text
stringlengths
478
2.18M
Title: Rahasia Lorong Bawah Tanah Category: Anak Text: Awal Liburan Yang Kacau Liburan pertengahan tahun ajaran ini Nuni gagal pergi ke Bali. “Ternyata ayah ada acara di Jakarta besok pagi. Mungkin sekitar seminggu, setelah itu langsung menuju Kuala Lumpur. Jadi kita tidak bisa berangkat ke Bali sekarang. Maaf, ya.” Ayah mengerutkan kening dengan prihatin di depan wajah kecewa Nuni. “Kamu bisa jalan-jalan ke kebun binatang Gembira Loka atau ke Taman Pintar. Ajak saja Rafi dan Minos,” Ayah membujuk dengan lembut, “nanti Ayah beri uang sakunya.” Nuni diam saja. Dia terlalu kesal untuk berkata-kata. Dipotong-potongnya pancake buatan ayah dengan suara sendok yang dikeras-keraskan. Sepanjang pagi itu dia terus cemberut hingga Ayah berangkat ke kantor. Nuni sebenarnya bukan anak pendendam. Hanya saja kali ini dia begitu kecewa. Nuni belum pernah pergi ke Bali sebelumnya. Dia justru pernah ke Singapura bersama Ibu saat mengikuti wisata belanja yang diadakan oleh sebuah agen tour, tetapi Nuni belum pernah pergi ke Bali. Nuni ingin sekali melihat Pulau Bali. Liburan kesana pasti jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekedar berbelanja. Dia bisa melihat Taman Burung, bermain banana boat, flying fox di tepi pantai, dan semua gagal karena ayah mendadak harus bekerja di luar kota. Ibu berkata pada Nuni, “Pergilah ke toko buku. Ajaklah Rafi dan Minos, mereka pasti senang juga kalau dibelikan buku. Kalau kau ke toko buku nanti, Ibu bisa segera berangkat ke toko tanpa mengkhawatirkanmu.” Yang dimaksud toko oleh Ibu adalah toko perak milik Ibu yang terletak di ujung jalan gang rumah mereka. Nuni berpikir-pikir sejenak. Memang sih, hanya itu satu-satunya kemungkinan yang tersisa saat ini untuknya. Nuni menerima beberapa lembar uang seratus ribuan yang diberikan Ibu, dan buru-buru memakai celana jinsnya. Hatinya mulai sedikit gembira membayangkan binar mata Rafi dan Minos jika tahu mereka juga mendapatkan jatah uang dari Ibu untuk membeli buku. Sambil bersenandung kecil, Nuni mulai mengeluarkan sepedanya dari garasi untuk memberitahukan rencana ini pada Minos dan Rafi. Nuni mengayuh sepedanya kuat-kuat melewati jalan sempit berlorong yang menjadi ciri khas Kotagede. Matahari pagi menyentuh lembut kulitnya yang kecoklatan. Dia melewati sekolahnya, SMP Kibar, sebelum melesat melewati jalan menurun dan belok ke arah Jalan Jagalan, ke rumah Rafi. Dalam waktu lima menit Nuni sudah sampai disana. Dia menghentikan sepedanya di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai berplester semen. Di beranda, terlihat Mas Santo, kakak tiri Rafi duduk di atas kursi bambu dengan kaki kanan ditekuk di atas. Sambil menghembuskan asap rokok, dia melihat ke arah Nuni sambil tersenyum sinis. “Tuan puteri datang,” sindirnya pada Nuni. Nuni mengerutkan kening mendengarnya. Berusaha mengabaikan sindiran Mas Santo, Nuni bertanya dengan suara ramah, “Rafi ada kan, Mas?” Laki-laki umur 24 tahun itu menghembuskan kembali asap rokoknya keras-keras. “Nggak ada!” Nuni mengangguk dan hendak berpamitan ketika tiba-tiba, kakak tiri Rafi berdiri dan meraih ujung jilbabnya. “Kamu punya uang, Tuan Puteri?” suaranya menekan Nuni. Nuni terkesiap mendengarnya. Bukan sekali dua kali Nuni mendengar cerita Rafi tentang kakak tirinya yang baru saja dikenalnya 5 bulan yang lalu sejak maknya, Mak Sri menikah lagi dengan Pak Mursidi, bapak Mas Santo. Kakak tiri Rafi ini sering kedapatan mabuk-mabukan dan berjudi, dan karena Mas Santo menganggur maka harus ada yang dipalaknya. Anak-anak sekolah sering menjadi korbannya. Tetapi sungguh baru kali ini Nuni harus berhadapan dengan situasi yang tak enak seperti ini. Nuni menahan napas. Dia mencoba menatap Mas Santo lurus-lurus. Rambut lurusnya yang acak-acakan, ditambah lagi dengan pipi kirinya yang bercodet menambah seram wajahnya. “Jangan pegang jilbabnya, Mas.” Nuni berkata dengan suara tenang. Sebenarnya dia sudah ketakutan setengah mati dan ingin berteriak keras-keras, tetapi Nuni tahu dengan berteriak dia hanya akan membuat Mas Santo semakin senang. Lagipula pantang bagi Nuni memperlihatkan ketakutannya. “Tidak takut, ha?” Santo mendelik sambil terus menjambak jilbab Nuni. “Aku minta uang. Apa kamu nggak dengar tadi? UANG!” teriaknya di telinga Nuni. Nuni meraba saku jinsnya. Ada tiga ratus ribu yang diberikan ibu tadi. Ibu berpesan padanya, untuk membelikan Rafi dan Minos buku-buku yang mereka suka. Melihat Nuni yang diam saja tak menjawab, pemuda itu bertambah marah. Bukan hanya jilbab, tetapi kali ini bahu Nunilah yang diguncang-guncangkan dengan keras. “Berikan uang itu. Berikan!” paksanya dengan suara keras. Dalam kemarahannya, Mas Santo tak menyadari kalau suaranya dapat terdengar oleh orang lain. Apalagi mereka berdua sedang berada di depan rumah. “Nggak mau!” Nuni menolak dengan tegas. Nuni berusaha keras untuk tak mengernyit kesakitan dan meronta untuk membebaskan lengannya dari cengkeraman jari-jari Santo. “Lepaskan, Mas!” suara Rafi terdengar marah. Teman sekelasnya di kelas tujuh itu tiba-tiba muncul setelah mendengar keributan, dan berlari ke arah mereka sambil tersengal-sengal. Minos berlari di belakang Rafi, wajahnya tak kalah khawatir. Mereka terlihat sangat marah melihat lengan Nuni dicengkeram dengan kasar oleh Santo. Minos, meski baru berusia 13 tahun dan duduk di kelas satu SMP, tetapi tubuhnya lebih tinggi dan besar dibanding anak seusianya. Bapaknya berjualan gerabah dengan gerobak yang diambilnya langsung dari desa Kasongan dan Minos biasa mengangkut gerabah-gerabah itu dan menatanya ke dalam gerobak. Tak heran kalau tubuhnya benar-benar tegap dan kuat. Melihat Nuni berada dalam kesulitan, tanpa berpikir panjang Minoslah yang pertama kali maju---jauh lebih cepat dari Rafi yang tadi berteriak lebih dulu, dan langsung mendorong bahu Mas Santo. Mas Santo terdorong beberapa langkah ke belakang. Pegangannya pada lengan Nuni terlepas. Nuni berlari menjauhi Mas Santo. “Anak kecil sok ikut campur!” geram Mas Santo. Pemuda itu menyeringai dan mulai menyerang Minos dengan membabi buta. Kakak tiri Rafi itu mengayunkan kepalannya untuk menyerang pelipis Minos. Minos menahan serangannya dengan tangkisan. Minos berkelit ke samping dan menghindari tendangan Mas Santo. Mas Santo yang menyadari betapa serangannya ditepiskan oleh anak remaja itu bertambah marah. Ketika marah, serangannya juga semakin ngawur. Diserudukkannya kepalanya ke arah dada Minos, tetapi Minos telah bersiap-siap. Dijepitnya kepala Mas Santo dengan kedua lengannya dan dipelintirnya ke kiri. Tangan Mas Santo yang berusaha mencengkeram pinggang Minos ditangkap kuat-kuat dan dengan sekali banting tubuh pemuda itu terjerembap di tanah. “Lari!” seru Rafi ketakutan sambil mendorong punggung Minos. Melihat kedua sahabatnya berlari, Nuni segera naik ke atas sadel sepedanya dan mengayuh kuat-kuat menyusul Minos dan Rafi. Di belakang mereka Mas Santo berusaha bangkit dan Nuni sempat mendengar teriakan marahnya, “Rafiiii!!! Minooss!!! Awas! Tunggu balasanku!” Tetapi Rafi dan Minos tak mendengarnya. Mereka berlari jauh lebih cepat daripada kayuhan sepeda Nuni. Nuni tersengal-sengal lebih karena ketakutan dibanding lelah. Mas Santo benar-benar berbakat jadi penjahat betulan di dalam Kotagede yang sangat aman ini. Dan ayah berharap dia bisa menghabiskan liburan dengan senang? Uh, ini benar-benar awal liburan yang kacau. Dia terus mengayuh dan mengayuh. Nanti Nuni akan berhenti di depan penjual dawet di sudut pasar. Dia tahu kalau Minos dan Rafi pasti menunggunya di sana. Rencana Dari Gua Baca Ada ruangan berteras di tepi kebun rumah Nuni. Ruangan yang dilapisi karpet warna coklat tua itu mirip sebuah kamar, tetapi tak ada tempat tidur di sana. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sofa sudut berwarna hijau lumut yang menghadap rak buku besar yang berisi ribuan buku milik keluarga Nuni. Tepat di samping sofa ada sebuah komputer lengkap dengan sambungan internet. Nuni menyebut ruangan ini dengan nama Gua Baca. Ruangan ini tempat ternyaman setelah kamarnya. Ibu selalu berkata pada Nuni agar tak pelit meminjamkan buku-bukunya. Tapi kenyataannya hanya Rafi dan Minos yang paling sering datang untuk membaca. Mereka berdua memang suka membaca meski jenis bacaan yang mereka pilih lain. Rafi lebih suka ensiklopedia dan cerita petualangan sementara Minos lebih menyukai dongeng. Ibu Nuni sering membelikan buku-buku untuk mereka berdua karena tahu benar kalau orangtua Rafi dan Minos kurang mampu membelikan buku-buku untuk mereka baca. Ibu menyayangi dan menganggap mereka seperti anak sendiri. Apalagi Mak Sri, ibu Rafi adalah salah satu pengurus rumah tangga di sana, dan Minos tak lagi memiliki ibu. Ini alasan kedua yang membuat ibu lebih sayang lagi pada mereka. Hari ini adalah hari kedua liburan setelah insiden cengkeraman lengan oleh kakak tiri Rafi kemarin. Mereka bertiga kali ini berkumpul di Gua Baca, dan Rafi tak mengijinkan Nuni datang lagi ke rumahnya. “Mas Santo benar-benar marah pada kita. Lihat! Dia memukul lenganku kemarin setelah kita pulang dari toko buku.” Rafi menunjukkan lengan kirinya. Nuni menutup mulutnya saat melihat memar di lengan kurus Rafi. Minos meraih lengan Rafi perlahan dan mengamatinya. Wajahnya terlihat sangat kesal, “Berani-beraninya kakak tirimu berbuat seperti ini padamu.” Rafi menggaruk-garuk rambut ikalnya yang tak gatal dengan serba salah, lalu pandangan matanya menerawang. “Yaah, kuharap dia tidak melakukannya lagi. Kasihan Mamakku. Sejak menikah dengan Pak Mursidi, bebannya menjadi bertambah karena sikap buruk Mas Santo. Bapaknya sendiri tak didengarkan olehnya. Sayang sekali, padahal sebenarnya Pak Mursidi, Bapak tiriku itu orang yang baik.” Lalu dia melepaskan pegangan tangan Minos. “Kalian tak perlu khawatir. Aku tak apa-apa.” Nuni mengusap air matanya dengan ujung jilbabnya. “Aku tak akan datang lagi kalau itu membuatmu susah,” putusnya. Rafi mengangguk. “Takut sama Mas Santo, ya?” ledek Minos pada Nuni. Nuni mendelik sewot ke arah Minos sambil menyedot ingus yang keluar karena tangisnya. “Cengeng!” lanjut Minos lagi sambil menahan tawa. Buk! Tanpa ampun Nuni melemparinya dengan bantal sofa. Tawa Minos semakin kencang. Buk! Buk! Buk! Kali ini Nuni tak hanya melempar tetapi menggebuk dengan bantal sofa yang masih tersisa sebuah. “Ini untuk tuduhan pengecut! Ini untuk tuduhan cengeng! Yang ini karena aku selalu kesal padamu!” kalimat terakhirnya tentu saja bukan yang sebenarnya. Rafi terkekeh-kekeh melihat tingkah teman-temannya. Benar kata Minos, Nuni memang cengeng, tetapi dia juga galak, Nuni juga paling tak tahan jika dikatakan penakut. Meskipun Nuni takut, dia tak akan menunjukkan ketakutannya sedikitpun. Minos sendiri tak sungguh-sungguh dengan celaannya. Dia sangat menyayangi Nuni. Bahkan sesungguhnya, jika mau jujur, Minos meledek Nuni lebih karena wajahnya sering memerah jika Nuni menatapnya cukup lama. Ledekan dan celaan lebih memudahkan anak itu untuk menyamarkan perasaannya agar tak menjalar hingga ke wajahnya. “Sudah, sudah! Katanya kita akan merencanakan sesuatu untuk mengisi liburan kita.” Rafi melerai Minos dan Nuni. Anak laki-laki kurus berambut keriting itu menunjukkan kertas berisi daftar rencana yang baru saja mereka buat. Nuni melempar bantal sofanya ke tempat semula. Mulutnya masih cemberut dan Minos segera mengalihkan pandangan karena takut wajahnya bersemu merah. “Seandainya saja di Kotagede ini terjadi kejahatan, kita pasti tak akan bosan…,” ujar Nuni pelan. Rafi dan Minos terkejut mendengarnya. “Hus! Kau ini bicara ngawur!” tegur Rafi tak senang. Nuni buru-buru menggelengkan kepala. “Maksudku bukan itu. Bukan kejahatan yang besar seperti di film-film atau berita televisi itu,” bantahnya. “Meski kecil, kejahatan tetaplah kejahatan. Akibatnya bisa merugikan orang lain. Kenapa doamu jadi jelek, Ni,” Minos ikut prihatin mendengar keinginan ngawur Nuni. “Oke,oke, aku mau mengaku saja…,” wajah Nuni tersipu-sipu, “aku ingin kita membentuk kelompok detektif. Seperti dalam buku-buku petualangan liburan itu,” kata Nuni. Rafi dan Minos terbengong-bengong mendengarnya, kemudian mereka berdua mulai tertawa cekikikan.“Tapi satu-satunya kejahatan yang terjadi di sini adalah pemalakan yang dilakukan Mas Santo. Itupun kalau kita masih mau berurusan dengannya lagi,” Minos nyengir lebar sekali. “Nuni,” kata Rafi yang masih menahan senyuman di wajah tirusnya, “Aku sih setuju kalau kita membentuk kelompok detektif, asalkan kita tak perlu berkonsentrasi penuh untuk mencari kejahatan di sekitar kita. Bagaimana? Aku sih lebih memilih untuk menyelesaikan liburan kita dengan damai tanpa ada kejahatan apapun yang harus kita hadapi.” “Aku setuju,” Minos menjawab cepat. Nuni bertepuk tangan gembira. “Asyik!” kemudian dia celingukan, “Lalu apa yang harus kita lakukan pertama-tama?” Nuni memang selalu mempunyai banyak ide, tetapi dia sering terbentur pada pelaksanaannya. Rafi lah yang selalu mengambil alih semua pelaksanaan dari ide-ide Nuni. Minos mengerutkan keningnya, “Apa ya?” “Kita masing-masing membuat catatan. Ketika kita pergi kemanapun dan menemukan sesuatu yang menarik perhatian kita, maka kita akan mencatatnya dan mendiskusikannya,” Rafi mengusulkan. Minos dan Nuni mengangguk-angguk senang. Jika telah sampai pada pelaksanaan, Rafi punya banyak penyelesaian. Remaja laki-laki kurus berambut keriting ini lincah dan sering berpikir cepat. “Semoga kita mendapatkan sesuatu yang mencurigakan,” harap Nuni, “Pembunuhan mungkin.” “Hus!” tegur Rafi. “Eh, iya…iya… maaf!” cengir Nuni. Catatan Detektif Jangan dikira membuat catatan detektif itu hal yang mudah. Sejak Rafi membagi tiga buah buku kecil (bahkan Rafi juga telah menulis nomor telepon kantor polisi di sudut kanan atas buku catatan itu) untuk mereka masing-masing, tak ada sebaris kalimatpun yang berhasil dibuat oleh Nuni. Itu karena tak ada sesuatupun yang dianggapnya menarik perhatiannya. Satu-satunya yang bisa dicatatnya adalah kejadian di pasar tadi. Di tempat penjual jeruk, seorang ibu muda menggendong bayinya mencuri beberapa butir dan menyelipkannya ke dalam selendang. Nuni menggeleng-gelengkan kepala. Kasihan benar si penjual jeruk itu. Tapi Nuni sesaat menjadi ragu, jika ada orang yang kecurian dan ada orang yang mencuri, siapa yang harus lebih dikasihani? Pelaku atau korban? Bukankah orang yang mencuri seharusnya juga harus dikasihani? Barangkali saja ibu itu tidak memiliki uang sama sekali, sementara dia harus memberi buah untuk bayinya. Nuni kembali membuka catatan detektifnya. Sambil menggigit bibir bawahnya, dia menulis: Seorang ibu muda mengenakan kaos pink dan celana jins panjang, menggendong bayinya, dan mencuri 6 buah jeruk. Tapi siapa nama ibu muda itu? Dimana rumahnya? Berapa tepatnya harga jeruk yang dicurinya? Apa yang harus dilakukannya untuk mengetahuinya? Uhh! Nuni mengerutkan keningnya. Dia menutup buku catatan detektifnya dengan putus asa. Ternyata dia belum tahu apa yang harus dilakukannya. Dia benar-benar merasa konyol duduk di tempat ini, berlagak ingin menyelidiki sesuatu dan mencatatnya dalam buku, tetapi tak tahu bagaimana caranya mencari tahu data-data yang lengkap untuk membongkar kejahatan itu. *** Rafi berjalan dengan langkah yang ditegap-tegapkan. Jadi detektif cilik harus gaya dong ah, pikirnya. Kalau mereka bisa membongkar sebuah kasus, mereka bertiga bisa tampil di halaman depan surat kabar lokal. Hmm.. Mamak pasti bangga sekali dan Mas Santo tak akan berani mengganggunya lagi seujung kukupun. Anak laki-laki berambut keriting dan berwajah tirus itu tersenyum-senyum membayangkan masa-masa kejayaan yang diimpikannya. Rafi sih tidak berharap kalau ada kejahatan lho. Memangnya dia Nuni? Hanya saja dia akan senang jika Kelompok Detektif Cilik ini benar-benar bisa memanfaatkan waktu liburan dengan baik. Kasus ringan juga bolehlah, meski dengan begitu dia tak dapat mengharapkan difoto di halaman depan surat kabar lokal. Dia meraba buku catatan detektif yang ditaruhnya di saku depan. Aduuh…kok bolpennya tertinggal? Mau mencatat apa kalau tidak ada bolpen? Rafi merogoh saku celananya. Tangannya menggenggam selembar dua ribuan. Cukup untuk membeli sebuah bolpen. Diapun melangkah menuju sebuah toko kecil tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Toko kecil itu menempati bangunan kuno seperti banyak toko kecil lainnya di Kotagede. Sebuah bangunan dengan arsitektur campuran antara Jawa, Belanda, dan kaum Kalang (orang-orang keturunan Hindu). Pemiliknya seorang bapak-bapak yang selalu mengerutkan keningnya dengan galak. Wajahnya benar-benar tak bisa dibilang ramah. Dia bahkan melotot pada Rafi. Rafi sebetulnya segan, tetapi dia benar-benar membutuhkan bolpen. Toko itu sepertinya berjualan apa saja. Semua ditumpuk sembarangan dan berdebu. Barang dagangannya tidak nyambung satu sama lain. Masa mata pancing ditaruh di dekat jepit rambut? Rafi terheran-heran melihatnya. Diapun melihat tumpukan bolpen dalam kaleng permen, dan mengambilnya sebuah. Bolpen warna hitam itu diulurkannya pada gadis seumuran Mas Santo yang sepertinya bertugas melayani pembeli. “Saya beli pulpen ini, Mbak,” katanya. Tak ada suara sedikitpun yang keluar untuk sekedar berbasa-basi menanggapi kata-kata Rafi. Baik dari bapak tua itu, ataupun gadis penjaga toko itu. Tetapi penjaga toko itu meraih lembaran dua ribuan yang diulurkan Rafi dan menyelipkannya cepat-cepat di dalam kaleng bekas biskuit yang sudah karatan. Mata Rafi bertemu dengan bapak pemilik toko yang berdiri di sudut dekat dengan sandal-sandal dan bapak itu melotot dengan sangat galak seolah Rafi bukan pembeli tetapi anak nakal yang kedapatan mencuri permen di toko itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rafi segera membalikkan badan dan berlari sekencang mungkin meninggalkan toko itu. Dia masih sempat mendengar suara tertahan dari si gadis penjaga toko berusaha memanggilnya. “Ugh---ugh…maa…baa…!” serunya tak jelas. Rafi tak mau menoleh lagi. Dia berlari sambil menggenggam bolpen yang bertuliskan harga 1800,- itu. Ah. Payah… dia kehilangan dua ratus rupiah gara-gara tak sempat meminta kembalian. Rafi menoleh kembali ke arah toko itu. Pantas toko kecil itu begitu berantakan dan berdebu, pikirnya. Tentu saja tak ada yang mau membeli kalau penjualnya aneh dan galak begitu. Anak berambut keriting itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ah, kenapa bukan ini saja yang ditulisnya dalam buku catatan detektifnya? Rasanya mereka harus diselidiki…jangan-jangan bapak-bapak galak itu adalah majikan jahat yang tak membolehkan pelayan tokonya berbicara, atau jangan-jangan gadis itu adalah anaknya yang dari bayi hingga sebesar ini selalu dipukuli hingga takut berbicara apapun---pada siapapun, atau jangan-jangan…mereka adalah alien yang menyamar tinggal di Kotagede dan menunggu saat komando penyerangan tiba? Hwaaaa…mengerikan. Dengan tangan gemetar, Rafi berusaha menuliskan peristiwa yang dialaminya dalam buku catatan detektif yang disimpannya rapat-rapat di dalam saku. Laki-laki jahat---dalam toko tua---berantakan---ada gadis penjaga---diam saja lalu bersuara tak jelas---uang pulpen masih 200,- tak kembali---rugi---alien---dipukuli dari bayi. Rafi menutup buku catatannya dengan tidak puas. Catatannya benar-benar berantakan dan sulit dipahami. Jantungnya juga masih berdetak dengan cepat. Dalam hati dia akan sangat senang jika bapak pemilik toko yang galak itu adalah alien. Rafi benar-benar gemas karena dia telah begitu ketakutan dan lari begitu saja tanpa mendapat keterangan apa-apa. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari sana. Paling tidak dia bisa menyelidiki semua ini bersama Nuni dan Minos nanti. *** Di tempat lain, Minos sedang menaikkan guci-guci keramik ke atas gerobak bapak. Setelah semua ditata rapi, Bapak akan mendorongnya hingga ke tengah kota Yogyakarta untuk berjualan. Minos tahu, di tengah kota akan ada saja orang-orang yang membeli pot, atau bahkan satu set bangku taman. Seharian tak ada apapun yang bisa diamatinya. Setelah menimbang selama beberapa saat, Minos menulis dalam buku catatannya: Aku belum sarapan. Penyelidikan Pertama Minos dan Nuni membaca ulang catatan Rafi. “Apakah bapak tua galak yang kau maksud itu pemilik toko berdebu di dekat lampu merah perempatan jalan itu?” tanya Nuni. Rafi mengangguk. “Iya, memang yang itu. Di mana rumahnya, ya?” Minos terdiam, berusaha mengingat-ingat. “Pak Tua itu dulu tidak tinggal di Kotagede. Tadinya toko itu kan bangunan kosong. Di belakang toko itu masih ada ruangan. Kurasa dia tinggal di sana. Tetapi seingatku, dia tinggal sendirian dan tak punya anak perempuan.” “Siapa nama bapak tua itu ya?” tanya Rafi. Minos menggelengkan kepala. Nuni terlihat berpikir keras, “Kenapa gadis penjaga toko itu tak berbicara ya?” “Sebenarnya berbicara sih, tapi nggak jelas. Hanya seperti orang bergumam, begitu. Bapak tua itu juga tak pernah bicara kan?” Rafi memandang mereka berdua. “Ya. Benar juga. Aku pernah membeli kaos kaki di sana, dan bapak tua itu mengambilkan tanpa berkata apa-apa. Tersenyumpun tidak,” Nuni bersungut-sungut. Tiba-tiba Nuni membekap mulutnya sendiri, “Jangan-jangan kakek itu alien!” Rafi memukulkan tangannya di atas tumpukan buku catatan detektif. Minos dan Nuni terlompat kaget dibuatnya. “Itu yang ada dalam kepalaku, Ni. Persis seperti itu!” desisnya. Minos menelan ludahnya yang terasa pahit. “Jadi apa yang harus kita selidiki sekarang?” tanyanya lirih. Minos ragu, apakah dia harus menerima ide bahwa bapak galak itu alien atau bukan. Kadang-kadang khayalan Nuni dan Rafi agak keterlaluan. “Tentu saja kita harus menyelidiki apakah mereka itu benar alien atau bukan. Ingat, dia tak pernah bicara! Siapa tahu itu karena memang bahasanya lain.” Rafi terlihat ngotot dengan teorinya, dan Nuni mendukung dengan mata yang berbinar senang. Rafi cepat-cepat menuliskan sesuatu dalam buku catatan detektifnya. Target Penyelidikan : Bapak galak pemilik toko & penjaga tokonya. Lokasi : Perempatan jalan dekat lampu merah. “Let’s do it right now!” katanya dengan sangat gaya. Nuni tertawa mendengarnya. “Kamu jadi kayak Obama waktu kecil,” ledeknya. Minos terbahak, “Tampangnya udah mirip, tuh.” Rafi tersenyum-senyum cuek mendengar gurauan teman-temannya. *** Mereka bertiga memutuskan untuk mengamati toko kakek galak itu dari jarak yang cukup dekat. Tadi mereka sempat menanyakan nama kakek itu pada Mak Sri, ibu Rafi. Ternyata namanya Pak Koha. Gadis penjaga toko itu adalah anaknya yang baru pulang dari Solo, dan sekarang tinggal bersama Pak Koha di rumah belakang toko itu. Namanya Intan. Mereka tak pernah bergaul dengan warga sekitar dan mereka memang tak pernah terlihat berbicara. “Mungkin mereka bisu.” Begitu kata Mak Sri. Tetapi menurut Rafi, ibunya memang selalu berpikir positif. Bukankah seorang detektif harus mencurigai target penyelidikannya lebih dahulu? Nuni yang tadinya mengusulkan mereka untuk membentuk Kelompok Detektif, diam-diam memutuskan bahwa Rafilah yang akan menjadi ketua kelompok mereka. Nuni, Rafi, dan Minos memilih untuk duduk di sebuah bangku tak jauh dari toko kusam itu dan mulai memperhatikan Pak Koha dan Mbak Intan. Satu jam berlalu dan mereka belum melihat mereka berbicara satu sama lain. Tak ada seorangpun pembeli. Sesekali, mereka melihat Mbak Intan menoleh pada ayahnya sambil menunjuk sebuah benda dan ayahnya menanggapi dengan gerakan jarinya. “Apakah pekerjaan mereka seharian menjaga toko?” Minos bertanya tiba-tiba. “Ya iya. Lihat saja tuh!” Nuni menguap menahan bosan. “Jika toko mereka selalu sepi, bagaimana mungkin mereka dapat mencukupi hidup mereka sehari-hari?” Nuni terdiam mendengarnya, sementara Rafi terlonjak dari duduknya. “Hiyahh!!” serunya. Minos menoleh terkejut, “Ada apa sih? Pantatmu digigit semut?” “Nggak,” cengir Rafi, “Aku baru saja mendapat kesimpulan setelah mendengar ucapanmu. Kau benar, Minos. Jika toko Pak Koha selalu sepi, itu berarti mereka sebenarnya memiliki pekerjaan yang lain. Nah, jika mereka tak terlihat bekerja, itu berarti mereka mempunyai pekerjaan lain yang tak kita tahu. Aku sendiri sih lebih suka menganggap Pak Koha dan anaknya memiliki harta karun di lorong bawah tanah rumah mereka.” Rafi mengatakan semua itu dengan kalem. “Ih, kau memang senang menuduh orang ya?” dahi Nuni mengerut sementara Minos terbengong mendengar kesimpulan Rafi. Rafi menjawab dengan serius, “Ya, detektif memang harus begitu, kan?” Dikeluarkannya buku catatan detektifnya dan mulai menulis: Pak Koha berumur sekitar 64 tahun. Dahi sering mengerut, tak pernah bercakap-cakap, tidak ramah, dan rambutnya hampir semua beruban. Anaknya, si penjaga toko, bernama Intan. Pernah mengeluarkan suara meski tak jelas. Selebihnya dia tak pernah berkata apa-apa, seperti Pak Koha. Menurut Minos, jika toko mereka selalu sepi, maka uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tak akan cukup. Jadi Kelompok Detektif Cilik berpendapat, bahwa mereka pasti memiliki ruangan di bawah tanah untuk menyimpan harta karun mereka. Pak Koha sengaja bersikap tak ramah untuk membuat semua orang menjauh dari sekitar mereka agar harta karunnya aman. Minos melirik tulisan Rafi. “Haruskah kau tulis bahwa harta karun itu pendapat kami juga? Bukankah tadi kau sendiri yang menyimpulkan begitu?” Rafi menggelengkan kepala, “Kita kan bekerja kelompok, Pintar! Benar atau salah haruslah kita tanggung bersama-sama,” ujarnya ngotot. “Kenapa mereka membuka toko jika ingin semua orang menjauh dari toko mereka?” tanya Nuni bingung. Rafi tersenyum dengan wajah sok bijak, “Kau benar, Nuni. Tapi menurutku, mereka hanya ingin menutupi kenyataan yang sebenarnya dari orang-orang. Justru jika mereka tak membuka toko, dan tak terlihat bekerja dimanapun, orang akan mencurigai darimana mereka mendapatkan uang. Maka Pak Koha rela tampil sebagai pemilik toko kusam. Rumah yang mereka tempati adalah rumah tua, Ni. Hampir sebagian besar bangunan di Kotagede ini adalah bangunan yang usianya sudah ratusan tahun. Mungkin sekali rumah itu memiliki ruangan bawah tanah. Masuk akal kan jika orang yang hidup di tempat ini jaman dahulu berpikir untuk membuat lorong bawah tanah untuk menghindari penjajah Belanda atau apa? Banyak orang-orang Kalang di Kotagede saat itu adalah orang-orang yang sangaaat kaya, jadi kita tak perlu heran kalau ternyata banyak diantara orang-orang Kotagede memiliki ruangan bawah tanah tepat di bawah kamar mereka.” Rafi selalu dapat mengemukakan alasan yang dapat dianggap sebagai kebenaran oleh orang lain. Pendapatnya meski aneh tetapi jika dipikirkan memang masuk akal. “Kalian tentu pernah mendengar kisah orang Kalang dari jaman Belanda yang lantainya terbuat dari koin emas. Koin emas yang tidak ditata mendatar melainkan koin emas yang ditegakkan. Bayangkan kekayaan mereka! Dengan kekayaan yang seperti itu, aku tak akan heran jika ratusan tahun kemudian masih ada harta yang tersisa di satu tempat. Mari kita selidiki!” Nuni mengangguk-angguk, sementara Minos mengangkat bahu. Mengalah. Rafi menatap mereka berdua selama beberapa saat dan kembali melanjutkan catatannya. Tugas Kelompok Detektif dapat berkembang menjadi sebuah penyelidikan mengenai harta karun peninggalan orang-orang Kalang di Kotagede. Rafi menutup buku catatannya dengan wajah penasaran. “Kita harus menyelesaikan kasus ini sebelum liburan selesai,” katanya. Nuni baru saja mau mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba dilihatnya Mas Santo, kakak tiri Rafi berjalan sambil bersiul-siul ke arah mereka. Nuni spontan memegangi jilbabnya karena teringat kejadian beberapa hari lalu saat Mas Santo menarik jilbab Nuni. Nuni tak mau hal itu terulang kembali. Minos juga melihat kedatangan Mas Santo. Dia bergeser ke arah depan untuk melindungi Nuni. “Tumben dia bersiul-siul. Kelihatannya senang sekali.” Minos bergumam sambil melirik Rafi. Rafi mengangguk, “Mas Santo baru saja diterima bekerja di Salon Queen.” “Apa? Salon?” mata Nuni terbeliak tak percaya. “Masa sih? Memangnya dia bisa memotong rambut orang?” Nuni tak sanggup membayangkan penampilan Santo yang sangar ditempatkan sebagai kapster di salon. Bisa-bisa dia menggunduli rambut semua orang di sana. “Ya bukan motong rambut, sih. Dia bertugas membersihkan salon dan menjaga gudang. Pemilik Salon Queen, Tante Lissi dan Pak Deli, memproduksi krim untuk spa yang dikirim ke seluruh Indonesia. Nah, Mas Santo mengepak paket kiriman juga,” jelas Rafi. Kakak tiri Rafi berjalan semakin mendekat. Dia mendadak berhenti bersiul ketika mengetahui mereka bertiga duduk di sana dan memandanginya. Matanya menyipit penuh ancaman ke arah mereka. Pemuda itu berhenti tepat di depan mereka bertiga dan mencibir sinis. Terutama pada Nuni. “Tuan puteri yang senang bergaul dengan rakyat jelata.” Dia terkekeh-kekeh seperti telah mengatakan sebuah lelucon. Nuni mengeraskan rahang. Kesabarannya benar-benar diuji jika berhadapan dengan kakak tiri Rafi. “Mas…sudah!” hela Rafi. “Jangan ganggu Nuni!” Minos angkat bicara. Langsung dan tegas. Mas Santo menggeram mendengar ucapan Minos. Kali ini Mas Santo tak boleh dipandang remeh karena sedang tidak mabuk. Diraihnya telinga Minos dengan cepat dan berteriak di sana, “Kalau hatiku sedang tak senang, akan kutarik telinga ini sampai panjang supaya kau mudah mendengar kebenaran. Dengar ya, kau ini nggak cocok naksir Nuni, tahu!” Wajah Minos merah padam mendengarnya. Suara Mas Santo tajam mengiris hatinya. Rafi yang selalu ingin menengahi kali ini tak sanggup menjadi penengah. Dia memilih untuk membela Minos sahabatnya. Dengan tergesa, lebih karena takut kakak tirinya akan mengucapkan kata-kata yang lebih menyakitkan, dia mendorong punggung Mas Santo keras-keras. Karena dorongan tiba-tiba itu, Mas Santo tersungkur, tetapi tak sempat jatuh karena berhasil menguasai dirinya. Akibatnya, sungguh sangat fatal. Pemuda itu dengan kalap meraih bahu kurus Rafi dan mengguncangnya kuat-kuat. Guncangan itu membuat buku catatan detektif di tangan kiri Rafi terjatuh di bawah kaki Mas Santo. Nuni cepat-cepat meraih buku catatan itu tetapi kaki Mas Santo lebih dahulu menginjaknya. “Apa ini?” serunya senang. Melihat Nuni begitu sigap ingin menyambarnya, pemuda itu tahu bahwa buku itu berharga bagi mereka bertiga. Sambil tertawa dan menggigit bibir bawahnya dengan tampang mengejek, pemuda itu membaca tulisan tangan Rafi di halaman muka. “Bu-ku Ca-ta-tan De-tek-tif, hua ha ha ha ha…,” tawa Santo meledak seketika. Kali ini bukan hanya wajah Minos, tetapi wajah Rafi dan Nuni juga merah padam. “Kembalikan!” teriak Nuni. Minos dan Rafi berusaha meraih kembali buku catatan mereka. Santo mengangkat tangannya dan mengibaskan buku catatan itu ke wajah mereka. Santo terkekeh-kekeh. “Detektif khayalan. Kasihan kalian,” cengirnya menghina sambil membuka-buka tulisan Rafi di halaman dalam. Kakak tiri Rafi itu masih terkekeh-kekeh ketika membaca bahwa target penyelidikan mereka adalah Pak Koha, pemilik toko kusam di seberang mereka berada kini. “Kalian menyelidiki Pak Koha? Ha ha ha…kejahatan apa yang dilakukannya? Apakah dia menjual peniti berkarat?” ejeknya lagi. Minos, Rafi, dan Nuni menatap buku catatannya dengan putus asa. Mata Mas Santo kembali menelusuri tulisan Rafi, tiba-tiba matanya membelalak ketika melihat tulisan di bagian bawah. Sejurus kemudian dia melotot ke arah mereka bertiga, kemudian ke arah Rafi. Sedetik kemudian tanpa disangka-sangka, tangan pemuda itu melayang ke pipi Rafi dan mendarat dengan keras. Anak laki-laki berambut keriting dan berpipi tirus itu mengaduh sambil memegang pipinya. Matanya terasa panas karena pukulan kakak tirinya. Minos segera meraih bahu Rafi dan memeluknya. “Jangan pukul Rafi!” teriak Nuni marah. “Dia adikmu, tahu! Umurmu juga jauh lebih tua! Kenapa kau jahat sekali padanya?” suara Nuni terdengar begitu keras. Saking marahnya, matanya menggenang oleh air mata. Mas Santo membanting buku catatan detektif milik mereka ke atas trotoar dan menginjak-injaknya dengan kasar. “Dengarkan! Pertama, aku tak ingin melihat kalian berada di sekitar toko pak Koha lagi atau aku akan menghajar kalian bertiga. Kedua, dia bukan adikku!” sambil diacungkannya telunjuknya ke arah Rafi yang menatapnya nanar sambil memegang pipinya. Setelah melempar tatapan penuh ancaman, pemuda itu pun bergegas pergi meninggalkan mereka bertiga. Nuni memunggungi langkah Mas Santo dengan penuh kebencian. Tangannya masih gemetar ketika meraih tangan Rafi untuk melihat pipinya. “Kau tak apa-apa?” tanyanya perlahan. Rafi menggeleng, “Aku tak apa-apa.” “Kita harus membalas perbuatannya, Rafi,” dendam Minos. Tetapi Rafi menggelengkan kepala. “Tidak. Jangan pikirkan aku,” lalu dia menyambung kalimatnya, “Justru ini lebih mencurigakan. Kita harus menyelidiki, kenapa Mas Santo begitu marah ketika tahu kita sedang menyelidiki Pak Koha…” si Mungil dari Salon Queen Nuni masih sangat terganggu dengan peristiwa kemarin. Gadis tanggung itu sangat mengkhawatirkan Rafi sahabatnya. Setelah insiden tamparan kemarin, mungkin dia dan Minos dapat terbebas begitu saja. Tapi bagaimana dengan Rafi? Rafi tinggal serumah dengan Mas Santo, kakak tirinya. Bagaimana jika dia dipukul lagi? Hati Nuni benar-benar cemas membayangkannya. Nuni ingin sekali mengetahui bagaimana keadaan Rafi, tetapi dia malas bertemu dengan kakak tiri Rafi yang jahat. Lalu dia berpikir untuk pergi ke rumah Minos. Barangkali saja Minos tahu bagaimana keadaan Rafi. Paling tidak rumah mereka berdekatan. “Nuni.” Ibu memanggil dari ruang tengah. Nuni keluar dari kamarnya dan menghampiri Ibu. “Ada apa, Bu?” “Kalau kau keluar nanti, Ibu minta tolong dibelikan gula dan telur di Kios Sembako ya.” Nuni mengangguk dan menerima uang dari Ibu. “Tapi Nuni tak langsung pulang, ya Bu. Nuni mampir dulu ke rumah Minos. Sebentar kok.” “Boleh saja.” Tiba-tiba Nuni teringat kalau Kios Sembako terletak persis di sebelah Salon Queen tempat Mas Santo bekerja. Dia benar-benar malas bertemu dengan orang jahat itu. “Ibu, boleh nggak kalau Nuni beli di tempat lain saja?” tanyanya berharap. Ibu mengerutkan kening. “Di situ sudah paling murah, Ni. Tak usah beli di tempat lain,” putus Ibu. Nuni menghela nafas. Dalam hati dia berdoa agar tak perlu bertemu dengan Mas Santo. Bersamaan dengan doanya, Nuni agak merasa bersalah dengan Rafi yang harus bertemu dengan Mas Santo setiap hari. Nuni mengayuh sepedanya cepat-cepat. Semakin cepat dia sampai di kios Sembako, dan semakin cepat dia melewati Salon Queen akan semakin kecil kemungkinannya berpapasan dengan Mas Santo. Nuni menghembuskan nafas lega ketika dia tak melihat sosok Mas Santo saat melewati Salon Queen. Dari balik kaca salon yang berhadapan dengan jalan raya, Nuni hanya melihat seorang ibu muda mengantarkan anak balitanya memotong rambut. Anak perempuan kecil itu kelihatan senang ketika didudukkan di kursi tinggi menghadap sebuah cermin besar. Nuni menghentikan sepedanya di depan kios sembako sebelah salon. “Telur dan gula pasir ya, Bu,” katanya pada si penjual yang melayani dengan wajah datar, tanpa senyum. “Antri, Dik! Yang datang dari tadi saja belum dapat!” ketus suaranya sambil menunjuk beberapa orang yang berdesakan di depannya. Nuni tidak tersinggung. Banyak pedagang di sini, terutama kios-kios laris, sulit melengkungkan senyuman. Mungkin terlalu lelah karena terlalu banyak pelanggan. Nuni menyandarkan punggungnya di tembok pembatas sambil memandang ke arah Salon Queen. Bangunan Salon Queen dulunya adalah rumah kuno bergaya Kalang, sebuah arsitektur yang dipengaruhi Jawa, Hindhu, dan Islam. Setelah pemiliknya memutuskan untuk menyewakan rumahnya, pemilik Salon Queen memberikan cat warna oranye terang yang sesungguhnya tak terlalu cocok dengan gaya asli rumah Kalang. Bagian bangunan yang digunakan untuk salon sesungguhnya hanya kecil saja. Kabarnya, usaha utama pemilik salon bukanlah salon itu sendiri, tetapi membuat krim perawatan kulit mirip lulur, yang dikirim ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Karena itu, bagian yang paling utama justru bagian gudang. Menurut Rafi, di situlah kotak-kotak berisi krim perawatan kulit disimpan sebelum dibawa ke tempat lain. Salah satu tugas Mas Santo juga menjaga gudang penyimpanannya. Nuni menoleh ke arah kios. Baru dua orang yang selesai dilayani. Dia masih harus menunggu beberapa orang lagi. Anak perempuan kecil yang tadi duduk di dalam salon telah keluar bersama ibunya. Poninya lurus rapi dan rambutnya seperti Dora, tokoh kartun anak-anak di televisi. Dia tersenyum lucu sambil mengusap ubun-ubunnya. Nuni ikut tersenyum ketika menatapnya. Nuni tak punya adik dan sangat menginginkannya, jadi dia selalu senang melihat anak kecil. Salon itu sepi kini. Kapster salon, seorang gadis seumur Mbak Yati, kini sedang menyapu sisa potongan rambut anak perempuan tadi. Tapi dia pasti tak suka membaui jari-jarinya setelah menggaruk kepala seperti Mbak Yati, batin Nuni tertawa dalam hati. Eh. Tunggu. Tunggu! “Apa itu?” bisik Nuni pada dirinya sendiri. Matanya mengernyit melihat boneka sangat kecil, berbulu, melompat perlahan di depan pintu gudang salon Queen. Boneka kecil itu berhenti dan memandang berkeliling sesaat. Nuni langsung mengira boneka kecil itu adalah boneka binatang bertenaga batere milik anak perempuan berambut Dora tadi. “Kasihan, bonekanya terjatuh di tepi jalan,” sambungnya lagi. Nuni berjalan mendekati boneka itu. Pikirnya, anak itu belum jauh. Kasihan jika nanti dia menyadari bonekanya hilang. Dia bisa menyusul segera dengan sepedanya dan kembali lagi ke sini untuk mengambil gula dan telurnya. Tapi sesuatu yang di luar sangkaannya tiba-tiba terjadi. Boneka kecil berbulu, seperti monyet sekaligus juga seperti tikus, ukurannya tak lebih besar dari telunjuk Nuni, tiba-tiba melompat-lompat dan berlari ke jalan raya. Nuni sangat kaget melihatnya. Dia tak tahu apa sebenarnya makhluk itu, tetapi pikirannya bergerak cepat dan menyadari bahwa sesuatu yang disangkanya boneka adalah makhluk hidup. Tepatnya binatang. Binatang apa, Nuni belum tahu. Saat itu juga, sebuah sepeda motor membawa keranjang sayur besar di bagian belakang melaju dengan kecepatan sedang ke arah makhluk kecil berbulu kecil tadi. Nuni segera berlari dan berteriak keras agar pengendara sepeda motor itu berhenti. “Stoooopppp!!!!” Suaranya benar-benar keras. Tetapi bapak tukang sayur itu justru kebingungan mendengar teriakan Nuni. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mencari tahu siapa yang diteriaki anak perempuan berjilbab di seberang jalan. Sepeda motornya melambat dan sedikit oleng, kemudian berhenti. Lari Nuni berhenti tepat di depan sepeda motor. “Ada apa, Nak?” seru bapak itu dengan gusar. Tangan Nuni yang gemetar meraih makhluk aneh yang meringkuk tepat beberapa senti di depan roda sepeda motor. “Tidak apa-apa, Pak. Bapak hampir saja melindas mainan saya,” katanya cepat sambil memasukkan makhluk itu ke dalam sakunya, meski sebenarnya Nuni khawatir ekornya yang panjang dan berbulu hitam terlihat oleh penjual sayur. Bapak Tukang Sayur itu mendengus kesal. “Jangan berteriak-teriak begitu lain kali! Bikin jantungan saja!” Nuni nyengir sambil mengangguk-angguk meminta maaf. Nuni berlari kembali ke tepi jalan dan meraih makhluk dalam kantung bajunya dan mengamatinya. Benar. Dia bukan boneka. Ini benar-benar binatang hidup. Wajah dan tubuhnya seperti monyet, atau tikus, atau bahkan koala tetapi sangat kecil. Nuni yakin ukurannya lebih kecil dari tikus percobaan. Binatang kecil itu memandanginya dengan matanya yang jernih dan bulat besar, mata bulat itu terlihat begitu mirip dengan boneka karena tak bergerak-gerak. Kemudian binatang itu merayap ke telunjuknya dan merangkul telunjuk Nuni dengan erat. Kepalanya berputar untuk melihat ke arah Nuni. Sangat lekat. Nuni terharu melihatnya. “Siapa namamu? Seumur hidup, belum pernah aku melihat monyet semungil kau. Tapi kau juga sepertinya bukan monyet. Lalu apa kau ini?” Meski kebingungan, dibelainya punggung makhluk kecil itu dengan lembut. Nuni berjalan ke arah pintu gudang Salon Queen, tempat pertama kali dilihatnya makhluk itu keluar. Ternyata, pintu gudang memang terbuka sedikit. Ada celah kecil selebar 1 senti. Pintu ini jelas tak terkunci sehingga makhluk ini keluar dari sana. Mungkin monyet tikus ini binatang peliharaan pemilik salon. “Apakah rumahmu di sini?” tanya Nuni lembut pada si monyet-tikus kecil. Binatang itu semakin erat memeluk telunjuknya. Sesungguhnya Nuni telah jatuh sayang seketika pada makhluk kecil itu, tetapi dia tahu, kalau dia membawanya pulang maka dia telah mengambil sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Nuni tak ingin menjadi pencuri. Maka Nuni memutuskan untuk masuk melalui pintu Salon Queen dan mencari pegawai salon yang tadi memotong rambut si Dora, tetapi ruangan dalam salon ternyata sepi. “Permisii…” Nuni menunggu selama beberapa saat. Hening. Sepertinya semua orang sedang berada di belakang saat ini. Nuni menemukan sebuah bel kecil di depan pintu kaca salon yang terbuka, tetapi setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat Nuni memilih untuk tak menekan belnya. Dia seketika berpikir untuk mengembalikan monyet sebesar genggamannya itu ke dalam gudang. Barangkali kandangnya berada di sana mengingat si mungil itu keluar melalui celah pintu gudang yang terbuka. Nuni membuka pintu gudang setinggi dua meter itu dengan perlahan. Suara krak pendek terdengar. Barangkali karena pintu kayu raksasa itu memuai karena cuaca. Nuni berjingkat perlahan masuk ke dalam ruangan. Gudang ini tak gelap seperti gudang pada umumnya karena ruangan ini sesungguhnya adalah ruang samping yang cukup luas. Nuni memandang pilar-pilar penyangga yang tinggi besar dengan penuh kekaguman. Di dalam ruangan itu ada sepasang kursi plastik dengan sandaran berwarna merah dan sebuah meja kayu yang dirapatkan ke dinding. Ada sisa kopi dalam gelas bening dan beberapa puntung rokok tergeletak di dalam asbak. Sambil terus menggenggam lembut monyet-tikus mungil itu, Nuni menghampiri meja dan menyentuh puntung rokok itu dengan rasa ingin tahu. Asbaknya masih hangat. Menandakan bahwa siapapun orang yang merokok, pastilah waktunya belum terlalu lama. Nuni mengambil puntung rokok itu, mengibaskan abunya, dan melihat merk rokok itu adalah Mind. Puntung rokok yang aneh karena sebenarnya belum habis sekali, tetapi sengaja telah dimatikan apinya dengan cara ditekuk. Semua puntung ini dalam keadaan tertekuk. Tiba-tiba saja dia teringat kalau saat liburan ini, dia adalah anggota dari Kelompok Detektif. Teringat hal itu, dia segera memasukkan sebuah puntung ke dalam kantung bajunya. Nuni kembali melihat sekeliling. Ada yang aneh pada ruangan ini. Tadinya dia membayangkan akan melihat kardus-kardus berisi krim perawatan tubuh siap kirim, tetapi kenyataannya tak ada satu karduspun terlihat di tempat ini. Hanya ada beberapa kotak besar ditutup dengan kain berwarna hitam, terletak di beberapa tempat di dalam ruangan. “Apakah kau tinggal di tempat ini?” bisik Nuni sekali lagi pada si kecil itu. Monyet-tikus itu memandangi Nuni dengan matanya yang besar. Nuni tersenyum. “Yuk, kita cari dimana kandangmu dan aku akan mengembalikanmu ke sana sebelum semua orang tahu kau telah lepas hingga ke jalan raya,” katanya lembut. Tiba-tiba terdengar suara bernada tinggi dari ruang belakang gudang. Suara itu semakin lama semakin mendekat ke arah Nuni. Suara seorang laki-laki yang sangat marah. “Baru bekerja beberapa hari kau sudah menghilangkan seekor tarsius? Bagaimana ini bisa terjadi?” Nuni berdiri terpaku. Dia menatap si kecil. Tarsius? Itukah namanya? Anak perempuan itu hendak bergegas masuk, tetapi kemudian didengarnya suara seseorang. Suara Mas Santo, kakak tiri Rafi yang jahat. “Saya minta maaf, Bos. Pintu kandang itu terbuka sendiri. Mungkin lupa dikunci.” Nuni melihat berkeliling dengan cemas mencari tempat persembunyian. Dia tak suka bertemu dengan Mas Santo, dan Nuni memutuskan untuk bersembunyi dulu agar Mas Santo tak melihatnya, dan Nuni menemukan tempat persembunyian di balik kotak-kotak bertutup kain hitam di dalam ruangan itu. “Hah! Kau kira aku akan percaya begitu saja ucapanmu? Sejak semula aku sudah ragu mempercayaimu. Kau pasti mencurinya!” Suara itu kini terdengar begitu jelas. Hanya beberapa langkah dari tempatnya bersembunyi. “Tidak, Bos. Sungguh.” Suara Mas Santo terdengar mencicit. Beda sekali dengan ketika dia mengancam mereka bertiga. Nuni mencibir diam-diam dari tempatnya meringkuk sekarang. “Pokoknya aku tak mau tahu! Cari binatang itu sampai ketemu! Atau kau akan kupecat!” lalu dia menambahkan, “dia sangat kecil. Mungkin saja dia terselip di antara benda-benda lain. Jangan sampai ada pengunjung salon melihatnya karena binatang sekecil itu bisa dicuri dengan mudah.” “Baik Bos Deli.” Suara Mas Santo ditegap-tegapkan. Nuni mengelus kepala binatang kecil itu dengan ujung telunjuknya. Dia akan segera keluar jika tak lagi mendengar suara Mas Santo, tekadnya. Sesaat kemudian didengarnya kembali suara Bos Deli. “Santo, apa anak orangutan dari Kalimantan sudah ada kabar hari ini?” Mas Santo terdengar lega ketika bosnya mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Nuni bisa membayangkan senyum leganya saat menjawab. “Sudah, Bos. Bahkan beberapa kukang telah dalam proses pengiriman ke Bangkok.” “Kita harus sangat berhati-hati. Hari ini juga semua yang di sini harus hilang dari pandangan.” Suara Bos Deli kembali terdengar. “Beres, Bos. Segera. Jalan sudah disterilkan dan tempat pemberhentian sangat aman.” Nuni menahan nafas. Mereka mengirimkan binatang? Bukan krim perawatan kulit? Ini mencurigakan. Nuni mendengar dengusan Bos Deli yang terdengar sangat meremehkan Mas Santo. “Sekarang, pergi ke Tante Lissi sana! Sepertinya dia akan menyuruhmu membeli sampo untuk salonnya.” “Baik, Bos. Segera, Bos,” terdengar langkah-langkah Mas Santo menghilang ke dalam. Diikuti oleh langkah Bos Deli yang menjauh. Nuni memejamkan matanya sesaat sambil berpikir. Apa yang mereka lakukan dengan binatang-binatang itu? Mengirimkannya ke kebun binatang? Atau bagaimana? Terdengar suara dengkuran lembut dari balik kotak bertutup kain hitam. Nuni mengangkat kain penutup dengan perlahan. Segera dia tahu, bahwa kotak itu ternyata sebuah jeruji besi yang sangat kuat. Nuni mengangkat kain penutup itu lebih tinggi dan anak perempuan itu memekik tertahan ketika dilihatnya seekor harimau berbulu putih sedang tertidur pulas melingkar. Bukan harimau dewasa. Tetapi tetap saja seekor harimau. Dengan gemetar, menyadari dia sedang berada tak lebih dari 15 senti dari seekor binatang buas, diturunkannya kembali kain penutup itu. Nuni mencoba berdiri, tetapi kedua kakinya terasa berat dan lekat di lantai. Saat dia telah berhasil berdiri, Nuni segera berlari sekencang-kencangnya keluar dari sana. Dia bahkan lupa menutup kembali pintu gudang salon, dan segera menuju ke arah sepedanya yang diparkir di depan Kios Sembako. “Ini gula dan telurnya.” Pemilik kios menunjuk ke arah kantung plastik di depannya. Nuni jadi teringat dia tadi kemari karena ibu menyuruhnya membeli gula dan telur. Nuni mengulurkan uang dan menerima kantung belanjanya. Saat dia hendak menaiki sepedanya, Nuni baru menyadari kalau tarsius kecil itu masih ada dalam genggaman tangan kirinya dan belum dikembalikan sama sekali. Dengan bimbang, dipandanginya binatang kecil itu. Dikembalikan ke tempatnya sekarang, atau dibawanya pulang sementara dia menunggu waktu yang tepat untuk mengembalikannya? Lalu Nuni memilih yang kedua. Ditaruhnya gula dan telur ke dalam keranjang sepedanya, dan dimasukkannya makhluk berbulu itu ke dalam kantung plastik yang diikatkannya di lubang keranjang. Disobeknya sedikit agar binatang itu dapat bernafas dengan leluasa, dan Nuni berbisik dengan suara masih terengah-engah, “Maafkan aku, ya. Aku akan membawamu pulang ke rumahku lebih dahulu.” Nuni naik ke sepedanya dan mengayuhnya dengan kencang tanpa menoleh lagi. Terutama ke arah Salon Queen. Bahkan Nuni juga lupa kalau tadi dia berencana mampir ke rumah Minos. Pak Koha Lebih Dulu Di dalam ruang Gua Baca perpustakaan Nuni yang berada di taman, Nuni, Rafi, dan Minos saling bertatapan dengan wajah tegang. Nuni bahkan sangat cemberut. “Kita ini bersama-sama membentuk kelompok detektif. Tapi lihat! Begitu aku menemukan bahwa gudang Salon Queen tak berisi kardus krim perawatan kecantikan seperti yang semua orang kira melainkan harimau. Harimau putih! Kalian malah merasa ini bukan hal yang penting,” Nuni mendengus dengan suara lebih keras dari yang seharusnya untuk memberitahu bahwa dia sangat kesal. “Dan…dan…aku terpaksa membawa pulang monyet-tikus dengan mata besar yang aneh itu...ehm…aku lupa namanya. Aku seperti pencuri, tahu!” semburnya lagi. Ditunjuknya binatang berbulu yang begitu kecil dan kini dimasukkannya dalam kurungan ayam di depan ruang Gua Baca karena ternyata hobinya adalah melompat-lompat kemana-mana. “Gara-gara dia aku ketakutan setengah mati. Untung Ibu percaya waktu aku bilang aku membeli itu di Pasar Hewan dengan uang tabunganku,” kata Nuni dengan nada lebih pelan. Minos mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin tegang. Dia tak tahu harus berkata apa. Ekor matanya melirik Rafi yang bangkit menuju komputer di sudut ruang. Tanpa berkata apa-apa, Rafi duduk dan menyalakannya. Setelah tersambung ke internet, dia mulai mengetikkan kalimat monyet sebesar ibu jari dalam mesin pencari Google, dan anak laki-laki itu menemukan kata baru berupa Tarsius. “Mungkinkah dia tarsius?” lirih suara Rafi berbicara pada dirinya sendiri. Nuni tersentak dan menatap Rafi yang sedang duduk di depan komputer, “Ya. Benar! Pemilik salon itu, Bos Deli, berkata pada Mas Santo kalau makhluk kecil itu bernama tarsius.” Rafi menelusuri beberapa artikel yang muncul dari hasil pencariannya. Ada fotonya juga, yang lebih meyakinkan mereka karena kemiripannya dengan binatang kecil yang dibawa Nuni. “Tarsius ini binatang langka, Ni. Asalnya dari Sulawesi.” “Berarti, Bos Deli pemilik Salon Queen itu sangat kaya karena mengoleksi binatang langka,” cetus Minos, “mungkin itu memang hobinya, Nuni.” Nuni melotot. Dia menggelengkan kepala kuat-kuat. “Memasukkan binatang langka di dalam kerangkeng bertutup kain kau bilang memelihara? Minos, aku bahkan yakin harimau itu dibius. Dia juga menyebut-nyebut soal anak orangutan.” “Hmm, Ni…Tarsius itu lebih suka cicak dan serangga daripada pisang,” tambah Rafi lagi sambil matanya terus menelusuri layar komputer. Dia tak menanggapi kata-kata sahabatnya, baik Nuni maupun Minos, dan lebih asyik dengan hasil penelusurannya sendiri. “Astaga, benarkah?” Nuni menoleh ke arah makhluk kecil dalam kandang yang hanya mengemah sedikit pisang yang disediakannya. Pantas saja. Nuni tadinya mengira tarsius itu sedang kenyang. Mendengar kata-kata Rafi yang berbarengan dengan seekor belalang yang bertengger di pintu, Minos dengan sigap melompat dan menangkupkan tangannya. Tap. Belalang itu tertangkap. Sambil tersenyum, diulurkannya belalang kecil itu pada tarsius di dalam kandang ayam. Si mata besar dengan wajah campuran antara monyet dan koala itu segera menyambar belalang dari Minos dan memasukkan ke dalam mulutnya dengan senang hati. Nuni tertawa. “Terimakasih, Minos. Lihatlah, dia kelihatan senang sekali,” katanya. Minos balas tertawa, “Ya. Pisangnya bisa kau ambil lagi, Ni,” katanya. “Aku mau! Aku si Monyet Besar,” seru Rafi dari pojok Gua Baca. Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Rafi. Sejenak lupa pada ketegangan mereka bertiga tadi. “Jadi, karena tarsius dan harimau putih itu binatang langka, kita akan menyelidiki Salon Queen, kan?” tuntut Nuni memandang kedua sahabatnya, meminta kepastian. Rafi mengerutkan kening sementara Minos menghela nafas. “Apa kita tidak dianggap usil nanti?” tanya Minos serius. “Kita tak akan ketahuan kalau hati-hati!” bantah Nuni. “Lebih baik kita laporkan saja pada polisi. Biar polisi yang melanjutkan penyelidikannya,” tambah Minos. “Tapi kita harus menyelidikinya terlebih dahulu sebelum melaporkannya pada polisi kan? Bagaimana mungkin kita melaporkan sesuatu yang kita belum tahu pasti apakah yang kita laporkan itu benar-benar kejahatan atau bukan. Iya kan?” Nuni masih ngotot dengan pendapatnya. “Begini. Kita akan menyelidiki Pak Koha dan tokonya lebih dulu.” Rafi mencoba memecah perhatian. “Itu tak lebih penting sekarang dibanding dengan penyelidikan kita di Salon Queen!” bantah Nuni. “Tentu saja penting,” Rafi membantah. “Apa pentingnya coba?” tantang Nuni. Rafi berpikir cepat. Dia benar-benar sepakat dengan pendapat Minos, kalau penyelidikan terhadap Salon Queen dan gudangnya bisa jadi lebih berbahaya dibandingkan dengan penyelidikan mereka atas toko Pak Koha. Bisa jadi justru mereka bertiga yang akan dilaporkan pada polisi jika dianggap pencuri yang menyusup ke gudang orang. “Ya tentu saja penting. Bukankah Mas Santo waktu itu sangat marah karena tahu kita menyelidiki Pak Koha? Kita kan tahu, kakak tiriku itu bekerja di Salon Queen dan bukan di toko pak Koha. Kenapa dia harus marah-marah pada kita waktu itu?” Rafi berharap alasannya ini terdengar sangat masuk akal bagi Nuni. Minos mengangguk setuju, “Aku setuju kita menyelidiki toko itu lebih dulu.” “Jika nanti hubungan Mas Santo dan toko Pak Koha telah kita temukan, aku berjanji kita akan menyelidiki Salon Queen setelahnya,” ujar Rafi kemudian mencoba mengulur waktu. Nuni melengkungkan bibirnya ke bawah dan berpikir. Beberapa saat kemudian dia mengangkat kedua tangannya, “Baiklah. Aku setuju.” Rafi dan Minos menghembuskan nafas lega. “Baiklah. Kapan kita memulai penyelidikan pertama kita?” Rafi mengedarkan senyuman. Dikeluarkannya buku catatan detektif dari sakunya dan mulai mencatat rencana mereka. Yogyakarta siang itu panas merata. Kotagede, tempat tinggal mereka tak luput dari teriknya matahari. Saking panasnya, jalanan terlihat berkilat dan tembok-tembok tua yang membentuk lorong-lorong tak lagi berbau lembab. Mereka bertiga berjalan kaki. “Apa yang akan kita beli di tempat Pak Koha galak itu?” tanya Minos. “Kita tak membeli apa-apa, Nos. Kita mau me-nye-li-di-ki,” tegas Nuni. “Memangnya kau kira Pak Koha itu mau kita selidiki begitu saja? Yang benar saja, Ni!” tukas Minos. Meski Nuni sangat manis, tapi Minos kadang-kadang kesal dengan sifatnya yang keras kepala dan kadang-kadang sok tahu. “Kita beli pensil aja ya, Ni,” Rafi mengusulkan. “Kok Ni?” tanya Nuni. “Kan kamu yang bayar,” ujar Rafi kalem. Minos tertawa sementara Nuni menarik sedikit rambut keriting Rafi. Rafi mengaduh. “Giliran bayar, aku! Giliran diomel-omeli, aku juga!” sungut Nuni. Tapi dia tak keberatan dengan usul Rafi. Tanpa diminta, dia pasti akan membayar sesuatu yang mereka beli. Bukan karena sok dan semacamnya. Melainkan karena Nuni tahu, uang sakunya berlipat-lipat lebih besar dibandingkan dengan mereka berdua. Rafi dan Minos juga tak sekedar memanfaatkan hal itu, tetapi sesungguhnya mereka bertiga sudah seperti saudara satu sama lain. Jika memiliki sesuatu, Rafipun tak segan-segan memberi sebagian untuk Nuni dan Minos, begitu pula Minos sebaliknya. “Nanti kau yang bertugas masuk ke dalam untuk menyelidiki sementara aku akan menyibukkan Pak Koha dan anaknya bersama Nuni,” kata Rafi pada Minos. “Aku?” tanya Minos dengan tatapan tak percaya. “Sendirian?” “Sssh…ya, tentu saja sendirian. Kalau aku dan Nuni ikut masuk, kita akan langsung ketahuan. Lagipula, diantara kita bertiga kaulah yang paling tidak bisa diandalkan untuk berbicara.” Rafi berkata dengan nada serius. “Aku tidak yakin apa aku bisa melakukannya,” keluh Minos, “belum-belum aku sudah merasa gemetar.” Minos menoleh ke arah Nuni. Tapi Nuni tak ada di sekitar mereka. “Lho, mana Nuni? Tadi kan dia di sini?” Minos melihat berkeliling. Rafi juga melakukan hal yang serupa. Dia benar-benar heran karena tak merasa kehilangan Nuni tadi. Tak lama, terdengar suara Nuni dari arah belakang mereka. “Kalian cepat sekali jalannya,” anak perempuan itu mengibaskan jilbabnya ke samping sambil merengut. Tangan kanannya menenteng kantung plastik. “Bagaimana sih?” tanya Rafi kesal, “Tumben jalanmu lambat sekali!” “Aku beli ini.” Nuni mengangkat kantung plastik itu di depan wajah Rafi, “Kipo!” Rafi dan Minos sontak berebut plastik itu. Ternyata benar kata Nuni. Ada enam bungkus kipo di dalamnya. “Aku tiga---Rafi tiga ya?” Minos bertanya sambil membuka bungkusan koran berlapis daun itu. “Tak tahu malu. Dua saja!” Nuni mengomel sambil cepat-cepat mengambil dua bungkusan bagiannya. “Kapan kau membelinya?” tanya Rafi sambil mencomot sebuah kipo dari bungkusan Minos. “Pasti kau sama sekali tak mendengarkan rencana kita,” sindir Rafi. “Ulangi lagi supaya Nuni mendengar, Rafi,” kata Minos dengan tenang. “Hu-uh. Kau ini. Baru kena kipo saja sudah membela Nuni,” ledek Rafi membuat wajah Minos bersemu merah mendengarnya. Rafi membuka bungkus kipo bagiannya. Kipo adalah makanan tradisonal asli Kotagede dari tepung ketan berwarna hijau, sebesar ibu jari, dan di dalamnya berisi parutan kelapa manis yang sebelum dibungkus dipanggang dulu di atas nyala arang hingga matang. Rasanya enak sekali dengan sedikit bau panggangan di lapisan luarnya. Satu bungkus berisi lima buah kipo. Meski mereka adalah anak-anak yang lahir di Kotagede, dibesarkan di Kotagede, tetapi mereka tak pernah bosan dengan jajanan ini. “Enak ya?” Nuni tersenyum senang melihat kedua sahabatnya yang kelihatan menikmati kipo bagian mereka. “He-eh,” jawab Rafi dengan mulut penuh. Kecil-kecil begini, Rafi dapat memasukkan lima buah kipo sebesar ibu jari sekaligus ke dalam mulutnya. Dia sibuk mengunyah sekarang. “Memang enak.” Bukan suara salah seorang di antara mereka. Rafi, Nuni, dan Minos menoleh bersamaan. Mas Santo, kakak tiri Rafi sudah berdiri sambil berkacak pinggang di belakang mereka. “Mau kemana, Mas?” tanya Rafi heran. Ini masih jam kerja dan kakaknya berada ke arah yang berlawanan dengan Salon Queen. “Seharusnya aku yang bertanya, kalian hendak kemana? Dari kejauhan aku melihat kalian berbisik-bisik mencurigakan.” Mas Santo mulai lagi dengan gayanya yang menjengkelkan. “Kami hendak ke…ad-duhh” Nuni menginjak kaki Minos, “Kami cuma jalan-jalan. Jajan kipo.” Nuni mengedikkan dagunya ke arah bungkusan yang dibawa Rafi, “Dan kami juga tidak berbisik-bisik. Kenapa Mas Santo selalu mencurigai kami?” Nuni juga menaruh kedua tangannya di pinggang dengan wajah galak. Dia masih sangat kesal karena Mas Santo memukul Rafi beberapa waktu lalu. “Kalian sendiri yang berbisik-bisik!” Suara Mas Santo semakin keras karena sadar Nuni sedang membantahnya. “Kami tidak berbisik-bisik. Mas Santo melihat kami dari kejauhan, tentu saja suara kami tak jelas ditangkap. Mas Santo sendiri bersikap mencurigakan. Bahkan Nuni yakin, Mas Santo seperti sedang mencari sesuatu. Nah, mencari apa?” serang Nuni tiba-tiba. Saat itu Nuni tiba-tiba teringat pada tarsius kecil yang sedang berada dalam kurungan ayamnya. Wajah Mas Santo merah padam mendengar pertanyaan Nuni. Sebenarnya benar sekali dia sedang mencari sesuatu. Dia sedang mencari tarsius yang tiba-tiba menghilang dari gudang. Tetapi mendengar pertanyaan Nuni yang tepat, dia mendadak sangat kesal. Seperti kebiasaannya jika kesal, dia ingin sekali memukul seseorang diantara mereka. Kalau bisa semuanya! Tapi Mas Santo tahu dia tak memiliki alasan sama sekali. Sial sekali karena tak seorangpun dari mereka dapat dipukulnya sekarang. “Halah! Sok tahu. Aku tak sedang mencari apa-apa. Minggir kalian!” sergahnya mendorong bahu Minos untuk meminta jalan. Sedetik kemudian, dia berhenti dan berbalik. Disambarnya bungkusan-bungkusan kipo yang masih tersisa dan digenggamnya erat-erat. “Ini buat aku. Kalian benar-benar tak sopan makan di jalanan!” Lalu Mas Santo melangkah cepat-cepat meninggalkan mereka. Sebelumnya, dilemparkannya pandangan mengancam pada mereka bertiga. Saat Mas Santo tak melihat ke arah mereka lagi, Nuni, Rafi, dan Minos mendengus perlahan. Mereka saling bertatapan satu sama lain sambil mencibirkan bibirnya. *** Toko Pak Koha sepi seperti biasa. Kakek tua itu juga tetap cemberut seperti hari-hari yang lain. Nuni, Rafi, dan Minos memilih untuk menjaga jarak dari toko terlebih dahulu untuk menyusun rencana. “Kita tidak kesana berbarengan.” Rafi mulai mengatur rencana. Anak laki-laki berambut keriting ini di sekolah bukanlah murid yang mendapat ranking satu di dalam kelas, melainkan anak yang cerdas dan banyak tanya. Nuni tahu, di sekolah Rafi bukan peraih nilai tertinggi, tetapi Rafi memiliki bakat kepemimpinan yang menonjol. Tak ada seorangpun teman sekelasnya yang keberatan Rafi terpilih menjadi ketua kelas. “Minos terlebih dulu kesana dan menanyakan pensil, maksudku mem-be-li-nya,” katanya pada Minos yang mengangguk lesu. “Nuni, minta dua ribu ya.” Nuni mengeluarkan selembar uang dua ribuan dari dompet bergambar stroberi. “Terimakasih,” lebar senyum Rafi pada Nuni, “Nanti pensilnya buat kamu deh, Ni. Anggap saja ini memang kebutuhanmu, tetapi kau membelinya lebih awal.” “Tak masalah.” Nuni mengibaskan tangan. “Nanti setelah Minos masuk, kita menyusul beberapa saat kemudian. Saat itulah, ketika Pak Koha dan anaknya disibukkan oleh aku dan Nuni, Minos berusaha masuk dan mencari sesuatu, apa saja yang sekiranya mendukung kecurigaan kita.” Selesai berkata demikian, Rafi mengulurkan uang dua ribuan pada Minos dan menyilahkan tangannya untuk berjalan ke arah toko kusam Pak Koha. Minos memasang wajah kenapa-aku-yang-harus-menyelinap dengan segan. Tapi anak laki-laki berbadan tegap itu tak berkata apa-apa lagi. Dia melangkah perlahan menuju toko Pak Koha. Saat dia menoleh ke arah Rafi dan Nuni, Rafi tersenyum lebar sambil mengacungkan ibu jarinya. Minos termangu-mangu sejenak ketika sampai di depan etalase toko. Dia menundukkan wajah ke arah tumpukan pensil selama beberapa saat dan merasa tak enak karena Mbak Intan, anak Pak Koha hanya menatap ke arah pensil-pensil seperti Minos, tanpa sedikitpun menanyainya. Dengan ekor matanya dilihatnya Pak Koha duduk di sudut, dekat dengan alat pancing, sedang membaca surat kabar lama. Pak Koha sama sekali tak berniat menggubrisnya. “Umm…saya lihat pensil yang ini, Mbak,” ujar Minos lirih. Anak Pak Koha mengambilkan pensil yang dimaksud. “Bukan 2 B ya, Mbak?” tanya Minos sambil matanya terus memandangi etalase. Anak Pak Koha mengambil pensil bertulis kecil berwarna biru-hitam. Rafi dan Nuni mulai menyeberang. Mereka kini telah berada di depan pintu masuk toko. Minos mengamati pensil itu dengan cermat, “Nggak ada yang lebih murah, Mbak?” Mbak Intan, anak Pak Koha, menggeleng. Minos mencoba berpikir, kalimat apa yang dapat ditanyakannya yang tak dapat dijawab dengan anggukan dan gelengan. Lalu dia bertanya, “Nama Mbak siapa?” Selama beberapa detik dia memandangi Minos dengan bimbang. “A-a-ak-kkuuu…,” Minos melihatnya bernafas beberapa kali, “I-i-i-ntann.” Lalu gadis yang umurnya kira-kira sama dengan Mas Santo itu menghembuskan nafas dengan lega. Minos terkejut. Ternyata anak Pak Koha ini gagap. Barangkali ini yang membuatnya tak ingin sering-sering berbicara dengan orang lain dan memilih menggunakan bahasa isyarat saja. Minos menoleh. Mencoba mencari-cari Rafi dan Nuni. Tetapi ternyata kedua sahabatnya sudah berada persis di belakangnya. Mereka juga turut mendengar suara anak Pak Koha yang gagap. Dari raut wajah mereka, Minos tahu mereka merasa tak enak hati telah menuduh gadis itu adalah alien. Rafi masuk ke dalam toko dan menyapa Pak Koha. Mengingat pertemuan terakhirnya dengan Pak Koha berakhir dengan pelototan yang diterimanya dengan ketakutan, maka sapaan ini benar-benar kemajuan yang sangat dahsyat bagi dirinya. “Assalamualaikum, Pak Koha,” Rafi tersenyum lebar di antara pipi tirusnya. Senyum paling lebar yang bisa menyembunyikan lututnya, yang sebenarnya mulai gemetar. Pak Koha mengerutkan keningnya hingga alisnya yang tebal dan beruban bertaut. Ditaruhnya surat kabar di tangannya dengan perlahan. “Saya mau beli ehm…sesuatu, Pak,” tambahnya lagi. Mulai gugup karena Pak Koha mengawasinya tanpa berkata apa-apa. Pantas saja toko ini tak laku. Tikus saja dijamin takut masuk kesini, batin Rafi dongkol. Pak Koha tak menjawab. Dia justru melirik jam dinding kayu berbandul dan memberi isyarat tangan pada anaknya. Mbak Intan mengangguk dan berdiri cepat setelah mengambil selembar sepuluh ribuan dari laci meja kasir. Minos mengacungkan pensil pilihannya dan mengangsurkan dua ribuan. Gadis itu menerima dan memberi kembalian seratus rupiah. “Mau kemana, Mbak?” tanya Minos. Mbak Intan memberi isyarat seolah-olah sedang memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Dia diminta ayahnya untuk mencari makan. Lalu gadis itu melangkah pergi dari toko. Minos paham dan hatinya berdegup senang melihat perkembangan ini. Akan lebih mudah menyelinap jika Pak Koha sendirian tanpa anaknya. Nuni dan Rafi yang juga menyadari hal itu ikut tersenyum diam-diam. Nuni mendekat pada Pak Koha dan bertanya, “Apa Pak Koha punya kaos tangan polos warna oranye, Pak?” tanyanya dengan manis, “yang untuk menyambung baju itu lho, Pak.” Rafi mengangguk-angguk dengan wajah serius sementara Pak Koha membungkuk untuk mencari. Saat Pak Koha membungkuk, Minos mengambil celah kecil jalan di balik tumpukan buku dan sandal. Anak laki-laki berbadan besar itu merangkak dengan lincah melalui belakang punggung Pak Koha yang sedang berusaha memilih warna di antara tumpukan kaos tangan yang terikat oleh tali rafia. Rafi menahan nafas melihat aksi Minos, “Oh ya, saya juga beli…ehm,” Rafi cepat-cepat menengok benda apa yang terletak di dekat kaos tangan, “Jepit rambut! Yang pink bergambar bunga-bunga itu Pak. Itu kelihatan…ehm, cantik sekali.” Nuni menatapnya dengan tawa yang hampir-hampir tak dapat ditahan. Rafi melotot. Minos masuk melalui pintu di belakang Pak Koha dengan selamat. Di dalam, Minos masih mendengar bantahan Nuni dengan suaranya yang berusaha semanis mungkin, tentang sarung tangannya yang hanya sebelah sementara yang sebelahnya lagi tak ada. Kadang-kadang Nuni bisa sangat licik, batin Minos geli. Ruangan belakang toko Pak Koha ternyata bukan kamar, melainkan seperti ruang tamu dengan meja kayu kuno bundar dan empat buah kursi bersandar. Ada sebuah lemari berkaca besar di sisi kanan dan kiri ruangan. Sebuah lukisan bergambar hutan menambah sunyi ruangan yang terasa kaku ini. Minos melangkah semakin ke dalam. Ruangan ini bukan pula kamar. Ruangan yang ini terkesan kosong. Hanya sebuah karpet tua yang warnanya mulai pudar dan sebatang tombak yang disandarkan di sudut dinding. Minos sempat meraba gagang tombak itu dan sedikit debu menempel di tangannya, menandakan tombak ini telah lama dibiarkan begitu saja bersandar di sana tanpa seorangpun membersihkannya, atau paling tidak menyentuhnya. Kamar tidur terletak di bagian belakang, tak jauh dari bagian belakang rumah. Bangunan rumah Pak Koha ternyata memanjang dengan ruangan yang ditata satu persatu hingga berujung pada kamar mandi yang berhadapan dengan dapur, membentuk huruf ‘L’ Minos agak kecewa karena tak menemukan apa-apa. Tak ada sesuatupun yang kelihatannya pantas diselidiki di sini. Pertama, mereka tahu kini bahwa Pak Koha dan anaknya bukan alien. Mbak Intan hanya gagap dan Pak Koha mungkin terlalu menyayanginya hingga tak ingin membuatnya terlalu banyak bicara sehingga dia juga diam saja. Kedua, tak ada satupun lorong di sini. Jangankan lorong, pintunya pun tak ada. Rafi dan Nuni memang pengkhayal kelas berat. Minos memutuskan untuk kembali ke depan segera dan menyelinap keluar selagi Rafi dan Nuni masih menyibukkan Pak Koha dan anak Pak Koha belum kembali dari warung nasi. Dia melangkah cepat-cepat melewati ruang demi ruang. Ketika tiba di ruang tombak, karena terburu-buru, kakinya tersandung ujung karpet yang melengkung karena saking usangnya. Minos hampir kehilangan keseimbangan, tetapi tubuhnya yang terbiasa tangguh tak mudah terjatuh. Dia membungkuk untuk membetulkan kembali letak karpet yang tergeser oleh sandungan kakinya. Tapi sebuah kejanggalan tertangkap olehnya. Di balik karpet itu, tepatnya di tempat karpetnya tergeser, ada sebuah garis lantai yang sangaaat halus. Minos mengangkat karpet itu dengan penasaran. Garis sangat halus tadi ternyata berbentuk persegi panjang. Ada dua tanda X yang juga sangaaat tipis berada di tengah-tengah persegi panjang itu. Minos meraba tepian garis dan dalam beberapa detik dia yakin bahwa garis itu bukan sekedar garis pemisah antar lantai melainkan potongan. Dia berusaha mencongkel potongan lantai itu menggunakan kukunya. Tentu saja tak berhasil. Dengan tak sabar, karena terburu-buru, disingkapkannya karpet tua itu sehingga seluruh bagian persegi panjang yang mengiris lantai terlihat sepenuhnya. Dia memandangi lantai itu dengan bingung, mencoba mencari cara bagaimana membukanya. Minos menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia benar-benar kesal dan jengkel pada dirinya sendiri karena sama sekali tak memiliki sedikitpun petunjuk bagaimana membuka potongan lantai itu. Kakinya mulai menginjak lantai dengan asal-asalan. Tetapi semakin keras dia menjejak, lantai itu semakin teguh bergeming. Akhirnya Minos berhenti menjejak dan hanya berdiri tegak di sana sambil berpikir. Dia merasa semuanya ini sia-sia. Apa yang akan dikatakannya pada Rafi dan Nuni? Mereka pasti akan mengomelinya sampai sisa hidupnya berakhir jika dia berkata menemukan sebuah potongan lantai terkunci dan tak dapat membukanya. Mereka pasti akan…Hei! Tunggu! Apa ini? Suara berdesing halus terdengar bersamaan dengan potongan lantai persegi panjang yang turun perlahan ke bawah. Dalam waktu singkat, seluruh ruangan seperti hilang dan berganti dengan lapisan tangga sepanjang satu meter sebelum menyentuh lantai yang diapit dinding batu di sisi kanan dan kiri. Sebuah lantai yang panjang dan entah menuju kemana. “Lorong rahasia…,”desisnya. Jantungnya berdegup kencang. Hawa dingin membanjiri seluruh pori-porinya. Anak laki-laki umur 12 tahun itu begitu antusias sekaligus ketakutan. Dia melompat turun dari lantai persegi panjang yang diinjaknya, dan segera menyadari bahwa kedua kakinya tadi tepat menginjak kedua huruf X---huruf itu ternyata sebuah tanda dimana kaki harus diletakkan jika ingin pintu lorong terbuka. Minos tak membuang waktu. Dengan keremangan cahaya yang didapatnya dari atas Ruang Karpet dan Tombak, dia berlari di dalam lorong. Tetapi semakin lama, dia semakin kehilangan cahaya. Ruangan di atasnya telah menghilang dan beberapa langkah ke depan, lorong semakin terlihat pekat. Melihat kegelapan yang sepertiya tak berujung, Minos tak lagi melangkah lebih jauh, dia tak mau mengambil resiko. Dia tidak tahu dimana lorong itu berakhir. Jika dia terlalu lama di tempat ini, Rafi dan Nuni akan sulit melindunginya. Bahkan mungkin saja keduanya ikut celaka. Minospun memutuskan untuk kembali. Baru beberapa langkah, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah puntung rokok yang tergeletak di tempat itu. Sebuah puntung yang belum habis benar dan bengkok seperti ditekan pada sesuatu. Minos memungutnya dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam kantung celananya. Tak jauh dari tempat puntung itu berada, Minos melihat sehelai benang panjang berwarna hitam. Tadinya dia sempat bergidik dan mengira itu adalah rambut kuntilanak dan semacamnya. Tetapi setelah menyadari kalau itu hanyalah benang, dia cepat-cepat memasukkannya ke dalam celana. Barangkali saja benda-benda sederhana ini adalah petunjuk. Ya, siapa tahu? Sayang sekali Minos tak tahu, dimanakah lorong ini berujung. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini agar tak ketahuan. Soal ujung lorong ini, bisa didiskusikan dengan Rafi dan Nuni nanti. Minos berlari cepat-cepat ke pintu lorong, menaiki tangga, dan akhirnya kembali berdiri di atas potongan lantai persegi panjang. Kedua kakinya berdiri tepat di atas huruf X dan tiba-tiba dengan suara desingan halus yang serupa tadi, lantai batu itu kembali terangkat dan menutup lorong di bawahnya. Membawa Minos muncul di Ruang Karpet dan Tombak. Dengan berdebar-debar, Minos melangkah ke depan. