remaja. Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Erna. Dia mematikan tivi dan bergegas membukakan pagar. Dicky pulang tepat pukul sepuluh malam. II Jingga berkali-kali mengucek matanya. Rasanya seperti mimpi. Makhluk aneh berbentuk bola raksasa penuh tancapan paku di sekujur tubuhnya itu muncul di layar televisi saat jeda iklan, ketika Jingga, Nila, dan Mbak Yun, pembantunya, sedang asyik menonton acara infotainment selebritis tanah air. “Mbak Yun? ” “Iya, Non?” “Mbak Yun liat nggak itu di tivi?” “Liat apa, Non?” “Makhluk Rembulan Merah.” “Hah? Non Jingga ngigau, ya? Nggak ada apa-apa tuh, cuma iklan doang.” Acara infotainment berlanjut kembali. Di layar televisi 29 inci itu muncul makhluk-makhluk Rembulan Merah, ramai sekali. Mereka menyamar sebagai selebritis yang tengah berduka, selebritis yang sedang bahagia. Selebritis banyak uang, selebritis banyak hutang. Selebritis hobi menikah, selebritis hobi berpisah… dan menikah lagi. Jingga merasa kepalanya pusing. Ia berlari ke kamarnya. Mbak Yun tertawa melihat aksi Makhluk Rembulan Merah di televisi. Jingga mengunci pintu kamarnya. Ia menghidupkan laptop. Di layar muncul makhluk-makhluk Rembulan Merah. Mereka tertawa-tawa gembira. Jingga membuka games di laptopnya. Semua games berisi makhluk-makhluk Rembulan Merah. Mereka menjadi tokoh utama semua games di laptopnya. Jingga baru saja hendak mematikan games ketika makhluk itu menyapanya, “Jingga, ayo masuk ke sini! Bermainlah bersama kami.” “Kau berbicara denganku?” “Iya, Jingga. Ayo sini! Kami datang untuk menghibur anak-anak yang kesepian sepertimu.” “Bagaimana caranya aku bisa masuk ke dalam sana?” “Masuklah ke dalam laptopmu.” Jingga menurutinya. Ia masuk ke dalam laptopnya. “Wow, menakjubkan! Aku ingin bermain sepuasnya di sini.” Jingga berseru girang setelah masuk ke dunia baru itu. “Bermainlah sepuasnya, Jingga. Kapan pun kau inginkan,” kata makhluk itu. Jingga asyik bermain bersama mereka. Jingga menaiki satu mkhluk bola itu dan bergelantungan di pakunya. Terkadang, makhluk itu menggelindingkan tubuhnya di atas perut Jingga. Gadis kecil itu tertawa dan merasa geli. Jingga juga sibuk melemparkan bola-bola kecil ke segala arah. Jingga berlari sepuasnya di dunia barunya itu. Dunia yang sangat menyenangkan. Di mana tak ada PR yang harus ia kerjakan. Di mana ia mendapat banyak teman baru, para Makhluk Rembulan Merah yang siap menemaninya bermain atau sekedar mendengarkan curahan hatinya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Jingga berjanji akan sering-sering bermain di dunia barunya itu. Jingga berjanji akan mengajak Nila bermain bersama sahabat barunya, Makhluk Rembulan Merah. III Berita tentang Makhluk Rembulan Merah yang turun ke bumi untuk menghibur anak-anak yang kesepian, tersebar ke seantero negeri. Mereka muncul di televisi, di games, di laptop, di situs-situs internet, bahkan di layar ponsel, tablet, dan grup-grup WhatsApp anak-anak di kota. Mereka bernyanyi, menari, bermain bersama anak-anak yang orangtua mereka tidak pernah punya waktu sedetik pun untuk bermain bersama anak-anak mereka. Dalam sekejap, Makhluk-Makhluk Rembulan Merah telah menjadi sahabat baik sekaligus pengasuh anak-anak di kota. Anak-anak itu sangat bahagia bersama Makhluk-Makhluk Rembulan Merah. Bahkan mereka jauh lebih bahagia bersama makhluk itu dibanding ketika mereka berada di dekat orangtua mereka sendiri. *** Hari ini Hari Minggu, berita tentang kemunculan para Makhluk Rembulan Merah dimuat di koran nasional. Jingga membawa koran itu ke ruang keluarga. Dicky sedang duduk menonton tivi. Lelaki empat puluh tiga tahun itu memakai sweater tebal. “Papa?” “Hmm?” “Papa udah baca belum berita tentang makhluk jadi-jadian yang keluar dari Rembulan Merah? Mereka muncul di tivi, di video games, di situs internet, di handphone, di tablet. Mereka menghibur anak-anak yang kesepian sepertiku.” “Jingga, kamu liat nggak kalo Papa lagi sakit? Tolong jangan ganggu Papa!” “Papa sakit apa? Pantesan Papa nggak keluar kota.” Dicky batuk. Ernawati datang membawa minuman hangat. “Pa, ini jahe merahnya diminum dulu.” “Kayaknya badanku mulai hangat nih, Ma.” “Kalau demam, kita ke dokter aja nanti malam.” Dicky mengangguk. Jingga pergi ke kamar Nila. Ia menbangunkan adiknya yang tengah terlelap. “Sst,, Nila, bangun!” “Eeh.., ada apa sih, Kak?” “Kamu mau main nggak sama Makhluk Rembulan Merah?” “Makhluk rembulan apa?” “Iya. Rembulan Merah. Ayo, cepetan!” “Di mana makhluknya?” “Ada. Di laptopku.” “Hah?? Di dalam laptop?” “Iya. Cepetan. Sekarang jadwalnya mereka main.” Nila bangkit dari kasur dan mengikuti kakaknya ke kamar Jingga. Jingga mengunci pintu dan menghidupkan laptop, lalu masuk ke dalam games. Ia mengajak adiknya masuk ke dalam laptop dan mereka bermain sepuasnya bersama Makhluk-Makhluk Rembulan Merah. IV Negara gempar. Pemerintah terkejut. Orangtua panik. Sekolah-sekolah heboh. Beberapa anak dikabarkan hilang, diculik oeh para Makhluk Rembulan Merah. Semua koran memuat berita itu. Beberapa tokoh masyarakat asyik berdebat di televisi. “Ini bencana nasional. Anak-anak yang kita harapkan dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini telah diculik para Makhluk Rembulan Merah. Sebentar lagi kita akan mengalami lost generation.” Seorang pengamat sosial yang titelnya berderet-deret, lebih panjang dari namanya, asyik beretorika di televisi nasional. Di masjid-masjid dan surau-surau berita penculikan itu dibahas. Seorang khatib berkoar-koar memberi khotbah pada shalat Jum’at. “Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. Apa jadinya pemimpin kita esok hari, jika pemuda kita hari ini telah jauh dari ajaran Islam? Dan anak-anak kita telah larut dalam bujuk rayu Makhluk Rembulan Merah. Kini anak-anak kita telah hilang. Raib. Ini akibat kesalahan kita para orang tua.” Emang gue pikirin? Gue kawin aja belom, bodo amat. kata seorang jamaah di dalam hati. Para jamaah sholat Jum’at yang lain sibuk memencet tombol ponsel pintar mereka, mengirim dan membaca SMS. Ada juga yang asik ber-WhatsApp ria. Asyik meneruskan berita hoaks dari media daring. Yang lain sibuk melihat gambar-gambar yang menggoda dari makhluk-makhluk Rembulan Merah yang saling menggoda satu sama lain di layar tablet mereka. Meskipun gempar karena sebagian besar murid-murid telah raib, namun sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri tetap berjalan seperti biasa. Para guru tak pernah berhenti menjejalkan teori-teori ke otak kiri para siswa mereka setiap hari. Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak mereka bahwa teori-teori itu tak berguna sama sekali bagi masa depan murid-murid mereka kelak. Sementara anak-anak itu telah larut dalam bujuk rayu Makhluk-Makhluk Rembulan Merah karena mereka tidak tahu mau jadi apa mereka kelak, dan sekolah tidak pernah mau tau tentang itu, pun orangtua mereka. Para kepala sekolah mengadakan rapat darurat dengan Menteri Pendidikan, membahas berkurangnya murid-murid mereka secara drastis sejak enam bulan lalu. Murid-murid itu telah diculik oleh para Makhluk Rembulan Merah. Pihak Kementerian memutuskan menutup semua sekolah di seluruh penjuru negeri, yang semakin kekurangan murid itu. “Siapa yang mau diajar para guru jika murid mereka tidak ada?” tanya Pak Menteri. Para kepala sekolah yang hadir hanya terdiam dan akhirnya mengangguk setuju. *** Sementara itu, Wabah Rembulan Merah, begitu media menyebutnya, tengah melanda dunia. Hampir tidak ada satu pun negara yang lolos dari cengkeraman wabah aneh ini. Erna duduk menangis menunggu di depan ruang Gawat Darurat. Dicky dilarikan ke IGD karena diduga kuat terkena Wabah Rembulan Merah. Tubuh Dicky membengkak dan timbul bintik merah berbentuk bola kecil yang seluruh permukaannya ditancapin paku, seperti penampakan Makhluk Rembulan Merah. Nafas Dicky berat dan muntahnya berwarna jingga. Erna membaca berita daring dari ponsel pintarnya. Ternyata wabah ini bisa menular antar manusia lewat kentut. Sangat berbahaya sekali. Pantas saja begitu cepat penularannya. Di seluruh dunia, sudah dua juta orang terinfeksi wabah ini. Wabah ini hanya menyerang orang dewasa saja, sementara anak-anak mereka diculik Makhluk Rembulan Merah untuk diajak bermain, termasuk kedua putrinya yang sudah hampir enam bulan diculik makhluk itu. V Di langit, Rembulan Merah semakin membara. Anak-anak manusia telah terperangkap di dalamnya. Mereka berteriak, menangis, marah, menjerit-jerit, dan memohon kepada para makhluk jadi-jadian itu agar sudi melepaskan mereka dari Rembulan Merah. Mereka ingin kembali ke bumi. Mereka ingin melanjutkan hidup. Mereka ingin meraih masa depan yang semakin suram dan tak menentu. Mereka ingin menghidupkan kembali mimpi-mimpi indah yang telah lama redup dari diri mereka. Di antara anak-anak itu, tampaklah Jingga dan Nila yang tak henti menangis. Wajah keduanya pias. Mereka tak berhenti memohon agar kedua orangtuanya membebaskannya dari sekapan para Makhluk Rembulan Merah. Jingga tak menyangka, doanya enam bulan lalu yang ingin libur panjang dan bebas dari rutinitas sekolah yang sangat membosankan itu akhirnya terwujud. Tangis anak-anak yang terperangkap dalam Rembulan Merah telah mewujud tetes-tetes darah yang perlahan menetes dari rembulan merah. Tetesan darah itu tak henti menggenangi bumi, laksana tetesan darah yang menetes dari rahim ibu pertiwi yang merana menyaksikan nasib anak-anak negeri. *** Ekonomi dunia runtuh. Terjadi resesi global. Pemerintah pusat dan daerah sibuk berdebat tentang berbagai kebijakan mereka yang tak sedikit pun berpihak pada rakyat. Sementara, jumlah korban yang meninggal semakin bertambah. Dicky sendiri sudah hampir dua minggu dirawat di IGD. Kondisinya mulai membaik. Sebentar lagi Dicky diperbolehkan pulang. Di lain sisi, permintaan terhadap popok dari kain yang bisa menahan agar bau kentut tidak tercium, semakin dibutuhkan. Ernawati berharap, segera setelah suaminya dinyatakan sembuh, dia ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi negaranya, sekali ini saja. *** “Aku di-PHK, Er.” Kalimat singkat Dicky mengagetkan Erna. “PHK? Setelah semua waktu dan tenaga yang sudah kau korbakan untuk perusahaanmu?” Dicky hanya terdiam. “Anak kita dua-duanya diculik makhuk itu. Kita tidak punya uang dan paling lama hanya bisa bertahan hidup sampai enam bulan ke depan. Apa yang harus kita lakukan?” “Kenapa kamu tidak menjual popok kain saja? Nanti aku modalin.” VI Setelah satu juta rakyat gugur-termasuk puluhan ribu paramedis di seluruh negeri, negara secara resmi menyatakan perang terhadap Makhluk Rembulan Merah. Semua tentara dan intelijen dikerahkan untuk membasmi makhluk pembawa wabah dan penculik anak-anak itu. para ilmuwa berlomba menciptakan vaksin untuk penyebaran virus yang menular lewat kentut dan bisa mengakibatkan penderita terkena diare akut serta muntaber ini. Jika tidak ditagani segera, hilagya cairan tubuh lebih dari seminggu dapat mengakibatkan kematian. Dan kini, jumlah kematian penduduk mencapai angka sepuluh ribu jiwa. Sedangkan jumlah total yang tertular wabah ini sudah mendekati angka satu juta jiwa. Rumah sakit kebingungan menampung pasien yang setiap hari semakin bertambah. Pemimpin Tertinggi Negeri menginstruksikan agar hotel-hotel berubah menjadi tempat penampungan sementara bagi paramedis. Bisnis pariwisata hancur. Negara di ambang kebangkrutan. Sore itu, Pemimpin Tertinggi Negeri mengumpulkan semua petinggi negeri untuk membahas berbagai alternatif solusi yang dapat mereka lakukan guna mengakhiri semua malapetaka ini. *** Di sisi lain, masyarakat yang awalnya saling tidak perduli, kini bahu-membahu menolong sesama. Ernawati menjadi relawan dengan menjual popok murah kepada pemerintah dan donatur untuk mereka sumbangkan ke berbagai lapisan masyarakat. Ernawati mempekerjakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya yang mana para suami mereka di-PHK dan menganggur. Sementara, Dicky ikut turun langsung membantu membuat perahu layar. Kisah tentang perahu layar ini terjadi seminggu lalu, yang mana negeri itu tiba-tiba kedatangan seorang pemuda berambut gondrong yang mendesak ingin segera bertemu. Dia mengaku bernama Kelana dan mendapat mimpi tiga malam berturut. Dalam mimpinya, dia melihat bola-bola berwarna merah yang dipenuhi paku mengambil alih negeri. Para penduduk ramai-ramai mengungsi dari rumahnya untuk menghindari wabah dengan menaiki perahu layar yang berfungsi sebagai rumah mereka. Kelana juga mengatakan,dalam mimpinya, perahu-perahu layar itu berlayar selama tujuh hari tujuh malam di bawah cahaya Rembulan Merah. Mereka akhirnya tiba di suatu pulau terpencil dan di sana anak-anak mereka berada. VII Wabah Rembulan Merah semakin menjadi. Hampir seluruh negeri telah diserang wabah ini. Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Negeri yang mempercayai ramalan Kelana, pemuda dari negeri antah-berantah. Setiap hari, semua petinggi mulai dari tingkat kepala negara hingga Ketua RT, ikut mengawasi pembuatan perahu layar. Beberapa penduduk kaya turut menyumbang uang dan kayu untuk membuat perahu. Sementara Dicky yang keuangannya semakin menipis sejak di-PHK, menyumbangkan tenaga. Dicky bekerja bersama para pemuda lain dari pagi hingga malam hari. Sesekali mereka beristirahat untuk makan siang. Mereka benar-benar berperang melawan Makhluk Rembulan Merah. Hari yang ditunggu pun tiba. Para pasien perlahan-lahan dinaikkan ke dalam perahu layar raksasa bersama para dokter dan perawat. Perahu pertama itu resmi meluncur mengarungi lautan luas. Berikutnya beberapa ilmuwan, peneliti, dan kaum cerdik pandai Negeri. Lalu beberapa rakyat mulai dilepas oleh Pemimpin Tertinggi Negeri untuk berlayar, termasuk Dicky dan Ernawati. Tinggal satu perahu terakhir yang siap membawa Pemimpin Tertinggi Negeri beserta keluarga besar dan para pembantu setianya berlayar meninggalkan negeri. “Kenapa Tuan belum naik juga?” tanya Sang Hulubalang. “Kalian semua cepatlah naik. Aku tidak akan meninggalkan negeri ini.” “Tapi, Tuan, untuk apa Tuan berdiam sendiri di negeri ini?”tanya Perdana Menteri. “Betul, Tuan,” sahut Wakil Pemimpin Tertinggi. “Sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari sini. Sementara kehidupan baru telah menanti kita di ujung pulau sana.” “Aku dan Kelana akan tinggal di sini dulu. Pemimpin harus yang pertama merasakan penderitaan rakyat, tapi dia harus yang terakhir merasakan kebahagiaan rakyatnya. Mengerti kau?” tegas Pemimpin Tertinggi Negeri. “Memimpin itu menderita.” “Sekarang pergilah kalian sebelum negeri ini hancur. Biarkan kami berdua menghadapi Sang Rembulan Merah.” Kelana menyahut. Akhirnya, semua pergi berlayar meninggalkan mereka berdua. Setelah perahu terakhir lenyap, Kelana dan Pemimpin Tertinggi Negeri masuk ke ruang khusus di dalam istana raja. Dari sana, mereka melihat satelit pengintai menampakkan gambar jutaan perahu tengah berlayar. “Lihatlah, Kelana. Kau sudah berhasil mengelabui mereka. Lihatlah apa yang akan terjadi sebentar lagi. “ Mereka terbahak. VIII Dicky dan Erna berlayar di tengah lautan luas bersama jutaan perahu layar lainnya. “Sayang, maafin aku, ya, kalau selama ini aku terlalu sibuk dan tidak pernah punya waktu denganmu dan anak-anak. Padahal aku bekerja keras buat kalian,”ujar Dicky lembut. “Nggak papa, kok, sayang. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan kedua anak kita. Aku mau minta maaf karena selama ini tidak punya waktu untuk mereka.” “Aku juga mau minta maaf sama mereka.” Mereka berpelukan erat menikmati angin sepoi-sepoi. Tanpa mereka sadari, gelombang tsunami setinggi seribu meter semakin mendekat dan siap melumat. Setahun kemudian Jingga dan Nila bahagia bermain bersama anak-anak seumuran mereka. Kini mereka bahagia tanpa harus sekolah, tanpa ada guru killer, tanpa orangtua yang selalu memaksa mereka mengerjakan PR. Selain mereka, tampak ratusan bola-bola kecil berwarna merah yang dipenuhi paku di sekujur tubuh mereka. Bola-bola itu berlompatan ke sana kemari. Di kejauhan, tampak sebuah bola raksasa berwarna merah yang dipenuhi paku di sekujur tubuhnya. Di dalamnya, terdapat Pemimpin Tertinggi Negeri, Kelana, serta beberapa pemuda yang mengelilingi mereka. Mereka asyik berpesta. Beberapa Makhluk Rembulan Merah terlihat menjaga di depan istana Pemimpin Tertinggi Negeri. Di halaman belakang istana, terlihat beberapa pemuda tengah berlatih keras. Mereka dilatih oleh para Makhluk Rembulan Merah. “Kelana,” panggil Pemimpin Tertinggi Negeri. Pemuda itu menoleh. “Ternyata begitu mudahnya membuat seluruh penghuni negeri ini percaya padamu. Padahal kau sebenarnya adalah Pemimpin Mahkluk Rembulan Merah yang menyaru sebagai manusia.” Mereka berdua tertawa. “Sekarang setelah berhasil menjadi penguasa tunggal di negeri ini, apalagi yang kau inginkan, wahai Paduka Raja?” tanya Kelana. “Aku ingin menguasai negeri-negeri lain di penjuru semesta ini.” “Tidak lama lagi seluruh bumi akan berada di bawah naunganmu, wahai Paduka Raja.” Kelana menyerahkan anggur merah dan langsung diminum Pemimpin Tertinggi Negeri. Beberapa detik kemudian, Pemimpin Tertinggi Negeri merasakan perutnya sakit luar biasa. “Apa yang kau berikan padaku?” Kelana tertawa dan berkata, “Selamat bergabung bersama rakyatmu yang telah kau khianati. Kau pemimpin curang yang kejam terhadap rakyatmu. Kau pantas mati.” Kelana berlalu meninggalkan Pemimpin Tertinggi Negeri yang menggelepar kesakitan. Pontianak, 30 April 2020 Description: bercerita tentang Makhuk Rembulan Merah yang menyerang sebuah negeri dan menculik anak-anak , di antaranya kakak beradik Jingga dan Nila.
Title: Rumah Tuhan Category: Cerita Pendek Text: Doa dari Rumah Tuhan “Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.” — Buya Hamka — Keheningan malam yang syahdu. Rintik-rintik kecil menambah dua per tiga malam yang dingin semakin menggigil. Gerimis turun bersama kebesaran Tuhan. Bersama ribuan kasih Tuhan kepada makhluk-Nya di dunia. Bersama sejuta rahmat yang tiada habis-habisnya. Di dalam hujan kecil itu, ada ribuan cinta yang sedang bersuka cita. Karena cinta yang suci, cinta yang benar, dan cinta yang menemukan jalan kemuliaan. Seusai menjalankan ibadah salat sunnah tahajud, Teuku meraih kembali sebuah buku catatan yang ia letakkan di sisi kanan Alquran. Sebuah buku catatan yang selalu bersanding dengan novel klasik berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Haji Abdul Malik Karim Abdullah atau lebih dikenal dengan nama HAMKA. Sebuah buku catatan yang datang dari rumah Tuhan di tanah Mekah. Ia kembali membuka lembar demi lembar halaman yang telah dibacanya berulang kali sambil meneteskan butir-butir air mata yang bergulir seperti hujan. Hujan yang jatuh dari kedua kelopak matanya karena rasa syukur kepada Tuhannya. Hujan yang jatuh mengiringi rasa bahagia di hatinya. Hujan yang jatuh karena sebuah doa yang datang dari rumah Tuhan di Mekah. Sebuah tempat suci yang menjadi mimpi setiap muslim di penjuru dunia. Sebuah doa yang menjadi jawaban atas penantian tulusnya. Ia membaringkan dirinya di atas sajadah yang belum ia tinggalkan sejak pertengahan malam. Sesekali mencium tempat sujudnya sembari memanggil nama Tuhannya. Tangan kirinya mendekap buku catatan dan tangan kanannya menggulirkan butiran biji tasbih tanpa henti. Nama Tuhannya terucap dari bibirnya berulang kali. Ia tidak berhenti hingga matanya terkatup rapat bersama doa-doa yang ia panjatkan. Allah, pertemukan hamba dengannya. Allah, pertemukan hamba dengannya. Allah, pertemukan hamba dengannya. Ada harapan besar yang ia terbangkan ke langit ketujuh. Keharibaan Allah yang Maha Agung. Ke singgasana Allah yang Maha Perkasa. Bersama ribuan doa lain, yang datang dari jutaan hamba Tuhan di seluruh dunia. Doa-doa yang berkelindan, terbang ke langit malam, ke tempat paling indah, menunggu untuk dikabulkan. - ۩ - Mekah, Dzulhijjah. Multazam membuat saya teringat cerita yang ditulis Buya[1] Hamka. Ialah tempat Hamid mengembuskan napas terakhirnya. Gus Teuku, hari ini saya sedang menjalankan sunnah Rasul, thawaf wada’. Namun rasanya enggan sekali berpamitan dengan rumah Tuhan. Di tempat ini, seperti muslim yang lain, saya berdoa meminta perlindungan agar dijaukan dari neraka. Umat muslim meyakini bahwa multazam adalah tempat doa yang makbul[2]. Maka saya membawa sebuah doa yang sungguh berasal dari lubuk hati saya : “Allah, jodohkan hamba dengannya. Hamba sungguh mencintainya.” —Dien - ۩ - [1] Gelar ulama/Kyai [2] terkabul Bukan Mahram Beliau dikenal dengan sebutan Kyai Abi. Nama lengkapnya Teuku Abimanyu, pemimpin pondok pesantren Al-Hamizan. Sebuah pondok pesantren di dekat perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur jalur Pantura. Beliau dikarunia seorang anak tunggal laki-laki yang diberi nama Teuku Alief, serta merawat seorang anak perempuan yatim-piatu bernama Dien Khalfani yang kemudian menjadi adik kesayangan Teuku —panggilan putra Kyai Abi. Dien —panggilan putri angkat Kyai Abi, telah berada di kediaman Kyai Abi sejak usianya menginjak tahun keenam. Dulu ibunya juga tinggal di pesantren untuk membantu Nyai Mai (Maimunah) —istri Kyai Abi. Namun dua tahun yang lalu ia dipanggil Tuhan setelah sakit keras. Teuku dan Dien hidup layaknya saudara kandung yang saling mengasihi. Terkadang mereka bisa meributkan hal-hal kecil, namun mereka akan segera berbaikan. Terkadang mereka suka berdebat dan tidak ada yang mau mengalah. Namun ketika salah satu di antara mereka tidak ada, mereka akan saling mencari. Seperti beberapa waktu lalu, ketika Teuku pergi ke Qatar untuk menyelesaikan studinya, sementara Dien bertahan di Indonesia karena statusnya sebagai perempuan yang membuat Nyai Mai tidak mengizinkannya belajar jauh-jauh ke luar negeri. Mereka saling merindukan antara satu sama lain. “Gus Teuku, jangan dekat-dekat!” seru Dien. “Jaga jarak!” Adik perempuan Teuku itu selalu memperingatkan perihal batasan kedekatan antara lawan jenis dalam islam. “Tapi kau kan adik saya, Ning Dien.” Teuku selalu membantah apa yang diucapkan Dien. Hal-hal sepele seperti itulah yang seringkali memunculkan perdebatan panjang hingga berhari-hari. “Benar, tapi saya dan Gus Teuku tidak ada hubungan darah. Jadi kita tetap bukan mahram[1].” Dien menyahut sambil memilah kitab-kitab yang akan dimasukkan dalam daftar bacaan baru di perpustakaan pesantren. Teuku tersenyum mendengar ucapan Dien. Adik perempuan yang kemarin dikenalnya sebagai anak perempuan berumur enam tahun, kini telah menamatkan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri. Dia sudah menjadi sarjana yang semakin pintar beradu argumen dengannya. “Kau ini tidak pernah berubah. Lima tahun kita tidak bertemu, sekalinya bertemu sudah kauajak berdebat perkala sepele.” Seloroh Teuku. Mendengar kata sepele membuat Dien menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Teuku. “Sepele?” Ia mengambil jeda. “Gus Teuku, masalah mahram sekarang sudah menjadi masalah pelik. Bukan masalah sepele lagi.” Ia kembali meletakkan kita-kitab baru ke rak perpustakaan. “Apa Gus Teuku tidak pernah menyimak permasalahan anak muda zaman sekarang? Lihat saja, mereka sudah tidak memiliki malu mengumbar kemesraan antar lawan jenis di tempat umum. Gus Teuku tahu apa penyebabnya?” ia berbalik pada Teuku. “Karena kurangnya pemahaman mereka tentang perkara mahram atau bukan mahram.” “Setahu saya mereka mengetahui tentang mahram dan bukan mahram.” Teuku membantu Dien mengangkat setumpuk kitab-kitab tebal. “Ada banyak kajian tentang itu.” “Tahu saja tidak cukup, Gus. Justru di situ yang menjadi letak permasalahannya sekarang. Mereka hanya sekadar tahu dan melafalkan kata-kata mahram dan bukan mahram, namun mereka tidak memahami maknanya sama sekali.” “Menurut saya mereka bukannya tidak paham Ning Dien, tapi sengaja tidak mau paham.” Sahut Teuku sambil memasukkan kitab terakhir ke rak. Pekerjaan selesai. Dien juga sudah meletakkan kitab terakhir dari dalam kardus ke almari di sudut ruangan. “Setelah ini Gus Teuku ada kajian di Masjid,” Dien mengingatkan Teuku. Teuku tersenyum. “Iya, saya ingat Ning Dien.” Dien tersenyum. “Kau ikut kajian?” tanya Teuku sambil mengumpulkan kardus kosong yang masih berserakan. “Sepertinya tidak bisa Gus. Saya harus membantu Umi,” jawab Dien sambil merapikan taplak meja. “Ya sudah, ayo kembali!” ajak Teuku setelah menumpuk kardus menjadi satu dan mengikatnya. Dien kembali ke rumah untuk membantu Nyai Mai mempersiapkan hidangan untuk acara khataman[2] besok pagi. Sementara Teuku bergegas mengambil air wudhu dan bersiap memberi kajian ke Masjid. - ۩ - Hari menjelang maghrib. Teuku baru saja mengambil air wudhu dan hendak pergi ke Masjid Pesantren untuk memimpin salat. Hari ini Abahnya ada undangan di Masjid Kabupaten, jadi Teuku yang menggantikan Kyai Abi menjadi imam salat. Namun secara tidak sengaja, Dien sedikit menyenggol tangan Teuku ketika ia baru keluar dari kamar dan Teuku melintas di depan kamarnya. Tetapi kakak angkatnya itu tidak menyadarinya dan berjalan keluar rumah. “Gus Teuku!” Dien mengejarnya. “Ada apa, Ning Dien?” Teuku membenahi letak peci hitam di kepalanya. “Anu Gus, tadi saya tidak sengaja menyenggol tangan Gus Teuku. Sepertinya Gus Teuku harus mengambil air wudhu lagi,” jelas Dien. “Benarkah?” Teuku benar-benar tidak menyadarinya. “Tapi saya tidak merasa bersentuhan dengan kau.” “Tapi saya merasakannya Gus. Lebih baik Gus Teuku mengambil air wudhu lagi.” Dien berusaha meyakinkan pemuda di hadapannya. “Tidak apa, Ning Dien. Karena saya tidak merasakannya dan tidak meyakininya, maka saya tidak perlu berwudhu lagi.” Teuku tersenyum. “Saya akan pergi ke masjid sekarang,” pamit Teuku lalu bergegas hendak pergi. “Tapi nanti salat Gus Teuku tidak sah, Gus.” Teuku memang bukan seseorang yang mudah dipatahkan prinsipnya. Jika tidak merasa bersentuhan dengan Dien, maka hal itulah yang ia yakini. Hal ini adalah sebuah bentuk pengamalan dari hadist yang pernah ia pelajari. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu kesayangan Rasulullah saw. berkata, Aku hafal sabda Rasulullah saw., “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan Nasa-i, “Hadits hasan shahih”)[3] Dalam sebuah kaidah fiqih[4] disebutkan bahwa “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Karena merasa kesal, Dien terpaksa benar-benar menyentuh tangan Teuku dan melarikan diri ke kamarnya. Hal itu dilakukan karena Dien meyakini bahwa ia telah bersentuhan dengan tangan Teuku. Mereka berkeras hati dengan keyakinan masing-masing Teuku sempat terkejut dengan perilaku Dien. Ia termangu beberapa saat. Kemudian Teuku tersenyum setelah menyadari maksud perbuatan adiknya. “Kenapa kau menyentuh saya, Ning Dien? Kau bilang kita bukan mahram,” seru Teuku sambil masuk kembali ke dalam rumah. Ia tidak memiliki pilihan lain selain mengambil air wudhu lagi. - ۩ - “Ada apa Ning Dien? Kenapa Gus Teuku berteriak sampai kedengaran dari sini?” tanya uminya saat melihat Dien masuk ke ruang sholat ndalem[5]. Dien tersenyum sungkan. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa Teuku berteriak karena Dien sengaja menyentuhnya dan membatalkan wudhu kakaknya. “Ndak papa, Umi,” elaknya lalu mengambil mukena dan bergegas keluar. Nala pasti sudah menunggunya. Benar saja, Nala sudah bersiap berangkat ke masjid pesantren. “Ning, Dien!” Ia melambaikan tangan sambil berucap pelan. Dien mempercepat langkahnya agar segera sampai ke tempat Nala. “Mari bergegas Ning Dien, Gus Teuku sudah berangkat tadi.” “Iya, saya tahu!” jawab DIen sambil berjalan beriring. “Kenapa Ning Dien lama sekali tadi? Biasanya Ning Dien lebih duluan dari saya?” “Tadi wudhu saya batal gara-gara tidak sengaja menyenggol Gus Teuku. Jadinya saya harus wudhu lagi,” Dien menceritakan yang terjadi. Lalu tiba-tiba ia tersenyum teringat Teuku protes. - ۩ - Mekah, Dzulhijjah Berdiam diri di Masjidil Haram mengingatkan saya pada kalian. Saya sungguh bahagia karena Allah mengirim kalian dalam kehidupan saya. Abah, Umi, dan Gus Teuku. Menjadi putri seorang muslim yang baik seperti Kyai Abi dan Nyai Mai adalah rahmat yang sungguh besar dari Allah untuk saya. Sungguh, kebahagiaan saya semakin berlimpah karena Allah mengirimkan laki-laki baik bernama Teuku Alief untuk menjadi kakak saya. Gus Teuku, jika segala sesuatu telah berubah di dunia ini. Semoga tidak ada yang berubah dari persaudaraan kita. Gus, Abi, dan Umi, tetaplah keluarga saya. Semoga Allah senantiasa menjaga kalian. Amiin. —Dien - ۩ - [1] orang (perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antaranya. [2] upacara selesai menamatkan Alquran [3] Hadits Arbain Nawawi ke-11 [4] ilmu yang membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. [5] Kediaman kyai Di Bawah Lindungan Ka'bah Sudah beberapa hari ini, Teuku memperhatikan sebuah buku yang tidak pernah lepas dari tangan adiknya. Ia sangat yakin bahwa buku itu bukan sebuah jenis kitab yang biasa mereka kaji. Sepertinya itu adalah buku bacaan. Dien terlihat sibuk membolak-balik sebuah buku yang ia dapatkan dari seorang santri. Sebuah novel klasik berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya HAMKA. Tiba-tiba saja novel yang didapatnya dari perpustakaan itu menggelitik rasa penasaran Dien tentang Baitullah. Terlebih setelah ia mengikuti sebuah pengajian tentang haji beberapa waktu lalu di Masjid Kampung sebelah. Bahwa setiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat berhaji, wajib berkunjung ke rumah Tuhan orang-orang muslim di Mekah. “Kau tidak mengaji, Ning Dien?” Teuku datang sambil membawa kitab Ihya ulumuddin[1]. Ia baru saja datang dari Madrasah Aliyah. “Sudah, Gus.” Ia menjawab tanpa menoleh pada Teuku. Kedua pandangan matanya tertuju pada buku yang dibacanya. “Apa yang sedang kaubaca?” Teuku penasaran dengan buku yang dibawa Dien. Tak biasanya ia mengabaikan kedatangan Teuku begitu. “Novel.” Ia menjawab dengan singkat. “Kau membaca novel? Lebih baik kau membaca kitab atau Alquran.” Seloroh Teuku sambil duduk di salah satu kursi. Ia ganti meraih kitab lain, kertas kosong, dan bolpoin. Nanti setelah salat maghrib ia memiliki jadwal kajian di Masjid Kabupaten. Menggantikan Abahnya yang sedang keluar kota. “Sesekali tak apalah, Gus Teuku,” sahutnya masih dengan pandangan mata yang tak beralih dari buku di tangannya. Sepuluh menit berlalu sejak Dien sibuk membaca buku dan Teuku berkonsentrasi dengan kitab dan konsep bahan kajiannya. Mereka bergeming di tempatnya. Hingga Nyai Mai datang membawakan gorengan sukun beserta segelas teh rosela yang dipetik sendiri di kebun belakang pesantren. “Berhentilah sejenak!” Suara Nyai Mai menyita perhatian mereka. “Umi bawakan makanan dan minuman.” Sebuah nampan berisi gorengan sukun dan teh rosela beliau letakkan di atas meja. Dien meletakkan pembatas di halaman buku yang belum selesai dibacanya lalu mendekat ke meja. Begitu pula dengan Teuku. Masing-masing mengambil sebuah gorengan sukun dan segelas teh rosela. “Kau terlihat serius sekali membacanya. Apa ceritanya menarik?” tanya Teuku setelah kembali ke tempat duduknya dan menggigit sukun goreng yang masih hangat. Dien menoleh. “Adab makan, dilarang berbicara!” Kemudian ia kembali ke tempat duduknya, membaca doa, lalu melahap sukun goreng di tangannya. Nyai Mai tersenyum sambil melihat Teuku dengan isyarat: Kau dengar itu, Teuku. Teuku yang memahami isyarat itu hanya tersenyum kemudian menikmati makanannya tanpa bicara. Sesekali ia mengamati Dien yang makan terburu-buru. Kemudian meminum teh dan kembali membuka buku bacaannya. Tak lama kemudian, Teuku menyusul apa yang dilakukan Dien. “Adab makan, dilarang makan terburu-buru karena itu sama halnya dengan perbuatan syeitan.” Ia berpura membaca kitab dengan suara keras dengan tujuan menyindir adik angkatnya. Dien melirik ke arah Teuku. “Gus Teuku tidak bisa membaca pelan-pelan? Saya harus berkonsentrasi membaca buku ini.” Adik kesayangannya itu memang pintar sekali mengalihkan topik. “Apa ceritanya sungguh menarik?” Teuku terpaksa mengikuti topik pembicaraan Dien. “Kalau tak menarik tak mungkin saya membacanya.” Dien menoleh sejenak. “Gus Teuku kalau mau meminjam tunggu setelah saya selesai membaca.” “Untuk apa saya membaca novel. Lebih baik saya membaca kitab, lebih bermanfaat.” Teuku meninggalkan adik angkatnya dan pergi ke kamar membawa barang-barangnya. Dien hanya melirik Teuku yang masuk ke dalam kamar, lalu tertawa kecil. Ia bukannya tidak tahu bahwa Teuku sedang menyindirnya tadi. “Kau ini Ning Dien, senang sekali menggoda Gus Teuku,” seloroh Nyai Mai sambil tersenyum. “Biarkan saja, Umi. Lagipula Gus Teuku terlalu kaku sebagai manusia. Kebiasaannya hanya membaca kitab, mengaji Alquran, dan membaca buku-buku bacaan dengan pembahasan berat. Sesekali Gus Teuku perlu diajari untuk membaca buku cerita yang lebih ringan tapi bermutu.” Nyai Mai tersenyum sekali lagi mendengar celotehan putri angkatnya. - ۩ - Labbaikallaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wanni’mata laka wal mulka laa syariika laka. Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu, juga semua kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu. Bacaan talbiyah[2] yang sempat dilafalkan salah seorang ustadz yang memberikan kajian pagi itu terus terngiang di telinga Dien. Membuat Ning dari Pesantren Al-Hamizan itu termenung beberapa kali hingga ia tampak seperti sedang melamun. Seperti sore ini, seusai mengikuti kegiatan munadharah[3] dengan para santri, Dien terlihat merenung di beranda samping rumah. Semula Teuku yang sedang menyusun proposal untuk kegiatan haflah akhirussanah[4] pondok hanya mengawasinya dan tidak berniat mengganggu. Namun setelah diperhatikan, Dien terlihat semakin serius melamun. Maka ia pun menghentikan pekerjaannya sejenak dan mendekati adiknya. “Apa lamunan kau sudah sampai ke langit?” Suara Teuku membuat Dien yang duduk di salah satu anak tangga yang tak seberapa tinggi itu menoleh. Teuku memperhatikan langit yang sedari tadi dipandangi adiknya. Tidak ada sesuatu yang aneh. Langit masih tampak seperti biasanya. Berwarna biru dengan awan putih. “Gus Teuku melihat apa?” Dien tidak mengerti maksud perilaku Teuku. Ia bahkan ikut mengamati apa yang diamati Teuku. “Kau sedari tadi terus menatap langit, saya pikir ada sesuatu di langit,” jawab Teuku yang berdiri sejauh satu setengah meter dari Dien. Dien hanya tersenyum dan tidak membantah ucapan kakaknya. Teuku cukup terkejut dengan sikap Dien. Tidak biasanya ia diam seperti ini, Dien biasanya suka membantah setiap apa pun yang dikatakan Teuku. Melihat itu Teuku tidak ingin mencari masalah. Ia juga memilih diam sampai Dien membuka pembicaraan. “Gus Teuku!” panggilnya lirih. “Kenapa, Ning Dien?” Teuku menjawab tanpa menoleh. Pandangannya jauh menuju kediaman santri laki-laki yang hanya terlihat dindingnya. Ada suara berisik dari benda-benda yang dipukul, sepertinya mereka sedang muhafadhoh[5] nadhom alfiyah dengan metode menyanyikan hafalan. Min Nuuni Taukidin Mubaasyirin Wa Min, Nuuni Inaatsin Kayaru’na Man Futin. Wa Kullu Harfin Mustahiqqun lil Bina, Wal Ashlu Fil Mabniyyi An Yusakkana. Wa Minhu Dzu fathin Wa Dzu Kasrin Wadhom, Ka Aina Amsi Haitsu Wassaakinu Kam. “Ayo pergi ke rumah Tuhan!” ucap Dien tiba-tiba. Teuku menoleh pada Dien. “Rumah Tuhan?” tanyanya memastikan. “Ka’bah di Mekah.” Dien memperjelas maksudnya, masih dengan pandangan yang menerawang jauh ke depan. “Kau ingin pergi haji?” Teuku akhirnya mengerti maksud ucapan Dien. Dien menoleh. “Iya, saya ingin berkunjung ke Baitullah.” Adiknya mengatakannya dengan penuh keyakinan. Dengan kedua pandang mata yang berbinar. “Semoga Allah mengabulkan keinginan kau.” Doa Teuku sambil tersenyum. “Amiin.” Dien buru-buru mengaminkan doa kakaknya seakan ia yakin doa itu akan mengantarnya ke tempat impian kaum muslim di dunia. “Gus Teuku tidak ingin pergi ke sana?” tanyanya penasaran pada Teuku. Teuku diam sejenak. “Saya sudah pernah pergi ke sana,” jawab kakaknya. Dien terkejut mendengar jawaban Teuku. Kakaknya tidak pernah bercerita mengenai hal ini. “Gus sudah pergi ke sana? Kapan?” “Sewaktu saya menempuh pendidikan di Qatar.” Dien tercengang sesaat. “Berarti Gus Teuku seharusnya dipanggil Haji Teuku Alief,” tuturnya sambil tersenyum. Teuku tersenyum, panggilan itu terasa aneh di telinganya. “Saya tak gila panggilan semacam itu, Ning Dien. Saya cukup senang dipanggil dengan nama Gus Teuku saja.” “Seharusnya saya panggil Gus haji.” Seulas senyum tersungging di bibir Dien dan membuat Teuku mengalihkan pandangannya dari paras adik angkatnya. “Ah, kau ini, Ning Dien.” Sejujurnya, sejak kedatangan Teuku dari Qatar, Teuku merasa aneh setiap kali melihat wajah Dien. Rasanya ada yang sudah berubah, namun entah apa. Ia masih belum menemukan apa yang telah berubah. “Bagaimana jika Gus Teuku berangkat lagi bersama saya?” tawaran asal itu bahkan sempat membuat hati Teuku bergetar. Getaran itu terasa aneh, seperti ada sentilan di hatinya yang membuatnya menyadari suatu hal. “Tidak mau,” Teuku berusaha bersikap sewajarnya. Ia tidak ingin ketahuan bahwa ia sedikit terganggu oleh ucapan Dien. “Mengapa tidak mau?” Dien sepertinya tidak terima atas penolakan Teuku. Ia bahkan menautkan kedua alisnya. “Kau akan merepotkan.” Teuku berpura serius. “Saya tidak akan merepotkan Gus Teuku. Saya bukan anak kecil lagi,” janji Dien dengan yakin. Teuku tersenyum. Justru karena Dien sudah bukan anak kecil lagi, di situlah letak permasalahannya. Bagaimana mungkin mereka bisa pergi bersama. “Saya tidak diizinkan menemani kau ke Mekah untuk berhaji,” jawab Teuku dengan wajah canggung. “Mengapa?” Dien masih juga tidak paham. Teuku kembali mengalihkan pandangannya ke batas dinding kediaman santri laki-laki. Ada yang menggelitik hatinya hingga membuat wajahnya sedikit memerah. “Karena kita bukah mahram,” jawabnya lirih. Dien langsung paham. “Ah, benar!” serunya baru menyadari maksud perkataan Teuku. Ia hampir saja lupa. “Perempuan tidak boleh bepergian dengan orang yang bukan mahramnya,” lanjutnya sambil menopang dagunya dan membuang pandangannya jauh ke depan. Teuku menelan ludahnya. Tiba-tiba ia merasa kerongkongannya kering. “Kalau kau ingin mengajak saya, kau harus menikah dulu dengan saya.” Dien tercenung. Ada sesuatu yang mengganggunya saat kakak angkatnya menyampaikan kalimat itu. Ia bahkan tidak berani berbalik untuk melihat Teuku yang berdiri di belakangnya. - ۩ - Mekah, 8 Dzulhijjah Saya telah sampai di puncak Jabal Nur. Di sinilah Nabi kita menerima wahyu untuk pertama kali. Gus Teuku, saya serasa bermimpi ketika berdiri di tempat indah ini. Saya tidak pernah mengira akan benar-benar datang kemari. Meski saya harus datang setelah mengorbankan hal yang sangat berharga. Gus Teuku, tidak inginkah kau datang kembali kemari? Ke rumah Tuhan kita, suatu saat nanti, bersama saya? —Dien - ۩ - [1] kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, pengobatannya, dan mendidik hati. [2] bacaan seseorang yang telah niat haji dan umrah [3] diskusi [4] Perayaan akhir tahun [5] hafalan Laila dan Mina Kabar itu tersiar dengan cepat di pesantren Al-Hamizan. Sebuah kabar tentang perjodohan antara putra Kyai Abi —Teuku dan putri Kyai Syarief —Laila. Bagi santri perempuan, kabar itu bukanlah kabar yang terlalu menggembirakan. Sosok yang selama ini mereka idolakan akan segera menjadi milik perempuan lain yang memang pantas mendapatkan “gus” mereka itu. Sejujurnya bukan para santri saja yang merasa kehilangan. Sejak Kyai Abi dan Nyai Mai menyampaikan kabar itu pada Teuku dan dirinya, Dien merasa ada yang aneh di hatinya. Ia merasa ada yang akan pergi darinya, entah apa? “Ning Dien, apa Gus Teuku akan benar-benar dikhitbah[1] Kyai Syarief untuk ning Laila?” Nala, salah seorang santri perempuan yang cukup dekat dengan Dien, menanyakan kebenaran perihal kabar yang tersiar dan menjadi pembicaraan para santri. “Begitulah yang saya dengar dari Umi dan Abah,” jawab Dien sambil membersihkan buku-buku yang berantakan di TPA Kampung Nelayan dekat pesantren. Dien dan beberapa santri mengabdikan diri untuk mengajar secara sukarela. “Ning Dien tidak sedih?” Pertanyaan Nala membuat Dien tertegun untuk beberapa waktu. Seperti ada yang tersentil di hatinya. Namun anak angkat Kyai Abi itu buru-buru tersenyum. “Mengapa saya harus bersedih? Gus Teuku akan mendapatkan calon istri yang cantik dan sholehah.” Dien mengembalikan buku-buku ke dalam almari. Ia tidak bisa memaksa anak-anak TPA yang masih kecil itu untuk terbiasa mengembalikan buku-buku ke dalam almari seusai mengaji. Meski Dien sudah mengajarinya berkali-kali, masih sangat sulit untuk membuat mereka terbiasa melakukan itu. “Setelah menikah Gus Teuku akan menghabiskan banyak waktu dengan istrinya.” Nala mengawali alasannya. “Dulu, sewaktu kakak saya menikah, saya sangat kehilangan. Biasanya kakak saya selalu ada untuk saya, tetapi dia tiba-tiba harus jauh dari saya. Saya benar-benar kesepian. Itulah mengapa pada akhirnya saya memilih belajar di pesantren.” Dien tersenyum, mungkin hal seperti itu yang akan dirasakan Dien. Kehilangan. Tapi sepertinya bukan itu saja, ada hal lain yang menganggunya. - ۩ - Sejak kata perjodohan diungkapkan Umi dan Abahnya, hati Teuku semakin hari semakin tidak tenang. Ia serasa ingin melarikan diri. Segala hal telah dicobanya untuk menentramkan hatinya. Mulai dari mengaji kitab, salat, berdzikir, membaca Alquran, semua sudah ia lakukan. Namun hatinya semakin hari semakin merasa was-was. “Sedang apa, Ning Dien?” ia melihat Dien di dapur dan menghampirinya. “Membuat kopi untuk Abah.” Jemari Dien mengaduk cairan berwarna hitam dengan aroma kopi yang menggoda. Gumpalan asap masih mengepul di atas permukaannya. “Buatkan teh untuk saya!” pinta Teuku. Dien menoleh sejenak lalu tersenyum. Tidak biasanya kakaknya memintanya membuatkan minuman. Ia lebih suka menyeduh sendiri. “Gus Teuku bisa membuatnya sendiri.” Teuku menyandarkan tubuhnya ke tiang penyangga yang menopang atap dapur. “Berbaiklah dengan kakak kau ini. Kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa tinggal satu rumah seperti ini dan kau bisa berbuat baik pada saya.” Dien kembali tersenyum sembari meletakkan secangkir kopi di atas nampan. Setelah itu ia mengambil beberapa sendok gula dan meletakkannya di wadah lain. Sekilas ia mendapati Teuku sedang menatapnya. “Jaga pandangan Gus, jangan melihat saya seperti itu!” Dien merapikan toples kopi dan gula, lalu mengembalikannya ke tempat semula. “Dosa hukumnya menatap lawan jenis yang bukan mahram.” “Kau kan adik saya, apa saya tidak boleh melihat adik saya?” tanya Teuku lirih. Ia bukannya tidak tahu akan hal itu. Namun sesaat tebersit di hatinya untuk mengingkari kenyataan itu. Dien mengangkat nampan yang di atasnya telah siap secangkir kopi untuk Abahnya. “Tapi kita bukan mahram Gus, jangan sampai pandangan itu dipergunakan syeitan sebagai kesempatan untuk menjebak Gus ke dalam perbuatan yang berdosa. Haram hukumnya melihat lawan jenis yang bukan mahram.” Teuku tertegun merenungkan ucapan Dien yang telah meninggalkannya di dapur sendirian. Ia melafalkan istighfar di dalam hatinya berkali-kali. Teuku mulai menyadari hal aneh. Pandangannya kepada Dien, bukan lagi pandangan seorang kakak terhadap adiknya. Hatinya ikut bergetar setiap kali ia melihat wajah Dien. “Astaghfirullah ‘adzim,” ia mendesah lirih menyadari kesalahannya. Jelas sekali bahwa itu adalah perbuatan dosa. Namun entah mengapa ia sulit mengendalikan keinginannya. “Allah, lindungi hamba-Mu!” desahnya lirih sambil memejamkan kedua matanya. - ۩ - Kyai Syarief dan keluarganya datang bersilaturahim ke pesantren Al-Hamizan. Mereka baru saja menghadiri pengajian di Kabupaten Tuban, jadi ketika melintas menuju Kabupaten Rembang, mereka memutuskan mampir untuk bersilaturahim. Dien yang sedang menghadiri acara muhadharah[2] murid dari madrasah tsanawiyah bergegas pulang ke pesantren. Sejujurnya ia penasaran dengan calon kakak iparnya. “Ning Dien, jangan suka mengintip!” Teuku menegur Dien yang sedang berusaha mengintip dari sketsel yang digunakan sebagai penyekat ruang tamu dan ruang tengah. Dari balik ukiran-ukiran kecil, ia bisa melihat wajah Laila yang sedari tadi hanya tertunduk malu. “Gus, putri Kyai Syarief cantik, ya?” komentarnya masih menunduk ke lubang ukiran yang teramat kecil. Ia menyipitkan matanya, menyesuaikan dengan lubang ukiran. “Semua perempuan juga cantik,” sahut Teuku tak berantusias. Ia memasukkan beberapa kitab yang akan digunakan untuk mengajar santri di pesantren nanti sore. “Gus Teuku ini, cobalah lihat kemari!” Dien tidak puas dengan jawaban Teuku. Ia malah memaksa Teuku memastikannya sendiri. “Kau ingin saya berdosa karena mengintipnya. Bukankah kau sendiri yang mengatakan, haram hukumnya melihat lawan jenis yang bukan mahram?” Teuku menyentil Dien dengan membalikkan perkataan yang dilontarkan Dien kemarin malam. “Ah benar, Gus tidak boleh mengintip lawan jenis,” sahut Dien menyadari kekhilafannya. Teuku melihat Dien dengan wajah dingin. “Kau bukannya harus datang ke muhadharah murid MTs?” Ia menghafal jadwal kegiatan adiknya dengan baik. Dien menegakkan tubuhnya. “Sudah, tapi saya tinggal karena saya penasaran dengan Ning Laila,” jawabnya dengan penuh kejujuran. “Kau ini Ning Dien, daripada mengintip lebih baik mengaji saja sana.” Teuku memperlihatkan ketidaksukaannya pada sikap Dien. Entah karena sikap Dien, atau entah karena suasana hatinya yang tidak enak. “Sepertinya Ning Laila akan menjadi kakak ipar yang baik untuk saya.” Penuturan Dien membuat Teuku menghentikan kegiatannya merapikan kertas-kertas di atas meja. “Kau suka jika saya dijodohkan?” tanyanya dengan wajah serius. Dien tersenyum hambar. “Kalau jodoh Gus Teuku cantik dan sholehah seperti Ning Laila, mengapa saya harus tidak senang?” Teuku menegakkan tubuhnya dan berbalik hingga menghadap Dien. “Kau tidak takut akan kehilangan kakak kau ini?” tanyanya dengan wajah tegas. “Mengapa saya harus kehilangan Gus Teuku, Gus Teuku tetap kakak saya.” Dien berkilah sambil berusaha tersenyum. Sejujurnya sikap Teuku membuatnya sedikit merasa canggung. “Sungguh kau tak takut kehilangan saya?” Teuku mengulang pertanyaannya dan sempat membuat Dien tersentil hatinya untuk beberapa saat. Terlebih ketika Teuku melihatnya dengan pandangan yang sulit dimengerti Dien. Bukan pandangan itu yang selama ini ia lihat dari kedua mata Teuku. Pandangan itu terasa janggal sekarang. “Ah, saya lupa Gus, Nala mengajak saya menghadiri pengajian di Masjid Kampung sebelah. Saya harus pergi sekarang.” Dien melarikan diri melihat ekspresi wajah Teuku yang tidak seperti biasanya. Ia juga ingin membawa kabur hatinya yang tiba-tiba merasa aneh setelah mendengar pertanyaan Teuku yang berulang. Dien berjalan dengan tergesa meninggalkan kediaman orangtua angkatnya dari pintu samping dnegan langkah tergesa. Ia bahkan sempat tersandung dan hampir terjatuh. Beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia tidak mengerti situasi macam apa yang sedang ia hadapi dengan kakak angkatnya hari ini. Mengapa segalanya tiba-tiba berubah janggal untuk mereka. - ۩ - Mekah, 12 Dzulhijjah Mina adalah tempat tergapainya harapan. Saya bisa saja berdoa memohon kau pada Tuhan untuk saya, namun saya tidak ingin melakukannya. Tahukah kau Gus, orang yang datang ke Mina digolongkan menjadi dua. Mereka yang datang untuk pengharapan dunia atau mereka yang datang untuk pengharapan akhirat. Saya malu jika datang kemari dengan berdoa untuk meminta kau kepada Allah. Kau ingat Gus, waktu Ning Laila berkunjung ke pesantren. Rasanya saya ingin melarikan diri. Tapi saya juga bahagia melihat kau akan medapatkan calon yang baik. Di tempat ini, Allah membuat hati saya tenteram kala mengingat masa itu, Gus. Allah menelisipkan keikhlasan di hati saya. Sungguh. Saya ikhlas melepaskan kau bahagia dengan Ning Laila. —Dien - ۩ - [1] dilamar [2] pidato Takdir yang Menyampaikan Pesan Malam ini, tiba-tiba saja Nyai Mai memanggil Dien ke kamarnya dan meminta Dien tidur bersamanya. Kyai Abi sedang pergi ke luar kota untuk memenuhi undangan tausiyah[1]. Semuanya masih terlihat normal hingga menjelang pertengahan malam, Nyai Mai terbangun dari tidurnya. Dien yang sejujurnya tidak bisa tidur, segera bangun melihat Uminya duduk di dekat jendela. “Umi, apa terjadi sesuatu? Mengapa Umi terbangun tengah malam begini?” ia mengkhawatirkan Uminya. “Kau juga belum tidur? Apa kau merasa tak nyaman tidur bersama Umi?” Nyai Mai menjawab pertanyaan Dien dengan pertanyaan yang lain. “Bukan begitu Umi, Dien hanya tidak bisa tidur.” Jawab Dien sambil mendekat ke tempat Nyai Mai. “Pasti ada yang kaupikirkan?” tebak Uminya sambil melihat Dien dengan senyuman hangat. “Kemarilah!” Dien tidak menjawab. Ia hanya mendekati Uminya. Namun ia tidak bisa mengatakan bahwa ia merasa gelisah semenjak mendengar kabar perjodohan antara Teuku dan Laila. “Sebenarnya ada yang ingin Umi bicarakan dengan kau,” ungkap Nyai Mai. “Dengan Dien, Umi?” Nyai Mai mengangguk. “Duduklah kemari!” Nyai Mai menarik kursi kosong di sebelahnya. Dien menurut, ia telah duduk dengan sopan di hadapan Umi angkatnya yang selalu memperlakukan ia layaknya putrinya sendiri. Nyai Mai hampir membuka suaranya namun diurungkan lagi niatnya. Tak sampai hati ia menyatakan keinginannya pada Dien. “Mengapa Umi tak mengatakan apa pun? Katakan saja Umi, Dien akan mendengarkan.” Nyai Mai tersenyum lalu membelai kerudung Dien. “Kau tahu Dien, Umi sangat beruntung memiliki kau dan Teuku.” Dien tersentuh hatinya mendengar perkataan Nyai Mai. “Dien juga merasa sangat beruntung, Umi. Dien tidak tahu harus bagaimana menghaturkan terima kasih kepada Umi dan Abah. Jika ada sesuatu yang bisa Dien lakukan untuk Umi dan Abah, katakanlah Umi. Dien akan sangat senang melakukannya.” “Kau bersungguh?” Nyai Mai meraih tangan Dien. Dien mengangguk dengan sangat yakin. - ۩ - Sejak permintaan itu terucap dari Uminya, Dien semakin gelisah. Keanehan hatinya semakin terasa jelas. Seakan ada perlawanan di hatinya yang membuat Dien merasa berat untuk menjalankan perintah Uminya. Sungguh, bukan hal yang mudah bagi Dien untuk membujuk Teuku menerima perjodohan. Namun hadiah yang ditawarkan Nyai Mai amat menggiurkan hatinya. Pergi ke baitullah, rumah Tuhan, ka’bah di Mekah. Betapa menyenangkannya jika mimpi yang ia angankan dapat terwujud. “Kau melamun, Ning Dien? Seperti orang yang sedang jatuh cinta saja.” Nala mengejutkan Dien yang sedang memikirkan permintaan Uminya. Dien tersenyum lalu beranjak untuk membantu Nala menjemur pakaian. “Kau pernah jatuh cinta?” tanya Dien menyahuti ucapan Nala. Diambilnya sepotong sarung, memeras airnya lalu merentangkannya pada tali yang membentang di bawah sinar terik matahari. “Tentu saja! Imam Syafi’i mengatakan, tidak seorang pun yang hidup tanpa adanya orang yang dicintai dan orang yang dibenci.” Jawab Nala penuh antusias. Dien tersenyum meringis karena ucapan Nala dan sengatan terik matahari. Ia mengibaskan sebuah baju kurung lalu menjemurnya di atas tali. “Kalimat itu bukankah merujuk pada pergaulan dalam kehidupan sehari-hari?” “Apa jatuh cinta tidak disebabkan oleh pergaulan sehari-hari?” Nala membantah ucapan Dien dan membuat adik Teuku itu berpikir sejenak. “Terserah kau sajalah!” Dien menyerah. Nala tersenyum melihat Dien menyerah. Ini sungguh aneh, biasanya Dien tidak mau kalah adu argumen. “Sudah habis?” Dien mengintip timba yang kosong. Nala mengangguk. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan dan bergegas kembali ke kamar Nala di kediaman santri putri setelah mengembalikan timba ke sumur. “Ning Dien tidak pernah jatuh cinta?” pertanyaan Nala membuat jemari Dien berhenti membuka-buka halaman kitab yang ia dapatkan dari meja kecil di sebelah tempat tidur Nala. Jatuh cinta? Dien memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar. “Ning Dien, kau baik-baik saja?” tanya Nala melihat Dien termenung. “Bagaimana rasanya jatuh cinta?” Tiba-tiba Dien penasaran. Nala tersenyum. “Ning Dien benar-benar tidak tahu rasanya?” Ia memastikan sekali lagi. Dien mengangguk ragu. “Jatuh cinta itu ….” Nala diam sejenak, lalu ia melihat Dien dan tersenyum. “Tanyakan pada hati Ning Dien.” Dien tersenyum melengah. “Apakah itu jawabannya?” Nala mengangguk dengan yakin. “Hanya hati kita yang bisa menjawab, Ning Dien.” Dien terdiam. Hati? Jatuh cinta? - ۩ - Dien sedang menyiapkan kajian untuk santri putri saat Teuku melintas membawa beberapa kitab. Kakak angkatnya itu terlihat sibuk. Ia sejak tadi mondar-mandir mengambil beberapa kitab. Membuka-buka halamannya, mencatat, lalu mencari kitab yang lain. Kegiatannya itu terus berulang. “Gus Teuku butuh bantuan?” tawar Dien setelah menghentikan sejenak kesibukannya. “Tidak perlu, sukron[2]!” jawab Teuku acuh. Entah karena kesibukannya atau karena hal lain. Namun yang pasti, Teuku seakan tidak mau melihatnya. Dien kembali pada kegiatannya. Ia berusaha mengabaikan sikap Teuku, tetapi lama-lama tidak tahan. Mereka berada di ruang yang sama meski berjauhan. Biasanya Teuku akan memulai percakapan walaupun hanya sesekali. Namun, kali ini kakaknya itu diam saja. Apakah dia marah? “Gus!” panggil Dien hati-hati. “Saya sedang sibuk. Tolong jangan ganggu saya!” Ada yang terluka di hatinya saat Teuku tiba-tiba bersikap sedingin itu padanya. Dien pun memutuskan untuk tidak mengganggu kakaknya lagi. - ۩ - Setelah membaca kitab Ihya ulumuddin, Dien merasa mendapatkan jawaban. Manakah yang harus ia pilih, menyampaikan pesan uminya atau mempertahankan keinginan hatinya pada Teuku? Pergi ke rumah Allah ataukah bersanding dengan Teuku? Ia pun bergegas mencari Teuku yang sedang membaca kitab di halaman belakang dekat kolam ikan. “Gus, ada yang ingin saya sampaikan,” katanya hati-hati. “Katakan saja, biasanya kau juga suka berbicara sesuka kau,” sahut Teuku setelah menutup halaman kitab yang dibaca. “Menikahlah dengan ning Laila!” ucap Dien setengah ragu. Pemuda itu terperangah. “Apa yang baru saja kau katakan?” Teuku bukannya tidak mendengar ucapan Dien, ia ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Menikahlah dengan Ning Laila.” Dien mengulang kata yang sama, kali ini lebih mantap. Wajah Teuku mengeras. Ada kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau sama saja seperti Abah dan Umi.” Dien segera duduk di hadapan Teuku —di tepi kolam ikan, berjarak sekitar dua meter dari tempat duduk kakaknya. “Ayolah Gus, terima saja! Setidaknya lakukan ini untuk Abah dan Umi,” bujuk Dien mengabaikan sikap Teuku. “Pernikahan bukan sebuah permainan, Ning Dien. Menikah bukan perkara sederhana,” sergah Teuku dengan nada sedikit meninggi. “Lagi pula saya masih belum ingin menikah. Mengapa tidak kau saja yang menikah?” tukasnya, lalu beranjak meninggalkan Dien sendirian. Tiba-tiba saja ia ingin memarahi adiknya. Bagaimana mungkin dia bisa meminta hal semacam itu. Tidakkah ia mengerti bahwa Teuku jengah dengan permintaan itu. Tidakkah ia mengerti bahwa Teuku terganggu dengan desakan yang tak diinginkannya itu. Blak! Pintu suara kamarnya yang ditutup bahkan terdengar hingga halaman belakang. Teuku menyandarkan tubuhnya ke pembatas dipan —ranjang kayu. Allah, apa aku benar-benar menyukai adikku? Bukan sebagai saudara, namun sebagai perempuan. Ia mendesah dalam hati. Teuku menutupkan matanya. Berusaha menenangkan hatinya dengan berbagai bacaan dzikir dan istighfar. - ۩ - Mekah, 9 Dzulhijjah “Gus, saya dengar Arafah adalah potret mini padang mahsyar. Benarkah?” Berdiam di Arafah membuat saya menyadari banyak hal. Tiba-tiba saya teringat ketika Umi meminta saya membujuk kau untuk menerima perjodohan. Sungguh, rasanya hati saya seperti disembelih pisau setengah tajam. Tersayat-sayat perih, namun tak jua putus. Namun saya harus tetap memilih, mempertahankan cinta saya pada Gus Teuku atau pergi ke rumah Allah. Kini saya sadar, pilihan saya tidak salah, Gus. Saya sempat lupa tentang pelajaran yang saya dapat saat mengaji bersama Abah. Jodoh adalah takdir Allah dan tidak ada yang mampu mengubahnya. Jika kita berjodoh, saya yakin Allah akan mempersatukan kita. Karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Maka saya tidak menyesal pergi ke tempat ini. Karena saya membawa sebuah doa untuk kau. —Dien - ۩ - [1] Siar/ceramah agama [2] Terima kasih Ke Rumah-Mu “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” Teuku tersenyum ketika Dien memperlihatkan padanya surat An-Nur ayat 32. “Ning Dien, menurut madzab[1] Imam Syafi’i, menikah menjadi wajib hukumnya jika seorang laki-laki yang mampu dalam hal biaya untuk mahar dan nafkah, merasa khawatir jika dirinya akan berbuat zina jika tidak menikah. Kedua, haram hukumnya menikah jika dia tidak yakin akan mampu menjalankan kewajiban di dalam pernikahan. Ketiga, sunnah hukumnya jika ia ada keinginan menikah, mampu dalam hal biaya untuk mahar dan nafkah, serta mampu menjalankan kewajiban di dalam pernikahan. Keempat, makruh[2] hukumnya jika ia tidak memiliki keinginan untuk menikah, tidak ada biaya untuk mahar dan nafkah, namun khawatir tidak mampu melakukan hal-hal yang ada di dalam suatu pernikahan. Kelima, mubah[3] hukumnya jika ia menikah hanya untuk menuruti keinginan syahwat. Jelas?” Dien diam. Ia tidak bisa membantah karena yang dikatakan Teuku jelas sanad[4]nya. Maka ia pun berpikir untuk mencari cara yang lain. “Gus Teuku!” panggil Dien kembali. “Apalagi, Ning Dien?” Teuku dibuat geram dengan perilaku Dien. Dien menunjukkan wajah memelas. “Bantu saya agar bisa pergi ke Baitullah!” Ia merengek dan bersikap seperti adik kecil Teuku. “Maksud kau?” Dahi Teuku mengernyit karena tidak memahami maksud pembicaraan Dien. “Jika Gus menerima perjodohan, umi akan mengirim saya pergi haji.” Dien diam sejenak. “Tolong bantu adik Gus ini mewujudkan mimpinya. Saya benar-benar ingin melihat rumah Allah.” Teuku melihat wajah memelas Dien kemudian mengalihkan pandangannya seraya mengembuskan napas beratnya. Adiknya sungguh membuatnya tidak enak hati. Jika ia menerima perjodohan, sudah jelas bahwa ia harus merelakan perasaan yang belakangan muncul untuk Dien. Perasaan yang ia sadari sebagai perasaan suka antar lawan jenis. Bukan lagi perasaan kasih sayang antara kakak dan adik. Namun, jika ia menolaknya, ia telah menghalangi Dien berkunjung ke Baitullah. Allah, apa yang harus hamba-Mu ini lakukan? “Gus!” Dien memanggil kakaknya lebih lirih. Ia tahu bahwa Teuku menyayanginya. Ia tahu bahwa Teuku tidak pernah tega menolak permintaannya. Dien sangat percaya bahwa Teuku masih seorang kakak yang sama, yang dikenalnya saat ia berumur enam tahun. Kakak yang selalu melindunginya. - ۩ - Wajah berbinar itu membuat Teuku terkesiap. Dien terlihat sangat bahagia dan itu membuatnya ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan adiknya. Meski sejujurnya untuk mengabulkan mimpi Dien, Teuku harus mengorbankan perasaan cintanya pada adik angkatnya itu. Allah, semoga ini menjadi pilihan terbaik untuk kami. Doa Teuku dalam hati. “Kau senang?” Teuku berusaha tersenyum mengantar kepergian Dien ke Baitullah bersama putri Kyai Hanif —sahabat Abahnya. “Tentu saja, saya akan segera melihat rumah Allah,” jawab Dien dengan senyuman yang tak henti menghias wajahnya. “Kau tidak ingin mengajak saya?” Teuku ingin menyembunyikan gundah di hatinya melepas kepergian Dien. Hatinya sungguh pedih melihat adiknya. “Bukankah Gus Teuku sendiri yang mengatakan bahwa saya tak boleh pergi bersama Gus Teuku. Jika Gus ingin, datanglah sendiri!” sergah Dien dengan tingkah manjanya. Teuku tersenyum getir mendengar jawaban Dien. “Jangan lupa berdoa untuk saya di sana!” pesannya. “Gus ingin saya doakan apa?” tanya Dien bersemangat. “Em … doakan saya untuk berjodoh dengan orang yang saya cintai.” Jawaban Teuku membuat Dien menampakkan wajah tak suka. “Aish … mengapa laki-laki memiliki sikap sama. Ingat, Gus Teuku sebentar lagi akan bertunangan dengan ning Laila.” Dien mengingatkan kakaknya. “Jika saya bertunangan dengan ning Laila, apa kau tidak merasa sedih?” Kali ini Teuku bertanya dengan raut wajah yang lebih hangat. Namun, tak dapat dipungkiri, berat rasanya saat ia melontarkan pertanyaan itu untuk adiknya. “Mengapa harus bersedih?” tanya Dien balik. “Karena kau akan kehilangan kakak baik hati seperti saya.” Jawaban Teuku membuat Dien kelepasan tertawa. “Hush, Ning Dien. Perempuan tidak boleh tertawa begitu,” tegur Teuku. Sejujurnya ia bahagia melihat Dien bisa tertawa bahagia. Dien langsung membungkam mulutnya. “Maaf Gus, kelepasan,” jawab Dien. “Saya akan bahagia asal Gus Teuku bahagia.” Kali ini Dien berbicara dengan serius. “Bagaimana jika saya tidak bahagia menikah dengan ning Laila?” tanya Teuku kembali. Ada keseriusan di wajahnya yang membuat Dien tidak enak hati. “Aish, Gus Teuku. Jangan mengatakan hal seperti itu!” larangnya. Teuku kembali tersenyum. “Pulanglah dengan selamat!” pesannya sambil menyunggingkan senyuman hangat. “Bagaimana jika ternyata saya betah tinggal di sana?” Dien hanya mengatakannya untuk mengganggu Teuku. “Apa kau berencana menetap di sana? Jangan membual dengan omong kosong! Kau mau jadi gelandangan di sana?” olok Teuku menyahuti candaan Dien. “Mengapa saya harus menjadi gelandangan? Ada rumah Allah di sana,” bantah Dien seperti biasanya. Nyai Mai hanya tersenyum melihat tingkah keduanya yang tak pernah berubah. Selalu saja suka berdebat. “Baiklah, lakukan saja apa yang kauinginkan.” Teuku mengalah. “Hati-hati, saya akan menunggu kau pulang,” pesan Teuku kembali. “Jangan menunggu!” Dien masih ingin mengganggu kakaknya. “Mengapa?” Teuku bertanya sekali lagi. “Saya mau menetap di rumah Allah,” jawab Dien dengan senyuman lebar. “Baiklah, terserah kau saja!” Teuku menuruti sikap keras kepala Dien. “Kau pasti akan merindukan saya dan pulang lagi. Saya pastikan itu.” Dien tersenyum menanggapi kalimat terakhir Teuku. Sungguh, ia bahagia. Namun, di sinilah akhirnya. Ia harus membawa serta perasaannya pada Teuku ke Baitullah. Ia berencana meninggalkan perasaan itu di sana. Lalu kembali ke tanah air dengan hati yang baru. Ia berharap inilah akhirnya. Pertemuan berakhir ketika bus rombongan haji membawa Dien pergi dari Teuku, Kyai Abi, dan Nyai Mai. Berat bagi abah dan uminya melepas Dien pergi berhaji tanpa mereka. Namun, putri angkat mereka itu benar-benar ingin berkunjung ke rumah Allah di tanah Mekah. Mereka hanya bisa memanjatkan doa untuk anak perempuan mereka yang telah menjadi dewasa dan sungguh mencintai Tuhannya. Bukankah memiliki anak yang sholeh dan sholehah adalah harapan terbesar orang tua di muka bumi ini. Diam-diam Teuku meneteskan air matanya. Sungguh, ia terluka sekaligus bahagia. Mungkin, di sinilah akhir dari perasaannya untuk Dien. - ۩ - Mekah, 10 Dzulhijjah Kau tahu Gus, berat untuk memilih. Cinta saya kepada Gus, ataukah cinta saya kepada Allah. Namun saya tidak ingin terlena. Bagaimanapun saya tak boleh menduakan Allah. Cinta saya pada Gus tak boleh lebih besar dari cinta saya kepada Allah, karena itu akan membinasakan saya dan Gus. Kau ingat yang kita pelajari dari nasehat Imam Syafi’i : “Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.” Terima kasih, dengan menerima perjodohan itu, Gus telah membantu saya untuk lebih mencintai Allah dengan ikhlas. —Dien - ۩ - [1] Metode pemikiran [2] perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan [3] Perbuatan yang apabila dikerjakanatau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa [4] rangkaian rawi yang mengantarkan matan hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Jawaban Seusai kepergian Dien ke tanah suci, Teuku banyak mendekatkan diri kepada Allah untuk meminta petunjuk agar dapat menentukan pilihan terbaik. Malam-malam banyak ia habiskan untuk salat, mengaji, dan berdzikir. Hingga suatu malam kesekian, datanglah petunjuk itu setelah ia melakukan salat istikharah[1] beberapa kali. “Umi!” Teuku mendekati Uminya yang sedang membungkus kue di dapur. “Teuku, kemarilah!” panggil Nyai Mai pelan. Teuku duduk di sebelah uminya lalu meraih bungkus kue dan membantu uminya. “Umi, ngapunten[2], sebenarnya ada yang ingin Teuku sampaikan.” Putra tunggalnya itu menyampaikan maksud kedatangannyannya dengan hati-hati. Nyai Mai tersenyum. “Sesuatu yang penting?” Teuku tersenyum malu, “Mungkin tidak penting untuk umi, tapi penting untuk Teuku.” Perlahan ia pun mulai menyampaikan keinginannya. Ia tahu bahwa uminya tidak suka dengan keputusannya. Teuku bisa melihat itu dari perubahan ekspresi Nyai Mai. “Jika perempuan yang datang kepada kau baik menurut pandangan agama, baik dari nasab[3] dan akhlaknya, mengapa kau harus menolak?” Uminya menasehatinya ketika Teuku menyampaikan maksudnya untuk tidak melanjutkan perjodohan. Abahnya datang. Sebenarnya Kyai Abi menyimak percakapan kedua anak dan ibu itu, tetapi beliau belum ingin ikut campur. Namun, setelah memperhatikannya, beliau harus terlibat. Maka Kyai Abi menghampiri mereka. “Bah!” Teuku segera salim pada Abahnya. “Ada apa? Sepertinya serius sekali yang kalian bahas?” tanya Kyai Abi berpura belum tahu masalahnya. Teuku menunduk, itu adalah bentuk rasa hormatnya kepada umi dan abahnya. “Ada apa, Umi?” tanya beliau pada istrinya, karena keduanya hanya diam. Perlahan Nyai Mai menyampaikan apa yang telah Teuku sampaikan. “Baiklah, beri Abah alasan, mengapa kau tidak ingin melanjutkannya?” Kyai Abi berusaha menyikapi dengan bijak. “Ngapunten Bah, Umi. Sejujurnya saya memutuskan hal ini bukan tanpa berpikir. Saya sudah meminta petunjuk pada Allah dan Insya Allah, jawaban itu yang sungguh saya dapatkan.” Teuku diam sejenak untuk menyusun kalimat yang baik agar tidak terjadi salah paham. “Jika Umi dan Abah meragukan, mohon kiranya Abah dan Umi membantu saya meminta petunjuk pada Allah. Jika Allah memberikan jawaban berbeda pada Umi dan Abah, Teuku akan melanjutkan perjodohan. Teuku akan ikhlas menerima Ning Laila.” Setelah percakapan hari itu, Kyai Abi dan Nyai Mai melakukan salat istikharah untuk putranya. Pada akhirnya mereka mendapatkan jawaban yang sama dengan apa yang didapatkan Teuku. - ۩ - Sejak Teuku berdiam diri di beranda samping rumah, Nyai Mai terus memperhatikannya. Beliau bukannya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan putranya. Hanya saja, Nyai Mai percaya bahwa Teuku mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Maka Nyai Mai pun meninggalkannya dan pergi ke dapur untuk membuat makanan. Namun, sampai beliau kembali, Teuku masih bertahan di tempatnya dengan pandangan yang sama. “Kau tidak pergi ke madrasah? Katanya kau mau mengajari murid MTs berlatih qira’atul Qur’an untuk persiapan haflah imtihan[4]?” tanya Nyai Mai setelah mendekati Teuku. Teuku menoleh dan menyunggingkan senyuman hormat pada uminya. “Tidak Umi, sudah ada kang[5] dari pesantren yang mewakili saya.” Nyai Mai diam sejenak dan menarik napas panjang. “Ikutlah Umi sebentar!” Nyai Mai membawa Teuku ke halaman belakang di dekat kolam ikan. Menaburkan makanan untuk ikan lalu mengajak Teuku duduk. “Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan pada Umi?” pertanyaan uminya membuat Teuku sedikit bingung. Ia belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan uminya. Teuku diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. “Saat kau tidak ingin menerima perjodohan, tidak adakah hal lain yang ingin kau sampaikan pada Umi?” Teuku tersenyum canggung. “Ngapunten Umi, Teuku belum sepenuhnya paham dengan maksud Umi.” Nyai Mai tersenyum dengan hangat. “Maksud Umi, tidakkah kau ingin mengatakan sesuatu pada Umi.” Nyai Mai berbicara dengan tenang. “Tentang— Dien misalnya?” Sekali lagi Teuku merasa terperanjat dengan ucapan Uminya. Ia mulai khawatir, apakah perasaannya terhadap Dien ketahuan? “Kau menyukainya?” Nyai Mai melontarkan pertanyaan lain pada putranya. Teuku gelagapan dan tidak bisa menjawab apa pun. Uminya kembali tersenyum melihat putranya salah tingkah. “Kau ingin bersamanya?” Teuku semakin terkejut dengan kalimat-kalimat yang tidak disangka-sangka diucapkan wanita yang melahirkannya. “Katakanlah dengan jujur. Umi sudah melihatnya. Sejak kau kembali dari Qatar, pandangan kau pada Dien sudah tampak berbeda. Apakah Umi salah?” Teuku menunduk seketika. Ia sungguh malu pada uminya. Belum lagi jika ia harus menghadapi abahnya. Apakah abahnya tahu perihal perasaan yang diam-diam ia miliki untuk Dien. “Tidak apa. Umi tidak akan marah. Rasa cinta dalam hati adalah salah satu qodrat manusia sebagai makhluk.” Teuku kembali mengangkat wajahnya. “Umi benar-benar tidak marah?” Nyai Mai kembali tersenyum. “Umi tidak memiliki alasan untuk marah. Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Meski abah dan umi menjadikan kau dan Dien saudara, kenyataannya kalian tidak memiliki hubungan darah. Kalian tetap dua orang asing yang bukan mahram, dan kalian diizinkan untuk menikah.” Uminya menghela napas dalam. “Kau tahu maknanya mahram? Orang yang diharamkan untuk dinikahi baik karena nasab atau persusuan. Karena kalian bukan mahram, maka halal hukumnya jika kalian ingin menikah.” “Maaf, Umi!” Teuku kembali menunduk. “Kau ingin menikah dengannya?” pertanyaan dari Uminya, sekali lagi membuat Teuku sungguh terkejut. “Dien memiliki agama yang baik. Jadi tidak ada alasan untuk menolaknya.” “Tapi bagaimana dengan abah, Umi?” “Umi akan bicara pelan-pelan pada abah. Umi rasa tidak ada alasan bagi abah untuk menolak keinginan kau” Teuku tersenyum lega. “Terima kasih, Umi!” - ۩ - Mekah, Dzulhijjah sebelum berpisah dengan multazam Gus, saya sedang berada di multazam dan terlintas di benak saya sebuah rasa syukur yang sungguh tak terkira. Allah mengirimkan pemahaman-pemahaman luar biasa ketika saya beribadah di sini. Tentang makna keikhlasan di hati saya untuk menerima takdir Allah. Pada akhirnya saya sungguh paham, sebenar-benar paham, bahwa kekuasaan Allah adalah hal mutlak di dunia ini. Bahwa cintanya adalah cinta sejati yang paling abadi. Saya sungguh bersyukur karena memilih pergi ke rumah Allah daripada mempertahankan keinginan saya untuk bertahan di sisi Gus Teuku dengan cinta saya. Kau ingat Gus, Abah pernah menyampaikan ini pada kita : Jangan cintai orang yang tidak mencintai Allah. Kalau Allah saja ia tinggalkan, apa lagi kamu. –Imam Syafi’i- Jika kau marah karena saya meminta kau menerima perjodohan, mohon maafkan saya. Saya melakukan itu bukan karena saya tak menyukai kau. Tapi jika saya bisa menduakan Allah karena manusia, maka tidak menutup kemungkinan bahwa suatu ketika saya bisa menduakan Gus karena orang lain. Semoga Gus bisa mengerti, cara saya mencintai Gus Teuku adalah dengan tidak menduakan Allah. —Dien - ۩ - [1] Salat untuk meminta petunjuk [2] Mohon maaf [3] keturunan [4] Perayaan setelah ujian/ulangan [5] Panggilan santri laki-laki Memintamu Kepada Tuhan Teuku menghitung hari-hari yang lewat untuk menanti Dien pulang dari tanah suci. Ia telah memantapkan hati bahwa ia akan melamar Dien saat ia kembali. Abah dan Uminya telah setuju. Jika Teuku dan Dien saling menyukai, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk melarang. Karena larangan itu mungkin bisa menjadi sumber dosa jika mereka menghalangi dua anak adam yang memiliki tujuan suci menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Namun, sejujurnya, hati Teuku merasa gelisah. Bagaimana jika Dien tidak menyukainya. Bagaimana jika Dien hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Dien bahkan memintanya untuk menerima perjodohannya dengan Laila. “Kau sedang membaca kitab atau melamun?” Nyai Mai menegur Teuku yang membiarkan kitabnya terbuka di atas tangan, namun pandangan Teuku mengarah ke tempat lain. Teuku meringis malu. “Baca kitab, Umi.” Ia kembali mengarahkan kedua matanya ke halaman kitab fathul qarib[1]. “Baca kitab tapi pandangannya ke tempat lain,” ucap Nyai Mai lirih sambil berlalu. Beliau tersenyum melihat tingkah Teuku. - ۩ - Hari ini Dien pulang dari Mekah. Dua hari yang lalu Dien dan uminya sempat bercakap-cakap lewat telepon. Dien mengatakan sangat merindukan Nyai Mai, Kyai Abi, dan Teuku. Ia sempat memarahi kakaknya karena menolak perjodohannya dengan Laila. Teuku tersenyum sendiri teringat percakapannya dengan Dien. Tiba-tiba saja ia menyampaikan hal yang seharusnya ia sampaikan ketika Dien pulang ke Indonesia. Ia terlanjur mengatakan bahwa ia akan melamar Dien saat ia kembali. Ia meminta Dien menyiapkan jawaban ketika ia pulang nanti. “Gus, sepertinya mobil Kyai Hanif sudah tiba di pesantren.” Mendengar pemberitahuan dari salah satu santri pondok, Teuku bergegas meninggalkan madrasah dan pergi ke pesantren. Mereka memang tak menjemput Dien di kota karena Dien mengatakan akan pulang bersama putri Kyai Hanif. Teuku berjalan menuju pesantren dengan hati yang berdebar. Ia tidak tahu akan bagaimana nanti. Namun ia ingin segera bertemu dengan Dien. “Kyai!” Teuku pun sungkem pada Kyai Hanif yang duduk bertiga di ruang tamu bersama abahnya dan berjabat tangan dengan seorang tamu laki-laki yang lain. Kemudian ia undur diri untuk pergi ke belakang. Ia ingin bertemu Dien. Di ruang tengah, ia melihat putri Kyai Hanif sedang duduk sambil memegang tangan uminya. Di depan mereka ada koper yang di bawa Dien ke tanah suci. Karena tidak melihat adiknya di ruang tengah, Teuku pun mencari Dien ke ruangan yang lain. Namun, meskipun sudah berkeliling, Teuku tidak menemukan siapa pun. Maka ia pun kembali ke ruang tengah. “Kau mencari Dien?” Uminya bertanya dengan suara bergetar. Teuku mengangguk. “Iya Umi, tapi saya tidak menemukannya.” “Duduklah!” melihat ekspresi wajah uminya, Teuku merasakan firasat buruk. “Ada apa, Umi? Umi sakit?” Nyai Mai menggeleng. “Umi baik-baik saja.” “Lalu mengapa Umi terlihat bersedih? Ning Dien kemana, Umi?” Nyai Mai berusaha tersenyum di hadapan Teuku. Namun, butir air matanya menelisir melewati pipinya. - ۩ - “Kemarin ning Dien masih baik-baik saja. Setelah kami melakukan thawaf wada’[2], ia mengatakan ingin berada sedikit lebih lama di multazam. Ia ingin berdoa sebentar sebelum ia meninggalkan tanah suci. Kami hanya terpisah sebentar, tetapi ning Dien tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Saat itulah kami kehilangan ning Dien.” Putri Kyai Hanif menjelaskan dengan terbata. Air matanya berjatuhan meski ia berusaha tegar. Teuku menangis terisak sambil membaca yaa sin di dalam kamarnya. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Rasanya baru saja ia bercakap-cakap dengan adiknya di telepon. Ia mendengar tawa riang Dien. Teuku bisa membayangkan wajah bahagia Dien saat itu. Namun ia tiba-tiba saja telah pergi. Hanya kopernya yang kembali, tanpa pemiliknya. Kau jahat sekali Gus, mengapa menolak ning Laila? Suara Dien terdengar nyaring di dalam ingatannya. Rumah Allah sangat indah dan membuat hati saya tenteram, Gus. Rasanya saya ingin di sini sedikit lebih lama lagi. Teuku benar-benar merasakan sesak di dadanya. Ia tidak ingin menangis, namun juga tidak sanggup menghentikan air matanya. Jangan menunggu! Saya mau menetap di rumah Allah. Tawa Dien dan raut wajahnya yang berseri melekat erat di setiap tempat di pesantren ini. Sementara di luar kediaman Kyai Abi dan Nyai Mai, santri di pesantren pun ikut kehilangan atas kepergian ning mereka. Sebagai putri Kyai Abi, Dien dikenal sebagai pribadi yang baik dan ramah. Ia bisa berbaur dengan santri putri tanpa rasa canggung. Ia selalu menempatkan dirinya sama dengan santri Abahnya. Derajat manusia sama di hadapan Allah. Itulah yang selalu ia katakan. - ۩ - Hari berlalu, berganti menjadi minggu dan bulan. Namun, Teuku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa membuka buku catatan yang ia temukan di dalam koper milik Dien. Buku catatan yang dikirim dari Rumah Tuhan tanpa pemiliknya. Teuku selalu berusaha tersenyum setiap kali teringat adiknya, meskipun air matanya tidak pernah mendengarkan perintahnya. Dien benar-benar menepati ucapannya. Teuku tidak pernah mengira bahwa ucapan Dien yang mengatakan bahwa ia akan menetap di rumah Tuhan bukanlah sebuah candaan. Adiknya itu benar-benar menepati perkataannya. Teuku meraih novel klasik kesukaan Dien. Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya HAMKA. Novel yang ia temukan bersanding dengan buku catatan Dien. Setelah membacanya hingga selesai, Teuku mengerti mengapa Dien sangat menyukai buku itu. “Kau benar Dien, buku ini sangat menarik,” desah Teuku seakan ia sedang berbicara dengan adiknya. - ۩ - Mekah, Dzulhijjah di Soraya Gus, hari ini saya pergi ke Soraya. Kau pasti tahu tempat apa itu. Melihatnya mengingatkan saya pada kematian. Kita diciptakan pada tanah dan kelak akan kembali menjadi tanah. Tak seorang pun mampu memprediksi kapan malaikat Izrail bertamu dan menyampaikan takdir kematian pada kita. Bukankah kita hanya seorang musafir yang sejenak singgah di dunia ini. Kau ingat Gus, kau pernah membacakan sebuah kalimat pada saya : “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.” Kau mengatakan bahwa nasehat itu berasal dari Imam Syafi’i. Saya akan selalu mengingat dan menjaganya. Terima kasih sudah menyampaikan nasehat yang begitu indah. —Dien - ۩ - [1] Kitab Taqrib/kitab yang membahas tentang fiqih, seperti: thaharah, puasa, zakat, haji, jinayat, munahakat, dan mawaris. [2] Tawaf perpisahan Epilog Subuh berkumandang. Namun, Nyai Mai tidak melihat Teuku pergi ke masjid. Biasanya sebelum adzan subuh, ia telah bersiap di masjid pesantren. Maka Nyai Mai pun mengetuk pintu kamar putranya. Karena tidak ada jawaban, Nyai Mai memutuskan masuk ke dalam. Beliau melihat Teuku berbaring di atas sajadah. Mungkin Teuku sedang ketiduran setelah salat malam. Maka dengan hati-hati, Nyai Mai berusaha membangungkannya. Beliau melihat novel milik Dien berada tepat di sebelah Alquran milik Teuku yang ia dapatkan dari Dien beberapa tahun yang lalu sebagai hadiah. Nyai Mai melihat Teuku tertidur dengan wajah pulas dan teduh. Nyai Mai mengamati putranya sejenak sambil tersenyum. Perhatiannya sempat teralihkan pada buku catatan yang didekap Teuku dengan tangan kirinya serta tasbih yang berada di tangan kanan Teuku. Nyai Mai tahu betapa Teuku sangat kehilangan atas kepergian Dien. “Teuku, sudah subuh. Kau tak pergi ke masjid, Nak?” Ingin ataupun tidak, beliau harus tetap membangunkan putranya. “Teuku!” Nyai Mai menyenggol tangan Teuku yang terjatuh dan terkulai lemas di atas sajadah. Nyai Mai menyadari keganjilan. “Teuku!” Beliau sedikit menggoyangkan tubuh putranya dan membuat tangan kiri Teuku terjatuh di atas sajadah. Nyai Mai pun pergi ke pintu dengan cemas. “Bah! Teuku, Bah!” Mendengar panggilan istrinya, Kyai Abi pun datang ke kamar Teuku. “Bah, Teuku kenapa, Bah?” tanya Nyai Mai pada suaminya yang sedang memeriksa denyut nadi putranya. “Teuku! Bangun, Teuku!” Abahnya mencoba membangunkan namun beliau menyadari bahwa denyut nadi Teuku sudah tidak dapat dirasakan. “Innaalillaahi wainnaa ilaihi raaji’un.” “Bah, Teuku kenapa, Bah?” Kekhawatiran itu berubah menjadi air mata di pipi Nyai Mai. “Ikhlaslah, Umi!” ucapan Kyai Abi seketika membuat Nyai Mai kehilangan tenaga di tubuhnya. “Bah, putra kita, Bah.” Belum lama mereka kehilangan seorang putri, kini mereka juga harus merelakan putra semata wayangnya. “Bacalah yaa sin untuknya.” Kyai Abi menghela napas beratnya yang menyesakkan dada. “Abah!” Nyai Mai menangis di samping suaminya. Tak akan ada yang bisa mengerti rasa sakit kehilangan seorang anak kecuali orang tuanya. Kyai Abi tersenyum melepaskan buku dan tasbih dari jemari putranya. lalu dengan hati yang pedih beliau mendekapkan tangan Teuku. “Kau bahagia, Teuku? Kau sungguh ingin bertemu adik kau? Pergilah! Tuhan sepertinya mengizinkan kau! Pergilah, Nak! Abah dan Umi akan mengikhlaskan kau.” “Bah, Teuku, Bah!” Seorang putra yang akan mendekapkan tangan mereka ketika wafat dan memikul mereka ke pemakaman telah pergi. “Sudah Umi, jangan menangis di samping jenazah Teuku.” Kyai Abi merangkul tubuh istrinya yang tidak sanggup berdiri. - ۩ - Pesantren kembali berduka. Luka lama yang belum sembuh kembali perih karena luka baru. “Laailaaha illallah!” Kalimat tauhid berkumandang sepanjang jalan setapak dari pesantren menuju pemakaman. Kyai Abi berada di barisan depan, memikul keranda yang akan mengantarkan putranya ke pembaringan terakhir. Hati orang tua mana yang tidak pedih, ketika putra semata wayang yang seharunya mengantar pemakaman orang tuanya dan mendoa’akan mereka jika kelak mereka dipanggil ke pangkuan Allah, telah dipanggil terlebih dahulu. Ada seorang bijak berkata: rasa sakit seorang anak yang kehilangan orang tuanya, tak kan sebanding dengan rasa sakit orang tua yang kehilangan anaknya. - ۩ - “Janganlah engkau berduka atas apa yang terjadi. Ingatlah, tidak ada apa pun di dunia ini yang abadi.” –Imam Syafi’i- - ۩ - Description: Juara 2 Fiction Writing Competition Inspired by Classical Novel 2016 Karya ini terinspirasi dari novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA terbitan Balai Pustaka yang diikutsertakan dalam Fiction Writing Competition Inspired by Classical Novel yang diselenggarakan oleh Indonesia Book Club dan Telkom Indonesia. Sungguh, kau tak takut kehilangan saya? -Teuku Alief- Cara saya mencintai kau adalah dengan tidak menduakan Allah, Tuhan kita. -Dien Khalfani- "Rumah Tuhan" adalah sebuah kisah dua anak Adam untuk memaknai hakikat cinta sejati. Cinta sebenar-benar cinta, cinta yang bermanfaat, dan cinta yang tidak membinasakan. Nama : Sika Indry Akun Twitter : @Indryska
Title: reinkarnasi job pencuri terhebat Category: Fan Fiction Text: KELAHIRAN KEMBALI Bab 01 – Kelahiran Kembali 「Terlahir dalam penderitaan. Menderita kematian. Berpisah dengan hasrat seseorang menyebabkan kepahitan. Kepahitan mengarah pada apa yang tidak diinginkan seseorang. Menderita apa yang tidak bisa didapatkan seseorang. 」 Dalam Buddhisme, ada Delapan Penderitaan; Nie Yan menempati tidak kurang dari lima dari penderitaan ini. Seluruh hidupnya sejak lahir pada dasarnya adalah sebuah kisah tragedi. Untungnya, itu adalah kronik pendek — karena hanya hidup sampai usia dua puluh delapan. Mungkin hidupnya seharusnya berakhir pada titik ini. Namun, pada saat itu, takdir mengandung titik balik baginya. Nie Yan berbalik, perasaan basah muncul di belakang punggungnya. Dia merasakan adhesi lembab pada pakaiannya karena menempel erat di kulitnya. Itu adalah sensasi yang tidak nyaman. Dia samar-samar ingat telah ditembak di belakang dengan pistol dan jatuh ke tanah. Darahnya mengalir keluar, merembes ke bumi. Bukankah itu hanya kematian? Nie Yan berbaring di sana dengan tenang di mana dia pingsan. Untuk diam-diam meninggal seperti ini, tidak bisakah ini juga dianggap sebagai jenis kematian yang damai? Dia berbaring dalam penyergapan selama lima hari penuh menunggu di gerbang Rumah Cao Xu. Di sana ia menunggu dengan susah payah bagi Cao Xu untuk muncul. Pada saat Cao Xu hampir melarikan diri ke kendaraannya, Nie Yan menarik pelatuknya. Dengan menggunakan senapan snipernya, dia mengirim peluru menembus tengkorak Cao Xu. 「Bang!」 Darah mewarnai tanah. Memandang melalui lingkup dari kejauhan, sebuah lubang muncul di kepala Cao Xu, darahnya mengalir keluar dengan lancar. Mata Cao Xu menatap kosong sebelum akhirnya menjadi lemah, saat cahaya di dalamnya berangsur-angsur menghilang. Memutar peristiwa ledakan peluru di kepala Cao Xu dalam benaknya, Nie Yan merasakan kenikmatan tiada banding di hatinya. Secara alami, itu karena dia tidak terbebani dari kebenciannya. Cao Xu memiliki kemuliaan dan kemegahan seumur hidup, namun ia meninggal di tangan orang yang tidak seperti Nie Yan. Bahkan jika dia menjadi hantu, Nie Yan tidak akan terlalu pahit. Dalam menghadapi kematian, setiap orang memiliki kedudukan yang sama. Bahkan jika dia memiliki kekayaan untuk menyaingi negara-negara, itu masih tidak akan bisa menyelamatkan hidupnya. Dia telah melakukan terlalu banyak kejahatan …. Bagaimanapun, sulit untuk menghindari retribusi dalam reinkarnasi. Pada saat otak Cao Xu meledak, Nie Yan menyadari. Perspektifnya tentang kehidupan telah mengalami transformasi total — jadi segala sesuatu dalam hidup tidak lebih dari satu tembakan senapan sniper. Mungkin besok fotonya akan terpampang di halaman depan koran pagi. Judulnya bertuliskan, “Millionaire Cao Xu Assassinated!”. Di bawah, sebuah potret kriminal raksasa akan diletakkan di halaman agar orang awam dihormati dan disembah. Segera setelah Nie Yan menembak mati Cao Xu, pengawal pribadinya menemukan Nie Yan, dan mengejar. Mereka menembaknya, satu peluru berhasil memukulnya dari belakang. Nie Yan merasakan ledakan rasa sakit yang tajam datang dari punggungnya. Jadi begini rasanya ditembak. Dia merasakan hatinya berangsur-angsur menjadi dingin, kekuatan hidupnya dengan cepat keluar dari tubuhnya. Apakah saya akan mati? dia berpikir, namun tertawa samar. Dia menertawakan singkatnya kehidupan. Dia menertawakan hidupnya yang kebingungan dan ragu-ragu. Hanya ketika dia akan mati barulah dia akhirnya sadar akan kenyataan. Tak lama setelah kesadaran ini, air mata mulai mengalir di pipinya. Permusuhan mendalam terhadap orang tuanya sudah tidak ada lagi. Peristiwa-peristiwa di masa lalu sekarang diputar ulang dalam benaknya seolah-olah itu semacam film. Satu-satunya hal yang dilewatkan Nie Yan di Bumi adalah senyumnya yang samar dan tak bercela. Dia adalah teman sekelas Nie Yan di sekolah menengah. Sekarang, dia sudah bertunangan dengan orang lain, namun kulitnya yang elegan dan halus tetap terukir dalam pikiran Nie Yan, sama seperti di masa lalu. Setelah berlalunya waktu, itu menjadi semakin tak terlupakan. Dia bertanya-tanya …. Ketika dia menerima berita tentang kematianku, tentang bagaimana aku membawa Cao Xu bersamaku, bagaimana dia akan bereaksi? Akankah dia menghela nafas? Atau mungkin … akankah dia menangis sedih? Ingatan yang berdebu tentang masa lalu tampaknya menembus kendala mereka; mereka mulai membanjiri. Mereka sekarang melayang dan mengambang di benaknya. Dia cukup menyesal. Untuk beberapa hal … ketika akhirnya disadari atau dipahami, itu sudah terlambat. Dalam hidup ini dia benar-benar memiliki terlalu banyak penyesalan. Terlalu banyak keinginan yang tidak terpenuhi …. Nie Yan mengulurkan tangan untuk meraih udara kosong, ingin memahami sesuatu. … Namun, untuk penemuannya, semuanya berangsur-angsur hilang dari jangkauannya. Sayangnya, hidupnya akhirnya mencapai batasnya — di depan hanya terbentang jurang yang sunyi senyap. Penyesalan dan kekecewaan menyerupai belati karena terus menerus mengiris di hatinya; rasa sakit di hatinya tak tertahankan. Kesalahan apa yang telah saya lakukan dalam kehidupan masa lalu saya untuk Surga menyiksa dan menghukum saya sedemikian rupa !? Keluhan Nie Yan melonjak ke Surga. Dia pahit. Dia menjerit kesal dalam benaknya saat tetesan air mata terus mengalir dari pipinya. Momen ini tampaknya berlangsung selama berabad-abad, dan tidak menyadari berapa banyak waktu yang telah berlalu, pikiran Nie Yan perlahan menjadi tenang, akhirnya menjadi tenang. Pikirannya masih aktif saat dia merenung …. Mungkinkah…? Apakah ini kematian? Mungkin ini ruh saya? Untuk waktu yang lama Nie Yan bisa merasakan sensasi sentuhan dari jari-jarinya, apalagi terasa nyata. Kenapa, setelah sekian lama, mengapa aku masih sadar? Dia segera duduk. Meneliti sekelilingnya, dia menatap kosong dengan bingung. Mungkinkah…? Apakah ini dunia bawah? Mata kusam Nie Yan secara bertahap mulai mendapatkan kembali fokus mereka. Ketika dia melihat sekeliling, beberapa benda tua memasuki penglihatannya: tempat tidur kayu, kursi, dan lantai yang tampak rusak. Di mana tempat ini? Bukankah saya sudah mati? Seolah-olah dia dalam mimpi — memiliki semacam sensasi ilusi — dia mulai merasakan punggungnya; seluruh tangannya terasa basah dan lengket. Namun, ketika dia menggerakkan tangannya ke pandangan, dia melihat bahwa telapak tangannya tidak berlumuran darah, melainkan keringat. Sensasi basah yang dia rasakan sebelumnya adalah karena pakaian di punggungnya basah karena keringatnya sendiri. Apa yang sedang terjadi? Bukankah saya kehilangan banyak darah? Samar-samar dia ingat darahnya merah — seperti anggur merah, kecuali dengan warna merah tua; itu adalah warna hidupnya yang perlahan menghilang. Nie Yan masih merasakan sakit setelah mencubit dirinya sendiri. Ini benar-benar bukan mimpi. Jangan bilang … membunuh Cao Xu juga mimpi? Mengapa itu terasa begitu nyata? Sama seperti Zhuang Zhuo bergumam ketika ia terbangun dari mimpi, "Apakah aku Zhuang Zhuo yang memimpikan aku kupu-kupu, atau kupu-kupu yang bermimpi itu adalah Zhang Zhuo?" Bagaimana cara menentukan apa yang nyata, dan apa itu mimpi? Dia mengamati sekelilingnya dengan sedikit keraguan; ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di dalam pencahayaan redup ada tempat tidur, kursi, dan meja kayu yang terlihat lusuh. Di dekat dinding, di sana berdiri jam kakek yang suka dilebih-lebihkan oleh kakeknya sebagai barang antik yang tak ternilai. 「Tick Tock Tick Tock」 Suara yang dihasilkannya menggema ke dalam kesunyian. Nie Yan ingat waktu jam tidak pernah akurat, bahkan sekali pun. Seolah ingatan masa lalunya disimpan di album foto lama, mereka perlahan mulai terbuka. Kamar di sini terasa akrab, bukankah ini rumah tempat saya tinggal ketika saya masih di sekolah menengah? Melalui celah di atas tirai jendela, sinar matahari masuk. Dia merasakan sensasi menyengat ketika sinar matahari memasuki matanya, menyebabkan pupil matanya berkontraksi dengan keras. Itu memberinya semacam kebangkitan yang menyilaukan menjadi kenyataan. Aku masih hidup… . Nie Yan menempatkan tangan kanannya ke depan. Dia menatap kelembutan dan ketidakdewasaannya sedikit sebelum memperhatikan warna kulit pucat yang sakit-sakitan. Saya … Apa yang terjadi di sini? Apakah saya sendiri dari sepuluh tahun di masa lalu, atau saya sendiri dari sepuluh tahun di masa depan? Nie Yan menggaruk rambutnya dengan sangat bingung. Menyelaraskan alur pemikirannya, beberapa fragmen dari ingatannya mulai muncul; lambat laun, mereka menjadi lebih jelas dan berbeda. Ini adalah tahun dia berusia delapan belas tahun; itu liburan musim panas dan orang tuanya tidak ada di rumah. Dia mengalami demam empat puluh derajat pada musim panas itu dan hampir mati …. Hanya melalui keberuntungan dia berhasil mengambil kehidupan lain. Selama masa itu, orangtuanya meninggalkannya dengan sedikit uang — tepat setelah itu, mereka pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Mereka tidak pernah kembali ke rumah bahkan setelah dua, tiga bulan, dan dia juga tidak dapat menjangkau mereka melalui ponsel mereka — seolah-olah mereka baru saja menghilang tanpa jejak. Pada saat itu, dia yakin orang tuanya tidak menginginkannya lagi. Dia khawatir … takut … takut. Semua jenis keadaan emosional mulai menemaninya. Selain itu, ia menderita demam tinggi; pengalaman itu telah meninggalkan trauma mendalam di dalam hatinya. Dia menjadi malu-malu, gemetar karena angin sepoi-sepoi. Diperlukannya hingga usia dua puluh lima tahun untuk mulai mengoreksi kepribadian itu sampai batas tertentu. Hanya setelah itu, ketika dia dewasa, dia mengetahui bahwa orang tuanya tidak sengaja meninggalkannya. Sebaliknya, mereka meminjam uang dari seorang teman keluarga dan memulai beberapa bisnis penyelundupan di perbatasan negara. Pada waktu itu, negara sangat membutuhkan jenis logam yang disebut polonium; itu terbukti menjadi sumber daya strategis yang penting. Mengikuti penemuan penemuan logam ini oleh setiap negara, mereka dengan cepat mulai membatasi ekspornya dan mulai menimbun sumber dayanya sendiri. Tidak diketahui bagaimana orang tua Nie Yan dapat menemukan sumber seperti itu. Padahal, pada akhirnya, mereka berhasil menyelundupkan logam itu kembali ke negara itu, menjualnya kepada pemerintah beberapa ratus kali lipat dari harga yang mereka beli. Sebagai hasilnya, mereka mendapat banyak uang. Keadaan mereka saat ini pada saat itu sangat menegangkan dan menegangkan. Dengan demikian, orang tua Nie Yan tidak dapat menghubunginya melalui telepon. Selain itu, masalah mereka adalah rahasia militer rahasia. Jika ada informasi yang bocor, itu akan mengakibatkan kematian mereka. Akibatnya, kesalahpahaman Nie Yan dan orangtuanya terkubur sedemikian rupa. Butuh bertahun-tahun setelah masalah berlalu agar ayahnya memberitahunya tentang kebenaran, dan baru saat itulah Nie Yan memaafkan mereka. Itu adalah tahun ketika ayahnya menerima pembayaran besar pertamanya dan menggunakannya untuk mendirikan perusahaan peleburan. Selain itu, ia melakukan dan menyelesaikan beberapa proyek besar, memajukan reputasi perusahaan dengan cepat. Dia menyelesaikan masalah dalam keluarga, dan sebagai hasilnya, Nie Yan dipindahkan ke sekolah kelas tinggi di kota. Apa itu mungkin? Apakah saya benar-benar kembali ke masa itu? Saya bisa mulai dari awal lagi dari awal? Keadaan emosi Nie Yan saat ini sulit untuk dijelaskan; kejutan yang menyenangkan dan kecemasan gugup menjalin satu sama lain ketika emosinya bergoyang di semua tempat. Dia cemas bahwa semua yang terjadi di hadapannya hanyalah mimpi. Nie Yan naik dari tempat tidurnya dan membuka tirai jendela. Sinar matahari seperti api ketika mereka melepaskan suhu terik mereka, dan sensasi panas membakar dengan tulus memberitahunya bahwa saat ini, dia benar-benar tidak bermimpi. Dia menundukkan kepalanya, di samping ambang jendela berbaring buku-bukunya tersusun rapi di atas meja: teori mekanis, otomatisasi, bahasa, matematika tingkat lanjut, A. Saya mendesain, dan sebagainya. … Nie Yan membuka beberapa halaman. Karakter-karakter yang akrab ini seperti aliran yang jelas — bersama dengan kenangan masa lalunya, mereka menyegarkan pikirannya. Buku-buku teks ini mewakili kaum muda yang telah lewat. Setelah naik ke tahun terakhir sekolah menengahnya, ia pindah ke dalam tembok sekolah kota kelas atas. Proyek yang dilakukan ayahnya berhasil. Saat itu, segala keinginan materialistis yang ia dambakan dapat dengan mudah dipenuhi. Kenaikannya menjadi anak pengusaha yang kaya menyebabkan dia menjadi malas dan malas. Pada saat ia lulus SMA, akademisnya pasti kurang dari bintang. Setelah itu, ayahnya menghabiskan cukup banyak uang untuk mengizinkannya masuk ke universitas terkenal. Hanya … pada saat dia lulus dari universitas, dia sama sekali tidak belajar apa-apa; dia menyia-nyiakan setiap hari duduk dengan malas. Ketika dia mencapai usia dua puluh lima, bisnis ayahnya mulai menderita pada serangan Kelompok Keuangan Abad Cao Xu. Beberapa teman keluarga yang juga orang kepercayaan dipercaya disuap oleh Cao Xu untuk mengkhianati ayah Nie Yan. Dengan demikian, perusahaannya bertemu dengan beberapa kemunduran berturut-turut …. Uang, sekali lagi, telah menjadi perhatian keluarga. Ayahnya bunuh diri karena overdosis, dan ibunya jatuh sakit karena kesedihan. Dia akhirnya meninggal pada akhirnya juga. Hanya setelah menderita kesakitan karena kehilangan kedua orang tuanya, Nie Yan mulai membuat kemajuan dalam studinya — belajar mandiri dalam berbagai kursus. Namun, saat itu sudah terlambat. Dia hanya melewatkan banyak peluang. Setelah penuh kerinduan, Nie Yan siap untuk menyerang dunia untuk dirinya sendiri. Namun, bagaimana mungkin Cao Xu membiarkan putra mantan musuhnya untuk kembali? Dengan Cao Xu ikut campur di belakang layar, tidak ada satu pun perusahaan yang berani mempekerjakannya, meninggalkan Nie Yan ke mana-mana. Jika bukan karena dia memainkan permainan Reality Virtual Conviction — dikeruk dengan sedikit penghasilan yang bisa dia peroleh, dia tidak akan bisa makan makanan sekalipun. Dia tidak memiliki harapan untuk mengalahkan Cao Xu dengan mulia dengan bangkit sebagai yang tertindas. Namun, kelinci yang cemas masih bisa memberikan gigitan yang tidak enak. Jadi pada jalan buntu, keputusan terakhir Nie Yan adalah membawa Cao Xu bersamanya. Suara tembakan telah melenyapkan semua kebencian dan kebencian Nie Yan. Nasibnya cerah dan jelas, jadi Cao Xu mungkin tidak pernah berpikir dia akan menemukan kesimpulan seperti ini dalam hidupnya. Nie Yan percaya bahwa dia telah meninggal, namun dia tidak pernah berharap waktu untuk mempermainkannya, mengembalikannya ke liburan musim panas tahun keduanya di sekolah menengah. Dan meskipun dia masih tidak dapat menghubungi orang tuanya, dia setidaknya bisa memastikan mereka masih hidup — sering kali, ketika dia memikirkan hal ini, air mata mulai memenuhi matanya. Ketika anak itu ingin menghidupi orang tua mereka, orang tuanya sudah pergi…. Tidak ada orang lain yang mampu memahami kepahitan dan kesedihan di hati Nie Yan. Surga memberinya kesempatan lain. Dia benar-benar tidak akan pernah menjadi bingung dan bertindak bimbang lagi. Dibutuhkan lebih dari dua puluh hari bagi ibu dan ayahnya untuk pulang. Karena ini liburan musim panas sekarang, saat ini, dia tidak punya pilihan selain tinggal di rumah. Tahun itu … di paruh kedua semester selama tahun kedua saya di sekolah menengah, jika saya ingat benar rilis game Virtual Reality, Conviction, belum lama berselang. Nie Yan dengan jelas mengingat tempat perusahaan keuangan yang tak terhitung jumlahnya membangun kehadiran di popularitas Conviction yang meningkat pesat pada tahun peluncuran game. Mereka menuangkan sejumlah besar sumber daya ke dalam pengembangan skala besar dari game Virtual Reality ini. Karena banyak perusahaan keuangan inilah Conviction layak menjadi dunia kedua bagi umat manusia. Setelah dia memasuki sekolah menengah kota kelas tinggi, dia akhirnya diperkenalkan ke permainan oleh sahabatnya, pada saat itu satu semester telah berlalu. Hanya pada saat itu, banyak orang sudah berada pada level yang sangat tinggi. Dia sudah melewatkan periode waktu terbaik untuk mulai naik level. Tertinggal, dia tidak punya pilihan selain mencoba dan mengejar dengan sekuat tenaga. Halaman album foto yang sudah pudar — ingatannya — sekali lagi berubah lagi, memperlihatkan warna-warna cerahnya. Saat-saat paling tak terlupakan dalam hidupnya datang dari waktu yang dihabiskannya dalam permainan. Dia telah mengenal begitu banyak teman dalam game itu. Dalam kalender hidupnya, itu hanya karena mereka bahwa hari-hari kesepian tidak terlalu berlebihan. Sebelum membunuh Cao Xu, Nie Yan sebelumnya adalah Pencuri Hebat Tingkat 180+. Meskipun dia tidak berada di puncak, dia hampir tidak bisa dianggap di antara para ahli top. Nie Yan tiba-tiba teringat ada kartu bank yang berisi semua tabungannya di laci. Saya punya uang untuk membeli helm Virtual Reality! Nie Yan berpikir sendiri. Sambil membuka laci, dia membalikkan semuanya, mencari. Akhirnya, dia menemukan kartu bank perak-putih dari sudut laci. Jika dia mengingatnya dengan benar, jumlah uang yang disimpan di dalam rekening banknya adalah dua ribu kredit; satu kredit setara dengan satu dolar. Uang ini datang darinya untuk menghemat biaya makanan dan pakaian selama beberapa tahun. Saat itu, ia ingin membeli komputer Model X3 yang paling canggih. Namun, pada saat dia menunggu beberapa tahun yang diperlukan untuk menghemat uang, Model X3 sudah menjadi usang. Secara alami, uang sakunya tidak hanya sebesar ini setelah bisnis ayahnya menjadi sukses. Karena ayahnya ingin menebus Nie Yan, dia memberikan Nie Yan hampir semua yang dia minta. Sesuatu yang dia inginkan …? Jika itu bisa dibeli, itu akan tiba. Nie Yan berusia delapan belas tahun tahun ini. Namun, ia memiliki jiwa dirinya yang berusia dua puluh delapan tahun. Semuanya akan mulai lagi dari awal. Sejak saat itu bab baru dalam hidupnya akan terbuka. Tanpa modal yang cukup, dia tidak akan bisa mencapai apa pun. Jadi dia akan mulai dari permainan itu. Menggunakan pengalaman sebelumnya dari permainan, menjadi gamer profesional dan menghasilkan sedikit uang adalah urusan yang sangat sederhana. Nie Yan ingat saat ketika helm gaming pertama Conviction baru saja mulai dijual. Dalam upaya untuk membuat mereka menyebar, harganya sangat murah. Ada tiga model entri: Model A, B, dan C. Konfigurasi setiap model entri unik; tingkat perendaman helm Realitas Virtual berkisar antara 76% -98%. Jumlah seribu tiga ratus kredit sudah cukup untuk membeli model termurah. Dengan jumlah uang saat ini yang disimpan Yan Yan dalam tabungannya, itu sudah cukup baginya untuk membeli helm Virtual Reality model tingkat terendah. Dia dapat dengan jelas dan jelas mengingat banyak item dan hal-hal dari permainan. Jika dia memulai dari awal lagi, tidak akan terlalu sulit baginya untuk mendapatkan beberapa hasil. Menempatkan kartu banknya di dalam sakunya, dia menggeser pandangannya ke arah buku teks matematika canggih di samping. Seolah-olah Dewa sendiri telah mengambil buku pelajaran itu, itu sedikit bergetar sebelum uang kertas seratus dolar yang baru muncul dan jatuh. Pada saat itu, dia mengingat beberapa hal ketika ingatan sekali lagi mulai melayang ke pikirannya. Dia tiba-tiba teringat pertemuan pertama antara dirinya dan Xie Yao akan terjadi hari ini. Dia telah mengambil uang seratus dolar dan meninggalkan rumah untuk membeli obat di apotek. Xie Yao adalah teman sekelasnya di tahun terakhir sekolah menengahnya, dan juga gadis tercantik di kelasnya. Sekali lagi . ia mengingat kembali peristiwa masa lalu ini; bagian dari hidupnya yang dia tidak tahan melihatnya, menyebabkan pergelangan tangannya bergetar. Setelah satu dekade berlalu, Xie Yao dan siswa berbakat yang diakui secara publik di kelasnya, Liu Rui, telah jatuh cinta; mereka berdua telah pindah bersama ke Bulan. Hanya setelah dia dan Xie Yao berkomunikasi melalui beberapa panggilan dia menemukan Xie Yao tidak sedikit senang. Ketika hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu di tahun terakhir sekolah menengahnya diangkat, keduanya akan menghela nafas tanpa henti. Kalau saja dia sedikit lebih berani … kalau saja dia tidak begitu penakut dan inferior di depan Xie Yao. Mungkin, dia tidak akan melewatkan kesempatannya …. Terkadang … ada keputusan yang berlangsung seumur hidup; mereka menjadi penyesalan yang tidak akan pernah bisa diselesaikan. Pada saat itu, Xie Yao selalu suka mengenakan rok putih. Murni dan cantik, penampilannya tetap terukir dalam di hati Nie Yan. Kerinduan melankolis semacam ini seperti suara seruling yang diputar di malam hari; jauh di kejauhan dan tenang …. Nie Yan melihat sekilas ke jam yang tampak kumuh, tangan menunjuk ke jam tiga. Mungkin, masih ada cukup waktu! Dia mengambil uang kertas seratus dolar dan banyak menuruni tangga keluar dari pintu. Keluarganya tinggal di distrik pinggiran kota. Itu sangat suram. Jalanan kumuh yang sama sekali tidak lebar, dan ketika angin bertiup, itu mengambil banyak debu. Bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan, banyak pohon diunggulkan di kedua sisi jalan. Di bawah sinar matahari yang terik, mereka tetap subur dan subur, menebarkan naungan di bumi di bawah mereka…. Disambut dengan sore yang panas, tidak ada pejalan kaki yang terlihat berjalan kaki. Mobil juga sedikit dan jarang …. Kadang-kadang, satu atau dua mobil melayang akan melaju dengan…. Di masa lalu, Nie Yan sangat membenci kota ini. Namun, setelah reinkarnasinya, ketika dia sekali lagi bertemu dengan tempat yang suram ini, Nie Yan tidak merasa benci atau jijik — sebaliknya, dia tiba-tiba merasakan keakraban yang ramah. Ini adalah tempat dia tinggal ketika dia berumur delapan belas tahun. Sebelum Nie Yan mencapai usia dua puluh lima, dia penakut dan lemah; itu tidak terkait dengan lingkungan hidup bagian akhir hidupnya. Karena kenyataan bahwa ia hanyalah seorang bocah lelaki dari kota kecil yang keluarganya tiba-tiba menjadi kaya, ia dipindahkan ke sekolah kota kelas tinggi. Awalnya selama tahun pertama dan kedua sekolah menengahnya, akademisi sebenarnya bisa dianggap sangat luar biasa. Namun, pada akhirnya, itu adalah kebalikan total. Dia juga sering diejek karena mengenakan pakaian norak. Selain peristiwa yang terjadi selama musim panas itu, itu menyebabkan dia memiliki harga diri yang sangat rendah, meninggalkan rasa tidak aman psikologis. Pada saat dia pindah ke lingkungan baru, dia sudah menjadi tidak aman dan malu-malu, sepertinya tidak pernah cocok dengan segalanya. Jika dia tidak mengenal beberapa teman baik, akan sulit untuk mengatakan dia tidak akan menderita gangguan mental. [TN: Orang-orang Cina mulai sekolah menengah di kelas 10, jadi mereka hanya memiliki 3 tahun sekolah menengah dibandingkan dengan kita 4. (゚ ▽ ゚) /] Dia tidak pernah berharap setelah melewati seumur hidup, dia akan kembali ke tempat semuanya dimulai. Nie Yan berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah lagi menjadi seperti dirinya sebelumnya. Dia berlari menuju apotek. Bangunan-bangunan di sekitarnya tampak agak kumuh, tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia …. Menyusul meningkatnya kecepatan proses urbanisasi, orang-orang di kota kecil ini akan bermigrasi ke arah keramaian kota-kota besar. Dan wilayah di dalam perbatasan kota kecil ini akan menjadi semakin terpencil karena populasinya semakin sedikit. Setelah seratus tahun, area ini akan dihancurkan dan sekali lagi berubah menjadi lapangan terbuka …. Di sini adalah sekolah, dan di sisi lain adalah supermarket …. Seperti kuda tua yang tahu jalannya, Nie Yan menatap bangunan di sekitarnya dengan akrab. Kerangka pikirnya secara bertahap menjadi jauh lebih optimis. Saya sudah kembali! Saya benar-benar telah kembali! Di masa lalu, dia selalu menyimpan banyak dendam terhadap nasibnya yang tidak adil. Namun sekarang, dia berterima kasih kepada Surga. Saya akan memulai dari awal lagi! Saya akan melakukannya dengan benar kali ini! Nie Yan tergoda untuk meneriakkan kata-kata ini di bagian atas paru-parunya, mengeluarkan semua emosi yang tak terlukiskan yang dipegangnya di dalam hatinya. BERTEMU SEKALI LAGI Bab 2 – Untuk Bertemu Sekali Lagi Nie Yan semakin mendekati apotek. Namun, ketika dia menyeberang jalan, seolah-olah oleh suatu kejadian supranatural, dia tersandung dan jatuh dengan keras ke trotoar. Ketika seseorang mencapai puncak kebahagiaan, kesedihan akan segera menyerang. 「Ssssss… ah. 」Nie Yan mendesis kesakitan. Tangannya terasa mati rasa karena jatuh, dan lututnya berdarah karena tergores dari trotoar. Nie Yan duduk dengan susah payah; lututnya terpotong dengan parah, memperlihatkan darah dan daging mentah. Pada saat itu, sebuah hovercar merah muda kebetulan melewati daerah tersebut. Itu terhenti, tidak jauh dari tempat Nie Yan jatuh. Hovercar berkualitas tinggi, benar-benar pemandangan langka di kota kecil yang damai ini. Tampaknya itu adalah hovercar edisi terbatas, bernilai sekitar sembilan puluh juta dolar — sesuatu yang tentu saja tidak mampu dimiliki keluarga biasa. Seorang wanita muda dengan rok putih muncul, melangkah keluar setelah pintu mobil dibuka. Dengan mendesak, dia berlari ke tempat Nie Yan jatuh. "Rekan siswa, apakah Anda baik-baik saja?" Suara yang jelas dan menyenangkan tampaknya sangat prihatin ketika melewati telinga Nie Yan. Mendengar suara ini begitu akrab di hatinya, jiwanya mulai bergetar. Dia menoleh untuk melihat; jika orang yang muncul di depan matanya bukan Xie Yao, lalu siapa lagi? Dia mengenakan gaun putih yang dihiasi renda merah muda, rambutnya diikat ke belakang saat matanya yang jernih dan menawan menatap dengan penuh perhatian. Pipinya, tampak masih kekanak-kanakan, dipenuhi dengan pemuda dan kehidupan. Dia masih secantik dulu. Nie Yan tanpa sadar mengingat reuni sekolah menengah yang telah terjadi enam tahun setelah kelulusannya. Pada saat itu, Xie Yao telah menjadi pengusaha wanita yang sukses. Dia telah mengenakan gaun OL yang indah dan mempesona. Waktu memang merupakan hal yang luar biasa — mengubah seorang gadis muda yang murni dan polos menjadi seorang wanita yang cantik dan menawan … dan saat ini, sekali lagi mengubah punggungnya. Setelah seumur hidup, saya bertemu dengan Anda lagi …. Mungkin ini adalah takdir, takdir kita berputar seperti pita magnetik, menempatkan kita berdua sekali lagi di tempat kita pertama kali bertemu. Musik merdu perlahan mulai bermain di jiwanya; setiap nada sangat menyenangkan dan indah untuk didengarkan. Nie Yan masih menyimpan ingatan pada hari Xie Yao dan dia pertama kali bertemu satu sama lain; itu mencerminkan adegan yang tepat ini. Matanya basah, Xie Yao … Aku belum melihatmu dalam waktu yang lama. Apakah kamu masih baik-baik saja? Dalam hidup ini, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi…. "Ah! Lutut Anda tergores parah, dan berdarah sangat parah! "Xie Yao berteriak kaget. Setelah mengingat bahwa kotak P3K di mobilnya masih memiliki beberapa perban, dia dengan cepat berlari kembali untuk mengambilnya. Nie Yan menyaksikan Xie Yao kembali ke kendaraannya. Selama tahun seniornya, apa yang paling dia sukai adalah mengikuti sosok kecilnya yang anggun dengan matanya. Melirik sosok menggoda, rok panjang lututnya mengungkapkan kulit seputih salju yang menyerupai batu giok yang sangat indah. Pada topik itu, penampilan Nie Yan juga tidak bisa dianggap terlalu buruk. Mengikuti kesuksesan ayahnya, keadaan keuangannya juga menjadi cukup baik; dia tidak kalah dengan Xie Yao. Namun, ketika menghadapinya, dia tidak pernah bisa membangkitkan cukup keberanian untuk berinteraksi dengannya. Keadaan pikirannya selama tahun senior aneh dan sulit dipahami. Melihat kembali sebagai orang dewasa, dia merasa dia benar-benar belum dewasa pada saat itu. Xie Yao meraih perban dan berjalan ke sisi Nie Yan. Dia kemudian mulai mendisinfeksi luka dengan antiseptik. Bergerak dengan sangat hati-hati, dia mengambil potongan-potongan kecil kerikil dengan jari-jarinya yang halus. "Bagaimana kamu bisa menangis? Anda sudah menjadi anak yang sudah dewasa. Bagaimana mungkin luka kecil seperti ini menyebabkan Anda menangis. Ini bukan penampilan yang sangat bagus, kau tahu! ~ ”Xie Yao tersenyum menggoda sambil menggunakan ibu jarinya untuk memijat lutut memar Nie Yan. Ketika dia tersenyum, sudut mulutnya memperlihatkan lesung pipitnya, mengungkapkan semacam pesona cerah yang tak terlukiskan. “Ketika saya jatuh, hanya ada sedikit debu yang masuk ke mata saya. "Pipi Nie Yan menjadi sedikit merah saat ia linglung menjawab dengan alasan. Alasan sebenarnya dia menangis bukan karena cedera di lututnya sedikit pun. Penampilan Xie Yao yang membuatnya merasa seolah-olah air panas mendidih telah dituangkan di atas kepalanya. Keadaan pikirannya kacau balau: kepahitan dan kegembiraan yang luar biasa bercampur bersama-sama ingin keluar darinya. Perhatian Xie Yao berfokus pada lutut memar Nie Yan. Nie Yan mengangkat kepalanya dan menatap wajah Xie Yao saat dia membungkuk ke arahnya. Kulitnya, seperti batu giok putih tanpa cacat, lembut dan kenyal. Sehelai rambut hitam menggantung ke bawah ketika dia memandangi anting-anting indah yang tergantung di daun telinganya. Di masa lalu ketika dia dan Xie Yao adalah teman sekamar, dia selalu suka diam-diam mengintipnya selama waktu kelas. Meskipun tidak peduli seberapa banyak penampilannya, dia merasa dia tidak akan pernah terlihat cukup. Xie Yao tanpa ragu adalah gadis tercantik di kelas mereka, namun kelas-kelas lain juga memiliki gadis-gadis yang sangat cantik. Nie Yan, di sisi lain, sangat percaya Xie Yao adalah gadis paling cantik di seluruh sekolah. Setelah pertemuan pertama mereka, Nie Yan tidak pernah melupakannya. Kemudian ketika dia memasuki tahun terakhir sekolah menengahnya, dia terkejut mendapati mereka berdua berada di kelas yang sama. Bukan hanya itu … tapi mereka juga teman sekamar. Dia percaya kejadian ini sudah ditakdirkan. Tidak sampai sepuluh tahun kemudian dia menjadi mengerti … bahkan jika dua orang ditakdirkan untuk bersama, jika seseorang tidak memanfaatkan kesempatan mereka dengan benar, mereka akan kehilangan kesempatan mereka. Pada saat dia menyadari hal ini, sudah terlambat. “Bagaimana bisa kamu datang ke sini sendirian !? Ini adalah area yang sangat berbahaya di mana banyak penjahat beroperasi! '' Nie Yan berkata dengan nada yang benar-benar prihatin. Itu benar-benar area yang ditempati oleh banyak organisasi kriminal. Tempat yang sangat berbahaya bagi seorang gadis muda yang cantik seperti Xie Yao untuk menyendiri. “Jangan meremehkanku! Saya sabuk hitam tingkat ketiga di taekwondo! Setelah saya menginjak usia dua puluh satu, saya akan dapat naik ke tingkat keempat. Jika kamu tidak percaya padaku, maka izinkan aku menunjukkanmu! ”Xie Yao mengambil posisi terbuka, lalu tiba-tiba berhenti ketika wajahnya berubah menjadi merah memerah. Dia berhenti dan berkata, "Sebenarnya, tidak apa-apa … aku memakai rok hari ini, tapi aku benar-benar sangat kuat!" Xie Yao berkata dengan polos tanpa sedikit pun rencana licik. Nie Yan menjawab sambil tertawa, dan setelah mengobrol dengan Xie Yao sebentar, dia mengkonfirmasi bahwa wanita muda di depannya ini memang Xie Yao — gadis yang begitu tulus, menyenangkan, lincah, dan riang. Namun setelah lulus universitas dan bertemu sekali lagi, kepolosan semarak seperti itu segera menjadi sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilihatnya lagi. Ternyata melalui periode waktu yang penuh tekanan akan mengubah siapa pun tanpa batas … Xie Yao mulai mengukur Nie Yan sedikit. Dibandingkan dengan dirinya sendiri, dia tampak lebih muda darinya beberapa tahun. Tingginya juga kira-kira sama dengan miliknya, tampaknya hanya sekitar seratus tujuh puluh sentimeter tingginya. Pakaian yang dia kenakan sedikit kotor, mungkin karena jatuh tadi. Penampilannya bijaksana — meskipun ia tidak bisa dianggap tampan — ia lumayan. Hanya, dia tampaknya tidak tahu mengapa, tapi dia merasakan semacam keakraban dan kedekatan yang tak terlukiskan dengan Nie Yan. Tanpa sadar, mereka akhirnya mengobrol cukup lama. “Kamu berasal dari sekolah apa? Dari penampilan Anda … sepertinya Anda harus belajar di sekolah menengah, bukan? "Xia Yao merasa Nie Yan sedikit bodoh dan berkepala kosong, sangat konyol sehingga sedikit menggemaskan. Tidak merawat tanah saat dia berlari; banyak anak laki-laki dari sekolah menengah bodoh seperti ini. Mereka menjadi jauh lebih dewasa pada saat mereka mencapai sekolah menengah. Meskipun Nie Yan berusia delapan belas tahun saat ini, ia memiliki kebijaksanaan seorang anak berusia dua puluh delapan tahun. Ketika dia bertemu dengan Xie Yao sekali lagi, Nie Yan bukan lagi anak kecil yang bingung dan bodoh seperti dia di masa lalu. Rohnya telah dimurnikan dan ditempa oleh berlalunya waktu; dia menjadi tenang dan tenang. "Siapa bilang aku di sekolah menengah? Jika bukan karena kebijakan anak negara, anak saya sudah cukup tua untuk membeli bahan makanan sendiri! ”Jawab Nie Yan bercanda. Sebagai seorang manusia, seseorang seharusnya tidak menjadi orang yang kejam dan membosankan. "Anakmu? Membeli bahan makanan sendiri? Berhentilah bercanda! ”Kata-kata Nie Yan telah menyebabkan Xie Yao tertawa terbahak-bahak, membuatnya tertawa tanpa henti. "Aku berumur delapan belas tahun. ” "Apakah kamu benar-benar berusia delapan belas tahun? Kamu tidak terlihat seusiaku, ”Xie Yao terkejut. Karena sedikit kekurangan gizi, tinggi badan Nie Yan saat ini ternyata agak pendek — tingginya sekitar seratus enam puluh lima sentimeter. Ketika kondisi kehidupannya membaik kemudian, tingginya mencapai seratus delapan puluh sentimeter pada saat ia mencapai tahun senior sekolah menengahnya. Penampilannya saat ini masih tampak seperti remaja, dan dia benar-benar terlihat seperti anak sekolah menengah. Ini adalah alasan mengapa dia selalu terlihat agak tertekan. Hal yang paling disayangkan baginya sebagai anak berusia dua puluh delapan tahun, tiba-tiba diberi tahu bahwa dia terlihat seperti siswa sekolah menengah. Namun, dia benar-benar terlihat berwajah bayi saat ini, jadi tidak ada yang bisa dilakukan. “Ini karena wajah saya terlihat lebih muda secara alami dibandingkan dengan yang lain. ” “Jika kamu muda, kamu masih muda. Kamu masih tidak akan mengakuinya? ”Xie Yao menjawab terkikik. Dia mulai merasa bahwa Nie Yan ini adalah orang yang sangat lucu. Semua anak laki-laki di kelasnya selalu malu ketika mereka bertemu dengannya, tidak pernah tahu harus berkata apa, atau kenakalan nakal yang membuatnya jijik. Keduanya berbicara cukup lama. Nie Yan tampak sangat nyaman ketika berbicara dengan Xie Yao; sesekali menggodanya dengan beberapa gurauan cerdas yang membuatnya tertawa. Nie Yan menatap ekspresi tersenyum Xie Yao yang hanya indah. Itu mengingatkannya pada saat dia lulus SMA. Xie Yao dan dia adalah teman satu meja selama satu tahun, dan dia selalu percaya mereka berdua tidak akan pernah bisa membentuk koneksi apa pun. Mereka adalah dua orang dari dunia yang sama sekali berbeda. Dia terus mengagumi Xie Yao secara rahasia, memberi hadiah pada Xie Yao apa pun yang dia minta. Namun, dia tidak pernah meminta Xie Yao untuk mengingat orang rendahan seperti dirinya. Dia tidak pernah berharap bahwa setelah lulus dia tiba-tiba akan menerima hadiah darinya. Mungkin, dia benar-benar meninggalkan kesan di hati Xie Yao. Apa yang muncul dalam hadiah itu adalah foto Xie Yao saat berusia dua belas tahun. Pada saat itu, dia masih gadis kecil gemuk yang gemuk. Itu adalah gambar yang hanya akan dibagikan dengan seseorang yang dia anggap dekat dengannya. Setelah lulus, Nie Yan tetap tidak mampu melupakan Xie Yao dan keduanya terus berhubungan. Setelah dilahirkan kembali, Nie Yan tidak akan pernah lagi membiarkan dirinya kehilangan kesempatannya. Setelah sekali lagi bertemu satu sama lain, kondisi pikiran Nie Yan agak linglung. Dalam kehidupan masa lalunya, dan dalam kehidupannya saat ini, ia dan Xie Yao berbagi ikatan yang tak terpatahkan yang diikat oleh takdir. Mata jernih dan jernihnya diam-diam melirik wajah Nie Yan, mengukurnya. Meskipun Nie Yan tidak terlalu tampan, bahkan terlihat sangat biasa pada awalnya, dan meskipun terlihat sangat kekanak-kanakan, dia memiliki ketenangan yang sangat tak terlukiskan. Mungkin itu ada hubungannya dengan kepribadiannya? “Namaku Nie Yan (聂 言). Nie ditulis dengan 'pasangan' (双) dan 'telinga' (耳), dan Yan ditulis sebagai 'kata' (言) dalam 'bahasa' (語言), ”kata Nie Yan sambil menatap Xie Yao dengan saling pandang. Wajah menawan Xie Yao menjadi bingung ketika dia mencoba menghindari tatapan Nie Yan. "Aku dipanggil Xie Yao …. ” Nie Yan mengalihkan pandangannya ke bawah, berhenti di bibir Xie Yao. Warnanya merah muda pudar — lembut dengan daya pikat mengkilap. Nie Yan sebelumnya di tahun terakhir sekolah menengahnya benar-benar tidak akan pernah berani menatap wajah Xie Yao sedemikian rupa. Dia hanya berani diam-diam menyelinap melirik wajah cantik Xie Yao dari sudut matanya. “Ayahku masih menungguku, jadi aku akan pergi dulu…. Saya merasa sangat senang mengobrol dengan Anda hari ini. Tapi ingat, Anda hanya dapat menghapus perban Anda besok! Kamu pasti tidak bisa menghapusnya lebih awal! ”Xie Yao tidak merasa yakin, jadi dia berulang kali memperingatkan Nie Yan saat dia berdiri. Nie Yan mencoba untuk menggerakkan lututnya sedikit, dan menyadari bahwa ia mampu melakukannya tanpa masalah — lukanya hanya dangkal. "Aku baik-baik saja . Saya sudah bisa berjalan lagi, jadi Anda harus kembali sekarang. Juga, terima kasih untuk hari ini, ”jawab Nie Yan. Meskipun ingin berbicara dengan Xie Yao sebentar, dia akhirnya berjalan kembali ke trotoar. Mereka akan belajar di sekolah kota kelas tinggi yang sama di masa depan, dan dia akan memiliki banyak kesempatan untuk mengenalnya saat itu. “Aku akan pergi dulu kalau begitu…. ” "Sampai jumpa," jawab Nie Yan tersenyum, ketika dia mulai berjalan pergi. Ketika dia berjalan ke apotek, dia merasa sedikit sentimental di hatinya. Setelah bertemu secara singkat satu sama lain, mereka berpisah sekali lagi. Xie Yao duduk di hovercar-nya dan menyalakannya kembali. Nie Yan menoleh dan melirik ke belakang, tetapi pada saat itu hovercar Xie Yao sudah pergi. Mereka telah bertemu di masa lalu seperti ini, sepenuhnya karena kecelakaan. Namun, itu tidak berjalan semulus terakhir kali ini, karena sebelumnya dia bahkan tidak mampu membentuk satu kata yang koheren di depan Xie Yao. Xie Yao saat itu telah membungkus kakinya dengan perban dan pergi setelahnya. Meskipun pertemuan kebetulan ini, disebabkan oleh kecerobohannya, yang memungkinkan Xie Yao meninggalkan bekas yang tidak bisa dilawan di hatinya. Sejauh ia tidak pernah melupakannya. Reinkarnasi adalah hal yang luar biasa; semuanya bisa mulai lagi dari awal. Nie Yan kemudian berpikir, segalanya mungkin bisa direnggut oleh Cao Xu dalam beberapa tahun ke depan. Dalam benaknya timbul rasa urgensi yang kuat …. Dia harus menjadi jauh lebih kuat untuk bisa melindungi semua yang dia sayangi. Berpikir tentang Cao Xu, hati Nie Yan perlahan semakin dingin. Ini adalah kebencian yang menembus jauh ke dalam sumsum seseorang — sampai-sampai dia tidak merasa ragu sedikit pun dalam menembakan peluru ke kepala musuhnya. Namun untuk saat ini, yang saat ini dapat ia lakukan adalah merebut kesempatannya dan memasuki Conviction secepat mungkin, untuk mendirikan fondasi awal dalam permainan. Keyakinan tidak seperti permainan lainnya, tentu saja karena itu adalah dunia kedua umat manusia; sebuah game yang telah mengubah seluruh dunia. Nie Yan bisa mendapatkan apa yang diinginkannya dengan bermain Conviction. Di apotek dia membeli beberapa paket obat flu. Saat dia menelannya, dia segera merasakan tubuhnya rileks saat demamnya mereda. Saat ini, ia merasakan efek obatnya sangat memuaskan. Setelah selesai di apotek, dia berjalan ke department store di daerah itu. Dia berencana membeli helm Virtual Reality. Setiap department store memiliki jajaran produk yang memukau di dalamnya. Mereka memiliki banyak jenis peralatan dan perangkat; begitu banyak, mereka tidak bisa dihitung. Sebagian besar, mereka semua adalah perangkat pintar. Ada beberapa produk yang bahkan tidak bisa disebutkan oleh Nie Yan. Tempat ini tidak memiliki perwakilan penjualan; Anda hanya perlu menggesek kartu Anda dan Anda akan dapat menerima apa pun yang ingin Anda beli. Setengah hari telah berlalu sejak Nie Yan meninggalkan rumahnya, dan akhirnya dia mencapai bagian tempat mereka menjual helm Realitas Virtual. Mereka ditampilkan satu per satu ditumpuk di atas tembok. Itu adalah pesta untuk mata; ada tiga model entri yang dibedakan oleh ribuan gaya, pola, dan desain. Harga terendah adalah seribu tiga ratus kredit, sedangkan yang termahal mencapai lebih dari satu juta dan dua ratus ribu kredit. Semakin tinggi harga, semakin baik konfigurasi. Anda mendapatkan apa yang Anda bayar, dan saat ini Nie Yan hanya mampu membayar konfigurasi termurah. Selain helm Realitas Virtual yang saat ini tersedia, ada juga edisi terbatas yang hanya dapat dibeli dengan melakukan reservasi. Harga mereka mencapai lebih dari enam puluh juta kredit. Mengenai helm ini, saat ini, Nie Yan hanya bisa berharap untuk mereka dalam pikirannya — tidak lebih. Nie Yan menggesek kartunya di register. Dia telah memilih helm berwarna biru muda, dan selanjutnya mengikatnya pada identitasnya. Setelah identitasnya terdaftar di helm, itu hanya bisa digunakan sejak saat itu. Keyakinan hanya dirilis tujuh hari yang lalu, sehingga pemain dengan level tertinggi mungkin hanya level 5. Jadi dia masih punya banyak waktu untuk mengejar ketinggalan. Setelah dilahirkan kembali, ia seharusnya dapat dengan mudah melenyapkan lawan mana pun dengan caranya yang megah dan mengesankan. "Naik ke puncak tertinggi, dan semua gunung di bawah ini akan dianggap tidak signifikan. ” TAWAR MENAWAR Bab 3 – Tawar-Menawar Nie Yan melirik jam, sudah setengah tiga. Server game Conviction buka dari jam lima sore hingga jam sembilan pagi — total enam belas jam. Dengan cara ini, itu tidak akan menjadi penghalang bagi jadwal kerja orang biasa. Dengan demikian, waktu permainan semua orang kurang lebih setara. Oleh karena itu, itu membuat pemain tunggal tidak mungkin menciptakan perbedaan besar dalam level dibandingkan dengan basis pemain lainnya. Selain itu, teknologi Realitas Virtual Conviction melebihi kesempurnaan. Hasilnya, popularitasnya meningkat; akhirnya menjadi populer di seluruh dunia. Secara bertahap itu berubah menjadi kebutuhan mutlak dalam kehidupan setiap orang. Ini adalah dunia yang telah didominasi oleh teknologi Reality Virtual; itu telah menjadi sistem yang sempurna. Lima bulan kemudian, Conviction akan melengkapi sistem ini dengan menghubungkan mata uang virtual dengan ekonomi dunia nyata, sehingga sepenuhnya menyatu dengan kehidupan manusia. Dengan tingkat retensi pemain yang tinggi, basis pemain dapat tumbuh dengan jumlah yang luar biasa. Ini mendorong meningkatnya konsumsi Realitas Virtual di seluruh dunia. Jumlah waktu yang dihabiskan dunia untuk bermain Conviction setiap tahun begitu astronomis, hingga melampaui jumlah waktu yang mereka habiskan dalam kenyataan. Munculnya banyak kelompok konsumen baru menyebabkan penciptaan sejumlah besar industri jasa; sebagian besar dari mereka menargetkan komunitas game profesional. Hampir setiap kelompok keuangan telah hadir dalam keyakinan. Mengikuti pendirian bisnis ayahnya — setelah perusahaan menghasilkan pendapatan yang layak — ayah Nie Yan juga mulai berpartisipasi dalam peningkatan popularitas Conviction. Dia memasang sejumlah besar uang ke dalam permainan juga. Meskipun pada akhirnya, karena menderita kekalahan telak, itu mengakibatkan perusahaan dan asetnya dihancurkan. Ini memungkinkan Cao Xu kesempatan untuk mengambil lebih banyak keuntungan…. Nie Yan benar-benar tidak akan membiarkan situasi seperti itu terjadi lagi. Membangun kehadiran awal dalam keyakinan adalah penting, dan penting agar ia tidak boleh gagal. Nie Yan harus terlebih dahulu membantu ayahnya dengan membuka jalan di depan. Hanya ketika ayahnya mulai menyuntikkan dana ke dalam Conviction, ia akan mampu membangun rantai pendanaan tanpa gangguan dan mengambil langkah pertama menuju kesuksesan. Ini akan mencegah masalah yang timbul di masa depan. Nie Yan berhenti dan makan di luar untuk makan malam, menghabiskan tiga puluh dolar. Pada saat dia tiba di rumah, sudah mendekati jam lima. Setelah mengenakan helmnya, dia dengan tenang menunggu Conviction menyala. Dua belas menit telah berlalu. Tampilan helm secara bertahap menyala, mengungkapkan waktunya menjadi [17:00]. Tiba-tiba, jingle yang semarak mulai bermain, bergema di telinganya. Nada itu terasa akrab; itu adalah sesuatu yang dia dengar berkali-kali di masa lalu. Dia tidak pernah merasakan keterikatan khusus terhadapnya. Namun, anehnya saat ini terasa menyenangkan di telinganya. Sistem: Apakah Anda ingin membuat akun? "Iya nih!" Sistem: Silakan pilih negara Anda. Ada tiga faksi yang bisa Anda pilih saat memasuki Conviction. Yang pertama adalah faksi lurus yang menjaga cahaya. Faksi ini terdiri dari Kekaisaran Viridian (Ge-lín-lan) dan Satreen (Sa-te-en). Kekaisaran Viridian adalah sebuah bangsa yang diperintah oleh Manusia, dan diperintah oleh Parlemen Penatua. Kekaisaran Satreen, di sisi lain, adalah bangsa yang terbentuk dari aliansi antara Kurcaci, Beastmen, dan Elf. Yang kedua adalah faksi jahat yang menjaga kegelapan; diperintah oleh tiran yang memerintah atas Iblis dan Mayat Hidup. Untuk orang-orang yang tidak menikmati konflik, ada faksi ketiga yang netral dan diperintah oleh suku raksasa yang tidak sopan. [TN: Jika Anda bertanya-tanya, Ge-lin-lan berarti Greenland. Aku tidak akan menyebutnya Greenland Empire ….] Di masa lalu, Nie Yan telah memilih profesi Pencuri Tempest Kekaisaran Viridia, yang berarti dia juga cukup akrab dengan lanskap kekaisaran. Selain itu, ia sangat mengenal keterampilan Pencuri Tempest dan misi profesi. Jika dia memilih negara awal yang berbeda, maka keuntungan superior yang dia dapatkan dari dilahirkan kembali tidak akan berarti banyak pada akhirnya. Nie Yan memegang jenis kasih sayang khusus untuk profesi Pencuri Tempest. Lagi pula, ia telah mendedikasikan hampir satu dekade upaya yang melelahkan untuk itu. Pencuri Tingkat 180 mewakili ketinggian kemuliaan. Ketika dia mempertimbangkan semua faktor ini, dia memilih Pencuri Tempest sebagai profesinya sekali lagi — sama seperti yang dia miliki di masa lalu. Sistem: Anda telah memilih untuk memulai di Kekaisaran Viridian. Sistem: Anda telah memilih Tempest Thief sebagai profesi Anda. Sistem: Silakan sebutkan karakter Anda. (涅) Nie (炎) Yan "Nirvana Flame!" Nie Yan memilih nama yang sama seperti di masa lalu. "Nirvana Flame" —meski kata-kata ini diucapkan dengan cara yang sama dengan nama aslinya ketika mereka diucapkan, mereka mempresentasikan makna seekor phoenix memasuki nirwana dan dilahirkan kembali. Sistem: Nama karakter yang berhasil dibuat. Karakter Nirvana Flame telah dibuat. Permainan secara otomatis mengaburkan penampilan sebenarnya pemain setelah masuk. Kemudian, sistem akan melakukan perubahan kecil pada wajah karakter pemain. Dalam keadaan normal, penampilan karakter pemain dan penampilan pemain sebenarnya sangat berbeda. Sebenarnya akan sangat sulit untuk mengenali pemain dalam kehidupan nyata. Namun, keindahan atau keburukan karakter yang sebenarnya kurang lebih setara dengan bagaimana itu akan berada di luar permainan. Nie Yan membuka jendela statusnya dan melihat statistiknya sendiri. Ini adalah statistik dasar untuk setiap jenis Pencuri di awal permainan. Selanjutnya, pada Level 0, sistem memberi Anda lima poin stat dan satu poin keterampilan. Nie Yan melirik jendela statusnya. Ketika dia telah memilih profesi Pencuri Tempest di masa lalu, dia telah menambahkan satu poin dalam kekuatan, dua poin dalam kelincahan, dan dua poin dalam fisik untuk membuat dirinya lebih tahan lama. Pada gilirannya, itu menyebabkan dia memiliki kekuatan serangan yang sangat lemah dan kecepatan serangan yang lambat selama tahap awal permainan, menyebabkan dia membuang banyak waktu untuk mencoba level. Pada kenyataannya, pencuri tidak pernah membutuhkan banyak HP di awal permainan. Di masa lalu, ketika dia memikirkan kegagalan ini dan sepanjang waktu yang dia habiskan, Nie Yan tidak bisa membantu tetapi menurunkan pundaknya dan mendesah berkali-kali, berharap dia bisa menghapus dan memulai lagi. Kali ini, dia tidak akan mengulangi kesalahan yang mengerikan lagi. Kali ini ia menambahkan tiga poin menjadi kekuatan dan dua poin dalam ketangkasan. Dia telah menyimpulkan ini adalah rasio yang paling optimal, setelah memperhitungkan kebiasaan leveling dari kehidupan sebelumnya. Dia melirik lagi ke jendela status setelah mengalokasikan semua poin stat-nya. Serang 5 → 6 Hit Rate 10.0 → 10.6 Kecepatan Gerakan 5.0 → 5.4 Attack Speed ​​5 → 5.6 Ada juga ahli profesi. Mengenai para master profesi Pencuri ini, mayoritas pencuri dari ras Manusia akan memilih untuk menambahkan poin keterampilan pertama mereka ke dalam Evasion, Weapon Mastery, atau Cloaking. Nie Yan juga siap untuk menambahkan poin skill pertamanya ke Weapon Mastery, tapi dia berhenti tiba-tiba. Setelah beberapa pertimbangan yang cermat, dia memutuskan untuk menambahkan poin skill pertamanya ke Penembak jitu. Penembak jitu Pemula → Penembak jitu Menengah: Reload Cepat +3, Firing Range + 3, Serang saat menggunakan panah / busur +3, Abaikan perbedaan level + 3 (Pencuri Profesi Modifier + 1), Keahlian profesi dibagi menjadi lima tingkatan. Pemula → Menengah → Tingkat Lanjut → Ahli → Spesialis. Seseorang tidak bisa maju lebih jauh setelah mencapai Spesialis. Namun, ada banyak jenis keterampilan profesi, dan berbagai profesi diizinkan untuk meningkatkan keterampilan profesi yang berbeda. Pencuri manusia mahir dalam berbagai alat dan barang terpesona. Busur dan busur panah termasuk dalam kategori ini, itulah sebabnya mereka yang menggunakan Penengah Menengah menerima bonus serangan tambahan saat digunakan. Setelah menetapkan statistiknya, pemandangan Nie Yan bergeser dan dia segera muncul di titik transportasi dalam Kota Calore (Ka-luo-er). Meliputi lingkungan adalah barisan demi barisan bangunan yang menjulang. Setiap bangunan di Calore City berwarna putih bersih dan memiliki kecemerlangan yang tiada tara. Di pusat kota berdiri puncak putih yang menjulang menembus langit. Tidak terlalu jauh dari puncak menara, ada sebuah patung putih murni yang sama tingginya dengan tinggi beberapa ratus meter. Berpegangan pada tongkat Penyihir, itu memiliki ekspresi serius dan bermartabat. Ini tentu saja pelindung Kekaisaran Viridian, Qiao Biya Agung. Orang-orang datang dan pergi ketika mereka bergerak melalui jalan-jalan utama, yang ramai dengan kebisingan dan kegembiraan. Realitas malam itu sebenarnya dini hari di dalam permainan. Cahaya fajar menyelimuti dan menghangatkan bagian atas setiap bangunan, seolah-olah selimut cahaya putih perak telah menutupi seluruh Calore City. Calore City adalah ibu kota Kekaisaran Viridia; itu adalah kota terapung yang terletak di atas Calore Prairies. Dari kota, banyak titik transportasi terhubung ke berbagai kota, kota, dan desa lainnya. “Menjual belati tingkat tinggi White-tier (Attack +2)! Ini lebih baik daripada belati pemula (Serangan +1), dan hanya berharga dua koin tembaga! Hanya tiga yang tersisa dalam persediaan sampai semuanya habis! ”Arcane Mage Level 3 saat ini mendirikan toko di dekat titik transportasi. Banyak pemula berkerumun di depan tokonya. Setiap orang baru yang memasuki permainan menerima sepuluh tembaga dalam persediaan mereka sebagai modal awal mereka. Meskipun mereka merasa hati mereka sakit, banyak orang masih membeli salah satu belati ini demi pelatihan sedikit lebih cepat pada tahap awal permainan. Nie Yan mendengus jijik. Pada peta, belati yang sama dapat ditemukan di desa Level 1–5 yang dijual hanya dengan satu tembaga. Selain itu, pemain Level 0 dapat dengan mudah berjalan ke titik transportasi dan berteleportasi ke salah satu desa ini tanpa biaya. Mereka bisa membeli salah satu belati ini dari NPC, dan kemudian kembali — semuanya dalam dua atau tiga menit. Dalam kehidupan sebelumnya, ia juga dengan bodohnya membeli salah satu belati ini, hanya untuk mengetahui bahwa ia telah ditipu kemudian. Kota-kota terdekat masing-masing memiliki toko sendiri; kota kecil Link memiliki toko pakaian, Joseph Town memiliki toko topi dan sepatu, dan Locke Town memiliki toko yang menjual senjata. Nie Yan berteleportasi bolak-balik tiga kali melalui titik transportasi. Dia menghabiskan enam tembaga untuk mengganti peralatan pemula yang tidak berdaya untuk peralatan yang lebih baik. Setiap peralatan memberinya peningkatan Pertahanan. Dia mendapatkan 1-2 Pertahanan masing-masing dari melengkapi alas kaki, tutup kepala, penjaga bahu, dan pelindung kakinya yang baru. Dia juga mendapatkan Pertahanan 2-3 tambahan dari melengkapi baju besi kain. Ini semua adalah pelajaran yang telah dipelajarinya dari pengalaman masa lalunya. Melihat Pertahanannya, sekarang menjadi 8-13. Jika pencuri pemula di Level 2 atau 3 tidak cukup akal dalam menjaga perlengkapan mereka dengan level mereka, mereka juga akan memiliki sedikit pertahanan ini. Setelah berjalan-jalan di pasar, ia menemukan Paladin Level 3 yang menjual buku keterampilan Stealth profesi Pencuri. Dia menjual enam buku untuk masing-masing enam tembaga di tokonya. Banyak pencuri tingkat rendah hanya bisa menatap dari jauh karena harga buku keterampilan ini sangat mahal. Paladin memiliki penampilan seorang pria berusia dua puluhan. Perawakannya tinggi dan kuat. itu akan sangat bagus jika dia memilih untuk menjadi seorang Prajurit, tetapi dia masih lumayan sebagai seorang Paladin. Paladin milik Kuil Penjaga. Mereka dapat mempelajari keterampilan suci yang diturunkan dari Kuil seperti sihir ofensif atau keterampilan penyembuhan tertentu. Selain itu, mereka memiliki keterampilan pertempuran jarak dekat yang layak, dan dapat memberikan penggemar pesta yang mendukung untuk rekan tim pada saat yang sama. Mereka adalah profesi yang cukup seimbang dalam setiap aspek. Membungkam Paladin adalah Paladin yang bisa mempelajari Keheningan — keterampilan surgawi yang dapat menekan Mage, Priest, dan profesi tipe Mage lainnya. "Berapa banyak untuk buku keterampilan Stealth ini?" Tanya Nie Yan sambil membungkuk dan mengambil buku keterampilan dari tikar kain yang tersebar di tanah. Keterampilan Stealth adalah keterampilan penting untuk Pencuri pemula. Untungnya, buku keterampilan Stealth memiliki tingkat drop yang sangat tinggi dari berbagai titik spawn monster, jadi itu tidak terlalu mahal. "Kau sudah melihatnya, harganya enam tembaga," jawab Paladin, mengerutkan bibirnya menjadi cemberut. "Apakah kamu tidak hanya mencoba merobek orang? Paladin yang Membungkam seperti kamu dapat dengan mudah memburu para Dukun yang Jatuh di sekitar Kota Tautan. Anda dapat dengan mudah mengumpulkan enam buku keterampilan dalam sehari, dan tetap tidak kehilangan kesehatan. Jelas jauh lebih mudah untuk menghasilkan uang dengan cara ini dibandingkan dengan bertani Goblin. Apakah Anda tidak malu pada diri sendiri, menjual dengan harga tinggi? Tiga tembaga, dan bukan tembaga lagi. ”Nie Yan menawar setengah harga. "Bagaimana mungkin semudah yang kamu jelaskan? Apakah Anda tahu banyak yang saya habiskan untuk ramuan sehari? Jika saya menjualnya kepada Anda untuk tiga tembaga, saya pada dasarnya tidak akan menghasilkan uang! Tawaran terendah saya adalah lima tembaga. ”Paladin dikejutkan oleh kata-kata Nie Yan, dan perlu waktu cukup lama untuk menjawab. Dia jelas bukan tipe orang yang menghitung dan terampil menipu orang lain. Sepintas, pemain baru di depan ini pastinya adalah pelanggan yang berpengetahuan luas, jelas bukan orang yang mudah ditipu. “Itu karena tempat dimana kamu bertani monster tidak efisien. Jika Anda menanam para Dukun Fallen di koordinat ini, [22385.21338.23329] , Anda dapat dengan mudah mendapatkan setidaknya sepuluh buku keterampilan sehari. Tidak hanya itu, Anda tidak akan membuang banyak uang untuk ramuan juga. Tiga tembaga, bukan satu tembaga lagi. Jika Anda tidak ingin menjual, maka saya akan mengambil cuti saya. "Nie Yan telah memeriksa Paladin ini. Dia memiliki rahang kuadrat dengan janggut sedikit tumbuh, dan penampilannya tidak terlalu tercela. BATU TERBANG Bab 4 – Batu Terbang “Tu-tunggu dulu! Apa yang Anda katakan angka koordinat itu? Apakah tempat itu benar-benar menjatuhkan banyak buku keterampilan Siluman? "Paladin buru-buru bertanya. Setelah mendengar cara Nie Yan berbicara, dia mulai percaya pada Pencuri yang lewat ini. “ [22385. 21338. 23329] , lokasinya dekat Fallen Shaman Camp, tetapi masih cukup jauh. Area tersebut harus benar-benar aman. Setelah bertani selama sekitar dua puluh menit, seorang Dukun Fallen harus menelurkan sekali setiap lima detik. Silad Paladin seperti kamu bisa berlatih di sana sampai mereka mencapai Level 5. Brat, kamu masih terlalu berpengalaman. Jika tuan besar ini dengan santai membagikan sedikit pun saran game, Anda akan dapat menerima manfaat tanpa akhir! ”Nie Yan tanpa malu membual sambil menepuk bahu Paladin. "Bagaimana? Beri saya diskon lagi? " “Empat tembaga, aku tidak akan turun lebih rendah. "Paladin masih skeptis tentang kata-kata Nie Yan. Namun, dia memang bisa mendapatkan sekitar enam buku keterampilan sehari dengan bertani Shaman Fallen di luar Camp Shaman Fallen, seperti yang dikatakan Nie Yan. Meskipun Kamp Dukun Fallen ini … dia telah pergi ke sana sekali sebelumnya dan hampir kehilangan nyawanya. Lokasi di koordinat yang disediakan Nie Yan harus membawanya tepat di luar kamp yang sama. Kata-kata Nie Yan benar-benar cocok dengan informasi ini, jadi mungkin tidak boleh salah. Paladin bergumam pada dirinya sendiri dan mulai merenungkan …. Haruskah saya menuju ke koordinat itu dan memeriksanya sendiri? "Tiga tembaga, jika kamu tidak mau maka aku akan mengambil cuti saya. Namun, jika Anda bersedia memberi saya buku ini sebagai hadiah, saya akan memberi Anda beberapa informasi lebih berharga mengenai Fallen Shaman Camp. '' Nie Yan memberi insentif. Setelah melihat Paladin masih tampak ragu-ragu, dia membalikkan tubuhnya dan bersiap untuk pergi. Nie Yan sangat kekurangan dana. Dia tidak punya banyak uang untuk dibelanjakan pada buku keterampilan Stealth. Namun, itu masih penting untuk setiap Pencuri selama tahap awal permainan. Ini benar-benar tidak akan berhasil. Saya harus menundanya nanti. Setidaknya sampai saya bisa mendapatkan sedikit uang dari Level 1 monster di area awal…. "T-tunggu, tunggu!" Melihat Nie Yan akan pergi, Paladin buru-buru memanggilnya. Dia buru-buru mengambil buku keterampilan Stealth dari toko kecil yang telah didirikannya dan berkata, "Bukankah itu hanya buku keterampilan Stealth tunggal …? Saya dapat dengan mudah mengosongkan enam dari mereka dalam sehari! Sini! Saya akan memberikan ini kepada Anda sebagai hadiah. Sekarang beri tahu saya, informasi apa yang Anda miliki tentang Kamp Dukun Fallen ini? ”Kebetulan ia dan rekan-rekannya akan berangkat untuk berlatih di daerah itu segera. Karena itu, dia benar-benar ingin mendapat informasi sebanyak mungkin tentang daerah tersebut. Di mata Paladin, Nie Yan tampaknya memang orang yang sangat berpengetahuan. Nie Yan meliriknya. Paladin ini sepertinya orang yang jujur. Saya bisa mendapatkan buku keterampilan Stealth, dan saya bahkan tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Mengingat ini, Nie Yan dalam suasana hati yang hebat. “Melihatmu tulus. Jangan menuju ke koordinat yang baru saja kuberikan padamu. Jika Anda benar-benar pergi ke sana mencari untuk berlatih, maka bahkan tidak dalam lima menit berlalu, tiga Pemimpin Shaman Fallen akan muncul. Satu lemparan Fireball mereka akan menyebabkan ledakan yang akan membunuhmu secara instan, ”Nie Yan memberi tahu dengan santai. Setelah mendengar kata-kata ini, Paladin langsung berkeringat dingin ketika dia merasakan hawa dingin yang hebat menjalari hatinya. Ketika Nie Yan memberitahunya bahwa koordinat itu adalah tempat yang baik untuk bertani, ia benar-benar berniat untuk pergi ke sana dan mencoba peruntungannya. Dia tidak pernah berharap bahwa koordinat ini tidak hanya salah, tetapi juga berbahaya. Jika dia tidak buru-buru memanggil Nie Yan kembali … orang hanya bisa membayangkan konsekuensinya. Itu benar-benar ketidakadilan jika dia terbunuh dengan cara seperti itu. Nie Yan terlalu licik — bahkan tidak mengangkat satu jari pun, dan dia menjebak seseorang. Awalnya, Paladin masih merasa sedikit menyesal memberikan buku keterampilan Stealth. Namun, saat ini, ia menjadi sangat gembira. Pada dasarnya tidak ada perbandingan antara hidupnya dan satu buku keterampilan Stealth. Sekarat dalam game akan menghasilkan kehilangan level dan kehilangan peralatan acak. Ternyata menjadi baik hati dan tulus memang memiliki manfaat tersendiri. Melihat Paladin menatapnya dengan ekspresi sedih, Nie Yan tersenyum sedikit dan berkata, “Koordinat sebenarnya adalah [22325. 21383. 23359] . Anda dapat mengumpulkan sepuluh buku keterampilan Stealth dari sana. Tingkat spawn juga cukup bagus, jadi itu pasti tempat yang bagus untuk berlatih. Aku tidak berbohong padamu kali ini. Ini adalah cara saya mengucapkan terima kasih karena telah memberi saya buku keterampilan pemula ini. Lalu, saya kira ini bisa dianggap pembayaran Anda? Adapun Camp Dukun Fallen … tentu saja, ini adalah contoh dua puluh orang. Ada persyaratan tujuh puluh dua pertahanan untuk Ksatria. Mengenai Paladin dan Imam, syaratnya juga sama tinggi. Paladin harus memiliki kemauan delapan, dan Imam diharuskan mempelajari keterampilan Sembuh. Kekuatan Penyembuhan mereka juga harus mencapai tiga puluh poin. Bukan hanya ini … tetapi ketika memasuki kamp, ​​Anda harus membawa persediaan kesehatan dan ramuan mana yang cukup. ” “Persyaratannya terlalu tinggi. Apakah saya masih bisa masuk jika tekad saya hanya tujuh poin? Buku skill Heal juga terlalu mahal. Masuknya pemain baru telah menyebabkan buku keterampilan meroket ke harga yang sangat mahal. Ini ke titik di mana ia tidak memiliki nilai pasar yang ditetapkan. Party kami hanya terdiri dari satu Priest, dan alasan kami ingin memasuki Fallen Shaman Camp adalah karena kami perlu mendapatkan buku skill Heal untuknya. Jadi katakan padaku … jika kita tidak memenuhi persyaratan ini, bisakah kita tetap memasuki Kamp Shaman Fallen? "Paladin bertanya. “Masuk itu pasti mungkin. Namun, Anda harus menggunakan metode khusus untuk masuk. ” “Metode khusus apa?” ​​Paladin bertanya dengan rasa ingin tahu. Nie Yan tersenyum tanpa kata. Di masa depan, dia kemungkinan besar akan memasuki Kamp Dukun Fallen juga. Jika orang lain ingin dia memberi tahu mereka tentang metode khusus ini, maka mereka harus bersedia membayar harga yang memadai. “Semua pencarian pihak dibagi menjadi lima kesulitan: Mudah, Normal, Keras, Pakar, dan Spesialis. Jika kalian tidak yakin dengan diri sendiri, maka Anda harus memilih kesulitan Mudah. Omong-omong, itu seharusnya tidak terlalu sulit. Jika kalian tidak memenuhi persyaratan, maka Anda hanya perlu terus meningkatkan, itu saja. '' Nie Yan menatapnya dengan penuh arti. Dia tidak mungkin berpikir bahwa satu buku keterampilan Stealth akan memungkinkannya untuk mendapatkan metode khusus untuk memasuki Camp Shaman Fallen, kan? Meskipun Nie Yan hanya Level 0, dia masih menunjukkan penampilan seorang profesional. Paladin mulai menimbang pikirannya, dan pada akhirnya, dia masih mempercayai kata-kata Nie Yan. "Terima kasih," Paladin dengan tulus mengungkapkan rasa terima kasihnya. Nie Yan tidak bisa menahan senyum. Orang di depannya terpaksa memberinya buku keterampilan secara gratis, dan dia masih berterima kasih padanya pada akhirnya — ini benar-benar menggemaskan. Dalam kehidupan sebelumnya, Nie Yan juga tipe orang yang tulus. Hanya setelah mengalami banyak kesulitan dan kemunduran, dia perlahan menjadi licik dan licik. Meskipun dia merasa Paladin ini sangat bodoh, Nie Yan memiliki kesan yang baik padanya. Sambil melemparkan buku keterampilan di tangannya, dia bergumam, “Kita masing-masing mengambil apa yang kita butuhkan. ” Saat Nie Yan berbalik dan mulai pergi, Paladin memanggilnya, “Pakar, siapa namamu? Mengapa kita tidak menambahkan satu sama lain sebagai teman? Dengan begitu, jika saya pernah bertemu dengan masalah yang tidak bisa saya selesaikan, saya masih bisa meminta saran kepada Anda. ” "Tentu, tapi itu akan dikenakan biaya. Saya bukan orang yang menawarkan layanan gratis, ”jawab Nie Yan. Dia pasti tidak ingin memberikan informasi secara gratis. "Itu bukan masalah," jawab Paladin lugas. “Baiklah kalau begitu, namaku adalah Nirvana Flame. "Jika orang ini mampu memberikan harga yang cukup, Nie Yan merasa tidak akan ada salahnya berbagi informasi. Dia hanya akan menganggapnya menghasilkan sedikit penghasilan tambahan. "Namaku Flying Stone, meskipun semua temanku memanggilku Stone," jawab Paladin yang bernama Stone. Dia sudah menganggap Nie Yan sebagai salah satu temannya. "Tidak apa-apa . Saya punya beberapa hal untuk diperhatikan. Jadi, saya akan pergi dulu. Sampai jumpa lagi! ”Nie Yan mengucapkan selamat tinggal pada Stone, dan berjalan ke titik transportasi. Dia ingin mempelajari keterampilan Stealth dengan cepat. Pertahanan dan kesehatan Pencuri terlalu rendah jika dibandingkan dengan profesi pertempuran jarak dekat lainnya. Pada tahap awal permainan, dia hanya akan bisa melatih monster lemah yang setingkat dengannya. Bukan hanya itu, tetapi dia hanya bisa melawan mereka satu lawan satu juga. Jika dia menghadapi gerombolan yang lebih kuat atau mungkin … dua atau lebih monster, maka satu-satunya pilihan adalah melarikan diri untuk hidupnya. Pencuri tidak seperti Warriors, yang memiliki kemampuan untuk melawan dua monster di level yang sama. jika Warrior memiliki peralatan yang layak, maka mereka akan bisa berhadapan dengan tiga monster atau lebih. Oleh karena itu, kecuali Pencuri berlatih dalam sebuah pesta, leveling mereka dari awal hingga akhir jauh lebih lambat jika dibandingkan dengan Warriors, Mage, dan profesi serupa lainnya. Saat ini pemain level tertinggi di antara mereka adalah Level 5, sedangkan Pencuri level tertinggi hanya Level 4. Pada awalnya, pencuri harus terus menghasilkan uang untuk membeli buku keterampilan. Hanya setelah mendapatkan banyak keterampilan, kekuatan mereka akhirnya mulai muncul — yang juga akan menyebabkan kecepatan pelatihan mereka meningkat secara bertahap. Saat ini, Nie Yan telah memperoleh kemampuan pertama di bar keahliannya, Stealth. Stealth adalah keterampilan roti dan mentega untuk semua pencuri — keterampilan mereka yang paling dasar, dan paling kuat. Nie Yan diangkut ke kota Tellak (te-la-ke). Ini adalah salah satu kota paling biasa di dalam Calore Prairies — itu adalah pemukiman NPC. Rumah-rumah terbuat dari tanah liat dan lumpur, yang memancarkan karakteristik seperti padang rumput. Ada banyak pemain Level 2 di daerah tersebut. Oleh karena itu, tempat itu ramai dengan gerakan. Monster di sekitar pemukiman kecil ini berkisar dari Level 1–10. Ada pemain Level 2–3 di mana-mana di kota-kota kecil. Mereka entah berdagang barang, atau ingin membentuk partai untuk berburu monster. Jalanan dipenuhi dengan kebisingan dan kegembiraan. Saat berjalan di jalanan, orang bisa dengan mudah merasa sedikit sesak. Jika dia mengingatnya dengan benar, ada peti harta karun perak di dekat wilayah Wildcat di kota Tellak. Dalam kehidupan sebelumnya, dia telah menemukannya saat bertani monster di wilayah itu. Dia telah memperoleh buku keterampilan Pencuri berkualitas tinggi dari peti. Namun, itu adalah area yang berisi monster Level 5. Untungnya, belum ada yang mencapai lokasi itu. Ketika tim membentuk kelompok untuk naik level, pemain biasanya akan dibagi menjadi kelompok tiga atau empat. Kalau tidak, pengalaman pasti tidak akan sia-sia. Jika sepuluh atau lebih membentuk kelompok untuk berburu, maka pengalaman yang didapat akan sangat kecil setelah dipisah. Secara umum, tiga hingga lima orang dalam sebuah pesta dapat berlatih di area di mana monster Level 5 muncul, namun, ini juga jarang terlihat. Peti harta karun dinilai dari Peti Harta Karun Putih, Peti Harta Karun Perak, Peti Harta Karun Emas, Peti Harta Karun Emas Gelap, Peti Harta Karun Legendaris, dll…. Semakin tinggi peringkat peti harta karun, semakin baik item yang akan keluar darinya. Barang-barang di dalam peti diatur, jadi setelah dilepas, petinya akan hilang. Meskipun dia hanya Level 0, setelah mendapatkan keterampilan Stealth, Nie Yan telah datang dengan beberapa ide tentang cara mendapatkan peti harta karun perak. VITAL STRIKE Bab 5 – Vital Strike Kota hanya berisi bangunan paling dasar: toko umum, toko peralatan tingkat rendah, penyimpanan pribadi, dll…. Bahkan NPC jarang jumlahnya, dan NPC ini adalah pemberi pencarian. Sebagian besar, pencarian sederhana ini terdiri dari mengumpulkan dan mengumpulkan berbagai barang, berburu dan membunuh binatang untuk mengumpulkan bulunya, mengumpulkan tumbuhan, bijih, dan sebagainya. Setelah menyelesaikan pencarian ini, seseorang akan dihargai dengan uang atau pengalaman. Setelah tiba di toko umum, Nie Yan pergi ke depan dan membeli tiga ramuan kesehatan tingkat rendah. Satu ramuan akan memulihkan lebih dari tiga puluh kesehatan, dan masing-masing ramuan dihargai dengan satu tembaga. Toko umum hanya menawarkan ramuan kesehatan pemula. Ramuan tingkat menengah atau lebih tinggi hanya bisa dibeli dari seorang Alkemis. Setelah membeli tiga ramuannya, hanya satu tembaga yang tersisa di saku Nie Yan. Nie Yan berjalan ke luar dan keluar dari batas kota. Setelah meninggalkan kota, dia buru-buru bergegas ke titik peti harta karun. Jika dia bertemu monster, dia akan mengambil jalan memutar di sekitarnya dan menjaga jarak. Tempat yang dia tuju adalah area monster Level 5. Saat ini, dengan levelnya saat ini, bahayanya sangat tinggi. Namun, dengan pengalamannya saat ini di Level 0: 0. 00%, bahkan jika dia mati, dia tidak akan kehilangan pengalaman. Nie Yan melewati dua zona monster Level 1, zona monster Level 3, dan zona monster Level 4. Setelah empat menit, Nie Yan akhirnya tiba di zona monster tempat Wildcats Level 5 muncul. Setelah mengamati daerah sekitarnya, ia melihat padang rumput lebat dan rumput subur yang bisa mencapai pinggang seseorang. Menatap area yang jauh di dalam padang rumput yang lebat, dia melihat pohon willow tinggi menjulang di atas vegetasi. Tampaknya sangat tinggi dan megah karena menempati ruangnya sendiri di padang rumput. Peti harta karun perak tidak jauh dari lokasi ini. Hati Nie Yan mulai tegang karena gugup saat ia semakin dekat. Pada levelnya saat ini, Wildcat Level 5 di area ini bukan monster yang bisa dihadapi Nie Yan. Kadang-kadang satu atau dua Wildcats akan melewati daerah itu, dan Nie Yan akan segera menyembunyikan dirinya. Pencuri memiliki keterampilan profesi pasif yang meningkatkan kemampuan mereka untuk menyembunyikan diri. Begitu mereka bersembunyi, tidak akan mudah bagi makhluk hidup lain untuk mendeteksi mereka. Pada saat yang sama, dia masih bisa menggunakan skill Stealth-nya. Nie Yan mulai menghitung formula perbedaan level untuk Stealth di kepalanya. Setelah menggunakan Stealth, jarak aman antara dia dan Wildcat harus sekitar dua meter. Dengan kata lain, jika dia pergi dalam jarak dua meter dari Wildcat ketika dia dalam sembunyi-sembunyi, dia akan ditemukan. Antara dua dan tiga meter adalah zona penyangga di mana ia mungkin bisa ditemukan. Lebih dari tiga meter ia berada pada jarak yang benar-benar aman. Setelah menghabiskan lebih dari satu dekade bermain profesi Pencuri dalam kehidupan sebelumnya, penggunaan Nie Tham dari keterampilan Pencuri ini telah lama ditempa dengan sempurna. Selain itu, menggunakan visinya untuk memperkirakan jarak juga tidak terlalu sulit. Tiba-tiba, semak-semak di kejauhan mulai bergetar dan bergerak dengan gerakan. Kulit Nie Yan cepat berubah saat ia dengan cepat bersembunyi dengan mengaktifkan Stealth. Wildcat yang sebesar Gembala Jerman menerkam keluar dari semak-semak. Matanya yang tajam mengamati sekeliling, tetapi tidak menemukan sesuatu yang aneh. Saat melewati ruang terbuka yang terbentang di depan, ia masuk ke rerumputan lain dan menghilang. Hanya ketika dia diyakinkan bahwa Wildcat telah pergi jauh, apakah Nie Yan berani untuk terus bergerak maju. Ada hamparan ruang terbuka dalam radius sepuluh yard di sekitar pohon willow. Sebuah dada putih perak diam-diam berbaring di pangkal pohon willow. Daerah terdekat memiliki enam hingga tujuh kucing liar berkeliaran dengan bebas. Untuk membersihkan Wildcats Level 5 ini, diperlukan tim yang terdiri dari setidaknya dua puluh pemain Level 3. Tidak akan mudah menguasai dada ini. Nie Yan mengamati pergerakan kucing liar ini di dalam rerumputan rumput, ketika ia berusaha menemukan rute yang aman ke pohon willow. Gerakan mereka tampaknya memiliki pola yang tetap. Setelah mengamati sebentar, Nie Yan menghapus semua peralatan di tubuhnya, dan menyimpannya di inventarisnya. Dia kemudian melengkapi peralatan pemula yang tidak berdaya. Jika peralatan pemula itu dijual ke toko NPC, mereka tidak akan bernilai bahkan satu tembaga pun. Sederhananya, mereka sampah. Bahkan jika seseorang melemparnya ke tanah, tidak ada yang mau repot-repot mengambilnya. Mati dalam Keinsafan akan mengakibatkan hilangnya satu level. Selain itu, peralatan acak juga akan jatuh pada saat kematian. Jika peralatan baru yang baru saja dibelinya jatuh tiba-tiba, maka itu akan benar-benar sia-sia. Namun, jika peralatan pemula jatuh, dia tidak akan peduli. Dia hanya melengkapi itu untuk sementara waktu untuk menutupi tubuhnya. Saat menggunakan keterampilan Stealth-nya, Nie Yan perlahan merayap menuju pohon willow. Dia berjalan sekitar sepuluh detik, sebelum tiba-tiba berhenti dan menahan napas. Wildcat berjalan di sekitar sisi kiri Nie Yan — dalam waktu sekitar dua meter. Setelah menunggu selama enam detik, Nie Yan terus maju sekali lagi — dengan hati-hati mengendalikan jarak antara setiap Wildcat. Perlahan-lahan, jarak antara dia dan dada memendek. Detak jantung Nie Yan dipercepat sekali lagi. Dia mengerti bahwa sebagai Level 0, jika dia berhasil meraih buku keterampilan ini, maka itu akan sangat membantu di masa depan. Dua kucing liar mulai bergerak menuju lokasi Nie Yan. Nie Yan cepat berhenti, tetapi kucing liar terus maju. Untungnya, jarak di antara mereka masih sekitar dua yard terpisah. Nie Yan sangat ketakutan saat dia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Stealth memiliki total durasi dua menit, dan waktu berlalu. Mengetahui bahwa efek Stealth akan berakhir dalam tiga puluh dua detik, kondisi pikiran Nie Yan mulai berfluktuasi. Tidak ada cukup waktu …! Nie Yan sedikit mempercepat langkahnya. Tidak jauh dari tempat Nie Yan berada, Wildcat bergerak sedikit. Menjadi sadar akan lokasi Nie Yan segera. Setelah mengunci matanya ke Nie Yan, Wildcat membuka giginya yang tajam dan menggeram serak. Tidak bagus, saya ditemukan! Wildcat bergerak, menerkam Nie Yan. Serangan mendadak Wildcat itu cepat, dan kecepatan gerakan Nie Yan berarti bahwa ia pada dasarnya tidak mampu mengikuti. Namun, Nie Yan masih berhasil menghindari cara serangan Wildcat dengan mengandalkan kecepatan reaksinya — sesuatu yang telah ia kembangkan selama kehidupannya yang lalu. Gerakan dasar untuk karakter adalah menghindar, berguling, melompat, dll…. Pemain dapat memanfaatkan gerakan ini untuk menghindari serangan — selama itu masih dalam kemampuan sistem. Cakar tajam Wildcat menyapu udara kosong, hilang satu tenggorokan Nie Yan hanya satu inci. Sama seperti Nie Yan telah mengelak, dua Wildcats muncul dan menerkamnya dari samping. Salah satu dari mereka mencakar dia dari belakang, sementara yang lain menggigit lengannya. ****, Aku sudah selesai! Dalam keadaan ini, menggunakan ramuan kesehatan tidak akan berguna. −68 −32 Dua nilai kerusakan melayang di atas kepala Nie Yan. Dia jatuh ke tanah karena kesehatannya turun ke nol. Pemandangan berubah, dan Nie Yan mendapati dirinya dibangkitkan di kuburan di kota Tellak. Kegagalannya adalah akibat menggunakan Stealth terlalu dini. Ketika durasi Stealth hampir naik, ia menjadi tidak sabar dan kesalahan terjadi. Ini adalah akar penyebab yang menyebabkannya gagal. Nie Yan menyimpulkan semua penyebab kegagalannya, dan terus maju. Ketika dia melirik peralatan di tubuhnya, dia memperhatikan bahwa lengan bajunya telah jatuh. Namun itu hanya peralatan pemula. Bahkan jika itu jatuh, itu tidak akan terlalu mengkhawatirkan. Adapun kehilangan pengalaman … itu tidak masalah karena dia masih di Level 0: 0. 00%. Dia sudah membuat rencana kalau-kalau dia sekarat, itulah sebabnya dia berani menjelajah ke area dengan monster Level 5. Nie Yan berangkat sekali lagi. Setelah meninggalkan batas kota Tellak, ia kembali ke tempat Wildcats bertelur. Sekali lagi, Nie Yan tiba di ruang terbuka itu. Dia segera menemukan sedikit perubahan pada jalur pergerakan Wildcats. Dia telah memimpin Wildcat di dekat peti sebelum dia mati, dan mereka terus berada di dekat tempat dia jatuh. Memperoleh peti harta karun perak baru saja menjadi tugas yang jauh lebih sulit. Wildcats terus berkeliaran di sekitar. Nie Yan mulai mempelajari gerakan mereka lagi. Dia mungkin berani mati dengan menarik Wildcats ini pergi. Lalu, dia bisa bangkit, menggunakan Stealth untuk dengan mudah lolos, dan sampai ke peti setelahnya. Dia mengakhiri Stealth. Perlahan-lahan, sosoknya muncul sekitar tiga meter dari Wildcats. Lima kucing liar di daerah sekitarnya secara bersamaan menemukannya, dan mulai mengejar mereka. Nie Yan membuat lari gila dari daerah itu, tapi kecepatan gerakannya lambat dibandingkan dengan Wildcats. Segera, mereka dengan cepat menyusulnya. Satu Wildcat menerkam ke depan, menyebabkan Nie Yan jatuh ke tanah. Wildcats lainnya segera mengepungnya dan masuk untuk membunuh. Setelah kilatan cahaya putih, Nie Yan sekali lagi dibangkitkan di kuburan di kota Tellak. Kali ini, penjaga kakinya telah jatuh. Dia sekali lagi berangkat keluar kota, bergegas kembali untuk menjarah harta karun setelah dibangkitkan. Dengan berlalunya sepuluh menit, Nie Yan sekali lagi mencapai tempat terbuka. Wildcat sekarang agak jauh dari peti harta karun. Saat ia menghitung gerakan mereka di kepalanya, mata Nie Yan menyala. Seharusnya tidak ada masalah saat ini. Nie Yan mengaktifkan Stealth dan mendekati peti harta karun perak. Dia maju selama lebih dari dua puluh detik, sebelum berhenti di tempat setelah memperhatikan dua Wildcat muncul dari belakang. Mereka mendekati lokasi Nie Yan, sebelum secara bertahap berjalan pergi. Semua kucing liar di daerah itu agak jauh dari Nie Yan — sekitar jarak sekitar lima meter. Ketika dia mengkonfirmasi bahwa dia akhirnya aman, Nie Yan mempercepat langkahnya dan dengan cepat tiba di peti perak. Stealth masih memiliki durasi tersisa tiga puluh enam detik — enam detik lebih dari yang dia perkirakan sebelumnya. Nie Yan berjongkok untuk membuka dada sambil masih menggunakan Stealth — membuka dada tidak akan membatalkan skill. Sistem: Membuka dada … Perkiraan Penyelesaian: 20% … 50% … Wildcat di sekitarnya berjalan menuju Nie Yan. Itu mendekati sedikit lebih dari dua meter sebelum akhirnya berhenti. Denyut nadi Yan Yan secara tidak sadar dipercepat. Tenang … harus tetap tenang …. Dia harus terus-menerus menghibur dirinya sendiri di kepalanya sebelum denyut nadinya akhirnya tenang. Wildcat melirik sebentar, tetapi akhirnya berbalik dan pergi setelah tidak mendeteksi apa-apa. Tubuh Nie Yan mereda dan dia menghela nafas lega. Sistem: Dada berhasil dibuka! Waktu yang dibutuhkan: 27. 0 s Nie Yan membuka dada, dan mulai merasa di dalam. Ketika tangannya menyentuh buku, jantungnya tiba-tiba melonjak. Ini dia! Sambil mengeluarkan buku itu, dia membacanya. Buku keterampilan: Vital Strike Deskripsi keterampilan: Pencuri dapat menyebabkan kerusakan tambahan dengan menyerang tanda vital musuh. Wajib untuk digunakan: Aksi (memerlukan senjata) Atribut skill: Memukul tanda vital target menyebabkan 5% kerusakan tambahan, menandai target dengan debuff kerusakan. Cooldown keterampilan: 30 dtk Batasan Profesi: Pencuri, Warrior, Paladin, dapat dipelajari oleh faksi apa pun. Memang ini adalah buku keterampilan Vital Strike. Ini adalah keterampilan terbaik yang mampu dia pelajari di Level 0! Ini adalah apa yang telah dia usahakan dengan keras untuk didapatkan. Setelah Nie Yan meraih buku itu, itu menjadi sinar cahaya putih. Melirik ke bar skillnya, dia menyadari bahwa skill lain telah muncul: Vital Strike! Setelah penghapusan buku keterampilan Vital Strike milik Nie Yan, peti perak mulai berangsur-angsur menghilang sebelum menghilang tanpa jejak. Semua beres! Heh … aku juga bisa kembali ke kota secara gratis. Saat durasi Stealth berakhir, sosok Nie Yan perlahan muncul. Beberapa kucing liar di daerah itu segera menemukannya dan menyerang. Nie Yan tidak punya pengalaman kehilangan, jadi dia berencana mati dan bangkit kembali di kota untuk menghindari harus berlari kembali. Nie Yan dengan damai menunggu nasibnya. Sekali lagi, Nie Yan meninggal dan kembali ke pemakaman kota. Kali ini, sarung tangan pemula-nya terjatuh. Namun, dibandingkan dengan buku keterampilan Vital Strike, kerugian itu bisa diabaikan. Dengan mendapatkan Vital Strike, kecepatan latihannya akan meningkat pesat. MEMBUAT PERSIAPAN Bab 6 – Membuat Persiapan Nie Yan ingin melanjutkan dengan langkah kedua dari rencana pelatihannya. Namun, dia membutuhkan dua puluh tembaga untuk melakukannya! Menghasilkan uang sambil berlatih secara bersamaan dengan kecepatan tinggi, ini adalah satu-satunya cara untuk menjadi efisien. Nie Yan berpikir sejenak, lalu mulai berlari lebih dalam ke kota Tellak. Koordinat: [309. 289 221] Tellak Town, NPC: Hunter Klaus Quest: Kumpulkan 50 Tengkorak Tikus Silverdust Raksasa Koordinat: [290] 231. 256] NPC: Petani Ende Quest: Bunuh 50 Tikus Silverdust Raksasa. Koordinat: [350. 220. 389] Pinggiran Kota Tellak, NPC Tersembunyi: Alchemist Oer Quest: Kumpulkan 21 ekor Tikus Silverdust Raksasa Nie Yan menemukan dua NPC umum, dan tiga NPC tersembunyi yang membagikan pencarian terkait dengan membunuh Tikus Raksasa Silverdust. Koordinat untuk NPC tersembunyi disediakan dalam panduan strategi dari kehidupan sebelumnya. Pemain yang tak terhitung jumlahnya telah mengalami kesulitan besar dalam menemukan NPC tersembunyi ini karena mereka tidak mengetahui koordinat ini. Setelah ia menerima lima pencarian, Nie Yan berlari keluar dari kota Tellak dan mulai menuju ke daerah di mana Tikus Raksasa Silverdust melahirkan. Tikus Silverdust Raksasa adalah spesies tikus yang sangat besar yang memiliki mantel abu-abu pucat perak. Tubuh mereka sedikit melebihi kerbau, dan mereka tampak mirip dengan bukit kecil yang bergerak ketika mereka berkeliaran. Namun, gerakan mereka sangat lamban, dan serangan mereka tidak terlalu tinggi. Tikus Silverdust Raksasa: Tingkat 1 Kesehatan: 100/100 Server gim ini telah beroperasi selama kurang lebih seminggu, dan sebagian besar pemain telah mencapai Level 2 atau 3. Oleh karena itu, banyak dari mereka sudah pindah untuk berburu di daerah yang lebih tinggi. Dengan demikian, hanya sedikit pemain yang masih berlatih di area Level 1 ini. Nie Yan bergerak cepat setelah menemukan Tikus Silverdust Raksasa. Dia menyerang, meninggalkan beberapa bekas tusukan di punggungnya. −21 −20 −21 Tiga nilai kerusakan muncul, mengambang di atas kepala Raksasa Silverdust Rat. The Giant Silverdust Rat membalas dengan memutar kepalanya untuk menyerang Nie Yan. Sebelum itu bisa, Nie Yan mengaktifkan Vital Strike dan menusuk mata Raksasa Silverdust di mata. Sistem: Vital Strike berhasil! Serang + 5%, menghasilkan kerusakan tambahan yang diberikan! −38 Nilai kerusakan lain melayang di atas kepala Raksasa Silverdust Rat. Tikus debu raksasa mengeluarkan derit yang menyedihkan dan segera jatuh ke tanah. Lumayan, Vital Strike lumayan. Nie Yan mengumpulkan Tengkorak Tikus Raksasa yang telah dijatuhkan sebagai jarahan. Cooldown Vital Strike adalah tiga puluh detik, memberi Nie Yan cukup waktu untuk mencari Rat Silverdust Rat lain. Setelah menemukan daerah di mana Raksasa Silverdust Tikus menelurkan agak cepat, Nie Yan mulai menggiling monster. Banyak Raksasa Silverdust Tikus terus-menerus dikalahkan, dan jatuh ke tanah. Bar pengalaman Nie Yan secara bertahap naik. 1%, 2%, 10% … setelah sekitar dua jam, Nie Yan telah membunuh lebih dari dua ratus Giant Silverdust Rats. Dia melanjutkan sampai bar pengalamannya akhirnya mencapai 15%. Ekor Tikus Raksasa, Tengkorak Tikus Raksasa, dll …. Semua barang ini dikumpulkan dalam tumpukan besar. Selain itu, ia juga mendapatkan total tiga tembaga sebagai tetes jarahan. Tingkat penurunan uang sangat rendah. Hanya dalam kondisi tertentu tingkat drop akan lebih tinggi. Ini untuk membuat mata uang dalam game Conviction jauh lebih berharga. Sebagai Vital Strike Nie Yan membunuh tikus raksasa lain, sesuatu muncul berkedip di bawah mayatnya. Jantung Nie Yan berdetak kencang. Dengan cepat, dia membungkuk untuk mengambil barang itu. Pelindung Kaki Kulit Keras (Peralatan Putih) Persyaratan level: Level 0 Properti: Pertahanan 3–5 Berat: 3 lb Pembatasan Pengguna: Warrior, dapat dilengkapi oleh faksi apa pun. Tetes peralatan dalam Conviction cukup langka. Hanya dalam beberapa kasus yang relatif lebih tinggi tingkat penurunan akan ditingkatkan. Namun, tingkat kesulitan untuk kejadian seperti itu juga akan jauh lebih tinggi. Nie Yan ingat dengan sangat jelas bahwa di masa lalu ada banyak pemain Level 10 atau lebih tinggi yang tidak punya pilihan selain untuk melengkapi peralatan Level 5, untuk membentuk pesta dan berburu monster; semua karena mereka tidak dapat menemukan peralatan Level 10. Karena Pelindung Kaki Kulit Tangguh ini diperuntukkan bagi Pejuang, ia akan menjual setidaknya untuk tujuh tembaga jika aku melemparkannya ke rumah lelang. Dia menyimpan Pelindung Kaki Kulit Keras ke dalam inventarisnya; tas pemula hanya memiliki dua puluh slot. Nie Yan mengisi tasnya dengan begitu banyak item, sekarang hanya ada sebelas slot yang tersisa. Di dalam tas pemula ada ruang dimensi. Item yang disimpan di dalam ruang ini tidak akan menaikkan nilai berat pemain. Nilai berat pemain hanya dipengaruhi oleh peralatan pemain. Dengan tiga tembaga yang sebelumnya jatuh, dan dengan menjual Pelindung Kaki Kulit Tangguh … dana saya harus dibawa hingga sepuluh tembaga. Menghidupkan pencarian ini juga harus memberi saya beberapa hadiah …. Aku seharusnya punya lebih dari dua puluh tembaga saat itu. Nie Yan melirik bagspace-nya. Lima pencarian yang diterimanya telah selesai. Jadi dia mulai kembali ke Tellak Town, karena dia tidak perlu lagi berburu Tikus Perak Raksasa. Nie Yan melakukan yang terbaik untuk mengejar ketinggalan. Pertama, dia akan menjembatani kesenjangan level antara dia dan pemain lain. Kemudian dia akan menggunakan pengalaman kehidupan masa lalunya untuk secara progresif memperluas keunggulannya dalam permainan. Setelah kembali ke kota Tellak, Nie Yan menyerahkan semua lima misi, menyelesaikan misinya. Dia memperoleh enam ratus pengalaman, yang meningkatkan tingkat pengalamannya menjadi 55%. Selain itu, ia juga telah menerima 34 tembaga — jumlah yang melebihi harapannya. Uang dan pengalaman yang diberikan oleh ketiga NPC tersembunyi itu beberapa kali lebih tinggi dari apa yang akan diberikan NPC biasa. Selain uang dan pengalaman, ia juga menerima tiga ramuan kesehatan pemula. Nie Yan meletakkan Pelindung Kaki Kulit Tough di rumah lelang, dan berjalan menuju toko senjata. Setelah tiba di luar tempat itu, dia melihat sebuah toko kecil di depan. Namun, setelah masuk, ruang interior sebenarnya cukup besar — ​​kira-kira lima kali sepuluh meter. Senjata untuk setiap profesi bisa terlihat berbaris di kedua sisi kiri dan kanan tembok. Peralatan umum untuk semua profesi juga bisa terlihat tergantung di dinding belakang toko: busur, busur, belati kecil, dll…. Toko yang penuh dengan peralatan adalah tampilan yang memesona bagi mata. Pemilik toko senjata itu adalah pandai besi yang tampak galak, tampak berusia empat puluhan. "Senjata yang aku tempa adalah yang terbaik di seluruh wilayah padang rumput barat! Petualang yang terhormat, bolehkah saya bertanya apa yang Anda butuhkan? ”Melihat bisnis tiba, pandai besi itu datang untuk menyambutnya dengan nada langsung yang hidup. "Busur, atau panah. ” "Mari kita lihat … busur atau panah jenis apa yang kamu cari? Peralatan yang saya miliki di sini dapat memenuhi semua persyaratan petualangan yang Level 5 atau lebih rendah. ” “Level 0, yang bisa aku gunakan. Serang +3 atau lebih, dan Firing Rate 12 atau lebih. "Nie Yan berpikir sejenak, dan menambahkan," Harganya harus dalam tiga puluh tembaga. ” Nie Yan awalnya berpikir mengumpulkan dua puluh tembaga akan cukup untuk membeli busur atau panah biasa. Dia tidak berharap bahwa dia akan melebihi target sasarannya, dan mendapatkan tiga puluh tujuh tembaga. Setelah Pelindung Kaki Kulit Tangguh terjual, dana-nya akan melampaui empat puluh tembaga. Dia memiliki banyak uang untuk membelanjakan busur atau panah yang lebih baik. “Saya punya tiga peralatan yang memenuhi kriteria Anda. Yang pertama adalah jalan pintas. Attack +3, Firing Rate 13, Attack Deviasi 11%, dan Range 20 yard. Harganya adalah tujuh koin tembaga. "Pandai Besi mengambil jalan pintas, dan disajikan kepada Nie Yan. "Apakah kamu memiliki sesuatu yang lebih baik? Mungkin sesuatu dengan akurasi lebih tinggi? " Dia punya tugas yang ingin dia selesaikan. Dan meskipun jalan pintas sudah cukup, memiliki sesuatu yang lebih baik akan menghemat waktu. “Yah, aku juga punya busur besar ini. Ia memiliki Attack +5, Firing Rate 12, Deviasi 9%, dan Range 30 yard. Harganya lima belas tembaga. “Pandai Besi mengambil busur besar, dan mempresentasikannya. Setelah itu, dia mengeluarkan panah otomatis satu tangan yang indah. Dia mengisinya dengan lima baut, lalu menopangnya dengan lengannya dan mengarahkannya ke sekitar toko. “Jika itu tidak membuatmu senang, maka ini adalah karya terbaikku, yang paling aku banggakan. Crossbow kompak dengan efek triple-shot, Attack +5, Firing Rate of 8. Selanjutnya, sebagai hasil dari kemampuan menembak tambahannya, Firing Rate dari satu tembakan diuji pada 15. Ini memiliki penyimpangan 5%, dan jangkauan 30 yard. Harganya adalah dua puluh delapan tembaga. ” "Aku akan mengambilnya . Beri saya sembilan quiver panah baut kelas rendah juga, ”kata Nie Yan. Setiap quiver berisi seribu baut panah bermutu rendah; itu sudah pasti cukup. Nie Yan menghabiskan tiga puluh tujuh tembaga untuk menyelesaikan transaksi, meninggalkannya tanpa sisa tembaga. Dia menyimpan panah dan sembilan quiver yang baru-baru ini dia beli ke dalam tasnya. “Jangan ragu untuk datang lagi petualang yang disegani. Semoga perjalanan Anda aman. ” Dalam kehidupan masa lalunya, ketika Nie Yan pertama kali memasuki permainan, dia percaya NPC hanya memiliki AI sederhana. Dia kagum dengan apa yang dia temukan. Setelah itu, dia bisa menjaga ketenangannya lebih mudah. Ketika Nie Yan meninggalkan toko senjata, pemberitahuan sistem muncul. Sistem: Pelindung Kaki Kulit Tough Anda telah dijual dengan harga delapan tembaga. Ah, akhirnya terjual … tidak buruk. Sekarang saya memiliki delapan tembaga sebagai total dana saya. Setidaknya saya tidak akan dianggap terlalu miskin saat ini. Nie Yan meninggalkan perbatasan kota Tellak, dan bergegas menuju area Level 8 Bison. Monster Bison bahkan lebih berbahaya daripada Wildcats. Mereka memiliki serangan yang sangat kuat, dan kecepatan gerakan mereka juga jauh lebih cepat daripada Wildcats. Sebenarnya, mereka lebih dari tiga kali lebih cepat daripada Nie Yan dengan statistiknya saat ini. Saat menghadapi Bison ini, pada dasarnya hanya ada kematian dan tidak ada peluang untuk selamat. Saat ini, tidak ada satu pun pemain yang berani berhadapan dengan monster Level 8. Bahkan jika mereka saat ini adalah pemain level tertinggi dalam game, mereka masih tidak akan berani. MEMBUNUH BISON Bab 7 – Memotong Kesenjangan Level dan Membunuh Bison Melewati hamparan luas tanah padang rumput, Nie Yan akhirnya tiba di wilayah tong dan batu. Sejauh mata memandang, batu-batu besar dan berbentuk aneh tersebar tidak teratur di seluruh area. Dalam kekacauan batu-batu besar ini adalah celah-celah sempit dan lorong-lorong. Seharusnya ada di sini. Nie Yan mengamati bentangan sejenak. Setelah memastikan tanpa ragu bahwa ini adalah koordinat yang benar, ia menjadi sangat waspada dan mulai perlahan menyelinap di sekitar. Wilayah ini adalah tempat Bison aktif berkeliaran. Seluruh area meresap dengan rasa takut dan bahaya. Dengan hati-hati, ia masuk ke salah satu lorong sempit di dalam batu-batu besar itu. Koordinat [567. 528. 192] Topografi wilayah ini aneh dan eksentrik. Lorong sempit di dalam batu-batu besar ini hanya memberi ruang yang cukup bagi satu orang untuk melewatinya. Ketika dia melihat keluar setelah melewati lorong sempit, seorang Bison berwarna gelap di suatu daerah pada jarak sekitar dua puluh enam meter jauhnya memasuki pandangannya. Besar dan kuat, seluruh tubuhnya padat dengan otot. Di atas kepalanya, dua tanduk tajam yang menyerupai ujung belati menonjol keluar. Kepala Bison: Level 8 Kepala Monster Kesehatan: 300/300 Nie Yan mengeluarkan panahnya dan memegangnya dengan tangan kirinya. Dia mulai mengkalibrasinya, memastikan sudutnya tepat. Secara kebetulan, Kepala Bison berada dalam jangkauan serangannya. Karena ukuran tubuhnya yang begitu besar, bahkan jika itu untuk menemukan keberadaannya, itu masih tidak dapat melintasi lorong sempit dalam kekacauan batu-batu besar. Akibatnya, itu benar-benar tidak mampu menyerangnya. Ini adalah eksploitasi medan yang khas! Ini adalah eksploitasi yang ditemukan Arcane Mage di dalam game. Namun, saat ini, satu-satunya yang menyadari eksploitasi medan ini adalah dia! Dengan menggunakan exploit ini, Nie Yan dapat melewati perbedaan level dan dengan mudah membunuh Kepala Bison ini! Nie Yan mulai memuat panah otomatis dengan baut. Setelah tiga detik, tiga baut panah benar-benar dimuat, dan panah itu dimiringkan dan siap untuk ditembakkan. 「Wsh! Wsh! Wsh! 」Tiga baut ditembakkan secara berurutan, terbang dalam garis lurus ke arah Kepala Bison. 「Pft! ! Pft! Pft! 」Tiga baut panah membentur Kepala Bison hampir bersamaan. Kehilangan −1 Kehilangan Tiga nilai kerusakan melayang di atas kepala Kepala Bison. Karena perbedaan level antara kedua belah pihak menjadi terlalu besar, serangan Nie Yan terhadap Kepala Bison lemah. Sebagian besar waktu akan meleset, dan bahkan jika itu mengenai target, itu hanya akan menyebabkan sedikit kerusakan. Setelah diserang, Kepala Bison mengembuskan udara apak dalam jumlah besar, dan memulai serangan gila ke lokasi Nie Yan. . 「Boom!」 Suara tabrakan besar meledak. Kepala Bison telah menyerbu ke dalam batu-batu besar, dan diusir kembali. Serangannya tidak dapat mencapai Nie Yan. Itu hanya bisa berbalik dan melingkari batu-batu besar, tanpa melakukan tindakan apa pun. Nie Yan dengan terampil selesai memuat ulang panah, dan seperti sebelumnya, menembakkan tiga baut berturut-turut cepat menuju Kepala Bison. Meskipun kerusakannya sangat rendah, di bawah serangan Nie Yan yang terus menerus dan tak henti-hentinya, bar kesehatan Kepala Bison mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan yang sedikit. Namun, itu sangat lambat; hanya jatuh dengan jumlah terkecil. Kadang-kadang, bahkan pulih sedikit pun. Tingkat api Nie Yan cukup stabil. Setelah menderita serangannya, Kepala Bison berteriak dengan marah; justru karena itu tidak mampu bahkan mendekati Nie Yan. Semuanya berjalan semulus yang diharapkan. Nie Yan menyerang Kepala Bison sambil mencari tahu langkah selanjutnya dalam strategi levelingnya. Setelah dilahirkan kembali, jika dia seperti orang lain yang mencoba mencari tempat untuk naik level, itu benar-benar akan membuang-buang waktu. Orang harus tahu, pikiran Nie Yan memiliki sejumlah besar pengetahuan game. Dia mengikuti alasannya sendiri dan merancang rencana leveling yang sempurna. Detik dan menit terus berlalu. Setelah setengah jam, Nie Yan benar-benar menggunakan semua baut panah dalam satu quiver — baut baut panah athousand! Saat ini, Kepala Bison masih memiliki sekitar dua pertiga dari kesehatannya yang tersisa. Proses pemuatan dan pemotretan tanpa gangguan membuat Nie Yan merasa dirinya akan tertidur. Namun, dia masih berusaha keras untuk mempertahankan frekuensi tembakannya yang tinggi, untuk menghindari kesehatan Kepala Bison pulih kembali setelah dia menghentikan serangannya. Kepala Bison mulai merasa agak lelah. Itu terus menerus tegang untuk nafas saat dengan cemas menabrak batu dan runtuh sebagian dari batu-batu besar. Nie Yan dengan cepat mundur sedikit ke dalam, dan pada saat itu, menunya terdengar dengan pemberitahuan panggilan suara. "Pakar, saya pergi ke koordinat yang Anda berikan kepada kami untuk monster pertanian. Memang sangat cepat! Saya sudah mengambil dua buku keterampilan Stealth dari hari ini saja! "Kata Flying Stone. Di lokasi di mana Nie Yan menyuruhnya berlatih, leveling lima puluh persen lebih efisien dibandingkan dengan area pelatihan umum. Ini telah membuat Flying Stone sangat bersemangat. Memberi hadiah kepada Nie Yan sebuah buku Stealth Skill tunggal telah memberinya harta karun berupa area pelatihan — itu benar-benar perdagangan yang berharga! "Tentu saja itu alami. Dukun yang jatuh juga menjatuhkan buku keterampilan Owl Sight. Jika Anda menemukan tambahan, jangan lupa untuk mengirim saya satu. '' Nie Yan tidak sedikit pun terkejut. Dia telah melewati banyak panduan strategi ahli dalam kehidupan sebelumnya. Berita kecil seperti ini — jumlah yang dia ingat jelas jumlahnya tidak sedikit. Dalam hidupnya, Nie Yan adalah tipe orang yang berkulit tebal dan selanjutnya sangat pelupa. Ada banyak hal yang akan dilaluinya dalam hidupnya dengan melupakan atau mengabaikan sepenuhnya. Namun, satu-satunya hal yang paling diingatnya adalah panduan strategi permainan ini. Setiap orang memiliki ingatan yang luar biasa ketika berurusan dengan hal-hal yang sangat mereka minati. "Jika buku keterampilan jatuh, aku akan mengirimkannya kepadamu melalui surat. Ada sesuatu yang saya bertanya-tanya, bagaimana Anda mengetahui tentang tempat latihan ini? "Tanya Stone melalui obrolan. Ketika dia bertemu Nie Yan, yang terakhir tidak lebih dari Level 0. “Saya dulu bermain di akun Warrior, namun saya menghapusnya untuk membuat Pencuri. '' Nie Yan dengan santai memberikan alasan tanpa berpikir. Tentu saja, dia tidak ingin ada yang tahu rahasianya adalah dia telah bereinkarnasi. "Jadi seperti itu …. Akun Warrior Anda pasti sangat berlevel tinggi, ya. Mengapa Anda akhirnya menghapusnya? Dalam beberapa hari salah satu teman saya ingin membentuk kelompok untuk memasuki kamp Shaman Fallen. Pakar, apa pendapat Anda tentang ini? ”Stone bertanya penuh harap dalam pesannya. Nie Yan tampaknya memang orang yang sangat berpengetahuan. Selain itu, beberapa temannya memang hanya bisa bertarung ke daerah luar Kamp Dukun Fallen dan tidak bisa maju lebih jauh. The Fallen Shaman Camp adalah contoh kesulitan yang tinggi. Mesin virtual dibagi menjadi mesin virtual khusus dan mesin virtual dasar. Ketika instance khusus dibersihkan oleh pemain, ia menghilang dan menjadi area biasa. Adapun contoh dasar, jika mereka dibersihkan oleh pemain, mereka masih bisa berulang kali dimasukkan sesudahnya. Namun, tingkat drop peralatan jauh lebih rendah, dan keuntungan yang didapat juga tidak setinggi itu. The Fallen Shaman Camp digolongkan sebagai contoh dasar. Ini dibagi menjadi lima kesulitan: Mudah, Normal, Keras, Pakar, Spesialis. Semakin tinggi kesulitan, semakin baik peralatan yang akan jatuh. Jika suatu pihak harus menghapus contoh ini, mereka harus menunggu lima hari sampai mereka bisa masuk dan menghapusnya lagi. "Sebuah langkah-langkah penuh tentang cara menghapus Camp Shaman Fallen akan dikenakan biaya dua perak, tidak ada tawar-menawar," jawab Nie Yan. Dua perak setara dengan dua ratus tembaga. Terhadap pemain baru, ini jelas merupakan jumlah uang yang luar biasa. Namun, karena teman-teman Stone dapat membentuk tim untuk membersihkan Kamp Shaman Fallen, dua perak seharusnya tidak dianggap sebanyak itu. “Aku akan kembali dan membicarakannya dengan temanku. "Stone agak skeptis. Dia tidak mungkin memiliki walkthrough Fallen Shaman Camp yang lengkap, kan? Hal seperti itu bahkan tidak ada online. Rata-rata, keuntungan dari membersihkan kesulitan yang mudah dari Camp Shaman Fallen harus sekitar tiga perak. Jika keberuntungan mereka bagus, mereka mungkin bisa mendapatkan satu atau dua tetes berkualitas tinggi dengan statistik yang layak. Meskipun drop yang paling diinginkan semua orang dari Camp Shaman Fallen masih merupakan buku skill Heal. Nie Yan menuntut biaya informasi dua-perak dapat dianggap terlalu berlebihan. Jika tidak ada peralatan yang jatuh, maka mereka akan membayar Nie Yan tanpa bayaran. Kesulitan dari Camp Shaman Fallen agak tinggi. Setelah pesta mereka terhapus beberapa kali, mereka akan secara alami menyadari biaya yang telah ditugaskan Nie Yan sama sekali tidak mahal. “Jawab aku setelah temanmu setuju. Jika dia tidak setuju, jangan ganggu saya kecuali Anda memiliki bisnis. '' Nie Yan terus menembak sasarannya. Di bawah hujan api yang terus-menerus, Kepala Bison secara bertahap mulai menunjukkan indikasi jatuh. "Baiklah, aku akan pergi dan berbicara dengan pemimpin pesta kita. '' Pada dasarnya ada tanda sama yang menghubungkan Nie Yan dengan judul seorang ahli. Dia tidak sedikit pun tersinggung sehubungan dengan sikap dingin Nie Yan. Para ahli yang memiliki kepribadian seperti ini juga cukup umum. Stone bertanya-tanya, Apa tingkat yang dicapai akun prajurit Nirvana Flame sebelumnya? Seharusnya benar-benar kuat, tetapi mengapa dia akhirnya menghapusnya? Mungkinkah itu terkait dengan masalah yang sulit didiskusikan? Flying Stone selesai berbicara. 「Jangan! Doot! Doot! … 」Sinyal sibuk datang dari obrolan suara. Nie Yan menutup telepon, dan mempercepat laju tembakan panah di tangannya. Satu demi satu, panah terus dengan cepat meninggalkan panah dan menembak. Memecat satu setengah jam, ia telah menghabiskan sekitar tiga ratus enam ratus baut panah. 「Mooo!」 Akhirnya, Kepala Bison mengeluarkan teriakan kesakitan terakhir sebelum terhuyung-huyung ke tanah. Tubuh besar hancur berat ke bumi, dan Nie Yan bahkan bisa merasakan getaran di bawah kakinya. Nie Yan memperkirakan sedikit: jika dia menggunakan busur pendek, membunuh Kepala Bison akan memakan waktu setidaknya lima jam selain mengkonsumsi lebih dari sepuluh ribu panah. Untungnya, panah otomatis satu tangan ini dengan keterampilan tambahannya menyelamatkannya cukup lama. Dua lampu putih menyinari tubuh Nie Yan saat dua nada yang jelas dan merdu terdengar — masing-masing mewakili satu tingkat ke atas. Sistem: Anda telah berhasil membunuh Kepala Bison. + 1800% pengalaman untuk membunuh monster di atas levelmu. Anda telah menerima 8290 poin pengalaman. Nie Yan melirik bar pengalamannya, dia telah mencapai Level 2 dengan 21% dari bar pengalamannya sudah terisi. Pengalaman yang diperoleh dari membunuh Kepala Bison jelas sangat besar. Setelah akhirnya menyelesaikan tugasnya, Nie Yan menyingkirkan panah di tangannya dan berjalan menuju mayat Kepala Bison. Mencari di bawah mayat Kepala Bison, dia menemukan bahwa itu menjatuhkan lima tembaga. Selain itu, ia juga berhasil mengambil belati. Nie Yan melirik statistik belati. Tanduk Belati: Kelas Perunggu Properti: Tidak teridentifikasi Kelopak mata Nie Yan melompat kegirangan. Itu adalah belati tingkat perunggu! Peralatan dibagi dalam nilai-nilai ini: Putih, Perunggu, Perak, Emas, Emas Gelap, dan Legendaris. Kadang-kadang juga akan ada set berwarna hijau. Hanya peralatan di Bronze Grade atau di atasnya yang memiliki properti tambahan. Monster-monster di dalam Conviction diklasifikasikan ke dalam beberapa kelangkaan ini: Leader, Sub Elites, Elites, dan Master. Monster-monster ini tidak biasa dan jumlahnya sangat sedikit serta jarang terjadi pemijahan. Peralatan dengan properti tambahan hanya memiliki kemungkinan menjatuhkan seribu dalam satu. Mayoritas pemain hanya bisa puas dengan mengenakan peralatan kelas putih. Karena ini, peralatan dengan properti tambahan semuanya cukup berharga, dan harga mereka akan meroket sejauh mereka tidak tertahankan bagi pemain biasa. Senjata tingkat perunggu biasanya memiliki tambahan serangan 20% di atas senjata biasa. Selain itu, mereka juga datang dengan properti tambahan. Peralatan yang dijatuhkan Kepala Bison Level 8 adalah Level 5. Saat ini, harga belati tingkat perunggu Level 5 setidaknya tiga perak atau lebih tinggi. Selain itu, rata-rata total aset pemain Level 3 untuk sebagian besar hanya sekitar dua puluh tembaga. Jika seseorang memiliki aset bernilai pada tingkat perak, mereka pasti orang yang sangat kaya. Menurut rencananya, dia mengumpulkan tetesan Kepala Bison dan menyimpan belati kelas perunggu ke ruang tasnya. Nie Yan mundur dari lorong sempit di dalam batu-batu besar dan kembali ke kota Tellak. Satu-satunya penilai kota Tellak adalah seorang lelaki berjanggut putih pendek berjanggut dengan mata segitiga sempit. Dia sangat lihai, membuat semua orang yang melihatnya merasa sangat terkejut. Namun, ia adalah satu-satunya penilai di seluruh kota Tellak. Nie Yan membuka jendela perdagangan. "Anak muda, apakah Anda membutuhkan saya untuk menilai barang?" Tanya pria tua pendek itu. "Belati. "Nie Yan memasang Belati Horn ke jendela penilaian. “Biaya penilaian adalah sepuluh tembaga. Apakah Anda masih menginginkan penilaian? " Jantung Nie Yan berdetak kencang. Biaya penilaian Tanduk Belati ini adalah sepuluh tembaga. Biasanya, biaya penilaian untuk item adalah lima persen dari harga item, dan ini hanya harga NPC untuk item tersebut. Harga pasar seringkali lebih dari enam kali lebih tinggi dari itu. Dengan kata lain, belati Tanduk ini memiliki nilai setidaknya dua belas perak! Dia berpikir sejenak. Dalam beberapa hari ke depan, saya tidak perlu pergi ke mana pun yang membutuhkan banyak uang. Menghabiskan sepuluh tembaga juga tidak akan merepotkan. Dia menekan konfirmasi. Belati Tanduk berkembang dengan cyan radiance; kecemerlangannya jelas tidak mengecilkan. Cahaya ini adalah karakteristik khas peralatan kelas perunggu. Pegangan Belati Horn dilemparkan dengan tekstur kayu, dengan pisau yang sangat tajam di bagian depan. Itu jauh lebih tebal dibandingkan dengan belati biasa dan memiliki karakteristik unik berbentuk seperti tanduk banteng. Belati tanduk (kelas perunggu) Persyaratan Level: Level 5 Properties: Attack 16-19, Strength +5 Kecepatan Serang: 2. 3 Berat: 1 lb Pembatasan Pengguna: Pencuri, dapat dilengkapi oleh faksi apa pun. Belati Tanduk ini memberikan bonus pada stat kekuatannya. Kelima poin dalam kekuatan ini setara dengan lima poin dalam serangan. Kemudian tambahkan fakta bahwa serangan dasar belati sudah lebih tinggi dari Level 5 belati biasa dengan tiga atau empat poin, itu berarti Belati Tanduk ini lebih baik daripada belati biasa dengan hampir sepuluh poin. Pengaruh sepuluh titik serangan ini, berbicara dari sudut pandang pemain baru, memang sangat besar. Sepertinya aku mengambil belati Level 5 yang bisa diandalkan, pikir Nie Yan. HARGA YANG TERLALU RENDAH Bab 8 – Harga Yang Terlalu Rendah Setelah menyelesaikan penilaian belati, Nie Yan mulai berjalan di luar. Menurunkan kepalanya, dia melirik ke skill barnya. Hanya ada dua keterampilan di sana: Stealth, dan Vital Strike. Seorang Pencuri yang sempurna harus memiliki banyak keterampilan yang dapat mereka miliki. Pencuri bisa melakukannya tanpa peralatan; Namun, mereka benar-benar tidak dapat melakukannya tanpa keterampilan. Dari beberapa daerah di mana buku-buku keterampilan Pencuri bisa ditanami pada tahap awal permainan, Nie Yan tahu semuanya seperti punggung tangannya. Namun, dia tidak akan mungkin mengambil upaya besar dan kesusahan dari mengusir mereka. Jika sebuah buku keterampilan bisa dikeluarkan, maka buku itu juga bisa dengan mudah dibeli di pasar. Hmm …. Adakah tempat lain di mana saya bisa menemukan buku keterampilan pemula yang langka? Nie Yan memukul dahinya. Bagaimana saya bisa melupakan itu? Berkenaan dengan profesi seperti Pencuri, jika mereka ingin memiliki kekuatan pertempuran yang berkelanjutan, mereka akan sering memilih Alchemy Crafting atau skill Perban. Alchemy Crafting memungkinkan pemain untuk memproduksi segala jenis ramuan kesehatan, obat-obatan, dll …. Di tengah-tengah pertempuran, ramuan kesehatan — yang secara instan dapat memulihkan kesehatan yang hilang — sama saja dengan kehidupan kedua bagi seorang pemain. Setelah itu ketika pertempuran usai, meminum ramuan pemulihan memungkinkan seorang pemain untuk dengan cepat mengembalikan kesehatan mereka dan melemparkan diri mereka kembali ke pertempuran lagi. Dengan demikian, mempercepat kecepatan latihan mereka juga. Adapun keterampilan Perban, dibandingkan dengan ramuan kesehatan, itu agak kurang – keterampilan Perban umum tidak dapat digunakan selama pertempuran. Nie Yan tahu lokasi di mana keterampilan langka, Combat Medic, bisa dipelajari. Tidak seperti Perban, itu bisa digunakan saat dalam pertempuran. Pada tingkat yang lebih tinggi, jika seseorang ingin membeli ramuan kesehatan atau pemulihan tingkat menengah atau lebih tinggi dari pasar, pengeluaran mereka akan cukup besar. Bagaimanapun, harga mereka cukup mahal — bagi sebagian besar pemain, ramuan kesehatan dan pemulihan adalah barang yang hanya bisa mereka peroleh dengan menggali celah di antara gigi mereka. Kecuali satu yang kaya, rata-rata pemain tidak akan terlihat menggunakan ramuan kesehatan, atau pemulihan. Namun, Nie Yan berbeda — kepalanya dipenuhi dengan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Dia tidak perlu khawatir tentang uang. Belakangan, ramuan kesehatan dan pemulihan adalah semua yang bisa ia beli dengan mudah dari pasar. Jadi, tidak perlu baginya untuk membuang waktu mempelajari Alchemy Crafting. Namun, jika dia mempelajari keterampilan Memerangi Medis ini, itu akan sangat meningkatkan kemampuan bertahannya. Berpikir untuk ini, Nie Yan tiba-tiba punya ide. Saya akan menundanya untuk nanti. Saya harus mempelajari keterampilan Combat Medic terlebih dahulu. Nie Yan menghabiskan dua tembaga dan membeli dua pil pernapasan bawah air pemula dari toko umum NPC. Tepat setelah itu, dia bergegas menuju Danau Rando yang tidak terlalu jauh dari kota Tellak. Setelah melewati beberapa area Level 2–3, dia telah bertemu banyak pemain yang telah membentuk pesta untuk berburu monster. Mereka sering menduduki satu daerah di daerah mereka sendiri. Prajurit, Paladin, dll … semua profesi pertempuran jarak dekat ini bekerja untuk menggambar monster. Tepat setelah itu, Mage akan melepaskan rentetan mantra tanpa henti ke arah monster ini. Beberapa pihak bahkan akan membawa pendeta mereka sendiri. Sebagian besar imam saat ini tidak memiliki keterampilan Sembuh — kemampuan mereka untuk menangani kerusakan juga tidak sebaik Mage. Sebagian besar, mereka lintah pengalaman kotor. Meskipun demikian, setiap tim masih mencari pendeta seolah-olah mereka adalah komoditas panas. Ini karena jika sebuah tim ingin memiliki pertumbuhan atau perkembangan di masa depan, mereka benar-benar perlu memiliki hubungan yang baik dengan pendeta mereka. Kekurangan seorang imam sama dengan kekurangan persediaan ramuan kesehatan yang tak ada habisnya. Adapun Pencuri, pada tahap awal permainan, banyak Pencuri akan mudah dibuang oleh tim mereka. Namun, Pencuri cukup terkenal dengan kecepatan latihan solo mereka. Selama mereka membeli semua keterampilan yang diperlukan yang mereka butuhkan, kecepatan pelatihan Pencuri tidak akan kalah dengan Mage dalam aspek apa pun. Jadi, tidak akan rugi jika mereka tidak bisa bergabung dengan tim. Pelatihan level di berbagai area monster spawn sangat monoton dan membosankan. Namun, para pemain ini masih bisa mengobrol satu sama lain. Dengan demikian, waktu akan berlalu cukup cepat ketika mereka mengobrol santai. Nie Yan dengan hati-hati melewati area-area di mana para pemain berlatih karena banyak perjuangan akan terjadi di antara para pemain untuk tempat-tempat pelatihan tertentu. Jika seorang pemain membunuh pemain lain, mereka akan menerima penalti dengan nama mereka ditandai merah. Mereka akan dilarang memasuki tembok kota juga. Memiliki nama mereka ditandai merah berarti pemain lain bisa membunuh mereka tanpa takut jalan lain. Hilangnya level mereka saat mati akan lebih keras, dan setiap peralatan akan jatuh juga. Meskipun, jika pemain itu membunuh monster untuk jangka waktu tertentu, tanda merah pada nama mereka akhirnya akan menghilang. Meskipun demikian, banyak pemain masih sering mengambil risiko ini demi mencuri peralatan pemain lain. Tidak ragu-ragu sedikit pun, mereka akan membunuh orang lain untuk peralatan mereka, terlepas dari nama mereka ditandai merah. Untuk melakukan ini dengan aman, mereka sering menargetkan orang asing di hutan belantara yang jauh dari kota mana pun, Jadi, seseorang harus sangat berhati-hati ketika bepergian sendirian. Danau Rando … daerah ini dihuni oleh monster Fishmen. Menurut desas-desus, Nelayan ini adalah keturunan Naga Jahat kuno. Setelah generasi yang tak terhitung jumlahnya, mereka akhirnya berkembang menjadi bentuk mereka saat ini. Mereka memiliki tubuh ikan, dan empat anggota badan seperti manusia. Senjata yang mereka gunakan untuk menyerang adalah gigi tajam dan trisula yang mereka pegang. Fishmen adalah monster Level 3 yang padat penduduknya dengan jumlah besar mereka. Selain itu, bahkan ada desa nelayan di sekitarnya. Itu perlu bagi Nie Yan untuk melewati perbatasan desa untuk memasuki Danau Rando. Setelah itu, dia perlu berenang melalui danau untuk tiba di tujuannya. Desa Nelayan terletak di tepi Danau Rando, dan beberapa ratus gubuk kayu tersebar secara sporadis oleh tepi berpasir tepi danau. Desa Nelayan ini berisi sedikitnya tiga ratus atau lebih Nelayan, beberapa puluh Pemimpin Nelayan, dan dua Nelayan Elite. Jika seseorang ingin membersihkan area ini, mereka membutuhkan setidaknya seribu pemain atau lebih. Sama seperti Nie Yan sedang bersiap untuk menggunakan Stealth untuk memotong desa Fishmen, sebuah pengumuman sistem terdengar. Pengumuman Lokal: The Guild, Victorious Return, berencana untuk membersihkan lokasi ini dalam tiga menit. Semua pemain di sekitar Desa Nelayan, silakan segera berangkat. Kemenangan Kembali? Nie Yan mengangkat alisnya. Dalam kehidupan sebelumnya, ia dan guild Victorious Return mengadakan beberapa pertikaian dan perayaan bersama…. Orang-orang Victorious Return berlari merajalela dan bertindak sombong. Mereka akan membersihkan jalan dan membunuh semua orang di dalamnya kapan pun mereka mau. Dahulu kala, salah satu saudara laki-laki Nie Yan membunuh tiga anggota dari Victorious Return karena dia tidak puas dengan guild memaksanya keluar dari area pelatihan. Sedikit dendam terpuruk dengan orang-orang dari Victorious Return, dan semua guild mengejarnya. Mereka mengancam akan membunuh saudaranya di Level 0. Kekuatan Nie Yan dan yang lainnya masih cukup lemah saat itu, sehingga ia hanya bisa menyembunyikan dirinya dalam-dalam di jurang gunung. Dia terus naik level dan berlatih seperti orang gila selama lebih dari sebulan. Hanya ketika dia merasa levelnya telah mencapai cukup tinggi dia berani keluar. Bahkan saat itu, dia masih nyaris tidak bisa membela diri. Pada akhirnya, dia tidak pernah berani melakukan konfrontasi terbuka langsung dengan guild besar seperti Victorious Return. Perasaan ketidakberdayaan saat itu … bahkan tidak mengungkitnya. Dalam kehidupan ini, sejarah semacam itu sama sekali tidak akan terulang kembali. Hutang ini pasti akan menjadi salah satu yang akan saya bayar penuh. Namun tidak akan hari ini, untuk saat ini…. Nie Yan baru saja memasuki permainan kurang dari sehari. Dia masih perlu secara bertahap mengumpulkan kekayaannya sedikit demi sedikit. Segera, dia berbalik dan berlari menuju tepi danau. Saat dia melihat ke depannya, dia melihat air jernih bergabung dengan pantulan langit biru. Danau itu berkilau dan berkilau ketika sinar matahari menerangi bagian atas perairan yang jernih. Para pemain Victorious Return telah bergerak dengan giat dan mensurvei area tersebut. Ada banyak area di sekitarnya di mana seseorang dapat menemukan pergerakan orang-orang Victorious Return. Mereka pasti tidak datang dengan beberapa angka. Tampaknya mereka bersiap untuk memulai operasi mereka di desa Nelayan. Desa Nelayan bukan contoh, melainkan tempat bertelurnya monster untuk berkumpul. Jenis tempat ini juga sering menjatuhkan barang-barang yang layak. Nie Yan melewati hutan kecil pepohonan, tiba sekitar dua ratus meter dari tepi danau. Tiba-tiba, bola api melesat di langit, meluncur menuju lokasi Nie Yan. Saat bola api menyala, garis pandang Nie Yan bergeser melewati rerimbunan pohon. Matanya jatuh pada tubuh Elementalist yang mengenakan jubah merah. Pemain lawan adalah Elementalist Level 3 dari Victorious Return! Penyihir dibagi menjadi tiga jenis kelas: Elementalists, Penyihir Arcane, dan Penyihir Suci. Elementalists memiliki kemampuan untuk mengendalikan es, api, dan kilat — kekuatan mereka adalah elemen. Penyihir Arcane mampu mengendalikan kekuatan misterius, dan akhirnya, ada Penyihir Suci. Mereka adalah profesi yang paling sedikit dipilih. Keterampilan mereka adalah yang paling sulit untuk dilatih, namun kekuatan mereka jelas yang terkuat. Mereka bisa melemparkan dan melepaskan kekuatan mantra surgawi. Kekuatan membunuh mantra api adalah yang tertinggi di antara mantra yang dimiliki Elementalist. Pada saat Nie Yan melihat bola api, sudah terlambat. 「Boom!」 Bola api meledak di tubuh Nie Yan. Itu merobek kesehatan Nie Yan, karena bar kesehatannya anjlok dua puluh dua poin. Sistem: Pemain lawan Violet Flames telah menyerang Anda. Anda bebas untuk membalas pembelaan diri yang sah. Waktu: 3 menit. Ketika menemukan Mage, Anda berlari ke arah mereka dan melibatkan mereka dalam pertempuran jarak dekat, atau buru-buru melarikan diri. Setelah mengkonfirmasi tidak ada pemain lain dari Victorious Return di dekatnya, Nie Yan berlari menuju Elementalist bernama Violet Flames. Strategi Mage adalah menjaga jarak sejauh mungkin dari musuh, dan membombardir mereka dengan mantra sihir. Elementalis Violet Flames melompat mundur menggunakan mantra Flame Burst, dan melemparkan Fireball sekali lagi. Setelah itu, dia berbalik dan melarikan diri dalam upaya untuk mendapatkan jarak dari Nie Yan. Saat menghadapi sihir yang masuk dalam pertarungan, pemain biasanya bisa menghindari mantra dengan menggulir. Namun, jika mereka mengelak dari mantera dengan menggelinding, mereka pasti akan memberikan Elementalist lawan kesempatan untuk mendapatkan jarak tertentu. Nie Yan langsung menghadapi bola api Elementalist dan terus menyerang ke depan. 「Boom!」 Bola api meledak di tubuh Nie Yan, menyebabkan dia kehilangan dua puluh tujuh poin kesehatan. Setiap kali Violet Flame melakukan mantra, akan ada penundaan dalam casting mantra. Ada beberapa faktor penting dalam casting magic. Isyarat, bahasa, material, dan alat magis semuanya diperlukan dalam casting berbagai jenis sihir. Persyaratan untuk casting mantra berbeda berbeda. Beberapa hanya diperlukan bagi Anda untuk melakukan mantra untuk mengucapkan mantra. Beberapa memerlukan gerakan, dan yang lain membutuhkan nyanyian, gerakan, dan bahan — semua komponen ini sekaligus untuk membuat mantra. Setiap mantra memiliki persyaratan yang berbeda untuk dapat dilemparkan, dan waktu casting akan bervariasi juga. Casting mantra yang digunakan suku kata dan gerakan sebagai unit-satu suku kata per detik, dan satu gerakan per detik. Sepuluh suku kata dibentuk menjadi seperangkat suku kata, dan sepuluh isyarat terbentuk menjadi seperangkat isyarat. Suku kata dan gerak tubuh juga bisa dilapis satu sama lain — yang berarti keduanya bisa dilakukan pada saat yang sama. Waktu casting untuk mantra Flame Burst adalah dua suku kata dan dua gerakan untuk total dua detik. Jika mereka tidak mempelajari keterampilan gerakan, ketika menggunakan mantra Flame Burst, mereka harus diam selama dua detik. Nie Yan mengambil keuntungan dari waktu yang digunakan Violet Flame untuk melemparkan Flame Burst untuk maju. Dengan cepat, dengan tikaman ke depan, dia mencukur dua puluh tiga poin kesehatan dari Violet Flame. Pertahanan seorang Mage sangat rapuh. Violet Flame melompat mundur. Segera, dia melemparkan Fierce Flame Ring. Empat api terpisah muncul meluncur ke arah Nie Yan. Fierce Flame Ring hanya membutuhkan satu suku kata untuk dilemparkan. Pada jarak sedekat itu, Nie Yan tidak bisa menghindarinya. Dengan demikian, dia hanya bisa menderita, menerima tiga puluh sembilan poin dalam kerusakan. Dengan jentikan jarinya, dia mengeluarkan ramuan kesehatan pemula dari ikat pinggangnya dan menjatuhkannya. Tindakan Violet Flame bisa dianggap sebagai standar yang cukup untuk penyihir. Namun, gerakannya cukup kaku dan canggung. Setiap penyihir akan tegang ketika Pencuri mendekati mereka dalam jarak dekat. Ketika Fierce Flame Ring terbang di udara, Violet Flame mengambil kesempatan untuk mundur. Nie Yan menambahkan banyak poin ke dalam ketangkasan. Dalam hal kecepatan, Pencuri masih sangat luar biasa. Kali ini, kecepatannya memberinya keuntungan saat dia terus melilit Violet Flame. Dia menerjang dengan dua tikungan berturut-turut menyebabkan Violet Flame kehilangan tiga puluh enam poin kesehatan. Sekali lagi, Violet Flame melemparkan bola api lain ke arah Nie Yan. Sistem pertarungan keyakinan menghitung tiga detik per putaran, dan mantra sihir apa pun yang membutuhkan waktu kurang dari tiga detik untuk mengucapkan mantra tidak akan terganggu kecuali kastor mati. Meskipun itu adalah pertarungan jarak dekat, Violet Flame masih bisa melawan serangan Nie Yan. Di bawah kerusakan tinggi Fireball, Nie Yan dibiarkan dengan 25 kesehatan yang tersisa. Violet Flame ingin mundur kembali untuk menarik jarak. Mengacungkan tongkatnya, dia mulai membaca mantra mantra lain. Elemen api dengan cepat mulai bergerak ke arah tongkatnya dan bergabung menjadi massa bundar. Tampaknya Violet Flame masih memiliki lima puluh satu kesehatan yang tersisa. Untuk saat ini, dia aman karena Nie Yan hanya memiliki dua puluh lima kesehatan yang tersisa. Selama dia melemparkan Fireball lain dia bisa menghabisi Nie Yan. Mengikuti nyanyian Violet Flame, elemen api dengan cepat berkumpul bersama saat mengamuk dan menyala ke depan. "Jatuhkan mati!" Violet Flame merasa semuanya sekarang dalam kendalinya — api dari stafnya menerangi ekspresi menyeramkan di wajahnya. Nie Yan sangat menyadari betapa berbahayanya situasinya saat ini. Dia sudah memaksa jalan ke sisi Violet Flame. Melirik ke bar kemarahannya, dia menyadari itu sudah terisi penuh dan cocok dengan persyaratan untuk serangan yang ditingkatkan. Pupil hitam Nie Yan terkunci di tenggorokan Violet Flame. Dengan cepat, dia menggerakkan belati di tangannya menjadi pegangan terbalik. "Vital Strike!" Tubuh Nie Yan dan Violet Flame melintasi jalur. Kilatan cahaya dingin melintas melewati tenggorokan Violet Flame. Luka dalam muncul di tenggorokannya saat membelah dengan darah memancar. Sistem: Vital Strike berhasil! Serang + 5%, menyebabkan kerusakan tambahan! −51 Nilai kerusakan melayang di atas kepala Violet Flame. Perputaran lengkap! Bagaimana ini mungkin? Matanya sangat meresap dengan ekspresi yang tak terduga. Jangan pernah meremehkan kekuatan ledakan Pencuri. Ketika menghadapi Pencuri, jangan pernah merasa bahwa Anda aman atau aman, bahkan jika Anda memiliki keuntungan absolut … karena pada saat berikutnya, orang yang akhirnya mati bisa jadi Anda. Cahaya di mata Violet Flame berangsur-angsur memudar. 「Celepuk …」 Dia jatuh ke tanah, masih tidak dapat memahami apa yang terjadi. Bagaimana mungkin satu Pencuri tiba-tiba meledak dengan begitu banyak kerusakan …? Vital Strike … kerusakan skill ini cukup bagus, pikir Nie Yan. Nie Yan menyingkirkan belatinya, lalu membungkuk untuk melihat mayat Violet Flame. Segera, dia mengambil peralatan yang dijatuhkan dan mengambil Staf Tingkat 0 + Intelijen Perunggu 3. Dia memperkirakan dia bisa menjualnya sekitar sepuluh atau lebih tembaga. “Ada musuh di sana! Violet Flame terbunuh! ” "Mengejar! Jangan biarkan dia kabur! Nie Yan telah membunuh seorang anggota dari Victorious Return. Acara sebesar itu pasti akan menarik perhatian semua orang di daerah sekitarnya. Enam anggota dari Victorious Return datang dari segala arah dan dengan cepat bergegas menuju lokasi Nie Yan dalam upaya untuk mengelilinginya. Melihat ini, Nie Yan berlari cepat ke arah Danau Rando. Kecepatan berlarinya lebih cepat daripada kebanyakan pemain rata-rata di levelnya. Segera, dia dengan cepat mendapatkan jarak antara dia dan para pemain lainnya. Meskipun, Pendekar muncul tepat di depan Nie Yan, menghalangi jalan ke depan. “Kamu ingin lari? Ini tidak akan semudah itu! Linear Slash! ' NELAYAN Bab 9 – Nelayan Berserker melompat tinggi ke udara. Meminjam kekuatan gravitasi, ia mengirim pedangnya membelah ke arah Nie Yan. Pada saat Nie Yan melihat Pedang Bajingan Berserker bersiul melalui angin, itu sudah mendekati dahinya. Nie Yan menyandarkan tubuhnya ke samping saat pedang menyapu. Dalam Conviction, serangan jarak jauh akan secara otomatis mengunci target mereka — yang hanya bisa berguling untuk menghindar. Adapun pertarungan jarak dekat, seseorang bisa menghindari untuk menghindari serangan tertentu. Syarat paling penting saat menghindari serangan langsung, adalah memiliki kecepatan reaksi yang baik. Waktunya harus sangat tepat. Dalam kehidupan sebelumnya, Nie Yan sudah melatih kemampuan ini ke tingkat yang sangat mahir. Setelah dia menghindari serangan Berserker, dia berlari cepat ke arah danau. Saat pedangnya menebas ruang kosong, Berserker menatap kosong dengan ekspresi kaget. Kecepatan reaksi orang itu cepat, bahkan bisa mengelak dari serangan seperti itu …. Pada saat dia menoleh, Berserker telah menemukan bahwa Nie Yan sudah berlari jauh. Melihat ini, dia mengulurkan pedangnya dan mengejar. “Kakak Ketiga, ada apa denganmu? Kamu bahkan tidak bisa menghentikan satu orang pun melarikan diri! ”Di sisinya, seorang Knight datang berlari dan menyuarakan keluhannya. "Gerakan Pencuri itu terlalu cepat. Aku sama sekali tidak bisa menghentikannya! ” Ksatria dengan cepat melirik mayat Elementalist Zi Huo (Violet Flame). Zi Huo adalah orang yang sangat tertutup, namun keterampilannya jelas tidak lemah. Namun dia masih mati di tangan Pencuri itu. Menengok ke belakang, tampaknya Pencuri itu tidak sesederhana yang pertama kali muncul. "Semua orang! Kumpulkan, dan batasi jalannya ke depan! " Baik Knight maupun Berserker mempercepat langkah mereka. Saat ia semakin mendekat ke permukaan danau — sekitar lima atau enam meter jauhnya — Nie Yan mengeluarkan Pil Pernapasan Bawah Air Dasar yang telah ia beli sebelumnya, dan memasukkannya ke mulutnya. "Dia ingin menyelam di danau untuk melarikan diri!" "Jangan biarkan dia sampai ke air!" Dalam saat saling memahami, Berserker dan Knight secara bersamaan melompat maju. The Knight dan Berserker keduanya adalah profesi kelas Warrior. Serangan mereka setelah meminjam momentum lompatan mereka jauh lebih sengit dan cepat dibandingkan dengan profesi jarak dekat lainnya. "Serangan Tiba-tiba!" "Flame Slash!" Sang Ksatria mengayunkan pedangnya dan menyerbu ke depan, dengan cepat maju menuju Nie Yan. Saat Berserker membelah ke bawah, pedangnya menyala dan terselubung api yang mengamuk. Nie Yan dan keduanya masih agak jauh terpisah. Saat dia menoleh untuk melihat kembali pada mereka, dia segera merasakan wajahnya diserang oleh nyala pedang. Tiba-tiba, dari sudut mulutnya dia menunjukkan senyum aneh, dan kemudian melompat mundur …. Punggungnya memasuki perairan lebih dulu, saat ia terjun jauh ke Danau Rando. Tepat setelah itu, riak konsentris mulai menyebar perlahan-lahan melalui permukaan air danau yang tenang. Sang Ksatria dan Berserker bergegas mendekat, akhirnya berhenti di tepi danau. Berserker bersiap untuk melompat ke perairan danau, tetapi Knight menariknya kembali dan menghentikannya. "Lupakan saja … tidak perlu mengejar musuh yang terpojok. Selain itu, tidak ada dari kita yang memiliki Pil Pernapasan Bawah Air. "Ksatria teringat kembali pada senyum aneh yang telah ditunjukkan Nie Yan beberapa saat sebelumnya. Ini adalah akar penyebab keengganannya untuk memasuki perairan danau — karena takut bahwa Nie Yan mungkin memiliki semacam rencana jahat bagi mereka di perairan di bawah. Pada akhirnya, dia takut bahwa itu akan menyebabkan mereka dibiarkan terkubur di bawah danau. "Lupakan saja … begitu saja?" Jawab Berserker dengan nada yang sangat tertekan. "Anggap saja itu nasib buruk Zi Huo. Siapa yang membiarkannya berpikir dia begitu tak terkalahkan sehingga dia bisa memisahkan dirinya dari tim seperti itu? Bagaimanapun, kami akan membiarkan ini menjadi pelajaran baginya — masih ada banyak ahli di sampingnya. ” Beberapa pemain dari Victorious Return berlari ke arah mereka dengan terengah-engah; kebanyakan dari mereka adalah Mage, Priest, dan sebagainya. Kecepatan gerakan mereka tidak secepat dibandingkan dengan Warriors. Karenanya, mereka tertinggal jauh. "Bagaimana hasilnya? Ke mana lelaki itu lari? ”Salah satu penyihir bertanya. Sang Ksatria menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Kami tidak menangkapnya. Dia akhirnya menyelam ke danau. ” Mage itu memiliki ekspresi heran ketika dia menatap Knight dan Berserker. Keduanya, Zi Yan (Tebing Violet) dan Zi Ming (Violet Underworld), bisa dianggap sebagai dua Pejuang teratas dalam guild. Pertama bahwa Pencuri membunuh Zi Huo, dan kemudian dia berhasil melarikan diri bahkan setelah dikelilingi oleh Zi Yan dan Zi Ming …. Dari mana pencuri itu berasal? "Aku ingin tahu … siapa nama Pencuri itu? Pergi tanyakan Zi Huo. Dia seharusnya sudah bangkit di kuburan. "Mage berbicara dengan nada ingin tahu. "Zi Huo hanya mengatakan nama Pencuri itu adalah Nirvana Flame," jawab Zi Ming, dan dengan tegas menyimpan nama ini dalam benaknya. Dengan nada prihatin, Mage memerintahkan, “Mulai sekarang, suruh orang-orang di bawahmu tetap berhati-hati. Jika mereka menemukan Api Nirvana ini, minta mereka segera melaporkannya kembali. "Ketika beberapa dari mereka menemukan Nie Yan, mereka tidak dapat memperoleh keuntungan apa pun. Adapun hasil jika anggota biasa guild bertemu dengannya, orang bisa membayangkan konsekuensinya. Setelah Nie Yan menyelam ke danau, dia mulai berenang. Perairan Danau Rando sangat jernih. Sinar matahari menembus menembus air. Saat cahaya membias melalui permukaan air, itu membentuk pilar berwarna cerah. Vegetasi danau melayang dengan lembut — perlahan menari mengikuti ombak. Itu membentuk sepotong pemandangan yang sangat indah dan memesona. Ketika Nie Yan tenggelam di dekat dasar danau, mengayun-ayunkan dirinya di antara vegetasi danau, dia tiba-tiba teringat bahwa ada peti lain di perairan Danau Rando juga. Namun, dia sedikit tidak yakin dengan lokasinya yang tepat karena ingatannya masih agak kabur. Itu pasti harus dekat daerah ini. Peti itu harus berisi buku keterampilan dari keterampilan yang mendukung yang disebut Pengumpul. Meskipun Gatherer bukan semacam buku keterampilan langka, itu masih sangat langka, mengingat tingkat rata-rata basis pemain saat ini. Setelah seorang pemain mempelajari keterampilan Gatherer, mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka sedikit. Setiap tim membutuhkan setidaknya satu anggota untuk memiliki keterampilan ini, dan setiap pemain solo pasti membutuhkan keterampilan Pengumpul juga. Permintaan pasar untuk buku keterampilan sangat besar, namun persediaannya sedikit. Hal ini menyebabkan hubungan antara penawaran dan permintaan menjadi tidak seimbang. Pada gilirannya, itu menyebabkan harga buku keterampilan Pengumpul melambung ke ketinggian. Jika saya dapat menemukan peti harta karun, itu akan sangat bagus. Salah satu karakteristik Pencuri adalah mereka dapat menjangkau banyak lokasi yang tidak bisa dijangkau oleh profesi lain. Dengan memperoleh keterampilan Pengumpul saya dapat membuatnya menampilkan lebih banyak manfaatnya. Pil Pernapasan Dasar Bawah Air hanya bisa bertahan selama lima belas menit. Jika saya tahu sebelumnya bahwa saya akan berada di bawah air mencari peti harta karun, saya pasti akan membeli beberapa lagi. Nie Yan merasakan sedikit penyesalan. Di kejauhan, sesosok tubuh perlahan tenggelam ke dalam air dan mulai berenang. Setelah diterangi di bawah sinar matahari. Nie Yan akhirnya bisa melihat sosok itu dengan jelas. Itu memang Fishman Tingkat 3. Itu memiliki tubuh ikan, empat anggota tubuhnya terus bergerak ke sana kemari. Kecepatan pergerakannya di bawah air luar biasa cepat. Selain itu, ia memegang trisula yang digenggam dengan kuat di tangannya. Nie Yan buru-buru menyembunyikan dirinya di semak-semak vegetasi bawah laut. Jika itu satu lawan satu, Nie Yan dengan mudah bisa membunuh Fishman ini. Namun, Fishmen sangat benci bertarung satu lawan satu. Dalam situasi di mana mereka diserang, mereka akan menghasilkan lolongan yang begitu kuat sehingga menarik semua Manusia Ikan di sekitar langsung ke lokasi. Demi menjaga keamanan, Nie Yan jelas tidak berani memprovokasi orang-orang yang menyusahkan ini. Fishman berada di daerah yang tidak jauh dari Nie Yan, dan sedang berenang. Memisahkan vegetasi bawah laut, ia berhasil menembusnya. Sementara Fishman menyikat melewati tanaman bawah air, mata Nie Yan mengintip melalui semak-semak vegetasi, menemukan benda yang tersembunyi di dalamnya. Melirik Fishman yang telah berenang jauh, Nie Yan hati-hati berenang. Ini adalah daerah yang sangat dikelilingi oleh aktivitas Fishmen. Jika dia ditemukan, itu akan menjadi berbahaya dengan sangat cepat. Nie Yan menyapu melewati vegetasi. Setelah mencari sebentar, dia akhirnya menemukan peti kayu kecil di dalam vegetasi. Itu adalah peti harta karun level terendah — kelas Putih. Namun, dia tidak yakin apakah itu dari ingatannya yang dia cari. Setelah membuka peti kayu, Nie Yan mulai menggali melalui itu. Anehnya, sensasi yang dia rasakan di tangannya ketika dia menyentuh benda di dada bukanlah buku keterampilan, melainkan sensasi mutiara yang halus. Nie Yan memeriksa properti objek ini. Mutiara Pembalikan Air Murloc: Barang Spesial Efek tambahan: Memungkinkan pengguna untuk bernapas di bawah air. Setelah diaktifkan, memungkinkan pengguna untuk bernapas di dalam air selama tiga puluh menit. Cooldown: Dua Belas Jam. Itu adalah barang spesial paling dasar. Meskipun item itu bukan sesuatu yang hebat, itu akan memungkinkan Nie Yan menghemat beberapa pil Pernapasan Bawah Air Dasar. Jadi, dia masih bisa menggunakannya di masa depan. Sepertinya tempat ini tidak hanya berisi satu peti. Setelah memikirkannya, itu pasti benar. Di dalam danau sebesar itu, para pengembang pasti tidak akan menempatkan hanya satu peti harta karun. Nie Yan melanjutkan dengan pencariannya melalui pertumbuhan tanaman yang tebal, melakukan perjalanan bolak-balik. Setelah menemukan Water Aversion Pearl, ia menghabiskan cukup banyak waktu mencari peti harta karun di bawah air. Ada beberapa gerakan di salah satu semak tidak jauh darinya, menyebabkan hati Nie Yan melompat ketakutan. Dengan tergesa-gesa, dia merunduk ke semak di sebelahnya dan menyembunyikan dirinya. Seorang Fishman muncul berenang melalui vegetasi, tidak jauh dari Nie Yan. Saya santai berenang melewati celah antara kehidupan tanaman air. Pada saat berikutnya, Fishman lain datang berenang menuju lokasi Nie Yan. Seorang Fishman muncul berenang melalui vegetasi. Tidak jauh dari Nie Yan, ia dengan santai berenang melewati celah antara kehidupan tanaman air. Pada saat berikutnya, Fishman lain datang berenang menuju lokasi Nie Yan. Kemudian Fishman lain muncul, dan satu lagi …. Para Fishmen muncul dengan frekuensi yang semakin meningkat. Sialan, apakah aku akhirnya menemukan sarang Fishmen …? Atau mungkin hanya keberuntunganku bahwa aku akhirnya menemukan sebuah sekolah nelayan yang berenang di sana. Salah seorang Nelayan mendekatinya; jarak di antara mereka menjadi semakin pendek. Nie Yan merasakan benjolan di tenggorokannya – pikirannya penuh kecemasan dan urgensi. Dia dengan kuat menggenggam belati di tangannya. Menyembunyikan sepertinya tidak mungkin sekarang. Saya hanya bisa berharap kesempatan untuk melarikan diri. Hanya saja, kecepatan berenang saya tidak bisa dibandingkan dengan seorang Fishmen. Saya tidak yakin bahwa saya benar-benar dapat melarikan diri …. Jumlah Nelayan di sekitarnya terlalu banyak. Jika mereka semua datang, satu-satunya jalan yang akan diambil Nie Yan adalah kematian. Jika saya menyalahkan seseorang, saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri karena terlalu serakah. Demi menemukan harta, saya benar-benar lupa tentang bahaya. Salah seorang nelayan tiba di daerah sekitar tiga meter darinya. Tampaknya telah memperhatikan sesuatu. Berhenti di tempat, ia mengangkat trisula di tangannya. 