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu depan toko dan dia harus melewati Pak Koha. Minos semakin dekat. Samar-samar didengarnya suara serak seorang laki-laki. Lalu ditimpali suara renyah Nuni. Suara itu semakin jelas ketika jarak mereka semakin dekat. “Saya lebih suka payung yang ada renda-rendanya, Pak Koha.” Itu suara Nuni. “Tidak ada. Kalau yang gambar Naruto, mau?” Itu suara serak yang tadi didengar Minos samar-samar. Astaga. Pak Koha berbicara dengan normal seperti manusia lainnya. Ajaib. Detik itu juga wajahnya tertangkap oleh Nuni dan Rafi yang sontak melotot melihatnya. “Oh ya Pak Koha,” Nuni berlagak mencari-cari benda di etalase terbawah agar Pak Koha menunduk, “Saya ingin peniti yang kecil-kecil untuk jilbab itu, Pak.” Pak Koha kembali membungkuk, entah untuk keberapa kalinya. Nuni mengedipkan mata ke arah Minos dan Minos pun cepat-cepat menyelinap di belakang punggung Pak Koha. “Penitinya 18 ya Pak.” Pak Koha menghitung peniti yang tersebar di dalam sebuah kotak plastik kecil. Sementara itu punggung Minos sudah menghilang di balik tumpukan kardus. Untung Mbak Intan, anak Pak Koha belum kembali dari warung nasi. Anak laki-laki itu merangkak dengan cepat dan keluar dengan selamat di samping kaki Rafi. Rafi menghembuskan nafas lega. Begitu juga dengan Nuni dan Minos. “Kami sudah selesai belanjanya Pak. Berapa jumlah seluruhnya?” Nuni bertanya. Pak Koha memasukkan semuanya ke dalam tas plastik besar. “Seratus delapan ribu rupiah,” jawabnya dengan suara serak yang ramah. Nuni mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Dia tersenyum ke arah Pak Koha, lalu melemparkan pelototan matanya ke arah Rafi dan Minos. “Terimakasih,” ucap Pak Koha sambil mengangsurkan kembalian. “Kami pulang dulu, Pak,” pamit Nuni. Saat mereka hendak keluar dari toko, mereka bertiga berpapasan dengan anak Pak Koha yang baru saja kembali dari warung nasi. Gadis itu heran melihat mereka masih berada di sana. Lebih heran lagi melihat Nuni membawa tas plastik ukuran terbesar yang penuh dengan belanjaan. “Mm-emm-bo-bo-borrong?” tanyanya. Wajahnya senang. Nuni tersenyum kecut. Ketika mereka telah menyeberang jalan dan pergi cukup jauh dari toko kusam Pak Koha, Nuni mendesis penuh ancaman. “Sebaiknya Minos membawa hasil penyelidikan yang bagus, karena aku telah membayar sangat mahal!” Rafi menatap Minos dengan pandangan memohon. Sementara itu Minos terbengong melihat isi tas yang dibawa Nuni. Karet rambut, jepit, peniti, gitar plastik mainan, pancing, sandal jepit, kertas karton, sikat lantai, pot plastik, dan entah apa lagi. Pantas saja Pak Koha mendadak ramah. Binatang Langka Seperti biasa mereka berkumpul di Gua Baca. Kali ini mereka tak bertiga melainkan berempat. Nuni, Rafi, Minos, dan tarsius yang kini menyandang nama baru, Kiyut. Nuni tak terlalu sering mengurungnya kini setelah tahu, bahwa tarsius tak suka berada dalam kurungan dan bisa mencelakai dirinya sendiri jika terkena stres. Nuni kini memasangkan karet lunak di sekitar perut si Kiyut dan mengikatkan karet lunak itu pada seutas tali yang cukup panjang yang dikaitkan di jeruji jendela Gua Baca, agar Kiyut dapat bergerak leluasa. Bahkan karena tidak dikurung, Kiyut dapat menangkap cicak sendiri dan memakannya dengan lahap. Mereka bertiga, terutama Nuni, semakin jatuh hati pada Kiyut dan berjanji akan merawatnya baik-baik sebelum Kiyut menemukan tempat yang lebih baik dibandingkan dengan rumah Nuni. Kiyut juga kelihatan senang si tempat ini. Jika Nuni tak ada, Mas Udin akan merawat Kiyut dengan senang hati di sela-sela kesibukannya merawat taman keluarga Nuni. Minos mengeluarkan benda-benda temuannya dari dalam saku celananya. Sebuah puntung rokok dan sehelai benang panjang berwarna hitam. Kiyut mendekat dan mencium puntung rokok itu dengan wajah lucu, dan Minos mendorongnya dengan lembut. “Ini yang kutemukan di dalam lorong itu.” Minos menatap mereka berdua dengan serius, “Kurasa tak ada harta karun secuilpun di sana meski benar bahwa ada lorong bawah tanah di tempat itu.” Tanpa sedikitpun ingin mengurangi kesenangan mereka, Minos menambahkan, “Jadi…kita akan memutuskan sekarang kalau mereka juga bukan alien kan?” Nuni dan Rafi melihat ke arah Minos dengan takjub. Sebuah lorong rahasia yang benar-benar ada telah menguras seluruh kekaguman mereka dan siap mereka berikan seluruhnya pada Minos. Mereka bahkan telah lupa sama sekali teori tentang harta karun dan alien. “Seperti apa lorong itu?” tanya Nuni dengan suara bergetar. Nuni dan Rafi mencondongkan badannya ke arah Minos dengan sangat-sangat tertarik. Minos dengan gugup menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Minos benar-benar bingung harus bagaimana menjelaskan pada teman-temannya. Minos bukanlah anak yang pintar menggambarkan sesuatu seperti yang dilihatnya sehingga dia yakin ceritanya tak akan memuaskan Rafi dan Nuni. “Ya, begitu deh!” “Begitu bagaimana? Yang jelas dong kalau cerita!” protes Nuni sambil memonyongkan bibirnya dengan kesal. Wajah Minos memerah diomeli Nuni. “Umm…panjang…dan aku tak tahu dimana lorong itu berakhir. Tapi aku menggambar denah rumah Pak Koha untuk kalian.” Minos menunjukkan denah rumah yang digambarnya dengan tergesa. “Lalu kau menemukan benda-benda ini?” Rafi menunjuk ke arah kedua benda yang dibawa Minos dan Minos mengangguk. “Aku menemukannya tak jauh dari pintu masuk lorong.” Rafi mendekatkan puntung rokok itu ke hidungnya. “Bau mint.” “Merknya Mind,” tambah Nuni sambil menunjuk sebuah tulisan kecil di sana. Nuni mengerutkan dahi seperti mengingat-ingat sesuatu, “Dimana aku pernah melihat puntung seperti ini ya?” “Kalau aku sering,” cetus Rafi, “Mas Santo juga merokok dengan rokok merk yang sama dengan ini.” Rafi mengamati puntung rokok itu dengan seksama, “Puntung ini sebenarnya belum habis benar. Tetapi orang yang menghisapnya sudah mematikan dan menekannya sebelum rokok ini sampai ke batas filternya, sehingga bentuknya menjadi bengkok seperti ini. Mirip dengan cara merokok Mas Santo.” Nuni menepuk dahinya keras-keras. “Aku baru ingat sekarang!” serunya. Lalu dia berlari ke dalam rumah meninggalkan Rafi dan Minos yang terbengong-bengong melihat tingkahnya. Sambil berlari Nuni memanggil-manggil ibu Rafi yang sedang bekerja di dalam, “Mak Sri! Mak Sri!” Mak Sri, perempuan setengah baya yang bertubuh gemuk, berkulit hitam, berambut sekeriting Rafi dan berwajah ramah menoleh pada teriakan Nuni. “Ada apa teriak-teriak seperti itu?” tanyanya dengan bingung. Khawatir kalau-kalau Nuni, atau Minos, atau Rafi bertengkar hingga salah satu di antara mereka menangis. Kekhawatiran Mak Sri tak pernah berubah sejak mereka bertiga masih sangat kecil. Nuni tergopoh-gopoh menghampiri Mak Sri. “Mak… Mak… Mak mencuci baju Nuni waktu ibu menyuruh Nuni membeli gula dan telur dua hari yang lalu tidak?” Mak Sri mengerutkan keningnya dengan wajah bingung, “Ya, mestinya iya to Ni. Tapi Mak lupa baju yang mana?” Nuni mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. “Baju itu bersaku di bagian depan. Waktu itu, Nuni memasukkan puntung rokok di sana!” Mak Sri mendadak seperti diingatkan oleh kata-kata Nuni. “Ooh, yang itu? Itu baju kaos putih yang tulisannya Im a girel…” “Aim e gell, Mak.” Nuni membetulkan bacaan I’m a Girl di kaos putihnya, “Ya, yang itu.” “Tentu saja puntungnya sudah Mak buang. Buat apa sih memasukkan puntung-puntung begitu di dalam kantung baju?” Nuni mengeluh dengan kesal sambil berlari meninggalkan Mak Sri, ke arah tempat sampah plastik di samping mesin cuci. Semoga saja dia masih bisa menemukannya. Mak Sri menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Di dekat mesin cuci, Nuni membongkar isi tempat sampah yang berisi bungkus pewangi, bungkus sabun cuci, sikat gigi bekas, dan lainnya. Lalu dia menemukan sebuah puntung rokok yang basah di dasar tempat sampah. Dipungutnya segera dan Nuni segera kembali ke Gua Baca. “Wah, ini puntung dengan merk yang sama,” kata Rafi kaget. “Memangnya dimana kamu menemukan puntung ini, Ni?” Nuni menjawab dengan perasaan sedikit bersalah, “Sebenarnya, itu kuambil di asbak dalam gudang Salon Queen saat aku hendak mengembalikan Kiyut, tetapi kemudian aku melihat seekor harimau di dalam kandang dan aku lari begitu saja membawa Kiyut…sekaligus lupa sama sekali kalau aku membawa-bawa puntung di dalam sakuku.” Rafi mengamati puntung basah itu dengan seksama. “Coba kalian lihat kesamaannya. Puntung rokok yang ditemukan Nuni dan puntung rokok yang ditemukan Minos memiliki bentuk yang mirip. Keduanya sama-sama berhenti sebelum garis filter dan ditekan kuat-kuat sehingga bentuknya bengkok seperti ini.” Rafi mengeluarkan buku catatan detektif dari sakunya sambil menanggapi kata-kata Nuni sebelumnya, “Ya. Aku maklum kalau kau sampai lupa. Aku bahkan juga lupa kalau harus sering-sering mencatat setiap penemuan kita.” “Aku akan mencatatnya sekarang,” kata Rafi dengan nada meminta maaf. Dengan tekun ditulisnya semua di buku catatan detektifnya. Fakta Tentang Rokok: 1. Nuni menemukan puntung rokok di gudang Salon Queen saat hendak mengembalikan Kiyut. Merk rokok itu: Mind rasa mint. *sebagai tambahan puntung rokok, Nuni membawa pulang seekor tarsius. Dia juga melihat seekor harimau putih di dalam kerangkeng bertutup kain hitam. 2. Minos menemukan puntung rokok di lorong bawah tanah toko Pak Koha (yang ternyata sepertinya kakek galak itu bukanlah alien) saat penyelidikan harta karun (yang ternyata menurut Minos tak ada). Merk rokok itu: Mind rasa mint. *sebagai tambahan puntung rokok, Minos juga membawa sehelai benang warna hitam yang belum ketahuan darimana asalnya. 3. Rafi (aku yang ganteng) mengatakan pada mereka bahwa Mas Santo biasanya merokok dengan rokok yang sama persis dengan yang ditemukan oleh Nuni dan Minos, yaitu: Mind rasa mint. a. Kesamaan yang didapatkan adalah : Puntung rokok merk Mind rasa mint. b. Keduanya sama-sama ditekan sebelum garis filter dan bentuknya tertekuk. c. Kecurigaan yang mengarah pada Mas Santo, karena setahu Rafi (aku), cara Mas Santo merokok persis sama dengan itu Fakta Tentang Salon Queen: 1. Gudang salon bukanlah tempat menyimpan krim perawatan kulit yang akan dikirim ke seluruh Indonesia, paling tidak saat itu Nuni tak melihatnya. 2. Ada harimau putih dan tarsius di dalam gudang---keduanya adalah binatang langka. Fakta Tentang Toko Kusam, Pak Koha, dan Mbak Intan: 1. Agaknya jelas sebuah kekonyolan jika mengira Pak Koha dan Mbak Intan adalah alien. 2. Juga agak konyol mengira di lorong bawah tanah terdapat harta karun, karena ternyata kenyataannya Minos hanya menemukan puntung rokok dan sehelai benang hitam---meski ternyata benar di bawah rumah Pak Koha terdapat sebuah lorong bawah tanah. 3. Pak Koha hanya bertampang seram dan tak suka berbicara, Mbak Intan berbicara gagap sehingga mungkin membatasi pembicaraannya. “Rasanya ini dulu yang kita catat,” putus Rafi sambil menyimpan kembali pulpennya ke dalam saku. “Mbak Nuni!”Itu suara Mas Udin. Nuni menoleh, “Ada apa, Mas?” “Ibu minta ditemani krembat tuh. Mbak Nuni disuruh siap-siap.” Mas Udin berkata sambil menunjuk ke arah ruang dalam. “Creambath maksudnya? Di salon? Salon mana?” tanya Nuni menegaskan. Mas Udin mengingat-ingat, “Itu lho, salon baru punya Bu Lissi---yang cantik….yang wajahnya licin banget.” Mas Udin nyengir lebar sekali ketika mengatakannya. “Bu Lissi yang punya Salon Queen?” sambar Nuni segera. Mas Udin mengangguk membenarkan. Nuni menoleh pada kedua sahabatnya. “Ada yang mau ikut ke Salon Queen?” Minos dan Rafi berpandangan. Sesaat kemudian Minos menggeleng, “Aku harus pulang. Kasihan kalau Bapak pulang dan tak ada yang membuatkan teh panas.” “Kita bisa me-nye-li-di-ki Salon Queen,” bisik Nuni, “Siapa tahu ada yang mencurigakan lagi sebagai tambahan catatan detektif kita.” Minos tetap menggelengkan kepala. Bahkan sekarang Minos telah berdiri dan bersiap untuk pulang. “Aku benar-benar tidak bisa ikut. Maaf,” sesalnya. Minos melihat ke arah Rafi, “Ayo, Fi. Mau ikut pulang, nggak?” “Aku akan mengikuti Nuni dan ibunya dari jauh,” lalu dia berkata pada Nuni, “Nanti, begitu ibumu masuk ke dalam salon, maka kau harus keluar dari sana. Katakan kau ingin berjalan-jalan di sekitar sana atau apa. Nanti kalau ada kesempatan, kita akan masuk ke gudang itu untuk menyelidiki kerangkeng Harimau Putih itu.” Seperti biasa, Rafi yang merencanakan langkah mereka. “Untuk saat ini, Minos bisa pulang dulu. Kurasa baik juga karena Minos jadi bisa memikirkan rencana bagaimana membawa kita ke dalam lorong itu. Entah kenapa aku sangat yakin kalau Mas Santo ada hubungannya dengan lorong bawah tanah itu.” Rafi terlihat begitu serius saat mengatakannya. Nuni yang senang dengan usul Rafi segera menyetujui rencana itu. “Baiklah, kalau begitu Rafi pergi dulu deh ke sana. Aku akan bersiap-siap dulu.” Lalu dia melambaikan tangan pada kedua sahabatnya saat didengarnya suara ibu yang memanggilnya dari dalam rumah. Salon Queen sedang penuh. Kapster salon yang seumuran dengan Mbak Yati, pegawai Ibu, tersenyum manis ketika melihat Ibu. “Ibu yang kemarin membuat janji creambath lewat telepon ya?” dia menanyakan itu sambil menarik sebuah kursi untuk Ibu. Ibu mengangguk sambil tersenyum lebar ke arah beberapa pengunjung salon lain yang sedang berada di kursi tunggu. “Mari masuk bu, ada ruangan khusus di balik tirai karena Ibu mengenakan jilbab,” katanya sambil menunjuk sebuah ruangan kecil yang berbatas tirai dengan ruangan lain. Ibu melangkah masuk ke dalam tirai dan duduk di sebuah kursi yang disediakan. Salon yang pintar menarik pelanggan, batin Nuni. Pemilik Salon Queen tahu bagaimana cara memperlakukan pelanggannya yang kebanyakan adalah orang-orang Kotagede. Hampir sebagian besar penduduk Kotagede berjilbab, bahkan sejak usia anak-anak dan remaja. Mereka akan merasa nyaman jika pergi ke salon yang memiliki tempat tertutup untuk memotong dan merawat rambut. Pantas saja pada jam-jam tertentu salon ini laris sekali sehingga Ibu harus menelepon untuk mendapat tempat. “Ibu, aku menunggu di luar boleh kan?” tanya Nuni. Ibu mengangguk. “Jangan terlalu jauh.” Ibu berpesan. Tetapi sesungguhnya Nuni yakin Ibu tak akan terlalu ingat padanya jika sudah keenakan dipijat. “Iya.” Nuni keluar dari ruang salon dan melangkah hingga ke tepi jalan. Dia melihat Mas Santo keluar dari dalam gudang dan pergi ke arah pasar. Nuni segera memalingkan wajahnya agar Mas Santo tak sempat melihatnya. Dia paling malas berurusan dengan kakak tiri Rafi. Sementara itu matanya berkeliling mencari-cari Rafi yang tadi berkata akan berangkat lebih dulu. “Ssssstttt…” Nuni terlonjak kaget mendengar suara di dekat telinganya. Ternyata Rafi. “Bikin kaget!” omelnya. Nuni sudah akan mengomel lebih panjang lagi tetapi Rafi yang sudah sangat hafal cepat-cepat menunjuk ke arah gudang salon Queen. Mereka berdua melihat Tante Lissi turun dari sedan Mazda2 warna hijau permen. Tante Lissi sedang berbicara melalui telepon. Dia menengok ke arah salon Queen dan setelah menyadari salon itu penuh dengan pengunjung, maka Tante Lissi memilih untuk masuk melalui pintu gudang. “Itu Tante Lissi,” bisik Nuni. “Cantik ya?” bisik Rafi. “Kau ini sama saja dengan Mas Udin,” ledek Nuni. “Dan yang lebih penting lagi, selain cantik Tante Lissi juga pelupa,” Rafi berkata. “Pelupa?” Nuni kebingungan. “Itu!” tunjuk Rafi ke arah pintu gudang. “Karena sibuk menelepon, Tante Lissi lupa menutup pintu gudang.” Nuni tersenyum lebar. “Ayo! Mumpung Mas Santo juga sedang tak menjaga gudang,” katanya sambil berlari mendahului Rafi. Rafi mengikuti lari Nuni. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, kedua anak itu buru-buru menyelinap masuk melalui pintu gudang. Tante Lissi telah masuk melalui pintu belakang gudang yang menuju ruangan dalam rumah. Tak ada seorangpun di dalam sana yang berada di gudang sehingga Nuni dan Rafi merasa cukup aman. Keadaan gudang itu berbeda dengan terakhir kali saat Nuni menyelinap ke sana. Tak ada lagi meja di sana. Tak ada kerangkeng yang ditutup dengan kain hitam. Hanya ada puluhan kardus bekas air minum kemasan ditata rapi di dekat dinding. Nuni mengendap-endap menghampiri kardus itu. “Tidak disegel,” bisiknya pada Rafi. “Apakah kita harus membukanya?” “Buka saja. Cepat.” Rafi melongok ke arah pintu belakang gudang dengan cemas. Nuni dengan sigap membuka tutup kardus dan…dia menghembuskan nafas dengan kecewa. Dilihatnya puluhan wadah berwarna putih bergambar seorang ratu bermahkota. Tutupnya bertuliskan Lulur Mandi. Tutup yang lain bertuliskan Pelembab dan Krim Malam. “Isinya benar-benar krim perawatan kulit,” bisik Nuni. Wajahnya terlihat kecewa. Rafi mengerutkan dahi, “Kalau begitu kita harus segera keluar dari tempat ini. Aku takut kalau kita nanti ketahuan,” bisiknya. Rafi bertambah cemas karena sayup-sayup terdengar suara ringtone telepon genggam. Tante Lissi mengangkatnya dan berbicara kembali. Tak terlalu jelas tetapi cukup untuk membuat Rafi semakin cemas. Nuni masih menggeser beberapa kardus, tetapi tak membukanya. “Aku akan lihat kardus yang di sebelah sana dan kita akan keluar segera,” janjinya. Nuni berjalan memutari tumpukan kardus krim perawatan kulit dan menuju tumpukan yang di ujung kanannya. Digesernya kardus itu mendekat ke kakinya. Nuni kaget saat tangannya menggeser kardus itu. “Yang ini ringan. Maksudku, lebih ringan dari yang tadi.” “Cepatlah, Ni,” desak Rafi dengan panik. Suara Tante Lissi semakin jelas. Barangkali dia sudah ada di belakang pintu sambungan antara gudang dan ruang dalam. Nuni bergegas membuka tutup kardus itu. Kali ini bukan hanya Nuni, tetapi mereka berdua terkesiap. Seekor binatang bermata hitam, berkaki empat itu mendongak menatap mereka. Binatang itu duduk di atas tissue toilet yang telah diurai sehingga menjadi alas yang cukup empuk baginya sementara berada di dalam kardus. Rafi mendengar Tante Lissi membuka gagang pintu. Tante Lissi masih berbicara melalui telepon genggamnya. “Lari! Sekarang!”desis Rafi sambil menyeret lengan Nuni. Mereka berdua lari tunggang langgang keluar dari dalam gudang. Tepat saat mereka berdua menutup pintu depan gudang, Tante Lissi membuka pintu sambungan antara belakang gudang dan ruangan dalam. Nuni dan Rafi berlari dan berhenti tepan di depan pintu masuk Salon Queen. Nafas mereka terengah-engah. Campuran antara ketakutan dan senang. “Tadi itu…tak semuanya krim..huh…haah…” desis Nuni. Jantungnya berdetak kencang. “Benar..hah…kita bahkan melihat kucing atau musang ya? Di sana…huh…” Rafi terengah menambahkan. Nuni memukul bahu Rafi perlahan. “Tadi itu bukan kucing…dan bukan juga musang,” Nuni mengatur nafas, “Itu tadi seekor Kukang. Kukang itu binatang langka.” Rafi mengambil nafas. Dia mengerutkan keningnya. Saat dia berpikir keras, Nuni selalu melihat sorot mata yang sangat serius di sana. “Kita laporkan pada polisi, Ni.” “Sekarang?” tanya Nuni kaget, “Kenapa?” “Tak ada seorangpun yang akan memelihara binatang dalam kardus seperti mereka, Ni. Ada yang aneh. Entah kenapa aku mencurigai mereka sebagai penyelundup satwa langka. Pertama, kamu menemukan Tarsius, lalu Harimau Putih, juga mendengar tentang anak orangutan yang akan dikirim ke suatu tempat, dan terakhir kita menemukan Kukang.” Rafi berkata dengan serius, “Meski semua ini hanyalah kecurigaan saja, tetapi polisi harus tahu bahwa di dalam gudang ini ada binatang langka. Itu saja dulu. Soal mereka bersalah atau tidak, tapi kita hanya bertugas memberitahukan.” “Yah, terserah kau saja,” kata Nuni. Ibu masih lama berada di dalam salon. Mungkin sekitar 45 menit lagi. Ada banyak waktu untuk menelepon polisi. “Mana teleponnya?” Rafi menadahkan tangan. “Pakai teleponku?” tanya Nuni. “Ya iyalah, siapa lagi?” tukas Rafi gemas. Nuni dengan ragu mengulurkan telepon genggamnya. Nuni sama sekali tak memasalahkan pulsa teleponnya yang akan berkurang, tetapi dia teringat pada Ibu yang kini sedang berada di dalam salon dan mungkin akan memarahinya habis-habisan karena dia menyelinap ke dalam gudang milik orang lain. Sekarang bahkan mereka akan memanggil polisi. Hati Nuni benar-benar merasa tak enak. “Aku takut dimarahi Ibu, Rafi,” Nuni melihat ke arah salon. “Menurutku, justru Ibumu akan sangat bangga kalau tahu kejahatan ini bisa kita bongkar. Begitu pula Mamakku.” “Tapi, tapi, kakak tirimu bekerja di tempat itu Rafi,” cetus Nuni. “Mas Santo sebenarnya sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Tetapi dia selalu bersikap kasar pada aku dan Mak. Kalau dia memang benar melakukan kesalahan, biarlah dia mendapat hukumannya. Aku juga ingin melindungi Mak, Ni.” Rafi berkata demikian percaya diri sehingga Nuni hampir-hampir bisa melihat semburat merah di pipi tirusnya. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, Nuni mengulurkan teleponnya pada Rafi yang menerimanya dengan senyum lebar. Rafi menekan nomor yang selama ini tercatat di sudut kanan atas buku catatan detektif mereka. Saat telepon itu tersambung, Rafi dengan lancar menyebutkan namanya, nama Nuni, rincian kejadian, kecurigaan mereka, dan akhirnya Rafi menyebutkan alamat Salon Queen dan nama pemiliknya. Tak lama kemudian telepon itu ditutup. Rafi mengulurkan kembali telepon Nuni. “Polisi akan datang beberapa saat lagi,” katanya. Lalu mereka menunggu dengan hati berdebar-debar. Laporan mereka ditanggapi dengan cepat. Tak sampai 10 menit, dua orang polisi tiba dengan sebuah mobil patroli tepat di belakang sedan hijau permen milik Tante Lissi. Seorang polisi berkumis tipis menghampiri Nuni dan Rafi karena kedua anak itu melihat kedatangan mereka dengan sangat antusias, sehingga polisi itu tahu kalau mereka berdualah yang menelepon kantor polisi tadi. “Kalian Rafi dan Nuni?” tanya polisi itu. Rafi mengangguk. “Itu gudangnya, Pak!” tunjuk Rafi. Mereka berempat berjalan menuju pintu depan gudang. “Kalian berdua tidak boleh ikut masuk,” kata polisi berkumis tadi. Rafi dan Nuni mendesah kecewa. Mereka berpandangan dengan lesu sementara kedua polisi itu mengetuk pintu gudang dengan keras. “Ada apa ini?” Mas Santo yang baru saja kembali kini berdiri di depan mereka berempat. “Bapak ingin bertemu siapa?” tanyanya dengan waspada. Lalu tiba-tiba disadarinya juga kalau Rafi dan Nuni ada di hadapannya. Dia menggeram dan mendelik ke arah mereka berdua dengan sangat marah, “A-pa yang ka-li-an la-ku-kan di-sini!?!?” “Aku memanggil polisi. Karena di dalam gudang ada binatang langka. Aku dan Nuni sangat yakin kalau semua binatang itu akan dijual.” Rafi menyahut kakak tirinya dengan berani. “Berdoa saja kau tak ikut ditangkap, Mas,” tambahnya lagi dengan nekat. “Beraninya kau ini!” Mas Santo mulai mengguncang bahu kurus Rafi sekuat tenaga hingga Nuni memekik saking khawatirnya kalau bahu kurus itu akan patah. Salah seorang polisi meraih bahu Mas Santo dengan tegas. “Kau tak boleh kasar pada anak-anak!” tegurnya. Mas Santo mendengus. Dia kembali melempar tatapan ancaman pada mereka berdua, kemudian berkata perlahan pada kedua polisi. “Baiklah kalau begitu, saya akan panggilkan Bos saya untuk menemui Bapak.” Lalu dia membuka pintu gudang dan masuk ke dalam sementara kedua polisi itu menunggu di depan pintu yang terbuka. Nuni dan Rafi mengintip dari sela-sela punggung Pak Polisi dan dada mereka berdegup kencang ketika mereka melihat bahwa tumpukan kardus itu jauh berkurang jumlahnya dibanding dengan yang terakhir tadi mereka lihat sebelum melapor ke polisi. “Rupanya ada tamu istimewa!” sapa Bos Deli ramah. Tanpa ragu sedikitpun, laki-laki perlente itu menyalami kedua polisi dan menyilahkan mereka melihat-lihat ke dalam. “Silahkan saja kalau bapak ingin memeriksa gudang kami. Kebetulan kami hendak mengirimkan barang produksi kami. Jadi maaf kalau gudangnya berantakan.” Bos Deli tersenyum sambil membetulkan letak kacamatanya. Kedua polisi itu mengangguk dan masuk ke dalam mengikuti Bos Deli dan Mas Santo. Nuni dan Rafi berdiri di balik pintu gudang sambil berusaha mendengar pembicaraan mereka. Sayang mereka tak dapat mendengar dengan jelas suara di dalam. Hanya sesekali mereka mendengar suara tertawa. Tapi jika polisi datang untuk mengungkap kasus, dan ada suara tertawa. Hmm, itu jelas bukan hal yang bagus sama sekali. “Perasaanku tak enak,” bisik Rafi. “Persis seperti itu yang kurasakan. Mereka tertawa bersama. Polisi dan Bos Deli…ini pertanda buruk untuk kita, Raf,” ujar Nuni dengan wajah muram. Tak lama kemudian, pertanda buruk itu menjadi kenyataan. Pintu gudang terbuka lebar-lebar dan kedua polisi itu menghampiri Rafi dan Nuni. Pak Polisi yang berkumis memandangi keduanya dengan wajah serius dan suara yang sangat tegas. “Kami ingin kalian berdua tahu, bahwa di dalam gudang itu tak ada apapun selain krim perawatan kulit yang akan mereka kirimkan ke luar kota. Kalian berdua tidak boleh membuat laporan palsu hanya karena kalian berkhayal menjadi detektif seperti di film-film, Nak! Dimana rumah kalian? Kami akan mengantarkan kalian pulang agar orangtua kalian tahu apa yang telah kalian perbuat.” Rafi dan Nuni membelalak dengan sangat terkejut. Mereka berdua berpandangan dengan wajah pucat pasi. “Tapi tapi tapi…” “Tadi itu kami…” “Melihat kukang!” “Kemarin… maksud kami beberapa hari yang lalu, ada harimau putih. Ya! Kami tak bohong!” “Tadi ada kukang di dalam kardus…” Mereka berdua berusaha memprotes dan menunjukkan bukti-bukti sementara kedua polisi itu mendengarkan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Apakah sejak kalian menelepon tadi, kalian melihat satu kardus saja keluar dari dalam gudang ini?” tanya polisi itu. Rafi dan Nuni berpandangan, kemudian mereka menggeleng dengan lemah. Bos Deli tersenyum dari balik punggung polisi sementara Mas Santo mencibir. “Kalian harus tahu kalau pintu keluar rumah dan keluar gudang ini hanyalah pintu salon dan pintu gudang ini. Jadi jika tak ada yang keluar melalui kedua pintu ini, berarti tak ada yang perlu dikeluarkan. Mengerti, Anak-anak? Sekarang, antarkan kami pada orangtua kalian.” “Bapak sudah memeriksa seluruhnya dengan teliti?” tanya Nuni masih tak percaya. “Kau tak seharusnya menanyakan sesuatu yang tidak sopan begitu, Nak,” cerca Bos Deli. “TAPI KAMI TADI BENAR-BENAR MELIHAT KUKANG!” teriak Nuni mulai keras kepala. “NUNI!” Nuni dan Rafi menoleh dengan wajah ngeri. Ibu keluar dari salon sambil mengerutkan dahinya. Tante Lissi ikut berlari kecil di belakangnya. Suara ribut-ribut di luar menarik perhatian semua orang. Bagi Nuni sendiri, melihat banyaknya kerutan di dahi Ibu, Nuni tahu bahwa dia dalam masalah besar. “Ada apa ini, Pak? Kenapa ada polisi? Apa yang dilakukan anak saya?” tanya Ibu beruntun. Pandangannya beralih bingung dari Nuni ke Rafi, kedua polisi ke Bos Deli, dari Mas Santo ke Tante Lissi si pemilik salon. “Aku dan Rafi tidak bersalah, Bu!” Nuni bersikeras mempertahankan diri. “Mereka menyimpan binatang langka di dalam gudang. Bahkan aku pernah melihat ada harimau, Bu. Harimau!” Polisi berkumis tersenyum pada Ibu yang kelihatan semakin bingung. Tante Lissi terlihat tegang tetapi Bos Deli sepertinya sangat tenang. “Tidak apa-apa, Bu. Anak-anak ini hanya berkhayal menjadi detektif saja. Sayang mereka merasa harus melibatkan polisi betulan dalam permainan mereka.” Polisi berkumis berkata demikian sambil menatap tajam ke arah Rafi dan Nuni. “Kami tidak berkhayal menjadi detektif!” sergah Nuni. “Tentu saja kalian berkhayal!” Mas Santo tiba-tiba. Dia maju ke arah Rafi dan memegang bahu kirinya. Tadinya Nuni mengira Mas Santo akan memukul Rafi lagi tetapi ternyata Mas Santo hanya menarik sesuatu dari saku Rafi. Buku Catatan Detektif Cilik. Dengan tawa sinis, Mas Santo menunjukkan buku itu kepada semua orang. “Lihat! Mereka memang pengkhayal kelas berat!” dia tertawa mengejek dan menyerahkan buku catatan itu pada polisi berkumis yang segera membuka-buka buku catatan mereka. Polisi berkumis itu terbatuk-batuk karena menahan tawa. Wajah Nuni dan Rafi mulai memerah. Rafi sangat kesal pada Mas Santo dan dia benar-benar jengkel karena tak bisa berbuat apa-apa, sementara mata Nuni mulai berkaca-kaca saking marahnya. Polisi berkumis itu mengulurkan buku catatan itu pada Ibu yang menerimanya dengan wajah tegang. Sekilas Ibu membuka-buka buku dengan tulisan tangan Rafi itu. Kemudian Ibu menutupnya dan menghela nafas panjang. “Saya minta maaf atas perbuatan Nuni, juga Rafi. Saya berjanji hal ini tak akan terulang untuk kedua kali.” Ibu berkata. Kedua polisi itu mengangguk. “Anak ibu masuk tanpa ijin ke gudang saya,” Bos Deli mencela, “Sebaiknya itu juga termasuk yang tak perlu diulang!” “Saya minta maaf. Lebih baik kami pamit sekarang jika diijinkan,” ucap Ibu dengan rendah hati. Kedua polisi itu mengangguk mengiyakan. Lalu Ibu menatap kedua anak itu dengan tegas. “Rafi dan Nuni harus pulang sekarang. Ibu rasa Mak Sri juga harus tahu apa yang kalian perbuat hari ini.” Rafi dan Nuni menunduk. Banyak pikiran berkecamuk dalam kepala mereka tetapi mereka tak berkata apa-apa. Mereka berjalan gontai mengikuti langkah Ibu yang bergegas, menerobos kerumunan yang bergumam dengan tatapan tak senang. Saat mereka berjalan cukup jauh dari salon Queen, Nuni masih mencoba membela diri, “Kami melihat Kukang, Bu.” Tanpa menoleh sedikitpun pada kedua anak yang berjalan di belakangnya, Ibu menyahut, “Kau akan diberi tambahan hukuman jika masih bersikeras, Nona!” “Tapi aku benar-benar melihatnya. Dan namaku Nuni, bukan Nona!” “Kau dihukum tak boleh bermain kemanapun selama 3 hari!” “Ibu tak mempercayaiku???” seru Nuni marah. “Seminggu!” “Ibuuu…,” protes Nuni. “Bicara lagi dan Ibu akan mengurungmu seumur hidup!” ancam ibu. Rafi menyenggol bahu Nuni menyuruhnya diam. Nuni mendelik kesal. Sehelai Benang Panjang Warna Hitam Ini benar-benar liburan paling menjengkelkan dari semua liburan yang pernah ada. Ayah menelepon dari Jakarta dan menegur Nuni habis-habisan karena peristiwa kemarin. “Jangan hanya karena Ayah tak bisa mengajakmu liburan ke Bali lalu kau bisa marah dan melampiaskan kemarahanmu dengan berbuat nakal, Nuni!” Nuni diam saja. Dia menjepit gagang telepon dengan bahu dan telinganya tanpa berkata apa-apa. “Ayah tak mau ini terulang lagi. Masuk ke gudang milik orang lain dan memanggil polisi? Apa yang ada dalam pikiranmu, Ni? Berkhayal boleh-boleh saja tetapi jangan memaksakan khayalanmu menjadi kenyataan. Kamu dengar Ayah, Ni?” “Iya Ayah…” “Bagus. Bantu saja Ibumu di toko. Kasihan Ibumu bekerja sendirian sementara anak satu-satunya berbuat keisengan yang merugikan.” “Ibu tak sendirian. Banyak pegawai di sana bekerja untuk Ibu.” “Kau ini suka sekali membantah ya?” suara Ayah di telepon mulai kesal. “Emm…” “Dengarkan Ayah. Hari ini Ayah akan langsung ke Kuala Lumpur dan di sana selama beberapa hari. Ayah harap kau menuruti apa kata Ibu. Jadi anak baik. Mengerti!” “Oke deh, Yah.” “Mau oleh-oleh apa nanti?” Suara Ayah mulai terdengar lunak. “Upin Ipin,” Nuni menyahut asal. “Apa??” “Terserah Ayah.” “Hmm baiklah. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Nuni menutup telepon. Ibu melirik dengan ekor matanya dan berkata, “Pergi saja ke Gua Baca. Biar Mak Sri mengirimkan makan siangmu nanti ke sana. Rafi dan Minos boleh datang kemari tetapi kalian tak boleh pergi kemana-mana.” “Rafi tak mungkin kemari. Mak Sri menghukumnya seperti Ibu menghukumku,” kata Nuni lesu. “Oh, begitu.” “Ya.” Nuni menghela nafas. Ibu menatap Nuni dengan heran. “Kalian ini aneh sekali ingin menjadi detektif. Bukankah membaca cerita detektif lebih asyik daripada menjadi detektif? Paling tidak kalian tak akan mendapat hukuman selama liburan.” Nuni teringat harimau dan kukang yang ada di gudang, tarsius yang kini ada di tamannya dan diberinya nama Kiyut, dan dia sangat-sangat kesal karena tak ada seorangpun yang mempercayai dia dan Rafi kalau ada sesuatu yang mencurigakan pada gudang salon Queen itu. Nuni benar-benar merasa kalah kini. Hmm… paling tidak dia memiliki Kiyut sebagai bukti jika suatu hari nanti kecurigaan mereka terbukti benar. Di taman, Nuni memilih bermain bersama Kiyut sementara Mas Udin mencari belalang untuk diberikan pada Kiyut saat hari mulai malam. Tadinya Kiyut selalu diberi makan setiap pagi tetapi ternyata itu mengganggu kebiasaan Kiyut karena tarsius adalah binatang nocturnal alias bergerak di malam hari. Sepertinya lama kelamaan Kiyut bosan bermain bersama Nuni dan memilih untuk memanjat pohon dan tidur di sana. Nuni tak punya pilihan lain selain masuk ke dalam Gua Baca dan memilih sebuah buku untuk dibacanya. Tetapi bayangan harimau putih dan kukang tak dapat dilepaskan begitu saja dari benaknya. Dia dan Rafi benar-benar melihat kukang di dalam gudang. Jika benar tak ada jalan masuk dan keluar lain selain dari gudang dan salon, lalu kemana larinya kardus-kardus itu? Ada yang aneh dari semua ini. Tapi apa? “Mbak Nuni, ada Mas Minos di luar. Kata Ibu tadi boleh masuk.” Mas Udin memberitahu. Nuni mengangguk. “Ya, Mas Udin. Nuni tunggu di Gua Baca ya.” Minos datang tak lama kemudian dengan wajah pucat. “Ni, Rafi kemarin dipukuli Mas Santo. Kalau Mak Sri tak ganti memukuli Mas Santo dengan sapu, mungkin Rafi sudah babak belur sekarang.” “Benarkah?” Nuni kaget setengah mati. “Apa tak cukup hukuman yang diterima Rafi dari Mak Sri dengan dikurung di kamarnya?” “Bukan itu saja. Kudengar Mas Santo memaksa Rafi untuk mengaku bahwa dia telah mencuri tarsius dari dalam gudang.” “Bag-bagaimana dd-dia bisa tahu?” seru Nuni dengan gugup. “Mas Santo sepertinya menyamakan hari hilangnya tarsius itu dengan hari dimana kau melihat harimau putih di dalam kerangkeng. Itu menurut Rafi. Aku berbicara padanya melalui jendela kamarnya tadi pagi sebelum kemari.” Nuni mengerutkan dahinya, “Itu berarti, harimau putih itu tak lama berada dalam gudang. Hanya pada hari ketika tarsius itu kubawa pulang.” “Mestinya begitu. Mungkin benar kalau mereka menjual binatang langka dan membawanya entah kemana.” Minos merenung, “tapi membawa-bawa kerangkeng, meski kecil dan ditutup kain hitam akan menimbulkan kecurigaan pada orang-orang. Apalagi Salon Queen letaknya sangat dekat dengan pasar.” “Yang membuatku bingung saat ini adalah, bagaimana cara mereka membawa pergi kukang-kukang itu tanpa melewati aku dan Rafi yang waktu itu berada persis di depan gudang? Polisi bahkan tak dapat menemukan apa-apa sama sekali. Tidak kukang, tidak juga binatang apapun. Lalu kemana mereka membawa binatang-binatang itu pergi? Aku benar-benar kebingungan, Minos,” Nuni mengerutkan dahi sambil menerawang memandang ke arah taman, “Ada yang aneh dengan semua ini. Tapi apa?” Minos berkata lirih, “Ditambah lagi, kalian berdua mendapat hukuman yang sama di saat yang genting seperti ini.” “Keluhanmu tak ada hubungannya, Minos,” Nuni mendengus kesal. “Tentu saja ada. Jika kalian berdua tak dihukum, kita bisa menyelidiki lorong bawah tanah Pak Koha. Rafi berkata, dia akan sangat senang kalau puntung itu ada hubungannya dengan Mas Santo.” Kata Minos sambil mengeluarkan bungkusan kertas putih. Dibukanya bungkusan itu dan tampaklah puntung rokok Mind dan sehelai benang panjang warna hitam yang ditemukannya beberapa hari lalu. “Kuharap puntung itu memang ada hubungannya dengan Mas Santo mengingat aku juga melihat puntung seperti itu di gudang salon Queen. Dia jahat sekali pada Rafi dan Mak Sri. Aku sangat senang jika ia ketahuan bersalah,” rutuk Nuni. Kemudian Nuni kembali mengerutkan kening dan berpikir keras, “Benang hitam ini pernah kupegang sebelumnya, tapi dimana ya?” katanya sambil mengusap benang itu dari ujung satu ke ujung yang lain. “Kata Rafi, aku harus meneruskan penyelidikan lorong bawah tanah Pak Koha sendirian.” Minos berkata dengan lesu, “Aku tak suka dengan ide Rafi. Aku takut kesana sendiri. Rafi menyarankan untuk pergi di malam hari saat bapakku bekerja.” “Benang itu jelas bukan benang jahit…,” ujar Nuni tanpa memerhatikan kalimat Minos sebelumnya. “Kata Rafi, kali ini aku harus tahu dimana ujung lorong itu berada.” Mata Minos menerawang ke rak buku di depannya. Dia juga tak memerhatikan ucapan Nuni. “Benangnya lebih kasar dan berat. Seperti bukan benang,” Nuni menambahkan kalimatnya sendiri sebelumnya. Ingatannya benar-benar sedang berusaha keras sehingga dia tak sempat memperhatikan kata-kata Minos. “Aku tadi bertanya pada Rafi, bagaimana caranya aku bisa masuk ke toko Pak Koha. Dan si keriting itu berkata dengan seenaknya kalau aku tinggal mengganjal pintunya dengan karet dan semacamnya. Puuh!!! Aku benar-benar kesal padanya! Kesal banget sampai kepingin meluruskan rambutnya!” Minos memukulkan kepalan tangannya di lantai. “Itu bukan benang! Itu bukan benang, Minos!” seru Nuni tiba-tiba. Wajahnya merah padam karena bersemangat. Minos kaget mendengar namanya disebut karena dari tadi dia juga tak memperhatikan kata-kata Nuni. “Memang yang kumaksud bukan benang, tapi rambut,” jawabnya polos. “Rambut?” Nuni kebingungan. “Rambut Rafi kan? Yang kusebut keriting tadi?” tanya Minos. Nuni menjitak dahi Minos. Minos mengaduh. “Maksudku, aku sekarang ingat sesuatu. Benang hitam yang kau temukan di lorong bukanlah benang jahit, tetapi benang kain yang terlepas. Kain itu berasal dari kain hitam penutup kerangkeng tempat Harimau Putih itu! Aku yakin sekali karena aku sempat menyentuh kain itu!” seru Nuni dengan suara tertahan. Takut Mas Udin yang sedang memotong rumput mendengar suaranya. Minos mengerjapkan matanya dengan kaget. “Lalu kenapa benang kain yang lepas itu bisa sampai ke lorong bawah tanah Pak Koha?” tanyanya bingung. “Itu yang harus kita selidiki.” Tandas Nuni. “Apa maksudmu dengan kita? Kalian berdua dihukum tak boleh pergi kemana-mana.” Minos bersungut-sungut. “Menurutku, Rafi akan setuju kalau aku memintamu untuk menyelidiki lorong bawah tanah Pak Koha sendirian dulu,” kata Nuni sambil tersenyum senang karena merasa mendapatkan ide cemerlang. “Itu juga yang dikatakan Rafi,” dengus Minos, “Aku yang disuruhnya kesana sendirian.” “Benarkah? Wah pikiranku sama berarti,” Nuni sangat senang. “Itu sudah kukatakan padamu tadi!” Minos berkata heran, “Kau tak mendengarnya?” “Tidak! Kapan?” Oh, Minos benar-benar merasa sangat lelah sekarang. Pagi ini adalah pagi yang tersibuk buat Minos. Dia harus bolak-balik dari Gua Baca Nuni ke jendela kamar Rafi untuk menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Nuni pada Rafi dan hasil pembicaraannya dengan Rafi pada Nuni. Setelah lebih dari delapan kali bolak-balik, Minos memukulkan kepalan tangannya ke jendela kamar Rafi dengan kesal. “Sudah! Aku tak mau lagi rapat dengan cara seperti ini. Aku jadi merasa kayak seterikaan,” omelnya, “Nuni menyuruhku berlari, lagi!” Rafi meringis, “Kenapa nggak pakai sepeda Nuni?” “Itu sepeda mini, tahu! Aku malu naik sepeda warna pink dengan keranjang gambar Princess.” Wajah Minos begitu geram hingga Rafi sangat yakin jika tak ada jendela kamar yang menghalangi mereka, Minos pasti sudah menjambaki rambutnya. “Iya iya iya…,” Rafi susah payah menahan tawa melihat wajah Minos yang lucu ketika bertambah kesal. “Emm, berarti kita sudah sepakat pada satu hal. Puntung rokok itu harus diselidiki darimana asalnya. Aku sendiri sangat yakin kalau itu adalah milik Mas Santo, tapi aku tak mau menuduhnya tanpa bukti yang jelas.” “Soal lorong bawah tanah Pak Koha bagaimana? Nuni berkata, sangat penting bagi kita mengetahui ujung lorong tersebut,” Minos menyampaikan pendapat Nuni. “Kurasa itu memang sangat penting. Ujung lorong itu bisa menjelaskan kenapa benang hitam dan puntung itu bisa berada di bawah rumah Pak Koha.” Rafi menanggapi dengan serius. “Kau harus pergi lagi ke lorong itu, Minos,” Rafi memandangi Minos dari balik jendela kamarnya. Tangannya menggenggam erat teralis jendela dari dalam kamarnya sementara Minos menggenggam teralis jendela itu dari luar. “Aku sendirian?” tanya Minos ragu. “Aku dan Nuni sedang dipenjara, tahu!” “Kalian memang menjengkelkan!” Rafi nyengir. “Pintu toko Pak Koha adalah pintu geser yang hanya memiliki satu kunci kait di bagian bawah dan sebuah gembok. Coba kau masukkan permen karet bekas ke dalam lubang gembok. Jika Pak Koha menggembok, maka gembok itu tetap bisa kau buka. Nah, kunci kaitnya tinggal kau buka dan geserlah pintu itu perlahan. Beres.” Minos mencibir, “Sepertinya mudah sekali, ya? Sampai kau harus mengatakannya berulang-ulang,” sindirnya. “Kalau kau tak berhasil dengan cara itu, aku tak akan memaksamu lagi,” ucap Rafi sungguh-sungguh. “Please, Minos.” Minos terdiam selama beberapa saat. Akhirnya dia menghembuskan nafas dengan keras. “Baiklah. Tapi ingat, kalian berdua berhutang banyak padaku jika aku berhasil,” Minos mulai mengalah. Rafi tertawa. Telapak tangannya keluar dari teralis untuk mengajak tos Minos. “Beres. Maksudku biar nanti Nuni yang membayar hutangnya.” “Nuni?” “Iyaaa… Nuni kan yang biasa membayar semuanya,” sahut Rafi seenaknya sambil dibayangkannya amukan Nuni jika mendengar kata-katanya barusan. “Untung Nuni tak sedang di sini,” Minos tertawa terkekeh, “dia akan mengamuk kalau mendengarnya.” “Benar.” Lalu mereka berdua tertawa. Minos berharap, tawa ini bukan tawa yang terakhir kalinya sebelum apa yang akan dia alami nanti malam. *** Saat makan malam, Minos menyantap nasi gudeknya dengan cepat. Bapak memandanginya sambil tersenyum. “Kalau sudah lama tak makan gudek, rasanya kangen juga ya?” ujarnya sambil menyendokkan sambal krecek ke dalam piring. Di Yogya, gudek termasuk makanan yang cukup mahal bagi orang-orang tertentu. Minos mengangguk. Dia tahu kalau Bapak hanya membeli gudek di saat-saat tertentu ketika memiliki uang yang lebih dibanding biasanya. “Bapak pergi lagi malam ini?” tanya Minos sambil lalu. Diambilnya segelas air putih untuk bapak. “Ya. Kamu nggak apa-apa kan? Hari ini Bapak dipinjami becak kosong untuk ditarik. Uang sewanya murah. Bapak akan coba narik.” “Bapak tak boleh kecapaian,” Minos berkata pada Bapak. Sulit baginya menyembunyikan perasaan khawatir sementara Bapak hampir selalu bekerja seperti tak kenal lelah. Di mata Minos, bapak adalah orang terajin di seluruh Jagalan. Bapak tertawa mendengarnya. “Jangan terlalu khawatir. Tidurlah! Supaya besok tak terlambat ke sekolah.” “Besok masih libur, Pak,” Minos mengingatkan. “Oh ya. Kalau begitu tidurlah supaya kau tak terlambat Sholat Shubuh besok.” Minos mengangguk. Dia tiba-tiba teringat kalau malam ini dia harus masuk ke lorong bawah tanah di bawah rumah Pak Koha. Kini Minos menjadi sedikit ragu, apakah dia akan melakukannya atau tidak. Selama ini belum pernah sekalipun dia berbohong pada Bapak, sehingga Minos merasa sedikit bersalah karena Bapak mengira, kalau Bapak pergi dari rumah malam ini untuk bekerja---maka Minos akan tidur nyenyak di balik selimutnya di dalam kamar. Karena itu Minos tak terlalu banyak berkata-kata agar tak berbohong terlalu banyak. “Bapak pulang setelah tengah malam,” pamit Bapak. Minos lagi-lagi mengangguk. Di Yogyakarta, bagian-bagian kota tertentu seperti terminal, stasiun, atau sepanjang jalan Malioboro tetap hidup hingga dini hari dan tak pernah berhenti. Bapak akan mendapat banyak penumpang jika menarik becak di sana. Setelah kepergian Bapak, Minos juga pergi. Minos berpikir, semakin cepat dia pergi ke toko Pak Koha maka semakin cepat juga tekanan dari Rafi dan Nuni selesai. Sebelumnya Minos berjalan melewati rumah Rafi dan diam-diam dia mengetuk jendela kamar Rafi dua kali. Tok tok. Rafi membuka jendela kamarnya dengan sangat pelan dan bertanya, “Bagaimana?” Suaranya berbisik. “Aku akan pergi ke toko Pak Koha sekarang. Sebelum tokonya tutup dan keburu dikunci,” Minos juga berbisik. “Aku tak bisa menemani. Mak di rumah, tuh, lagi nonton tivi. Kalau Mas Santo pergi sejak sore tadi. Katanya lembur.” “Baiklah. Tak apa. Kapan kau bebas dari penjara?” tanya Minos. Suaranya masih berbisik. “Aku tak dihukum lama. Besok aku sudah bebas,” jelas Rafi. “Bagaimana kalau besok saja ke toko Pak Koha? Menunggumu bebas?” Minos benar-benar berharap dia tak perlu menyelidiki lorong bawah tanah Pak Koha diam-diam. “Tidak. Menurutku kau harus ke sana sekarang. Maaf karena kita jadi terpisah begini, tetapi semakin cepat kita tahu akan semakin baik. Kalau kau benar-benar tak berhasil masuk ke sana, kita akan mencari cara lain.” Minos dan Rafi terdiam selama beberapa saat. “Aku akan ke sana,” Minos berkata lirih. Sebenarnya sejak awal dia tahu bahwa dia harus menjalani ini sendirian, tetapi dia masih berharap Rafi paling tidak, bisa menemaninya ke sana. Kini teralis jendela yang membatasi mereka membuat Minos menyadari bahwa tak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali pergi ke sana sendirian. Tanpa Rafi. “Terimakasih,” ucap Rafi lirih. “Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini padamu. Tapi kalau semua keanehan ini ada hubungannya dengan perbuatan buruk Mas Santo, mungkin itu bisa membuat aku dan Mak bebas dari pukulannya.” Minos mengerjapkan matanya tak tahu harus bicara apa. Dia benar-benar iba pada sahabatnya dan tahu apa yang dirasakannya. “Inilah satu-satunya cara yang mungkin kulakukan untuk melindungi Mak. Aku tak bisa melawan pukulannya dengan pukulan karena badanku lebih kecil dari dirinya. Bapaknya sendiri tak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapinya,” Rafi kembali berkata lirih. Minos mendesah. Untunglah Nuni tak mendengar kata-kata Rafi barusan. Jika ya, pasti dia sudah banjir air mata karena iba. “Aku mohon ya, Minos.” Rafi menatap Minos dengan sungguh-sungguh sambil mengulurkan sebuah senter kecil sebesar genggaman tangan pada Minos. Minos menerima senternya, kemudian dengan perlahan Minos menganggukkan kepala. “Semoga aku berhasil.” “Ya, semoga kamu berhasil,” sambut Rafi mantap. *** Toko Pak Koha belum tutup. Minos melihat Pak Koha duduk di kursi sambil membaca koran. Seperti biasa, tak ada pembeli di tokonya. Yang menjengkelkan Minos adalah, gembok yang lubangnya harus ditempeli permen karet seperti teori Rafi tak ada di situ. Tak ada gembok sama sekali di pintu toko Pak Koha. Minos menyelinap tanpa suara, masuk ke samping toko, dan berjongkok di situ sambil berpikir bagaimana dia bisa masuk ke rumah Pak Koha. Satu-satunya cara adalah, dia harus masuk dengan cara menyelinap seperti pertama kali dia masuk ke dalam. Tapi tanpa Rafi dan Nuni sebagai pengalih perhatian, hal itu sulit terjadi. Lama berpikir dan tak menemukan cara membuat Minos sudah hampir pulang karena putus asa, tetapi tiba-tiba dia melihat sebuah drum bekas minyak tanah yang sudah lama kosong karena minyak tanah ditiadakan dan diganti dengan tabung gas hijau. Dia bisa bersembunyi di dalam drum jika ada kesempatan sambil menunggu Pak Koha masuk ke dalam rumah. Minos mengintip Pak Koha yang sedang asyik membaca dari balik tumpukan kardus. Pak Koha tak menyadari sama sekali kalau Minos ada di dalam tokonya. Sambil beringsut-ingsut ke arah drum dia tetap mengawasi Pak Koha. Untunglah Mbak Intan, anak Pak Koha tak sedang berada di tempat ini. Sedikit demi sedikit, akhirnya dia sampai juga. Kini Minos telah berada tepat di bawah drum kosong itu. Dia hanya tinggal memikirkan bagaimana cara masuk kesana tanpa ketahuan. Dari balik drum, mata Minos tetap mengawasi gerak gerik Pak Koha. Pak Koha masih membaca koran, tetapi halaman surat kabar yang dipegangnya tak menutupi seluruh wajahnya hingga Minos takut jika dia melompat masuk ke dalam drum maka dia akan langsung ketahuan saat itu juga. Jam di dinding hampir menunjuk jam 9 malam. Minos mulai gelisah. Jika Pak Koha menutup pintu toko dan dia masih berjongkok di tempat ini, dia akan langsung ketahuan. Beberapa saat kemudian Pak Koha berdiri. Minos meringkuk sebisanya saat melihat Pak Koha berjalan ke arah pintu. Jantung Minos berdetak lebih kencang. Pak Koha hanya berjarak kurang dari 3 meter dari tempat persembunyiannya. “Dimana Intan menaruh gemboknya?” Minos mendengar dengan jelas suara gumaman Pak Koha yang serak. Pak Koha juga mencari gembok seperti dia tadi. Apa Pak Koha juga akan menaruh permen karet bekas pada lubang gembok? Ah, tentu saja tidak. Minos nyengir sendiri membayangkan khayalannya. Dengan langkah kesal, Pak Koha berbalik. Minos memejamkan mata kuat-kuat---takut Pak Koha melewatinya dan tahu kalau dia sedang meringkuk di samping drum bekas minyak tanah. Hening. Minos perlahan-lahan membuka matanya. Tak ada suara langkah kaki Pak Koha. Astaga! Dia beruntung sekali! Pak Koha masuk ke dalam rumah untuk mencari gembok. Minos segera berdiri di samping drum. Digesernya sebuah kardus dan dipakainya kardus itu sebagai tumpuan kakinya. Secepat yang dia bisa, kakinya melompat ke dalam drum kosong dan membawa tubuhnya meringkuk di dasar drum bekas tanpa tutup itu. Tepat pada saat itu didengarnya langkah Pak Koha keluar dari dalam rumah. Sepertinya dia telah menemukan gemboknya karena tak lama kemudian Minos mendengar suara klek, sebagai tanda gemboknya telah terkait dengan sempurna. Lalu terdengar suara gemerincing setelah sebelumnya Minos mendengar suara laci meja yang bergeser. Kunci gembok itu disimpan di dalam laci. Minos mendengar suara langkah kaki kembali dan dalam sedetik setelah langkah itu berhenti, lampu mendadak padam. Terdengar suara langkah Pak Koha yang masuk ke dalam rumah. Lalu semuanya kembali hening. Meninggalkan Minos sendirian dalam kegelapan. Minos tetap meringkuk di dasar drum sampai tak ada sedikitpun suara yang dapat didengarnya selain deru nafasnya sendiri. Dia tak boleh terburu-buru masuk ke dalam rumah. Siapa tahu Pak Koha masih meneruskan membaca di ruang tamu. Nanti setelah keadaan aman, dia akan segera masuk ke ruang bawah tanah Pak Koha. Disentuhnya senter kecil pemberian Rafi yang masih tersimpan aman di kantung celananya. Minos memejamkan mata. Dia akan menunggu sampai keadaan benar-benar aman. Sementara menunggu dia akan tidur selama 5 menit. Dia merasa agak mengantuk saat ini. Hanya 5 menit saja dan dia akan terjaga kembali. Minos terbangun setelah dikagetkan oleh bunyi cicak. Sesaat dia lupa kalau berada di dalam dasar drum bekas minyak tanah. Ketika teringat akan hal itu, Minos segera berdiri dan menyalakan senter. Diarahkannya senter itu ke dinding dan alangkah kagetnya ketika jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam lebih 10 menit. “Dasar bodoh! Aku malah ketiduran!” Minos sangat jengkel dengan dirinya sendiri. Dengan panik dia melompat keluar dari drum dan bergegas menuju pintu belakang toko yang bersambungan dengan ruang tamu Pak Koha. Pintu itu tak dikunci. Hanya ada lampu kuning 5 watt yang menerangi ruang tamu. Mata Minos melirik lukisan hutan yang tergantung berhadapan dengan kursi tamu dan anak laki-laki itu bergidik ngeri melihat kesuramannya. Tanpa banyak membuang waktu Minos segera menyibakkan tirai yang membatasi ruang tamu menuju ruang dimana karpet dan tombak berada. Ruangan itu gelap sehingga kali ini Minos mulai menyalakan senternya. Dia melangkah dengan sangat hati-hati dan tanpa suara. Ditariknya ujung karpet ke belakang dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memegangi senter untuk mencari-cari kedua tanda X tipis yang siang itu ditemukannya. Tanda X itu adalah jalan menuju lorong bawah tanah. Setelah ditemukannya, dengan hati-hati di letakkannya kedua kakinya di atas tanda itu dan Minospun berdiri tegak menunggu. Suara berdesis halus terdengar. Meski demikian suara itu rasanya lebih keras dibanding dengan saat Minos mendengarnya siang itu. Minos agak khawatir suara itu membangunkan Pak Koha atau anaknya. Tetapi lantai itu telah turun membentuk tangga sepanjang 1 meter ke bawah. Sama sekali tak memberinya kesempatan sedikitpun untuk merasa khawatir. Minos menahan nafasnya. Jantungnya lagi-lagi berdetak lebih kencang. Dia telah kembali ke lorong bawah tanah ini, sekaligus berjanji pada Rafi dan Nuni untuk membongkar rahasianya. Senternya masih menyala membentuk bayangan dirinya yang melengkung dan terlihat seperti raksasa. Minos benar-benar sendirian. Dihembuskannya nafasnya perlahan untuk mengumpulkan tekad. Lalu dia mulai berjalan. Jalur Penyelundupan Setelah kepergian Minos, Rafi tak dapat memejamkan mata meski hanya beberapa menit saja. Dilihatnya jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 11 malam. Minos belum juga lewat kembali di depan jendela kamarnya, apalagi memberi kabar tentang hasil penyelidikannya. Itu artinya, Minos memang belum kembali dari rumah Pak Koha. Ada apa dengan Minos? Apa yang terjadi dengannya? Rafi benar-benar gelisah memikirkan sahabatnya. Rafi takut terjadi apa-apa dengan Minos sementara dia hanya bisa berada dalam kamarnya tanpa berbuat apa-apa. Rafi merasa bersalah. “Aku harus pergi untuk membantu Minos. Barangkali saja saat ini dia sedang mengalami kesulitan,” katanya dalam hati. Diketuknya pintu kamarnya dari dalam. “Mak…Maaakk…” Rafi menunggu beberapa lama, kemudian memanggil kembali. Mamaknya datang dengan wajah mengantuk, membuka pintu, dan bertanya, “Ada apa?” “Rafi kebelet pipis.” “Gitu aja bangunin orang,” Mamaknya mengerutkan kening. “Yaah, Mak. Pintunya kan dikunci dari tadi. Malam ini jangan dikunci lagi, deh. Rafi tak mau mengganggu Mamak kalau harus pergi ke belakang.” Maknya tersenyum dan mengangguk, “Ya sudah. Mak tidur lagi ya.” Rafi mengangguk. Anak laki-laki berambut keriting itu menunggu beberapa saat sampai yakin kalau Maknya benar-benar telah terlelap. Diambilnya ranselnya dan diisinya dengan benda-benda yang mungkin bisa digunakannya. Tali pramuka, gunting, batere, bola tenis, tinta, botol minum, buku catatan detektif mereka, dan bolpen. Kemudian tanpa suara, Rafi membuka pintu depan dengan sangat perlahan. Tak dikunci karena Mas Santo lembur dan baru pulang dini hari nanti. Tanpa membuang waktu lagi, Rafi segera bergegas berjalan menuju toko Pak Koha. Minos adalah sahabat yang selalu menolongnya pertama kali jika dia mengalami kesulitan. Jika kini Minos sedang dalam kesulitan, maka cara apapun akan dilakukannya untuk membantu Minos. Rafi berjalan melewati gang-gang di dalam kampung untuk menghemat waktu perjalanan hingga ke toko Pak Koha. Dinding-dinding kuno yang menjulang di sisi kanan dan kirinya membentuk lorong-lorong seperti labirin, membuat bulu kuduk Rafi agak meremang. Dia belum pernah keluar rumah saat hampir tengah malam seperti ini, dan ternyata bangunan-bangunan Kotagede saat malam hari tak bisa dibilang menyenangkan.Karena itu Rafi benar-benar lega ketika jalan keluar dari salah satu gang tadi membawanya menuju jalan raya tak jauh dari toko Pak Koha. Sebuah mobil boks berjalan perlahan dan berhenti di depan lampu merah di seberang toko. Rafi menyeberang menuju toko Pak Koha. Sopir mobil boks dan Rafi saling bertatapan sekilas, kemudian lampu hijau menyala dan mobil itu berbelok. Rafi melambatkan jalannya ketika tiba di depan toko. Dia mengerutkan kening dengan heran ketika dilihatnya gembok di pintu toko terpasang kuat. Dipegangnya sekilas. Tak ada bekas permen karet atau apapun, dan yang paling penting adalah, gembok itu masih utuh terpasang di sana tanpa ada tanda-tanda seseorang pernah masuk ke dalamnya. “Apa Minos terlambat datang kemari dan Pak Koha sudah mengunci pintu tokonya?” gumam Rafi sendirian. “Lalu kemana Minos kalau begitu?” Jika Minos tak kemari, pastilah dia pulang dan melewati jendela kamarnya yang terbuka karena satu-satunya jalan menuju rumah Minos adalah melewati rumahnya. Tetapi Minos tak melakukannya, dan itu artinya Minos belum pulang. “Barangkali Minos pergi ke gudang Salon Queen!” pikirnya tiba-tiba. Rasanya memang itu yang paling masuk akal. Bukankah gudang Salon Queen memang tujuan yang paling mungkin karena mereka memang sedang menyelidiki kedua tempat itu? Salon Queen dan gudangnya terletak di belakang toko Pak Koha, melewati sebuah jalan raya yang menuju ke arah Pasar Kotagede. Rafi memutuskan untuk lewat jalan besar dan tidak melalui gang sempit di samping toko Pak Koha, meski gang sempit itu dapat menyingkat perjalanannya. Paling tidak di jalan tak terlalu gelap karena banyaknya lampu. Rafi selalu merasa dadanya agak sesak jika tak melihat cahaya. Ketika Rafi berbelok ke jalan samping toko Pak Koha, mobil boks yang tadi dilihatnya berhenti di lampu merah ternyata parkir di sana, tepat di depan sebuah warung kaki lima. Kini kacanya tertutup rapat hingga Rafi tak lagi dapat melihat wajah sopirnya. Meski begitu lampu mobil menyala berkedip-kedip. Mungkin sopirnya sedang beristirahat di warung kopi itu. Sekilas diliriknya nomor plat kendaraan itu. B---dari Jakarta. Rafi berjalan cepat-cepat. Kekhawatirannya pada nasib Minos membuatnya sedikit panik. Bagaimanapun juga dialah yang membujuk Minos untuk pergi menyelidiki lorong bawah tanah Pak Koha. Mungkin ketika Minos terlambat datang dan Pak Koha sudah terlanjur mengunci pintunya, Minos lantas memutuskan untuk menyelidiki gudang salon agar tetap dapat membawa hasil penyelidikan yang cukup berharga bagi kelompok detektif mereka. Hampir tengah malam begini, pasar Kotagede sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa tukang becak yang mangkal di pojok pasar menunggu pagi tiba untuk membawa ibu-ibu yang selesai berbelanja. Rafi menyusuri kios-kios pasar dan akhirnya tibalah dia tepat di depan Salon Queen. Rafi tak menemukan Minos di sekitar sana. Anak laki-laki berambut keriting itu berdiri tegak di depan Salon Queen. Kaca depan salon ditutup rapat oleh tirai berwarna kuning, ruangan dalam salon gelap gulita. Gudang salon juga kelihatannya tertutup rapat. Dia berjalan perlahan sampai ke depan pintu gudang, kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah yakin tak ada seorangpun yang melihatnya, diraihnya gagang pintu gudang dan mendorongnya ke arah dalam. Tak ada yang terjadi. Tentu saja pintu gudang itu dikunci. Meski sebelumnya tahu mengenai hal ini, tak urung Rafi kecewa juga. Dia berjalan memutari bangunan gudang untuk melihat apakah ada jalan masuk lain yang mungkin dilewatinya selain pintu depan tadi. Tetapi dia hanya menemukan dua buah jendela yang letaknya sangat tinggi. Sekitar dua meter dari atas permukaan tanah. Jendela itu memiliki teralis model kuno berbentuk tegak lurus, dengan besi yang tebal, sama persis dengan teralis jendela kamar Rafi. Jendela itu juga tertutup rapat. Tak mungkin bagi siapapun memanjat jendela itu tanpa menarik perhatian orang lain. Rafi melihat, bagian samping dari bangunan salon itu dipagari dengan seng untuk memisahkan kebun Salon Queen dengan lahan parkir milik sebuah toko swalayan. Rafi masuk ke dalam kebun dan bersandar pada sebuah pohon mangga besar sambil memikirkan semua kemungkinan menemukan Minos. Barangkali Minos juga tak berada di tempat ini, tetapi dia sudah berada di sini sekarang dan dia sendiri tak akan pulang sebelum menyelidiki tempat ini. Kemarin dia dan Nuni menemukan binatang langka yang tiba-tiba raib secara mencurigakan, sementara mereka justru telah dituduh berbuat iseng dan membuat laporan palsu pada polisi. Kemarin memang dia dan Nuni hanya bisa menerima perlakuan tak adil yang menimpa mereka, tapi sekarang tak akan lagi. Detik itu juga Rafi berpikir untuk menuntaskan penyelidikan mereka agar dia tahu pasti kemana larinya binatang-binatang itu saat polisi tak dapat menemukan mereka. Rafi mulai mengeluarkan peralatannya dari dalam ransel. Rafi mengambil bola tenis dan tali pramuka. Bola tenis bekas yang dibawanya diikat kuat-kuat dengan tali pramuka, kemudian dilemparkannya gulungan tali itu melewati sebuah dahan pohon mangga. Sisa gulungan tali pramuka meluncur deras. Rafi menarik bagian tali yang membawa bola dan ganti melemparkannya melewati dahan. Dilakukannya hal itu beberapa kali sebelum diikatkannya ujung talinya pada batang pohon mangga. Bola tenis yang tergantung panjang itu kini sejajar dengan bagian tengah pagar seng. Sebagai sentuhan terakhir, Rafi menyiramkan tinta hitam ke seluruh permukaan bola. Anak laki-laki itu tersenyum puas. Ini saatnya Rafi memulai rencananya. Ditariknya bola tenis itu mundur hingga punggungnya menyentuh dinding gudang dan dilontarkannya bola itu kuat-kuat ke arah pagar seng di depannya. Klontang…klontangg… Saat suara benturan antara bola tenis dan pagar terdengar begitu ribut, Rafi berlari secepat mungkin melewati pintu depan gudang dan bersembunyi di bagian samping salon. Tepat seperti yang dipikirkannya sebelumnya, seseorang keluar dari pintu gudang untuk memeriksa suara gaduh yang dibuatnya. Mas Santo. “Suara apa itu?” Mas Santo berjalan keluar dengan wajah marah, “Kalau ada yang berbuat aneh-aneh akan kuhajar dia!” Saat itu juga, melihat pintu gudang yang terbuka, Rafi melesat bagai angin dan menyelinap masuk ke dalam gudang sementara Mas Santo memunggunginya untuk memeriksa suara ribut yang berada di pagar samping. Rafi berada dalam gudang yang terang sekarang. Anak lelaki itu memandang berkeliling. Matanya memeriksa dengan cepat apa yang penting baginya. Dia punya waktu paling tidak 5 menit untuk berada di dalam gudang. Jika Mas Santo menyentuh bola itu untuk melepaskan dari talinya, Mas Santo sekarang ini pasti juga sedang sibuk membersihkan tangannya dari tinta hitam yang disiramkannya di permukaan bola. Rafi mendapati tak ada satupun kardus berada di sana. Hanya sesuatu yang berbentuk seperti sangkar burung dan bertutup kain hitam, itupun hanya sebuah. Rafi hendak menghampiri benda bertutup kain hitam itu ketika tiba-tiba dia melihat karpet di depannya bergerak-gerak. Didorong keingintahuannya yang kuat, Rafi menarik ujung karpet itu dan membukanya perlahan-lahan. *** Dinding lorong itu tingginya sekitar 2 meter dengan lebar kurang lebih 1 meter. Minos menyalakan senternya dan menyadari kalau ternyata lorong bawah tanah itu memiliki bola lampu setiap 20 langkah. Barangkali lampu-lampu itu masih dapat menyala atau mungkin juga tidak, Minos tak tahu. Tetapi yang pasti, dia tak berani menyalakan saklarnya. Minos khawatir, jangan-jangan jika dia memencetnya dari sini, orang yang berada di atasnya akan mengetahui keberadaannya. Minos berjalan terus perlahan-lahan dengan bantuan nyala senternya. Lorong itu berbelok sekali di tempat yang diyakini Minos sudah berada di luar rumah Pak Koha. Minos merasa heran saat memikirkannya. Jika pintu masuk lorong bawah tanah ini berada di bawah ruang Karpet dan Tombak milik Pak Koha, berarti lorong bawah tanah ini adalah bagian dari rumah Pak Koha. Tetapi jika lorong bawah tanah ini letaknya memanjang keluar dari bagian atas rumah Pak Koha, lalu lorong ini milik siapa? Dan dimana ujungnya? Karena setelah belokan tadi, Minos yakin sekali bahwa lorong yang sedang ditelusurinya ini telah keluar dari denah asli rumah Pak Koha. Minos terus melangkah. Karena tak ada sesuatupun yang ditemukannya selain dinding lorong yang kosong, Minos mulai diserang kekhawatiran. Dia takut kalau lorong ini berhenti di suatu tempat yang ujungnya tertutup sementara saat dia kembali ke pintu masuk---pintu lorong telah ditutup oleh Pak Koha. Di sisi lain, kembali tanpa mendapatkan apa-apa adalah hal yang tak mungkin baginya. Lagipula dia sudah berjalan sejauh ini. Sebentar lagi pasti akan ditemukannya ujung lorong ini. Pasti. Nyala lampu senter semakin meredup. Dengan berat hati, dimatikannya senter itu untuk menghemat batere. “Tak apa, lorong ini tak memiliki cabang. Kau tak akan tersesat, Minos,” katanya. Suaranya sendiri bergema menimbulkan bentuk suara yang aneh. Minos merasa gugup mendengar pantulan suaranya sendiri, dan dia memutuskan untuk diam. Kaakk…cek…kaakk…grr… Minos menghentikan langkah. Jantungnya berdetak kencang. Itu bukan suaranya. Kaakkk…bek…bek… Hantu? Minos menggeleng kuat-kuat. “Hantu itu tidak ada, Minos!” geramnya pada diri sendiri. Di antara kedua sahabatnya, Rafi dan Nuni, Minos lah yang paling sering bersikap melindungi teman-temannya. Karena itu meski sangat ketakutan, tetapi Minos tetap penasaran mencari tahu suara apa yang telah didengarnya barusan. Tak ada seorangpun yang bisa melindunginya di tempat ini, jadi dia harus berusaha keras melindungi dirinya sendiri. Langkahnya tersaruk-saruk dalam gelap dan Minos berusaha menyingkirkan perasaan cemas jauh-jauh dari hatinya. Tiba-tiba dia melihat sebuah cahaya redup yang asalnya dari sebuah belokan. Perlahan didekatinya cahaya itu dan Minos terbelalak kaget. Apa yang dikiranya sebuah belokan lorong ternyata sama sekali bukan. Cahaya itu berasal dari sebuah ruangan di samping lorong, seperti sebuah kamar tanpa pintu. Minos sangat terkejut ketika melihat nyala ruangan itu karena sebuah lilin besar berwarna merah seperti dalam perayaan Imlek. Lilin itu diletakkan di atas sebuah meja kecil setinggi pinggangnya dengan beralas sebuah gelas dari tanah liat. Sebuah kursi kayu yang sandarannya telah jebol terletak di samping meja. Kursi itu dalam keadaan seperti bergeser. Mungkin kursi itu digeser seseorang saat harus menyalakan lilinnya karena ada batang korek api bekas dilempar di atas dudukan kursi itu, sementara kotak korek apinya terletak di ujung meja. Minos mengamati bentuk lilin. Seseorang itu belum lama menyalakan lilin ini. Paling lama baru sepuluh menit yang lalu. Belum ada lelehan lilin yang turun di sampingnya. Ada sebuah lemari di dalam ruangan itu. Minos baru saja hendak memeriksa isi lemari itu ketika tiba-tiba disadarinya ada beberapa buah kardus dengan lubang di sisinya, sebesar bola ping pong, ditumpuk tak jauh dari meja. Bahkan ada beberapa bentuk wadah seperti sangkar tetapi ditutup dengan kain berwarna hitam. Diangkatnya salah satu kardus dan disobeknya selotip coklat yang direkatkan di atasnya. Minos menahan nafas kemudian memekik kecil. Sepasang mata yang benar-benar bulat dan hitam dengan lingkaran mata yang juga hitam, menatapnya dengan tertarik. Moncongnya yang kecil dan runcing mendongak ke atas seperti bertanya-tanya pada Minos. Binatang berbulu itu ditaruh di atas tumpukan tissue toilet yang telah diurai. Minos menutup kembali kardus itu cepat-cepat. Jantungnya berdetak semakin kencang. Ini pasti kukang yang diceritakan oleh Rafi dan Nuni waktu itu. Itu berarti…kemungkinan besar ujung lorong ini adalah tempat yang mereka kenali sebagai gudang Salon Queen. Tak ada koin emas, atau harta apapun di dalam lorong ini. Hanya kardus berisi binatang. Dengan penasaran, Minos juga membuka wadah yang bertutup kain hitam. Ternyata, suara yang tadi didengarnya berasal dari sana. Dengkur halus itu berasal dari seekor burung berbulu hitam dengan jambul warna emas di atas kepalanya. Cantik seperti sebuah mahkota. Minos membaca kertas kecil yang tertempel di tepi sarang. Burung Julang Emas (Aceros Undulatus). Anak laki-laki itu mengerutkan kening. Sial sekali dia tak membawa kertas dan pensil. Melihat nama yang sesulit ini, mana bisa dia mengulanginya di depan Rafi dan Nuni nanti? Minos membuka kain hitam di sangkar yang lain. Kali ini dia tahu kalau yang dilihatnya adalah burung hantu. Tetapi nama yang tertulis di tepi sangkar adalah Kukuk Seloputu (Strix Seloputo). Minos mengerutkan kening dengan bingung. Sangkar berkain hitam yang ketiga adalah burung Curik Bali. Begitu pula sangkar yang keempat. Minos terduduk di lantai batu yang dingin. Kakinya lemas dan gemetar. Minos tak tahu dan tak dapat membayangkan berapa harga yang ditawarkan untuk semua binatang-binatang ini. Tetapi dari pelajaran IPS di sekolah, Minos tahu kalau burung curik bali di Indonesia hanya berjumlah kurang dari 150 ekor saja. Semua yang dilihatnya tadi adalah binatang langka. Sekarang Minos hanya tinggal membuktikan apakah benar ujung lorong ini adalah gudang salon Queen atau bukan. Dan selanjutnya adalah tugas polisi memeriksa lorong ini. Kemarin Nuni dan Rafi tak dapat membuktikan pada polisi kalau mereka benar-benar telah melihat binatang langka yang dikemas dalam kardus. Tapi kini Minos menemukan binatang-binatang itu tersembunyi di tempat ini. Jika dia bisa membuktikan keberadaan kardus-kardus berisi binatang ini, Nuni dan Rafi tak akan dianggap telah berbuat iseng lagi. Minos memutuskan untuk meneruskan penelusurannya. Tetapi baru beberapa langkah keluar dari ruangan itu, Minos teringat sesuatu. Lemari itu! Barangkali ada petunjuk lain yang bisa ditemukannya di lemari itu. Dia belum sempat memeriksanya. Minos bergegas kembali. Dengan gugup dibukanya lemari dua pintu yang terletak di samping meja lilin. Ternyata lemari itu terkunci. Benar-benar payah! Minos berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian Minos memutuskan untuk kembali meneruskan penelusurannya. Kalau dia tetap ingin membuka pintu lemari, maka yang harus dilakukannya adalah mencari alat untuk membuka pintu itu. Barangkali nanti dia bisa menemukan sesuatu yang bisa digunakannya untuk mencongkel lemari. Minos menyalakan senternya, tetapi cahayanya yang mulai meredup membuat Minos tak berani menggunakannya terlalu lama. Dia menyalakannya sebentar untuk melihat jalan yang akan dilewatinya, kemudian dia mematikan senternya dan berjalan dalam gelap untuk menghemat batere. Sambil berjalan dia teringat pada bapak. Semoga dia bisa kembali ke rumah sebelum Bapak pulang. Jika tidak, entah apa yang akan dilakukannya untuk menghindar dari kemarahan Bapak. Minos terus berjalan dan berjalan dalam gelap. Sesekali dia menyalakan senter untuk meyakinkan bahwa dia tak salah jalan. Sejauh ini Minos sangat bersyukur karena lorong bawah tanah ini tak memiliki cabang sehingga asalkan dia terus berjalan, maka dia tak akan tersesat. Beberapa kali Minos mendengar suara tikus, tapi dia tak terlalu memedulikannya. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti karena tubuhnya menabrak dinding dalam kegelapan. Senter yang dipegangnya terjatuh. “Rupanya ada tikungan tajam di sini sampai-sampai aku menabrak dindingnya,” gumamnya sambil membungkuk dan meraba lantai untuk menemukan kembali senternya. Setelah didapatkannya, dinyalakannya senter itu untuk melihat dinding yang tadi ditabraknya. Dinding yang semula dikiranya belokan lorong yang tajam ternyata adalah akhir dari penelusurannya untuk mencari ujung lorong. Minos mengarahkan senternya menerangi seluruh dinding. Tak ada celah, apalagi pintu keluar dari lorong bawah tanah itu. Hanya ada sebuah tangga besi yang menjulang ke atas dan menempel pada dinding. Tidak menempel rapat melainkan berjarak sekitar 15 senti dari dinding. Minos menggoyang-goyangkan tangga besi itu untuk memeriksa kekuatannya. Tangga itu tak bergoyang sedikitpun. Minos melihat dengan bantuan cahaya senternya sambil mendongak ke atas, tangga itu ternyata memiliki beberapa penopang yang disambungkan pada dinding agar kokoh dan tak mudah patah. Tingginya barangkali sekitar 5 meter. Minos berpikir, satu-satunya yang bisa dilakukannya sekarang adalah naik melalui tangga dan melihat apa yang ditemukannya di atas sana. Maka sambil memegang senter kecilnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang anak tangga, Minos naik ke atas dengan perlahan-lahan. Puncak tangga itu berakhir pada sebuah langit-langit kayu. Minos menerangi langit-langit yang begitu dekat dengan kepalanya itu. Dipandanginya dengan seksama dan Minos melihat sebuah kait besi sebesar gelang yang menempel di langit-langit kayu tersebut. Tanpa pikir panjang, diraihnya kait besi itu dan ditariknya dengan cepat. Terdengar suara grreekk yang rasanya begitu keras di dalam lorong ini. Suara itu lebih keras dari yang diduga oleh Minos sehingga dia sedikit takut. Begitu langit-langit kayu di atas kepalanya berhasil terbuka, ternyata masih ada lapisan kayu lagi di atasnya. Tapi kali ini tak ada kait sebesar gelang yang bisa dipakai untuk menariknya. Sesaat Minos berpikir bagaimana cara membukanya. Jika ditarik tak bisa barangkali didorong, pikirnya, dan didorongnya atap kayu itu kuat-kuat. Lapisan itu terbuat dari kayu jati tua yang cukup berat setebal 3 cm. Tadinya Minos hanya mendorongnya dengan tangan kanan karena tangan kirinya masih memegangi senter, tetapi begitu menyadari lapisan kayu berat itu tak mungkin didorongnya dengan satu tangan, maka disimpannya senternya ke dalam saku. Grreeekk… Suara kayu yang terbuka kembali terdengar. Kali ini Minos mendorongnya ke atas dengan perlahan agar suaranya tak terdengar terlalu keras. Setelah itu lapisan kayu tak dapat terbuka lebih lebar lagi. “Kenapa tak bisa didorong ke atas?” gumam Minos heran. Ternyata lapisan kayu penutup bagian atas tak bisa dibuka ke arah atas melainkan hanya digeser saja. Mirip seperti cara kerja pintu dorong. Sayangnya, meski lapisan kayunya sebagian besar telah terbuka tetapi di atasnya masih dilapisi sebuah karpet sehingga Minos kesulitan untuk membukanya. Minos menarik nafas berusaha mengumpulkan tenaga. Tinggal selangkah lagi untuk mengetahui dimana sebenarnya ujung lorong ini berada. Dia sudah melangkah sejauh ini, dan tak lucu jika di saat-saat terakhir harus terganjal oleh selembar karpet. Dicobanya kembali untuk menggeser karpet itu. Kali ini mudah. Bahkan sangat mudah. Karpet itu terangkat seperti ada seseorang yang mengangkat bagian ujungnya. Minos buru-buru melepaskan pegangan tangannya pada bagian bawah karpet. Minos terpaku dengan wajah pucat, lalu dipejamkannya matanya. Tamatlah riwayatnya sekarang. Tiba-tiba dari arah atas dia mendengar suara yang sangat dihapalnya. Suara itu bahkan terdengar lebih kaget darinya. “Minos?” Minos mendongakkan wajahnya dan membuka matanya, “Ra-fi??” “Apa yang kau lakukan di situ?” bisik Rafi keras. Minos mengerutkan keningnya. Sedikit bingung, “Bukankah kau yang menyuruhku kemari?” Terdengar suara langkah dari luar gudang, Rafi menoleh dengan gugup. “Mundur! Aku ikut denganmu! Aku tak mau ketahuan Mas Santo!” Rafi mengibaskan tangannya dengan panik. Minos mengangguk dan mulai menuruni tangga dengan sigap. Rafi menyusul tak lama kemudian setelah sebelumnya telapak tangannya menggeser kembali karpet untuk menutupi lubang lorong. “Tutup lagi kayunya,” perintah Minos. Rafi menggeser penutup kayu itu dengan hati-hati. Gelap seketika menyelimuti ruangan dan Rafi mendadak merasakan dadanya sesak. “Nyalakan senternya,” bisiknya tertekan. Senter yang dipegang Minos menyala meski dengan cahaya redupnya. Rafi mulai sedikit tenang. Dengan hati-hati, dituruninya tangga dinding itu hingga ke dasar lantai. “Jadi gudang Salon Queen memiliki ruangan bawah tanah,” Rafi berkata dengan suara rendah pada Minos. “Ini milik Pak Koha,” Minos membetulkan. “Bukan! Ini gudang salonnya Bu Lissi,” ujar Rafi. “Di atas itu gudang Salon Queen?” tanya Minos antusias. Rafi mengangguk. “Kenapa kau ada di sini? Kukira kau dihukum.” Minos memandangi Rafi. “Kukira kau di lorong bawah tanah Pak Koha,” balas Rafi, “dan sebenarnya aku melarikan diri dari hukuman penjaraku,” lanjutnya. “Aku memang dari sana. Aku sedang mencari ujung lorongnya dan ternyata ujung lorongnya adalahgudang salon.” Minos menunjuk ke atas. “Sayangnya, begitu kita berdua mengetahui dimana pangkal dan ujungnya, kita justru terjebak di dalam sini tak dapat keluar,” suara Rafi terdengar muram. “Baiklah. Kita akan pikirkan itu nanti,” ujar Minos, “Yang penting sekarang, kita harus kembali ke dalam lorong. Aku akan menunjukkan sesuatu yang akan membuatmu sangat tertarik.” Rafi berjalan di belakang Minos dengan langkah kaku ketika Minos mulai mematikan senternya. “Nyalakan saja senternya,” Rafi memohon. “Kita harus berhemat,” ujar Minos, “Nyalanya sudah sangat redup.” “Aku membawa batere baru. Jangan khawatir. Nyalakanlah! Dadaku rasanya sesak jika berada dalam gelap.” Minos menghela nafas. Dia menyalakan senter di tangannya dan Rafi melemparkan batere yang diambilnya dari ransel ke tangan Minos. “Apa yang akan kulihat nanti?” tagih Rafi. Minos bergegas berjalan menyusuri lorong sambil setengah berlari dan Rafi mengikuti di belakangnya. Dia sama sekali tak mengucapkan apa-apa. Ketika mereka berdua akhirnya sampai ke ruangan berlilin, Rafi berseru keheranan. “Ada ruangan dalam lorong ini?” tanyanya sambil matanya menelusuri ruangan itu. Minos mengangguk. Dia mematikan nyala senternya karena telah dibantu nyala lilin dan dia menggamit lengan Rafi dan menunjuk ke arah kardus-kardus berlubang samping sebesar bola pingpong itu. “Coba kau lihat apa isinya!” perintah Minos. Rafi segera melangkah ke arah kardus-kardus itu dan membukanya sebuah. Rafi bersiul senang. “Kukang-kukang itu dilarikan ke tempat ini ternyata. Pantas saja polisi tak dapat menemukannya.” “Tapi tak mungkin berhenti di sini kan? Coba kau lihat burung-burung di sangkar itu! Semua dalam keadaan siap dikirimkan ke suatu tempat. Aku yakin seyaki-yakinnya jika Bos Deli adalah penyelundup satwa langka. Di sangkar itu ada burung curik bali, Fi! Kita semua tahu kalau curik bali sangat sulit ditemukan sekarang.” Sambil berkata begitu, Minos menyibakkan semua kain penutup sangkar warna hitam agar Rafi melihatnya dengan jelas. “Lalu Pak Koha? Apakah menurutmu dia terlibat?” tanya Rafi. “Tentu saja terlibat. Aku yakin Pak Koha terlibat jika ternyata perkembangannya seperti ini,” ujar Minos. Rafi berpikir diam-diam, “Kalau Pak Koha terlibat, kita akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar. Bayangkan saja, kita tak dapat keluar dari gudang maupun dari rumah Pak Koha. Melewati salah satu saja akan membuat kita tertangkap.” “Itu akan kita pikirkan nanti,” putus Minos tak sabar. “Yang lebih penting dari semua itu adalah, bantu aku membuka lemari agar kita tahu apa isinya! Lemari itu dikunci.” Rafi dan Minos bergegas menghampiri lemari yang terkunci itu. Rafi mengamati tepian daun pintu lemari dengan seksama. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Aku menduga, isi lemari ini sangat penting,” katanya serius. “Menurutku juga begitu,” sambung Minos. “Mereka tak akan mengunci sebuah lemari yang berada dalam lorong bawah tanah rahasia jika benda di dalam lemari itu bukan benda yang sangat penting.” “Sesungguhnya yang kupikirkan justru lebih dari itu,” Rafi menatap Minos dengan sungguh-sungguh. “Lalu apa?” Minos mengerutkan dahi. Rafi tak menjawab pertanyaan Minos. Dibongkarnya ranselnya dan menarik sebuah gunting besar. Dimasukkannya kedua ujung gunting ke sela-sela daun pintu yang tertutup rapat dan dicongkelnya kuat-kuat. Pintu membuka sedikit membuat celah sempit, kemudian kembali rapat. Lemari itu benar-benar keras kepala. Rafi mengulanginya lagi. Dicongkelnya kembali daun pintu itu dengan gunting sekuat tenaga. Guntingnya kembali berperang dengan daun pintu lemari. Terdengar suara krakk, gunting itu berhasil mencongkel sedikit serpihan kayu lemari tetapi tak berhasil membuatnya terbuka. “Sulit ya? Biar aku yang mencobanya. Tanganmu kurus sekali,” senyum Minos sambil mengulurkan senter sekaligus batere yang tadi diberi Rafi, dan Rafi menyerahkan guntingnya pada Minos. “Coba saja, Tuan Gagah,” ledek Rafi sambil nyengir. Rafi mengganti batere senternya dengan yang baru dan menjejalkan batere yang lama ke dalam ranselnya. Dinyalakannya dua detik dan dia tersenyum puas melihat nyalanya yang terang. Sementara itu Minos berusaha mencongkel pintu lemari dengan gunting Rafi. Cara Minos sedikit berbeda. Pertama, dimasukkannya ujung gunting dan diletakkannya sedalam mungkin ke dalam sela-sela daun pintu. Minos diam sejenak seperti berusaha mengumpulkan kekuatan. “Berusaha sakti ya?” ledek Rafi lagi. Minos pura-pura tak mendengar. Dia sepenuhnya berkonsentrasi pada pintu lemari dan guntingnya. Kemudian sebelum Rafi mengucapkan apa-apa lagi, Minos mencongkel daun pintu itu dengan sekuat tenaga. Terdengar suara krak yang lebih keras dari suara yang dihasilkan Rafi tadi, dan pintu lemari itu terbuka. Rafi tertegun melihatnya dan menunjukkan ibu jarinya kepada Minos sambil tersenyum. “Sakti kan?” gurau Minos. “Kesaktianmu nggak bakal muncul kalau aku tidak memancingnya keluar tadi,” kekeh Rafi. Minos mengacak rambut keriting Rafi dan Rafi berkelit. Kedua sahabat itu tertawa-tawa kecil. Lupa kalau mereka sedang berada dalam sebuah lorong yang tersembunyi dari dunia luar. Lemari itu berisi tumpukan kertas dan beberapa amplop. Ada beberapa botol berisi cairan, tetapi Minos dan Rafi tak tahu benda apa itu. Minos menarik salah satu amplop ukuran besar yang tersimpan di bagian atas. “Perusahaan Satwa Indah Wildlife,” bisiknya membaca tulisan di bagian kiri atas amplop. Alamat perusahaan itu di kota Malang. Direkturnya adalah seseorang bernama Kin Collin. Rafi juga menarik salah satu amplop dan membukanya. Ternyata isinya adalah surat dokumen perdagangan dalam bahasa Inggris. “Apa isi amplop yang kau pegang?” tanya Rafi dengan suara lirih. Minos membukanya. Dia diam sejenak dan membaca---kemudian berkata, “Ini hanya surat-surat. Aku tak tahu ini surat apa, tetapi sepertinya Perusahaan Satwa Indah Wildlife adalah sebuah penangkaran binatang resmi yang berada di Malang.” “Resmi? Maksudmu ini bukan penyelundupan?” Rafi sangat kaget mendengarnya. Minos masih meneliti surat itu, lalu dia mengangguk. “Sepertinya dokumen ini resmi. Penangkaran ini dilakukan untuk melindungi satwa liar dari kepunahan. Tapi entah kenapa aku kok masih ragu ya?” gumam Minos. “Jadi selama ini kita yang salah menduga ya?” tanya Rafi. Wajahnya agak kecewa. “Belum tentu juga, sih.” Minos menarik salah satu kertas dari dalam lemari. Dibacanya dengan teliti---dikerutkannya dahi---dimonyongkannya mulutnya, ke depan, ke kiri, ke kanan. Wajahnya sangat serius. “Coba kau lihat ini! Menurutmu apa ini, Fi?” Minos mengulurkan kertas itu pada Rafi. Rafi menerimanya dan membacanya. “Ini daftar nama-nama satwa yang dikategorikan sebagai binatang langka, Minos. Coba kau lihat dalam daftar yang disebut Apendiks I. Harimau dan orangutan termasuk di dalamnya. Sementara yang termasuk Apendiks II boleh diperdagangkan jika ada ijinnya. Nah yang termasuk Apendiks III, dilindungi oleh undang-undang negara yang bersangkutan. Kukira, mereka memiliki daftar ini sebagai acuan.” “Menurutmu, mungkin tidak semua dokumen itu palsu?” Minos bertanya ragu-ragu. “Kenapa kau berpikir begitu?” “Yah, bagaimana ya? Apa kau tidak curiga? Semua binatang ini ditaruh di dalam kardus. Bahkan harimau putih yang dilihat Nuni dalam keadaan dibius. Saat kalian berdua bersaksi di depan polisi bahwa kalian melihat kukang, kukang-kukang itu disingkirkan dari gudang. Ini lorong bawah tanah, Fi. Ingatlah! Aku yakin mereka tak akan menyembunyikan binatang-binatang itu di tempat ini jika ini bukan tindakan kejahatan.” Rafi terdiam. Dia terlihat menimbang-nimbang. “Ini sudah sangat larut. Kita berdua harus cepat-cepat kembali ke rumah masing-masing jika tak ingin mendapat kesulitan lebih banyak lagi. Bagaimana kalau kita bawa saja semua kertas-kertas ini?” usul Rafi, “kita akan menelitinya dengan lebih mudah jika kita berada di luar. Kita bisa membawa surat-surat ini pada polisi. Paling tidak kali ini mereka tahu bahwa waktu itu aku dan Nuni benar-benar melihat kukang.” “Kalau mereka memang benar penyelundup, maka polisi akan sangat terbantu dengan penyelidikan kita,” ujar Minos mantap, “tapi jika ternyata kita yang keliru, kita harus mengembalikan tarsius itu pada mereka. Karena penangkaran resmi memang dibutuhkan untuk menjaga binatang dari kepunahan.” Rafi mengangguk setuju. “Pertama kali kita harus keluar dari tempat ini,” cengirnya lebar, “Dan kita harus melewati gudang kembali karena aku tadi melihat toko Pak Koha digembok. Pak Koha pasti menyimpan kuncinya dalam kamar. Jadi siap-siap saja ditangkap Mas Santo ya.” Minos menggeleng. Cengirannya lebih lebar dari Rafi. “Pak Koha menyimpan kuncinya di laci meja toko. Jadi kita tak perlu ditangkap siapapun di dalam gudang.” Rafi senang mendengarnya. “Ayolah kalau begitu.” Dikumpulkannya beberapa amplop yang diambilnya dari lemari. Dia menoleh ke arah botol-botol berisi cairan bening dan diambilnya sebuah. Semua dijejalkannya di dalam ransel. Kemudian mereka berdua menutup pintu lemari, menoleh ke arah sangkar burung dan kardus-kardus itu, dan keluar dari ruangan yang lilinnya telah meleleh separuh. Baru beberapa langkah berjalan mereka berdua dikejutkan oleh suara langkah-langkah kaki yang berat di belakang mereka. Rafi dan Minos menoleh ke belakang dengan panik. Wajah mereka diterpa sinar senter yang besar dan terang sehingga mereka tak dapat melihat dengan jelas siapa yang datang. “Penyusup!” seru seorang laki-laki. Kali ini Rafi dan Minos yakin kalau itu suara Mas Santo. “Larii!!!” seru Rafi. Mereka berdua melarikan diri secepat-cepatnya. Tetapi kedua orang di belakang mereka jauh lebih cepat dan dengan sigap menangkap bahu Rafi dan Minos, mencengkeramnya erat-erat. Minos dan Rafi meronta-ronta dan menyepakkan kaki ke segala arah, berusaha untuk melawan. “Mereka benar-benar menyulitkan, Bos Deli!” Saat itu juga, Rafi menggigit lengan Mas Santo dan Mas Santo membalasnya dengan pukulan di tengkuk sehingga Rafi pingsan seketika. Minos berusaha melepaskan diri, tetapi Bos Deli segera mengeluarkan pisau lipat dan menempelkannya di pipi Minos. “Santo! Ikat saja mereka!” perintahnya. “Jangaaaannn!!! Lepaskan kami!” jerit Minos. “Baik Bos Deli,” suara Mas Santo patuh. Dalam beberapa menit saja, kedua tangan mereka telah terikat di belakang. Minos semakin keras berteriak. “Toloooonggg!!!!” “Apa saya harus mengikat kakinya juga?” tanya Mas Santo. “Ikat juga mulutnya!” Bos Deli mengernyit sebal. Mas Santo bergegas melepas sepatu kets dan kaus kaki yang dipakainya. “Ini untukmu karena sudah menyusup ke dalam gudang untuk pergi ke tempat ini!” Mas Santo mengira jalan masuk Minos ke lorong juga melewati gudang. Lalu dia pun menyumpal mulut Minos dengan kaus kaki, lalu mengikat kaki Minos dan kaki Rafi tanpa belas kasihan. Tertangkap Sekitar pukul dua dinihari, bel yang terpasang di tembok gerbang rumah Nuni berbunyi terus-menerus selama beberapa menit. Ibu dan Nuni terbangun dengan perasaan was-was. Ibu paling tak suka menerima telepon atau mendengar bunyi bel rumah saat tengah malam. Sebenarnya itu karena Ibu takut mendengar berita buruk. Hanya berita buruklah yang datang tak mengenal waktu. “Siapa yang membunyikan bel sampai seperti itu?” tanya ibu dengan suara cemas. Terdengar bunyi berkelontang dari depan. Sepertinya seseorang sedang memukul pagar besi dengan batu. “Permisi, Bu! Assalamu’alaikum…!” Nuni yang berdiri dengan mata mengantuk di belakang ibu mendesis lirih, “Itu suara Mak Sri, Ibu!” Mendengar nama Mak Sri disebut, Ibu segera berlari ke depan sambil menyambar jilbabnya. Nuni berlari kecil di belakang ibu dan mereka berdua mendapati Mak Sri, Pak Mursidi ayah tiri Rafi, dan bapak Minos, berdiri tegak di depan pintu gerbang dengan wajah cemas. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Nuni. “Mbak Nuni, apa Rafi dan Minos ada di sini? Maaf. Sepertinya memang tidak mungkin. Tapi kami tidak tahu lagi harus mencari dimana…,” mata Mak Sri berkaca-kaca. Ibu buru-buru membuka kait pintu gerbang. “Tidak…mereka tidak ada di sini. Hari masih gelap, mereka tak mungkin datang kemari saat hari masih gelap. Mereka pasti ada di kamar masing-masing sekarang,” Ibu kelihatan sangat bingung hingga kata-katanya terdengar membingungkan. Kalau Minos dan Rafi ada di rumah masing-masing, tak mungkin orangtua mereka mencari hingga kemari. “Mereka tak ada di rumah. Justru karena itu kami mencari mereka kemari. Rafi dan Minos sering sekali kemari, jadi kami berpikir mereka pergi ke tempat ini,” kata Pak Mursidi. Ibu menggeleng-geleng, kemudian menoleh pada Nuni yang wajahnya pucat pasi. “Sejak kapan mereka berdua menghilang?” tanya Nuni dengan suara gemetar. “Saat Bapak pulang dari narik becak jam 12 malam, Minos sudah tak ada di rumah. Entah sejak kapan dia meninggalkan rumah. Minos masih berada di rumah jam 9 malam tadi. Dia tak membawa apa-apa ketika pergi,” jelas Bapak Minos. “Kalau Rafi, jam 9 malam dia masih berada di kamarnya karena Mak menghukumnya. Tetapi Mak memang mengijinkan dia keluar kamar karena Rafi kepingin pipis.” Mak Sri mulai menangis. Wanita berbadan gemuk dan biasanya sangat periang itu kini begitu kebingungan karena sangat cemas akan keadaan Rafi. “Dan sekarang sudah jam 2 sementara kami sama sekali tak tahu dimana Rafi dan Minos berada,” sambung Pak Mursidi. “Kamu tahu dimana sahabat-sahabatmu, Nuni?” tanya Ibu. Nuni menggigit bibir bawahnya menahan tangis, lalu anak perempuan itu mengangguk perlahan-lahan. “Dimana?” Mak Sri, Ibu, Pak Mursidi, Bapak Minos bertanya bersamaan. Nuni menatap mereka dan mengatakan apa yang diketahuinya. Sesaat kemudian hening. Kemudian Bapak Minos berkata dengan suara tegas, “Kita harus melaporkan kehilangan anak-anak kita pada polisi. Paling tidak, polisi dapat menjadi saksi jika kita tak bermaksud jahat atau mencuri di rumah Pak Koha.” Semua mengangguk setuju. *** Sementara itu di dalam lorong, Mas Santo membongkar ransel Rafi dan mengeluarkan semua isinya. Dia begitu gemas sekaligus malu ketika menemukan tumpukan surat milik bosnya di dalam ransel adik tirinya. “Pencuri kecil!” desisnya geram. “Coba lihat Bos, mereka bahkan mencuri botol obat biusnya juga!” serunya kesal. Rafi masih pingsan sementara Minos melotot ke arah Mas Santo yang kemudian melemparinya dengan ransel Rafi. “Biarkan saja mereka di sana, Santo. Sekarang kumpulkan saja kukang-kukang dan burung-burung itu! Mobil boksnya sudah datang. Dia parkir di warung sekarang, aku akan meneleponnya agar dia memutar dan masuk ke sebelah toko Pak Koha agar tak ada yang melihat kita,” Bos Deli berkata dengan tak sabar. “Tapi bagaimana dengan anak-anak ini, Bos?” tanya Mas Santo. Bos Deli tertawa tertawa. “Kita sudah terlalu banyak membayar uang sewa lorong pada Pak Koha. Setelah aku berhasil membuat dokumen palsu untuk burung macau spix besok, dia juga akan ditangkap karena menyimpan dua anak laki-laki yang mati kelaparan di lorong bawah tanahnya.” “Maksudnya bagaimana, Bos?” tanya Mas Santo bingung. Bos Deli benar-benar tak sabar mendengar pertanyaan Mas Santo. “Maksudku aku sudah lelah membayar uang tutup mulut untuknya. Biar saja dia dipenjara karena tuduhan penculikan anak! Besok aku akan mengurus dokumen palsu untuk macau spix yang sangat langka itu. Lalu kita akan membereskan semua isi lorong ini agar jika polisi menemukan sesuatu, yang mereka temukan hanyalah kedua anak laki-laki itu dan tuduhan penculikan akan jatuh pada Pak Koha!” bentaknya. “Jika anak-anak ini mengoceh macam-macam tentang segala macam binatang yang mereka lihat, bagaimana Bos?” tanya Mas Santo lagi. “Biar saja! Mereka tak akan dapat membuktikannya. Tak akan ada bekas keberadaan binatang apapun. Salon Queen akan tutup begitu aku menerima pembayaran untuk semua binatang-binatang ini dan burung macaw spix yang harganya miliaran itu!” Bos Deli tertawa, “Aku rindu ingin kembali menjadi Kin Collin lagi.” Mas Santo mengangguk-angguk. “Cepat bereskan kardus-kardus itu!” bentak Bos Deli. Mas Santo mengangguk-angguk kembali, kali ini ditambah dengan lari terbirit-birit ke dalam ruangan berlilin. Minos hanya memandangi mereka berdua dengan tatapan marah. Setelah disumpal dengan kaos kaki, Minos tak lagi berteriak karena suara yang keluar hanya membuat lehernya sakit. Kedua kakinya yang terikat mencoba menyepak kaki Rafi perlahan agar Rafi siuman, tapi rupanya pukulan kakak tirinya terlalu keras sehingga Rafi pingsan begitu lama. Kardus-kardus itu dibawa ke atas melalui pintu lorong dan keluar melalui ruang Karpet dan Tombak milik Pak Koha. Kalau Pak Koha benar dibayar agar membiarkan semua kardus itu keluar dari sana dengan tenang, maka kunci yang dibiarkan berada di dalam laci barangkali juga atas perjanjian mereka agar Mas Santo dan Bos Deli bebas keluar masuk untuk membawa apa saja dari lorong ini untuk dibawa ke suatu tempat. Minos hanya bisa melihat mereka mondar-mandir sampai seluruh kardus dan sangkar burung dibawa ke atas. Sudah ada mobil yang menunggu untuk membawa semua harta alam itu ke suatu tempat. Air mata Minos meleleh perlahan tanpa dapat dicegah. Anak laki-laki itu teringat Kiyut si tarsius mungil yang kini terpaksa tinggal di tempat Nuni. Membayangkan binatang itu dirampas kebebasannya dari alam, tempat sanak saudaranya berkumpul hanya untuk dijual dan diselundupkan, barangkali ke seluruh dunia, membuat Minos sangat sedih. Itu hanya satu hal. Hal lain yang terlintas di pikirannya adalah, suatu hari nanti anak-anak Indonesia hanya akan melihat gambar binatang saja, karena semua telah punah oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Yang ini membuatnya sangat marah. Saking marahnya dia, yang keluar justru tangis. Tapi jelas dia tak dapat berbuat apa-apa. Dia dan Rafi sekarang malah terkurung di tempat ini tanpa dapat berbuat apa-apa. Tak lama kemudian, Mas Santo kembali lagi untuk menguras semua isi lemari dan mengemasnya dalam kardus. Setelah itu dia menatap Rafi dan Minos dengan jengkel, “Aku akan meninggalkan kalian di sini. Kamu selalu bersikap sok jagoan dan aku sudah muak melihat wajah Rafi setiap hari sejak bapakku menikah dengan mamaknya.” Setelah berkata demikian, dia mematikan sisa lilin dan menyalakan senternya sendiri kemudian bergegas pergi untuk keluar melalui ujung lorong yang terletak di gudang. Minos kembali menjejak kaki Rafi. Kali ini dalam kegelapan, Minos merasakan kaki Rafi bergerak. “Hah! Hah!” seru Minos berusaha memanggil Rafi, tetapi karena mulutnya disumpal maka suara yang keluar hanyalah Hah! Hah! “Umm…uuhh...aduuhh, aku pusing sekali…,” keluhnya. Sesaat hening. “Apa yang terjadi? Sial! Aku diikat! Minooss…Minoooss! Gelap sekali di sini…dadaku sesak! Minooss!!!” panggil Rafi. “Haaaaah…haaaahhh,” balas Minos. “Kau kenapa? Suaramu kok gitu?” “Haahh.” “Mulutmu kenapa?” Minos terdiam. Sulit menjelaskan apa yang terjadi dengannya jika gelap begini. Rafi tiba-tiba menyadari apa yang terjadi. “Mas Santo menyumpal mulutmu?” “Haah,” jawab Minos lirih sambil mengangguk-anggukkan kepala dalam gelap. Tentu saja Rafi tak melihatnya. “Minos, mendekatlah kemari dan akan kubantu melepas sumpalmu,” kata Rafi sambil beringsut mendekati Minos. Minospun melakukan hal yang sama. “Duduklah di belakangku!” perintah Rafi. Minos menurutinya dengan patuh. Dia bersimpuh di belakang punggung Rafi. Rafi bertumpu pada lututnya, lalu dengan kedua tangannya yang terikat di belakang, dia meraba wajah Minos dalam kegelapan dan berusaha menarik penyumpal mulut Minos. “Aku dapat!” serunya senang. Dirabanya benda yang basah kuyup itu dengan kedua tangannya, lalu Rafi bersuara jijik, “Ini bukan kaos kaki, kan??” “Hueekk…iya. Itu memang kaos kaki,” suara Minos tercekik. “Sial banget kamu malam ini,” gumam Rafi muram, “Sekarang mau bagaimana kita?” “Menjerit?” usul Minos. Suaranya lemas. “Ide buruk. Dadaku akan bertambah sesak karena mendengar jeritan kita nanti,” tolak Rafi. Dia memandang berkeliling. Setelah terbiasa dengan kegelapan, gelap rupanya tak lagi terlihat terlalu gelap dan mereka mulai dapat melihat satu sama lain meski hanya samar-samar. “Kardus-kardus, juga sangkar burungnya, semua telah dibawa naik Fi,” kata Minos, “Kata Bos Deli tadi, ada sebuah mobil boks yang telah menunggu di depan.” “Mobil boks?” Rafi berusaha mengingat-ingat, “Apa yang dimaksud mobil boks yang tadi berhenti di warung?” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu melihatnya tadi Fi?” tanya Minos. Rafi mengangguk mengiyakan sambil menjawab, “Iya.” “Soal Pak Koha, Pak Koha tak sepenuhnya terlibat. Dia hanya menyewakan lorong bawah tanahnya untuk lewat saja. Bahkan aku yakin Pak Koha sama sekali tak tahu menahu soal benda-benda yang disimpan di tempat ini. Bos Deli bahkan ingin agar Pak Koha ditangkap dengan tuduhan menculik kita,” jelas Minos, “Karena itu kita harus pergi dari tempat ini!” Rafi tiba-tiba teringat ranselnya. “Mana ranselku?” Minos mengedikkan dagunya ke arah gundukan yang tergeletak agak jauh dari mereka. “Apa yang kau cari?” tanyanya. “Gunting. Aku ingin menggunting tali pengikat kita, Minos. Ini konyol banget! Kita berdua terikat di sini kayak kepiting.” Minos beringsut menghampiri ranselnya. Kemudian dia menyeretnya dengan tangan yang terikat ke belakang dan menghampiri Rafi. “Nih. Aku dapat ranselnya!” “Ayo kita coba ambil guntingnya,” kata Rafi. Dengan posisi saling berhadapan punggung, Rafi mulai menarik restleting ransel dengan susah payah. Minos membantu Rafi mengangkat dasar ransel untuk memudahkan Rafi mencari-cari gunting yang dimaksud. “Aku dapat,” ujar Rafi, “Sekarang bagaimana? Aku ingin menggunting talimu, tapi ini terlalu gelap dan aku takut melukaimu.” Minos tak langsung menjawab, dia berpikir. Dengan tangan terikat ke belakang dan punggung saling berhadapan begini, resiko pergelangan tangan ikut tergunting memang cukup besar juga. “Hmm, bagaimana kalau kau pegang gunting itu dan tempelkan dulu pada ikatan sebelah luar. Jangan kau buka dulu guntingnya agar aku tidak kena. Kalau sudah ketemu, nanti baru kau selipkan pelan-pelan dan guntinglah sedikit sedikit,” Minos mencoba membantu. “Baiklah,” Rafi mengambil nafas dan menuruti apa yang dikatakan Rafi. Berkali-kali ujung gunting itu meleset tak menemukan tempat yang benar, tetapi karena Rafi memegangnya dengan hati-hati maka ujung gunting itu tak menyakiti Minos. Tak lama kemudian gunting Rafi telah menemukan ikatan yang benar. Rafi mulai bekerja dengan perlahan. Sebuah tali terputus. Tiba-tiba mereka melihat cahaya dan mendengar langkah kaki. Rafi langsung melepaskan guntingnya dengan waspada. Ternyata bukan Mas Santo ataupun Bos Deli, melainkan Mbak Intan. “Ass…ttta…ggaaa,” dengan gugup Mbak Intan mencoba mencari-cari saklar lampu yang terpasang di beberapa tempat di dalam lorong, tetapi ternyata setelah ditemukannya, bola lampunya tak dapat menyala. Akhirnya dia hanya menerangi saja Rafi dan Minos dengan senternya. Minos mengernyit karena matanya terkena cahaya langsung. “Tolong kami, Mbak Intan,” kata Rafi dengan suara rendah. Dia takut suara apapun bisa membuat Mas Santo turun lagi ke bawah, “Kami diikat.” Dengan tergesa-gesa Mbak Intan menghampiri kedua anak laki-laki itu dan berusaha melepaskan talinya. Karena gugup, Mbak Intan kesulitan. “Ada gunting kok, Mbak,” kata Minos. Mbak Intan meraih gunting itu dan mulai menggunting tali Minos. “Terimakasih,” ucap Minos senang. Kemudian dilepaskannya sendiri ikatan pada kakinya dan mulai membantu Rafi melepas ikatan di tangannya. “Untung Mbak Intan kemari,” kata Rafi. “Ka-kaliaann.. Mm-mi-noss d-dan Raf-Raf-fi??” dalam keadaan biasa saja Mbak Intan berbicara gagap, apalagi dalam keadaan panik seperti sekarang. “Benar,” Minos dan Rafi menjawab berbarengan. “Dd-dia-ttas ad-da po-li-si dd-datangg ber-sa –sa-ma oorangg tt-tua ka-llian,” Mbak Intan menarik nafas dan mereka berdua segera bangkit ketika mendengar polisi telah berada di atas bersama orangtua mereka. “Ayo kita pergi ke atas!” Minos menyambar ransel Rafi, mengeluarkan senter dan berlari ke tempat dia masuk tadi. Rafi mengikutinya dari belakang, juga Mbak Intan yang akhirnya terpaksa ikut berlari di belakang mereka. Sampai di potongan lantai yang membentuk tangga, Minos menunggu Rafi kemudian berkata, “Naiklah dulu!” Rafi dan Mbak Intan bergegas naik, kemudian Minos berdiri tepat di atas tanda X yang mengangkat tubuhnya naik ke atas dengan suara berdesing lembut dan menutup pintu masuk lorong, membawanya ke ruang Karpet dan Tombak milik Pak Koha. “Woow…!!” Rafi berseru kagum, “Kereen.” “Mereka ada di mana?” tanya Rafi. Mbak Intan menunjuk ruang tamu. Mereka bertiga bergegas pergi ke sana. “Mak!” panggil Rafi. Mak Sri dan Pak Mursidi bangkit dari kursi tamu. Ada Ibu Nuni, Nuni, dua polisi, Pak Mursidi, Mak Sri, Bapak Minos, dan Pak Koha. Semua memandang ke arah Minos, Rafi, dan Mbak Intan. “Tadi Pak Koha bilang, tak ada apa-apa di bawah?” tuntut Nuni. “Tentu saja tak ada!” bentak Pak Koha, “Entah bagaimana anak-anak nakal itu ada di sana!” “Berarti memang benar ada lorong di bawah rumah ini?” tanya polisi. “Emm…,” Pak Koha terlihat enggan menjelaskan. “Ada Pak,” jawab Minos dan Rafi berbarengan. “Kalian tak boleh memeriksanya!” Pak Koha berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Kedua polisi itu memandang Pak Koha dengan tajam. “Bapak dapat ditangkap dengan tuduhan penculikan,” kata salah satu polisi dengan tenang. Mbak Intan mulai menangis. Pak Koha menggelengkan kepala dengan sangat gusar. “Saya tak pernah menculik anak-anak ini, Pak. Saya bahkan tak tahu bagaimana mereka dapat masuk ke tempat ini. “Pak Koha tak menculik kami, Pak. Kami masuk sendiri,” Minos melihat ke arah Pak Koha dengan tatapan meminta maaf. “Kalian memang nakal!” Mak Sri mencubit bahu Rafi dengan gemas sambil melotot ke arah Minos. “Tapi kami menemukan sesuatu di bawah sana, Pak!” sambung Minos buru-buru. “Lorong Pak Koha digunakan untuk membawa binatang-binatang langka dari gudang salon Queen ke mobil boks yang telah menunggu di samping rumah Pak Koha.” “Anak itu berbohong!” seru Pak Koha. “Ya. Jangan berbohong lagi soal binatang langka, Nak. Kami sudah bosan mendengarnya. Keusilan kalian pada rekan kami beberapa hari yang lalu telah dicatat di kantor polisi.” Polisi itu memandang Minos dengan tajam. “Kami tidak berbohong!” teriak Nuni dengan kesal. Dari tadi dia hanya diam mendengarkan, tetapi jelas dia tak akan diam saja jika salah satu dari mereka dituduh berbohong. Semua melihat ke arah Nuni. Ibu tak berkata apa-apa. “Tadi kami berdua menemukan belasan kardus berisi kukang dan tiga sangkar burung tertutup kain hitam. Sepertinya burung hantu dan dua ekor curik bali. Di sangkar itu ada nama latinnya, tapi kami lupa,” kata Minos, “Kami juga menemukan dokumen-dokumen sebuah perusahaan bernama Satwa Indah Wildlife, sebuah penangkaran binatang di Malang, Jawa Timur. Direkturnya bernama Kin Collin dan kami yakin sekali bahwa Bos Deli adalah Kin Collin yang sedang menyamar.” “Pak Koha menyewakan lorong bawah tanah itu untuk mereka!” sambung Minos. Kedua polisi itu menatap Pak Koha. “Jangan asal menuduh! Kalian ini terlalu banyak berkhayal!” sungut Pak Koha dengan marah. “Semua bukti sudah tak ada lagi. Semua sudah dibawa pergi oleh Bos Deli dan Mas Santo tadi setelah mereka mengikat kami di lorong bawah tanah. Mbak Intan yang tadi melepaskan kami,” jelas Rafi yang kemudian menunjukkan pergelangan tangan mereka yang merah bekas diikat.” Mendengar itu, tanggapan yang berbeda-beda muncul bersamaan. “Apa? Diikat?” seru Nuni cemas. “Mas Santo mengikatmu?” pekik Mak Sri marah. “Dipukul hingga pingsan dan disumpal juga!” sahut Rafi sambil menunjukkan tengkuknya yang masih terasa nyeri tanpa mengatakan siapa yang disumpal. “Benarkah itu Rafi?” tanya Pak Mursidi, bapak Mas Santo. “Kami tidak berbohong!” jawab Minos tajam. “Intan membebaskan kalian??” suara Pak Koha yang serak menggelegar. Mbak Intan yang ditunjuk oleh ayahnya sangat ketakutan. Dia hanya mengerjap-kerjapkan mata kemudian menjawab dengan suara lirih yang gagap, “Ak-aku tt-takut ad-da yy-ang me-ngi-ngira ayah menc-cc-ulik an-anak-anaakk.” Pak Koha menghela nafas dengan masygul, “Jadi kau mendengar orang-orang datang tadi dan mencari anak-anak hilang, lalu kau memutuskan untuk memeriksa lorong bawah tanah, begitu?” Lalu Pak Koha menarik nafas panjang. Wajahnya terlihat sangat lelah sekarang. “Baiklah…baiklah…saya akan mengaku. Saya memang menerima uang sewa yang cukup besar agar mereka dapat menggunakan lorong bawah tanah saya. Bangunan salon Queen itu dulunya milik almarhum kakek saya, telah terjual pada orang lain kini, tetapi saya tahu persis ada lorong bawah tanah yang menyambungkan rumah saya dengan gudang mereka. Ketika mereka mengetahuinya dan berkata ingin menyewa, saya mengijinkannya. Saya sendiri membutuhkan banyak uang untuk membawa Intan anak saya berobat. Saya ingin Intan menjalani terapi agar gagunya berkurang sedikit demi sedikit. Itu saja. Tapi sungguh saya tak tahu soal binatang-binatang langka yang disebutkan oleh anak-anak itu.” “Baiklah. Tapi kami mohon Pak Koha dan Mbak Intan tetap ikut kami ke kantor polisi untuk memberi keterangan lebih rinci lagi,” kata salah seorang polisi. “Lalu bagaimana dengan Bos Deli dan Mas Santo?” tanya Rafi. Salah seorang polisi menelepon selama beberapa saat, kemudian berkata, “Informasi kalian barangkali sangat berharga. Memang ada perusahaan penangkaran bernama Satwa Indah Wildlife yang telah lama dicurigai sebagai tempat penangkaran palsu tetapi belum ada bukti yang menguatkannya.” “Oh ya…mereka bahkan juga akan membuat dokumen palsu untuk burung macaw spix!” seru Minos tiba-tiba. “Bagaimana kau tahu?” Rafi memandang heran. “Aku mendengarnya saat kau pingsan tadi,” jawab Minos kalem. Nuni membelalakkan mata. “Itu burung kakatua Brazil kan? Aku pernah membaca bahwa harganya mencapai satu miliar karena dia sangat bergantung pada pohon Caraibeira untuk membuat sarang, sementara pohon itu sendiri sudah sulit ditemui.” “Begini, kami akan segera membawa kalian semua ke kantor polisi untuk menjadi saksi!” polisi itu berkata tegas memotong seluruh pembicaran mereka. “Bagaimana dengan salon Queen? Kalian akan memeriksanya?” tanya Rafi. “Beberapa petugas kami sedang meluncur ke sana dan kami juga telah mengatur petugas untuk berjaga di seluruh titik perbatasan kota Yogyakarta agar memeriksa seluruh mobil boks yang keluar dari kota ini.” Polisi itu tersenyum ramah pada Rafi, “Kalian tak perlu khawatir.” “Satu lagi, Pak. Seekor tarsius milik mereka ada di rumah saya. Waktu itu dia lepas dari gudang dan saya bawa karena hampir tertabrak sepeda motor,” kata Nuni. “Kau bilang Kiyut dibeli di pasar hewan??” tanya Ibu dengan suara meninggi. Nuni meringis. “Aku minta maaf, Bu.” Polisi itu mengangguk menengahi.“Baiklah. Kami akan membereskan semuanya malam ini,” katanya. Sebuah mobil polisi berhenti di depan toko Pak Koha dan semua naik tanpa kecuali. Pak Mursidi, Mak Sri, Ibu, Bapak Minos, Nuni, Minos, Rafi, Pak Koha, dan Mbak Intan, semua dibawa ke kantor polisi untuk dicatat seluruh keterangannya. Sementara itu sebuah mobil polisi lain berhenti tepat di depan gudang salon dan enam orang polisi bersenjata turun dan mengepung lokasi. Malam ini adalah malam yang sangat panjang bagi mereka semua. Terutama Minos dan Rafi. Akhir Liburan Yang Hebat Ruang tamu keluarga Nuni dipenuhi banyak orang, juga makanan. Pagi itu semua berkumpul ingin mendengar keseluruhan cerita yang sebenarnya. Ayah Nuni bahkan langsung pulang dari Malaysia meski pekerjaannya belum sepenuhnya selesai. Rasanya, baru pertama kali ini di Kotagede ada sebuah kasus kejahatan besar. “Jadi sebenarnya pemilik Salon Queen itu penyelundup satwa langka?” tanya Mbak Yati, pegawai Ibu. Nuni mengangguk. “Bahkan ternyata, mereka menjual ke hampir seluruh dunia,” katanya sambil mengunyah kacang mete berlapis cokelat buatan Mak Sri. “Bu Lissy yang cantik itu juga terlibat?” tanya Mas Udin dengan wajah kecewa. Minos tertawa kecil. “Tante Lissi itu istri Bos Deli, Mas. Tentu saja dia terlibat. Nama aslinya adalah Yana Bing. Dulu, ternyata Bos Deli itu pernah dipenjara, tetapi Yana Bing tetap menjalankan perusahaannya dengan menggunakan nama baru,” kata Minos. Dengan malu-malu dia mengambil kue keju dari piring yang disodorkan ibu. “Lalu nasib kakak tirimu bagaimana, Fi?” tanya ayah dengan penuh perhatian. Rafi menaruh gelas sirup melonnya dengan hati-hati di meja sambil melirik Mak Sri dan Pak Mursidi yang sedang duduk di depannya. Pak Mursidi, ayah tiri Rafi menjawab dengan suara lembut. “Biarlah anak itu menerima hasil perbuatannya, Pak. Semoga jika masa hukumannya di dalam penjara telah selesai dia dapat menjadi orang yang baik. Kami sebenarnya sangat berharap Santo dan Rafi dapat saling menyayangi. Bukankah keluarga itu adalah orang yang terdekat dengan kita? Saudara tiri pun dapat saling menyayangi jika ikhlas menerima satu sama lain.” Pak Mursidi adalah orang yang sangat baik. Mak Sri tersenyum sambil mengusap punggung suaminya. Semua bersuit-suit menggoda Mak Sri. “Sssshhh!” tukas Mak Sri sambil tersenyum. “Pak Koha bagaimana?” tanya Nuni, “Apa berita terakhir tentangnya?” Nuni menanyakan itu karena saat mereka semua telah diijinkan pulang dari kantor polisi, Pak Koha dan Mbak Intan masih harus di sana untuk menjalani pemeriksaan. “Mereka tak terbukti bersalah. Pak Koha benar-benar menyesal telah menyewakan lorong bawah tanahnya. Pak Koha benar-benar sekedar membutuhkan uang untuk membawa Mbak Intan terapi bicara. Bayangkan, Bos Deli---maksudku Kin Collin, menyewa lorong itu sebesar 7 juta sebulan dengan syarat Pak Koha tak boleh memeriksa lorong itu selama dalam kontrak peminjaman. Kini, batas lorong bawah tanah yang masih berada dalam wilayah tanah Pak Koha akan ditutup agar tak ada yang memanfaatkan lorong itu sebagai jalan keluar masuk,” jelas Rafi. “Satu yang masih membuatku sedih adalah, aku kehilangan Kiyut,” desah Nuni. Tarsius itu dibawa oleh polisi sebagai barang bukti dan kini binatang langka asal Sulawesi itu diberikan kepada Taman Safari Prigen Jawa Timur untuk dirawat dalam habitat yang dibuat seasli mungkin oleh petugas Taman Safari. “Dia bahagia dan kenyang makan serangga sekarang, Ni. Tidak ada lagi yang menyuruhnya makan pisang di sana,” ganggu Minos. “Aku memberinya pisang karena aku dulu belum tahuu!” Nuni dengan jengkel mencubit lengan Minos dan membuat wajah Minos memerah selama beberapa saat. “Assalamualaikum!” Semua menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka. Bapak Minos tersenyum lebar sambil membawa sebuah surat kabar. Wajahnya berseri-seri sambil mengacungkan surat kabar Suara Kita itu ke arah mereka semua. “Anak-anak masuk koran! Detektif cilik kita!” suaranya bergetar. Semua terpana kemudian sedetik kemudian saling dorong untuk mendapatkan surat kabar itu untuk pertama kalinya. Akhirnya justru Mas Udinlah yang mendapatkannya dan ayah meminta Mas Udin untuk membaca keras-keras. Mas Udin berdiri tegak dan mengambil nafas sebelum membaca keras-keras. Penyelundupan Bos Penyelundup Satwa Langka Ditangkap YOGYAKARTA, SUARA KITA --- Kepolisian Sektor Kotagede Yogyakarta Sabtu (28/12) menangkap suami istri KC dan YB serta seorang pengurus gudang berinisial S di gudang salon Q wilayah Kotagede karena diduga terlibat jaringan penyelundupan satwa langka berkedok usaha krim perawatan kulit untuk spa. Tiga tahun lalu KC pernah ditangkap karena kasus serupa dan ditahan selama 1 tahun. Istrinya YB tidak mengakui keterlibatannya dalam kasus ini. “Saya hanya menjalankan bisnis salon saja,” kata YB. Tetapi mereka sulit menyangkal lagi ketika dokumen-dokumen palsu pengiriman satwa ditemukan dan mobil boks yang diduga mengangkut satwa yang akan dibawa ke Jakarta berhasil diamankan di daerah Wates, Yogyakarta. Kepala Polsek belum bersedia menjelaskan secara rinci mengenai kasus ini dan berkata sedang melimpahkan berkas kasus ini ke Polda. Kejadian ini bermula ketika 3 orang anak berumur 13 tahun, Minos, Rafi, dan Nuni, menemukan binatang langka di dalam gudang salon Q. Rasa penasaran mereka mendorong mereka mencari bukti-bukti lebih lanjut untuk penyelidikan mereka. Keterangan mereka sangat membantu pihak kepolisian untuk menangani kasus ini lebih lanjut. Dari keterangan mereka, ditemukan juga burung macaw spix dalam gudang yang nilainya satu setengah miliar tanpa surat resmi dan siap diterbangkan ke AS. Selama ini Indonesia merupakan surga bagi pemburu dan penyelundup binatang langka untuk diterbangkan ke seluruh dunia. “Kami berharap seluruh pemburu liar dan penyelundup dapat ditangkap agar anak-anak Indonesia masih dapat memiliki satwa liar di alam bebas,” begitu harapan ketiga detektif cilik pemberani itu. (TRI) “Kita benar-benar masuk ke dalam surat kabar,” cetus Nuni senang. “Kenapa lorong Pak Koha tak disebut-sebut?” tanya Rafi. “Lebih baik begitu agar tak ada yang penasaran lagi pada lorong bawah tanah Pak Koha. Kasihan kan kalau ketenangannya terganggu,” jawab Minos. “Kalian benar-benar pemberani, anak-anak,” ucap Bapak Minos. “Pujian itu tak mengurangi hukuman kalian karena telah pergi dari rumah tanpa pamit,” kata Mak Sri tegas. Ayah tersenyum. “Dengarkan dulu. Minos dan Rafi memang telah berbuat salah karena pergi dari rumah tanpa berpamitan tetapi mereka juga telah banyak berjasa. Karena penyelidikan mereka, sebuah jaringan penyelundupan satwa langka berhasil ditangkap. Setelah mereka semua dihukum, ayah akan memberi mereka hadiah.” Nuni, Rafi, dan Minos saling tatap sambil bertanya-tanya dalam hati. Hadiah? Hadiah apa? “Ayah akan membiayai seluruh biaya pendidikan Rafi dan Minos sampai kalian lulus perguruan tinggi.” Ayah tersenyum lebar sambil menatap mereka dengan sayang. “Jadikan Gua Baca juga sebagai rumah kedua kalian untuk terus belajar ya,” nasihat Ayah. Mereka bertiga, terutama Minos dan Rafi sangat gembira mendengarnya. Dari seluruh kejutan yang mereka hadapi selama liburan, kejutan dari ayah Nuni adalah yang paling manis yang mereka dengar. Mak Sri menangis terharu sementara Bapak Minos dan Pak Mursidi berkaca-kaca mendengarnya. “Terimakasih,” ucap mereka pada Ayah. Ayah menggelengkan kepala. “Mereka pantas mendapatkannya,” ujar ayah. Ibu tersenyum senang dan menganggukkan kepala menyetujui pendapat Ayah. “Mak Sri sudah masak apa nih di dapur?” tanya ayah, “Semua pasti lapar karena belum sarapan.” “Betul Yah. Jadi ingat kalau kita belum sarapan,” kata Nuni. “Wah, Mak belum masak apa-apa tuh,” seru Mak Sri panik. “Lho kenapa begitu?” tanya Ayah. “Habisnya dari tadi serunya di ruang tamu terus,” Mak Sri membela diri sambil berlari ke dapur diikuti Ibu. Semua tertawa mendengarnya dan terpaksa menahan lapar sampai nasi goreng sosis dan telur mata sapi tersedia di meja. Description: Tiga orang sahabat bernama Nuni, Rafi, dan Minos memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok detektif cilik untuk menghabiskan waktu liburan mereka. Tadinya mereka hanya iseng saja karena selama ini di kampung mereka di Kotagede Yogyakarta tak pernah terjadi kejahatan apa-apa. Sampai suatu hari nanti mereka memutuskan untuk menyelidiki seorang laki-laki tua yang galak seorang pemilik toko kelontong dan seorang anak perempuannya yang tak pernah berbicara. Mereka semakin penasaran karena Mas Santo, kakak tiri Rafi yang tak pernah bersikap baik, tiba-tiba sangat marah karena mengetahui mereka sedang menyelidiki Pak Koha, nama pemilik toko kelontong itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Nuni dan Rafi menemukan binatang-binatang bertutup kain hitam di dalam gudang salon tempat Mas Santo bekerja dan Minos menemukan sebuah lorong bawah tanah di dalam rumah Pak Koha. Ketika memutuskan untuk menyelidiki lorong bawah tanah terlebih dulu, sama sekali tak terlintas di benak mereka bertiga jika semua itu ternyata membawa mereka kepada sebuah kejahatan berskala internasional. Sindikat penyelundupan satwa langka.
Title: RANJANG BIRU Category: Adult Romance Text: Ranjang Biru "Namaku Dita, selalu terobsesi pria macho dengan penampilan seram, sedikit bicara dengan wajah dingin. Entah kenapa jika melihat pria seperti itu rasanya menjadi panas dingin." Begitu pengakuan Dita pada Rara teman sekantornya. Dita dan Rara ketika secara tidak sengaja Rara mendapatkan Dita sedang memandangi gambar- gambar pria dengan perawakan tegap dan macho. Rara tersenyum dan Dita kaget. Akhirnya pengantar perkenalannya dengan Rara terasa agak aneh. "Kenapa terobsesi dengan Pria macho Dita?" "Tidak tahu, itu perasaan spontanku Ra, entah kenapa jika aku melihat pria macho, aku jadi tengsin dan mendadak pengin memeluknya." "Wah. ada yang tidak benar nih dengan dirimu." "Menurutku biasa saja sih?" "Itu kamu, kamu terobsesi lelaki macho dan segera ingin memeluknya jika ketemu. Bukankah itu sudah ke arah penyimpangan." "Huss, enak saja penyimpangan itu jika terobsesi dengan perempuan." "Ah, kasus penyimpangan itu bukan hanya masalah perbedaan sex. Termasuk obsesi- obsesi liar yang tidak sesuai kodrat." "Ah, Masa bodoh Rara. Mosok keinginan terpendam tidak diwujudkan nanti jadi membatu lo." "Ya sudah terserah kau saja Dita, itu khan urusan pribadimu." Dita dan Rara mengemasi barang, sudah jam 4 sore waktunya pulang. " Dit, setelah ini mau ke mana?" "Pulanglah, emangnya mau ke mana?" "Kalau mau pulang pengin mampir ke rumahmu..?!" "Keknya boleh sih tapi di sini aku nge kost." "Please, mampir ya?" "Boleh sih kebetulan aku lagi pengin ngobrol." "Pasti tentang cowok macho..." "Eehm tebakanmu meleset.lngin bicara yang lain..." "???!" *** Dita dan Rara Akhirnya sampai di kost. "Maaf aku ganti baju dulu ya." Tanpa malu Dita langsung mencopot baju kerjanya dan tinggal baju dalam yang tersisa. terlihat badan Dita yang bagus dengan kulit putih mulus. Dita ganti celana pendek dan kaos tipis tanpa lengan. " Sehari hari begini Dit Pakaianmu?" "Kalau gak ada kamu lebih parah...copot semua baju hehehe." " Enak dong cowok yang tak sengaja lihat kamu. " Masa Bodo." Akhirnya Dita cerita banyak tentang Juna yang agresif mendekatinya, padahal kurang suka. "Menurutmu bagaimana?" "Ya terserah kamu, kalau aku sih milih yang sudah pasti." "Aku penginnya sosok seperti Rimba yang cool." "Tapi Khan susah didekati." " Ah, gampang?" Lalu Dita membisiki Rara. "ah Gila lu Dit" "Penasaran Khan, lihat rancanaku selanjutnya. Dita tersenyum. Oke Aku mandi dulu ya....Tiba tiba saja bajunya ditanggalkan langsung masuk ke kamar mandi tanpa sehelai benangpun. Rara menggeleng geleng. Tak lama kemudian terdengar dengkurnya. Gampang banget Rara tidur. Nempel bantal langsung pulas di ranjang seprai birunya Dita. Tentang Ranjang Biru Paradita Indah Arum. begitulah nama lengkap Dita. Paras cantik, dengan tubuh aduhai. Semua orang pasti suka melihatnya. Apa sih yang tidak disukai cowok. Apalagi Juna, ia terkagum - kagum dengan sosok Dita. Juna boleh dibilang juga mempunyai wajah yang diidolai oleh perempuan. Ganteng, luwes bergaul dan pintar. Semua perempuan pasti rela dan suka berlama- lama dengan Juna. Namanya mengingatkan orang pada tokoh wayang Arjuna. Ia digadrungi para wanita karena ketampanan, kesaktian serta ketangguhannya menghadapi hidup.Suka melakukan tapa brata dan mencari ilmu. Tapi herannya Dita yang cantik itu terkesan biasa saat didekati Juna. Boleh jadi Juna itu magnet tapi ternyata Juna bukanlah tipe Dita. Dita suka laki laki tipe garang cool dan laki banget. Juna memang ganteng tapi bagi Dita sama saja dengan kebanyakan cowok lainnya. Aku katakan cowok biar kesannya milenial. "Dita, kau kenapa obsesif hanya suka cowok garang ,cool." "Nih, aku khan bisa berimajinasi tentang pria cool. Ia akan liar di ranjang, hot dengan otot otot kencang yang bikin lemas hatiku." "Wah, aku bingung dengan kau Dita, tampaknya naluri sex mu itu aneh...terlalu jauh jangkauannya." "Hahaha...Rara, kau yang culun, masak gak bisa kau rasakan sesuatu jika tengah melihat pesona laki laki yang macho, dengan tatapan tajam, dingin namun menggairahkan." "Aku, suka yang jelas saja. Juna itu tipeku...lah kenapa gak jadian sama Juna saja kau Dit." "Ganteng juga sih dia Ra, tapi aku kurang suka Juna tidak ada tantangannya." "Jadi kau mau cari yang seperti apa?" "Kubisiki ya ..."Dita mendekat ke telinga Rara. Rara terhenyak. "Kenapa kok kaget." "Sakit jiwa kau kali.masa lelaki begitu kau sukai." "Kau belum pernah ya merasakan petualangan. menaklukkan laki laki?" "Ih, nanti ia malah ilfil lihat kamu terlalu agresif." "Jamin deh hanya sebentar selanjutnya ia akan klepek klepek dengan pesonaku." Dita selalu berharap suatu hari nanti mendapat jodoh yang mirip dengan gambaran- gambaran yang melintas dalam khayalannya. Pelan pelan Rara mulai paham watak Dita. Seorang perempuan pintar yang bekerja sebagai seorang karyawan kantor desain. Ia Belum lama bekerja tetapi sepertinya karirnya bakal melejit. Sebab ia selalu pandai dalam memecahkan persoalan yang cukup rumit, ia juga kreatif hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia desain di mana perusahaannya sering menerima orderan perusahaan besar untuk membuat iklan dan banner besar baik lewat layar LED maupun dengan banner besar yang sering hadir di pinggir jalan tol. Di kantornya ada Juna ada Rimba. Juna orangnya luwes dan mudah bergaul sedangkan Rimba terlalu asyik dengan dunianya. ia seperti seniman yang terlalu larut dalam dunia fantasinya. terkesan cuek dan cool, tetapi ada teman yang sering menemukan coretan- coretan puisi dan gambarnya. Menurut temannya puisinya begitu romantis dan gambarnya juga hampir sama puitis dan romantis. Maka meskipun terkesan cool gambar coretannya sangat detail jika sedang menggambarkan tentang anatomi wanita. garis- garisnya luwes dan tampak menarik ketika menggambarkan sosok wanita dengan lekukan tubuh seksi. Dari situ Dita sempat kepikiran jika ia mau saja menjadi model baginya untuk digambar tanpa busana. Tapi bagaimana reaksinya Rimba saat melihat tubuhnya ya atau dirinyalah yang panas dingin.Entahlah. Fantasi Dita di Ranjang Biru Dita masih merindukan sosok cool seperti Rimba. Entah rambut gondrong Rimba, muka dinginnya dan tatapannya yang tajam sering membuat ia melamun. Di kost- kostsannya di ranjangnya yang serba biru ia sering melamun. Kalau sudah begitu ada getaran- getaran aneh yang tiba – tiba menelikung otak dan pikirannya ia seperti tersihir untuk membuka seluruh bajunya. Pelan – pelan dan kemudian tanpa sehelai baju ia nikmati getaran tubuhnya. Ia membayangkan Rimba yang mendekat, menatapnya dan seperti melemahkan semua sendi di tulang- tulangnya ia hanya bisa berbaring pasrah oleh sebuah keajaiban kasih sayang. Naluri purba manusia yang tertelikung dosa akibat Hawa yang tergoda oleh rayuan ular beludak. Ia melihat kepolosan tubuhnya dinikmati mata Rimba. Dua manusia itu akhirnya sama- sama menampilkan kepolosan tubuhnya bertumpang tindih dalam irama kebersamaan. Dua manusia yang saling menggetarkan dengan irama- irama yang semakin membuat lupa betapa perjuangan manusia masih panjang untuk mencapai titik kenikmatan dan kebahagiaan. Dita terus berkhayal untuk dirinya dan ia sendiri larut dalam desakan tubuhnya sehingga ia menyentuh tempat- tempat sensitif yang hanya dirinya yang tahu. Ia seperti merasa Rimba menyentuh tubuhnya menularkan getaran- getaran cinta sehingga ia lupa dirinya tengah dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya dalam ranjang biru yang semakin menariknya dalam alam khayalannya yang dahsyat. Di kamarnya kemerdekaannya ia peroleh dan ia tidak perlu risi ada orang yang sempat mengintipnya melakukan aktifitas pribadinya. Tiba- tiba ada ketukan dari pintunya uang membuat khayalannya bubar. “Siapa di luar.” “Ini, Rara. Boleh masuk?” “Ah, kamu Rara, sedang tanggung sebenarnya.” “Apa sih yang kau lakukan.” “Berkhayal tentang Rimba.” “Gila lu Dit, masih terobsesi saja.” “Sebentar.” Dengan Cepat Dita membebat tubuh dengan anduk lalu dengan pelan ia buka pintu kamarnya. Ayo masuk cepat.” “Hah, kau tidak memakai….” “Sttttt jangan keras- keras” Rara kemudian masuk dan melihat ranjang Biru Dita kocar- kacir. “Wah kau lagi melayani diri sendiri tadi ya…” “Kau yang mengacaukan Rara, khan belum mencapai klimaks keburu datang.” “teruskan saja.” “Enak saja.” Suasana untuk sementara menjadi sunyi. Rara dengan nyamannya langsung rebahan dan tidak seberapa lama dari mulutnya terdengar desisan tanda ia sudah pulas. Dita akhirnya beranjak ke kamar mandi. Ia tidak lagi meneruskan kayalannya. Di kamar ia membersihkan muka dan membersihkan pikirannya yang sedang dipacu oleh gejolak alami manusia yang mempunyai rasa, mempunyai titik- titik puncak yang akan begitu indah saat dua sejoli saling bersentuhan dan itu belum dirasakan Dita dan baru dari mimpi dan khayalannnya. Dita menyukai warna biru dan warna biru seperti menggambarkan suasana hati Dita yang kadang ingin mendapat sentuhan kasih dari lelaki dengan tatapan dingin namun menggairahkan hidupnya. Ia tidak pernah bisa melupakan kenangan ketika Rimba sempat menatapnya dan seperti merontokkan seluruh baju dalam tubuhnya hingga kepolosan dirinya yang muncul. Matanya kemudian memejam dan ia membiarkan apapun yang terjadi selanjutnya terjadi dengan tubuhnya tetapi ketika ia membuka matanya sosok tubuh yang kekar, berambut gondrong, dengan bulu – bulu lembut dadanya telah menghilang dari pandangannya. Ia kecewa, tetapi apa daya sebagian karena dirinya yang terlalu liar berpikir, tidak tahu bahwa Rimba agak risi dengan perempuan yang agresif yang terlalu berani. Apalagi Dita waktu itu secara tidak sengaja memakai baju yang terbuka dengan alur tubuh didadanya yang jelas terlihat. “Kamu risi ya melihat saya Rimba. Kapan kau tahu bahwa aku benar- benar ingin kau peluk dalam dekapanmu yang hangat?” Tiba- tiba terdengar suara dari luar kamar mandi. “Rara, kau lagi ngapain lama banget di kamar mandi?” “Oh nggak apa- apa. Rara. Biasa di kamar mandi aku suka berlama- lama.” “Besok ada pekerjaan yang harus dikerjakan pagi- pagi sekali, aku numpang tidur di sini ya…” “Okelah, tapi kamu harus nraktir makan malam.Deal?” “Aku lagi bokek Dit, uangku dipinjam kakakku, justru aku malah berencana pinjam uang ke kamu.” “Ah, Kau Rara, sudah tahu aku anak kost kau utangi juga. Besok aku ditagih bulanan nih.” “Ya, sudah kau traktir apa kek yang penting malam ini makan.” “Bagaimana kalau kamu dekati Juna saja, Minta traktir gitu?” “Ogah keenakan Juna yang ngarep ke diriku.” Juna suka sekali dengan Dita maka jika Dita mau mudah saja sebenarnya memanfaatkan Juna sekedar untuk mentraktir makan malam, dinner romantis di restoran. Tapi Dita tidak ingin Juna GR maka ia tidak setuju dengan usulan Rara. “Kamu saja Rara, jalan sana sama Juna.” “Mana berani aku Dita.Menatap dia saja sudah gelagapan. Kalau kau pasti Juna langsung oke.” “Aku lebih suka yang nawari makan Rimba?” ‘Sampai lebaran kuda juga tidak akan kesampaian.” “Aku yakin sih, dia akan tertarik saya suatu hari nanti.” “Itu namanya ngarep dot kom” Dengan perut keroncongan akhirnya Dita pergi bersama Rara ke rumah makan terdekat. Setelah selesai makan mereka menyempatkan diri jalan- jalan jalan sebentar di mal terdekat, siapa tahu ketemu pujaan hati. Ah kehidupan kadang yang diharapkan tidak datang – datang. Yang begitu dirindukan susah direngkuh sedang yang biasa saja dan tidak dirindukan malah selalu muncul saat tidak diharapkan. Fantasi Fantasi Liar Dita Rara menemukan catatan Dita tidak sengaja.Tulisannya cukup blak blakan tentang fantasi liarnya yang berhubungan dengan seksualitas. Rara tercekat,kaget dan jadi ikut larut dalam fantasi Dita. Aku Dita yang selalu terjebak dalam fantasi fantasi sangat susah menghilangkan wajahmu dari pikiran. Entah sebetulnya wanita bukan hanya mendambakan belaian dan sex tetapi juga perhatian. Aku tidak tahu mengapa sampai muncul fantasi liar tentangmu. di ranjang biru ini selalu saja ada gelegak rindu menggebu. Selalu ada getaran getaran aneh saat sepi ketika libur dan ketika ingat wajahmu. Aku bergumul sendiri dalam desakan alami dari perempuan yang mendamba kehangatan. Tubuhku menggigil dan tiba tiba saja aku meraba titik sensitif tubuhku, meraba outing susuku yang kemerahan, memegang pangkal pahaku yang berdenyutan. Semuanya seperti memegang. Nyatanya bukan pria saja yang tegang penisnya dan berdiri kencang menantang langit. Titik puting payudaraku seperti berdenyut dan kemaluanku juga tampak basah. Semakin kau jelas terbayang semakin susah aku menyingkirkan tanganku dari titik-titik seksualitas aku itu. Aku menggelinjang menahan dentaman serangan nikmat yang menjelujuri tubuh. Alangkah dahsyatnya jika kamu yang menindihku,yang membuat nafass memburu dan tanganmu yang menelusuri bukit bukit sensasiku. Dengan kehangatan sentuhanmu dan debur jantungku yang semakin cepat berdetak aku pasrah. Kubiarkan kamu kreatif memainkan jemarimu, memainkan desah nafasku sampai mencapai titik kulminasi. Seperti gunung Merapi magmanya dengan tekanan tinggi meletuskan bara cinta, hingga tinggal denyutan denyutan yang susah digambarkan dengan kata kata. Kapan fantasi ini menjadi kenyataan,. Kapan gejolak ini menemu pasangannya. Kutunggu kau di ranjang biru ini di mana aku rela melepas semuanya demi kamu. Rara terkikik, tapi ia sendiri akhirnya juga berkhayal tentang Juna. Pria ganteng yang luwes dalam bergaul. Diam diam ia suka cemburu pada Dita. ia tampak akrab banget dengan Juna, tapi Dita menganggap Juna teman tidak lebih. Coba saja Juna sadar bahwa Rara juga diam diam mencintai Juna. Duh susah membayangkan jika Juna tiba mencium bibirnya hingga akhirnya ia pasrah jika Juna merenggut semua miliknya. Sayangnya cinta Juna hanya pada Dita. Jadi bagaimanapun usahanya akan susah menaklukkan hati Juna, kecuali jika Juna dijebak untuk akhirnya bisa menjadi kekasihnya. Tetapi apakah mungkin? *** Dita sedang merasa aneh dengan dirinya sendiri. Makanya setiap kali ia ingat sosok Rimba yang tampak Macho, ia selalu mendiskripsikan bagaimana perasaanya di lembaran kertas catatan. Dan catatan itu ia sembunyikan di bawah bed tempat tidurnya agar tidak dibaca orang lain. ...ah, melihat senyummu aku seperti melayang Rimba, kenapa tidak bisa kusentuh bulu dadamu, tidak bisa kuraba dada kekarmu. Aku membayangkan jika kau akan menikmati tiap sentuhan lembut ku.Aku mencoba menyibak rambutmu yang menjuntai sebahu. Dan jenggot, kumis serta jambangmu tampak begitu seksi. Aku suka dengan wajahmu, merinding dan bikin aku terbenam dalam fantasi fantasi liar. berada dalam satu desahan nafas yang sama, dalam irama tubuh yang sama, detak jantung bergemuruh dan dalam getaran getaran indah di sekujur tubuh. Aku merasakan suhu tubuhmu, hangat. Dalam dengus nafas yang memburu, jebersatuan adalah mutlak, cinta apalagi menambah bumbu asmara semakin terasa membara. Aku mendesah tidak kuasa melawan nikmat. masuk dalam sensasi. Masuk dalam dentuman denyut denyut darah yang memanas,menerjang titik g spotku. Aku tidak bisa berkata hanya mendesah, menggelinjang dan semakin bergetar seluruh tubuhku. Dan pada puncaknya aku meremas ranjang biruku, tidak kuat menahan diri oleh desakan puncak kenikmatan. Semuanya karena tangan nakalmu Rimba. Aku rindu dapat kesempatan itu meskipun ternyata hanya khayalanku. Saja. Kapan Rimba, kapan kita mendapat kesempatan seperti ini. Dita meletakkan pulpennya menaruh kertasnya di bawah kasur, melepas semua baju yang menempel di tubuhnya dan ia larut dalam fantasinya. Sendirian. Pilih Siapa Rimba atau Juna? "Milih siapa...itu bukan pertanyaanku?!" "Kamu harus milih. Dit. itu demi kejelasan!" "Bagiku, sudah belum jelas. Rimba masih mengawang sedangkan Juna di depan mata... Tapi jujur aku lebih suka yang mencintaiku itu Rimba." "Jadi kau lebih memilih Juna..?" "Kamu kok ngotot ingin jawaban pastiku." "Kalau kau tidak menyukai Juna, terus terang aku ingin juga jika ia bisa mencintaiku." "Kalau dia mau terserah kamu Rara." Cinta itu sungguh luar biasa anehnya, Rara suka Juna, Sedangkan Juna suka Dita.Kok ruwet sih. Juna suka yang agresif karena akan mempermudah dia berkomunikasi. Anehnya pada Juna Dita tidak mau agresif. Dita menganggap Juna hanya sebagai teman meskipun kadang mesra juga jika sedang butuh teman untuk meredam agresifitas Dita yang mempunyai libido sex tinggi. Sayangnya kepada Juna Dita hanya main- main, tidak menaruh rasa cinta sama sekali. Juna yang terlalu GR. Lalu bagaimana dengan Rara. Rara itu jenis wanita yang susah mengungkapkan isi hatinya, ia akan bungkam jika Juna kebetulan datang ke tempat Dita. Diam- diam juga cemburu dengan kedekatan Dita dan Juna. Tetapi ia tidak pernah bisa gamblang bahwa ia menyukai Juna.Gengsi Rara tinggi hingga ia membiarkan Juna mendekat ke Dita. Lalu bagaimana dengan Rimba. Rimba itu benar- benar membuat penasaran Dita. Ia tertantang untuk menaklukkan cowok cool tersebut. Sudah mencoba berkali- kali namun gagal. Dita sudah tidak peduli jika Rimba akan merasa risi dekat- dekat dengan Dita. Yang salah itu Rimba yang dingin atau Dita yang terlalu agresif sih. Kadang Dita berpikir gemas juga menghadapi cowok yang pasifnya luar biasa. Kata teman tidak usah malu harus agresif toh nantinya akan klepek- klepek juga. Siapakah yang tidak mau sama Dita yang badannya benar- benar memikat para pria. Hidung mancung, putih, meskipun tidak terlalu tinggi namun wajahnya benar- benar manis dan cantik.Matanya belok dengan lentik indah matanya serta alis tebal melintang di atas mata. Tidak perlu sulam alis sebab alisnya memang sudah tebal dan hitam. Kadang Dita sering mengenakan pakaian yang hampir terbuka di bagian dadanya. Ada belahan menyembul putih yang membuat para pria penasaran dengan tubuhnya. Bibir sedikit tebal dengan garis bibir yang proporsional sehingga saat tersenyum sungguh menggoda para pria. Siapa yang tidak klepek- klepek jika digoda oleh Dita. Lalu adakah pria yang berani menolak Dita. Dan kebetulan hanya Rimba yang resek itu yang tidak doyan cewek barangkali (eh makanan kali )’. Dita sering main main dengan cowok termasuk Juna, namanya cewek dengan libido sex tinggi maka ia selalu butuh kasih sayang. Banyak cewek yang tidak berani menantang kenakalan laki laki apalagi disediakan makanan enak di depan mata. Mata cowok akan jelalatan disuguhi lekuk liku perempuan. Juna sudah sering merasakan betapa dahsyatnya Dita bila ia tengah bete (Birahi tinggi). Juna dibiarkan menelan bulat- bulat tubuh Dita. Juna benar – benar panas dingin melihat betapa sempurnanya “daleman” Dita. Sedangkan Dita cuek saja ditatap sedemikian rupa oleh Juna. Tapi rupanya Dita tidak pernah membiarkan Juna memasuki gerbang keperawanannya. Juna hanya bisa melihat dan memeluknya. Juna tersanjung bisa memeluknya dan Dita bisa membuat Juna tidak berdaya, meskipun ia masih bisa menjaga kewanitaannya dari kebuasan sex laki – laki. Organ intimnya belum bobol sedangkan rekan lelakinya sudah kalang kabut dengan gerayangan Dita yang membuat mereka tidak berdaya. Lemas diterjang dengan agresifnya Dita memainkan rasa lelaki. “Kamu melamun Dit?” “Ah, eh nggak, aku lagi membayangkan Juna yang kelimpungan melihat tubuhku semalam.” “Jadi kau sudah…” Mata Rara menampakkan api cemburu yang luar biasa. “Ssst tenang, aku tidak tidur dengannya, hanya ia tidak kuat melihat tubuhku.” “Lalu apa yang kau lakukan” “Aku membuat celananya basah kuyup.lalu numpang ke kamar mandi, entah apa yang dilakukannya ia pasti melakukan masturbasi di kamar mandi.” “Lalu aku memang telanjang di sini tapi tidak kubiarkan iya menyentuh organ tubuhku yang paling rahasia.” “Kalau itu…” Mata Rara menunjukkan payudara Dita yang montok. “Oh, ini… Biar saja ia mencicipinya sedikit.” “Gila kau Dit.” Ada rasa cemburu menyeruak di hati Rara itu terlihat dari sorot matanya. Ia cemburu kenapa Dita bisa sebegitu beraninya menantang lelaki. “Yang ini nanti akan kupersembahkan buat Rimba, nanti akan kuajari bagaimana ia mampu membuatku terkapar lemas di ranjang ini hehehe…” Dita kasihan benar laki – laki yang memilikimu, pasti akan selalu terbakar oleh api cemburu. Dan Juna, kau hanya selalu menjadi korban Dita tanpa pernah bisa memilikinya seutuhnya. Seberapa Dingin Hati Rimba? Diam – diam Rara menyimpan api cemburu. Mengapa Juna memilih Dita yang hanya mempermainkan cintanya, memberi harapan palsu. Tapi pernahkah Juna tahu isi hati Rara. Kalau Rara diam bagaimana Juna bisa merasakan bahwa sebenarnya Rara mempunyai perasaan sayang yang luar biasa kepada Juna. Ia pengin Juna lepas dari Dita, maksudnya berharap Juna melupakan Dita, tapi sepertinya Juna seperti cinta mati dengan Dita. Sedangkan Dita masih kepikiran terus dengan sosok Juna yang cool, seperti tidak pernah tertarik dengan perempuan. Apakah ia suka dengan lelaki ya. Sayang juga dengan tubuh dan tampang se macho Rimba jika ternyata ia pecinta sejenis. Rara sangat sering kost -an Dita, Meskipun ia selalu dibakar api cemburu kala lihat kearaban Juna dan Dita. Ia benar- benar tidak berdaya melihat betapa seringnya dua sahabat itu saling diskusi tentang rahasia perempuan dan laki – laki. “Dit, kenapa sih kau terima saja cintaku.” “Sorry Juna aku anggap kau sahabatku, kau memang sudah melihatku utuh, bahkan sudah pegang iniku tapi bukan berarti kau bisa memiliku. Hati tidak bisa dibohongi, aku tidak mencintaimu.” “Dita, aku benar- benar tidak kuat lihat kamu telanjang. Pengin banget mencicipi kamu tapi kamu benar- benar luar biasa pertahananmu. Kau tidak khawatir aku akan memperkosamu?” “Aku percaya sahabat itu tidak akan membuat masa depan sahabat sendiri kelam. Aku masih jaga keperawananku, hanya untuk lelaki yang benar - benar aku cintai.” “Aneh saja, padahal libidomu tinggi sekali.” “Khan masih bisa melayani diri sendiri to…” “Dita, kau membuatku tengsin berat.” “Pergi ke kamar mandi, perkara selesai, atau ku bantu mengeluarkannya. Hehehe…” “Aku takut suatu saat aku tidak kuat Dit.” “Ya kalau begitu jangan ke sini lagi.” “Tidak bisa aku benar- benar mencintaimu.dan aku selalu kangen dengan dirimu, dan juga …” “Ih, kok ngaco kamu. Ssst di luar ada Rara kau bikin Rara cemburu berat Juna.” “Lagian kamu.” “Apa hayo…” “Ssst sama Rara saja. Ia suka sama kamu lo.” “Tapi aku sukanya sama kamu Dita.” “Ah daripada dengan aku kau tidak mendapatkan apa – apa?” Dita benar- benar membuat Juna seperti orang gila. Coba Juna membuka sedikit hatinya pada Rara pasti Juna akan mendapat apa yang diinginkan. Tapi cinta itu tidak bisa dipaksa, kalau maupun mungkin hanya raganya tidak hatinya. *** Benarkah Rimba itu dingin pada perempuan sih. Tidak ada yang tahu bahwa Rimba ternyata trauma dengan perempuan. Rimba pernah mencintai seorang perempuan. Sangat cantik. Rimba sangat suka bahkan terang- terangan menyukainya tanpa malu- malu. "Aku menyukaimu Melati, Kamu cantik dan seksi" Melati yang ditembak langsung kaget mendengar keberanian Rimba. "Kok, to the point banget kamu Rimba. Aku benar- benar kaget, tidak kusangka kau ternyata pria pemberani...tapi maaf aku belum bisa menerimamu... mungkin suatu saat ketika kau benar- benar teruji bahwa rasa sukamu itu tidak main - main." "Jadi kali ini kamu belum menerima cintaku..?" "Bukan berarti tidak suka... tapi aku perlu waktu menjawabnya." Rimba tidak patah arang. Ia rajin mengirimkan pesan singkat ke Melati, mencegat Melati saat pulang kerja dan mengajaknya dinner. Gayung bersambut, sebetulnya Melati memang suka cowok yang tangguh dan Rimba adalah pria idamannya. Hanya ganjalan baru muncul, sebab Rimba bukanlah sosok yang diharapkan di keluarganya. Ternyata Melati sudah dijodohkan dengan pengusaha kaya. Rimba mempunyai saingan berat. Meskipun ia tidak kere- kere amat tetapi orang tua Melati seperti mempunyai perjanjian khusus dengan keluarga pengusaha itu sehingga Tidak mungkin orang tua menolak perjodohan tersebut. Akhirnya yang bisa dilakukan oleh Rimba dan Melati hanya backstreet saja. padahal dua- duanya saling mencintai. "Rimba bagaimana dengan hubungan kita?" "Aku bingung Melati. Di saat kita sudah jadian orang tuamu ternyata tidak merestui, mereka punya pilihan sendiri.Kau sendiri bagaimana?" "Terus terang aku kecewa dengan keputusan Mama Papa. Aku tidak bisa mencintai pilihan orang tuaku. Aku mencintaimu Rim." "Apakah kita akan kawin lari?" "Itu ide bagus, tetapi aku takut resikonya Rimba." "Resikonya apa?" "Ayahku itu ada riwayat jantung. Bila aku nekat kawin lari. Beliau pasti shock dan aku khawatir sakitnya akan kumat." "jadi bagaimana...atau terus terang saja bahwa kita tidak bisa dipisahkan?" "Kurasa percuma karena mereka adatnya keras sekali bilang tidak ya tidak.!" Sunyi senyap berdua dalam kungkungan sepi jiwa. Mereka seperti sudah terikat tetapi keterikatan itu dalam bayang - bayang gelap karena tanpa restu orang tua. Rimba benar benar tidak menemukan jawaban atas persoalan yang sedang dihadapinya padahal ia merasa cinta mati pada Melati. Melati sendiri bingung, jika memenuhi keinginan orang tua bagaimana nasib Rimba. Tetapi ia harus memilih. Sampai saat ini Rimba masih kukuh untuk mengejar Melati, dan Melati diam - diam masih menjalin hubungan dengan Rimba. Sampai suatu saat dengan berat hati ia berterus terang pada Rimba. "Rimba sayang, aku tidak mampu lagi kucing- kucingan pacaran denganmu. Maaf ini undangan pernikahanku dengan pilihan orang tuaku. Aku menyesal dengan terpaksa aku harus melupakanmu. Pilihan berat bagiku. Tapi aku harus memilih. Semoga kamu mengerti posisiku saat ini. Terkadang cinta tidak harus memiliki..." Tiba tiba gelap pekat terasa dunia begitu Melati mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Sebetulnya Rimba tahu resiko pacaran backstreet tanpa restu orang tua tetapi. "Aku mengerti Melati, aku masih menunggu sampai batas akhir pernikahanmu. Jika kamu berubah pikiran aku menunggumu, Sayang." Mata Rimba menerawang menatap kosong awan- awan lembut yang berarak saat senja. Ia seperti melihat arak- arakan awan kelam mengelilingi mukanya padahal sebetulnya cuaca sedang cerah. Melati berbalik dan pergi dengan perasaan tidak menentu. Air mata melati menetes deras tetapi tidak ia perlihatkan pada Rimba. Ia tahu betapa hancurnya perasaan Rimba, ia tidak berani membantah dan membangkang. Mungkin Rimba bukan jodohnya dan ia harus bisa menyingkirkan duka untuk menyambut masa depannya sendiri. Dan sejak saat itu Rimba tertutup dengan perempuan karena baginya cintanya sudah ia kubur bersama perginya Melati memenuhi amanat orang tuanya. Mimpi Dita di Ranjang Birunya Pernahkah Dita mimpi bercinta dengan Rimba. Itu sebetulnya yang ditunggu Dita. Tapi momen itu selalu lepas. Dan Sosok Rimba hanya muncul dalam khayalannya. Kalau dengan Juna ia sudah seringkali melakukan peting dan masturbasi bareng sampa saling memegang bagian tubuh seperti payudara dan cium bibir tetapi belum sampai melakukan hubungan suami istri. Dita masih menjaga keperawanannya. Tidak mungkin menyerahkan kesuciannya pada orang yang benar- benar ia cintai. "Dita mengapa kamu tidak mau melakukannya.?" "Maaf Juna, aku belum yakin kau yang kucintai maka aku tidak mau menyerahkan keperawananku untukmu." "Tapi tubuhmu yang lain sudah kujelajahi?" "Biar saja pandang saja tubuhku sampai kau lemas sendiri." Juna dan Dita layaknya kaum muda kota hidup jauh dari orang tua dan kebetulan kost ditempat yang longgar pengawasannya. Juna seringkali datang di kost, Dan karena geregetannya Dita yang cukup berani terus terang bahwa ia butuh bercinta. Ia tidak menampik bahwa fantasinya sering membuat gelagapan sendiri. Ia sering melihat adegan dewasa dan membaca buku- buku tentang asmara laki- laki dan perempuan. pada intinya ternyata laki - laki dan perempuan sama- sama terjebak dalam libido seks. Rasanya sejak penciptaan manusia pertama kali dan tergoda iblis maka hubungan terlarang perempuan dan laki - laki adalah nafsu purba yang susah dilawan. Dita melihat tubuhnya, melihat lekuk liku tubuhnya dan ia sudah melihat betapa tubuh Juna juga mempesona. karena sama - sama menyukai meskipun Dita tidak benar- benar mencintai ia membiarkan Juna melihat tubuh Dita seutuhnya. Dan Keduanya mencoba membangun imajinasi masing- masing sampai Dita menikmati gesekan- gesekan antar tubuh. Dita merasakan kehangatan mengalir dari tubuhnya dan denyut- denyut asmara yang mengalir begitu saja. Juna sendiri sebagai Lelaki terus terang langsung tegang. Pertama kali melihat tubuh Dita ia tidak bisa menahan diri dan celananya langsung basah. Selanjutnya karena terbiasa ia bisa mengendalikan diri meskipun ia selalu terjebak dalam permainan Dita. Dita hanya mau ia memegang bagian atasnya. Itupun Dita sudah merasa sangat geli dan tegang. Lalu dengan berjarak dibiarkan Juna melakukan onani di kamar mandi, sedangkan ia mencoba menikmati rabaan - rabaan sanpai ia mencapai puncak kenikmatannya. "Dita, aku kagum denganmu, sampai saat ini pertahananmu belum jebol." "ya, aku malah berterimakasih padamu Juna." "Kok bisa? Kau bisa menahan diri ...coba kalau kau jahat... kamu bisa memperkosaku. "Aku takut kamu malah trauma dan tidak menikmati." "Betul. Tapi apakah kau puas hanya dengan onani saja, kau tidak berusaha mencari perempuan lain untuk memuaskan libidomu. Tampaknya kau perkasa dan tahan lama lho..." "Ah, jangan pancing dengan kata - kata itu Dita ... nanti kau menjadi sasaran lho. Kalau ada iblis lewat bisa saja kau habis." " Untung, kau ditakuti iblis Juna..." "Hahaaaa." Sudah ah aku mau tidur dulu ya kau tidur saja di bawah." * Dita tergagap ketika Rimba persis ada dihadapannya. Seperti biasa tatapan yang dingin tanpa gairah. Tetapi semakin dingin mata itu semakin penasaran Dita dibuatnya. Ia mencoba tenang dan dengan lembut menyapanya. "Hai Rimba... apa kabar?" "baik baik saja." Rimba beranjak mau pergi tetapi tanpa sengaja Dita terpeleset persis di depan Rimba. Dengan sigap Rimba Menangkap tubuh Dita. Dalam dekapan Rimba Dita seperti terhanyut. Mata Dita menatap Mata Rimba dalam- dalam. Dibalik dinginnya mata Rimba ada sisi romantis yang ia rasakan. Aliran cinta lembut itu membuat Dita tiba- tiba merasa lemas. Ia seperti tersedot pusaran asmara ketika mata Rimba menatapnya tajam. Nafasnya tiba- tiba tidak teratur dan pelukan semakin erat. Sentuhan bibir Rimba pelan- pelan mendarat ke bibi Dita. Dita seperti tersihir. Ia membiarkan bibir Rimba mengulumnya. Sampai ia tidak menyadari bahwa tangan kekar Rimba sudah memegang lehernya dan dengan lembut menyibak baju Dita yang sedikit terbuka. Rimba sekali lagi menatap mata Dita. dan Dita tersihir dengan tatapan Rimba yang amat romantis. Dada Dita yang terbuka semakin terbuka ketika tangan rimba tiba - tiba masuk. Sentuhan kekar namun lembut menyentuh dadanya. Pusaran waktu membuat Dita seperti terhisap. Ia seperti sedang tidur di awan gemawan, dengan langit biru cerah bagai permadani menghampar. Dita rebah dan pasrah bergulung- gulung menyatukan irama tubuh Rimba. badan kekar Rimba menindihnya, memeluk erat dan menjelajahi sekujur tubuhnya. Ia pun merasa tidak lagi berusaha menolak Rimba ketika menyentuh bawah pusarnya. tangan menari dan mempermainkan getaran- getaran yang lahir dari otak untuk disalurkan pada organ - organ sensitifnya. Sentuhan lembut itu membuat Dita melayang. Ia tidak sadar semuanya sudah ia pasrahkan pada Rimba termasuk keperawanannya. dan ketika sedang dalam perjalanan mencapai puncak... tiba - tiba Dita terbangun. "Hai, kamu mimpi apa Sih Dita... lihat ranjangmu berantakan oleh remasan tanganmu. Tadi kau menyebut RIm... Rim ,,,Rim siapa hayooo.." Dita kaget ternyata ia mimpi. Seperti nyata ia bermimpi bercinta dengan Rimba .... sayang cuma mimpi. Aku mandi dulu Ya Juna. Ada kuliah Malam nih..." Di kamar mandi Dita meneruskan khayalannya. Ah dasar Dita. Description: Dita tidak benar- benar mencintai Juna, hanya karena Juna sangat rajin merayu dan sering memberi hadiah akhirnya Dita mau diajak berkencan. Sebetulnya Dita lebih suka Rimba yang macho dan tampangnya ganteng. Tetapi karena Rimba agak angkuh dan terlalu cool maka agak susah berkomunikasi dengannya. Dita lebih terobsesi dengan pria yang tidak banyak bicara cenderung dingin namun membuat penasaran. Sayangnya Rimba agak risih dengan perempuan yang agresif seperti Dita. Bagaimana perjuangan Dita menaklukkan hati Rimba, apa kabar pula dengan semangat Juna untuk menaklukkan Dita.Ikuti saja ceritanya.