「Kieeh! Croak! 」Para Fishmen membuka mulutnya dan mengeluarkan suara aneh. Nie Yan menatap sekelilingnya. Setidaknya sepuluh atau lebih Fishmen muncul, mengelilingi daerah tempat dia bersembunyi. Trident yang seterang salju sudah sepenuhnya menutup rute pelariannya. Dia sudah selesai. Tidak mungkin dia bisa mengalahkan Fishmen ini. Kecepatan mereka bergerak di bawah air luar biasa cepat. Selain itu, begitu gigi tajam mereka menggigit target mereka, mereka tidak akan melepaskan rahang mereka sampai mereka merobek target mereka menjadi sobekan. Melarikan diri sama sekali tidak mungkin. Itu juga tidak mungkin untuk menang, bahkan jika aku mencoba melawan mereka dengan paksa. Dalam benaknya, Nie Yan siap mati. Dia dengan cepat melirik tubuh Fishmen yang berseberangan dengannya. Mereka memiliki bidang merah lembut yang mengelilingi perut mereka — daerah itu adalah titik lemah mereka. Bahkan jika aku mati, setidaknya aku akan membawanya! Tepat pada saat itu, suara keras tanduk terdengar dari arah jauh dari tepi danau. Tempo cepat dipenuhi dengan urgensi, ketika suara keras dan jelas terus beresonansi ke kejauhan. Ini adalah sinyal peringatan. Suku Fishmen diserang! Sepuluh atau lebih Fishmen sekitarnya dekat Nie Yan semua menghentikan gerakan mereka pada saat yang sama. 「Gurgle, Croak!」 Mengalihkan kepala mereka untuk mendengarkan dengan seksama, mereka membuka mulut mereka dan berbicara dalam bahasa yang aneh. Tepat setelah itu, mereka semua secara bersamaan berenang ke arah tepi danau dengan kecepatan tinggi. Sepuluh Nelayan ini berenang menjauh, menjadi semakin jauh. Lebih dari seratus Fishmen bergegas dari segala arah, berkumpul bersama menuju satu titik seolah-olah mereka adalah kawanan ikan. Para Fishmen secara bertahap menghilang dari pandangan Nie Yan. Nie Yan masih merasakan kekhawatiran di dalam hatinya. Dengan sedikit keberuntungan, hasil dari peristiwa-peristiwa berikutnya mengejutkan. Namun, mereka masih dalam harapannya. DOKTER BLEVINS Bab 10 – Dokter Blevins Nie Yan melirik ke arah Lakeside. Sepertinya mereka sudah mulai. Suku Fishmen menderita serangan oleh guild Victorious Return. Inilah mengapa Fishmen yang mengepung telah meninggalkan serangan mereka dan kembali untuk membantu suku mereka. Saya tidak pernah berpikir orang-orang Victorious Return akan menyelamatkan hidup saya. Haha, dunia ini sangat aneh! Setelah semua Manusia Ikan berenang menjauh, daerah sekitarnya sekarang benar-benar aman. Oleh karena itu, Nie Yan meningkatkan pencariannya untuk peti harta karun terdekat. Akhirnya, dia melihat peti harta karun lain yang tersembunyi di dalam vegetasi bawah air yang tebal. Itu adalah peti harta karun putih, seperti yang terakhir. Pemandangan di sekitarnya … semuanya di sini bertepatan dengan yang ada di ingatanku. Ini lokasinya! Nie Yan membuka dada. Menggali itu, dia merasakan buku keterampilan melakukan kontak dengan tangannya. Itu adalah buku keterampilan Pengumpul! Saat dia memegangnya di tangannya, itu berubah menjadi seberkas cahaya putih. Bilah keterampilan untuk kemampuan mendukung memiliki keterampilan lain yang muncul — Pengumpul! Panen yang lumayan …. Namun, saya tidak tahu apakah ada peti harta karun lainnya di daerah ini. Itu hanya akan membuang-buang waktu untuk terus mencari. Itu tidak masalah; Saya masih tahu banyak lokasi lain di mana saya bisa menemukan peti harta karun. Ketika saya sedikit naik level, saya bisa mengambilnya kapan saja. Nie Yan berenang, bolak-balik di antara tanaman air. Jika dia bertemu monster, dia akan menghindarinya dengan tetap berada jauh. Setelah sekitar sepuluh menit berenang, dia melihat satu pulau di tengah Danau Rando. Hanya setelah memperhatikan ini dia berenang ke permukaan. Sistem: Anda telah menemukan sebuah pulau di tengah danau. Mencapai pantai, Nie Yan memeriksa koordinatnya. Ketika dia sedang menyelidiki daerah sekitarnya, dia menemukan seseorang duduk di kejauhan — memancing di tepi pantai. NPC ini adalah orang tua yang sangat aneh. Dia akan meminta setiap pemain yang menemuinya untuk mengambil Fine Silk. Untuk setiap bundel Sutra Halus yang dibawa kembali, pemain akan menerima satu Kain Sutra. Jika Fine Silk dijual ke NPC, itu akan berjumlah tiga tembaga. Namun, Silk Cloth hanya bisa dijual untuk dua tembaga. Jika seseorang terus seperti ini, akan ada kerugian dalam laba. Bahkan setelah terus bertukar dengan dia, Pak Tua ini masih akan melakukan apa pun untuk mengkompensasi pemain. Ada banyak pemain yang akan menyelesaikan tugas ini. Namun, masing-masing dari mereka akan terus menerima kerugian — tidak pernah menerima hadiah dalam bentuk apa pun. Nie Yan juga melakukan tugas ini di kehidupan sebelumnya. Hanya setelah memberikan lima Fine Silk, dia akhirnya menyerah menerima pencarian ini. Bertukar Sutra Halus untuk Kain Sutra benar-benar membuang-buang uang. Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang tidak percaya dia akan terus menerima apa-apa. Karena itu, dia berulang kali menerima pencarian. Hanya setelah memberikan tiga puluh Sutra Halus akhirnya dia menerima hadiah. NPC ini akan memberikan kepada pemain keterampilan Combat Medic — tidak hanya ini, tetapi juga pada tingkat Menengah. Setelah informasi ini keluar, itu menyebabkan keributan di antara basis pemain. Satu demi satu, mereka akan terus-menerus bergegas untuk menerima pencarian. Namun pada saat itu, NPC sudah pergi. Saat ini di daerah di mana Nie Yan berada, ada monster Level 3 yang dikenal sebagai Laba-laba Air yang menjatuhkan Fine Silk. Memperoleh tiga puluh Sutra Halus mungkin membutuhkan sekitar tiga hari penggilingan terus menerus. Kebetulan dia bisa bertani ketiga puluh Sutra Halus ini sambil juga naik level. Saling menukar tiga puluh Sutra Halus dengan tiga puluh Kain Sutra hanyalah kehilangan tiga puluh tembaga, tidak lebih. Dibandingkan dengan keterampilan Medis Perantara Menengah, itu benar-benar jumlah yang dapat diabaikan. Nie Yan berjalan ke Pria Tua. Pria Tua yang aneh itu bergumam keras pada dirinya sendiri, “Sekitar waktu sepanjang tahun ini, Benteng Hilton akan dikepung oleh makhluk iblis yang muncul dari bawah tanah yang terpencil. Ada banyak prajurit yang membela benteng. Demi menjaga tanah subur dan makmur ini, mereka membayar dengan darah dan nyawa mereka. Yang terluka menderita dalam kesedihan setiap hari dan malam. Bagi mereka, kemarin sama dengan besok, dan besok sama dengan kemarin. ” Dia menoleh ke arah Nie Yan dan bertanya, "Anak muda, sekarang beri tahu saya – apakah lebih baik jika saya memancing di sini di pantai, atau akan lebih baik jika saya memancing di perairan?" Pria Tua itu memiliki rambut beruban dan tampak agak pikun seiring usianya. Banyak kerutan tersebar di wajahnya. Seolah layu, kulitnya mirip kulit pohon. Kendur seperti lipatan kulitnya, jubah abu-abu pucatnya tergantung rendah di pancingnya. Dari kesannya, Nie Yan merasa NPC ini adalah pria tua berkepala dingin yang lucu. Dia selalu mengajukan serangkaian pertanyaan aneh dan aneh, dan itu baik-baik saja selama Anda agak menjawabnya. Namun saat ini, ketika Nie Yan mendengar kata-kata Pak Tua, “Kemarin sama dengan besok. Besok juga sama dengan kemarin, ”mereka memiliki jenis makna baru. Orang Tua ini bukan orang tua yang bodoh. Sebaliknya, dia sebenarnya cukup bijaksana! Tidak masalah jika Anda menjawab pertanyaan dengan cara apa pun yang Anda suka. Namun, seolah-olah terpancing oleh kekuatan supranatural, Nie Yan menjawab, "Selama Anda bisa menangkap ikan, pantai atau air, apa bedanya?" Mendengar jawaban Nie Yan, mata Pak Tua berkilau dengan kilatan aneh. Melihat perubahan ekspresi Pak Tua saat jatuh di matanya, Nie Yan menjadi semakin yakin — Pak Tua di depannya ini jelas tidak sederhana. “Waktu mirip dengan ilusi, dan bergerak seperti pendulum. Bulan-bulan dan tahun-tahun terbuang sia-sia, dan penderitaan terus berulang. Pada akhirnya, semuanya kembali menjadi debu. Bahkan jika para pejuang pemberani itu mampu mempertahankan dunia besar yang luas ini, mereka tidak akan bisa lepas dari sakit penyakit dan Reaper of Death. Pada akhirnya, apa artinya hidup? ”Pak Tua menghela nafas. "Makna hidup adalah keras kepala menang – hidup tanpa penyesalan," kata Nie Yan, sambil tenggelam dalam kontemplasi. Ini adalah wawasan yang diperolehnya dari kehidupan ini setelah menjalani kehidupan sebelumnya. Dia terus menjawab pertanyaan Pak Tua. “Semua orang yang mereka cintai, saudara-saudara mereka… mereka semua ada di sini bersama mereka di dunia yang luas ini. Mereka terus melawan serangan musuh mereka demi membawa kebahagiaan bagi mereka. Mereka mempertaruhkan hidup mereka untuk mempertahankan keyakinan ini. Itu adalah kehormatan mereka, dan itulah kemuliaan mereka. Dengan melakukan hal itu, Dewa Cahaya akan melindungi mereka. ” Nie Yan berspekulasi bahwa Pak Tua ini sangat mungkin salah satu NPC dari Hilton Stronghold, yang pergi dan bepergian ke luar untuk mencari Sutra Halus. Mendengarkan kata-kata Nie Yan, ekspresi kacau di mata Pak Tua menjadi jelas. "Anak muda, aku butuh banyak Sutra Baik. Apakah mungkin bagi Anda untuk membantu saya mendapatkannya? ”Tanya Pak Tua. "Ini keinginan saya untuk membantu dengan cara apa pun yang saya bisa," jawab Nie Yan dengan gembira. Ini adalah kata-kata persis yang dia tunggu. Sistem: Anda telah menerima tugas. Dokter Blevins telah memberi Anda tugas untuk mengambil Sutra Halus. Nie Yan mulai mengingat. Dalam kehidupan sebelumnya, dia hanya menjawab semua pertanyaan ini tanpa banyak berpikir. Tugas yang akhirnya dia terima adalah “Permintaan Orang Tua Tanpa Nama. “Sepertinya nama pencarian saat ini dan yang dia terima di masa lalu tidak persis sama. Orang Tua ini harus menjadi dokter NPC di Benteng Hilton …. Apakah dia datang jauh-jauh dari Benteng Hilton demi menemukan Sutra Halus? Fakta bahwa Pak Tua ini juga mengajarkan keterampilan Medis Perantara Menengah semakin memperkuat kecurigaan Nie Yan. Semua itu tidak masalah sekarang. Pertama, saya akan menyelesaikan pencarian ini dan memikirkannya nanti. Nie Yan mengucapkan selamat tinggal pada Orang Tua dan menuju selatan pulau kecil. Wilayah danau itu adalah daerah di mana Laba-laba Air berkeliaran. Meskipun Laba-laba Air adalah monster Level 3, kekuatan tempur mereka tidak terlalu bagus. Hanya ketika mereka berada di permukaan air mereka akan menjadi masalah. Sekali lagi, Nie Yan terjun ke danau, lalu menjulurkan kepalanya keluar dari air. Wilayah ruang bawah laut ini tidak memiliki banyak aktivitas monster. Dengan demikian, dia tidak perlu khawatir tentang monster yang melancarkan serangan menyelinap dari bawah. Segera, ia menemukan Spider Air. Mereka adalah spesies laba-laba yang tumbuh hingga ukuran yang sangat besar. Mereka mampu bergerak dengan kecepatan tinggi di permukaan air. Tidak seperti laba-laba lainnya, mereka tidak menggunakan racun untuk menyerang. Selain itu, mereka bahkan takut pada manusia. Selama seorang pemain tidak menyerang mereka, mereka tidak akan mengambil inisiatif untuk menyerang pemain tersebut. [TN: Pikirkan ini tetapi sepuluh kali lebih besar. ] Laba-laba Air: Level 3 Kesehatan: 80/80 Nie Yan secara bertahap mendekati Water Spider dari belakang. Dengan cepat, dia mengangkat belati dan menerkam ke depan. Menusuk punggung Water Spider, dia berhasil menyerangnya beberapa kali berturut-turut dengan cepat. The Water Spider menjerit sedih sebelum menerjang penyerang. Nie Yan cepat menghindar, dan kemudian kembali dengan tikaman lain. Menghemat cukup energi untuk Vital Strike, dia menikam Water Spider di matanya. Membiarkan jeritan kesakitan, kaki-kaki Laba-laba Air mengerut dan melengkung ke arah tubuhnya saat melayang di permukaan air. Setelah sekarat, ia menjatuhkan satu tembaga. Nie Yan menangkap koin tembaga yang dijatuhkannya sebelum berenang menuju Water Spider lain. Tingkat drop untuk Fine Silk adalah 0. 5%. Dengan kata lain, Nie Yan harus membunuh sekitar enam ribu Laba-laba Air untuk mendapatkan tiga puluh keping Sutra Halus. Ini akan membutuhkan sekitar tiga hari penggilingan tanpa henti. Tiga hari akan cukup waktu bagi Nie Yan untuk menaikkan levelnya menjadi tiga, mempelajari keterampilan Combat Medic, dan kembali ke kota untuk membeli beberapa buku keterampilan. Kekuatannya akan meningkat sedikit. Di kejauhan, Nie Yan melihat Spider Air bergerak dengan kecepatan tinggi di permukaan danau. Mantra tunggal jatuh dari Surga dan menjatuhkan Water Spider ke bawah. Segera, nilai kerusakan tiga puluh enam melayang di atas kepalanya. Itu adalah Holy Smite — mantra yang digunakan oleh Mage Suci. Ada orang lain di area ini? Nie Yan menjadi waspada dan terus waspada. Melihat jauh ke kejauhan, dia melihat seseorang dikejar oleh Laba-laba Air Level 3. Itu cukup jauh, jadi Nie Yan hanya bisa melihat bahwa orang ini milik profesi Penyihir Suci. Bukan hanya ini, tetapi Mage Suci adalah seorang wanita juga. Dia memegangi tongkat berwarna biru di tangannya dan mengenakan jubah penyihir putih di sekujur tubuhnya. Namun, dia masih belum dapat dengan jelas membedakan fitur-fiturnya. Tampaknya dia dalam sedikit kesulitan. Nie Yan terdiam sesaat. Setelah itu, dia menyelam ke bawah air dan berenang ke arahnya. Jika dia adalah pemain yang bermusuhan, dia akan membunuhnya tanpa ragu-ragu. Namun, jika tidak ada permusuhan, dia akan membantunya. Mage Suci itu berurusan dengan Laba-laba Air yang mengejar. Secara kebetulan, dia juga berenang ke arahnya. Akhirnya, kepala Nie Yan pecah dari air. Dia sekarang sekitar lima meter jauhnya darinya. Memperhatikan orang lain — Nie Yan — muncul dari air, Mage Suci menegang. Segera, dia mengubah arah dan berenang ke lokasi lain. Dia saat ini dikejar oleh beberapa Laba-laba Air. Jika dia bertemu dengan seseorang yang senang menendang orang lain saat mereka sedang jatuh, tidak diragukan lagi itu berarti kematiannya. Kedua belah pihak sudah berada dalam jarak dekat. Ketika Mage Suci menoleh, Nie Yan bisa dengan jelas melihat penampilan orang lain. Dia adalah wanita muda yang tampak cantik. Rambutnya diikat ke belakang menjadi kuncir kuda, dengan satu rambut diikat ke bawah dari sisi wajahnya. Pipinya putih, dan matanya sejernih air. Meskipun Conviction mengubah penampilan pemain, mereka hanya sedikit penyesuaian. Daya tarik keseluruhan pemain tidak akan diubah. Oleh karena itu, tingkat daya tarik mereka pada dasarnya akan sama seperti pada kenyataannya. Ini juga salah satu alasan mengapa keyakinan menarik orang. Nie Yan dapat dengan jelas melihat sekilas bahwa Mage Suci di depannya adalah keindahan yang nyata. Mage Suci dengan khawatir menatap ke tempat Nie Yan berada — kedua mata mereka bertemu. Dia berbalik dan terus menangkis Laba-laba Air. Bersamaan menghindari tiga Laba-laba Air pasti sedikit menantang. Namun, dia masih tetap tenang. Menggunakan gulungan Haste pada dirinya sendiri, kecepatannya segera meningkat beberapa kali lipat. Setelah mengenali penampilan pihak lawan, mulut Nie Yan membuka begitu lebar sehingga telur ayam bisa masuk ke dalamnya. Bagaimana akhirnya aku bisa bertemu dengannya di sini !? Dia tidak bisa menahan nafas secara emosional betapa kecilnya dunia ini. Wanita cantik di seberangnya bernama Yao Yao (Misteri Kegelapan). Kalau dipikir-pikir, dalam kehidupan masa lalunya, mereka berdua sebenarnya memiliki hubungan yang agak rumit dan bernasib buruk. Dia tidak pernah berharap bahwa mereka akan bertemu lagi di sini. Musuh benar-benar tidak bisa menghindari pertemuan satu sama lain. [TN: Berasal dari idiom, "Takdir akan membuat musuh bertemu," itu dapat diartikan secara harfiah. Namun, ini juga digunakan untuk merujuk pada perselisihan kekasih. ] Mungkin pertemuan kebetulan seperti ini memang dimaksudkan. Nie Yan dan teman-temannya akan memasuki sebuah instance. Namun, mereka pendek Mage. Maka, salah satu temannya membawa Yao Yao ke dalam tim. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Setelah itu, mereka berangsur-angsur tumbuh lebih dekat ketika mereka menemukan kesempatan untuk berpesta lebih banyak di kemudian hari, dan bersama-sama mereka memiliki lebih banyak petualangan. Teman lama sama seperti sebelumnya, Nie Yan menghela nafas dalam. BUKU SKIL PEMBUNUHAN Bab 11 – Buku Skil PEMBUNUHAN Yao Yao terus menerus ditempatkan dalam situasi berbahaya. Melihat ini, Nie Yan dengan cepat berenang ke arahnya. Yao Yao menjadi lebih gugup ketika dia melihat Nie Yan berenang. Ada tiga monster yang mengejarnya dari belakang. Mungkin jika dia mengandalkan keterampilannya yang sangat baik, maka dia akan dapat perlahan mengurangi kesehatan mereka sampai mereka mati. Meski begitu, harapannya untuk bertahan hidup tidak akan melampaui sepuluh persen. Namun, jika Nie Yan mengambil keuntungan dari situasinya, dia pada dasarnya tidak akan memiliki kesempatan untuk hidup. Melihat tiga Laba-laba Air berulang kali meluncurkan diri mereka di Yao Yao, Nie Yan meningkatkan langkahnya dan mendekat dari belakang. Perlahan-lahan, dia mengambil alih salah satu Laba-laba Air. Dengan belati di tangannya, dia melompat keluar dari permukaan air dan menikam bagian tengah punggungnya. Yao Yao berbalik dan mengikuti serangan Nie Yan dengan melemparkan Holy Smite. Mantra itu terhubung dan menghancurkan tubuh Water Spider, membunuhnya dalam proses. Dia menatap dan menatap penyelamatnya. Karena Nie Yan telah membantunya berurusan dengan Water Spider, Yao Yao menganggap dia tidak memiliki niat jahat. Nie Yan mengarahkan perhatiannya ke Water Spider lain — yang hanya memiliki setengah dari kesehatannya yang tersisa. Menggunakan Vital Strike, dia menusuk laba-laba di matanya dan memberikan lima puluh dua kerusakan. Dalam sekejap mata, hanya satu dari tiga laba-laba asli yang masih berdiri. Serangan yang sangat kuat! Yao Yao menatap heran ke Yan Yan. Dalam benaknya, dari semua teman-temannya, dia belum pernah bertemu orang sekuat dia. Melihat lagi, dia tampak agak asing. Setelah Nie Yan selesai membunuh Water Spider kedua, dia langsung berenang ke yang ketiga. Dengan dua orang yang melawan hanya satu laba-laba, situasinya segera tampak jauh lebih santai. Yao Yao mengacungkan tongkat di tangan kanannya dan melakukan Holy Strike. Serangan itu mendarat di tubuh Spider Air yang tersisa. "Terima kasih . "Melihat bahwa tiga Laba-laba Air benar-benar musnah, Yao Yao menghadapi Nie Yan dan menyatakan terima kasihnya. Namun, dia masih tetap waspada, kalau-kalau Nie Yan memutuskan untuk tiba-tiba menyerang. “Tidak perlu sopan, itu hanya sedikit usaha. Hai, saya dipanggil Nie Yan (Nirvana Flame). “Nie Yan tersenyum cerah, dan mulai mengingat, di masa lalu Yao Yao adalah gadis yang sangat lembut dan pengertian. Dia adalah orang yang sangat perhatian. Meskipun dia sedikit keras kepala juga — untuk seorang gadis, itu tidak terlalu sulit untuk diterima. “Namaku Yao Yao (Misteri Gelap). “Jelas, dia masih cukup berhati-hati. Dia belum pernah bertemu Nie Yan sebelumnya, jadi tidak mudah baginya untuk membiarkannya lengah. Nie Yan ingin menambahkan Yao Yao sebagai teman dan mencari tahu apa yang dia lakukan di sini. Namun, agar tidak muncul terlalu tiba-tiba, ia tidak akan segera mengajukan pertanyaan yang tidak pantas ini. Bagaimanapun, Yao Yao masih seorang gadis. Meskipun mengerti bahwa dia tetap berhati-hati ketika menghadapinya, Nie Yan masih percaya bahwa dari pemahamannya tentang Yao Yao, mereka berdua masih bisa menjadi teman seperti sebelumnya. Saat itu, setelah dia berkenalan dengan gadis itu dalam permainan, selalu dia yang akan tinggal di sisinya menghibur dan membesarkan hatinya — setiap kali dia merasa sangat tertekan atau frustrasi. Mereka berdua masih tetap berteman. Namun, hubungan tertentu tanpa disadari telah terjadi di antara mereka berdua. Sejak saat itu, komplikasi antara keduanya tidak dapat dipecahkan atau dirapikan. Yao Yao diam-diam mengamati Nie Yan. Melihatnya, dia memberi kesan menjadi sangat muda dan dia tidak tampak seperti orang jahat. Kedua orang itu tidak bertukar kata-kata sesudahnya. Karena sifat dingin Yao Yao, itu menyebabkan kedua belah pihak menjadi agak diam. “Hari ini kamu menyelamatkanku, jadi aku ingin mengucapkan terima kasih. Bagaimana kalau kita menambahkan satu sama lain sebagai teman? ”Yao Yao memecahkan kebekuan dengan berbicara. "Sama-sama . Jadi, mengapa Anda di sini bertani Laba-laba Air? "Tanya Nie Yan. Tempat ini cukup jauh dari kota manapun. Karenanya, beberapa pemain akan sering bermain di area ini. "Salah satu pencarian saya adalah untuk membunuh Laba-laba Air dan mengumpulkan Karung Air mereka," jawab Yao Yao. Ketika dia mulai mengingat peristiwa-peristiwa sebelumnya, dia berpikir, Itu adalah panggilan yang cukup dekat. Beberapa saat yang lalu, aku hampir mati untuk monster di sini. Jika saya mati, maka tiga sampai empat hari terakhir dari upaya yang melelahkan akan sia-sia. "Itu keren; Saya juga kebetulan menerima pencarian yang mengharuskan saya untuk membunuh Laba-laba Air, tetapi untuk mengumpulkan Sutra Halus mereka. Kita harus berpesta dan membunuh laba-laba ini bersama. Karung Air akan pergi kepadamu, dan Sutra Halus bagiku. Bagaimana dengan itu? ”Saran Nie Yan. Yao Yao terdiam sesaat. Kemudian dia menganggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah, namun kita berdua harus menyetujui satu syarat. Jika seseorang selesai mengumpulkan materi yang mereka butuhkan, maka mereka dapat pergi kapan saja. ” Dia memilih untuk mengajukan kondisi ini jadi jika dia merasa Nie Yan menjadi tidak berguna ketika mereka membunuh monster bersama, dia bisa segera pergi. "Itu wajar. Saya akan memulai pesta. "Nie Yan mengirimi Yao Yao permintaan pesta. Sistem: Yao Yao telah menjadi anggota pestamu. "Aku punya dua belas Sutra Halus pada saya sekarang. Saya akan memberikannya kepada Anda. Anggap saja hadiah terima kasih. "Yao Yao membuka jendela perdagangannya saat dia berbicara. "Dua belas Fine Silks setara dengan tiga puluh enam tembaga!" Nie Yan menggelengkan kepalanya karena menolak. "Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa nilai pengalaman tingkat saya bahkan tidak bernilai tiga puluh enam tembaga? Lagi pula, saya tidak punya gunanya untuk Fine Silk. "Yao Yao menatap Nie Yan. Matanya cukup besar dan bulat, sementara bulu matanya sedikit terangkat. Dia tampak cukup cerdas dan cerdas. Yao Yao jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin berutang kepadanya. Selain itu, dia juga datang dengan ide untuk mengembalikannya. Karena itu juga menguntungkan baginya, Nie Yan tidak punya alasan untuk mengganggu dia lebih lanjut tentang hal itu. "Baik . "Nie Yan mengkonfirmasi perdagangan. Setelah Yao Yao dipermasalahkan, dia akan menjadi sangat keras kepala. Oleh karena itu, Nie Yan tidak ingin berdebat lebih lanjut dan menyebabkan suasana menjadi terlalu kaku. "Itu lebih seperti itu. "Yao Yao tersenyum tipis ketika dia melihat Nie Yan menerima perdagangan itu. Dengan cara ini, Nie Yan telah mengambil langkah besar untuk menyelesaikan pencariannya. Nie Yan mulai mengatur inventarisnya sambil diam-diam mengamati Yao Yao. Dibandingkan dengan saat ketika keduanya pertama kali bertemu dalam kehidupan masa lalunya, dia tampak sedikit lebih dewasa. Kulitnya tampak putih seperti salju, sementara air danau yang telah membasahi pakaiannya menyebabkan jubahnya yang ketat semakin menonjolkan sosok montoknya. Nie Yan ingat dengan jelas hari ketika mereka berada di ruang bawah tanah di bawah kota Fenarte. Ketika Yao Yao telah menanggalkan pakaiannya, tubuhnya yang telanjang dan melengkung sempurna menyerupai ukiran seorang dewi. Pada hari yang erotis dan penuh gairah itu, keduanya menjadi benar-benar didominasi oleh dorongan yang paling mendasar. Namun, mereka jelas mengerti … ini hanya permainan. Tak satu pun dari keduanya memiliki keberanian untuk mendekati yang lain dalam kehidupan nyata. Setelah kejadian itu, mereka secara bertahap kembali ke peran hanya menjadi teman baik. Hanya saja, satu contoh itu akhirnya berubah menjadi kesalahan besar. Itu menjadi kenangan seumur hidup yang tidak akan pernah bisa dihapus, tenggelam dalam hati mereka. Nie Yan dan Yao Yao mengobrol sebentar, berbicara tentang topik yang terkait dengan permainan. Namun, keduanya masih mengobrol agak ramah. "Bagaimana kalau kita mulai pergi?" Yao Yao berkedip sambil menatap Nie Yan. Penampilan Nie Yan hanya bisa dianggap biasa saja. Memang, ia tidak dapat dibandingkan dengan beberapa orang di timnya. Namun, cara dia memperlakukan orang tidak buruk. Jadi dalam pengertian itu, dia jauh lebih menyenangkan mata daripada teman-temannya yang lain. Dua orang yang berburu monster jauh lebih cepat daripada satu orang saja. Nie Yan mabuk, berurusan dengan monster di depan sementara Yao Yao menyerang dari belakang dengan Holy Smite dan Holy Strike. Output kerusakan A Holy Mage benar-benar kuat. Dibandingkan dengan kerusakan Nie Yan, itu jauh lebih tinggi. Meskipun secara alami, ketika datang untuk membandingkan kecepatan serangan, dia tidak bisa mencapai Nie Yan sama sekali. Pikiran Nie Yan menjadi kosong sesaat ketika ia mulai mengingat hal-hal itu dalam kehidupan sebelumnya. Segera, dia mendapatkan kembali fokusnya. Masalah-masalah di masa lalu sudah berakhir. Dia akan menjadi teman baik dengan Yao Yao lagi, namun dia benar-benar tidak akan membuat kesalahan itu lagi. Xie Yao adalah satu-satunya orang yang terukir di hati Nie Yan. Bagaimanapun, semua yang ada dalam game hanyalah ilusi. Pada akhirnya, bahkan pecinta virtual yang paling harmonis juga akhirnya akan berpisah. "Sudahkah kamu bergabung dengan tim?" Tanya Yao Yao. "Saat ini, aku masih belum. ” "Bagaimana bisa? Dengan keahlianmu yang begitu bagus, aku tidak akan terkejut jika ada banyak tim yang berlomba-lomba merekrutmu. "Yao Yao merasa agak bingung. “Aku sudah terbiasa berlatih sendirian. Sedangkan untuk bergabung dengan tim, saya akan memikirkannya di masa depan. Tidak ada artinya bergabung dengan tim di level awal. ” Nie Yan selesai berbicara, dan menerjang menuju Water Spider di dekatnya. Dengan sangat cepat, Yao Yao menindaklanjuti dengan Holy Smite. Sama seperti Laba-laba Air akan bergerak, belati Nie Yan sudah menusuk ke perut laba-laba, membunuhnya dalam proses. Pasangan ini berkoordinasi dengan sangat baik dan memiliki pemahaman yang diam-diam. Ini adalah pertama kalinya Yao Yao merasa sangat santai saat bertani monster dengan orang lain. Dia tidak bisa membantu tetapi memiliki beberapa keraguan di hatinya dan bertanya-tanya, bisakah dia bertemu Nie Yan di suatu tempat sebelumnya? "Nirvana Flame (Nie Yan), Nirvana Flame (Nie Yan) … tidak mungkin dia, kan?" Bergumam pada dirinya sendiri, Yao Yao menatap sosok punggung Nie Yan. Dengan bingung, dia mulai merasa dia agak mirip dengan orang yang dia kenal. [TN: Ingat, Nirvana Flame dan Nie Yan — nama aslinya — memiliki pengucapan yang sama ketika diucapkan dalam bahasa Mandarin. ] “Tim kami saat ini hanya memiliki tujuh belas orang, jadi masih belum penuh. Apakah Anda ingin bergabung dengan kami? "Saran Yao Yao. Meskipun Nie Yan hanya Tingkat 2, keterampilannya cukup bagus. Big Sis Blue Feather (Yu Lan) kemungkinan besar akan menyambutnya dengan senang hati. "Saya tidak ingin bergabung dengan tim mana pun untuk saat ini," kata Nie Yan, menolak tawarannya. "Oh. "Yao Yao merasakan sedikit kekecewaan. "Buku keterampilan Pembunuh untuk Pencuri dijatuhkan," kata Nie Yan. "Ini adalah buku keterampilan Pencuri, jadi kamu harus mengambilnya kalau begitu. Jika item Mage turun, berikan saja padaku. Kita masing-masing akan mengambil apa yang kita butuhkan. ” Setelah mengobrol sebentar, keduanya secara bertahap menjadi lebih akrab. Dengan demikian, Yao Yao juga tidak akan tawar-menawar setiap tetes dengan Nie Yan. "Lalu, aku akan membantu diriku sendiri. "Nie Yan menatap buku skill Assassinate. Buku keterampilan: Dibunuh Deskripsi keterampilan: Pencuri mendapatkan Kemarahan setelah tikaman yang berhasil. Wajib untuk digunakan: Aksi (memerlukan senjata) Atribut skill: Memukul tanda vital target menambah Serangan +2, Rage +1, Combo Count +1. Cooldown keterampilan: 30 dtk Batasan Profesi: Pencuri, Pejuang, Paladin; dapat dipelajari oleh faksi apa pun. Nie Yan tidak seperti orang-orang yang berpesta dengannya sebelumnya. Mereka akan melakukan tindakan ketulusan dan penolakan, hanya untuk menerimanya setelah itu. Ekspresi Yao Yao berubah menjadi sedikit senyum. Saat berinteraksi dengan Nie Yan, dia tiba-tiba mengembangkan semacam keakraban yang menembus jauh ke dalam sumsum tulangnya. Di sini, dia tidak perlu bertindak seperti yang dia lakukan dalam kehidupan nyata — selalu memakai banyak fasad palsu. Nie Yan selesai mempelajari keterampilan Assassinate. Dengan demikian, skill bar-nya memiliki skill lain yang ditambahkan padanya. Keterampilan serangan Pencuri dibagi menjadi Keterampilan Dasar, Keterampilan Combo, dan Keterampilan Finishing. Keterampilan dasar dapat digunakan kapan saja. Skill Combo digunakan untuk mendapatkan jumlah combo, dan untuk membangun Rage saat menyerang musuh. Mogok Vital dan keterampilan yang mirip dengan itu diklasifikasikan sebagai Keterampilan Finishing. Mereka hanya bisa digunakan setelah membangun jumlah kemarahan yang cukup. Setiap poin tambahan yang ditambahkan ke jumlah kombo akan memberikan tambahan + 20% di Serangan. Batas atas untuk hitungan kombo ini adalah sepuluh tumpukan. Setelah digunakan, penghitung kombo akan diatur ulang ke nol. Dengan demikian, ini adalah keindahan dari keberadaan yang dikenal sebagai sistem kombo. Jika dua Pencuri yang memiliki keterampilan yang sama harus cocok, kerusakan yang akan ditangani oleh pencuri tingkat dua atau tiga kali lebih tinggi daripada pencuri rata-rata — kadang-kadang bahkan lebih. Dalam keadaan biasa, itu hanya dianggap normal ketika Keterampilan Dasar dan Keterampilan Kombo dua kali jumlah dari Keterampilan Finishing dalam skill pencuri Setelah mendapatkan Assassinate, Kemarahan Nie Yan sekarang dapat membangun pada tingkat yang jauh lebih cepat. Satu serangan normal yang diikuti oleh Assassinate akan membangun Rage yang cukup untuk menggunakan Vital Strike. Nie Yan dan Yao Yao menjadi semakin terampil dalam koordinasi mereka. Jadi, mereka berdua bertindak lebih berani saat mereka mempercepat laju pemburuan monster. Pada saat-saat ketika ada banyak lawan, Nie Yan akan berhadapan dengan tiga monster sekaligus sedangkan Yao Yao dengan panik melemparkan mantra dari belakang. Stafnya tidak pernah berhenti bergerak, terus menerus menembakkan Holy Smites dan Holy Strikes. Ketika dia kehabisan mana, dia akan minum ramuan regenerasi mana. Selama seseorang tidak terganggu oleh serangan dari musuh, ramuan regenerasi mana akan mengembalikan enam puluh mana dalam tiga puluh detik. Harganya juga murah, jadi sangat hemat biaya. "Berapa banyak Karung Air yang telah kamu kumpulkan?" "Lima puluh dua . ” "Berapa banyak lagi yang kamu butuhkan?" "Delapan lagi. ” “Sepertinya kamu akan selesai mengumpulkannya segera. Anda mungkin belum mempelajari Alkimia Crafting, kan? Setelah menyerahkan tugas Anda, pergi ke Kota Moste [356. 329. 31] . Tempat itu seharusnya memiliki NPC Tersembunyi yang mengeluarkan pencarian yang disebut 'Rare Herbs. 'Setelah Anda menyelesaikan pencarian dari NPC, Anda akan dapat mempelajari Kerajinan Alkimia Sempurna, ”kata Nie Yan. Efektivitas Alchemy Crafting yang sempurna jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan Alchemy Crafting biasa. Ahhhh … Aku akan menyelesaikan pencarian saya begitu cepat. Yao Yao tiba-tiba merasakan perasaan kehilangan di hatinya. Berburu monster bersama dengan Nie Yan jauh lebih menyenangkan daripada naik level saja; setidaknya, dia punya teman untuk diajak ngobrol. PENGHASILAN EKSTRA Bab 12 – Penghasilan Ekstra "Kenapa belajar Alkimia Crafting?" Yao Yao (Misteri Gelap) bertanya dengan nada bingung. “Penyihir yang tidak mempelajari Alkimia Crafting dipastikan akan menjadi pengemis miskin pada saat mereka mencapai level tinggi. Bagaimanapun, ramuan ajaib sangat mahal. Keterampilan bawaan dari Mage Manusia adalah bahwa mereka mampu melewati kelas ketika membuat ramuan jenis sihir. Itu hanya akan menjadi terlalu sia-sia jika seorang Mage tidak belajar Kerajinan Alkimia, ”jawab Nie Yan. “Baiklah kalau begitu, aku sudah mencatat koordinatnya. Terima kasih untuk rekomendasinya, Nie Yan. Setelah memperhatikan pergerakan laba-laba air tepat di depannya, Nie Yan mulai berenang menuju lokasinya. Itu di daerah sekitar lima meter jauhnya. Meskipun tiba-tiba, dia berhenti dan tidak berenang lagi. Laba-laba Air di depannya tidak persis sama dengan Laba-laba Air biasa — bentuknya sedikit lebih besar dari rata-rata. Pemimpin Laba-laba Air: Tingkat 3 Kesehatan: 160/160 "Ini monster Pemimpin," Nie Yan menoleh dan berkata kepada Yao Yao. "Bisakah kita mengalahkannya?" Tanya Yao Yao. Nie Yan lebih berpengetahuan daripada dia. Jadi entah bagaimana, dia mulai terbiasa bertanya pada Nie Yan setiap kali dia punya pertanyaan. "Hanya pas-pasan. Hanya … ini akan sedikit sulit. “Nie Yan mensurvei daerah terdekat. Air terbuka tidak memiliki medan yang dapat mereka manfaatkan. Belum lagi wilayah ini adalah surga bagi Laba-laba Air. "Jika terlalu berbahaya, maka kita harus membiarkannya berlalu," tambah Yao Yao. Itu hanya akan terlalu banyak kerugian jika mereka akhirnya mati dan turun satu level. Untuk itu akan memakan waktu minimal dua hingga tiga hari jika mereka ingin berlatih kembali ke keadaan mereka saat ini. "Apakah Anda punya Pil Pernapasan Bawah Air?" Tanya Nie Yan. The Water Spider adalah jenis makhluk yang hanya bisa bergerak di permukaan air. Karena itu, mereka tidak dapat menyelam di bawah air — kelemahan fatal mereka. “Aku tidak punya lagi. Saya tidak membawa cukup dan akhirnya menggunakan semuanya sebelumnya. "Ekspresi Yao Yao telah berubah menjadi merah. Dia tidak menyangka bahwa — saat dalam perjalanan ini — dia akan diharuskan untuk menggunakan begitu banyak Pil Pernapasan Bawah Air. Jika dia punya cukup pil, dia juga tidak akan bertemu dengan bahaya seperti itu. Dia bisa menyelam di bawah air setiap kali dia menghadapi bahaya, dan tidak akan ada masalah sama sekali. “Aku masih punya satu pil lagi bersamaku…. Ambil . Laba-laba Air tidak bisa menyelam di bawah air, jadi Anda yang akan menyerangnya terlebih dahulu. Jika Anda terpaksa memasuki jarak dekat dengan itu, maka menyelamlah dengan segera di bawah air. Saya akan berada di jarak tembak baut panah untuk menariknya. Setelah cukup jauh, muncul kembali dan lanjutkan casting. Ketika kesehatannya mendekati nol, kita akan berkumpul kembali dan menghadapinya, ”kata Nie Yan setelah merenung sejenak. Dengan menggunakan metode ini, mereka secara bertahap bisa mengurangi kesehatan Pemimpin Laba-Laba Air sampai mati. "Aku tidak melihatnya sebelumnya, tetapi kepala kamu itu benar-benar berguna. "Yao Yao tidak bisa membantu tetapi menatap Nie Yan. Di tangannya, masalah apa pun hanya menjadi cakewalk untuk diselesaikan. “Ketika saya masih muda, IQ saya diuji pada dua ratus enam. Hal-hal seperti ini hanyalah hal sepele! ”Nie Yan tersenyum sebelum berenang ke sisi lain. Melihat penampilan betapa senangnya Nie Yan dengan dirinya sendiri, Yao Yao tidak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai. Sungguh, pria ini, beri dia sedikit pujian dan dia menjadi sangat senang. Melihat dia terpisah sekitar dua puluh meter dari Pemimpin Laba-laba Air, Nie Yan memberi isyarat kepada Yao Yao. Dia melambaikan tongkatnya dan melemparkan Holy Smite. Mantra itu menyerang tubuh Pemimpin Laba-laba, memberikan lima belas poin kerusakan pada kesehatannya. [ Kesehatan: 145/160] Ada apa dengan monster Pemimpin ini? Pertahanannya sebenarnya lebih tinggi! 「Hiss!」 Pemimpin Laba-Laba mengeluarkan pekikan aneh dan mulai berlari menuju Yao Yao. Sebelum Pemimpin Laba-laba bisa mencapai lokasinya, dia masih bisa mengucapkan satu mantra lagi. Dia mulai mengaktifkan Holy Strike. 「Boom!」 Sinar cahaya meledak, jatuh dari Surga dan menabrak tubuh Pemimpin Laba-Laba — menyebabkan kehilangan enam belas kesehatan. [ Kesehatan: 129/160] Setelah Nie Yan selesai mempersenjatai panahnya, tiga baut ditembakkan berturut-turut. "Pat! Pat! Putt! 」Mereka semua mencapai target mereka. −6, −6, −6 [Kesehatan: 111/160] Tiga angka kerusakan melayang di atas kepala Pemimpin Laba-laba. Setelah itu, ia terus mempersenjatai kembali panah. Setelah selesai melakukan Holy Strike, Yao Yao melihat bahwa Pemimpin Laba-laba telah mendekati posisinya. Segera, dia terjun kembali ke air. Setelah Yao Yao terjun ke dalam air, Pemimpin Laba-laba tidak memiliki cara untuk menghampirinya. Pemimpin Laba-laba itu berlari bolak-balik dengan gelisah di permukaan air, tempat Yao Yao tenggelam. 「Whsh! Aduh! Whsh! 」Tiga baut tiba di target mereka, mengenai kepala Pemimpin Laba-laba. [Kesehatan: 93/160] Nie Yan segera menarik perhatiannya, dan laba-laba itu berlari ke arah lokasinya. Nie Yan dengan cemas mengganti panahnya dengan baut. Bahkan sebelum dia bisa menyelesaikan reload sepenuhnya, Pemimpin Laba-laba sudah bergegas di depannya. Dia buru-buru menukar panahnya untuk belati. "Membunuh!" Nie Yan menyerang dengan Assassinate, menikam Pemimpin Laba-Laba di sayapnya — memberikan dua belas poin kerusakan pada bar kesehatannya. [Kesehatan: 81/120] Pemimpin Laba-laba melompat maju dan memukulnya, menyebabkan Nie Yan kehilangan enam puluh kesehatan. Serangan yang kuat! Jika saya menderita pukulan lagi, saya pasti akan mati! Nie Yan awalnya ingin bertarung untuk putaran lain. Namun, ketika dia menghadapi bahaya tingkat ini, dia tidak berani mengambil risiko. Pada saat berikutnya, dia terjun ke dalam air. Serangan berikutnya Pemimpin Laba-laba menghantam udara kosong. Mengangkat kakinya yang tajam menyengat, itu menusuk ke air di bawah. Kakinya mirip dengan panah yang turun dan memasuki permukaan air. Satu menghantam Nie Yan dan menusuk langsung ke bahunya. −32 Nilai kerusakan melayang di atas kepala Nie Yan. Pemimpin Laba-laba telah berhasil memukul dengan salah satu serangannya. Segera setelah itu, kaki lain menusuk ke arah Nie Yan. Nie Yan melakukan rol cepat di dalam air. Kaki penusuk seperti Pemimpin Laba-laba menembus air, melewati pipi Nie Yan, menyebabkan gelembung besar muncul. Tutup panggilan! Hanya setelah Nie Yan menyelam sedikit lebih dalam, dia akhirnya meninggalkan jangkauan serangan Pemimpin Laba-laba. Dia memiliki sedikit kurang dari dua puluh kesehatan yang tersisa. Lain kali dia tidak akan berhadapan langsung dengan Pemimpin Pemimpin Laba-laba. "Seni Suci!" Mengambil keuntungan dari perhatian Pemimpin Laba-Laba pada Nie Yan, Yao Yao menggunakan mantra terkuatnya yang memberikan dua puluh tujuh kerusakan pada kesehatannya. [Kesehatan: 54/120] "Apakah kamu baik-baik saja?" Yao Yao bertanya dengan nada khawatir. Dia melihat dua nilai kerusakan yang sangat besar melayang di atas kepala Nie Yan. "Saya baik-baik saja . Serangan Water Spider Leader terlalu kuat. Dengan segala cara, jangan tertabrak salah satu serangannya, ”kata Nie Yan sambil masih memiliki beberapa ketakutan yang masih ada. Dia telah meremehkan kemampuan serangan Pemimpin Laba-laba dan hampir mati. "Oke, aku mengerti," jawab Yao Yao kembali dan terus mengacungkan tongkatnya. Di bawah serangan pembomannya yang tak henti-hentinya, agro Pemimpin Laba-Laba bergeser kembali ke Yao Yao. Sekali lagi, itu dibebankan ke arahnya. “Astaga! Strike Suci! " −15 [Kesehatan: 39/160] −16 [Kesehatan: 23/160] Setelah Yao Yao selesai melemparkan mantra, dia sekali lagi menyelam ke bawah air. Pemimpin Laba-laba dengan kesal berlari di sekitar permukaan air. Nie Yan kemudian menembakkan tiga baut lainnya, menabrak Pemimpin Laba-laba di pantatnya. [Kesehatan: 5/160] Jadi setelah kiting bolak-balik, bar kesehatan Pemimpin Laba-laba secara bertahap terkuras bersih. Setelah Yao Yao membuat satu Seni Suci terakhir, batang kesehatan Pemimpin Laba-Laba turun menjadi nol. tubuhnya melayang di atas permukaan air, layu dan meringkuk. Seluruh proses lebih sederhana dari yang mereka bayangkan. Melihat Pemimpin Laba-laba Air menemui ajalnya, Nie Yan akhirnya santai dan menghela napas lega. Setelah membunuhnya, bar pengalamannya naik menjadi lima puluh dua persen. "Item apa yang dijatuhkannya?" Tanya Nie Yan. "Datang dan lihat . "Yao Yao memasukkan dua barang yang baru saja dia ambil ke jendela perdagangan. Sarung Tangan Sutra Halus (Kelas Perunggu) Persyaratan Level: Level 0 Properti: Pertahanan 2–3, Magic +3 Berat: 1. 3 lb Pembatasan Pengguna: Mage; dapat dilengkapi oleh faksi apa pun Sutra Halus Langka (Bahan Baku) Jumlah: 5 "Anda memiliki keterampilan Penilaian?" Tanya Nie Yan. Masuk akal untuk mengatakan bahwa barang yang baru saja dijatuhkan harus tidak dikenal. Dia tidak akan pernah menyangka bahwa Yao Yao — dengan Levelnya yang begitu rendah — sudah mempelajari keterampilan Penilaian. Yao Yao mengangguk dan berkata, “Benar! Saya belajar keterampilan Penilaian paling dasar. "Sarung tangan itu untukmu dan, karena aku membutuhkannya, Rare Fine Silk untukku," kata Nie Yan. Apa perbedaan Silk Rare Halus ini dengan Fine Silk biasa? Aku ingin tahu … akankah Dokter Blevins menerima Sutra Halus Langka ini, atau tidak? "En, kalau begitu aku tidak akan sopan," kata Yao Yao. Untungnya, sarung tangan itu adalah yang ia butuhkan — memiliki properti Magic +3. Bagi seorang Mage, peningkatan Sihir adalah properti terbaik yang bisa mereka harapkan dalam sebuah peralatan. Jika ditempatkan di pasar, itu akan berlaku untuk setidaknya lima puluh atau enam puluh tembaga. Jika seseorang menghitung, Nie Yan telah menerima akhir mentah dari kesepakatan itu. Yao Yao merasa sedikit minta maaf, tetapi mengingat bahwa Nie Yan juga telah mengambil buku skill Assassinate sebelumnya, dia menjadi kurang bingung. Yao Yao menempatkan Rare Fine Silk di jendela perdagangannya. Setelah itu, keduanya menekan menerima. Sementara keduanya melakukan perdagangan, mereka berdua sangat dekat. Nie Yan melirik pipi Yao Yao. Warna kulitnya sama sehatnya seperti dulu — giok seperti porselen yang sangat putih, dia tidak bisa menemukan satu pun cacat. "Apa yang kamu lihat?" Yao Yao bertanya dengan panik. Ditatap oleh Nie Yan menyebabkan warna merah tua muncul dari pipinya, dengan ringan menyebar di wajahnya. Melihat ekspresi Yao Yao memerah seperti tomat, Nie Yan tertawa dan berenang menuju Water Spider di dekatnya. Setelah sore membunuh monster, Nie Yan telah mengumpulkan dua puluh tiga Fine Silks, dan Yao Yao akhirnya selesai mengumpulkan Karung Air yang dia butuhkan. “Dalam beberapa hari, timku akan berburu di Hutan Treant dekat Kota Tellak. Kami masih memiliki beberapa tempat, apakah Anda ingin bergabung? ”Yao Yao pura-pura bertanya dengan santai dan acuh tak acuh. Namun, di dalam hatinya, dia benar-benar memiliki beberapa harapan dan harapan samar yang akan diterima Nie Yan. Treant Forest adalah contoh kecil Level 3; itu salah satu contoh dasar. Kesulitan untuk contoh dasar biasanya tinggi. Treant King terakhir juga cukup merepotkan — monster Elite. Jika statistik Pertahanan Ksatria tidak mencapai enam puluh, dan kesehatan mereka tidak setidaknya dua ratus, mereka pada dasarnya tidak memiliki kesempatan. "Berapa banyak orang yang kamu miliki?" "Termasuk kamu, kami memiliki delapan belas: dua Ksatria Berat, dua Berserkers, dua Paladin, dua Pencuri, tiga Pendeta, dan tujuh Penyihir. ” "Berapa banyak pertahanan dan kesehatan yang dimiliki Ksatria Berat Anda?" Tanya Nie Yan. Jika timnya terampil, tidak akan ada salahnya pergi sekali. Treant Forest menjatuhkan beberapa item bagus yang berhubungan dengan Pencuri. “Lima puluh tiga Pertahanan, dan dua ratus tiga puluh kesehatan. ” “Kesehatan mereka baik-baik saja, namun pertahanan mereka terlalu rendah. Saya masih menyarankan kalian untuk tidak pergi, ”kata Nie Yan sambil menggelengkan kepalanya. Statistik para Ksatria kurang sedikit. "Kenapa?" Yao Yao membuka matanya lebar-lebar, menatap Nie Yan dengan bingung. “The Treant King memiliki peluang dua persen untuk mendaratkan pukulan kritis. Karena itu pertahanan dan kesehatan Heavy Knight harus tinggi. Keterampilan menyembuhkan Para Imam juga harus dapat ditindaklanjuti. Jika tidak, jika serangan kritis terjadi dan Heavy Knight Anda terbunuh, maka seluruh tim Anda akan terhapus. Meskipun Anda tidak menjatuhkan peralatan atau level secara instan, Anda masih akan kehilangan dua puluh persen dari pengalaman Anda. Yang cukup menjadi tak tertahankan bagi kebanyakan orang. ” "Bagaimana kamu tahu ini?" Nie Yan samar-samar tersenyum, tapi dia tidak menjawab. “Meskipun aku merasa apa yang kamu katakan mungkin benar, mereka sudah bersiap selama berhari-hari. Saya tidak bisa menolak untuk pergi, bukan? ” “Dengarkan saja kata-kataku. Suruh Ksatria Berat Anda mendapatkan pertahanan mereka sampai enam puluh terlebih dahulu, lalu pergi, ”kata Nie Yan. Jika Yao Yao tidak mendengarkan peringatannya dan pergi sekarang, dia pasti akan kehilangan dua puluh persen dari pengalamannya. Untungnya, dua puluh persen tidak terlalu banyak. Dengan pelatihan yang kurang dari sehari, dia bisa mendapatkannya kembali. "Pertahanan enam puluh … itu hanya mungkin jika kita mendapatkan peralatan Bronze-tier setidaknya. Itu akan terlalu sulit, ”kata Yao Yao sambil menggelengkan kepalanya. Sepotong peralatan Bronze-tier setidaknya, tetapi tidak terbatas pada, lima atau enam kali harga peralatan biasa. Minimal, biayanya setidaknya tiga hingga empat perak. Tim mereka jelas tidak memiliki kekuatan finansial seperti itu. “Jika kamu bisa menolak, maka tolak saja. Namun, jika teman Anda benar-benar bertekad untuk pergi, maka tidak ada yang membantunya. Bagaimanapun, itu hanya pengalaman dua puluh persen, tidak lebih. ” "Nie Yan, apa yang kamu katakan benar?" Yao Yao mengerutkan alisnya yang indah dan bertanya dengan khawatir. Nie Yan mengangguk, dan berenang ke Water Spider terdekat yang berada di sisinya. Intuisi Yao Yao mengatakan kepadanya bahwa kata-kata Nie Yan itu kredibel, namun dia masih cukup bingung. Bagaimana Nie Yan tahu tentang informasi ini? Mungkinkah … dia sudah pernah ke Hutan Treant sebelumnya? Bahkan jika dia memang pergi ke sana sebelumnya, itu masih tidak mungkin baginya untuk mendapatkan data yang akurat begitu cepat. “Aku sudah menyelesaikan pencarianku, jadi aku harus pergi. Hari ini cukup menyenangkan. Berlatih bersama dengan Anda sangat menyenangkan. Nie Yan (Nirvana Flame), bagaimana kalau kita menambahkan satu sama lain sebagai teman? Jadi di masa depan, saya dapat menghubungi Anda lagi, ”kata Yao Yao. Dalam hatinya, dia merasa agak enggan berpisah. Nie Yan adalah teman pertama dari lawan jenis yang dia merasa senang bergaul dengan. Tentu saja, niatnya adalah agar mereka berada dalam batas teman dan tidak lebih. "Tentu," jawab Nie Yan, dan menambahkan Yao Yao ke daftar temannya. “Aku akan pergi dulu. Sampai jumpa! ”Kata Yao Yao sambil melambaikan tangannya dalam perpisahan. Sosok punggung Yao Yao menjadi semakin jauh. Setelah Yao Yao pergi, Nie Yan merasa sedikit melankolis. Namun, segera, dia menyesuaikan suasana hatinya dan terus membunuh Water Spider. Satu demi satu, laba-laba terus menerus jatuh di tangan belati Nie Yan. Dia melihat waktu — masih tiga jam sampai pertandingan ditutup. 「Pururu! Pururu! Pururu! 」Nie Yan menerima pemberitahuan suara. "Pakar, ini aku," kata Stone melalui pesan suara. "Apa yang kamu inginkan?" Jawab Nie Yan kembali. “Aku punya teman yang ingin bertemu denganmu. ” “Aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Saya tidak punya waktu. ” "Teman saya mengatakan dia bersedia membayar dua perak yang diperlukan untuk mendapatkan panduan untuk kamp Shaman Fallen. ” "Apakah tim Anda terhapus oleh pagar kayu di sana?" Tanya Nie Yan. Area itu adalah rintangan yang sangat sulit. Jika Anda tidak tahu trik untuk melewatinya, maka melewati sangat sulit. "B-bagaimana kamu tahu?" Stone bertanya dengan heran. Nie Yan sudah menebak dengan benar. Dia menjadi lebih yakin — Nie Yan pastinya telah mengalahkan kamp Shaman Fallen di masa lalu. "Tentu saja saya tahu . Kalian ingin panduan Fallen Shaman Camp? Tidak apa-apa . Pertama, kirim uang ke penyimpanan pribadi saya. Penyimpanan pribadi sama dengan akun. Pemain sendiri bebas mengakses penyimpanan mereka sendiri. Mereka bahkan diizinkan mengirim uang dan barang ke penyimpanan pemain lain, tetapi mereka tidak diizinkan mengeluarkan apa pun. "Ini … aku harus bertanya dulu," kata Stone. Jelas dia bukan orang yang membuat keputusan. Setelah beberapa saat, dia mengirim pesan suara lagi ke Nie Yan. “Teman saya mengatakan kami dapat mengirim satu perak di muka sebagai uang muka. Jika panduan Anda benar-benar efektif, maka kami akan mengirim setengah pembayaran lainnya. ” Nie Yan berpikir sejenak dan berkata, “Baiklah, tidak apa-apa. “Karena Nie Yan telah mencapai sasaran beberapa kali pada hal-hal yang dia bicarakan, pihak lain bersedia melakukan perdagangan ini. Namun, dengan membayar lebih dulu, mereka mengambil risiko besar. Jika kebetulan Nie Yan sebenarnya penipu, itu akan sama seperti jika mereka membuang uang mereka ke toilet. Jadi, mereka memilih untuk mengirim paruh pertama sebagai uang muka. Sistem: Pemain Flying Stone telah memasukkan satu perak ke penyimpanan pribadi Anda. "Uang itu … aku sudah mengirimkannya," Stone mengirim pesan lagi. Dia sedikit gugup. Jika Nie Yan benar-benar seorang penipu, maka satu perak mereka benar-benar akan sia-sia. “Rintangan pertama yang akan Anda hadapi adalah pagar kayu. Ada tujuh Shaman yang jatuh di daerah itu. Jangan kirim Warriors Anda ke tangki. Di Level 5 dan di bawah, mereka akan benar-benar tidak dapat menahan tendangan voli dari tujuh Shaman Fallen yang menyerang bersama. Sebagai gantinya, kirim Pencuri Anda ke pohon willow di luar pagar dan tempatkan mereka di sana. Beri tahu mereka untuk menggunakan busur atau panah untuk menembak Shaman yang jatuh ke kiri. Ingat baik-baik; tidak mungkin ada kesalahan di mana Anda menembak. Hanya dengan begitu Anda akan bisa menarik tiga Shaman Jatuh dan membunuh mereka. Setelah Anda menyingkirkan mereka, empat sisanya harus lebih mudah untuk ditangani. Lokasi penting kedua adalah di sebelah altar; ada Pendeta Dukun Fallen terletak di sana. Saat menghadapnya, jika Anda tidak berhati-hati, Anda juga akan berakhir dengan pemimpin dukun yang jatuh. Sekali setiap lima menit, Pendeta Dukun Fallen akan mulai berjalan di sekitar. Tunggu sampai berjalan melewati altar dan tiba di sebelah obelisk. Kemudian, minta Heavy Knight Anda menariknya keluar sekitar lima atau enam meter jauhnya, di mana Anda akan mengelilinginya dan membunuhnya. Setelah itu, Anda akan dapat membunuh Pemimpin Shaman Fallen. Jika Anda masih memiliki masalah, kirimkan saya pesan, ”kata Nie Yan. Ini mengambil uang orang lain untuk membantu mereka menghindari bencana. Bagaimanapun, itu hanya contoh kecil. Segera, seseorang akan datang dan mengalahkannya. Jadi itu cukup bagus bahwa ia berhasil menukar beberapa informasi dengan sedikit pengeluaran uang. Terlebih lagi, itu adalah dua perak penuh. "Itu saja …?" Tanya Stone linglung. "Itu saja . ” Hanya sedikit informasi ini yang bernilai dua perak. Nie Yan telah mendapatkan uang ini terlalu mudah. Namun, metode ini untuk mengatasi rintangan dirangkum dari pengalaman pemain yang tak terhitung jumlahnya. Rata-rata tim perlu melalui contoh ini setidaknya beberapa kali sebelum mereka bisa merasakannya. Dalam perspektif itu, mungkin panduannya tidak semahal itu. BELUT LISTRIK EMAS Bab 13 – Belut Listrik Emas Titik transfer Kota Kalore. Saat ini, kelompok yang terdiri dari dua puluh pemain berkumpul dalam diskusi yang panas. “Aku benar-benar berpikir orang itu penipu. Bagaimana dia bisa tahu strategi untuk Camp Shaman Fallen !? ” "Orang itu seharusnya tidak menjadi penipu. Kalau tidak, bagaimana dia bisa menebak dengan benar di mana pesta kita dihapus? Hanya dengan memiliki pemahaman yang mendalam tentang kejadian ini, dia bisa tahu di mana kita akan berantakan. ” Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda. Karena itu, sangat sulit bagi mereka untuk sampai pada suatu kesimpulan. "Batu, ada apa? Apakah dia mengatakan sesuatu? ”Tanya seorang Prajurit di samping. Dia adalah Sleepy Fox, kapten tim. Stone kemudian melanjutkan untuk menyampaikan kata-kata Nie Yan kepada mereka. Seorang Priest merenung pada dirinya sendiri untuk sesaat, sebelum melihat rekan satu timnya dan bertanya, "Apakah kalian pikir kata-katanya dapat dipercaya?" "Sulit untuk dikatakan… . ”Jawab rekan satu tim di sebelahnya. Beberapa rintangan yang harus mereka lewati di Fallen Shaman Camp terlalu sulit bagi mereka. Sampai-sampai mereka semua telah dimusnahkan bahkan sebelum memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Pendeta Dukun Jatuh. “Kita tidak bisa mengatakan dengan pasti apakah Nie Yan (Nirvana Flame) ini telah mengalahkan Camp Shaman Fallen dengan sebuah tim. ” “Dia benar-benar ahli. Ingat daerah tempat saya bercocok tanam, dekat Fallen Shaman Camp? Dialah yang memberi tahu saya tentang hal itu. Dia mengatakan bahwa dia dulu memiliki akun Warrior, tetapi dia menghapusnya dan membuat akun Pencuri yang baru. Aku punya firasat bahwa akun Warrior tuanya setidaknya ada di Level 4. Jika tidak, bagaimana dia bisa tahu begitu banyak? "Flying Stone berkata sambil berargumen dalam pembelaan Nie Yan. Sehubungan dengan kata-kata Nie Yan, Stone memegang teguh keyakinan padanya. "Jadi kita akan mencoba metodenya?" "Semua orang! Mulailah persiapan Anda. Kami akan berangkat sepuluh menit lagi, "seru Imam itu ketika dia mengambil keputusan. "Kakak Fox, apakah kita benar-benar pergi?" Tanya Mage lain. “Saya percaya kata-katanya memiliki kredibilitas. Kalau tidak, dia tidak akan begitu berpengetahuan tentang contoh Shaman Fallen. Mari kita coba . Jika orang itu akhirnya menjadi penipu, maka saya akan membuatnya membayar harganya, ”kata Sleepy Fox dengan percaya diri. Kebenaran atau kebohongan, dia masih bisa membedakan keduanya. Jika bukan karena mereka terhapus pada contoh sebelum ini, dia tidak akan membiarkan Stone menghubungi Nie Yan untuk meminta bantuan. Nie Yan masih membunuh Laba-laba Air dan mengumpulkan Sutra Halus. Seluruh proses itu agak biasa dan membosankan. Dia berada di tengah pertempuran melawan Laba-laba Air; yang sudah hampir dikalahkan. "Mendesis! Eee! 」Laba-laba menjerit nyaring. Di kejauhan, enam Laba-laba Air disiagakan oleh kebisingan. Gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka menuju ke sisi Nie Yan. Secara bersamaan berurusan dengan dua laba-laba adalah batasnya. Lagi, dan dia sama sekali tidak punya peluang untuk menang. Nie Yan melompat maju. Dengan satu Vital Strike, satu-satunya Water Spider yang bertahan hidup dengan kesehatan rendah terbunuh. Saat laba-laba jatuh, satu tembaga jatuh dari mayatnya dan melayang ke tangan Nie Yan. Pada saat itu, enam Laba-laba Air pengisian sudah mendekati dia. Tanpa penundaan, Nie Yan menyelam ke air di bawah dan berenang menuju lantai danau. Setelah tiba di tujuan mereka, keenam laba-laba itu berkeliaran di permukaan air ketika mereka mencoba menemukan jejak Nie Yan. Namun, Nie Yan terus berenang agak jauh. Setelah sekitar satu menit, dia merasa dirinya mulai mati lemas. Dia menoleh dan melihat ke permukaan air. Tanpa diduga, jumlah laba-laba yang berkeliaran di sekitar lokasinya telah meningkat jumlahnya. Jika dia naik pada saat ini, dia pasti akan mati. Demi tidak tenggelam, Nie Yan tidak punya pilihan selain mengaktifkan kemampuan bernapas bawah air dari Water Aversion Pearl. Dia bersiap untuk muncul kembali setelah menemukan daerah dengan Laba-laba Air yang lebih sedikit. Sinar cahaya dilemparkan ke atas danau, menerangi kedalamannya yang tenang. Di dekat lantai danau, mata Nie Yan melihat kilatan samar cahaya keemasan. Jantungnya berdetak kencang. Ini …. itu tidak bisa menjadi semacam harta, kan? Bagaimanapun, durasi kemampuan Water Aversion Pearl cukup lama. Nie Yan melanjutkan keturunannya, menyelam lebih dalam ke kedalaman danau. Sangat dalam sampai-sampai seseorang tidak bisa melihat bagian bawah, dan semakin dalam dia menyelam, semakin besar tekanan yang dia rasakan menekan tubuhnya. Formasi batuan aneh berkerumun di sekitar lantai danau di sekitarnya. Di antara bebatuan ini terdapat lorong-lorong sempit yang remang-remang di mana bidang pandang seseorang hanya akan membentang sekitar dua meter. Nie Yan dapat melihat beberapa Kristal Besi Hitam dan jenis bijih lain yang menutupi puncak bebatuan ini. Sayang sekali dia tidak memiliki keterampilan menambang. Dengan demikian, ia hanya bisa meninggalkan mereka. Aliran air dingin mengalir di antara batu-batu aneh, menghajar tubuh Nie Yan dan membuatnya merasa dingin. Tiba-tiba, belut berwarna emas besar keluar dari batu dan berenang melewati sisi Nie Yan. Munculnya tiba-tiba menyebabkan Nie Yan melompat ketakutan. Ketika dia akhirnya bisa melihatnya dengan jelas, dia menemukan bahwa itu adalah Golden Electric Eel! Beberapa saat yang lalu, kilatan cahaya keemasan yang telah dilihatnya dari atas sebenarnya adalah belut ini! Golden Electric Eel adalah sejenis monster langka yang berkisar dari Level 0 hingga 20. Temperamen mereka lembut dan patuh, jadi mereka tidak pernah menyerang pemain terlebih dahulu. Namun, jika seorang pemain menyerang mereka terlebih dahulu, mereka akan membalas dengan menggunakan bagian belakang ekor mereka untuk melepaskan sengatan listrik yang intens. Di dalam air, ini adalah langkah pembunuhan yang kuat. Padahal, Golden Electric Eels biasanya akan menjatuhkan beberapa peralatan bagus saat terbunuh. Paling tidak, itu akan menjadi Bronze-tier. Belut Listrik Emas: Level 0 Kesehatan 80/80 Untungnya, itu hanya Level 0 Golden Electric Eel. Jika levelnya sedikit lebih tinggi, Nie Yan pada dasarnya tidak akan mendapat kesempatan. Nie Yan berenang di samping belut dan mengikutinya dengan cermat. Dia berusaha menemukan kelemahan saat dia mengamati tubuh panjangnya tiga meter. Belut sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Nie Yan sedikit pun. Sampai-sampai ia bahkan berenang beberapa putaran di sekitar tubuhnya. Dilaporkan bahwa titik lemah belut Golden Electric adalah lehernya. Nie Yan berenang untuk memeriksa, dan menemukan sisik berwarna merah menutupi lehernya. Itulah titik lemah Golden Electric Eel! Nie Yan berenang dengan Golden Electric Eel sampai mereka akhirnya mencapai celah sempit di antara bebatuan. Mengangkat belatinya, dia dengan cepat menikam belut. Darah merah gelap menyembur keluar saat Nie Yan mengaktifkan Assassinate sementara belati memasuki leher belut. −11 Golden Electric Eel tidak pernah berharap bahwa pemain di sampingnya akan menyerang. Ia berjuang keras, ingin membebaskan diri dari penyerangnya. Nie Yan dengan kuat memegangi belut. Namun, seluruh tubuhnya ditutupi lendir yang licin – membuatnya sangat sulit untuk dipegang. Golden Electric Eel mengayunkan ekornya dan sengatan listrik yang kuat membombardir tubuh Nie Yan. −32 Ketika arus listrik menghantam, rasanya seolah-olah sepuluh ribu semut menyengatnya sekaligus. Dia tidak bisa bergerak karena dia merasa seluruh tubuhnya mati rasa. Serangan Golden Electric Eel memiliki efek kelumpuhan! Dalam ketidakhadirannya, Nie Yan memperhatikan bahwa Belut Listrik Emas berusaha melarikan diri. Sekali lagi — dengan belati di tangan — dia menusuk ke tubuh belut. Belati itu tertanam di dekat tulang belut. Dia dengan gigih memegang belati. Golden Electric Eel berenang maju, menyeret Nie Yan dengannya. Sekali lagi, sengatan listrik lain menghantam tubuhnya, menyebabkan nilai kerusakan dua puluh tiga melayang di atas kepalanya. Golden Electric Eel adalah kelas monster spesial. Mereka bahkan sedikit lebih kuat dari monster Pemimpin. Jika tingkat Belut itu hanya sedikit lebih tinggi, maka Nie Yan akan sudah kehilangan nyawanya sejak lama. Merasa dirinya hampir kehilangan kesadaran, Nie Yan dengan paksa mengguncang dirinya sendiri. Belut berenang dengan kecepatan sangat cepat saat bergerak melalui celah sempit di antara bebatuan. Darah terus mengalir keluar dari luka-lukanya, sekarat air di sekitarnya merah. Setelah beberapa saat berlalu, Golden Electric Eel sekali lagi melepaskan sengatan listrik, memukuli tubuh Nie Yan dan menghasilkan enam belas kerusakan. Jumlah listrik dalam tubuh Golden Electric Eel terbatas. Akibatnya, semakin sering ia melepaskan sengatan listrik, semakin lemah kekuatannya. Belut menyeret penyerangnya, tanpa henti menyerangnya saat berenang sekitar lima atau enam menit. Kesehatan Nie Yan terus menurun, sampai ia hanya tersisa dua puluh tiga kesehatan yang tersisa. Dengan susah payah, ia berhasil menggunakan ramuan kesehatan pemula. Sengatan listrik yang berulang telah melumpuhkan seluruh tubuhnya. Bahkan membuat gerakan sekecil apa pun pun sangat sulit. Setelah akhirnya kelelahan, Golden Electric Eel berhenti. Nie Yan dengan cepat memanfaatkan kesempatan ini. Menggunakan belati di tangannya, dia mengaktifkan Vital Strike dan menusuk ke lehernya. Belut Emas Listrik terus berjuang dengan membungkus dirinya dengan erat di sekitar Nie Yan. Dia merasa dirinya mulai mati lemas dengan belut benar-benar melilit tubuhnya. −5, −5, −5 Satu per satu, angka-angka kerusakan ini melayang di atas kepala Nie Yan; kesehatannya hanya tersisa lima belas persen. Melihat kesehatannya terus turun dan turun, Nie Yan mempercepat serangannya. Belati di tangannya tanpa henti menusuk leher belut. −8, −8, −8 Kesehatan Golden Electric Eel tampaknya akhirnya mencapai nol. Perlahan-lahan melonggarkan gelung, lalu membalik dan mengungkapkan perut putihnya. Nie Yan akhirnya membebaskan diri dari cengkeraman belut. Dengan menggunakan tangan kanannya, dia menangkap peralatan yang dijatuhkan belut — sepasang sarung tangan. Sarung Tangan Kulit Lembut: Kelas Perunggu Properti: Tidak teridentifikasi A Level 0 Golden Electric Eel harus menjatuhkan peralatan Level 0. Sedangkan untuk properti, saya masih harus kembali ke kota untuk dinilai. Namun, karena itu adalah peralatan kulit, Pencuri pasti dapat menggunakannya. Nie Yan menempatkan Soft Leather Gloves di bagspace-nya. Lambat laun, efek kelumpuhan pada tubuhnya berkurang. Dia juga tidak tahu di mana Golden Electric Eel menyeretnya ke, jadi Nie Yan mulai berenang ke permukaan. Saat ia berenang melalui celah-celah sempit yang gelap di antara bebatuan, Nie Yan menemukan tanaman kecil di kejauhan. Dia menari dan berkibar-kibar saat mengikuti gerakan arus, berbaring dengan kuat ditanam di atas batu. Tanaman kecil ini panjangnya setengah inci, dengan tiga daun hijau berbentuk genteng yang selembut sutra. Melihat fitur-fiturnya … ini harus Waterscale Grass! Kelopak mata Nie Yan melonjak. Ada enam resep untuk membuat ramuan mana. Di antara resep-resep ini, Rumput Air adalah bahan utama dari bahan baku yang dibutuhkan untuk membuatnya. Umumnya, ramuan mana tingkat rendah bernilai sekitar tiga puluh tembaga. Oleh karena itu, Rumput Skala Air ini – sebagai bahan utama – akan dihargai sekitar dua puluh tembaga. Tidak jauh dari tempat Waterscale Grass berada, dua ular air berwarna merah muncul. Ular Air Bunga Skala: Level 3 Kesehatan: 100/100 Nie Yan berlama-lama di samping sejenak, menunggu ular air berenang menjauh. Hanya setelah mereka pindah, dia berenang ke daerah di mana Rumput Waterscale tumbuh. Tumbuhan itu menyerupai tokek karena duduk dengan kokoh di atas batu. Nie Yan akhirnya memetiknya dan meletakkannya di tasnya. Ini seharusnya menjadi area di mana Rumput Waterscale tumbuh. Nie Yan mulai mencari di sekitar daerah itu, akhirnya menemukan dua Rumput Waterscale lagi. Heh … panen yang cukup bagus. Nie Yan berenang ke permukaan, sampai sosoknya menembus air. Menghabiskan waktu yang begitu lama dalam lingkungan bawah laut yang gelap itu benar-benar menindas. Akhirnya, dia bisa bernapas lega. Lokasinya masih di dalam wilayah Laba-laba Air. Jadi, Nie Yan terus bercocok tanam laba-laba air. Pada saat server game hampir mati, Nie Yan telah berhasil mengambil buku keterampilan Paladin — Divine Light Slash. Ini adalah salah satu keterampilan pemula untuk seorang Paladin. Saat ini, harganya harus sekitar tiga puluh tembaga. Keberuntungannya tidak buruk. Tingkat drop untuk buku keterampilan Divine Light Slash tidak melebihi satu dari sepuluh ribu. Beberapa orang akhirnya dapat membunuh Laba-laba Air selama beberapa hari, dan mereka masih tidak akan menemukan buku keterampilan ini. Sistem: Server akan dimatikan dalam tiga menit. Kami meminta semua pemain bersiap untuk offline. Nie Yan menemukan area yang tampak lebih aman daripada yang lain dan menyembunyikan dirinya di dalam. Setelah tiga menit berlalu, penglihatannya menjadi gelap. Pada saat dia keluar dari permainan, sudah jam sembilan pagi. Hari baru telah dimulai, dan orang-orang bersiap untuk bekerja. Karena pelaksanaan hari kerja tiga jam — satu jam kerja di pagi hari dan dua siang — jadwal mereka cukup santai. Siswa, di sisi lain, memulai rekreasi musim panas hari itu. Setelah selesai sarapan, Nie Yan mulai berolahraga. Orang tuanya — memiliki latar belakang militer — memiliki harapan yang keras dan ketat untuk Nie Yan. Jadi, yayasannya cukup bagus. Saat itu, dia bertahan selama dua tahun dalam menggerogoti tubuhnya demi membunuh Cao Xu. Dia menggunakan pelatihan pasukan khusus yang didapatnya dari internet. Metode pelatihan luar biasa tidak normal. Karena terlalu tua pada saat itu, ia melewatkan periode waktu optimal untuk melatih tubuhnya. Jadi, hasilnya tidak terlalu luar biasa. Namun, ia masih memiliki kemampuan untuk dengan mudah mengalahkan dua atau tiga pria dewasa. Ketika merujuk pada dua atau tiga pria dewasa, Nie Yan merujuk pada orang dewasa yang setidaknya memiliki beberapa pelatihan. Meningkatnya produktivitas telah membebaskan orang-orang dari kerja keras. Maka, manusia modern semakin mementingkan pendidikan elit — bela diri dan intelektual. Selain mata kuliah inti akademik, pilihan seperti kickboxing, taekwondo, dan tinju juga bisa diambil. Karena orang mempelajari seni bela diri sejak usia muda, kebugaran fisik semua orang cukup baik. Paling tidak, mereka akan tahu beberapa teknik seni bela diri. Hari ini, ada banyak turnamen seni bela diri besar yang tidak pernah berkurang. Berbicara dengan tepat, masyarakat saat ini adalah yang mempromosikan semangat bela diri. Dia tidak memiliki peralatan di rumah, jadi dia hanya bisa melakukan beberapa latihan dasar. Di masa depan ketika keluarganya akan memiliki lebih banyak uang, dia dapat membeli peralatan dan obat-obatan penambah tubuh; efeknya akan jauh lebih berbeda. Dia berolahraga selama satu jam dan melakukan pelatihan seni bela diri selama dua puluh menit. Setelah itu, Nie Yan mulai meninjau pekerjaan sekolahnya. Di zaman sekarang ini, memanfaatkan pengetahuan seseorang adalah hal yang paling penting, dan pengetahuan yang terkandung dalam buku pelajaran mencakup hampir segalanya. Mulai dari yang kecil – seperti fisika dan kimia sederhana – hingga yang besar – seperti pembuatan polimer, pesawat terbang, baterai nuklir skala kecil, dll … semuanya tercakup. Jika ia berhasil memasukkan semua pengetahuan dalam buku pelajaran ini untuk digunakan, apalagi membuat pesawat terbang, bahkan membangun mecha tidak akan menjadi masalah sama sekali. Orang-orang di zaman ini — dengan kemajuan stimulasi bio-listrik dalam kedokteran — memiliki IQ rata-rata seratus enam puluh atau lebih tinggi. Di ujung yang lebih tinggi, IQ seseorang bahkan mampu mencapai dua ratus enam puluh. Namun, sepanjang masa hidup mereka, orang-orang ini masih benar-benar tidak dapat menguasai semua akumulasi pengetahuan yang ditinggalkan oleh para pendahulu mereka. Selama sekolah menengah, skor lima puluh atau enam puluh persen pada kertas tes sudah bisa dianggap tidak buruk. Tidak ada nilai gagal dalam tes ini. Namun, setiap tanda uji akan dicatat dan dimasukkan ke dalam evaluasi keseluruhan individu. Nie Yan — ketika ia berada di tahun pertama dan kedua di sekolah menengahnya — berada di peringkat tiga teratas dalam hal akademik. Namun, setelah ia pindah dari sekolahnya ke sekolah kelas atas di kota itu, prestasinya hanya bisa berada di peringkat bawah. Di dunia ini, mungkin Anda bisa melakukan banyak hal jika Anda punya uang. Namun, pengetahuan adalah apa yang mengamankan posisi seseorang tanpa batas. Mungkin ayah Nie Yan, menggunakan uangnya, bisa membuka masa depan prospek yang cemerlang untuknya. Meskipun, apakah dia bisa berjalan di jalan ini … Nie Yan masih harus mengandalkan dirinya sendiri. TEMAN DEKAT Bab 14 – Teman Dekat Nie Yan belajar selama satu jam, lalu kembali berlatih. Setiap kali dia lapar, dia akan mengambil tabung nutrisi tonik yang telah dipreportasi dari lemari es dan kemudian kembali belajar. Dia melanjutkan siklus belajar, pelatihan, dan makan ini sampai jam satu siang. "Cincin! Dering! 」Telepon di rumah Nie Yan berbunyi. "Halo. Bolehkah saya bertanya siapa ini? ”Nie Yan mengangkat telepon dan bertanya. “Nie Yan! Bagaimana kalau kita keluar dan bermain? Saya hampir mati lemas dengan tinggal di rumah. ” Suara yang baru saja didengar Nie Yan adalah Tang Yao. Halaman-halaman dalam ingatannya sekali lagi mulai berputar. Tang Yao adalah sahabatnya — keduanya sudah saling kenal sejak mereka memakai popok. Meskipun demikian, keluarga Tang Yao akhirnya menjadi sangat kaya, dan mereka pindah ke kota. Namun, keluarga mereka akhirnya membeli villa di dekat kota ini. Jadi setiap musim panas, dia akan datang berkunjung dan tinggal sebentar. Tang Yao, orang ini adalah teman yang sangat setia. Dalam kehidupan Nie Yan sebelumnya, ketika dia menjadi sangat miskin, Tang Yao yang berani menghadapi risiko ditemukan oleh Cao Xu dan diam-diam memberikan dukungan keuangan kepadanya. Ini memungkinkannya untuk melewati hari-hari yang sulit itu dengan lebih mudah. Namun, Tang Yao memiliki satu kelemahan fatal; dia suka mengunjungi bar dan menjadi wanita. Suatu kali ketika minum di sebuah bar, dia berkelahi dengan pria lain atas seorang wanita dan akhirnya dipukuli sampai mati oleh orang itu. Karena latar belakang pihak lain terlalu besar, kasus ini dibiarkan tidak menentu. Tang Yao, kau masih hidup! Ini bagus. Dalam kehidupan ini, saya pasti tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi. Tiba-tiba, air mata mulai memancar dan mengalir keluar dari mata Nie Yan. "Halo? Nie Yan, jangan hanya mati pada saya. Katakan sesuatu . ” "Di mana kita akan pergi?" Tanya Nie Yan setelah menahan emosinya. "Ayo pergi ke bar PK. Apakah kamu tertarik? Baru-baru ini, game Conviction ini sangat populer. Apakah Anda sudah memainkannya? " “Saya sudah bermain. Saya Pencuri Badai Tingkat 2, ”jawab Nie Yan. Bar PK adalah klub permainan dan hiburan tempat pemain dapat mentransfer karakter mereka dari permainan dan bersaing dengan pemain lain dalam berbagai skenario. Jenis pvp ini tidak akan menaikkan level pemain, juga tidak akan mempengaruhi kemajuan mereka dalam permainan. Hanya sesekali pemain dapat memenangkan satu atau dua peralatan melalui perjudian dengan pemain lain. “Tidak buruk sama sekali! Anda sudah naik ke Level 2. Kapan Anda membeli helm game? "Tanya Tang Yao, agak heran. Dia ingat keluarga Nie Yan sama sekali tidak kaya. “Aku sudah memilikinya untuk beberapa waktu sekarang. ” "Kalau begitu ayo kita keluar. Kami akan berjalan-jalan ke Lounge PK. Ngomong-ngomong aku punya Level 3 Arcane Mage, ”Tang Yao dengan bangga mengatakan dengan nada agak bangga. Nie Yan samar-samar tersenyum. Anak-anak berusia delapan belas hingga sembilan belas tahun semuanya ingin memamerkan prestasi terkecil sekalipun. Secara alami, ini adalah sifat manusia. Namun, Nie Yan sudah lama melewati usia itu. Pada tahap saat ini, siapa pun yang bisa naik ke Level 3 adalah pemain yang cukup terampil. Pemain seperti itu berada di sepuluh persen teratas dari playerbase. Namun, Nie Yan tahu bahwa keterampilan Tang Yao masih sedikit kurang jika dia ingin pergi ke PK Lounge. Jumlah ahli di lounge tidak sedikit. Itu adalah tempat di mana segala macam pakar berkumpul. “Kami bermain di sana baik-baik saja. Namun, yang terbaik adalah jika Anda tidak bertaruh, ”kata Nie Yan. Dari ingatannya, Tang Yao suka berjudi, namun ia tidak akan pernah menang — bahkan sekali pun. Ini tidak pernah menghalangi dia, dan dia terus menikmatinya. Untungnya, jumlah uang saku yang dimiliki Tang Yao tidak terlalu banyak, jadi kehilangan bukanlah masalah besar. Dengan ajaran saat ini, kepala keluarga tidak akan memberi anak mereka terlalu banyak uang. Ini untuk menghindari anak itu membentuk kebiasaan buruk dan menjadi orang baik tanpa hasil di masa depan. “Sejak kapan kamu menjadi wanita tua yang cerewet? Cepatlah, aku menuju ke bawah. ” "Baiklah," jawab Nie Yan dengan enggan dengan sedikit ketidakberdayaan dalam suaranya. Dia mengerti karakter Tang Yao. Mencegahnya berjudi jelas mustahil. Nie Yan hanya ingin mengingatkannya untuk menunjukkan sedikit pengekangan saat dia berada di sisi Tang Yao. Dalam kehidupan masa lalunya, ada saat ketika dia tidak pergi dengan Tang Yao karena dia jatuh sakit dan merasa tidak enak badan. Dia mendengar bahwa selama waktu itu Tang Yao telah kehilangan lebih dari tiga ribu kredit. Nie Yan mencuci tubuhnya yang berkeringat, berganti pakaian, dan menuju ke bawah. "Bocah itu, mengapa dia masih berlama-lama?" Pada saat Nie Yan turun, Tang Yao sudah tiba di mobilnya dan parkir di sebelah rumah Nie Yan. Nie Yan mendorong emosi yang bergerak di dalam hatinya. Dia sudah lama tidak melihat temannya. Tang Yao saat ini masih sedikit berlemak pendek sederhana yang diingatnya. Dia dan Nie Yan memiliki status yang sama; Tidak sampai tahun ketiga mereka di sekolah menengah bahwa mereka akan tumbuh tinggi. Tang Yao yang tampan dan percaya diri pada waktu itu sama sekali berbeda dari yang saat ini ada di hadapannya. "Saya sedang mandi . ” "Masuk ke dalam mobil! Percepat! Itu tidak mudah menyelinap pergi, dan ketika saya sampai di rumah, orang tua saya akan memanggil saya untuk membantunya dengan pekerjaannya lagi, "desak Tang Yao. Nie Yan membuka pintu mobil dan masuk. “Kami hampir tidak bertemu selama hampir satu tahun, ya? Anda bocah, Anda masih belum tumbuh sama sekali. ” "Kamu juga sama," kata Nie Yan sambil tersenyum. Perasaan akrab dan akrab semacam ini kembali kepadanya. Tang Yao, sudah hampir tiga tahun sejak kita terakhir bertemu … “Aku kehilangan lebih dari seribu di PK Lounge kemarin. Sekarang Tuan Muda ini terbakar amarah. Saya pasti harus mengalahkan beberapa bocah nakal itu sampai mereka hanya memiliki pakaian dalam yang tersisa, ”kata Tang Yao penuh kebencian. Dia menginjak pedal gas, dan mobil melayang melesat maju seolah itu panah. "Orang-orang itu, apakah mereka kelompok Wei Kai?" Kenang Nie Yan. Dia ingat beberapa orang itu adalah pengganggu lingkungan. Ketika dia masih pergi ke sekolah di daerah ini, dia banyak diganggu oleh mereka. “Tepatnya mereka. Kemarin saya ingin melampiaskan kemarahan pada mereka di tempat Anda, ”kata Tang Yao dengan murung. Dalam benak Tang Yao, Nie Yan selalu sangat pengecut dan malu-malu — tipe yang tidak berani mengucapkan sepatah kata pun ketika mereka diganggu. Dengan demikian, Tang Yao selalu sangat protektif terhadapnya. Namun, dia tidak menyadari bahwa Nie Yan yang sekarang bukan lagi orang yang lemah dan takut yang pernah dikenalnya. "Yo! Anda telah tiba Tuan Muda Tang, dan tepat waktu. ”Seorang pemuda berusia delapan belas hingga sembilan belas tahun berjalan maju. Dia berkulit gelap, dengan tubuh kurus. Pakaian di tubuhnya tampak seperti belum dicuci dalam beberapa hari. Begitu dia berbicara, dia mengeluarkan perasaan nakal. Namanya adalah Wei Kai. Karena kulitnya yang gelap – warna yang akan membuatnya tampak tidak terlihat pada malam hari – Nie Yan dan Tang Yao pernah bertanya-tanya apakah ia keturunan Afrika. Diam-diam, mereka mulai hanya menyebutnya sebagai "Orang Hitam. ”Nama panggilan yang akhirnya menyebar nanti. Ini menyebabkan Wei Kai mengarahkan kebenciannya pada Nie Yan dan Tang Yao. Namun, dia masih sedikit takut pada Tang Yao, karena ayah Tang Yao adalah CEO Linzhou Airline — seseorang yang tidak mampu dia sakiti. Akibatnya, dari waktu ke waktu, dia akan mencari Nie Yan sebagai gantinya. Ada juga lima orang yang mengikuti di belakangnya, meskipun mereka sedikit lebih muda. Mereka semua adalah bagian dari kelompoknya. "Oh, bocah nakal ini Nie Yan juga datang. Ck, tsk. Dia masih belum cukup belajar dari pelajaran dari terakhir kali. ” Beberapa anak nakal itu menyeringai jahat ketika mereka menatap Nie Yan. Dalam kehidupan sebelumnya, Nie Yan mendengar bahwa Wei Kai menyebabkan beberapa masalah dan diasingkan ke planet lain. Setelah itu, tidak ada kata lain darinya. Nie Yan saat ini, setelah bereinkarnasi, hampir tidak bisa diganggu untuk menjaga beberapa kenakalan ini dalam benaknya. Mengenai penindasan yang ia terima saat itu, apa artinya baginya untuk menagih utangnya sekarang? "Tidak perlu khawatir, kamu memiliki saya di sini dengan kamu. Mereka tidak akan berani melakukan apa pun padamu. "Tang Yao berbicara dengan suara rendah dan berusaha menghibur Nie Yan. Nie Yan mengangguk. Tang Yao tidak bisa membantu tetapi melihat Nie Yan. Yang terakhir tampak sangat tenang hari ini. Bocah ini Sepertinya dia akhirnya mendapatkan keberanian. "Kurang omong kosong. Apakah Anda membawa uang itu? "Tang Yao berkata kepada Wei Kai. "Jangan khawatir, aku membawa dua ribu. Namun, Anda akan menjadi orang yang membayar biaya masuk kami hari ini. '' Wei Kai mengeluarkan kartu bank, mengocoknya di tangannya. "Hanya seratus atau lebih kredit, dan kamu membuat kerepotan tentang itu. "Tang Yao memiringkan bibirnya dengan jijik saat kata-kata kejam keluar dari mulutnya. “Aku tidak seperti Tuan Muda Tang di sini yang sangat kaya dengan uang. Kelompok kecil rakyat jelata kita tidak punya pilihan selain peduli dengan jumlah uang yang kecil ini, ”Wei Kai menjawab tanpa tersenyum sedikit pun amarah. Dari sudut pandang orang dewasa, Nie Yan memeriksa ulang Wei Kai. Dia menemukan Wei Kai, meskipun hanya berandalan, masih membawa udara kelihaian tentang dirinya. Ada banyak orang seperti Wei Kai, meraba-raba masyarakat, mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman di sepanjang jalan. "Ya Dewa . Bukankah hanya dia yang memiliki orang tua kaya? Apa yang menakjubkan tentang itu? ” Beberapa anak muda di belakang Wei Kai tidak tahan lagi dengan Tang Yao, dan mulai mengutuknya satu demi satu. Tang Yao memperlakukan teman-temannya dengan sangat baik. Alasan kata-katanya sangat tidak baik hari ini kemungkinan besar karena Wei Kai dan kelompoknya sering menggertak Nie Yan. Tang Yao mengabaikan beberapa anak muda itu dan berjalan ke meja. Dia mengambil dua ratus kredit, menempatkannya di meja resepsionis dan kemudian berkata, “Bos, buka kamar pribadi untuk kita. Tidak perlu mengembalikan perubahan. Juga, minta petugas mengirim minuman. Tolong, jangan coke. ” “Kamar nomor enam. Ini kartu untuk kamar Anda. "Manajer itu menyerahkan kartu kepada Tang Yao saat dia berbicara. "Silahkan . Anda yang memimpin, Tuan Muda Tang, ”kata Wei Kai sambil tertawa. Lalu sebentar, dia menyapu pandangannya ke arah Nie Yan. Mata mereka terkunci, saat mereka bertatap muka. Nie Yan balas menatapnya dengan tenang. Wei Kai sedikit terkejut. Hari ini, Nie Yan tampak sangat berbeda dari bagaimana dia di masa lalu. Sebelumnya, setiap kali Nie Yan bertemu dengannya, dia akan takut dan takut. Namun hari ini, dia luar biasa tenang. Kelompok orang pergi ke kamar nomor enam. Nie Yan dan sisanya memasuki ruangan. Interior dipisahkan menjadi dua area. Setiap daerah memiliki lima platform dengan kursi malas dan mesin. Pemain bisa mengadakan pertempuran 1v1, 2v2, 3v3, 4v4, dan 5v5. Jika mereka ingin mengadakan pertarungan tim yang lebih besar, mereka diharuskan menyewa kamar yang lebih besar. Nie Yan dan Tang Yao memasuki satu area dan menutup pintu. Area mereka dan area Wei Kai dipisahkan oleh dinding kaca. "Apa levelnya Wei Kai?" Nie Yan bertanya pada Tang Yao "A Level 3 Berserker," jawab Tang Yao. Kemarin mereka telah bertempur dalam sepuluh pertandingan, dan Tang Yao hanya memenangkan tiga pertandingan. Setelah kembali ke rumah, bawahan ayahnya menemukan buku keterampilan Arcane Blast, serta jubah penyihir tingkat perunggu yang dia tukarkan sendiri. Dia siap untuk mengalahkan Wei Kai dalam beberapa pertandingan, dan benar-benar mengembalikan semua kerugian yang diterimanya kemarin. Sepuluh pertandingan. Hadiah untuk setiap pertandingan adalah dua ratus. "Keterampilan apa yang Anda miliki?" Tanya Nie Yan. Baik atau buruk, Nie Yan telah bermain Conviction selama bertahun-tahun. Bahkan jika Anda belum pernah makan daging babi, Anda masih bisa mengenali babi. Jadi meskipun dia tidak pernah bermain Arcane Mage sebelumnya, dia telah menghadapi mereka berkali-kali dalam pertempuran. Karena itu, dia agak mengerti kemampuan mereka. “Peluru Misil, Bola Api Arcane, Arcane Blaze, Arcane Blast, dan Magic Return. "Tang Yao berbicara tanpa berpikir. Dia tidak pernah menganggap Nie Yan tahu banyak tentang Keinsafan, karena dia sudah berlatih hingga Level 3, sementara Nie Yan hanya Level 2. "Apa kesehatan dan mana kamu?" "Seratus dua puluh kesehatan, dan seratus lima puluh mana," jawab Tang Yao. Peralatannya bisa dianggap layak untuk Level 3 Arcane Mage. "Apakah Wei Kai sudah belajar Provoke?" Tanya Nie Yan. Dia benar-benar bingung. Dengan seperangkat keterampilan ini, bagaimana bisa Tang Yao kalah dalam kehidupan sebelumnya? "Dia mempelajarinya. ” “Tidak heran. "Nie Yan tiba-tiba mengerti. Setelah Berserker belajar Provoke, jika mereka dapat menggunakan skill dengan baik, mereka dapat dengan mudah menekan Arcane Mage. "Ini akan segera dimulai," kata Tang Yao sambil mengenakan helm permainannya. Tang Yao kemungkinan besar akan kalah. Nie Yan berpikir sebentar. Dia akan terus mengamati sebentar lagi. Jika Tang Yao mulai kalah, maka dia akan bergerak. Mereka menggesek kartu identitas mereka di atas mesin dan kemudian memakai helm permainan mereka. Mesin-mesin di sini akan secara otomatis mengekstraksi informasi karakter pemain dari Conviction dan menduplikasinya. Mereka dapat melakukan pertempuran di sini, dan karena datanya hanya salinan, itu tidak ada hubungannya dengan keyakinan. Semua orang memasuki permainan. Nie Yan dan lima anak muda itu ditempatkan di auditorium, dan arena yang dipilih adalah acak. Tampaknya yang pertama adalah di pegunungan. Daerah pegunungan sangat menguntungkan bagi Penyihir Arcane. Tang Yao dan Wei Kai keduanya menyelesaikan persiapan mereka. Mengikuti suara prompt sistem, keduanya memulai pertempuran. "Hei bocah. Lama tidak bertemu . Pencuri Badai Level 2 ya, tidak buruk. Apakah Anda tertarik untuk mengadakan pertandingan? "Orang yang berbicara adalah salah satu anak laki-laki dari kelompok Wei Kai. Nie Yan samar-samar ingat bahwa nama orang ini adalah Shi Feng (Gunung Batu). Pencuri Pertempuran Tingkat 2! Ada perbedaan mendasar antara Battle Thieves dan Tempest Thieves. Battle Thieves memiliki gelar yang lebih elegan yang disebut Knight-Errants. Mereka sama dengan Pencuri Tempest karena mereka berdua memiliki keterampilan Stealth. Namun, ketika bertarung, mereka lebih menekankan pada pertempuran. Biasanya mereka menggunakan senjata seperti belati, dan memiliki kemampuan tempur jarak dekat yang layak. Sifat-sifat profesi semuanya unik. Tidak ada pembagian profesi terkuat dan terlemah. Keyakinan tidak memiliki profesi yang lemah — hanya pemain yang lemah. Nie Yan melirik Shi Feng dan berkata dengan acuh tak acuh, “Kamu masih tidak layak. Memilih profesi yang sangat ahli seperti seorang Kesatria Kesatria, kamu memiliki selera yang buruk. ” "Sepertinya kamu kehilangan pemukulan. Apakah Anda percaya kakek ini tidak akan memberikan Anda begitu kita meninggalkan permainan? "Shi Feng mengutuk padanya. Dia tidak berharap bahwa Nie Yan — yang selalu menjadi orang ya — akan berani berbicara kasar kepadanya. Nie Yan mengangkat alisnya. Mereka hanya beberapa bocah, tidak lebih. Apa yang harus dia takuti? Meskipun kesehatan tubuhnya saat ini sedikit lemah — ke titik di mana kutubnya terlepas dari kondisi puncaknya sebelumnya — dengan mengandalkan keterampilan bertarungnya, ia akan dapat menangani anak-anak yang baru saja mencapai usia dewasa, dan masih memiliki energi tersisa untuk cadangan. Ini bagus untuk apa-apa adalah tingkat yang lebih rendah daripada Wei Kai. Mereka masih sekelompok siswa, namun mereka berpakaian seperti kenakalan dan menuangkan kata-kata kotor keluar dari mulut mereka — menganggap diri mereka sebagai gangster. Mereka sangat kekanak-kanakan. Padahal, pada kenyataannya, menjadi seorang gangster juga merupakan jenis profesi yang membutuhkan keterampilan untuk mencari nafkah. “Jika kamu punya nyali, maka keluarlah dan lawan aku pertandingan berikutnya. ” “Hanya satu yang cocok? Taruhannya untuk taruhan ini terlalu kecil. Saya tidak tertarik, ”kata Nie Yan. Bukankah itu tugas yang terlalu sederhana untuk merawat Shi Feng? “Bocah itu sudah dewasa, ya? Saya punya tiga ratus di sini pada saya. Mari kita bertanding. Bagaimana dengan itu? '' Shi Feng mengeluarkan kartu bank. Nie Yan, bocah ini menjadi lebih dan lebih berani. Jika saya tidak memberinya pelajaran, dia benar-benar tidak akan tahu seberapa tinggi langit dan seberapa tebal bumi ini. “Saya hanya akan memainkan satu pertandingan. Saya punya tujuh ratus. '' Nie Yan mengeluarkan kartu banknya. Dia menggeseknya untuk menunjukkan jumlah uang di kartu itu tujuh ratus kredit. Jumlah uang ini — bagi Nie Yan yang berusia delapan belas tahun — adalah jumlah uang yang luar biasa besar. “Ada di antara kalian yang punya uang? Pinjamkan saya beberapa ratus. '' Shi Feng menoleh dan berbicara dengan teman-teman di sampingnya. "Aku punya dua ratus. ” "Aku punya seratus. ” "Aku juga punya seratus. ” Setelah meminjam empat ratus, Shi Feng akhirnya memiliki tujuh ratus kredit. Dia bergaul dengan Wei Kai, tapi bagaimanapun, dia masih berandalan dan tidak pernah punya banyak uang padanya. Nie Yan melirik pertempuran Tang Yao dan Wei Kai. Di daerah pegunungan, Wei Kai tidak dapat sepenuhnya menampilkan kemampuan Berserkernya, dan pertandingan dimenangkan oleh Tang Yao. Pertandingan berikutnya adalah di dataran terbuka. Tang Yao kemungkinan akan kehilangan yang ini. “Ayo pergi. '' Nie Yan menarik pandangannya, lalu berbicara dengan Shi Feng. Pemandangan kedua orang itu berubah. Segera, mereka muncul di hutan. Vegetasi lebat mengelilingi mereka di mana-mana, dan keduanya dipisahkan sekitar lima puluh meter. "Bocah kecil. Tonton kakek ini mengajari Anda cara menghormati orang lain. ” Nie Yan samar-samar tertawa. Dia bahkan tidak repot-repot memiliki pertarungan verbal dengan Shi Feng. Shi Feng bergumam, berbisik pada dirinya sendiri, "Mengapa Nie Yan mengeluarkan perasaan yang akan membuat orang lain merasa tidak tenang hari ini?" Sistem: Pertandingan dimulai! Nie Yan dan Shi Feng keduanya mengaktifkan Stealth. Stealth tidak sama dengan tembus pandang. Ketika Pencuri menggunakan sembunyi-sembunyi, tubuh mereka akan meleleh ke latar belakang. Jika seseorang tidak mengamati dengan seksama, itu sangat sulit dideteksi. Namun, jika seseorang memusatkan perhatian mereka, mereka masih bisa melihat kekurangan dalam kamuflase. Stealth didasarkan pada kelincahan dan kemampuan Pencuri untuk menyembunyikan diri. Ditemukan akan tergantung pada penglihatan pemain lain. Pada saat ini, keduanya saling mendekati. Langkah kaki Nie Yan ringan dan lembut. Jika dia menemukan dedaunan dan cabang, dia akan hati-hati bergerak di sekitar mereka. Dia tidak meninggalkan jejak kaki di belakang. Setelah bermain Pencuri selama bertahun-tahun, jika dia ditemukan oleh seorang pemula seperti Shi Feng, dia akan kehilangan terlalu banyak wajah. Mata Nie Yan bergerak seperti listrik saat dia memindai area. Di cabang di kejauhan, ada jejak gerakan yang tidak biasa. Memfokuskan pandangannya, dia bisa dengan jelas melihat sosok samar seseorang. Dia dengan cepat menemukan posisi lawannya. Shi Feng bergerak perlahan dan hati-hati, dengan hati-hati memperhatikan sekelilingnya. Namun, baginya, sepertinya Nie Yan telah menghilang sepenuhnya. Shi Feng tidak dapat menemukan jejaknya sama sekali. Kemampuan Pencuri untuk menyembunyikan diri sangat terkait dengan lingkungan mereka. Semakin kompleks latar belakangnya, semakin mudah menemukannya. Namun, jika latar belakangnya sederhana dan hanya memiliki satu warna, bahkan jika musuh dengan cermat mengamati, akan sangat sulit untuk menemukannya. Sama seperti serangga yang menempel pada bambu, mereka akan benar-benar meleleh ke latar belakang. Bahkan jika predator mendekati itu, mereka masih tidak dapat menemukan apa pun. Efektivitas Stealth juga sangat terkait dengan kemampuan pemain untuk mengendalikan gerakan mereka. Saat berada di Stealth, rute dan langkah yang Anda tempuh adalah hal-hal yang membutuhkan perhatian sangat hati-hati. Untuk Nie Yan, dia pada dasarnya tidak perlu menyembunyikan dirinya sedemikian teliti. Gerakan menyembunyikan dirinya telah menjadi naluriah baginya. Gerakan-gerakan ini telah lama menembus inti dirinya, hingga ke sumsum tulang. Setelah sepuluh tahun bermain sebagai Pencuri, bahkan seorang idiot masih akan berubah menjadi seorang ahli, apalagi Nie Yan — yang kemampuan pemahamannya sudah bisa dianggap cukup baik. DILIHAT DALAM CAHAYA BARU Bab 15 – Dilihat dalam Cahaya Baru Shi Feng menyentuh sisi Nie Yan. Meskipun, tanpa diduga, dia telah bergerak melewati tanpa memperhatikan lawannya. "Sialan …. Di mana bocah itu? ”Shi Feng bergumam pelan. Dia belum menyadari bahwa dia sudah terbuka. Nie Yan membuntuti Shi Feng, mengikutinya dengan cermat. Tatapannya terfokus pada area di sekitar punggung Shi Feng. Belati di tangan kanan Nie Yan menyerupai kilat karena dengan cepat menusuk ke belakang korbannya yang tidak curiga. Pada saat Shi Feng merasa ada sesuatu yang tidak beres, sudah terlambat. Belati Nie Yan sudah tiba, menembus jauh ke belakang Shi Feng. 「Tautkan! Splurt! 」Belati itu dengan mudah menusuknya, menghasilkan tiga puluh satu poin kerusakan pada Shi Feng. Jelas, status pertahanannya tidak terlalu tinggi. Satu diserang, dan yang lainnya diserang. Segera, efek Stealth untuk kedua pemain menghilang secara bersamaan. Setelah akhirnya menemukan penyerangnya, Shi Feng berbalik dan membalas. Dia menebas Nie Yan, menyapu belati di busur lebar. Belati Shi Feng tampaknya hanya sedikit pendek. Namun, ketiadaan panjang bilah itu menandakan miss saat belatinya dilewati Nie Yan. "Vital Strike!" Belati Nie Yan tampaknya membawa kilatan dingin saat melesat di udara, menggorok tenggorokan Shi Feng. Sistem: Vital Strike berhasil! Serang + 5%, menghasilkan kerusakan tambahan yang diberikan! Dalam satu gerakan, tujuh puluh sembilan kesehatan yang tersisa Shi Feng langsung habis. Matanya dipenuhi dengan rasa tidak percaya, seolah-olah dia melihat hantu. 「Gedebuk. 」Tubuhnya jatuh ke lantai hutan. Seluruh rangkaian peristiwa telah terjadi hanya dalam beberapa detik. Nie Yan masih memiliki kesehatan penuh yang tersisa. Sudut mulut Nie Yan sedikit melengkung menjadi seringai. Dia tidak diharuskan untuk menunjukkan kemampuannya yang paling rendah sekalipun untuk berurusan dengan Pemula Kesatria Level 2 pemula ini. Keduanya dikembalikan ke auditorium pada saat bersamaan. "Shi Feng, apa yang terjadi?" "Hanya bagaimana … bagaimana itu berakhir begitu cepat …?" Beberapa pemuda mengelilingi Shi Feng dan mulai mengajukan pertanyaan. Di layar video, mereka melihat sosok Nie Yan dan Shi Feng dalam pertempuran setelah mereka keluar dari sembunyi-sembunyi. Pada saat yang singkat itu, mereka pada dasarnya tidak dapat melihat dengan jelas, atau memahami, apa yang telah terjadi menjelang akhir. Dalam sekejap mata – hanya dalam beberapa pertukaran – Shi Feng sudah runtuh di tanah. “Gerakannya sangat cepat. '' Shi Feng mengingat pertukaran mereka sebelumnya. Nie Yan hanya membuat beberapa gerakan sederhana, namun kecepatannya benar-benar tidak bisa dipercaya. Selain itu, Nie Yan telah membunuhnya dalam dua serangan; salah satu dari mereka memukulnya di bagian vital. Di dalam permainan, sistem akan membantu pergerakan pemain saat mengeksekusi keterampilan. Namun, ketika datang ke reaksi kecepatan, penilaian, rasa serangan dan sebagainya, semuanya mengandalkan kemampuan pemain sendiri. Shi Feng mengalami kesulitan membayangkan apa hasil yang akan terjadi jika mereka berdua bertarung di kehidupan nyata, terutama jika Nie Yan memiliki pisau di tangannya. Saat dia menatap sosok orang itu, Shi Feng ingat setiap kali mereka pergi mencari kesusahan. Dia ingat bagaimana orang itu akan selalu menyeringai dan menanggung penghinaan mereka tanpa sedikit pun perlawanan. Jika orang yang sama dari masa lalu selalu berpura-pura … sekarang itu akan benar-benar terlalu menakutkan. Saat dia memikirkan kembali belati di tangan Nie Yan, Shi Feng merasakan hawa dingin yang mengalir di hatinya. "Aku tersesat . '' Pada saat itu, Shi Feng tidak berani membantah kekalahannya. Fakta-fakta disusun tepat di depan mata semua orang. Selain itu, ia juga kalah keberanian Nie Yan selama pertarungan. Tidak perlu takut pada mereka yang bertindak sombong dan tirani. Pada kenyataannya, penampilan keras mereka hanyalah penyamaran yang buruk; Shi Feng adalah salah satunya. Yang paling ditakuti orang-orang seperti dia adalah mereka yang memiliki kekuatan besar, dan bisa bertahan tanpa pernah goyah. Shi Feng mulai memikirkan Penatua Keempat Lei yang membuka sebuah restoran di Desa Gatehead. Dia benar-benar orang yang ramah dan lembut. Di masa lalu, daerah ini dulunya memiliki banyak gangster yang sering pergi ke tempatnya. Di sana mereka akan mengambil makanan secara bebas dan merusak restoran. Penatua Keempat Lei selalu membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan, menanggung penghinaan mereka. Ada suatu masa ketika Shi Feng pergi ke restorannya untuk memuat makanan dengan sepuluh orang atau lebih. Secara kebetulan, mereka akhirnya bertemu putrinya yang baru saja kembali. Penatua Keempat Lei telah tumbuh menjadi bungkuk, tetapi anak perempuannya itu sebenarnya cukup hidup dan cantik. Beberapa dari mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak mendapatkan putrinya. Penatua Lei memohon belas kasihan, tetapi para gangster itu tidak akan memilikinya. Mereka mulai merobek pakaian putrinya yang membuat Lei Elder Keempat marah. Dia mengambil pisau dapur dan memotong tiga gangster itu — mereka langsung terbunuh di tempat. Kemudian, dengan pisaunya, dia memotong lengan Boss Yin. Seluruh tubuh Keempat Penatua Lei berlumuran darah, namun dia tetap tenang dan tidak terganggu, memungkinkan pelanggan di samping untuk memanggil polisi. Pada saat itu, Shi Feng sangat ketakutan sehingga dia hampir buang air kecil di celananya. Karena Penatua Keempat Lei bertindak membela diri, dia hanya dihukum setengah tahun penjara. Setelah itu, tidak ada yang berani membuat masalah di restorannya, atau menumpangkan tangan pada putrinya lagi. Orang yang bisa bertahan dalam diam adalah yang paling menakutkan. Itu karena jika mereka memotret suatu hari, mereka akan mengungkapkan keganasan penuh mereka — menjadi lebih ganas daripada orang lain. Mengingat adegan hari itu, Shi Feng merasa tubuhnya berkeringat dingin. Setelah mengalami sesuatu seperti itu, Shi Feng jujur ​​dan benar berperilaku untuk sementara waktu. Namun, setelah itu, ia mulai mengikuti kelompok Wei Kai. Setelah mengalami pertarungan hari ini, seluruh tubuhnya mulai bergetar. Jika mereka menggertak Nie Yan dan mendorongnya ke tepi jurang suatu hari, akankah dia mematahkan seperti Penatua Keempat Lei? Akankah Nie Yan mengambil pisau dan tanpa ampun memotong leher mereka seperti apa yang baru saja dialami Shi Feng dalam permainan? "Di masa depan, akan lebih baik jika kita tidak memprovokasi orang itu lagi. Dia benar-benar sulit dihadapi. '' Shi Feng memperingatkan beberapa orang di sampingnya dengan cara yang khidmat. “Shi Feng! Anda tidak bisa takut setelah kalah hanya satu pertandingan, bukan? Mulai sekarang, kita tidak saling kenal. ”Salah satu pemuda di sisinya mengutuknya. Yang lain di sekitarnya juga mengungkapkan ekspresi jijik. "Aku masih akan membayar kalian kembali uang. Adapun kerugiannya, itu bukan masalah besar, ”kata Shi Feng. Dia tiba-tiba mengerti. Meskipun orang-orang seperti mereka merasa senang ketika mereka sering menggertak orang lain, akan datang suatu hari ketika semua hutang mereka dilunasi — seperti halnya dengan Penatua Lei Keempat. Pada hari itu, Bos Yin kehilangan kedua lengannya dan posisinya sebagai bos. Sekarang dia hanya bisa mencari nafkah dengan memulung sampah. Adapun tiga gangster yang ditebang, mereka bahkan tidak bisa mencari nafkah karena mereka telah kehilangan nyawa mereka. "Keluar . Enyahlah ” Nie Yan tidak lagi memperhatikan Shi Feng dan yang lainnya. Dia terus melihat tempat pertandingan. Persaingan antara Tang Yao dan Wei Kai masih di babak kedua. Karena berada di lapangan terbuka kali ini, Tang Yao telah kehilangan keuntungannya. Akhirnya, dia terbunuh oleh tebasan Wei Kai yang memegang pedangnya. Satu demi satu, pertandingan berlanjut. Setelah mereka menyelesaikan sepuluh pertandingan, Tang Yao menang dua, sedangkan Wei Kai menang delapan. Akibatnya, Tang Yao kehilangan seribu dua ratus kredit. "Sialan, Wei Kai bajingan itu juga belajar keterampilan baru. Kali ini adalah keterampilan Berserker, Resist Magic Aura. Pemukulan ini benar-benar menyedihkan, ”kata Tang Yao sambil marah. Resist Magic Aura meningkatkan resistensi sihir pemain. Berserker dengan keterampilan ini praktis adalah kutukan dari semua Penyihir. “Kau tahu, Resist Magic Aura hanya mengurangi sedikit kerusakanmu. Saat Anda menggunakan PvP sebagai Arcane Mage, gerakan Anda harus cepat. Kedua, Anda harus menjaga pengeluaran mana Anda pada tingkat yang stabil. Ketiga, reaksi Anda harus cepat juga. Terlebih lagi, ketika Anda bertarung, waktu Anda untuk casting mantra tidak benar, ”saran Nie Yan. Dari segi kekuatan, Arcane Mage Tang Yao lebih kuat dari Berserker Wei Kai. Alasan Tang Yao kalah bukan karena Wei Kai lebih terampil darinya. Sebaliknya, itu karena Arcane Mages memiliki topi keterampilan yang lebih tinggi. Arcane Mage yang terampil dapat dengan mudah menembak Berserker dengan tingkat yang sama hingga mati. Namun, Arcane Mage yang tidak terampil akan dengan mudah diretas sampai mati oleh Berserker dari tingkat yang sama. Profesi sederhana seperti Berserkers, yang merupakan peretasan tank dan slashers, tidak memerlukan banyak keterampilan untuk bermain sama sekali. “Kamu bocah! Saya tidak berharap bahwa Anda tahu begitu banyak, "kata Tang Yao dengan kagum. Dalam retrospeksi, kata-kata Nie Yan cukup masuk akal. Setelah mendorong membuka pintu, Wei Kai dan kelompoknya datang dari sisi lain dengan Shi Feng mengikuti dari belakang. Yang terakhir melirik Nie Yan dengan ekspresi yang agak rumit di wajahnya. "Tuan Muda Tang, tampaknya saudaramu di sini semakin besar. Anehnya, dia bahkan mengalahkan Shi Feng. "Mata Wei Kai yang sempit dan ramping melirik ke arah Nie Yan. Di masa lalu, Nie Yan selalu menjadi tinju yang berperilaku baik. Memang, muncul Nie Yan hari ini dan Nie Yan dari masa lalu tidak sama. Baik itu ekspresi atau temperamen, ada perubahan yang cukup besar di keduanya. Wei Kai mengalihkan video di layar ke waktu ketika Nie Yan mengalahkan Shi Feng dalam pertarungan mereka. Setelah itu, dia memainkannya kembali dengan gerakan lambat. Seluruh pertarungan telah berakhir dalam tiga detik. Melihat layar, gerakan dan serangan Nie Yan tanpa cacat dan kedap air. Setelah menonton video, Tang Yao menatap Nie Yan dengan tatapan heran, seolah-olah apa yang telah dilihatnya tidak dapat dibayangkan. Saudaranya ini, kapan dia menjadi begitu berani dan kuat? "Hanya beberapa saat yang lalu, Anda memiliki kecocokan dengan Shi Feng?" Tang Yao agak linglung. Dia masih tidak berani percaya bahwa orang dalam video itu adalah Nie Yan. "Hanya pertandingan kecil. Dia terlalu lemah, ”jawab Nie Yan dengan sikap tak terkendali, tidak memedulikan orang-orang di dekatnya sama sekali. Wei Kai melirik penuh arti, menandakan pemuda yang mengenakan kemeja pola bunga di sebelahnya. Tindakan ini menarik perhatian Nie Yan. Orang itu disebut Li Yang — tangan kanan Wei Kai. "Anak nakal! Jangan terlalu sombong. Apakah Anda percaya saya tidak bisa mengalahkan Anda? "Li Yang mendekati Nie Yan, dan datang padanya dengan tendangan. Usianya satu atau dua tahun lebih muda dari Nie Yan, namun dia lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan. Nie Yan sedikit pendek. Dikombinasikan dengan nutrisi yang buruk, ia juga sangat kurus dan lemah. Nie Yan dengan dingin tersenyum, lalu menghindari serangan Li Yang. Dia menindaklanjuti dengan menendang kaki pendukung Li Yang, menginjak sendi lutut. Dia bukan lagi pemuda yang sama yang telah begitu mudah diintimidasi di masa lalu. Kekuatannya saat ini tidak sedikit lebih rendah dari seorang seniman bela diri campuran kelas dua. Hanya saja tubuhnya masih lemah. Namun, ketika berurusan dengan gangster wannabe seperti mereka, dia punya lebih dari cukup energi untuk disisihkan. "Ahhhh!" Li Yang menjerit sengsara saat dia kembali, tersandung, dan kemudian jatuh. Jeritan darah yang mengental membuat hati semua orang yang menyaksikan adegan ini menggigil. Dengan unjuk kekuatan ini, Shi Feng teringat akan Penatua Keempat Lei. Pada saat itu, dia merasa menjadi murid yang taat di sekolah akan menjadi ide yang sangat bagus dan beruntung. "Kamu sedang mencari mati!" Beberapa pemuda di belakang Wei Kai ingin menyerbu dan memberikan Nie Yan pemukulan yang menyakitkan dan menyeluruh. Namun, mereka semua ditarik kembali oleh Wei Kai. Tindakan Li Yang sebelumnya hanyalah cara Wei Kai menyelidiki Nie Yan. Meskipun diakui, dia juga sangat terkejut. Tanpa diduga, Nie Yan yang pemalu dan pengecut — yang selalu menyeringai dan menanggung penghinaan — sebenarnya memiliki keterampilan seperti ini. Dari pengalamannya, dia hanya melihat gerakan cepat semacam itu dari beberapa orang. Seni bela diri bukanlah sesuatu yang bisa dengan cepat ditingkatkan hanya dalam dua atau tiga hari. Itu membutuhkan pelatihan jangka panjang. Hanya dengan demikian seseorang akan bisa perlahan membaik. Mungkinkah…? Pengecut Nie Yan di masa lalu, apakah itu semua hanya akting? Mengapa tidak peduli bagaimana aku memandangnya, Nie Yan tampak sangat berbeda hari ini? Mengabaikan Li Yang yang masih memegangi kakinya dan berteriak di lantai, Wei Kai berjalan ke Nie Yan dan berkata, "Tuan Muda Nie, apakah Anda tertarik bermain korek api?" Dia bahkan mengubah cara dia berbicara dengan Nie Yan. Setelah melewati masyarakat begitu lama, dia tahu orang macam apa yang bisa dia sentuh, dan yang tidak bisa dia sentuh. Nie Yan baru saja mengungkapkan keahliannya, dan benar-benar membuat Wei Kai kagum. “Tidak ada salahnya bermain satu atau dua pertandingan. Namun, saya tidak akan bermain jika taruhannya terlalu kecil. "Dalam hati, Nie Yan merasa sangat terkejut – Wei Kai ini adalah karakter yang cukup. Atasan kriminal dari dunia bawah bertindak baik secara penampilan, tetapi melakukan perbuatan jahat secara rahasia. Selain itu, banyak dari mereka akan mengungkapkan bakat menakjubkan ketika mereka berada di usia yang sangat muda, membina mereka saat mereka tumbuh dewasa. Dalam kehidupan masa lalunya, dia mendengar Wei Kai menjadi sangat dihormati. Hanya sampai kemudian ketika dia menginvasi wilayah organisasi kriminal lain dan menyebabkan peristiwa besar, dia menghilang tanpa jejak. “Seribu pertandingan. Saya punya tiga ribu, "kata Wei Kai. Dia telah mengeluarkan semua uang yang dimilikinya. "Itu terlalu tidak adil. Seorang Berserker Level 3 menghadapi Pencuri Badai Tingkat 2, bukankah kamu pikir kamu terlalu banyak menggertak orang? "Kata Tang Yao dengan cara yang tidak puas. Ada perbedaan level, dan itu adalah Prajurit lapis baja berat versus Pencuri lapis baja ringan. Jelas sisi mana yang lebih unggul. “—Tiga ribu pertandingan. '' Nie Yan menyela keluhan Tang Yao, dan berbicara dengan Wei Kai. "Baik . Aku akan menemanimu, "jawab Wei Kai. Dia tidak percaya Pencuri Badai Tingkat 2 mampu membalikkan meja padanya. "Nie Yan, apakah kamu sudah gila !?" Kata Tang Yao dengan cemas. Pencuri Badai Tingkat 2 versus Berserker Tingkat 3; kecuali dia adalah ahli yang menantang Surga yang bisa melewati celah level, dia pasti akan kehilangan pertandingan ini. “Aku hanya punya seribu empat ratus untukku. Pinjami saya enam belas ratus, ”kata Nie Yan kepada Tang Yao sambil tertawa. “Sialan. Jika Anda kalah, itu apa pun. Anda masih harus membayar saya kembali! "Tang Yao bergumam dengan marah. "Aku akan membayarmu," kata Nie Yan. Meskipun lelaki tua Tang Yao kaya raya, dia masih belum mendapatkan banyak uang saku. Belum lagi, semua itu akan diperoleh melalui bekerja untuk ayahnya. Di era ini, semua elit kelas atas akan mendidik anak-anak mereka dengan cara ini, membuat mereka mencari nafkah sendiri dan menjadi mandiri. "Omong kosong. Jika Anda ingin kalah, kalah saja. Siapa yang ingin Anda membayar mereka kembali? "Tang Yao menggesekkan kartunya, mentransfer lebih dari seribu enam ratus kredit kepada Nie Yan. "Terima kasih," kata Nie Yan. Tang Yao adalah tipe orang yang memiliki lidah tajam, tetapi hati yang lembut. Jika Nie Yan kalah, Tang Yao pasti tidak akan membiarkan Nie Yan membayarnya kembali seribu enam ratus kredit itu. Dalam kehidupan masa lalunya, Nie Yan telah menerima terlalu banyak rahmat Tang Yao. Dia tidak pernah berpikir untuk membiarkan Nie Yan membayarnya kembali. Seperti inilah seharusnya seorang saudara sejati. "Tarik Li Yang, kita pergi," kata Wei Kai. Sekelompok orang kembali ke daerah masing-masing di ruangan itu. "Nie Yan, bocah itu! Bagaimana dia tiba-tiba bisa berkelahi? Sialan … sakit sekali. Lain kali saya pasti akan menemukan beberapa orang untuk memukul bocah menyebalkan itu sampai mati. '' Li Yang berjalan ke sofa dan menggulung kaki celananya. Area besar di lututnya memar sepenuhnya hitam dan biru. “Jangan buang nafasmu, dia bahkan tidak menggunakan kekuatan apa pun. Kalau tidak, kaki Anda akan patah. Aku ingin kalian mengingat ini mulai sekarang. Tidak ada yang memprovokasi Nie Yan. Jika Anda bertemu dengannya, saya ingin Anda bersembunyi jauh. Jika salah satu dari kalian membuat masalah bagi saya, jangan salahkan saya karena tidak sopan! "Wei Kai memperingatkan. Sekolah mereka mengajarkan Taekwondo, tinju, dan seni bela diri campuran sebagai program akademik. Dia bisa melihat bahwa gerakan yang dilakukan Nie Yan adalah standar dalam seni bela diri campuran. Namun, dibandingkan dengan seni bela diri campuran yang diajarkan di sekolah, gerakannya jauh lebih ganas dan keras. Ketika dia mengambil tindakan, setiap gerakan akan menyebabkan kerusakan serius, atau bahkan fatal. Orang macam apa bocah ini? Dia mulai mengingat cara pengecut dan takut-takut Nie Yan sebelumnya. Pikiran orang itu sangat dalam dan misterius. Dia sebenarnya bisa menyembunyikan dirinya selama ini. Wei Kai merasakan gelombang rasa dingin mengalir di hatinya. "Bagaimana kita bisa membiarkannya berlalu?" Li Yang dengan enggan bertanya. "Begitu…? Bagaimana dengan itu? Anda bertanya pada diri sendiri, apakah Anda mampu mengalahkannya? Di masa depan, pergi dengan benar ke kelas Taekwondo Anda dan Anda tidak akan kehilangan begitu menyedihkan! "Jawab Wei Kai. “Bos, ini akan segera dimulai. "Seorang pemuda di sebelahnya berbicara. Wei Kai memakai helmnya. Di daerah yang berdekatan, Tang Yao mengamati Nie Yan dengan hati-hati. Setelah beberapa lama, dia akhirnya berbicara. “Beberapa saat yang lalu, aku bodoh dan lupa bertanya. Brat, kamu sebenarnya tidak terlalu buruk! Kapan kamu menjadi begitu kuat !? Satu langkah, dan kamu membuat Li Yang terjatuh dan berguling-guling di lantai! ” “Aku sudah berlatih di rumah untuk sementara waktu sekarang. Ini lebih dari cukup untuk berurusan dengan mereka, ”kata Nie Yan. Kekuatan tubuhnya benar-benar terlalu lemah, jika tidak kekuatannya tidak akan sebesar ini. Li Yang dan mereka yang baik untuk hal-hal tak berguna seperti seikat bantal. Hanya Wei Kai yang akan sedikit sulit untuk ditangani. Meski begitu, dia masih belum banyak lawan. "Kamu bocah. Anda tentu membuat saya memandang Anda dengan cara baru. Saya masih curiga apakah Anda sama dengan Nie Yan yang saya kenal sejak kecil! ”Kata Tang Yao dengan suasana hati yang baik. "Tidak masalah seberapa banyak aku berubah, kau masih akan menjadi saudaraku!" Nie Yan menyatakan. Dalam kehidupan masa lalunya, bahkan ketika ia berada di titik terendah dalam hidupnya, Tang Yao masih memandangnya sebagai saudara. Sama seperti jarak akan menentukan stamina kuda, waktu pada akhirnya akan mengungkapkan sifat sejati seseorang. "Demi kata-kata itu, mari kita bersulang ketika kita kembali!" Kata Tang Yao sambil menepuk bahu Nie Yan. “Wei Kai sudah menunggu di dalam game. ” "Kamu yakin bisa menang?" Tan Yao dengan cemas bertanya. “Jangan khawatir, lihat dan lihat saja. Apa? Mungkinkah Anda tidak percaya saya akan membayar Anda itu seribu enam ratus …? ”Nie Yan tertawa, bercanda dengan Tang Yao. "Pergilah berpasangan. Adapun uang, hal semacam itu tidak berguna bagi saya. Bahkan jika Anda kalah, itu tidak seperti akhir dari dunia. Selain itu, Anda tidak mendapatkan banyak uang saku setiap bulan … Jika Anda akhirnya kehilangan seribu empat ratus itu, Anda akan makan nasi selama sebulan penuh, bukankah begitu? " [TN: Nasi rebus seperti bubur beras. Masukkan nasi yang sudah dimasak ke dalam air panas dan makan seperti itu. Cukup hambar dan hambar. Biasanya dimakan oleh orang miskin. ] "Perhatikan saat aku mempermainkan Berserker Level 3 ini sampai mati!" Kata Nie Yan dengan senyum percaya diri. "Orang baik! Kamu semakin liar dan semakin liar! ”Tang Yao tertawa. Dua orang memakai helm mereka dan memasuki permainan. Ketika dia muncul kembali, panggung Nie Yan muncul di adalah padang rumput terbuka. Ada bidang rumput hijau subur yang tak berujung. Semak padat itu tinggi — kira-kira mencapai lutut seseorang. Keberuntungan saya sangat buruk. Ternyata ini panggung padang rumput, pikir Nie Yan sambil merajut alisnya. Namun, bahkan jika dia berada di lapangan terbuka, dia masih memiliki taktiknya. Latar belakang hijau padang rumput berfungsi sebagai kamuflase yang baik bagi Pencuri untuk menyembunyikan diri. Satu-satunya kelemahan adalah bahwa semak-semak yang lebat di tanah mungkin bisa mengekspos keberadaannya. “Panggung saat ini adalah bidang terbuka. Jika Anda pikir itu tidak adil, kita bisa beralih panggung, "saran Wei Kai. Akan ada banyak keberuntungan yang terlibat jika mereka hanya memainkan pertandingan tunggal. Medan yang berbeda sesuai dengan profesi yang berbeda, dan padang rumput yang terbuka cocok dengan profesi Prajurit seperti Berserker — yang dapat dengan bebas menyerbu mengayunkan pedang mereka. Meskipun Wei Kai adalah seorang pengganggu, dia secara mengejutkan bertindak dengan murah hati. “Tidak masalah. Jika ini adalah bidang terbuka, itu adalah bidang terbuka. '' Nie Yan meraih belati dan memasuki Stealth. Pendapatnya tentang Wei Kai telah berubah sedikit. Angin sepoi-sepoi bertiup melewati padang rumput yang terbuka, menyebabkan rumput-rumput tinggi membengkok ke arahnya. Secara bertahap, siluet Nie Yan memudar ke latar belakang. Dia memiliki kemampuan sebanyak ini? Wei Kai merasakan jantungnya tenggelam; ekspresinya menjadi khusyuk. Dia mengamati dengan cermat, namun dia tidak bisa menemukan jejak keberadaan Nie Yan. Dia bahkan tidak bisa menemukan keanehan dengan rumput tebal di tanah. Nie Yan memang memiliki beberapa keterampilan. Wei Kai menggenggam pedang besarnya, dan perlahan-lahan mendekat. Semakin pendek jarak di antara mereka, semakin mudah baginya untuk menemukan lawannya. Nie Yan berjalan bersama angin, terus berubah arah sesuai dengan itu. Bahkan jika dia menginjak rumput, itu akan miring ke arah yang sama angin bertiup PERTAMA DIA SOMBONG!SETELAH ITU DIA HORMAT Bab 16 – PERTAMA DIA SOMBONG!SETELAH ITU DIA HORMAT Melihat Wei Kai mendekat, Nie Yan perlahan-lahan membuat jalan di sekitar lawannya. Dia terus bergerak perlahan sampai dia berada di belakang Wei Kai, dan di luar jangkauan penglihatannya. Kemudian dia mulai merangkak ke arah punggung lawannya yang tidak curiga, mengambil langkah panjang dan tidak tergesa-gesa saat dia melakukannya. Wei Kai menoleh, mengamati area di setiap arah. Dia tidak dapat menemukan sesuatu yang aneh. Yang bisa dilihatnya hanyalah padang rumput tak berujung yang bergulir dengan lembut di bawah pengaruh angin, seperti ombak mengikuti angin laut. Di mana dia berada? Ini adalah pertama kalinya Wei Kai bertemu Pencuri Tempest yang benar-benar mampu mempekerjakan Stealth sedemikian rupa. Masuk akal untuk mengatakan bahwa rumput tebal di bawah kaki Wei Kai adalah tempat yang mudah bagi Pencuri untuk membuka diri. Namun, Nie Yan tampaknya tidak memiliki masalah bersembunyi di lapangan dengan bantuan Stealth. Wei Kai dengan hati-hati bergerak maju dengan pedang besarnya yang dipegang erat di dadanya, membuatnya siap. Dia percaya bahwa Nie Yan pasti bergerak dengan kecepatan yang sangat lambat, agar tetap tidak terpapar saat bersembunyi. Oleh karena itu, ia sampai pada kesimpulan bahwa Nie Yan kemungkinan agak jauh di depannya. Namun, ia tetap tidak menyadari fakta bahwa Nie Yan sudah ada di belakangnya, setelah berputar-putar sejak dulu. Sekitar tiga meter berada di antara punggung Nie Yan dan Wei Kai. Tiba-tiba, embusan angin besar berhembus, mengubah angin sepoi-sepoi menjadi angin ribut. Saat angin mulai melolong — seolah-olah dia telah menunggu saat yang tepat itu — Nie Yan tiba-tiba berlari ke depan. Belati dalam genggamannya menyerupai kilat saat meletus, melaju ke punggung Wei Kai. Suara langkah kaki yang cepat dan angin menderu berpadu bersama, menciptakan kekacauan suara yang sulit untuk dibedakan oleh seseorang. Embusan angin juga sangat mengurangi kesadaran Wei Kai. Membunuh! Belati Nie Yan menembus punggung targetnya, memberikan tiga puluh lima poin kerusakan. Wei Kai tidak pernah berharap lawannya tiba-tiba muncul di belakangnya. Dia mengangkat pedang besar itu dan menyapu ke luar dengan tebasan lebar. Nie Yan menghindari serangan itu, dan kemudian berhasil memposisikan dirinya di belakang Wei Kai sekali lagi. Dia berlari maju, belati di tangan, dan menikam Wei Kai di belakang untuk kedua kalinya — menyebabkannya kehilangan dua puluh tiga kesehatan. Dari seratus enam puluh kesehatan yang ia miliki, hanya sedikit lebih dari seratus poin yang tersisa. Sejak awal pertarungan, Wei Kai benar-benar tidak mampu mengikuti kecepatan Nie Yan. Kecepatan A Berserker bergantung pada kemampuan mereka untuk maju dengan cepat. Kecepatan Pencuri di sisi lain, sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk membuat gerakan lincah dan gesit. Jenis gerakan yang dikhususkan oleh dua profesi jelas berbeda. Gerakan Nie Yan cepat dan gesit, saat ia menempel dekat ke punggung Wei Kai. Dalam periode singkat ini, dia sudah berhasil menyerang Wei Kai dua kali berturut-turut. Bajingan ini gesit seperti monyet. Wei Kai tiba-tiba meraung marah. Sebuah aura mulai memancar dari pedang besarnya saat dia mulai berputar-putar. "Slash angin puyuh!" Wei Kai menyerupai gasing saat dia berputar dengan pedang besarnya. Saat Wei Kai mengayunkan pedangnya, Nie Yan menilai dari gerakan yang Wei Kai hendak mengeksekusi Whirlwind Slash, jadi dia dengan cepat mundur kembali sekitar dua meter. Greatsword melepaskan embusan angin kencang saat melesat di udara. Tebasan nyaris menyerempet melewati Nie Yan, hampir langsung memukulnya. −9 Nilai kerusakan melayang di atas kepalanya. Meskipun hilang, Whirlwind Slash masih berhasil menyebabkan beberapa kerusakan pada Nie Yan. Serangan Wei Kai akhirnya berakhir setelah dia memutar tiga kali rotasi. Dia meraih napas saat berpikir, Bajingan ini sangat cepat menghindar! Dalam sepersekian detik Wei Kai berhenti berputar dengan pedangnya, Nie Yan berlari ke depan; belati di tangannya mengarah lurus ke tenggorokan Wei Kai — Vital Strike! Tang Yao, Li Yang, dan yang lainnya menonton pertandingan dari luar dengan ekspresi kaget. Gerakan Nie Yan hanyalah kesempurnaan seni. Dari saat dia lolos dari Wei Kai's Whirlwind Slash, hingga ketika dia menyerang dengan Vital Strike saat berakhir, waktu dari setiap tindakannya berada di puncak kesempurnaan. Setelah menonton Nie Yan, mereka sekarang mengerti apa arti PvPing sebenarnya. Itu bukan dua sisi yang saling bertentangan hanya saling menebas pedang, tetapi pertempuran kesadaran dan keterampilan. Dalam benaknya, Tang Yao tiba-tiba memiliki kilasan wawasan. Dia akhirnya mengerti mengapa Nie Yan mengatakan bahwa waktunya ketika casting mantra tidak benar. Tergantung pada apakah pemain mengambil tindakan pada waktu yang tepat, dua hasil yang sama sekali berbeda dapat muncul. Dia tidak pernah menyangka bahwa Nie Yan, yang telah dikenal dan dibesarkannya sejak mereka memakai popok, secara tak terduga akan memiliki keterampilan seperti ini. Jumlah keterampilan yang ditampilkan Nie Yan benar-benar memperluas cakrawala Tang Yao. Ada pepatah, "Ketika seorang sarjana menghilang selama tiga hari, pandanglah mereka dengan lebih jelas," kata-kata ini adalah yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakan Tang Yao saat ini. Belati Nie Yan menebas tenggorokan Wei Kai! −95 Vital Strike masih sekuat sebelumnya. Hanya dalam beberapa serangan, Wei Kai telah berkurang menjadi hanya tujuh kesehatan. Sementara itu, kesehatan Nie Yan masih mendekati penuh. Jelas pihak mana yang telah menetapkan keunggulan mereka. Baru pada saat itulah Wei Kai menyadari kesenjangan besar di antara mereka berdua. "Flame Slash!" Wei Kai tidak mau dikalahkan dalam masalah seperti itu. Sama seperti Vital Strike Nie Yan berakhir, ia mengambil keuntungan dari pembukaan yang terungkap, dan mengayunkan pedangnya ke arah Nie Yan. Pedang besar dalam genggamannya diselimuti oleh amukan api, saat itu membelah ke bawah dalam cahaya yang menyala-nyala Panas mengamuk menyerang wajahnya saat itu semakin dekat. Kekuatan Flame Slash milik Berserker sangat besar. Nie Yan sangat memahami ini sebagai hasil dari pengalaman tangan pertama. Dia dengan tegas menarik kembali, dalam upaya menghindari pisau yang tajam. Meskipun demikian, Wei Kai masih berhasil mengejar Nie Yan setelah tiba-tiba mempercepat langkahnya, dan Slash Api menghantamnya tepat di tengah-tengah dadanya. −56 Nilai kerusakan tunggal muncul, mengambang di atas kepala Nie Yan. Nie Yan mengalami Slash Api. Tepat ketika dia akhirnya berhasil mendapatkan kembali pijakannya, Wei Kai mengaktifkan skill Charge-nya. Dia mendekat dengan pedangnya terangkat, menyerupai tank saat dia datang menabrak ke depan. "Linear Slash!" Aura pedang membentuk garis lurus saat ia menebas. Nie Yan hanya memiliki setengah dari kesehatannya yang tersisa, dan keterampilan Mengisi memiliki durasi setrum singkat. Jika dia bertabrakan dengan Wei Kai, kekuatan ledakan Berserker akan lebih dari cukup untuk membunuh Nie Yan dalam hitungan detik. Jadi Nie Yan cepat memutuskan untuk mundur dan mundur lagi. Pada saat itu, pedang Wei Kai menyapu wajah Nie Yan hanya beberapa inci. Murid Nie Yan dengan keras dikontrak saat dia menghindar dalam upaya menghindari serangan itu. Dia kemudian mengalihkan belati di tangannya ke pegangan terbalik, dan menebas leher Wei Kai. Pada akhirnya, dia masih dikirim terbang kembali setelah diserang oleh tuduhan Wei Kai. Saat Nie Yan jatuh ke tanah, bar kesehatan lawannya akhirnya habis. Dia terhuyung mundur dan berdiri dengan kuat di kedua kaki, lalu dia menatap kesehatannya sendiri; hanya dua puluh lima poin yang tersisa. Mhmmm, seperti yang diharapkan … Menghadapi Level 3 sebagai Level 2 agak merepotkan. Tatapan Nie Yan jatuh pada mayat Wei Kai. Melihat saat dia meninggal, Nie Yan menyingkirkan belatinya. Beberapa saat kemudian, keduanya diangkut jauh dari arena PvP dan kembali ke auditorium. “Aku terkesan, bocah. Siapa yang tahu Anda sangat mampu ?! Ha ha ha . "Tang Yao mendekati Nie Yan saat yang terakhir melepas helmnya. "Kemenangan itu kebetulan, saya kebetulan sedikit beruntung," kata Nie Yan. Dia hampir terbunuh oleh Wei Kai juga. Pada akhirnya, tidak ada cukup waktu baginya untuk mendapatkan peralatan dan keterampilan yang cukup. Jika dia memiliki beberapa keterampilan lagi, maka mengalahkan Wei Kai akan membutuhkan usaha yang jauh lebih sedikit. “Kemenangan masih merupakan kemenangan. Belum lagi itu Level 2 versus Level 3. Hei, apakah Anda tahu cara memainkan Arcane Mages? Ajari aku cara memainkannya saat kita sampai di rumah, oke? ”Tang Yao berkata sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Sepertinya Nie Yan benar-benar tahu banyak. “Aku tidak terlalu berpengetahuan tentang Arcane Mages. Mereka memiliki berbagai keahlian unik, yang semuanya membutuhkan taktik yang berbeda. Aku akan mengajarimu apa yang aku tahu, ”jawab Nie Yan. Ketika sampai pada Tang Yao, dia tidak akan menyembunyikan hal-hal dan bertindak egois. "Itu akan menjadi luar biasa!" Setelah menyaksikan kemampuan Nie Yan dalam pertempuran secara langsung, Tang Yao sangat meyakininya. Nie Yan menatap kartu banknya, yang menampilkan total enam ribu kredit. Dia mengambil tiga ribu dan memindahkannya ke Tang Yao. “Seribu enam ratus adalah apa yang aku berhutang padamu. Adapun empat belas ratus lainnya … menganggapnya aku membantu mengganti kerugianmu. ” “Itu hanya beberapa ribu kredit. Bagaimana mungkin uang sebanyak itu ada di antara kita saudara? ”Kata Tang Yao, terdengar agak tidak senang. Sejak awal, uang ini tidak pernah dianggapnya penting. Nie Yan peduli tentang itu sebenarnya membuatnya merasa sangat tidak bahagia. “Saudara-saudara sejati selalu membayar utang mereka. Jika Anda masih tidak senang tentang … malam ini, Anda dapat memperlakukan saya sebagai gantinya, "kata Nie Yan sambil tersenyum. “Kamu telah menghasilkan banyak uang hari ini, sementara aku nyaris tidak mencapai titik impas. Namun kau masih punya keberanian mencoba dan membebaskan aku !? Kaulah yang memperlakukanku untuk makan malam malam ini — akhir dari diskusi! ” "Baiklah kalau begitu . Makan kerugian kecil bukan masalah besar. ” “Apa yang kita makan malam ini? Bagaimanapun, mari kita pergi ke restoran! " “Semangkuk sup mie pangsit adalah lima dolar. Itu seharusnya cukup untuk membuatmu kenyang, ”kata Nie Yan sambil menyimpan kartu banknya. "Aku berkata, bukankah kamu terlalu kikir di sini?" "Perlu seseorang untuk mengetahuinya. '' Nie Yan tertawa. Dia dan Tang Yao dapat dianggap sebagai burung dengan bulu yang sama. Wei Kai dan kelompoknya berjalan ke kamar, datang dari daerah lain. Ekspresi Tang Yao menjadi suram setelah melihat mereka. Dia tahu bahwa Wei Kai dan rakyatnya telah kehilangan banyak uang hari ini. Mereka tidak akan terbang dalam kemarahan, bukan? Ekspresi tersenyum masih tetap di wajah Nie Yan. Dibandingkan dengan Tang Yao, dia jelas terlihat jauh lebih tenang. "Wei Kai, kamu tidak akan mencoba tanpa malu mengambil kembali uang yang baru saja kamu hilangkan, kan?" Tang Yao tanpa sadar menempatkan dirinya di depan Nie Yan. Tanpa sadar, dia masih menganggap Nie Yan sama dengan dia di masa lalu — seorang pemuda yang mudah digertak. "Bagaimana aku bisa? Bagaimanapun juga, uang yang hilang adalah uang yang hilang, dan Uang yang dimenangkan juga merupakan uang yang diperoleh. Bahkan yang ini tahu banyak tentang judi. Anda tahu, mereka mengatakan bahwa bahkan perselisihan pada akhirnya akan mengarah pada persahabatan, jadi bagaimana kalau kita melunasi hutang kita dan menebusnya? . Tuan Muda Nie dan Tuan Muda Tang, ketika kalian berdua punya waktu di masa depan, Anda harus berkunjung ke tempat usaha kecil kami. hmm? ”Kata Wei Kai sambil tersenyum. Wei Kai telah melayang-layang di sela-sela masyarakat selama bertahun-tahun sekarang. Bertentangan dengan apa yang mungkin diharapkan seseorang, dia sebenarnya belajar bagaimana berperilaku dengan benar selama tahun-tahun itu. Dia mengerti tipe orang mana yang tidak baik untuk diprovokasi, jadi dia tidak akan lagi menyebutkan keluhan masa lalu mereka sama sekali. “Kami pasti akan berkunjung ketika ada waktu. '' Nie Yan mengangguk. Wei Kai orang ini, dia juga tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. “Yang ini akan pergi dulu, lalu. Sangat menyenangkan bermain dengan Tuan Muda Tang dan Tuan Muda Nie. '' Kata Wei Kai sambil tersenyum, membawa antek-anteknya saat dia pergi. "Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia tiba-tiba menjadi begitu formal dan sopan? Itu terlalu abnormal! Sialan, itu benar-benar membuatku tidak nyaman. "Tang Yao berkata dengan nada bingung saat dia berdiri di sisi Nie Yan. "Siapa yang tahu?" Nie Yan tertawa samar. Wei Kai dan kelompoknya baru saja meninggalkan Lounge PK ketika salah satu bawahannya berbicara. "Bos, mengapa kamu memperlakukan bocah itu dengan sopan? 'Tuan Muda Nie', apakah dia pantas menerimanya? '' Li Yang berjalan mendekati Wei Kai dan bertanya dengan bingung. “Anda tahu ada pepatah, 'Jangan menggertak pemuda saat mereka miskin. "Pernahkah Anda mendengarnya? Di masa depan ketika Anda menilai seseorang, jangan hanya melihat saat ini, Anda juga perlu menatap sedikit ke kejauhan, ”jawab Wei Kai. Dia mampu melihat bahwa Nie Yan adalah naga tersembunyi. Cepat atau lambat, dia akan terbang tinggi ke Surga. Akan menjadi kepentingan terbaiknya untuk tidak menjadi musuh dengan orang seperti itu. [TN: Terima kasih kepada Deathblade untuk penjelasannya. “Lebih baik menggertak orang tua yang miskin daripada orang muda. Jika Anda menggertak orang muda yang miskin, Anda tidak akan pernah tahu akan menjadi apa orang muda itu, dan seberapa kaya dan kuat mereka nantinya ”- DB] Li Yang masih bingung apa arti kata-kata itu. Namun, dibandingkan dengan yang lain, bos itu jauh lebih berpengetahuan dan berpengalaman, jadi dia berpikir, kata-kata Bos pasti benar, jadi aku akan mendengarkannya! Nie Yan dan Tang Yao masuk ke mobil dan pergi ke restoran terdekat. "Siapa nama dalam gim Anda?" Tanya Tang Yao. Nie Yan adalah pencuri Manusia, jadi Nie Yan pastinya ras yang sama dengannya. Mereka berdua mulai di Kekaisaran Viridia! “Nie Yan (Nirvana Flame). 'Nie' di Nirvana, dan 'Yan' dalam api, ”jawab Nie Yan "Aku akan datang dan menemukanmu ketika aku pulang," kata Tang Yao. Dia tidak bisa membantu tetapi menjadi bersemangat ketika terlintas dalam pikiran bahwa dia bisa naik level bersama dengan Nie Yan. "Aku di tengah pencarian sekarang, jadi aku tidak bisa kembali ke kota," kata Nie Yan. Dia masih perlu menerima pencarian dari Penyihir Besar. Belum lagi, di masa depan ketika dia harus memulai pengaturannya, dia tidak akan bisa naik level bersama dengan Tang Yao. "Eh? Tidak apa-apa kalau begitu … Bagaimana kalau Anda baru saja mengajari saya cara memainkan Arcane Mage sekarang, dan saya akan berlatih ketika saya kembali ke rumah. "Tang Yao merasakan sedikit sentuhan kekecewaan, meskipun ia dengan cepat kembali menjadi bersemangat dalam beberapa saat. “Arcane Mages pada dasarnya dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Anda memiliki yang paling universal — Arcane Fire Mages. Mereka memakai segala macam peralatan untuk meningkatkan kerusakan sihir mereka. Juga, keterampilan yang mereka pelajari semuanya mirip dengan yang seperti Arcane Flame Burst; tipe yang memiliki kemampuan membunuh tinggi. Penyihir Arcane seperti ini disambut di semua tim. Jenis lain adalah Arcane Speed ​​Mages. Mereka memakai peralatan yang memberi bonus kecepatan gerak. Begitu mereka mulai bergerak, mereka akhirnya menjadi sangat cepat. Tambahkan waktu pemeran Arcane Mage yang relatif singkat, dan Anda memiliki build yang hebat di PvPing. Kelompok yang tersisa pada dasarnya adalah keseimbangan antara dua yang terakhir. Jadi, jalan apa yang ingin Anda ambil? ”Tanya Nie Yan. Tang Yao berpikir sebentar, lalu mulai tersenyum malu ketika dia bertanya, "Kelompok mana yang memiliki persyaratan keterampilan yang sedikit di sisi bawah?" “Itu pasti akan menjadi Arcane Fire Mage kalau begitu. Mereka hanya membutuhkan peralatan yang baik, dan kerusakan mereka akan tinggi — sesuatu yang semua tim inginkan. Saat bertarung dalam tim, yang perlu Anda lakukan adalah mengontrol output mantra Anda dan Anda akan baik-baik saja. Namun, Arcane Mage semacam itu tidak memiliki peluang saat PvPing. Dengan hanya pandangan sekilas, Nie Yan bisa mengatakan bahwa Tang Yao ingin menjadi malas. Otak bajingan ini tidak bodoh; dia terlalu malas untuk menggunakannya. “Aku tidak akan bisa PvP !? Ahhhh! Itu terlalu membosankan! ”PvPing terlalu menarik untuknya. Tanpa itu, kegembiraan dalam hidupnya akan turun setidaknya setengah! Tang Yao benar-benar merasa tidak mau. “Lebih baik jika kamu memilih keseimbangan keduanya. Sebelum Anda mengalokasikan poin Anda, pastikan Anda berkonsultasi dulu dengan saya, ”saran Nie Yan. Keyakinan dirancang sedemikian rupa sehingga setiap lima level dari Level 1 hingga 30 akan memberikan pemain lima poin stat, satu poin penguasaan, dan satu poin skill. Oleh karena itu, untuk seorang pemain, setiap lima level sebelum Level 30 adalah titik pemisah kecil dalam kekuatan. "Baiklah kalau begitu, aku mengerti. "Tang Yao dengan senang hati setuju. Jika dia memiliki Nie Yan membantunya mengalokasikan poinnya, maka dia akan menyelamatkan dirinya sendiri banyak masalah. Yang paling dibencinya adalah memikirkan hal-hal rumit seperti ini dalam permainan. “Aku masih punya urusan yang harus diselesaikan setelah kita selesai makan malam. Kami akan menghubungi satu sama lain di malam hari ketika kami berada dalam permainan, oke? ”Kata Nie Yan. "Baik . ” Setelah keduanya makan malam, Tang Yao menurunkan Nie Yan dan kemudian pulang sendiri. Telah keluar begitu lama, Nie Yan telah membuang banyak waktu. Setibanya di rumah, ia langsung pergi ke pelatihan, lalu mulai belajar sekali lagi. MENCABIK Bab 17 – MENCABIK Nie Yan membuka buku pelajarannya. Segala macam persamaan kompleks dari matematika ke fisika teoretis memasuki matanya. Dalam waktu yang sangat singkat, dia berhasil dengan cepat menyelesaikan semuanya. Dia memperhatikan bahwa sejak reinkarnasinya, kemampuan kognitifnya tampak menjadi lebih baik dibandingkan dengan dirinya di masa lalu. Meskipun tidak mencapai tingkat di mana ia memiliki memori foto, ingatannya masih meningkat cukup signifikan. Selain itu, ia merasa pikirannya menjadi lebih tajam dibandingkan dengan dirinya sebelumnya. Misalnya, ia menyelesaikan pekerjaannya dua kali lipat dari separuh waktu ia belajar. Selain itu, ada penemuan yang bahkan lebih mencengangkan. Meskipun berolahraga dengan intensitas tinggi untuk waktu yang cukup lama, dia tidak merasakan sedikit pun kelelahan atau kelelahan. Bahkan, setelah setiap sesi pelatihan ia merasa kekuatannya meningkat sedikit demi sedikit namun nyata. Nie Yan cukup puas dengan tubuhnya saat ini. Selama tubuhnya menerima jumlah makanan yang tepat, itu akan dengan cepat berubah, sama seperti yang terjadi selama tahun terakhir sekolah menengah atas di kehidupan sebelumnya, dan dengan cepat naik tinggi. Hanya ada satu komplikasi; suplemen gizi yang ia butuhkan terlalu mahal. Saat ini, biaya masih bukan sesuatu yang bisa ia dukung. Suplemen nutrisi kualitas terendah memiliki banderol harga sekitar lima ratus dolar, sedangkan yang berkualitas menengah dapat menelan biaya beberapa ribu. Rumah tangganya hanya membawa dua bagian; salah satunya dia sudah gunakan sebelumnya di pagi hari. Akhirnya pada pukul lima sore, Nie Yan memasuki permainan sekali lagi. Ketika dia terhubung kembali ke permainan, dia menemukan banyak laba-laba Water yang berlari-lari kecil di sekelilingnya ke segala arah. Tampaknya setiap monster di sekitarnya telah hidup kembali. Untungnya, pemain akan kebal selama tiga puluh detik setelah menghubungkan kembali. Mereka akan muncul dalam keadaan halus seolah-olah mereka adalah roh. Dalam kondisi ini mereka tidak hanya tidak dapat menyerang, tetapi monster juga tidak akan bisa menyerang mereka juga. Nie Yan mengambil jalan memutar di sekitar Laba-laba Air ini, dan kemudian berenang menjauh dari daerah di mana dia menyembunyikan dirinya. Setelah tiga puluh detik berlalu, dia mulai menanam laba-laba di daerah sekitarnya sekali lagi. Saat ini, dia sudah mengumpulkan dua puluh lima Sutra Halus. Selain itu, ia juga memiliki lima Sutra Halus Langka yang ia peroleh dari Pemimpin Laba-laba Air sehari sebelumnya. Dengan kecepatan berburu saat ini, Nie Yan memperkirakan bahwa akan memakan waktu sekitar tiga jam lagi baginya untuk menyelesaikan pencariannya. Ketika saya kembali ke kota, saya pasti harus menghasilkan lebih banyak uang. Lain kali saya menemukan pertemuan pengumpulan seperti ini, saya hanya akan membeli bahan yang dibutuhkan dari pasar saja. Dengan cara ini tidak perlu baginya untuk melalui kerja yang membosankan untuk mengumpulkannya sendiri. Setelah sekitar satu jam lagi, Nie Yan menerima pemberitahuan — itu dari Yao Yao. 「Nie Yan (Nirvana Flame), di mana Anda sekarang?」 「Saya masih menanam Laba-laba Air. Mengapa? Ada apa? 」Dia tidak pernah berhenti berburu Laba-laba Air, bahkan saat dia mengobrol dengan Yao Yao. Dia menikam dengan belati saat menggunakan Assassinate, membunuh laba-laba di dekatnya. Laba-laba itu membalik dan meringkuk ketika mati. . 「Teman-teman saya dan saya pergi ke Hutan Treant pagi-pagi. 」 「Oh. 」 「Huh, kamu tidak akan bertanya bagaimana hasilnya?」 「Tidak perlu bagi saya untuk bertanya. 」Mengenai Hutan Treant ini, Nie Yan memahami contoh ini dengan cukup baik. Awalnya di masa lalu, ia dan teman-temannya butuh lima upaya untuk melewati contoh. Jika partai itu tidak memiliki Prajurit dengan setidaknya enam puluh pertahanan dan dua ratus dua puluh kesehatan, mereka sama sekali tidak punya peluang. Karena itu tidak mungkin bagi mereka untuk menghapus contoh. 「Baiklah, itu seperti yang kamu katakan. Pesta kami benar-benar terhapus. Kami bahkan tidak berhasil sampai ke Treant King. Juga, salah satu teman saya ingin bertemu dengan Anda. Kami akan mencoba menebangi hutan lagi besok. Jadi … bisakah kamu bergabung dengan kami? 」 「Mari kita tunggu Heavy Knight Anda untuk meningkatkan pertahanan mereka terlebih dahulu, maka kita akan bicara. Saya akan melihat apakah saya punya waktu. Namun, beri tahu teman Anda ini: Sebagai imbalan untuk bergabung dengan kalian di Hutan Treant, saya ingin bertindak sebagai pemimpin partai. Selanjutnya, setiap item Pencuri yang jatuh akan jatuh ke tanganku. 」Ada jubah Pencuri yang cukup baik yang jatuh dari monster di Hutan Treant. 「Anda ingin menjadi pemimpin partai? Mengapa?" 「Saya tidak percaya orang lain dengan memimpin tim. 」 「Ini … aku harus bertanya. Memberikan setiap tetes Pencuri kepada Anda akan sedikit sulit. Kami memiliki Pencuri di pesta kami juga … party Pesta Yao Yao ditetapkan sehingga tetes didistribusikan secara merata di antara anggota mereka. 「Jika kapten tim Anda tidak menyetujuinya, maka jadilah itu. 」Nie Yan benar-benar tidak ingin membuat hal-hal canggung dan sulit untuk Yao Yao dengan sengaja. Namun, Pencuri di pesta Yao Yao sangat tidak menyenangkan di mata Nie Yan. 「Saya akan bertanya kapten kami … demands Tuntutan keras Nie Yan menurunkan kesan Yao Yao tentang dia sedikit. Kapten tim Yao Yao adalah seorang wanita bernama Yu Lan (Bulu Biru); profesinya adalah Berserker. Kesan terdalam Nie Yan tentang wanita ini adalah sepasang besar payudara di dadanya. Armor Berserkernya terpasang erat di sekeliling tubuhnya sambil menonjolkan lekuk tubuhnya — terutama di area dada. Kesenjangan dalam armornya juga memperlihatkan belahan dada yang ekstrem. Ketika dia mengingat ini, dia hanya bisa sedikit gemetar. Namun, Nie Yan tidak akan pernah berani memprovokasi Yu Lan. Biasanya dia ramah dan ramah, tetapi jika seseorang membuatnya kesal, maka amarahnya yang berapi-api akan menjadi sebesar sepasang payudara di dadanya. Dia ingat bahwa ada saat ketika pemain lain memutuskan untuk menggodanya. Yu Lan akhirnya mengejar dan membunuh pemain itu sampai dia menjatuhkan lima level. Dengan cara ini, kecantikan ini hanya bisa dilihat dari jauh. Dia tidak bisa dipermainkan, atau diperlakukan dengan tidak hormat. Kalau tidak, orang kemungkinan besar akan bermain-main dengan mereka. 「Juga, ada satu hal lain … Selain dari pencuri jatuh, saya juga ingin permata yang Raja Treant turun ketika mati. 」Nie Yan berkata tanpa sedikit kesopanan atau menahan diri. 「Kita semua hanya ingin menjalankan ruang bawah tanah dan mencobanya…. Tapi kamu…! Bagaimana Anda bisa bertindak dengan cara yang egois seperti itu!? 」Yao Yao menginjak kakinya dan mengakhiri panggilan. Dia sangat marah dan frustrasi ke titik di mana air mata berkilau mulai mengalir keluar dari matanya. Dia memperhatikan bahwa kemarin, setelah bertarung dan menyelesaikan misi yang sama bersama, mereka cocok satu sama lain dengan sangat baik. Karena ini, dia merasa bahwa Nie Yan adalah orang yang baik. . Sampai ke titik di mana dia ingin mengenalnya lebih baik dan berteman dengannya. Namun dia tidak pernah berpikir bahwa, berulang-ulang, Nie Yan akan terus menghancurkan kesan baiknya tentang dia yang telah dia simpan jauh di dalam hatinya. Nie Yan dengan acuh tak acuh tersenyum. Kadang-kadang, mencoba menjelaskan malah akan berlebihan. Yao Yao menutup telepon dengan marah. 「Ha …」 Nie Yan menghela nafas dengan lembut. Jika mereka melakukan insting bersama, akan lebih baik untuk membuat beberapa hal menjadi jelas. Kalau tidak, ketika saatnya tiba, perselisihan pasti akan muncul di masa depan. Di titik transportasi Tellak Town, tim Yu Lan telah berkumpul bersama di daerah tersebut. Secara total, ada sembilan belas orang yang berkumpul bersama. Di antara mereka, yang paling mencolok adalah Yu Lan, yang mengenakan baju besi biru, dan Yao Yao, yang mengenakan jubah penyihir berwarna putih sambil berdiri di tengah. Seperti bintang-bintang yang berkumpul di sekitar bulan, semua orang di sana berkumpul, menempatkan dua keindahan ini di tengah. Secara alami, tim juga memiliki wanita berpenampilan bagus lainnya. Namun, dibandingkan dengan dua keindahan di tengah, mereka hanya bisa sepenuhnya berfungsi sebagai latar belakang. Yu Lan memiliki sosok montok tinggi, bersama dengan kaki ramping panjang yang cukup memikat. Selain itu, dia tumbuh menjadi seorang yang cantik. Penampilannya dapat dinilai dengan kualitas terbaik. Meskipun muncul di usia dua puluhan, ia sepenuhnya memancarkan pesona seorang wanita dewasa, khususnya dadanya yang besar dan menggairahkan yang memicu ketertarikan yang memikat ke mata seseorang. Di sisi lain, Yao Yao adalah jenis kecantikan lain. Dengan seluruh tubuhnya ditutupi jubah putih, wajahnya yang berbentuk oval yang halus, dan rambutnya diikat menjadi kuncir kuda, dia terlihat murni dan cantik, menyebabkan orang lain tergerak oleh pesonanya yang cantik. "Yao Yao, apa yang dia katakan?" Tanya Yu Lan ketika dia melihat Yao Yao memutuskan obrolan suaranya. "Dia mengatakan jika kita akan pergi bersama, dia ingin menjadi pemimpin partai, minta semua perlengkapan Pencuri jatuh padanya, dan dia juga ingin permata yang jatuh dari Raja Treant!" Wajah Yao Yao merah karena kemarahan. Awalnya, dia cukup bersemangat memperkenalkan Nie Yan ke Yu Lan, dan mungkin membuatnya menjadi teman baik dalam proses itu. Dia tidak pernah berharap bahwa Nie Yan adalah orang seperti itu. “Yao Yao, kau terlalu naif. Orang-orang seperti ini ada di mana-mana. Dia pasti pembohong tanpa kekuatan yang mencoba menipu peralatan dari kami, ”kata seorang Pencuri di sisinya. Dia tampak berusia dua puluhan, dan sebenarnya terlihat agak tampan. Yao Yao ingin membantah kata-kata ini atas nama Nie Yan, meskipun setelah berpikir sebentar, dia terlalu marah untuk repot. Dia tidak tahu mengapa, tetapi untuk beberapa alasan dia masih agak memihak Nie Yan di dalam hatinya. Nie Yan benar-benar kuat; dia tidak merasa bahwa dia sedang merencanakan untuk membeli peralatan atau apapun yang tak tertahankan seperti Chen Bo sedang berusaha membuatnya. . “Itu belum tentu benar. Jika dia sudah tahu bahwa Treant King akan menjatuhkan permata, itu berarti dia pasti pergi ke Hutan Treant sebelumnya. Bukan hanya itu, tetapi juga membersihkannya. Fakta bahwa ia mampu melewati contoh dengan tim sampai akhir, membuktikan bahwa kemampuannya dalam tim tidak lemah. Selain itu, dia secara signifikan lebih berpengalaman daripada kita. Jadi dia meminta untuk menjadi pemimpin partai, dan menerima semua tetes Thief plus permata benar-benar tidak berlebihan sama sekali. Karena dia bisa dengan jujur ​​menyatakan tuntutannya kepada Yao Yao, itu menandakan bahwa dia telah melakukannya dengan kesadaran yang jelas. "Yu Lan menepuk pundak Yao Yao. "Yao Yao, kamu tidak perlu memikirkannya. ” Setelah mendengarkan kata-kata Yu Lan, meskipun dia masih sedikit marah pada Nie Yan, Yao Yao merasa jauh lebih baik di hatinya, dan mengungkapkan senyum lega. Melihat ekspresi senyum yang indah di wajahnya, Chen Po merasa hatinya tenggelam. Dia tidak tahu mengapa tetapi Nie Yan ini yang tiba-tiba muncul menyebabkan dia merasakan firasat. "Kita akan menyewa peralatan Heavy-tier Heavy Knight besok. Katakan padanya, kami mengundangnya untuk melakukan Treant Forest besok, ”kata Yu Lan. Dia sudah memulai pengaturannya. “Hmph, aku akan mengabaikannya sepanjang pagi. Saya akan berbicara dengannya lagi di sore hari. "Yao Yao cemberut. “Baiklah, kamu bisa menghubunginya lagi di sore hari. "Yu Lan mengangguk sambil tersenyum. Nie Yan masih membunuh Laba-laba Air. Keberuntungannya tidak buruk karena tiga Sutra Halus jatuh berturut-turut. Melihat tasnya, dia sudah memiliki dua puluh sembilan. Hanya satu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pencariannya. Meskipun demikian, kelihatannya berburu monster pagi-pagi sekali memiliki manfaatnya sendiri. Frekuensi drop untuk berbagai item relatif lebih tinggi. Setelah membunuh Spider Air lainnya, Nie Yan mengulurkan tangan kanannya untuk memancing item. Apa yang saya dapatkan? Ketika dia mengangkat benda itu untuk melihat buku, dia menyadari itu adalah buku keterampilan Pencuri. Buku keterampilan: Lacerate Deskripsi keterampilan: Pencuri dapat menggunakan belati mereka untuk menebas musuh, menyebabkan mereka berdarah deras dan menerima kerusakan berdarah setiap detik. Wajib untuk digunakan: Aksi (memerlukan senjata) Atribut skill: Menebas target menciptakan luka terbuka. Serang +1. Menyebabkan lima titik perdarahan setiap detik selama enam detik. Cooldown keterampilan: 30 dtk Batasan Profesi: Pencuri, Pejuang, Paladin; dapat dipelajari oleh faksi apa pun. Lacerate adalah Keterampilan Dasar yang bersinergi dengan sangat baik dengan Assassinate. Itu bisa mengikuti setelah Assassinate, menyebabkan laserasi tambahan yang akan berdarah musuh lima kesehatan setiap detik selama enam detik. Adapun kekuatan membunuh itu … meskipun kerusakan Lacerate ditambah kerusakan berdarah tambahannya sedikit lebih lemah dari Vital Strike, itu masih keterampilan yang sangat baik. Saat ini, apa yang paling kekurangan Nie Yan adalah tepatnya keterampilan ini. Setelah mempelajari keterampilan itu, Nie Yan berbalik untuk menghadapi Water Spider lainnya. Tiba-tiba, dia menerima pemberitahuan lain dari obrolan suaranya. Gadis kecil ini … dia mengirim permintaan panggilan lain. Nie Yan menjawab panggilannya. Namun, ada keheningan yang canggung di antara keduanya yang bertahan untuk apa yang tampak seperti keabadian. 「Kamu tahu … Aku pada awalnya berencana untuk mengabaikanmu dan tidak pernah berbicara denganmu lagi, tapi … Aku seorang dewasa yang rela bersikap murah hati, jadi aku tidak akan repot-repot membungkuk ke levelmu dan berdebat denganmu. Pesta saya akan bertani di Hutan Treant besok. Jadi, apakah Anda akan datang atau tidak? 」 Nie Yan tidak bisa membantu mengungkapkan senyum tipis setelah membayangkan ekspresi manis wajah cemberut Yao Yao. 「Besok… aku—」 「Tidak perlu menjelaskan diri sendiri jika Anda memiliki bisnis lain besok. Katakan saja apakah Anda datang atau tidak — ya atau tidak? 」 Nie Yan baru saja akan berbicara, tapi Yao Yao memotongnya di tengah. "Baik . Katakan saja padaku besok, dan aku pasti akan ke sana. 」Nie Yan tersenyum tak berdaya. Dia bisa dianggap telah benar-benar menyerah ketika datang ke Nona kecil ini. 「Hmm … sekarang kedengarannya lebih baik. Baik! Kami akan menghubungi Anda besok pagi. Apakah Anda sibuk? 」Yao Yao cukup senang dengan jawaban Nie Yan. Tidak menunggu dia berbicara lebih lanjut, dia segera menutup telepon. Hmph! Bocah kecil, lihat apakah aku tidak bisa mendisiplinkanmu, pikir Yao Yao dengan bangga pada dirinya sendiri. Ketika dia membayangkan ekspresi tertekan di wajah Nie Yan dia tidak bisa menahan tawa pada dirinya sendiri. 「Jangan! Doot! 」Mendengar suara panggilan berakhir, Nie Yan tersenyum pahit. Sepertinya besok aku harus pergi berlari di Hutan Treant. Setelah itu, dia terus membunuh Laba-laba Air sambil mempercepat langkah. Begitu dia menerima keterampilan Lacerate, ada peningkatan yang signifikan dan jelas dalam kecepatan berburu. Satu Assassinate diikuti oleh Lacerate memungkinkannya untuk membunuh Spider Air dengan mudah. 「Ding!」 Gemerincing yang merdu — notifikasi sistem terdengar. Nie Yan telah naik ke Level 3. Setelah beberapa saat, dia selesai mengumpulkan tiga puluh Sutra Halus. Akhirnya saya selesai. Nie Yan berenang menuju pulau untuk menyerahkan pencariannya. Sistem: Pemain Flying Stone telah memasukkan satu perak ke penyimpanan pribadi Anda. 「Pakar, strategi yang Anda berikan benar-benar bermanfaat! Kami sudah membersihkan Fallen Shaman Camp. Perak lainnya telah disimpan ke penyimpanan Anda. 」Stone memberi tahu Nie Yan dengan gembira. 「Saya sudah menerimanya. Adakah yang lain yang Anda butuhkan? 」Dengan dua perak dari Stone ditambah penghasilannya yang baru, ia hampir memiliki tiga perak. Dengan ini, ia dapat dianggap memiliki modal. 「Salah satu teman saya mengatakan bahwa mereka akan membentuk pesta untuk berburu di Lahan Basah Agmota, lusa. Apakah Anda ingin datang? 」Stone bertanya dengan sedikit harapan. 「Aku akan sibuk lusa. 」Rawa Agmota Muddy masih agak sulit. Meskipun melihat saat pesta Stone mampu membersihkan Fallen Shaman Camp, sepertinya kekuatan mereka tidak terlalu buruk. 「Ah … lupakan saja. Pakar, apakah Anda memiliki panduan untuk Agmota Muddy Wetlands juga …? 」 「Ahhh … !? Apakah Anda pikir saya semacam dewa? Agmota Muddy Wetlands adalah contoh Level 3 yang paling sulit. Anda pikir saya bisa membuat panduan untuk ini secepat ini? 」Dia tidak bisa terus menawarkan untuk menjual panduan untuk contoh bawah tanah. Kalau tidak, dia akan menarik banyak kecurigaan dari orang lain. Selain itu, akan lebih baik baginya untuk menunggu tawaran yang baik ketika Stone dan timnya pertama kali dihapus beberapa kali mencoba contoh tersebut. 「Ehh! Saya minta maaf. Saya hanya berpikir karena kebiasaan …. ha ha . 」 QUEST TERSEMBUNYI Bab 18 – Quest Tersembunyi Nie Yan dan Stone bertukar sebentar beberapa kata sebelum menutup telepon. Pada saat ini, dia sudah tiba kembali di pulau itu. Di sana ia menemukan Dokter Blevins masih memancing di tepi danau. "Pemuda! Berapa banyak bundel Sutra Halus yang berhasil Anda kumpulkan? ”Tanya Dokter Plevins setelah melihat bahwa Nie Yan telah kembali. “Senior yang Terhormat, inilah tiga puluh bundel Sutra Halus yang telah saya kumpulkan. Saya ingin meminta agar Senior melihatnya. '' Nie Yan menjawab dengan nada sopan dan formal yang standar ketika membalikkan pencarian. "Anak muda, aku harus berterima kasih atas kebaikanmu. Tolong bawa ketiga puluh Kain Sutra ini sebagai sarana untuk membalas kebaikan Anda. Selain itu, saya juga memutuskan untuk memberikan Anda keterampilan. ” 「 Sistem: Dokter Blevins ingin mengajari Anda Medikat Tempur Tingkat Menengah. Apakah Anda akan mempelajarinya? 」 Nie Yan merasa jantungnya berdegup kencang. Inilah keterampilan yang ingin dia pelajari. Tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan, dia langsung menekan tombol accept. 「 Sistem: The Great Mage, Blevins, telah mengajarkan Anda sebuah keterampilan. Anda telah mempelajari Medisi Tempur Tingkat Menengah. 」 Intermediate Combat Medic: Memungkinkan pemain untuk membuat dan menggunakan Perban Tempur Intermediate saat dalam pertempuran. Membutuhkan 10 Silk Cloth. Setiap perban mengisi kembali 20 kesehatan setiap detik selama 10 detik. Penyembuhan dapat terganggu setelah 3 detik menerapkan perban. Perban juga dapat digunakan pada anggota partai lainnya. Sepuluh kain sutra setara dengan dua puluh tembaga. Meskipun sedikit mahal, ini masih merupakan keterampilan yang bisa menyelamatkan nyawa di saat krisis! 「 Sistem: Tugas yang dipercayakan oleh Dokter Blevins kepada Anda adalah 20% selesai. 」 Nie Yan menatap kosong pada pemberitahuan ini. Cukup masuk akal, dia percaya bahwa pencarian akan berakhir setelah menyerahkan tiga puluh Fine Silks, tetapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Apa apaan? Mengapa hanya dua puluh persen yang lengkap? “Anak muda, tiga puluh bundel Sutra Halus masih jauh dari cukup. Saya masih membutuhkan banyak lagi. Apakah Anda bersedia membantu saya menemukan lebih banyak? " "Saya bersedia membantu Anda dalam tugas Anda," jawab Nie Yan buru-buru. Tampaknya Combat Medic Skill hanyalah salah satu hadiah dalam pencarian yang panjang ini. Dia tidak tahu apa yang akan diberikan imbalan pencarian lain di depan. “Senior yang Terhormat. Berikut adalah lima Sutra Halus Langka yang telah saya kebetulankan, meskipun saya tidak yakin akan kegunaannya. ” “Sutra Halus menjadi Sutra Halus Langka setelah proses pengolahan. Setiap bundel Sutra Halus Langka setara dengan enam bundel Sutra Halus biasa, ”Pak Tua menjelaskan kepada Nie Yan. Setelah itu, Pak Tua bertanya lebih lanjut, "Jadi anak muda, apakah Anda bersedia memberikannya kepada saya?" "Ya," jawab Nie Yan. Lima Sutra Halus Langka setara dengan tiga puluh Sutra Halus biasa. Dia telah membunuh Laba-laba Air begitu lama, namun dia tidak pernah berpikir untuk berburu Pemimpin Laba-laba Air meskipun mereka memberikan tetes yang lebih baik. Namun ini sudah diduga, karena membunuh Pemimpin Water Spider berperingkat benar-benar terlalu berbahaya untuk suatu tugas. Bagaimanapun, itu bukan sesuatu yang bisa Nie Yan capai sendiri. 「 Sistem: Anda telah menerima 30 Kain Sutra. 」 「 Sistem: Anda telah menerima Armor Kulit Perak Headhunter 」 「 Sistem: Tugas yang dipercayakan oleh Dokter Blevins kepada Anda adalah 40% selesai. 」 Nie Yan merasakan kejutan yang menyenangkan setelah membaca pengumuman sistem kedua. Setelah membuka tasnya, ia menemukan sepotong baju besi berwarna perak dalam inventarisnya. Siapa yang tahu apa jenis kulit binatang yang digunakan untuk membuat baju zirah kulit ini. Itu tangguh, tahan lama, dan memancarkan kilau perak-putih. Selain itu, tidak perlu dinilai. Mari kita lihat propertinya. Armor Kulit Perak Headhunter (Kelas Perak) Persyaratan Level: Level 5 Properti: Pertahanan 13–17, Kekuatan +5, Agility +5 Berat: 3 lb Pembatasan Pengguna: Pencuri, Paladin, hanya dapat dilengkapi oleh faksi Guardian of Light. Properti peralatan Silver-grade setidaknya tiga puluh persen lebih tinggi dari peralatan normal. Selain itu, mereka juga memasukkan dua properti tambahan. Dengan harga pasar saat ini, Nie Yan memperkirakan bahwa ia bisa menjual baju zirah ini untuk setidaknya lima perak jika ia memasangnya di rumah lelang. Peralatan Nie Yan akan meningkat secara signifikan setelah mencapai level 5, karena ia akhirnya akan dapat mengganti peralatannya saat ini dengan Horn Dagger dan Headhunter's Silver Leather Armor. Dengan pemikiran ini dalam pikirannya, tiba-tiba dia merasakan lebih banyak motivasi untuk naik level. Orang Tua ini sangat murah hati dengan hadiah pencariannya, dan enam puluh persen dari pencariannya masih belum selesai. Jika saya mencoba bertani sembilan puluh lebih Fine Silks sendiri … Saya akhirnya bekerja sendiri sampai mati! Saya hanya akan menghabiskan sejumlah uang untuk membeli bahan-bahan dari rumah lelang. Sembilan puluh Sutra Halus … itu akan menjadi sekitar tiga perak. Ah … melihat seperti ini, saya masih jauh dari memiliki cukup uang untuk dibelanjakan dengan bebas. Bagaimana saya bisa menghasilkan uang dengan cepat? Nie Yan mencoba memeras otaknya untuk solusi untuk masalah yang sulit ini. Akhirnya dia ingat panduan online tertentu yang dia lihat di masa lalu. Saat itulah Nie Yan tiba-tiba memiliki kilasan wawasan. Kembali ketika game pertama kali dirilis, item yang paling tidak berharga dalam game adalah setetes dengan nama Bat Teeth. Itu adalah bahan yang digunakan untuk menyusun senjata pemula Level 0. Bahkan lebih menggelikan, senjata-senjata ini akan keluar dengan serangan rendah yang menyedihkan. Dengan demikian, untuk sebagian besar, tidak ada seorangpun selain dari pemain sesekali yang akan membeli beberapa untuk meningkatkan Blacksmith mereka setelah mempelajari skill. Selain itu, tidak ada pemain lain yang mau repot membeli. Belum lagi bahwa bahkan jika Anda menjual lima tumpukan — seratus gigi kelelawar — ke NPC, Anda hanya akan menerima satu tembaga. Karena alasan ini, ada beberapa Gigi Kelelawar yang berserakan di tanah di area Level 3 kelelawar, karena hanya sedikit yang mau mengambilnya. Banyak pemain lebih suka membuangnya daripada meminta bahan sampah ini menghabiskan ruang di tas mereka. Dengan demikian hanya pemain termiskin yang akan repot mengambilnya dan menjualnya ke toko NPC. Namun Nie Yan tahu Gigi Kelelawar ini memiliki kegunaan lain. Mereka bisa diberikan kepada pandai besi tingkat tinggi di kota Calore setelah memicu pencariannya yang tersembunyi. Sebagai gantinya sepuluh Gigi Kelelawar — setengah dari tumpukan penuh — Anda akan menerima sedikit pengalaman dan satu tembaga. Selanjutnya, Anda bisa menukar jumlah Bat Teeth dengan pandai besi ini. Karena semakin banyak pemain menemukan pandai besi ini, harga pasar untuk Gigi Kelelawar ini naik. Bisnis semacam ini sebenarnya bisa dilakukan … Nie Yan tidak bisa membantu tetapi memiliki pemikiran ini. Yang perlu dia lakukan adalah menuju ke area pemijahan Kelelawar Level 3 dan beriklan bahwa dia membeli setumpuk Gigi Kelelawar untuk satu tembaga. Dia akan segera mengirim sejumlah besar Gigi Kelelawar langsung ke ambang pintunya. Setelah itu, dia bisa menukar mereka semua dengan pandai besi di kota Calore dan menerima hadiah pencariannya. Dengan cara ini dia bisa mendapat untung sementara juga naik level pada saat yang sama. Bagaimana dia bisa melupakan sesuatu seperti ini !? Nie Yan tidak lagi ragu-ragu dan segera berlari menuju kota Tellak. Setelah kembali ke kota, ia mengambil dua peraknya dari gudang, melemparkan semua peralatannya yang tidak diinginkan ke rumah lelang, dan akhirnya pergi ke penilai untuk menilai Sarung Tangan Kulit Lembut yang ia rampas dari Golden Electric Eel. Sarung tangan itu akhirnya menjadi perlengkapan Level 0 dengan properti tambahan Agility +2. Properti itu cukup baik untuk peralatan Level 0. Nie Yan memakai sarung tangan; itu adalah peralatan kelas Bronze pertama yang bisa dia pakai. Sarung tangan memancarkan cahaya cyan yang samar sampai Nie Yan mematikan efek visual dalam pengaturan peralatan. Itu masih yang terbaik jika dia tetap low profile. Jika perlengkapannya terlalu mencolok, maka dia kemungkinan besar akan diikuti setelah meninggalkan kota. Setelah menyelesaikan bisnisnya di kota, Nie Yan pergi melalui titik transportasi ke kota Calore. Dari sana ia langsung pergi ke Kade Smithy di pusat kota. Kota Calore menampung lebih dari enam puluh pandai besi yang menawarkan berbagai layanan pandai besi. Anda dapat membeli segala sesuatu mulai dari peralatan pengepungan besar hingga senjata, baju besi, dan bahkan sepatu kuda. Hanya Kade Smithy yang berbeda dari norma ini. Dari semua smithys di kota, itu adalah yang paling biasa-biasa saja. Itu adalah pandai besi tingkat tinggi, Kade, yang mengeluarkan pencarian untuk mengumpulkan Gigi Kelelawar. Dalam kehidupan sebelumnya, pemain yang pertama kali menemukan itu adalah seorang Paladin. Setelah menemukan bahwa pandai besi ini, Kade, memberikan pencarian seperti itu, ia segera membeli sejumlah besar Gigi Kelelawar dan menukarnya dengan Kade untuk sejumlah besar keuntungan dan pengalaman. Dia ingin menyimpan rahasia ini sendiri, jadi dia bekerja dengan sangat rendah. Namun, setelah Paladin ini membeli Gigi Kelelawar dalam jumlah yang semakin besar, pemain lain mulai curiga. Untuk apa Paladin ini mungkin membutuhkan begitu banyak Gigi Kelelawar? Setelah itu, Pencuri akhirnya membayangi dia ke Kade Smithy, dan rahasia itu dipublikasikan. Namun pada saat itu, sebagian besar pemain sudah melebihi Level 10. Harga Bat Teeth telah meningkat, dan tidak ada pemain yang mau menjualnya dengan harga murah sekarang. Sudah tidak layak bagi mereka untuk kembali ke daerah dan bertani Gigi Kelelawar untuk pencarian. Ketika para pemain Level 10 itu mengingat kembali semua Gigi Kelelawar yang mereka buang di masa lalu, mereka hanya bisa dengan tak berdaya menggelengkan kepala dan mendesah. Adapun Paladin yang pertama kali menemukan pencarian tersembunyi ini, dia sudah mendapatkan cekungan yang penuh uang dari melakukan pencarian ini secara rahasia untuk waktu yang lama. Namun saat ini … satu-satunya orang yang tahu tentang pencarian tersembunyi ini adalah Nie Yan dan Nie Yan saja! Nie Yan memasuki Kade Smithy. Bagian depan tokonya sangat sempit, namun tetap merupakan salah satu dari sekian banyak bengkel yang ditunjuk oleh Militer Kerajaan Viridian. Ketika Nie Yan memasuki bengkel, dia melihat pandai besi magang NPC. "Pelanggan yang terhormat, bolehkah saya bertanya apakah ada yang Anda butuhkan?" Si Pekerja datang dan bertanya. “Aku mencari Tuan Kade. ” “Maaf, tapi tuanku sudah keluar. "Si Magang menjawab dengan meminta maaf. “Aku punya urusan dengannya. Bolehkah saya bertanya kapan dia akan kembali? ”Balasan The Apprentice tidak mengejutkan. Inilah tepatnya bagaimana pencarian tersembunyi dipicu. "Bolehkah saya bertanya bisnis apa yang Anda miliki dengan tuan saya? Saya bisa menyampaikan pesan. "The Apprentice menaksir Nie Yan, ekspresi tajam memenuhi matanya. "Tolong beri tahu Tuan Kade bahwa aku bisa membantunya dengan masalah yang sedang dia hadapi. ” "Tunggu sebentar!" Si Magang buru-buru berlari keluar pintu. Setelah beberapa saat, Apprentice Smithing kembali dengan pandai besi yang tampak tinggi dan kuat di abad pertengahan. Dia memiliki cambang yang berantakan, dan bagian atas tubuhnya benar-benar telanjang. Seluruh tubuhnya kuat dan tertutup otot-otot dari kepala hingga kaki. Tidak hanya itu, tetapi kulitnya juga berubah menjadi merah gelap setelah terkena panas dari tungku menyala sepanjang tahun. "Tuan Blacksmith, rumor mengatakan Anda telah bertemu dengan beberapa masalah yang mengkhawatirkan. Bolehkah saya bertanya apa itu? Mungkin aku bisa membantumu. '' Nie Yan berkata dan kemudian berpikir untuk dirinya sendiri, seharusnya tidak ada masalah dengan kata-kata saya di sini … 'Datang musim gugur ini, situasi di Hilton Stronghold akan menjadi lebih dan lebih intens. Kami membutuhkan lebih banyak senjata untuk memenuhi tuntutan para prajurit di garis depan. Saya membutuhkan bahan-bahan – banyak sekali. Dan saat ini, saya tidak mengerti bagaimana saya bisa mengumpulkan begitu banyak materi ini …. "Pandai Besi Kade berkata dengan nada tertekan. “Bolehkah aku menanyakan materi apa yang kamu butuhkan? Mungkin saya dapat membantu Anda menemukannya. ” “Aku butuh Gigi Kelelawar dalam jumlah besar. Saya bersedia membeli setumpuk untuk dua tembaga jika Anda memilikinya, ”jawab Blacksmith Kade. Bagi Kade, Gigi Kelelawar ini adalah bahan penting yang sangat dia butuhkan. NPC tidak memiliki banyak kecerdasan, mereka hanya mengikuti instruksi yang diberikan oleh sistem utama A. Saya Mereka hanya bisa mengeluarkan dan menerima pencarian. NPC tersembunyi seperti Blacksmith Kade tidak akan mengumumkan pencarian mereka secara publik. 「 Sistem: Apakah Anda ingin menerima permintaan Blacksmith Kade? 」 Iya nih! 「 Sistem: Anda telah menerima permintaan Blacksmith Kade. 」 “Harap tenang. Saya pasti akan membantu Anda menemukan bahan-bahan ini. "Nie Yan meyakinkan Blacksmith Kade, lalu pergi melalui titik transportasi ke kota Mordor. Ada bentangan besar di dekat Mordor tempat sejumlah besar monster Kelelawar Level 3 berkumpul. . Dengan sekitar beberapa ratus orang di dalamnya, kota itu cukup ramai. “Merekrut orang Level 3 atau lebih tinggi untuk Level 3 Instance, Warriors Tomb. Saya seorang Mage yang menangani lebih dari tiga puluh kerusakan sihir! “Merekrut orang untuk berburu kelelawar! Aku Elementalist Api Level 3! ” Para pemain ingin membentuk partai. Beberapa akhirnya akan bergabung dengan pesta, sementara yang lain akan berdengung seperti lalat rumah. Mereka yang memiliki peralatan yang baik sering kali memiliki waktu yang mudah menemukan pesta untuk bergabung. Sementara itu, mereka dengan peralatan yang buruk akan menemukan diri mereka diabaikan oleh sebagian besar pihak. Partai terbentuk satu demi satu dan meninggalkan kota. Saat ini masih pagi di permainan. Setelah pemain membentuk pesta, mereka akan bertani monster sepanjang hari, hanya bubar di malam hari. Nie Yan telah mendirikan stan di dekat gudang pemain. Di sana ia memasang papan bertuliskan: 'Membeli Gigi Kelelawar. Satu tumpukan untuk satu tembaga. ' Dia baru saja memasang tanda, namun sudah ada banyak pemain yang berkumpul di sekitarnya. Banyak dari mereka selalu nongkrong di daerah ini berburu Kelelawar, sehingga tas mereka dipenuhi dengan banyak Gigi Kelelawar. Begitu mereka mengumpulkan seratus dari mereka, mereka akan kembali dan menjualnya ke NPC. Satu tembaga tidak banyak, tetapi tidak peduli seberapa kecil jumlahnya, itu masih berupa uang. Selain itu, Nie Yan membeli Kelelawar Gigi untuk satu tembaga per tumpukan adalah kesepakatan yang jauh lebih baik daripada menjual bahan ke NPC. Para pemain berpikir, Hah? Gigi Kelelawar ini mengotori tanah di mana-mana. Saya benar-benar dapat menjual tempat sampah seperti ini dengan harga tinggi? Melakukan perhitungan, saya bisa mendapat untung layak dengan menjual Gigi Kelelawar ini. Penghasilan sehari-hari untuk pemain rata-rata tidak terlalu tinggi. Tambahkan pada kebutuhan mereka untuk membeli peralatan dan item penyembuhan, sebagian besar pemain hanya akan memiliki sepuluh atau dua puluh tembaga paling banyak. Tentu, mereka semua sangat bersedia ketika mereka tahu bahwa mereka bisa membuat beberapa tembaga tambahan dari Nie Yan. "Hey saudara! Saya memiliki tiga tumpukan Gigi Kelelawar di sini. Apa kamu menginginkan mereka?" "Tentu saja . Jika Anda punya, saya akan mengambilnya. '' Nie Yan berkata sambil menganggukkan kepalanya. Setelah menyapu sekilas pada sepuluh atau lebih orang yang mengelilinginya, dia memperhatikan bahwa lima atau enam dari mereka sudah mengatur inventaris mereka. Beberapa orang lainnya dengan tergesa-gesa membuka penyimpanan pribadi mereka, takut bahwa Nie Yan telah mengumpulkan cukup Gigi Kelelawar dan tidak lagi menginginkannya lagi. "Untuk apa Gigi Kelelawar ini digunakan?" Beberapa pemain memeriksa dan bertanya. "Saya menggunakan mereka untuk meningkatkan keterampilan Pemula Blacksmithing saya," jawab Nie Yan. "Bagaimana naik level keterampilan Pandai Besi Pemula membutuhkan begitu banyak Gigi Kelelawar?" “Aku punya sepuluh atau lebih teman yang semuanya mempelajari Blacksmithing juga, dan mereka menyuruhku membeli materi sekaligus. Jika Anda ingin menjual maka sudah menjual. Jika tidak, maka berhentilah berdiri dan memblokir garis, ”jawab Nie Yan acuh tak acuh. “Di sini, aku punya dua tumpukan. ” Nie Yan melirik jendela perdagangan. Hee memasukkan dua tembaga dan tekan konfirmasi. "Ini milikku. Ada tiga tumpukan. ” Satu demi satu, pemain terus melakukan perdagangan dengan Nie Yan. Mereka yang memiliki lebih banyak akan menjual sekitar tiga atau empat tumpukan. Sementara mereka yang kurang akan menjual hanya satu atau dua tumpukan. Bahkan ada beberapa yang tidak berdagang, mereka berdiri di samping dan menatap tanpa daya. Mereka adalah orang-orang yang sudah menjual semua Gigi Kelelawar mereka kepada NPC, atau membuangnya. Dalam kedua kasus itu, mereka semua berdiri di sana penuh dengan penyesalan. Saat berdagang, Nie Yan juga mendepositokan Gigi Kelelawar ke penyimpanan pribadinya. Tasnya hanya memiliki dua puluh slot, dan tidak punya cukup ruang untuk menampung semua bahan. Semakin banyak orang berdagang dengan Nie Yan. Para pemain yang telah menjual Gigi Kelelawar mereka akan memberikan informasi ini kepada teman-teman mereka. Kemudian teman-teman yang memiliki Gigi Kelelawar akan datang satu demi satu, membawa Gigi Kelelawar mereka bersama mereka. Tak lama, Nie Yan telah mengumpulkan lebih dari dua ratus tumpukan Gigi Kelelawar. Nie Yan buru-buru membuat pengumuman. “Semuanya, tolong tunggu sebentar! Kalian semua, harap tunggu! Saya sudah kehabisan uang. Biarkan saya mendapatkan lebih banyak uang dari teman saya terlebih dahulu. Aku akan kembali sebentar lagi — paling lama lima belas menit. Semua orang tolong kembali setelah lima belas menit, saya akan kembali ke sini saat itu. ” "Aku masih punya beberapa di sini!" "Tunggu! Itu punyaku! ” Nie Yan mendorong kerumunan saat dia berjalan keluar. Akhirnya, dia menarik napas panjang. "Hah … para pemain ini terlalu antusias …" UANG BARU Bab 19 – Uang Baru Nie Yan tiba kembali di kota Calore setelah melewati titik transportasi. Begitu dia tiba, dia berbelok di sudut dan memasuki gang di dekatnya. Di sana dia mengaktifkan Stealth setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya. Hanya setelah melakukan tujuh atau delapan jalan memutar melalui lorong-lorong, ia akhirnya tiba di Kade Smithy. Ini adalah pelajaran dari masa lalu. Dia pasti tidak akan membiarkan lokasi Kade Smithy diungkapkan. Nie Yan akan mengambil Gigi Kelelawar yang telah dia kumpulkan dari pemain lain dalam batch, kemudian mengangkut dan menjualnya ke Kade. Lebih dari dua ratus tumpukan gigi dijual seharga empat perak. Dua perak menjadi empat hanya dalam setengah jam. Selain itu, Ia juga memperoleh sembilan ratus pengalaman. Nie Yan memperhatikan bahwa bar pengalamannya telah meningkat hingga lima persen ketika dia melirik ke bar pengalamannya. Dia kembali ke Mordor setelah menyerahkan semua Gigi Kelelawar, dan terus membeli lebih banyak. Para pemain yang melihat Nie Yan kembali, takut dia akan segera pergi lagi, segera berbaris dan menunggu untuk berdagang. Mordor sibuk dengan jumlah aktivitas yang luar biasa tinggi karena tindakan Nie Yan. “Semuanya, tidak perlu merasa cemas. Setelah saya membeli semua yang saya butuhkan pagi ini, saya akan kembali sekitar jam delapan malam untuk membeli lagi. "Nie Yan mengeluarkan pengumuman kepada orang banyak. Para pemain ini kemungkinan besar akan mengumpulkan beberapa Gigi Kelelawar setelah bertani monster sepanjang hari hingga pukul delapan malam. Pada saat dia membeli lebih dari dua ratus tumpukan, jumlah Gigi Kelelawar yang diperdagangkan secara bertahap berkurang. Setelah membeli seratus tumpukan lagi, Nie Yan melihat tidak ada lagi pemain yang berdagang. Jadi dia pergi melalui titik transportasi kembali ke kota Calore. Dua Pencuri mengikutinya dari dekat. Nie Yan telah membeli semua Gigi Kelelawar ini semuanya sekaligus, namun ia masih memiliki penampilan seseorang yang sepertinya belum cukup. Dengan perilaku semacam itu, berusaha untuk tidak menarik kecurigaan orang lain adalah kesulitan tersendiri. Mulut Nie Yan melengkung menjadi senyum tipis ketika ia mendeteksi Pencuri ini berusaha melacaknya. Saat ini, mereka yang mampu melacaknya … bahkan belum dilahirkan! Nie Yan berbelok ke sebuah gang dan mengaktifkan Stealth, sangat cepat menghilang dari pandangan. Pada saat para Pencuri itu menuju ke gang, semua jejak Nie Yan hilang. "Ke mana pria itu pergi?" "Aku tidak bisa menemukannya. ” "Saudaraku, menurutmu apa yang akan dilakukan pria itu dengan semua Gigi Kelelawar yang dibelinya?" "Siapa yang tahu …. Ini jelas bukan untuk leveling Blacksmithing-nya, itu sudah pasti. Tidak mungkin neraka Blacksmithing akan mengambil sebanyak itu Gigi Kelelawar untuk naik level, bahkan jika dia membelinya untuk teman-temannya. Belum lagi dia bahkan akan kembali lagi di malam hari. Mari kita tunggu sampai waktu berikutnya. ” Dua Pencuri yang berdiri di sudut itu mengucapkan beberapa kata lagi, lalu berbalik dan pergi. Perlahan-lahan, siluet muncul dari dinding tidak jauh dari tempat kedua Pencuri itu. Itu Nie Yan keluar dari Stealth. Dia baru dua meter jauhnya dari mereka, namun mereka belum mendeteksi apa pun. Nie Yan tersenyum dingin ketika dia menatap punggung sosok mereka yang mundur. Itu hanya angan-angan, percaya bahwa mereka bisa mengorek rahasia dirinya. Dia tidak akan sebodoh itu untuk mengungkapkan lokasi Blacksmith Kade. Dia berbalik dan melangkah lebih jauh ke gang. Setelah menukar ketiga ratus tumpukan Gigi Kelelawar dengan Kade, Nie Yan sekarang memiliki tujuh perak di sakunya. Dengan level rata-rata saat ini dari playerbase, ini dapat dianggap sebagai sejumlah besar uang. Dia kemudian berlari ke kota Carter dan kota Yeme untuk membeli lebih banyak Gigi Kelelawar. Setelah menukar mereka dengan Kade, dia memiliki total dua puluh enam perak. Dia sekarang mengerti bagaimana rasanya menjadi uang bergulir. "Ahh … menyegarkan sekali. ” Jumlah uang yang dimiliki pemain di awal permainan sangat penting untuk pertumbuhan mereka di masa depan. Paladin itu dari kehidupan masa lalunya membuat lebih dari sepuluh koin emas dari pencarian ini. Menghasilkan jumlah seperti itu sepertinya tidak terbayangkan baginya ketika pertama kali memasuki permainan, tetapi sekarang dia tahu itu mungkin secara langsung. Para pemain yang tahu tentang Nie Yan membeli Gigi Kelelawar dengan harga tinggi tidak akan pernah membayangkan dia menjualnya ke NPC. Dengan demikian dia akan dapat menghasilkan lebih banyak uang di jalan! Kepercayaan seseorang akan berubah ketika mereka punya uang, dan Nie Yan tidak terkecuali. Dia segera pergi ke rumah lelang terbesar di kota Calore. Peralatan dan senjata yang dilelang semuanya setidaknya memiliki tingkat Bronze atau lebih tinggi. Selain itu, ada juga berbagai buku keterampilan dan bahan yang tidak biasa dilelang juga. Sebagian besar, pemain yang berdagang di sini adalah mereka yang sering ikut serta dalam penggerebekan. Sementara dalam perjalanan ke rumah lelang, Nie Yan memutuskan sebelumnya bahwa dia akan membeli sembilan puluh Fine Silks dengan harga serendah mungkin. Setelah melakukan pembelian, ia menyimpan bahan-bahan barunya ke penyimpanan, sehingga ia bisa mengambilnya kapan pun ia ingin menyerahkan pencariannya. Setelah itu, dia berjalan ke aula besar rumah lelang. Seperti yang diharapkan dari rumah lelang terbesar di Calore, konstruksinya cukup besar. Pilar-pilar di aula utama dibangun setinggi puluhan meter untuk mendukung atap yang sangat besar. Seluruh panjang aula membentang lebih dari seratus meter. Seolah-olah itu adalah aula dari kuil atau tempat suci yang luas. Nie Yan secara rutin berjalan melalui aula ini di kehidupan sebelumnya. Setelah menemukan sudut untuk duduk di, ia mengambil perangkat penawarannya dan menandai harga yang dikutip dari berbagai barang dagangan yang akan muncul di layar ajaib. Dia melihat halaman demi halaman barang dagangan. Semua yang tercantum di layar ajaib dipisahkan menjadi beberapa kategori, sehingga memudahkan pemain menemukan item tertentu yang mereka cari. Nie Yan menghapus centang pada semua kategori yang tidak berguna baginya. Semua yang tersisa di layar adalah barang yang bisa digunakan oleh semua profesi, seperti belati defensif, perisai bundar kecil, tas, dll … Pemain bisa melengkapi hingga lima tas. Mereka dibagi menjadi slot enam belas, dua puluh, dua puluh empat, dua puluh delapan, dan seterusnya. Semakin besar bagspace, semakin tinggi harganya. Setiap pemain akan diberikan starter bag dengan dua puluh slot ketika mereka memulai permainan. Jika mereka menginginkan lebih banyak ruang bag, mereka dapat membeli tas enam belas slot dari pasar untuk sepuluh tembaga. Adapun dua puluh tas slot … harga mereka bahkan lebih tinggi. Meskipun demikian, uang tidak benar-benar masalah bagi Nie Yan saat ini. Uang yang dihabiskan masih bisa diperoleh kembali di masa depan. Pada kenyataannya, kehilangan yang sebenarnya adalah membiarkannya terbuang di kantong Anda. Nie Yan menggunakan uang ini untuk melengkapi dirinya dengan peralatan terbaik. Rumah lelang memiliki tidak lebih dari sebelas dua puluh tas slot untuk dilelang. Masing-masing dilelang untuk sekitar dua puluh tembaga. Nie Yan menempatkan tawaran pada empat dari dua puluh slot tas ini. Meskipun harga tas yang ditawar Nie Yan secara bertahap naik, tawaran maksimumnya tidak pernah melebihi dua puluh dua tembaga. Tak lama, dia berhasil mengamankan empat tas dua puluh slot. Sialan … penjahit adalah orang yang menghasilkan uang nyata, Nie Yan tidak bisa tidak berpikir untuk dirinya sendiri. Namun perlu memiliki koneksi yang tepat jika seseorang ingin sukses dalam profesi kerajinan. Sebagai contoh, seorang pemain bisa dengan mudah menaikkan level skill crafting mereka jika mereka memiliki guild yang bisa diandalkan dan meminta guild untuk memasok mereka dengan jumlah bahan yang tak ada habisnya. Penjahit juga seperti ini. Dan meskipun banyak pemain normal akan belajar keterampilan kerajinan juga, mereka tidak bisa dibandingkan dengan para pemain yang berspesialisasi dalam keterampilan kerajinan mereka. Kebutuhan Nie Yan untuk uang masih belum merosot ke titik di mana ia harus menjadi pemain yang berspesialisasi dalam kerajinan. Setelah menghabiskan setengah perak, ia membuka halaman yang khusus untuk barang dagangan Pencuri. Dia membalik-balik halaman, mencari apa pun yang tampak menarik. Selama barang itu berguna, dia akan membelinya tanpa sedikit pun keraguan. Tidak masalah jika barang itu sedikit mahal, dia tetap akan membelinya. Barang yang dia beli semuanya kelas Perunggu; sepasang Soft Leather Pants dengan Dexterity +3, satu set Azure Fur Armor dengan Strength +2, sepasang Horsehide Boots dengan Balance +2, dan Dagger-tip Silver dengan Strength +3. Nie Yan telah menghabiskan jumlah besar untuk membeli keempat peralatan Level 0 ini. Setelah mengganti perlengkapannya saat ini dengan perlengkapan barunya, dia sekarang hanya memakai perlengkapan tingkat Perunggu. Salah satu dari empat peralatan ini akan membutuhkan banyak uang bagi pemain rata-rata. Jika bukan karena dia mengambil keuntungan dari pencarian tersembunyi Kade untuk mendapat untung, dia pasti tidak akan berani menghabiskan begitu banyak uang. Nie Yan melirik muatan perlengkapannya setelah mengganti peralatannya — 16 lb. Bobotnya masih diklasifikasikan sebagai "Beban Ringan" (0-20 lb), sehingga gerakannya tidak akan terhalang sama sekali. Selain keempat peralatan itu, Nie Yan juga membeli tiga buku keterampilan Pencuri. Yang pertama adalah keterampilan pasif, Enhance Stealth: Stealth dan Cloak menerima bonus tambahan +3. Buku kedua mengajarkan keterampilan menyerang yang disebut Concussive Strike: Langsung menyerang lawan, membingungkan mereka dan mencegah gerakan selama tiga detik. Skill ini memiliki cooldown tiga puluh detik. Akhirnya, buku ketiga mengajarkan keterampilan yang disebut Smothering Strike: Memukul musuh dari belakang, menempatkan mereka dalam keadaan bingung selama enam detik. Target akan terbangun dari kebingungan jika diserang. Skill ini memiliki cooldown tiga puluh detik. Tiga buku keterampilan ini hanya mengajarkan keterampilan Pencuri Level 0, namun harga pasar untuk mereka masing-masing kira-kira dua puluh tembaga. Pencuri akan sangat miskin saat pertama kali memulai dalam permainan. Dalam hal itu, Pencuri dan Penyihir bisa dianggap sesama penderita dalam satu kapal, karena kedua profesi itu pada akhirnya menghabiskan hampir semua buku keterampilan membeli kekayaan mereka! Pencuri adalah profesi yang tidak bisa bertahan tanpa keterampilan, tetapi setiap buku keterampilan cukup mahal! Jadi mereka tidak punya pilihan selain melewati masa-masa sulit, hidup hemat setiap hari sehingga mereka bisa membeli buku keterampilan tunggal. Kadang-kadang para pemain ini bahkan akan dipaksa untuk terus mengenakan peralatan usang mereka yang lama, hanya agar mereka bisa menghemat beberapa tembaga. Bahkan para pemain Pencuri yang agak kaya dalam kehidupan nyata kadang-kadang tidak punya pilihan selain pergi ke platform transaksi dan menghabiskan sejumlah uang untuk membeli mata uang dalam game. Kekuatan sejati seorang Pencuri, kemampuan tangguh mereka untuk mengendalikan pertarungan, hanya akan muncul jika seorang pemain bisa bertahan melalui masa-masa sulit ini dan membeli keterampilan yang mereka butuhkan. Nie Yan juga telah mengalami kesulitan ini sebelumnya, perlahan-lahan naik sedikit demi sedikit sebelum bereinkarnasi. Meskipun ia dapat dengan mudah membeli jalan melalui penghalang ini dalam kehidupannya saat ini. Skill barnya terlihat jauh lebih kosong setelah mempelajari ketiga skill itu. Dia menarik halaman untuk buku keterampilan lagi untuk melihat apakah ada keterampilan lain untuk dijual. Saat dia melihat-lihat, nama skill yang tidak biasa menarik perhatiannya. Buku keterampilan: Parry Deskripsi keterampilan: Menangkis serangan lawan dengan senjata Anda. Wajib untuk digunakan: Aksi (memerlukan senjata) Cooldown keterampilan: 30 dtk Batasan Profesi: Pencuri, Pejuang, Paladin; dapat dipelajari oleh faksi apa pun. Nie Yan tidak bisa melupakan keterampilan ini. Itu adalah sesuatu yang dirindukan setiap profesi tempur dekat — aset paling berharga dari profesi jarak dekat mana pun. Tidak masalah seperti apa situasi pemain itu, apakah PvPing atau melawan monster, bisa menangkis serangan adalah penyelamat. Parry adalah keterampilan yang memiliki peluang satu dari sepuluh ribu untuk jatuh dari monster iblis. Hanya satu atau dua pemain yang mempelajari keterampilan ketika ia berpartisipasi dalam pertempuran seratus orang yang penuh dengan Level 60 di masa lalu. Ini menunjukkan betapa langka keterampilan itu. Nilainya hanya sedikit kurang dari buku keterampilan untuk Vital Strike. Itu tidak masalah … dia toh akan membelinya! Nie Yan melirik tawaran saat ini — dua perak. Bukan hanya itu tetapi harga penawaran terus meningkat setidaknya lima puluh tembaga setiap kali. Orang-orang yang mengajukan tawaran pada keterampilan yang tidak biasa dan langka ini biasanya adalah pemain kaya, tim, atau mungkin bahkan pemimpin guild. Lebih sering daripada tidak, mereka tidak akan keberatan menghabiskan beberapa perak hanya demi satu buku keterampilan. Dua perak dan lima puluh tembaga, tiga perak, tiga perak dan lima puluh tembaga …. Penawaran sengit pada buku keterampilan Parry menarik perhatian banyak pemain. "Ini keterampilan langka!" “Tidak heran tawarannya sangat tinggi…. ” Tiga perak … kira-kira jumlah yang sama yang akan dibuat oleh sebuah tim setelah membersihkan ruang bawah tanah Level 3 yang umum. Bahkan yang paling bisa mereka dapatkan adalah lima perak. Setelah beberapa saat, penawaran berhenti. Barang yang dilelang akan pergi ke penawar tertinggi jika sepuluh menit berlalu tanpa ada tawaran lebih lanjut. "Empat perak …. "Nie Yan melakukan penawaran. Dia bertekad untuk mendapatkan buku keterampilan Parry ini. "Empat perak dan lima puluh tembaga !?" Dia tidak tahu siapa, tetapi seseorang meningkatkan tawaran lagi. Harga ini bisa menakuti sebagian besar pemain dalam permainan. Pada saat ini, hanya masalah pihak mana yang lebih mau membuang uang mereka. "Lima perak!" Nie Yan meningkatkan tawarannya sekali lagi … Tidak peduli apa pun ia masih memiliki banyak kesempatan lagi untuk mendapatkan uang di masa depan. Jumlah ini bukanlah sesuatu yang sedikit pun dia miliki. "Ya Dewa . Siapa orang kaya itu? Untuk menghabiskan uang sebanyak itu untuk satu buku keterampilan Parry …. ” Semua pemain di lelang sudah mendiskusikannya secara pribadi. Sebuah buku keterampilan Pencuri tunggal dilelang dengan harga seperti itu …. Ini terlalu menakutkan. “Benar-benar ada banyak orang kaya. ” Harga tidak naik untuk sementara waktu. Tampaknya pihak lain merasa takut dengan tawaran Nie Yan. Buku keterampilan Parry memasuki tasnya setelah sepuluh menit berlalu. Setelah mempelajari keterampilan itu, ia membeli sebotol racun yang digunakan oleh Pencuri untuk melapisi belati mereka selama tiga puluh tembaga. Itu bisa diterapkan tiga kali sebelum kehabisan, dan akan menyebabkan musuh kehilangan sepuluh persen pertahanan mereka setelah diracun. Akhirnya dia selesai membeli semua yang dia butuhkan. Selanjutnya, barang-barang yang telah dilelang sebelumnya telah terjual. Saat ini ia masih memiliki enam belas perak yang tersisa di sakunya. Meskipun telah mempelajari begitu banyak keterampilan baru, Nie Yan tidak perlu berlatih dengan mereka sama sekali. Ini karena dia sangat akrab dengan Keterampilan Pencuri dan profesi itu sendiri. Dia bisa menggunakan keterampilan ini dengan mudah langsung, jadi kekuatannya telah meningkat secara signifikan setelah mempelajarinya. Nie Yan sekarang memiliki lebih banyak kepercayaan diri ketika membandingkan dirinya dengan mereka yang telah memulai ketika permainan pertama kali dirilis. Menggunakan pengetahuan game tentang kehidupan masa lalunya, dia sekarang bisa membuka jalan bagi perkembangannya di masa depan. Kemudian di masa depan dia bisa berjalan di jalan ini tanpa terhalang. Setelah itu ia membuat Kain Sutra di tasnya menjadi perban, yang bisa digunakan jika terjadi keadaan darurat. Dia juga membeli roti dan barang-barang berguna lainnya yang bisa mengisi kembali kekuatannya. Selain itu dia sekarang memiliki tas penuh ramuan pemulihan tingkat rendah dan ramuan regenerasi. Obat Menengah Menengah: Penguasaan Keterampilan 10/500 Haruskah saya menghindar dan naik level? Nie Yan segera memikirkan beberapa lokasi leveling yang sangat cocok untuk dilatih Pencuri. MEMBUNUH PEMAIN NAMA MERAH Bab 20 – Membunuh Pemain Nama Merah Saya kira saya akan memeriksa Spiritmyth Pond terlebih dahulu. Seharusnya ada beberapa peti harta karun di sana, belum lagi tetesan airnya juga tidak terlalu buruk. Meski aku tidak tahu apakah peti itu sudah ditemukan atau tidak oleh orang lain. 「Ding!」 Sementara merenungkan masalah ini, Nie Yan tiba-tiba menerima pemberitahuan. 「 Sistem: Pemain Yao Zi (Young Sparrow Hawk) telah mengirimi Anda permintaan pertemanan. 」 「Nie Yan, ini aku,」 Tang Yao berkata dengan nada cemas. 「Ada apa?」 Tanya Nie Yan. Kecemasan dalam nada Tang Yao telah menyebabkannya mengerutkan alisnya. 「Aku terpojok di Levin Hills,」 Tang Yao berkata dengan sedih. Satu-satunya orang yang bisa dia pikirkan yang bisa membantunya saat ini adalah Nie Yan. 「Apa, siapa yang membuatmu terpojok?」 「Orang-orang dari guild Api Suci Radiant. Setidaknya ada dua puluh dari mereka! Kelima anggota tim saya dibunuh oleh para bajingan itu. Hanya saya sendiri yang berhasil melarikan diri …. Jika bukan karena Lei Zi (Guntur Muda) melindungiku, maka aku akan mati juga. Saat ini mereka hanya memblokir dua jalan keluar dari Levin Hills. 」Lei Zi adalah teman sekelas Nie Yan dan Tang Yao di sekolah menengah. Namun tidak seperti Tang Yao, dia tidak terlalu dekat dengan Nie yan, karena mereka hanya melakukan kontak singkat di masa lalu. Api Suci Berseri-seri …. Nie Yan sebenarnya pernah mendengar tentang guild ini sebelumnya. Itu adalah guild besar, mirip dengan Victorious Return. Di masa lalu, sekitar waktu dia mencapai Level 60, pengembang Conviction menerapkan sistem peringkat guild. Radiant Sacred Flame adalah salah satu guild yang berada di peringkat enam puluh teratas. Bahkan ketika tahun-tahun berlalu, mereka tidak pernah jatuh di bawah ratusan. “Sembunyikan dengan baik. Saya akan ke sana sebentar lagi, ”saran Nie Yan. Tang Yao kemungkinan besar akan terbunuh jika dia terlambat bahkan beberapa saat. Sekarat berarti hilangnya level. Ini akan menjadi hasil yang sangat disayangkan untuk Tang Yao. Nie Yan memasuki toko gulir dan membeli lima gulungan Pengembalian, lima Gulungan Tergesa-gesa Dasar, dan lima Gulungan Kekuatan Dasar. Dia hanya perlu memberikan Tang Yao Gulungan Kembali dan yang terakhir akan bisa dengan aman berteleportasi ke kota atau kota terdekat. Sedangkan untuk gulungan-gulungan lainnya, dia menyiapkannya kalau-kalau dia membutuhkannya nanti. Satu Gulir Pengembalian tunggal akan menelan biaya lebih dari tiga puluh tembaga. Adapun Gulungan Kecepatan dan Kekuatan Dasar, mereka sedikit lebih murah di masing-masing dua puluh tembaga. Kedua gulungan ini berdurasi tiga puluh menit. Gulungan Tergesa-gesa Dasar akan meningkatkan kecepatan gerakan sebesar dua puluh persen, sedangkan Gulungan Kekuatan Dasar akan meningkatkan kekuatan sebesar lima poin. Untuk pemain yang tidak begitu kaya, gulungan ini adalah barang yang banyak dari mereka tidak tahan untuk digunakan. Tidak ada yang berani bertindak seperti Nie Yan dan membeli banyak gulungan ini sekaligus. Dia juga membeli Ramuan Kesehatan Dasar sebagai persiapan untuk masa depan. Nie Yan menyingkirkan gulungan itu dan buru-buru berjalan menuju titik transportasi terdekat. Dia dilengkapi dengan peralatan Bronze-grade yang memberikan bonus stat seperti Dexterity +5 dan Move Speed ​​+2. Akibatnya, kecepatan gerakannya saat ini jauh melebihi pemain rata-rata. Dia dengan cepat tiba di titik transportasi dan berteleportasi langsung ke kota Link. Setelah muncul di kota, ia segera berlari menuju utara. 「Bagaimana kalian bisa berkelahi dengan mereka sejak awal?」 「Kami bertemu monster kelas Pemimpin di daerah tempat kami berburu monster Level 3. Ketika kami sedang memperjuangkannya, sekelompok orang datang dan mencoba dengan paksa mencuri pembunuhan dari kami, hanya karena mereka memiliki keuntungan dalam jumlah. Pada akhirnya Pencuri pesta kami berhasil mengambil sepotong peralatan Perunggu ketika monster kelas Pemimpin mati. Orang-orang itu tidak mau menerima itu, jadi mereka mencoba membunuh kita sesudahnya. Sekarang tiga dari mereka diberi nama merah. 」Tang Yao sepertinya kehabisan nafas saat dia mengatakan semua ini. Tampaknya dia masih bersembunyi dari para pengejarnya. 「Menurutmu berapa lama lagi bisa bertahan?” 」 「Untungnya, Levin Hills adalah area yang cukup luas. Jadi selama saya terus bergerak, mereka seharusnya tidak berpikir untuk menangkap saya dalam satu jam berikutnya, terutama mengingat betapa sedikitnya orang yang mereka miliki. Itu … kecuali mereka meminta lebih banyak bala bantuan. 」 「Satu jam sudah cukup. Saya akan memastikan untuk bersenang-senang dengan mereka. 」Nie Yan mulai tumbuh gelisah. Dia diperlengkapi dari kepala hingga ujung kaki dengan peralatan tingkat Perunggu dan telah belajar banyak keterampilan baru. Dia hanya ingin pergi, sekarang dia menemukan lawan baru untuk menguji mereka. . 「Apa yang akan kamu lakukan?」 「Saudara ini akan melampiaskan frustrasi atas nama Anda,」 Nie Yan menjawab dengan percaya diri. 「Berapa banyak orang yang Anda miliki dengan Anda?」 Tang Yao bertanya, bingung. Dia tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah Nie Yan benar-benar berhasil membawa banyak orang bersamanya. 「Tidak, hanya aku. 」 「Apakah ini semacam lelucon!?」 Tang Yao merasa ini terlalu konyol. "Ha ha! Bagaimana menurutmu? 」Nie Yan menjawab. Saat ini, sebagian besar pemain dalam permainan tidak sekuat itu. Lagipula, mereka baru bermain gim selama sekitar satu minggu. Sederhananya, mereka semua masih pemula. Bahkan guild seperti Radiant Sacred Flame akan sulit sekali menemukan bahkan satu anggota yang dapat menyaingi Nie Yan, apalagi memiliki keruntuhan peringkat bawah yang menghadapnya. 「Saya tidak bisa menghapus semuanya, tetapi merawat beberapa dari mereka seharusnya tidak menjadi masalah. 」 Nie Yan memiliki sepuluh tahun pengalaman bermain Pencuri. Dia tahu semua keterampilan yang digunakan oleh masing-masing dan setiap profesi untuk PvP. Belum lagi dia mengerti strategi pertempuran seperti punggung tangannya. Bahkan jika mereka memiliki lebih banyak orang … jadi apa? 「Jangan sampai membuat dirimu terbunuh. Jika situasinya mulai terlihat berbahaya dan Anda tidak dapat membantu saya, maka jadilah itu. Bahkan jika aku mati aku hanya akan kehilangan satu level. Tidak ada ruginya bagi Anda. 」 "Jangan khawatir . Temukan tempat untuk bersembunyi dan tidak keluar. Duduk dan saksikan saja. 」 Pintu masuk ke Levin Hills adalah jurang kecil yang memungkinkan hanya tiga hingga empat orang untuk melintas dalam satu waktu. Wajah tebing vertikal curam mengapit jurang di kedua sisi. Ada tiga pemain yang menjaga pintu masuk ini: Level 3 Berserker, Elementalist Level 3, dan Level 2 Priest. Di antara ketiganya, hanya Elementalist yang namanya ditandai merah. Teman-teman mereka sudah pergi mengejar Tang Yao, hanya menyisakan ketiganya untuk menjaga pintu masuk. Dan Tang Yao yang malang terperangkap di dalam, seperti kura-kura di dalam toples. "Mengutuk! Bajingan itu licin seperti loach. Bahkan setelah semua ini kita masih belum berhasil menangkapnya. Yang lebih buruk adalah bahwa saya bahkan tidak tahu kapan tanda merah pada nama saya ini akan hilang. Aku bahkan tidak bisa memasuki kota atau kota sampai kota itu pergi, ”Elementalist mengutuk sambil mengobrol dengan rekan satu timnya. “Kapten Dian Cang (Blue Drop), jangan marah. Tidak ada masalah selama Anda tidak terbunuh oleh seseorang sebelum nama merah Anda menghilang. Selain itu, kami mendapat banyak keuntungan dari ini. Masing-masing dari lima orang yang kami bunuh menjatuhkan sebuah peralatan, ”kata Berserker. "Peh! Kelima potong sampah itu tidak pantas. Jika bukan karena anak-anak nakal itu berpikir mereka benar-benar bisa mencuri peralatan kami, membuatku dalam suasana yang buruk, maka orang tua ini bahkan tidak akan peduli dengan mereka. "Elementalist bernama Dian Cang menjawab dengan jijik. “Kapten Dian Cang Anda benar-benar seperti dewa yang tak terkalahkan. Anda berhasil sendirian mengambil tiga dari mereka sendiri. Ingat ketika Anda melemparkan Scorching Flame Explosion sebelumnya? Cara Anda menggunakannya sangat indah! ”Pastor di sebelahnya mulai menyanjung dan menjilat. "Hmph! Mereka bertiga hanya lemah. Hanya butuh satu Ledakan Api Hangus untuk mengambil lebih dari setengah kesehatan mereka. Jika bukan karena jumlah kecil resistensi sihir mereka, mereka pasti tidak akan selamat! "Kata Dian Cang, agak senang dengan dirinya sendiri. Berserker dan Priest di dekatnya hanyalah pengikut Elementalist yang pemarah. Tampaknya posisinya dalam guild Radiant Sacred Flame agak tinggi. Ketiganya mengobrol santai seperti ini. "Ah! Nama merah. Sepertinya makanan hari ini akan lebih baik. '' Nie Yan tertawa terbahak-bahak sambil bersembunyi di kejauhan. Jika seorang pemain dengan nama mereka yang ditandai dengan warna merah terang seperti Elementalist ini harus dibunuh, maka tidak ada satupun peralatan di tubuh mereka yang akan tersisa. Semua yang dilengkapi akan jatuh! Lebih jauh lagi, perlengkapan yang Elementalist ini kenakan tidak terlihat setengah buruk. Dia mengenakan gaun penyihir merah menyala yang menyerupai api yang mengalir. Dia memegang tangannya, staf penyihir redwood merah tua dengan nyala api yang bersirkulasi di bagian atas. Tampaknya menjadi bagian dari set Fire Chaser, tapi Nie Yan sendiri tidak terlalu yakin. Elementalist ini akan melalui rute yang fokus pada kerusakan api. Kerusakan tinggi dari mantra apinya akan menjadi sedikit sakit untuk ditangani. Berserker di dekatnya juga tampak seperti dia akan sulit ditangani. Adapun Priest di sisi mereka, dia bisa saja diabaikan. Sebagian besar imam bahkan belum belajar Menyembuhkan ini di awal permainan. Karena itu mereka hanya akan mengikuti tim dari belakang dan pengalaman lintah. Dian Cang menyapu matanya ke sekeliling. Tanjakan curam dari pegunungan di dekatnya membuat latar belakang sedikit sulit untuk berbaur. Namun Nie Yan telah mempelajari keterampilan pasif Enhance Stealth, sehingga tidak akan banyak masalah. Dia memasuki Stealth dan perlahan-lahan bergerak menuju ketiga pemain itu. Dia memegang belati di tangan kanannya, memegangnya dengan cengkeraman terbalik, dan perlahan-lahan merangkak mendekat. Sekitar lima meter jauhnya, dia dapat dengan jelas melihat ekspresi di masing-masing wajah mereka. Elementalist Dian Cang merasakan sesuatu yang aneh, dan melirik ke daerah terdekat. Melihat ini, Nie Yan dengan cepat menghentikan langkahnya dan mengendalikan napasnya. Sepertinya Elementalist ini memiliki kesadaran yang agak tinggi. "Kapten Dian Cang, ada apa?" Tanya Berserker dengan ekspresi bingung. Dia melihat sekeliling, tetapi yang dia lihat hanyalah ruang kosong. Dian Cang sekali lagi mencari sekeliling dengan tatapan yang lebih fokus, tetapi masih belum menemukan apa pun. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak ada, mungkin hanya imajinasiku. ” Nie Yan samar-samar rajutan alisnya. Dia bisa mengatakan bahwa Dian Cang berpengalaman dalam PKing, karena dia bisa merasakan kehadiran Nie Yan dari jarak yang begitu jauh. Semakin banyak poin yang dimiliki pemain dalam kesadaran, semakin mudah bagi mereka untuk mendeteksi musuh-musuh tersembunyi — seperti Pencuri. Saya tidak bisa menganggap lawan saya terlalu enteng. Nie Yan dalam hati mengingatkan dirinya sendiri. Banyak pengalaman pahit di masa lalu mengingatkannya bahwa meremehkan lawan sering menyebabkan kekalahan. Nie Yan dengan ringan melangkah maju, sesekali mengubah kecepatan berjalannya. Setelah menenangkan pikirannya, dia secara bertahap memasuki kondisi tersembunyi Pencuri, dan sepenuhnya bergabung dengan latar belakang. "Kapten Dian Cang, siapa yang tahu di mana Arcane Mage bisa bersembunyi di bukit. Mungkin Bai Mao (Rambut Putih) dan yang lainnya sudah kehilangan dia, ”kata Berserker setelah melirik cepat pada ekspresi Dian Cang. "Oh," jawab Dian Cang tanpa sadar. “Bocah itu sangat licik. Dia hampir membunuh Dong Zi (Anak Timur) sekarang, ”kata Imam setelah melihat obrolan pesta. "Mhmm … pembelaannya terlalu lemah," jawab Dian Cang kembali. Dia tampak sibuk dengan hal lain. Berserker dan Priest agak bingung. Apa yang terjadi dengan Kapten? Kenapa dia begitu linglung. Pada saat ini Nie Yan telah berjalan di belakang Dian Cang, dan tidak dapat melihat ekspresi di wajah yang terakhir. Dia sekarang hanya berjarak dua meter dari Dian Cang. Nie Yan dengan penuh perhatian menatap punggung targetnya. Setelah melakukan pengukuran cepat, dia menemukan bahwa dia berada sekitar tiga meter jauhnya dari dua lainnya. Ini tentang waktu . Dia menyerupai cheetah saat dia dengan sabar menyimpan kekuatan di kakinya sebelum tiba-tiba menerkam sasarannya — Dian Cang! "Anak nakal! Saya sedang menunggu Anda untuk menunjukkan diri! ”Dian Cang tertawa sinis. Dia mundur kembali dan mengacungkan tongkat di tangannya. "Cincin Api Fierce!" Dia sudah lama menemukan Nie Yan! Delapan poin kesadarannya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Meskipun mereka tersembunyi, masih akan terbukti sangat sulit bagi Pencuri jika mereka ingin benar-benar tidak meninggalkan jejak di depan seorang ahli. Dia tepatnya ingin memancing Nie Yan lebih dekat sehingga dia bisa membunuh Nie Yan dengan bantuan Berserker dan Priest di dekatnya! “Kau menyukai peralatan pria tua ini? Apakah Anda pikir Anda akan memiliki kehidupan untuk merebutnya? "Dian Cang dengan jijik tersenyum. Dia pikir Nie Yan hanyalah Pencuri yang lewat yang bernafsu dengan peralatannya setelah melihat nama merah dan jenis perlengkapan yang dia kenakan. Sejak awal dia tidak pernah mengira Nie Yan dan Tang Yao terhubung. Dian Cang selesai membaca mantranya. Segera, cincin api yang menyala muncul dari udara tipis, meluas ke segala arah, meluncurkan dirinya ke arah Nie Yan. Dia segera mundur ke belakang setelah casting Fierce Flame Ring. Sensasi api yang membakar menyerang indera Nie Yan! Nie Yan dalam hati terkejut. Kecepatan reaksi orang ini cukup cepat …. "Pencuri!" Berserker dan Pencuri di dekatnya akhirnya bereaksi terhadap situasi, dan segera mulai mengambil tindakan. Saat ini, itu terlalu berbahaya bagi Nie Yan untuk berbalik dan mencoba melarikan diri. Jika dia ditabrak oleh Pengurus Berserker diikuti oleh mantra Elementalist Dian Cang dan Priest di belakangnya, dia pasti akan mati! "Bunuh dia!" Dian Cang memaksa Nie Yan mundur dengan Fierce Flame Ring miliknya. The Berserker mengambil kesempatan untuk memotong pelariannya. Sementara itu, Dian Cang bisa membuka jarak lebih jauh dari Nie Yan dan dengan tenang melemparkan mantra dari belakang. Bagaimana bisa Nie Yan tidak mengerti niatnya? Pada saat ini jika dia mundur kembali, itu sama dengan meminta Dian Cang menghujani dia dengan mantra. Dengan jentikan jari, sebuah gulir muncul di tangannya. Meskipun dia sedikit menyesal, dia masih mengaktifkannya tanpa sedikit pun keraguan. 「 Sistem: Kecepatan gerakan Anda telah meningkat 20% selama 30 menit! 」 Kecepatan gerakan basis Nie Yan sudah cukup tinggi! Namun dengan peningkatan dua puluh persen, itu mencapai tingkat yang mencengangkan ketika dia menyambut nyala api yang datang dan bergegas ke depan. 「Boom!」 Sebuah ledakan terdengar saat Fierce Flame Ring menyerang Nie Yan. −35 「 Sistem: Partai lawan yang dipimpin oleh pemain Dian Cang (Blue Drop) telah mengambil inisiatif untuk menyerang Anda. Anda bebas untuk membalas pembelaan diri yang sah. Waktu: 30 menit. 」 Periode pembalasan ditingkatkan menjadi tiga puluh menit ketika menghadapi pesta kecil. Itu akan meningkat lebih jauh lebih jauh dalam pertempuran tim atau perang guild. Kerusakan ajaib pada Fierce Flame Ring milik Dian Cang sangat tinggi. Jika Nie Yan tidak mengubah perlengkapan lamanya menjadi perlengkapan kelas Perunggu saat ini, Cincin Api Fierce ini akan mengeluarkan setidaknya setengah dari kesehatannya! Percikan tersebar ke segala arah saat Nie Yan bergegas melewati Fierce Flame Ring dan dengan cepat mendekat ke Dian Cang. Dia menikam dengan belati, mengarahkan langsung ke dada lawannya. Dian Cang awalnya berharap bahwa Cincin Api Sengitnya akan memaksa Nie Yan untuk mundur. Dia tidak pernah berpikir Nie Yan akan begitu tegar dalam pelanggarannya, mendorong ke depan alih-alih mundur. Kecepatannya bahkan lebih cepat daripada beberapa saat yang lalu. Selain itu apa yang di luar harapannya adalah bahwa mantranya akan melakukan sedikit kerusakan pada Nie Yan. Dia secara wajar mengharapkannya untuk menangani sekitar lima puluh kerusakan setidaknya. Dia buru-buru mundur kembali saat dia melemparkan Bola Api Kecil. "Membunuh!" 「Splash!」 Darah menyembur dan berceceran di mana-mana. Nie Yan telah bertemu kepala mantera saat belati menembus dada Dian Cang. Akhirnya dalam jarak dekat, belatinya melintas dengan cahaya dingin. Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi Pencuri dalam pertempuran, tapi itu pasti pertama kalinya dia merasakan tekanan yang sangat besar. Kerusakan Nie Yan cukup tinggi dan gerakannya sangat cepat. Dia menggunakan sebuah gulungan! Dian Cang buru-buru mundur sambil menarik keluar jimat untuk mantra berikutnya. Saat dia membuka jarak agak jauh dia bersiap untuk melemparkan Scorching Flame Explosion. Persyaratan pengecoran Scorching Flame Explosion adalah lima suku kata, dua gerakan, dan katalis ajaib, jika tidak mantra tidak akan terbuang jika ada satu komponen pun yang hilang. Untungnya, jimat itu bisa dibeli di toko-toko dan harganya tidak mahal sama sekali. Berserker itu datang mengapit dari samping sebelum melompat ke udara dan membelah Nie Yan dengan Flame Slash. Dia menutupi Dian Cang sehingga yang terakhir bisa membaca mantra mereka. Keduanya memiliki kerja tim yang cukup baik. Berserker telah berhasil memblokir Nie Yan pada waktu yang penting. Elemen api berwarna merah mulai menyatu dengan langkah cepat. Explor Flame Explosion adalah mantra dengan jumlah kerusakan tertinggi di gudang mantra Dian Cang. Jika resistensi sihir lawan rendah, itu bahkan mungkin bagi mereka untuk dibunuh secara instan di tempat. Perlawanan sihir profesi Pencuri hanya bisa dianggap rata-rata. Resistensi sihir basis mereka sama dengan enam puluh persen pertahanan mereka. Waktu casting untuk Scorching Flame Explosion adalah lima detik. Melihat Berserker melompat ke arahnya dari sayap, tepat ketika ujung bilahnya ada di depan matanya, Nie Yan dengan cepat dan elegan mengangkat belati, menangkis pukulan itu. Belati tiga inci dan pedang besar Berserker saling bentrok. Suara logam yang tajam bergema, menyentak tubuh kedua orang pada saat yang sama. Pedang hebat Berserker itu berjuang untuk maju bahkan setengah inci. Dian Cang terus mundur ke belakang sambil mengucapkan suku kata samar samar satu demi satu. Suaranya memancar keluar dengan kekuatan yang teredam namun eksplosif. Suara ini memanggil elemen untuk panggilannya. 「Bang!」 Sinar cahaya suci telah melanda Nie Yan dan memberikan tiga belas kerusakan. Meskipun kerusakan Imam ini terbatas, dia masih terus memberikan kerusakan pada Nie Yan terlepas. Nie Yan dengan cepat mengejar Dian Cang sekali lagi setelah dia menangkis serangan Berserker. Hati Dian Cang bergetar kagum setelah menyaksikan Pencuri ini masih maju ke depan setelah menghadapi serangan gencar. Pencuri yang berani! Nie Yan jelas mengerti bahwa dia tidak punya waktu untuk ragu. Dia akan kehilangan nyawanya jika dia ragu sedikit pun. Dia hanya bisa mempertaruhkan nyawanya untuk melestarikannya. Dia dengan berani menghadapi musuh secara langsung sehingga dia bisa meraih kemenangan. Pengalaman PvP yang tak terhitung jumlahnya dari kehidupan masa lalunya menyebabkan Nie Yan memiliki insting yang sangat tajam. Dia tidak akan kalah! Tiga detik … empat detik … nyala api dengan cepat berubah menjadi massa besar di atas tongkat Dian Cang. Segera nyala api berputar menjadi massa yang mengamuk dan esensi api yang mematikan menghanguskan. Nie Yan berlari maju dengan kecepatan tercepat dan tiba di depan Dian Cang. "Serangan Concussive!" Pada akhirnya Dian Cang lebih lambat hanya dengan satu langkah. Nie Yan menikamkan belati ke tengkorak Dian Cang. Ledakan Api Hangus dengan cepat runtuh sebelum benar-benar menghilang ke udara tipis. Strike Concussive memiliki efek mengganggu serangan. Oleh karena itu Nie Yan menyerang Dian Cang dengan serangan mendadak di tengah casting menyebabkan mantra Dian Cang dibatalkan. Nie Yan merasakan detak jantung yang kencang di dadanya sedikit melonggarkan. Saya nyaris tidak berhasil. Jika saya membiarkan dia berhasil melakukan Scorching Flame Explosion, saya tidak bisa membayangkan konsekuensi seperti apa yang akan terjadi. Slash Slash Berserker telah ditangkis, dan dengan sekejap mata, Nie Yan sudah melepaskan diri dari jangkauan serangannya. Selanjutnya ia juga berhasil menyela dan mengejutkan Dian Cang. Terlalu cepat . Berserker merasakan hawa dingin di hatinya. Kecepatan Nie Yan jauh lebih cepat daripada Pencuri yang pernah dilihatnya sebelumnya. Namun dia tidak punya banyak waktu untuk terus menatap kosong. Dia mengacungkan pedangnya dan mengaktifkan Charge. Dia menyerupai tank saat dia datang menabrak ke depan ke arah Nie Yan. "Vital Strike!" Nie Yan benar-benar mengabaikan Berserker yang masuk. Dia mengambil keuntungan dari keadaan linglung Dian Cang untuk mengaktifkan Vital Strike, menusuk belati di hati Dian Cang. 「 Sistem: Vital Strike berhasil! Serang + 5%, menyebabkan kerusakan tambahan! 」 Enam puluh atau lebih kesehatan yang tersisa Dian Cang segera mulai jatuh sebelum benar-benar menghilang. 「」 Segala sesuatu dari tubuh bagian atas ke tubuh bagian bawahnya jatuh. Dari tutup kepalanya hingga jubah penyihir, sarung tangan, celana, dan sepatu bot, tidak ada satupun yang tersisa. Setiap peralatan jatuh dan jatuh ke tanah. 「 Sistem: Anda telah membunuh pemain nama merah, dan menerima Fame +1! 」 Permainan telah diatur sehingga memungkinkan untuk menerima sedikit ketenaran ketika seorang pemain membunuh pemain lain yang namanya ditandai dengan warna merah. Namun, pemain tidak akan lagi menerima ketenaran setelah membunuh pemain bernama merah yang sama lebih dari tiga kali. Itu mungkin untuk mendapatkan ketenaran dari membunuh pemain yang namanya ditandai merah dan menyelesaikan misi. Semakin tinggi ketenaran pemain, semakin mudah menerima misi tertentu. Ketenaran juga akan memungkinkan pemain untuk menerima perlakuan yang lebih istimewa di kota-kota besar dan kecil. Ketika Nie Yan membunuh Dian Cang. Berserker pengisian akhirnya tiba dan menebas dengan pedangnya. Bahu mereka saling berpapasan saat Berserker melewatkan tugasnya ketika Nie Yan mengelak dengan langkah samping. Nie Yan tepat di depan matanya. The Berserker yakin serangannya akan mengenai Nie Yan. Dia tidak pernah berharap bahwa Nie Yan akan benar-benar tiba-tiba menghindar, menyebabkannya masuk ke ruang kosong dan terus mengisi ke jarak yang jauh. “Semua peralatan kapten terjatuh! Cepat, ambil! ”Berserker dengan cemas berteriak. Dian Cang adalah sosok penting dalam guild Radiant Sacred Flame, dan yang sering berpartisipasi dalam guild dungeon run. Setiap bagian dari tubuhnya sangat berharga dan langka. Bahkan jika Anda membandingkannya dengan seluruh guild, itu masih akan dianggap superior. Jika seseorang memperkirakan nilainya, mereka akan bernilai lebih dari sepuluh perak! Namun, peralatan yang dijatuhkan kaptennya sudah sangat jauh darinya. Ketika dia melihat ke belakang, Nie Yan sudah mulai mengambil peralatan. Imam dengan cepat berlari ke tempat Dian Cang menjatuhkan peralatannya setelah sekarat. Beberapa saat sebelumnya, dia lari di kejauhan dan mengucapkan mantra di belakang demi menghindari Nie Yan. Bagaimana mungkin dia bisa kembali pada waktunya untuk merebut kembali beberapa peralatan !? Sama seperti Nie Yan telah membungkuk dan memasukkan dua potong peralatan di tasnya, sinar cahaya suci menghantam tubuhnya. −17 Nilai kerusakan melayang di atas kepala Nie Yan. "Linear Slash!" The Berserker datang melompat maju dengan pedangnya menebas Nie Yan. Nie Yan mengabaikan tebasan melompat Berserker yang masuk, dan terus memasukkan satu demi satu peralatan ke dalam tasnya. Ah … itu segalanya. Mengambil peralatan tentu saja membuat seseorang bahagia. Saat dia mengangkat kepalanya, Berserker sudah tiba di depannya. 「Bang!」 Aura pedang Berserker menghantam tubuh Nie Yan menyebabkan dia kehilangan dua puluh dua kesehatan. Nie Yan hanya memiliki dua puluh tiga kesehatan yang tersisa, namun ia tetap mempertahankan kepala yang dingin. Dia dengan cepat jatuh kembali dan minum Ramuan Kesehatan Dasar. "Anak nakal! Mari kita lihat apakah aku tidak bisa meretasmu sampai mati! ”Dian Cang terbunuh. Jika dia tidak membunuh Nie Yan, dia akan kesulitan memberikan penjelasan kepada Dian Cang. Akibatnya, dia dengan panik mengejar Nie Yan dengan mata merah. FIRE CHASER SET Bab 21 – Fire Chaser Set "Itu akan mengharuskan kamu untuk setidaknya memiliki beberapa keterampilan!" Nie Yan tertawa jijik saat dia berbalik dan berlari pergi. Hampir seketika, ia berhasil menarik diri dari Berserker. Profesi Pencuri secara inheren cukup gesit. Namun sekarang, dengan penambahan ketangkasan dari peralatan kelas Perunggu, Nie Yan jauh melampaui Berserker dalam hal kecepatan. Nie Yan sudah mundur lima meter ke belakang. "Jangan biarkan dia melarikan diri, atau kita tidak akan bisa menjelaskan diri kita sendiri kepada kapten!" Teriak Berserker cemas. Dia terlalu lambat. Sama sekali tidak mungkin dia bisa mengejar ketinggalan. Ketika dia melirik Charge pada bar skillnya, dia menyesalkan fakta bahwa itu masih di cooldown. "Aku tahu . "Pendeta menyerang sekali lagi. Sinar cahaya suci melanda Nie Yan, memberikan enam belas kerusakan. Berserker tanpa henti mengejar dari belakang. Namun sejak awal, Nie Yan tidak pernah memiliki niat untuk melarikan diri. Dia hanya mengulur waktu sehingga beberapa keterampilan bisa keluar dari cooldown. Tepat saat Imam menyelesaikan serangannya, Nie Yan membuka jarak lebih jauh dan mulai membalut dirinya. + 20 … + 20 … + 20 … + 20— Kesehatan Nie Yan secara bertahap dipulihkan setiap detik. Pada tick keempat, Priest menghantam Nie Yan dengan seberkas cahaya suci lainnya dan menyela penyembuhan. Meskipun pada saat perban terputus, Nie Yan sudah pulih sepenuhnya. Saat ini, dengan tingkat rata-rata pangkalan pemain, Intermediate Combat Medic adalah eksistensi yang menentang Surga. "Dia memiliki keterampilan medis!" Seru Berserker terkejut; sedikit ketakutan bisa terdengar dalam nada bicaranya. Keterampilan Medic macam apa ini !? Keterampilan Medic yang dia lihat di masa lalu hanya bisa digunakan ketika pertempuran berakhir. Meskipun demikian, mereka hanya akan mengembalikan lima kesehatan setiap detik. Namun … keterampilan Nie Yan memulihkan dua puluh! Dia bahkan tidak pernah menemukan keterampilan Medic seperti milik Nie Yan yang dapat digunakan di tengah pertempuran, apalagi yang memiliki efek penyembuhan yang keterlaluan juga. Mereka telah bekerja dengan upaya yang sungguh-sungguh berusaha membuat Nie Yan turun ke kesehatan yang rendah. Kematiannya tepat di depan mata mereka. Lalu tiba-tiba, situasinya benar-benar terbalik! Semua keterampilan Nie Yan sekarang mati cooldown. Ujung bibirnya melengkung tipis menjadi senyuman. Sekarang giliranmu! Dia berbalik dan berlari ke arah Berserker. Kulit Berserker berubah menjadi putih pucat saat dia menyaksikan Nie Yan menerkam ke arahnya. Dengan tergesa-gesa, dia mengangkat pedangnya untuk melawan. Kesehatan penuh Nie Yan dapat membunuh kapten mereka bahkan ketika sedang diserang di tiga sisi. Sekarang Dian Cang sudah mati, hanya dengan mereka berdua, bagaimana mungkin mereka cocok untuk Nie Yan !? Belati di tangan Nie Yan melesat di busur lebar sebelum tiba-tiba mengubah arah tebasan pertengahan. Strike Concussive! 「Thwack!」 The Berserker mendaratkan pedang besarnya di dada Nie Yan. Pada saat yang sama, pukulan belati Nie Yan mendarat langsung di dahi Berserker! The Berserker tenggelam dalam keadaan linglung. Membunuh! Nie Yan menjatuhkan belati ke dada Berserker. Diikuti oleh Vital Strike, belati menembus lebih jauh. Seketika, Berserker kehilangan sebagian besar kesehatannya. Melihat Berserker hendak bangun, Nie Yan berputar di belakangnya dan menggunakan Smothering Strike, menempatkannya dalam keadaan linglung sekali lagi. Setelah melakukan serangkaian serangan dan telah bertarung begitu lama, Nie Yan kehabisan stamina. Sambil menghela nafas panjang, dia menusukkan belati ke punggung Berserker. Melalui serangkaian serangan eksplosif, kesehatan Berserker berubah dari lebih dari seratus delapan puluh menjadi hanya enam puluh yang tersisa hanya dalam beberapa detik singkat. Jika ini terus berlanjut, saya pasti sudah mati! The Berserker bingung dengan ketakutan ketika dia bangun dari keadaan linglung. Dia dengan panik melarikan diri ke arah lain dalam upaya untuk mempertahankan hidupnya. Jika Berserker berbalik dan menyerang Nie Yan, dia mungkin masih bisa menyebabkan Nie Yan beberapa kerusakan. Namun, dia memilih untuk tidak melakukannya karena dia egois dan pengecut. Sebagai gantinya, dia panik segera setelah dia melihat kesehatannya rendah, dan mati-matian berlari untuk hidupnya karena dia takut dia akan kehilangan peralatan saat dia terbunuh. "Kamu pikir kamu bisa melarikan diri?" Nie Yan mengejar, dengan mudah tiba di belakang punggung Berserker. Saat Nie Yan mengangkat belati, ia berturut-turut menebas lawannya beberapa kali di belakang. −23 −21 −16 "Argh … Sialan—!" The Berserker mengutuk ketika kesehatannya turun ke nol dan matanya menjadi gelap. Tubuhnya runtuh dan mendarat rata di tanah. Saat berikutnya, peralatan jatuh dari mayatnya. "Heh. Akhirnya giliran Anda. '' Nie Yan berlari ke arah Priest saat dia mengambil peralatan menjatuhkan Berserker. Dia menerima pukulan yang cukup keras dari Imam ini. Dari saat dia melawan Dian Cang sampai Berserker barusan, Pendeta ini terus-menerus menembakkan serangan padanya seperti lalat yang mendengung. Melihat Berserker pingsan di tanah, Imam itu menatap dengan bodoh. Dalam sekejap mata, bagaimana dia tiba-tiba menjadi satu-satunya yang tersisa? Dia adalah seorang Pendeta tingkat rendah yang bahkan belum belajar keterampilan penyembuhan apa pun. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi pasangan yang cocok untuk Pencuri ini? Pastor itu berbalik dan berlari cepat. Pada saat itu, dia benar-benar membuang pemikiran mencoba melawan Nie Yan. Tidak peduli apa tindakan yang diambilnya, dia masih akan berakhir mati. Karena itu, reaksi instingnya yang pertama adalah melarikan diri demi hidupnya. Nie Yan sudah mengejar. Profesi penyihir seperti Priest ini secara inheren berada di sisi yang lebih lambat, jadi di mana seorang Priest seperti dia mungkin melarikan diri? Saat Nie Yan menebas berturut-turut dengan cepat, belatinya dengan mudah merobek baju kain Imam. −31 −32 −32 Beberapa nilai kerusakan melayang di atas kepala Priest. Sebelum dia bahkan membuat beberapa langkah, tubuhnya jatuh ke depan dan jatuh di tanah. Saat Nie Yan berjalan ke mayat Imam, dia mengambil peralatan yang jatuh darinya. Peralatan yang dijatuhkan Priest dan Berserker agak biasa — dua potong peralatan Level 0 yang keduanya berkelas Putih. Perlengkapan terbaik masih yang dijatuhkan oleh Elementalis: tutup kepala, sarung tangan, jubah penyihir, staf, celana, dan sepatu bot. Enam potong peralatan secara total, dan tidak sedikit. Fire Chaser Crown: Fire Damage +5 Sarung Tangan Fire Chaser: Balance +3 Fire Chaser Robes: Fire Damage +10 Celana Fire Chaser: Willpower +2 Boots Fire Chaser: Kecepatan Gerakan +2 Ini adalah set Fire Chaser! Tidak heran mengapa kerusakan Dian Cang begitu tinggi! Peralatan untuk set ini berasal dari Level 3 instance, Black Flame Forest. Sebelum instance Level 5 dirilis, set ini dianggap sebagai peralatan terbaik untuk Penyihir yang fokus pada sihir api. Tingkat drop untuk setiap bagian dari set juga rendah. Diperlukan setidaknya empat atau lima kali operasi Black Flame Forest untuk mengumpulkan semua peralatan yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh set. Selain Fire Chaser, ada juga Staf Biru Tempered Level 0 tingkat Perak. Itu memiliki properti tambahan Magic +3 dan Elemental Damage +5. Nie Yan menganggap bahwa usus Dian Cang sekarang berwarna hijau dengan penyesalan. Bahkan jika Dian Cang terus membunuh Tang Yao dan anggota pestanya sampai mereka turun kembali ke Level 0, masih tidak ada gunanya kehilangan setiap peralatan di tubuhnya. Tidak buruk … dia bahkan memiliki staf kelas Perak, pikir Nie Yan pada dirinya sendiri. Jika dia menempatkan staf ini untuk dilelang, paling tidak itu akan dijual seharga tiga perak. Set Fire Chaser tingkat Bronze ini bisa dilengkapi oleh Elementalists dan Arcane Mage karena kedua profesi ini memiliki sihir api. Elementalists mampu mengendalikan elemen api sementara Arcane Mages mampu mengendalikan api misterius. Nie Yan bisa memberi hadiah kepada Tang Yao, Fire Chaser ini sebagai hadiah. Adapun staf kelas Perak, Tang Yao tidak akan dapat menggunakannya, sehingga Nie Yan bisa menjualnya dan menggunakan uang itu untuk pengeluaran lain. Jika tidak, ia bisa menukarnya dengan satu atau dua peralatan saja. "Di mana kamu sekarang? Katakan koordinatmu. 」 「231. 395. 285, ada sebuah gua di daerah itu di mana monster Level 5 muncul di dalamnya. Saya di gua itu sekarang. Saya bersembunyi di sudut sekarang dan takut untuk keluar. 」 「Saya membunuh tiga anggota dari guild Radiant Sacred Flame. Salah satunya bernama Dian Cang atau apalah. 」 「Kamu membunuh Dian Cang? Anda tidak berbohong kepada saya, bukan? Bajingan itu terlalu terkalahkan. Dia mengambil sendiri tiga anggota pestaku. Dengan kerusakan sihirnya, satu Fireball mampu mengeluarkan setengah dari kesehatan kita. 」Bagi Tang Yao, Nie Yan membunuh Dian Cang adalah hasil yang luar biasa dan tak terbayangkan. 「Nama pria itu ditandai dengan warna merah terang. Dia menjatuhkan setiap peralatan dari tubuhnya ketika aku membunuhnya. Di sini, ini adalah peralatan. Ini adalah set Fire Chaser. Saya akan memberikannya kepada Anda sebagai hadiah. 」 Saudara laki-laki Saya beruntung memiliki Anda hati-hati untuk saya dalam kehidupan masa lalu saya. Saya sudah membebani Anda dengan terlalu banyak hal. Bahkan sebelum saya harus membalas Anda, saya akhirnya bereinkarnasi. Saudara! Dalam hidup ini, aku akan menjadi orang yang mengawasimu! Nie Yan berpikir dalam hati saat dia berbagi info set Fire Chaser ke Tang Yao. Mulut Tang Yao ternganga. Wajahnya dipenuhi dengan kejutan saat dia menatap peralatan yang dibagi Nie Yan dengannya. 「Ini tidak nyata, kan?」 Tang Yao menampar wajahnya untuk memastikan apakah dia melihat sesuatu dengan jelas. 「Set ini … Anda yakin ingin memberikan ini kepada saya?」 Tang Yao secara alami tahu apa yang ditetapkan oleh Fire Chaser ini. Itu hanya mungkin untuk mendapatkan set ini setelah menjalankan Black Flame Forest empat atau lima kali. Belum lagi, tim sering terhapus saat mencobanya juga. Jika dia memakai set ini sendiri dan memasuki sebuah instance dengan pihak lain. Dapat dikatakan bahwa dari nilai set ini saja, dapat dipastikan bahwa anggota partai akan bergegas untuk merekrutnya ke dalam tim mereka. 「Apakah Anda pikir saya mengolok-olok Anda atau sesuatu!?」 Nie Yan memarahi Tang Yao dan tertawa. 「Bahkan jika aku mati hari ini, masih akan sia-sia. Meskipun saya baru berusia delapan belas tahun tahun ini, dan masih belum mengalami banyak masalah serius dalam hidup, yang paling saya banggakan dalam hidup ini adalah saya berhasil menemukan saudara seperti Anda! 」Tang Yao berseru secara emosional. Dia secara alami memahami situasi keuangan Nie Yan. Set Fire Chaser ini … jika Nie Yan memasangnya di platform transaksi dengan uang sungguhan, harga yang ia ambil akan cukup besar. Namun Nie Yan sebenarnya bersiap untuk mengirimnya set ini sebagai hadiah. Ini membuktikan bahwa Nie Yan benar-benar menganggapnya sebagai saudara. Nie Yan berpikir kembali ke masa lalu. Apa yang paling ingin dia katakan kepada Tang Yao di kehidupan masa lalunya adalah kata-kata itu juga. 「Ketika datang kepada kita saudara, tidak perlu sopan! Tunggu, aku akan membunuh beberapa dari mereka, 」informasi Nie Yan. Dia masih punya dua puluh lima menit tersisa di mana dia diizinkan untuk membalas membela diri. 「Aku tidak pernah mengira pria sepertimu akan sangat berbakat bermain game ini. Ketika saya mendengarkan saran Anda sebelumnya, semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi saya, dan keterampilan saya meningkat secara signifikan. Kalau tidak, saya tidak akan pernah bisa bertahan sampai sekarang, "Tang Yao memberi tahu. Dia mengagumi Nie Yan dari lubuk hatinya. Performa Nie Yan hari ini menyebabkan dia melihat Nie Yan di level yang sama sekali baru. Peralatannya akan jauh meningkat dengan set Fire Chaser ini dan dia akan masuk peringkat di antara para ahli. Di masa lalu, Tang Yao menganggap Nie Yan sebagai saudara yang miskin dan menyedihkan dan bahwa dia harus berhati-hati terhadap Nie Yan dalam segala hal. Tapi sekarang, tindakan Nie Yan telah membuatnya memandang dan mengagumi Nie Yan. Untuk pertama kalinya ia merasa saudara lelakinya ini benar-benar orang yang cakap. KEPALA RUSA Bab 22 – Kepala Rusa 「Arcane Mages hanya memiliki begitu banyak keterampilan. Jadi yang perlu Anda lakukan hanyalah mengenakan set Fire Chaser itu, praktikkan keterampilan Anda sebentar, dan Anda akan segera membaik dalam waktu singkat. 」 「Ada lebih dari dua puluh orang. Bagaimana Anda berencana berurusan dengan mereka semua? 」Tang Yao bertanya. Tidak peduli seberapa kuat Nie Yan, dia masih hanya satu orang. 「Inilah perbedaan antara Pencuri dan profesi lain. Pencuri tidak perlu harus menyerang langsung! 」 Keahlian seorang Pencuri terletak pada kemampuan mereka untuk mengatur penyergapan. Tang Yao agak mengerti ketika mendengar kata-kata ini. Nie Yan sedang bersiap untuk melakukan serangan diam-diam, untuk menangkap mereka lengah dan membawa mereka keluar satu per satu. Namun, ini tidak akan mudah dilakukan. Jika dia tidak hati-hati dan akhirnya tertangkap, maka dia kemungkinan besar akan mati. Tang Yao tidak bisa membantu tetapi berpikir bahwa mungkin Nie Yan menjadi agak terlalu percaya diri. Puncak bukit kecil terbentang sejauh mata memandang. Mereka ditutupi oleh rimbunnya pepohonan lebat dan batu-batu besar berbentuk aneh yang menjulang di atas lanskap. Aliran kecil mengalir di dasar setiap bukit, di mana sejumlah besar batu dan puing-puing terlihat mengotori daerah di dekatnya. Medan tempat ini cukup rumit. Tidak heran Tang Yao bisa bersembunyi di daerah ini begitu lama tanpa ada yang menemukannya. Di kejauhan, beberapa sosok yang tidak jelas dapat dilihat di puncak salah satu lereng bukit ini. Nie Yan berlari ke arah itu. Tang Yao bersembunyi di dalam sebuah gua di puncak bukit itu. Kelompok bajingan ini agak tak henti-hentinya. Mereka tampaknya baik-baik saja membuang-buang waktu mereka mencoba sepenuhnya memusnahkan pesta Tang Yao, hanya karena konflik kecil muncul di antara mereka berdua. Mereka benar-benar terlalu kejam, dan satu-satunya alasan mereka berani bertindak sedemikian rupa adalah karena mereka memperhatikan bahwa kelompok Tang Yao tidak memiliki guild yang mendukung mereka. Oleh karena itu, bahkan jika Tang Yao dan teman-temannya terbunuh, mereka tidak akan memiliki siapa pun untuk menyampaikan keluhan mereka. Hari ini anggota Radiant Sacred Flame membunuh kelompok Tang Yao untuk membuat mereka turun level. Mereka melakukan ini dengan maksud menghalangi kemajuan mereka. Ini untuk mencegah Tang Yao dan partainya dari menjadi lebih bermasalah ketika mereka naik level di masa depan. Nie Yan melakukan perjalanan melalui semak belukar. Dia hanya sekitar seratus meter jauhnya dari gua tempat Tang Yao bersembunyi. 「Aku tidak terlalu jauh darimu. Untuk saat ini yang terbaik adalah Anda tidak keluar, jadi tetap bersembunyi. 」 「Hati-hati, mereka tidak lemah. 」Tang Yao tahu apa yang ingin dilakukan Nie Yan, dan sedikit khawatir. "Jangan khawatir . Dengan level mereka, aku akan bisa dengan mudah mempermainkan mereka sampai mati. Bag Tas Nie Yan penuh ramuan, perlengkapannya kelas Perunggu, dan dia telah belajar banyak keterampilan baru. Selain itu, ia memiliki keterampilan Mediat Menengah yang sangat kuat. Membunuh satu atau dua dari mereka tidak akan menjadi masalah baginya sama sekali. Tang Yao merasa bahwa Nie Yan telah banyak berubah. Bahkan, dia telah banyak berubah sehingga Tang Yao bahkan tidak mengenalnya lagi. Nie Yan pengecut dari masa lalu tidak akan berani mengatakan kata-kata seperti itu. Nie Yan menjadi jauh lebih percaya diri dibandingkan dengan masa lalunya. Bukan hanya itu, tetapi dia juga mengeluarkan perasaan bahwa Anda bisa dengan kuat menaruh kepercayaan Anda padanya. Sementara Nie Yan dan Tang Yao berbicara, suara gemerisik sedikit terdengar dari kejauhan. "Mereka disini . 」Alis Nie Yan melompat ketika dia berlindung di balik pohon. Sekelompok lima orang bergerak melalui semak-semak di dekatnya. Nie Yan mengamati komposisi partai mereka: Elementalist, Mage Suci, Berserker, Ksatria Berat, dan Paladin. Para frontliner memimpin sementara dua kastor mengikuti dari belakang. Ini adalah formasi yang agak standar. Peralatan mereka juga tidak terlihat seperti sesuatu yang istimewa. Dalam playerbase saat ini, mereka yang bisa memakai peralatan tingkat Perunggu atau Perak memiliki sedikit jumlahnya. Semak belukar penuh dengan cabang-cabang yang tumbuh tanpa menahan diri dan menghalangi jalan. Cabang-cabang ini membuat sangat sulit bagi kelompok lima untuk bergerak maju, karena mereka tidak punya pilihan selain menundukkan kepala mereka dan melakukan perjalanan melalui celah kecil di antara pohon-pohon. Sang Berserker bahkan harus menggunakan pedangnya untuk menebang dahan yang kadang-kadang tebal yang akan menghalangi jalan mereka. "Kapten Dian Cang terbunuh," kata Ksatria Berat ketika dia melihat obrolan tim. "Bagaimana mungkin? Dengan kekuatan Kapten, ada sangat sedikit orang yang mampu mengalahkannya, ”jawab Paladin dengan nada terkejut. Kekuatan Dian Cang diakui secara publik di antara mereka semua. Dengan Fire Chaser ditetapkan, kerusakannya setidaknya dalam sepuluh besar di seluruh guild. Belum lagi keahliannya dalam pertempuran juga tidak buruk. "Nama Kapten masih ditandai merah. Yang berarti semua peralatan itu ada di tubuhnya…. "Elementalist mengangkat kepalanya untuk melihat semua orang, dan menemukan ekspresi suram di masing-masing wajah mereka. Tak satu pun dari mereka yang berani bertanya apa yang terjadi selanjutnya. "Semuanya jatuh," Seru sang Ksatria dengan suram. Mereka benar-benar sial hari ini. "Siapa yang melakukannya? "Mereka pasti memiliki banyak orang, kan?" Tanya Elementalist. Dalam benaknya, seharusnya tidak ada cara lain. Siapa pun yang membunuh Dian Cang pasti membawa banyak orang untuk melakukannya. “Tim mana itu, atau mungkin itu pekerjaan guild? Kami akan memusnahkan mereka! " "Musuh hanya Pencuri tunggal," jawab Ksatria Berat. Ketika dia mendengar berita itu sendiri, dia juga merasa bahwa itu tidak masuk akal. "Tunggu, bukankah ada dua orang dengan Kapten?" "Memang . Namun, Pencuri yang satu itu berhasil membunuh mereka bertiga. ” Apa? Bagaimana mungkin!? "Tingkat apa Pencuri itu?" "Tingkat 3 . ” Satu Pencuri Tingkat 3 berhasil membunuh Dian Cang dan partainya. Ini terlalu gila! Semua orang merasa hal seperti itu benar-benar keterlaluan. "Apakah kamu yakin kamu tidak salah?" “Informasi ini datang langsung dari mulut Kapten sendiri. ” Informasi itu tidak mungkin salah. Lagi pula, seorang Level 3 tunggal telah memusnahkan seluruh partainya. Bagi Dian Cang, ini jelas bukan sesuatu yang dia banggakan. Jika informasi itu tidak benar, maka dia tidak akan memproklamirkannya di mana-mana. "Siapa nama Pencuri itu?" Elementalist itu bertanya. Saat ini, perbedaan level di antara playerbase tidak tinggi. Mampu bertarung satu lawan dua sudah merupakan pencapaian besar, tetapi mampu memenangkan satu lawan tiga … orang ini harus memiliki semacam kemampuan bertarung tingkat dewa. "Dia disebut Nie Yan (Nirvana Flame), dan guild telah mengeluarkan perintah untuk membunuhnya. Hadiah untuk membunuhnya sekali adalah lima perak. Di masa depan, jika ada yang bertemu pemain ini, mereka harus tetap waspada. Kapten Dian Cang mengatakan bahwa orang itu memiliki banyak keterampilan. Kecuali pestamu lebih dari tiga anggota, yang terbaik adalah tidak mencari dia dengan maksud memprovokasi dia, "Heavy Knight mengumumkan. Meskipun hadiah untuk membunuhnya mewah, mereka masih diharuskan untuk mempertaruhkan nyawa mereka untuk melakukannya. Dian Cang tidak mampu mengalahkannya, apalagi mereka. "Lima perak adalah banyak uang!" Elementalist dan yang lainnya berseru dengan takjub. Lima perak lebih dari cukup bagi mereka untuk membeli beberapa peralatan kelas Bronze. Sementara orang-orang ini terlibat dalam diskusi, Nie Yan diam-diam membuat jalan ke mereka. Perintah membunuh dari Radiant Sacred Flame Guild? Menarik … Saya ingin melihat bagaimana Anda berniat melakukan itu Nie Yan tersenyum jijik ketika dia mendekat dari belakang dan mengkonfirmasi posisi lima orang. Yang paling dekat dengannya adalah Mage Suci sekitar tiga meter jauhnya. Yang berikutnya adalah Elementalist di sekitar lima meter. Yang paling jauh adalah Berserker, Heavy Knight, dan Paladin, yang sedang membersihkan jalan di depan. Kadang-kadang, satu atau dua Rusa Tingkat 3 akan muncul di daerah ini. Namun, mereka akan dengan cepat dibunuh oleh lima orang ini. Tiga anggota kuat yang bisa bertarung dalam pertempuran jarak dekat, bersama dengan dua Penyihir yang memiliki kerusakan sihir tinggi membuat membunuh monster sangat cepat. Nie Yan sedang menunggu kesempatan yang tepat saat ia dengan santai mengikuti mereka dari belakang. Mage Suci tampaknya telah merasakan sesuatu, dan menoleh ke belakang untuk melihat-lihat. Nie Yan buru-buru bersembunyi di balik pohon di dekatnya. Dia belum mengaktifkan Stealth, malah dia mengandalkan sepenuhnya pada kesadarannya sendiri. Saat dia menghindar dari garis pandang Mage Suci ini, bayangan dari pohon menyembunyikan tubuhnya. Kemampuan menyembunyikan bawaan Pencuri akan secara otomatis mengungkapkan efeknya. Semuanya tenang. Mage Suci tidak menemukan sesuatu yang aneh. Mungkinkah itu hanya imajinasi saya? "Ada monster di depan. Cepat dan menyusul kami, ”Elementalist itu menoleh dan berkata pada Mage Suci yang tertinggal. "Oh, baiklah," jawab Holy Mage, dan mempercepat langkahnya untuk mengejar ketinggalan. Mendengar percakapan antara kedua orang itu, detak jantung Nie Yan melonjak. Kesempatannya telah tiba. Dia memasuki Stealth dan sedikit mempercepat langkahnya. “Ada Rusa kelas Pemimpin. Semuanya hati-hati! ”Teriak Knight Berat saat dia mengangkat perisai kayu bundarnya dan perlahan-lahan melangkah maju. "Kami tidak lagi mencari Arcane Mage itu?" “Kami tidak tahu ke mana bocah itu lari. Bagaimanapun, situasinya telah berubah seperti ini. Mari kita bunuh Kepala Rusa ini terlebih dahulu, maka kita akan membahasnya sesudahnya. Karena mereka berlima versus Pemimpin Rusa tunggal, mereka mengharapkan pertarungan yang mudah. Seekor Rusa besar muncul dari semak-semak di depan. Itu memiliki bangunan yang mirip dengan Bison, dan seluruh tubuhnya ditutupi bintik-bintik putih. Tanduk besar yang menyerupai karang tumbuh tumbuh dari kepalanya. Rusa menundukkan kepalanya, tanduknya mencapai ke bawah melewati lututnya, dan bersiap untuk menyerbu. Saat Kepala Rusa bergerak, otot-otot di lengan depannya bergetar tanpa henti, penuh dengan kekuatan ledakan. Saat dia melihat sang Ksatria Berat mendekat, dia menurunkan tanduknya dan mengeluarkan teriakan peringatan, lalu perlahan mulai bergerak maju. Kepala Rusa: Tingkat 3 Pemimpin Kelas Monster Kesehatan: 200/200 "Apakah kalian siap?" Heavy Knight dengan gugup berteriak kembali ke sekutunya. Wooden Round Shield dan tanduk rusa hanya berjarak beberapa inci. Dia bisa merasakan tekanan kuat dan mengesankan yang berasal dari tubuh kuat Kepala Rusa ini. "Siap. ” "Kita harus membunuh Kepala Rusa ini sebelum Fei Zha, Xia Ku, dan yang lainnya tiba," perintah sang Ksatria Berat. Jika mereka berlima membunuh Kepala Rusa ini sekarang, maka jarahan akan didistribusikan secara merata di antara mereka berlima. Namun, jika yang lain tiba, maka mereka tidak akan menerima banyak setelah membagikannya secara merata. Berserker dan Paladin mengapit dari kedua sisi, sementara Holy Mage dan Elementalist mengambil posisi mereka menjauh dari depan. DATANG DAN PERGI TANPA RINTANG Bab 23 – Datang dan Pergi Tanpa Rintang The Heavy Knight berteriak dengan suara ledakan kemudian bergegas maju dan membelah dengan pedang di tangan kanannya. 「Tebasan!」 Pedang itu meninggalkan luka besar setelah menabrak tubuh Kepala Rusa. Kepala Rusa maju selangkah ke depan dan menyapu tanduknya yang tajam ke Heavy Knight. The Heavy Knight sedikit mundur dan mengangkat perisainya untuk bertahan dari serangan yang datang. 「Bang!」 Suara berat bergema saat sepasang tanduk bertabrakan dengan perisai kayu bundar. Berserker dan Paladin mengambil kesempatan ini untuk mengapit Kepala Rusa di kedua sisi dalam serangan menjepit. "Kawan, perhatikan agromu," desak sang Ksatria Berat dengan nada khawatir. Karena kemampuan mereka untuk menggunakan perisai, Heavy Knight memiliki pertahanan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan profesi lain. Karena ini, Kepala Rusa hanya mampu menangani sepuluh atau lebih kerusakan pada Ksatria Berat ketika menyerang. Namun, jika Kepala Rusa beralih agro ke Berserker atau Paladin … mereka paling bisa bertahan dari lima serangan. Monster awalnya akan memfokuskan agro mereka pada siapa pun yang menyerang mereka terlebih dahulu. Namun, jika ada seseorang yang memberikan terlalu banyak kerusakan pada monster, atau level pemain, atau kekuatannya sangat rendah, agro monster itu akan beralih ke mereka. "Kita tahu . Anda bisa santai, ”jawab Berserker dan Paladin. Penyihir Suci dan Elementalist di belakang mulai memberikan mantra dan memberikan Damage. Koordinasi mereka akan dianggap rata-rata. Tampaknya membunuh Kepala Rusa dalam beberapa saat berikutnya tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Hanya saja, mereka tidak menyadari bahaya yang diam-diam mendekat dari belakang. Nie Yan diam-diam membuat jalan di belakang Penyihir Suci dan Elementalist. Hanya beberapa langkah lagi dan dia akan menutup jarak di antara mereka. Kedua Mage berdiri cukup dekat satu sama lain, dan perhatian mereka terfokus sepenuhnya pada Kepala Rusa. Tampaknya Kepala Rusa akan mati dalam tiga puluh detik ke depan. Anggota partai dipenuhi dengan kegembiraan yang tak ada habisnya ketika mereka memikirkan semua jarahan yang akan mereka terima. Di depan mata Nie Yan, kepala Holy Mage dan Elementalist benar-benar terbuka. Mondar-mandir Nie Yan melambat saat dia semakin dekat, karena dia harus lebih berhati-hati ketika dia mendekati targetnya. Kalau tidak, ada kemungkinan mangsa dalam genggamannya akan lenyap. Kesabaran adalah kualitas utama lain yang mendefinisikan kompetensi Pencuri. Bagaimanapun, hasil dari pertempuran mereka sering bergantung pada apakah serangan pertama mereka berhasil atau tidak. Tentu saja, ada juga jumlah penyelundupan dan persiapan yang tak berujung yang mengarah pada serangan pertama itu. Jika Pencuri tidak memiliki kesabaran, akan sangat mudah bagi orang lain untuk menemukan kekurangan dan menangkapnya. Pertempuran antara kelompok pemain ini dan Kepala Rusa akan mencapai klimaksnya. Kepala Rusa tak henti-hentinya menabrak tanduknya melawan Heavy Knight, menyebabkan kesehatan yang terakhir jatuh dengan cepat. Ketika kesehatannya turun menjadi sekitar dua puluh, Heavy Knight mengambil Ramuan Kesehatan Dasar dan meminumnya. “Teruskan semuanya! Kepala Rusa hanya memiliki setengah kesehatannya yang tersisa! Berserker dan Paladin mengikutinya, meningkatkan kecepatan serangan mereka. Sementara dalam pertempuran dengan Kepala Rusa, kesehatan mereka telah turun menjadi sekitar setengahnya. Satu-satunya yang belum menerima kerusakan adalah dua Penyihir di belakang. “Lei Zi, mundur sedikit. Kenapa kamu begitu jauh ke depan? ”Sang Ksatria Berat menasihati Berserker. "Saya tahu saya tahu . "Berserker buru-buru menarik kembali. Terbukti, dari lima orang dalam kelompok ini, tampaknya Ksatria Berat ini memiliki pengalaman tempur paling banyak. “Ketika kita menjalankan ruang bawah tanah di masa depan, kalian benar-benar tidak bisa melangkah terlalu jauh. Kalau tidak, Anda ingin terbunuh. Sadarilah kesalahan Anda hari ini, dan besok kita akan menjalankan penjara kecil beranggota lima orang bersama. Begitu kalian semakin terbiasa dengan pertarungan berbasis tim, maka kita bisa mulai menjalankan ruang bawah tanah yang lebih besar dengan tim penuh, ”kata Heavy Knight. Dia kemudian mundur beberapa langkah, memikat Kepala Rusa di antara dua pohon besar. "Kegiatan guild apa yang ada di sana baru-baru ini?" Mata Berserker menyala saat dia bertanya. “Selalu ada kegiatan guild. Pemimpin Persekutuan dan beberapa yang lainnya telah menjalankan Treant Forest dan Dark Wetlands untuk sementara waktu sekarang. Kamu pikir kamu cukup baik untuk menemani mereka? ”Tanya sang Ksatria Berat secara retoris. Orang-orang yang menjalankan Treant Forest dan Dark Wetlands adalah semua elit di guild Radiant Sacred Flame. Dalam hal pertahanan, serangan, kesehatan pemain, dll … guild mereka memiliki persyaratan yang keras. Jadi kecuali peralatan pemain mencapai level tertentu, atau mereka memiliki keterampilan yang baik, pada dasarnya tidak ada kemungkinan mereka akan diizinkan untuk menjalankan ruang bawah tanah dengan elit. Dengan kata lain, kelompok beranggotakan lima orang ini seharusnya tidak pernah bermimpi untuk pergi. “Tidak ada ruang bawah tanah Level 2? Anda tahu, seperti Gua Moose Rat atau Gua Kerangka? ”Tanya Berserker. Penjara bawah tanah ini juga contoh dua puluh orang. Mereka lebih mudah dan peralatan yang bisa dijarah juga tidak buruk. Itulah sebabnya menjalankan salah satu ruang bawah tanah ini akan membantu mereka meningkatkan peralatan mereka dalam persiapan untuk yang berperingkat lebih tinggi. “Pemimpin Persekutuan akan mengatur sesuatu dalam beberapa hari, jadi mari kita fokus untuk meningkatkan level kita untuk saat ini. Hati-hati dan jangan biarkan perhatian Anda berkurang. Tapi untuk sekarang, mari kita singkirkan Kepala Rusa ini. Siapa tahu? Mungkin menjatuhkan beberapa peralatan yang layak. "The Heavy Knight mundur dua langkah lagi. Retretnya tegas dan stabil. Mage dan Elementalist Suci menyalinnya dan mundur beberapa langkah ke belakang juga. Nie Yan melihat Ksatria Berat lawan agak layak. Kemampuannya untuk menarik aggro cukup bagus. Begitu dia melihat Kepala Rusa akan beralih agro, dia akan menyerang dengan perisainya dan menarik perhatiannya lagi. Antara menarik dan menarik aggro-nya, Kepala Rusa tidak dapat menampilkan kekuatan bertarung penuhnya. Kalau bukan karena Heavy Knight ini, tim ini tidak akan memiliki kesempatan melawan Kepala Rusa Tingkat 3 ini. Gerakan Nie Yan sangat berhati-hati untuk mencegah terdeteksi oleh Holy Mage dan Elementalist. Namun, mereka tiba-tiba mulai mundur ke arahnya. Demi cinta Dewa … pikir Nie Yan. Mage Suci telah mundur kembali ke tempat dia berdiri. Nie Yan mengangkat belati dan memukul jatuh, mengarah ke bagian belakang kepala Mage Suci. "Membekap Mogok!" Belati miliknya mengenai Mage Suci dan menempatkannya dalam keadaan linglung. "Seseorang berusaha mencuri pembunuhan kita!" Elementalist di samping mereka memperhatikan keributan dan menoleh, segera menemukan Nie Yan. Namun sebelum bahkan setengah dari kata-kata ini bisa keluar dari mulutnya, Nie Yan berlari dan menggunakan gagang belati untuk menyerang Elementalist di dahi. "Serangan Concussive!" Setelah berhasil memukau targetnya, Nie Yan menindaklanjuti dengan Assassinate, Lacerate, dan menyelesaikannya dengan Vital Strike yang ditujukan ke tenggorokan lawannya. Tindakan Nie Yan cukup cepat. Hanya dalam waktu singkat, dia berhasil menimbulkan sejumlah besar kerusakan. −20, −22, −29, −36 Empat nilai kerusakan melayang di atas kepala Elementalist. Pada saat Elementalist keluar dari keadaan bingungnya, dia hanya memiliki delapan belas kesehatan yang tersisa. Dia panik dan kehilangan kendali. Sebaliknya, bukankah kerusakan Pencuri ini terlalu menakutkan? −5, −5 Dua nilai kerusakan lagi melayang di atas kepala Elementalist berturut-turut. Elementalist buru-buru mengambil Ramuan Kesehatan Dasar. Sama seperti botol menyentuh bibirnya … belati Nie Yan melintas ke pandangan dan dengan ringan menyayat dadanya. −8 Nilai kerusakan melayang di atas kepalanya. Elementalist itu terhuyung mundur dan mengulurkan tangan seolah-olah untuk menangkap sesuatu, tetapi tangannya hanya menemukan udara kosong. Segera setelah itu, dia pingsan di tanah saat bar kesehatannya jatuh ke nol. "Itu satu turun," bisik Nie Yan pada dirinya sendiri ketika dia mengambil peralatan yang Elementalist jatuhkan. Pada saat ini Mage Suci sudah keluar dari linglung. Tapi, sayangnya baginya, Nie Yan telah menghabisi Elementalist itu. Penyihir Suci berbalik dan berusaha melarikan diri, tapi bagaimana mungkin Nie Yan memberinya kesempatan seperti itu? Nie Yan mengacungkan belati dan mengejar Mage yang melarikan diri. Setelah mengejar ketinggalan, dia melepaskan rentetan serangan di punggung Mage Suci. −12, −13, −15 Tanpa kecuali, setiap keterampilannya ada di cooldown. Karena itu Nie Yan hanya bisa menggunakan serangan normal. Namun, karena kecepatan serangan Pencuri menjadi sangat cepat, kerusakan yang diberikan masih cukup besar. Mage Suci tidak akan turun tanpa perlawanan. Dia berbalik dan memukul Nie Yan dengan Holy Strike, kemudian menindaklanjuti dengan Holy Smite — memberikan total kerusakan sebanyak lima puluh tiga. Selama ini, Ksatria Berat, Berserker, dan Paladin terus bertarung dengan Kepala Rusa. Mereka menyadari situasi setelah menyadari bahwa, tiba-tiba, kerusakan konstan dari Penyihir mereka di belakang tiba-tiba menghilang. “Seseorang melakukan serangan diam-diam! Ini Pencuri itu, Nie Yan (Nirvana Flame)! "Heavy Knight dengan cemas berteriak. Mengapa bajingan ini harus tiba-tiba muncul selama momen penting dalam pertarungan mereka melawan monster kelas Leader? Selain itu, Nie Yan masih memiliki lebih dari dua puluh menit Waktu Pembalasan yang tersisa! "Apa yang akan kita lakukan !?" Sedikit demi sedikit, si Berserk perlahan mundur. Keadaan mereka saat ini sangat tidak menguntungkan. Mereka menderita serangan menjepit, dengan Kepala Rusa menyerang dari depan dan Nie Yan menyerang dari belakang. Tiga frontliner terus-menerus berurusan dengan Kepala Rusa, itulah sebabnya mereka masing-masing memiliki sedikit di bawah separuh kesehatan mereka yang tersisa. Jika mereka bahkan sedikit ceroboh, sangat mungkin bahwa mereka berlima akan mati di sini hari ini. Dalam sekejap mata, Nie Yan telah mengambil Elementalist mereka. Mage mereka yang lain masih hidup, tetapi kesehatannya hampir tidak ada. Cara pandangnya, situasinya akan menjadi lebih mengkhawatirkan! “Pertama-tama bunuh Kepala Rusa; kita akan mengurus sisanya nanti! ”perintah sang Ksatria Berat. Agro Kepala Rusa benar-benar fokus pada mereka. Jika mereka mengabaikan Kepala Rusa dan mengejar Nie Yan sebagai gantinya, itu pasti akan menyebabkan masalah di kemudian hari. Kepala Rusa tidak memiliki banyak kesehatan yang tersisa! "Membelah!" [TL: Nama Cina yang sama dengan keterampilan Barbarian di Diablo 3. Rupanya tim pelokalan untuk Blizzard menerjemahkan Cleave ke 順 劈 斬 dalam bahasa Cina. ] The Heavy Knight membelah dengan pedangnya. Berserker dan Paladin juga mempercepat langkah mereka saat mereka tanpa henti meretas Kepala Rusa. "Flame Slash!" "Radiant Slash!" Berserker dan Paladin masing-masing menggunakan keterampilan mereka yang paling kuat, dengan tujuan menyebabkan jumlah kerusakan yang tinggi. Satu demi satu, nilai kerusakan melayang dari kepala Kepala Rusa. Setiap orang berpacu dengan waktu. Pertempuran antara Nie Yan dan Mage Suci juga memasuki klimaksnya. Keduanya berlari sambil saling bertarung. Nie Yan berlari dan melompat, bergerak di sekitar punggung Mage Suci dan berulang kali menebas dengan belati. Darah akan terbang ke mana pun belati pergi. Penyihir Suci melarikan diri dan mencoba membebaskan diri dari jangkauan Nie Yan sementara juga menurunkan sihir padanya. Bar kesehatan keduanya secara bertahap jatuh. Namun jelas bahwa kesehatan Mage Suci turun lebih cepat. Dia buru-buru mengambil Ramuan Kesehatan Dasar dan meminumnya, lalu minum Ramuan Pemulihan Dasar juga. +3 + 3 Bahkan beberapa detik telah berlalu, dan Ramuan Pemulihan Dasar yang diminum Mage Suci terganggu oleh serangan Nie Yan. "Lari ke sini!" The Heavy Knight terbakar dengan kecemasan saat dia berteriak dengan cemas. Dia bertarung dengan Kepala Rusa sambil juga mempertahankan perhatiannya pada pertempuran antara Nie Yan dan Mage Suci. Dia bisa melihat bahwa Mage Suci tidak cocok untuk Nie Yan. −18, −15 Mage Suci hanya memiliki tiga puluh enam kesehatan yang tersisa. “Sialan bajingan itu. Orang ini tidak akan menargetkan kita dengan sengaja, kan? "Ksatria Berat mengutuk saat dia terus menebas tubuh Kepala Rusa. Nie Yan pertama kali mengeluarkan Dian Cang dan kelompoknya, dan sekarang dia tiba-tiba muncul di sini. Ini jelas bukan kebetulan. Jangan bilang … Nie Yan ini berteman dengan Arcane Mage dan kelompoknya? “Nie Yan, aku akan mengingatmu! Guild Radiant Sacred Flame kami pasti tidak akan membiarkanmu pergi dengan mudah! ”Berserker itu berteriak dengan marah. “Saya sangat tersanjung. Saya dengan senang hati menunggu Anda semua kapan saja, ”jawab Nie Yan dengan ekspresi acuh tak acuh. Pada titik ini, Radiant Sacred Flame hanyalah guild kecil. Jika Anda menambahkan anggota mereka, mereka masih tidak akan melampaui seribu. Bagaimana mereka bisa memiliki energi yang tersisa untuk mencari di mana-mana untuk Nie Yan dan Tang Yao. Memang bahkan jika mereka bisa menemukan Tang Yao dan Nie Yan, mereka masih tidak mungkin mengirim seluruh guild mengejar mereka. Bahkan jika semua orang dikirim, jika dia tidak sanggup menanggungnya, tidak bisakah dia bersembunyi saja? Awalnya di masa lalu, Nie Yan sendirian menyebabkan lima guild di bawah Cao Xu Financial Group untuk bergegas dan berebut padanya. Lebih dari beberapa ratus ribu orang tidak mampu berurusan dengannya, jadi bagaimana mungkin Nie Yan takut pada guild seperti Radiant Sacred Flame? Nie Yan setelah bereinkarnasi jelas jauh lebih sulit untuk ditangani daripada dirinya yang dulu. Jadi apa yang ditakuti Nie Yan? "Bahkan jika cadangan Anda tiba, mereka hanya akan mengirim lauk!" Kata Nie Yan dengan jijik. Dia menusukkan belati ke dada Mage Suci dan menghabisinya. Dia melirik bar kesehatannya. Dia masih memiliki sedikit lebih dari lima puluh yang tersisa. Jumlah ini turun sesuai dengan perkiraannya. Nie Yan berlari ke tempat Warriors berada. Kepala Rusa sudah dikalahkan. Hanya tersisa sekitar sepuluh persen. Nie Yan sedang bersiap untuk merebut peralatan yang dijatuhkan oleh Kepala Rusa. "Bunuh!" Teriak Knight Berat dengan marah. Dengan Shield Strike, dia mendorong Kepala Rusa kembali. Tubuh Kepala Rusa tiba-tiba goyah. "Linear Slash!" Berserker itu dengan erat mencengkeram pedang besarnya dan menebas Kepala Rusa. −15 , sejumlah besar melayang di atas kepala Kepala Rusa. Itu adalah serangan kritis! Kepala Rusa mengeluarkan rengekan yang menyedihkan sebelum pingsan. The Heavy Knight dengan cepat membungkuk, mengambil item yang dijatuhkan Kepala Rusa dan melemparkannya ke tasnya. “Saya terlambat selangkah. '' Nie Yan menghentikan langkahnya ketika dia melihat Heavy Knight mengambil barang yang dijatuhkan dan kemudian mulai mundur kembali. The Knight Berat hanya memiliki seperempat kesehatan yang tersisa, Berserker sekitar empat puluh persen, dan Paladin pada tiga puluh lima persen. Meskipun kesehatan mereka rendah, menghadapi tiga profesi pertempuran jarak dekat ini tidak sesederhana satu tambah satu. Belum lagi kerusakan dengan belatinya akan sangat rendah ketika berhadapan dengan profesi seperti Heavy Knight yang memiliki baju besi tebal. Saya tidak bisa berurusan dengan mereka bertiga. Aku lebih baik tidak mengambil risiko ini, pikir Nie Yan dalam hati. The Heavy Knight dan dua lainnya tidak memiliki banyak kesehatan yang tersisa. Mereka juga tidak berani mengambil risiko seperti itu dan bergegas di depan Nie Yan dalam upaya untuk memblokirnya. Jadi mereka berdiri di sana di lokasi asli mereka dan perlahan-lahan memulihkan kesehatan mereka. Setelah kehilangan dua orang dengan mengambil satu Kepala Rusa tunggal dan hanya mendapatkan satu peralatan Bronze-grade sebagai imbalannya, ini jelas bukan hasil yang menguntungkan. "Dua lagi terbunuh," Heavy Knight berbisik pelan ketika dia menatap belati Nie Yan. Jika mereka menghitung kerugian mereka sekarang, total lima anggota dari guild Radiant Sacred Flame terbunuh oleh tangan Nie Yan. Nie Yan tidak terlalu jauh dari Heavy Knight, Berserker, dan Paladin. Mereka berdua saling menatap, tidak ada yang berani menyerang dengan gegabah. Meskipun kesehatan mereka rendah, mereka bertiga pasti bisa menghadapi Nie Yan. Namun jika mereka dipisahkan, maka siapa yang bisa mengatakan apa hasilnya. Satu Pencuri telah menakuti tiga Prajurit hingga mereka tidak berani mengambil tindakan. Ini hanya kehilangan muka yang besar. Sedikit kemarahan dan penghinaan bisa dilihat pada ekspresi mereka. Nie Yan mengulurkan tangan kanannya ke depan, mengangkat angka tertentu, dan membuat gerakan menghina. "Kalian bertiga tidak akan datang? Jika Anda tidak datang, saya mungkin juga pergi. '' Nie Yan melirik ketiganya dan tertawa mengejek. Matanya fokus lebih jauh ke kejauhan di dalam semak-semak. Ada gerakan dan aktivitas selatan, timur, dan baratnya. Dia mengira anggota Radiant Sacred Flame yang lain mengapit dari segala arah dalam upaya untuk menyudutkannya. Nie Yan tidak berani ceroboh dan buru-buru mundur. Dia tampak seperti kelinci ketika dia berlari melewati celah di antara pepohonan. “Bala bantuan telah tiba! Blokir dia dan jangan biarkan dia melarikan diri! ”Ksatria Berat mengejar ke arah mana Nie Yan lari. Berserker dan Paladin mengikuti dari belakang. 「Mengapa kalian butuh waktu begitu lama untuk tiba?」 Ksatria Berat dengan muram berkata dalam obrolan suara. 「Kami menemukan di mana Arcane Mage bersembunyi dan hampir menangkapnya. Jika bukan karena kalian dalam masalah, bajingan itu sudah mati. Apa yang terjadi di pihak Anda? 」 「Dao Zi dan Huang Ni terbunuh,」 Jawab Ksatria Berat. "Apa yang terjadi? Bukankah mereka bersama dengan kalian? 」 「Pencuri itu memanggil Nie Yan (Nirvana Flame) lagi. Dia melakukan serangan diam-diam terhadap kami dan membunuh Dao Zi dan Huang Ni, Heavy sang Ksatria Berat menjelaskan. Dia menyembunyikan fakta bahwa dia dan anggota partainya juga bertarung dengan Kepala Rusa pada saat itu. 「Brengsek, itu Pencuri sialan itu lagi!」 Mereka belum pernah bertemu Pencuri yang begitu kuat. Selain itu, bajingan ini secara khusus menargetkan mereka ketika dia muncul. 「Kurasa dia berteman dengan sekelompok orang yang kita bunuh sebelumnya. Dia melarikan diri ke utara! Ayo kejar dia! 」 Beberapa tokoh terbang melewati celah di antara pohon-pohon saat melakukan perjalanan melalui hutan. Nie Yan cukup cepat. Dalam sekejap mata, dia telah membuka jarak yang sangat jauh. Di depannya, beberapa siluet muncul dari pohon-pohon dan datang mengapit dari samping. Tidak ada jalan di depan, dan bala bantuan mengejarnya dari belakang. Tidak peduli di mana dia berlari, dia pasti akan dikepung. Tanpa jalan keluar, Nie Yan bersembunyi di balik pohon dan masuk ke Stealth. The Heavy Knight, Berserker, dan Paladin datang berlari dari belakang dan bertemu dengan beberapa sosok yang mengapit di depan. "Apa yang terjadi? Di mana dia? ”Tanya sang Heavy Knight. Dia melihat sekeliling dan tidak bisa melihat apa-apa selain ruang kosong. Di mana sosok Nie Yan menghilang? "Apakah dia kabur?" "Aku pikir dia bersembunyi. Ayo tetap di sini dan cari. ” Para pemain ini menyebar dan mulai mencari setiap sudut dan celah di daerah sekitarnya. Nie Yan mempertahankan napasnya dan keluar dengan sembunyi-sembunyi. Namun, ada orang-orang dari penunjuk Radiant Sacred Flame di mana-mana. Karena itu krisis masih belum teratasi. 「Kamu dimana? Bagaimana situasinya? 」Tang Yao bertanya melalui panggilan suara. 「Saya membunuh dua lagi,」 jawab Nie Yan. Dia melirik ke ranselnya. Meskipun ada dua peralatan lagi, itu bukan sesuatu yang istimewa. Bahkan jika dia melemparkannya untuk dilelang, paling banyak, itu akan dijual seharga beberapa tembaga di rumah lelang. 「Luar Biasa! Brat, saya terkesan! 」Tang Yao berseru dengan kagum. Anggota Radiant Sacred Flame biasanya beroperasi dalam kelompok tiga atau empat. Tang Yao tidak bisa tidak bertanya-tanya bagaimana Nie Yan berhasil mencapai hal seperti itu. 「Di mana kamu sekarang?」 Tanya Nie Yan. 「Saya bertemu sekelompok orang Radiant Sacred Flame beberapa saat yang lalu. Saya hampir tertangkap oleh mereka sehingga saya berlari lebih dalam ke gua. Pada akhirnya, mereka meninggalkan gua dan kembali. Ada monster Level 5 di mana-mana di gua ini. Saya tidak bisa keluar, ”jawab Tang Yao. Dia menebak alasan mengapa anggota Radiant Sacred Flame kembali adalah untuk berurusan dengan Nie Yan. Ini berarti Nie Yan secara tidak langsung menyelamatkan hidupnya. Namun masalahnya adalah … dia saat ini dalam keadaan yang lebih berbahaya. Bagian-bagian yang lebih dalam dari gua dipenuhi Level 5 Rock Spiders. Jika dia sedikit ceroboh, dia mungkin akan kehilangan nyawanya. 「Tetap tinggal. Saya akan memberi Anda Return Scroll ketika saya sampai di sana. 」 「Mengembalikan Gulir akan membuat segalanya lebih mudah, tetapi bisakah Anda sampai di sini? Bagian ini benar-benar diblokir oleh Rock Spider sekarang. 」 「Kita akan membahasnya nanti. Ada sedikit masalah di pihak saya, jadi saya akan menutup telepon terlebih dahulu. 」 GUA LABA LABA BATU Bab 24 – Gua Laba-Laba Batu Nie Yan menutup telepon. Perlahan-lahan tubuhnya menjadi semakin transparan sampai dia benar-benar menyatu dengan semak hijau lebat yang mengelilinginya. Dia dengan cermat mengamati para pemain yang terus menerus lewat. Beberapa pemain ini berlari melewati Nie Yan, namun tidak ada yang memperhatikan kehadirannya. "Aku tidak bisa menemukannya. Ke mana dia bisa pergi? " "Lupakan saja . Dia mungkin sudah melarikan diri sekarang, ”saran Berserker bernama Lei Zi. Ketakutan sedikit masih melekat di benaknya, mendesaknya untuk pergi. Lagi pula, sejak Nie Yan muncul mereka selalu yang diserang, tidak pernah yang menyerang. Sekarang jumlah orang mati di pihak mereka berjumlah lima orang, namun mereka bahkan tidak dapat menyentuh sehelai rambut pun di tubuh lawan mereka. Dia adalah individu yang sangat berbahaya, dan jelas tidak sebanding dengan risiko untuk terus mengejarnya seperti ini. Bagaimana jika mereka tidak dapat menangkapnya dan malah dibunuh? "Bagaimana dengan Arcane Mage itu, Yao Zi?" “Kami mengejarnya ke Rock Spider Cavern. Ketika Pencuri itu, Nie Yan muncul, kami dipanggil untuk membantu menangkapnya, jadi kami tidak bisa lagi mengejar Arcane Mage itu. Tapi jangan khawatir, aku mengerahkan sekelompok Laba-laba Rock dan memikat mereka di dekat lorong, jadi kurasa dia tidak akan keluar dalam waktu dekat. ” "Tunggu, saya pikir kita harus terus mencari Pencuri itu. Stealth-nya akan segera berakhir, dan dia pasti masih berada di area ini! ”Kata Heavy Knight, tidak mau menyerah dalam pencarian. Bagaimana dia bisa membiarkan Nie Yan melarikan diri? Nie Yan mengunci pandangannya pada Berserker yang hanya memiliki kesehatan empat puluh lima persen yang tersisa. Karena Berserk baru saja bertempur, dia tidak punya waktu untuk duduk dan memulihkan kesehatannya. Selain itu, sistem masih menganggapnya dalam keadaan pertempuran, yang berarti pemulihan kesehatan alami akan melambat. Meskipun teman-teman sekerjanya yang terdekat memberinya perasaan lega, dia masih memegang erat-erat Ramuan Kesehatan Dasar yang dia sembunyikan di tangan kirinya. Namun ada satu alasan lain mengapa tidak ada yang memulihkan kesehatan mereka: Ksatria Berat tidak mengizinkannya. Dia berharap kesehatan mereka yang rendah akan memikat Nie Yan keluar ke tempat terbuka. Meskipun mereka tidak bisa melihat Nie Yan, keberadaannya semata memaksa mereka untuk tetap berhati-hati. Berserker juga memiliki Paladin yang Membungkam dengan kesehatan penuh di sisinya. Keduanya mulai berjalan ke arah Nie Yan. Terus, mereka semakin dekat dan lebih dekat ke tempat Nie Yan bersembunyi, namun mereka masih belum menemukannya. Itu mulai terlihat seperti keduanya akan berjalan tepat ke dia. Jika musuh melakukan kontak dengan Pencuri di bawah pengaruh Stealth, maka skill itu akan segera berakhir. Nie Yan memfokuskan matanya pada tenggorokan Berserker, menunggu saat yang tepat, dan kemudian menerkam. Strike Vital! Belati itu menebas leher Berserker, mengirim darah memancar keluar. −51 "Dia di sini!" Seru Berserker dengan waspada. Dia dengan cepat mundur kembali dan meminum Ramuan Kesehatan Dasar yang dia miliki di tangannya. Namun, bagaimana bisa Nie Yan membiarkan Berserker ini pergi? Dia menerjang maju dan menusukkan belati ke dada Berserker, lalu menindaklanjuti dengan Lacerate. Belatinya dengan kejam memotong daging lawannya. Kesehatan Berserker, yang baru saja diisi ulang, sekali lagi habis. Sekarang Berserker dalam kondisi kesehatan yang rendah dan menderita efek perdarahan dari Lacerate. "Kau pacaran dengan mati!" Gerakan Nie Yan begitu cepat sehingga Paladin di dekatnya baru saja bereaksi. Dia dibebankan ke Nie Yan dan menebas dengan pedangnya, yang terbakar dengan kemegahan yang bercahaya. Nie Yan telah merencanakan untuk terus mengejar Berserker, tetapi Paladin yang datang dari belakang memaksanya untuk mengubah rencananya. Kesehatan maksimal Nie Yan tidak terlalu tinggi, jadi dia tidak berani mengabaikan serangan yang akan datang. Tanpa berpikir lebih jauh, dia menghindar ke samping, menghindari pukulan itu. Paladin dengan cepat menempatkan dirinya di antara Nie Yan dan Berserker, menyelamatkan nyawa rekan setimnya. "Dimana dia!?" "Dia disana!" Semua sepuluh atau lebih anggota guild Radiant Sacred Flame yang berada di daerah sekitarnya datang bergegas. Beberapa dari mereka menembakkan mantra ke arah Nie Yan. Ketika Nie Yan melihat situasinya saat ini, dia tidak punya pilihan selain melupakan membunuh Berserker. Alih-alih melanjutkan pengejarannya, dia berguling ke samping dan menghindari mantra yang masuk. Pada saat dia berdiri, Berserker sudah melarikan diri. 「Bang! Bang! Bang! 」Lokasi Nie Yan dibombardir dengan mantra. Sebagian besar dari mereka kehilangan sasaran dan meledak tanpa bahaya di pohon-pohon di sekitarnya. Namun salah satu dari mereka berhasil mengenai Nie Yan. −23 Dengan gesit seekor kelinci, Nie Yan dengan gila berlari melewati semak-semak dan dengan cepat menempatkan lebih dari dua puluh meter di antara dirinya dan para Penyihir di belakang. Dia akan segera keluar dari jangkauan serangan mereka. Pada saat ini, Berserker yang mengira dia berada pada jarak yang aman dari pertempuran sebenarnya tidak terlalu aman. "Sialan, aku berdarah!" Berserker itu mengutuk dengan muram. Ramuan Kesehatan Dasar-nya masih di cooldown, jadi dia harus meminum Ramuan Pemulihan Dasar. Namun bahkan penyembuhan dari ramuan itu tidak dapat mengatasi kerusakan konstan dari pendarahan. −5, +3, −5, +3, −5 Pada akhirnya, perjuangannya sia-sia. Lima detik setelah minum ramuan itu, kesehatan Berserker turun menjadi nol dan dia meninggal. Dengan kematiannya, Nie Yan telah mengambil satu lagi anggota guild Radiant Sacred Flame! Namun Berserker menderita sedikit ketidakadilan dalam kematiannya. Berbeda dengan yang lain yang tewas dalam pertempuran, ia hanya menyaksikan kesehatannya sendiri meredup hingga ia mati. Sang Ksatria Berat merasakan sedikit kedinginan di punggungnya. Pencuri ini dengan nama Nie Yan (Nirvana Flame) benar-benar terlalu menakutkan! Mereka tidak punya cara untuk menahannya. The Heavy Knight mengambil peralatan yang dijatuhkan Berserker — baju besi kelas Perunggu. Untungnya bagi mereka, itu tidak berakhir di tangan Nie Yan. Meskipun Nie Yan telah mengeluarkan salah satu lawannya dia belum keluar dari bahaya dulu. Di depan, seorang Pencuri Pertempuran dan seorang Paladin menghalangi jalannya ke depan. . Sementara itu, beberapa mantra diluncurkan padanya dari belakang. Melihat ini, Nie Yan buru-buru membalut dirinya. +20, +20, +20 「Bang! Bang! Bang! 」 −23, −22, −20 Sebuah pemboman mantra menabrak Nie Yan, mengganggu penyembuhan dari perbannya. Nie Yan menunduk dan melirik bar kesehatannya — tujuh belas kesehatan tersisa. Sambil melakukan ini, dia juga mengisap perutnya dan membuat beberapa manuver ringan, menyebabkan dua serangan melewati udara kosong. Greatsword Paladin baru saja menyerempet pipi Nie Yan saat melesat, dan belati Pertempuran Pencuri tidak berbahaya memotong ke udara di mana perutnya telah beberapa saat sebelumnya. Yang paling penting dalam konfrontasi langsung seperti ini adalah yang memiliki mata yang lebih tajam dan tangan yang lebih cepat. Ini karena konfrontasi ini akan selesai hanya dalam hitungan detik. Meskipun dalam konfrontasi ini, terbukti bahwa keterampilan Nie Yan jauh lebih tinggi. Dia menerobos blokade bahwa Pencuri Pertempuran dan Paladin telah terbentuk dan menghilang ke semak-semak. Dengan melakukan itu, dia telah membuat lebih banyak ruang antara dirinya dan lawan-lawannya. "Sial, bajingan ini cepat!" "Persetan! Kami membiarkannya melarikan diri lagi! ” Mereka tidak bisa mendapatkan keuntungan apa pun melawan Nie Yan, bahkan ketika melibatkannya dalam pertempuran jarak dekat. Pada akhirnya dia melarikan diri setelah mengambil nyawa Berserker, menempatkan jumlah total kematian menjadi enam. Satu demi satu, anggota guild Radiant Sacred Flame dibunuh oleh Nie Yan. "Lupakan . Mari kita kembali, ”usul sang Ksatria Berat. Tanpa diduga, dia tidak lagi ingin mengejar orang yang tidak normal seperti Nie Yan lebih jauh. Setiap orang yang mendengar ini saling memandang dengan ekspresi muram. "Baik…" Sedikit ketidakberdayaan bisa terdengar dalam nada mereka. Nie Yan sudah berhasil melarikan diri, jadi apa lagi yang bisa mereka lakukan? Dengan demikian, para pemain dari guild Radiant Sacred Flame berkumpul dalam kelompok dan pergi. Sambil pergi mereka tidak berani bergerak lebih dari dua meter dari rekan tim mereka, karena mereka masih takut bahwa Nie Ya mungkin tiba-tiba muncul dari persembunyian lagi. 「Saya membunuh anggota mereka yang lain; Berserker saat ini. Juga kelompok mereka baru saja pergi, 」Nie Yan memberi tahu Tang Yao. Meskipun dikelilingi oleh lebih dari sepuluh orang, Nie Yan masih bisa membunuh salah satu anggota mereka dan kemudian berhasil melarikan diri. Seperti apa prestasi mengesankan yang tak terbayangkan ini? Tang Yao terbakar dengan kegembiraan saat dia memikirkan hal ini. Dia merasa sangat disayangkan bahwa dia telah memilih untuk menjadi Mage Arcane daripada Pencuri. "Saudara! Anda harus terus merawat saya di masa depan! 」Tang Yao tertawa bahagia. Pohon yang bisa ia andalkan untuk berteduh benar-benar menyegarkan. 「Tidak masalah,」 Nie Yan menjawab dengan lugas. Sama seperti jarak menentukan stamina kuda, waktu juga akan mengungkapkan sifat alami seseorang. Ketika Nie Yan berada di titik terendah dalam kehidupan masa lalunya, dia menyaksikan orang-orang meninggalkannya kiri dan kanan. Pada saat itulah dia akhirnya mengerti apa artinya memiliki seorang saudara laki-laki. Saudara akan selalu mengutamakan satu sama lain. Secara alami, dia akan melakukan hal yang sama untuk Tang Yao. Setelah para pemain dari guild Radiant Sacred Flame pergi, Nie Yan berjalan ke wajah tebing tempat Rock Spider Cave berada. Pintu masuk gua tersembunyi dengan baik, dan memancarkan kegelapan yang tenang. Siapa yang tahu di mana itu akan mengarah? Di dalam, untaian sutra panjang tergantung dari dinding gua dan stalagmit di atas. Sutera ini menyerupai selubung tanaman merambat yang menyembunyikan bagian dalam gua dari pandangan. Ini adalah area Level 5. Jumlah pemain yang bisa berlatih di area ini sangat sedikit. "Gua Laba-Laba Batu ya … tempat ini cukup bagus," Nie Yan bergumam pada dirinya sendiri ketika dia mengingat kembali semua informasi dari kehidupan masa lalunya mengenai Gua Laba-Laba Rock. Menyapu jaring di luar, Nie Yan berjalan ke gua. Ketika dia masuk lebih dalam, lantai menjadi sedikit berlumpur dan pintu masuk utama mulai bercabang ke banyak jalur sempit. Setiap satu dari Rock Spider di daerah ini adalah monster Level 5. Jika dia menghadapi mereka satu lawan satu maka mungkin dia akan bisa menangani mereka. Namun, jika dia bertemu lebih dari satu, dia hanya bisa melarikan diri untuk hidupnya. 「Gosok! Scritch! 」Tangisan tajam dapat terdengar bergema dari kedalaman gua sampai akhirnya memudar. Yang tersisa hanyalah hawa dingin yang menakutkan dari embusan angin dingin sesekali yang berhembus dari kedalaman gua. 「Katakan padaku koordinat Anda,」 kata Nie Yan melalui panggilan suara. 「 352. 238. 235 , berhati-hatilah, ada lebih dari sepuluh Rock Spider yang menghalangi jalan di sini. Apakah Anda yakin dapat menghubungi saya? 」 「Saya tidak akan tahu jika saya tidak mencoba. 」Nie Yan melirik koordinatnya saat ini dan menemukan bahwa dia tidak jauh dari Tang Yao. Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan Tang Yao, ia terus bergerak dengan hati-hati melewati terowongan. 「Gosok! Scritch! 」Nie Yan mendengar tangisan keras bergema hanya dari jarak satu pendengaran. Seekor Rock Spider di dekatnya telah turun dari dinding dan menerkamnya. Nie Yan buru-buru bergerak mundur setelah menyadari bahwa laba-laba telah meluncurkan dirinya padanya. Setelah menghindari menerkam, Nie Yan kemudian melangkah maju dan membalas dengan Strike Concussive. Laba-laba Rock tenggelam dalam keadaan linglung. Rock Spider: Level 5 Kesehatan: 108/130 Menggunakan momentum dari serangan sebelumnya, Nie Yan melanjutkan dengan beberapa serangan lagi. Selain itu, ia juga menggunakan Assassinate, Lacerate, dan Vital Strike. Laba-laba Rock terus-menerus melemparkan diri ke Nie Yan dan menyerang. Itu dua tingkat lebih tinggi dari dia, dan dengan demikian kerusakannya cukup tinggi. Setiap serangan yang menimpa memberikan setidaknya tiga puluh kerusakan padanya. Nie Yan mulai jatuh kembali sambil tetap menjaga Rock Spider dalam jangkauan serangannya. Saat dia mundur, dia berulang kali akan menusukkan belati ke laba-laba. Setelah dua puluh detik bertarung seperti ini, laba-laba itu jatuh ke tanah dan menjerit memilukan. Nie Yan menggunakan jeda singkat ini untuk melirik bar kesehatannya. Dia hanya memiliki sekitar dua puluh persen yang tersisa. Itu tampak seperti bahkan Rock Spider pun masih berbahaya baginya. Namun ada satu sisi positif untuk melawan mereka: Rock Spiders memberikan banyak pengalaman setelah mati. Setiap laba-laba memberi dua ratus delapan puluh pengalaman. Jumlahnya saja cukup murah. Satu-satunya downside adalah bahwa Rock Spider ini tidak menjatuhkan sesuatu yang bermanfaat. Nie Yan duduk untuk beristirahat dan kemudian makan roti. Perlahan tapi pasti, kesehatannya pulih penuh dan semua keterampilannya keluar dari cooldown. Dengan kesehatannya pulih dan keterampilan sekali lagi siap digunakan, Nie Yan berdiri dan terus maju ke kegelapan gua. Di depan, dia melihat tiga Rock Spider bergerak. Setelah mengamati lokasi masing-masing laba-laba, Nie Yan mengeluarkan panahnya. Dia bergerak mendekati dinding di dekatnya dan membidik Rock Spider terdekat. "Suara mendesing! Suara mendesing! Whoosh! 」Garis baut menembus udara saat mereka melesat ke arah target mereka. −5, −3, −5 Tiga nilai kerusakan melayang di atas kepala laba-laba. Setelah menerima serangan, laba-laba bergegas ke tempat Nie Yan bersembunyi. 「Gosok! Scritch! 」Jeritan itu memekik saat menerkam orang yang telah melukainya. Dengan ini, Nie Yan telah berhasil mengeluarkan Rock Spider tanpa memperingatkan teman-temannya. Ketika laba-laba itu mendekati lokasinya, dia mengeluarkan belati dan bergegas keluar untuk menyambutnya. Keduanya terlibat dalam pertempuran jarak dekat, dengan Nie Yan dishing serangan berturut-turut. Saat mereka bertarung, banyak nilai kerusakan muncul satu demi satu di atas kepala laba-laba. Dalam dua puluh detik, Rock Spider sudah mati. Yang mengejutkan, laba-laba ini telah menjatuhkan sesuatu. Nie Yan berjalan dan mengambil jarahan: satu tembaga. . Setelah menunggu kesehatannya pulih, Nie Yan menggunakan panahnya untuk mengeluarkan laba-laba lainnya dan membunuh mereka satu per satu, sama seperti sebelumnya. Dengan menggunakan taktik ini, ia terus melangkah maju. Pada saat dia akhirnya tiba di koordinat Tang Yao, beberapa laba-laba telah mati di tangannya. Di depan ada area luas di mana banyak terowongan berpotongan. Di area itu tak kurang dari sepuluh Rock Spider bisa terlihat berkeliaran. Nie Yan tidak segera bergegas, melainkan dia hanya mengamati sekitarnya. Sepertinya melewati area ini dengan aman akan sangat sulit. Terutama mengingat bahwa dia mungkin menarik lebih dari satu laba-laba jika dia menggunakan panah otomatis seperti sebelumnya. . Dua dari mereka, ya … Tidak bisa mengatakan dengan pasti apakah aku akan bisa berurusan dengan mereka, pikir Nie Yan pada dirinya sendiri. Dia memang punya satu rencana dalam pikiran, tetapi itu membutuhkan penggunaan salah satu perbannya. Tapi ada masalah dengan rencana ini: dia tidak punya banyak perban tersisa. Belum lagi bahwa satu Perban Tempur Menengah tunggal akan dikenakan biaya lebih dari dua puluh tembaga dalam bahan. Rata-rata orang akan kesulitan untuk menggunakan bahkan satu karena biaya tinggi. PETI HARTA PERAK Bab 25 – PETI HARTA PERAK Dalam ruang luas di mana terowongan berpotongan, laba-laba secara teratur merangkak ke segala arah, posisi mereka selalu berubah. Nie Yan dengan sabar menunggu kedatangan kesempatan. Sekitar setengah menit kemudian, laba-laba mulai berkumpul menuju pusat. Namun, di daerah yang cukup dekat dengan posisi Nie Yan, satu-satunya Rock Spider tertinggal dan tetap berkeliaran di samping. Mata Nie Yan menyala; ini adalah kesempatannya! Tidak ada waktu untuk kalah. Dia mengangkat panahnya, membidik laba-laba yang sendirian, dan menembak. 「Pa! Pa! Pa! 」Laba-laba tunggal yang menderita serangan mendadak bergegas menuju posisi agresornya dan menerjang. Untungnya, tidak ada laba-laba lain yang mengikuti, dengan demikian, Nie Yan bertemu dengan serangan langsungnya. Mengikuti kesimpulan dari pertempuran kecil mereka, Rock Spider menjatuhkan peralatan: White-grade Level 5 Dark Leather Thief Tunic. Tingkat drop untuk setiap peralatan sangat rendah terlepas dari profesi tempatnya, sejauh mana harga untuk peralatan selalu tetap tinggi. Misalnya, jika tunik kulit ini akan ditempatkan di pasar, itu akan dijual setidaknya untuk enam atau tujuh tembaga. Nie Yan melemparkan tunik kulit ke ranselnya. Tak lama kemudian, dia terus menunggu lebih banyak celah. Sekitar enam menit kemudian, dia keluar dan membunuh tiga laba-laba lagi. Setelah itu, Nie Yan menghitung monster yang tersisa dan menemukan bahwa masih ada dua belas yang tersisa. Sayangnya, mereka saling menggumpal satu sama lain. Nie Yan mencari-cari cukup lama, tetapi tidak dapat menemukan posisi yang cocok untuk memancing laba-laba ini satu per satu. Posisi ini masih agak kurang. Itu bisa berbahaya. Apapun, mari kita coba. Dia mengangkat panahnya sekali lagi dan menembak. Selanjutnya, tiga baut diluncurkan dari panah dan menembus udara. −5, −5, −5 Tiga baut menembus tubuh Spider Rock di dekatnya. 「Gosok! Scritch! 」Laba-laba berteriak dengan marah ketika ia menyerang orang yang melukainya, dengan laba-laba lain mengikuti dari belakang. Saya membiakkan mereka berdua … Hati Nie Yan menegang saat dia mundur dengan tergesa-gesa. Dia mundur ke terowongan sempit di dalam gua. Kesempitan dari bagian ini berarti bahwa itu tidak akan memungkinkan bagi dua Laba-laba Rock untuk melewati berdampingan. Setelah beberapa saat, Nie Yan menarik belati dan langsung menggunakan Rock Spider yang telah dia agro terlebih dahulu, melepaskan rantai serangan terus menerus. Laba-laba itu berulang kali menerjang Nie Yan. Satu demi satu, garis nilai kerusakan melayang ke atas di atas kepala Nie Yan selama pertukaran mereka. Sembilan puluh dua persen, delapan puluh tujuh persen, tujuh puluh dua persen … Secara bertahap tapi pasti, kesehatan Nie Yan terus menurun. Saat berperang, Nie Yan memastikan untuk menjaga kesadaran lingkungannya serta posisi langkah kakinya. Sementara itu, satu-satunya laba-laba yang mampu menyerangnya melalui terowongan sempit ini adalah yang ia agro terlebih dahulu. Adapun mitranya, yang telah mengikuti dari belakang, itu bisa melakukan apa-apa selain menangis tanpa daya. Laba-laba bertemu akhirnya ketika Nie Yan akhirnya menghabiskannya dengan Vital Strike. Dia melirik bar kesehatannya — sekitar seperempat dari kesehatannya masih tersisa — sebelum dengan cepat mundur dari posisinya saat ini Begitu laba-laba pertama terbunuh, yang menangis tanpa daya dari belakang segera menerjang maju. Melihat ini, Nie Yan mempercepat mundurnya dan mulai menerapkan Perban Tempur. +20, +20, + 20 … Kesehatannya sedikit meningkat setiap detik. Laba-laba Rock menerkamnya berulang kali saat dia menghindar dan melompat mundur. Namun dengan sangat cepat, dia akhirnya menemui jalan buntu. Ada Spider Rock tunggal sekitar lima meter di belakangnya. Jika dia terus mundur, dia akan menggumpalnya. Jadi, mundur bukan lagi pilihan. Pada saat ini, kesehatannya sudah pulih menjadi delapan puluh persen, jadi dia mengangkat belati dan berlari ke depan untuk menghadapi laba-laba secara langsung. Kedua pihak akhirnya bertemu dan bentrok. Sayangnya, semua keterampilan Nie Yan belum keluar dari cooldown. Bertemu dengan situasi seperti itu, satu-satunya pilihan tindakannya adalah balas dendam dan tebasan. Setelah menghindari terjangan laba-laba, Nie Yan akan melangkah maju dan melawan dengan tikaman berturut-turut. Kesehatan Nie Yan turun cukup cepat saat diserang dari serangan kekerasan Rock Spider. Saat ini, laba-laba memiliki lebih dari enam puluh persen dari kesehatannya yang tersisa sementara Nie Yan berada di sepertiga. Kerusakan yang dia dapat hadapi dengan serangan reguler cukup terbatas. Pada akhirnya, Pencuri masih kelas yang mengandalkan keterampilan mereka untuk sebagian besar hasil kerusakan mereka. Dua puluh detik kemudian … Assassinate, Lacerate, dan Vital Strike akhirnya keluar dari cooldown. Bagi Nie Yan, ini tidak diragukan lagi merupakan anugerah yang besar. Detik berikutnya, Rock Spider datang melompat ke depan sambil memamerkan taringnya. Ini kesempatan saya! Belati Nie Yan melewati kaki laba-laba dan mengarah langsung ke kepala laba-laba saat itu di udara. Saat ia menanamkan dirinya dalam-dalam di mata laba-laba, mengambil keuntungan dari momentum keturunannya, ia dengan kejam membelah ke luar, ketika zat kental dan kental mengalir keluar dari kepalanya yang dimutilasi. Kaki Laba-laba Rock masih berhasil mendarat dan menikamnya di bahu, menghasilkan tiga puluh tiga kerusakan saat nilai melayang di atas kepalanya. Dengan melihat sekilas bar kesehatannya, dia memiliki sedikit lebih dari sepersepuluh dari kesehatannya yang tersisa. Itu berbahaya! +30 Dia buru-buru mengeluarkan Ramuan Kesehatan Dasar dan mengeringkan isinya ke tenggorokannya. Vital Strike terakhir dari belatinya telah menghilangkan tiga puluh sembilan dari kesehatan laba-laba, tetapi tubuhnya masih datang serentak maju. Dampak dari laba-laba yang bertabrakan di dadanya menghasilkan tiga puluh lima kerusakan pada kesehatannya. Nie Yan cepat mundur beberapa langkah ke belakang. Laba-laba Rock memutar tubuhnya menghadap ke tempat lawannya mundur. Nie Yan menyapu matanya ke bar kesehatan laba-laba dan memperhatikan itu memiliki lima belas kesehatan yang tersisa. Sementara itu, setelah meminum Ramuan Kesehatan Dasar dan menahan tabrakan di dadanya, dia hanya memiliki sepersepuluh dari kesehatannya yang tersisa. Saat ini jika salah satu serangan laba-laba itu bahkan sedikit merumputnya, maka dia kemungkinan akan menemui ajalnya. Dia dengan cepat mundur beberapa langkah lagi, saat laba-laba itu mengejar. Jika dia melibatkan laba-laba ini dan pertukaran mereka untuk menjadi seperti yang sebelumnya, maka kedua belah pihak pasti akan menghadapi kematian bersama. −5 −5 Saat menerkam ke depan, dua nilai kerusakan secara bertahap melayang di atas kepala laba-laba satu demi satu. Pada saat-saat terakhirnya, laba-laba mengangkat kaki depan ditikam ke arah Nie Yan saat tubuhnya yang lamban turun ke depan. Nie Yan langsung bereaksi dan menghindari serangan terakhir laba-laba. 「Crash!」 Tubuh laba-laba mendarat dengan keras di tanah di sampingnya dan menciptakan lubang besar di bumi pada tumbukan. Hanya milidetik kemudian, dan dia akan dikejutkan oleh serangan itu. Nie Yan berkeringat dingin saat dia memikirkan bagaimana dia baru saja lolos dari kematian. −5 Akhirnya, kesehatan laba-laba telah kering. Kaki-kaki yang hanya berjuang untuk bangun sebelumnya tiba-tiba kehilangan semua kemampuan untuk menopang dirinya sendiri ketika tubuh laba-laba runtuh di bumi. . 「 Sistem: Anda telah memperoleh 280 poin pengalaman. 」 Laba-laba Rock kedua akhirnya menemui akhirnya … Dengan demikian, Nie Yan menghela napas lega, Mendukung dirinya dengan kedua tangan, ia mendorong tubuhnya dari tanah dan duduk di samping dinding gua. Segera, kesehatannya secara bertahap mulai pulih. Sangat disayangkan bahwa laba-laba ini bahkan tidak menjatuhkan apa pun saat mati. Terlebih lagi, dia terpaksa mengeluarkan Perban Tempur melawan gerombolan biasa seperti Rock Spider ini. Biaya pembuatan perban tunggal membuatnya sehingga pembayaran pertempuran ini tidak sepadan dengan usahanya. Setelah beberapa saat istirahat, kesehatannya akhirnya pulih sepenuhnya. Itu terlalu berbahaya barusan … Jika aku akan memancing Rock Rocker lagi, aku pasti tidak bisa menggumpal lebih dari satu dari mereka pada saat bersamaan. Dia berjalan ke persimpangan di mana sekarang hanya ada sepuluh laba-laba yang tersisa. Akibatnya, ada lebih banyak ruang terbuka daripada sebelumnya. Namun, sepuluh laba-laba ini bergerak bersama dalam kelompok dua atau tiga, yang menyebabkan Nie Yan mengalami kesulitan dalam menemukan celah yang bisa ditindaklanjuti. Ada lebih banyak ruang untuk bergerak sekarang … Saya harus bisa Stealth cara saya lewat sini. Dengan tingkat Stealth saya saat ini, saya seharusnya bisa melewati dalam jarak satu meter dari laba-laba ini tanpa terdeteksi. Perlahan-lahan, tubuhnya menjadi semakin transparan sampai sepenuhnya bergabung dalam kegelapan gua. Tak lama setelah itu, dia perlahan mulai melangkah maju. Sekitar tiga meter dari kiri dan ke belakang, satu laba-laba bergerak ke arahnya. Sementara lima meter dari kanan dan ke belakang, dua laba-laba lain merangkak menuju posisinya. Nie Yan dengan hati-hati mengamati posisi masing-masing laba-laba dan menentukan jalur gerakan mereka. Tiba-tiba dua laba-laba merangkak dan dua meter dari posisinya saat ini. Nie Yan cepat menghentikan langkahnya. Beberapa saat kemudian, kedua laba-laba itu tampaknya tidak mendeteksi kehadirannya dan perlahan-lahan melanjutkan. Nie Yan terus bergerak maju ketika tiba-tiba dia menemukan sesuatu di sudut ruangan. Terletak di antara beberapa batu besar adalah sebuah peti tunggal yang samar-samar bersinar dengan cahaya perak. Beberapa batu telah menghalangi garis pandangnya, jadi dia hanya bisa sampai ke tepi peti perak. Bajingan … mereka benar-benar menyembunyikannya dengan baik. Tanpa diduga, ini adalah peti harta karun perak! Detak jantung Nie Yan tak terhindarkan mempercepat. Pada saat yang sama, tiga laba-laba tiba-tiba menghentikan gerakan mereka dan melihat sekeliling. Tindakan ini mirip dengan seember air dingin yang dibuang di atas kepalanya, menyebabkan dia segera tenang. Saat ini, masih terlalu dini untuk bersemangat. Durasi Stealth terbatas, dan tidak mampu membayar kemewahan membuka peti sekarang. Karena itu, dia terpaksa menyerah dan meninggalkannya untuk waktu berikutnya. Dia menahan napas dan menunggu. Beberapa saat kemudian, tanpa menemukan apa pun, ketiga laba-laba itu merangkak semakin jauh. Dia perlahan dan hati-hati berjalan melewati laba-laba yang tersisa sebelum akhirnya berhasil keluar dari bahaya. Dia menghela nafas lega. Pekerjaan semacam ini jelas tidak dibuat untuk orang kebanyakan. Setelah melangkah maju lebih lama, dia melirik koordinatnya. Aku disini! "Tang Ya, kamu dimana?" Saat berikutnya, sosok perlahan muncul dari bayang-bayang di dekatnya. Siapa yang tahu lubang apa yang dipinjam orang ini. Pada saat dia akhirnya merangkak keluar, tubuhnya benar-benar tertutup tanah. "Haha, tidak buruk … kamu menyembunyikan diri dengan cukup baik," kata Nie Yan sambil tersenyum. Tang Yao menepuk-nepuk tanah dari tubuhnya dan dengan muram menjawab, "Jangan katakan lagi … Lagi pula, ada begitu banyak Rock Spider di sana. Bagaimana Anda bisa sampai di sini? " "Diam-diam," jawab Nie Yan kembali. "Kamu bahkan bisa melakukan itu?" Tang Yao mengerjap sesaat. Persimpangan itu dipenuhi dengan Laba-laba Rock. Bagaimana sih bisa Pencuri Menyamarkan jalan melalui itu? Ini adalah hal yang sangat sulit dilakukan! PETI HARTA TERKUNCI Bab 26 – PETI HARTA TERKUNCI "Mengapa saya tidak bisa melakukannya?" Nie Yan terkekeh saat mengirim permintaan perdagangan kepada Tang Yao. Tepat setelah itu, dia menempatkan set Fire Chaser dan satu Return Scroll di dalam jendela perdagangan. "K-kau memberikan semua ini padaku?" Tang Yao menatap kosong. Dia tidak pernah berpikir bonus properti dari set Fire Chaser begitu tinggi. “Saya mendapat ini dari Dian Cang ketika mereka jatuh dari mayatnya. Dia menjatuhkan staf juga, tapi itu tidak cocok untukmu, bawa Fire Chaser ini bersamamu. Adapun gulir kembali … jangan gunakan itu, saya ingin Anda tinggal di sini sebentar, ”jawab Nie Yan. Dia dan Tang Yao adalah saudara yang sudah saling kenal sejak kecil. Dibandingkan dengan persahabatan mereka, set Fire Chaser ini tidak berarti banyak. "Mhmm … baiklah. Saya kira saya tidak bisa menolak. "Sedikit antisipasi melintas di mata Tang Yao. Setelah mengenakan set Fire Chaser, penampilan Tang Yao segera membaik secara signifikan. Jika dia pergi sekarang, tidak ada keraguan dia akan menarik banyak wanita. "Seberapa tinggi Sihir Anda sekarang?" Tanya Nie Yan. "Lima puluh. ”Jumlah ini adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya di masa lalu. "Tidak buruk . Cukup tinggi bagi Anda untuk dapat menjalankan beberapa ruang bawah tanah dan pencarian yang lebih sulit. Padahal, senjatamu saat ini masih sedikit kurang. Ketika Anda kembali ke kota, Anda harus menemukan diri Anda yang lebih baik, ”saran Nie Yan. Tang Yao tiba-tiba menerima Fire Chaser ini ditetapkan secara gratis sama saja dengan membantunya mencapai Surga dengan satu langkah. Jalan yang harus dia jalani di masa depan telah menjadi jauh lebih pendek. Tang Yao terus menatap peralatan saat ini di tubuhnya, tampaknya tidak dapat menghentikan dirinya untuk mengaguminya. “Mari kita tetap di sini sedikit demi sedikit. Selain itu, ada peti harta karun perak di depan, jadi saya ingin Anda ikut dan membantu saya mengambilnya. Saya akan membuat pesta. "Dengan seberapa tinggi kerusakan Tang Yao sekarang, membunuh Laba-laba Rock di gua ini akan menjadi sepotong kue. Ada peti harta karun yang menunggu untuk dibuka. Jika dia tidak mengambil apa pun yang ada di dalam hari ini, maka dia tidak akan bisa tidur nyenyak di malam hari. "PETI perak !? Di mana itu? ”Tang Yao mulai membakar dengan semangat. Sampai sekarang, dia hanya pernah berhasil menemukan dan membuka satu peti. Belum lagi, itu hanya putih biasa. Apalagi membuka satu, dia bahkan belum pernah melihat peti harta karun perak sebelumnya. "Mari kita membersihkan Laba-laba Rock itu di persimpangan itu dulu," jawab Nie Yan. Dengan bantuan Tang Yao, akan ada lebih sedikit tekanan padanya saat berurusan dengan dua Rock Spider. Bahkan tiga Rock Spider mungkin bahkan tidak menjadi masalah. Ketika mereka tiba di persimpangan, Nie Yan mengeluarkan panahnya dan memuatnya. Kemudian dia membidik, dan menembak ketika tiga baut ditembakkan dari panah secara berurutan. 「Pa! Pa! Pa! 」Dia akhirnya mengagetkan dua Laba-laba Rock — yang ditabrak dan temannya di belakang. Nie Yan memposisikan dirinya di depan sementara Tang Yao mengacungkan tongkatnya dan melepaskan Arcane Fireball dan Arcane Blaze dari belakang. Setiap mantra akan menghasilkan lebih dari tiga puluh kerusakan, dan kadang-kadang dua lima puluhan bahkan akan muncul dari serangan kritis. "Mereka dua tingkat di atasku, namun aku mampu menangani kerusakan semacam ini …?" Tang Yao berseru dengan bingung. Dia terkejut dari kerusakannya sendiri. Pada saat kesehatan Nie Yan turun menjadi sekitar lima puluh persen, dua laba-laba runtuh di tanah, telah diturunkan oleh upaya gabungan serangan mereka. Setelah itu, Nie Yan duduk untuk memulihkan kesehatannya sementara Tang Yao mengambil Mata Air untuk mengisi kembali mana. "Apa pengalamanmu?" Tanya Nie Yan, dan berdiri setelah kesehatannya pulih penuh. “Level 3, 56%. Bagaimana dengan Anda? "Jawab Tang Yao. Dia telah bermain selama lebih dari seminggu untuk mencapai level ini. “Level 3, 9%. ”Leveling in Conviction sangat sulit. Setiap level membutuhkan jumlah pengalaman yang gila untuk naik level. Mempertimbangkan waktu bermainnya, kecepatan levelingnya sudah cukup cepat untuk menakuti seseorang. Dua hari bahkan belum berlalu dan dia sudah Tingkat 3. Jika ada berita yang keluar, itu pasti akan menakuti banyak orang. Sementara mereka masih mengobrol, Nie Yan menggunakan panahnya untuk memancing dua laba-laba lainnya, dan segera, seluruh area benar-benar bersih dari monster. Nie Yan membungkuk untuk mengambil item yang telah jatuh dari Rock Spider terakhir. Itu adalah buku keterampilan Mengisi untuk Prajurit. Hmm … Harga pasar untuk buku keterampilan Mengisi seharusnya sekitar dua puluh sesuatu tembaga sekarang. Memang, drop rate di area Level 5 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang level rendah. "Apa yang jatuh?" “Buku keterampilan Mengisi. ” Tang Yao melambaikan tangannya dan berkata, "Kamu bisa mengambil semua barang yang jatuh. Saya sudah cukup puas dengan set Fire Chaser ini. Selain itu, saya tidak perlu menemukan peralatan baru sampai saya mencapai Level 5. ” Bagi Nie Yan, buku keterampilan tunggal juga tidak banyak nilainya. Pada akhirnya, dia tidak mencoba untuk berdebat dengan Tang Yao dan melemparkan buku keterampilan Charge ke ranselnya. Keduanya harus berbagi pengalaman sambil naik level bersama, tetapi karena kerusakan tinggi Tang Yao, kecepatan jernih mereka secara signifikan lebih tinggi. Karena itu pengalaman yang mereka peroleh menjadi lebih cepat, yang menggantikan fakta bahwa itu dibagikan. Dengan semua laba-laba dibersihkan, Nie Yan berjalan ke daerah di mana dia pertama kali melihat peti perak. Ketika dia berjalan, dia menemukan banyak ukiran dan pola aneh terukir di bagian atas peti. Desainnya sangat rumit. Selain itu, kunci telah ditempatkan di dada ini dan tetap tertutup rapat. "Sial, aku belum belajar Penguncian Kunci. “Lockpicking adalah keterampilan yang hanya bisa dipelajari setelah mencapai Level 5. Belum lagi, itu adalah buku keterampilan yang sangat mahal juga. Dan karena ini adalah peta Level 5, peti terkunci yang muncul bukanlah sesuatu yang akan membuat orang lain merasa bahwa itu semua yang tidak terduga. "Lalu, apa yang akan kita lakukan?" Tanya Tang Yao. Ini adalah pertama kalinya dia menemukan peti perak, dan itu akan berakhir dengan hasil seperti ini? “Biarkan saja untuk sekarang. Ayo coba ke Level 5 secepat mungkin. Siapa tahu? Pada saat itu, peti itu mungkin masih ada di sini, ”jawab Nie Yan tanpa daya. Sama seperti Nie Yan dan Tang Yao bersiap untuk pergi dan melanjutkan pelatihan, sebuah batu di dekatnya tiba-tiba bergetar. "A-apa itu?" Tanya Tang Yao, setelah tiba-tiba terkejut. Batu besar ini cukup besar, kira-kira dua kali ukuran Rock Spider biasa, sedangkan permukaannya keras dan kasar. Ketika batu itu tergeletak di sana tanpa bergerak, tidak ada bedanya dengan batu lain yang berserakan di area ini. Tiba-tiba, delapan kaki keluar dari 'batu besar' ini dan berdiri dengan tegak. Perlahan-lahan, itu membuka delapan matanya yang mengungkapkan cahaya hijau berlumut. 「Gosok! Scritch! 」Tangisannya melengking. Batu itu sebenarnya adalah Spider Batu! "Ini adalah Rock Spider kelas Pemimpin!" Hati Nie Yan menegang. Tindakan selanjutnya adalah segera memasuki Stealth. Dia perlahan-lahan mendekati Rock Spider dan memposisikan dirinya di belakang punggungnya. Head Rock Spider: Level 5 Monster kelas pemimpin Kesehatan: 180/180 Mata laba-laba menyapu daerah itu sebelum akhirnya berhenti di posisi Tang Yao. Melihat ini, Tang Yao segera mulai mundur. Beberapa pasang mata yang memantulkan bayangannya, dikombinasikan dengan penampilan seram laba-laba, membuatnya tampak sangat menakutkan. "Apa yang akan kita lakukan!? Ini adalah Rock Spider kelas Pemimpin-Level! ”Tang Yao dengan gugup berseru. Gerombolan terkuat yang pernah ia temui hanyalah kelas Pemimpin Level 3. Belum lagi, ini hanya pertama kalinya memasuki area Level 5, namun dia tiba-tiba akhirnya menemukan Rock Spider ini. . "Bunuh itu! Hancurkan dengan sihir! "Nie Yan menjawab kembali. Jauh lebih berbahaya untuk mencoba dan berlari daripada melawannya. Mereka pasti akan mati ketika mencoba melarikan diri. Kemudian, ada juga kemungkinan menggumpal laba-laba lain sementara satu berlari. Adapun Return Scroll, diperlukan dua puluh detik untuk mengaktifkan dan akan membatalkan setelah dipukul, sehingga metode itu juga keluar dari pertanyaan. Dalam keadaan seperti ini, mereka lebih baik melawannya. Apakah mereka berdua bahkan bisa membunuh monster kelas 5 Pemimpin-Tingkat? Tang Yao skeptis dan ragu-ragu. "Dapatkan jarak darinya, setidaknya dua puluh meter. Temukan terowongan sempit dan letakkan diri Anda di dalamnya. Jangan lari terlalu jauh, jika tidak, kamu akan menggigit laba-laba lain! ”Nie Yan memperingatkan. Tang Yao masih pemula, membuatnya menyelesaikan tugas berbahaya seperti itu masih agak sulit. Dalam situasi ini, Nie Yan sangat aman dan bisa melarikan diri kapan saja. Adapun Tang Yao, ia tidak mampu menjamin hidupnya. Dengan demikian, mereka hanya bisa pasrah pada nasib. 「Gosok! Scritch! 」The Rock Spider dengan marah berteriak ketika dikenakan biaya untuk Tang Yao. "Oh … demi keparat!" Tang Yao buru-buru berbalik dan berlari. Saat dia berlari, dia mengikuti kata-kata Nie Yan dan menembakkan Arcane Fireball padanya. 「Bang!」 Bola api meledak ketika mendarat di tubuh laba-laba dan menghasilkan delapan belas kerusakan saat nilai kerusakan melayang di atas kepalanya. Pertahanannya tidak masuk akal! Kenyataannya, sihir api memberikan bonus Damage kepada Rock Spiders namun kerusakannya masih sangat rendah! Namun, ini sudah diduga. Bagaimanapun juga, itu adalah monster kelas Pemimpin, jadi kerusakannya masih baik-baik saja. Ini kesempatan saya! Mata Nie Yan menyala saat dia memukul bagian belakang Rock Spider ini dengan Strike dibekap. Laba-laba bergetar dan berhenti di tempatnya. Itu hanya akan tertegun tiga detik! Biasanya, Smothering Strike akan membingungkan musuh pada tempatnya selama enam detik, tapi Rock Spider ini adalah monster kelas pemimpin! Itu memiliki resistensi tertentu terhadap efek kontrol kerumunan. Dengan demikian, keterampilan kontrol Nie Yan hanya setengah efektif melawannya. Bagaimanapun, tiga detik ini masih cukup! "Pukul itu! Jangan hanya berdiri di sana dan menonton! "Teriak Nie Yan. Mendengar teriakan Nie Yan, Tang Yao segera melemparkan Arcane Blaze. 「Boom!」 Api menyala-nyala meledak di tubuh laba-laba. Ketika laba-laba terbangun dari keadaan linglung, Nie Yan mengambil inisiatif dan menyerang dengan Assassinate, belatinya dengan tajam menusuk perut laba-laba. Setelah menembus bagian bawah tubuhnya yang berdaging, ia mengikuti dengan Lacerate dan memotong ke luar. Nie Yan menebas lubang menganga di perut laba-laba di mana cairan hijau tebal mengalir dan menggelembung ke depan. Ketika terbangun, ia masih menggumpal ke Tang Yao dan melanjutkan pengejarannya. Melihat ini, Tang Yao dengan cepat mundur ke lorong sempit. 「Bam!」 Tubuh laba-laba yang besar menabrak kedua sisi lorong, menyebabkan dinding di sekitarnya bergetar. Beberapa batu runtuh dari langit-langit dan jatuh ke tanah. 「Gosok! Gosok! 」Laba-laba itu tidak bisa masuk ke lorong. Dia berteriak dengan marah ketika mencoba untuk memaksa masuk. "Datang dan lihat bagaimana penatua ini akan merawatmu!" Setelah menyadari laba-laba itu tidak bisa masuk, Tang Yao tiba-tiba menjadi jauh lebih berani dari sebelumnya. Dia mengacungkan tongkatnya dan menembakkan Arcane Missile dan kemudian mengikutinya dengan Arcane Fireball. "Sialan! Arcane Missile hanya menghasilkan setengah dari damage Arcane Fireball. ” Cooldown untuk Arcane Missile sangat pendek karena itu adalah mantra biasa. Waktu casting juga cukup singkat, dan hanya membutuhkan waktu casting satu detik. Sementara Arcane Fireball memiliki cooldown sepuluh detik dan membutuhkan waktu cast tiga detik. Jadi tidak mungkin baginya untuk terus menerus melemparkan Arcane Fireball. Pada saat yang sama, Rock Spider tanpa henti terus menabrakkan dirinya ke pintu masuk lorong, menyebabkan dinding di kedua sisi bergetar. Segera, retakan muncul dan langit-langit lorong secara bertahap mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran. METEOR Bab 27 – Meteor Tang Yao adalah yang pertama menyerang Rock Spider kelas Pemimpin. Dia juga tetap menjadi orang yang menghasilkan kerusakan paling besar, jadi agro laba-laba telah ditempatkan dengan kuat padanya. Laba-laba itu sepenuhnya mengabaikan Nie Yan. Itu meninggalkannya dan terus mengejar Tang Yao bahkan setelah dia menyerangnya dengan kombinasi keterampilan. Jadi sementara itu masih digumpal pada Tang Yao, Nie Yan mengambil keuntungan dari momen ini dan mengambil botol racun di dalam ranselnya dan melapisinya di belati. Lima detik kemudian, dia selesai mengoleskan racun. Dia mendekati laba-laba dari belakang dan menusukkan belati ke perutnya dengan Vital Strike. −10% Pertahanan −52 Laba-laba Rock menjadi keracunan dan debuff status diterapkan. Selain itu, Vital Strike Nie Yan adalah kritis dan memberikan sedikit kerusakan! 「Gosok! Gosok! 」Laba-laba menjerit kesakitan. Itu mengalihkan fokusnya ke Nie Yan dan menerkam ke arahnya. Nie Yan terperangah dengan perubahan target laba-laba yang tak terduga ini dan segera kembali. −78 Pukulan The Rock Spider masih mendarat di tubuhnya, menyebabkan sebagian besar kesehatannya segera menghilang. Melihat ini, dia tidak berani ceroboh. Dia segera mengeluarkan Ramuan Kesehatan Dasar dan meminumnya sebelum berguling dan mundur. Laba-laba itu mengejar. Melihat fokus perubahan laba-laba, Tang Yao menembakkan salvo mantra: Arcane Missile, Arcane Blaze dan Arcane Fireball dilepaskan secara berurutan. "Aku akan keluar dari mana segera …" Tang Yao melirik kesehatan dan mana. Dia memiliki sekitar seperempat dari mana yang tersisa. Pengeluaran mana-nya terlalu ganas. Tidak ada kesempatan bagi regenerasi alaminya untuk mengikutinya. "Apakah Anda punya Mana Potion?" Tanya Nie Yan. “Aku punya Ramuan Mana Dasar. ” "Lalu cepatlah dan minumlah. Kami akan mengatasinya nanti, "Nie Nie menginstruksikan. Ketika dia berbalik untuk menghadap Rock Spider, itu sudah bergegas di depannya. Sebagai tanggapan, dia mengacungkan belati dan menyerang dengan Concussive Strike, menyebabkan gerakan laba-laba terhenti sejenak, yang memungkinkannya mengambil keuntungan dari kesempatan ini untuk membuka jarak. Meskipun laba-laba telah diserang oleh Concussive Strike, ia berhasil mendaratkan serangannya selama pertukaran. Nie Yan melirik bar kesehatannya. Kira-kira kedelapan tetap. Melihat ini, dia buru-buru menerapkan Perban Tempur pada dirinya sendiri. + 20 … + 20 … +20. . . Pada saat yang sama, Tang Yao mengeluarkan botol berisi cairan biru dari ranselnya dan mengeringkan isinya ke tenggorokannya. Kenyataannya, meminum ramuan ini membuatnya merasa sakit hati, karena satu botol cairan biru itu berharga sepuluh tembaga. Itu adalah harta yang menyelamatkan nyawanya! Namun bahkan di saat darurat, dia masih tidak tahan menggunakannya. Mana Tang Yao langsung dikembalikan ke sembilan puluh persen. Sekarang dengan mana yang diisi ulang, dia melepaskan beberapa mantra berturut-turut dengan masing-masing pendaratan secara eksplosif dan memberikan jumlah kerusakan yang tinggi. Bahkan sebelum dua detik berlalu, Rock Spider terbangun dari keadaan linglung. Setelah bangun, ia meninggalkan pengejaran Nie Yan dan bergegas menuju Tang Yao. Aggronya telah bergeser sekali lagi. "Tetaplah begitu! Sudah hampir mati! ”Teriak Nie Yan. Setelah kesehatannya sepenuhnya pulih dari Perban Tempur, dia bergegas ke sisi laba-laba sekali lagi. Dia dan kerusakan Tang Yao sama sekali tidak rendah. Bahkan jika itu adalah monster kelas 5 Level Pemimpin, itu masih tidak dapat menahan serangan semacam ini. Saat ini, kesehatannya hanya tinggal sepuluh persen lebih sedikit. 「Gosok! Scritch! C Tangisan laba-laba tiba-tiba menjadi manik dan seluruh tubuhnya berubah menjadi merah merah. "Tidak baik! Anak laki-laki ini menjadi marah. Terus bergerak mundur, dan hati-hati dengan serangannya, ”teriak Nie Yan dengan gugup. Setelah mendengar Nie Yan berteriak, meskipun dia masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Tang Yao mengikuti instruksi Nie Yan terlepas dan buru-buru mundur, sambil melemparkan sihir saat dia berlari. Sementara dia berlari, paku datang menembaki dari tanah di bawah dan menusuk ke arahnya. Untungnya, Tang Yao masih bergerak ketika lonjakan batu ini muncul. Itu sedikit keluar dari target dan nyaris tidak berhasil menggosok kulitnya. Namun, goresan kecil ini masih memberikan 32 kerusakan pada kesehatannya. Jika lonjakan batu ini secara langsung menembus Tang Yao, Nie Yan memperkirakan bahwa ia akan kehilangan setidaknya dua pertiga dari kesehatannya. Tang Yao hampir ketakutan sampai mati dan bersukacita dalam hati bahwa ia selamat dari serangan ini. “Terus berlari dan jangan pernah berhenti. Jika Anda melihat area di mana tanah bergetar dan retak, keluarlah dari situ dan jangan menginjaknya! ”Teriak Nie Yan. Jika Tang Yao berhenti sejenak, maka dia akan menemui ajalnya. Benar saja, begitu Nie Yan memanggil lebih banyak paku batu datang menusuk dari tanah. Tang Yao mengikuti instruksi Nie Yan dan memperhatikan bumi di bawah kakinya, sesekali menghindar dari sisi ke sisi. Setelah itu, selain dari lonjakan batu pertama, tidak ada satu pun yang berhasil mendaratkan pukulan padanya. Tang Yao tidak bisa tidak bertanya-tanya bagaimana Nie Yan tahu metode ini untuk menghindari paku batu. Mungkinkah Nie Yan telah membunuh Spider Rock kelas Pemimpin di masa lalu? Pada akhirnya, dia menaruh pikiran ini di belakang kepalanya dan berkonsentrasi hanya pada menghindari paku batu di bawah kakinya. Kadang-kadang, dia akan melihat kesempatan untuk melemparkan satu atau dua mantra, tetapi dia tidak pernah punya waktu untuk bertanya. Laba-laba itu tidak dapat mendaratkan serangan ke Tang Yao dan ini menyebabkannya tampaknya menjadi lebih marah karena tanpa henti menabrak dirinya sendiri di dinding terowongan. Tiba-tiba … 「Kecelakaan !!」 Dinding akhirnya hancur dan runtuh. Laba-laba memanjat tumpukan puing dan bergegas ke dalam terowongan, menerkam ke arah Tang Yao. "Lari cepat!" Teriak Nie Yan. "Aku tidak bisa! Ada Laba-Laba Rock lain di belakangku, dan jika aku berlari lebih jauh aku akan berakhir menggumpal itu! ”Tang Yao dengan gugup memanggil ketika dia melihat kembali pada tubuh besar laba-laba yang mendekat dengan cepat. Nie Yan melihat bar kesehatan laba-laba. Lima persen … hanya tinggal sepotong hidup! "Tidak apa-apa! Terus berlari! ”Teriak Nie Yan saat dia memeriksa bar skillnya. Sekarang, beberapa keterampilannya sudah keluar dari cooldown. Dia mengejar laba-laba dan tiba di dekat bagian belakangnya. Membunuh! Menyayat! −2, −3 Masih ada dua persen yang tersisa! Strike Vital! Nie Yan menerjang ke depan saat belati menusuk ke dalam rongga perut laba-laba. 「Gosok! Scritch! 」Laba-laba itu mengeluarkan pekikan yang menyedihkan saat jatuh ke tanah dengan tabrakan berat. Dampaknya menyebabkan seluruh gua bergetar. “Kami akhirnya membunuhnya. '' Pikiran Nie Yan santai saat dia menghela napas lega. Dia berjalan ke mayat Rock Spider dan mengambil barang-barang yang dijatuhkannya. "Disini! Saya memiliki orang ini mengejar saya juga! "Tang Yao berlari ke Nie Yan dengan Rock Spider yang lebih kecil di atasnya. Demi menghindari Laba-Laba Rock kelas Pemimpin itu beberapa saat yang lalu, dia akhirnya memperingatkan orang yang mengejarnya. Untungnya, itu hanya monster biasa. Nie Yan menghalangi kemajuan laba-laba saat Tang Yao berturut-turut melemparkan mantra di garis belakang. Sangat cepat, keduanya membuat karya pendek sebagai mayat laba-laba lain runtuh ke lantai. "Ya Dewa … aku akan mati kelelahan. "Tang terengah-engah saat dia duduk di samping sudut dinding di dekatnya dan perlahan-lahan memulihkan kesehatan dan mana. Bagaimana mereka bisa berhasil membunuh Rock Spider kelas Pemimpin yang berada dua tingkat di atas mereka? Dia tidak tahu. Tapi itu kemungkinan besar pencapaian terbesarnya sejak memulai permainan, “Anda tahu… Ini adalah pertama kalinya saya memperhatikan betapa mengagumkannya saya sebenarnya. ” Nie Yan mengeluarkan dua item yang telah dijatuhkan Spider Pemimpin kelas: satu buku keterampilan dan kunci putih perak. Buku keterampilan: Meteor Deskripsi keterampilan: Beckon meteor untuk panggilan Anda dan memukul musuh Anda di bawah ini. Diperlukan: Satu suku kata, tiga gerakan, dan satu jimat. Atribut keterampilan: (Pemula) Memanggil lima meteor. Setiap meteor memberikan lima kerusakan bonus dengan total kerusakan bonus lima kali lima. Juga berlaku sepuluh titik kerusakan terbakar. Cooldown keterampilan: 120 dtk Pembatasan pengguna: Elementalist, Arcane Mage; hanya bisa dipelajari oleh Fraksi Lurus yang melindungi cahaya. Ini adalah buku keterampilan Arcane Mage yang tidak biasa dan sangat langka pada saat itu. Pada tingkat Pemula, itu bisa memanggil bola api menyala yang menghujani langit seperti meteor. Setiap bola api bisa diarahkan pada satu sasaran atau lima sasaran secara bersamaan. Pada tingkat selanjutnya, itu akan menjadi mantra luas area yang kuat. “Bahkan sesuatu seperti ini bisa jatuh …? Anda anak yang beruntung ab * tch. "Nie Yan hampir tak bisa berkata-kata. Keterampilan Meteor sangat langka. Itu hanya dapat ditemukan di area Level 1 hingga 30 di mana Rum Spider, Rock Spider, dan Flame Spider menelurkan, dan mereka hanya akan jatuh dari kelas Pemimpin atau versi yang lebih tinggi dari monster ini. Selain itu, drop rate untuk skill ini tidak lebih dari satu dalam sepuluh ribu. Dengan tingkat playerbase saat ini, keterampilan ini akan sangat berharga di pasar. Mereka benar-benar bertemu dengan kesuksesan yang tidak terduga hari ini. Adapun drop langka, itu sebagian besar seperti karena membunuh monster kelas Pemimpin dua tingkat lebih tinggi dari mereka. "Apa yang jatuh?" Tanya Tang Yao heran. “Sepertinya keberuntunganmu tidak setengah buruk hari ini. Itu menjatuhkan buku keterampilan Meteor. Pada tingkat Pemula, ini berfungsi sebagai area kecil dengan efek damage yang tinggi. Pada level selanjutnya, ini menjadi skill mobbing yang lumayan bagus. '' Nie Yan merasa sedikit iri saat dia merangkum keterampilan untuk Tang Yao. Seorang Arcane Mage yang mendapatkan Meteor selama dua minggu pertama dalam game … Ini benar-benar terlalu banyak berkah. "Benarkah?" Tang Yao tiba-tiba berdiri kaget. "Izinkan aku melihat!" "Itu tidak buruk . Anda bisa menggunakannya. Tetapi dibandingkan dengan sihir Templar, sihir Raksasa, atau sihir Naga, itu masih agak kurang. '' Nie Yan melemparkan buku keterampilan Meteor ke Tang Yao, dan melihat item lain yang dijatuhkan. Silver Key: Digunakan untuk membuka peti harta karun Level 0–20 yang emas atau lebih rendah. Sisa penggunaan: 3/3 "Apa sihir Templar, dan sihir Naga?" "Kamu akan menemukan dirimu di masa depan. Anda dapat memiliki buku keterampilan Meteor dan saya akan mengambil kunci, ”jawab Nie Yan. Dia dan Tang Yao mengambil apa yang bermanfaat bagi mereka. Namun demikian, kunci ini masih lebih baik di tangan Nie Yan, karena baru kemudian dapat sepenuhnya digunakan dan memiliki nilai terbanyak yang didapat darinya. Belum lagi, dengan kunci ini, dia sekarang akhirnya bisa membuka peti harta karun perak yang terkunci di dekatnya. "Jika itu masalahnya, aku tidak akan sopan!" Tang Yao pergi ke depan dan mempelajari Meteor. Setelah itu, ketika dia membaca deskripsi keterampilan, dia merasa sangat senang dengan dirinya sendiri. Dia benar-benar tertekan karena dikejar oleh guild Radiant Sacred Flame sepanjang hari. Siapa yang tahu saat Nie Yan muncul, semua kesedihan ekstremnya akan berubah menjadi kegembiraan dan situasinya akan sepenuhnya terbalik. CINCIN SUTRA TENUN Bab 28 – Cincin Sutra Tenun Nie Yan berjalan ke peti harta karun perak dan mulai membukanya dengan Kunci Perak. 「 Sistem: Membuka peti harta karun … Perkiraan Penyelesaian: 20% … 50% … 」 「Klik!」 Peti itu tidak dikunci. Dia melirik kunci yang sekarang memiliki dua dari tiga kegunaan yang tersisa. Tidak buruk … saya masih bisa menggunakan ini dua kali lagi. Melempar mereka kunci ke ranselnya, dia merasa di dalam dada sebelum menemukan item. Itu kecil dan bundar, dan terasa halus di tangannya. Itu sebuah cincin! Nie Yan berpikir dengan terkejut saat dia mengambil barang itu dari dada. Band itu berwarna abu-abu dan ia merasa sulit membedakan dari apa bahan itu dibuat. Di mana pengaturan yang melekat pada satu sisi band berbaring permata putih buram menghiasi di tengah. Terukir pada permata putih buram ini adalah gambar laba-laba. Terlepas dari ukurannya, ukiran itu tampak jelas dan hidup. Tampaknya laba-laba putih batu giok benar-benar ada di dalam permata ini. Cincin Sutra Tenun Properti: Tidak teridentifikasi "Ini Cincin Sutra Tenun!" Nie Yan tersentak kaget. Cincin Sutra Tenun adalah aksesori tingkat Perunggu yang hanya bisa diperoleh dari area tempat monster tipe laba-laba muncul. Selain itu, itu adalah cincin yang bisa digunakan sampai ke Level 60. Ini karena sifat unik cincin itu. Itu bisa menembakkan benang tangguh dari sutera laba-laba yang melekat pada sebagian besar permukaan dan bisa memanjang hingga sepuluh kaki panjangnya. Pada dasarnya, itu adalah harta karun yang sempurna untuk memanjat atau melompati rintangan seperti atap, dinding, tepian atau pohon. "Apa Cincin Sutra Tenun?" Tanya Tang Yao dengan bingung. Nie Yan samar-samar tersenyum dan menjawab, “Lihatlah keahliannya. Itu harus berupa Silver-tier atau aksesori yang setara. ” Meskipun sifat-sifat pada cincin ini belum dinilai, dengan jenis peralatan ini, dia bisa melihat nilainya dengan sekilas nama. "Oh … Jadi ternyata itu adalah aksesori kelas Perak. Tidak heran Anda begitu bersemangat! "Jawab Tang Yao saat ia tiba-tiba menyadari. Dari perspektif Nie Yan Ring of Woven Silk ini jauh lebih berharga daripada buku keterampilan Meteor. Dengan Ring of Woven Silk ini, ia sekarang akan secara signifikan kurang dibatasi dalam pemikirannya, oleh karena itu ia akan memiliki lebih banyak rute eksekusi ketika bekerja menuju tujuan tertentu. Dia berpikir dalam hatinya, Sekarang jika aku bisa mendapatkan perhiasan itu dari Raja Treant, maka semuanya akan sempurna. “Seorang teman saya mengundang saya untuk menjalankan Hutan Treant bersamanya besok dan masih ada ruang. Apakah kamu ingin bergabung?" "Tentu, tapi … apakah mereka setuju untuk mengajakku masuk?" Tang Yao bertanya dengan nada agak cemas. Dia dan rekannya ingin membentuk tim dan menjalankan penjara bawah tanah di masa lalu; namun, tidak ada satu tim pun yang menginginkan mereka atau setuju untuk membiarkan mereka bergabung. “Jangan khawatir, kamu membawa saya bersamamu. Selain itu, kerusakan sihir Anda adalah lima puluh sekarang. Arcane Mage dengan kerusakan tinggi … bahkan jika mereka ingin menemukan satu, mereka tidak akan mampu. Miliki kepercayaan diri pada diri sendiri. Lagipula kau kakakku! ”Nie Yan tersenyum dan menepuk pundak Tang Yao. “Dipahami! Jika ada saran lagi yang bisa diberikan, beri tahu saya sekarang. Saya akan melatih mereka semua ketika saya kembali. Saya tidak percaya saya tidak bisa mempelajarinya! ”Setelah mendengarkan kata-kata Nie Yan, Tang Yao merasa tersentuh dan bersemangat tinggi. “Dalam hal meningkatkan keterampilanmu, aku sudah memberitahumu semua yang perlu kamu ketahui. Poin penting adalah apakah Anda sudah cukup berlatih atau tidak. Anda hanya perlu terus berlatih, agak meningkatkan waktu reaksi Anda, berusaha untuk tidak membuat kesalahan besar, dan Anda tidak perlu khawatir. Sebelumnya pada hari itu, cari lebih banyak orang ke PvP dengan dan latih keterampilan Anda. Ketika Anda sampai ke Level 5, saya akan menemukan beberapa orang dan kami akan membentuk tim bersama untuk menjalankan Secret Cavern, di mana saya akan membantu Anda mengambil set Murid Pengasingan Arcane Mage. Saya akan membuat Anda begitu puas, Anda akan meledak dari kebahagiaan, ”kata Nie Yan. Dengan dia di sini, akan sulit bagi Tang Yao untuk tidak menjadi ahli, bahkan jika dia tidak mau. "Sangat? Maka itu tidak akan terjadi jika saya tidak berusaha! "Tang Yao sekarang penuh motivasi. Di masa lalu, dia merasa tidak masalah seberapa banyak dia mempraktikkan keterampilannya, karena pada akhirnya, dia tidak akan pernah mengejar orang-orang yang dianggap ahli top. Namun sekarang, setelah mendengarkan kata-kata Nie Yan, dia merasakan masa depan yang cerah terbentang di depannya. Setelah itu, Nie Yan memberi Yao Yao panggilan melalui obrolan suara. 「Apa yang kamu inginkan?」 Yao Yao bertanya dengan nada kesal. Sebenarnya, dia tidak lagi marah pada Nie Yan. Namun, saat dia menjawab panggilan itu, dia masih berpura-pura marah padanya. 「Apakah Anda masih memiliki ruang ekstra untuk Hutan Treant besok?」 Nie Yan tersenyum tak berdaya. 「Dua lagi ruang terbuka. 」 「Saya punya teman yang ingin saya ikuti. Apakah kalian bersedia? 」 「Level berapa temanmu, hmm? Mungkinkah dia hanya ingin bergabung sehingga dia bisa lintah pengalaman …? Jika dia hanya bergabung dengan pengalaman lintah, aku harus bertanya pada kakak perempuanku dulu. Juga, profesi apa yang dimainkan temanmu ini? 」Yao Yao menjawab dengan nada kasar. 「Arcane Mage. 」 「Oh …? Apa kerusakan sihirnya? 」 「Lebih dari lima puluh. Agar lebih akurat, itu lima puluh dua. 」 「Kerusakannya setinggi itu!?」 Yao Yao berseru kaget. Sebagai Mage Suci, kerusakan sihirnya sudah mencapai tiga puluh tujuh. Bahkan di antara yang setingkat dengannya, jumlah ini dianggap cukup tinggi. Dia tidak pernah mengira bahwa teman Nie Yan akan memiliki lebih banyak kerusakan sihir daripada dirinya, dan pada tingkat yang besar juga. 「Tunggu sebentar, aku akan bertanya pada kakak perempuanku. Dia harus setuju untuk membiarkan dia bergabung. 」 Untuk Arcane Mage memiliki kerusakan sihir setinggi itu berarti mereka pasti telah membersihkan banyak ruang bawah tanah di masa lalu. Orang-orang ini adalah pakar top. Bahkan jika Anda pergi mencari mereka, dan memohon mereka untuk bergabung, mereka mungkin belum tentu setuju untuk bergabung dengan Anda. Sekarang, salah satu ahli ini dikirim langsung ke depan pintu mereka. Kakak Seniornya sama sekali tidak punya alasan untuk menolak. Pada kenyataannya, itu akan sangat berlawanan, dan diharapkan jika Tang Yao yang melakukan penolakan. 「Baiklah, pergi dan tanyakan. Saya akan menunggu balasan Anda. 」 Setelah beberapa saat, dia membalas kembali ke Nie Yan. 「Saya sudah bertanya Kakak Yu Lan. Dia setuju untuk membiarkan teman Anda bergabung, jadi bawalah dia ketika Anda datang besok pagi. 」 「Mhm … baiklah. 」Nie Yan mengangguk dan menutup telepon. 「Jangan! Doot! 」 "Halo? Halo? ”Yao Yao masih ingin bertanya mengapa Nie Yan mengapa temannya setuju untuk bergabung dengan mereka. Dari sudut pandang mereka, pakar semacam ini bukanlah tipe yang bisa Anda temukan dengan mudah, dan juga pakar yang tidak akan dengan mudah setuju untuk bergabung dengan tim seperti mereka. Namun, Nie Yan sudah menutup teleponnya. Yang bisa dia dengar pada saat ini hanyalah sinyal sibuk yang menandakan bahwa panggilan itu telah berakhir, yang akhirnya membuatnya marah tanpa akhir ketika dia dengan kejam menginjakkan kakinya di tanah. "Menutup telepon begitu cepat … Sekarang kamu pikir kamu terlalu baik untukku sekarang sehingga kamu memiliki ahli di sisimu? Hmph! Menyebalkan sekali! ” "Bagaimana hasilnya? Apakah mereka bersedia membiarkan saya bergabung? "Tang Yao bertanya dengan nada cemas saat dia mengutak-atik tangannya. Sampai sekarang, Tang Yao selalu menjadi seseorang yang akan bergabung dengan Grup Penjemputan. Kadang-kadang, dia akan mengikuti grup dan menjalankan contoh umum dengan mereka. Namun, dia belum pernah membentuk partai atau tim reguler. Tim yang mampu menjalankan Level 3 atau instance yang lebih tinggi adalah mereka yang biasanya memiliki pengaruh signifikan di antara playerbase. Belum lagi, tim-tim ini sering memiliki anggota tetap. Dalam hampir semua kasus, tidak ada kesempatan bagi pemain biasa untuk bergabung. Ini karena jika suatu tim menerima pemain yang lemah, pemain itu hanya akan menahan tim itu. Inilah sebabnya tim memiliki persyaratan yang keras dan sangat pilih-pilih ketika merekrut anggota baru. Namun, selama pemain itu melewati persyaratan mereka dan bergabung dengan barisan mereka, maka pemain itu akan menjadi bagian dari tim. Sejak saat itu, setiap kali tim kekurangan anggota saat menjalankan penjara bawah tanah, pemain itu akan selalu dipanggil. Karena itu mengapa Tang Yao menunggu dengan harapan panas ketika Nie Yan menutup telepon. Sebagai orang yang juga tidak bisa masuk ke tim elit di masa lalu, Nie Yan memahami perasaannya dengan baik. Pada saat ini, Tang Yao penuh semangat dan antisipasi. Nie Yan ingat bahwa ketika ia pertama kali memasuki sebuah tim di masa lalu, ia juga hampir sama. "Mereka setuju . Yang perlu Anda lakukan adalah ikut dengan saya besok dan Anda akan baik-baik saja. Tenang, hanya berdasarkan statistik mentah Anda saja, tim mana pun akan bersedia untuk memiliki Anda. Lagipula, memainkan Arcane Mage membutuhkan keterampilan yang signifikan. ” "Itu luar biasa!" Seru Tan Yao bersemangat. Besok akan menjadi pertama kalinya dia menjalankan contoh tingkat tinggi seperti Hutan Treant. Ini adalah kesempatan yang dia dambakan bahkan dalam mimpinya. "Apakah ada persyaratan saat menjalankan instance ini?" “Untuk contoh ini, tidak ada persyaratan khusus untuk Arcane Mages. Pastikan agro tidak beralih ke Anda dan Anda akan baik-baik saja. Juga, Treants memiliki resistensi yang cukup rendah terhadap sihir api, jadi siapa yang tahu? Mungkin di penghujung hari esok, kamu akan mengalami banyak kerusakan! ”Kata Nie Yan sambil tersenyum. Tang Yao menanggapi masalah ini dengan sangat serius. Ketika dia ingat pertama kali dia menjalankan sebuah instance, dia tidak berhasil. . “Apakah kamu membawa Jimat? "Aku punya lima. ” "Mari kita lihat Meteor, jadi berikan mantra untukku ketika kita akan pergi. ” "Di mana aku akan melemparkannya?" Daerah sekitarnya hanya memiliki satu atau dua Rock Spider paling banyak. Menggunakan skill di sini akan menjadi terlalu sia-sia. "Aku akan mengumpulkan mereka. Cepatlah dan bersiap-siap! ”Jawab Nie Yan, lalu berlari lebih dalam ke gua. "Oke!" Tang Yao mengeluarkan jimat dari tasnya. Dia dipenuhi dengan antisipasi dan cukup bersemangat untuk mengetahui kekuatan mantra barunya juga. Nie Yan terus berlari lebih dalam ke gua. Ketika dia bertemu dengan Rock Spider, dia akan menyerang itu sekali dan bukannya berkutat dengan itu lebih jauh, dia akan terus berjalan. Setelah laba-laba ini diserang, mereka akan mengejarnya dari belakang. Jumlah laba-laba mengejar di belakangnya menjadi lebih dan lebih sampai mereka mulai melambat karena kerumunan. Nie Yan cukup gesit saat bergerak bolak-balik melalui gua. Dia mirip kereta api dengan massa dua puluh ditambah Rock Spider mengikuti di belakangnya menangis. Tang Yao sedang merapikan ranselnya ketika dia mendengar suara aktivitas yang datang dari dalam gua. Ketika dia berjalan untuk melihat-lihat, dia melihat banjir dua puluh laba-laba ditambah melonjak melalui lorong, tampak seolah-olah mereka akan menelan semuanya. "Ya Tuhan…! Bagaimana Anda bisa begitu banyak dari mereka !? ”Tang Yao berteriak dengan ketakutan sebelum berbalik dan berlari demi nyawanya. BUKU KETERTIBAN Bab 29 – Buku Ketertiban 「Berhenti berlama-lama! Cepat dan lemparkan Meteor! 」Nie Yan direcoki melalui obrolan suara. 「Meteor membutuhkan waktu sepuluh detik untuk dilemparkan! Pada saat saya selesai casting, sudah terlambat! 」Tang Yao menjawab dengan cemas. Dia memperkirakan sebelum dia bahkan bisa menyelesaikan menyalurkan mantra, dia akan dikuasai oleh Rock Spider. 「Saya tidak peduli, mulai casting saja! Percepat!" Tang Yao mengepalkan giginya dan mulai mengungkap Jimat. Mengacungkan tongkatnya, dia mulai melemparkan Meteor. Segera, sejumlah besar esensi api dari daerah sekitarnya mulai berkumpul di posisinya. Ketika esensi api berkumpul, suhu di udara mulai naik karena kobaran api yang membakar. Tang Yao bisa melihat Nie Yan memimpin dua puluh ditambah Rock Spiders melalui lorong ke persimpangan gua. Saat dua puluh laba-laba plus melonjak ke persimpangan seperti gelombang besar, Nie Yan berlari ke lorong sempit tempat Tang Yao mundur. Hanya satu laba-laba yang berhasil memeras dirinya sendiri, dan seperti itu, laba-laba itu menghalangi akses ke lintasan untuk sisa laba-laba dalam interaksi. "Strike Concussive!" Nie Yan berbalik dan memukul laba-laba di kepala yang menyebabkan laba-laba di lorong memasuki kondisi bingung. Delapan detik … tujuh detik … enam detik … lima detik … Seiring waktu perlahan berlalu, esensi api berkumpul di sekitar Tang Yao menjadi semakin intens. Untuk sebagian besar, mantra yang membutuhkan seperangkat suku kata untuk dilemparkan adalah mantra yang memiliki efek area yang relatif besar. Dari pengetahuan dan pengalaman Nie Yan, Meteor adalah satu-satunya area mantra efek yang dapat dipelajari Elementalis dan Arcane Mage di Level 0, dan itu cukup efisien dalam membunuh sejumlah besar monster. Namun, bahkan jika Anda mengumpulkan seribu Elementalists dan Arcane Mage, Anda mungkin tidak perlu menemukan satu yang memiliki Meteor. Setelah tiga detik, laba-laba itu terbangun dari keadaan linglung. Begitu itu terjadi, ia menerkam ke arah Nie Yan. Sebagai reaksi, Nie Yan mengangkat belati dan mulai pertempuran dengan Rock Spider. Dia dengan kuat menjaga laba-laba di tempatnya dan mencegah serangannya mencapai Tang Yao untuk menghindari gangguan mantra. Sepuluh detik — apakah momen ini panjang atau pendek tergantung pada perspektif seseorang. Namun kebenaran dari masalah ini pernah Anda hitung dari satu hingga sepuluh, saat itu sudah berakhir. Tang Yao mengangkat tongkatnya dan dalam keadaan seperti kesurupan, telah selesai melantunkan kalimat suku kata aneh yang bahkan dia sendiri tidak tahu artinya. Pada saat berikutnya, bola api besar jatuh dari udara. 「Boom!」 Ledakan memekakkan telinga menggema saat bola api bertabrakan dengan kelompok laba-laba. Saat tumbukan, bola api itu menyerupai gadis muda ketika menyebarkan bunga berapi-api di setiap arah. Bunga-bunga menyala ini tidak segera padam setelah mendarat di tanah. Sebagai gantinya, mereka terus menyalakan area di sekitar mereka dan memberikan jumlah kerusakan tetap setiap detik pada laba-laba yang terperangkap dalam ledakan. 「Gosok! Scritch! 」Dua puluh laba-laba plus yang terperangkap dalam ledakan berada dalam pergolakan ketika mereka berteriak kesakitan. Namun, tidak peduli seperti apa keadaan mereka, mereka masih tidak dapat menyerang Nie Yan dan Tang Yao. Jadi, dia sudah menghitung semuanya. Tidak heran dia berani melakukan lebih dari begitu banyak monster sekaligus. Nie Yan dan Tang Yao hanya mampu membunuh monster seperti ini dengan mengambil keuntungan dari topografi unik persimpangan ini. Taktik menggunakan Meteor pada sekelompok besar musuh akan sepenuhnya bunuh diri jika mereka mencobanya di lapangan terbuka. Biasanya, di ruang yang sangat sempit, kehancuran yang disebabkan oleh Meteor akan sangat terbatas. Namun, ternyata, persimpangan di dalam gua itu cukup cocok untuk casting mantera. Tang Yao mulai mengagumi Nie Yan bahkan lebih. Dia bahkan bisa memikirkan taktik seperti ini … Setelah sedetik berlalu, bola api lain menghujani dari udara dan meledak di daerah itu. Api yang cemerlang terus melewati udara. Lima bola api besar secara berturut-turut jatuh dari udara. Enam dari laba-laba ini secara langsung dihancurkan sampai mati oleh bola api, enam belas dari mereka dibakar sampai mati dari area terus-menerus akibat kerusakan terbakar, sementara laba-laba yang tersisa semuanya mati atau hampir mati. Kemampuan destruktif Meteor cukup jelas di depan mata mereka. Saat Tang Yao menatap tumpukan mayat Rock Spider yang diletakkan di hadapannya, dia menatap kosong untuk saat yang baik. Semua kehancuran ini disebabkan sendirian olehnya! Kesadaran semacam ini sulit baginya untuk hamil. "Nie Yan … Apakah aku benar-benar melakukan semua ini?" Tanya Tang Yao dengan bodoh. Dia mengkonfirmasi itu setelah melihat sejumlah besar pengalaman yang dia dapatkan dari membunuh laba-laba. Beberapa saat yang lalu, dia benar-benar adalah kastor dari mantra Meteor yang tangguh. "Mengapa kamu menatap kosong? Ayo rawat laba-laba yang tersisa, ”Nie Yan tersenyum dan berkata. “Aku kehabisan mana. "Tang Yao menatap bar mana yang hampir sepenuhnya kehilangan apa pun. Dia masih bisa melemparkan beberapa Arcane Missiles; Namun, untuk mengikuti mereka dengan mantra seperti Flame Explosion, itu adalah sesuatu yang dia benar-benar tidak dapat lakukan. Setelah mendengar kata-kata Tang Yao, Nie Yan tampaknya mengingat sesuatu; Meteor adalah mantra yang rakus memakan mana. Tang Yao bahkan bisa melemparkannya sudah cukup mengesankan. Belum lagi, dia bahkan memiliki sedikit mana yang tersisa untuk melemparkan mantra lain! Selain konsumsi mana, Meteor juga membutuhkan jimat yang tidak murah juga. Oleh karena itu, jika mereka terus melanjutkan mantra untuk menggiling monster, itu akan dengan cepat menggerogoti biaya Tang Yao. Nie Yan menerkam salah satu Rock Spider yang tersisa dan membunuhnya dengan Vital Strike. Dia dan Tang Yao kemudian dengan cepat mulai membersihkan area laba-laba yang tersisa. Setelah beberapa saat, setiap satu dari dua puluh laba-laba plus itu menemui ajalnya dan berbaring di lantai. Nie Yan berjalan ke mayat dan mulai mengumpulkan barang-barang yang jatuh, yang berjumlah total tiga tembaga. Pada akhirnya, tidak ada satupun peralatan yang jatuh. Dia kemudian melirik bar pengalamannya. Pengalaman yang dia dapatkan dari membunuh begitu banyak Rock Spider telah menyebabkan bar pengalamannya meningkat tiga persen. “Daerah ini sudah dibersihkan dari monster. Ayo masuk lebih dalam ke gua, ”saran Nie Yan. Gerinda gerombolan dengan cara seperti itu hanya bisa dialami sesekali, karena tingkat respawn dari monster di daerah itu tidak akan bisa mengimbangi. "Apa!? Mengapa kita melangkah lebih jauh? "Tang Yao bertanya dengan terkejut. “Aku masih punya sesuatu untuk dilakukan lebih dalam di gua. Selain itu, pemandangan di dalam gua ini cukup mistis, ”jawab Nie Yan sambil tersenyum misterius. Hanya ketika dia tiba di dalam gua ini dia tiba-tiba teringat sesuatu yang berkaitan dengan gua ini. Ada kolam alami yang terbentuk di ujung Gua Laba-Laba Rock. Air di kolam ini cukup dalam, dan ada banyak arus di bawah air yang berkelok-kelok ke segala arah dan berpotongan satu sama lain. Adapun mengapa arus ini ada, itu karena kolam terhubung ke danau bawah tanah. Setelah melewati danau, Anda akan menemukan diri Anda tiba di jurang tertutup yang tumbuh semua jenis tanaman obat eksotis dalam jumlah besar. Namun, bagian yang paling penting adalah jurang bersegel ini berisi item yang akan dirindukan oleh banyak pemain bahkan dalam mimpi mereka; halaman robek dari Book of Order. Dalam pengetahuan, Kitab Ketertiban dan Kitab Kekacauan adalah kedua benda suci yang diturunkan sejak Era Pemerintahan Bersama (873-1235). Legenda mereka masih menyebar setelah lewat lima atau enam ratus tahun. Kemunculan mereka adalah sebuah misteri, serta asal-usul penulisnya. Ketertiban dan Kekacauan mewakili hukum-hukum dunia. Kedua buku itu masing-masing berisi enam volume, tiga puluh enam bab. Buku-buku ini mewakili dua kekuatan yang berbeda dan berlawanan yang tersebar di seluruh dunia. Legenda mengatakan, jika seseorang mengumpulkan setiap halaman dan menyelesaikan Kitab Ketertiban, mereka akan dapat menghidupkan kembali Dewa Ketertiban dan mendapatkan kekuatan yang sangat besar. Selain itu, pemilik Kitab Ketertiban akan menjadi penguasa dari semua Kuil Suci di berbagai daerah dan menjadi Paus Agung dari Fraksi Benar. Sebaliknya, jika seseorang menyelesaikan Kitab Kekacauan, mereka akan mendapatkan kekuatan destruktif yang sangat besar dan menjadi musuh bebuyutan bagi pemilik Kitab Ketertiban. Jika setiap halaman dikumpulkan, mereka akan menjadi Penguasa Kegelapan. Kitab Ketertiban dan Kitab Kekacauan sama-sama eksistensi legendaris. Ketika volume enam bab pertama muncul, drama sinematik menunjukkan sejarah panjang Kekaisaran Viridian dan Kekaisaran Satreen. Enam bab dari Kitab Ketertiban ini adalah Bab Keadilan, Bab Kejujuran, Bab Keberanian, Bab Kebijaksanaan, Bab Kesetaraan, dan Bab Kebebasan. Enam bab ini jatuh ke tangan enam orang. Masing-masing dari anggota ini adalah para ahli yang memiliki kursi sebagai salah satu dari seratus anggota teratas di faksi Benar. Kursi pertama, kursi ketiga dan enam kursi masing-masing masing-masing memegang Bab Keadilan, Bab Keberanian, dan Bab Kebijaksanaan. Dengan demikian, korelasi antara keduanya menyebabkan bab-bab dari Kitab Ketertiban ini dipandang sebagai keberadaan surgawi oleh publik. Memang benar bahwa bab-bab ini dari Book of Order memiliki kekuatan yang kuat, tetapi peringatannya adalah bahwa mereka tidak dapat disimpan dalam penyimpanan pribadi pemain. Dengan demikian, pemain hanya bisa membawanya sendiri. Ketika pemilik sebuah bab terbunuh oleh pemain lain, bab itu akan selalu jatuh, kecuali jika pemain memiliki semua enam bab. Karena ini, pertempuran dan pembunuhan yang dihasut oleh Kitab Ketertiban hampir tidak pernah berakhir. Bab Keadilan, Bab Keberanian, dan Bab Kebijaksanaan jatuh ke tangan masing-masing pemimpin dari tiga guild super. Para pemilik bab-bab yang tersisa juga memberikan kekuatan yang tangguh kepada para pemilik, tetapi setiap kali mereka berangkat, mereka akan selalu bersikap rendah hati. Mereka juga tidak akan dengan mudah menggunakan kekuatan bab mereka di hadapan pemain lain. Namun, Nie Yan telah menyaksikan kekuatan kuat dari bab-bab dari Book of Order dalam video sebelumnya. Pemegang Bab Keadilan adalah presiden Angel Corp, seorang Pemburu Iblis dari ras Elf, Angyi Tianshi. Dia pernah menghadapi lebih dari seratus musuh yang bermusuhan. Saat menghadapi musuh-musuh ini, dia memanggil enam belas Ksatria Lurus dan mengalahkan semua musuhnya. Satu orang telah mengalahkan lebih dari seratus pemain. Acara ini nantinya akan menjadi legenda. Pemegang Bab Kebijaksanaan adalah pemimpin guild Penghakiman Suci, seorang Penyihir Suci, Pembunuh Kaisar. Dia telah bertahan dari invasi Mayat Hidup. Dia menggunakan Forbidden Magic Resplendent Brilliance dan menghilangkan tiga ratus liches, yang mengubahnya menjadi legenda lain yang merupakan pemilik bab dari Book of Order. Pemegang Bab Keberanian adalah pemimpin guild dari Persekutuan Kekaisaran Suci, seorang Berserker, Sleepy Fox. Selama perang guild, dia bergegas ke barisan musuh sendirian, membunuh musuh dengan setiap beberapa langkah dan memenggal lebih dari dua ratus musuh. Dia telah membantai segalanya di depannya. [TL: Hanya sedikit, nama Sleepy Fox telah muncul di bab-bab sebelumnya sebelumnya. Ini sebuah petunjuk, nomor babnya sial dan bahkan lebih sial di hari Jumat. ] Nie Yan terbakar dengan kegembiraan ketika dia memikirkan hal ini. MENCARI BAB KEBERANIAN Bab 30 – MENCARI BAB KEBERANIAN Kitab Ketertiban benar-benar merupakan barang yang sangat menggoda. Dalam kehidupan ini, Nie Yan memiliki kesempatan untuk mengumpulkan semua enam bab dari volume pertama, tetapi tidak tahu apakah dia bisa. Dari tiga puluh enam bab yang tersebar di seluruh dunia, dia kira-kira tahu sebagian besar lokasi mereka! Adapun keberadaan jilid enam bab pertama, dia tahu mereka dengan sangat jelas! Yang dia cari saat ini adalah bab ketiga dari Kitab Ketertiban, Bab Keberanian. "Apa yang akan kita lakukan ketika kita masuk lebih jauh?" “Ikuti saja aku sampai ke ujung gua. Setelah itu, Anda dapat kembali dan melanjutkan pelatihan. Tempat saya berencana untuk pergi ke suatu tempat Anda tidak mampu mencapai, "jawab Nie Yan. Bahkan untuk Pencuri seperti dia, lokasi itu masih sedikit sulit baginya untuk dijangkau. Dengan demikian, tidak perlu untuk mempertimbangkan Penyihir Arcane seperti Tang Yao. "Apakah itu sangat berbahaya?" Tang Yao dengan penasaran bertanya. "Iya nih . '' Nie Yan mengangguk sebagai balasan. "Jika itu berbahaya, mengapa Anda ingin pergi ke sana?" Tanya Tang Yao dengan bingung. “Jadi aku bisa mengambil item tertentu. '' Nie Yan tertawa sebagai balasan. Tang Yao tidak mengerti seberapa besar daya tarik yang dimiliki satu bab dari Kitab Ketertiban. "Saya melihat . "Tang Yao perlahan mengangguk. Dia tidak mengerti mengapa Nie Yan masih ingin pergi meskipun menyadari bahaya. Namun, sepertinya Nie Yan sudah punya rencana, jadi dia tidak bertanya lebih jauh. Tak lama setelah itu, Nie Yan dan Tang Yao menuju lebih dalam ke gua. Jalurnya sangat sempit, oleh karena itu Meteor tidak dapat digunakan secara efektif. Akibatnya, keduanya hanya bisa menggunakan metode biasa untuk membersihkan jalan saat mereka perlahan-lahan maju. Rock Spiders jatuh satu demi satu. Selain itu, di bawah instruksi Nie Yan, Tang Yao merasa keterampilannya meningkat secara signifikan. “Kau membuat kemajuan pesat. Setelah beberapa latihan lagi, Anda akan menjadi ahli dalam waktu singkat. Kami akan menuju ruang bawah tanah besok, jadi saya akan memberi Anda ikhtisar tentang beberapa dasar-dasarnya. Kuncinya adalah manajemen agro dan positioning. Penjara khusus yang kita jalankan besok akan menjadi sedikit sulit, jadi sebaiknya kau berhati-hati, terutama ketika kita berurusan dengan Treant King, ”kata Nie Yan saat dia menghadapi Tang Yao. Sehubungan dengan Arcane Mages, dia mewariskan semua pengetahuan yang dia tahu tentang mereka yang menjalankan ruang bawah tanah ke Tang Yao. Dari waktu ke waktu, dia juga akan menjelaskan beberapa poin penting dari Hutan Treant. Tang Yao sangat mendengarkan. Sebelumnya, dia hanya pemain biasa. Keahliannya tidak begitu bagus, dan peralatannya gagal. Pada akhirnya, dia hanya bisa terus tertinggal dari yang lain di level bawah. Tapi setelah dia melengkapi Fire Chaser Set, peralatannya sekarang bisa dianggap sebagai salah satu yang terbaik. Kesuksesan besar ini menyebabkan dia merasakan tekanan besar dan kesadaran diri ketika dia berusaha keras pada dirinya sendiri seperti seorang ahli. Sebenarnya, bakat Tang Yao cukup baik. Meskipun itu tidak bisa dianggap di puncak, dia masih akan dianggap terampil. Setelah Nie Yan mulai memberinya petunjuk, dia benar-benar berubah. Bahkan jika dia tidak bisa dianggap sebagai seorang ahli, sehubungan dengan keterampilannya, jelas bahwa dia tahu bagaimana meningkatkan. "Apa lagi yang harus aku perhatikan?" “Statistik terpenting untuk Arcane Mage adalah Kecerdasan, Kesadaran, dan Fokus. Di antara ketiganya, Intelejen adalah stat utama dan tidak diragukan lagi yang paling penting. Sekarang tinggal dua, Kesadaran dan Fokus. Keduanya adalah statistik tambahan. Kesadaran memungkinkan Anda memiliki kemampuan bertahan yang lebih baik ketika menghadapi musuh yang mampu Stealth, dan Fokus mempersulit mantra Anda untuk terganggu. Oleh karena itu, kedua statistik ini sangat penting juga. Statistik bantu hanya dapat ditingkatkan dengan mengandalkan keterampilan pasif dan tidak dapat ditingkatkan saat naik level, oleh karena itu Anda harus memiliki keterampilan pasif yang relevan jika Anda ingin bersaing dengan orang lain. Jika Anda melihat buku keterampilan yang sesuai di masa depan dan ingin membelinya, tetapi kekurangan uang, saya akan membantu Anda membayarnya terlebih dahulu, ”kata Nie Yan. “Kamu tidak harus melakukan itu. Uang bukanlah sesuatu yang kurang dari saya. Di masa depan, saya hanya perlu nongkrong di rumah lelang lagi, itu saja, ”kata Tang Yao sambil menggelengkan kepalanya. Dia mengambil semua saran Nie Yan ke dalam hati. Perlahan-lahan, mereka mendekati ujung gua tempat mereka bisa mendengar suara samar air mengalir. “Kami telah mencapai tujuan kami; Namun, Anda harus kembali dulu. Ada tiga Laba-laba Rock kelas Pemimpin di depan. Saya khawatir Anda tidak akan bisa melewati mereka, ”saran Nie Yan. Dia sudah melihat video online dalam kehidupan masa lalunya tentang bagaimana Kapitel Keberanian itu ditemukan. Kurang lebih, dia memiliki jalan menuju bab yang sepenuhnya dihafal di kepalanya. "Aku mengerti … Nah, berhati-hatilah kalau begitu. ” Nie Yan mengangguk. "Aku akan meneleponmu ketika kita menuju ke ruang bawah tanah besok, jadi pergilah berlatih dan naik level. ” "Aku akan pergi kalau begitu. "Tang Yao mengeluarkan Gulungan Kembali, membongkar dan membacanya dengan keras. Setelah dua puluh detik, ia menjadi seberkas cahaya putih dan berteleportasi. Setelah Tang Yao pergi, Nie Yan menuju lebih jauh ke dalam kegelapan gua. Awalnya, dia berencana untuk menunggu sampai levelnya cukup tinggi sebelum mengambil bab-bab dari Book of Order. Sebenarnya, mengambil Kapitel Keberanian pada levelnya saat ini masih agak merepotkan. Namun, karena dia sudah ada di sini, dia memutuskan untuk mencobanya. Jika dia berhasil mendapatkan Bab Keberanian, levelingnya di masa depan akan menjadi sedikit lebih mudah. Nie Yan menuju lebih dalam ke gua di mana area rahasia itu berada dan menyembunyikan dirinya di antara bayang-bayang. Setelah berjalan selama tiga menit, dia naik ke ruang terbuka. Di kejauhan, tiga laba-laba Rock kelas Pemimpin raksasa berpatroli di sekitar. Saat dia melihat lebih jauh ke depan, area seluas kira-kira dua ratus meter persegi di dalam ruang terbuka dikelilingi oleh air yang dalam. Air bersirkulasi dari saluran sempit yang akhirnya mengarah ke bawah tanah. Ini adalah sumber air yang mengalir yang pernah dia dengar sebelumnya. Tiga Laba-laba Rock kelas Pemimpin memblokir jalannya ke kolam. Mereka sering bergerak di sekitar ruang terbuka, hanya sesekali berhenti di tempat untuk menggaruk-garuk kepala dengan kaki. Nie Yan mengamati dengan cermat sekali lagi. Dia memperkirakan bahwa dia harus melewati sekitar sepuluh meter sebelum mencapai tepi air. Untuk profesi non-Pencuri, selain membunuh ketiga Rock Spider kelas Pemimpin, itu benar-benar mustahil untuk melewati area ini tanpa memperingatkan mereka. Saya kira tidak ada pilihan selain tetap masuk! Nie Yan memahami sifat berisiko dari taktik semacam itu, tetapi ia telah mengatasi situasi yang beberapa kali lebih berbahaya daripada yang sebelumnya. Karakteristik yang paling memikat dari profesi Pencuri adalah kegembiraan yang diberikannya. Pencuri melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh profesi lain. Mereka mengalami perasaan menari antara hidup dan mati. Mungkin sifatnya sendiri rentan terhadap risiko dan bahaya. Yang penting adalah bahwa Nie Yan menikmati perasaan ini. Dia berusaha mencapai situasi berbahaya yang mustahil dan menaklukkan satu demi satu karena itu adalah bukti kemampuannya sendiri. Setelah beberapa perhitungan cepat, dia memperkirakan dua setengah meter adalah yang paling dekat yang bisa dia dapatkan dengan salah satu laba-laba tanpa menyiagakannya. Selama saya tidak berada dalam jarak dua setengah meter, saya harus aman. Nie Yan memasuki Stealth dan mulai melangkah maju. Tiga laba-laba kelas Rock Pemimpin berulang kali bergerak di sekitar daerah itu sementara mata besar mereka mencerminkan gambar yang tak terhitung jumlahnya dari lingkungan mereka. Di dalam area, tidak ada satu hal pun yang diabaikan saat berada di bawah tatapan mereka. Dalam kehidupan masa lalunya, seorang pemain pernah menghitung statistik dari berbagai jenis monster. Mereka menemukan bahwa di antara monster jenis hewan, ketika sampai pada Kesadaran, jenis laba-laba berada di peringkat nomor tujuh. Selain itu, monster jenis hewan secara keseluruhan terdaftar sekitar enam ribu jenis monster. Ini adalah bukti bahwa Kesadaran akan jenis laba-laba cukup tinggi. Nie Yan dengan hati-hati menjaga jarak antara dirinya dan Laba-laba Rock kelas Pemimpin. Dia mengendalikan napasnya dan secara bertahap bergerak menuju tepi air. Menggunakan posisi jam, lokasi ketiga laba-laba itu masing-masing tiga setengah meter pada jam sembilan, lima meter pada jam dua belas, dan enam meter pada jam sebelas. Tubuhnya menyerupai tokek saat ia menempelkan dirinya ke dinding gua dan perlahan-lahan melangkah maju. Setiap tindakan dilakukan dengan sangat teliti. Dari batu-batu lepas di dekat dinding gua ke kerikil yang tersebar di bawah kakinya, mereka semua bisa menjadi variabel yang mungkin menuntut pertimbangannya. Perhatian adalah kapal yang berlayar selama sepuluh ribu tahun; Nie Yan merasa dia tidak pernah bisa terlalu berhati-hati. Enam tahun pengalaman sebelumnya dalam kehidupan masa lalunya telah menyebabkan dia sangat memahami alasan ini. Ini adalah sesuatu yang benar-benar dia pelajari hanya setelah mengalami pelajaran pahit yang tak terhitung jumlahnya. Secara total, dia telah meninggal tiga ratus lebih kali di luar kejadian. Tak perlu dikatakan, saat-saat ia meninggal saat berada di dalamnya bahkan lebih. Seorang ahli yang tidak pernah mengalami kematian tidak pernah seorang ahli untuk memulai. Untuk dipandang sebagai seorang ahli, mengambil risiko dan pengalaman PvP sangat penting. Pada kenyataannya, kematian tidak dapat dihindari ketika terus-menerus melakukan PvP dan mengambil risiko. Di bawah mata seorang ahli, pemain yang tidak pernah mengalami kematian atau hanya digiling pada monster untuk mencapai Level 100 masih dianggap pemula. Itu benar-benar hanya karena banyak pengalamannya dengan kematian yang memungkinkan Nie Yan menjadi Pencuri Besar yang agak terkenal dan memegang gelar Penari Bayangan. Perbedaan antara Penari Bayangan dan Pencuri rata-rata hanya satu judul. Namun, saat itu, hanya ada enam orang di seluruh benua Atlanta yang memegang moniker Shadow Dancer. BERI NAMA BELATI Bab 31 – Beri nama Belati. Perlahan-lahan, ketika Nie Yan bergerak maju, dia tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari salah satu Pemimpin Kelompok Rock Spider. Yang terakhir tiba-tiba bergetar dan mengalihkan pandangannya ke lokasi Nie Yan. Untungnya, Nie Yan benar-benar tenggelam dalam kegelapan gua. Bayangan itu memberinya lingkungan yang sangat baik untuk menyembunyikan dirinya. Namun, tatapan Rock Spider tampaknya mampu menembus kegelapan. Ketegangan di hatinya mencapai titik ekstrem saat dia menahan napas dan menempel erat ke dinding gua. Laba-laba bergetar ketika tatapannya terkunci pada posisi Nie Yan di mana ia bisa secara bertahap membuat siluet yang berbeda. 「Gosok! Scritch! 」Itu mengeluarkan tangisan dan bergegas ke arahnya. Sialan, saya ditemukan. Hati Nie Yan tenggelam. Dia mengaktifkan Speed ​​Scroll dan melaju ke arah kolam secepat yang dia bisa. Pada saat yang sama, dua laba-laba lainnya juga mengambil tindakan dan berusaha untuk mengapit Nie Yan. Mereka menghalangi jalannya sementara laba-laba sebelumnya datang serentak ke arahnya. Nie Yan menekuk lutut sampai batas mereka sebelum melompat keluar dari jalan. Beban berat karakternya ringan, sehingga ia memiliki jarak lompat maksimum tiga meter dan tinggi lompatan setengah meter. Dalam sekejap, dia melompat keluar dari jangkauan serangan Rock Spider. 「Bang!」 Tubuh laba-laba yang besar menabrak dinding. Dampaknya menyebabkan dinding patah dan puing jatuh di tanah. Sementara itu, dua laba-laba lainnya datang menerkamnya secara bersamaan dari sisi depan dan kiri. Namun, indera Nie Yan tajam. Dia dengan cepat meluncur keluar dari jalan setelah mendarat, menghindari serangan kedua laba-laba yang mendekat. 「Bang!」 Kedua laba-laba saling bertabrakan. Kekuatan tabrakan menyebabkan mereka terbalik dan berbaring telentang. Tiga Pemimpin kelas Rock bertubuh gemuk bertubuh gemuk hampir menghalangi semua jalan untuk melarikan diri. Nie Yan berhasil melewati mereka dengan melarikan diri melalui celah kecil antara tiga laba-laba dan terus berlari ke depan. Pada tanda lima meter, ia mempercepat lebih dan berlari ke arah kolam. Salah satu laba-laba bereaksi lebih cepat dari yang lain dan menerkam Nie Yan. Melihat ini, Nie Yan melompat ke udara dan dengan percikan, kepala merpati terlebih dahulu ke kolam. Tiga Laba-laba Rock melayang-layang ketika mereka tiba di tepi air. Namun, pada akhirnya, tak satu pun dari mereka yang berani masuk. Itu adalah pelarian sempit lainnya. Nie Yan menyelam lebih dalam dan mengaktifkan kemampuan Water Aversion Pearl. Pencahayaan saat di bawah air bahkan lebih redup, menyebabkan jarak pandangannya menjadi sangat terbatas. Sementara itu, arus yang mendasari menimbulkan tantangan besar karena mereka mendorongnya ke mana-mana dan membuat berenang menjadi lebih sulit. Kadang-kadang mereka bahkan dengan paksa mendorongnya menjauh dari tujuannya. Nie Yan menstabilkan dirinya dan mengamati dengan seksama. Setelah beberapa saat, dia mendapatkan arah dan berenang ke depan. Seharusnya tidak ada monster, pikir Nie Yan dalam hati. Dia berenang selama sepuluh menit sebelum melihat pilar cahaya yang lembut bersinar melalui air di atasnya. Saya ingat tempat ini! Ada peti harta karun di dekat lokasi ini! Nie Yan berpikir sambil berenang melalui air gelap di dasar danau. Di masa lalunya, setiap inci dari daerah ini benar-benar dicari oleh orang lain. Bahkan celah dan celah tersembunyi tidak dikecualikan. Akibatnya, Nie Yan tahu bahwa ada seseorang yang telah menemukan peti harta karun di lokasi ini sebelumnya. Selain dari air yang jauh di atas, wilayah sekitarnya gelap gulita. Karena itu, Nie Yan hanya bisa mengandalkan indera sentuhannya untuk bernavigasi melalui area ini. Ketika dia tiba di danau, dia merasakan sedikit sakit ketika kakinya menginjak dan tersandung beberapa batu yang menonjol. Apapun, Nie Yan terus mencari-cari di bebatuan di danau. Ketika tangannya melewati pasir yang lembut dan halus, dia tampaknya menemukan benda yang tersembunyi di bawah danau. Segera, dia mulai menggali jalan menembus lapisan demi lapisan pasir sebelum kilau emas samar memasuki matanya, menyebabkan murid-muridnya berkontraksi dengan tajam. Saya sangat kaya! Ini peti harta karun emas! Peti harta karun emas memancarkan kilau cemerlang dalam kegelapan danau. Di permukaannya, setiap inci ditutupi ukiran halus. Meskipun mereka tampak agak usang dan tua, itu tidak mempengaruhi estetika keseluruhan dada. Sebaliknya, itu memberikan daya tarik artefak dengan nilai historis. Apa yang lebih luar biasa adalah simbol tertentu yang menarik perhatian Nie Yan: ukiran serigala yang halus. Ukiran itu kira-kira seukuran kepalan tangan orang dewasa. Ketika dia melihat lebih dekat, dia bahkan bisa melihat bulu-bulu individu dalam ukiran yang sangat rinci ini. Setiap peralatan dan objek di benua Atlanta dipenuhi dengan nilai historis yang kuat dari setiap zaman. Setiap patung, lukisan, karya seni, dan jenis senjata membawa karakteristik historis dari zamannya masing-masing. Oleh karena itu, tidak peduli apa dekade, abad, atau era, akan selalu ada penelitian yang relevan pada periode waktu tertentu itu. Dipengaruhi oleh sepuluh tahun pengalaman penuh dengan permainan ini, Nie Yan memiliki pemahaman yang sangat cermat tentang sejarah di balik ukiran, lukisan, dan sebagainya ini. Ukiran serigala ini adalah simbol dari kelompok bajak laut terkenal yang menjelajahi Wilayah Laut Sinse selama Era Pemerintahan Bersama (873-1235). Mereka sakit kepala tanpa akhir untuk Republik sampai badan legislatif Republik akhirnya memutuskan untuk bertindak. Republik mengirim angkatan laut paling elit mereka untuk memusnahkan para perompak. Angkatan laut sekutu yang dibentuk oleh koalisi Manusia, Giants, Elf, dan Beastmen menyebabkan bajak laut ini melarikan diri demi kehidupan mereka. Pada akhirnya, para perompak ini akhirnya dikalahkan. Namun, desas-desus mengatakan, sebelum perang antara perompak dan Republik pecah, para perompak telah menyembunyikan harta mereka dan menyebarkannya di berbagai lokasi di seluruh benua. Sebagai tanggapan, Republik menetapkan bahwa kepemilikan tunggal atas harta yang hilang yang ditemukan akan diberikan kepada siapa pun yang menemukannya. Akibatnya, kelompok pemburu harta karun yang tak terhitung jumlahnya dibentuk dengan harapan menemukan harta yang hilang. Memang, banyak harta mereka akhirnya ditemukan selama periode waktu ini. Namun, banyak yang masih disembunyikan dan tetap hilang di benua Atlanta selama berabad-abad berlalu. Peti emas ini adalah peninggalan yang ditinggalkan dari Era Pemerintahan Bersama. Nilai historis kuno dari peti ini saja akan membuat mereka kehilangan akal. Dalam kehidupan masa lalunya, Nie Yan hanya tahu daerah ini pernah berisi peti harta karun yang ditemukan oleh orang lain. Pada awalnya ia awalnya percaya peti harta karun yang ditemukan di daerah ini hanya yang biasa. Dia tidak pernah berharap bahwa itu sebenarnya peti harta karun emas yang tertinggal dari Era Pemerintahan Bersama. Dia menduga bahwa orang yang pertama kali menemukan peti ini di kehidupannya yang lalu telah dengan cermat dan sengaja menyembunyikan pangkat peti itu. Nie Yan membuka dada. Dia merogoh ke dalam dan merasakan sekitar sebelum tangannya meraih apa yang tampak seperti belati. Ketika dia merasakan belati di telapak tangannya, Nie Yan tidak bisa menekan kegembiraannya saat jantungnya melonjak. Dia buru-buru mengambil belati dari dada dan menatap propertinya. Assassin's Creed (Dagger) Properti: Tidak teridentifikasi Dia tidak tahu properti belati itu. Namun, meski telah mengalami erosi berabad-abad, bilahnya masih tajam karena melintas dengan kilatan dingin. Bentuk belati ini unik, berbeda dari yang rata-rata. Pegangannya disulam dengan berbagai permata warna-warni, yang membuatnya sangat indah. Di sisi datar bilah, ada alur darah yang membuat belati itu terlihat ramping dan ramping. Ujungnya seperti duri saat bilahnya melengkung ke dalam. Tampaknya belati ini bisa dengan mudah memotong daging. Keputusan Assassin? Nie Yan mencoba mengingat nama belati ini dari benaknya, tetapi tampaknya tidak bisa. Dia belum pernah menemukan belati ini sebelumnya. Karena itu, ia tidak dapat menebak propertinya. Meski begitu, dia masih bisa membedakan, dari desain belati ini saja, itu setidaknya peralatan Gold-tier. Nie Yan mengerti apa yang memiliki peralatan Gold-tier di awal keberadaan game ini. Itu menandakan bahwa di masa depan, dia akan memiliki lebih banyak peluang yang tidak akan muncul jika tidak memiliki belati ini. Mengetahui hal ini, Nie Yan dipenuhi dengan harapan yang tak ada habisnya saat dia menyimpan belati ke ranselnya. Bahkan jika dia tidak berhasil mengambil Bab Keberanian kali ini, perjalanan itu akan tetap bermanfaat. Menurut bagaimana permainan itu diatur, jika peti kualitas tinggi ditemukan di suatu daerah, sangat tidak mungkin peti kualitas serupa lainnya akan muncul. Peluang untuk situasi seperti itu terjadi pada dasarnya tidak ada. Dengan demikian, Nie Yan mulai berenang ke atas menuju permukaan tempat sinar cahaya bersinar lembut. Saat dia mendekati permukaan, cahaya menjadi semakin intens. 「Splash!」 Setelah kepala Nie Yan menembus permukaan air, ia menemukan dirinya berada di mata air yang sangat kecil. Dia mengamati sekelilingnya dan menemukan lembah yang indah. Musim semi yang jernih, dia mendapati dirinya mengalir menuruni lembah, ke hutan yang subur di bawahnya. Kelimpahan rumput tumbuh bebas di bagian lain lembah, menyerupai karpet hijau tebal yang menutupi segala sesuatu selain dari hutan, sementara berbagai jenis bunga liar berserakan di seluruh area, yang meninggalkan aroma halus melayang di seluruh. Yang mengelilingi seluruh lembah adalah pegunungan hijau curam yang bertindak sebagai penghalang alami. Gunung-gunung ini adalah rumah bagi beragam vegetasi, yang berarti area ini kemungkinan besar tertutup dari bagian dunia lainnya. Beberapa saat kemudian, Nie Yan sekarang berjalan melalui bagian hutan yang lebih dalam di bawah. Dedaunan lebat menghalangi sebagian besar sinar matahari dari atas, namun cahaya masih berhasil melewati daun hijau lembut dan tiba di bumi di bawah. Oleh karena itu, seluruh hutan tidak sedikit pun gelap, tetapi sebaliknya, diwarnai dengan warna viridian yang memberi orang sensasi misterius kehangatan. Ketika dia melanjutkan perjalanan melalui hutan, seolah-olah dia telah memasuki dunia yang sama sekali berbeda. BAB KETIGA DARI KITAB KETERTIBAN Bab 32 – Bab Ketiga dari Kitab Ketertiban Tatapan Nie Yan mengintip melalui setiap sudut hutan sebelum akhirnya melewati semak tertentu di bawah pangkalan gunung, di mana matanya langsung mengunci ke lokasi. Semak setinggi lutut dan memiliki banyak cabang. Itu tampak mirip dengan patung batu giok — murni, tembus cahaya, dan memancar dengan warna-warna cerah. Tersembunyi di antara dedaunan adalah buah merah merah tua yang menyerupai ceri — lembut dan berkilau. Ini adalah Red Urnberry! Saya tidak berpikir tanaman semacam ini bisa muncul di daerah tingkat rendah! Nie Yan masih mengingat dengan sangat jelas; selama tahun-tahun terakhir kehidupan masa lalunya, harga jual satu Urnberry Merah mencapai beberapa ratus emas. Selain itu, properti untuk setiap Red Urnberry berbeda. Dia berjalan menuju dinding gunung yang curam dan dengan hati-hati memanen Urnberry Merah dari semaknya. Untungnya dia telah mempelajari keterampilan pengumpul, jika tidak dia tidak akan memiliki kesempatan untuk mengambil buah ini. Keadaan seperti itu akan benar-benar disayangkan. Urnberry Merah (Buah Langka) Deskripsi: Makan buah ini akan menyebabkan pemain mendapatkan +2 Willpower secara permanen. Pembatasan: Setiap pemain hanya dapat mengonsumsi buah ini hingga tiga kali. Konsumsi lebih lanjut tidak akan menghasilkan efek tambahan. Mengingat kelainan bawaan Red Urnberry, dan fakta itu juga bisa meningkatkan statistik pemain secara permanen, tak heran buah ini bisa dijual dengan harga hingga beberapa ratus emas. Nie Yan merenung sejenak sebelum memutuskan untuk memakan buahnya. Bagaimanapun, ini adalah kesempatan langka. Selain itu, buah ini juga dimaksudkan untuk dimakan. Hanya orang bodoh yang benar-benar menjualnya. Tambahan dua tekad adalah cukup baik. Willpower adalah stat yang mengurangi efektivitas debuff pada pemain seperti penyakit, racun, kutukan, debuff perlawanan, dll … Tidak masalah apakah itu pertarungan antara pemain atau membunuh monster, willpower adalah stat yang akan selalu menjadi bermanfaat. Lagipula, jumlah massa dan kelas yang bisa memberikan debuff pada pemain tidak sedikit. Saat buah memasuki mulutnya, buah itu meleleh dan menjadi arus hangat yang mengalir ke perutnya. Nie Yan menatap stat tekadnya. Sudah dari nol menjadi dua. Memiliki dua tekad pada tingkat rendah seperti itu agak berguna. Setelah makan Red Urnberry, dia tidak lengah dan menuju lebih dalam ke hutan. Setelah berjalan di jalan kecil di antara rumput selama kira-kira lima menit, ia memasuki bagian hutan yang lebih dalam. Pohon-pohon lebih lusher dan lebih bersemangat, sementara cahaya yang bisa menembus ke bawah ke hutan semak menjadi jauh lebih redup. Daun mati menutupi permukaan lantai hutan dan membentang jauh lebih dalam ke hutan. Sinar terang bersinar melalui celah dedaunan lebat, kegelapan di dalam hutan membuatnya tampak lebih menonjol dan jelas. Di antara sinar cahaya ada kolom silindris yang diukir dari batu setinggi sekitar satu meter. Ditempatkan di atas kolom ini adalah buku tebal. Halaman-halaman buku tampak terkikis oleh unsur-unsur, isinya hancur selama berabad-abad sebagai negara yang tampaknya menceritakan sejarah buku yang sangat panjang dan jauh. Nie Yan masih ingat; buku ini dengan tepat dinamai “Annal of the Era Governance Bersama. ”Isinya merinci semua peristiwa bersejarah yang terjadi selama Era Pemerintahan Bersama. Bab Keberanian tersembunyi persis di dalam buku sejarah tebal ini. Nie Yan berjalan ke buku itu dan mengulurkan tangan kanannya ke sampul. Saat jari-jarinya bersentuhan membuat kontak dengan buku itu, buku itu secara otomatis terbuka dan mulai dengan cepat membalik-balik halamannya. Tiba-tiba, sebuah narasi mulai diputar. 「Di dalam hutan rahasia ini, Anda telah menemukan buku tebal yang mencatat sejarah zaman kuno. Ketika Anda meletakkan tangan Anda di buku ini, Anda tiba-tiba merasakan kekuatan misterius memasuki tubuh Anda. "Apa ini?" Anda bertanya pada diri sendiri sambil penuh dengan rasa ingin tahu. Setelah itu, halaman-halaman buku mulai membuka sendiri, mengungkapkan karakter misterius yang diukir dalam warna perak. Anda mengetahui bahwa 'Sejarah Era Pemerintahan Bersama ”ditulis dari kombinasi tiga bahasa: bahasa Kasate Giant, bahasa Universal Kuno, dan bahasa Drakonik. Dengan pengetahuan yang baru ditemukan, Anda mencatat sejarah ini di kepala Anda. 」 「 Sistem: Anda telah mempelajari bahasa Kasate Giants. 」 「 Sistem: Anda telah mempelajari bahasa Naga. 」 「 Sistem: Anda telah mempelajari bahasa kuno orang awam. 」 「 Sistem: Anda telah menerima" Sejarah Era Pemerintahan Bersama. 」 Benua Atlanta berisi lebih dari tiga ratus bahasa. Sebelumnya, Nie Yan hanya mempelajari bahasa umum saat ini, yang merupakan bahasa Manusia. Namun tiba-tiba, dia telah belajar tiga bahasa baru. Dia dengan cepat melirik halaman informasinya dan menyadari bahwa ada bagian baru berjudul "Sejarah Era Pemerintahan Bersama. Di dalam, ada deskripsi dari setiap peristiwa penting yang terjadi selama era itu. Jenis data ini sangat berharga. Ini bisa membantu Nie Yan menyelesaikan banyak tugas dan mengidentifikasi berbagai item. Ini "Sejarah Era Pemerintahan Bersama" akan menyelamatkan saya banyak waktu dan masalah ketika menyelesaikan pencarian terkait dengan era itu, Nie Yan tidak bisa membantu tetapi berpikir untuk dirinya sendiri. 「" Eh? "Anda terkejut menemukan selembar kertas terpisah yang terselip di antara halaman-halaman buku. Ada deretan karakter misterius pada halaman ini yang dibaca sebagai omong kosong, berwarna keemasan gelap. Perlahan-lahan, Anda menyadari karakter bahasa Giants Kasate ini, yang menjabarkan: Bab Keberanian. 」 Akhirnya saya menemukannya! Nie Yan berpikir pada dirinya sendiri dengan kejutan yang menyenangkan dan melirik properti bab. Bab Keberanian: Bab ketiga dari volume pertama dari Kitab Ketertiban, bagian yang tidak lengkap dari buku legendaris. Deskripsi: Siapa pun yang memiliki bab ini akan menerima warisan Dewa Cahaya. Misi Anda adalah untuk menyebarkan kemuliaan cahaya. Properti: Menerima dua poin stat tambahan dan satu poin keterampilan setiap lima level. Fokus +15, Kemauan +15, Ketahanan +16, Lompat +15, Kecepatan +16. Wawasan Transenden: Dapatkan kemampuan untuk melihat musuh Anda. Memungkinkan Anda melihat informasi karakter musuh. Dapatkan kemampuan untuk menilai item. Pasif: Kesadaran +10 Adjudicator of God: Ketika diaktifkan, menjadi kebal terhadap semua sihir, memperoleh 500 kesehatan, dan memanggil perisai penyelamatan hidup canggih yang menyerap enam puluh persen dari semua kerusakan yang masuk selama lima menit. (Keterampilan ini tidak dapat digunakan dalam kasus) Cooldown: 10 hari (1/10) Pembatasan Pengguna: Hanya dapat diikat oleh anggota dari faksi Benar yang melindungi cahaya. Catatan: Efek barang diterapkan segera setelah memasuki tas pemain . Nie Yan menatap kosong saat tangannya mulai bergetar dengan ringan. Dalam kehidupan masa lalunya, dia telah melihat properti bab ini di internet sebelumnya. tetapi sekarang, ketika dia memegangnya, itu adalah perasaan yang sama sekali berbeda. Dia menganggap Ajudikasi Dewa ini adalah keterampilan yang sangat dimiliki pemimpin guild Kekaisaran Suci, Sleepy Fox, untuk membantai jalannya melalui dua ratus pemain. Selain itu, pemain akan kebal terhadap setiap jenis sihir. Kemampuan terkalahkan macam apa ini? Apa yang lebih menjijikkan adalah fakta bahwa Sleepy Fox sudah memiliki peralatan tingkat atas pada awalnya. Jika Anda menambahkan kekebalan terhadap semua sihir, lima ratus kesehatan, dan perisai yang menyerap enam puluh persen dari semua kerusakan, kekuatannya akan menjadi berlebihan tanpa alasan. Itu akan benar-benar seperti bertemu dewa kematian di medan perang. Namun, periode cooldown skill masih cukup tinggi. Butuh sepuluh hari sebelum skill itu bisa diaktifkan lagi. Kemungkinan besar, kecuali mereka berada di titik kritis, pemain tidak akan terburu-buru menggunakan keterampilan ini. Selain Adjudicator of God, aspek-aspek lain juga cukup kuat, terutama yang memungkinkan seorang pemain untuk mendapatkan tambahan dua poin stat dan satu poin skill setiap lima level. Nie Yan praktis penuh dengan kebahagiaan. Dari pengetahuannya, satu-satunya profesi yang mendekati ini adalah Dukun, Paladin, dan Ksatria Gelap yang juga mendapatkan dua poin stat tambahan setiap lima tingkat. Namun, karena karakteristik profesi mereka, mereka harus mendistribusikan statistik mereka secara merata antara kekuatan dan kecerdasan, karena profesi itu praktis tidak akan berguna jika hanya berfokus pada satu stat. Namun, Pencuri berbeda. Di atas lima poin stat dan satu poin skill dia akan mendapatkan setiap lima level dari Level 0–30, dia juga akan mendapatkan dua poin stat tambahan dan satu poin skill setiap lima level dari Bab Keberanian ini. Nie Yan mengerti apa artinya ini. Jika Anda memasukkan bonus stat lain dan properti bab ini, Nie Yan secara efektif melompat menjadi salah satu pakar top jika bukan pemain terkuat dalam permainan. Bab ini dari Kitab Ketertiban jelas hidup sampai namanya sebagai keberadaan yang legendaris. Setelah menempatkan Bab Keberanian ke ranselnya, Nie Yan melirik halaman stat-nya. Segera, beberapa statistiknya naik dalam jumlah besar. Ketika Adjudicator of God keluar cooldown, ia akan menjadi tidak setara dalam hal kekuatan tempur. Namun, mulai sekarang, dia harus berhati-hati setiap kali dia membunuh massa atau PvPing, karena jika dia mati, Bab Keberanian akan segera turun dari tubuhnya. Satu-satunya cara untuk mencegah hal ini adalah dengan menemukan lima bab lainnya dan menyelesaikan volume pertama dari Kitab Ketertiban. Meskipun akhirnya mengambil Bab Keberanian, Nie Yan tidak santai atau melonggarkan penjagaannya sama sekali. Setelah menyimpan bab di ranselnya, ia mengeluarkan Return Scroll dan mulai menyalurkannya. BOS MUNCUL Bab 33 – Bos Muncul: Pikiran Nie Yan terdengar di alarm. Dia mengerti apa yang dimaksud pengumuman itu. Lokasi ini adalah wilayah yang disegel. Bagaimana mungkin game ini memungkinkannya mendapatkan Bab Keberanian dengan mudah? Masuk akal untuk percaya bahwa bab itu akan memiliki wali yang melindunginya, yang sebenarnya adalah bos yang dikenal sebagai Penjaga Ketertiban. Namun, sampai saat ini, mengapa masih belum muncul? Di masa lalu Nie Yan hanya membaca sekilas video tentang bab ini. Namun, satu hal yang tetap terukir dalam benaknya adalah sosok Penjaga Ketertiban yang mengesankan. Sambil memikirkan ini, tanah mulai bergetar hebat dan bumi di bawahnya mulai retak. Tampaknya ada sesuatu yang berusaha memaksakan jalannya dari atas. Nie Yan melirik jalan yang dia ambil untuk sampai ke sini, tetapi menemukan itu terhalang oleh batu-batu besar yang jatuh. Sial … Saya harus berlari untuk itu! Dia melihat sekeliling tetapi tidak ada jalan keluar di tempat yang terlihat. Dengan tidak ada pilihan lain yang tersisa, dia mulai menuju ke gunung. Dia menemukan lereng yang tampaknya tidak terlalu curam dan mulai dengan lincah memanjat. Lereng gunung memiliki banyak pohon yang tumbuh di atasnya dan memberinya banyak poin untuk digenggam. Kemudian pada saat yang sama Nie Yan tiba-tiba teringat sesuatu, Oh benar, Cincin Sutra Tenun! Sampai sekarang, dia masih belum menemukan kesempatan untuk menilai cincin itu. Namun sekarang, dengan Transendent Insight, menilai itu akan mudah. Dia mengambil cincin itu dari ranselnya dan menaksirnya. Ring of Woven Silk (Bronze): Aksesori Unik Persyaratan Level: Level 0 Properti: Lepaskan seutas sutera yang dapat menempel pada permukaan tertentu. Panjangnya bisa mencapai lima meter dan memiliki kekuatan tarik dua ratus pound. (Cooldown: 20 detik) Pembatasan Pengguna: Dapat dilengkapi oleh faksi apa pun. Setelah melengkapi Cincin Sutra Tenun, dia ingin menilai Keputusan Assasin juga. Namun, pada saat itu, hembusan panas yang kuat terpancar dari bawah lembah di bawah, dan bumi hancur berkeping-keping. Seperti letusan gunung berapi, batu-batu besar dan pecahan batu dikirim terbang ke udara. Banyak pohon tumbang dan terbaring rata di tanah, berserakan di seluruh area, sementara yang lain terbakar secara spontan — pemandangan kehancuran total dan mutlak. Kawah lava yang mengerikan muncul dari pusat lembah, menelan semua yang ada di sekitarnya dalam jangkauannya. Raksasa yang tertidur, terbangun dari tidurnya, menarik dirinya dari jauh di bawah tanah. Itu adalah hamba Dewa, dan memiliki kuasa untuk melimpahkan penghakiman surgawi. Saya tidak punya banyak waktu … Nie Yan sekarang terlalu sibuk untuk menilai belati dan terus mendaki gunung. Semburan panas telah membuatnya lengah, menyebabkannya tergelincir dan hampir jatuh kembali ke lembah di bawah. Berdiri di atas salah satu dari banyak pohon yang tumbuh secara horizontal di sisi gunung, Nie Yan melirik ke atas, mencari titik berikutnya yang bisa dia naiki. Titik berikutnya kira-kira berjarak dua meter. Dia melompat tinggi di udara dan mencengkeram batu yang menonjol, di mana dia dengan ringan berjuang naik. Dengan ini, dia sekarang telah membuat beberapa kemajuan saat mendaki gunung. Sebuah kepala raksasa muncul dari celah-celah di lembah, diikuti oleh lengan yang sangat besar, batang tubuh, dan kaki. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, raksasa itu tingginya sekitar enam puluh meter. Dua sayap yang ditutupi bulu hitam pekat tumbuh dari punggungnya, sementara di tangannya ada tongkat kristal sepanjang tiga puluh meter. Pada saat yang sama ia muncul, seluruh tubuhnya dinyalakan dengan aura merah menyala, menyebabkan angin puyuh panas terik naik dan terbentuk di pusat lembah. Dengan Wawasan Transenden, Nie Yan bisa melihat statistik raksasa itu. Guardian of Order (Intelijen tingkat rendah): Level 100 Kesehatan: 200.000 / 200.000 Raksasa itu berbicara dalam suara yang terdengar seperti omong kosong, suaranya melengking dan membentang jauh ke lembah. Omong kosong itu sebenarnya adalah bahasa naga. Kata-katanya secara kasar diterjemahkan menjadi: “Cahaya dan kegelapan berganti-ganti dalam siklus. Saya adalah pelindung dari kehendak Dewa dan menjaga Perintah-Nya. Jika ada orang berdosa yang ingin mencuri bab dari Kitab Ketertiban, mereka akan menerima penghakiman surgawi! " Legenda mengatakan bahwa Penjaga dilahirkan dari penggabungan raksasa dan naga. Dipandang sebagai makhluk aneh alam, mereka dibuang ke padang belantara yang dalam di mana mereka akhirnya menerima baptisan Dewa. Dipercayakan dengan tugas dari Dewa, mereka melindungi berbagai bab yang tersebar di seluruh dunia. Pandangan Guardian menyapu seluruh area sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan mengunci sosok yang hampir naik ke puncak gunung. Dengan satu ketukan sayapnya, tubuh raksasa raksasa itu dengan cepat naik ke udara. Raksasa itu berteriak, "Black Flame Tempest!" Awan hitam yang membakar keluar dari udara tipis dan mulai dengan cepat mengerucut menjadi bola. Setelah itu, bola api hitam menembak ke arah Nie Yan. 「BOOM!」 Tempest Api Hitam meledak di sisi gunung, menghamburkan bola api hitam pekat ke segala arah dan membakar seluruh area. Di kota hutan kecil Link, tidak jauh dari Levin Hills, bumi dengan keras bergetar dan bergetar. Keributan yang tiba-tiba membuat para pemain yang berkumpul di kota ketakutan dan cemas. "Apa yang sedang terjadi!?" "Lihat ke sana, di mana gunung-gunung berada!" Awan api hitam telah menelan seluruh puncak gunung. Di dalam api hitam itu muncul bayangan besar sosok yang melayang di udara, seolah-olah Utusan kehancuran telah tiba dari gerbang neraka itu sendiri. Segera, peringatan bencana dikeluarkan di Link. 「 Peringatan: Monster monster naga telah muncul di selatan Link. Kami menyarankan semua pemain terdekat untuk segera meninggalkan area! 」 Setelah beberapa saat, kilatan cahaya terang bersinar dari titik transportasi di Link. Sekelompok tentara NPC bersenjata lengkap yang mengenakan baju besi perak cerah telah tiba di kota, sementara di dada masing-masing prajurit ada medali yang diukir dengan lencana Tentara Salib Suci. Dengan pandangan cepat, jumlah mereka tampaknya telah mencapai lebih dari beberapa ratus ketika mereka dengan cepat berkumpul di lapangan umum. Ada dua pasukan elit di dalam Kekaisaran Viridian, yang merupakan kekuatan tempur paling kuat kekaisaran. Yang pertama milik Gereja Imperial dan dikenal sebagai Tentara Salib Suci. Tentara itu terdiri atas lebih dari lima ratus ribu pasukan dan Panglima Tertinggi mereka adalah Mage Suci, Jebiah yang Agung. Mereka ditugaskan untuk melindungi seluruh kekaisaran. Tentara kedua adalah Legiun Pelindung Kuil Cahaya yang dikenal sebagai Penjaga Kuil. Jumlah mereka kurang, sekitar lima puluh ribu. Namun, tidak seperti Tentara Salib Suci, satu-satunya tugas mereka adalah melindungi Kuil Cahaya, agama seluruh kekaisaran. Beberapa ratus prajurit ini milik Tentara Salib Suci dan mereka telah tiba untuk menjaga kota. "Tidak heran, itu adalah monster dari ras naga!" Para pemain berdiskusi dengan penuh semangat sambil menatap Guardian of Order yang melayang di langit. Perlombaan Naga: mereka adalah eksistensi yang kuat dan jauh bagi umat manusia. Selama Era Kegelapan (672678-230), naga telah memerintah tertinggi dan mendirikan kerajaan besar di benua itu, yang memperbudak semua ras lainnya. Akhirnya, aturan mereka digulingkan oleh aliansi gabungan antara raksasa, manusia, kurcaci, elf, dan binatang buas. Untuk mencegah pembalasan dari naga di masa depan, aliansi memberlakukan genosida massal semua naga di seluruh benua. Dengan demikian, kejayaan mantan ras naga tidak ada lagi; Namun, mereka tidak hanya menghilang dari keberadaan. Masih ada banyak naga yang tersebar di seluruh benua, disembunyikan di tempat tinggal mereka yang terpencil. Kekaisaran Viridian menunjuk Guardian of Order sebagai bagian dari ras naga. Meskipun secara teknis mereka salah, dalam hal penampilan luar, hanya ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Dengan penampilan NPC, pikiran para pemain mulai bekerja. Monster monster naga telah muncul dan sejumlah besar prajurit NPC juga telah tiba. Dalam skenario seperti itu, kedua pihak pasti akan bentrok, yang membuat para pemain bertanya-tanya manfaat apa yang bisa mereka dapatkan dari tontonan ini. Ketika informasi itu menyebar, guild muncul satu demi satu melalui titik transportasi Link. Guilds Splendid Temple, Dark Massacre, dan Holy Empire semuanya mengirim anggota mulai dari seribu hingga beberapa ribu pemain. Peralatan yang naga jatuhkan mungkin benar-benar mewakili bujukan yang tak tertahankan untuk guild-guild ini. Keseluruhan Link tiba-tiba dipersenjatai sampai ke gigi, sementara setiap balista di menara penjaga sedang dimuat dan disiapkan. Beberapa saat sebelumnya … Nie Yan mengangkat kepalanya untuk menatap sosok besar yang melayang di langit. Sepasang sayap di punggungnya cukup besar untuk menghapus seluruh matahari. Ketika Guardian menunjukkan kekuatannya dengan melemparkan Black Flame Tempest, awan api hitam muncul, menutupi langit sebelum mengerucut menjadi bola api yang lebat. Seolah-olah itu adalah meteor, bola api hitam jatuh ke Nie Yan dan mulai menelan segala sesuatu dalam jangkauan. Bola api hitam besar meledak menjadi beberapa bola kecil yang tersebar di sekitar lereng gunung. Sebagai dampak, mereka menghancurkan batu-batu menjadi puing-puing, membuat kawah yang dalam di mana-mana, dan membakar seluruh bumi menjadi hitam. Nie Yan tidak panik dalam situasi seperti itu. Sebagai gantinya, dengan mengandalkan penglihatan dan penilaiannya yang berpengalaman, ia tetap berkepala dingin dan menemukan ruang persembunyian setelah menghitung lintasan bola api. Untungnya, bola api tidak terkonsentrasi di satu area, tetapi kekuatan ledakan dari masing-masing bola api masih merupakan pemandangan yang cukup menakutkan untuk dilihat. Sial … dia turun. Nie Yan memiringkan kepalanya dan menatap ke atas. Dia melihat tubuh besar Guardian of Order turun menuju area umumnya seperti elang memburu mangsanya. Makhluk yang sepertinya berasal dari lapisan neraka terdalam ini jelas bukan sesuatu yang saat ini bisa dia lawan. Dibandingkan dengan Guardian, Nie Yan adalah keberadaan yang rapuh sehingga bahkan sedikit sentuhan dari Guardian of Order dapat mengakhiri hidupnya. Nie Yan menuruni gunung dengan cepat. Dia berhasil setengah jalan sebelum berhenti di tebing curam. Ketika dia mengintip ke bawah, dia menyadari itu kira-kira setinggi delapan puluh hingga sembilan puluh meter. Lalu dia menoleh dan melirik ke belakang; Guardian of Order dengan cepat mendekati dari belakang. Tanpa berpikir dua kali, dia membuat lompatan iman dan melompat dari tebing. 「BOOM!」 The Guardian of Order turun ke tebing di mana Nie Yan baru saja berdiri beberapa saat yang lalu. Dampak pendaratannya menghancurkan batu-batu dan batu-batu di sekitarnya. Nie Yan masih jatuh dari pegunungan, kecepatannya meningkat dengan cepat saat dia turun. Dia bisa merasakan tumbuh-tumbuhan di tebing menyapu telinganya. Kadang-kadang, satu atau dua cabang sebentar mematahkan jatuhnya, hanya untuk segera patah ketika menanggung dampaknya. −7, −9, −5… Setiap tabrakan menyebabkan nilai kerusakan muncul di atas kepalanya satu demi satu. TENTARA SALIB SUCI Bab 34 – Tentara Salib Suci Nie Yan dengan cepat mendekati bumi, tubuhnya segera menabrak tanah. Dengan lengan kirinya yang diperpanjang, dia mengaktifkan kemampuan dari Ring of Woven Silk. Sebuah garis jaring melesat keluar dan menempel ke wajah tebing di antara tumbuh-tumbuhan, perlahan-lahan mengurangi kecepatannya. Tali itu keras dan ulet dan menyerupai karet gelang karena perlahan-lahan membentang ke batas. Ketegangan pada saluran web terus meningkat. Kekuatan jatuhnya Nie Yan melampaui kekuatan tarik garis sutra dan garis keluar dengan cepat, mengambil banyak cabang dan puing-puing dari wajah tebing bersama dengan itu. Meskipun patah, garis web masih berhasil secara signifikan memperlambat kecepatan jatuhnya. −56 「Gedebuk!」 Nie Yan jatuh ke tanah. Untungnya, kerusakan pada musim gugur tidak terlalu tinggi dan berada dalam batas-batas yang bisa ditangani oleh kesehatannya. Dalam keadaan normal, jika seorang pemain tidak memiliki item seperti Ring of Woven Silk untuk melindungi musim gugur, mereka pasti akan mati! Setelah memanjat dan jatuh di sisi lain gunung, jarak dari lokasi saat ini ke Link tidak terlalu jauh. Dengan keamanan sebagai prioritas nomor satu, Nie Yan memasuki stealth dan mengaktifkan Gulir Tergesa-gesa Dasar. Dari semak setengah layu di dasar gunung, ia berlari cepat menuju Link. Kerumunan besar di kota harus menawarkan sedikit perlindungan. Setelah gagal menyerang, Guardian of Order mengepakkan sayapnya dan melayang di udara. Nie Yan sudah lolos dari lembah dengan memasuki Stealth dan menghilang tanpa jejak. Setelah jatuh, Nie Yan dan Guardian terpisah lebih dari seratus meter. Bahkan jika perbedaan level di antara mereka tinggi, itu masih tidak bisa menebus jarak. Oleh karena itu, bahkan jika Guardian memiliki pandangan yang jelas tentang Nie Yan, itu masih tidak dapat melihat melalui Stealth-nya. Berkenaan dengan bagaimana rentang deteksi Stealth dihitung, itu tergantung pada tingkat perbedaan, kesadaran, dan kemampuan pengamatan. Dengan beberapa perkiraan kasar, Nie Yan dipastikan selama dia berdiri setidaknya seratus meter dari Guardian, dia akan aman dari deteksi. Bahkan jika itu adalah kelas Elite Level 100, levelnya, kesadarannya, dan kemampuan pengamatannya tidak bisa menebus jarak yang begitu jauh. Nie Yan menoleh untuk melihat ke belakang. Pada titik ini, Penjaga Ketertiban masih belum meninggalkan daerah itu. Sebaliknya, itu menuju ke arahnya untuk menyelidiki. Tanpa penundaan, Nie Yan menahan napas dan menyembunyikan diri di balik batu besar. The Guardian mengepakkan sayapnya dan terbang. Saat melayang di langit, ia menyelidiki area di bawahnya untuk tanda-tanda gerakan, tetapi tidak berhasil menemukan Nie Yan. Pemburu dan yang diburu: Guardian of Order seperti elang di langit, sementara Nie Yan seperti mangsa di tanah. Masih ada kira-kira satu kilometer di antara dia dan Link. Di bawah tatapan penuh perhatian dari Guardian, tidak ada cara baginya untuk melakukan perjalanan yang aman sejauh itu. Masih ada metode lain. Saya bisa menggunakan Return Scroll! Dimungkinkan untuk menggunakan Gulir Kembali di lokasi ini; Namun, itu akan memakan waktu dua puluh detik penuh untuk mengaktifkannya. Selain itu, ketika menyalurkan, gulir akan memancarkan cahaya terang yang pasti akan menarik perhatian Guardian of Order. Dengan kecepatan terbangnya, Guardian tidak perlu lebih dari sepuluh detik untuk terbang ke Nie Yan dan membunuhnya setelah menemukan lokasinya. Sebagai Guardian secara bertahap turun dari udara, jarak antara itu dan Nie Yan menjadi semakin dekat. Ini akan merepotkan … Nie Yan dengan cemas berpikir. Jika Guardian memasuki jarak kurang dari seratus meter, itu mungkin untuk lokasi persembunyiannya terdeteksi. Dengan setiap langkah, bahaya perlahan mendekat. Karena saya tidak bisa menyembunyikan dan menghindarinya, saya mungkin juga mencoba melarikan diri untuk hidup saya. Hanya … Saya tidak yakin apakah saya dapat membuat setengah mil berjalan. Persis saat Guardian bersiap untuk turun ke tanah … 「Whoosh! Suara mendesing! Whoosh! 」Tiga panah dengan cepat datang melayang, semua ditembak dari jauh. Setiap panah secara terpisah ditujukan untuk kepala, tenggorokan, dan jantungnya. The Guardian menghindari mereka dengan terbang ke samping, menyebabkan ketiga panah kehilangan target mereka. Di kejauhan, di atas pohon tua layu besar, seorang pemanah NPC tinggi mengenakan baju besi berlapis perak menarik busurnya. "Suara mendesing! Suara mendesing! Whoosh! 」Tiga anak panah lainnya ditembakkan ke udara. The Guardian of Order mendesis. Tampaknya membenci provokasi makhluk-makhluk tingkat rendah ini, ia menerkam ke arah NPC. Beberapa tentara mendekati pemanah di pohon. “Komandan Nisode, garis pertahanan telah dibangun. Kami sedang menunggu instruksi lebih lanjut, ”lapor beberapa tentara yang lengkap. "Sudah mendekat. Tarik untuk Tautan! Naga bodoh ini akan mengalami penghakiman surgawi dari Tentara Salib Suci! ”Komandan Nisode melirik Guardian of Order melaju ke arah mereka di udara. Setelah itu, dia mengembalikan busur ke punggungnya, melompat dari pohon, dan dengan anggun mendarat di tanah. Di bawah provokasi Komandan Nicole, Guardian of Order terbang di atas kepala Nie Yan dan langsung menuju Link. 「 Sistem: Peringatan Bencana Level 1! Invasi naga! 」 The Guardian berteriak dalam bahasa naga, "Meteor Berkobar!" The Guardian mengacungkan tongkatnya. Sebuah meteor besar terbentuk dari nyala api jatuh dari langit dan melesat menuju Link. Api dibakar di langit. Meteor itu, berukuran lima puluh hingga enam puluh meter, kemungkinan besar akan menelan sekitar 2.500 meter persegi. "Aktifkan formasi pertahanan dasar!" Komandan Nisode naik ke menara tertinggi di Link dan mengeluarkan perintah kepada orang-orang di bawahnya. Setelah itu, penghalang biru mulai terbentuk dan melindungi seluruh kota di dalamnya. 「BOOM!」 Meteor meledak di atas penghalang sementara bunga api tersebar ke segala arah. Penghalang itu bergetar hebat karena dampaknya. Bahkan semua pemain di dalam kota bisa merasakan penghalang bergetar ketika elemen api dan panas yang tersisa menyerang indera mereka. "SERANGAN!" Komandan Nisode mengeluarkan perintah lain dari menara komando. Segera, setiap balista di dalam kota membidik Guardian of Order dan menembak. "Suara mendesing! Suara mendesing! Whoosh! 」Baut yang tak terhitung terbang di udara dalam salvo padat. Secara bersamaan, beberapa ribu pemain Archer dan Mage juga menembakkan sejumlah serangan. Sementara itu, Guardian of Order tanpa henti menembakkan serangan sihirnya sendiri. Di bawah rentetan serangan, penghalang mulai menunjukkan tanda-tanda pecah saat retakan muncul di mana-mana. 「BANG!」 Sebuah ledakan keras bergema di seluruh kota saat penghalang itu hancur berkeping-keping. Dengan penghalang yang hancur, Guardian bergegas ke kota dan turun ke kota. Dengan satu langkah, Guardian menghancurkan sebuah bangunan di dekatnya, mengirimkan ubin yang hancur, batu bata, dan bahan bangunan lainnya terbang ke mana-mana. Munculnya Guardian mendatangkan malapetaka di antara para pemain di kota. “Sialan! Itu adalah monster Level 100 Elite! Heavy Knight, jangan terburu-buru! ” "Penyihir! Di mana para penyihir sialan itu !? Kalian semua, tembak mantramu! ” "Shi — sial, sial !! Semua serangan kami meleset! Kesenjangan level terlalu tinggi! " Kepanikan dan kebingungan menyebar melalui para pemain dan kota itu dalam keadaan kacau dan pergolakan. Lebih dari sepuluh Tentara Salib Suci yang sangat lapis baja bergegas maju untuk melibatkan Guardian. Di sekeliling Guardian, para prajurit memulai serangan mereka, tetapi serangan mereka yang tak terhitung jumlahnya gagal dan setara dengan tetesan hujan ketika mereka mendarat di tubuh wali. The Guardian bersinar merah saat aura menyala melonjak dari sisiknya. Itu adalah keberadaan yang menakutkan yang menyebabkan kehancuran. Dengan setiap ayunan tongkatnya, seorang Tentara Salib Suci akan hancur dan dikirim terbang. Bangunan dihancurkan atau dihancurkan, dan tanah hangus dan hangus, meninggalkan jalan kehancuran di mana pun ia lewat. "Demi kemuliaan Tentara Salib Suci, namaku adalah Komandan Nisode dan aku akan memberikan hukuman surgawi pada naga jahat ini! Tyrant Impaling Arrow! ”Dengan tiga kata ini diucapkan, Komandan Nisode meletakkan tangannya di tali busur. Dia mendengus berat saat dia menarik kembali sampai mencapai berat maksimum. 「BOOM!」 Dia melepaskan tali busur. Panah itu dengan sengit berputar ke depan dan membawa energi rotasi dingin yang menggigit bersamanya. 「Bang!」 Panah secara singkat menghadapi beberapa perlawanan ketika bertemu dengan skala Guardian hanya untuk segera menembus dan menembus jalan melalui tubuh Guardian. −87829 Nilai kerusakan yang sangat tinggi muncul di atas kepala Guardian. Kerusakan akut membuat Guardian of Order melepaskan raungan kemarahan yang berisi amarah dan amarahnya. Itu mengangkat tongkat besar di genggamannya tinggi ke udara. Elemen api di sekitarnya bersama dengan sisa-sisa mantra sebelumnya yang membara mulai berkumpul dan mengambil bentuk pilar api yang berputar sangat besar. Pertempuran di Link menjadi semakin intens. Adapun asal usul bencana ini, Nie Yan, dia dalam hati bersukacita dalam pikirannya. Untungnya, para prajurit dari Link membawa Guardian of Order pergi; jika tidak, saya pasti akan menemui ajal saya. Nie Yan berlama-lama di sekitar pinggiran kota. Di bawah banyak serangan tentara kota, Guardian of Order akan segera tidak dapat menahan lagi. Dia penasaran peralatan macam apa yang akan dijatuhkan monster tingkat tinggi seperti Guardian. Saat dia memikirkan ini, pikiran Nie Yan penuh dengan antisipasi. Dia mendekat sedikit ke Guardian di sekitar enam puluh meter jauhnya dan bersembunyi di bawah penutup bangunan yang hancur. Karena masih ada sedikit waktu, Nie Yan mengeluarkan Dekrit Assasin dari ranselnya dan memutuskan untuk menaksirnya dengan Transendent Insight. Keputusan Assassin (Emas): Senjata Sekunder Persyaratan Level: 5 Properti: Serangan 26–29, Kekuatan +16, Akurasi +12 Kecepatan Serang: 2. 5 Pembatasan Pengguna: Dapat dilengkapi oleh faksi apa pun. Itu adalah senjata sekunder dan benar-benar layak menjadi Gold-tier — Level 5 dengan serangan hampir tiga puluh. Dia akan bisa melengkapinya begitu dia belajar Dual Wielding dan mencapai Level 5. Serangannya kemudian akan meningkat pesat ketika dia memiliki senjata yang kuat. Setelah melirik propertinya, Nie Yan mengembalikan Dekrit Assassin ke ranselnya. Adapun apakah Guardian of Order akan menjatuhkan peralatan, Nie Yan tidak punya harapan tinggi. Bagaimanapun, Guardian of Order hanyalah pelindung dan keberadaannya hanya untuk melindungi bab-bab dari Book of Order. Jenis-jenis makhluk ini sering kali tidak menjatuhkan peralatan. Namun, selalu ada pengecualian untuk kasus-kasus ini. PERJALANAN Bab 35 – Perjalanan Bab-bab dari Kitab Ketertiban tidak akan ditinggalkan di tangan yang tidak kompeten, sehingga keberadaan seperti Penjaga Ketertiban muncul. Desainer game memasukkan makhluk yang begitu kuat untuk menjaga bab, namun hanya memberinya kecerdasan tingkat rendah. Karena itu, Penjaga Ketertiban hanya bertindak berdasarkan insting dan sistem agrogonya sama dengan monster biasa lainnya. Oleh karena itu, kedatangan Komandan Nisode telah menyelamatkan hidup Nie Yan di titik paling kritis. Sebenarnya ada beberapa orang di sini … Ada begitu banyak orang di sini. Bahkan jika peralatan jatuh, aku pasti tidak akan bisa merebutnya. Saya sudah mendapatkan Bab Keberanian … Saya harus puas dengan apa yang saya miliki, Dia adalah orang yang mudah puas. Karena itu ia tidak pernah memiliki harapan yang tinggi ketika situasi terjadi di mana ia yakin ia tidak akan mendapatkan apa pun. Nie Yan memfokuskan pandangannya setelah mengintip melewati beberapa rintangan dan melihat beberapa kenalan. markus (Bintang Hebat): seorang lelaki berusia dua puluh tahun dengan rahang persegi. Dia adalah pemimpin guild dari extrajos. Meskipun dia tidak bisa dianggap tampan, dia masih lumayan dalam hal penampilan. Wajahnya yang dicukur bersih tampak cerah dan menyegarkan. Dalam kehidupan masa lalu Nie Yan, ia memiliki interaksi yang ramah dengan Nie Yan. Setelah membantu Nie Yan pada beberapa kesempatan, ia memiliki kepribadian yang ceroboh tetapi menghargai kesetiaan dan persahabatan. Pada gilirannya, Nie Yan juga menemaninya dan teman-temannya selama beberapa ekspedisi guild. Lima Hengdao (Swift Slash): seorang lelaki yang tampak ceroboh dan pemimpin guild Dark Massacre yang berusia tiga puluh enam tahun. Menurut rumor, dia adalah bagian dari dunia kriminal dan memiliki beberapa bawahan di bawah komandonya. Kepribadiannya tidak ada yang hebat dan pada kesempatan langka akan menggantikan dengan markus. Dengan demikian, Nie Yan sendiri tidak memiliki kesan terlalu besar pada orang ini. Sleepy Fox: pemain yang kira-kira berumur tiga puluh tahun. Nie Yan tidak terlalu akrab dengannya atau mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, sebagai pemimpin guild Kekaisaran Suci, dia adalah nama yang agak terkenal. Dikabarkan prestise di dalam guild cukup tinggi — dia mampu memimpin Kekaisaran Suci menjadi salah satu dari sepuluh guild terbesar. Prestasi ini sendiri adalah bukti kekuatannya. Dia juga pemegang Bab Keberanian dalam kehidupan Nie Yan sebelumnya! markus dan kelompoknya sedang menunggu di antara bangunan-bangunan yang hancur di barat. Lima Hengdao dan kelompoknya terletak di barat daya. Kedua belah pihak menonton seperti harimau menunggu mangsa mereka, siap bertindak kapan saja. Di sisi lain, Sleepy Fox terletak di timur. Sudut mulutnya melengkung menjadi senyum mengejek ketika dia menatap kedua sisi siap untuk mengalahkannya. Dia berencana untuk masuk ketika kedua belah pihak kelelahan. Saat dia menyaksikan adegan seperti itu terungkap, Nie Yan tidak bisa tidak berpikir bagaimana jika Sleepy Fox tahu dia telah mengambil Bab Keberanian yang seharusnya menjadi miliknya? Reaksi macam apa yang akan dimiliki Sleepy Fox? Apakah dia akan mengambil semua orangnya dan tanpa henti mengejarnya? "Lima Hengdao, dengan anggota extrajos kami di sini, guild Pembantaian Kegelapanmu hanya harus melangkah ke samping. Jangan jadi tidak mau menerimanya. Saya adalah orang pertama yang mencapai Level 5 sebelum Anda. Saya juga orang pertama yang membersihkan Treant Forest dan Blackflame Forest sebelum Anda. Tidak masalah di kehidupan nyata, atau di dalam permainan, aku selalu berada di depanmu! ”markus terus terang menyatakan saat dia menatap Lima Hengdao dengan sikap pantang menyerah. Wajah Lima Hengdao berubah pucat. Kata-kata markus telah membuatnya sedikit marah. Dia mencibir, “Jadi bagaimana jika guild extrajos kamu membersihkan Blackflame Forest? Nilai tukar Anda yang jelas hanya enam puluh delapan persen — tidak ada yang perlu dibanggakan. Kehormatan guildmu hanya lebih tinggi dari kami dengan dua ratus poin. Diberi waktu, kami mudah menyusul. ” "Kami unggul dua ratus poin di depanmu sekarang, tapi siapa yang tahu? Mungkin besok, kita akan maju seribu, lalu lusa, dua ribu. Mencoba menyalip kita? Coba lagi kehidupan Anda selanjutnya! " Reputasi guild adalah representasi dari kekuatan guild; jika tidak, mengapa lagi mereka peduli tentang celah kecil di poin kehormatan? "Bajingan! Anda ingin mati! " "Apa yang hebat tentang markus dan guildnya? Ayo, ayo bunuh mereka! ”Seorang anggota Dark Massacre dengan penuh semangat berteriak dari dalam kelompok. "Anak nakal! Jika Anda punya nyali, maka datang ke sini! " Di sisi extrajos, anggota mereka juga gatal untuk pergi. Namun, kedua belah pihak tidak bergerak dan hanya saling mengutuk satu sama lain. Tujuan utama perjalanan mereka adalah untuk mengamankan peralatan yang mungkin dijatuhkan Guardian of Order. Peralatan ini adalah target dari ketiga pemimpin guild. Sementara itu, Tentara Salib Suci dengan keras menentang Guardian of Order, tidak menyerah bahkan oleh satu inci pun. Para pemanah di belakang terus menembakkan hujan panah dengan setiap panah terkonsentrasi pada tubuh Guardian. The Guardian of Order bergemuruh marah dan melemparkan sihirnya. Bahasa naga yang dalam dan kuno menggema di atas Tautan dengan mantra satu demi satu mengalir seperti semburan hujan. “The Guardian of Order tidak memiliki banyak kesehatan yang tersisa! Cepat, ambil peralatannya! ” Tidak ada yang tahu orang mana yang meneriakkan kata-kata itu, tetapi segera, banjir pemain menerkam menuju Guardian of Order. Setelah Komandan Nisode mengeluarkan teriakan ledakan, satu panah melesat keluar dari busurnya dan menusuk bahu Guardian of Order, menyebabkan darah menyembur ke mana-mana. The Guardian mengeluarkan tangisan sedih sebelum berubah menjadi cahaya putih dan menghilang di udara. Sepotong baju besi emas jatuh dari tempatnya. “Itu perlengkapannya! Dapatkan! ”markus dengan dingin berteriak. "Bunuh siapa pun yang berhasil merebut peralatan!" Pemimpin guild Kekaisaran Suci, Sleepy Fox, juga memesan dari obrolan guild. Tiga hingga empat ratus pemain menerkam dari segala arah dan menyerbu ke arah armor yang telah jatuh dari Guardian of Order. Setiap guild dalam game bisa dilihat termasuk dalam kerumunan — pemandangan yang sangat kacau untuk dilihat. Dia tidak pernah menyangka Guardian of Order akan benar-benar menjatuhkan peralatan. Selain itu, tampaknya peralatan yang dijatuhkan adalah Gold-tier juga. Melihat ini, Nie Yan juga dibebankan ke medan. Dia sudah ada di sini, jadi mengapa tidak mencobanya? Seorang berserker dari Kekaisaran Suci telah memimpin dengan mengaktifkan Charge yang meningkatkan kecepatannya dengan jumlah yang signifikan. Segera, tampak seolah-olah dia akan merebut peralatan kapan saja. Namun, sepuluh mantra segera datang melayang, membombardir tubuhnya secara bersamaan. Setelah terkena banyak sekali mantra sekaligus, tubuhnya berubah menjadi seberkas cahaya putih dan lenyap. "Brengsek!" Sleepy Fox, melihat potongan peralatan hanya dalam genggamannya terbang sekali lagi, dikutuk dengan keras. "Terus berjuang!" Tiga guild besar masih belum dekat dengan peralatan yang jatuh. Sebaliknya, mereka mulai berkelahi dan menembakkan rentetan mantra satu sama lain. Tujuh atau lebih pemain mendekati peralatan yang jatuh dan segera bertemu dengan ledakan mantra yang mengubahnya menjadi abu. Nie Yan kira-kira dua puluh meter dari peralatan yang jatuh dengan anggota dari Pembantaian Gelap, seorang Ksatria Berat, menghalangi jalan di depan. The Heavy Knight memperhatikan Nie Yan dan maju untuk mencegatnya. Dengan tubuhnya diturunkan, Nie Yan menghindar dan menenun tubuhnya melewati serangan Ksatria Berat. Tubuh Heavy Knight menembak ke udara kosong. Dia menatap kosong sebelum memutar kepalanya. Pada saat itu, Nie Yan sudah lari jauh. "BIAYA!" Sebagai Berserker, Sleepy Fox memimpin dan bergegas maju. Segera, selusin mantra datang membombardir ke arahnya. Saat dia akan dipukul, Sleepy Fox mengelak berguling pada saat terakhir. Dari selusin mantra, hanya tiga yang berhasil mendarat di tubuhnya. Peralatan itu milik saya! "Jangan terlalu cepat untuk bahagia!" Lima Hengdao dengan dingin berteriak. "Ensnare!" Lima Hengdao mengacungkan tongkatnya, meneriakkan beberapa suku kata, dan melemparkan Ensnare. Tubuh Sleepy Fox langsung menjadi kaku ketika dia berakar di tempatnya. Sementara Lima Hengdao adalah Shadow Priest, Ensnare masih mantra yang jarang terlihat yang dapat menyebabkan tubuh pemain menjadi kaku. Pada level Beginner, itu bisa melakukan root pada pemain selama tiga detik. Sialan! Pada saat yang sama, Lima Hengdao dan markus secara bersamaan menerjang ke arah baju besi dan semakin dekat. Lima meter, tiga meter … Dalam hal kecepatan, Lima Hengdao pasti akan bisa merebut baju besi sebelum markus Nie Yan memasuki siluman dan mengikuti Lima Hengdao dan markus dari belakang. Namun, keduanya masih lebih cepat darinya dengan langkah yang berarti dia pasti tidak akan bisa merebutnya. Karena dia tidak bisa mendapatkan peralatan sendiri, mengapa tidak mengirimnya ke teman? Nie Yan menyapu kaki kirinya! Tersandung adalah gerakan dasar dalam Keinsafan. Dalam pertarungan jarak dekat, seorang pemain bisa menjatuhkan lawan dan menyebabkan mereka tersandung. Tingkat keberhasilan tergantung pada stat kekuatan seseorang dan berat tubuh lawan. Untungnya, kaki kiri Nie Yan berhasil berhenti tepat di depan kaki Lima Hengdao, menyebabkannya segera kehilangan keseimbangan dan jatuh begitu kakinya terpikat. 「Gedebuk!」 Lima Hengdao jatuh ke tanah sementara markus mengulurkan tangan kanannya dan meraih baju zirah sebelum memasukkannya ke dalam tasnya. Baru pada saat itulah mereka menyadari telah ada Pencuri yang mengikuti mereka dari dekat. Setelah mengambil peralatan, markus melirik Nie Yan dan berkata, “Terima kasih. "Dia menemukan dia tidak mengenali wajah Pencuri ini sama sekali. Pencuri itu bukan bagian dari guild mereka dan markus belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, Pencuri ini masih membantunya saat ini. SLEEPY FOX Bab 36 – Sleepy Fox Dengan armor Gold-tier yang memiliki pemilik, Markus (Bintang Hebat) buru-buru kembali ke barisan guildnya. Sleepy Fox merasa sangat jengkel. Jika Lima Hengdao tidak secara tiba-tiba membasmi dia, armor Gold-tier itu akan menjadi miliknya! Beberapa merasa gembira dan yang lain merasa kesal, tetapi tidak ada yang bisa melampaui sukacita yang dirasakan markus saat ini, karena ia telah menjadi pemenang terbesar kali ini. Dia melirik dan mengamati Nie Yan. Sebelumnya, waktu perjalanan Pencuri ini — meskipun gerakan dasarnya — benar-benar sempurna. Tidak peduli waktu atau posisi, dia tidak kekurangan bahkan sedikit pun. Gerakannya jelas bukan karena kebetulan; Tindakan Nie Yan disengaja! Selain itu, Nie Yan lebih dekat dengannya saat itu. Cukup masuk akal, jika Nie Yan malah mencoba menjebaknya, dia tidak akan bisa menghindar. Namun, Nie Yan masih sengaja memilih Lima Hengdao. Jika bukan karena ini, baju besi tingkat Emas tidak akan pernah jatuh ke tangannya! "Ah … aku tidak berhasil mendapatkan apa pun," Nie Yan mengangkat bahu dan berbicara dengan sikap acuh tak acuh, lalu menoleh untuk pergi. “Kamu ingin pergi setelah semua itu !? Jangan berpikir kamu akan dilepaskan dengan mudah! ”Lima Hengdao dengan dingin mendengus. Jika bukan karena Nie Yan, peralatan pasti akan menjadi miliknya! Pada saat yang sama ia berbicara, beberapa lusin anggota Pembantaian Kegelapan di daerah itu dengan dingin berteriak dan mulai berkumpul di sekitar Nie Yan, menghalangi jalan keluarnya menjadi setengah lingkaran. "Apa…? Kalian ingin menahan saya di sini? ”Jawab Nie Yan dengan senyum tak terganggu. Namun, pikirannya masih licik. Akan agak sulit jika dia ingin keluar dari pengepungan Lima Hengdao hanya dengan kekuatannya. Selain itu, jika Lima Hengdao ingin berhembus, Nie Yan merasa dia juga bukan orang yang baik untuk memprovokasi. "Dia adalah temanku . Lima Hengdao, jika Anda ingin membuatnya bermasalah, pertama-tama tanyakan pada diri Anda apakah anggota extrajos kami akan menyetujui atau tidak! Sementara di belakangnya, para anggota extrajos — setelah mendengar pemimpin mereka menyuarakan pendapatnya — juga ikut serta. Hanya karena dia itulah Nie Yan akhirnya memprovokasi Lima Hengdao. Jadi secara alami, dia tidak akan menghindar dari masalah yang sedang dihadapi. "markus, apakah kamu yakin ingin melawan aku !?" Lima Hengdao dengan dingin mengancam. "Benar, Kuil Indah kami takut dengan guild Pembantaian Kegelapanmu. Saudaraku, katakan padaku apakah aku benar? '' markus berbalik dan bertanya kepada anggota guildnya. "BENAR!" Orang-orang dari extrajos meraung serentak. "Jika Anda orang-orang Pembantaian Gelap memiliki nyali, maka datang dan bertarung! Orang tua ini dengan senang hati akan menemanimu! "Kau anak-anak pelacur tanpa bola! Jangan bilang kau tiba-tiba takut !? ” Orang-orang dari extrajos mulai meneriakkan kata-kata kotor dengan kedua belah pihak memasuki pertandingan berteriak sesudahnya. Dengan pedang terhunus dan busur ditekuk, kedua belah pihak mulai membentuk barisan masing-masing. Suasana berbau kekuatan senjata segar. Perkelahian akan pecah kapan saja. extrajos memiliki lebih dari tujuh ratus pemain yang tersisa sementara Dark Massacre memiliki hampir seribu. Dari tampilan, masing-masing pihak telah mengambil kerugian besar dari Guardian of Order. Jadi, dalam hal jumlah, extrajos berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Nie Yan melirik markus di sisinya. Orang ini sama seperti dia di kehidupan masa lalu Nie Yan — selalu menghargai kesetiaan di atas segalanya. Tampaknya dia tidak melakukan kesalahan dalam membantu markus hari ini. Namun, jika mereka akan berhadapan melawan Pembantaian Gelap, Nie Yan harus menanggung beban terberat. Tampaknya pertempuran yang akan datang akan sangat berbahaya dan sengit. Jika dia mati, kehilangan level dan pengalaman adalah kurang penting. Yang lebih penting adalah Kapitel Keberanian — item yang sama sekali tidak ingin dijatuhkannya! "Sepertinya aku tidak punya urusan berada di sini," Sleepy Fox tertawa, membawa teman-temannya ke samping. Jika tontonan besar akan dimulai maka mengapa tidak memainkannya sedikit lebih cepat? Either way, masalah itu tidak ada hubungannya dengan dia, jadi dia tidak bisa terlibat dengan itu. Adapun baju besi Gold-tier, tidak ada yang bisa dia lakukan karena dia tidak bisa mendapatkannya. Di antara anggota Kekaisaran Suci, Paladin tertentu yang mengenakan baju besi perak berjalan ke depan dan membungkuk di samping telinga Sleepy Fox. "Bos, Pencuri itu adalah ahli yang saya sebutkan sebelumnya!" Kata Paladin heran, lalu mengarahkan jarinya ke arah Nie Yan. Dia adalah Paladin Nie Yan yang pernah dilintasi sebelumnya, Flying Stone. "Eh?" Seru Sleepy Fox dengan terkejut. Dia kemudian mengamati Nie Yan dari kejauhan. Tampaknya Nie Yan ini masih sangat muda; Namun, keterampilannya cukup bagus. Dari tindakannya sebelumnya, dia menyerupai macan tutul saat dia pergi ke Lima Hengdao. "Dia hanya Level 3 … Jangan bilang timnya mampu membersihkan Camp Shaman Fallen hanya pada level ini?" "Bos, apa yang akan dilakukan?" Tanya Stone. Bagaimanapun, mereka masih agak mengenal Nie Yan. Selain itu, pada saat ini, dia dengan tulus percaya bahwa mereka harus membantu Nie Yan. "Biarkan aku memikirkannya. “Sleepy Fox merenung untuk waktu yang lama. Demi Nie Yan, apakah itu layak untuk membuat musuh keluar dari Pembantaian Gelap semata-mata karena dia? Setelah beberapa saat, dia mendapat jawabannya. Sejak awal, Sleepy Fox tidak pernah menganggap penting guild goreng kecil seperti Pembantaian Gelap. “Hei, saudara Nie Yan! Dalam beberapa hari, guild Kekaisaran Suci kami berencana untuk menjalankan Lahan Basah Agota Mudmata. Aku ingin tahu apakah kamu tertarik untuk bergabung? ”Sleepy Fox berteriak dengan keras. Gangguan tiba-tiba Sleepy Fox segera menarik perhatian semua orang. Bahkan Lima Hengdao dan markus secara bersamaan mengalihkan pandangan mereka ke arah Sleepy Fox. extrajos dan Pembantaian Kegelapan saat ini berada di jalan buntu. Dengan demikian, niat guild Kekaisaran Suci sangat penting untuk dicatat, karena siapa pun Kekaisaran Suci memutuskan untuk membantu akan secara langsung mempengaruhi hasil pertempuran. Bagaimana Sleepy Fox mengenali saya? Nie Yan melirik Sleepy Fox dan melihat Batu berdiri di sisinya. Ah … Jadi, seperti ini. “Rawa-rawa Agmoto Muddy, ya? Tentu, saya bisa memikirkannya. Namun, jika Anda ingin saya membersihkan penjara bawah tanah dengan Anda, saya memiliki beberapa persyaratan terlebih dahulu. Saya mendapatkan pilihan pertama pada semua peralatan Pencuri dan barang apa pun yang saya gunakan, ”jawab Nie Yan. Pada saat ini setiap pemain — apakah itu Pembantaian Kegelapan, extrajos, atau bahkan Kekaisaran Suci — memusatkan pandangan mereka pada Nie Yan. Mereka menemukan bahwa dia tidak lebih dari pemain biasa yang bahkan belum bergabung dengan guild. Namun, mengapa pemimpin guild Kekaisaran Suci, Sleepy Fox, mengundangnya untuk lari ke ruang bawah tanah? Yang lebih keterlaluan adalah fakta bahwa Nie Yan tidak segera menerimanya. Dia bahkan membuat tuntutan berlebihan. Mendapatkan prioritas pertama pada semua peralatan Pencuri, siapa yang dia pikir dia !? Holy Empire adalah guild terkenal di antara playerbase. Dengan lima puluh enam ribu poin Kehormatan, itu adalah keberadaan yang jauh menaungi orang-orang seperti extrajos dan pembantaian Gelap. Di mata pemain, prestise guild adalah indeks untuk apakah guild itu kuat dan kuat. Setiap instance yang dibersihkan serta menyelesaikan pencarian untuk pertama kalinya dijamin beberapa poin Kehormatan. Tentu, poin Honor yang diterima meningkat dengan contoh sulit. Oleh karena itu, semakin tinggi prestise guild, semakin besar kemungkinannya untuk menemukan ahli yang kuat dalam peringkat teratas guild. Manfaat lain adalah kemampuan untuk menarik para pemain elit ke guild. Bagaimanapun, pemimpin guild Kekaisaran Suci, Sleepy Fox, bisa dianggap sebagai selebriti. Selain itu, selebriti ini secara mengejutkan mengundang pemain tanpa nama yang tidak dikenal seperti Nie Yan untuk menjalankan ruang bawah tanah dengannya. Ini benar-benar peristiwa yang aneh dan tak terduga. Banyak pemain memandang Nie Yan dengan ekspresi berbeda. Namun, apa yang mereka semua miliki bersama adalah kecemburuan dan kecemburuan ekstrem di hati mereka. Lagipula, sebagian besar pemain akan merasa sangat tersanjung dan gembira diundang secara pribadi ke penjara bawah tanah yang dikelola oleh pemimpin guild Kekaisaran Suci sendiri. Seorang Pencuri Tempest yang sendirian bergerak lebih dekat ke sisi Sleepy Fox dan memarahi, "Pemimpin, cara orang itu terlalu keterlaluan! Saat dia membuka mulutnya dia meminta orang pertama untuk mengambil semua tetes Thief. Memangnya dia pikir dia itu siapa !? ”Dia kemudian melirik Nie Yan dengan pandangan dingin. Jika Nie Yan memasuki tim mereka, bukankah itu berarti semua peralatan Pencuri akan pergi kepadanya? Apa yang masih tersisa untuk dirinya? "Seperti yang aku katakan sebelumnya. Nie Yan adalah seorang ahli! Mencoba mengundangnya pasti tidak akan mudah, ”Stone langsung membantah. Setelah mendengar tuntutan Nie Yan, Sleepy Fox tertawa. “Dia benar-benar punya ego. Sebelumnya, saya masih tidak percaya dia ahli. Namun, kali ini, saya bisa dianggap lebih atau kurang yakin. Karena dia berani begitu sombong dengan permintaannya, itu berarti dia memiliki sedikit keterampilan. ” Stone mengangguk, dan melirik Pencuri Tempest ke sisinya. Karena pemimpin guild menyuarakan pendapatnya, bahwa Pencuri hanya bisa menekan amarah dan membuangnya ke samping. "Saudara Nie Yan, jika Anda bersedia setuju, maka tentu saja semua tetes Pencuri akan pergi kepada Anda terlebih dahulu," jawab Sleepy Fox dengan lugas. Sleepy Fox secara tak terduga menyetujui tuntutan Nie Yan yang berlebihan? Semua orang yang hadir di tempat itu menatap dengan mata terbelalak. Ini terlalu sulit dipercaya. Ekspresi semua pemain di sekitarnya berubah aneh ketika mereka menatap Nie Yan. Hanya siapa orang ini jika dia mampu membuat Sleepy Fox kebobolan begitu banyak hanya untuk berteman dengannya? LELUCON MENJADI KENYATAAN Bab 37 – Lelucon Menjadi Kenyataan Karena Sleepy Fox mampu memimpin Kekaisaran Suci ke posisi hormat, itu berarti dia memiliki sedikit keberanian dalam dirinya. Nie Yan merenung sejenak. Jika dia ingin sepenuhnya dilengkapi dengan perlengkapan tingkat atas, itu tidak akan mungkin terjadi kecuali dia berlari di bawah tanah. Peralatan yang bisa dibeli di toko dan rumah lelang sebagian besar merupakan perlengkapan kelas dua, karena sebagian besar guild tidak mungkin menjual peralatan jika itu adalah penurunan yang jarang. Satu-satunya metode untuk mendapatkan persneling terbaik adalah dengan menjalankan ruang bawah tanah dengan sebuah tim. Meskipun tim elit Kekaisaran Suci tidak sekuat yang ada di kehidupan sebelumnya, mereka masih merupakan alternatif yang layak. "Jika itu masalahnya, kirimi saya pesan ketika Anda siap menjalankan penjara bawah tanah," jawab Nie Yan. Lima Hengdao (Swift Slash) juga mendengarkan percakapan yang terjadi antara Nie Yan dan Sleepy Fox. Pada saat ini, Pembantaian Kegelapan berada dalam situasi yang canggung. Jika dia ingin berurusan dengan Nie Yan, tidak hanya dia harus pergi melawan extrajos, dia harus menghadapi Kekaisaran Suci juga. Bagaimana kekuatannya sendiri bisa melawan dua guild? "Lima Hengdao, luangkan aku wajah. Mari kita lupakan hal-hal yang terjadi hari ini, oke? Brother Nie Yan adalah teman saya, ”kata Sleepy Fox sambil tersenyum. Ekspresi senyumnya mengandung jejak bahaya di sekitarnya. Jika Lima Hengdao tidak mau melihat melampaui keluhannya, Kekaisaran Suci Sleepy Fox tentu tidak akan semudah itu ditangani sebagai extrajos “Karena Ketua Pemimpin Sleepy Fox telah berbicara, aku akan membiarkan masalah ini berlalu. Lima Hengdao mengalihkan pandangannya ke Nie Yan dan markus (extrajos), dan dengan dingin mendengus. Dia kemudian berbalik untuk menghadapi pestanya. "Sedang pergi . ” Lima Hengdao membawa sisa Pembantaian Kegelapan bersamanya dan pergi. Setelah kepergiannya, Sleepy Fox mulai berjalan ke sisi Nie Yan. Melihat Sleepy Fox berjalan mendekat, markus melihat ke sampingnya dan berkata, “Wow, aku tidak pernah mengira kamu berteman dengan pemimpin guild Kekaisaran Suci. Adapun masalah hari ini, terima kasih. ” markus merasa ingin tahu tetapi tidak yakin tentang identitas Nie Yan. Namun, karena Sleepy Fox memperlakukannya dengan sangat sopan, ia harus memiliki semacam latar belakang. "Kami kebetulan bertemu secara kebetulan, tidak ada yang terlalu dalam," jawab Nie Yan dengan senyum tipis. "Eh … Begitukah?" markus memeriksa ekspresi wajah Nie Yan dan memastikan bahwa ia tidak mungkin berbohong. Namun, jika itu adalah kebenaran, cara di mana Sleepy Fox memperlakukan Nie Yan benar-benar layak dipikirkan. "Saudara markus, panen Anda hari ini agak baik," potong Sleepy Fox. Senyum ramah muncul di wajahnya dan nadanya tenang. Dia tidak menyebutkan konflik antara kedua belah pihak tadi. Bagaimanapun, itu hanyalah sebuah peralatan saja. Seperti yang diharapkan dari pemimpin guild, Sleepy Fox memang memiliki hati yang cukup luas. "Ah … Saudara Fox, tolong jangan angkat itu. Jika Anda ingin baju besi tingkat Emas ini, tidak ada salahnya memberikannya kepada Anda sebagai hadiah, ”markus menjawab dengan sedih. "Eh? Mengapa demikian? Jangan bilang properti peralatannya jelek? ” "Bukan itu … Properti tidak buruk. Anda akan mengerti ketika Anda melihatnya sendiri. ” Setelah itu, markus berbagi sifat baju besi tingkat Emas yang baru saja didapatnya. Unyielding Armor of Courage (Gold) Persyaratan Level: 100 Properti: Pertahanan 585-621, Thorns Aura +5, Strength Blessing +12, Counter +15 Pembatasan Pengguna: Prajurit; dapat dilengkapi oleh faksi apa pun. Sleepy Foxed menghirup udara. “Itu adalah armor tingkat Emas! Ah, sayang sekali … ”Sleepy Fox menghela nafas setelah berseru dengan kagum. Armor ini kuat tetapi saat ini tidak berguna karena hanya bisa dilengkapi pada Level 100. Siapa yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai! "Memang, sangat disayangkan. Selain itu, properti di atasnya juga lumayan bagus. Aku melewati kesulitan seperti itu untuk mendapatkan armor ini hanya untuk mengetahui bahwa aku harus menunggu sampai Level 100 untuk melengkapinya. Bahkan jika saya melemparkannya ke toko saya, saya ragu banyak orang akan menginginkannya. '' markus menghela nafas. Tidak heran markus sangat sedih. "Tidak masalah, buang saja itu di penyimpananmu dan perlakukan itu sebagai harta," Sleepy Fox menghibur sambil tersenyum. "Ha ha . Memang, itu adalah harta karun! '' markus tertawa keras. Dia kemudian menyimpan baju zirah itu kembali ke tasnya. “Pakar, kita bertemu lagi! Lain kali, kita akan bisa menjalankan ruang bawah tanah bersama-sama! ”The Paladin Flying Stone menghampiri dan menyapa dengan tawa yang bersemangat. "Mhmm …" Jawab Nie Yan dengan anggukan ringan. Ketika semua orang dari Kekaisaran Suci tiba-tiba mulai menyebut Nie Yan sebagai "Pakar," markus menatapnya dengan ekspresi heran. Seberapa tinggi tingkat keahliannya? “Aku masih punya urusan untuk diurus, jadi aku akan pergi dulu. Aku tidak akan merepotkan kalian berdua pemimpin guild lagi. '' Nie Yan minta diri dan mengucapkan selamat tinggal. Dia masih memiliki banyak hal yang tidak dijaga. Pemain berlevel tertinggi saat ini dalam permainan sudah Level 6. Apalagi para ahli dari guild top seperti Sleepy Fox dan kelompoknya semua Level 5. Meskipun Nie Yan memang mendapatkan beberapa peralatan bagus kali ini, faktanya tetap bahwa ia masih harus mengejar ketinggalan sedikit demi sedikit. Karena itu, dia tidak ingin terlalu banyak waktu dihabiskan. "Saudara Nie Yan, jangan lupakan janjimu!" ​​Sleepy Fox, melihat Nie Yan ingin pergi, dengan cepat memanggil dan mengingatkannya akan janji mereka. "Aku akan baik-baik saja selama kamu memberi saya tiga jam pemberitahuan sebelumnya," jawab Nie Yan. "Aku akan menambahkanmu sebagai teman kalau begitu," saran Sleepy Fox dan mengirim Nie Yan permintaan pertemanan. "Aku juga," markus menyela dan mengirim Nie Yan permintaan teman pada saat yang sama. Dia juga mengirim satu Sleepy Fox juga. Kerajaan Suci jauh lebih kuat dari Kerajaan Indah. Dengan demikian, menambahkan Sleepy Fox sebagai teman tidak diragukan lagi memberinya sekutu yang kuat juga. 「 Sistem: Anda telah menambahkan Sleepy Fox sebagai teman. 」 「 Sistem: Anda telah menambahkan markus sebagai teman. 」 Dalam kehidupan sebelumnya, Nie Yan dan markus hanya kenalan belaka. Dia telah menjual banyak peralatan ke markus untuk kredit selama transaksi mereka mirip dengan platform transaksi. Namun, setiap kali dia menjual ke markus, dia akan selalu membelinya dengan harga di atas harga pasar, yang membantu Nie Yan keluar dari beberapa situasi putus asa. Dengan demikian, hubungan mereka dalam kehidupan masa lalu Nie Yan terbawa dalam yang satu ini juga bisa dianggap sebagai jenis nasib. Setelah meninggalkan Sleepy Fox dan markus, Nie Yan menuju ke arah titik transportasi Link. Di bawah kehancuran dan malapetaka yang disebabkan oleh Penjaga Ketertiban yang mengamuk, Link telah menjadi puing-puing diri sebelumnya di mana hampir tidak ada bangunan yang berdiri. Saya akhirnya bisa menyelesaikan pencarian Dokter Blevins. Namun, masih lebih baik jika saya membeli lebih banyak Gigi Kelelawar terlebih dahulu, Nie Yan merenung. Sudah cukup banyak waktu berlalu, jadi para pemain seharusnya sudah mengambil beberapa Bat Teeth sekarang. Sedangkan untuk Dokter Blevins, karena dia sudah mengeluarkan pencarian, dia tidak akan pergi sebelum batas waktu untuk itu berakhir. Nie Yan tiba di Mordor dan meletakkan tanda, "Satu Tembaga untuk Satu Tumpukan Gigi Kelelawar!". Segera, daerah itu penuh dengan aktivitas dan kerumunan besar pemain berkumpul di sekitar tokonya. Dari perspektif Nie Yan, para pemain ini mirip dengan gelombang uang yang mendekat. "Saudaraku, kamu di sini untuk membeli Gigi Kelelawar lagi? “Aku punya setumpuk di sini bersamaku. ” "Aku juga punya setumpuk!" Bisnis itu bahkan lebih hidup daripada sebelumnya di pagi hari. Penyimpanan Nie Yan mulai cepat terakumulasi dengan Bat Teeth. Hanya setelah satu jam melakukan bisnis melambat. Namun, pada saat itu, penyimpanan pribadinya telah menumpuk sedikitnya tiga ribu Gigi Kelelawar. Dia juga melakukan perjalanan ke dua kota lain dan membeli dua ribu tumpukan lagi. Setelah itu, ia menukar semua lima ribu tumpukan Gigi Kelelawar dengan Pandai Besi Kade dengan laba bersih lima puluh perak. Selain modal yang tersisa, ia memiliki total enam puluh satu perak dalam persediaan. Rata-rata pemain pemula menganggap jumlah ini sebagai jumlah uang yang tak terbayangkan. Saya sudah membeli beberapa Gigi Kelelawar hari ini. Saya akan menunggu sampai besok dan terus membeli lebih banyak, pikir Nie Yan. Dia melirik pada saat itu — 7 Juni. Tampaknya lusa akan menjadi pengumuman untuk pembukaan penjara bawah tanah baru, Lembah Sosil. Ketika saatnya tiba, dia menduga banyak guild besar akan mengantri untuk menjelajahi daerah tersebut. Tiba-tiba, Nie Yan mengingat sesuatu dan menampar kepalanya. Bagaimana aku bisa melupakan ini juga !? Bos terakhir di ruang bawah tanah Level 3, Sosil Valley, bernama Bousso the Roaming Werewolf cukup sulit untuk dihadapi. Selain itu, cakar manusia serigala di ruang bawah tanah semua dilapisi dengan racun yang sangat beracun. Mungkin, tidak sedikit yang akan menjadi korban dungeon ini secara mengerikan. Dalam kehidupan sebelumnya, ia dan teman-temannya benar-benar melakukan hasil seperti itu ketika mereka pertama kali berusaha. Sebelum penjara bawah tanah dibuka, salah satu obat yang dikenal untuk racun, Black Phenol, hanya dijual untuk masing-masing dua tembaga dan formula untuk membuatnya hanya dijual untuk enam puluh masing-masing tembaga. Namun, begitu dungeon dibuka, pada hari itu saja harga Black Phenol melonjak hingga lima ratus persen dan harga formula melonjak hingga seribu. Salah satu temannya bercanda tentang masalah ini mengatakan jika dia bisa kembali ke masa lalu, dia akan membeli Black Phenol dan Black Phenol Recipes dengan maksud untuk membuatnya kaya begitu ruang bawah tanah dibuka. Pada saat itu masalahnya hanya lelucon, tetapi siapa yang tahu Nie Yan akan benar-benar kembali ke masa lalu? Lelucon ini akhirnya menjadi kenyataan! Description: VRMMO terbesar di dunia, Conviction, hampir seperti dunia kedua bagi umat manusia. Itu telah mengintegrasikan dirinya ke dalam ekonomi dunia nyata, dengan perusahaan dan individu mencari peruntungan melalui permainan.
Title: Rendez Vous Category: Novel Text: 01 - Tears Matahari masih bersembunyi dari balik awan. Ketika seorang gadis beranjak dari tempat tidurnya dengan mata sedikit bengkak karena tertidur dini hari. Ia membuka kulkas dan mengambil sapu tangan dari balik saku hot pansnya, dengan ekspresi terkantuk Ia meraih bongkahan es batu, memasukan diantara sapu tangan, lalu mengusapnya di sekitar area mata. Ia tidak ingin mengingat kejadian semalam. Kejadian yang membuat hatinya begitu hancur dan perih. Seseorang yang Ia sayangi tega memenggal tali kasih secara sepihak bahkan sudah hampir 5 tahun dijalaninya. Menangis. Ia hanya mampu menangis. Air matanya kering tak bersisa. Kakinya berjalan gontai mengitari meja kayu, diambilnya sebuah gelas kaca berukuran sedang. Ia lalu menarik pelan toples berisi gula dan kotak teh di lemari. Aroma khas daun teh bercampur air hangat membuat pikirannya semalaman kalut menjadi lebih tenang. * Ia membawa diri di halaman belakang, menikmati pagi dengan tenang. Bibirnya menyesapi sedikit demi sedikit teh manis hangat buatannya. Hari ini Ia terlihat muram dan kaku. Ingin sekali Ia membuang dirinya sendiri pada pulau terpencil untuk menenangkan diri. Tak sadar gelas kaca miliknya sudah kosong. Ia menyandarkan tubuh di kursi rotan, matanya mengerjap perlahan. Haruskah seperti ini akhirnya. Menemani dalam waktu lama dan berakhir sia-sia. Tidak ada kata tulus lagi dihatinya. Semua hanya bualan pria demi mendapatkan hati wanita, ketika sudah bosan, jangan ditanya. Dilepas begitu saja, layaknya barang tak lagi berguna. Beruntung dalam hubungan itu Ia tidak bodoh, Ia masih bisa mempertahankan masa depannya, harga dirinya. Biarlah hati sembuh seiring berjalannya waktu. Puas memandangi pagi yang tak menurutnya takkan bisa menghiburnya, Ia pergi ke kamar. * Melihat beda tipis di nakas meja sebelah tempat tidurnya berkedip Ia meraihnya dan membuka pop-up yang tertera. "Meeting jam 9, jangan terlambat. Kita tunggu di Goodfellas Resto" Nafasnya terhembus kasar. Tidak bisalah untuk saat ini Ia hanya ingin diam di rumah. Meredakan sakit yang menyesakkan. Ia hanya bisa melempar beda tipis itu ke kasur dan merebahkan tubuhnya lagi. Masih ada waktu beberapa jam sebelum meeting, Ia memasang alarm dan kembali berteman dengan mimpi indahnya yang tertunda. * "Jadi kita sepakat ya konsep acara ini adalah garden party. Nuansa modern sekaligus menyatu dengan alam" Semua orang mengangguk kecuali gadis itu, Ia hanya menatap nanar notebook miliknya dan jarinya memainkan pulpen. "Kamu sakit, Cher?" "Eh.. tidak pak tidak. Saya baik-baik saja" "Lalu? Kenapa lesu sekali?" "Saya.. saya hanya sedikit lelah karena mengerjakan desain tempat untuk event ini" Cherry tersenyum kecil. Tidak ada yang tahu diantara 6 orang yang sekarang berada satu meja dengannya, bahwa Ia sedang berkilah. Ia tidak mungkin mengatakan hatinya sedang remuk seremuk-remuknya sekarang. "Bagus. Saya harap semuanya jaga badan ya, karena event satu bulan lagi. Kita akan sering meeting dan lembur" Dari restoran terdengar suara dentingan lonceng pertanda ada seorang pelanggan masuk. Dua sejoli kini berada di depan pintu. Seorang pria tengah menahan pintu tersebut untuk membiarkan wanita yang bersamanya masuk. Mata Cherry tiba-tiba mengenali sosok pria itu. Ya. Ia adalah pria yang sama. Pria yang semalam berhasil meluluhlantakan hatinya dalam sekejap mata. Cherry yang tadi terduduk lemas langsung menegang ditempat. Sorot matanya mengikuti dua orang itu mencari meja duduk yang jauh dari tempatnya. Salah seorang sahabatnya, Suri, melihat gelagat aneh ditunjukkan Cherry mengikuti arah pengelihatan gadis itu. Suri terkejut dan mencoba menahan telapak tangan Cherry yang mulai mendingin. Jari-jemari Cherry meremas ujung kemejanya. Tak bisa lagi sekarang Ia menahan semua ini. Cherry meninggalkan tempatnya begitu saja. "Permisi" Melihat Cherry berlarian kecil menuju toilet Suri seolah ingin memeluknya sekarang. Sahabatnya pasti sedang terpukul hebat akibat pria itu. Cherry menangis di toilet sekarang. Entah berapa tisu dihabiskannya. Bagaimana bisa mantan pacar yang belum 24 jam pisah dengannya berkencan dengan wanita lain? Secepat itukah? 02 - First Cherry membaringkan tubuhnya di sofa ruang tengah rumahnya. Memorinya terus merekam kejadian di restoran pagi ini. Mantan kekasihnya tiba-tiba sudah memiliki tambatan hati lain. "Itu jelas-jelas Bimo selingkuh" Satu kalimat terlontar dari mulut Suri, yang mungkin hati Cherry juga mengamininya. Baru saja putus kenapa sudah bermesraan dengan orang lain jika sebelumnya memang tidak ada hubungan. Mengingat wajah pria itu saja ibarat Cherry menabrakkan dirinya sendiri di kereta. Hancur lebur berkeping. Pengkhianatan jelas sudah di depan matanya. Mau berharap Ia memonoh kembali? Mungkin benar jika pria itu tahu arti menyesal. Berkas-berkas miliknya juga tidak dijamah sama sekali. Hanya dibiarkan begitu saja di ruang tengah, dengan kertas berserakan. Ia mengambil remote TV dan menelusuri berbagai channel yang siapa tahu membuat hatinya terhibur. Namun Cherry tidak tertarik sama sekali dan lebih memilih mematikannya. Ia mengambil sling bag yang ikut tercecer di lantai. Diambilnya sebuah kotak kecil berisi batangan nikotin dan pemantik disisi tasnya yang lain. Kakinya sigap melangkah ke halaman belakang. * Tidak tahu secara pasti, sejak kapan Ia berani berkutat bersama benda beracun memabukkan tersebut. Cherry duduk dan menyesap batangan nikotin itu perlahan. Asap mulai mengepul diantara kepalanya. Sisi tangannya yang lain memijit pelipis dan memberikan sedikit efek menekan agar terasa lebih baik. Seharian ini Ia merasa ling-lung. Apa yang bisa dilakukan seseorang patah hati kecuali merayakannya dengan rasa sakit. Merenung berdiam diri membuat otaknya semakin menjadi. Akhirnya Cherry memutuskan mandi dan pergi menengok tempat event untuk mengecek persiapan disana. Ia mulai mengecek nomor di ponselnya dan menekan tombol hijau. "Halo Pak Sam, maaf saya menelpon. Saya berniat menengok tempat event, apakah ada orang yang bisa saya temui disana?" "........" "Tentu Pak, saya tidak keberatan. Lagian saya punya waktu hari ini kalau hanya sekedar mengecek persiapan" * Di area wisata hutan pinus seluas 3 hektar itu, Cherry berusaha menemukan seseorang bernama Gama. Ia adalah salah satu clientnya yang diminta Pak Sam untuk ditemui. Padahal Cherry tidak tahu sosok Gama wajahnya seperti apa. Pak Sam sendiri telah menghubungi Gama agar bisa berdiskusi soal desain acara dan sepakat membicarakannya sore ini. Nada dering Charlie Puth feat Selena Gomez terdengar dari dalam tasnya, penanda panggilan masuk. "Halo, Pak Sam. Ada apa pak?" "......." "Ah iya saya sudah sampai. Tapi belum datang orangnya, yang ada cuma pengunjung biasa" "........" "Jadi Gama pakai jumper biru dan sneakers putih ya pak? Oke saya cari sekarang" * Mata Cherry jeli mengamati setiap pengunjung yang datang. Ketika mendengar cara berpakaian Gama dari yang disampaikan Pak Sam, ia pasti masih muda. Hampir 15 menit mencari Cherry tetap saja kebingungan. Sampai akhirnya pundaknya ditepuk seseorang. "Eh.." Cherry refleks menengok ke belakang karena ia merasakan tepukkan dipundaknya. "Cherry ya?" "Iya? Anda ini.." "Saya Gama, orang perusahaan yang diutus kemari untuk membicarakan event bulan depan" Setelah penjelasan Gama, Cherry tersadar bahwa ia berbicara dengan orang yang dicarinya. "Oh iya ya, saya Cherry. Kok anda bisa tahu saya dari orang EO?" "Saya lihat mbak tadi seperti orang kebingungan, kebetulan saya baru sampai. Maaf jika lama" "Santai saja, kita mau mengobrol dimana?" "Gimana di kafe dekat pintu masuk?" "Oke. Ayo" 03 - Pikiran Kepulan asap-asap nikotin kembali mengunci kepalanya. Layar 14 inch di depan matanya masih kosong tanpa kata. Ia teringat laki-laki bertubuh jangkung ditemuinya hari ini cukup membuatnya gundah atas percakapan yang sempat di sahutkan. "Mari kita berteman." "Kita adalah partner kerja. Kita sudah berteman." "Maksudku.." "Iya?" "Mari bertemu jika sempat. Hanya sekedar minum teh atau kopi, makan, jalan-jalan." "Untuk apa? Pertemuan kita akan jauh lebih intens sampai hari H." "Membicarakan event ini tidak harus pada jam kerja bukan?" Cherry hanya menarik ujung bibirnya tipis. Baginya sekarang laki-laki sama saja. Jika sudah merasa akrab pasti akan begitu. Mengajak pergi hingga lawannya menaruh hati. Bertukar pesan sampai penerima tak mau kehilangan. Ujungnya apa, tinggal aktor utamanya saja yang menentukan maunya apa. Kini jari-jari lentiknya menekan satu demi satu tuts, membolak-balik map merah di sisi lain mejanya. Halaman belakang rumahnya adalah sisi lain dirinya. Tempat ia melepas semua beban masalah dengan menatap langit malam bertabur sinar bintang. Tidak jarang bulan menemaninya semalaman. Cherry mengetuk dagunya pelan. Setelah selesai, ia menutup Microsoft Word kemudian melihat-lihat folder di disk yang lain. Nafasnya tercekat melihat sebuah folder usang masih tersimpan disana. Folder itu masih sama seperti pertama kali ia menamainya. Dieng, 26 Oktober 2017. Mendadak ia merasa sesak. Jantungnya berdegup kencang. Betapa ingatnya ia janji-janji manis Bimo kala itu. "Setelah kita sama-sama siap. Aku bakal nikahin kamu. Aku bakal jadi suami yang setia. Aku enggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu bisa pegang kata-kataku. You're my everything, Cherry Nianna." Cuih. Mendadak semuanya hancur lebur dalam semalam. Semua tidak lagi bermakna sebagaimana mestinya. Siapa lagi tersangkanya jika bukan laki-laki yang sama. Ia berusaha agar air bah tidak membasahi pipi merahnya sekali lagi. Berat rasanya ia membuka folder itu. Folder berisi puluhan foto saat Bimo memberikan kejutan anniversary mereka yang keempat tahun. Kenangan manis mereka tidak bisa hilang begitu saja. Lima tahun juga bukan hal mudah untuk menghapus memori terindah. Cherry menghela nafas beratnya. Cukup sakit dilepas secara sepihak. Ia tidak peduli lagi. Karir, karir, dan karir. Itulah fokusnya saat ini. Sigap ia menekan tombol delete dan meleyapkan secara permanen dari recycle bin. Ia melihat jam dari laptop. Masih pukul 9 malam, belum terlalu larut untuk membeli kudapan karena perutnya meronta meminta asupan. Cherry membereskan pekerjaannya dan sigap mengambil kunci mobil. * Mobil Madza 2 merah mengarungi jalanan ramai kota tersebut. Mata gadis berkulit putih itu menelusuri sepanjang alun-alun yang berjejer rapi para pedagang makanan. Pilihannya jatuh pada seafood kaki lima. Membawanya kembali ke masa SMA, dimana Cherry dan teman-temannya setiap Sabtu malam selalu nongkrong dan memesan cumi asam manis. Tempat sederhana itu mengingatkan juga kali pertama ia dan Bimo berkencan. Makan bersama, bertukar cerita, saling melontar canda. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak perlu lagi ada penyesalan di hati. Cherry yang hanya duduk terdiam membuat mas penjual itu bingung. Dipanggilnya berkali-kali tanpa respon karena asik dengan lamunannya sendiri, membuat mas tadi terpaksa menepuk bahunya pelan. "Mbak.." "Ya Tuhan!" Matanya masih mengerjap tidak percaya. "Mbak mau pesan apa? Saya panggil dari tadi tidak jawab." "Hmm.. maaf mas maaf. Itu, saya pesan cumi asam manis satu, nasi satu, es teh manis satu." "Bawa pulang apa makan sini?" "Makan sini." "Tunggu ya mbak." Cherry menundukkan kepalanya. Beberapa pelanggan di dekatnya sedikit tertawa karena ulahnya. 04 - Lonely Sepoi-sepoi angin sore membawa langkah kaki menuju kesibukan sore. Orang-orang bergumul dengan aktivitasnya, disisi lain, seorang gadis hanya terdiam di bangku besi panjang. Pohon angsana seakan menjadi pendengar isi hatinya. Cherry hanya mengamati sekitar tanpa peduli apa yang terjadi. Tak berselang lama, gendang telinganya seolah dibawa pada tumpukan memori lawas, seketika ia menegang ditempat. "Cherry.." Suara lirih membuyarkan diri sekaligus pikirannya sejenak. Ia hafal betul suara pemilik suara bass itu. Sontak gadis itu menoleh, merapikan anak rambut yang menutupi sebagian celah mata. Sesosok laki-laki berkaos hitam mulai berjalan sembari memandangnya dari sisi lain taman. Cherry mempersilahkan laki-laki itu menghampirinya, ia memberi celah pada sisi bangku kosong pada sang tamu. "Apa kabar?" Gadis berkulit putih itu masih diam mencerna kecanggungan diantara mereka. Sementara laki-laki disampingnya menatap Cherry dalam diam. Tak mau terus berlanjut disuasana sore ini, Cherry menahan air matanya. "Baik, kamu gimana kabarnya Bim?" "Aku juga baik-baik saja." Hampir tiga puluh menit saling berkutat dengan pikiran masing-masing. Bimo kembali menyela dan berusaha memulainya lagi. "Aku minta maaf." "Untuk apa? Semua sudah berakhir, tidak perlu disesali. Ini kesepakatan kita." "Bukan kita. Tapi aku. Maaf aku mengacaukanmu, memutus impianmu dalam semalam." "Nikmatilah hidupmu bersama wanita tempo hari di restoran." Ucapan Cherry seolah tamparan keras bagi Bimo. Cepat atau lambat ia yakin Cherry akan tahu. Tapi kenapa harus secepat ini. Nafas beratnya mulai memburu. "Namanya Raras, temanku kuliah, kami ..." "Kenapa tidak dilanjutkan?" "Mamaku menjodohkanku dengannya, kami akan segera menikah." Entah ekspresi apa yang Cherry harus keluarkan mendengar kenyataan pahit ini. Sepatah kata pun tidak ada yang pernah sebelumnya mendengar Bimo mengeluh soal hubungan mereka, termasuk.. mamanya. "Sejak kapan?" "Sebenarnya aku juga kaget saat mamaku mengenalkannya, ternyata mamaku sudah menjodohkan kami sejak SMA." "Lalu selama ini kenapa mamamu tidak mengatakan apapun padaku? Kenapa terlihat biasa saja?" "Atas nama mamaku aku juga minta maaf. Semua begitu cepat. Sekali lagi aku minta maaf, aku akan mengirimkan undanganku. Aku harap kamu datang, sebagai tamu spesialku. Jaga kesehatanmu, aku pulang dulu." Bimo pergi meninggalkan Cherry sendirian, berlalu begitu saja seperti angin. Air matanya tumpah sesaat setelah mobil Bimo menghilang dari peredaran matanya. Tangannya gemetar mengusap bulir air yang menghapus sebagian make-up miliknya. * Langit perlahan mulai menghitam, awan tebal menyapa sore Cherry diatas tangisannya. Begitu sendu ia menatap mendung. Gerimis mulai mengucur sedikit demi sedikit. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, sementara langkah gontai Cherry membawanya pada halte bus kecil. Air matanya kini tertutup derasnya hujan, orang tidak akan tahu apa yang dialaminya sekarang. Dalam sesenggukkan ia merasa sebelah bayangannya menjadi lebih gelap. Cherry yang hanya menunduk sedari tadi mendongak dan mendapati seseorang disampingnya. "Kamu ngapain hujan-hujan disini?" "Kamu sendiri ngapain?" "Aku kebetulan habis dari rumah sakit terus lewat sini. Lihat kamu duduk sendiri makannya aku berhenti. Ayo aku antar, aku pakai mobil." "Gak usah, nanti juga reda." "Hujannya pasti lama, ayo." Cherry hanya menurut dan mengekori si pemberi tumpangan. Dengan sigap ia membuka pintu bagi Cherry dan segera menjalankan mobilnya. Suasana sepi menyelimuti perjalanan mereka, ia masih melihat sikap aneh gadis itu. "Kamu nangis ya?" "Engg..gak, tadi kan hujan.. aku kehujanan." "Oh begitu, lain kali kalau kamu butuh bantuan atau sesuatu chat aku aja. Kalau aku bisa aku pasti datang." Cherry mengangguk dan tersenyum tipis, alunan musik merdu menemani mereka dalam diam. "Aku boleh bilang sesuatu?" "Bolehlah Cher, mau bilang apa?" "Makasih ya Gama, udah mau nganter pulang." "Sama-sama Cher, cuma kebetulan. Kita partner kerja jadi santai aja." Description: Dia dan Ia sama-sama bertemu disatu masa. Dalam perjalan panjang berkelok, Dia dan Ia dihadapkan situasi yang berbeda. Entah kenapa lama dari semua orang yang pernah singgah dihatinya, Ia merasa Dia amat sangat tulus. Banyak hal yang tidak Ia temukan pada diri orang lain dan Dia memilikinya. Tapi satu hal yang tidak disukai Ia, yaitu ketika Dia masih merasa seseorang disana mengganggu pikiran dan hatinya. Inilah mereka, Cherry dan Gama.
Title: Renjana Gulana Category: Novel Text: Tumbuh dari patah Namaku Taufiq Kurrahman, aku kerap dipanggil Kojo oleh teman-temanku. Cerita ini dimulai ketika aku duduk di bangku kelas 3 SMA di kota Tenggarong, Kalimantan Timur. Aku dikenal dengan pria humoris, pengubah suasana gundah seseorang menjadi senja yang indah, tetapi tidak bisa menghilangkan ingatan masalalu burukku sendiri mengenai cinta. Prihal rasa itu memang tidak bisa dibohongi, hari ini lupa besok terluka. Melihat orang lain tersenyum sudah cukup bahagia untuk menghapus luka yang terbuat pada masalalu walau sesaat tetapi teramat bermanfaat. Alarm handphone berbunyi lantang di samping telingaku, seperti biasa karena sebelum tertidur aku harus mendengarkan lagu. "Aduuuuh masih ngantuk" Ucapku sambil melihat jam pada handphone. Akupun kembali tertidur dan tak lama kemudian ibuku berteriak. "Kojooooooooooooooooo, hari pertama masuk sekolah biasakanlah datang lebih awal biar bisa dapat tempat duduk didepan" Siti adalah nama ibuku. Ibuku selalu mendukungku untuk menjadi penulis yang terkenal karena dari kecil aku selalu bermimpi menjadi seorang penulis. Akupun masuk ke toilet untuk mandi, 30 menit aku tidak keluar dari toilet, aku tidak tau apa yang aku lakukan, aku merasa aku tertidur. "Kojooooooooo kamu ketiduran lagi di dalam" Teriak ibuku dari balik pintu toilet. "Ngantuuuuuuk Bu" Balasku dari dalam. Semenjak putus cinta aku susah untuk tidur, seperti hancur dan bangun selalu larut. Ternyata cinta itu jahat, memberi rasa nyaman dan diikuti rasa kekecewaan. "Ayo sarapan dulu Jo" Tawar Ibuku kepadaku. "Gak Bu aku buru-buru" Bergegas berangkat sekolah. Di depan gerbang sekolah aku menoleh kebelakang dan ternyata ada wanita berparas cantik. Kukira menyehatkan itu cuma olahraga dan malah melihatnya juga bisa melatih jantung deg deg deg. "Tiiiiit tiiiiit" Suara klakson motor dari belakangku. Akupun memparkir motor dan masuk ke kelas. "Gimana liburanmu Jo" Ucap David teman akrabku. "Biasalah tidur 24 jam" Jawabku "Rugi kamu Jo gak ada cerita liburan" "Ada liburan, di alam mimpi" Ucapku sambil bercanda. Teman-temanku pun telah berkumpul semua dan Masing-masing bercerita tentang liburannya, ada yang bareng keluarga ada yang bareng pasangan. Tetapi yang lebih keren adalah Aku, liburan bareng bantal guling. "Gimana Jo, udah move on?" Tanya Nisa sambil mendorongku. "Move on dari orangnya gampang, yang sulit itu dari kenangan" Sambil tersenyum kearah Nisa. Nisa adalah perempuan yang selalu kuajak untuk sesi curhat, terutama berbagi jawaban, lebih tepatnya aku yang lebih butuh. "Nanti aku bantu kamu cari pacar Jo, kayak aku, sayang banget aku sama cowokku" Goda Nisa sambil memerkan ke romantisnya. "Nyari itu gampang, yang susah itu nyesuain" Balasku. "Nanti kita lanjut Jo, Ibu wali kelas kita mau masuk" Ucap Nisa. Melihat sekeliling ruangan kelas sangat ramai anehnya aku masih merasa sendiri. Emang benar bahwa cinta itu ga bisa dipikir pake logika, bukan perkara otak tapi hati. Dari balik pintu kelas Ibu mengucapkan salam, "Assalamualaikum" "Walaikumsalam" Balas kami serentak. Dia Ibu Neni, berparas cantik, baik dan banyak lagi. Kemudian kelas mengadakan pemilihan ketua kelas dan kebetulan aku yang terpilih. "Anak-anak siapa yang bersedia menjadi ketua kelas untuk memimpin kelas kita? " Tanya Ibu neni. Seperti orang yang tidak bersemangat aku menempelkan pipiku ke meja. "Kojoooooo Buuuuu" Serentak temanku memilihku untuk menjadi ketua kelas. "Apaaa" Akupun kaget dan pasrah. "Nah itu Jo, belajar memimpin kelas dulu baru orang lain hahaha" Canda Nisa. Bel istirahat berbunyi dan kami bergegas menuju kantin. Di jalan aku melihat wanita itu, wanita yang sempat aku toleh didepan gerbang sekolahan. "Kenapa ya deg degkan terus" Dalam hati aku berbicara. Aku belum berani untuk mengartikan bahwa aku benar-benar jatuh cinta, karena aku tau pahitnya terluka karenanya. Tetapi tentang wanita itu akan selalu terselip disepanjang hari-hariku. Aku menghampiri Nisa, "Nis, sepertinya aku mau tumbuh? " "Kamu jatuh hati Jo, kesiapa? " Tanya Nisa "Masih jadi rahasia dan baru mau aku pastikan" Jawabku sambil senyum. Sepulang sekolah aku menggoreskan hobiku ke sebuah buku diary ku. "Jika renjana selalu indah, untuk apa kata gundah tercipta, jika cinta memang benar adanya, maka luka juga konsekuensi dibalik romansa cinta" Aku sangat senang membuat kata-kata untuk diriku maupun orang lain. Dan mungkin di waktu lain, wanita itu juga akan terangkai dari kata-kata yang dibuat oleh jemariku. Description: Renjana gulana adalah cerita tentang seorang pria SMA yang kerap dipanggil Kojo. Sebagai seorang yang humoris ia sangat disenangi orang banyak. Tetapi di sisi lain, Kojo juga pemalu terutama kepada seseorang yang membuat hatinya bergetar, cinta. Rati adalah perempuan yang berhasil membuat Kojo jatuh cinta. Butuh waktu lama untuk Kojo mengungkapkan rasa kepadanya. Kojo selalu mengevaluasi orang yang ingin ia jadikan renjana agar tidak menyesal dikemudian hari. Seiring berjalannya waktu, Rati membuat Kojo berani mengungkapkan perasaannya, membuat Kojo yakin bahwa dia bukan wanita dimasalalu Kojo yang hanya singgah dan pergi. Kojo dan Rati saling mencintai, tidak ada hari tanpa pertemuan dan candaan. Hingga sampai di suatu hari, Rati mendustai Kojo. Cerita yang dianggap Kojo akan berjalan mulus harus terhapus. Rati memilih pergi bersama orang lain. Banyak cerita cinta, tawa dan sendu yang diukir Kojo di hati Rati. Apakah suatu saat Rati akan menyesal karena telah meninggalkan Kojo yang tulus mencintainya? Kelulusan sekolah bukan hal yang menyenangkan bagi Kojo, ia memilih pergi ke tempat jauh dan menjadi penulis atas patah hati. Apakah Rati akan mencari keberadaan Kojo dan meminta maaf? Patah hati tidak membuat Kojo selalu terpuruk, karenanya ia berhasil membuat cerita Renjana Gulana yang menceritakan tentang betapa ia mencintai Rati.