Title: RAIN DAN PELANGI Category: Adult Romance Text: NOSTALGIA Hari ini aku sangat kesal, rasa kesal yang sama yang aku alami dua tahun yang lalu, aku menangis senggugupan dan meratapi semuanya seperti ini adalah akhir dari segalanya, Rain hari ini memutuskan untuk merantau ke Kalimantan, baru saja ia mengantarkan ku pergi bekerja dan mengajak ku sarapan tadi pagi, sejenak pada saat itu aku sangat senang, namun tiba-tiba saja hari yang cerah itu berubah menjadi mendung, tanpa diskusi terlebih dahulu dia bilang padaku. “Hari ini jam 10 aku harus pergi, kamu jangan kaget dan marah ya, ini keputusan berat, tapi aku harus pergi. Demi kamu dan masa depan kita.” Tatap Rain dengan mata yang sendu. Aku tak kuasa menahan perasaan yang campur aduk sedari tadi, aku marah, kecewa, terkejut dan juga sedih, aku tak bisa menatap mata sendunya, aku tak mampu membalas kata-katanya, aku kalut. Aku hanya mengaduk-aduk lontong kuah ku sedari tadi, aku tak berselera sama sekali, sebenarnya aku sangat lapar, tapi jujur saja rasa lontong yang ku pesan sama saja dengan suasana pagi ini, hambar dan tidak enak sama sekali. Bukannya ikutan sedih ataupun mencoba menghiburku, Rain malah tambah membuatku sebal, dia dengan sengaja mengalihkan pembicaraan tentang si Cumut kucing kesayanganku. “Cumut masih suka Eek Sembarangan? Kamu bilang Ibuk mau buang dia jauh-jauh dari rumah, Hmm Kasian ya kalau dia dibuang, Bukan dia si yang kasihan, tapi kamu yang kasihan ditinggal sama Majikannya” Rain membuat lelucon yang sangat kaku, sangat basi dan membuat ku ingin berteriak dan mencekiknya tanpa ampun, tapi apa daya, ramai kedai sarapan pagi itu, aku tidak bisa mecekiknya dikeramaian begitu aku hanya bisa melempar tatapan sebal dan juga sedih. Dia hanya bisa tertawa kecil dan tersenyum menukik. Dia mengantarkan ku tepat didepan Gedung tempat ku bekerja. “Maafkan aku Pelangi, aku akan kembali segera, ayo la jangan cemberut begitu hanya karena sarapan lontong mu yang tidak enak, aku berjanji ketika aku kembali ke kota ini aku akan mengajakmu kekedai sarapan paling enak di sini.” Sekilas aku benci mendengar suaranya, benci dengan tingkah anehnya ketika harus berhadapan dengan sebuah perpisahan seperti ini, aku tak menggubrisnya sama sekali, aku memalingkan wajah ku dari Rain, aku terlalu sedih untuk memandang rupanya, aku sangat kecewa mengapa aku hanya punya waktu 30 menit untuk mengucapkan salam perpisahan untuknya, untuk kesekian kalinya aku membenci perpisahan. ************* Hari ini adalah hari pertama ku menginjakkan Kota terbesar ketiga di Indonesia, aku akan berstatus sebagai anak rantau dan juga mahasiswa sebentar lagi, karena aku belum punya rumah kos sendiri aku akhirnya tinggal sementara dirumah Om ku, kedatangan ku hari ini disambut baik dan hangat oleh Om Putra dan juga istrinya tante Widya dan tak lupa si kecil Fatimah yang masih berumur 1 tahun. “Gimana tadi perjalanannya? Menyenangkan gak? Kamu gak nyasarkan kerumahnya Om ini.” Tanya Om Putra kepadaku, dia sepertinya khawatir karena takut aku bakalan tersesat dikota yang luas ini, ya maklum aku baru pertama kali merantau tanpa diantar siapa-siapa , ayah dan ibu sepertinya sengaja membiarkan ku pergi sendirian, mereka ingin anaknya bisa mandiri dan juga melawan rasa takutnya. Karena kalian tahu kalau seminggu sebelum keberangkatanku ke kota ini, aku sudah merengek-rengek dan nangis Bombay untuk minta diantarkan ayah ataupun Ibu, aku takut sendirian di kota rantau, aku takut ada penculik atau perampok yang menggangguku selama di perjalanan, semua hal buruk dan ketakutan bergentayangan dibenak ku. Sejenak fikiranku melayang mengingat hari kemarin percakapan hangat dengan Ibu dan Ayah ku. “Kamu ini udah besar Ngi, udah kakak-kakak loh, sudah lulus SMA, dan gak lama lagi kamu bakalan jadi Mahasiswa, ya masak pergi sendirian gitu gak berani sih, nanti juga sampai di terminal kamu bakal di susulin Om mu, lagian apa sih yang kamu takutin?”. Omel Ibu kepadaku. Pelangi takut Bu, ini kan pertama kali pelangi pergi jauh banget, 9 jam perjalanan loh buk, gimana kalau ada apa-apa, gimana kalau ada orang jahat dijalan, terus gimana kalau seandainya tiba-tiba aja nih ditengah perjalanan dan perampok atau penculik, angi takut ihhhh, serem”. Aku mendramatisir keadaan Hahahahahahahaha kamu ini ada-ada aja ndok, fikiran mu itu loh, ya tua banget mikirnya, masak anak muda seperti itu pola fikirnya, harus optimis donk, lagian siapa si yang mau culik anak Ayah yang cerewet ini, terus ditambah makannya banyak lagi sebakul, ya mana tahan penculiknya ngurusin kamu.” Kelekar Ayah mencoba menggodaku yang sedari tadi cemberut dan manyun. “Ayah iiih, jahat banget sama anaknya, masak ngomong gitu si yah, sebel ihhh, Ibu sama Ayah suka banget godain aku, gak tahu Ahhhh, Angi bad mood mau tidur aja deh.” Aku memilih untuk pergi saja ke kamar, terlalu lama disini aku bakalan dibuat kesal, aku tahu aku gak akan menang dan berhasil bujuk mereka untuk mengantarkan ku. Melihat aku pergi kekamar Ibu pun menyusulku, dia mencoba menenangkan aku yang lagi sedih. “Pelangi sayang, sini deh peluk Ibu jangan sedih gitu donk jangan manyun, kamu harus dengarin ibu ya nak.” Ibu memelukku dan mengusap rambutku dengan lembut. “Ibu dan Ayah sayang banget sama kamu, kami pengen anak-anaknya jadi orang yang sukses, jadi anak-anak yang kuat dan mandiri, Ibu tahu nak berat untuk kamu pergi sendiri dan melanjutkan kuliah di sana, tapi ini adalah awal perjuangan kamu.” “Hmmm awal perjuangan? Maksudnya bu?” Tanya ku padanya. “iya, ini awal perjuangan sayang, perjuangan dalam hal menaklukkan rasa takut dan khawatir kamu yang berlebihan itu, lagian bus yang bakal kamu tumpangi nanti insyaallah aman, karena yang punya dan supir itu teman-teman dekatnya Ayah, jadi kamu gak usah takut, ibu dan ayah sudah mempersiapkan semuanya yang terbaik buat kamu nak, kamu pasti bisa, pelanginya ibu ini adalah gadis yang pemberani dan tangguh.” Ibu membelaiku lembut sembari melempar senyum manisnya kepada ku, dan benar saja nasehat dan perhatiannya mampu meluluhkan hati ini, jiwa ku terasa menjadi semangat lagi, seperti ada api semangat membara dihati ini, dan rasa takutku perlahan hilang, aku memutuskan untuk berani pergi sendiri dan membuang rasa takut dan sedihku yang berlebihan. Aku menempuh Sembilan jam perjalanan dan akhirnya aku pun tiba. Alih-alih bakalan dijemput oleh Om Putra aku malah disuruh untuk naik bis umum untuk sampai kerumahnya, Om hari itu masih ditempat kerja dan kebetulan jarak terminal dan kantornya sangat jauh, belum lagi macet yang menguji kesabaran jadi akan membuang waktu kalau dia menjemputku, dia mengarahkan ku untuk menaiki bis tujuan jalan setia raya dan berhenti di depan sekolah Candra Prasasti, dia akan menjemputku disana, jujur aku rada kesal mendengarnya, cobaan apa lagi ini fikirku, aku harus naik kendaraan umum dikota yang baru pertama kali ku pijaki, tapi aku kembali mengingat perkataan ibu kalau aku tidak boleh takut, aku adalah Pelangi yang tangguh, aku pun memberanikan diri untuk pergi sendirian lagi sampai kerumah Om ku, and you see ! finally I’m here. “Pelangi kok bengong sih, hayo kenapa nih?.” Tante Widya memecah lamunan ku. “Eh gak ada apa-apa kok tan, Pelangi lagi kangen Ibu sama Ayah aja.” “Waduh, baru sehari loh kamu disini masak udah kangen gitu, ya udah jangan difikirin lagi ya, nanti juga pasti bakalan terbiasa kok, mending sekarang kamu kekamar kamu, kamarnya sudah tante siapkan disitu, kamu bersih-bersih setelah itu kita makan ya.” Tante widya mengantarkan ku ke kamar untuk beres-beres. SENIOR GALAK Here I am, Mahasiswa baru yang memiliki semangat dihari pertama kuliah, sama seperti kebanyakan universitas yang ada di Indonesia perpeloncoan masih diterapkan disini, masa orientasi pengenalan kampus oleh kakak senior, aku kira masa orientasi ini akan menyenangkan untuk ku, aku sudah membayangkan akan ada panggung kesenian dan juga pertunjukan untuk mengenalkan kepada kami tentang kampus dengan segala pernak-perniknya, namun ekpektasi ku terlalu tinggi untuk ini, hari ini aku malah harus menelan pil pahit, baru orientasi hari pertama kami semua satu angkatan sudah disuruh yang macem-macem, kami disuruh untuk jalan jongkok dari gerbang fakultas sampai digedung utama perkuliahan, mirip seperti tawanan perang, kalau ada yang tidak kompak jalannya kami dimarahin habis-habisan. “Heyyy, yang bener donk jalannya, lembek banget jadi Mahasiswa.” Si kakak senior yang jaket almamaternya di jinjing di bahu meneriaki kami dari belakang. Huuuh, aku melengus kesal dikiranya kami bebek apa, harus digiring-giring begini, belum lagi terdengar suara cempreng kakak senior ku yang lipsticknya super menor meneriaki kami dari depan, ternyata penderitaan tidak sampai disitu, tali sepatuku lepas dan aku tidak sengaja menginjaknya, jadilah aku terjerembab kedepan sehingga mengacaukan barisan. “Hehhh kamuu, jalannya yang bener donk, jangan ceroboh, jangan manja, ayo banguun.” Kakak berkacamata itu ngomel kepaku dan dengan sengaja menarik rambutku. “Awww, Jangan gitu donk kak, kok semena-mena gitu sih, saya kan gak sengaja, ini tali sepatu saya lepas.” Jawab ku ketus dan aku sudah mulai sangat kesal dengan perlakuannya terhadap ku. “Oh kamu mau ngelawan aku, kamu udah berani ngejawab ya, kamu mau aku kasi hukuman yang lebih berat lagi dari ini, hmmmm?”. Dia melotot dan memarahi ku habis-habisan seperti singa betina yang mau menelan mangsanya bulat-bulat. Jujur saja aku sudah sangat kesal dengan tingkahnya, ingin rasanya aku melawan dan balik menjambak rambutnya, tapi lagi dan lagi aku teringat pesan kedua orangtua untuk tidak membuat masalah dengan orang lain selama aku tinggal di perantauan, aku meredakan emosiku dan memilih untuk mengalah agar perdebatan ini tidak berujung panjang. Aku berusaha untuk menikmati kegiataan Orientasi hari ini, walaupun aku harus menahan emosi dan rasa capek sedari tadi, setidaknya aku dapat teman baru disini, mereka dari daerah dan kota yang berbeda sehingga menarik sekali bisa berbagi cerita dan pengalaman baru dari mereka, nah kebetulan ada satu orang yang ternyata satu kelas dengan aku nantinya, namanya Kartika, orangnya sangat ceria dan lucu dia juga murid yang pinter waktu disekolahnya, kartika bercerita tentang pengalamannya memenangkan banyak sekali olimpiade matematika ditingkat Nasional, dia juga sangat baik kepadaku kami bisa cepat akrab dan beradaptasi. Pada saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, kami diizinkan untuk istirahat dan makan siang, hari ini aku dibawakan bekal oleh tanteku jadi aku tidak perlu repot untuk makan dikantin kampus, aku makan siang bareng Kartika dan teman-teman yang lain. “Ngi, kamu lihat kedepan sana deh, kakak senior yang ngomelin kamu tadi dibarisan kayaknya liatin kamu terus deh, kok ngeliatinnya gitu banget kayak ada dendam gitu ke kamu” Kartika memperhatikan gerak gerik kakak senior ku dengan serius. “Biarin aja deh Tik, diemin aja, mungkin dia masih kesel sama aku, karena tadi aku ngelawan dia.”Aku menjawab dengan nada malas, melihat wajah seniorku itu aku menjadi tak berselera untuk makan. Dan benar saja makan siangku menjadi tidak enak dan menyebalkan, seniorku tiba-tiba saja sengaja menyenggolku sehingga kotak bekal ku jatuh beserta isinya dan berhamburan di lantai. “Upss sorry, gak sengaja, lagian makan nya halangin jalan orang sih, jatoh kan”. Dia tertawa dengan nada menyindir seolah-olah tidak bersalah, lalu pergi seenak jidatnya saja. “Wah nyari mati ni anak, bentar Tik, kamu tunggu disini, aku mau kasi pelajaran ke senior songong itu.” Aku berdiri dengan cepat dan memungut sisa makanan ku dilantai, aku pun bergegas menyusul langkahnya. “Heh, senior songong, makan ni nasi kotor.” Aku dengan cepat menuang sisa makanan yang ku bawa diatas kepalanya, aku bergegas pergi agar dia tidak membuat ulah lagi denganku. “Kuraaang ajaaar, bocah ingusan gak tau diri, mau kemana Lu, sini lawan gue, Liat aja pembalasan gue ya, nyesel lu ntar.” Dia menjerit kearah ku dengan wajah yang berantakan terkena tumpahan nasi. Aku buru-buru mengajak Kartika untuk segera pergi dari tempat itu, aku gak mau Dia dan teman-temannya mengeroyok kami dan menimbulkan permasalahan baru. Jam istirahat sudah selesai aku kembali ke lapangan untuk mengikuti kegiatan selanjutnya, karena kelamaan beres-beres dan harus beli makan siang lagi di kantin, aku jadinya terlambat untuk masuk barisan, dan sudah kuduga dua kesalahanku hari ini pasti akan diberi sanksi dari para senior-senior ku, terlebih Si Kakak senior yang adu mulut dengan ku yang belakangan aku tahu namanya adalah Diandra. Diandra dan teman-temannya menghukumiku dengan cara menjemur ku ditengah lapangan, dengan kedua tanganku memegang telinga, dan juga aku harus pakai bedge yang dikalungkan dileherku yang bertuliskan “Anak ingusan yang ceroboh hobbynya terlambat”, jujur aku harus menahan malu pada saat itu, aku dipertontonkan dan dipermalukan seolah-olah kesalahanku sangat fatal, padahal kesalahan ku tadi pagi murni ketidak kesengajaanku sehingga aku menginjak tali sepatuku yang lepas, untuk kesalahan kedua aku rasa itu hal yang wajar ku lakukan mengingat Diandra lah yang terlebih dulu membuat onar dengan ku. Aku berharap ada keajaiban yang datang hari ini, agar aku terbebas dari hukuman menyebalkan ini. PEMBANGKANG! “Eh Maaf, Maaf, maaf aku gak sengaja, maaf ya.” Tiba-tiba ada Laki laki yang mengenakan stelan hitam putih menabrak ku, dan aku menebak dia pasti mahasiswa baru sama seperti diriku. “Aduh, kamu kenapa sih, lari kayak maling nabrak-nabrak aku segala lagi, gak punya mata apa.” Jawab ku ketus. “Aku gak ada waktu jelasin ke kamu, aku buru-buru soalnya ada kakak senior yang ngejar aku.” Dia menjawab dengan nafas terengah-engah. “Emang kamu kenapa harus dikejar gitu, emang kamu artis?.” Aku bertanya penasaran. “Mereka marah sama aku, karena aku buat kesalahan aku gak mau dihukum jadi aku kabur aja.” Laki-laki itu menjawab terburu-buru hendak pergi. Aku berfikir inilah kesempatan ku untuk kabur dari sini, mendengar ceritanya aku merasa aku sedang tidak sendirian mendapat nasib buruk seperti ini, jadi apa salahnya aku juga kabur dari mereka sama seperti dia. “Eh eh eh tungguin, jangan pergi dulu, aku mau ikut kamu aku juga lagi dihukum disuruh berdiri dilapangan gini sampe Ospek ini selesai, kalau dijemur gini terus disiang-siang bolong bisa mati aku, aku boleh ikut kabur kan?.” Aku memastikan apakah dia memperbolehkan aku atau tidak. “Ya udah ayo buruan, kalau kamu mau ikut lari bareng aku, sebelum mereka dekat, ayo cepat lari.” Aku pun ikut berlari bersama laki-laki yang baru saja aku kenal semenit yang lalu, kami berlari hingga kakak senior itu tidak lagi menemukan jejak kami. Aku berhenti disebuah tempat yang tidak aku kenali tapi lokasinya masih berada didalam lingkungan kampus, tempat ini saat asri dan indah, ada kolam ikan yang besar disini pohon cemara yang hijau dan rindang berjejer mengelilingi tempat ini, dipercantik dengan tanaman hias dan juga bunga lili yang tumbuh terawat, tak lupa bangku bangku kecil diletakkan agar siapa pun yang datang kesini bisa duduk dengan nyaman, wah beruntungnya aku fikirku karena ada taman yang secantik ini di kampus, aku melihat tempat ini tidak terlalu ramai namun ada beberapa mahasiswa yang duduk sambil berkutat dengan papan keyboard notebooknya, aku menebak mungkin dia sedang mengerjakan tugas atau sedang mengerjakan karya ilmiahny untuk syarat sebagai tiket menuju kelulusan. Disudut sana aku juga melihat beberapa mahasiswi yang tengah asyik berselfie ria dengan teman-temannya, terlihat gurat bahagia dari air muka mereka, wah pemandangan yang sempurna fikirku. “Hey, Kok bengong sih sini duduk, emang kamu mau jadi patung disitu terus.” Laki-laki itu membuyarkan lamunan ku, dia terkekeh melihat aku terdiam sedari tadi mengagumi keindahan yang tersaji di mataku. “Nama ku Rain Ardiansyah, kamu bisa manggil aku Rain atau Ray aja.” Dia mencoba akrab dengan ku dengan memperkenalkan namanya terlebih dahulu. “Aku Pelangi Anastasyia, panggil aja Pelangi.” Aku mengenalkan diriku dengan tidak semangat mengingat mood ku sudah memburuk sedari tadi pagi. Aku dan Rain sama-sama terdiam untuk beberapa saat, aku melihat dia mencoba mengambil nafas yang dalam dan menghembuskannya perlahan, dia memejamkan matanya sembari menikmati semilir angin berhembus melewati wajahnya, menyibakkan helai demi helai rambutnya yang berwarna hitam legam terkena sorot cahaya matahari. “Kalau aku bisa ambil bunga Lily itu, kamu mau dikasi Lily yang warna apa?” Rain tiba-tiba bertanya hal yang konyol menurutku. “Emang boleh ambil bunga Lily itu sembarangan? Aku rasa enggak bisa deh.” Aku menganggap itu hal yang tidak mungkin. “Ya aku kan cuman minta pendapat kamu, bukan beneran mau ngasi.” Rain terkekeh melihat respon ku. “Terserah kamu aja lah, mau ngasi yang mana jugak, aku gak perduli.” Jawab ku dengan ketus. “Yaudah, kalau gitu aku bakalan ngasi kamu Lily warna kuning.” Rain tersenyum, “Kenapa harus kuning, kana da yang warna merah tuh, warna biru.” Aku mulai penasaran dengan jawabannya. “Karena Lily kuning itu melambangkan persahabatan atau pertemanan, kamu kan sekarang temannya aku, teman kabur Ospek maksudnya.” Rain tertawa menampakkan giginya yang berbaris rapi. “Apaansih kamu, gak lucu, aku serius juga dengarnya.” Aku menjawab dengan sebal. “Abisnya kamu serius banget dari tadi, stress banget kelihatannya, emang kenapa sih?” Rain bertanya dengan penasaran, dan aku pun menceritakan semua kronologi yang terjadi padaku dari tadi pagi sampai akhirnya dia menabrakku. “Gitu ceritanya Ray, kalau kamu sendiri, kamu buat kesalahan apa makanya kabur gitu.” Aku balik bertanya. “Aku mencuri.” Rain dengan santainya menjawab pertanyaanku “Gila kamu Ray, kamu kok buat kriminal gitu sih dihari pertama kuliah.” Aku sedikit ngeri dengan pernyataan Ray, aku mencoba menggeser jarak duduk ku dengan Ray lebih jauh lagi, khawatir dia akan berbuat hal yang tidak baik dengan ku. “Emang kamu nyuri apaan? sampai dikejar tiga orang cowok gitu.” Aku bertanya dengan nada serius. “Hahahahaha kamu ngapain duduknya jauh banget gitu, aku bukan orang jahat Woy.” Ray terkekeh melihat ekspresi ku. “Jadi ceritanya, tadi aku mencuri hati kakak senior yang paling cantik, kakak itu ternyata primadona di kampus, jadi tiga cowok itu gak terima aku mencuri hati si kakak ini, cemburu gitu deh makanya mereka iri dan aku sampe dikejar-kejar gini.” Ray memasang wajah seriusnya. “BOHONG.” Aku membelalakkan mataku, aku tahu Ray mencoba menggoda ku dengan bercandaannya itu. “Gak masuk di akal cerita kamu tuh, becanda mulu sih kamu.” Aku menjawab dengan nada kesal, walaupun sebenarnya aku merasa geli dan lucu mendengar leluconnya itu. “Hahahahaha.” Rain tertawa dengan lepas melihat ekspresi wajah ku. “Abisnya kamu serius banget dari tadi, apa hidup harus seserius itu untuk kamu?” Rain malah bertanya kepadaku. Aku malas menjawab pertanyaan Rain yang tidak penting. “Eh Ray, aku gak mau berurusan lagi sama senior-senior itu, aku gak mau waktu ku terbuang sia-sia bareng mereka, ekspektasi ku terlalu tinggi tentang Ospek di hari pertama.” Aku mengalihkan pembicaraan. Rain menoleh kepadaku dengan tatapan penasaran. “Emang ekspektsi kamu seperti apa?” “Yah, aku bakalan ngira kalau pembullyan dan senioritas itu udah hilang di Kota besar seperti ini, nyatanya enggak sama sekali, aku berharapnya pengenalan kampus itu bakalan mendidik dan bakalan menumbuhhkan kreatifitas mahasiswanya.” Aku mengenang kejadian tadi pagi. “Ya beginilah kondisi mentalitas kita di Indonesia, masih membudayakan senioritas, ya tapi ngeluh da ngedumel juga gak bisa dibenarkan kan?” mending niatin aja kalau kamu nanti jadi senior kayak mereka, kamu rubah sistemnya biar gak senioritas lagi, buat acara yang lebih edukatif.” Ray memasang wajah serius. “Kok aku aja sih? Kamu juga donk bakalan jadi senior yang gak songong kayak mereka.” Aku mendengus kesal. “Hahahahahaha ya kamu aja, kamu yang cocok menurut ku, kalau aku cukup jadi tim liat-liat aja, jadi kakak senior yang menyayangi adik juniornya terutama yang cewek-cewek.” “Dasar Buaya darat.” Aku menjawab kesal. “Btw besok boleh bolos gak ya, ku gak mau datang Ospek lagi.” Aku bertanya serius. “Bisa aja, itu hak kamu mau datang atau enggak, yang penting hari pertama kuliah masuk kelas kamu jangan gak datang.” “Hmm gitu ya, oke deh thanks ya.” “iya sama-sama.” “Ya udah deh aku mau pulang duluan ya, takut nanti ketahuan dan dicariin sama senior-senior itu bisa berabe urusannya.” “Oke, kamu duluan aja, aku masih mau disini.” Ray ternyata enggan mau pulang. “Aku duluan ya Ray, sekali lagi thanks banget ya kamu mau bantuin aku.” “Iya iya, santai santai.” Ray tersenyum tulus. Aku pun beranjak dari bangku taman yang kami duduki, aku pergi meninggalkan Ray sendiri di taman, sesekali aku menoleh kebelakng dan melambaikan tangan ku kepadanya dia membalasnya kemudian memalingkan pandangannya kea rah yang berbeda, dari sorot matanya seperti banyak hal yang telah lama ia pendam sendiri, matanya yang sendu mampu bercerita tentang luka dan kenangan masa lalunya. Perkenalan pertama dengan sosok Ray tidak akan mudah dilupakan oleh Pelangi, laki-laki misterius itu akan terus membawa kesan yang mendalam dihidupnya kelak. LATTE Hari ini sangat melelahkan bagi Pelangi, hari pertamanya menjadi mahasiswa namun Ia sudah mengacaukan harinya, Pelangi membenamkan wajahnya di atas bantal dalam-dalam, ia mengutuk dengan sendirinya. “Ayo lah Pelangi, keonaran apalagi yang besok akan kamu lakukan, jangan lakukan hal bodoh lagi. Pokoknya Ja… Dreet Dreet Dreettt Dreettt Dretttt, dering ponsel membuyarkan amarah pelangi, diseberang sana Tio sedang menelepon pelangi, ia adalah lelaki tampan anak dari sahabat kedua orang tuanya. “Hallo mas, iya Pelangi udah dirumah Om putra kok.” Pelangi mengangkat telpon dari Tio. “Gimana Ospeknya hari ini, lancar-lancar aja kan?” Tio menanyakan kondisinya. “Aduh mas, gak enak banget pelangi habis dimarah-marah, dihukum.” Aku mengadu kepada mas Tio. “Emang kenapa sih? Ayo sini cerita ke Mas, mana tau mas bisa hibur kamu.” “Hmm bener nih mau hibur aku? tapi Pelangi gak mau ceritanya dari Handphone gini.” “Jadi pelangi maunya gimana?” “Besok pagi jemput Pelangi ya Mas, nanti Pelangi kasi tau alamatnya.” “Hmmm oke deh, besok mas jemput kamu ya, kita sarapan bareng dan sekalian mas anter kamu ke kampus.” Keesokan harinya Tio menjemput Pelangi dan membawanya ke kedai kopi favoritnya untuk menyantap sarapan dan menikmati secangkir kopi. 20 menit berlalu mereka sampai ke kedai kopi, Tio membuka pintu dan mempersilahkan Pelangi untuk masuk terlebih dahulu, sensasi luar biasa, mereka di sambut dengan aroma kopi memanjakan jiwa, aroma kopi menyebar disekeliling ruangan, menyeruak masuk pada indera penciuman di tambah dengan manisnya aroma roti panggang yang membuat perut terasa lapar. Pelangi memilih duduk disudut ruangan kaca bersebrangan dengan tanaman hias yang tumbuh terawat di halaman kedai, Tio memesan menu untuk mereka, tampaknya ia sudah akrab dengan para barista. “Mas, pesan menu biasanya ya, tapi dengan dua porsi” Tio memberikan dua lembaran uang kertas untuk membayar pesanannya. “Baik, mohon ditunggu ya mas Tio.” Barista itu tersenyum ramah seperti biasanya. Tak lama berselang pesanan mereka datang. “Ayo dimakan rotinya, cobain pasti kamu suka.” Tio menyuguhkan Roti panggang saus Keju Hazelnut dan secangkir Latte dengan motif rosetta diatasnya. “Emmmm, enak banget rotinya mas, Pelangi suka banget.” Pelangi menguyah rotinya dengan lahap. Tio tersenyum dan menatap sendu kepadanya. “Mas seneng kalau kamu suka, ayo dihabiskan sarapannya.” Ia menyeruput Americano kesukaannya, menikmati setiap sensasi rasa yang tercipta dari seduhan biji kopi arabika. Sudah hampir setengah roti yang di kunyah pelangi habis, Pelangi mulai memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu kepada Tio yang sudah sedari tadi Ia persiapkan, Pelangi mencoba merangkai kalimat yang tepat, menarik nafas dalam dan memulai membuka percakapan. SENYUM ITU ADALAH SEMANGAT “Mas Pelangi hari ini gak ke kampus ya, pelangi gak mau ikut Ospek lagi” Pelangi menatap Tio serius. “Lho emang kenapa, kamu kok ngomong gitu?” Tio mengernyitkan dahi penuh tanda tanya. “Ya itu lo mas, yang mau pelangi ceritain kemarin ditelepon, pelangi dibully sama senior.” Pelangi bercerita semuanya tentang pengalaman kemarin, bagaimana ia harus melewati hari yang tak menyenangkan dimana seharusnya itu menjadi awal yang mengesankan diawal perkuliahannya. Setelah Pelangi usai bercerita tentang semuanya, Tio merespon dengan senyuman “Pelangi hebat, pemberani, mas salut sama kamu berani bela diri didepan semua orang, tapi jujur sih mas ada rasa sedikit kecewa sama Pelangi” Tio memasang wajah cemberut. “Kecewa kenapa mas?” Pelangi merendahkan suaranya tanda kekhawatiran. “Kecewa kalau kamu menyerah sama keadaan” Tio menatap Pelangi dalam. “Pelangi kan gak menyerah mas, emang Pelangi ada bilang pengen menyerah?” Pelangi bertanya dengan nada serius. “Kamu bilang tadi gak mau pergi ke kampus, karena masalah yang kemaren, nah itu sama aja kamu menyerah sama keadaan” Tio mencoba menjelaskan. “Pelangi cuman gak pengen ke kampus aja mas, bukan berarti pelangi menyerah kan?” Pelangi mencoba membela diri. Tio tersenyum “Dasar bocah kecil, masih aja keras kepala, gini deh mas coba jelasin ke kamu, hari kemarin memang lagi menyebalkan buat kamu, tapi ingat yang tidak menyenangkan itu hari kemarin bukan hari ini, hari ini harus dijalani dengan optimis, dengan semangat yang baru, kalau Pelangi berfikirnya hari ini akan sama dengan hari kemarin, dan kamu percaya hidup kamu sial terus, itu tandanya kamu pesimis, dan pesimis itu salah satu sikap putus asa yang gampang menyerah” “Hmm gitu ya mas” Pelangi menghela nafas. “Adiknya mas ini hebat, perempuan yang kuat dan pantang menyerah, kamu pasti bisa melewati hari ini dengan baik” Tio memberi semangat. “Makasih ya mas, Pelangi jadi semangat lagi untuk jalanin hari ini” Pelangi tersenyum kembali. “Gitu dong harus optimis, kalau gitu kamu habisin makanannya setelah itu mas anterin kamu ke kampus” “Oke deh” Pelangi menjawab dengan nada senang sembari mengacungkan jari jempolnya tanda setuju. Pelangi mengunyah sisa rotinya dengan lahap, Tio juga menghabiskan sarapannya pagi ini, mengunyah roti sembari memperhatikan senyum Pelangi yang mengembang sejak ia memberikannya semangat, Tio bahagia dan senang melihat Pelangi mulai bangkit kembali dari kesedihannya kemarin. Setelah mereka menyelesaikan sarapan, mereka bergegas berkemas pergi dan meninggalkan tempat duduknya. Sebelum meninggalkan kedai kopi dan membuka pintu, seperti biasa barista mengucapkan terimakasih dan menyapa ramah. “Terimakasih sudah berkunjung ke kedai kami, singgah kembali di lain hari” Tio mengantar Pelangi sampai di depan gerbang kampus. “Udah sampai” Tio mengerem Motornya tepat didepan gerbang Pelangi bergegas turun dan melapaskan helm yang ia kenakan. “Makasih mas Tio udah ngajak Pelangi sarapan dan nganterin sampe kampus” Pelangi sumringah sambil memberikan helmnya kepada Tio. “Iya sama-sama” Tio menjawab “Mas hati-hati ya pergi kerjanya, Pelangi masuk dulu” Pelangi ingin beranjak pergi. “Pelangi….” Tio mencoba menahan Pelangi. Pelangi berbalik badan “Iya mas” Pelangi mendekati Tio. “Mas ada satu pesan lagi buat kamu, adakalanya ketika kita dihadapkan dengan kondisi sulit mengalah dan menarik diri terkadang pilihan yang tepat” Tio memberi pesan tersirat agar Pelangi tidak melawan lagi hari ini dengan kakak seniornya. “Oke mas!” Pelangi tersenyum, dan memperlihatkan kedua jempolnya tanda mengerti. “Mas pergi ya” “Daaah, hati-hati” Pelangi melambaikan tangan kepada Tio. Ia memandangi lekat Tio yang beranjak pergi meninggalkan tempat itu, Pelangi mengalihkan padangannya setelah bayangan Tio tak tampak lagi dan beranjak pergi menuju gedung fakultas. “Pelangiiiiii, tungguuin aku” Teriak Kartika dari belakang. Pelangi berbalik badan dan mendapatkan sosok Kartika dibelakang sembari berlari kecil menghampirinya. “Hai Tik!!” Sapa Pelangi ramah. “Hai, selamat pagi, seneng deh jumpa kamu disini jadi bisa bareng” Pelangi tersenyum, dan mereka pun berjalan bersama menuju fakultas. “Ngi tadi aku liat kamu dari jauh di anter sama cowok ganteng, siapa tuh? Pacar kamu ya”tanya Kartika penasaran. “Hahahaha kamu kepo deh” “Ya abisnya ganteng banget Ngi, aduuhh bening gitu” Kartika cengengesan. “Itu namanya Mas Tio, dia bukan pacar aku, tapi kakak aku, jadi aku sama dia itu udah temenan dari remaja, Karena papa mamanya mas Tio sahabatnya orang tua ku” Jawab Pelangi mencoba menjelaskan. “Oh gitu, tapi kalau dia jadi pacar mu, pasti kamu gak nolak kan?.” Goda Kartika. “Kamu ada ada aja deh” “Tuhkan kamu malu malu, pipinya merah kayak tomat” Kartika menggodanya. “Hahahahahaha, apasih kamu, udah deh ayo cepat buruan kita jalannya, entar kita telat terus dihukum lagi” Palangi dan Kartika mempercepat langkahnya agar sampai di lapangan fakultas dan bergabung dengan teman-teman yang lain. Description: Pelangi dan Rain ingin bersama, namun takdir berkata lain
Title: Ramadhan Kali Ini Tanpa Suamiku Category: Non Fiksi Text: Sahur Pertama Tanpa Suami "Mas! Mas! Kamu dimana, Sayang?’’ aku memanggil Mas Danang selepas bangun tidur, karena kulihat di atas ranjang hanya ada anak kecilku dan aku. Aku bergegas ke kamar mandi. ‘’Enggak ada Mas Danang!’’ aku pun bingung, biasanya Mas Danang yang membangunkan aku untuk sahur. Hari sudah menunjukkan pukul 03.25, kulihat tak ada tanda-tanda Mas Danang akan datang. Aku pun bergegas mencuci muka terlebih dahulu, beberapa menit kemudian kududuk di atas kursi. ‘’Astaghfirullah ‘al adziim, Mas Danang kan sudah…’’ aku tersadar seketika, tangisanku pecah sembari menutup mulutku. Sepertinya aku belum menerima kenyataan semua ini, sudah 3 pekan kepergian Mas Danang. Namun rasanya dia masih berada di sampingku. Ya Allah, ampuni aku. Mungkin karena dia adalah suami yang paling baik, hingga untuk mengikhlaskan kepergiannya pun terasa begitu sulit bagiku. Terkadang hati nuraniku berkata, biarkan dia tenang di alam sana. Dan sekarang pun dia takkan merasa sakit lagi. Memang benar, tetapi hatiku terkadang begitu perih sejak kehilangannya. Mas Danang meninggal karena mendadak sakit ginjal dan sakit gula. Aku pun kaget ketika mendengar pengakuan Dokter, karena sakitnya mendadak saja. Biasanya Mas Danang kelihatan sehat dan tak ada sedikitpun tanda-tanda dari tubuhnya kalau dia tengah menderita sakit ginjal dan gula, itu terjadi secara tiba-tiba saja. Allah lebih dulu mengambil titipan-Nya, aku bisa apa. Aku yang terduduk lemas, sedari tadi menangis histeris. Lalu kutersadar kalau aku belum sahur. Aku pun berdiri perlahan, kulihat nasi dan sambal. Nasi alhamdulillah ada, sambal ternyata tak ada sedikitpun. Ya Allah! Telur atau bahan-bahan masak pun tak ada, uangku pun tak ada sedikitpun. Jika Adapun uangku sekarang, jam segini tidak ada yang buka warungnya. Tidak apa-apa, biar aku sahur alakadar saja. Allah Maha Tahu keadaanku. Kuambil nasi dan dimasukkan ke piring, kucucurkan air putih segelas. Akupun duduk, memutuskan untuk sahur dengan apa adanya saja. Tak lupa kuberniat terlebih dahulu. Ketika aku akan menyuap nasi putih, tanganku seketika terhenti. Tok ..tok..tok! Bunyi ketukan pintu dari arah luar, aku pun bingung dan merasa sedikit takut. Jam segini ada tamu? Tak mungkin, aku takut jika tamunya adalah lelaki. Takut terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, apalagi aku sekarang tinggal hanya berdua dengan anakku. Sudahlah! Biarkan saja, jika dia orang baik-baik tentu akan mengucapkan salam. Aku pun mencoba menenangkan pikiranku walau dihadang rasa takut, kembali kusuap nasi putih di depanku. ‘’Assalamua’laikum! Vita! Vit, ini aku Bu Ina!’’ panggilnya sembari mengetuk pintuku kembali, aku pun menghentikan suapku. Aku lega sekali, ternyata Bu Ina yang datang jam segini, beliau adalah tetanggaku yang sangat baik ke keluarga kecilku. ‘’Wa-Wa’alaikumussalam, Bu Ina. Sebentar ,Bu!’’ aku bergegas ke depan membuka-kan pintu untuk Bu Ina. Ketika pintu sudah terbuka, mataku kaget melihat Bu Ina menenteng beberapa sambal dan kue-kue. ‘’Eh Ibu Ina, Vita kira siapa. Ma’af ya Bu telat buka pintu-nya!’’ lirihku meminta ma’af. ‘’Silakan masuk,Bu!’’ kupersilakan masuk. ‘’Ibu Ina paham kok, lagian kamu tinggal hanya berdua dengan anakmu 'kan ,Vit. Apalagi Danang baru beberapa minggu sudah meninggal!’’ jelasnya menatapku iba. Aku pun menunduk sedih. Dan mengangguk. ‘’Tidak usah Vit, pasti kamu belum sahur 'kan? Ini Ibu Ina bawakan beberapa sambal dan kue juga!’’ Bu Ina menyodorkannya kepadaku. ‘’Ya Allah Bu Ina, terima kasih banyak, Bu! Jadi repot-repot, Bu,’’ ucapku berterima kasih dengan mata berbinar. ‘’Sama-sama,Vit. Tidak merepotkan sama sekali kok, Vit. Jangan bicara begitu, nggak baik!’’ jawab Bu Ina tersenyum, yang membuat hatiku tersentuh seketika. Aku pun tersenyum, sembari mengambil pemberian Bu Ina ‘’Alhamdulillah, sekali lagi terima kasih banyak ya, Bu. Masuk dulu Bu Ina, nggak baik berdiri diluar!’’ ‘’Nggak apa-apa Vit, Ibu Ina harus siap-siap dulu. Makanan selepas sahur belum dibereskan, masih berantakan di atas meja!’’ jawab Bu Ina tersenyum. ‘’Kalau begitu, Ibu pamit dulu. Kalau ada apa-apa, panggil saja Ibu Ina ya. 'Kan ada nomor Ibu di ponselmu,’’ Bu Ina memegang jemariku dan menatap mataku yang berbinar. Aku pun mengangguk, sembari mencoba untuk tersenyum. Bu Ina pun bergegas pamit kerumahnya. ‘’Tutuplah pintunya, Ibu pamit. Assalamua’laikum!’’ ‘’Iya, Bu Ina. Wa’alaikumussalam, Bu!’’ Aku pun termenung sejenak dan masih menenteng plastik yang berisi beberapa sambal pemberian Bu Ina. Alhamdulillah, aku tak menyangka tetanggaku begitu baik dan perhatian kepadaku. Kemaren sepulang dari rumah mertua, selesai pemakaman Mas Danang. Aku sempat kepikiran, dari mana akan dapat uang untuk makanan dan kebutuhanku sehari-hari. Apalagi sekarang telah masuk bulan puasa, dan hari pertamaku sahur tanpa seorang suami disisiku. Ternyata dibulan Ramadhan ini begitu banyak keajaiban, begitu banyak keberkahan yang Allah berikan. Ya, salah satunya diberikan rezeki makanan oleh tetanggaku. Aku yang masih berdiri mematung di depan pintu, tersadarkan. Langsung bergegas menutup dan mengunci pintu. Dan menuju ruang makan, kusalin semua sambal ke tempatnya. Ketika aku melihat beberapa sambal itu, kaget dan terharu. Bagaimana tidak? Ada lauk-pauk, gulai, sambal rendang, dan juga kue-kue yang dipisahkan letaknya. Semoga mengalir pahalanya ke Ibu Ina dan dimudahkan dalam mencari rezeki. Aku yang selesai menyalin semua sambal, lalu teringat olehku sikecil yang sedang tertidur sendirian di kamar. Aku pun bergegas ke dalam kamar, kulihat anakku tertidur pulas. Alhamdulillah, syukurlah. Kuelus kepala mungilnya, lalu kukecup keningnya. Dia begitu tampak lelah, mungkin karena beberapa minggu kemaren dia sering ikut denganku ke rumah sakit membezuk dan menjaga ayahnya. Kasihan sekali putraku ini. Hatiku sungguh teriris jika lama-lama menatapnya, belum lama merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya pun dijemput oleh Sang Ilahi. Ku pandangi jam dinding, astaghfirullah 'al adziim! Sudah jam 04.00, kubergegas keruang makan. lalu memutuskan makan sahur yang sejak tadi tertunda, ku suap nasi. Tatapanku tertuju pada kursi di sampingku, yang kelihatan kosong. ‘’Mas Danang! Ya Allah!’’ lirihku memegang kursi kosong di sebelah, tanpa kusadari buliran bening itu berjatuhan di pipiku. ‘’Biasanya kita berdua sahur maupun berbuka puasa, Mas. Sekarang…Aku sahur tanpa sosokmu di sampingku!’’ Bersambung. Description: Sudah tiga minggu suami dijemput sang ilahi, hari ini adalah hari pertamaku puasa tanpa sosok suami disampingku. Ya, biasanya dirumah dengan suami dan satu orang anakku yang masih berusia 5 tahun, kini hanya aku dan anakku. Tentu hati ini sangat sedih, teriris dan kesepian. Apalagi suamiku adalah suami yang begitu baik untukku dan menjadi ayah yang baik untuk anak-ku, dia tak pernah membentakku sekalipun. Dia bukan seperti suami diluar sana, dia sungguh jauh berbeda. Tetapi yang sangat baik itu pun cepat dipanggil oleh Sang Pencipta. Hidupku begitu hampa, bagaimana tidak? Ibu pun sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan ayah menikah kembali. Kadang kuberpikir akan mengakhiri hidupku. Dan aku tersadar bahwa itu hal yang sangat dibenci oleh Allah, masih ada anakku yang harus ku besarkan dan kuberikan kasih sayang.
Title: R.J Category: Adult Romance Text: BAB I -- Indonesia, here I come Clang! Suara notifikasi pesan terdengar. RJ meraih gawai dari bawah bantalnya dengan mata terpejam memeriksa. Pingkan! Bro! Jadi berangkat kan hari ini? Senyum muncul di bibir RJ dan kantuknya langsung hilang. Iya. Tapi ini masih malam. Baru besok aku ke bandara. Dia menekan tombol SEND. Tidak berapa lama balasan datang. Sorry aku bangunin kamu ya. Nggak apa2. Nanti aku kabarin pas di pesawat ya. Okeee RJ kembali tersenyum. Indonesia, here I come. BAB II – Footprint Di salah satu kantor di kawasan Midtown Manhattan, RJ duduk di kursi menandatangani beberapa dokumen. “This is it?” dia bertanya pada lelaki berjas rapi yang sekarang menumpuk semua dokumen jadi satu. “Anda perginya berapa lama Pak?” lelaki setengah baya itu balas bertanya. RJ tersenyum. “Saya belum tahu Wills. Bisa lama, bisa juga sebentar. Tergantung situasi. Tetapi begitu saya kembali I will work very hard and mengejar ketinggalan,” katanya. Lelaki yang rapi itu mengangguk. “I suggest you, jangan kecewakan ayah Anda. Beliau sangat percaya Anda bisa mengurus perusahaan ini,” katanya. “I know…” RJ mengangguk. Matanya langsung ke pigura foto di meja yang berisi gambarnya dengan sang ayah. Biarpun Daddy cuma ayah angkat, tapi beliau membesarkanku, menyayangiku bahkan memberikan warisan semua yang dia miliki saking takutnya aku miskin dan menderita. RJ bangkit dan menepuk bahu pria yang disapanya Wills. “Saya pergi dulu, untuk sementara tolong jaga kantor ini. I will return as soon as possible. I promise,” kata RJ. Wills atau William Deacon adalah tangan kanan ayahnya. RJ yakin semua akan baik-baik saja di tangan Wills. “Call me if it’s very important. Jangan sungkan-sungkan,” katanya sebelum keluar dari ruangan besar itu. Paling lama sebulan, setelah itu aku akan kembali ke sini. Tentu saja bekerja keras demi tidak mengecewakan Daddy. --00— RJ memasang sabuk pengaman sambil memastikan barang penting lainnya seperti buku, majalah, telepon dan tentu saja jaket sudah di tempatnya. Ini penerbangan lama, dan rencananya RJ akan tidur atau membaca. Kalau tidak dia bisa mati bosan. Dulu dia pernah terbang ke Indonesia sekali. Tetapi saat itu dia tidak bosan. Ada Daddy di sisinya. Sepanjang jalan Daddy bercerita tentang masa kuliahnya dengan ayah kandung RJ: Aldo. Kata Daddy, ayahnya itu pintar dan pendiam. Mahasiswa yang disukai dan setia. RJ masih ingat pembicaraannya dengan Daddy waktu itu. “Sekarang saya tahu kenapa Ibu mau menikah dengan ayah. Kriteria ayah itu sangat disukai perempuan,” kata dia. Daddy tertawa. “Kalau Daddy?” “No comment…” Dia tertawa. “Kamu benar, Son. Daddy payah. Makanya kalah bersaing mendapatkan ibu kamu.” Ujar Daddy santai. Sehari sebelum berangkat RJ mampir ke makam ibunya dan Daddy. Mereka dikuburkan tidak berjauhan. RJ membawa dua jenis bunga yang berbeda: mawar merah untuk ibunya dan bunga daisy untuk Daddy. RJ minta izin pulang sebentar ke Indonesia. Sejujurnya dia ingin tahu lebih banyak tentang keluarganya. RJ tahu daddy banyak menyembunyikan rahasia. Terbukti setiap dia bertanya mendetil Daddy selalu mengelak, hingga akhir hayatnya RJ merasa latar belakangnya masih remang-remang. Untungnya ketika pulang ke Indonesia dia berkenalan dengan Pingkan. Kata Daddy, Pingkan itu saudaranya se-ayah. Berarti ayah punya dua istri dong? Dia dan Pingkan saling bertukar nomer telepon dan sering bertegur sapa. Kadang juga melakukan video-call. Usia mereka terpaut tiga tahun, tetapi entah kenapa keduanya merasa cocok. “Aku akan ke Indonesia,” kata RJ. “Seriously? Datanglah. Biar aku jemput,” Pingkan antusias. “Benar ya?” “Benar. Kamu tinggal dengan kami saja selama di Indonesia,” tawar Pingkan. “Ibu kamu oke? Nanti malah mengusir aku,” RJ ragu-ragu. “Urusan cinta masa lalu itu harusnya sudah dilupakan. Ibu kan sudah menikah dan move on. Benar ya, kamu tinggal di rumah kami Bro,” paksa Pingkan. “Oke…” RJ tersenyum. Sekarang pun RJ tersenyum setelah mengirim satu pesan untuk Pingkan. I’m on my way Big sister Dia melirik arlojinya. Pukul 10 pagi. Di Indonesia pasti pukul 10 malam atau lebih sedikit. Pingkan pasti belum tidur. Dugaannya benar, suara notifikasi pesan terdengar. Aku jemput. Sesuai jadwal kan? See you soon Bro! RJ memasukkan gawainya ke saku dan duduk bersandar di kursinya. Kabin kelas satu itu penuh, namun tetap saja terjaga kenyamanannya. Dia merasa pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu. RJ memejamkan matanya. Suara Daddy terngiang lagi. “RJ, ini Mama Intan. Dia istri pertama ayah kamu. Dan ini Pingkan…” Joshua menepuk bahu gadis yang paling besar. “Dia kakak kamu lain ibu.” BAB III – Pingkan Pesawat mendarat jelang tengah malam waktu Indonesia. RJ antusias melihat keluar jendela dan belum percaya akhirnya dia bisa pulang ke Indonesia. Dadanya berdebar membayangkan petualangan yang akan dialami, termasuk kejutan yang mungkin sudah menunggunya. Setelah jetlagku hilang, aku akan ke makam Ayah. Setelah itu baru ke Yogya. Kata Pingkan kakek dan nenekku orang Yogya. Saat dia ke Jakarta bersama Daddy, RJ masih 18 tahun. Baru saja kuliah semester dua. Sekarang dia sudah menyelesaikan master degree-nya. Kalau dihitung-hitung, hampir delapan tahun dia tidak “pulang”. RJ menyeret koper menuju pintu luar, mencari-cari orang yang menjemputnya. Dari jauh dia melihat lambaian tangan seorang gadis dengan cardigan hijau muda. RJ tersenyum lebar dan mendekat. Itu memang Pingkan. “Pesawatnya baru mendarat. Kamu ngga menunggu kelamaan kan?” tangan RJ menarik perempuan itu ke pelukannya. Terbiasa dengan memeluk siapa pun yang dikenal di negaranya, membuat dia memeluk Pingkan. Pelukan yang menunjukkan affection alias kasih sayang dan perhatian, bukan nafsu tentu saja. RJ bisa merasakan Pingkan buru-buru melepas pelukannya. Mungkin dia jengah, atau malu. RJ justru makin kuat memeluk Pingkan sambil tertawa. “Kamu itu kakakku Pinky,” katanya menggoda. Perlahan RJ melepas pelukannya dan menatap sang kakak lekat. Hampir 8 tahun tidak bertemu, usia RJ sudah 26 tahun sementara Pingkan masuk 29 tahun. Pingkan belum menikah. Dia bekerja sebagai arsitektur di firma arsitek yang cukup kondang di Indonesia. Meskipun lebih muda tiga tahun RJ kelihatan menjulang dibanding Pingkan yang bertubuh mungil seperti ibunya. RJ memang lumayan jangkung dan tentu saja tampan. Pingkan sempat tidak mengenal RJ tadi. Memang mereka terbiasa video-call, tetapi wajah RJ di video-call tidak seganteng ini. “Kamu sudah besar,” keluar juga kalimat itu dari mulut Pingkan. “Sudah punya pacar?” RJ tertawa. “Aku menunggu pacar dari kakakku. Pilihan kamu pasti yang terbaik,” katanya. “Sayangnya semua temanku lebih tua dari kamu. Yuk kita pulang,” kata Pingkan. Parkiran mobil terletak di gedung sebelah. RJ mengikuti langkah Pingkan yang tergesa. Dia masih excited dengan suasana langit Jakarta yang cerah. Pingkan membawa mobil kecilnya keluar dari airport. Jalanan lumayan sepi karena memang lewat tengah malam. Sementara RJ sibuk dengan pemandangan di luar jendela. “Bukannya Manhattan lebih oke dibanding Jakarta?” Pingkan tertawa. “Aku ngga berpikir seperti itu. Perasaan seperti mimpi,” kata RJ. “Nanti kita ke Yogya naik kereta ya. Kamu bisa merasakan bagaimana hidup di desa. Semua sudah tahu kamu akan datang,” kata Pingkan. RJ tersenyum lebar. “Oh ya?” Pingkan mengangguk. “Kali ini biar aku yang jadi EO kamu di Indonesia. Nanti kalau aku punya uang berlibur ke Amerika, kamu harus gantian mengajak aku jalan-jalan.” RJ tersenyum. “Aku justru lebih suka kamu pindah ke sana. Aku tidak punya siapa-siapa di Amerika. Yang membuatku bertahan cuma karena Daddy meminta aku mengurus perusahaannya,” kata RJ terus terang. Pingkan membelokkan mobil ke luar ruas jalan tol dan mobil kini masuk ke jalan Kawasan Tangerang. “Kalau aku pergi, Mama-ku bagaimana?” tanya Pingkan. “Kan Mama Intan sudah ada Davina dan suaminya. Saudaraku itu cuma kamu Pinky,” kata RJ. Pingkan kini membelokkan mobil ke sebuah kompleks yang cukup besar namun bergaya jadul. Setelah melewati dua pos security, dia menghentikan mobil di sebuah rumah dua lantai. “Ini rumahku. Welcome,” katanya. RJ turun dari mobil dan mengambil koper di jok belakang. Suasana kompleks itu sepi. Maklum baru pukul 2 dini hari. “Sis, serius nih aku tidak apa-apa tinggal di sini? Aku bisa menyewa kamar di hotel kok,” kata RJ. Pingkan menghela nafas. “Begini saja. Kita lihat satu hari ini. Kalau ternyata kamu tidak betah, kita cari hotel di tengah kota,” kata Pingkan memutuskan. “Okeee…” RJ tersenyum lebar. Malam itu RJ tidak tidur. Dia mengalami jetlag berat. Pukul 4 pagi RJ memutuskan duduk di teras dan melamun dalam kegelapan. Pandangan matanya ke rumah di depannya yang juga gelap. Pukul 5 pagi, dia kembali ke kamarnya dan kemudian tertidur pulas hingga 8 jam! BAB IV -- Mama Pukul 1 siang waktu Indonesia RJ sudah mandi dan segar. Dia kelihatan santai dengan kaos oblong hitam dengan jeans. Sambil membongkar koper kecilnya RJ melihat sekeliling kamar tamu itu. Rumah ini pernah ditempati Ayah dan istri tuanya. Kadang aku menyesal kenapa Tuhan tidak mengizinkanku mendapatkan kasih sayang Ayah. Kata Daddy, aku itu mirip sekali dengan Ayah. Semirip apa sih? Dari koper RJ mengeluarkan beberapa bungkusan yang akan menjadi oleh-oleh untuk Tante Intan, Pingkan dan tentu saja adik Pingkan: Davina. “Ternyata sudah bangun. Aku dua kali bolak balik, kamu tidurnya nyenyak sekali,” kata Pingkan yang muncul di balik pintu. RJ tersenyum. “Aku masih mengalami jetlag. Tapi biasanya cepat hilang kok,” katanya. “Nih untuk kakakku.” Pingkan mengambil bungkusan yang diserahkan RJ. “Buka saja,” kata RJ. Pingkan tersenyum dan membuka bungkusan itu. Isinya sebuah tas tangan perempuan bermerek. “Wah tasnya keren. Kamu menghabiskan banyak uang untuk ini,” kata Pingkan takjub. “Yang penting kamu suka Pingky,” kata RJ. “Nah ini untuk Tante Intan dan Davina.” Pingkan tertawa. “Untuk Davina kamu simpan dulu. Dia masih di Yogya. Sekarang kita temui Mamaku. Beliau nanyain kamu terus loh,” Pingkan menarik tangan RJ. RJ membawa oleh-oleh untuk Tante Intan dan mengikuti Pingkan menuju balkon lantai dua. Sesosok perempuan setengah baya duduk sendirian di sana dengan sepiring pisang goreng dan kopi susu. Tante Intan, alias istri tua ayah. “Mama, RJ udah bangun nih,” kata Pingkan. Perempuan yang dipanggil Mama oleh Pingkan itu menoleh. Senyumnya langsung muncul di bibirnya. Meskipun sudah setengah baya, istri tua Ayah ternyata masih sangat cantik di mata RJ. “Tante,” dengan takzim RJ mencium tangan Tante Intan. “Kamu masih jetlag berat ya,” Tante Intan tersenyum. “Lumayan. Maafkan saya merepotkan karena menginap di sini,” kata RJ. “Sama sekali tidak merepotkan," kata Tante Intan. RJ mengulurkan bungkusan di tangannya. "Buat Tante..." katanya. "Semoga Tante suka." Tante Intan meletakkan bungkusan oleh-olehku di atas meja. Kemudian dia bangkit. "Kamu pasti belum makan. Tante sudah masak untuk menyambut kedatangan kamu. Yuk..” kata Tante Intan. Dia berjalan meninggalkan balkon diekori Pingkan dan RJ. “Benar kan? Kita senang kamu menginap di sini Bro,” bisik Pingkan. RJ tersenyum. “Mama kamu baik. Aku tidak pernah punya Mama. You’re so lucky Pingky,” RJ balas berbisik. “Mamaku, Mama kamu juga RJ,” balas Pingkan. “Mana mungkin. Aku ini anak selingkuhan Papa kamu,” RJ mengelengkan kepala. “Itu masa lalu. Masak Mamaku belum bisa nerima kamu sih,” ujar Pingkan keras kepala. Percakapan mereka berhenti saat mencapai meja makan. Tante Intan membuka tudung saji dan ludah RJ nyaris menetes melihat hidangan yang sudah disiapkan. Di meja itu sudah tersedia gurami bakar, tempe, tahu, sambal dan lalapan. RJ langsung merasa perutnya berbunyi karena dia memang sangat lapar. “Semoga kamu suka,” kata Tante Intan. "Masakan Indonesia itu hal yang mewah untuk saya Tante. Almarhum Daddy lebih suka masakan italia masalahnya," kata RJ. Tante Intan tertawa. Ketiganya duduk mengelilingi meja makan. Tante Intan tersenyum melihat RJ dan Pingkan sama bersemangatnya menikmati gurami bakar. Setelah ikan itu tinggal tulang, RJ tersadar Tante Intan malah belum mulai makan. “Loh Tante tidak makan?” tanya RJ. “Kalian berdua mirip ayah kalian. Suka sekali dengan gurami bakar,” kata Tante Intan. RJ bisa melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. “Guraminya sangat enak. Terima kasih Tante,” kata RJ. “Mama. Panggil tante Mama seperti Pingkan…” kata Tante Intan sambil tersenyum. “Tante serius?” “Mama…” “Ok, Mama…” lidah RJ seperti kram melafalkan kata itu. Hatinya tiba-tiba menghangat. Dia mencoba kembali memandang sang Mama. Sayangnya perempuan itu sudah bangkit dan berjalan ke arah dapur. Dari belakang RJ bisa melihat Tante Intan A.ka Mama mengusap matanya. --00— POV Intan Ketika melihat anak muda itu berdiri di samping Pingkan, jantungku nyaris berhenti berdetak. Mas Aldo! Iya, RJ itu betul-betul mirip Mas Aldo saat kami masih muda dan berpacaran cukup lama. Hanya bentuk rambut dan bibir RJ yang sedikit menyerupai Cindy. Cindy Camelia, perempuan yang merebut Mas Aldo dariku. RJ berdiri salah tingkah dan aku tahu dia mungkin tidak nyaman di depan istri tua ayahnya. Yang pasti aku tidak bisa membencinya. Bagaimana mungkin aku membenci replika Mas Aldo? Terlepas sudah lebih dari 26 tahun Mas Aldo meninggal dan aku menikah lagi, hatiku tidak pernah bisa melupakan dia. Aku membayangkan bagaimana RJ ini tumbuh besar. Kata Mas Joshua, ayah angkat RJ, Bu Cindy meninggal saat melahirkan dia. Bisa dibilang RJ ini tidak pernah merasakan kehangatan keluarga utuh karena hanya tinggal dengan mas Joshua. Kasihan sekali anak itu. Rasa sayangku bertambah begitu melihat dia dan Pingkan berebutan ikan gurami bakar. Aku membayangkan seandainya dulu tidak keguguran, anak perempuan keduaku dengan Mas Aldo pastilah sebaya RJ ini. Mas Aldo pasti bangga bisa memiliki anak lelaki. Aku tahu dia sangat mengidam-idamkan anak lelaki. Plus anak ini sangat mirip dengannya. Pandangan mata heran RJ juga mirip Mas Aldo saat RJ tahu aku bahkan belum mulai makan. Kemiripan fisik dan tingkah laku RJ ini memang membuatku kehilangan selera makan. Aku seperti melihat Mas Aldo duduk di meja makan kami, dan aku melayani dia makan. Tidak heran ketika dia bertanya, entah ide dari mana aku meminta dia memanggilku dengan sebutan Mama. Terlepas rasa benciku pada ibunya si pelakor, aku tidak bisa membenci RJ. Sama seperti aku tidak bisa membenci suamiku: Reynaldo Danish Danadyaksa. RJ ini adalah anak kandung suamiku. Tidak salah kan kalau aku ingin menjadi Mama-nya? BAB V – Jakarta Pingkan mengemasi tas ranselnya setelah meja kerja tertata rapi. Dia bersiap akan pulang. Arloji cantik di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sebuah notifikasi pesan terdengar dari gawainya. Pingkan melirik gawainya sejenak dan tersenyum tanpa menghentikan aktivitasnya bersih-bersih. “Pulang sekarang? Tumben buru-buru biasanya kalau belum jam 8 ngga beranjak dari meja gambar,” Juwita, sahabat Pingkan sekantor keheranan. Pingkan tersenyum. “Gue ada janji,” katanya tanpa berminat menjelaskan lebih detil. Juwita bertepuk tangan. “Nah..Nah… kalau gitu ngga apa-apa deh. Terutama kalau teman janjiannya cowok secara lu kan ngga punya pacar,” ledek perempuan berambut super pendek namun trendi itu. Pingkan tidak menjawab. Dia hanya senyum-senyum. “Ya udah, gue cabs dulu,” katanya mencangklong tas. “Wait, barengan dong. Gue tinggal ambil tas,” kata Juwita buru-buru. Pingkan mengerutkan kening. “Ngapain sih bareng-bareng melulu. Gue dijemput tahu?” katanya tidak senang. Senyum lebar terukir di bibir Juwita. “Justru itu. Gue mau tahu lu janjian sama siapa. Anggap aja gue QC lu. Quality control untuk memastikan pilihan lu ngga salah,” kata Juwita yang sudah berada di sisi Pingkan dengan tasnya. “Yuks.” Kedua sahabat itu beriringan keluar menuju elevator. “Terus gimana kabarnya si Evan? Kan dia naksir berat sama lu Pingkan,” Juwita penasaran sembari menekan tombol elevator. Evan adalah partner firma arsitek mereka. Orangnya masih muda dan Juwita tahu betapa mendambanya Evan pada Pingkan yang memang cukup menawan. “Evan? Kok lu ngomongin Evan sih. Gue ngga tahu,” balas Pingkan bersamaan dengan pintu elevator yang terbuka. “Lu beneran ngga punya hati sama Evan. Dia lumayan ganteng dan mapan,” kata Juwita. Pingkan menggeleng. Dia tidak bicara apa-apa kecuali senyum yang terus terukir di wajahnya. Juwita geleng-geleng kepala. Elevator tiba di lantai dasar. Pingkan dan Juwita berdiri di depan teras lobby. Juwita melihat mobil kecil Pingkan berhenti di depannya. “Mau ikut sampai stasiun?” tawar Pingkan. “Oke.” Balas Juwita. Kedua masuk ke dalam mobil. Pingkan mengambil posisi di samping seorang lelaki yang memegang setir sementara Juwita duduk di jok belakang. Mobil kecil itu segera melaju menghindari antrian di depan lobby. “Ngga nyasar kan?” tanya Pingkan pada lelaki itu. “Nggak lah. Kan pakai google map. Cuma sempat terjebak macet,” kata lelaki itu. Juwita memandang si supir dari belakang dengan nanar. Waduh, jadi ini teman kencan si Pingkan? Pantas dia menolak si Evan. “Kita mau kemana?” tanya lelaki itu. “Katanya kamu mau melihat Jakarta di waktu malam? Kita bisa keliling-keliling aja. Nanti baru cari makan,” kata Pingkan. “Oke…” Dari kaca spion bagian dalam Juwita bisa melihat lelaki itu tersenyum. Ahayy, keren juga dia kalau tersenyum. “Lu mau ikut? Kita mau keliling-keliling aja. Nanti kita anterin pulang deh,” tawar Pingkan pada Juwita. Juwita tersenyum pahit. Sialan. Masak kencan ngajak-ngajak. Kesannya gue hopeless banget “Ngga usah. Makasih. Gue turunin di stasiun Cikini aja,” kata Juwita buru-buru. ‘Bener?” “Iya.” Pingkan menunjukkan arah menuju stasiun Cikini. Dengan susah payah – karena macet berat secara jam pulang kantor—mereka sampai di tempat tujuan. “Gue turun ya. Selamat berkencan,” kata Juwita mengambil tasnya dan bersiap membuka pintu mobil. “Kencan dari Hong Kong. Ini adik tiri gue, namanya Rey. Dia baru dateng dari New York,” Pingkan tergelak, sementara lelaki ganteng yang bernama Rey itu sudah menoleh ke belakang dan tersenyum lebar. Kok si Pingkan ngga pernah cerita punya sodara sambung sekeren ini. Juwita tiba-tiba kembali menutup pintu mobil. “Loh, lu ngga jadi turun?” Pingkan keheranan. ‘Gue berubah pikiran. Ikut deh jalan-jalannya. Tapi nanti anterin pulang,” kata Juwita dengan wajah tanpa dosa. “Yaelah, kenapa ngga dari tadi. Sampai pake drama macet segala,” omel Pingkan. “Tiba-tiba gue inget kalau nyokap juga lagi di luar kota. Ngapain coba gue pulang cepet,” balas Juwita. “Bisa aja lu beralasan,” Pingkan geleng-geleng kepala. “Ngga apa-apa kan Rey?” pandangan Juwita berpindah ke RJ masih tersenyum. “Ngga apa-apa. Seneng kok ramai-ramai,” balas RJ. Malam itu Pingkan mengajak Rey menikmati malam di Kota Tua dan mereka makan malam di restoran jadul dengan makanan Indonesia yang cukup otentik. Mereka juga sempat menikmati keindahan monas di malam hari. RJ menatap monas dengan emosi bercampur aduk. Aku tidak percaya sedang di Jakarta. Sekian lama aku menantikan momen ini. Sepertinya aku benar-benar pulang. Di sinilah tempat Ayah dan Ibu bekerja, bertemu, jatuh cinta dan akhirnya menikah. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan mereka. Tapi aku yakin keduanya bahagia. Aku harusnya besar di sini bukannya malah terusir ke negara orang. “Do you like it?” tanya Pingkan pada sang adik yang melihat puncak Monas dengan mata tak berkedip. Rj tersadar dari lamunannya. Dia menoleh memandang kakak tirinya sambil tersenyum. “Like it? Are you kidding me? I love it!” balas RJ. Tanpa sungkan dia merangkul Pingkan. “Thanks sis. You're the best.” Pingkan mendorong tubuh RJ sambil tertawa. “Ini Jakarta Rey. Please behave…” kata Pingkan. Juwita yang melihat adegan itu tidak bisa menahan senyum. Lelaki yang bernama Rey itu terkesan kampungan saat memandang Monas. Bukannya New York lebih keren dan juga banyak monumen bersejarah? Tapi caranya berekspresi justru membuat dia jadi kiyut abis. BAB VI – Wasiat Tiga hari setelah kedatangan RJ, seorang lelaki yang mengaku pengacara datang ke rumah Mama Intan. Namanya Damien Lawrence dari Lawrence and Partners. Mister Lawrence dan dua stafnya membawa beberapa map bersegel. Intan memanggil RJ untuk menemaninya menerima pengacara itu di ruang tamu. “Ini pengacara ayah kamu RJ,” kata Intan memperkenalkan. Damien Lawrence memandang RJ dan tersenyum. “Anda mirip sekali Pak Aldo. Sewaktu Pak Aldo meninggal, Anda belum lahir,” kata Damien yang memang sudah kelihatan sangat senior. Tiba-tiba RJ merasa dadanya berdebar. “Ini peninggalan Pak Reynaldo untuk Anda, sebidang tanah di Sawangan Depok seluas 1.000 meter. Tanah baru dibeli beberapa bulan sebelum beliau meninggal. Semula mau dibangun rumah tetapi beliau sudah meninggal,” kata Damian. RJ melirik Intan yang sepertinya menghapus air mata. Intan memang sedang dengan pikirannya sendiri. Rupanya dugaanku benar, Mas Aldo memang ingin bercerai denganku dan memutuskan membangun rumah baru untuk selingkuhannya yang sedang hamil. Ibunya RJ. “Saya ke sini bukan untuk membicarakan soal peninggalan Ayah. Harusnya peninggalan itu untuk Mama saja. Saya sudah cukup dengan apa yang saya miliki sekarang,” kata RJ. Damien mencoba tersenyum. “Kami hanya melakukan apa yang ditugaskan ayah Anda Mas Reynaldo,” kata Damien. “Tetapi saya jadi tidak enak. Saya ke Indonesia bukan untuk mencari warisan. Saya hanya ingin tahu asal usul keluarga saya. Itu saja,” kata RJ. “Rey, Mama yang mengundang Pak Damien ke sini. Semua harus jelas. Selama ini Pak Damien juga kebingungan dengan pesan almarhum ayah dan almarhumah ibu kamu,” suara Intan terdengar. RJ menoleh ke Intan. “Tapi Ma, aku ke sini tidak ingin membuat Mama menangis. Aku tidak tahu detil apa yang pernah terjadi antara Mama, Ayah dan Ibu. Yang aku tahu itu menyakitkan semua orang. Aku Cuma ingin berziarah ke kuburan Ayah, mengunjungi nenek kemudian meneruskan hidupku di tempat Daddy Joshua,” kata RJ. Kalimat panjang RJ itu justru membuat Intan tidak mampu menahan air matanya. Mau tidak mau dia mengakui kalau RJ memang benar. Informasi yang diberikan pengacara memang menyakitkan dan seolah membuka luka lama. Apalagi Intan masih sangat mencintai Aldo. Ayah RJ. Intan menghapus air matanya dan bibirnya yang gemetar tersenyum. “Kita akan selesaikan semua hari ini. Setelah itu kita lupakan. Bisa? Apa pun yang terjadi, kamu tetap menjadi anak Mama,” bujuk Intan. RJ menghela nafas. “Mama yakin?” tanyanya tidak yakin. Intan mengangguk. Ya, semuanya harus diselesaikan. Mumpung RJ ada di Indonesia. “Baiklah. Ada lagi yang perlu saya tahu Pak Damien?” RJ menoleh ke Damien Lawrence. Damien mengeluarkan sepucuk surat dari amplop yang bersegel. Ternyata surat wasiat untuk RJ. Damien membaca surat itu keras-keras. Anakku, Kamu anak lelaki Ayah satu-satunya, semoga sehat dan bahagia selalu. Ayah mungkin tidak bisa meninggalkan banyak materi untuk kamu, tetapi percayalah, Ayah sangat menyayangi kamu. Ayah cuma ingin kamu jadi pemuda yang jujur, tenang dan tidak pernah terburu-buru mengambil keputusan. Kamu harapan Ayah, terutama dalam hal menjaga orang-orang yang kita cintai bila Ayah tidak ada lagi. Nak. Kamu punya ibu yang sangat sayang pada kamu, dan sangat Ayah cintai. Jaga ibu kamu. Bebannya sangat berat karena mencintai Ayah. Kamu juga punya satu kakak lain ibu, Pingkan. Anak perempuan Ayah satu-satunya. Kalau kamu besar, cari dia. Jaga Pingkan untuk Ayah. Cuma itu saudara yang kamu punya. Kalian harus akur dan saling menyayangi. Ayah ingin kamu jadi anak yang kuat meskipun tanpa Ayah di sisi kamu. Salam sayang Ayah. Wajah RJ berubah. Matanya berkaca-kaca. Kembali dia melirik perempuan di sampingnya yang menghapus air mata. Kenyataan kalau ayahnya lebih mencintai ibunya memang menyakitkan untuk Mama Intan. RJ menghela nafas. “Surat ini dibuat sebelum Anda lahir Mas Reynaldo. Jadi tidak ada nama dalam surat wasiat ayah Anda. Beliau hanya bilang ke saya, calon anaknya laki-laki,” kata Damien. “Terima kasih Pak Damien sudah menyimpan surat itu begitu lama,” balas RJ lirih. “Kalau sudah selesai, saya ingin permisi,” kata RJ. Entah kenapa dia butuh sendiri. Damien Lawrence menyingkirkan dua dokumen di atas meja dan mengambil setumpuk dokumen lain. “Belum Mas Reynaldo. Sekarang saya ingin memberikan pesan dari Ibu Anda, Ibu Cindy Camelia. RJ batal bangkit. “Beberapa bulan setelah ayah Anda meninggal, Bu Cindy menelepon saya meminta saya mengurus semua asetnya. Untungnya setelah beliau meninggal semuanya sudah beres dan atas nama Anda sekarang,” kata Damien seraya membuka dokumen demi dokumen. RJ bisa melihat aneka sertifikat properti, dokumen surat berharga, buku tabungan, lima BPKB mobil dan sekotak perhiasan. “Bu Cindy bilang ke saya kalau beliau tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu Bu Cindy sudah meninggal dan ayahnya menikah lagi tetapi tidak punya anak. Sejak itu hubungannya dengan ayah beliau putus. Jadi semuanya diwariskan untuk Anda. Kata Bu Cindy, perhiasannya bisa dijual, tetapi tolong sisakan beberapa potong untuk calon istri Mas Reynaldo. Sekedar kenang-kenangan dari Ibu,” kata Damien. Duh Ibu… Kali ini RJ tidak bisa menahan air matanya. Anak muda itu menutup wajahnya dan menangis tanpa suara. Suasana langsung sepi. Bahkan Pak Damien meletakkan dokumen yang dibacanya tanpa bunyi. Hingga akhirnya RJ bisa menenangkan diri dan meneguk air yang disiapkan di meja. Tangannya gemetar saat meletakkan gelas kembali di meja. “Bu Cindy tidak meninggalkan surat wasiat. Yang saya sampaikan itu adalah pesan dari Bu Cindy secara lisan,” kata Damien RJ menelan ludahnya. “Saya mengerti,” katanya. Hampir setengah jam Damien memberikan banyak informasi tentang aset milik ibunya, dan RJ baru tahu kalau salah satunya adalah rumah kosong di depan rumah Mama Intan! Aku akan membersihkan rumah itu dan tinggal di sana beberapa waktu. Cuma ingin merasakan di tempat yang pernah ditinggali Ibu. Setelah semuanya beres, pengacara meninggalkan tempat itu. RJ dan Intan mengantar kepergian rombongan pengacara hingga dua mobil itu menghilang. “Masuk yuk, kita makan siang dulu. Kamu pasti sudah lapar,” kata Intan sambil tersenyum. RJ bisa melihat mata itu masih basah dan sedikit bengkak. “Kita tidak nunggu Pingkan?” tanya RJ. “Pingkan pulangnya sore. Kan nanti kamu yang jemput.” Kata Intan lagi. “Ma, boleh Rey ngomong sebentar?” tanya RJ. Intan berhenti melangkah dan menoleh. RJ tersenyum. “Mungkin permintaan ini agak absurd. Tapi aku tidak peduli. Tadi Ayah pesan agar aku menjaga Ibuku dan Pingkan. Sekarang Ibuku tidak ada lagi, boleh aku menjaga Mama? Boleh aku menjadikan Mama seperti Ibuku? Terlepas apa yang pernah terjadi dulu?” tanya RJ. RJ bisa melihat wajah Intan berubah. Intan memang kaget namun mencoba tersenyum. Matanya kembali berkaca-kaca. Ingatannya melayang ke puluhan tahun yang lalu saat dia dan Aldo masih sangat muda dan saling mengikat janji. “Boleh aku menjaga kamu Intan? Boleh aku menjadikan kamu istriku?” “Tentu Aldo…” Intan menghela nafas dengan dada yang bak ditindih batu puluhan ton. Dia berjalan menuju pintu rumah dan dan memanggil RJ yang masih berdiri di tempat semula. “Yuk, kita makan…” BAB VII – A place you called home RJ duduk di kursi dekat kolam renang tanpa baju. Tubuhnya yang berkeringat mengilat terkena matahari sore. Kolamnya yang baru dibersihkan kini sudah diisi. Supaya kolam cepat penuh RJ sempat membeli dua truk air isi ulang. Kini dia memperhatikan air bening memenuhi kolam renang itu. Kolam renang di rumah ibunya. Ibu pasti dulu sering berenang sendirian. Kata Daddy Joshua olah raga yang disukai Ibu cuma berenang, termasuk saat hamil aku. RJ tersenyum. Sudah tiga hari dia melakukan acara bersih-bersih di rumah ibunya. Sebenarnya rumah itu tidak terlalu kotor meskipun tidak ditempati. Pengacara sudah menyewa pihak yang merawat rumah itu. Yang bersih-bersih datang sebulan sekali. Tetapi tetap saja debunya banyak sekali. RJ membersihkan kamar ibunya dan menemukan masih banyak benda peninggalan ibunya termasuk foto-fotonya di dinding. Sementara lemarinya kosong. Mungkin semua pakaian sudah dihibahkan atau dibuang oleh Daddy yang sempat ke Jakarta beberapa kali. Sudah hampir 27 tahun, sejak Ibu terakhir berangkat ke Amerika dan meninggal dunia di sana. Tadi RJ melihat foto ibu dengan gaun merah dan ayahnya yang memakai jas santai. Foto pernikahan mereka itu ditemukan RJ di laci lemari. Ujung-ujung lembaran foto itu sudah dimakan usia, namun senyum bahagia Ayah dan Ibu tidak luntur. RJ tidak bisa menahan senyum. Mengingat posisi rumah ibunya menghadap ke arah rumah Pingkan, RJ tahu apa yang sebenarnya mungkin terjadi. RJ tidak bodoh dan mau tidak mau harus mengakui kalau ibunya telah membuat rumah tangga Ayah dan Mama Intan gonjang-ganjing. Mereka pasti jatuh cinta karena rumahnya berhadapan begini… Kemudian aku pun lahir sebagai buah kasih mereka. Sangat luar biasa bila Mama Intan mau menerimaku. Itu benar-benar luar biasa. RJ melihat ke sekeliling rumah. Mungkin sepulang aku dari Yogya, aku akan memikirkan nasib semua aset ini. Aku juga akan jarang pulang ke sini. “Hey bro, kamu disuruh Mama pulang. Katanya kamu belum makan dari siang,” tiba-tiba Pingkan sudah berdiri di sisi RJ. RJ menoleh. “Kok pulang cepat? Aku baru saja mau mandi dan menjemput kamu Sis,” kata RJ. Pinkan tersenyum. “Mulai besok aku sudah cuti. Aku mengambil semua cutiku sejak setahun yang lalu. Kita bisa jalan-jalan ke Bogor, Bandung,… sebelum akhirnya kita ke Yogya,” kata Pingkan. RJ memakai kembali kaus oblong putihnya. “Yuk, sekalian aku mau mengambil beberapa barangku. Malam ini aku akan menginap di sini,” kata RJ Kening Pingkan berkerut. “Kamu ngga bercanda kan? Katanya kamu akan tinggal bersamaku. Bersama Mama. Kok malah pindah,” kata Pingkan keberatan. RJ tertawa. “Kita ini bertetangga. Ngga ada bedanya. Aku malah baru tahu Ibu meninggalkan rumah ini untukku. Jadi tidak perlu merepotkan kamu dan Mama lagi,” kata RJ. Pingkan cemberut. “Jangan membuat jarak Bro. Aku malah senang ada kamu. Malam ini Papa tiriku kembali dari Singapura,” kata Pingkan. “Wah kebetulan, aku belum berkenalan dengan Papa tiri kamu,” kata RJ bersemangat. Pingkan menghela nafas. “Janji kamu tetap menginap di rumah ya…” kata Pingkan. RJ merangkul Pingkan. “Iya Sis. Aku janji. Tapi malam ini biarkan aku disini lebih lama. Aku Cuma ingin mengenang Ibu,” kata RJ. Senyum muncul di bibir Pingkan. “Oke…” --00— Acara makan malam berlangsung akrab. Suami Mama Intan ternyata orangnya cukup asyik. Namanya Om Hadi. Orangnya tinggi dan gagah. Senyumnya juga sangat friendly. Om Hadi menanyakan banyak hal pada RJ termasuk apakah dia betah tinggal di Jakarta. “Terima kasih Om memperbolehkan saya tinggal di sini,” kata RJ setelah Mama Intan menghidangkan desert berupa es krim cokelat. “Loh ini kan rumah ayah kamu Rey. Justru Om yang menumpang,” kata Om Hadi tertawa. RJ tersenyum. Dia menyendokkan sendok ke es krimnya dan memandang Pingkan yang malam ini lebih pendiam. “Are you ok Sis?” RJ berbisik pada Pingkan. “Aku ngga ok karena kamu mau menginap di rumah depan,” jawab Pingkan ketus. RJ tersenyum. “Atau kamu mau ikut nginap di rumah depan? Kamu bisa tidur di kamar Ibu. Aku bisa di sofa lantai dua,” kata RJ. Pingkan menggeleng. “Nanti kita bisa cerita-cerita seram. Pasti seru…” ujar RJ. Pingkan entah kenapa ingin tersenyum. “Ngga usah. Tapi besok malam menginap di sini ya?” bisiknya lagi. RJ mengangguk. Malam itu dengan membawa pakaian ganti, RJ pergi ke rumah depan. Dia menyalakan semua lampu yang ada di rumahnya dan kemudian duduk santai di depan kolam renang dengan segelas kopi. RJ sempat menerima video call dari William Deacon untuk update soal perusahaan sebelum akhirnya memejamkan mata merasakan anginamalam. Ibu… Aku pulang Bu… Pemuda itu nyaris tertidur, hingga tiba-tiba sadar sesuatu. Astaga, dia lupa membawa charger gawainya. RJ melirik jam yang melilit di tangannya. Pukul 23.00 malam. Duh, Pingkan pasti sudah tidur. Siapa yang akan membuka pintu. Tapi coba aku kirim pesan dulu. Pinky, Sis, chargerku ketinggalan. Bukain pintu rumah kamu dong. Diluar dugaan pesan itu terbalas. Ok. Tanpa jaket dan alas kaki, RJ berlari ke rumah Pingkan. Pintu sudah dibuka Pingkan dan gadis itu berdiri di depan pintu. “Sorry, aku pasti membangunkan kamu tidur ya,” kata RJ. “Masuklah,” kata Pingkan. Dalam keremangan, RJ melihat pipi Pingkan basah oleh air mata dan dia sepertinya menutupi muka dengan rambutnya yang tergerai. “Kamu kenapa?” tanya RJ. “Tidak apa-apa. Aku baru bangun tidur. Kamu ambil saja chargernya,” kata Pingkan buru-buru naik ke tangga menuju kamarnya sendiri. RJ mengejar Pingkan. Baru saja Pingkan akan masuk ke kamar, RJ sudah menarik tangan Pingkan. Tangannya menyibakkan rambut Pingkan yang acak-acakan. Pipi Pingkan terlihat memar. “Astaga Pingky. Muka kamu kenapa?” tanya RJ Pingkan mencoba tersenyum. “Tadi aku terbentur dinding,” kata Pingkan. RJ memandang mata Pingkan dengan sorot mata tidak percaya. “Yang benar?” Pingkan mengangguk kuat-kuat. “Iya…” katanya sambil membuang tatapan karena matanya mulai berkabut. RJ menghela nafas. “Oke deh.. Sampai besok ya,” kata RJ. Pingkan menutup pintu. Saat pintu tertutup rapat, Mama Intan keluar dari kamar mandi kamar Intan. “Dia tahu?” bisik Mama Intan. Pingkan menggeleng. “Dia tidak tahu…” bisiknya nyaris tidak terdengar. Mama Intan memeluk Pingkan erat. “Lebih baik dia jangan tahu. Hidup kita akan terus berjalan di sini, sementara dia akan kembali ke negaranya…” Pingkan memeluk Mamanya. Air mata mengalir deras di pipi Pingkan. Description: Lulus kuliah REYNALDO DANISH DANASYAKSA tidak langsung bekerja meneruskan perusahaan yang diwariskan ayah angkatnya. Dia justru kembali ke Indonesia untuk menjejak asal usul dirinya. Rey, hanya tahu memiliki satu saudara seayah bernama PINGKAN DANADYAKSA dan mereka sering ngobrol via email. Di Indonesia, sementara waktu dia tinggal di rumah Pingkan, mencoba dekat dengan satu-satunya saudara sedarah yang dia kenal. Karena Pingkan, Rey jadi mengetahui keluarga ayahnya, termasuk paman dan bibinya. Selain itu Rey jadi tahu bahwa kehidupan keluarga kakak tirinya tidak seperti yang dia bayangkan. Ayah tiri Pingkan sangat abusif dan suka memukuli istri dan beberapa kali nyaris memperkosa Pingkan. Saat itu Rey harus memutuskan : berbuat sesuatu untuk menolong kakak tirinya atau pergi. Bukannya dia hanya anak dari perempuan yang dijuluki pelakor oleh Ibu Pingkan? === AUTHOR NOTES: Cerita ini ada hubungannya dengan cerita MENGHINDARI MALAM. Namun bisa dibaca terpisah meskipun mengandung spoiler.
Title: Reply Poetry Category: Puisi Text: Reply Poetry TO REMEMBER (Brendon Tawanda Takarinda 2019) Remember the pain you felt in your heart. Remember the joy you could not explain. Remember the time you mourned the death for a loved one. Remember the birds that sung outside the church on a Sunday morning. Remember the tears that drenched your cheeks. Remember that life is made up of broken pieces that we need to put together to shape who we are. Analysis The poem describes a person who is remembering his sadness, pain and joy. Someone who tries to remember the death of a loved one. So he remembers that life has problems that can shape who we are. FORGETTABLE Forget that you will never know the moment you realize loved him. Forget that you never be busy enough to not miss him. Forget that you are never ending thought about your loved. Forget that you missing to him more than anything in the world. Forget that what missing him feels like. Forget that something you have to forget what you feel and remember what you deserve. Description: Reaply a poetry "TO REMEMBER" by (Brendon Tawanda Takarinda 2019)
Title: Ropang Category: Cerita Pendek Text: Kesibukan Bobi dan Bayu Hai semuanya perkenalkan namaku Bayu, aku bekerja sekaligus sebagai pemilik sebuah kedai roti panggang di dekat salah satu kampus di Jakarta, di kedai ini aku tidak sendirian karena ada temanku yang bekerja sama juga dengaku. Kami sudah membuka kedai ini sekitar dua tahun lebih, pertama kali dulu kami tidak berpikir untuk membuka kedai ini akan tetapi karena susahnya mendapatkan pekerjaan lainnya dan mulai dari situ aku dan Bobi memutuskan untuk membuat rencana membuka kedai kecil kecilan dan beruntungnya kami usaha kecil kecilan kami ini dapat bertahan selama ini. Sebenarnya selain ceritaku dan Bobi dalam membuka kedai ini, ada juga cerita menarik lainnya yaitu pertemuan pertamaku dengan seseorang yang aku sebut si manis sekarang yaitu Rani merupakan pelanggan pertama kami, semenjak pertama kali melihatnya itu aku merasa kalau dia perempuan yang berbeda, karena meskipun kedai pertama kami tidak semenarik sekarang, akan tetapi dia tetap menjadi pelanggan kami dan semenjak dua tahun lalu dia bukan hanya menjadi pelanggan di kedai roti panggang kami, akan tetapi dia telah menjadi seseorang yang istimewa di hatiku. ***** Rumah Bayu "Bob, gimana ini kita semenjak lulus kuliah sampai sekarang belum juga dapat pekerjaan, gak bosen apa nganggur gini terus kalo gua udah bosen nih" . "Gimana ya Bay, sebenarnya gua juga bosen sih tapi bingung juga nih mau ngapain dan kayaknya makin susah aja cari kerja sekarang ini, kualifikasi udah cocok tapi mungkin belum jodoh aja kerja di perusahaan dan jadi anak kantoran". "Iya ya kayaknya Bob, kita udah melamar kemana mana tapi cuma sampai interview awal aja selebihnya udah zonk semua gak ada kepastian, mana udah banyak banget lagi apply nya, kalau puluhan udah lebih kayaknya deh". "Ya udah mending sabar aja atau kamu punya ide lain buat usaha apa gitu selain mengandalkan daftar daftar di perusahaan, mungkin emang jodoh kita enggak di perusahaan besar" "Apa ya Bob, bingung juga mau usaha apa. Skill apa ya yang kita punya buat buka usaha meskipun ya kecil kecilan aja dulu". Setelah dari percakapan tersebut mereka berpikir lumayan lama sampai sekitaran 14 hari untuk bertemu membahas ide akan tetapi belum juga mendapatkan ide yang cocok untuk mereka tekuni dalam bisnis. Mereka setiap hari memikirkan sekiranya usaha apa yang dapat mereka lakukan meskipun hanya berdua saja dan memberikan penghasilan untuk mereka menyambung hidup, mungkin juga dapat memberikan mereka rejeki lebih dari usaha mereka dan setelah sekitaran 21 hari akhirnya mereka menemukan ide kasaran untuk usaha yang ingin mereka lakukan. "Bay udah dapat ide belum, aku masih mampet nih buat ide dan konsepnya seperti apa nantinya". "Tenang Bob tenang jangan panik, aku udah menemukan ide sih tapi masih sedikit ragu bisa atau enggak kita ngejalaninya nanti". "Emangnya lu punya ide apa? Mungkin kalo ragu masih bisa sambil belajar belajar dulu". "Hmm. Ide gua sih simple aja gak ribet ribet amat, gimana kalau kita buka usaha roti panggang kecil kecilan dulu, kan semua usaha berawal dari yang kecil". "Gua paham yang lu raguin apa, kita kan gak ada yang bisa buat roti panggang, pernah buat pun jadinya gosong". "Nah itu lu tau jadi gimana dong. Apa lu ada saran yang lain juga atau tetap mau bikin usaha roti panggang aja". "Kalo menurut gua sih tetap buka usaha roti panggang aja daripada pusing mikirin lagi, kita belajar lagi aja gimana cara buatin roti panggang biar enak dan gak gosong". Setelah dari perbincangan itu mereka mulai belajar untuk membuat roti panggang dan mulai membeli bahan bahan yang dibutuhkan ke toko bahan kue. Awalnya mereka membeli bahan bahan yang sederhana saja dengan melihat tutorial dari website yang menjelaskan tata cara proses pembuatan roti panggang, agar tidak kesusahan waktu mencari dan membawa barang belanjaan maka mereka memutuskan untuk pergi belanja berdua dan perjalanan mereka ke pasar pun dimulai. ***** Di Pasar "Bu. Di sini ada jual bahan bahan roti panggang enggak". Tanya Bayu "Wah enggak ada di sini, kalau di sini adanya bahan untuk kue rumahan gitu. Coba deh kamu tanya ke toko yang paling ujung sana harusnya ada sih". Jelas Ibu penjual bahan kue. "Ya udah deh Bu, makasih ya Bu". Pencarian mereka di toko bahan kue pertama tidak menghasilkan apapun karena toko yang mereka datangi ternyata bukan toko bahan roti panggang melainkan toko bahan kue produksi rumahan. Menurut penjelasan Ibu penjual bahan kue tadi kalau toko yang paling ujung dari tempatnya berdiri seharusnya menjual bahan bahan untuk roti panggang dan mereka berdua segera menuju ke toko tersebut. "Siang Pak. Mau tanya di sini ada jual bahan bahan untuk roti panggang enggak ya?". Tanya Bobi ke penjual "Iya. Mau bahan yang apa aja, kadang tiap orang butuhnya beda beda. Kalian sudah ada catatan mau belanja apa saja, kalau bahan bahannya saya ada jual". "Sebentar pak. Kalau tepung terigu, fermipan, gula pasir, telur, garam sama margarin ada enggak pak?". "Ada tapi hanya sebagian saja. Kalau tepung terigu, fermipan sama margarin saya ada tapi untuk sisanya saya enggak ada, itu bahan yang ada mau berapa banyak?". "Waduh gimana ya. Ya udah deh Pak yang ada aja dulu, tepung terigu 450gr, fermipan 1 bungkus sama margarinnya 75gr sama beli cokelat bubuk satu bungkus. O iya pak kira kira kalau jual bahan sisanya dimana ya?". "Sisanya coba aja cari di toko yang jual bahan pangan sebelah sana. Sebentar ya saya ambil bahan bahannya dulu". Setelah selesai membeli bahan bahan yang dibutuhkan termasuk bahan sisa yang dicari seperti gula pasir, telur dan garam yang mereka cari di sekitaran pasar membutuhkan waktu cukup lama untuk berkeliling, dikarenakan waktu mereka untuk pergi ke pasar sudah terbilang sudah sore sekitaran pukul 14.00 dan kebanyakan pasar sudah ada yang tutup. Mereka berdua memutuskan untuk belajar membuat dan membakar roti panggang di rumah Bobi karena di sana perlengkapan yang dibutuhkan sudah lengkap dan hanya perlu mencari es batu untuk membuat adonan roti panggang. Bobi dan Bayu memutuskan untuk membuat roti sendiri karena ketika mereka berkeliling toko kue untuk melihat harga roti yang digunakan untuk roti panggang terbilang lumayan untuk pemula seperti mereka, karena sebelumnya Bobi pernah belajar membuat roti meskipun belum mahir maka dari itu diputuskan untuk membuat roti sendiri dengan asumsi dapat menghemat anggaran juga. Proses pembukaan kios baru Rumah Bobi Setelah sampai di rumah Bobi, mereka bergegas untuk membawa barang belanjaan ke dapur agar dapat segera belajar membuat roti. Ketika semua bahan telah siap mereka segera memulai membuat roti, mulai dari mencampur tepung terigu, gula pasir dan fermipan diaduk hingga rata kemudian memasukkan telor, margarin dan air es hingga adonan kalis dan elastis, diamkan 30 menit kemudian dikempiskan dan dibentuk roti yang diinginkan, lalu panggang roti pada suhu 180°C hingga warna kecokelatan. Ketika menunggu adonan matang, mereka menyiapkan beberapa bahan lainnya untuk memanggang roti yang akan mereka jual nantinya, mulai dari mentega, selai hingga bahan lainnya yang dibutuhkan. Meskipun belum terlalu mahir akan tetapi mereka yakin usaha mereka ini akan sukses nantinya, karena mereka yakin sebuah usaha tidak akan menghianati hasil dan juga kerja keras hari ini akan membuahkan hasil yang mereka inginkan. Setelah semuanya siap mereka mulai mencoba memanggang roti sesuai dengan urutan yang mereka ketahui selama ini dan ternyata setelah di bolak balik rotinya, masih ada beberapa bagian yang kurang pas jadi mereka mencoba untuk memanggangnya sedikit lebih lama, percobaan kedua terlalu gosong untuk roti panggang dan rasanya pahit pahit asem karena rasa dari gosongnya itu bercampur dengan rasa dari selai yang di oles ke dalam roti. Setelah beberapa kali mencoba dan rasanya belum ada yang pas sama sekali, akhirnya mereka menemukan resep yang pas dengan rasa yang unik menurut mereka dan belum tahu disukai pelanggan atau tidak nantinya. Semua resep sudah selesai dan siap untuk jualan akan tetapi mereka masih harus mencari lokasi untuk berjualan, maka keesokan harinya mereka berkeliling kota untuk mencari tempat mereka jualan. Berkeliling cukup lama hingga rasa bosan menyelimuti mereka berdua dan akhirnya Bobi memutuskan untuk istirahat sejenak di depan kampus X, setelah lama berbincang mereka tertuju pada satu toko kecil di depan kampus, karena penasaran maka mereka memutuskan untuk bertanya. warung kelontong "Permisi pak, saya mau tanya. Kalau toko kecil di depan itu siapa ya pemiliknya pak?". Tanya Bayu ke Penjual tempat mereka istirahat. "Kalau itu saya kurang tahu siapa pemiliknya, semenjak saya di sini tempat itu memang sudah kosong dan tidak pernah ada yang mendatanginya". "Kira kira bapak tahu tidak dimana saya bisa menanyakan siapa pemiliknya?". "Coba aja tanya ke kampus depan itu, seharusnya mereka mengetahui siapa pemilik toko itu". "Iya pak. Terima kasih pak". Ucap mereka berdua sekalian membayar. Setelah itu mereka bergegas menuju kampus yang berada tepat di depan mereka, karena menurut pemantauan lokasi tersebut sangat strategis, tepat berada di dekat gerbang dan kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi melewati jalan tersebut, karena di dekat kampus banyak kos kosan juga. Maka dari itu menurut mereka lokasi tersebut sangat strategis. Kampus X "Selamat siang Pak, mau tanya kalau toko kecil depan itu siapa yang punya ya pak?". Tanya Bobi ke security yang berjaga di depan kampus. "Kalau toko depan itu saya kurang tahu juga, soalnya saya juga masih baru di sini. Kalau mau tahu lengkapnya coba saja tanyakan ke gedung yang di sebelah sana". "Baik pak. Terima kasih ya Pak". Mereka berdua segera menuju ke gedung yang menurut penjelasan tadi harus menuju ke sini untuk menanyakannya. "Permisi, boleh kami masuk". Tanya Bayu. "Iya silahkan, ada perlu apa ya datang ke sini?". "Jadi begini Bu, tujuan kami ke sini mau bertanya soal toko kecil di depan kampus ini. Ibu tahu tidak ya siapa pemiliknya?". "Soal toko itu, saya kira ada apa tadi. Toko itu punya kampus ini tapi sudah lama tidak digunakan, karena sudah terlalu kecil dan juga tidak pernah ada lagi yang mau pakai semenjak banyak mahasiswa disini lebih memilih belanja di kantin dalam kampus". "Kira kira kalau kami mau menyewakannya boleh tidak ya Bu dan untuk biaya bulanannya berapa ya Bu". "Jadi kalian mau menyewa toko itu. Kalau kalian beneran mau kalian tidak usah membayar uang bulanan, karena kami sudah tidak pernah mengurusinya. Jadi kami memberikannya gratis akan tetapi kalian harus rawat gedung itu dan sebelum itu saya akan memberikan surat kontrak kalau kalian mau merawat gedung itu dengan gratis". "Wah beneran nih Bu. Makasih banyak ya Bu, kami akan menjaga gedung itu dengan baik". Setelah melalui perbincangan panjang tadi akhirnya mereka dipersilahkan menggunakan gedung tersebut dengan gratis akan tetapi dengan syarat harus menjaga gedung itu dengan baik. Sebelum memindahkan barang barang mereka ke gedung itu, perlu di lakukan renovasi sekitar 3 bulanan karena banyak sekali yang harus dibenahi. 3 Bulan kemudian di kios kecil "Akhirnya kelar juga Bay, kita siap jualan nih besok. Semua barang udah tertata rapi, roti, selai dan peralatan lainnya udah ada". "Berarti besok kita udah siap jualan dong Bob. Sekarang semuanya udah selesai nih daripada enggak ada kerjaan mendingan kita buat promosi aja". "Benar juga ya Bay. Pemikiran yang bagus". Mereka pun memikirkan beberapa promosi di media sosial, memberikan brosur ke mahasiswa mahasiswi kampus dan memberikan selembaran ke kos didekat kios mereka. Harapan mereka dengan memberikan brosur itu membuat banyak orang mengenal usaha yang baru mereka rintis tersebut, dengan nama usaha mereka diharapkan dapat memberikan perjalanan yang baik juga untuk mereka. Usaha mereka memiliki nama "Roti panggang 88" yang memiliki makna dan harapan seperti angka 8 yang selalu berlanjut tanpa ada akhir. Keesokan hari pun tiba dan mereka bersiap untuk berjualan roti panggang dengan menu sederhana dan harga promosi terlebih dahulu karena untuk memperkenalkan usaha mereka ke banyak orang dan terlebih lagi pastinya akan banyak yang penasaran dengan setiap usaha baru yang buka, maka mereka memanfaatkan kesempatan tersebut. Hari pertama mereka membuka usaha dapat dibilang laris manis karena semua roti yang mereka buat ludes dibeli dan banyak juga komentar positif yang diberikan buat mereka mulai dari rasanya yang enak, selainya yang manisnya pas, roti yang tidak pelit alias ketebalan rotinya berbeda dangan roti panggang yang lain. Mereka merasa sangat puas dan senang sekali berjualan dihari pertama tersebut. Ketika hari kedua mereka berjaualan permasalahan datang karena hujan turun, maka banyak orang yang tidak dapat datang ke kios mereka untuk membeli roti panggang mereka. Akhirnya penjualan mereka di hari kedua sedikit menurun karena konsumen yang membeli pada hari pertama tidak dapat datang dan hanya beberapa saja yang dapat datang karena sekalian jalan pulang ke kos mereka, meskipun mereka kecewa akan tetapi mereka tetap bersyukur dengan pendapatan hari itu. Mereka pun memikirkan untuk mencari cara lain ketika hujan turun yaitu dengan pesan antar, jadi meskipun hujan konsumen yang ingin membeli roti panggang mereka tetap dapat dilayani dengan baik. Maka tidak ada halangan bagi mereka ketika hujan turun dan tentunya mahasiswa dan mahasiswi disana juga terbantu ketika malas keluar untuk membeli roti juga. Pesanan orang istimewa 4 Bulan berlalu Setelah 4 Bulan berlalu dalam proses perjalanan usaha roti panggang 88, usaha tersebut mulai banyak dilirik oleh konsumen dan juga sudah memiliki pelanggan tetap baik dari kalangan mahasiswa mahasiswi maupun masyarakat umum di sekitaran kampus. Menurut tolak ukur mereka berarti usaha tersebut sudah mulai berkembang dan mulai disukai banyak orang, ternyata hasil kerja keras dan usaha mereka selama ini tidak sia sia dan membuahkan hasil. Pada bulan ke 4 ini perjalanan cinta Bayu dimulai yang bermula dari pesanan roti panggang yang dipesannya secara langsung di kios kecil mereka, pada saat awal Bayu melirik pelanggan tersebut dia langsung merasakan apa yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama dan hatinya berdegup kencang. "Bob Bob. Kamu lihat enggak cewek yang barusan beli, cantik banget ya apakah ini yang dinamakan cinta". "Iya cantik sih Bay, tapi percuma lu gak berani nanyain namanya siapa". "Semoga nanti dia datang lagi dan gua bakal buat alasan biar bisa kenalan dengan dia". Penantian Bayu seakan belum berbalas karena perempuan yang membeli roti panggang mereka tersebut tidak kunjung membeli kembali, pikiran Bayu mulai merasa aneh apakah dia tidak suka dengan roti panggang kita dan seakan dia mulai melupakan perempuan tersebut tapi selalu terbayang di dalam kepalanya, seakan memberitahu kalau jangan menyerah dan dia pasti kembali membeli kembali. Pikiran yang dibayangkan Bayu selama ini ternyata tidak salah, keesokan lusa perempuan tersebut kembali untuk membeli roti panggang mereka, dengan sigap Bayu segera menanyakan identitas perempuan tersebut. "Siang, kuliah disini juga". Tanya Bayu ke perempuan tersebut. "Iya, ada apa ya?". "Enggak sih. Kalau boleh tahu sudah semester berapa?". "Sudah semester akhir, ini udah mau sidang skripsi". "Wahh selamat ya. Moga sukses, kalau boleh tahu siapa ya namanya". "Hmm namaku Rani, kalau namamu". "Namaku Bayu, salam kenal ya Bayu". Mendengar balasan dari Rani, Bayu merasa seakan jodohnya sudah di depan mata. Setelah perbincangan tersebut Bayu merasa ada yang dilupakan yaitu meminta contact Rani agar dapat memudahkannya jika ingin menghubunginya dan juga agar dapat lebih dekat lagi ketika berbincang. Keesokan harinya Rani kembali dengan senyuman yang berbeda dengan hari sebelumnya. "Kok kelihatannya sangat bahagia sekali hari ini". Tanya Bayu "Tentu dong Bay. Aku barusan di acc untuk maju ujian minggu depan". "Wah selamat ya. Oh iya Ran kalo dibolehin aja nih, boleh minta contactmu gak?". "Boleh aja sih, ini nomorku 0821******19". "Makasih ya Ran, nanti aku misscall ya". Akhirnya Bayu semakin semangat karena langkahnya semakin di depan untuk mendekati Rani. Bayu pun setiap malam tidak lupa menanyakan kabar maupun sekedar berbincang dengan Rani melalui pesan agar dapat lebih dekat dengannya. Perbincangan awal mereka seperti masih terasa garing dam hambar karena belum saling mengenal satu sama lain. 5 Bulan setelah perkenalan awal Setelah 5 Bulan mereka berkenalan akhirnya hubungan keduanya semakin dekat dan sudah tidak malu malu lagi seperti awal awal mereka baru berkenalan dulu. Bayu mulai berani mengajak Rani pergi jalan maupun pergi menonton berdua di bioskop berduaan. "Ran besok kamu sibuk enggak". "Enggak terlalu sih Bay, ada apa?". "Kalau enggak sibuk dan berminat, besok sore jalan yuk sambil nonton". "Memangnya kiosmu enggak buka besok". "Buka sih tapi bisa dititipin sama Bobi kok, tenang aja". "Beneran bisa di titipin nih ya. Kalau gitu aku mau deh, besok sore aku tunggu di kos-an aku ya". Bayu pun dengan berani mengajak Rani pergi jalan dan menonton dengan menitipkan usaha mereka ke Bobi dan beruntungnya Bayu memiliki rekan sebaik Bobi karena mengerti dengan kepentingannya. "Bob, besok aku mau jalan dulu ya sama Rani, kios kamu jaga sendiri dulu ya". Bayu meminta tolong ke Bobi sambil tersenyum kecil. "Sudah tahu ini aku ujung ujungnya pasti ada yang beginian ini". Bobi menjawab dengan nada sedikit jengkel. "Tolong lah ya, demi kebaikan temanmu ini". "Iya deh iya silahkan pergi tapi dengan satu syarat lain kali kalau aku ada gebetan dan mau jalan kita tukeran". "Siap bos makasih ya" Keesokan harinya Bayu dan Rani pun jalan berdua ke Mall yang tidak jauh dari tempat mereka, tujuan utama mereka ke sana adalah pergi menonton film romantis yang baru tayang hari itu juga. Sebenarnya mereka berdua belum berpacaran dan Bayu pun belum pernah menyatakan perasaannya ke Rani karena dia masih ragu apakah perasaannya akan berbalas atau malah sebaliknya. Selama berada didalam studio bioskop mereka berdua seperti orang pacaran yang saling perhatian satu sama lain dan jika orang belum mengenalnya baru melihat gerak gerik mereka dikiranya seperti orang pacaran yang sudah lama karena memang benar, perhatian Rani ke Bayu dan saling menitipkan barang bawaan akan tetapi tidak jarang orang melihat Bayu seperti bucin atau budak cinta Rani. Sepertinya Bayu tidak merasakan hal tersebut karena perasaannya buat Rani sudah dalam sekali. Setelah film yang mereka tonton telah selesai mereka memutuskan untuk segera pulang karena hari sudah larut malam takutnya Rani dimarahi pemilik kos-annya. Keesokan harinya Bayu kembali ke kios roti panggang mereka untuk berjualan kembali bersama Bobi, karena usaha tersebut memang tanggung jawab mereka berdua yang telah merintis dan mengembangkan hingga sukses seperti sekarang ini dan dapat menghupidupi mereka berdua, jangan karena cinta Bayu rela meninggalkan usaha mereka akan tetapi itu tidak akan mungkin terjadi dikarenakan Bayu sangat mencintai pekerjaannya tersebut. "Bay gimana semalam, lancar enggak?". "Lancar apanya, orang cuma pergi nonton doang". "Ya astaga lu belum menyatakan perasaan lu ke Rani, sudah lima bulan lo Bay keburu diambil orang". "Belum berani gua takut di tolak sama Rani". "Nah ini ni modal pdkt doang, ya nyatain aja kalo lu enggak nyatain perasaan lu mana tau dia suka atau enggak. Sekarang apa dia perhatian dan selalu menerima ajakan lu". "Iya juga ya. Perhatian Rani ke gua udah banyak sih dan kalau di ajak jalan pun jarang ada penolakan malah lebih sering maunya meskipun kadang sibuk". "Nah itu sudah ada tanda kalau dia suka sama lu. Udah coba dan yakin aja dulu daripada di rebut orang lain duluan menyesal yang ada lu". Setelah percakapan tersebut Bayu berencana menyatakan perasaannya ke Rani malam minggu nanti di tempat yang tentunya istimewa dan dapat dikenang juga untuk mereka berdua nantinya. Malam minggu pun tiba Bayu mengajak Rani jalan kembali ke sebuah tempat istimewa yang di rahasiakan oleh Bayu. "Rani, malam ini aku ingin berbicara serius kepadamu". "Ada apa ini. Kok aku jadi deg deg-an gini, kamu enggak kayak biasanya" "Rani aku sebenarnya sudah lama memendam rasa denganmu, semenjak pertama kita bertemu di kios pertama kali. Maukah engkau menjadi kekasihku dengan tidak banyak janji dan aku akan menjalani semua ini dengan serius". "Hmm gimana ya Bay. Aku juga mencintaimu selama ini" "Jadi jawabannya?". "Iya aku mau jadi kekasihmu Bayu". Mereka pun menjadi pasangan kekasih pada malam itu dengan bahagia dan penuh rasa gembira. The End Description: Kisah pasangan kekasih yang berawal dari sebuah kios kecil roti panggang, berawal dari rasa malu untuk saling berkenalan hingga menjadi pasangan kekasih yang penuh bahagia. Nama: Fedri Hertanius, Instagram: fedri_tan, Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Dreamjob 2020
Title: Romanmini Category: Cerita Pendek Text: Romanmini Sebuah Café, rindu dan luka Hujan deras. Banjir bukan di jalanan. Matamu. Aku menutup kotak cincin itu.Ternyata ruang tunggu hati ini terlalu pendek. “Kenapa?” Lirih tanyamu di telinga. Aku menggeramkan luka lama. “Harusnya aku yang tanya begitu, Dinda.” Petir menyambar di luar. Ada SMS dari kawan. Jakarta dilumpuhkan badai. Aku mengaduk kopi. Rahang Dinda bergerak. Seperti mengunyah gumam. Aku menunggu. “Kau bilang, itu sudah kau maafkan.” Aku tersenyum pendek. “Jawabanku bakal, klise, Din.” Dinda tahu itu. Dia menyusut rembes di matanya. “Tapi kenapa kau datang bawa cincin itu?” Suaranya bergolak menuntut. Aku terdiam. Hujan kian rapat. Jendela café menebal. Dadaku ditalu rasa yang menguret. Memintaku jujur saja. Aku masih mencintainya. Aku hirup kopi. Mencari pegangan pada pahitnya. “Kalau memulangkan cincin yang sudah jadi milikmu itu, buat menyakitiku, kau lebih dari sukses.” Dinda hening habis itu. Aku menjilat ampas. Bukan, ini rindu, Dinda. Aku tak kuat menunggumu datang. Tapi luka, ternyata masih nganga. Gemuruh menderu di langit jauh. Awalnya, aku bukan mau memulangkan. Tapi bibirmu penyebabnya. Bibir mungil yang gelisah. Karena selalu harus kau buat basah. Bibir yang pernah kau biarkan diseentuh dan bajingan itu. Angin menyepuh kaca jendela dengan rinai. Aku mengais kopi. “Puas?” Dindanya akhirnya mencoba gagah. Aku mengangkat wajah. Liuk rambut di leher jenjang itu berantakan. “Sudahlah, Din. Bawa cincin itu.” Aku mendorong gelas menjauh. Ada cubitan keras di hatiku. Dinda menarik napas. Panjang. Dinda mengemas semua di tas. Termasuk kenanganku. Berikut mimpi-mimpi malamku. Dimana calon pelaminan kami masih membayang. Dari awal aku tahu, ini bakal perih. Tapi, aku harus berani, melambaikan memori kami seperti tiket bioskop yang sudah koyak. Dinda pergi. Aku kembali memesan kopi. Mengeluarkan foto lusuh, saat aku dan Dinda tertawa. Hujan masih ada. Meski sudah rintik. Hari Raya Pri gemas memandang layar HP-nya. HP yang berhasil dia beli meski harus adu injak di mal. Katanya, Kang Jul mau telepon. Ah, paling Dai kelas Cililin itu lagi tak ada pulsa, pikir Pri. Atau sok sibuk. Biasa, mentang-mentang mau lebaran Haji. Tapi, lebaran Haji kali ini, bakalan tak biasa. Kharisma Kang Jul bakal kempes seperti kompor dibekap karung basah. Bapak dan keluarga besar, pasti akan mengalihkan mata mereka pada Pri. Pri dan mobil barunya. Mobil yang bisa muat 10 orang. Kalau dipepet-pepet bisa muat 12. Apalagi semua keluarganya pelanggan angkot. Itu, karung basah yang siap membungkam Kang Jul. Pri sudah capek dihina terus. Ke Jakarta cari duit, dibilang kabur. Karena Kang Jul tidak, lebih memilih membangun desa. Padahal Pri tahu, abangnya itu tak punya nyali jauh dari Emak. Dulu Pri pernah menang bola. Pialanya gede. Eh, Kang Jul juara ngaji. Padahal, dia bisa menang karena peserta yang lain kebetulan masih kecil-kecil. Dia paling tua. Tapi Bapak tidak peduli. Seminggu, Kang Jul jadi omongan Bapak tiap ada tamu. Padahal, pialanya sudah Pri sengaja taruh di ruang tamu. Bapak memang tidak pernah peduli pada Pri. Emaknya juga waktu masih ada, harus pakai urut dada biar bisa mengerti anak bungsunya ini. Mulai soal orkes dangdut dan mau jadi gitaris top. Sampai bisnis pulsa yang ujungnya bikin Bapak jual tanah buat bayar utang. Padahal usaha Pri sedang menunjukkan prospek bagus. Butuh suntikan modal saja. Tapi ya itu, Bapak tidak paham. Sulit mengerti. Puncaknya pas Kang Jul nongol dari pesantren. Khotbah sana-sini. Tahu-tahu Bapak mewakaf tanah warisan buat Jul bikin masjid. Pri terluka. Emaknya pun meninggal karena TBC. Pri makin tersisih. Jamaah Jul meningkat. Pri menggeret harga diri ke Jakarta. Sekarang, telepon masih belum juga bunyi. Pri menggerutu. Mau dia yang telepon, gengsi. Sesekali Pri mau jadi yang ditanya, yang dicari. Apalagi mobil kinclong itu sudah ada di depan kontrakan. Biar seken, kilometernya masih irit. Jarang dipakai. Dulu yang pegang Ibu-ibu. Tak kalah pesona dengan Isma, istri Kang Jul. Biar kalau senyum, Pri akui, Isma lebih manis. Tapi ini kali, Pri tak bakal takluk. Pri kian tak sabar. HP itu mulai dia pegang-pegang. Berat soalnya untuk mendapatkan mobil itu. Amat berat. Dia harus benar-benar menyikut Ujang. Sainganya pas jadi broker jual tanah Haji Amrin. Sekarang, Ujang di rumah sakit. Rem motornya entah kenapa blong pas hari hujan deras. Pri pun mengutip 10 persen dari Pak Haji. Dapat 5 lagi dari yang beli tanah. Pri kontan pensiun jadi ojek. Langsung membayangkan naik status di mata Bapaknya. Kibul sedikit, dia masuk bisnis film sekarang. Sebenarnya tak kibul juga. Dia berhasil masuk jajaran driver sebuah syuting sinetron stripping. Lebih capek dari ojek. Tapi bisa sombong foto sama sutradara, artis, orang penting. Masuk dunia ‘entertain’, begitu kata selebritis tanggung yang pernah dia antar. Hari menyore. Pri akhirnya tak sabar. Dia malas macet kalau harus pergi besok pagi. Pri pun memencet nomer. Napsu pamer mengalahkan gengsi. Tiba-tiba ada telepon masuk. Nomer tak dikenal. Tapi, kodenya 0262. Suara elegan Pri siapkan. Nada orang dunia ‘entertain’. “Pri, ini teh Pri?” “Iya.” “Uwak Sarip, yeuh. Kenapa belum sampe? Si Jul…” Suara itu menjeda. Kening Pri berkerut. Sebal. “Naon Wak? Si Kang Jul, kasih pengumuman Isma hamil?” “Bororoa! Rumahnya diserbu warga. Disangka Ahmadiyah!” Pri tertegun. Luar biasa. Pri melirik mobilnya. Suara Uwaknya ribut. Buat Pri, itu jelas sudah. Abangnya memang tak akan bisa dia kalahkan. Di Depan Kos, Di Antara Gerimis Adi menunggu gelisah di depan kompleks kos itu. Lebih gelisah dari beberapa pria lain yang datang. Meski tujuannya bisa sama. Mau bertemu dengan Ida. Tapi, Adi jelas beda. Yang lain bawa uang, dia menggenggam pertanyaan. Mendesak. Ada remaja tanggung di depan kos, mengecer kondom dalam diam. Malam kian menajam. Tatapan lebih dingin dari angina, menusuk Adi. Itu Bang Cuk, penjaga kos. Jaga cewek-cewek di dalam. Adi merapatkan jaket, menutupi baju minimart tempatnya kerja. Kamar Ida terbuka. Adi bergerak. Ida melihatnya. Sebal. Lalu dia masuk kembali. Bersama ABG cowok. Seekor tikus got melintasi kaki Adi. Adi pun merapati dinding gang dengan punggungnya. Hatinya sesak tanya. Kenapa perempuan manis itu semalam tak datang ke kontrakannya. Padahal, Pak De-nya sudah datang dari Ciledug. Ida janji mau dikenalkan. Pak De Ijan itu ganti almarhum Ayah Adi. Ya, Adi serius. Sangat serius dengan Ida. Jangan bilang karena cinta. Adi tidak terlalu paham. Dan sudah tak bertanya-tanya. Yang Adi tahu, hidupnya tak sama sejak Ida ke minimart dan tanpa sengaja menumpahkan rak shampoo serta sabun. Ida sedang kesal. Ditinggal kawin pacarnya. Dia merasa memang sudah sia-sia. Adi tidak terima. Mana ada hidup yang percuma. Mereka berdebat sambil perlahan saling tahu. Kalau mereka Slanker serius, tak suka manis dan kompak menggilai anak kecil berambut keriting. Ida mengajari banyak hal. Bagaimana membuat pelanggan senang. Prestasi Adi meningkat. Dua kali jadi employee of the month. Adi selalu bikin Ida tertawa. Adi memang gudang humor. Sejak kaki kirinya dihajar polio, jenaka adalah skill yang Adi asah. Cuma, kata Ida, dia senang bukan karena itu. Sebab Adi selalu ada dan mau mendengarkannya. Itu saja. Adi pun tersenyum lebar. Tanpa disadari, mereka tak terpisahkan. Walau Adi sempat bingung saat tahu kerja Ida. Tapi, dia tak bisa bohong. Hidupnya imbang sejak ada Ida, dan Adi yatim piatu sejak bayi. Dia paham kesendirian. Jadi tak mungkin dia biarkan Ida sepi hidupnya. Ada SMS masuk HP Adi. Memintanya cepat kembali. Kawannya kerepotan sendirian. Malam minggu, minimart memang ramai. Sama dengan kosan Ida. Adi mengacuhkan SMS itu. Sebab, pintu Ida kembali terbuka. Lalu perempuan itu mendekati gerbang ,mengantar tamu pulang dan mengantongi tip. Adi merangsek. “Da, sebentar dong.” Ida menghindar. Bang Cuk mendekat. Adi kian mendesak. “Aku cuma mau tahu kenapa. Aku serius sama kamu.” Ida pun menahan Bang Cuk dengan isyarat tangan. Wajahnya geram menatap Adi dengan lama. Adi menunggu. “Kemarin hasil labku keluar. Aku kena HIV. Masih mau serius?” Suara Ida lebih menyayat dari pada marah. “Pergi sana.” Adi ternganga. Ida melesat ke kamarnya. Adi masih terdiam. Ida berhenti, menoleh. Adi masih kaku. Ida kian bergegas ke kamar. Adi gontai. Kembali merapat ke dinding. Jaketnya kiat ia ketatkan. Tikus-tikus got tambah ramai. SMS kembali masuk. Temannya mulai marah. Ida membanting pintu kamar. Lantas dia mengambil HP. Menelepon Warsih. “Lo bilang dia beda? Sama aja, Sih!” Ida melempar HP-nya ke lantai. Malam pun memamah waktu. Tak dirasa, sudah 4 jam Ida telentang di kasur sendirian. Bang Cuk yang mengetuk pintu, dia usir. Di luar gerimis. Ida pun bangkit, mengambil rokok. Habis. Dengan malas dia ambil jaket tipis bertudung dan memakai sandal jepit. Ida menutup pintu kamar. Sambil bertudung, dia berjalan. Saat mengangkat wajah di gerbang, Adi masih di sana. Dia menggigil, basah. Melihat Ida, Adi kembali sebat mendekat. Pincangnya tak menghalangi. Ida tertegun. “Pertanyaaku tetap, Da. Kenapa kamu nggak datang. Aku beneran serius.” Adi menatap dalam mata Ida. Ida sampai bisa melihat hati laki-laki itu. Adi menunggu. Bibirnya ungu menahan dingin. Tapi tidak gemetar. Ida pun perlahan memeluk Adi. Di antara gerimis tipis dan dekapan Adi, air matanya menghangat. Orang Terakhir Kami tertawa. Di tengah sepi rawa hutan kampus, suara yang keluar bikin hangat. Terutama, kalau kalian sedang membunuh orang. Pria malang pencuri uang bos ini sampai terkentut dan menimbulkan gelembung di air, saat aku dan Bang Z membenakannya ke dasar rawa. Tapi, bisa jadi aku tertawa gugup. Ini kencan pertamaku dengan maut orang lain. Bang Z? Mungkin sudah sebanyak bolong bekas jerawat di pipinya itu. Suara angina dan kicau burung yang nyaris tak ada membuatku merapatkan jaket. Bang Z masih menusukkan kayu ke rawa. Memastikan pria itu sudah sampai ke neraka lumpur. Di bibir Bang Z, tergantung rokok dengan santai. Hutan ini belum lebat. Kampusnya masih dibangun. Belum ramai. Aku yakin nanti bakal banyak mahasiswi diperawani di sini. Seperti pria tadi hilang nyawa. Aku menatap Bang Z. Tulang pundaknya nyaris melengkung. Matanya menjorok ke dalam. Mirip burung Nazar. Tak ada yang tahu nama aslinya. Orang hanya kenal reputasinya. Keheningan hutan kembali terusik. Ketika Bang Z melempar kayu ke tanah. “Kita tunggu.” Singkat, berat, tak bisa dibantah. Aku pun duduk tak jauh darinya. Julukan Z, yang aku tahu, bukan karena dia sering menuntaskan persoalan. Jauh dari itu. Tapi, karena di setiap konflik, dia selalu yang paling terakhir hidup. Orang dengan kalimat penutup. Artinya, semua lawan pasti mati. Lama-lama dia jadi besar. Jadi legenda instant. Saking besarnya, bos membekaliku dua pistol besar sekarang ini. Bos takut, Bang Z tak bisa dia elus lagi dan balik menggigit. Aku, bocah baru haus pembuktian, merasa ini jalan pintas. Jadi orang yang menyetip abjad Z dari kamus kriminal kota ini, amatlah menggoda. Menciptakan kengerian anyar lewat tata bahasa baru, bahasaku. Aku pastikan pistol aman di balik jaket. Bang Z menunggu orang tadi mati. Aku mencari celah, biar dia yang mati. Bang Z bangkit. “Kencing. Lo jaga.” Dia menuju sebuah pohon besar. Ini dia, aku menjilat bibir dan menarik pistol perlahan. Menguntitnya ke arah pohon dengan jalan memnutar. Aku harus membokongknya. Kakiku menggeser langkah di rumput. Aku lihat kakinya mengangkang, dari sisi samping pohon. Badannya juga menghadap ke pohon. Aku hunus pistol itu, mendekat. Dap. Bunyi itu lembut sekali. Tapi tenggorokanku terasa amat panas. Bang Z menarik pelatuknya lebih dulu. Dia tidak kencing, dia memancingku. “Harusnya lo denger gue. Bukan Bos.” Bang Z menembak lagi dengan pistol berperedamnya, ke arah keningku. Di bibirnya, rokok kulihat bergantung santai. Drakula Melongo Kusikat bersih taringku, sambil bersiul. Maklum modal kerja, harus selalu bersih dan mengkilat. Sebulan ini, aku jadi drakula di rumah hantu mal. Trend baru yang aneh buatku. Mal akhirnya jadi pasar malam. Tapi, keanehan itu yang kasih pengangguran canggih macamku, kerja. Ijazah S1 sastra kalah dengan postur besarku. Badanku yang memberi pekerjaan. Agak sedih juga, berarti aku sudah memakai pertahanan terakhir yang Foucault bilang: tubuh. Biarlah, paling tidak aku kerja tak perlu khawatir cuaca. Seperti kalau jadi ojek, misalnya. Dekat jugalah dengan cita-cita kecilku. Sama-sama ranah hiburan. Sepertinya, anak sekarang memang kian senang ditakuti. Buktinya film horor, laku. Jam kerjanya yang ajaib, juga bikin asyik. Aku, persis drakula, keluar hanya malam. Untung, aku bukan pocong. Bayarannya besar, tapi tiap jam keluarnya. Maklum, sedang popular luar biasa. Drakula juga sebenarnya, karena trend vampire. Tapi pemilik rumah hantuku masih agak ketinggalan mode luar negeri. Semua kawanku ingin jadi pocong. Duitnya memang menggoda. Tapi aku tidak, sudah enak jadi drakula begini. Pocong itu, kostumnya juara. Diikat! Belum lagi make up-nya. Jelas menang Drakula, lebih ganteng. Agak bangga juga sih, pas Bu Ning dari HRD langsung menunjukku jadi drakula sejak hari pertama. Yang paling asyik, aku punya waktu buat menulis novel yang bakal mengangkat harkatku nanti. Novel satir politis soal korupsi. Materi yang begitu siap dilebarkan jadi film atau serial TV. Dan, ini yang penting, berkelas. Calon magnet dari segala penghargaan sastra serius sampai yang popular banjir puja-puji selebritas. Pokoknya, amat mantap. Sekarang sedang menuju Bab II. Agak lambat, maklum tulis tangan. Belum sanggup beli laptop. Tapi, nanti pasti bisa. Hari kian gelap, waktunya kerja. Waktuku jadi drakula. Aku berkemas, melipat jubah dan tak lupa riasan mata. Iri juga dengan orang yang sudah pakai baju kerja dari rumah. Aku bisa saja, tapi resiko dianggap gila besar juga. Sampai kantor, kawan-kawan yang lain lagi berkumpul. Aku langsung dandan. Pasang Jubah, merias mata dan pasang taring. Semua hantu itu menatapku. Aku jadi bingung. Bun Ning keluar dari ruangan, “Jon, mulai hari ini kau jadi si Nug jadi pocong. Barusan resign. Stress, katanya.” Aku melongo. Ada kawan yang mencibir. “Hebat amat. Baru sebulan, udah jadi pocong. Gue udah mau setahun, cuma jadi tuyul.” “Biasalah. Paling masalah ijazah dia lebih tinggi dari kita-kita. Pantes dibayar mahal.” Aku makin melongo. Benar-benar melongo. Hingga, gigi taringku yang mengkilat itu, mencorong. Description: Ini, flashfiction.
Title: Rahasia Hati: Selalu Ada Cara Untuk Mengungkap Rasa Cinta Category: Novel Text: He Is The Most Annoying Guy Ever Yes! It’s Saturday! Sabtu memang hari paling istimewa untuk semua orang. Tidak hanya untuk para pelajar, tapi juga untuk SEMUA orang tanpa terkecuali. Bagaimana tidak, dari Senin sampai Jumat semua orang yang bersekolah atau bekerja tidak mempunyai waktu istirahat yang cukup. Semuanya sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Termasuk seorang perempuan berumur 24 tahun yang masih melingkar di atas tempat tidurnya. Ia adalah Keyra Widyanto, salah seorang tim kreatif sebuah radio di Jakarta dan juga merangkap sebagai penyiar radio. Tepat pukul 8.00 pagi, jam beker putih menjerit-jerit memekakkan telinga, mengisi kesunyian di dalam kamar Keyra yang didominasi dengan warna biru dan hijau. Menurut Keyra, biru dan hijau membuatnya lebih hidup, tenang, dan selalu le­bih bersemangat untuk menjalani hari-harinya. Kamar yang didesain sendiri oleh Keyra ini sangat rapi. Semua buku tertata rapi di rak yang terletak di samping meja kayu. Baju, tas, dan segala pernak-pernik masuk di sebuah walk-in cabinet yang terletak di samping kiri tempat tidur. Maklum saja, perempuan yang satu ini adalah shopaholic sejati. Matanya tidak bisa menangkap barang diskon. She’ll definitely go for midnight sale or whatever which contains “sale” word. Sering kali ia pergi dengan tangan kosong, pulang dengan dompet kosong. Kriiinggg .... Kriiinggg .... Jam beker sialan itu masih menjerit. Dengan tidak sabar Keyra meraba-raba nakas di sebelah tempat tidurnya dan meraih jam beker tersebut. Dengan mata yang masih terpejam, ia mematikan tombol alarm untuk menghentikan deringnya. Berhubung mimpinya sudah buyar gara-gara jam beker itu, mau tak mau ia membuka mata. Ia mendesah pelan saat melihat jam beker yang ada di pangkuannya. Kalau saja tidak ada hal yang harus dilakukan, mungkin ia bisa melanjutkan tidur beberapa jam lagi. Setelah beranjak dari tempat tidur, Keyra menghampiri tirai yang menutupi jendela selebar pintu dan membiarkan sinar matahari pagi masuk ke kamarnya. Udara segar Sabtu pagi pun masuk menyegarkan kamar dari jendela yang terbuka. Setelah menyelesaikan ritual mandi pagi yang menyita waktu lebih dari setengah jam, dengan langkah ringan ia menuju ruang makan. Di ruang makan yang bernuansa minimalis itu terlihat ke­dua orangtua dan juga kedua adik kembarnya—satu perempuan dan satunya laki-laki—sedang menikmati sarapan. Wanita yang baru turun itu tertegun melihat adik laki-lakinya sudah bangun, bahkan lebih pagi daripada dirinya. Padahal, cowok berambut jabrik itu paling sering telat bangun sehingga dijuluki kebo. “Pagi!” sapa Keyra ceria. Semua anggota keluarga menoleh ke arahnya. “Pagi, Key!” sapa ibunya sembari tersenyum. “Sarapan, gih.” Keyra menghampiri meja makan. “Heh!” Keyra menjitak pelan kepala adiknya yang laki-laki. “Tumben bangun pagi. Kenapa?” “Tadi pagi nggak bisa tidur lagi. Pas dengar kamar Kara terbuka, aku langsung keluar, deh,” jawab Kenny. “Oh .... Tumben banget,” kata Keyra sambil duduk di samping Kenny. “Jangan bilang kamu nonton film horor lagi semalam, makanya nggak bisa tidur. Iya, kan? Kalau udah tahu penakut, mbok ya jangan nonton.” Kenny menatap Keyra sambil nyengir kuda. “Kakak, kok, tahu?” “Tahulah! Aku, kan, kakakmu,” ujar Keyra yang diikuti tawa Kara. Keyra mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang kesukaannya. Saat menikmati sarapan, ia teringat satu hal. “Kar, waktu itu kamu bilang ada yang jual kue cokelat yang enak banget. Di mana tempatnya, ya?” “Hmmm ....” Kara mengetuk-ngetukkan jarinya ke pipi. “Seingatku, sih, di daerah Menteng, Kak,” jawab Kara sambil melahap rotinya lagi. “Kakak mau beli, ya? Buat siapa? Aku, ya?” Kara langsung menunjukkan wajah memohon. “Enak aja! Aku mau kasih surprise party buat teman yang suka kue cokelat. Makanya, kalau memang enak, aku mau beli di situ.” Hari ini memang hari ulang tahun teman sekantor Keyra, yaitu Tama, atau yang lebih sering dipanggil Tamagotchi, sama seperti nama permainan digital yang dulu sempat terkenal itu. Panggilan itu melekat pada diri Tama karena tubuhnya yang imut-imut seperti Tamagotchi, kira-kira hanya 160 sentimeter. Keyra dan teman-teman satu kantornya sudah merencanakan sebuah surprise party untuk Tama yang dikenal sebagai cowok gokil dan lucu. Rencananya, Keyra dan teman-teman lainnya akan membuat pesta kejutan di rumah Tama. Keyra mendapat tugas membeli kue dan makanan kesukaan Tama. Jadi, hari ini ia harus membeli kue di tempat yang direkomendasikan oleh Kara setelah sebelumnya membeli kado khusus untuk Tama. *** Sudah lebih dari empat jam Keyra berkeliling di Plaza Indonesia mencari kado untuk Tama. Namun, Keyra tidak kunjung menemukan kado yang menurutnya cocok untuk diberikan kepada Tama. Keyra masih melihat-lihat dari satu toko ke toko lain sampai akhirnya ia ingat kado apa yang sesuai untuk diberikan kepada Tama. Kemarin Tama mengeluhkan sol sepatunya yang rusak dan menunjukkan kerusakan itu kepada Keyra. Keyra segera mencari sepatu yang cocok untuk Tama. Kebetulan Keyra sendiri tahu ukuran kaki Tama karena sudah beberapa kali mengantarkan sahabatnya itu membeli sepatu. Akhirnya, aku menemukan kado untuk si Tamagotchi itu, batin Keyra senang saat menemukan sepatu yang menurutnya bagus untuk Tama. Ia menenteng empat kantong kertas belanjaan, yang tiga di antaranya adalah milik Keyra sendiri. Kemudian, ia segera keluar dari Plaza Indonesia dan bergegas menuju toko kue rekomendasi Kara, yang terletak di daerah Menteng. *** “Mbak! Mbak!” Seorang laki-laki bertubuh tinggi, kira-kira 182 sentimeter, berjalan tergesa-gesa mendekati pelayan yang baru saja mengambil kue pesanan Keyra dari dalam lemari pendingin. “Iya, Mas?” tanya pelayan itu dengan ramah. “Bisa saya bantu?” “Emmm ....” Tampak laki-laki tinggi dan putih itu sedang mencari-cari kue yang ia mau. “Chocolate volcano-nya ada nggak? Yang ukurannya 15 x 15.” “Waduh, Mas, maaf banget. Mbak ini baru saja memesan stok terakhir. Kalau Mas mau, Mas bisa tunggu sebentar untuk dibuatkan lagi,” ujar pelayan itu sambil menunjuk ke arah Keyra yang masih melihat-lihat kue lain yang terlihat sungguh menggiurkan. Kalau saja ia tidak memikirkan dampak kue-kue itu terhadap berat badannya, pasti ia sudah mencicipi semuanya. “Saya butuh cepat, nih. Kue itu belum diapa-apain, kan? Saya beli deh, Mbak,” ujar lelaki itu kepada pelayan yang tampak bingung. “Enak aja!” seru Keyra kesal setelah menyadari keributan yang terjadi. Ia mendekati laki-laki itu. “Kue itu udah aku pesan dan—” “Aku butuh kue itu sekarang. Aku nggak punya waktu lagi,” potongnya cepat dan dingin. Darah Keyra serasa mendidih mendengar kata-kata laki-laki tinggi di hadapannya itu. “Heh! Itu salah kamu datang telat. Jelas-jelas aku duluan yang pesan! Kamu tunggu mereka membuatkan kue itu lagi aja!” “Kenapa bukan kamu aja yang nunggu? Kamu masih pu­nya waktu, kan? Aku nggak punya.” Lelaki tersebut terlihat ti­dak peduli dengan suara Keyra yang meninggi. Astaga! Maunya cowok ini apa, sih? batin Keyra jengkel. Laki-laki itu menatap Keyra yang hanya setinggi bahunya itu dan kemudian menoleh ke arah pelayan yang sedari tadi memandang mereka dengan bingung. “Mbak, tolong bungkus yang itu untuk saya. Saya akan bayar lebih. Buruan!” ujar laki-laki itu memaksa. Ia mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan. “Eh, kamu, kok, seenaknya sendiri, sih! Jelas-jelas itu punya aku. Kalau kamu kepingin banget yang itu, tunggu aja kenapa, sih?” sergah Keyra tidak mau menyerah. Seolah tidak mendengar kata-kata Keyra, pria itu menyambar kotak kue dari tangan pelayan itu dan beranjak keluar dari toko. Keyra hanya bisa terpaku di tempatnya melihat kepergian pria yang membawa pergi kue pesanannya itu. Sedetik kemudian barulah ia mengomel-ngomel sendiri seperti orang gila. “Dasar cowok nyebelin! Seenaknya sendiri!” Dengan perasaan takut dan tidak enak, pelayan toko me­nawari Keyra untuk menunggu chocolate volcano yang baru. “Sebagai permintaan maaf, kami akan memberi kue itu secara gratis, Mbak. Lagi pula, mas yang tadi meninggalkan uang le­bih, yang cukup untuk membayar kue milik Mbak.” Mendengar tawaran itu, Keyra langsung setuju. Tidak masalah jika dirinya harus menunggu lagi, yang penting ia men­dapatkan kue itu secara gratis. Tetapi, tentu saja tawaran itu tidak bisa menyurutkan kekesalannya kepada pria menyebalkan tadi. *** “SURPRISE!!!” Tama sangat terkejut saat memasuki rumahnya. Meja dan dinding sudah dihiasi kertas hias dan balon beraneka warna. Selain Keyra, yang hadir dalam pesta itu adalah Tania beserta pacarnya, Petra. Tama adalah sahabat Petra sewaktu SMA. Sementara itu, Keyra dan Tania merupakan sahabat sejak SMP. Bahkan, sampai sekarang, kedua wanita itu bekerja di radio yang sama. Setelah prosesi tiup lilin dan membuka kado, mereka se­mua mengobrol di ruang tengah sambil menikmati chocolate volcano yang dibawa Keyra. Karena ingin mencari angin segar, Keyra pergi ke taman belakang rumah Tama sambil memakan kue chocolate volcano di tangannya. Ia mengunyah kue cokelat itu dengan nikmat. Tiba-tiba saja pikirannya kembali pada waktu ia bertemu dengan laki-laki tinggi itu. Sebenarnya, Keyra masih sangat kesal kepada pria itu. Karena bagaimanapun, dirinya sudah kehilangan waktu gara-gara pria itu merebut kue pesanan miliknya. “Hayooo!” Petra menepuk kedua bahu Keyra, membuat wanita itu terkejut. Hampir saja kuenya terjatuh. “Petra! Bikin gue kaget aja!” Petra meringis menunjukkan giginya yang rapi setelah menggunakan kawat gigi. “Maaf, deh. Lagian ngapain lo be­ngong sendirian di sini? Bisa kesambet, lho!” “Sialan!” Petra duduk di samping Keyra. “Kenapa lo ngelamun? Mi­kirin cowok itu lagi, ya?” Keyra menatap Petra dengan tatapan bingung. Tidak lama kemudian barulah ia sadar ke mana arah pembicaraan Petra. Memang benar Keyra sedang memikirkan cowok, tapi bukan cowok yang dimaksud Petra. Keyra menarik napas dalam-dalam. “Tadi pas gue beli kue buat Tama, gue sempat berantem sama cowok. Abisnya cowok itu nyebelin banget. Seenaknya aja dia ngambil kue pesanan gue. Untungnya kue itu masih bisa dibikinin lagi. Makanya, tadi gue datang agak telat. Dasar cowok nggak punya sopan santun!” Dengan kesal, Keyra menusuk potongan terakhir kue co­kelatnya, seolah-olah sedang menusuk lelaki tadi. Petra yang duduk di sampingnya hanya diam saja mende­ngar ocehan Keyra. Karena tidak ada tanggapan, Keyra menatap sahabatnya itu dengan heran. “Dengerin cerita gue nggak, sih?” tanya Keyra dengan sisa-sisa kekesalannya. “Udahlah, Key, yang penting, kan, chocolate volcano yang lo bawa udah ludes dimakan kita semua.” Keyra meringis menatap Petra. “Bener juga lo.” Terdengar suara langkah kaki mendekati mereka. “Aduh-aduh .... Mesra banget kalian berdua.” Keyra dan Petra menoleh ke sumber suara itu. Tania. “Cemburu, ya?” tanya Keyra. Tania langsung duduk di kursi yang sama dengan Keyra. “Sama lo, sih, nggak bakalan. Ngomong-ngomong, kalian ngebahas apa, sih? Kayaknya seru banget.” Petra tersenyum kepada pacarnya. “Nanti aku ceritain. Masuk, yuk! Makan di dalam aja,” ajak Petra. “Nggak, deh. Gue di sini aja. Kalian masuk duluan, nanti gue nyusul,” balas Keyra. “Oke, deh. Kita masuk dulu, ya,” jawab Tania sambil meng­gandeng tangan pacarnya kembali ke dalam rumah. Diam-diam Keyra memperhatikan Tania dan Petra sambil tersenyum. Menurutnya, mereka adalah pasangan paling serasi. Sudah tiga tahun berpacaran, tapi jarang sekali Keyra melihat mereka bertengkar. Keyra hanya bisa mendesah pelan kalau harus membandingkan kisah cinta Petra dan Tania yang mirip cerita dongeng itu dengan kisah cintanya sendiri. *** Panggil Saja Aku “Knight” Dengan langkah riang, Tania masuk ke ruang kerjanya. Walaupun Senin biasanya identik dengan kesuraman karena harus kembali bekerja, tapi hal itu tidak berlaku bagi Tania. Setibanya di meja kerjanya, Tania tersenyum lebar. Du­gaannya benar, Keyra pasti sudah tiba di kantor terlebih dahulu karena sahabatnya itu memang ada jadwal siaran pagi. Keyra menyumpal kedua telinganya dengan earphone sehingga ia tidak menyadari kedatangan Tania. Iseng, Tania mengagetkan Keyra dengan menepuk bahu Keyra secara tiba-tiba. “Heh!” Suara cempreng Tania dan tepukannya di bahu Keyra membuat wanita itu tersentak kaget. Segera Keyra melepaskan earphone dan memelototi Tania. “Gila, lo! Pengin gue mati muda gara-gara serangan jantung, ya?” Keyra langsung sebal dengan tingkah laku sahabatnya. Tania terkekeh. “Maaf, deh. Lagian, asyik banget dengerin lagunya sampai nggak sadar gue datang. Emangnya gue tembus pandang, ya, nggak kelihatan?” Keyra tidak mengacuhkan ucapan Tania. Ia sudah akan me­nyumpal telinganya kembali dengan earphone saat Tania me­ngeluarkan satu kotak Ferrero Rocher dari tas jinjingnya dan meletakkannya di depan Keyra. Kontan Keyra menatap Tania dengan heran. Tumben si Pelit ini mau bagi-bagi Ferrero Rocher. “Apaan, nih?” “Ferrero Rocher. Cokelat. Baru lihat pertama kali, ya?” “Ih .... Anak kecil juga tahu ini Ferrero Rocher. Maksud gue, tumben lo ngasih gue cokelat? Biasanya pelit.” Tania membuka tasnya lagi dan mengaduk-aduk isinya mencari sesuatu. Kemudian, tangannya mengeluarkan sticky note biru yang sedikit lecek ujungnya. “Tuh. Biar nggak bete lagi katanya.” Keyra membaca sticky note biru tersebut. Terlihat tulisan rapi dengan tinta hitam. It’s Monday, girl! Semangat untuk hari ini and ... cheer up! —Petra Keyra menimang-nimang cokelat pemberian Petra itu de­ngan senyuman lebar. Bagi seorang pencinta cokelat seperti Keyra, diberi sekotak Ferrero Rocher tentu bisa membangkitkan mood-nya. “Sampaikan terima kasih gue ke Petra, ya, Tan! Gue mau siaran dulu,” kata Keyra sambil nyengir lebar. Tania hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang langsung ngacir ke ruang siaran itu. Tidak butuh waktu lama untuk Keyra bersiap-siap siaran SeGi alias Selamat Pagi bersama penyiar lain bernama Mario. Duo ribut ini memang selalu siaran SeGi setiap Senin sampai Jumat mulai pukul tujuh sampai sepuluh pagi. Pada acara SeGi, mereka sering memberikan beberapa tip, berbagi cerita, banyolan garing, dan tentunya memutar lagu untuk para Kawan Muda, pendengar setia Radio Muda, yang sedang mendengarkan me­reka. Keceriaan dan kegilaan mereka pada pagi hari akan membuat para Kawan Muda bersemangat untuk memulai hari mereka. *** Axel keluar dari lift dan berjalan menuju ruangannya. Langit cerah Jakarta tidak bisa membuat pria satu ini tersenyum. Pa­nasnya udara Jakarta juga membuat hati Axel semakin panas. Jalanan Jakarta yang barusan ia lalui, sukses membuat suasana hatinya berantakan. Apalagi, melihat tempelan sticky note berbagai warna di pinggiran komputernya yang rasanya tidak berkurang dari minggu ke minggu. Yang kuning bertuliskan “Deadline artikel tentang Band Indie: 20 April”. Yang hijau bertuliskan “Meeting bareng Dika: 21 April”. Yang biru bertuliskan “Lunch bareng Wendy: 19 April”. Yang kuning satu lagi bertuliskan “Wawancara PENTING: 22 April”. Dan, berbagai jadwal lainnya. Melihat jadwal pekerjaannya yang padat, Axel semakin lesu. Pekerjaan yang menggunung itu datang pada saat yang tidak tepat. Karena akhir-akhir ini pikirannya sedang kacau balau. Dengan malas, Axel menyalakan komputernya dan langsung sign-in Skype. Terlihat teman-teman sekantornya, baik se­k­retaris maupun jurnalis lainnya, juga sudah online. Tiiing! Tiiing! Axel membuka message dari Revan. Revan mengiriminya sebuah tautan live streaming Radio Muda 93.2 FM dengan tambahan pesan: Daripada muka lo lecek begitu mendingan dengerin ini. Mungkin Revan benar, mendengarkan lagu bisa mene­nang­kan hati Axel. Tanpa mengacuhkan pesan Revan, Axel meng­gunakan earphone untuk mendengarkan siaran radio tersebut. Sembari membaca beberapa baris artikel yang sudah ia buat, Axel mendengarkan suara riang kedua penyiar tersebut. “Choco, lo punya kejadian konyol di jalan raya, nggak?” “Ada! Waktu itu gue lagi nyetir di salah satu daerah di Jakarta. Saat itu jalanan macet banget dan ada pengendara motor nyem­pil di samping kanan gue. Berhubung mobil depan gue udah maju, ya, perlahan gue maju. Bener nggak, sih?” “Bener, dong! Kan, jatah lo juga.” “Tapi, pas gue maju, masa tiba-tiba si pengendara motor itu nyu­ruh gue buat mundurin mobil. Gue langsung kebingungan, tapi kemudian pengendara motor itu bilang kalau kaki kirinya terlindas ban depan mobil gue.” Lantas kedua penyiar yang menjuluki dirinya sebagai Choco dan Bros itu tertawa terpingkal-pingkal. Membuat Axel ikut terkekeh pelan. Suara manis Choco benar-benar terdengar riang saat menceritakan kejadian di jalan raya itu. Akhir-akhir ini Radio Muda memang mulai naik daun karena ide-ide kreatif dalam acara yang disajikan dan keseruan penyiar-penyiarnya. Mengingat-ingat tentang Radio Muda, tiba-tiba mata Axel menangkap kertas sticky note biru yang tertempel di pinggiran komputernya. Dalam kertas itu tertulis “Ketemu Mas Budi dari Radio Muda. ASAP!”. Axel mendesah pelan. Satu tugas lagi belum dikerjakan. Tapi, karena hari ini masih banyak pekerjaan lain yang harus ia selesaikan, Axel memutuskan untuk membuat janji temu terlebih dahulu untuk esok hari. *** “Keyra!” panggil Mas Budi, seorang pria berumur lebih kurang 35 tahun dengan tubuh sedikit pendek dan gendut. Pria yang ditakuti oleh seluruh penghuni Radio Muda ini adalah pemim­pin dan sekaligus pemilik Radio Muda. Melihat Mas Budi berjalan tergopoh-gopoh ke arah Keyra, wanita itu mendapat firasat buruk. Jangan-jangan sewaktu siaran tadi ia melakukan kesalahan. Mas Budi memang suka mengkritik para penyiar dengan sangat pedas. Saat melihat Mas Budi mendekati mereka, Mario yang berdiri di samping Keyra langsung melenggang pergi. Sempat Keyra melihat Mario mengedipkan sebelah matanya. Dasar nggak setia kawan! umpat Keyra dalam hati. Keyra memasang wajah semanis mungkin kepada Mas Budi. Dalam hati ia memohon semoga bosnya yang terkenal dengan kata-kata sepedas Tabasco itu tidak mencerca dirinya. “Ada apa, Mas? Siaran saya barusan jelek, ya?” tanya Keyra berusaha tenang. “Siaran kamu oke-oke aja, kok. Begini, Key. Seingat saya kamu dulu pernah bergabung di majalah kampus, kan?” “Pernah, Mas. Kenapa memangnya?” “Saya juga ingat kamu pernah menunjukkan kepada saya beberapa artikel tentang musik yang kamu tulis. Benar?” Keyra menatap Mas Budi dengan bingung. Pemimpinnya satu ini memang punya memori yang kuat. Keyra sendiri tidak ingat kapan ia menunjukkan majalah kampusnya kepada bos­nya itu. Namun, Keyra hanya menganggukkan kepala mende­ngar pernyataan Mas Budi tadi. Sewaktu Keyra masih bergabung dengan majalah kampus, ia memang sering menulis artikel bertemakan musik. Tidak jarang juga Keyra mendapat kesempatan menulis tentang konser-konser lokal yang sedang berlangsung baik di dalam kampus maupun di luar kampus. “Kamu bisa bantu saya?” tanya Mas Budi. Keyra mengerutkan keningnya. “Bantu apa, Mas?” “Begini Key .... Teman saya dari majalah Youngster berkata bahwa edisi majalahnya tiga bulan depan adalah tentang tren musik di radio. Dan, mereka akan bekerja sama dengan Radio Muda dalam penyusunan artikelnya. Minggu depan salah seorang jurnalisnya akan ke sini untuk mulai proses pengumpulan data dan penulisan artikel. Dan, di edisi itu ada satu rubrik Cerita Kita, yang memang biasanya ditulis oleh pihak luar. Nah, saya meminta kamu untuk mendampinginya dalam me­ngumpulkan data dan juga menuliskan artikel untuk rubrik itu. Isi rub­rik itu tentang cerita-cerita seru selama bekerja di radio. Kamu bisa, kan, bantu dia? Lumayan juga kamu bisa belajar banyak dari dia. Dan, kamu juga bisa bantu dia melakukan riset untuk keperluan penulisan artikelnya.” Mata Keyra terbelalak kaget mendengar penjelasan Mas Budi. “Kenapa saya, Mas? Tulisan saya, kan, nggak terlalu bagus. Saya hanya pernah bergabung di majalah kampus yang nggak bisa disamakan dengan kualitas majalah Youngster. Lagian, saya penyiar radio, Mas.” Keyra tampak enggan dengan tawaran Mas Budi. “Justru karena kamu penyiar, makanya saya meminta kamu yang mendampinginya. Karena kamu lebih sering berinteraksi dengan pendengar, jadi kamu yang bisa mendampingi jurnalis itu. Ditambah kamu juga punya bakat menulis dan pernah punya pengalaman liputan. Saya rasa kemampuan dan pengalam­an kamu itu bisa sangat membantu jurnalis itu, dan pastinya bermanfaat untuk radio ini. Pendengar radio kita akan semakin bertambah dengan munculnya liputan musik di Radio Muda. Lagi pula, saya yakin pengerjaan artikel itu tidak akan menyu­sahkanmu. Kamu, kan, bisa membantunya dari riset tentang jenis lagu yang lebih sering didengar oleh Kawan Muda,” jelas Mas Budi panjang lebar. “Tapi, Mas? Kenapa saya? Saya takut nggak bisa membantu dengan baik. Nanti yang ada saya malah merusak artikelnya.” Mas Budi menggelengkan kepala. “Saya percaya kamu, Key. Lagi pula, keterlibatan kamu dalam pengerjaan artikel ini berpengaruh besar terhadap Radio Muda. Kerja sama dengan majalah sekelas Youngster bisa menambah relasi untuk sponsor radio kita. Dan, dari beberapa penyiar di sini, kamu yang paling pantas untuk mengerjakan tugas ini.” Keyra hanya menatap Mas Budi dengan tatapan bimbang. Keningnya berkerut, berpikir tentang tawaran bosnya itu. “Gimana, Keyra? Bisa?” tanya Mas Budi lagi untuk memas­tikan. Dengan senyum terpaksa Keyra menganggukkan kepala­nya, menyetujui permintaan Mas Budi barusan. Mas Budi pun tersenyum dan meninggalkan Keyra yang masih berdiri di tempatnya. *** Panggil Saja Aku “Knight” - 2 “So here we are .... Masih bareng gue, Choco, di Two Nights!” Senin sampai Kamis pukul enam sampai sembilan malam adalah saatnya Keyra mengudara dalam program acara Two Nights. Dalam acara tersebut, Keyra tidak hanya memutarkan lagu yang sedang hit saja, tetapi juga melakukan interaksi de­ngan pendengarnya lewat telepon. Tidak jarang para pendengarnya curhat kepada Keyra. Wanita itu pun tidak jarang memberikan saran kepada mereka. “Jadi, tadi kita, kan, membahas tentang kehilangan. Gue akan cerita sedikit tentang topik kita hari ini. Gue juga pernah merasa kehilangan hal yang sungguh berharga bagi gue, dan rasanya sungguh nggak menyenangkan. Teman-teman gue selalu meyakinkan gue bahwa yang hilang itu nggak berharga sama sekali. Tapi, bagaimana kalau gue masih berharap dan merasa kehilangan?” Keyra terdiam beberapa saat. Tanpa sadar, tangannya memegang sebuah cincin yang tergantung di rantai kalungnya. “Hahaha .... Kenapa jadi mellow begini, ya?” Keyra ber­usaha kembali riang. “Untuk semua yang pernah mengalami kehilangan, rasanya pasti sama, sedih banget. Tetapi, kita harus mengakhiri kegalauan kita. Dan, sudah saatnya juga gue me­ng­akhiri Two Nights malam hari ini. Tapi, sebelumnya kita ngobrol dulu dengan penelepon terakhir berikut ini. Halo? Siapa gerang­an yang menelepon?” “Selamat malam.” Terdengar suara berat seorang lelaki di seberang sana. “By the way, dengan siapa ini?” “Panggil aja gue Knight,” jawab laki-laki itu. Kening Keyra berkerut. “Night? Malam atau kesatria?” Matanya tertuju kepada produser Two Nights, Mbak Hera, yang juga sedang berada di ruang siaran. Mereka berdua saling bertatapan dan sama-sama mengangkat kedua bahunya. “Kesatria.” “Ah .... Hai, Knight! Mau cerita apa malam ini?” tanya Keyra. Knight terdiam sejenak dan terdengar suara desahannya. “Sedikit galau lagi nggak apa-apa, ya?” “Berhubung topiknya tentang kehilangan, pasti semua yang cerita bakal galau. Lanjuuut!” Knight terdiam lagi. “Mmm .... Gue juga pernah kehilang­an seorang cewek. Sering kali gue masih berharap bisa bertemu lagi dengannya, tapi dia sudah nggak ada.” “Boleh gue potong sebentar, Knight? Cewek itu nggak ada karena apa, kalau boleh tahu?” “Ya, nggak ada aja.” Keyra menatap Mbak Hera dengan tatapan bertanya. “Mak­sudnya meninggal?” katanya tanpa suara. Mbak Hera hanya menjawab, “Mungkin.” “Oke, lanjutin aja ceritanya.” Keyra mengigit bibir bawah­nya. Kalau benar cewek Knight meninggal, cerita ini pasti akan menjadi cerita yang sedih sekali. Knight kembali terdiam sejenak sebelum melanjutkan ce­ritanya. “Sudah hampir setahun dia menghilang dari kehidupan gue. Awalnya gue merasa sangat kehilangan, tapi nggak ada yang bisa gue lakukan lagi. Gue bukan time traveler yang bisa meng­ulang waktu saat kami masih bersama. Gue sudah berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan, tapi bayangannya selalu ada di benak gue dan seolah nggak mau hilang. Apalagi, akhir-­akhir ini gue sering merasa kangen, gue jadi agak senewen.” Keyra terdiam. Ia bertopang dagu di atas meja. Tatapannya kosong, terpusat pada satu titik. Otaknya tiba-tiba tidak berfungsi. Mulutnya terasa kering sekali. Cerita Knight barusan tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang Keyra alami sekarang. “Sering banget gue memandangi barang-barang yang meng­ingatkan gue kepadanya atau pergi ke tempat yang pernah kami kunjungi dulu. Seenggaknya dengan cara itu, gue bisa meng­obati rasa kangen gue ke dia.” Knight terdiam lagi. Hati Keyra ikut terluka mendengar penuturan Knight. “Sementara, itu saja yang mau gue ceritakan.” Keyra merutuki ide Mbak Hera tentang topik kehilangan ini. Membuatnya harus mendengarkan cerita yang menyedihkan. Apalagi, Keyra sendiri juga sedang merasakan kehilangan. “Aduh, cerita Knight sedih banget. Sampai-sampai ibu produser juga ikutan sedih.” Keyra mengedipkan mata kepada Mbak Hera yang memelotot kepadanya. “Knight, jangan sedih, ya! Lo boleh merasa kehilangan, tapi lebih baik sekarang lo harus move on. Gimana?” Keyra menelan ludahnya sendiri. Kata-katanya barusan seperti bumerang untuk dirinya sendiri. “I’ll try but I’m not sure.” “Pelan-pelan aja, Knight. Nggak usah terburu-buru.” Keyra memejamkan mata sejenak dan meresapi sendiri apa yang dikatakannya barusan. Tapi, sampai kapan? “Iya. Thanks, Choco udah mau dengerin cerita gue.” Keyra tersenyum. “Terima kasih juga udah mau cerita, Knight. Sebelum gue menutup Two Nights hari ini, gue mau bilang bahwa di balik cerita kehilangan tadi, pasti terdapat banyak memori dan kenangan. Sesedih apa pun perasaan kehilangan, pasti ada kenangan-kenangan manis yang bisa kita ingat kembali saat kita merasa rindu.” Keyra menarik napas dan membuangnya perlahan. “Kita akhiri Two Nights malam ini dengan lagu ‘Terima Kasih Cinta’ dari Afgan. Lagu ini juga gue persembahkan untuk Knight yang tadi belum sempat request lagu. So ... good night everyone! Two Nights will be back on Thursday! Dah ....” Keyra melepaskan headphone-nya. Bersama Mbak Hera, mereka berdua keluar dari ruang siaran. “Sedih, ya, Key? Mungkin pacarnya Knight tadi udah meninggal.” Keyra berjalan sambil menatap ke depan. Tanpa menatap Mbak Hera, ia berkata, “Iya, Mbak. Kasihan.” “Malam ini galau sekali. Hahaha .... Baiklah, Key! Aku duluan, ya. Sampai ketemu besok.” Setelah mengambil tas di ruangannya, Mbak Hera langsung menuju pintu keluar. Keyra yakin bahwa suami Mbak Hera sudah menjemputnya di luar. Menyenangkan sekali memiliki orang yang bisa menjemputnya kalau sedang pulang malam seperti ini. Tapi, Keyra harus menelan nasibnya yang sedang jomlo. Pulang malam? Ya, pulang sendiri. Keyra berjalan pelan menuju ruang kerja untuk mengambil tasnya. Cerita-cerita tentang kehilangan yang ia dengarkan sepanjang siaran tadi berputar kembali di kepalanya. Rasa kehilangan yang masih bersemayam di hatinya sampai saat ini kembali membuatnya sedih. Sudah dua tahun lamanya, tetapi ia tidak kunjung bisa melupakan rasa sakitnya. Sebelum Keyra meninggalkan ruang kerjanya, ia menya­lakan ponsel yang sedari tadi ia matikan. Belasan pesan dari WhatsApp dan Twitter langsung menghunjam ponselnya. Keyra menunggu beberapa saat sampai ponselnya berhenti bergetar sebelum membuka seluruh pesan tersebut. Pertama ia membu­ka WhatsApp dan melihat beberapa pesan dari Tania yang ber­komentar betapa galaunya malam itu dengan cerita-cerita se­dih dari para penelepon. Setelah membuka WhatsApp, Keyra membuka akun Twitter-nya. Puluhan mention dari para pendengar langsung dibaca oleh Keyra. Banyak yang menulis pujian dan beberapa komentar tentang siaran Two Nights barusan. Tak sedikit juga yang berta­nya-tanya tentang Knight yang terdengar misterius. Keyra hanya tersenyum saat membaca seluruh komentar-komentar tersebut. “Pulang, ah!” ujar Keyra sambil mengantongi ponselnya ke saku celana. Baru mau beranjak dari ruangannya, ponselnya berbunyi lagi. Keyra mengambil ponsel dan melihat ada mention masuk ke akun Twitter-nya. Wanita itu membuka mention tersebut sambil berjalan pelan menuju pintu keluar. Hampir saja ia tersandung saat mengetahui siapa yang mengirim mention tersebut. Thank you udah dengerin cerita gue barusan! Keyra tidak langsung menjawab pesan tersebut, tetapi mem­buka profil akun Twitter Knight. Namun, pria itu hanya menampilkan foto siluet sebagai foto profilnya. Keyra tidak menyalahkan kemisteriusan Knight, karena foto profil akun Twitter miliknya pun berupa fotonya yang memakai topeng. Hal itu memang Keyra sengaja agar pendengarnya tidak ada yang tahu wujud asli Choco. Segera wanita itu menjawab. Sama-sama. Seneng udah bisa denger cerita lo. Semangat terus! Tidak berapa lama Knight pun sudah membalas pesan Keyra. Thanks once again. Gue follow Twitter lo! Follow balik dong. Sebenarnya, tanpa disuruh pun Keyra sudah mau mem-follow Knight karena didorong oleh rasa penasarannya. Ketika akan membalas pesan Knight lagi, Keyra mendapat panggilan dari mamanya. “Siaran sudah selesai, kan, Key? Sudah di jalan?” tanya Mama. “Baru mau pulang, Ma. Kenapa?” Keyra mempercepat ja­lannya menuju mobilnya yang terparkir di lapangan parkir yang sudah sepi karena hanya beberapa orang yang masih lembur di kantor. “Nitip martabak dekat kantor, Key. Adik kamu lagi ngidam soalnya. Biasa, ya! Satu asin dan satu manis. Sekalian kalau bisa belikan bakwan malang di sebelahnya, ya.” Keyra memutar bola matanya mendengar semua pesanan Mama. Malam-malam begini pesanannya banyak banget! *** Cincin Perak Mahkota Keyra memasuki kamarnya yang masih gelap. Tangannya meraih sakelar lampu dan menyalakannya. Sekejap lampu itu menerangi kamar Keyra yang bernuansa biru dan hijau sesuai kesukaannya. Namun, entah kenapa kali ini warna-warna itu sama sekali tidak menenangkan hatinya. Ia segera mengunci kamarnya. Malam ini Keyra tidak mau ada yang mengganggu dirinya. Keyra melangkahkan kakinya menuju meja kayu di sudut kamar. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi dan membiarkan tasnya tergeletak di dekat kaki meja. Tatapan matanya kosong. Tanpa sadar tangannya meraih kalung di lehernya. Perlahan, ia melepaskan kalung itu dari lehernya dan mengeluarkan sebuah cincin perak dari rantainya. Cincin itu tampak unik karena tidak seperti cincin biasa. Bentuknya seperti mahkota yang diperkecil seukuran lingkar jari manis. Cincin perak berbentuk mahkota itu diberikan oleh sese­orang pada hari Valentine beberapa tahun yang lalu. Cincin itu selalu Keyra simpan meskipun pernah beberapa kali ia hampir membuangnya, semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuat hatinya terluka dan... Kenapa Harus Dia? “Gue duluan, ya!” ujar Keyra buru-buru keluar dari mobil milik Tama. Tanpa sadar Keyra membanting pintu mobil tersebut. “Woy, nggak pakai banting-banting pintu, dong!” ujar Tama sewot. Keyra telat kembali ke kantor setelah makan siang bareng Tama dan Tania. Padahal, ada rapat bersama Mas Budi dan jurnalis dari majalah Youngster yang harus dihadiri Keyra. Namun, gara-gara jalanan macet setelah pulang dari makan siang tadi, mereka pun telat kembali ke kantor. Keyra mempercepat langkahnya. Ia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal. Bagaimanapun, ia tidak mau memberi kesan tidak profesional di depan jurnalis majalah Youngster itu. Baru saja Keyra masuk ke ruangannya, tiba-tiba Mario mencegatnya. “Eh, Key, lo barusan dicariin sama Mas Budi.” “Mampus gue! Sekarang Mas Budi di mana?” tanya Keyra panik. “Di ruangannya,” jawab Mario. Setengah berlari, Keyra menuju ruangan Mas Budi. Ketika Keyra hendak mengetuk pintu ruangan Mas Budi, pintu itu sudah terbuka dari dalam. “Ke mana saja, sih,... Jangan Menyindir di Radio, Dong! Keyra mengenakan headphone dan memulai acara Two Nights yang dipandunya. “Selamat malam, Kawan Muda. Masih bersama gue, Choco, sampai dua jam ke depan. Malam ini kita bakal ngobrolin tentang pengalaman yang bikin Kawan Muda bete. Kalau gue, Sabtu kemarin gue ketemu sama cowok nyebelin di toko kue. Dengan seenaknya dia merebut kue pesanan gue. Nggak tahu diri banget, kan? Itu pengalaman gue. Kalau Kawan Muda punya pengalaman yang bikin kalian bete atau sebal, kalian bisa share sama gue lewat line telepon, SMS, atau Twitter. Saat ini udah ada penelepon yang mau menceritakan hal yang bikin dia bete. Halo, dengan siapa?” “Hei! Gue Knight.” Keyra membulatkan matanya. Rupanya yang menelepon adalah pendengarnya yang enggan menyebutkan identitas asli itu. “Lo Knight yang minggu kemarin telepon, ya? Ada cerita apa lagi, nih, Knight? Jangan yang sedih-sedih, ya!” “Iya. Gue mau cerita sesuatu yang terjadi sama gue kemarin. Boleh mulai, kan?” “Boleh, Knight!... Kan, Lo Mau Jalan Sama Jurnalis Ganteng Itu Tangannya. Lengannya. Wajahnya. Semua terasa familier bagi Keyra. Tangan kanannya digenggam oleh seseorang yang sangat ia kenal. Keyra melihat lagi wajah lelaki yang berada di sisinya itu. Rasanya tidak mungkin jika laki-laki itu adalah seseorang yang selalu memberikan warna pada hari-hari Keyra dulu. Namun, rasanya begitu nyata. Laki-laki itu tersenyum manis. Senyumnya yang khas membuat hati Keyra nyaman, membuat semuanya begitu indah. Brannon sedang tersenyum kepadanya dan menggenggam tangannya. Tiba-tiba ada seseorang yang menabrak mereka berdua dari belakang. Genggaman tangan mereka terlepas karena orang itu. Keyra tersungkur ke lantai dan mengaduh kesakitan. Saat ia mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang menabraknya, Keyra terkejut melihat sebuah tatapan dingin dan menusuk. Ternyata, orang yang menabraknya barusan adalah Axel. Saat Keyra menoleh ke sisi kanannya, Brannon sudah tidak ada di sana. Kriiinggg .... Kriiinggg .... Keyra mengerang dan menutupi kedua telinga. Kepalanya terasa sakit mendengar bunyi tersebut. Keyra membuka mata­nya perlahan, dan menyadari... Kan, Lo Mau Jalan Sama Jurnalis Ganteng Itu - 2 Axel membawa Keyra masuk ke ruangan yang berada di Lantai 8 di salah satu gedung daerah Sudirman. Mbak Mia, bos Axel sekaligus mantan pacar Mas Budi, ingin bertemu dengan Keyra. Axel berjalan lebih dulu menuju ruang kerja yang berisi jurnalis lainnya. Keyra membuntuti Axel layaknya anak ayam yang sedang mengikuti induknya. “Xel! Dari mana lo?” tanya Revan yang baru saja kembali dari mesin fotokopi. Axel mendadak berhenti. Sementara Keyra yang sedari tadi celingak-celinguk melihat-lihat keadaan ruangan tersebut langsung menabrak punggung lebar Axel. Saat Axel menoleh ke belakang, ia mendapati Keyra sedang mengelus-elus hidungnya. “Bisa nggak, sih, kamu nggak berhenti mendadak?” Keyra mengernyitkan dahi, kesakitan. “Salah kamu sendiri jalan nggak lihat depan,” jawab Axel tanpa merasa bersalah. Revan memandangi Axel dan Keyra bergantian dengan tatapan bertanya-tanya. “Cewek lo?” tanya Revan. Baru Axel mau membuka mulut, Revan sudah mulai berbicara cepat layaknya petasan. “Wah! Gila lo, Xel! Baru beberapa minggu lalu galau... Lo Lupa Sama Undangan Itu? Tiba-tiba mobil Keyra tidak mau bergerak, padahal dua puluh menit lagi ia harus siaran, sedangkan mobilnya mogok di tempat yang masih cukup jauh dari kantornya. Ia menggebrak setir mobil. Dengan frustrasi Keyra keluar dari mo­bil dan membuka kap depannya. Asap putih pun keluar. “Ya, Tuhan! Kenapa ini?” Karena kesal bercampur bingung, ia membanting kap mobil itu hingga menutup. Keyra mengambil ponselnya yang ada di dalam kantong celana dengan panik. Saat membuka lock ponselnya, hal pertama yang dilihat adalah pesan Axel. Sebelum berangkat tadi mereka memang sedang saling berkirim pesan satu sama lain. Tanpa berpikir panjang, Keyra langsung menekan tombol hijau untuk menelepon Axel. Hingga dering ketiga Axel tidak juga mengangkat telepon Keyra. Akhirnya, Keyra memutuskan hubungan teleponnya. Bodoh! Kenapa harus telepon Axel? rutuk Keyra dalam hati. Seharusnya, yang kali pertama ia telepon adalah bengkel mobil, bukan Axel. Keyra celingukan mencari pertolongan terdekat. Namun, tidak ada orang yang berjalan kaki di... Lo Lupa Sama Undangan Itu? - 2 Mobil Axel berhenti di depan sebuah rumah besar. Rumah itu bergaya Mediterania dengan pilar-pilar putih tinggi. Pagar berwarna cokelat keemasan menjadi pelindung rumah besar tersebut. Pekarangan depan rumah juga sangat luas. Di tengah halaman terdapat sebuah air mancur ala kerajaan. Axel yakin bahwa rumah ini bisa menyimpan enam sampai delapan mobil di pekarangan depannya. “Woaaah .... Ternyata besar juga rumahnya,” ujar Axel, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Ini bukannya rumah—” “Pak Tino,” potong Axel cepat. “Itu yang mau aku bilang.” Berbeda dengan Axel, ekspresi Keyra biasa saja saat melihat kemegahan rumah itu. Axel mengambil tasnya dan mengaduk-aduk isi tasnya. “Cari apaan, sih, Xel?” “ID-ku.” “Emang masuk rumah ini harus pakai ID?” “Buat nunjukin ke satpam. Biasanya kalau rumah narasumber dijaga satpam begini, mereka bakal minta ID.” Axel masih mengaduk-aduk tasnya. “Kok, nggak ada, ya?” Keyra memutar bola matanya. “Pasti kamu lupa bawa.” “Jangan-jangan ketinggalan di meja kantor.” Axel menepuk jidat. “Ya... Lo Lupa Sama Undangan Itu? - 3 Knightingle: Eh, iya. Mobil lo mogok, ya? Apa kabarnya? Knightingle: Woooy .... Dicuekin aja! Knightingle: Lagi makan siang, ya? Knightingle: Tuuut .... Tuuut .... Keyra: Astaga! Hahaha, maaf baru lihat Line lo. Gue sibuk seharian. Keyra: Iya, mogok. Tapi, udah beres, kok. Keyra: Bentar lagi Two Nights. Telepon, dong! Oke? Knightingle: Hahaha. Oke! Gue juga mau cerita sesuatu. Kejutan pokoknya! Trrrttt .... Trrrttt .... Keyra membuka WhatsApp-nya. Na­ma “That Bastard Guy” muncul di layarnya. Selama ini Keyra memang menyimpan kontak Axel dengan nama itu. That Bastard Guy (Axel): Aku antar kamu pulang malam ini. That Bastard Guy (Axel): Mobilmu di bengkel. Me: Nggak usah. Bisa pulang sendiri. That Bastard Guy (Axel): Naik apa? Me: Jalan kaki!!! That Bastard Guy (Axel): Ditanyain baik-baik juga! Bahaya buat cewek pulang ­sen­dirian. Aku jemput. Me: Suka-suka kamulah! *** “Hai, Choco!” sapa Knight di ujung sana. Sedari tadi Keyra memang menunggu-nunggu Knight.... Itu Membantu Lo untuk Move On Baru saja bangun dari tidurnya, perut Keyra terasa sakit sekali. Datang bulan membuat perutnya kram. Emosinya juga menjadi labil, rasanya ingin marah-marah saja. Sampai-sampai Keyra menendang selimut yang tergeletak di lantai untuk meredakan emosinya yang tanpa sebab itu. Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, Keyra berjalan pe­lan menyusuri tangga dan menuju ruang makan. Papa dan Ma­ma sudah ada di ruang makan sambil mengolesi roti masing-masing dengan selai. Sementara Kenny dan Kara masih terlihat me­ngantuk karena baru bangun. Keyra menyambar teh panas yang sudah tersedia di depan Kenny. “Eh, Kak! Itu punyaku,” protes Kenny lemah karena masih mengantuk. Keyra menyeruput teh panas itu. “Bikin lagi, gih.” “Ugh .... Kebiasaan.” Keyra tidak peduli dengan gerutuan Kenny. Ia mengambil roti putih dan mengolesinya dengan selai cokelat. “Key, mobilmu di mana?” tanya Papa yang baru mendapat laporan dari Mbak Tumi bahwa mobil Keyra tidak ada di garasi sejak kemarin. Keyra memang belum mengatakan kepada orangtuanya... Kamu Kenal Dia? Jalanan malam itu cukup lengang. Axel tiba di rumah Keyra pukul setengah tujuh, terlambat setengah jam dari jadwal yang sudah ditentukan Keyra. Axel keluar dari mobil dengan menggunakan celana jin, kemeja panjang putih dengan kancing ter­atas dan kedua terbuka, serta sepatu semiformal cokelat gelap. Lengan kemejanya sengaja digulung rapi hingga bagian siku, memperlihatkan lengan kokohnya. Rambutnya sengaja dibiarkan tertata tanpa sentuhan gel. Axel menekan bel rumah. Terdengar suara langkah ter­gopoh-gopoh dari dalam rumah. Mbak Tumi membukakan pintu untuk Axel dan mempersilakannya masuk. Sampai Axel masuk ke rumah, Mbak Tumi tidak mengedipkan matanya se­detik pun. Axel sampai bingung melihat Mbak Tumi menatapnya seperti itu. Padahal, dirinya merasa sedang tidak berpenampilan aneh. Atau memang aneh? “Kak Axel?” ujar Kara dengan ekspresi yang sama dengan Mbak Tumi tadi. Bahkan, Kara sempat memperhatikan Axel dari ujung kaki sampai ujung rambut. “A-ayo masuk. Mau ...?” Kara jadi nervous sendiri. Axel tersenyum ramah kepada Kara. “Aku... Kamu Kenal Dia? - 2 “Nih, ada ddaekbokki1 kesukaan lo, Key,” kata Tania menyerahkan sepiring ddaekbokki kepada Keyra. “Wah, ada di mana?” tanya Keyra. “Di belakang sana. Tapi, antre banget, jadi gue cuma bisa bawa segitu buat lo. Itu pun gue udah maksa yang jaga buat kasih lebih.” “Kok, gue nggak dibawain?” keluh Bebby. “Emangnya lo suka pedas? Seinget gue, lo nggak bisa deket-deket sama makanan pedas. Sambal pedas manis aja lo udah ngerasa lidah lo kayak terbakar. Apalagi ddaekbokki?” Bebby hanya mencibir. Tapi, benar juga, ia memang tidak suka pedas. Axel dan Petra menatap Keyra dan Tania yang melahap sepiring ddaekbokki tersebut. “Ddaekbokki dari mana, Key?” tanya Axel. Keyra berusaha menelan ddaekbokki-nya. “Tania yang bawain. Ada di belakang katanya.” “Kalau mau, makan barengan aja sama Keyra. Soalnya antrenya panjang.” “Gue nggak suka masakan Korea, Tan,” ujar Axel. “Ya udah, kalau nggak suka,” Keyra mencomot ddaekbokki dari piringnya. “Ddaekbokki,... Jauhi Dia Tuuut .... “Ya, Xel?” sapa Brandi di seberang. “Mobilnya udah selesai, kan? Udah dibawa ke rumah gue?” tanya Axel sambil berkonsentrasi menyetir. “Udah, Brannon yang bawa ke rumah lo.” Wajah Axel seketika menegang ketika mendengar nama Brannon. Jika Brannon yang mengantar mobil Keyra, berarti pria itu ada di rumahnya sekarang. Axel melirik Keyra yang tertidur di sampingnya. Sepertinya Keyra tidak bisa tidur semalam­an, sampai-sampai ia ketiduran begitu. Pasti pikiran Keyra masih dipenuhi tentang pertemuannya dengan Brannon kemarin. Sampai sekarang Axel tidak menyangka bahwa Brannon adalah orang yang tega menyakiti hati Keyra. Saat mobilnya berhenti di lampu merah, Axel meng­amati Keyra yang sedang tidur. Wajah perempuan itu tampak damai dan lembut. Tidak ada raut cemberut yang sering Axel lihat. Axel tersenyum. Dalam hati, ia mengakui kecantikan Keyra. Mata Keyra yang terpejam, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merekah, semuanya tampak begitu menarik. Bahkan, saat marah pun sebenarnya Keyra masih terlihat manis dan... Nggak! Nggak Rela! Keyra sedang berkutat dengan artikelnya saat resepsionis memberitahunya bahwa Brannon sedang menunggu di lobi. Kalau boleh memilih, lebih baik ia bertemu dengan Axel dan berantem seharian daripada harus bertemu dengan Brannon. Tapi, Keyra tidak bisa menghindar selamanya. Cepat atau lambat ia harus menghadapi Brannon. “Aku ke depan,” jawab Keyra kepada resepsionis. “Siapa, Key?” tanya Tania sambil mengerjakan sesuatu di komputernya. “Ada Brannon di lobi.” Tania menoleh cepat ke arah Keyra. “Ngapain dia ke sini?” Keyra mengangkat kedua bahunya. “Nggak tahu. Maka­nya, gue mau ketemu dia sekarang. Gue malas lihat dia bolak-balik ke sini.” “Gue ikut,” kata Tania siap beranjak dari tempat duduknya. “Nggak usah, Tan. Gue bisa sendiri, kok. Lo lanjutin aja pekerjaan lo.” Tania menatap Keyra prihatin. “Yakin?” Keyra berusaha tersenyum walaupun senyumannya terlihat payah. Dengan langkah berat ia menuju lobi utama Radio Muda. Semoga pilihannya untuk bertemu dengan Brannon menjadi pilihan yang terbaik. Di lobi utama, Brannon menunggunya... Kamu Kok Aneh, Sih? Dugaan Keyra benar. Keesokan harinya, Tania langsung memarahinya. Sampai-sampai Keyra terkejut melihat sikap Tania yang bagaikan gunung meletus. “Keyra, udah berapa kali gue bilang, lupain Brannon! Kenapa susah banget, sih, buat lo?” omel Tania begitu Keyra sampai di kantor. Keyra pura-pura tidak mengerti. “Lo ngomong apa, sih?” “Nggak usah pura-pura bego, deh, Key! Lo pikir gue nggak dengerin Two Nights semalam? Cowok yang nelepon di acara Two Nights dengan memakai nama Bran itu Brannon, kan? Ngapain lo memberi Brannon kesempatan kedua? Lo nggak ingat dia udah menyakiti hati lo?” Keyra tahu, dari dulu Tania memang selalu mendorongnya untuk melupakan Brannon. Jadi, keputusan Keyra semalam sudah pasti akan membuat sahabatnya itu murka. “Tapi, dia, kan, udah janji bakal berubah, Tan,” ucap Keyra lirih. “Gue tahu lo masih sayang sama Brannon, tapi bukan ber­arti semudah itu lo membiarkan hati lo terluka untuk kedua kalinya, Key,” cerca Tania. Keyra terdiam seribu bahasa. Sebenarnya,... Aku versus Adik Sepupuku “Hai, Brannon!” sapa Keyra saat mengangkat teleponnya. Keyra sempat melihat perubahan ekspresi Axel saat ia mendengar nama Brannon disebut. Namun, Keyra tidak bisa mengartikan ekspresi Axel tersebut. “Kamu ada di mana?” “Grand Indonesia, Bran. Kamu?” Keyra menyeruput hot chocolate-nya. “Di rumah. Ngapain kamu di Grand Indonesia?” Keyra melirik sekilas kepada Axel yang masih berkutat de­ngan laptopnya. “Lagi ada urusan pekerjaan, nih.” “Sama Axel?” “Iya, kan, aku memang lagi kerja sama dia. Aku lagi nye­lesai­in artikelnya, nih.” “Oh, gitu. Ya, udah kerjain dulu aja. Semakin cepat selesai semakin bagus, kan?” kata Brannon di ujung sana. “Jadi, kamu nggak perlu ketemu Axel lagi.” Keyra tertawa pelan. “Ng .... Iya juga, sih.” “Oke, deh. Aku nggak ganggu kamu sekarang. Aku telepon kamu lagi nanti malam, ya?” “Oke. Talk to you soon.” Keyra memutuskan hubungan de­ngan Brannon. Senyumannya masih menempel di bibir Keyra. “Nggak usah senyum-senyum sendiri gitu,” celetuk Axel. Keyra langsung cemberut lagi.... I Know Something You Don't Know “Xel!” panggil Dio, fotografer majalah Youngster, saat melewati me­ja kerja Axel. Axel mendongakkan kepala. “Apaan?” “Dipanggil Mbak Mia.” “Kenapa?” “Nggak tahu. Tadi dia telepon gue. Katanya sekalian panggil lo,” kata Dio sambil berlalu. Axel berdiri dari kursinya dan berjalan menuju ruangan Mbak Mia yang tertutup rapat. Dio mengetuk pintu ruangan tersebut. Terdengar suara Mbak Mia dari dalam ruangan mempersilakan mereka masuk. “Mbak?” sapa Dio sambil melongokkan kepala melalui sela pintu. “Masuk, Dio. Axel?” Axel masuk ke ruangan. Melihat Dio dan Axel, Mbak Mia tersenyum ramah. “Ayo, duduk di sini dulu.” Axel dan Dio duduk di kursi seberang meja kerja Mbak Mia. Berbagai macam tumpukan kertas ada di meja wanita itu. Mejanya berantakan seperti kapal pecah. “Ada apa, Mbak?” tanya Dio. “Begini. Besok kalian saya tugaskan ke Singapura untuk meliput acara kebudayaan di sana. Kalian mau, kan?” Dio dan Axel saling bertatapan. “Kenapa saya, Mbak?” tanya Axel enggan. Sebenarnya, ia agak... Aku Benci Sama Cowok Pembohong “Kamu mau ngomong apa, sih, Xel? Kok, kayaknya serius banget. Masalah artikel kita, ya?” tanya Keyra sambil menyeruput es teh manis yang sudah tersedia di depannya. Axel mengaduk-aduk es jeruknya. Ia memikirkan bagaimana caranya menyampaikan tentang kejadian semalam kepada Keyra. Bagaimanapun, Axel tidak mau menyakiti hati wanita yang ia sayangi itu. Keyra mulai merasa khawatir saat Axel tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Bahkan, sampai pelayan mengantarkan pesanan mereka, Axel masih diam seribu bahasa. “Kok, diam aja? Kamu sakit?” tanya Keyra menatap Axel lekat-lekat. Axel mendongakkan kepala. Ia balas menatap Keyra dengan pandangan menimbang-nimbang. “Bagaimana hubunganmu dengan Brannon?” tanyanya akhirnya. Keyra sempat terlihat kaget mendengar pertanyaan Axel. Keyra sendiri tidak tahu jawabannya. “Tumben nanyain Brannon.” “Jawab aja,” sambar Axel cepat. Keyra mengernyitkan keningnya. Sikap Axel telah kembali dingin seperti sediakala. “Aku dan dia baik-baik aja, Xel. Sepertinya dia benar-benar berubah. Sekarang dia perhatian banget sa­ma aku. Selama kamu di Singapura, aku selalu... You Know What? I Am Speechless Sudah hampir satu minggu Keyra tidak mau berbicara dengan Axel. Walaupun Axel sudah berusaha meneleponnya, me­ngi­rimnya jutaan pesan melalui Line, WhatsApp, dan SMS, bahkan menemuinya langsung di kantor Radio Muda. Semua usaha Axel itu nihil. Sampai-sampai Tania ikutan bingung melihat perubahan pada mereka berdua. Melihat Keyra dan Axel bertengkar memang menjadi hal yang biasa, tetapi seingat Tania pertengkaran di antara mereka tidak pernah berlangsung lama seperti sekarang. “Key, ada apa dengan lo dan Axel? Nggak biasanya kalian ber­tengkar sebegini lama. Axel sering banget meminta tolong sama gue untuk membujuk lo agar mau berbicara dengannya, yang selalu lo tolak. Tapi, lo berdua sama-sama nggak mau cerita ke gue alasan kalian bertengkar.” Keyra mendesah pelan sambil menatap layar komputernya. “Lo tahu Knight, kan?” “Yang suka telepon ke Two Nights, kan?” “Knight adalah Axel, Tan.” Butuh waktu beberapa detik bagi Tania untuk mencerna kata-kata Keyra. Tania merasa tidak percaya atas... Description: Knight. Aku tahu, sih, itu bukan nama aslimu. Tapi, aku tak mau mencari tahu namamu sebenarnya. Cukup menanti teleponmu setiap siaran dan chatting denganmu setiap malam. Ya, itu sudah membuatku bahagia. Bahagia di tengah kesibukanku di kantor dengan tantangan barunya. Bahagia sekalipun setiap hari aku harus berhadapan dengan Axel, partner kerjaku yang super menyebalkan. Dan, memang sepantasnya aku bahagia ketika Brannon, mantanku itu mengajak balikan. Ah, Knight .... Tetapi, sejujurnya lama-lama aku penasaran. Siapa, sih, kamu sebenarnya? Aku ingin cerita denganmu panjang-lebar. Tentang Axel, Brannon, dan kita. Tanpa telepon, tanpa chatting, tapi hanya kita. Saling bertatap muka.