Title: Rinduan Category: Cerita Pendek Text: Tak ada lagi Suara bising berirama membangunkanku dari tidur. Kebisingan itu bukan menjadi pengganggu, tetapi menjadi pengingat untuk melaksanakan hal yang disunahkan —menjelang fajar sebelum subuh— bagi orang yang akan menjalankan ibadah puasa; sahur. Tak ada aktivitas lain yang aku lakukan setelah makan pada dini hari ini. Hanya menggonta-ganti siaran televisi yang sedari tadi tidak benar-benar aku simak. Drrtttt. Getaran itu mampu membuat perhatianku tertuju pada benda yang ku simpan di atas kursi. Sholat di masjid, yuk. Sekalian ikut kuliah subuh. Mau ngga? Pesan singkat itu membuatku sedikit sumringah. Jujur saja. Sudah lama aku tak mengikuti kegiatan kuliah subuh. Mungkin karena sekarang di sekolahku —SMK— tak lagi di perintahkan untuk mengisi buku kibar yang wajib diisi oleh setiap murid. Hhehe Sahabat syurgaku —aamiin.. menjemputku. Ia tak membawa kendaraan apapun, dia menjemputku dengan berjalan kaki untuk menuju masjid yang jaraknya tak jauh dari rumah. Setelah ibadah sholat subuh dilaksanakan, barulah kegiatan kuliah subuh dimulai. Anak-anak berebutan tempat duduk yang posisinya sedekat mungkin dengan Pak Ustadz. Yang di luar merapat ke dalam, yang di dalam semakin merapat. Mungkin supaya lebih cepat mendapatkan tandatangan Pak Ustadz diakhir kegiatan. Itulah yang kurindukan. Datang berbondong-bondong ke masjid hanya untuk mendapatkan tandatangan. Sebenarnya kami tak benar-benar menyimak isi ceramah yang disampaikan. *jangan ditiru ya.. Ada yang sibuk menahan kantuk; ada yang sibuk mencatat bagian inti isi ceramah; ada yang sibuk menyontek tulisan isi ceramah; dan ada yang sudah tertidur pulas. Ah, semua hal itu benar-benar aku rindukan. Aku membayangkan ada diantara mereka yang saat ini sedang berebut tanda tangan Pak Ustadz. Padahal orang yang terakhir meminta pun sudah pasti akan di kasih. Tapi ya begitulah. Mungkin mereka ingin cepat-cepat pulang melanjutkan tidurnya yang terpotong. Heheh Ada juga anak yang sudah ditunggu oleh ibunya di depan masjid. Kemudian si anak berlari girang menuju si Ibu. ~ Sesampai dirumah, aku cek kembali buku kibar yang sudah ditandatangani Pak Ustadz. Rasa senangku sampai menembus ke ulu hati. "Buku terus! Apa yang kamu dapetin dari buku, ha? Pagi-pagi megang buku. Tuh liat anak-anak lain, pagi-pagi tuh megangnya sapu, pel-an, piring kotor. Dasar males!" Deg. Ucapan ibu barusan membuat dadaku terasa ditusuk. Kemudian ibu mengambil buku yang masih aku pegang. Dilemparnya buku itu ke sembarang arah. Disitu batinku menangis. Langsung ku pungut buku yang hampir sobek itu. Aku berlari ke kamar mencurahkan tangisanku di dalam. "Apa yang bisa kamu dapetin dari menggenggam buku? Bisa bikin kamu makan? Atau apa? Nanti besar juga kamu ngga jauh-jauh dari menjadi tukang cuci" ucapan ibu terdengar hingga ke dalam kamar. Tangisanku semakin menyesakkan. "Nun, aku duluan ya.." "Nun..?" "ANUN" Panggilan Ruci membuat lamunanku buyar. "Ngelamunin apa sih, Nun? Udah sampe nih di depan rumah kamu" "Astaghfirullah.. Aku sampe ngga sadar udah sampe di depan rumah" ku usap mukaku. "Mikirin apa sih?" "Eh? Ngga ko. Cuma lagi—" "Lagi rindu ibu kamu?" potong Ruci. Aku hanya terdiam. Ruci sahabatku sudah sangat paham jika aku sedang merindukan ibu. "Aku tau. Pasti kalo kamu abis liat anak kecil bareng sama ibunya, kamu langsung rindu ibu kamu, kan? Udah.. Ibu kamu udah tenang di sana.. " ucap Ruci diakhiri garis lengkung di bibirnya yang mampu menyejukkan. "Ya udah, aku duluan ya.. Assalamu'alaikum.." "Wa'alaikumsalam.. Hati-hati, Ci." Ya. Aku bukan maksud menceritakan sisi buruk kisahku atau ibuku. Aku hanya merasa sedikit kosong di bulan ramadhan kali ini. Tak ada lagi sosok yang memarahiku karena kasih sayangnya; Tak ada lagi senyuman dari wajah yang mampu menyejukkan hati; Tak ada lagi lantutan sholawat yang keluar dari bibirnya. Ya Allah.. Aku benar-benar merindukan beliau. Aku rindu kehadirannya. Aku rindu caranya menyanyangiku. Aku rindu Ya Allah... Semoga engkau selalu melindunginya.. Melindungi kami... Aamiin.. Description: Ini penggalan-penggalan kisahku. Tentang rinduku; rasaku; dan harapku.
Title: Rindu Category: Puisi Text: Alunan Rindu Antara harapan yang tak kunjung padamAtau rasa putus asa yang semakin kelamKeduanya mendominasiWalau terkadang harapan itu menyusut sesekali Waktu ituBerita diliburkan amat didambaDengan semangat saling berucap;Sampai jumpa!Dan yang terjadi selanjutnya adalah di luar sangkaDesiran debu yang mewakilkanSemakin tebal, semakin mendalam Gedung itu tak lagi bergemaBerkali-kali mengeluh hampaSeolah merinduIngin menaungi lagi anak-anak itu Pohon di sana semakin rindangTetapi rantingnya melambaiIngin anak-anak itu kembaliDan mungkin hujan pun enggan untuk luruhLantaran tak ada lagi sambutan anak-anak ituPadahal dulu,Keceriaan mereka membuat hujan tak mengeluh setelah jatuh Hai kamu!Apakah merasakan panggilan itu?Sebuah pesan tersirat yang sungguh tiada haluMereka semua mengalunkan ituSebuah irama bertajuk rindu Description: ...
Title: Revolusi Berulang Category: Cerita Pendek Text: Bagian I Arah pandangan dari sepasang mata biru tak sedikitpun berpindah, bergeming memandang satu-satunya tempat bercahaya di dalam hutan itu. Pundaknya naik turun dengan teratur dan uap nafas terus mengepul dari mulutnya bagai lokomotif kereta uap. Mantel kelabu yang menutup tubuh maskulinnya berbaur sempurna dengan suramnya keadaan sekitar. Bahkan dia tidak perlu sampai menumpang di balik pohon untuk menyembunyikan wujudnya. Kalau saja tidak ada misi penting yang dipikulnya, malam ini dia tentu sudah berbaring di atas kursi malas sambil menikmati hawa hangat perapian. Jika saja tidak ada dosa yang harus dibayar tuntas, mana mungkin pria itu mau berdiam di dalam hutan pinus bertemankan kegelapan serta angin malam musim gugur yang menyengat kulit. “Harus kulakukan malam ini juga.” pria bermata biru itu mengajak bicara dirinya sendiri. Matanya kini berpindah ke bawah, menatap pistol revolver enam peluru yang dipeluk erat telapak tangan kanannya. “Tak kusangka dia mengkhianatiku. Tak kukira aku telah membantu seorang monster. Aku sudah termakan janji-janji manisnya, terlena oleh harapan akan perubahan. Tapi nyatanya, aku malah menggiring semua orang pada jurang yang lebih dalam dan gelap.” Mulutnya terus bergerak, meracau dan menumpahkan beban pikiran yang telah membawanya sampai hutan ini. “Kalau saja aku tahu akan begini jadinya, tak akan kubiarkan dia menunggangiku. Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, akan kusuruh diriku di masa itu untuk tidak pernah menemui orang ini.” Satu tarikan panjang, udara malam yang tak ramah terhisap ke dalam hidung si pria bermata biru itu. Uap nafas kembali timbul saat dia perlahan menghembuskan udara dari mulutnya. Pria itu memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan lebih banyak keberanian sekaligus memantapkan keyakinan jika hal yang akan dia lakukan sekarang adalah benar. Tak lama dua kelopak matanya itu terangkat. Dia sudah siap. Bagian II [SEPULUH TAHUN SEBELUMNYA] Langit berbalut hamparan awan kelabu. Hampir tak ada celah di atas sana hingga matahari pun kesulitan menusukkan sinarnya. Daratan bumi pun senyap dalam mendung hingga seakan tengah dilanda kesedihan. Sendunya pagi semakin lengkap dengan butiran-butiran putih yang tanpa henti berjatuhan dari langit. Tanah, pepohonan, dan atap-atap gedung mesti rela menampung butiran-putiran putih itu. Menumpuk, menumpuk, dan terus menumpuk hingga benda putih itu menutupi wujud benda yang dihinggapinya. Salju terus terjun dan berkuasa di tempat itu, menjadikan daratan ibukota menjadi selimut putih yang tak berujung. Sekilas, salju yang turun jadi satu-satunya hal yang bergerak di ibukota itu. Biarpun ini sudah musim dingin, manusia-manusia ibukota biasanya tidak pernah takluk oleh suhu rendah atau lapisan salju yang menghiasi daratan mereka. Tapi ada yang berbeda hari ini. Di jalanan sama sekali tak tampak jejak ban mobil-mobil bermesin uap. Tapak kaki kuda dan roda keretanya pun ikut lenyap dari jangkauan penglihatan. Padahal biasanya derap hewan itu sudah menggemakan jalanan bahkan sebelum matahari bangkit sepenuhnya dari cakrawala. Di trotoar, lampu jalanan berjejer kesepian. Tak ada satupun manusia yang bisa mereka sapa. Ratusan sosok yang biasanya berjalan di atas trotoar itu setiap pagi kini mendadak hilang bak ditelan bumi. Pintu-pintu rumah dan gedung tertutup. Tak terlihat satu pun jendela yang terbuka. Semuanya seakan kompak menjadikan ibukota terlihat seperti kota mati. Tetapi, pemandangan yang berlawanan memancar dari gedung kepresidenan. Meski jalanan dan alun-alun di seberangnya ikut-ikutan sepi seperti pemakaman, setidaknya ada manusia hidup di sekitar tempat kediaman sang kepala negara itu. Uniknya, manusia-manusia itu memakai pakaian yang persis sama: seragam bernuansa cokelat, sepasang sepatu bot hitam, dan helm baja. Masing-masing dari mereka memegang senapan laras panjang, seolah ingin menyampaikan jika mereka siap menumpahkan peluru jika “badai” yang akan datang hari ini berubah menjadi gelombang yang mengancam hidup kepala negara. Badai yang dinanti sudah terasa kehadirannya. Dua ratus meter dari gedung presiden. Derap ratusan ribu pasang kaki bersepatu tebal menggetarkan jalanan yang bersalju. Sosok-sosok bermantel berjalan beriringan, melangkah tegas menuju tempat dimana sang kepala negara bermukim. Mereka berteriak, berorasi, menyuarakan dengan lantang kalimat-kalimat bernada perlawanan dan ketidakpuasan. Perasaan mereka tidak hanya dilukiskan dengan suara. Berpuluh-puluh spanduk dan papan bertuliskan kata-kata beraroma muak menemani langkah menuju gedung presiden. Berkali-kali kepalan tangan mereka bersamaan meninju udara. Mereka melakukan itu bukan semata-mata untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk. Tangan terkepal adalah sebuah simbol perjuangan. Mereka datang berjuang untuk melawan. Melawan demi sebuah perubahan. Perubahan yang sudah lama dinanti. Dan bagi seorang pria bermata biru, momen ini sungguh membuat adrenalinnya terpacu. Bertahun-tahun usahanya untuk mengantarkan angin perubahan pada negerinya kini mendekati puncak. Dia bisa saja membiarkan wajahnya basah oleh air mata karena rasa haru yang meluap. Tapi dia berusaha menjaga wibawa. Saat-saat genting semacam ini mana boleh seorang pemimpin maju ke medan perang berderai air mata. “Tuan Spielmann!” dengan nada tinggi pria bermata biru menyapa seseorang di sampingnya. Berada di tengah gelombang massa yang tidak berhenti berteriak membuat pria itu harus menaikkan volume suaranya. “Aku tidak melihat anda kemarin. Anda pergi kemana?” “Apa?!” “Kemarin Anda kemana?!” ulang si pria bermata biru dengan nada lebih tinggi. Pria plontos yang disapa itu menurunkan kain yang menutup hidung dan mulutnya. “Maaf, Adrian. Kemarin aku harus mengurus sesuatu yang sangat penting. Tapi kau tak usah khawatir. Penggulingan hari ini akan berjalan mulus, semulus menarik sehelai rambut dari dalam tepung terigu.” “Anda kelihatan yakin sekali, Tuan! Kuharap harapan kita semua akan terwujud hari ini!” “Jangan sampai risau memakan semangatmu. Yakinlah kejayaan akan mendatangi kita!” rasa percaya diri yang tinggi sangat terasa dari ucapan Spielmann. “Bahkan jika pemimpin tentara di negeri ini mengarahkan senapannya padaku, aku yakin dia tidak akan berani menarik pelatuknya. Percayalah, aku akan membawa tanah kelahiranmu ini menuju masa depan yang lebih baik.” Adrian masih menatap pria gundul itu. Heran dan kagum berpadu di dalam benaknya saat menyaksikan calon pemimpin baru negerinya itu melangkah berkawankan keyakinan tinggi. Bagian III Dia bernama Adrian Brockenheimer. Dia berperawakan tinggi sekaligus tegap. Fitur-fitur di kepalanya boleh dibilang sebagai bentuk ideal yang harus seorang laki-laki miliki: rambut pirang, rahang yang tegas, serta sepasang mata berwarna biru. Adrian sudah menikah. Dan untuk membuat mulut istri dan ketiga anaknya bisa terus mengunyah makanan, Adrian bekerja di sebuah pabrik pengolahan logam di tepian ibukota. Adrian masih seorang pekerja kelas menengah sampai sebuah pemikiran besar nan gila tiba-tiba menabrak kepalanya. Pria itu mendadak mendambakan seorang kepala negara baru. Bukan bisikan setan yang membuat Adrian menghasratkan adanya pergantian pemimpin. Bukan pula hasutan iblis yang mendorong minatnya untuk melakukan gerakan perubahan besar-besaran. Hati nurani dan pondasi idealismelah yang memantik semua itu. Sajian miris dari negeri tempatnya lahir ini membangunkan kobaran perubahan di dalam pikirannya. Kemiskinan, diskriminasi, hukum yang berat sebelah, hingga masalah-masalah lain yang jika didengar hanya akan membuat dahinya semakin berkerut. Di saat Adrian matian-matian memeras keringat agar keluarganya tidak terpeleset jatuh melewati garis kemiskinan, kaum berada beserta kalangan pejabat malah tidak perlu menggerakkan otot-otot tubuhnya untuk mencari sesuap makanan. Di kala orang-orang yang berpakaian lusuh kesulitan mengais pendidikan serta pelayanan kesehatan, orang-orang berpangkat dan bersetelan rapi justru tinggal menjentikkan jari untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan tingkat tinggi. Saat seorang bocah pencuri roti mesti mendekam dalam suramnya bilik penjara, para penikmat uang rakyat bisa berjalan tenang dan leluasa menikmati udara bebas tanpa takut jeruji-jeruji besi akan mengungkung mereka. Sekitar 13 tahun Adrian mesti menikmati kenyataan-kenyataan itu. Perasaannya pun makin tersayat dengan pemandangan yang dia dapat di sebuah musim dingin. Waktu itu, hampir setiap berangkat menuju tempat kerja, Adrian selalu saja mendapati orang meregang nyawa di pinggir jalan karena perut yang terlampau kosong dan pakaian yang kurang tebal untuk menandingi kerasnya udara musim dingin. Adrian tidak bisa menutup mata. Dia sering membayangkan jika orang-orang mati itu adalah istri dan anak-anaknya. “Negeri ini harus direvolusi!” begitu kira-kira semangat perubahan yang Adrian inginkan. “Whitefold harus digulingkan!” Benedict Whitefold, sang kepala negara yang sudah berkuasa selama 13 tahun itu Adrian jadikan sebagai kambing hitam atas kebobrokan negaranya. Adrian merasa kondisi mengenaskan negerinya adalah tanggung jawab sang presiden. Tapi, saat Adrian terus bersuara untuk melengserkan Whitefold, sang presiden malah berencana untuk mengamandemen konstitusi. Tujuannya tak lain agar bokong besarnya itu bisa duduk abadi di kursi presiden. Adrian makin tersulut. Perubahan adalah barang wajib yang harus segera dimiliki negeri ini, begitu pikir Adrian. Beruntung niat suci Adrian direstui suratan. Dalam tempo dua tahun, pria bermata biru itu sukses menggalang dukungan. Dia mengumpulkan kaum-kaum senasib, mengajak siapapun yang merasa tertindas atas kepemimpinan Whitefold untuk bersatu padu menyelaraskan suara. Hasilnya? Siapa sangka dalam waktu sesingkat itu Adrian mampu menggiring pandangan jutaan orang ke dalam satu arah, sebuah arah menuju janji perubahan. Pertanyaannya besarnya, bagaimana bisa seorang pekerja biasa menyelaraskan jutaan kepala di negerinya untuk mendukung dirinya? Jawabannya cukup sederhana: Adrian tidak bekerja sendiri. Ada orang lain. Mujurnya, orang lain itu rupanya memiliki kekuatan besar. Orang itu punya daya dahsyat yang tidak bisa dimiliki oleh seorang manusia papan bawah macam Adrian. Karenanya, pemikiran idealisme Adrian bisa dengan mudah menyebar luas ke seluruh penjuru negeri. Adrian mesti mengaturkan terima kasih kepada orang lain berkuasa besar itu. Adrian mesti bersujud di hadapan seorang pria gundul bernama Stokrauss Spielmann. Bagian IV Stokrauss Spielmann sejatinya adalah seorang pemimpin partai oposisi terbesar di negerinya. Lazimnya pihak oposisi, Spielmann dan para pengikutnya menjalankan perannya dengan baik sebagai pihak yang berseberangan dengan sang penguasa. Mengkritik kebijakan-kebijakan Whitefold adalah makanan rutin bagi pria gundul berdagu tirus itu. Bahkan kader-kader Spielmann yang duduk di kursi parlemen juga meniru aksi pemimpinnya. Namun karena jumlah “anak buah” Spielmann kalah banyak dari penyokong Whitefold, maka setiap keberatan yang dilayangkan oposisi atas rancangan produk kebijakan Whitefold hampir tak pernah berbekas. Sikap membangkang pimpinan Spielmann denyutnya kurang terasa. Mereka bak singa ompong yang mati-matian ingin menyayat daging rusa. Spielmann jelas meradang. Sama seperti yang Adrian rasakan, pria 49 tahun itu juga makin terbakar emosinya begitu mendengar Whitefold berrencana mengamandemen konstitusi. Dalam kegalauan itu, Spielmann menemukan Adrian. Di satu hari di musim panas, Spielmann menyempatkan dirinya berkunjung ke kediaman Adrian. Saat itu pria gundul tersebut menyatakan kekagumannya atas usaha perubahan yang Adrian tegakkan. Spielmann mengaku tersentuh. Pertemuan itu lantas berujung pada sebuah jalinan kerja sama antara si pekerja pabrik logam dengan sang pemimpin oposisi. Adrian senang karena ada orang berpengaruh yang bergabung dengan gerakannya, pun dengan bibir Stokrauss Spielmann ikut melengkung karena telah menemukan jalan untuk menendang pantat Whitefold dari kursi presiden. Kehadiran Spielmann lah yang membuat gerakan perubahan Adrian terus bertumbuh sepanjang waktu. Spielmann mendanai Adrian beserta orang-orangnya untuk berkelana ke seluruh pelosok negeri, menyaring massa sebanyak mungkin. Demonstrasi yang tadinya hanya melibatkan sekelompok kecil manusia, lambat laun semakin besar. Bahkan demonstasi juga ikut terbit di kota-kota lainnya. Gerakan perubahan Adrian bertumbuh pesat layaknya jamur di musim hujan. Whitefold terusik. Sang presiden tidak menyangka seorang pekerja biasa mampu menghasut seluruh negeri untuk menentangnya. Sang presiden pun makin tergelitik kekesalannya begitu tahu siapa orang yang berperan dalam menyuburkan gerakan perlawanan itu. Whitefold tahu si gundul Spielmann lah dalangnya. Sebagai orang yang merasa terancam, Whitefold mulai bertindak. Terlebih banyak aksi demontrasi yang lambat laun berujung pada tindakan barbar. Bentrokan, penjarahan, perusakan fasilitas-fasilitas pemerintahan, hingga penyerangan terhadap pihak keamanan mulai menjadi agenda yang tidak boleh dilewatkan oleh para pengikut Adrian Brockenheimer. Whitefold tak sudi duduk santai sambil melihat tanah kekuasannya diacak-acak para pemburu perubahan. Whitefold tua pun bergegas. Dia menunjukkan kepada para pengacau siapa bos yang sebenarnya. Dia memerintahkan penangkapan para pengikut Adrian dan Spielmann. Siapapun yang tertangkap akan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Bahkan dia memerintahkan militer untuk menembak siapapun yang berusaha melawan saat akan ditangkap. Whitefold lantas mengarahkan pemburuan pada kedua otak gerakan perubahan, Adrian dan Spielmann. Adrian beruntung memiliki orang seperti Spielmann di sampingnya. Saat keberadaannya mulai jadi barang haram di negerinya sendiri, Adrian diberikan tempat bersembunyi oleh Spielmann. “Sampai saatnya tiba, kau tinggal saja di sini.” ujar Spielmann. Adrian tidak terlalu mempedulikan ucapan sang pemimpin oposisi. Si pria bermata biru itu terlampau dihinggapi takut. Gurat gelisah dan kehilangan arah bercampur dalam raut Adrian. Pikirannya masih kacau. Bahkan Adrian bingung kenapa dirinya bisa ada di sebuah pondok di tengah hutan pinus. Yang terakhir dia ingat adalah dia dan Spielmann sedang berdiskusi di halaman belakang rumahnya saat sekelompok tentara mendobrak pintu dan mengobrak-abrik seisi rumah Adrian. Beruntung dia dan Spielmann bisa kabur. Beruntung pula jauh-jauh hari Adrian sudah menyuruh istri dan ketiga anaknya mengungsi ke rumah ibunya di pedesaan. “Tak akan ada yang menemukan kita di sini.” Spielmann meraih bahu Adrian, menatap mantap si pria bermata biru. Adrian hanya mengangguk. Dia perlu menit lebih banyak untuk mengembalikan ketenangannya. Sambil terus mengajak bicara Adrian, Spielmann bergerak ke sudut lain pondok kayu pribadinya itu. Tubuhnya berhenti di depan kain hijau tua lebar yang tampak membungkus setumpukkan barang. “Kita akan memakai ini pada puncak perjuangan kita, Tuan Brockheimer.” Spielmann memegang salah satu ujung kain. Seperti seorang pesulap, dengan gerakan cepat Spielmann menyibak kain bedebu itu. Tampaklah apa yang tersembunyi di balik kain itu. “Kau bercanda, kan, Tuan Spielmann?!” Adrian terperangah, ekspresinya jelas mengguratkan jika dia butuh penjelasan seketika itu juga. Spielmann membalas dengan senyum kecil. “Sejak kapan aku bercanda?” katanya sembari membuang kain hijau tua itu ke lantai. Spielmann mengangkat satu benda dari tumpukkan itu. Dia memegang benda tersebut dan mulai berpose seperti tentara yang siap menembak musuh. “Semangat perubahan di dalam dadamu tidak cukup untuk menyingkirkan Whitefold, Tuan Adrian. Tak peduli seberapa keras kau berteriak, para bajingan yang memegang negeri ini akan terus bergeming. Kita perlu sesuatu yang memaksa, sesuatu yang tak bisa di tawar-tawar. Biar kuberitahu, saat kata-kata tidak bisa mengubah sesorang, tak ada salahnya jika kita mulai bertindak dengan sedikit kekerasan. Makanya, kita perlu senjata-senjata api ini agar revolusi kita berhasil.” Bagian V Pagi di musim dingin itu mendadak ramai bagai festival rakyat di malam hari. Dentuman dan ledakan terdengar hampir di setiap sudut. Peluru-peluru tajam melesat saling berbalas. Erangan kesakitan dan teriakan yang menyayat telinga bersanding dengan letupan-letupan senapan laras panjang. Satu persatu jasad-jasad tanpa nyawa berjatuhan. Putihnya salju yang menutupi halaman gedung presiden serta jalanan di depannya perlahan tercemar oleh noda hitam mesiu dan segarnya warna merah darah. Medan perang baru saja tercipta. Militer tidak menyangka para demonstran menyembunyikan senapan di balik mantel tebal mereka. Ratusan ribu hidup manusia dipertaruhkan di pagi itu. Sebagian sudah menemui penciptanya. Pihak tentara maupun para pengikut Adrian bergiliran meninggalkan dunia fana begitu peluru menancap di dalam tubuh. Kisah hidup mereka berakhir saat panas dan gelombang kejut dari bahan peledak melontarkan dan memisahkan anggota-anggota tubuh mereka. Orang-orang malang itu harus menghentikan catatan hidupnya di dunia. Adrian selangkah demi selangkah menembus rimba pertempuran. Dia tidak bisa berlari bebas lebih dari lima detik karena terhalang hujan peluru dan dentuman peledak. Bersama Spielmann, Adrian bergerak penuh kewaspadaan. Garis akhir sudah dekat. Dia tidak mau perjuangannya berakhir oleh lesatan peluru tentara Menggunakan tubuh para pengikutnya yang rela dijadikan perisai hidup, Adrian terus menerjang. Sepasang pintu kayu besar kini tersaji dalam pandangan si pria bermata biru itu. Gelora semangat dalam dadanya pun membuncah dan menjadi terlalu penuh untuk ditampung. Adrian terus maju meski matanya memberitahu ada sepasukan tentara menjaga kesucian pintu besar itu. Namun kemudian, pasukan penjaga pintu tidak lagi jadi masalah saat granat-granat milik pemberontak mendarat ke arah mereka. Puluhan nyawa lenyap seketika beserta pintu kayu besar itu. Adrian bersama Spielmann dan para pendukungnya masuk ke dalam gedung tempat presiden bekerja. Tapi mereka langsung di sambut tentara yang ditugaskan bersiaga di dalam gedung. Letusan-letusan senjata api mendadak mengisi ruang udara lantai dasar gedung presiden. Tembok yang berhiaskan ragam lukisan kompak berjatuhan, meninggalkan lubang-lubang bekas hantaman peluru sebagai hiasan baru di dinding gedung itu. Perabot kayu dan gelas menjerit, puing-puingya berserakan. Lantai gedung yang berkilau serta karpet-karpet raksasa yang membentang berubah menjadi alas bagi mayat-mayat segar. Kali ini pun, militer kembali tak berdaya. Ini memudahkan Adrian untuk menggeledah seisi gedung, mencari dimana buruannya bersembunyi. *** “Apa..., apa yang terjadi di luar sana?” Di dalam ruangan miskin cahaya itu, Whitefold disergap ketakutan. Meski ada seorang perwira bintang empat di sisinya dan sekelompok tentara yang menunggu di luar ruangan, sang presiden tidak bisa mendapatkan sedikitpun ketenangan. Dia terus diserang khawatir, takut jika para pemberontak menemukannya bersembunyi di dalam ruangan bawah tanah ini. Ketakutan Whitefold itu pun rupanya berubah nyata. “Kau semestinya menaruh lebih banyak orang untuk menjaga tempat ini, Whitefold!” suara Spielmann terdengar agak samar karena kain yang menutup hidung dan mulutnya. Adrian dan Spielmann sukses melumpuhkan tentara penjaga dan berhasil menampakkan wujudnya di hadapan sang presiden. Sedikit lagi dan kepemimpinan akan beralih. “Diam di sana!” perwira bintang empat yang terus menemani Whitefold di dalam ruangan persembunyian itu menaikkan pistolnya. “Ja-Jangan bergerak atau kutembak kau, Tuan Brockenheimer. Dan juga...., Spielmann.” Whitefold bergidik melihat situasi yang berat sebelah ini. Dua orang penentang bersenapan lengkap hadir di depan mukanya sementara dirinya hanya terlindungi oleh pistol dari seorang jenderal yang mulai memasuki usia uzur. Whitefold semakin kehilangan harapan saat matanya menangkap aura ketakutan dari raut sang Jenderal. Bingung dan takut pun bercampur di dalam kepala Whitefold. Bahkan Durkoff pun bergetar seperti melihat hantu. Habislah Aku! pikir Whitefold. “Minggirlah, Jenderal Durkoff!” perintah Spielmann. “Biarkan Aku dan Adrian membalikkan kepemimpinan negeri ini.” “Ti-tidak! Aku ini pemimpin militer negeri ini. Kalian jangan macam-macam!” Spielmann mendekat tanpa risau seolah yakin jenderal berjanggut putih itu tidak akan menarik pelatuk pistolnya. Kini Spielmann hanya berjarak beberapa langkah dari targetnya. Sementara itu, ujung senapan Adrian mengarah lurus ke kepala Durkoff, berjaga-jaga jika sang jenderal meledakkan kepala Spielmann. “Jenderal,” ucap Spielmann seraya menurunkan kain yang menutup separuh wajahnya. “Lebih baik kau khawatirkan tiga nyawa daripada satu di sampingmu sekarang.” Durkoff terbelalak. Entah mantra macam apa yang terkandung di dalam kalimat yang di dengar sang jenderal, Durkoff kemudian perlahan menurunkan pistolnya. Whitefold tidak percaya dengan pemandangan tersebut. Di dalam kepalanya sekarang berkecamuk tanya. Whitefold menuntut sebuah penjelasan kenapa orang tertinggi di militer bisa takluk oleh sepotong kalimat dari pemberontak berkepala plontos. Namun, sebelum menemukan jawabannya, kepala Whitefold lebih dulu menerima hal lain. Sebuah peluru panas. Malaikat maut sudah menjemputnya. Setelah 13 tahun berkuasa, sang presiden pun jatuh untuk selamanya. Penggulingan menemui kata sukses. Revolusi berjalan seperti yang Adrian dan Spielmann harapkan. Bagian VI Sore di tepi sebuah tebing, Adrian menatap hutan pinus yang terhampar luas bak permadani. Pikirannya sedang kacau hingga mata birunya itu tak bisa lepas dari barisan pinus di dasar tebing itu. Adrian sedang tidak memilih pohon yang bagus dijadikan kayu bakar. Pria itu juga tidak berharap kedatangan inspirasi untuk bahan puisi ataupun novel melalui sepinya hutan. Bertemankan desiran angin musim gugur, di tebing itu Adrian tengah merencanakan sebuah pembunuhan. Di dalam hutan pinus yang terus diterawanginya itulah Adrian akan melakukan aksinya. Adrian tahu sang target pasti nyaman bersembunyi di satu sudut di antara kepungan pohon. Ironisnya, dulu sang target pernah membawa Adrian ke sudut itu untuk memberikan perlindungan dari tangan-tangan militer yang ingin meringkus Adrian. Dan kini Adrian akan kembali ke tempat perlindungan itu. Bukan untuk bersembunyi lagi, melainkan untuk mengambil nyawa seseorang. “Spielmann bajingan!” Adrian ingin berteriak namun dia ingin amarahnya tetap membuncah saat menemui buruannya malam nanti. Pria bermata biru itu ingin Spielmann menyaksikan murka dahsyat darinya sebelum kemudian menghunjamkan peluru ke dalam kepala sang presiden itu. Adrian marah. Geram. Adrian merasa dikhianati. Sepuluh tahun Spielmann berkuasa, tak ada perubahan yang terjadi. Adrian justru merasa kondisi negaranya jadi lebih buruk dari sebelumnya. Tingkat pengangguran yang tinggi, diskriminasi yang semakin menjadi-jadi, pajak yang tidak masuk akal, menumbuhkan konflik dengan negara tetangga, korupsi, hukum yang tebang pilih, serta keburukan-keburukan lain yang mengikuti. Adrian beberapa kali menemui Spielmann untuk membahas kondisi negaranya. Dia mengingatkan sang presiden soal janji masa depan cemerlang yang pernah ditawarkannya dulu. Adrian meminta Spielmann mengarahkan negerinya menuju cahaya, bukan malah membawanya terperosok lebih dalam ke dalam kegelapan. “Kalau terus begini, perjuangan kita di masa lalu tidak ada artinya.” ucap Adrian saat terakhir kali dia menemui Spielmann. Kekuasaan membawa manusia pada dosa, begitu kata orang bijak. Dan nampaknya Spielmann mengamalkan frasa itu dengan sempurna. Tak peduli berapa kali Adrian datang mengingatkannya, tuan presiden tak berrambut itu tak sedikitpun membiarkan nasihat Adrian masuk ke dalam telinganya. Bahkan Spielmann berbuat lebih jauh. Untuk mencegah tumbuhnya perlawanan dari rakyat, Spielmann melarang perkumpulan apapun. Jika ada sekelompok orang terlihat berkerumun di sudut jalan, pihak keamanan akan langsung menciduk mereka. Dengan kekuasannya, Spielmann juga memerintahkan penangkapan besar-besaran terhadap para pelaku penggulingan presiden Whitefold. Spielmann tak ingin ada sisa bibit pemberontakan dari masa lampau yang sewaktu-waktu bisa tumbuh lagi. Dia mengutus militer untuk menggeledah setiap rumah penduduk, mencari bekas pemberontak. Bagi yang tertangkap, dinginnya sel penjara sudah menunggu. Sementara bagi mereka yang berhasil lolos, hidup dalam pengasingan dan persembunyian menjadi satu-satunya opsi masuk akal untuk menikmati sisa umur. Termasuk Adrian. Dalam persembunyiannya, tiada hari Adrian lewati tanpa meratap. Menyesal menjadi rutinitasnya. Dalam setiap renungan, Adrian memikirkan orang-orang yang meregang nyawa saat hari penggulingan Whitefold. Dia juga membayangkan wanita-wanita yang kehilangan suami serta anak-anak yang tidak lagi mempunyai ayah. Memori akan tubuh-tubuh berdarah yang menodai salju terus melayang di dalam pikirannya. Suara ketukan pintu pun jadi terdengar seperti dentuman senapan. Adrian jadi sulit tidur. Bahkan saat dia berhasil terlelap, mimpi buruk sering mendatanginya. Dalam mimpi tersebut, Adrian menyaksikan ribuan sosok mengerubingnya. Sosok-sosok itu semuanya berwajah pucat, bermandikan darah, dan berhiaskan luka tembak di tubuhnya. Mereka mengepung Adrian, meminta pertanggungjawaban. “Kami mati hanya untuk membuat negeri ini jadi tambah gila?! Kembalikan nyawa kami!!” teriakan mayat-mayat hidup dalam mimpi itu sering membuat Adrian langsung terjaga. Adrian tidak tahan. Dia harus berbuat sesuatu terhadap Spielmann. Namun, karena kata-kata tak pernah memberikan reaksi, terpaksa peluru yang harus beraksi. Bagian VII Dari celah sempit pintu belakang, Adrian mengintip isi pondok kayu itu. Gelap. Namun perabotan, kepala rusa di dinding, karpet bulu, dan benda-benda mati lainnya masih nampak cukup jelas di mata Adrian. Spielmann sendiri tak hadir dalam jangkauan pandangan. Tapi aroma minuman keras yang mengambang di udara meyakinkan Adrian jika si gundul keparat itu ada di tempat ini. Masih dengan langkah hati-hati, Adrian terus menjelajah pondok itu. Matanya bergerak lincah menyisir setiap jengkal pondok kayu itu. Adrian melanjutkan langkahnya. Sejenak kemudian, dia berhenti melangkah. Adrian menyaksikan sebuah kursi goyang membelakanginya. Di depan perapian, kursi itu terus berayun menandakan ada manusia yang sedang mendudukinya. Namun karena punggung kursi itu terlampau tinggi, Adrian tidak bisa melihat sosok yang di balik kursi itu. Revolver enam peluru itu diangkat, moncongnya menunjuk lurus ke depan. Adrian sudah siap mengeksekusi. Pria bermata biru itu berjalan mengitari kursi. Rasa penasaran mendorongnya untuk melihat wujud buruannya. Namun alangkah terkejutnya Adrian begitu menyaksikan kursi goyang itu sama sekali tidak berpenghuni. Bahkan jantungnya hampir lepas saat sesuatu tiba-tiba menempel di kepalanya. “Mencariku, Tuan Brockenheimer?” tegur sebuah suara. “Atau boleh kubilang..., Tuan Pemimpin Revolusi.” Adrian mengenali betul suara itu. Dia bahkan tak perlu menoleh untuk mencari tahu rupa pemilik suara tersebut. Adrian sudah tahu bentuk wajahnya: mata cokelat, dagu runcing, dan kepala tanpa rambut. “S-Spielmann?” takut yang hinggap mulai menganggu nada bicara Adrian. “Ku-Ku-Kurang ajar, kau.” “Aku tahu kau akan kemari, Adrian. Tapi sayangnya, Aku selangkah lebih siap darimu.” Adrian menelan ludah. Jantungnya berpacu liar begitu terdengar suara “klik” dari benda yang menodong kepalanya. “Terima kasih sudah membuatku duduk di kursi presiden. Aku sangat menikmatinya. Tapi sayang kau tidak akan melihatku lagi esok hari,” ujar Spielmann. “Sekarang temuilah penciptamu.” “Kurang ajar kau, Spielmann! Kau mengkhianatiku, kau mengkhianati janji-janjimu, kau mengkhianati negeri ini!” “Diam dan tunggulah aku nanti di akhirat.” Berikutnya, hanya bunyi letusan senapan yang terdengar. Suaranya sangat keras dan menggema di dalam pondok kayu itu. Heningnya malam pun terusik. Sesosok pria langsung tergeletak di dekat kursi goyang dekat perapian. Kepalanya belubang. Darah segar mengalir dan tumpah menodai lantai kayu. Sementara itu, pria lain di dekat mayat itu dilanda keterkejutan yang tak terkira. Matanya terbelalak memeloti pria mati yang terbaring di dekatnya. Jantungya berpacu gila, napasnya terputus-putus. Saking terkejutnya, untuk sesaat pria itu tidak bisa mengeluarkan suara apapun dari dalam mulutnya. Di tengah kebingungan, si pria yang masih hidup itu mendengar bunyi langkah kaki. Hentakan sepatu bot di atas lantai kayu mengalun jelas bunyinya. Langkah itu makin mendekat. Si pria yang masih hidup sadar jika ada orang lain di dalam pondok. Sejurus kemudian, suara langkah kaki itu berhenti. Cahaya dari perapian mengungkap penampakan sosok yang baru muncul itu. “Semuanya sudah selesai, Tuan Brockenheimer,” kata sosok itu. “Je-Je-Je..,” Adrian gagap mendadak, “Jenderal Durkoff?!” Bagian VIII (Selesai) Adrian dan Durkoff berdiri tanpa bicara sambil menatap Spielmann yang terbujur kaku di atas lantai kayu. Meski sedikit terganggu dengan pemandangan mayat itu, kedua pria itu tak bisa memungkiri jika mayat tersebut telah melapangkan perasaan mereka. “Harusnya kulakukan ini sepuluh tahun lalu.” Durkoff membuka percakapan. “Semestinya dia mati di ruang bawah tanah waktu itu.” Ingatan Adrian terpantik. Ucapan Durkoff barusan membuatnya memutar kembali rekaman hidup. Dalam benaknya kini, Adrian menyaksikan proyeksi sebuah peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Hari penggulingan, hari dimana nyawa seorang pemimpin direnggut oleh calon pemimpin berikutnya. “Kenapa waktu itu Anda tidak menembak Spielmann, Jenderal?” “Kau tidak tahu apapun, Tuan Brockheimer.” Durkoff yang bersuara parau menjawab seperti orang pasrah, seperti ada kesedihan di balik kata-katanya. “Dan kau tidak perlu memanggilku jenderal lagi. Aku berhenti dari militer tidak lama setelah Spielmann berkuasa.” Menit-menit berikutnya, pondok kayu itu menjadi saksi bisu saat Jenderal Durkoff menyampaikan pengakuannya. “Aku harus membunuhnya. Spielmann membawa negeri yang kucintai ini jadi lebih buruk. Dia lebih banyak membawa bencana daripada saat Whitefold masih berkuasa. Dia itu...,” “Aku tahu itu, jenderal” Adrian memotong. “Maksudku, Tuan Durkoff. Tapi aku belum mendapatkan penjelasan mengapa anda membiarkan Spielmann hidup sepuluh tahun lalu.” Durkoff mendesah. “Aku tidak menembaknya saat itu karena...,” ucapan sang jenderal terhenti sejenak. “Karena waktu itu Spielmann menculik keluargaku.” Adrian tidak tahu berapa kali lagi dirinya harus terkejut malam ini. “Menculik keluarga anda?!” “Iya. Spielmann tahu aku akan turun tangan untuk menjaga presiden hari itu. Makanya, sehari sebelum hari penggulingan, dia menculik keluargaku. Spielmann membawaku ke pondok ini, membiarkanku menyaksikan anak dan istriku duduk terikat dengan kepala ditutupi kain gelap.” Kalimat Durkoff lagi-lagi tersendat. Sesaat pria tua itu melirik mayat Spielmann sebelum lanjut bercerita. “Spielmann mengancamku, jika aku membunuhnya saat hari penggulingan, maka orang-orangnya akan segera mengeksekusi keluargaku. Bahkan sepanjang hari sebelum revolusimu itu, aku terus diawasi. Spielmann takut jika aku melaporkan penculikan itu atau aku mengirim anak buahku ke pondok ini.” “Jadi, itu sebabnya anda tidak berani menembaknya?” tanya Adrian memastikan. “Kau tidak ingat Spielmann pernah berkata soal mengkhawatirkan tiga nyawa?” Adrian mengerutkan dahinya, mencoba menggali dalam data-data ingatannya. “Emm, kurasa aku ingat. Spielmann mengatakan itu saat di ruang bawah tanah, kan?” Durkoff mengangguk. “Lalu apa maksudnya itu? Apakah maksud tiga nyawa itu adalah aku, Spielmann, dan Anda?” “Tidak.” jawab Durkoff cepat. “Tiga nyawa itu adalah istri dan kedua anakku.” Durkoff menyambung ceritanya. Dalam hening malam, dia mengaku merasa bersalah telah membiarkan Spielmann berkuasa. “Selama ini setiap kali aku melihat seorang anak mengais-ngais remahan roti di pinggir toko, aku merasa akulah penyebab buruknya nasib anak itu. Setiap kali aku makan malam dengan keluargaku, rasanya makanan yang melewati kerongkonganku ini sama sekali hambar. Saat kulihat wajah ceria anak-anakku dengan makanan layak di piringya, pikiranku tidak bisa menyingkirkan sosok anak pemulung remah roti itu. Kepalaku terus diusik oleh bayangan orang-orang yang tidak tahu apakah mereka masih bisa mengisi perutnya esok hari atau tidak. Aku merasa sangat berdosa pada negeri ini. Makanya malam ini kusarangkan peluru di kepala Spielmann untuk mengakhiri semua kekacauan ini.” Adrian tidak sepenuhnya menyesal telah dua kali-meski secara tidak langsung- mengantarkan dua orang pemimpin kembali ke pangkuan penciptanya. Lagipula dua pemimpin itu sudah terjerat dalam bius kekuasaan. Bila dibiarkan, kerusakan akan bertumbuh subur. Adrian tahu jika tempat tergelap di neraka akan disediakan bagi mereka yang tidak bertindak saat terjadinya kerusakan yang mengancam. Bahkan, jika keadaan memaksa, Adrian siap melakukan revolusi lagi. Description: Saat dunia sudah menjerit minta diubah, maka revolusi adalah jawaban yang mutlak. Namun ketika revolusi itu malah membuat dunia semakin menjerit, maka revolusi harus diulangi.
Title: Review Buku Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Category: Review Text: Berkelana Ke Zaman 45 Bersama Buku Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Identitas Buku : Judul : Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Penulis : Idrus Penerbit : Balai Pustaka Cetakan pertama : 1948 Cetakan ke-28 : 2011 Tebal : 176 halaman Kategori : Fiksi ISBN : 979-407-218-4 Kumpulan kisah dalam buku ini diawali oleh naskah drama yang berjudul Kejahatan Membalas Dendam. Sandiwara ini dapat dipentaskan dengan dekorasi sederhana, karena yang lebih dipentingkan adalah penghayatan jiwa para pemainnya. Sebuah cerita romantis yang menjadi bumbu perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Cerita ini berlatar zaman penjajahan Jepang, lengkap dengan anasir semangat dan propaganda pengumpulan padi, seperti terlihat dalam kalimat berikut: Mengapa mereka harus menyerahkan padi kepada pemerintah, bahwa mereka harus bergiat menanam padi dan menyerahkannya. Untuk perang, untuk kemenangan akhir, kataku. Supaya besok, jika mereka pergi ke sawah pula pagi-pagi, mereka akan menyanyikan lagu dengan girang. Kita harus berbakti kepada tanah air. Aku dengan tulisanku, dan mereka dengan padinya. Aku menulis semalam-malaman, bukan untuk mencari duit, begitu juga banyak lagi orang yang begitu. Itu cara mereka berbakti, dan petani dapat dan harus berbakti dengan padinya (cepat berlari, mengambil sehelai kertas di atas balai-balai). Dengar, dengarlah, Nek, kata penghabisanku: Sepuluh gaming yang mengalir menjadikan sepuluh sungai kecil-kecil, mengalir melalui lembah dan hutan, ke satu tujuan, menjadikan sungai yang besar dan luas, mengalir ke lautan bahagia. Demikianlah bakti rakyat Indonesia. Drama ini menceritakan tentang Kartili, seorang dokter yang mencintai perempuan yang menjadi tunangan sahabatnya, Ishak. Perempuan itu bernama Sartilawati. Ia bekerja di rumah sakit sebagai juru rawat. Kartili berusaha meyakinkan Sartilawati bahwa tunangannya menderita penyakit gila turunan. Kartili juga memberi sugesti dan obat-obatan pada Ishak agar Ishak percaya bahwa ia telah gila. Ishak pun memutuskan untuk pergi ke desa dan memutuskan pertunangan dengan Sartilawati. Cerita diakhiri dengan Kartili yang menjadi gila karena ketahuan telah beristri dan kasusnya mencatut obat rumah sakit terkuak. Kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini dan Syamsu diceritakan dalam cerpen yang berjudul Ave Maria. Zulbahri yang telah menikah dengan Wartini, merasa telah mencuri cinta Wartini pada adiknya, Syamsu. Setelah mendengar lagu Ave Maria yang dimainkan oleh Syamsu dan Wartini, Zulbahri sadar bahwa istrinya masih mencintai Syamsu. Zulbahri pun pergi dari rumah, agar Wartini dan Syamsu dapat kembali bersama. Akhirnya, Zulbahri memutuskan untuk mengabdi pada negara dengan bergabung dalam Heiho, tentara bentukan Jepang. Cerpen berjudul Kota Harmoni melukiskan suasana trem di tanah air pada masa pendudukan Jepang. Kisah yang berhasil membawa saya seolah berdiri dalam trem yang penuh sesak dengan orang, hewan ternak dan barang. Seakan ikut menghirup asap rokok yang berpadu sempurna dengan aroma keringat dan terasi. Semboyan ‘kemakmuran bersama’ yang didengungkan Jepang terasa ironi sekali jika dibandingkan dengan kondisi dalam trem. Perempuan tua kurus dengan baju berlubang diusir dengan kasar oleh kondektur, agar pindah ke kelas dua yang sudah sesak. Perilaku sewenang-wenang tentara Jepang terhadap pribumi tampak dari tindakannya menghentikan trem dan membuat orang lain terluka karena pedangnya. Seorang perempuan mengeluhkan mobilnya yang dirampas oleh Jepang, hingga terpaksa naik trem. Ia pun mengeluh zaman Jepang jauh lebih sengsara dari pada zaman sebelumnya. Penderitaan rakyat Indonesia digambarkan dalam cerpen Jawa Baru. Rakyat kelaparan karena seluruh beras dibawa ke negara Jepang. Rakyat hanya mendapat jatah seperlima liter sehari. Di mana-mana terlihat orang setengah telanjang dan setengah mati. Bahkan mereka mengenakan pakaian dari karung goni. Begitu menyedihkannya penderitaan rakyat saat itu, hingga dikisahkan ada seorang pemuda tanpa sehelai kain pun melekat di tubuh, yang tinggal di bawah pohon. Ia hanya keluar saat malam, mencari bangkai ayam atau manusia yang hanyut di sungai, untuk dimakan. Pemuda itu akhirnya mati karena terlalu banyak makan bangkai. Kemiskinan yang terjadi di cerpen Jawa Baru telah mendorong sebagian rakyat untuk bermain judi, seperti dikisahkan Idrus dalam cerpen yang berjudul Pasar Malam Zaman Jepang. Mereka yang kalah judi mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Cerpen Sanyo dan Fujinkai menceritakan rakyat Indonesia yang terasing di negeri sendiri. Dalam cerpen Sanyo, Kadir seorang tukang kacang goreng tak mengerti istilah Sanyo. Ia dianggap menghina Nippon karena mengira Sanyo itu adalah tukang catut. Akibatnya, Kadir pun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Sementara, dalam cerpen Fujinkai, para anggota Fujinkai harus mengeluarkan uang untuk biaya peringatan tiga tahun penyerangan Jepang terhadap Amerika. Anggota Fujinkai yang sudah menderita masih harus merayakan peperangan yang dilakukan bangsa lain. Penderitaan yang dialami rakyat Indonesia menjadikan mereka apatis dan cenderung tak peduli. Seperti dalam cerpen Oh... Oh... Oh! Kematian seorang lelaki berkaki satu yang terjatuh dari kereta dianggap peristiwa biasa. Kereta api hanya berhenti sebentar, kondektur membuat catatan. Kereta api berjalan lagi. Bahkan, ada penumpang Indonesia yang menanggapi dingin, “Aku lebih senang melihatnya mati begitu dari pada melihatnya mati di pinggir Kali Ciliwung di Jakarta nanti.” Cerpen Heiho menceritakan seorang lelaki yang ingin menjadi tentara Heiho karena ingin membela tanah air. Meskipun seragam Heiho menyebabkan gatal-gatal di kulitnya, ia tetap mengenakan seragam itu dengan bangga. Namun, istrinya menganggapnya sebagai antek penjajah. Akhirnya, lelaki itu tewas dalam pertempuran di Birma. Sedangkan istrinya telah menikah lagi. Kisah Kusno yang sengsara dan memiliki celana 1001 buatan Italia diceritakan dalam cerpen Kisah Sebuah Celana Pendek. Kusno sangat bangga dengan celananya. Meski ia hanya makan daun-daun kayu selama berhari-hari, pantang baginya menjual celana itu. Novelet berjudul Surabaya menuturkan peristiwa pertempuran Surabaya yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Cerita diawali dengan perobekan kain biru dari bendera Belanda oleh seorang pemuda Indonesia. Peristiwa yang terjadi di depan hotel Yamato ini memicu bentrokan antara orang-orang Belanda dengan pribumi. Kisah dilanjutkan dengan kedatangan sekutu yang berjanji hanya akan mengambil tawanan perang dan orang Jepang. Namun ternyata sekutu mengancam tentara Indonesia agar menyerahkan senjata mereka pada sekutu. Tentara Indonesia menolak sehingga terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung selama sehari semalam. Setelah sempat terjalin perjanjian damai, sekutu kembali mendatangkan pasukan dan tank-tank secara diam-diam. Lalu, sekutu mengeluarkan surat ancaman agar rakyar Indonesia menyerahkan senjata pada sekutu. Rakyat kembali menolak. Sekutu pun melancarkan serangan bertubi-tubi hingga membuat banyak korban berjatuhan dan rakyat Surabaya terpaksa mengungsi ke tempat aman. Melalui novelet ini, Idrus memberi gambaran yang apik tentang kondisi para pengungsi, pidato Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya serta situasi di medan perang saat pertempuran Surabaya terjadi. Cerpen Jalan Lain Ke Roma mengisahkan tokoh Open yang selalu berkata terus terang dalam segala hal. Akibat dari sikapnya yang selalu terus terang, Open kerap mengalami kesulitan. Hingga berkali-kali, ia harus berganti pekerjaan. Dari guru sekolah rakyat, Open beralih profesi menjadi mualim. Lantas berganti lagi jadi pengarang, dan terakhir menjadi tukang jahit. Cara Menyenangkan Belajar Sejarah Membaca buku Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma ini membuat saya seolah berkelana ke masa lalu, melihat kehidupan rakyat Indonesia saat itu. Idrus sangat piawai mengolah potongan-potongan sejarah menjadi latar dari kisah-kisah yang ditulisnya. Saya yang kurang suka belajar sejarah karena banyaknya angka tahun kejadian, dengan adanya buku ini, sepertinya saya menemukan cara lain yang menyenangkan untuk belajar sejarah. Seperti yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsement buku ini, “Jika ilmu sejarah kini menuntut perubahan sudut pandang dalam penulisan sejarah, yakni bukan sekadar memeriksa kejadian-kejadian penting tentang para pemimpin, melainkan segala sesuatu—betapapun tidak pentingnya—yang mampu mengungkapkan kembali gambaran aktual pada masa lalu, maka buku ini adalah jawabannya!” Tepatlah kiranya bila HB Jassin menobatkan Idrus sebagai pembaharu prosa angkatan 45. Kumpulan kisah dalam buku ini tak sekedar karya fiksi. Melalui buku ini, sedikit banyak, kita dapat mengetahui sejarah bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka dan sekutu masih berkuasa di Indonesia. Penderitaaan rakyat Indonesia yang teramat sangat selama 3,5 tahun digambarkan secara gamblang oleh Idrus. Penggambaran peristiwa disajikan secara nyata dan jelas, hingga kita merasa seperti sedang menonton film. Begitu pula dengan politik kemakmuran bersama, semangat Asia Timur Raya hingga janji memberi kemerdekaan pada bangsa Indonesia yang didengungkan Jepang agar rakyat Indonesia mau membantu Jepang berperang melawan sekutu. Selain itu, kisah-kisah yang ditulis Idrus ini mampu membangkitkan rasa nasionalisme dalam diri kita. Seperti dapat kita lihat dalam kalimat berikut : Akan tetapi, sebentar lagi trem penuh sesak kembali. Dari bawah kedengaran suara seorang Nippon. ”Kasi jarani. Bagero.” Orang-orang tambah berdesak, memberi jalan kepada orang Nippon itu. Seorang anak muda melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya lambat-lambat, ”Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakannya saja, seperti binatang saja diperlakukannya.” (cerpen Kota Harmoni) Di tengah jalan trem berhenti. Orang tercengang-cengang. Pikir mereka tentu ada kerusakan atau ada kecelakaan. Semua orang melihat keluar. Di tengah-tengah rel kelihatan tiga orang Nippon berdiri menahan trem. Kondektur takut dan untuk keselamatan kepalanya diperhentikannya trem. Ketiga orang Nippon itu naik. Tangan orang gores-gores kena pangkal pedangnya. Mereka berdiri dan tertawa, tertawa kemenangan. (cerpen Kota Harmoni) Seorang perempuan gemuk berkata, sambil menyeka keringat dari lehernya, pendek seperti orang Nippon, ”Euh, kalau tidak terpaksa, kuharamkan naik trem. Mobilku diambilnya. Belum dibayar. Bilang saja hendak merampas, lebih baik.” (cerpen Kota Harmoni) ORANG-orang tidak pandai menangis lagi, mereka hanya mengeluh. Setiap orang mengeluh karena kesusahan hidup. Beras sudah tiga rupiah satu liter, gado-gado setalen sebungkus kecil. Di mana-mana orang berbicara tentang beras, kesusahan hidup, dan setiap orang menyalahkan Nippon. Jawa terkenal dengan beras, mengapa kita kekurangan? Belum pernah terjadi yang seperti ini. Orang Nippon itu sama saja dengan Belanda, menghapuskan harta benda kita. Ya lebih lagi dari orang Belanda, mereka memeras kita dengan muka manis. (cerpen Jawa Baru) Di jalan-jalan raya, di muka-muka rumah-rumah makan, ya di mana-mana kelihatan orang yang setengah telanjang dan setengah mati. Mereka mengemis meminta sisa makanan orang. Akan tetapi, mereka tidak saja memakan makanan orang, juga makanan anjing sudah sedap pula oleh mereka. Setiap hari kelihatan orang tergelimpang di tengah jalan. Orang banyak berkerumun dan jika ada salah seorang yang bertanya, ”Mengapa ia tergelimpang di sana ...?” dijawab yang lain, ”Untuk mencari makan.” (cerpen Jawa Baru) Seorang anak muda duduk di bawah sebatang pohon, telanjang sebenar-benarnya, seperti kuda atau binatang lain. Setiap ada orang yang melewatinya, ditutupnya sebagian tubuhnya, tetapi apalah yang dapat ditutup dengan dua buah telapak tangan. Anak muda itu tidak dapat berjalan, tidak dapat mengemis, malu masih ada pada dirinya. Ia duduk saja di bawah batang kayu itu sehari-hari. Jika hari sudah malam betul, baru ia berani keluar. Matanya selalu memandang ke kali dekat tempatnya itu. Jika ada bangkai ayam atau bangkai orang hanyut, tergesa-gesa ia turun ke kali itu, diangkatnya bangkai ke tepian dan... dimakannya. Anak muda itu pun kesudahannya mati juga, tidak karena kekurangan makan, tetapi karena terlampau banyak makan... bangkai. (cerpen Jawa Baru) Surat-surat kabar penuh dengan kabar perang, tetapi surat- surat kabar itu kosong dengan pekabaran seperti di atas. Seperti kejadian di atas itu tidak terjadi di kota Jakarta dan tempat lain. Jurnalis-jurnalis setiap hari disuruh ke mana-mana untuk melihat keadaan di sekeliling kota, tetapi yang ditulisnya hanya tentang kemakmuran bersama. (cerpen Jawa Baru) Jawa Hokokai mengadakan rapat besar. Dalam rapat itu diajukan pertanyaan oleh orang-orang Nippon, dan harus dijawab oleh yang hadir, seperti di rumah sekolah saja. Pertanyaan orang Nippon itu mengenai : Bagaimana jalan setepat-tepatnya berbakti kepada pemerintah? Bagaimana setepat-tepatnya menambah hasil bumi? Orang-orang berpikir, dan setiap pembicara tidak ada yang menjawab pertanyaan orang Nippon itu, seperti pertanyaan itu susah betul. Mereka mengemukakan kesusahan hidup rakyat. Kata setiap pembicara, ”Pengurus Jawa Hokokai harus diubah. Mereka terlalu sedikit mengetahui keadaan rakyat.” Beberapa orang di belakang tertawa dan berbisik-bisik katanya, ”Ya, bagaimana akan mengetahui keadaan rakyat, kalau perut sudah gendut oleh nasi berbal-bal?” (cerpen Jawa Baru) Kehidupan susah, di mana-mana orang-orang mengeluh, tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka mulut. Seorang utusan pemerintah baru kembali dari perjalanannya dari seluruh Jawa dan telah mengirimkan laporannya kepada pemerintah. Malamnya diumumkan di radio, bahwa sungguhpun rakyat hidup susah, mereka tidak mengeluh, menanggungkan segala-galanya dengan sabar, tanda bakti yang keluar dari hati suci. Pada penghabisannya dikatakan pula, bahwa pemerintah Nippon terharu sekali dengan ketulusan seluruh rakyat Pulau Jawa. (cerpen Jawa Baru) Orang-orang mencatut untuk menambah gaji di kantor. Mereka sudah dilarang pemerintah. Akan tetapi, orang-orang Nippon sendiri pun mencatut juga. Mencatutnya lain. Pemerintah memaksa orang kampung memberikan segala besi-besi di rumahnya kepada pemerintah. Akan tetapi, besi-besi ini jatuh ke tangan orang Nippon preman dan dicatutkannya dengan harga mahal kepada pemerintah. Mereka mencatut dengan tidak berpokok. Kehidupan susah terjadi di Jakarta, Surabaya, Plered, dan di seluruh Pulau Jawa. (cerpen Jawa Baru) Di ruang barisan propaganda orang sangat ramai. Hasil perindustrian Jawa di masa perang diperlihatkan, ban kapal terbang, dan baju bagor. Orang banyak memegang-megang ban kapal terbang itu sambil tercengang-cengang, tetapi baju bagor tidak ada yang memegang, seperti mereka takut mengotorkan tangannya. Seorang Indonesia, bajunya bolong-bolong, kain sarungnya dari karat, berkata kepada istrinya, sambil menunjuk ke baju dari bagor itu. ”Ti, baju itu lengket juga apa tidak?” Ti tertawa. Ditariknya tangan suaminya, dibawanya keluar ruangan itu. Tiba di luar Ti tertawa lagi dan katanya manis, ”Kang, ini tolol betul. Bagor kan bukan karat.” (cerpen Pasar Malam Zaman Jepang) Nyonya Sastra merasa tersinggung dan dengan suara marah tanyanya, ”Mengapa Nyonya Waluyo? Rapat belum habis lagi. Baru saja dimulai. Di rumah, Nyonya bekerja untuk diri Nyonya sendiri, sedang di sini kita bekerja untuk kepentingan bersama-sama.” (cerpen Fujinkai) Nyonya Sastra terus juga bicara. Segala isi surat kabar pada hari yang akhir-akhir ini keluar. Terima kasih kepada Angkatan Laut Nippon yang telah mendapat kemenangan gilang-gemilang di laut sebelah timur Taiwan, penghormatan kepada prajurit-prajurit Nippon yang telah pecah sebagai ratna di Pulau Pililiou, terima kasih kepada Dai Nippon Teikoku atas kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari, serta terima kasih atas pembagian beras yang sudah diatur rapi oleh pemerintah bala tentara, yaitu setiap orang mendapat seperlima liter sehari. ”Kita harus menurut saja. Sekarang ini lain dari dahulu. Dahulu kita boleh membantah keputusan orang di atas. Sekarang ini zaman menurut, ini membaikkan sekali. Sebab kalau seperti zaman dahulu itu, segala-galanya makan tempo yang lama sekali Dai Nippon lain. Segala- galanya cepat. Baru dua tahun, kita sudah mendapat kemerdekaan kita di kelak kemudian hari. Kita harus bekerja, Nyonya Salim.” (cerpen Fujinkai) Tanggal 8 Desember yang akan datang ini, genap sudah tiga tahun Nippon mengumumkan perang kepada Amerika dengan menggempur Hawai. Hal itu harus diperingati. Kewajiban Fujinkai pun sudah ditentukan, yaitu: kita bersama-sama dengan Fujinkai kampung lain, pergi mengunjungi prajurit-prajurit Nippon yang sakit. Untuk itu kita akan membuat kue-kue untuk mereka. Dan membuat kue itu memakan ongkos. Kita harus melihatkan terima kasih kita kepada mereka yang telah berjuang buat kepentingan kita, Nyonya-Nyonya sekalian. Kalau dapat saya memendekkan pembicaraan saya, saya akan berkata: acara rapat ini ialah meminta kemurahan hati Nyonya-nyonya, memberi ala kadarnya sejumlah uang, untuk membuat kue-kue itu. Paling sedikit seringgit setiap keluarga. Saya rasa ini tidak terlalu berat bagi Nyonya-nyonya. Apa artinya seringgit. Sangka saja Nyonya membeli seliter beras. Pasti takkan berat terasa. Tentang kapan kita akan mulai bekerja, nanti akan saya beritahukan lebih lanjut.” (cerpen Fujinkai) Kartono tiba di rumahnya. Dilihatnya muka Miarti masam saja. Girang, katanya, ”Ti, lihat Ti.” Geram jawab Miarti, ”Apa yang dilihat? .... Pakaian monyet itu? Kau kira aku suka engkau jadi Heiho? Sehelai rambut pun aku tidak rela. Jika engkau mati, siapa yang akan mengembalikan engkau kepadaku, Nippon?” Kartono terkejut mendengar perkataan Miarti itu. Sangkanya Miarti akan bergirang hati betul. Bingung jawabnya, ”Kan aku hendak membela tanah air.” ”Tanah air? Mana tanah airmu? Engkau tahu apa arti Heiho? Kalau dalam rumah tangga Heiho itu dinamakan jongos, tolol!” ”Miarti, engkau belum insaf. Engkau memikirkan dirimu sendiri. Tanah air memanggil putranya. Engkau telah sesat, engkau harus insaf akan zaman sekarang ini.” (cerpen Heiho) TEPAT pada hari Pearl Harbour diserang Jepang, Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana pendek. Celana kepar 1001, made in Italia. (cerpen Kisah Celana Pendek) Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang, ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana. Akan tetapi, orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang, yang satu untuk demokrasi, dan yang lain untuk kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemakmuran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti baginya celana. Dan sebab itu disambutnya tentara Jepang dengan peluk cium dan salaman tangan. (cerpen Kisah Celana Pendek) Waktu beberapa orang Belanda-Indo berani menaikkan bendera merah putih biro di hotel Yamato, orang-orang Indonesia tercengang- cengang. Orang-orang yang tercengang bertambah banyak, dan makin lama makin mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari bendera itu. Orang-orang tercengang bertepuk dan bersorak, tetapi orang-orang Belanda-Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera. Mereka terkenang pada masa tiga setengah tahun yang lalu dan kepada ayah-ayahnya, yang betul-betul orang Belanda. Mereka merasa terhina seperti ayah-ayahnya sendiri ditelanjangi orang. Karena itu mereka marah-marah. Dan waktu itu marahnya menjelma menjadi pukulan dengan tinju hingga terjadi keributan, seperti dalam film-film koboi. Dan waktu film habis, datang mobil- mobil ambulans dan setelah berisi muatan, mobil-mobil ini berangkat pula. Sopir-sopirnya kelihatan sangat berhati-hati, roda mobil, serta tangan sopir penuh darah. (cerpen Surabaya) Tiba-tiba terdengar guntur di hari cerah, keluar dari pesawat radio, sekutu mau mendarat. Orang-orang terkejut dan merasa khawatir seperti menunggu bahaya datang. Teriakan-teriakan membelah udara, tetapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat. Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil tawanan- tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tetapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu. Sungguhpun begitu mereka tahu disiplin dan melihatkan sekutu mendarat dengan perasaan mengkal dalam hati. Serdadu-serdadu sekutu dicurigai koboi-koboi seperti bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa. Jika bandit-bandit lepas bebas seperti burung di udara dan berkuasa seperti Hitler almarhum, masyarakat menjadi kacau. Segalanya tidak aman, sapi-sapi, gadis-gadis, emas-emas, dan juga revolver-revolver dan pisau-pisau belati kepunyaan koboi-koboi ditahan oleh bandit-bandit dan diharuskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak sambil mengacungkan bayonetnya. Jiwamu atau senjatamu! Koboi-koboi tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak, ambillah jiwa kami! Pada waktu berteriak itu mereka menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi. Satu hari satu malam pertempuran itu. Sudah itu terbang dari Jakarta kepala koboi dan kepala bandit. Mereka berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Hasilnya sehelai kertas berisi huruf-huruf Inggris dan Indonesia. Dan di bawah huruf-huruf itu tanda-tanda tangan, Sukarno, Hawthorn. Bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan. Surat-surat kabar memuat berita-berita penting: Kita mau damai, tetapi juga bersedia untuk perang. Pada pihak kita seribu orang mati, sedangkan di pihak musuh tiga ratus orang. Sejak beberapa hari sekutu mendaratkan serdadu-serdadu lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank ini turun dari kapal seperti malaikal maut turun dari langit, diam-diam dan dirahasiakan oleh orang yang menurunkannya. Hujan surat selebaran turun dari langit, orang- orang Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada sekutu! Orang-orang Indonesia menolak perintah itu dan tidak mengindahkannya. Malaikal maut berjalan di atas dunia, menderu-deru dengan giginya yang besar-besar. Gunung Vesuvius meletus. Ribuan manusia berhamparan mati di tengah jalan. Udara diliputi asap hitam dan tebal. Kilat sabung-bersabung. Api kebakaran menjilat gedung-gedung dan jiwa bangsa Indonesia. Jalan-jalan di luar kota penuh dengan manusia, kebanyakan kaum perempuan. Muka mereka kelihatan letih dan lesu karena lama berjalan. Di belakang mereka asap, api kebakaran, koboi-koboi dan bandit-bandit dan segala yang dicintainya: suaminya, rumahnya yang terbakar, ayam Eropanya, anaknya, dan tempat tidur kero-nya. Sedang berjalan mereka menangis seperti anak kecil, mengeluh, dan beberapa orang perempuan melahirkan anak. Tidak banyak orang yang mengacuhkan nasib ibu-ibu ini. Mereka berjalan dengan kaki-kaki berat seperti terbuat dari timah menuju tujuan hidupnya yang utama pada waktu itu: kota lain yang aman, rumah tempat menginap. Panas membakar segalanya: daun-daun, punggung manusia dan kerongkongannya. Daun-daun membalikkan diri menghindarkan panas itu, tetapi manusia tiada berbuat apa-apa. Mereka berjalan terus, berjalan terus sambil berdiam diri dengan pikirannya masing-masing. Di udara, di atas kaum pelarian, sering terbang burung-burung putih seperti perak. Burung-burung ini menderu-deru dan menjatuhkan kotoran saat terbang itu, peluru-peluru senapan mesin. Kaum pelarian bersiduga cepat masuk got-got. Mereka sangat takut kepada burung-burung putih itu, seperti kucing dibawakan lidi. Kotoran-kotoran itu menembus badan-badan kaum pelarian dan meninggalkan lubang-lubang terbakar dalam badan-badan itu. Sesudah itu, burung-burung itu menghilang, seperti malaikal maut yang sudah menjalankan kewajibannya. Di Krian, kaum pelarian menginap semalam. Rumah-rumah penginapan tiada mencukupi. Kebanyakan mereka tidur di atas peron stasiun, seperti balok-balok kayu atau seperti angka-angka lima. (cerpen Surabaya) Orang-orang seperti kuda beban. Mereka menanggungkan segala penderitaan dengan tidak mengeluh dan mereka tidak tahu, mengapa mereka harus menderita sedemikian benar beratnya. Semuanya bagi mereka sekarang kabur, hari kemudian dan perjuangan yang menimbulkan putus asa. Satu-satunya yang masih terang benderang bagi mereka ialah bahwa mereka harus membunuh dan mengusir musuh yang menginjak-injak tanah tumpah darahnya yang sudah merdeka. Pekerjaan ini dilakukannya dengan hati yang tetap, semangat yang berkobar-kobar dan perut yang setengah lapar. Tentara sekutu bertambah maju masuk kota, sedangkan tentara Indonesia bertambah mundur keluar kota. Demikian selalu dalam peperangan, yang kuat maju, dan yang kalah mundur dan mati. (cerpen Surabaya) Pada suatu hari meriam penangkis udara Indonesia menembak jatuh beberapa kapal terbang musuh. Dunia tiba-tiba seperti tersentak dari tidur. Telegrafis-telegrafis di seluruh dunia bekerja giat dan dalam surat-surat kabar hari itu termuat berita penting, ”Kepintaran menembak orang-orang Indonesia sama dengan serdadu-serdadu Jerman.” Kabar ini menggirangkan hati rakyat, semangat perjuangan menjadi tambah meluap dan kepercayaan kepada kekuatan sendiri timbul kembali. (cerpen Surabaya) Terlepas dari gaya bahasanya yang agak sulit dipahami, kisah-kisah dalam buku ini mampu mewakili kehidupan rakyat Indonesia di masa itu. Kita dapat merasakan penderitaan, pedih perihnya, serta pahit getirnya zaman pendudukan Jepang. Semangat rakyat Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan pun sangat terasa. Akhir kata, saya rekomendasikan buku karya Idrus ini bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah bangsa Indonesia pada zaman penjajahan Jepang, namun tidak ingin mengerutkan kening dalam-dalam ketika membacanya. Description: Buku ini merupakan karya sastra klasik. Buku yang ditulis oleh Idrus, pembaharu prosa angkatan 45, ini terdiri dari satu naskah drama empat babak, sebuah novelet dan 10 cerpen. Kumpulan cerpen di dalamnya memiliki jalan cerita masing-masing dan tidak saling berkaitan satu sama lain. Namun, antologi cerpen ini memiliki kesamaan, yaitu menceritakan kondisi rakyat Indonesia saat penjajahan Jepang.
Title: Rebirth of the Strongest Warrior The Yiling Patriarch Category: Fan Fiction Text: Bab 1 : Bukit Luanzang Angin bertiup kencang dari lembah melewati puncak bukit yang tinggi. Wei Ying berdiri diam diatas puncak gunung. Rambut hitamnya kusut karena tiupan angin yang berhembus kencang, matanya memerah menatap dengan dingin pada sekelompok orang di depannya. Dalam sekelompok orang itu terdapat seorang pria paruh baya berpakain kuning yang terlihat mewah dalam kelompok itu menatapnya dengan mata tajam penuh kelicikan, licik. Mata pria paruh baya itu menatap tajam pada Wei Ying, dengan sikap ketidak peduliannya itu membuat sang gadis merasa terlilit di hati. “Wei Ying, setelah berlari begitu lama, mari kita lihat kemana kamu bisa melarikan diri lagi sekarang!” Pria paruh baya itu mencibir dengan dingin. Tatapannya seolah-olah dia sedang melihat musuh yang tidak bisa didamaikan. “segel Yin Hufu adalah sesuatu yang telah ayah berikan padaku dan merupakan peninggalan dari leluhur keluarga Wei, aku tidak akan memberikannya kepada siapapun tidak peduli apa!” Suara Wei Ying penuh dengan tekanan, dia tidak bisa menahan kebencian yang dia tekan pada orang-orang di depannya itu. Segel yun Hufu merupakan peninggalan dari leluhur ibunya, dulu sebelum ayah menikah dengan ibunya, kakek menyerahkan kepada sang ibu dengan berbagai petuah jika ibunya menikah nanti dengan seorang pria yang bersedia menjadi menantu rumah tangga Wei, maka dia dapat memberikannya kepada suaminya kelak sebagai token bahwa dia merupakan kepala keluarga Wei. Saat itu ayahnya yang memang telah mencintai ibu dan berniat untuk melamar ibunya mendapat tentangan kuat dari keluarga ayahnya. Ayahnya Jin Guang Tian merupakan tuan muda pertama dari keluarga Jin yang seharusnya akan menjadi kepala keluarga Jin selanjutnya, tetapi ayahnya yang sangat mencintai ibunya, Wei Ming Ji, terus memohon pada para tetua keluarga Jin. Ayahnya tidak mau menyerah dan terus meyakinkan seluruh tetua keluarga Jin, bahwa adiknya yang tidak kalah jenius darinya akan membawa keluarga Jin dalam kemakmuran jika dia menjadi kepala keluarga nanti. Setelah susah payah dia meyakinkan para tetua, akhirnya ayahnya dapat meyakinkan keluarganya diperbolehkan menikahi ibunya, dengan syarat nama ayahnya akan dicoret dari pohon silsilah keluarga dan tidak diperbolehkan menggunakan nama keluarga Jin lagi, dengan berat hati ayahnya meninggalkan kediaman keluarga Jin dan juga menanggalkan nama keluarga itu. Akhirnya ayahnya menikah dengan ibunya dan menggunakan nama keluarga ibunya, Wei. Namun apa yang dikatakan dulu oleh ayahnya menjadikan kenyataan, dibawah pimpinan adiknya, Jin GuangShan, keluarga Jin menjadi lebih maju. Cukup disayangkan, ayahnya tidak mengetahui kebenaran bahwa adik yang dia pikir baik nyatanya merupakan orang yang licik tersembunyi. Setelah kakek dari ibu meninggal dan digantikan ayahnya sebagai kepala keluarga Wei, adik ayahnya ternyata membuat skema untuk menggulingkannya dan berniat mengambil alih keluarga Wei untuk dapat menggabungkannya kepada keluarga Jin. Ekspresi adik ayahnya, pamannya, Jin Guangshan, ayah tirinya menjadi buruk, dia berkata dengan getir penuh tkanna kebencian, “kamu wanita serakah! Segel Yin Hufu itu awalnya memang milik Wei Ming Ji dan di berikan ke Jin GuangTian, ah bukan! Seharusnya Wei GuangTian, tapi ayahmu sudah lama mati dan ibumu juga beru menyusulnya ke neraka. Seharusnya segel itu menjadi milikku sebagai walimu, ayahmu!” Hahaha! Wei Ying tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bergema di lembah gunung Luanzang untuk waktu yang lama. “ayah? Apakah kamu lupa? Ayahku adalah Wei GuangTian bukan dirimu, kamu bilang bahwa kamu ayahku? Lelucon dari mana itu? Jangan bercanda denganku! Kamu hanyalah ayah tiri! Apakah aku tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini? Kamu telah membuat skema untuk orang tuaku dan ingin mengambil keluarga Wei menjadi bagian Jin-mu! Demi ambisimu dan keluarga Jin-mu itu, untuk dapat memperluas keluarga Jin kamu bahkan tega membunuh saudara laki-lakimu sendiri! Apakah kamu masih bisa disebut manusia? Jangan bermimpi untuk mendapatkan segel ini!” Wei Ying tertawa mengejek, “untuk dapat mengambil segel Yin Hufu ini kamu rela membunuh saudaramu, menyiksa aku, dan saat ibu mencoba untuk menyelamatkanku, kamu bahkan membunuhnya!” “hmph!” Jin GuangShan mendengus dengan dingin, dia berkata dengan wajah datar tak tersentuh, “Ya, apa yang kamu ketahuinya benar, aku telah membunuh ayahmu, saudaraku, sehingga aku dapat menikahi ibumu. Aku telah mencintai ibumu lebih dulu dari pada si penghianat Jin GuangTian itu, tetapi ibumu malah memilih laki-laki itu. Setelah kakakku menikah dengan ibumu, aku ditunjuk sebagai kepala keluarga Jin. Karena aku masih sangat mencintai ibumu akhirnya aku dengan para tetua keluarga Jin yang memang haus akan kekuasaan bekerja sama untuk mengambil keluarga Wei kedalam keluarga Jin dengan aku menikahi ibumu yang telah ditinggal mati itu. Tetapi selama itu, aku yang selalu di sampingnya dan telah menjadi suaminya, dia bahkan tidak menghiraukanku, bahkan segel Yin Hufu itu malah dia berikan padamu. Jadi jangan salahkan aku menjadi seperti ini!” Mendengar itu Wei Ying memejamkan matanya dalam kesedihan, tampilan suram sang ibu masih terukir dalam hatinya beberapa saat lalu. Dia benar-benar ingin menyerah! Saat itu diaa berniat menyerahkan segel Yin Hufu yang telah ayahnya berikan sebagai ganti kehidupan ibunya, tetapi ibunya sepertinya tahu apa yang ingin dia lakukan dan menggunakan kematiannya untuk melindungi dirinya dan segel Yin Hufu agar tidak jatuh ke tangan orang jahat… Segel Yin Hufu bukan hanya sebuah token untuk menjadi kepala keluarga Wei, tetapi segel Yin Hufu ini juga merupakan senjata dari peninggalan leluhur keluarga Wei, sayangnya setelah ratusan tahun segel Yin Hufu diturunkan dari generasi ke generasi belum ada yang dapat menggunakan senjata ini, sehingga para pendahulu menggunakan segel ini sebagai token pengenal kepala keluarga saja. “Jin Guangshan, kamu pasti akan menyesali semua yang telah kamu lakukan! Seorang laki-laki yang kejam dan berbahaya seperti mu, suatu hari nanti kamu pasti akan mendapatkan pembalasnya!” “Menyesal?” Jin Guangshan tertawa merendahkan, “apakah kamu tahu rumor yang menyebar diluar sana sekarang? Kamu, Wei Ying, terbang dalam kearogansian ekstrim telah memprovokasi musuh yang seharusnya tidak kamu sentuh… sehingga membuatnya marah pada keluarga Wei! Dan aku, Jin Guangshan saat ini tengah dalam duka karena kematian ibumu… bahkan ibu tirimu telah pingsan karena kesedihan… menyatakan bahwa kamu, anak perempuan ini, membawa mereka dalam bencana, bersembunyi seperti pengecut… hahah! Ibumu bahkan telah dilemparkan untuk makanan para anjing liar. Makam leluhur keluarga Wei, ah, atau sekarang menjadi Jin bukanlah untuk wanita sembarangan!" Tubuh Wei Ying mulai bergetar. Dia membuka matanya lebar-lebar, menatap pada pria didepannya dengan penuh kebencian, "Jin Guangshan, kamu sungguh tidak tahu malu! Kamu berani memperlakukan wanita yang kamu cintai seperti itu!” “tidak tahu malu?” Jin Guangshan tertawa keras, “Wei MingJi memang wanita yang aku cintai, tapi itu dulu, sebelum dia menikah dengan Wei GuangTian! Pemenangnya sudah diketahui, seharusnya kamu menyalahkan ayahmu Wei GuangTian karena menyeretmu kedalam situasi ini dan serta kematian ibumu! Jadi orang yang benar-benar membuat semuanya seperti ini adalah ayahmu, Wei GuangTian!” Orang yang membuat semuanya seperti ini adalah… ayahmu… “hahah!” Tiba-tiba, Wei Ying tertawa terbahak-bahak, tawanya meliar penuh kegilaan, bergema di seluruh gunung. “Jin Guangshan kamu bajingan tidak tahu malu! Aku akan menyeretmu ke neraka untuk meminta maaf pada ayah dan ibuku sekarang! Mati saja dengan ku sekarang!” Dia melepaskan aura kuat dari tubuhnya, menyebabkan seluruh langit berubah mendung dan dingin. “itu buruk!” Ekspresi semua orang yang ada di sana berubah buruk saat melihat energi spiritual yang keluar dari tubuh Wei Ying, salah seorang berkata dengan buru-buru, “dia ingin meledakan dirinya! Semuanya menyingkir darinya!” Wei Ying adalah seorang kultivator berbakat nomor satu di keluarga Wei yang telah mencapai tingkat kultivasi tahap bumi tingkat menengah tinggi pada usianya yang masih muda, lima belas tahun. Meskipun jejak kultivasinya berada di tahap bumi tingkat menengah tinggi, daya meledakan diri masihlah cukup untuk menyeret semua orang ke neraka! Puch! Sesuatu yang tajam menusuk pinggangnya semakin dalam, tubuh Wei Ying menegang, dia menundukan kepalanya dan melihat sebuah pedang yang datang dari samping kirinya. Dia lalu memutar kepalanya, matanya membola dengan penuh kejut tidak percaya. Tatapannya jatuh pada wajah tampan itu. “Jin GuangYao, kamu..” Dia mengetahui bahwa Jin GuangYao sebelumnya telah datang, tetapi karena itu dia, Jin GuangYao, dia telah menurunkan kewaspadaannya. Siapa sangka bahwa pria yang paling dia percayai malah menusuknya! Bang! Kekuatan meledakan diri di tubuhnya dalam sekejap memudar, pedang yang berada di pinggangnya perlahan-lahan menjadi serpihan kecil, tatapan matanya penuh rasa sakit yang sulit dijabarkan. “mengapa kamu ingin…" Membunuhku? Satu kata terakhir terjebak dalam tenggorokannya, tidak bisa keluar. . . . . . . Apa-apaan ini!!!???? Semoga ada yang bersedia melirik cerita gaje ini... Jangan lupa tinggalkan jejak di bawah dengan menekan icon ⭐, atau kalian bisa curahkan semua unek-unek cerita ini di kolom ? Salam hangatMota Part 2 Jejak rasa bersalah dan kesedihan terlihat diantara alis Jin Guanygyao, tetapi menghilang di detik berikutnya. “A-Ying, aku minta maaf. Bagaimanapun aku adalah seorang pria dengan ambisi besar. Meskipun kamu ada di hatiku dan wanita yang paling aku cintai, tetapi aku masihlah bagian dari kelarga Jin. Paman Jin telah berjanji padaku, jika aku bisa menikahimu maka segel Yin Hufu itu akan dia serahkan padaku, menjadi miliku. Segel itu bisa menjadi kekuatan terkuat di daratan ini begitu aku mendapatkannya, tetapi kamu selalu menolak semua lamaranku, jadi aku memiliki keputusanku sendiri…” Wajah Wei Ying pucat sampai ke titik terdalam, dia tidak berani untuk percaya bahwa orang yang telah bersumpah cintanya padanya dan berjanji untuk menunggunya sampai dia setuju menikahinya, dengan ringannya justru menarik pedangnya untuk melawanya dalam sekejap. Tiba-tiba dia mengingat sesuatu dan dengan bergegas menuju kearah Jin GuangYao, “dimana Wei XuanYu? Aku mempercayakannya A-Yu pada mu, apa yang telah kamu lakukan padanya!” Wei Ying diliputi kegilaan, dia menangkap kerah Jin Guangyao dengan erat, berteriak dengan marah tanpa peduli tentang rasa sakit yang menjalar tubuhnya. Ayah dan ibunya telah meninggal, keluarga Wei telah dimusnahkan, dan adik laki-lakinya adalah satu-satunya kerabat yang ditinggalkan! Kerena kepercayaannya pada Jin GuangYao, yang mungkin tidak sama seperti pamannya itu, Jin GuangShan, maka Wei Ying meminta Jin GuangYao untuk melindungi Wei Xuanyu, tetapi bukannya melindunginya dia malah menariknya dalam kegilaan ini! Tubuh Wei Ying bergetar, ketakutan muncul di wajahnya yang pucat, menyebabkan rasa sakit di hati Jin GuangYao yang melihatnya. Namun dengan cepat dia mengeraskan hatinya dan berkata, “bawa Wei XuanYu kemari!” Setelah beberapa lama, seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun setengah hidup dan mati dibawa di tangan seorang pengawal, tubuhnya lemah seolah-olah dia bisa kapan saja jatuh tertiup angin. “A-Yu!” Suaranya penuh dengan rasa sakit yang memilukan, air matanya meluncur turun dari matanya saat melihat kondisi dari adik laki-lakinya itu. Mendengar tangisan putus asa dari kakaknya, bocah laki-laki itu akhirnya bergerak. Dia membuka matanya lelah menatap lurus pada Wei Ying, bibir tipisnya gemetar ringan, dengan suara lemah dia berkata, “kakak...” “uhuk uhuk” Wei Ying terbatuk dua kali memuntahkan seteguk darah, sosoknya yang berlumuran darah terlihat menyilaukan dibawah sinar matahari. “biarkan dia pergi” dengan lemah dia berkata. “biarkan dia pergi? Serahkan segel Yin Hufu itu dan aku akan membiarkannya pergi!” Jin GuangYao membiarkan emosi pada wajahnya memudar, menggantikan dengan tatapan dingin mengarah pada Wei Ying. Bahkan jika wanita ini penting di hatinya, dia tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan kekuatan segel Yin Hufu yang telah dia ketahui apa kegunaan sebenarnya dibalik sebagai token kepala keluarga Wei. Dengan kekuatan di tangannya, bahkan dia bisa memiliki wanita yang dia inginkan! Wajah Wei Ying menjadi lebih pucat melihatnya, matanya berbalik mengarah pada pria setengah baya, menatapnya dengan dingin dan tajam dalam satu waktu. “A-Yu adalah anak laki-lakimu satu-satunya, garis keturunan keluarga Jin-mu!” “ha ha ha!” Jin Guangshan tertawa dua kali dan berkata lantang, “lalu apa? Meskipun dia memililki garis keturunan Jin, tetapi apa? Aku telah mempunyai anak laki-laki lain bahkan lebih luar biasa dari XuanYu! Kamu tahun Jin ZiXuan, dia adalah anak laki-lakiku! Aku telah menyembunyikannya selama ini dari kalian semua untuk mengelabuhi Wei MengJi agar dia mau menikah denganku, bahkan aku sampai memohon padanya untuk mengambil ibunya Jin Zixuan kedalam haremku. Wei Xuanyu ini bahkan bukan apa-apa jika di sandingkan dengan Jin Zixuan-ku,dia tidak berguna, tidak memenuhi syarat untuk menjadi anakku, meskipun dia lahir dari orang yang aku cintai sekalipun! Namun jika untuk mendapatkan segel harimau dia harus mati, mama itu akan menjadi kematian yang layak!” Mendengar ucapan Jin Guangshan tubuh Wei Ying gemetar, matanya menutup guna meredakan amarahnya, perlahan kelopak mata itu terbuka dan memandang kearah adiknya, Wei Xuanyu. “A-Yu, apa kamu takut?” Wei Xuanyu melihat kakaknya yang memandangnya dengan tatapan bersalah hanya menggelengkan kepalanya pelan. “kakak, aku tidak takut! Saudariku, jangan kamu berikan dia segel harimau itu. Jika tidak, ibu dan seluruh orang Wei yang telah mati karena melindungi mu dan segel itu, akan mati dengan sia-sia… tidak apa jika mereka ingin membunuhku, karena aku percaya, suatu haru nanti, kamu akan membalaskan kematian ku serta untuk keluarga…” Bang! belum selesai berbicara, Jin Guangyao tiba-tiba menendang Wei Xuanyu di dada menyebabkannya memuntahan beberapa teguk darah, wajahnya yang telah pucat semakin pucat akibat tendangan yang digunakan Jin Guangyao penuh dengan energi spiritual. Belum sempat memproses apa yang adiknya katakan, tiba-tiba Jin Guangyao memerintahkan seseorang untuk membunuh adiknya. “seseorang!” dengan lantang Jin Guangyao memanggil para penjaganya. “cepat ambil jantung Wei Xuanyu ini, dan potong-potong seluruh anggota badannya, lalu berikan pada anjing liar di kota!” Suara pria itu berdering seperti ketukan palu, mengetuk keras jantung Wei Ying yang mendengarnya, dia meraung marah, hatinya sakit melihat adik satu-satunya diperlakukan seperti itu, dan hatinya hancur karena yang melakukannya adalah sosok orang yang dengan manisnya pernah memberikannya janji-janji manis. “Jin Guangyao, kamu bajingan! Aku seharusnya tidak mempercakan perlindungan A-Yu padamu! Tidak, tidak A-Yu, atau bangun! Kamu tidak boleh mati!" Berniat untuk meraih adiknya dalam genggaman orang-orang Jin, tetapi beberapa orang-orang Jin itu menghalanginya dengan seluruh pedang mengarah padanya. Dua orang menekan Wei Xuanyu di tanah, dan seseorang lagi berjalan menuju Wei Xuanyu dengan pedang menyapu tanah, memanbah kesan mengerikan bagi Wei Xuanyu yang melihatnya. Orang itu lalu berdiri diatas tubuh Wei XuanYu, pedangnya yang dingin menembus tepat pada jantung XuanYu, darah segar mengalir keluar saat pedang itu tertancap tepat didadanya, sekarat pupil mata Wei XuanYu membola terkejut… “Tidak!” . . . . . . Hai hai hai.... ?? Terimakasih yang sudah melirik cerita ini.. Jangan lupa berikan masukan, kritik atau apapun itu yang membangun, agar aku tahu Diaman kekuarangan hal ini... Salam hangatMota Description: Wei Ying adalah seorang nona muda keluarga Wei, karena konspirasi ayah tirinya yang ingin menyatukan keluarga Wei menjadi bagian keluarga Jin dan juga untuk mendapatkan segel Yin Hufu, Wei Wuxian harus menerima jika seluruh keluarganya di binasakan, bahkan adik tirinya Wei Xuanyu harus mati di hadapannya dengan keji. Wei Wuxian bersumpah pada bumi dan langit jika suatu saat dia dilahirkan kembali, dia kan mengambil pembalasan untuk mereka yang telah membuat seluruh orang tersayangnya pergi, namun siapa yang menduga saat dia mati ternyata dia telah bertransmigrasi ke dalam tubuh seorang pemuda yang tidak berguna, Wei Wuxian. "Wei Wuxian... Wei Wuxian… karena aku telah menempati tubuhmu, maka aku telah menjadi dirimu! Yakinlah, aku akan membalas dendam untukmu, anggap saja ini sepagai kompensasi karena aku menambil tubuhmu" Dapatkah Wei Ying yang seorang jenius di dunianya, kembali untuk mengambil dendam menggunakan tubuh Wei Wuxian, seorang pria yang tidak memiliki akar spiritual?
Title: Ruby Category: Fantasi Text: Prolog NeverHills Village Di pinggiran Moniyan Empire ada sebuah desa bernama desa NeverHills. Desa tersebut agak terpencil dan dekat dengan hutan yang lebat dan perkebunan. Suara burung nan merdu bak orchestra menghiasi pagi ini. Sang suryapun nampak masih enggan menunjukkan sinarnya. Robin duduk di meja makan sedangkan sang istri sibuk mempersiapkan sarapan dan bekal untuk Robin. Robin :” Bagaimana kondisi kehamilan mu?.” Wendy :” Baik pak, Rasanya si dede udah ngebet pengen keluar.” Robin :” Memang sudah berapa lama usia kandunganmu ?.” Wendy :” Ini udah 9 bulan loh pak.” “Pemirsa sepertinya mala mini akan terjadi bulan purnama merah darah.” Suara presenter TV mengalihkan perhatian mereka . Wendy :” Pak nanti pulangnya jangan malam – malam yah. Malam ini bulan purnama pasti banyak serigala di luar sana.” Sambil menuangkan teh ke cangkir sang suami Robin :” Iya Wendy. Aku tidak akan pulang malam. Lagi pula kamu juga kan sedang hamil besar jadi aku mengkhawatirkan dedek dan juga kamu, kalau pergi ke ladang terlalu larut.” Setelah menghabiskan hidangan, Robinpun mulai berpamitan kepada sang istri dengan mencium keningnya tak lupa dia juga berpamitan kepada sang jabang bayi dan berkata, “Jaga ibu ya nak selama ayah pergi.”. Robin mencium perut buncit istrinya dan mengusapnya kemudian melambaikan tangan kepada sang istri. Malam bulan purnama merah darahpun datang. Suara lolongan serigala yang saling bersahutan seperti alunan simphoni . Warna merah bulan menambah rasa mencekam malam itu . Wendy :” PAKKK TOLONG SAYA PAK KETUBANKU PECAH.” Suara teriakan Wendi membuyarkan tidur Roby. Wendy :” TOLONG PAK PANGGILIN DUKUN BAYI.” Robin tanpa menunggu aba – aba lagi mulai memakai pakaianya dan beranjak pergi meninggalkan rumah. Beberapa saat berselang Robin pulang Bersama dengan dukun bayi terkenal di desa NeverHills. Namanya mama Catlin. Catlin ;” Mana pasienya ?. Sekarang kamu siapin air anget handuk dan baskom ya buruan !!!” Robin :” Di dalam kamar ma. Baiklah ma.” Mama Catlinpun berlari kedalam kamar sedangkan Robin mulai menyiapkan barang – barang yang diminta oleh mama Catlin. Robin :” Ini ma barang – barangnya.” Catlin :” Baiklah, terimaksih. sekarang kamu tunggu di luar.” Robin keluar kamar lalu mondar mandir seperti setrikaan,rasa cemas akan keadaan sang jabang bayi dan istrinya terus merundung pikirannya. “Tarik nafas dorong. Ya bagus bu sekali lagi Tarik nafas dan dorong.”. Catlin memberi aba – aba kepada Wendy. Sedangkan Wendy bersusah payah mengeluarkan sang jabang bayi . Tangannya menggenggam erat seprai sampai kusut. Rasa sakit, air mata, dan keringat yang mengucur lewat pori – pori kulit Wendy sungguh perjuangan ibu yang sangat luar biasa. “HOEEEEEKKKK HOEKK.”. Suara tangisan bayi menggema seisi rumah. Suara bayi ini seperti suara harpha yang di mainkan oleh malaikat bagi kedua orangtuanya. Robin tanpa di aba – aba langsung lari dan masuk ke dalam kamar. Dia melihat sang istri terbujur kaku dan lemas. Wajah mama Catlin nampak sedih. Catlin :” Selamat ya Rob, bayi kamu perempuan. Tapi saya minta maaf, Wendy tidak selamat.” Catlin menyerahkan sang jabang bayi kepada Robin. Tampak jelas terukir di wajah Robin kesediahan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu dibarengi dengan derai air mata yang mengalir membasahi pipinya. Robin berada di samping Wendy Robin :” Hai Wendy sekarang kita berdua telah menjadi orangtua. Bayi perempuan kita cantik sepertimu. Aku pernah berfikir bagaimana kalau anak kita, kita kasih nama Ruby ?. Dia akan menjadi permata bagi keluarga dan gadis yang cantik, berani dan kuat sepertimu. yang paling penting namanya adalah singkatan dari nama kita berdua RoBin dan Wendy. Aku akan menjaga dan mendidik anak kita dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Kamu tidak usah khawatir ya, kamu cukup mengawasi saja dari sana. Semoga kau tenang di alam sana Wendy”. Robin berbisik dengan lirih mengucapkan kata tersebut ke telinga istrinya dan mencium kening istrinya dengan lembut dan mesra yang kini tinggal jasad dan mulai terasa dingin. Hari pemakaman Wendypun tiba. Langit mendung dan hujan gerimis mengiringi hari pemakaman Wendy seakan semesta ikut bersedih dan merasa kehilangan. Suasana kelabu menyelimuti hati para pelayat tak terkecuali bagi Robin. Robin menggendong Ruby kecil di depan liang lahat sang istri. Roger sahabat dekat Robinpun ikut melayat sebagai bentuk rasa belasungkawa kepada sang sahabat. Roger :” Turut berduka ya Rob atas meninggalnya istrimu.” Roger mengusap punggung Robin sebagai bentuk empati kepada sahabatnya. Robin :” Terima kasih Roger sudah menyempatkan datang di hari pemakaman istriku.” Roger :” Tidak apa – apa, kita kan sahabat dari kecil. Semoga amal ibadah istrimu diterima di sisi tuhan dan segala dosanya diampuni.” Robin :” Aamiin . Terimakasih Roger atas Doanya.” Satu per satu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman dan Robin yang menggendong Ruby ikut meninggalkan area pemakaman karena hujan yang semula gerimis mulai berubah menjadi hujan lebat dan angin. Arti Sebuah Nama 7 tahun kemudian. “ Nak turun sarapan sudah siap.” . Suara Robin menggema seisi rumah menyuruh putri kecilnya sarapan untuk bersiap kesekolah. Ruby yang masih mengantuk bergegas turun untuk sarapan. Seorang gadis kecil yang dibesarkan seorang ayah seorang diri tanpa mengenal sosok seorang ibu. Ruby mengucek mata hijaunya yang masih terasa berat lalu bergegas turun. Ruby :” Hoam . Selamat pagi ayah.” Robin :” Pagi nak, diminum ya susunya . Ayah masakin nasi goreng kesukaan kamu .” Ruby :” Wah terimakasih ayah.”. mata Ruby yang tadinya hanya setengah watt mendadak terbuka lebar ketika mendengar kata Nasi goreng . Ayah dan anak ini mulai melahap hidangan yang telah masak. Robin :” Nak hari ini hari pertama kamu sekolah ya. Biar jadi anak yang pinter dan bisa membanggakan ayah dan ibu.” Ruby :” Ibu bisa bangga sama Ruby yah? . Ibu kan sudah meninggal.”. Robin mendekati Ruby dan mengelus rambut putri kecilnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Hati kecil Robin sebenarnya masih merasa berat kalau membahas tentang sang istri. Robin :” Nak, tentu ibu akan bangga kepadamu kalau Ruby jadi anak yang pinter dan baik . Ibu sebenarnya masih hidup.”. Ruby tersentak mendengar perkataan ayahnya Ruby :” Benarkah ibu masih hidup yah?, Dimana ibu sekarang aku ingin bertemu.”. Ruby kecil dengan mata berbinar dan bersemangat bertanya kepada ayahnya dengan nada yang polos khas anak – anak. Robin :” hahaha, “. Robin terkekeh dengan sikap polos anaknya. “ Ruby sayang, ibu masih hidup dan akan terus hidup di hati kita.” Tangan besar Roby menggenggam tangan mungil Ruby lalu mengarahkan kearah dada Ruby. Ruby :” Seperti itu ya yah. Kalau begitu, Ruby janji akan sekolah yang pinter dan bikin ayah, ibu bangga sama Ruby.”. Mendengar perkataan itu hati Robin berasa teriiris pisau yang tajam . Air mata tanda terharu sudah tak bisa dibendung oleh Robin. Robin mematung melihat putri kecilnya. Ruby :” Ayah kenapa menangis?.” Tanya Ruby polos dengan mata berkaca – kaca melihat sang ayah menangis.” Robin :” Ayah tidak menangis , Ayah hanya merasa bangga dan bahagia punya putri kecil sepertimu.”. Robin mendekap Ruby kecil dan memeluknya dengan penuh kasih saying dibalas dengan pelukan dari Ruby. Robin :” Ya sudah , sekarang kamu siap – siap ya!. Ayah tunggu di bawah.”. Ruby mengangguk bersemangat dan mulai berlari keatas bersiap – siap ke sekolah. Ruby turun dengan baju putih merah dan tas mungil di punggungnya . Ruby :” Ayo yah berangkat”. Robin mengangguk dan tersenyum kearah Ruby. Robin menggandeng tangan Ruby dengan erat supaya putri kecilnya tetap merasa aman dan terlindungi di dekatnya. Jarak ke sekolah Ruby memang tidak terlalu jauh bahkan bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Sesampainya di sekolah . Robin :” Nak dengerin pesan ayah ya. Nurut sama perintah bapak ibu guru ya. Jangan bandel dan jangan nakal sama teman Ruby.”. Ruby mengangguk tanda mengerti . Ruby berpamitan dengan mencium tangan ayahnya lalu melambaikan tangan kearah ayahnya. “ Selamat dating anak – anak di SD Land of Dawn. Perkenalkan nama saya Ibu Rafaela. Kalian cukup panggil bu Rafa aja ya Ibu akan menjadi guru sekaligus wali kelas kalian.” . Sambutan bu Rafa kepada seluruh anak murid barunya. Dia memasang senyum manis dan wajah ceria supaya membuat anak – anak nyaman. Murid di SD Land of Dawn memang tidak banyak . Karena letak sekolahnya yang memang agak terpencil. “ Baiklah anak – anak berhubung ini hari pertama kalian masuk sekolah jadi kita mulai dengan perkenalan dulu ya.”. “ BAIK BUUUU.” Anak – anak menjawab dengan antusias dan semangat. “ Baiklah sekarang dimulai dari barisan depan ya.” Seorang anak laki – laki bermata biru, berambut pirang emas maju kedepan kelas dengan semangat dan mulai memperkenalkan dirinya . “ Halo namaku Alucard panggil saja Alu. Hobbyku berpetualang biasanya aku dan ayahku setiap akhir pekan pergi ke gunung untuk mendaki. Terimakasih.”. Semua anak bertepuk tangan . “ Oke, sekarang kamu gadis kecil maju kedepan.” . Ruby maju kedepan kelas dengan wajah tertunduk, gugup, gemetaran. Sebenarnya Ruby anak yang pemalu dan tak banyak bicara. “ Ha ha halo namaku Ruby. Terimaksih.”. semua orang Cuma mematung mendengar kalimat perkenalan dari Ruby. “ Kok kamu kecil amat kayak kurcaci.” Semua anak terkekeh mendengar kalimat ejekan yang keluar dari anak kecil perempuan berwajah oriental dan berambut putih sepunggung dengan pita di ujung rambutnya. “ Sadar diri oi lu juga kecil .” teman sebangkunya, anak laki – laki berambut hitam berwajah orientah mencletuk begitu saja sehingga suasana kelas menjadi makin riuh seperti pasar minggu . “ Hayaaaa ihhhhhh.” Kagura mencubit lengan teman sebelahnya sambil menggembungkan pipinya tanda kesal .” Sudah anak – anak . Ruby kamu boleh duduk sekarang.” . Ruby mengangguk dan mulai berjalan ke tempat duduknya. “ Baiklah . sekarang giliran kamu gadis kecil.” . Bu guru Rafa menunjuk anak yang barusan bikin keributan di kelas. Gadis kecil itu berjalan dengan anggun seperti model . “ Halo namaku Kagura . Aku suka dengan bunga .” “ Baiklah Kagura kau boleh duduk. Selanjutnya kamu yang duduk di sebelah Kagura sini maju.” “ Hai namaku Hayabusa. Panggil saja haya.” Haya merupakan anak yang misterius sedangkan Kagura anak yang ceria dan asal jeplak kalau ngomong. “ Selanjutnya kamu gadis elf kecil. “. Kaum elf adalah kaum peri yang memiliki telinga lancip . mereka bermigrasi untuk berdagang. Gadis elf tersebut berambut Panjang dengan gaya rambut ponytail dan kulit putih khas ras elf berjalan kedepan kelas dengan anggun dan lemah lembut. “ Halo namaku Miya . Orangtuaku pedagang , mereka pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk berdagang makanya aku sekolah disini..” “ GAK NANYAAAA.” , Kagura memotong pembicaraan Miya. Seisi kelas mulai riuh dengan suara tawa karena sikap nyleneh dari Kagura. Sedangkan Rafaela hanya bisa menggelngkan kepala.” Baiklah Miya, kamu boleh duduk.” Satu persatu murid mulai memperkenalkan diri satu persatu tak ketinggalan cerocos Kagura menghiasi perkenalan mereka. “KRINGGGGGGGGG” . Bunyi bel istirahat berbunyi para murid bersorak mendengarnya . Ruby membuka kotak bekalnya . Dia melihat telur mata sapi dan sosis dibentuk seperti gurita. Ruby tersenyum . “ Wah bekal kamu lucu banget , boleh coba tidak?”. Suara tersebut membuyarkan lamunan Ruby yang teringat akan sosok sang ayah. “ Boleh,” Miya mulai mengambil dan memakan sosis Ruby yang berbentuk gurita.” Enak banget siapa yang masak?.” Gadis kecil itu bertanya kepada Ruby dengan mata berbinar dan mulut yang masih mengunyah sosis milik Ruby. “ Ayahku yang masak.” Ruby menjawab dengan nada lirih. “ Kamu pemalu sekali ya,kalau Ayahku pasti tidak bisa bikin kayak gini. mau coba bekal aku tidak?”. Miya mulai membuka kota bekal miliknya . setelah terbuka terlihatlah nasi berfigure wajah tersenyum dengan lauk pauk di pinggiranya. Ruby mulai mengambil nasi dan lauk yang ada di kotak bekal Miya. Ruby mengunyah bekal milik Miya dengan pelan pelan menikmati setiap bumbu yang ada di maskan tersebut. “ Enakk .” Ruby memberikan pendapat kepada masakan yang barusan dia telan. “ wahh memang ya masakan ibuku paling enak.” Miya tersenyum dengan bangga sambil tertawa kecil . Mendengar kata “ Ibu” raut wajah Ruby berbah menjadi sedih . “ Jadi seperti ini rasanya masakan ibu?.” Ruby bergumam dalam hati . “ Kamu kenapa By? Kamu gak papa?.” , Miya menghujami Ruby dengan pertanyaan. “ gak papa kok . baru kali ini aku merasaakan masakan ibu.” . mendengar ucapan Ruby , Miya mulai bingung. “ Maksudnya? Memang ibu kamu kemana?.” . “ Ibuku sudah meninggal saat melahirkan ku.” Miya tersentak seakan ada anak panah menghujam di dadanya .” Maafkan aku Ruby, aku tidak bermaksud.” Miya memeluk Ruby tanda empati. “ Nanti sore kita main yuk di padang rumput banyak binatang kecil dan bunga di sana.” Ruby mengangguk tanda setuju. Sore hari pun tiba, semburat warna orange menghiasi Robin pulang dari ladang dengan badan yang penuh keringat dan bau matahari. “ Ayah , Ruby mau main dulu ya di padang rumput bareng temenenku.” Ruby memandang wajah ayahnya dengan mata berbinar dan wajah memohon. “ Boleh tapi jangan pulang malam – malam ya bahaya banyak serigala.” Robin mengelus rambut pirang Ruby dengan lembut. Ruby mengangguk dengan antusias kemudian beranjak meninggalkan rumah menemui Miya. Hembus angin sore yang sepoy – sepoy dan sinar sang surya yang berwarna jingga memberi suasana tenang di padang rumput yang hijau. Seorang gadis kecil duduk dekat bunga mawar melihat dan mengamati bunga cantik itu. “ Miyaaa” . Ruby berteriak dan melambaikan tangan kearah Miya. Gadis itu tersenyum manis dan melambaikan tangan ke arah Ruby. Ruby mulai berlari menuju Miya kaki kecilnya membelah rumput dan meninggalkan segores garis di padang rumput. “ Sudah lama disini Mi?,” Ruby duduk disamping Miya . “ Gak juga kok, aku suka tempat ini. Tempat ini indah dan damai .” Miya mulai berdiri dan memetik bunga mawar di dekatnya. “ Kamu tahu tidak arti namamu By? “ , Ruby menggeleng tanda tak tahu. “ Ruby itu artinya permata merah. Merahnya sama seperti bunga mawar ini. “ Miya minyabak rambut dekat telinga Ruby dan menaruh bunga mawar tersebut ke daun telinga Ruby. “ Orangtua mu meberi nama itu barang kali mereka berharap engkau akan secantik dan sekuat bunga mawar ini. “ . Ruby tercengang tak terasa air matanya mengalir mengetahui arti namanya yang indah. Ruby dan Miya menghabiskan sore di padang rumput itu dengan main kejar – kejaran, petak umpet, dan menangkap serangga kecil . Are You Shivering ? Are you shivering ? Mentari pagi nan hangat menyeruak masuk melalui dinding kayu rumah yang berlubang . Ruby masih tidur dengan lelap dan terjebak di alam mimpinya. “ Nak bangun sudah pagi . Ayo sarapan.” . suara lembut Robin dan tangan kekarnya mengguncang tubuh mungil Ruby dengan halus yang membuat Ruby terbangun. Mata hijau emarld Ruby masih sayu dan rambut pirang emas bergelombang Ruby masih semrawut seperti permen kapas. Ruby menuju kamar mandi untuk mandi . Hari ini hari minggu hari dimana mayoritas orang bangun siang untuk bermalas – malasan namun Robin tidak ingin membudayakan hal itu kepada Ruby . Ruby turun ke tempat makan. Dia mengenakan baju merah dan rok merah yang biasa ia pakai di rumah . Di sana sudah ada sarapan dan susu hangat buatan sang ayah. Sang ayah sudah menunggu putri kecilnya untuk sarapan. “ Selamat pagi nak , bagaimana tidur mu?.” Sapaan lembut Robin kepada Ruby yang ia lakukan setiap hari . Hal kecil seperti ini yang membuat Ruby nyaman dengan sang ayah . Robin adalah sosok ayah yang sempurna bagi Ruby. “ Pagi yah, tidurku nyenyak kok.” . Ruby mengambil beberapa centong nasi kepiringnya dan kepiring ayahnya. “ Nak hari ini kan hari minggu. Ruby mau ayah ajak ke ladang ?.” Ruby mengangguk tanda setuju “ Daripada di rumah bikin jenuh, lagi pula PRku sudah selesai semua tadi malam.” . Robin mengelus lembut kepala Ruby dan berkata .” Rajin sekali anak ayah.” . Robin tidak menyangka Ruby dengan usia yang masih dibilang belia bisa mengatur waktu sebaik ini. Sarapan telah usai . Robin mulai membereskan semua alat makan yang kotor dan membawanya ke wastafel. Sedangkan Ruby mencucinya. Sebernarnya Robin melarang Ruby mengerjakan pekerjaan rumah namun Ruby selalu berdalih “ Biarkan aku meringankan beban ayah walau sedikit”. Robin dan Ruby menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk berladang seperti sabit , cangkul dan tak ketinggalan topi untuk melindungi kepala dari sengatan matahari. “ Nak , kamu tahu sabit ini berbahaya?.” Tanya Robin kepada putrinya . Ruby mengangguk . “ Sabit ini bisa berguna untuk berladang dan bisa juga menyakiti orang lain jadi harus hati – hati. Sabitnya dan cangkulnya biar ayah saja yang bawa kamu bawa minum ya.”. semua peralatan telah siap Ruby dan Robin mulai menuju ke ladang . di sepanjang jalan mereka melihat orang sibuk dengan aktivitas masing – masing . “ Pak Robin mau kemana?.” Tanya seorang bapak – bapak dengan sarung melilit di pinggulnya dan kaus singlet lusuh sedang menjemur kasur. “ Ke ladang pak .” . Begitulah orang desa keramahannya masih kental. Meski hanya sekedar basa - basi . Ruby melihat anak – anak lain bermain dengan teman – temannya . Ruby ingin tapi dia sudah janji menemani ayahnya berladang. Letak ladang Robin dekat dengan lereng gunung dan hutan agak jauh dari rumah. Sesampainya di ladang mereka istirahat di sebuah gubuk kecil yang Robin bangun dengan kayu jati dan beratapkan dengan daun kelapa tua . “ Ruby kalau mau main jangan jauh – jauh dari sini ya.” Ruby hormat grak kepada ayahnya seakan Robin adalah seorang komandan baginya. Sang ayah terkekeh melihat tingkah putri kecilnya. Robin mulai melakukan aktivitasnya berladang sedangkan Ruby mencabut rumput liar yang dianggap mengganggu bagi tanaman miliknya . saat dia mulai lelah ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di gubuk. samar – samar terdengar suara kodok melengking di balik semak belukar dekat hutan . Ruby yang penasaran mulai menuju ke sumber suara tersebut mengambil sabit yang tergeletak di gubuk untuk berjaga – jaga. Sesampainya di sumber suara , Ruby melihat seekor kodok berada di mulut ulat python sebesar batang kayu . Suara kodok tersebut melengking seperti minta tolong . Ruby kecil yang tidak tega melihat adegan tersebut mulai membelakangi sang ular dan berjalan mengendap – endap seperti singa mengintai mangsanya. Dia teringat ucapan sang ayah mengenai sabit tadi pagi yang kini berada di genggamannya. “ MATI KAU ULAR JELEKKKK” ayunan sabit milik Ruby berhasil memutuskan kepala sang ular sehingga membuatnya terpisah dari tubuhnya. Tubuh ular menggelepar meregang nyawa . Darah merah segar mengucur deras dari tubuh ular tersebut, percikan darahnya ada yang mengenai kulit putih pucat Ruby sehingga terlihat jelas noda darah di wajah polos Ruby. Sang kodok yang masih hidup perlahan bebas dari belenggu mulut ular dan mulai melompat menjauh. Ruby mematung tidak menyangka atas deretan peristiwayang telah terjadi dan mulai tersenyum senang karena berhasil menyelamatkan kodok tersebut. “ RUUUUUBYYYY DIMANA KAMU?.” Suara Robin membuyarkan lamunannya.Robin yang sedari tadi kebingungan mencari keberadaan putrinya yang menghilang dari pengawasannya. Robin tercengang ketika melihat putrinya memegang sabit ladangnya yang berlumuran darah dan wajah putri kecil polosnya dipenuhi noda darah yang membuat dia semakin syok dalah bangkai ular yang sudah tak bernyawa berada di bawah sepasang kaki mungil Ruby. Dengan spontan Robin berlari menuju Ruby dan memeluk putrinya erat – erat . “ Kamu tidak apa – apa nak? Apa yang telah terjadi ?.” Robin menghujami Ruby dengan pertanyaan meminta penjelasan kepada sang putri. “Aku gak papa yah. Tadi Ruby denger suara kodok yang melengking yah . ternyata kodok itu mau dimakan ular jadi Ruby membunuh ular ini untuk menolongnya.” Ruby menunjuk bangkai ular . Robin tertegun dan menunjukkan wajah bingung mendengar penjelasan putrinya. Robin menggendong putrinya dan membawanya ke sungai untuk membersihkan darah yang menempel pada tubuh mungil Ruby. Setelah bersih Robin membawa Ruby ke gubuk miliknya . “ Ruby sekarang kamu di larang memakai sabit ini . terlalu berbhaya nak .” Robin menegur Ruby yang masih basah kuyub. “ Ruby minta maaf yah.” Robin mulai memeluk putri kecilnya yang basah kuyup dan melupakan segala kejadian yang telah terjadi . “ Sekarang kita pulang ya, nanti kamu masuk angin karena kedinginan.” Ruby mengangguk . Robin dan Ruby mengemasi semua peralatan berladang dan mulai bergegas menuju rumah . Cerita Masa Lalu Cerita Masa Lalu Malam begitu cerah. Bulan purnama dengan sinarnya yang biru dan pucat menghiasi permukaan bumi . Malam itu begitu tenang hanya suara nyanyian jangkrik dan hembus angin malam yang dingin memberi kesan ketenangan. Malam itu Ruby sedang belajar di ruang tengah dengan pelita kecil yang dinyalakan di atas piring . Robin dating membawakan susu hangat untuk Ruby . “ Sedang belajar apa sih nak?.” Robin menaruh susu hangat di samping Ruby yang tengah focus belajar sehingga tidak menyadari keberadaan sang ayah. “ Belajar apa sih nak focus sekali?.”. “ Belajar IPA yah , sulit sekali .” Ruby mengeluh kepada sang ayah. “ Memang belajar tentang apa ? , sini ayah lihat siapa tahu ayah bisa bantu.” Robin menawarkan diri membantu putrinya yang kini tengah kebingungan. “ Benarkah ? memang ayah bisa? Hihi.” Ruby terkekeh meremehkan kemampuan sang ayah. “ Oh, kamu meremehkan ayah ? dulu ayah ranking satu loh.” Robin menyombongkan diri . “ gak nanyaaa wekkkk.” Ruby mengejek sang ayah dengan menjulurkan lidahnya dan menarik matanya kebawah dengan jari telunjuknya. “Sini kamu gadis nakal .” Robin menghampiri putrinya dan menggelitikinya seakan tidak terima dengan ejekan Ruby. “ Sudah ayah hentikan geli hahahhaha.” Ruby tertawa terbahak bahak sambil guling – guling di lantai karena ulah sang ayah. Malam yang harusnya dingin kini terasa hangat bagi mereka berdua .Robin menghentikan aksinya . “ Nak besok sepulang sekolah temenin ayah ya kerumah om Roger . “. “ Om Roger siapa yah ?.” tanya Ruby. “ Om Roger itu teman ayah waktu kecil dulu.” . “ Baiklah yah .” Ruby menyetujui permintaan sang ayah . Siang itu begitu terik . Ruby melemparkan tasnya ke atas ranjang dibarengi tubuh mungilnya yang dipenuhi dengan keringat dan bau matahari. “ Nak siap – siap ya, bentar lagi kita berangkat ke rumah om Roger.” “Baik yah” Ruby mulai melucuti seragamnya dan menuju kamar mandi untuk mandi . Air mulai membasahi dari ujung kepala samapai ujung kaki. Airnya begitu dingin dan sejuk ketika siraman demi siraman mengenai pori – pori. Ruby mengeringkan air menggunakan handuk kecil berwarna merah yang tadinya menggantung di dekat pintu kamar mandi . Ruby mulai mengenakan kemeja putih dan rok merah diatas lutut tak lupa kaus kaki Panjang berwarna putih dan sepatu pantofel hitam nan mengkilap ketika terkena cahaya . Ruby nampak imut dengan pakaian dan aksesoris yang dikenakannya siang itu. Ruby pun turun , disambut dengan sang ayah yang menggunakan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam dengan sepatu hitam. Robin menggandengnya keluar rumah lalu menguci pintu rumah. Rumah Roger agak jauh dari rumah mereka . Mereka harus melewati pasar yang ramai. Bergbagai macam pedagang ada di pasar itu . “ Pak sayurnya pak murmer sekali.” Rayu seorang pedagang sayur centil kepada Robin. Robinpun hanya tersenyum lalu menggeleng sopan . pedagang sayur itupun berlalu. Tibalah mereka di rumah Roger yang terlihat Classic. Mereka kemudian mengetuk pintu besar milik Roger. “Tok, Tok, Tok. “ . Terlihat seorang wanita paruh baya menggunakan daster dan menylempangkan serbet di bahu kanannya serta rambut yang diikat ponytail. “ Cari siapa pak ?.” tanya wanita itu dengan senyuman ramah .” Saya mencari Roger . adakah dia di rumah?.”. Robin bertanya dengan sopan. “ Ada pak , beliau lagi di belakang . silahkan pak masuk dulu.” Wanita itu mempersilahkan Robin dan Ruby masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah mereka di sambut dengan ornament – ornament khas zaman pertengahan yang membuat suasana semakin terasa ke classicannya. “ silahkan pak, dek duduk, saya panggilin tuan Roger dulu. “. Ruby dan Robin duduk di sebuah sofa berukuran besar dengan ornament kepala sapi di tengahnya. “ Ah Robin lama sekali tidak jumpa.” Roger tersenyum dan menghampiri sahabat karibnya. “ Baik, masih jomblo aja lu.” Mereka tos lalu berpelukan . “ Karena gue terlalu mahal untuk di miliki.” Jawab Roger sombong . “ Ngaca woy uban dan brewok udah kayak hutan amazon gitu.hahhah.” Robin tertawa mengejek Roger yang masih berstatus single sampai ia berkepala tiga. “ Inem , Inem .” teriak Roger sembari menepuk tangannya, datanglah wanita yang menyambut Ruby dan Robin tadi , ternyata namanya bi Inem pembantu rumah tangga Roger . “ Iya pak ada apa.?” . “ ada tamu kok dibiarin aja nggak di kasih minum.” . “ maaf pak kelupaan.” Inem bergegas ke dapur dan membuatkan minuman untuk mereka bertiga. “ Jadi ini anakmu yang namanya Ruby ?. Cantik sekali seperti ibunya . terakhir kali aku lihat kamu masih di gendong sama bapakmu waktu pemakaman ibumu.” Ruby hanya tersenyum. “ itu luka masih belum ilang aja .” Robin menunjuk bekas cakaran yang ada di lengan Roger. “ ini pak minumnya silahkan diminum dulu.” Inem menaruh minuman di atas meja. “ ini semua kan gara – gara lu.” Roger mendengus kesal. “ iya map.” Robin menggaruk kepalanya meski tidak merasa gatal. “ eh nak kamu tahu tidak ayah kamu ini cengeng dan penakut ?.” Roger menatap Ruby dalam – dalam. “ Emang gitu om? Ayah kelihatannya kuat kok.” Ruby membela ayahnya. “ Dia terlihat kuat karena sudah ada kamu.” Roger mencolek ujung hidung mungil Ruby. “ luka ini karena ayahmu terlalu penakut melawan serigala bodoh itu sendirian . mau dengar kisahnya ?” Ruby mengangguk antusias. “ Jadi waktu itu aku dan ayahmu sering sekali main di tengah hutan . waktu itu senja hari , aku dan ayahmu pergi ke hutan untuk bermain bersama seperti biasa. Tak terasa hari sudah gelap aku dan ayahmu memutuskan untuk pulang. Hingga tiba -tiba terdengar suara krusak krusuk di balik semak . tiba – tiba serigala menerjang ayahmu dari belakang dan meminta tolong kepadaku . aku tidak ingin melihat sahabatku mati dimkan serigala hidup – hidup jadi ku putuskan menolongnya menggunakan batang pohon yang tergletak di sampingku. Aku berlari menuju ayahmu yang terbelenggu karena tikaman serigala. Aku memukul serigala itu tapi seigala itu malah berbalik menyerangku . kayu yang tadi ku pegang tiba – tiba lepas sehingga serigala itu menerkamku. Air liurnya menetes di wajahku. Aku pukul serigala itu dengan tangan kosong jadi tanganku ku paksa bergerak, yang awalnya berada di bawah kuku tajamnya sehingga membuat kulitku tersayat sangat dalam namun tenagaku tidak cukup untuk melawan serigala itu sendiri. Ayahmu mengendap endap dari belakang dan memukul kepala serigala itu menggunakan batang kayu besar. Serigala itupun mengalah dia memutuskan untuk meninggalkan kami. Ayahmu memeluk ku dan menangis karena khawatir pada ku.” Ruby yang sedari tadi mendengarkan cerita Roger sambil meminum susu bertanya kepada ayahnya . “ Benarkah itu yah?”. “ iya nak cerita itu benar makanya ayah melarangmu main ke hutan saat senja .” jawab Robin. Seharian itu Robin dan Ruby menghabiskan waktu di rumah Roger hingga larut malam. Cerita Masa Lalu Yang Sebenarnya Senja hari begitu indah . sang surya mulai bersiap untuk kembali ke singgasananya meninggalkan semburat warna orange di langit sehingga nampak indah. Seorang bocah laki – laki berambut hitam legam dan bermata hitam menggunakan pakaian lusuh dan sendal jepit berlari menuju rumah sederhana .“ Robin. Ayo main ke markas rahasia kita.” Bocah itu berteriak lantang di depan rumah yang berdinding dengan kayu jati sehingga suara tersebut terdengar jelas menggema ke seluruh isi ruamh. Seseorang membuka pintu besar di iringi bunyi “kriek” bunyi engsel pintu yang sudah tua. Setelah pintu besar itu terbuka nampaklah seorang bocah laki – laki berambut pirang emas, berkulit putih pucat dan bermata hijau emerald . Anak itu menggunakan celana pendek berwarna coklat dan baju lengan panjang berwarna merah yang nampak kelonggaran sehingga pergelangan tangannya tidak terlihat karena tertutup lengan kain yang terlalu Panjang. “Ada apa sih lu teriak – teriak ? gak sopan banget .” anak itu tamapak ketus. “Ya maaf, gue terlalu bersemangat mengajakmu main di tempat biasa.”, Roger menggaruk bagian kepalanya dan memainkan kakinya di tanah. “ Ya sudah ayo pergi, lain kali gak usah teriak – teriak ya berisikk.” Robin menegur Roger . “Baiklah – baiklah pak tukang ngomel.” Roger memasang wajah bodoh dan mengembang kuncupkan jari – jarinya. Robin mulai mengunci pintu rumahnya . Robin dan Roger mulai bergegas ke tempat andalan mereka biasa menghabiskan waktu senja sehabis sekolah. Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol dan bicara hal – hal yang tidak penting. “ Kamu tahu tidak beberpa hari ini ayam dan binatang ternak tetanggaku hilang mesterius ?.” Roger mulai berbicara serius. “ Di bawa alien kali.” Jawab Robin asal – asalan. “ Robin ini serius menurutku binatang ternak itu dimakan biawak, ular atau binatang liar lainnya” jawab Roger menerka – nerka bak seorang detektif.” Lu udah tau jawabannya dan masih bilang peristiwa itu peristiwa ganjil ? idiot.” Tukas Robin . “ Eits tunggu dulu cerita gua belum selesai , hal ganjil di binatang ternak itu adalah mereka kehilangan bagian hatinya saja.” . “ Mungkin itu pelakunya pedagang nasi uduk yang bingung nyari ati ampela dimana hahahahha.” Jawab Robin dengan bercanda diiringi suara tertawa lepas yang melesat dari bibir mungilnya. “ Bodo amatlah. Lu kalau di ajak serius gak bisa banget. Dan anehnya para penduduk pernah melihat bayangan serigala tapi berjalan dengan ke dua kakinya di dekat kendang binatang termak mereka.” Jawab Roger kesal dengan menggembungkan pipinya karena tanggapan Robin. “ Maksudmu WereWolf ? . WereWolf itu tidak ada mereka cuma dongeng fiksi buatan manusia.” Robin menjawab dengan logis. Tak terasa mereka telah samapai di hutan dengan padang rumput di tengahnya. Kini mereka di kelilingi oleh pohon besar dan semak belukar. Yang mereka dengar kini hanya suara burung dan desir rumput yang terkena hembusan angin senja itu. “ Baiklah kita mainnya sebentar saja ya sudah mulai gelap nih. “ Robin mulai merasa cemas karena hari sudah mulai gelap . “ Oh jadi lu takut?. Baiklah tuan penakut kita main petak umpet sekali saja karena kau sudah tampak ketakutan HAHAHAHA.” Roger tertawa lepas melihat ekspresi Robin yang cemas. Mereka melakukan suit untuk menentukan siapa yang jaga. “GUNTING, BATU, KERTAS”. “ Yey menang , lu jaga ya. Hitung sampai 1000 ya hihi.” Robin terkekeh bahagia karena dia menang suit melawan Roger. “ Ogah gua hitung sampai 10 aja. Udah buruan sono ngumpet.”. Roger mulai menghitung sedangkan Robin mulai pergi menjauh dari Roger mencari tempat bersembunyi. Suara hitungan Roger mulai terdengar sayup – sayup di telinga Robin. Ia bersembunyi di balik pohon cemara besar dengan semak mengelilinya sehingga nampak aman untuk bersembunyi. Waktu berlalu Robin merasa cemas karena hari mulai gelap dan Roger belum menemukannya. Terdengar suara krusak – krusuk di balik semak belukar. Robin menghampiri semak tersebut “ Roger kau kah itu?.” Posisi Robin kini dekat dengan semak tersebut dia menyibak dedaunan yang ada di semak itu. Kini terlihat seekor kijang sedang berlumuran darah segar di sekujur tubuhnya. Jeroan kijang tersebut berserakan nampak jelas di pandang dengan mata telanjang. Di atas kijang tersebut terdapat seekor serigala sedang mengorek orek jeroan kijang tersebut namun anehnya serigala itu namapak berdiri dengan kedua kakinya. Air liur serigala itu nampak menetes di sela – sela mulutnya dia mulai memegang sesuatu yang dia pegang dengan cakarnya. Nampak di mata Robin serigala itu memakan hati kijang tersebut. Serigala itu menyantap hati kijang itu dengan beringas namun anehnya dia tidak memakan bagian lain dari bangkai kijang itu. Melihat pemandangan tersebut mata Robin melotot dengan tatapan mata kosong. Mulutnya menganga lebar masih syok dengan apa yang dia lihat, tubuhnya membatu. Robin perlu mengempulkan tenaga banyak untuk bergerak seakan ada beban puluhan ton di atas tubuhnya. Namun naas tangannya menggencet ranting pohon kering sehingga terdengar bunyi “ PLETEK” . Serigala itu menoleh melihat melalui celah – celah daun dan menyadari keberadaan Robin sedang terduduk membatu memandanginay menyantap denagn lahap seekor kijang. Serigala itu kemudian menghampiri Robin dengan berlari . Dengan sekejap tubuh serigala itu sudah berada di depan mata Robin. Serigala itu berbulu coklat, bermata merah, bergigi dan berkuku tajam dengan bertempu menggunakan kedua kakinya. Wajah serigala itu mendekat ke wajah Robin sehingga seakan tak ada jarak lagi di antara wajah mereka. Air liur seigala itu menetes di dada robin, erangan terdengar jelas di telinga Robin. “ Beraninya kau mengganggu acara makan malamku bocah ingusan.” Robin tercengang serigala itu ternyata bisa bicara, dia baru sadar serigala itu bukan serigala biasa merupakan werewolf dia teringat tentang cerita Roger barusan dan dia baru percaya bahwa werewolf itu ada setelah dia melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri. Seakan tersambar petir , mulut Robin yang semula hanya bisa bungkam kini dia mulai berteriak , “ ROGERR TOLONG AKUUU.”. Di tempat lain , Roger mendengar suara jeritan sahabatnya meminta tolong, iapun bergegas berlari sekuat tenaga menghampiri sumber suara tersebut . ia menerobos apapun yang ada di depannya karena dia tahu sahabatnya kini dalam keadaan tidak aman. Kini terlihat pemandangan manusia serigala sedang menjilat wajah Robin dengan beringas . Roger mengambil sebatang kayu lalu membelakangi si werewolf kemudian memukul punggung werewolf tersebut . mengetahui ada kesempatan untuk kabur Robin lalu beranjak melarikan diri bersama Roger. Werewolf itu masih mengejar kedua bocah ingusan itu dengan tatapan lapar seakan tidak puas dengan kijang yang barusan dimangsanya. Di tengah aksi berlari mereka berdua menyusuri hutan dan mencari jalan keluar, Roger malah tersandung akar pohon yang mengakibatkan dia terjatuh dan kakinya terkilir. Werewolf itu kini menggenggam tangan mungil Roger dengan cakar tajamnya . Mata merah merahnya menatap Roger dengan tajam . air liur werewolf tersebut menetes membasahi kulit wajah Roger yang berwarna sawo matang. Robin tersadar bahwa sahabatnya kini tak berada di belakangnya lagi. Dia berlari kebelakang mencari Roger yang tertinggal. Robin kini melihat Roger sedang berada dalam terkaman werewolf beringas tersebut. Di sisi lain Roger berusaha melwan terkaman kuku – kuku tajam sang werewolf. Dia meronta ronta dengan sekuat tenaga berharap bisa kabur dari belenggu makhluk mengerikan ini. Saat dia meronta perlahan terkman sang werewolf mulai kendor, tangan mungil Roger kini tersayat karena tercakar oleh kuku tajam sang werewolf. Darah segar mengucur dari lengan mungil Roger, luka itu nampak dalam sehingga terlihat daging dalamnya. Roger memukul kepala werewolf itu dengan tenaga yang tersisa namun werewolf tersebut tidak bergeming sama sekali. dia bahkan mulai membuka mulutnya lebar – lebar sehingga nampak jelas gigi – gigi tajam yang dimilikinya. Serangan tiba – tiba di lakukan Robin dari arah belakang, Robin memukul tengkuk sang werewolf menggunakan batang kayu besar. Serangan tersebut nampak sukses membuat si werewolf terpelanting dan terkapar menjuhi tubuh mungil Roger. Sang werewolf menyerah dan pergi ke dalam hutan yang gelap meninggalkan mereka berdua . “ Kamu tidak apa – apa kan ?” Tanya Robin dengan wajah cemas dan mata berkaca – kaca.” Udah tau darahan gini masih aja nanya.” Jawab Roger dengan wajah mengejek.“ Daripada lu nangis, mending lu cari daun pisang buat nutupin luka gue.” Robin mengangguk dengan mata berlinang air mata karena khawatir dengan sahabatnya. Robinpun mulai mencari daun pisang yang diminta Roger. Setealah menemukan daun pisang yang diminta Roger dia kembali menemuinya dan membungkus luka Roger dengan daun pisang. Robin mengantarkan Roger pulang ke rumah. Saat sampai di rumah Roger langit sudah gelap dan di hiasi dengan indahnya taburan bintang dan bulan purnama. Robin meninggalkan Roger dengan wajah cemas dan sedih. Di dalam rumah Roger menemui ibunya. Ibunya syok melihat kondisi putra semata wayangnya kotor cemong sana – sini dan perhatiannya tertuju pada luka Roger yang ia tutupi dengan daun pisang. “Ini kenapa ?.” Tanya ibu Roger dengan wajah cemas. “Di cakar serigala bu?.” . Kedua mata Ibu Roger terbelalak kaget mendengar kesaksian putranya. Ibu Roger menuju kedapur dan membawa kotak P3K yang ada. “ Kamu pasti main di hutan ya , jam segini baru pulang. Ibu kan sudah larang kamu main ke hutan apalagi pulang sampai larut malam gini . kalau sudah begini mau gimana coba ? “Roger hanya bisa diam mendengar omelan ibunya karena dia tahu dia yang salah. Ibu Roger membersihkan luka yang ada di kulit Roger menggunakan air hangat lalu mengoleskan antiseptic dan menutup luka itu dengan lilitan perban. A Beast or Man? “Ah sakit , sakitttt, sakiit.” Roger menggeram kesakitan karena bekas luka cakaran werewolf yang ada di lengannya. Dia menggenggam erat bekas luka yang kini terbalut oleh perban yang dirasanya kian perih dan kian menyiksa dirinya. Sesekali dia menggigit bantal, guling dan selimut , dia meringis , berguling – guling di atas kasur dengan harapan bisa meringankan rasa sakit yang di deritanya. Tentu hal itu tak membantu sama sekali . “ Sialan , kenapa luka cakar ini begitu menyiksaku ahhh. Mana gatel sekarang.” Dia mulai menggaruk area sekitar luka yang di rasanya mulai gatal . Lengan Roger kini memerah urat – urat tangannya mencuat di bawah lapisan kulit luarnya. Roger mulai turun dari atas ranjangnya sambil berjalan menuju jendela kamar. Dia berjalan sambil memegang luka yang ada di lengannya. Dengan perlahan Roger mulai membuka pintu gorden kamar sehingga kini terlihat pemandangan dari balik kaca hamparan pematang sawah yang pinggirnya dihiasi oleh gunung dan hutan. Suara burung hantu dan jangkrik yang bersahutan serta suara desiran daun pohon yang tertiup angin malam yang terasa dingin . Bulan purnama kini tertutup oleh sekumpulan awan berwarna kelabu. Roger membuka jendela menikmati karunia Tuhan yang telah Ia ciptakan dengan indah dan sempurna . Roger menarik nafas Panjang dan menutup kedua matanya dalam – dalam dan merasakan hembusan angin yang membelai lembut pori – pori kulitnya. Hal tersebut membuat Roger lupa akan rasa sakit yang sedari tadi membelenggunya. Awan kelabu yang sedari tadi menutup keindahan bulan , perlahan mulai pergi tertiup sang angin. Bulan purnama kini bersinar terang, sinarnya menyingkirkan segala kegelapan dan mencekamnya malam. Roger membuka matanya dan melihat keindahan bulan purnama dan bintang yang menemani bulan bersinar. Baru sebentar dia menikmati keindahan bulan tiba – tiba tubuhnya bergetar hebat, rasa perih yang sempat sirna kini kembali menyiksa dirinya , “ Ahhh , kenapa ini .. luka sialan ini ARGHHHHHH.” Roger kini terkapar di lantai bak ikan yang sedang terdampar di daratan. Karena tidak tahan dengan rasa perih yang menyiksanya sedari tadi Roger mulai membuka perban lukanya. Matanya melotot seakan bola matanya mau keluar. Luka yang semula hanya beberapa bekas cakar kini ditumbuhi bulu berwarna hitam legam yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Jari – jari tangan Roger kini berubah menjadi cakar tajam , Giginya yang tertata rapi sekarang berubah menjadi sepasang taring tajam . Matanya yang mulanya berwarna hitam legam berubah menjadi merah darah dan menyala dalam gelap. Roger bangkit dari posisi dimana ia terkapar dan menuju ke cermin berukuran besar di sudut kamarnya dengan tergesa – gesa. Di cermin tersebut kini tidak lagi menampakkan seorang pemuda tampan yang memiliki tatapan mata tajam dan berkulit eksotis melainkan penampakan seekor serigala yang berdiri dengan kedua kakinya dan tubuh yang ditumbuhi rambut di sekujur badan. “Apa yang terjadii ?. Ini Cuma dongeng ini gak nyata .” Roger memapar wajahnya yang kini dipenuhi bulu berharap semua kejadian mengerikan ini hanya mimpi belaka. Roger masih mematung di depan cermin kamarnya yang berukuran besar. Dia masih tidak percaya dengan segala peristiwa yang dia alami malam ini. “ KREKK KREUK KREK.” Suara perutnya membuyarkan semuanya . Cacing di perut Roger kini sedang dangdutan berharap disawer dengan beberapa suap makanan. “ Sialan tengah malam laper kayak gini.” . Rasa lapar yang dirasakan Roger kini berbeda dia rasanya ingin memakan sesuatu yang masih berdarah segar tapi bukan daging melainkan hati. “ Gua perlu makan , “ dia bergumam pada dirinya sendiri . Dia melompat keluar lewat jendela kamar yang terbuka dan kemudia berburu makanan. Dia berlari dengan sangat kencang seperti serigala sungguhan yang kelaparan. Roger berlari menuju hutan berharap ada sesuatu yang bisa dimakan olehnya untuk membuatnya tidur dengan tenang. Dia menyusuri hutan dengan mata nokturnalnya. Samar – samar terdengar krusak – krusuk di balik semak. Roger mengendap – endap menuju sumber suara yang berhasil menarik perhatiannya. Roger menyibak daun semak tersebut sehingga kini terlihat seekor kelinci imut sedang merumput di padang savana hijau di bawah sinar bulan purnama yang biru pucat. Roger tiarap lalu mengendap – endap ke kelinci itu. Sayangnya sang kelinci kini telah menyadari keberadaan Roger yang sedari tadi mengincarnya. Berada dalam posisi terancam kelinci itu berari sekuat tenaga , Roger lalu mengejar kelinci itu. Kelinci itu sangat lincah dan gesit . beberapa kali sang kelinci berhasil menggocek Roger tapi tekad Roger sudah tak bisa diganggu gugat lagi , apapun nanti dia harus makan kelinci itu. Sang kelici kini terpojok di antara bebatuan. Sang kelinci kini hanya bisa pasrah, Roger mengambil kelinci menggemaskan tersebut lalu menggigit kepala kelinci itu bulat- bulat . Dia tak makan bagian tubuh apapaun dari si kelinci kecuali hatinya. Darah segar mengucur deras dari bangkai kelinci tersebut. Kelinci yang semula berbulu putih salju kini berubah warna merah darah. Roger mengoyak bangkai kelinci tersebut dan mulai menghambur- hamburkan jeroan sang kelinci. Akhirnya dia menemukan apa yang sedari tadi ia cari yaitu hati kelinci. “ Hahahaah akhirnya gua bisa tidur tenang.AUUUUUUUUUUU.” Roger tertawa jahat lalu melolong. Lolongan tersebut menggema ke seluruh penjuru dan memecahkan kehiningan malam. Roger membuka mulutnya lebar , dari sela mulutnya terlihat air liur yang menetes keluar dan gigi taring tajam yang menghiasi rongga mulutnya. “ Glek.” Suara tenggorakan Roger menelan hati kelinci itu bulat – bulat dalam sekali telan. Kini Roger tak jauh beda dari werewolf yang kemarin dia dan Robin temui di hutan. ROGER Roger kini telah berusia remaja, perawakannya kini menyerupai seorang pria dewasa. Kumisnya mulai tumbuh, suara Roger yang dulu nyaring kini berubah seperti suara bas gitar, tubuhnya tatletis dan porposional. Semua itu tak lepas dari didikan sang Ibu.Ayah Roger telah meninggal semenjak dia bayi. Dia bahkan tak mengenal sang ayah. Roger hanya tahu ayahnya lewat foto album keluarganya. Sekarang dia hanya memiliki seorang ibu yang sangat keras mendidik anaknya. Semakin bertambahnya usia Roger didikan sang ibu semakin keras. Ibu Roger bernama Daniela. Mama Daniela merupakan mantan anggota angkatan darat di daerah tempat Roger tinggal. Tak heran Mama Daniela begitu keras dan disiplin mendidik anak semata wayangnya. “CETAKKKKKK” sebuah gamparan keras melayang tepat di pantat tepos namun padat milik Roger. “Bangun kau anak pemalas.” Suara teriakan Daniela memekakkan gendang telinga Roger. Roger kini terpaksa bangun karena gamparan dan teriakan yang dilayangkan oleh Daniela. Roger mengusap pantatnya lalu mengucek mata hitamnya yang masih belum fokus sempurna. Rambut roger yang berantakan serta bekas air liur yang masih menempel indah di sela mulutnya pagi itu. “ Sekarang kamu sarapan, mama akan memberikan pelatihan khusus pagi ini.” Dengan mata melotot dan jari telunjuk yang menunjuk arah meja makan yang telah disiapkan berbagai macam hidangan dan susu hangat di sana. Roger dengan malas dan mata yang setengah terpejam berjalan menuju meja makan yang berada di sebrang kamarnya. “ CETAKKKKKKK.”. Gamaparan tangan Daniela melesat tepat di bokong tepos Roger untuk kedua kalinya. “ Kalau kau masih malas seperti ini mama akan menghukummu push up 100x dan tak mengizinkan kamu sarapan.!.” gertakan Daniela berhasil membuat Roger bergerak dengan penuh energi seperti robot mainan yang habis ganti baterai. Roger menggeser kursi lalu duduk dan mengambil hidangan yang telah disiapkan Daniela. Roger mengalungkan serbet dan menaruh selembar tissue di pangkuannya. Keluarga Roger termasuk keluarga bangsawan. Namun keluarga Roger tidak pernah tampil mencolok dengan harta yang dimilikinya. Bisa dibilang keluarga yang bersahaja. Roger melihat lauk yang di hidangkan oleh Daniela , ada telur mata sapi setengah matang, sayuran, buah dan susu sapi segar. Ini sudah sarapan wajib Roger sejak kecil. Kata Daniela ini cocok untuk asupan energi Roger nanti pas latihan supaya tidak mudah lunglai.Suara berdenting yang disebabkan oleh alat makan menghiasi acara sarapan keluarga Roger. Seusai sarapan mereka bersiap untuk jogging menuju training camp pribadi milik keluarga Roger. pagi ini terlihat sangat cerah, burung bernyayi dengan nyaring, tiada awan yang menghiasi angkasa, mataharipun terlihat bersinar terang dan terik. “ Ayo Roger.” Daniela berlari di tempat menunggu sang anak yang tengah sibuk mengikat tali sepatunya. Setelah usai mengikat tali sepatunya Rogerpun bangkit dari posisi dia duduk lalu berlari menyusul Daniela. Di mata Roger, Daniela adalah mama yang disiplin waktu, meski agak kasar sikap Daniela ini membentuk pribadi Roger yang kuat dan tak cenggeng. Pernah dulu waktu Roger kecil , Daniela memarahi sang Roger yang menangis karena kecapean dan mengeluh pada Daniela, “ Simpan air matamu itu bocah lemah, Laki – laki itu harus kuat jangan cengeng. Menjijikkan sekali air matamu itu.” Daniela memaki maki Roger yang menangis dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “ Menangis itu tak akan menyelesaikan masalah, air matamu itu membuatmu semakin lemah. “ . sejak saat itulah Roger tak pernah menangis di depan Daniela. Karena dia tahu dia akan dimaki – maki habis – habisan oleh Daniela. Daniela berlari di depan Roger. Daniela memakai celana training berwarna abu – abu, dan jaket biru tua , serta topi yang melindungi wajahnya dari sengatan sinar mentari. Meski sudah berkepala tiga Daniela stamina Daniela tak kalah dengan anak usia belasan tahun. Keringat Roger mengucur deras mencuat lewat pori – pori kulitnya. Sesekali dia mengusap keringat yang membasahi wajahnya. Tak terasa Daniela dan Roger kini telah sampai di training camp tujuan mereka. Roger dan Daniela duduk di bawah pohon besar. Mereka berteduh, minum dan mengisi tenaga yang telah mereka gunakan jogging. Angin berhembus di permukaan kulit mereka memberikan hawa sejuk. Mereka berdiam dan menikmati suara angin yang ada di sana. “ Baiklah nak, sekarang kau sudah remaja. Mama tak bisa menjagamu selamanya.”, Daniela membuka percakapan. Roger memandang wajah samping Daniela, terlihat samar – samar kerutan di leher, area pipi dan mata. Roger tak menyadari mamanya kini sudah tua. “ Lantas apa yang akan mama lakukan?.” Roger bertanya kepada Daniela. “ Mama akan melatihmu cara menjadi penembak jitu. Dunia ini kejam nak, kalau kita terlalu lembek melawan dunia kita bakal di injak – injak. Jadi untuk menjaga dirimu kelak mama akan mengajarimu cara menjadi penembak jitu” Daniela menatap anaknya dengan serius. “ Tunggu di sini mama akan mengambilkan senjata apinya.” Daniela beranjak meninggalkan Roger dan menuju ke subuah Gudang di mana segala alat – alat penunjang latihan tersimpan rapi disana. Beberapa saat berselang , Daniela datang membawa perlengakapan latihan. “Baiklah nak berdirilah kita mulai latihannya.” Roger berjalan menyusul Daniela ke tengah tengah lapangan. Daniela menaruh sebuah kaleng bekas di atas batang pohon lalu berjalan menuju Roger. “ Hal yang perlu kamu perhatikan saat menembak adalah, pertama kau harus fokus terhadap target. Dan menebak dimana musuh tersebut akan bergerak.” Daniela menjelaskan kepada Roger sambil mengisi pistol dengan peluru. “ Pertama kau harus fokus ke target dan membidiknya tepat di crosshair milikmu. Setelah dirasa tepat tembakkan” Daniela menutup sebelah matanya dan mulai membidik kaleng yang ada di atas batang pohon. “ DUARRR.” Suara pistol memekkan telinga, sang timah panas meluncur kencang dan berhasil membuat sang kaleng terjatuh ke bawah. “ Kau paham tidak dengan apa yang mama jelaskan?.” Daniela memasang wajah serius menatap Roger.Roger mengangguk tanda mengerti. “ Bagus , sekarang giliran kamu yang melakukannya.” , Daniela menyerahkan pistol yang ada di tangannya kepada Roger. Roger mulai memraktikkan apa yang barusan Daniela jelaskan. “ FOKUS, FOKUS” batin Roger. Roger mulai menutup salah satu matanya dan membidik target. “ DORRR.” Sayang sang timah panas tidak berhasil mengenai kaleng. “ Aduhhh apa sih ma.” Roger menggerutu ketika tangan Daniela menjitak kepala Roger. “ Dibilangin fokus. Baiklah mama akan mengamatimu latihan di pohon besar itu. Semangat ya nak.” Daniela menepuk pundak Roger dengan lembut dan beranjak meninggalkannya berlatih menembak. Tak terasa senja mulai datang. Warna biru langit kini berubah menjadi warnya orange. Roger masih sibuk dengan latihannya. “ Kalau kau tidak berhasil menembak kaleng itu , kau tidak dapat jatah makan malam,” Teriak Daniela pada Roger. Namun Roger tidak bergeming dan fokus menembak. Keringat membasahi pelipis Roger. Matanya fokus pada scope dan crosshair yang ada di pistolnya.Setelah beberapa kali menembak dan gagal akhirnya, “ CETHAKKKK.” Suara peluru berhasil membuat tumbang kaleng. “Berhasil, yey mama lihat tidak aku berhasil.” Roger berteriak kegirangan karena setelah beberapa kali menemembak dan gagal akhirnya dia berhasil. Daniela tersenyum dari kejauhan melihat keberhasilan sang anak. “ Kau mirip sekali dengan ayahmu nak, bodoh, konyol tapi cerdas. “ Daniela merasa bangga pada Roger dan mengingatkannya pada sang suami tercinta. Malam hari telah tiba, Roger berhasil melawati segala latihan yang diberikan oleh Daniela dengan baik. Roger terbaring dengan selimut menyelimuti dirinya dan menikmati masa istirahatnya. “ Kriekkkk” samar – samar terdengar suara derit pintu kamar Roger yang tidak terkunci. Suara langkah kaki mulai mendekati ranjang Roger. Roger yang masih setengah terjaga , merasakan rambutnya di belai oleh tangan halus Daniela. “ Kamu memang anak kebanggaan mama. Pasti ayahmu bangga punya anak sepertimu nak.” Roger merasakan bibir lembut Daniela mencium lembut dahinya. Terasa air mata Daniela menetes jatuh di kulit wajah Roger. “ selamat malam nak, terimakasih sudah menjadi anak yang hebat bagi mama.” Daniela berjalan keluar kamar Roger dan menutup pintu kamar Roger. Mata Roger seketika terbuka lebar dan mengusap lembut bekas ciuman sang mama , “ Sama- sama ma. Terimakasih telah menjadi mama yang hebat dan Tangguh untuk Roger. Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata Roger malam itu. Pasti Daniela akan memaki – maki Roger kalau dia menangis. DARK NIGHT Daniela tertidur pulas di atas ranjangnya. Tubuhnya di terbungkus oleh selimut berwarna abu – abu. Tiba – tiba Daniela terbangun karena suara gaduh yang ada di kendang kambingnya. “Bunyi apa itu?.”Daniela beranjak dari ranjangnya menuju kandang kambing di belakang rumahnya. Daniela mulai mengambil pistol yang ada di rak pribadi miliknya dan juga senter untuk menerangi langkahnya menyusuri kegelapan malam. Daniela mulai berjalan dengan hati – hati menuju kandang kambingnya entah apa yang akan dihadapi Daniela nanti yang perlu dia lakukan adalah tetap waspada. Daniela kini berada di luar rumahnya. Angin malam yang dingin mulai menghembus menembus dan menusuk pori – pori kulit Daniela, letak kandang kambing Daniela memang tidak jauh dari rumahnya. Malam itu sedikit mendung, langit yang biasanya dihiasi indahnya cahaya bulan dan kelipan bintang kini tertutup awan kelabu. Suara kambing milik Daniela terasa begitu riuh seakan ada penyusup yang telah mengganggu ketenangan mereka. Daniela semakin waspada karena dia telah dekat dengan kandang kambingnya, Daniela menyoroti setiap sudut kandang kambing milikinya. Dia di kejutkan dengan kandang seeokor kambing yang kini penghuninya entah hilang kemana. Daniela pun memeriksa bilik kandang tersebut. Betapa terkejutnya Daniela melihat ceceran darah segar yang ada di kandang tersebut. Darah kambing itu berbekas di atas tanah seakan memberi petunjuk pada Daniela untuk mengikutinya. Ceceran darah tersebut di ikuti Daniela sampai ceceran darah tersebut di suatu tempat yaitu semak dekat kandang kambing. Daniela mulai mendekati are semak tersebut samar – samar terdengar suara geraman dan koyakan. Dalam pikiran Daniela kini bukan maling sudah pasti ini binatang buas. Daniela mulai menyibak semak tersebut. Mata Daniela terbelalak dengan pemandangan yang ia lihat. Tubuh kambing kesayangannya kini di selimuti darah dengan jeroan yang sudah berceceran di tanah dan sudah terlepas dari bagian tubuh sang kambing. Daniela melihat bayangan besar hitam sedang mengorek – orek sang kambing. Langit malam yang semula mendung kini terlihat cerah. Cahaya rembulan telah meniadakan gelap yang kini berganti terang. Bayangan hitam besar yang tadi di lihat Daniela berubah menjadi sosok manusia serigala. Daniela mulai mengarahkan senternya ke manusia serigala tersebut dengan tangan yang gemetaran. Cahaya senter menyusuri tubuh setiap inch manusia serigala tersebut. Daniela masih tidak percaya dengan apa yang kini di lihatnya. Daniela seakan masih tertidur dan terjebak di dunia mimpi bertemu dengan makhluk yang katanya cuma mitos berdiri dengan nyata di hadapannya. Manusia serigala tersebut menatap Daniela yang masih mematung dengan tajam karena merasa acara makan malamnya diganggu oleh Daniela. Manusia serigal itu mulai melolong dan bersiap menyerang Daniela. Daniela yang sedari tadi mematung mulai menodongkan pistol dan menembakannya ke arah manusia serigala tersebut. Namun manusia serigala tersebut dengan sigap menghindari timah panas yang melesat dari pistol Daniela. Kamar Roger. Roger kini tengah terlelap di atas kasurnya yang empuk. Ia mendengkur dengan keras karena kelelahan yang menghinggapi tubuhnya setelah beraktivitas seharian. Roger terbangun dengan suara tembakan di luar rumahnya. Ia lantas meninggalkan kamarnya yang hangat menuju ke luar rumah untuk memeriksa keadaan. Roger kaget melihat Daniela sedang bergelut dengan manusia serigala yang menyerangnya beberapa tahun silam. Daniela kini tersungkur dan Manusia serigal mulai mendekati Daniela.Roger berlari ke arah Daniela dengan sepenuh tenaga yang ia miliki. Daniela melihat Roger yang kini tengah berlari menuju ke arahnya lalu berteriak “ROGER MENYINGKIRLAH DISINI BERBAHAYA.” . Roger tak bergeming mendengar perkataan Daniela dan menganggap larangan Daniela hanya angin lalu belaka.Tubuh jangkung Roger kini berada di depan Daniela yang tersungkur karena sedari tadi bergelut melawan manusia serigala. “Anak macam apa yang mebiarkan mamanya sendiri dalam bahaya ?.” “mama macam apa yang tega membiarkan anaknya dalam berbahaya. Pergilah dari sini Roger mama bisa mengatasinya sendiri.” Daniela bersikeras mengusir Roger karena tak ingin anak semata wayangnya dalam bahaya. “berhentilah menjadi manusia sok kuat ma. aku tahu mama ini sebenarnya rapuh, aku tahu mama takut kehilangan orang yang mama sayangi untuk yang kedua kalinya. Tapi aku mohon beri aku izin untuk meringankan sedikit beban tak kasat mata yang mama panggul selama ini. Biarkan aku melindungi mama.” Roger menatap Daniela dengan tajam tapi matanya kini berkaca – kaca. Daniela hanya terpaku melihat sikap berani anaknya ini. Kulit sawo matang Roger kini berubah menjadi berbulu lebat . wajahnya mulai memeliki moncong, matanya bersinar dalam gelapnya malam. Daniela kaget bukan main melihat transformasi tubuh Roger. “Roger apa yang sebenarnya terjadi ?.” Daniela bertaya pada Roger meminta penjelasan. “mama ingat waktu kecil dulu, aku pulang larut malam dan tanganku terluka?. Manusia serigala itulah yang telah melukaiku dan mengubahku menjadi seperti sekarang ini. Mama cepat lari biar aku yang hadapi manusia serigala ini. Daniela masih bingung dan mematung memandangi anaknya yang kini tak berwujud seperti manusia lagi. “Akan kah ini Cuma mimpi ? “. Kepala Daniela masih diisi dengan berbagai macam tanda tanya. Roger kini berlari dan mulai menyerang manusia serigala tersebut. Mereka saling adu cakar. Berlari kesana kemari dan bergulat menindih satu sama lain. Sesekali terdengar suara lolongan menghiasi acara gelut tersebut. “Asal kau tahu saja manusia serigala amatir. Kau ini hanya budakku?.” Manusia serigala tersebut nyengir menganggap rendah Roger. “Apa katamu budak?. Cuih aku tidak sudi menjadi budakmu.” Roger membuang ludah tanda tak sudi menjadi budaknya Manusia serigala tersebut mulai berlari dengan kencang dan menyergap Roger. Tubuh Roger kini tertindih oleh manusia serigala. Manusia seriagala itu langsung menggigit leher Roger. Melihat anaknya dalam bahaya Daniela mulai memegang pistol yang sedari tadi hanya tergletak di samping tubuhnya. Daniela mulai membidik manusia serigala tersebut dan menembaknya. Manusia serigala yang sedari tadi bergelut dengan Roger kini berlari menuju Daniela dan menerkamnya. Di bawah tubuh manusia serigala yang besar itu Daniela mencoba untuk menodongkan pistolnya. Namun sang manusia serigala segera menghempaskan pistol Daniela sehingga pistol tersebut sekarang tak ada lagi di genggaman tangan Daniela. Manusia serigala tersebut mulai mengoyak leher Daniela, urat nadi Daniela terputus seketika. Darah segar mengucur deras dari tubuh Daniela memenuhi permukaan tanah. Manusia serigala itu mulai mencabik – cabik tubuh Daniela, mengeluarkan semua isi perut Daniela. Tubuh Daniela kini berlumuran darah .Manusia serigala tersebut mulai memakan hati Daniela bulat- bulat dan tak berbekas. Mata Roger tak bisa berpaling dari adegan sadis itu tubuhnya kaku seperti di lem dengan lem perekat yang kuat. Manusia seriagala itu melolong Panjang merasa bahagia karena telah memakan makan malam yang sangat sedap malam itu lalu berpaling meninggalkan jasad Daniela dan Roger. Cahaya rembulan kini tertutup awan kelabu, tubuh Roger kembali menjadi manusia normal. Tubuh Roger yang sedari tadi mematung kini mulai bisa bergerak. Roger mulai berlari kencang ke jasad Daniela. “ MAMAAAAAA.” Roger berlaridan berteriak histeris , air matanya tak kuasa ia bendung. Satu – satunya harta berharga yang ia miliki kini telah tiada meninggalkannya di dunia yang fana. Roger mulai merengkuh jasad Daniela yang kondisinya sangat memprihatinkan. Roger mengusap pipi Daniela dan mencium jasad ibunya dengan lembut. Esok hari telah tiba. Berita kematian Daniela telah tersiar ke seluruh penjuru kota. Semua orang berpakaian serba hitam berbondong bonding datang ke rumah Roger untuk melayat. Tak terkecuali Robin. Robin terus duduk di samping Roger dan merengkuh pundak temannya dengan penuh rasa empati. Roger hanya bisa memandangi wajah Daniela dengan tatapan sendu. Wajah Daniela yang selalu marah di setiap pagi dan senyuman hangatnya kini tak lagi terukir di wajahnya, yang ada hanya wajah pucat pasi dan kosong. Roger sangat terpukul dengan kepergian Daniela tapi ia masih beruntung karena masih memiliki Robin , sahabat sejatinya yang selalu ada di saat ia terpuruk. Hadiah Untuk Ruby Desa Neverhills Hari ini adalah hari senin. Hari dimana umat manusia kembali beraktivitas setalah libur sehari untuk charge energi. Waktu bergulir begitu cepat. Ruby kini kelas 6 SD, yangmana Ruby akan menjadi seorang gadis remaja. “Ayah ayo berangkat!” Ruby mulai mengikat tali sepatu kecilnya. “iya sayang ayo berangkat.” Robin keluar rumah lalu mengunci pintu rumah. Robin menggandeng erat tangan Ruby selama perjalanan ke sekolah. “Ayah ingat ini hari apa?.” Ruby menatap Robin dengan tatapan penuh harap bahwa sang ayah akan ingat dengan hari ulang tahunnya “Ini hari senin ? .” Robin berbalik bertanya kepada Ruby. Ruby hanya mengangguk pelan. Dia tak memaksa ayahnya untuk mengingat hari specialnya itu. Biasanya sang ayah memberikan hadiah kecil untuk Ruby. Sebuah pesta ulang tahun kecil – kecilan yang dirayakan mereka berdua. Suasana hangat selalu menyelimuti keluarga kecil bahagia ini. Tak terasa mereka berdua telah sampai di depan gerbang sekolah. Ruby mencium punggung tangan ayahnya tak lupa cipika – cipiki baru lamabaian sampai jumpa yang selalu berbalas dengan senyuman hangat. Ruby berjalan menyusuri koridor sekolah yang ramai. Banyak aktivitas yang dilakukan anak SD di koridor itu mulai dari main lompat tali, kelereng dan ada yang menangis karena barang miliknya di lempar ke sana dan ke sini. Melihat pemandangan tersebut , Ruby lantas menghampiri kedua siswa yang sedari tadi sibuk mengganggu seorang siswi sampai menangis. Ternyata siswi yang menangis itu Miya sahabat Ruby. Miya kini menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Mukanya merah padam dan kulit wajahnya di penuhi dengan air mata. “Kalian banci ya?. Beraninya kok sama cewe?.” Ruby menatap ke dua siswa itu dengan tatapan marah. “Berani sekali kau manggil kita banci. Kasih tahu boss.” Siswa berambut hitam legam itu menyonggol bahu temannya untuk menyulut emosi. 2 siswa ini namanya Alucard dan Hayabusa. Mereka memenag terkenal usil seantero sekolah. Ruby mungkin masih bisa memaklumi kalau dua orang ini mengusili anak lain. Tapi Ruby tentu tak akan sudi kalau sahabatnya sendiri di usili oleh anak sok jagoan ini. “eh manusia kurcaci jangan sok jagoan kau.” Alucard kini mulai marah karena termakan omongan Hayabusa. Anak lain mulai mengrubungi mereka bertiga karena pertengkaran mereka semakin heboh dan mencuri perhatian. Tangan Ruby mulai mengepal karena jengkel mendengar perkataan Alucard barusan. “Sudah By, biarkan saja mereka ntar juga dibalikin.” Tangan Miya kini menggenggam erat tangan Ruby berharap gadis mungil itu tidak melakukan hal – hal yang tak diinginkan. Tapi amarah Ruby sudah tak terbendung lagi. Amarahnya sudah berada di ujung ubun- ubunnya. Ruby sebenarnya anak yang halus dan baik tapi kalau ada orang lain mengganggu orang yang disayanginya kepribadian itu berubah 360◦. “oh kamu nantang kami berdua. Tubuh kecil juga banyakan gaya. Maju sini kau cebol.” Haya mulai memancing amarah Ruby. Ini memang salah satu keahlian Haya memancing mincing emosi orang. “CEBOL? KATANYA.” Ruby membatin dengan penuh emosi kata yang barusan melesat dari mulut haya beberapa saat lalu. “Maju sini kalian.” Ruby masih menatap mereka dengan tatapan tajam namun tetap tenang. Alucard maju duluan melayangkan sebuah pukulan ke arah kepala Ruby. Dengan mudah Ruby mengelak pukulan Alucard. “Terlalu lambat.” Batin Ruby Haya juga tak mau ketinggalan menyerang Ruby. Dengan mudahnya Ruby mengelak pukulan dari Haya. “Kalian Lambat.” Ruby menyeringai lalu meraih kedua tangan 2 bocah laki – laki yang lebih besar dan tinggi darinya. Setelah meraih kedua tangan anak itu, Ruby lalu membanting keduanya ke atas lantai. Lantas kedua tubuh anak laki – laki ini terpelanting di atas permukaan lantai. Semua siswa yang menonton adegan ini histeris sekaligus kaget. Mereka bertanya – tanya dalam kepala mereka “ bagaimana Ruby yang mungil membanting dua orang sekaligus?.” Kedua anak ini meringis kesakitan . “Masih mau isengin sahabat aku lagi? Ku cabut kuku kalian dari tempatnya.” Ruby mengancam dengan tatapan mata suram dan tajam. “Maafkan kami Ruby, kami gak akan ganggu Miya lagi.” Alucard memohon kepada Ruby. Kini keduanya bersimpuh di depan lutut Ruby dengan tatapan penuh melas. Haya mengembalikan barang Miya yang sedari tadi di jadikannya bahan mainan dengan Alucard. “Makasih by.” Miya berterimakasih sembari mengusap sisa air mata yang ada di pelupuk matanya “Tak masalah, mereka pantas mendapatkan itu. Biar tahu rasa.berani sekali mereka bilang aku cebol” Ruby masih memasang muka kesal. “Kamu kan memang cebol by. Hahahah” Miya tertawa lepas karena berhasil meledek sahabatnya. “Miyaaa, aku ngambek nih yah.” Ruby menggembungkan pipi chubbynya dan menyilangkan kedua tangannya sehingga nampak imut. “oh iya, kamu tidak apa – apa kan?.” “gak papa kok. Yuk ke kelas.”Miya menggandeng erat tangan Ruby menuju ke kelas. Miya dan Ruby merupakan dua sahabat yang sudah akrab seperti saudara. Tak terasa bel tanda istirahat berbunyi. Miya dan Ruby tidak pernah ke kantin dan makan bekal bersama dalam ruang kelas. mereka biasanya bercanda, mengosip dan bertukar lauk bekal. Hingga semua keceriaan itu sirna saat Miya bilang. “Ruby, kayaknya akum au pindah sekolah deh.” Miya menatap kosong ke depan. “Memang kenapa Mi, sebentar lagi kan kita mau lulus, gak mau nunggu lulusan dulu?.” Wajah Ruby kini mulai terasa sedih “Kamu tahu sendiri kan orangtuaku adalah seorang pedagang jadi aku akan kembali ke kampung halamanku. Entar kita pulang sekolah bareng ya. Kita mampir dulu ke padang rumput yang biasanya.” Miya tersenyum ke arah Ruby berharap ekspresi sedih Ruby berubah. “Jangan sedih gitu dong kan kita masih temenan.” Miya meraih tubuh Ruby dan merengkuhnya dalam pelukannya. Ruby mengangguk dan membalas pelukan Miya dengan lembut. Bel masuk berbunyi dan menyudahi acara dramatis mereka. Bel pulangpun berbunyi. Para siswa seperti terbebas dari penjara setelah mendengar bunyi dering surgawi tersebut. Ruby dan Miya kini berjalan bersama menuju jalan pulang. Di sepanjang jalan menuju padang rumput favorit mereka bermain, mereka saling bergandengan tangan tak ingin melepaskan satu sama lain. Ruby memandang wajah samping Miya yang cantic dengan rambut putih, mata biru dan telingan lancip khas elf. Kulit putihnya terkena sinar senja sang surya. “Ternyata Miya nampak dewasa kalau di lihat dari samping seprti ini.” Gumamnya dalam hati Akhirnya kini mereka sampai di padang rumput. Mereka menaruh tas mereka di bawah pohon besar dan berlari menuju tengah padang rumput. Mereka bermain kejar – kejaran, tertawa bersama. “ini buat kamu Ruby.” Miya memberikan sepucuk bunga Dandelion kepada Ruby. “Buat apa ini Miya ?.” Ruby kebingungan “Sekarang kamu berdoa dan tutup mata setelah usai berdoa, tiupkan doa mu kea rah bunga dandelion ini. “ Miya sembari mepraktekkan apa yang barusan ia katakan. Ruby mulai menutup matanya dan menarik nafas dalam lalu berdoa “semoga aku dan miya bisa menjadi sahabat selamanya, semoga aku dan ayah bahagia selamanya.” “kalau sudah berdoa bilang ya , entar kita tiup bareng.” “Sudah Mi.” Ruby memberikan isyarat. “OK, 1, 2, 3,” Mereka meniup kelopak bunga dandelion bersama – sama. Dan memandangi kelopak bunga yang tertiup di bawa sang angin. “Ruby aku ada hadiah buat kamu. Tunggu sini ya.” Miya berlari kearah tasnya dan mengambil kotak berwarna merah dengan pita putih yang menghiasinya. Miya memeberikan kotak itu kepada Ruby. Setelah di buka ternyata kota itu berisi jepit rambut berhiasakan batu permata berwarna merah. Ruby mulai membaca isi surat dari Miya. Miya mengambil jepit rambut pemberiannya. Dia mulai menyibak sedikit rambut pirang bergelombang Ruby kesamping dan menyematkannya di rambut indah Ruby yang terpapar sinar senja. Sepanjang mata Ruby menyapu kata demi kata yang ada di surat Miya, pandangannya terasa kabur karena tak kuasa menahan air mata yang dia bendung sedari tadi. Air mata mulai membanjiri pelupuk mata dan kulit putih Ruby. Ruby merengkuh tubuh Miya dan menangis sekeras kerasnya sembari berkata “MAKASIH MIYA, MAKASIH BANYAK KAU SAHABAT TERBAIKKU.” Air mata Ruby membasahi pundak Miya. Miya hanya mengangguk dan air mata Miya juga menetes deras karena ini merupakan momen perpisahan bagi mereka berdua. Mereka mulai melepas pelukan satu sama lain. “Sudah ah jangan nangis.” Miya mengusap sisa air mata yang tersisa di pipi Ruby. Ruby juga mengusap air mata Miya. “Wah gak kerasa udah mau malam yuk pulang nanti ayah marah.” Ruby mulai gusar karena waktu mulai petang. Mereka mulai berlari menuju pohon besar tempat dimana mereka menaruh tas lalu beranjak meninggalkan padang rumput. Di persimpangan jalan mereka saling melambaikan tangan dan melempar senyuman satu sama lain. Sesekali Ruby menatap ke belakang melihat punggung Miya yang semakin lama semakin lenyap dari jarak pandang. Ruby merasa sekarang seperti mentari senja yang kehilangan warna orangenya , yang tersisa kini hanya perasaan hampa. Mentari kini telah berganti dengan bulan. Ruby kini tengah tertidur di atas ranjangnya yang nyaman. Tiba – tiba semburat cahaya memasuki celah matanya. Sayup – sayup terdengar suara pria menyanyikan lagu ulang tahun. “Happy birthday Ruby, Happy birthday Ruby, Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday Ruby.” Robin kini sedang menenteng kue ulangtahun dengan lilin berangka 12 dan tulisan “ HBD Ruby”. Ruby kira ayahnya lupa sama hari specialnya ternyata tidak. “Berdoa dulu ya sebelum tiup lilin.” Kedua mata Ruby dan Robin kini terpejam dan muali melantunkan doa, lalu meniup lilin yang ada di atas kue. “Tadi Ruby doa apa?.” Tanya Robin penasaran. “KEPOOOO HAHAHHA.” Keduanya tertawa lepas hanya sebatas kata kepo yang bisa memperhangat suasana. “Ayah ada hadiah buat Ruby.” Robin menaruh kue yang dia pegang lalu mengambil sesuatu di dalam sakunya. Mata Ruby berbinar ketika melihat bross berbentuk Love dengan hiasan sayap di kanan dan kirinya. “ Ini adalah bross peninggalan ibumu dulu. Saat itu ayah kasih sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Semoga kau suka ya nak.” Tatapan Robin yang hangat dan mendalam ke arah Ruby. “ Terimakasih ayah.” Robin merengkuh tubuh mungil Ruby kedalam pelukannya hingga membuat mereka tertidur pulas sampai pagi tiba. Hari Kelulusan Mentari datang menjemput pagi. Hari ini adalah hari kelulusan Ruby. Ruby kini tengah menyantap sarapan bersama sang ayah. Telur ceplok, susu hangat dan sayur mayur mewarnai piring mereka. “Kamu kenapa nak kok murung?, sakit?.” Robin bertanya dengan wajah cemas. “Ruby baik- baik saja yah.” Ruby melempar sebuah senyum kecil kepada Robin tanda dia baik – baik saja. “By, Ayah ini Ayah kamu. Darah Ayah mengalir di dirimu. Jadi Ayah tahu kondisimu seperti apa.” “Aku rindu Miya yah. Harusnya hari ini aku seneng karena lulus. Tapi sebagian kebahagiaanku kini pergi.” Mata Ruby memandang Robin dengan tatapan sendu. Robin mendekati putri kecilnya dan mulai mengusap punggung mungil Ruby dengan lembut. “Nak, dunia ini memang kejam. Kehidupan itu berputar nak, yang hidup akan mati, yang datang akan pergi. Memang kenangan itu akan masih tersisa. Bisa jadi kamu nanti bertemu dengan Miya di lain waktu dan di tempat yang lain.” Robin mencolek hidung mungil Ruby. Ruby terdiam menalaah kata demi kata yang barusan Ayahnya katakan. Merekapun berpelukan satu sama lain. Acara sarapan kini telah usai. Ruby dan Robin bersiap menuju ke sekolah untuk merayakan kelulusan. “Cantik sekali anak Ayah.” Mata Robin memandang Ruby penuh rasa kagum. Sang putri kecilnya kini telah beranjak dewasa. Ruby mengenakan kemeja putih dasi berenda dipadukan dengan bross bentuk love hadiah pemberian Ayahnya. Rambutnya yang biasa tergerai kini diikat gaya ponytail dengan jepit rambut berhiaskan batu Ruby yang merah menyalahadiah dari sang sahabat, yang memberi kesan simple namun elegant. Rok merah selutut , dipadukan dengan kaus kaki hitam polos dan sepatu pantofel dengan pita merah di tengahnya membuat Ruby terlihat sangat imut. “Ayahku juga tampan sekali hhh.” Ruby terkekeh memuji sang ayah. Robin berpakaian sederhana dengan kemeja putih berlengan panjang, jam tangan hitam, celana bahan hitam dan sepatu hitam yang telah disemir mengkilat. Ruby dan Robin bergegas menuju ke sekolah. Tak terasa kini mereka berdua telah sampai di depan gerbang sekolah. Mereka lantas menuju aula sekolah tempat dimana acara pelepasan diselenggarakan. Para murid di damping dengan orangtua masing- masing. Aula sekolah kini tampat lebih berwarna dengan berbagai macam dekorasi, sehingga membuat uforia acara kelulusan semakin berasa. Para siswa dan wali murid duduk di kursi yang telah disiapkan pihak sekolah. Gema sound system menggetarkan gendang telinga. Acara kelulusanoun dimulai. Pemandu acara mulai menyambut para tamu yang datang. Dan membacakan rentetan acara kelulusan yang akan diadakan. “Baiklah para hadirin, sebelum acara ini dimulai mari kita berdoa sejenak untuk kelancaran acara ini.” Para hadirin mulai berdoa dengan khitmad. “Aamiin. Acara pelepasan dimulai.” Pembawa cara memotong pita yang melintang dengan gunting yang telah dihias dengan cantik. Setelah pita terpotong para hadirinpun bertepuk tangan dengan meriah. Acara demi acara telah diselenggarakan tiba saatnya pengumuman ranking tertinggi. “Baiklah para hadirin tiba saatnya kita di acara pengumuman pemegang ranking tertinggi di kelas”. Suasana berubah menegangkan. “Peringkat pertama di pegang oleh Ananda…….. Ruby.” Seketika tepuk tangan dan sorak sorai terdengar ke seluruh penjuru. Ruby masih mematung di tempat duduknya masih tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Sorot matanya kosong masih tidak percaya dengan kenyataan. Usaha keras, doa dan dukungan baginya serasa tidak sia- sia. “Dimohon untuk Ananda Ruby maju kedepan dan memberikan beberapa pesan.” Ruby berdiri dengan gemetar. Dia mulai berjalan ke atas panggung dengan langkah yang mantap, kini seluruh perhatian orang mengacu pada Ruby sang juara kelas. Tibalah Ruby di atas panggung dengan lampu sorot menyorot terang ke arah dirinya. Pembawa acara memberikan sebuah piala kepada Ruby sebagai hadiah. Dari atas panggung, Ruby bisa melihat seluruh seisi aula sekolah dengan jelas. Tangannya merah mic dan jarinya mengetuk kepala mic untuk mengetes. Tubuhnya tak berhenti bergetar. Dia masih tidak menyangka bahwa kenyataan hidupnya begitu manis setelah banyak peristiwa pahit yang menimpanya. Ruby mulai berbicara dengan mata berbinar karena pantulan lampu sorort yang memantul lewat pupil matanya yang berwarna hijau emerald. “Sebelumnya saya akan bersyukur kepada Tuhan karena tanpa kehendak-Nya saya tidak mungkin bisa berdiri disini dan meraih semua penghargaan ini. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Ayah saya tercinta karena didikannya saya bisa meraih semua ini. Apalah arti diri saya ini tanpa beliau.” Air mata Ruby mulai menetes keluar dari pelupuk matanya. Robin berdiri dan bertepuk tangan memberi semangat kepada Ruby dengan wajah yang penuh haru. “Beliau mendidik saya dengan sabar dan tak pernah sekalipun membentak saya dengan kalimat kasar. Ayah Robin adalah Ayah terhebat bagi saya. Dia tak hanya seorang ayah di mata saya, dia juga seorang ibu yang penuh kasih sayang. Saya tidak pernah mengenal sosok ibu saya karena beliau meninggal saat saya di lahirkan. Tapi saya mengenal sosok ibu saya lewat cerita Ayah Robin. Saya juga berterimakasih kepada ibu bapa guru yang menjadi pengganti Ayah saat saya di sekolah. Terimakasih buat usaha keras ibu bapak guru mendidik saya. Saya juga berterimakasih kepada kawan – kawan yang telah memberi warna selama 6 tahun saya bersekolah di sini. Ada banyak canda, tawa, dan air mata kita lalui bersama. Seandainya sahabat saya Miya masih disini, saya ingin sekali memeluknya dan mengucapkan selamat hari kelulusan Miya. Terimakasih”Ruby membungkuk meberi salam hormat kepada para hadirin. Ruby turun dari panggung dengan air mata yang masih berlinang di pipinya. Tak ketinggalan tepuk tangan meriah dari hadirin mengiringi langkah Ruby. Ia berlari menuju ayahnya dan memeluk ayahnya erat . “Terimakasih.” Ruby berbisik lirih ke telinga Robin. Mendadak suasana yang tadinya penuh suka riya berubah menjadi haru biru karena Ruby. Hadirin merasa tersentuh karena pidato Ruby barusan dan adegan kekeluargaan yang begitu hangat dan menyentuh hati yang dilakukan oleh Ruby dan Robin. Acara kelulusan telah usai. Masa putih merah Ruby telah usai dia akan menuju ke babak baru. Robin menggandeng Ruby kecil membawanya ke rumah. Ruby keluar ke aula dan mulai bergegas pulang. “Ruby, tunggu.” Ruby menoleh kebelakang, dillihatnya seorang anak laki-laki berambut pirang bermata biru laut dengan memakai balutan kemeja biru dongker. Dia berlari dengan sekuat tenaga membawa sebucket bunga mawar di kedua tangannya. Ternyata anak laki – laki itu adalah Alucard. Alucard yang selalu mengisengi sahabatnya Miya. “Ini bunga mawar buat kamu. Selamat ya atas pencapaiannya.” Alucard meraih tanagn mungil Ruby dan berjabatan tangan dengannya. Setelah berjabatan tangan dengan Ruby, Alucard memberikan bucket bunga merah berukuran sedang kepada Ruby. “ya sudah aku pamit dulu ya. Dadah om dadah Ruby.” Alucard melemparkan senyum hangatnya kea rah Robin dan Ruby. Alucard bergegas pergi dengan wajah bersemu merah di pipinya. Di antara kelopak bunga mawar yang indah terselib secarik kertas. Ruby mengambil kertas tersebut lalu membaca nya dalam hati. “Selamat hari kelulusan Ruby cebol.” Ruby agak kesal karena dibilang cebol. Tapi dia merasa bahagia karena Alucard yang biasanya usil berubah menjadi orang yang lebih baik. Ruby dan Robin melanjutkan langkahnya. “Yah, tunggu sebentar” Ruby menghentikan langakah dan mengambil nafas dalam “Selamat hari kelulusan Miya semoga kau bahagia disana.” Ruby berbisik kepada angin berharap pesan itu disamapikan oleh angin yang menghembus lembut dan meniup rambut bergelombangnya. Liburan Mentari telah menjemput hari. Ruby dan Robin berancana menghabiskan waktu libur mereka ke tempat kakek dan nenek Ruby. Tempat tinggal kakek dan nenek Ruby berada di desa yang sama dengan Roger. Ruby dan Robin bersiap menuju rumah kakek nenek Ruby. Pagi mereka tak jauh beda dari pagi – pagi sebelumya, suasana kehangatan keluarga kecil ini begitu berasa. “Nak barang – barangnya sudah siap belum?.” “Sudah yah. Kita mau ngapain sih yah ke rumah kakek nenek?”. Ini merupakan pertama kalinya Robin mengajak Ruby ke rumah orangtuanya. “Kita bisa melakukan banyak hal seru di sana nak.” Robin tersenyum antusias. “Ruby sekarang ambil barang barangmu ya, kita akan segera berangkat.” Robin memegang pundak Ruby dengan penuh kasih sayang. Ruby mengangguk dan mulai mengambil barang – barangnya. Ruby membawa koper tas gendong berwarna merah yang berisi barang – barangnya. Ruby dan Robin berencana menginap di rumah kakek dan nenek Ruby selama beberapa hari. Robin dan Ruby akan berangkat ke rumah kakek nenek Ruby menggunakan delman. Meski di desa yang sama rumah kakek nenek Ruby terletak sedikit lebih jauh dari rumah mereka. Untuk menemukan delman mereka Cuma harus menunggu di sebrang jalan depan rumah mereka. Matahari mulai meninggi namun mereka tak kunjung mendapatkan delman untuk tumpangan. Mereka menoleh kanan dan kiri mencari delman yang sedari tadi tak kunjung datang. Ruby mulai bosan di memainkan kaki kecilnya di atas tanah. “Lama banget sih yah delmannya.” Wajah Ruby mulai masam karena kehibasan kesabaran. “Sabar ya nak mungkin karena kita yang kepagian.” Robin tetap menunjukan senyum hangatnya. Dan senyuman itu berhasil membuat masa kesabaran Ruby meningkat lagi. “Tak,Tok,Tak,Tok.” Terdengar sepatu kuda dari telinga mereka. Mata mereka kini tertuju pada sebuah delman yang datang dari ufuk timur. “Ayah lihat ada delman.” Ruby berjingkrak jingkrak kegirangan melihat delman yang sedari tadi mereka tunggu kedatangannya. Delaman itu memiliki dekorasi yang begitu elegant. Tempat para penumpang yang duduk di cat putih dengan ukiran kayu yang begitu artistic. Kuda yang membawa kereta itu berwarna putih bersih, dengan penutup mata berbentuk hati berwarna merah. Sang kusir tampil begitu menawan dengan menggunakan balutan kemeja berlengan panjang berwarna putih dipadukan dengan dasi berenda yang di klip dengan bros berwarna hijau emerald nan cantik. Kini delman itu berhenti di depan mereka berdua. Sang kusir turun dan membungkukan badannya memberi rasa hormat kepada sang calon penumpang. “Apakah anda butuh tumpangan pak?.” Sang kusir menawarkan jasa dengan sopan dan santun. “Iya, tolong antarkan kami ke desa Howl.” “Dengan senang hati pak, silahkan masuk.” Sang kusir membukakan pintu delman. Ruby dari tadi Cuma bisa mematung karena kagum dengan model delman yang unik. Matanya berbinar, hatinya bahagia karena dia diperlakukan bak putri kerajaan. Ruby dan Robin masuk ke dalam delaman dan duduk di dalamnya. Tempatnya begitu bersih. Di dalam delman Robin memberikan nasihat kepada sang anak “Nak, ini merupakan buah kesabaran kita. Tuhan maha tau apa yang terbaik bagi hambanya. Dia tahu segala isi hati dan yang terbaik bagi hambanya.” Robin menatap wajah putrinya dalam – dalam. Ruby terdiam dan memahami apa yang barusan Ayahnya katakan. Suara sepatu kuda mengiringi perjalanan mereka. Ruby duduk di dekat jendela delman dan menikmati setiap pemandangan yang ia lihat selama perjalanan. Pemandangan hamparan sawah dan gunung serta aktivitas para penduduk sungguh harmonisasi kehidupan yang indah. Kini mereka telah sampai di depan sebuah rumah sederhana. Rumah itu berpagarkan kayu. Memiliki halaman yang luas, dan banyak binatang ternak berkeliaran di sebuah kandang terbuka. Seorang wanita tua berpenampilan lusuh dengan sebuah penutup kepala di kepalanya. Wanita tua itu bernama Mery. “Robin kau kah itu.?” Nenek Merry menaik turunkan kacamata tua miliknya, menatap Robin dalam – dalam. “Ibu, ini saya Robin. Ibu apa kabar ?.” Robin memeluk erat nenek Mery dan tersenyum ramah. “Siapa gadis kecil manis di sampingmu ini?.” “ini Ruby bu cucu ibu.” Mata Mery melebar dia menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. “Ruby?. Ya ampun kau sudah sebesar ini.” Mery memeluk erat Ruby dengan hangat melepaskan rasa rindu yang sudah lama membelenggu dalam jiwa. “Maaf nenek tak pernah menjengukmu nak. Gak ada yang jagain ternak nenek soalnya.” Mery melepaskan pelukannya dan menatap Ruby dengan mata sembab penuh air mata bahagia. “Ya sudah ayo masuk.” Nenek Mery menuntun mereka masuk ke dalam rumah sederhanya. Dekorasi rumah yang dihiasi berbagai macam barang antic. Mata Ruby menyusuri setiap sudut rumah tua itu. Dia begitu kagum dengan barang – barang itu. Di ruang tamu terlihat seorang laki – laki tua bertubuh agak dengan poster tubuh agak membungkuk. Laki – laki itu tengah membaca koran dengan kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. “Papa.” Robin dan Ruby menghampiri laki – laki tua itu. Laki – laki tua itu bernama kakek Jhon. Kakek Jhon dulunya adalah seorang penebang kayu. Karena usianya sudah tua dan tenaga yang tak lagi muda, kini ia hanya memilihara ternak untuk sumber penghidupan. “Astaga Robin. Kamu apa kabar ? mana cucu kesayanganku.? “ Robin dan kakek Jhon berpelukan hangat. Ruby berjalan menuju kakek Jhon dan mencium punggung tangan kakek Jhon penuh sopan santun. “Ruby semakin dewasa kau semakin mirip dengan almarhum ibumu Wendy. Tapi mata hijau mu mirip sekali dengan Robin” Tangan kakek Jhon membelai lembut rambut pirang Ruby. “Duduklah nak, kita ngobrol – ngobrol sebentar.” Nenek Mery bergegas ke dapur untuk menghidangakan jamuan bagi mereka. Sedangkan mereka mengobrol – ngobral santai di ruang tamu. “Ruby kelas berapa sekarang?.” Kini mata Ruby dan kakek Jhon bertemu. Sorot mata kakek Jhon begitu hangat dan ramah. “Baru saja lulus SD kek.” Ruby menjawab malu – malu. “Ruby sudah punya pacar?.” Kakek Jhon tersenyum. Wajah Ruby bersemu merah dia gelagapan bak ikan terdampar di daratan. “Bercanda nak, hahaahha kau begitu mirip dengan Wendy.” Kakek Jhon mengacak – ngacak rambut bergelombang Ruby. Seketika mereka semua tertawa. Ruby hanya bisa tersipu malu di kursi duduknya. “Makanan datang.” Nenek Mery membawa 3 gelas the hangat dan segelas susu hangat yang masih mengepul dari dalam gelas. Ada juga beberapa buah roti jahe yang nampak lezat dengan tampilan yang menawan. Nenek Mery memberikan 3 gelas the hangat kepada Robin, kakek Jhon dan juga dia sedangkan Ruby diberi segelas susu hangat lalu duduk bergabung dalam obrolan tersebut. Ruby mulai menyruput susu hangat buatan nenek Mery. Bau susunya begitu kental dan murni. Susu tersebut mulai membasahi tenggorokannya. “Ya Ampun ini susu terenak yang belum pernah ku minum.” Batin Ruby Ruby mulai mengambil roti jahe yang sedari tadi menarik perhatiannya. Dia mencium aroma roti jahe yang begitu menggoda. Gigitan pertama , Ruby merasakan roti tersebut begitu renyah dan melebur ketika bertemu dengan lidahnya. Rasa hangat dari roti kering itu kini menyelimuti tenggorokannya. Ruby mencoba mencelupkan roti jahe itu ke dalam susu hangatnya. Dia merasakan aroma jahu dan susunya begitu kuat menusuk hidungnya. Kini roti kering itu melebur bersama susu yang terserap ke dalam pori – pori roti itu. “Ya ampun ini kombinasi yang luar biasa.” Gumam Ruby. Tanpa ia sadari Nenek Merry memperhatikannya sedari. Mulut Ruby kini di penuhi serpihan kulit jahe dan tergambar semburat garis putih bekas susu yang tadi ia minum. “Kalau makan pelan- pelan.” Nenek Merry mengelap mulut Ruby dengan selembar tissue. “Mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang ibu?.” Gumam Ruby dalam hati. Tak terasa mereka mengobrol begitu panjang. Mentari kini mulai meninggi. “Yuk saya antar ke kamar kalian.” Nenek Mery mengantar Ruby dan Robin ke kamar mereka masing – masing. “Nah yang ini kamar Ruby.” Nenek Mery membuka pintu kamar. Ruby mulai masuk ke dalam kamarnya “Ya sudah nenek tinggal dulu ya.” “Baik nek.” Nenek Mery meninggalkan Ruby ke dalam kamarnya.Ruby mulai merapikan barang – barangnya. Ia mulai menjelajah ke seluruh penjuru kamar. Kamar itu begitu sederhana hanya ada sebuah cermin besar, ranjang besar dan lemari berukuran besar. Ruby menemukan sebuah foto yaitu foto ayahnya dengan om Roger waktu masih kecil dulu. Ruby membanting tubuhnya ke kasur yang terasa empuk dan nyaman. Ruby menarik nafas dalam tanpa sadar ia kini terlelap karena kelelahan. Dongeng Sebelum Tidur Ruby terlelap terbuai dalam dunia mimpi yang indah. Dia kelelahan setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu dan tenaganya. “Nak bangun ini sudah maghrib.” Suara sang Ayah yang dibarengi dengan suara ketukan mimpi memebuyarkan mimpi indahnya. “Iya yah sudah bangun kok.” Ruby mengucek mata hijaunya, pandangannya masih blur. Ia melirik jam lucu yang tergantung apik di dinding kamarnya. “Astaga selama itukah aku tertidur ?.” Ruby kaget bukan main, matanya membulat tubuhnya yang awalnya lunglai mendadak tegap bak kesetrum ribuan volt listrik. Karena jarum jam sudah menunjukkan waktu pukul 18: 15 Ruby lupa aka nada pesta BBQ kecil – kecilan yang akan mereka rayakan nanti jam 18 : 30 malam. Ruby bergegas mandi membersihkan keringat dan air liurnya yang masih membekas di sela bibir mungilnya. Ruby mengambil handuk merah kesayanagnnya dan alat mandi yang masih tersimpan apik di tas punggung mungilnya. Dia bergegas ke kamar mandi. Guyuran air mulai membasahi tubuh mungilnya. Airnya begitu terasa sejuk di pori – pori kulit Ruby yang putih mulus bak porselen. Ruby membersihkan tubuhnya dengan sabun berbau mawar yang menyegarkan. Kini Ruby telah usai membersihkan diri. Ia mengusap sisa air yang masih membasahi tubuhnya menggunakan handuk merahnya. Ruby mengganti bajunya dengan baju tidur bermotif bulan bintang yang di dominasi warna biru dongker dan sandal kelinci yang membungkus kaki kecilnya. Dia bergegas turun mengikuti acara bakar – bakar keluarga kecilnya. Cahaya bulan yang berwarna pucat, bintang yang berkelip seakan bahagia menemani malam sang rembulan yang dingin. Kini Ruby dan keluarganya tengah mengadakan acara bakar – bakar. Gumpalan asap bakaran BBQ membumbung menghiasi langit malam dan percikan bara api yang mengiringi sang asap memberikan pemandangan yang indah. Kakek Jhon dan Robin yang memanggang BBQ, sedangkan Ruby dan Nenek Mery menyiapkan piring dan minuman di atas alas bermotif kotak – kotak merah putih yang mereka gelar di atas rumput. Seusai membantuk Nenek Mery, Rubi menghampiri kakek dan ayahnya yang kini tengah sibuk mengipasi daging sapi panggang di atas panggangan. “Ayah aku mau cob.” Belum usai mengucapkan perkataannya, wajah Ruby terkena kepulan asap hitam dari panggangan. “Aduh nak maaf ya ayah tak sengaja.” Ruby mengusap wajahnya dengan tangan mungilnya, bibirnya kini mengerucut kesal karena kakek dan ayahnya tertawa renyah melihat wajahnya menghitam. Bagaimana Ruby tidak terkena asap tingginya Cuma setinggi panggangan. “Kakek turunkan aku ahhahahh.” Kakek Jhon menggendong tubuh mungil Ruby ke angkasa karena melihat tingkah menggemaskan sang cucu semata wayangnya. Hati Ruby kini merasa sangat bahagia saat sang kakek mengangkat tubuhnya tinggi – tinggi. Ia merasa lebih dekat dengan bulan dan bintang karena kakenya melemparkannya ke angkasa yang tinggi lalu menangkapnya kembali ke pelukannya. “Keluarga itu seperti langit malam nak.” Kakek Jhon menatap langit malam, tamapak biasan sinar bulan terpatri di pupil matanya. “Kok bisa begitu kek?” Ruby bingung dengan apa yang kakeknya maksud. “Langit malam akan terasa sepi dan gelap gulita tanpa adanya sang rembulan dan kelipan bintang. Jadi intinya keluarga itu melengkapi satu sama lain.” Mata Ruby menatap lekat langit malam memahami apa yang kakeknya barusan katakana. “Ayah, Ruby BBQ nya sudah siap.” Suara Robin mengalihkan perhatian mereka berdua. Mereka lantas bergegas ke arah Robin dan nenek Mery yang tengah asyik menyantap BBQ. “Jadi seperti ini ya rasanya keluarga.” Ruby membatin dalam hati. Punya Robin sebagai Ayah di sisinya memang sudah membuatnya cukup bahagia. Tapi dengan adanya kakek Jhon dan Nenek Mery membuat kebahagian Ruby berlipat ganda. Kini mereka menikamati BBQ bersama di halaman rumah, bermandikan sinar bulan dan kelipan bulan serta desiran angin malam. “Disini senang di sana senang di mana - mana hatiku senang.” Robin memainkan gitar tua milik kakek Jhon sedangkan Ruby, Nenek Mery dan Kakek Jhon bertepuk tangan sambil bernyanyi dengan ekspresi bahagia yang tak dapat mereka sembunyikan. Mereka mengobrol, bernyanyi, bercanda sampai larut malam menikmati kehangatan kekelurgaan mengalahkan dinginnya angin malam. Mereka kini tengah di sibukkan dengan merapikan perkakas yang mereka gunakan untuk berpesta BBQ. Kakek Jhon dan Robin membersihkan panggangan sedangkan Ruby dan Nenek Mery merapikan alat – alat makan. “Nak tolong bawakan karepet itu ke dalam ruang bawah tanah ya.” “Iya nek.” Ruby menggulut karpet berukan sedang itu lantas membawanya ke dalam basement. Di dalam basement terdapat sabit berukuran besar yang tertutup dengan lemari kaca. Ruby mendekati sabit yang tingginya dua kali lipat tinggi tubuhnya. Sabit itu dihiasi dengan batu berwarna merah di ganggangnya. “Cantik sekali.” Gumam Ruby dalam hati. Ia menatap sabit besar itu dengan mata berbinar dan kagum dengan sabit tersebut. “Sabit itu karya seni buatan kakek.” Suara kakek Jhon membuyarkan lamunan Ruby. “Pantes cantik sekali kek.” “Iya lah kakek yang buat gitu loh.” “Kakek Alay hahaahaha.” Mereka berdua tertawa renyah di dalam basement. Ruby kini tengah berlutut dan menangkupkan tangannya sembari berdoa “ Ya tuhan semoga kebahagiaan hari akan bertahan selamanya. Aamiin.” Setelah berdoa Ruby bergegas menuju ke ranjang empuknya.Ruby kini tengah berbaring di atas ranjangnya mencoba untuk memejamkan matanya. Tiba – tiba terdengar suara ketukan. “Masuk tidak dikunci kok.” Suara derit pintu yang terbuka diiringi dengan suara langakah kaki nenek Mery. Nenek Mery membawa nampan berisi segelas susu dan beberapa buah kue kukis.Nenek Mery menaruh nampannya di atas cabinet Ruby. Nenek Mery kini tengah duduk di tepi ranjang Ruby. “Nenek belum tidur ?.” “Belum nenek masih kangen sama kamu nak.” Nenek Mery menyingkap helaian rambut Ruby yang menutupi dahinya. “Kamu tahu kenapa desa ini di sebut desa Howl ?.” Ruby menggelengakan kepala tanda tak tahu. “Kamu tahu tentang cerita gadis berkrudung merah ?.” Ruby menggelengkan kepala untuk kedua kalinya. “Mau dengar kisah tentang gadis berkerudung merah?.” Ruby mengangguk antusias “Icipin dulu ya kuenya sayang nanti dingin.” Nenek Mery menyodorkan nampannya kepada Ruby. Ruby mengambil sepotong kue kukis hangat yang baru matang dan mencelupkannya ke dalam segelas susu. Kue kukis itu meleleh bersama susu yang ada di dalamnya dan menyatu menjadi satu kesatuan dengan saliva Ruby. “Enak nek, kapan – kapan ajari aku bikin kue ya nek.” “Iya sayang kapanpun kau mau.” Nenek Mery menjawab dengan nada yang lembut. Ruby menghabisakan kue kukis dan susu yang di siapkan Nenek Mery dengan lahap. “Ayo nek mulai ceritanya.” Ruby menatap nenek Mery dengan antusias berharap cerita akan segera dimulai. “Mendekatlah akan nenek ceritakan kisahnya.” Nenek Mery menepuk ranjang berharap Ruby memperkecil jarak dengannya. Kini Ruby berbaring di samping tubuh tua nenek Mery. “Kenapa desa ini disebut desa Howl?. Karena cerita sang gadis berkerudung merah berasal dari desa ini. Howl sendiri berarti lolongan, hamper setiap malam lolongan serigala menghiasi malam – malam desa ini.” Seperti yang Nenek Mery katakan, Ruby kini mendengarkan ceritanya tak lepas dari lolongan serigala yang terus menggema dari luar rumah. “Baiklah kita mulai cerita gadis berkerudung merah.” Gadis berkerudung merah Pagi itu begitu cerah dan indah, suara burung dan kokokan ayam begitu nyaring terdengar di gendang telinga. Pagi itu sang gadis tengah sibuk membantu ibunya membersihkan taman di dekat rumahnya. “Nak, tolong antarkan makanan buat nenek ya.” “baik bu.” Gadis kecil itu memiliki sikap lembut dan penurut. Gadis itu mengambil dan memakai jubah merahnya lalu mengambil keranjang berisi makanan yang telah ibunya siapkan. “Ibu aku berangkat dulu ya,” sang gadis kecil mencium punggung tangan ibunya berpamitan. “iya hati – hati ya. Ibu ada pesan buat kamu, jangan pernah berbicara kepada orang lain selama perjalanan.” Sang ibu mewanti – wanti gadis kecil itu. Sang gadis kecil itu bergegas meninggalkan rumah. Di dalam hutan, gadis kecil itu melihat kumpulan bunga cantik yang tumbuh subur di tengah hutan. Gadis itupun memetic bunga itu. Di saat gadis kecil itu asyik memetic bunga untuk sang nenek tiba – tiba seekor serigala bertanya. “Apa yang kamu lakukan disini gadis kecil?.” “memetik bunga.” Setelah usai asyik memetic bunga, gadis itu meninggalkan tempat tersebut. Tanpa disadari serigala itu terus mengikuti sang gadis hingga ke rumah sang nenek. Kini gadis kecil itu telah sampai di rumah neneknya. Gadis itu mengetuk pintu dan tak lama sang nenek keluar dari rumah. Serigala yang sedari tadi sudah mengintai menyergap dan memakan mereka berdua hidup – hidup. Setelah makan serigala tersebutpu tertidur karena kekenyangan. Sang tukang kayu yang sudah mengintai gerak gerik sang serigala sedari tadi, kini tengah mendekati sang serigala dan membelah perut serigala tersebut dengan kapaknya. Sang nenek dan gadis kecil itupun selamat dan makan malam bersama dengan sang tukang kayu. “Kamu tahu pesan dari cerita tersebut nak?.” “Jangan percaya sama orang asing?.” Ruby balik bertanya kepada neneknya. “Betul sekali kita harus berhati – hati kepada orang yang belum kita kenal. Baiklah ceritanya sudah usai.” Nenek Mery membelai rambut pirang Ruby dan mencium kening cucunya dan mengucapkan selamat malam kemudian mematikan lampu kamar Ruby. Nenek Mery beranjak dari kamar Ruby, meninggalkan Ruby di kamarnya sendirian. Tak lama setelah cerita Nenek Mery, Rubypun tertidur dengan lelap tenggelam ke dunia mimpi bersama malam yang syahdu. Taking A Life Di perbatasan Enchanted Forest dan Moniyan Empire terdapat sebuah kekaisaran Dark Abyss yang dihuni oleh bangsa Demon Blood yang dipimpin oleh seorang vampire yang cantik nan berwibawa bernama Alice. Alice memiliki banyak anak buah, salah satu anak buahnya adalah bangsa manusia serigala. Bangsa werewolf sendiri di pimpin oleh Pale Tusk. Bangsa werewolf ini menunggu lahirnya seorang anak berdarah manusia yang lahir saat bulan purnama merah darah datang. Konon bila darahnya diminum dan hatinya di makan kekuatan besar akan muncul pada siapapun yang melakukan hal menjijikan tersebut. Bangsa Demon Blood sendiri merupakan bangsa yang haus akan kekuatan dan kekuasaan. Sehingga mereka tak segan menghabisi bangsa apapaun yang menghalangi impian mereka. “Alice, aku telah menemukan kabar yang luar biasa menggembirakan bagi para kaum demon blood.” Pale tusk kini bersimpuh di depan singgasana Alice yang megah. “Berita apakah itu Pale Tusk?.” Alice menjawab sembari memekan jamuan yang disiapkan oleh para pelayan. “Aku menemukan suatu informasi pada sebuah prasasti kuno bekas suatu kerajaan Twilight.” “Apa yang tertulis di prasasti itu ?.” Alice menatap Pale Tusk dengan serius “Akan ada seorang gadis yang lahir di saat bulan purnama merah darah. Gadis ini memiliki kekuatan yang luar biasa yang bisa merentuhkan kerajaan Abyss.” “Kau sebut itu berita bagus? Kau bodoh Pale Tusk. Kenapa kau tak memberitahuku lebih awal?.” A;ice berdiri dari atas singgasananya dan berbicara dengan nada yang meninggi. “Tunggu dulu yang mulia ceritanya belum usai. Jantung dan hati gadis ini memiliki aura magis yang bisa meningkatkan kekuatan para bangsa demon blood. Kita harus segera membunuh gadis ini sesegera mungkin.” Alice menghela nafas lega. “Kau tahu lokasi gadis ini berada ?.” “Prajuritku telah menemukan lokasi gadis ini Alice. Haruskah aku menyuruhnya menculik gadis itu?.” “Silahkan suruh prajuritmu menculik gadis itu dan menyerahkannya padaku.” “Baiklah Alice.” Pale Tusk beranjak dari posisi ia bersimpuh dan meninggalkan altar singgasana Alice. Kini Pale Tusk duduk di singgasananya dan memanggil adiknya untuk menemuinya. “Ada gerangan apa kakak memanggilku?.” Adik Pale Tusk kini bersimpuh di depannya “aku ada tugas untuk menculik seorang gadis.” “Gadis seperti apa yang ingin kakak culik.” “Gadis ini bukan sembarang gadis. Gadis ini bisa membunuh kita semua kalau dia dibiarkan hidup. Akan beda cerita kalau kau membawanya di depan ratu Alice. Kekuatan blood demon akan semakin kuat karena jantung dan hati gadis itu memiliki aura magis yang kuat.” “bagaimana ciri – ciri gadis itu kak?” “Kau akan tahu. Karena gadis ini memiliki aroma yang berbeda dari manusia biasa.” “Baiklah kak. Saya akan menculik gadis itu.” Adik Pale Tuskpun beranjak dari tempat sang kakak dan memulai pencariannya. Desa Howl Sinar sang mentari pagi menerobos masuk lewat jendela dapur rumah. Nenek Mery dan Ruby kini tengah sibuk berkutat mempersiapkan bahan untuk memasak kue. “Nenek Mery, menteganya habis.” Ruby menyodorkan kemasan mentega yang kini sudah kosong. “Ya Ampun cepet banget habisnya. Perasaan kemarin baru beli. Ruby mau menemani nenek ke pasar beli mentega?.” “Mau banget nek.” “Ya sudah kamu siapin dulu ya tas belanjaannya, nenek mau ambil dompet dulu.” Nenek mery mberanjak menuju kamarnya mengambil dompet. Sedangkan Ruby sibuk menyiapkan tas belanjaan. Setelah semua sudah siap mereka akhirnya berangkat ke pasar dengan naik delman. Sebenarnya jarak antara rumah Nenek Mery tidak terlalu jauh berhubung nenek Mery kini tak berusia muda lagi jadi lebih baik naik kendaraan umum saja. Akhirnya mereka sampai di pasar tradisional desa Howl. Suasana pasar begitu ramai pagi itu. Bpemandangan pasar seperti pedagang yang menawarkan dagangannya kepada calon pembeli. Ruby menjumpai pemandangan unik saat dia berada di pasar tradisional tersebut. Seorang ibu – ibu berdasker menawar sebuah baju pada sang penjual. “Ini gak boleh 75 ribu pak?” ibu berdaster itu mengacungkan sebuah daster berwarna biru tua kepada sang penjual. “gak bisa bu, bangkrut saya nanti. 85 aku kasih deh bu.” “Ini beneran gak boleh 75?” sang pedagang menggeleng tegas. Sang ibu yang tawarannya gak di terima sang pedagangpun meninggalkan ruko baju tersebut. Baru beberapa langakah saja sang ibu kembali berteriak. “BOLEH TIDAK 75 ?.” Suaranya yang cempreng membuat semua perhatian tertuju kepada sang Ibu. Sang pedagang hanya menggoyangkan jari telunjuknya. Ruby terkekeh dengan pemandangan tersebut. “Ayo nak, nanti kesiangan bikin kuehnya,” suara Nenek Mery membuyarkan kekehannya. Tangan mungil Ruby dan tangan Nenek Mery kini saling berpaut takut mereka berpisah satu sama lain karena kondisi pasar yang teramat ramai. Akhirnya kini mereka tiba di depan toko mentega langganan nenek Mery. Toko tersebut terletak agak ke dalam pasar. “Nenek Mery ini siapa? imut sekali.” Seorang wanita paruh baya bermata sipit mencubit pipi tembem Ruby karena gemas. “Ini cucu saya namnya Ruby.” Nenek Mery tersenyum ramah pada wanita sipit itu. “Oh namanya Ruby. Cantik kayak orangnya.” Ruby hanya tersipu mendengar perkataan wanita sipit itu. “saya mau beli mentega setengah kilo ya.” “Mau ada hajatan Nek? Banyak banget beli menteganya.” Jawab wanita sipit itu sembari menimbang mentega. “Tidak buat stock saja.” Setelah membayar mentega tersebut nenek Mery dan Ruby beranjak meninggalkan toko tersebut. Di perjalanan pulang Ruby melihat jubah berwarna merah menyelimuti sebuah manekin di sebuah toko kecil di tengah pasar tak jauh dari toko mentega tadi. “Nenek Mery, boleh tidak Ruby membeli jubah itu?.” Ruby menunjuk jubah merah itu dan menatap melas nenek Mery “Boleh nak.” Nenek Mery mengelus rambut pirang Ruby, Ruby berjingkrak bahagia dan berterimakasih kepada nenek Mery lalu memeluknya. Mereka berdua menuju ke toko itu dan membeli jubah merah yang Ruby mau. Ruby bahagia sekali memiliki jubah merah itu. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk pulang. Kini mereka telah berada di dapur. Mempersiapkan segala alat dan bahan yang akan digunakan untuk membuat kueh. “Kita mau buat kueh apa nek?” “Kita akan membuat kueh mawar.” Mendengar kata “ mawar “ membuat Ruby bersemangat. Entah mengapa kata “mawar” bisa mengingatkannya pada sahabatnya Miya. Kini mereka tengah sibuk membuat kueh mawar idaman mereka. Nenek Mery mengajari Ruby cara membuat kueh mawar dengan sabar dan telaten kepada Ruby yang pertama kali belajar membuat kueh. Tawa dan canda menghiai acara masak memasak mereka. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kueh mawar ala Nenek Mery dan Ruby siap dihidangkan. “Tolong panggilkan ayahmu dan kakekmu untuk memakan masakan kita.” “Baik nek.” Ruby berlari menuju belakang rumah dan menghampiri ayah dan kakeknya yang kini tengah sibuk memotong kayu dengan kapak. “Yah, kek istirahat dulu yuk. Ruby sama nenek habis masak kueh.” Sepontan kakek Jhon menghapiri Ruby dan menaruh tubuh mungil Ruby di atas pundak kekarnya. “wah sekarang cucu kakek sudah pinter masak.” Kini mereka tengah berkumpul di meja makan memakan kueh buatan Ruby dan nenek Mery. Rubypun banjir pujian dari ayah dan kakeknya. Meski ini perdana Ruby membuat kueh namun hasilnya tidak mengecewakan. Acara makan – makanpun usai. Kakek Jhon dan Robin disibukkan lagi dengan aktivitas memotong kayunya. Ruby membersihkan perkakas dapur yang barusan ia pakai untuk membuat kueh sedangkan Nenek Mery tengah menyiapkan tas berisi kue. “Nak tolong antarkan kueh ini pada Roger ya.” “Iya nek.” Ruby telah usai mencuci piring dan mengambil jubah merahnya yang barusan ia beli di pasar bersama nenek Mery. “Nak, jangan bicara sama orang asing ya selama di hutan.” Sambil menyerahkan tas berisi kue mawar. “Baiklah nek.” Tiba – tiba ia teringat tentang cerita “Gadis Berkerudung Merah” yang semalam neneknya ceritakan. Dia diam – diam menyimpan belati tajam yang ada di atas meja makan secara diam – diam lalu menyimpannya di jubah besar berwarna merah miliknya untuk berjaga jaga. Ruby berangakat dari rumah dengan matahari yang kini tepat berada di atas kepala. Di dalam hutan sinar mentari masuk lewat celah – celah daun pohon yang rindang. Jarak anatara Rumah kakek dan neneknya tinggal dengan rumah Roger lumayan agak jauh. “Nak tunggu mau kemana?” tiba – tiba suara nenek Mery terdengar di belakang Ruby. “bukannya nenek menyuruhku mengantar kueh ke rumah om Roger?” Ruby membalikkan badan. Matanya membulat lebar, mulutnya mengaga dan kakinya terasa lemah setelah tahu sosok yang memanggilnya barusan yang ternyata bukan nenek Mery melainkan Were Wolf. Dia lupa kalau neneknya melarangnya berbicara dengan orang asing. “ikutlah denganku gadis kecil. Aku akan memberikanmu kueh yang lezat.” Werewolf itu mendekati Ruby. Mulutnya dipenuhi air liur dan gigi gigi tajam yang siap mengoyak kulitnya dengan mudah. Kuku tajam werewolf kini kuku tajam werewolf tersebut memagang dagu Ruby, mata hijau emerald Ruby bertemu dengan mata coklat werewolf yang tajam. Diam – diam Ruby mengambil belati tajam yang ada di keranjangnya dan menyerang bagian perut werewolf itu. Dirasa werewolf itu tengah lengah, Ruby menaruh tas berisi kuenya dan berlari menuju werewolf yang tengah terluka karena sayatan belati yang dilakukan oleh Ruby. “Kau pikir aku ini bodoh ?.” setelah mengucapkan kalimat tersebut Ruby lantas mencabik – cabik perut werewolf tersebut dengan belatinya. Darah segar keluar dari tubuh sang werewolf sayatan demi sayatan kini berubah menjadi luka dalam. “AMPUUN , AMPUUN AUUUUUUUWUUU.” Serigala itu terus melolong dan merintih karena dianiaya oleh gadis mungil yang ada di atas tubuhnya. “Tak ada ampun bagimu serigala jelek. Lebih baik aku yang membunuhmu daripada kau yang membunuhku. Killing is always better than giving mercy. HAAHHAH” Ruby tertawa jahat. Ruby yang semula adalah gadis kalem dan polos berubah menjadi gadis kecil gila yang dipenuhi rasa ingin membunuh. sorot mata Ruby yang begitu lembut berubah menjadi sorot mata yang penuh amarah dan kedengkian. aliran darah werewolf itu kini membanjiri sekujur bagian perutnya. Darah werewolf itu sebagian mengotori jubah merahnya. Kini sang werewolf sudah sekarat tak berdaya. Ruby mengambil lagi tasnya dan meninggalkan werewolf itu terkapar di tengah hutan. Ruby kini berada di tepi sungai, ia membasuh bercak darah yang mengotori wajah dan jubahnya dengan air sungai yang sejuk. Setelah usai membersihkan bekas darah dia melanjutkan perjalanannya ke rumah Roger. Ruby kini telah berada di depan rumah besar milik Roger. Dia memencet bel rumah kemudian keluarlah sosok bi Inem dari dalam rumah. “Cari siapa ya?.” Tanya bi inem pada Ruby “Om Rogernya ada bi?.” Ruby tersenyum sopan pada bi Inem. “Maaf ya tuan Roger lagi ada tugas di luar kota. Ada yang bisa saya bantu?.” “ini bi titipan kueh dari nenek saya buat om Roger tolong disampaikan ya Bi,” Ruby menyodorkan tas berisi kue mawar kepada bi Inem. “Ya sudah terimakasih ya Bi. Saya pulang dulu.” Ruby membungkuk memberi salam lalu berpamitan kepada bi Inem. Dark Abyss Pale Tusk dikejutkan dengan kehadiran adiknya yang terluka parah karena sayatan benda tajam yang menghiasi perutnya. “Kamu kenapa ?.” Pale tusk menghampiri adiknya dan menopang tubuh adik semata wayangnya. “Maaf kak, aku tak bisa membawa gadis itu.” Werewolf itu menatap sendu kakaknya yang kini menopang tubuhnya yang sudah tak kuat berdiri karena kehabisan darah. Adiknya pun mati dalam keadaan yang mengerikan di pelukannya. Hati Pale Tusk kini di selimuti awan dendam dan gemuruh amarah yang membara. “Tunggu saja pembalasanku gadis kecil biadap.” The Wolf is Cominggggg Dear pembaca: Cerita ini mengandung adegan bedarah, kesadisan, kekerasan dan perkelahian serta adegan - adegan yang menjijikkan. selamat membaca kisah Ruby. THE WOLF IS COMING Hati Pale Tusk kini diselubungi awan hitam. Rasa benci,dengki dan hasrat balas dendam terus bak ribuan anak panah menghujam kepalanya. Adik semata wayang yang selalu setia di sampingnya kini telah di renggut nyawanya oleh seorang gadis. “Wahai Alice yang agung. Izinkan aku dan pasukan serigalaku menjemput gadis itu.” “apakah kau perlu pasukan tambahan untuk menjemput gadis itu?” “Tidak usah Alice. Aku dan pasukan serigalaku sudah cukup untuk menjemputnya.” Jawab Pale Tusk dengan mantap. “Baiklah aku izinkan kau menjemput gadis itu.” “Terimakasih Alice.” Pale Tusk beranjak dari posisi besimpuhnya dan bersiap menjemput gadis yang telah merenggut nyawa adiknya. Dia akan menyerahkan gadis itu ke Alice entah hidup atau mati. Lembah Serigala “Wahai kawananku. Bersiaplah untuk berperang. Malam ini kita akan menjemput seorang gadis untuk diserahkan ke tangan Ratu Alice. Biarpun nanti diantara kita ada yang mati. Maka kita mati dengan hormat demi kemajuaan Dark Abyss. Auuuuuuuuuu.” Pale Tusk membakar semangat kawanan serigala buas untuk berperang. Suara lolongan serigala itu begitu memekakan telinga. Semangat para serigala kini bak api membara yang siap membakar apapun yang menghalnginya. Akhirnya kawanan serigala itupun berangkat memulai pencarian sang gadis yang dipimpin Pale Tusk sang raja serigala. Desa Howl Malam ini begitu terasa mencekam. Tiada sinar bulan ataupun kelipan bintang yang menghiasi langit malam. Gemuruh angin malam dan juga lolongan serigala yang begitu mengerikan menghiasi malam desa Howl mala mini. Ruby kini tengah tertidur diranjang empuknya dan tenggelam di dalam dunia mimipi yang indah. “Bau ini. Kawan – kawan kesinilah gadis itu di sini.” Pale Tusk memberi komando untuk mengepung kediaman kakek dan nenek Ruby. Saat itu kakek john tengah bersantai di ruang tengah. Dia mendengar suara geraman yang berasar dari luar rumah. Dia menuju ke depan pintu dan mengintip makhluk apa yang tengah menggeram di gelapnya malam. Saat matanya mengintip di lubang tiba – tiba benda tajam menusuk bola matanya. “Arghhhh sakiit.” Darah segar mengucur dari rongga mata kakek Jhon. Bola matanya kini sudah taka da lagi. Hanya meninggalkan bekas lubang kosong yang sudah tak ada fungsinya. Mendengar teriakan kakek Jhon spontan semua penghuni rumah berkumpul di ruang tengah. “Mery, Robin cepat pergi dari rumah ini. Disini sudah tidak aman.” Kakek Jhon menatap anggota keluarganya dengan satu sorotan mata yang tajam. “lantas apa yang akan kamu lakukan disini?.” Nenek Mery bertanya dengan wajah panik dan gusar. “Aku akan menahan mereka.” “Mereka siapa ayah?.” Robin memeluk putri kecilnya erat – erat. “Bangsa serigala. Sudah sejak lama sekali bangsa serigala itu tak pernah datang kesini. Ada apa gerangan yang membuat bangsa serigala itu kembali menyerang desa ini?.” Kepala Kakek Jhon dipenuhi dengan tanda tanya “Dimanakah Roger ?.” “Apa hubungannya desa ini dengan sahabatku Roger?.” Robin merasa bingung dengan keadaan “Beberapa tahun lalu. Di suatu malam tak berbulan seperti sekarang ini para bangsa serigala menyerang desa Howl. Roger dengan berani melawan kawanan serigala itu seorang diri.” Nenek Mery bercerita dengan panjang lebar. “Robin sudahkah kau tahu tentang siapa Roger yang sebenarnya?.” Nenek Mery menatap lekat wajah Robin yang kini dipenuhi dengan keringat dingin. Robin menggeleng tidak mengerti. Dia sahabat Roger dari kecil. Banyak hal yang telah mereka lalui bersama. Lantas apa yang disembunyikan Roger darinya selama ini ?. Kepala Robin kini tengah diihujam dengan ribuan tanda tanya yang memenuhi isi otaknya. Hatinya terguncang mengapa Roger tak pernah memberitahu rahasia itu padanya.” Apakah aku bukan sahabatmu lagi Rog?” “Roger itu sebenarnya manusia serigala. Hanya dia yang mampu menghadapi kawanan serigala itu.” Mendengar perkataan nenek Mery wajah Robin seketika memucat, bola, matanya melebar, mulutnya menganga tidak percaya kalau sahabat karibnya itu seorang manusia serigala. “Mengapa dia tidak memeberi tahuku ?.”, “mengapa dia menyembunyikan itu semua dariku?”. Kata mengapa tak berhenti terucap di dalam kepala Robin. Tiba – tiba dia teringat dengan peristiwa penyerangan manusia seriagala beberapa tahun silam yang melibatkan dia dan Roger. “Luka cakar itu.” Robin sekarang tahu mengapa sahabatnya bisa berubah menjadi seorang werewolf. Saat Robin masih kecil ia gemar sekali mendengar dan membaca cerita dongeng. Dari salah satu cerita yang ia baca. Jika seseorang tercakar,tergigit oleh seorang manusia serigala maka akan ada 2 kemungkinan. Manusia itu akan mati atau menjadi seorang manusia seriga. Dia masih bersyukur Roger masih hidup dan pernah melindungi desa orangtuanya tinggal. “BRAKKKKKKK” Suara dobrakan pintu yang begitu keras membuyarkan semua percakapan tentang Roger. “Auuuuuuuuuuu. The Wolf is coming.” Pale Tusk berada di ambang pintu yang kini ternganga lebar. Di luar sana, di dalam gelapnya malam ada banyak sorotan mata tajam yang bersinar, yang kini tengah menatap mereka dengan tatapan lapar. “Halo gadis kecil ikutlah bersamaku.” Pale tusk mengulurkan tangannya dari jauh ke arah Ruby yang kini berada dalam pelukan hangat sang ayah. “Kalian menyingkirlah dari sini aku akan menahan mereka disini.” Kakek Jhon mencoba menghalau pasukan serigala lapar itu. “Jhon kau tak akan sanggup menghadapi mereka seorang diri biarkan aku menemanimu.” Air mata nenek Mery pecah seketika melihat keadaan suaminya yang kini tak lagi muda mencoba bergelut dengan begitu banyak kawanan serigala. “Jangan Mery, kau adalah sosok ibu yang sekarang satu – satunya Ruby punya. Jadi aku mohon jaga Ruby baik – baik. Dia permata keluarga kita.” Kakek Jhon tersenyum manis ke arah nenek Mery. Tiba – tiba seekor serigala menerkam kakek Jhon. “Gubrakkkk” tubuh renta kakek Jhon terpelanting di atas lantai rumah. Seekor serigala kini berada di atas tubuh tuanya. “PERGILLLAH.” Kakek Jhon menahan gigi serigala itu dengan tongkat kayu yang dibawanya. Nenek Mery, Ruby dan Robin bergegas meninggalkan kakeknya bergulat dengan kawanan serigala. Tidak akan mungkin seorang pria tua bergulat sendirian dengan kawanan serigala lapar itu. “KAKEKKKKKK.” Ruby memekik meneriaki kakeknya dari gendongan Robin. Air matanya pecah, tangan mungilnya mengulur kea rah sang kakek seakan ingin mencoba meraihnya. Di ruangan tengah. “Menyingkirlah kau binatang kotor.” Kakek Jhon menendang perut serigala itu hingga kini tercipta jarak diantara mereka. “Kau hebat juga kakek tua, kau tahukan cucumu itu special ?.” Pale tusk kini mendekati kakek Jhon. “Iya dia special untuk keluarga kami.” Sebuah cakaran mendarat di wajah keriput kakek Jhon. “Bukan masalah itu pria tua. Hati dan jantung cucumu itu bisa memberi kekuatan bagi bangsa kami. Berhubung kamu tak berguna bagi kami maka pergilah ke neraka.” Pale tusk memberi aba – aba kepada kawanan serigala untuk menyantap kakek Jhon. Gigitan, cakaran, sayatan darah tak lepas dari tubuh tua kakek Jhon. Dia sudah tak bisa melawan lagi karena kini ada banyak serigala yang tengah menggerogoti tubuh rentanya. Rasa perih karena cakaran dan sayatan sudah tak ia rasakan lagi. Matanya terpejam dan sukmanya kini kembali ke sang maha pemilik hidup. Para serigala lapar itu terus mengoyak daging kakek Jhon. Jeroan kakek john kini berhamburan tak beraturan. Darahnya berceceran di lantai. Tubuhnya kini tak berbentuk lagi. Di dalam basement Kini Robin, Ruby dan nenek Mery berada di dalam basement. Tubuh mereka menggigil ketakutan, keringat dingin membanjiri tubuh mereka. “Jhon,” Nenek Mery tak henti memanggil belahan jiwanya. “Ayah apakah kakek baik – baik saja?.” Ruby menatap Robin dengan tatapan yang sendu. Di matanya yang hijau tegambar jelas rasa ketakutan. Robin yang sudah tahu apa yang terjadi hanya mengatakan “Kakek pasti akan menyusul kita nanti.” Semua omongan Robin hanya sebuah omong kosong. Kalau dia mengatakan yang sebenarnya tentu keadaan akan semakin keruh. Tiba – tiba terdengar suara dobrakan pintu basement yang sangat kuat. Robin dan Mery spontan berlari kearah pintu untuk menahan kawanan serigala itu menyerang Ruby. “Kau fikir kau bisa kabur dari kami.?” “Ruby larilah cari tempat yang….” Robin belum usai berbicara lehernya keburu ditikam sama seekor serigala yang diikuti oleh serigala lainnya. Tubuhnya menggelepar bak ikan yang kehabisan oksigen di daratan. Para serigala yang rakus itu menggerogoti tubuh Robin dengan penuh nafsu. Ruby hanya bisa membantu dan bersimpuh di depan sabit besar yang selama ini ia kagumi saat pertama kali melihatnya. Tak lama setelah Ayahnya diterkam oleh serigala nenek Mery yang lengahpun tak luput dari serangan gerombolan serigala yang lapar itu. Basement itu kini terasa begitu mencekam. Lolongan serigala, tangisan dan jeritan menghiasi ruangan sempit itu. Darah Robin dan nenek Mery meluber ke segala arah. Jeroan mereka terkoyak entah kemana terlepas dari bagian tubuh mereka. Tubuh yang dulu menjaga Ruby dengan penuh kasih sayang kini hanya tinggal jasad tak bersukma. Mata Ruby menyaksikan adegan sadis itu tanpa berkedip. Jiwanya terguncang hatinya seperti tersayat sebuah belati tajam tak kasat mata. Tubuhnya gemetar tak karuan. Keringat dingin membasahi pelipisnya. “ Baru kemarin aku mendapatkan kebahagiaan yang kumau lalu kau dengan mudahnya merebutnya dariku?” sorot mata Ruby berubah menjadi tajam penuh dendam dan amarah yang menggelora di dalam hati kecilnya. “Kau ini hanya seonggok makhluk kotor yang mengusik kebahagiaanku. Kau tak akan kuberi ampun.” Ruby berlari menuju lemari kaca yang melindungi sabit besar nan cantik itu. “Bagus gadis kecil marah lah hahahhahaha auuuuuu.” Pale Tusk bukannya merasa panik malah tertawa lepas dan melolong sejadi – jadinya melihat kemarahan Ruby. Para kawanan serigala itu berlari kencang ke arah tubuh mungil Ruby. “Srakkkkk” dalam sekali ayunan sabit. Tubuh para serigala itu terbelah menjadi 2 bagian. Darah serigala itu mengotori sabit dan kulit putih Ruby. Ruby mencolek noda darah yang ada di sabitnya lalu berkata “hmmm darah serigala tak begitu buruk. Mungkin jeroanmu lebih enak wahai werewolf bajingan.” Ruby menyerang Pale Tusk dengan sabit besarnya. Dia memutar sabitnya “Don’t Run Wolfking¹” namun dengan mudah Pale Tusk menghindar serangan tersebut. Pale tusk melompat dan mencakar mata kiri Ruby. Ruby seketika kehilangan sebelah matanya. Mata hijau yang indah kini hanya tinggal sebelah. “ARGGHHHHHH, Beraninya kau. Mata dibayar dengan jeroann hahahhah.” Ruby mencengkram luka bekas matanya lalu berlari dan melompat ke arah Pale Tusk. Tentu Pale Tusk tidak sendiri dalam melawan Ruby dia dibantu oleh kawanan serigala. Namun kemahiran Ruby dalam memainkan sabit berhasil mengalahkan kawanan serigala buas tersebut dengan mudahnya. Pale Tusk tercengang dengan kekuatan gadis mungil itu. Basement tua kini terkotori dengan darah, jeroan dan kepala serigala yang bercecer di segala arah. Ruby menerjang dengan sabit besarnya seraya berkata,”Be good wolfking².”. namun Pale Tusk masih bisa menghindar dari serangannya. “Sekarang giliran kamu pergi ke neraka. AUUUUUUUUUU” Ruby menarik Pale Tusk yang mencoba lari dengan sabitnya. Namun keberuntungan belum bersama Pale Tusk malam itu. Tubuhnya terbelah dua. Badan dan kakinya terpisah menjadi dua bagian. Ruby mengarahkan ujung sabitnya ke arah Pale Tusk yang kini sudah tak berdaya lagi. “Ampun, Ampuni aku.” Pale Tusk memegang kaki mungil Ruby memohon pengampunan kepada sang gadis. “Mata di bayar mata. Nyawa di bayar nyawa.” Ujung sabit Ruby memecahkan bola mata Pale Tusk. Tak puas mengambil mata Pale Tusk. Ruby mengoyak perut Pale Tusk. Ia mencabik cabik perut itu dengan ujung sabitnya yang tajam. Dia mencari jantung dan hati Pale Tusk diantara jeroan yang lain. Tangan mungilnya menyusuri isi perut Pale Tusk yang diselimuti dengan darah. Akhirnya dia menemukan jantung dan hati yang selama ini dia cari. Ruby memakan jantung dan hati itu mentah – mentah tanpa ada rasa jijik sedikitpun. Ruby tertawa puas telah menghabisi raja serigala seorang diri. Sisa darah Pale tusk yang mengotori tangannya, ia oleskan ke mata sabitnya seraya berkata “ Untuk Ayah, kakek, dan nenek darah ini untuk kalian. I wash my hook with blood³.” Malam ini gerimis menyapa sedih desa Howl. Ruby menyeret jasad sang Ayah, nenek dan kekeknya menuju belakang rumah mereka. Ruby telah menggali lubang itu sendirian. Dia memakamkan sang ayah, kakek dan neneknya seorang diri. Dia tak ingin orang lain tahu dengan apa yang semalam menimpa keluarga kecilnya. Dan tak ingin seorangpun mengetahui kesediahan yang ia alami. “Biarlah kesedihan ini terkubur bersama jasad keluarga kecil yang aku sayangi.” “Dear kakek, nenek dan Ayah.Semoga kalian tenang disana. Aku berjanji akan menemukan ending yang bahagia di dalam kisah hidupku ataupun orang lain. Jangan khawatirkan aku lagi.” Ruby mengelus batu nisan itu seakan anggota keluarganya mendengarkan kesedihannya. Ruby masuk kedalam rumah. Mengambil jubah merahnya, menaruh pin berbentuk cinta yang dihiasi sayap di sisi kanan dan kirinya dan menaruhnya tepat di dada Ruby. “ Pin ini adalah kalian.” . setelah itu Ruby mengambil penutup mata. Dia tak akan membiarkan orang lain melihat matanya yang bolong sebelah. Sete;ah itu ia mengambil sabit besarnya dan bergegas meninggalkan desa Howl dan menuju ke Land of Dawn. Kehilangan orang yang dia sayangi diusia belianya membuat pribadinya menjadi kuat. “Aku tak ingin menjadi lemah. Karena aku adalah bunga mawarnya miya dan permata keluargaku. Aku tak akan mengkhiyanati kepercayaan kalian. “ “Aku akan menciptakan akhir yang bahagia untuk kisah yang aku temui.” Ruby berjanji dalam dirinya. Abyss Empire “Apa yang terjadi padamu ?.” Alice terkejut melihat tubuh Pale Tusk yang terkoyak, jeroannya berhamburan mengotori altar singgasananya. “A.a.a.lice maaf aku telah kalah gadis itu terlalu kuat.” Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Pale Tusk. “Sekuat apa gadis itu sampai panglima serigalakupun tumbang?.” Kepala Alice kini dipenuhi dengan bagaimana gambaran gadis kuat itu. Lumen and Noxell Hari demi hari telah berlalu. Ruby terus berkelana untuk mencari sebuah kisah yang akan dia ubah menjadi ending yang bahagia seperti yang didongengkan oleh Nenek Ruby. Kini Ruby berada di tengah hutan antah berantah tiada siapapun disana. Yang ada cuma suara angin yang meniup dedaunan, binatang hutan. Hari telah menjemput senja sang surya kini akan kembali ke singgasana agungnya. Ruby kini mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. “KRICIK, KRICIK, KRICIK.” Samar – samar terdengar suara gemercik air. Ruby segera ke sungai untuk mencari tempat melepas lelah. Suara gemercik air itu membawanya ke sebuah sungai yang bersih dengan satu pancuran air yang nampak indah karena terpantul sorot sinar sinja. “Segarnya.” Ruby mencuci wajah imutnya lalu meminum air dari pancuran air. “Ayah, Kakek, Nenek,Ibu. Aku yakin kalian masih di sini bersamaku.” Ruby mengelus pin baju berbentuk hati yang kini menempel di jubah merahnya sembari menatap langit senja yang kini sudah mulai terasa gelap. Dia memejamkan mata dan menikmati suara gemercik anir sungai, ”Tenangnya.”. Dia mulai mencari tempat teduh untuk beristirahat di dekat aliran sungai. Baru selangkah kaki mungil Ruby melangkah, dia melihat cahaya yang sangat silau di dekat pancuran bekas ia menyegarkan tubuhnya yang letih. “Cahaya apa itu ?. kenapa cahaya itu nampak tidak biasa ?.” dia terus mengamati cahaya yang nampak tak biasa itu dengan mengernyitkan kedua matanya karena retinanya tak sanggup melihat intensitas cahaya yang tinggi. Cahaya itu memiliki dua warna yang sangat bertolak belakang, yang satu berwarna begitu terang yang satu lagi berwarna ungu gelap. Selang beberapa saat munculah sesosok gadis cantik. Gadis itu berpostur semampai, rambutnya memiliki 2 warna yang sebelah berwarna gelap yang sebelah berwarna pirang. Matanya indah dengan pupil berwarna ungu muda. Tatapan matanya begitu menenangkan jiwa Ruby. Gadis itu memiliki sayap berwarna hitam dan putih dengan partikel cahaya dan kegelapan di lengkungan kedua sayapnya. Tangannya memegang suatu benda berbentuk kubus yang nampak sangat kuno.’ “siapa gadis ini ?.ngapain dia disini.?” Isi kepala Ruby kini dipenuhi tanda tanya yang tak tau jawabannya. Gadis cantik itu melangakah mendekati Ruby. Dia menatap Ruby intens mengamati setiap jengkal tubuh Ruby dengan teliti seperti memastikan sesuatu. “Kaulah orangnya.” Tiba – tiba dia berteriak sambil menunjuk Ruby. Teriakannya membuat Ruby kaget hingga membuat Ruby mundur beberapa langkah. “Apaan?. Kamu siapa?.” Ruby memasang wajah bingung namun tubuhnya sudah memasang kuda – kuda untuk menyerang gadis asing itu. “hahahhahaahhaha. Kamu lucu sekali. Jangan takut aku tidak menggigit.” Gadis itu berjalan mendekati Ruby dan mengulurkan tangannya. “Namaku Lunox.” Gadis itu tersenyum ramah ke arah Ruby. “Namaku Ruby.” Ruby membalas jabatan tangan Lunox. “Kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa kau tiba – tiba keluar dari benda aneh yang kau pegang itu?” “Kau ini bawel sekali ya . hmmmm” Lunox terkekeh karena dirinya dihujami banyak pertanyaan. Ruby lantas mengrucutkan mulutnya. “Aw sakit tau.” Ruby mengelus mulutnya karena Lunox mencubit mulut mungilnya dengan gemas. “ini namanya twilight orb. Aku berada di dalam sini sudah lama sekali.” “Twilight orb ? apa itu ?. Kamu ngapain di dalam situ ?.” Mata Lunox yang tadi berbinar kini berubah menjadi tatapan sendu. “Aku tak mengerti kenapa takdir ini begitu kejam padaku. Mengapa harus aku yang mengemban tanggung jawab seberat ini ?.” Air mata kini membasahi pelupuk mata Lunox. Ruby mendekati Lunox dan mengelus pundak Lunox dengan lembut berharap Lonox bisa sedikit menenangkan diri. “Bisa kau bercerita sedikit padaku tentang masalahmu?. Siapa tahu itu bisa meringankan bebanmu.” Ruby menatap Lunox dengan penuh rasa empati. “Aku terlahir dengan kekuatan yang unik. Saat aku lahir aku memiliki sepasang sayap yang terus tumbuh seiring bertambahnya usiaku. Tubuhku diselimuti dengan cahaya dan kegelapan. Kau tahu mengapa namaku “Lunox” ?.” Ruby menggelengkan kepala. “Lunox berasal dari kata “Lumen” yang artinya cahaya dan Noxell yang artinya “Kegelapan”. Kata orangtuaku, kelahiranku merupakan sebuah keajaiban. “Kau yang akan menghapuskan segala kekacauan yang ada di landawn.” Orangtuaku sudah mengetahui takdirku semenjak awal dan baru mengatakannya disaat aku remaja. Bukannya menghapuskan semua kekacauan yang ada di Land of Dawn justru aku yang membuatkeadaan menjadi semakin rumit bahkan merengget keluarga yang aku sayangi.” Lunox menangis tersedu – sedu dia menjeda ceritanya karena dadanya kini terasa sesak. Seakan ada bom yang ia tanam di dalam dirinya dan siap meledak sekarang. Ruby terus mengelus pundak Lunox memberikan rasa tenang. “Setelah sekian lama. Akhirnya aku sadari kalau kekuatanku ini masih belum seimbang. Kegelepan begitu kuat menyelimuti diriku. Setiap malam aku berdoa kepada dewa untuk memberikan solusi dari kekuatanku yang tak terkendali. Hingga suatu hari dewa membalas doaku selama ini. Dia menyegelku ke dalam twilight orb untuk menyeimbangkan kekuatanku dan tertidur panjang, megorbankan semua impian dan harapanku demi dunia yang damai. Namun semakin lama segel ini semakin lemah dan akupun kembali ke tanah yang penuh kekacauan ini. Terkadang aku membenci takdir yang dengan teganya merenggut semua yang aku miliki. “ Mendengar cerita ini Ruby berkata dalam dirinya,” rasanya dia mirip sekali denganku” “Lunox kamu tidak sendiri, terkadang aku juga membenci takdir. Takdir yang telah merenggut semua keluargaku dalam sekejap mata. Hatiku hancur kala itu. Aku bingung mau kemana? Tempatku bercerita dan tertawa kini telah sirna yang tersisa hanya kenangan.” Ruby memeluk Lunox dengan penuh kasih sayang. Air matanya mengucur deras kenangan yang dia pendam kini mencuat ke permukaan. Namun hatinya sedikit senang karena dia bisa meluapkan semua perasaannya kepada seseorang yang bernasib mirip dengannya. “Ruby, sebaiknya kita berdua selalu hati – hati. Karena bangsa blood demon terus mengincar kita.” Lunox melepas pelukan Ruby. Kini mata mereka saling bertatap mata dengan intens. “Bangsa blood demon? Siapa itu?.”Ruby bertanya bingung. “Aku tahu kau telah kehilangan keluargamu karena kepungan serigala. Aku mengetahui semua kisahmu lewat mimpiku. Kau ini special Ruby. Ada kekuatan tersembunyi yang ada dalam dirimu.” “Kau ini makhluk aneh yang sok tahu.” Ruby mengernyitkan matanya mencoba meledek Lunox. “Ini serius. Kau dan aku adalah kunci kedamaian di Land of Dawn. Jika kau mau mari kita satukan kekuatan untuk menciptakan ending yang bahagia seperti yang kau impikan.” Lunox menatap Ruby penuh harap. “Bangsa blood demon itu apa ?.”Ruby bertanya penasaran “Bangsa blood demon itu adalah bangsa perkumpulan iblis jahat yang haus akan kekuasaan. Bangsa blood demon itu dipimpin oleh seorang ratu vampire yang jahat. Dia tak punya secuil rasa kasian kepada bangsa lain kalau bangsa itu menghalangi ambisinya.” Lunox menjelaskan dengan panjang lebar. Sang rembulan dan kelipan bintang menghiasi langit. Ruby dan Lunox kini berbaring di tepian sungai sambil memandang bintang. ada satu rasi bintang yang sangat mirip dengan Lunox. "Hai Lunox lihat deh, Itu rasi bintang Libra mirip sekali denganmu." Ruby menunjukan rasi bintang Libra ke arah Lunox dengan antusias. "Kpk bisa ?." "Iya Libra itu dituntuk menjadi pribadi yang adil. adil sendiri artinya seimbang. sama seperti dirimu yang menyeimbangkan cahaya dan kegelapan.". mereka saling mengobrol dan bertukar cerita hingga mereka tertidur di bawah indahnya cahaya sang rembulan dan kelipan bintang. Semenjak hari itu, Ruby dan Lunox saling akrab. Mereka mengembara kesana kemari bersama. Hingga suatu hari mereka bertemu……. Nature Guard Keadaan dunia kini begitu memprihatinkan. Kekacauan, perang dan pertumpahan darah sudah menjadi suatu pemandangan yang sudah lazim. Kedamaian kini hanya sebuah mimpi kosong yang entah kapan itu akan terjadi. Melihat itu dewa Land of Dawn begitu khawatir akan nasib orang – orang yang tidak bersalah. Maka dari itu dewa Land of Dawn membentuk sebuah makhluk yang sangat mencintai kedamaian. Dia menciptakan makhluk itu dari tanah dan tumbuhan yang melambangkan bumi dan kedamaian. Makhluk itu bernama Belerick. “Wahai Belerick. Saya menciptakanmu bukan tanpa alasan. Kamu memiliki tugas yang sangat istimewa” Dewa berkata dengan penuh kebijaksanaan. “Wahai Dewa yang agung, apakah tugasku itu?.” Belerick menundukan kepalanya. “Kamu saya ciptakan untuk membantu mewujudkan adanya kedamaian. Suatu saat kau akan dibantu oleh 2 orang gadis yang sudah saya takdirkan untuk mewujudkan kedamaian itu.” “Bagaimana saya bisa tahu kalau gadis itu yang anda pilih untuk membantu saya?.” Tanya Belerick kebingungan. “Suatu saat kau akan mengerti. Aku akan membantu kalian mewujudkan kedamaian itu lewat suatu benda yang bernama Twilight Orb.” “Benda apa itu dan apa tugasku terhadap benda itu?.” “Tugasmu adalah menjaga benda itu dengan baik – baik dan hati - hati. Karena benda itu akan ada satu gadis yang saya takdirkan untuk menjadi sukma dari Twilight orb. Aku berharap kau bisa menjalankan takdirmu dengan baik Belerick. “ Dewapun menghilang bersama tiupan angin dan pudarnya cahaya yang memancar terang dari tubuhnya. Kini Belerik memulai pencariannya. Tubuhnya akan otomatis mengarah ke daerah yang tengah diterjang konflik. Kini Belerick berada di sebuah padang pasir yang gersang. Di padang pasir itu dihuni oleh bangsa Minoan dan bangsa Minotaur. Nasib bangsa itu sekarang begitu memprihatinkan. Daerah tempat tinggal mereka hancur porak poranda.peperangan telah membuat mereka kehilangan sanak saudara, dan sumber makanan yang membuat mereka berada di tepi jurang keputusasaan. Jiwa Belerick yang dianugrahi dewa penuh dengan rasa kasih sayang dan cinta damai membuatnya merasa kasian bagi kedua bangsa tersebut. Dia melepaskan semua energi alam yang dia miliki dan menciptakan Oasis yang indah. Bangsa Minoan dan Minotaur yang tadinya seperti kehilangan harapan kini harapan itu muncul lagi karena jasa Belerick. Mereka begitu senang dengan adanya Oasis indah yang ada di padang pasir nan gersang. Bangsa Minoan dan Minotaurpun berterimakasih kepada Belerick. Dengan energi yang tersisa Belerick terus mencari dua orang gadis itu lama sekali dari satu Kawasan ke kawan yang lain hingga membuatnya lelah dan memutuskan untuk berhibernasi dengan waktu yang lama untuk mengumpulkan kembali energi alam yang hilang. Tahun demi tahun abad demi abad membuat tubuh Belerick tersamarkan dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah beribu – ribu tahun tertidur dia merasakan ada dua energi yang sangat kuat mendekati dirinya. Kaki – kakinya yang sudah lama tak ia gunakan kini mulai tegap berdiri. Belerick mulai membuka kedua matanya perlahan – lahan dan melihat 2 sosok gadis berkerudung merah dan gadis bersayap nan menawan. Gadis itu nampak terkejut saat Belerick bangun dan mereka bersiap mengambil ancang – ancang untuk menyerang Belerick. “Salam hormat wahai utusan dewa yang agung. Perkenalkan namaku Belerick.” Belerick berlutut dan mulai memperkenalkan dirinya. wajah kedua gadis itu nampak kebingungan. “Apa maksudmu ? dan apa sebenarnya kamu ini?.” Ruby bertanya kebingungan. “Saya adalah makhluk ciptaan dewa yang ditugaskan untuk membawa kedamaian dan kalian juga bagian dari diriku. Termasuk Twilight orb yang ada di tangan gadis pirang itu.” “Apa sebenarnya fungsi Twilight orb ini selain menyegel diriku selama ribuan tahun.” Sambung Lunox. “Ribuan tahun? Kau nenek – nenek?.” Ruby nyletuk denga nasal. “Ya gak gitu juga. Aku tertidur disini untuk menyeimbangkan cahaya dan kegelapan.” Lunox berbicara sambil mengelus twilight orb yang ada di genggamannya. “Twilight orb itu ibaratkan sebuah tubuh manusia dan kamu adalah sukmanya. Twilight orb itu akan memberikan kekuatan tergantung siapa yang mengendalikannya. Jika kamu tertangkap oleh bangsa blood demon bisa jadi kau akan menjadi penghancur bagi seluruh umat yang ada Land of Dawn.” “Belerick bisa kau beri tahu aku, siapa sebenarnya aku ini sebenarnya. aku terlalu lama menunggu akan datangnya hari dimana aku bisa keluar dari twilight orb hingga lupa siapa diriku sebenarnya.” Lunox menatap dalam mata mungil Belerick. “Maaf Lunox aku kurang tahu siapa dirimu. Kau diciptakan lebih dulu dibanding aku jadi aku takt ahu menahu soal dirimu. Tapi aku tahu tentang twilight orb itu karena dewa telah memberitahuku sebelumnya. Kalian beruntung dewa memilih kalian.” “Kau bilang kami beruntung ?. Aku kehilangan ibuku saat aku kecil, dewa bahkan menakdirkan aku berpisah dengan sahabatku dan aku kehilangan ayah, kakek dan nenekku dalam semalam. Mengapa dewa begitu kejam menakdirkan aku dengan beban yang seberat ini?.” Mata Ruby sudah tak sanggup lagi menahan bendungan air mata. Air matanya mengucur deras sesekali ia mengusap air matanya. Lunox memeluk tubuh mungil Ruby seraya berkata, “Kau tahu Ruby. Ibuku pernah bilang, dewa itu menguji orang – orang terpilih dengan ujian yang berat karena Dia tahu kau bisa melewati ini dan itu juga tanda kalau dia menyayangimu. Dewa tak pernah menguji seseorang melebihi kemampuan orang tersebut. Kalimat itulah yang membuatku tetap bertahan meski Dewa memberiku kekuatan yang aneh, megorbankan semua mimpi dan harapan yang aku miliki demi tanah ini.” mendengar perkataan Lunox, Ruby merasa sedikit lebih tenang hatinya. “Lantas apa yang akan kita lakukan Belerick ?.” Lunox bertanya “Aku akan memandu kalian untuk membantu menemukan kedamaian.” Belerick menjawab dengan tegas. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau ada konflik di suatu tempat.” Ruby bertanya penasaran. “Dewa telah memberkati saya dengan penuh rasa cinta akan damai. Jadi secara otomatis saya bisa menemukan suatu tempat yang berkonflik dengan energi alam.” Jawab Belerick dengan panjang lebar. “Bisakah kau tunjukan daerah yang kini tengah berkonflik ?" Lunox menimpali jawaban Belerick. “Saya akan menunjukan tempatnya sekarang. Ayo ikuti saya.” Belerick mulai berjalan perlahan disusul oleh Lunox dan Ruby yang kini berjalan beriringan dengannya. Kini Belerick membawa mereka ke sebuah lembah yang indah dan damai. Mata mereka dimanjakan dengan tanaman – tanaman mistik yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. “Belerick tempat ini begitu indah. Ini namanya tempat apa?. Tempat ini sepertinya damai – damai saja.” Mata Lunox dan berhenti menyusuri setiap jengkal yang ada di lembah indah itu. “Ini namanya lembah Elf. Tempat para Elf tinggal. Sekarang memang tampak baik – baik saja. Tapi, sebentar lagi bakal ada bencana yang mengerikan di tempat ini.” Belerick terus berjalan pelan di depan mereka. Mendengar kata “Elf” membuat Ruby kepikiran dengan sahabatnya Miya. “Apakah Miya tinggal disini ?.” “Apakah Miya dalam bahaya ?” Pertanyaan – pertanyaan itu terus terngiyang di kepala Ruby. Mereka terus berjalan menyusuri lembah Elf itu ,hingga mata mereka menangkap sesosok elf cantik yang tengah memetik buah berry dengan keranjang yang ada di tangannya. “Mata itu, rambut itu, ikat rambut itu apakah itu Miya ?.” Ruby terus memandang elf tersebut dengan seksama Reunion “MIYAAA” Ruby berlari dengan penuh semangat ke arah gadis yang kini tengah sibuk dengan aktivitasnya memetic buah berry. Miyapun nampak terkejut melihat gadis kecil berkerudung merah berlari dengan semangat dengan selipan air mata bahagia di pelupuk matanya. “Ruby” gumamnya, selama beberapa matanya tak berkedip memastikan apakah ini nyata atau hanya sebuah ilusi yang dia ciptakan karena rasa rindunya kepada Ruby. Kini tubuh mereka bertemu dalam sebuah pelukan hangat. Melepas semua rasa rindu yang sudah mereka pendam selama beberapa waktu. air mata bahagiapun sudah tak dapat mereka bendung lagi seiring dengan hilangnya rasa rindu yang luruh bersama air mata yang jatuh. Merekapun menanyakan kabar satu sama lain selama mereka tak bertemu. Kini perhatian Miya teralihkan dengan penutup mata yang membungkus mata sebelah Ruby. “Matamu kenapa ?.” Tanya Miya penasaran. Ruby mulai membuka penutup mata yang membungkus sebelah matanya. Miya terkejut, pupil mata hijau indah Ruby kini sudah tak berada di tempatnya lagi. Kini yang tersisa hanya sebuah lubang luka kosong tanpa adanya bola mata di sana. Rubypun mulai menceritakan semuanya. Air matanya kini kembali membanjiri pipi tembemnya. Hal kelam yang ia coba pendam dalam-dalam kini kembali mencuat ke permukaan. Luka sayatan lama yang ia coba sembuhkan kini tersayat kembali. Hati Miya teriris mendengar cerita kelam Ruby, begitu banyak hal berat yang Ruby lalui tanpa dirinya selama ini. “Maafkan aku.” Miya kembali merengkuh tubuh Ruby yang kini hatinya tengah hancur berhamburan. Kata maaf terus terucap dari bibir mungil Miya, dia merasa bersalah telah meninggalkan sahabat karibnya disaat Ruby butuh pundak untuk bersandar dan sebuah pelukan untuk sedikit meringankan beban hidupnya. “Tidak usah minta maaf Miya semua ini sudah takdir dan aku harus kuat menghadapinya. Aku ingin sekuat mawar yang kau ceritakan sewaktu kita bermain di padang rumput dulu kala.” Ruby menatap mata Miya dengan intens. Miyapun hanya bungkam, ia tak menyangka Ruby bisa setangguh ini. Lunox dan Belerick merasa kebingungan dengan Ruby yang tiba-tiba memeluk orang asing itu lama sekali. Merekapun memutuskan untuk menghampiri Ruby dan Miya yang kini masih berpelukan. “Sudah belum dramanya ?.” Suara Lunox membuat pelukan Ruby dan Miya terlepas. “Oh Miya kenalin ini Lunox dan Belerick, Lunox dan Belerick perkenalkan ini Miya sahabatku.” Ruby memperkenalkan mereka satu sama lain. Merekapun saling melemparkan senyum manis. “Mending kita ngobrol ke rumah aku aja biar enak. Atau kalian boleh tinggal ke rumahku untuk sementara waktu” Miya mengajak mereka ke rumahnya untuk menginap dan merekapun menyutujui tawaran Miya. Miya menunjukkan jalan ke rumahnya. Lembah para elf begitu cantik. Mata mereka menyusuri di setiap sudut lembah elfRumah-rumah para elf nampak begitu unik dengan berbagai macam bentuk rumah. Para elfpun menyambut mereka dengan ramah, tempat ini begitu aman, nyaman, tentram dan damai. “Ini surga dunia”Lunox membatin dalam hati. Kini mereka telah sampai di sebuah rumah sederhana yang berpagarkan kayu dengan tanaman hias yang menghiasinya. Miya membimbing tamunya ke ruang tamu yang berdekorasi naturalis. Mata Ruby menyusuri seluruh penjuru rumah yang nampak sepi. “Kamu tinggal sendiri Ya?” Ruby bertanya pada Miya yang kini tengah melepas mantelnya. “Iya aku sendirian di rumah. Orangtuaku kan berdagang.” “Biasanya kamu diajak ?.” “Kali ini tidak, mereka membiarkanku tinggal dirumah, kalian lapar ?” Miya sembari mengambilkan seteko air dan beberapa gelas. “Tidak kok kami tidak lap.” Belum selesai Ruby berbicara, suara perutnya terdengar begitu keras tanda cacing yang ada di dalam perutnya tengah meronta-ronta minta diberi makan. Sontak merekapun tertawa renyah. Miyapun kedapur untuk mengambil makanan. “Astaga stock makananku habis aku belum berburu belakangan ini?” “Berburu?.” Tanya Ruby kebingungan. “Iya berburu, para elf mencari makan dengan berburu bukan membelinya dari pasar. Aku akan memasakkan kalian daging kelinci. Kalian tunggu saja ya disini.” “Aku ikut.” Ruby menawarkan dirinya untuk menemani Miya berburu kelinci. Miyapun mengangguk menyetujui tawaran Ruby. “Ini boleh dimakan tidak?.” Lunox menunjukan keranjang yang berisi buah berry yang barusan Miya petik. “Boleh kok buat temen nyemil.” Lunox dan Belerickpun mulai memakan buah berry tersebut. Miya mulai mengambil busr dan anak panahnya lalu bergegas ke hutan bersama Ruby. Kini Miya dan Ruby sudah sampai di sebuah hutan yang rindang. Mereka menyusuri jalan setapak sambil mengobrol ringan. “Miya kelinci.” Ruby menunjuk ke sebuah padang rumput yang di sana ada beberapa ekor kelinci tengah merumput. Dengan cekatan Miyapun mengendap – endap untuk mencari posisi yang aman untuk memanah kelinci incarannya tanpa diketahui oleh sang kelinci. Miya mulai memincingkan matanya mengincar kelinci berwarna hitam putih di sebelah utara. Miya mulai menggerak-gerakkan anak panahnya dan memprediksi dimana kelinci itu akan bergerak. “One shoot one kill,”. Anak panah Miya melesat tepat di perut kelinci hitam putih itu. Miya mulai mencari kelinci lain, kini targetnya adalah kelinci berwarna putih di sebelah barat daya. dia mulai melesatkan anak panahnya dari busurnya dan selalu tepat sasaran. Miya memanah 4 ekor kelinci sekaligus dengan anak panahnya tanpa melenceng sedikitpun. Ruby yang menonton kehebatan memanah Miya Cuma bisa melongo. Kini mereka mulai memunguti bangkai kelinci hasil panahan Miya. Merekapun bergegas pulang karena sang surya sudah berada di ufuk barat. “Kamu belajar memanah sejak kapan ?.” “Sejak masih kecil dulu.” “Orangtuamu yang mengajarimu ?.” Ruby masih penasaran dengan kehebatan Miya memanah dan menghujamnya dengan banyak pertanyaan. “Ayahku dulunya adalah seorang pemanah kerajaan. Dia juga sering mengajakku berburu dan mengajariku sedikit demi sedikit cara memanah.” Ruby termenung mendengar cerita singkat Miya. Matahari kini telah kembali ke singgasananya digantikan oleh sang rembulan dan kelipan bintang yang menghiasi langit malam. Ruby, Lunox, Miya dan Belerick kini tengah menyiapkan acara BBQ party ala mereka. “Baiklah supaya kita cepet makannya mari bagi tugas.” Miya mulai mengkoordinasi acara dadakan ini. “Pilih aku yang bagian menguliti dan membodeti kelinci itu.” Ruby memasang seringai yang menyeramkan, membuat mereka bertiga bergidik ngeri dan tak percaya dengan karakter asli Ruby. Bahkan Miya yang bersahabat dengannya sejak lama sekali baru mengetahuinya sekarang. Miyapun mengiyakan permintaan Ruby. “Belerick kamu yang memotong daging kelincinya ya.” “Baik bos.” Jawab Belerick dengan antusias. “Lunox kamu yang menyiapkan alat makan dan minuman ya.” Lunox hanya mengangguk lembut. “Aku bagian makan ya hahahhhaahahh.” Mereka menatap Miya yang tengah tertawa renyah dengan tatapan kosong dan wajah datar. “Bercanda. Jangan menatapku seperti itu. Aku yang bagian panggangan. Baiklah yuk mulai bekerja.” Mereka mulai berkutat dengan pekerjaannya masing. Daging kelinci kini sudah matang mereka duduk melingkar sambil tertawa renyah di bawah naungan sinar rembulan. Rasa bahagia tak bisa mereka sembunyikan, kini di wajah mereka terpatri senyum tulus penuh dengan kebahagiaan. Ruby tiba – tiba teringat tentang keluarganya yang terenggut oleh komplotan serigala buas sehabis acara BBQ party keluarganya. Hatinya sebenarnya merasa teriris seperti ada sebuah belati tajam tak kasat mata yang mengiris hati kecilnya. Namun kini dia mulai menerima keadaan. “Ayah, Ibu, Kakek dan Nenek sekarang Ruby sudah tidak sendiri. Dewa, aku bersyukur kau telah mengirimkanku mereka disisiku di saat aku tengah terpuruk.” Ruby menggumam dalam hati, Dia bersyukur di balik takdir pedih yang dewa kirimkan padanya masih ada secuil kebahagiaan. Ruby menatap langit berhiaskan rembulan dan kelipan bintang mengagumi ciptaan sang maha kuasa. Lahirnya Sang Legenda Prolog: Zaman dahulu kala sebelum para elf lahir. Dewa bulan dan Dewa Land of Dawn menciptakan sebuah pohon ajaib. Pohon ini disebut pohon kehidupan. Pohon ini diciptakan untuk memberikan kehidupan dan kemakmuran di lembah elf. Pohon ini memiliki daun berwarna merah dan akar yang menjulur panjang serta selalu di selimuti oleh cahaya biru pucat nan apik dikala malam menjelma. Maka dewa bulan dan Dewa Land of Dawn sepakat untuk menciptakan makhluk yang akan senantiasa menjaga pohon kehidupan ini dengan seluruh jiwa dan raganya. Suatu saat akan ada 3 orang pemberani yang akan melindungi pohon kehidupan. Kedatangan 3 kesatria itu akan dibarengi dengan kupu-kupu yang datang berbondong-bondong yang membelah kekuatan kegelapan. 3 kesatria itu memiliki julukan, hidden orchid butterfly, Modena Butterfly dan Butterfly Seraphim. Sumber : kitab dewa bulan Lembah elf Pagi ini sang surya bersinar dengan terik, Ruby, Belerick,Lunox dan Miya berencana untuk menemui King Estes sang raja nan bijaksana dari lembah elf. Miya membimbing mereka ke tempat raja Estes untuk sekedar konfirmasi bahwa Miya tengah membawa orang asing. Peraturan ini ditetapkan untuk menjaga keamanan lembah elf dari serangan yang disebabkan oleh orang asing. Kini mereka telah sampai di depan singgasana king Estes. “Yang Mulia Estes. Saya mohon izin untuk mengajak teman-teman untuk tinggal beberapa waktu disini.” Miya bersimpuh di depan singgasana sang raja. “Saya izinkan mereka tinggal disini.” King Estes menyetujui permintaan Miya. “Terimakasih yang Mulia.” Merekapun memberi salam kepada King Estes dan meninggalkan altar. Baru beberapa langkah mereka mendengar altar, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan datangnya prajurit elf yang berlari dengan wajah gusar ke arah singgasana King Estes. “Yang Mulia kita tengah diserang oleh bangsa Orc. Jumlah mereka sangat banyak yang mulia.” “Baiklah, ungsikan para elf dan siapkan para prajurit untuk berperang.” Prajuritpun berlari meninggalkan altar dan melaksanakan perintah King Estes. “Bangsa Orc apa itu?.”Ruby bertanya penasaran “Bangsa Orc adalah musuh para elf. Mereka dulunya adalah elf juga namun mereka telah melanggar peraturan dari sang dewa bulan. Maka sang dewa bulan menghilangkan cahaya dalam tubuhnya dan mengubahnya menjadi monster jelek nan mengerikan. Kini mereka berskongkol dengan Abyssal empire untuk memperluas area kekuasaan” “Bangsa Abysal dan demon blood itu lagi epnyebab kekacauan. Sudah lama sekali mereka membuat kekacauan di Land of Dawn mereka masih haus akan kekuasaan.” Gumam Belerick. “Lantas mengapa mereka menyerang para elf?.” Tanya Lunox. “Mereka ingin memusnahkan pohon kehidupan yang merupakan sumber kehidupan para elf. Jika pohon itu mati maka para elfpun ikut musnah.” Miya menjelaskan dengan panjang lebar. Tampak jelas raut wajahnya nampak khawatir dengan berita yang barusan ia dengar. Miya kemudian berlari kencang, “Miya mau kemana ?.” Ruby bertanya “Mau ambil busur di rumah aku tak akan tinggal diam kalau bangsaku sendiri dalam bahaya.” Miya menghentikan langakahnya. Ruby, Lunox dan Belerick menatap Miya dengan tajam, “Izinkan kami ikut.” Lunox mewakili Belerick dan Ruby menawarkan diri mereka untu membantu. “Teman – teman.” Mata biru Miya kini nampak berbinar bahagia. Karena teman – temannya mau membantunya meski mereka bukan dari bangsa elf. Merekapun menuju rumah Miya untu bersiap berperang. Miya dengan busurnya, Ruby dengan sabit besarnya, Belerick dengan kekuatan alamnya serta Lunox dengan sihirnya yang mengerikan. Mereka baru membuka pintu rumah dan kini terlihat sesosok setinggi 4 kaki, bertaring, bermata merah dan gemuk. “Orc menjijikan.” Gumam Miya. “Minggir biar aku yang membuka jalan menuju Pohon kehidupan Miya tolong kamu tunjukan arahnya ya.” Pinta Ruby, Miyapun mengangguk mantap tanda setuju. Ruby membuka jalan dengan menebas Orc-Orc itu dengan sabit besarnya. Tubuh Orc yang lebih besar dari tinggi Ruby tak membuatnya gentar, Ruby terus mengayunkan sabit besarnya membuat tubuh orc-prc itu terbelah menjadi dua jeroan orc-orc itu berceceran ke segala arah. Darah orc itu berwarna hitam dan mereka masih hidup meski kepalanya sudah terpisah. “Sialan kenapa Orc ini gak bisa mati.” Lunox mulai kesal dengan orc-orc itu yang terus hidup meski dengan bagian tubuh yang terpotong. Miya terus menunjukan jalan ke arah pohon kehidupan. Kini mereka telah sampai di pohon kehidupan. Para barisan prajurit elf dan king estes telah bersiap mengitari pohon kehidupan untuk menjaganya. “Prajurit apakah para elf sudah kalian ungsikan ke tempat yang aman?.” “sudah yang mulia kami telah mengungsikan para elf di dalam markas bawah tanah. Para orc tak akan menemukan mereka.” “Bagus. Prajurit bersiaplah untuk mempertahankan pohon ini dengan seluruh jiwa dan raga kalian.” Raja Estes membakar semangat para prajurit. Mata king Estes tak sengaja menangkap sosok Miya dan gerombolannya yang tengah sibuk membabat para Orc. King estespun membantu mereka dengan memberikan pembatas suci yang tidak bisa ditembus oleh para Orc. “Miya kemari.” Raja Estes menlambaikan tangan ke arah Miya. Miya yang sadar akan hal itupun menghampiri King Estes. “Apa yang kamu lakukan disini, sebaiknya kamu ikutan ngungsi dengan elf-elf lain.” Wajah King Estes kini nampak gusar akan keberadaan yang merupakan elf biasa. “Biarkan saya melindungi tanah kelahiran saya dengan sepenuh jiwa dan raga saya yang mulia, meski anda melarang saya, saya akan tetap melindungi pohon ini” Miya berbicara dengan sopan namun terdengar berani dan anggun sembari membungkukan badannya memberi rasa hormat. “Baiklah Miya, keberanianmu sungguh pantas untuk diapresiasi.” Pembatas suci yang dibuat King Estespun memudar. Para orc mulai berjalan mendekati pohon kehidupan. Ruby yang sudah haus akan darahpun masuk kea rah kerumunan orc itu dengan sabit besarnya. “I wash my hook withblood” gumamnya dalam hati seraya memotong tubuh orc itu menjadi kecil- kecil sehingga tidak bisa hidup kembali. Ruby yang sadar akan hal itupun mulai berteriak “POTONG MEREKA MENJADI BAGIAN KECIL MAKA MEREKA AKAN BINASA.” Mendengar hal tersebut pasukan elfpun mulai melakukan hal sama. Ditemapt lain Miya memanahi orc-orc itu dengan kecepatan memanah yang sangat luar biasa cepat. Raja Estes terperanjat kaget melihat kemampuan Miya yang tak pernah ia lihat sebelumnya. King estes terus memberkatinya dengan kekuatan Moon god membuatnya memiliki stamina yang baik. Lunox dan Belerick berada di barisan terakhir untuk menjaga pohon kehidupan. “kau benar sekali belerick,sekarang tengah terjadi kekacauan yang luar biasa di lembah help.” Lunox kini percaya dengan yang dikatakan Belerick. “Aku merasakan aura panas yang siap membakar seluruh lembah ini Lunox.” Lunox melongo mendengar perkataan Belerick. Baru bebarapa saat Belerick mengucapkan hal itu kini di tengah kerumunan para orc munculah sosok iblis dengan api yang menyelimuti tubuhnya. Iblis itu bernama Thamuz sang panglima Abyssal Empire. “Wahai para elf menyerahlah atau api amarahku akan membakar habis seluruh lembah ini termasuk pohon yang kalian jaga.HHAAHAHHHAH.” suara Thamus menggema ke seluruh lembah elf. “KAMI AKAN MELINDUNGI POHON KEHIDUPAN SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN.” King Estes dengan lantang berteriak kea rah Thamus. Bukannya membuat Thamuz gentar justru membuat Thamuz makin terbakar api amarah. “Oh berani sekali kau pria tua. Rasakan api amarahku.” Angin berhawa panas kini mulai berhembus. Hutan yang mengelilingi lembah para elf kini terbakar habis. Suara kretakan pohon dan asap hitam membumbung keudara membuat suasana semakin mencekam. Ruby yang sudah hilang kendalipun menghampiri Thamuz dan mulai berduel dengannya satu lawan satu. “Kau iblis yang telah merenggut semua keluargaku. Kau tak akan ku maafkan.” Ruby mengayunkan sabit besarnya menjoba memotong kepala Thamuz daroi tubuhnya namun selalu meleset. “Kau ini hanya sebatas anak kecil naif yang takt ahu diri, ikutlah denganku aku akan memberimu secuil lollipop gadis kecil.” Perkataaan Thamuz berhasil membuat Ruby terbakar emosi. “BERHENTILAH MEREMEHKANKU.” Satu tebasan berhasil membuat kulit Thamuz sedikit tergores. “Kau ini payah gadis kecil.” Tubuhnya beregenerasi begitu cepat luka gores yang Ruby buat tak berarti apa-apanya. Ditempat lain Miya kini tengah berkutat dengan orc-orc yang mengrubungi tubuhnya. Anak panahnya mulai habis, energi King Estes untuk juga mulai terkuras. Satu persatu orc itu mendekati pohon kehidupan. Belerick mengikat orc-orc itu dengan sulur berdurinya untuk tidak menyentuh pohon kehidupan. Lunox dengan sihirnyapun menghabisi orc-orc yang diikat oleh Belerick. “Dream,Dream,Dream.” Pekiknya setiap kali dia menorehkan seberkas cahaya hitam ke arah orc-orc itu. Merasa energinya mulai terkuras. Lunox dan bangsa elf serta teman-temannya sudah berada di tepi jurang keputusasaan. “MENGAPA KEKERASAN TAK PERNAH BERHENTI?” Lunox mulai kehilangan seluruh indra perasanya dan mulai tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan dunia nyata. Tubuh Lunox mulai lunglai tak berdaya yang tersisa kini hanya Belerick yang ada di barisan belakang. “LUNOX.” Pekik Miya melihat sahabatnya tumbang begitu saja. Energi King Estespun mulai terpustus dari segala penjuru sang raja kini tak bisa membantu apapun. Miya mengahampiri Lunox dan merengkuh sahabatnya, “Miya maaf aku ini payah.” Lunox kini terbaring di atas tanah dan menjaga kesadarannya, Air mata Miya terjatuh ke wajah cantik Lunox. Api juga sudah mulai menjalar kemana-mana. Pohon kehidupan kini tengah dalam bahaya. “Menyerahlah kaum elf kalian tak akan menang HAHAHHAH.” Thamuz tertawa puas melihat bangsa elf yang terpojok. Rubypun kini sudah tak punya cukup tenaga untuk melawan Thamuz. Energinya habis untuk melawan orc-orc yang tak ada habisnya. “Mengapa harus ada kesediahan setelah aku bersyukur akan kebahagiaan fana yang berikan padaku dewa.” Gumam Ruby dalam hati merasa putus asa. “Miya sampaikan maafku pada Lunox dan Ruby karena mungkin aku tak bisa menemani mereka mencari ending yang bahagia. Samapikan terimakasihku pada bangsa elf yang telah menerima keberadaan kami diantara kalian.” Belerick memandang Miya dengan sendu. Air mata miya sudah tak bisa ia bendung lagi. Belerick mulai melepaskan semua energi alam yang dimilikinya. Sulur- sulur Belerick kini menyelimuti pohon kehidupan dari ganasnya kobaran api .Tubuh Belerick menghilang bersamaan dengan sulurnya. “Apakah ini akhir dari bangsa elf?” Miya begumam dalam hati. “Dewa bulan berikanlah kami kekuatan untuk menjaga pohon kehidupan seperti yang kau percayakan dahulu.” Miya menangkupkan kedua tangannya memohon bantuan dari Dewa Bulan. Cahaya biru kini menghiasi lembah elf. Cahaya biru kini memancar diikuti dengan gerombolan kupu-kupu yang menyambar kepala orc kearah tiga gadis yang tengah dirundung keputusasaan. Dalam balutan gemerlap cahaya biru mereka melayang diangkasa. Para elf dan Thamuz terkesima dengan pemandangatan cahaya itu. Baju lusuh mereka berubah. Wajah mereka kini nampak berbeda, baju merekapun kini berubah, busur panah Miya dan sabit besar Rubypun berubah. Merekapun turun perlahan bersama kerumunan kupu-kupu. Seluruh kekuatan elf kini pulih kembali karena terberkati oleh sang dewa bulan. “Legenda itu ternyata benar, kitab dewa bulan bukan hanya sekedar bualan. Ruby sang Hidden Orchid Butterfly, Miya sang Modena Butterfly dan Lunox Butterfly Seraphim.” Estes masih mengagumi kuasa sang dewa bulan. Lunox, Ruby dan Miyapun menghabis para orc menggunakan kekuatan baru yang baru mereka dapatkan dengan mudah. Thamuz yang melihat kejadian itu mulai merasa gentar. Dia memilih mundur. Api yang menyelimuti lembah elf kini telah padam, pohon kehidupan berhasil diselamatkan berkat Miya, Ruby, Lunox dan Belerick. Kekuatan Ruby, Miya dan Lunox akhirnya kembali normal, segala atribut yang didapatkan kini hilang. King Estes dan para elf kini bersimpuh di depan Ruby,Lunox dan Miya. “Selamat datang wahai Butterfly squad.” Mereka bertiga tersipu malu. “Ruby sang Hidden Orchid Butterfly, Lunox sang Butterfly Seraphim dan Miya sang Modena Butterfly dari bangsa kami dan sahabat kalian Belerick, kami berhutang nyawa pada kalian.” Mendengar kata Belerick Lunox mulai mencari keberadaannya. “Mana Belerick?.” Wajahnya kini nampak gusar, hal terakhir kali yang ia ingat adalah saat ia meminta maaf pada mereka. “Sahabat kalian telah tiada.” King Estes mencoba menjelaskan. Mereka tak sanggup lagi menahan air mata yang mereka bendung. Meski mereka baru sebentar mengenal Belerick tapi sudah terasa begitu dekat. “Tapi tenang, teman kalian akan bereinkarnasi dengan segera.” “Reinkarnasi?.” Mata Lunox menatap King estes dengan air mata yang masih membasahi pipinya. “Teman kalian bukan makhluk biasa, dia adalah nature guard yang diutus dewa untuk menciptakan kedamaian di tanah ini.” Lunox berjalan menyusuri sisa- sisa sulur Belerick yang terbakar. Dia menemukan sepucuk tunas berkilauan di antara reruntuhan sulur Belerick. Lunox memegang tunas tersebut dengan lembut “Petualangan kita belum selesai Belerick, kami akan menunggumu.” Gumamnya. Dark Abyss Thamuz kini harus pulang ke Abyss Empire dengan rasa gusar yang menyelimuti pikirannya. Dia pasti akan dimaki-maki oleh Alice. bagaimana tidak? Thamuz adalah panglima perang bagi Abyssal Empire. Kini ia telah sampai di depan singgasana sang ratu dengan sesosok remaja berwujud manusia setengan Orc. Namanya Dyroth. "Kenapa kau nampak ketakutan seperti tikus dalam perangkap Thamuz?" Dyroth menatap Thamuz dengan tatapan mengejek. "Yang Mulia Alice saya mohon maaf, saya tidak bisa menghancurkan lembah elf meski dengan bantuan para Orc." Thamuz kini bersimpuh di depan singgasana Alice dengan wajah tertunduk merasa gagal dengan tugasnya. "Kau ini bodoh. Bagaimana mungkin kau bisa kalah dengan para Elf yang jumlahnya tidak lebih banyak daripada pasukan Orcmu?." Alice mulai meninggikan nada bicaranya dan menatap Thamuz dengan rasa kecewa. "Saya mohon maaf Ratu Alice bukan para elf yang menjadi momok bagi pasukan kami melainkan Squad Butterfly yang ada dalam legenda kini telah terlahir." "Squad Butterfly ?. gawat mereka akan dengan mudah menghancurkan kekaisaranku." "Jadi kamu takut dengan Squad bodoh itu ratu?." Dyroth memancing emosi Alice. "Diam kau bocah. Thamuz tolong kasih pelajaran buat anak ini karena kita akan ada peperangan besar." "Baiklah ratu, Dyroth sini." Moniyan Empire Moniyan Empire adalah sebuah kekaisaran yang sangat memperdulikan bangsa-bangsa yang tertindas. Moniyan Empire dipimpin oleh seorang Putri yang sangat cantik dan bijaksana. Putri itu bernama Silvanna. Meski dia terlahir di keluarga kerajaan ia begitu bersahaja. Selama beribu-ribu tahun lalu Moniyan Empire di serang oleh Abyss Empire yang membuat sang putri kehilangan adik. Namun dengan bantuan para elf Moniyan Empire berhasil memukul mundur Abyssal Empire. Di suatu pagi yang cerah putri Silvanna tengah melihat pemandangan Moniyan Empire dari blankon kamarnya. Tiba – tiba seekor merpati canti berbulu putih bertengger di tepi blankon kamarnya. Putri Silvanna melangkahkan kakinya menuju merpati itu. Di kaki merpati terselip sebuah gulungan kertas yang terbungkus benda berwarna biru. “Dari Lembah elf” Gumam Putri Silvanna. Dia mulai membuka gulungan kertas kecil yang dikirim oleh King Estes kepadanya. Di kertas kecil itu tertulis, Untuk Putri Sulvanna Sang Legenda kini telah lahir, kekuatan twilight orb akan segera bangkit. Dari lembah elf “Butterfly squad sudah terlahir. Aku akan membawamu pulang wahai adikku tersayang dan akan membawa keadilan serta kedamaian di tanah Land of Dawn ini.” gumamnya dalam hati sembari menatap langit biru yang cerah. Putri Silvanna yang mendapatkan surat dari King Estes lantas memanggil penasihan kerajaan. “Apakah saya sudah siap untuk mengumumkan peperangan kepada Abyssal Empire?.” “Putri, sepertinya kita sudah siap untuk melakukan peperangan melawan Abyssal Empire dengan adanya squad Butterfly.” “Bagus, dengan begini aku akan membawa adikku pulang.” Description: Nama : Aditya Riski . IG : @adityariski48 Fb : Adve Ruby gadis kecil yang memiliki kisah yang tak terduga. Gadis kecil ini tak bisa lepas dari kisah berdarah dan kesadisan. siapa sangka gadis imut ini memiliki sikap yang sadis yang entah darimana asalnya .sikap ini yang sangat berlawanan dengan parasnya. apakah gadis kecil ini akan memiliki ending yang bahagia dengan rentetan peristiwa rumit yang dialaminya ?. Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi e-novel challenge #StorialElexBangBang 2019 yang diadakan oleh storial, Elex Media Komputindo, dan Moonton.
Title: Romansa Pahit di Jakarta Category: Cerita Pendek Text: Mula-mulanya Hai. Nama gue Naira. Umur gue 16 tahun dan sekarang gue lagi menikmati suatu masa yang kata orang itu paling indah dalam hidup, yaitu SMA. Gue sekarang tinggal di Jakarta setelah berkali-kali pindah rumah karena papa gue yang selalu dialihtugaskan ke kota-kota baru. Gue udah capek banget pindah sekolah terus dan berpisah dengan teman-teman gue. Gue harap di SMA gue yang sekarang gue bisa merasakan kehidupan SMA yang memorable. Yang membekas dihati. Gue harap bakal banyak pengalaman yang asik dan tak terlupakanlah pokoknya. Sebelum ke Jakarta, gue sekolah di Bandung. Dan sebenernya gue pengen ngelanjutin SMA aja di Bandung, tapi karena papa bersikeras agar gue pindah ke Jakarta, akhirnya gue mengalah. Di Jakarta, gue menempuh pendidikan di SMA Unggulan Notre Dame. Yeah, I know right. You might think like, wow. Tapi, yah, begitu. Ini adalah tahun pertama gue di SMA. Doakan yang terbaik ya, guys. Mari kita ikuti cerita gue sejak hari pertama. Semalam sebelum hari-H pertama sekolah, terjadi interaksi antara gue, mama, dan papa. Pas itu gue lagi mempersiapkan keperluan untuk besok. Hm. Apakah ada yang kurang? Selagi tenggelam dalam lamunan memerhatikan barang-barang depan gue, pintu kamar gue kebuka. Gue langsung nengok. “Gimana, Nai?” Oh, that’s my mom. “Ya, Ma?” kata gue. “Besok hari pertama kamu sekolah, lho. Gimana? Are you excited?” Mama duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap gue. “Entahlah, Ma. Kayaknya aku merasa biasa aja. Udah sering juga pindah-pindah sekolah,” gue menjawab sambil sedikit tertawa miris. “Eh, jangan salah, lho,” raut muka Mama makin misterius. Ada apa ini? “Bisa aja lho besok gataunya kamu dapet cinta pertama kamu.” “Ih, Mama, apaan sih. Iseng banget. Udah-udah, aku mau bobo. Lagian, emang begituan beneran ada?” “What’s up, my little girl! Besok udah jadi anak SMA aja nih!” Papa tiba-tiba nyeletuk. Hadeuh, habis mendengar apa nih Papa gue? Lalu, ia melanjutkan, “Udah, gausah dengerin Mama kamu. Mending kamu fokus aja deh sekarang buat belajar. Biar bisa tuh masuk PTN. Tapi inget, jangan lupa bersenang-senang juga.” “Aduh, baru aja mau masuk SMA, udah disuruh mikirin kuliah. Udah ya, aku mau bobo dulu, beneran ini mah.” Babak Baru Pagi pun tiba. Hari yang tidak terlalu gue tunggu-tunggu pun datang. Gue pun bersiap-siap dengan seragam dan atribut MOS. Sesampainya di sekolah, everything seems normal, I guess. Gue menjalani dua hari MOS dengan damai until it’s the third and last day. HP gue berdering. Mama gue menelepon. Gue angkat. “Nai,” kata Mama di telepon. “Kamu tahu gak ada program akselerasi di sekolah barumu itu?” “Tau sih, Ma,” gue menjawab. ‘Tapi, aku kurang minat. Aku gamau ikut” “Engga, kamu buruan gih daftar biar kamu bisa cepet lulus” what? Please, Mom. Dengan berat hati gue pun mengiyakan amanah Mama gue. “Iya iya nanti aku daftar. Udah ya, Ma. Bye” I have no choice Beberapa hari kemudian, gue mengikuti seleksi program akselerasi itu. Gue dengan setengah hati dan ngga terlalu berharap diterima. Gue pun dateng ke ruang ujian sambil lari-lari. Ya, gue telat. Gue masuk dan duduk di kursi ujian, mulai ngerjain soal demi soal yang dikasih. Damn, that was so exhausting. Gue cukup pede dengan apa yang gue kerjain dan gue merasa ngga terlalu membutuhkan effort yang banyak buat ngerjainnya. Setelah berkutat selama tiga jam, ujian gue pun selesai. Bed, here I come! Sambil menunggu hasil pengumuman kelas akselerasi, gue dan teman-teman yang lain masih mengikuti kelas reguler seperti biasa. Gue ditempatin di X MIPA 6. That class is so freaking awful. Gue benci banget sama murid-murid cowonya. Hal ini justru berkebalikan dengan murid-murid cewenya yang super friendly. God, as if we’ve known each other for so long. Hari-hari gue di kelas ini pun gue jalani seperti biasa, seperti anak SMA pada umumnya. Sampai pada suatu hari, seorang guru laki-laki datang ke kelas gue, “ Selamat siang, anak-anak.” “ Siang pak” Kami menyahut “ Mohon untuk nama-nama siswa yang akan bapak sebutkan, datang ke Lab Bahasa setelah ini. Rissa, Gabriel, Angelina, dan Stefany.” Bapak itu lalu keluar dan gue pun kebingungan. “ Woi, itu ada apa kok kita dipanggil ? “ Gue bertanya ke tiga orang temen gua yang juga dipanggil. “ Gue gatau. Nilai gue ga terlalu bagus sih tapi yang lain juga kok” Rissa menambahkan “ Feeling gue, kita keterima kelas akselerasi itu” Gabriel dengan mantap menjawab dan Angel juga ikut-ikutan setuju. “ Oh, God.” Gue gabisa percaya ini. Welcome to senior high school, Nai Kelas Baru dan Dimas Singkat cerita, gue udah resmi menjadi siswa kelas akselerasi di SMA gue. Di kelas ini, ada 21 orang dan they’re indeed genius. Anehnya, gue sangat merasa nyaman di kelas ini karena gue dikelilingi oleh orang-orang yang super unik dan pinter. Masa kelas 10 gue lewati dengan cepat dan gue sekarang menjadi murid kelas 11. Time flies so fast, huh. Beban akademik yang tinggi untuk kelas gue dan di saat yang sama, gue juga pengen ngerasain masa-masa SMA yang selalu gue idam-idamkan. Karena padatnya materi, gue pun mencari cara agar bisa tetap mengikuti pelajaran dengan baik. Salah satu cara yang gue punya adalah belajar bareng sama temen gue yang pinter. That’s what friends are for. Oke, kenalin temen belajar baru gue, Wira dan Dimas. Wira yang humoris tapi juga sarcastic dan Dimas yang idealis tapi humble banget sama orang-orang di sekitarnya. Pertemanan gue sama mereka itu sangat menyenangkan. Gue bisa curhat apapun sama mereka. Bagi gue, mereka udah kayak saudara cowo gue. Nih, gue jelasin perbedaan watak mereka berdua : Kalau gue sama Wira bakal kayak gini : “ Wir, ajarin gue soal limit dong. Gue gatau yang nomor lima.” Wira mulai nganalisis soalnya sambil makan apel kesukaannya. “Gini loh Nai.....” Wira mulai ngejelasin dengan muka datarnya. “... Makanya lu baca konsepnya doang euhhh” Mukul meja terus mulai menggurui gue. Kadang-kadang pengen gue sumpel pake apel tapi apa boleh buat. Gue dengerin aja. Kalau gue sama Dimas beda lagi : “ Hai, Dim. Gue boleh nanya nggaaaa?” Entah kenapa gue mendadak jadi cewe kalo sama Dimas. “ Boleh Nai. Yang mana?” “ Ini, gue ngga bisa ngerjain soal nomor tiga” “Ohh, bentar ya, aku kerjain dulu” Ya. Dimas itu sopan banget dan dia selalu pake aku-kamu. “ Gini, Nai..” Dimas mulai ngejelasin jawabannya tahap demi tahap ke gue. “ Ohh, ngerti ngerti! Makasih banyak ya, Dim” “ Iya, sama-sama. Beneran ngerti?” “Iya..” “Beneran?” “Iya astaga hahaha” Lucu banget deh Dimas ini. Eh apa sih, Nai. I Fell in Love Pada suatu hari, gue, Wira, dan Dimas lagi pengen nonton film Vagabond di XXI Metropole Jakarta. Kita pun berangkat. Gue nebeng ke motor Dimas dan Wira naik ojek. Kalau gue boleh jujur, gue gapernah dibonceng cowo sebelumnya, selain Papa gue dan waktu gue naik motor sama Dimas, i feel unusual. What kind of feeling is this ? Setelah itu, kita sampai di bioskop dan ketika udah mau beli tiket, Wira ngomong “ Eh, gua lupa gua ternyata ada acara jam 3. Lu nonton berdua aja deh. Gue gabisa sori banget” “ Lah gimana sih Wir? Ga seru lu. Udah skip aja itu nonton bareng ama kita” Gue mulai panik. “ Ckck, gimana si kamu ken” kata Dimas “ Yaudah gapapa sih, udah ya gue pesen Greb” Wira pun berpisah sama gue dan Dimas lalu pergi. “ Ayo, Nai. Pesen tiket.” Ajak Dimas “ Ooh.. ayo” Gue pun tiba-tiba gugup karena gue gapernah nonton berdua sama cowo sebelumnya. Fyi, gue belum pernah pacaran. Setelah itu, kita berdua masuk ke dalam ruangan bioskop dan gue ga nyangka bakal ruangannya itu dingin banget. Gue ulangi dingin banget. Kami berdua lalu duduk dan mulai menonton. Di pertengahan film, gue bener-bener ngerasa kedinginan dan sampe gigi gue gemeteran. Gue ngga bohong. Padahal gue udah pake jaket. Lalu, hal tidak terduga terjadi. k Dimas ngebuka jaketnya dan ngasih ke gue. “ Nai, pake ini” “ Hah, gausah” Gue menolak jaket dia dengan halus. Aduh, drama apa ini? Gue rasa kalau lampu bioskop itu dinyalain dia udah bisa ngeliat muka gua yang udah memerah “ Udah, pake aja” Dimas sedikit memaksa tapi gue tau dia berniat baik “Hmm, oke” Gue pun ngambil jaket dia dan memakainya. Gue pun merasa lebih hangat sekarang. Gue merasa dari saat itu gue mulai berpikir ‘God, I think I fell in love with this boy’ Sadar Setelah kejadian itu, gue pun mulai menyadari bahwa gue suka sama Dimas dari lama. Gue baru sadar akan perasaan gue dan gue terlalu malu untuk mengakuinya. Jadi, gue memutuskan untuk menyimpan perasaan ini untuk diri gue sendiri. Namun, Wira pun juga mulai curiga dengan gue dan dia juga pun tahu gue suka sama Dimas. Kalau soal romansa dan gosip, Wira memang adalah pakarnya. Gue juga berteman dengan Rissa, Gabriel, dan Angelina mengingat kami berempat udah sama-sama sejak kelas di kelas reguler. Gue juga menceritakan perasaan gue ke mereka bertiga. Girls kind of talk. Singkat cerita, gue semakin dekat dengan Dimas. Kami berdua sering ngobrol lewat line tentang pelajaran atau apapun. Lama kelamaan, kami juga saling bertanya kabar satu sama lain, sedang apa, dan hal-hal manis lainnya dan gue merasa ada harapan untuk dia juga suka sama gue. Namun, karena sifat gue yang aslinya pemalu, ketika gue bertemu dia di sekolah, gue justru ngga mengucapkan satu kata pun sama Dimas. Hal ini membingungkan dia dan gue sadar itu. Karena sifat gue ini, hubungan kami pun menjadi renggang. Is This The End? Masa kelas 12 dimulai dan gue benar-benar sibuk dengan persiapan SBMPTN. Gue udah ngga ngurusin apapun selain itu. Tanpa gue sadari, gue melihat Rissa tampak akrab dengan Dimas dan somehow gue merasa cemburu. Namun, gue ngga bisa berbuat apa-apa dan berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif gue. Hari demi hari, hubungan mereka semakin dekat dan gue baru mengetahui bahwa mereka juga saling ngobrol lewat line dan makan bareng. Okay, this is getting real. Jujur, gue ngga suka melihat situasi ini dan gue berharap ngga ada apa-apa di antara mereka sampai suatu hari ketika gue di bimbel, “ Eh lu tau ngga, Rissa jadian ama Dimas loh” Raihan, temen gue mengumumkan itu di depan kelas “ Sumpah? Kok bisa? Kapan? “ tanya temen sekelas gue, Najwa “ Dimas nembak Rissa lewat surat perjanjian. Kayak di film Dilan” “Wah, hahaha gila ya tuh anak keren juga” Semua temen sekelas gue pun mulai membicarakan mereka berdua sedangkan gue masih syok dan kebingungan. Kenapa temen deket gue bisa mengkhianati gue? Bukannya dia tau gue suka sama Dimas? Itulah saat pertama kali gue bener-bener merasa patah hati dan gue ngga bisa berpikir normal lagi. Apa yang sebenarnya terjadi? God, i thought this city will give me love, i was wrong. FINN. Description: Hidup SMA gue di mulai di Jakarta, masuk kelas akselerasi dan bertemu yang disukai. Apa yang akan terjadi?
Title: Ruang Tunggu Category: Adult Romance Text: s a t u Jakarta, 2019 EPILOG ramai siang itu. Hampir semua kursi berpenghuni. Pengunjungnya beragam, dari anak-anak berseragam sekolah, sampai pegawai kantoran. Begitu pun dengan percakapan mereka. Saling tumpang-tindih. Ada yang berkisah tentang guru superkejam di sekolah, tugas yang harus dikumpul besok, jadwal bimbingan belajar nanti sore, atasan menyebalkan dan semaunya, pun pekerjaan yang nyaris mendekati tenggat waktu. Hanya lelaki yang duduk tak jauh dari pintu masuk yang tampak sangat berbeda. Kian sendirian. Tidak sedang asyik dengan gawainya. Tidak pula sibuk menyelia keadaan sekitar. Lelaki itu layaknya raga tak bernyawa. Sorot matanya begitu nanar. Tak peduli apa pun dan siapa pun yang netranya tangkap, Kian tetap saja tak bisa memfokuskan diri. Semuanya berlalu begitu saja. Berbanding terbalik dengan perasaan menyengat di hatinya. Berbulan-bulan terlewati, Kian tetap saja tak bisa mengabaikan. “Hi, you!” Seseorang duduk di hadapannya. Tiba-tiba saja memaksa meminta atensi Kian. Gerak perempuan itu terburu-buru, napasnya satu-dua. Selanjutnya, alih-alih memastikan air wajah Kian, ketika teringat rasa haus yang menyerang tenggorokannya, perempuan itu gegas bangkit dan beranjak menuju meja kasir. “Sori, ya, gue tel—” perempuan itu kembali ke meja mereka, “you okay?” Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Selagi menduduki kembali kursinya, perempuan itu tak tahan untuk tidak berdecak terang-terangan. “Come on, Ki, it’s already months, masa lo mau begini mulu?” “Lo tahu enggak, Kak,” Kian memaksakan bicara. Dia tahu, kalau dia terus-menerus bungkam, hanya menjawab dengan gestur tubuh, perempuan di depannya ini—yang tak lain adalah kakak kandungnya—pasti berang bukan main. Untuk seorang pegawai bank, dengan setumpuk pekerjaan, yang sering kali memaksa Adhys pulang larut malam, Kian tahu kakaknya telah dengan sengaja meluangkan waktu untuk menyusulnya ke kedai kopi ini. Menyepelekan usaha Adhys sama saja menyerahkan kepalanya dipenggal hidup-hidup. “Katanya, laki-laki itu baru patah hati justru setelah berbulan-bulan pisah.” “Oh, ya?” Perempuan itu melirik gawainya sekilas. Ada pesan dari Remi, suaminya. Namun, Adhys memilih mengabaikan. Saat ini adiknya lebih membutuhkannya. “Ya emang, sih, cewek kalau putus biasa langsung meraung-raung, but we will feel better after that. Kayak yang langsung lepas aja, gitu.” “Tuh, kan, beda, kaaan. Cowok, mah, awal putus masih asyik aja nongkrong sana-sini, ketawa-ketiwi, kayak enggak habis ditinggal—” “Bohong banget, sih, Ki,” sela Adhys. “Lo jelas ngemis-ngemis cinta ke Tere.” Praktis, Kian mencebik. “Kepastian, Kak. Gue meminta kepastian,” ralatnya. “Ya menurut lo aja, Kak, masa gue bisa santai aja saat ditinggal nyaris di detik-detik menuju pernikahan kami.” “Iya, sih…. Tapi kalau gue jadi lo, ya, Ki, udahlah, lupain. Itu artinya lo dan Tere enggak jodoh. Mau lo paksain gimana pun, kalau bukan nama Tere yang bersanding sama nama lo, ya enggak akan mungkin bisa sama-sama.” Kian tergemap. Dia tak menyangka kalimat itu keluar dari seorang Adhysti Pradita, kakaknya yang berbulan-bulan lalu amat sangat murka pada mantan calon istrinya itu. Mengatai-ngatai perempuan itu dengan sumpah serapah. Sinting, kata Adhys waktu itu. Tere enggak mikir apa, ya, dia mencoreng nama baik keluarga kita dan keluarganya? “Kenapa lo lihatin gue gitu?” Kian mengedik kasual. Tidak langsung menanggapi, memilih membiarkan pelayan yang mengantarkan kopi pesanan Adhys berlalu. “Kayak bukan Kak Adhys aja.” Adhys refleks menimpuk lengan sang adik. “Gue cuma berusaha ikhlas aja, sih, Ki. Meski berat, yaaa. Tapi mau gimana lagi, mau gue mengutuk cewek itu sampai mampus juga, semuanya sudah terjadi ini.” Kalimatnya berhasil semakin membungkam Kian. “Lagian, ya, lo harusnya enggak perlu pusing apa-apa, sih. Yang paling direpotkan, tuh, gue. Ngebatalin semua persiapan kalian.” Tapi tetap aja, Kak, gue calon pengantinnya, Kian mengeluh dalam hati. Namun, Adhys benar, dia sungguh bersyukur memiliki Adhysti Pradita sebagai kakaknya. Entah akan jadi apa Kian tanpa Adhys. Sekalipun perempuan itu terus mengomel, Adhys mau-mau saja diminta Ma—ibu mereka—untuk membatalkan pemesanan gedung, katering, bahkan sampai membuat klarifikasi untuk undangan yang telah disebar. “Thanks,” kata Kian, sangat pelan. Adhys tersenyum kecil melihatnya. Sejujurnya, kalau ada yang menanyakan bagaimana perasaan perempuan itu saat ini, Adhys sama hancurnya seperti adiknya itu. Melihat Kian seterluka ini, bohong bila Adhys berkata dia baik-baik saja. Terlebih, insiden yang disebabkan mantan calon adik iparnya itu juga memberi dampak pada Ma. Ibu mereka dirawat di rumah sakit hampir satu pekan. Terlampau syok dengan keputusan yang Tere ambil. Adhys tahu apa alasan utamanya. Bukan sekadar malu—iyalah, siapa yang tidak malu ketika undangan sudah disebar ke mana-mana, seluruh keluarga besar bahkan sudah memesan tiket untuk terbang ke Jakarta, tetapi ini lebih ke rasa sayang Ma pada Tere. Bagi Ma, Tere sudah seperti anak perempuan keduanya. Meski hubungan Tere dan Kian belum lama, baru sekitar dua tahunan. Sebenarnya Tere gadis yang baik, harus Adhys akui itu. Tere pun pandai mencuri hati orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga inti Kian. Sebab itu Adhys benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya Tere mendepak keluarga mereka seperti tak pernah ada ikatan istimewa antara gadis itu dan keluarganya. “Udahlah, Ki, ditinggalin Tere bukan akhir dari hidup ini.” “Gue cuma enggak paham kenapa dia melakukan itu ke gue,” gumam Kian. “Everything really looks fine. Sampai detik ini pun gue bahkan enggak juga dengar alasan apa pun darinya. Tere kayak … hilang ditelan bumi.” Adhys meringis. Seolah belum cukup menyakiti Kian dengan meninggalkan lelaki itu, Tere juga benar-benar melenyapkan eksistensi dirinya di hidup Kian. Satu jejak pun tak gadis itu tinggalkan. Selain permintaan maaf yang dititipkan melalui sahabatnya, Tyas. “Apa gue emang enggak sepantas itu, ya, mendampingi Tere?” lirih Kian. Pandangannya menerawang jauh. Atau, mungkin juga gadis mana pun, tambahnya, tetapi hanya sanggup di hati kecilnya. “Hush! Pantang, ah, ngomong gitu.” Adhys menjatuhkan matanya ke layar gawai. Sudah waktunya kembali ke kubikelnya. Berkutat dengan setumpuk dokumen. “Gue cabut, ya. Bisa diamukin bos, nih, kalau masih betah aja nemenin adek gue ngegalau.” Perempuan itu terkekeh sembari mengangkat tubuh. Adhys menyeruput kopinya untuk kali terakhir sebelum meletakkan bersisian dengan milik Kian yang masih tersisa setengah. “Oke.” Namun, Adhys tidak langsung berlalu. Dia berhenti sejenak di dekat sang adik. Ditepuknya pundak Kian. “Jangan pulang larut malam ini. Ma dan Pa kangen sama lo.” Sesuatu dalam diri Kian tersengat. “Thanks, Kak.” Untuk semua yang harus mendapat kata itu. Terima kasih sudah meluangkan waktu. Juga … terima kasih sudah menjadi saudara terbaik gue. *** Yogyakarta, 2019 SUNYI mengapung di ruangan itu. Terlalu senyap hingga nyaris mencekam. Belum lagi amarah yang tersekap, membuat siapa saja yang tadinya betah mencari tahu—mengapa tiba-tiba sang Editor in Chief mengambil cuti selama sepekan, perlahan mengundurkan diri. Mereka tak lagi berminat. Dari jawaban Vilan yang terlampau singkat, mereka sadar kehadirannya tidak diinginkan. Bertahan sama saja dengan keputusan paling bodoh. Siapa yang tahu Vilan tahu-tahu memuntahkan kekesalannya? “Rana,” Vilan menghubungi juniornya melalui interkom, “bisa ke ruangan aku enggak?” Tidak butuh waktu lama, Rana sudah duduk di hadapannya. Gadis muda berusia awal dua puluhan itu tampak gelisah. Takut-takut membalas tatapan Vilan. Hal itu justru mengundang decakan keluar dari bibir sang senior. “Ran,” panggilnya selagi menempati kursinya, “enggak usah begitulah. Kamu kayak baru aja kerja sama aku.” “Euh, iya, Mbak.” Vilan mendengus. Dari nada bicara Rana, Vilan tahu dia sia-sia. Gadis itu masih saja tak nyaman. “Apa, sih, yang mereka bilang? Kalau aku kayak gini bakal makan manusia hidup-hidup, gitu?” Sekali ini Rana terkekeh. Sedikit banyak dia sadar, dia memang sudah sangat berlebihan. Namun, desas-desus di luar sana begitu kencang. Mereka bilang, Editor in Chief mereka—which is Vilania Ahmad—jarang sekali marah, tetapi sekalinya marah, bisa murka luar biasa. Vilan memang terkenal sangat baik hati. Mau dikecewakan seperti apa pun, tak pernah satu kali pun gadis itu meledak. Entah apa yang perempuan itu berhasil terapkan pada dirinya, tetapi yang pasti Vilan selalu bisa mengendalikan diri di muka publik. Itu sebabnya, saat Vilan lepas kendali seperti sekarang ini—meski tak lepas-lepas banget, ya, hanya mengambil cuti secara tiba-tiba dan memasang wajah datar sepanjang hari, siapa saja tak bisa untuk tidak cemas. “Umh, omong-omong, ada apa, ya, Mbak Vilan?” Vilan teringat tujuan awalnya meminta Rana kemari. “Gini, Ran,” mulainya, “berhubung mulai besok aku bakal cuti, ini beberapa pekerjaan yang harus dilanjutkan sama Januar. Euh, pekerjaan aku sudah beres, kok. Januar cuma perlu melanjutkan untuk bulan berikutnya. Tugas kamu sampaikan list ini ke Januar.” Vilan mengangsurkan map biru muda pada Rana. “Nanti aku hubungi Januar juga, kok. Kamu tenang aja. It’s just in case.” Rana manggut-manggut. Didekapnya map tersebut di dada. “Itu saja, kan, Mbak?” Mendapati Vilan mengangguk sambil lalu, perempuan itu berniat keluar. Namun, sebelum itu, “Mbak,” panggilnya, “ada hal lain yang Mbak Vilan butuh, mungkin?” Vilan tercenung. Lama sekali. Ditatapnya Rana tanpa putus. “No, just that. Thanks again, Ran.” Sepeninggalan sang junior, Vilan mengembuskan napas berat. Perempuan itu menenggelamkan wajah di lipatan tangannya di atas meja. Sejujurnya, ada yang ingin dia bagi, tentang lelaki itu. Sepuluh tahun bersama, Vilan tak menyangka, sosok yang berhasil menguasai sekat-sekat hatinya tega melukainya sedalam ini. Ah, Vilan hanya sedang lupa. Bukankah yang kau cintai begitu dalam juga memiliki kemampuan menyakitimu sama dalamnya? [ ]. Description: [Kian Abiyoga] Dalam hidupnya, Kian hanya pernah dua kali jatuh cinta. Pertama, saat berusia 15 tahun. Kedua, sepuluh tahun kemudian. Sayangnya, keduanya berakhir sama buruknya. [Vilania Ahmad] Dalam hidupnya, Vilan percaya akan eksistensi cinta, tetapi tak pernah sungguh-sungguh mengalami sensasi tenggelam dalam perasaan beragam warna itu. Hingga, di usianya yang ke-23 gadis itu bertemu sang belahan jiwa. [Jeremiah Roesli] Dalam hidupnya, Jere memiliki prinsip: tidak ada yang namanya cinta, yang ada hanyalah perasaan suka. Sesuatu yang tak mengikat terlampau erat. Ini kisah tentang mereka bertiga, yang pada akhirnya mau tidak mau duduk di ruang tunggu. Mempertanyakan kembali apa yang sudah diyakini selama ini, pun menanti kepastian dari dia yang dicintai. Ruang Tunggu © 2019 by Jenny Annissa.
Title: Run With Me Category: Novel Text: Chapter One Abigail “Cut! Nice, Abby!” Mark mengangkat kedua jari jempolnya. Memberikan tanda bahwa aksiku barusan sangat baik. Jempol menandakan bagus, telunjuk menandakan peringatan, jari tengah menandakan... oh lebih baik tidak usah dipikirkan lebih lanjut. Aku cukup lelah sehingga membuat pikiranku melanglang buana tidak jelas hanya dengan melihat sesuatu. Lighting dimatikan. Mataku langsung mengerjap-ngerjap karena tiba-tiba sekelilingku menjadi lebih gelap. Aku berjalan lunglai menuju kursi kayu. Aku meletakkan bokongku di sana dan bersandar. Aku memijat keningku karena sedikit pusing. Lalu aku memejamkan mata. Aku baru saja menyelesaikan satu buah pengambilan gambar untuk iklan sebuah produk kecantikan berupa soft powder keluaran brand ternama. Aku mendengar suara langkah sepasang heels. Heels itu berhenti dan aku membuka mata. Leslie berdiri dengan senyum dan membawakan segelas air buatku. Oh ya, aku benar-benar membutuhkan ini sekarang. “Terima kasih.” Kataku. Aku menenggaknya dengan rakus hingga gelas itu kosong. Aku mengembalikan gelas kosong itu pada Leslie dan tersenyum padanya. “Kau bisa istirahat di mobil. Sekarang kita harus bersiap-siap, Abby karena pukul enam kau sudah harus berada di studio untuk acara talkshow.” Sialan! Pekerjaanku belum selesai. Aku benci mengingatnya. Aku melirik jam tanganku. Sekarang pukul 03.30 sore. Aku hanya punya waktu sekitar dua setengah jam untuk istirahat. Itu tidak cukup bagiku. Kemarin malam aku baru tiba dari Seattle untuk menghadiri peluncuran produk gadget terbaru. Mereka memilihku menjadi brand ambassadornya. Dan kini... aku masih jet lag. Aku menghembuskan napasku dengan berat. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Brian berdiri di atasku dan tersenyum menggoda. Dia melipat tangannya di bawah dada. Dia membuatku menyeringai. Aku kembali memposisikan kepalaku agar lurus ke depan. Brian menarik sebuah kursi dan duduk di sampingku. “Lelah?” Aku hanya mengangguk dan tidak menjawab pertanyaannya. Dia melingkarkan lengan kekarnya di bahuku. Aku merasakan telapak tangannya membelai bahu kananku. Sambil menarik napas dengan teratur, lama-kelamaan aku merasa nyaman. Brian tidak hanya hair stylist dan make up artisku. Tapi dia sudah seperti kakakku dan juga sahabatku. Dia tidak bicara apapun. Hanya berada di dekatku dan terus merangkulku. Memang ini sebenarnya yang aku butuhkan. Aku hanya perlu ditemani. “Masih ada sekitar dua setengah jam lagi sebelum acara talkshow. Kau bisa tidur nyenyak di dalam mobil.” “Aku bisa tidur nyenyak di mobil jika tidak ada Leslie di dalamnya.” Brian terkekeh. “Apa aku perlu membiusnya?” “Kurasa ya.” Kami terkekeh lagi. Aku tidak tahu Leslie itu terbuat dari apa. Dia manusia yang full of energy. Aku tidak pernah melihatnya tidak tertawa sehari pun, dan dia sangat sulit dihentikan ketika sudah berbicara. Jika kami sedang membicarakan apel merah, entah bagaimana caranya dari buah apel merah itu bisa sampai kepada mesin mobil yang sudah tidak layak pakai. Mungkin aku harus bertanya pada ibunya makanan apa yang dia berikan sehingga anaknya itu bisa sekuat pembangkit listrik untuk satu kota. Atau mungkin jangan-jangan Leslie sering menelan lampu di rumahnya. Aku tidak tahu. Aku tertawa sendiri memikirkan lelucon itu. “Kerja bagus, Abby.” Suara itu membuatku menoleh dan menegakkan posisi dudukku. Mark menghampiri kami. Dia seorang mantan aktor yang sekarang menjadi sutradara. Dia lebih banyak bekerja di belakang layar. Di usianya yang hampir empat puluh tahun, dia dikategorikan sebagai pria awet muda karena wajahnya yang baby face. Orang akan percaya jika dia bilang umurnya masih 27 tahun. Rambut pirangnya yang sudah melebihi bahu selalu dikuncir kuda di belakang tengkuknya. Dia selalu santai dalam bekerja. Contohnya hari ini. Dia memakai celana pendek selutut, T-shirt, dan sepatu sports. Wajahnya bersih dan dia memelihara sedikit janggut yang menghiasi dagunya. Sebagai seorang mantan aktor, dia memiliki cukup banyak prestasi. Salah satunya pernah menyabet dua penghargaan dalam sekali acara. Aktor terbaik dan aktor terfavorit pilihan pemirsa. Ketampanannya tidak diragukan. Perawakannya yang tinggi besar didapatkannya dari sang ayah. Ternyata ayahnya adalah mantan petinju yang sekarang memiliki tempat latihan sendiri. Ayahnya juga pebisnis di bidang olahraga. Dia melatih banyak trainer yang akan di pusatkan ke berbagai tempat latihan kebugaran. Mark berkulit pucat layaknya orang sakit. Tetapi dia sangat sehat karena olahraga tidak pernah lepas dari kehidupannya. Dia pernah menikah dengan seorang wanita berdarah campuran Filipina-Spanyol tetapi pernikahan itu hanya bertahan satu tahun. Sekarang dia duda. Duda tampan tanpa anak. Banyak dari kalangan artis yang mengejarnya. Tetapi sampai saat ini dia tidak nampak menggandeng seorang wanita kemanapun. “Terima kasih, Mark.” “Aku senang bekerja denganmu. Semoga kita punya project bersama lagi lain kali.” Katanya sambil berkedip. “Tentu.” Jawabku sambil tersenyum. “Ayo, Abigail Johnson!” Leslie berteriak. Dia menunjuk jam tangan yang melekat di tangan kirinya. Jika Leslie menyebutkan nama panjangku, itu artinya dia sudah tidak sabar. Aku menoleh padanya sebentar kemudian aku hendak berpamitan dengan Mark. Saat itu mata Mark terpaku pada Leslie. Aku tak tahu arti tatapan itu. Dia melambai pada Leslie dan aku langsung melihat apa yang dilakukan manajerku itu. Leslie tersenyum manja dan balas melambai. Lalu yang mengherankan, Mark memberikan ciuman jauh pada Leslie. Ciuman itu langsung pura-pura ditangkap oleh Leslie dan dia memasukkan angin itu ke dalam tas. Oh my! Leslie sangat memalukan! Aku melihat Mark mengedipkan sebelah mata padanya. Ya ampun. Adakah ketertarikan di antara mereka? Selama ini mereka kerap saling menggoda. Aku pun tak tahu apakah mereka saling menyukai. Leslie tidak pernah banyak bercerita. Sementara Mark, kami hanya bertemu beberapa kali saja jika ada diproyek yang sama. Jadi kami tidak pernah mengobrol lebih selain mengenai pekerjaan. “Bergegaslah. Ibu tuamu itu bukan orang yang sabar.” Kata Mark seraya tertawa. Mark mencium pipiku dan memelukku sebentar. Dia bersalaman dengan Brian dan kami pun melenggang keluar ruangan menyusul Leslie. Aku hampir sampai di muka pintu saat Mark memanggil. “Abby, sampaikan salamku pada Rainer Holt.” Aku membalikkan badan dengan terkejut. Entah kenapa mendengar nama itu membuat perutku serasa diremas-remas. Aku mengerutkan kening. Mark sepertinya menyadari kebingunganku. “Bukankah kau akan satu panggung malam ini dengannya? Dia juga bintang tamu di acara Sarah.” Kata Mark santai. “Jangan lupa sampaikan salamku. Hati-hati, Abby!” APA??? *** Satu bulan yang lalu Hari ini aku menjadi simpatisan dalam acara pelelangan barang-barang milik artis. Aku sudah mengumpulkan beberapa pakaian, tas, dan sepatu kesayanganku untuk dilelang. Hasil lelang ini akan disumbangkan bagi anak-anak penderita hydrocephalus. Kondisi abnormal dari cairan otak yang meningkatkan tekanan dan memeras otak. Hal ini menyebabkan anak-anak yang menderita penyakit ini mengalami pembesaran kepala yang tidak wajar. Aku sungguh senang berada dalam acara amal. Apapun bentuknya. Dalam acara ini pula aku diberi kesempatan untuk memperkenalkan Home for Kids “Abby” yang aku dirikan sejak dua tahun yang lalu ke masyarakat. Aku menekan tombol enter pada laptopku dan muncul slideshow yang tadi kukerjakan. Aku tersenyum melihat hasil karyaku. Aku mematikan laptopku setelah aku selesai. *** “Abigail, apa Anda pernah merasa lelah untuk mengurus rumah itu?” Aku tersenyum sebentar dan menatap wartawati yang mewawancaraiku ketika aku turun dari panggung. Aku baru saja selesai mempresentasikan mengenai rumah anak milikku. Blitz kamera beberapa kali membuatku mengerjap-ngerjap. “Aku tidak pernah merasa lelah saat membantu siapapun. Apalagi anak-anak. Aku menyukai mereka.” Wartawan dan wartawati dari berbagai majalah terus mengikutiku sehingga membuatku sedikit sulit untuk berjalan. “Apakah ada dari mereka yang sulit diatur? Mengingat mereka bukanlah anak-anak yang... hmm... maaf, kurang terdidik.” Wartawan itu melontarkan pertanyaannya dengan sedikit meremehkan. Jujur saja aku agak kesal, dan aku tidak suka ada yang menganggap anak-anak yang kurang beruntung itu seperti anak-anak yang memiliki cacat. Aku menggeleng. Lalu berpura-pura tersenyum dalam kekesalanku. “Sejauh ini kami bisa mengatasinya. Kami mendatangkan psikolog, pengajar, dan tenaga sukarela lainnya.” Jawabku obyektif. “Bisakah kami berkunjung ke sana, Abigail?” “Tentu. Pintu kami terbuka untuk siapa saja. Maaf, aku harus permisi. Terima kasih untuk dukungan kalian. Kutunggu kedatangannya.” Belum jauh aku melangkah menuju backstage, wartawan mengerubungi seorang pria. Rainer Holt. Seorang aktor muda dan model papan atas dengan penghasilan tertinggi saat ini. Dia tampan nan rupawan, bertubuh tinggi dengan kulit coklat muda dan dia memiliki mata berwarna hijau muda yang jernih, rambutnya hitam pekat. Dia berbakat dan pintar. Kudengar dia lulus dari Columbia University, Amerika dengan predikat cumlaude. Kupikir tak ada wanita yang tidak bermimpi untuk berkencan dengannya. Termasuk aku. Aku tersenyum dan pura-pura berhenti sebentar untuk memeriksa ponselku tetapi mataku tertuju padanya. Aku tidak tahu kenapa rasanya tidak pernah bosan melihatnya baik di televisi atau melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Di televisi dan di depan mata, dia sama-sama memiliki magnet bagi kaum hawa. Aku mengikuti akun instagramnya. Ada satu foto yang sangat kusuka. Dia berada di kolam renang anak-anak dengan empat orang anak kecil yang bergelayut manja padanya. Dalam hastag instagramnya menyebutkan kalau anak-anak itu adalah keponakannya. Sungguh manis melihat seorang pria bermain dengan anak-anak. “Selamat siang, Rainer. Berikutnya adalah giliranmu untuk memberikan barang-barang kesayangan untuk dilelang. Boleh kita tahu apa saja yang akan dilelang?” Rainer memamerkan giginya yang rapi. Dia sangat maskulin dengan jaket biru dan jeans yang membungkus kakinya yang jenjang. Rainer terlalu memikat seperti dewa Apolos. Dia berdiri tegak dan memasukkan sebelah tangannya di kantong celana. Damn it! He’s really cool! “Selamat siang. Ya, ada beberapa pasang sepatu, beberapa lembar kaus, jam tangan, dan juga gitar yang sudah aku tanda tangani.” Aku juga ingin memiliki kausnya. Sepertinya aku akan bergabung untuk memperebutkan barang-barang miliknya malam ini. “Rainer.” Seorang wartawati memanggilnya dan dengan senyum hangat dia langsung menghadapkan tubuhnya pada wartawati itu. Si wartawati langsung merona dan tersipu-sipu saat Rainer balik menatapnya. Dia sedikit gugup saat memberikan pertanyaan. Gila! Sebesar itukah pesona pria ini? “Hai Rainer, apakah ini acara amalmu yang pertama kali? Sepertinya kami jarang melihatmu dibeberapa acara amal yang lalu.” Wajahnya tampak sedikit masam. “Hmm... ya bisa dikatakan begitu. Aku pernah diundang kebeberapa acara amal tetapi sangat disayangkan bertabrakan dengan jadwalku. Aku tidak bisa hadir tetapi aku mengirimkan wakil.” “Bagaimana pendapatmu tentang Abigail Johnson?” Sempat aku menolehkan wajahku kearah sana. Aku tak tahu bahwa daftar pertanyaan itu ada di tangan sang wartawan. Aku tertarik. Jujur saja aku berdebar-debar menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirnya. “Abigail Johnson.” Dia menggumamkan namaku. Oh! Betapa indahnya namaku ketika dia menyebutnya. Aku langsung membalikkan badan dan sebisa mungkin tidak terlihat karena ada dinding yang membatasi panggung dan bagian belakang panggung. Tapi aku masih bisa mendengar wawancara mereka. Entah kenapa degup jantungku semakin tidak karuan karena cemas menunggu jawabannya. Jantungku seperti balon yang mau meledak. “Dia cukup berbakat.” Lalu dia diam dan aku tidak mendengar apa-apa lagi dari bibirnya. Hanya itu? Aku sedikit merasa kecewa. “Anda pasti tadi mendengar tentang rumah anak-anak miliknya bukan? Bisa minta komentarnya tentang hal itu?” “Kalian ingin tahu?” Aku menajamkan telingaku. “Well, apa yang kulihat dari Abigail Johnson, semuanya, adalah pencitraan belaka untuk menarik simpati dari para penggemarnya. Dia hanya ingin menambah penggemar. Seperti semacam daya tarik pasar. Pasti ada bisnis dibalik semua itu. Pernahkah kalian mendengar jika tangan kanan memberi tangan kiri tidak boleh tahu?” Aku terhenyak. Dadaku sesak! Bagaimana mungkin pikiran picik seperti itu ada dalam kepalanya? Aku geram. Seketika saja rasa simpatiku padanya langsung hancur berkeping-keping. Aku merasa tanganku kesemutan dan bergetar. Sialan! Jadi dia ingin bermain api denganku? Fine! Lihat ini, Rainer! Aku tidak mendengar ada komentar apa-apa lagi dari para wartawan. Aku berbalik dengan cepat dan langsung ingin menghajar wajahnya. Ketika hanya beberapa langkah darinya, seseorang menarik tanganku. “Hentikan, Abby!” “Kau dengar?” Aku terkejut karena Brian tiba-tiba ada di belakangku. Brian menggangguk. “Aku harus merobek mulutnya!” kataku. “Biarkan dia, Abby.” Brian masih memegang tanganku dan setengah berteriak dia berkata, “Seorang pria yang memberikan komentar negatif terhadap sesuatu yang positif sepertinya tidak pantas disebut ‘pria’.” Banyak orang menoleh padanya. Termasuk para wartawan dan siapa lagi kalau bukan si objek utama, Rainer Holt. Beberapa wartawan tampak tertarik dengan perseteruan ini, dan tentunya perseteruan ini adalah makanan lezat bagi mereka yang selalu lapar akan gosip dan berita. Tanganku gatal. Bukan hanya untuk merobek mulutnya tetapi juga berniat sekali untuk menamparnya sampai pingsan—jika aku bisa. Brian dengan cepat mendekapku dan menarikku agar masuk ke backstage. Kupikir ini salah satu tindakan penyelamatan yang Brian lakukan untukku. Aku masih sempat menolehkan wajah dan melotot pada Rainer. Dia balas menatapku dengan begitu arogan dan mata menyipit. Lalu sedetik saja dia terlihat menyesal. Mulai saat itu aku langsung membuang segala sesuatu tentang dirinya dalam pikiranku, dalam media sosialku, dan dalam hal apapun. *** “Banyak selebriti yang ingin hadir di acara Sarah tetapi dia dan tim kreatifnya sangat selektif dalam memilih bintang tamu. Ya walaupun acara televisi itu masih terbilang baru, tapi aura Sarah sungguh menarik. Harusnya kau senang, Abby.” Aku berusaha tidak mendengar pembelaan Leslie. Brian mengendarai mobil dengan pelan. Dari tadi dia hanya menyimak pembicaraan kami. Aku duduk dibangku belakang dengan wajah cemberut. Aku lelah karena jet lag dan harusnya sekarang aku tidur pulas dengan headphone di telingaku dan mendengar lagu-lagu kesukaanku. Tapi ternyata aku tidak bisa karena aku mendapat kejutan yang sangat spektakuler. Aku akan berada dalam satu panggung dengan Rainer Holt! Semua gara-gara Leslie. Sialan! “Kau tahu kalau pria arogan itu juga hadir di sana dan kau tidak memberitahuku sebelumnya?” Kataku dengan dingin. “Kau tidak akan berkembang jika tidak bisa merangkul musuhmu, Sayangku.” Aku mendengus mendengar kata-kata mutiaranya. “Kau seharusnya berdiskusi dulu denganku. Aku yang menjalaninya, Leslie. Dan aku yang tahu dimana aku merasa nyaman.” “Calm down, Baby! Kau tahu bahwa kehadiranmu di acara itu sangat ditunggu-tunggu oleh mereka dan penggemarmu. Lihat .... ” Leslie menari-narikan jari lentiknya diponsel layar sentuh. Di sana terdapat logo burung berwarna biru muda. “Excited untuk menonton penyanyi tercintaku @Abby_Johnson di acara @Sarah_McLain malam ini. Jangan lupa menonton @Clod_TV jam tujuh malam! Ini tweet dari salah satu penggemarmu @Laura_Scott12. Lihat bagaimana antusiasnya mereka ingin menontonmu. Kicauan ini sudah di re-tweet berkali-kali.” “Aku tidak peduli!” Cetusku. Leslie kini menoleh kepadaku. “Apa kau takut?” Aku meringis lalu mencibir ke arahnya. “Takut apa? Padanya? Apa yang harus kutakutkan?” “Hmm... ya, karena kata-katanya beberapa minggu lalu, tepatnya satu bulan yang lalu. Hal yang membuat kau dan dia menjadi headline. Tapi menurutku itu cukup bagus karena membuatmu semakin bersinar di televisi.” Leslie masih tertawa senang. Ya, ampun. Leslie sudah gila. “Itu sangat tidak bagus, Leslie. Itu konflik. Perseteruan. Dan tidak seharusnya menjadi konsumsi publik. Dia adalah pria yang tidak punya sopan santun.” “Kau tidak bisa menghindarinya, Abby. Kalian publik figur. Inilah duniamu. Inilah resikonya. Yang harus kau lakukan adalah menghadapinya dan menikmatinya.” “Aku bersumpah untuk membalasnya.” Ada nada sarkasme dalam suaraku. Aku tidak suka dengan cara Leslie yang mengambil keputusannya sendiri dan tidak membeberkan secara detail padaku mengenai acara yang akan kuhadiri. Aku mendengus sekali lagi. Publik figur. Disaat-saat seperti ini rasanya aku ingin berhenti dan menjadi orang biasa saja. Orang biasa yang tidak dikenal dan bisa bepergian kemana-mana tanpa rasa takut dan waspada. Orang biasa yang bisa berekspresi sebebas mungkin tanpa dibesar-besarkan hingga seluruh dunia tahu apa yang kau lakukan. Media begitu hebat. Aku tak tahu bagaimana orang-orang dibalik itu bisa bekerja seperti penguntit yang tahu berapa kali kau buang air atau berapa banyak porsi makanmu sehari-hari. Ya, Tuhan! Sepertinya aku nyaris depresi memikirkan itu semua. Menjadi penyanyi memang impianku. Tapi aku tak tahu bahwa dibalik semuanya aku akan merasa kehilangan sesuatu. Bukan! Aku tidak kehilangan. Aku hanya sedikit melakukan pengorbanan. Kebebasan dan kesenangan. Aku masih bisa memilikinya bukan? Aku mendesah berat. Kini kami sudah setengah jalan. Beberapa menit lagi aku akan sampai di studio. Aku menatap kosong ke arah jalan. Siap atau tidak siap, aku memang harus menghadapinya. *** Brian memberikan sentuhan akhir pada alis mataku. Dia menggunakan pensil alis warna coklat dan menyempurnakan bentuknya. Dia melakukannya bak seorang pelukis handal. Brian tersenyum padaku melalui kaca. Aku berdiri. Merapikan gaun shiffon warna merahku dan sedikit merapikan rambut gelombangku yang tergerai di belakang bahu. “Bagaimana?” “Perfect!” Jawab Brian. Dia merapikan kuas-kuas riasnya di atas meja sementara aku sekali lagi menatap pantulan diriku pada kaca segiempat besar yang menempel pada dinding ruangan. Brian membuat mataku lebih tajam dengan make up smokey eyes andalannya. Dia membubuhkan eyeshadow warna abu-abu muda dan menambah ketajaman mataku dengan eyeliner hitam yang mencuat pada bagian ujungnya. Aku suka cara Brian menggunakan make up pada wajahku. Selalu pas dan sempurna. Dia membuat bibirku kelihatan penuh dan mengagumkan dengan warna merah terang yang menggoda. Senada dengan gaunku. “Santailah dan jangan gugup.” Kata Brian. Dia bersandar pada meja rias dan menatapku sambil melipat tangan berototnya di bawah dada besarnya yang kencang. Dia tampan, eksotis, seksi, dan kekar. Otot-ototnya seakan-akan menjerit-jerit di balik kaus ketat yang selalu dipakainya. Aku tak tahu berapa kali dalam seminggu dia menghabiskan waktu untuk merobek otot-ototnya itu. “Tidak akan pernah, Brian! Jika saja aku tahu siapa bintang tamu lainnya.” Aku menggerutu pada Brian. “Bersikaplah profesional, Sayang. Take a deep breath! Semua akan baik-baik saja.” Tarik napas! Ya, itu sudah kulakukan. Tapi hatiku bicara bahwa semua tidak akan baik-baik saja. Aku menatap Brian dengan tatapan lelah. Sebentar lagi aku akan masuk ke studio dua dimana aku akan hadir sebagai salah satu bintang tamu di acara talkshow. “Apakah sebelumnya kau tahu kalau bintang tamu lainnya adalah Rainer Holt?” Tanyaku penasaran. Brian menggeleng. “Tidak.” “Leslie sialan!” aku mendesis seraya mengepalkan tangan di samping tubuhku. Aku mendengar Brian tertawa keras dan aku melotot padanya. “Brian!!” “Baru kali ini aku melihat seorang Abigail Johnson terserang panik sepanjang hari.” “Ini Rainer! Pria super arogan! Aku tidak akan pernah mau satu panggung dengannya. Leslie tahu itu! Dan kenapa sekarang dia membiarkan aku satu panggung dengan pria itu?” “Lupakanlah, Abby!” Brian berdiri dan memegang bahuku. Kini aku berhadapan dengannya dan dia mengelus bahuku lembut sambil berkata pelan, “Fokus. Jaga emosimu. Dan bersinarlah malam ini. OK?” Brian mencuil daguku sebentar. Aku merasa sedikit tenang dengan gerakan tangannya pada bahuku. Aku menatap matanya lama lalu mengangguk. Mencoba menerima energi positif yang diberikan Brian padaku. Dengan malas aku melangkahkan kaki untuk keluar dari ruang rias dan menuju studio dua. Dadaku bergedup semakin kencang saat aku melihat seorang pria dengan bahu lebar. Rainer Holt. Ya, ampun! Aku belum siap. Dia memakai kemeja biru muda dan sedang berdiri membelakangiku. Syukurlah, batinku. Aku menunduk saat akan masuk ke studio dua agar dia tidak melihatku. Entah kenapa di saat terakhir sebelum aku berbelok, aku mengangkat wajahku dan melihat kaca di mana dia sedang merapikan lengan kemejanya. Dan tatapan kami bertemu. Chapter Two Rainer “OK. Sudah sampai. Eits... jangan bergerak dulu. Biar paman lepaskan safety beltnya.” Hari ini hari minggu. Kebetulan sekali aku tidak ada job hari ini. Kali ini aku bersenang-senang dengan salah satu gadis kecilku, keponakanku yang bernama Nora. Rambut gadis mungil berusia empat tahun ini dikepang dua dan di atas rambutnya dihiasi banyak macam pita warna-warni. Kakak iparku, Joyce, memang senang mendandani anak-anak. Well, kami akan menghabiskan sebagian waktu luang ini di Ice Cream House. Sesuai namanya, tempat ini menjual berbagai macam es krim dengan rasa yang bermacam-macam disertai topping yang bisa dipilih sendiri. Selain itu di sini juga ada gerai coklat yang paling enak. Aku membukakan pintu untuk Nora. Aku membantunya keluar dari mobil dan kugenggam tangannya saat kami berjalan bersisian. Hari ini aku terlihat santai dengan mengenakan kaus, celana jeans panjang, dan sepatu sports. Aku tidak lupa menggunakan kacamata hitam serta topi yang menutupi dahiku supaya aku terlihat biasa dan tidak dikenali. Terkadang aku berpikir bahwa menjadi publik figur tidak selamanya menyenangkan. Suatu ketika aku lelah dan bosan. Tapi di suatu saat yang berbeda, menjadi publik figur adalah hal yang paling membanggakan. Entahlah, mungkin begitulah sifat manusia. “Mau es stoberi warna pink. Tapi yang besar.” Pinta Nora. Dia mendongak untuk menatapku. “Coklat lebih enak.” Balasku Nora menggeleng kuat-kuat. “Stoberi saja. Biar sama dengan baju Nora.” Dia menunjuk ke arah gaunnya yang manis berwarna pink. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya dengan gemas. “OK, sweetheart!” Setiap sudut gedung ini didominasi oleh dekorasi cerah khas anak-anak. Ternyata di sini cukup ramai. Aku khawatir dengan banyaknya orang yang berkerumun dimana-mana. Takut kalau-kalau saja mereka bisa mengenaliku. Saat kami masuk, kami disambut oleh boneka Mickey Mouse dan Minnie Mouse yang bergerak-gerak lucu. Nora langsung tertawa dan menghampiri mereka. Mickey dan Minnie langsung merangkulnya dan Mickey memberikan balon berwarna kuning padanya yang bertuliskan Welcome to Ice Cream House. Aku mengambil kesempatan ini untuk mengabadikan mereka dan mengambil fotonya dengan kamera milikku. “Mau lihat-lihat dulu atau beli es krim sekarang?” “Sekarang.” Jawab Nora antusias. Aku langsung menggendongnya dan mencium pipinya dengan gemas. “Rasa coklat?” Aku menggodanya sekali lagi. “Stroberi!” Teriak Nora setengah marah. Aku mengecup pipinya sekali lagi. Dia melingkarkan tangannya di leherku. Kami berjalan ke gerai es krim dan antrian di sana sangat panjang. Kebanyakan dari orang-orang yang mengantri adalah para wanita. Oh sial! Aku berada di lautan wanita! Aku mencoba mencari apakah ada pria yang mengantri. Aku mendesah lega saat aku melihat ada beberapa pria yang ikut mengantri. Walaupun jumlahnya sangat jauh berbeda dengan kaum wanita. Sama sepertiku, dia juga menggendong seorang anak. Bahkan ada yang menggendong bayinya yang sedang tidur terkulai di bahunya. Aku tertawa sendiri. Dengan membawa Nora, aku terlihat seperti seorang ayah yang menemani anaknya. Aku mengelus kepala Nora dengan sayang. Lima menit... sepuluh menit.... Oh God! Tanganku sudah mulai kram menggendong Nora. Aku melihat ke depan. Masih ada tiga orang lagi. Nora pun sudah tampak bosan dan uring-uringan. Benar-benar khas anak kecil. Tidak sabar dan cepat bosan. Dia memajukan bibirnya dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku mengelus punggungnya. “Sabar ya, Sayang.” Nora mengangguk dengan muram. “Oh ya, ayo kita main tebak-tebakan.” Kataku. “Apa?” Nora kelihatan tertarik. Dia menegakkan kepalanya. “Gula-gula apa yang berwarna hijau?” Nora tampak berpikir. Dia meletakkan jari telunjuknya di dekat bibir. Dia diam selama hampir tiga puluh detik. “Ayo, apa?” desakku. “Tidak tahu.” Nora tertawa. “Ayo tebak dulu. Kalau bisa, dapat bonus dua es krim.” “Tidak tahu. Tapi mau dua es krim.” Katanya dengan suara anak-anak yang manja. “O... oh, tidak bisa, Manis. Jadi apa jawabannya?” Nora menggeleng. Menandakan bahwa dia menyerah. “Apa?” “Gula-gula ninjaaa ....” Aku menjawab sambil menggelitik tubuhnya. Dia menggeliat-geliat dan tertawa cekikikan. Setidaknya aku bisa membuatnya lupa sebentar dengan rasa bosannya. Tidak lama kemudian kami maju dan antrian tinggal satu orang. “Mau turun.” Rengeknya. “Sebentar lagi, Sweetheart. Satu antrian lagi ya.” Aku tidak berani menurunkannya di sini karena terlalu ramai orang di sekeliling kanan dan kiri kami. Akan berbahaya jika dia terhimpit orang-orang. “Turun! Turun!” Nora mulai bergerak-gerak ingin turun dan aku pun sudah lelah menggendongnya. Akhirnya, aku menurunkannya dan tetap menggenggam tangannya dengan erat. Dia mencoba melepaskan pegangan tetapi aku melarangnya. “Jangan melepaskan tanganmu dari paman. OK? Kalau tidak, tidak jadi beli es krim.” Nora cemberut tetapi tetap memegang tanganku. Dia menggoyang-goyangkan kakinya dan matanya menyalang ke sana kemari. Dia terlihat sangat bosan menunggu karena kami memang sudah terlalu lama mengantri. Gadis kecil ini memang terkenal tidak sabar dan untungnya aku bisa bersabar untuk gadis kecil ini. “Selamat siang. Mau pesan yang mana, Tuan?” “Satu stroberi dengan topping permen dan satu coklat dengan topping double almond.” Si kasir sepertinya tidak mengenaliku. Bagus kalau begitu. Dia hanya sibuk dengan transaksi dan membuatkan es krim untuk kami. Aku merogoh sakuku dan mengambil dompet. Setelah membayar, aku menoleh ke arah kiri hendak memberikan es krim itu pada Nora. Aku terkejut bukan main. Dia tidak ada di sana! Ya Tuhan! Kemana dia? *** “Kau tidak bisa menemukannya?” Bentakku. “Sebaiknya kita menunggu, Tuan. Saya sudah meminta staff saya untuk mencari. Anda lebih baik menunggu di sini karena siapa tahu ada yang membawa anak itu kemari.” Ucap salah satu petugas informasi. Aku menggertakkan gigiku. Kesal. Frustasi. Marah. Khawatir. Semua bercampur menjadi satu. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang berada di gedung ini dan sungguh ibarat mencari jarum dalam jerami. Aku benar-benar tidak sabar! Aku hanya sebentar saja melepaskan pegangannya tetapi Nora bisa hilang tanpa kutahu kemana jejaknya. Harusnya dia tetap kugendong. Sialan! Sudah hampir tiga puluh menit dan tidak ada satu pun yang datang ke informasi membawa Nora. Sial! Sial! Apa yang harus kukatakan pada Joyce jika dia tidak kembali? Aku mengeraskan kepalan tanganku. Aku tidak bisa hanya menunggu. Aku berlari meninggalkan bagian informasi dan mencarinya sebisaku. Aku tidak akan pulang tanpa Nora. Kalau perlu aku akan menyeret semua polisi yang ada di kota ini untuk menemukan Nora. Somewhere out there Beneath the pale moonlight Someone’s thinking of me And loving me tonight Apakah aku masih berada di bumi? Kenapa suara ini seperti membawaku ke suatu tempat yang sejuk, tentram, dan... ya, ampun. Ini layaknya suara malaikat. Setiap kata dari lagu yang diucapkan oleh sang penyanyi begitu lembut dan merdu. Sebentar saja rasa kesal dalam hatiku pelan-pelan hilang. Apa-apaan ini? Bisakah sebuah nyanyian memberikan ketenangan? Tapi... ya, ini yang aku rasakan. Aneh. Somewhere out there Someone's saying a prayer That we'll find one another And that meets somewhere out there Aku mengenal suara ini. Ya ampun. Nora! Suara Nora berpadu dengan suara yang pertama. Aku bergegas berlari menuju suara nyanyian itu. Rasanya jantungku lemas. Lemas antara lega dan khawatir. Dia di sana! Dia bernyanyi mengikuti suara wanita di sampingnya. Aku mendekat dan yang kulihat sungguh menakjubkan. Nora tertawa riang sambil bernyanyi. Dia memegang microphonenya sendiri. Nora termasuk tipe anak yang pemalu dan tidak berani tampil. Aku sungguh tidak percaya dengan penglihatanku. Beberapa kali aku mengusap mataku dan berkedip. Dan wanita di sampingnya membuat darahku berdesir. Abigail Johnson. Seorang penyanyi muda. Aku meneliti perawakan gadis itu. Dialah malaikat sebenarnya. Cantik. Suaranya merdu. Rambutnya bergelombang berwarna cokelat gelap. Tubuhnya bak porselen tanpa cacat. Aku menelan ludah dengan susah payah. Gelombang kekaguman menggulung-gulung di dalam tubuhku. Sesaat setelah mereka bernyanyi, aku berteriak memanggil Nora. Gadis kecil itu berlari ke arahku dan tertawa-tawa. Aku menggendong Nora dan menciumnya. Lalu Nora melambai ke arah Abigail. Kami bertatapan dan dia balas melambai sambil tersenyum padaku. Dia berlalu dan kami tidak berbicara bahkan aku tidak sempat mengucapkan terima kasih. “Sayang, kau membuatku cemas. Kenapa kau tidak berada di sampingku? Apa yang harus kukatakan pada mamamu jika kau hilang?” Suaraku setengah berteriak. Nora tidak menjawab. Dia hanya menunduk dan memainkan boneka kecil dan satu kantung makanan yang ada di tangannya. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang marah. Aku menyesal karena membuatnya terpojok. Kini aku mengelus kepalanya sekali lagi dan menciumnya. “Apa ini?” Tanyaku dengan sangat lembut. Nora pelan-pelan menarik bibirnya ke samping. Dia tersenyum dan memperlihatkan kantung makanan di tangannya. Isinya adalah berbagai macam biskuit, coklat dan juga permen. “Dari mana kau mendapatkannya?” “Penyanyi tadi yang memberikannya padaku. Dia sangat cantik. Dan pandai bernyanyi. Kalau besar aku mau seperti dia.” “Kau tahu siapa namanya?” “Mm... tidak.” “Baiklah, gadis kecil paman yang nakal, kau masih mau es krim?” Nora menggeleng. “Tidak. Ini saja.” Katanya sambil menunjuk kantung makanannya dengan bangga. Aku mendesah. Mungkin kencanku dengan gadis kecil ini sedikit gagal. Tapi aku lega karena dia nampaknya begitu senang dan langsung menikmati coklat yang kini sudah mengotori sisi mulutnya. “Baiklah, kita pulang?” “Ya.” “Tidak mau es krim?” “Mmm.... ” Nora menggeleng. “OK, let’s go home, Sweety.” *** “Maaf sekali, jadwal Rainer sudah penuh untuk bulan depan. Sepertinya kami tidak bisa. Tidak! Tidak! Ya, dia benar-benar tidak bisa. Maaf. OK. Terima kasih untuk tawarannya.” Kate berjalan mondar-mandir sambil memegang ponselnya. “Kau tampak sibuk sekali. Siapa?” Tanyaku. Kate adalah manajerku. Dia adalah sahabat baik Joyce. Dia seumur dengan Joyce dan sayangnya sampai saat ini dia belum menikah. Dia sangat pandai dalam hal manajemen. Semua jadwal dan keperluanku diaturnya dengan begitu cermat. Dia bertubuh tinggi tapi tidak melebihi tinggiku. Cukup cantik sehingga membuatku bingung kemana laki-laki di dunia ini hingga membiarkan kecantikannya tidak dipuja. Aku dengar dari Joyce bahwa dia trauma akan suatu hubungan karena dulu pernah gagal menikah. Dia tipikal orang yang sangat sulit move-on. Rambut pirang lurusnya lebih sering dikuncir kuda daripada digerai. Matanya selalu terlihat tajam karena eyeliner hitam yang tidak pernah ketinggalan dalam caranya bersolek. Aku berada di salah satu sudut ruangan di rumahku. Sebuah ruangan minimalis yang kusulap menjadi ruang kerja sekaligus ruang arsip milikku. Kate sering bekerja di ruangan ini baik untuk menerima telepon, fax, atau mengirim email. Aku memberikan sentuhan warna pastel di dindingnya dan aku menambahkan lemari-lemari dan perabotan yang berwarna coklat kayu. Di beberapa lemari terdapat piala-piala yang aku dapatkan dari beberapa event penghargaan. Di sebelahnya kuletakkan foto-fotoku dari masa ke masa. Masa kecil hingga saat ini. “Penawaran tampil di acara talkshow dari ClodTV. TV baru itu. Kau tahu?” Kate melemparkan satu berkas ke atas meja. Aku mengambilnya dan membaca sekilas. Huh! Berani sekali stasiun TV baru ini menawarkan hal semacam ini padaku. Aku membolak-balik kertas dan membaca ada nama Sarah McLain di sana. Tidakkah aku salah? Aku mendekatkan kertas itu ke mataku sekali lagi. Memang benar di sana tertulis Sarah McLain sebagai presenter. Sepertinya mereka membayar mahal untuk Sarah, sang presenter terbaik dan terkenal di dunia pertelevisian. Aku melemparkan kembali kertas itu di meja. “Terima kasih kau sudah menolaknya.” Aku berjalan ke lemari es kecil dan mengambil satu kaleng minuman. “Ini sudah kedua kalinya aku menolak mereka. Mereka menginginkanmu hadir supaya rating mereka naik.” Komentar Kate. Dia membuka agendanya lalu mencatat sesuatu. “Kapan kau mendapatkan tawaran itu?” “Tawaran pertama sekitar dua bulan yang lalu.” Kate kembali ke posisinya menulis. “Talkshow seperti apa itu?” Tanyaku ingin tahu. “Hanya acara bincang-bincang. Oh ya, salah satu bintang tamunya adalah Abigail Johnson. Penyanyi terkenal itu.” Aku tersedak. Kebetulan aku sedang menegak softdrink yang kuminum. Tenggorokan dan dadaku sakit karena tersedak. Aku terbatuk-batuk. “Rainer? Kau baik-baik saja?” Aku belum bisa menjawab pertanyaan Kate. Aku hanya mengangguk-angguk dan terus terbatuk-batuk. Sialan! Dadaku nyeri seperti ditusuk-tusuk. Pada akhirnya batukku berhenti dengan masih menyisakan rasa sakit pada tenggorokanku. “Are you OK?” Tanya Kate sekali lagi. Dia membawakan segelas air putih untukku. Aku meminumnya pelan-pelan. Napasku kembali normal. “Aku baik-baik saja.” Ucapku agak terengah. “Apa kata-kataku tadi ada yang salah?” Dahi Kate berkerut. “Tidak, Kate. Tidak sama sekali. Aku hanya... tiba-tiba tersedak.” Kataku gugup. Sial! Betapa berpengaruhnya nama gadis itu bagi tubuhku. Tiba-tiba saja sarafku menegang—bahkan mungkin kram. Aku mengatur napasku. Kate kembali ke kursinya sambil mengangkat bahu. Aku mengambil tissue dari samping sofa dan mengelap kausku yang basah. “Untuk tanggal berapa acara talkshow itu?” “Akhir bulan September. Tanggal 30.” “Apakah aku ada jadwal hari itu?” Kate melirikku melalui kacamatanya. Lalu dia melanjutkan menulis. “Sebenarnya tidak ada. Tapi aku tahu bahwa kau tidak akan mau hadir di sana, Rainer.” “Jadi aku benar-benar tidak ada jadwal tanggal 30?” Kate menggeleng. “Apa rencanamu?” Aku terdiam. Lalu menyeringai. “Coba hubungi lagi stasiun TV itu dan katakan aku tertarik untuk hadir.” Kate langsung memelototiku. Dia melepas kacamatanya. “Apa?” Ya, ampun. Tidakkah dia mendengarnya? “Hubungi stasiun TV itu dan katakan aku tertarik untuk hadir.” Aku membuatnya melongo. Aku hanya tersenyum karena berhasil membuat raut wajahnya berubah kaget. Aku langsung melenggang ke arah pintu dan berniat untuk mengganti kausku yang basah. “Apa yang kau pikirkan, Rainer?” Tanya Kate sebelum aku meraih gagang pintu. Aku mengangkat bahu. “Pastikan aku hadir di acara itu, Kate!” Aku tahu bahwa Kate sangat terkejut. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin mengenal dan menaklukkan Abigail Johnson. Memang aku pernah membuatnya marah padaku baru-baru ini. Inilah kelemahanku. Aku tidak tahu kenapa tanganku seketika dingin dan keringatku serasa tak bisa berhenti merembes ke kulitku ketika ada dia di dekatku. Lidahku terkadang kelu dan bodohnya, aku membuat kesalahan itu. Mengucapkan kata-kata yang membuatnya merasa terhina. *** Aku melajukan mobilku di jalanan yang cukup ramai sore ini. Aku melirik jam yang ada di mobilku. Baru pukul 05.30 sore. Pukul enam aku sudah harus tiba di studio. Finally, hari ini aku akan satu panggung dengannya. Aku berharap-harap cemas menunggu hari ini. Aku sangat berharap bisa mengobrol dengannya. Namun, aku tidak tahu apakah dia mau berbicara denganku. Setelah kupikir-pikir dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa wanita bisa terlihat sangat cantik ketika sedang marah? Aku tertawa memikirkan hal itu. Abigail sungguh menggoda. Dengan atau tanpa make up. Diam-diam aku mencari tahu lebih banyak tentang dirinya di internet. Aku mengamati wajahnya ketika aku mengetik namanya di mesin pencari. Cantik, manis, dan memiliki bola mata yang begitu indah. Wajahnya terlihat segar di semua acara. Aku mengklik sebuah gambar di mana dia berdiri di antara anak-anak dan merangkul mereka. Kupikir dia semakin terlihat muda karena sering bergaul dengan anak-anak. Dia cerdas. Aku membaca profil di salah satu halaman penggemar. Selalu juara satu dari SD sampai SMP. Menjadi siswa paling berprestasi sewaktu SMA dan mendapat predikat istimewa saat lulus dari Birmingham University. Namun disisi lain, dia adalah gadis yang cukup diperhitungkan di dunia hiburan. Seorang multitalenta. Dia bisa berakting dengan baik, bernyanyi dengan suara sangat indah, dan juga seorang penari yang handal. Aku pernah melihat di channel youtube miliknya saat dia menari balet, salsa, dan hip-hop. Incredible! Aku langsung melesat dengan kencang karena memikirkannya. Aku segera memarkirkan mobilku di basement lalu setengah berlari menuju lift. Lift membawaku dengan cepat ke lantai 5. Valdo dan Kate sudah menungguku. Aku melemparkan tas pada Kate dan sebelum tas itu menampar wajahnya, dia berhasil menangkapnya tepat waktu. Kate melotot padaku. “Dari mana saja kau?” “Jalanan macet, Kate!” Aku langsung melepaskan kausku dan memakai kemeja biru muda lengan panjang yang disodorkan Valdo lalu duduk di depan kaca besar. Valdo, hair stylistku, mulai bergerak-gerak dengan gemulai untuk menata rambutku. “Omong kosong! Kau berangkat mendahuluiku. Lihat siapa yang tiba duluan?” Aku tersenyum jahil. “Hanya sedikit bersenang-senang.” “Kau menemui Jessy?” Alisnya terangkat. Kate menatapku dengan curiga. Tebakannya sangat jitu. Aku mengedipkan sebelah mata padanya. “Hanya minum kopi.” “Oh, Please, Rainer. Jessy berbahaya untuk karirmu. Jauhi gadis itu!” Kate sangat membenci Jessy, seorang model yang pernah jaya sekitar empat sampai lima tahun yang lalu. Sekarang karier Jessy sudah hampir memudar, atau lebih tepatnya sudah tidak laku lagi karena kalah bersaing dengan model-model pendatang baru yang lebih muda dan lebih berbakat darinya. Tapi kariernya jatuh bukan hanya karena itu. Jessy terlalu congkak, dan sekarang lebih terkenal karena sensasi dan perseteruannya dengan artis-artis lain. “Apakah dia sudah datang?” “Siapa?” “Abigail.” Aku melihat Kate tersenyum pura-pura. “Aku tidak tahu.” “Ayolah, Kate.” Aku menatap Kate melalui kaca sambil merapikan rambut yang baru saja ditata oleh Valdo. “Serius! Aku tidak tahu. Bukankah kau tidak peduli dengan gadis itu?” Aku menyeringai. “Well, asal kau tahu,” Aku berdiri dan berbalik. Lalu berjalan ke sofa dan mengeluarkan sepatuku dari dalam kotak. Aku memakainya dan berbicara dengan Kate tanpa menatap matanya. “Karena dialah aku mau hadir dalam acara di TV biasa ini.” “TV biasa?” Jawab Kate. “Kau bercanda! Jangan kau kira karena ini TV baru maka mereka kau sebut biasa.” “Hei, kenapa kau marah? Bukankah kau bilang bahwa mereka mengundangku karena ingin ratingnya naik?” “Ya, ya, ya. Aku salah waktu itu. Setelah kutelusuri. Mereka cukup profesional dibandingkan beberapa stasiun TV yang sudah berumur.” Aku menggelengkan kepalaku sambil mengikat tali sepatu. “Whatever!” Kate mengikutiku saat aku melenggang ke arah dispenser dan mengisi gelasku sampai penuh. Aku merasakan tenggorokanku sangat segar. Kate hampir menabrakku saat aku berbalik. “Apa yang sebenarnya ada di otakmu?” Aku tersenyum nakal pada Kate. “Abigail.” Bisikku “Mustahil.” Kate menggelengkan kepalanya dan tertawa masam. “Jangan berpikir kau akan mempermainkannya lagi kali ini, Rainer. Sudah cukup kau membuatnya malu saat itu.” “Kata siapa aku membuatnya malu? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Kate. Semua orang harus tahu itu sehingga mereka tidak tertipu dengan pesona gadis yang terkadang berpura-pura polos itu.” Saat ini Kate mengira bahwa aku hanya ingin bersenang-senang dengan Abigail. Sama seperti aku bersenang-senang dengan banyak wanita yang aku kencani. Satu hari, dua hari, dan selesai. Tidak ada keterikatan khusus. “Kau takut kalah pamor.” Ejek Kate. Aku melotot padanya. “Kata siapa? Siapa bisa bersaing denganku? Dia hanya gadis kecil, Kate. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengan anak kecil, kau tahu?” “Rainer!!” Teriak Kate. Aku melenggang pergi keluar ruangan dan membiarkan Kate membuntutiku di belakang sambil terus mengomel dengan tidak habisnya bahwa aku harus menjaga imageku, tidak boleh asal bicara, dan aku dengan sangat senang menulikan telingaku. Aku masih mendengar teriakan Kate saat aku berbelok menuju ruang studio. “Jangan merusak reputasimu sendiri, Rainer.” Aku orang yang blak-blakan. Aku tidak suka kepura-puraan dalam kehidupan nyata. Pura-pura hanya ada dalam naskah film yang kumainkan. Oh, tunggu! Ada satu dari bagian hidupku yang merupakan kepura-puraan! Saat aku berada di dekat Abigail. Brengsek! Aku sudah berada di depan studio dua dan menunggu beberapa instruksi membosankan dari seorang kru. Sambil menunggu, aku melihat-lihat sekeliling ruangan dan menemukan sebuah lukisan indah yang berada di sebelah kaca berbentuk oval. Lukisan itu menggambarkan seorang penari yang menari di hamparan padang rumput. Dia mengenakan pakaian putih panjang dan saat dia melakukan gerakan, gaunnya melambai-lambai bagaikan ikut terhanyut dalam tarian sang penari. Aku mendekati lukisan itu dan menatapnya dengan seksama. Aku mengangkat tanganku mencoba menyentuhnya. Ingin tahu apakah ini asli atau hanya hasil cetak. Saat melakukan itu, ternyata aku baru menyadari kancing lengan kemeja panjangku belum terkancing dengan benar. Aku menurunkan tanganku dan tubuhku menyerong menghadap kaca. Aku mengancingkannya dengan cepat. Dalam pantulan kaca aku melihat seseorang yang berjalan mendekat di belakangku. Aku menatap kedatangan orang itu melalui kaca oval. Si gaun merah itu mendekat dan rambut gelombangnya menari-nari mengikuti langkah kakinya. Semakin dekat, aku semakin penasaran dan saat aku terus memperhatikannya melalui kaca, gadis itu mengangkat wajahnya dan dia membuatku hampir kehilangan kendaliku. Chapter Three Abigail “Abigail Johnson!” Sarah memeluk dan menyalamiku saat aku sudah berada di panggung. Aku tersenyum manis padanya dan dia mempersilahkan aku duduk. “Well, kau selalu cantik di setiap penampilan, Abby!” Pipiku sedikit merona. “Terima kasih. Tapi kurasa kau juga harus memuji orang-orang yang ada di balik semua penampilanku.” Sarah tertawa renyah. “Aku selalu suka dengan apa saja yang kau pakai. Bahkan kadang-kadang aku pernah meniru gayamu.” “Oh ya? Termasuk saat aku jadi badut karnaval di acara amal minggu lalu?” Semua penonton tertawa keras termasuk Sarah. Aku memakai kostum badut dilengkapi dengan wig, cat tubuh, dan hidung buatan yang bulat berwarna merah untuk memberi kejutan pada anak-anak asuhku minggu lalu. Hal itu kulakukan dalam rangka hari ulang tahun didirikannya yayasan anak-anak milikku. Semua anak asuhku terkejut dan tertawa senang saat tahu bahwa itu adalah aku. Aku memang menyukai hal-hal yang konyol. Aku tidak malu. Karena menurutku itu sangat menghibur. Dan aku senang saat anak-anak asuhku bisa terhibur karenaku. “Tidak untuk yang satu itu, Cantik.” Sarah, seorang pembawa acara senior yang sudah berpuluh-puluh tahun berkecimpung di dunia broadcasting. Stasiun televisi ini seperti kejatuhan durian runtuh karena berhasil mengajak Sarah bekerjasama. Stasiun televisi dan acara talkshow ini terbilang baru. Well, kembali ke Sarah, dia berusia lima puluhan tetapi masih sangat cantik. Kenapa tidak? Dia selalu merawat setiap inci tubuhnya walaupun usianya sudah memasuki masa senja. Sarah menatapku serius dan masih dengan senyum manisnya dia bertanya, “Bagaimana kabarmu, Abby?” “Tidak sakit, Sarah.” Jawabku datar. Lagi-lagi aku membuat hampir semua orang tertawa. “Gadis cantik nan humoris.” katanya seraya menatap kamera dan memamerkan giginya yang rapi. “Well, aku hanya mencari jawaban yang kurang lebih berarti sama tetapi dengan bahasa berbeda, Sarah. Tidakkah itu diperbolehkan?” Penonton tertawa dan sebagian bertepuk tangan. “Yah, aku memang tidak bisa mengalahkanmu dalam permainan kosa kata.” “Tapi kau bisa mengalahkan usiaku.” Jawabku santai. Sarah sempat melongo dan dia tertawa lagi sambil menggelengkan kepala. Suasana menjadi riuh karena suara tawa dan tepuk tangan berkali-kali dari para penonton. “Well, well, well ... Abigail Johnson, kau memang pandai menghidupkan suasana. Aku suka itu. Baiklah kuharap kau bisa sedikit serius kali ini, Sayang karena kalau tidak nanti acaraku akan berubah menjadi komedi talkshow.” Sarah terdiam sebentar dan memperbaiki posisi duduknya. “Aku melihat tayangan minggu lalu tentang yayasanmu yang berulang tahun yang ke dua kalau tidak salah?” “Ya.” “Apa yang sudah kau lakukan dengan yayasanmu itu? Dan bisa kau ceritakan dari mana anak-anak itu?” Aku berdeham sebelum menjawab. “Aku menampung anak-anak di bawah usia lima belas tahun yang tidak lagi memiliki orangtua, atau masih memiliki orangtua dan keluarga tetapi mereka tidak nyaman bersama keluarga mereka. Awalnya semacam rumah singgah. Aku dan sahabatku Leslie, yang sekaligus adalah managerku punya gagasan untuk mendirikan yayasan saat kami melihat seorang anak kecil berumur tujuh tahun dengan tubuh ringkih dan, maaf... kotor sedang makan di sebelah gerobak sampah besar.” Sarah menatapku dengan serius. “Kami mendekatinya, saat itu dia hampir berlari karena ketakutan pada kami. Namun, kami berhasil mengajaknya bicara. Dia tidak tahu dimana orangtuanya. Dia sering mengemis di tempat-tempat tertentu. Mulai saat itu, hampir setiap hari kami kembali menemuinya. Memberinya pakaian, makanan, dan buku-buku. Kami pun terkejut saat tahu bahwa dia bisa membaca. Dia bilang bahwa dia pernah sekolah selama satu tahun, tetapi kemudian dia berhenti. Tepatnya lari dari rumah pamannya karena sering mengalami kekerasan. Lalu dihari-hari berikutnya, ternyata dia membawa teman-temannya. Kami sering berkumpul di taman tapi karena anak-anak sudah terlalu banyak maka kami mendirikan yayasan itu. Untuk menampung mereka. Sehingga mereka punya tempat tinggal yang layak, aman dan nyaman. Karena menurutku, itu yang mereka butuhkan. Dan satu lagi, mereka juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Itu juga hal yang sangat penting.” Selepas penjelasan singkatku mengenai yayasan yang aku dirikan, Sarah memulai tepuk tangan dan diikuti oleh para penonton. Aku menatap ke arah mereka dan tersenyum. “Luar biasa.” Jawab Sarah sambil mengangguk-angguk. “Sedikit sekali orang yang berada pada posisi puncak sepertimu saat ini, dan juga orang yang sudah menjajaki masa jaya akan mulai kembali berpikir ke bawah. Tapi untuk wanita muda sepertimu, Abby. Itu adalah hal yang patut kita beri perhatian.” “Terima kasih. Aku hanya berusaha menjadi saluran berkat. Karena ibarat sungai, aku harus meneruskan airku ke danau sehingga aku mendapat air baru dari sungai dan seterusnya. Sehingga berkat itu tidak berhenti tetapi terus mengalir.” “Awesome!” Komentar Sarah. Seluruh penonton kembali bertepuk tangan. Aku tersenyum dan menurunkan mataku. Berusaha menjaga agar hatiku tetap pada tempatnya dan tidak membusungkan dada. Ini sebenarnya bukan untukku. Ini untuk anak-anak di rumah singgahku. Sarah mengajukan beberapa pertanyaan singkat juga mengenai karierku. Saat ini aku sedang menggarap album baru dan berencana membuat video klip dalam waktu dekat. Tetapi manajemenku belum menentukan siapa model yang akan membantuku. Saat ini fokusku masih dalam dunia tarik suara. Ada beberapa tawaran film dan aku sedang memikirkannya. Justru sekarang aku lebih suka disibukkan dengan yayasanku. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan dunia entertainment ini begitu saja. Karena melalui jalan inilah namaku dikenal, cita-citaku terwujud, dan pekerjaanku mendapatkan apresiasi. Sarah kemudian berdiri dan menghadap ke kamera yang menyala. “Baiklah pemirsa, kita tidak hanya akan menguak sisi lain dari Abigail Johnson, tapi kini kita hadirkan seorang pria yang memiliki sejuta pesona dan segudang prestasi yang membanggakan. Please coming, Rainer Holt.” Seketika itu aku berhenti bernapas dan tidak berani menolehkan kepalaku untuk melihatnya. Aku duduk dengan tegang. Tiba-tiba saja kakiku terasa kaku dan kram. Saat Sarah mencium pipi Rainer dan bersalaman, aku tetap duduk tegak. Entah kenapa sekarang kakiku justru merasa kesemutan. “Tepuk tangan untuk Rainer Holt!” Ucap Sarah. Sarah mempersilahkannya duduk dan dia duduk di sebelahku. Mau tidak mau, karena kamera ada dimana-mana dan jutaan orang menonton, aku memasang senyum palsu sebisaku dan dia pun membalas senyum itu. Namun senyum itu tak sampai pada matanya. Well, kami sama-sama memberikan senyum palsu kalau begitu. Kami berjabat tangan. Dia menggenggam tanganku dengan mantap dan keras. Jabat tangan itu agak terlalu lama sehingga membuatku gelisah dan tidak nyaman. Dengan agak menyentak, aku melepaskan jabat tangan itu. “Selamat datang, Rainer. Apa kabar, Pria tampan?” Goda Sarah. “Terima kasih, Cantik. Aku baik-baik saja.” Aku mengepalkan tanganku. Monoton! Penggoda! Penebar pesona! Setiap orang ketika ditanya apa kabar banyak yang menjawab ‘aku baik-baik saja’. Memang itu adalah jawaban yang wajar. Tapi bagiku, karena yang menjawab adalah pria arogan ini, maka menurutku dia adalah salah satu pria yang masuk dalam kategori tidak kreatif. Fine! Aku ingin lihat kelanjutannya. “Asal tahu saja pemirsa, butuh usaha ekstra keras dari tim kami untuk mendatangkan Rainer ke acara ini. Butuh waktu sekitar satu sampai dua bulan. Bukan begitu, Rainer? Sesibuk apakah kau sekarang ini?” Aku merasakan Rainer bergeser ke arahku. Aku meliriknya diam-diam dan tetap tersenyum menatap penonton. Aku tidak berani menatapnya. “Masih disibukkan dengan beberapa pengambilan gambar untuk sebuah video klip, iklan, dan juga hadir menjadi bintang tamu di beberapa acara off air.” “Super sibuk.” Sarah mengangguk-angguk dan tersenyum seraya melipat tangannya di meja. “Baiklah Rainer, bagaimana dengan kehidupan di luar pekerjaan seperti kehidupan keluarga dan kehidupan sosial?” “Kehidupan sosial juga cukup sibuk apalagi mengingat bagaimana besarnya pengaruh sosial media saat ini. Pengikut di akun-akun media sosialku nyaris tiga puluh juga orang sekarang. Tiap hari terus bertambah dengan pengikut-pengikut baru.” Sombong! “Apakah kau sempat mengambil cuti untuk liburan dengan keluarga?” Sarah kembali bertanya. “Untuk saat ini masih belum. Jadwalku masih terlalu padat. Mungkin akhir tahun.” “Bagus sekali. Selain di media sosial, apakah ada kesenangan lain seperti melakukan hal sosial mungkin seperti Abigail yang mempunyai yayasan untuk anak-anak?” Sial, Sarah! Dia pernah menyinggungku tentang hal ini di acara off air dan media menambahkan bumbu-bumbu penyedap dan memuatnya di koran serta majalah. Wajahku disandingkan dengan wajahnya. Kami sempat menjadi headline selama beberapa minggu. Pencitraan! Aku heran kenapa pria sombong ini begitu diidolakan sementara dia sendiri tidak bisa mendidik mulutnya dalam berbicara. Aku menarik napas panjang. Bersiap-siap dengan tinjuku jika dia melakukan hal yang sama. Aku berjanji kali ini aku benar-benar akan meremukkan wajahnya! Tidak peduli banyak kamera yang menyorot kami. Jangan remehkan aku, Rainer! “Memang saat ini aku belum mempunyai yayasan seperti Abigail. Tetapi aku mengapresiasi apa yang dilakukannya.” Astaga! Aku langsung menoleh ke arahnya dengan bingung serta terkejut. Kami saling bertatapan. Dia tersenyum. Dan kali ini bukan senyum palsu. Senyum yang tulus. Aku sempat terhipnotis dengan lengkungan bibirnya. Namun, aku cepat-cepat sadar sebelum dewi batinku membuatku melayang-layang. Rainer menyandarkan sedikit bahunya pada sofa. Aku tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Dia membuatku menganga dalam hati dan terpaku dengan kata-katanya. Apakah aku tidak salah dengar? Oh ya, kurasa kepalanya baru saja terbentur. Jadi kewarasannya kembali. Kalau begitu lebih baik lelaki ini sering-sering saja membenturkan kepalanya. “Bagaimana pendapatmu tentang rumah singgah milik Abigail?” “Rumah singgah itu sangat membantu para anak yang kekurangan dalam segi psikologi dan materi. Aku menyukai anak-anak dan mereka adalah benih-benih baru yang patut kita bantu untuk berkembang, kita perhatikan bakatnya dan mungkin saja ada dari mereka bisa menjadi orang yang besar. Karena tidak sedikit orang besar yang memulai segala sesuatu dari hal yang sangat kecil. Sekali lagi, aku menyukai apa yang dilakukan, Abigail.” Aku tidak tahu apakah kata-kata ini ada dalam naskah. Namun kupastikan kata-katanya adalah copy-paste dari naskah. Aku tersenyum samar dan tidak mengatakan apa-apa. Pria ini entah sengaja atau tidak, membuatku sangat tidak nyaman. Aku tahu bahwa dia terus memperhatikanku secara seksama namun aku mengabaikannya. Sarah menggeser kursinya yang beroda di balik meja dan mengarahkan tubuhnya ke arah kamera. “Baiklah, kita akan bahas lebih lanjut kehidupan kedua bintang papan atas kita yakni Abigail Johnson dan Rainer Holt setelah pesan-pesan berikut ini!” *** Aku menonton tayangan ulang diriku saat berada di acara Sarah McLain bersama anak-anak asuhku di hari minggu siang. Sekarang aku berada di rumah singgah dan bersantai dengan mereka. Mereka menonton dengan antusias. Aku tersenyum sambil memangku Cellia, salah satu anak kecil yang ditemukan Brian saat sedang hujan-hujanan tidak jauh dari apartemennya. Dia gadis kecil yang lucu berumur lima tahun. Pada awalnya dia susah berbicara tapi sekarang justru dia yang paling banyak berceloteh di sini. “Abby, apakah Rainer Holt sangat tampan?” Rose bertanya sambil memeluk bonekanya. Dia remaja berumur tiga belas tahun. Dia manis dan pintar. Tapi sayangnya dia tidak mempunyai fisik yang sempurna. Dia kehilangan tiga jari kanannya karena siksaan dari ayah tirinya. Rose juga pincang tetapi bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Ayah tirinya pemabuk dan sering memukulnya. Kondisinya sangat mengenaskan dengan banyak luka saat kami menemukannya di tempat pengungsian. Saat itu aku dan Leslie memberikan bantuan pada korban kebakaran dan di sanalah aku melihatnya. Hatiku tergerak untuk menolongnya. Singkat cerita, sekarang dia tinggal bersama kami. “Abby?” Rose mengulang pertanyaannya. “A... apa?” “Apakah Rainer Holt sangat tampan?” “Dia... hmm... dia... hmm... menurutmu?” Rose mengangkat bahu. “Harusnya aku dengar dulu jawaban darimu. Kau kan pernah bertemu langsung dengannya.” “Tampan itu relatif, Rose.” Hatiku berdebar-debar. Nyaris gemetar saat memberikan jawaban itu. “Memang. Tapi bagaimana menurutmu?” Pertanyaan ini diputar-putar. Apakah aku harus jawab yang sebenarnya? Dia? Tampan? Aku akui ya tapi aku sudah tidak peduli dengan ketampanannya karena kelakuannya membuatku ingin menendangnya sejauh mungkin. “Tidak juga.” “Oh ya?” “Ya.” Jawabku mantap Rose mendengus dan menggeleng. “Kurasa kau harus memeriksa matamu, Abby.” “Apa?” Sahutku setengah tertawa. Dari posisi telungkup, Rose duduk tegak dan mengarahkan tubuhnya padaku. “Hanya kau yang bilang dia tidak tampan. Semua mengidolakannya. Ooh... andai saja aku bisa bertemu dengannya, Abby!” Dia melipat tangannya seperti orang berdoa dan memandang ke langit-langit rumah. Ada apa dengan pesona Rainer Holt? “Aku juga mau bertemu Rainer Holt!” Teriak Samantha. “Aku juga! Aku juga!” Hampir semua anak-anak perempuan di rumah ini mengangkat tangan dan meneriakkan hal yang sama. Ada apa ini? Bagaimana bisa pria itu membius anak-anak? “Abby, bisakah kau mendatangkan dia kemari?” Tanya Samantha. Pertanyaan itu hampir membuatku gila. “Apa? Aku tidak bisa!” Jawabku langsung dengan cukup ketus. Tiba-tiba aku menyesali nada bicaraku. Aku berdeham dan mengulang kata-kata tadi dengan lebih lembut. “Kenapa tidak bisa? Kau kan mengenalnya, Abby.” “Tidak, Sam. Aku tidak mengenalnya. Kami hanya kebetulan berada di acara yang sama dan tidak ada komunikasi setelah itu.” “Tapi kau bisa minta bantuan Leslie kan?” Tambah Rose. “Rose, dia adalah orang yang sibuk. Butuh temu waktu yang panjang jika harus mengundangnya ke suatu acara.” Aku berusaha mati-matian agar anak-anak tidak meminta pria itu untuk ke sini. Aku tidak bisa! Bukan! Bukan! Sebenarnya aku tidak mau. Aku tidak mau berhubungan dengan pria tidak sopan dan angkuh itu. Itu sama saja dengan membunuh harga diriku. “Aha! Aku ada ide.” Kata Samantha, “bisakah kau sampaikan surat kami padanya? Kami akan menulis surat untuk memintanya hadir. Dan satu per satu dari kami akan menandatangani surat itu. Bagaimana?” “Ide bagus, Sam. Kau jenius.” Rose dan Samantha melakukan tos dan yang lain mendukung mereka berdua dengan tepuk tangan. Aku mendudukkan Cellia di sofa dan berdiri. Tidak! Mereka tidak boleh melakukan itu. Rainer Holt tidak akan pernah datang ke sini. “Maaf, Kids. Aku tidak bisa menyampaikan surat kalian.” “Kenapa Abby?” Cellia bertanya dengan suaranya yang sangat cute di telingaku. Lihat? Cellia pun ikut-ikutan juga. Aku tersenyum sayang dan menunduk lalu mengelus kepala Cellia. “Karena... memang aku tidak bisa.” Aku meninggalkan mereka di ruang TV. Lalu bergegas masuk ke ruang kerja Ellen. Di belakangku, aku mendengar suara kekecewaan dari anak-anak. Aku sama sekali tak bermaksud mengecewakan mereka. Tapi permintaan dari mereka terlalu berat buatku. Seberat memintaku memindahkan seluruh air sungai ke dalam botol dengan menggunakan sedotan. Aku membuka pintu ruang kerja dan mendapati Ellen sedang mengetik di laptop. Dia melihatku sebentar dan melanjutkan pekerjaannya. Aku mendekat ke sisinya dan berdiri menghadap jendela sambil melipat tangan. “Ada apa Abby?” Sepertinya dia tahu bahwa aku sedang gusar. Aku masih diam beberapa saat. Aku membalikkan badan dan menyandar pada jendela. “Anak-anak memintaku untuk mendatangkan Rainer Holt.” Kataku pelan. Ellen menghela napas dan tersenyum. Dia masih tetap sibuk mengetik. Dia adalah pengurus rumah ini. Bisa dikatakan seperti kepala rumah tangga di sini. Dia mengurus semua keperluan anak-anak dan juga operasional serta administrasi rumah ini. Ellen sudah kuanggap sebagai ibu angkatku. Kami adalah mitra sekaligus teman. “Dan... ?” “Dan aku tidak bisa mendatangkannya. Maaf, kalau aku boleh jujur, aku tidak mau, Ellen. Dia akan besar kepala jika... jika... jika aku mengundangnya kemari. Dia akan mempermalukanku.” Ellen berusia lima puluh empat tahun dengan rambut bob berwarna merah. Dia terlihat berwibawa, tegas, dan sangat disiplin. Anak-anak pun segan padanya. Hanya dengan tatapan mata, anak-anak tidak berani melawannya walau hanya seujung kuku. Dia melepaskan kacamatanya dan memiringkan kursinya yang beroda hingga kami berhadap-hadapan. “Aku tahu bahwa pria itu punya banyak daya tarik bagi penggemarnya. Terutama anak-anak di rumah ini juga. Well, sungguh disayangkan jika kau tidak bisa... oh maaf... tidak mau mendatangkannya.” Aku tertawa masam. Kurasa Ellen sekarang sudah terlalu sayang pada anak-anak di rumah ini hingga permintaan konyol itu disetujui mentah-mentah olehnya. “Lalu apa yang kau katakan pada anak-anak?” Tanya Ellen. “Aku katakan kalau aku tidak bisa.” “Hanya itu?” “Apalagi? Apa kau ingin aku menjelaskan sampai sedetail-detailnya? Merincikan betapa aku membenci Rainer dan mulut kotornya? Itu tidak baik bagi mereka, Ellen.” Dia melepas kacamatanya. “Aku mengerti.” “Bahkan mereka ingin membuat surat untuk Rainer dan memintaku menyerahkan surat itu padanya. Mereka bilang surat itu akan ditandatangani oleh anak-anak. Satu per satu. Itu ide Samantha.” Ellen tertawa. “Anak-anak yang kreatif.” Dia berdiri, menuju lemari berkas dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Ellen membolak-balik kertas dan membacanya sambil berdiri. “Kupikir kau bisa menyarankan sesuatu padaku.” Aku sungguh berharap bahwa Ellen bisa memberikan jalan keluar untukku. Dia kembali ke kursinya dan aku sekarang duduk di hadapannya. “Memang kuakui berat bagimu untuk mendatangkannya karena masalah pribadi antara dirimu dan Rainer. Tapi kurasa, kau harus memberikan penjelasan pada anak-anak. Berilah alasan agar mereka mengerti. Carilah alasan yang masuk akal. Karena jika kau hanya menjawab tidak bisa, mereka akan terus memintamu melakukan itu, Abby.” “Tadi aku sudah beralasan kalau Rainer adalah orang yang sibuk.” “Itu jawaban yang bagus.” “Tapi kau tahu mereka tidak menyerah begitu saja.” Tegasku. “Aku banyak belajar dari mereka bagaimana cara untuk tidak menyerah.” Aku cemberut. Ellen bercanda di waktu yang tidak tepat. “Begini, Abby. Kau sebenarnya sudah tahu bahwa dia memang orang yang sangat sibuk tapi kurasa kau harus mengerti perasaan anak-anak di sini. Kau bisa saja menyampaikan surat itu padanya. Dia datang atau tidak itu akan dipikirkan nanti. Yang jelas, anak-anak pasti senang jika kau menyampaikan surat itu padanya. Yang penting kau sudah melakukan apa yang diminta anak-anak. Apapun hasilnya nanti.” “Bagaimana jika dia benar-benar datang?” Kataku ragu sekaligus takut jika hal itu memang benar-benar terjadi. “Maka anak-anak akan sangat berterima kasih padamu.” Apa? Sangat mudah bagi Ellen mengucapkan itu padaku. Tidak tahukah bahwa jantungku serasa gempa saat nama itu disebut? Aku tidak tahu kenapa dan rasanya sangat tidak nyaman. Mungkin kebencianku padanya sudah terlalu besar. Oh Tuhan! Haruskah aku melakukan apa yang Ellen katakan? Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kami berdua. Leslie masuk dengan senyum sumringahnya. “Hai, kalian berdua.” “Hai, Leslie.” Sapa Ellen. Mereka saling berangkulan dan berciuman pipi. “Hai, Ellen. Wow, aku suka gaya pakaianmu hari ini. Kau tampak lebih muda.” Ellen melihat ke arah pakaiannya. Celana kain hitam dan blouse biru muda dengan kalung batu-batu besar yang senada dengan pakaiannya. Aku mengakui bahwa Ellen cukup modis dan selera berpakaiannya pun lumayan berkelas. Oh ya, kudengar dia pernah bekerja sebagain fashion designer saat dia berumur dua puluhan. “Aku memang masih muda, Leslie.” Sahut Ellen. “Oh... ya... ya... kau selalu lupa bangun dari mimpimu.” Godanya sambil tertawa. Kini Leslie tersenyum padaku. Aku mengernyit karena senyum itu penuh dengan misteri. “Oh ya, Abby. Ini ....” Leslie memberikan selembar kertas padaku. Kertas itu cukup besar dan terlipat dengan rapi. Aku memegang lembaran itu sambil melongo. “Apa ini?” “Surat.” “Ya aku tahu. Tapi surat apa?” “Surat dari anak-anak untuk meminta Rainer Holt datang kemari.” Aku membelalakkan mata. Secepat itukah anak-anak melakukannya? Ya, Tuhan! Belum satu jam aku berada di ruangan Ellen. Bagaimana bisa itu terjadi? Aku mengangkat surat itu ke udara dan melambai-lambaikannya di depan wajah Leslie sambil tertawa masam. “Ini omong kosong.” Kataku. “Baca saja, Abby. Kau tahu, surat anak-anak begitu menyentuh. Aku tak tahu kalau banyak dari antara mereka yang mengidolakan Rainer Holt. Tapi, tidak bisa disalahkan kalau Rainer memang benar-benar patut dijadikan idola. Tampan, berbakat, kaya, dan—“ “Cukup, Leslie. Aku tidak suka kau mendewakan orang itu.” Leslie memutar matanya padaku. “Sayang, aku bicara fakta.” Aku melemparkan surat itu ke atas meja. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk membacanya. Oke, aku menyayangi anak-anak. Tapi permintaan ini tidak bisa aku sanggupi. Mereka boleh meminta apa saja. Asal jangan yang satu ini. Aku tidak akan membiarkan badut arogan itu menginjakkan kakinya di sini. Bahkan, bayangannya sekalipun tidak! Dia memang idola. Idola semua gadis belia yang tergila-gila pada ketampanan dan sosoknya yang sangat pandai mencuri perhatian. Dan aku sangat benci pada diriku sendiri karena dia juga pernah membuat perhatianku tercuri. Kini aku membencinya setengah mati. Menghadiri acara talkshow Sarah McLain adalah kesalahan. Dan itu tidak akan terjadi lagi. Sekali lagi aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. “Aku tidak mau surat itu sampai padanya. Simpan itu, Leslie. Dan katakan pada anak-anak bahwa pria itu sibuk. Yakinkan mereka untuk tidak meminta hal seperti ini lagi. Mereka boleh minta yang lain. Tapi tidak untuk yang ini. Kuharap kau mengerti.” Ellen dan Leslie berpandangan. Dengan langkah cepat aku keluar dan meninggalkan mereka mematung di belakangku. Chapter Four Rainer ........ Kami sangat mengharapkan kedatanganmu, Rainer Holt. Salam, Anak-anak dari Home for Kids Abby Aku menyeringai saat membaca surat ini. Di bawah kalimat penutup itu berjejer banyak tanda tangan dan nama. Nama-nama itu pasti adalah nama dari anak-anak yang tinggal di sana. Aku baru saja mendapatkannya dari Kate. Surat ini berisi permintaan agar aku datang ke rumah anak-anak Abby. Aku bertanya-tanya apakah ini sinyal perdamaian dari Abigail? Kurasa ya. Surat ini ditulis tangan dengan rapi dan dapat kupastikan bahwa tulisan ini adalah tulisan tangannya. Aku memperhatikan tulisan tangan itu. Begitu indah. Sama indahnya dengan si penulis. Sial! Gejolak dalam dadaku langsung meletup ketika membayangkan wajahnya. Di akhir surat tersebut tertulis atas nama anak-anak dari rumah anak-anak Abby. Aku tertawa dan geleng-geleng kepala karena ternyata wanita itu cukup kuno. Kami hidup di tengah kecanggihan teknologi yang luar biasa. Tetapi surat dengan kertas dan tulisan tangan masih dipilihnya untuk menyampaikan maksudnya padaku. Abigail sangat pandai mencari tameng. Lihat! Dia mengatasnamakan anak-anak untuk memintaku datang, padahal aku tahu bahwa dia sendiri yang sengaja mengundangku. Aku tersenyum penuh arti. Dia benar-benar wanita yang sukar ditebak. Dan cara kuno seperti ini benar-benar membuatnya semakin menarik di mataku. Aku sedang memikirkan kapan kira-kira aku bisa mengunjungi rumah itu dan bertemu dengannya. Tapi tunggu dulu. Jika dia benar-benar ingin menemuiku entah karena apa alasannya, kenapa tidak langsung saja dia bertemu Kate? Kenapa harus pura-pura bahwa anak-anak itu yang memintanya? Oh... kau tahu jawabannya Rainer. Dia malu jika bertemu berduaan denganmu. Ini semua hanya akal-akalan gadis itu. Sialan! Dia membuat hatiku melambung tinggi. Well, aku tidak menyangka bahwa dia sudah melembut sebelum aku menaklukkan dirinya. “Kau seperti orang gila.” Kate bergumam. “Apa, Kate?” “Kau seperti orang gila. Membaca surat itu sambil tersenyum lalu melamun sejenak, dan kembali tertawa.” Tangan Kate sedang sibuk di atas papan ketik. Dia sedang memeriksa akun keuanganku. Komentar Kate membuatku tertawa terbahak-bahak. “Surat ini cukup lucu, Kate.” Aku mengangkat surat itu ke udara. “Aku sudah membacanya dan kurasa tidak ada yang lucu.” “Ini dari Abigail. Kau tahu, dia sengaja mengundangku dengan mengatasnamakan anak-anak. Tidakkah ini sangat— “ “Lebih baik kau tanyakan saja pada sepupu tercintamu itu. Dia yang mengirimkannya padaku. Dan jangan terlalu percaya diri kalau itu darinya. Karena yang aku tahu, dia sangat-sangat tidak menyukaimu. Catat itu!” “Kurasa kau yang jangan terlalu berpikiran buruk, Kate.” “Terserah padamu.” Ucapnya acuh. Kate bangkit dari duduknya dan hendak melenggang pergi. “Kate, tunggu!” “Apa?” Aku meletakkan jari telunjuk dan jempolku di bawah dagu. “Menurutmu, kapan waktu yang baik bagiku untuk ke sana?” “Kau mau ke sana?” Alisnya terangkat tinggi. Nada suaranya pun tak kalah tinggi. “Tentu saja.” Aku mendengar dia mendesah. Lalu dia membuka agendanya dan menaik turunkan matanya. Tak lama kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Semua jadwalmu penuh. Kau tidak punya waktu.” “Apa? Yang benar saja, Kate! Satu hari pun atau, dua atau tiga jam sekalipun?” Dia menutup agendanya. “Ada. Tapi setelah itu kupastikan semua jadwal di belakangnya akan berantakan karena kau akan masuk rumah sakit.” “Oh sialan!” Desisku. Begitu padatkah jadwalku? Aku menggertakkan gigi dengan kesal. Kate sudah hendak beranjak pergi tapi aku kembali menahannya. “Kalau begitu batalkan beberapa acara yang tidak penting. Luangkan waktuku untuk ke rumah itu. Aku ingin memenuhi undangan ini.” “Apa? Jangan memaksa, Rainer! Semua acara yang dijadwalkan sudah disetujui sendiri olehmu dan tidak ada acara yang tidak penting! Ini kariermu jadi kurasa kau seharusnya konsisten dengan—“ “Kate.” Aku memotong ucapannya dan membuka tanganku. Aku meminta buku agenda yang dipegangnya. “Berikan buku itu padaku. Aku akan memilih dan mencari-cari alasan untuk membatalkannya.” “Tidak bisa semudah itu, Rainer!” Kate kembali mendekap agendanya dengan erat. Dia begitu takut bahwa aku akan mengacaukan semuanya. “Please, Kate! Berikan padaku.” “Tidak.” Katanya dengan dagu terangkat. “Kate!” Bentakku. Aku menyesal setelah bentakan itu. Kate tampak terkejut. “Maaf, tapi tolong. Aku memerlukan agenda itu.” Dengan enggan Kate menyerahkan agenda itu dengan raut wajah tidak senang. Sebelum pergi, dia membalikkan badannya. “Aku tidak bertanggung jawab jika semuanya jadi kacau.” Dia membanting pintu dengan cukup keras. Aku tahu kalau tindakanku memang cukup gila. Aku membuka agenda itu dan membacanya. Oh sial! Benar-benar padat. Apa yang harus kuhilangkan? Benar kata Kate. Hampir semua acara yang kuhadiri adalah acara yang penting. Aku bergegas duduk dan mengambil pena. Aku membaca berulang-ulang dan berpikir keras sambil melihat kalender di depan mejaku. Lama aku berkutat dengan agenda itu. Setelah kurang lebih satu jam, aku menyeringai karena berhasil mencorat-coret jadwal acara dan menuliskan alasannya di sana. Fiuh... otakmu bekerja dengan sangat cepat kawan! *** Pada akhirnya, setelah berdebat dengan cukup keras dan sangat panjang dengan Miss Benar-benar Perfect dan Sulit Dikalahkan, Katrina Jones, kami berhasil mendapatkan kesepakatan untuk dua acara yang dibatalkan dengan alasan yang kurasa dapat diterima. Kate tetap pada pendiriannya dengan membatalkan satu acara tetapi aku dengan gigihnya mencoret sekitar tiga atau empat acara sekaligus. “Aku masih punya cukup uang dengan membatalkan empat acara, Kate!” “Jangan sombong! Ini bukan soal uang. Tetapi konsistensimu akan dipertanyakan karena membatalkan acara lainnya demi bertemu gadis itu. Kurasa kau harus ke laboratorium untuk memastikan adanya masalah di kepalamu!” Aku menyeringai. “Ya kau benar. Dan sudah dipastikan bahwa hasilnya adalah banyak tulisan Abigail, Abigail, dan Abigail di kepalaku.” Kate cemberut dan memutar matanya. “Well, aku akan memberi tahu Leslie mengenai kedatangan kita dan memastikan berapa jumlah anak-anak di sana. Kita perlu belanja oleh-oleh untuk mereka.” “Ya. Itu ide bagus. Belanja saja yang banyak. Makanan, buku, pakaian, mainan, apa saja. Atur saja.” “Baiklah, Yang Mulia.” Kate mencibir. “Terima kasih, Kate. Aku menyayangimu!” Aku tertawa dan mengecup pipinya. Dia menghindar tetapi aku masih bisa mendaratkan bibirku di pipinya. Aku merasa dadaku bergemuruh karena senang. Selama menunggu hari kunjungan itu, aku nyaris tidak bisa tidur dengan nyenyak. Oh ya, apakah aku juga perlu membawakannya bunga? Bunga apa yang dia suka? Atau mungkin coklat? Brengsek! Aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Aku tidak tahu apa yang disukainya. Bodoh! Aku berjalan mondar-mandir di kamarku. Lalu saat aku melihat ponselku berkedip-kedip, aku tertawa dan tahu apa yang harus kulakukan. *** Kate dan aku sampai di sebuah rumah yang di kelilingi banyak tanaman bunga. Ada juga satu pohon besar yang di bawahnya di gantung sebuah ayunan dari tali tambang dan ban mobil bekas sebagai dudukan. Rumah ini terlihat bersih. Halamannya luas. Pintu utama berwarna coklat gelap dan menjadi satu-satunya pusat perhatian di antara warna putih dinding-dindingnya. Aku memarkirkan mobilku. Di belakang, Valdo dan Kate menyusul. Valdo dan Kate langsung mengeluarkan beberapa kotak berwarna coklat berisi banyak barang untuk anak-anak. Aku membawakan makanan, buku bacaan, pakaian, dan mainan. Aku juga mengeluarkan beberapa kotak dari mobilku. “Hai, sepupu! Akhirnya kau datang juga. Anak-anak sudah menunggumu.” Leslie, dengan suara super cemprengnya menyambut kami di depan pintu. Dia menganga saat melihat tumpukan kardus yang berserakan di tanah. Dia mencium pipiku cepat. Tak berapa lama kemudian, datang dua orang remaja dengan tubuh kurus tinggi. Mereka membantu membawakan kardus ke dalam. Satu orang pria paruh baya yang entah datang dari mana juga ikut membantu. “Apa dia ada?” Leslie menyeringai padaku. Dia tahu siapa yang kumaksud. “Kau terlalu terburu-buru. Dia belum datang.” “Belum datang?” Tanyaku heran. Seharusnya dia ada di sini. Dia mengundangku, bagaimana bisa tuan rumah tidak menyambut tamunya saat dia datang? Aku tersenyum simpul pada Leslie. Mungkin ada urusan yang tidak bisa ditundanya. Atau mungkin dia sedang mempercantik diri di salon? Ya Tuhan, jika dia hanya mengenakan karung tanpa bedak sedikit pun dia tetap cantik bagiku. Leslie memperkenalkanku pada seorang wanita. Aku menebak bahwa sifatnya sangat keibuan namun tegas. Kami berkenalan. Namanya Ellen. Dia kepala pengurus di rumah ini. Dia yang membantu Abigail mengurus semua keperluan anak-anak. Kupikir usianya sekitar lima puluhan. Tapi cara berpakaiannya cukup modis. Di balik sikapnya yang sedikit dingin menurutku, dia memiliki aura seorang pemimpin yang berwibawa. Perkiraanku tak salah karena ketika kami sudah berada di sebuah aula yang tadinya berisik dengan suara anak-anak, seketika diam dan sunyi seperti gua saat Ellen masuk ke aula. Anak-anak langsung duduk dengan rapi. Melipat kedua tangan mereka di atas meja. Aku tersenyum menatap semua anak-anak. Aku melihat lebih banyak anak perempuan daripada anak laki-laki di sini. Miris, usia mereka sangat belia. Aku terbelalak saat melihat gadis kecil seumur Nora sedang duduk dipangku memeluk boneka tanpa mata. Gadis kecil itu sangat manis. Aku melambai ke arahnya. Dia tersipu dan langsung membenamkan wajahnya ke dada wanita yang memangkunya. “Selamat siang, Anak-anak.” “Selamat siang, Mrs. Ellen.” Suara mereka membahana memenuhi seluruh aula. “Terima kasih sudah duduk dengan rapi dan tertib,“ Ellen melihat ke arahku, “Seperti yang kalian lihat, kalian kedatangan tamu istimewa. Siapa yang kenal dia?” “Aku... aku... aku tahu.... “ Suara mereka bersahut-sahutan tak mau kalah. Mereka mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Aku belum pernah sebahagia ini melihat anak-anak yang tertawa antusias. Rasanya seperti dibanjiri dengan embun sejuk. “Baiklah, baiklah. Tenang semuanya. Turunkan tangan kalian. Ayo, sama-sama ucapkan salam pada Rainer Holt.” “Selamat siaaaangg, Raineer Hooolllt.” “Selamat siang semuanya.” Jawabku. “Anak-anak, hari ini kita patut berterima kasih pada Rainer Holt dan teman-temannya karena sudah meluangkan waktu untuk mengunjungi kita di sini. Kita tahu sesibuk apa Rainer dengan kariernya,“ Ellen menoleh padaku, “Sekali lagi terima kasih atas kesediaannya hadir di sini. Inilah anak-anak di rumah ini. Kami mohon maaf jika penyambutan kami masih kurang berkenan.” “Tidak. Tidak. Aku senang atas undangan kalian. Atas undangan dari Abigail. Kami berterima kasih untuk undangannya dan kami sangat senang bisa berada di sini.” Ellen tersenyum. Lalu sekilas aku melihat dia bertukar pandang dengan Leslie. Ada senyum canggung di sana. Namun aku mengabaikan hal itu. Dia kembali menoleh ke arah anak-anak. Dia membuka acara kunjungan kami dengan doa. Setelah itu, ada sedikit pertunjukan menyanyi dan juga puisi dari anak-anak. Penampilan mereka membuatku tertegun. Membuatku sadar akan sesuatu bahwa dalam ketidakberuntungan, mereka terlihat sangat luar biasa. Mereka sangat berbakat untuk ukuran anak-anak. Ada satu anak yang bisa menyanyi dengan suara yang tinggi dan merdu. Di dalam keterbatasan, mereka sama sekali tidak membatasi apa yang bisa mereka lakukan. Banyak hal baik yang aku pelajari dari mereka. Kesederhanaan, keceriaan, kekompakan, dan kasih sayang satu sama lain. Aku tersenyum. Hatiku merasa sangat damai berada di tengah-tengah acara ini. Well, kupikir sudah saatnya bagiku untuk memperbanyak kegiatan semacam ini. Baiklah, aku akan memasukkan jadwal kunjunganku ke sini dua bulan sekali. Dan menambah kegiatan sosial lainnya. Entah kenapa kegiatan ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan shooting, shooting, dan shooting. *** “Ada apa ini?” Itu dia! “Abby!!” Teriak Cellia. Saat itu sebagian anak-anak sedang tertawa dan berteriak-teriak. Aku, yang sedang memangku Cellia dan bermain puzzle dengannya langsung menoleh. Cellia melambai padanya dan tersenyum. Tetapi Abigail diam saja. Matanya membesar. Dia semakin cantik ketika melakukan itu. Hari ini dia tampak luar biasa mempesona dengan mantel biru tua dan celana jeans hitam. Rambutnya dikuncir kuda. Dia tidak banyak memoles wajahnya. Ini yang aku suka. Wajahnya yang tampak natural. Matanya mengarah padaku. Dengan sorot tajam, kaget, dan... marah kurasa. Seorang anak perempuan menghampirinya. Lalu beberapa anak juga mulai mengerubunginya. “Abby, terima kasih banyak kau sudah menyampaikan surat kami. Dan terima kasih akhirnya Rainer bersedia datang. Kami tahu kau yang melakukannya. Terima kasih, Abby.” Abigail tampak bingung dan melongo. Dia menoleh ke arahku sekali lagi. Dia tersenyum tipis pada anak-anak dan mengelus kepala anak perempuan itu. “Sama-sama, Rose. Apa yang sedang kau lakukan?” “Ini.” Anak perempuan itu, yang bernama Rose, menunjukkan sebuah buku bacaan padanya. “Aku membacakannya untuk Jason.” “Baiklah. Silahkan teruskan. Aku... akan mencari Leslie.” “Dia bersama Ellen.” “Terima kasih.” Sebelum dia berbalik, aku tahu dia sempat melirikku. Aku mengerutkan dahi. Kenapa dia tak menghampiriku atau sekedar menyapaku? Bukankah aku datang karena undangannya? Aku menyeringai dengan bodoh. Aku baru tahu bahwa sikap malu-malunya itu sungguh lucu dan menggelitik. Mungkin memang itu caranya untuk memancing agar aku yang menghampirinya. Oke, tak masalah. Kudengar wanita memang senang bermain tarik-ulur seperti ini. Aku berbisik pada Cellia untuk melanjutkan menyusun puzzlenya. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum lucu. Aku mencium pucuk kepalanya. Lalu bergegas mengikuti Abigail. “Kau dari mana saja?” Ucapku saat kami berada di lorong. Dia berhenti. Punggungnya menegang. Dia berbalik dan melotot padaku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Dia bertanya dengan dingin. “Apa?” “Apa yang kau lakukan di sini?” ulangnya lebih keras. Aku terbahak. “Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Jika boleh jujur,” aku berjalan dua langkah mendekatinya, “Ini bukanlah sikap tuan rumah yang baik, Sayang.” “Aku tak menginginkanmu berada di sini.” Desisnya. “Ayolah, di sini tak ada yang mendengar kita. Kenapa kau harus malu-malu?” “Malu-malu? Sekarang aku yang tak mengerti kata-katamu!” Wajahnya mengeras. Dia emosi. Aku menelan ludah dan mencoba untuk berbicara dengan lembut. Tapi sepertinya hal itu percuma. Oke, jika ini yang dia inginkan. “Dengar, aku sudah meluangkan waktuku untuk menyanggupi undanganmu dan beginikah caramu menyambutku?” Matanya menyipit. “Undangan? Undanganku?” Dia menggelengkan kepalanya dengan frustasi. “Aku benar-benar tidak tahu undangan apa yang kau maksud. Aku tak pernah mengundang siapa-siapa dan... oh, Tuhan!” Dia mendesis. “Leslie!” Abigail berjalan cepat dan tergesa-gesa. Sepatunya mengeluarkan bunyi yang bisa membuat rumah ini bergetar dan keramik di bawahnya pecah berhamburan. Aku mengikutinya. Aku terkejut saat dia mendobrak sebuah pintu. Pintu itu terbanting dengan keras ke belakang. Di sinilah aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu bahwa Kate mendapatkan surat itu dari Leslie. Surat yang kupikir adalah tulisan tangan Abigail dan undangan langsung darinya. Ternyata Abigail sama sekali tidak tahu surat itu akan dikirimkan padaku. Dia marah besar pada Leslie. Ellen berusaha menenangkannya dan memintanya untuk memelankan suara agar tidak didengar oleh anak-anak. Aku cukup kecewa karena ternyata semua pikiranku salah. Dia tidak menginginkanku di sini. Seperti kata-katanya tadi. Sialan! Kenapa harapanku terhadap gadis ini begitu besar? Tiba-tiba aku teringat akan sebuah kotak kecil yang berada di dalam kantong celanaku. Aku memasukkan tanganku ke dalamnya dan masih merasakan kotak itu di sana. Hatiku mencelos. Benar kata Kate, dia memang membenciku. Karena aku tahu bahwa sebenarnya aku tak boleh berada di sini, maka dengan inisiatif sendiri aku melangkah pergi ke luar. Leslie menyadari tindakanku dan langsung menghentikanku. Aku menepis tangannya dengan keras. “Kenapa kau tak bilang padanya? Kau membuatku bodoh dengan hadir di sini tanpa tuan rumah mengetahuinya.” Kataku kesal. “Sst!! Rainer! Jangan pergi dulu, kami harus menjelaskan semua ini pada gadis keras kepala itu. Bersabarlah. Kalau kau pergi begitu saja, maka anak-anak akan kecewa. Please.” Ujar Leslie dengan tatapan memohon. Aku bergulat dengan dewa batinku. Selain kecewa, sebenarnya aku juga memendam rasa marah pada Leslie. Dia tidak seharusnya melakukan ini pada Abigail. Aku mendesah. “Baiklah, demi anak-anak.” Jawabku. Leslie tersenyum lega. “Jadi dia keras kepala?” Tanyaku penasaran. “Sangat.” Aku kembali menghela napasku. “Jujur saja aku senang berada di sini.” “Oh ya?” Aku mengerutkan dahi. Cepat sekali mimik wajah sepupuku ini berubah ceria. Dia sepertinya sama sekali tidak terlihat menyesal sudah membuat kekacauan dan menyulut kemarahan Abigail. Aku tertawa dalam hati. Memang Leslie benar-benar cocok menjadi manager dari seorang yang berkepala batu seperti Abigail. Tak berapa lama kemudian, Ellen keluar bersama Abigail. Kami bertatapan dalam diam. Tak ada senyum di wajahnya. Ellen mengangguk pada Leslie, mengisyaratkan untuk mengikutinya ke aula. Kini hanya tinggal kami berdua. “Terima kasih.” Ucapnya pelan dan canggung. Kami berdiri berjauhan. Aku tersenyum tipis dan tak berusaha mendekat. “Untuk?” “Terlepas dari semua kerumitan dan kekacauan ini, aku.... Baiklah, terima kasih kau datang untuk anak-anak. Kata Ellen mereka sangat senang. Tapi jika boleh, kuharap ini tak akan terjadi lagi. Karena semua ini terjadi tanpa sepengetahuanku.” Mata besarnya menatapku dengan sorot yang tajam dan mengancam. Dia melenggang melewatiku. Aku langsung menarik tangannya sebelum dia jauh. “Kenapa kau begitu sombong?” Sedikit kekesalan kutumpahkan dalam nada suaraku. Abigail berusaha melepaskan pegangan tanganku tapi dia tak bisa. Aku menariknya lebih dekat. “Hentikan.” Bisiknya, matanya terpaku pada mataku. “Hentikan membuatku berada sangat dekat denganmu!” Sahutnya. Peganganku kendur. Dengan segera dia mundur dan berbalik. Pergi menuju aula yang ramai dengan suara tawa dan celotehan anak-anak. Aku tahu dia masih membenciku. Dan kata-katanya barusan sungguh mematahkan perasaanku. Seberapa burukkah aku di matanya? Aku menggertakkan gigi. Dan menjalankan jari-jariku ke rambut dengan frustasi. Sialan! Aku tak bisa melupakan sorot mata itu. Sorot mata yang penuh dengan kepedihan. *** Aku mencari-cari seorang wanita di tengah banyaknya orang di restoran ini. Aku berjalan pelan sambil mengeluarkan ponselku. Aku baru saja akan men-dial sebuah nomor tetapi kuurungkan karena aku sudah menemukan wanita yang kucari. Dia membelakangiku. “Hai.” Sapaku. “Hai.” Jessy tertawa riang dan melompat memelukku. Aku nyaris terpental ke belakang. Aku menepuk punggungnya dan dengan sedikit dorongan kasar aku melepaskan pelukannya. “Kau mau pesan apa, Sayang?” Tanya Jessy dengan suara manja. “Tidak. Aku hanya sebentar. Katakan kau perlu apa.” Jessy cemberut. Tapi aku tahu itu hanya pura-pura. Dia memegang punggung tanganku dan mengelusnya. Aku ingin lepas dari tangannya tapi dia menekan sebelah tanganku dengan kedua tangannya. “Aku rindu padamu. Kenapa kau batal menjadi bintang tamu di acara peluncuran buku Thomas John? Kau tahu aku ke sana ingin bertemu denganmu tetapi aku tidak menemukanmu di sana. Dan kau sama sekali tidak bisa dihubungi sejak hari itu. Bayangkan! Kau mendiamkanku selama hampir satu minggu.” “Jessy, aku sibuk. Ada hal yang lebih penting dan mau tidak mau aku harus membatalkannya.” “Hal penting apa? Kenapa kau tidak bilang padaku?” “Kupikir itu bukan urusanmu.” Kataku dengan nada bosan. “Rainer, semua orang tahu bahwa saat ini kita sedang dekat dan cobalah untuk—“ “Hanya dekat. Dan bukan berarti kau harus tahu kemana aku pergi. Mengerti?” Desisku. Dengan kasar Jessy melepaskan tanganku dan menyandar pada kursinya. Dia melipat kedua tangannya. Matanya melotot. Dia marah. “Kau ke panti asuhan penyanyi murahan itu kan?” Sial! “Sekali lagi kukatakan itu bukan urusanmu.” Ujarku dingin. “Jadi mangsa berikutnya adalah penyanyi murahan itu? Kupikir dia hanya cantik. Tapi tak memiliki otak cerdas sepertiku.” Cibir Jessy. “Apakah kau tidak punya TV? Lihat bagaimana cemerlang kariernya saat ini. Jadi berhentilah memanggilnya penyanyi murahan.” Sedetik kemudian Jessy memajukan tubuhnya dan dengan wajah pura-pura sedih dia mengambil tanganku dan membawanya ke pipinya. “Rainer, please. Aku mencintaimu. Aku cemburu dan— “ “Hentikan!” Aku menyentakkan tangannya. “Kita bukan kekasih. Kita hanya teman.” Lanjutku. “Teman katamu?” Dia menganga dengan kaget. “Ya.” “Dengar, Rainer. Kita sudah sering bersama. Dan tidakkah itu membuatmu sedikit melihatku dengan cara berbeda?” Aku terdiam. Aku tidak siap dengan kata-kata cinta wanita ini. Aku tahu bahwa mungkin ini akan terjadi. Tapi tidak secepat yang kukira. Kami baru dekat selama kurang dari dua bulan. Apakah wanita memang sangat cepat jatuh cinta? Jessy sangat baik sebagai teman. Tapi sangat tidak baik jika memiliki hubungan cinta dengannya. Jika pria disebut playboy, maka Jessy adalah salah satu anggota tetap dari komunitas playgirl. Dan saat dia mendekatiku untuk mengobrol, ternyata dia orang yang sangat komunikatif, cukup cerdas, dan menyenangkan. Obrolan kami berubah menjadi pertemuan-pertemuan singkat. Kami sempat digosipkan bersama tetapi aku tidak pernah menggubrisnya. Sama sekali. Karena bagiku dia hanya teman bicara yang cukup baik. Tapi memang aku akui bahwa akhir-akhir ini kelakuannya sangat kekanakan. Dia selalu ingin tahu kemana aku pergi dan apa yang aku lakukan. Oh, Tuhan! Dia bukan ibuku. Bahkan sikapnya melebihi ibuku. Dia akan merajuk ketika aku tidak membalas pesannya atau tidak menelepon balik ketika dia meninggalkan pesan suara. Sekarang, dia selalu minta bertemu setiap hari yang tentu saja tidak bisa aku sanggupi. “Aku menyesal Jessy. Kau adalah teman yang baik bagiku.” “Aku tak mau jadi temanmu! Aku ingin jadi kekasihmu, Rainer! Aku jatuh cinta padamu.” “Maaf aku harus pergi sekarang.” Aku berdiri dan berjalan meninggalkan meja. Namun Jessy masih sempat menarik tanganku. “Apakah karena penyanyi murahan itu?” Ucapnya dingin. Aku melotot. Geram terhadap sikapnya dan caci makinya terhadap Abigail. “Ya!” Bentakku, “Sekali lagi aku mendengarmu memanggilnya seperti itu, aku akan menjahit mulutmu!” Jessy melepaskan tanganku dengan kasar. Matanya berkaca-kaca. “Kau akan menyesal, Rainer.” Aku benci melihat air mata wanita. Secepat kilat aku melesat keluar dari restoran tanpa menoleh ke arahnya. Cukup sudah! Chapter Five Abigail “Chest up dan membungkuk. Saat di bawah, tekuk sedikit kakimu dan rasakan kontraksi di paha belakang. Lalu kembali berdiri tegak dengan dada membusung. Oke? Kau mengerti?” “Ya.” Emrick baru saja memperagakan gerakan deadlift padaku. Gerakan ini dilakukan untuk memperkuat otot kaki sekaligus otot punggung. Jujur saja sebenarnya hari ini bukanlah jadwalku untuk berada di gym. Tapi aku stress! Banyak pikiran dan sedang kesal setengah mati. Aku berharap bahwa dengan olahraga, bisa sedikit menghilangkan hal-hal buruk itu. Aku memegang dumbell lima kilogram masing-masing di kedua tanganku. Aku melakukan persis apa yang dia instruksikan. Emrick menghitung. “Panggilan kepada Emrick Stanson harap ke resepsionis sekarang. Sekali lagi .... “ “Ah, siapa itu? Apa mereka tidak tahu aku sedang melatih gadis cantik?” Gerutunya. “Tak apa. Mana tahu itu penting. Pergilah.” “Kau yakin?” Katanya. “Ya. Kau percaya padaku bukan? Aku tak akan melakukannya dengan sembarangan, pak guru.” Emrick tersenyum. “Oke, ini yang keenam. Lakukan lima belas repetisi. Kuharap panggilan ini tidak lama.” “Oke.” Aku melihat punggung lebarnya menjauh. Emrick salah satu hot trainer di sini. Banyak wanita yang membicarakannya saat aku di ruang ganti. Diam-diam mereka pernah mengambil fotonya saat Emrick sedang melatih. Sebagai seorang trainer, dia memiliki tubuh yang atletis. Di tambah dengan wajah tampan rupawan dan senyum penuh tegangan tinggi, tak disalahkan jika banyak wanita yang tergila-gila padanya. Tapi aku pengecualian. Aku melanjutkan gerakanku dengan cukup pelan dan merasakan kontraksi otot-otot punggung dan kakiku. Kontraksi itu membuat kaki dan punggung pegal. Tapi aku tetap melakukannya dengan teknik yang benar serta pengaturan napas yang baik. Kemarin adalah hari yang melelahkan. Mungkin bisa disebut hari yang sangat menjengkelkan setelah mengantri di kedutaan Brazil untuk memproses visa. Sialnya, aku meninggalkan dokumen penting untuk proses visaku dan tidak ada waktu lagi untuk kembali hari itu juga karena beberapa menit kemudian kantor kedutaan akan tutup. Maka aku kembali lagi hari ini. Tepatnya pagi tadi. Sebelumnya, Leslie sudah memperingatkanku untuk menggunakan biro jasa tapi dengan bodohnya aku menolak karena kupikir, hitung-hitung aku bisa jalan-jalan di waktu luangku yang kebetulan hari itu aku sama sekali tidak ada pekerjaan. Aku berpikir untuk pergi menemui anak-anak. Namun siapa sangka apa yang kutemukan di sana? Rainer ‘Angkuh Menyebalkan Tidak Tahu Diri’ Holt. Memangku Cellia dan tertawa bersama gadis kecil itu. Aku tak tahu kenapa rasanya aku sangat kesal pada semua orang. Terlebih lagi Leslie! Aku benar-benar tak habis pikir. Dia dengan sengaja memberikan surat sialan itu tanpa aku tahu. Aku sangat marah. Bahkan sampai saat ini aku sama sekali tidak berbicara dengan Leslie. Kubiarkan telepon terus berdering ketika ada namanya di layar ponselku. Dan Ellen, setali tiga uang dengan Leslie. Aku tahu bahwa sekarang rasa sayangnya pada anak-anak sudah sangat berlebihan. Perbuatan mereka yang bersekongkol di belakangku untuk mendatangkan ‘ikan hiu pemangsa’ itu benar-benar membuatku jengkel. Tapi di satu sisi, aku melihat bagaimana anak-anak sangat suka padanya. Selepas dia berpamitan kemarin, aku mendengar banyak tanggapan positif tentang dia dari anak-anak. Rainer baik, Rainer ramah, Rainer menyenangkan, Rainer tampan, Rainer A,B,C,D sampai Z! Apa-apaan itu? Ya Tuhan! Aku tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya mereka jika tahu siapa sebenarnya pria itu. Dia sama sekali tidak seperti yang anak-anak katakan. Oh ya, apakah anak-anak lupa bahwa kami pernah berseteru? Seingatku, semua penghuni rumah itu memberondongku dengan berbagai pertanyaan ketika aku dan dia menjadi headline dengan berita yang menjijikkan. Dari situ saja seharusnya sudah kelihatan tetapi kenapa... ah sial! “Ototmu tidak akan berkembang jika kau melakukannya sambil melamun.” Hampir saja dua dumbell itu jatuh menimpa kakiku. Aku melotot. Menganga saat pria yang baru saja terlintas di benakku kini berada tepat di depan mataku. Dia menatapku, sambil menyeringai dan melakukan pemanasan. Dia memakai kaus tanpa lengan yang memamerkan otot-otot tangannya. Astaga! Aku menelan ludah dengan kesal. Mataku begitu mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang terlihat kencang. Kakinya dibalut celana training dengan sepatu sports putih. Sialan! Tubuhku sepertinya mulai bergejolak untuk mengkhianatiku. Harusnya aku membencinya. Bukan mengagumi dirinya yang dibalut pakaian olahraga yang begitu menggiurkan. Repetisiku selesai. Aku nyaris melempar dumbell ke lantai. Aku maju ke arah meja dan meraih botol minumku lalu menenggaknya. Emrick, Emrick, Emrick cepatlah kemari! Aku menggoyang-goyangkan kakiku pura-pura melakukan stretching. “Mana trainermu?” Aku diam. “Kupikir kau tidak suka olahraga.” Katanya lagi. Ya, ampun. Bisakah aku meminjam jubah menghilang dari Harry Potter untuk menghindar dari pria ‘panas’ ini? Aku masih melakukan aksi bisu. Tak mempedulikan dia sama sekali. Kini dia bergeser dan berada di depanku. Mengurungku dengan dinding tepat di belakangku. “Kau jadi pendiam, nona cerewet.” “Aku tak menyangka bahwa menguntit adalah salah satu kegemaranmu.” Cibirku. “Apa?” Dia mendekatkan wajahnya. “Kau mengikutiku.” Ucapku dengan pelan dan jelas di setiap katanya. Rainer tertawa. “Ini pusat kebugaran. Aku adalah salah satu anggota di sini dan kau bilang aku apa tadi? Penguntit?” “Emrick!” Teriakku. Rainer tampak terkejut. Dia menoleh ke belakang. Oh, terima kasih Tuhan. Emrick sudah datang. Rainer dan Emrick saling berpandangan. Aku tak tahu jelas makna pandangan mereka. Tapi kupastikan sama sekali tidak ada keramahan saat mereka saling bertemu pandang. Aku langsung mendekati Emrick dan melanjutkan latihanku. Aku mulai berkonsentrasi. Sekali lagi tidak mempedulikan adanya dia di sini. Sesekali aku melirik dan mendapatinya memandangi aku dan Emrick seperti seekor elang mengawasi anak ayam incarannya. Satu lagi yang aneh, dia tampak sangat ingin melemparkan dumbbell yang digenggamnya saat melihat aku terlentang di karpet yoga dan Emrick memegangi kakiku. Emrick mengangkat kakiku tinggi untuk kembali melenturkan otot-otot kakiku. Mungkinkah itu pengaruh tingkat testosteronnya yang berlebihan? Dia benar-benar membuatku geli setengah mati. Tapi entah kenapa, wajah kesalnya itu seperti sebuah hiburan buatku. Saat Emrick selesai melenturkan kakiku, dia mengulurkan tangannya agar aku berdiri. Tarikan tangannya cukup kencang hingga membuatku hampir terhuyung. Namun sebelum aku jatuh, Emrick menangkapku dan tubuhku langsung menempel padanya. Aku dan Emrick tertawa. Di sela-sela tawa kami, terdengar suara besi yang terbanting keras. Aku terlonjak. Semua orang menoleh. Rainer menjatuhkan dumbbell entah berapa kilogram beratnya ke lantai. Kupikir lebih dari sepuluh kilogram. Dia bergumam minta maaf pada beberapa orang yang melihatnya. Lalu dia menatapku sebentar. “Itulah jadinya jika memaksakan diri mengangkat beban yang kau tidak mampu.” Keluh Emrick. “Ya.” Gumamku, menyetujui apa yang dikatakannya. “Dia Rainer Holt kan? Model seksi itu?” Tanya Emrick. Aku setengah tertawa. “Kau pikir dia seksi?” “Masih lebih seksi aku kurasa.” Jawab Emrick dengan seringaian. Aku meninju lengannya lalu bergegas ke ruang ganti. Aku sudah sangat ingin berada di bawah pancuran air hangat. Persetan dengan adanya Rainer Holt di dunia ini! *** Brian duduk di depanku. Kami sedang berdiskusi tentang beberapa calon model yang akan menjadi model video klipku. Aku membaca profil mereka. Mereka memiliki prestasi yang luar biasa. Aku sempat bingung. “Dimana Leslie?” Tanya Brian. “Tenggelam kupikir.” Sahutku acuh. Brian terbahak-bahak. “Masih marah padanya?” “Menurutmu apakah kami sudah berbaikan?” “Ya, kuharap kalian tidak berlama-lama bermusuhan.” Brian menasihatiku. “Oh ya, bagaimana Joshua menurutmu?” Kataku. Aku tidak menghiraukan komentar Brian. Aku menyerahkan profil beserta foto padanya. Brian membaca dan memandangnya cukup lama. “Berbakat. Tampan.” “Apakah dia cocok?” Brian mendesah. “Kupikir lebih cocok yang ini.” Brian menyodorkan selembar kertas padaku. “Richard?” Kataku tak percaya. Aku kenal Richard. Kami pernah bertemu beberapa kali dan mengobrol. Dia juga pernah berkunjung satu kali ke tempatku, Home For Kids “Abby”. Dia orang yang pandai bergaul, cerdas, dan berbeda dari model-model pria yang pernah aku temui selama ini. Dia sangat santai dan humoris. “Wajahnya cocok dengan pria yang dibicarakan dalam lagumu. Bukankah dia cukup menyenangkan?” Aku tersenyum. “Ya. Dia tidak pernah membiarkanku berhenti tertawa sejenak saja.” “Kalau begitu tidak akan sulit untuk mendapatkan chemistry.” Komentar Brian. “Bagaimana kalau aku terus tertawa saat berpelukan dengannya? Coba pikirkan, dia orang yang cukup usil. Kadang-kadang aku tidak tahan hanya dengan melihat mimik wajahnya.” Kami tertawa. Tapi Brian meyakinkanku bahwa Richard melakukan hal konyol seperti itu jika sudah selesai melakukan pekerjaannya. Jika sedang bekerja, Richard sangat profesional. Aku membereskan berkas-berkas di atas meja. “Brian, kau tahu. Kupikir kau lebih cocok menjadi manajerku daripada Leslie. Dia hanya bisa mengacau dan .... “ “Sst!,” Brian meletakkan telunjuk di bibirnya, “Leslie, is the best manager for you.” Aku terdiam dengan teguran itu. Lalu mendesah dengan lelah. Mencoba menjernihkan pikiranku dan memproses ulang kata-kata Brian. Leslie sebenarnya pintar tetapi bodoh. Nah, bagaimana aku bisa menjelaskannya? Di saat-saat genting, Leslie sangat cepat bertindak tanpa panik. Berbeda denganku yang sangat mudah panik dan melilit jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang sudah terencana. Jika dihitung-hitung, kami memang lebih sering bertentangan. Brian pernah bilang padaku bahwa aku sering egois dan terlalu cepat bertindak tanpa pertimbangan. Tapi Leslie memang bermental baja. Beberapa kali aku marah padanya, dia masih tetap terus ceria di depanku tanpa sedikitpun ada rasa menyesal atau bersalah atau apapun. Dan hal itu membuatku frustasi. Namun, jika tanpa Leslie aku pun tak tahu akankah aku sesukses sekarang ini. Perannya begitu besar terhadap karierku. Dan Brian benar, Leslie is the best manager. Leslie sudah menghubungi Richard. Menurut Leslie, dia sangat antusias dan langsung mengiyakan. Setelah telepon itu, Richard menghubungiku. Kami mengobrol, bercanda, dan dia mengocok perutku dengan cerita-cerita konyolnya. Akhirnya aku bisa tertawa lepas hingga meneteskan air mata. Pengambilan gambar akan dilakukan minggu depan. Pada akhirnya, aku dan Leslie mulai berbicara. Tepatnya setelah Brian marah-marah melihat kelakuan kami yang kekanakan. Dan kami pun tidak pernah sedikit pun menyinggung lagi tentang kedatangan ‘ikan hiu pemangsa’ ke rumah anak-anak milikku. Kupikir itu lebih baik. Dan... kini saatnya aku mempersiapkan diri untuk kesuksesan video klipku. *** Aku berjalan tergesa-gesa dengan susah payah karena boots sialan yang kupakai. Hari ini aku akan mengambil gambar untuk video klip album terbaruku. Dan Richard, model yang seharusnya menjadi partnerku berhalangan hadir. Padahal aku begitu menunggu hari ini. Aku sudah bosan dan lelah karena sudah beberapa kali menunda pembuatan video klip karena aku dan managementku tidak bisa mendapatkan model yang pas. Lalu saat Richard sudah setuju, kini dia tidak bisa hadir karena masuk rumah sakit. Aku menghubungi ponselnya tetapi panggilanku terus dialihkan. Kupikir sakitnya cukup parah. Oh Tuhan! Memang aku tidak bisa menyalahkannya jika dia sakit. Tapi apa yang harus kulakukan sekarang? Menunda lagi? Aku langsung mendobrak pintu ruang rias dan terkejut melihat siapa yang ada di sana! Aku terpaku. Leslie dengan senyum sumringah tanpa dosanya menghampiriku dan memegang lenganku. Aku sekarang menoleh padanya dan melotot. Meminta penjelasan darinya apa maksud dari semua ini. Pria arogan itu ada di sini! Duduk di depan kaca rias sambil memainkan ponselnya. Aku menyipitkan mataku dan mengira-ngira apakah aku salah. Ternyata tidak! Itu memang benar-benar dia. Aku belum sempat membuka mulut saat Leslie berkata dengan riang. “Lihat, Sayangku! Dalam waktu singkat aku langsung bisa menemukan pengganti Richard. Bagaimana? Tidak buruk bukan?” Apanya yang tidak buruk? Ini jauh lebih buruk dari hal terburuk sekalipun! Aku memberikan tatapan tajam ke arah kaca. Pantulan dirinya di sana juga menatapku. Aku mendengus dan menyentakkan tangan Leslie dan menariknya keluar. “Apa yang kau lakukan?” Bisikku. “Apa?” Aku menyandarkan punggungku di dinding dan meletakkan telapak tanganku di dahi. Nah, ini mungkin bisa menjelaskan apa yang kukatakan sebelumnya. Bahwa Leslie itu pintar tapi bodoh. Pintar karena bisa dengan sekejap mendapatkan pengganti dan bodoh karena orang yang dipilihnya adalah musuh terbesarku! Aku benar-benar lelah lahir dan batin. Leslie masih memasang wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa. Ya Tuhan! Leslie adalah orang terbodoh yang pernah kutemui. “Ini ketiga kalinya kau melakukannya! Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya Leslie? Dia pernah menghinaku dan sekarang kau melemparkan kotoran ke wajahku?” “Dengar! Percaya padaku bahwa video klipmu akan sukses dan laku keras di pasaran. Kalian berdua sangat serasi. Kau tahu, banyak surat penggemar yang masuk dan meminta kalian sebagai pasangan.” Leslie tertawa dan bertepuk tangan kegirangan seolah-olah dunia benar-benar mendukungnya. “Tapi kumohon jangan dia, Leslie! Apa yang ada di otakmu?” “Oh tentu saja di otakku tersimpan hal-hal yang brilian, Sayang.” “Tidak kali ini! Pokoknya aku tidak mau. Terserah jika albumku gagal dirilis.” Aku geram dan berjalan meninggalkannya tetapi dia menahanku. Leslie melotot. “Tidak! Tidak! Tidak! Bukankah merilis album ini adalah impianmu? Sudah berapa lama kita menunda dan mempersiapkannya supaya benar-benar matang? Ingat Abby, perfection! Kau adalah publik figur. Kau akan mengecewakan penggemarmu dengan menunda lagi?” “Tunda saja! Aku sudah tidak peduli. Aku tak mau dia yang menjadi modelku!” Kataku keras kepala. “Abby, tunggu! Kau lupa dengan segala yang sudah kau lakukan demi hari ini?” Aku benar-benar membenci Leslie. Dia seolah-olah tahu bagaimana meruntuhkan pertahananku. Aku mendesah berat saat diingatkan dengan hal itu. Aku kembali mengingat perjuanganku ketika mempersiapkan semuanya dari awal. Menulis lagu, menciptakan nada, rekaman, editing, finishing. Tiba-tiba aku merasa kepalaku pening. Setelah banyak hari dan jam yang aku korbankan demi album ini, rasanya memang berat jika aku berhenti sekarang. Banyak orang yang akan aku kecewakan. Bahkan aku pun akan mengecewakan diriku sendiri. Aku menatap bootsku. Leslie mengelus bahuku. “Please, Abby. Kau pandai berakting dan semua sudah kau kuasai. Semua akan berjalan lancar. Dan... aku minta maaf jika aku melakukan kesalahan yang sama. Ini semata-mata karena aku sayang padamu. Aku ingin kau berhasil.” Aku berkutat dengan dewi batinku. Kata-kata motivasinya membuat sedikit semangatku kembali berkobar. Lalu aku menghela napasku. “Tidak, Leslie. Jangan minta maaf. Justru aku harus berterima kasih. Yah... walaupun .... ” Aku menolehkan kepalaku ke arah pintu. “Walaupun aku tidak tahu apakah ini akan berhasil. Kau tahu ada apa antara aku dan dia.” Kataku lemah. Leslie mengangguk dan kami berpelukan. Suara khas seorang pria membuat kami melepaskan diri. “Sedang reuni ya?” Aku menatapnya dengan datar. “Kapan kita bisa memulai?” Suaranya masih terdengar arogan. Dia maskulin, tampan, mempesona, serta membius. Aku takut kalau-kalau dia akan meracuniku. “Oh, sebentar lagi, Rainer. Wow lihat. Kau sangat sesuai dengan tema lagu yang kami angkat dalam video ini. Well, kau sudah baca naskahnya?” “Tentu.” Aku tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Leslie. Aku melenggang menjauhi mereka. Aku tidak mau berlama-lama berada di tempat yang sama bersamanya. Pikiranku berkecamuk. Aku gusar dan khawatir. Aku pasrah jika hari ini aku gagal. Sebuah suara menghentikanku saat aku hampir meraih pegangan pintu. “Abigail!” Dadaku berdegup kencang karena terkejut. Aku mematung sejenak dengan tangan yang berkeringat. Aku membalikkan badan pelan-pelan. Mata kami bertemu. “Aku harap kau tidak mengacaukan semuanya hari ini.” Jawabku acuh. “Tidak bisakah kau tidak berpikir buruk tentangku?” Alisnya berkerut tidak suka. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. Dia mengangkat bahunya. “Leslie menghubungiku semalam. Kebetulan jadwalku kosong dan kurasa tidak ada salahnya.” Aku menggeleng. “Kebetulan yang aneh.” Aku berbalik namun aku teringat sesuatu. “Bersikaplah baik, Kid. Jika kau mengacaukannya, aku berjanji akan mematahkan lehermu.” Aku membuka pintu tanpa sedikitpun mengharapkan jawaban darinya. Aku melenggang masuk. Mark sudah siap dengan tim-timnya. Dia sudah menyusun berbagai properti dan juga kamera. Aku duduk dan melepaskan sepatuku. Menggantinya dengan sepatu bertali tipis. Brian mendekatiku. Dia menunduk dan memulaskan bedak pada wajahku. “Jangan cemberut.” Kata Brian. “Bagaimana bisa aku tidak melakukannya?” “Leslie ada di balik semua ini.” Gumam Brian. “Aku tahu.” “Lalu?” Aku menatap Brian dengan malas. “Nothing to do! Ini proyek impianku dan aku tidak bisa menundanya lagi.” Aku menunggu Brian mengucapkan cacian. Dia termasuk orang yang cukup temperamental. Tapi tidak ada yang terjadi. Aku mengerutkan kening. “Bagus.” Hanya itu yang dikatakannya. “Kau tidak mengumpat seperti biasanya?” Brian terkekeh. “Nothing to do!” Aku memutar mataku. “Jadi mau tidak mau dia akan tetap menjadi modelmu. Walaupun aku pun tidak setuju dengan apa yang dilakukan Leslie.” “Dan dia bisa mempelajari naskah dalam waktu semalam!” “Bakatnya memang tidak diragukan.” “Kau mendukungnya?” “Saat ini ya. Tapi tidak ada waktu untuk mencari model lain.” “Oh, Brian!” Gerutuku. Max sudah memberi isyarat bahwa segala sesuatu sudah siap. Aku berdiri dan melenggang dengan penuh kekuatan karena sejujurnya aku sudah pasrah dan lemah. Chapter Six Rainer “Kadang-kadang dia memang seperti anak kecil berumur lima tahun yang kehilangan gula-gulanya.” Aku tertawa mendengar ucapan Leslie. Saat ini aku sedang meneleponnya. Aku mendengar darinya bahwa Abigail benar-benar marah padanya. Selama beberapa hari, Abigail sama sekali tidak mengindahkan panggilan Leslie. Baik itu telepon ataupun saat bertemu langsung. Untung saja ada Brian yang menjadi penengah mereka. Dalam keadaan marah, Abigail menyampaikan apa yang ingin dikatakannya pada Brian. Kudengar Brian mulai tidak sabar dan memarahi mereka berdua. Brian tidak suka berada di dua kubu yang bermusuhan seperti negara perang. “Tapi aku suka dengan anak kecil, Loli.” “Oh... Loli, Loli, aku senang kau ingat panggilan itu. Kau dulu kan cadel, sepupu.” Aku tersenyum mengingat kenanganku saat masih kecil bersama Leslie. “Well, kudengar dia ingin buat video klip?” “Tepat.” “Kenapa begitu lama?” “Oh, walaupun seperti anak kecil, Abby sangat hati-hati dalam memilih model untuk video klipnya. Dia cukup pemilih. Tapi seleranya sangat bagus.” “Siapa yang dipilihnya?” “Richard de Ortiz.” “Pria latin itu. “ Cibirku. Aku dan Richard pernah berada dalam satu agensi model yang sama. Dia memang salah satu sainganku. Tampan, berbakat dan selalu diterima dimana saja karena dia orang yang humoris dan menyenangkan. Kami berteman. Namun tidak dekat. “Ya. Dia kan seksi sekali.” Kata Leslie cekikikan. Ya ampun! Leslie pun tergila-gila. “Konsepnya seperti apa?” “Hei! Kau terlalu banyak bertanya. Klip ini akan jadi kejutan dan maaf sekali sepupu tercintaku, aku tidak boleh membocorkannya pada siapapun. Yah, walau sebenarnya sangat tidak etis kita membicarakan hal ini di belakangnya. Apalagi kalau dia tahu dengan siapa aku membicarakan hal ini sudah dipastikan dia akan menggantung leherku.” Kata-katanya membuatku tersenyum geli. Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara musik di belakang Leslie. “Rainer, ada yang menelepon. Nanti kita bicara lagi. Bye.” “Bye, Loli.” Setengah jam kemudian. “Kau belum tidur kan?” “Sebenarnya aku baru saja berbaring, Loli. Ada apa?” Aku menguap dan memejamkan mataku. Ponsel masih menempel di telingaku. Ucapan Leslie langsung membuatku melotot dan terduduk. “Lalu?” Tanyaku. Dia menjelaskan semuanya dengan cepat. Aku menyeringai. “Aku bisa melakukannya. Ya, ya. Oh, ayolah. Tidak usah khawatir. Aku akan bertanggung jawab. Ya ampun, Loli. Kau tidak percaya?” Aku tertawa ringan mendengar ocehannya yang terlihat khawatir. Aku memberinya saran. Dari nada bicaranya, mungkin matanya saat ini melotot dan hampir keluar. Lalu dia terdiam dan mendengarkanku. “Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak mau disalahkan ya. Aku akan membunuhmu jika dia sampai tahu dan memusuhiku.” Ujar Leslie pasrah. “Kau tahu, Loli. Saat ini kau benar-benar membuatku tak akan bisa tidur malam ini. Aku sedang menghidupkan laptopku. Segera kirimkan emailnya. Kutunggu! Terima kasih, Loli sayang. Aku berhutang banyak padamu. Oh... tenang saja. Aku pasti akan membayarnya. Jangan lupa email sekarang.” Aku memutuskan sambungan dan langsung melompat-lompat di atas tempat tidur sambil berteriak kegirangan. Masa bodoh dengan per ranjang yang patah. Persetan dengan tetangga yang terganggu. Di lompatan terakhir, aku menjatuhkan tubuhku dengan keras ke atas tempat tidur dan memandang langit-langit. Aku tersenyum sendiri. Aku mendengar suara bip dari laptop. Aku beranjak duduk dan mengunduh file yang baru ku terima. Aku tak sabar menunggu hari esok. *** Musik mulai mengalun merdu memainkan intro. Dia di sana. Duduk di ayunan buatan dengan bunga-bunga lilit di sekeliling ayunan. Dia luar biasa cantik dengan gaun putihnya yang lembut. Kipas melambai-lambaikan rambutnya yang digerai menggelombang. Aku tahu bahwa kali ini aku benar-benar gila. Richard sebenarnya tidak sakit parah. Dia hanya terkena flu berat dan harus istirahat. Tetapi dia hanya istirahat di rumahnya bukan di rumah sakit. Aku bersyukur bahwa Leslie, sepupu jauhku tercinta mau mendukungku untuk menjalankan aksi ini. Kami memang merahasiakannya dari Abigail kalau kami sebenarnya masih saudara. Yah, walaupun sebenarnya aku tidak mau berbohong, tetapi Abigail sudah tidak menyukaiku. Sialan! Aku mengaku bahwa aku bodoh. Jika saja aku tidak mengeluarkan kata-kata paling bodoh sedunia saat acara lelang itu, kurasa saat ini aku bisa mendekatinya dengan lebih mudah. Abigail terpaku dan terkejut saat melihatku ada di ruang rias. Tadi pagi, saat dalam perjalanan menuju lokasi pengambilan gambar, aku sempat sangsi. Aku sempat berniat memutar balik mobilku tetapi otakku terus-menerus menyuruhku untuk melajukan mobil. Dia membenciku. Mungkin saja dia akan mengusirku dari sana atau barang kali melemparkan lampu sorot ke wajahku dan memukulku hingga babak belur. Tak masalah. Sekuat-kuatnya wanita, aku tahu bahwa aku lebih kuat dari dirinya. Dia melotot saat aku balas menatapnya melalui kaca. Sama sekali tak ada keramahan. Dia menarik Leslie keluar dan aku mendengar bisik-bisiknya. Aku tersenyum geli. Dia nampak ketakutan. Dan itu berarti aku masih bisa memegang kendali. “Abigail!” Aku memanggilnya. Dia berhenti dan membalikkan badan. Tangannya jatuh lunglai di samping tubuhnya. Dia membendung kemarahan dan kegelisahan di matanya. “Aku harap kau tidak mengacaukan semuanya hari ini.” “Tidak bisakah kau tidak berpikir buruk tentangku?” “Bagaimana kau bisa ada di sini?” “Leslie menghubungiku semalam. Kebetulan jadwalku kosong dan kurasa tidak ada salahnya.” Dia menggelengkan kepalanya tak percaya. “Kebetulan yang aneh.” Dia berbalik dengan cepat. Aku sudah hendak mengejarnya namun dia berhenti tiba-tiba. “Bersikaplah baik, Kid. Jika kau mengacaukannya, aku berjanji akan mematahkan lehermu.” Pintu berderit dan tertutup rapat. Aku menjalankan tanganku di rambut dengan lelah. Oke, dia masih tetap bertahan dengan mulut sadisnya. Baiklah, yang penting adalah saat ini dia menerimaku untuk bekerjasama dengannya. Terlepas bahwa itu membuatnya jengkel setengah mati. *** Abigail mulai bernyanyi, mulutnya terbuka mengikuti kata-kata dari hasil rekaman suaranya. Dia bergerak ke kanan dan mulai menari, memperlihatkan sedikit keahliannya dalam tari balet. Lagu ini berjudul Comes to Life. Isi lagu ini bercerita tentang seorang wanita yang menjalani hari-harinya dengan seorang pria khayalannya. Namun pada akhirnya, ternyata pria itu benar-benar hadir dalam hidupnya. Aku sudah mempelajari naskah video klip ini. Tidak terlalu sulit karena lebih banyak adegan dan tidak ada dialog yang berat. Aku sungguh tidak sabar untuk mendekatinya, merangkulnya dan menyentuhnya sepuasku. Adegan pertama selesai. Brian mendekatinya dan memulaskan berbagai macam bubuk ke wajahnya. Sialan! Aku tidak suka laki-laki itu dekat dengannya. Ya, aku cemburu! Dengan seorang pria gay sekalipun. Abigail tersenyum. Sangat manis. Aku ingin senyum itu hanya tertuju padaku. Selanjutnya adalah adegan kedua saat dia menatap langit-langit dan berpura-pura menggapai sesuatu. Tangannya turun dengan gemulai. Dia benar-benar memiliki aura bintang yang luar biasa. Dan dia sangat mempesona. “Bersiap-siap, Rainer.” Mark menepuk bahuku. Aku mengangguk. Lampu-lampu mulai menerangi kami. Kini kami sangat dekat. Aku tidak bisa berhenti menatapnya. Dia tidak tersenyum. Lebih tepatnya dia cemberut. “Kamera, rolling, action!” Aku memegang tangannya. Dia menatapku dengan intens. Terkejut seolah-olah aku benar-benar orang yang diinginkannya. Dia tersenyum. Sial! Betapa cantiknya dia saat melakukan itu. Aku membawanya mendekat. Punggungnya bersandar pada dadaku dan dia mengangkat kepalanya. Kami bertatapan. Tangan kami terjalin. Aku membawa kedua tangan kami ke depan. Disaat itu pula dia bernyanyi sambil menutup matanya. Lagu sudah sampai pada interlude lalu kembali ke refrain. Musik memainkan intro pendek. Kami saling berhadapan. Kedua lengannya berada di leherku. Aku merasa ini bukanlah akting. Tapi nyata. Dan aku mulai terhanyut ke dalam pusara ini. Aku tak ingin berhenti. Aku menginginkan Abigail dalam pelukanku. Kami saling bertatapan seperti saling memiliki satu sama lain. Tubuh kami melekat. Aku melingkarkan lenganku di pinggulnya. Tersenyum padanya dan dia balas tersenyum padaku. Ya ampun, dia bisa membuat jantungku berhenti seketika. Dia bergumam mengikuti coda, bagian akhir dari lagu. Wajah kami sangat dekat. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menangkup dagunya dengan kedua jariku dan mengangkatnya lembut. Intro masih mengalun dan semakin lama semakin pelan. Aku tidak tahu ada apa dengan diriku. Aku menunduk dan menempelkan bibirku pada bibir lembutnya. Bagian akhir ini tidak ada dalam naskah! Chapter Seven Abigail Aku membuka mataku. Dia masih di sana. Menatapku melalui bola matanya. Aku melihat diriku terpantul di matanya. Ya ampun! Apa yang baru saja terjadi? Aku mendengar semua orang yang ada dalam studio bersorak dan bertepuk tangan riuh. Beberapa mulai bersiul-siul. Rainer tersenyum. Sialan! Dia. Benar. Benar. Tampan. “Mark, apakah kau sudah bilang cut?” Bisik Max, kameraman yang sedari tadi merasa pegal memegangi kamera sementara yang lain bisa bertepuk tangan dan bersiul-siul. “Astaga! Cut!” Mark langsung tertawa. “Maaf.” Aku langsung melepaskan tanganku yang kulingkarkan di seputar lehernya. Aku meliriknya yang masih tetap berada di depanku dengan canggung. Leslie menghampiri kami dengan gaya berjalannya yang seperti bebek. “Kalian berdua... benar-benar memiliki chemistry yang luar biasa. Oh ya, aku lupa kalau bagian akhir itu ternyata ada di skrip.” Matanya berkedip-kedip nakal dan dia berlalu. Aku sempat menganga dan aku kembali ke dunia nyata. Sial! Itu tidak ada dalam skrip. Rainer menciumku! Oh tidak, bahkan aku pun menutup mataku saat dia melakukannya. Tapi... jujur saja aku menikmatinya. Aku masih merasakan bibir hangatnya di bibirku. Kecupan itu sebentar namun berhasil menyengatku hingga aku hampir lumpuh. Ya ampun. Bagaimana bisa itu terjadi? Bukankah aku membencinya? Pipiku merona. Oh jangan! Jangan sampai rasa benci itu berubah menjadi yang lain hanya karena satu kecupan. Aku tidak berani menatap Rainer. Aku langsung memisahkan diri dari mereka. Aku butuh waktu untuk sendiri. Aku memutuskan untuk ke toilet. Selama perjalanan ke toilet, aku berusaha menenangkan degup jantungku yang berdentam tidak karuan. Lagi-lagi aku dikejutkan. Rainer berada satu lorong denganku dimana toilet pria tidak jauh dari toilet wanita. Aku menunduk dan meremas-remas tanganku. Aku pura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan cepat tetapi dia berhenti tepat di depanku. “Apa?” Tanyaku. “Aku terkejut kau tidak menamparku.” Katanya pelan. “Kenapa aku harus menamparmu?” “Karena aku menciummu.” Dia membuatku setengah tertawa. “Beruntunglah kau kalau begitu.” “Apakah berarti aku boleh menciummu lagi sekarang?” Matanya mengerling nakal. Aku terhenyak. “Kali ini aku tidak bisa menjamin bahwa kau beruntung.” Rainer menyeringai kemudian tertawa lepas. “Baiklah, baiklah. Well, aku ingin bicara padamu. Tapi tidak di sini. Aku sudah bilang pada Leslie bahwa kau akan pulang denganku.” “Apa? Bagaimana ... ?” “Sst ... !” Dia membungkam bibirku dengan jarinya. Kemudian jarinya bermain-main dengan bibirku sedetik saja. Entah kenapa aku tidak bisa marah padanya. Oh my! Kurasa dia memiliki sihir. “Aku... aa... apa yang harus kita bicarakan? Aku tak punya banyak waktu.” Tiba-tiba saja aku jadi gugup. “Ikut aku.” Aku diam saja saat dia menggandeng tanganku. Tangannya besar dan hangat. Dan tangan inilah yang tadi memelukku dengan erat. Rainer membawaku ke mobilnya. Jaguar F-type warna silver metalik. Dia membukakan pintu untukku dan aku duduk di samping kursi kemudi. Aku mengagumi interior dalamnya. Simple. Elegant. Menawan. Dia duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin serta pendingin tapi dia tidak menjalankannya. “Aku minta maaf.” Dia memulainya tanpa basa-basi. “Minta maaf untuk yang mana?” Tanyaku. “Yang mana?” Dia mengulangi pertanyaanku dan tertawa. Lalu dia melanjutkan. “Pertanyaanmu itu menyiratkan bahwa aku punya lebih dari satu kesalahan denganmu.” “Bukankah memang begitu?” Jawabku arogan. Dia tersenyum dan bersandar untuk mencari posisi yang nyaman. “Well, aku akui ya. Ini permintaan maafku untuk yang pertama dan seterusnya. Aku minta maaf karena ucapanku saat acara pelelangan.” Aku hanya diam. Aku memang membenci kata-katanya dan merasa sakit hati. Dan saat itu aku masih belum lega karena Brian berhasil menahanku saat aku ingin memukul, menampar, dan menghancurkan wajahnya. “Yang kedua, karena tadi aku menciummu. Itu memang tidak ada dalam naskah. Tapi aku tidak bisa menahannya saat berdekatan denganmu.” Dia meletakkan telapak tangannya di atas tanganku. Dia membuatku mengigil. Aku menarik kembali tanganku tetapi dekapan tangannya pada tanganku sangat erat. “Please, biarkan aku menggengamnya.” Aku tidak banyak bicara. Hanya mengangguk. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Dan tubuhku benar-benar membodohi diriku. “Aku menunggu jawabanmu.” “A... apa? Jawaban apa?” “Permintaan maaf. Apakah aku dimaafkan?” Rainer mengelus punggung tanganku. Dia mengalirkan perasaan hangat melalui jari-jarinya. Oh! Aku tidak ingin dia berhenti. Aku menelan ludahku. “Kenapa kau melakukan itu padaku? Di acara pelelangan. Setahuku aku tidak punya masalah denganmu.” “Ada.” Katanya lemah. Dia mengangkat tangannya dan mengelus pipiku. “Masalah itu adalah dirimu.” Aku tertegun. Apa maksudnya? Dia membuat pipiku sangat panas dan merona sehingga membuat bola mataku turun. Kini dia menatapku lekat-lekat. Dia membuat jantungku hampir berhenti dan kedekatan ini membuat sekujur tubuhku memanas. “Aku terlalu mengagumimu sehingga... aku tidak tahu apa yang seharusnya kukatakan ketika ada dirimu di dekatku. Abigail, aku bukan orang yang pandai memuji di depan banyak orang dan... yah sedikit gugup dan salah tingkah. Karena kau, tidak bisa kulepaskan dari pandanganku dan pikiranku. Setiap waktu.” Dia mengatakannya dengan sangat pelan. Aku tidak menyangka jika dia berpikir seperti itu terhadapku. Hatiku hangat. Oh ya, aku punya ide bagus. “Apakah aku boleh memukul wajahmu?” Dia membelalakkan mata. Terkejut. “Apa?” “Aku ingin memukul wajahmu! Setelah itu kau akan kumaafkan. Bagaimana?” Aku mengerling nakal dan tersenyum. “Kau bercanda.” Jawabnya tidak percaya. “Tidak! Aku serius!” Aku menimpali. Rainer menghela napas berat. “Abigail, kau memang pandai mempermainkanku! Aku bertaruh bahwa kau tidak akan ber—” Bukk! Aku memukul bahunya dengan keras. Bukan wajahnya. Lalu aku berkata pelan. “Kau dimaafkan!” Dia meringis dan mengelus-elus bahunya. Tiba-tiba saja kami tertawa terbahak-bahak. Kedekatan kami saat ini membuatku cukup nyaman. Rasanya seperti teman lama. Mungkin juga karena aku sudah merasa lega karena video klipku sudah selesai dan semua berjalan dengan lancar. “Kita pulang sekarang?” Tanya Rainer. “Ya. Aku cukup lelah.” “Baiklah, Tuan Putri. I’m in your order.” Aku tertawa. Lepas. Bersama seorang pria yang begitu arogan dan menyebalkan pada awalnya. Dan sekarang perasaan ini begitu berbeda. Dia sangat manis setelah mengucapkan kata maafnya. Well, apa yang akan terjadi kemudian? Aku tak banyak berharap. Karena ini baru permulaan. Dan aku tak yakin apakah dia akan kembali melakukan hal yang sama suatu hari nanti. Kuharap tidak. *** “Bersulang!!” “Untuk kesuksesan Abigal Johnson!” “Yeaahhh ... !!” Gelas-gelas berdentingan di udara. Semua orang dari managementku berkumpul di sebuah bar. Kami merayakan kesuksesan dari album dan video klipku yang sudah diunduh lebih dari sejuta unduhan dalam waktu satu minggu. Lagu Comes To Life milikku juga menduduki tangga lagu teratas di Inggris. Aku tersenyum saat banyak orang meminta laguku diputar berulang-ulang di radio. Aku bersyukur karena perjuanganku tidak sia-sia. Aku merasa ponselku bergetar. Aku menghabiskan minumanku dan menjauhi kebisingan. Sesaat sebelum aku pergi, aku terbahak saat melihat Brian bergoyang heboh mengikuti tempo musik yang cepat hingga jeansnya hampir melorot. Tak ada yang mengira pria tampan sepertinya bisa melakukan hal gila semacam itu. “Hai.” Kataku pelan. “Dimana kau?” Bentaknya. “Bar.” “Sial! Ini hampir tengah malam, Abigail.” Ups! Dia terdengar marah. Jujur saja hal ini membuatku tertawa karena mendengar nada khawatirnya. Ini baru pukul... oh ya, jam tanganku menunjukkan pukul 11.05. Oh, dasar Rainer ‘tampan menyebalkan’ Holt! “Halo, kau masih di sana?” “Ya, ya, ya.” “Abigail, kau harus pulang sekarang.” “Tidak bisa!” “Kenapa?” “Karena acaranya belum selesai. Bahkan baru dimulai.” “Gila!” Dia mendesis, “Apa kalian mabuk-mabukan?” “Tidak, tidak. Kami hanya membuat pesta kecil untuk merayakan kesuksesan albumku. Kau tahu, satu juta unduhan dalam waktu satu minggu.” “Oh, aku hampir lupa. Selamat kalau begitu. Tahukah kau kalau aku salah satu dari satu juta orang yang mengunduh lagu dan videomu?” “Terima kasih, Mr. Holt. Kau suka?” “Ya, tapi aku mengunduhnya lebih karena ingin melihat betapa keren dan tampannya diriku berada dalam video klipmu.” “Sialan!” Rainer terbahak-bahak. Tawanya menular padaku hingga aku pun ikut terbahak. Ya, ampun. Bagaimana bisa tawa itu membuatku ingin bertatap muka dengannya sekarang? Aku menggeleng. Mungkin aku terlalu banyak minum. Lalu aku berdeham. “Terima kasih kau sudah membantuku. Aku begitu panik saat Brian bilang bahwa Richard tidak bisa datang. Aku sangat frustasi dan—” “Abigail.” Nada suaranya begitu lembut, “Itu bentuk kepedulian dan penebusan rasa bersalahku padamu. Dan aku merasa beruntung bisa melakukan hal itu.” Aku tersenyum. Kurasa pipiku merona karena tersipu. Aku terdiam beberapa saat. “Oke, kalau begitu, kupikir aku harus kembali pada teman-temanku.” “Kuharap kau tidak mabuk dan pulang pagi.” Aku tertawa keras. “OK.” “Bisa kirim pesan padaku saat kau sampai dengan selamat di rumahmu?” “Tentu.” “Bye, Abigail.” “Bye, Rainer.” Aku kembali ke dalam. Di pertengahan jalan, seseorang menepuk pundakku. “Abigail Johnson?” “Ya.” Aku menyipitkan mata. Berusaha untuk mengenali orang ini. “Aku salah satu penggemarmu. Boleh minta tanda tangan?” Aku tersenyum. “Ya, tentu.” Gadis ini menyodorkan kertas dan pena padaku. Aku menandatanganinya. “Siapa namamu?” “Leona.” “OK, Leona. Ini untukmu.” “Terima kasih. Aku sangat suka lagu barumu.” “Terima kasih sudah mendukungku.” “Aku tak menyangka bahwa Rainer mau menjadi modelmu.” Aku menganga dibuatnya. Apa-apaan gadis ini? “Maaf?” Kupikir aku salah dengar. “Aku mendapatkan informasi bahwa ada sabotase dibalik batalnya Richard menjadi modelmu. Sayang sekali. Padahal aku juga penggemar berat Richard.” “Tunggu! Aku tak mengerti kata-katamu.” Gadis itu tak menjawabku. Dia hanya tersenyum miring. Seseorang melingkarkan tangannya di leherku dan menarikku ke belakang. “Ayo, Abby. Apa yang kau lakukan di sini? Semua orang sudah menunggumu.” Steph, salah satu temanku, menggandeng lenganku dan menarikku ke dalam bar. Sebelum jauh, aku menoleh ke belakang sekali lagi. Gadis itu sudah tidak ada. *** Kepalaku berkunang-kunang. Rasanya ada ribuan jarum menusuk kepalaku. Aku mencoba membuka mata pelan-pelan. Aku mencium wangi pelembut pakaian. Hmm... ini wangi kamarku. Aku membuka mata dan menoleh ke samping. Benar. Ini memang kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Perayaan, minum-minum, telepon, dan... astaga! Telepon! Aku langsung mencari-cari tasku dan menyambarnya. Menumpahkan semua isinya di atas tempat tidur untuk menemukan ponselku. Sial! Ponselku kehabisan daya. Aku menuju laci dan mendapati charger di dalamnya. Aku terpaksa menunggu beberapa menit. Sambil menunggu baterainya terisi, aku beranjak ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Kupikir aku juga perlu mandi. “Seorang gadis?” “Ya, Brian. Dia meminta tanda tanganku. Dia mengaku sebagai penggemarku dan penggemar Richard. Aku lupa, apakah aku pernah bicara di media kalau Richard akan menjadi modelku? Dan satu lagi, aku tak tahu sabotase apa yang dia maksud. Bagaimana menurutmu?” “Kalau masalah dari mana mereka tahu tentang Richard, mungkin saja ada yang mewawancarainya dan menanyakan kegiatannya dalam waktu dekat ini. Dan jika tidak ada yang bertanya padanya, kau harus menyadari keberadaan paparazi di dunia ini. Dan kurasa itu bukan masalah jika mereka tahu.” “Kupikir juga begitu.” “Ada baiknya kau bertanya pada Leslie. Dia yang tahu segalanya tentang pekerjaanmu.” “Ya.” “Jangan terlalu dipikirkan. Nikmati hari minggumu.” “Kau benar. Terima kasih, Brian.” Aku menutup ponselku. Menimangnya di tanganku sambil melamun. Lalu benda itu bergetar dan berbunyi. “Hai.” “Kau sudah janji untuk mengirim pesan padaku kalau kau sudah sampai dengan selamat di rumahmu!” Sialan! Aku terlalu mabuk! Tadi aku cepat-cepat mencari ponselku karena teringat padanya. Lalu setelah mandi tiba-tiba aku memikirkan gadis kemarin dan yang ada di otakku saat itu adalah menelepon Brian dan bertanya. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Teriakannya membuat telingaku hampir pecah. “Aku lupa. Maaf.” Sahutku. Rainer mendesah. “Kau membuatku khawatir. Aku terbangun setiap jam hanya untuk mengecek ponselku dan menunggu pesan darimu yang isinya bahwa kau sudah sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja.” “Aku baik-baik saja.” Ucapku tak sabar sambil memutar mata. “Akan lebih baik jika kau memberitahuku tadi malam saat kau pulang. Bukan sekarang!” “Ya, Yang Mulia. Aku benar-benar lupa, dan terlalu banyak minum, dan mabuk, dan pusing.” “Siapa yang mengantarmu?” “Hmm... Brian mungkin?” “Dimana dia sekarang?” “Ada apa kau menanyakannya?” “Dimana dia sekarang?” Ulangnya dengan nada lebih tegas. “Tentu saja di rumahnya.” “Bukan di tempat tidurmu?” Nada suara itu tampak curiga. Aku terkejut sekaligus merasa geli. Lalu aku memutar mata dan mendelik. “Ya ampun, Rainer! Dia make up artisku. Aku tidak serendah itu untuk tidur dengan siapa saja kau tahu?” Suaraku meninggi. “Siapa tahu? Walaupun dia sebenarnya gay. Mana tahu dia juga—” “Rainer!” Tegurku, “Kumohon.... “ Selama beberapa detik dia tidak bersuara. Aku hanya mendengar suara napasnya yang tampak lega. “Aku minta maaf. Aku hanya khawatir. Itu saja.” “Oke.” “Well, bisa aku menjemputmu siang nanti? Bagaimana kalau makan es krim?” Es krim. Oh, lidahku langsung berdecak senang. “Tentu. Aku tunggu.” “Tak usah dandan berlebihan. Pakai saja pakaian santai. Jangan lupa kacamata. Kau tidak mau kita dikeroyok penggemar kan?” “Ya, pria bawel. Bye!” Aku langsung menutup telepon tanpa menunggu dia menjawab. Aku tersenyum sendiri dengan tingkahku yang kekanakan. Cepat-cepat aku melirik jam dan sibuk membongkar isi lemariku. *** Aku memesan es krim coklat dengan taburan permen dan cookies di atasnya. Siang hari di Ice Cream House pada hari minggu sangat ramai. Kami berfoto bersama boneka Donald dan Deasy bebek saat di pintu masuk. “Aku sudah lama sekali tidak ke sini. Terakhir kali aku ke sini bersama keponakanku. Kau tahu, penyambut tamunya saat itu adalah Mickey dan Minnie Mouse.” “Ya, setiap minggu mereka mengganti dengan macam-macam tokoh kartun. Unik sekali bukan?” Kami duduk di bangku kosong di dekat gerai es krim. “Di sinilah juga aku pertama kali melihatmu.” Aku tertegun. “Kapan?” Rainer mencolek es krim dengan sendoknya. “Kau ingat dengan gadis kecil berbaju pink yang bernyanyi bersamamu?” Aku menerawangkan mata ke langit. Sendok es krim masih berada dalam mulutku. Aku berpikir sambil mengerutkan kening. “Banyak gadis kecil yang memakai gaun pink. Kapan tepatnya?” “Mungkin beberapa bulan yang lalu, aku juga tidak terlalu mengingat waktunya. Yang kuingat, saat itu aku sedang mencari Nora, keponakanku yang hilang saat aku membelikan es krim untuknya. Aku gelisah, khawatir, kesal, takut, frustasi, dan hampir saja menyeret semua polisi di kota ini agar bisa menemukannya. Kau tahu, aku hanya diminta menunggu oleh staff-staff keamanan bodoh di gedung ini. Aku sangat tidak sabar waktu itu. Lalu, aku mendengar suara yang begitu indah. Sebuah nyanyian. Somewhere Out There. Itu judul lagunya.“ Rainer memasukkan sendok berisi es krim ke dalam mulutnya dan tersenyum padaku. “Aku mendengar syair merdu dari bibir seorang wanita pada bait pertama. Seketika semua perasaan negatif yang tadi menguasai diriku pelan-pelan lenyap. Dan di bait kedua, suara seorang anak kecil yang kukenal turut menyanyikan lagu itu. Aku bergegas ke arah suara nyanyian. Aku menemukan Nora di sana. Bernyanyi sambil memegang microphone dan bergoyang ke kanan dan ke kiri, aku merasa sangat lega. Dan wanita dengan suara seperti malaikat itu... adalah kau.” Rainer membuatku melongo, menganga, sekaligus terpesona. Dia begitu mengingat setiap detil dari hal-hal yang hampir luput dari kehidupanku. Dan dia membuatku merona dengan setiap pujian yang keluar dari bibirnya. Jadi seperti itu dia melihatku? Hatiku menggelora bagaikan ombak lautan yang menggulung-gulung. Dia lagi-lagi membuatku malu. Aku menunduk sambil mengaduk-aduk es krimku. Aku pernah diundang dalam satu acara di tempat ini. Aku diminta untuk mengajak anak-anak menyanyi. Ada seorang anak yang tampak kebingungan. Sambil memegangi ujung gaunnya, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari-cari seseorang. Tapi dia tidak menangis. Aku menghampirinya dan mengajaknya bergabung. Aku tersenyum mengingat wajahnya yang manis. “Aku ingat. Gadis kecil bergaun pink dengan rambut kepang dan banyak pita-pita di atas rambutnya. Dia keponakanmu?” “Ya. Kakak iparku hobi mendandani anak-anak. Namanya Nora. Ya, Tuhan! Aku jadi rindu dengan bocah itu.” Rainer memasukkan lagi sesendok es krim ke dalam mulutnya dan matanya memancarkan kerinduan pada gadis kecil itu. “Dia sangat manis.” Sahutku. “Itulah dia.” “Berapa umurnya?” “Empat tahun. Dan suatu keajaiban kau bisa mengajaknya tampil.” “Kenapa begitu?” “Karena dia anak yang pemalu. Tapi, bagaimana bisa kau mengajaknya menyanyi?” Raut wajah Rainer tampak heran. “Aku hanya tanya apakah dia suka bernyanyi dan dia mengiyakan. Kutawarkan untuk bernyanyi denganku dan dia mau. Kupikir harus ada orang yang menemaninya menyanyi baru dia mau melakukannya.” Rainer menumpukan kedua tangannya di meja. Dia condong menghadapku. Memperhatikanku lekat-lekat. Dia memakai kacamata rayband berwarna coklat gelap. Demi Tuhan! Betapa indahnya pria ini. Aku tak bermimpi kan? “Apa?” Tanyaku salah tingkah. “Aku sangat suka melihat wajahmu.” Aku tersenyum. Menunduk untuk menyembunyikan pipiku yang memerah. Rainer meletakkan sebelah tangannya di atas tanganku yang memegang sesendok penuh es krim. Ya, ampun. Kini dia mengelusnya. Tanganku kesemutan. Kumohon jangan berhenti! Tiba-tiba dia mengangkat tanganku yang memegang sendok dan membawa ke mulutnya. Dia memakan es krimku! “Hei! Itu punyaku!” Aku protes. “Punyaku sudah habis. Sementara punyamu masih banyak dan kau menghabiskannya dengan sangat lambat. Kau harusnya berterima kasih karena aku membantumu menghabiskannya.” Lagi-lagi dia memakai tanganku untuk mengisi sendok dengan penuh dan menyuapkannya ke mulutnya. Aku pura-pura cemberut. Tapi itu sangat menyenangkan. Ketiga kalinya dia melakukannya, aku sengaja memiringkan sendok dan membuat es krim itu berantakan di sisi kiri mulutnya. Sebagian es krim jatuh ke meja. Kami tertawa terbahak-bahak. Dia berdiri dan langsung duduk di sebelahku dan menggelitiki tubuhku. Aku tak kuasa menahan geli. Aku berhasil keluar dari dekapannya dan berlari. Dia mengejarku dan dengan cepat menangkap tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya. Kami tertawa sambil terengah-engah. “Hahh... kau lincah seperti belut.” Kata Rainer dengan napas memburu. “Mau lomba lari denganku?” Aku menantang. “Siapa takut?” Jawabnya. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan berlari mendahuluinya. “Ayo, kejar aku! Siapa sampai di parkiran duluan, dia yang menang,” “Hei, kau curang. Kau mencuri start!” Aku berlari dan Rainer mengejarku di belakang. Kami tertawa-tawa seperti anak kecil. Aku percaya bahwa aku pasti menang. Beberapa meter lagi aku sampai di parkiran dan tersenyum puas karena kemenangan sudah di depan mata. Aku mulai melambatkan tempo lariku. Tapi ternyata aku lengah. Rainer tetap berlari kencang hingga dia bisa menyusulku. Kakiku kalah panjang dengan kakinya. Walaupun aku sudah mencuri start, Rainer tetap jadi pemenang. Dia tertawa dan menunduk memegangi lututnya. Rainer kembali berdiri tegak sambil merentangkan tangannya. Aku berlari ke arahnya dan jatuh ke pelukannya yang hangat. Dia memelukku erat dan aku merasakan aroma tubuhnya yang menenangkan. Ya ampun. Bagaimana semuanya terlihat sangat indah? Berada dalam kungkungan tangannya sangat membuatku nyaman. Aku menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Seksi. Dan maskulin. Apakah benar pria ini untukku? Aku mengangkat kepalaku dan tatapan mata kami bertemu. Dia mengelus punggungku dengan lembut. Sebelah tangannya mengelus pipiku. Aku terpejam menikmati indahnya moment ini. “Kencan kita belum selesai hari ini. Next destination?” Tanya Rainer. “I’m ready.” Chapter Eight Rainer Valdo baru saja merapikan tatanan rambutku. Hari ini aku akan menjalani pemotretan dan wawancara untuk salah satu artikel di majalah fashion. Mereka akan melakukan wawancara di rumahku. Kate baru saja masuk ke ruanganku dan memberitahu bahwa wartawan sudah datang. Mereka sedang bersiap-siap di ruang tamu. Kemarin adalah hari minggu yang paling menyenangkan yang pernah aku lewati. Setelah makan es krim, aku dan Abigail nonton bioskop. Awalnya kami cukup cemas berada di tempat ramai bersama, tapi untungnya tak ada satu pun dari orang-orang yang mengenali kami. Semalam aku menciumnya lagi. Sebelum dia masuk ke rumahnya. Bibirnya sangat lembut, hangat dan menggoda. Aku begitu mendambakan bibirnya. Aku memagutnya dan dia menyerah dalam pelukanku. Sialan! Aku ingin cepat-cepat bertemu dengannya. Tapi aku baru bisa bertemu dengannya hari rabu. Ini semua karena jadwal kami yang sangat padat. “Moodmu terlihat sedang bagus hari ini.” Komentar Kate. “Moodku selalu bagus setiap hari.” “Tidak. Hari ini kau lebih... apa ya, bersinar, ceria, sumringah, dan berbunga-bunga. Tapi itu bagus.” “Somebody has falling in love.” Celetuk Valdo. Dia tersenyum nakal padaku dan mengedipkan mata. Dia bersenandung lagu yang tak jelas sambil membersihkan kuas-kuas dengan cara ditiup-tiup. Kate menyeringai. Dia bersandar pada meja dengan tangan terlipat. “Siapakah itu?” Tanya Kate. Aku tersenyum dan melemparkan handuk ke arah Valdo. Pria berjiwa wanita itu berteriak, “Aww!!” “Dia yang sedang jatuh cinta.” Jawabku. Valdo melotot. “Apa? Akuuu...? “ “Siapa pria yang beruntung itu, Valdo?” Kate menggodanya. “Kate!” Ujar Valdo dengan gemas. Valdo berjalan bak peragawati. Dia mendekati Kate dan bertolak pinggang dengan lentik. “Baiklah, jika aku jatuh cinta, pria yang beruntung itu adalah Rainer Alexandre Holt.” Kate dan Valdo berpandangan lalu tertawa terbahak-bahak dengan leluconnya. Aku langsung mendekati Valdo dan melingkarkan tanganku di lehernya hingga dia tertunduk-tunduk. “Jadi, katakan kau mencintaiku. Ayo, katakan!” Desakku. “Aw! Rainer! Sakiiit. Lepaskan. Aduh ....” “Katakan kalau kau jatuh cinta padaku.” Kataku lagi sambil tertawa. Kate tertawa dengan keras. Dia sampai meneteskan air mata dan memegangi perutnya. Kate masih belum bisa menahan tawanya. Lalu dia berteriak pada kami untuk segera ke ruang tamu. Gulat-gulatan kecil antara aku dan Valdo membuat rambutku sedikit berantakan. Dengan bibir maju, Valdo kembali membuatku duduk di depan kaca dan menata ulang kapal pecah di atas rambutku. *** “Siapa orang yang pertama kali membawamu ke dunia hiburan?” Tanya Jim sambil memegang perekam di tangannya. Dia adalah wartawan. Aku teringat dengan seseorang yang sangat kusayangi. “Kakakku, Reina.” “Dimana dia sekarang?” “Dia berada di New York. Dia seorang mantan model, tetapi sekarang lebih menekuni dunia bisnis. Dia merintis bisnis fashion berlabel R&R. Reina bilang bahwa dia melihat potensiku. Di umur delapan tahun dia mengajakku bergabung dengan agensi model bersamanya. Awalnya aku tidak mau. Aku punya cita-cita menjadi seorang atlet lari. Tapi dia meyakinkanku bahwa aku akan menjadi orang yang sukses di dunia hiburan. Lalu aku mencoba. Tawaran demi tawaran aku dapatkan untuk sebuah majalah dan lain-lain. Dari situlah semuanya dimulai.” Jim tersenyum dan mengangguk. Beberapa kali aku mendengar suara-suara khas dari kamera seorang fotografer yang mengambil fotoku dari berbagai sisi. “Jadi sekarang, apakah kau menyesal dengan keputusanmu dan tidak mencoba mewujudkan cita-cita lamamu?” Aku menggeleng. “Tidak ada yang patut kusesali.” “Sampai sekarang kami belum mendengar pernyataan resmi darimu tentang sebuah hubungan spesial dengan seorang wanita,” Aku tersenyum pada Jim. Dia menunduk dan membaca pertanyaan berikutnya, “Bagaimana hubunganmu dengan Jessy Casillas?” Raut wajahku berubah datar. Aku terdiam cukup lama. Sejujurnya aku tidak terlalu suka mendengar pertanyaan ini. Kupikir pertanyaan seputar karierku akan lebih bagus menghiasi artikel majalah. Aku berdeham dan menegakkan posisi dudukku. “Kami hanya teman baik. Teman mengobrol yang baik. Karena dia wanita yang cukup pintar menurutku.” Jim mengangguk-anggukkan kepala. “Apakah benar tentang gosip bahwa kau sebenarnya diam-diam sudah dijodohkan?” Aku tertawa keras mendengar gosip itu. Media terlalu banyak ikut campur dan aku tak tahu dari mana gosip ini berhembus. Aku menggeleng. “Tidak. Orangtuaku menyerahkan padaku untuk urusan memilih pasangan. Dan gosip itu tidak benar. Sama sekali.” “Bisa tahu tipe wanita yang kau sukai?” Aku meletakkan jariku di dagu. Wajah seorang wanita melintas di pikiranku. Wanita yang membuatku berdebar-debar ketika hanya mengingatnya. Aku menyeringai. Valdo yang juga berada disitu langsung berdeham. Kate mengisyaratkannya untuk tidak berisik dengan menempelkan jari ke bibirnya. “Rainer?” Wartawan itu bertanya ulang. “Oh, maaf. Tipe wanita kesukaanku,” Aku langsung membayangkan wajah Abigail, “Memiliki senyum yang manis, menyukai anak-anak, berjiwa sosial tinggi, pandai menyanyi, dan mungkin sedikit keras kepala.” Aku tertawa sendiri mengingat Abigail Johnson. Jim ikut tersenyum. Dia membalik kertasnya dan mulai membaca pertanyaan berikutnya. “Baiklah, selanjutnya. Siapa orang-orang spesial selain keluarga yang mendukungmu hingga menjadi sangat sukses seperti saat ini?” “Selain keluarga, aku harus berterima kasih pada orang-orang spesial ini. Pertama manajerku, Kate. Itu orangnya. Dan juga Valdo, make up artis dan hair stylistku yang paling tampan sedunia.” Aku memberikan ciuman jauh pada Valdo. Dia langsung melotot dan pura-pura muntah. Tingkah laku Valdo membuat kami tertawa geli. “Ada lagi?” “Oh ya, aku mengingat satu lagi sepupuku tercinta yaitu Leslie Clark. Dia juga mendukung kesuksesanku dalam beberapa hal dan aku banyak berhutang padanya.” “Rainer!” Teriak Kate. Kate terkejut sendiri dengan suaranya. Wartawan dan kameraman itu menoleh ke arahnya dengan bingung. Kate tidak enak hati. Dia tersenyum minta maaf. Pandanganku dan Kate bertemu. Aku tak mengerti kenapa dia berteriak. Seolah-olah ingin menginterupsi kata-kataku. Apa yang kuucapkan tadi? Oh sial! Aku menggertakkan gigi. Aku menyebut nama Leslie barusan! Dan... ya, Tuhan! “Sepertinya nama ini sangat tidak asing. Bukankah ini manajer dari Abigail Johnson?” Tanya Jim. Dia juga menoleh pada kameraman yang lalu menoleh ke arahku. Aku tergagap. “Banyak orang bernama Leslie.” “Tapi sangat sedikit yang memiliki nama belakang yang sama.” “Mungkin hanya kebetulan.” Wartawan itu tersenyum dan mengangkat bahu. Setelah pertanyaan itu, konsentrasiku sedikit buyar. Untung saja pertanyaan-pertanyaan lainnya cukup ringan. Setelah wawancara, mereka mengambil fotoku. Setengah jam kemudian, wartawan dan kameraman itu pulang. Aku menjalankan tanganku di rambut dengan gelisah. Sial! Sial! Sial! *** Kate sangat marah padaku. Teramat sangat marah. Dia mondar-mandir di ruang kerja. “Kau tahu bahwa kau baru saja menciptakan bom untuk dirimu sendiri! Bagaimana bisa Rainer?” “Aku hilang kendali.” Jawabku. “Kacau!” “Sudahlah, Kate. Kita tinggal bayar saja wartawan tadi dan minta dia untuk tidak menuliskan nama Leslie di artikel itu. Selesai. Mudah bukan?” “Mudah katamu? Uang tutup mulut tidak akan cukup, Rainer. Mereka pasti akan cari tahu karena mereka bisa mendapatkan yang lebih besar dari uang tutup mulut yang kau berikan.” Kate terengah-engah. Dia menuju ke meja dan mengisi gelasnya dengan air. Dia menghabiskannya sekali teguk. “Kau akan kehilangan Abigail.” “Apa?” “Kau akan kehilangan Abigail.” “Bagaimana bisa? Kami baru saja melewati hari yang begitu menyenangkan kemarin. Dia tidak—” “Percaya padaku bahwa lambat laun dia akan tahu bahwa kau membohonginya. Bersekongkol dengan manajernya. Kau ingat segala rekayasa yang sudah kau buat? Sebenarnya aku sudah pernah memperingatkanmu, Rainer. Tapi kau tidak mengindahkannya sama sekali.” Aku bungkam. Terkejut bukan main. Kenapa aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana? Kate benar, aku benar-benar menciptakan bom untuk diriku sendiri. Tidak! Abigail tidak akan meninggalkanku. Memikirkan hal itu terjadi membuat perutku melilit. “Tolong telepon wartawan tadi dan katakan aku membuat kesalahan. Minta dia untuk tidak menuliskan nama Leslie di artikel di majalah. Beri mereka uang, berapa saja yang mereka minta.” “Kau gila! Mereka akan dengan senang hati meminta lebih dan tidak hanya sampai di situ saja, mereka akan meminta lagi padamu disertai berbagai ancaman.” “Kate,“ aku memijit keningku dengan lelah, “Cobalah. Tolong aku.” Aku memohon pada Kate. Kate menghembuskan napas keras dan mengambil ponselnya. Dia keluar dari ruang kerja dengan pintu yang dibanting. Suara debuman itu nyaris memisahkan pintu dari engselnya. Aku mengusap wajahku. Valdo berdiri di sana tanpa ekspresi. Dia hanya memain-mainkan kukunya. Jantungku berdegup kencang mengingat kata-kata Kate, “Kau akan kehilangan Abigail.” Ya, Tuhan! Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika itu terjadi. Aku mendengus. Tapi siapa yang tidak mau uang? Aku percaya bahwa wartawan itu pasti diam jika sudah di sumpal dengan uang. Kupikir semua akan baik-baik saja. Aku keluar dari ruang kerja dan meninggalkan Valdo sendirian di sana. *** “Aku merindukanmu.” Ucapku. “Bagaimana wawancaranya?” “Hmm... lancar. Yah... lancar.” Kataku gagap. “Sepertinya ada masalah?” “Tidak, Sayang. Semua baik-baik saja. Aku hanya lelah dan rindu padamu.” “Kemarin kita baru bertemu.” “Oh, tahukah kau bahwa semenit aku meninggalkan rumahmu kemarin, rasanya aku ingin kembali lagi dan merengkuhmu dan tidak akan melepaskanmu.” Abigail tertawa. Aku membayangkan betapa cantiknya dia saat tertawa. “Hari Rabu. Bersabarlah.” Abigail mengingatkan. Aku mendesah. “Tak bisakah kita mencuri-curi waktu? Besok atau sekarang?” Paksaku. Abigail tertawa lagi. “Tidak bisa. Inilah resiko kita menjadi pekerja seni. Kau sibuk, aku pun demikian. Tapi setidaknya ada satu hari kita bisa bertemu. Oh, sebentar. Ya, Leslie!” Aku tersenyum mendengar suara cempreng Leslie di belakangnya. “Kau sudah mendapat panggilan rupanya.” “Ya, ibu tuaku sangat tidak sabar.” “OK, bergegaslah. Hati-hati. Kita lanjutkan di blackberry.” “Bye, Rainer.” “Bye, Sayangku.” Aku berbalik dan mendapati Kate sudah berdiri di belakangku. Dia menimang-nimang ponselnya. Raut wajahnya tampak lelah dan frustasi. Aku menyesal sudah membuatnya menanggung beban dari kesalahanku. “Bagaimana?” Dia mengangkat bahu. “Beres.” Tapi ada sedikit keanehan di wajahnya. Kate tampak khawatir. Aku mendekatinya dan memeluknya. “Terima kasih, Kate.” “Jangan senang dulu,“ Kate cemberut, “Kau baru boleh tenang setelah tulisan itu dimuat di majalah minggu depan dan tidak ada nama Leslie di sana.” “Bukankah kau bilang sudah beres?” “Untuk saat ini ya. Tapi aku tak menjamin bahwa ada masalah lain yang muncul. Ini cukup rumit, Rainer.” Dia sangat gusar sekarang. Bagaikan orang yang sedang dalam masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Aku berusaha membuatnya tetap tenang dan mengelus bahunya. “Kau adalah yang terbaik. Percayalah. Optimis. OK?” “Aku mengharapkan apapun yang terbaik untukmu, Rainer. Selalu.” Kate memelukku. Aku tahu bahwa dia sudah bekerja begitu keras mengurus semua hal untuk karierku. Dan dia adalah saudariku, dia hanya terlalu cemas. Aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Semua akan berjalan sesuai rencana. Dan jika tidak, aku akan menanggung resikonya. Bukan Kate. *** Aku menganga saat melihatnya keluar dari rumahnya. Dia memakai gaun biru laut dan sepatu warna hitam. Rambutnya digerai indah dan jatuh di belakang bahunya. Ya, Tuhan! Dia benar-benar seperti seorang putri. Dia sudah berada di depanku. Aku tak berminat memalingkah wajahku ke tempat lain. Aku bersiul-siul dan menariknya hingga menempel ke dadaku. “Kau bisa membunuhku dengan kecantikanmu.” Ucapku serak. “Kalau begitu aku jelek saja supaya kau tidak terbunuh.” Aku tertawa. Aku mendekatkan bibirku ke bibirnya dan mengecupnya ringan. “Kau siap?” “Ya.” Aku membukakan pintu mobil untuknya. Di dalam mobil, Abigail menegurku berkali-kali karena aku tidak berkonsentrasi pada jalanan di depanku. Aku terlalu memujanya. Dan aku ingin berlama-lama menatap wajahnya. Dia tersipu malu saat aku mengecup punggung tangannya. Kami melaju di jalan raya yang cukup ramai. Dalam waktu tiga puluh menit, kami sudah sampai di sebuah restoran Perancis. Abigail terpaku saat aku melepaskan sabuk pengaman. “Kenapa?” “Bukankah ini tempat ramai? Ini malam hari dan aku tidak membawa kacamata atau apapun untuk menghindari orang-orang agar tak mengenaliku.” Katanya khawatir. Aku tersenyum geli melihatnya gelisah. “Tenang saja, aku sudah menyewa dua orang pria untuk menjaga kita. Dan aku memesan tempat yang private. Hanya ada kita berdua. Ayo.” Aku menggengam tangannya saat kami keluar dari mobil. Dua orang pria berbadan tinggi besar langsung mendekati kami. “Mr. Holt.” Pria itu mengangguk padaku. “Tetap berjaga-jaga di luar. Jika ada apa-apa segera telepon aku. Kau punya nomorku kan?” “Ya, Mr. Holt.” “Bagus. Ayo, Sayang.” Abigail menatap kedua orang bodyguardku dari atas ke bawah. Dia menganga heran. Kupikir dia terkejut dengan tampang mereka yang menyeramkan. Kami sudah sampai di restoran dan langsung diantarkan ke ruangan VIP. Lampu temaram di ruangan ini membuat suasana menjadi hangat. Seorang pelayan datang dan langsung membawakan minuman serta makanan pembuka. “Kita tidak memilih menu?” Tanya Abigail. “Aku sudah mengatur semuanya.” “Bagaimana jika ada makanan yang tidak aku suka?” “Tidak usah dimakan.” “Apa? Kau membuang-buang makanan.” Abigail tampak tidak setuju. “Abigail, kalau kau tidak suka maka jangan dimakan dan pesan yang lain. Makanan apa saja yang kau suka.” “Tapi kalau makanan itu sudah terhidang di sini dan kita tidak memakannya, apa yang akan dilakukan pada makanan itu?” “Bisa jadi dibuang, atau diberikan pada pelayan. Atau kucing mungkin?” “Yang benar saja! Aku tak suka kau melakukan hal ini, Rainer. Kau seharusnya menghargai makanan.” Aku menggenggam tangannya. “Abigail, please. Kumohon jangan mengajakku berdebat hari ini. Kita akan siapkan satu hari untuk kencan debat. Di situ kita bisa saling melempar pisau.” Godaku. Aku membawa tangannya ke bibirku dan mengecupnya dengan lembut. Dia tersenyum penuh pengertian. “Baiklah.” Akhirnya dia menyerah. Pelayan pria datang dan menyajikan daging panggang di meja kami. Mata pelayan itu melirik Abigail. Abigail tersenyum manis sambil mengucapkan terima kasih. Pria muda itu lumayan tampan. Dan tampak senang bisa melayani Abigail. Kulihat sepertinya dia ingin menarik perhatian Abigail lebih lagi. Sialan! Cemburukah aku pada pelayan itu? Aku menusuk sepotong daging dengan garpu dan menyuapkannya ke mulutku dengan kasar. Setelah dia pergi, aku menatap Abigail dengan curiga. “Kau sengaja ya.” “Sengaja apa?” Katanya sambil menyesap minumannya. “Menggoda pelayan tadi.” “Ya, ampun. Ada apa denganmu, Rainer? Aku hanya mengucapkan terima kasih.” “Ya, tapi kau membuatnya ingin berlama-lama menatapmu.” Abigail terkekeh dan mulai memotong dagingnya pelan-pelan. Senyuman di matanya seolah-olah menertawakanku. “Bukan salahku.” Katanya acuh. Aku mendesah. “Baiklah. Tinggalkan dia. Well, bagaimana kabar anak-anak?” “Mereka baik-baik saja. Sedang sibuk karena sebentar lagi mereka banyak yang ujian. Aku juga ikut sibuk membantu mereka belajar.” “Bisa aku datang dan membantu mereka?” Abigail menggeleng. “Tidak usah. Kau akan membuat mereka kehilangan konsentrasi karena memperhatikanmu.” Aku mengunyah dengan geli. “Oh ya, kapan artikel tentangmu dimuat di majalah?” Dia nyaris membuatku tersedak daging sapi dalam mulutku. “Menurut Kate majalah itu akan terbit minggu depan.” “Mereka mengambil fotomu?” “Ya.” “Aku akan beli majalahnya kalau begitu.” “Terima kasih. Dan kau akan melihat ketampananku di sana.” Candaku. “Oh, menyebalkan.” Setelah makan, kami berdansa. Mereka menyediakan mini sounds beserta playernya. Aku membimbing Abigail agar meletakkan tangannya di leherku dan aku memeluk pinggulnya. Dahi kami menyatu. Aku bisa merasakan napasnya dan wangi parfumnya yang membuatku mabuk kepayang. “Kau tahu bahwa aku rela mati demi memelukmu?” Bisikku. “Aku pun rela mati demi mendapatkan itu darimu.” Balasnya. Kami berdansa pelan mengikuti irama lagu. Aku merasa tenang dan nyaman saat dia disisiku. Aku benar-benar tidak mau kehilangan wanita ini. Sekarang dia adalah darah yang mengalir deras dalam nadiku. Udara bagi napasku. Dan organ yang menopang kehidupanku. Aku menangkup pipinya. Menyentuh dagunya dan mendongakkannya agar menatapku. Bibirnya terbuka dan matanya mengunci mataku. Saat itu juga dia terpejam. Begitu juga denganku. Terpejam dengan bibir kami yang menempel satu sama lain. Saling menyesap, memagut, dan lama-lama ciuman itu berubah liar dan lebih menggairahkan. “Daunku layu, dan akarku kering jika tidak ada kau di sisiku, Abigail. Kau adalah hujan yang menyejukkan.” Bisikku di atas bibirnya. Aku membelai pipinya sementara sebelah tanganku masih menopang tubuhnya yang nyaris lumpuh dalam pelukanku. Kurekatkan lagi bibirku untuk menyesap seluruh kenikmatan bibir merahnya. Ciuman kami semakin dalam seiring dengan musik lembut yang mengalun membelai telinga kami. Aku memeluknya semakin erat. Tak akan kubiarkan apapun memisahkan diriku dengannya. Apapun! *** .... Terima kasih terbesar diberikan oleh pria yang bernama lengkap Rainer Alexandre Holt ini kepada keluarga dan kakak tercintanya, Reina Lucia Holt, yang merupakan mantan model Inggris yang sekarang merintis bisnis fashion di kota New York. Terima kasih lainnya diberikan kepada Katrina Jones, sang manajer, dan Valdo Eduardo, sang make up artis. Satu fakta mengejutkan lain adalah ternyata Leslie Clark yang selama ini diketahui adalah menajer dari penyanyi terkenal yang cantik dan sedang naik daun, Abigail Johnson, masih memiliki hubungan keluarga dengan Rainer Holt. Leslie Clark, adalah anak Jonathan Clark, paman dari Rainer Holt. Di sela wawancara majalah M&F dengan Rainer Holt, dia juga mengucapkan banyak terima kasih pada sepupunya dan mengatakan bahwa dia banyak berhutang pada Leslie Clark dalam menunjang kariernya. .... Sialan! Aku melotot saat melihat ada foto keluargaku di sana. Ada fotoku dan Leslie saat masih kecil. Lalu foto orangtua Leslie dan orangtuaku. Darimana semua ini?? Aku melempar majalah itu ke dinding dan mengusap wajahku dengan keras. Aku berteriak marah dan melempar apapun yang ada di meja ke dinding. Valdo menatapku dengan ngeri. Dia tak berani melakukan apa-apa. Kate menghalangiku untuk membuat lebih banyak kekacauan di ruangan ini. “Rainer! Hentikan tindakan bodohmu!” “Kau bilang semua sudah beres! Kau sudah membayar wartawan sialan itu kan?” “Inilah yang kukatakan tentang masalah lainnya. Aku sudah membayarnya jika kau tidak percaya!” “Tapi kenapa? Kenapa dia tetap memuat beritanya? Cari wartawan itu!” Aku tak bisa lagi membendung amarahku. Rasanya aku ingin menghancurkan apa yang ada dihadapanku hingga menjadi kepingan tak berharga. Brengsek! Aku bergegas ke kamarku dan meninggalkan ruang kerja sambil membanting pintu. Lebih keras dari terakhir kali Kate melakukannya. Jika pintu itu bisa bicara, kurasa dia akan menuntut untuk dibuang saja daripada diperlakukan seperti sampah. Persetan dengan pintu yang lepas dari engselnya! Bagaimana bisa foto keluarga itu mereka dapatkan? Setahuku aku tidak pernah mengumbar apapun tentang keluargaku di media massa maupun media online. Tidak ada foto mereka. Tidak ada foto keluarga inti yang ku unggah ke media sosial milikku. Dari mana semua ini? Semuanya kacau! Semua gara-gara mulutku yang bodoh! Ya, Tuhan! Abigail. Jangan sampai Abigail... aku harus menelepon Leslie. Aku menyentuh ponselku dengan cepat dan melakukan panggilan. Dia mengangkat teleponku pada dering kedua. “Halo.” “Leslie, sekarang kau dengarkan aku dan jawab saja ya atau tidak. Apakah Abigail bersamamu?” “Ya.” Oh, Tuhan! “Tolong menyingkirlah darinya dan jangan sampai dia mendengar pembicaraan kita.” “Sebentar.” “Leslie, kau sudah jauh darinya?” “Ya. Sebenarnya ada apa?” “Semua kacau! Berantakan. Apakah dia sudah membeli majalah M&F?” “Majalah M&F? Aku tak tahu. Memangnya ada apa?” Ya, ampun. Aku mulai frustasi. “Aku membuat kesalahan dengan menyebut namamu diwawancara dan mereka memuatnya di artikel itu. Wartawan itu bahkan mengait-ngaitkan namamu karena aku menyebutkan nama lengkapmu. Mereka langsung ingat dengan manajer Abigail. Wartawan sialan! Aku sudah membayarnya untuk tutup mulut tapi dia tetap memuatnya. Minggu lalu Abigail bilang akan membeli majalah itu. Bisakah kau bantu aku menghalanginya jika dia membelinya?” “Apa? Bagaimana bisa aku menghalanginya? Apa yang akan kukatakan? Dan kenapa kau begitu bodoh, pertanyaan apa yang membuatmu menyebut namaku?” “Leslie, semua begitu rumit dan panjang. Kumohon beritahu aku kalau dia berhasil membelinya.” “Baiklah. Tapi tolong jelaskan sedikit—” Aku menutup telepon. Saat ini Leslie tak perlu tahu cerita lengkapnya. Jantungku nyaris keluar. Aku begitu ketakutan. Takut bom itu akan segera meledak dan melenyapkan diriku tanpa bekas. “Rainer.“ Kate memanggilku. Wajahnya tampak kusam karena lelah. “Wartawan itu langsung mengundurkan diri saat menerima uang yang kuberikan. Artikel itu dia tinggalkan begitu saja di mejanya dan ada redaksi lain yang memprosesnya.” Brengsek! Aku harus menuntut wartawan itu. “Cari dia.” Kataku lemah. Ponselku bergetar. Ada pesan di blackberry messanger. Abigail : Hai, kau sedang apa? Rainer : Masih di rumah. Sebentar lagi akan pergi pemotretan. Kau? Abigail : Aku sedang mati bosan di jalan. Jam berapa pemotretanmu selesai? Rainer : Jam 6. Apakah jalanan padat? Abigail : Lumayan. Aku hanya sedikit pusing. Mungkin kurang tidur. Rainer : Kau perlu minum vitamin dan istirahat cukup sayang. Abigail : Bwee, bawel! Abigail : Bisakah kita bertemu setelah selesai pemotretanmu? Rainer : Tentu. Ketemu dimana? Abigail : Aku akan ke tempatmu saja. Bagaimana? Beritahu alamatnya. Aku mengetik alamat studio tempat pemotretanku. Membaca pesan darinya, aku beranggapan bahwa dia belum membaca artikel di majalah itu. Aku menghembuskan napas berat. Kupikir lebih baik aku akan membukanya sendiri hari ini. Dia harus tahu dari mulutku dan mendengarkan penjelasanku. Tentang aku dan Leslie, dan tentang semuanya. Apapun reaksinya nanti. Abigail : Tidak sabar ingin bertemu denganmu. Sampai jumpa. Rainer : Sampai Jumpa. *** Abigail : Aku di basement Rainer : Lima menit, Sayang Aku menyiapkan mentalku untuk jujur padanya. Lift turun dengan cepat dari lantai dua ke basement. Aku mencari-cari mobilnya. Dia membelakangiku. Menempelkan kedua tangannya di kap mobil. Aku bergegas menghampirinya. Dia menyadari kedatanganku karena bayanganku terpantul dari kaca mobilnya. Dia membalikkan badan. Aku tersenyum tetapi yang kuterima bukanlah senyum manisnya yang selalu kutunggu-tunggu. Aku mendapatkan wajahnya yang menatapku dengan datar. “Abigail.” Aku membuka tanganku. Jika aku melakukan itu, biasanya dia langsung berlari menghambur ke pelukanku. Tapi saat ini tidak. Dia mematung di tempatnya. Aku menurunkan tanganku dengan bingung. Sesuatu yang dikeluarkannya dari belakang tubuhnya membuatku membeku. Dia sudah membeli majalahnya. Dia membukanya dengan tangan gemetar dan menunjukkan foto serta artikel tentang diriku. Sial! Aku terlambat. Dia melemparkan majalah itu ke tanah. Majalah itu jatuh tepat di bawah kakiku. “Jangan pernah lagi-lagi kau menghubungiku.” Katanya gemetar. Matanya berkaca-kaca. Dia tampak terluka dan kepedihan besar terlihat jelas melalui matanya. Abigail langsung masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Aku menggedor-gedor jendela dan memanggil namanya tetapi dia tidak menghiraukanku. Aku berhenti di depan mobilnya dan dia menginjak rem. Dia hampir saja menabrakku. Aku melihat matanya merah. Pipinya basah. Dia memundurkan mobil sambil menyeka wajahnya. Dia membelokkan mobil lalu keluar dari basement. Aku meneriakkan namanya hingga suaraku bergema. Lagi-lagi aku membuatnya membenciku untuk kesekian kalinya. Chapter Nine Abigail Pandangan mataku kabur. Aku berusaha menghapus air mata sialan yang terus mengalir dari mataku. Aku mengusapnya dengan keras. Mataku sakit. Tapi hatiku tak bisa dibohongi. Jauh lebih sakit rasanya saat ini. Selepas latihan vokal, aku langsung bergegas ke studio dimana Rainer sedang melakukan pemotretan. Dalam perjalanan, aku melihat sebuah toko buku. Aku teringat untuk membeli majalah yang memuat artikelnya. Aku mampir sebentar dan mendapatkan majalah itu. Majalah itu tidak terbungkus plastik. Dengan segera aku mencari artikel tentang Rainer. Ketika aku terus membolak-balik halaman, mataku langsung terpaku pada sebuah foto. Foto keluarga dan foto dirinya dengan seorang gadis saat dia masih kecil. Tertulis di bawah gambar itu nama si gadis. Perutku melilit. Leslie Clark. Aku mengamati lagi lekat-lekat. Ini benar-benar Leslie Clark, manajerku. Pada awalnya aku masih ragu. Tapi mataku dengan cepat mencari kebenaran. Seketika itu juga aku lemas dan nyaris jatuh. Entah kenapa hal-hal yang tidak baik langsung terlintas di kepalaku. Jadi selama ini, segala sesuatu yang nampak kebetulan bagiku apakah hasil persekongkolan Leslie dan Rainer? Satu fakta yang sudah kuketahui adalah masalah surat dari anak-anak. Lalu apa lagi? Oh, Tuhan! Video klip. Bagaimana bisa jadwalnya yang sangat ketat dan padat bisa disisipkan dengan pembuatan video klip dan dalam semalam bisa menguasai naskah? Dari mana semua itu berasal jika .... Demi Tuhan! Apa maksud semua ini? Mengapa ada sabotase? Aku terkejut sendiri saat ada kata sabotase di kepalaku. Itu mengingatkanku pada gadis yang mengaku-ngaku sebagai penggemarku di bar. Tubuhku limbung. Aku harus tahu kebenarannya sekarang. Setelah membayar, aku langsung melesat keluar dengan lunglai. Kepalaku rasanya berputar-putar. Aku menabrak seseorang yang langsung memaki-maki diriku. Kupikir dia tidak mengenalku. Syukurlah. Aku bergumam minta maaf padanya. Aku harus menelepon Richard. “Hai, Nona cantik. Apa kabar?” “Apa yang terjadi padamu waktu itu? Apakah kau benar-benar masuk rumah sakit?” Aku langsung memberondongnya tanpa basa-basi. “Apa? Siapa yang masuk rumah sakit? Abby, aku tak mengerti.” “Video klip. Maksudku saat kau batal menjadi model video klipku, apa yang sebenarnya terjadi padamu?” “Aku flu. Aku benar-benar minta maaf, Abby.” “Lalu apa yang kau katakan pada Leslie?” “Aku bilang bahwa aku flu tapi aku masih bisa bekerja. Tapi dia melarangku. Dia menyuruhku istirahat padahal aku masih bisa berlompatan, menari ular, dan makan enak. Kau tahu bahwa kemarin aku makan—” Tut! Tut! Tut! Aku memutuskan pembicaraan. Ponsel itu tiba-tiba terjatuh. Oh, bukan. Aku menjatuhkannya karena tanganku lemas. Mataku panas. Aku menggigit bibirku dan menahan tangis. Bahuku terguncang. Aku terus menahan agar air mata itu tidak jatuh. Berani-beraninya, Leslie! Dan pria brengsek itu! Mereka mempermainkan aku. Mobilku melesat kencang ke studio pemotretan. Aku sudah tidak tahan. Aku sudah mengirim pesan melalui blackberry pada Rainer. Aku keluar dari mobil dan menyembunyikan majalah itu. “Abigail.” Rainer tersenyum padaku. Senyum paling indah dari seorang pria manapun. Dan aku menyukainya. Dia merentangkan tangannya. Oh, Tuhan! Aku ingin sekali berada dalam pelukannya. Tapi bisakah? Aku menguatkan tekadku. Aku masih berdiri tanpa ekspresi. Dia tampak heran dengan berubahnya kelakuanku saat ini. Pelan-pelan aku mengeluarkan majalah itu dari belakang tubuhku. Aku membukanya dengan hati-hati dan sedikit bergetar. Menunjuk foto itu dan artikel yang dimuat di sana. Dia memucat. Ketakutan dan kekhawatiran sangat nampak di wajahnya. Matanya membesar. Tentu saja dia terkejut karena aku berhasil membongkar kebusukannya. Dengan geram aku melemparkan majalah itu padanya hingga teronggok lemas di bawah kakinya. “Jangan pernah lagi-lagi kau menghubungiku.” Kataku dengan hati yang hancur. *** Leslie tertegun. Baru kali ini dia diam tanpa membantah saat aku bicara. Aku meminta Brian membeli majalah itu dan membawanya padaku. Brian tidak tahu apa yang terjadi. “Kini apa yang mau kau katakan, Leslie?” Kataku dingin. Dengan tatapan yang sama dinginnya dengan gunung es. “Abby, aku tidak berniat menyembunyikannya darimu.” Dia membela diri. “Tapi kau melakukannya.” Aku berjalan dengan tangan terlipat mengitari ruangan. Kami berada di rumahku sekarang. “Baiklah aku minta maaf.” “Kau bersekongkol dengan pria brengsek itu untuk mengerjaiku?” “Abby, hentikan!” Dia membantah. “Kau membohongiku berkali-kali, Leslie!!” Suaraku memenuhi seluruh ruangan. Aku berteriak seperti hewan buas. “Tidak!!” “Pertama, kau membiarkanku berada pada satu acara yang sama di tempat Sarah padahal kau tahu betapa menjijikkannya dia kala itu. Kedua, kau dengan seenaknya mengirim surat dari anak-anak dan mendatangkan dia ke sana tanpa sepengetahuanku. Ketiga, kau melakukan sabotase mengenai Richard.” Kataku menggebu-gebu. Aku melihat Brian mendongakkan kepala saat aku selesai menyelesaikan kalimat terakhir. Kini dia menatap Leslie. Brian tampak bingung dan terkejut. “Richard memang sakit.” Sahut Leslie. “Tapi dia tidak sakit parah dan masuk rumah sakit seperti katamu. Pantas saja kau tidak memperbolehkanku mengunjunginya. Dan dengan segala macam kepandaianmu kau membuat pria itu menggantikan Richard!” “Itu tidak benar.” “Jangan sekali-kali membantah karena aku mendengar sendiri fakta ini dari Richard.” Aku berjalan mendekati Leslie dengan mata merah. Aku menangis. Leslie hendak menyentuhku tetapi aku mundur. “Abby.” “Aku belum selesai!” Napasku terengah-engah. “Leslie, aku sudah memaafkanmu untuk yang pertama dan kedua,” aku berkata dengan lemah, “Jadi, ini sungguh kerjasama antar saudara yang sangat menakjubkan.” Kataku dengan nada mengejek. Sakit sekali rasanya. Inilah yang sudah mereka lakukan. Melesatkan panah beracun hingga membuatku hampir mati. Tubuhku seperti di cambuk dan dagingku ikut melekat saat cambuk ditarik dari tubuhku. “Tapi aku tidak bisa memaafkanmu untuk yang ketiga dan seterusnya. Semua ini tidak bisa diteruskan. Kau dipecat! Keluar dari rumahku sekarang.” Leslie terkejut dan menganga. Brian langsung berdiri dari tempatnya. “Abby, kau emosi. Jangan mengambil keputusan saat kau sedang marah.” Kata Brian. Leslie merosot di tempat duduknya sambil memegang kepalanya. Kemudian dia menahan tangannya di hidungnya. Matanya ikut memerah. Dia sesengukan. “Abby, kau yakin dengan apa yang kau katakan?” Tanya Leslie pelan. Aku menatapnya dengan marah. Dia dan Rainer sama-sama menyebalkan dan brengsek. Aku membalikkan badan dan membelakanginya. “Kau dipecat. Gajimu akan kuurus segera. Brian, antarkan dia pulang.” “Abby!!” Teriak Brian. Aku tak mendengar lagi kata-kata Brian yang berteriak memanggilku. Aku berlari ke kamarku dan menjatuhkan diriku di ranjang. Semua air mata tumpah di atas bantal. Aku membenamkan kepalaku di sana. Aku terisak sangat keras. Aku meraung. Aku terluka. Tak bisa digambarkan bagaimana pedihnya situasi yang kualami saat ini. *** Selama satu minggu belakangan ini, hanya Brian yang menemaniku. Sudah satu minggu aku mengurung diri di kamar. Aku membatalkan semua pekerjaanku selama satu minggu. Aku tidak menonton TV. Tidak menghidupkan ponsel. Benar-benar terkurung dari dunia luar. Pola hidupku saat ini adalah bangun, mandi, melamun, menangis, makan seadanya, tidur, bangun, menangis lagi dan seterusnya. Brian bilang tubuhku kurus. Mataku seperti panda karena membengkak. Brian orang yang paling pengertian. Dia tidak banyak bicara ataupun menyinggung masalahku dengan Leslie dan Rainer. Setiap hari dia selalu menemaniku. Dia memberikan tangannya untuk mengelus bahuku dan memelukku, dan memberikan bibirnya di pipi dan keningku setiap kali dia datang atau hendak pulang. “Abby, sudah saatnya menerima kenyataan.” “Apa?” Kataku serak. “Kau punya hidup. Kau punya pekerjaan, dan kau punya anak-anak asuh.” Kata-kata Brian menamparku dengan keras. Ya, Tuhan! Bagaimana bisa aku melupakan mereka? Aku menggigit bibir bawahku. Sudah satu minggu aku tidak kemana-mana. Aku merindukan tawa anak-anak asuhku. Ya, ampun. Mereka tanggung jawabku. Tetapi kini aku malah menelantarkan mereka dengan terus-terusan mengasihani diri sendiri. “Ellen bilang anak-anak bertanya tentangmu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Aku duduk tegak di ranjangku. Brian menggenggam tanganku dan menepuknya. “Aku mau mandi. Tolong antarkan aku bertemu anak-anak.” “As you wish, honey.” Pancuran air hangat membuat tubuhku lebih segar. Aku mendongakkan kepala dan membiarkan air itu menjatuhi wajahku. Aku membuka mata pelan-pelan. Perih. Perih sekali rasanya. Aku menggosok tubuhku dengan pelan sambil melamun. Aku berdiri menatap kaca besar yang ada di kamar mandi. Wanita itu menatapku dengan sangat mengenaskan. Mata merah, membengkak, wajah pucat, tubuh lemah, dan rambut kusam. Pantulan diriku di kaca seperti menertawai kebodohanku. Satu minggu yang lalu penuh dengan kebahagiaan. Penuh cinta. Cinta? Aku membungkam mulutku dengan tangan. Rainer sudah berhasil membuatku jatuh cinta padanya. Hal yang baru kusadari saat ini. Pola pertemuanku dengannya sangat aneh. Awalnya aku menyukainya, lalu membencinya, membencinya untuk yang kedua kali, tiga kali, lalu mulai menyukainya, satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, dan... aku terus menghitung berapa kali rasa suka itu bertumpuk. Ratusan kali! Dalam setiap menit yang indah selalu menambah rasa suka padanya yang kemudian naik level dengan cepat menjadi cinta. Lalu seketika itu juga dia merenggut kebahagiaan yang sudah dia berikan padaku. Tiba-tiba kepalaku pusing. Aku berpegangan pada dinding. Sekali lagi aku menatap diriku di kaca. Bayangan wajah Rainer membuatku geram. Rainer harus membayar semuanya! Tanpa terkecuali. *** Dalam perjalanan ke tempat Ellen, aku mulai menghidupkan ponselku. Ada puluhan pesan singkat. Dari Brian, Ellen, Leslie, dan Rainer. Brian yang mengendarai mobilku. “Kau mengirim pesan padaku?” Brian tersenyum kecil. “Sudah satu minggu. Kau baru baca?” “Ya. Apa perlu kujawab?” “Aku bahkan lupa apa yang kukirimkan.” “Kau bertanya apa aku baik-baik saja.” “Apa jawabmu?” Aku terdiam. “Dimana posisiku saat itu, seminggu yang lalu, atau sekarang?” “Dua-duanya.” “Seminggu yang lalu aku tidak baik-baik saja. Aku hancur dan rapuh dan berantakan.” “Sekarang?” Aku menoleh pada Brian. Lalu kembali menatap kosong ke arah jalan. “Masih sama.” Bisikku. Tangan kanan Brian mengelus tanganku. “This too will pass.” Aku mengangguk. Dalam perjalanan, aku membaca semua pesan. Leslie benar-benar menyesal dan meminta maaf ribuan kali padaku. Dia ingin bertemu. Dia bilang ada hal yang harus aku tahu. Dia ingin aku mendengarkan dan tidak akan memaksa keputusanku. Terakhir, dia bilang dia menyayangiku. Dia sedih jika aku membencinya. Aku mendengus. Saat ini aku belum bisa memberikan kata maaf. Mungkin bisa dengan mulutku. Tapi tidak dengan hatiku. Aku hampir menangis saat membaca pesan Rainer. Baru pesan awal yang penuh kekhawatirannya padaku, aku langsung menghapusnya. Sama seperti Leslie, dia ingin bertemu dan bicara padaku. Sekarang, ada lima pesan suara. Semua itu dari Rainer. Aku merindukannya. Tak apa-apa kan jika aku ingin mendengar suaranya? Oh tidak! Aku tidak siap. Entah kenapa tanganku tidak bekerjasama dengan otakku. Sial! Jariku menekan tombol dan aku menempelkan ponsel ke telingaku. Satu. “Abigail. Aku perlu bicara. Tolong telepon aku setelah kau mendengar pesan ini.” Dua. “Abigail ....” dia mendesah, “Kumohon hidupkan ponselmu.” Tiga. Suara ketiga dimulai dengan desahan lelah. “Abigail.” Lalu dia diam, “Kau tidak bisa terus mendiamkanku seperti ini. Nyalakan ponsel sialanmu dan bicaralah padaku!” Empat. “Ini aku lagi, Abigail. Aku tak akan bosan mengirimkan pesan suaraku. Kumohon dengan sangat. Jangan menyiksaku seperti ini. Aku membutuhkanmu untuk mendengarkan aku.” Lima. “Ini aku, Abigail. Rainer. Rainer yang sekarang merindukanmu. Tak pantas kurasa untuk meminta maaf dengan cara ini. Tapi kau memaksaku melakukannya. Dengan seluruh jiwa ragaku, aku benar-benar minta maaf padamu. Kau tak seharusnya memecat Leslie. Dia menangis meraung-raung. Bukan karena dia kehilangan pekerjaan. Tapi lebih karena orang yang disayanginya begitu marah dan membencinya. Bukan dia yang datang padaku. Tapi aku yang menghubunginya. Jika kau ingin tahu siapa yang salah, itu aku. Bukan dia. Aku yang memulai kekacauan ini.” Rainer diam. Aku meneteskan air mata dan menggigit bibirku. “Aku pikir kau sudah memaafkanku untuk kesalahan pertama dan seterusnya yang sudah kuakui setelah selesai pembuatan video klipmu. Itu sangat mengesankan. Itu moment yang tidak akan pernah bisa sirna dari pikiranku. Disitulah pertama kalinya kita dekat dan aku bisa menyentuhmu. Mungkin ini yang ketiga dan seterusnya. Aku sama sekali tak berniat menyembunyikan hubungan saudara antara aku dan Leslie. Aku ingin mengaku padamu. Tapi saat itu kau begitu marah padaku. Saat kau sudah memaafkanku dan kita menjalani hari yang sangat menyenangkan bersama, tertawa bersama, saling membutuhkan satu sama lain, dan... aku tak tahu. Kurasa aku yang terlalu membutuhkanmu. Terlalu menginginkanmu, Abigail. Dan aku melupakan hal kecil yang sangat penting itu. Sebuah pengakuan dan sebuah kejujuran.” “Aku lupa karena semua hal itu tiba-tiba tersapu oleh kecantikanmu, kehangatanmu dan senyum manismu. Aku terlalu bahagia. Hingga kebahagiaan itu mengacaukan kita berdua. Kumohon. Maafkan Leslie. Semua itu bermula dariku. Leslie sangat menyayangimu seperti kau adalah adiknya. Dan dia sangat terpuruk saat kau membencinya. Maafkan Leslie. Tak masalah jika maafmu sudah habis untukku.” “Dan lagi-lagi aku melakukan kesalahan mengenai Richard. Itu ideku untuk memintanya berbohong. Kau tahu, Leslie tidak setuju denganku. Tapi aku berhasil memaksanya. Mungkin saat ini kau marah dan menganggap Leslie begitu bodoh dan ceroboh. Tapi dia takut memberitahukan yang sebenarnya padamu. Dia takut kau kecewa dan panik jika tahu ada masalah dengan modelmu. Kau tahu kenapa? Karena dia tahu bahwa kau sangat menunggu-nunggu hari itu. Leslie sangat peduli. Bahkan dengan kesehatanmu. Dia tahu sistem kekebalan tubuhmu lemah. Kau gampang tertular virus dan dia tidak akan membiarkan Richard berbagi penyakit denganmu.” Aku menggigit bibir bawahku lebih keras hingga perih. Aku mulai sesengukan. Aku tahu Brian memperhatikanku. Tapi dia tetap fokus pada jalan raya. “Kumohon. Jangan diamkan aku. Jangan siksa aku. Aku merindukanmu, Abigail.” Suaranya terdengar sedih dan lemah. “Telepon aku. Aku menunggumu. Selalu.” Selepas itu aku menangis tersedu-sedu. Pengakuannya tadi membuatku bertambah sedih. Kembali membuka luka hatiku menjadi lebih lebar. Aku tak tahu haruskah aku percaya atau tidak. Kata-katanya membuatku terguncang. Hancur berantakan seperti habis diguncang gempa. Aku tertunduk dan menutup mataku dengan tangan. Air mata membanjiri wajahku. Brian menghentikan mobilnya. Dia langsung merangkulku dan aku membenamkan kepalaku ke dadanya. Aku menangis. Brian menepuk punggungku dan mencium kepalaku. “Kau yakin tetap ingin pergi bertemu dengan anak-anak?” “Tidak,” kataku serak, “Antarkan aku pulang. Please.” “Tenanglah, Abby.” Brian mengangkat kepalaku dan menangkupnya. “I’ll take you home.” Aku mengangguk penuh terima kasih. Dia membantuku bersandar dan aku memejamkan mata. Kepalaku sakit. Aku mencoba bernapas pelan-pelan. Brian menjalankan mobil dan berputar arah. Kuharap semua ini segera berakhir. *** Aku bosan. Ponsel kuhidupkan. Tapi sama sekali tidak ada telepon dari Leslie maupun Rainer. Hanya Brian. Sekarang Brian yang mengurus segala sesuatu tentang pekerjaanku. Tapi aku belum kembali aktif. Aku tak tahu kenapa hal ini membuatku berkabung melebihi orang yang kehilangan karena kematian. Brian bilang, dia pernah melihat Rainer di depan rumahku. Dia tidak berusaha untuk masuk atau mengetuk bahkan berteriak-teriak di depan rumahku. Dia hanya di dalam mobil. Sepertinya ragu untuk keluar. Beberapa hari dia selalu memperhatikan rumahku. Menurut Brian, dia menungguku keluar tapi hal itu tidak terjadi. Banyak orang-orang dari pertelevisian yang menghubungi Brian. Brian memberitahu Leslie untuk berpura-pura tetap menjadi manajerku dan bicara bahwa sementara ini dia sedang cuti karena urusan tertentu. Aku sudah mengecewakan banyak orang. Tapi aku akan lebih mengecewakan mereka lagi jika tetap memaksakan diri untuk tampil dalam keadaan compang-camping. Hal itu akan mempermalukan mereka dan menjatuhkan karierku. Beruntungnya banyak juga pihak televisi yang mengerti. Kukatakan saja kesehatanku menurun. Aku menyetel TV. Aku bergonta-ganti channel. Tak ada satu pun yang menarik. Aku berhenti menekan remote dan membiarkannya menyala. Aku mendengarkan sebuah iklan. Aku berjalan ke arah kulkas di kamarku, aku membukanya dan mengambil sekaleng coke. Sayup-sayup aku mendengar suara jingle dari sebuah acara berita. “Perampokan terjadi kemarin malam sekitar pukul 10.55 di daerah Ridley Road. Korban adalah seorang wanita yang diketahui bernama Leslie Clark, manajer dari penyanyi terkenal Abigail Johnson ....” Aku menjatuhkan kaleng coke dan membiarkan isinya tumpah. Aku berjalan ke depan TV dan menonton. “Korban mengalami luka serius di bagian kepala, kaki, dan rahang. Dua orang perampok menghentikan mobilnya secara paksa saat korban melintas di Ridley Road. Pelaku yang memakai topeng langsung memecahkan kaca mobilnya dengan pemukul bisbol. Pelaku menyeret korban keluar dari mobil dan merampas tas milik korban. Korban melakukan perlawanan dan pelaku melukai korban dengan cara memukul kepala dan perutnya. Seorang pelaku lain yang diketahui adalah seorang wanita, membawa sebuah pistol dan menembak kaki korban hingga korban jatuh menghantam trotoar. Kejadian ini terekam CCTV jalan. Sebelum meninggalkan korban, pelaku wanita kembali melepaskan tembakan ke arah korban. Saat ini Leslie Clark di rawat di rumah sakit ....” Aku jatuh terduduk. Mataku berair. Leslie! Ya, Tuhan! Dengan gemetar aku menekan nomor telepon Brian. Bibirku bergetar saat bicara. Lalu aku menangis histeris. “Brian... Brian ...! Leslie ....” Aku tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Yang kuingat selanjutnya adalah kegelapan. Chapter Ten Rainer Aku berlari-lari di lorong rumah sakit. Aku hampir menabrak seorang kakek tua yang berjalan begitu lamban seperti seekor siput kelaparan. Saat aku hendak menerobos sebuah pintu, seorang suster dan petugas medis pria menghalangiku. Aku meronta. “Biarkan aku masuk! Aku keluarganya.” “Tidak bisa, Tuan. Wilayah ini steril dan selain petugas medis dilarang masuk. Anda baru bisa menjenguknya jika dia sudah di ruang rawat.” Aku langsung mencengkeram lengan si pria dan melotot padanya. “Kau harus menyelamatkan nyawanya.” “Itu tugas dokter, Tuan. Saya hanya membantu.” Aku mengetatkan cengkeramanku. “Kalau begitu katakan pada doktermu jika dia tidak menyelamatkan nyawanya, aku akan menuntutnya!!” Ketika aku melepaskan cengkeramanku, petugas medis itu langsung masuk terbirit-birit dengan wajah ketakutan. Aku menyapu rambutku dengan kedua tangan dan menjambaknya. Siapa yang berani... siapa yang berani melakukan ini pada Leslie? Seorang pria yang menolongnya meneleponku menggunakan ponsel Leslie. Nomor terakhir yang dihubungi oleh Leslie adalah nomorku. Sekitar tiga jam sebelum kejadian. Aku langsung meminta pria itu mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Sesampaiku di sana, aku mengenal sesosok wanita penuh darah yang terbaring di ranjang beroda. Aku lemas melihat dia terbaring seperti itu. Petugas medis mendorong dengan cepat. Bahkan aku tak dapat mengejarnya. “Tuan?” Aku mendongak. Tersenyum penuh terima kasih pada pria bertopi dengan hidung bengkok yang memerah. Pria ini ikut membantu petugas medis mendorong ranjang beroda. Dialah yang menyelamatkan Leslie. Dia bersin lalu mengelap hidungnya. “Maaf.” Ujarnya, “Oh ya, ini ponsel wanita itu. Saya turut prihatin. Semoga dia bisa selamat.” Aku mengambil ponsel itu. Sedikit lecet. Beruntung sekali ada ponsel ini. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Terima kasih.” Aku mengeluarkan dompet. Pria itu langsung menghalangiku. Seakan-akan tahu apa yang hendak kulakukan. “Jangan!!” “Apa?” “Aku tahu maksudmu. Tapi jangan. Aku sukarela menolongnya. Simpan uangmu, anak muda.” Aku terdiam. Tertegun. Jika dilihat dari cara berpakaiannya, pria ini bukanlah pria yang hidup berkecukupan. Kulihat bagian siku jaketnya ada tambalan. Lalu celananya, adalah celana lusuh berwarna pudar yang sangat kotor. Sepatunya sama hancurnya dengan pakaiannya. Aku tetap mengeluarkan beberapa pound dan menjejalkannya ke saku jaketnya. Dia hendak mengeluarkannya lagi tapi aku menahannya. “Itu berkat untukmu, Sir. Please, itu akan berguna untuk anak dan istrimu.” Mata pria tua itu berkaca-kaca. Seperti menyimpan banyak luka di dalamnya. “Mereka sudah tiada. Aku sendiri.” Aku mengerutkan keningku. Tidak mengerti dengan apa yang sedang dia katakan. Pria itu tampak sedih. Dia tidak banyak bicara. Dia menerima uang itu dan tersenyum. Lalu dia memakai topinya. “Tuhan memberkatimu, nak. Terima kasih.” Pria itu pergi. Aku kembali duduk. Sayang sekali, aku lupa menanyakan namanya, rumahnya, dan apakah dia tahu bagaimana kejadiannya. Sial! Pusat pikiranku saat ini adalah Leslie. Aku beranjak dari tempat duduk ingin mengejar pria itu. Tapi paman dan bibi Jo, orangtua Leslie, datang sambil berlari-lari menuju lorong dan membuat kebisingan dengan suara panik mereka. Bibi Jo langsung menangis dan merangkulku. Tak banyak yang bisa kukatakan pada mereka. Aku hanya tahu dia dirampok dan terluka. Kami menunggu dengan cemas dan berdoa semoga Leslie bisa diselamatkan. *** Sudah dua hari aku melihatnya terbaring melalui jendela kaca. Bunyi-bunyian aneh terdengar oleh telingaku. Jujur saja bunyi-bunyian itu membuatku takut. Aku menggigit bibirku dan menempelkan sebelah telapak tangan di kaca itu. Menatap Leslie dengan sedih. Aku melihat layar berlatar hitam dan garis-garis hijau yang berjalan. Layar itu menunjukkan detak jantungnya. Matanya lebam, kepalanya dibalut kain kassa berwarna putih. Dia memakai penyangga leher. Luka-luka kecil terlihat di sekujur tangannya. Paman dan bibi Jo masih di sini. Mereka duduk di kursi yang ada di belakangku. Saling memeluk dan menguatkan satu sama lain. Saat pertama kali melihat kondisi Leslie, bibi Jo pingsan. Kami harus memapahnya. Setelah sadar dia menangis tanpa henti. Paman Jo sudah meminta salah satu temannya untuk mengurus masalah ini. Polisi sedang memburu pelaku dan melihat ulang rekaman CCTV jalan. Dokter bilang rahang dan rusuknya retak. Kepalanya cedera berat akibat pukulan. Dua peluru yang bersarang di kakinya sudah berhasil dikeluarkan. Aku geram. Aku berjanji akan mencabik-cabik dua perampok itu. Aku heran kenapa hal semacam ini bisa terjadi padanya. Pada orang seperti Leslie yang setahuku sama sekali tidak punya musuh. Suara derap langkah terburu-buru membuatku menoleh. Aku terkejut melihat siapa yang datang. Wajahnya tidak seperti ini saat terakhir kali aku melihatnya. Kapankah itu? Rasanya sudah lama sekali. Aku dan dia sama-sama terdiam. Dia pucat, lemah, dan kurus. Ya, ampun! Apakah aku yang membuatnya seperti itu? Rasa bersalah mulai menghantuiku. Wajahnya polos. Wajah polos cantik yang aku rindukan satu minggu belakangan ini. Dia mengenakan sweater rajutan warna biru dipadu rok dan stocking hitam. Dia maju beberapa langkah. Lalu berhenti saat melihat paman dan bibi Jo. Abigail mendekat. Memeluk bibi Jo dan berbisik padanya. Kini dia berhadapan denganku. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak tahu harus bertindak apa. Dia menatapku sekilas lalu mendekat ke arah jendela kaca. Dia terkejut melihat keadaan Leslie yang berbaring di sana. Dia menempelkan kening dan telapak tangannya di kaca. Bibirnya bergetar. Lalu dia sesengukan dan membekap mulutnya dengan tangan. Baru saja aku hendak mendekatinya, aku terhenti karena Brian sudah ada di sampingnya. Abigail menjatuhkan kepalanya di bahu Brian. Pria itu memeluk dan mengelus bahunya. Pemandangan ini membuat mataku melotot dan hatiku tercabik-cabik. Aku memalingkan muka dan pada akhirnya membalikkan badanku. Jengah melihat pemandangan itu. “Siapa yang melakukan ini?” Bisiknya parau. “Kurasa semua sedang diselidiki, Abby. Kita harus berdoa untuk, Leslie.” Jawab Brian. “Aku belum mengatakan bahwa aku memaafkannya, Brian. Aku menyayanginya.” “Dia pasti tahu bahwa kau akan memaafkannya. Kau bisa mengatakannya jika dia sudah sadar.” “Bagaimana jika ...?” “Sst! Percayalah, Abby. Leslie akan sembuh.” “Aku tidak mau kehilangan dia, Brian.” Aku tersenyum getir. Sekaligus marah karena dengan keadaan seperti ini dia baru tergopoh-gopoh menemui Leslie. Di saat Leslie kehilangan kesadarannya dan tidak bisa mendengar kata-katanya. Aku keluar dan berjalan menuju taman rumah sakit. Kupikir kehijauan bisa membuatku lebih tenang. Aku tak sanggup lama-lama di sana dengan Abigail dalam pelukan seorang pria gay. Wartawan banyak berdatangan ke rumah sakit. Tapi aku sudah membayar orang untuk berjaga-jaga. Media tidak boleh meliput apapun dan mendapatkan informasi apapun tentang Leslie. Ponselku bergetar. “Ya, Paman Jo. Aku di depan taman. Ya. Oh, baiklah.” Aku melihat Paman dan bibi Jo berjalan menghampiriku. “Tolong beritahu kami jika ada apa-apa. Bibimu perlu makan. Kami akan ke kantin sebentar.” “Sebenarnya aku tidak butuh makan. Aku hanya ingin bersama Leslie.” “Sayangku. Kau akan menyakitiku jika kau tidak makan. Ayo, aku akan menemanimu.” Paman Jo merangkul bibi dengan sayang. Sungguh dua orangtua yang sangat romantis. Aku mengangguk pada mereka. Sesegera mungkin aku kembali ke ruangan. Di sana sepi. Aku ragu untuk masuk ke lorong itu karena sekarang hanya ada Abigail di sana. Sendirian. Mana pria gay brengsek itu? “Kau bisa duduk di kursi jika kau lelah.” Dia diam. Masih menempelkan telapak tangan di kaca dan bermuka muram. “Baiklah jika kau tidak mau duduk. Aku saja.” Aku menghempaskan diriku ke kursi itu dan bersandar. Selama hampir lima belas menit kami tak bicara. Tapi lama-lama aku tidak tahan. Aku berdiri dan mengambil bahunya. Menghadapkannya padaku. “Rainer! Apa-apaan kau?” Nada suaranya terdengar tinggi. “Cukup dengan aksi diam-diammu.” Ujarku kesal. “Apa maksudmu?” “Kau menyiksaku setengah mati dengan sikapmu.” “Lepaskan!” “Bicara padaku.” “Apa yang harus kita bicarakan?” “Kita.” Jawabku tak sabar. Dia menggeleng. “Tidak ada yang perlu dibicarakan tentang kita.” Aku masih mencengkeram bahunya. Lalu menghempaskannya begitu saja. “Kau wanita yang keterlaluan.” “Jaga mulutmu.” “Lihat,” aku mencibir, “Lihat apa yang kau lakukan pada Leslie.” Dia melotot. Kelihatan sangat marah. “Kau pikir aku yang mengirim perampok-perampok itu?” Aku mengangkat bahu. Dia mendekat dan mendorongku. Lalu mencengkeram kerah bajuku. “Aku bukan manusia sesadis dirimu yang berani menyakiti orang dari belakang.” Aku tersinggung dengan kata-katanya. “Dimana letak sadisnya diriku, Sayang?” Ejekku. Dia terdiam. Cengkeraman tangannya seketika mengendur. Ada hal yang sepertinya terpendam di kepalanya yang cantik. Dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Dia melepaskanku. Lalu menatapku sebentar dan berpaling. “Kenapa?” Tanyaku lagi. “Kumohon hentikan, Rainer. Tidak pantas membicarakan hal itu sekarang.” “Kau takut Leslie mendengar?” “Aku ragu apakah Leslie akan suka atau tidak mendengarnya. Jika dia bisa.” “Jadi, katakan.” Abigail melipat kedua tangannya. “Kau benar. Maafku sudah habis untukmu. Sisa maafku hanya untuk Leslie.” Dia mendengar pesan suaraku. Hal itu membuatku cukup senang. Namun sekarang, jantungku bagaikan dihantam palu. Perkataan hiperbola yang kukatakan padanya benar-benar menjadi boomerang bagiku. Dia mengatakannya dengan mantap. Seakan-akan memang kata maaf tidak lagi pantas untuk aku dapatkan darinya. Aku hendak membuka mulut, tapi kerongkonganku kering. Aku menelan lagi kata-kataku. “Dari awal aku sudah membencimu, Rainer. Kau memporak-porandakan hidupku, karierku, dan... hatiku. Kini aku rasa sudah cukup. Tak ada lagi dari antara kita yang bisa dipersatukan. Aku dan kau bagaikan air dan minyak, anjing dan kucing. Aku sangat berharap Leslie sembuh dan mau memaafkanku juga. Dia tetap manajerku. Sahabatku. Selamanya. Jika nanti dia sembuh, kuharap kau tidak lagi mengganggu dan merecoki kehidupanku seperti yang sudah kau lakukan.” Dia kejam. Kata-katanya adalah pisau tajam. Tidak tahukah bahwa melihatnya dengan keadaan seperti ini sangat menghancurkan diriku? Hampir setiap hari, aku menunggu di depan rumahnya seperti manusia gila. Seperti maling yang menguntit calon rumah jarahannya. Segala sesuatu dalam hidupku menjadi tidak enak. Apapun itu. Dia begitu hebat bisa bertahan sementara aku terus memikirkannya setiap waktu. Dia hanya tidak tahu, bahwa saat ini sebenarnya jiwaku sudah luluh lantak karena dirinya. Karena... karena dia tidak tahu bahwa aku mencintainya!! “Katakan bagian hatimu yang sudah aku porak-porandakkan.” Dia menggigit bibir bawahnya. Dia hampir menangis. “Kau tahu.” Sahutnya. Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak tahu, Abigail.” “Kupikir kau tak perlu tahu. Karena setelah ini kita tidak akan berhubungan lagi.” Nada suaranya mengenaskan. Sedih bercampur luka. Aku mengambil lengannya. “Aku ingin tahu dan kau harus katakan!” Dia menepisnya dengan kasar. Lalu setengah berteriak dengan air mata yang keluar sebutir demi sebutir dari matanya. Dan setiap butir yang keluar dari matanya, bagaikan silet yang satu persatu merobek-robek relung hatiku. “Kau membawaku ke awang-awang! Kau mengajakku mengenal kebahagiaan yang belum pernah aku terima sebelumnya. Kebahagiaan yang sanggup membuatku menjadi orang yang paling dipuja. Dan kau benar-benar berhasil membuatku jadi gila! Tapi semua itu palsu. Sedetik kau mengayun-ayunkan aku, sedetik kemudian kau melemparkan aku ke dalam perapian yang menyala. Dari awal seharusnya aku tahu bahwa aku tidak boleh berhubungan denganmu. Tidak boleh terlena dengan pesona pura-puramu yang menjijikkan.” Dia terengah. Bahunya naik turun. Aku takut teriakannya akan membuat petugas keamanan menyeret kami keluar. Aku tak sanggup melihat air matanya yang semakin deras. Seperti itukah aku menyakitinya? Sebesar itukah kesalahanku hingga membuatnya benar-benar ingin melenyapkan aku dari hidupnya? “Dengar, Abigail. Aku tak pernah memberikan kebahagiaan palsu pada siapapun. Terutama padamu. Orang yang sangat penting bagiku. Sekarang dan selamanya. Tolong katakan sekarang apa yang sebenarnya kau rasakan hingga membuatmu benar-benar marah?” Dia memalingkan muka. Menunduk dan menatap kakinya. “Sejujurnya aku pun marah pada diriku sendiri. Marah karena percaya padamu, marah karena kau tidak jujur padaku, membohongi dan mendikte hidupku sesuai keinginanmu, dan yang benar-benar membuatku marah adalah karena kau berhasil membuatku menci— “ “Abby, Ellen sudah menunggu jadi kita harus segera— , maaf.” Brian memandangku lalu memandang Abigail bergantian dengan canggung. Kurasa dia tahu bahwa kami berdua sedang serius bicara. Brian memandangku sekali lagi dengan tatapan minta maaf. Dia cukup terkejut karena melihatku di sana. Karena memang sebenarnya hanya ada Abigail sendirian di sini sebelumnya. “Aku harus pergi.” Kata Abigail. Aku menghentikan langkahnya dengan berdiri di depannya. “Kau belum selesai bicara.” “Tidak ada waktu lagi.” “Katakan saja kalimat terakhirmu.” Dia terdiam. “Bukan hal penting. Aku harus pergi.” “Abigail!” Teriakku. Dia pergi menarik Brian dengan cepat. Setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Entah kenapa saat itu kakiku terasa kaku. Berat bagaikan diikat pada sebuah rantai dengan batu besar di belakangnya. Dia berbelok. Sebelum melakukan itu dia menoleh ke belakang. Dan aku melihat sebutir air mata kesedihan meluncur lagi di pipinya. Hatiku terasa perih. Aku kembali ke ruangan dan berdiri di depan jendela kaca. Menekannya dan menempelkan dahiku di sana. Mataku lurus melihat ke arah Leslie. Embun terbentuk di jendela kaca saat aku bernapas dengan lelah. “Leslie, bangunlah. Please .” Chapter Eleven Abigail Ellen ingin sekali menjenguk Leslie. Tapi saat ini dia tidak bisa kemana-mana karena banyak hal yang harus ditanganinya mengenai anak-anak. Banyak keperluan anak-anak yang harus dipenuhi dan Ellen tidak tega untuk meninggalkan mereka. Aku sedih karena Cellia mengalami demam tinggi. Demam tinggi itu sempat membuatnya kejang-kejang. Tapi saat aku ke sana bersama Brian, kami sudah bisa melihat Cellia bermain di ranjangnya. Aku menyesal karena aku begitu menenggelamkan diri pada kesedihanku sendiri. Aku hampir saja mengakui betapa aku mencintai Rainer. Suatu keberuntungan saat itu Brian datang dan menghentikanku melakukannya. Aku emosi. Aku hilang kendali. Aku tak tahu bagaimana sikapnya jika saja dia tahu bagaimana perasaanku. Bisa saja dia langsung tertawa karena berhasil menjeratku dengan rayu mautnya. Atau mungkin dia akan mengatakan bahwa dia juga mencintaiku? Tidak, tidak! Aku menyangsikan hal itu. Aku menggeleng dengan kuat. Saat ini aku tidak bisa berpikir. Dewi batinku kembali mengulang kebersamaan kami yang begitu menyenangkan. Bergandengan tangan, pelukan, rangkulan, dan ciuman lembutnya di pipi maupun bibirku. Apakah kau melihat kepura-puraan itu, Abigail? Tidak. Sama sekali tidak! Lalu apa yang kau lihat? Aku melihat ketulusan. Dan... hentikan! Hentikan! Aku mengenyahkan pikiran-pikiran itu di kepalaku. Leslie sadar setelah menjalani tiga hari koma di rumah sakit. Brian yang memberitahuku. Dia mendapatkan informasi itu dari Rainer. Entah kenapa aku masih berharap bahwa Rainer akan menghubungiku. Bukan untuk membicarakan tentang kami. Tapi memberitahu kondisi Leslie. Sikap Rainer yang berubah itu membuat hatiku sedih dan kecewa. Jadi benar, kami memang tidak sebaiknya bersama lagi. Dokter sudah memeriksanya dan memastikan bahwa kondisi Leslie stabil dan baik. Leslie tidak bisa bicara karena rahangnya terluka. Satu minggu berlalu, kondisi Leslie semakin membaik. Dia masih belum bisa bicara. Jika dia perlu sesuatu, dia lebih sering mengeram seperti singa dengan suaranya yang parau. Dia sudah bisa duduk, makan dengan pelan, dan beraktifitas seadanya di tempat tidur. Hari ini aku menjenguknya. Dia tersenyum senang saat aku ke sana. Memang senyumnya bukan dari bibirnya, karena menurutku bibirnya itu meringis bukan tersenyum. Tapi aku bisa melihat senyum kerinduan pada matanya. Sesampai aku di tepi tempat tidurnya, dia mengangkat tangannya dengan pelan. Memintaku untuk memeluknya. Aku terharu. Kupikir dia mungkin tak suka dengan kehadiranku. Namun, keadaan justru sebaliknya. Aku takut menyakitinya tetapi aku pun rindu untuk memeluknya. Aku memejamkan mata saat kami berpelukan. Ya, Tuhan! Betapa bersyukurnya aku mengenal orang yang sebaik dirinya. “Leslie, aku benar-benar minta maaf.” Bisikku. “Aku hanya hilang kontrol. Terlalu emosi dan, Brian benar, aku terlalu keras kepala. Maafkan aku, Leslie.” Leslie melepaskan pelukan kami. Saat aku akan bicara, dia memintaku untuk berhenti bicara. Dia mengangguk dan menghapus sebutir air mata yang menetes di pipiku. Dia menepuk ranjangnya, memintaku untuk duduk. Dia mengeluarkan gadgetnya dan mengetik sesuatu. Kau tampak kurus. Matamu bengkak. Kenapa? “Aku hanya kurang tidur dan mungkin... kurang makan.” Dia mengelus-elus bahuku sambil tersenyum mengerti. Lalu kembali mengetik. Kau harus makan, Abigail Johnson! Kau seperti mayat hidup. Setelah membaca itu aku langsung menatap Leslie. Dia bertolak pinggang dan melotot padaku. Ya ampun. Ibu tuaku sudah kembali. Aku tertawa dibuatnya. Sungguh lucu melihatnya melotot dengan mulut rapat dan penyangga leher yang nyaris membuatnya terlihat tercekik. “Aku baru saja makan jika kau ingin tahu. Bagaimana perasaanmu?” Leslie memutar mata sambil mengetik. Bosan! Kau tahu pantatku sakit karena terus berbaring dan duduk di ranjang sialan ini. Untung saja mereka tidak membiarkan aku buang air besar di tempat tidur. Ditambah lagi penyangga leher yang tidak membuatku bebas bergerak. Lalu kakiku. Kau lihat? Kaki mulus jenjangku hilang sudah karena ditembus peluru dari dua perampok itu. Aku tak tahu apakah mereka sudah ditangkap. Mereka harus dihukum seberat-beratnya. Sejujurnya aku takut jika tidak bisa berjalan lagi. Tapi dokter bilang aku harus mengikuti fisioterapi dan belajar berjalan jika aku sudah pulih. “Aku akan menemanimu fisioterapi dan menjadi penyemangatmu. Kalau perlu nanti aku yang akan menggendongmu.” Leslie tersenyum. Kami seperti teman lama. Sama sekali tidak mengungkit kejadian menyakitkan yang kami alami bersama. Kami mengobrol seperti biasa. Tanpa canggung. Leslie begitu pemaaf. Aku tak tahu bagaimana caranya dia bisa seperti itu. Lidahku sudah banyak melukainya. Dia sangat cepat memaafkan orang, sementara aku... aku masih menyimpan ganjalan besar seperti tumor yang terus menggerogotiku setiap hari. Apa benar perkataanku kemarin bahwa maafku sudah habis? Setiap malam aku memikirkannya, tapi lagi-lagi aku gagal. Mungkin memang aku sudah memaafkannya. Hanya aku belum bisa mengatakannya pada Rainer. Pintu terbuka dan Rainer berdiri di sana. Berdiri sambil menenteng sebuah tas. Aku ingin tersenyum tapi belum sampai aku melengkungkan senyumku, bibirku kembali tertarik ke bawah. Rainer datang dengan seorang wanita di belakangnya. Aku tak terlalu mengenalnya. Tapi aku pernah melihat wajahnya sesekali di televisi. Ah ya, dia seorang model. Jessy Cassilas. “Hai, Leslie sayang. Bagaimana keadaanmu?” Jessy melewatiku. Bahkan sama sekali tidak melihatku. Dia menganggapku tidak ada. Dia memeluk Leslie dengan kencang. Aku melihat Leslie meronta dan mendorongnya. “Oh, maaf. Sakit ya. Aku hanya senang kau terlihat baik-baik saja. Kami membawakan pakaianmu. Kau mau ganti baju? Mari sini kubantu.” Apa-apaan wanita ini? Kulihat Leslie pun jengah dengannya. Leslie langsung mundur dan menampakkan kedua telapak tangannya di depan dada. Menandakan dia tidak mau bantuan apapun dari gadis itu. Rainer masih menatapku tapi aku memalingkan wajah. Aku tersenyum saat Leslie memintaku mendekat. Jessy yang berada di situ langsung cemberut. Dia terpaksa mundur dengan enggan. Aku mengangguk saat Leslie memperlihatkan gadgetnya. Dia ingin aku yang membantunya mengganti pakaian. “Berikan pakaiannya padaku.” Pintaku pada Rainer. Rainer tidak bicara. Dia hanya terus menatap lurus ke mataku. Aku mengambil tas yang disodorkannya. Sesekali aku meliriknya dan dia tidak berhenti melihatku. Aku tak tahu kenapa. Matanya seperti berbicara tolong tatap aku lebih lama. Entahlah. “OK, ayo sayang. Kita keluar dulu. Biarkan dia membereskan Leslie. Ayo, kau bilang tadi kalau kau lapar. Aku membawa makanan untukmu.” Kata Jessy dengan manja yang dibuat-buat. Rainer menghela napas dan mengangguk lelah pada Jessy. Aku mulai membuka tas dan dari balik punggungku, aku tahu dia terus memperhatikanku. Sialan! Untuk apa dia membawa pacar barunya kemari? *** Kau sudah berbaikan dengan Rainer? “Belum.” Huh! Dasar kepala batu. Jadi dia sudah ceritakan semuanya padamu? “Ya.” Kau tahu kan tidak semuanya adalah salahnya. Aku juga turut bersalah, Abby. Jadi, kau kan sudah memaafkanku. Kenapa tidak bisa dengannya? “Kata siapa aku sudah memaafkanmu?” Leslie melotot. Lalu mencubit lenganku. Aku hanya tertawa kecil. “Aku tidak tahu, Leslie. Aku tidak tahu.” Leslie menepuk bahuku. Kurasa dia bisa merasakan kesedihanku. Rainer begitu memujamu, Abby. Dia melakukannya karena ingin berada di dekatmu. Dia menyesal. Kau lihat bagaimana cara dia menatapmu tadi? Dia merasa bersalah dengan kata-katanya karena itu sudah membuatmu membencinya setengah hidup (biasanya orang bilang setengah mati, tapi aku ganti setengah hidup boleh kan? Toh artinya sama saja, ha ... ha ... ha ... ). Dia cukup terkejut melihatmu di sini. Apalagi dengan adanya macan yang menguntit di belakangnya tadi. Kurasa Rainer merasa tidak enak hati karena kau melihat dia datang bersama si macan itu. Oh ya, kurang ajar benar wanita itu. Dia menekan lukaku. Kalau aku bisa bergerak bebas maka aku akan langsung menonjoknya sampai bonyok. Sakit sekali, Abby. Dasar wanita macan tak berperasaan! Leslie dan aku sama-sama tidak menyukai Jessy. Wanita itu pencipta macam-macam sensasi yang tak bermutu. Berita-berita yang dimuat tentangnya lebih banyak konflik dan perseteruan daripada prestasi atau semacamnya yang baik-baik. Itu kata Brian. Karena aku sama sekali jarang mengikuti berita tentang dia. “Kalau begitu sebentar lagi macan itu akan memakan Rainer?” Oh, jangan sampai hal itu terjadi. Aku heran. Betapa bodohnya, Rainer. Kenapa wanita itu bisa bersamanya? “Tidak ada salahnya membawa pacar kemana-mana, Leslie.” Aku benci mengatakan itu. Pacar? Heloooo... aku orang pertama yang akan memisahkan mereka selama-lamanya. Percaya padaku bahwa Rainer sebenarnya tidak suka pada wanita itu. Dia bukan wanita yang baik untuk Rainer. Sangat tidak cocok untuk Rainer. Dia akan membawa Rainer memiliki perilaku buruk. “Oh ya? Kau seperti ibunya saja. Kau seperti orang yang tahu segalanya tentang dia. Kau pikir seperti apa wanita yang tepat untuknya, ibu?” Kau Aku terdiam. Mengembalikan gadget itu pada Leslie. Aku baru ingat kalau Leslie sedang sakit. Maka kupikir otaknya pun ikut-ikutan error. Tidak. Kami tidak cocok. Kami sering berseteru. Kebiasaan berbohong dan mendikte orang lain adalah hal yang sangat tidak kusukai. Dan hal itu terjangkit dalam diri Rainer. Kau mencintainya Aku terkejut dengan apa yang ditulis Leslie. “Tidak. Tidak seperti itu.” Aku tidak pernah salah tentangmu. Aku tahu bahwa kau selalu memikirkannya. Kau mencintainya, Abby. Benar bukan? “Leslie, aku .... ” Leslie mengangkat tangannya memintaku untuk berhenti bicara. Lalu dia kembali mengetik. Tidak baik berbohong pada diri sendiri. Kebencianmu padanya hanyalah ego dan emosi yang kau tidak bisa kendalikan karena gengsimu! Dalam hatimu ada ruang khusus yang kau sediakan untuk Rainer. Ruang itu hanya pantas untuk Rainer. Kau mencintainya. Jujurlah pada dirimu sendiri. Lagi-lagi aku bungkam. Sekarang katakan padaku. Aku janji rahasia itu aman. Leslie menaik-naikkan alisnya. “Oh ya, padahal sebelumnya kau seperti ember bocor.” Gurauku. Katakan! Katakan! Aku pura-pura melotot padanya. “Katakan apa?” Isi hatimu. Bahwa kau mencintainya. Aku tersenyum dan geleng-geleng kepala. Aku tidak mengatakan apa-apa tapi aku mengetik sesuatu di gadget miliknya. Aku mencintai Rainer. Tapi jangan katakan padanya, please Mata Leslie melotot, tapi ada senyum gemas di matanya. Dia kembali mengetik. Aku memintamu mengatakannya, Abigail Johnson! Katakan!! Dengan mulutmu. Ayo, ayo. Kini giliranku yang memutar mata. Tapi sedetik kemudian aku tersipu dan tersenyum malu untuk mengakuinya. “Aku mencintai Rainer.” Bisikku. *** Adam Dosch dan Leona Dosch, adalah otak dari perampokan yang dialami Leslie. Setelah empat hari melakukan penyelidikan dengan menonton ulang rekaman CCTV dan keterangan para saksi, mereka berhasil dibekuk di apartemen milik Adam. Ditemukan senjata tajam, pistol dan sebungkus kokain di apartemen mereka. Dari informasi penghuni apartemen lain, kedua orang yang diketahui adalah kakak beradik ini tidak pernah bergaul dengan penghuni lainnya. Mereka pun bersaksi bahwa tidak ada hal-hal mencurigakan yang dilakukan kedua kakak beradik ini. Yang paling menggelikan, motif dibalik perampokan dan penodongan terhadap Leslie adalah karena kekecewaan dan rasa benci sang adik, Leona, pada managementku yang mengganti Richard sebagai model video klipku di lagu Comes to Life dengan Rainer Holt. Leona adalah penggemar berat Richard dan aku. Hal itu dikuatkan dengan banyaknya koleksi album beserta foto milikku dan berbagai poster serta artikel tentang Richard yang dikumpulkan oleh pelaku. Ya ampun, fans yang mengerikan. Dari apartemennya juga ditemukan sebuah bingkai yang berisi tanda tangan asli milikku. Apa? Aku pun terkejut bukan main. Aku bahkan tak ingat jika pernah memberikan tanda tanganku pada siapapun. Terlalu banyak penggemar yang pernah kuberi tanda tangan. Dan aku tentu saja tidak bisa mengingat mereka satu per satu. Namun aku tidak yakin hal itu adalah motif utama mereka melakukan perampokan. Kenapa harus Leslie? Jika aku jadi pelakunya, maka aku akan mengganggu atau merampok Rainer karena dia tidak seharusnya menggantikan idolaku. Lagi-lagi kenapa harus Leslie? Padahal yang menentukan model adalah aku sendiri. Kenapa bukan aku yang diserang kalau begitu? Aku tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran seseorang yang terlalu mengidolakan orang lain hingga menimbulkan kekacauan pada pihak yang tidak seharusnya. Aku tahu berita ini dari televisi. Tapi wajah dari dua pelaku ini memakai topeng dan tidak diperlihatkan. Ketika aku bertemu Brian, dia menunjukkan padaku sesuatu. Sebuah gambar dari seorang wanita. Aku mengerutkan dahi. Seperti pernah melihatnya. “Ini wajah pelakunya jika kau penasaran. Leona Dosch. 20 tahun.” Brian menatapku lekat-lekat. “Ada apa, Abby?” “Aku tak tahu. Aku merasa pernah bicara dengan gadis ini. Tapi dimana aku tidak ingat.” “Dia penggemarmu. Mungkin kalian pernah bertemu dimana mungkin?” “Penggemar.” Aku bergumam. Tiba-tiba pikiranku terbuka dan ada ingatan tentang percakapanku dengan seorang wanita. “Abigail Johnson?” “Ya.” “Aku salah satu penggemarmu. Boleh minta tanda tangan?” “Ya, tentu.” “Siapa namamu?” “Leona.” “OK, Leona. Ini untukmu.” “Terima kasih. Aku sangat suka lagu barumu.” “Terima kasih sudah mendukungku.” “Aku tak menyangka bahwa Rainer mau menjadi modelmu.” “Maaf?” “Aku mendapatkan informasi bahwa ada sabotase dibalik batalnya Richard menjadi modelmu. Sayang sekali. Padahal aku juga penggemar berat Richard.” “Brian! Brian! Antarkan aku ke kantor polisi segera.” Aku melompat dari tempat dudukku. “Apa?” “Aku akan jelaskan nanti. Ayo sekarang antarkan aku. Aku tahu siapa gadis itu!” *** Menurutku Leona mengalami gangguan jiwa. Aku bertemu dengannya di penjara. Dia tersenyum miring saat melihatku. Senyum misterius yang sama saat terakhir kali aku bertemu dengannya di bar. Saat aku bertanya kenapa dia merampok Leslie, jawabannya sama dengan yang diberitakan di media. Dia kecewa dengan managementku. Aku sangat marah padanya dengan perbuatannya pada Leslie. Kutanya padanya kenapa harus Leslie. Kenapa tidak memberikan saran atau pertanyaan dan protes dengan cara yang beradab? Tiba-tiba dia tertawa keras. Lalu berhenti. Lalu tertawa lagi dan memiringkan kepala. Aku bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya aku berhadapan dengan orang gila. “Jawab aku sialan! Berhentilah tertawa!!” Bentakku. Tiba-tiba dia menggebrak meja dan berdiri. Dia condong menatapku. Aku mundur karena takut kalau dia akan mencakarku. “Karena hanya lewat Leslie kau bisa menderita.” Lalu setelah itu dia tertawa lagi. Tawanya jauh lebih keras dan semakin keras. Aku terkejut. Aku tak mengerti apa maksudnya. Aku berdiri dan menjauh. Brian melindungiku dan membawaku keluar. Wanita gila itu masih tertawa-tawa. Ya, Tuhan! Dia benar-benar penggemar yang mengerikan. Kenapa dia ingin aku menderita? Apa salahku? Bukankah dia bilang penggemar beratku? Aku tak lagi menoleh ke belakang. Semuanya begitu rumit. Semuanya begitu membingungkan. Kupikir dia tidak seharusnya di penjara. Leona lebih cocok berada di rumah sakit jiwa. Pada akhirnya dia diadili dan dinyatakan bersalah. Dari tes kejiwaan, ternyata dia tidak gila seperti yang aku kira. Dia sehat dan normal. Tapi apa yang terjadi kemarin benar-benar mengerikan, dan kenapa dia seperti itu padaku? Kupikir dia stress. Dan sekarang, penjara adalah rumahnya. Itu membuatku lega. *** Leslie sudah boleh pulang. Dia sehat dan sudah bisa bicara. Walaupun masih pelan, dia tetap cerewet seperti biasanya. Baiklah, kupikir aku sudah lama merindukan mulut cemprengnya. Aku mencium kening Leslie. “Istirahatlah. Aku akan kemari lagi besok saat selesai latihan vokal. Makan yang banyak dan habiskan obatmu.” “Ya, Habby. Shekharang khau yang jadhi cerhewet.” Aku tertawa geli dengan cara bicaranya yang hanya membuka sedikit bibirnya. Aku mengelus tangannya dan keluar dari kamarnya. Sudah beberapa hari yang lalu aku kembali memulai aktivitasku. Aku mulai bertemu anak-anak, latihan vokal, olahraga, dan melakukan sisa pekerjaan yang kutinggalkan. Kupikir Leslielah yang membuatku kembali bersemangat. Ponselku berdering. Aku tak melihat siapa yang menelepon karena aku sedang memegang kemudi. “Halo?” “Abigail.” Lidahku beku. Aku tak menjawab tetapi hanya mendengarkan. “Aku perlu bicara padamu.” “A... aku... ada pekerjaan dan kurasa....” Kataku terbata-bata. “Aku akan datang ke rumahmu malam ini. Pukul tujuh. Terserah apakah kau ada atau tidak di rumah, apakah pekerjaanmu sudah selesai atau belum. Pukul tujuh tepat aku sudah ada di depan rumahmu.” Sambungan terputus. Rainer benar-benar pria pemaksa. Aku melirik jam tanganku. Sebenarnya aku berbohong. Aku sama sekali tidak ada pekerjaan. Kupikir setelah ini aku mau mampir sebentar bertemu anak-anak. Aku bingung. Saat belokan sudah di depan mata, aku tetap berjalan lurus dan menuju rumahku. Kenapa tanganku tak bergerak sesuai dengan keinginanku? Chapter Twelve Rainer Wartawan yang melarikan diri itu masih dicari. Aku sudah membayar orang untuk mencarinya sampai ketemu. Karena aku ingin mencekiknya dengan tanganku. Ada sedikit kabar menyegarkan bahwa dia pulang ke rumah orangtuanya di Liverpool dan memulai usaha di sana. Segenap orang bayaranku mencari dan mendapatkannya sedang duduk santai di teras rumah. Sedikit keberingasan orang-orangku membuatnya babak belur. Saat ini pria itu tidak bisa ditanya-tanya karena luka memar di wajah dan tulang rusuknya retak. Oke, pada akhirnya aku bersabar selama beberapa hari lagi untuk menambah memar-memarnya. Saat aku bertemu dengan Jim, dia menyesal karena sudah berkhianat padaku dan juga pada perusahaan tempatnya bekerja. Uang yang diberikan oleh Kate memang diterimanya dengan rasa terima kasih yang besar. Tidak ada niat baginya untuk memuat artikel itu dengan bumbu-bumbu penyedap yang tidak sesuai dengan hasil wawancara. Tapi dia mengaku ada orang lain yang datang padanya dan membayarnya mahal untuk keluar dari perusahaan dan memulai usaha. Jim tergiur dengan bodohnya. Sebelum keluar dari pekerjaannya, dia melimpahkan tugas itu pada rekannya, yang ternyata sudah menerima suap untuk memuat berita yang berlebihan. Rekannya itu dibayar dengan mahal dan dipaksa untuk menerbitkan berita serta foto-foto keluargaku. Juga beberapa informasi tentang keluarga Leslie. Tepatnya nama pamanku tercantum di artikel itu. Aku geram sekaligus marah dan kasihan pada Jim. Aku memintanya untuk memberikan nomor ponsel rekannya itu. Dan sekarang, pria itu sudah berada dalam genggamanku. “Siapa orang yang membayarmu?” Desakku. “Tidak ada, Rainer.” Aku melayangkan tinjuku ke rahangnya. Lalu memberikan bonus pukulan pada perutnya. Dia terjerembab di lantai sambil memeluk perutnya. “Kau punya keluarga?” Tanyaku. “Ada.” Ucapnya susah payah. “Baiklah, kalau begitu aku akan mengirim keluargamu terlebih dahulu ke neraka setelah itu kau akan menyusul mereka.” “Jangan! Kumohon jangan!” “Kalau begitu bicaralah! Bicara, bajingan!!” Pria bernama Andrew itu terbatuk-batuk. Aku memaksanya berdiri dan mendorongnya hingga punggungnya menghantam dinding. “Jessy... Cassilas.” Katanya, setelah aku mencekik lehernya kuat-kuat. Jantungku merosot. Ini mustahil. “Katakan sekali lagi dan jangan berbohong.” “Jessy... Cassilas.” Ulangnya. Nama itu begitu kukenal. Aku tak habis pikir bahwa wanita itu benar-benar jalang. Sialan! Aku menghempaskan Andrew ke tanah dan meninggalkannya yang masih terbatuk-batuk dan kesakitan. Kini aku mulai memproses semuanya. Orang yang merugikan orang lain harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Jessy. Dan kali terakhir kami bertemu, dia mengancamku. Aku tak berani menduga sama sekali bahwa dia serius dengan kata-katanya. Jessy memang brengsek! Dia sudah mencuri foto keluargaku. Tidak tahu darimana dia mendapatkannya. Dan hal itu sungguh mengganggu privasi keluargaku. Aku harus membuat perhitungan dengannya. *** “Tidak! Lepaskan! Brengsek! Lepaskan aku! Rainer! Tolong. Kumohon.” Kejutan! Dalam waktu dua minggu akhirnya aku berhasil menjebloskan Jessy dalam penjara. Dia tidak hanya brengsek tetapi dia adalah racun dan benalu di antara tanamanku. Dia terbukti melakukan suap terhadap wartawan untuk memanipulasi berita. Andrew juga ditangkap. Dan aku mengantar mereka dengan senyum sinis ke balik rumah besi yang akan mereka tempati beberapa tahun ke depan. Satu hal lain yang mengejutkan adalah, Adam dan Leona Dosch juga merupakan kaki tangan Jessy. Alasan mereka merampok dan menyerang Leslie adalah alasan yang dibuat-buat dan direkayasa oleh Jessy. Kedua kakak beradik ini mengorbankan hidup mereka hanya demi uang untuk kesenangan semata. Kokain. Kini mereka dijerat dengan hukuman berlapis dan ada kemungkinan mereka akan menua seumur hidup dalam penjara. Mendengar kenyataan baru tentang terlibatnya Jessy dalam upaya menghancurkan hidupku, kali ini aku benar-benar marah dan rasanya ingin mencekik lehernya sampai putus. Jessy benar-benar wanita tanpa hati nurani. Ketika digiring oleh petugas keamanan, dia mencaci maki diriku dengan segala hal yang memekakkan telingaku. Dia membenciku karena aku menolak cintanya. Dia marah dan patah hati. Aku bergidik ngeri. “Nikmati kamar barumu, Jessy.” Teriakku. “Sialan!” Aku mengangkat bahu dan masih mendengar teriakannya. Semoga saja dia tidak akan pernah keluar dari penjara. *** Aku senang masih bisa melihat Abigail beberapa hari dalam minggu ini. Walaupun sepertinya gadis itu tidak senang melihatku. Sial! Kenapa pula aku harus mengiyakan saat Jessy ingin ikut ke rumah sakit waktu itu? Aku tahu bahwa dia akan terus merecokiku kalau aku memberinya hati sekali lagi. Lihat, dia bergelayut manja tanpa tahu malu dan menunjukkannya di depan Abigail. Itu membuatku merasa bersalah. Ah, sudahlah. Jangan bicarakan Jessy lagi. Wanita itu sudah membusuk di penjara. Aku tak tahu apa tanggapan Abigail mengenai hal itu. Saat itu kulihat mata Abigail meredup. Dia sama sekali tak mau melihatku seperti aku adalah bangkai atau semacamnya. Bahkan kuperhatikan, dia benar-benar ingin menelan Jessy bulat-bulat. Benarkah? Mungkinkah itu tanda cemburu? Aku tertawa sendiri. Cukup menggelikan, dan cukup menghibur. Aku senang kalau dia cemburu. Walaupun sebenarnya itu bukan maksudku untuk melakukannya. Karena aku pun tidak tahu bahwa dia ada disitu menemani Leslie. Aku berdiri di depan kaca. Sekarang pukul enam lewat lima belas. Aku memakai jaket dan mengambil kunci mobilku. Masalah Leslie sudah dituntaskan. Dan pertengkaran antara aku dan Abigail pun harus dituntaskan hari ini. Harus ada satu jalan keluar. Jalan keluar yang baik bagiku dan dirinya. Sikap saling mendiamkan seperti ini membuatku tersiksa. Kenapa, kenapa hanya dia yang bisa membuatku begini? Hampir setiap hari aku bermimpi tentangnya. Tentang kami berdua yang terus bersama. Kejadian-kejadian menyenangkan itu kembali berputar-putar di otakku. Aku ingin memiliki Abigail seutuhnya. Mobilku berhenti di depan rumahnya. Rumahnya tampak sepi. Aku mengambil ponselku. Dia mengangkatnya dalam dering kedua. “Aku di depan rumahmu.” Kataku. “Aku tahu.” Jawabnya. “Maukah kau keluar untuk menemuiku?” “Aku sudah berada di belakang mobilmu.” Aku menoleh. Ada sesosok wanita berdiri dengan ponsel di tangannya. Dia melipat kedua tangannya di bawah dada. Aku keluar dan menghampirinya. “Kau terlambat.” Katanya. Aku tersenyum masam sambil melihat jam tanganku. “Hanya dua menit. Bukankah ada toleransi?” Dia menggeleng. “Sebenarnya kau membuatku mencuri waktuku yang sangat berharga untuk pekerjaanku.” Aku menghela napas. “Baiklah, Nona. Aku minta maaf.” “Sekarang katakan apa yang ingin kau katakan.” “Kau tidak mengajakku masuk?” Lagi-lagi dia menggeleng. “Aku tak tahu apakah aku akan keluar dari pendirianku jika mengajakmu masuk ke dalam rumahku. Butuh persiapan yang lama untuk menerimamu di sana, kau tahu?” Aku ingin merengkuhnya. Tapi tanganku kaku dan tidak berani melakukannya. Dia mau bertemu denganku saja sudah kurasa cukup bagiku. Aku menahan diriku. Kami berbicara sambil berdiri. Di malam hari dengan angin yang berhembus lembut. “Tidakkah kau mau kembali bersamaku?” Dia diam. Menatapku dengan sorot mata datar. “Tidak.” Bisiknya. “Abigail, aku pernah mendengar orang bijak mengatakan bahwa setiap orang bisa mendapatkan kesempatan kedua. Tak adakah kesempatan itu bagiku?” “Jika kau bisa menghitung, kesempatan yang kuberikan padamu lebih banyak dari dua kali. Apa yang kau lakukan dengan semua yang kuberikan? Coba pikirkan.” Aku terdiam. Kepalaku menunduk menatap sepatu. Sebentar saja aku merenungkan kata-katanya. Abigail benar. Kesempatan yang kumiliki sudah habis terpakai untuk mengecewakannya. Lalu aku kembali melihat bola matanya yang tampak seredup malam yang gelap. “Aku menyakitimu. Bukankah begitu?” “Senang mendengarnya.” Ucapnya lirih. “Aku ingin bersamamu, Abigail. Tidak adakah serpihan-serpihan maaf untukku?” “Rainer, aku mencoba memaafkanmu. Aku sudah memaafkanmu. Dan aku pun tak sanggup memendam segala macam kebencian dan luka terlalu lama. Karena itu akan menghancurkan hidupku.” Aku terperangah. “Jadi kau memaafkanku?” Abigail mengangguk. Aku tersenyum dan ingin menariknya ke dalam pelukanku. Tapi dia mundur. Begitu menjaga jarak denganku. Denyut nadiku mengencang, dan angin ribut melanda hatiku yang kosong. Aku ingin kembali mengisinya. Dengan matahari, dengan tawa, dengan Abigail di dalamnya. Wajahku muram. Tanganku jatuh lunglai di samping tubuhku. “Mengapa kau tak membiarkanku menyentuhmu?” “Karena aku takut tidak bisa membiarkanmu lepas ketika kau melakukannya.” Bisiknya parau. Dia membuatku terkejut. Rasa rindu yang besar memancar dari matanya. Dia juga menginginkanku. Aku tahu bahwa perasaan kami sama. Kami saling membutuhkan dan saling menyayangi. Sedetik kemudian hatiku dialiri aliran yang sejuk. Kupikir sudah saatnya untuk tidak lagi berpura-pura. “Aku pun tak mau melepasmu, Abigail. Aku tahu bahwa kita memang harus bersama. Aku menyayangimu, Abigail. Kita sepatutnya—” “Rainer, cukup!” Bantahnya. Dia memejamkan matanya dan tertunduk. Lalu kembali menatap lurus ke dalam mataku dengan matanya yang berkaca-kaca. Bahunya sedikit berguncang. Ada cinta yang kuyakin adalah untukku. Tapi kenapa di samping cinta itu masih ada luka yang belum sembuh? Kupikir pada awalnya hanya goresan. Tapi ini jauh lebih besar dari sekadar goresan luka. Bisakah luka itu luput dari mataku? “Aku takut kau lagi-lagi menyakitiku. Sudah banyak yang kau lakukan hingga membuatku begitu. Hubungan kita tidak bisa lagi seperti dulu. Kumohon Rainer. Jujur saja bagiku sangat berat. Walaupun memang aku menyukai caramu memperlakukanku saat itu. Aku senang berada di dekatmu. Tapi kumohon mengertilah. Akan lebih baik jika kita tidak bersama. Mungkin ada lebih banyak kebahagiaan setelah perpisahan.” Aku tidak tahan melihat air matanya yang pelan-pelan jatuh di kedua pipinya. Aku tahu dirinya sangat tersakiti. Kata-katanya hanya bohong belaka. Dia pura-pura kuat. Padahal aku tahu betapa rapuhnya dia saat ini. “Aku berjanji, Abigail.” Aku memohon. “Tidak.” Dia menggeleng lagi. “Kau mencintaiku. Kau ingin bersamaku. Bibirmu berbohong. ” Dia membelalakkan mata. Mulutnya ingin mengeluarkan suara. Namun dia tetap bungkam. “Katakan kau mencintaiku!” Kini aku memegang tangannya. Saat itu juga petir menggelora, aku tak memperhatikan bahwa langit turut mengikuti gejolak emosi yang kami alami. Titik-titik air mulai turun. Awalnya lembut dan kini semakin deras. “Tidak seperti itu.” Ucapnya sedih. Air matanya berbaur dengan hujan. Aku tahu bibir indahnya pintar berbohong. Tapi tidak dengan matanya. Aku menariknya. Mendekapnya hingga menempel erat di dadaku. Dia tidak berusaha melepaskan diri. Reaksi tubuhnya berbeda. Dia menginginkan aku. Sudah lama sekali aku ingin mendekapnya, walaupun sebenarnya bukan seperti ini cara yang aku inginkan. Mendekapnya dalam luka. Abigail membuka mulutnya untuk membantah. Aku menghentikannya dengan mengecup bibirnya. Aku merindukannya dengan segenap jiwaku. Abigail meronta. Tetapi ketika aku memperdalam ciuman itu dan merengkuhnya semakin erat, dia ikut terhanyut. Aku menaikkan tanganku untuk meremas rambutnya. Hujan yang cukup deras kini meredam kami dengan curahan airnya yang dingin. Aku mengetatkan pelukan. Kutahu bahwa saat itu dia menangis dan tertawa bersamaan. Abigail membalasku. Memagutku dengan kerinduan yang sama. Tangannya melingkari leherku. Aku menikmati dirinya berada dalam pelukanku. Tak peduli bahwa petir kembali menggelegar, kami tetap berpelukan erat. “Rainer.” Aku terhanyut oleh suaranya. Dan aku menyukai caranya menyebut namaku. Aku kembali mengecupnya dengan mesra. Aku sudah mendapatkannya kembali. Kupikir setelah ini aku tak akan lagi membiarkannya lepas. *** “Curang!” Abigail berteriak. Aku berlari menjauhinya. Aku baru saja mencolek es krimnya dan memasukkannya ke dalam mulutku. Hari ini kami meliburkan diri. Aku dan Abigail berjalan-jalan di sekitar sungai Thames. Kami memakai pakaian yang santai dan tidak mencolok untuk menghindari paparazi. Sejauh ini, belum ada yang mengenali kami. Abigail berhenti dan menyandarkan lengannya di pinggir pagar. Aku mengikutinya dan menikmati pemandangan sungai Thames di sore hari. “Boleh aku tanya sesuatu?” “Apa?” Kata Abigail. Dia menjilati tangannya yang belepotan sisa es krim. “Hei, jorok!” Kataku “Siapa peduli? Toh hanya kau yang sadar kalau aku adalah Abigail Johnson!” Aku menatap ke sekeliling orang yang berlalu lalang. Mereka tampak biasa dan tidak mengenali kami. Aku tersenyum. Aku mendekatinya dan menarik pinggulnya hingga menempel padaku. Aku menyukai Abigail yang ini. Abigail yang tidak malu-malu, apa adanya, dan Abigail yang keras kepala. “Rainer! Lepaskan!” “Tidak! Sebelum kau berkata iya atas jawaban dari pertanyaanku.” “Kau gila! Aku bahkan belum mendengar apa pertanyaanmu.” “Baiklah. Aku menyukaimu.” “Itu bukan pertanyaan, Bodoh!” Dia memukul dadaku dan aku meringis. Aku mengetatkan pelukanku. Aku menarik napas dalam dan mendekatkan wajahku pada wajahnya. “Well, aku menyukaimu, aku mencintaimu, dan aku menginginkanmu untuk menjadi milikku. Hanya milikku. Kau bersedia?” Aku melihat senyum di matanya. Dia menatapku begitu lama. Sampai pada akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada dadaku dan tertawa. “Ya. Aku bersedia.” Dia mengucapkannya dengan begitu lemah. Aku memeluknya dengan sangat erat dan mengangkatnya hingga kakinya tidak menyentuh tanah. Aku memutarnya beberapa kali hingga membuatnya berteriak-teriak. “Katakan kau mencintaiku!” Kataku Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak! Di sini banyak orang.” “Baiklah, aku akan memutarmu lagi sampai pusing.” Dia berteriak lebih kencang hingga beberapa orang tersenyum-senyum melihat kami. Aku membuatnya benar-benar berteriak. “Aku mencintaimu, Rainer Holt!” Selepas itu aku menurunkannya dan dia terhuyung. Aku memeluknya dan mencium bibirnya. Manis. Hangat. Milikku. Setelah itu kami merasakan blitz kamera menyilaukan kami. Oh sial! Paparazi! Aku langsung menarik lengan Abigail dan membawanya lari sekencang mungkin. Di belakang kami pun banyak penggemar yang bekejar-kejaran mengikuti kami dan meneriakkan nama kami. Kami tertawa terbahak-bahak saat berhasil bersembunyi di salah satu gang kecil. “Larimu kencang juga.” Kataku dengan napas terengah-engah. Dia tertawa sambil menyandar pada dinding. Bahunya naik turun. Di gang sempit ini hanya ada kami berdua. Tiba-tiba dia memeluk leherku dan berjinjit. Dia menciumku dan aku balas memagut bibirnya yang lembut. Setelah ini kami akan berlari lagi menghindari paparazi dan penggemar yang mungkin masih mencari dan mengikuti kami. Mungkin berita dan foto kami akan menjadi headline besok pagi. Aku tidak peduli. Dia sudah menjadi milikku. Aku akan terus berlari bersamanya. Sampai kakiku benar-benar tidak mampu lagi untuk berlari. Run with me, Abigail! THE END Description: Abigail Johnson, seorang penyanyi bersuara emas yang memiliki jiwa sosial tinggi dan menyukai anak-anak, terlebih pada anak-anak yang kurang beruntung. Karena rasa cintanya pada anak-anak, dia mendirikan sebuah rumah yang diberi nama Home for Kids “Abby”. Banyak orang berdecak kagum dengan tindakan sosialnya. Namun tak sedikit yang mencela. Rainer Holt, aktor tampan dan model pria berpenghasilan tinggi di Inggris. Terkenal dan digilai banyak wanita. Dan merupakan salah satu orang yang mencela tindakan Abigail yang menurutnya hanya mencari sensasi untuk menarik perhatian dari penggemar. Abigail pernah mengangumi Rainer. Tetapi satu kalimat mencela yang diucapkan Rainer tentang dirinya di depan wartawan membuatnya geram. Rasa kagum itu berubah menjadi benci. Aroganisme Rainer membuat Abigail menghindar dan berusaha untuk membuang bayang-bayang pria itu dalam otaknya. Suatu ketika, mereka dipertemukan kembali dalam satu acara bincang-bincang di stasiun televisi. Pertemuan itu kembali meletupkan perseteruan di antara mereka. Hingga pada akhirnya, mereka menyadari bahwa perseteruan itu menumbuhkan pesona dan ketertarikan di antara keduanya yang tidak bisa terelakkan.