Title: Ruang Wanita Muslimah Category: Puisi Sahabat Text: Ruang Wanita Muslimah: 8 Muslimah yang Revolusioner Di era global seperti saat ini banyak ruang wanita muslimah yang bisa dimanfaatkan, misalnya untuk berjualan, branding maupun hal yang lainnya. Tidak sedikit yang gagal namun banyak pula yang berhasil. Bahkan di antaranya memberikan dampak tersendiri pada negara atau orang lain. 8 Muslimah yang RevolusionerBerikut 8 muslimah revolusioner dikutip dari Lisa Nur Aeni. IbtihajBiasanya, atlet tidak mengenakan kerudung atau hijab terutama di Amerika atau Eropa. Namun, Ibtihaj membuktikan jika dirinya adalah seorang muslimah, mampu meraih prestasi gemilang. Sebagai atlet anggar di Amerika Serikat, ia merupakan atlet muslimah berhijab dari negara adidaya tersebut. Kemampuannya dalam bermain anggar menghasilkan medali perunggu di Olimpiade Rio de Janeiro yang diselenggarakan di Brasil 2016. Ia tidak hanya sukses di bidang olahraga saja namun juga di bidang fashion. Bersama dengan saudaranya, Ibtihaj membuka sebuah brand fashion yang bernama Louella. Dari kerjasama tersebut, ia dapat membantu untuk membina anak-anak yang berkeinginan untuk belajar anggar. Kesuksesannya tersebut tidak lepas dari ucapan dari sang ayah jika anggar adalah cabang olahraga yang mengakomodasi agamanya karena menutup seluruh tubuh. Aksinya yang mempertahankan hijab bahkan saat sedang bertanding hingga menghasilkan prestasi, membuat Mattel Inc. menciptakan boneka barbie hijab. Saaleha BhamjeeRuang wanita muslimah juga membahas mengenai wanita inspiratif yang sukses di bidang wirausaha. Salah satunya adalah Saleha Bhamjee. Awalnya, ia merupakan pengajar bahasa Arab dan studi Islam. Karena ia merasa jika perlu menambah penghasilan dari sang suami, ia kemudian mulai menjual produk rumahan yang diolah dari dapurnya. Alhasil, usahanya tersebut menjadi awal mula dari toko roti Lazeeza yang ia miliki saat ini. Bahkan sudah lebih dari 11 tahun, toko roti tersebut bertahan dan memiliki 3 cabang. Dirinya juga memiliki restoran yang diberi nama Upcycled Café. Heraa HasmiBukan hal yang mudah untuk menghadapi orang yang phobia terhadap Islam. Hal tersebut yang dilakukan oleh Heraa Hasmi. Usahanya tersebut kemudian viral dan membuahkan hasil hingga terbentuk Muslim Condemn. Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Heraa Hasmi ini terlihat biasa saja. Namun, dari hal kecil yang dilakukan tersebut, membuat anggapan Islam itu Teroris menjadi berkurang atau tidak separah sebelumnya. Aiman AttarPerempuan dari Kanada ini sudah memulai untuk berwirausaha sejak usia 25 tahun. Awalnya ia merupakan salah satu agen perekrutan hingga saat ini ia menjadi herbalis. Awalnya, Aiman yang memiliki alergi anafilaksis ini putus asa kemudian dari sunnah Nabi menyebutkan untuk menggunakan biji hitam. Biji-bijian tersebut memiliki berfungsi sebagai antihistamin. Setelah itu, Aiman mempelajari kedokteran profetik, pengobatan herbal, pengobatan tradisional, pengobatan tradisional Cina dan ayurveda. Hingga akhirnya ia mendaftar ke diploma herbalis. Dari pengetahuan yang diperolehnya tersebut, Aiman mengatakan jika tujuannya adalah membekali orang lain dengan pengetahuan tradisional untuk menjaga kesehatan. Tawakkul KarmanJika Anda merupakan salah seorang yang pegiat HAM atau mengikuti isu dan informasi seputar HAM, maka nama Tawakkul Karman bukanlah sosok yang asing. Ia merupakan salah satu aktivis HAM dari Yaman yang berani menentang rezim Presiden Ali Abdullah Saleh. Ia bahkan mendirikan kelompok Jurnalis Wanita Tanpa belenggu dan dijuluki ibu Revolusi. Karena keberanian dan sikapnya yang kritis tersebut, Tawakkul Karman diberi penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 2011. Tidak heran jika namanya kini juga semakin dikenal dunia. Malal YousafzaiSelain Tawakkul Karman, ada pula Malala Yousafzai yang merupakan aktivis dari Mingora, Pakistan yang mendapatkan Nobel Perdamaian di tahun 2014. Malala bahkan sudah berani untuk menuliskan tentang kerasnya kehidupan saat pemerintahan Taliban berkuasa. Ia juga menuliskan mengenai susahnya mendapatkan pendidikan bagi anak-anak dan perempuan. Perjuangannya berlanjut hingga ia terus membela hak pendidikan serta kebebasan untuk perempuan dan anak-anak. Tidak mengherankan jika ia akhirnya menjadi salah satu aktivitis perempuan yang revolusioner. Dalia MogahedTidak hanya pria yang bisa menjadi penasehat di Gedung Putih, Dalia Mogahed buktinya jika wanita dan seorang muslim bisa menjadi penasehat di Gedung Putih. Tugasnya adalah untuk meningkatkan persepsi negara Paman Sam tersebut di mata umat Islam. Penasehat saat masa Barack Obama ini memiliki lembaga konsultan bahkan berpengaruh penting di dunia politik di AS. Ia menjadi salah satu contoh bahwa ruang wanita muslimah bisa dari mana saja. Ia bahkan mengatakan saat wawancara dengan Al-Arabiya, bahwa hijabnya bukan suatu masalah. HanaIa menjadi salah satu wanita yang bergerak di bidang fashion. Wanita yang merupakan seorang muallaf ini mempelajari filsafat dan akhirnya ditulis di blognya. Siapa yang menyangka jika tulisannya tersebut membuat orang lain terinspirasi. Hana bahkan berkolaborasi dengan brand busana ternama untuk icon fashion muslimnya. Itulah beberapa wanita revolusioner yang memberikan dampak tidak hanya pada diri sendiri namun juga pada orang lain. Untuk tahu informasi lengkapnya, Anda bisa mendapatkannya dari kami. Bukan hanya pengetahuan mengenai agama salah satunya ruang untuk wanita muslimah, namun juga review dan hal seru lain. Salah satunya adalah segala sesuatu mengenai muslimah seperti ruang wanita muslimah. Tujuannya tidak hanya untuk menambah pengetahuan khususnya para muslimah namun juga untuk belajar bersama-sama agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga informasi ini bermanfaat untuk Anda. Description: Di era global seperti saat ini banyak ruang wanita muslimah yang bisa dimanfaatkan, misalnya untuk berjualan, branding maupun hal yang lainnya. Tidak sedikit yang gagal namun banyak pula yang berhasil. Bahkan di antaranya memberikan dampak tersendiri pada negara atau orang lain.
Title: Rahasia dibalik Batu Alang Category: Misteri Text: Liburan Sekolah "Shopie," teriakan ibu terdengar dari bawah. "Iya, bu. Aku sudah bangun." Shopie merupakan gadis SMP yang memiliki rambut ikal sebahu berwarna coklat. Dengan mata bulat dan bulu mata lentik, serta pipi yang sedikit berisi membuat nya tampak cantik, namun kulit sawo matang dan penampilannya yang sedikit ke laki-lakian membuat dia tampak Unik. Belum lagi Shopie suka bertualang! Kali ini Shopie sangat bersemangat karena ia tau akan ada perjalanan seru lagi bersama keluarga nya pada liburan sekolah ini. "Jangan sampai terlambat, Shopie. Ayah sudah menunggu mu dibawah." "Iya bu, aku udah selesai." Shopie turun kebawah dan mengambil beberapa lembar roti panggang untuk dimakan selama perjalanan ke sekolah. "Daah, tunggu aku pulaang." Besok sudah mulai liburan sekolah. Bima, kakak laki-laki Shopie juga akan pulang dari kota. Dan saatnya mereka sekeluarga berunding untuk menentukan kemana akan berlibur kali ini."Ayah, apakah kali ini kita akan ke Gunung? Atau emm bagaimana kalau pulau? Ah, ke rumah nenek? Aku sudah rinduu mereka." Shopie terus saja berceracau mengenai liburan. Memang, dia sungguh bersemangat."Haha, selesaikan dulu makanan di mulut mu itu Shopie." Ayah hanya tertawa melihat tingkah putri nya yang selalu tak sabaran kalau menyangkut liburan. Setelah Ayah mengantar Shopie sekolah, ia langsung berangkat menuju stasiun kereta untuk menjemput Bima. Bima merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga Robert. Ia merupakan jiplakan ayah nya. Dengan muka persegi, hidung mancung, bibir tipis dan kulit sawo matang yang juga menurun kepada Shopie, serta tubuh yang tinggi berisi membuat Bima menjadi lelaki dewasa yang akan di puja-puja wanita. Saat Ayah tiba di pintu masuk stasiun dan celingak-celinguk mencari keberadaan Bima, Bima pun datang dari belakang memanggil Ayahnya. “Hai, ayah.” Bima dan Ayah pun saling berpelukan untuk menghilangkan kerinduan mereka. Ayah melihat kebingungan kepada dua orang pria yang sedari tadi ikut berdiri di samping Bima. Bima yang menyadari itu, langsung memperkenalkan kedua temannya yang ikut pulang untuk berlibur bersama Bima. “Ah, mereka ini..” belum selesai Bima memperkenalkan, kedua teman Bima langsung memeluk Ayah seperti yang dilakukan Bima tadi.“kami juga merindukan mu Ayah.” Ungkap mereka berdua“ahaha..”Semua pun tertawa dengan tingkah mereka berdua. Bisa-bisa nya sok akrab padahal belum pernah bertemu sama sekali dengan Ayah.Setelah mereka berdua melepas pelukannya dari Ayah, mereka memperkenalkan dirinya.“Halo, Ayah. Saya Julian.” Ia memperkenalkan dirinya sambil membungkukkan badan.“Dan ini teman saya si kutu buku Adit dari Asia yang dari kemarin merengek ingin ikut berlibur kemari.” Sambung Julian memperkenalkan temannya.“Yee, yang bener dong ngenalinnya.” Sahut Adit tak terima.“hahah, mereka memang begitu, Yah. Tidak pernah serius.” Ucap Bima.“yasudah, ayok kita berangkat pulang. Ibu pasti sudah menunggumu.” Mereka pun membawa barang bawaan dan berjalan mengikuti Ayah menuju parkiran mobil. Ini merupakan kali pertama bagi Adit dan Julian berlibur ke tempat Bima. Sebab, sudah sejak lama mereka berdua ingin mengunjungi tempat-tempat indah yang pernah ditunjukkan Bima ke mereka. Dan mumpung ada kesempatan liburan panjang, dimanfaatkan kedua pria dua puluh tahunan ini untuk bersenang-senang."Kita sudah bosan suasana Kota, Bro.” “Ayolah sekali-kali bawa kita ke desa indah mu itu.” Begitulah bujuk rayu Adit dan Julian pada Bima. Bima tinggal di daerah pedesaan nan jauh dari hiruk pikuk. Untuk sampai ke rumah Bima, mereka akan melalui pohon-pohon pinus dan berbagai jenis pohon di pinggir jalan. Udara nan sejuk membuat yang tinggal akan betah. “Bim, udara disini segar yaa,” Adit mengeluarkan kepalanya untuk bisa merasakan angin di luar jendela mobil. Ayah dan Bima hanya geleng-geleng kepala melihat kelakukan mereka, karena Julian juga ikut-ikutan mengeluarkan kepala nya di jendela sebelah lagi.Setelah melalui pohon pinus, mereka akan memasuki perkampungan warga. Namun, tidak terlalu banyak rumah. Sebab lahan banyak diisi oleh tanaman-tanaman warga. Sepanjang jalan mereka disuguhi oleh pemandangan yang menarik perhatian. Ada gunung menjulang tinggi di depan mereka. Ditemani penduduk yang sedang bercocok tanam, dan anak-anak yang berlarian.Pemandangan yang jarang ditemui di kota. Tak lama kemudian, mereka pun sampai dirumah. “Woah, pemandangan rumah mu tak kalah keren ya, Bim” Adit kembali terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya. “sebulan pun disini kita tidak masalah kok, iya kan Julian?”Belum Julian menimpali, Bima langsung menjawab, “siapa juga yang mau menampung kalian berdua selama sebulan. Ogah.”“ehe, bagaimana Ayah? Kau setuju bukan jika kami tinggal sebulan disini?”“TIDAK” Ayah ikut bergurau.“ehehe,” Julian dan Adit hanya garuk-garuk kepala mendengar jawaban dari Ayah Bima. Di depan pintu rumah, Maria, Ibu Bima telah menunggu dengan wajah penuh arti. Terpancar wajah bahagia dan kerinduan setelah sekian lama tidak bertemu dengan anaknya. Anak laki-laki semata wayang yang selalu dianggapnya anak kecil oleh Maria, meskipun kini Bima telah dewasa.“Kemarilah, nak.” Ucap Ibu sambil merentangkan kedua tangan ke arah Bima.Mereka pun berpelukan cukup lama, dan seperti biasa, setiap Bima berangkat maupun pulang dari Kota untuk sekolah, Ibunya selalu menangis. “Sudah, jangan menangis lagi. Aku sudah disini sekarang, Ibu.” Bima memberikan senyum terbaiknya kepada Ibunya. Menenangkan Ibunya.“Oiya, Bu. Kenalin teman-teman ku, Julian dan Adit,” sambil menunjuk mereka berdua, “mereka ingin ikut berlibur dengan ku kesini, Bu.”Akhirnya mereka pun masuk dan berbincang-bincang di rumah sebelum akhirnya ketiga pria itu naik ke atas untuk beristirahat. Sesampainya di lantai dua, kamar Bima, mereka langsung terbaring diatas kasur untuk meluruskan otot-otot punggung mereka yang sudah pegal menghadapi perjalanan jauh. Butuh waktu 9 jam perjalanan menuju rumah Bima. Dan itu sungguh melelahkan. “Kak Bimaa, banguuun.” Shopie mengetuk kencang pintu kamar Bima, “Udah jam 7 malam nih, ayo makan malam bersama di bawah. Ibu udah masak banyak kak.” Teriak Shopie lagi. Tidak ada yang menyahut, Shopie akhirnya membuka kamar Bima dan mereka bertiga masih tertidur. Tiba-tiba Shopie punya ide buat jahilin kakaknya dan kedua temannya. Shopie mengambil air di kamar mandi dan menyiprati mereka dengan air agar bangun. “Banjiiir.” Julian kaget dan langsung berdiri dari tidur nya. Adit dan Bima hanya menatap dengan tatapan mengantuk, meskipun sedikit kaget. Sedangkan Shopie malah tertawa terpingkal-pingkal.“Dasar usil. Kesini kamu, “ Bima langsung menangkap dan memeluk adik satu-satunya. Daritadi mereka belum bertemu karena Shopie masih di sekolah dan Bima sudah tertidur duluan. Dari kecil meskipun mereka sering berantam, namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Dan kini akhirnya mereka bertemu kembali dan akan melakukan kegiatan menyenangkan bersama selama beberapa waktu kedepan.“kamu makin besar aja yaa,” Bima mengacak-acak rambut Shopie.“Kakak, aku emang udah besar, masa kecil terus.”“Halo kak Julian dan kak Adit, Ibu tunggu dibawah untuk makan ya” Lanjut Shopie sambil berlari keluar kamar Bima.Adit yang masih belum pulih dari bangun tidurnya, semakin bingung karena Shopie tau namanya sebelum di perkenalkan. “Yuk kebawah,” ajak Bima.Dan mereka pun turun ke bawah untuk makan malam. Makan malam sekeluarga selalu menyenangkan bagi keluarga Robert. Apalagi jika lengkap seperti ini. Selalu ada percakapan-percakapan menarik yang mereka bicarakan. Bahkan Adit dan Julian pun menikmatinya. Mereka selalu mewajibkan makan malam bersama, sebab melalui ini mereka bisa bercengkrama bertukar cerita. Di pagi hari mereka sering melewati jadwal makan bersama karena Shopie yang suka terlambat bagun, dan Ayah yang terburu-buru berangkat kerja. Di siang hari, terkadang Shopie dan Ayah belum pulang, sehingga Maria sendirian. Maka, di malam hari lah waktunya untuk keluarga. “Keluarga ini sungguh hangat,” disela-sela makan malam, Julian mengeluarkan suara. “Di rumahku, tidak pernah seperti ini. Aku selalu sendirian.”Tiba-tiba Julian curhat dan membuat yang lain saling berpandangan bingung mau menjawab apa. Suasana menjadi hening. “Julian,” Ibu hendak menimpali, namun Julian melanjutkan perkataannya.“Aku juga menginginkan kehangatan seperti ini di rumah.”“Kamu bisa anggap kita ini keluargamu, Julian.” “Kapanpun kamu mau, kamu bisa datang kesini. Ini juga rumah mu.” Ibu menenangkan Julian. Bima dan Adit yang sudah tau keadaan keluarga Julian, hanya terdiam. Julian masih memiliki keluarga yang lengkap. Dia anak satu-satunya. Namun, Ayah dan Ibunya selalu sibuk dengan kerjaan sehingga dia selalu sendiri dirumah. Sehingga dia lebih memilih untuk ikut bersama Bima dan Adit kesini. Selain karena memang untuk berlibur, ia tidak ingin dirumah karena pasti ia akan sendirian lagi. Sedangkan Adit ia tidak bisa pulang karena orangtua nya sedang ke Indonesia melihat nenek Adit yang lagi sakit. Setelah mereka menyelesaikan makan malam, Maria dan Shopie membereskan meja makan dan mencuci piring. Sedangkan para pria duduk di depan TV sambil bermain PS. Kebiasaan Robert dan Bima jika mereka telah bertemu. “Ini cemilannya wahai para kaum pria.” Tiba-tiba Shopie datang dan duduk di samping Bima.“Kak Bima, matiin dulu PS nya. “ Shopie merengek meminta.“sebentar lagi ya tuan puteri, kakak main dulu.”“Tuan puteri tidak ada teman main ya?” “main sama kak Adit aja yuk.” Ajak Adit.“Bukaan, kan kita harus nentuin tempat liburan kita kali ini kak.”Ibu yang tau anaknya yang satu ini sangat bersemangat, datang dari dapur dan ikut berkumpul duduk di depan TV. Sedangkan Ayah langsung mematikan TV karena tau Shopie akan terus merengek jika tak didengarkan. “Bima, kalian berencana liburan kemana nanti?” tanya Ayah.“Aku ingin mengajak mereka berdua ini ke Pulau Pisang, Yah.” Jawab Bima.Adit dan Julian hanya mengangguk-angguk setuju.“Pulau Pisang lagi?” timpal Shopie.Kali ini Ayah dan Ibu tidak akan ikut liburan bersama kalian, tidak apa-apa kan?” ucap Ibu.“Apa? Kenapa Bu? Apa itu berarti aku juga tidak akan ikut liburan kali ini?” wajah Shopie berubah suram membayangkan bahwa tidak ada liburan menyenangkan kali ini. Biasanya mereka selalu melakukan perjalanan tidak biasa tiap liburannya. Paralayang, mendaki gunung, dan terakhir kali mereka berkelana ke beberapa tempat selama berminggu-minggu menggunakan mobil. Di tempat tertentu, mereka akan menginap dengan mendirikan tenda. Tidak ada liburan mewah di hotel ataupun jalan-jalan ke Mall. Tapi kali ini, Shopie sedih memikirkannya.“Shopie, kamu bisa ikut dengan kakakmu. Iya kan Bima?” ucap Ibu.“Iya Shopie, kamu akan ikut bersama ku. Kita akan melakukan banyak hal menyenangkan disana. Bagaimana?”Shopie terdiam dan melirik ke Ibunya. “Ibu dan Ayah akan mengunjungi kakek mu selama beberapa hari, sayang. Kemarin ia menelepon, kakekmu sedang sakit. Ibu akan menjaganya selama beberapa hari. Bersenang-senanglah kamu dengan kakak-kakakmu ini ya.” Ibu berusaha meyakinkan Shopie.“Baiklah.” Pantai Udara di pedesaan Alpen tempat tinggal Bima di malam hari sangat dingin. Membuat siapapun yang tidur akan menarik tinggi selimutnya dan melanjutkan mimpi mereka. Namun, Julian yang tidak terbiasa udara dingin membuat nya harus berkali-kali ke kamar mandi untuk buang air kecil. Kamar mandi yang terletak di dalam kamar membuat Julian tidak kesulitan. Saat Julian keluar dari kamar mandi, jendela kamar telah terbuka, padahal seingatnya tadi masih tertutup. Terlebih, dia melihat sesosok makhluk berwarna hitam di luar jendela sedang berdiri kaku. "Ah tidak. Ini kan lantai dua. Pasti dia melayang." Ketakutan Julian makin memuncak. Julian yang masih berdiri di pintu kamar mandi mulai berjalan perlahan. Ia tak berani berteriak. Lebih tepatnya, tidak bisa. Saat ia baru beberapa langkah berjalan menuju kasur, tiba-tiba sosok itu menoleh kearah nya. "HANTUUUUU..." Sontak Adit pun terbangun dan Bima menghampirinya dari balik jendela. "Siapa yang hantu?" Tanya adit. "I..itu tadi di jendela." Tunjuk Julian ke arah jendela yang kini tak ada orangnya lagi. Lantas, Bima langsung tertawa terpingkal-pingkal mendengar penjelasan Julian. Ternyata tadi Bima yang berdiri di luar. Julian yang ternyata salah sangka, jadi masam sendiri muka nya karena malu dikira penakut oleh teman-temannya itu. Sedangkan Adit dan Bima tertawa mengolok-olok temannya yang penakut itu. Setelah insiden Julian tadi, mereka akhirnya melanjutkan tidur, sebab waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Esok mereka harus bangun pagi untuk belanja persiapan liburan mereka nanti. Keesokan paginya, ketiga pria tersebut telah bangun dan bersiap-siap untuk berbelanja. Sebelum mereka turun, Bima membuka tirai jendela dan membuat Julian serta Adit terpana dengan pemandangan di luar jendela kamar Bima. Mereka baru menyadarinya sekarang karena kemarin mereka tidak memperhatikan apapun. Lebar jendela kamarnya berukuran sekitar 2 meter, dan Bima membukakan jendela tersebut sehingga mereka bisa berdiri di balkon kecil di depan kamar Bima. Pegunungan berselimut kabut dan hamparan hijau tanaman serta para petani lokal yang sedang mengembalakan sapi-sapi mereka membuat pemandangan pagi itu sangat menarik. Belum lagi udara yang sejuk. Akhirnya mereka memutuskan untuk sarapan di balkon Bima dan tak lupa mengabadikan momen tersebut, dimana ada pegunungan, pengembala, tiga pria tampan, dan sepiring roti bakar dengan teh hangat. Perpaduan yang serasi. Pagi ini hari pertama liburan sekolah bagi Shopie. Ia tidak banyak melakukan sesuatu selain duduk di depan tv mencoba memahami apa yang disiarkan di televisi. Sedangkan ibu melakukan kegiatan rutinnya di ruang kerja nya, yaitu merajut. Lain hal dengan Ayah yang pagi-pagi begini malah repot sendiri di dapur memperbaiki keran air yang rusak. Bima dan kedua temannya turun dari atas dengan penampilan rapi. “Kakak mau kemana pagi-pagi begini?” Ia perhatikan tampilan ketiga pria tersebut. Bima dengan baju kemeja lengan pendek warna biru muda dan celana pendek seluntuk warna putih, Adit dengan baju kaos warna hitam dan kamera yang tergantung di lehernya, serta Julian dengan pakaian anehnya. Iya, bagi Shopie itu sungguh aneh. Celana cutbray dan baju kemeja warna-warni. “Hahaha,” Shopie terpingkal-pingkal melihat selera teman kakaknya yang satu itu. Kalau Julian bilang, itu seni. Ah terserah lah! “Kau mau ikut denganku?” Bima menawarkan. Ia tau adiknya suka bosan jika tidak kemana-mana. “Tentu aku akan ikut.” “Ibu, adakah yang ingin kau beli? Aku mau berbelanja untuk keperluan ke pulau nanti.” Tawar Bima. “Ah, iya. Tapi akan sangat banyak sekali barang yang ingin ibu beli. Apakah kau bisa?” “Ayah dengar ada yang mau keluar nih.” Tiba-tiba ayah keluar dari dapur dengan keadaan berantakan . “Bagaimana jika kita pergi belanja bersama saja? Ibu akan membantu kalian memenuhi kebutuhan untuk liburan nanti.” Ibu mengusulkan ide. Hitung-hitung mereka bisa jalan-jalan bersama meskipun hanya berbelanja. Sebab, nanti ia dan Robert tidak akan bisa ikut untuk liburan. “Setuju.” Sahut Ayah. “Aku akan bersiap-siap sebentar. Tunggu aku.” Sembari menunggu Ayah dan Ibu di halaman rumah, Adit dan Julian memotret sekeliling dan juga memotret diri mereka sendiri. “Dasar Hantu Foto.” Celetuk Shopie dari jauh. “Hantu foto? Tidak terlalu buruk. Haha.” “kami mengabadikan foto ini untuk anak cucu kami nantinya. Iya ga, Bro?” Adit mencari pembelaan. Tak lama kemudian, Bima datang dari belakang rumah dengan membawa mobil. “Woaa!” Julian terkagum-kagum melihatnya. “Gilaa, keren parah, Bro. Ini baru liburan.” Adit dan Julian langsung membuka pintu mobil untuk mencoba merasakan keseruannya. Itu adalah mobil VW Combi milik Ayah Bima, biasanya mereka menggunakannya untuk liburan. Dengan segala kelengkapan yang tersedia di dalam mobil membuat keluarga Robert betah berlama-lama liburan. Mobil yang di cat dengan warna dasar hijau tosca dan dikelilingi oleh gambar-gambar yang menarik, ada gunung, kaktus, burung, bahkan di pintu belakang terdapat gambar keluarga Robert. Didalamnya sekilas hanya terlihat kasur dan laci-laci di pinggirannya. Namun, siapa sangka jika laci itu multi fungsi. Bisa berubah jadi sofa, meja makan, bahkan bisa dijadikan dapur! Setelah Adit dan Julian puas mengagumi mobilnya, Ibu dan Ayah pun juga telah siap, saatnya mereka berangkat. Jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan. Tujuan mereka kali ini adalah toko serbaguna. Di daerah pedesaan ini tidak ada supermarket seperti di kota, yang ada hanya toko serbaguna, semacam mini market jika di kota, namun bedanya mereka menyediakan semua kebutuhan. Mulai dari kebutuhan sekolah, kebutuhan sehari-hari, bahkan kebutuhan untuk mendaki gunung juga ada. Dan disinilah mereka berada. “Bima, kamu boleh beli keperluanmu dulu, Ibu juga mau keliling dulu sama Shopie.” “Ayo Bima, kita tuntaskan semuanya.” Ajak Ayah sambil menarik anaknya itu. Masalah kebutuhan selama perjalanan Bima dan Ayah ahlinya. Sebenarnya Ibu dan Shopie juga sangat paham mengenai perlengkapan seperti HT, senter, pemantik dan lainnya, namun mereka lebih ahli lagi dibidang persiapan makanan. Namun begitu, ada hal-hal kecil yang sering terabaikan oleh para pria. Dan wanitalah yang akan melengkapinya. Selagi Ibu dan Shopie membeli perlengkapan makanan, Bima, Julian, Adit, dan Ayah sedang asik memilih perlengkapan survival. Begitulah mereka menyebutnya. “Mungkin kita akan membutuhkan ketapel.” Julian memberi saran. “Apakah kau butuh baterai tambahan, Dit untuk kamera mu itu?” “Tentu saja, Bim. Jika ia kehabisan baterai, bisa gagal cita-citanya menunjukkan foto muda nya pada anak cucu.” Candaan Julian membuat yang lain tertawa. Ayah mengecek kembali keranjang belanjaan agar tidak ada yang tertinggal. Sebenarnya mereka tidak perlu belanja banyak karena di mobil hampir lengkap semuanya. Setelah mereka selesai berbelanja, mereka pun beranjak pulang. Kini mereka berempat benar-benar siap untuk berlibur. Semua sudah lengkap. *** Keesokan harinya mereka siap untuk berangkat ke Pulau Pisang. Shopie bangun lebih pagi saat kakak dan ayah nya masih terlelap. Semalam setelah Shopie selesai packing perlengkapan ke pulau, ia telah berencana untuk membantu Ibu menyiapkan perlengkapan bahan makanan yang akan dibawa ke pulau. Dan saat pagi ini ia turun ke dapur, ternyata Ibu sudah duluan memasak.“Pagi, Ibu.” Masih setengah mengantuk, Shopie minum teh dulu sebelum bergerak. “kamu bisa bantu ibu memasukkan bahan makanan ke dalam box itu kan?” pinta Ibu. “Tentu, Bu. Tapi kenapa banyak sekali makanan Bu? Kita hanya liburan tiga hari.”“Kali ini kalian liburan tanpa Ibu, dan itu di Pulau. Kalau kalian kekurangan makanan bagaimana?” Ibu menyiapkan banyak makanan. Mulai dari makanan kaleng, sandwich, roti, cemilan ringan, dan beberapa jenis minuman. Ia memastikan bahwa anak-anaknya tidak kekurangan apapun saat tidak bersamanya. Ibu adalah orang yang paling tau kebutuhan anak-anaknya melebihi siapapun. Pukul delapan pagi, Shopie dan ketiga kakaknya mulai memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Shopie lah yang paling sigap dalam hal seperti ini. Meskipun ia masih siswa SMP, tapi pengalaman lah yang membuatnya lebih dewasa dari teman-teman seusia nya. Ia telah melalui banyak pengalaman yang tidak semua anak seusianya lalui. Saat anak-anak lain melalui waktu liburan mereka ke pemandian, atau belanja ke mall, yang Shopie lalui adalah menaklukkan berbagai macam negara dengan segala rintangannya. Makanya, Shopie selalu menanti waktu libur sekolah.Dan tibalah waktunya hari ini. Meskipun kali ini tidak ada Ibu dan Ayah, tapi tidak masalah. Masih ada kakaknya. Perlengkapan pun selesai, dan Bima juga telah memeriksa mesin mobil agar tidak rusak tiba-tiba di jalan. Hal ini penting dilakukan setiap kali hendak melakukan perjalanan jauh.“Kita berangkat sekarang?” Adit sudah tidak sabar kali ini.“Iya, Ayok.” Jawab Bima.Adit pun langsung naik mobil dengan bersemangat. Namun Shopie dan Julian yang tadi juga di dalam mobil malah keluar.“Loh, kenapa kalian keluar?” tanya Adit bingung.“Pamit dulu woi, main pergi aja.” Sahut Julian yang udah jalan duluan menuju orangtua Bima yang duduk di teras rumah. “Udah besar tapi ga sopan. Wlek.” Cibir Shopie ke Adit yang datang menyusul.Adit langsung tersipu malu di hadapan orangtua Bima. Ia terlalu semangat.“Kalian hati-hati di jalan ya, Ibu dan Ayah juga akan berangkat ke rumah kakek nenek nanti siang.” Setelah pamit, mereka pun berangkat meninggalkan rumah Bima.“Dah Ibu, dah Ayah.” Lambaian Shopie, Julian, dan Adit semakin jauh. Selama perjalanan, Adit benar-benar tidak bisa diam. Ada saja yang di bahasnya. Bahkan dia sengaja membuka kaca mobil lebar-lebar dan menyapa penduduk yang lewat. Ia duduk di belakang dengan Julian, sedangkan Shopie di depan bersama Bima. “Hai Shopie, coba kau liat kemari.” Adit menghadapkan kameranya ke arah Shopie. Ternyata ia sedang merekam. Lalu ia beralih kearah Bima yang sedang menyetir. Dan lanjut ke belakang mencari keberadaan Julian.“Aish, dasar ini anak. Makan sendiri-sendiri saja.”“Yee, enak aja. Bagi dongg.” Shopie ikut menyahut.Dan jadilah mereka sarapan di mobil, karena memang tadi mereka belum sempat makan. Ibu sudah menyiapkan sandwich untuk mereka berempat. Sambil makan, adit meletakkan kameranya di depan untuk merekam aktivitas mereka. Dan melanjutkan makan mereka sambil mendengarkan lagu-lagu dari Bruno Mars. Kalian mau seru-seruan ga?” tanya Shopie.“Mau mau.” Serentak dua sejoli tadi menjawab.Shopie menekan tombol yang terletak di dekat stir kakaknya dan atap mobil pun terbuka. Shopie pun berpindah kebelakang dan langsung mengeluarkan kepalanya melalui atap mobil yang telah ia buka tadi. Julian dan Adit mengikuti.“Ah, Shopieeee.” Rutuk Bima kesal.“Harusnya kau melakukan itu denganku. Kenapa kau jadi berpaling ke dua sejoli itu?” “Hahah maafkan aku kak, kau kan sedang menyetir.” Shopie pun menyengir menampakkan senyum manisnya.“Bro, kau mau berganti posisi denganku?” tanya Julian.“Tentu saja kalau kau bersedia.” “Tapi sayangnya aku tidak bersedia.” Julian dan lainnya cekikikan setelah mengerjai Bima. Mereka bertiga bersenang-senang disana, merasakan angin segar menerpa wajah mereka, dengan Adit yang siap dengan kameranya untuk merekam dan Shopie yang berteriak sekencang-kencangnya mengeluarkan apapun yang ingin ia katakan. Kebetulan jalanan sudah mulai sepi. mereka sudah memasuki daerah yang tidak ada perumahan disana. Hanya bukit di kiri kanannya. Hal itu sangat menyenangkan bagi Shopie, dan tentu saja juga Bima. Itu kegiatan yang selalu dilakukan mereka berdua jika sedang berlibur. Berteriak sekencang-kencangnya. Lalu tertawa bersama. Namun kali ini Bima tidak bisa melakukannya karena harus menyetir. Dan ia kesal. Dengan sengaja, ia menginjak rem tiba-tiba sehingga Shopie dan kedua temannya terhentak kedepan dan kaget. Mereka pun kesal. Tapi Bima sedikit puas. Ya, sedikit. Setelah menempuh waktu 3 setengah jam, akhirnya mereka pun sampai. Untuk menuju Pulau Pisang, mereka harus menyebrangi laut selama kurang lebih 35 menit menggunakan perahu. Bima menitipkan mobil di rumah Bibi Jo, ia tinggal di pinggir pantai dan merupakan salah satu kenalan keluarga Robert saat mereka berlibur ke Pulau Pisang di liburan yang lalu. Bibi Jo hanya tinggal berdua dengan suaminya. Anak-anaknya telah berkeluarga dan tinggal di kota. Bibi Jo tidak bekerja lagi karena sedang sakit-sakitan. Sedangkan suaminya, jarang terlihat. Bima dan Shopie hanya bertemu sekali waktu itu. Ia memiliki kulit gelap dan kumis tebal, serta perawakan nya tidak terlalu tinggi. Ia terlihat 'aneh'? Entahlah. "Halo Bibi, kita mau titip mobil disini ya. Mau bermalam di pulau 3 hari Bi." Sapa Bima."Ibu dan ayah kalian kenapa tidak ikut?""Mereka sedang menjaga kakek yang sedang sakit, Bibi." Kali ini Shopie yang menjawab.Setelah berbasa-basi sebentar, mereka langsung menurunkan barang-barang penting untuk di bawa ke pulau. Lalu, langsung ke bibir pantai untuk naik perahu. Sembari menunggu perahu datang, mereka menyempatkan diri untuk berswafoto. Pemandangan pinggir pantai saja sudah menakjubkan. Bagaimana di pulau nantinya. Dengan pasir putih dan air laut yang biru. Pemandangan terbaik disini adalah saat matahari terbenam. Namun sayang, mereka tidak akan melihat itu hari ini. Entah jika saat pulang nanti. Gagal Ke Pulau Mereka sudah menunggu perahu terlalu lama hingga mulai bosan. Dan akhirnya ada satu perahu yang baru datang. Mereka yang tadi duduk di pasir putih langsung berdiri menghampiri sang pemilik kapal.“Mau ke pulau ya?” tanya bapak tersebut, ia langsung tau dari barang- barang yang kita bawa. “Iya nih pak. Apa kita bisa menumpang kapal bapak?” tanya Bima.“Maaf saya tidak bisa kali ini. Perahu saya tiba-tiba rusak tadi di tengah laut. Dan butuh perbaikan dulu. Paling lama baru besok.” Ujar sang bapak pemilik perahu itu.“Apakah tidak ada kapal lain disini pak?” Julian juga ikut bertanya. Mungkin masih ada kesempatan untuk mereka berangkat hari ini.Namun sayang, kapal disini hanya ada dua. Dan satu lagi akan bermalam di pulau. Baru akan kembali dua hari lagi. Mau tak mau, mereka baru bisa berangkat esok pagi.“Saya pamit dulu ya.” Dan bapak itu pun pergi meninggalkan keempat remaja tersebut.Adit dan Shopie yang tadi sangat bersemangat kini terlihat lesu. Sudah menunggu lama, dan kini mereka tidak bisa berangkat.“Apa kita akan kembali pulang kerumah kak?” “Tentu tidak Shopie. Kita akan tetap bersenang-senang malam ini.” Ucap Bima.Julian yang mengerti maksud Bima pun saling lirik-lirikan. Dan mereka meninggalkan Adit dan Shopie dengan kebingungan.“Hei kalian mau kemana?” teriak Adit saat mereka mulai menjauh.Tak lama, mobil mereka pun mendekat. Dan Shopie langsung berdiri dengan semangat. Kenapa dia tidak memikirkan itu tadi ya. Pikirnya dalam hati.“Yey campiing.” Ucap Shopie riang. Di pantai tersebut tidak ramai pengunjung. Bahkan di hari libur pun hanya masyarakat disana yang mendatangi. Itupun tidak selalu. Mungkin mereka bosan dengan pantai. Sebab, belum banyak yang mengetahui lokasi ini dan bagaimana keindahan pantai disini. Sehingga bagus buat mereka berempat karena bisa dengan leluasa menggunakan pantai ini. “Ayo bantu aku menurunkan barang-barang di mobil.” Ajak Bima.“Nanti sajaa kak, masih jam setengah dua siang. Panas.” “Atau bagaimana kalau kita beristirahat dulu di dalam mobil sambil makan siang?” Julian memberikan usul.Shopie memukul lengan Julian. “Belum juga melakukan apa-apa udah mau istirahat.Ck.” “Rugii kak kalau pergi liburan, tapi malah mau santai-santai terus.” Sambung Shopie.“Ayo ikut aku.”Shopie memimpin di depan. Bima menyusul diikuti Adit dan Julian. Mereka tidak bertanya apa-apa lagi. Dan sampailah mereka di depan sebuah rumah. “Kita mau apa disini?” tanya Adit.“Mau memberi makan cacing-cacing kelaparan.” Bima menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Tempat makan ini benar-benar mirip rumah pada umumnya. Ada ruang tv, ada bilik-bilik kamar, dan juga ada dapur. Jadi pelanggan disini bisa menggunakan ruang manapun untuk menikmati santapan. Cara memesan makananya juga keren. Mereka tinggal ke dapur dan membuka tudung nasi yang berukuran besar. Tidak ada karyawan yang akan mencatat menu dan mengantarkan makanan, itu dilakukan sendiri seperti rumah pribadi.Mereka pun mengambil makanan dan memilih duduk di lantai dua yang langsung menghadap ke pantai. Disana tidak terlalu ramai karena memang pengunjung pantai jarang berdatangan. Dan kini di atas hanya ada mereka berempat dan tiga orang bapak-bapak yang sedang mengobrol. Sepertinya mereka telah selesai makan.“Kalian memang yang terbaik.” Sambil mengacungkan jempol ke arah Bima dan Shopie. Santapan dan pemandangan dari sini memang yang terbaik. “Jika kalian pergi bersama kami, kalian akan menemukan kejutan- kejutan baru.” Ucap Shopie dengan bangga.“Kakak sayang.” Rajuk Shopie. Adit dan Julian yang mendengar langsung terkikik geli.“Iya, ini kepala ikan untukmu Shopie.” Bima langsung tau apa yang di maui adiknya. Sedangkan kedua temannya tampak makin heran dengan tingkah Shopie ini.“Kamu perempuan atau laki-laki sih?” tanya Adit ke Shopie. Tak ada raut marah juga dari Bima dan Shopie saat Adit bertanya.“Aku ini laki-laki tauu.” Ujar Shopie. Pecah lah tawa Adit dan Julian.“Heh berisik.” bapak- bapak yang satu ruangan dengan mereka menegur.“Eh iya maaf pak.” Mereka pun berbicara lebih pelan kali ini. Setelah melihat wajah bapak tadi, Bima merasa tidak asing dengan wajahnya.“Shopie, kau kenal dengan pria tadi?” bisik Bima. Shopie melirik kembali ke orang tadi. Dan, “Ah iya, dia suami Bibi Jo kak. Tapi sepertinya ia tidak mengenali kita.”“Kalian memperhatikan ga sih kalo mereka aneh semua?” Julian juga ikut berbisik.“Aneh gimana?” tanya Adit. Mereka mendekatkan kepala untuk mendengar Julian.“Sebenarnya aku memperhatikan mereka daritadi.” Julian membuat semua makin penasaran. Kepala mereka bertiga semakin dekat ke arah Julian.“Apa.. apa?”“Mereka aneh, karena kumisnya tebal-tebal semua. HAHAHA.”“Ishh..” Shopie, Adit dan Bima tampak kesal telah di kerjai sedangkan Julian malah terpingkal-pingkal karena tertawa hingga dapat pelototan lagi dari suami Bibi Jo.Tiba-tiba ada satu pria lagi yang datang. Dan wajah keempat pria dewasa tersebut langsung berubah makin serius. Melihat wajah-wajah suram dari keempat pria dewasa tersebut membuat Bima dan lain memutuskan turun kebawah. Untung mereka sudah selesai makan, kalau tidak, hilang selera mereka makan melihat keempat pria dewasa tersebut.Setelah membayar makanan, Bima dan yang lainnya kembali menuju mobil untuk bersantai-santai sebentar dan bermain monopoli. Mereka menyulap mobil menjadi kasur luas agar bisa ditempati berempat. Dan satu per satu tepar dan meninggalkan permainan.“Selamat terlelap kalian.” Hari sudah sore, matahari mulai terbenam sedikit demi sedikit. Shopie baru terbangun dari tidurnya tadi, sedangkan para kakaknya masih tertidur pulas. Padahal akan asik jika bisa melihat matahari terbenam. "Banguuuunn.. Banguunn.. " teriak Shopie membangunkan ketiga pria itu. "Tidak adakah cara yang lebih anggun membangunkan kami Shopie?" Tanya Adit dengan mata masih terpejam."Matahari mau terbenam. Kak Adit tidak mau mengabadikannya untuk anak cucumu nanti?" Rayu Shopie.Mendengar matahari terbenam, mereka bertiga akhirnya benar benar bangun. Di pasir putih itu, mereka menggelar tikar dan membawa beberapa cemilan untuk menonton keindahan matahari yang akan undur diri secara perlahan tersebut."Aku selalu suka liburan." Ucap Shopie."Kau suka bersama ku Shopie." Timpal Bima."Wah percaya diri sekali anda bapak." Shopie tak terima."Tapi kenyataan nya begitu.""Aku suka disini." Adit menghentikan kakak beradik tadi bicara. "Suasana pedesaan, pesisir pantai dengan keindahannya, keluarga kalian yang ramah, dan kalian membuat liburan aku kali ini bermakna." "Aku juga ingin mengalami pengalaman seru seperti yang selalu Bima ceritakan. Kau selalu melakukan hal yang tidak membosankan, Bro." Sambung Julian."Menyenangkan atau tidaknya, tergantung kita melihatnya. Lakukan saja semua hal dengan senang hati. Maka akan menyenangkan segala sesuatunya." Bima berkata sok bijak kali ini.Semakin gelap, mereka semakin melow. Untuk menghentikan kesenduan ini, Shopie beranjak ke dalam mobil untuk mengambil tenda, mereka akan tidur di dalam tenda malam ini. "Hei tidak ada yang mau membantu ku?" Ketiga pria itu menoleh ke belakang dan langsung datang membantu Shopie. "Kak Julian, apa kau bisa membantuku memasang tenda ini?" Tanya Shopie. "Tentu." Dengan cekatan Shopie memasangnya. Ia selalu pandai dalam banyak hal. Setelah tenda terpasang, dan kursi santai juga telah di letakkan di luar, Shopie tak lupa memasang lampu-lampu hias diantara mobil dan tenda mereka. Biar lebih berwarna. Begitu kata Shopie. Dan terakhir, untuk menemani malam mereka, Bima menghidupkan api unggun. Karena malam juga akan semakin dingin."Sempurna!" Mereka berdecak kagum melihat hasil kerja mereka. "Biim, lapaar." Rengek Adit tiba-tiba.Hahaha semua tertawa melihat Adit yang seperti anak kecil merengek minta makan ke Ibu nya. Shopie pun mengeluarkan persediaan makanan mereka untuk disantap malam ini. Ada daging, buah, dan minuman kaleng. "Bim, apa kalian memilik ceret? Sepertinya kita butuh minuman untuk menghangatkan tubuh kita." Saran Julian. "Ah ya, Shopie coba kau lihat di mobil, apa ada ceret disana?" Shopie pun beranjak dan membawa ceret untuk memasak air. Tak lupa dengan kompor kecil. Sembari menunggu air nya panas, Adit mengeluarkan proyektor kecil di dalam tas nya. "Hei, apakah kalian memiliki layar putih polos?" "Untuk apa kak?" Tanya Shopie sambil mengambil kain yang ada di mobil. Sangat beruntung mereka karena apapun yang di butuhkan sangat lengkap di dalam mobil ini. "Nah, ini kain yang kakak minta." Shopie menyodorkan kain putih itu. Dan Adit dibantu Bima mulai memasangnya di mobil."Kau tau Shopie akan di apakan ini?" Adit menunjuk kain putih tadi yang sudah terpasang di mobil. Shopie hanya geleng-geleng tidak tahu. "Kita akan menonton film Shopie. Kau lihat keahlianku." Adit membanggakan dirinya. Adit mulai menayangkan film Mr. Bean untuk membuat suasana lebih hangat dan cair. Semua pun berkumpul ditengah untuk menonton bersama. Ditemani secangkir coklat panas dan selimut di tubuh, malam ini terasa begitu menenangkan dan juga hangat. Mereka menghabiskan malam ini dengan menonton film. Hingga akhirnya satu per satu mulai memasuki tenda. Film berakhir. Waktu nya tidur. Shopie memilih tidur di mobil karena katanya di luar sangat dingin malam ini. Adit dan Julian tidur dalam satu tenda, sedangkan Bima di tenda satunya lagi. Namun, malam ini Bima tidak bisa tidur sehingga ia memilih untuk duduk di bibir pantai menikmati deburan ombak dengan berbungkuskan selimut di tubuh nya. Pikirannya berkelana saat ini. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia tak bisa tidur. Sebenarnya matanya sudah lelah. Namun pikirannya yang tak bisa di ajak kompromi. Sehingga ia memilih merebahkan badannya diatas pasir putih dengan menatap bintang- bintang di langit. Hari semakin larut, Bima beranjak dari tempatnya menuju tenda, namun tiba- tiba ia melihat ada sekitar lima orang pria dewasa di samping rumah Bibi Jo yang terlihat dari lokasi Bima berdiri saat ini. Jaraknya tak terlalu jauh sehingga Bima masih bisa mendengar samar- samar. Sebenarnya ini bukan urusan dia, tapi keingin tahuannya membuat ia memperhatikan orang- orang tersebut. Ternyata mereka adalah orang yang di temui di tempat makan siang tadi. Dan ada suami Bibi Jo juga disana. Tampak salah seorang dari mereka sedang menelepon dengan wajah serius, ada yang berdiri menunggu instruksi, ada yang bergegas dari belakang rumah Bibi Jo menuju mobil hitam milik mereka. "Sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan selarut ini?" Bima semakin penasaran. Suami Bibi Jo dari awal memang sudah terlihat aneh, ditambah teman- temannya tadi siang. Dan sekarang, mereka tampak melakukan sesuatu yang mencurigakan.Bima mencoba mendengar dengan seksama. Namun, ia tidak banyak mendapatkan informasi apapun. Alang, dan anak. Hanya dua kata itu yang dapat ia dengar. Selebihnya buram. Merasa di perhatikan, suami bibi jo melihat ke arah Bima, dan refleks Bima langsung menunduk dan ia menutuskan masuk tenda saja. Lagi pula ia tak bisa mendengar apapun lagi. Jika ia terus mendengar, bisa- bisa mereka akan menghampiri Bima. Dan tak lama kemudian mobil itu pun pergi meninggalkan rumah Bibi Jo.Bima pun memilih tidur daripada terus pusing memikirkan apa yang dilakukan mereka. Esok baru akan di beritahu ke teman- temannya. Pulau Papat Pagi pun tiba, Bima dan lainnya mulai merapikan barang-barang mereka, karena pagi ini mereka akan berangkat ke pulau. “Apa perahu sudah bisa berangkat pagi ini kak?” tanya Shopie pada Bima. “Kita belum melihat bapak yang kemarin datang, kita tunggu saja dulu sambil membereskan semua barang kita. Nanti aku akan menitipkan kembali mobil ke Bibi Jo.”“Hei apa kalian tidak akan mandi pagi?” Julian yang tidak biasa tanpa mandi pagi mulai bertanya. Dia butuh mandi karena seharian kemarin tidak mandi. “ Nanti saja kita sekalian berenang di pulau kak.” Shopie menjawab. Akhirnya Julian mengalah.Mereka pun sudah siap, dan sembari yang lain menunggu pemilik perahu datang, Bima mengantar mobil dulu ke Bibi Jo. “Selamat pagi, Bibi. Saya mau berangkat ke pulau pagi ini. Izin menitip mobil lagi ya, Bi.” “Apakah Pak Seenan sudah selesai memperbaiki perahu nya?” tanya Bibi. Ternyata Seenan adalah nama pemilik perahu kemarin. Bima baru tahu itu.“Belum, Bi. Katanya pagi ini bisa berangkat.”“Ia biasa berangkat sekitar jam delapan pagi. Kau tunggu saja sebentar lagi Bima.”Masih setengah jam lagi, pikir Bima. Ia akan kembali ke teman-temannya untuk menunggu.“Ah iya, aku sampai lupa. Ajak Shopie dan teman-temanmu sarapan dulu disini ya.” tawar Bibi Jo.“Tidak usah, Bibi. Kami nanti sarapan di pulau saja setelah berenang.” Bima tidak enak jika akan merepotkan Bibi Jo.“Ayolah, Bibi sudah masak banyak dan memang sengaja mau ajak kalian sarapan disini menemani Bibi. Apa kau tega membiarkan Bibi menghabiskan semua makanan itu sendirian?” Bibi kembali membujuk.Akhirnya Bima menyetujui itu dan kembali untuk memanggil Shopie dan kedua temannya itu. Mereka pun sarapan bersama di rumah Bibi Jo. Ia memasak daging dan sayur-sayuran dan itu sangat lezat. Bima teringat sesuatu, “Ah iya, paman dimana bibi?” ia tidak melihat suami Bibi Jo dan juga penasaran sebenarnya tentang kejadian semalam.“Paman sedang pergi semalam dan belum pulang ke rumah. Mungkin kalian tidak akan bertemu dengannya karena ia biasa pulang di siang hari.” Ujar Bibi.“Paman sedang bekerja ya, Bi?” Bima mencoba mengorek informasi. Ia masih merasa ada yang salah dari Paman Jo itu.“Iya, Bima.” “Ayo dihabiskan makanannya.” Bibi Jo seperti menghindar dari pertanyaan Bima. Dan Bima pun tak bisa bertanya lagi. Setelah mereka selesai makan, mereka pun pamit untuk ke pantai lagi menunggu Pak Seenan datang. “Terimakasih banyak Bibi atas jamuan makannya.” Pak Seenan sudah menunggu di perahunya saat keempat anak tersebut datang. Tanpa menunggu waktu lama lagi, mereka langsung naik ke atas perahu yang muat ditumpangi oleh sekitar sepuluh orang itu. Jadi lumayan luas sehingga ia bisa menaruh barang- barang bawaan dengan bebas. Mesin perahu pun hidup dan berangkatlah mereka!“Yaay kita akan ke pulaauu.” Teriak Adit yang berdiri di depan. Memang Adit ini ada saja tingkahnya.“Shopie, bisakah kau tolong ambilkan kamera di dalam tas kecil ku itu?” Pinta Adit. Untuk apalagi kalau bukan dia akan memotret segala sisi laut ini. “Ya baiklah, demi cucu mu aku rela kak.” Sambil menikmati hembusan angin yang menerpa rambut, mereka mengobrol dengan Pak Seenan. Ia merupakan orang yang asik untuk diajak bicara. Banyak hal yang diceritakannya kepada keempat anak tersebut. “Kalian berencana menginap berapa hari di pulau?” tanya Pak Seenan. “Seharusnya kita akan menginap tiga hari, namun karena semalam sudah dihabiskan di pinggir pantai, sepertinya kita hanya dua hari disini.” Jawab Bima.“Ah begitu.” Pak Seenan manggut-mangggut.“Semalam terjadi penculikan di desa sebelah. Kalian hati- hati saja. Disini sepi, tidak banyak pengunjung. Apalagi kalian pendatang.”“Apakah ia menculik anak- anak pak?” Bima bertanya.“Ya, anak kecil. Perempuan. Kau sudah mendengar berita itu, nak?” “Ah, tidak. Hanya menebak saja.” Bima mulai merasa tidak enak. Apakah penculiknya orang yang dilihatnya semalam? Ia mulai berfikir dan mengabaikan pembicaraan di depannya. Pikirannya berkelana.Shopie bergidik ngeri mendengar cerita tersebut. Ia selalu tidak suka dengan penculikan. Berbeda dengan ketiga laki-laki disampingnya yang terlihat santai saja. Mereka telah dewasa. Bisa jaga diri, berbeda dengan Shopie.“Tenang saja Shopie, kau aman bersama kami. Akan aku bacok kepalanya jika ada yang berani menyentuhmu.” Adit berlagak berani kali ini.“Apakah penculiknya sudah ditemukan pak?” Julian juga ikut penasaran dengan cerita penculikan itu. “Belum ada berita lebih lanjut.”Tak terasa mereka pun tiba di pulau, dan Pak Seenan pamit undur diri, dan berjanji akan menjemput mereka dua hari dari sekarang. Di pulau tersebut memang sangat sepi. Tidak banyak yang datang. Hanya ada mereka berempat disana dan berdasarkan informasi dari Pak Seenan, memang ada pengunjung lain juga di pulau ini, namun mereka akan kembali siang ini. Posisi mereka pun di balik pulau sehingga tidak akan bertemu dengan Bima dan lainnya. Sehingga otomatis memang hanya mereka berempat di pulau itu. Mereka pun mencari tempat yang nyaman untuk ditempati, dan sampailah pilihan di bawah pohon yang rindang, dan cukup tempat juga untuk mendirikan tenda. Setelah tenda berhasil berdiri, mereka memutuskan untuk mandi- mandi.Julian yang memulai duluan, ia membuka baju dan langsung berenang. Lalu diikuti oleh Bima dan Adit. Shopie harus mengganti baju terlebih dahulu sebelum ia berenang. Menyenangkan memang jika bisa berenang begini, mereka dengan leluasa mengarungi laut yang tenang. “Hei bagaimana jika kita berlomba menuju tenda?” Usul Shopie. “Siapa yang kalah, harus menyiapkan makan buat yang menang. Bagaimana?” “Ayok.” Yang lain menyetujui. Dan mulai lah mereka berenang. Berlomba-lomba untuk menjadi pemenang. Julian mulai sampai ke dasar dan bersiap lari ke tenda, disusul Bima di belakangnya, Shopie mengimbangi Bima saat sampai di dasar, namun saat berlari ia kalah dari kakaknya. Tenaga dan langkahnya belum sebesar sang kakak. Dan barulah terakhir Adit. Ia masih tertinggal di belakang. Haha. Julian, Bima, dan Shopie menonton Adit yang sedang berlari menuju mereka. Tampak lari Adit yang mulai berat. “Aku bertaruh dia akan terjatuh saat sampai disini.” Ucap Julian. “Haha ayo semangati saja dia, kak.” Lalu Shopie mulai meneriaki Adit. “Kak Adit, ayo semangat. Kita sudah kelaparan lagi niih” “Hahaha, ayo Dit.” Yang lain menyemangati demi di hidangkan makanan oleh Adit.Adit pun sampai dengan napas yang sudah ngos- ngosan dan ia mulai merebahkan diri di atas pasir. “Masa sama Shopie aja kalah?” Ejek Julian. Adit tidak menjawab. Dia sedikit malu bisa kalah dari anak perempuan kecil. Tapi Shopie memang jago dalam hal apapun. Mereka pun beranjak dan mulai berganti pakaian. Kali ini mereka belum akan melakukan apa- apa selain makan. Karena setelah berenang perut akan lapar lagi. Sesuai kesepakatan tadi, Adit lah yang bertugas menyiapkan segalanya. Ia mulai mengalas pasir dengan karpet tipis untuk duduk. “Apakah kalian ingin makan roti dengan selai?” tawar Adit. “Boleh.”Mereka menikmati makanan mereka kali ini. “Pulau ini berasa milik kita ya?” Ucap Shopie. “Kita bisa ngapain aja disini tanpa ada orang lain.” “Bagaimana kalau kita namai pulau ini dengan.. Hmm apa yaa?” Adit yang ingin memberi saran malah tidak tau apa yang ingin ia katakan.Setelah ia memikirkan lagi, “Ah, iya. Pulau Papat.”“Papat?” Bima terasa asing dengan kata itu.“Dalam bahasa daerah di Indonesia, itu artinya empat.” Adit memberi tahu. “Pulau yang dimiliki oleh empat orang.”“Wah boleh juga tuh.” Sahut Shopie. Bima dan Adit juga manggut- manggut menyetujui. *** “Aku akan betah disini meskipun hanya tidur- tiduran saja.” Ucap Julian. Ia mulai berbaring di atas alas tikar. Posisi mereka cukup bagus karena berada di bawah pohon rindang, sehingga tidak perlu takut akan merasa kepanasan. “Ya, aku juga. Apalagi jika tidak ada orang selain kita disini.” Adit menimpali. “Apa saja yang pernah kalian lakukan disini Shopie?” Julian bertanya. “Saat kami kemari liburan yang lalu, aku dan kak Bima akan memancing di samping sana, jika dilihat dari sini tidak akan keliatan, kita harus jalan dulu sedikit ” sambil menunjuk tempat yang di maksud Shopie. “disana ada batu cadas, dan kami akan menaikinya untuk memancing ikan. Bahkan ikannya banyak loh kak.” Shopie bersemangat menceritakan. “Baru deh malamnya, kita berempat akan memanggang ikan sambil menikmati malam.” “Woah! Apakah kau membawa pancingan? Sepertinya akan seru jika kita memancing ikan.” Adit tampak tertarik untuk memancing. Kapan lagi ia memancing di laut. Biasanya ia hanya memancing di kolam kakek, dan itu waktu di Indonesia. Sudah lama sekali. “Bagaimana kak?” tanya Shopie pada Bima. Namun yang ditanya hanya diam tak mendengarkan. Dia sedang asik dengan pikirannya sendiri. “Kak Bimaa..” Shopie memanggil sekali lagi sambil menggoyang- goyang tangan Bima. “Ah iya, kenapa?” “Kamu mikirin apa sih, Bim?” sahut Julian. “Daritadi diam- diam aja.” Haah, Bima mendesah panjang. “Kalian merasa tidak sih paman Jo dan ketiga temannya yang kita temui di tempat makan kemarin aneh?” “Kan mereka memang aneh, kumisnya saja sudah tebal, belum lagi wajahnya menakutkan.” “Hahaha,” yang lain tertawa mengingat paman Jo dan teman- temannya. “Bukan begitu maksudku,” wajah Bima serius. “Baiklah, ada apa dengan mereka Bim?” Julian juga mulai serius. Sedangkan Shopie dan Adit menyimak. “Aku curiga bahwa paman Jo dan teman- temannya lah yang menculik anak perempuan yang disebut Pak Seenan tadi pagi.” Yang lain langsung kaget mendengar pernyataan Bima. Mereka pun merapatkan duduk, Julian yang tadinya berbaring, kini langsung duduk. Saat ini mereka seperti sedang menghadiri rapat negara yang super penting dan rahasia. Dan mengalirlah cerita tersebut. Bima menceritakan semua kecurigaannya, mulai dari wajah serius para pria dewasa tersebut saat di tempat makan, kejadian yang dilihat dan didengarnya di tengah malam, bibi Jo yang seperti mengalihkan pembicaraan, hingga berita tadi pagi yang menyangkut hilangnya anak perempuan di desa sebelah. “Bagaimana menurut kalian?” tanya Bima setelah ia selesai bercerita. “Menurutku ini semua bersangkutan, kak. Ah, bagaimana jika ia sampai kemari?” Shopie bergidik ngeri. “Tidak akan, ini pulau, dan jarang ada orang disini. Untuk apa mereka kemari. Jikalau mereka kemari, kita akan langsung mengetahuinya, Shopie.” Adit berubah menjadi orang yang serius dan menenangkan. “Iya, lagipula belum tentu mereka yang melakukannya kan. Bisa saja paman Jo ada keperluan serius masalah pekerjaan yang membuat ia dan teman- temannya seperti itu. Dan terkait bibi Jo yang tidak memberikan jawaban lebih lanjut terkait paman Jo, mungkin ia hanya ingin membuat kalian nyaman tanpa membahas paman Jo. Atau ia sedang bertengkar dengan suaminya karena jarang pulang, sehingga ia tidak mau membahasnnya? Orangtua kadang memang begitu. Sudahlah, tenang saja, kita aman kok disini.” Ujar Julian. Benar juga yang dikatakan oleh Julian. Mereka hanya tidak perlu berfikiran terlalu berlebihan tentang paman Jo. Akhirnya mereka manggut- manggut mengerti. Dan Bima pun mulai sedikit melupakan tentang kecurigaannya. Lebih baik mereka bersenang- senang! “Yasudah yuk, daripada kita pusing mikirin paman Jo yang beum tentu mikirin kita, mending kita memancing. Bagaimana?” Adit masih berharap bisa memancing di laut kali ini. Namun sayang Bima tidak membawa alat pancing nya. Mereka kembali murung, bingung mau melakukan apa. Mereka duduk menatap deru ombak dengan tatapan tak bisa diartikan. Sampai akhirnya Shopie memberi usul, “Mau berkeliling denganku?” Shopie berdiri dan mulai berjalan. Ia benar- benar harus melakukan sesuatu. Tidak bisa diam saja. “Ayooo kaak.” Shopie kembali mengajak ketiga kakaknya itu karena tidak ada yang mengikuti nya di belakang. Mereka pun mulai menyusuri pulau, mencoba masuk ke bagian dalam pulau yang banyak ditumbuhi pepohonan. Ada banyak binatang yang dibiarkan lepas begitu saja. “Kita seperti sedang safari ke kebun binatang ya,” Adit menimpali. Ada burung dan kupu- kupu yang terbang bersamaan, ada kucing hutan yang sedang mencakar- cakar pohon, dan bahkan ada kelinci! “Aa lucu banget sih kamu.” Shopie mencoba kelinci tersebut, namun ia langsung lari. Mungkin karena kelinci liar sehingga tidak terbiasa dengan manusia.”Aku baru tau tempat seperti ini, padahal aku sudah pernah kesini.” Shopie masih berbicara sembari berjalan berkeliling. “Sangat disayangkan Ibu dan Ayah tidak kemari. Bisakah kau mengambil gambar untukku kak Adit?” Adit pun memotret Shopie dan Bima untuk diperlihatkan ke orangtua mereka nantinya setelah pulang. “Sepertinya kita menemukan sesuatu.” Kini Julian yang memimpin jalan. Ternyata Julian melihat banyak pohon kelapa. Dan kelihatan bauhnya sudah bisa dipetik. “Bim, kau mau memanjat denganku?” “Tentu.” akhirnya Bima dan Julian memanjat pohon kelapa itu. Sedangkan Shopie dan Adit menunggu dibawah untuk mengumpulkan buah yang tejatuh. “Yaa, pelan- pelan dong lempar nya.” Sahut Adit dari bawah. “Pecah kan, Bim” “Makanya ditangkap kelapanya, haha.” teriak Bima. “Yang ada pecah kepala aku ni.” Setelah mereka mengumpulkan cukup buah kelapa, Bima dan Julian mulai turun dan mereka mencari posisi yang enak untuk membelah kelapanya. Dan bertemulah mereka dengan tempat yang lumayan luas, dan rumput- rumput tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan mengganggu jika untuk di duduki. Disana juga ada batu besar yang menjulang sekitar satu setengah meter. Posisi yang pas. “Kita ini seperti sedang hidup di jaman purba ya.” Canda Julian. “Mencoba bertahan hidup di hutan begini.” “Iyaa kak, tapi seruu kan? Kalian tidak menyesal berlibur kemari kan?” Goda Shopie. “Awas aja kalo kalian menyesal ikut bersamaku. Aku tinggal kalian berdua disini.” Bima berkata sok serius. “Ampun tuan, jangan tinggalkan saya disini sendirian. Anak isteri saya nanti sama siapa dirumah.” Adit memohon kepada Bima. “Hahaha, ada juga ya yang mau jadi isteri kak Adit?” Sambung Shopie. “Ish.” Adit langsung merungut. Mereka menikmati kelapa muda itu dengan berengkrama siang itu hingga akhirnya mereka menemukan sesuatu. Penjara bawah tanah? Mereka hendak beranjak dari tempat itu untuk menyusuri pulau lagi karena masih panjang waktu menuju sore. Bima baru tiga langkah memimpin di depan dan tiba- tiba “Argh,” Teriak Shopie di belakang. Refleks yang lain melihat. Ternyata kaki Shopie terjerembab ke dalam sebuah lubang yang tertutup oleh bambu, lubang itu tak ada yang melihat karena tertutup oleh dedaunan, sehingga terlihat sama saja dengan rumput liar lainnya. “Kau tak apa Shopie?” Bima mulai melihat kaki Shopie untuk memastikan tidak kenapa- napa. “Aku baik- baik saja kak, hanya kaget barusan.” Kaki Shopie hanya lecet sedikit terkena goresan bambu, namun itu tidak serius. Yang jadi masalah serius adalah siapa yang mempunyai kerjaan untuk membuat jebakan seperti ini. “Sepertinya pengunjung yang pernah mampir kemari yang iseng untuk membuat hal seperti ini.” ucap Adit. Sedangkan Julian mulai membuang daun- daunan yang menutup lubang tersebut dan membuka penutupnya. Ternyata dibawahnya yang berjarak sekitar 50 cm terdapat besi lagi yang menutupi lubang. Julian mencoba membuka besi itu, namun tidak bisa. Ia merasa ada sesuatu dibawah sana, dan ia penasaran. “Bisakah kalian membantuku membuka ini?” Akhirnya ketiga pria tersebut berusaha membuka penutup besi itu, mulai dari menginjak- injak, mencongkelnya, namun belum bisa, sedangkan Shopie mencari tempat duduk untuk melihat ketiga kakaknya itu, saat ia menemukannya, ia menghempaskan pantatnya diatas batu kecil yang hanya muat untuk dirinya. “Menurut kalian, isi di dalam ini apa ya?” Bima pensaran juga. Dan tiba- tiba tetbuka lah penutup besi tersebut secara tiba- tiba. Mereka saling berpandangan heran. Bagaimana bisa ia terbuka sendiri sedangkan daritadi mereka telah berusaha keras untuk membukannya. “Jangan- jangan,” Julian mulai memperhatikan Shopie. “Ada apa denganku? Kenapa kalian memperhatikan ku seperti itu?” tanya Shopie. “Sepertinya mereka membuat pintu ini terbuka melalui batu ini. Ia berperan bagaikan tombol yang ketika ditekan, sama seperti Shopie yang mendudukinya, maka ia akan terbuka.” Julian memberikan argumennya. “Ya, sepertinya itu masuk akal.” Ucap Bima. Karena mereka penasaran, apa yang ada dibawah sana dan siapa yang punya kerjaan membuat ini semua, mereka berencana masuk. Mumpung tidak ada pengunjung lain disini. Dan Bima pun membuat keputusan bahwa hanya akan ada dua orang yang masuk ke bawah, dua orang lagi menunggu di luar. Berjaga- jaga. Bima mengambil senter kecil yang ada di dalam tas kecil nya dan menyenter ke bawah sana. Disana ada sebuah tangga besi yang terpasang sehingga memudahkan mereka untuk turun. Bima mulai turun diikuti oleh Julian. Lumayan jauh jarak dari atas ke bawah, mereka harus menuruni banyak anak tangga. Setiba dibawah, ada lorong- lorong panjang nan gelap dan berbau pengap. Seperti mengatakan bahwa tempat ini sudah lama tak ditempati. Dinding- dindingnya seperti bukan berasal dari tanah alami, namun dengan sengaja di buat menggunakan dengan tabung khusus, semacam baja. Mereka mencoba menelusuri lorong tersebut, ada bilik kosong, sepertinya itu bekas kamar, lalu ada meja makan yang telah usang dan berdebu, lalu ada ruang kecil agak di pojokan dengan jeruji besi. "Apakah ini penjara?" Julian semakin tertarik untuk melihat keseluruhan ruangan itu. Di dalam ruang penjara itu terdapat rantai- rantai, seperti digunakan untuk mengikat sesuatu atau seseorang. "Ayo kita lihat- lihat lagi, mana tau kita menemukan sesuatu." Kini Julian memimpin di depan. Bima melihat jam tangannya, masih ada waktu sedikit lagi sebelum malam datang. Semakin ke belakang, ruangannya semakin luas, bahkan luasnya bisa mencapai setengah lapangan bola. Ada meja- meja tidak di pakai, ada papan tulis dan banyak kertas berserakan. Bima berjongkok untuk mengambil kertas yang tercecer di lantai. Kertas itu semacam surat perjanjian, entahlah. Tidak terlalu penting, Bima hendak meletakkan nya diatas meja, hingga ia melihat nama yang tertera disana. Jonathan Ricardo. Bima lalu memeriksa semua kertas- kertas tersebut di atas meja untuk memastikan. Namun ia tak menemukan apa- apa lagi. Hanya surat perjanjian kerjasama. Dan Bima tidak pernah mendengar nama perusahaan itu. "Apa yang kau temukan, Bim?" Lalu Bima melihatkan yang ia temukan tadi. "Apa ini?" Tanya Julian. "Itu nama paman Jo." "Apa ia terlibat dengan tempat ini?" "Entahlah, aku belum bisa memastikan. Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kau temukan?" "Aku menemukan ini." Julian memberikan sebuah peta kepada Bima. "Sepertinya ini peta ruangan bawah tanah ini, Bim." Ucap Julian. "Apa kita perlu menelusurinya sekarang?" Tanya Julian. Bima kembali melirik jam tangannya. Sudah pukul enam sore. "Kita kembali saja dulu ke atas. Hari sudah mau gelap." Akhirnya mereka kembali ke atas, meninggalkan apa yang mereka lihat kali ini. Diatas, Shopie dan Adit masih setia menunggu. Mereka sudah tidak sabar menunggu untuk mendapatkan kabar ada apa sebenarnya di bawah sana. “Hei itu mereka sudah keluar,” ucap Adit. Mereka berdua membantu Bima dan Julian keluar dari lubang tersebut. “Apakah kalian menemukan sesuatu?” Shopie melihat wajah-wajah penuh arti dari kedua kakaknya. Pasti mereka menemukan sesuatu yang serius. “Ayo kita tutup dulu lubangnya seperti semula. Nanti di tenda akan kami ceritakan kepada kalian.” “Ah, misterius sekali kalian.” Adit menimpali. Namun tak ada yang menjawab. Sesampainya di tenda, Shopie mulai menyiapkan makan malam di bantu Adit sembari Bima dan Julian beristirahat sebentar. “Otak kami sudah lelah berfikir. Jangan ganggu lima menit saja, selagi kalian menyiapkan makan malam.” begitulah kata Julian, sehingga Shopie dan Adit terpaksa menahan keingintahuan mereka sejenak. Kalau bukan karena ini seperti informasi penting, udah kena jitak mereka berdua oleh Shopie dan Adit. “Ayo banguun, saatnya makan malam kak.” Shopie membangunkan mereka. Kali ini mereka makan malam dengan mie rebus, sangat cocok dengan cuaca malam yang dingin disini. Shopie juga membuat minuman hangat untuk mereka berempat. Shopie dan Adit masih menunggu- nunggu sampai Bima dan Julian berbicara tentang apa yang mereka temui di bawah, tapi mereka masih bungkam. Sampai akhirnya Adit kesal sendiri karena harus menunggu seperti ini. “Ya, kalian mau kasih tau kita ga sih?” ia memukuli kepala Bima dan Julian saking kesalnya. “Kita udah nungguin sesabar- sabarnya daritadi, dan kalian tidak ngomong apa- apa?” “Haha, baiklah.” Bima tampak senang mengerjai teman dan adiknya itu. “Julian, kasih liat apa yang kita temukan tadi.” ujar Bima. Julian pun mengeluarkan sesuatu dengan pelan dari sakunya, Shopie dan Adit menanti. “Eits, tunggu dulu dong. Makanan ku belum habis. Sebentar lagi ya.” Kali ini Shopie yang kesal, ia pelintir tangan Julian sebelah kiri. “Kasih tau sekarang!” Shopie menatap tajam mata Julian seperti hendak menerkamnya. “Hahahaha.” Adit dan Bima terpingkal- pingkal melihat Julian yang dimarahi Shopie. “Oke- oke ampun.” Julian menyatukan kedua tangannya memohon maaf. Ia pun mengeluarkan peta yang ditemuinya tadi. “Ini peta apa?” tanya Adit. “Sepertinya ini peta di ruang bawah tadi, namun aku belum yakin.” jawab Julian. Bima dan Julian mulai menceritakan setiap detail yang merek lihat dan temui. Dan saat mereka menyebutkan nama paman Jo ada di kertas tadi, Shopie dan Adit terkejut. “Apa mungkin dia terlibat?” “Kami masih belum tahu, tapi aku takut jika benar ia terlibat dan ada hubungannya dengan penculikan anak yang di ceritakan oleh Pak Seenan tadi.” Bima mulai memikirkannya lagi. “Mereka tidak akan kemari kan kak?” Shopie mulai takut, apalagi mendengar ada penjara juga di bawah sana. “Tentu saja tidak, tempat itu sudah lama tak ditempati. Kau tenang saja, ada kita disini yang akan menjagamu.” Bima merangkul bahu adiknya yang sedang takut itu. Meskipun ia pemberani dengan segala sesuatunya, tapi berbeda dengan kejahatan. Ia tak menyukainya. Mereka pun hanyut dengan pikiran masing- masing. Hening. Tak ada yang tertarik melakukan apapun saat ini. “Hei, bagaimana jika kita bermain gitar dan membakar api unggun?” Adit mulai memecah keheningan. Awalnya tidak ada yang tertarik, termasuk Shopie yang biasanya tidak bisa diam itu. Mereka hanya berbaring malas- malasan diatas tikar sambil menerawang jauh menatap langit. “Apalagi yang kalian pikirkan? Bukannya seru kita bisa merasakan dan melakukan sesuatu yang keren seperti ini? Kita bisa mengungkap rahasia besar nantinya jika kita menelusuri lebih dalam apa yang ada di bawah sana. Bagaimana mereka bisa membangun sebuah ruangan besar dibawah laut sana. Dan kenapa mereka meninggalkan tempat itu. Kita bisa mencari tahunya lagi esok pagi. Kita akan kembali kesana besok.” Adit mulai ngos- ngosan berbicara pajang lebar. Sedangkan ketiga orang itu menyimak dengans seksama. “Jadi, maksudku, ayo lah kita bersenang- senang malam ini. Jangan kalian pikirkan sekarang ruang bawah tanah itu. Kita kan kesini untuk liburan.” “Oke baiklah.” Bima mengambil ukulele yang dibawa nya dan mulai memainkannya. Malam ini mereka akan melupakan sejenak sesuatu yang mengusik pikiran mereka sebelum akhirnya besok mereka kembali mencari tau. Mereka pun menikamti malam ini dengan menyanyikan lagu dari Bruno Mars. Today i dont feel like doing anything I just wanna lay in my bed Dont feel like piking up my phone So leave a message at the tone Cause today i swear i’m not doing anything. Description: Ada apa dengan Batu Alang? Apa yang tersembunyi dibalik kamar tersebut? Berhasilkah mereka keluar dari lorong-lorong itu? Bagaimana Robert dan Maria ikut dalam petualangan? Ikuti kisah Bima, Sophie, Adit, dan Julian di Batu Alang. Petualangan seru menantimu! Nama Pena : Ayse Sosial Media instagram : Aisyakamilah twitter : @kamilahaisya1 "Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020"
Title: Rahasia Topeng sang Raja Category: Cerita Pendek Text: Rahasia Topeng sang Raja Ripin terlihat berbeda setelah dipilih menjadi Kelana Sewandana untuk Festival Reyog Ponorogo September nanti. Di kantin sekolah yang sebenarnya lebih mirip warung kopi, dia selalu menjadi pusat perhatian. Semakin banyak yang membicarakannya layaknya seorang bintang film. Dalam setiap festival tahunan, menjadi penari Kelana Sewandana selalu jadi kebanggaan. Ada yang secara terbuka memujinya, ada pula yang diam-diam menguntitnya sambil senyum-senyum sendirian. Kebanyakan mereka adalah perempuan. Karena kebanyakan laki-laki lebih memilih menyemai dengki dan umpatan. “Itu Ripin, Kelana Sewandana sekolahe dewe[1] buat lomba nanti.” “Terus nyapo?[2] Lanang kok nari. Nari itu buat perempuan to?” Jika kumpulan lelaki patah hati ini mempunyai ketua, dialah Sani. Sani ingin sekali menari sebagai Kelana Sewandana, merasakan bagaimana merasakan menjadi seorang raja. Dikagumi banyak orang dan tentunya kaya raya. Ripin hanya menang tampang. Padahal orang paling bebal satu sekolahpun tau kalau Ripin tidak becus melakukan tarian. Masalahnya, dilihat dari sudut manapun, Sani saingan Ripin jauh dari standar ketampanan masyarakat umum. Standar sosial selalu menjadi pagar tebal bagi siapapun yang ingin menerobosnya. Jika lahir dan tumbuh di dalam wilayah pagar, hidupmu bakal aman saja. Sedang yang dilahirkan di luar pagar, tiap hari berusaha menerobos masuk mati-matian. Banyak yang babak belur menabraki pagar. Sani babak belur. Hatinya remuk karena guru tari tidak pernah meliriknya untuk menjadi pemeran Kelana Sewandana. Sani tumbuh dari keluarga petani. Buruh tani lebih tepatnya. Seperti kebanyakan nasib buruh tani di pedesaan, keluarga Sani hidup bahagia di bawah garis kemiskinan yang orang-orang kota ciptakan. Sedang Ripin adalah anak orang penting di sekolah. Bapaknya Wakasek Kesiswaan. Seperti kebanyakan anak pegawai negeri, Ripin hidup berkecukupan. Guru tari Reyog ditunjuk langsung oleh Bapak Wakasek Kesiswaan. Beliau diambil dari sanggar tari paling moncer di Ponorogo. SMA Badegan selalu serius menghadapi Festival Reyog. Setidaknya mereka memiliki harapan menang. Ketika tidak mungkin menang di lomba-lomba ilmu pengetahuan, setidaknya mereka bisa berprestasi di festival kebudayaan. Begitu yang dibilang Bapak Wakasek Kesiswaan dalam rapat besar bersama dewan guru dan Kepala Sekolah. Seperti yang sudah-sudah, Kepala Sekolah setuju saja. Panitia pemenangan Festival Reyog dibentuk. Bapak Wakasek Kesiswaan melenggang menjadi ketua. Seleksi penari segera saja dilakukan. Bapak Wakasek Kesiswaan mendampingi penuh proses pemilihan. Pembibitan penari Reyog tidak terjadi secara turun temurun atau berdasarkan wahyu leluhur seperti cerita Ronggeng Dukuh Paruk. Penari-penari ditunjuk saja berdasarkan fisik atau wajah yang rupawan. Disitulah keandalan guru tari diuji untuk memoles anak-anak yang tidak tau apa-apa menjadi kumpulan penari kelas festival. Untuk itu, seleksi dilakukan sebatas untuk melihat penampilan fisik agar sedap dipandang. Tentu sebagai orang Jawa yang tumbuh digerogoti rasa sungkan, siapa orang tua siswa yang dipilih juga ikut andil mengubah keputusan. Atas dasar rasa sungkan, anak perangkat desa selalu memegang prioritas teratas, disusul anak polisi, anak tentara, anak guru, dan orang-orang terpandang lainnya. Enam belas siswa laki-laki paling gagah dikumpulkan di depan ruang guru. Wakasek Kesiswaan mencatat nama-nama dan tanggal lahir sebagai persyaratan administrasi. Guru tari meminta satu persatu siswa laki-laki itu menirukan kuda-kuda seorang Warok, prajurit dalam sendratari Reyog Ponorogo. “Kakimu buka selebar satu depa, badan tegap ke depan. Tanganmu nggenggam seperti.. Kalian tahu patung Warok di Tambak Bayan? Nah. Persis seperti itu.” Pak Marjito memberi contoh dengan percaya diri. “Buka lagi kakimu. Dua depa, bukan dua kilan[3]. Jangan takut celanamu sobek. Atau kamu memang baru habis sunat, kok ndak bisa lebar begitu selangkangmu?” Satu persatu siswa laki-laki itu menirukan Pak Marjito. Beberapa dapat dengan baik mengikuti arahan Pak Marjito. Beberapa yang sejak awal tidak minat ikut festival, berpura-pura bebal. Sepuluh orang telah dipilih dan siap dilatih menjadi warok untuk dua bulan ke depan. Begitu pula dengan sepuluh jathilan. Pasukan berkuda yang penarinya perempuan. Mudah saja menemukan sepuluh siswi berpenampilan menarik dan mau menari. Memilih jathil selalu menjadi bagian termudah. Mereka begitu bersemangat karena selepas festival, pamor mereka sebagai siswi menarik akan segera digenggam. Entah dari mana asalnya. Dalam satu sekolah dimanapun di Ponorogo, akan ada satu siswa yang bodohnya bukan main, namun pintar sekali menari Bujang Ganong, sang Mahapatih Kerajaan. Bujang Ganong yang atraktif, membutuhkan seorang penari yang pethakilan[4] dan tidak berpikir panjang dalam melakukan gerakan-gerakan akrobatik. Semakin bodoh seorang Bujang Ganong dalam mata pelajaran, semakin akrobatik pula gerakan yang ditampilkan. Sama halnya dengan Bujang Ganong. Seorang penari Dadhak Merak Reyog juga selalu muncul setiap tahunnya. Entah kekuatan darimana, seorang anak remaja menari dengan liat bersama topeng yang beratnya lebih dari setengah kwintal. Namun percayalah, di tiap sekolahan di Ponorogo pasti ditemukan seorang anak yang dapat menjadi penari Dadhak Merak. Terakhir, Kelana Sewandana. Sosok Maharaja dengan kekuatan saktinya. Bersenjata cemeti yang dapat memanggil petir dari setiap hempasannya. Mulanya hanya Ripin yang dipanggil sebagai calon Kelana Sewandana. Pak Marjito mencontohkan sebuah gerakan dasar. Ripin diminta menirukan. Pak Wakasek Kesiswaan menahan tatapan, siap mengutuki anaknya jika memalukan. Badan Ripin memang tinggi besar. Wajahnya pun begitu rupawan. Namun saat diminta melenggangkan tangannya ke kiri dan ke kanan, gerakannya seperti robot kekurangan oli gardan. Pak Wakasek Kesiswaan menunduk menahan malu. Ripin pun demikian. Seleksi penari di depan ruang guru dari awal sudah menarik masa seisi sekolahan. Tidak ada yang mau melewatkan. Kencing pun mereka tahan untuk menyaksikan dan bersorak saat satu teman mereka dipilih menjadi penari untuk festival. Saat Ripin menari seperti robot kekurangan cairan, gelak tawa segera saja bermunculan. Namun tawa lenyap ketika Bapak Wakasek Kesiswaan mengedarkan pandangan. Mereka segera diam karena sadar yang mereka tertawakan adalah anak Bapak Wakasek Kesiswaan yang galaknya ampun-ampunan. Dari gerombolan penonton, Sani tetiba berdiri mencoba menirukan gerakan. Lancar betul seperti sudah sering latihan. Teman-teman sekelasnya memberi tepuk tangan pada Sani yang begitu lancar menirukan tarian. Sayang, Pak Marjito dan Bapak Wakasek Kesiswaan sudah berkemas masuk ruangan. Dalam sudut matanya, Ripin melihat sebuah kesempatan. *** “San. Aku butuh bantuanmu.” Selepas bel pulang berbunyi, Ripin menemui Sani. “Opo?[5]” “Aku ndak bisa nari San. Tapi aku takut sama Bapakku. Bapak pengen sekali aku jadi Kelana Sewandana. Aku sudah bilang nggak bakat nari, tapi Bapak bilang semua anak paling bodoh sekalipun bisa disulap Pak Marjito jadi penari profesional.” “Terus piye karepmu?[6]” “Gentenono aku.[7]” “Wegah[8]. Ndak mau. Apa untungnya buatku?” Sani menolak, namun jantungnya berdegup kencang. Cuping hidungnya kembang kempis menahan kebohongan. Tanpa diupahpun dia mau menggantikan Ripin. Sani ingin sekali menjadi pusat perhatian. Menjadi sosok raja yang sakti dan rupawan. “Tolong San. Aku tadi ngerti kamu bisa niru Pak Jito.” Sani diam. Menunggu sebuah penawaran. “Aku kasih semua uang sakuku buatmu.” Sani masih diam tak bergeming “Selama dua bulan penuh. Sampai tiba hari pementasan.” Mereka berdua lantas berjabat tangan. “Satu lagi, aku tahu cara supaya awakmu bisa nggantiin aku tanpa ada yang tahu.” Ripin menyeringai sambil terus menjabat tangan. Tiap kali latihan digelar, Ripin selalu datang menampakkan diri. Berbasa basi dengan Pak Marjito. Ikut bergurau bersama para warok yang senang menjahili gadis-gadis penari jathil. Di saat yang bersamaan, Sani menunggui di toilet sekolahan. Tiap kali Bujang Ganong giliran maju latihan, Ripin pura-pura ijin kencing ke belakang. Di toilet mereka bertukar pakaian, lengkap dengan topeng Kelana Sewandana yang bermahkota emas dan berkumis hitam. Tokoh Kelana dalam Reyog Ponorogo selalu memakai topeng merah bertahta emas dan berlian. Sani tak pernah melepas topeng selagi latihan. Dengan begitu, modus penyamaran mereka tidak pernah ketahuan. Gerakan demi gerakan Sani pelajari dengan telaten. Mimpinya menjadi sosok yang diperhatikan kini terwujudkan. Gadis-gadis menatapnya malu-malu saat latihan. Sani menangkap banyak ketertarikan dan kekaguman, meski hanya bisa ia intip dari celah mata topeng Kelana Sewandana yang harus selalu ia kenakan. Pak Marjito senang bukan main. Keraguannya tentang anak Pak Wakasek Kesiswaan yang menari seperti robot kurang oli gardan, segera lenyap dalam alunan kendang dan slompret Ponoragan. *** September datang dengan terburu-buru. Tidak ada yang curiga oleh tingkah penari Kelana Sewandana yang tidak pernah melepas topengnya. Bahkan sebelum hari naik pentas di alun-alun kota, sang Raja sudah memakai topeng sejak dari parkiran sekolahan. Tak ada yang peduli karena semua penari sibuk dengan dandanan mereka masing-masing. Para warok sibuk menertawai jenggot dan kumis palsunya. Gadis-gadis jathil sibuk didandani secantik mungkin dengan bedak tebal dan sapuan blush on warna-warni. Bujang Ganong disibukkan dengan latihan kayang, dan penari Dadhak Merak sedang sembunyi menyalakan sebatang kretek di belakang gudang. Ponorogo selalu ramai di bulan September. Tiap sore hingga malam, panggung utama di alun-alun kota penuh hingar bingar sajian pertunjukan. Pedagang-pedagang bermunculan. Kacang rebus, jagung bakar, pentol tusuk, arum manis, kue putu, segala jenis jajanan tumpah ruang di pusat kota. Banyak wisatawan luar kota datang untuk melihat megahnya Festival Reyog Nasional. Beberapa rombongan bule terlihat di barisan paling depan. Adanya rombongan bule ini akan segera disorot kamera para wartawan untuk mengabarkan bahwa festival reyog sudah berhasil menggaet minat wisatawan mancanegara. Mobil-mobil bak terbuka dari pelosok Ponorogo berdatangan. Wajah-wajah yang lelah berdiri di bak pickup sepanjang perjalanan, mendadak sumringah melihat lampu warna warni di alun-alun kota. Susunan lampu-lampu kuning membentuk tulisan “Manunggaling Cipto, Roso, Karso, Agawe Rahayuning Bumi Reyog.” Seorang anak bertanya kepada bapaknya tentang arti tulisan megah itu. Bapaknya menghela nafas, mengeluarkan asap bakaran tembakau sambil berujar, “Artine Ponorogo itu kota yang maju le[9].” Grup Reyog SMA Badegan dipanggil maju tepat setelah jamaah maghrib Masjid Jami’ berduyun-duyun pulang. Sepuluh orang siswa berbadan gempal, berdandan sangar dengan bertelanjang dada. Di pinggangnya terlilit tali putih menyerupai kolor yang tebalnya dua ibu jari pria dewasa. Mereka berjalan begitu gagah memasuki panggung utama. “Hentoh-hentoh iki dlondonge warok Ponorogooo..[10]” Suara riuh musik reyog menyeruak. Tari-tarian silih berganti ditampilkan. Jathilan berhasil memukau dengan keanggunan tarian dan riasan cantik yang menawan. Bujang Ganong berhasil menghibur penonton dengan aksi akrobatik dan sedikit gerakan lucu yang mengundang tawa. Dadhak merak pun demikian. Kepiawaiannya menari sambil menggigit topeng macan besar, tak pernah gagal menghadirkan decak kagum pemirsa. Sani gentar. Dari balik topengnya ia melihat wajah-wajah penonton begitu buram. Ia membolak-balik gelang merah di tangannya yang menjadi panji-panji kebesaran seorang raja. Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya begitu terasa kecil di atas panggung megah dan hamparan langit malam Ponorogo. Tidak pernah ia merasa begitu berdebar. Musik pengiring Dadhak Merak yang bertempo cepat, perlahan berganti. Musik pelan penuh wibawa kemudian bergema. “Ini sang Raja muncul le. Raja Wengker, Ponorogo.” Seorang Bapak dengan rokok kreteknya, memberi tahu anaknya sebelum ditanya. Sani maju dengan gerakan-gerakan jatmika khas seorang raja. Degup jantungnya ditelan iringan musik yang menenangkan. Debarnya lenyap. Ia telah larut dalam magisnya tarian. Dari balik topeng berwajah merahnya, ia bisa melihat Bapak Wakasek Kesiswaan sedang tersenyum bangga pada barisan penonton terdepan. *** Upacara bendera Senin itu berbeda dari biasanya. Sebuah piala setinggi satu meter dengan kotak kaca mengkilap dipajang di tengah lapangan. Tanpa menunggu diumumkan, seluruh warga sekolah sudah tahu bahwa sekolah mereka mendapatkan juara pertama pada festival reyog tahunan. Sebuah piala kecil berwarna perak turut hadir di tengah lapangan. Kepala Sekolah mengumumkan bahwa Ripin berhasil dinobatkan sebagai penari Kelana Sewandana terbaik tahun ini. Tawaran beasiswa kuliah dan hadiah uang tunai turut pula diserahkan. Decak kagum dan tepuk tangan seluruh peserta upacara membuat Ripin yang dipanggil maju bersemu merah pipinya. Semua bertepuk tangan. Kecuali Sani yang menahan geram. Harusnya dia yang berdiri di sana. Harusnya dialah yang mendapat beasiswa. Yang paling penting, harusnya dialah yang mendapat suitan gadis-gadis pada upacara Senin ini. Pada istirahat siang di kantin sekolah. Sani menceritakan bagaimana liciknya Ripin. Menceritakan detail bagaimana dia menggantikan Ripin menjadi Kelana Sewandana. Bagaimana dia begitu tenang menghadapi panggung megah alun-alun kota. Bagaimana seharusnya dialah yang mendapat semua penghargaan. Seluruh hadirin yang mendengar cerita Sani terdiam. Lantas tertawa keras sampai bel masuk kelas berdentang. [1] Sekolah Kita [2] Kenapa [3] Jengkal [4] Hiperaktif [5] Apa [6] Bagaimana maksudmu [7] Gantikan aku [8] Tidak Mau [9] Panggilan untuk anak laki-laki [10] Ini dia, wujudnya warok Ponorogo Description: Ripin dan Sani adalah siswa salah satu SMA di Ponorogo. Keduanya memiliki urusan tentang peran Kelana Sewandana pada sebuah pementasan Reyog di sekolahnya. Ripin yang tidak pandai menari, terpaksa menerima peran karena campur tangan Ayahnya. Sani yang memiliki bakat menari justru tidak pernah dilirik pihak sekolah. Keduanya mendapat sebuah akal bulus untuk memecahkan masalah.
Title: Riflessione Category: Chicklit Text: Prolog “Anjing… gue lupa kalau ada latihan teater, Nang! Bisa sekarat di tangan Andi, nih, kita.” “Gue juga lupa. Sedari malam ngerjain makalah. Tuhan, semoga monster itu nggak nyincang tubuh kita, Bim.” Lanang mengejar Abimana. Langkah kakinya lebar menderap di atas lantai. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar. Di bibir tebalnya, terselip sebatang rokok. Ingatannya berpusing pada seorang wanita. Wanita galak yang siap menerkam siapa pun pembuat onar. Wanita galak yang wajib dijauhi apabila Lanang membuat kesalahan. Wanita galak yang haram didekati jika Lanang mengacau harinya. Srikandi. Pasalnya, hari ini, sore ini, Lanang menyentuh dosa itu. Mahasiswa sastra Indonesia tersebut telah menyetubuhi larangan itu. Kesibukannya membuat makalah, mengobrak-abrik memorinya untuk bertandang ke sanggar teater. Dan jelas, itu adalah sebuah bencana. “Tadi gue ngecengin anak Ekonomi, sih. Jadi gue lupa kalau hari ini kita ada latihan.” Abimana menimpali. Ia menoleh ke arah Lanang, dan nyengir ketika mendapati wajah Lanang tak jauh berbeda darinya. “Bakal dicincang Samson, nih, kita,” tuturnya ketar-ketir. Kedua pemuda tersebut berlarian di koridor kampus. Suasana ramai, hilir mudik para mahasiswa yang kebetulan melintas, tidak menyusutkan tekad Abimana dan Lanang untuk segera mencumbui pintu gedung teater. Lebih baik mendapat caci maki mahasiswa lain daripada harus sungkem di hadapan singa kelaparan. Begitu benak mereka berdua. Di langit, mega-mega menggelayut. Sesekali, gemuruh guntur menggaham, angin dingin menerjang. Sebentar lagi hujan dipastikan kembali tumpah di bumi Jakarta. Dingin-dingin seperti ini, batin Abimana, enaknya dibuat having sex. Bukan malah latihan teater. Sialnya, hal-hal seindah bersetubuh dengan lawan jenis harus Abimana lindapkan lekas-lekas atau akan bernasib nahas. Oh, jelas. Abimana terlalu waras untuk mencemplungkan diri ke dalam masalah besar. Pintu berpelitur cokelat yang berdiri angkuh itu menguarkan hawa jahanam. Mengisyaratkan kematian. Abimana dan Lanang berdiri tepat di hadapannya serupa manusia kerdil di moncong Buta Cakil. Masuk atau mundur adalah pilihan yang sama-sama berat. Seperti buah simalakama yang terasa maja di lidah mereka berdua. “Lo duluan, deh.” Abimana menyikut rusuk Lanang. “Lo duluan, lah. Kan dari tadi lo larinya paling kenceng.” Lanang menyenggol bahu Abimana sambil membuang rokoknya. “Lari kenceng ama masuk duluan nggak ada hubungannya, Nang. Njing! Lo masuk duluan sana.” Abimana memberi perlawanan. “Ya, ada, lah. Lari paling kenceng tuh paling dekat ama tujuan.” Menyerah kepada Abimana di saat-saat paling krusial seperti ini, bunuh diri namanya. Dan, Lanang terlalu waras untuk menawarkan nyawanya secara cuma-cuma. “Kalau kita nggak segera masuk, mereka akan melumat kita utuh-utuh.” Menggelincirkan ludah, Lanang mengamini ucapan Abimana. Semakin lama mereka berdebat, semakin berat hukuman yang menunggu mereka. Ragu, ia menoleh. Bibir Abimana kering. Ia menggeleng kecil. Lanang menyambut gelengan itu dengan ringisan tertahan. “Sekarang atau nggak sama sekali,” bisik Abimana. Lanang menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Tangannya terulur, bergetar saat memegang kenop. Jantungnya mencelus tatkala laki-laki gondrong tersebut menggulirkan kenop ke bawah. Bunyi klik rendah menggentarkan nyalinya. Lalu, perlahan, dengan jopa-japu yang ia rapalkan, Lanang mendorong pintu, menguaknya sedikit—masih ragu, seperti tidak memiliki keberanian untuk menyibaknya lebih lebar. Lagi, ia menoleh ke arah Abimana. Di tempatnya, Abimana tak memberi dukungan apa pun. Sial. Merelakan diri kepada nasib buruk yang pastinya akan menerkam mereka, Lanang akhirnya membuka pintu. “ANJING!” Abimana tidak perlu melihat siapa yang mengumpat barusan untuk mengenali bahaya apa yang telah melumat tubuhnya. “Kalian nggak punya otak? Kita kan udah ada jadwal latihan teater!” Di sana, di atas panggung, tak jauh dari mereka—Abimana dan Lanang—,Srikandi berdiri berkacak pinggang. Di samping wanita itu, Jatayu dan Ganggi bersedekap. “Ke mana aja kalian?” Srikandi menyembur. “Jam kalian mati? Kita udah latihan dari tadi pukul dua belas, dan kalian baru datang pukul empat sore? Bagus! Kenapa nggak sekalian mati aja kalian?” “Kalian sebenarnya serius, nggak, sih, dengan teater ini?” Jatayu menumpahkan neraka lain. Wanita berparas ayu tersebut terlihat kecewa. “Kalian mendapati posisi penting dalam drama kali ini, tapi kalian malah mempermainkan kami. Kami nggak bisa diginiin. Drama kita akan dipentaskan akhir bulan ini, loh. Kalau kalian mangkir terus, aku pastikan drama kita bakal gagal total. Dan aku nggak akan membiarkan hal itu sampai terjadi.” “Daripada nunggu lo berdua nongol dimari, mending gue ngentot ama Waluyo anak Hukum.” Ganggi merojolkan cibiran. “Capek tauuuk nunggu nggak ada kepastian,” ketusnya. “Tadi, maaf—maaf banget. Tadi… tadi kami sedang sibuk banget. Iya, sibuk pakai banget. Betul kan, Nang?” Abimana membanting alasan. Mencoba peruntungan. “Iya—betul… betul apa yang dikatakan Abimana. Gue ama dia sibuk ngerjain proposal!” “E, Jancuk! Kalau ngebohong kreatif, dong. Kalian beda jurusan, mau ngerjain proposal apaan? Kemari kalian berdua!” Dan menyerahkan diri kepada buaya busung lapar seperti Srikandi? Abimana bergidik. Itu jelas bukan pilihan terbaik selama ia menjadi manusia. Srikandi adalah jawaranya silat. Jelas ia tidak akan membiarkan dirinya tercebur ke dalam kuali penderitaan di tangan Srikandi. “Ini nggak baik, Nang,” bisiknya pada Lanang. “Kita kabur aja gimana?” Lanang balik berkisik. “Kalian Berdua, bisik-bisik apaan?” Srikandi menyalak. “Dalam hitungan tiga.” Abimana memutuskan. Lanang mengangguk. “Tiga!” dan mereka berdua kompak berlari sekuat tenaga menjauh dari ketiga wanita tadi. Srikandi menggeram, mengumpat gusar. “Ayo, kita kejar mereka!” Jatayu menggegas langkah. “Jangan biarkan mereka lolos!” “Sialan!” Ketiga wanita tersebut mengejar Abiamana dan Lanang. Tidak memedulikan salakan teman-teman kampus yang mereka senggol tubuhnya, Srikandi, Jatayu, dan Ganggi, terus melaju dengan satu tekad bulat: menangkap Abimana dan Lanang. Kedua teruna tersebut harus mendapat ganjaran! Terlambat empat jam di acara latihan teater merupakan hal yang tidak bisa ditoleransi. Haram jadah hukumnya untuk memaafkan dua mahasiswa gondrong itu. “And, maafin kami, And. Kami khilaf, And. Khilaf.” “Berhenti lo, Bim! Jangan banyak bacot!” Srikandi tidak menggubris. “Sabar, And. Sabar. Hidup memang penuh dengan liku-liku. Lo harus terima nasib ini!” “Jancuk lo, Nang! Jangan ngebacotin puisi, Bangsat!” “Abimana! Lanang! Berhenti kalian!” Jatayu megap-megap. Peluh-peluh menetas di sekujur kulitnya. “Bim! Nang! Sialan! Toket gue bisa kendur nih kalau ngejar kalian!” Ganggi menggerutu. Sebal. “Maaf… maafin kami! Kami khilaf!” Di dalam lebatnya hujan yang menampar-nampar bumi, Lanang dan Abimana menceburkan diri. Hawa dingin menyergap mereka berdua. Paling tidak, batin mereka, ketiga wanita itu tidak sampai hati untuk hujan-hujanan. Namun, ketika mereka menoleh untuk mengulur ketegangan, tubuh Srikandi, Jatayu, dan Ganggi sama-sama terbungkus oleh hujan. Bergerak semakin mendekat. “Ya Alloooh… maafin kami, napa?” Abimana menjerit, tetapi ketiga perempuan di belakangnya tidak mengindahkan. Ia terus berkelit. Tanah yang becek menghambat pergerakan kakinya. Ia sempat limbung berkali-kali, sebelum akhirnya jatuh berdebam. Di belakangnya, Jatayu memekik khawatir. Tetapi, Srikandi sudah terlebih dulu menyetubuhi jasad Abimana dengan gelitikan. Abimana terpingkal. Jangan digelitik! Keluhnya. Ia tidak mampu menahan geli. Ganggi nemplok di punggung Lanang. Mengakibatkan Lanang mencumbu tanah. “Mati lo, Nang!” Ia menjambak Lanang, menggelitiki tubuh Lanang. Laki-laki itu memekik. Menjeritkan ampun. Rasa geli yang diakibatkan Ganggi sungguh di luar ambang terima. Tak jauh dari mereka, Jatayu tertawa-tawa. Tertawa melihat bagaimana Abimana dan Lanang dikerjain Srikandi dan Ganggi. Tertawa melihat bagaimana polah keempat sahabatnya yang konyol. Tertawa melihat keempat sahabatnya tertawa. Tawa yang kemudian lunas diguyur hujan. Tawa sampai perutnya terasa keram. Tidak ada yang bisa menawar kebahagiaannya di sini. Bersama keempat sahabatnya, Jatayu merasa lengkap. Kebahagiaan yang diserdawakan Mikail menghangatkan dirinya dan para sahabat. Tidak ada yang lebih indah dari ini. Tidak ada. Di ujung langkahnya, Jatayu hanya menginginkan persahabatan ini. Tanpa tahu betapa hidup akan membelit dirinya, Jatayu hanya merasa bersyukur atas kekayaan yang ia miliki. Kekayaan yang ia punya. Kekayaan yang ia dekap. Kekayaan yang bernama… …. … sahabat. “Yu… jangan bengong aja. Ayo, kita gelitikin Abimana dan Lanang sampai terkencing-kencing!” Perempuan itu menyambut ajakan sahabatnya dengan antusias. Lalu, di bawah timpaan air hujan yang menciumi kulitnya, Jatayu turut menghambur. Bercengkerama. Tertawa. Tertawa sampai ia lupa bagaimana caranya menangis. Tertawa sampai ia lupa bagaimana caranya bersedih. Yang ia inginkan hanya menikmati kekayaan. Itu saja. Bab 1 Jakarta, 02 Februari 2005 Aku memalingkan wajah begitu pintu ruang siar dibuka. Seorang lelaki berambut gondrong yang tengah memasang wajah lesu, berjalan mendekat dan duduk di sampingku. Sebelah alisku tertarik ke atas. Mataku menyipit melihat penampakannya yang kusut. “Lo ngapain?” tanyanya. Laki-laki itu membuka tas selempang kecil yang tercangklong di bahunya. Mengeluarkan miniatur Nobita dari dalam sana, kemudian menggeletakkan kepala di atas meja tanpa sedikit pun mengacuhkanku. Bahkan, menolehkan kepala kepadaku saja tidak. Dia pikir, aku ini apa? Serupa reca? “Kamu nggak lihat aku lagi ngapain?” Aku mendengus, melihatnya dengan tatapan aneh. Dia hanya mencibir sambil berkata, “Di luar hujan.” Aku tidak membutuhkan jawaban itu, sebenarnya. Aku di dalam, dan cuaca di luar tak memengaruhi pekerjaanku. Namun, demi biar terlihat sedikit ada welas kasih kepada teman, aku pun bertanya. Lebih tepatnya bergumam. “Oh... seperti itu. Terus, kenapa memang?” Sepuluh menit lagi,aku akan mengudara. Kusiapkan lagu-lagu di layar komputer, mencocokkannya dengan rencana siarku,kemudian, memastikan ponsel yang akan aku gunakan sebagai sarana kirim-kirim salam dari para pendengar, berada dalam kondisi menyala. Aku menyambar segelas moccacinotepat ketika Abimana menyahut perkataanku. “Gagal deh acara kawin gue ama Laras.” Genangan moccacinodi dalam mulutku terhambur seketika. Untung aku tidak bersitatap dengan komputer kantor. Kalau sampai perangkat keras itu konslet akibat semburan moccacino-ku, aku bisa menjadi bulan-bulanan Mas Sabrang. “Kamu… apa?” Aku menoleh cepat ke arah Abimana. Laki-laki sialan itu mengedikkan kedua pundak. “Kawin ama Laras?” Aku melotot. Buru-buru meraih sekotak tisu di dekat kipas angin, dan mengelap mulutku yang belepotan minuman hangat tadi. “Laras?” Kukernyitkan kening. Berusaha mengaduk-aduk memoriku tentang siapa saja teman Abimana yang bernama Laras. Namun, nihil. Aku tidak ingat nama perempuan itu. “Dia siapa?” “Temen.” “Temen yang mana?” “Temen yang itu.” “Yang itu yang mana?” “Yang toketnya montok, bamper-nya gede.” “Yang mana, sih?” “Yang itulah. Yang bibirnya penuh. Yang tubuhnya wangi sabun lemon. Yang ket—“ “Abimana, SETOP!” Sebelah tanganku terangkat di depan Abimana. “Siapa itu Laras? Kamu jangan aneh-aneh, deh. Semua cewek yang kamu kenalkan ke aku itu dadanya gede.” “Masa lo nggak tahu, sih, Yu? Yang gue kenal di kelab tadi malam itu, lho.” Aku menepuk jidat. Urat-uratku rasanya mau putus. “Abimana….” Suaraku menggeram menghadapi lelaki itu. Satu hari saja, ingin rasanya aku terbebas dari sifat anehnya. “Bagaimana aku tahu siapa teman cewekmu yang baru kamu kenal tadi malam, hah?” “Ya, kan kita udah temenan dari SMA, Yu, kira aja lo punya telepati sama gue. Gue aja punya telepati ke lo.” Aku menggeleng. Waktuku habis percuma mendengar racauannya, sementara menit-menit menjelang siaranku tinggal hitungan jari. “Dia tadi malam mau gue ajak kenalan.” Aku berpura-pura tidak mendengarkan makhluk itu berbicara. Lebih baik aku memfokuskan perhatianku pada rencana siar (rensi) yang akan aku bawakan malam ini daripada mendengar racauan Abimana. Meladeni Abimana di saat aku akan siaran adalah hal yang sia-sia. Tidak mendatangkan faedah kalau boleh aku tambahkan. “Tingginya sama kayak lo gitu, Yu. Tapi bedanya, dia memiliki dada montok dan bokong gede. Bodinya seperti gitar Spanyol. Baru kenalan aja, gue setengah ereksi melihat penampilannya. Belum kalau gue ajak ke hotel.” “Terus, kenapa nggak tadi malam saja kamu langsung main sama dia?” “Nah, itu dia masalahnya. Dia udah diajak pergi duluan aja sama temennya. Hilang, deh, kesempatan nyobain dia. Cuma bisa tukeran ID Friendster , sih. Makanya, gue mau ngajak dia kencan malam ini.” “Kamu yang bayar?” “Ya, enggak, lah.” Abimana menjawab cepat. Dia menegakkan tubuh, menoleh ke arahku. Matanya memberikan tatapan menilai, lantas cengegesan. “Laras sendiri yang bilang mau mentraktir gue. Masa iya, gue mau nolak traktirannya? Nolak rezeki ‘kan dosa, Yu.” Kusesap moccacino yang tinggal separuh akibat kusembur tadi. Aku sudah menduga. Abimana mengeluarkan duit untuk kencan? Huh, mustahil. Sangat tidak mungkin. Manusia itu, kan, kikir dalam hal mentraktir pasangannya. Lagian, nih, ya, kok main bayarin perempuannya makan, untuk makan sendiri saja sudah susah. Aku hanya mencibirnya. “Lo mau siaran?” “Menurut kamu?” sahutku jengkel. Demi Tuhan, aku tidak tahu makhluk seperti apa Abimana ini. “Menurut gue, lo mau siaran. Kalau lo nggak siaran, kenapa lo di ruang siar, mengalungkan headphone, ngutak-ngatik komputer, dan baca-baca rensi, hem?” “Sumpah, ya, Bim. Kamu itu benar-benar, deh.” Aku mengerang jengkel, meletakkan rensi itu dengan gusar. Lalu, kutatap ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan bikin mood orang jadi hilang itu dengan tatapan sebal. “Serius, aku nggak habis pikir. Kenapa banyak cewek yang tergila-gila sama kamu jika otak kamu segitu miringnya? Maksud aku, kita sama-sama penyiar di sini. Kamu tahu jadwal siaranku setiap malam. Bahkan, kamu sering nemenin aku siaran. Tapi sekarang, kamu tanya aku sedang apa di sini? Perlu aku jawab gitu pertanyaanmu?” Pemuda tersebut nyengir. “Jadi, kamu benar-benar mau siaran?” Aku menatapnya bengis, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya saja. Mood penyiar radio harus dalam kondisi baik jika ingin mengudara. Kalau tidak, pesan yang ingin aku sampaikan tidak akan terkirim jelas. Penyiar radio harus pandai mengolah vokalnya, karena hanya dengan suaranyalah, para pendengar bisa menangkap ekspresi dari apa yang ingin dibangun. Dan, jelas, dong, aku tidak mau mengirim ekspresi buruk kepada pendengarku malam ini hanya gara-gara mood-ku anjlok akibat ulah manusia di sampingku. Aku melirik jam dinding, sudah saatnya on air. Kunaikkan volume audio, kupasang headphone, lalu kusetel jingle radio tempatku bekerja. Selang beberapa menit, begitu jingle itu kelar, aku menaikkan volume microphone. “101 poin 7 Pelita FM, jadikan hari makin bersinar dengan Pelita FM,” aku mengucap slogan di depan mikrofon. “Selamat sore, Kawan.. Ketemu lagi dengan Ayu di acara kesayangan kita, Saturday Night. Selama dua jam ke depan Ayu akan menemani malam Minggu kalian. Jadi jangan bosan-bosan untuk terus stay tune di 101.7 Pelita Fm.” Jeda beberapa saat, sehingga backsound terdengar. Aku melirik Abimana yang lagi-lagi merenung di tempatnya sambil menjungkir-balikkan Nobita. “Kalian boleh kirim salam, boleh kirim request lagu. Dan kalau mau gabung, silakan kirim SMS aja, ya, di 08122111111. Selama dua jam ke depan, Ayu akan menemani kalian dengan musik pop baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mencerahkan malam Minggu kita yang mendung ini.” Aku menurunkan salah satu tombol yang ada di mixer, menurunkan mikrofon, melepas headphone yang melingkar di kepalaku, kemudian menoleh ke arah Abimana yang menarik-narik ujung bajuku setelah aku memasukkan iklan. “Kenapa lagi, sih?” Aku memijit pangkal hidung. “Gue kesepian banget, Yu.” “Ya, udah kamu temui saja Laras. Keluar sana, siapa tahu di luar udah nggak hujan.” “Di luar hujannya deres banget, Yu. Lo nggak denger apa?” “Nggak,” jawabku sambil lalu. Ruangan ini letaknya di dalam dan agak menyempit dari luar. Jadi suara-suara di luar sana kedap dari sini. “Apa gue kirim pesan di Friendster aja, ya, pindah jadwal jadi besok, gitu?” “Opsi bagus, tuh,” jawabku acuh tak acuh. Aku mengudara lagi begitu iklannku kelar. “101.7 Pelita Fm, balik lagi sama Ayu. Well, rupanya malam minggu kali ini hujan turun, ya, Kawan Muda. Ada yang sudah memiliki rencana buat keluar nge-date, tapi gagal akibat hujan?” Aku melirik Abimana sambil tersenyum miring. Dia terus menarik-narik ujung kausku sambil manyun, tapi aku tidak mengacuhkannya. Dia menowel-nowel pundakku pun, aku hanya cuek. Aku terlalu waras untuk menanggapi kolokannya yang sangat mengganggu. Sebenarnya, aku tidak tega juga membiarkan Abimana merana. Kalau aku tidak lagi siaran, aku biasanya membuatkan Abimana kopi pahit kegemarannya, dan mendengarkan laki-laki bercambang ini mendaraskan curhatan-curahatan ngaco. Tapi, aku, kan, sekarang lagi kerja. Aku tidak mau, dong, sampai membuat kinerjaku turun hanya demi meladeni mood Abimana yang sedang tidak keruan? “Hujan-hujan gini, enaknya ditemani secangkir kopi, singkong rebus yang masih panas, sama obrolan tentang cinta. Masuk, kan? Kawan Muda pernah, nggak, sih, memendam cinta? Apa saja pertimbangan Kawan Muda saat membiarkan cinta itu tersimpan dalam hati? Nggak berani bicarakah? Malu? Atau si doi udah punya gebetan? Seru banget, nih, kalau dibahas bareng-bareng. Kirim pendapat kalian tentang cinta dalam hati ke 08122111111. Sekali lagi ke 08122111111. Selagi menikmati hujan dan menemani Kawan Muda, Slank, Selagi Manis.” Sesaat setelah lagu kuputar, aku kembali menyeduh secangkir kopi. Abimana dalam posisi menjadi anak baik. Ia hanya menggeletakkan kepala di atas meja sambil memainkan miniatur Nobitanya. Abimana dan Nobita itu, aku tidak paham bagaimana mulanya dia menjadi penggemar Nobita. Tidak hanya memiliki miniatur Nobita, ia punya beberapa poster Nobita di kamar kos. Seprai Nobita. Bahkan beberapa potong dalaman Nobita yang ia beli saat menemaniku belanja. Tapi, ya, syukurlah ia tidak merengek. Bisa berantakan siaranku kalau harus mendengarnya merajuk. Kubuka pesan pertama yang masuk, lalu membicarakannya dengan lantang di depan corong mikrofon tatkala lagu selesai kuputar. Dari Abigail Kak Ayu, cinta dalam hati itu hanya untuk mereka yang pengecut. Masa, sih, tinggal ngomong ‘gue cinta ama lo’ takutnya nggak keruan. Kan, cemen banget, Kak Ayu. Selama ini aku nggak pernah mendam perasaanku. Aku selalu ngungkapin isi hatiku pada cowok yang aku suka. “Woh, Abigail, sebagai cewek kamu patut dicontoh sama cewek-cewek lainnya. Cinta, tuh, emang kudu diucapkan agar orang yang kita sayang tahu bagaimana perasaan kita. Iya, kan? Kak Ayu salut sama keberanian kamu, Abigail.” Dalam hati, aku menertawakan diriku. Seandainya aku Abigail, aku bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini kupendam kepadanya. Berbicara langsung padanya: Aku cinta kamu. Sebagaimana Abigail. Namun, ahhh… mungkin itu hanya akan ada dalam pikiranku. Jangankan mengungkapkan cinta, ngobrol akrab dengannya saja aku sudah gemetar tidak keruan. Di sampingku, Abimana mendengus. Menjungkirkan jempolnya untukku. Sialan. “Hari gini ngomongin cinta? Basi, Yu. Basi!” Dia membisikkan kalimat itu di kupingku, yang kuhadiahi dengan cubitan keras di lengannya. Abimana meringis. Kuabaikan dia. “Lanjutnya dari: Ahmad. Kak Ayu, aku memendam cinta untuk guruku sendiri. Aku naksir berat pada guruku. Aku nggak mau memendam cinta, Kak Ayu. Sakit bet rasanya. Kak Ayu, tolong, dong, kasih tahu aku caranya biar bisa mengeluarkan cintaku pada guruku itu. Aku cinta banget sama dia, Kak Ayu.” “Memendam cinta untuk guru? Wow, itu jarang terjadi, ya. Tapi nggak mustahil terjadi, memang. Guru yang selalu memperhatikan kita. Berinteraksi langsung dengan kita lebih lama dari saudara kita. Guru yang menegur kita lebih teliti dari orang tua kita. Memang kadang mampu memikat hati para muridnya. Saran Kak Ayu, kamu dekati guru itu secara sopan. Guru tidak akan suka muridnya kurang ajar. Bantu apa pun yang beliau butuhkan. Seperti menggosok kapur di papan, membawakan buku-bukunya, membersihkan meja dan bangkunya di kelas, membersihkan kelas setiap kali ganti pelajaran. Lama-kelamaan beliau akan tertarik dengan usahamu, kok, selamat berjuang.” Aku hanya bisa berdoa dan berharap, siapa pun guru yang dia harap, tidak tahu bahwa aku sedang membicarakannya. Bisa panjang urusan kalau beliau tahu ada penyiar yang menasihati salah satu murid untuk bersikap agresif demi memikat dirinya. Aku menepuk jidat. Ada-ada saja kelakuan anak-anak zaman sekarang. Dari Sashi Kirana, Kak Ayu kalau menurutku, cinta dalam hati itu nyakitin banget, tahuk. Aku selalu memendam perasaanku pada dia selama ini. Dan itu sakit banget. Kalau boleh minta pada Tuhan, aku mau perasaan ini hilang saja, biar aku nggak kesakitan memikulnya seorang diri. “Kak Ayu tahu perasaanmu, Sashi,” komentarku, masih mengabaikan Abimana yang terang-terangan memutar mata. “Memendam cinta dalam hati itu memang menyakitkan. Apalagi jika dia nggak pernah memperhatikan kita. Duh, rasanya seperti neraka. Kamu nggak sendirian. Percayalah. Banyak orang, terlebih perempuan, yang masih takut-takut mengungkapkan perasaannya pada lawan jenis. Mungkin kamu dan seluruh orang yang memendam cinta, harus belajar dari Abigail, ya, biar tahu bagaimana caranya mengucapkan cinta tanpa rasa takut.” Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Pesan dari Sashi ini mencubit perasaanku, menampar diriku, mengolok-olok diriku, karena pada kenyataannya… aku pun sama dengan Sashi. Aku mencintai seseorang, tapi aku tidak memiliki keberanian seujung kuku pun untuk menunjukkannya. Abimana mencubit lenganku. Ya, Tuhan, aku hampir lupa Abimana masih di sini. Aku kira dia sudah pergi. Laki-laki gondrong itu men-dusel-kan kepalanya di lenganku. Aku mendesis dan menyuruhnya diam. Tapi sepertinya, Abimana tidak menangkap isyaratku, deh. Dia terus merengek menggoyang-goyang lenganku. Benar-benar bertingkah menyebalkan. Baru ketika segmen pertama pembacaan pesan-pesan itu berakhir, mataku mencelang sempurna menatapnya. Aku sudah akan menyemburkan emosi, tatkala pintu ruang siar terbuka. Perempuan tinggi semampai, berkulit secokelat kulit salak dengan rambut ikal di bawah bahu, berdiri menjulang di sana. Dia bertolak pinggang. Bibir tipisnya terlipat dalam. “ABIMANA PRABAKESA!” teriaknya. Mata tajamnya membungkus gatra Abimana. “Demi Tuhan, di antara semua penyiar, cuma lo yang belum ngumpulin rensi untuk tujuh kali siaran ke depan! Mas Sabrang udah nagih-nagih gue! Dan lo dengan santainya ngapelin Ayu di sini? Anjing!” Namanya Srikandi. Sahabatku yang juga berprofesi penyiar, sekaligus merangkap jabatan sebagai kepala produksi siar. Aku tersenyum ke arahnya. Berterima kasih dengan sangat karena kedatangannya mampu menolongku dari rengekan Abimana yang sumpah ngeselin parah. “And, er… gue bisa jelasin. Gue—“ “Tetot! Time is up! Sekarang lo ikut gue!” Dengan beringas, Srikandi menjewer telinga Abimana. Menyeretnya menjauh dari ruang siaran. Meninggalkanku yang terpingkal melihat nasib Abimana berakhir di tangan Srikandi. Biar tahu rasa Abimana. Lagian, aku lagi kerja main menggangguku saja. Kalau sampai kebawa emosi, kan, bisa ngaco siaranku? Aku melirik jam tangan lagi sambil memindai rensi yang tergeletak di atas meja. Kemudian, setelah mengatur napas, aku melanjutkan siaran. Aku berharap waktu segera berlalu. “Kawan Muda, balik lagi dengan Ayu. Kali ini kita baca SMS dari siapa, yaaa...?” Aku membuka pesan yang masuk ke dalam ponselku. Malam Kak Ayu. “Malam juga kamu yang ada di sana.” Menurut aku, cinta dalam hati itu adalah perasaan terpendam kepada orang yang kita cintai. Banyak hal yang membuat kita nggak bisa mengungkapkan cinta itu kepada dia. Salah satunya karena orang yang kita cintai terlalu sempurna di mata kita. Aku pernah merasakannya, Kak Ayu, dan itu sakit banget. Cowok yang aku cintai adalah ketua OSIS-ku sendiri. Boro-boro mau mengucapkan cinta, ketemu dia aja udah gemetaran. Dan seminggu lalu aku mendengar gosip bahwa dia udah jadian sama cewek lain. Duh, rasanya sakit banget, Kak Ayu. Aku benci dengan perasaan ini. Aku benci memendam cinta. Dan pada akhirnya aku menyesal, Kak Ayu. Mungkin jika aku mengucapkannya, siapa tahu saja ketua OSIS-ku mau menerimaku. Tapi aku terlalu pengecut. Menurutku, memendam perasaan itu tidak baik. Kita tidak tahu akhirnya seperti apa jika kita mengungkapkannya. Lebih baik ditolak daripada berdiam diri dengan cinta yang tak pernah tersampaikan. Dari Sebut Saja Saya Laila. Kalau menurut Kak Ayu, cinta dalam hati itu apa? Request lagu Jikustik yang Meninggalkanmu. Aku menghela napas. Tersenyum kecil. Pikiranku melompat-lompat pada sosok itu. Laki-laki terindah yang sering aku impikan. Lelaki yang selalu ada tatkala aku mau tidur. Lelaki yang selama lima tahun ini mengisi hari-hariku. Aku sangat mencintainya demi apa pun yang ada di dunia ini. Tapi, yah, mungkin aku memang bernasib seperti pesan Sebut Saja Saya Laila barusan. Tidak berani mengungkapkan perasaanku. Boro-borobilang “aku cinta kamu”, dekat dengannya saja sudah mampu membuatku salah tingkah tingkat akhirat. “Baby, sepertinya banyak juga yang masih memendam perasaan untuk orang yang dicintai. Mungkin kata cinta itu terdengar gampang, tapi bagi sebagian orang, mengucapkannya merupakan sebuah kesulitan. Sekali lagi, Kak Ayu bilang, kamu nggak sendirian. Masih banyak orang di luar sana yang memendam perasaan. Bagaimana cara agar kita bisa mengungkapkannya, mungkin yang kita lakukan hanyalah melompat lebih tinggi dari yang selama ini kita lakukan.” Seandainya aku pun memiliki kemampuan ‘melompat lebih tinggi’ seperti itu, Laila, aku pun tidak akan merasakan kesakitan seperti kamu. Tapi, aku menyadari, sama sepertimu, aku pun terlalu pengecut untuk mengungkapkannya.. “Kalau menurut Kak Ayu, cinta terpendam itu….” Mataku menerawang. Senyumku tertarik begitu saja. “Seperti memelihara api dalam sekam. Membungkam ratusan jerit. Sementara apa yang ada di dalam hati kita seperti berontak tapi takkuasa.” Hampir dua jam aku mengudara, perasaan letih mulai merambati punggungku. Capai, kaku, keram, bercampur jadi satu, sudah seperti dihajar orang satu kampung. Masih banyak SMS yang belum aku baca, sebenarnya. Tapi, tentu saja aku tidak mampu membacakan semua pesan itu. Bisa sampai pagi kalau aku meladeni seluruhnya. Aku membuka pesan terakhir yang kupilih, dan seketika sebelah alisku terangkat. Sudut hatiku berdenyut kecil. Penampakan ciptaan Tuhan yang selalu aku impikan seperti dihadirkan di sini, saat ini juga. Pesan ini sungguh membuatku tercubit. “101.7 Pelita Fm, sebelum Ayu menutup malam ini, satu pesan dari 081555222xxx akan Ayu bacakan sebagai penutup acara. Satu pesan dari Beri Saya Nama.” Aku mencoba mengatur napas. Ketika patahan matahari menembusi mayapada, mengangkat kelambu embun yang tipis-tipis menjejaki Sang Ibu, ada satu ruang di mana tak ada satu pun ciptaan-Nya bernama cahaya yang mampu meneranginya. Ruang itu berdiri kokoh dengan jelaga pekat sebagai dindingnya. Namun, di ruangan itu, suaramu teresonansi dengan sempurna. Senyum manismu terukir paling indah. Dan tawamu adalah candu yang mengkristal dalam cawan memabukkan. Ruangan paling gelap, namun penuh dengan harapan. Ruangan paling sesat, namun penuh dengan impian. Satu ruang yang kuberi nama… cinta. Bab 2 “Aw…!” Punggung gue! Bangsat! Gue masih terkapar di atas matras. Udah tiga kali gue dikalahkan oleh guru karate gue. Ini hal yang hampir nggak pernah terjadi sebelumnya. Payah banget gue hari ini. “Ayo, Srikandi! Tunjukkan kemampuanmu!” Gue menelan ludah, menatap langit-langit sanggar olahraga dengan punggung yang terasa remuk. Tiga kali dibanting itu adalah berita buruk buat tubuh gue. Selain mendapat malu dari para junior, seluruh jasad gue rasanya mau copot. “Srikandi!” Bu Arimbi menggeram tertahan. Sebelah tangan beliau terulur, gue menyambutnya dan kembali memasang kuda-kuda. “Konsentrasi, Srikandi! Konsentrasi!” Gue udah berusaha konsentrasi, Bu. Tapi, Ibu, tahu sendiri, tubuh gue sore ini benar-benar kayak taik anjing. Buat melakukan pertahanan aja susahnya minta ampun. Malu-maluin banget. Sialan! Bu Arimbi melancarkan serangan, gue menangkis sebisa mungkin. Selang beberapa waktu, gue terlibat saling tangkis dengan beliau, namun pada akhirnya, kembali gue terbanting. Anjing! Bangsat! Kok gue bisa lemah gini, sih? Bisa letoi kayak kangkung gini, sih? Bu Arimbi berdecak. Beberapa junior yang memperhatikan kami, bertepuk tangan berkali-kali seraya memberikan selamat buat Bu Arimbi. “Kenapa kamu seperti ini, Srikandi?” Gue berdecih, kembali menerima uluran tangan dari beliau yang membantu gue bangun. “Kecapaian mungkin, Bu.” Gue menjawab asal. Tertatih-tatih melipir dari lapangan menuju bangku penonton. Bu Arimbi mengekor. “Alasan,” balasnya sengit. “Ibu setiap hari mengajar olahraga ABG-ABG labil di SMP negeri. Belum ngurus anak-anak Ibu yang masih kecil. Memasak. Mengurus rumah. Mencuci. Lebih capek mana, hah?” Gue mengurut punggung, meringis setelahnya. “Kamu ada pikiran?” Banyak. Ingin gue menjawab seperti itu, tapi enggan. Gue cuma menggeleng. “Masalah itu untuk diselesaikan, Srikandi. Bukan untuk dihindari.” Gue mengangguk kecil. “Cuma permasalahan kecil kok, Bu.” “Kecil atau besar, kalau masalah itu kamu diamkan, akan menumpuk, Srikandi.” Gue mengambil handuk kecil di samping ransel, mengelapkannya pada wajah dan leher yang berkeringat. “Semua orang punya masalah saya kira.” “Dan semua orang memiliki seribu jalan untuk menghadapinya.” Bu Arimbi mengangguk mantap. “Namun, semua orang hanya memiliki satu langkah kecil untuk lari dan menjadi pengecut.” Beliau tersenyum kecil. “Penampilanmu barusan adalah penampilan paling buruk yang pernah Ibu lihat.” Gue membuang muka. “Saya harap, saya bukanlah kumpulan orang yang mengambil langkah kecil.” “Nggak ada kata ‘saya harap’.” Beliau mendengus keras. “Apa-apaan itu kata ‘saya harap’? Artinya itu, kamu nggak yakin dengan dirimu sendiri. Keyakinan kamu yang membentuk cara berpikirmu, Srikandi.” “Apa yang harus saya lakukan, Bu?” “Kalau kamu punya masalah, hadapi seperti seorang Srikandi. Srikandi adalah satu-satunya wanita yang berhasil menaklukkan Bisma. Wanita tangguh yang nggak takut apa-apa. Jadilah seperti dia. Hadapi masalahmu, dan selesaikan.” Bu Arimbi menepuk bahu gue, lalu berdiri. “Jangan pernah sekali pun berpikir untuk menjadi pengecut dengan menghindari masalahmu, Srikandi. Wanita diciptakan untuk menjadi pemberani, bukan menjadi seorang pengecut. Keberanian wanita melahirkan generasi penerus bangsa, tapi kepengecutan wanita merubuhkan negerinya sendiri.” Kemudian wanita paruh baya itu berlalu. Gue cuma tertawa kecil. Terserah katamulah, Bu. Peduli sampah juga sama bangsa. Mau rusak, kek. Mau bobrok. Mau jungkir balik kayak apa aja, bukan urusan gue. Tenaga gue terlalu berharga untuk memikirkan masalah sekampret negara. Ya, Tuhan. Membuka ransel, gue mengeluarkan sebotol air, dan menenggaknya beringas. Sepertinya gue butuh refreshing, nih. Pekerjaan yang melelahkan, neror para penyiar yang nggak ngumpulin rensi, pikiran suntuk di rumah, dan baru aja kalah telak dari Bu Arimbi, bener-bener akan meledakkan otak gue kalau nggak gue salurkan untuk senang-senang. Jatayu sama Ganggi lagi ngapain, ya? Gue membuka ponsel dan mengirim pesan kepada dua sahabat gue. Setengah jam kemudian, gue, Jatayu dan Ganggi udah jalan-jalan di kawasan mal Pondok Indah. Nggak ngapa-ngapain, sih, dari tadi, cuma ngobrol-ngobrol nggak jelas gitu, sambil dengarin Ganggi ngebacotin cowok-cowok yang berseliweran. Nggak ada minat sama sekali untuk nimbrungin omongannya Ganggi. Pikiran gue melayang ke mana-mana. Terutama masalah Mama. Tadi malam Mama nangis-nangis di kamar pas gue pulang kerja. Sewaktu gue tanya kenapa, Mama nggak jawab. Cuma peluk gue dan bilang jangan ninggalin Mama. Khawatir lah gue sama Mama. Ini pasti kerjaannya si brengsek itu. Lihat aja kalau ketemu gue, bakal gue hajar sampai mampus. “Gue mau operasi vagino plasty biar kembali sempit seperti perawan.” Ganggi berceletuk ketika kami bertiga memutuskan ngisi perut—kecuali gue yang sama sekali nggak nafsu makan—di salah satu food court. “Apa?” Jatayu bertanya cepat. “Gue mau nyempitin lubang gue.” “APAH?” Jatayu berteriak kali ini. Gue memutar bola mata menanggapi responsnya yang berlebihan. “Yu, please.” Wanita ber-softlens biru muda itu memutar bola matanya. “Nggak usah berlebihan gitu napa, sih?” Ganggi mencibir. Gue menatap mereka sekilas sambil terus mengembuskan asap rokok. Pikiran gue masih ke kondisi Mama di rumah. Asli, gue nggak tahu bentuk rumah tangga seperti apa yang mama gue dan manusia bangsat itu ciptakan. Maksud gue, lo ngarepin apaan, sih, dari hubungan toxic? Dari kecil, Njing, nggak ada satu kebaikan pun dari pernikahan mereka. Kenapa mereka, lebih-lebih Mama, mempertahankan rumah tangga keparat itu? Gue nggak butuh manusia bajingan yang suka menganiaya gue dan Mama. Gue nggak butuh sosok ayah. Gue bisa berdiri sendiri. Di atas kedua kaki gue sendiri. Persetan dengan neraka, apabila gue memiliki kesempatan, bakal gue bantai manusia laknat tersebut. Apa yang sudah dia lakukan buat gue dan Mama nggak akan pernah mampu gue maafkan bahkan jika Tuhan sendiri yang menghamba ampunan. “Nggak usah berlebihan kamu kata?” Kali ini, gue mengorek kuping akibat lengkingan suara Jatayu. Gue memutar bola mata. Lagi. Suara teriakan Jatayu itu merupakan polusi suara kalau lo pengin tahu. Pertikaian ini kayaknya nggak akan kelar sampai kiamat nanti. Anjing memang. Tujuan pengin meredakan stres, yang ada justru terjebak dalam drama abal-abal dua perempuan sialan ini. “Aku harus berlebihan. Ini hal yang besar, Gi. Kamu… apah? Operasi vag eng… keperawanan?” “Yu, suara lo kecilin. Orang-orang nengok tuh!” tegur gue malas, kembali mengembuskan asap rokok. Setelah apa yang gue alamin seharian ini, jelas dong, gue nggak ingin menjadi pusat perhatian gara-gara dua wanita di hadapan gue adu mulut. Gue hanya ingin melepas penat. Tapi agak-agaknya, topik yang kali ini dilempar Ganggi di meja makan, nggak akan ngebiarin gue tenang, deh. Jatayu buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Melirik kiri-kanan kemudian cengengesan ke arah gue. Gue cuma mendengus. Biarpun nih konter makanan nyetel musik kencang, dan pekikan anak-anak terdengar saling tumpang tindih, jeritan Jatayu tetap mampu menarik perhatian sekeliling kami. “Besar apanya? Biasa aja, ah. Sekadar operasi gini. Itu pun di dokter yang udah andal. Nggak usah ngaco, deh, Yu,” jawab Ganggi tak acuh. “Ngaco kamu bilang? Kamu tuh yang ngaco?” Sebelum pertikaian ini agaknya makin memanas, baiklah, gue perkenalkan kedua sahabat gue. Kami berkawan dari saat kami menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas. Kedua perempuan itu memiliki sifat sangat bertolak belakang. Jika Ganggi mempunyai prinsip bebas, Jatayu sebaliknya. Ia lebih menyukai hal-hal yang sudah sesuai protokoler. Ganggi berperangai kenes. Wajahnya ayu, dan—meminjam istilah yang selalu dia dengung-dengungkan—dengan kecantikan yang ia punya, ia membuka jasa menyenangkan om-om berduit demi hasrat belanjanya. Sementara Jatayu, yeah, lo pasti tahu bagaimana perempuan itu. Selain terlalu polos, naif, bego, entah apalah itu yang membuatnya selalu cekcok dengan Ganggi, ia adalah gadis baik-baik yang jika pemerintah melarang manusia di muka bumi ini pacaran, ia akan mematuhinya sampai titik darah penghabisan. “Ngaco bagian mananya, sih? Biasa aja, ah. Operasi untuk mengembalikan keperawanan itu hal yang lumrah.” Ya, Tuhan. Kapan opera sabun ini berakhir? Kepala gue kliyengan meladeni mereka. Ujung rokok gue ketuk untuk membuang abu yang menumpuk di sana. “Udah, deh, Yu, lo nggak usah mendramatisir keadaan. Gue cuma mau operasi nyempitin lubang, kok, bukan mau bunuh diri. Lo tenang aja. Nggak usah khawatir.” “Pikiranmu yang bikin aku khawatir, Ganggi Naladipa. Demi Tuhan, operasi keperawanan? Buat apa, hah?” “Biasa aja, Yu. Gue lagi ngincar ikan paus, makanya gue harus memberikan persembahan paling menawan kepadanya.” Alis gue terangkat sebelah. “Ngincer apa?” Asap rokok gue embuskan tepat di wajah Ganggi. “Ikan paus?” Ganggi tersenyum miring memamerkan sederet gigi yang dia kasih kawat entahlah apa. “Bos pabrik kayu.” “Wow,” adalah satu-satunya komentar yang bisa gue berikan. Melihat perempuan itu masih menunjukkan senyum misterius, gue kembali menimpali, “Ganteng?” “Hari gini ngomongin ganteng? Ke laut aja.” Ganggi mencibir, dia memperhatikan cat-cat kukunya yang berwarna pink. “Asal dia bisa ngasih gue imbalan banyak, dan memenuhi semua permintaan gue, gue mau-mau aja.” “Tua?” tanya gue mulai penasaran. “Nggak sampai bau tanah, sih. Masih bisalah dipandang saat lagi ngentot. Jadi, gue nggak perlu repot-repot ngebayangin Tora Sudiro pas lagi kawin.” “Siapa pun dia, kamu nggak harus sampai operasi keperawanan, kan?” Jatayu terlihat masih belum menerima kenyataan ini. Benar-benar bakal panjang nih cerita. Kalau Jatayu sudah berdebat, sulit banget membuatnya berhenti. “Operasi itu pastinya sangat menyakitkan.” “Oh, ayolah, Yu. Ini hanya masalah kecil. Nggak sampai bikin gue masuk ICU. Rasanya kayak melahirkan kata dokter yang gue konsultasiin.” “Biarpun begitu, tetap saja sakit. Selama ini kamu biasa-biasa saja dengan penampilanmu. Kenapa sekarang kamu mau melakukan hal seekstrem itu, hah?” “Buruan gue ikan paus, Yu.” “Kamu pernah sama pimpinan bank, Gi. Dan dia fine-fine aja.” “Tapi setelah itu dia ninggalin gue. Bahkan, tanpa uang lebih. Gila! Pimpinan kere. Takut ama istrinya lagi! Gue cuma dapat lima juta untuk entotan yang gue berikan sebulan penuh. Gue ngangkang sesuka dia. Sesuai perintah dia. Eh, ujung-ujungnya cuma lima juta. Buat apa? Buat bayar kontrakan setahun aja, kurang, Yu.” “Aku nggak tahu jalan pikiran kamu.” “Yu, udahlah, ngapain diributin, sih? Ganggi punya alasan sendiri berbuat begitu.” Gue mencoba meredam emosinya. Percaya ama gue, Jatayu ini ibarat air yang tenang. Namun, begitu ada riak di dalamnya, dia bisa menenggelamkan apa aja di atasnya. Gue nggak mau perdebatan sepele ini berujung pada pertengkaran dua wanita itu. Nggak asyik banget, kan, pulang-pulang hang out malah musuhan? “Belum, And, aku belum mau berhenti.” Suara Jatayu tegas. Tak menghiraukan beberapa orang yang memperhatikan kami ingin tahu, Jatayu kembali memulai perdebatannya. “Kalau ternyata bos pabrik kayu ini juga sama seperti petinggi bank itu, gimana? Kamu sudah mahal-mahal operasi keperawanan, sakit dibedah di bagian itu, ujung-ujungnya kamu dicampakkan. Berpikir jauh ke depan, Ganggi Naladipa!” “Kalau dia ninggalin gue kayak bos pabrik kayu itu, ya, sudah. Operasi ini juga untuk diri gue sendiri. Untuk menyenangkan diri gue ini. Dalam berbisnis bukannya kita musti mempersembahkan semaksimal mungkin kemampuan kita, ya? Gue anggap ini investasi. Kalau dia pergi, ya, udah, gue cari yang lain lagi. Gue anggap kali ini gue rugi di sisi keuntungan. Tapi jelas bukan di sini gue telah operasi.” “Jangan kayak gini, dong, Gi. Aku tahu kamu butuh duit banyak. Aku tahu gaji kita di radio nggak bisa menutupi seluruh kebutuhanmu, tapi, please, jangan jadikan dirimu seperti perempuan-perempuan berbayar lainnya. Naikkan derajatmu. Jangan mau dipakai seperti piala bergilir. Kamu bukan perempuan seperti itu, Ganggi Naladipa.” “Wow. Lo ngatain gue piala bergilir? Hahaha! Setelah sekian lama aksi gue malang-melintang memperjualbelikan selangkangan, ke mana aja lo baru ngatain gue piala bergilir? oh, atau mungkin, ini kali suara hati lo sesungguhnya. Lo memendam penilaian buruk terhadap gue dan takut untuk menyuarakannya, bukan? Tenang aja, Yu. Lo nggak usah khawatir gue marah lo hina-hina kayak gini. Semua orang yang tahu profesi gue udah menghina-hina gue sebelum lo. Lo berhak, kok, menilai rapor gue dengan tinta merah. Karena apa yang telah gue lakukan selama ini pun nggak layak buat mendapatkan nilai hitam.” “Guys, stop being childish!” Gue mencoba menengahi. Orang-orang udah pada nengokin meja kami. Sial banget, anjing. Tapi rupanya, dua keparat itu masih enggan untuk berhenti. Kepala gue makin pening, nih, astaga! “Kita cari topik lain. Ingat, kita bersahabat bukan untuk melanggar prinsip satu sama lain.” “Aku nggak mencoba melanggar prinsip hidup Ganggi Naladipa, And!” Jatayu terdengar berapi-api. Ya ampun! Suaranya menggebu. Dia rupanya sangat tersentil dengan wacana yang dibawa Ganggi. “Oke, mungkin pernyataanku barusan terlalu keras buat kamu, Gi. Aku minta maaf. Aku lakuin ini juga karena aku khawatir sama kamu. Demi Tuhan, aku nggak masalah dengan pekerjaanmu selama ini. Yang aku sayangkan, kenapa hanya untuk memuaskan seorang pelanggan saja, kamu sampai berkorban sejauh itu? Kamu pikir operasi keperawanan hanya menghabiskan dana sejuta? Pasti lebih, Gi! Dan sakitnya itu seperti orang melahirkan, lho.” “Jatayu Maheswari, terserah lo mau ngomong apa! Tubuh gue adalah otoritas gue seutuhnya. Mau gue operasi keperawanan, operasi plastik, operasi besarin payudara, itu hak gue. Lo nggak ada kepentingan apa pun untuk mengintervensi gue. Kita memang teman, tapi seperti kata Andi, kita memiliki prinsip berbeda. Gue nggak pernah menggugat hidup lo. Dan gue harap, lo pun nggak mencampuri hidup, terlebih, tubuh gue.” Ganggi menyahut. Tak kalah mencibir. Gue hanya mampu putar-putar bola mata. “Gue udah mendaftarkan diri di sebuah rumah sakit. Senin depan gue operasi. Lo nggak bisa mencegah gue. Gue udah bayar DP. Gue sangat membutuhkan operasi ini. Orang yang mau gue tangkep bersedia memenuhi semua keinginan gue. Bersedia membayar biaya hidup gue. Bahkan, gue dikasih uang bulanan. Lo pikir, dong, di jaman gini, kerja hanya mengandalkan gaji sebagai akuntan radio, bisa makan apa? Belum bayar kontrakan, bayar listrik, kebutuhan sandang gue, kebutuhan kosmetik gue, kebutuhan Ibu di kampung. Nggak cukup, Yu. Nggak cukup. Lo harus realistis menghadapi hidup.” “Tapi setidaknya, kamu pakai pikiran kamu sebelum bertindak, Gi. Oke, jika operasi itu bisa membuatmu kembali perawan, tapi masa iya, kamu berkorban segitu banyaknya hanya untuk duit dari pria, sih?” “Lo nggak bisa menangkap paus dengan umpan cacing, Yu. Ya, Tuhan. Harus ngomong apa lagi, sih, gue agar lo bisa diem?” “Setidaknya, buat dia berkeyakinan bahwa dia nggak akan meninggalkanmu. Buat dia berada di sampingmu terus.” Ganggi malah mendengus sambil tertawa kecil. Gue memijit pertemuan kedua alis. Menggeleng setelahnya. Jatayu sama Ganggi berada di koridor yang berbeda. Jatayu dengan adat Jawanya yang kental akan unggah-ungguh, sementara Ganggi mengusung kemodernannya. Seseorang ada yang mau nolong gue dari perdebatan dua wanita itu? “Jatayu, come on, ini 2005, lo mengharapkan Arjuna hanya untuk Sembadra? Semua orang butuh duit, Yu. Kita hidup di dunia keras. Cinta nggak akan bisa memenuhi kebutuhan lo.” “Tapi cinta yang membuat kehidupan ini hidup, Gi. Kamu nggak memiliki impian untuk berumah tangga? Mempunyai anak dan suami yang kamu sayangi? Menyiapkan sarapan dan membantu mereka melakukan berbagai hal?” “Oh, wake up, Baby. Gue nggak butuh pernikahan. Gue nggak mau hidup gue dikekang oleh sebuah tali rumah tangga. Gue nggak ingin mengabdikan gue kepada urusan sumur, dapur, kasur. Satu-satunya orang yang patut gue abdikan adalah diri gue sendiri. Kalau gue bisa mendapatkan segalanya dari melajang, kenapa gue susah-susah mikir nikah, coba?” “Wanita cerdas tahu bagaimana memperlakukan suaminya. Bagiku, menjaga keperawanan adalah hal yang mutlak. Menciptakan keperawanan adalah hal yang sia-sia jika kamu melakukannya untuk orang yang bahkan nggak mau berkomitmen sama kamu.” “Jatayu!” Ganggi menggeram. Punggungnya menegak. Inilah yang nggak gue sukai dari perdebatan mereka berdua. Keduanya sama-sama egois. Keras kepala. Menang sendiri. Dan sulit untuk dilerai. Apa perlu gue siapkan granat buat masing-masing manusia bangsat ini biar pertikaian mereka semakin seru? “Yu, Gi, setop! Kita ke sini untuk senang-senang. Ok? Bukan untuk berdebat.” “Lo tahu, Yu, kita jelas berbeda prinsip. Keperawanan bagi gue adalah hal yang bisa gue otak-atik sesuka hati. Beruntung Tuhan ngasih gue selaput dara, jadi gue bisa operasi semau gue. Selain tangkapan gue kali ini besar, salah satu bentuk cinta gue pada diri gue, ya, ini. Gue bisa saja operasi plastik atau apa pun, tapi gue menginginkan ini. Lo tahu kenapa? Gue ingin merasakan persetubuhan seperti pertama kali gue ngentot. Gue ingin sensasi sakit, sempit, ketat, untuk memuaskan diri gue sendiri. Gue memang pelacur. Tapi gue ingin di setiap orang-orang mengerami lubang gue, gue pun mendapatkan kepuasan yang sama seperti mereka. Gue berhak merasakan orgasme sekalipun gue perempuan penjaja seks.” Nggak lagi-lagi, deh, membiarkan mereka larut dalam debat panas kayak gini. Bahaya banget. “Please. Udahan, ya. Kita nonton, yuk.” Mematikan batang rokok, gue mencoba menengahi mereka, memegang lengan Ganggi dan Jatayu seraya mengelusnya perlahan untuk meredakan emosi keduanya. Kalau kayak gini, sih, bukan refreshing namanya, melainkan menceburkan diri ke dalam masalah lain. Yah, elah. Pening pala gue. “Sebagai sahabat, aku wajib ngasih tahu kamu, mana yang salah, mana yang benar. Bukan malah membiarkanmu terseret arus yang kamu ciptakan sendiri. Pikir mateng-mateng. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari. Ini masalah besar. Bukan seperti membalikkan telapak tangan, lalu semuanya kelar hanya dengan operasi.” “Gue mikirin masalah ini nggak sekejap dua kejap, Yu. Dari jauh-jauh hari gue emang memiliki niat operasi keperawanan. Gue ingin mempersembahkan yang terbaik buat orang yang mau miara gue. Kenyataannya, memang gue seperti ini. Mungkin bagi lo, kecerdasan wanita terletak pada gigihnya dia mempertahankan keperawanan. Gue udah nggak perawan dari sejak kelas satu SMA, kalau lo udah lupa akan hal itu. Apa dengan begitu gue nggak cerdas? Gue tolol? Sama sekali nggak, Yu. “Bagi gue, kecerdasan wanita itu terlihat dari bagaimana dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa ngemis bantuan orang lain. Ketika di dalam selangkangan lo ada timbunan emas yang bisa mengentaskan lo dari masalah, kenapa lo sampai merepotkan banyak orang hanya demi melihat lo menderita? Gue ingin dikenal sebagai Ganggi Naladipa tanpa embel-embel apa pun. Tanpa rasa welas kasihan siapa pun. Kalaupun toh, orang lain ngenal gue sebagai pelacur, ya terserah mereka. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Lo nggak bisa membuat tolok ukur kebenaran sesuai dengan versi lo, Yu. Dunia ini kejam sedari dulu. Dunia ini nggak semanis cerita bualan Cinderella atau apalah itu.” “Case closed!” Gue bersuara lantang ketika Jatayu hendak membuka mulut. Kedua wanita itu terlihat bersitegang. Gue angsurkan minuman mereka masing-masing supaya emosi yang kampret banget itu bisa—paling enggak—teredam, dan sore ini bisa terjalani dengan kepala dingin. Gue benar-benar butuh senang-senang, demi Tuhaaan. Tapi, sepertinya, apa yang gue harapkan nggak terjadi, deh. Belum ada lima menit gue mengembuskan napas lega—karena arus tinggi yang menyengat Jatayu dan Ganggi reda—sebuah pemandangan yang bisa membuat kami belingsatan terpampang di eskalator. Seorang laki-laki terlihat sedang merangkul seorang perempuan. Mereka ngobrol sambil ketawa-tawa. Sesekali laki-laki—yang gue nggak salah lihat—bajingan itu mengelus rambut pasangannya dengan mesra. Keduanya nempel. Kayak lintah. Seketika gue enek. Pengin muntah. Ngapain anjing keparat itu terlihat lagi? Gue kira udah mati! “Dia bukannyaaa….” “Katanya hari ini mau nonton film bareng. Nonton, yuk.” Ganggi buru-buru menyesap kopinya sampai tandas. Dia membereskan telepon genggam, dompet, bedak, dan sisir yang berserakan di atas meja, lalu berdiri, dan berjalan mendahului kami. Gue mendesah berat. “Gue nggak nyangka, acara jalan-jalan kita bisa sepanas ini.” Jatayu mengangguk, masih melihat sepasang kekasih tadi. “Apa menurut kamu, Ganggi masih memiliki perasaan ama….” Gue buru-buru menarik tangan Jatayu supaya lekas berdiri dan menyusul Ganggi, sebelum gadis ini menyelesaikan perkataannya. Karena gue sangat yakin, semakin lama gue di sini, dan menyaksikan bagaimana menjijikkannya pasangan biadab itu bermesra-mesraan, yang ada, gue bisa menghampiri mereka, mendorong mereka dari eskalator, lalu menonjok kedua makhluk itu dengan brutal. Sampai mati kalau bisa. Sampai tubuh mereka hancur kalau bisa. Kejadian beberapa tahun lalu bisa terulang. Dan gue kembali mengalami masa-masa kelam. Pukul tujuh petang, gue sampai rumah. Sengaja hari ini gue nggak nongkrong di kontrakannya Ganggi. Tadi Mama telepon, menyuruh gue untuk segera pulang. Perasaan gue nggak enak. Pasti ini ada hubungannya dengan tangisan Mama semalam. Gue membuka pintu kamar Mama, dan menemukan wanita itu tengah terisak sambil bersimpuh di lantai. “Ya, Tuhan, Mama.” Ransel yang gue cangklong di pundak sampai terjatuh. Gue berjalan mendekati Mama, kemudian memeluknya. Tangis Mama kian hebat. Tubuhnya bergetar dahsyat. Gue elus-elus pundak Mama agar Mama tenang, tapi sia-sia. Yang ada, Mama mukul-mukul dada gue. “Ma….” “Sakit… And… sakit.” Oh, hati gue sakit banget lihat Mama kayak gini. Lihat Mama kesakitan nggak berdaya kayak gini. Nggak sekali dua kali gue menemukan Mama dalam keadaan hancur akibat ulah bajingan itu. Udah berkali-kali, ratusan, ribuan, dan entah sampai berapa kali, dari gue masih kecil. Namun tetap aja, efeknya mampu membuat ulu hati gue tertonjok tanpa ampun. Gue ingin mereka cerai secepatnya. “Di mana dia, Ma?” Gue berbisik, mendekap Mama penuh sayang. Mama menggeleng. “Beritahu Srikandi, di mana dia, Ma?” Mama tetap nggak mau menjawab, semakin menenggelamkan wajahnya di dada gue. Ya Tuhaaan… jika bisa, gue ingin rasa sakit Mama dilimpahkan ke gue. Jika boleh, gue pengin penderitaan Mama, gue aja yang nanggung. Jangan Mama, Tuhan. Jangan wanita rapuh ini. Menaikkan volume suara di hadapan Mama saja gue nggak bisa, apalagi melihat Mama down seperti sekarang? “Sakit… And… sakit.” Gue hanya mengangguk, mengajak Mama bangkit, lalu membawanya ke klinik dekat rumah. Dan gue tahu, apa yang akan gue lakukan. Jelas, harus ada orang yang disalahkan atas tangisan dan seluruh sakit yang diderita Mama. Bajingan itu nggak akan gue lepaskan begitu saja. Jika dia udah berani membuat Mama menderita, dia juga harus merasakan penderitaan berkali-kali lipat dari yang udah Mama rasakan. Gue nggak akan membiarkannya hidup tenang, sementara mama gue sengsara. Ke neraka pun, akan gue kejar dia sampai mampus. Jika Tuhan nggak mengganjarnya di dunia, gue akan menjadi tuhan untuk menghancurkan hidupnya. Nggak ada yang boleh nyakitin Mama. Nggak ada. Bab 3 “Ahhh….” Ya ampun gue benar-benar nggak nyangka, opa-opa 52 tahun itu hebat banget nyayang-nyayang klitoris gue. Baru juga permulaan mau ngentot, gue udah menggelinjang kayak orang gila di sini. Yah, walaupun penisnya Om Setyajid nggak selakik cowok-cowok masih muda, gue kayak diterbangin ke awan aja, pakai sayap seunyu kupu-kupu. “Ouh….” Gue kembali meracau. Astaga, gue benar-benar keenakan. Tubuh gue melengkung. Om Setyajid kembali menyapukan lidahnya di daerah pubis gue. Sebelah tangannya membelai paha dalam gue, sebelah lagi mengelus-elus lubang gue. Puji Tuhan, gue nggak bisa mengendalikan berahi. Gue terengah-engah, dada gue naik turun. Payudara gue terbusung, puting kecokelatannya menantang untuk dicipok. Dan, aki-aki bau tanah itu langsung mengecupnya tanpa sungkan. Gila, sebulan nggak ngentot, baru diraba dikit aja gue udah kayak orang mabuk. Malu-maluin banget, sumpah. Kayak kuda kebelet kawin aja gimana. Tapi, biarin deh. Toh, Om Setyajid suka dengan cewek liar ini. Habis ini pasti Om Setiyajid ngasih gue duit gede. Sebelum kami bercinta aja, pria gendut itu udah nge-DP tiga juta, yang kemudian gue habisin beli daster dan perlengkapan Ibu di kampung. Apalagi setelah gue servis maksimal, hujan duit kali, yak, yang ada. “Kamu benar-benar seperti perawan. Aku tersesat dalam dirimu.” Nah, saat ini dia tengah berayun maju mundur di dalam diri gue. Gue tersenyum puas, dong, disanjung kayak gitu. Sebagai penjual, kan, gue emang harus tahu hasrat pembeli. Dan lagi, rasa persanggamaan yang luar biasa nikmat setelah operasi ini benar-benar membuat gue susah payah mengendalikan berahi. Gue seperti bercinta untuk kali pertama. Bukan cuma Om Setyajid. Terhitung sekarang, sejak dua jam lalu kami bergumul, gue udah tiga kali orgasme. Laki-laki itu benar-benar tahu bagaimana cara memuaskan pasangannya. Gue suka. Gue benar-benar nggak menyesal udah operasi ngecilin lubang. Emang sakit, sih. Sakit banget malah. Bahkan, selama berhari-hari gue nggak bisa jalan. Mau berak aja rasanya kayak mau ngeluarin orok dalam perut. Buat duduk, pinggang sakit. Buat rebahan, punggung nyut-nyutan. Apalagi buat ngegantungin kaki, berasa vagina gue ditusuk-tusuk jarum. Pokoknya penderitaan. Untung ada Ayu yang siap sedia merawat gue pascaoperasi, jadi gue nggak sekarat-sekarat betul kesannya. Dia yang menyeka tubuh gue tiga kali sehari, menyuapi gue makan, bahkan, nyebokin gue waktu eek—amarah Ayu yang menentang operasi vaginoplasty langsung lenyap di hari di mana gue masuk rumah sakit. Jangan bicara tentang Andi. Manusia keturunan jenglot itu jarang banget menemani gue. Pas gue operasi sebulan lalu aja, cuma Ayu yang menunggu. Sementara dia? Boro-boro nongolin wajah nyereminnya, sampai gue keluar dari rumah sakit pun, Andi nggak kunjung kelihatan. Ujung-ujungnya dia minta maaf dan bilang sibuk berkeliaran nyari bokapnya entah ke mana. “Jadi, apa pekerjaanmu selama ini, Naladipa?” Om Setyajid mengelus rambut gue ketika pergumuluman kami selesai, dan dia memanjakan gue dalam pelukannya yang hangat. “Saya akuntan di sebuah radio, Om.” Mata gue terpejam ketika jari-jari gemuk Om Setyajid mengeja paras gue, mengelus kedua kelopak gue, dan memainkan ujung bulu mata gue. Ya ampun, berasa punya orang yang sayang banget sama gue aja, deh. Udah lama gue nggak disayang cowok setelah prahara berdarah itu. Dan, sekarang, yah biarpun tuanya memang lebih pantas jadi kakek gue sih, Om Setyajid memperlakukan gue kayak cewek paling berharga saja. Gue suka diginiin. “Apakah itu melelahkan?” “Nggak ada pekerjaan yang nggak melelahkan, Om.” Habis ini gue langsung ke Plaza Indonesia, ah. Mau beli cat kuku crackle polish yang lagi in banget. Warna pink, of course, biar terlihat funky dan modis habis dengan sentuhan glitter. Oh, sekalian hunting hot pants-nya Eddy Betty yang must have banget. Gue udah lama nggak ngedisco gara-gara operasi kemarin. “Pantas, banyak orang yang membicarakanmu. Kamu pintar menggoda pelangganmu.” “Om salah.” Apalagi ya enaknya? Ya ampun, bagaimana gue bisa melupakan kosmetik, coba? Awal tahun, kan, Lancome ngeluarin lisptik terbaru. Rouge magnetic pink to violet. Kalau kemarin gue belum punya uang, kali ini gue mau buka puasa. “Lantas?” Oke, Ganggi, oke. Pemikiran shopping-nya ditunda dulu. Lo nggak lihat, pria lucu itu dari tadi berusaha ngebangun obrolan serius dengan lo? Bukan diskusi recehan ala cowok-cowok nggak berduit yang penuh basa-basa hanya sekadar ingin bilang terima kasih. “Saya bukannya menggoda, tapi saya selalu memberikan yang terbaik buat orang yang membayar saya.” Gue senyumin laki-laki itu. “Saya rasa, itu setimpal, sih. Karena dengan memberikan pelayanan terbaik, saya pun mendapatkan kepuasan terbaik. Bagi saya, seks adalah kenikmatan dasar manusia. Saya tidak ingin kenikmatan yang sepatutnya saya dapatkan nggak bisa memuaskan saya hanya karena label saya seorang perempuan bayaran.” “Fantastis.” Mata gue kembali tertutup ketika tangan Om Setyajid meraba leher gue. Turun lagi, dan berhenti tepat di atas puncak payudara gue. Gue menggigit bibir supaya nggak merintih keenakan mendapat sentuhan lembutnya. Gilaaa, gilaaa, gue benar-benar kayak cewek besar berahi, yak. Cuma diraba dikit, dada gue berdebar-debar. Nih cowok, antara pintar banget nyentuh spot-spot sensitifnya cewek, juga sama kayak gue, lama nggak bercinta dengan istrinya. Ya, gue nggak tahu juga sih. Tapi dilihat dari gelagatnya, apa yang gue asumsikan ada benarnya, deh. “Berapa lama kamu bergelut di dunia ini?” “Dunia seperti… apa mak… sud Om?” Bibir vagina gue kembali berkedut-kedut. What the ngentot, gue pengin ronde berikutnya saat ini juga. Biarpun saat ngoral onderdilnya perut gue mau muntah, tapi sungguh, gue nggak bisa menahan hawa nafsu. Ini antara menyeramkan, nakutin, dan bikin jijik yang nge-blend jadi satu. “Ya dunia abu-abu, aku menyebutnya. Dunia seperti ini. Kamu rela melakukan apa saja asal ada orang yang membayarmu.” Gue mendesah lega ketika Om Setyajid menyudahi aksinya. Dia merengkuh tubuh gue, sehingga gue bisa mencium aroma tubuhnya yang agak asem. Nggak asem-asem juga, ding. Ada wangi deodoran cowok keluaran terbaru yang ikut berbaur di sana, kok. “Mungkin….” Gue menimang jawaban. Enaknya gue jujur, nggak, ya, atas pertanyaan Om Setyajid tentang profesi ini? Gue sama dia, kan, baru kenal. Dan sekarang adalah prosesi pertama persenggamaan kami. Masa iya gue langsung jujur gitu aja? Jual mahal dikit, bolehlah. “Sudah lama?” Om Setyajid tersenyum. Senyumnya terasa familier dan membawa gue ke dalam hangatnya sebuah perasaan. Kayak pernah kenal senyum sehangat kakek ini. Tapi di mana, ya? “Sejak saya SMA.” Seperti terhipnotis oleh senyumnya, rencana jual mahal gue buyar ketika menjawab. Gue nggak lagi jatuh cinta pada manusia yang udah bau tanah ini, kan, hanya gara-gara senyumnya? Demi apa, kalau gue kawin di depan Pendeta sama mbah-mbah ini, apa kata ibu gue? Masa iya, Ibu punya menantu yang cocoknya jadi suami Ibu? Dan kalau kami punya anak, masa iya, anak kami memanggil dia ‘papa’ di saat seharusnya manggil dia eyang kakung? “Wow... itu lama banget. Kamu nggak ingin menikah?” Berasa dejavu, nggak, sih, mendengar pertanyaan Om Setyajid? Jadi inget perdebatan gue dengan Ayu bulan lalu sebelum gue melaksanakan operasi. Menanggapinya, gue hanya tersenyum kecil. “Apa, sih, yang diharapkan dari pernikahan, Om?” Gue balik bertanya, mengembuskan napas yang entah sejak kapan gue tahan, mendongakkan kepala, dan menumpukan dagu runcing gue di atas dadanya yang bergelambir lemak. Gue usap perut buncit Om Setyajid. Pria itu menggelinjang dalam sentuhan gue. Tema obrolan yang dibawa Om Setyajid benar-benar merusak mood gue seketika. Gue memejamkan mata agar sakit hati akan kenangan itu pergi, dan tubuh gue kembali disusupi setan berahi. Tapi yang ada, bayang-bayang cowok itu sedang berangkulan tangan dengan cewek, terlalu terlihat jelas di mata gue. Lo lagi sama siapa saat itu, Mbu? Gue kangen sama lo. “Banyak hal. Kamu mendapat perlindungan dari suami kamu. Kamu nggak perlu capek-capek kerja. Punya anak-anak yang lucu.” “Dan pada akhirnya, ketika saya berusia lima puluh tahunan, suami saya jajan sama cewek-cewek ABG?” Tawa pecah dari bibir kemerahan Om Setyajid. Gue belum bilang, ya, bahwa opa-opa bau tanah ini memiliki warisan darah bule di tubuhnya, membuatnya memiliki kulit seputih susu, dan bibir seranum mawar—gue memperkirakan mereka tak pernah bertemu dengan nikotin. “Kamu pintar memutar fakta.” “Saya selalu pintar akan segala hal. Saya yang menguasai pemikiran saya.” “Ya… ya… ya…, aku dapat melihatnya.” “Jadi… sebelumnya saya nggak pernah bertukar pikiran dengan orang yang mengencani saya. Karena saya pikir Om Setyajid ini orangnya berbeda, saya tergelitik untuk bertanya. Om Setyajid memiliki segala hal. Bahkan, istri Om yang fotonya pernah Om tunjukkan ke saya, juga memiliki paras cantik. Masih bugar, dan terlihat muda sekali. Apa yang menyebabkan Om jajan? Saya mau melakukan penelitian. Karena saya sangat yakin, kecantikan saya ini bisa awet untuk beberapa puluh tahun lagi, dan saya khawatir kalau kelakuan saya nanti yang nggak saya sadari, berakibat buruk dengan tingkah calon suami saya.” Opa-opa itu terpingkal. Selera humornya receh sekali. Dia mengendurkan pelukan, sebelah tangannya dia selipkan di belakang kepala, kemudian menengadah. Sementara di kepala gue, penuh berisi sosok cowok yang gue lihat di mal tempo lalu. “Rumah tangga itu nggak semudah kelihatannya.” “Saya nggak pernah mengatakan bahwa membina sebuah keluarga adalah pekerjaan gampangan.” “Aku selalu memberikan yang terbaik.” “Saya bisa melihatnya.” “Semua yang diinginkan istriku, anak-anakku, selalu aku upayakan. Sampai suatu hari, aku ditugaskan perjalanan dinas ke luar negeri selama lima bulan. Aku sedang membangun hubungan kerja sama dengan beberapa perusahaan di sana. Pulangnya, kondisi keluargaku berubah. Keluarga yang aku bangga-banggakan mulai dari hari itu retak. Istriku membangun bisnis dengan rekan sosialitanya yang sibuk hingga pulang malam. Anak sulungku nggak pernah pulang ke rumah. Anak bungsuku sibuk mengikuti tur dengan grup teaternya.” Sedikit mengabaikan rasa sakit tentang cowok itu, gue menatap penuh minat Om Setyajid. Agak terkejut juga sih mendengar pengakuannya. Selama ini, dari cerita dan gosip yang beredar telinga gue, selalu pihak cowok yang menelantarin istri. Tapi sekarang, Om Setyajid sendiri yang bilang istrinya nggak ada waktu dengannya. Pantesan tuh aki-aki nyari lubang baru. Yang namanya cowok, berapa pun usianya, nggak pernah bisa mengendalikan hafa nafsu, kan? Kalau dia dan bininya saja nggak punya quality time, kapan punya waktunya untuk ngentot atau menambah produksi anak, coba? “Aku kesepian, Naladipa. Usiaku sudah nggak muda lagi. Aku menginginkan hangatnya sebuah keluarga ketika aku pulang dari bekerja.” Sekaligus hangatnya sebuah persetubuhan kan, Om? bisik gue begitu saja. “Mungkin Om terlalu larut pulang ke rumah?” “Naladipa, meskipun aku seorang pimpinan, aku nggak pernah pulang larut malam. Sebelum perjalanan dinasku itu pun, pulangku selalu pukul lima sore. Lembur saja cuma dua kali dalam seminggu. Aku mementingkan keluargaku, Naladipa. Tapi bukan berarti aku duapuluh empat jam nonstop tinggal di rumah dan meninggalkan kewajibanku yang lain.” “Saya belum pernah menikah, sih, Om, dan sejak kejadian yang menimpa saya beberapa tahun belakangan, membuat saya nggak menginginkan pernikahan. Saya nggak tahu bagaimana rumah tangga yang baik itu seperti apa. Tapi melihat masalah dalam rumah tangga Om, terlalu kecil rasanya kalau hanya dilihat dari titik itu. Saya sangat yakin, ada sesuatu yang besar yang sedang dihadapi oleh istri Om?” “Maksud kamu?” “Kita nggak pernah tahu isi hati orang lain, bukan? Biarpun Om telah melimpahkan segalanya buat istri Om, siapa yang mengira isi hatinya? Bisa jadi dia mendapat tekanan-tekanan yang nggak Om sadari. Sangat butuh keterbukaan menurut pendapat saya.” Om Setyajid tampak termenung mendengar uraianku. “Anak sulung Om masih kuliah?” “Dia sudah bekerja, dia sama sekali nggak mau menginjakkan kaki ke rumah.” “Om pernah bertanya apa alasannya?” “Dia bilangnya ingin mandiri, Naladipa. Tinggal sendirian di apartemennya. Aku bisa apa jika itu keinginan anakku sendiri?” “Anak bungsu, Om?” “Dia dan grup teaternya sedang berkeliling negara.” Lelaki tua itu mendesah. Napasnya terdengar berat. Dia kemudian terpejam. Mungkin sedang melamunkan kemesraan dengan keluarganya pada masa silam. Gue nggak tahu. Gue hanya menumpukan kepala di bahunya. Terdiam. Pernikahan? Pernah sih sekali melintas dalam hidup gue. Tapi itu dulu… duluuu sekali. Sebelum semuanya berantakan dan… gue nggak pernah menjumpainya lagi. Kejadian tersebut ibarat momentum buat gue. Sejak saat itu hingga sekarang, jangankan menikah, bercita-cita menjadi istri saja, enggak pernah. Gue sudah nyaman dengan diri gue sendiri. Gue memiliki segalanya. Dan gue nggak ingin kebebasan gue direnggut oleh sesuatu bernama pernikahan. Mungkin satu-satunya ganjalan dari kebebasan yang saat ini gue punya ada di kampung halaman. Orang yang saat ini tinggal sama Ibu jelas nggak membutuhkan kebebasan gue. Dan, jujur, itu membikin gue sedih. Pukul sebelas malam (dengan satu ronde ngentot sebelum berpisah, of course, gue nggak mungkin, kan, pulang dalam keadaan kebelet kawin luar biasa?), gue keluar dari apartemen yang dikontrak Om Setyajid khusus untuk pertemuan kami. Dia sendiri balik sejak pukul sembilan tadi. Gue bergegas menuju lift yang terbuka. Menekan tombol nomor satu, dan pintu tertutup tepat ketika seorang cowok masuk dan berdiri di samping gue. Gue nggak menggubrisnya sampai mata gue menatap bola mata cokelatnya yang tajam. Darah gue berdesir seketika. Tubuh gue membeku. Jantung gue seakan ada yang melorot dari tempatnya. Demi seluruh nama dewi yang mungkin ada di dunia ini, bagaimana bisa gue bertemu dengannya di sini? Maksudnya, setelah insiden hebat waktu itu, setelah dengan beringasnya Andi membungkam mulutnya, walaupun dengan mata telanjang gue melihatnya lagi jalan sama cewek di mal bulan lalu, seharusnya, kan, dia, paling enggak, lagi dalam keadaan sekarat? Yah, walaupun nggak sekarat betul, tapi nggak sesehat ini juga, kan? My, God. Cowok itu juga tampak terkejut melihat penampakan gue. Matanya tampak terbelalak. Dia berdeham, sebelum kemudian menanyakan kabar gue. “Baik.” Gue mendengar kepala gue berdengung memberikan jawaban itu. Cowok tersebut terkekeh kecil. Terdengar kering di telinga gue. “Lo?” Gue menahan napas waktu mempertanyakan hal tersebut. Oh, my God! Oh, my God! Dari puluhan bahkan ratusan–ribuan apartemen di Jakarta, kenapa gue bisa sampai ketemu dia di sini? Ini gila! Gue nggak lagi bermimpi, kan? Gue nggak lagi berhalusinasi akibat obrolan gue dengan Om Setyajid, kan? Ini, oh, gosh. Edan banget! Gue mencubit lengan untuk membuktikan bahwa apa yang gue lihat bukan mimpi. Ternyata emang bukan mimpi. Gue meringis kecil. Keringat dingin membasahi punggung gue. Gue benar-benar merindukan cowok ini. “Gue juga baik.” Begitu jawabnya. Singkat saja. Seperti nggak ada hal yang ingin dia tawarkan untuk dibagi dialog di sini—sementara gue udah hampir kejang-kejang aja bisa satu lift dengannya. Gue membenarkan letak poni yang entah kenapa kayak miring dari penglihatan gue. “Gue… melihat lo jalan ama cewek bulan lalu di mal.” Nggak tahu kenapa gue sampai berkata demikian. Jujur, deh, gue saja nggak tahu harus ngomongin apa dengannya di sini. Dengan pertemuan yang luar biasa mendadak ini. Jangankan ngomongin apaan, bisa ketemu dengannya secepat ini aja, gue nggak pernah membayangkannya. Sejak gue melihatnya di mal kala itu, mati-matian gue kubur kenangan dan seluruh rasa di hati gue buatnya. Tapi rupanya, gue justru merasakan hal sebagaimana gue pertama kali mendapatkan luka itu. Luka yang membuat gue pada akhirnya berhenti memimpikan pernikahan dalam hidup gue. Dia menoleh ke arah gue, tampak berpikir beberapa saat sebelum menjawab, “Oh.” Dia kembali membuang tatapannya. “Lo lihat?” Dia tersenyum. Dada gue langsung tersetrum melihat senyum itu. Ya, Tuhan, bahkan melihat senyum itu pun, reaksi tubuh gue masih sama seperti yang dulu? Jantung gue berdebar-debar. Perut gue melilit. Gue mengangguk, kemudian menggeleng, lalu mengangguk lagi sebagai respons. Gue benar-benar nggak tahu harus bertingkah seperti apa di sampingnya saat ini. Jika ini empat atau lima tahun yang lalu, gue bakal langsung melompat ke tubuhnya dan menciumnya dengan panas. Tapi, ini beda. Semuanya beda! Hubungan kami beda. Cara kami melihat beda. Gaya komunikasi kami beda. Sekali lagi, gue membenarkan letak poni. “Tunangan gue.” Seketika, dada gue berdenyut. Gue meremas tangan, hingga kuku-kukunya mencakar telapak gue. Napas gue tersendat. “Tu… nangan lo?” Oke, Gi. Time flys, people changed. Lo jangan ngarep dia masih jomblo kayak lo, deh. Sosok sesempurna dia, sudah cocok kali gendong bayi. Lo ngimpiin dia ngemis-ngemis cinta ke lo gitu setelah apa yang telah lo lakukan padanya tiga tahun silam? Sungguh pemikiran yang tolol. “Iya.” Dia tersenyum. Senyum yang sama yang dulu dia berikan ke gue. Dengan rasa yang sama. Dengan kehangatan yang sama. Namun, untuk orang berbeda. “Kinansa.” “Kinan?” Kening gue mengernyit. Jadi, cewek yang gue lihat waktu itu Kinan? Berengsek! Dia menoleh ke gue dan memperlihatkan senyum yang dulu pernah dia persembahkan khusus untuk gue. “Iya.” Cuma itu saja jawabannya, namun mampu menghantam perasaan gue. Dada gue terasa sesak, dan gue lupa bagaimana caranya bernapas yang baik. “Wow.