Title: Riwayat kecil hidupku Category: Cerita Pendek Text: Riwayat kecil hidupku Namaku Abdul, aku adalah seorang remaja yang duduk di bangku sekolah kelas 2 SMK, Hobiku adalah bermain sepak bola, tetapi di PlayStation, aku senang sekali, sejak masih duduk di bangku SMP, Aku sudah senang bermain PlayStation, hampir setiap sepulang sekolah aku pergi Ke Rental PS didekat rumahku untuk memainkannya, bahkan pernah sesekali aku rela bolos karenanya. Suatu ketika ada perlombaan sepak bola di Rental tempatku biasa bermain, lantas aku bergegas mengikuti Perlombaan tersebut, dengan penuh keyakinan aku pasti bisa memenangkannya. waktu telah berlalu, hingga akhirnya perlombaan pun dimulai dan berlangsung dengan baik tanpa adanya kericuhan, Dengan penuh konsentrasi aku melakukannya dan hingga akhirnya Tiba, aku pun berhasil memenangkan perlombaan tersebut, Dan dengan senangnya lagi aku bisa mendapatkan uang yang cukup banyak, sehingga aku pun tergiurrr untuk mengikutinya kembali jika ada lagi. Hari terus berlalu, seperti biasa aku melakukan kegiatan sekolahku, lalu bermain PlayStation, suatu ketika aku mendapatkan banyak sekali informasi dari teman-temanku mengenai perlombaan dibeberapa Rental didekat maupun yang jauh dari tempat tinggalku, Tidak ada tempat perlombaan yang aku ketahui melainkan aku berada didalamnya, dan dari semua perlombaan yang aku ikuti semua itu akulah yang memenangkannya, Dengan sangat gembira sekali akan hal itu, aku pun memutuskan untuk berhenti sekolah, karna dipikir-pikir untuk apa aku sekolah, abis sekolah pun juga akhirnya aku akan kerja cari duit juga, sementara sekarang saja aku bisa mendapatkan uang banyak dengan mengikuti perlombaan seperti ini tanpa harus berlama-lama menunggu lulus dan mendapatkan ijazah sekolah lalu bekerja, keputusan saat itu sudahlah sangat matang aku pikirkan, walaupun harus bertentangan dengan keinginan orang tuaku, tapiiii itulah aku, aku memang agak keras kepala, ketika Memiliki kemauan tidak boleh ada yang menghalanginya sekalipun itu orangtuaku, Dengan kehidupan yang aku jalani ini, aku merasa lebih bebas berpoya-poya dengan hasil usaha kerasku mendapatkan banyak uang, bahkan teman sejati ku yang selalu menemaniku mengikuti perlombaanku pun ikut kebagian senangnya, Pantas saja, aku ini kan orang baik! hehehe. Di rentang waktu beberapa hari yang cukup lama aku tidak mendapatkan informasi adanya perlombaan, Dan dengan senangnya akhirnya aku mendapatkannya kembali, seperti biasa aku dengan temanku mendatangi dan mengikuti perlombaan tersebut, tapi untuk kali ini tempatnya agak jauh dari rumahku, akan tetapi jarak tidak memadamkan semangatku untuk menghadirinya, perlombaan pun berlangsung dan akhirnya seperti yang sebelumnya sudah aku duga aku pasti memenangkannya, dan akhirnya akupun memenangkannya, untuk kali ini uang yang aku dapatkan lebih banyak dari biasanya, Akan tetapi di pertengahan jalan pulang musibah pun terjadi, ternyata ada beberapa dari lawanku yang tidak terima atas kemenanganku, dengan niat jahat mereka pun merampas kembali uang kemenanganku, aku dan temanku bingung harus berbuat apa, akhirnya aku memberikan semua uangnya agar aku bisa selamat darinya. Description: sebuah kisah soerang remaja, mengisahkan tentang perjalanan hidupnya yang diakhiri dengan sebuah penyesalan.
Title: RAHASIA BUKU DIARI BIRU Chan Category: Cerita Pendek Text: Diari Biru Seribu kisah ini terlahir dari detik-detik jarum jam -hari yang berputar. Lusinan kata-kata, pun berhamburan menjadi rangkaian cerita-cerita yang saling menghubungkan kalimat-kalimat celaka, sumpah serapah dan doa-doa pun tak terbantah di sana-ter- selipkan. Entah seperti apa rangkaian cerita ini sehingga menjadi sebuah kisah yang benar-benar bernanah bagi si empunya sendiri (tentunya). Pada awal percakapan ku, dengannya. Ia benar-benar berlinang airmata, terisak meringkih, menangis sesenggukan, tanpa menutupi wajahnya- benar-benar memilukan. ☆ Maret di dalam tahun ketika waktu itu- "Rona,?" "Iya, Chan.." "Boleh aku mengantarmu pulang,?" "Ya, tentu.." "Thanks Rona, menyenangkan hari ini bagiku." Ketika dua sejoli itu meninggalkan kampus yang masih hiruk pikuk. Wisuda telah selesai, akhir yang memutuskan untuk langkah mengambil jalan-masing-masing. Kamu dengan tujuanmu- Dan, aku dengan tujuanku- Masa-masa kebersamaan yang indah mungkin hanya kenangan bagi kita.. Entah kapan kita akan berjumpa lagi, terakhir di waktu itu engkau melambaikan tanganmu, menutup perpisahan kita dengan senyuman yang sangat manis. " Ohh..Chan,.. sampai hari ini aku masih berharap kembali bertemu denganmu, entah dimana pun itu, entah kapan pun itu, mungkin saja pengharapan kecil ini dapat terkabul, dan setiap saat aku mengingatmu, aku selalu berdoa, meminta Tuhan mempertemukan kita kembali." Cahaya mulai redup, sinar mentari perlahan tenggelam, waktu sore telah beranjak petang. Rona menutup buku hariannya, sejenak ia menghela begitu panjang, seakan beratnya dadanya itu untuk bernafas. Lalu dengan sedera rintihan angin petang yang dingin, ia berbisik sendiri. "Chan, aku masih sendiri." * Sinia berlari kecil, mensejajari langkah Chan. "Hi.. Chan,.. mau ke kantinkah?" Sambil berseru sumringah, Sinia menggandeng lengan Chan. "Ya Sinia, aku mau ke kantin, kamu sudah makan-belum?." "Oh, kebetulan Chan, aku juga belum" Sambil meredupkan matanya menggoda Chan. Chan hanya tertawa kecil melihat tingkah Sinia, yang satu kampus pun sudah tau, kalau Sinia itu begitu gigih mengejarnya. Ö * Waktu begitu cepat berlalu, terhitung dari jam yang berdetak, seperti jantungku ini. Hari ini tahun ke 14, sejak perpisahan itu. Aku dan Chan. Matahari telah sampai di ujung nadir, langit pun mulai redup kembali, aku dengan buku harianku, kembali menggambar kisah-kisah itu.., kisah yang begitu mengikis perasaanku. "Hi Chan, aku kembali di sini, menemuimu walau hanya lewat langit petang, semoga kau melihat bayanganku disana, di atas langit yang tinggi, di antara awan yang bergerumbul, semoga wajahku menyelinap disana, bersama hempasan angin yang akan memyampaikan suara hati ini." Begitu rangkaian kalimat yang di tulisnya, di atas tebal buku harian birunya. * "Naa...,?!" "Hi.., Rick.." "Nanti malam kamu sibuk gak?, kebetulan aku ada acara di rumah, kamu bisa datangkah Naa..?" "Oh,.. acara apa yaa.. Rick?" "Mm.., ulangtahun Mamaku, mau yaa.. kamu datang Na..!" "Ooh.. Ultah mama kamu, mm.. iya, nanti aku usahain datang Rick, tapi gak janji yaaa.. " "Thanks.. ya Naa.., mamaku pasti seneng banget kalau kamu dateng." "Oke, aku duluan ya Rick.." "Iya Na.. hati-hati di jalan.." Sambil berlalu Rona meninggalkan Erick, yang terus memandanginya, sampai ia menghilang di hadapannya. Erick adalah rekan kerja Rona, yang selama ini begitu antusias mendapatkan hatinya Rona. Ia tidak mudah menyerah, walau pun Erick tau, kalau Rona begitu dingin terhadapnya. Sampai beberapa tahun ia menjadi rekan kerja Rona, ia seakan tak menggubris cemoohan rekan-rekan kerja yang lain continue_》 Bertepuk sebelah tangan Sampai beberapa tahun kemudian ia menjadi rekan kerja Rona, ia tak pernah menggubris cemoohan rekan-rekan kerja yang lainnya, yang mengatakan kalau perasaannya bertepuk sebelah tangan. Yang pada akhirnya, Rona benar-benar jatuh di dalam rengkuhannya. "Rick,.." "Iya Naa.." "Weekend ini aku ada tugas ke luar kota, mungkin beberapa hari aku disana, jadi tolong sampaikan maafku pada tante kamu yaa.., kalau aKu tak bisa datang ke Pesta tunangan Sheila.." "Oh.., kok kamu baru ngomong sekarang Na.." Erick mengernyitkan keningnya. "Ia Rick.., soalnya juga ini aku baru dapat kontak dari pak Bos. " "Sorry ya Rick.., aku juga gak tau kenapa mendadak begini. " "Oh.. yaa udah, ga apa-apa Naa.., kerjaan kan lebih penting, kalau acara sepupu aku kan dapat kamu datang lain waktu ketika pernikahannya." Sembari tersenyum kecut, Erick melengoskan wajahnya. Rona tau, Erick kecewa, karena kesempatan inilah yang di tunggu-tunggu Erick untuk lebih memperkenalkannya kepada keluarga dia. Sebab, walau pun ia dan Erick telah resmi berhubungan, namun Rona tak pernah benar-benar memperkenalkan dirinya kepada keluarga Erick. Ia selalu menjaga jarak, entah itu alasan apa pun yang di buatnya. * Dua tahun sudah rona menjalin hubungan dengan Erick tanpa komitmen dan kejelasan. Yang membuat pada suatu ketika Erick bertanya kepadanya, dan membuat hatinya bimbang. "Naa.., bagaimana kalau kita melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius, kita kan bukan anak kecil lagi, kita sudah dewasa dan cukup umur, lagian aku pun sudah di pertanyakan keluarga, kapan hubungan peresmian kita." Erick, menatap mata Rona tajam, seakan ingin menembus dinding hatinya itu yang begitu misterius. Rona terdiam, bibirnya seakan begitu kelu untuk menjawab pertanyaan Erick. "Naa..?," Erick menyentuh jemari Rona, tetapi segera di tepiskannya perlahan. Wajah Eriçk tertunduk, ia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Rona, yang begitu rumit menurutnya. "Rick.., maafkan aku, 'aku benar-benar belum siap' dan belum berpikir ke arah sana, aku masih ingin melanjutkan karierku." Akhirnya setelah lama terdiam, Rona berkata, yang membuat telinga Erick sedikit memerah. "Naa.., apa artinya aku bagimu?" .. Erick, tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang begitu mengejutkan dan membuat bulu kuduk Rona sedikit merinding, sambil menatap matanya, Erick berharap. Dan pertanyaan itu membuat Rona begitu gelagapan. "Rick.., aku ...aku..".. "Mm.., sudahlah Naa.., tak perlu di jawab, aku sudah tau. "Aku balik dulu ya Naa.., anggap saja aku gak pernah bertanya ini." Sambil berdiri, Erick menyeret langkah kakinya meninggalkan Rona yang terduduk dan terlihat kebingungan, ia termangu melihat kepergian Erick dengan tatapan yang kosong. Satu bulan semenjak Erick mempertanyakan hubungannya kepada Rona. Ada sedikit perubahan sikap dalam diri Rona, yang seperti lebih sering menghindari pertemuannya dengan Erick. Ia lebih menyibukan dirinya, tenggelam kedalam pekerjaannya, sampai lupa waktu dan seaķan juga melupakan hubungannya dengan Erick. Melihat hal itu begitu sedih hati Erick, ia merasa di abaikan oleh Rona, dan tanpa di sadarinya, benih-benih benci pun mulai memupuk akal pikirannya. Dan semakin lama-semakin timbul kebencian Erick karena merasa tidak di hargai Rona. Dan puncaknya terjadi, ketika akhir pekan yang seharusnya di habiskan oleh banyak pasangan untuk berlibur bersama, emosi Erick meledak-ledak bagaikan gunung yang meletus menumpahkan laharnya. Rona terkejut, ia tidak menyangka sedikit pun sebegitu besarnya amarah Erick dengan mengatakan sumpah serapah yang di tujukan kepadanya. Continue_》 Asing Itu Indah Rona terkejut, ia tidak menyangka sedikit pun sebegitu besarnya amarah Erick, sehingga mengatakan begitu banyak sumpah serapah yang di tujukan kepadanya. "Rick..., maafkan aku" Dengan mata berkaca-kaca Rona mengucapkan kalimat tersebut. Tetapi Erick seakan tak menggubrisnya lagi, ia berkacak pinggang di depan Rona, dengan wajah merah padam, seakan terbakar, dan keringat bercucuran memenuhi kepala dan dahinya. "Naa, kali ini aku sudah tidak dapat sabar lagi menghadapi sikap kamu terhadapku, Kamu itu tidak pernah menghargai saya, kamu itu begitu arogan dan egois..! kamu tidak pernah memperdulikan saya,! 'Selama ini saya mati-matian mempertahankan hubungan ini, tetapi apaa...! Sikap sabar saya selama ini selalu saja di abaikan oleh kamu, sikap kamu itu membuat saya muakkk...! saya seperti orang asing berada di sampingmu dan saya merasa tidak respeck lagi.. sama kamuu..! 'Saya capek Naa..., saya capeek ..!! " Begitu saja Erick menghabiskan kata-katanya yang selama ini di pendamnya. Hatinya begitu terbakar dan benar-benar panas. Rona hanya tertunduk, sambil memainkan kedua jemarinya, ia seakan terpukul dan terjatuh di lembah curam dan dalam, ia merasa begitu terhimpit di antara lorong-lorong yang gelap, begitu sesak dadanya mendengar setiap kalimat-kalimat yang di lontarkan dari mulut Erick. Dan terlihat kedua pipinya mulai basah. "Rick.., Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf, semua salahku Rick,.. 'dari awal seharusnya kita tidak menjalin hubungan, aku bersalah telah menerima kamu sebagai pasanganku, aku salah..! 'Aku minta maaf.., maafkan aku Rick.." Dengan tersedu-sedu Rona mengatakan kalimat-kalimat yang membuat hati Erick semakin terturih dan terluka. "Baiklah Rona.., semuanya memang salah, aku seharusnya tidak mendekatimu- tidak mengejarmu, sampai cemoohan dari teman-temanku tak pernah aku gubris, aku benar-benar salah mengartikan apa artinya dirimu dihatiku.!" Dengan tatapan tajam dan suara tinggi terlihat tubuh Erick gemetaran. "kita putus Rona..!, hubungan kita akhiri saja, semoga apa yang kamu inginkan dapat terkabul..!, dan mungkin di suatu hari kamu akan dapat merasakan apa yang saya rasakan saat ini." "Selamat tinggal..!" Sesaat setelah kepergian Erick Rona menangis sejadi-jadinya.., hatinya begitu remuk, ia merasa berdosa, dan kata-kata Erick yang terakhir itu seakan terus terngiang-ngiang di telinganya. Satu tahun telah berlalu- Sejak Rona berpisah dari Erick.., yang tanpa kabar beritanya lagi, sebab Rona memilih mengasingkan diri di sebuah kota kecil yang jauh dari tempatnya bekerja, ia pun telah meminta cuti yang panjang kepada atasannya, yang sebenarnya tidak di izinkannya, tetapi Dengan ancaman Rona yang aķan lebih memilih mengundurkan diri dari perusahaan, bosnya pun tak dapat berkata apa-apa lagi, selain meng-iya kan nya saja, dengan sebuah persyaratan, Rona akan kembali bekerja. (Sebab Rona sangat di butuhkan di dalam perusahaan tsb). Sore itu langit begitu merah, warnanya menyala tersiram cahaya senja. Rona terduduk di bawah pohon rindang.., di atas batu hitam yang teronggok di bawah pohon tsb, ia terlihat sedang memainkan sebuah alat tulis, yang rupanya ia sedang menuàngkan tetesan tinta hatinya kepada sebuah buku Diary biru yang sedang dalam genggamannya. "Chan,.. hari ini aku sedang berada di tengah-tengah kota asing,, yang sebelumnya tidak pernah aku datangi, tetapi aku ingat pada masa itu- kamu mengatakan kepadaku, 'Asing itu indah' dan membuat kita akan semakin bersemangat untuk lebih mengenalinya, dan menggali penemuan-p Continue_》 Tersesat "Chan,.. hari ini aku sedang berada di tengah-tengah kota asing,, yang sebelumnya tidak pernah aku datangi, tetapi aku ingat pada masa itu- kamu pernah mengatakan kepadaku, 'Asing itu indah' -indah untuk menemukan, -indah untuk mengenali, dan membuat kita akan lebih bersemangat untuk menggali, dan terus menggali hal-hal dan penemuan-penemuan baru yang akan semakin membuat kita tahu, apa artinya itu 'menemukan' Dan, apa artinya itu 'mengenali' , sebuah hal dalam kehidupan/ pengalaman dalam ilmu kehidupan." "Dan saat ini aku ingin menemukannya, menemukan apa artinya hidup ini bagiku." "Chan, andaikan kau sekarang berada di sini, aku ingin sekali bertanya, 'apa yang kau rasakan ketika aku menjadi salah satu orang terdekat bagimu dari sekian banyaknya teman-teman kita?, dan adakah perbedaan di hatimu, dan perasaanmu, ketika sewaktu kau menggenggam tanganku di saat mengantarkanku di depan pintu halaman rumahku.?.. aku sangat penasaran.., apa yang ada di pikiranmu saat itu,? Apa yang ingin kau sampaikan kepadaku, ? Yang sesaat kepergian kita masing-masing kau tidak sempat mengucapkannya." "Chan.." Begitu panjangnya kalimat-kalimat pertanyaan yang di goreskan jemari Rona, seperti lorong yang tak berpintu dan tidak berujung. Petang kembali memanggil burung-burung liar yang beterbangan di atas langit yang mulai kusam, Wajah Rona mendongak ke atas, melihat simpul awan yang semakin kelam, menelusupkan matahari kedalam peraduannya. Rona pun beranjak, menutup buku Diary nya. * Dua minggu sudah Rona menempati rumah kecil yang di sewanya itu. Rumah yang berhadapan langsung dengan alam Ladang dan juga pesawahan-pesawahan, yang di kelilingi bukit-bukit hijau. Begitu indah tatkala matahari sore pun tepat berada di depan serambi rumah tersebut. Ya!, halaman yang benar-benar bercampur dengan alam, luas dan di penuhi rerumputan dan pohon-pohon rindang. Rona seakan betah menempati rumah tersebut, ia enggan untuk kembali ke kota dengan segera. Sore itu tidak biasanya Rona mengambil langkah yang agak jauh dari rumah yang di sewanya itu, hatinya seakan terbawa suasana dan terus mengayunkan langkah kakinya menembus pepohonan dan semak-semak belukar yang menghadangnya. Semakin ke dalam, Rona menembus pepohonan yang semakin lebat dan akar-akarnya pun semakin membesar dan merambat, bersimpulan. Dan tanpa sadar alam semakin gelap dan hening. Rona terkesiap sesaat setelah bunyi craakk, yang menghentikan langkahnya. "Apa itu,?.. " Dalam pikirnya terbayang seekor anjing hutan yang siap menerkamnya. "Seeer..., darahnya mendesir, tubuhnya bergidik, baru ia sadari kalau ia sudah jauh meninggalkan rumah peristirahatannya. "Ya.. Tuhan, dimana ini..?, bagaimana aku bisa sampai kesini tanpa aku sadari, begitu besarnya sihir alam, sampai aku terhipnotis." Dengan setengah kegundahan yang terpancar jelas di wajahnya, rona menyesali lamunannya, yang membuat ia tersesat kini. Gelap semakin menguliti pandangan mata Rona, dingin semakin melucuti gigil tubuh Rona. "Ya.., Tuhan berikan pertolonganmu, aku takut.., aku takuut sendirian disini, akuu takut" Gemetar bibir Rona, ia bingung kemana harus melangkahkan kakinya, arah mata angin pun sudah tak di ketahuinya lagi. Pohon-pohon besar itu menjulang, bagaikan raksasa-raksasa dalam cerita dongeng-dongeng yang siap menelannya hidup-hidup. "Chan,.. aku tersesat, aku takutt.., asing itu menakutkan Chan.." Begitu celoteh hati Rona. Yang kemudian ia terduduk di sebuah akar yang besar di bawah pohon yang rimbun dan hitam. Dingin angin mulai menggemerutukan gigi Continue_》 Kepergian Rona "Chan,.. aku tersesat, aku takutt.., asing itu menakutkan Chan.." Begitu celoteh hati Rona. Yang kemudian ia terduduk di sebuah akar yang besar di bawah pohon yang rimbun dan hitam. Dingin angin mulai menggemerutukan giginya, menusukan silet beku kedalam pori-pori tubuhnya. Rona terisak-tersedu, ingin ia menangis sekencang-kencangnya, namun lidahnya seakan kelu, suaranya pun hanya terdengar samar, lebih mirip sebuah desisan daripada rintihan.., yang keluar dari mulutnya. "Chan.., bagaimana aku mengenali asing ini, sedangkan hatiku saja sudah merasa ciut, aku takutt.." "Erick.., seandainya hatiku tidak seperti batu, mungkin saat ini aku tidak membeku di sini, Erick.., maafkan aku.., andaikan waktu dapat memutar, aku akan mengubah pendirianku, aku dapat merasakannya saat ini, perkataanmu benar, bahwa asing itu tidak nyaman.., aku menyesal." Semakin kelam alam yang di rasakan, semakin dingin angin yang menghunus, tubuh Rona mulai membeku. Matanya mulai berkunang, penuh dengan pendaran-pendaran cahaya yang aneh. Semakin lama-semakin menyilaukan, dan memudarkan matanya pada penglihatan, dan akhirnya semuanya gelap. * Siang yang di selimuti awan-awan mendung, matahari pun tidak tampak lagi. di sebuah area luas - lapang yang di penuhi gerumbulan orang-orang yang memakai baju hitam. Penuh dengan khidmat dan kekushukan, beberapa orang tengah berdoa di samping pelataran merah yang masih basah.. yang di penuhi taburan bunga-bunga yang berwarna-warni dan segar. "Naaaa.., maafkan aku, aku menyesal." Sebuah perkataan yang meluncur dari bibir seorang lelaki yang terlihat begitu sedih. Alam pun seakan ikut merasakan hal tersebut, dan sesaat kemudian luruhlah gerimis yang ikut menangis, menyaksikan peristiwa yang sangat mengikis hati * Hari ke 7 di dalam pencarian, tim yang kemudian baru menemukan titik terang, dimana Rona berada. Salah satu di antaranya tim telah menemukan buku Diary Rona yang sudah lembab dan basah oleh embun. "Pak.. di sini...!!, disini...!!" Begitu teriakan seorang relawan dari sebuah komunitas pendaki yang ikut dalam pencarian tersebut menemukan tubuh Rona. Terlihat tubuhnya sudah kaku dan membiru. Pencarian pun akhirnya tercapai. Sejak kepergian Rona untuk selama-lamanya, kehidupan Erick bagaikan terasa hampa, berbeda dengan keputusannya sewaktu meninggalkan Rona, ia begitu puas dengan sumpah serapahnya, yang begitu tajam melukai hati Rona. Erick begitu menyesali keputusannya itu, ia merasa berdosa kepada keluarga Rona, dan seakan 'dialah yang telah membuat Rona pergi untuk selama-lamanya. Terbersit dalam pikirannya untuk mengunjungi keluarga Rona. Dan pada hari di akhir minggu sejak kepergian Rona, Erick pun benar-benar berkunjung datang kerumah Rona. "Maafkan aku om, tante, aku baru sempat untuk datang kembali kesini sekarang." Begitu Erick bersalaman dengan kedua orangtua Rona. Dan dengan raut wajah penuh kesedihan orangtua dari Rona pun menyambutnya tanpa Ekspresi. "Om,.. Tante.., apakah boleh saya melihat-lihat ruangan kamarnya Rona,..?" Dengan tanpa basa-basi Erick langsung menyatakan maksudnya, ia memang penasaran dengan sebuah buku yang selalu ada dan ia lihat di dalam tas kerja nya Rona, semasa ia masih bersama.., dan itu benar-benar sebuah buku yang tidak pernah tertinggal di dalam Tasnya. "Ya.., silahkan Erick.., om dan tante belum menyentuh atau pun memindahkan barang-barang Rona, kalau ada yang mungkin Rona pinjam dari kamu silahkan di ambil saja.." Begitu jawaban dari lelaki setengah baya itu yang terlihat letih. "Terimakasih, O Continue_》 Kenangan hanya sebatas jejak Diari (Chan) "Ya.., silahkan Erick.., om dan tante belum menyentuh atau pun memindahkan barang-barang Rona, kalau ada yang mungkin Rona pinjam dari kamu silahkan di ambil saja.." Begitu jawaban dari lelaki setengah baya itu yang terlihat letih. "Terimakasih, Om.., saya hanya ingin melihat-lihat , dan mungkin akan mengambil beberapa foto saja.." Begitu selesai perkataannya, Erick langsung menghambur ke dalam ruangan bilik kamar Rona. Ia mencari di setiap sudut ruangan kamar tersebut, tetapi buku itu tidak di temukannya. "Hmm.., dimana buku itu, aku perlu tau isinya, aku ingin mengenalmu Rona, izinkan saat ini aku mengetahui isi hatimu, walau pun kau sudah tiada, tolong izinkan aku menemukan bukumu" Begitu gumam Erick, yang terus menggeledah seluruh sudut kamar Rona. Dan tiba-tiba saja, sebuah benda terjatuh tepat di depan wajah Erick. "Buku...!." Setengah terpekik Erick membeliakan matanya melihat sebuah buku biru yang kini tergeletak di hadapannya. "Terimakasih Rona, terimakasih.. kau sudah mendengar permintaanku dan mengizinkan aku untuk mengenal lebih jauh dirimu melalui buku ini." Tanpa menunggu waktu lama, Erick pun berpamitan kepada kedua orang tua Rona, dan berjanji pada hari yang lain ia akan datang kembali. * Minggu-minggu berlalu, Erick membuang-buang masa dan waktunya, seakan ia tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Pekerjaannya pun terbengkalai, dan ia telah mendapatkan surat peringatan yang kedua dari perusahaan tempatnya bekerja. Yang akhirnya ia benar-benar lupa dengan keadaannya. Setelah menemukan buku itu, dan membacanya perasaan Erick hancur lebur.. masa depan pun seakan suram tanpa cahaya, ia sering menangis sendirian, duduk melamun sepanjang hari dengan mendekap-dekap buku harian tsb. Yang sebagaimana rahasia Rona telah terbuka di dalam buku hariannya( Diary Biru). "Chan.., kau lah penyebab kematiannya bukan aku, Chan.., kau harus bertanggung jawab..!!!" Begitu teriakan yang terdengar suatu hari di keheningan pagi yang penuh kabut. Rupanya Erick adalah saudara sepupu dari Chan, dan Sheila adik Sinia yang kini sudah menjadi sepupu ipar dari istri Chan. Andaikan waktu kembali berputar, dan Rona mau datang di pesta pertunangan Sheila, mungkin semua cerita akan berubah. Dan ending pun tidak harus menjadi sebuah kesedihan hari. Dan itu sangat Erick sesali, di dalam hidupnya.., mengapa-mengapa-?... hidup itu begitu singkat dan takdir tidak dapat di ralat, andaikan..andaikan.. ia tahu kebenarannya sebelum kejadiaan itu, mungkin Ia dan Rona akan menjadi pasangan yang bahagia, tidak ada sumpah serapah, tidak ada kata celaka, dan kehidupan nya tidak akan bernanah seperti yang ia rasakan sekarang. Setelah wisuda selesai, Chan tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan Rona, ia telah melupakannya setelah pekerjaan menjadi prioritas utamanya. Karier Chan semakin melonjak, dan pada akhirnya ia pun telah mencapai puncak kejayaannya, pada tahun ke 7, setelah perpisahannya dengan teman-teman sekampusnya.., dan ia pun telah resmi memiliki sebuah perusahaan baru yang di dirikannya dengan menggandeng perusahaan dari seorang teman yang dulu sangat gigih mengejarnya, yaitu Sinia, dan mereka telah bekerja sama untuk waktu yang lama, yang kemudian menumbuhkan putik-putik asmara di hati Chan untuk mempersunting Sinia menjadi pendamping hidupnya. selesai Oleh ; Hony.S Februari ke 14 di tahun 18 Description: RAHASIA BUKU DIARI BIRU Wisuda telah selesai, akhir yang memutuskan untuk langkah mengambil jalan-masing-masing. Kamu dengan tujuanmu- Dan, aku dengan tujuanku- Masa-masa kebersamaan yang indah mungkin hanya kenangan bagi kita.. Entah kapan kita akan berjumpa lagi, terakhir di waktu itu engkau melambaikan tanganmu, menutup perpisahan kita dengan senyuman yang sangat manis. " Ohh..Chan,.. sampai hari ini aku masih berharap kembali bertemu denganmu, entah dimana pun itu, entah kapan pun itu, mungkin saja pengharapan kecil ini dapat terkabul, dan setiap saat aku mengingatmu, aku selalu berdoa, meminta Tuhan mempertemukan kita kembali." Cahaya mulai redup, sinar mentari perlahan tenggelam, waktu sore telah beranjak petang. Rona menutup buku hariannya, sejenak ia menghela begitu panjang, seakan beratnya dadanya itu untuk bernafas. Lalu dengan sedera rintihan angin petang yang dingin, ia berbisik sendiri. "Chan, aku masih sendiri." * Waktu begitu cepat berlalu, terhitung dari jam yang berdetak, seperti jantungku ini. Hari ini tahun ke 14, sejak perpisahan itu. Aku dan Chan. Matahari telah sampai di ujung nadir, langit pun mulai redup kembali, aku dengan buku harianku, kembali menggambar kisah-kisah itu..,
Title: Reminiscing Thomas Category: Young Adult Text: GONE “Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik pemuda itu. Gadis dalam pelukannya tersenyum. “Janji?” Dia berjanji. Namun, pada akhirnya, pemuda itu pergi, dan gadis itu ditinggal sendirian, berusaha memahami dunia yang tidak akan pernah lagi sama tanpa kehadirannya. 1: Part-Time Job “Permisi, Mrs. Adams, apa kau punya waktu? Aku ingin berbicara denganmu.” Margaret Adams menoleh dan mendapati Liliana Hayes, salah satu pekerja paruh waktu di toko sepatu Beverly Heels berdiri menghadapnya. Maggie tidak yakin kenapa Lilly meminta waktunya. Selama ini, gadis pendiam itu selalu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik dan tidak pernah terlibat masalah. Dia memang tampak menjaga jarak dengan semua orang dan sulit bekerja sama, tetapi hal itu tidak membuat pegawai lain terganggu. “Tentu, kita bicara di kantorku saja,” kata Maggie. Mereka kemudian masuk ke kantor Maggie. Kantor itu sempit dan berantakan sekali—meja kerja Maggie penuh dengan laporan dan kotak-kotak kardus sepatu menumpuk di satu sisi dinding. Mengurus sebuah toko kecil seperti itu tidak mudah, terutama jika atasan terus menekannya untuk menaikkan penjualan. Maggie menyuruh Lilly duduk selagi dia berjuang untuk sampai di kursinya sendiri. “Apa yang ingin kau bicarakan, Sayang?” tanya Maggie setelah memindahkan sebuah kotak sepatu yang ada di atas kursinya. Dia harus meluangkan waktu untuk membereskan semua ini. “Maafkan aku, tetapi orang tuaku menyuruhku resign,” kata Lilly malu-malu sambil menyodorkan sebuah amplop. “Sebentar lagi aku akan memasuki tahun senior. Mereka ingin aku fokus belajar.” Ah, begitu rupanya. Usia gadis itu sepertinya baru sekitar 17 tahun. Dia mengambil sif sore dan selalu datang dengan seragam sekolahnya. Lilly sepertinya memang tidak bekerja untuk mencari uang karena dia bersekolah di sekolah swasta yang bagus. Maggie memiliki beberapa pegawai paruh waktu seperti Lilly, jadi sesungguhnya keputusan Lilly untuk berhenti bekerja tidaklah membahayakan keberlangsungan toko. “Tidak apa-apa, pendidikan memang harus diutamakan,” kata Maggie, menerima amplop itu. Dibukanya surat Lilly sambil bertanya, “Kau sudah memikirkan akan melanjutkan kuliah di mana?” “Belum,” Lilly menggeleng. “Aku ingin menyusul kakakku—dia kuliah di Stanford—tetapi aku tidak yakin. Nilaiku tidak sebaik dia.” “Ah, tidak apa-apa, kau punya waktu untuk memikirkannya.” Maggie meletakkan surat pengunduran Lilly di atas laporan penjualan yang belum selesai dia kerjakan. “Kalau begitu, kau bisa berhenti bekerja dua minggu lagi. Sudah peraturan toko, kuharap kau tidak keberatan.” “Tidak apa-apa. Sebenarnya aku belum ingin berhenti, tetapi orang tuaku sudah memaksa.” Lilly kemudian berdiri. “Terima kasih, Mrs. Adams. Aku akan kembali bekerja.” Maggie mengangguk. Sepeninggal Lilly, dia menghela napas. Sebaiknya dia mulai mencari pekerja paruh waktu baru sebelum pekerjaannya semakin menumpuk. ∞ Liliana Hayes melirik jam tangannya sambil menghela napas. Waktu terasa berjalan begitu cepat, padahal dia tidak ingin sifnya cepat-cepat berakhir. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja paruh waktu di sebuah toko sepatu bernama Beverly Heels. Pada umumnya, orang yang mengajukan surat pengunduran diri senang jika hari terakhir bekerja sudah tiba. Mereka biasanya sudah tidak tahan bekerja di tempat lama dan sudah menemukan pekerjaan baru. Atau, mereka memang sudah merasa tidak perlu lagi bekerja. Masalahnya, Lilly dipaksa mengundurkan diri oleh orang tuanya. Alasan Mom memang masuk akal—dia sudah akan masuk, dan tahun senior adalah tahun yang sulit. Akan ada ujian-ujian, juga kelas-kelas tambahan yang bisa membantunya mendapatkan tempat di universitas pilihannya. Lilly sangat berharap bisa mendaftar ke Stanford University mengikuti jejak Clara. Namun, Lilly juga tahu kalau para siswa senior tidak hanya disibukkan dengan kelas-kelas tambahan dan ujian. Akan ada prom, senior prank, dan segala tradisi gila lainnya. Teman sekelasnya sudah ramai membicarakan semua itu sebelum libur musim panas. Bagi Lilly, yang tidak punya teman akrab di sekolah, semua tradisi itu sudah pasti akan menyiksanya, bahkan mengalahkan ujian. Lilly menoleh saat dua gadis memasuki toko. Wajah mereka tampak familier, meski Lilly tidak tahu di mana dia pernah melihat mereka. Dia tidak segera menghampiri mereka—biasanya pelanggan tidak suka jika langsung didekati pelayan toko, jadi dia tetap berada di tempatnya sambil memperhatikan pelanggan. Gadis-gadis itu langsung menghampiri bagian sepatu hak tinggi. Sedikit banyak, Lilly suka menjadi seorang pelayan toko. Menjadi pelayan toko tidak jauh berbeda dengan kehidupan aslinya selama ini: orang-orang mengabaikannya, berbicara dengannya jika mereka perlu saja, dan secara umum tidak suka jika dia mengikuti mereka. Terdengar begitu menyedihkan, tetapi sesungguhnya, Lilly tidak terlalu peduli. Dia akan selalu jadi gadis aneh yang tidak berteman dengan siapa-siapa. “Permisi, apa sepatu ini masih ada?” tanya salah satu gadis itu sambil mengulurkan ponselnya. “Kemarin aku lewat dan melihatnya, jadi aku tahu kalian menjualnya.” Lilly memperhatikan foto itu—sebuah ankle boots dengan hak sekitar tiga inci. Dia ingat sepatu itu karena dia yang meletakkannya di pajangan. “Tunggu sebentar, saya periksa dulu.” “Aku mau yang putih, ukuran 9.” Lilly mengiakan, lalu masuk ke bagian penyimpanan. Kalau tidak salah ingat, sepatu itu sudah terjual habis, tetapi tidak ada salahnya dia mengecek. Sepatu jenis itu sedang trendi sekarang. Sudah beberapa hari terakhir sepatu itu mendominasi penjualan toko. “Hei, Hayes, kudengar kau akan berhenti?” Rosie Davis, salah satu rekan kerjanya, , menghampirinya. Rosie dan Lilly seangkatan—dia hanya beberapa bulan lebih tua dari Lilly. Walau tidak bisa dibilang dekat, Lilly paling sering berbicara dengan Rosie di toko ini. Sayang sekali Rosie bersekolah di salah satu sekolah publik di dekat sini. Mereka pasti akan jadi sahabat akrab jika bersekolah di sekolah yang sama. Yah, setidaknya itulah yang Lilly duga. Dia tidak tahu apakah Rosie akan mau berteman dengannya jika keadaannya berbeda. “Iya,” sahut Lilly selagi menarik sebuah kotak sepatu. “Orangtuaku ingin aku fokus belajar.” “Ah, kau enak sekali. Andai orangtuaku juga menyuruhku berhenti saja agar aku bisa masuk Harvard.” Rosie turut berjongkok di sebelah Lilly. “Sepatu apa yang kaucari?” “Sepatu ankle boots yang kemarin dipajang di dekat kaca. Apa barang itu masih ada?” “Entahlah, selamat mencari. Aku harus mencari sepatu lain.” Rosie meninggalkannya. Dia baik sekali mau datang untuk berbasa-basi sedikit. Setelah beberapa saat mencari-cari, Lilly hanya berhasil menemukan satu sepatu yang diminta gadis itu. Ukurannya tepat meski warnanya krem. Perlukah dia membawanya keluar? Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia memutuskan untuk membawanya. Siapa tahu pikiran gadis tadi berubah. Akan sangat menyenangkan jika dia bisa menjual sepatu ini sebelum jam kerjanya benar-benar berakhir. “Maaf, saya hanya menemukan warna ini,” kata Lilly sambil menunjukkan kotak sepatu yang dia bawa. “Hanya tinggal sepatu ini saja yang bisa saya temukan.” Gadis itu tampak kecewa. Namun, dia menerimanya juga. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya. “Aku tidak yakin warna ini cocok untukku.” “Sebaliknya, menurutku warna ini justru cocok sekali denganmu,” balas temannya. “Putih terlalu membosankan.” “Apa menurutmu aku bisa memakainya ke sekolah?” Lilly merasa teringat sesuatu saat mendengarnya. Sepertinya dia pernah melihat dua gadis itu di sekolah. Kalau tidak salah ingat, teman gadis yang membeli sepatu itu sekelas dengannya. Lilly tidak begitu yakin, berhubung memorinya sendiri agak payah dalam mengingat wajah. Yang jelas, mereka tidak mengenali Lilly. Begitulah dia di sekolah—tidak ada yang tahu bahwa dia ada, dan tidak ada yang menyadari kalau dia tidak lagi ada. Gadis itu memutuskan untuk membeli. Mereka keluar tepat saat jam menunjukkan pukul lima. Jam kerja Lilly sudah selesai. Lilly menghela napas. Sudahlah. Daripada bersedih, lebih baik dia pulang saja. 2: Movie Time “Hahaha, jangan lakukan itu, Chase! Jangan, nanti ponselku basah. Ah! Oh, demi Tuhan, Chase! Aku bersump—” Skip. “Hei, Eric, do a cannonball! Ayolah, Eric, lakukan untukku. Nah, begitu dong! Wohoo!” Skip. Pesta pantai bersama pacarku~ Sambil menghela napas, Lilly menutup Instagram dan melempar ponselnya ke atas bantal. Dia sudah tahu bahwa semua Instagram stories yang dia tonton akan berisi kesenangan musim panas. Berjemur di pantai bersama pacar, berenang di kolam renang pribadi, dan pesta-pesta. Lilly tahu dia akan sedih dan iri melihat semua video itu, tetapi tetap saja dia tonton. Dia tidak memahami dirinya sendiri. Sudah seminggu dia hanya tidur di kamar sambil membaca buku atau menonton Netflix. Dia tidak punya kegiatan selain itu, berhubung dia sudah tidak bekerja lagi. Sekolah juga baru akan dimulai dua minggu lagi. Lilly masih punya waktu seminggu untuk tidak melakukan apa-apa di kamar. Kabar baiknya adalah, dia jadi bisa menghindari kota yang masih begitu panas—menurut ramalan cuaca di ponselnya, suhu hari ini mencapai 30 derajat Celcius. Kabar buruknya, Lilly sudah bosan. Belum ada yang ingin dia tonton di Netflix sekarang. Ada satu, sebenarnya. To All the Boys I’ve Loved Before akan tayang hari ini. Lilly menyukai cerita itu karena satu hal: dia bisa membayangkan dirinya menjadi Lara Jean dan menjalani hidupnya. Lilly bisa merasakan masa SMA yang menyenangkan dan kacau balau—sesuatu yang tidak pernah dia rasakan. Lagi pula, siapa yang tidak ingin menonton Noah Centineo? Cowok itu tampan sekali. Lilly tahu dia seharusnya berusaha lebih keras untuk berteman. Jika dia berusaha sedikit lebih keras, mungkin dia sudah diundang ke sebuah pesta dan memamerkannya di Instagram stories. Namun, dia tidak sepenuhnya salah karena dia sudah berusaha keras di tahun freshman dulu. Tidak ada satu pun teman yang bisa dipertahankannya. Mereka semua akan bersikap sopan pada mulanya, lalu membuat alasan-alasan untuk menjauh. Tidak ada anak-anak SMA swasta dengan kehidupan sosial yang aktif yang mau berteman dengan manusia pendiam dan pasif seperti Lilly. Lilly berbaring. Hidupnya terasa menyedihkan sekali. Dia tidak seharusnya iri jika dia sendiri yang menyebabkan semua orang menjauhinya. Oke, hidupnya memang tidak semenyedihkan itu. Dia sudah melakukan banyak hal, mulai dari pekerjaan paruh waktunya sampai kemenangannya saat mengikuti lomba esai di tahun junior. Keluarganya menyayanginya. Dia banyak membaca buku. Dia sesekali memasak dengan Clara, dan semua bilang masakannya enak. Meski tidak punya teman akrab, dia sudah cukup bahagia. Dia melirik nakas, melihat buku Ready Player One yang masih dia simpan di sana. Sebaiknya dia lanjut membaca. Lilly melarikan diri dari realitas kehidupannya dengan membaca. Setidaknya, dia pikir, hobinya ini masih termasuk aman. Dia tahu beberapa siswa di sekolahnya yang menggunakan narkoba atau minum alkohol sampai mabuk. Itulah salah satu keuntungan menjadi anak asosial: tidak ada yang akan memberinya pengaruh buruk, dan dia pun tidak merasa harus mengikuti tren buruk karena semua orang di sekitarnya melakukannya. Pintu kamar Lilly diketuk tiga kali. Saat Lilly menoleh, dia melihat kepala Clara muncul dari balik pintu. “Apa yang sedang kaulakukan?” tanya Clara. “Hanya membaca,” kata Lilly, mengalihkan perhatian lagi kepada bukunya. “Kenapa?” Clara Hayes melangkah masuk. Terkadang Lilly iri melihat kakaknya. Clara Hayes adalah tipe gadis yang mudah disukai semua orang—dia cantik, pintar, dan mudah berteman. Clara punya tiga sahabat akrab dan setidaknya sepuluh teman yang berinteraksi dengannya setiap hari. Meski sibuk dengan berbagai kegiatan di sekolah, dia sama sekali tidak terlihat kelelahan. Banyak sekali orang di sekolah yang mengenali Lilly sebagai “adiknya Clara” dan bukan dengan namanya sendiri. Rasanya seperti menjadi bayang-bayang, dan saat Clara menghilang, begitu pula Lilly. Biar begitu, tidak sedikit pun Lilly membenci Clara, satu-satunya orang yang akan menemaninya di sekolah. “Tidak ada apa-apa.” Clara duduk di tempat tidur Lilly. “Omong-omong, apa kau luang? Aku ingin mengajakmu pergi besok.” “Aku selalu luang, Clara. Sekarang, kan, libur musim panas. Justru aneh jika aku sibuk.” Lilly menegakkan posisi duduk dan menutup bukunya. “Kau akan mengajakku ke mana?” “Aku ingin berbelanja denganmu. Sepertinya kau butuh bacaan baru jika buku yang kau baca hanya itu-itu saja sejak seminggu terakhir. Yang filmnya akan tayang itu.” “Tidak, kok, aku sudah membaca buku baru. Yang ini filmnya sudah kita tonton beberapa bulan lalu.” Lilly meletakkan Ready Player One dan menunjuk buku di atas nakas. “Kalau yang itu, filmnya akan tayang hari ini. Apa kau mau ikut menonton?” Clara mengangguk. “Boleh, tetapi aku baru bisa menonton besok. Aku akan pergi dengan teman-temanku sampai malam.” “Setuju. Oh ya, kenapa kau tiba-tiba mengajakku pergi?” “Yah, kau tahu, minggu depan aku sudah akan pergi. Aku ingin menghabiskan seharian denganmu.” Ah, Clara sudah akan berangkat ke Stanford? Itu artinya libur musim panas akan segera berakhir dan sekolah akan segera dimulai. Lilly sangat tidak menantikan tahun seniornya. Dia harus bekerja begitu keras, mendaftar ke berbagai universitas, dan mengikuti ujian-ujian tanpa keberadaan Clara. Menghadapi sekolah dengan Clara saja sudah melelahkan. Lilly tidak bisa membayangkan seberapa buruk sekolahnya jika Clara tidak ada di sana untuk membantunya. Clara menepuk kaki Lilly, lalu berdiri. “Oh, apa kau mau ikut aku hari ini? The girls would love to hang out with you.” “Tidak.” Lilly menggeleng. “Kau harus menghabiskan waktu dengan mereka. Aku hanya akan mengganggu.” “Kau tidak mengganggu.” “Tidak apa-apa, aku ingin menonton saja hari ini.” Lilly memaksakan sebuah senyum. “Pergilah, Clara. Selamat bersenang-senang!” Clara menatap Lilly dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Pada akhirnya, dia mengangguk juga. Clara lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Lilly tidak bermaksud mengusir kakaknya, walaupun rasanya begitu. Dia hanya ingin Clara menikmati waktunya bersama teman-temannya tanpa ada Lilly di sana. Sekarang dia merasa buruk. Dia tidak lagi ingin membaca buku—dia jadi tidak ingin melakukan apa-apa. Buku yang tadinya dia baca kini diletakkan di nakas, bersamaan dengan buku-buku lain yang sudah dibacanya. Mata Lilly menangkap layar laptopnya yang belum mati. Alih-alih mematikannya, Lilly memilih untuk menghabiskan siang ini menonton serial favoritnya, The Good Place. Lebih baik dia bersenang-senang dulu selagi libur musim panas masih belum usai. 3: Shopping Spree Lilly mengumpati aplikasi ramalan cuaca di ponselnya sambil mengatur alat pendingin mobil. Suhu hari ini pasti lebih dari 35 derajat Celcius, bukan 28 derajat seperti yang tertulis di sana. Sialnya, suhu mobil tidak bisa lebih rendah lagi walaupun Lilly sudah berusaha keras menyetelnya. “Sudahlah,” kata Clara, meliriknya dari balik kacamata hitamnya dengan seringai lebar. “Mobil tua ini tidak bisa lebih dingin dari ini.” Clara tampak cantik hari ini. Kaus putih polos dan celana jins pendeknya menonjolkan kulitnya yang halus. Rambut pirangnya yang dipotong bob diikat setengah asal-asalan. Suaranya saat bernyanyi mengikuti lagu Kacey Musgraves terdengar manis. Dengan riasan yang tepat, Clara terlihat seperti aktris atau penyanyi era 50-an yang membuat setiap kepala menoleh saat dia memasuki ruangan. Orang bilang mereka mirip, tetapi Lilly tahu dia tidak secantik Clara. Rambutnya juga pirang, tetapi warnanya lebih kusam. Ekspresi wajah Clara begitu ramah, sementara ekspresi Lilly membuatnya terlihat sombong. Mungkin itu yang mempersulit Lilly mencari teman. Semua orang telanjur mengecapnya sebagai gadis sombong yang tidak mau berteman dengan siapa pun selain kakaknya sendiri. “Aku tidak tahu bagaimana caramu bertahan menggunakan mobil ini.” Lilly menyerah, lalu menyandarkan badannya. “Aku akan mati terpanggang di sini.” “Kau berlebihan. Carberry tidak akan membunuhmu.” Clara tertawa. “Namun, aku setuju. Hari ini rasanya lebih panas dari kemarin.” Clara menamai mobilnya Carberry karena warnanya mirip jus cranberry. Dia mendapatkannya dari hasil menabung dan upah pekerjaan paruh waktu di sebuah butik. Dia menolak tawaran Dad untuk membelikannya mobil keluaran terbaru—katanya, dia ingin tahu seperti apa rasanya memperjuangkan sesuatu yang sangat dia inginkan. Mobil ini dibelinya saat libur musim panas tahun lalu. Clara sangat menyayanginya. Meskipun Carberry tidak berhasil menurunkan suhu, dia berhasil membawa Clara dan Lilly ke salah satu pusat perbelanjaan besar di kota. Tempat itu ramai. Untung saja mereka mendapatkan tempat parkir yang cukup dekat dengan pintu masuk. Sesuai janji, Clara membawa Lilly ke toko buku terlebih dahulu. Lilly menghabiskan begitu lama di bagian fiksi, sementara Clara sudah menyusulnya dengan sebuah buku biografi dalam lima belas menit. Sulit sekali memilih buku di saat semuanya terlihat begitu menarik. Pada akhirnya, Lilly memilih dua buku young adult, satu fantasi, dan satu romance, lalu menyerahkannya kepada Clara untuk dibayar. Setelahnya, Lilly mengikuti Clara memasuki toko-toko baju. Lilly tidak mengerti fashion, jadi dia hanya bisa memperhatikan Clara mengambil beberapa pakaian yang menurutnya bagus. Clara menyodorkan sebuah jumper berwarna merah pastel yang lucu sekali, lalu menyuruh Lilly mematut diri di depan cermin. Terusan itu hanya sepanjang lutut. “Ah, kau cantik sekali pakai ini,” kata Clara. Lilly memperhatikan bayangannya di cermin. Terusan itu memang bagus, tetapi dia tidak yakin dia cocok memakainya. “Kau terlalu baik.” “Aku bersungguh-sungguh. Kau bisa memakainya dengan kaus putih di musim panas, atau sweter putih jika suhu mulai dingin. Sekolah sudah akan dimulai. Kau perlu banyak baju baru.” Lilly tidak segera membalas. Dia tidak sempat mengkhawatirkan pakaian apa yang akan dia pakai di tahun senior. Dia lebih memikirkan tentang apa yang harus dia lakukan supaya bisa melewati tahun seniornya sendirian. Tahun senior seharusnya menjadi tahun yang paling ditunggu-tunggu setiap siswa. Memang akan ada ujian-ujian yang membuatnya pusing, tetapi juga akan ada prom, senior prank, dan berbagai aktivitas lainnya, yang hanya akan asyik kalau dia bisa menikmatinya bersama teman. “Aku tidak punya sweter putih,” jawab Lilly singkat. “Kau bisa pakai punyaku.” Clara tampak berpikir. “Kurasa kau akan perlu sneakers juga. Ayo.” Setelah membeli tiga buku, satu terusan jumper merah pastel, satu cardigan krem, dan dua pasang sneakers putih, Clara dan Lilly mampir ke sebuah restoran untuk makan siang. Kaki Lilly terasa kaku—dia sudah jarang berolahraga dan bergerak semenjak menghabiskan liburannya menonton Netflix di kamar. Meski begitu, hari ini adalah hari terbaik yang dia alami setelah sekian lama. “Aku baru menyadari kalau kita membeli begitu banyak barang,” ujar Lilly sembari merenggangkan badannya. “Seharusnya aku juga membelikanmu sesuatu.” Clara menggeleng. “Aku membeli semua ini sebagai hadiah untukmu. Tahun senior adalah tahun yang berat.” “Kau tidak usah mengingatkanku soal tahun senior,” gerutu Lilly. “Dan, kau yang akan pergi. Seharusnya aku juga membelikan sesuatu untukmu.” “Hari ini sudah cukup,” Clara tersenyum. “Jangan sedih, dong. Kita, kan, bersenang-senang hari ini.” “Aku tahu, tapi…” Lilly terdiam. Dia benar-benar tidak ingin mengungkit soal kekhawatirannya pada Clara, tetapi dia telanjur merasa buruk. “Tidak, aku tidak ingin merusak hari ini.” Clara sepertinya tahu apa yang membebani pikiran Lilly, karena dia berpindah ke sebelah Lilly dan merangkulnya. “Hei, kau akan baik-baik saja, oke? Semuanya tidak akan seburuk itu. Kau akan melewati tahun seniormu dengan baik. Lagi pula, sudah saatnya kau mencari teman selain aku.” “Kurasa bukan hanya itu,” balas Lilly, menyandarkan kepalanya di bahu Clara. “Kau selalu ada di dekatku. Setiap kali aku butuh bantuan, aku bisa langsung menemuimu dan meminta bantuanmu. Besok, kau tidak akan ada lagi. Bagaimana jika kau melupakanku?” “Itu tidak akan mungkin terjadi, Lilly.” Clara mengelus lengan adiknya. “Kenangan bersama orang yang kita sayang disimpan di dalam hati. Hati tidak pernah lupa, meskipun otak tidak bisa mengingat semuanya.” Apakah Lilly sedang bersikap terlalu manja? Dia merasa begitu egois sekarang. Dia seharusnya mendukung Clara. Tidak mudah diterima di universitas bergengsi seperti Stanford University. Clara tidak pergi jauh—meski perjalanan ke sana membutuhkan waktu tiga jam lebih dengan pesawat, Stanford masih satu negara bagian dengan Los Angeles. Lagi pula, Clara pergi untuk melanjutkan pendidikannya. Lilly seharusnya mendukung impian Clara, bukan membuatnya khawatir akan keadaannya sendiri. “Ini rahasia, ya,” bisik Clara. “Sebenarnya, aku juga takut pergi.” Lilly menegakkan posisinya dan menatap Clara. Di matanya, Clara adalah sosok yang berani. Clara tidak akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia akan langsung akrab dengan orang pertama yang dia temui, lalu bersama-sama mereka akan berteman hingga lulus kuliah, atau bahkan hingga bekerja. Lilly tidak mengira Clara akan takut kuliah di Stanford. “Benarkah?” tanyanya kemudian. Clara mengangguk. “Aku tidak pernah begitu jauh dari kau, Mom, dan Dad. Ditambah, aku akan sendirian di sana. Haley kuliah di Duke, Anna akan ke Chicago, dan Louisa di MIT. Kalau ada masalah, aku tidak akan dengan mudah memanggil kalian.” “Kukira kau sudah tidak sabar untuk pergi.” “Tidak, aku hanya berpura-pura semangat karena aku tidak mau menghadapi perasaanku yang sebenarnya.” Clara tersenyum, meski senyumnya tampak sedih. “Kau juga begitu, kan?” “Kau sangat memahamiku.” Lilly balas tersenyum. “Omong-omong, sebaiknya kita simpan saja kesedihan kita sampai besok, ketika kau harus betulan pergi. Aku ingin menghindari perasaan sedihku sampai aku tidak lagi bisa menghindarinya.” Clara tertawa. Dia kembali ke tempat duduknya yang semula. “Baiklah. Bagaimana kalau kau ceritakan saja film yang kau tunggu-tunggu itu? Apa sih, judulnya?” Lilly kemudian menceritakan tentang film yang dia tunggu-tunggu. Ditemani piza dan milkshake, Lilly dan Clara membicarakan banyak hal—tentang apa pun, asalkan bukan kepergian Clara dan kekhawatiran Lilly. Sebisa mungkin Lilly ingin menikmati waktu yang dia miliki bersama Clara. Setelah puas, mereka kemudian pulang. Mereka harus menonton film baru. 4: Back to School Seingat Lilly, dia belum pernah menginjakkan kaki di bandara. Tidak pernah ada keadaan yang mengharuskan mereka naik pesawat sebelumnya. Jika mereka ingin liburan pun, Dad lebih suka menyetir ke tempat tujuan walaupun perjalanan bisa memakan waktu seharian. Hari ini, Clara akan berangkat ke Stanford menggunakan pesawat. Dad tidak mengizinkannya membawa Carberry. Keputusan tepat, karena mobil itu terlalu tua untuk melakukan perjalanan sejauh 480 kilometer. Lagi pula, dengan cuaca seperti sekarang ini, Clara sudah pasti akan terpanggang sebelum dia bisa meninggalkan Los Angeles. Meski begitu, Dad berjanji akan mengusahakan Carberry untuk bisa tiba di Stanford. Sepanjang pagi, Lilly merasa perutnya melilit. Jika bisa, dia ingin menahan Clara lebih lama. Lilly belum bisa merelakan Clara sedikit pun. Dia sudah berusaha keras—berulang kali dia mengusir setiap pemikiran egoisnya, memberi tahu dirinya sendiri bahwa inilah yang Clara inginkan dan butuhkan untuk mengejar masa depannya. Lilly tidak boleh menjadi batu sandungan. Karena itulah, dia tidak mengucapkan apa-apa sejak berangkat hingga tiba di bandara. Jika dia bersuara, tidak akan ada kata-kata positif yang keluar dari mulutnya. “Kau diam saja dari tadi,” ujar Clara sambil menyenggol Lilly. “Kau pasti gugup. Kau masuk besok Senin, kan?” “Kenapa libur musim panas cepat sekali berakhir?” keluh Lilly. “Aku ingin mengundurnya kalau bisa. Seminggu lagi saja.” “Lebih baik kau menghadapi masalahmu sesegera mungkin. Tidak baik menghindari masalah.” “Clara, kau harus memanfaatkan keahlianmu itu untuk membuat kalimat-kalimat di dalam fortune cookies sialan itu. Kau hebat sekali memberikan petuah.” “Apa aku perlu memberimu satu petuah baru setiap pagi?” “Oh, God, please don’t.” Clara hanya tertawa. Lilly memperhatikan Clara baik-baik supaya dia bisa merekam sebanyak mungkin memori hari ini. Clara mengenakan cardigan krem dan sepatu sneakers yang dia beli kemarin. Rambutnya yang tidak terlalu panjang itu diikat setinggi mungkin, tetapi sebagian rambutnya berhasil membebaskan diri, menghasilkan gaya messy bun yang enak dipandang. Riasannya tipis. Barang bawaannya meliputi dua koper, satu ransel yang tampaknya diisi penuh, dan satu tas tangan kecil. Lilly berusaha mencatat seluruh detail itu sebaik mungkin. “Omong-omong,” katanya kemudian, “tolong hubungi aku begitu kau tiba di student housing. Aku ingin tur seisi rumah.” “Oh, jeez, oke. Setidaknya biarkan aku beristirahat sebentar.” Lilly tersenyum, lalu memeluk Clara. “Aku akan merindukanmu.” “Aku juga.” Clara balas merangkul Lilly. Setelahnya, Clara memasuki pintu keberangkatan. Sambil memeluk Mom, Lilly melambaikan tangan. Semoga saja, tahun seniornya akan berjalan dengan cepat, supaya dia bisa segera bertemu dengan Clara lagi. Mungkin akan menyenangkan kalau dia bisa tidur saja, dan tiba-tiba terbangun di masa depan. Lilly menggeleng pelan. Mimpinya terlalu mustahil. ∞ Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas saat Lilly mempersiapkan semua hal yang dia butuhkan untuk sekolah besok. Dia menundanya dari tadi dengan menonton Netflix, tetapi dia tetap harus membereskan semuanya sebelum tidur. Sepertinya barang bawaannya tidak akan terlalu banyak. Dia berencana membawa minimal satu buku catatan, berhubung belum ada jadwal yang jelas. Matanya melirik buku catatan biologinya yang terselip di antara buku-buku catatannya semester kemarin. Lilly tidak menanti-nantikan biologi. Mr. Johnson memberinya nilai yang terlalu jelek semester kemarin, padahal Lilly sudah mengerjakan semua tugas darinya sebaik mungkin. Pada dasarnya Lilly memang tidak jago menghafal. Namun, Mr. Johnson tidak seharusnya menggagalkannya. Akibat nilai itu, nilai keseluruhan Lilly jadi berkurang banyak. Lilly sudah bertekad akan belajar keras di tahun seniornya. Dia ingin memperbaiki nilai biologinya supaya cukup bagus untuk syarat kelulusan, lalu belajar keras untuk mengikuti ujian SAT[1]. Lilly ingin sekali bisa diterima di Stanford. Agak lucu, karena Lilly ingin mempelajari ekonomi saat kuliah, bukan biologi. Semua ini gara-gara peraturan sekolah sialan itu, yang mengharuskannya mendapat nilai minimal B untuk lulus sebuah mata pelajaran. “Lilly, kenapa kau belum tidur?” Lilly menoleh, melihat Mom melongok dari lorong. Mom tersenyum, lalu masuk ke dalam kamar Lilly. “Sebentar lagi, Mom,” balas Lilly. “Aku harus membereskan barang-barangku.” “Jangan lama-lama, ya. Kau harus tidur.” Mom menepuk puncak kepala Lilly. “Omong-omong, apa kau sudah siap masuk besok?” Jika harus menjawab dengan jujur, Lilly akan bilang dia tidak siap. Dia tidak siap masuk tahun senior secepat ini. Dia tidak siap menghadapi sekolah tanpa Clara. Dia belum ingin belajar keras. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, sementara Lilly bergerak begitu lambat. Meski begitu, dia tidak akan bisa menjawab sejujur itu. Lilly tidak mau membuat Mom kecewa. “Siap tidak siap, aku harus masuk, kan?” jawab Lilly akhirnya. “Mau tidak mau, aku harus siap.” “Tidak akan seburuk itu,” kata Mom. “Apa yang ingin kau makan untuk sarapan besok?” “French toast saja, seperti biasanya.” Lilly tersenyum sendiri mengingat tradisi itu. Sarapan di hari pertama masuk sekolah selalu french toast. Dia tidak yakin bagaimana tradisi itu dimulai, tetapi dia tidak keberatan meneruskannya. “Thanks, Mom.” “Baiklah,” balas Mom, mencium kepala Lilly. “Selamat beristirahat.” Begitu Mom menghilang dari pandangan, Lilly menghela napas. Dia lanjut membereskan barang-barangnya sebelum naik ke tempat tidur. Besok, tahun senior akan resmi dimulai. Lilly membuat catatan mental berisi tujuan-tujuan yang harus dicapai tahun ini. Satu, memperbaiki nilai supaya bisa diterima di Stanford. Dua, mencoba mencari teman. Kalau gagal, maka poin ketiga, bertahan sendirian melewati tahun senior. Belum apa-apa, Lilly sudah merasa lelah. Bisa tidak, dia tidur sampai tahun depan? Dia ingin bangun pada saat dia sudah lulus dan sudah diterima di Stanford University. Harapan yang tolol dan tidak akan terjadi, tetapi rasanya pasti menyenangkan jika itu sungguhan terjadi. Sambil menarik selimutnya, Lilly menaikkan sebuah harapan. Semoga, apa pun yang terjadi, dia bisa melewati tahun senior dengan baik. ∞ [1] SAT = Scholastic Assessment Test, yaitu ujian masuk yang dipakai oleh kebanyakan universitas di Amerika Serikat untuk membuat keputusan penerimaan. 5: Hospital Room Saat Lilly mulai terbangun, dia menyadari dua hal: kepalanya terasa seperti dipukul-pukul, dan kakinya sakit jika digerakkan. Astaga, berapa lama dia tidur? Kenapa badannya sakit semua? Perlahan-lahan dibukanya mata. Kamarnya begitu terang, membuatnya mengerjap-ngerjapkan mata berulang kali. Ketika matanya sudah terbiasa, barulah Lilly menyadari banyak keanehan. Pertama, ini bukan kamarnya—ruangan ini terlihat asing dan sedikit dingin. Kedua, selimutnya berwarna cokelat, padahal seharusnya putih bercorak bunga. Ketiga, ada selang ditusukkan di punggung tangan kirinya. Hal kedua dan ketiga membawanya kepada nomor empat: kaki kanannya yang tidak diselimuti tampak berwarna putih, yang beberapa saat kemudian disadarinya berupa gips. “Lilly? Lilly? Kau bisa mendengarku?” Seruan Mom mengalihkan perhatiannya dari seluruh keanehan ini. Lilly menoleh—dia merasa pusing saat dia menggerakkan kepalanya. Mom mengelus rambutnya pelan sambil terisak. Lilly sedikit yakin alasan Mom menangis adalah dirinya. Kepalanya sakit, kakinya diperban, dan dia terbangun di sebuah ruangan yang sepertinya merupakan kamar rumah sakit. Satu pertanyaan memenuhi kepala Lilly. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Bagaimana dia bisa berada di rumah sakit? “Apa kau baik-baik saja? Apa kau perlu minum?” Mom segera beranjak. “Aku akan segera memanggil ayahmu. Dokter juga. Kau harus segera diperiksa.” Mulut Lilly memang terasa masam sekali, tetapi bukan itu permasalahan terbesarnya sekarang. “Mom, apa yang terjadi?” tanya Lilly. “Bisakah kau menjelaskannya padaku?” Mom kembali dengan sebotol air mineral dengan sedotan. Didekatkannya ujung sedotan ke mulut Lilly. “Kau sama sekali tidak ingat apa yang terjadi?” “Tidak.” Lilly menyeruput air sedikit. Meski mulutnya terasa masam, perutnya bergemuruh saat dia minum. Rasanya seperti perutnya menolak untuk menerima air. “Aku… aku hanya ingat sedang membereskan barang-barangku. Lalu aku tidur.” “Membereskan barangmu? Untuk apa?” “Mom, aku kan, harus sekolah. Aku membereskan barang yang harus kubawa ke sekolah.” Pertanyaan Mom terdengar sangat aneh. Walaupun dia tidak menyukai sekolah, Lilly masih anak SMA yang harus belajar. Mau tidak mau, dia harus masuk. “Kenapa kau harus ke sekolah, Sayang?” Lilly sudah hendak membalas pertanyaan Mom saat sesuatu seakan mendesak keluar dari perutnya. Untungnya Mom sigap dan langsung menyodorkan kantong plastik yang terbuka lebar. Lilly langsung memuntahkan isi perutnya ke dalam kantong itu. Kepalanya kembali terasa seperti dihantam dari dalam akibat bergerak terlalu cepat, dan kakinya yang tidak sengaja bergeser terasa perih. Mulutnya kini terasa begitu pahit. Dalam sekejap, seluruh isi perut Lilly berpindah ke dalam plastik itu. Bahkan, setelah memuntahkan isi perutnya, Lilly masih mual. Dia ingin sekali minum. Hanya saja, dia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia berani mengonsumsinya. Tidak hanya kakinya, sekarang perutnya pun terasa perih. Perlahan-lahan Lilly membaringkan kepalanya di bantal. Apa pun yang terjadi kemarin pastilah benar-benar buruk hingga bisa membuatnya sesakit ini. Lilly memejamkan mata sambil berusaha meredam seluruh perasaan tidak nyaman yang dia rasakan sekarang. Dia ingin tidur saja. Samar-samar dia bisa mendengar Mom menyuruh Dad memanggil perawat atau dokter. Lilly menarik selimut hingga menutupi dagu, berusaha menghangatkan badannya yang mulai menggigil. Seorang perawat datang untuk mengecek kondisi Lilly. Wanita bertubuh gempal itu memiliki senyum yang menyenangkan. Suaranya juga lembut—sedari tadi dia mengajak Lilly berbicara, sambil sesekali bertanya pada Lilly bagian tubuh mana yang terasa sakit. Perutnya mual, tenggorokannya terasa seperti terbakar, dan mulutnya pahit. Kepalanya masih terasa dipukul-pukul dari dalam. Kakinya dibalut perban. Seluruh tubuh Lilly kesakitan. “Aku akan memanggilkan dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut,” kata perawat itu, yang dari kartu tanda pengenalnya bernama Priscilla. “Kau akan baik-baik saja.” Selagi menunggu dokter, Lilly muntah lagi sedikit. Dia bahkan tidak lagi ingin menanyakan apa yang terjadi kepadanya. Berbicara akan membuatnya ingin mengeluarkan lagi isi lambungnya. Otaknya pun lelah berpikir. Lilly berharap untuk tidur, untuk setidaknya bisa membebaskan diri dari penderitaan yang sedang dia rasakan. Bahkan, rasa ketakutan yang sering dia alami saat berada di sekolah saja tidak semenyiksa ini. Seorang dokter datang sebelum Lilly bisa mencari posisi yang tidak menyiksa kepalanya. Dokter yang merawat Lilly bernama dr. Alicia Jennings. Dia memulai pemeriksaan—Lilly terlalu pusing untuk memahami apa yang dilakukan dr. Jennings. Menurutnya, kepalanya terluka dan kakinya patah. Sesekali dr. Jennings bertanya pada Mom dan Dad, juga pada Lilly, yang hanya dijawab dengan gumaman tidak jelas. “Lilly, apa kau ingat apa yang terjadi sebelumnya?” tanya dr. Jennings. “Tidak,” balas Lilly lemah. Meski mulutnya masih terasa pahit, Lilly memaksakan diri bertanya, “Apa yang terjadi kepadaku?” Mom yang menjawab pertanyaan itu, “Terjadi sebuah ledakan di sebuah rumah di pinggir kota. Kau ditemukan tergeletak di halaman rumah itu, tidak sadarkan diri. Polisi menduga kau adalah salah satu korban ledakan tersebut.” Ledakan? Sekeras apa pun Lilly berusaha, dia tidak bisa mengingat ledakan itu. Menjadi korban ledakan bukanlah sesuatu yang bisa kaulupakan begitu saja—setidaknya begitu seharusnya, karena Lilly tidak bisa mengingat apa-apa. “Kau tidak ingat apa-apa?” tanya dr. Jennings kemudian. “Tidak apa-apa, kau mengalami trauma. Kehilangan ingatan cukup umum terjadi ketika otakmu mengalami trauma. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan untukmu sesegera mungkin supaya kita bisa segera menangani kondisimu.” “Seberapa banyak ingatannya yang hilang?” Mom bertanya dengan nada khawatir yang sangat jelas. “Apakah ingatannya akan kembali?” “Tentu. Seiring dengan proses pemulihannya, ingatan penderita amnesia biasanya akan kembali. Prosesnya tidak akan singkat, tetapi ada harapan untuk pulih. Untuk pertanyaan pertama Anda, mungkin kita sebaiknya bertanya pada Lilly.” Dr. Jennings menoleh ke arahnya. “Lilly, apa yang kau ingat sebelum terbangun di sini?” “Saya sedang bersiap-siap untuk masuk sekolah,” jawab Lilly lamat-lamat. “Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, kan?” “Oh, sayang,” ujar Mom, mengusap pundak Lilly, “kau sudah lulus.” Lilly terdiam lama sekali mendengar balasan Mom. Dia tidak salah dengar, kan? Lilly tidak mungkin sudah lulus; dia bahkan belum masuk sama sekali! Ucapan Mom mengimplikasikan bahwa Lilly melupakan seluruh tahun seniornya. Meski gagasan itu terdengar menyenangkan, rasanya mustahil. Ditatapnya Mom dan Dad lekat, mencari tanda-tanda kebohongan pada sorot mata mereka. “Sudah lulus?” Lilly mengulangi ucapan Mom. Mom mengangguk. “Dua minggu yang lalu kau baru saja diwisuda.” “Hari ini bukan hari pertama masuk sekolah?” “Saya akan menjadwalkan sesegera mungkin. Sebaiknya kau banyak beristirahat,” kata dr. Jennings, yang segera beranjak pergi. “Detektif Russell, yang menangani kasus ledakan tersebut, akan datang nanti.” Meski kepalanya belum sembuh benar, Lilly memaksa otaknya untuk bekerja dan mencerna seluruh informasi yang baru saja dia terima. Dia sudah lulus. Jika hari ini bukan hari pertama masuk sekolah dan dia memang sudah lulus, Lilly melupakan nyaris satu tahun hidupnya. Kepalanya semakin sakit saat memikirkannya. 6: Lost Memory Sorenya, pada hari yang sama, seorang detektif memasuki kamar Lilly. Detektif Billy Russell tampak seperti detektif dari serial Law & Order yang sering Lilly tonton. Pakaiannya necis, lengkap dengan jas dan dasi yang tampak formal, tetapi pembawaannya tidak terlalu serius. Malahan, Detektif Russell tampak lelah. Dia seperti tidak tidur berhari-hari untuk mengerjakan kasus ledakan itu. Penyelidikan Detektif Russell masih berlanjut, jadi tidak banyak yang bisa dia jelaskan. Penyidik dari departemen pemadam kebakaran sudah menemukan asal mula kebakaran—sebuah benda yang diduga sebagai kompor yang ditemukan di lantai dua. Baunya mengindikasikan keberadaan zat narkotika meth. Kesimpulan yang kemudian diambil adalah: rumah tersebut—atau paling tidak lantai duanya—merupakan sebuah pabrik meth. Siapa pemilik dan pengelola pabrik tersebut masih menjadi fokus penyelidikan. Korban dari ledakan tersebut berjumlah sepuluh orang—delapan orang meninggal dunia dan dua orang selamat. Lilly termasuk yang paling beruntung karena dia bisa segera sadar. Korban selamat lainnya masih koma sampai sekarang dan mengalami luka bakar tingkat tiga di banyak bagian tubuhnya. Lilly bergidik saat Detektif Russell menjelaskannya. Meski dia didera rasa sakit sedemikian rupa, dia beruntung masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup. “Anda beruntung. Gelombang ledakan pasti melempar Anda melalui jendela, sehingga Anda terhindar dari api.” Detektif Russell tersenyum tipis. “Apa yang Anda ingat mengenai kejadian ini?” “Tidak ada.” Lilly membalas. “Sama sekali tidak ada?” “Tidak. Andai saya bisa membantu Anda, Detektif.” Lilly ingin sekali bisa memberi tahu Detektif Russell mengenai ledakan itu. Dia ingin sekali bisa mengingat apa yang terjadi. Hanya saja, otaknya tidak bisa memberikan informasi apa pun. Rasanya seperti ada yang dengan iseng mengambil kartu memori otaknya dan menghapus isinya setahun terakhir. Bagaimana mungkin dia tidak bisa mengingat sedikit pun apa yang terjadi padanya? Fakta itu membuat perasaannya buruk sedari tadi. Kondisi fisik Lilly memang terasa lebih baik dari sebelumnya. Perutnya tidak lagi terasa seperti akan mengeluarkan isinya, dan kakinya tidak lagi terasa menusuk. Yang tidak baik-baik saja adalah hatinya. Dadanya terasa sesak jika memikirkan apa saja yang dia lupakan. Meski Lilly sama sekali tidak menantikan tahun seniornya, tetap saja dia melewatkan tahun yang berharga. “Kalau begitu, apakah ada yang Anda ingat mengenai kegiatan Anda beberapa jam, hari, atau minggu sebelum kejadian ini?” tanya Detektif Russell lagi. “Ingatan terakhir saya ada di bulan Agustus 2018.” “Baiklah.” Detektif Russell menghela napas, lalu memperhatikan catatannya. “Kemudian, Miss Hayes, apakah benar Anda bersekolah di Golden Oak Private School?” “Benar.” “Sejauh ini, kami telah mengidentifikasi setidaknya dua siswa Golden Oak menjadi korban ledakan tersebut. Anda dan seorang pemuda bernama Aiden Lewis. Apakah Anda mengenalinya?” Nama itu terdengar familier, tetapi Lilly tidak bisa memfokuskan pikirannya. Sakit kepalanya semakin menjadi-jadi setiap kali dia berusaha berpikir keras. “Saya tidak—saya, uh, merasa pernah mendengar nama itu.” “Aiden Lewis sempat ditangkap setahun yang lalu atas dasar kepemilikan narkoba. Dia sempat ditahan di pusat penahanan remaja selama beberapa saat. Kami dapat mengidentifikasinya berdasarkan sidik jarinya. Anda yakin Anda tidak mengenalnya?” Mom, yang sedari tadi diam saja, menyela begitu mendengar pertanyaan Detektif Russell, “Beraninya Anda menuduh putri saya mengenal pemuda bermasalah itu! Lilly tidak pernah membuat masalah apa pun selama ini. Tidak mungkin dia berteman dengan pemuda yang pernah dipenjara itu, apalagi sampai pergi bersama ke sebuah pabrik obat-obatan terlarang.” Mom benar. Sejak kecil, Lilly tidak pernah berbuat masalah—setidaknya, tidak yang terlalu berat. Seingatnya, hanya sekali dia mendapat masalah, ketika salah satu bukunya disita gurunya karena Lilly membaca di kelas. Lilly tidak pernah dihukum detensi, juga tidak pernah diperingatkan atau ditegur. Hidupnya sangat membosankan. Mustahil Lilly mengenal dan berurusan dengan seorang remaja bermasalah seperti Aiden Lewis. “Maaf, Mrs. Hayes, saya hanya mencoba menyelidiki semua kemungkinan yang ada,” ujar Detektif Russell. mencoba menenangkan Mom. “Ada hubungan jelas di antara mereka, yaitu bahwa mereka bersekolah di tempat yang sama.” “Saya hanya pernah mendengar kabar tentang dia,” kata Lilly cepat. “Dia masuk penjara, kan? Berita itu membuat seluruh sekolah gempar.” Sejujurnya, Lilly tidak benar-benar ingat tentang berita penangkapan Aiden Lewis. Dia tidak pernah terlalu mengikuti gosip-gosip di sekolah, dan sedikit yang dia dengar pun segera dia lupakan. Fokus dan perhatian Lilly lebih banyak dicurahkannya pada studinya. Dia hanya menyebutkan kalimat tadi supaya Detektif Russell mendapatkan penjelasan yang dia butuhkan dan Mom tidak mengamuk. “Baiklah,” kata Detektif Russell. “Miss, maaf jika pertanyaan ini menyinggung Anda. Saya harus menanyakannya sebagai formalitas. Apakah Anda pernah menggunakan, atau berpikir untuk menggunakan narkoba?” Mom langsung menyambar, “Detektif, apakah anak saya tampak sebagai pencandu?” “Ma’am, saya berusaha mencari tahu bagaimana anak Anda bisa berada di lokasi kejadian perkara. Saya tidak bermaksud menghakimi atau menuduh.” “Tetap saja—” “Mom, sudahlah,” Lilly memotong seruan Mom. “Tidak, Detektif. Tidak pernah sekali pun saya berpikir untuk menggunakan obat-obatan terlarang. Saya bahkan tidak minum alkohol.” “Berarti Anda sama sekali tidak ingat bagaimana Anda bisa berada di tempat tersebut? Seperti siapa yang mengajak Anda, atau bahkan alasan Anda ada di sana?” “Tidak.” “Baik. Jika sekiranya ada yang Anda ingat dan bisa membantu penyelidikan, harap hubungi saya.” Detektif Russell berdiri sambil menyerahkan selembar kartu kepada Mom. “Terima kasih atas waktunya. Semoga Anda bisa cepat sembuh.” Setelahnya, Detektif Russell meninggalkan ruangan. Lilly menghela napas, lalu memejamkan mata. Dia hanya lega seluruh gangguan hari ini sudah selesai dan dia bisa beristirahat. Kepalanya sudah mulai pusing beberapa menit terakhir. Dia bahkan sudah tidak begitu ingat siapa siswa sekolahnya yang juga menjadi korban ledakan itu, dan dia tidak akan berusaha mengingatnya. Sepertinya Aiden. “Detektif itu keterlaluan,” omel Mom, selagi menidurkan tempat tidur Lilly. “Bisa-bisanya dia mengira kau berhubungan dengan pemuda Lewis tadi. Memangnya kau tampak seperti pencandu narkoba yang bergaul dengan orang-orang bermasalah? Dia seharusnya melakukan pekerjaannya dengan lebih baik.” “Mom, aku memang tidak tampak baik-baik saja,” sahut Lilly. “Detektif itu hanya melakukan pekerjaannya. Oh, Mom, tolong jangan berteriak-teriak. Kepalaku masih pusing.” “Ah, maafkan aku.” Mom kemudian diam saja, sembari memastikan bantal sudah cukup empuk dan selimut sudah membungkus Lilly dengan baik. “Sudah nyaman, kan? Nah, sebaiknya kau beristirahat sekarang.” Lilly menurunkan sedikit selimutnya—lehernya malah terasa tercekik jika selimutnya ditarik terlalu tinggi. Dia memejamkan mata, berusaha tidur. Namun, sedari tadi, pikirannya justru melayang-layang pada rumah yang terbakar itu, obat-obatan terlarang, serta api. Kalau tidak salah ingat, berdasarkan salah satu cerita yang pernah dia baca, Aiden berarti api. Betapa ironis. Dia justru mati dilahap api. Lilly berharap api yang sama tidak akan membuatnya layu. 7: Familiar Faces Dr. Jennings menjadwalkan Lilly untuk melakukan pemindaian dengan MRI. Pemeriksaan tersebut diperlukan untuk melihat bagaimana kondisi otak Lilly dan berapa banyak kerusakannya. Sejak bangun pagi ini, Lilly sudah mencemaskan hasil tesnya. Dia benar-benar berharap otaknya tidak terluka parah. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Lilly di hari kejadian sehingga bisa tergeletak tidak sadarkan diri di luar rumah yang terbakar itu—Lilly tidak nyaman menyebutnya pabrik meth karena terdengar begitu mengerikan. Detektif Russell berteori kalau Lilly terlempar akibat gelombang kuat yang disebabkan oleh ledakan itu. Lilly tidak yakin gelombang apa yang dimaksudkan. Gelombang itu pasti cukup kuat sehingga bisa mendorong Lilly ke luar. Untuk mengalihkan perhatiannya dari pemeriksaan otak, Lilly mencoba mencari penjelasan akan apa yang mungkin terjadi hari itu. Kejadian yang mungkin terjadi itu harus menjelaskan alasan keberadaan Lilly di lantai dua rumah tersebut, yang berarti menjawab pertanyaan, “Apa yang kulakukan di dalam sebuah pabrik meth?” Lilly benci bagaimana pertanyaan itu terdengar. Dua gagasan muncul di kepalanya. Pertama, Lilly diculik oleh pengedar narkoba gila yang mungkin tertarik kepadanya. Pengedar itu membawa Lilly ke rumah tersebut, yang kemudian meledak. Entah bagaimana, Lilly ada di dekat jendela, sehingga mudah baginya untuk terlempar. Ide pertama terdengar mengada-ada, jadi Lilly mengeliminasinya. Kedua, Lilly entah bagaimana berteman dengan Aiden Entah-Siapa yang kemarin disebut oleh Detektif Russell selama tahun senior. Aneh, tetapi kemungkinan itu selalu ada. Aiden kemudian menjerumuskannya dan memaksanya menggunakan narkoba. Karena itulah dia ada di rumah tersebut bersama Aiden. Cukup masuk akal, tetapi Lilly menggugurkannya. Mom akan tahu jika Lilly mengonsumsi narkoba. Reaksinya kemarin yang keras menjadi bukti bahwa teori ini tidak terjadi. Lilly tidak bisa memikirkan alasan lain yang lebih masuk akal, jadi dia menyerah. Dia sebaiknya beristirahat saja. Otaknya butuh diistirahatkan supaya dia cepat pulih. Dia baru saja akan memejamkan mata saat didengarnya pintu kamarnya dibuka. Lilly mengira dr. Jennings sudah datang, tetapi dia salah. Seorang pemuda justru muncul dari baliknya. Entah siapa pemuda itu—dia tidak mengenakan seragam atau atribut rumah sakit apa pun, sehingga bisa dipastikan dia bukan dokter atau perawat. Dia memasuki ruangan sambil memainkan ponselnya. Lilly sempat memperhatikan pemuda itu untuk beberapa saat. Sekilas, pemuda itu tampak familier. Ada sesuatu dari pemuda itu yang membangkitkan sesuatu di dalam kotak memori Lilly—entah badannya yang tinggi atau gayanya berjalan. Lilly merasa, jika dia berusaha sedikit lebih keras lagi, memori itu bisa menembus kotak yang terkunci. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Pemuda itu mendongak, menatap Lilly dan Mom bergantian. Wajah itu…. Lilly merasa pernah melihatnya. Dia tidak jago mengingat wajah, tetapi wajah pemuda itu seperti meninggalkan kesan yang mendalam hingga bisa terekam di dalam memorinya. Atau mungkin, wajah itu adalah wajah yang cukup generik, yang dimiliki oleh banyak orang dengan perbedaan-perbedaan kecil. Lilly tidak tahu penjelasan apa yang lebih mungkin terjadi. “Siapa kau?” tanya Mom. “Maaf, saya salah ruangan,” ujar pemuda itu. Dia langsung berbalik dan keluar. Lilly ingin mencoba mengingat-ingat, tetapi dia gagal. Wajah pemuda itu lenyap dari pikirannya, seakan ikut pergi bersama dengan langkah kakinya yang menjauh. Kepala Lilly kembali terasa seperti dipukuli saat dia mencoba mengingat-ingat wajah pemuda itu. Dia tahu dia tidak mudah mengingat wajah orang, tetapi dia tidak pernah melupakannya secepat ini. Apakah kemampuan otaknya memang sudah serendah itu? Pintu kamarnya kembali dibuka. Kali ini, dr. Jennings yang muncul dari baliknya. “Hai, Lilly,” sapa wanita itu. “Aku akan membawamu ke ruang periksa.” Dibantu Mom dan Dad, Lilly duduk di sebuah kursi roda. Sepanjang perjalanan menuju ruang pemeriksaan, pikiran Lilly masih dipenuhi oleh pemuda tadi. Dia sudah tidak ingat lagi seperti apa persisnya wajah pemuda itu, walaupun dia yakin dia akan mengenalinya jika bertemu lagi. Namun, kenapa wajahnya begitu melekat di otaknya? Baginya, yang kesulitan mengingat wajah—terutama jika baru bertemu sekali—fakta itu sangatlah tidak wajar. “Jangan berpikir terlalu keras,” celetuk dr. Jennings yang berjalan di depan Lilly. “Kau berpikir begitu keras hingga kepalamu seperti akan meledak.” “Menurut dokter, kepalaku akan meledak jika dipakai berpikir terlalu keras?” “Tidak secara harfiah, tentu saja. Namun, ada baiknya kau banyak beristirahat. Proses penyembuhanmu akan lebih cepat kalau kau banyak mengistirahatkan otak dan badanmu. Jangan berusaha terlalu keras untuk mengingat. Ingatanmu akan kembali pada waktunya.” “Aku hanya sedang berpikir tentang seseorang. Apa kau berpapasan dengan seorang pemuda tadi? Dia masuk ke kamarku secara tidak sengaja.” “Aku tidak memperhatikan.” Ah, tentu saja dr. Jennings terlalu sibuk untuk memperhatikan siapa saja yang berpapasan dengannya. Lilly melanjutkan, “Dia tampak familier. Aku hanya tidak tahu pernah melihatnya di mana.” “Apa yang kau ingat tentang dia?” Lilly mengedikkan bahu. “Tidak ada. Hanya perasaan bahwa aku pernah melihatnya. Mungkin dia satu sekolah denganku dan kami pernah berpapasan.” Mereka tidak berbicara lagi hingga tiba di tempat pemeriksaan. Terdapat sebuah alat berbentuk seperti donat, dengan sebuah tempat tidur di tengah-tengahnya. Lilly membaringkan diri di tempat tidur itu. Setelahnya, dr. Jennings memberitahunya untuk tidak bergerak. Pergerakan bisa mengacaukan hasil pemindaian, yang bisa berakibat pada diagnosis yang tidak tepat. Lilly berusaha keras untuk tidak bergerak. Dia diam saja di sana, menunggu hingga alat itu berhenti bekerja. Semoga saja, tes-tes ini bisa menunjukkan apa yang salah dengannya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, pemeriksaannya akhirnya selesai. Pemindaian berjalan dengan baik dan hasilnya sudah jelas untuk dibaca. Lilly tidak bisa membaca ekspresi dr. Jennings—apakah otaknya baik-baik saja, atau banyak kerusakannya? Ah, sudah pasti otaknya tidak akan baik-baik saja. Jika otaknya baik-baik saja, dia tidak akan melupakan tahun seniornya. Pertanyaan yang tepat adalah: apakah otaknya bisa sembuh seperti sediakala. Lilly memutuskan untuk menanyakannya. “Tidak akan bisa sepenuhnya pulih, kurasa,” jawab dr. Jennings. “Tidak ada sesuatu yang bisa pulih seperti sediakala seperti sebelum mengalami kerusakan.” Ucapan dr. Jennings ada benarnya. Lilly memikirkannya sepanjang perjalanan kembali ke kamarnya. Dulu, saat dia masih kecil, dia pernah mematahkan botol minum kesukaan Clara—tutupnya yang seharusnya tersambung lepas setelah ditarik-tarik. Dad menyambungnya kembali dengan lem, tetapi jadi tidak bisa dibuka. Pada akhirnya botol itu dibuang. Lilly jadi menyadari bahwa sekeras apa pun dia mencoba memperbaiki sesuatu yang rusak, dia tidak akan bisa membuatnya berfungsi seperti sebelumnya. Otak tidak bisa dibuang seenaknya. Jika otaknya rusak, Lilly harus hidup selamanya dengan kerusakan itu. Lilly berdoa supaya otaknya bisa disembuhkan. 8: Forgotten Friend Lilly mendapatkan tamu tidak terduga hari ini. Clara menerjang masuk tadi pagi dan langsung memeluk Lilly, mengajukan sederet pertanyaan tanpa memberi Lilly kesempatan untuk menjawab panjang. Rasanya menyenangkan bisa melihat Clara lagi setelah semua yang terjadi. Clara mengaku baru bisa pulang hari ini karena ada banyak hal yang harus dia kerjakan. Dia rupanya menjadi panitia sebuah festival musik yang diadakan bulan depan, sehingga dia harus mempersiapkan banyak hal. Clara tidak bisa langsung pulang karena ada tanggung jawab yang tidak bisa dia tinggalkan. Karena itulah, Clara baru bisa pulang lima hari setelah mendapat kabar bahwa Lilly menjadi korban ledakan. “Aku seharusnya pulang lebih cepat,” sesal Clara. “Mungkin,” balas Lilly. Dia terdiam sejenak setelah jawaban itu keluar dari mulutnya. “Tidak, sebenarnya kau tidak perlu pulang lebih cepat. Kau kan, sedang sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.” “Kau sedang sakit, Lilly. Kau sangat berhak menggangguku dan mendapatkan seluruh perhatianku.” Clara terdiam dan memperhatikan gips di kaki Lilly. “Apa kau kesakitan?” “Aku sangat menderita di hari pertama. Setelahnya tidak terlalu, walaupun aku masih pusing dan merasa sedikit mual. Pagi ini aku sudah baikan, kok. Semoga saja aku bisa segera pulang.” “Kurasa akan tergantung pada hasil tesmu, ya.” Lilly mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Kurasa hasil tesnya tidak akan bagus, berhubung kepalaku terluka.” Ekspresi Clara menjadi keruh. Kali terakhir Lilly melihat Clara sesedih itu adalah… kapan tepatnya Lilly pernah melihat Clara sedih? Sejauh yang bisa dia ingat, Clara tidak pernah benar-benar menunjukkan emosi negatifnya. Dia sering mengeluhkan tugas atau marah-marah karena temannya berbuat kesalahan, tetapi jarang sekali tampak muram atau kecewa. “Bagaimana kalau kau bercerita tentang acara yang kauadakan itu saja?” ujar Lilly, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Apa tadi? Festival musik?” Clara menceritakan kesibukannya selama menjadi mahasiswi freshman di Stanford University. Lilly yakin Clara pasti pernah menceritakannya dulu, tetapi dia melupakannya sama sekali. Sedikit banyak, dia merasa kecewa. Dia tidak lagi punya memori mengenai percakapan dan rahasia-rahasia yang ditukarkannya dengan Clara. Meski begitu, antusiasme Clara dalam menceritakan seluruh ceritanya membuat Lilly tenang. Setidaknya, dia tahu, dia dan Clara tetaplah akrab meski terpisah ratusan mil. “Omong-omong,” ujar Clara setelah cerita-ceritanya usai, “aku ingat kau sering menyebutkan tentang seorang cowok. Aku tidak begitu ingat namanya. Apa kau melupakannya juga?” “Apa maksudmu?” tanya Lilly. “Kau bilang kau sedang dekat dengan seseorang. Aku ingat sekali merasa senang karena kau berteman dengan seseorang di tahun seniormu. Aku mendapat kesan kau menyukai dia. Ah, sayang sekali aku tidak bisa ingat namanya. Kurasa namanya dimulai dengan huruf T.” Pernyataan Clara merupakan informasi baru. Lilly sangat yakin dia akan menjalani masa SMA yang menyedihkan dan sepi. Dia sama sekali tidak memercayai kemampuannya bersosialisasi. Namun, ucapan Clara membuatnya memikirkan tentang kemungkinan yang lebih baik—bahwa dia, gadis pendiam yang tidak punya teman, akhirnya memiliki teman. Jika itu benar, Lilly telah melupakan teman pertama yang dia punya di SMA. Lilly selalu berpikir, kondisinya tidak begitu menyedihkan karena dia bisa menghapus memori menyedihkan dari pikirannya selamanya. Kini, saat mengetahui bahwa tahun seniornya tidak seburuk yang dia bayangkan selama ini, penyesalan mulai muncul di dalam hatinya. Wajah Clara tampak menyesal. “Maaf jika aku membuatmu bertanya-tanya akan dia.” “Tidak apa-apa. Terima kasih karena kau telah memberitahuku tentang dia,” sahut Lilly cepat. Sebuah gagasan tiba-tiba muncul di otaknya. “Apakah mungkin namanya Aiden? Kata detektif yang menangani kasus ini—aku tidak ingat siapa nama detektif itu—Aiden yang menjadi korban ledakan kemarin bersekolah di Golden Oak juga.” Clara menggeleng. “Seperti yang kubilang, namanya diawali dengan huruf T. Kalau aku tidak salah ingat, namanya Thomas. Sebentar, aku akan mencarinya.” Pemikiran bahwa Lilly berteman dengan Aiden kini bisa sepenuhnya dieliminasi. Lilly justru mendapatkan informasi baru mengenai seseorang bernama Thomas. Nama itu terdengar sangat asing di telinga Lilly, bahkan jika dia mencoba mengingat nama teman-temannya yang dulu pernah sekelas dengannya. Memangnya ada siswa bernama Thomas di sekolahnya? Sebuah gagasan lain muncul di kepalanya. Mungkinkah pemuda yang kemarin dia lihat Thomas? Mungkinkah karena itu wajahnya tampak begitu familier? Namun, tidak lama setelah memikirkannya, dia segera menepisnya. Jika pemuda kemarin memang Thomas, kenapa dia justru bilang kalau dia salah masuk ruangan? Bukannya seharusnya pemuda itu mengenali Lilly? “Iya, namanya Thomas,” kata Clara setelah mengecek ponselnya. “Apa kau punya fotonya?” “Tidak. Kau bilang dia tidak suka difoto.” Lilly mendesah. “Ah, andai saja semudah itu.” Clara sudah hendak menyahut saat Mom dan Dad memasuki ruangan. Mereka memang keluar karena dr. Jennings ingin membahas tentang hasil tes Lilly kemarin. Melihat Mom dan Dad membuat pikiran Lilly teralihkan sementara dari pemuda misterius itu. Dia mencoba membaca ekspresi orang tuanya, tetapi tidak berhasil menebak. “Apa kata dokter?” tanya Clara. “Lilly masih tetap harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari untuk memastikan kondisinya sudah cukup stabil sebelum bisa pulang,” Dad menjawab. “Setelahnya, kau bisa melanjutkan perawatan di rumah.” Lilly memberanikan diri bertanya. “Apakah kondisi otakku buruk?” Dad berpandangan dengan Mom sebelum menjawab, “Sepertinya tidak, karena dr. Jennings bilang kau bisa pulang. Namun, kau memang mengalami gegar otak. Itulah yang membuatmu melupakan banyak hal.” “Kau akan sembuh,” ujar Mom. Diusapnya pundak Lilly pelan. “Mom yakin kau akan sembuh, sayang. Jangan khawatir, ya?” Lilly mengangguk. Dia harus meyakininya. Jika dia cukup yakin, keyakinannya akan terwujud. ∞ Sorenya, Lilly merasa cukup sehat, dan dia ingin bisa keluar dari ruangannya untuk sejenak. Dia bahkan tidak keberatan hanya berkeliling di lantai ini, asalkan dia bisa keluar kamar. Clara membantunya duduk di kursi roda, lalu membawanya mengelilingi lantai. Lilly tidak sepenuhnya ingat nama rumah sakit ini, tetapi tempat ini begitu luas. Tampaknya cukup lengang dan tidak terlalu sibuk. Sesekali satu atau dua perawat melewati mereka—termasuk seorang perawat wanita bertubuh gempal yang menangani Lilly ketika dia baru saja bangun. Wanita itu menyapa Lilly dan Clara saat mereka berpapasan. Rumah sakit baru terlihat ramai saat mereka tiba di lobi. “Lilly, aku ingin membeli minum di kafetaria,” kata Clara, menunjuk ke arah kanan. “Kau mau ikut, atau menunggu di sini saja?” Lilly memilih menunggu di lobi. Clara menurut dan memosisikan kursi roda di dekat sebuah kursi panjang. Dari sana, Lilly bisa melihat seluruh lobi. Salah satu hobinya adalah memperhatikan orang—mudah untuk melakukannya ketika kau seorang penyendiri. Dia suka melihat orang-orang melakukan aktivitas mereka. Akan ada mereka yang sibuk bergosip. Ada yang asyik sendiri dengan dunianya. Untuk sesaat, Lilly bisa melepaskan fokus dari masalahnya dan memindahkannya ke orang lain. Seseorang melewati Lilly dan duduk beberapa kursi di sebelahnya. Pemuda itu seperti baru saja menerima berita buruk—atau, paling tidak, tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia bersandar di kursi sambil mengusap wajahnya. Lilly merasa mengenal pemuda itu, tetapi tidak dapat mengingat di mana mereka pernah bertemu. Barulah ketika pemuda itu menurunkan tangannya, Lilly menyadarinya. Ia adalah pemuda salah masuk ke kamarnya. “Hai,” sapa Lilly. “Kau baik-baik saja?” Pemuda itu menoleh padanya. Saat bertatapan seperti itu, sebuah nama muncul di kepala Lilly. Thomas. Apakah Lilly sungguhan sedang bertatap muka dengan Thomas? 9: Desperate Times Marcus Powell sudah muak mendengar dengungan mesin-mesin itu. Dia tidak tahu apa namanya, tetapi mesin-mesin itu menyokong hidup Julia Powell, kakaknya, yang kini terbaring tidak sadarkan diri. Sudah empat hari, dan Julia belum bangun juga. Semakin lama Julia tidak sadarkan diri, semakin mahal biaya rumah sakit, dan semakin panas telinga Mark mendengarkan semua mesin itu bekerja keras untuk mempertahankan hidup Julia. Sebenarnya, Mark tidak yakin bagaimana semuanya jadi seburuk ini. Empat hari lalu, ketika Mark sedang bersiap-siap bekerja, telepon rumahnya berdering. Seorang detektif bernama Billy Russell menelepon. Mark langsung tahu Julia sedang terlibat masalah. Hanya Julia yang bisa membuat masalah cukup serius hingga polisi harus turun tangan. Hanya saja, Mark tidak menduga Detektif Russell akan memberi kabar buruk itu. Julia Powell menjadi korban ledakan yang terjadi tadi malam. Dia selamat, tetapi belum sadarkan diri sampai sekarang. Mark cepat-cepat mengabari ibunya dan pergi ke rumah sakit. Dia tidak sempat mampir membeli sarapan, dan tidak ingat untuk meminta izin kepada atasannya. Julia memang sering terlibat masalah, tetapi tidak sekali pun dia sampai harus dirawat di rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, hati Mark langsung hancur melihat Julia terbaring dengan sebagian besar tubuhnya diperban akibat luka bakarnya. Mark melihat berita tentang ledakan itu. Salah satu kanal berita lokal menyiarkan rumah tersebut saat para pemadam kebakaran berjuang memadamkan apinya. Si pembawa berita menyebutkan kemungkinan rumah itu merupakan pabrik meth. Mark malas melihat berita itu, jadi dia segera menggantinya dengan acara yang lebih menyenangkan. Sekarang, Mark menyesal kenapa dia tidak segera mencari tahu di mana keberadaan Julia saat itu. Julia kecanduan narkoba sejak tahun seniornya—kira-kira lima tahun lalu. Waktu itu, Mom sedang dalam proses perceraian dengan pria bajingan yang, sayangnya, merupakan ayah kandung Julia dan Mark. Proses itu sangatlah berantakan, membuat Julia stres berat dan memilih narkoba untuk menguranginya. Sudah dua kali Julia ditangkap oleh polisi akibat kepemilikan narkoba. Setahun belakangan, Julia mengaku sudah tidak memakai lagi. Dia tampaknya mulai mencoba memperbaiki hidupnya dengan mengambil kursus menjahit dan mencari pekerjaan di sebuah butik. Bukan hal yang aneh jika Julia tidak pulang—dia sering menginap di apartemen pacarnya. Karena itulah, Mark tidak berusaha mencari Julia dan tidak mengaitkan berita ledakan pabrik meth dengannya. Ah, tidak ada gunanya dia menyesal. Penyesalannya tidak akan mengubah apa-apa. Pikiran Mark sekarang dipenuhi pertanyaan, terutama terkait alasan Julia berada di pabrik meth malam itu. Jika Julia sudah tidak kecanduan, untuk apa dia berada di sana? Apakah selama ini dia berbohong? Kenapa? Hidup Julia sungguh terlihat seperti mengalami banyak kemajuan—dia berhasil bertahan di butik itu selama lebih dari tiga bulan, dan dia tampak sehat. Dia punya banyak alasan untuk menjauhi candunya. Sedari tadi, Mom belum berhenti menangis. Mark tidak yakin apa masalah Mom sebenarnya, berhubung Mom belum berhenti menangis sejak memasuki ruangan tadi siang. Biar dia tebak: masalah pekerjaan. Meski Mom dipercaya mengurus salah satu toko cabang, atasannya sering menekannya. Mark tidak tahu apa kesalahan Mom sehingga dikelilingi banyak pria bajingan. Muak melihat Mom menangis, Mark akhirnya bertanya, “Mom, kenapa sih? Ada masalah dengan Beverly Heels?” Beverly Heels adalah nama toko sepatu tempat Mom bekerja. Mom mengusap pipinya. Dia menggeleng. “Bukan itu, tetapi….” Mom terdiam, terlihat ragu-ragu. “Aku tidak yakin harus membebani pikiranmu dengan ini juga.” “Mom sudah membebani pikiranku dengan menangis terus,” balas Mark, duduk di sebelah Mom. “Lagi pula, Mom tahu Mom bisa mengandalkanku.” “Kau begitu dewasa.” Mom menepuk kaki Mark. “Kau seharusnya bisa fokus kuliah, bukannya harus membantuku mencari uang.” “Mom, jangan alihkan pembicaraan dan segera katakan apa yang membuatmu menangis.” Untuk beberapa saat, Mom tidak menjawab Mark. Tatapannya ditujukan kepada Julia. Mark sebenarnya menyayangi saudaranya itu, tetapi dia tidak bisa memaafkan Julia untuk setiap perbuatannya yang membuat Mom khawatir. “Bank menolak memberikan pinjaman,” ujar Mom akhirnya. “Aku tidak tahu lagi harus mencari pinjaman ke mana lagi untuk membayar biaya rumah sakit Julia.” Mark terdiam. Rupanya itu. Dia tahu Mom sudah mencoba mencari pinjaman ke mana-mana, dan nyaris tidak ada yang mau memberinya pinjaman. Atasannya setuju untuk memberikan gaji bulan depan di awal dan teman-temannya hanya bisa memberi sedikit uang. Mom bahkan memberanikan diri menghubungi mantan suaminya lagi—Mark masih tidak sudi memanggil pria itu Dad—tetapi tidak mendapatkan jawaban. Pilihan terakhir Mom adalah bank, yang rupanya juga tidak bersedia menyelamatkan nyawa seseorang. “Mereka semua tidak punya nurani,” komentar Mark. “Apa perlu aku meminta pinjaman kepada Mrs. Hughes? Mungkin dia bisa meminjamkan uang.” Mrs. Florence Hughes adalah pemilik toko bunga Flo’s Bouquet, tempat Mark bekerja paruh waktu. Wanita itu sangat baik, tetapi agak tegas. Dia tidak mau menerima apa pun alasan Mark untuk keterlambatannya dan akan memaksanya bekerja lebih untuk menggantinya. Namun, Mrs. Hughes akan selalu memastikan semua pegawainya punya cukup uang untuk membeli makan dan membayar sewa. Mrs. Hughes mungkin akan memberinya pinjaman, mengingat Mark adalah salah satu pegawainya yang paling setia. Sebelum Mom menjawab, dr. Jennings memasuki ruangan. “Mrs. Adams?” panggilnya—Mom memang memakai nama gadisnya lagi setelah bercerai. “Saya harus membahas kondisi putri Anda.” “Apakah kondisinya buruk?” tanya Mom. “Maafkan saya,” ujar dr. Jennings. Segala sesuatu yang dimulai dengan “maafkan saya” tidak pernah berakhir baik. “Namun, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan.” Kaki Mom lemas mendengarnya. Mark segera menangkap Mom dan mendudukkannya. Dr. Jennings memang belum menjelaskan lebih lanjut, tetapi akhirnya jelas. Julia tidak bisa diselamatkan. Julia tidak akan diselamatkan. Hati Mark penuh dengan kemarahan dan kesedihan di saat yang bersamaan. Julia memang bukan orang penting, tetapi dia tetap saja layak diselamatkan. “Kalian tentu tidak membiarkannya mati karena kami tidak bisa membayar, kan?” ucap Mark, tidak lagi bisa membendung emosinya. “Tentu saja tidak,” balas dr. Jennings. “Saya paham perasaan Anda. Maafkan saya. Namun, benar-benar tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Hanya mesin-mesin itu yang membuatnya tetap hidup.” Mark bisa marah kepada siapa saja. Dia bisa memaki dr. Jennings, bahkan menuntut rumah sakit. Namun, dia tidak akan bisa mengubah takdir. Nyatanya, Julia tidak bisa diselamatkan. Tidak ada yang bisa Mark lakukan untuk mengubahnya. ∞ Selepas menemani Mom menandatangani surat untuk melepas seluruh mesin itu dari Julia, Mark memilih keluar dan duduk di lobi. Dia tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di kamar Julia. Toh, tidak ada gunanya. Mark tidak bisa menahan Julia lebih lama di dunia. Baru sejenak dia duduk di lobi, seseorang menyapanya dan menanyakan kabarnya. Mark mengenali gadis yang duduk di kursi roda itu. Dia pernah secara sengaja masuk ke kamar gadis itu setelah mendengar bahwa dia juga menjadi korban ledakan pabrik meth. Mark kira, gadis itu teman Julia. Dia ingin sekali menanyakan alasan Julia berada di rumah itu—dia masih menolak percaya bahwa Julia kembali menggunakan narkoba. Namun, saat Mark melihat gadis itu, dia langsung membatalkan niatnya. Mark bisa membedakan orang-orang yang bermasalah dengan narkoba dengan yang tidak. Gadis itu jelas-jelas tidak pernah menyentuh obat-obatan terlarang dalam hidupnya. Sebelum Mark menjawab, gadis itu sudah berkata, “Maafkan aku, tetapi aku harus bertanya. Apakah… apakah kau Thomas? Karena aku merasa mengenalmu.” Apa yang harus Mark jawab? Tentu, dia seharusnya menjawab yang sebenarnya. Walau begitu, Mark merasakan dorongan untuk berbohong. Jika dia bisa berteman dengan gadis itu, dia mungkin bisa mencari tahu kenapa Julia ada di rumah itu. Mungkin dia bisa mencari orang yang bertanggung jawab atas kematian Julia dan membalaskan dendamnya. Mungkin, dia bisa mendapatkan penyelesaian yang dia inginkan. Karena itu, alih-alih menjawab jujur, Mark memutuskan untuk mengucapkan kebohongan. Dia tersenyum, berharap bisa menyembunyikan kebohongan ini dengan baik. “Memang benar. Kita pernah saling mengenal dulu. Aku terkejut kau baru mengenaliku sekarang.” 10: Confirmation Bias Kita pernah saling mengenal dulu. Jantung Lilly berdebar kencang mendengarnya. Kecurigaannya terkonfirmasi sekarang. Pemuda di hadapannya adalah Thomas. Lilly masih tidak percaya dia bisa melupakan Thomas begitu saja. Menurut Clara, Thomas adalah orang yang dekat dengan Lilly selama tahun seniornya. Thomas pastilah orang yang luar biasa jika dia bisa membuat Lilly cukup memercayainya dan menjadikannya teman. Seseorang sepenting itu seharusnya tidak mudah dilupakan. Malah, mereka seharusnya menempel di otaknya seperti stiker. Untuk beberapa saat, Lilly memperhatikan wajah Thomas. Pemuda itu tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat, matanya terlihat sedikit memerah, dan rambut hitamnya berantakan. Dia berusaha tersenyum meski ekspresinya muram. Lama sekali Lilly mengamati wajah itu, siapa tahu salah satu memorinya bisa muncul begitu saja dengan melakukannya. Tentu saja dia tidak berhasil. “Kau sedang sedih, ya?” tanya Lilly. Senyum Thomas memudar sesaat. Detik berikutnya, senyumnya kembali lebar. “Hanya ada sesuatu yang kupikirkan. Bukan sesuatu yang sangat penting.” Lilly bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran Thomas sekarang. Seperti apa hidup Thomas selama ini? Apa masalahnya yang begitu mengganggunya? Betapa aneh, melihat seseorang yang pernah dekat denganmu tanpa tahu apa-apa tentangnya. Lilly tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Thomas menghadapinya, yang tidak ingat sedikit pun tentang cerita mereka. “Apa aku yang membuatmu sedih?” tebak Lilly. “Kita saling mengenal dan aku tidak mengingatmu. Aku yakin itu pasti menyakitkan sekali.” Thomas berpaling dan merenungkannya. “Dilupakan oleh orang yang kausayangi memang menyedihkan. Ada bagian dari dirimu yang bertanya-tanya apakah selama ini perasaanmu tidak berbalas.” Thomas menghela napas, lalu menoleh dengan senyum seakan-akan ucapannya barusan tidak berarti apa-apa. “Setidaknya, kau sekarang ingat siapa aku. Ini adalah awal yang sangat baik.” “Perasaanmu berbalas, Thomas,” balas Lilly, berusaha meyakinkan Thomas. “Aku sempat melupakanmu, tetapi sekarang aku akan mengingatmu lagi. Bagaimana kalau kau mencoba menceritakan semua yang terjadi di antara kita? Aku ingin mendengar semuanya.” Sebelum Thomas sempat membalas, Clara sudah memanggil. “Lilly, ayo kita kembali ke kamar.” Lilly menoleh, bersemangat ingin memperkenalkan Thomas kepada Clara. Sebuah kebetulan yang menyenangkan sekali Lilly bisa bertemu dengan Thomas secepat ini di rumah sakit. Jika dipikirkan lagi, mungkin saja Thomas ada di sana untuk menengok Lilly. Dia pasti sudah mendengar bahwa Lilly menjadi korban ledakan itu dan sedang mencari-cari waktu yang tepat untuk menemui Lilly. “Clara, perkenalkan, ini Thomas,” kata Lilly, menarik tangan Clara mendekat. Dia menoleh lagi pada Thomas yang masih duduk di sebelahnya. “Thomas, ini kakakku, Clara. Ah, aku bersikap seolah-olah kalian baru bertemu. Aku yakin kalian sudah saling mengenal.” “Belum, kok,” ujar Clara. Dia mengulurkan tangan, “Hai, aku Clara. Aku banyak mendengar tentangmu.” Thomas menyambut tangan Clara. “Thomas. Aku juga banyak mendengar tentangmu.” “Tunggu, bagaimana mungkin kalian belum saling mengenal?” tanya Lilly heran. “Aku belum pernah kembali ke Los Angeles sejak kuliah, Lilly,” jawab Clara. “Aku melewatkan semua kegiatan pentingmu, seperti prom dan kelulusan. Aku sama sekali bukan kakak yang baik.” “Tidak, kuyakin kau hanya sedang sibuk.” Lilly menggeleng pelan. “Ah, aku baru akan meminta Thomas bercerita tentang kami. Apa aku boleh berbicara dengan Thomas dulu? Thomas bisa mengantarku kembali ke kamar jika kami sudah selesai. Benar, kan, Thomas?” Thomas tampak ragu. “Soal itu… kurasa aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Bagaimana kalau nanti aku datang lagi saja?” Lilly sedikit kecewa, tetapi dia mengangguk. “Boleh. Atau kau bisa meneleponku. Bisakah aku minta nomormu? Aku tidak punya ponsel sekarang—mungkin terbakar di rumah itu—jadi nomormu hilang dan nomorku tidak bisa dipakai lagi.” “Itu ide bagus.” Thomas kemudian menyebutkan nomornya. Dia kembali menoleh pada Lilly. “Maaf, aku benar-benar harus pergi. Kau harus istirahat.” “Aku akan menghubungimu secepat mungkin,” kata Lilly. Setelahnya, Thomas pergi. Lilly masih memandangi punggungnya hingga tidak terlihat lagi. ∞ “Kau semangat sekali saat bertemu Thomas. Aku tidak pernah melihat matamu berkilat-kilat seperti itu sebelumnya.” Lilly tidak kunjung membalas Clara. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Thomas. Dia menyukai segalanya dari Thomas, mulai dari cara bicaranya, sorot matanya, hingga suaranya. Tidak sulit membayangkan dia akan jatuh hati kepada Thomas, berhubung pemuda itu setipe dengan aktor-aktor yang selama ini Lilly sukai—sebut saja Noah Centineo dan Jacob Elordi. Sorot mata mereka yang agak sayu mampu membuat Lilly jatuh hati. Lilly tidak terlalu suka pemuda yang terlalu populer atau atletis, seperti pemain football yang hebat di sekolahnya atau pemuda yang menjadi pimpinan student council yang terlalu ambisius. Pemuda seperti itu selalu menjadi pusat perhatian dan perbincangan orang-orang, dan tidak pernah punya waktu untuk memperhatikan Lilly secara khusus. Hidup mereka selalu disibukkan dengan ambisi dan ketenaran mereka. Dia lebih suka pemuda-pemuda kebalikannya—pemuda yang tidak berambisi terlalu tinggi dan tidak tenar, yang ada di sekolah untuk belajar. Sebagian besar alasannya karena Lilly satu frekuensi dengan mereka. Dia juga tidak berambisi, menghindari ketenaran, dan fokus untuk belajar keras supaya bisa melanjutkan studi di Stanford University. Opposite attracts, tetapi Lilly tidak ingin meninggalkan zona nyamannya. Selain wajahnya yang mirip dengan aktor favoritnya, Thomas tampaknya adalah pemuda tipe kedua. Pantas saja mereka bisa dekat. “Aku tidak ingat dia, tetapi aku menyukainya,” kata Lilly akhirnya. “Aku tidak percaya aku bisa melupakan dia semudah itu.” “Kau, kan, mengalami trauma di kepalamu. Lagi pula, Lilly, ingatan mudah untuk dilupakan, tetapi memori yang kausimpan di hati selamanya tidak akan hilang.” “Kau sudah menghabiskan jatah petuah harianmu, Clara.” Lilly menyeringai. “Aku setuju denganmu. Aku hanya perlu mengikuti hatiku. Pada akhirnya, aku akan mengingat semuanya. Aku benar-benar berharap bisa mengingat Thomas lagi. Dia pasti kecewa sekarang.” Apakah kekecewaan Thomas yang membuatnya tidak bisa menceritakan kenangan mereka hari ini? Lilly jadi sedikit merasa bersalah sudah memaksa Thomas bercerita. Bisa jadi, perasaan Thomas sedang bercampur aduk. Di satu sisi, dia pasti senang melihat Lilly baik-baik saja dan tidak terluka parah. Di sisi lain, Thomas tidak bisa mengingat lagi kenangan bahagia mereka karena Lilly tidak berbagi kenangan yang sama. Lilly teringat akan ucapan Thomas tadi. Dilupakan oleh orang yang kausayangi memang menyedihkan. Ada bagian dari dirimu yang bertanya-tanya apakah selama ini perasaanmu tidak berbalas. “Aku akan mengingatnya lagi, Clara,” ujar Lilly. “Aku akan mengingat Thomas lagi dan aku tidak akan melupakan dia. Aku akan membuktikan kepadanya kalau perasaannya berbalas.” “Tentu, tentu. Sekarang, kau harus beristirahat. Otakmu akan pulih lebih cepat kalau kau banyak beristirahat. Kau tidak mau otakmu meledak, kan?” “Kau tidak seharusnya menakutiku seperti itu.” Clara tertawa. “Kau akan baik-baik saja. Aku akan pastikan otakmu tidak meledak.” Meski Lilly merasa kesal, ucapan Clara ada benarnya. Dia harus banyak beristirahat sekarang. Semoga dia bisa memimpikan Thomas nanti. 11: Meet Cute Akhir Agustus 2018. Lilly memperhatikan pelajaran dengan saksama, mencoba meresapi ucapan Mr. Johnson. Sesungguhnya, biologi bukanlah topik yang butuh pemahaman tingkat tinggi—sering kali, yang dibutuhkan adalah ingatan kuat. Masalahnya, ingatan Lilly tidak kuat. Lilly lebih membanggakan kemampuannya menghitung dan bernalar daripada kemampuannya mengingat-ingat. Dia mendesah. Jika saja sekolahnya tidak mewajibkan mereka mendapatkan nilai minimal B untuk seluruh pelajaran sains, Lilly pasti tidak akan repot-repot mengulang pelajaran biologi. Nilai pelajaran sainsnya yang lain sudah bagus (A untuk fisika dan A- untuk kimia). Dia bahkan tidak ingin mengambil jurusan sains saat kuliah. Mr. Johnson memang pelit sekali memberikan nilai. Hasil ujian Lilly sesungguhnya tidak seburuk itu hingga layak menerima nilai C+ dari Mr. Johnson. Banyak sekali siswa yang tidak menyukai Mr. Johnson, dan banyak sekali siswa yang harus mengulang pelajaran ini demi mendapatkan nilai B. Meskipun yang dia alami sebenarnya lumrah terjadi, dia tetap saja tidak menyukainya. “Sebelum pelajaran saya akhiri, saya... 12: Dying Light Mark menatap kosong alat pembakaran besar di hadapannya. Saat ini, tubuh Julia sedang dibakar di dalam sana. Mom memilih untuk mengkremasi Julia alih-alih menguburnya. Mom beralasan kalau dia tidak sanggup melihat luka-luka bakar di tubuh Julia selama kebaktian pemakaman berlangsung. Mark ingin menyanggah—peti mati Julia bisa ditutup saja selama prosesi—tetapi dia diam saja. Alasan Mom yang sebenarnya pastilah karena biaya kremasi lebih murah daripada biaya pemakaman. Seorang pendeta datang untuk mendoakan Julia dan orang-orang yang ditinggalkannya. Pendeta Hernandez memberi khotbah singkat tentang bagaimana Julia sudah ada di Surga dan sudah diampuni Tuhan. Bahwa Tuhan punya rencana-rencana yang tidak bisa dimengerti manusia, dan yang bisa dilakukan adalah percaya seutuhnya kepada-Nya. Mark tidak tahu apakah dia bisa percaya jika rencana Tuhan baginya tidak ada yang baik. Tidak banyak yang datang ke ibadah peringatan ini. Hanya beberapa rekan kerja Julia, yang tidak bisa berlama-lama karena mereka harus kembali bekerja, serta pacar Julia, Eric... 13: Untold Secret Lilly memperhatikan ponsel barunya lekat-lekat. Pesan yang dia kirimkan kepada Thomas belum juga dibalas. Pesan yang dia kirimkan melalui ponsel Clara juga tidak dibalas Thomas, padahal sudah lewat dua hari. Kenapa Thomas tidak kunjung menghubunginya? Lilly tidak ditemukan dengan tas berisi barang pribadinya, jadi dia harus membeli ponsel baru. Dad membelikannya ponsel kemarin. Lilly memaksa Dad untuk membelinya secepat mungkin. Alasan utamanya tentu saja supaya dia bisa menghubungi Thomas tanpa perlu mengganggu Clara, tetapi Lilly beralasan kalau dia harus punya ponsel supaya bisa berkomunikasi dengan kerabatnya yang lain dengan mudah. Ponselnya menyala karena notifikasi baru. Lilly segera membukanya. Sayangnya notifikasi itu muncul dari Netflix. Sambil mendesah, Lilly meletakkan kembali ponselnya di nakas. Lilly berharap Thomas akan menghubunginya sesegera mungkin. Dua hari yang lalu, setelah Lilly bertemu dengan Thomas lagi, dia terus meminta Clara untuk mengecek notifikasi ponselnya, siapa tahu ada pesan baru dari Thomas. Clara kesal sekali, sampai dia menjauhi... 14: Scented Flowers Mark memutuskan untuk masuk kerja hari ini. Mrs. Hughes memang memperbolehkannya cuti selama seminggu, tetapi Mark tidak ingin hanya berdiam diri di rumah. Dia ingin menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu, pikirannya tidak akan dipenuhi dengan perasaan menyesal—dan dia mengalihkan perhatiannya dengan cara yang bermanfaat, bukan dengan menghambur-hamburkan uang. Kemarin, dia memang sempat datang ke toko bunga. Bukan untuk bekerja, tetapi untuk membawakan bunga bagi Lilly. Mark merasa dia bisa lebih mudah mengambil hati Lilly jika dia membawakan sebuket bunga. Dia memilih bunga lili karena namanya mirip dengan Lilly. Untung saja gadis itu betulan menyukai lili. Mark jadi bisa menyempurnakan aktingnya sebagai Thomas. Mark pasti sudah gila karena memutuskan untuk berpura-pura menjadi pemuda yang tidak dia kenal. Dia tidak tahu siapa Thomas—apa nama belakangnya, di mana dia tinggal, seperti apa sifatnya, sampai film-film apa yang dia sukai dan hal-hal apa saja yang dia senangi. Mark terpaksa mengisi banyak ketidaktahuannya dengan... 15: White Lilies Pertengahan September 2018. Sesiangan ini Lilly berkutat dengan buku teks biologinya. Besok ujian biologi. Lilly masih belum memahami apa yang diterangkan di buku teks, apalagi menghafalnya. Jika sudah begini, bagaimana nasibnya saat ujian besok? Lilly melirik ponselnya. Sedari tadi, dia masih belum bisa memutuskan apakah dia bisa menghubungi Thomas atau tidak. Thomas pastilah sibuk. Lagi pula, mereka belum sedekat itu. Sejak bertemu di perpustakaan waktu itu, Lilly baru bertemu lagi dengan Thomas sekali di kafetaria. Thomas juga sendirian, dan Lilly memanfaatkannya untuk makan bersama meski dengan sangat canggung. Baru sejauh itu hubungan mereka. Lilly sungkan meminta Thomas datang untuk mengajarinya biologi. Dia tidak mau mengganggu kegiatan pemuda itu, yang pasti lebih penting daripada mengajari seorang gadis canggung yang nyaris tidak dia kenal. Thomas sempat bilang dia sedang mengikuti lomba esai. Mungkin saja sekarang dia sedang mengerjakan esai itu, atau mengerjakan tugasnya, atau— “Lilly?” Lilly mendongak, menemukan Thomas menarik kursi di... 16: Home Sweet Home Rasanya menyenangkan sekali bisa tiba di rumah setelah sekian lama menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Dibandingkan dengan kamar rumah sakit yang dingin, rumah terasa menyambutnya dengan hangat—dan sedikit panas, berhubung sekarang sudah memasuki musim panas. Sudah musim panas lagi. Lilly tidak menyangka dia bisa melupakan sepuluh bulan dalam hidupnya begitu saja. Sepuluh bulan bukan waktu yang singkat. Dalam sepuluh bulan, Lilly menjalani tahun seniornya. Dia mendaftar ke perguruan tinggi—sampai sekarang dia belum bertanya kepada orangtuanya di universitas mana dia diterima. Dan yang terpenting, dia melewatinya bersama Thomas. Lilly nyaris saja melupakan Thomas seutuhnya. Untung saja Clara mengingatkannya, dan Thomas pun menemuinya. “Hati-hati,” kata Mom selagi membantu Lilly naik tangga. Dad sudah mendahului mereka untuk membukakan pintu. Meski hanya satu lantai, rumah mereka lumayan besar. Mom, yang bekerja sebagai desainer interior, selalu membanggakan caranya menghias rumah dengan gaya mid-century modern. Beberapa bagian dinding rumah mereka berupa panel kayu cokelat... 17: Catching Up Jawaban Dad membuat Lilly tidak bisa duduk dengan tenang, walaupun dia seharusnya tidak banyak menggerakkan badannya. Akibatnya, kakinya sekarang terasa berdenyut-denyut, membuatnya terpaksa memosisikan duduknya lagi dengan baik. Dia hanya tidak bisa menahan semangat yang dia rasakan. Lilly ingat berpikir kalau kemungkinannya diterima di Stanford hanya terhalang oleh nilai biologinya—itu pun karena dia harus mendapatkan nilai B supaya bisa lulus sekolah. Selain itu, sebenarnya nilai biologinya tidak terlalu penting dan bukan termasuk materi SAT. Lilly sempat sangat mengkhawatirkan nilai biologinya. Dia takut sekali tidak bisa lulus hanya karena pelajaran yang bahkan tidak akan dia pelajari lebih lanjut. Lilly merasa jantungnya berdebar kencang, dan dia harus menahan dirinya agar tidak bergerak terlalu semangat. “Rasanya sangat tidak nyata. Aku sungguhan diterima di Stanford. Rasanya kemarin aku masih mengkhawatirkan nilai biologiku.” “Yah, kau memang seperti melakukan perjalanan waktu, kan?” Clara mengedikkan bahu. “Awalnya kau sedang bersiap-siap untuk tahun seniormu. Tahu-tahu saja kau sudah... 18: Reading Nook Awal November 2018 Sepulang sekolah, Lilly memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan. Dia ingin membaca buku Just One Day karya Gayle Forman. Dia sudah lama ingin meminjamnya, tetapi ada banyak sekali yang harus dia kerjakan sebulan terakhir, seperti tugas-tugas sekolah yang mulai menumpuk dan persiapan ujian SAT. Lilly sudah menyelesaikan ujiannya minggu lalu, jadi dia ingin melepaskan penat dengan meminjam buku. Lilly merasa sudah melakukan persiapan dengan baik. Soal-soal SAT bisa dia kerjakan dengan lancar, walaupun ada beberapa soal yang tidak bisa dia kerjakan. Lilly tidak ingin berharap terlalu banyak dulu, tetapi dia yakin nilainya mampu membawanya ke Stanford University. Walaupun dia sudah cukup terbiasa menjalani tahun seniornya sendirian—terutama dengan kehadiran Thomas—dia masih ingin menyusul Clara. Clara sepertinya menikmati kehidupannya sebagai mahasiswa. Dia sering kali tidak langsung membalas saat Lilly mengirimkan pesan kepadanya. Tugasnya banyak, Clara mengaku, dan dia bergabung ke sebuah organisasi kampus yang membuatnya sibuk mengurus berbagai acara.... 19: Layers of Lies Mark memperhatikan Lilly yang fokus memperhatikan kotak-kotak kecil bertuliskan huruf di hadapannya. Sejak mereka mulai bermain Scrabble, Lilly jadi lebih pendiam dari biasanya. Padahal, selama ini, Lilly selalu punya topik yang bisa dibicarakan. Mark jadi takut telah salah berbicara. Sejujurnya, Mark tidak tahu apakah dia pernah mengatakan kebenaran. Sejauh ini, dia mencoba untuk membiarkan Lilly memberitahunya apa yang gadis itu ingat. Mark hanya akan mengonfirmasinya. Mata biru Lilly akan bersinar-sinar setelahnya, dan dia berjanji akan mencoba mengingat lebih banyak. Itulah yang Mark butuhkan: ingatan Lilly akan apa yang sebenarnya terjadi saat ledakan itu terjadi. Memori Lilly akan Thomas hanyalah lapisan awal yang pada akhirnya akan menguak segalanya. Lagi pula, Mark yakin semua ingatan Lilly tentang Thomas adalah kebenaran, dan yang perlu dia lakukan hanyalah mengikutinya serta menambahnya sedikit supaya terdengar lebih meyakinkan. Kebetulan saja Thomas pintar biologi dan suka merawat bunga, sehingga Mark tidak perlu pusing menjelaskan bau bunga yang... 20: Captured Memory Lilly memandangi ponselnya, mengabaikan televisi yang menyala. Layar ponsel menunjukkan notifikasi pesan dari Thomas yang muncul sepuluh menit yang lalu. Thomas mengirimkan beberapa pesan meminta maaf. Sampai sekarang, Lilly belum ingin membukanya. Lilly masih tidak tahu kenapa Thomas bersikap begitu aneh. Jika dia memang ingin membantu Lilly mengingat, dia seharusnya mulai menceritakan semua yang terjadi di antara mereka. Kenangan adalah sesuatu yang dibuat untuk dibagikan melalui cerita-cerita, bukan disimpan sendirian. Membagi kenangan tidak akan membuatnya habis, melainkan menjadikannya kekal. Walau begitu, Lilly merasa dia sedikit merasa keterlaluan dengan menyebut Thomas tidak ingin dia ingat kembali. Thomas sedang lelah, jadi mungkin dia tidak pernah berniat seperti itu. Mungkin, bercerita tentang kenangan yang dia punya terasa menyakitkan. Meski Lilly tidak tahu apa yang membuatnya terasa menyakitkan, Thomas bisa saja tidak ingin mengingat masa-masa itu saat Lilly tidak bisa mengingatnya juga. Ya, pasti begitu. Tidak mungkin Thomas menyembunyikan sesuatu, kan? Thomas tidak mungkin... 21: Asking Questions Mark melamun. Matanya melihat ke arah jalan dan orang-orang yang berlalu lalang di jalan di hadapannya, tetapi pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya masih dipenuhi dengan ciuman yang diberikan Lilly. Ciuman itu begitu singkat, tetapi Mark tidak bisa berhenti memikirkannya. Sial, kenapa Mark tidak bisa melupakan ciuman itu? Ciuman itu bukan pertama untuknya. Dia melakukannya pertama kali dengan pacarnya saat tahun freshman, Brittany Carlisle. Brie adalah pencium yang lumayan andal. Mereka berciuman tiga kali selama mereka berpacaran yang hanya berjalan selama enam bulan. Hubungan itu berakhir buruk dan berantakan sekali. Sampai sekarang Mark tidak berniat mencari tahu bagaimana kehidupan Brie. Setelahnya, Mark tidak ingin berpacaran. Menyaksikan dua hubungan sekaligus hancur dengan begitu buruk meninggalkan luka di hatinya. Dia tidak mau disakiti dan menyakiti orang yang dia sayangi lagi. Mark tidak mau ditinggalkan oleh orang-orang yang ingin dia pertahankan dalam hidupnya. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk memastikannya adalah... 22: Faint Doubt Lilly memperhatikan Thomas yang saat ini sedang berbicara dengan Clara. Sambil mengingat-ingat wajah pemuda tadi, Lilly mencoba mencari perbedaan wajah di antara mereka, jika sungguh ada. Sejauh ini, Lilly lebih banyak menemukan persamaan di antara mereka. Bentuk mata mereka mirip—mata Thomas sayu, dan Lilly mudah jatuh hati dengan mata seperti itu. Leher mereka sama-sama panjang, dan alis mereka tebal. Lilly tidak dapat melihat bentuk rahang dan hidung pemuda di foto, tetapi dari depan, bentuknya tidak jauh berbeda. Sayangnya Lilly belum pernah melihat Thomas tersenyum lebar sehingga tidak bisa dibandingkan dengan senyum lebar pemuda di foto. Satu-satunya perbedaan yang bisa Lilly temukan hanyalah warna rambut mereka. Rambut pemuda di foto tadi cokelat, sementara milik Thomas yang ada di hadapannya hitam. Warna kulit mereka pun tampak sedikit berbeda—Thomas yang Lilly lihat sedikit pucat. Namun, rambut bisa saja dicat sehingga tidak bisa jadi patokan, dan warna kulit pun bisa tampak berbeda di bawah... 23: Troubles and Dreams Januari 2019 Lilly bergantian menatap Thomas dan pemuda yang datang bersamanya. Siapa dia? Thomas tidak pernah terlihat punya teman—dia pun mengaku tidak pernah punya teman dekat. Menurut Thomas, dia terlalu sibuk belajar. Teman-teman yang dia punya pun hanyalah mereka yang pernah dia ajari, yang sesekali menyapanya saat bertemu di lorong, tetapi tidak pernah mengundangnya untuk pergi ke pesta-pesta. “Dia Tony,” kata Thomas, memperkenalkan temannya itu. “Anthony Sanders. Aku harus mengajarinya beberapa materi yang harus dia kejar supaya bisa lulus.” “Oh, begitu rupanya.” Lilly tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Hai. Aku Liliana Hayes. Kau bisa memanggilku Lilly.” Tony menyalami tangan Lilly singkat. “Tony, seperti yang dikatakan Thomas. Thom, kau tidak bilang akan ada pacarmu yang ikut belajar dengan kita.” Wajah Thomas memerah. Dia melirik ke arah Lilly selagi membalas Tony, “Lilly bukan pacarku. Lagi pula, dia lebih jago ekonomi dibanding aku. Kurasa dia bisa mengajarimu itu, sementara aku mengajarimu biologi. Apa kau,... 24: Traces of Truth Detektif Billy Russell duduk bersandar pada kursinya sambil memijat dahinya. Kasus ini benar-benar membuatnya berpikir untuk melaksanakan impiannya: pensiun dini dan membuka kantor penyelidik pribadi. Atau mungkin pindah ke pedesaan dan memecahkan masalah hilangnya kuda milik tetangga. Dia bahkan rela pensiun dan tidak melakukan apa-apa di rumah selain diganggu oleh istrinya, Gloria. Rasa-rasanya semua itu lebih baik daripada menangani kasus kebakaran pabrik meth seperti ini. Kasus ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Penyebab kebakaran sudah diketahui dan sebagian korban merupakan mantan narapidana. Detektif Russell hanya butuh mengidentifikasi korban-korban lainnya serta mengusut pemilik pabrik tersebut dan apakah mereka masih beraktivitas di daerah lainnya. Sayangnya semuanya jadi sulit sekali berhubung nyaris tidak ada petunjuk yang bisa membantunya. Sebagian besar bukti hancur dalam api. Empat dari sepuluh korbannya belum diidentifikasi. Satu korban selamat tidak mengingat apa-apa, sementara korban lain yang selamat akhirnya meninggal. Empat korban sisanya merupakan pengedar narkoba yang sudah pernah ditangkap, tetapi... 25: Lifeless Clue Mark melangkah cepat meninggalkan Flo’s Bouquet. Hari ini, dia meminta cuti setengah hari kepada Mrs. Hughes untuk “mengurus masalah pribadi.” Untung saja Mrs. Hughes mengizinkannya. Menurutnya, hari ini masih termasuk dalam minggu berkabung. Mark bahkan baru ingat kalau hari ini tepat seminggu setelah kepergian Julia. Selagi menunggu bus, Mark mengecek lagi artikel berita yang dia temukan tadi pagi. Lilly masih tidak tahu informasi penting mengenai Tony, jadi Mark mencari-cari tentang pemuda itu di internet. Awalnya dia berharap bisa menemukan informasi seperti itu di situs sekolah Lilly, Golden Oak Private School, tetapi dia justru menemukan lingkungan tempat tinggal Tony dari sebuah artikel berita penangkapannya setahun lalu. Anthony “Tony” Sanders, menurut artikel itu, ditangkap atas kepemilikan dan pendistribusian narkoba. Dia sedang menggunakan obat entah jenis apa saat polisi menggerebek rumahnya. Tony Sanders ditangkap bersama dua orang temannya, Aiden Lewis dan Georgia Brooks, dan sempat ditahan di pusat penahanan remaja. Nama Aiden Lewis... 26: Caught Red-Handed Tony Sanders duduk di balik pintu sambil menatap bir yang tumpah dari kaleng. Sejak pemuda asing tadi pergi, Tony belum beranjak dari sana. Sebenarnya, bagaimana bisa hidupnya berubah jadi sekacau ini? Jika ditelusuri, semua ini berawal tiga tahun lalu, saat dia baru saja memasuki tahun sophomore. Tidak, sepertinya semua ini berawal dari hari kelahirannya. Tony adalah lahir di keluarga yang tidak stabil. Ibunya adalah seorang pencandu narkoba yang mati overdosis saat Tony masih SD. Ayahnya sering keluar masuk penjara, dan sekarang pun sepertinya masih ada di dalam sana sejak ditangkap lima tahun yang lalu. Sejak kecil, Tony sudah terbiasa melihat ibunya mabuk bersama teman-temannya. Tony pernah meminum bir saat usianya enam tahun—Momma meninggalkan sekaleng bir begitu saja dan Tony penasaran. Saat itu dia tidak menyukai bir. Sekarang mulutnya masam jika tidak minum bir. Hidup Tony sedikit membaik saat dia dirawat oleh Helena, adik Momma. Helena bersikeras memasukkan Tony ke... 27: Truth or Lies? Thomas Lane sudah mati. Orang yang identitasnya dipinjam oleh Mark sudah mati. Sejujurnya, Mark tidak tahu apa yang dia bayangkan akan terjadi setelah Mark tidak memerlukan apa-apa lagi dari Lilly. Pada saat itu, pikirannya hanya dipenuhi oleh keinginan untuk mendekati Lilly dan mencari informasi sebanyak mungkin. Tidak sekali pun terpikirkan olehnya tentang akhir dari penyamarannya. Mark hanya berpikir bahwa suatu saat, Thomas akan muncul lagi, dan Mark hanya perlu menghilang. Sekarang, saat Thomas tidak mungkin lagi mengambil perannya kembali, apa yang harus Mark lakukan? Dia tidak mungkin berpura-pura menjadi Thomas selamanya—dia juga tidak akan mau melakukannya. Mark tidak akan mampu. Thomas sepertinya pintar biologi dan berprestasi secara akademis hingga berfoto dengan guru biologinya (Mark sudah memperhatikan foto di Instagram itu dengan lebih saksama). Mark hanya berbagi wajah yang mirip saja dengan Thomas. Mark tidak merasa seperti berkaca saat melihat foto Thomas, tetapi dia sedikit paham kenapa Lilly bisa menganggap mereka... 28: Pictures of Him Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu…. Kalimat itu diulang berkali-kali, dan alih-alih takut, Lilly merasa tenang. Dia tidak tahu dari arah mana suara itu berasal, tetapi dia tahu itu suara Thomas. Lilly menoleh ke berbagai arah untuk mencari sumber suara itu. Sayangnya, suara itu kini redam oleh riuh orang-orang bertoga di sebelah Lilly—mereka berbicara dengan satu sama lain, dan gimnasium sekolah seakan memperbesar suara itu. Lilly memanggil-manggil nama Thomas. Sudut matanya menangkap sosok Thomas berjalan keluar dari gimnasium. Lilly memanggilnya sambil mengikutinya. Thomas tidak menoleh, melainkan terus saja berjalan menyusuri lorong sekolah yang terasa panjang sekali. Lilly tidak bisa mengejarnya meski sudah berlari sekencang mungkin. Ke mana Thomas pergi? Kenapa dia tidak menoleh saat dipanggil? Thomas membuka sebuah pintu di area sekolah yang tidak Lilly kenali, lalu memasuki ruangan. Entah kenapa, pintu itu bercahaya saat dibuka. Lilly sudah akan menyusul saat dia mendengar bunyi ponsel dari ujung lorong. Dia menoleh mendengar... 29: To Be Honest Mark berdiri di depan guci berisi abu pembakaran Julia, menatapnya kosong. Akhir-akhir ini, setiap pagi, dia selalu memperhatikan guci itu untuk waktu yang lama, hingga dia terlambat bekerja. Padahal dia tidak melakukan apa-apa. Hanya melamun saja, tidak memikirkan apa-apa, sampai dia sadar dia harus segera pergi. Mark merasa ingin menyerah saja. Semua pilihan yang dia buat sejak Julia meninggal tidak membawanya ke mana-mana. Lilly tidak mengingat apa-apa, Eric tidak tahu-menahu soal keberadaan Julia malam itu, dan Tony keburu mengusirnya sebelum Mark bisa mendapatkan jawaban. Sekarang Mark tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Pencariannya sia-sia saja. Mark tahu Julia sudah tidak ada, dan dia sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan kehidupan setelah kematian, tetapi ada kalanya Mark bertanya-tanya apakah Julia bisa memperhatikannya. Seperti apa respons Julia melihat Mark dari sana? Apakah Julia gemas ingin menyuruh Mark berhenti? Mark tidak tahu akan seperti apa respons Julia, dan itu membuatnya kesal. Mark menghela... 30: Gone Forever Lilly memperhatikan pemuda di hadapannya—pemuda yang dia kira adalah Thomas. Pemuda itu memucat setelah Lilly menanyakan identitasnya. Sejak menyadari bahwa Thomas yang ada di dalam foto itu berbeda dengan Thomas yang selama ini Lilly temui, Lilly tahu, hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil: orang yang selama ini dia temui bukan Thomas. Pemuda itu hanya kebetulan mirip saja, sehingga Lilly salah mengenalinya sebagai Thomas. Amarah Lilly seketika memuncak saat menyadarinya. Selama ini dia telah dibohongi. Clara sudah mencoba menelepon dan memaki pemuda itu—si Thomas palsu—tetapi tidak ada balasan. Lilly juga ikut coba menelepon dengan hasil yang sama. Pemuda sialan itu tidak berani menjawab. Mungkin dia tahu bahwa panggilan dari Clara dan Lilly menandakan sesuatu yang buruk. Lilly terpaksa menunda emosinya hingga sekarang—kemarahannya yang sempat sedikit padam tadi kembali membara melihat pemuda itu di hadapannya. “Apa maksudmu?” tanya pemuda itu kemudian—suaranya terdengar sedikit gemetar. Lilly ingin tertawa mendengar pertanyaan itu. “Tidak... 31: In Denial Tadi pagi, selagi menunggu Thomas palsu datang, Lilly sempat memikirkan kemungkinan yang sebenarnya terjadi pada Thomas asli. Hanya ada dua kemungkinan yang paling masuk akal yang bisa Lilly pikirkan. Pertama, kesimpulan Lilly salah, dan Thomas yang selama ini dia temui memang Thomas yang sebenarnya. Kemungkinan ini sepertinya masih masuk akal meski Lilly meragukannya. Warna rambut mungkin berubah, tetapi bentuk wajah tidak mungkin diubah banyak. Walaupun Mark dan Thomas memang mirip jika dilihat sekilas saja, Lilly tetap bisa membedakan mereka. Kedua, Thomas sedang berada jauh dari Los Angeles dan tidak mengetahui kabar Lilly sama sekali. Kemungkinan ini juga masuk akal sampai titik tertentu. Clara, Mom, dan Dad tampaknya tidak pernah bertemu dengan Thomas dan tidak punya cara untuk berkomunikasi dengannya. Hanya Lilly yang tahu nomor Thomas yang asli—nomor itu sekarang hilang berhubung ponsel lama Lilly sudah tidak ada. Thomas mungkin saja tidak mengetahui bagaimana kondisi Lilly yang sebenarnya. Namun, jika itu... 32: Bleeding Hearts Lilly belum pernah pergi ke kantor polisi sebelumnya, berhubung dia tidak pernah terlibat dalam kegiatan kriminal apa pun. Dia hanya pernah berurusan dengan lembaga pemerintahan saat dia mengurus kartu identitasnya beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit. Kartu identitasnya yang lama sudah hilang—kemungkinan besar terbakar saat ledakan waktu itu. Lilly suka melihat serial televisi yang menceritakan kehidupan sebagai polisi. Tiga yang dia ingat adalah Law & Order, Brooklyn Nine-Nine, dan Chicago PD. Saat Lilly membayangkan bentuk bangunan dan keadaan di kantor polisi, dia akan langsung membayangkan ketiga serial itu walaupun lokasinya berbeda. Sejauh yang Lilly lihat, kantor polisi tempat Detektif Russell sama sibuknya dengan kantor polisi di kedua serial itu. Banyak sekali polisi berseragam yang berseliweran, dan setiap dari mereka tampaknya memiliki misi untuk dituntaskan. Memperhatikan orang lain bekerja cukup membantu Lilly mengalihkan pikirannya. Lilly sering melakukannya ketika dia tidak punya teman dulu. Ah, memangnya dia masih punya teman... 33: Silent Grave Lilly menghabiskan siang itu berbicara dengan Mrs. Lane—yang sekarang memaksa untuk dipanggil Joanne saja. Lilly menyuruh Clara untuk pulang duluan, berhubung dia akan ikut Joanne dan keluarganya pergi ke makam Thomas nanti sore. Lilly bisa melihat kalau watak Joanne berkebalikan dengan Mom dalam banyak aspek. Joanne adalah wanita yang lembut dan mudah tersenyum. Rumahnya didominasi warna hijau pastel dan krem, tampaknya tidak memiliki sebuah konsep interior tertentu. Terdapat begitu banyak jenis tanaman di dalam rumah, mulai dari tanaman hias berdaun lebar seperti yang dimiliki Mom dan tanaman-tanaman sukulen yang tersebar di berbagai tempat. Terdapat sebuah rak besar berisikan medali dan piala. Setengah dari isi rak itu adalah milik Thomas, sementara setengah lainnya dimiliki oleh Joshua Lane. “Joshua adalah adik Thomas,” kata Joanne. “Dia lebih suka bermain football. Sejak kecil memang mereka berdua berkebalikan sekali.” Joanne kemudian bercerita banyak sekali tentang Lucas, suaminya, dan Joshua. Lucas Lane bekerja sebagai kepala... 34: Broken Trust Mark memperhatikan wanita yang baru saja keluar dari toko. Wanita itu membeli dua buket bunga lili putih. Mau tidak mau, Mark langsung teringat akan Lilly. Empat tangkai bunga lili yang dihias dengan dedaunan hijau tua. Buket ini merupakan salah satu buket termurah yang dijual di Flo’s Bouquet—juga yang termudah, karena tidak membutuhkan banyak hiasan. Meski begitu, bentuk bunga dan kombinasi warnanya yang elegan menjadikannya salah satu buket paling banyak dipesan. Mark membereskan sisa bunga lili dan dedaunan sambil menghela napas. Sebenarnya, kenapa dia masih saja merasa sedih? Mark tidak seharusnya sedih. Dia memang bersalah karena telah berbohong, dan dia layak diusir dari hidup Lilly. Mark juga sudah tahu hasilnya akan seperti ini—malah, apa yang dia alami kemarin bukan kasus terburuk yang dia bayangkan, karena dia berpikir keluarga Lilly akan ada di sana dan memukulinya. “Bagaimana?” tanya Archie, tiba-tiba saja sudah merangkul Mark. “Kau sudah meminta maaf pada gadis itu?” Mark... 35: Prisoner's Confession Tony berbaring di atas tempat tidur, memperhatikan langit-langit dengan tatapan kosong. Sejak pertama menempati sel ini hingga sekarang, kira-kira seminggu setelahnya, yang dipikirkan Tony hanya satu: bahwa dia sangat layak berada di sini. Setelah semua yang dia lakukan, sudah sepantasnya dia membusuk di sini. Tidak, Tony tidak akan membusuk di penjara. Dia hanya mendapatkan waktu enam bulan penjara saja karena dia memiliki narkoba saat ditangkap. Selain itu, informasi yang dia berikan pada detektif waktu itu cukup membantu untuk mengurangi masa tahanan—tidak banyak, berhubung tidak ada informasi baru. Tony hanya memberitahukan tentang sisa pengedar yang belum diidentifikasi. Kelompok yang memiliki pabrik meth itu bukan kelompok besar. Anggotanya tidak mungkin lebih dari 30 orang. Pemimpinnya, seorang pria bernama Fred Robinson, dulunya merupakan seorang apoteker. Rumah itu disewanya dari seorang temannya yang bekerja di kota lain. Fred mulai memproduksi methamphetamine sendiri setelah salah satu pemasoknya dulu ditangkap polisi. Tony mulai masuk ke dalam... 36: Lost in the Fire 2 Juni 2019, malam terjadinya ledakan. Thomas memperhatikan ombak kecil bergulung dari laut, hanya untuk akhirnya lebur bertemu pantai. Banyak orang bilang, pantai terlihat indah di malam hari. Sudah lama sekali dia penasaran ingin membuktikan apakah ucapan itu benar adanya. Malam ini, dia mengakui kebenarannya. Langit tampak cerah—beberapa bintang terlihat mungil, berkelap-kelip dengan indah. Thomas menarik napas panjang. Hidup rasanya indah sekali malam ini. Diperhatikannya Lilly, yang sudah mendahuluinya melepas sandal dan berlari menuju air. Senyum Thomas mengembang. Dia senang sekali Lilly bisa pergi bersamanya malam ini karena Thomas punya pertanyaan penting yang harus dia ajukan. Pantai ini tampaknya akan jadi tempat yang cocok sekali untuk menanyakannya. Namun, pertanyaan itu harus disimpan untuk sementara. Dia akan menyusul Lilly bermain air dulu. “Airnya dingin sekali!” seru Lilly. Kakinya sudah sedikit terendam. “Benarkah?” Thomas berdiri di sebelah Lilly. Air laut memang terasa dingin seperti es. “Apa menurutmu kita sebaiknya kembali—” Ucapan Thomas... 37: Excruciating Pain Lilly terdiam menatap Tony, yang sekarang sedang menelungkupkan wajah di atas meja dan menangis. Cerita Tony barusan menusuk Lilly tepat di hatinya, tetapi karena alasan yang tidak Lilly ketahui, dia tidak bisa menangis. Hati Lilly sepertinya sudah mati rasa, atau otaknya belum mau mengakui keberadaan rasa sakit itu. Tony membenturkan kepalanya ke meja beberapa kali. “Ini semua salahku,” gumamnya. “Ini salahku. Seharusnya aku yang mati hari itu.” “Apa yang terjadi setelahnya?” tanya Lilly, tidak memedulikan Tony. Tony mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. “Aku mengamankanmu saat Thomas mulai memukuli Aiden supaya yang lain tidak menyentuh atau melukaimu. Saat Aiden tidak sengaja menyenggol kompor yang menyala itu, aku langsung berlari ke arah jendela sambil menarikmu. Aku sempat melompat, makanya aku baik-baik saja. Kau mungkin tidak sempat lompat karena aku menyeretmu, jadi kau jatuh ke tanah dengan keras.” Cerita Tony menjelaskan kenapa kaki Lilly bisa patah dan otaknya gegar. Lilly menatap kakinya. Jika... 38: Keeping Promises Musik country sedang berputar di kedai makanan langganan Lilly dan Clara. Energi Lilly terkuras setelah dia mengeluarkan seluruh emosinya, jadi dia mengajak Clara mampir untuk makan. Meski begitu, dia hanya melamun, mengabaikan burger dan kentang goreng yang dia pesan. Lilly bahkan tidak sedang memikirkan apa-apa. Seluruh tubuhnya seperti berhenti berfungsi dengan benar. Lilly kembali memfokuskan perhatiannya pada lingkungan sekitarnya saat Clara memanggilnya. Tiba-tiba saja, Lilly jadi merasa kasihan pada Clara, yang sudah dengan sabar mengurusnya selama ini. Clara juga tidak kembali ke Stanford meski dia seharusnya mengurus sebuah acara. Entah bagaimana nasib acara itu sekarang. Tidak mungkin Clara masih menjadi bagian dari acara itu jika dia menetap di Los Angeles selama ini. “Kalau kau sedang tidak ingin makan, kita bisa membawanya pulang saja,” kata Clara. “Tidak, aku makan di sini saja.” Lilly kemudian mengambil burgernya dan menggigitnya. Burger ini sebenarnya enak, tetapi sekarang rasanya jadi sedikit memuakkan. Mungkin dia memang... 39: An Apology Lilly menunggu dengan gelisah di sebuah kafe. Dia akan bertemu dengan Mark hari ini. Lilly telah mempertimbangkannya sedari kemarin. Semakin dipikirkan, semakin Lilly bisa menemukan alasan untuk memaafkan Mark. Keputusannya memang terdengar sedikit mengerikan, tetapi hingga sekarang, pikiran seram itu tidak terbukti. Mark tidak terlihat seperti pemuda yang akan melecehkan Lilly jika mendapatkan kesempatan—semoga saja pemikirannya ini tidak bias hanya karena Mark mirip dengan Thomas. Lilly yakin dia bisa berpikir cukup objektif. Lagi pula, pemikiran itu tidak terbukti karena Mark sering mendapatkan waktu berdua dengan Lilly. Sepertinya dia memang betulan ingin mencari informasi terkait seseorang yang juga menjadi korban ledakan itu. Lilly sudah tidak ingat lagi karena dia terlalu marah untuk percaya pada apa pun alasan yang Mark berikan. Pemuda itu terlambat setengah jam. Mark memang tidak membalas pesan Lilly, tetapi dia sudah membacanya. Tanpa mendapat konfirmasi seperti itu, Lilly hanya bisa menunggu. Jika pada akhirnya Mark tidak datang, Lilly... 40: Moving On Lilly meletakkan dua tangkai bunga lili di atas makam Thomas. Di sebelahnya, Mark memperhatikan dengan tampang tidak tertarik. “Kau tidak akan menyuruhku meletakkan dua tangkai bunga sisanya, kan?” tanya Mark. “Kalau kau mau, kau bisa membelinya sendiri,” balas Lilly sambil menggeleng. “Aku akan membawa dua tangkai ini ke Stanford.” Besok, Lilly dan Clara akan berangkat ke Stanford untuk memulai kuliah. Tanpa terasa, musim panas akan berakhir, dan Lilly akan memulai kuliahnya. Lilly memakai waktu dua bulan terakhir untuk beristirahat dan memulihkan kondisinya agar siap berangkat. Kakinya sudah tidak digips lagi. Otaknya tidak mengingat terlalu banyak hal, tetapi Lilly sudah memakainya untuk belajar. Dia melupakan semua yang dipelajari di tahun terakhirnya, jadi dia ingin mengejar ketertinggalannya. “Untuk apa? Bunga segar seperti itu tidak akan bertahan lama.” “Kau ketus sekali,” gerutu Lilly. Dia mengusap salah satu bunga itu—kelopaknya terasa lembut sekali. “Kau tahu, aku ingat Mom pernah membelikanku dan Clara dua kalung dengan... FOREVER Gimnasium dipadati oleh orang-orang dalam toga. Upacara kelulusan akan segera dimulai. Jantung Lilly berdebar kencang. Dia tidak percaya hari kelulusannya sudah tiba. Sebagai lulusan terbaik, Thomas berpidato. Lilly bisa menebak isi pidatonya—ajakan untuk merawat bumi dan setiap makhluk hidup di dalamnya, serta ajakan untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Yang tidak Lilly duga adalah bagian dalam pidato Thomas yang membicarakan tentang pentingnya teman dan keluarga. “Saya dihadapkan pada salah satu keputusan besar dalam hidup saya awal tahun ini,” kata Thomas. “Saya bisa memilih sebuah universitas di negara bagian lain, atau yang tidak terlalu jauh. Universitas di negara bagian lain itu adalah universitas impian saya sejak kecil, dan dulu, saya akan melakukan apa saja untuk bisa belajar di sana. Namun, universitas yang satunya lebih dekat dengan Los Angeles—dengan rumah saya.” Thomas menyapukan pandangannya ke seisi gimnasium. Saat matanya bertemu dengan mata Lilly, Thomas berhenti dan tersenyum. “Saya memilih universitas yang dekat. Saya... Description: Setelah libur musim panas berakhir, Liliana Hayes harus menjalani tahun seniornya di SMA. Malas sekali rasanya. Clara, kakak dan satu-satunya teman Lilly, sudah harus pergi untuk kuliah di Stanford. Tanpa teman, kehidupan senior tidaklah menyenangkan. Ingin rasanya dia terbangun dan tahun seniornya sudah terlewati. Dengan begitu, dia bisa bersama-sama dengan Clara lagi. Keinginannya "terkabul" saat dia terbangun di sebuah kamar rumah sakit, penuh luka dan tanpa ingatan akan setahun terakhir hidupnya. Tidak ada yang tahu bagaimana Lilly bisa menjadi korban ledakan sebuah pabrik narkoba ilegal. Teka-teki itu membawa Lilly dalam sebuah perjalanan untuk mengembalikan memorinya, serta mengenang seorang pemuda yang secara samar diingatnya. Pelan namun pasti, Lilly mulai ingat. Satu nama, Thomas, dan setiap kisah yang mengikuti nama itu mengalir kembali dalam hidupnya.
Title: Rindu-Ku Category: Puisi Rindu Text: dan selanjutnyaa... Bagaimana kabarmu tuan? aku pasti kamu baik baik saja. Mengapa kau tidak mengabariku? Padahal aku hanya ingin menyampaikan rinduku yang hampir saja menyita setiap detik waktuku. Aku hanya ingin becerita tentang rindu. Rinduku padamu tentunya. . . Pagi tadi kutitipkan rinduku untukmu melalui mentari Siang tadi kutitipkan rinduku untukmu melalui hujan yang dingin Sore tadi kutitipkan rinduku untukmu melalui senja yang sangat indah Dan malam ini, kutitipkan rinduku untukmu melalui bintang-bintang yang bersinar. . . Kutanyakan pada mentari bagaimana jawabanmu perihal rinduku Mentari hanya menunduk. Kemudian kutersenyum. Aku pikir kau sedang bersiap untuk aktivitasmu . Kutanyakan di hujan, bagaimana jawabanmu perihal rinduku Hujan menjawab, bukankah aku dingin ?, lalu yang ingin kau harapkan! Akupun tersenyum sambil menatap hujan, "Hujan, dia bukan dirimu. Mana mungkin ia tega membuatku sakit dengan dinginnya, mungkin ia sedang beristirahat kelelahan, ya walaupun tak selelah aku yang menunggu. . Kutanyakan pada senja, bagaimana jawabanmu perihal rinduku Senja hanya diam, tiba-tiba ia pergi tanpa berpamitan senyumku perlahan hilang, aku mulai berpikir mungkinkah kau akan bersikap seperti senja, yang membuatku terkagum, membuatku suka, membuatku jatuh cinta, kemudian pergi tanpa sepatah kata pun Meninggalkanku seorang diri, tanpa tau apa alasan kepergianmu. Aku mulai gelisah memikirkannya. . Pada akhirnya harapan terakhirku hanya bintang. Kutanyakan pada bintang, bagaimana jawabanmu perihal rinduku Bintang berkedip, kedipannya ternyata seumpama gelak tawa. "dia juga kagum, dia juga suka, dia juga cinta padamu layaknya kagum, suka, dan cintamu pada senja dan yang terakhir dia ukanmu" ucap bintang. Aku senang bukan kepalang. Aku aku tersadar, mentari mengusap wajahku. "Hei nona bangunlah bintang tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya" Ternyata bintang semalam menertawakanku dengan kedipnya. Aku terhempas, menangis di sudut kamar. Ternyata jawaban bintang hanyalah mimpi saat aku tertidur kelelahan karena merindukanmu. Dan itu berarti kau kagum, kau suka, kau jatuh cinta padaku hanya sebatas mimpiku. Dan kau tau ?? rindu dan jatuh cinta sendiri itu benar benar sakit tuan. Description: ...dan kau tau ?? rindu dan jatuh cinta sendiri itu benar benar sakit tuan.
Title: Redrum Category: Thriller Text: Akuarium Seluruh jagat raya terasa menekan organ-organ dalamnya ketika perempuan berambut panjang itu membuka kedua matanya. Ia telah berhasil mengumpulkan seluruh nyawanya, tetapi ia benar-benar tidak tahu ia sedang berada di mana. Ia pun memendarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Hanya ada ruangan putih tulang tak bersekat dan ia dihadapkan oleh deretan tangga menuju ke ruang bawah tanah. Gadis itu bergidik ngeri. Bayangan monster dalam kegelapan yang menanti kehadiran perempuan itu berdansa dengan indah pada cermin persepsinya. Ia memilih jalur aman. Ia harus keluar dari sini. Segera. Ia mengayunkan kakinya dengan ritme yang kaku, tetapi kepalanya terantuk sesuatu. Aduhan kesakitannya bergema ke seluruh ruangan. Dahinya mengernyit. Apakah ia telah menabrak sesuatu? Instingnya menyerukan untuk mengangkat tangannya. Ia terlihat seperti para pemimpin negara yang menyapa rakyatnya di antara keramaian konvoi. Atom-atom solid bereaksi dingin terhadap sentuhan hangat tangan gadis itu. "Dinding?" gumamnya bingung. Anehnya, dinding itu tidak terlihat. Panik segera menyerangnya. Ia mencoba-coba untuk menelusuri setiap penjuru di sekelilingnya. Sia-sia, ia bahkan tidak menemukan celah sekecil diameter pembuluh darah kapiler pun. Ia tak mungkin sendirian di situ. Ia menggedor-gedor dinding sembari berteriak, "Halo? Ada orang di situ? Halo? Tolong!" Kehampaan yang menjawab. Detik-detik pun bergulir dan ia mulai patah semangat. Meski begitu, ia merasa deretan tangga itu baru saja memanggil namanya. Suaranya lemah dan samar, tetapi itu memberikan petunjuk bahwa ia memang tidak sendirian di tempat ini. Ia menelan ludah dan terpaksa harus turun jauh ke dasar layaknya tutorial game yang terkonstruksi dengan apik. Tangga-tangga itu memang gelap dan mencekam, tetapi secercah cahaya dari ruangan di atas membantu retina untuk memproyeksi bayangan yang sempurna. Ia bertelanjang kaki dan anehnya, lantai tangga ini terasa hangat. Gadis itu semakin tidak sabar untuk tiba ke dasar tangga. Tidak ada monster. Hantu pun tiada. Namun, amplitudo suara yang samar tadi semakin keras seiring ia menyusuri tangga. Suara-suara itu saling bersahutan dengan nada bicara yang acak. "Halo? Halo?" Ia mencoba berkomunikasi dengan mereka, tetapi pertanyaannya menguap ke udara. Nada bicara mereka berubah menjadi intens dan gadis itu mempercepat langkah kakinya. Sampai di dasar, ia malah disambut oleh ruangan putih tulang yang sama. Ia menerawang lurus ke depan dan pemandangan yang menggambarkan tiga figur menyengatnya bagaikan aliran listrik tinggi. Tiba-tiba, alunan piano entah dari mana bergaung di daun telinganya. Ia sudah tak asing dengan lagu ini, Les Carnaval des Animaux: VII L'Aquarium karangan Camille Saint-Saëns. Gadis itu berlari mendekati tiga orang itu. Apakah semua ini mimpi? Ia mencubit kulitnya. Rasa sakit menyiksa pori-pori kulitnya. Hah? Pikirannya seperti kopi yang sedang diaduk. Namun, saraf-sarafnya menegang hebat ketika ia selesai menghampiri tiga orang itu. Dua perempuan di antaranya berparas sama sepertinya. Rambut panjangnya, baju yang mereka kenakan, jari-jemari kaki yang berpijak–semuanya sama. Perempuan yang satu sedang berdiri sambil mengacungkan pistol Beretta 92 FS, bersiap untuk menarik pelatuknya. Figur lain yang sama seperti dirinya, sedang duduk memohon. Air matanya tak kunjung urung berhenti mengalir. Pakaiannya sudah lusuh seperti dirinya telah diseret dengan wajah menghadap permukaan lantai. Sosok yang sedang dilindungi oleh perempuan yang sedang bersedih itu adalah seorang lelaki. Ia berlumuran darah dengan mata dan mulut disekap oleh balutan kain putih kotor. Wajahnya babak belur dan tulang hidungnya sedikit bengkok. Kedua tangannya dijerat oleh tali bersimpul mati. Tiba-tiba, lelaki itu menoleh tepat kepadanya. Gadis bingung itu menatap iba, berniat menolongnya dan mengobatinya. Pelatuk mulai ditarik. "Tolong jangan. Tolong..." Kata-katanya ditelan oleh sedu-sedan yang memilukan. "Julie, jangan...jangan bunuh dia. Tolong..." Mereka pun mempunyai nama yang sama dengan gadis yang baru singgah itu. Kepala Julie terasa pening. Ia menutup mata sembari memegang kepalanya, tetapi ia segera terbangun dari lamunan ketika sosok Julie yang berlutut mulai meronta hebat. Histeria itu semakin tidak kentara ketika sosok Julie yang mengacungkan pistol itu membidik laki-laki yang duduk tidak berdaya. "JANGAN! DIMAS!" Ia merentangkan kedua tangannya selebar mungkin hingga semua otot pun berkontraksi. Ia melindungi Dimas yang kini tertunduk lemah. Dimas? Refleks, Julie yang hanya menjadi penonton mengambil alih suatu peran penting. Julie segera berlari kencang untuk menjatuhkan senjata yang digenggam oleh iblis berkedok dirinya. Iblis itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Cepat, sebelum terlambat. Tanpa aba-aba, Julie terpaku. Kedua telinganya berdengung. Kedua tungkainya tak kuat memikul beban tubuhnya. Tangannya mencoba meraih sesuatu. Lehernya bersimbah darah. Trakea Julie pecah menjadi berkeping-keping. "U–kkk da–" Oksigen. Udara. Aku butuh udara. Kotak pandora telah dibuka. Semua menjadi kacau. Dimas berlari tanpa arah dan refleksi Julie yang penuh kasih itu mencoba menghentikan refleksi Julie yang sinting. Seperti yang sudah Julie duga, dua orang itu ditembak di kepala. "Kkk–kkk..." Saat mata Julie mengedip, tembakan keempat menggaung layaknya terompet sangkakala. Julie berusaha kuat untuk tetap sadar dan semua orang telah terbaring mengenaskan. Menyiksa. Julie sengaja ditembak di leher agar ia dapat menyaksikan adegan terakhir ini. "Kkk..." Julie tetap tak kenal lelah mencari udara. Semuanya pun meremang. Pekat. Gelap. ... Ascolta “Nathan, main, yuk!” Seorang anak lelaki yang sedang memindahkan kanal acara televisi dengan rasa bosan, seketika berdiri membuka pintu depan rumahnya setelah seseorang memanggilnya dari luar rumah. Nathan biasanya selalu mengintip dari jendela terlebih dahulu saat ada tamu sedang berkunjung ke rumahnya. Untuk tamu yang satu ini, Nathan tanpa ragu akan selalu segera menyambutnya. “Ma, Nathan mau main dulu sama Fazrin! Dadah!” serunya dengan nada melengking. Tanpa mendengar balasan dari ibunya, Nathan bergegas keluar dan membuka pagar rumahnya. Hari Sabtu ini terasa sangat membosankan bagi Nathan karena ibunya sedang sibuk mengerjakan urusan dari kantornya. Kadang-kadang, dia tidak mengerti mengapa orang dewasa harus tetap bekerja di hari libur. Padahal ‘kan, hari libur itu jelas-jelas dipakai untuk istirahat. Nathan menyunggingkan senyum lebarnya kepada Fazrin yang sedang memegang setang sepeda tiga rodanya dengan sigap. Fazrin merupakan teman sebaya dan tetangga Nathan, meskipun mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Mereka saling bertemu di tempat bermain beberapa tahun lalu ketika mereka masih duduk di bangku TK. Menurut Nathan, Fazrin adalah anak yang keren karena dia memiliki koleksi mobil-mobilan yang banyak. “Eh, kita sekarang mau main ke mana?” tanyanya sembari duduk di kursi penumpang. “Hmm…” Fazrin berpikir sebentar. “Aku kayaknya mau main ayunan deh. Kita ke taman bermain aja deh!” “Oke!” balas Nathan dengan riang. Dia pun mengacungkan jempolnya dengan percaya diri. Fazrin pun mulai mengayuh sepedanya, menyusuri jalan aspal yang baru dipoles beberapa hari lalu. Di persimpangan jalan, mereka pun bertukar sapa dengan satpam yang sedang menyesap segelas kopi hitam hangat di posnya. Tidak ada kata yang terucap dari mulut mereka, tetapi senyum lebar tetap bertengger di wajah mereka. Sesampainya mereka di taman bermain, mereka segera berlari untuk bermain jungkat-jungkit dan membiarkan sepeda Fazrin tergeletak di atas tanah begitu saja. Tawa ceria mereka mulai mencairkan suasana taman bermain yang diselimuti keheningan. Nathan menyukai bermain video game di smartphone-nya, tetapi dia tetap merindukan asyiknya bermain di luar. Semuanya tidak akan lengkap jika mereka tidak bermain di perosotan. Tinggi dari perosotan itu tidak seberapa, tetapi Nathan dan Fazrin rasanya seperti terjun dari langit seperti para penerjun payung yang mereka saksikan di televisi. Setelah mereka bosan dengan perosotan, mereka pun beralih ke tempat bermain lainnya. Mereka lakukan kegiatan ini hingga mereka merasa lelah. Fazrin duduk dengan nyaman di atas ayunan biru, tempat bermain yang paling digemari olehnya. Nathan pun kemudian menyusul duduk di ayunan yang berwarna merah di samping Fazrin. Mereka berdua memandang lembayung berwarna kekuningan yang menyatu dengan warna ungu gelap. Langit sudah mulai temaram dan hembusan angin dingin mulai mengigit kulit Nathan. “Nat, gimana keadaan kamu di sekolah?” tanya Fazrin sambil menggoyang-goyangkan tungkai kakinya yang menggantung. Pandangan Nathan mulai menunduk dan dadanya pun mengurut. Fazrin pasti akan marah besar jika Fazrin mendengar kalau ada teman-teman sekolahnya yang masih mengejek Nathan. Sejujurnya, Nathan tidak terlalu mengerti apa yang mereka katakan. Yang jelas, mereka tidak menyukai penampilan fisiknya karena dinilai berbeda di sekolahnya. “Biasa-biasa aja kok, Rin. Ya gitu deh. Palingan ada guru Matematika yang nyebelin banget, padahal soal-soalnya yang sekarang itu susah banget lho!” Nathan pun terpaksa berbohong agar Fazrin tidak merasa khawatir. Memang materi kelas 3 SD terasa lebih susah, tetapi Nathan sebenarnya tidak keberatan dengan hal itu. “Awas aja kalau mereka masih ngatain kamu ‘sipit’! Bakal aku datengin mereka terus aku pukul mereka semuanya!” seru Fazrin gusar dengan kedua tangannya terlipat di atas dadanya. Nathan menggeleng keras. “Eh–nggak kok! Nggak kok, Rin! Tenang aja!” Anak lelaki itu pun terkekeh gugup. Nathan pun menghela nafas, seandainya saja dia bisa sekuat dan seberani Fazrin. Fazrin mulai memperbaiki letak helai kain kerudungnya yang mulai tersibak oleh hembusan angin. “Oh iya, aku jadi inget. Aku mau nyampein sesuatu ke kamu, Nat.” Kedua tangannya mulai menggenggam erat rantai ayunan yang memikul tubuh Fazrin. “Emangnya ada apa, Rin?” “Aku besok mau pergi liburan!” ucap Fazrin gembira. “Katanya, keluarga mau liburan ke luar kota seminggu dan aku sama kakakku semuanya diajak pergi. Ya emang sih aku jadinya bolos sekolah, tapi ‘kan asik banget akhirnya liburan!” Mata Nathan pun terbelalak. “Wah, keren tuh, Rin!” “Aku sih pengennya ngajak kamu liburan bareng juga!” “Jangan, Rin, nggak usah ngerepotin!” Kepala Nathan menggeleng. “Tapi janji ya, nanti kamu harus bawain aku oleh-oleh! Kalau nggak, aku nggak akan ngasih kamu buat main game lagi!” tambah Nathan dengan nada sok mengancam. “Idih, Nathan, aku juga punya hape kayak kamu kali!” Fazrin memukul pelan bahu Nathan yang dibalas dengan aduhan Nathan yang dramatis. “Katanya keluarga mau liburan ke pantai sih. Nanti, aku bawain kumang deh buat kamu! Tapi awas, nanti kumangnya ngegigit!” Mereka pun kembali tertawa renyah dan akhirnya, mereka pun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing. Nathan melambaikan tangannya kepada Fazrin setelah dia tiba di depan rumahnya. Anak lelaki itu pun tertawa geli membayangkan hewan peliharaan baru yaitu kelomang dari laut, tetapi Nathan menyayangkan dia tidak akan bertemu dengan Fazrin selama seminggu. Nathan pun berdoa agar semoga Fazrin bisa selamat dan kembali ke rumahnya sampai tujuan. *** Nathan terbangun dari tidur lelapnya. Dia mendengar sayup-sayup ribut dari ruang keluarganya. Nathan dapat mengenali semua suara yang berkumpul di situ, ibunya dan dua kakak laki-lakinya. Nada mereka semuanya terdengar kaget dan panik. Tingkat suara televisi pun jauh lebih kencang daripada yang biasanya. “Empat polisi menjadi korban ledakan bom bunuh diri...enam warga turut menjadi korban…pihak kepolisian mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 08.50 WIB...” Bom? Nathan bertanya-tanya. “Pihak kepolisian juga mengungkap pelakunya satu keluarga atas nama Saudara Dicki, berikut istri dan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan yang terlibat dalam serangan itu.” Nathan mulai mendengar nama-nama disebutkan. “…dan anak perempuan yaitu Fazrin Ilmy Karina berumur 9 tahun…” “Katanya, ‘kan Fazrin lagi liburan…” kata-kata Nathan pun terhenti. “Kita sudah mengidentifikasi kelompoknya yang disinyalir memiliki hubungan dengan aksi terorisme…” Nathan tidak beranjak dari tempat tidurnya. Awalnya, hanya ada dua tetes yang jatuh. Seiring waktu, sedu sedan itu semakin menggema. Tenggorokannya tercekat dan dia tidak lekas membuka kedua matanya. Pelukan hangat ibunya dan ucapan penuh khawatir dari kakaknya tidak membuatnya bergeming dari duduknya. Pembawa acara berita pun tidak kenal lelah membacakan narasi. Tangis dan teriakan penuh lara menggaung di tempat yang berbeda. Hanya tersisa duka cita. Tega. Betapa teganya mereka. Anxiety Mentari mulai bersinar cerah di ufuk timur, diam-diam membanggakan keagungannya di hadapan semua makhluk hidup. Aroma tanah sehabis hujan mulai melekat di masing-masing indra penciuman dua insan berbeda yang duduk di atas bangku taman. Mereka dikelilingi oleh rerumputan hijau yang lembut dan beberapa pohon beringin lebat yang berdiri kokoh tidak jauh di belakang mereka. Wajah mereka menghadap cakrawala yang melukiskan langit jingga dan sekelompok burung merpati yang sedang terbang tanpa rasa takut. Semuanya terlihat indah. Semuanya terasa damai. Meskipun letak barisan burung merpati itu tidak kunjung berpindah, dua orang itu tidak mengindahkan anomali yang terjadi di dunia mereka. Seorang perempuan merogoh saku celana jeans-nya yang hitam legam untuk mengambil sepasang barang yang selalu dinikmati olehnya di waktu luang. Ia mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya dengan santai di antara belahan bibirnya yang kering. Pemantik api warna ungunya dijentikkan berkali-kali, tetapi tidak ada kobaran api mungil yang keluar. Ia mendecakkan lidah dan menaruh barang itu di atas bangku taman sambil mendesah. Laki-laki di sampingnya tanpa melontarkan sepatah katapun membantu menjentikkan pemantik api yang minyaknya hampir habis. Mata perempuan itu sempat terbelalak, tetapi sorot matanya segera melemah ketika sel paru-parunya menyerap asap nikotin. “Terima kasih," gumamnya sembari meniup asap rokok yang tak menguap ke udara. “Elo salah satu yang nggak ngeyel pas ngeliat gue ngisep." Seberapa kuat apapun usaha mereka untuk tidak peduli, mereka berdua tetap terpana memandangi asap yang kini membentuk kabut tak keruan. “Sama-sama dan tenang aja kok," jawab lelaki itu dengan ringkas. Amarahnya diredam agar perasaannya dapat belajar untuk memaklumi. Ia menyadari bahwa ia bukanlah layaknya sesosok ibu dari perempuan itu yang dapat melarangnya. Terlintas sekelebat pikiran untuk mengalihkan rasa ketidakberdayaannya. “Ngomong-ngomong, gimana kabar nyokap elo?" Perempuan itu mengangguk lembut. “Baik-baik aja. Kalo nyokap elo gimana?" Lelaki itu menyunggingkan senyum manis yang memamerkan deretan giginya. “Sama, kok. Usaha dagangannya juga udah mulai membaik lagi." Asap rokok yang sudah dihembuskan beberapa kali itu tidak kunjung menguap ke udara. Jari-jemari perempuan itu tidak lagi mengenggam sebatang rokok yang sedang menyala. Benda itu jatuh di atas rerumputan dengan ukurannya yang masih utuh meskipun percikan api berusaha melalap serat kertas dan tembakau. Dadanya mulai terasa tesak dan ia mulai mengigit lidahnya sendiri hingga darah mulai merembes keluar karena tidak sanggup lagi mengabaikan semuanya. Suara besi yang bergesekan dengan taman bangku seketika membuat perempuan itu ngilu. Ia menoleh ke arah sampingnya dan tiba-tiba pupilnya mengalami dilasi. "H-hei, itu elo dapet dari mana?" tanyanya terbata-bata sambil menunjuk ke arah pisau dapur yang sedang digenggam oleh teman lelakinya. Lelaki itu membakar ujung mata pisau itu dengan mudah hingga meleleh layaknya lilin. “Elo harus kuat. Elo harus tetep kuat." Nadanya tajam, tetapi terselip perasaan lirih. Lelehan besi yang menetes mulai menimbulkan kobaran api yang mulai berdansa di tengah rerumputan. Hijau mulai menjadi hitam. “Elo lebih kuat daripada gue dan gue percaya elo bisa ngelewatin semua ini." Dia mulai beranjak untuk menghindari jilatan api yang semakin liar. Perempuan itu sungguh tidak bisa lagi berpura-pura seiring taman bangku yang diduduki pun mulai meluluh. “Ngapain coba elo pake acara bakar-bakar segala?!" Ia membentak lelaki yang masih menatap bara api dengan kosong. Sambaran api jauh lebih cepat daripada yang mereka berdua kira, membakar hangus apa yang menghalangi jalannya. Panik, ia segera meraih lengan lelaki itu dengan kasar. “Ayo, kita kabur dari sini!" Ketika ia membalikkan badan, cakrawala di hadapannya juga ikut terbakar. Mereka sedang berdiri di tengah kubah api yang menaung. Teriakan kencang terlontar dari mulutnya. Tungkai kakinya tak lagi mampu menahan beban tubuhnya. Ia mulai bersedu-sedan hebat. Lelaki itu pun berusaha kuat menahan air mata yang mulai menggenang. “Ayo!" serunya sambil membantu perempuan itu untuk berdiri. Ia dengan gesit melingkarkan lengan perempuan itu pada lehernya. Mereka saling menuntun jalan, tetapi tetap memaku di hadapan kobaran api yang siap mengubah mereka menjadi debu. Perempuan itu menengadah ke atas dengan ngeri. Langit, matahari, dan barisan burung yang statik itu ikut terbakar. Dunia yang mereka pijaki mulai runtuh. Ia menelan ludah dan berujar pelan, “Mungkin udah waktunya ya." “Maaf kalo cara gue terlalu kasar dan gamblang." Mereka mulai melangkah untuk mendekati dinding api di hadapan mereka. Ruang kosong tempat mereka bergerak pun semakin mengecil. “Tapi, gue berusaha untuk mengalihkan pikiran elo dari mereka." Perempuan itu semakin bingung. “Mereka–mereka siapa?" “Mereka semua yang udah ngebikin sangkar ini. Mereka semua yang udah bikin elo ngerasa nggak berguna," balasnya sambil memendarkan pandangan ke arah lalapan api yang membara. Debu dan abu beterbangan di udara, melambai-lambai pada kegelapan yang menunggu di balik tirai. Tatapan tajamnya kini berfokus pada raut wajah teman perempuannya yang sayu dan lemas. “Gue minta satu hal sekarang dari elo." “Apa itu?" “Jangan pernah takut." Sebelum perempuan itu menanyakan apa maksud dari kalimat terakhir itu, tubuhnya serasa diseret kencang. Waktu tak kunjung bergulir, meskipun jeritan mereka berdua saling berpadu layaknya nada major dan minor. Mungkin, inilah rasanya panas neraka yang ditakutkan oleh orang-orang selama berabad-abad. Rasa sakit yang mendarah daging di ulu hati kini sirna. Usai sudah. … … Suara bising mesin yang tak pernah tidur mendesak dirinya untuk membuka mata. Siluet para pejalan kaki mulai timbul samar-samar dalam proyeksi retinanya. Cahaya lampu kota yang berpendar tanpa henti mulai memandikan saraf penglihatannya yang sempat tidak berfungsi. Gumaman seorang laki-laki di dekatnya yang sedang duduk bersama di atas bangku taman mulai dapat dipahami dengan jelas. “Kita kayaknya harus lebih sering-sering kayak gini. Ya minimal sebulan sekali lah." Pernyataan tanpa konteks itu hanya mendapat jawaban senyap dari lawan bicaranya. Nyawa perempuan itu masih belum terkumpul seutuhnya. Ia masih terus menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi seperti sebuah komputer yang baru saja disterilkan dari serangan virus. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk menyusun lisan seadanya, “Ketemuan bareng maksudnya?" Lelaki itu melukiskan senyum manisnya kembali. “Menghadapi ketakutan kita berdua." 19.59 pun berubah menjadi 20.00. Description: "Andaikan semua manusia itu bersifat baik, pasti dunia ini akan baik-baik saja. Andaikan semua manusia itu tidak mengenal ketamakan dan kebencian, pasti tidak ada jarak antar manusia," pikirku dalam hati. Diriku yang lain malah menertawakanku, "Pikiranmu itu naif sekali. Jika semua hal terlahir dengan sifat baiknya saja, cerita ini bahkan tidak akan ada! Konflik? Omong kosong! Kau dan aku juga tidak akan ada di situs web ini!" Hanya keheningan yang menjawab. --- Sebuah kompilasi cerita drama/thriller, kadangkala juga tercampur aduk dengan genre action dan misteri. Peringatan: penuh dengan unsur kelam.
Title: Rige Category: Teenlit Text: The Meeting Pertemuan antara dua keluarga. Hal itu biasa terjadi jika kedua belah pihak menginginkan ikatan yang saling menguntungkan terjadi. Seperti halnya sebuah perjodohan. Meja bundar itu kini hening. Tawa mereka telah mereda dan menyisakan guratan bahagia di setiap wajah yang duduk mengelilingi meja besar tersebut. Sebuah candaan basa-basi, tapi cukup menghangatkan suasana dan menghadirkan kegembiraan. Makanan penutup masih ada di hadapan masing-masing. Beberapa sudah dicicipi dan sisanya masih utuh. Terabaikan karena sang pemilik fokus menunggu keputusan apa yang keluar dari pertemuan malam ini. “Jadi, bagaimana pangeran? Kau setuju dengan perjodohan ini bukan?” sang raja bertanya dengan senyum yang tersungging di bibir. Yang dipanggil masih tak bergeming. Deon diam menatap sup buah di depannya yang sama sekali tak tersentuh. Kemudian menghela napas singkat dan menatap bergantian orang-orang di sekelilingnya. Matanya berhenti ketika bertemu pandang dengan gadis yang mengenakan gaun pink yang duduk diseberang mejanya. Gadis itu menatapnya dengan berbinar, tersenyum manis memperlihatkan eyes smile miliknya, dan menyelipkan rambut terurainya ke belakang telinga. Tiffany. Gadis itu amat cantik. Kulitnya yang putih bersih, mata hitam bulat dan bibir merona alaminya membuat kecantikannya tidak perlu dipertanyakan. Cantik, cerdas, baik dan seorang anak menteri. Semua kriteria yang seharusnya membuat para pria akan senang hati menerimanya sebagai pasangan. Tapi tidak bagi Deon. Pria itu tidak tertarik. Tidak perlu bertanya kenapa dia tidak tertarik karena memang tidak ada alasan yang cukup kuat. Satu-satunya alasan adalah karena hatinya memang tidak tertarik, bahkan dengan segala kelebihan yang gadis itu miliki. Deon tidak bisa. Ia memutus kontak matanya dengan Tiffany. Sebuah helaan kembali terdengar kemudian. “Maaf yang mulia. Aku rasa hubungan baik ini akan tetap berlanjut ke depannya, meski tanpa perjodohan.” Semua wajah menegang. Senyum manis di wajah Tiffany memudar. Raja dan ratu terdiam. Begitu pula menteri dan istrinya. Serta wajah-wajah lain yang turut hadir dalam perjamuan ini. Guratan bahagia yang beberapa saat lalu sempat terlukis kini lenyap tak bersisa. Semua orang mendadak kaku dan suasana berubah mencengkam. Hening dan bisu. Sebuah penolakan. Bagaimana pun bentuknya pasti terasa menyakitkan. Meski perjodohan ini hannyalah murni perjodohan, tanpa unsur politik dan dilakukan karena pemenuhan adat yang mengharuskan pangeran untuk memiliki pendamping di usianya ke dua puluh. Tapi sebuah penolakan telak tentu akan memberi dampak pada hubungan keduanya. Terlebih karena dari pihak kerajaan lah yang pertama kali meminta pertemuan ini diadakan. Jadi, sebuah penolakan tidak seharusnya terucap dari pihak yang meminta. Sang raja menyadarinya. Ini murni kesalahannya. Seharusnya dia tahu bahwa tidak ada yang bisa membaca pikiran juga keinginan pangeran. Begitu pun dengan mengatur kehendaknya. Pangeran berjiwa bebas . Ia memiliki aturan hidupnya sendiri. Dan dia melakukan kesalahan dengan tidak meberitahunya. Tidak sedikit pun tentang perjodohan ini. Ratu adalah yang pertama kali bersuara. Dengan sebuah senyuman ia mencoba memperbaiki keadaan yang berubah canggung, “pangeran apa kau sudah memikirkan jawaban yang baru saja kau lontarkan?” Deon mengangguk, sekali lagi menatap wajah di sekeliling meja itu secara bergantian. Termasuk wajah Tiffany yang kini terlihat pucat dengan sorot mata kosong. Serta Serena, sepupunya yang tengah memberikan tatapan dalam dan penuh makna. “Maaf yang mulia ratu, menteri dan semua yang ada di sini. Aku rasa Tiffany pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.” Selesai sudah. Gadis itu kini berupaya untuk tidak menagis dengan sang ibu yang berusaha menenangkannya. Sang menteri berusaha memaksakan senyum yang hanya bisa dibalas dengan senyum tak kalah canggung oleh raja dan ratu. Sedang yang lain, hanya bisa diam dengan saling tatap. Deon bisa saja menyesal suatu saat nanti. Keputusan yang baru diambilnya mungkin saja salah. Gadis itu bisa dikatakan nyaris sempurna untuk menempati posisi putri kerajaan, dan itu seharusnya cukup ia jadikan alasan untuk menerimanya. Dia akan memiliki pendamping yang hebat dan kerajaan akan berjalan semakin baik dan sempurna. Menolaknya adalah tindakan yang tidak masuk akal. Kecuali karena dia tengah memperhitungkan keberadaan gadis lain. *** Description: Kecuali, karena pangeran tertarik dengan gadis lain.
Title: retaken Category: Metropop Text: PROLOG Perempuan itu menatap gadis kecil yang terlelap di pangkuannya dengan nanar. Penuturan lelaki di seberang mejanya membuat jantungnya nyaris berhenti. Dalam hatinya, ada kecamuk rasa bersalah yang enggan berdamai. Ada badai bertahun-tahun lalu yang lagi-lagi mengamuk. Ia mengaduh sakit dalam hati, betapa hidup telah mempermainkannya sedemikian rupa. Sedang lelaki di seberang mejanya, menelan kalimat berikutnya yang siap meluncur dari bibirnya. Tidak, bukan membatalkannya, tetapi memilah ulang kata yang tepat untuk diucapkan—kata yang lebih sederhana untuk dicerna. “Iya, empat tahun lalu, aku yang mengambilnya. Sebab kau harus terus melanjutkan hidup,” tandas lelaki itu. Serupa orkestra duka lama yang kembali digelar, kalimat demi kalimat lelaki itu terngiang di telinganya. Perempuan itu merasakan sesak di dadanya, diikuti rasa mual yang berkelindan di perutnya. Dengan ragu ia mengusap kepala gadis kecil di pangkuannya—gadis yang sejak belakangan ini begitu akrab dengannya. “Dia….. dia anakku???” tanya perempuan itu. Suara perempuan itu nyaris menggantung di udara, tetapi lelaki itu dengan jelas membaca gerakan bibir si penanya, sehingga ia paham apa yang ditanyakan. Dengan mantap, lelaki itu mengangguk. “Dia anakmu.” Gelegar petir menyambar. Hujan turun dengan derasnya—di kedua mata perempuan itu. BAB SATU Pernikahannya tinggal tiga bulan lagi, tetapi Maira bahkan masih meragukan hatinya sendiri. Semakin dekat menuju hari pernikahan, semakin akrab pula ketidakyakinan itu di hatinya. Bukan perihal calon suaminya yang tidak baik, tetapi sesuatu dari masa lalunya mendadak hadir satu per satu, memenuhi setiap ruang di kepalanya dengan kenangan yang sayangnya tidak manis dan indah. Maira Agnesia membasuh kedua tangannya di wastafel sembari menatap cermin. Ditatapnya bias dirinya sendiri dalam cermin itu, lantas menurunkan kacamata yang sejak pagi dikenakannya. Ia memijat batang hidungnya, diikuti helaan napas yang panjang dan dalam. Perempuan itu bekerja di Artea Event Organizer. Karir Maira berawal sejak tujuh tahun lalu, ketika ia sukses besar dengan proyek pertamanya. Dalam waktu singkat saja, ia langsung dipercaya memimpin Artea. Bukan hanya soal memimpin perusahaan, Maira juga sukses besar menjalin komunikasi dan kerjasama yang baik dengan semua rekan kerjanya. Tahun ini, lagi-lagi Maira mendulang applause dari seluruh karyawan Artea—termasuk pemilik perusahaan itu. Baru saja bulan lalu ia berhasil memenangkan penawaran untuk meng-handle pernikahan salah satu artis ternama. Setelah keberhasilan tahap pertama itu, Maira masih harus melakukan revisi proposal di beberapa bagian. Celakanya, besok adalah hari di mana dirinya harus mempresentasikan hasil revisian itu di depan kliennya, dan proposal itu belum selesai hingga saat ini. “Bu Mai belum pulang?” tanya Tata ketika menemukan Maira di wastafel dan berhasil memecahkan lamunan bos cantiknya itu. Gadis itu baru masuk dua bulan lalu, masih magang. Tetapi Maira sangat menyukai kinerjanya. Tata selalu berhasil membuat Maira teringat bagaimana dirinya memulai karir pertamanya dulu. Maira segera menoleh ke sumber suara. “Eh, Ta, kok belum pulang? Iya, nih, saya masih ngerjain proposal untuk Raisa. Kamu sendiri kok masih di sini?” Dengan tatapan takjub dan penuh bangga, Tata berdecak kagum dalam hati. Sungguh Maira selalu menjadi inspirasinya sendiri dalam bekerja. “Iya, Bu. Saya masih nyelesaiin beberapa perintilan untuk acara wedding besok.” “Oh iya. Itu yang handle tim kamu ya? Jadi sudah sejauh mana?” Maira baru teringat resepsi pernikahan besok yang digelar di Puri Tirta. Untuk beberapa acara, ia mempercayakan sepenuhnya pada tim. Tetapi hal ini akan jadi berbeda jika ada acara orang-orang ternama. Ia akan langsung turun tangan meng-handle semuanya, bersama beberapa orang yang dipilihnya ke dalam tim. “Sudah aman, Bu. Tinggal eksekusi acara besok. Oh iya, Bu, saya ke dalam dulu ya. Kebelet.” Gadis itu nyengir kuda, diikuti tangannya yang menggaruk kepala meski tidak gatal. Maira membalas dengan senyum tulus. “Silakan. Saya juga mau balik ke ruangan.” Setelah mengeringkan kedua tangannya, Maira kembali memakai kacamatanya. Sebelum benar-benar meninggalkan toilet, ia memastikan penampilannya masih rapi seperti delapan jam yang lalu. Ia keluar, lalu berbelok ke arah ruangannya. Ruangan kerja Maira berukuran lima kali lima, dengan sekat kaca transparan di bagian depan dan pintunya. Sedangkan di sisi kiri dan kanannya, ruangan itu dibatasi kayu jati berornamen, berwarna cokelat tua dan di beberapa sisinya bisa diisi dengan buku. Dinding multifungsi, khas dengan Maira yang ingin segalanya tampak berfungsi. Di dinding sebelah kirinya, ada tanaman menjalar yang rapi terawat. Tidak ada satu orangpun yang tak menyukai ruang kerja Maira—dan setiap sudut Artea. Sebelum membuka pintu, Maira menangkap sosok perempuan seusianya yang sudah duduk dengan santai di seberang meja kerjanya. Ia mengenal perempuan itu dengan baik. Namanya Tatum. Maka ketika membuka pintu ruangannya, senyum Maira sudah mengembang terlebih dahulu. “Tum, udah lama?” tanya Maira diikuti jabat tangan dan cipika-cipiki. Tatum bangkit, membalas sambutan temannya. “Baru, kok. Kamu ke mana aja sih? Aku telpon daritadi nggak diangkat.” Maira langsung nyengir merasa bersalah dan mengecek ponselnya yang sejak siang diletakkannya di laci meja kerjanya. “Maaf.. maaf.. aku nggak tahu.” “Yaiyalah, gimana kamu tahu, hape juga di-silent begitu,” potong Tatum dengan cepat, dibalas cengiran oleh Maira. Tatum sendiri selain teman dekat Maira, sekaligus pemilik perusahaan Wedding Organizer itu. Latar belakang keluarganya yang sudah dasarnya bergelimang harta, bukan hal yang sulit baginya untuk memiliki perusahaan sendiri di usia yang belia. Tiga bulan setelah perusahaan itu berjalan, Tatum mulai putus asa. Saat itulah dia melihat Maira sebagai malaikat penolongnya. Tatum merekomendasikan Maira kepada papanya untuk magang di perusahaan itu. Dan terbukti, sejak Maira bergabung, segalanya menjadi semakin membaik. “Pernikahan kamu gimana, Mai? Masih ada yang kurang?” Tatum bertanya sembari membolak-balik lembar proposal yang tergeletak di meja Maira. Lagi-lagi, Maira nyengir. Tatum geram sendiri melihat perempuan itu. “Ya ampun Maira.. kapan sih kamu bisa serius nanggepin pertanyaan aku? Tiga tahun lalu aku tanya kamu maunya apa, betah di sini atau engga, atau ada pengen ke perusahaan lain, kamu juga cuma nyengir.” “Ya… gimana lagi. Bantuin proposal untuk Raisa, dong! Buntu nih!” Maira memutar laptopnya, dan menunjukkan konsep yang berhasil ia selesaikan. Dasar Tatum yang gampang teralihkan, ia segera memperhatikan proposal itu dan seolah lupa dengan pertanyaannya beberapa detik lalu. Perempuan itu sibuk dengan proposal yang disodorkan Maira, ketika ponsel Maira berdering. Sebuah pesan masuk. “Siapa?” Yang ditanya mengangkat bahu. “Aku disuruh lihat keluar.” “Lihat keluar?” Kali ini Tatum yang menaikkan alisnya sebelah. Maira membuka tirai yang menutupi dinding belakang ruang kerjanya. Dinding itu juga terbuat dari kaca, sehingga Maira leluasa memandang keluar sesuka hatinya. Tatapannya segera menangkap lanskap ganjil di bawah sana. Seorang lelaki bersandar di mobilnya. Seolah menyadari seseorang sedang memperhatikannya dari lantai atas, lelaki itupun mendongak dan melambaikan tangan. Lelaki itu mengeluarkan sebuah karton dan bertuliskan sesuatu di sana. AYO MAKAN! NANTI KAMU KURUS :D Lelaki ini….. batin Maira dalam hati. Ia membalas tulisan itu dengan sebuah senyuman. BAB DUA Namanya Aditya, lelaki yang sejak empat tahun belakangan menjadi kekasih Maira. Aditya adalah sosok yang ceria, penuh kejutan dan agak posesif. Tetapi Maira adalah satu-satunya perempuan yang paling tahu harus seperti apa menghadapi Aditya. Hal itu pula yang membuat Aditya begitu mencintai Maira. Hari itu, Aditya sebenarnya sedang kesal. Maira tak juga membalas pesannya atau memberinya kabar sejak jam sepuluh pagi. Tetapi bukan Aditya namanya jika langsung marah-marah tak jelas untuk menghadapi Maira. Maka sepulang kerja, ia memutuskan untuk mendatangi perempuan itu di tempat kerjanya. Dari bawah, Aditya dapat melihat dengan jelas wajah Maira yang tersenyum padanya dari lantai atas. Rambut perempuan itu tergerai sebahu dengan gelombang indah di ujung rambutnya. Matanya coklat medium khas perempuan Indonesia, ditingkahi dengan warna kulit kuning langsat bersih. Wajah oval Maira, dengan dagu yang terbelah, menambah keindahannya. Sesekali Maira menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga—aktivitas yang membuat gadis itu tampak begitu tenang dan dewasa. Setelah mengacungkan jempol, lelaki itu dapat melihat perempuannya buru-buru turun. Dan tak butuh waktu lama hingga Maira muncul dari balik pintu Artea. “Pasti lagi kesel samaku,” celetuk Maira seraya membentangkan tangannya. Disambut Aditya dengan pelukan hangat. Aditya terkekeh pelan. “Bagus kalau nyadar.” Gantian Maira yang terkekeh. “Nyadar donggg.. Kan aku pengertian,” ucapnya diikuti ekspresi super pede di wajahnya. Aditya melengos melihat tingkah kekasihnya itu. “Kalau pengertian tuh harusnya ngabarin!” “Kalau pengertian itu, tahu.. kamu tuh lagi kesel atau enggak.” Perempuan itu meninju lengan kekasihnya dengan mesra, dibalas dengan tangan Aditya yang merangkulnya dan membimbingnya menuju pintu mobil. Aditya lantas membukakan pintu mobilnya, mempersilakan Maira masuk. “Silakan masuk, Tuan Putri. Awas kalau besok kayak gini lagi!” katanya seraya membentuk wajah kesalnya. Maira terkekeh lagi, diikuti Aditya yang menutup pintu mobil dan segera berpindah ke kursi pengemudi. “Dasar posesif!” Maira masih terkekeh di tempatnya. “Dan kau mencintaiku,” sahut lelaki itu seraya mendaratkan sebuah kecupan di pipi Maira. Tatapan Maira langsung beralih ke Aditya yang kini menyetir di sebelahnya. Untuk banyak alasan dia begitu bersyukur memiliki Aditya yang akan menjadi suaminya beberapa bulan ke depan. Tetapi untuk beberapa alasan, ia takut mimpi-mimpi buruknya belakangan ini akan menjadi pengacau rencana besarnya bersama Aditya. Maira harus mengakui dia beruntung. Aditya tentu sosok yang menjadi idola sejak masa kuliah dulu. Tetapi entah mengapa lelaki itu malah menginginkannya sejak dulu. Aditya memiliki tinggi badan yang bagus, sepadan dengan berat badannya. Rambutnya khas Adam Levine, tak heran sejak masa putih abu-abu dia tergabung dalam band sekolah yang cukup sukses untuk sekelas band sekolah. Memiliki fans dari kalangan siswi sekota Jakarta merupakan kebanggan tersendiri bagi Aditya pada masa itu. Ia memiliki rahang khas yang membuat wajahnya tampak keras—cocok sekali dengan sikap posesifnya. Tetapi matanya menyimpan keindahan yang membuat Maira selalu betah memandangnya. Kelembutan mata itu pula yang membuat Aditya berbeda dengan lelaki posesif lainnya. Dengan usianya yang masih terbilang muda, Aditya memiliki karir yang sukses di perusahaan rokok ternama di Indonesia. Ia dipercaya memimpin cabang Jakarta. Maka tak heran jika gadis-gadis di kantornya selalu melirik ke arahnya tiap kali lelaki itu berjalan menuju ruangannya, atau ke manapun lelaki itu melangkah. Harusnya Aditya sudah sangat sepadan dengan Maira. Perempuan itupun menyadari hal yang sama. Tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang tak bisa dimengerti olehnya sendiri. Sesuatu yang membuat Maira selalu merasa kesepian dan merindukan sesuatu yang tidak ia ketahui dengan teramat dalam. Lamunan Maira terpecah seketika saat ia mendengar suara ban mobil direm secara mendadak. Suara berderit diikuti lenguh klakson panjang membuatnya menyadari sesuatu yang buruk sedang terjadi. Aditya menginjak rem secara tiba-tiba. Tubuh Maira terlempar ke depan, nyaris saja pelipisnya terbentur dashboard mobil. Belum sempat Maira menarik napas dan melihat kondisi sekitar, tiba-tiba saja sebuah mobil dari arah lain menjadi tak terkendali. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi hingga aksi rem mendadak tak mampu menghentikannya. Dalam waktu sekejab saja, suara tubrukan dua mobil terdengar memecah riuh lalu lintas Jakarta sore itu. Kepala Maira terbentur kaca jendela mobil dengan kuat. Ia mendengar suara gaduh di luar mobil. Tatapannya berkunang-kunang. Sebelum sempat mencari tahu apa yang terjadi, ia sudah kehilangan kesadaran. BAB TIGA Maira membuka mata. Tidak ada apa-apa di sekitarnya selain kegelapan. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, seperti ngilu yang tak berkesudahan menggerogoti persendiannya. Ia berusaha menggeser kakinya, namun kebas, tak terasa apapun. Ia tak berhasil menggerakkan tubuhnya. Susah payah ia menajamkan penglihatan dan tak menemukan cahaya apapun. Perlahan tapi pasti, Maira mencium anyir darah yang membuat sekujur tubuhnya berdesir. Rasa mual segera berkelindan di perutnya. Entah berada di mana, ia pun tak tahu. Dan seketika rasa ngeri menyergapnya. Perempuan itu berusaha membuka mulut, berteriak meminta tolong. Tetapi suaranya tercekat. Semakin Maira berusaha berteriak, semakin dalam pula ketakutan menyergapnya. Lalu, ia mendengar derap langkah yang mendekat ke arahnya. Maira menahan napas. Kepalanya terasa sakit. Dalam kegelapan ia merasakan pandangannya berkunang-kunang. Derap langkah itu kian mendekat. Semakin cepat, terdengar begitu terburu-buru. Semakin dekat, seperti derap kematian menghampiri perempuan itu. Maira panik. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Semakin dekat. Maira berteriak sejadinya *** “Mai! Maira!! Bangun Mai!” Tatum mengguncang-guncang bahu Maira. Perempuan itu sudah menunggui Maira sejak dua malam lalu. Ya, Maira sudah koma selama dua hari. Selama itu pula ia memimpikan hal buruk. Maka pagi itu, ketika Maira berteriak sejadinya, Tatum setengah bersyukur. Sebab dua malam terakhir, perempuan itu terlihat seperti mayat tak bernyawa. Maira membuka matanya. Ia merasakan kepalanya sakit, seperti ditimpa beban puluhan ton. Sekujur tubuhnya pun sama. Hanya saja, ia masih bisa menggerakkan kaki dan tangannya meski amat perlahan. Segalanya tampak putih ketika perempuan itu berhasil membuka mata. Maira melihat sekitar, dan segera tersadar bahwa dirinya sedang di rumah sakit. Tatum membantu perempuan itu untuk duduk. Ia menaikkan sandaran tempat tidur Maira. “Kamu jangan banyak gerak dulu…” “Apa yang terjadi, Tum?” Maira langsung memotong ucapan Tatum. Tatum tidak langsung menyahuti. Ia membenarkan posisi duduk Maira hingga sahabatnya itu terlihat nyaman. “Dua malam lalu kecelakaan. Kamu sama Adit…” “Adit mana? Tabrakan motor? Terus korbannya gimana?” seperti kereta api, Maira memberondong Tatum. Yang diberondong pertanyaan sedemikian rupa, hanya mendengus kesal. “Dengerin dulu kalau orang ngomong! Main potong aja,” ucap Tatum kesal. “Tabrakan mobil. Dari penuturan orang sekitar, sepertinya kalian sama-sama salah. Mobil yang tabrakan sama kalian juga dirawat di sini. Laki-laki, Mai, sama anak kecil. Oh ya, Adit baik-baik aja. Sudah siuman sejak kemarin. Dia ada di kamar atas.” Tatum menyelesaikan penjelasannya. Anak kecil….. Maira membatin. “Terus anak kecilnya baik-baik aja?” Perempuan yang duduk di samping Maira memalingkan tatapan. Seperti ada penyesalan yang bergelayut di matanya. “Masih koma, Mai,” jawab Tatum dengan penuh penyesalan. Dengan sigap Maira turun dari tempatnya. “Anterin aku ke sana, Tum. Aku mau lihat anak itu.” Sesuatu seolah bergejolak di hati Maira. Ada khawatir yang jauh melampaui rasa khawatirnya terhadap kekasihnya Adit, saat mendengar anak kecil itu masih koma setelah dua malam berlalu. “Tapi, Mai..” “Anterin aku!” Tegas, Maira mengulangi kalimatnya. Tatum segera paham bahwa Maira bukan sedang meminta persetujuannya untuk keluar dari ruangannya, tetapi perempuan itu sedang memberikan perintah agar Tatum membawanya ke ruangan di mana anak kecil itu dirawat. Maka dengan berat hati, ia pun mengalah, sebab ia paham seperti apa kerasnya Maira ketika sudah memiliki keinginan. Maira mengikuti Tatum di belakang. Mereka memasuki lift dan Tatum menekan tombol bertuliskan angka tiga. Hanya terdengar suara ‘teng’ dari lift. Selebihnya mereka saling berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing; Maira dengan segudang resah di benaknya, Tatum dengan ribuan pertanyaan di hatinya. Sekali lagi suara lift berdentang. Pintu lift terbuka. Tatum lebih dulu keluar dari ruang sepetak itu, disusul Maira dengan takzim. Setelah berbelok kanan, mereka tiba di depan sebuah pintu bertuliskan Lili. Selama beberapa jenak, kedua karib itu saling bertatapan. Saling melemparkan tanya di kedua mata, sekaligus menemukan jawabannya di sana. Tok.. tok.. tok.. Tatum mengetuk pintu. Senyap. Tak ada sahutan dari dalam. Sekali lagi ia menoleh ke arah Maira dan didapatinya perintah keras di kedua mata perempuan itu untuk segera membuka pintu di depannya. Tatum menghela napas. Dengan ragu, diputarnya kenop pintu di depannya. Bunyi ber-klik, dan pintu terbuka. “Permisi…” ucap Tatum mengintip dari celah pintu. Tidak ada tanda-tanda seseorang menyambut mereka dari dalam. Maira langsung menyelinap masuk. Seolah tak bisa ditahan, kakinya berjalan mendekati seorang anak kecil yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu. Ia berdiri tepat di samping anak kecil itu. Ditatapnya lamat-lamat, ia berusaha merekam wajah pucat di hadapannya. “Hei… kamu lagi di mana?” tanya Maira seraya membelai wajah anak itu. Rasa bersalah segera melimpunginya. “Maaf ya, gara-gara aku dan Adit, kamu jadi begini,” tambahnya, diikuti sebuah kecupan tulus yang didaratkan Maira di dahi gadis kecil itu. Pintu kamar terbuka, tepat saat Maira melepaskan kecupannya di dahi anak kecil itu. Wajahnya segera berpaling ke pintu yang terbuka. Napasnya tertahan seketika saat menyadari sosok yang memasuki ruangan itu. Lelaki itu…. Description: Di usianya yang ke-27 tahun, Maira telah hampir meraih segala hal yang mungkin menjadi impian setiap gadis di bumi ini. Ia memiliki Aditya yang akan dinikahinya tiga bulan ke depan, juga kesuksesan besar proyek Wedding Organizer milik temannya yang telah ia rintis sejak lama. Tapi tahukah, kebetulan sesungguhnya bukan hanya sebuah kebetulan belaka. Sebab Danar, lelaki yang menyimpan begitu banyak rahasia dalam hidup Maira, tiba-tiba hadir. Dan sejak saat itu, semuanya berubah. “Kamu sudah terlalu banyak membuat orang sekitarmu bahagia. Tetapi kamu lupa, bahwa kamu juga berhak bahagia. This is your time, Mai.” – Aditya. -------------------------------------------------------------------------------------------- El Rumi, IG & Twitter : @cemumuts, “Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LoveYourself 2020.”
Title: Running Text Banjarnegara Category: Bisnis Text: Running Text Banjarnegara Salah satu media elektronik yang sedang di incar oleh para pengusaha besar adalah media running text karena sangat berguna untuk menyampaikan pesan dan informasi agar para konsumen atau pengunjung bisa mengerti tempat tersebut tanpa harus susah susah mencarinya. Running text ini digunakan juga sebagai media sarana iklan atau promosi seperti dapat menampilkan logo atau rangkaian kata berjalan yang terang dan bagus.Running Text terlihat menarik bagi orang-orang karena terlihat mencolok dan bisa menerangi benda yang ada di sekitarnya hal ini yang mendasari warna display running text bermacam-macam Antara lainya warna merah, biru ,hijau ,kuning , dan masih banyak lagi. Di era globalisasi yang semakin pesat perkembanganya tersebutlah yang dapat menciptakan alat media canggih yaitu running text . Description: Running Text Banjarnegara merupakan sebuah alat elektronik canggih yang sedang di gendrungi dan dicari oleh para kalangan pengusaha dan pengusahawan. Running text berupa tulisan berjalan untuk menyampaikan informasi dan pesan agar para konsumen atau kalangan masyarajat bisa mengerti tempat tersebut adalah tempat interaksi anatara penjual dan pembeli dan memudahkan konsumen untuk mencari tempat tersebut tanpa harus susah-susah mencarinya. Running text ini digunakan juga sebagai media sarana iklan atau promosi seperti dapat menampilkan nama toko,logo, dan rangkaian kata berjalan yang berwarna bersinar terang pada malam hari dang bagus. Running Text Terlihat menarik bagi orang-orang pengusaha karena terlihat mencolok dan bisa menerangi benda yang ada di sekitarnya hal ini yang mendasari warna display running text bermacam-macam antara lainya ada warna merah, biru, hijau, kuning, dan masih banyak lagi sesuai dengan selera anda bisa diusulkan.Di Era globalisasi yang semakin pesat perkembanganya tersebut yang dapat menciptakan alat media canggih yaitu running text. Mengapa Running Text di katakan sebagai alat canggih? DI karenakan running text memiliki fasilitas yang bisa untuk mengatur waktu seperti jam,menit, detik, tanggal dan tahun, nama toko atau nama tempat yang akan dipasangi running text. Cara kerja dari moving sing atau running text adalah LED itu dijalankan dengan menggunakan media komputer. Led dan media computer itu saling berhubungan. Para ahli elektronik dari waktu ke waktu selalu melakukan inovasi dan kreatifitas terhadap moving sign, langkah pertama yang harus anda lakukan adalah memilih ukuran yang sesuai dan ukuran yang anda butuhkan, setelah itu anda memilih agen yang menjual running text dengankualitas tinggi dan bagus, agen yang biasanya, moving sign yang mereka jual adalah moving sign yang jarang macet tulisannya. Anda jangan khawatir bingung-bingung memikirkan dimana dapat menemukan running text dan dimana anda dapat membelinya ,sekarang anda tidak perlu khawatir dan panik jika anda akan membeli salah satu alat elektronik running text ini. Kami ini adalah distributor running text terdekat yang ada di daerah Banjarnegara, Wonosobo, Cilacap , Purbalingga , Banyumas dan sekitarnya. Anda tidak perlu untuk repot-repot pergi jauh ke luar kota atau daerah untuk membeli running text yang ada di area banjarnegara ini. Untuk konsumen yang berasal dari dalam banjarnegara maupun luar daerah banjarnegara tidak perlu takut untuk membeli barang atau memesan running text ini karena running text banjarnegara sudah jelas jelas kualitasnya terbaik, dan sudah terpercaya barangnya dijamin barang pesanan anda bias sampai tujuan dengan aman dan selamat sehingga anda dapat merasakanya sendiri, Jadi bagaimana? Tertarikkan? Running Text Banjarnegara Anda ingin tau bagaimana fasilitas atau keunggulan dari running text tersebut nah saya akan bahas fasilitas dan bagaimana cara menggunakanya , running text ini memiliki fasilitas untuk mengatur waktu yang menggunakan real time clock (RtC) Sehingga dapat menampilkan waktu jam,detik maupun menit dan juga dapat menampilkan hari,tanggal dan tahun . Untuk alat perantara penyesuaian agar alat dapat hidup dan di gunakan maka di lakukan dengan cara melalui media computer atau remote untuk mengontrol. Led running text tidak akan berubah walaupun di matikan artinya data akan tetap tersimpan di dalam alat penyimpan seperti memori. Ada beberapa cara untuk menggunakan alat canggih ini running text yaitu : pertama instal aplikasi powerled dengan CD master yang sudah diberikan , kedua jika sudah terinstal lalu sambungkan wifi ke computer atau laptope , ketiga kemudian buka aplikasi yang sudah di instal dan masuk ke aplikasi , keempat jika sudah terhubung dengan baik kemudian masuk ke menu tools , kelima lalu pilih kontroiler yang sudah sesuai pada running text dengan ukuran pada led yaitu : W=panjang running text, H= tinggi running text ,tipe lampu led berwarna merah. Lalu jangan bingung-bingung lagi untuk memesanya ayo segera di order degan hubungi No.Wa 0896-8068-1160 . Atau bisa DM Instagram kami @runningtextbanjarnegara Running Text Banjarnegara merupakan sebuah alat elektronik canggih yang sedang di gendrungi dan dicari oleh para kalangan pengusaha dan pengusahawan. Running text berupa tulisan berjalan untuk menyampaikan informasi dan pesan agar para konsumen atau kalangan masyarajat bisa mengerti tempat tersebut adalah tempat interaksi anatara penjual dan pembeli dan memudahkan konsumen untuk mencari tempat tersebut tanpa harus susah-susah mencarinya. #runningtext#runningtextsemarang#runningtextjogja#runningtextbandung#runningtexttegal #runningtextntb#runningtextsumbawa #runningtextpurbalingga#runningtexttasik #runningtextbumiayu#runningtextmurah #runningtextsolo#runningtextindonesia #runningtextbogor#runningtextpemalang #runningtextpekalongan#runningtextmurahbandung #runningtextled
Title: Rapper Married Category: Fan Fiction Text: Married This is story about my bias n pretty girl⚠ *HOTEL INTERNATIONAL SEOUL* "Saudara Min Suga, Apakah anda mencintai saudara Kim jennie?" tanya penghulu "Ya saya mencintai Kim jennie" jawab suga sambil tersenyum begitupula jennie "Saudara Kim Jennie,Apakah anda siap menjadi istri dari Min Suga?" "Ya saya siap" jawab jennie sambil tersenyum dan menatap ke arah suga "Saudara Min Suga, Apakah anda mau hidup bersama dengan Kim jennie" "Ya saya mau" "Saudara Kim jennie,Apakah anda siap melayani Min suga sebagai suami?" "Ya saya siap" Hari ini tanggal 14 februari 2019 tepatnya di hari Valentine pukul 19.00 KST. Jennie dan suga telah mengikat janji suci,entah apa yang mereka rasakan pasti sangat bahagia damai sejahtera yang pastinya pake banget. Bertukar cincin,Saling tatap,sungguh romantis. Jennie melemparkan bunga ,Sengaja di lempar ke arah si lisa biar nyusul nikah. Berciuman didepan orang banyak. Yang pasti diakhiri tepuk tangan meriah dari rekan kerja,sahabat,keluarga,serta semua yang hadir disana. Mereka pun resmi menjadi PASUTRI. Pesta pernikahan selesai- "Selamat ya putriku.." ucap mama jennie dan papanya "Semoga kau bisa jadi istri yang baik ya nak, masak seenak mungkin untuk suamimu. Dan jangan lupa buatkan cucu untuk mama dan papa,maaf kalau tahun ini kami super sibuk dan tak sempat untuk menjengukmu walau sekali karena jadwal kerja kami" "Tak apa pa,aku suah besar dan bisa menjaga diriku dengan baik" "Papa percaya,bahwa suga bisa menjagamu dengan baik sayang, benar ucapan mama,kamu harus cepat-cepat punya anak ya.. Pokoknya jaga kesehatan" Mereka berpelukan "makasih ma,pa. yang udah restuin kami berdua" "Selamat suga kecilku..kau telah menikah,semoga bahagia selalu,semoga kau bisa menjaga jennie dengan baik seperti janjimu,maaf kami tak bisa lama-lama karena ada urusan yang mendadak. Mama dan papa pamit pulang dulu" suga memeluk orangtuanya (21.30 KST) Semua undangan yang hadir telah pulang.kecuali teman terdekat suga "Sekali lagi kuucapkan selamat kak" ucap namjoon dengan smirknya "Dan kau jennie, kau harus siap melayani si dingin suga hahaha" "Selamat ya jen.." "Makasih ya teman-teman" "Wawahwah aku lupa menaruh cctv di kamarmu" dasar "Jaga bicaramu jungkook,disini ada jennie" jawab suga yang langsung memeluk jennie di depan teman-temannya. Meskipun mereka sudah menikah tapi tetap saja bertingkah seperti masih pacaran "Kak,jennie sudah besar dan menikah denganmu. Sekali sajalah kita bahas " "Jejen sekarang sudah besar,Gaboleh polos lagi ya?" ucap jisoo sambil menggendong anaknya yang sedang tidur nyenyak "Kakak jin... Istrimu menggangguku" jennie memegang tangan jin Seketika suga langsung melepas pelukannya "Apa kau baru saja merajuk pada kakak jin?" tanya suga penuh selidik "Hei! kau ini apa-apa an. Kita menikah beberapa jam yang lalu. Cemburumu sudah minta di cium saja" kekeh jennie Semuanya langsung fokus pada bibir jennie yang baru saja melontarkan kata-kata "cium" di depan mereka.padahal jennie adalah golongan wanita yang anti menbicarakan dan segala macamnya. Ya mungkin sekarang ia tau bahwa dia wajib membahas itu walau hanya sedikit saja Suga mencerna ucapan jennie "cium" sambil menampangkan smirk wajahnya. Sungguh sangat mesum "Bukannya tadi sudah? Apa kau mau melakukannya lagi?" tanya suga memeluk pinggangg istrinya. Membuat pipinya memerah "Rupanya dia ketagihan dengan ciumanmu kak hahah!!" teriak tae Oke mereka seperti menonton bioskop tanpa layar dan tanpa tiket. Sangat menikmati "Apa kau tidak malu bicara seperti itu di depan mereka?!!" teriak jennie langsung membuat suga kaget dan melepaskan ikatan tangannya dipinggang "Mana mungkin aku berciuman dengan orang polos sepertimu,menurutku tadi sudah cukup terpaksa untuk menciummu,bukan malah menikmati yang ada malah ak-" ucapan laki-laki itu terhenti saat ponselnya bergetar di dalam saku celana. Drtt drtt drttt "Halo?" sapa suga "..." "Kami segera keluar" jawab suga mengakhiri percakapan "Siapa yang menelpon?" tanya jennie. Yang lain juga penasaran "Mantanku Jisuka" jawab yoongi dengan wajah datar "Apa?!!" teriak mereka barengan hanya jennie yang terdiam. Ya dia memilih diam daripada marah dengan segala fakta yang ada "Kau ini percaya saja. Yang menelponku barusan adalah sopir yang kupesan untuk mengantar kalian pulang" jawab suga santai Suga sengaja memesan mobil untuk perjalanan pulang teman-teman seperti tadi saat penjemputan. Hanya namjoon yang membawa mobil sendiri karena takut putranya tidak nyaman satu mobil dengan teman-temannya yang sangat rame. Beda dengan putri jin dan jisoo walau berada di keramaian tapi tetap nyaman. "Oh.. Baiklah kalau begitu kita pulang saja" ucap jungkook yang langsung menggandeng pacarnya lisa,dan bersiap untuk keluar dari hotel "jin ikutlah saja denganku,naik mobilku. Biar anak kita aman dari gangguan para pasangan muda" ucap namjoon yang di balas dengan anggukan pasangan visual itu "Kita pulang dulu ya kak jangan lupa buat anak selucu-lucu nya. Kalau bisa yang menyebalkan sepertimu" ucap hoseok "Kami akan membuatnya malam ini. Tenang saja" ucap suga yang dibalas dengan pukulan kecil di lengan oleh istri tercinta "Jangan lupa pergerakanmu kak" smirk jimin 'Dasar mesum. Untung seulgi sayang' "Kami pulang dulu. Dah.." ucap mereka saat sudah berada di dalam mobil "Dah.." ucap barengan dari pasangan yang baru saja menikah beberapa jam yang lalu -skip Mereka semua telah pulang. Kini hanya ada mereka berdua. Pasangan yang baru menikah itu sepertinya cepat-cepat ingin merayakan malam pertamanya "Kau tau?" tanya suga membuat jennie yang daritadi memandang lantai kini memandangnya "Hm?" jawab jennie yang masih memikirkan kenapa tadi suga menyebut nama jisuka,dan sempat ingin marah tapi buat apa,toh dia sudah menikah dengan suga "Hey,kau kenapa?" "Aku gapapa" "Kau bohong jennie,apa yang kau pikirkan?" "Ah tidak lupakan" "Ayolah...kita sudah menikah dan kita harus saling terbuka. Apa pestanya kurang meriah? Apa karna orangtuaku tadi tak memelukmu?" suga sangat bingung jika jennie diam secara tiba-tiba, karena dia tau bahwa jennie adalah orang yang pendiam,tapi hal yang dilakukannya sekarang beda dengan diam yang ia miliki "Tidak" "Lalu?" Apa aku harus jujur pada suga jika aku marah kalau dia membahas tentang mantannya,apa aku terlalu cemburu? Aahh tapi jika aku tidak jujur,dia akan tau kalau aku berbohong padanya "Oke aku jujur,Aku tak suka jika kau masih menyebut nama mantanmu. Aku tau jika itu bercanda, Tapi mengertilah perasaanku" akhirnya aku bisa mengatakan sejujurnya "Aku minta maaf,itu kesalahanku. Aku hanya bercanda sayang" jennie tidak suka jika suga menunduk untuk kesalahannya,tapi sudah terlanjur "Tapi aku tidak suka,Kau ini suamiku. Seorang suami tidak boleh membicarakan wanita lain di depan istrinya" "Aku tidak membicarakannya" suga masih tetap menunduk "Tapi kau menyebut namanya" suga sontak memeluk jennie "aku minta maaf sayang.. Ga diulangi deh" "oke aku pegang kata-katamu" Aku tau suga tak pandai lama-lama bertengkar denganku,walau sebenarnya aku yang tak pandai dalam melihatnya cuek padaku "Aku ingin cepat-cepat pulang" smirknya "Baiklah kalau begitu kita pulang saja. Aku yakin kau sangat lelah sama sepertiku. Dan aku juga sudah mengirim kakaotalk pada pemilik hotel kalau kita akan pulang 5 menit lagi" cerocos jennie Kakaotalk= Aplikasi chat yang paling digemari di korea " Istriku ini sangat polos. Bagaimana nanti saat aku mengajakmu olahraga ranjang? Apa kau mampu mengimbangi permainanku hm?" tanya suga pada istrinya yang entah mulai kapan pipinya sudah merah seperti abis di tonjok orang "Dasar mesum!" jennie memukul lengan suga sekeras mungkin Suga menggendong jennie menuju mobil miliknya. Bersiap untuk pergi ke rumah barunya. Lebih tepatnya kasur barunya itu -skip "Apa ini rumahku?" tanya jennie yang sedang kagum melihat rumah megah yang akan jadi rumahnya bersama orang tercinta "Enak saja kau bilang 'rumahku?' ini rumahku juga" Biasanya kan kalau rumah besar ada pembantu atau satpam yang menjaga. Tapi rumah mereka masih baru jadi jika ingin masuk rumah ya harus membuka gerbangnya sendiri. Sedikit informasi,bahwa rumah suga ini adalah rumah hasil kerjanya sendiri dengan membuat lagu,atau menciptakan coveran dari hobinya bermain piano selama 5 tahun. Hingga dia menjadi orang yang sukses. Dapat dikatakan sukses karena di dompetnya tidak berisi uang. Tapi BLACK CARD sungguh holkay bukan? Holkay=Kaya Raya Rumah baru "Selamat datang istriku yang cantik dan sexy, di rumah baru kita" ucap suga sambil mencium kening jennie sekilas "Wah kau sungguh menjalankan perintah papa ku" jawab jennie sambil berjalan melihat-lihat sekeliling rumah Memang sih, papa jennie tidak akan membiarkan mereka menikah jika suga tidak memiliki rumah dan mobil sendiri. Karena saat pacaran, mobil yang suga pakai milik orangtuanya bukan hasil kerjanya. Tapi saat ini semua yang dia miliki adalah hasil kerja kerasnya "Dimana kamarku? Mm maksudku kamar kita" tanya jennie "Diatas" jawab suga yang langsung menggandeng tangan jennie menuju lantai 2 Kamar baru "Waw! Apa ini kamar kita? Apa kau yakin? Kenapa seperti ruang tamu? Besar sekali" jennie langsung mengelilingi kamar itu dan memegang tangan suga "makasih sayang" dan dibalas dengan senyuman "Sengaja kubuat seperti ini" kekeh suga "Kau memang pintar kalau masalah ranjang,dasar!" "Hehe.. Yang pasti kita masih bisa tidur. Daripada tidur di lantai,aku sih gapapa tidur dimana aja,tapi aku kasian kamunya,takut sakit" Jennie hanya tersenyum mendengar ucapan suga yang terkadang perhatian dan berbeda jauh dari sifat dinginnya Suga pun menaruh tas ransel yang berisi sebagian baju dan kado dari fans dan dari teman-temannya di atas meja rias Tanpa memperhatikan istrinya yang sedang mengelilingi kamar barunya, ia langsung berbaring di tempat tidur,jennie pun ikut berbaring disampingnya dan menatap wajah pendamping hidupnya "Jika orangtua ku datang kesini dan tau kalau kau beli istana ini untukku pasti mereka sangat bahagia,makasih ya sayang" jennie memeluk suga "Ini semua juga karena semangat dari kamu,berkat dari tuhan,dan restu orangtua" "Aku terharu.." jennie mulai berkaca-kaca "Hmm mulai deh" "Maaf, Tapi.. Makasih.." jennie mencium pipi kanan suga "Satunya?" "Satunya apa?" "Pipi satunya" "Ih mulai deh.." "Yah copas kata-kata nih" "Hehe sini-sini" jennie menciumi seluruh wajah suga. Suga hanya tersenyum dan berfikir bahwa dia akan mendapat ciuman seperti ini setiap hari "Apa kau gerah?" tanya suga yang sedang berbaring "Lumayan" jawab jennie tanpa menoleh ke suaminya itu "Mandilah bersamaku" smirk suga "Ha?" jennie membulatkan matanya 'Apa harus secepat ini?' Shy 09.00 KST Pasutri masih belum bangun setelah melakukan aktivitas yang melelahkan kemarin malam. Mereka tidur sangat nyenyak hingga lupa bahwa matahari sudah memasuki celah-celah jendela kaca. Ting tong ting tong "Huh.. Siapa pagi-pagi datang kesini?" lirih jennie yang masih kecapean karena ulah suaminya. Saat ia melihat jam,Ha?! Sudah jam 9?!! Ia beranjak bangun tapi kakinya sangat sakit dan lemas seperti orang lumpuh saja. "Kenapa?" ucap suga sambil memperhatikan kaki jennie "Masih nanya lagi! Ini karna ulahmu tau gak,nambah-nambah mulu" "Oh" senyum suga sambil meneruskan tidurnya "Sayang!! Bangun!!" Suga tak merespon. Jennie mungkin lupa jika suaminya doyan tidur. Apalagi kemarin capek banget. Kerjaan suga selalu membuat dia kecapean karna berhubungan dengan IDE dan suara. Maka tiak kaget jika ia lebih meluangkan waktunya untuk tidur daripada bangun. "Morning kiss!!!" jennie berteriak tepat ditelinga suga, Sontak suga terbangun dan menatap wajah jennie. 'Dasar mesum. Giliran mendengar kata morning kiss dia mau bangun' -j Suga mendekatkan wajahnya ke wajah jennie yang masih kusut itu "Dasar mesum" cengir jennie yang langsung mengecup bibir suaminya sekilas Ting tong ting tong "Cepetan noh buka pintunya" ucap jennie "Iya-iya bawel" jawab suga yang langsung beranjak dari tempat tidur,karena morningkiss membuatnya bisa lebih kuat dan tahan lama untuk bangun hehe -skip Suga POV Ting tong ting tong "Sebentar" ucapku Aku pun membuka pintu Oh no.. Yang datang... Mama dan Papaku "Kenapa kau lama sekali membuka pintu ha?! Dasar anak bandel!" cerocos papa dengan sebuah kotak di dalam kresek yang ia bawa "Mm.. Mian appa. Aku sedang mengcover lagu. Lagian kenapa pagi sekali kemari?" entahlah yang kurasakan hanya takut jika ketahuan mereka. "Pagi katamu?! Dasar anak pemalas!. Untung saja jennie masih mau menikah denganmu" ketus Papa Dari dulu memang papa yang suka cerewet melebihi mama,sepertinya mereka memiliki kepribadian yang terbalik. Mereka ditakdirkan berbeda agar saling melengkapi satu sama lain. Ya mana ada kalau lakinya pemarah cewenya pemarah bisa-bisa tiap hari bakar rumah "Masuk saja dulu Pa,Kita bicara di dalam" aku berusaha menenangkan suasana "Dimana istrimu nak? Dia baik-baik saja kan?" tanya Mama " Sebentar akan kupanggilkan" semoga saja dia baik-baik saja dan bertingkah seolah-olah tadi malam tidak ada apa-apa. Ahh!! betapa bodohnya aku Saat aku ingin berteriak 'jennie!' tiba-tiba ia muncul sendiri dengan membawa minuman 'Jennie jalan biasa saja. Untunglah'-s "Nak.. Apa kabarmu?" tanya wanita berumur 50 an itu "Mama duduk saja dulu. Aku membawakan minum" ucap jennie sambil tersenyum. Aku tau kau menahan sakit,tapi kau bisa menutupinya dengan sangat baik -skip Aduh bagaimana ini jika Mama dan Papa tau kalau tadi malam aku sedang melakukan hubungan dengan jennie. Ahh.. Gimana ini? Aku masih terfikir tentang itu,hingga aku tak tau lagi sedang apa aku sekarang untung menenangkan suasana "Apa yang sedang kau pikirkan?" Papa memergokiku yang telah memasang wajah gelisah "Ah-mm.. Aku hanya terpikir cover laguku yang belum selesai" senyum tipisku untuk menyembunyikan masalah yang sebenarnya "Yak! Kenapa kau selalu memikirkan lagu ha?! Apa kau menikah dengan lagu?! Kau sudah punya istri" celoteh Papa yang memang dia tak suka jika aku membahas lagu. Aku tidak diperbolehkan Papa ku menjadi artis yang dikenal banyak orang,membuatku sangat kecapean dan kemana-mana harus berhati-hati dan slalu didampingi oleh banyak orang,menurutnya itu tidak bebas. Papa ku ingin aku menjadi pegawai kantor yang sukses. Tapi apalah dayaku jika menjadi penulis lagu dan rapper adalah pekerjaan yang menyenangkan dan membuahkan hasil "Sudahlah jangan memarahi anakmu terus-menerus. Kau tak malu ada menantu cantikmu yang mendengar?" ucap lembut Mama. Aku sangat sayang dia yang selalu mendukungku untuk menentukan tujuanku tanpa campur tangan dan hasutan orang lain Aku dan jennie hanya terdiam menatap pasangan yang telah menikah bertahun-tahun lalu "Kenapa wajahmu pucat sekali nak?" tanya Mama 'Mampus...'-j "Tidak eomma. Ini efek karena pas menikah aku tidak duduk selama berjam-jam. Jadi kecapean,dan kemarin malam aku menemani suga untuk membuat lagu" jawab jennie bohong "Biarkan saja dia membuat lagu,tapi kau harus tidur, tapi tak apa lah mungkin kau tidak mau suga hilang makanya sampai larut malam pun kau tetap disampingnya" ucap papa "Iya" senyum jennie yang membuatku garuk-garuk kepala kepedean 'Untunglah jennie bisa ngeles' Mama memegang jidat jennie dan memegang leher jennie untuk memastikan dia panas atau tidak. Suga POV END Jennie POV Mama suga sangat perhatian padaku. Dan baru kali ini dia memperhatikan kondisiku Dia memegang jidatku serasa mamaku yang memegang,Dan dia memegang leherku. Oh no! Kissmark ku "Nak.. Kenapa lehermu merah-merah? Kau yakin tidak sakit?" senyum tipis mertuanya 'Dasar suga sialan!Awas saja kau telah membuat pipiku merah di depan mamamu' "Ah.. Itu pasti dia pegal-pegal ma" sahut suga yang telah memikirkan pembicaraan ini dari awal "Mana? Papa ingin lihat?" Papa suga mendekatiku yang ingin melihat leherku merah-merah Sontak aku menutupinya dengan tanganku "Sudah kubilang ma,pa.jennie hanya pegal-pegal dan memar" ucap suga dengan suara lumayan tidak biasa geroginya "Aku pernah melihat penyakit merah-merah di leher seperti ini" ucap Papa suga yang membuatku ingin tau apa penyakit itu,bisa saja ini bukan karena ulah suga,tapi ini benar penyakit. Sedangkan Mama suga hanya hanya tersenyum tipis seolah tau sesuatu "Penyakit apa itu Papa?" tanyaku "Penyakit malam pertama" kekeh papa suga. Seketika pipiku merah dan aku hanya bisa menunduk shy-shy. Aku sangat malu. Meski tadi aku sudah berusaha berjalan dengan biasa walau sangat sakit,Tapi tetap saja terbongkar. Ini salahku,karena aku lupa memakai jaket kura-kura "Emm.. Silahkan diminum Tehya ma pa. Entar keburu dingin" ucapku mengalihkan pembicaraan untuk menyembunyikan malu dari mereka Jennie POV END Suga POV sial. Akhirnya ketauan juga "Apa kemarin kalian begadang?" tanya mama Aku dan jennie hanya menjawab dengan anggukan "Bagus kalau gitu. Apa kalian menikmati?" lanjut appa "Yak ma pa! Aku ini sudah besar dan menikah. Pertanyaan macam apa ini?" gerutuku Jennie hanya diam "Aigoo anakku memang sudah besar. Mungkin jika ada jennie kau tak akan menyayangi mama mu lagi. Kau akan fokus pada istri dan anakmu saja" ucap eomma berkaca-kaca sambil mengelus puncak kepala anak semata wayangnya "Ma.. Kenapa kau berkata seperti itu, Aku akan selalu menyayangimu walau ada jennie dan anakku nanti" ucapku yang mendadak Dramatis "Jennie.." "Iya ma?" "Jaga putra pemalas ku ini ya? Sayangi dia seperti kau menyayangi dirimu sendiri. Aku sudah terlalu tua untuk mengingatkan ini itu,Aku tak sanggup melihat dia menangis. meskipun dia sudah menikah,Tapi selamanya ia akan tetap menjadi suga kecilku. Tolong buat dia berhenti untuk meminum bir" seketika mama menangis sesenggukan. Akupun memeluk mama yang sedang berbicara pada jennie "Aku akan menjaganya ma,aku tak akan buat dia menangis" ucap jennie menyusul suga memeluk ibunya Melihat aku dan jennie memeluk mama, papa pun menghampiri dan ikut memeluk Tanpa diperintah, air mataku menetes.. Jennie langsung mengusapnya "Aku berjanji akan menjagamu. Jangan menangis sayang.." bisik jennie seolah-olah dia suami dan aku istri Pelukan kami buyar saat mama mencoba menegarkan hatinya. Mama tau bahwa aku tak akan sanggup melihat dia menangis. Jadi dia memutuskan mengambil kotak yang berbungkus kresek yang tadi ia bawa. Sontak kami pun memandang kresek itu "Ini ambillah. Kalian berhak memilikinya. Simpan baik-baik. Barang ini milik suga kecilku" mama menyerahkan kotak berbungkus kresek kepadaku. Aku menerimanya dengan pikiran 'barang suga kecilku?' Aku sudah menahan air mataku tetapi tetap saja dia lolos Mama berbicara seperti itu seakan-akan masih belum merelakan kehidupanku yang tidak serumah dengannya. Jujur aku sangat ingin serumah dengan mama dan papa. Tapi didalam adat pernikahan, baru boleh serumah dengan orangtua jika sudah memiliki anak "Kami tak ingin mengganggu kalian. Kami harus pergi karena kami hanya mampir saja" ucap papa yang beranjak berdiri "Tapi pa..." ucapku yang langsung memeluk mama Suga POV END Jennie POV Baru kali ini aku melihat suga sangat menyayangi wanita. Dia sangat sayang pada mama nya. Entah sejak kapan aku juga ikut menangis "Jennie.." lirih mama suga "Iya ma?" jawabku sambil mengusap air mata "Berjanjilah buat suga kecilku bahagia. Mama mungkin akan lama mengunjungimu" "Baik ma hiks... Hiks.." ucapku yang tak bisa menahan tangis "Papa.." lirih suga "Sayangi mama ku. Jangan buat dia menangis. Jika ada sesuatu telfon aku. Kunjungi aku sesering mungkin" "Yak! Kau ini sudah punya istri kenapa menangis. Kau tak malu?" cerocosnya lagi "Sudah-sudah. Mama pergi dulu. Jennie,mama titip suga ya? Suga gaboleh nakal. Sayangi jennie ya? Jangan lupa cepat-cepat buatkan mama cucu yang lucu,karena sangat ingin menggendongnya" ucapnya dengan tersenyum kosong "Pasti ma " jawabku sambil mencium kening mama "Kami pergi dulu dah. Mama menyayangi kalian berdua" Saat aku ingin menutup pintu, rasanya sungguh sangat sakit sekali mengingat seseorang paling berjasa dalam mendidikku hingga aku menjagi sukses seperti ini. Juga berkat doanya aku menjadi orang yang berguna Suga POV END -skip Jennie POV "Aku rindu eomma. Aku ingin kecil lagi. Aku ingin manja padanya" gumam suga "Aku mengerti perasaanmu sayang. Setidaknya kau bisa bermanja padaku" kecup jennie sekilas "Aku masih ngantuk" ucap suga "Apa kau tak ingin membuka kotaknya?" tanyaku "Nanti saja" "Baiklah. Kita tidur lagi" "Apa kakimu masih sakit?" tanya suga sambil memperhatikan kakiku Tanpa persetujuanku ia langsung menggendongku ala bridal style "Seharusnya tadi kau memakai baju leher kura-kura agar kissmark mu tidak terlihat" "Aku tak berfikir itu. Dan aku juga tak tau bahwa kau menciumiku sebanyak itu. Percuma saja sudah ketauan" "Karena sudah ketauan. Bagaimana kalau aku menambah kissmarkmu itu" smirk suga yang tetap fokus menggendong "Apa kau bilang?!! Turunin!!" "Sebentar saja,3 ronde?" smirk suga "Yak! Turunkan aku!! Turunkan! Dasar mesum.. Suga turunkan.."aku memukul-mukul dada suga sekeras mungkin "Sayangnya kita sudah sampai kamar" smirk suga "Tolong!!! Tolong!!" teriakku. Elah tapi percuma gabakal ada yang denger. Lagian juga 3 ronde ga terlalu menguras tenaga *smirk Jennie POV END KakaoTalk 2 bulan setelah menikah.... Kakao (notifikasi kakao talk) Jennie POV Siapa sih pagi-pagi udah ngechat suga? Bangunin ga ya? Biarin aja deh . Mungkin cuman notif dari group BangtanFams Wait" kemarin suga bilang kalau dia mau membisukan group BangtanFams. Katanya "aku sengaja bisuin nih grup. Soalnya mereka pasti gibahin kita" Trus yang ngechat siapa? Agency? Tapi Katanya dia juga dapat izin cuti dari agency Aku semakin curiga.. Aku membuka aplikasi kakao talk di hp suga tanpa sepengetauan nya Click. Kakao talk 💬Chatting ♻Beranda 📞Calling ⭕ Suranx Apakabar sayang? 1⃣ ⭕ BangtanFams 🔇 Rapmonx: Cape abis firstnight kali:v. 6⃣9⃣ Saat aku membuka kakao talk.. Memang benar bahwa group bangtanFams dibisukan Tapi... Jleb.. Punya suga masuk ke punya gue:v suran? Yang dulu pernah punya project sama suga? Dan pernah dikabarkan kalau mereka.. Kisseu_- Dan dia memanggil suga sayang??? Aku pun penasaran dan langsung membuka chat dari suran Click. ⭕ Suranx. 📞 🎥. 📎 online Apakabar sayang? (Dasar Jalang! Akan kukerjai kau) Aku sibuk Cuek amat_- Apa kau tak ingat saat musim salju kita membuat baby cute? Aku ingin membuatnya bersamamu lagi (Baby cute? WHT!! Apa-apaan?!!,sans anggap saja ini semacam guyonan) Buatlah sendiri bersama suamimu Dia tak sepandai caramu membuat baby cute. Dan aku juga tak merasa puas dengan buatannya. Cukup! Hentikan pembicaraan ini. Aku sudah lupa semuanya. Aku sekarang hanya punya jennie (Aku tak sadar bahwa air mataku sudah jatuh sangat deras di pipi mungilku) Ngomong" masalah jennie. Kenapa kau bisa memilih istri sepolos dia? Apa memang kau berencana memolosinya? Dasar mesum wkwkwk. Padahal banyak cewe diluar sana yang sexy dan bohay. Tapi kau tetap memilih jennie:v Read (Andai saja aku tak berpura-pura jadi suga. Aku pasti sudah memarahinya dan memblokir akunnya) Aku pun menaruh hp nya lagi di atas nakas. Tanpa mengahapus chatku dan suran "Oh tuhan aku tak kuat lagi.. Apa suga pernah melakukan hubungan dengan suran? Dia telah membohongiku. Tak kusangka.. Orang yang kupercayai mengkhianatiku,sekarang aku harus apa? Hal itu belum tentu benar tapi kenapa rasanya itu sangat menyakitkan" isakku yang tak memikirkan apakah suga dengar atau tidak walau dia ada di sebelahku "Kenapa! Kenapa!!!!!!! Hiks hiks hiks hiks" aku menangis sekencang mungkin. Aku berencana ingin mengemas barangku. Tapi.. Jangankan mengemas,untuk berdiri saja kakiku sudah lemas,takkusangka suga tega seperti ini di belakangku. Aku tau kalau suran adalah teman lamanya sebelum dia mengenalku. Tapi sekarang ceritanya berbeda,dia sudah punya suami suga,dan kau juga sudah memiliki aku Sontak sosok yang mempunyai mata sipit itu terbangun karena mendengar tangisanku. Sosok itu yang membuatku menangis,ingin rasanya aku mengabaikan. Tapi kenapa hal ini sangat berat. Kalau akhirnya begini kenapa kau diam saja tuhan. Bantu aku,kau yang mempersatukan kami,apakah kau juga uang akan memisahkan kami karena takdir? "Sayang?? Kenapa kau menangis hm?" tanya suga yang sepertinya masih mengantuk. Suga bingung dengan tingkahku,bayangkan aku lebih bingung daripada kau yang hanya bisa menyembunyikan rahasia selama ini Tanpa menjawab sepatah-kata pun. Aku langsung berdiri dan mengeluarkan koper. suga mengikutiku berdiri dan menghampiriku,walau dia sangat malas untuk melakukan aktivitas saat bangun dari tidur "Kau mau kemana sayang? Kenapa wajahmu kusut seperti itu? Dan kau juga belum menjawab pertanyaanku kenapa kau menangis?" tanya suga dengan tatapan 'ada apa sebenarnya ini' "Aku ingin pulang ke rumah orangtuaku" "Ha?! Kenapa! Kau tak bilang padaku. Aku jadi bangun kesiangan. Kau kan tau sendiri kalau aku suka bangun siang. Kau malah membuat penerbangan mendadak" ucap suga yang mengira dia akan ikut bersamaku. Dan dia sudah tidak bertanya mengapa aku menangis. Dia langsung mengemasi barang-barang yang akan dia bawa dan memasukkannya dalam koper "Meskipun kau tidak bangun juga tidak masalah" jawabku sembari melipat baju yang akan ku masukkan kedalam koper. Hatiku sepertinya sudah tidak bisa diajak kompromi,selama aku menikah dengan suga,baru kali ini kita memiliki masalah dan masalahnya sangat sepele tapi itu perlu diperjelas. Aku tau,ini kecemburuan yang aneh dan aku belum tau kebenarannya,tapi rasanya itu adalah fakta,karena mereka sudah lama dekat dan pernah menjalin hubungan walaupun akhirnya ditentang oleh para agency. "Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti. Aku akan ubah schedule penerbangannya ya,Besok aku usahain bangun pagi" suga seolah-olah taktau apa yang kumaksud. Apa memang dia tak tau? Apa dia pura-pura? Oh tuhan bantulah aku "Tidak perlu. Aku akan pulang ke jepang tanpa kau. Dan aku takkan kembali" aku langsung pergi dengan menyeret koperku, tanpa mempedulikan modelku saat ini, rambut acak-acakan, masih memakai baju tidur,dan roll di poni. Aku tidak bisa memikirkan apapun. Yang kupikirkan hanya 'mengapa aku jadi orang bodoh yang mau menikah dengan orang yang tak mencintaiku. Dan hanya ingin memanfaatkanku saja' "Ha?! Apa yang kau katakan? Manamungkin kau akan pergi ke jepang tanpa aku. Dan tak kembali? Apa maksudmu sayang? Tolong jangan buat aku bingung dengan semua ini" tanya suga yang berusaha melepas tanganku dari koper "Jelaskan sayang.." tatapan matanya membuatku menangis lebih kencang. Bisa dibilang aku ini orang yang sangat cengeng. apalagi yang menatapku sekarang adalah orang yang sangat kucintai tetapi dia telah mengkhianatiku "Hiks.. Hiks....Suran memanggilmu sayang. Apa itu belum cukup bukti?!" "Aku masih tidak mengerti,panggipan sayang juga bisa dipakai sesama teman kan,kenapa cemburumu seperti ini sih" "Cemburu? Itu semua udah hilang! Aku gaakan cemburu lagi ke kamu!" "Tolong jelasin apa yang terjadi jangan buat aku makin bingung" "KAU YANG HARUSNYA JELASIN SEMUANYA!! APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN SURAN SAAT MUSIM SALJU HA?!! APA YANG KAU LAKUKAN!!!! DASAR LAKI-LAKI BRENGSEK!!! BABY CUTE BABY CUTE APA ITU!! TEGANYA KAU MENIKAHIKU KARENA INGIN MEMANFAATKAN SAJA!! DAN KENAPA KAU MAU MENIKAH DENGAN WANITA POLOS SEPERTIKU JIKA AKHIRNYA SEPERTI INI!!! KAU BOHONG!! KAU PENGKHIANAT!! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKANMU!! KAU BRENGSEK KAU BRENGSEK!! CERAIKAN AKU!!!" Aku sangat marah hingga aku hilang kendali. Entah sudah berapa kali pukulan yang mendarat di dada suga yang tak terbalut sehelai benang "Apa maksudnya?!! Aku tidak mengerti!! Suran? Suran kenapa?!! Apa yang sebenarnya terjadi?!!!!" teriak suga yang memang sangat takut kalau istrinya bertingkah semacam itu "Jangan halangi aku untuk pergi!" "Jennie,kau tenanglah aku tidak mengerti maksudmu" "Aku bisa urus perceraian kita,kau tak usah khawatir" Jennie POV END Suga POV Apa yang sebenarnya terjadi pada istriku. Kenapa dia membahas suran. Padahal aku tak pernah mempunyai hubungan dengan suran,dan aku sudah mengaggapnya masa lalu,hubungan kami hanya sebatas project. Saat aku ingin menyuruhnya duduk.. Tiba-tiba... Bruk! Aku melihat istriku ambruk. Aku taktau kenapa dia bisa se shock ini. Dan apa yang sebenarnya terjadi!! Sial! "Sayang.. Bangun sayang... Sayang.. Buka matamu. Jawab aku. Aku suamimu.. Suga.. Sayang. Sayang buka matamu. tuhan.. Apa yang telah kulakukan hingga membuatnya shock.." aku berusaha membangunkan jennie dengan menggoyang-goyangkan wajah dan tubuhnya. Tapi ia tak bergerak sedikitpun. Aku sangat takut... Aku takmau dia kenapa-kenapa. Aku sangat panik. Aku sangat menyayanginya. tuhan bantu aku. yang kuraakan hanyalah takut karena aku melihat orang yang kusayangi marah dan berakhir pingsan seperti ini Aku memutuskan membawanya ke rumah sakit Aku menggendongnya menuju mobil "Bertahanlah sayang" "Semoga kau baik-baik saja sayang" kecupku sekilas pada kening wanita yang sangat lemas itu. Semua ini karna suran! Karena nama itu jennie jadi marah dan pingsan seperti ini. Aku akan menghakimimu saat jennie sudah sembuh Suga POV END Kakaotalk 2 Skip Rumah sakit Extetic "A-aku ada dimana ini? Kenapa kepalaku pusing sekali?" ucap jennie yang baru bangun dan terduduk di ranjang putih ukuran satu orang setelah pingsan kemarin Suga langsung berdiri dan menghampiri istrinya yang telah lolos pingsan.Kemarin malam Suga tidur di sofa di dalam ruang inap jennie, Sebenarnya dia berencana tidak tidur,tapi manusia juga punya titik lelah,suga akhirnya ketiduran. Dan baru bangun saat mendengar rintihan istri tercinta,biasanya meski badannya di goyang-goyang oleh jennie dia tetap tidak bangun. Tetapi saat ini berubah karena dia sangat mencemaskan istrinya "Sayang... Kau sudah bangun? Kau ada di rumah sakit sayang" ucap suga menenangkan "A-apa yang terjadi?" tanya jennie sambil mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan "..............." "Ceraikan aku! Ceraikan aku suga!!!!" dia mulai lagi "Aku bisa jelasin" "Gaada yang perlu dijelasin!!!! Pergilah suga!! pergi!! Cepat pergi!!! Aku membencimuu!!! Aku tak ingin bertemu denganmu!!kenapa kemarin kau membawaku kesini ha! Seharusnya biarkan saja aku pingsan dan mati!" lagi-lagi jennie memukul dada suga berkali-berkali. Andai suga kakek-kakek,mungkin dia sudah meninggal dari kemaren karena dadanya sangat sakit Suga tak menjawab dan langsung melahap bibir mungil jennie dan memberi sentuhan lembut dan sedikit lumatan Jennie mulai lagi memukul-mukul dada suga. Dia merasa tak trima bahwa yang menciumnya saat ini juga telah mencium wanita lain dibelakangnya. Tapi suga tak menghiraukan istrinya yang memukul sekeras apapun. Karena saat ini ia berkutat pada bibir jennie saja walau jennie tak membalas ciumannya sedikitpun Suga melepas ciumannya,merasa kecewa kenapa istrinya menjadi berubah seperti ini "Kenapa kau selalu begitu! Dengarkan penjelasanku dulu! Apa kau tak bisa mengharagai orang menjelaskan sesuatu! Kau slalu saja seperti itu tak pernah berubah! Slalu ingin menang sendiri! Tapi aku sangat menyayangimu! Apa aku pernah mengusirmu tanpa penjelasan dulu darimu?!! Apa aku pernah membencimu walau kau sering menyembunyikan rahasia?!! Ha!! Jawab?!!" teriak suga yang membuat jennie menunduk,menangis,terdiam dan sedikit takut,memang jika suga sampai marah maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan,dan ini adalah bentakan ke-2. Bentakan pertamanya lolos saat mereka pacaran dan membuat mereka putus. Apa bentakan ke-2 ini akan membuat mereka cerai? "Maaf. Tapi kau sudah menyakitiku! Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kenapa kau tega" ucapan lembut lolos dari mulut jennie yang tidak ingin bertengkar di rumah sakit dengan keadaan dia yang seperti ini "Suran? Ya suran. Aku tau kau marah kenapa. Musim salju dan membuat baby cute. Jadi begini...." ucap suga yang langsung menarik kursi kayu di bawah ranjang jennie "Kemarin malam aku sibuk mencari sesuatu yang terjadi. Aku iseng membuka handphone ku Dan akhirnya aku menemukan bahan masalah di kakaotalk. Aku bangga padamu karena kau punya keberanian membalas chat dari suran dan bagusnya lagi kau tak mengahapus satu pesan pun. Tapi disisi lain aku tidak suka kau yang langsung memutuskan tanpa bertanya apa arti dan maksudnya" celoteh suga yang tetap membuat jennie nyaman menunduk dan masih tidak percaya dengan apa yang dibicarakan suga "Dia memanggilku sayang atas persetujuanku. Apa kau tak tau kalau semua anak bangtan kupanggil sayang dan mereka juga memanggilku sayang,semua itu untuk panggilan sampingan sebagai teman. Oh.. Ya musim dingin aku dan suran pergi ke gangnam untuk luncuran lagu so far away laguku dan suran. Aku menginap di salah satu resort untuk menemukan lokasi yang bagus untuk dijadikan MV dan akhirnya kami menemukannya. Aku baru paham kalau baby cute yang dibahas oleh suran adalah boneka salju,dia menyebutnya baby cute karena buatanku sangat lucu dan hampir sempurna seperti di film-film natal. Aku sangat pandai membuatnya dari kecil. Dia menyuruhku membuatkannya lagi bukan cuman aku yang disuruh pergi tapi kau juga akan diajak membuat boneka salju. Dia juga berjanji bahwa saat dia mempunyai anak diumur 4 tahun maka dia akan membuat boneka salju bersama anak dan suaminya. Kau tau saat kau mulai ambigu dengan kata-kata 'dia tak sepandai kau membuat baby cute dan aku tak puas dengan buatannya' memang benar dia merekam video suaminya yang sedang membuat boneka salju tapi alhasil bukan boneka salju yang jadi melainkan tumpukan es yang tak bermakna. Kudengar tawa suran dari dalam video yang mengejek suaminya dengan keras. Tawanya lebih keras melihat boneka salju yang tidak jadi milik chanyeol suaminya dibanding melihat boneka salju yang sempurna milikku. Itu karena dia cinta kepada suaminya sampai dia tertawa lebar dibanding melihat sesuatu yang sempurna tetapi bukan dari pasangan hidupnya. Jadi begitu ceritanya,aku minta maaf kalau kamu masih marah. Dan aku minta maaf lagi karena maafnya telat karena kemarin aku gapaham apa yang kamu omongin. Tapi kalau kamu memang masih tidak percaya juga tidak papa aku ga maksa,aku bisa jadiin ini suatu kesalahpahaman yang besar dan aku akan memperbaikinya walau masih bersamamu atau tidak bersamamu lagi" cerocos suga menjelaskan yang kini membuat jennie menatapnya penuh bersalah Tanpa berkata-kata jennie langsung memeluk suga dan menangis sekencang-kencangnya "Dan kau tau alasanku tetap bertahan walau kau memukuli dadaku hingga aku sesak. Karena aku mencintaimu" ucap suga saat dipeluk oleh jennie "Aku yang minta maaf karena tidak percaya padamu hiks aku maaf suga. Kumohon tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk cerai denganmu.aku minta maaf suga.. Kau boleh hukum aku sesukamu tapi tolong maafkan aku,aku terlalu egois,aku sangat mencintaimu makanya cemburu selalu membuatku marah tak beralasan" jennie berharap bahwa dia akan lupa dengan semua peristiwa kemarin yang membuat dia melontarkan kata-kata yang merujuk mereka berdua untuk pisah "Aku tidak memaafkanmu karena kau tidak salah. Hey jangan bicara seperti itu. Sudah cukup. Aku tidak mungkin menghukummu karena hal sepele ini. Aku bisa mengerti perasaanmu. Hari ini harapanku kau tidak menangis,tapi bangun dan tersenyum kepadaku" Jennie mengangguk dan melepaskan pelukannya lalu melumat bibir suga. Suga pun membalas lumatan hangatnya. Saat mereka kehabisan napas, Mereka melepas lumatannya "Sekali lagi aku minta maaf. Aku salah. Maafkan aku sayang, Kau tidak akan tau perasaanku,andai kita bertukar posisi,maka kau akan tau apa yang aku rasakan saat semua ini terjadi. Karena emosi dan kecemburuanku yang sangat besar itu membuatku menjadi seperti ini tanpa bertanya dengan kejadian chat itu" ucap jennie sambil mengusap air matanya berkali-kali dan menciumi tangan suaminya yang tak bersalah. "Sttssss Wajamu sangat menggoda jika kau menangis seperti itu, sudah cukup aku tidak ingin melihatmu menangis.Aku ingin cepat-cepat pulang saja hehe" meskipun suga dingin,tapi dia slalu bisa menenangkan suasana hati jennie yang sedang kalut. "Kenapa di rumah? Disini juga bisa. Toh ruanganku ini VVIP jadi kedap suara" kode jennie sambil mendekatkan badannya ke tubuh suga.merasa bahwa dia bersalah jadi dia akan melakukan hal apapun yang diminta oleh suga Tak biasanya dia yang duluan memintaku cepat-cepat membuatnya mendesah,Sebenarnya sangat ingin tapi waktunya sangat tidak tepat "Bukan masalah itu" jawab suga "Kau menolak? Jika suga saja bisa bilang 'suga tidak menerima penolakan' maka jennie juga tidak menerima penolakan" Suga tak menjawab "Kenapa! Apa kau memang benar tidur dengan suran maka kau takmau tidur denganku?! Atau aku belum mandi dari kemarin? Atau kau jijik denganku yang sekarang sedang sakit?!! Jawab!!" cerocos jennie "Bukan seperti itu,apa kau tidak malu melakukannya di rumah sakit hm?" "Hiks.. Hiks.. Apa kemarin yang kukatakan kepadamu sudah berlaku? Hiks.. Apa kau benar akan menceraikanku. Aku salah,dan aku pantas mendapatkannya" jennie menangis dan langsung berbaring tidur membelakangi suga "Sayang... Aku tak bermaksud membuatmu menangis. Ak-" suga berusaha menjelaskan tapi dipotong oleh jennie "Trus apa?! Memang benar dugaanku. Bentakan ke-2 mu akan membuat kita cerai" ucap jennie yang tetap berposisi membelakangi suaminya "Kau ini bicara apa! Kau tau sendiri permainanku sangat kasar. Aku takut dia kesakitan!!" teriak suga ke-3 kalinya "Dia? Kesakitan?Apa maksudmu?" tiba-tiba jennie berbalik dan langsung terduduk "Sayang.. Tolong...." ucap suga mengecup kening jennie dan memeluknya "Tolong?! Untuk apa? Apa maksudnya" celoteh jennie kebingungan dengan apa yang suga katakan "Tolong jaga min kecilku yang sudah menetap selama 3 minggu. Aku maklum kau bisa berubah begini karena bawaan dari kehamilanmu" ucap suga sambil mengelus tangan jennie "Ha?!! Min kecil?! Aku hamil?!!" teriak jennie yang tak percaya. Ia pun sangat senang hingga menangis bahagia. "Suga.. Aku beneran bakalan punya anak? Apa itu bener?!!" jennie mengelus perutnya yang masih rata itu karena baru 3 minggu Suga mengangguk dan mencium puncak kepalanya "Aku minta maaf tidak memberitahumu daritadi" "Dasar! Kau slalu mengerjaiku,awas saja jika anak ini sampai lahir,maka kau tidak akan bisa mengerjaiku lagi karena aku akan dibela olehnya" suga hanya tersenyum bahagia melihat istrinya yang tdi menangis sedih sekarang jadi bahagia "Terimakasih tuhan,ma pa jennie hamil. Terimakasih sayang" "Kehidupan kita dimulai dari sini sayang" ucap suga sambil memeluk istrinya Jennie hanya bisa menangis bahagia dan memeluk suga semakin erat Care Maret,bulan pertama kehamilan jennie dan bulan kelahiran suami tercintanya, Min suga. Makin hari suga makin perhatian.. Padahal suga tak pernah seperti ini sebelumnya terhadap jennie, Mungkin karena jennie sedang mengandung min kecil makanya ia sangat perhatian.wajar saja kalau dia mulai berubah karena dia akan menjadi seorang papa dalam hitungan bulan,makanya dia tidak ingin jennie sakit atau kecapean Jennie POV 05.30 KST "Dimana pemalas itu? Apa ia bekerja sepagi ini? Ga biasanya bangun pagi" gumamku yang tak mendapati suga tidur disebelahku,suga memang tak pernah bangun pagi jika tidak ada suatu hal yang mendadak seperti bepergian ke luar kota atau ke luar negri "Sayang!!! Bangunlah!!" teriak seorang laki-laki dari bawah. Ha?! Apa dia sudah bangun? Dan sepagi ini? Tanpa memikirkan apapun.. Aku turun untuk mencari sumber suara -skip *Meja makan "Morning kisseu" suga memajukan bibirnya,oke aku menciumnya. Aku tidak salah? Suga memakai clemek? OMG kena setan dimana dia.. "Apa kau memasak ini semua?" tanyaku saat melihat banyak makanan di meja makan dan sedikit kaget karena suga tidak bisa memasak dan sangat malas "Sure" suga membantuku duduk "Kau kan tidak bisa masak?" tanyaku "Eit jangan salah,setiap pulang kerja aku selalu pulang telat untuk belajar masak. Persiapan buat seperti ini,saat kau sudah mengandung anakku" suga memelukku,aku masih tidak yakin kalau suga bisa melakukan ini semua "Kenapa? Kau tidak percaya? Setidaknya aku sudah berusaha memasak walaupun rasanya ga seenak masakanmu" "Tidak apa sayang,kau sudah berusaha memasak untukku,terimakasih ya" aku bahagia karena suga telah berubah dari kemalasannya "Ini semua demi kebaikan min kecil,agar kau tidak kecapean" "Apa kau bangun pagi?" tanyaku yang masih tidak percaya bahwa suamiku melakukan ini semua. Mulai dari memasak sampai bangun pagi "Tentu saja" "Apa kau juga sudah mandi? Tanyaku lagi "Hey! Kau ini, apa aku semalas itu hingga tak bisa melakukan ini semua? Ha? Sudahlah kau makan saja" cerocosnya lalu pergi meninggalkan jennie dan melepas clemeknya. Memang suga sangat sensitive jika aku mengganggunya,sebenarnya aku hanya kaget saja karena suga tak pernah melakukan ini sebelumnya.jangankan memasak,bangun pagi saja dia sangat malas "Suga.. Clemeknya jan dilepas!" teriakku yang melihat suga ingin pergi ke lantai 2,aku ga bermaksud membuat dia marah,aku hanya ingin memastikan bahwa dia telah berubah Suga berhenti Dia berbalik "Kenapa?!" suga menyipitkan matanya "Kau sangat sexy saat memakai itu" Suga mengampiriku lalu duduk di kursi meja makan tepat di depanku Ia memakai clemek sambil duduk "Jangan marah" ucapku Suga tak menjawab. Ia hanya diam sambil menatap masakan yang ia masak "makanlah. Aku masak khusus untukmu dan min kecil" suga menuangkan air putih pada gelas kosong "Suapi aku" ucapku "Sejak kapan kau manja minta disuapin" "Ihh suga,romantis dikit kenapa sih bisanya ngambek mulu" "Hehe iya-iya tuan putri" Suga pun menyuapiku sedikit-sedikit hingga habis. Aku tak berhenti menatapnya saat ia menyuapiku ia sungguh tampan. aku beruntung bisa memilikinya,karena memilikinya adalah suatu rintangan yang mungkin kalian tidak bisa melewatinya jika tidak cantik dan tidak terkenal. "Kenapa kau menatapku? Apa aku sudah terlihat sexy saat memakai ini?" ucapnya sembari menunduk pada clemek yang ia pakai,lalu tersenyun "Sangat sexy. Jika tidak mana mungkin aku mengandung min kecil" aku tersenyum tipis dan tak henti menatapnya Suga hanya tersenyum tipis. Ya dia akan merespon begitu meski aku memujinya setinggi langit, Dia sangat misterius. Tapi aku sayang "Kau tau? Masakanmu sangat enak. Bahkan lebih enak dari masakanku" masakannya kurang garam tapi menurutku ini enak saja karena yang memasak adalah suami tercinta,makasih karena sudah belajar pada jin "Benarkah? Aku hanya ingat saat membantu eomma memasak dan juga dibantu oleh chef jin wkwk" "Kau sangat pandai.makasih sayang" aku mencubit pipinya "Walau tak sepandai kakak jin" kekeh ku "Jika begitu menikahlah dengan kak jin, Maka kau akan makan enak setiap hari" jawabnya datar "Makanan yang kak jin buat bisa habis,tapi cinta kamu gaakan habis" "Bagus kalau gitu" senyum tipisnya membuatku meleleh setiap saat Aku sangat bahagia memiliki suami seperti suga. Dia baik,perhatian walau hanya hari-hari kemarin. Dia berusaha menyiapkan sarapan pagiku hingga ia bangun sangat pagi. Aku menyayangimu suga:) "Apa kau belum mandi?" suga bertanya pada jennie yang sampai saat ini masih menatapnya "M..iya,aku baru bangun lalu kau memanggilku.aku langsung turun" Suga berdiri menuju tempat mencuci piring. Suga menyuci piring? Sungguh.. Min kecilku sangat pandai membuat suga memilihnya bukan memilih malasnya "Biarkan aku yang mencuci piring" ucapku yang masih duduk lalu beranjak berdiri dan menghampirinya "Biar aku saja. Kau mandilah sana. Aku tak mau bercinta dengan orang yang bau. Aku akan urus semuanya mulai sekarang" smirk suga lalu mengecup bibirku "Kenapa kau jadi rajin seperti ini ha?! Aku takut kau ini kembaran suamiku suga, yang seperti di film-film" ucapku yang langsung memeluk pinggang suga dari belakang seperti yang biasa ia lakukan padaku saat aku memasak "Ada-ada saja istriku ini" kekeh suga yang tetap membilas dan membelai piring yang ada di depannya "Kau belum menjawab. Kenapa kau menjadi seperti ini?" tanyaku memastikan apakah suga benar menyayangi min kecilnya.aku ragu jika suga melakukan hal ini karena ada maksud tertentu,seperti mendua atau meninggalkankum ahh pikiranku kacau,mungkin efek abis melihat film di TV Suga mematikan kran air. Menaruh piring yang tadi ia cuci dan mengelap tangannya menggunakan handuk kering yang tersedia diatas tempat cuci piring Ia berbalik. Kini ia yang memeluk pingganggku. Ingat.... Ini masih pagi-pagi sekali hati-hati:v "Aku hanya ingin memastikan istriku tidak kelelahan" 'Yes. Memang benar suga mengkhawatirkan kondisiku'-j " kandunganku baru 1 bulan sayang..." ucapku sambil mengelus puncak kepalanya "Meski hanya satu bulan. Tapi dia sudah ada disana melihat kita yang sedang bermesraan serasa ingin membuatnya menjadi kembar" kekeh suga "Dasar mesum" "Mandilah.." ucap suga sambil menutup hidungnya dan melepaskan lingkaran tangannya di pinggangku "Apa aku sebau itu ha?! Aku takmau mandi" gerutuku Tanpa menjawab suga menggendongku ala bridal style dan berjalan menuju kamar mandi "Turunkan.. Mandinya nanti aja suga,ini sangat dingin" rengekku "Tidak akan dingin" "Bagaimana bisa?" tanyaku lagi Suga berhenti berjalan "Jika aku ikut mandi maka akan jadi panas kan? Kau takkan kedinginan" smirk suga lalu melanjutkan jalan "Dasar mesum!! Turunkan aku!!! Aku bisa mandi sendiri!!" "Tapi pagi ini aku ingin memandikanmu" "Apa Kau tidak ingat, kau sudah mengisi perutku. Turunkan!!!" sentakku yang terus memukuli badannya "Sayangnya kita sudah sampai di kamar mandi" kekeh suga pelan Jennie POV END lucu 16.55 KST Mereka selalu saja tidur. Dari jam 12.00 sampai sekarang pasutri itu belum bangun karena pagi tadi mereka membersihkan rumahnya. Sudah tradisi mereka saat hari minggu Ting tong ting tong sepertinya tidur mereka harus berhenti. Karena ada yang mengunjungi Apakah orang tuanya lagi? Meski iya mereka tak akan kaget dan takut,karena kemarin mereka tidak bercinta Suga POV "Sayang.." rengekku agar jennie bangun,kok sekarang jadi jennie yang sulit bangun.ga habis pikir Dia tidak menjawab dan tetap tidur seperti tadi Alternatif penyelesaiannya aku tau Cup! Cup! Cup! Aku menciumi leher jenjangnya Alhasil ia terbangun "Sayang.. Apa yang kau lakukan, Aku sangat geli" jennie mengusap pelan lehernya. Aku hanya tersenyum tipis Ting tong ting tong "Bukain pintunya. Aku sedang malas turun" ucapku menunjukkan puppy eyesku agar dia mau menuruti perintahku Jennie beranjak dari kasur dan menuju pintu. Aku melanjutkan tidurku Saat aku melanjutkan tidurku Tiba-tiba.... "Sayang!!! Bangunlah!!" teriak jennie dari bawah 'Sial'-s Mau tidak mau aku turun ke bawah memastikan kenapa dia bisa sampai memanggilku disela tidur manisku -skip *Ruang tamu "Oh.. Kak, apa kau sudah lama disini?" tanyaku "Tidak baru saja. Saat istrimu membuka pintu dan saat kau ingin melanjutkan tidurmu" jin meledekku membuat jennie tertawa. Dan bagaimana bisa dia tau "Hi jisoo" sapaku "Beri salam pada Paman mu" ucap jisoo pada wanita kecil yaitu anaknya. Aku tidak melihat kedatangan kim kecil,Mungkin karena aku masih ngantuk "Hallo paman. Aku cangat meyindukanmu" suaranya sangat lucu karena dia masih kecil. senyumnya yang lembut membuatku menghampirinya dan menggendongnya "Kau sangat lucu jiaeku. Aku semakin rindu jika jauh darimu" ucapku membuat pipinya memerah 'Hilih dia berbicara seolah-olah pada seorang wanita dewasa yang ia cintai'-jennie "Hei! Dasar tukang mbaperin orang. Liatlah pipi putriku memerah karena ulahmu" cerocos jin Kulihat istri manisku tersenyum lebar saat aku membuat pipi jiae memerah "Aku tak ingin mengganggu bercinta kalian. Jadi begini.. Jiae kami akan berulang tahun yang ke 3 tahun. Aku ingin kalian datang" ucap jisoo yang langsung mengeluarkan undangan yang berlogo kumamon "Tentu saja kami datang" ucap jennie yang langsung menatapku yang masih betah menggendong gadis ini "Paman...." kini gadis itu mengelus pipiku. Aku semakin gemas "Iya sayang?" ucapku yang membuat jennie melotot karena nada bicaraku pada jiae sama saat nada bicaraku padanya 'Yak! Kenapa aku jealous pada anak kecil huh' -jennie "Acu boye cidul dicini?" ah.. Gadis ini membuatku gemas. Jadi ingin cepat-cepat liat min kecil lahir kedunia "Mmm..." gumamku sambil memperhatikan wajah gemasnya,lalu mau ncubit pipinya "Boleh sayang. Kapanpun" jennie menjawab membuat bocah itu tersenyum menampakkan puppy eyesnya "Climacasi Mama" apa? Dia barusan memanggil jennie eomma? "Ah tidak. Jiae.. Kita harus pulang sayang. Jika ada jiae disini maka akan membuat paman dan bibi mu repot" ucap jisoo "Benar kata mama. Lain kali saja ya sayang" ucap jin sembari menyruput coffe yang dibuatkan jennie 15 mnt yang lalu "Njamau.. Acu cangen papa cuga. Acu ingin cidul jenangnya" "Lain waktu aja ya sayang" ucap jisoo sambil beranjak berdiri lalu jin berdiri "Njamauu hiks.. Hiks... Hikss.. Papa cuga.. Acu inyin belcamamu" elah nih anak kaya selingkuhan gue aja cara bicaranya hehe "Kau sudah buat dia menangis jisoo. Biarkan dia disini" bentakku lalu aku mengusap air matanya di pipi chubbynya itu "Iya jisoo, lagian aku juga lama tak bertemu dengan jiae. Kalaupun bertemu ia pasti sudah tidur" jennie angkat bicara "Aku tak ingin merepotkanmu jen. Karna jiae sangat manja" jin tersenyum tipis "Ah.. Kau tau kak, Aku suka yang manja-manja. Jadi biarlah dia disini" smirk suga pada jennie. Jennie tersipu malu "Yeay. Makacih Paman.." jiae mencium pipiku 'Bgst' -Jennie "Aku sampe lupa. Bagaimana pergerakanmu?" jin menanyakan hal yang seharusnya menjadi privasy "Yah.. Sangat bagus. Teratur dengan rytme yang pas" kekehku yang memang sangat suka pembicaraan ini "Apa jennie memuaskanmu?" kekeh jin. Kulihat pipi jennie sudah memerah dan mungkin dia sangat malu sekarang ini "Mm.. Tidak juga. Kan dia sangat polos kak Mana mungkin wanita sepertinya bisa memuaskanku" ledekku sambil mendapati wajahnya yang hampir marah dan salah tingkah "Suga!Kau seenaknya saja. Jika aku tidak bisa memuaskanmu maka aku tak akan repot-repot mengandung min kecil" 'Wht? aku kelepasan. Bagaimana ini??' "Min kecil?" gumam jin "Kau hamil?!" jisoo mengagetkanku "Mm..." jennie sangat bingung ingin menjawab apa "Iya dia hamil. Sudah satu bulan" aku menjawab dengan bangga lalu memeluknya "Dasar mesum! Menikah baru aja bulan kemaren eh tiba-tiba dah ngehamilin anak orang 1bulan" jin memukul lenganku dengan keras "Gaklah kak,aku menikah dengannya sudah 3bulan,kak jin rupanya sudah mulai pikun" ucap jennie "Iya-iya kalian ga mesum,ngaku aja juga gpp kok kali ae udah 3 bulan sekarang kandungannya" "Mama jennie mau punya dede bayu?" sahut jiae,jennie menciumnya dan mengangguk "Selamat ya jen.. Kau akan jadi ibu. Jangan malas-malasan. Jaga kesehatanmu. Jangan biarkan suga pulang malam. Mandilah air hangat. Jangan suka belanja. Jangan suka makan ramyeon pedas. Juga hindari mie dingin. Terutama soju" jisoo memeluk jennie memberi ucapan atas kedatangan min kecil "Iya kalau bisa borgol aja tangan sama kaki suamimu itu. Karena dia masih suka tidur dengan para jalang saat di bar" bisik jin pada jennie membuatku marah saja. Ya memang dulu aku suka tidur dengan jalang. Tapi itu dulu. Tidak bercinta kok beb,pegangan doang wkwk "Ngomong-ngomong, jennie yang subur atau kau yang mesum. Bisa punya anak secepat ini" kekeh jin "Anak itu anugrah sayang... Kita tidak boleh menolaknya. Aku sangat kesal padamu karena menjaili mereka" untung saja jisoo tidak seperti lisa. Ya.. Karena jisoo tidak ngikut ucapan jin,kalau lisa selalu mendukung jungkook 'Apakah dia pernah tidur dengan jalang?!!!! awas saja kalau kau minta jatah' -j Aduh gawat. Jennie melihatku sinis serasa ingin membunuhku saja:) Aku memutuskan untuk diam agar jennie semakin geram. Sudah lama aku tak melihat dan mendengarnya merajuk. Sungguh sangat manja,hingga aku betah di rumah "Iya maaf sayang. Aku hanya tak percaya bahwa teman dinginku ini pandai membuat keturunan" ucap jin "Kau ini bicara apa si. Ingat kau sudah punya anak sayang,jaga bicaramu" jisoo menasehati suaminya yang telah menguji kesabaranku "Ayo jiae kita pulang" jin mengisyaratkan 'gendong' di tangan panjangnya. Berusaha agar jiae mau ia gendong "Mamau.. Acu mamau puyang.. Papa cuga.. Acu inyin dicini" "Ayolah sehari saja" aku menggerutu pada jin dan jisoo "Iya. Aku juga ingin bersama jiae. Anakmu ini sangat manis. Izinkan dia disini sehari saja" jennie juga setuju denganku "Mm.. Baiklah. Tapi aku tak mau kau mengeluh karna dia sangat manja dan nakal" -jin "Jie ndak nacal ko. Jie baik. Papa jahat biyang jie nacal" "Ah.. Dia mulai lagi menggerutu. Andai saja dia tak selucu itu maka aku tak mau mengurusnya" -jin "Sayang Ingat.. Dia anak kita_-." jisoo sangat kesal sekarang "Iya maaf sayang,aku hanya bercanda" "Ayo pulang" "Jen,suga.. Aku nitip jiae ya? Maaf kalau ngrepotin" "Ah tidak. Aku sangat senang mengurus bayi selucu dia" jennie mencium pipi tembemnya "Baiklah aku pulang dulu. Jangan salahkan jiae jika kalian tidak bisa bercinta malam ini hehe. Dan Kembalikan barangku besok sore di rumahku" -jin "Bgst!" aku berteriak saat ia menyebut ciptaan tuhan selucu jiae dengan sebutan 'barang' dasar papa gawaras "Apa kau menyebutnya barang? Dasar! Cuman enak pas mbuat tpi gamau ngurus. Minggat ae lo sana" aku marah walaupun itu bercanda Jennie dan jisoo hanya tertawa lebar saat aku berteriak pada kak jin "Kalau mbuat ya tentu enak. Cie yang udah pernah nyoba" -jin 'Bgst!' -suga "Suda-suda maafkan suamiku ya suga.." jisoo memohon sambil tertawa "Hm" "Papa pergi dulu ya sayang. Jangan nakal ya. Saranghae" jin mengecup bibir jiae "Eomma juga. Dah sayang.." jisoo mengecup bibir jiae lalu melambaikan tangan 'dadah' "Pejiyah" "Baru aja beberapa menit jiaeku sudah menyuruhku pergi tanpa menangis atau kangen padaku. Kau pintar sekali membawa jiae ke dalam pelukan mesummu itu" -jin "Yak! Aishh...yak!!" suga semakin kesal dengan perbuatan jin yang dari tadi membuatnya malu "Ah..sudah sayang... Ayo kita pergi. Dah semua.." jisoo menyeret tangan jin lalu pergi "Aku menyukainya" "Tentu. Dia sangat imut bukan?" tanyaku "Ih bukan.. Saat kau kesal pada kak jin mu" "Untung istri, untung sayang. Kalau gak.." "Kalau ga knp?" "Ku bikin lumpuh besoknya" "Aku takut.." jennie lari meninggalkanku. Jujur dia sangat lucu dibanding jiae. Jangan marah ya jiae:v "Papa cuga.. Acu menyantuk" "Ayo menyusul mamamu" asek serasa dia min kecilku -skip *kamar "Kenapa kau mengajaknya kesini?! Taruh dia ke kamar tamu saja" jennie berteriak. Dia dalam keadaan hampir full naked karenaa mau mandi "Kasianlah. Dia masih kecil. Ya masa suruh tidur sendiri. Bilang aja nanti malem gamau diganggu kan kalau pengen manja.." smirk ku "Sudahlah. Aku mandi dulu" -skip "Cenapa papa cuga cidak menyucul mama jejen?" unch dia sangat imut saat mengantuk 'Mwehehw pinginnya sih nyusulin. Kan ada km jadi gaenak' "Kan mama jennie mandi. Ya papa suga harus nunggu dong. Gaboleh mandi bareng" kekeh suga "Capi cata papa jin, dia hayus nyucul mama, Karena mama minta dipijit biar mandinya makin cegel" 'Dasar jin tomang unch unch. Pinter bat cari alesan buat bercinta. Jelas aja habis dipijit trus mandinya seger,Kan mandi bareng.. ' -suga "Tidurlah sayang.. Kau sangat ngantuk rupanya" ucapku yang melihat mata gadis itu tinggal 0,02watt "Nyanyiin jie" "Nyanyi apa? Emang jiae bisa tidur kalau denger appa ngerap? Sudahlah jiae tidur sekarang ya.." ucapku sambil mengelus-elus rambutnya "Acu njamau cidul. Maunya dinyanyiin julu" 'Hmm.. Emang bener kalau dia sangat manja' "Mau appa cuga nyanyiin lagu apa? Naena bobo? wkwkwk" aku hanya iseng mengganti judulnya. Dia juga gabakalan tau "Nina bobo papa cuga.. Not nenya bobo" dengus jiae membuatku sangat gemas. Aku tak henti-hentinya mencubit pipi gadis cantik itu "Mwehehe kau sangat memperhatikan kata dengan kata anak manis.." "Nyanyiyah yagu appa cuga cama nce suyan yang judunya co fa uwe" jiae mengelus-elus tanganku "Shit! Terusin aja kalau bahas suran ya,Terusin sampek mampus. Bener-bener gabakal dapet jatah sampek 1 bulan" entah sejak kapan istriku yang manis ini keluar dari kamar mandi "Kau salah paham sayang.. Dia ingin aku nyanyikan lagu so far away. Mungkin lagu itu buat dia tenang,dan itu kesukaan kak jin" "Alesan,Au ah. Kayanya ntar malam aku tidur sendirian" ucap jennie yang langsung mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang ada ditangan kanan nya itu. Sedangkan tangan kirinya merapikan rambut "Ayoo papa nyanyican... Aku inyin denyal" "Kalau kau bernyanyi satu kata dari lagu itu... Kau akan tamat" njir bener-bener gue lagi diancam istri. Ga dinyanyiin ntar jiae kasian,dinyanyiin ntar aku gabisa bobo sama istriku dong. "Jiae.. Besok pagi aja ya nyanyinya" gue terpaksa nolak permintaan ringan dari anak kecil. Daripada nolak istri yang lagi hamil:) "Mamau.." jiae berguling-guling di ranjang "Jiae mau susu?" jennie angkat bicara "Mauu" seketika wajah gadis itu tidak murung lagi. Memang si jejen pandai membuat senyum di wajah orang yang sedang menggerutu. Dan coba saja yang ditawari susu itu aku,maka ceritanya beda lagi:v "Yak! Jiae ini anak siapa?! Kenapa kau menyusuinya?!" aku merasa tidak trima bahwa ia ingin menyusui jiae daripada aku,ya walaupun hanya bercanda "Bukan susu dari payudara ku_- tapi susu beb*lckv" "Papa janan mala-mala. Biacanya mama jisoo juga menyucui papa jin. Acu yang di cili appa jin yang di canan" "Hahaha. Jisoo sangat handal mengatasi semuanya" kekeh jennie Aku hanya tersenyum tipis. 'Dasar jisoo somvlak! Ya masa jin juga disusui. Jiae jelas kalah masalah melumat" -s 'Tapi dia baik juga ya.. Ngasih tau inspirasi baru wkwkwk'-j "Acu inyin cucu mama jejen.." Jiae menghampiri jejen lalu memeluk kaki jejen. Jejen langsung menggendongnya "Ayo cidul" "Katanya mau susu.." "Iya cambil cidul" "Tante buatin dulu ya.." "Njamau.. Mau yang ini" ucap jiae sambil menunjuk payudara jennie. dia pintar sekalii 'Ini anak pinter banget milih susunya' -s "Jiae sayang.. Mama jennie belum bisa menyusui" ucapku "Jie nyantuk. Nda jadi minyum cucu" "Nah. Yaudah jiae tidur ya. Slamat malam jiae sayang" ucapku semangat karena gaada yang akan ganggu aku dan jennie lagi Jennie dan jiae berbaring di ranjang. Posisinya aku;jiae;jennie. Jiae ada ditengah. Sungguh tidak adil bukan? Jennie ikutan tidur membelakangiku "Eh cewe polos" ucapku pelan. Takut jiae bangun "Hm? Gaada jatah dalam 8 bulan" "Kasian Juniorku. Lama amat.." "Sampei min kecil lahir:)" ucap jennie tanpa membalik badan "Jahat sekali. Bisa-bisa aku mati gakuat" "Dasar mesum! Tidurlah saja dengan jalang. Bukankah mereka sangat memuaskanmu?" "Apa aku harus menyewa jalang?" "Yak! Kau ini jahat skali padaku! Kau berjanji membelikanku bra yang baru" "Jangan keras-keras kalau bicara. Nanti jiae bangun. Iya aku akan membelikanmu yang baru. Apa karena bra mu rusak maka kau tak mau bercinta denganku. Bukankah bra mu banyak" "Banyak? Memang banyak. Tapi suami mesumku selalu saja merobeknya. Aku juga taktau kenapa dia senafsu itu" jennie langsung membalik badan dan menatapku walau ditengah-tengah ada anak kecil yang sedang tidur manis sekali "Apa kau tak ingin pemanasan untuk besok. Lumayan.. Hadiahnya bra baru.." smirk ku "Gak" "Ayolah sebentar" rengekku "Gak! Aku tidur dulu, slamat malam suami cabul" jennie kembali membelakanginya "Yak! Kau! Aish.. Yak! Awas saja besok ya. Akan kubalas sampai kakimu lumpuh. Dan terkena penyakit merah-merah di leher" teriakku "Yak! Apa kau meninggalkanku? Yak! Night kisseu nya!" 'Benar kata jin hyung. Bahwa putrinya ini sangat tenang saat tidur meski ada yang berteriak' -ku "Sabar ya junior.. Besok kau akan berdiri dan siap masuk ke sarangmu:)" Suga POV END Wae?! Pagi yang cerah bersama jiae yang tadi malam tidur bersama papa suga dan mama jennie. Serasa anak mereka sendiri. Untung saja jiae tidur sangat nyenyak dan tidak berulah atau mengigau. Apalagi menendang perut jennie yang berisi min kecil Betapa lucunya jiae bangun dari tidur. Sangatt lucu. Pipi chubby yang membuat suga gemas 06.30 KST- Jennie POV "Mama jennie!! Pala cuga!! Ayo banyun!!" jiae menepuk-nepuk tanganku dan suga "Hoammm..." suga masih sangat ngantuk. Iya lah ngantuk orang dia biasanya bangun sangat siang "Selamat pagi jiae manis.." Aku menyapa jiae sambil merapikan rambutku yang selalu berantakan saat pagi hari. Biasanya aku juga takmau bangun jam segini,karena ada anak kecil maka aku usahakan bangun. "Mornying cis" wlah jiae minta morning kiss pada suga. Sabar.. Untung anak kecil:) Tanpa menoleh padaku, suga mengecup bibir yang berukuran sangat berbeda jika dibanding bibirnya yang cipokable itu "Tau morning kiss darimana hm?" suga bertanya sambil memeluk tubuh mungil jiae "Mama jicu celalu bilang begicu pada papa jin caat pagi hayi" Jisoo sangat berbeda denganku meminta morning kiss pada jin. Sedangkan aku ya.. Si mesum itu yang selalu memintanya duluan "Apa kau tak mau minta morning kiss padaku?" aku angkat bicara sambil mencium pipi tembemnya "Kenapa tidak aku saja yang kau tawari" tuh kan suga pasti yang akan minta duluan padaku. Dasar! "Acu ndamau di cium wanyita. Acu mau nya dicium pyia" "Masih kecil aja dah kaya gini. Tenang jiae.. Saat kau dewasa nanti pasti setiap pagi kau akan dihujani kissmark oleh suamimu" suga mulai lagi "Dia masih kecil. Jan racuni pikirannya dengan ucapan kotormu itu" ucapku kesal lalu menuju kamar mandi "Acu icut.." teriak jiae yang melihatku ingin masuk kamar mandi "Ayo" aku berhenti lalu berbalik "Acuu ughaa" smirk suga mode anak kecil. Sumpah ga lucu sama sekali tau.. "Gak!" "Jahat amat" suga tertawa kencang sekali -skip *Ruang tamu Kami sudah selesai mandi. Suga sekarang lagi bercumbu dengan laptop di sofa depanku dan jiae duduk. Karena masih pagi sekali maka tidak ada toko yang buka, makanya aku menyuapi jiae makan bubur hamil.. Wkwkw lucu bukan. Kurasa bubur hamil juga tidak hanya untuk orang hamil.saja,Karena suga sangat menyukai bubur itu. Maka dari itu aku memberi jiae bubur hamil. Toh kalau makan bubur itu jiae gabakal hamil wkwkwkwk. Dan dia sangat menikmati bubur rasa strawberry yang sedikit demi sedikit masuk ke mulutnya -skip Jiae sudah selesai makan. Sedangkan aku juga selesai beres-beres rumah. Sedangkan suga tetap bercumbu dengan laptopnya,sungguh sangat menyebalkan. Apa laptop lebih penting dari istrimu ini ha? Apa yang sedang kau lihat??mungkin lagu lagi "Papa cuga.." rengek jiae "Iya sayang?" suga menjawab tanpa melihat wajah jiae "Papa..." "Iya sayang?" suga masih fokus dengan laptopnya.sedangkan jiae kini menggoyang-goyangkan tangannya yang sedang mengetik diatas keyboard laptopnya itu "Papa..dengalkan jie. Jie ingin main dengan papa" jie pun merangkak keatas sofa dan memeluk leher suga. Mungkin hal itu membuat suga risih,hal itu nampak pada wajah suga "KAU INI APA-APAAN!" suga berteriak pada jiae. Sontak aku menghampiri mereka "KAU TAK MELIHAT KALAU AKU SEDANG SIBUK?! MAINLAH DENGAN JENNIE SANA!MEREPOTKAN SAJA!!" suga langsung berdiri dari sofa meninggalkan jiae yang sekarang sedang menangis. Ada apa dengan suga? Kenapa dia seperti itu? "Yak!! Sayang... Kau membuat jiae menangis!! Sayang!!" aku berteriak pada suga yang sekarang berjalan ke ruang tengah tanpa mempedulikanku yang sedang berteriak ke arahnga "Hiks.. Hiks... Papa cuga jahat.. Hiks hiks.. Mama... Maafkan jie... Hiks.. Hiks... Jie mau puyang.. mau puyang hiks hiks" jiae memelukku sambil menangis,Aku sangat tidak tega,sebenarnya ada apa ini "Sabar sayang ya,Mungkin papa suga sibuk dengan pekerjaan. Maka dari itu dia tidak ingin diganggu karena pikirannya sedang kacau. Maafkan papa ya jiae.." aku berusaha menenangkan. untungnya dia berhenti menangis Aku membawa jiae kehadapan suga "Jangan ke papa cuga. Acu takut"aku bisa liat dari wajah jiae yang takut saat kubawa ke hadapan suga dan dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang mungil itu "Its okey sayang. Biar nanti mama nyuruh papa suga minta maaf ke jiae" "Njamau. Jie takut hiks hiks" isak jiae Aku tetap membawanya kehadapan suga,agar semuanya jelas. Dan aku juga bingung kenapa suga kasar kepada jiae,padahal kemarin dia sangat manis kepadanya, Ini bukan kemarahan untuk jiae,paling dia marah karena suatu hal. Masalahnya aku tidak tau hal apa yang sedang membuat ia marah -skip "Sayang!" aku berteriak pada suga yang masih memandang laptop Dia tidak menoleh atau menjawab "Apa kau tak dengar aku memanggilmu!" aku mulai geram dengan sifat pendiamnya. Dia tetap diam "Bgst! Kau kenapa?! Bicaralah! Apa aku ini patung?!" Dia masih tidak menjawab. Ternyata dugaanku kemarin benar,dia bertingkah baik padaku bukan karna min kecil,tapi karena ada suatu hal yang membuat dia seperti ini "Apa kau bisu?!!! Yak!!! Min yoongi!! Bicaralah!!!!!" aku menutup laptopnya dari belakang Jennie POV END Sad Dia masih tidak menjawab meski jennie menutup laptopnya dengan kencang. "Apa kau bisu?!!! Yak!!! Min suga!!! Bicaralah!!!!!" teriak jennie yang dari tadi sudah geram dengan sikap suga yang diam saja Tanpa menjawab, suga langsung memeluk jennie erat dan menangis sekencang-kencangnya. Jennie mengusap air mata suga dan membalas pelukannya. Sebelumnya suga tidak pernah seperti ini apalagi sampai menangis, Seorang suga yang mengeluarkan air mata membuat jennie bertanya-tanya hal apa sampai bisa membuat suga menangis seperti ini. Pasti hal ini bukan main-main dan sangat serius bagi suga. Tapi apa? "Kau ini kenapa?" jennie sangat fokus dengan suga hingga ia menurunkan jiae dari gendongannya "Mama.. Hiks hiks.. Sayang,, mama..." lirih suga sampai memejamkan mata. Suga bukan orang yang lemah,tapi setiap kali menyebut kata mama pasti dia akan merasa bahwa dirinya telah banyak hutang pada mamanya yang telah merawatnya dari bayi sampai besar,sukses,dan memiliki istri cantik seperti jennie yang saat ini sedang mengandung cucunya "Kenapa dengan mama?" tanya jennie mulai ragu "Mama.. Jahat sekali!" kekeh suga "Yak! Kau ini apa-apaan? Kenapa kau setelah menangis lalu tertawa?" "Di.. Dia.. Meninggalkanku secepat ini. hiks hiks" jiae yang tau akan hal itu hanya diam dan memandangi wajah suga yang sedang menangis,meski jiae tidak tau apa yang sedang terjadi,tapi setidaknya dia mengerti bahwa orang menangis adalah orang yang sedang bersedih "Apa yang kau maksud? Jika kau kangen kan kita bisa berangkat kesana. Takperlu bertingkah seperti ini. Apalagi meluapkan masalah pada anak kecil" jennie memegang erat tangan suga,dan menciumnya "Mamaku sudah meninggal" suga menangis lagi,jennie memeluknya lagi dan membawa suga di pelukan dadanya "Ha?! Bagaimana ceritanya hiks" seketika air mata jennie juga menetes. Jennie mempererat pelukan suga. Jennie sangat prihatin dengan apa yang terjadi dan sangat mengerti apa yang suga rasakan saat ini "Jadi Begini ceritanya hiks hiks" suga masih menangis Flasback on Jadi,tadi pagi ia mendapat email dari pamam nya yang berisi--- 💬 Paman min geok joo Online Suga.. Apa kau sedang ada project? Tidak. Kenapa? Datanglah kesini memakai setelan hitam Apa ada yang meninggal? Tidak ada. Hanya pertemuan keluarga Maaf aku masih sibuk paman. Lagipula aku tidak bisa meninggalkan istriku yang sedang hamil,juga buruk baginya kalau bepergian yang jauh. Tapi ini pertemuan penting,Kau harus datang Alasanku juga sangat penting untuk kesehatan istriku Kau harus datang Maaf paman. Aku akan ke daegu saat anakku sudah lahir saja Yak! Kau ini keras kepala! Datanglah saja! Maaf. Aku tetap tidak bisa. Salam pada orang tuaku saja Mama mu meninggal Suga?? Maaf karena aku berbohong padamu jika aku menyuruhmu datang ke daegu karena pertemuan Dengan Terpaksa aku berkata sejujurnya. Karena jika tidak kau tak akan datang -- Seketika suga kaget akan informasi dari pamannya. Jangan kan membuka chatnya. Membacanya saja ia sudah tak tahan lagi. Seketika suga merasa bahwa nyawanya ikut menghilang bersama mama tercinta. Ia juga tak habis pikir kenapa mama meninggalkannya secepat ini Setelah menerima email dari paman nya. Ia membuka aplikasi untuk jual beli tiket. Dia mencari tiket kereta dari Gangnam menuju Daegu. Ia sangat frustasi karena tiket yang ia inginkan kosong. Karena menuju musim dingin,maka tiket transpotasi banyak yang dikosongkan. Jadi tidak salah jika dia membentak jiae,karena ia sangat bingung akan hal ini. Ia juga telah izin pada semua member bangtan dan agency karena tidak bisa ikut pertemuan malam nanti Untunglah ada penyelamat yang telah memesan tiket ke daegu 1bulan yang lalu untuk berlibur,tetapi liburan itu tidak terjadi karena ada masalah pribadi Taehyung Ya. Taehyung yang menjadi penyelamat. Jadi,saat suga izin kepada semua member dan agency walau hanya tetap dirumah tanpa ke daegu karena semua tiket kosong, taehyung memberitahu suga bahwa ia memiliki 4 tiket liburan ke daegu yang belum ia pakai,karena ada masalah keluarga. Akhirnya taehyung mengirimkan tiket ke kantor pos agar sampai pada rumah suga tepat waktu. --- 💬 Jin.Kim Online Kak.. Aku tidak bisa mengembalikan jiae saat ini. Aku tidak ada waktu. Maaf karena menyewa anakmu sementara Iya suga. Aku mengerti keadaanmu. Jika dia marah atau apapun telfon lah aku saja. Dia bisa tenang jika sudah mendengar suaraku Baik kak. Bilangkan juga ke jisoo agar dia tidak khawatir Aku sudah bilang padanya. Kau tak usah khawatir. Jaga jiae ku baik-baik. Dia tanggung jawabmu sekarang Baik kak --- Suga pun mengerti jika anggota bangtan tidak bisa datang karena menyelesaikan project baru lagu Anpanman. Juga karena tiket sedang kosong Flasback Off Suga hanya mengangguk dan jennie terus mengelus puncak kepala suga "Mungkin tuhan sayang pada mamamu,hingga ia dipanggil duluan" ucap jennie sambil menangis "Tidak,tuhan jahat pada mama,dia tidak mengijinkan mama untuk menggendong anakku nanti hiks" "Kau tidak boleh menyalahkan tuhan sayang,semuanya iti takdir.kita hanya bisa menerima" "Tapi.." jennie mempererat pelukan dan menciumnya agar suga lebih tenang,tapi itu tidak mungkin. Seorang anak yang sedang kehilangan seorang ibu manamungkin bisa tenang dengan sebatas ciuman atau pelukan dari sang istri,itu masih tidak cukup. Entah apa yang bisa membuat suga tenang jennie juga tidak tahu,jadi dia lebih memilih untuk memeluknya -skip "Ayo kita ke daegu. Sekarang" suga melepas pelukannya walau masih meneteskan air mata. "Kemasi barang-barang yang perlu saja" "Tap..tapi.. Kenapa secepat ini?" "Kau bilang secepat ini! Ini mamaku! Dan dia juga mertuamu! Kalau kamu tidak mau hadir dalam pemakamannya juga tidak masalah! Aku bisa kesana sendiri" jennie mungkin sudah tau jika dia tidak pernah menunggu waktu jika tentang mamanya,tapi jennie hanya bertanya. Selalu saja suga salah dalam menilai kata-katanya "Bukan begitu suga,kan kit-" jennie mencoba menjelaskan bahwa pergi kesana juga butuh persiapan,lagipula sekarang ini ada jiae "Sudah! Aku tidak butuh alasanmu" "Aku minta maaf,bagaimana dengan jiae?" "Kita bawa jiae kesana. Aku sudah bilang pada kakak jin" "Baiklah. Aku akan berkemas" jennie mulai berkemas dan menyiapkan segala sesuatu yang menurutnya penting -skip "Aku sudah mengemasi barang-barangnya" "Cita mau pelgi kemana mama jennie?" "Kau diam saja ya sayang. Kita cuman sebentar,Aku juga sudah ijin dengan orang tuamu. Kita akan ke daegu" jennie menenangkan jiae yang dari tadi hanya diam menatap dua insan yang sedang bersedih "Aku turut berduka sayang. Kukira kau ada masalah apa hingga marah pada jiae" jennie memeluk suaminya yang lemas karena informasi buruk pagi ini Ting tong ting tong Suga membuka pintu dan mendapati bapak tukang pos "Ada paketan buat tuan min suga" "Saya sendiri" "Silahkan tanda tangan disini sebagai penerimaan" Suga telah menandatangani dan menerima isi paket. Tentu saja ia sudah tau bahwa isi paket itu adalah tiket ke daegu Mereka pun berangkat ke daegu dengan pesawat no.18x8* Penerbangan yang sangat menyedihkan bukan? "Kuatkanlah aku tuhan untuk perjalanan ini"-suga "Semoga suamiku tabah dalam hal ini"-jennie "Kenapa kok papa cuga menangis. Padahal menangis untuk peyempuan"-jiae Penyesalan Suga POV Sangat sedih melihat banyak bunga menghiasi depan rumahku. Sangat sedu jika aku melangkah masuk. Sangat mencabik hati jika aku melihat wanita yang kusayangi mengehembuskan nafas terakhirnya tanpa mengungkapkan kata terakhir. Aku tidak bisa memaaafkan diriku sendiri karena jarang mengunjunginya dan hampir tidak pernah sejak menikah Aku berlari mencari mamaku tanpa mempedulikan jiae dan jennie yang juga sangat lelah dalam perjalanan. Buat taehyung,, aku sangat berterimakasih karena kau telah membantuku bisa bertemu ibu disaat terakhirnya. Aku mendapati hanya beberapa orang disana,karena sudah pulang setelah selesai melaksanakan upacara pemakaman "Suga.." rintih paman yang tidak percaya bahwa aku telah berdiri melihat mama yang tertidur nyenyak "Dasar! Kau enak-enakan tidur disitu. Sedangkan aku menangis sepanjang perjalanan. Dasar.." aku menangis. Jennie memelukku membuatku tegar "Sudah suga,tenangkanlah dirimu" "Aku turut berduka" ucap teman-teman dari mamaku yang telah menangis.aku ingin berteriak pada mereka bahwa mamaku masih hidup! Tapi kenyataannya mamaku telah terdiam untuk selama-lamanya. Sudah tidak ada lagi ramen buatannya,sudah tidak ada lagi pembela dan penyemangat darinya. Sudah tidak ada lagi pelukan darinya. Mama aku merindukanmu. Semua orang pasti ingin waktu kembali seperti dulu agar bisa memperbaiki hal negatif yang akan terjadi di masa mendatang,tapi semua itu tidak mungkin. Jika mungkin maka hal ini tidak patit dinamakan kehidupan,karena semua orang bisa merubah dan menetapkan apa yang mereka inginkan sesuka hatinya Kau tau? Papaku hanya diam menatap kosong "Pala! Kenapa kau diam! Mama kenapa!!" aku berteriak di depan papaku yang duduk dan hanya diam saja "Suga! Tenangkanlah dirimu" pamanku berdiri lalu memelukku "Kau membuat gadis kecilmu menangis" paman melihat jiae yang menangis karena melihatku "Dia bukan gadisku" jawabku singkat lalu pergi menuju kehadapan mama yang telah berwajah pucat,tapi kau tetap cantik dimataku ma "Ha?" pamanku bingung apa yang aku katakan,tentu saja . Sudah jelas bahwa aku mengatakan bahwa dia bukan putriku. Aku ingin menjelaskan bahwa jiae adalah anak dari temanku,tapi semua itu tidak mungkin. Aku hanya ingin menbahas tentang mama saja hari ini "Mama.. Kenapa kau pergi..hiks hiks.. Kembalilah... Katanya kau akan menggendong anakku.. Dan melihatnya lahir kedunia...Aku suga kecilmu.. Aku sudah membuatnya mama... Jennie sekarang mengandung anakku.Apa kau ingin melihatku terus-terusan menangis?.. Mama jawab!! Bangunlah!!!" aku sangat gila hari itu. Sudah jelas-jelas meski aku berteriak sekencang-kencangnya mamaku taakan pernah bangun. Aku anak tunggal dari keluarga ini,kasih sayang mama kepadaku tidak terbagi sedikitpun,makanya aku merasa kehilangan separuh nyawaku saat dia pergi. "Suga.. Tenangkanlah.. Ikhlaskan mamau pergi" ucap seorang wanita paruh baya yang notabenya teman ibuku Aku hanya diam Lalu jiae menghampiriku. Lebih tepatnya menghampiri mamaku "Mama..acu jie. Acu membawa bunga untukmu. Acu tau kayau encau ingin menjendong anak papa cuga,saat lahir nanti acu akan menjendongnya menjanticanmu. Acu cak penah beltemu denyanmu. Tapi acu tau wajahmu sangat mirip denyan papa, Papa cuga" "Sangat. Sangat mirip" guamamku. Aku jadi menangis lagi karena bocah itu. Dia ngomong sesuka hatinya,tapi niatnya berbicara membuatku tenang,makanya anak itu adalah segalanya. Apapun ucapannya visa membuat kita tersenyum walau di keadaan yang seperti ini. Jiae bukan anakku,tapi dia bisa membuatku tenang meski sebatas tersenyum mendengar ucapan lucunya. Semoga min kecil nanti sama seperti jiae yang slalu menenangkanku di saat yang seperti ini atau lebih parah dari ini "Ikhlaskan mama mu." kini papa ku yang sedari tadi diam sekarang bicara. Kukira aku memang sangat ditunggu dan menjadi orang pertama yang ia ajak bicara "Aku sudah mengikhlaskannya" aku berbohong. Karena aku tidak ingin menangis lama-lama karena mama tidak ingin aku menangis. Dan aku takut marah jika ia melihat aku menangis dan dia selalu berkata "kau tidak boleh menangis,dan tidak boleh membuat orang menangis" aku masih ingat kata-kata itu. Tapi aku melanggarnya saat aku tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan digemari banyak wanita hingga meteka menangis karena ingin memilikiku "Maafkan aku tak memberitahumu masalah ini sejak dulu" papa ku berusaha menjelaskan. Tapi sorry,aku gak minat "Aku tak akan memaafkanmu. Takusah kau jelaskan. Kau berbohong pada anakmu sendiri. Itu sebuah pengkhianatan" sentak suga yang menunduk Aku melihat mamaku dibawa oleh orang-orang yang aku ta tau namanya. Mereka memakai baju hitam-hitam. Mama ku akan segera di antar ke tempat istirahat terakhirnya. Yang kulakukan hanya diam dan menatap sendu pada orang yang meninggalkanku secepat ini. Inilah derita dunia "Semoga kau bahagia. Selamat karena kau akan menjadi ayah. Dasar! Ternyata kau bisa juga membuat anak" kekeh papa yang masih dihujani air mata dipipinya Aku tak menjawab dan langsung pergi "Suga!" papaku berteriak. Jennie dan jiae hanya memandangiku dan sepertinya ingin mencegah tapi mereka tidak bisa "Sayang... Kau jangan seperti itu pada papamu. Pergi dan bicaralah" jennie berusaha membuatku berbalik arah. Iti sangat tidak mungkin. Sebenarnya aku yidak ingin menyalahkan papa,tapi aku gak trima kalau papa tai tapi dia tidak menberitahuku apalagi ini soal mama Aku tak menjawab. Dan menggandeng tangan jennie menuju keluar rumah. Aku ingin pulang sekarang "Suga! Apa kau tak mendengar ucapan papamu?!!" papa ku berteriak. Dan baru kali ini dia berteriak sekencang ini Aku berbalik Membuat jennie lega "yang terakhir. Aku tak akan mau berbicara dengan orang yang berkhianat. Kau sekarang senabg karena tidak ada yang mengajakmu bertengkar" aku menekan semua kata-kata yang kuucapkan Memang sejak aku kecil mama dan papa ku sering bertengkar. Mama mendukungku,sedangkan pala selalu menentang apa yang aku suka. Itu yang membuat mereka bertengkar hampir setiap hari. Dan hari ini sampai nanti pertengkaran itu tidaka akan terjadi Dia berbohong. Iya dia berbohong karena tak pernah memberiku informasi tentang kesehatan eomma "Tetaplah disini" "Untuk apa!!!" aku membentaknya karena ku sudah sangat emosi "Jika kau marah padaku maka itu salah! Marahlah pada dirimu sendiri! Karena kau tak pernah mengunjungi mama mu. Karena kau sibuk! Ya sibuk membuat lagu dan segala aktivitas yang dari dulu kularang! Andai saja dulu kau menurut dan tetap menjadi petugas kantor di daegu,maka mamamu tidak akan sakit karena memikirkanmu" Aku hanya diam lalu menyadari apa yag dikatakan papa ku mungkin benar. Dan aku sangat shock saat itu. Ternyata ibuku meninggal karena aku tak pernah menengoknya,dan dia kangen. Tapi dia tiak ingin mengagguku "Kau ingat saat terakhir kita mengunjungimu? Aku mendapat informasi bahwa mamamu terkena kanker hati stadium akhir. Itu karenamu yang tak pernah perhatian ke mamamu!" Aku langsung ambruk karena mendengar pengakuan dari papaku. Kata 'mamamu terkena kanker hati stadium akhir' mengiang ngiang di telingaku hingga aku pingsan "Papa cuga!!" jiae langsung memelukku "Sayang..." lirih jennie yang langsung memelukku yang sedang ambruk lemas Ayahku langsung membantuku berdiri. Karena aku sangat shock,Aku menutup mataku,dan aku tak tau apa yang terjadi setelahnyam aku berharap menyusul mama,dan saat terbangun aku sudah ada didepan matanya Suga POV END "Sayang!!Bangunlah..hiks." "Suga.. Bangun suga.. Bangun.." "Papa cuga hiks.. Hiks.. Bangunlah.." "Bantu aku membawanya kedalam" papa suga menyuruh jennie untuk membantu suga masuk kedalam rumah -skip "Mama!!!!!!!!!!!!" suga berteriak. Ia terbangun dari tidur panjangnya selama 1 hari "Sayang... Kau sudah bangun rupanya. Aku lega" "Papa cuga.." jiae menuju suga saat tau suga bangun dari tidur panjangnya "Hiks.." suga meneteskan air mata "Sayang..." jennie memeluk suga untuk menenangkan "Ak-Aku pembunuhnya secara perlahan. Aku yang membuatnya meninggal. Aku yang membuat mama ku pergi untuk selamanya " rintih suga membuat jennie ikut merasakan penderitaan suaminya "Suga.. Kau tidak salah,kau tidak boleh menyebut dirimu sebagai pembunuh. Kau suamiku,kau adalah anak dari orang yang meninggal,kau adalah orang yang selalu sibuk dengan lagu. Bukan pembunuh." jennie memeluk suga. Membuat suga memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di dada jennie "Aku bisa apa? Aku memang orang yang sibuk dengan lagu! Aku benci lagu! Kalau akhirnya seperti ini aku tidak mau menjadi artis!Hiks hiks" suga menagis di dada jennie. Membuat baju di bagian dada jennie basah "Yak! Kau ini laki-laki! Kau juga suamiku! calon ayah min kecilku! kenapa kau terus-terus an menangis ha?! Kau tidak boleh benci dengan apa yang sudah terjadi. Semua ini adalah ujian tuhan agar kau sanggup menjalani hidup untuk kedepannya nanti. Apa dengan menangis eomma mu akan kembali?! Hiks.." jennie semakin memeluk suga tanpa memberi celah sedikitpun Suga hanya diam "Jika kau terus menangis maka kau akan menyiksaku dan anakmu hiks hiks.." jennie menangis. Lalu si kecil jiae memeluknya "Mama jennie.. Gaboye nanyis.. Papa cuga uga" jiae berusaha menenangkan jennie "Engga sayang. Mama jennie tidak menangis. Apa kau rindu pada mama dan papa mu?" jennie bertanya apakah si kecil yang sudah satu hari tidak mendengarkan suara dari eomma appa nya akan kangen? "Iya" jiae mengangguk Saat jennie ingin beranjak ingin mengambil ponsel,suga menahan tubuh jennie agar tetap memeluknya "Tetaplah disini. Aku ingin memelukmu" ucap suga sambil menggerakkan wajahnya yang masih di dada jennie menuju perut jennie lalu menciumnya. Jennie memaklumi hal itu karena suaminya sangat sedih hari ini "Min kecilku.. Maafkan ayah karena cengeng" suga memandangi perut jennie yang hampir buncit. senyum tipis suga akhirnya muncul setelah sekian lama diam Jennie tersenyum tipis lalu mengelus rambut hijau mint suga Jiae ikut tersenyum walau dia bukan keluarga atau pun teman mereka "Mama jennie. Acu inyin telpon mama jichu" "Nanti saja ya sayang. Papa suga masih butuh mama jennie disini" "Bagus" smirk suga "Dasar! Kau tak bisa hilangkan smirk busukmu itu? Bagaimana bisa disaat.. Ahh... Menyeb-" Cup! Jiae membelalakan matanya lalu pergi dengan wajah yang memerah setelah melihat suga mencium bibir jennie Jennie hanya melotot "Diam! Kenapa kau selalu menyebalkann saat bicara. Bawaanya jadi ingin menciummu saja " suga "Kau ini mudah berubah mood ya. Dasar! Kau membuat jiae lari. Bagaimana bisa tadi kau menangis seperti orang yang tak punya apa-apa selain dirimu sendiri,tapi.. Sekarang mendadak jadi suami cabul" jennie berusaha menyembunyikan pipi merahnya walau sudah berkali-kali ia dicium oleh suaminya tetapi tetap saja masih malu "Aku tak peduli. Kau bilang jika 'Apa dengan menangis mama mu akan kembali?!' jadi aku memutuskan untuk merubah moodku"suga memajukan wajah putihnya itu "Tapi tidak begitu juga" jennie mendorong wajah si cabul itu agar tidak menciumnya lagi "Ekhm ekhm" papa suga berdehem Suga dan jennie langsung melihat darimana deheman itu berasal "Pap- kau disana sudah lama?" tanya suga memastikan apakah ayahnya melihatnya saat berciuman dengan istrinya di hari sedih seperti ini "Sangat lama. Hingga menyaksikan anak kecil yang sedang lari karena melihat paman dan bibinya sedang berciuman." jawaban papa berhasil membuat pipi suga memerah sedangkan jennie hanya diam dan tentunya sangat malu "Apa kita bisa bicara?" sebelum suga menjawab ia sudah berbicara lagi "hanya berdua" "Aku permisi dulu" jennie berpamitan dan bertujuan mencari jiae. Dia mengerti bahwa papa ingin menjelaskan sesuatu pada suga Sedangkan suga bingung. Apa yang akan dikatakan papa pada dirinya? Kini hanya ada suga dan papa nya "Apa yang ingin kau bicarakan?" suga bertanya,tetapi ia sama sekali tidak minat pembicaraan ini. Dia berfikir bahwa meskipun 1000 penjelasan pun tak akan pernah membuat mamanya kembali "Apa kau pernah membuka salah satu surat dari wendy?" tanya papa suga Deg Tak terduga 1 minggu setelah kejadian mama suga meninggal... Kini suga sudah tidak sedih lagi. Ia rutin mengunjungi mama nya yang telah beristirahat panjang itu. Baginya menaruh bunga dan sujud didepan makam mama nya sudah cukup untuk bertemu dan meluapkan kesedihannya. "Sayang!!!" suga berteriak dari lantai bawah agar jennie bangun dari tidurnya. Kehamilan jennie membuat ia lumayan malas bangun pagi. Hingga semuanya suga yang membereskan "Hoamm..." jennie masih menguap. -skip Jennie POV "Selamat pagi istriku yang cantik.." "Dan.. Min kecilku.." ucap suga sembari mengecup perutku. Dia slalu saja membuatku meleleh "Morning kiss" kini aku yang minta Cup! "Kenapa tidak setiap hari saja kau yang minta. Kan aku jadi tidak bosan saat di rumah" "Juga tidak perlu menyewa jalang untuk teman adu mulut" kekeh suga "Apa kau bilang?!!" aku berteriak, aku sangat mudah emosi karena hamil mudaku. Bagaimana tidak kaget jika dia berbicara tentang menyewa jalang Aku memutuskan duduk di sofa menghadap TV tanpa melihat wajahnya. Cemburu? Tentu saja. Walaupun sangat tidak wajar jika cemburu pada jalang. Tapi tetap saja, jalang juga perempuan. Jadi wajar jika aku cemburu padanya.apalagi dia rutin untuk bertemu jalang,walau sekarang tidak "Sayang.." suga duduk disampingku Aku tak menjawab agar dia kapok berbicara tentang jalang "Apa kau cemburu?" suga masih saja bertanya. Padahal sudah jelas-jelas aku cemburu dengan swmua yang dia katakan Aku masih malas untuk mengeluarkan suaraku walau hanya 'hm' "Sayang..." suga mulai menggoyang-goyangkan tanganku "Pergilah kerja,Nanti kau akan telat. tidak usah pulang ke rumah kalau aku membuatmu bosan. Habiskan saja uangmu untuk menyewa jalang" aku berhasil membuatnya terdiam. Walau sebenarnya aku tak rela menyuruhnya seperti itu. "Kenapa kau berbicara seperti itu? Kan aku hanya bercanda" suga Aku tak menjawab "Bagaimana jika aku akan menuruti permintaanmu? Kau juga sangat membosankan bukan?" suga membuatku ingin menangis saja. Sungguh kehamilanku membuatku berubah menjadi kekanak-kanakan "Aku akan mengemasi barang-barangku lalu pulang ke orangtuaku" "Woah... Min kecilku membuat istriku menjadi sangat... Kekanak-kanakan" kekeh suga yang terus-terusan melihat wajahku. Benar,buktinya kau bisa menebakku yang sekarang menjadi kekanak-kanakan,tapi kenapa kau tetap saja menggodaku "Dia bukan anakmu" ucapku spontan "Woah.. Sekarang aku sangat kaget" kekeh suga "Apa aku kelihatan bercanda?" ucapku yang berhasil membuat dia melotot. Rasain ae "Yak! Kenap-kau- aish.. Jika dia bukan anakku lalu anak siapa Ha?! Jawab?!" kini suga sudah sangat bingung dan tentunya marah. Yes aku berhasil! "Tentu saja suamiku min suga" "Aish....." suga menunduk kesal "Apa kau takut jika ini bukan anakmu? Tenang saja,aku hanya bercinga dengan orang cabul sepertimu saja. Tidak yang lain" Suga tak menjawab dan langsung memelukku "Dasar! Seneng kamu ya buat aku gemetaran kaya gini. Seneng kamu buat aku kaget ha?! Ga lucu tau" ucap suga yang masih memeluk istrinya "Ututu Kau juga selalu membuatku begitu" aku menepuk-nepuk bahunya "Apa kau tidak berangkat kerja?" "Tapi aku masih ingin memelukmu" "Nanti malam kan bisa.. Saat tidur kau juga selalu memelukku. Apa masih belum puas?" tanyaku "Belum" "Kenapa?" "Karena kau sangat polos pas tidur haha" "Suga!!!! Awas saja kau!!" aku sangat kesal dan berusaha mengejarnya "Awas saja hehe aku pergi kerja dulu, dah sayang...Mwahhhh" dasar suami mesum! Untung saja aku sayang dan dia jago nggoyang Jennie POV END -skip Suga POV *Dorm Bangtan "Selamat pag- i" aku kaget karena hanya mendapati si cunguk jimin yang sedang tertidur di sofa "Woy!!!" suaraku berhasil membuat si cunguk bangun "Yak! Kak! Jangan bangunkan aku. Aku masih mengantuk" ucapnya sambil menutup telinganya dengan bantal "Astaga.. Ternyata kau lebih parah dariku ya?ini sudah jam 8 kau masih ingin next sleep?" "Dimana anak-anak bangtan?" Kini ia terduduk. Mungkin suaraku yang keras membuat ia bersemangat menjawab pertanyaanku hehe "Apa kakak lupa? Bukannya sekarang adalah hari bonus?" jimin menjelaskan seolah-olah ia yang mengerti semua hal Aku hanya bingung. Sejak kapan ada hari bonus? Dan aku juga tidak dikasih tau.. "Hari bonus?" kini aku menanyakan apa yang ada di fikiranku "Iya. Hari bonus. Apa kakak lupa bulan depan ada project baru? Maka dari itu kita diberi bonus day agar pasangan kita tidak kangen saat kita tinggal membuat project" Aku hanya mengangguk meng-iya kan penjelasan cunguk itu "Hari bonusnya sekarang?" "Gak. Taun depan" "Oh.." "Ya sekarang kak. Aishh kau menyebalkan" "Jika hari bonusnya sekarang,tapi kenapa kau tidak bertemu pasanganmu?" tanyaku Kini ia terpojok. Aku bisa menebak raut mukanya kenapa ia tidak merayakan bonus day "I-itu hyung. Kenapa kau tak pulang saja. Kau bisa seharian bersama istri polosmu itu" jimin ngeles. Ya aku tau "Apa kau baik-baik saja?" tanyaku. Padahal dari raut wajahnya sudah sangat jelas bahwa dia tidak baik-baik saja "Tentu" dia menjawab dengan senyum boongnya Aku duduk di samping jimin. Aku memegang bahunya "Kau tak bisa membohongi kakakmu yang sudah lama bersamamu" ucapku "Ap-apa yang kakak maksud?" dia bertanya seolah-olah ia tak tau "Jika kau tidak cerita bagaimana aku bisa bantu.." Kini jimin terlihat kebingungan untuk menjawab apa "Seul-seulgi.." "Iya. Kenapa seulgi?" nahkan. Pasti ada masalah "Aku putus dengannya" ia menunduk "Bagaimana bisa?!! Bukankah kau sudah ada niatan untuk bertunangan?" tanyaku yang sangat kaget. Aku mengira mereka akan langgeng dengan hobi dan aktivitas yang sama. Tapi ternyata perkiraanku salah "Aku ditunangkan orang tuaku" "Apa?! Bukankah mereka juga sudah setuju dengan seulgi?" jujur aku sangat kepo dan ingin menyelesaikannya "Tidak. Mereka mengira bahwa pacarku selama ini adalah wendy. Makanya mereka setuju" jimin hanya bisa menunduk "Ha?! Wendy??!" jujur aku sangat kaget,karena dia pernah jadi bagian hidupku "Aku tau kenapa juga sangat kaget. Itu karena wendy mantan teman kakak kan?" "Ah.. Bukan begitu,teman itu tidak boleh dikatakan mantan, Hanya saja kaget karena kau tidak jadi menikah dengan seulgi" jelasku "Sudahlah lupakan. Percuma saja aku memikirkan pernikahan dengan seulgi tapi ujung-ujungnya menikah dengan wendy" "Kau benar. Lupakan saja. Wendy dan seulgi sama enaknya. Tenang saja hehe, Hanya beda wajah" kekehku menghibur jimin. Jujur aku bukan orang penghibur,tapi saat ada yang sedih aku usahakan menghibur sekiranya cocok kepribadiannya "Hehe benar! Kau teman dan juga kakakku.makasih Karena sudah menghiburku" jimin memelukku. Baru kali ini si cunguk memelukku,Mungkin saat aku diposisinya aku juga akan begini "Tak usah berterimakasih. Aku tak membuat seulgi kembali padamu" "Apa kau ingin beer? Soju?" jimin menawariku "Kode-kode traktiran nih hehe" "Hari ini aku akan membayari semua yang kita makan" "Tak biasanya kau begini.." "Benar. Jika hanya ada kakak saja maka aku bisa membayari. Tapi jika semua member bangtan, dedeq ga kuat mentraktir para rakusan itu haha" "Dasar!" kekehku Aku dan jimin pergi menuju bar yang ada di arah selatan dari dorm. Bukannya aku memilih jimin daripada jennie untuk menghabiskan bonus day. Tapi aku hanya ingin menemani temanku yang sedang sedih sebentar saja. Karena dia sendiri,Dan yang lain tak ada yang mempedulikan jimin yang sedang ada masalah. Aku memaklumi semua member bangtan karena lebih memilih bonus day bersama pasangan,karena bonus day hanya didapat saat ada project baru saja. Aku dan jimin masuk ke bar. Tidak biasanya bar ini hanya di datangi beberapa orang "Kenapa sepi?" "Oh itu hyung. Ada Bar yang baru buka di depan stadion. Maka semuanya mencoba kesana" jimin menjelaskan "Apa kau tak ingin kesana? Rupanya sangat seru" aku mengajukan pertanyaan "Aku tak mau berdesak-desakan masuk hanya karena soju. Soju disana dan disini sama saja. Hanya saja beda tempat" dia meniru kata-kataku Jimin memesan minuman. Sebelum aku duduk,Sosok yang berdiri di depan bar tak asing lagi. Kayanya wanita itu akan masuk bar ini. Aku sangat kenal dia Dia istriku Kenapa dia kesini?? Aku membatalkan duduk. Dan menghampirinya. Karena dia istriku, Aku berhak memarahinya karena pergi ke bar Saat aku berjalan menghampirinya.. Tiba-tiba.... Ada seorang laki-laki yang menghampirinya lalu memeluk pinggangnya dari belakang dan mengecup bibir mungil istriku dari samping. Dan parahnya lagi jennie memberi senyuman dan membalas kecupan laki-laki itu Sial! Laki-laki itu Taehyung! Temanku sendiri! Beraninya!! Kini aku sudah dekat dengan sosok yang akan segera terkena amarahku "Bgst!" Taehyung dan jennie melotot karena melihatku "Kak, ak-aku bisa jelaskan" "Iya sayang.aku juga bisa jelaskan" Saat aku ingin menamparnya. Dan tanganku sudah mengayun.. "Tampar aku! Ayo tampar!" jennie berteriak "Sayangnya aku tidak bisa menampar wanita yang mengandung anak dari temanku sendiri" aku sangat shock.tapi aku berusaha menahan air mataku dan amarah ku,karena melihat semua kenyataan bahwa memang benar jennie menganfung anak tae walau itu bisa saja salah. Makanya dia berbaik hati padaku saat mamaku meninggal,itu semua dia lakukan mungkin karena jennie "Ak-aku tidak ada hubungan apa-apa dengan taehyung" jennie berusaha menjelaskan. "Iya kak" taehyung meng iyakan penjelasan jennie "Pelukan,kecupan,dan balasan apakah semua belum cukup untuk menjelaskan? Bukankah bonus day kali ini sangat sempurna untukmu?" cerocosku "Dan santai saja,aku bisa pastikan kau disini tanpa aku. Aku pamit ke daegu" sebenarnya aku takkuat mengatakan semua ini. Kenapa jennie setega itu? Apa memang hidupku di dunia hanya dipermainkan saja? Seketika aku langsung pergi dari hadapan mereka "Sayang.." "Kak suga! Aku minta maaf kak. Kak! berhenti kak!" Aku berjalan seperti memiliki sayap. Seperti terbang,karena sangat ringan. Seketika aku ingat kapan aku menikah dan kapan aku menaruh hatiku sepenuhnya kepada wanita yang sangat kucintai,Dan rasanya sangat berat. Kukira hanya jimin yang sedang bersedih, tapi aku memiliki berlipat-lipat kesedihan. Aku tak tau harus hidup bagaimana lagi setelah ini. Aku tak tau. Mungkin tuhan yang tau Aku sudah sangat hancur, Minggu kemarin ibuku meninggalkanku,Apa sekarang istriku juga? Suga POV END 0,01% Jennie POV "Yak! Apa kau kira hanya kau yang tersiksa?!! Aku juga hiks.. Hiks.." aku sudah tidak kuat bersandiwara lagi Suga tetap berjalan tanpa menoleh. Aku yakin jika aku diposisinya pasti akan begitu Para member bangtan,blackpink,dan beberapa member redvelvet berjajar di kanan dan kiriku berdiri. Kue ulang tahun sudah kupegang. Mereka yang membawa hadiahnya "Sayang!!! Hiks.. Sayang selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun" aku bernyanyi untuk ulang tahun suamiku. Aku merasa bersalah jika kejutan yang kami berikan membuat hati suga tersakiti Suga berhenti saat aku bernyanyi. Dari belakang kulihat dia sedang membuka sesuatu,aku tau itu pasti ponsel. Tapi saat ia selesai membuka ia langsung pergi Apa dia tidak mendengarkanku bernyanyi? Apa dia tidak berbalik dan terjaru karena dia baru saja mendapat kejutan Aku merasa bersalah. Bagaimana jika ia benar-benar pergi ke daegu? Dan bagaimana dia.. Aish.. Sial! Kenapa juga aku menuruti rencana teman-teman jika ujung-ujungnya aku yang malah merugi Aku sangat lemas "Kenapa kakak malah pergi?" tanya jimin "Iya. Ap-apa dia tidak mendengar jennie bernyanyi?" kini jisoo yang bertanya Semua kecewa,hanya aku yang hancur,ingin sekali mengejarnya. Tapi mungkin semuanya sudah terlambat "Jadi sia-sia kan?" taehyung mendengus kesal Aku pun melangkah maju lalu menghadap para pasangan-pasangan itu. Seketika mereka yang bingung dengan kepergian suga jadi diam "Selamat ulang tahun suamiku sayang hiks.. Aku mencintaimu.." air mataku turun lebih deras di atas kue ulang tahun yang telah menghabiskan tenagaku selama seharian untuk membuatnya Saat aku ingin meniup lilinnya.. "Tunggu! Bagaimana bisa kau meniup lilin di hari ulang tahunku?" aku bisa mendengar suara itu. Aku bisa mendengarnya. Dia sugaku Sontak para member menoleh kebelakang. Sedangkan posisiku berhadapan dengannya Para member tersenyum. Suga berlari menuju tempatku berdiri menghadapnya "Terimakasih sayang. Maaf karena membuatmu mengucapkan selamat 2 kali" aku hanya menunduk. Sedangkan dia mengecup keningku "Hore!!! Selamat ulangtahun kakak suga!!"suara para yeoja dari blackpink dan redvelvet untuk suamiku "Yak! Aku jadi iri pada kakak yang diucapin semua cewek cantik" gerutu jungkook "Kau ini.. Masih bisa saja.." kekeh jin "Selamat kak!" "Selamat suga!" "Selamat rapper!" "Selamat bang swag!" "Selamat ice boy!" "Selamat king cabul!" "Aish.. Terimakasih semuanya" -skip *dalam Bar "Btw kalian sangat jahat padaku. Sandiwara apa-apaan ini!" suga kesal "Hanya untuk kejutan" ucap namjoon santai "Huh!" suga menghentikan minumnya Posisi duduk kami membundar. Berjajar dengan pasangan masing-masing Aku masih terdiam. Aku tak enak dengan kejadian hari ini walau hanya sandiwara,tapi tetap saja aku menyesal karena membuat kejutan ini meskipun berhasil 100% "Untung saja aku tak menyebut talak" ucapan suga membuatku meneteskan air mata "Jennie, apa kau menangis?" tanya irene "Ah tidak" jawabku "Kau mengecup bibir istriku gila!!" suga menunjuk-nunjuk wajah taehyung "Kan hanya sandiwara" jawab tae santai "Hanya sandiwara apaan! Kau juga jim, aish.. Jadi semuanya sandiwara?" "Em..iya" jimin juga menjawab dengan santai "Jadi seulgi dan kau putus juga sandiwara?! Aish..!! Ah.. Mau pecah saja kepalaku" "Ap-apa?!! Kau bersandiwara bahwa aku dan kau putus?!!!" seulgi angkat bicara Jimin hanya mengangguk dengan senyum usilnya itu "Sudahlah. Hari ini kan hari bahagiaku. Jadi jangan buat aku kesal. Kita senang-senang saja. Hari ini semuanya gratis aku yang bayar" ucap suga "Asikkk" "Yuhuy..." "Tatak gentak jozz" "Tapi tadi saat jennie bernyanyi kenapa kau pergi?" tanya hoseok "Tidak. Saat dia bernyanyi selamat ulang tahun,Aku melihat tanggal di ponselku. Dan hari ini adalah ulang tahunku. Maka aku pergi hanya untuk mengerjai kalian yang telah mengerjaiku" "Tapi.. Sandiwara kalian sangat hebat. Hingga aku tak curiga 0,01% pun. Walau sampai sekarang aku masih marah saat adegan tae mencium jennieku" saat dia berkata 'jennieku' membuatku tersenyum Kini suga menolehku "Kenapa kau menangis?" "Ak-aku takut jika kau benar-benar meninggalkanku tadi,dan benar ke daegu" jawabku "Tadinya si begitu. Aku juga kaget kalau anakmu ini memang benar bukan anakku" "Yak! Hiks... Hiks..." aku menangis lagi karenanya "Anak? Apa jennie hamil??" tanya rose yang berhasil membuatku malu Suga mengangguk lalu memelukku dan mencium puncak kepalaku "Selamat ya.. Kalian.." "Semoga anak kalian generasi rapper masa depan wkwkkw" "Pinter juga buat anak wkwkwk" "Wkwkw gass ae, Tinggal nunggu anak kedua" ucap jungkook Jennie dan suga hanya diam "Selamat ya.. Dasar! Hari ini kebahagiaan suga dobel². Jaga kesehatanmu ya jen.." -tae "Tak usah sok peduli!" -suga "Kak... Jangan marah yang tadi.. Kan aku hanya bercanda" jawab tae "Apa ini bercanda?" Cup! Suga mengecup bibir irene spontan. Semuanya memandangi suga dan irene yang sedang melotot karena dicium oleh suga "Yak! Kak Suga!! Kenapa kau mencium pacarku?!! Aish... yak!!" taehyung langsung memeluk irene yang masih melotot karena dicium oleh suga "Hiks.. Hiks....Suami macam apa kau!" aku menangis lagi kan jadinya. Memang aku jadi lebih manja dan pencemburu setelah hamil,mungkin ini adalah bawaan bayi "Hahaha kalian sangat lucu.." joy dan jhope tertawa kencang karena melihatku,sedangkan lisa dan jungkook malah memperhatikan muka kesal tae dan muka kaget irene "Ngomong-ngomong bibir irene sangat manis" celetuk suga "Yak! Kak!!" taehyung mulai lagi kaya anak kecil "Terserah kau saja" aku takkuat dengan candaan ini,dan aku ingin pulang karena udah cukup sedih buat hari ini "Kan aku bercanda sayang" jawab suga santai "Hari ini ayo kita pesta!!" suga mengangkat gelas soju nya itu "Huuuuu!! Yeay!!" jawab mereka serempak sambil mengangkat gelas minumnya masing-masing. Hanya aku yang tidak mengangkat karena tidak minum disaat hamil "Aku benci padamu!kenapa kau mencium irene ha?! Kenapa?!!!" "Tadi kamu juga,untung aku masih sayang. Makasih sayang udah repot-repot buat drama yang ga jelas kaya gini. Juga kuenya makasih karena udah buatin dari pagi. Dasar! Pandai sekali buat aku hancur" "Hiks.. Hiks.. Aku terharu.." aku menbenamkan wajahku didada suga "Makasih semuanya sayang. Makasih min kecil" ucapnya sambil mengecup keningku Aku hanya mengangguk didalam dadanya Aku tak tau apa yang dilakukan anak-anak lainnya. Ada yang nyanyi-nyanyi, ada yang mabok, ada yang somvlak. Dan masih banyak lagi Jennie POV END "Aku tau. Jadi kalian juga menyewa bar ini? Gila!!!" teriak suga yang sangat kaget saat bar yang tadinya rame tiba-tiba sepi karena disewa oleh teman-temannya. Dan parahnya lagi pasti nyewa nya mahal banget,karena bar terkenal "Benar" "Terimakasih karena sudah repot-repot membuat kejutan gila padaku" senyum suga "Tak apa kak, Sekali-sekali membuatmu kaget" jawab jungkook "Ya. Selamat karena membuatku sangat kaget,untung saja aku tidak punya penyakit jantung" jawab suga "Mwehehe" "Kau tau Besok hari apa?" suga bertanya lagi "Apa?" semuanya kepo "Hari kematian untuk para anggota bangtan" tatapan suga sinis Mereka tersenyum sinis. 'ada-ada saja suamiku ini;) Selamat ulangtahun suamiku sayang,semoga kau menjadi suami yang paling berharga di dunia'-j 'Hari ini hari ulangtahunku yang paling ganass di sepanjang hidup,karena melibatkan orang yang kusayangi di dalam kejutan yang mereka buat. Sungguh sangat mengejutkan" Jelas "Sayang!!!Aku pulang!!" teriak suga Tak ada suara yang menjawabnya. Suga mencari keberadaan istrinya "Jennie!!. Sayang!!! Kau dimana?!" teriak suga 'Kalau jennie keluar rumah kan seharusnya bilang ke aku,juga pintu pasti terkunci. Mungkin mandi,tapi tadi dia kan sudah mandi' ucap suga dlm hati Suga menuju lantai 2,Mungkin istrinya ada dikamar. Ia mendapati pintu kamarnya tertutup,masa jennie tidur lagi.. Jennie POV Tok tok "Sayang.. Apa kau di dalam?" lagi-lagi suara suga yang kudengar. Aku kesal untuk membuka. Entahlah kenapa banyak sekali ujian yang kudapat setelah menikah dengannya "Sayang..." Jgrek jgrek jgrek "Apa kau mengunci dari dalam? Apa kau mandi? Sayang... Jawab.." "Pergilah" aku menangis "Loh,Ko nyuruh aku pergi? Kamu kenapa? Buka pintunya sayang...." "Aku tak ingin bertemu denganmu" "Kau kenapa? Aku salah apa? Bukain pintunya sayang..." aku tau bahwa suga memaksa membuka pintunya. Percuma saja karena ku kunci dan aku tak ingin membukanya "Pergilah hiks..hiks.." entahlah aku tak ingin melihatnya, Dia membuatku lemas di jalanan "Sayang!! Kamu kenapa?!! Aku salah apa?!! Kalau ga kamu buka aku dobrak pintunya!" oh tidak,Sebelum bahunya terluka karena mendobrak pintu aku buka saja,jujur aku masih sangat peduli padanya dan aku tidak ingin dia sakit atau terluka Aku membuka pintu, Aku mendapati wajah suamiku yang sangat khawatir. dan benar,dia langsung memelukku. Aku langsung melepas pelukan itu tentu saja dia kaget. Karena biasanya aku yang tak ingin dilepas olehnya. Tapi sekarang GAK "Ap-apa kau barusan melepas pelukan dari suamimu?" aku tau kalau dia kecewa. Wajah putihnya tak bisa membohongiku. Tolong.. Beri aku kekuatan untuk menahan semuanya "Kau kemana saja baru pulang? Sudah 2 jam kau keluar. Kau kemana? Katanya sebentar" ucapku lalu pergi meninggalkannya "Kau belum menjawab pertanyaanku!" "Kau juga belum menjawab pertanyaanku suga!" aku balik membentaknya Dia menghampiriku lalu memelukku "Kau kenapa?" sudah jelas aku kenapa-kenapa tapi dia masih saja nanya. Dia selalu membuatku merasa bahwa selama ini hanya aku yang mencintainya,tapi bukan dia yang mencintaiku Aku melepas pelukannya lalu pergi ke lantai bawah "Sayang!" -skip Aku menghiraukannya dengan menonton TV. dia menghampiriku "Kenapa kau jadi begini?! Kenapa kau tiba-tiba mendiamiku ha?!" Aku masih fokus pada TV walau telingaku terus saja mendengar penjelasannya "Hiks..hiks.." aku sudah takkuat lagi menahan air mata yang terbendung saat melihat wajahnya dekat denganku "Semua ini gara-gara kau!" aku memukul-mukuli perutku yang berisi min kecil. "Hei! Kau kenapa memukul perutmu!!" tangan kekarnya meremas tanganku lalu dia mengarahkan tanganku pada bibirnya,Dia mencium tanganku lalu memelukku paksa walau aku selalu menolak,kau tidak tau apa yang aku rasakan suga "Kau yang membuat perutku buncit! Pas udah buncit kaya gini kamu mau ninggalin aku hiks hiks.. Aku benci kamu! Hiks.." jujur aku hilang kendali, Semua tubuhku lemas. Kini suga yang mengendalikanku didalam pelukannya "Kau ini kenapa? Tentu saja perutmu makin buncit kan kau mengandung anakku. Ninggalin apa coba? Mana mungkin aku ninggalin" Dia malah tersenyum padaku saat seperti ini. Ini ga bercanda "Hiks.." "Ah.. Jangan menangis tau. Tapi Makin lucu jika kau menangis sambil bergulung-gulung dilantai haha" dia malah menertawaiku sorry aku ga nglucu "Saat aku mengambil cucian di laundry aku sekilas melihatmu,apa yang kau lakukan di cafe? Kenapa kau bertemu hiks.. Wen..hiks wendy...ha?!! Lalu kenapa kau mau berpelukan dengannya! Kau sudah punya istri suga!! Hiks hiks.. Apa kau mau memilih wendy daripada aku?! Apa karna perutku udah buncit? hwaaa... dan ga sexy kaya dulu lagi?! Jawab sayang!! Jawab!!! Hiks.." "Aku bisa jelasin" "Kekanak-kanakan sekali hm.." ia malah tersenyum padaku dan memelukku semakin lembut. Entahlah kali ini kubiarkan TV yang menontonku Aku hanya diam menahan tangisku. Apa benar dia akan meninggalkanku? Ah.. Aku sangat kacau. Kenapa ada saja masalah yang datang.. "Kau lucu sekali. Apa kau cemburu? Dasar gendut!" Aku memilih untuk diam. Karena jika aku berusaha menjawab ucapannya maka bukan hanya mulutku yang menjawab. Tapi juga air mataku "Lah malah diem lagi.." "Min kecil... Lihatlah wajah mama mu sangat kusut,jelek sekali haha" ucapnya sambil mengelus-elus perutku "Kenapa kau mengelus-ngelus perutku! Elus saja perut wendy sana" "Tanpa kau suruh pun aku sudah mengelus-elus perutnya tadi" "Yasudah sana" "Apa kau secemburu itu pada wendy? Aku tak akan meninggalkanmu walau perutmu buncit jadi tenang saja. Karena aku main dibawah dan diatas,Bukan di perut" dasar mesum! Di saat seperti ini masih saja mempunyai fikiran semacam itu "Mesum!" aku pergi meninggalkannya walau aku sangat ingin mencubit pipinya "Jangan pergi! Aku akan jelasin yang tadi!" teriak suga. Aku yakin,sedingin-dinginnya dia,Tapi kalau punya masalah denganku pasti dia yang selalu mengalah. Aku suka itu.dan dia mau menjelaskannya Aku berhenti berjalan. Lalu kembali duduk disebelahnya. Dia berpindah posisi,ia meletakkan kepalanya di pahaku lalu menciumi perutku. Sangat geli "Jadi begini.... Jennie POV END Flasback on Suga POV "Apa kau sudah menunggu lama?" tanyaku pada seorang wanita yang sedang duduk di dalam coffe shop "Sangat lama. Aku menunggu di cafe ini sejak tadi. Dasar! Kau masih sama seperti yang dulu,selalu telat dan menyebalkan" ucap wanita itu sembari meneguk mochalatte yang ia pesan lama sebelum aku datang "Maafkan aku. Aku masih sibuk dengan istriku yang minta ini itu" jawabku yang langsung duduk di depannya "Minta ini itu? Dia sedang hamil?" tanya wanita yang mungkin gugup karena bertatapan muka denganku setelah sekian lama. Tapi aku tau bahwa dia sedang memaksakan diri untuk tidak deg-deg an Aku hanya mengangguk dan menatap wajahnya "Berapa bulan?" wanita itu bertanya lagi. Ia ingin tau lebih banyak lagi tentangku setelah sekian lama tidak bertemu "3 bulan" "Selamat" ucap wendy lalu berdiri memelukku "Ya makasih,kalau kau mau,kau bisa saja bertemu dengannya. Tapi hati-hati bahwa dia sedikit sensitif karena kehamilannya" "Baiklah langsung saja aku tak ingin lama-lama. Langsung intinya saja" aku berusaha memepercepat pertemuan ini "Kukira kau hanya membenciku saja, tetapi kau juga melewatkan semua tentangku. Hingga kau lupa membaca suratku,jangankan membaca.. Mungkin mendengar kalimat 'ini surat dari wendy' kau langsung membuang suratku" "Aku tidak membuangnya" "Lalu kau apakan surat dariku?" dia mulai geram "Ku koleksi" jawabku singkat "Apa katamu?!" "Apa kau tak dengar jika barusan aku bilang kalau aku mengoleksi suratmu?" "Aish.." air matanya mulai menetes "Sudahlah cepat ceritakan apa yang sebenarnya terjadi" "Baiklah.. Jadi begini... Setiap aku mengirim surat padamu,semua isinya adalah surat dari ibumu." Aku sangat bingung dengan apa yang dikatakan "Mama mu memiliki penyakit yang fatal di sembuhkan. Dan dia sudah mengidap penyakit itu selama bertahun-tahun. Saat kau masih kecil" Aku mulai merasakan mataku memanas jika dia membahas soal mama,apalagi saat ia sakit "I-ini apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mengerti.. Apa hubungan mama dengan suratmu?" aku memang benar-benar tidak mengerti "Kau tak usah gemetaran seperti ini" Dia memegang tanganku yang bergetar,aku berusaha tenang "Apa kau mau minum?" dia megalihkan pembicaraan agar aku tidak gemetaran terus "Tidak" sungguh aku tidak ingin minta apa-apa,aku hanya ingin penjelasan "lanjutkan ceritamu" "Kau sangat sibuk dengan pekerjaanmu. Jadi mama mu memutuskan menyembunyikan penyakitnya selama ini agar kau tidak khawatir" Aku mulai lemas. Jelas-jelas aku yang lupa kewajibanku sebagai anak untuk merawat mama "Dia selalu menulis surat untukmu.tapi dia menyuruhku untuk memasukkan suratnya kedalam amplop ku agar kau tidak terlalu terbebani untuk membaca" "Maksudnya?" aku masih tidak paham "Ya.. Kalau kau dapat surat dariku kau pasti membacanya saat punya waktu luang,tapi jika itu surat dari mama mu maka kau akan langsung membacanya,sebab itu mama takmau kau membuang waktu kerjamu untuk membaca surat darinya" dia mulai menjelaskan lagi Aku menunduk "Aku merasa bersalah bercerita ini padamu. Tapi mau bagaimana lagi. Karena nyawa adalah titipan yang kuasa,Jadi tidak menutup kemungkinan kalau orang yang kita sayangi pergi secepat ini" Aku hanya mengangguk menyesali perbuatanku selama ini. Kalau tau mama sakit seperti ini maka aku akan sering-sering pulang ke daegu. Tapi nyatanya mama takmau cerita agar aku tidak khawatir. Memang aku pesibuk berat,tapi untuk orang yang kusayang aku berani memberikan semua kesibukanku padanya terutama mama Flasback off Hanya itu obrolanku dengan wendy" jelasku pada jennie "Benarkah? Kau tidak membohongiku kan?" jennie mengelus-elus rambutku yang bersandar di paha mulusnya itu Aku hanya mengangguk lalu memeluk perut buncitnya itu "Kalau begitu aku minta maaf sayang. Aku terbawa emosi saat aku tau kau bertemu dengan wendy diam-diam" "Aku mengerti kalau kehamilanmu mengendalikanmu. Maafkan aku yang membuat perutmu buncit" "Makanya kau jangan tinggalkan aku! Tunggu sampai min kecil lahir lalu kau akan melihat perut rata ku lagi" jennie berusaha membuatku tersenyum "Dasar! Ternyata kau juga suka saat aku melihat perut ratamu" "Tentu saja,meski kehamilanku sudah 3 bulan tapi aku masih ingin bermanja denganmu" "Benarkah?" Jennie hanya mengangguk tersenyum tipis "Aku boleh memainkan sekarang? Karena malam ini aku tidak ingin minum kopi. Tapi ingin minum susu" aku berusaha menanggapinya agar tertawa malam ini walau sebenarnya aku sangat tidak mood untuk bermanja dengannya saat ini Jennie hanya mengangguk lalu mencium pipiku sekilas dan tidur di pundakku Suga POV END 'Maafkan aku jennie,aku tidak bisa menceritakan lanjutannya,karena aku takut kamu malah sedih.karena wendy mencoba bercerita tentang masa lalu yang membuatku tidak bisa tidur malam ini. Tapi wendy adalah masa lalu dan kau adalah masa depanku' ucap suga dalam hati sambil mengelus kepala jennie yang bersandar di pundaknya Sangat lama Wendy POV "ini semua salahku karena tidak membaca surat darimu" Memang suga sangat menyesal saat semua ini telah terjadi. Sibuk memang bisa menjadi hal yang baik bagi kita tapi bisa saja sebaliknya "Bukan salahmu. Ini juga karena salahku" aku mengaku salah "Kenapa salahmu?" dia bertanya tapi aku tidak mungkin memberitahunya "Lupakan" entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes "Kenapa kau menangis?" dia mengusap air mataku. Membuatku semakin menangis "Hiks..Hiks.." "Apa kau tidak malu?? Ini cafe,bukan rumahmu" Aku hanya diam,hanya itu yang ku lakukan karena semuanya terasa berat untuk diucapkan "Seharusnya yang menangis itu aku. Bukan kamu,karena kesalahanku yang terlalu mengabaikan surat darimu yang padahal isinya adalah surat dari mamaku" Ya memang sebenarnya sugalah yang seharusnya menangis karena pengakuan ini,tapi aku juga ingin pengakuan tentang mama suga bersamaan dengan pengakuan perasaanku selama ini. Aku mengira bahwa semua itu tidak penting diucapkan,tapi harus sampai kapan aku membohongi perasaanku sendiri,bukan 1 tahun atau 2 tahun rahasia ini kusimpan rapat-rapat tapi 6 tahun "Kau tau? Jika ada seorang wanita yang menangis di depan seorang laki-laki,maka laki-laki itu sangat keterlaluan" tegasku "Kau sekarang sedang menangis didepanku. Apa aku keterlaluan?" Aku hanya mengangguk lalu kembali menangis sambil meremas kain yang menutupi pahaku "Wen.. Kenapa kau terus menangis?" "Kenapa kau tak pernah mencari tau apa yang terjadi ha?! Kenapa kau selalu melihat ke depan tanpa tau apa yang terjadi di belakang.Kenapa kau tak pernah mau mencari tau!! Kenapa!! Kenapa!!!" aku berteriak,untung saja cafe lumayan sepi karena hari sudah mulai larut "Wen..... Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau berbicara seperti itu?" suga memang tak paham apa yang aku jelaskan,Tolonglah.. Setidaknya paham lah sedikit.. "Hiks hiks hiks 6 tahun suga.. Itu ga sebentar" aku memeluk suga. Setidaknya hal itu membuatku tenang. Kini suga mengelus rambut panjangku. Jujur,sekarang ini aku tak ingin mengalah lagi dari jennie. Aku ingin seperti ini lagi sampai nanti "Sudah.. Kau terlalu berlebihan hari ini. 6 tahun apa? Kau kenapa?" "Jika aku berleb-hiks...hiks..." aku takuat bicara lagi. Aku sungguh sangat kangen dengan suga. Aku ingin terus di pelukannya. Tuhan.. Bantulah aku agar slalu disisinya. Aku sangat menyayanginya tuhan.. "Kau belum jawab pertanyaanku. 6 tahun apa?" dia terus saja mengelus rambutku "Hiks..hiks..huaaa!!!!" aku semakin menangis Suga melepas pelukannya "Kenapa kau lepas?! Aku masih ingin kau peluk?!! Kenapa kau selalu sepert-mmph" Suga menciumku "Sial" ucapku Aku jadi teringat saat dulu. Setiap kali aku marah atau sedih dia pasti menciumku spontan agar aku tidak menangis lebar "Udah kan? Diem Sekarang jelasin apa yang terjadi?" Aku menunduk sejuta alasan "Ceritalah.." Aku masih diam. Suga memegang tanganku memberiku kekuatan untuk mengucapkan sesuatu "ayo ceritalah padaku" "Jadi begini, dulu aku dan jennie adalah sahabat dekat saat SMA. Dan kami menyukai orang yang sama itu karena kesalahanku yang telah mengenalkan dia pada jennie" aku meneteskan air mata lagi. Sungguh sangat berat mengucapkan ini didepan orang yang aku sayangi "Apakah vernon kakak senior basket?" tanya suga. "Orang yang kami sukai ada di depanku" air mataku sangat deras. Sungguh aku tak percaya,selama 6 tahun aku menyembunyikan perasaanku dan baru kali ini aku mengungkapkan semua rahasiaku. Aku tak peduli setelah ini dia akan menghindar dariku atau tidak yang pasti aku sudah mengungkapkan Suga melotot. Ya dia tentu sangat kaget karena selama ini dia telah menjadikanku tempat curhatannya yang berisi JENNIE,karena hanya aku yang bisa menyimpan rahasianya. Dan aku yang telah mengenalkannya. Kukira perkenalan mereka hanya sebatas pertemanan tanpa lebih. Tapi semua salah,pada dasarnya wanita cantik akan selalu menang daripada wanita biasa yang menyimpan rasa yang sangat dalam "Tap-tapi.. Ken-kenapa? Kenapa kau tidak bilang?!!Kenapa?!!" suga meneteskan air mata dan sangat bingunh,merasa bersalah atas semua ini. Dia benar-benar tidak tau bahwa wendy juga mencintainya "Maaf aku harus pergi. Permisi" ucapku "Wen.. Jangan pergi.Aku gatau kalau km suka sama aku. Aku sungguh minta maaf wen!!" suga berteriak tetapi aku sudah berlari keluar dari cafe lalu pergi dengan mobil berkecepatan tinggi. Aku tidak ingin mendengarkan apapun alasan yang akan kau berikan suga,karena itu percuma saja. Semua penjelasan ini tidak akan merubah status kita sebagai teman wendy POV END Ngidam Bulan ketujuh kehamilan jennie 23.08 "Sayang...." lirih jennie Suga terbangun "Kau tidak tidur hm?" "Aku ingin melihat wajah taehyung" ucap jennie sambil mengelus-elus perutnya yang makin lama makin bengkak "Ini sudah malam,Lagian aish.. Kenap- aish.. Kenapa kau ngidam wajah si kunyuk mesum itu ha?!" suga benar-benar tak mengerti maksud bayinya. Masih dalam rahim aja sudah minta aneh-aneh apalagi ntar kalo lahir. "Ini bukan aku yang mau loh. Tapi min kecil,sungguh tuh.. Kan dia nendang-nendang sayang... Perutku jadi sakit semua" "Aish.. Kau ini kenapa tidak minta yang lain saja" jujur suga kesal. Ia sangat ngantuk hari ini karena bekerja sangat larut "Apa kau cemburu karena bayimu lebih memilih melihat wajah taehyung daripada wajah brengsek papa nya" kekeh jennie "Hei! Hentikan!" "Masalahnya.. Aish.. Si kunyuk itu sekarang hadir di pesta pernikahan saudaranya. "Coba telpon sayang... Ayolah" rengek jennie. Suga tidak menolak permintaan jennie orang yang sangat ia cintai,apalagi min kecilnya. Apapun akan dia lakukan Suga menelpon tae. Tapi apa jawabannya? (Maaf nomor yang anda tuju sedang sibuk) Dasar tae tai -suga "Tuhkan. Dia pasti sibuk" "Kalau begitu jemput dia. Aku gamau tau! Pokonya aku harus melihat wajah tae" jennie menggerutu "Wah wah wah ngidam model apa ini... Kenapa harus ngidam wajah kunyuk itu ha? Apa min kecil kita tidak ingin yang lain saja, makananlah,minumanlah,atau ingin pergi kemana gitu.Asalkan jangan orang. Apalagi laki-laki" tegas suga "Yang hamil ini aku, Kau yang membuatku seperti ini. Lagian aku tidak pernah minta apa-apa. Baru kali ini aku ngidam" Cerocos jennie "Ya.. Tapi ini sudah malam,lagipula sangat mengganggu jika aku benar-benar menyuruh tae kesini hanya untuk dilihat wajahnya" "Sayang..Apa kau ingin min kecilmu ileran sampe gedhe gegara ga liat wajah si tae? Kau tau perutku sudah sangat sakit ditendangi min kecilmu ini daritadi" ucap jennie sambil menahan sakit dibagian perutnya Melihat istrinya yang kesakitan karena berkali-kali ditendang oleh min kecilnya, ia menuruti permintaan jennie. Walau permintaannya membuat dia was-was,meskipun dia sempat tak percaya kalau ngidam itu tidak hanya makanan atau minuman dan barang saja,tapi juga orang. Apa boleh buat jika yang diinginkan jennnie untuk min kecilnya "Mm.. Baiklah. Tapi ingat,tidak ada elusan di pipi tae,dan tidak ada kecupan atau apalah-apalah seperti yang kau lakukan saat mengerjaiku di hari ulangtahunku" tegas suga "Siap" senyum lebar jennie terlihat saat suga ingin menuruti permintaannya "Untung saja tae belum menikah. Jadi jika aku mengganggunya,irene tidak akan marah" "Ah.. Sudahlah cepat pergilah..perutku sangat sakit ingin melihat wajah taehyung. Benarkan min kecil??" ucap jennie sembari mengelus perutnya Suga berdiri lalu mengambil jaket "Aku pergi dulu.." suga kesal. Sangat berat untuk pergi dari rumah dan mengehentikan tidurnya "Hati-hati ya sayang. Aku akan menunggumu kembali,dah sayang..Aku mencintaimu" "Aish.. Manis sekali kau ini Dah aku pergi dulu" cengir suga "Dah.." -skip Suga POV Sepi Apa acara pesta pernikahannya sudah berakhir? Aku berjalan masuk kedalam hotel acara resepsi saudara taehyung. Tentu saja aku langsung menuju kesana. Karena bulan kemarin taehyung mengundangku agar datang ke acara ini,tapi sayangnya aku tak kenal dengan saudara taehyung,makanya aku tak datang Aku menelpon taehyung lagi Tiba-tiba.. "Kak! Kau datang? Acaranya sudah selesai tadi" Tae. Iya itu taehyung "Untung saja kau masih ada disini. Aku membutuhkanmu" "Tunggulah didepan kak. Aku ambil laptopku dulu" Aku mengangguk. Lalu keluar dari hotel itu -skip "Kau butuh apa kak?" "Itu tae... Kita masuk ke mobil saja" "Oke" Aku dan tae masuk mobil "Apa kau mau menyetirnya?" aku sangat mengantuk "Aku takut menyetir mobil mewah milikmu" tae tersenyum tipis "Mewah apanya?! Kau tau aku sangat mengantuk, Jadi setirlah" ucapku lalu berganti posisi duduk dengan tae "Baiklah" Kini tae yang menyetir "Katanya acaranya sudah selesai. Tapi kenapa kau masih di hotel ini?" tanyaku "Kebetulan anak sang pemilik hotel adalah teman lamaku. Jadi aku berbincang-bincang sedikit dengannya tadi" "Apa dia cewek?" tanyaku walau dengan mata terpejam menikmati empuknya kursi mobilku Tae hanya mengangguk tanpa melihatku. Aku tau dia fokus menyetir walau jalan sepi. Ya.. Dia fokus karena menurutnya ia harus sangat hati-hati jika menyetir mobil mewah milikku "Apa irene tau kalau kau sedang berduaan dengannya malam-malam seperti ini?" tanyaku spontan yang berusaha memojokkan kunyuk satu ini "M.. Rumah kakak belok kiri kan?" taehyung mengeles pembicaraan. Ya aku tau "Wah.. Apa kau lupa rumahku?" "M.. Tidak juga" jawabnya "Apa.. Irene tau.. Kalau kau.. Ber-" "Kak! Aku tau kalau kau sangat pandai memojokkan orang. Tapi saat ini jangan aku yang jadi korban" taehyung berkali-kali mempoutkan bibirnya. Kalau saja dia perempuan,Maka sudah dari tadi aku melahap bibirnya wkwk "Hehe aku hanya bercanda" kekehku "Tapi kenapa kau mengajakku ke rumahmu? Aish.. Apa kau menyuruhku untuk menjadi supirmu karena kau mengantuk?" dia seperti anak kecil yang selalu menduga-duga hal yang tak masuk akal "Berisik,diamlah. Nanti kau akan tau sendiri kenapa aku membawamu kerumahku" "Baiklah. Aku sangat penasaran dengan hal itu" -skip "Sayang... Aku pulang..." teriakku Taehyung hanya diam mengekorku dibelakang Aku dan tae naik ke lantai 2 menggunakan lift- ga deng tangga:v Aku membuka pintu kamar "Sayang.." "Hmm??" ucap jennie sambil mengucek-ngucek matanya "Tae.. Apa itu kau tae?kemarilah.." "Mm-maksudnya? Kau kenapa jen?" jelas taehyung bingung kenapa jennie memanggil namanya dan menyuruhnya mendekat "Pergilah padanya" suruhku "Tap-tapi ini kenapa? Ada apa?" tae ini super duper penannya terbaik di dunia "Kau bisa lihat kan kalau perut jennie sudah hampir meledak,Dia sedang ngidam wajahmu" jawabku "Ha? Kenapa ha-" "Sudahlah masuklah" potongku Akhirnya taehyung maju kearah jennie "Liatlah wajah pamanmu. Kau ingin melihat ini kan?" ucap jennie sambil mengelus-elus perutnya,tae hanya tersenyum saja saat melihat min kecil sudah semakin besar Yup. Aku hanya diam melihat tae dan jennie "Mendekatlah tae" ucap jennie 'Jangan mendekat' -batinku Tae mendekat "Apa kau tak ingin mengelus perutku? Aku ingin kalau dia lahir dia mirip sepertimu" ucap jennie "Manamungkin anak kita akan mirip tae?! Kan aku papa nya" gerutuku. Tentu saja aku tak trima "Aku tak ingin dia punya wajah datar sepertimu" kekeh jennie 'Sat! Untung istri sendiri:)' Tae hanya tersenyum. Lalu tae mengelus perut jennie. Asw gw ga trima nying "Apa aku boleh menyentuh wajahmu tae?" ucap jennie pada taehyung Tae hanya mengangguk. Lalu jennie menangkupkan tangannya ke pipi taehyung. Kulihat jennie tersenyum lebar saat bertatapan dengan tae. Iye" aku tau kalau kalian pernah deketan. Tapi kan sekarang gw suaminya:) 'Asw bat' Yes. Aku cuman bisa diem ngliat mereka berdua begituan. Untung jennie ngidam,buka beneran "Tae, apa kau mau mencium perutku?" "Cukup!! Ngidam macam apa ini! Aish.. " aku menghampiri mereka setelah sekian lama berdiri di tengah pintu Tae menertawaiku saat melihatku kesal abis-abisan karena adegan unfaedah "Tae.. Bukankah ini sudah sangat malam. Pasti orang tuamu mencarimu kan? Aku akan mengantarmu pulang" aku menyuruh tae pulang. Ga salah kan? "Baiklah" kekeh tae "Tae belum mencium perutku!" gerutu jennie "Cium saja sendiri sana" ucapku lalu membawa taehyung keluar dari rumah "Kembalikan tae!" Tae tertawa lebar karena jennie berteriak seolah-olah tae adalah barang yang kupinjam dan ingin kubawa pergi wkwk 'Kembalikan apanya coba?' -skip "Maafkan jennie,karena ngidam yang sangat aneh. Jadi dia memintamu yang bukan-bukan. Aku minta maaf jika membawamu malam-malam begini karena hal yang unfaedah ini,juga Makasih karena kau mau membantuku" ucapku lalu memeluk tae "Ah.. Tidak apa-apa kak. Lagian aku lumayan suka dengan permintaanya" kekeh tae "Kau ini!" aku memukul kepala tae "Ahkk" tae mengelus-elus puncak kepalanya setelah ditimpuk suga "Ayo" ucapku mengajaknya masuk ke mobil " Aku bisa pulang sendiri,Aku juga sudah pesan GRAB. Aku takut jika jennie kenapa-kenapa karena permintaanya belum tuntas. Jaga dia kak, Kasian jika kau meninggalkannya walau hanya satu menit saja,karena perut jennie sudah semakin bengkak. Ingatlah.. Dia bengkak karena ulahmu haha" jelas tae "Wah. Kau semakin dewasa saja. Terimakasih sarannya" "Tapi apa kau tidak papa jika tidak kuantar? Aku sangat tidak enak jika tidak mengantarmu" "Aku ini sudah besar dan akan menikah. Aku bisa jaga diri kok" "Benarkah?" "Iya. Tenang saja. Cepat kembalilah ke kamar,mungkin saja jennie membutuhkanmu" Aku hanya tersenyum tipis "Aku pulang dulu kak karena grabku sudah datang" tae melambaikan tangan padaku dan menuju mobil chevrolet berwarna hitam (pak grab) Aku membalas lambaiannya -skip Aku masuk kedalam rumah lalu Kembali ke kamar tanpa bicara,Aku melakukan ini untuk mengetest jennie. Aku mengambil bantal dan selimut "Kau mau bawa bantal itu kemana?" tanya jennie yang langsung bangun. Aku kasian,karena perutnya semakin besar maka ia bangun agak kesusahan "Aku mau tidur di sofa depan TV" jawabku Lalu aku pergi meninggalkannya 'Hentikan aku tidur di sofa. Ayolah.. 1 2 3 "Berhenti!" yes! Dia menghentikanku Aku berbalik seolah-olah malas padanya "Apa kau marah karena aku ngidam tae?" Aku menggeleng. Lalu pergi ke luar kamar "Berhenti! Kau senang karena aku tak bisa mengejarmu kan? Karena perutku yang sudah besar ini." suara jennie mendadak lirih Aku tak tega melanjutkan test ini haha. Melihat dia menangis aku berhenti lalu kembali ke kamar "Apa kau menangis?" tanyaku Jennie menyembunyikan wajahnya "Jangan tidur di bawah. Apa istrimu itu TV ha?! Tidurlah bersamaku" aku memeluknya "Apa kau cemburu dengan TV?" kekehku Jennie mengangguk Aku tertawa kecil "Tidurlah. Apa perutmu berat. Apa aku boleh menggantikanmu?" tanyaku Kini jennie tertawa lebar Jennie berbaring. Aku mengelus-elus perutnya yang hampir meledak. Aku lihat jennie tersenyum lebar saat aku terus-terusan mengelus perutnya "Makasih" jennie berusaha bangun "Untuk?" ucapku sembari membantunya bangun lagi "Karena mau menuruti permintaanku" "Kau tidurlah saja. Kau kan kesusahan bangun. Tapi masih saja tidur bangun tidur bagun terus" "Aku hanya ingin menciummu" jawab jennie sambil mengecup bibirku "Kau ini lucu sekali. Meski sudah sangat susah untuk bangun tapi masih ingin menciumku. Dasar mesum" kekehku "Aku hanya mesum pada suamiku saja" jennie mencubit pipiku Aku hanya tersenyum tipis "Sudah tidurlah.." ucapku "Jangan tinggalkan aku. Jangan tidur di bawah ya.." ucap jennie. Yah au sangat gemas padanya "Iya-iya bawel ah" kekehku lalu membantu jennie berbaring Aku tidur disebelahnya sambil memeluk perutnya 'Aku tidak sabar menantikan kehadiranmu disini nak' -batinku "Kenapa kau masih belum tidur? Pejamkan matamu" aku memergokinya yang belum tertidur. Padahal ini sudah malam "Dia menendang lagi. Kau bisa rasakan kan?" jennie tersenyum lebar "Tandanya.." Tandanya apa?" tanyaku "Ah.. Sepertinya aku ingin melihat wajah si jeon jungkook" "Tadi si kunyuk tae,dan sekarang kau mau melihat wajah si magnae laknat. Hei! Min kecil,apa kau tak kasian pada papa mu,kenapa kau terus-terusan menguji kecemburuanku ha?!" aku menasehati perut jennie. Hwa aku sangat kesal "Aku hanya bercanda" jennie sekarang tertawa lebar Tidak apalah dia membuatku kaget berkali-kali asal aku bisa liat dia ngakak tiap hari. Cuman itu yang buat aku bahagia dan tersenyum setiap hari Suga POV END Quotes su.ga Daegu,,2019 Tempat ini adalah memori. Kisah kami adalah kenangan. Dan kebersamaan kami adalah takdir bagaimana lagi Wendy POV Suga calling... Suga menelponku?? Diangkat tidak ya? Apa dia ingin minta maaf soal kemarin? Apa dia akan menerimaku? Bagaimana dengan jennie? Aku mengangkat telfonnya.. --- Kenapa kau menelfonku? Apa kau punya waktu? Apa nanti malam kau ada waktu? I-ii ya. Ada apa? Aku akan menunggumu di... Dimana? Di cafe depan sekolah SMA kita dulu tepat jam 7 malam Mm baiklah. Aku akan datang --- Apa aku akan mengatakan padanya kalau kalau aku akan pindah ke jepang. Ah.. Tidak.. Bagaimana jika dia akan sedih.. Ah tidak.. Sebaiknya aku tidak bilang padanya kalau bulan depan aku akan pindah ke jepang ----- 19.00 Semoga dia menemuiku karena suatu alasan yang manis. Apa dia ingin membalas cintaku? Apa itu mungkin? ... *cafe Aku melihat seorang laki-laki yang memakai baju serba hitam dengan topi dikepalanya dan masker di bawah dagunya Ya.. Dia Suga Tapi bukan sugaku "Hai!!!" teriakku dari kejauhan. Tentu saja dia langsung menoleh karena dia akan selalu ingat suara ini dari kecil.aku berusaha menyembunyikan rasa gugupku walau tempo hari pernah bertemu dan jujur tentang perasaanku Dia hanya tersenyum. Aku menghampirinya "Sudah lama menunggu?" tanyaku "Tidak wen. Hanya saja aku tidak bisa terlalu lama. Karena istriku membutuhkanku" Sakit sekali hati ini saat dia menyebut istri di depanku,meskipun ia sudah tau bahwa aku juga mencintainya "Hm.. Langsung saja, kenapa kau mengajakku bertemu?" "Aku ingin bilang...." Aku serius menanggapinya "Iya? Bilang apa?" tanyaku.. Aku sangat ingin tau apa yang akan dia katakan "Aku ingin bilang... Lupakan semuanya yang kita lakukan saat kecil dulu hingga sekarang. Aku sudah mempunyai istri,jadi tidak mungkin kita bisa bersama. Aku minta maaf telah menyakitimu sebanyak ini. Maaf karena aku tak tau isi hatimu yang sebenarnya. Kalau pun aku tau isi hatimu aku pasti akan menghindar. Ya,sama seperti yang lainnya. Laki-laki sangat risih jika dicintai oleh wanita,Hal yang harus kau ingat.... Kita berteman. Hanya sebatas teman tanpa ada perubahan. Ku tekankan lagi,, KITA HANYA BERTEMAN" Entah apa yang suga katakan membuatku diam seketika. Sekarang dia menghancurkan hatiku 3 kali. Yang pertama dia berpacaran dengan jennie di depanku, yang kedua dia menikah dengan jennie saat aku ingin mengatakan isi hatiku,dan yang terakhir hari ini.. Ya hari ini. Aku akan selalu mengingat hari dimana suga membuatku menangis "Aku sudah menjelaskan semuanya. Dan aku ingin satu hal darimu yaitu jangan datang dikehidupanku lagi. Dan aku tak ingin bertemu denganmu" ucapnya yang langsung berdiri dan membalikkan badan Jujur,, aku sangat kacau dengan semua ini. Rasa sakit, dan segala pertanyaan timbul di hati. Kenapa dulu aku tak bilang bahwa aku mencintainya. Kenapa?!!! Sebelum suga pergi,aku menghentikannya "Suga! Tunggu!" suga berhenti berjalan. Aku juga berhenti meneteskan air mata Dia berhenti tanpa membalikkan badan "Kau tau? Apa kau lupa kau dulu pernah bilang 'cinta pertama tidak mungkin bisa kita lupakan walau kita bersama dengan yang lain' apa kau ingat?? Jadi aku tidak akan melupakan cinta pertamaku" tegasku Dia hanya diam. Aku tidak mengerti betul raut wajahnya sekarang. Karena dia membelakangiku "Permintaanmu juga akan terkabul. Aku tidak mungkin datang ke kehidupanmu lagi,jadi kau tak usah takut jika aku akan menghancurkan kehidupanmu" 'Ya karena aku akan pindah ke jepang' ucapku dalam hati "Bukankah aku juga harus menikah?" "Iya. Aku pasti akan menikah" Dia hanya diam. Ya aku tau itu. Tapi saat ini air mataku tidak bisa diam. Kukira hari ini dia akan bilang rasa cinta yang sama padaku,meski itu hanya khayalan "Maaf membuatmu berdiri untuk mendengar penjelasanku.Semoga kau juga ingat hari ini,Jangan lupakan hari ini. Aku mencintaimu TEMANKU" Aku menangis parau. Dan suga pasti tau itu dari awal. Suga berlalu meninggalkanku Air mataku hancur. Aku menangis sesenggukan. Aku tak rela meninggalkan suga. Tapi apa? Dia sudah punya keluarga. Aku tidak bisa egois. Mungkin di jepang aku akan bertemu dengan laki-laki yang lebih baik dari suga. Ya.. Lebih baik dari suga Kita bertemu ke cafe bukan malah mengingat masa lalu. Malah saling menyakiti Keputusanku benar,karena tak memberi tau bahwa aku akan pindah ke jepang. Kalaupun Aku bilang,menurut suga apa yang akan kulakukan tidak penting untuknya meski mati sekalipun Apalagi sebentar lagi jennie akan melahirkan --- "Kenapa sangat sakit hati ini.. Tuhan.. Bantu akuu hiks...." badanku roboh di sofa Entah mainan kecil ini datang darimana. Tiba-tiba sudah ada di atas meja "Kenapa bola ini hanya separuh?" aku bertanya pada diriku sendiri "Hiks...Aku ingat.." "Siapa yang berani menaruh bola ini disini ha?!! Bola jelek!! Bola separuh!! Jelek.. Hwaaaa!!!" aku melempar bola itu sembarang tempat Flasback on 16 th yang lalu "Wendy!! Lihatlah aku dibelikan mamaku bola baru" suga memamerkan bola kecil itu padaku "Bolamu jelek sekali!" ucapku "Kau bilang jelek karena kau tak punya kan? Bilang saja kau iri." kekeh suga "Manamungkin aku iri dengan bola sejelek itu" jawabku "Nyatanya kau tak punya" suga masih saja meledekku "Mama!!!! Hiks.. Hiks... Hiks.. Hwaa.. Aku ingin bola seperti suga!!!" aku menangis,ingin bola seperti suga. Saat aku ingin masuk kedalam rumah,suga menahan tanganku,mencegah agar aku tidak mengadu pada mamaku "Wendy,, dont cry okey..ikut aku.." aku menuruti perintah suga dan ikut dengannya "Kau ingin mengajakku kemana?" tanyaku "Diam saja.." Kulihat dia mengambil pisau lalu dia membelah bola karet itu menjadi dua. Separuh bola itu diberikan padaku "Ini untukmu. Jangan menangis ya..jika aku sudah dewasa nanti aku akan membelikanmu bola yang sama seperti ini. Karena sekarang aku belum punya uang,jadi aku membelah bolanya. Satu untukmu dan satu untukku.ucapnya sambil mengusap air mata di pipi chubby ku Aku menangis lalu memeluk suga "Jangan menangis wen... Simpanlah bola itu. Jika ketemu lagi kita akan main dengan bola itu. Kita akan menggabungkan bolanya,jika kita tak bertemu lagi maka jangan menangis karena kau memiliki bolanya walau hanya separuh." tegasnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Karena suga selalu mau berbagi denganku Tapi kenapa saat aku besar kau tak mau membagi perasaanmu denganku? Bukankah itu lebih mudah daripada kau membagi barang yang kau sayangi Flasback off Suga yang dulu berbeda dengan saat ini,tapi rasaku padanya tetap sama walaupun banyak perbedaan yang membuat suga benar-benar jauh dari wendy "Aku tidak ingin memilikimu. Aku ingin kau menepati janjimu jika kau akan membelikanku bola saat dewasa nanti. Jagankan membelikanku bola, menggabungkan bolanya saja sungguh sangat tidak mungkin.. Hiks.. Hiks..." aku bangun dari sofa lalu mencari bola separuh yang tadi kubuang. Lalu mengambilnya dan memegangnya. Kubawa bola separuh itu dalam genggaman di sela tidurku "Sekarang kau ada dimana suga? Bagaimana keadaanmu?" Aku berharap suga mendengarnya walau semua itu tidak mungkin terjadi Wendy POV END Aku ingin berada dipelukannya walau saat itu aku tidak dipeluk olehnya,tapi itu tidak mungkin -wendy Sebenarnya aku sangat ingin memelukmu saat itu,tapi itu tidak mungkin -suga Tanda tanya "Sayang......." teriak suga dari meja makan "Hoammmmm....." jennie masih mengantuk Ya... Semenjak jennie hamil,semua pekerjaan jadi suga yang ambil alih. Terutama saat sarapan pagi. Dia menjadi rajin bangun membuatkan sereal untuk jennie "Sayang!!! Kemarilah... Aku sulit bangun" perut jennie semakin besar hingga saat berjalan ia harus dibantu. Jangankan berjalan,duduk saja jennie minta dibantu agar mendapat posisi yang nyaman. San tentu saja yang membantu ia adalah suga suami tercinta "Tunggu!!" suga menuju kamar tidur Suga mendapati jennie yang sedang berguling-guling di ranjang "Lucu sekali kamu itu. Guling-guling kaya anak kecil" "Anak kecil gimana ha?!! Kamu ga liat kalau perut aku gedhe banget kaya mau meledak?!!!!" bentak jennie. Saat hamil tua jennie sangat sensitif,mudah marah-marah. Walaupun jennie begitu,suga tetap sabar mendengar bentakan jennie setiap hari "Iya-iya maaf. Jangan bentak-bentak aku,Masih pagi sayang..." suga berusaha menenangkan jennie "Kamu sih bikin aku marah" ucap jennie sambil mengulurkan tangan agar ia mendapat bantuan saat berdiri Suga meraih tangannya lalu memeluknya "Morning kiss" ucap jennie "Aku suka karena setiap hari kau yang minta. Bukan aku lagi. Makasih sayang.." jennie mengecup bibir suga Mereka turun ke lantai bawah "Makanlah tuan putriku.. Aku sudah memasak sereal kesukaanmu" ucap suga "Aku bosan makan sereal terus.. Aku bosan... Aku gamau makan" gerutu jennie "Sayang.. Sereal bagus buat kamu.. Makan ya.. Aku suapin ya" bujuk suga. Memang setiap hari semenjak jennie hamil dia selalu makan sereal. Karena itu membuat bayi sehat secara optimal "Pokonya aku gamau!" "Ayolah.. Makan ya.." "Aku gamau sugaa.. Aku gamau..." "Jan kaya anak kecil ah,Ini baik buat kesehatan min kecil" "Kamu slalu bilang kalau aku anak kecil. Kalau aku anak kecil manamungkin aku hamil segedhe gajah gini" "Ayo makan ya.. Sayang.. Ayo.." suga menerbangkan sendok yang berisi sereal Tapi jennie menolaknya dan menepis tangan suga hingga sendok yang berisi sereal itu tumpah di baju suga Biasanya kalau suga sudah jengkel dia marah besar,Karena istrinya tidak mau menuruti permintaannya. Tapi saat jennie hamil, kemarahannya bukan membentaknya. Melainkan diam Ya.. Suga diam "Mm.. Maaf sayang.. Aku minta maaf,Aku cuman bosen" jennie berusaha membersihkan sereal yang tumpah di baju suga menggunakan tissue yang ada di samping mangkok sereal Suga menepis tangan jennie. Ia hanya diam "Apa kau marah? Maafkan aku.. Aku hanya bosan saja" "Sekarang terserah kau saja. Kau makan atau tidak makan sereal itu bukan urusanku" ucap suga lalu melepas clemek yang ia pakai "Apa yang kau katakan? Apa kau marah? Maafkan aku.. Aku akan makan sereal ini demi anak kita.. Aku akan makan ya.." jennie makan sereal itu sedikit-sedikit "Terserah kau saja" suga meninggalkan jennie yang sedang makan sereal "Sayang... Jangan pergi, Suapin aku" suruh jennie Suga tak tega melihat jennie bersedih,apalagi sedih karena ulahnya atau perkataannya,ia berhenti. Lalu menghampiri jennie "Apa kau masih marah?" jennie takut jika suga marah Suga menggeleng lalu mengambil alih sendok sereal. Ia menyuapi sedikit demi sedikit sereal ke mulut jennie "Jika kau sudah kenyang bilang ya.." ucap suga "Aku akan memakannya sampai habis" jennie memakan semua serealnya walau sebenarnya ia sangat bosan makan sereal terus. Tapi agar suga tidak marah jadi dia memakan sampai habis "Bagus kalau gitu" ucap suga sambil menyuapi jennie terus-menerus "Oh iya,Anak kita nanti kita namai apa?" tanya jennie "Nanti saja kita bicarakan. Tidak baik bicara sambil makan" jennie mengangguk lalu tersenyum "Katanya tadi bosan,tapi habis tak tersisa" kekeh suga. Jennie hanya diam lalu tersenyum.andai saja jennie jujur bahwa sereal menurutnya sangat eneq "Kau mau kemana?" tanya jennie "Aku mau mencuci piringnya" jawab suga "Maafkan aku ya, Karena perut aku segedhe gajah kamu jadi cuci piring sendiri." ucap jennie lalu menghampiri suga pelan-pelan "Tidak papa. Lagian aku begini juga untuk belajar jadi rajin. Kukira aku yang harus minta maaf karena membuat perutmu segedhe itu" ucap suga "Ngapain maaf. Toh aku juga suka" "Suka apa?" "Gak hehe" jennie berusaha bercanda saat suga sedang marah atau setelah marah Suga menaruh piring yang sudah dicuci lalu berbalik ke arah jennie. Ia mencium perut jennie dan sesekali mengelusnya "Aku ingin kau cepat lahir.." "Tenang saja Papa,Min kecil akan lahir satu minggu lagi..." ucap jennie sambil mengelus puncak kepala suga "Sayang,Persediaan makanan kita hampir habis. Aku beli dulu ya.. Jaga diri baik-baik" Jennie hanya mengangguk Lalu suga mengecup bibir jennie. Dan pergi menggunakan mobil menuju supermarket tempat persediaan rumah tangga Ya.. Sekarang suga jadi sangat berubah. Dulu,jangankan beli persediaan, menunggu jennie membeli saja sudah sangat bosan. Tapi sekarang dia yang menjadi jennie. Berbelanja layaknya suami yang tak malu dengan apa yang sedang dibeli "Aku senang sugaku berubah begitu sangat perhatian dan manis. Terimakasih tuhan.. Kau ciptakan suami yang perhatian seperti suga,walau diwaktu aku hamil saja" ucap jennie Jennie POV Aku sangat penasaran dengan isi kotak yang diberikan mama suga sebelum ia meninggal Aku mengambil kotak yang suga tempatkan di gudang,aku dan suga tidak ada waktu untuk membuka,karena kami sibuk satu sama lain,tapi kali ini aku sedang tidak ada kerjaan, jadi aku sangat penasaran. Aku mencoba membukanya Ya.. Aku membuka kotak itu Ternyata isi kotak itu tentang piagam-piagam suga dari kecil, saat ia memulai membuat lagu dan menjadi rapper kecil. Juga foto saat dia bayi, mulai berjalan,dan menangis,hingga menikah denganku. Aku juga terharu saat melihat masa kecil suamiku yang begitu disayang oleh mama nya. Juga baju dia saat masih bayi sangat lucu yang tersimpan di plastik laundry. Aku akan memakaikan baju ini saat min kecil lahir,Aku tidak percaya bahwa suga saat masa kecil sangat mahir berpidato. Pantas saja ucapan demi ucapan yang ia lontarkan sangat pedas macam cabe hehe. Dan yang terakhir.. Aku melihat suga berfoto dengan seorang wanita saat kecilnya. Ini pasti suga,tapi yang ini siapa ya? Sepertinya aku mengenalnya.. Apa dia teman masa kecilnya? Apa ini wendy? Ah sudahlah. Tapi dibalik foto itu ada sebuah diary usang. Aku tidak begitu bisa membaca,Apa ini diary suga? Aku membuka halaman pertama. Oh tuhan.. Tulisan apa ini?Aku tidak bisa membaca,sungguh tulisan anak kecil.. Bagaimana ini? Aku terus saja membuka lembaran demi lembaran tapi semuanya berisi tulisan yang tidak jelas.aku tau jika yang menulis ini adalah suga kecil Karena suga besar manamungkin ada waktu buat menulis diary macam ini. Saat aku ingin melanjutkan membuka lembaran selanjutnya.... Tiba-tiba... "Sayang!! Aku pulang!!!!!" teriak suga Bagaimana ini?Aku sangat bingung lalu membereskan kotak itu secepat kilat. Meskipun itu diary milik suga,seharusnya aku tak perlu menyembunyikannya. Tapi entah kenapa adanya foto suga dengan wanita itu membuatku ingin menyembunyikan buku suga lebih lama lagi sampai aku mengetahui apa isi dan foto itu,walaupun suga juga sudah mengetahuinyam tapi aku ingin menyembunyikan hal ini,jika aku bertanya padanya tentang foto ini pasti dia akan badmood atau apalah yang bisa membuatnya marah lalu membuang atau membakar buku ini. Akan kupastikan,hal ini tidak akan terjadi "Sayang!!! Kau dimana?!!!" teriak suga "Sebentar!!!!" teriakku Aku keluar dari gudang. Lalu mendapati suga yang sedang mencariku "Apa kau mau petak umpet disaat perutmu sebesar itu ha?!!" kekeh suga "Hahaha kau ini ada-ada saja. Maaf aku tadi habis dari belakang mengecek rumput,Rumputnya sudah panjang-panjang" aku bohong suga maafkan, Maafkan akuu "Hm.. Baiklah aku akan memotongnya" ucap suga lalu menuju belakang "Eit.. Kamu mau kemana?" oh tidak jangan sampai dia ke belakang,nanti kebohonganku terbongkar. Lagian kenapa aku tiba-tiba punya kebohongan yang mudah ditebak. Plis.. Pertanyaan suga harus dijawab dengan cepat agar aku bisa menutupi kegugupanku,makanya aku berbicara seadanya. Sungguh bodoh tapi lolos "Mau memotong rumput" jawabnya "Gak-gak! Sini,temani aku. Aku ingin kau memijat kakiku sedikit,Soalnya agak kram" kali ini aku tidak bohong:) "Hmm.. Baiklah aku akan mengantarmu ke kamar" ucap suga yang langsung memeluk pingganggku membantuku pergi ke kamar Aku hanya mengangguk Jennie POV END --- Suga sedang memijat kaki jennie yang sedang kram "Kau tau? Perutmu lebih besar dari bola basket" kekeh suga "Haha kau bisa saja" "Tapi lucu." "Apa aku jadi gendut?" tanya jennie suga mengangguk lalu tersenyum "Kenapa? Kalau aku gendut apa kau akan meninggalkanku?" "Keadaan apapun yang kamu alami aku gakan pernah ninggalin kamu" "Kau masih mencintaiku kan?" jennie menghentikan tangan suga yang sedari tadi memijat kaki jennie Suga menghentikan aktivitasnya "Aku sangat mencintaimu lebih dari apapun. Aku sangat sayang padamu. Makanya aku ingin kau memberiku anak" jelas suga "Gombal,Tapi aku suka" kekeh jennie Suga hanya tersenyum lalu memijat kembali kaki jennie "Apa aku boleh meminta sesuatu?" tanya jennie "Apapun. Tapi tidak laki-laki" ucap suga ketus,karena ya ya jennie ngidam wajah taehyung "Maafkan aku,tapi dia laki-laki" "Tuhkan, aku jadi sebel. Sono cari aja sendiri sono. Lagi males akutu" siga berhenti memijat kaki jennie lalu duduk di lebih jauh darinya "Dia masih kecil suga, aku ingin kau membawa jihoon kesini" jelas jennie "Jihoon anaknya namjoon sama rose?" tanya suga Jennie hanya mengangguk "Tapi kenapa? Kau ini selalu ngidam orang saja." "Aku bukan ngidam,Aku ingin berbicara dengan jihoon saja" jennie menampakkan baby eyesnya "Baiklah aku akan membawa jihoon,karena kau tidak mungkin akan bermacam-macam dengannya karena dia masih kecil" "Nahtu tau.Makasih sayang" Quotes wen.dy Suga.. Aku hanya butuh sedikit waktumu. Aku tak ingin mengganggumu.Aku hanya rindu. Itu saja --- Bahkan sampai detik ini kamu masih menjadi alasan kenapa hatiku tidak menerima siapapun Diary su.ga "Sayang!!!! Ini jihoon datang!!" teriak suga "Hai bibi jennie.." "Jangan panggil aku bibi anak manis. Panggil mama saja" "Iya mama jennie" "Apa aku boleh memegang pelut mama jennie?" Jennie hanya mengangguk. Lalu jihoon mengelus perut jennie pelan. Membuat ia tersenyum lebar "Hih.. Bayinya belgelak" ucap jihoon gemas Jennie mencubit pipinya berkali-kali "Hm.. Kalian akrab juga ternyata" sahut suga Jihoon hanya tersenyum "Paman suga gamau memegang pelut mama jennie juga?" ahh... Jihoon sangat menggemaskan hingga jennie selalu membayangkan bahwa anaknya kelak akan lucu seperti jihoon dan jiae "Haha kalau masalah memegang jennie udah setiap hari haha" kekeh suga pelan "Ih.. Suga.." gerutu jennie Untung saja jihoon tidak paham dengan apa yang dikatakan suga. Jihoon hanya diam kebingungan. Tapi ia lupakan semua itu "Ohiya, aku lupa mencuci baju. Boleh minta tolong bawa ke laundry? Kau tau sendiri aku tak kuat untuk berlama-lama melakukan aktivitas" suga mengiyakan "kalau kau takmau mencucinya juga takapa" ya mungkin saja suga sedang malas juga,jadi jennie berusaha agar dia mau melakukan agar dia keluar rumah dan jennie bisa berdua mengobrol dengan jihoon masalah diary suga.jennie berbohong lagi demi rasa ingin taunya kepada diary suga "Enggak sayang,aku mau kok apapun buat kamu" suga tersenyum kepada jennie dan menciumnya Yes berhasil-j "Makasih sayang" "Kalau begitu aku berangkat dulu, jihoon sama mama jennie dulu ya.." ucap suga sambil memakai jaketnya "Iya, paman suga" "Jihoon mau main apa sayang?" tanya jennie "Jihoon mau main kuda-kudaan" "Maaf sayang,mama jennie gabisa angkat jihoon buat diatas punggung mama,ntar dede nya kasian kalau ditatapin lantai" "Yah,yaudah main mobil-mobilan yuk ma" "Oke" untung saja suga masih punya stok 1 mobil remote kesayangann suga. Yaa masa jennie mau ngajak jihoon main masak-masakan "Bagus kalau gitu udah kaya anak sama mama,cocok hehe" suga meninggalkan kamar dan pergi untuk mencuci baju di laundry Sekarang di rumah sebesar itu hanya ada jennie dan jihoon yang sedang bercanda tawa,sebelum memasuki inti,jennie mengajak jihoon untuk bermain dulu agar tidak jenuh --- Jennie POV Yup suga sudah pergi. Ini kesempatanku agar jihoon bisa membaca isi diary suga "Jihoon.. Mau main apa lagi?" tanyaku "Jihoon gamau apa-apa. Jihoon cape" tentu saja kau cape,setelah berlarian ke lantai 1 dan lantai 2,untung saja dia hanya berlarian sendiri tanpa bersamaku. Karena aku tidak bisa berlari lagi di keadaanku yang seperti ini "Yauah sini bobo sama mama, Atau jihoon pingin ice cream?" "Sudah mama,jihoon udah makan banyak es klim tadi, dibeliin sama papa suga di mall" "Aciee jihoon berduaan sama papa suga yaa" aku berusaha membuat dia tersenyum agar tidak lelah "Beltiga kok ma" "Ha? Bertiga? Sama siapa sayang?" Apa suga kencan? Apa sama wendy lagi? "Bibi ailin" hufttt untung irene "Hem.. Irene? Ngapain aja?" aku sedikit lega dan tersenyum karena "Keliling mall. Tlus ketemu paman tai" "Tae sayang hahaha. Kamu itu,orang cakep dipanggil tai" kekehku sambil mnciumnya sesekali ia bicara. Sangat menggemaskan "Oiya paman taehyung ma sampai lupa" Aku hanya tersenyum melihat ia berbicara. Andai saja anakku sudah sebesar dia. Maka aku tak perlu repot memanggil jihoon untung suatu hal yang sangat penting bagiku.diary suga "Mama jennie cantik.. Aku suka.." "Hwa.. Kau menyukaiku? Kau kan masih berumur 5 tahun sayang" kekehku yang menanggapinya dengan suka. Aku memang suka saat dipuji "Iya. Apa mama juga menyukaiku?" ahh jihoon sangat menggemaskan,andai saja suga dulu seperti ini padaku,jadi aku tidak perlu menunggunya untuk mengungkapkan perasaan. Tapi ketauhilah itu sangat sulit "Tentu sayang" "Aku boleh menciummu ma?" Masih kecil juga minta cium-cium segala. Untung saja jihoon disini masih kecil. Kalau dia dah gedhe bisa ancur tu muka dibonyokin suga haha "Boleh" jihoon langsung menciumku "Jihoon.. Kau bisa membaca kan?" Semoga saja bisa,langsung ke inti saja,karena aku dan jihoon sudah membuang waktu 1 jam untuk bercanda. Dan sekarang waktunya jihoon membantuku "Bisa dong. Kenapa?" "Sebentar" aku menuju gudang untuk mengambil diary milik suga yang sangat ingin kukupas semua cerita masa kecilnya disana. Bisa saja aku menemukan petunjuk cinta pertama suga,semoga saja aku adalah cinta pertama suga,jika bukan maka tidak papa,karena sekarang suga sudah menjadi milikku. --- "Kau bisa membaca ini?" tanyaku sambil menyodorkan diary itu Jihoon mengambilnya lalu mengusap diary yang sudah berdebu itu "Tulisan siapa ini mama,Jelek sekali" aku hanya tertawa. Kalau saja suga tau bahwa tulisannya diejek oleh anak kecil maka dia akan malu dan menampakkan wajah merahnya "Ini tulisan suamiku suga saat masih kecil. Kau bisa membacanya kan?" "Aku tidak bisa membaca karena tulisan ini hanya bisa dibaca oleh anak kecil" Jihoon membalik-balik lembaran buku itu. Lalu kembali ke halaman awal "Apa kau mau membacakannya untukku?" Tanyaku Jihoon hanya mengangguk lalu membuka halaman pertama "Tulisan ini sepelti tulisan milik temanku guanlin " ucap jihoon yang sangat tau dan paham bahwa dia benar-benar pernah melihat tulisan ini di buku temannya. Andai saja jihoon adalah guanlin yang tulisannya sama persis seperti tulisan suga,maka aku sangat berbahagia dan yang pasti masalah akan clear karena 99% dia akan bisa membacanya. Tapi tak masalah jihoon juga bisa membacanya karena terbiasa membaca buku milik guanlin "Hm.. Pasti kau bisa membacanya kan? Ayo jihoon sayang,baca untuk mama jennie ya.." "Rahasia Suga.." jihoon mulai membaca tulisan depan. Membuatku sangat senang bahwa semua isi buku ini pasti akan terungkap karena jihoon bisa membacanya "Lanjutkan jihoon.." Jihoon membuka lembaran depan "ɦaʀɨ ɨռɨ aҡʊ ɮɛʀʊʍʊʀ 6 taɦʊռ,ɖaռ ʍaʍaҡʊ ʍɛʍɮɛʀɨku ɦaɖɨaɦ ɮʊҡʊ ɨռɨ sɛɮaɢaɨ ċɛʀɨta ɦɨɖʊքҡʊ. ռaʍaҡʊ ʍɨռ ʏօօռɢɨ. taքɨ tɛʍaռ-tɛʍaռ ҡʊ ʍɛʍaռɢɢɨʟҡʊ ɖɛռɢaռ ռaʍa sʊɢa ҡaʀɛռa aҡʊ քɛռɖɨaʍ ɖaռ ɖɨռɢɨռ sɛքɛʀtɨ ɛs. aҡʊ քɛռʏʊҡa ʍʊsɨҡ ɖaռ քɨaռօ,ʍɛʀɛҡa aɖaʟaɦ ɦɨɖʊքҡʊ. aҡʊ aҡaռ ʍɛռċɛʀɨtaҡaռ ҡɨsaɦҡʊ ɖɨ ɮʊҡʊ ɨռɨ... ʏօօռɢɨ-sʊɢa 1999" Aku tersenyum ceria. Yah! Akhirnya jihoon bisa membaca buku ini. Untunglahh jihoon bisa. Dan aku semakin semangat untuk mendengarkan suara belepotan dari jihoon. "Lanjutkan sayang.. Baca lagi. Jika kau lelah kau bisa membacanya besok" Jihoon hanya mengangguk lalu meneruskan membaca. Sangat lancar. "......" "Ha?Jadi.." "Kenapa ma?" "Ah tidak sayang. Lanjutkan" "......" "Bola separuh? Apa bola yang slalu suga bawa saat bekerja. Yang ia bilang ia keberuntungan,jadi..." aku mulai meneteskan air mata,Apa dia juga memilikinya? Oh tuhan kenapa kau tak mempersatukan mereka saja. betapa egoisnya aku karena mementingkan perasaanku pada suga tanpa tau bahwa dia juga mencintainya "Aku tidak akan meneluskan membaca jika mama menangis" "Ah tidak sayang,aku hanya terharu karena kau bisa membacanya" aku langsung mengusap air mataku dengan punggung tanganku. Jihoon masih kecil,jadi dia hanya bisa membaca tanpa tahu maksud dan isinyam ya memang anak kecil selalu sibuk dalam satu hal. Kalau membaca ya membaca,kalau memahami mungkin tidak tau "......." "Ha?? Hiks.. Hiks.. Jadi.. Setiap dia merasa pusing... Jadi dia Kenapa aku slalu mengatai kalau dia bohong masalah penyakit ini. Oh tuhan.. Maafkan aku" aku mengelus-elus perutku seolah-olah dia adalah suga "Mom.. Dont clay" jihoon sontak memelukku "Aku gapapa jihoon. Jihoon terusin ya.. Hiks.. Terusin. Rupanya sudah mau habis. Kurang 1 lembar lagi ya..." ucapku lalu mengelus-elus kepala jihoon "......" "Hiks.. Dia suamiku suga. Jihoon... Aku sayang suga,Aku tak ingin dia pergi Secepat itu. Aku masih ingin dia sisiku,membesarkan anak-anakku. Secara tidak langsung aku memutuskan kebahagiaannya,dengan menikah denganku maka dia harus mengorbankan cinta masa kecilnya. Seharusnya dia tidak menikah denganku. Maafkan aku hiks.. Hwaa..." aku menangis. Aku sangat sedih. Aku tak tau harus bagaimana lagi,Jihoon yang menjadi tempat pelukanku. Meski jihoon tidak paham apa yang aku katakan tapi dia berusaha memahami perasaanku bahwa aku sekarang bersedih "Jangan menangis ma,paman suga kan keluar hanya sebentar. Pasti akan kembali sebentar lagi" ucap jihoon Bukan itu jihoon. Bukan itu hiks.. "Benarkah? Baiklah aku takakan menangis" aku tersenyum untuk menyembunyikan kesedihanku walaupun sangat sedih mendengar ini Aku memeluk jihoon erat "Lanjut?" tanya jihoon Aku hanya mengangguk "......." "Dasar! Ternyata masih kecil suamiku sudah mesum 100%" kekehku,Walau aku tersenyum,tapi air mataku masih saja menetes "...... Ma, bagian ini sobek. Aku takbisa membacanya" "Coba lihat?" jihoon menyerahkan diary itu padaku lalu aku berusaha membacanya. Tapi percuma, tulisan yang utuh saja aku tidak bisa membaca,apalagi yang sobek Saat aku membuka-buka lembaran-lembaran selanjutnya ada sebuah foto usang yang jatuh. Aku ambil foto itu yang terjatuh dilantai. Jihoon hanya diam lalu menatap foto itu,foto suga bersama wanita lain selain diriku Dibelakang foto itu tertulis.. 'Wendy besarku 2017❤' Jleb! Mereka benar-benar punya hubungan saat dulu. Kenapa aku tega merusaknya.kenapa aku mencintainya!!! Jennie POV END Never Love Jennie POV Aku sangat lemas, hingga tidak memperhatikan jihoon yang tertidur pulas di pangkuanku setelah membaca diary suga. Sekarang aku mengerti semua yang telah dialami suga selama hidupnya. Tidak ada satupun yang pernah dicritakan padaku,apakah aku bukan pendengar yang bagus? Apakah aku bukan bagian orang yang ia percayai untuk menyimpan rahasianya? Istri macam apa aku ino sampai tidak tau bahwa suaminya pernah mengalami itu semua Aku terus saja memandangi foto itu, Walau setiap aku memandang foto itu hatiku terasa sakit,Tapi bukan berarti aku membenci wendy sahabatku sendiri. Aku hanya ingin membuat suamiku bahagia dengan kembali pada wendy. Itu saja Walau sekarang tidak akan mungkin.karena aku mengandung min kecil Ting tong "Itu pasti suga" aku menidurkan jihoon di sofa,Aku tidak bisa menggendong jihoon dalam keadaan perut yang hampir mau meledak seperti ini Aku membuka pintu dengan berjalan perlahan Dugaanku salah. Ternyata yang datang bukan suamiku. Tapi... "Wendy??" "Apa kau wendy" aku memeluknya "Apa kau baik-baik saja jennie?" tanya wendy yang masih dalam pelukanku Aku hanya mengangguk "Masuklah.." wendy masuk ke dalam rumah. Dia celingukan. Ya aku tau,karena dia baru pertama kali datang kesini dan dia mungkin ingin bertemu suga. Setelah mengetahui isi diary suga,aku jadi sedikit canggung dengan wendy Wendy duduk di sofa. dia mendapati jihoon yang tidur.dan mengamatinya "Apa dia anakmu? Mm...maksudku anak pertamamu?" ya,Sudah pasti dia akan tanya begitu "Ah...bukan,dia anak namjoon dan rose" "Apa dia tidur sini?" "Tidak. Dia baru saja datang" "Dimana orang tuanya?" "Aku menyuruh suga menjemputnya, Jadi orangtuanya tidak ikut" "Oh iya. Suga baru saja keluar. Sekitar 30 menitan" "Kau mau minum apa?" "Aku sedang batuk. Aku tidak minum apa-apa" "Hm.. Setidaknya air putih ya? Sebentar akan kuambilkan" Saat aku kembali dari dapur untuk mengambil air putih,dia mengambil buku diary milik suga yang dipeluk oleh jihoon. Apa aku harus merelakan suamiku? Aku tidak bisa.. Aku tidak mau aku tidak rela,tapi nyatanya begitu banyak kebahagiaan jika suga tetap bersama wendy Jennie POV END Wendy POV "Itu buku milik suga. Kau pasti tau" ucap jennie saat mendapatiku memegang buku ini Aku hanya diam sambil mengusap tulisan 'rahasia suga' "Apa kau sudah membacanya hiks..." tanyaku Jennie hanya mengangguk lalu meneteskan air mata "Apa isinya?" tanyaku "Banyak hiks.. Hwa.. Semuanya tentang kau" jawabnya,Jennie menangis parau "Benarkah?" aku memeluk jennie erat,walaupun perutnya menghalangi tanganku Aku hanya mengangguk "Bacalah" "Hiks.. Hiks... Hiks... Hwa...aaaa......" aku menangis karena buku ini "Kenapa kau menangis wen?" "Aku tidak bisa membacanya hiks.. Hiks.." aku tersenyum tipis pada jennie "Dasar!" "Bacakan untukku" ucapku "Aku juga tidak bisa membacanya hiks.." ucap jennie sambil tersenyum tipis "Lalu bagaimana kau tau jika semua isinya tentangku?" Jennie menunjuk jihoon yang sedang tertidur pulas "Dia yang membacakannya untukku. Makanya aku menyuruh suga menjemputnya" "Kenapa kau tidur ha? Bangun!! Aku ingin kau membacakannya untukku!!!" teriakku. Bangunlahh jihoon aku ingin mendengar semuanya tentang sugaku,walaupun sekarang namanya berganti menjadi suganya jennie "Wen! Kau jangan seperti anak kecil. Dia cape membaca semua ini" jennie sekarang bisa merasakan betapa sedihnya wendy atas perlakuan jennue yang setiap hari curhat pada wendy tentang suga,memberitahu wendy bahwa jennie telah berpacaran dengan suga,dan mengundang wendy di pernikahan mereka,bukankah itu sangat menyakitkan bagi wendy? "Apa kau mau memberitahu isinya?" rintihku "Buka bagian paling belakang" Aku membuka bagian paling belakang. Lalu aku menemukan fotoku bersama suga, Aku menangis parau,aku takbisa menahan semua ini. Aku sungguh ingin memeluk suga saat ini. Ternyata ia masih menyimpan fotoku saat bersamanya. Dan itu sudah 3 tahun "Kau melihat fotonya saja sudah menangis, Coba lihat bagian belakang foto itu" Aku membalik foto itu Dan aku mendapati tulisan 'Wendy besarku 2016❤' Aku menangis parau melihat tulisan itu. Oh tuhan.. Ternyata suga mengenang semua ini "Dia sangat mencintaimu" ucap jennie "Hiks... Sejak kapan? Hiks.." "Sejak kecil hiks... Hiks... Kau juga sangat mencintainya kan? Kau juga kan?!" jennie menangis Aku menggeleng lalu memeluk jennie erat "Kau bohong! Hiks.. Kau bohong kan?" jennie menangis sambil memukul-mukul dadaku Aku hanya bisa menggeleng "Apa kau membawa bola separuhnya hiks..." tanya jennie Aku mengangguk lalu mengeluarkan bola separuh itu dari dalam tasku. Aku memberikannya pada jennie "Bagaimana bisa kau tau bola jelek ini ha?! Hiks.." "Benar hiks.... Kau cinta pertama suamiku hiks... Kau cinta pertamanya, Jahat sekali kau tak bilang! Kenapa saat aku berpacaran dengan suga kau tak bilang bahwa kau menyukainya ha?!!! Kenapa?!! Aku bersenang-senang dengan suga,bercerita semua yang kualami bersamanya,Sedangkan kau?! Kau mencintai suga diam-diam,Maafkan aku karena tak pernah mementingkan ceritamu,karena saat itu hanya ada ceritaku dan suga saja,tapi nyatanya kau juga punya cerita dengan suga yang sangat besar melebihi ceritaku.Maafkan aku wendy....hiks... Hwaaaa" jennie memelukku "Tidak. Aku tidak mencintainya. Aku tidak mencintainya" oh tuhan.. Apa yang harus kukatakan,aku tidak bisa membuat jennie menangis karena rasa salahnya,aku bersyukur karena suga menikah dengan jennie yang notabenya wanita cantik dan baik lebih dari aku,mungkin suga bisa bahagia dengannya. Aku salah karena pernah jadi teman suga,aku hanya ingin bertemu suga saat dewasa saja agar aku bisa menjadikan statusku pacar,bukan teman. Tapi semua ini tuhan yang telah mengaturnyam dan aku tidak boleh mengelak apalagi mengeluh "Diamlah. Aku tak ingin bicara kepadamu.kau bohong padaku. Maafkan aku... Maafkan aku hiks..." "Jangan menangis. Kau sudah mendapatkannya. Aku yakin kau bahagia bersama suga, Suga orang yang baik. Dia orang yang perhatian. Dia bisa saja berbuat apapun demi orang yang dicintainya bahagia" Andai saja kau adalah aku,mungkin aku sudah mengasingkan suga ke negara lain agar jauh darimu dan jauh dari wanita yang lain. Karena aku sangat mencintainya "Aku tidak pantas bersama suga,Kau yang pantas wendy,andai saja kau dulu tidak mengenalkanku pada suga maka ini tidak akan terjadu " "Katakan kau mencintainya!! Katakan!!" teriak jennie Aku hanya diam "Kenapa kau diam? Katakan!" "Aku tak ingin membuatmu terluka karena pengakuanku,semuanya sudah berlalu dan kita juga sudah menjalani yang baru,kau hanya perlu menjaga min kecil dan suga agar mereka berdua selalu menyayangimu" ucapku "Aku ingin kau bersama suga" "SUGA TAK PERNAH MENCINTAIKU. Dia hanya mencintaimu sejak pertama kali aku memperkenalkanmu,memang kau lebih baik dariku,maka dari itu dia lebih memilihmu. Dia mengira bahwa teman masa kecil selamanya akan menjadi teman" Aku sudah tidak kuat lagi. Dari dulu aku ingin sekali menyentakkan kalimat bahwa suga tidak pernah mencintaiku "Tinggallah disini, Aku ingin semuanya jelas. Aku ingin menyatukan dirimu dengannya,suga pasti juga akan mencintaimu" "Apa kau gila?! Kau sedang mengandung anak suga. Bagaimana mungkin kau akan menyatukanku dengan orang yang tidak dicintainya!" aku sangat kaget. Tidak mungkin jika aku akan menikah dengan suga,dan membiarkan jennie sendirian dengan bayi yang ada di kandungannya meskipun aku mencintai suga,tapi aku masih punya hati. Bahwa aku tidak bisa melakukan itu semua "Ya aku gila!Selama ini aku gila karena aku mencintai orang yang dicintai oleh sahabatku sejak dulu" "Kau juga belum menikah kan?" "Aku kesini bukan untuk mengulang masa lalu, Aku datang kesini untuk berpamitan denganmu. Karena besok aku akan pindah ke jepang. Berikan bola separuh ini pada suga" jelasku yang menunjuk bola separuh yang ditaruh jennie diatas meja kaca "Tidak! Kau tidak akan pindah ke jepang atau kemanapun" jennie memelukku,aku tidak bisa. Maaf. Mungkin ini keberuntunganmu,kuakui kau menang atas segalanya "Kau memang sudah gila. Aku pergi kesana agar tidak mengganggu kehidupanmu" ucapku "Wen!! Kumohon.. Jangan pergi..." jennie menghentikanku pergi Aku melepaskan genggaman tangannya "Jika dia pulang, suruh mengoles lem dan menyatukan bola separuh milikku dan miliknya,itu janjinya.Aku pergi dulu. Semoga hidup kalian selalu diberi kebahagiaan,Jangan menangis. Suga tidak suga orang yang suka menangis" aku memeluk jennie untuk terakhir kalinya "Wen!!!!!! Jangan pergi wen!! Kumohon... Suga butuh kau wen!!!! Wen!!! Dengarkan aku!!" aku tak peduli teriakan jennie. Aku tetap berjalan keluar rumah Aku tetap meninggalkan rumah jennie dan pergi meskipun dia berlari ke arahku di kondisinya yang seperti itu,sebenarnya aku kasian karena dia berlari ke arahku dengan perit yang sangat besar,tapi aku harus cepat-cepat pergi agar semua yang pernah dia ucapkan tidak akan terjadi. Di dalam mobil aku hanya bisa menangis. Aku menyesali semuanya. Aku menyesal karena tidak mengungkapkan perasaanku sejak dulu Jika aku bisa memutar kembali waktuku,maka sekarang aku ingin memutar semua masalaluku bersamanya Jika dia memang takdirku,maka kita akan disatukan kembali. Walau harus menunggu reinkarnasi Waktuku dan dia tidak pernah tepat. Aku menyukainya. Disisi lain sahabatku jennie juga menyukainya. Aku bisa apa? Jika aku bisa mendapatkannya,maka aku adalah orang paling berharga didunia. Tapi Tidak saat ini Difikiranku banyak kata-kata itu. Aku tidak bisa berfikir jernih. Jika saja banyak kendaraan yang melintang,maka aku akan kecelakaan. Karena aku membuat kecepatan mobilku melewati batas normal. Dan aku ingin hal itu terjadi. Aku ingin meninggalkan dunia ini.mungkin itu yang terbaik Wendy POV END Quotes Jen.nie Aku bersyukur memiliki suga yang sangat menyayangiku Aku juga bersyukur karena memiliki wendy yang mau mengorbankan suga untukku Aku tidak tau. Ya benar,aku memang tidak tau jika suga adalah teman masa kecil wendy. Dan wendy menyukai suga selama itu. Aku sungguh tidak tau Jadi bukan salahku jika aku mendapatkan suga. Jangan sebut aku pelakor. Karena yang kutau saat itu aku dan suga saling mencintai, dan aku setuju untuk menikah dengannya begitu juga dia Waktu yang salah karena tidak menginginkan wendy mengungkapkan isi hatinya. Juga kedinginan suga yang sampai-sampai tidak tau bahwa sahabat masa kecilnya sangat mencintainya Aku hanya ingin menyatukan suga dan wendy kembali😭 Diam "Sayang aku pulang" "Jihoon sedang tidur. Kau antar dia nanti saja" jawab jennie "Kau bermain apa saja dengan jihoon?" ucap suga "Tidak bermain,Daritadi jihoon hanya bercerita kisah seorang pemuda" ucap jennie sambil menahan air mata "Kau baper? Memangnya cerita apa itu? Aku penasaran.." sahut suga "Itu cerita nyata" "Apa judulnya?" tanya suga Jennie hanya diam "Karena hamil tua mu kau jadi pikun dan banyak diam" ucap suga laku memeluk jennie lalu mengecup kening istrinya itu Saat suga ingin masuk kamar mandi... "Iya. Aku lupa judulnya" ucap jennie polos Suga POV "Rahasia suga" batinku Itu kan judulnya? Aku sudah tau semuanya. Aku mendengar semuanya Saat itu.. Flasback on Saat aku ingin berteriak "sayang!! Aku pulang!!" Tiba-tiba.... Ada mobil berwarna putih berplat no.K Wnd0 93y Bukankah itu mobil wendy? Kenapa dia kesini? Apa dia akan menyakiti jennie? Aku tidak akan biarkan hal itu terjadi Saat aku ingin menerobos masuk, aku mendengar suara tangisan wendy. Ya tangisan wendy. Kenapa wendy yang menangis? Perkiraanku jennie yang akan menangis Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi Aku bersembunyi di bawah jendela "Itu buku milik suga Kau pasti tau" itu suara jennie Buku apa itu? Aku penasaran "Hiks.. Hiks... Hiks... Hwa...aaaa......" itu suara tangisan wendy. Tidak salah lagi. Sebenarnya ada apa ini?? "Kenapa kau menangis wen?" "Aku tidak bisa membacanya hiks.. Hiks.." "Dasar!" "Bacakan untukku" "Aku juga tidak bisa membacanya hiks.." "Lalu bagaimana kau tau jika semua isinya tentangku?" "Dia yang membacakannya untukku. Makanya aku menyuruh suga menjemputnya" Dia siapa? Apa jihoon? "Kenapa kau tidur ha??!! Bangun!! Aku ingin kau membacakannya untukku!!!" teriak wendy membuatku meneteskan air mata. aku sungguh ingin memeluknya. Tapi aku tidak bisa memeluknya,karena aku terlanjur menyakitinya. Tuhan tolong aku.. Aku ingin menemui wendy untuk minta maaf "Buka bagian paling belakang" "Kau melihat fotonya saja sudah menangis. Coba lihat bagian belakang foto itu" Wendy menangis lagii.. Sebenarnya ada apa ini? Buku apa yang dibicarakan? "Dia sangat mencintaimu" ucap jennie "Hiks... Sejak kapan? Hiks.." "Sejak kecil hiks... Hiks... Kau juga sangat mencintainya kan? Kau juga kan?!" kini jennie menangis Aku meneteskan air mata. Jadi... Mereka membaca buku masa kecilku?? Apa saat aku kecil,aku mencintai wendy?? Tiba-tiba... "Wen!! Kumohon.. Jangan pergi..." jennie menghentikanku pergi Oh tidak.. Pasti wendy akan melihatku jika dia keluar rumah. Aku harus cepat-cepat pergi. Aku pergi menjauh sebelum wendy mengetahui bahwa aku mendengarkan semua yang mereka bicarakan tadi,aku sungguh tidak sengaja. Tapi ini semua sudah diatur oleh yang maha kuasa agar aku tau apa yang telah dibicarakan oleh mereka Flasback Off tadi aku hanya mendengar sebagian. Tapi semuanya sudah sangat jelas jika jennie mengetahui semua masa mudaku Dan wendy?? Aku tak memikirkannya,karena aku takut jennie sedih karena kau terlalu fokus pada wendy saja. Aku hanya ingin jennie tidak marah atau drop karena semua itu Suga POV END -Skip 19.00 Jennie dan suga sedang duduk di halaman rumah mereka. Malam ini sangat berbeda dengan malam sebelumnya,biasanya suga yang membuka pembicaraan konyol atau mesum. Tapi sekarang Mereka saling diam membisu satu sama lain "Kau sudah membawa dan mencuci semua baju di laundry??" akhirnya jennie yang pertama membuka pembicaraan agar semuanya baik-baik saja dan dia berusaha menyembunyikan kegelisahan yang terjadi 15 menit yang lalu Suga hanya memikirkan bagaimana jika jennie marah lalu drop karena pagi tadi. Dan suga berusaha menenangkannya walau sebenarnya ia yang butuh penenang Suga hanya mengangguk "Bagus kalau gitu" "Jika kau mengantuk tidurlah saja Ini sudah malam. Aku masih ingin disini" ucap suga "Aku masih ingin bicara denganmu" Suga hanya diam. Ya memang daritadi suga hanya sibuk memutar sendok didalam kopi yang dibuat oleh dirinya sendiri "Hargai aku,Aku istrimu. Bukan patung" Suga tetap diam "Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau diam terus? Kenapa kau tidak menghiburku? Tidak pernah kau seperti ini sebelumnya,apakah aku melakukan kesalahan?" "Aku minta maaf" ucap suga "Untuk?" tanya jennie "Kebisuanku" singkat suga yang langsung berdiri dari duduknya Jennie hanya melihati suga dengan tatapan 'kau kenapa' karena jennie tidak tau bahwa suga telah mendengarkan pembicaraan mereka tadi "Aku ingin tidur duluan" ucap suga yang langsung berjalan menuju pintu "Berhenti!" bentakan jennie membuat suga berhenti dan menghadap ke arah wajahnya "Apa kau mencintai wendy?" Deg Suga menoleh ke arah jennie. Mendapati jennie yang sedang tertunduk lemah karena lontaran pertanyaannya tadi,sebenarnya jennie juga merasa bersalah karena berani bertanya seperti ini disaat sudah menikah "Jika kau mencintainya kenapa kau mau menikah denganku? Jika dia masa kecilmu kenapa kau tak tau jika dia mencintaimu selama ini" cerocos wendy "Aku tidak pernah mencintainya" sahut suga "Bohong. Lalu buku rahasia suga.. Hiks.. Buku itu hwaaaaaaa..... Haa.... Kenapa kau jahat sekali!! Kenapa!! Hiks.." teriak jennie di sela-sela tangisannya Suga langsung memeluk leher jennie yang daritadi duduk "Saat kecil aku dan wendy teman yang dekat,Aku sangat menyayanginya karena dia satu-satunya teman kecilku. Makanya aku mencintainya. Dan saat kita bertemu,aku jatuh cinta padamu dan aku takmau pisah lebih dari 10 detik tanpa dirimu,karena itu sungguh menyiksa.Sudah jelas kan? Bahwa aku tidak memiliki rasa apapun. Dan aku juga mendengar bahwa wendy juga pacaran dengan chanyeol. Sampai nantipun aku akan menganggap wendy sebagai teman baikku saja,tidak lebih" "Tapi aku tau kau sangat menyayanginya" Suga hanya menggeleng "Jangan mengatakan hal yang belum terbukti faktanya" "Itu sudah terbukti!!" "Kapan??! Saat aku masih kecil?! Kau sudah dewasa dan menjadi istriku, kau harusnya bisa bedakan mana cinta pertemanan dan cinta perasaan" "Aku hanya mencintaimu" "Aku juga mencintaimu jennie,jangan buat fikiranmu penuh dengan masa kecilku! Karena diary anak kecil yang berumur 6 tahun bisa merubah fikiran kamu jadi nggak karuan seperti ini?!" "Bukan seperti itu. Tapi bagaimana kau tau kalau aku membahas diary mu?" jennie kehabisan kata-kata,ia tidak berani mengucapkan isi hatinya lebih banyak lagi takut suga tidak nyaman "Aku mendengar semua yang kalian bicarakan,sebenarnya aku datang setelah wendy datang,jadi aku tau bahwa ada wendy di rumah karena mobilnya.makanya aku tidak ingin langsung masuk dan membuat canggung suasana" Jennie hanya diam dan menunduk "Aku lancang karena mendengarkan tanpa izin" "Tak apa kau sudah tau semuanya. Aku yang harusnya minta maaf karena lebih dulu menarikmu dalam perasaanku mendahului wendy" "Semuanya sudah berlalu" "Tapi semua yang ada di dalam kotak itu tentang wendy,Aku yakin kau akan bahagia jika bersamanya" "Apa kau rela jika aku menikahinya?" Jennie menggeleng lalu menangis sekencang-kencangnya di pelukan suga "Lalu kenapa kau menyuruhku bahagia bersamanya? Aku juga tidak mencintainya" Jennie hanya diam dan tak tau apa yang harus ia katakan,karena dia merasa bersalah atas perasaan sahabatnya,dan selama berteman dengan wendy,jennie tak pernah mendengar laki-laki yang wendy critakan,tapi jennie tetap saja menghujani wendy dengan cerita cinta bersama suga. Karena wendy tau,jika ia sampai jujur pada jennie bahwa ia juga mencintai suga,maka dapat dipastikan jennie akan memutuskan hubungan persahabatan begitu juga menjauh dari suga,wendy akan merasa berdosa jika sampai menyakiti hati keduanya "Aku sangat mencintaimu" ucap suga "Sudahlah" "Aku serius" "Benarkah?" isak jennie "Aku bohong" jawab suga dengan tawanya agar malam ini tidak menjadi hal yang paling diingat "Dasar!" Suga tersenyum kecil "Udaranya semakin dingin, Kita masuk saja" Akhirnya mereka masuk kedalam rumah *kamar Suga mengelus perut jennie. Menciumnya berkali-kali. Jennie hanya tersenyum "Ini bola separuh milik wendy. Lem lah dengan punyamu" suga hanya terdiam lalu memegang bola itu dan menatap kosong "Sudah sangat lama,Aku ingin semuanya menjadi kenangan" ucap suga sambil mengamati bola separuh yang ia pegang "Ia masih menyimpannya. Aku juga" Jennie mengusap air matanya "Apa kau yakin tidak mencintainya?" "Aku hanya mencintai kim jennie saja" kekeh suga "Gombal" jennie memukul kepala suga "Aku serius" "Benarkah?" "Aku bohong" "Suga!!!" Suga ketawa lebar "Aku yakin wendy akan menemukan seseorang yang akan menyayangi dirinya" ucap suga "Dan pasti itu kau" jawab jennie yang langsung membelakangi suga "Benarkah?" tanya suga "Aku bohong hiks... Tidurlah.. Hiks.. Kau membuatku menangis banyak hari ini. Dasar! Hikks.." ucap jennie yang langsung memeluk suga,ia pun membalas pelukan jennie. Suga mengecup puncak kepala jennie berkali-kali. Sampai akhirnya mereka terlelap dalam pelukan. Mereka tertidur. Memang hari ini adalah hari yang menyedihkan bagi mereka. Morning!! "Sayang!! Bagunlahh" teriak suga. Seperti biasa, memang setiap pagi suga yang akan menyiapkan sarapan dan segalanya. Begitujuga bersih-bersih rumah "Hoam...." seperti biasa,, jennie masih mengantuk "Iya!!! Tunggu!!" teriak jennie dari dalam kamar Jennie merapikan rambutnya lalu keluar kamar. jennie berjalan turun ke lantai 1 tempat suga berteriak.. Tiba-tiba..... Brukk "Ahhhhhhh!!!!!!!!" jennie berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya yang sangat besar "Sayang!!!!!!!!!!!" suga sangat takut karena jennie terpleset dari tangga yang sedikit tinggi. Ia berusaha memegangi perut jennie walau ia tak tau apa yang harus ia lakukan kecuali melarikannya ke Rumah Sakit Baby Born #Quotes Jika ucapan bisa merelakan,apa hatinya akan ikut merelakan? VOMENT KUY.. ---------------------- "Suster!! TOLONG!!! Tolong!!" teriak suga di dalam rumah sakit Lalu segerombol suster menghampiri suga. Mereka telah menyiapkan ranjang berjalan,Suga menidurkan jennie di ranjang itu. "Sayang,kau pasti bisa!! Kau pasti kuat" suga menggenggam erat tangan jennie, Jennie hanya menangis dan terus mengangguk "Jangan takut! Aku disini! Aku akan menunggumu. Berjuanglah demi anak kita. Berjuanglah sayang,Aku mencintaimu sayang!! Semangat!!" suga mengecup kening dan bibir jennie. Saat itu jennie hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa karena kecelakaan kecil tadi. Mungkin sekarang jennie telah mendapatkan kekuatan dari kata-kata suaminya. Semoga semuanya berjalan dengan lancar Para suster terus mendorong ranjang jennie menuju ruang bersalin. Sedangkan yang di rasakan suga hanya gelisah dan takut, jennie mungkin merasakan hal yang sama Suga hanya bisa memandangi istrinya yang menghilang dibalik pintu ruang bersalin. Suga tak henti-hentinya bergumam dan berdoa demi keselamatan bayi dan istrinya "Tuhan.. Selamatkan istriku....Jangan buat dia kesakitan,Tuhan.. Berikan dia kekuatan tuhan!!! Tolong aku" suga tidak duduk. Dia mondar-mandir mencemaskan jennie yang sedang berjuang demi min kecilnya Suga menelpon papa dan orangtua jennie "Andai saja jika mama masih hidup,ia pasti akan sangat senang ketika melihat menantunya berjuang demi cucunya" batin suga lalu meneteskan air mata,karena suga merasa bersalah karena tadi ia berteriak memanggilnya seharusnya ia membantu jennie turun tangga. Tapi hal itu sudah biasa suga lakukan saat pagi dan jennie juga bisa turun tangga sendiri,mungkin yang ini adalah peringatan agar suga selalu berada di sisi jennie kapanpun Jennie POV Aku sangat takut hari ini. Hari ini adalah pertama kali aku berjuang menjadi seorang ibu Ma.. Maafkan aku jika aku banyak salah kepadamu,Ini sungguh sakit ma....sangat sakit.. "Terus.. Ambil napas terus.." ucap salah satu dokter kandungan "Uuhhhhhhhh ahhhhhhhhhhhh.... Uhhhhhhhh ahhhh eeeeekkkkkkk" aku terus mengambil napas dan berusaha membuat bayiku keluar. Tapi dia tidak kunjung keluar,sangat sulit. Apa yang harus aku lakukan.. "Ayoo terus bu... Terus...lebih dalam lagi bu.." "Hiks... Sakit dokter hiks.. Uhhhhhhhhh ahhhhhhhhhhh eekkkkkkkkkkkk" aku terus berusaha mendorong bayiku agar keluar. Tapi dia sangat sulit untuk keluar.. Ma.. Tolong aku... "Sedikit lagi bu.. Ayo sedikit lagi...." "Uhhhhh ahhh ekkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk" wajahku dibanjiri keringatku sendiri. Anakku sayang,, kenapa kau menyusahkan ibumu... Cepat keluarlah... "Uhhhhhhh ahhhhhhhhhhh ekkkkkkkkkkkk" akhirnya aku merasakan anakku keluar "Oekk oekk..oekkk" suara min kecil "Selamat bu,anak anda laki-laki" aku tidak bisa berkata apapun,aku hanya bisa tersenyum lebar saat perjuanganku telah selesai Lalu para suster membawa anakku ke tempat perawatan bayi sementara "Itu suara anakku, Anakku lahir!!!" ucap suga dari luar ruangan. Aku bisa mendengarnya. Dia sangat senang sekali,akhirnya anakku lahir "Tapi dok.. Ahhhhhhhhhhhhhh" aku merasakan bahwa akan ada yang keluar lagi "Ayo bu.. Terus bu... coba dorong terus.. Ayo bu...." "Ekkkkkkkkkkkkkkkkkkk dok, ini sakit dok.." Aku tidak percaya bahwa melahirkan rasanya sesakit ini,aku menyesal karena pernah membuat mama kecewa atau bersedih dulu,kalau tau melahirkan rasanya sesakit ini maka aku bisa lebih hati-hati dalam berbicara dan bertingkah laku "Mungkin anda akan melahirkan anak kembar bu.. Coba dorong lagi bu.. Ayoo..." "Saya takkuat dok.. Saya takkuat hiks...hiks...." memang benar,yang ini sungguh sangat sakit. Aku sudah tidakkuat "Suster, detakan jantung ibu ini mulai melemah. Dia sudah tidak bisa mendorong bayinya lagi,Dia kehabisan oksigen saat bayi pertama tadi. Kita harus melakukan oprasi" "Baik dokter" jawab suster Aku hanya bisa diam pasrah menghadapi semua ini,Semoga bayiku selamat. Tuhan.. Bantu aku. Atas nama tuhanku dan suamiku min suga,aku berjanji akan kuat menjalani oprasi ini Jennie POV END -skip Jennie telah selesai melahirkan, suga sangat sabar menunggu untuk menemui istrinya yang sedang berjuang untuk anaknya, Saat ia mendengar bahwa jennie harus oprasi untuk bayi keduanya, kegelisahan suga memuncak. Ia semakin bingung dan takut jika jennie tidak mampu mengatasi oprasi ini. Atau tidak kuat dalam daya tubuhnya. Ya,,suga memikirkan itu. Tapi saat dokter telah keluar, kegelisahan suga menurun 10% "Bagaimana keadaan istri saya dok? Bagaimana dok?" "Selamat pak,istri anda telah Melahirkan dua bayi yang sangat lucu. Cewek dan cowok" dokter menjabat tangan suga. Tapi bukan kabar itu yang diinginkan suga, dia hanya ingin dokter mengucapkan "istri anda baik-baik saja" "Bagaimana dengan istri saya dok!!" Flasback on "Sebelum saya dioprasi, apa dokter bisa berjanji padaku?" "Iya. Tenang saja,kami akan mengeluarkan semua kemampuan kami agar bayimu selamat" "Bukan itu dok" "Apa?" "Berjanjilah, jika nanti terjadi sesuatu padaku, entah pingsan,entah aku sakit parah atau aku meninggal hiks.. Kau jangan bilang pada suamiku saat dia mengatakan keadaanku. Tolong berbohonglah,aku tak ingin dia khawatir atau shock karenaku. Tolong berjanjilah.. Hiks.." jennie menangis "Kau tidak boleh bicara seperti itu. Kami pasti akan menyelamatkanmu hiks.." dokterpun ikut menangis karena merasakan betapa besar kasih sayangnya kepada suami "Karena aku sudah tidak kuat lagi, jadi aku bisa saja meninggal. Tapi ingat, selamatkan bayiku. Meski kau tidak bisa menyelamatkanku tapi slamatkan bayiku. Tolong.." "Baik bu. Saya akan menyelamatkan semuanya. Suster.. Kita mulai oprasinya" "Aku berjanji akan menyelamatkan kalian. Bayi beserta ibunya" ucap salah satu suster Semua suster mengangguk Flasback off "Dia terlalu lemah,dia hampir kehilangan oksigen saat berjuang untuk bayi keduanya. Jadi, dia belum bisa bangun" "Apa saya boleh masuk?" "Ja-jangan. Sebaiknya kau melihat bayimu dulu" "Kenapa saya tidak bisa melihat istri saya? Kan dia sudah selesai oprasi.." "Tidak. Dia masih butuh istirahat" tegas dokter "Tidak!! Saya ingin melihatnya!! Saya ingin tau keadaan istri saya!!" suga langsung saja menerobos ke ruangan jennie. Dokter berusaha mencegah langkah kaki suga untuk masuk kedalam ruangan,tapi apalah daya, dokter wanita tidak akan bisa menghentikan badan suga yang lebih besar darinya. Suga berhasil masuk. Betapa senangnya dia melihat istrinya telah berjuang demi anaknya. "Jennie..Sayang,, selamat kita akan punya anak kembar. Kau mau memberi mereka nama apa?" tanya suga, jennie tidak membuka matanya,dia diam Dokter hanya bisa melihat suga yang sedang memeluk jennie. Dokter pun menangis "Aku tau kau lelah... Jadi tak usah bangun, tidurlah saja" ucap suga. Suga berkali-kali memeluk jennie, Tapi tiba-tiba suga berhenti di pelukannya "Dok... Apa oprasinya belum selesai?" tanya suga linglung,karena tak mendapati detak jantung di dada istrinya. Ia sempat memeriksa apakah dia salah dalam mendengar,tapi tidak. Memang benar bahwa tidak ada detak jantung di dada jennie "Apa oprasinya belum selesai? Kenapa istriku tidak bernafas? Kenapa dia pucat sekali dokter?" tanya suga lemas Dokter hanya terdiam dan terus saja menangis mendengar pertanyaan suga "Jawab dok!!! Jawab.... Tolong jawab!!!!! Jawab!!! Jika kau tidak menjawab aku akan membunuhmu!" teriak suga waktu selalu salah Suga terduduk lemas dibawah ranjang jennie "Ngga.. Ngga mungkin!" "Jen.. Bangun jen.." suga tidak kuat berdiri "I-ini ada surat untukmu dari istrimu" dokter menyerahkan sepucuk surat Suga pun langsung membacanya.. Sugaku.. Hari ini aku menikah denganmu. Tersenyum lebar menatapmu. Resmi menjadi milikmu seutuhnya. Semoga kita akan selalu diberi kebahagiaan oleh sang kuasa Aku sangat menyayangimu. Saat kita pertama kali bertemu, yang kurasakan hanya detak jantung. Aku bertemu denganmu karena takdir. Aku mencintaimu, kau juga mencintaiku. Aku tak pernah percaya jika aku akan menikah denganmu. Resmi menjadi istri min suga, min jennie. Aku berharap cinta kita akan abadi. Aku bersyukur bertemu dengan malaikat setampan dirimu. Bukan hanya tampan tapi juga bertanggung jawab. Hanya saja sedikit sexy. Aku tidak takut pelakor! Aku yakin cinta kita tidak akan bisa diterjang pelakor. Pelakor handal pun tak akan pernah bisa menerjang cinta kita. Mencintaimu pasti ada masanya. Menyayangimu juga akan ada masanya. Jadi suatu saat nanti aku akan kehilanganmu. Tapi sebelum aku kehilanganmu,lebih baik aku yang menghilang daripada aku tidak bisa mengikhlaskan kepergianmu. Aku adalah kau, kau adalah aku, selamanya akan seperti itu. mencintaimu adalah titipan, sungguh aku sangat menyayangimu. Surat ini kutulis saat aku merasa kesal padamu karena kau sangat tampan hari ini sayang. Setiap pagi,siang,sore,dan malam, aku selalu membaca surat ini, karena aku sangat menyayangimu. Dan bodohnya aku berfikir 'kenapa manusia harus mati?! Bagaimana jika ada sepasang insan yang tidak ingin dipisahkan?' Surat ini kuberikan padamu sebagai penggantiku. Suatu saat nanti aku pasti akan pergi meninggalkannya. Jadi aku ingin kau baca surat ini dan kenang cinta kita. Aku akan simpan surat ini sampai aku benar-benar tidak kuat bertahan hidup. Aku menyayangimu, sugaku.. "Tidak! Tidak.. Aku telah membacanya, berarti jennie.. Jen!!! Bangun!!" sontak suga berdiri lalu memeluk jennie yang sedang terbujur kaku "Kau jangan sedih dulu,Obatnya masih bisa bekerja. Jika jennie kuat, maka jennie akan hidup. Jika besok masih tidak bangun, berarti memang sudah takdir jika dia meninggal dunia hiks... Aku belum pernah menemukan pasien yang seperti ini,yang sangat sayang pada suaminya. Sangat sayang pada bayinya dan berjuang lebih hikss.." dokter pun menangis. Suga juga sudah menangis daritadi hingga muka yang pucat itu berubah menjadi merah seketika. Kehilangan istri adalah hal yang sangat mencabik hati suga, karena saat ini suga sangat mencintai istrinya dan ingin hidup lebih lama lagi. Apalagi tahun kemarin,suga telah kehilangan mamanya "Tidak.. Jennie ku akan bangun!! Tidak!!!!" suga menggoyang-goyangkan badan jennie. Sedangkan dokter itu tetap saja menangis "Satu lagi. Dia ingin kau menemui seseorang di international xairx bandara tepat jam 4 sore keberangkatan korea-jepang" ucap dokter itu "Jepang? Siapa yang akan ke jepang? Kenapa dia ingin aku menemuinya??" "Katanya dia pantas untuk menjadi penggantinya" ucap dokter "Tidak! Gak akan ada pengganti jennie" "Tapi itu hal yang dinginkan sebelum dia kaku seperti ini" "Tidak!! Aku tidak akan menemuinya! Tidak!" sentak suga "Baiklah. Fikirkanlah.. karena jam 4 kurang 30 menit lagi. Aku akan pergi. Semoga istrimu besok lekas bangun hiks.." dokter itu meninggalkan ruangannya sambil menangis. Entah kenapa peristiwa ini membuat dokter itu terus menangis. Mungkin dia tidak pernah menemukan kisah cinta yang seperti ini yang dialami oleh pasien Suga hanya diam menatap lantai. Yang dirasakan sekarang hanya kebencian. 'Andai saja aku tidak mengahamilinya maka tidak akan seperti ini' 'Andai saja aku tadi membantunya turun kebawah,mungkin tidak akan seperti ini' 'Dan andai saja anakku tidak kembar maka dia tidak akan menjadi seperti ini' Semua itu terngiang di otak suga dan hatinya. Dia memikirkan jika semuanya tidak terjadi maka jennie juga tidak akan seperti ini. Mungkin jennie akan tersenyum gembira saat pulang dari rumah sakit dan mereka tidak akan pernah menangis lagi karena benar-benar fokus menjaga bayi. Dan suga juga berjanji,bahwa saat anaknya lahir nanti ia akan berhenti pada kerja lemburnya "Aku harus bagaimana?!!!!! Ha?!!!!" suga berteriak sekeras mungkin. Untung saja kamar jennie jauh dari kamar pasien lainnya. Jadi tidak akan dengar Flasback on "Jika aku mati, maka kau akan mencari pengganti yang seperti apa?" tanya jennie pada suga "Aku tidak akan mencari yang apapun. Aku hanya ingin model seperti dirimu. Dan didunia ini hanya satu. Cuma kau" jawab suga sambil memeluk pinggang jennie "Tapi kau harus mencarinya agar aku disana bisa tenang" ucap jennie "Kenapa kau bicara seperti itu?!! Kau tidak akan mati sebelum aku yang mati!!" "Tapi sug--mmmpph" Flasback Off Suga teringat semua itu.. Akhirnya..Dia memutuskan akan membuat istrinya bahagia dengan cara menuruti perintahnya untuk mencari penggantinya "Aku akan cari penggantimu di bandara" suga berlari menuju parkiran lalu mengendarai mobil dengan kecepatan "Tuhan.. Bantu aku.... Tolong hiks..." suga sangat kacau hari ini sangat "Aku sangat menyayanginyaa tuhan...." "Tolong.. Jangan ambil dia....." "Aku tidak bisa mencari penggantinya tuhan... Tolong...." "Aku tidak mau pengganti. Aku maunya jennie. Aku hanya ingin jennie hiks.." "Tukarlah nyawanya dengan nyawaku tuhan... Tolong.... Tukarlah... Tolong................ Hiks.. Hiks" *international xairx bandara Suga POV "Siapa dia?? Kenapa aku tiba-tiba benar-benar datang ke bandara?? Kenapa aku sedih???" Aku sangat parau aku tak tau harus bagaimana. Aku ingin jennie ku.. Aku inginkan dia.. Tapi.. Aku harus membuat jennie bahagia hiks.. Flasback on "Apapun yang terjadi,, kau harus tabah. Jika nanti aku akan meninggalkanmu kau harus mencari penggantiku" ucap jennie "Tidak! Hanya kau yang pantas untukku. Tidak yang lain" "Tapi kau harus membuatku bahagia agar aku pergi dengan tenang" "Kenapa kau slalu bicara seperti itu?!! Kita belum menikah. Tapi kau slalu saja membahas itu. Aku tidak suka!!" ucapku "Pasti ada yang akan menggantikanku" "Siapa?!! Tidak mungkin" "Wendy. Ya wendy akan menjadi penggantiku,kan dia teman masa kecilmu" Flasback off Wendy. Apa yang akan pergi ke jepang wendy? Apa itu benar? Apa benar wendy?!! Aku berlari menuju ruang informasi. Aku ingin mengecek nama orang yang akan berangkat ke jepang hari ini. "Permisi.. Apa kau bisa mencarikan nama wendyson di penerbangan korea-jepang?" ucapku "Baik. Silahkan tunggu" "Penerbangan pesawat 0xport2* tujuan japanesse akan tiba dalam 10 menit lagi. Penumpang harap mempersiapkan barang bawaanya. Semoga penerbangan anda menyenangkan. Trimakasih" "Sial! Pesawatnya akan tiba" aku menggebrak meja informasi "Tuan... Nama Nyonya wendyson ada dalam daftar penumpang korea-jepang. Dan akan berangkat sekarang" "Sial!! Jadi benar wendy!" aku berlari menuju ruangan yang akan mengantarkan penumpang ke pesawat Aku celingukan melihat banyak orang disana. Tapi tidak menemukan wen- eh itu dia wendy! Aku langsung menghampirinya, menerobos keamanan yang fijaga oleh banyak laki-laki "Wen! Jangan pergi! Ini tentang jennie! Wen!! Jangan pergi!" suga memohon dari kejauhan "Woy!! Keluar kamu! Kenapa kamu bisa masuk?!! " banyak penjaga yang menghalangiku "Lepas! Aku ingin bicara sebentar!! Tolong!" meski aku berteriak tapi tetap saja mereka meringkus tanganku Aku melihat tubuh wendy hampir menghilang dari antrian. Aku yakin dia masuk ke dalam pesawat "Hiks!! Wen!!!! Jangan pergi!!!!! Wen!!!!!!! Jennie sahabatmu meninggal!! Hiks.. Hiks..." daritadi wendy tidak mengahadap ke belakang,aku takut jika dia daritadi tak mendengarkanku,aku tak tau teriakanku akan didengar oleh wendy atau tidak. Yang pasti aku sangat lemas dan tak berdaya karena kehilangan semuanya! Sampai-sampai aku tidak memikirkan bagaimana keadaan bayi kembarku Aku lemas. Para penjaga mengusirku dari bandara. Aku sekarang berada diluar bandara dengan tatapan kosong dan baju yang berantakan akibat penjaga. Sungguh aku seperti orang gila karena semua harapanku sia-sia,lagi-lagi aku ingin memutar waktu Saat aku melihat pesawat melintas di udara, ya aku melihatnya. Wendy sudah pergi Harapanku membuat jennie bahagia telah hilang! Aku harus cari siapa lagi?! Siapa yang akan jadi pengganti jennie?!!!!! Tuhan!!Bangunkan jennie!! Aku ambruk di depan bandara. Aku tetduduk lemas di lantai depan bandara Lalu aku melihat sosok yang berdiri tepat dihadapanku,walaupun aku hanya melihat kakinya dan sepasang highelss "Suga!! Hiks.. Hiks.." "Wendy..." Miracle "Wendy? Kenapa kau tidak berangkat? Bukankah pesawatmu sudah.." "Sutss kau lebih penting dari pesawat" wendy menutup mulut suga Suga terdiam lalu Wendy memeluk suga "Aku sangat mencintaimu" ucap wendy,Suga hanya membalas dengan anggukan "Menikahlah denganku" ucap suga lalu meneteskan air mata di punggung wendy "Hei.. Apa kau menangis?" wendy semakin mempererat pelukannya "Menikahlah denganku hiks.." "Tidak" wendy sagat kaget,entah yang ia rasakan bahagia atau bersedih ia tidak tau apa yang ia rasakan saat laki-laki yang dicintainya mengajak menikah disaat seperti ini "Ini perintah jennie sebelum dia pergi" suga menangis parau "Pergi? Apa maksudmu?" wendy tidak mengerti. Apakah karena kedatangan wendy kemarin membuat jennie melarikan diri dari rumah? Apakah dia meninggalkan suga agar menikah denganku,dan bahagaimana suga bisa tau bahwa wendy ada di bandara,pasti jennie yang memberi tahu,karena tidak ada seorang pun yang tau tentang rencana ini kecuali tuhan,wendy ,dan jennie "Dia pergi hiks.. Aku yakin pagi besok dia tak akan bangun, karena dia sudah sangat lemas hiks..menikahlah denganku!!" Wendy melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata suga seolah-olah masih tidak paham apa yang sebenarnya terjadu "Aku tidak ingin orang yang kusayangi menangis" ucap wendy sambil membantu suga berdiri dari lantai Suga hanya diam lalu tersenyum menatap wendy tepat didepan pintu bandara. Tentu saja banyak orang berlalu lalang melihat keberadaan suga dan jennie dibilang sangat mengharukan "Nah,Aku lebih suka suga yang seperti itu" mereka meninggalkan bandara dan menuju rumah sakit -Skip Mereka telah tiba di rumah sakit tempat jennie dirawat Wendy terduduk lemas di depan jennie. Tentu saja, karena jennie adalah sahabat terbaik wendy Ya sahabat terbaik,walaupun ia terkadang benci pada jennie yang dengan mudahnya mendapatkan suga hanya dalam itungan bulan,sedangkan wendy berjuang selama bertahun-tahun Melihat seorang sahabat terbujur lemas, wendy tak segan untuk membuang banyak air mata. Jangankan menyentuh atau menyadarakan jennie, berdiri saja sudah sangat berat untuk dilakukan wendy "Jen... Hiks.. Suga,,Temanku jennie.. Kenapa dia??" wendy menatap kosong ke arah jennie. Suga hanya diam "Kau sudah telepon orangtuanya?" Suga hanya mengangguk "Lalu?" "Mereka ada urusan di USA. Jadi akan datang minggu depan" "Aku sebagai sahabatnya merasa kehilangan, apalagi orang tuanya" "Menikahlah denganku kumohon.." wendy berfikir keras untuk hal ini,manamungkin dia akan menikahi suga disaat jennie sekarat seperti ini. Sangat tidak mungkin walaupun hati sangat ingin "Baca surat ini. Kau akan mengerti hiks.." "Jika kau marah padaku marahlah. Tapi turuti perintah istriku Tolong.." Wendy membuka surat itu sangat pelan,Lalu ia membacanya sama seperti waktu suga pertama kali membaca itu ---- Wendy menutup surat itu lalu menempelkan suratnya di depan dada. Tentu saja dia menangis "Jen.. Bangunlah,aku tak bermaksud membaca suratmu ini,meskipun aku membacanya kau tidak akan pergi,kau pasti akan sehat." Suga hanya diam "Pikirkanlah bayi kembarku, Siapa yang akan merawatnya" lagi-lagi suga berbicara sendiri meskipun maksud dan tujuannya agar didengar wendy Wendy hanya diam sambil berfikir apa yang dia lakukan disaat seperti ini. Dia takut melakukan hal yang salah. Ya, hal yang salah. Karena satu kesalahan bisa membuat hidupnya berubah. Dan ia tidak suka perubahan,menurutnya perubahan yang telah membuat dirinya kehilangan suga saat dulu Wendy hanya perlu bilang IYA/TIDAK untuk semua jawabanya,tapi ketauhilah itu sangat susah,kau saja mungkin tidak akan sanggup untuk menjawab kata yang sudah biasa diucapkan karena suatu pertanyaan yang sangat menentukan perubahan "Beri aku waktu" ucap wendy -skip 06.00 Suga dan wendy ketiduran di sofa tunggu ruangan jennie. Suga berada di sofa tinggi, sedangkan wendy berada di sofa bawah Lalu ada suara ketok pintu. Wendy membuka pintunya meski ia sangat mengantuk karena menangis panjangnya "Kau pasti wendy" ucap dokter Wendy hanya mengangguk, matanya sembab karena menangis semalaman. Berharap sang malaikat mengembalikan nyawa jennie kembali walau itu tidak mungkin. Wendy ingin jennie lekas bangun agar mengembalikan senyum suga,karena wendy percaya,meskipun nanti ia akan menikah dengan suga,suga tidak akan pernah bisa bahagia karena suga tak pernah mencintai wendy "Dimana suga?" tanya dokter "Aku disini" ucap suga sambil menggosok-gosok matanya "Aku ingin bicara denganmu" Suga hanya diam dan mengekor dokter keluar ruangan "Jika pagi ini ny. Jennie masih belum bangun, maka dia memang benar tiada. Sudah tidak ada pertolongan yang bisa kami lakukan,karena sekarat yang berhubungan dengan persalinan adalah hal yang fatal di sembuhkan,Semua sudah kami lakukan,semua alat sudah kami coba untuk menyembuhkan istri anda.Dari suntik seluruh tubuh hingga oprasi sekujur tubuh" Suga hanya diam. Lagi-lagi ia memilih untuk diam,andai saja dia malaikat,pasti dia akan menyembuhkan jennie dari awal. Tapi nyatanya dia adalah orang yang paling tak berdaya diantara semuanya,termasuk jennie sendiri. "Berdoa saja. Agar semuanya baik-baik saja. Jika benar dia telah tiada, berusahalah mengikhlaskan. Dan jadilah ayah terbaik untuk bayi kembarmu" dokter menahan tangisannya lalu keluar dari ruangan Suga sudah tidak bisa lagi menangis. Yang ia rasakan hanya kehilangan sosok yang berharga di dunia. Entahlah ia berfikir bahwa sudah tidak ada lagi warna dalam hidupnya jika jennie tidak ada di dalam hidupnya,yang ada hanya putih abu-abu yang akan semakin mendorongnya untuk meninggalkan bumi 'Semesta,apakah ini yang dinamakan kebahagiaan, kukira dengan datangnya anak maka kehidupan akan semakin lengkap,tapi nyatanya semuanya hilang begitu saja,entah apa yang akan menbuatku bahagia,karena di bumi ini yang membuatku bahagia hanya dia seorang'-sug.a ~ "Apa kau sudah memikirkannya?" Wendy hanya mengangguk "Bagaimana??" tanya suga "IYA" Suga menghela napas lalu memeluk wendy erat,bukan karena senang tapi karena masalahnya sudah berkurang satu meskipun itu tidak cukup membuatnya tersenyum "Trimakasih, Karena kau mau mengabulkan permintaan istriku" "Mandilah, setelah itu kita mulai pernikahan kita" "Disini?!" wendy sangat kaget. Pastilah. Sangat gila jika memang benar akan menikah di rumah sakit "Iya. Di depan jennie" ucap suga sambil menampakkan wajah sedihnya "Aku akan memanggilkan pak penghulu" Wendy hanya mengangguk lalu keluar ruangan untuk mandi di kamar Mandi Rumah sakit diujung lorong ruangan jennie Suga menelpon pak penghulu untuk datang ke rumah sakit tempat ia dan wendy akan menikah --- "Sayang, bangunlah.." rintih suga sambil menciumi tangan jennie berkali-kali. Ia berharap akan ada keajaiban yang datang Tentu saja tidak ada jawaban "Aku akan menunggumu jen... Jika sampai jam 8 kau tidak bangun, maka aku harus menikah dengan wendy, sahabatmu" ucap suga putus asa sambil memalingkan muka,karena dia takkuat melihat wanita yang disayanginya terbujur diam Jennie masih terdiam tidak ada jawaban atau gerakan yang menandakan dia akan bangun "Jen!!! Bangunlah!!!!! Tolong!!" bentak suga berkali-kali berharap jennie bangun akan teriakannya seperti di film drama-drama "Hiks.. Hiks....." Saat wendy kembali ke ruangan jennie, suga langsung mengusap air matanya agar tidak membuat wendy semakin sedih dengan kepergian istrinya,karena ia tau bahwa hal yang dilakukannya akan membuat wendy semakin enggan untuk menikah karena suga yang masih mencintai jennie hingga menangis semalaman untuknya,suga tak ingin itu terjadi "Kau sudah selesai mandi?" Wendy hanya mengangguk "Kau yang sekarang mandil" ucap wendy,suga meninggalkan ruangan jennie --- "Jen... Bangun jen,, aku tidak mungkin menikah dengan suga..." ucap wendy "Bangun!!! Meski aku mencintainya tapi aku tidak bisa melakukan ini!! Karena suga tidak akan bahagia jika bersamaku! Dan aku juga tidak akan bahagia karena suga tak akan pernah membuatku bahagia setelah kepergianmu" teriak wendy "Hiks.. Hiks.. Aku tidak bisa menikah dengannya. Apalagi tidur bersamanya,Aku tidak bisa menggantikanmu. Aku tidak bisa memiliki semua yang kau punya. Kau punya bayi kembar! Mereka membutuhkanmu!! Bangun!!!" Meski wendy berteriak, tapi tetap saja jennie hanya diam tidak bergerak atau bernafas -skip 07.00 Pak penghulu sudah datang, kini suga dan wendy duduk tepat di pinggir kanan jennie tidur, sedangkan pak penghulu berada tepat di pinggir kiri jennie tidur "Bisa dimulai?" ucap pak penghulu "Tidak,Kita akan mulai jam 8" jawab suga "Baiklah" Wendy hanya diam dan gugup. Karena ia akan menikah dengan mantan suami sahabatnya sendiri Sekarang mereka sedang menghadap kearah jam. Pak penghulu sedang menatap jennie, suga sedang melihat jam tangannya, sedangkan wendy melihat jam yang menempel di dinding.mereka sangat menghargai waktu Mereka super sibuk untuk menunggu jam 8 Mereka saling diam satu sama lain sampai nanti Menunggu satu jam tidaklah sebentar. Butuh banyak menit dan juga banyak pikiran yang melintas di otak mereka. "Bangunlahsayang.. Bangun.. Aku merindukanmu..bangunlah jika kau masih mencintaiku" batin suga "Jen.. Tolong.. Bangun.." batin wendy "Masih sangat lama untuk jam 8" batin pak penghulu Jam 08.00 Pandangan mereka kembali gugup "Bisa dimulai?" tanya pak penghulu -skip Kejadian tadi membuat mereka saling diam satu sama lain. Ya DIAM "Apa yang kulakukan hiks.." rintih wendy "Wen.." ucap suga "Apa?" "Pegang dadaku" Wendy memegang dada suga "Jantungku berdetak sangat kencang bukan?" ucap suga Wendy hanya mengangguk,dan berfikir bahwa suga akan serius mencintainya,sampai-sampai melihat ia menangis membuat hati suga berdegup kencang "Aku yakin.. Jennie akan bangun" seketika wendy lemas dan berfikir bahwa dugaan tentang suga selalu salah. Ternyata degupan jantungnya masih berada pada jennie "Suga! Apa kau sudah gila! Dia sudah meninggal ini lewat dari jam 8,Kau hanya punya aku,suga.." wendy sempat takut bahwa suga akan gila total karena kepergian jennie,wendy tidak ingin itu terjadi "Tidak! Aku tidak gila, Jennieku akan bangun" suga tersenyum riang Dan Jari tangan jennie yang pucat bergerak pelan "Jennie!! Bangun jen.. Kau masih hidup kan??" suga memergoki jari tangan jennie bergerak pelan,ia yakin bahwa jennie nya akan bangun Wendy hanya tersenyum dan menatap betapa bahagianya suga saat melihat istrinya akan segera bangun. Dan betapa percayanya dia bahwa cinta sejati pasti akan memiliki ikatan batin yang sangat dalam,sampai-sampi suga bisa merasakan jennie yang akan bangun. Awalnya aku tidak percaya,tapi melihat apa yang terjadi pada jennie barusan membuatku sangat percaya bahwa cinta dan keajaiban tidak akan terpisahkan "Suster!!!! Suster!!!!!" teriak suga Wendy langsung meninggalkan ruangan, dan menangis "Ya. Jennie ku bangun. Trimaksih tuhan.. Kau buat dia bangun hiks...." "Suster!! Cepat!!!! Banyak suster pun berdatangan ke ruangan jennie,dokter yang menangani jennie pun tersenyum bahagia melihat jennie telah membuka mata untuk melihat dunia lagi setelah sekarat yang sangat akut Back "Ini sungguh keajaiban tuhan, istrimu telah hidup kembali" ucap dokter "Trimakasih dokter, trimakasih tuhan..." suga sujud di lantai dan tersenyum sangat banyak membuat banyak suster terkena diabetes dengan senyuman manisnya yang tak pernah keluar selama bertahun-tahun "Dimana wendy?" gumam suga "Kau bisa menjenguk istrimu" ucap dokter Suga melupakan niatnya untuk mencari wendy, Ia memutuskan untuk masuk menemui jennie "Jen... Kau sudah bangun..." sapa suga pelan Jennie mengangguk lemas "Sayang.. Aku merindukanmu.. Kau membuatku khawatir! Sial!!" gerutu suga "Ututu.." jennie memegang tangan suga dan menciumnya " jennie tersenyum pahit ke arah suga karena merasa bersalah atas kepergiannya sementara Saat itu wendy ingin masuk ke ruangan,Tapi ia mengurungkan niatnya agar jennie punya waktu lebih lama untuk suga setelah tidur panjangnya. Dia pun kembali ke atas atap rumah sakit untuk menenangkan dirinya,meskipun itu belum tentu menenangkannya -- "Kau menulis surat? Untukku? Saat kau akan tiada?" Jennie mengangguk lalu menangis "Kukira aku akan mati hari ini" jawab jennie lirih "Sutss.. jangan bicara seperti itu" suga memeluk jennie walau yang dipeluk sedang tidur Jennie mengusap air matanya lalu mengelus kepala suga "Dimana anakku?" tanya jennie "Mereka ada di ruang bayi,tenang saja karena semua aka baik-baik saja. Selamat karena telah berjuang untuk anakku sayang" suga mengelus rambut jennie "Iya sama-sama,hidup kita akan dimulai dari sini kan,aku akan lebih hati-hati lagi saat akan turun tangga" ucap jennie menenangkan "Hm.. Soal wendy..." suga membuka pembicaraan "Wendy? Kau bertemu denganya?" "Ya tentu saja,Kau ingin wendy yang menjadi penggantimu kan?" tanya suga Jennie hanya diam lalu menangis pelan karena dia salah mengambil keputusan "Hiks... Ap-apa kau menikah dengan wendy? Apa kau benar-benar menikahinya?! Apa kau sudah menikahinya?!Jawab suga!!! jawab!!!" Suga hanya mengangguk lalu menunduk penuh penyesalan "Hiks. Kenapa aku tidak mati saja tadi,Kenapa aku bangun hiks.. Lagi-lagi aku yang selalu salah tentang kalian dan hubungan semua ini,aku ingin memutar waktu kembali. Suga jangan tinggalkan aku,aku sudah bangun sekarang hiks.. Anak kita.. Tentang kehidupan baru kita apa semua akan hilang?" teriak jennie Suga hanya tertunduk diam mendengarkan ocehan jennie "Aku menikahinya karna aku tidak bisa menolak perintahmu" "Bohong! Kau bilang istri itu cukup satu, Meski aku mati sekalipun kau tak akan pernah menikah lagi! Kau bohong! Hum...m" suga memeluk jennie berusaha menenangkan "Lepas!! Lepas!!! Lepas!! Biarkan aku mati!!" "Suts kenapa kau masih seperti anak kecil ha?! Kenapa kau selalu percaya ha?! Kenapa?!! Dasar!" Jennie diam "Maksudnya?" tanya jennie bingung "Aku tidak menikahinya" kekeh suga lepas,untung ia berhasil menyembunyikan ketawa dari tadi saat ia berbohong pada jennie, Mereka masih saja saling ngambek seperti anak kecil,terutama jennie,ia sangat childish "Lalu?" sebelum jennie menuntaskan kata-katanya, suga langsung saja melahap bibir mungilnya "Aku sudah bilang aku tidak menikahinya" "Benarkah? Lalu? Apa dia tidak berangkat ke jepang?" "Iya. Dia tidak jadi berangkat karena aku menjemputnya, dan membuat onar di bandara. Makanya dia tak jadi pergi" Jennie tersenyum kecil "Makasih Atas semuanya.. Kau tidak menikahinya.." "Iya,Tapi jika kau benar-benar sudah tiada maka aku tetap menikahinya hahah" "Suga!!! Dasar!!" jennie memukul dada suga lalu memeluk suga erat "Aku merindukanmu, Kau merindukanku atau tidak hm? Bagaimana keadaan anak kita? Apa mereka cantik? Atau ganteng?" "Anak kita cantik dan ganteng" suga mencium pucuk kepala jennie "Cantik dan ganteng? Anak kita kembar?!!" jennie kaget karena ia meminta satu tapi tuhan memberinya lebih,sungguh rezeki bagi mereka Suga hanya mengangguk. Lalu jennie memeluk suga spontan "Yes aku akan punya anak laki-laki dan perempuan. Kau tau? Anak perempuan kita akan membantuku memasak di dapur dan menjadi rekanku menonton drama korea. Sedangkan anak laki-laki ku hanya bertugas menonjokimu saat kau bermain-main dengan jalang. Dan tak akan kubiarkan anak-anakku menyentuh yang namanya lagu. Gimana? Bagus kan?" smirk jennie membuat suga gemas "Haha tidak akan ada jalang di keluarga kita? dan saranmu Sangat baguss! Kenapa kau yang slalu menang? Gakbisa! Aku ingin anakku juga terkenal sepertiku. Menjadi generasi billboard setelah papanya" tegas suga "Untuk apa terkenal jika pulangnya malam-malam? Untuk apa terkenal jika dia nanti tidak punya waktu untuk keluarganya? Untuk apa terkenal jika membuat dirinya depresi? Untuk apa terkenal jika membuat dirinya lupa akan segalanya" cerocos jennie "Kau tau? Jika hari ini pak penghulu tidak marah, maka aku dan wendy akan menikah ahaha" "Oh begitu? Yasudah,menikahlah dengannya" ketus jennie "Hahahahahahh" "Kenapa kau ketawa ha?!" jennie terus saja memukul dada suga. Tapi suga tetap memeluknya "Pukul saja sekeras yang kau mau, Pukul!! Aku rindu pukulanmu" "Hiks..." "Jangan menangis. Jika kau menangis maka akan lebih menyakitkan untukku" ucap suga lalu mengusap air mata jennie Jennie hanya mengangguk lalu berusaha memejamkan mata di dada suga "Suga..." lirih jennie "Hm?" "Jangan menikah lagi,Aku ingin yang jadi istrimu sampai nanti Hanya aku. Semua yang pernah aku ucapkan akan aku tarik detik ini" Suga hanya tertawa kecil mendengar gerutuan istrinya yang baru bangun itu "Sungguh keajaiban tuhan.. Trimakasih tuhan, kau membangunkan jennieku" "Tenang saja, meski aku sudah punya dua anak. Tapi aku tetap akan merawat tubuhku tetap seperti ini. Tidak berlebihan atau tidak kurang" "Jen.. Segemuk apapun tubuhmu nanti, aku akan selalu bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau akan tetap cantik di mataku meski semuanya berubah,Kau boleh berubah bentuk atau semuanya, tapi jangan hatimu yang berubah. Hatimu harus tetap untukku" "Siap bos.. Rasa-rasa nya aku ingin muda lagi dan gak ingin cepat tua" "Terserah kau, Tua ataupun muda aku hanya ingin bersamamu saja. Mwah" suga mengecup kening jennie "Aku senang kau tidak jadi menikah dengan wendy. Eh iya, bagaimana ceritanya kok penghulunya bisa marah haha?" "Jadi.. Begini ceritanyaa.... Aku sudah meminta pak penghulu menunggumu bangun selama 1 jam. Lalu... Flasback on Suga POV "Bisa lebih 10 menit lagi?" ucapku "Saya sudah menunggu sangat lama!1 jam. Sekarang saja!" sentak pak penghulu, Tentu saja pak penghulu mungkin sudah sangat kesal, karena sudah disuruh nunggu 1 jam, masih disuruh nunggu lagi "Baiklah.." ucapku gelisah Dari tadi wendy hanya gugup dengan pernikahan ini. Jadi dia memutuskan untuk diam agar lebih tenang. "Tirukan.." Aku hanya mengangguk Pak penghulu mengulurkan tangannya. Lalu aku menjabat tangan pak penghulu tepat diatas perut jennie "Saya trima nikah-" "Tunggu!!!" sentakku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin pernikahannya berhenti,mungkin aku merasa bahwa detak jennie masih ada Wendy dan pak penghulu tentu saja kaget "Apa ada lagi?" tanya pak penghulu "Tunggu saja 5 menit lagi pak tolong!" "Maaf, saya juga ada keperluan. Saya harus pergi. Kalian adalah pasangan yang sangat menjengkelkan. Maaf saya pergi" "Tapi pak.." Pak penghulu langsung pergi dari ruangan.Tidak mungkin memanggil penghulu lagi yang berbeda karena itu pamali Mereka merencanakan pernikahannya minggu depan,tapi jennie terlanjur sudah bangun. Suga POV END Flasback off "Hm.. Jadi gitu... trimakasih pak penghulu, kau telah pergi" ucap jennie "Dasar!" suga mengacak-acak rambut jennie "Apa kabar BTS?" "Entahlah, Aku tidak bilang pada mereka. Takutnya mereka kaget atau malah membuat ramai rumah sakit. Apalagi si kunyuk taehyung itu, pasti dia akan marah-marah padaku karena kau sakit, Dasar menyebalkan" "Hey.. Umurmu sudah tua, kenapa kau masih saja cemburu.." "Aku masih muda" "Muda-muda ko anaknya sudah dua haha" kekeh jennie "Kau tau?? Aku ingin kau tidur lagi, Dan gak bangun. Sangat menyebalkan!" suga beranjak dari pelukan jennie "Papa.. Jangan marah hahah" "Terserah kau saja" "Aku ingin bertemu dengan wendy. Dimana dia??" jennie mencari wendy Wendy POV Suasana diatas gedung rumah sakit lebih baik daripada di dalam ruangan jennie,untung saja aku belum menikah dengan suga,maka seumur hidupku aku tidak akan merasa bersalah. Bayangkan saja jika aku sudah menikah dengan suga dan jennie hidup maka ceritanya akan sangat menyedihkan,yang paling awal menyedihkan adalah aku,karena aku akan jadi istri kedua yang dicampakkan Rasanya aku ingin pergi saja,Sudah gagal satu kali, kali ini dua kali. Sial! Drtt........ "Hallo?" sapa wendy kepada penelpom "Berputarlah ke belakang manis.." Aku berputar ke belakang karena intruksi dari suara,aku tidak kenal suara ini tapi entahlah aku hanya ingin melaksanakan intruksinya saja "Sial! Hacker! Dasar! Tau darimana aku ada disini?" "Ini" dia menunjuk ponsel yang ia bawa "Sial! Kau selalu tau aku ada dimana Kapan kau datang?" aku memeluknya "Baru saja" "Aku bisa melacakmu pergi kemana saja,tapi jika kau di kamar mandi atau di kamar tidur,maaf aku tidak bisa,takut khilaf hahah" "Kau bisa saja" "Dasar! Pendek!" "Dasar! Gendut!" "Byun baekhyun" "Wendyson" Aku dan baekhyun semakin mengeratkan pelukan karena lama tidak berjumpa,sekitar 6 bulan setelah pertemuan kami di jepang Wendy POV END "Bawakan anakku kesini.. Aku ingin memberinya nama Suga menyerahkan dua anak kembar itu dengan tersenyum bahagia,walau tempo hari suga tidak ada kata untuk bangkit dari situasi ini "Kau bawa yang perempuan,Aku akan bawa gantengku" "Hih,kalau ada cowo langsung fastrespon" "Kenapa?! Kau cemburu pada anakmu sendiri? Dasar!" "Tidak,Kalau aku jadi dia, aku gamau kau gendong. Aku gamau digendong oleh ibu-ibu haha" kekeh suga "Kalau begitu kau juga tidak akan mendapat jatah dari ibu-ibu" smirk jennie "Tidak!! Jangan!! Baiklah kau boleh gendong dia tapi jangan memujinya, Tentu saja lebih tampan papa nya" "Lihatlah papamu itu, sungguh memalukan kan? Dia masih seperti anak kecil" "Aishhhhh..." Jennie tertawa lebar "Aku akan memberinya nama JISUNG. Jennie dan suga" ucap jennie "Aku bingung memberi nama apa.." "Aku beri nama dia SUNMI" "Dapat nama darimana?" "Dia mantanku" kekeh suga "Suga!!! Aishh.." "Engga kok,SUNMI itu Suga dan jennie" "Aww romantisnya... Bagus kalau gitu. JISUNG dan SUNMI. jisung yang akan jadi kakaknya" Suga hanya mengangguk lalu mencium pipi sunmi. Sedangkan jennie melakukan hal itu sudah lama saat ia menggendong jisung "Sayang.." "Iya?" "Makasih telah berjuang untuk anakku" suga mengecup kening jennie "Sama-sama,Makasih kau tidak menikah lagi" "Kau lucu sekali" "Kau sangat menyebalkan" "Dasar ibu-ibu!" "Dasar bapak-bapak!" "Aku mencintaimu" "Aku sangat mencintaimu" "Jennie.. Aku ingin kau disini.." "Suga.. Aku ingin kau keluar" "Ha?!! Kenapa?!!" "Aku ingin menyusui bayiku" senyum jennie "Kenapa tidak menyusuiku saja.." "Khusus kau nanti malam saja haha" "Siap haha" Seven Tahun kemudian... Suga sudah meninggalkan pekerjaannya menjadi seorang rapper,Anggota BTS juga begitu, tapi BTS tidak akan bubar. Hanya saja mereka hidup bahagia bersama istri dan anaknya, Tapi si jeon jungkook baru tahun kemarin menikah. Entahlah.. Mungkin sekarang istrinya sudah melahirkan. Kabar wendy, ya wendy. Dia telah menikah dengan baekhyun, dan sekarang tinggal di jepang,Tapi suga dan jennie tetap stay di DAEGU, kota tercinta --- morning "Sunmi!!!! Jisung!!!!!" "Ya ma,Aku bangun!!!" teriak jisung dari kamar atas "Sunmi!!!!!!!" teriak jennie lagi "Aku masih ngantuk ma!!!" gerutu sunmi "Lihatlah! Sifat pemalasmu ditiru oleh gadis kecilmu, Dasar!" ucap jennie sambil menyiapkan makanan di meja makan "Jangan marahi dia, Dia kan masih kecil" "Hei! Seharusnya yang seperti itu adalah jisung, karena dia laki-laki. Pantas untuk menjadi pemalas" cerocos jennie "Susttt" suga menciun bibir jennie spontan. Meski sudah bertambah umur,tapi mereka tetap saja melakukan hal ini "Oh tidak" jisung menutup mata saat melihat orangtuanya sedang berciuman Suga melepaskan tautannya lalu menghampiri jisung, Dan menggendongnya "Jisung.." ucap suga sambil menggendongnya Jisung mengintip-intip di sela-sela jari manisnya "Jisung.. Sini gendong mama" Jisung merentangkan dua tangannya agar jennie menggendongnya "Jisung kenapa sayang?" tanya jennie pada anak laki-lakinya itu "Malu" jawab jisung sambil menutup mulutnya "Kenapa malu sayang?" tanya jennie sambil tersenyum melihat anak laki-laki nya sudah tumbuh besar Jisung hanya menggeleng dan memeluk jennie "Apa kau mau juga? Hm?" jennie menggoda jisung Jisung menggeleng pelan, Lalu jennie menciumi dan melumati bibir mungil anaknya itu. Suga hanya diam dan terus tersenyum melihat anaknya tertawa lebar karena ulah mamanya "Mama, Hentikan!" "Kenapa? Mau lagi?? Hm?" jennie terus saja mengecup bibir mungilnya "Gabole berlebihan" "Ututu putraku bisa saja" jennie mencubit pipinya" "Eh.. Sunmi belum bangun kan? Aku akan membangunkannya" suga pergi ke lantai 2 ke kamar sunmi "Suruh bangun,dasar pemalas" "Mama!!" teriak sunmi dari tangga Ternyata sunmi sudah bangun dan ingin bergabung dengan mama,papa,dan jisung di ruang tamu "Ututuu anak papa sayang" suga menggendongnya ke bawah bergabung bersama jisung --- Night Jennie sedang berduaan dengan sunmi di depan TV,ya hal itu dilakukan mereka saat mau tidur, menonton drakor dan MV k-pop terbaru. "Aku boleh nanya sesuatu?" "Tentu sunmi,Kenapa?" "Papa sakit ya?" sakit apa ma?" "Tidak. Papa mu tidak sakit,Kau tau? Papamu pemberani,Tidak ada yang bisa mengganggunya terutama penyakit" "Tapi jika papa sakit, bilang ya.." "Siap gadisku" jennie mencium pipi sunmi 'Sunmi sangat sayang pada suga. Hingga hal sekecil apapun akan ia tanyakan walau suga hanya batuk atau pilek' batin jennie Sunmi hanya tersenyum 'Kau sudah besar rupanya..sudah bisa memahami drakor, Mungkin critaku dan papamu seperti drakor,hanya saja drakor berjalan dengan sangat mulus. Beda jauh dengan crita kami" batin jennie "Wendy itu siapa ma?" 'Oh tuhan,, sepertinya aku dan sunmi memiliki batij yang sama,Bagaimana ini.. Kucritakan atau tidak ya?' batin jennie "Wendy itu sahabat mama,Tapi bukan dari kecil. Sahabat kecil wendy adalah papa mu suga. Aku kenal dengan papamu juga karena wendy,Sampai akhirnya......." jennie tertunduk tidak kuasa menceritakan masa lalu yang begitu sulit "Sampai akhirnya kenapa ma?" "Sampai akhirnya... tuan putri yang cantik harus tidur karena besok harus sekolah" ucap suga. Jennie hanya tersenyum.sunmi sangat penasaran apa yang di ceritakan,karena selama ini mama dan papanya tidak pernah menceritakan kisah hidup mereka Ntah sejak kapan suga sudah berdiri di belakang mereka "Yah.." gerutu sunmi "Selamat malam sayang.." ucap jennie dan suga sambil mengecup pipi bersebelahan sunmi Sunmi pun naik ke lantai 2 menuju kamar "Apa kau tidak bosan melihat drakor setiap malam hm? apa kau tidak takut anakmu itu akan menghayal karena crita drakor?" "Tidak. Ini kesenangan kami. Melihat ABS dari Oppa" "Kau melihat yang seperti itu?! Astaga.. Sunmi masih kecil" "Tenang saja.. Sunmi masih belum paham apa itu cinta dan apa itu ABS, Dia hanya tau sekedar cerita yang sangat membaperkan. Dia juga sempat senyum-senyum dan pernah nangis saat menonton drakor karena dia sangat fokus saat melihat film yang baginya menyenangkan" "Mama sama anak sama-sama tukang baperan" "Daripada kau selalu menempatkan ilmu lagu pada jisung" "Itu keinginannya aku tidak bisa membatasi,aku tidak ingin seperti papa ku yang melarangku untuk menekuni musik hingga aku selalu sakit dan putus asa,untungnya ada mama yang selalu mendukung tujuanku" "Iya aku izinin,tapi jangan sampai dia kecanduan dan selalu tidur malam" "Iya aku janji" "Kau tau ? Minggu depan dia dan sunmi berulang tahun. Jisung berencana bernyanyi di depan semua tamu yang hadir" suga mengingatkan jennie tentang ulangtahun anak mereka "Aku sampai lupa kalau minggu depan dia berulang tahun,karena tugas rumahku menumpuk" jennie memukul pelan keningnya. Karena banyak tugas yang harus jennie kerjakan, hingga lupa ultah anaknya "Salah sendiri,siapa suruh ga sewa pembantu?" "Aku gamau sewa pembantu,udah bayar,ntar kamu diambil gimana? Kaya di film-film gitu" "Hadeh kan mulai,semoga aja sunmi nanti ga kek gini" "Haha bercanda,selagi aku masih bisa ngerjain tugas rumah ya aku akan bersihin sendiri" "Tentang ultah mereka.." "Kita buat ultahnya meriah. Sangat meriah" "Terserah kau. aku hanya bisa membantu" jawab suga singkat,karena dia sangat pusing dengan 'acara' atau berbau-bau dekorasi,karena dia sangat mager untuk menghias "Aku ingin di umur ke seven, Dia akan bernyanyi untuk kita,makanya aku ingin ultahnya semeriah mungkin, karena diumur ke seventeen.. Jisung mungkin akan menyanyi untuk pacarnya. Bukan hanya jisung, sunmi juga" suga tersenyum pelan membayangkan jika ia akan tua betsama jennie dan melihat anaknya memiliki cerita cinta yang sama seperti cerita cinta mereka berdua,walau tidak mulus. Tapi itu semuanya adalah takdir "Tidak sayang,Diumur keberapapun anak kita, mereka akan selalu bernyanyi untuk kita" jawab jennie lalu memeluk suga "Semoga saja" "Jisung sudah tidur?" jennie mematikan lampu yang berada di atas nakas Suga hanya mengangguk "Aku ingin menjadikan jisung rapper terkenal" "Rapper? Tidak! Aku ingin dia menjadi penyanyi seperti jeon jungkook agar selalu meluluhkan hati para wanita" jennie tersenyum tipis "Papanya jisung itu aku atau jeon jungkook ??" tanya suga geram "Apa kau cemburu lagi? Suga.. Sayangku.. Aku hanya bercanda" ucap jennie Suga memeluk jennie erat "Aku menyayangimu. Sampai saat ini aku masih menyayangimu" "Bohong. Kau masih suka jalang kan?" "Aku menyewa mereka untuk bersenang-senang saja saat kau tidak bisa membuatku merasa senang" jawab suga santai "Apa kau bilang?!!" tanya jennie lalu memajukan wajahnya ke wajah suga "Apa kau cemburu? Sayangku.. Cintaku.. Aku tidak akan meninggalkanmu" suga mengulangi kata-kata jennie "Meski kata-katamu menjiplak punyaku, entah kenapa kata-kata ini seperti baru diucapkan olehmu" ucap jennie "Aku menyayangimu" suga mengecup kening jennie "Ayo tidur" ajak jennie "Tidur di kamar mandi hm?" kekeh suga "Mesum!" "Atau di ranjang saja?" "Aku ingin tidur disini saja Kau tidurlah di kamar" Meski sudah 7 tahun mereka berumah tangga tapi tetap saja masih ada rasa malu saat akan melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh setiap pasangan "Baiklah aku juga akan tidur disini" ucap suga "Suga.. Jangan seperti anak kecil hm.. Tidurlah di kamar" "Aku ingin bertanya" sahut suga yang berhasil membuat jennie deg-degan "Kau besok ada pertemuan atau acara dengan temanmu atau warga?" "Tidak ada,Minggu depan baru akan dimulai.kenapa??" "Besok kita cari kado untuk mereka" inisiatif suga "Baiklah,ayo tidur" "Gamau,aku tidur sini aja" "Yaudah aku tidur sini juga" jawab suga sambil tidur di sebelah jennie di sofa "Suga,bangunlah.. Nanti kau makin pilek kalau tidur diluar" jennie mengelus rambut suga "Kau juga nanti akan sakit kalau tidur disini" "Tapi suga..." "Tapi kenapa sayang? Kau tidak mau tidur denganku?" suga berdiri sambil menatap wajah jennie "Bukan begitu,hanya saja aku belum menamatkan drama eps. Terakhir" jennie malu karena alasannya sangat tidak masuk akal menurutnya,tapi suga tidak suka drama korea,makanya dia tidak suka jika jennie melihat drama korea apalagi malam-malam karena jennie sangat candu pada drama korea "Alasan macam apa itu? Kau lebih mementingkan film daripada kesehatanmu? Dan kau berbohong padaku" suga berdecak kesal "Aku minta maaf" jennie menunduk "Tidak usah minta maaf, seharusnya jujurlah saja kalau kau ingin melihat drakor,aku bisa menemanimu disini" ucap suga lalu membuat posisi tidur di sebelah jennie,untung saja sofa mereka sangat lebar "Apa benar? Ah tidak nanti kau kecapean" jennie menghadap arah suga yang sudah berbaring "Yasudah kalau tidak mau" "Iy-iya iya aku mau kok. Makasih ya sayang.." "Lain kali jujur! Awas" "Kalau jujur ntar kamu marah" "Aku ga akan marah,asal bukan tentang pria lain" ucap suga sambil tersenyum "Yaudah ayo kita nonton" "Tapi ada syaratnya" "Duh suga,kamu tu ah!iya iya syaratnya apa?" "Tidurlah disampingku" "Iya" jennie langsung ikut tidur di sebelah suga Suga memeluk bahu jennie disamping tidurnya "Udah puter aja drama nya" "Suga,aku ga enak posisi kek gini, Mendingan lepasin pelukannya ya" jennie bisa melihat wajah kecewa suga "jangan marah" jennie langsung mengambil posisi duduk "Sini tidur di pahaku" jennie menepuk pahanya Suga langsung menaruh kepalanya di paha jennie dan membuat posisi paling enak dengan memeluk perut jennie "Ga marah kan?" suga hanya menggeleng Lalu jennie memutar filmnya di laptop,dan melihat episode terakhir bersama suga,walaupun suga tertidur. Dasar tukang tidur END Satu minggu kemudian... Hari ini adalah ulangtahun si kembar sunmi dan jisung "BTS kapan datang?" tanya jennie "Sebentar lagi yang, Tunggu" Di rumah mereka sudah ramai anak-anak kecil dari sekolah sunmi dan jisung. Mereka berdandan imut-imut dan yang pasti membawa banyak kado. Bukan di dalam rumah acaranya,Tapi di luar rumah. Kue tart setinggi 1 m,dan hiasan KUMAMON memenuhi halaman rumah, itu kesukaan jisung. Tapi kesukaan sunmi yang serba PINK. Jadi jennie dan suga memadukan warna pink dengan boneka kumamon. Sangat mengagumkan. Sunmi dan jisung berdandan sangat cantik dan ganteng. Tapi orang tuanya tidak kalah ganteng dan cantiknya,Tukang potret sebanyak 10 orang telah menyiapkan Camera on nya. Banyak juga orang tua dari teman-teman sunmi dan jisung memvlog dan membuat snapgram di ponselnya,karena ini adalah ULTAH terbaik sepanjang kota DAEGU "Kapan mereka datang? Ini sudah mau jam 9" "Sebentar sayang.. Mungkin mereka sedang ada di perjalanan "Baik kita tunggu 5 menit lagi" "Mama!!!!" sunmi berlari kearah jennie "Sayang!! Jangan berlari.. Nanti gaunmu kotor, robek gimana?" "Lihatlah.... Mama lihatlah.... Bibi itu membawa kotak hadiah yang sangat besar" sunmi menunjuk-nunjuk seorang wanita "Siapa dia?" jennie tidak begitu kelihatan karena wanita itu ditutupi banyak anak yang berlarian kesana-kemari bermain "Papa!! Lihatlah.. Bibi itu... Dia seperti yang ada di foto papa" "Sebentar sayang.." suga masih sibuk dengan menyulut rokok yang ada di didepan mulutnya Betapa kagetnya jennie Melihat bahwa yang datang adalah sahabatnya sendiri,Wendy . ya wendy "Itu wendy. Sayang!! Lihatlah wendy datang.. Lihatlah..." jennie berlari menghampiri wendy "Wendy? Oh bibi wendy. Mama!! Jangan lari!! Nanti gaun mama robek" teriak gemas sunmi menirukan suara jennie Suga juga ikut menghampiri wendy dengan gerak yang biasa,seolah-olah semuanya sudah selesai "Wendy!! Sejak kapan kau ada disini? Kenapa tak bilang kalau kau akan ke korea? Aku minta maaf saat aku sakit aku belum menemuimu" jennie bertanya histeris "Ah tidak apa itu kan dulu, aku hanya mampir,Sunmi sayang.. Ini hadiahmu. Selamat ulang tahun ya sayang.." wendy mengecup kening sunmi "Makasih bibi.." sunmi memeluk wendy "Pak.. Bawa kadonya ke dalam" suga memerintahkan penjaga pagar membawa masuk kadonya Suga melihat bapak itu seperti kesusahan membawa masuk kado dari wendy "Jika berat, kau bisa minta bantuan yang lain" suga sepertinya melihat orang itu kesusahan,makanya dia menyuruh dia untuk memanggil orang lagi untuk membantunya "Baik pak" "Gila! Kau bawa hadiah apa? Seberat itu" tanya jennie "BOM" Wendy tersenyum riang "Kau kesini sendiri?" tanya suga yang berusaha mencairkan suasana "Baekh masih ada kerjaan di jepang jadi aku kesini sendiri" "Kenapa kau bisa tau ultah anakku?" "Kau lupa? Aku datang sesudah kau melahirkan. Tentu saja aku tau tanggal lahir anak kembarmu" jelas wendy "Tapi bagaimana kau bisa tau aku tinggal disini" jennie brrtanya lagi "Kau lupa? Ini rumah ibu suga,dan aku sering kesini dulu waktu kecil. Dan ibu suga bilang kalau rumah ini sangat bagus untuk acara keluarga. Dan sudah turun temurun" jelas wendy,Jennie hanya diam merasa bahwa dia taktau apa-apa tentang rumah ini dan sedikit canggung karena wendy lebih tau semua tentang suga dan itu pasti "Hm.. Dimana jisung?" wendy mengalihkan pembicaraan agar jennie tidak menunduk "Jisung!!!" suga berteriak pada jisung "Iya papa" jisung berlari menuju suga "Ini bibi wendy" suga mengenalkan wendy "Hai bibi,Aku jisung" "Kau tampan sekali seperti papamu. Sangat tampan" ucap wendy sambil melirik wajah suga "Terimakasih bibi" "Oh ini ada hadiah untukmu" wendy menyerahkan sebuah kotak yang besarnya lebih kecil dari kotak milik sunmi "Trimakasih bibi....." jisung mencium bibir wendy,Wendy membulatkan matanya "Jisung!!! Tidak sopan itu namanya! Bilang minta maaf!" sentak jennie "Maaf bibi..." jisung kembali mencium bibir wendy lalu lari menuju teman-teman sekolahnya dengan membawa kotak dari wendy "Jisung!!!!!!!!!" jennie berteriak. Tapi saat melihat jisung tertawa lebar sambil menghadap ke arah jennie,menampilkan lesung di pipinya. jennie tidak jadi memukulnya, ia malah tersenyum "Anakmu luar biasa haha" kekeh wendy "Ini ajaran dia!" jennie menunjuk suga "Kau! Kau yang slalu membuatku melakukannya" ucap suga memegang tangan jennie "Mm.. Acaranya kapan dimulai?" wendy mengalihkan pembicaraan "Kita mulai sekarang" "Tapi anak bangtan??" "Suga.. Mereka juga sudah menunggu acara ini sangat lama" "Baiklah ayo" Acara dimulai,Anak bangtan belum juga datang. Orangtua jennie tidak bisa datang karena ada tugas di london "Sebelum acara dimulai. Mari kita membaca doa bersama-sama" Setelah selesai berdoa.. Semua bernyanyi bersama-sama "Selamat ulang tahun sunmi dan jisung. Selamat sunmi dan jisung.. Semoga panjang umur" suara nyanyian dari teman-teman jisung dan sunmi Jisung dan sunmi berpelukan,Tapi tiba-tiba ada suara mobil datang "Selamat ulang tahun sunmi dan jisung. Selamat sunmi dan jisung.. Semoga panjang umur" itu suara member bangtan dan blackpink beserta anak-anak mereka. Apa ini kejutan?? Mereka membawa kado yang sangat besar hingga memenuhi mobil pick up "Itu BTS!!!!!!!" semua orangtua dari anak-anak berteriak histeris. Tapi mereka langsung menghampiri keluarga suga, Dan memeluknya satu persatu. Jihoon dan jiae juga ikut serta Semuanya tepuk tangan. Sunmi dan jisung berpelukan. Begitu juga suga dan jennie "Selamat ulang tahun sayang....." "Selamat ultah sunmi.. Jisung.." "Selamat ultah min kecil ya..." Begitu banyak ucapan yang terucap dari mulut anggota blackpink pada sunmi dan jisung atas bertambahnya umur mereka "Semoga kalian panjang umur kembar.." "Sehat selalu ya.." "Gaboleh nakal sama papa dan mama ya.." "Sekolah yang bener ya.." "Jadi orang sukses....." "Jadi rapper terkenal ya.. Seperti papamu" "Semoga kau tidak mesum seperti papamu haha" "Semoga kau sukses di masa depan. Amin" Banyak juga ucapan dari anak bangtan dan teman-teman sunmi dan jisung "Lhoh ini wendy? Hai wen.. Kapan datang?" sapa jisoo ragu "5 menit yang lalu maybe" "Kamu hamil ya? Kok perutnya buncit?" semua pandangan tertuju pada wendy Wendy hanya nunduk sambil tersenyum malu "kalau gitu selamat ya..." "Berapa bulan? Semoga sehat" "4 bulan" "Dimana si pendek?" yang dimaksud jimin adalah baekh,jimin kenal dengan baekh karena mereka berdua dijuluki terpendek di masing-masing agency "Hey! Kau juga pendek hm.." sahut jin "Hehe" "Dia masih ada urusan di jepang" "Baiklah.. Selamat ya.." anggota blakpink memeluk wendy begitu juga jennie walau tidak ikhlas jika mengingat semua yang telah terjadi "Tiup lilinya tiup lilinya!!" sorak-sorak terdengar, Sunmi dan jisung meniup lilinnya lalu tertawa lebar Mereka menyuapi suga dan jennie tidak lupa semua member bangtan dan blackpink. Terutama Mas jihoon sam mbak jiae "Hai semuanya yang lagi makan kue dan minum.. Dengerin suara jisung ya.." jisung bersuara di microphone, Entah sejak kapan dia berada di panggung acara "Putraku Dia pemberani" ucap suga "Dia anakku" sahut jennie berkaca-kaca "Dia anakku juga,Anak kita" suga memeluk jennie. "Betapa bahagianya mereka" batin wendy "Ini untuk papa dan mama ku" ucap jisung Semua mata BTS dan BP tertuju padanya,Juga semua yang hadir begitu meriahnya "SWAG bro.. Niru bapaknya" ucap rapmon "Bagus,Generasi bang suga haha" kekeh jungkook "Gantengnya dapet" ucap taehyung sambil mengamati jisung yang sedang berdiri di panggung tempat ia meniup lilin "Ekhm.. Haruman naege sigani itdamyeon dalkomhan ni hyanggie chwihaeseo gonhi nan jamdeulgopa ppakppakhan seukejul saie gihoega itdamyeon ttaseuhago gipeun nun ane mom damgeugopa" rapper jisung masih putus-putus,tapi semangat untuk bernyanyi,lebih baik daripada papanya yang oemalas "Woahh!!!" anggota BTS kaget "Hebat!!!" "I like that, neoui geu gilgo gin saengmeori ollyeo mukkeul ttaeui ajjilhan mokseongwa heulleonaerin janmeori seoro gachi eodil gadeun nae haendeubaegeun ni heori Yo ma honey bol ttaemada sumi makhyeo myeongdong georicheoreom uriui bgmeun sumsori nae ireumeul bulleojul ttaeui ni moksorie" jisung menyanyi bagian ayahnya dengan sangat baik (Lagu bts : Just one day *part suga Awal) Jennie terharu hingga berlari menuju panggung tempat jisung berdiri. Jennie menangis sambil memeluk jisung "Kau putraku Putra suga. Kau putraku sayang....hiks.." jennie memeluk jisung erat hingga jisung menghentikan nyanyiannya. Semua orang terharu melihat jennie yang sangat bangga pada putranya yang bisa bernyanyi seperti suaminya. Sangat bagus meskipun tidak sehebat orang dewasa,setidaknya dia berani dan mau "Aku terharu..." ucap jhope "Hiks.." lisa menangis Jisoo, rose, dan jiae baper, Wendy yang menyaksikan hingga menangis "Ga kaget,Dia putra seorang rapper. Bapaknya rapper, Emaknya rapper, Anknya pasti rapper" ucap salah satu ibu dari teman jisung Sunmi melihat saudara kembarnya dan mama sedang berpelukan, ia pun memeluk suga erat lalu menangis "Kau tak boleh menangis. Liat jisung, Dia keren kan? Kau ingin seperti itu kan? Aku sangat menyayangi kalian" suga menciumi pipi mungil sunmi "Mama dont cry please..." jisung mengusap air mata bahagia jennie Jennie hanya mengangguk lalu memeluk jisung lagi "Please mom.." jennie menghapus air matanya sendiri "Aku mencintaimu mama" "Aku juga mencintaimu Jisung.." jennie memeluk jisung erat Semua mata tertuju pada mereka. Semua mengeluarkan tepuk tangan yang meriah. "Dia memang anakmu sobat" ucap jin sabil menepuk punggung suga Suga hanya mengangguk "Peluk mama. Cium mama" Jisung melakukan semua yang diperintah jennie di depan semua orang "Ciuman anakmu keren sekali haha Berasa sudah gede haaha" kekeh taehyung "Tentu saja aku yang mengajari" jawab suga santai "Dasar!" ucap rapmon Acara ulang tahun telah selesai, wendy juga ikut pulang karena ada urusan,jadi tidak bisa berlama-lama disini. Kini semua orang sudah pulang,Tinggal anggota bangtan dan BP yang tetap di rumah suga. Mereka membantu membuka kadoan yang di dapat "Jisung!! Hebatt! Tos dulu.." jin mengajak tos jisung karena kehebatannya tadi "Gila! Kadoan sebanyak ini untuk sunmi dan jisung??" tanya suga pada anak bangtan "Seperti mau pindahan saja" sahut jennie "Ini untuk mereka,Biar mereka lebih semangat bermain dan belajar" "Papa! Kado dari bibi wendy belum dibuka" teriak sunmi "Nanti saja dibukanya" "Sekarang.." sunmi menggerutu "Papa! Lihatlah!Mama wendy membelikanku Ipad yang terbaru!! Wawww!!!!" "Selamat ya.. Meski kau ada mainan yang bagus, Tapi jangan lupa belajar ya.." "Siap kak jihoon" "Wahhh mobil-mobilan semua ini untukku?" teriak jisung saat melihat isi dari kado anggota bangtan "Dan boneka ini untukku? Buku cerita? Aku sukaaaaa!!" sunmi berteriak kencang saat melihat hadiah dari anak bangtan BTS DAN BP hanya tersenyum senang saat melihat hadiah yang mereka bawa sangat disukai oleh sunmi dan jisung "Tak kusangka kita masih akan berkumpul seperti ini seperti dulu Walau kita sudah hampir tua dan memiliki anak" namjoon melankolis "Hehe tapi BTS tidak akan tua, Kita akan tetap selalu muda. Muda seperti jihoon benar kan?" ledek suga "Anggota BP juga seperti jiae bukan??" sahut jennie "Ah yeah!! Hahahah" sahut member blackpink, Yang lain hanya diam Suga menuju tempat kadoan wendy. Suga membuka kotak besar itu Lalu aku melihat semua mainan masa kecilnya tertampung disini "Oh tuhan.. Dia masih menyimpannya" suga menemukan surat Selamat ulang tahun sunmi:* Semoga kau panjang umur,sehat selalu, dihormati orang,selalu di beri kebahagiaan. Dan jangan nakal pada mama dan papamu ya. Ini mainan masa kecil bibi, Semoga kau bisa menjaganya sampai besar nanti. Sebagian adalah pemberian papamu. Mungkin papamu masih ingat cara mainnya semua ini,Maaf aku memberi hadiah lama ini. Maaf hadiahmu tidak sebanding dengan hadiah milik jisung,aku memberi ini padamu karena kau wanita dan suatu saat nanti kau akan tau dan mengerti,beda dengan jisung,laki-laki tak pernah kenal yang namanya kenangan. Bagiku hadiah ini adalah segalanya,hidupku,dan cinta pertamaku. Wendy. Suga meneteskan air mata membaca surat itu Lalu suga menemukan mainan yang ia dulu pernah mainkan dengan wendy saat kecil,suga hanya bisa menyesali dan meneteskan air mata Tanpa disadari, ternyata sunmi melihat semuanya "Papa,Apa kau menangis??" sunmi menghambur ke pelukan suga Suga langsung menyembunyikan surat itu dari gadis kecilnya "Ah tidak sayang, papa kelilipan karena membuka kado dari bibi wendy,Soalnya kadonya sudah lama. Isinya mainan masa kecilnya. Semoga kau suka ya.." suga menyembunyikan yang sebenarnya terjadi,itu bukan mainan wendy saja,tapi juga mainannya.Ia takut jika sunmi sampai memikirkan dan bilang pada jennie jika itu mainan wendy dan suga dulu,bisa saja jennie marah dan membuang semua mainannya "Iya papa" "Papa boleh ambil hadiahnya satu? Yang ini" ucap suga sambil menunjukan bola separuh "Kenapa papa ambil bola jelek itu?" "Jelek ya.. Ini mengingatkanku pada seseorang yang mengejek bola ini" ucap suga "Ha? Papa bilang apa?" "Ah tidak sayang.. Ayo kita keluar" "Baiklah papa boleh ambil bola ini,lagian ini jelek sekali" "Kau tidak boleh seperti itu,meskipun jelek,tapi ini adalah kado pemberian terindah yang pernah ku lihat" "Iya papa maaf" -skip "Aku kekenyangan.. Hufftt rendangnyaa enak sekalii" Lisa sedang makan bersama jungkook "Sup rumput lautnya Hm...." jungkook memakan lahap rumput laut buatan jennie "Kakak,kau tampan" ucap sunmi kepada jungkook "Hahah kau bisa saja gadis kecilku,aku adalah papa,bukan kakak lagi" jawab jungkook sambil mengelus kepala sunmi "Tapi masih tampan aku kan?" ledek taehyung "Tidak lebih tampan dari papaku" jawab sunmi gemas,tae hanya tertawa melihat sunmi yang begitu lucu "Takkusangka jiae yang dulu ku uyel-uyel pipinya sekarang sudah besar dan sangat cantik,Juga jihoon yang dulu kusuruh membaca hingga ketiduran sekarang menjadi setampan ini" ledekan jennie berhasil membuat pipi jiae dan jihoon memerah "Yah.. Anakku kau baperi " kekeh rose Yang langsung mengelus kepala anak laki-lakinya itu "Anakku juga hahaa" kekeh jisoo pelan "Jisung cita-citanya jadi apa?" tanya jimin "Jisung ingin jadi penyanyi" jisung sangat lucu "Benarkah??" Jisung hanya mengangguk.. "Woah!! Darah-darah rapper" "Jika kau ingin belajar rapper bisa ke kak jihoon,Dia bisa rapper meski sedikit" ucap namjoon "Baik paman" Suga dan sunmi ikut bergabung di ruang tamu "Kau kemana saja? Cepat suapi sunmi. Dengan sup rumput laut" ucap jennie pada suga "Aku habis membuka kado dari wendy" "Apa isinya?" jennie penasaran "Mainan masa kecilnya" "Hm.. Oke,Simpan baik-baik ya sunmi.. Mungkin kado milik bibi wendy lebih berharga daripada kado yang lain" "Baik ma,sunmi akan menjaga kado itu" "Ini makan ya.." ucap jennie yang menyodorkan piring pada suga Jisung sedang main game dengan jihoon. Sedangkan sunmi sedang makan dengan suga. Yang lainnya sedang mengobrol ria karena lama tidak bertemu "Oh iya! Mama! Kado untuk jisung mana?" jisung mengehentikan main gamenya lalu menghampiri jennie yang sedang makan bersama suga "Punya sunmi mana?" sunmi ikutan menghampiri jennie berharap diberi hadiah yang lebih besar dari yang lain Jennie hanya diam. Suga malah tidak tau apa-apa,saat mereka pergi ke mall,jennie hanya berkeliling dan beli makan saja tanpa memberi mainan atau sebuah kado "Apa kalian tak memberikan mereka hadiah? Sepelit itukah seorang rapper pada anaknya? Apalagi ulang tahunnya sangat meriah" ledek rapmon "Bukan begitu.. Hanya saja.. Ini urusan jennie kalau masalah hadiah. Aku hanya memberinya uang dan mengantar saja" suga berusaha membela dirinya "Apa jangan-jangan hadiah ultah sunmi dan jisung dibuat belanja sama jennie haha" ledek rose kepada jennie "Tidak, Hadiahku..." ucap jennie deg deg an Semua mata tertuju pada jennie Suga masih bingung apa yang dikatakan jennie,sebenarnya hadiah apa ini? "Aku menyiapkan hadiah yang jarang diberikan oleh orangtua lainnya" jawab jennie singkat "Apaa?" tanya jisoo Semua semakin berwajah serius,walaupun hanya hadiah "Mama!! Cepat! Apa hadiahnya!!" sorak jisung sangat ingin tau apa sebenarnya hadiah yang akan diberikan oleh orang tuanya,dan jisung membayangkan hadiahnya adalah headphone terbagus "Iya ma! Ayo cepat!! Ayo.." sunmi ikutan,suga hanya tersenyum melihat anaknya merengek kepada jennie menurutnya itu sangat lucu Hih nih bocah kepo amat ya.. "Red lines two" ucap jennie malu lalu memeluk kedua anaknya "Sayang, kamu hamil?" tanya suga kaget lalu tersenyum Jennie hanya mengagguk,Lalu suga memeluk jennie erat. Semua tersenyum bahagia "Hore!!!! Jisung mau punya dede!! Hore!!!" "Hore!!! Sunmi juga hore.." Sunmi dan jisung berpelukan "Selamat kalian akan memiliki keponakan baru" kekeh suga kepada semuanya "Ternyata hadiah yang jennie berikan bukan hanya untuk jennie dan jisung. Tapi juga untuk dunia bahwa generasi rapper ketiga akan lahir setelah jisung" ucap namjoon Mereka tersenyum bahagia karena kabar baik yang diberikan oleh jennie. ~ Segala sesuatu akan baik-baik saja,percayalah. Jika kau ingin sekali memutar waktu,itu bisa saja kau lakukan dengan cara berusaha dan berdoa, Maka segala sesuatu dan masa lalu yang mengganggumu akan pergi menjauh dan memberimu kebahagiaan Satu hal yang pasti,percayalah bahwa cinta dan keajaiban selalu 'ada' END Description: (Nama lengkap : Audry kaniya sonik ) medsos Ig: @audrykan_ fb:@audrykaniya wattpad:@audryxan "Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka2019"
Title: RUN Category: Cerita Pendek Text: Kuasa Rayn memandang keluar jendela melihat anak-anak yang terlambat tengah disidang di lapangan. Mereka terlihat ngos-ngosan akibat berlari kemudian berbaris rapi menghadapi pertanyaan demi pertanyaan. Dalam hati kecil, Rayn berkata, Sekolah tempat menuntut ilmu, tapi nggak ada ilmu yang aku dapetin disini. Di lain sisi, seseorang telah memanggil nama Rayn berulang kali hingga pada panggilan terakhir, Rayn mendapatkan hadiah spesial berupa lemparan spidol. “Aw!” pekik Rayn mengusap kepalanya. Rayn melirik kesal, berniat ingin menghajar siapa yang beraninya melempar. Tak disangka, Rayn mengurungkan niatnya. Terlihat, Pak Beni sedang melotot ke arahnya. Guru bahasa Inggris sekaligus kepala sekolah yang sangat disegani oleh seluruh warga sekolah. Namun, tidak bagi Rayn. Baginya, mau dia seorang kepala sekolah atau seorang anggota DPR sekalipun, tidak seorang pun berhak berlaku semena-mena hanya karena memiliki jabatan tinggi. “Apa?! Tidak terima?” tantang Pak Beni. Rayn menghela napas menahan kekesalannya. “I asked again, what's your dream?” “My dream is to see you not coming today.” Seluruh penghuni kelas terkejut. Begitu pun, Pak Beni yang menjadi geram dan memutuskan, “Ok, please get out of my class!” Tanpa basa-basi Rayn menyetujui dengan berdiri. Dery, teman akrabnya geleng-geleng kepala melihat kelakuan berani teman satunya ini. Berani, percaya diri, dan tidak mengenal rasa takut, karakter kuat yang melekat pada diri Rayn Jevian *** Diusir dari pembelajaran bukan hal pertama bagi Rayn. Skorsing selama seminggu pun pernah ia jalani. Tidak masalah tidak mengikuti pembelajaran, karena baginya, mimpinya juga telah terkubur oleh harapan. Jadi, untuk apa ia melanjutkan. Kenyataan pahit yang ia harus terima. Diskorsing oleh pihak manajemen karena dituduh menggunakan doping. Tidak memiliki koneksi, hanya berbekal pada prestasi. Tidak ada yang percaya bahwa itu nyata. Sekalipun percaya, tidak bisa berbuat apa-apa. Hidup berat. Seperti semut dan manusia yang hidup berdampingan. Semut yang tidak memiliki kesalahan apa pun, suatu ketika akan terinjak oleh manusia. Bukan karena ketidaksengajaan, tapi karena pada dasarnya manusia memiliki kuasa yang lebih besar dari semut. Begitu pun hidup, hanya orang berhati besar dan berjiwa kuat yang dapat bertahan. Layaknya semut. Rayn bukannya menyerah pada mimpinya menjadi atlet lari. Hanya saja ia telalu bimbang untuk memutuskan berlari mengejar impian atau berlari merelakan impian. Karena ada beberapa faktor yang sulit baginya untuk kembali. Salah satunya yang telah terjadi. Sembari berjalan di lorong kelas melihat sekitar dan merasakan udara segar, sebuah pesan terkirim masuk di hp-nya. Nomor tak dikenal yang berhasil membuat tangannya terkepal. Kirim duitnya atau ibu kau akan mati! Hidup atau mati Rayn berlari menuju parkiran dengan emosi yang menyulut. Ia mengambil sepedanya dan mengkayuh keluar, tanpa disadari beberapa guru dan satpam meneriakinya. Rayn tidak peduli. Pikirannya sekarang hanya menyelamatkan mamanya dari gerombolan lintah darat mengerikan. Rayn mengkayuh cepat sepedanya. Gambaran mamanya yang sedang ketakutan terlintas di benaknya. Laju kecepatannya semakin ditambah. Tiba-tiba, Rayn merasakan ban sepedanya semakin lama semakin mengempis. Stirnya pun menjadi oleng. Rayn menepi. Di lihatnya kedua ban sepedanya. Dan benar, bocor. Rayn mendesis kesal. Tak lama ponsel Rayn bergetar memberikan notifikasi pesan. 10 menit lagi nggak datang, nyawa ibu kau melayang. Rayn berteriak meluapkan emosi dan menendang ban sepedanya. Tidak ada lagi cara selain berlari. Toh, kecepatan larinya tidak kalah dengan kendaraan. Rayn mengambil ancang-ancang, melemaskan kaki dan tubuhnya terlebih dahulu. Dan, yak! Hitungan ketiga ia berlari kencang. Menerobos jalanan dengan kecepatan kakinya hingga orang yang di tengah kemacetan memandanginya kagum. Tunggu Rayn, Ma. *** 5 menit berlalu, tinggal beberapa kilometer ia akan sampai. Namun, seseorang berbadan besar berlari dari arah berlawanan menabraknya. Mereka terjatuh. Pria itu tanpa mengucap maaf segera berdiri dan berlari. Tampaknya ia tengah dikejar. Tampilan mencurigakan dengan menenteng tas wanita membuat Rayn sejenak memandangi. Ah, ia segera membuang jauh prasangkanya. Bukan urusannya. Rayn berdiri dan seorang wanita paruh baya datang mencengkram tangannya. “Mas, Mas, tolong kejar dia,” pinta wanita itu dengan nafas naik turun dan penuh keringat. “Maaf, Bu, tapi saya ada kepentingan.” “Mas, tolong itu hidup dan mati saya ada di situ,” pinta wanita itu lirih dan tak lama nafasnya sesak dan jatuh pingsan. Rayn menangkap tubuh wanita itu. Pikirannya benar-benar kalut. Di satu sisi ibunya tengah ketakutan di rumah dan di sisi ini seorang ibu juga tengah ketakutan hingga pingsan. Ia harus memilih di antara keduanya. Rayn melirik jamnya. Ia berpikir sejenak memperhitungkan segalanya. Beberapa detik, ia memilih keputusan. Di letakannya wanita itu di pinggir dan kembali berlari. *** “Woy, Maling!” teriak Rayn melihat punggung Pria itu. Rayn mempercepat larinya dan si Pria berdecih tak senang melihat seseorang mengejarnya. Si Pria mempercepat kecepatannya begitu pun Rayn mempercepat kecepatannya. Sekarang mereka berdua sejajar, Rayn segera menarik kerahnya tapi Pria itu berhasil menghindar. Rayn berdesis dan mengejarnya lagi. Berada di posisi yang sama hingga beberapa kali tak kunjung juga tertangkap, Pria itu akhirnya berhenti karena saking lelahnya. “Gila, lo manusia apa jelmaan flash, nggak ada capeknya,” keluh si Pria bak kehabisan napas. Rayn mengatur napasnya dan langsung mengambil tas itu tanpa mengucap sepatah kata pun. *** Setelah sampai, Rayn menolah-noleh mencari keberadaan wanita itu. Ia bertanya kepada beberapa pejalan kaki yang lewat. “Maaf, Mas, lihat ibu yang umurnya sekitar 50-an tergeletak di sini, nggak?” Pemuda itu menggeleng. “Maaf, Pak, lihat ibu yang umurnya sekitar 50-an tergeletak di sini, nggak?” Bapak itu menggeleng. Ah, kemana dia. Rayn melirik jamnya, 10 menit ternyata telah berlalu. Tidak ada waktu lagi, Rayn berlari ke rumah, menyingkirkan pikirannya dulu terhadap wanita itu. *** Baru saja membuka pagar, terlihat sebuah pistol tertodong tepat di kepala mamanya. Ira, menangis memohon ampun kepada 4 orang debt collector. Namun, para debt collector menyeramkan itu tidak peduli. Mereka semakin menggertak dan mengancam. “ANAK KAU MANA INI ANAK KAU!” “UDAH JAM BERAPA INI TOLOL??” “DALAM HITUNGAN KETIGA DIA NGGAK NONGOL, NYAWA KAU YANG BAKAL JADI BAYARANNYA!” Tangan Rayn mengepal. Ia tidak bisa tinggal diam begitu saja. “OKE. SATU.” Rayn berlari. “DUA.” Rayn meloncat menendang pistol itu hingga terlempar jatuh ke lantai. Mereka semua terkejut. Spontan 2 anak buah itu mengeluarkan pistol mengarah ke sumber kekacauan. Rayn menyembunyikan mamanya yang ketakutan di balik punggungnya. “Berani sekali Anda menyentuh mama saya!” Si bos mendekat dan menendang salah satu kaki Rayn hingga Rayn sedikit kehilangan keseimbangannya. “Nggak usah banyak bacot kau bocah, duit mana duit?!” Rayn menunduk. Ia menyadari jika ia datang hanya berbekal diri. Ia mencari cara bagaimana mengusir monster-monster ini dari rumahnya. Sementara mamanya di belakang menggigil ketakutan. “Apa? Jangan bilang kau tak bawa apa-apa?!” “Kau main-main dengan aku?!’ “Hah, nampaknya kau memang mengangap remeh aku!” Rayn tetap diam sembari menjaga mamanya di belakang. Ia rela jika harus menjadi sasaran tonjokan mereka asal mamanya tidak terluka. Saking kesalnya, si bos menendang sebelah kaki Rayn. Rayn bersikeras menahan sakit. “Oke. Nampaknya kalian ingin membayarnya pakai organ dalam kalian.” Si bos merogoh sesuatu dari sakunya. Mengarahkan pistol revolver berjenis WG M701 Airsoft ke arah mereka. “Oke, jika itu mau kalian.” Rayn dan mamanya tidak berkutik. Si bos mulai menarik pelatuk. Salah satu anak buahnya ternyata menyadari sesuatu. Ia berbisik. Mata si bos melebar, melirik sesuatu di dekat Rayn. Si bos tersungging lalu mengambil benda itu. Rayn yang menyadarinya segera menarik tas wanita itu kembali. Si bos berhasil mendapatkan dan mencoba membuka, mengecek ada sesuatu apa di dalam. Tak disangka, mata si bos membulat sempurna terkejut bukan main. Kejujuran Aku nggak punya mimpi dan tujuan. Karena, aku nggak akan tau, apakah aku masih ada besok. Bahkan, jika hari ini aku masih hidup, mungkin itu mimpiku. Rayn sangat pasrah. Ia menutup matanya sembari menggenggam erat tangan mamanya yang dingin di belakang. Memunggunginya sebisa mungkin agar tidak terkena tembakan. Si Bos mulai menarik pelatuk. Salah satu anak buahnya ternyata menyadari sesuatu. Ia berbisik. Mata si Bos melebar, melirik sesuatu di dekat Rayn. Si Bos tersungging lalu mengambil benda itu. Rayn secara cepat menyadarinya, segera menarik tas wanita itu kembali. Setelah tarik ulur yang cukup panjang, si Bos berhasil mendapatkannya. Ia mencoba membuka, mengecek ada sesuatu apa di dalam. Tak disangka, mata si Bos membulat sempurna terkejut bukan main. Uang segepok-segepok memenuhi seluruh isi dalam tas. Rayn yang melihatnya sama terkejutnya. Rayn mengais tas itu kembali dan disambut elakan tangan dari si Bos. “Eits, oke aku anggep 50% utang kalian lunas. Dan, jangan lupa bunga 5% setiap bulannya.” “Apa?” Rayn terkejut. Jika dipikir uang sebegitu banyaknya hanya dianggap 50%? Dan masih juga dikenakan bunga? “Anda punya otak, nggak, sih?!” Rayn mulai geram. “Apa?! Tidak terima?” Deg. Rayn terdiam sejenak. Kalimat itu sepertinya tidak asing baginya dan mengingatkannya kepada seseorang yang tidak ia suka. “Oke. Hari ini udah clear. Cabut.” Para debt collector itu melangkah pergi diiringi mobil SUV hitam di luar yang tiba-tiba melaju. *** Setelah mengurus mamanya yang sangat terguncang oleh kejadian tadi, Rayn baru bisa beranjak keluar. Butuh waktu yang cukup lama untuk menenangkan psikis mamanya. Meyakinkan kalau segalanya sudah baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Badai telah berlalu, pelangi akan merayu. Di tinggalkan begitu saja oleh suaminya 3 tahun lalu menjadi momok menakutkan bagi Ira. Ketakutan, kegelisahan dan kecemasan berlebih menghantam mentalnya. Telah sampai, Rayn tidak melihat keberadaan sepedanya lagi. Ia clingak-clinguk ke sana kemari mencari. Ia sangat yakin sudah merantai sepedanya kuat dengan sebuah pohon di sana. Namun, bagaimanapun juga, namanya pencuri akan selalu lihai dalam melakukan aksinya. Rayn melirik jamnya. Sebentar lagi shift kerja malamnya akan dimulai. Tanpa berpikir lama, Rayn memutuskan pergi. Tidak ada gunanya juga menunggu. Sepedanya juga tidak akan tiba-tiba muncul. Rayn berganti baju, mengenakan seragam sama seperti lainnya. “Baru dateng, lo?” tanya Dery, teman satu kelasnya sekaligus anak pemilik store. Rayn berdeham sembari mengancingkan kancing atasnya. “Ke sana dulu.” “Oh, oke-oke,” balas Dery sembari menegak minuman bobanya yang hampir tersedak karena tepukan keras Rayn. Betapa beruntungnya, Rayn, memiliki teman sebaik Dery. Berkat Dery, Rayn dapat bekerja part time di salah satu store mall milik ayahnya. Dan, berkat Dery juga, pekerjaan Rayn dapat menyesuaikan dengan jadwal sekolah ataupun jika ada hal mendesak lainnya. Rayn membantu mendorong troli belanjaan milik seorang wanita tua. Selama perjalanan menuju basement, mereka berbincang sedikit. Semua belanjaan telah masuk ke dalam bagasi, Rayn menutupnya bersamaan dengan beberapa satpam yang tengah berlari. Rayn fokus mengamati sejenak dan pundaknya ditepuk oleh wanita tua itu, hendak mengucap terimakasih. Rayn sedikit terkejut, menoleh dan membalasnya dengan anggukan. Pandangan Rayn fokus mengamati lagi. Ia mencari siapa yang tengah dikejar oleh satpam. Seseorang bertudung jaket dengan kacamata hitam berlari memasuki parkiran yang sama. Rayn bergegas mengejar sembari mendorong troli kosong. Rayn mempercepat larinya dan dari arah tikungan, Rayn mendorong trolinya keras mengarah ke seseorang itu dan berhasil terjatuh. Rayn mendekat. “Biarin gue lolos plis,” nego Pria itu sembari mengeluarkan sesuatu. “Nih, gocap ambil.” Sedikit ragu, perlahan Rayn mengambil uangnya dan membantunya berdiri. Pria itu tersenyum girang. “Thanks.” Sambil menepuk bahu Rayn. Pria itu hendak kabur lagi tapi tangan Rayn menahan dadanya. “Apa sih, kurang?!” seru Pria itu. “Udah gampang ntar.” Pria itu menengok, satpam sepertinya mengetahui keberadaannya. Ia semakin cemas. Rayn mendengus tawa. Ia mendekatkan wajahnya tepat di telinga si Pria dan bersuara tajam, “Akhlak lo yang kurang. Mending lo masuk penjara, nggak perlu susah-susah lagi nyari duit buat makan” “Sialan.” Pria itu memberi pukulan dan berhasil dielak oleh Rayn. Rayn mengunci kedua lengan Pria itu dari belakang. “Bukti udah di tangan gue, lo pasti bakal di tahan dengan 2 kasus yang cukup berat. Pencurian dan penyuapan.” Pria itu mengeram dan tak lama berhasil membanting tubuh Rayn. Rayn terjungkal. Pria itu lolos. Salah Pagi yang cerah dengan hamburan para siswa yang bergegas menuju kelas. Menyalin PR yang tidak sempat mereka kerjakan semalam. Bersuara gaduh meminta jawaban ke sana kemari. Namun, tidak dengan Rayn. Rayn berjalanan lambat di lorong menuju kelas. Dan, dari belakang seseorang menepuk keras punggungnya. “ANJ---” umpatan itu tertahan. “Kenapa, lo?” Dery sedikit terkejut. Rayn menggeleng, menahan sakit. Dery semakin penasaran. Bukan, Dery namanya kalau tidak iseng. Ia menepuk punggung Rayn berkali-kali, mengetes. “Si kampret!” Rayn mengejar Dery yang kabur cengengesan. *** Untuk pertama kalinya, Rayn tidak mengikuti pelajaran olahraga karena sakit. Punggungnya masih nyeri akibat terbanting kemarin. Ia duduk di pinggir lapangan bersama dengan teman-temannya yang menunggu giliran main. Dery menghampiri dengan berpura-pura jatuh pingsan. Rayn yang sudah khatam, menyikut kepala Dery. Dery melirih sesaat. Kemudian, duduk di samping Rayn. “Lo inget nggak, kalo lo nggak digigit anjingnya Pak Mamat, lo nggak bakal jadi kayak sekarang.” Rayn nyengir. “Sialan.” “Serius gua, itu anjing ngebawa berkah.” Rayn tertawa kecil sembari tetap melihat teman-temannya yang seru bermain lari estafet. “Berkah apaan, gue demam abis itu,” sanggah Rayn. “Yee ... itu tu bagian dari stretching.” “Stretching pala lu. Gua sampe nggak masuk 3 hari.” “Ya itu mah lu-nya aja yang lemah.” Rayn menatap horror Dery sesaat kemudian secara cepat menaruh kepala Dery di bawah keteknya. Dery tertawa terpingkal-pingkal sembari mencoba melepas kaitan. Rayn semakin menguatkan lengannya. Tiada hari tanpa mereka bergelut. Seseorang mendekat dan bersuara, “Rayn, lo dipanggil ke BP, tuh.” Mendengar itu, Rayn melepaskan Dery. Ekspresinya seketika berubah. Ia beranjak sambil berpikir apa kesalahannya. Walau sebenarnya, ia tidak masalah untuk datang. “Eh, Sudjatmiko, lo abis ngapain?” tanya Dery sambil berteriak. *** Rayn berjalan menuju ruang BP. Ia tampak gagah dengan badannya yang atletis. Tidak ada yang perlu ditakutkan selama ia tidak berbuat kesalahan. Rayn memantapkan langkahnya, masuk membuka pintu. Pintu perlahan terbuka dan menampilkan sosok 2 orang wanita: guru BP dan ... Rayn terhenti. Ia mematung dan tercengang seketika. Pandangan lurus menatap wanita itu dan tak lama wanita yang ia tatap menolehnya kemudian. Rayn menunduk, mengalihkan pandangan. Jantungnya berderu. Bu Okta yang melihatnya, segera memanggil Rayn supaya mendekat. Langkah Rayn terasa berat. Wanita itu ialah pemilik tas yang telah ia selamatkan dan hilangkan. Terlintas di pikirannya, Terkadang menjadi pengecut, tidak ada salahnya. Oke. Rayn memutar tubuhnya 180 derajat berbalik arah menuju pintu keluar dengan wajahnya yang masih tertunduk. Bu Okta yang melihatnya, bergegas mengeraskan suaranya. “Raynn!” Rayn terhenti. Ia tidak dapat berkutik. Lagipula, ia sudah masuk ke dalam kandang macan, yang di dalamnya hanya terdapat dua pilihan: pergi atau melawan. “Raynn!” Bu Okta memanggilnya lagi. Ekspresi bu Okta terlihat sangat senang. Ia melambaikan tangannya tersenyum lebar. Rayn mendongakkan wajahnya bak mencari kekuatan. Lalu, berbalik dan menghampiri mereka. Masalah tidak akan selesai jika kita menghindari. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapi. Apapun yang terjadi. “Iya, Bu,” sahut Rayn ragu. Bu Okta beranjak dan menepuk bahu Rayn. Rayn meringis, tepukan itu tepat mendarat di lukanya. “Wah, Ibu bangga sama kamu.” “Hah?” Rayn sedikit tersentak. “Kamu ini memang ...” Kalimat itu terhenti dan bu Okta beralih mengacungkan kedua jempolnya. Rayn kembali menunduk. Ia bersalah dan kondisi seperti ini sangat salah. Wanita itu mendekat. “Maaf, kemarin saya pergi tanpa bilang ke rumah sakit.” Rasanya, Rayn ingin sekali menutup kedua telinganya. “Terima kasih sudah membantu saya mengambil tas saya.” Bu Okta semakin menepuk bahu Rayn, bangga. Rayn meringis menahannya. Ia sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana bisa, ia mendapat pujian sementara barangnya saja sudah tiada. “Emm ... boleh saya ambil tas saya sekarang?” tanya Maria to the point. “Oh, boleh-boleh,” respon cepat bu Okta. “Rayn, sekarang kamu ke rumah, gih, ambil barangnya.” Rayn menunduk cemas. “Maaf.” Bu Okta dan Maria saling memandang bingung. Bu Okta seperti bisa menyimpulkan, “Oh, ada ulangan? Yaudah gampang ntar Ibu izinin.” “Maafin saya.” Bu Okta dan Maria saling memandang lagi. Bu Okta mendadak cemas. Ia mendekatkan wajahnya, memegang bahu Rayn seolah apa yang ia pikirkan semoga tidak benar. “Raynn?” Rayn tetap teguh pada tundukannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa buruk. Yang bisa ia lakukan hanya menunduk meminta maaf. Tak lama, seorang murid masuk dengan nafasnya yang naik turun. Setelah menarik napas pendek, ia melapor, “Bu, di depan ada banyak wartawan.” “Apa?!” Langsung saja, bu Okta bergegas keluar melihat keadaan. Rayn menghela napas lega. Perasaannya campur aduk. Antara senang karena kejadian ini ia bisa lolos sementara, tapi juga penasaran, apa yang membuat banyak wartawan tiba-tiba datang. Rayn melirik Maria yang sama penasarannya. Ia melihat dari jendela beberapa murid berhamburan keluar menuju halaman depan sekolah. Rayn memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar. Ia meninggalkan Maria, mengikuti teman-temannya yang berlari ke depan. Kebenaran Yang Tak Terduga 2 orang satpam tampak sigap menutup gerbang sekolah. Para wartawan itu tampak seperti zombie yang ingin masuk mencari celah atas suatu jawaban. Suara gaduh berisik mereka menarik perhatian seluruh warga sekolah. Alhasil, pembelajaran menjadi sedikit terganggu. Tak jauh dari mereka, Rayn berdiri bersama teman-temannya menonton kegaduhan itu. Mata Rayn menyapu sekitar. Pandangannya terhenti ketika mobil SUV hitam yang terparkir di sana tampak tidak asing baginya. Mobil hitam dengan stiker Tri Mishki HZX44 bergambar kuda lari tertempel di bagian pintu depan . Rayn melangkah maju penasaran dan seseorang menepuk bahunya dari belakang. Rayn menoleh, menemukan Maria yang sudah berada di sampingnya. “Ada apa?” tanya Maria mengenai kondisi saat ini. Rayn menggeleng. Sebenarnya ada perasaan was-was di dalam hatinya. Ia sedikit ngeri jika tiba-tiba Maria menariknya pergi ke rumah untuk mengambil tasnya. Tiba-tiba, salah seorang reporter melihat keberadaan Rayn dan berteriak. Rayn teralihkan. Reporter itu kemudian menjulurkan microphone dari sela gerbang dan mengajukan pertanyaan, “Rayn, apa benar skorsing yang kamu jalani saat ini ialah bentuk kecurangan dari pihak lawan?” Alis Rayn menaut. Ia tidak paham apa maksud reporter ini. Satu persartu wartawan yang mendengar itu kemudian berbondong-bondong mengajukan pertanyaan. Kegaduhan itu kini menuju ke arah Rayn. Tampaknya dari awal, tujuan mereka adalah Rayn. Rayn memutar otak tetap tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Setelah mengangkat panggilan, Maria menurunkan ponselnya dan menarik paksa Rayn menjauh. Rayn tidak tahu akan dibawa kemana oleh Maria. Mereka berlari menuju gerbang belakang sekolah. Sebuah mobil SUV hitam itu kini berada di sana. Rayn didorong masuk ke dalam dan Maria mengikutinya dari belakang. Rayn terkejut, pemilik mobil ini ialah Maria. Mobil yang saat debt collector mendatangi rumahnya. “Anda siapa?” tohok Rayn kepada Maria. Rayn juga melirik ke spion dalam. Betapa terkejutnya ia melihat wajah supir itu. Rayn menarik bahu supir, dan benar seperti dugaannya. Ia adalah pencuri yang mengambil tas Maria. Rayn melirik ke area bawah wajah, dari bentuk bibir sepertinya ia juga pencuri yang berhasil meloloskan diri saat di Mall. Dan juga, yang membanting tubuhnya. “SIAPA KALIAN SEBENARNYA?!’ Maria tidak menggubris pertanyaan Rayn dan memberi perintah kepada sang supir, “Jalan.” Mobil melaju. Rayn menjadi semakin panik. Ia berpikir yang tidak-tidak. “SIAL, ANDA BAGIAN DARI MEREKA (DEBT COLLECTOR), YA?!” “APA KALIAN POLISI?’ “WOY, SIAPA KALIAN?!” Rayn berteriak sendiri, ia mencoba menebak-nebak. Pikirannya benar-benar kacau. Sedangkan, mereka hanya diam bungkam. “ANJING! KALIAN PARA OKNUM PERDANGANGAN MANUSIA, KAN?! KALIAN MAU NGAMBIL ORGAN SAYA DAN NGEJUALNYA, KAN?” Detik itu juga, Maria dan supir serempak tertawa. Rayn merasa kondisi ini semakin horror. Maria kemudian menarik rambutnya dari ujung kepala. Wignya terlepas, menampilkan rambut Maria yang sebenarnya. Rambut sebahu berwarna kecoklatan. “Kamu nggak tahu saya?” tanya Maria balik dengan tersenyum. Supir pun ikut tersenyum menimpali, “Kamu juga nggak tahu saya?” Rayn semakin bingung. Ia menggeleng polos. Maria dan supir tertawa kembali. “Saya Maria Hubner ketua umum PB PASI. Kamu bener nggak tau saya? Kalo dia Antonio mantan atlet lari juga, sekarang jadi coach. Kamu nggak tau dia juga?” Rayn tertegun. Shock dibuatnya. “Terus tujuan kalian? Saya nggak paham.” Maria tersenyum. “Saya tau skandal kamu. Saya juga tau kamu atlet potensial. Semenjak rumor itu, saya merasa ada yang janggal. Terjunlah saya menyelidiki yang sebenarnya. Di sela itu, kami melihat keadaan dan karakter kamu yang sebenarnya. Kita nggak butuh atlet yang bagus, tapi nggak punya moral. Tapi, kamu. Kamu orang yang jujur dan bertoleransi. Kepribadian baik kamu yang membuat kami semakin yakin, kalau skandal itu hanya untuk menjatuhkanmu.” Rayn membeku. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ia kesulitan mencerna seluruh kejadian ini. “Sekarang kita menuju stadion, di sana kamu bakal tau siapa saja orang di balik kasus ini.” *** Berhasil masuk ke dalam Stadion Madya, Rayn disuguhkan pemandangan beberapa polisi memborgol oknum-oknum yang terlibat. Di antaranya ialah Pelatihnya sendiri dan Manajer Pelatnas Atletik. Tidak berhenti sampai di situ, Pak Beni, guru bahasa inggris sekaligus kepala sekolah SMA-nya juga terlibat. “Pak Beni disuap sama mereka untuk ngebocorin informasi data pribadi kamu dan menutup semua akses media yang positif menyoroti kamu,” bisik Maria menjelaskan. Tangan Rayn mengepal. Wajahnya memerah geram. Ia berjalan ke arah Pak Beni, bersiap meninju Pak Beni, tapi segera dihentikan oleh beberapa polisi. Rayn berteriak emosi. Emosinya meledak-ledak. Antonio memegangi Rayn yang berusaha ingin menghajar Pak Beni. Ia berusaha sekuat tenaga menenangkan Rayn. *** Hampir 2 jam duduk di bangku penonton untuk menenangkan diri, beberapa lampir kertas melayang di wajahnya. “Ini hasil uji darah dan urine kamu sebenernya. Semua hasil negatif,” papar Maria. Rayn mengambilnya perlahan. Tangan Maria menjulur kemudian. “Selamat kamu diterima kembali.” Rayn membalas uluran tangan itu. Maria lalu duduk di dekatnya. “Lusa besok akan dimulainya latihan untuk Kejuaraan Atletik Asia. Kamu bisa coba kalau kamu mau.” Rayn berdeham pelan. Perasaannya masih bercampur aduk. Kembali 3 Bulan kemudian. Cuaca cerah menghiasi Khalifa International Stadium, Qatar pada sore hari ini. Stadion tampak bersih dengan beberapa penonton yang mengisi bangku tribun. Meskipun tidak penuh terisi, penonton antusias mendukung atlet andalannya dari negara masing-masing. Kembalinya, Rayn Jevian, menjadi ajang pembuktian atas kasus yang menimpanya beberapa bulan lalu. Rayn, yang menjadi sorotan semenjak kemenangannya di Kejuaraan Dunia tahun lalu, ternyata menimbulkan rasa iri dengki terhadap pihak sesama atlet. Media menyatakan Arman Efendi, atlet asal Indonesia ini sekaligus anak dari Manajer Pelatnas membuat rekayasa hasil tes uji darah dan urine. Mereka membuat seolah-olah Rayn menggunakan doping untuk bertanding. Erythropoletin (EPO), jenis doping yang berguna untuk meningkatkan hormon dalam darah, meningkatkan daya tahan tubuh, juga memicu kemampuan energi otot. EPO ini termasuk unsur terlarang yang telah dicetuskan oleh Badan Anti Doping Dunia. Arman dan ayahnya kini mendapatkan sanksi berat atas pelanggarannya membuat dan merekayasa informasi palsu. Pak Beni juga mendapatkan sanksi atas perbuatannya. Ira dan beberapa penonton Indonesia duduk di tribun barat. Ia bersama Dery, Maria dan Antonio menunjukan antusias dukungannya. Apalagi, Dery yang tampak heboh sendiri melihat sahabatnya yang tengah bersiap. Final Round sprint 100m akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Rayn berdiri bersama atlet-atlet lainnya di arena lintasan. Rayn berdiri di lintasan 8 dengan setelan seragam atletik bernomor dada 320. Ia juga menjadi sprinter termuda di antara semua lawannya. MC memperkenalkan nama dan asal mereka sembari menyorot wajah mereka masing-masing. Rayn menampakkan dirinya dengan senyum dan semangat. Aba-aba telah terdengar. Seluruh atlet tanding bersiap menempatkan kaki mereka di start block. Rayn fokus menatap lurus kedepan. Dor! Suara tembakan pistol terdengar. Rayn berlari sekuat tenaga. Meskipun, awalannya cukup tidak baik, Rayn berusaha mengejar ketertinggalan. Aku tau hidup berat. Karena berat, kita harus membuatnya menjadi mudah. Aku adalah pelari. Aku akan berlari mengejar mimpiku. Aku nggak akan ngebiarin orang lain menyalip mimpiku bahkan mengambilnya. Garis finish sebentar lagi terlihat. Rayn mempercepat dan melebarkan langkahnya. 10,09 detik. Rayn sukses menembus finish di peringkat pertama. Pendukung Indonesia sontak berdiri, bersorak, bergembira dan bangga melihat Rayn. Rayn mengatur napasnya lalu tersenyum ke arah penonton. Ira dan Maria berpelukan saking senangnya. Dery dan Antonio juga berpelukan sesaat lalu tersadar seketika. Mereka melemparkan senyum miris lalu berbalik mengelap baju mereka masing-masing. Rayn menatap Ira dari kejauhan yang bertepuk tangan haru. Tanpa disadari, setetes air mata mengalir di pipi dan Rayn langsung menghapusnya. Matanya berkaca-kaca dengan senyum tipis terulas di bibirnya. Tetap tersenyum seperti itu, Ma. Sama seperti pertama kalinya Mama tersenyum saat melahirkanku. Aku janji, aku nggak akan ninggalin Mama kayak Papa. Aku akan ngebuat Mama bangga dan bahagia selalu. Terima kasih udah jadi pendukung pertama dan setiaku, RAYN LOVE YOU. Description: Rayn, seorang atlet lari remaja yang mendapat skorsing akibat penggunaan doping. Kejadian yang tidak sesuai kebenarannya membuat hidupnya semakin rumit. Ditinggalkan ayahnya, dikejar debt collector dan mengurus mamanya yang sakit mental. Suatu ketika, ia menemukan kebenaran yang tidak ia duga.
Title: Rasa ketika semua telah berakhir Category: Puisi Text: Rasa ketika semua telah berakhir Inginku coba menepis rasa ini Namun tak kuasa hati berontak Aku Mencintai dalam kegalauan Dan aku menunggu dalam ketidakpastian Saat semua mulai bersemi Hatiku hancur Bila sang malam mengintaiku Kesenyapankan kurasa begitu getir Jauh di dasar hati aku bermimpi Namun dekat di ujung otak aku mengukirnya Semua telah menjadi pilihan Melupakan senyum itulah yang terbaik Karena kutahu hatimu hanya untuknya Dan kasihmu terlampau besar kepadanya Maka pergilah sayang Description: Puisi sedih patah hati dan galau
Title: RAMADHAN IN THE BETWEEN Category: Spiritual Text: Prolog lokasi ini selalu ku ingat .pada sisi sisi yang sama tinggi dan bernuansa putih dengan sedikit selogan kucing asal china ini membuat diriku tak bisa melupakan dan hilang ingatan begitu saja di amna aku sekarang. ruangan yang masih gelap dengan ampu tidur ala doraemon itu masih menyala menemaniku tidur . ini memang kamarku saiui lamadhan. Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Namaku saiui lamadhan terdengar ramadhan kan? ya aku lahir di bulan ramadhan tapi aneh bukan ramdhan di ganti dengan lamadhan .ya karena aku lahir di korea masih terlihat aneh? namun tidak bagiku dari namaku , siapapun yang belum melihat aku pasti akan berfikir jika aku ini laki-laki. orang tuaku tak salah memberi nama karana akhiran ramadhan itu nama bulan. dan tidak di ketahui bulan itu jenis kelamin nya apa kan hm.oh ya dengan nama itu kalian pasti tahu aku seperti apa. relijius namun tomboy. aku siswi putih abu-abu yang tertua. Umurku sudah ke-18 tahun dimana memulai hidup baru dengan karier dan semangat belajarku.''sai" adalah nama panggilanku terdengar seperti film animasi terkenal dengan ketua hokage bukan. ah jika kau tak ingat namanya itu NARUTO. " sai ibuk pangil ko ga nyaut"- susi ibuku."ya bu.. maaf udah lima bulan ngga sai bersihin " jawabku.Aku memang siswi SMA yang berada di kelas paling ujung dan tertua bulan besok aku baru akan melewati Ujian Sekolah. Tapi musibah datang kepada dunia, ntah virus itu salah dan ulah siapa. namun virus itu selain membuat berpuluh ribu jiwa melayang dia juga biang kerok diantara ramadhan dan ibadah haji tahun ini dan parahnya lagi baru kemarin aku belajar sungguh-sungguh tiba tiba saja ujian yang akan di mulai bulan depan di tiadakan untuk mencegah virus ini menyebar, membuat angkatan tahun ini pergi tanpa perjuangan, Menggucapkan salam perpisahan, Dan juga foto bersama. Tapi allah pasti memberi yang terbaik kan. dan aku percaya itu. sudah dua minggu sekolah kami di liburkan. dan di tambah lagi dua minggu dan hinga lebaran tiba. Aku masih tak prcaya . semoga dunia benar benar pulih. kami dilarang keluar hanya untuk melakukan pernikahan . dan kini negaraku melakukan sistem social distancing.dan semua aplikasi dari instagram,twit,facebook,line,weibo,bahkan operator yang awalnya telkom menjadi Di rumah aja. aduh kepalaku berdenyut memikirkan dunia . omaygooddddd ini jam ku main basket. "ibuuuu aku pergi latihan basket sama kak abi. assalamualaikum" pamitku pada ibu dan langsung lari ke halaman desa. Abipraya Tapi allah pasti memberi yang terbaik kan. dan aku percaya itu. sudah dua minggu sekolah kami di liburkan. dan di tambah lagi dua minggu dan hinga lebaran tiba. Aku masih tak prcaya . semoga dunia benar benar pulih. kami dilarang keluar hanya untuk melakukan pernikahan . dan kini negaraku melakukan sistem social distancing.dan semua aplikasi dari instagram,twit,facebook,line,weibo,bahkan operator yang awalnya telkom menjadi Di rumah aja. aduh kepalaku berdenyut memikirkan dunia . omaygooddddd ini jam ku main basket. "ibuuuu aku pergi latihan basket sama kak abi. assalamualaikum" pamitku pada ibu dan langsung lari ke halaman desa. "assalamualaikum kak abi maaf kak telat soalnya tadi ada urusan hehe" alasanku karena keterlambatan yang ku lakukan. dan kak abi menatapku seperti mengintrogasi bak film OMEN yang jika di tunggu muncul di layar televisi ga bakalan ada adanya di vidio.com "waalaikumussalam, kenapa telat? kamu pacaran dulu ya" tanya kak bi. kak abi itu anak pondok pesantren di desaku. mungkin satu tahun lebih tua dariku. beruntungnya desaku merica bubuk yang punya pesantren khusus laki-laki hehe. ya karena desaku itu sangat religius banget. setiap akhir bulan selalu ada GSB (Gerakan Subuh Berjamaah),pengajian,sholat jumat antara dua desa dan di selingi ceramah dan masih banyak lagi. "apaan sih kak, ngga tadi tuh nunggu film OMEN di telefisi kan hari jumat , tapi ko tadi ga ada ya.." ucapku sambil menggaruk siku ku yang tidak gatal."kamu ga tau ya itu adanya di vidio.com setiap hari jumat" balas kak abi sambil melemparkan bola basket ke arahku."aww, kak bilang -bilang dong. kalau mau lempar nanti ku tangkap."-sai"kaya lirik lagu anak-anak"- abi"hap, lalu di tangkap"- ucapku dan ka abi bersama sama.satu jam kami bermain basket. kami mengakhiri dan beristirahat di bawah pohon besar yang ada di lapangan tersebut. kesunyiaan yang di akhiri dengan suara legukan air dan sebuah pertanyyan dari kak abi yang mengejutkanku. " sai,kamu mau kuliah atau langsung nikah''-abi"uhuk, gimana kak?"- jawabku dengan sok polos ."kamu mau kuliah atau nikah?"-ulangnya lagi."aku mau kuliah kak memangnya kenapa?"- sai" ga papa sukses ya kedepannya,tanpa ujian,perpisahan,dan ucapan selamat tinggal hihi"-abi"kaka mau di gituin juga" -sai'' ngga la kalo sama kamu sai"- abi" hehehe sai pergi dulu ya kak"-sai''kan aku ga mau di tinggalin sai"-abi"yaudah kak stay home aja,daa.. assalamualaikum pulang marahin pak aji mancul noh ka"-sai" waalaikumussalam haha dasar sai, kamu itu ga peka atau pekok si.. tomboy juga bolot ternyata, eh astagfirullah"-abi abiprastya alabidin ya ini aku, santriwan dari salah satu pondok pesantren yang berada di desa kecil . sudah selama tiga tahun ini aku berada di desa ini. aku bertemu dengan sai saat tak sengaja menabraknya di depan masjid . dan pertemuan kedua karena kami saling menyukai basket. aku lebih tua darinya sehingga sai memanggilku dengan sebutan kakak. aku tidak suka ketika dia bersama pria lain atau sahabatnya rendy ntah kenapa aku juga tidak tahu. dia pernah sesekali pulang dengan pria dan itu teman kelasnya yang notebanenya adalah sahabatna sejak SMA kelas satu. satu tahun lagi aku menjadi ustad di pesantren ini tapi aku mendapa beasiswa di turki. namun sai belum tahu tentang beasiswaku, aku tidak memberi tahunya karena aku takut dia akan marah.Abi Beasiswa satu tahun lagi aku menjadi ustad di pesantren ini tapi aku mendapat beasiswa di turki. namun sai belum tahu tentang beasiswaku, aku tidak memberi tahunya karena aku takut dia akan marah. saat aku bermain dengannya aku sesekali melontarkan isi perasaanku, namun dia terlalu polos untuk mengetahui hal itu.ntah karena dia memang tahu namun menolak secara halus. suara lantunan takbir itu berkali kali menyebut nama allah, ya suara azan dzuhur itu .membuat sai terbangun dari lamunannya, dia sedari tadi melamunkan sesuatu siapa lagi yang bukan ia lamunkan jika bukan memilih antara rendy dan juga abi. ia kemudian pergi menuju masjid yang dekat dengan pesantren. bedanya pesantren juga punya masjid sendiri yang letaknya hanya beberapa meter dari masjid kampung. saat selesai dengan ibadahnya sai melihat ke arah pondok pesantren , ia mecari dimana abi berada biasanya abi selalu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya secara sembunyu sembunyi."sai, kanapa clingak clinguk ke arah masjid santri, nyari siapa ?"- susi" eh , ibu ngga papa ko bu ayo pulang" elakku kemudian menggandeng tangan ibuku sambil sesekali menengok ke belakang.tak ada kak abi di sana , bahkan dari santri santri yang lewat selalu ku perhatikan tidak ada yang bersamanya. "ashar,dzuhur,magrib,subuh,isya sudah sebulan dan memasuki ramadhan ini aku masih belum melihat batang hidung nya kemanasih ka abi"- cerocos sai sendirian menghadap televisi."anak perempuan ibu nyari abi anak santri yang beasiswa ke turki ya?"- susi" ibu.. dari tadi di situ ya.. ah malu bu"-sai" anak tomboy bisa malu karena cinta . masih normal ternyata"- susi"eh, kata ibu beasiswa ke turki?"-sai" iya katanya santriwan yang namanya abi itu dapet beasiswa ke turki"-susi" yaudah bu terimakasi , sai peri dulu ya bu"-sai" mau kemana ? tadi ada nak rendy yang kesini katanya mau ngajak kamu nonton bioskop"-teriak susi." bilang ke rendy buu pankapan aja.. sai lagi ada urusan "- ucap sai yang langsung menyalakan kuda berkaki duanya itu. " mau kemana ? tadi ada nak rendy yang kesini katanya mau ngajak kamu nonton bioskop"-teriak susi." bilang ke rendy buu pankapan aja.. sai lagi ada urusan "- ucap sai yang langsung menyalakan kuda berkaki duanya itu. di tempat bernuasa religius dengan segalah hal yang menutup aurat. seorang gadis yang berhijab dengan segala kekhawatiran dan ketidak tahuan karena seseorang. tepatnya di depan pagar pesantren . ia menunggu gerbang itu terbuka namun sampai kapanpun gerbang itu tidak akan terbuka untuk wanita. "yaelah, ini apaan sih ini perhatian bagi ukthi ukhti di larang masuk kecuali ada mahromnya, tulisan sayiton yang ga bakal hilang kalau di bacakan ayat kursi seribu satu kali sisanya ngutang ini giamana gue bisa kesana, aha. gue ada ide." sambil masuk kamar mandi dan mengeluarkan alat makeup milik ibunya sai segera merias wajahnya layaknya seorang ibu ibu yang menjenguk anaknya yang ada di pesantren. "assalamualaikum, pakk pak haji"- sai" iya waalaikum salam bu cari siapa? "- tanya salah satu santri laki laki yang terlihat cacat karena memakai kursi roda."kasihan .. oh iya nak ibu cari pak haji ruangannya di mana ya?"- sai" untk apa bu?"-santri" utuk membayar dan ada hal hal yang ibu bicarakan kepada pak ustad"-sai"oh kalau gitu sialahkan masuk bu mari saya tunjukan''- santri" oh iya biar saya dorong ya"-sai"ngomong ngomong di sini ada anak yang dapet beasiswa ke luar negeri ya"-sai" iya bu dia kak abi, dia baik banget membantu saya setiap hari. dan dia kadang juga curhat lo bu soal wanita."-santri"oh ya? siapa kira kira cewek yang beruntung itu ya?"-sai" ada bu dia cantik , anggun dan menaawan katanya semua ada di dia tapi ngga pergi " iya bu dia kak abi, dia baik banget membantu saya setiap hari. dan dia kadang juga curhat lo bu soal wanita."-santri"oh ya? siapa kira kira cewek yang beruntung itu ya?"-sai" ada bu dia cantik , anggun dan menaawan katanya semua ada di dia tapi ngga sempurna bu hehe sempurna hanya milik allah"-santri" hehe iya inni ruangannya ya nak ada tulisannya"-sai" iya bu ibu bisa baca ternyata"-santriye gini gini ini cuma penyamaran kali hmm ." eh ada apa?"- pak haji" pak haji ini ada ibu ibu yang nyari pak haji, kau begitu saya pergi ya pak,bu assalamualaikum"- santri" iya silahkan waalaikumussalam,oh iya bu mari"-pak haji" gini pak langsung keintinya ya.. apa abi meninggalkan pesan untuk seseorang?" -sai"oh ibu ini siapa nya abi ya?"-pak haji" saya ini tantenya pak . siapa tahu ada yang di titipkan?"-sai" oh , ada bu.. untuk anak perempuan desa.. namanya saiui. katanya temen basket nya. saya ambilkan dulu ya bu ''- pak haji"iya pak silahkan.. saya tunggu di sini aja"- saiuntukku kenapa untukku mungkin salam perpisahan. atauu... ah ngga ngga ngga nga mungkin lahh jangan bloon deh sai." ini bu suratnya"- pak haji" terimkasih pak kalau begitusaya permisi ya assalamualaiku'' -sai" iya bu sama sama waalaikumsalam"- pak haji di sini tempat dimana sehari hari aku dan kak abi main bersama. besuk sudah ramadhan dan mimpiku buka puaa bersamanya pupus sudah. aku langsung membuka surat itu.assalamualaikum sai.apa kabarmu? mungkin saat kau membaca suratku ini .aku sudah sebulan meninggalkan pesantren. itu memang sengaja ku buat untuk sebulan. karena agar aku tahu kau mencariku atau tidak.maaf pergi tanpa pamit, aku yang menyuruhmu dan memberi tahumu bahwa aku tidak mau kau meningalkanku begitu. kini, aku yang melakukannya. maaf ... aku tidak ingin kau sedih.. kumohon jangan menangis.aku tahu kau suka dengan rendy kau selalu bersamanya. jujur.. aku mencintaimu.. tapi setiap aku memberikan umpan umpan tentang perasaanku padamu. kau menjadi anak polos lugu yang bisa di culik tanpa tahu maksudku.kau lucu, anggun hati,menawan paras. walau tomboy.oh iya ini alamat ku yang berasa di turki. kau bisa kirim surat eh lupa kini jaman sudah canggih. ini gmail ku ya sai. [email protected] . di sini virus itu masih ada dan aku pergi kesana menggunakan pesawat pribadi keluargga ku.. jadi kau tenang saja. kau ingin kuliah kan selesaikan kuliahmu aku akan pulang sai. terserah kau ingin dengan siapa jika kau mencintaiku kau bisa menunggu. harus kuat! ga boleh lemah tomboynyadi tambah. jodoh selalu pulang ke rumah.abi aku juga sayang ka abi,cinta ka abi, aku bakalan nunggu ka abi dan kuliah bener bener. "assalamualaikum bu sainya ada?"-rendy" waalaikum salam nak rendy maaf ya nak sai nya ada urusan katanya pankapan aja"-susi" kalau begitu rendy pamit ya bu"-rendy" iya nak hati hati assalamualaikum"-susi" yah ibu ngusir nih salam duluan. hehe walaikum salam mamamertua"-rendy anak ganggong mamamertua katanya. belum tau kalau saya marah saya inveksiin virus yang gaul sekarang ini congornya tetangga . anak muda sekarang. batin susi dalam hati dan pergi ke dapur sambil menanyakan lagu tren felinggood khas nya. enam tahun berjalan, besok ramadhan. di tempat ini masih sama tempat dimana peristiwa enam tahun yang lalu. sai dan abi yang selalu bermain." dokter sai ada anak kecil yang kesrempet motor"- teriak anak laki laki itu ."iya kaka dokter bakalan kesana"-sai iya aku berhasil kuliah kedokteran selama enam tahun ini dan minggu besok adalah hari wisudaku. aku dan ka abi selalu mengirim surat. rendy yang selalu ku tolak karena perasaannya. yhaa walaupun dia itu laki-laki dan aku wanita normal. aku tidak cinta padanya. aku cinta sama kak abi. setiap lebaran abi selalu pulang namun hanya tiga hari selain dia menjadi guru besar di turki dia juga seorang tim sar. jadi waktu yang di butuhkan berlibur tidak banyak. virus coroga yang dulu sangat di khawatirkan. sudah hilang saat sepuluh hari ramadhan enam tahun lalu. dan dunia sudah sehat, aku berterimakasih atas dokter dokter dan semua tim medis atas bantuannya. dunia kini sehat terimakasih sekali lagi. " udah.. makannya hati hati kalau main ya besok kan puasa kan...."- sai anak itu menganggukkan kepala seraya berterimakasih kepadaku ternyata dia anak yang kurang beruntung. dia tunawicara aku jadi keingat dengan seorang laki- laki yang naik kursi roda. aku pun langsung ke pesantren." yasudah sana main lagi jangan jatuh lagi ya.." sai "awas!"- sepasang suami istri dan bayi kecilnya berteriak kearah ku. tanpa ku sadari aku hampir saja tertimpa ranting yang di tebang di dekat gerbang pesantren."ibu dokter ga apa apa bu?"- ucap wanita itu." tidak ko terimakasih ya"-sai toleransi,tolong menolong "awas!"- sepasang suami istri dan bayi kecilnya berteriak kearah ku. tanpa ku sadari aku hampir saja tertimpa ranting yang di tebang di dekat gerbang pesantren."ibu dokter ga apa apa bu?"- ucap wanita itu." tidak ko terimakasih ya"-sai"kursi roda itu?"- sai" oh iya perkenalkan saya amira dan ini suami saya amir"- amira"amira amir hm cocok.. bisakah saya bicara dengan amir?"-sai" iya bu ada apa? ,eh ngomong ngoming nama istri saya itu dulu amira cristian syhalifa dia beragama kristen. Kemudian menikah dengan saya dia memilih untuk masuk islam dan namanya sekarang amira syhalifa."- amir" alhamdulillah.. Ternyata seharmonis ini hubungan allah dengan hambanya. Eh iya apa kamu masih ingat enam tahun lalu kamu membantu ibu ibu yang ke pesantren dan menanyakan soal anak yang mendapat beasiswa di turki?"-sai"iya ingat bu kenapa?"- ucap amir "itu adalah saya amir.. saya menyamar dan saya saiui sai, yang di cintai dengan kak abi. setelah itu saya tahu bahwa kak abi meninggalkan pesan untuk saya. berkat kamu saya dengan kak abi kini mengetahui perasaan masing masing terimaksih ya amir"-sai"subahanallah itu ibu? kenapa menyamar?"- amir" hehe karena biar dapet masuk harus ada mahromnya, karena saya malu jika minta bantuan untuk jadi suami saya.. jadi saya menyamar jadi ibu ibu"- sai"hahahahaha ibu dokter ini.. pintar sekaligus lucu. sebenarnya tanda itu hanya di buat mainan agar para santri tidak keluar dan juga berpacaran atau hal lain. sebenarnya boleh masuk jika hanya sekedar mengirim pesan atau meninggalkan pesan atau sholat bersama"- amir"kenapa kamu ga bilang amirrrr"-sai" haha lihat yang ibu dokter marah. eh salah gadis nya kak abi marah"- amir" mas... ga boleh gitu oh iya bu . kapan kapan mainya ke sini atau buka puasa di sini sama sama"- amira"iya amira aku mau.. ngomong ngomong jangan panggil aku bu ya aku belum nikah"- sai"tengok tu yang mau cepet nikah"- amir"ah amir.. kalau begitu saya pamit ya.. assalamualaiku"- sai" waalaikum salam"- amira dan amir ternyata dunia sempit ya.. minggu besok wisuda dan aku juga sudah bilang dengan kak abi apa dia datang. from: abimaaf aku tidak bisa datang sai.. aku sibuk, ada hal yang tidak bisa ku tinggal kau pasti kecewa. aku ada bantuan bencana di sini. kau sering sering lihat aktivitas kami lewat instagram ya akan ku usahakan pulang. sampai jumpa.. kecewa? iya tapi bagaimana tugas kami sama menyelamatkan atas dasar allah semua.tapi ini yang terbaik kalau dia pulang pasti pulang. keesokan harinya aku terkejut tiba tiba saja benda persegi itu adaah bendayang paling ku benci. BERITA TERKINIANGGOTA TIM SAR YANG MEMBANTU DI TURKI INSTABUL MENGALAMI KECELAKAAN KARENA PENGEMUDI YANG MENGANTUK.KABAR SELENGKAPNYA BISA ANDA KUNJUNGI DI http.timsarintabul.com "ibuuuu , ka abi buuu hikss hikss huaaaaa"- teriakku sambil menangis." kenapa?"-susi"anggota tim sarnya kak abi kecelakaan buuu huaaa hks hiks"-sai"tenanglah nak.. kita hubungi duulu"-susi"iya kita hubungi dulu bu... ibuuuuu ada namanya kak abi buuu" sai"yang sabar ya nak yang ikhlas"susi ar- Rahman, maryam maharku "tenanglah nak.. kita hubungi duulu"-susi"iya kita hubungi dulu bu... ibuuuuu ada namanya kak abi buuu" sai"yang sabar ya nak yang ikhlas"susi setelah kejaidian itu sai tertidur hingga subuh bahkan ia lupa bangun untuk puasa pertamnya. dia juga sering melamun. lima hari berlalu dan kabar mengenai abi juga belum di ketahui. menurut tim sar yang ada di sana abi terpental dan sudah dimakan hewan buas. "hari ini .. hari isudamu nak... sholat tahajud dulu, ayo kepesantren."-susi"iya bu.."-sai" ibu tunggu di depan"-susi Suara adzan berkumandang. sai menjadi mukmin masbuk karena harus mengeluarkan T A empat miliknya terlebih dahulu.imam sudah memulai takbir. dan membacakan surah ar-rahman..dan surah maryam. suara itu seperti menenangkan hatinya dan fikirannya. kemudian ia teringkat surat yang pernah ia kirim oleh abi. to :abiaku lebih suka pakai mahar ar-rahman dan surah maryam dari pada emas atau permata. sholat tahajud selesai di lanjut sholat subuh. sai langsung berhias diri untuk menyambut hari wisudanya. "terimakasih telah menghadiri acara wisuda dan selamat untuk anak anak ku yang ibu banggakan selamat atas keberhasilah aklian selama ini. sekarang silahkan untuk berfoto foto dengan keuargga."- guru besar UI"assalamualaikum gadis abi""waalaikumsalam... hah kak abiiiiii hikss "- sai"kakak kan.."- sai" sttttt ... nggga kakak ngga ikut kaka waktu mau naik kefikiran kamu terus di ganti deh. ga ada yang pergi sai aku atau pun kamu"-abi" cie kamu biasanya kau"- sai" iya kamu mau kan jadi ibu dari anak anakku yang cerdas"- abi sambil berlutut di hadapan sai."mauuuu, tapi ka ko ngga ada cincin?"-sai"ini cincinnya dengerin ya ar-raḥmān'allamal-qur`ānkhalaqal-insān'allamahul-bayānasy-syamsu wal-qamaru biḥusbān,wan-najmu wasy-syajaru yasjudān.Bissmillahirahmanirahim..Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad.dzikru rahmati rabbika ‘abdahu zakariyyaaidz naadaa rabbahu nidaa-an khafiyyaanqaala rabbi innii wahana al’azhmu minnii waisyta’ala alrra/susyayban walam akun bidu’aa-ika rabbi syaqiyyaanwa-innii khiftu almawaaliya min waraa-ii wakaanati imra-atii‘aaqiran fahab lii min ladunka waliyyaanyaritsunii wayaritsu min aali ya’quuba waij’alhu rabbi radhiyyaanyaa zakariyyaa innaa nubasysyiruka bighulaamin ismuhu yahyaa lam naj’al lahu min qablu samiyyaanqaala rabbi annaa yakuunu lii ghulaamun wakaanati imra-atii ‘aaqiran waqad balaghtu mina alkibari ‘itiyyaanqaala kadzaalika qaala rabbuka huwa ‘alayya hayyinun waqad khalaqtuka min qablu walam taku syay-aanqaala rabbi ij’al lii aayatan qaala aayatuka allaa tukallima alnnaasa tsalaatsa layaalin sawiyyaan. Shodakallahhalazim.." abi Rahmatan lil alamin ,Rahmadhan in the between qaala rabbi ij’al lii aayatan qaala aayatuka allaa tukallima alnnaasa tsalaatsa layaalin sawiyyaan. Shodakallahhalazim.." abi "Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd"- anggoro ayah saiui." ayah.. Ayah adalah laki laki terbaik yang sai temui, besok lebaran yah.. Maafin sai yang ga nurut sama ayah.. " -sai"iya sayang.. Ayah tahu.. Kamu cinta sama ayah melebihi cinta apapun. Tapi kelak ayah akan kalah dengan seseorang yang istimewa."- anggoro" ayah terbaik. Ayah marah tapi ga ngusir sai, ayah cemburu tanpa marah sama sai bahkan memanh benar ayah selalu membebaskan tanpa harus melepaskan"- sai"ayah.. Merestui kalian nak.. Ayah tahu dia terbaik untuk mu . Kalian kapan menikah?"-anggoro"kapan kapan deh.. Penting jangan puasa" sai"Assalamualaikum permisi... Kami semua mau ikut lebaran" teriak seseorang di luar sana."bentar ya yah.."- sai"waalaikum salam... Selamat datang yaaaa... Silahkan masuk" 6 maret 2026 "Saya terima nikah dan kawinnya saiui lamadhan Binti anggoro dengan maskawinnya yang tersebut diatas tunai.”- abi"sah bapak ibu?"-penghulu"SAHHHH"-sangsi "alhamdulillah mas kita nikah ternyata di balik kesabaran semua ada jalannya.Dimana diantara virus,kamu dan ramadhan. Ada hikmah dan kebahagiaan"- sai"Jodoh pasti bertemu sayang.. Dan kitaa pasti bisa .. Allah tidak akan memberi masalah itu yang melebihi kemampuan hambanya"-abi "dan kamu sebenernya dulu kalau mau npacaran sama siapa aja boleh asal nikahnya sama aku"- abi" ngga ah, Jodoh udah ada yang ngatur dan kebahagiaan ada di Ramadhan In the Between"-sai"Ramadhan in the bwtween , rahmatan lil alamin with my husban"- abi"kepanjangannn masss judulnyaaaa"-sai"ahahhaha genmesss "-abi" mas aku sangat bersyukur banget.. Karena ramadhan ini juga aku tahu bahwa Rahmatan lil alamin sangattt sangat dekat dengan ku. Dari rendy yang beragama konghucu kemarin datang kerumah merayakan lebaran, dari amira yang dulu kristen sekarang masuk islam, dan dari perbedaan semua antara keyakinan,fisik tak mampu.. Menjadi satu tanpa membeda bedakan.. Semu Indah mas.. Tenang dan nyaman"-"iya sayang senyaman aku dan allah senyaman aku dengan ciptaannya ini " - ucap kak sai yang sah menjadi suami ku sambil menciut hidungku. EUPHORIA Hai yuk baca Cerita EUPHORIA SUDDENLY by.wafikknurha. Di wattpad Di sini ga bisa ngasi gambar jadi yha beginilah. Cus baca aja ya. Cari kata kunci Wafikknurha. Cerita ini pringkat ke 107 dari 3k cerita yang ada. So Baca.! See u. Description: Semua takadir ada di sini, cintailah sesama,toleransi bersama ,dan menyanyangi. semua yang ka anggap cobaan akan hilang. kisah ini aku ambil dari keseharianku namun sebagian juga alah cerita fiktif. maka dari itu hal hal yang baik dari cerita jadikanlah doa bagian yang buruk dari cerita berfikirlah jika itu hanya cerita fiktif dariku.- Saiui Lamadhan. Nama lengkap : Septi Wafik Nurhidayah Akun IG : @wafikknurha "Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi#RahmatUntukSemua2020 - Remaja/Pelajar" #rahmatUntuksemua #cerpenislami #Ramadhaninthebetwem Ramadhan In the between
Title: Rahasia Semesta Category: Puisi Text: Dear God Aku ingin menceritakan banyak hal tentangMu Tentang hubungan yang manis dan indah ini Engkau yang memulai hubungan ini dari awal Hubungan yang indah dimana membuat aku begitu berharga bagi-Mu Aku yang dahulu hanyalah debu kini menjadi ciptaanMu yang baru Bahkan, aku bisa memanggilMu dengan sebutan BAPA Disaat aku tersesat, Kau slalu menemukanku Disaat aku jatuh terpuruk, Kau slalu menopangku Disaat aku menjauh, Kau slalu mencariku Tanpa ragu Kau slalu ada bagiku Aku yang hina dan tak berarti ini Kau jadikan ciptaan berharga-Mu Sungguh Begitu panjang, luas dan dalamnya kasih-Mu Yang tak akan pernah bisa kubalas sampai kapan pun Rahasia Alam semesta berhasil menyimpan banyak pertanyaan yang terkadang tak kutemukan jawabannya Kadang aku bertanya.. Harus berapa lama lagi ? Apakah penantian ini akan sia - sia ? Atau diakah orang yang tepat yang saat ini kutunggu ? Dan tiba - tiba kamu hadir dalam hidupku Kehadiranmu yang menimbulkan banyak pertanyaan dan meruntuhkan perasaanku Sampai sekarang semesta enggan untuk menjawab atau bahkan sekedar menyapa dengan hangat Aku mencoba mengalihkan pikiranku dan menyibukkan diriku dengan banyak kegiatan Dengan berharap perasaanku tak mengalahkan akal sehatku Bukankah yang terbaik akan selalu datang diwaktu yang tepat, pikirku seperti itu Lebih baik aku menghabiskan waktu untuk memantaskan diri Memantaskan diri untukmu yang aku tak tahu siapa dan dimana ruang dan waktu mempertemukan kita Kelak jika kita memang sepadan Tuhan akan mempertemukan kita diwaktu yang indah dan tepat Sampai pada akhirnya, kita mengerti untuk terus belajar memiliki komitmen yang didasari oleh kasih yang benar Dariku untukmu yang tak kuketahui dimana dan kapan kita bertemu Rindu yang tak usai Deruan ombak tak pernah bosan untuk memukul, menampar dan menerjang batu karang Sesuka hati ombak datang untuk menyakiti berkali kali hingga jutaan kali Ombak begitu menikmati takdir yang diberikan oleh Sang Pencipta dan kau tahu... batu karang ditakdirkan hanya bisa duduk manis tanpa protes apapun andai saja kita mampu mendengarkan batu karang mungkin dia akan menceritakan penderitaannya tapi... batu karang tak melakukannya dan akuuu?? aku tak sama hebatnya dengan batu karang yang puluhan ribu kali dilanda rasa rindu yang mendalam kau berhasil memukul dan mencabik - cabikku dengan perasaan rindu ini kau berhasil menjadi ombak yang berkuasa atas lautku kau selalu datang dan datang tanpa malu kauu, ombak jahat yang pernah kutemui Aku ingin seperti batu karang yang mampu menahan perasaan rindu ini dengan kuat Aku ingin seperti batu karang yang siap sedia ketika rindu itu datang Description: Kumpulan ungkapan perasaan yang tak mampu kubicarakan karna tembok kamar hampir muntah mendengar perasaan yang sulit dimengerti ini bicara dengan manusia pun sama saja karna orang - orang sekitar hanya bisa hidup acuh tak acuh layaknya tumbuhan mati ada, tapi tak bernyawa ada, tapi tak berperasaan ada, tapi hanya membisu aku hanya bisa berdiri dikaki sendiri tanpa mengharapkan siapapun karna berharap kepada mereka sama saja aku menggantungkan nyawaku ditangan mereka
Title: REUNI Category: Cerita Pendek Text: REUNI [Cerita Pendek] Barusan ketiduran pas nulis. 1/2 jam atau 1 jam. Nyenyak sekaligus kesel karena hape masih di tangan. Dalam mimpi itu, aku reunian dengan seluruh mantan pacar. Mulai pacar cinta monyet, SMP, SMA, Kuliah, dan seterusnya. Baru kusadari ada lebih dari 100 pacarku. Padahal seingatku di bawah sepuluh. Baguslah, karena mimpi reunian sekaligus kangen-kangenan, dan mulai aku bertanya dengan mereka yang tak kuingat nama dan kapan kami pacaran. Saat aku berjalan di antara meja-meja penuh makanan, kulihat seseorang yang pernah dekat denganku (semuanya dekat, sih, namanya juga reunian pacar) sedang asyik menikmati tongseng Raden Saleh. Aku lupa nama perempuan itu dan kulihat pacar-pacarku yang lain sedang bergosip sesuatu saat kuhampiri dia. Aku berpikir nanti saja bergabung dengan mereka. Tapi mereka menanggilku dan kuberi kode dari jari-jariku yang kubentuk huruf-huruf yang bertekuk silang berpunggung jempol dan dulu kode jari-jari ini sangat berguna untuk mencontek saat ujian. Jari-jari itu kujadikan kata: TUNGGU dan seorang yang memakai topi merah membalas dengan jari-jarinya dan aku membacanya: KAU MASIH GANTENG. Kubalas lagi dan kubentuk jari-jariku yang terbaca mereka: TERIMA KASIH KALIAN SEMUA TETAP CANTIK. Mereka tertawa dan aku menghampiri perempuan yang kulupa namanya ini. Kusapa dia, "Hai. Rasanya, kita dulu pernah makan tongseng Raden Saleh, deh. Tapi maaf, aku lupa namamu. Udah lama kan nggak ketemu." Dia tertawa dan meletakkan mangkok miwon. Dahinya penuh keringat. Ya, aku ingat dia ratu sambal. Tapi aku lupa namanya. "Ismaya, Ndi. Nggak lama kita pacaran, cuman tiga hari." "Ah, Ismaya. Ya aku ingat kisah surat yang salah sasaran. Ceritakan lagi, Is." Ismaya melanjutkan cerita, "Dulu kau kirim aku surat ketika kelasku ujian bahasa Inggris. Kau selipkan tangan kananmu dari luar teralis jendela, dan kulihat casio hitam dan kau selalu bangga dengan stopwatch saat adu lari 100 meter. Kaukira aku tak tahu saat kauayunkan lenganmu dan ketika secarik kertas yang kauremukkan itu melayang, layang, dan mendarat di meja seorang lelaki. Pendaratan yang gagal tapi kau malah memasang wajah beringas seperti polisi Israel di Palestina. "Aku tertawa ketika kau beri kode pacarku itu dengan dua bola matamu yang fokus kepada surat, lalu dua bola matamu berjalan melirik aku yang duduk di depan pacarku. Aku makin tertawa saat kubayangkan setelah ujian ini, kau dan pacarku bakal beradu jantan di hutan buatan di belakang sekolah kita. "Tapi tidak, tidak ada kejadian itu sebab dua bola matamu yang memaksa membuat pacarku memberikan surat darimu dan langsung kubaca: 'Kau pacarku sekarang!'. "Ya. Aku menurut karena dia tidak membela aku. Aku lebih memilihmu karena pacarku kurang jantan." "Ah! Is! Aku ingat casio hitam itu. Casio hitam besar dan mahal dan banyak anak-anak muda suka saat itu. Tapi kau perlu tahu, pacarmu itu bukan tidak jantan. Tapi dia lebih memilih casio hitam itu daripada bergumul di hutan. Kau tahu apa katanya saat kutemui dia sedang makan somai di kantin sekolah?" "Sialan! Apa katanya?" "Kalau kau suka Ismaya dan aku ingin sekali casio hitam itu." Aku jawab sambil kulepaskan casio hitamku, "Nih, ambil dan Ismaya milikku!" "Sip! Nggak jadi bergulat kalau gitu." Lalu dia senang sekali melihat casio hitam melingkari pergelangan tangan kanannya dan langsung bermain tetris. "Tapi, Is. Aku tidak bodoh. Mana bisa kuberikan casio hitam sebelum mendapatkan hatimu, kan? Maka kukatakan padanya bahwa aku akan memberikan surat itu melalui meja pacarmu baru kau boleh ambil casio hitamku. Awalnya dia menolak tapi tak berdaya karena dia senang sekali bermain tetris dan donkey kong yang ada dalam casio hitam itu." "Sialan kau, Ndi!" "Masa lalu, Is. Eh, anakmu berapa?" "Tiga." "Kau masih cantik." "Terima kasih." "Aku lupa kenapa kita putus, Is. Pacaran cuma tiga hari." "Itulah masalahnya. Kulihat casio hitam itu sudah tak ada lagi di tanganmu dan aku menyesal memutuskan pacarku yang memakai casio hitam milikmu." "Waduh. Kalau aku tahu kausuka casio hitam itu ngapain aku capek-capek nulis surat, ya?" "Ndi, Ndi. Orang nulis surat cinta itu panjang dan berpuisi-puisi, dan kau? Hanya tiga kata: 'Kau Pacarku Sekarang!'. "Hahaha. Oke. Oke. Salam buat suamimu, ya!" "Iya. Nanti aku salamkan. Suamiku yang kauberikan casio hitam itu." Aku terceguk. Terus terceguk. Aku berlari mencari segelas air putih. Tiba-tiba seorang perempuan memelukku. Aku pernah merasakan pelukan yang berbeda ini. Banyak kurasakan pelukan perempuan tapi hanya dia yang memiliki pelukan seolah-olah aku benar-benar miliknya. Cegukanku makin menjadi-jadi dan kubisikkan padanya aku butuh segelas air putih. Eh, di tangannya sudah ada segelas air putih. Lalu aku membaca alfatihah sebelas kali dan kusemburkan pada segelas air putih itu dan aku berdoa agar cegukanku hilang. Luarbiasa. Sekejap cegukanku hilang. "Ndi. Aku sayang kamu." Perempuan itu kembali memeluk dan kembali getaran-getaran aneh di tubuhnya berpindah di tubuhku. Kutanyakan padanya mengapa dia bisa berbeda dalam memeluk lelaki? Jawabnya, "Karena aku mencintaimu. Pelukan wanita penuh cinta akan membuatmu nyaman dan betah." "Adakah selain itu?" "Ada." "Apa?" "Pelukanmu membuatku aku serasa terlindungi." "Terlindungi? Aneh. Memangnya kaudiancam siapa?" "Terlindungi bukan dalam artian ancaman fisik. Aku merasa pelukanmu membuat diriku terlindungi dari kesepian." "Nah. Oke. Maaf. Aku lupa kau siapa?" "Aku ZZZ yang mati gantung diri." Cepat-cepat kulepaskan pelukan dan kutolakkan dirinya. Kupandangi wajahnya. Matanya basah dan pipinya pucat. "ZZZ?" Dia mengangguk. ZZZ, ZZZ, ZZZ, kusebut tiga kali nama itu dalam hati agar aku dapat mengingatnya kembali dan mengapa dia mati bunuh diri. Tapi benar-benar ingatanku buntu. Aku tak ingat ZZZ. Tapi pelukannya itu masih kuingat. ZZZ? Dia mulai bercerita. "Aku mengagumimu sejak kita SD. Kita sebangku. Aku makin mengagumi ketika SMP, dan kita sebangku. Aku mencintaimu saat SMA, dan kita tetap sebangku. "Kau selalu menceritakan rasa kesalmu, benci, senang, rindu padaku. Apapun kauceritakan padaku. Kau pun menceritakan dekat dengan A, B, C, dan sampai Z. Aku setia mendengarkan seluruh ceritamu. Aku senang melihat kau bercerita dan bagiku itu tanda kau tak jauh dariku. "Bila kau bersedih hati, aku memelukmu dan kau menangis dalam pelukanku. Tapi aku tak ingin menangis dalam pelukanmu. "Sampai suatu hari aku tak bisa lagi memelukmu dan kita berpisah saat kuliah. "Saat kuliah aku kesepian. Kau kuhubungi dan kau mulai menjauh. Makin jauh semester berjalan makin aku kesepian. Aku ingin memelukmu dan kudengar kau memiliki tunangan. "Tidak! Aku bukan cemburu dengan siapa pun! Aku bersamamu sejak SD, SMP, SMA, dan kita sebangku selama 12 tahun dan sehari tujuh jam pelajaran. Apa kaulihat bahwa kau bersamaku 12 tahun dan semua harimu adalah milikku? "Jadi, aku tak pernah merasa cemburu dengan wanita manapun sebab hanya aku satu-satunya yang mengenal seluruh sifat dan kemanjaanmu sesudah ibumu. "Tapi aku butuh memelukmu dan butuh pelukanmu. Tapi kau makin jauh dan kesepianku sudah mencapai puncak bintang terjauh. "Kedekatan kita membuat aku memandang laki-laki hanya kau. Selalu begitu bila ada yang ingin mendekatiku. Kujauhi mereka semua dan aku terus menemani kawanku sepi itu. "Bila dikatakan sepi itu membunuh aku setuju. Karena kurasakan sudah tak ada harapan lagi dapat memelukmu, dan merasakan pelukanmu, maka tujuan hidupku selesai. "Aku ambil tali dan seterusnya aku mati." Remangku bergidik. Tapi aku tetap tak bisa mengingat ZZZ. Tapi pelukannya tak bisa kulupakan. Sebenarnya, masih banyak kisah pertemuanku dengan mantan-mantan pacar itu. Tapi semua menjadi tak penting ketika hape di tanganku tak mampu merekam seluruh mimpi reuni itu kecuali dua cerita di atas. br, 1221. Description: Seorang lelaki bermimpi reunian dengan 100 mantan pacarnya dan tak bisa merekam semua mimpi-mimpi itu dengan kamera hapenya.
Title: RAJA Untuk RATU Category: Teenlit Text: 1. Insiden Bola Terbang "Hei, awas!" Ratu panik. Dia bahkan belum sempat menghindar ketika bola melayang itu tahu-tahu sudah menghantam tubuhnya. Tepatnya di bagian perut. Ratu mengaduh kencang. Efek kaget bercampur rasa sakit akibat benturan keras si kulit bundar menyebabkan tubuh Ratu terhuyung lalu hilang keseimbangan. Ratu jatuh terduduk di rumput dengan kedua tangan memegangi perutnya yang kesakitan. "Aduh, Ja. Mampus. Kena anak orang, tuh." Raja menoleh ke arah Dewa, temannya yang baru saja berbicara sekaligus yang tadi berteriak menyuruh Ratu untuk menghindar. Raut wajah Dewa campur aduk; antara kaget, takut dan rasa bersalah. "Ya mana gue tau kalo tendangan gue melebar dan kena tuh cewek," alibi Raja sungguh-sungguh. Karena faktanya memang seperti itu. Tendangan maut ala Raja yang seharusnya menghasilkan gol ternyata melebar dan nahasnya malah menghantam tubuh Ratu yang kebetulan melintas di pinggir lapangan. "Udah, jangan ngomong dulu. Ayo lihat! Kali aja tuh cewek parah. Tendangan lo barusan cukup kencang lho, Ja." Nara, teman Raja satu lagi tiba-tiba mendekat dan ikut berbicara, mengusulkan untuk melihat keadaan Ratu. Raja mengangguk lemah. Ketiganya segera saja mendekat ke arah Ratu. Description: Raja dan Ratu adalah sepasang remaja yang memiliki garis hidup sarat perbedaan. Jika boleh diumpamakan, perbedaannya sungguh signifikan. Raja anak kepala sekolah. Sedangkan Ratu, gadis piatu serba kekurangan. Berawal dari sebuah insiden, keduanya tiba-tiba saja dekat. Lebih tepatnya Raja sengaja mendekati Ratu. Bukan tanpa alasan memang tapi tetap saja Ratu merasa sikap Raja terlalu berlebihan. Ratu tentu saja menghindar karena efek sikap Raja mulai mengganggu kenyamanannya di sekolah. Hal itu justeru bikin Raja makin penasaran. Lalu, apa selanjutnya yang akan terjadi? Karena Raja jelas-jelas untuk Ratu!
Title: RINAI Category: Cerita Pendek Text: KARENA CINTA ITU ADALAH SAYAP BAGI JIWAKU “aku begitu menyukai harum debu yang tersiram rintik, bagai aku menemukan jiwa baru yang tercipta didalamnya.” Aku Allinda, Allinda Mutiara Salwa Dewi. Pecinta ulung yang tidak pernah sanggup mengungkapkan cinta yang tumbuh dalam benaknya. Mencintai sepanjang waktu meskipun tahu hanya luka yang dia dapat. Ya! Itu aku. “liliiiiiiin ... lama banget sih. Ngapain aja ?” teriakan Maula membuyarkan lamunanku. Maula, sahabat terbaikku sejak sebelum aku mengenal huruf “A” itu yang seperti apa. Maula Nafana Asyahsara, mungkin bahkan sejak Tuhan sedang merencanakan kehidupan si gadis kecil imut ini sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabatku. Meskipun kebawelannya memasuki stadium dewa , tapi dia adalah jiwa bagi setiap kebodohanku. Jiwa yang selalu rela jadi bahan kejahilanku tentunya. “i am ready miss prilly kw kw-an” sambil nyengir kuda aku berkacak pinggang didepan Maula. “OMG HELLOOOOO ... Allin, kita mau ngampus sayang. Bukan mau latihan karate. Kenapa cuma pakai kaos oblong begitu. “ Maula bersungut, bibirnya dimajukan beberapa centi meter, tangan kanannya masih sibuk memegang kaca. “hadih Lala centil. Ini hari pertama ngampus, don’t be bikin hari gue jadi ribet dah ya.” Aku mencubit pipi Maula sembari menariknya keluar. Kaos oblong putih polos di rangkapi dengan kemeja, celana jeans, ransel mini, rambut tergerai, sepatu kets , jam tangan dan ready. Itu lah aku. Aku memang bukan type cewek yang doyan ribet, apalagi harus memoles muka sebelum berangkat ke kampus. Bagiku itu butuh ritual khusus untuk bisa melakukannya. Ya setidaknya aku pernah mencobanya, sewaktu wisuda SMA tahun lalu. KISAH LAMA ITU Cerita baru dimulai dari titik dimana kini aku berpijak. Melangkah melewati sepanjang koridor kampus setelah masa putih abu dan penatnya ospek membuatku merasa menjadi sosok baru. Dengan senyum yang mengembang kulalui satu persatu mahasiswa yang tengah sibuk dengan urusan mereka. Inilah kampus, ini kuliah dan ini yang disebut dengan dunia anak muda. Kebanyakan teman SMA ku dulu selalu mengatakan hal itu. Pemandangan baru yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dunia putih abuku kemarin lusa. Brukkkkkk!!!!!! Beberapa lembar kertas berjatuhan tepat dibawah kakiku. Beberapa lainnya bahkan hampir terinjak. “ ma.. maaf kak, ga sengaja. “ ucapku sembari merapikan kertas yang berceceran di lantai tanpa melihat orang yang tadi bertabrakan denganku. “ it’s okay kok Allin. Gue nya juga yang tadi terlalu fokus baca ni isi kertas, sampai-sampai ga lihat tuh ada orang didepan. Hehe” Gerakanku terhenti seketika begitu mendengar sang pemilik kertas yang kupunguti itu menyebut namaku. Perlahan kunaikan pandanganku, kuberanikan tatapan matakku tertuju pada sosok yang dengan fasihnya menyebut namaku. Dugh! Jantungku seakan lupa bagaiman caranya berdetak secara normal. “ Bryan ???” Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku yang tiba-tiba menjadi kaku, kikuk. Tidak lama diulurkannya tangan, bermaksud memberi bantuan melihat aku yang masih berada di lantai memunguti apa yang sudah tidak lagi bisa dipungut. Tanpa kata Bryan menuntun tanganku menuju taman yang berada tidak jauh dari tempatku bertemu dengannya, tanpa kesengajaan. Bryan memilih tempat duduk yang menghadap ke kolam, dimana di bawahnya tepat di pinggiran dataran yang sedikit menjorok. Kampusku memang terletak tepat di tepi sebuah danau buatan tengah kota. Pemandangan yang indah tentu seketika itu nampak didepan mataku. “ apa kabar lin?” Bryan mulai membuka pembicaraan. “ seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum sembari menundukan wajahku, menyembunyikan jawaban yang sesungguhnya. “ aku fikir waktu itu akan jadi hari terakhir aku bisa berbicara didepanmu seperti ini.” Matanya melihat jauh ke langit lepas. Langit yang terang, bersih. “aku juga. Ga nyangka ternyata kamu disini. Ditempat yang sama dengaku sekarang ini. “ “ya! Setidaknya tetes hujan yang turun bersamaan meski jatuh terpisah akan sama-sama mengalir ke satu titik yang sama. Muara tempat mereka berakhir dan menunggu terangkat kembali.” Aku terdiam mendengar jawabannya. Ada asa yang sama dari perkataannya. Harapan. “ siklus hujan.” Candaku membuyarkan ketegangan yang terjadi. “ haha .. ya, mungkin.” “ dan aku masih sama ryan, aku masih menyukai hujan. Bahkan di terik yang panjang aku merindukan bau debu yang tersapa rintik hujan. Merindukan tetesnya yang mampu menghanyutkan segala kehampaan.” Tatapan matanya tertuju tepat di wajahku. Sorot matanya seakan menyampaikan kata-kata yang tak mampu terdengar olehku. “kalung itu masih kamu pakai?” Aku mengalihkan pandanganku, menundukan wajah lalu beranjak menjauh darinya. Berpura tergesa-gesa. “ o iya, aku ada kelas mata kuliah dasar. Aku duluan ya. Bye!!” Aku melangkah tanpa melihat lagi kearahnya. Merapikan perasaan yang sempat tercecer dihadapannya. Menutup rapi kembali tatapan yang hampir saja terbaca, setelah sekian dentang waktu kulalui dengan penuh rahasia. “ kamu benar ryan, aku masih saja sama seperti dahulu. Allinda yang kamu kenal diawal putih biru, Allinda yang begitu marah karenamu diawal putih abu. Hingga Allinda yang masih saja berharap mampu bertemu kembali denganmu setelah benda bersayap baja itu membawamu terbang bersama perasaan yang tak pernah terbaca olehku. Kamu benar, dan entah mengapa sampai detik pertemuan yang tanpa terduga ini kamu masih saja selalu benar.” Kini rinainya bersarang dipelupuk mataku, menyudut hingga tak mampu lagi ku hentikan. Bukan karena pemandangan itu, bukan juga karena debu yang sempat mengenai mata saat tadi aku memunguti kertas-kertas milik Bryan. Tetapi semua lebih kepada sesuatu yang terasa dalam hatiku. Me : “ dia ada disini “ Bawell_Maula: “ who is dia?” Me : “ Bryan. Anggara Bryandanu Mahendra Satya.” “ Ketua OSIS “ Bawell_Maula: ????? 16:05 WIB Aku masih terdiam, duduk di teras rumah yang sepi, memandangi apa yang tak mampu kupandangi. Kenangan. Mengeja setiap kata yang muncul dari ingatanku tentang sosoknya, sang rupawan. Cinta adalah selaksa kehausan telaga akan hujan yang tertunda Hanya mampu terdiam, menanti Bagai aku dibibir keputus asaan ini Melupa pada apa yang masih nampak di pelupuk mata Berlari pada titik yang masih saja sama Karenamu, Bryan adalah kenangan dari kisah yang aku ciptakan dalam masa laluku. Masa lalu yang selama bertahun-tahun mengurungku dalam sebuah kediaman yang tidak pasti. Berharap namun mencoba melupakan. “ apa maksud lo tadi siang sih lin?” Maula tiba-tiba saja muncul dihadapanku tanpa disertai dering ponsel ataupun bel panjang melengking dari pintu depan. “yang mana?” “Bryan” Aku tersedak mendengar pertanyaan Maula. Mencoba tetap menyembunyikan segala cerita yang memang tidak pernah ku beritahukan pada Maula sebelumnya. Mencoba memalingkan wajah dari hadapan Maula. “ come on lah. Aku ini kan sahabatmu. “ Maula mengerlingkan sebelah matanya. Membuatku menahan tawa. Aku menarik lembut tangan kiri Maula. Mendudukannya tepat disampingku. Menahan gejolak badai didalam hati dan bersiap mengatakan apa yang mungkin akan membuat semua keadaan menjadi lebih buruk. Maula kemudian meninggalkanku tanpa kata setelah mendengar apa yang aku tuturkan padanya. Masih saja sama. Menebak bahwa cinta segitiga yang bertahun lalu sempat terjadi masih saja sama dititik saat ini. Aku, gadis pecinta yang hanya mampu terdiam. “ Andai saja kamu tahu La. Selama bertahun-tahun ini aku terdiam disudut persembunyian dan melukai hatinya semuanya demi kamu. Aku mau dia mencintaimu, meskipun itu sakit untukku. Tapi pada kenyataannya pilihannya berbeda La. Dia masih saja memintaku dan menginginkanmu sebagai adik kecilnya. Maaf.” Aku masih terduduk mengingat semua kejadian yang seharusnya tidak penah terjadi dalam hari-hariku sekarang ini. Disaat aku sudah mendekati kata sempurna bersama Maula setelah semua prahara itu. Tapi dia justru kembali, masih dengan senyum dan cinta yang masih juga sama. Membiarkan semuanya menjadi rapuh, perlahan kembali pada titik itu. Kemarau diakhir musim penghujanku. Maula menyatakan diri bahwa dia menyukai Bryan semenjak aku dan dia sama-sama duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Menurut Maula, Bryan adalah seorang pria sempurna seperti apa yang dikategorikannya untuk menjadi Future Boyfriend. Ya, baik aku maupun Maula pernah menulis sebuah catatan kecil terpendam dibawah pohon besar belakang sekolah. Catatan itu berisi tentang siapa Future Boyfriend yang kami inginkan. Didalamnya juga tertera bahwa jika kenyataannya nama yang muncul dari kedua catatan tersebut sama maka salah satu diantara kami harus mengalah atau persahabatan kami berakhir. Itu alasanku mengapa pada akhirnya semenjak Bryan pindah sekolah dan mendengar pengakuan Maula aku perlahan mundur secara teratur. Membohongi perasaanku, melukai Bryan dan terus berpura-pura menyemangati Maula untuk mendapatkan cintanya. Aku memang belum tahu pasti nama siapa yang tertulis didalamnya, tetapi aku hanya menakutkan satu hal. Jika kedua nama itu sama, setidaknya aku sudah bisa untuk rela daripada aku harus melepaskan persahabatan yang sudah aku bangun selama bertahun-tahun. “ La, aku janji. Kalau memang kekasih masa depan impianmu itu adalah Bryan, aku akan lebih memilih persahabatan kita. Sama seperti apa yang aku lakukan saat ini. Aku benar-benar berjanji. Janji kelingking La.” AMARAH DAN TANDA TANYA Cinta pertama itu bagai hujan bagi jiwaku. Rintiknya selalu dinanti oleh benih-benih kebahagiaan dalam jiwa, setiap waktu. Dan, di setiap waktu itu juga. Bersama dengan cahaya kasihku aku berharap akan ada hujan yang sama, kembali hadir dan memberiku pelangi. Dalam setiap waktu ini. Jika aku merindukannya, maka akan ku pejamkan mataku. Dia ada, dia begitu nyata hadir di dalam ingatanku. Ya! Dia ada dalam hatiku. “ Permisi. Assalamualaikum.” “ Waallaikumsalam.” “ Tante. Maula ada?” “ Eh Allin. Tante kira siapa. Loh bukannya Maula sudah ke rumah kamu? Dia sudah berangkat dari pagi tadi. Katanya ada kuliah pagi.” “ Oh gitu ya tante. Mungkin Maula buru-buru. Kebetulan Allin beda fakultas sama Maula, jadi jadwalnya beda. Yasudah, Allin permisi dulu tante. Assalamualaikum.” “ Iya sayang. Hati-hati. Waalaikumsalam.” Sepertinya Maula benar-benar marah padaku. Entah karena aku menyebut nama Bryan atau karena perasaannya yang menyangka aku akan kembali ke pelukan Bryan. Meski di masa lalu sekalipun hal itu tidak pernah terjadi. Yang jelas saat ini aku hanya mampu menerka-nerka. Aku berharap ini hanya sebatas prasangkaku saja. Bagaimanapun cinta yang masih tetap sama tidak akan mudah untuk aku tukarkan dengan segenggam janji. Mungkin begitu halnya dengan perasaan Maula, cintanya begitu dalam untuk Bryan. Sementara janjiku, hanya seujung kelingking tanpa makna. “ Sendirian Lin?” “ Menurutmu?” Aku mencoba untuk tidak menoleh ke arah suara yang menyapaku. Karena aku tahu, ini suara dari wajah yang meluluhkan hatiku. “ Bukannya kamu selalu sama saudara kembarmu? Si mungil. Hehe” Bryan terkekeh, seakan tidak menyadari sikapku yang ketus padanya. “ Maula marah sama aku dan itu semua salah kamu!! Gara-gara kamu!!” “ Kamu kenapa Lin? Apa salahku? Kenapa kamu menangis?” Aku terdiam dalam tangisku. Rasa bersalah semakin menghantuiku karena kata-kata yang seharusnya menjadi rahasia di hadapan Bryan saat ini terungkap, di luar kesadaranku. Bryan masih terus berusaha untuk menenangkanku. Meraih rambutku yang berkuncir ekor kuda dengan lembutnya. Masih sama seperti dulu, lembut dan menenangkan. Hanya saja saat ini ada luka di setiap hembus nafasku. Maula. “ Maaf Ryan, aku harus ke kelas.” Aku kembali berlari, mengejar luka dan membiarkan cinta penuh dengan tanda tanya dalam batinnya sendiri. Sembari terus memunguti hatiku yang tercecer karena air mata, membingkai sebuah asa yang kuharap akan membantuku melewati hari ini dalam semangat. “ Aku mencintaimu. Meski waktu tak sempat sampaikan itu. Aku menantimu hingga kini. Berharap akan ada lagi waktu dan aku akan ungkapkan cintaku. Meski itu esok, lusa atau seribu tahun lagi. Aku yakin aku masih akan mencintaimu. Ya, hanya kamu. Bryan.” Batinku berteriak sangat lirih hingga hampir tidak terdengar. Daun-daun terbang tertiup angin dengan ringannya. Setapak demi setapak kulangkahkan kaki menyusuri taman kecil menuju rumah. Sendiri ditemani hati yang terus menghujat kesalahanku. Pohon-pohon yang kulalui meniupkan angin semilir yang terus berhembus melantunkan nada-nada jiwa yang terluka. Bagai langkahku, tanpa arah. Bagai air mataku, tanpa muara. PENGAKUAN Masih saja diam yang kudapat dari Maula. Seakan-akan dia benar-benar ingin melupakan apa yang sempat kami namakan sahabat. Aku sudah kembali ke rumahnya berkali-kali, tapi hanya pembantunya yang menjawab salam dan membukakan pintu untukku. Sementara Maula, dia selalu pergi entah kemana setiap kali aku mendatanginya. Sore ini aku kembali mendatangi rumah Maula, namun sebelumnya memang aku mencoba menelefon. Sayangnya tetap sama, tanpa jawab. Bahkan pembantunya bilang Maula, sahabat mungilku pergi bersama dengan teman-teman kuliahnya. Bergaya seperti anak-anak yang sering menghabiskan waktunya di klub dan menyia-nyiakan hidup. “ KRRIIIINNNGGGG!!!” “ Hallo.” “ Assalamualaikum, bisa bicara dengan Bryan?” “ Waalaikumsalam Allin. Ini aku sendiri, Bryan. Ada apa Lin?” “ Kamu lagi sibuk? Bisa ketemu sebentar? Ada sesuatu hal penting yang mau aku bicarain ke kamu.” “ Oke. Bisa. Kebetulan hari ini aku lagi free. Nanti aku jemput ke rumah kamu.” “ Thanks. Wassalamualaikum.” “TUUTTTTUUTTTTUTT.” Ini kali pertama aku kembali berbicara layaknya teman dengan Bryan. Setelah sekian lamanya aku mengibarkan bendera tanda peperangan. Sepanjang jalan Bryan tersenyum begitu manisnya padaku. Ahh.. hal yang paling aku takutkan dalam setiap pertemuan dengannya. Sebenarnya dia masih tetap sama, seseorang dengan hati dan rupa yang kupuja. Pada akhirnya aku terpaksa menceritakan masalahku dengan Maula, tanpa sedikitpun menyinggung perasaan cinta yang ada antara kami bertiga. Aku masih tetap berusaha menjadikannya rahasia yang terbesar dalam hidupku. Aku hanya berharap Bryan akan membantuku untuk membuat Maula-ku yang dulu kembali. Berjalan di tempat yang seharusnya. Bryan berjanji akan membantuku semampunya, dia akan mencoba membujuk Maula. Meskipun dia sendiri tidak yakin jika Maula bersedia mendengarkan kata-katanya. “ Aku akan berusaha Lin.” Bryan tersenyum, menggenggam tanganku dan mencoba menenangkanku yang kembali menitikkan air mata. Aku memang terlalu takut kehilangan Maula, tapi sama halnya aku takut kehilangan Bryan. Rasa yang masih belum mampu ku terjemahkan dengan bahasa logika. “ Maula.” Sosok Maula tiba-tiba berlari menjauh dariku. Ternyata tanpa sadar Maula berada di tempat yang sama denganku. Aku yakin pasti saat ini Maula semakin salah sangka denganku. Lagi-lagi aku justru melukai hatinya. Membiarkannya melihat Bryan menggenggam tanganku di saat yang seharusnya kugunakan untuk meminta maaf padanya. Aku kembali ke rumah dengan hati yang penuh sesak. Semalaman aku sulit tertidur, berbagai perasaan menghantuiku tanpa bisa dijelaskan. Aku hanya berharap Maula bersedia memaafkanku, sekalipun aku harus membuat hatiku patah untuk kesekian kalinya. Aku hanya ingin menjadi bintang, meskipun kecil dan tidak terlihat nyatanya dia selalu menemani malam yang gelap gulita. Mencintai malam dan menemani mimpi-mimpi panjang dari jiwa yang terlelap. “ Krriiiiiiinggggggg...” “ Selamat pagi dunia. Mari ngampus dengan mata panda.” Kakiku melangkah menyusuri seluruh penjuru kamar, dapur, kamar mandi, kamar dan beranjak meninggalkan rumah dengan seteguk susu buatan bi Marmi. Hari ini aku sengaja meninggalkan sepedaku, aku fikir taksi akan lebih baik mengantar hatiku yang masih tidak menentu. Terlebih lagi hari ini ada pesta kampus, lebih tepatnya festival yang diadakan Fakultas Seni, salah satunya kelas Maula. “ Lin. Kita nonton festivalnya yuk. Mumpung kelasku lagi kosong nih. Kamu juga kan?” “ Iya sih. Tapi..” “ Ah lama. ayo.” Bryan menarik tanganku menuju bangku festival yang ditata rapi di halaman Fakultas Seni. Belum lama aku merapikan posisi dudukku, aku melihat Maula menaiki panggung sembari membawa sebuah gitar di tangannya. Aku tahu, Maula sangat pintar dalam memainkan berbagai alat musik seperti gitar dan piano. Sama seperti apa yang akan ditunjukkan Maula dalam festival kali ini. Maafkan aku mencintai kekasihmu Kekasihmu Namun ku tak ingin menjadi Penyebab kehancuran Antara kau dan dia Sepenggal lirik aransemen Maula dari penyanyi ternama Indonesia Terry mendengung di telingaku. Entah badai apa yang membuat air mataku tumpah seketika. Bukankah itu hanya sebatas lagu yang dinyanyikan oleh seorang calon musisi? Bukankah itu hanya bentuk apresiasi musik yang selama ini digemari Maula? Maula turun dari panggung, memeluk tubuhku begitu kuat sembari meneteskan air mata. Aku bingung dibuatnya, bukankah semestinya aku yang melakukan ini? Berlari memeluknya sembari mengucapkan maaf karena telah melukai hatinya. “ Lin, maafin gue ya. Gue tahu banget gue salah. Tapi itu sengaja gue lakuin karena selama ini gue ngerasa bersalah.” “ Tapi, ngerasa bersalah buat apa La? Bukannya seharusnya gue yang minta maaf?” Maula menggeleng, dia masih belum mau menjelaskan. Hanya saja dia bilang bahwa sebenarnya kemarahannya bukan karena aku yang bersama dengan Bryan hari itu. Ada alasan lain. Maula juga mulai menyapa Bryan, meski memang tidak begitu dekat. Aku lega, aku bersyukur sahabatku kembali bersamaku. Malam ini tidurku begitu lelap, ditemani dinginnya semilir angin dan kelip bintang-bintang kecil di angkasa. Setidaknya aku kembali bersama, Maula dan Bryan. Cinta yang masih tersimpan memang akan tetap aku pendam dalam lubuk hati yang paling dalam. Tetapi ikatan persahabatan akan terus aku genggam beriringan bersama kedua cinta yang nyata dalam jiwaku. Disaat aku belajar menjauh dan Disaat aku belajar menghapus semua perasaanku Justru waktu membuatku semakin dekat dan aku merasa semakin dalam Jatuh ke dalam bayangnya “ Trimakasih Tuhan. Setidaknya kau tunjukkan betapa keajaiban itu nyata adanya. Kau biarkan tiga hati yang saling bergejolak dalam waktu yang begitu lama kini kembali duduk dalam satu meja. Tertawa bersama, bercerita, bertukar canda. Ini bentuk bahagia yang kau sertakan ke dalam langkah-langkah di hidupku yang nyata.” Description: RINAI merupakan kisah cinta segitiga dalam persahabatan anak-anak muda, Allinda, Maula dan Bryan. Sempat terpisah karena kesalahpahaman antara Allinda dan Maula yang mencintai seorang Bryan. Bryan yang sejak SMP masih berteguh hati mencintai Allinda mencoba pergi setelah tahu Allinda menolak cintanya demi Maula. Hingga akhirnya rinai hujan kembali mempertemukan tiga sahabat dalam cinta ini di meja yang sama.
Title: Ranting Kayu Bercabang Rindu Category: Puisi Text: Bunga Rampai Aku, bunga rampai yang disiram rindu tiap waktu Merekah pucat pasi tersinar mentari Mengerucut kering terkurung dingin Menua di dahan kering Hujan yang datang bersama angin Mampu menjatuhkan ku, Hanya tinggal masalah waktu Sebelum aku benar-benar jatuh Dan terkubur tanah dalam sepi Rindu Menuntut Temu Duhai Tuan, di sela-sela hembusan angin aku terdiam Memberikan ruang bagi dingin yang hendak menyapa Rumput-rumput itu bergoyang girang Tak ada salahnya ikut menikmati, bukan? Mereka hanya menuntut temu Angin dengan bukit Hujan dengan laut Dan mungkin setelah ini bagianku, menuntut temu denganmu Siapa tau? Daun Yang Terhempas Hujan Resah tak dapat di hindari Angin menerpa dedaunan Yang kering di dahan renta Ia lepas, terbang Terbawa angin kencang Resah tak dapat di hindari Terbunuh dengan asa Dan daun-daun itu lepas menempuh jalan pulang sendiri Hujan Di Bulan Juli Angin bergerak naik Menguapkan awan gelap pertanda hujan Bukit-bukit mulai teduh Hujan mampir di sela-sela senja Dan hingga hujan reda, aku adalah alasan terbaik.. yang dikirimkan semesta menanti pelukmu pulang Apakah itu, tuan? Apa yang kita perebutkan, tuan? Perlombaan menyisakan tangisan ini melelahkan Apa yang kita perbincangkan, tuan? Rinduku dan rindumu tak pernah sepaham Apa yang kita perjuangkan, tuan? Nyatanya, engkau tak ada di dekapan Dan kita hanya tersisa untuk saling melupakan Kemuning Senja Di penghujung hari, senja pergi dalam sepi Warna kemuning tiba dalam hening Awan kelabu membungkus sendu Dan tawa canda sirna berbalut duka Tinggalah perempuan, menunggu pulang Sebuah bayang di batas senja Seberapa Lama Tuan, berapa lama lagi angin berputar? Rindu ini laksana daun-daun kering Walau sering di siram air mata Tuan, berapa lama lagi daun itu harus menunggu kabar? Kelak Ia akan gugur, terjatuh dari tangkainya, layu, Mengering dan menyatu dengan tanah. Aku hawatir engkau tak menemukan Sedalam apapun engkau menggalinya. Tuan, berapa lama lagi? Cinta dan Rahasia Cinta tumbuh sebagai sebuah rahasia Oleh mata yang memancing rasa Oleh dada yang mendegub karsa Kemudian kata-kata berkembang rupa warna Yang kita rasa sederhana, tapi rumit untuk di jelaskan Kerumitan itu terus bermain, melempar nalar jauh Pada akhirnya kembali menjadi sebuah tanda tanya Cinta adalah rahasia Rindu tak perlu di jaga Tanpa perlu di jaga, Rindu akan selalu ada Laksana mentari yang terbit dan terbenam tanpa diminta Tanpa perlu di jaga, Rindu akan selalu ada Laksana Angin yang datang dan pergi dari perbukitan Tanpa perlu di jaga, Rindu akan selalu ada Laksana tanaman belukar, ia terus menjalar Rindu tak perlu di jaga Buah Rindu Di sebuah pohon kesabaran, Rindu muncul sebagai buah yang belum ranum Seorang muda naik ke pangkal batangnya Mencoba memetiknya, jatuh kemudian Tangkal tempatnya berpijak belum kuat benar Apakabar Buah rindu yang belum ranum? Terbuang sia-sia jatuh ke tanah, Dan seorang muda itu pergi mencari Pohon sabar Mencari buah rindu, Tak menghiraukan ranting patah dan buah rindu sebelumnya Tersesat Di Hutan Rindu Tuan, apakah sudah merasa lebat hutan rindumu? Sehingga sulit menemukan jalan kembali kepada ku? Tenang lah, Sudah sejak lama, rindu ku padamu tercecer sepanjang jalan Jangan merasa kehilangan, Punguti jejak rindu itu Kelak engkau menemukan Diri ku di batas kesabaran Ladang Puisi Yang Tandus Rindu yang terus memancar Kini mengeringkan asa Meninggalkan ladang puisi mati kering Harap yang setipis benang Menunggu getas terjemur kering Tinggal sang waktu yang berdetak meretakan hati Memecah berkeping-keping Akar Rasa Cinta itu tumbuh, bukan jatuh Ia berakar dari rasa, mengembang bersama asa Cinta itu memiliki akar, Mana mungkin dikatakan jatuh cinta? Jika patah, mungkin Jika tumbang, mungkin Maka tak mungkin aku jatuh karena cinta Jika jatuh ke pelukanmu, Itu sesuatu yang sangat ku ingin Rintik Hujan Dan Tapak Semalam hujan datang bertandang Ia menjatuhkan ribuan air dalam gelap Tak terlihat, namun basah terasa berat Hujan pergi saat gelap tersingkap Selpas hujan, kita segera beranjak Meninggalkan kenang yang menggenang Dibawah sepatu berlumpur berwarna coklat. Description: Rindu itu ibarat ranting pohon randu Ia bercabang seribu namun akarnya tetap satu Ia boleh memanifestasikan pada sesuatu Tapi tetap, Rindu itu hanya milik mu.
Title: Red Thread Category: Novel Text: Nol BABAK SATU SATU Syl Laki-laki itu muncul dari sudut keheningan yang tidak kuketahui. Musik yang mengalun lembut di dalam kafe, membuatku sadar jika suara langkahnya sama sekali tetap saja kalah dengan instrumen piano yang muncul dari tekanan jari seseorang. Pianis yang sedang memainkan sebuah tembang lawas populer berjudul ‘Boulevard’, membuat malam semakin gigil dan juga ngilu dalam keheningan. Aku sama sekali tak bisa menyembunyikan degupku yang sedikit tak waras. Aku menyebutnya tak waras, karena belum sebulan aku patah hati, tetapi mengapa aku bisa tiba-tiba berdebar hanya dengan mendengar suara langkah kaki khas laki-laki yang sedang berjalan ke arahku? Laki-laki dengan senyum tipis yang jarang terlukis di wajah freezernya itu (aku menyebutnya freezer karena ia memang amat sangat jarang tersenyum), saat ini sedang tertawa lebar ketika mendapatiku sedang duduk sendirian. Bagaimana ia bisa menemukanku? “Saya boleh duduk di sini?” tanyanya berbasa-basi. “Tentu saja, kenapa aku harus melarangmu?” tukasku berusaha terlihat santai. Malam ini ia berpenampilan cukup rapi, dan ehm sedikit tampan. Rambut tebalnya dirapikan sedikit dan diberi gel supaya lebih bergaya. Kaos polo hijau berkerahnya, terlihat segar di kulitnya yang kuning langsat. Aih, aku sedikit mengumpat dalam hati. Kenapa aku nekat datang ke kafe romantis dengan lilin-lilin kecil imut hanya memakai jins hitam dan juga blus polos warna biru tua? Aku seperti anak SMU yang belum tahu cara berdandan. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah peduli dengan pandangan aneh pengunjung ‘Serenade Cafe’ ini. Hampir semua perempuan yang makan di kafe manis dan terkenal dengan iringan piano tunggalnya yang menghanyutkan ini, berpenampilan cantik juga elegan. Hampir tiap minggu aku datang, tidak peduli dengan tatapan aneh orang lain. Bukankah yang terpenting aku bisa membayar makananku sendiri tanpa perlu berpenampilan munafik? “Karena saya sering melihatmu sendirian.” Katanya singkat. Tangannya memanggil salah seorang pelayan yang memang sedang takjub memperhatikannya diam-diam. Billy, nama laki-laki yang sedang duduk di depanku, selalu punya magnet khusus di manapun ia berada. Rahang kukuh, mata yang tajam, dan juga bibir yang jarang tersenyum, justru menjadikannya sebagai pangeran freezer yang diincar banyak perempuan. “Kok bisa tahu kalau aku sering ke sini?” “Teman saya banyak, kebetulan ia pernah bercerita, ada seorang perempuan cantik yang aneh. Katanya, perempuan itu selalu bercelana jins, atasan sekenanya, tanpa make up, duduk sendirian sampai kafe hampir tutup tanpa pernah ada yang menemani.” Aku lagi-lagi diam. Dasar tukang kuntit. Aku juga sedikit terkejut, ternyata si pangeran freezer ini memiliki banyak teman juga. Lagu pengiring sudah berganti dari ‘Boulevard’ menuju lagu ‘Endless Love’. Aih, lagu bulshit. Aku jadi terkenang dengan seseorang kalau lagu ‘Endless Love’ dimainkan. Seketika debaran yang sempat terasa untuk Billy, diusir secara paksa oleh kenangan lamaku. Ini masih tentang seseorang, rupanya aku masih belum sepenuhnya sembuh. “Kenapa malah diam? Benar kamu tidak keberatan bukan, kalau saya duduk di sini?” Billy berusaha memastikan,”mulanya saya hanya penasaran, siapa sih perempuan nyentrik yang datang tiap malam minggu tanpa membawa pasangan atau teman dan berpakaian cuek itu? Sedikit aneh kenapa saya berpikir kalau itu pasti kamu. Ternyata tebakan saya benar.” “Aku sedang patah hati, Bodoh! Apa aku perlu bercerita pada banyak orang kalau aku sedang hancur?” batinku keras-keras. Wajahku tegang tanpa kedipan mata. Debaran hatiku sudah berganti dengan kesal. “Aku senang menghabiskan waktu sendirian, di tempat romantis dan juga di tempat di mana aku bisa menatap kota dari ketinggian.” Tukasku lugas. Cahaya remang-remang dari lilin di mejaku, mengaburkan pandangan Billy. Padahal mungkin banyak perempuan pengagumnya yang rela mati hanya untuk momen seperti yang kudapatkan. Aku bisa duduk semeja berdua dengan pangeran freezer ini, dan dia sedang berbicara padaku lebih dari dua kalimat. Sebuah kelangkaan jika Billy Adhitama berbicara panjang dengan rekan sekantornya, lebih-lebih dengan lawan jenis. “Saya tidak sedang berbicara dengan cewek gagu kan?” “Hei, kenapa kamu berbicara tidak sopan begitu?” kataku sebal. Untung saja Billy berbicara pelan. Yang membuatku kaget, wajahnya sudah mendekat beberapa senti dari wajahku. Yah, sepertinya kebiasaan burukku kambuh. Aku melamun dengan mudah dan pikiranku melayang ke tempat lain meski aku dalam kondisi sedang mengobrol. “Karena kamu memang duduk dan melahap makan di sini. Tetapi saya tidak bisa menebak apa benar kamu sedang berada di sini?” komentar Billy lagi. Kamu kan tidak tahu beban apa yang sedang ingin kubuang, Billy? Kamu bukanlah tipe laki-laki yang paham perasaan perempuan yang sedang mengalami kegagalan percintaan. Kamu mungkin tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sudah kamu sayangi sejak bertahun-tahun lalu? Mencintai namun juga sekaligus tak mampu memiliki. Sakitnya tak ada yang menyaingi. “Aku hanya ingin sendiri, itu saja!” itulah yang keluar dari mulutku. “Kebetulan saya sedang malas duduk sendirian. Jadi biar saya duduk di sini, anggap saja kita tidak saling kenal. Kamu sibuk dengan pikiranmu, dan saya akan sibuk dengan gadget saya sendiri.” Malam ini sungguh aneh. Dua orang yang saling kenal, memutuskan untuk menjadi orang asing dalam sejenak. Billy benar-benar menjalankan rencananya. Dia mengeluarkan komputer tablet, memakai headphone dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Untuk pertama kalinya, aku makan di tempat ini dengan seorang teman. DUA Billy Imaginery, setahun lalu. Dia bukanlah gadis dengan kecantikan luar biasa seperti Donna yang berwajah arab, Meilani yang sebangsa dengan saya sebagai tionghoa keturunan, atau seeksotis Lyla, gadis blasteran Jerman-Jepang yang menjadi incaran kawan-kawan kantor Imaginery. Perusahaan digital advertising yang sudah menjadi salah satu basis perusahaan iklan nomor dua di Indonesia ini, memiliki segudang perempuan cantik yang membuat para pria bujang bingung menentukan pilihan dan mendorong para laki-laki beristri untuk poligami. Saya malah tertarik dengan perempuan berkulit cokelat itu. Tubunya langsing, tidak gemuk tidak kurus. Wajahnya juga tidak terbentuk dari rahang tinggi, malah cenderung bulat. Namun, sudah beberapa orang yang bilang, kalau perlahan tapi pasti, gadis berwajah unik itu menjadi dambaan bujangan-bujangan Imaginery diam-diam. Namanya Naisyla, lebih senang dipanggil Syl, lebih unik katanya. “Namaku Syl, panggil saja seperti itu. Nice to meet you,” ujarnya di awal perkenalan dengan saya dan juga teman-teman sekantor. Syl adalah kombinasi jus jeruk dan juga kopi hitam yang terasa aneh pada awalnya di lidah, namun bisa juga menjadi sebuah rasa yang membuat orang lain kangen. Termasuk saya yang diam-diam menjadi penggemarnya. Syl adalah gadis yang mudah tersenyum, mudah tertawa dan juga mudah marah. Di saat sedang tenggelam dalam pekerjaannya sebagai copywriter, dia akan sangat fokus menatap layar komputer dan terjun ke alam pikirannya sendiri. Saya paling suka ketika dia sedang sibuk begitu, ah masih ada satu lagi, saya paling suka ketika dia sedang larut dalam dunia bacaannya. “Syl ternyata sudah punya tunangan, kabarnya sebentar lagi dia akan menikah,” bisik Hendra yang menjadi satu-satunya sahabat dekat saya di Imaginery. “Lantas? Apa hubungannya sama saya?” “Billy, saya sudah berteman denganmu selama dua tahun setengah di Imaginery. Setelah kisah perempuan yang pernah kamu sukai di zaman kuliah yang entah udah berapa tahun lamanya itu, kamu tidak pernah menatap perempuan lain seintens kamu menatap Syl.” Sergah Hendra menyanggah pemikiran saya dan juga memiliki kebenaran seratus persen tepat. Tak banyak orang-orang di kantor ini yang nyaman untuk berbincang lama dengan saya. Saya jarang menggunakan frasa ‘aku-kamu’ meski dengan rekan kerja. Meskipun begitu, atasan sangat menyukai cara berbicara saya. Mau menggunakan saya atau aku, bagi saya itu sama saja. Apalah artinya sebuah kata jika sama artinya? Memang saya pernah beberapa kali menyukai seseorang, dan itupun sangat sulit sekali karena saya sulit untuk menjatuhkan perasaan. Terakhir kali dekat dengan perempuan yang saya sayangi itu mungkin sudah terjadi beberapa tahun lalu. Gadis secantik apapun, hanya sanggup mengalihkan mata saya namun tidak mengikat hati. Dan entah kenapa, sejak pertama kali melihat senyum tulusnya dan juga binar hidup di matanya yang dalam, saya jadi semakin tertarik untuk sesekali melihat Syl. “Syl, kamu kelupaan handphone lagi ya? Ini aku temuin di toilet, dasar ceroboh!” suara Nadia, rekan satu tim Syl membuat saya berpaling dari layar komputer. “Hehehe, kelupaan, untung kamu ambilin, Nad. Makasiih! Aku kelupaan, paling kalau mau nelpon baru nyari hape,” kata Syl cengengesan. Nadia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Hampir sebagian besar orang yang mengenal Syl, sudah paham dengan sifat ceroboh dan pelupa Syl. Ah, gadis itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sampai tidak memusingkan hal-hal di sekitarnya. “Sedang memandangi Syl lagi kan? Ketangkap basah kamu,” sindir Hendra sambil menyikut siku saya. Saya haya mendengus pendek lalu melanjutkan membuat desain produk yang sudah harus berada di meja Pak Cakra, General Manager saya yang terkenal killer. “Lanjutkan saja pekerjaanmu, jangan usil,” sahut saya sementara Hendra masih tersenyum mencibir. Yang membuat saya senang memandangi Syl adalah, dia tidak akan menyadari meski seseorang sedang fokus mengamatinya. Sikap tidak pekanya sudah menempel erat sampai tulang, mungkin saja juga sudah menjadi bawaan lahir. Sayang sekali, kenapa dia sudah memiliki calon suami ya? “Hei, apa-apaan sih, Billy? Fokus!” pekik saya dalam hati. Kenapa orang asing bisa menjadi begitu penting? Mengapa senyum dan juga semua kekurangan gadis itu menerbitkan senyum yang jarang muncul? Jangan-jangan Syl itu alien yang menyaru menjadi manusia untuk menghipnotis saya. Tidak hanya saya, sebagian besar yang mengenalnya pasti akan menjadi luluh melihat Syl tertawa, sedih ataupun sedang kesal. Dia memiliki wajah paling jujur yang pernah saya lihat. Di dunia di mana banyak orang memilih memakai topeng berlapis-lapis, Syl malah mendobrak aturan. Gadis itu memang antik dan langka. TIGA Syl “Pulangnya saya antar ya?” katanya menawarkan diri. Sebenarnya aku cukup tersanjung dengan tawaran itu, tetapi dia bukanlah teman dekatku. Rasanya aneh saja jika aku langsung mengiyakan. “Nggak perlu repot-repot, makasih.” Tolakku halus. Billy tak lagi mengajakku pulang dengan mobilnya, tetapi ia malah mengikutiku berjalan menuju lobi kafe. “Kenapa kamu mengikutiku? Udah nggak perlu diantarin juga nggak apa-apa. Biasanya aku juga pulang jam segini. Kalau naik taksi cukup aman kok,” “Tapi saya khawatir, jadi kalau kamu tidak mau saya antar, saya akan menyetir mobil membuntuti taksimu dan memastikan kamu aman sampai rumah.” Billy masih keras kepala. Andai ini terjadi di sebuah drama korea romantis, pasti membuat hatiku berbunga-bunga. Masalahnya, aku dan pria freezer ini tidak terlalu saling mengenal. Aku tidak nyaman jika menerima kebaikan dari seseorang yang tidak akrab. Di saat Billy masih beradu argumen denganku yang tidak mau diantar olehnya, tak sengaja aku melihat sedan merah yang sudah sangat kukenal. Mobil itu terparkir di seberang jalan, sepertinya ada seseorang yang duduk di kursi pengemudi. Dan dalam adegan lambat, aku melihat seorang perempuan dengan gaun hitam ketat keluar dari restoran dengan seorang teman perempuannya. Perempuan itu melangkah anggun di atas high heelsnya yang pasti akan membuatku terjungkal jika nekat kupakai. Bukan karena kaki jenjangnya yang membuatku tercengang. Perempuan seksi itu masuk ke dalam sedan merah yang rupanya sudah menunggunya. Aku yakin seribu persen, jika pria di balik setir mobil itu tidak memperhatikanku yang sedang memicingkan mata dengan hati remuk. “Kenapa Syl?” tanya Billy. Kepalanya mengikuti arah mataku. Aku yakin, tak salah lagi. Perempuan yang kini bibirnya sedang berpagutan dengan bibir laki-laki di dalam mobil sedan merah itu, mungkin yang menjadi penyebab kepergian Rengga. Mantan tunanganku, orang yang masih kusayangi hingga sekarang, sekarang sedang memeluk perempuan lain di mobil yang biasa dipakai untuk menjemputku pulang kantor. “Kalau ingin menangis, menangislah. Sebaiknya kamu ikut pulang bersama saya,” kata Billy sembari menggenggam tanganku. Aku mengangguk, tak punya kekuatan untuk beradu argumen lagi. Kelopak mataku memberat, ada berton-ton cairan yang ingin menerobos keluar. Malam ini adalah malam paling bajingan yang pernah kualami. EMPAT Billy “Kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” saya bertanya pada perempuan yang sedang terlihat sangat rapuh itu. Syl berbicara dengan suara bergetar. Ia meminta teh manis hangat. Sudah kukira kalau ia tidak menyukai ide minum kopi karena aku tahu jika lambungnya yang sensitif menolak kopi. Aku teringat pada kejadian suatu siang di kantor. “Syl, kenapa wajahmu pucat?” Nadia yang waktu itu baru saja selesai makan siang tiba-tiba bertanya pada Syl. Syl tidak menjawab, tetapi terus memegang perutnya sambil meringis dengan wajah pucat,”Asam lambungku kambuh, Nad. Tadi memang belum sempat sarapan karena aku bangun terlambat,” Saya hendak beranjak dari kursi dan mencarikan obat di ruang klinik kantor. Namun, Nadia jauh lebih cepat, kebetulan ia membawa obat maag cair di tas kerjanya. “Aku juga punya sakit maag tapi kan tidak separah kamu, lain kali jangan sampai makan terlambat dan juga jangan terlalu stres. Aku tahu, pasti yang bikin kamu sampai sakit begini juga salah satunya karena dia,” Saya bisa menangkap dengan jelas apa yang dikatakan Nadia. Siapa yang sedang dibicarakan Nadia? Siapa yang membuat Syl sampai stres dan sakitnya kambuh? Kini saya menemukan jawabannya. Orang yang membuat Syl lupa jam makan ialah orang yang sama membuat Syl menangis hebat malam ini. Syl menangis tanpa suara. Tapi air matanya tak mau berhenti jatuh sampai wajahnya memerah. Ini untuk pertama kalinya saya melihat seorang perempuan menangis. Ayah selalu membuat Ibu tersenyum, justru Ayah saya yang menangis hebat ketika Ibu harus pergi mendahului kami dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ayah menjadi sosok pria rapuh yang mengutuki dirinya sendiri, ia menilai jika karena kesalahannyalah makanya Ibu sampai meninggal dunia. “Ibumu akan selalu menjadi wanita tercantik dan juga terbaik buat Ayah,” itu yang disampaikan Ayah terakhir kali sebelum akhirnya ia pergi menyusul ibu, setelah berbulan-bulan dihajar penyakit stroke yang ia derita. Laki-laki yang tega menghancurkan hati kekasihnya sendiri, tidak pantas disebut sebagai laki-laki sejati. Bagaimana bisa seorang pria bisa melukai hati perempuan yang dulu ia puja dan juga selalu ia rindukan? Rasanya saya ingin memeluk Syl dan melenyapkan semua kesedihan yang sekarang sedang menyelubunginya. “Ini, minumlah sedikit supaya kamu lega.” Segelas teh hangat saya letakkan di atas meja tamu. Syl menyeka matanya yang basah dengan ujung kardigan coklatnya. “Terima kasih banyak atas kepedulianmu hari ini.” Ujar Syl, kali ini suaranya terdengar lebih jelas. Saya mengambil posisi duduk di samping Syl. Ada jarak yang saya jaga supaya Syl tetap nyaman di rumah kecil ini. “Lucu ya, aku justru menangis dan mendapatkan segelas teh hangat di sebuah rumah asing dan juga bukan di rumah sahabatku sendiri. Kalau aku datang dan menangis di tempat kos Nadia, pasti lebih wajar kelihatannya,” sambung Syl lagi. Matanya menerawang langit-langit ruang tamu yang catnya beberapa bagian mulai mengelupas. “Ini rumah lama. Saya mengontraknya dari seorang kakek tua yang sekarang tinggal di Sumatra. Kebetulan beliau mengenal mendiang Ayah saya. Sekarang saya sedang dalam proses memiliki rumah ini dengan cara mencicil,” sebuah perbincangan yang tak bermutu, pikir saya. Kenapa saya malah membicarakan rumah? “Meskipun sederhana, tetapi terasa hangat. Kalau diberi sedikit renovasi, pasti akan lebih bagus lagi.” ujar Syl. Senyumnya mengembang tulus meski kedua matanya masih menyisakan bengkak setelah lama menangis. Rumah ini memang ingin saya miliki untuk keluarga kecil saya nanti. Sebuah rumah dengan satu lantai dan juga dua kamar, tidak terlalu besar dan masih belum banyak sentuhan modern di dalamnya. Dari cerita putra semata wayang si kakek yang menjual rumahnya kepada saya, rumah ini penuh kenangan dari istri si Kakek yang telah lama wafat. Ah, sepertinya saya dipertemukan dengan para pria yang kehilangan belahan jiwanya. “Jangan menganggap saya sebagai orang asing. Walaupun kita jarang berbincang akrab, saya sering mengamati sekeliling. Saya sudah sangat mengenalmu, lagipula kita sudah setahun lebih bekerja di tempat yang sama bukan?” Saya berusaha mencairkan suasana yang masih terasa canggung. LIMA Syl Dia tidak mau dianggap sebagai orang asing. Setelah pertemuan aneh di kafe, tawaran untuk mengantarku pulang, kini aku malah sedang berada di ruang tamu rumahnya dan minum teh hangat buatannya. Kami seperti kawan lama yang sudah terbiasa bersama. Awalnya memang sedikit canggung, tetapi lama-kelamaan suasana bisa mencair. “Setelah kamu tenang, saya akan mengantarmu pulang. Ini sudah dini hari, saya tidak mau kamu pulang sendirian.” Katanya dengan penuh kekhawatiran. Billy adalah rekan kerja yang paling jarang mengajakku bicara dan juga membuatku enggan untuk tersenyum menyapanya terlebih dahulu. Orang-orang di kantor pun tahu jika dia sangat jarang bersikap hangat pada orang lain, meski tak bisa dipungkiri jika dia adalah salah satu pegawai terbaik yang menjadi kesayangan kantor. Semua desain produk untuk iklan yang ia pegang, sering memenangkan tender dan juga selalu membuat klien puas. Semua sikapnya kepadaku malam ini, meruntuhkan anggapanku jika ia seorang pria berhati dingin. “Baiklah, kamu boleh mengantarku. Aku juga tidak mungkin menginap di sini, bisa-bisa tetanggamu menggunjing yang tidak-tidak.” Kataku mengiyakan tawarannya. “Kalau kamu sedang bersedih seperti tadi, cobalah untuk menuliskannya di buku harian. Atau bisa juga kamu merekam semua keluhanmu di ponsel, sampai kesedihanmu berkurang.” Katanya lagi. Aku tidak langsung merespon. Billy juga tidak memaksaku untuk menimpali kalimatnya. Dia membawakan tas jinjingku tanpa banyak bicara. Kami berjalan dalam diam menuju mobil yang terparkir di depan rumah sederhananya. “Jangan berpikir kalau saya membeli mobil ini dengan uang saya sendiri. Ini adalah mobil peninggalan ayah saya, sekaligus menjadi peninggalan berharga sebelum ia meninggal.” Sepertinya Billy bisa menangkap pertanyaan dari otakku. Aku tersentuh mendengar pengakuannya yang tidak bisa dibilang lembut, semuanya datar dan dingin, namun dari caranya menyebut ayahnya, aku tahu jika ada sebuah kerinduan yang tersembunyi di dalamnya. Kejujuran yang sederhana namun tak biasa. Sekali lagi kuingatkan dalam diriku, hari ini adalah pertemuan paling aneh. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin kusampaikan pada Billy, tetapi mulutku terkunci. Memilih diam adalah jalan terbaik saat ini. “Aku bisa minta tolong satu hal?” tanyaku memecah keheningan selagi Billy menyalakan mesin mobilnya. “Apa?” tanyanya singkat. Mobil sudah mulai berjalan pelan. Roda-rodanya menggilas kerikil kecil yang terhampar di depan garasi rumah Billy. Malam semakin larut dan hening sampai-sampai aku bisa mendengarkan dengan jelas suara nafas Billy yang panjang pendek tak beraturan. “Tolong jangan beritahu Hendra atau teman-teman kantor lainnya kalau kamu menemuiku dalam kondisi menyedihkan seperti tadi.” “Tidak perlu diminta pun pasti saya bisa menjaga rahasia. Saya bisa dipercaya. Kalau kamu ingin menangis, menangislah. Saya tidak akan berkomentar apa-apa, karena yang bisa mengobati kesedihan itu ya dirimu sendiri.” Yang bisa mengobati kesedihan itu diri sendiri? Bagaimana caranya? Apa kamu bercanda, Billy? “Apa kamu pernah mengalami kesedihan yang begitu hebat, Billy? Apakah kamu pernah patah hati?” tanyaku agak jengkel dengan kalimat Billy yang sok tahu. “Pernah. Dan kesedihan itu ketika saya kehilangan ibu saya di sebuah kecelakaan hebat, kemudian ayah saya menyusul setelah sakit keras berbulan-bulan.” Ah, kehilangan keluarga juga sebuah bentuk penderitaan yang paling dalam. Aku sedikit malu sudah mengingatkan Billy akan hal yang mungkin membuatnya semakin muram. Tentu saja patah hati karena dikhianati kekasih bajingan, tidak setara dengan kesedihan yang dialami jika ditinggalkan orang tua tersayang. Aku bisa memahami itu karena aku sangat takut jika salah satu orang tuaku tiba-tiba pergi untuk selamanya. Walaupun Papa dan Mama masih sehat dan juga mereka sedang hidup berbahagia di Bali. “Jangan sungkan atau memandang saya dengan wajah iba begitu. Saya memang merasa kehilangan, tetapi itu semua sudah menjadi bagian dari lingkaran hidup, bukan?” Berbincang dengan Billy, pada mulanya membuatku merasa aneh. Tetapi aku tahu jika memang kata-katanya itu penuh dengan makna yang dalam. Dia seperti seseorang yang telah melewati banyak kepahitan untuk sampai menjadi sedingin sekarang. “Jangan menangisi seseorang yang bahkan saat ini sedang tertawa dengan orang lain dan tidak merasakan kesedihanmu.” Kata Billy lagi. Kali ini pasti ia sedang bermaksud menyindir kesedihanku. Hujan mulai turun. November adalah bulan cukup basah, sebelum menuju Desember yang lebih sering menawarkan mendung ketimbang terang. Mobil Billy merambat pelan-pelan. Angin kencang menggoyangkan pepohonan di kanan dan kiri jalan. Untung lalu lintas sedang sepi, pukul satu dini hari begini jarang sekali ada sepeda motor yang lewat. “Nanti kalau sudah sampai di belokan dekat rumahmu, segera bilang ya. Oya, apa kamu tidak marah orang tuamu kalau pulang selarut ini?" Tanya Billy, wajahnya masih terpaku di jalanan. “Setelah jalan ini, belok kiri. Hmm, Papa Mamaku tinggal di Bali. Aku tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan juga suaminya yang bekerja sebagai tukang kebun. Pak Asep dan Bik Tirah tidak punya anak, makanya mereka menyayangiku seperti anak mereka sendiri.” “Kamu pasti tidak pernah kesepian.” Billy berujar sembari membelokkan mobil ke arah yang kutunjukan barusan. “Jika soal kehangatan keluarga, tentu tidak pernah. Papa dan Mama memutuskan tinggal di Bali setelah keduanya pensiun. Mungkin dari tahun lalu. Lagipula sudah saatnya juga aku belajar mandiri. Semua kebutuhan di rumah ini kupenuhi sendiri, kecuali menggaji Pak Asep dan Bik Tirah yang masih dilakukan kedua orang tuaku.” Kataku lalu memberi jeda sebelum berkata lagi,”saat ini kedua orang tuaku bekerja sesuai dengan impian mereka. Papa sibuk melukis dan Mama sibuk menulis. Mereka bisa hidup dari apa yang mereka cintai.” Aku sedikit iri dengan kedua orang tuaku. Mereka adalah pasangan bahagia dari muda hingga sekarang. Bahkan setelah pensiun dari perusahaan besar pun, mereka bisa dengan mudah menemukan jalan untuk mengaktualisasikan diri. Lukisan Papa sudah memiliki pelanggan tetap, sementara tulisan Mama sudah sering kali dimuat majalah dan surat kabar. Saat ini Mama sedang konsentrasi membuat buku tunggal. “Jangan iri, kamu pun pasti bisa bahagia seperti mereka. Kamu kan tidak tahu, kesedihan macam apa yang sudah dilalui orang tuamu sampai bisa sebahagia sekarang.”Billy lagi-lagi bisa menebak jalan pikiranku. Kesedihan biasanya muncul karena harapan. Yang paling menghancurkan bukanlah perpisahan, kegagalan ataupun pengkhianatan, tetapi harapan tinggi yang kita gantungkan pada suatu hal atau pada seseorang. Aku tahu itu, tetapi tidak bisa menghindarinya. Untuk mencintai Rengga adalah sebuah keputusan yang kuambil secara sadar, termasuk mengharapkannya. “Terima kasih, Billy.” Kataku sesampainya kami di depan rumah. Billy mengangguk dan senyumnya melebar dengan suatu alasan. Dia menghiburku dengan caranya, meski canggung tetapi tetap terasa hangat. ENAM Billy Dia tidak mengenal kebahagiaan setelah patah hati. Syl sama sekali tidak tahu bagaimana cara tersentuh semenjak ia melihat kekasihnya berpelukan dengan perempuan lain. Mengapa seorang pria yang mengaku cinta bisa tega membuang wanita yang semula dirindukannya? “Kamu tidak pernah tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang perempuan. Kalau perempuan benar-benar menjatuhkan hatinya, biasanya dia akan sulit untuk berpaling. Butuh waktu untuk menghapus luka.” Kata Hendra, si ahli cinta. “Apa iya?” tanya saya kepada Hendra yang sudah beberapa kali berganti kekasih,”bagaimana kamu bisa membuat teori seperti itu?” “Aku mengamatinya dari beberapa mantan kekasihku dulu. Dan pada akhirnya, aku menerima getahnya.” Jelas Hendra. Hendra pernah bercerita pada saya jika ia pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang perempuan yang sulit didapatkannya. Ketika ia benar-benar jatuh, perempuan itu malah menolaknya dan memilih laki-laki lain. Sampai sekarang Hendra belum menemukan kekasih baru. “Kadang-kadang wanita lebih memilih bad boy untuk dicintai, dan tidak bisa melihat seorang pria yang tulus mencintainya. Kejar dia, Bill. Jangan sampai Syl memilih laki-laki yang salah.” Description: Mencintai tanpa menyakiti itu mustahil. Dia mencintaimu, aku mencintaimu, dan kamu membagi hatimu antara dia juga untukku. Lalu ada orang lain yang sedemikian bodoh mau menunggu hatiku. Kalau cinta itu indah, kenapa benang merah di antara aku, kamu, gadismu dan juga laki-laki bodoh itu menjadi seperti siksa? Bagaimana cara kita lepas dan bisa bernapas bebas?
Title: Redam Kata Category: Novel Text: Pakaian Lusuh Jeglek, jeglek, jeglek ... suara mesin jahit manual membenahi sebuah baju kusut putih yang memiliki logo Sekolah Dasar di sakunya. Lengan yang lepas jahitannya mulai tertata rapi. Memandang terus, fokus, seraya mengayuh pijakan mesin jahit. Mesin Jahit yang sudah menemani ibu selama bertahun-tahun, yang telah menghidupi Billa sejak dia lahir masih lihai membenahi banyak pakaian. Siang tadi, Bu Mina memberikan Baju itu sambil cerita-cerita mengenai anaknya yang seringkali bertengkar di sekolah, yang sering hanya karena masalah sepele. "Ini loh Bu, Anak saya ini sering bandel banget di sekolah, padahal di rumah juga bisa nurut terus, tapi sering banget bajunya jadi kayak gini." "Jaman sekarang ini memang ya bu susah cari lingkungan yang pas buat anak kita, sebenarnya juga pengen saya pindah sekolah Bu, tapi kan saya Cuma bisa ikut suami saya, mau gimana lagi, paling mentok-mentok Cuma saya omelin anak saya ini." "Titip dulu ya bu Bajunya, besok-besok saja saya ambil, anak saya makainya minggu depan kok, bayarnya sekalian pas ambil ya seperti biasa. Makasih." Ibu Billa sudah sangat dikenal di Kampung-nya yang sangat terampil dalam menjahit, bahkan kadangkala ada yang menitipkan kain lalu disuruh untuk membuatkan pakaian. Sudah sangat biasa pekerjaan tersebut, dan sudah sangat biasa Ibu Billa menerima biaya jasa seikhlasnya. Hal itu sudah dirasa cukup oleh Ibu Billa, selama keseharian hidupnya terpenuhi. Serta terpenuhi pula biaya sekolah Billa. Dia hanya menerima jahitan pukul 09.00 sampai 16.00. Waktu pagi, seperti ibu-ibu lainnya, bersih-bersih, menyiapkan makan, menyirami bunga pentas berwarna kuning sebaris di depan rumahnya, lalu mengganti papan Tutup/Buka di kaca depan mesin jahit manualnya. Sorenya setelah mengubah papan Buka menjadi Tutup, dia menyiapkan makan sembari menunggu Billa pulang. Dia hanya menyiapkan sayur kangkung, dan sambal kacang, atau di tempat mereka dinamakan sambal pecel. Cukup direbus dan dibuang airnya. Selanjutnya cukup hanya menyiapkan nasi. Makanan sederhana, yang sudah cukup diterima oleh Billa dan Ibunya. *** Suasana menjelang Magrib yang kurang nyaman dirasakan pada ruang tamu seukuran 3x3 meter, dengan satu set kursi anyaman rotan sederhana, meja kaca dengan vas bunga yang di taruh di tengahnya, dan peralatan jahit Ibu. Tidak biasanya Billa yang pulang lebih telat, dia menggunakan pakaian yang kusut, dan kotor. Sontak, saat Billa tiba di rumah, Ibu Billa langsung kaget dan menghampiri anaknya. Setelah Billa duduk, Ibu Billa menyiapkan pakaian ganti, dan menyuruh anaknya segera mandi. Saat itu pula Ibu menyiapkan air hangat. Tidak lama, Billa sudah selesai mandi dan ganti baju, segeralah Ibu menuju ke kamar Billa. Billa, yang daritadi termenung dengan tanda keunguan di samping daerah matanya tetap memalingkan muka. "Aku tidak kenapa-kenapa kok bu ". Ibunya yang tetap diam sambil mengelus muka memar milik Billa "aw". Sebuah handuk dalam baskom berisi air hangat beserta obat merah dan alkohol tertata rapi di samping kursi yang diduduki Billa. Ibu memeras handuk hangat lalu mengompreskan ke luka Billa. Tidak lupa, Ibu yang cekatan ini mulai menyuapkan nasi yang sudah disiapkannya tadi. Billa hanya menurut makan dan diobati. Tidak pernah mengelak dan tidak pernah ditanya, seperti biasa. Billa juga tahu, nanti pasti Ibunya akan tahu sendiri, sangat mudah baginya untuk mengerti kejadian-kejadian yang terjadi pada Billa tanpa perlu banyak kata dan ekspresi khawatir berlebihan. Selanjutnya, Billa dibiarkan berbaring untuk beristirahat, sekiranya sudah terlihat rileks untuk beristirahat, Ibu meninggalkannya, dan berpindah ke ruang tamu. Ibu Billa tidak seperti biasa yang pukul 21.00 sudah menyiapkan diri untuk tidur. Bisa dipungkiri, karena melihat anaknya yang terlihat compang-camping. Ibu Billa hanya duduk termenug di kursi rotan panjang di ruang tamunya, menenangkan pikiran. Di sela renungannya, terlihat kaget saat Billa tiba-tiba menghampiri. Billa belum tidur ?, Billa sudah mengira pasti pertanyaan itu yang disiratkannya, dan Billa sudah menjawab "tidak bisa tidur Bu". Hanya senyuman yang keluar di wajah Billa, dan tiba-tiba Billa menyandarkan diri di pundak Ibunya, sampai terlelap dan akhirnya kepala Billa di rubah ke pangkuan Ibunya. Pak Rusdi Tukang Gerbang Bapak Rusdi namanya. Seorang penjaga gerbang di SMA Billa saat ini. Dia adalah anak angkat dari mendiang kakek Billa. Waktu TK & SD, Billa selalu diantarkan oleh Pamannya ini. Billa saat itu masih dalam masa riang-riangnya. Bahkan, Setiap saat Billa sering bercengkrama tentang kejadian-kejadian yang terjadi selama dia di Sekolah. Anehnya, saat Billa bersama pak Rusdi. Orang-orang bahkan mengira Billa anaknya. Namun sebenarnya pak Rusdi hanyalah seorang yang menekatkan diri untuk tidak menikah. Dia menganggap menikah membutuhkan dana yang berlebih. Dia juga berpikir keadaan sendiri yang kurang memadai, apalagi memiliki istri. Sebelum Billa beranjak SMP, Pak Rusdi hanyalah penggembala kambing ternaknya. Kadang juga mencarikan pakan ternak untuk tetangganya. Barulah saat Billa beranjak SMP, Pak Rusdi menjadi penjaga gerbang di SMA Negeri satu-satunya di Kecamatan tempat Billa tinggal. Jarak rumah pak Rusdi dari Rumah Billa hanyalah 3 rumah saja, jadi seringkali pak Rusdi mampir ke tempat Billa. Dengan keadaan sudah bekerjanya Pak Rusdi di SMA, dan arah SMA yang berbeda dengan SMP Billa. Dia menjadi lebih sering berangkat bersama Nike, teman sejak SD-nya. Saat itu, belum terlihat kejanggalan dari Billa yang sampai sekarang ini. Pak Rusdi juga sudah sangat mengenal Nike yang sering berhubungan dengan Billa. Meskipun saat itu seperti berkebalikan dari sekarang. Yang mana Billa-lah sering mengajak Nike kesana kemari. Sampai-sampai sering mengajak Nike pulang bareng dengan Pak Rusdi. Terbayang dalam pikiran Pak Rusdi saat sudah jarang bersama Billa lagi. Hal itu bahkan dirasa seperti kehilangan anak, yang padahal Pak Rusdi sendiri belum pernah memiliki. Sudah sangat dekat Billa dengan Pak Rusdi, seringkali juga Billa diajak jalan-jalan kesana kemari. Sangat riang, sangat menyenangkan. Bahkan pernah pula, Billa diajak ke ladang rumput untuk mencarikan pakan untuk kambingnya. Bukan kehendak Pak Rusdi sendiri, hanya saja Billa yang merengek ingin ikutan ke ladang. Pak Rusdi hanya mengira "tidak apa-apa lah, nanti biar dia main-main di pinggiran". Dan, uniknya Billa malah membantu mengais-ngais rumput dengan tangan kecilnya. Pak Rusdi tertawa, dan memarahinya. "Kalau seperti itu ya kapan selesainya, udah kamu di pinggiran saja Bil, main-main di air irigasi dulu itu". Terlihat wajah cemberut Billa yang lucu, dan senyum pak Rusdi makin melebar lagi. Awalnya, Pak Rusdi sering dititipi Ibu Billa untuk membeli beberapa kebutuhan. Ibu Billa memang tidak pernah membeli sendiri kebutuhan rumahnya. Dia selalu menitipkan kebutuhannya ke tetangga-tetangganya, dan dia juga menambahkan sedikit tip karena bisa membantunya. Bukan karena malas, dia memang tidak mampu. Ibu Billa kasihan dengan anaknya. Tidak ada lagi yang bisa mengajak dia berbicara. Ayah Billa sudah meninggalkan Billa sejak umur 1 tahun. Mungkin karena tidak kuat menghadapi keluarga yang sangat susah berkomunikasi seperti ini. Meski bisa bahasa isyarat, ataupun bisa berkomunikasi dengan tulisan. Tetap saja, keheningan tidaklah nyaman. Apalagi Billa kecil yang lambat belajar berbicara, semakin tertekan Ayah Billa, sampai meninggalkannya. Kehidupan Billa kecil berlalu dengan keheningan. Ayahnya bekerja harian 8 jam sehari. Di rumah pun, dia lebih banyak beristirahat. Sedangkan keadaan ibunya juga kurang dapat membuat anaknya belajar bicara. Ayah Billa yang masih egois juga tidak memperbolehkan Billa untuk di asuh di tempat mertuanya. Dan akhirnya, dia pun menyerah sebagai ayah saat Billa sudah beranjak umur 1 tahun. Meninggalkan rumah kecil yang menjadi tempat mata pencaharian Ibu Billa. Keluarga yang dekat di situ hanya Pak Rusdi. Ada pula nenek dan kakek Billa, namun masih di desa seberang. Jadi, ibu Billa lebih sering berhubungan dengan Pak Rusdi. Dia juga berharap, semoga dengan seringnya Billa dengan Pak Rusdi, Billa dapat belajar bicara. Semakin lama waktu berjalan, sesuai harapan ibunya. Billa mulai dapat bicara dalam beberapa bulan ke depannya, menirukan yang dibicarakan Pak Rusdi. Sampai berumur 3 tahunan Billa sudah berubah menjadi anak yang cerewet bicara banyak hal dengan riangnya. Rasa bungah Ibu Billa benar-benar tercurahkan, dengan tidak menurunnya kekurangan dari Ibunya ini. Sudah sangat dipercaya Pak Rusdi dalam mengurus Billa. Pak Rusdi pun juga senang menjalaninya. Tidak hanya karena lebih terpenuhi kebutuhan hariannya, namun juga senang bisa merasakan bagaimana memiliki momongan. Yang dari dulu tidak pernah terpikir bisa didapatkan Pak Rusdi. Kejadian Siang di Sekolah Hanya ada 3 orang yang berada di sana. Bapak Rusdi sempat mendengar ada kerusuhan siang tadi. Anak laki-laki kelas XII yang sering nongkrong di depan pos jaga menceritakan kepada Pak Rusdi. Hal yang sudah sewajarnya terjadi di sekolah, sekelompok perempuan yang melabrak perempuan lainnya. Bahkan seringkali hanya karena kejadian sepele. Dengan kebiasaan pak Rusdi yang suka berangan-angan. Bergejolak keluar banyak pertanyaan di angan pak Rusdi. Kenapa sekarang anak-anak jadi seperti ini ?. Padahal juga orang tua dulu tidak ada yang seperti itu, bahkan tidak ada yang kenal pacaran. Ada di samping lawan jenis saja gak mau, apalagi sampai berpasangan, sampai bela-bela lagi. Mengacuhkan angan-angannya, dia teringat bahwa sudah hampir waktu pulang. Waktu bapak Rusdi harus membuka gerbang. Bapak Rusdi dengan disiplinnya membukakan gerbang sekolah tepat jam 4 sore. Biasanya sudah ada anak-anak ramai menunggu dibukakannya gerbang, padahal bel pulang belum berbunyi. Sering pak Rusdi memarahi anak-anak itu, tapi tidak ada perubahan. Mungkin juga karena gurunya yang tidak terlalu peduli. Sampai akhirnya pak Rusdi sudah jengkel tidak mempedulikan mereka. Dia hanya berpikir yang penting dibuka tepat waktu. Yang penting mereka tidak pulang duluan meskipun mereka juga sering merengek. Sampai sekitar jam 5 sore, saat keadaan sudah mulai sepi. Tiba-tiba pak Rusdi melihat Billa yang berjalan teruyung tanpa membawa sepeda yang biasa menemaninya setiap hari. Pak Rusdi menduga Billa yang dibicarakan anak-anak tadi. Pak Rusdi sudah kesusahan juga untuk menanyai Billa kenapa bisa sampai seperti itu. Sejak lulus SMP, dia menjadi pendiam. Wajahnya lebih datar, seperti tidak ada minat hidup. Sering pak Rusdi mencoba menghiburnya. Saat mengajaknya bicara, biasanya Billa hanya mengangguk. Saat diajak makan atau diberi jajan, Billa hanya menjawab "terimakasih". Tetapi, yang masih bagus. Billa masih mau menurut pak Rusdi ketika diajak pulang bersama. Sambil menunggu pak Rusdi menutup gerbang, Billa hanya termenung di Pos Jaga. Tidak terlihat menangis, takut, atau tertekan. Yang ada hanyalah tatapan kosong. **** Di jam pelajaran, kegiatan hariannya adalah bersih-bersih sekolah. Jika ada sesuatu terjadi pada Billa, biasanya pak Rusdi menanyakan pada Nike. Namun saat kejadian hari kemarin, Nike sedang sakit. Akhirnya pak Rusdi mencari info ke teman sekelas lainnya. Dan juga ke beberapa guru. "Itu si Lala CS, biasa lah gangguin si Billa. Habis, dia diam terus, gak jelas. Dan juga mumpung nggak Nike yang biasanya belain." Kata Nico, yang menurut Pak Rusdi bisa diandalkan masalah informasi. Dia selalu bercerita apa adanya. "Waktu istirahat siang kemarin, kakinya dijegal pas hampir sampai kelas. Banyak yang lihat. Banyak yang ngetawain, ada yang mau lerai malah gak berani. Tapi Billa nggak ngelawan, cuma bangun dan ngelanjutin jalan aja" Nico melanjutkan. "Selanjutnya, kan Lala CS gak puas tuh malah dicuekin. Lala menarik-narik baju Billa sambil mengomel-ngomel, tapi tetap ndak direspon. Sampai Billa dihempasin lala ke arah pintu, terus ditinggal. Untungnya masih ada yang memberikan pertolongan untuk kepala Billa yang memar dan sedikit berdarah itu." Semakin menguatkan cerita. "Terus gurunya kemarin gimana ko ?" Pak Rusdi balik bertanya. "Tidak ada yang melapor sih, cuma Bu Lia kemarin pas lihat kondisi Billa. Sehabis kelas dia seperti cari-cari informasi, karena juga susah menanyai Billa. Dan benar, Lala CS pas jam pelajaran ke-7 tadi dipanggil ke BK." Nico menjawab. "Iya, denger-denger sih sepedanya diumpetin, gara-gara gak terima. Loh, berarti kemarin pulang gak ketemu sepedanya ?". Sampai heran Nico balik bertanya. "Iya, tapi tadi pak Rusdi udah nemu di pojokan samping kantin, ditutup kardus-kardus." Dengan tenangnya pak Rusdi menjawab. "Oke, makasih Ko, ditraktir apa ?" "Bakso aja pakde" Sudah seperti sahabat karib mereka mengobrol. Kadang juga pak Rusdi dimintai tolong Nico. Seperti dititipi jajanan Nico untuk di jual ke guru-guru. Atau kadang minta tolong pinjam catatan Billa yang pasti lengkap. Sepeda Billa selalu diparkir di tempat pak Rusdi, sehingga Ibunya tidak sadar. Biasanya, Jum'at pagi, Ibu Billa mampir ke rumah pak Rusdi untuk titip belanja harian. Dan sering juga untuk menanyakan Billa seperti apa di sekolahnya. **** Pak Rusdi mengerti Billa seperti ini beberapa minggu setelah Billa masuk sekolah. Billa terlihat normal saat baru masuk atau keluar gerbang sekolah. Saat sepintas bertemu juga sama. Dia hanya menunjukkan senyum dan agak mengangguk. Tapi Pak Rusdi belum sadar saat itu. Sampai saat itu terjadi kejahilan yang berusaha membuat Billa bicara. Pernah sebelumnya, Billa sering kehilangan buku setelah istirahat. Pak Rusdi diberitahu Nike saat itu, dan dia baru tersadar ternyata Billa yang sekarang adalah orang yang seperti itu. Sejak Pak Rusdi bekerja menjadi penjaga gerbang tidak pernah berbicara dengan Billa. Hanya dulu waktu awal menanyakan bagaimana SMP-nya. Waktu itu masih riang bercerita. Lambat laun Billa sudah jarang bertemu. Yang ke rumah pak Rusdi setiap Jum'at juga lebih sering ibunya. Jika Billa ke rumah Pak Rusdi pun hanya sebentar. memberikan catatan, uang, dan bicara "ini pak, terimakasih,". Setelah itu pulang. Sudah sering pak Rusdi menelusuri kenapa Billa bisa menjadi seperti itu. Dia sering mencoba menelusuri kelas, bertanya ke teman-teman sekelasnya. Banyak pendapat yang didapat, tapi semua mirip. "Billa Aneh" "Aku aja ndak pernah bicara dengannya pak" "Disuruh guru aja bicara saja tidak mau" Bahkan teman sebangkunya, Nike. Dia juga belum paham dengan Billa. Yang dia mengerti hanya Billa itu sebenarnya baik. Bahkan saat Nike lupa membawa bekal makanan, tiba-tiba waktu siang sudah ada Sari Roti Isi Coklat yang terselip di laci meja Nike, pas kelupaan bolpoin, penghapus, Billa pasti sudah peka. Hal itu juga mungkin karena Nike sendiri yang punya tabiat pelupa. Sehingga Billa sangat mudah paham. Lagipula, sudah dari kecil Billa bersama Nike. Tapi uniknya, dia melakukan semua itu tanpa banyak bicara. Bahkan mungkin selama dia sebangku, bisa dihitung berapa kali dia bicara. Dia benar-benar tidak bicara kalau dia rasa tidak perlu. Pak Rusdi juga mencari informasi kepada para guru. Para guru juga memberikan informasi seperti anak-anak yang lain. Tetapi untungnya, pelajaran-pelajaran sudah sangat Billa kuasai. Banyak guru yang heran cara belajarnya. Dia hampir tidak pernah berkomunikasi dengan yang lain.. Tapi herannya lagi, sampai sekarang Billa masih tidak mau menjawab gurunya secara lisan. Dia bahkan lebih memilih maju untuk menuliskan jawaban di papan daripada menjawab pertanyaan secara langsung. Guru BK-pun sudah seringkali memanggil Billa, namun juga tetap nihil. Paling mentok hanya dijawab "iya". Billa dan Biologi Pagi itu, Ibu Nike datang ke rumah Billa. Nike badannya panas demam. Hari sebelumnya memang sudah terlihat flu. Sepertinya hari ini semakin parah. Biasanya Nike menjemput Nike, lalu berjalan sebentar ke rumah pak Rusdi untuk mengambil sepeda. Namun, hari itu Billa berangkat sendiri. Sesampainya di sekolah, Billa memberikan surat itu ke Suci yang menjadi sekretaris kelas. Tidak pernah Suci tidak pernah bicara dengan Billa. Jadi dia lebih memilih membaca surat sendiri daripada bertanya kepada Billa untuk dilaporkan nanti. Meski begitu, dia sering terbantu oleh Billa. Seperti saat Jurnal maupun Absensi yang kadang tertinggal di kelas, Billa yang memungut. Atau juga kadang saat Suci terlihat sibuk mengerjakan tugas, Billa yang mengisikan. Jam pelajaran pertama sampai ke empat adalah Biologi. Guru yang menjelaskan saat adalah Pak Satriyo. Dua jam pertama diisi tentang materi Protista. Selanjutnya tanpa diketahui murid, Pak Satriyo sudah menyiapkan kuis. Soalnya didikte secara langsung oleh Pak Satriyo. Siswa langsung menjawab setelah satu soal diberikan, tidak boleh ada coretan dan waktu menjawab hanya 5 menit. Kuis selesai dilaksanakan, dan langsung dilanjutkan penilaian. Lembar jawaban ditukarkan secara menyilang. Pak Satriyo menuliskan jawaban yang benar, siswa langsung menyilang jawaban yang salah. Dan jadilah nilai. Ada salah satu soal yang hanya Billa saja yang bisa menjawab. Dan Pak Satriyo memanggil Billa untuk menceritakan kenapa dia bisa menjawab. Tanpa bicara, dia hanya membawa buku yang disediakan sekolah, dan menulis di papan. "Halaman 142 Uji kompetensi 3, no. 4". Dari soal yang dia jawablah dia mengingat jawaban yang benar. Pak Satriyo bingung juga menghadapi Billa, sudah terjawab dan tidak ada ide untuk membuat Billa berbicara yang lainnya. Lalu Pak Satriyo mempersilahkan Billa untuk duduk. Akhirnya, yang keluar hanya kata-kata motivasi dari Pak Satriyo. "Nah, begitulah... sebagai siswa kalian harus belajar lebih giat lagi sebelum pelajaran dimulai" "Iya pak ...." Semua siswa menjawab kata-kata dari Pak Satriyo. Jam pelajaran selanjutnya adalah Bahasa Indonesia. Beruntung pelajaran hari itu masih tentang membuat puisi. Billa mengikuti pelajaran secara normal. Setelah diberikan penjelasan bagaimana puisi itu dibuat, tugas diberikan dan selesai. Berbeda dulu saat materi sebelumnya tentang debat. Untuk teori, Billa sangat bagus nilainya. Namun saat praktek sangat disanyangkan. Saat diarahkan untuk saling mengutarakan pendapat, Billa hanya diam. Disuruh gurunya pun tak mau. Dia hanya mendengar dan menggeleng, tanpa menjawab. Sampai gurunya pun menyerah. Setelah kejadian itu, Billa meminta maaf di luar jam pelajaran. Dia menghampiri gurunya dan menjabat hormat, dan memberikan surat permohonan maaf. Hal seperti itu tidak hanya dilakukan sekali. Guru-guru lain juga mulai menyerah. Sering Billa dihubungkan ke Bimbingan Konseling. Namun hasilnya juga nihil. Selesainya jam pelajaran Bahasa Indonesia ditandai dengan bel istirahat. Saatnya makan siang dan ibadah. Saat Billa kembali ke kelas setelah ibadah, dia dihadang oleh Lala bersama kawan sekomplotannya. Niat buruk Lala CS itu tidak digubris oleh Billa, hanya berjalan melanjutkan melewati mereka. Tidak terima, mereka menjegal Billa saat berjalan. Sekali lagi, Billa hanya berdiri dan tidak memperdulikan. Akhirnya Lala mengomel sambil menarik baju Billa. Billa hanya diam, sampai mereka malas melanjutkan. Sampai Billa dihempaskan, dan kepalanya mengenai pinggiran pintu. Billa tampak tidak bergerak. Lala CS cemas, dan meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, Billa sudah berada di UKS. Meskipun Billa penyendiri serta Nike yang sedang tidak masuk, beruntung Suci mau menemaninya. Memang agak kaku, namun Suci tetap berusaha bercerita beberapa hal. "Kamu di UKS Bil, sekarang udah jam pelajaran ke 8, pelajarannya Bu Neni" "Tadi Lala sama gengnya udah dibawa ke BK kok, semoga kamu bisa tenang" Billa hanya mengangguk-angguk. Suci melanjutkan lagi. "Harusnya kamu lawan Bil, semakin kamu diem aja, malah kamu diganggu terus, kamu dianggap aneh sama mereka" "Kamu gak seharusnya menerima terus kayak gitu" Akhirnya Billa menjawab, meskipun singkat disertai senyum tipisnya "Tidak apa-apa, Terimakasih Suci" Suci merasa itu pertama kalinya Billa bicara dengan dirinya, entah mengapa dia merasa senang dengan jawaban Billa waktu itu. Suci sangat iba terhadap Billa. Dia mengira-ngira kenapa Lala CS sampai tidak menyukai Billa sampai seperti itu. Yang mana Billa terlihat tidak pernah melakukan apa-apa. Bicara saja tidak pernah, apalagi tatap muka dengan Lala. Perkiraan terkuatnya adalah karena Lala menyukai Nico. Karena Nico yang sikapnya tidak pernah peduli dengan Lala. Namun tidak terhadap Billa. Dia sering menyapa dan mencoba mengobrol. Mungkin karena merasa tidak enak, sering dibantu Billa masalah tugasnya. Tapi sikap diam Billa tidak pernah pilih-pilih. Selain itu mungkin Lala juga jengkel kenapa Billa bisa diberikan perlakuan khusus oleh guru-gurunya. Padahal sering terkena masalah dengan Bimbingan Konseling. Tapi tidak ada yang bisa memaksa Billa untuk bicara. Tetap seperlunya, tidak lebih. Berbeda dengan Lala yang sering terkena masalah dengan Make Up-nya dan sikapnya yang angkuh. Lala juga termasuk langganan Bimbingan Konseling. Meskipun prestasinya termasuk bagus, tapi tidak ada konsekuensi. Sering juga sampai memanggil orang tua. Untuk sekomplotan Lala, yaitu Vivi dan Luna, sepertinya hanya mengikuti Lala. Tidak ada yang special, mereka hanya pelajar biasa. Entah bagaimana bisa menempel dengan Lala terus. Hanya itu yang bisa dipikirkan Suci sambil menunggu Billa sadar sebelumnya. Saat jam pelajaran ke-9, Suci dan Billa kembali ke kelas. Pelajaran berjalan normal sampai pulang. Waktu pulang, masalah berlanjut kembali. Sepeda Billa tidak ada di tempat awalnya. Billa memutuskan untuk menunggu sampai semua pulang. Dia duduk di gazebo taman depan parkiran, sambil membaca beberapa buku. Sampai sudah tinggal beberapa sepeda, sepedanya tetap tidak ditemukan. Dia mondar-mandir mencari, sampai berhenti di pos tempat Pak Rusdi jaga. Langsung keluar beberapa narasi wawancara dari pak Rusdi. "Lhoh Bil, sepedamu mana ?", Billa menggeleng Kaget juga melihat bekas luka Billa, Pak Rusdi juga menanyakan. "Kok kamu bisa memar gitu ?", Billa menggeleng "Ya udah deh, kalau ndak mau jawab, pulang bareng Pak Rusdi ya", Billa tidak merespon, tapi Pak Rusdi menganggap itu persetujuan. "Tunggu ya, Pak Rusdisiap-siap dulu sambil nunggu yang belum pulang". Description: Billa yang Diam Billa yang Cuma Angguk dan Geleng Billa yang masih Tersenyum Billa yang Belajar Billa yang Kesana-Kemari Billa yang Cuma Iya dan Tidak Billa yang “Diajari”
Title: RUWA Category: Puisi Text: 1 - Berdinamika dengan cahaya Keluh kisahku berurutan menjadi rumit, Ketika pikiranku mencabang rata, Hal lain pun terpikirkan, Hidup dibatas normal 2 - itu Aku Benarkah kehidupan itu berawal dari mimpi? Lalu apa fungsi sebuah rencana 3 - Tangga empat Dikerumunannya aku merasa sendiri, Mulutku tidak bisa berkata, Terus untuk apa aku berada dikerumunan ini 4 - Tak dikenang pun lebih baik Berharap tak dikenal, agar tak merindu Satu sama lainnya 5 - Jemu Terkutuk, Terjerumus bayang, Kenang yang tak semestinya, Namun semua sirna, Begitu pun tentangku, Tidak adanya kau dibenak ini 6 - Tak lebih pantasnya sebuah kepastian Tak lebih pantas mencinta, Ketika bayang lain pergi, Tak lebih rindu yang risih, Ketika harus menjemu 7 - siluet biru Aku, Aku jenuh, apakah kau merasakannya 8 - Los Angeles Apakah aku harus menjadi sebuah nama kota, Agar kau rindukan dan banggakan pada setiap orang yang kau temui? 9 - kenapa beralasan Lihat, aku melihat kau dan kau tak melihatku, Padahal aku tepat dibelakangmu 10 - jangan sempurna Hanya aku yang tak mengenal detik, Ringkas aku harus sempurna, Karenanya aku merusak kesetiaan 11 - Tetesan kopi retak Hitam pekat madu, menguning dalam putih, kau cokelat dalam kelam, dan janganlah bangun lagi 12 - Teriak sisa Aku tak mau, jangan kau hancurkan diri 13 - Desir pelipur lara Hentakan tapi kita berjauhan, lalu meninggalkan tanpa harapan, untuk kembali, Benarkan ? 14 - Jawab Angkuh, itulah jawabannya. Selebihnya kau isi sendiri 15 - teriak teriak Manusia bersifat fotogenic, Berkoar dan berbisik ketika susah, Mematung saat senang, Hanya dua saja tanpa yang lain bahagia 16 - Terlalu dalam Sendu meyakinkan kepedihan, disaat kebahagiaan mengetuk dari luar, tetap saja dia tak punya kesempatan, walaupun hari ini harusnya aku bahagia, namun kulihat dirimu bersamanya, Tak mau aku membukanya. 17 - Dinamikamu Jika aku pergi, aku akan pergi jauh, melupakan apa itu kebahagiaan bersamamu, kusinggung harapan pun kau tak menoleh, sedikit saja, cobalah mengerti, hatimu tak lagi mengusaikan cerita lama, aku tak bisa hinggap dan membunuh kenangan itu, walau bahagia kuberikan padamu. 18 - Take me when i lose it Hampa, is that a bird or emphaty ? or just valentine dark on my sorrow, drunk like a horse but i can know your heart, so underneath my breath, i can fly my wings. Description: Kumpulan bandit bandit aksara yang menyelundup atas nama mashel. #kepulanaksara #dimensikataku
Title: Rezeki yang Tidak Tertukar Category: Cerita Pendek Text: Rezeki yang Tidak Tertukar Januari 2015 Hari sudah hampir berganti malam ketika aku sudah memarkirkan mobilku persis di depan rumah seorang dosen yang sudah kukenal sejak tiga tahun yang lalu. Aku menyalakan wiper mobil perlahan—membuat wiper itu bergerak dan menghapus jejak-jejak rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. Mataku mulai menelusuri rumah dengan cat broken white yang dipermanis dengan adanya vertical garden pada dinding polos persis di depan carport-nya. Tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam rumah itu, tapi aku tetap penasaran. Baiklah, akan kutunggu, batinku. Kepada: Ibu Annisa Dari: Disha Assalamualaikum Ibu, saya Disha mahasiswi Ibu. Saat ini saya sudah berada di depan rumah Ibu. Terima kasih, Bu. Wassalamualaikum. Sekali lagi aku baca pesan singkat itu sebelum memutuskan untuk mengirimkannya pada Ibu Annisa, dosenku. Beliau sudah memberiku jadwal untuk mendatangi rumahnya sekitar pukul 17.00 hari ini. Aku mengiyakannya karena merasa memang sangat membutuhkan rekomendasi dan tanda tangan beliau pada dokumen yang tengah aku pegang saat ini. Aku menghela napas panjang—melihat lirih ke arah surat rekomendasi itu. Sebuah surat rekomendasi yang akan mengantarkanku untuk menjemput sejumput impian yang sudah sejak dulu aku gantungkan setinggi mungkin. Aku kembali melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Tidak ada tanda-tanda ada kehadiran orang di rumah tersebut, begitu pun dengan balasan pesan singkat yang ada di ponselku. Sabar Disha, tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupmu, batinku. Satu jam sudah berlalu setelah aku mengirimkan pesan singkat pada Ibu Annisa. Mesin mobilku sedari tadi belum aku matikan karena di luar masih hujan. Aku mulai gelisah karena semakin malam, suasana semakin sepi—bahkan aku tidak melihat adanya orang yang berlalu-lalang di sekitar rumah dosenku ini. Aku mulai mengganti persneling mobil dan menurunkan rem tangan, kemudian segera beranjak dan berlalu. Walaupun berat, tapi harus aku akui: aku menyerah hari ini. * Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menunggu kedatangan Ibu Annisa di depan ruangan dosenku tersebut. Setelah bertanya pada sekretaris dosenku yang mengatakan bahwa Ibu Annisa tengah mengikuti sebuah rapat, aku pun memutuskan untuk menunggu beliau di sana. Waktu terus bergulir, membuatku gelisah memikirkan aplikasi beasiswa Strata 2 milikku yang membutuhkan surat rekomendasi dari dosenku. Besok adalah waktu deadline untuk surat rekomendasi tersebut—sontak membuatku mulai bingung memikirkan surat rekomendasi itu. Bagaimana tidak, semua persyaratan aplikasi beasiswa sudah lengkap kecuali surat rekomendasi itu. “Mbak, mau tanya Ibu Annisa rapatnya masih lama, ya?” aku bertanya pada sekretaris ibu dosenku. Sudah dua jam aku menunggu di depan ruangan ibu dosenku namun masih belum ada tanda-tanda bahwa beliau akan segera kembali ke ruangannya. “Saya nggak tahu, Mbak. Saya cuman dititipi pesan kalau Bu Annisa hari ini akan rapat. Kalau ada yang cari beliau, silakan tunggu saja.” Sekretaris tersebut berkata sedikit ketus sambil tetap melihat ke arah laptopnya—tanpa sedikit pun menatap mataku. Perasaan tidak enak menggelayut di dalam diriku, tapi aku mencoba untuk tenang dalam menghadapi situasi ini. Sabar Disha, batinku, ingat kamu yang membutuhkan ini. Aku menelan ludah dan mencoba untuk tetap tersenyum, “Baik, terima kasih ya, Mbak.” Aku membuka pintu ruangan perlahan. Aku butuh udara segar dalam menghadapi masalah yang menghimpit ini. Berbagai buku biografi orang sukses sudah khatam aku baca, membuatku terus menyuntikkan sebuah mantra positif pada diriku sendiri: All is well, semua akan baik-baik saja. Tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan jungkir balik, Disha. Aku mulai memijit keningku perlahan—memikirkan berbagai alternatif cara yang bisa aku tempuh untuk mendapatkan surat rekomendasi ini. Rasanya sangat tidak mungkin jika aku tidak melengkapi persyaratan aplikasi beasiswa tersebut dengan tidak melampirkan surat rekomendasi. Tapi, bagaimana caranya? Aku terus membatin. Aku mulai mendengar langkah kaki berjalan ke arahku. Suara langkah kaki itu semakin lama semakin mendekat. Dalam hati aku terus berdoa agar langkah kaki itu merupakan langkah kaki milik Ibu Annisa. Aku menoleh, melihat ke arah pemilik langkah kaki itu. Ternyata langkah kaki itu milik Pak Hadi, dosenku yang lain. Dosen yang pernah mengajarkan beberapa mata kuliah di kelasku sewaktu aku masih kuliah Strata 1. Hatiku mencelos, ada rasa kecewa menyelinap karena ternyata bukan Ibu Annisa yang sudah sejak tadi aku tunggu. “Assalamualaikum, Pak.” Aku berkata sambil mencium tangan Pak Hadi. “Waalaikumsalam. Kamu ngapain di depan ruangan Ibu Annisa? Kamu sedang menunggu Ibu Annisa? Setahu saya, Bu Annisa masih rapat sekarang.” Pak Hadi berkata kepadaku. “Saya sedang menunggu Ibu Annisa untuk surat rekomendasi ini, Pak.” Aku berkata sambil memperlihatkan surat rekomendasi yang tengah kupegang. Pak Hadi kemudian melihat surat rekomendasi tersebut. Beliau kemudian mengajakku untuk duduk di sebuah kursi tunggu yang berada di depan ruangan Ibu Annisa. Beliau berkata, “Ibu Annisa belakangan ini memang sibuk setahu saya. Tapi, coba kita lihat surat rekomendasi kamu, ya. Hmm, deadline-nya besok, ya?” Aku memberanikan diri untuk bertanya pada beliau, “Pak, kalau saya meminta tolong pada Bapak untuk mengisi surat rekomendasi saya apakah boleh, Pak? Sebenarnya saya juga khawatir akan merepotkan Ibu Annisa.” Separuh pikiranku merasa tidak enak dengan Ibu Annisa. Tapi, separuh pikiranku juga mengajakku untuk berpikir secara logis—mengingat deadline surat rekomendasi ini adalah esok hari. Tidak aku sangka, Pak Hadi mengiyakan dan segera mengisi surat rekomendasiku. Setelah selesai, beliau mendoakanku agar proses studiku bisa berjalan dengan lancar. Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah pesan singkat yang sudah sedari tadi diterima oleh ponselku namun belum sempat kubaca. Sebuah pesan singkat dari Ibu Annisa. Kepada: Disha Dari: Ibu Annisa Disha maaf saya sepertinya sedang sibuk dalam waktu dekat ini. Maaf belum bisa membantu memberikan surat rekomendasi untukmu. * Januari 2018 Aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Termasuk ketika aku tidak sengaja bertemu dengan Pak Hadi tiga tahun yang lalu. Tidak ada yang kebetulan ketika beliau dengan murah hatinya memberikan surat rekomendasi padaku. Rezeki tidak tertukar yang kini mengantarkanku mendapatkan gelar Master tepat tiga tahun kemudian sejak hari itu. Aku menatap fotokopian berkas rekomendasi yang dulu diberikan oleh Pak Hadi. Dalam hati, aku berkata, Terima kasih banyak, Pak. Berkat surat rekomendasi dari Bapak, kini saya bisa meraih gelar Magister. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan Bapak dan memberikan tempat terbaik untuk Bapak di sisi-Nya. Description: Disha adalah seorang sarjana yang selalu bermimpi untuk dapat melanjutkan pendidikannya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika proyeksi akan mimpinya sudah selangkah lagi untuk menjadi nyata, Disha harus berusaha menekan egonya dan tetap berpikir positif pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Disha yang sudah khatam membaca biografi orang-orang besar selalu percaya bahwa ada perjuangan dalam setiap kesuksesan yang diraihnya. Ia mulai membisikkan sebuah mantra positif pada dirinya sendiri: "All is well, semua akan baik-baik saja. Tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan jungkir balik, Disha." Note: Tulisan ini didedikasikan untuk seorang bapak dosen bidang studi Arsitektur Lanskap IPB tempat saya dulu pernah mengenyam pendidikan Strata 1, yaitu (Alm.) Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS. Beliau pernah memberikan surat rekomendasi pada saya ketika dulu saya tengah mendaftar berbagai aplikasi beasiswa untuk melanjutkan studi dan baru-baru ini saya memang menemukan fotokopian berkas surat rekomendasi tersebut. Semoga amal baik beliau diterima Allah Swt. Aamiin. Karena merupakan tulisan fiksi, kesamaan plot, nama, maupun setting merupakan ketidaksengajaan. Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis cerita pendek yang diadakan oleh Storial, Nulisbuku, dan Giordano #ALLisWELL!
Title: Rindu Tidak Biasa Category: Puisi Text: Rindu Tidak Biasa Ketika tatap dari dunia mayaPerjumpaan tidak lagi dengan ragaTerjadi karena pandemi dimana manaJangan risau kau selalu ada di dalam dada Tak bisa bersalaman seperti biasaAtau sungkeman di depan ayah bundaTidak apa yg penting niat dalam dadaAgar semua sehat dan bahagia Kali ini memang harus berbedaJarak menjadi pembedaRindu yang melandaIngin bertemu namun apa daya Aku disini mendoakan untuk disanaSemoga kita dapat kembali bersamaBerpelukan, bercanda dan tertawaSeperti sedia kala, sebelum datang corona Description: Sebuah puisi ditengah pandemi
Title: Rasa Sahabat Category: Young Adult Text: diperkenalakan Dia bernama ElzaVira, orang biasa memanggilnya Vira, dia dinamakan ElzaVira yang mengandung arti cinta dan kebahagiaan, namun sampai sekarang dia tidak percaya tentang kata yang bernama cinta, entah kenapa. sahabat dari yang diperkenalkan Arga, sahabat Vira sejak duduk di bangku sekolah dasar(SD), memiliki karakter bawel, suka cari perhatian, tapi selau bisa mencairkan suasana, mungkin itu alasan mereka berteman. Gerry, sahabat Arga dan Vira saat bertemu di sekolah menengah pertama(SMP), dia pendiam, pinter, dan selalu bisa diandalkan dalam setiap masalah, tapi dia selalu cuek kepada semua orang, saking cueknya dia tidak mengetahui, ada rasa melebihi sahabat yang tidak dia ketahui. Persahabatan yang harmonis, sampai rasa persahabatan berubah menjadi rasa cinta Description: Menceritakan tentang persahabatan yang mulai retak , akibat memiliki rasa di atas pertemanan, yaitu rasa cinta
Title: ROTASI Category: Novel Text: 1.0) NOSTALGIA PERHATIAN Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. ------------ Hidup itu terus berotasi. Kadang di atas, kadang di bawah. Semua yang terjadi adalah kehendak Sang Pencipta. Sekuat apapun berusaha merubah keadaan, jika Tuhan bilang tidak, kita bisa apa? ~ROTASI~ ---Nostalgia--- Seorang wanita berlutut sembari menertawakan kertas yang dia temukan di dalam kardus. Kardus itu berisi tentang kenangan-kenangan wanita itu semasa putih abu-abu. Cukup lama tawanya menggema di ruangan yang minim pencahayaan ini. Dengan seksama, Ia kembali membaca kertas yang berisi rencana masa depannya. Dia geleng-geleng kepala. Mengenang masa mudanya yang sangat konyol dan penuh petualangan. Ingin rasanya mengulang masa itu kembali. Meirini Melani perwita. Wanita kini tengah memeluk figura dengan foto dirinya dan kawan-kawan masa putih abu-abunya. "Mawar, Nafisa, Tera. Gue kangen lo semua." Suara gesekan daun pintu dengan lantai, membuat Mei menoleh pada manusia yang berjalan menghampirinya. "Udah tua galau-galauan mulu! Ayo berangkat. Aku tinggal kalau kamu masih galau-galauan." Mei segera mengemasi barang-barang yang dia keluarkan dari kardus. Setelah selesai, kardus itu didorong masuk ke kolong tempat tidur. "Selalu merusak suasana hati!" Gumam Mei ketus ditambah lirikan tajam untuk tersangka. Bukannya merasa bersalah. Tersangka sang perusak suasana hati Mei malah tertawa. "Gitu aja ngambek. Udah, ayo. Acaranya bentar lagi dimulai." Ucapnya lalu mengulurkan tangan memberi isyarat gandengan tangan. Mei memutar kelereng coklatnya malas. Dengan berat hati, Ia bangkit dan membalas uluran tangan tersangka. Tersangka bernama Damara Margenta, yang selama ini sudah menemaninnya hampir 5 tahun. Pria menjengkal dan jauh dari list pria idaman Mei. Dan status mereka adalah tunangan. Catat itu tunangan. ~ROTASI~ "SELAMAT DATANG ALUMNI ANGKATAN 2011" Semua tamu undangan reuni bersuka ria menikmati acara. Mei mengamati semua temannya yang banyak mengalami perubahan. Mereka sudah menemukan tujuan hidup masing-masing. Banyak temannya yang datang membawa suami, istri, atau anak. Mei melirik cincin yang terbuat dari emas putih yang dia alih fungsikan menjadi liontin di kalung yang melingkar di leher. Setelah itu, Mei melirik tunangannya yang sedang pamer gigi pada semua orang. Jemari Damar terhias cincin yang sama dengan Mei. Damar dan Mei satu angkatan saat SMU. Jadi tak heran mereka datang bersama, lalu berpisah di acara dan berbaur dengan teman mereka masing-masing. "MEI!" Lamunan Mei buyar, karena teriakan seseorang yang memanggil namanya, terpaksa Mei menoleh pada sumber suara. Teriakan itu milik Nafisa. Perempuan itu berjalan cepat ke arah Mei, diikuti dengan Mawar yang terlihat sangat berbeda. Ketiga perempuan itu saling berpelukan melepas rindu. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu karna kesibukan masing-masing. "Aaaaa kangen." Ceplos Nafisa yang dibalas pelukan erat oleh Mei dan Mawar. Mawar mengibaskan tangan kanannya. "Terharu gue guys." Ucap Mawar. Perempuan itu yang paling banyak mengalami perubahan. Yang dulunya dia memakai pakaian serba kurang bahan dan kekecilan, sekarang berubah menjadi gamis dengan kerudung syar'i. "Beruntung banget lo punya suami kaya Erlan." Celetuk Mei. Dalam hatinya teriris, Erlan adalah cowok agamis dan pintar. Cowok idamannya dan sewaktu SMU pernah terlibat perasaan dengannya. Tidak, Erlan bukan mantannya, melainkan temannya. Hanya Mei yang melibatkan perasaan pada Erlan, Sedangkan Erlan tidak. "Waaaiya dong. Beruntung banget gue." Balas Mawar. Tangan kanannya menyenggol lengan kiri Nafisa. "Lo sama Kula, gimana? Ada kelanjutan gak tuh setelah dia balik dari Jerman?" Nafisa mencebik, "jangan bahas dia deh! Gue lagi musuhan sama Kula." "Musuhan kenapa?" Tanya Mei. "Dia itu pulang gak ngabarin gue. Tau-tau tadi pagi jemput gue ke rumah ngajak berangkat bareng." Mei terkejut. Pasalnya dia tidak pedli dengan urusan orang lain. "Eh kaget! Gue kira cerita lo sama Kula udah end dari setelah lulus SMA." "Ngawur!" Mawar menoyor kening Mei. "Makanya! Kalau reuni itu dateng. Sok sibuk pula." Mei meringis, benar ucapan Mawar. Dia benar-benar hampir mengubur semua masa lalunya. "Iya-iya." "Damar tambah ganteng aja anjir!" Pekik Nafisa ketika netranya bertabrakan dengan raga Damar. Siapa lagi kalau bukan Damar si tukang pembuat onar dan sekarang statusnya tunangan Mei. "Udah nikah apa masih lajang ya?" Tambah Mawar. Dirinya ikut terlarut dengan pesona Damar. "Udah punya tunangan dia." Jawab Mei ketus. Mendadak moodnya kembali turun. Kedua sahabatnya menatap tak percaya Mei. Matanya seolah mengatakan 'serius lu'. "Siapa tunangannya?" Tanya Nafisa. "Lo udah punya Kulaka. Ngapain lirik-lirik Damar." Mei menunjuk Mawar, "lo juga. Udah punya suami juga." "Kita cuma pengen tau." Ucap Mawar. Mei mengembuskan napas berat. Tangannya mengngrayap memperlihat cincin di kalungnya. "Gue tunangannya." Keduanya menatap Mei cengo. "Bukannya tipe lu kaya Erlan. Lah, sekarang malah jatohnya ke si Damar. Gak terduga emang lo." Mawar masih terdiam. Dia bingung harus bertanya apa. Mei dengan Damar. Tidak mungkin sekali. "Kok bisa?" Tanya Mawar yang akhirnya buka suara. "Bisalah. Dia ngelamar gue waktu kita wisuda. Sebelum wisuda pun, gue sama dia emang udah pacaran 2 tahun." Nafisa tersenyum gemas. "Atututu, hak nyangka banget gue." Tangannya merogoh tas. "Nih! Undangan married gue. Harus dateng inget." Dia memberikan satu-satu untuk Mawar dan Mei. Setelah itu dia melenggang pergi dan menyebar undangannya sendiri pada rekan yang lain. Mawar menatap antusias undangan Nafisa, sedangkan Mei hanya tersenyum kecut membaca namanya yang typo menjadi Meyrini perwita. "Gilak! Udah mau married aja tuh dia." Komen Mawar. "Lo juga. Udah married, sama mantan gebetan gue juga. Udah punya anak lagi." Cibir Mei. Mawar tertawa menganggap itu hanya candaan semata. Tetapi jauh di hati Mei masih menyimpan luka. Diberi harapan lalu ditinggalkan nikah, sama sahabat sendiri pula. Baru saja berhenti mengumpatkan kekesalan di dalam hati. Erlan datang, seketika membuat Mei mendadak kaku. "Hai Mei." Sapanya. Mei memaksakan senyum, ragu-ragu dia melambaikan tangan. "Ju-juga, Lan. Apa kabar?" Telapak tangannya mendadak basah karena saking gugupnya. Erlan membalas senyum Mei. "Baik. Kita ke sana dulu yuk, Dek." Tapi, setelah itu tangannya merangkul Mawar mengajaknya pergi dari hadapan Mei. Kepergian mereka membuat khalayak ramai ini menjadi mendadak sunyi. Ah tidak, semua berjalan normal, hanya perasaan Mei saja yang sunyi. Apakah ini yang dinamakan kesunyian dalam keramaian? "Woi Mei-Mei!" Mei menoleh. Mencari sumber suara, dan ternyata suara itu milik Damar. Dia melambaikan tangan heboh ke arah Mei. Perempuan rambut sebahu itu menghela napas panjang dan berjalan menghampiri Damar. "Bikin malu aja!" Bisik Mei tajam. Matanya menyorot pada tumpukan piring kotor di bawah kursi yang di duduki Damar. Pasti pria itu kalap kalau melihat makanan gratis. Damar terkekeh, lalu dengan gerakan cepat dia mencium kening Mei. Perbuatan itu jelas membuat raut wajah korban kesal. Matanya melotot pada tersangka. "Ini tunangan gue. Masa lalu, masa kini, dan masa depan gue." Ucap Damar. Egar---teman Damar semasa smu---menatap aneh Damar. "Bukannya lo sama Mei beda agama?" "Waaa enggak dong! Dia sekarang mualaf." Jawab Damar dengan bangganya. Rangkulan tangannya pada bahu Mei lebih erat dari sebelumnya. "Selamet kalau gitu. Cepet-cepet dapet momongan kalau udah nikah." Tubuh Mei kaku mendengar ucapan selamat dari teman-teman Damar. Apakah ini akhir dari ceritanya? Hidup bersama selamanya dengan Damar? ~ROTASI~ "Nyesek ya? Liat gebetan udah nikah. Sama sahabat sendiri lagi." Mei mengacuhkan Damar. Baginya meladeni orang gila itu tidak ada habisnya. Kedua matanya setia melihat gedung-gedung pinggir jalan. Namun, pelahan matanya mulai terpejam. Damar melirik wanita yang di sampingnya. Tidak ada make up tebal yang menghiasi wajah gadisnya. Itu yang paling dia suka, gadis dengan wajah natural. Tangan kirinya bergerak menyelipkan anak rambut gadisnya ke belakang telingga. "Gak tau kenapa takdir gue selalu mengarah ke lo." Damar mengembuskan napas berat dan mencengkram stir kuat-kuat. "Gue sayang lo. Lebih dari sayang sama diri gue sendiri." Lengkungan di bibirnya terbit. Merasa sangat beruntung memiliki Mei. BERSAMBUNG. Description: Kisah tentang manusia-manusia yang merasa dipermainkan oleh takdir.
Title: Rebirth: Aku ingin menjadi anak band!! Category: Novel Text: Prolog: puncak yang kosong Hai Sobat perkenalin, namaku andy Umur 27 tahun Aku adalah seorang penyanyi solo profesional Impianku adalah untuk menjadi puncak penyanyi di tanah air dan dunia. Dan aku pun mencapai itu di usiaku 27 tahun. Gimana aku hebat? Hehehhe kalau di liat dari luar sih emang keren dan hebat prestasiku hari ini. Tapi kalian tidak tahu kesusahan dan pengorbanan untuk bisa sampai aku bisa ke tempat ini. Jujur aja ya teman saat aku dapat prestasi hari awalnya happy dan puas. Tapi saat aku melihat kebelakang aku banyak kehilangan banyak hal yang berharga. Jadi walau ada puas dan bangga lebih banyak itu kosong dan hampa juga walau di liat di luar aku jadi horang hebat tapi kalau bisa aku kembali aku gk bakal sudi ambil jalan yg kek gini. ............. Itulah yang aku pikirkan saat melihat banyak artis papan atas dan penyanyi di panggung megah tersebut. Sambil mengambil segelas anggur berakohol tinggi aku mengingat banyak hal yg sudah lampau.. "Kalau bisa aku kembali aku ingin berdiri di sini dengan mereka" Sambil bergumam tak jelas andy meminum anggur sampai mabok. ...... Beberapa jam kemudian acara akbar selesai dan andy pun mengambil mobilnya pulang dengan badan yang terhuyung2 dan kepala pusing. Tapi karena dia banyak minum tidak memperhatikan rambo lalu-lintas yang merah dan melaju dengan kencang. Saat dia sudah mulai sadar itu sudah terlambat mobil truk yang besar sudah menabrak mobil andy. "BOOOMM" Mobil andy di tabrak oleh truk terkena tiang listrik dan meledak. Andy pun menyadari bahwa dia tidak selamat kehilangan kesadaran. "Andai aku bisa di lahirkan kembali aku ingin hidup tanpa penyesalan" Kata2 itulah yang tergiang di benak andy saat kesadarannya mulai kabur dan mulai masuk ke kegelapan yang pekat. Bab 1. Dewi dan Awal baru Di suatu ruangan dimensi tertentu seorang gadis cantik berambut biru dengan wajah seperti dewi dan sosok yang bagus sedang duduk malas sambil membolak-balik buku misterius. "Ahhh sekarang orang yang mati tidak ada yang menarik untuk di reinkarnasi" Sambil terus membaca buku reinkarnasi dengan malas gadis berambut biru itu terus dengan bosan terus membolak-balik halaman buku. "Oh?" Sambil melirik buku reinkarnasi gadis berambut biru itu sepertinya menemukan sesuatu yang menarik,mata biru yang indah sepertinya berkilauan dengan cahaya tak bisa di jelaskan. memusatkan perhatiannya pada suatu halaman pada konten buku tersebut dia menemukan informasi yang menarik : Nama: Kang Efrendy Umur: 27 tahun Jenis kelamin: Laki-laki Profesi: penyanyi solo Penyebab kematian: karena shock melihat dia truk(traktor) tiba2 dan menabrak tiang jemuran portable dan mati karena shock. Saat di bawa ke rumah sakit dan di periksa jenazah di tentukan terkena serangan jantung dan shock akibat ketakutan berlebihan. Penyesalan: mau kembali ke masa lalu dan menebus berbagai kesalahan di masa lalu. "Buahahahaha, ada aja yang mati kek gini sekarang kek seseorang yang gw kenal" Sambil berguling2 memegang perutnya gadis berambut biru itu tertawa terbahak2 menghancurkan gambarannya barusan. "Fiiuuhh, sekarang karena sudah ngilangin stress gw kali ini gw kasih 'Hadiah' pengecualian" Sambil menghela nafas sesudah tertawa gadis berambut biru itu kembali ke gambar dewi nya menunjuk jari nya ke buku reinkarnasi dan mengeluarkan cahaya biru muda di jarinya. "Hehehe tapi zaman sekarang gk ada kue jatuh dari langit tak akan semudah itu efrendyso, semoga lo bisa bikin 'sesuatu' yang menarik" Sambil melihat kegelapan tak berujung senyum seperti setan menggantung di bibirnya. Kalau rendy tau kalau seorang gadis berambut biru menertawakan kematianny dan mencoba memplot di belakangnya dia takkan ragu untuk PK kepada seseorang gadis berambut biru. ............. Di suatu kamar sederhana dan rapi Seorang remaja umur 14-15 tahun sedang tidur dengan damai. Matahari menyinari wajah tampan dan agak kenak-kanakan membuat bulu mata remaja tersebut bergetar dan mulai terganggu sepertinya ingin bangun. "Huam apakah sudah pagi?" Sambil menggosok2 matanya remaja mulai membuka matanya dan kabur mulai melihat ruangan kamarnya. "Eh .. kok gw ada di rumah waktu gw bocah dan .. bukannya gw dah mati?" Sepertinya menyadari sesuatu remaja melupakan rasa kantuknya mulai memindai kamar yang nostalgia dan akhirny melihat kalender di dinding. "Itu.. 2008!!? Bukannya sekarang dah 2020!!?" Sepertinya melihat hal yang luar biasa, remaja tersebut dengan cepat melihat kalender dengan dekat. " gw beneran kembali ke 12 tahun lalu!!?" Dengan menggosok matanya berkali2 untuk memastikan tidak salah liat dan mencubit lenganny untuk memastikan dia lagi tidak bermimpi Remaja tersebut melihat kalender dengan mata luar biasa. "Kali ini aku pasti tidak akan membiarkan menyesal lagi" Setelah menyaksikan bahwa dia tidak bermimpi,remaja tersebut membuka jendela kamar rumahnny dan melihat pemandangan yang di kenalnya dengan senyum percaya diri dan tatapan tak bisa di jelaskan di matanya. Description: Andy adalah seorang penyanyi solo ambisius yang melakukan apa aja untuk berada di puncak kariernya. Dia mengorbankan banyak hal saat menuju menenangkan banyak penghargaan dan mencapai puncak kehidupan. Tapi saat dia berada di puncak yang dia inginkan dia merasa kosong dan sendirian,karena dia mengorbankan persahabatan,cinta dll. Saat pulang dari acara perhargaan dia mengalami kecelakaan mobil saat mabuk. Tapi dia tidak mati dan mengetahui bahwa dia kembali 12 tahun yang lalu. Jalan apakah yang di pilih andy setelah kelahiran kembali? Jalan yang sama atau jalan yang benar2 berbeda?