…” Gue tersenyum miris. Merasa dikhianati, diludahi, sekaligus ditampar oleh takdir. “Dia berarti banget ya buat lo?” Gue tertawa kecil. Bukan! Bukan untuk pertanyaan tadi, melainkan untuk mencemooh diri gue. Ganggi, Ganggi, kenapa lo bego banget, sih? Dilihat dari segi mana pun, Kinan memang lebih baik ke mana-mana dibandingin lo. Apalagi mereka udah dekat sebelum lo kenal cowok itu. Wajarlah, dia move on-nya ke cewek yang seratus kali nilainya di atas lo. Gue tahu, gue salah. Gue tahu, kelakuan gue emang bejat banget. Nggak pantas banget mendapatkan maaf, tapi, gila, gue benar-benar merasa sakit hati. Merasa dikhianati tanpa sebab oleh Kinan. “Lebih dari itu, sih.” Gue menoleh ke arahnya. “Dia yang menuntun gue mengenali siapa diri gue sebenarnya.” Gue menggigit pipi dalam. Mata gue terasa panas. Gue menatap langit-langit lift supaya air mata yang gue yakini bakal meluncur ini, balik ke asalnya. Kenapa lift ini hanya terisi gue sama dia, sih? Kenapa nggak ada orang lain di antara kami? Kalau ada banyak orang, kan, kami berdua nggak punya kesempatan ngobrol yang ujung-ujungnya hanya nyakitin gini? “Dia yang mengenalkan gue apa tujuan hidup gue sebenarnya. Dia yang dengan sabar dan telaten membantu gue untuk bangkit dari segala macam masalah yang gue hadapi.” Di titik ini, gue merasa takdir begitu licik memencundangi gue. Gue berdecih untuk menertawakan nasib miris gue. Benar-benar sialan. “Sampai gue merasa bahwa gue menemukan apa yang selama ini gue cari.” “Dia terdengar begitu spesial kayaknya.” “Sangat. She is my life.” “Lo masih suka free sex?” “Sebelum sama dia? Iya.” “Setelah lo jadian sama dia?” Dia menggeleng. “Menakjubkan. Padahal, dulu lo terlihat begitu berengsek sebelum jadian sama gue. Free sex di mana-mana. Gonta-ganti pasangan. Masuk klub malam seperti masuk gereja. Ngentot sampai dengkul gempor. ” “Hidup terus berjalan, Naladipa.” Dia menyentuh apa yang tak seharusnya dia sentuh. Sakit. Nyeri. Panggilan itu… ah… sialan! “Gue berubah. Lo juga berubah. Kita nggak mungkin akan terus berada dalam masa-masa nakal, ‘kan?” Nggak ada satu pun kata yang mampu gue ucapkan untuk menjawab pernyataannya barusan. Pintu lift terbuka di lantai dua. Dia keluar bahkan tanpa memberikan sapaan terakhirnya buat gue. Saat pintu lift kembali tertutup, dan meluncur ke lantai satu, gue tahu apa yang gue butuhkan sekarang. Jelas, perasaan sakit ini kudu dialihkan kalau gue nggak berakhir dengan ngeraung-ngeraungin namanya di kamar sendirian. Sekitar pukul dua belas malam, setelah ngalor-ngidul di Senayan, gue pulang ke kontrakan dengan sekantung plastik Guiness—rencana shopping yang sempurna banget gue rancang, bubar mengingat gue keluar dari apartemen pukul sebelas, padahal gue pengin banget hot pants yang kayaknya bisa bikin bokong gue kencang. Pertemuan gue dengan cowok tadi benar-benar bikin gue gila, sumpah. Mungkin, beberapa botol alkohol bisa menghilangkan kadar syok gue. Kedua alis gue terangkat begitu melihat mobil kodok ungu milik Ayu udah terparkir di halaman. Gue memasuki rumah, dan menemukan cewek itu tengah menonton teve di ruang tengah. “Apaan, tuh?” Dia melirik kantung di tangan gue. “Bir.” Gue melangkah ke dapur, membuka tutup botol-botol bir itu dan membawanya ke ruang tengah. “Ada moccacino, nggak?” “Ada tuh, gue baru beli beberapa bungkus tadi.” “Asik, aku cinta kamu, Ganggiii.…” Dia menyosor pipi gue sebelum ngeloyor ke dapur. “Lo nggak pulang?” Gue setengah berteriak, menenggak langsung Guiness dari botolnya. Gue mengganti channel TV. “Capeeek!” Dia balas berteriak. Tak lama kemudian muncul dengan secangkir moccacino di tangannya. “Seharian ini pulang pergi rumah-kantor.” “Kenapa?” “Adek rewel, Ayah nggak sanggup nenangin Adek.” “Adek kenapa lagi? Sakit? Kok lo malah di sini, sih, kalau Adek sakit? Kenapa nggak tidur di rumah aja? Ntar malam kalau Ayah kerepotan jagain Adek, gimana? Lo aneh banget, deh!” “Tenang, Sist. Tenang….” Cewek itu malah tertawa. Dasar aneh. Emang ada yang lucu dalam kalimat gue barusan? “Kok lo malah ketawa, sih?” “Habis kamu ini parnoan banget.” “Parnoan gimana? Kalau Adek sakit, kasian Ayah, ‘kan, ngurus sendirian di rumah?” “Dia nggak sakit, Ganggi Naladipa.” Ayu menghirup moccacino-nya, kemudian menyesapnya perlahan. Dia mendesah kecil setelah itu. “Jadi, tadi pagi sewaktu dia melukis, cat airnya habis, makanya rewel, minta dibeliin cat air. Ayah, ‘kan, sudah pasti nggak bisa nemenin Adek ke kota untuk beli cat air. Ya, akhirnya aku pulang ke rumah. Ngajak Adek sama Ayah belanja ke kota. Sekaligus perlengkapan lukisan yang lainnya.” “Nanti gue juga beliin yang banyak biar stoknya nggak kehabisan.” Ayu menoleh ke arah gue, tersenyum lebar. Terlihat mengerikan. “Terima kasih, Tante Ganggi. Semoga cepet dapat jodohnya.” Gue menoyor kepalanya, hingga dia meringis. “Dua hari ini gue nggak lihat Andi. Dia juga izin nggak siaran pada Mas Sabrang. Lo tahu ke mana dia, nggak?” Tubuh Ayu terlihat menegang dari tempat gue. Air mukanya berubah keruh. Senyumnya barusan lenyap. “Aku sudah ke rumahnya, tapi rumahnya kosong. Aku juga sudah berkali-kali telepon dia, tapi nggak aktif nomornya. Aku tanya ke tetangganya, mereka bilang nggak ada yang tahu ke mana perginya Andi. Aku pergi ke tempatnya karate, Bu Arimbi juga bilang kalau dia sudah semingguan absen. Aku punya firasat buruk, Gi. Perasaanku nggak enak banget, sumpah. Aku khawatir Andi kenapa-napa. Aku nggak tenang.” Pikiran gue melayang ke mana-mana. Firasat Ayu nggak pernah meleset. Dulu, dia pernah berfirasat hal-hal buruk terjadi pada ibu gue, dan saat gue buktikan kenyataannya, firasat Ayu benar. Ibu gue lagi sakit. Kali ini pun, gue yakin, apa yang difirasatkan Ayu ada benarnya. Ada perasaan ngeri dan khawatir yang merenyut di dada gue. “Selama sebulan ini dia berubah banget,” gumam gue sambil menerawang. Mengingat bagaimana dia yang nggak punya waktu nemani gue saat gue keluar dari rumah sakit. “Sering nggak masuk siaran. Bahkan, pekerjaannya pun dia limpahkan ke orang lain. Gue tanya kenapa, dia bilang ‘nanti kalau udah saatnya, gue kasih tahu lo’. Tapi nyatanya, sampai sekarang, dia masih bungkam sama kita.” “Aku khawatir banget. Makanya, seharian ini aku terus nyari kabar Andi setelah mulangin Adek dan Ayah.” “Terakhir dia kayak gini.…” “Ketika dia menghajar cowok lo sampai masuk ICU.” Ayu berbisik. Gue menggigit bibir. “Aku takut dia kenapa-kenapa, Gi. Aku takut banget.” Tepat ketika gue mau membalas perkataan Ayu, seseorang terdengar membuka pintu. Gue sama Ayu menoleh. Dada gue mencelus seketika. Mata gue membeliak. Cangkir moccacino yang dipegang Ayu sampai terjatuh ke lantai. “And….” Cewek yang melangkah masuk itu bukan Andi yang biasa gue lihat. Rambut ikal di bawah bahunya yang indah sekarang lenyap. Yang menempel di kepalanya hanya rambut setipis kulit ari, membuatnya seperti cowok. Wajah eksotis Andi penuh luka lebam. Dia menggeleng. Sumpah, dia seperti bukan Andi. Namun, ketika mata itu menatap kami, satu hal yang pasti: banyak luka yang tersimpan di sana. Bab 4 “And….” Aku langsung berlari dan menubruk tubuh kurusnya ke dalam pelukan. “Kamu kenapa?” Srikandi membalas pelukanku. Wajahnya tersembunyi di ceruk leherku. Aku mendengarnya mendesah. Mungkin menahan sakit, aku tidak tahu. Srikandi terus terdiam. Dia tidak mengatakan mendapat luka itu dari mana. Pun, tidak menceritakan kenapa dia memangkas habis rambutnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Aku berlari ke dapur, mengambil sekotak es batu dan handuk kecil untuk mengompresnya. Dia duduk di sofa. Menenggak sebotol bir dan mengisap sebatang rokok. “Ada apa?” Aku mengompres lukanya. Dia mengelak. Aku terus memeperkan handuk berisi es batu di lukanya hingga dia meringis kecil. Namun, dia tetap bungkam. Matanya terpejam ketika aku membersihkan luka lebam itu. Ganggi mengangkat kepala Srikandi, lalu membawanya ke pangkuan. Perempuan itu masih membisu selang beberapa waktu. Dengan mata tertutup, dan bibir yang tak henti mengisap rokok. “Gue habis menghajar Bokap.” Aku yang kali ini sedang memijit kakinya seketika terbelalak. “Apa?” “Dia udah menghajar Nyokap bulan lalu.” Ada sesuatu yang seperti menusuk ulu hatiku seketika. Kugelincirkan ludah untuk melarutkan kegetiran yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. “Gue mencarinya ke mana-mana, tapi manusia brengsek itu tak kunjung gue temukan. Gue cari di perusahaannya pun dia nggak ada. Gue cari di anak-anak perusahaannya, di vilanya, di kampungnya, di mana pun, dia tetap nggak ketemu. Manusia sialan itu seperti lenyap selama sebulan ini. Sampai akhirnya, ketika gue lagi nemenin ngamen anak-anak gue di jalanan tadi, gue menjumpai mobil manusia bangsat itu berhenti di perempatan lampu merah. Kaca filmnya turun untuk memberikan beberapa rupiah pada kami. Lo tahu apa yang sedang dia lakukan di dalam mobil? Berciuman sama pelacur berengsek yang gue sangat yakin udah bikin Mama hancur seperti sekarang.” Anak-anak yang dimaksud Srikandi adalah anak-anak jalanan yang dia asuh, dia didik, dan dia beri kehidupan dengan membangun sebuah panti kecil-kecilan. Jumlahnya tak banyak. Mungkin sekitar dua puluhan. “Gue kalap. Sebelum lampu menyala merah, gue nyari kayu balok yang nggak tahu kenapa kebetulan ada di dekat sana, lalu gue hantam kaca depan mobil bajingan itu.” Aku menutup mulut dengan tangan. Tidak mampu mengatakan apa pun untuk merespons cerita Srikandi. “Kamu….” “Kacanya pecah. Perempatan gaduh. Lalu gue buka paksa mobilnya, gue ajak turun bangkotan itu, dan gue hajar.” Aku menggeleng. Menelan ludah. Ini adalah kenyataan pahit yang sangat sulit untuk diterima. “Mungkin dia bakal mati di tangan gue jika aja orang-orang di sana nggak mengendalikan aksi brutal gue.” Srikandi mendesah. Dia bangun, menyambar sebotol bir, kemudian menggasaknya rakus. “Dan gue sekarang menyesal. Kenapa nggak gue bunuh aja tuh orang? Kalau gue bunuh di sana juga, kan, dia nggak akan jadi momok mengerikan lagi yang bisa nakutin Mama.” Aku mengelus punggungnya. Penglihatanku kabur. Penampakan Srikandi tampak mengkristal. Kelopakku memberat. Mungkin sebentar lagi akan ada riak kecil yang jatuh. Air mataku. “Apa yang terjadi dengan Nyokap?” Ganggi bertanya. Dia ikutan menenggak minuman beralkohol itu. Srikandi terdengar mendesah berat sebelum menjawab, “Drop banget.” Dia mematikan puntung rokoknya di asbak. Kemudian menyulut lagi sebatang. “Mama dipukul sama biadab itu di hari di mana gue ngajak kalian berdua nonton.” Astaga! Satu bulan yang lalu? Dan bagaimana aku tidak tahu-menahu tentang berita itu? Ke mana saja aku selama ini? Sampai Mama dipukulin suaminya saja aku tidak mengerti? Pantasan Srikandi terlihat begitu sibuk di luar kantor sebulan ini. Pantasan juga dia tidak memerhatikan kondisi fisik Ganggi selepas operasi—yang mana, merupakan hal yang sangat tidak lumrah terjadi. Melihat sahabatnya kena flu saja dia bisa berlebihan. Asap rokok Srikandi berkeliaran di ruang tengah. Dia menumpukan kedua tangannya di atas lutut. “Untuk sebuah alasan yang sangat bajingan sekali.” Dia menggeleng, mengelus kepalanya yang nyaris botak, lalu menenggak lagi birnya. “Alasan apa?” tanya Ganggi. “Bajingan itu pulang membawa gundiknya. Hal yang sangat lumrah sekali apabila Mama marah, menjerit histeris, mengusir anjing betina itu. Tapi yang ada, si berengsek itu malah memukul Mama. Meninjunya. Menendang-nendang perutnya. Me—“ Aku memeluk Srikandi dari belakang. Air mataku sudah tumpah duluan. Aku tidak sanggup mendengar cerita lanjutannya. Aku tidak sanggup membayangkan sakit yang ditanggung Mama. “Sekarang keadaan Mama gimana?” tanyaku di sela isak tangis. Ganggi ikutan memeluk tubuh Srikandi. Bedanya, dia tidak menangis kayak aku. “Mama gue bawa ke rumah sakit. Gue takut, apabila nanti gue nggak di rumah, manusia sialan itu balik lagi ke rumah dan bertindak kasar kepada Mama.” “Lo harus kuat untuk nyokap lo, And.” “Gue akan menjadi Srikandi buat ibu yang udah ngelahirin gue, Gi. Kalau di cerita pewayangan, Srikandi ngebunuh Bisma, di dunia nyata ini, gue yang akan membunuh manusia sialan itu.” Air mataku hambur sejadi-jadinya. Pernyataan Srikandi tadi adalah ungkapan kata yang paling menyakitkan untuk aku dengar. Rasa sakit itu tidak hanya diderita Srikandi, tapi juga aku, dan Ganggi. Apa yang dialami Srikandi turut mengiris ulu hatiku. Aku tidak tahu bagaimana perempuan kurus itu menyembunyikan luka di balik sikap tegarnya. Kami bercerita sampai tengah malam. Ruang tengah kontrakan Ganggi berantakan akan serakan botol bir dan puntung-puntung rokok. Srikandi bangkit menuju kamar utama, kemudian berhenti di depan sebuah cermin besar yang menampakkan bayang tubuh manusia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia tertawa kecil. “Gue benar-benar kayak laki, ya.” Srikandi bergaya di depan cermin. Mengelus-elus kepalanya yang pelontos. Aku pun turut tersenyum. “Iya,” jawabku bersungut-sungut. Berdiri di sampingnya. “Dadamu terepes gitu.” Aku melihat pantulan Srikandi yang tertawa renyah. Giginya bak barisan biji mentimun. Rapi dan menguning akibat dia sering merokok. “Kamu bukan tipe Abimana banget.” Srikandi sukses tergelak. “Manusia aneh itu nyarinya yang gede-gede.” “Punya gue gede.” Ganggi berdiri di sisi Srikandi yang lain. Aku dan Srikandi terkekeh. Tinggiku memang tidak setara dengan Srikandi yang kayak tiang listrik itu. Tapi jika dibandingkan dengan Ganggi, aku bisa membusungkan dada untuk urusan tinggi badan. “Tapi gue ogah kalau dientot Abimana.” “Kenapa?” “Dia ganteng, sih.” Ganggi memainkan rambut sebahunya, merapikan poni pagarnya. “Tapi kere.” Aku dan Srikandi kembali terkekeh. “Ngentot sama dia cuma dapat ampasnya doank.” “Cowok ganteng katanya memiliki benih yang bagus untuk pembentukan anak kelak.” Aku membersihkan belek dari pojok-pojok mata. Ganggi menoleh ke arahku. “Seriously, Yu, lo masih mengidamkan cowok ganteng di dunia metropolitan gini?” Dia menggeleng. Bikin rambut pendeknya goyang-goyang. “Ya nggak gitu,” jawabku, mematut diri di depan cermin. “Tapi ‘kan aku pengin punya anak lucu-lucu yang menggemaskan. Minimal yang pantas dipandang mata, lah.” “Tapi selera lo bukan Abimana, kan?” “Ya nggak, lah.” Aku memutar mata. “Anak aku bisa seaneh dia kalau aku nikah sama Abimana.” “Selera Ayu itu Mas Sabrang.” Refleks aku mencubit pinggang Srikandi. Dia mengaduh. Aku memanyunkan bibir. “Mas Sabrang bibit unggul. Pinter lo milih calon laki,” komentar Ganggi. Kali ini, perhatiannya terpusat pada barisan kukunya yang dia cat merah muda. Aku hanya mencibir. “Iya, pintar cari calon laki. Tapi nggak pintar mengungkapkan isi hatinya.” Kembali aku mencubit pinggang Srikandi. “Ngomong sana sama Mas Sabrang. Biar nggak diduluin orang.” “Di semua siaran Ayu, kan, cewek ini selalu kirim pesan buat Mas Sabrang. Mas Sabrangnya saja yang nggak ngeh dengan pesan-pesan Ayu.” Ganggi tertawa kecil. Dia mendongak meledekku. “Ya, iyalah. Siaran dia kan selalu jadi ajangnya curhat.” Srikandi menimpali sambil terkikik geli. Sumpah, aku ingin membungkam mulut mereka berdua. Sahabatku itu akan bertransformasi menjadi iblis jika sedang mencela rasa sukaku pada Mas Sabrang. Aku mau mengelak, tapi tak punya bahan. Memang kenyataannya aku jatuh cinta padanya. Di hari pertama KKN di radionya. Mas Sabrang. Sialan. “Cinta terpendam itu seperti memelihara api dalam sekam. Membungkam ratusan jerit. Sementara apa yang ada di dalam hati kita seperti berontak tapi tak kuasa.” Ganggi tergelak heboh. Dia bergelayut di lengan Srikandi. “Kalian bisa diam nggak, sih?” “Jatayu Maheswari, lo itu cantik, dan kecantikan lo sia-sia banget kalau hanya lo gunakan untuk memendam rasa cinta lo pada Mas Sabrang.” Ganggi kembali meluncurkan racunnya. Aku tak menggubris. Tanganku bersedekap. Bibirku mengerucut. Sebal. “Lo ajarin sono, Gi, cara-cara ngegebet cowok. Kan lo ahlinya.” Srikandi menjatuhkan racun lain. Aku melengos. Mataku menatap langit-langit. Apa ya namanya? Mereka ini kayak kelebihan muatan di bibir saat sedang mencibirku. Untuk urusan kepolosanku, mereka yang mengatakan aku polos, aku tak peduli. Tapi kalau untuk urusan hati, aku merasa tersengat. Ini beda pembahasan soalnya. Menyangkut orang yang sering aku impikan. Mas Sabrang. Siapa lagi? “Lo cuma butuh keberanian,” sabda Ganggi. Mengangkat dagu. Angkuh. Manusia mungil satu itu memang casanovanya kaum perempuan. “Tubuh lo ideal. Impian banyak laki-laki. Coba kalau lo agak liar sedikit. Pasti, deh, banyak laki-laki yang antre menjadi cowok lo.” Aku menutup telinga. Suara tawa dua perempuan itu menusuk-nusuk daun telingaku. “Penting, ya, bahas aku?” Aku masih cemberut. “Penting nggak penting, sih.” Ganggi membersihkan kuku-kukunya. “Kalau lo bisa ngegebet Mas Sabrang, lo bakal jadi perempuan paling beruntung.” “Tak tahulah.” Aku mengangkat kedua pundak. Kembali menatap cermin. Lebih tepatnya Srikandi yang bergaya sok lelaki di sana. Mataku menyipit, lalu melirik Srikandi. “And, kamu maskulin banget, sih. Coba kalau kamu laki-laki, pasti aku deketin. Secara kamu ‘kan temen aku, pasti aku nggak akan punya rasa malu untuk pedekate sama kamu, kan?” Srikandi tersenyum simpul saja. Bersedekap. Kalau aku tidak mengenal Srikandi, dan kebetulan bertemu dia di salah satu tempat, bisa kupastikan, aku jatuh cinta kepadanya. “Lo kenapa, sih, memangkas rambut sampai habis?” Ganggi melirik Srikandi lewat pantulan cermin. “Lo jadi nggak jauh beda dengan tuyul, kalau lo mau tahu. Fashion lo nggak funky banget.” Helaan napas Srikandi terdengar sebelum menjawab, “Gue ingin menjadi orang yang dibenci bokap gue.” Dia mengelus kepala nyaris pelontosnya. Tersenyum miring. “Maksudnya?” “Ingat, kan, bokap gue nggak suka anak cowok?” Dia maju mendekati cermin. Mengamati lagi wajahnya lebih detail. “Makanya, gue mau mengubah tampilan gue menyerupai cowok. Biar dia semakin benci sama gue. Siapa tahu dengan begitu, dia darah tinggi, stroke, terus mati, deh.” Aku terdiam. Pun Ganggi. Srikandi menarik dirinya ke tempat semula. Ikutan geming. Kami bertiga menatap bayang tubuh kami masing-masing di pantulan cermin. “Lo pernah dengar, nggak, sih, kalau cermin itu adalah benda yang paling jujur?” Srikandi bersuara. Lirih. “Gue pernah dengar,” jawab Ganggi. Srikandi menggeser tempatnya berdiri. Sekarang giliran Ganggi yang ada di tengah-tengah. “Apa yang bisa lo lihat?” tanya Srikandi. Aku mengernyit. “Tubuh kita bertiga.” “Lebih dari itu?” “Yang gue lihat… diri kita sendiri.” Ganggi berbisik. “Tanpa ada topeng, tanpa ada pemanis, tanpa ada… kebusukan yang sedang kita sembunyikan.” “Ada lagi?” Aku ikutan menyelisik yang sedang mereka berdua tatap. “Diri kita. Nggak peduli kita memiliki masalah apa. Nggak peduli apa yang terjadi pada kita, pada akhirnya, kita sendirilah yang bisa menyelesaikannya. Semua masalah kita, cara kita menghadapinya, pada akhirnya, kita ya kita. Aku, Ganggi Naladipa, Srikandi.” Srikandi tersenyum kecil. “Kira-kira kita bisa bersama terus, nggak, ya, sampai nenek-nenek nanti?” “Ya pasti, lah,” sambarku bahkan tanpa berpikir. “Aku, kamu, dan Ganggi itu manusia-manusia gila. Manusia-manusia nggak masuk akal, yang akan terus bersama sampai nenek-nenek.” “Gue bakal tetap, cantik nggak, ya, kalau gue tua nanti?” Ganggi kelihatan berpikir. “Gue nggak mau jadi nenek yang semua kulitnya kendor. Nggak punya muka kalau bertemu dengan Abimana. Bisa dikata-katain nenek-nenek, ntar.” “Kan, kalau kita jadi nenek-nenek, Abimana juga bakal jadi kakek-kakek, lah, Gi.” Aku berkomentar. “Ikutan renta. Kulitnya juga kayak baju belum disetrika setahun. Kusut banget. Kamu mengharapkan Abimana tetap seperti sekarang? Keenakan dia banget.” “Ya, siapa tahu aja, cuma usia gue yang mengalami penuaan. Tapi kulit gue tetap meremajakan diri.” “Aneh-aneh aja pikiran lo, Gi.” Srikandi membusungkan dada. Kemudian melepaskan napas dengan berat. “Seperti apa pun kita nantinya, gue berharap kita selalu bertiga selamanya. Gue akan menjadi bridesmaid paling maskulin yang pernah ada di pernikahan kalian berdua. Gue juga yang harus menamai anak-anak kalian entar. Gue yang akan mengantar anak-anak kalian sekolah. Dan gue yang akan mengajari mereka karate. Keponakan-keponakan gue harus pandai bela diri supaya nggak ada yang menyakiti mereka.” “Terus anak-anak lo bagaimana? Suami lo bagaimana? Nggak lo urus?” Srikandi tak menjawab. Hanya mengedikkan kedua pundaknya, lalu beranjak ke kasur. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan dengan ucapannya barusan. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan tutur katanya. Apa, ya? Kayak ada yang janggal gitu. Aku juga tidak tahu itu apaan. == Hal yang aneh pada diri Abimana selain kegemarannya gonta-ganti pasangan yaitu dirinya sendiri. Aku mengernyit begitu melihat sosoknya. Dia memakai pakaian pantai, lengkap dengan topi pantainya. Bahkan, aku sampai menajamkan penglihatan hanya untuk memastikan Abimana membawa tongkat—ralat—stick drum di kedua tangannya. Aku menggeleng. Sepanjang lintasan memoriku, satu-satunya nama Abimana yang kukenal, tak pernah bertemu muka dengan grup band. Tak pernah terlihat asyik masyuk dengan alat-alat band. Dan jika aku masih waras, stick drum termasuk alat band, bukan? Pertanyaannya, kenapa manusia berambut gondrong itu memegang sepasang stick drum di kedua tangannya, hah? “Kamu baru pulang apa mau berangkat ke pantai?” Aku menowel lengan Abimana. Laki-laki itu berpaling ke arahku, kemudian tersenyum lebar. “Woi, Yu, gila banget, tadi malam Kanaya hebat parah di atas ranjang. Pinggulnya gede gila. Dadanya montok. Yu, lo kalau mau mencari referensi untuk membengkakkan aw—“ Sebuah cubitan praktis aku layangkan ke lengan Abimana. Aku mendelik. “Kok, lo malah nyubit gue, sih?” “Abimanaaa, aku nggak ada niat buat membengkakkan apa pun.” Suaraku penuh penekanan. Aku mengentakkan kedua kaki. “Lalu, hubungan kamu bercinta sama Kanaya, dengan kamu ke kantor pakai baju pantai, topi pantai, sertaaa stick drum apaan, hah?” Laki-laki di hadapanku hanya tertawa saja. Tak menunjukkan respons apa pun. “Hari ini kayaknya akan gerah. Jadi gue pakai baju pantai biar nggak kepanasan.” Lagi, lipatan di dahiku semakin dalam. Panas? Demi apa? Di luar mendung, bahkan tadi subuh saja, air hujan seperti mau menenggelamkan Jakarta. Kabut tebal membungkus jarak penglihatan jadi hanya beberapa meter. Dan Abimana, dengan segala kewarasannya, mengungkapkan kata gerah? Gerah? Aku jelas-jelas berada di koridor yang berbeda dengan Abimana. “Kamu pasti sakit, ya, Bi. Kebanyakan bercinta dengan temen perempuanmu paling. Sekarang mendung, Bi. Mungkin bentar lagi hujan. Gerah dari mananya?” Abimana mengangkat dagu. Kedua alis lebatnya yang hampir menyatu di atas pangkal hidung, dia tarik-tarik ke atas. “Lagi pula….” Aku tak mampu menghitung berapa putaran mata sejak aku menghampiri Abimana. “Kamu kenal dari mana lagi tuh Kanaya?” “Dari mIRC. Pertama, gue chating sama dia. Terus berlanjut ke SMS-an. Terus lanjut lagi deh ke entot-entotan.” “Terserah.” Aku mengibaskan sebelah tangan. “Terus itu.…” Telunjukku menunjuk tangan Abimana. “Ngapain bawa-bawa stick drum?” Kembali, laki-laki aneh tersebut cengengesan. Dia menggaruk kepalanya. “Kemarin setelah gue ngentot sama Kanaya, gue mampir sebentar di toko peralatan band di sebelah hotel tempat kami check in. Gue beli aja stick ini. Habis lucu, sih.” “Lucu?” Aku membutuhkan kosakata lebih dari kata ‘gemas’ untuk menggambarkan situasi hatiku saat ini. “Abimana, stick drum itu lucu bagian mananya, sih?” Abimana memasang wajah tanpa dosa. Dia menyodorkan sepasang stick itu kepadaku. Cengirannya masih tersedia di bibir tebalnya. “Ya, lucu aja, mereka berdua pelontos. Kayak Tuyul dan Mbak Yul. Makanya gue beli. Nah, karena sepulang dari toko itu gue baru ingat kalau gue nggak bisa mainin drum, terus nggak ada minat juga untuk belajar, jadi nih stick drum buat lo aja, Yu. Gue juga nggak tahu, kenapa sampai bisa tertarik sama karisma mereka berdua.” Yang aku butuhkan sekarang adalah makna kata karisma dalam KBBI, supaya aku bisa mafhum kenapa seorang Abimana bisa menyematkan kata itu kepada stick drum. “Buat aku?” “Buat kenang-kenangan dari cowok kece macam gue.” Aku melongo. Bingung mau menjawab apa. Aku menggaruk-garuk kepala, menerima pemberian dari Abimana. “Kalau kamu saja nggak tahu mau dipakai buat apaan nih stick, masa iyaaa kamu ngasih ke aku? Buat apaan?” “Terserah lo. Barang yang udah gue kasih, haram hukumnya kalau lo buang.” “Sebenarnya kamu kenapa sih, Bim?” tanyaku penasaran sambil memasukkan tongkat, yang aku tidak tahu bakal kubuat apa itu, ke dalam tas. Habis, gelagat Abimana terlihat sangat mencurigakan, sih, dari tadi. Selain setelan bajunya yang tidak banget, sedari dia mengobrol denganku, kepalanya celingak-celinguk kayak takut terlihat oleh orang-orang. Pasti ada yang dia sembunyikan dariku, nih. Aku mengendus aroma masalah yang dikuarkan dari perangainya. “Udah, nanti aja gue ceritanya. Sekarang kita ngobrolnya di pantri aja. Biar nggak ada orang lain yang iri dengan stick yang gue berika buat lo.” Abimana main mendorong punggungku menuju pantri. Dia masih tampak gelisah. Jelas, nih, ada yang tidak beres dengan Abimana. Dan aku hanya bisa berdoa, hal itu tidak berimbas apa pun dengan kerjaannya—apalagi denganku. “Ih, jangan dorong-dorong aku juga, dong. Lepasin pundakku, Bim.” Aku masih menggerutu sebal begitu kami sampai di pantri. Abimana meminta dibuatkan kopi. Sialan sekali dia. Kerja saja belum mulai sudah main minta dibikinin kopi. Aku menyeduh air ke dalam teko. Menolak permintaan OB yang berniat membantuku. Lalu, kuracik takaran kopi buat Abimana yang sudah kuhafal di luar kepala: tiga sendok kopi, dan setengah sendok gula. Abimana pengidap gangguan kejiwaan nomor duapuluh tiga versiku: penggila berat kopi pahit. “Jadi apa masalahmu?” Aku berbalik. Bersandar pada tepian meja. Kedua tanganku bersedekap. Aku menelisik Abimana dari kepala sampai kaki. “Kamu kayak orang ketakutan tahu, nggak?” Senyuman aneh Abimana yang menjawab rasa penasaranku. Laki-laki itu melepas topinya, membuka ritseleting tas pinggangnya lalu mengeluarkan miniatur Nobita dari dalam sana. Bibirnya mencebik. “Dimarahin bos,” ujarnya lirih, duduk di bangku berkaki tinggi dan menggeletakkan kepalanya di meja. Abimana memainkan miniatur Nobita yang kepalanya bisa bergerak-gerak. “Padahal gue cuma ngasih intermezo di siaran gue.” Sebelah alisku tertarik ke atas. “Intermezo?” Jelas, di sini intermezo yang diucapkan Abimana memiliki makna mendekati bahaya. Abimana tanpa intermezo saja sudah sering membuat keributan di acara siarannya, seperti menghadirkan narasumber seorang pemulung (Abimana berspekulasi tentang trip ala anak jalanan, dan itu sukses mendapat murka dari Mas Sabrang). Apalagi sekarang ditambah kosakata intermezo? “Intermezo apaan?” “Ya biasa, lah… sedikit humor biar acara siaran gue nggak ngebosenin.” “Iyaaa, apaaa?” “Kan, lo tahu sendiri gue orangnya bosenan.” “Iya…, terus intermezo-mu apaan?” Teko di belakangku berdenging nyaring. Aku menggeleng menanggapi ucapan-ucapan yang secara ngawur terpeleset dari lidah Abimana. Aku berbalik, mengangkat teko dengan waslap, lalu menuangkannya ke dalam cangkir. Di balik punggungku, laki-laki penggila naik gunung itu masih meneruskan ceritanya. “Kan, selama ini Pelita dikenal dengan channel yang itu-itu mulu. Naaah, gue mau ngubah paradigma masyarakat akan radio kita ini, Yu. Makanya, di siaran Trip and Adventure kemarin, gue nyelipin hal lucu-lucuan.” Aku menghela napas besar. Mematikan kompor, meletakkan kembali teko di atasnya, aku mengaduk kopi pahit itu. “Lucu?” Seluruh jagad persiaran Pelita FM pasti akan serempak berpendapat bahwa, lucu versi Abimana adalah bencana bagi semua insan. Terdengar sangat berlebihan memang. Tapi Abimana memang tercipta dari partikel-partikel berlebihan itu. “Hooh.” Abimana menjawab. Suara rintikan hujan terdengar menimpa atap-atap kantor. Aku menoleh ke arah kaca di sisi lain pantri. Gerimis mulai berdatangan. “Lucunya seperti apa? Jangan aneh-aneh deh, Bim. Lebih baik kamu bikin frekuensimu saja sendiri daripada kamu merusuh radionya Mas Sabrang.” Aku menyodorkan secangkir kopi itu kepada Abimana. “Aku nggak heran kamu ketakutan seperti saat ini. Kapan Mas Sabrang marahin kamu?” “Yuuu, kok lo malah nggak bela gue, sih?” “Ya nggak bakal aku belalah kalau kamu ngebawa orang jihad di radio kita. Apalagi di acara Trip and Adventure.” “Kok kamu tahu aku bawa orang jihad?” Aku melongo. Pupilku membuka lebar. Tadi aku hanya berkata asal tentang jihad itu. “Kamu… apa?” Sialnya, laki-laki aneh itu kembali memamerkan sejumput tawa garingnya sebagai respons keterkejutanku. “Kamu bawa orang jihad di sini?” Aku melotot sempurna. Sampai kukorek-korek kupingku hanya untuk memastikan apa yang aku dengar adalah kebenaran. “Serius?” “Namanya Basori. Gue kenalnya di halte depan sana. Dia ini agamais banget. Menyerukan Islam berperang melawan serangan Israel ke Palestina. Makanya, gue bawa aja ke radio biar keyakinannya didengar orang banyak.” “Ya, Tuhaaan.” Aku menepuk jidat. Bersandar di dekat kompor. Bisa aku bayangkan bagaimana gaharnya Mas Sabrang saat mendengar kicauan sang laki-laki halte itu tatkala sedang jihad. Jihad? Ya Tuhan, rasanya aku sangat sulit mendengar kenyataan ini. Abimana sekali lagi mengumbar tawa. Yang aku tak tahu adalah, dapat stok dari mana keanehan seorang Abimana? Seberapa tebal urat malu Abimana? Sampai di situasi segenting ini, manusia berbadan gempal itu masih punya persediaan tawa di sudut-sudut bibirnya? Aku pusing. Aku membutuhkan segelas teh hangat untuk membasuh kerongkonganku. “Kan, sekali-kali aja, Yu. Biar bervariasi gitu radio kita.” “Bervariasi gundulmu?” Aku menyeduh teh, memunggungi Abimana. “Kalau kamu masih ingat, bulan lalu kamu bawa pak camat ke sini. Trip di kecamatan atau apalah itu alasanmu. Kamu kira ini radio milik embah kamu, apa? Rensi-rensi yang kamu bikin dan disetujui Andi, tuh, kamu ubah seenak jidat kamu. Bahkan, kamu main sembarangan mengganti acara siarmu tanpa perencanaan terlebih dulu, apalagi diskusi dengan kaproksi. Main memberikan bom kejutan saat kita semua harap-harap cemas dengarin kamu mengudara. Nggak kayak gini juga, Bim, improvisasi dalam on air. Kamu menjatuhkan itu namanya. Kalau kamu terus-terusan seperti itu, aku takutnya kamu bak—“ Dan, aku terdiam. Tubuhku menegang sempurna. Mataku membelalak. Aku yang kembali berbalik untuk melihat raut muka Abimana, tahu-tahu merasakan bumi berhenti berputar. Dan, jutaan air hujan itu mengkristal di udara. Di sana, di ambang pintu pantri, sosok pangeran idola yang selalu aku cumbui ketika mimpi, yang selalu aku kirimi pesan di acaraku, tengah berdiri tegap. Memang tidak seperti Abimana yang memiliki tubuh gempal, fisiknya cenderung ramping, dengan bahu yang lebar. Rambutnya sedikit panjang, dan ia ikat secara serampangan, sehingga anak-anak rambut yang tidak turut terangkum ikatan, berantakan di samping-samping kuping. Laki-laki tersebut memiliki mata hitam seumpama langit malam. Hidung bangir yang meningatkanku dengan sebiji pisang. Bibirnya ranum. Berwarna merah lembut. Aku pernah berkali-kali, dalam khayalan nakalku, membayangkan bibir-bibir itu mencumbui bibirku. Tapi tentu saja, aku selalu merasa bersalah setelah itu. Aku takut orang tahu isi hatiku kepadanya. Sosok tersebut mengayunkan langkahnya mendekati Abimana. Berdeham dengan suara besar yang khas, ia telah menyedot perhatianku seutuhnya. “Abimana! Mau sembunyi di mana lagi kamu, hah?” Abimana tersentak. Kepalanya kontan menegak. Terlihat terkejut beberapa detik, namun pada detik berikutnya, kembali Abimana terkekeh sambil menggaruk kepala. “Eh, ada Mas Sabrang.” Bab 5 Gue masuk pantri tepat ketika Mas Sabrang, Abimana, serta Jatayu sedang terlihat bersitegang. Gue ralat sedikit. Tepat ketika Mas Sabrang dan Abimana tampak bersitegang, sementara tak jauh dari mereka berdua, berdiri Jatayu yang tersenyum nggak jelas sambil menangkup gelas. “Sorry mengganggu.” Interupsi suara gue membuat Mas Sabrang dan Abimana yang berdiri memunggungi gue berbalik refleks. “Saya mau ngopi sebentar.” “Innalillah!” seru Abimana mengerikan. Matanya membeliak. Kedua tangannya menutupi mulut. “Anda siapa?” Mas Sabrang bertanya dengan nada penuh emosi. Kelihatannya, dia nggak suka banget acaranya gue ganggu. Gue cuma pengin ngopi, nggak mau mengganggu apa pun forum yang sedang mereka dirikan. Adem banget anjing udara pagi ini. Mana sempat kehujanan lagi. Kepala gue bisa pening kalau nggak buru-buru diasupi kafein. Gue melangkah mendekat. Mengabaikan pelototan mendramatisasi Abimana yang terlihat syok menatap gue, gue menjawab pertanyaan Mas Sabrang sambil meringis kayak orang bego. “Saya Srikandi, Mas Sabrang. Mas Sabrang lupa, ya? Hehehe.” Pria tiga puluh tahunan itu membelalak. “Srikandi?” Dia nggak sungkan-sungkan menampakkan rasa keterkejutannya. Gue mengukur kepala yang basah akibat gerimis. “Kamu apakan diri kamu?” “Mencoba ganti style, Mas Sabrang. Punya rambut keriting bikin kepala saya gatal-gatal.” Tatapan gue beralih pada Abimana. “Ini ada apa, ya, kok rame-rame di sini?” “Lo tuyul-nya Mbak Yul, ya?” “Jangan ngaco, deh, Bim.” “Kalau gitu, pasti lo Mbak Yul-nya.” “Mbak Yul nggak pelontos.” “Kembaran Tuyul dan Mbak Yul yang tertukar?” “Abimana!” “Lo ngeriin banget, sih, And. Pelontos kayak tuyul. Muka lo babak belur kayak jenglot. Lo peranakan hasil pembuahan tuyul dan jenglot?” “Lo bisa diam nggak, sih?” “Gue butuh aspirin.” “Nggak usah sok sinetron, deh.” “Penampakan lo bikin gue ingin terbang ke rumah bordil untuk menyelamatkan mata gue yang udah dijajah secara nggak manusiawi ama perempuan nista, ngeri parah macam lo. Selama ini cewek-cewek yang mengelilingi gue cakep-cakep, montok-montok. Dan sekarang, teganya lo, And, menganiaya mata gue. Lo lebih serem dari preman tauuuk.” “Astaga bacot itu bisa diam, nggak, sih?” “Kalian berdua yang diam!” Gue berjengit seketika. Lupa bahwa Mas Sabrang ada di sini. Gue tersenyum minta maaf. “Maaf, Mas Sabrang. Saya ke sini hanya untuk membuat kopi, sama sekali nggak berniat mengganggu Mas Sabrang, kok. Tapi sepertinya ada sedikit acara yang nggak saya ketahui. Sebenarnya ada apa, sih, Mas Sabrang?” “Kalian berdua ikut saya meeting sekarang juga.” Mengernyit, bingung dengan perintahnya yang mendadak, gue nggak bisa membantah Mas Sabrang. Yang bisa gue lakukan hanya nurut. Bersama Abimana mengekorinya, tepat ketika Jatayu berbicara. “Saya ikut.” Gue menoleh. Abimana juga. Mas Sabrang sampai balik badan. Ya ampun, gue lupa sedari tadi Jatayu juga ada di sini. Memang ada apa, sih? Kok kelihatannya genting banget? Apa ini ada hubungannya dengan amarah Mas Sabrang dengan Abimana? Jangan sampai tuh bocah bikin kerusuhan lagi. “Kamu tidak ada kepentingan di sini!” tegas Mas Sabrang. Jatayu menggeleng, meletakkan gelasnya di atas meja. “Saya ikut.” “Ini rapat antara saya, kaproksi, sama penyiar yang sudah membuat program radio saya berantakan.” Membuat program radio saya berantakan? What the fuck? Apa yang telah dilakukan Abimana? “Hal yang menyangkut Abimana harus saya ketahui.” “Memang kamu siapanya Abimana?” “Ibunya Abimana yang meminta saya untuk mengawasi Abimana.” “Lantas, jika demikian kenyataannya, ke mana saja kamu dua hari yang lalu ketika Abimana menghancurkan program radio saya?” Menghancurkan program radio saya? Jadi benar, Abimana membuat ulah? Apa lagi? Perutku terasa mulas seketika. Mas Sabrang mendengus keras. Setelahnya, dia berbalik, tapi Jatayu kembali mengeluarkan suara yang membuat Mas Sabrang kembali menghadapinya. “Saya tetap mau ikut.” “Kamu tidak ada kepentingan di sini, Jatayu!” Gue terkikik pelan begitu melihat ekspresi Jatayu saat Mas Sabrang meyebut namanya. Wajahnya merona, mulutnya terbuka lebar. Ya Tuhan, dia benar-benar jatuh cinta pada bos sengak ini. “Saya cuma nggak ingin Mas Sabrang memutuskan hal yang salah buat Abimana.” Anjing… cari mati nih anak orang. Tahu apa dia tentang keputusan yang baik dan buruk buat Abimana? Pakai ngehalang-halangin Mas Sabrang, lagi? Parah! Gue mengusap muka. Berharap dalam hati, Jatayu nggak mengacungkan tangan dan menginterupsi Mas Sabrang seenak jidat. “Jatayu Maheswari!” Mas Sabrang menggeram. Gue menutup mata. Sedikit mengintip wanita itu. Gue berani bertaruh, debaran jantungnya pasti lagi salto berkali-kali saking senengnya dipanggil menggunakan nama lengkap oleh Mas Sabrang. “Jika kamu sudah lupa, saya bos di sini. Saya pimpinan di sini. Saya tahu apa yang baik dan salah menurut saya. Apalagi… untuk menentukan keputusan yang TERBAIK buat Abimana. Kamu kembali bekerja. Utang tiga rensimu akan saya tagih sekarang juga jika kamu ngotot mau ikutan meeting.” Kasus ditutup. Jatayu mingkem. Ada raut emosi di wajahnya. Tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa. Mas Sabrang mendahului langkah gue dan Abimana ke ruangnya. Mendengus keras begitu dia menutup pintu ruangannya dengan kasar, kemudian menyuruh gue dan Abimana duduk. “Apa-apaan ini?” Mas Sabrang meraung. Berdiri tepat di hadapan kami sambil bersedekap. “Dua penyiar Trip and Adventure menghancurkan program yang baru didirikan selama lima tahun? Kalau kalian tidak memiliki kompetensi di sini, kalian ngomong, supaya saya bisa mencari pengganti kalian!” Gue semakin nggak ngeh dengan apa yang sedang terjadi. Pagi ini gue hanya ingin ngopi dan ngerokok untuk mengusir kantuk aja. Kenapa malah dapat semprot dari Mas Sabrang? “Mas Sabrang, sebenarnya ada apa, sih?” “Saya belum mengizinkanmu bicara, Srikandi!” Okay. Whateva. Gue kembali terdiam, sementara di samping gue, Abimana masih terkekeh. Otak gue nge-blank untuk mengaitkan cengengesan Abimana dengan amukan Mas Sabrang. Seseorang, bisa kasih tahu gue, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hanya gue yang nggak tahu kenapa bos tertutup itu semurka ini? Gue melirik Abimana, dia balik melirik gue. Ngasih gue senyuman aneh. Sedeng tuh anak. Kayaknya, emang hanya gue deh yang nggak tahu ada apa ini. “Selama sebulan ini tugasmu sebagai kepala produksi siar berantakan! Kamu sering tidak masuk! Kamu sering tidak melapor keanehan kepada saya! Kamu melalaikan tugasmu download lagu, hingga mengakibatkan, lagu Gloomy Sunday nongol di acara kesehatan anak!” Mata gue melotot. Lebar. Permisi, ada yang mau mengulangi ucapan Mas Sabrang barusan? Lagu Gloomy Sunday nongol di acara kesehatan anak? Ini bukan April Mop, kan? Yang benar saja? Lo mau ngeracunin ibu-ibu dengan lagu kematian? Untuk kasus ini, gue belum tahu sama sekali. Memang gue akui, semenjak menemukan Mama dalam keadaan mengenaskan, seluruh perhatian gue terpusat hanya untuk mencari pria keparat itu. Pekerjaan gue benar-benar terbengkalai. Gue nggak ngumpulin rensi. Gue nggak ngecek jadwal siaran. Gue nggak ngecek materi siaran. Gue mangkir beberapa kali dari meeting rutin tiap awal dan akhir minggu. Gue bahkan nggak download lagu buat siaran. Pria busuk itu merenggut semua fokus gue. Tapi, sampai terjadi kelalaian seperti yang diomongin Mas Sabrang barusan…. Parah! Tamat riwayat gue. Gue meringis. Kayaknya gue tahu kenapa Mas Sabrang sampai seemosi ini, deh. “Maaf, Mas Sabrang.” “Kamu bekerja di sebuah perusahaan milik orang lain, Srikandi! Jika kamu ingin berbuat seenakmu sendiri, saya dengan lapang dada menerima surat pengunduran dirimu. Dan silakan membangun radiomu sendiri.” “Saya sama sekali nggak berniat demikian, Mas Sabrang. Saya benar-benar—“ “Ada masalah?” Gue nge-blank. Nggak ada satu kata pun yang gue lontarkan untuk pembelaan. Tembakan Mas Sabrang telak mengenai ulu hati gue. “Tiga tahun yang lalu, ketika kamu berbuat keonaran di sini, yang mengakibatkan hal buruk kepadamu, saya bisa terima. Karena kamu memiliki alasan kuat. Tapi sekarang, Srikandi, demi Tuhan. Saya tidak tahu masalah kamu apa, lalu tiba-tiba kamu menghancurkan radio saya!” Gue masih menatap mata kopi itu. Rasa bersalah begitu erat menggerogoti gue. “Saya benar-benar minta maaf, Mas Sabrang.” “Saya membutuhkan orang-orang disiplin di sini, Srikandi! Orang cerdas itu banyak, sementara orang disiplin itu bisa saya hitung jari! Dan saya sangat tidak suka, salah satu karyawan kebanggaan saya bukan termasuk orang yang bisa saya perhitungkan!” “Saya berjanji, saya nggak akan mengulangi perbuatan saya.” “Saya pegang janji kamu. Saya jatuhkan SP satu atas ulahmu selama sebulan ini.” Gue menelan ludah. Mengangguk kecil setelahnya. “Dan kamu, Abimana.” Abimana mengangkat kepala. Masih mesem-mesem. Sok imut banget dia. “Bagaimana bisa, hah, Abimana?” Suara berat Mas Sabrang kembali membahana. Khas lelaki matang berusia tiga puluh tahunan. Gue tahu umur Mas Sabrang sebab Jatayu sering menyebutnya berulangkali. “Saya sedang mendengar siaranmu seperti biasa, menikmati pembahasanmu mengenai liburan di Ponorogo, lalu tiba-tiba, setelah iklan di segmen pertama, seorang laki-laki bernama Basori berbicara menggebu-gebu tentang JIHAD! KAMU GILA?” Wait? What? Jihat? What the hell! Anjing! Gue melongo. Syok. Hebat. Seluruh tubuh gue menegang. Apa yang baru aja Mas Sabrang muntahkan? Jihad? Jihad di segmen kedua? Anjing! Abimana keparat! Abimana bawa orang untuk jihad di acara kami? Seharusnya gue nggak ngelepasin Abimana siaran sendirian. Seharusnya gue selalu waspada padanya. Kenapa sampai bisa sebego itu ngebiarin nih anak siaran tanpa pengawasa, hah? Pantesan aja Mas Sabrang kebakaran jenggot. Gue nggak menyalahkannya kalau urusannya kayak gini. “Emmm… saya bisa menjelaskan, Mas Sabrang.” “Saya memang menanti penjelasan dari kamu, Abimana? Kamu kira ngapain saya mondar-mandir ke sana kemari kalau bukan untuk mencarimu yang sepagian ini bersembunyi dari saya?” “Saya nggak bersembunyi, Mas Sabrang. Semesta yang menenggelamkan bayangan saya dari mata Mas Sabrang.” Gue menepuk jidat mendengar jawaban dari Abimana. “Kenapa semesta tidak sekalian menghanguskan kamu, hah?” Mas Sabrang berkacak pinggang. Melotot mengerikan. “Dan gara-gara perilaku gilamu itu, saya langsung mendapat telepon dari 377 para pendengar yang protes acara favorit mereka diisi seruan orang aneh bernama Basori atau entahlah siapa itu!” Mas Sabrang menggebrak meja. “Kan, hanya untuk hiburan aja, Mas Sabrang.” “Hiburan? Hiburan? Hiburan sitkom jihad?” Untung ludah Mas Sabrang nggak nyembur. Coba kalau dia tipe-tipe orang yang kalau ngomong suka nebarin air liur. Bisa basah bau bacin tubuh gue. “Jelas, ada yang tidak waras di otak kamu! Kamu harus buka kamus biar kamu tahu apa arti hiburan itu!” Gue ketar-ketir di sini. Nasib Abimana nggak lama lagi, nih, kayaknya. Kalau dia nggak menunjukkan rasa bersalah, bisa gue pastikan, kariernya di Pelita FM bakalan gulung tikar. “Kamu telah melanggar etika siaran Pelita FM!” Dan teriakan itu kembali menggema. Gue mengurut dada. Mau ngorek kuping, kesannya kok nggak sopan banget. Semoga aja kuping gue nggak pengang akibat mendengar jeritan Mas Sabrang sedekat ini. “Buat variasi, Mas Sabrang. Sekali-kali keluarlah dari zona aman. Siapa tahu dengan begitu, banyak pendengar baru yang mau mantengin radio kita.” “Demi Tuhan, Abimana! Demi Tuhan!” Mas Sabrang memekik. Raut mukanya mengeras. “Saya tidak tahu kenapa kamu sampai mendapat IPK 3,7 dan bisa lolos dari pihak HRD. Mau memfitnahmu menyogok pun rasanya sangat jahat, sementara kamu tiap bulan sering kasbon ke Mas Naresh dan sering saya dapati tidur di pos satpam!” Abimana meringis-meringis kecil dan masih belum mengucapkan maaf. Dia ini manusia seperti apa, sih? Gue benar-benar nggak paham, deh, dengan kelakuannya. “Mau menuduhmu hanya mengandalkan tampangmu saja rasanya juga mustahil!” Mas Sabrang masih belum mau menurunkan tekanan suaranya. “Kecuali Mas Ganendra seorang homo baru saya percaya jika kamu menyogoknya dengan tampangmu!” Gue terpingkal seketika. Nggak pernah nyangka Mas Sabrang akan berpikiran seperti itu. “Diam kamu, Srikandi!” Ah, elah! Gue memutar bola mata, sementara menghitung dalam hati kapan pertikaian dua laki-laki lucu di sampingku ini akan berakhir. Kerjaan yang gue tinggal akhir-akhir ini menumpuk banyak. Apalagi mengingat kerusuhan yang telah dilakukan Abimana, dan penyiar yang mengudarakan lagu Gloomy Sunday, gue harus memperketat rencana siar mereka. Kayaknya gue bakal mengadakan rapat dengan Mas Sabrang dan para penyiar untuk kelangsungan hidup Pelita FM. Jelas apa yang telah gue perbuat harus segera ditanggulangi supaya radio ini tidak buntung. “Mas Ganendra sudah punya istri dan anak tertuanya kelas tiga SMP, Mas Sabrang. Nggak mungkinlah dia belok.” “Saya tidak butuh pendapat kamu! Kamu sudah menjatuhkan rating Trip and Adventure ke level terendah yang belum pernah saya dapatkan selama sejarah berdirinya Pelita FM!” “Padahal Pak Basori itu niatnya baik.” “Para pendemonstran itu juga baik niatnya, Abimana! Apa kamu juga akan mengajak mereka ke sini? Lalu berorasi di sini? Begitu?” “Ide bagus itu, Mas. Saya belum pernah mewawancarai narsum demonstran.” Gue benar-benar ingin menenggelamkan tubuh gue di rawa-rawa. Gila, tuh cowok. Stok ide anehnya dari mana, sih? Mas Sabrang nggak hanya mau menerkam Abimana kalau kayak gini urusannya, dia bisa saja memutilasi Abimana dan memakannya mentah-mentah. Pimpinanku tampak geram bukan main. Wajah putihnya semakin memerah. Alisnya bersatu. Cuping hidungnya melebar. Bibirnya terlipat menjadi segaris. Gue bisa melihat buku-buku jarinya terkepal erat sampai otot-ototnya menyembul. Rencana untuk segera menyelesaikan pekerjaan agak-agaknya bakal terpending beberapa waktu, deh. Males banget, seriusan. Problem yang dibawa Abimana dari hari ke hari itu-itu saja. Bosan banget mendengarnya berkilah ini itu. Bekerja damai dengan adanya Abimana di sini merupakan hal yang mustahil. “Kamu saya skors tiga bulan!” “APAH?” Itu bukan suara gue—sekaget-kagetnya gue, gue nggak akan pernah berteriak sesinetron itu. Itu juga bukan suara Abimana. Apalagi Mas Sabrang. Sama sekali bukan. Suara itu berasal dari arah pintu. Gue, Abimana, juga Mas Sabrang, melempar pandangan ke sumber teriakan. Dan menjumpai wanita polos itu tengah berdiri dengan tampang pias di sana. Jatayu. Siapa lagi? Bola mata gue terputar lagi entah untuk yang keberapa lusin di pagi ini. “Jatayu… apa yang kamu lakukan di sini?” Mas Sabrang menggeram. “Saya sudah bilang kan kalau—“ “Mas Sabrang tidak bisa gitu aja, dong, menskors Abimana.” Gue memijat pelipis. Kalau ada Jatayu di ruang diskusi, percayalah, maksud gue, benar-benar percayalah, hal yang tadinya pendek untuk didiskusikan, akan jadi panjang dan melebar ke mana-mana. Jatayu ini drama queen banget. Ibarat kata, jika permasalahan bisa dipermudah, kenapa dipersulit? Ucapkan selamat tinggal pada tumpukan kerjaan lo, And. Gue bertopang dagu. “Saya sangat tidak setuju Abimana diskors. Masih ada cara lain untuk menghukum Abimana. Kenapa harus diskors? Bukankah radio ini hanya akan menskors pegawainya yang sudah berperilaku melebihi batas? Lalu, kenapa Abimana mendapat skors itu, Mas Sabrang?” “Nah, kamu tahu poinnya. Kamu mengerti sem—“ Ucapan Mas Sabrang terhenti tepat ketika pintu menjeblak terbuka. Pandangan kami terlempar lagi ke sana. Ganggi dengan wajah sepucat tembok berdiri dengan mata hampir mencolot dari engselnya. “Srikandi….” “Ya.” “Tadi di ponsel lo ada telepon. Gue angkat. Dari rumah sakit. Nyokap lo—“ Jantung gue mencelus. Rasa takut merajai pikiran gue sekonyong-konyong. “Nyokap lo histeris.” SIALAN! Gue langsung cabut tanpa pamit pada Mas Sabrang. Nyokap histeris? Kenapa, hah? Ini pasti manusia keparat itu yang jadi dalangnya. Pasti. ---- Gue melompat nggak sabaran menuju bangsal Mama begitu sampai di rumah sakit. Seorang perawat yang gue pasrahi menjaga Mama sewaktu gue kerja mengatakan bahwa tadi ada wanita yang berkunjung ke kamar Mama. Perawat itu nggak tahu wanita itu dan Mama ngomong apaan, tetapi begitu wanita tersebut pulang, Mama tiba-tiba menjerit nggak keruan. Gue membuka pintu kamar Mama, dan seketika itu juga gue membeku. Bahu gue turun. Gue berharap bahwa guelah yang menanggung semua sakit yang dia derita. Malaikat gue. Kekasih gue. Di sana, meringkuk sambil memeluk lututnya erat-erat, menangis seperti orang kesetanan, adalah wanita yang selama sembilan bulan merelakan tubuhnya untuk dibagi sama gue. Wanita yang selama dua tahun memberikan air susunya kepada gue. Yang selama duapuluh lima tahun, menjaga dan mendidik gue. Yang selama gue hidup, nggak pernah mengeluhkan sedikit pun capek dari mulutnya. Mama. Gue berjalan mendekatinya. Dan wanita itu berteriak-teriak histeris. Menjeritkan kata pergi. “Ma….” “Pergi kamu dari sini! Pergi kamu dari sini! Pergiii!” Gue emang nggak bisa menjatuhkan air mata, namun hati gue hancur. Seluruh perasaan gue berantakan. Gue mendekati Mama. Wanita rapuh itu kian lantang menyuarakan tangis. Gue nggak kuat, demi Tuhan. Gue nggak kuat. “Ini Srikandi, Ma.” “Pergi kamu! Pergi!” “Ma… yang tenang, ya, Ma. Ada Srikandi.” “Pergi kamu wanita busuk! Pergi!” Gue langsung memeluk Mama. Menjatuhkannya ke dalam pelukan gue. Mama berontak. Memukul-mukul dada gue. Gue memegangnya erat. Mengelus punggungnya berkali-kali. Mama kian histeris. Beberapa perawat datang mencoba menyelamatkan gue dari amukan Mama yang membabi buta. Dua di antara mereka mencekal Mama dari belakang, lalu salah satunya menyuntikkan obat penenang kepada Mama. Mama masih berontak. Berteriak-teriak nggak keruan. Namun, makin lama tenaganya semakin lemah. Makin melemah. Hingga pada akhirnya, Mama tertidur dalam pelukan gue. Gue meminta para perawat pergi untuk memberi privasi, kemudian gue baringkan wanita ringkih ini ke tempat tidurnya. Melihatnya tertidur dalam damai, dada gue terasa sesak. Wajah Mama kian menua. Rambutnya tak sehitam sejak terakhir kali gue mengingatnya. Keriput-keriput mulai menghiasi wajah Mama. Ada lingkar hitam yang tebal di bawah matanya. Dada Mama naik-turun pelan. Seirama dengan napasnya yang teratur. Mama udah tak setegar dulu. Perempuan di hadapan gue ini sudah nggak seceria dulu. Senyumnya hilang. Kehangatannya sirna. Yang tersisa dari tubuh kecil ini adalah rasa panik yang luar biasa. Yang membuatnya histeris berkali-kali. Yang juga membuat gue terpaksa mengeluar-masukkan Mama di sebuah rumah sakit. Untuk mendapatkan pertolongan. Untuk mendapatkan ketenangan. Rumah sakit jiwa. Gue mengambil tangan Mama. Pembuluh-pembuluh venanya menyembul di bawah kulit. Menunjukkan pada gue bahwa waktu begitu berkuasa. Menggerus Mama puluhan tahun dan menjadikannya tua. Gue menarik tangan Mama di depan bibir, lalu gue mengecupnya perlahan. Gue tumpukan kening di sana. Gue eluskan tangan berkeriput itu ke sekujur wajah gue. “Ma… yang kuat, ya Ma. Ada Srikandi di sini. Mama tenang, ya, Ma. Semua kesakitan Mama akan Srikandi balaskan. Semua luka Mama harus ada yang bertanggung jawab. Mama yang tenang, ya. Mama nggak usah khawatir. Srikandi akan membalaskan dendam Mama. Srikandi akan menuntaskan rasa sakit hati Mama. Mama tidur, ya Ma. Nggak usah mikir aneh-aneh. Srikandi sayang Mama. Srikandi cinta Mama.” Lalu gue kecup kening Mama perlahan. Description: nama lengkap: alal IG: alalmalagoar Twitter: @Almalagoar1 “Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #PerempuanHebat 2020.”
Title: Rana Category: Cerita Pendek Text: Rana Layar handphone itu terus disentuhnya. Bukan karena sibuk membalas pesan atau melihat feed instagram, tapi Rana sibuk mencari aplikasi yang bisa menemani perjalanannya agar tidak membosankan selain aplikasi chatting dan sosial media. Suara laju kereta terdengar jelas, bertambah suara orang hilir mudik di dekatnya yang membuka tutup pintu menuju toilet kereta. Memesan kursi paling belakang memang harus menerima konsekuensinya. Rana tiba-tiba teringat masa kecilnya saat menghabiskan waktu sepi dengan membaca. Buku dongeng selalu menjadi favoritnya bahkan jika harus dibaca berkali-kali karena tidak memiliki buku lain. Buku resep ibunya pun terkadang dia baca walaupun dia tidak tahu bagaimana bentuk jahe atau laos. Hingga pada akhirnya dia pernah membaca buku astronomi dari sekolah tempat ayahnya bekerja. Ayahnya yang berprofesi sebagai guru SMA terkadang membawa buku sebagai referensi bahan ajar. Rana tersenyum saat mengingat dirinya pernah bercita-cita menjadi seorang astronot karena buku tersebut. Ketika berumur 9 tahun dia sangat bangga bisa menghapal daftar planet dan mengenal banyak nama-nama benda langit. Bagi seorang anak perempuan, Rana berpikir tampaknya cukup keren memiliki cita-cita seperti itu . Rana tak ingat kembali kapan awal mula cita-citanya mulai sering berubah-ubah. Sempat bercita-cita sebagai guru, dokter, bahkan ingin menjadi artis padahal dia sangat pemalu. Hingga saat ini dia tidak lagi mempedulikan cita-cita. Hanya khayalan belaka yang sepertinya tidak mungkin akan tercapai. Mungkin saatnya mendengarkan lagu saja, headset dipasangnya kemudian dia membuka aplikasi yang berisi sekumpulan daftar putar lagu. Tak sampai satu menit, setiap lagu yang didengarnya dia hentikan. Lirik romantis sepertinya tidak cocok untuk didengarkannya saat ini. Mungkin lagu tanpa lirik akan cukup mengubah suasana hatinya. Rekomendasi daftar putar bermunculan setelah dia menulis musik instrumental di kotak pencarian aplikasi tersebut. Memilih salah satunya tentu tidak akan sulit, yang dia butuhkan hanyalah lagu tanpa lirik. Lagu pertama diputar, terdengar suara gemericik air berpadukan suara burung dan seruling. Rana mengaktifkan tombol shuffle dan menekan tombol next beberapa kali hingga dia berhenti pada lagu pilihannya. Suara grand piano terdengar indah dengan perpaduan synthesizer. Matanya menatap jendela yang berada di sebelah kirinya, hingga akhirnya matanya terpejam. Batas-batas imajinasi sepertinya menghilang. Rana masuk ke dalam hati dan pikirannya sendiri. Rana melayang, seakan suara yang didengarnya tampak memberikan cahaya, seketika itu juga Rana merasa dirinya berjelajah ke laut yang dalam hingga kemudian dirinya merasakan seperti sedang tersesat di hutan. Cahaya dengan beragam warna muncul dan Rana merasakan keindahan yang luar biasa. Description: Seorang wanita bernama Rana yang sering melamunkan kehidupannya
Title: RITUAL 100 KISAH HOROR Category: Horor Text: Prolog: Teror Di Penghujung Malam “Saya ada di mana? Kenapa saya bisa sampai ada di sini?” tanya wanita itu kebingungan. Kirana—bocah SD itu—tak kalah bingung kala mendengarnya. Seharusnya ia yang bertanya pada orang asing itu. Tak sengaja malam itu, ia mendapati seorang wanita aneh yang tiba-tiba saja sudah berada di ruang tamu rumahnya. Wanita itu tampak celingukan memandangi seisi rumah Kirana. Kirana yang mengintip dari sela lemari dari ruang tengah, tak segera menghampiri wanita itu karena merasakan ketidakberesan. Wanita itu jelasnya berada di ruang tamunya bukan untuk bertamu, tapi mengapa ia bisa berada di sana? Wanita yang linglung itu lalu segera beranjak pergi dari rumah Kirana. Kirana bergegas menemui ibunya dan melaporkan kejadian aneh tersebut. Ibunya malah menjawabnya dengan tenang, “Itu adalah orang yang tengah menjalani ritual gaib agar memperoleh kekayaan secara mendadak. Orang yang seperti itu biasanya berjalan sendiri tanpa sadar melangkahkan kakinya hendak ke mana.” Kirana pun menyadari lingkungan sekitarnya yang ada juga dihuni oleh orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan mahluk gaib demi mendapatkan keuntungan seperti memelet orang, mendapatkan kekayaan tanpa harus bekerja, kesaktian dan sebagainya… *** Sudah beberapa hari ini, ibu Kirana diteror penyakit kista yang dideritanya. Perutnya membesar. Mujizatnya, jika ia solat dan berdoa, penyakit tersebut mereda. Keluarga mulai merasakan ketidakberesan akan datang dan hilangnya penyakit tersebut yang terjadi begitu saja. Apalagi begitu mendengar pengakuan ibu Kirana bahwa ia bisa melihat hal yang aneh-aneh di luar kewajaran—jin. Ia juga mengaku merasakan adanya jin yang bertengger di pundaknya. Mereka juga merasakan teror itu akan terus berlanjut… *** “Kyaaaaaaa!!” Teror itu seolah menyebar ke seisi rumah Kirana. Siang itu dihebohkan oleh suara jeritan Kayla—teman sekolah Kirana—yang biasa bermain di rumahnya. “Ada setan di toilet! Pas di belakang pintu! Rambutnya panjang dan wajahnya pucat! Ngeri banget!!” histerisnya sebelum berlari pulang. Setelah itu, ia tak mau datang lagi ke rumah Kirana. Hal yang sulit dipercaya dan dicap mengada-ada. Apalagi yang mengatakannya hanya seorang bocah kecil. Tapi ibu Kirana membenarkan bahwa hal ganjil seperti itu memang ada di rumah ini! *** Malam itu, Kirana terbangun karena ingin ke toilet. Tapi ia takut begitu mengingat kejadian tadi siang yang dialami oleh temannya. Oleh karena itulah, ia berniat membangunkan ibunya yang berada di kamar sebelah untuk menemaninya ke toilet. Ketika ia membuka pintu kamar ibunya yang sedang terlelap, ia tercekat. Sesosok mahluk ganjil berupa manusia dewasa tengah meringkuk di ujung tempat tidur—di bawah kaki ibunya. Mahluk itu memandangnya bengis dan seperti hendak menerkamnya bagai anjing! Brak! Kirana langsung menutup pintu itu dan berlari bersembunyi di kamarnya karena ketakutan. *** Penyakit ibu Kirana belumlah benar-benar sembuh! Berbekal kenalan orang pintar, keluarganya pun membawanya ke sana. Pak Alif—si orang pintar itu—menyiramkan “air yang telah disucikan” ke sekujur badan ibu Kirana. Lalu ia mengusapkan sebutir telur ke sepanjang kaki ibu Kirana. Saat dipecahkan, isi telur itu berwarna hitam dan berisi paku-paku serta pecahan tulang manusia. Pak Alif menduga bahwa benda-benda angker itu berasal dari “kiriman” seorang dukun ilmu hitam yang berniat buruk pada keluarga ibu Kirana. Sejak pengobatan gaib itu, ibu Kirana semakin sensitif. Wanita itu mengaku trauma keluar rumah karena sering melihat manusia tanpa kepala berjalan-jalan di sekitarnya. Ia juga mengeluhkan kakinya yang terasa panas jika menginjak tanah pasar. Masyarakat pasar mengakui jika ada segelintir orang yang tengah mengujicobakan ilmu hitamnya di tengah keramaian. *** Malam itu, bendera putih yang berdiri tegak di depan rumah Kirana turut merasakan duka. Rumah Kirana ramai didatangi pelayat. Nenek Kirana yang menderita lumpuh selama tiga tahun, akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Terdengar isu beliau yang meninggal saat buka puasa itu, mati karena diguna-guna. Hal itu sepertinya bukan sekadar isapan jempol. Sang paman Kirana mengakui bahwa ia melihat bayangan besar melintas di ruangan tempat almarhum sang nenek disemayamkan. Malam berikutnya, ayah Kirana juga mengaku melihat seonggok cahaya menari-nari di kegelapan di balik gorden ruang tengah. *** Keesokan malamnya lebih mengejutkan lagi! Ibu Kirana yang masih memakai mukenah, keluar dari kamar dalam keadaan linglung. Ia lalu menunjuk-nunjuk Kirana yang sedang bermain kartu bersama adik-adiknya dengan jari tengah sambil menegurnya keras, “Mengapa kalian memainkan permainan kotor itu?! Tak tahukah kalian bahwa kalian sepertinya bermain dengan tangan tengkorak, mata kalian melotot hendak menjorok keluar, dan lidah kalian menjulur ke lantai seperti anjing?!” Kirana seperti tak mengenali ibunya sendiri. Kirana membela diri jika mereka tidak sedang berjudi. Wanita yang dikasihinya—yang sudah seperti orang lain—itu tak mau tahu. Tak hanya menegur Kirana, wanita itu juga menegur paman dan bibinya yang didapatinya tengah tertawa-tawa di tengah suasana yang masih berkabung. Setelah itu, beliau pun jatuh pingsan. Sang paman yang tak kalah syoknya akan sikap ibu Kirana itu, mengaku melihat ada cahaya di jari tengah saat ia menunjuk-nunjuk tadi. *** Setelah sadar, ibu Kirana tak mengingat apa-apa selain sedang melakukan solat. Kuat dugaan, ibu Kirana kerasukan. Lalu ia mengakui antara sadar dan tidak, ia melihat sosok di balik jendela tadi. Sosok itu berwajah ramah, berjanggut, dan berpakaian putih. Ibu Kirana menduganya sebagai nenek noyang. Ia menyampaikan sesuatu meskipun agak buram, agar berhati-hati pada halaman belakang rumah mereka, di mana berada sumur tua yang sudah ditimbun. Kata sosok itu lagi menurut ibu Kirana, dalam sumur itu ada kain putih, pasir, tulang jari mayat, potongan gigi, dan air. *** Misteri yang masih belum terselesaikan itu pun diakhiri dengan penggalian sumur tua yang telah disemen itu. Dan ternyata pengakuan ibu Kirana bukan sembarang bicara. Di dalam sumur itu, memang ada bungkusan plastik yang di dalamnya berisi benda-benda tak wajar yang disebutkan ibu Kirana tadi. Benda-benda itu lalu dibawa ke rumah Pak Alif untuk menanyakan apa maksud dikuburnya benda-benda sepele itu ke sumur. Pak Alif menyatakan bahwa benda-benda kecil itu adalah benda-benda untuk memelet keluarga Kirana. Sepertinya ada yang iri dengan keluarga Kirana. Atas saran Pak Alif, benda-benda itu pun dibuang ke sungai yang mengalir dan tidak dibakar. Siapakah pelaku yang meneror keluarga Kirana selama ini? Keluarga Kirana pun bertanya-tanya. *** Pertanyaan itu terjawabkan begitu malamnya, keluarga Kirana melihat ada cahaya melintas serupa balon dari depan rumahnya meletus di pagar rumahnya. Menurut kepercayaan, garam yang ditaburi ke seluruh pelosok rumah berguna untuk pembentengan terhadap ilmu hitam. Oleh karena itulah, cahaya yang dicurigai sebagai “kiriman” dukun ilmu hitam tadi pecah hanya sampai di pagar karena halaman rumah Kirana telah ditaburi garam. Keesokan malamnya, di depan rumah Kirana ada yang sakit. Kata penduduk yang melihatnya, mukanya seperti babi. Terdengar kabar burung bahwa rumah besar yang dibangunnya itu hasil dari ilmu hitam untuk cepat kaya. Buktinya orang itu hanya pegawai rendahan, tapi darimana ia bisa mendapati uang untuk membangun rumah besar itu? Keluarga Kirana mulai menaruh curiga pada penghuni di depan rumahnya itu. Tapi jika benar dugaan mereka, apa alasannya orang itu menggunakan ilmu hitam untuk meneror keluarga mereka? Dan kalau pun kecurigaan itu terbukti, maka inilah malam penghakiman yang tengah dirasakannya… … “Memangnya kenapa sih, tanya-tanya hal begituan pagi-pagi begini?” giliran Ulfah yang bertanya saat Chika menanyakan apakah Ulfah memiliki kisah mengerikan mengenai mahluk gaib atau tidak. Pagi itu—sekitar pukul 10 pagi—Chika menelepon sahabatnya itu. “Ya, soalnya kegiatan terakhir di bina akrab nanti, ada agenda 100 kisah.” “Seratus kisah? Maksudnya?” “Itu loh, kisah-kisah horor yang diceritakan secara ramai-ramai satu per satu pada malam hari. Selesai satu cerita, satu lilin akan dimatikan. Begitu seterusnya hingga lilin yang keseratus. Dan tentu saja sebagai mahasiswa baru, aku harus punya cerita, dong!” “Terus? Terus? Cuma itu doang?” “Tak hanya itu, begitu cerita yang ke-100 selesai, akan terjadi…” INSANITY (vocaloid: Miki dan Kaito) Hajime to owari no iranai imi Kono kokoro jouhatsu e to Dare ga hinsei o oboeteru ka? Kyouki no mado kara, sayounara Konnichi wa, watashi Awanakatta darou? Sayounara, anata Saa, hanashi shiyou ka? iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Nigerarenai iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Odaku ga tsudzukesou Mitsuketa saigo kiesatte yuku Kuro ni nijinde AUTORAIN Makkura yami ni hikari nado nai Kyouki no oku kara, sayounara Konnichi wa, watashi Awanakatta darou? Sayounara, anata Saa, hanashi shiyou ka? iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Nigerarenai iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Odaku ga tsudzukesou Ne, doko de atta koto ga nai ka? Ne, itoshii kimi to hanashitai Ne, jikan wa? Kyou wa? Wakaranai Ne! Wasurete shimaeba yokatta iNSaNiTY Fusou shisou da PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Yami ka? Hikari ka? iNSaNiTY iNSaNiTY sAnIty Mou mienai kuro pUrIty Motto nagai hibi sAnIty Sore mo shizumanakya "sAnIty" tte nandesu ka? iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Nigerarenai iNSaNiTY Fusou shisou desu PSYCHoPaTHY Nonki na jinsei iNSaNiTY Owarenai madoi CaPTiViTY Odaku ga tsudzukeru 28 Minggu Kumpulan Seratus Kisah Menakutkan merupakan kegiatan untuk berkumpul di malam hari dengan menyalakan 100 batang lilin. Setiap satu kisah menakutkan selesai, maka nyala satu lilin harus ditiup. Kalo sudah tertiup 100 lilin, maka genaplah 100 kisah. Jika nyala lilin terakhir ditiup, maka akan terjadi hal yang menakutkan. Apakah itu? *** Selamat datang di ritual 100 Kisah, Chika dan kawan-kawan angkatan 2013! “Aku” sudah lama menanti-nanti kedatangan kalian ini! Yang lain pernah mendengar permainan macam apa itu sebelumnya? Kalau belum, bergabunglah bersama kami untuk memenuhi rasa ingin tahu kalian… “Aku” senang sekali jika kalian mau memenuhi undanganku ini dan “aku” akan menyambut kalian dengan hangat! Jadi jangan takut untuk ikut duduk bersama dengan yang lainnya di Kelas Malam ini—tempat ritual 100 Kisah akan diadakan oleh para senior kalian itu sebagai persembahan terakhir di malam bina akrab ini. Kalian pernah memasuki Kelas K-113 yang dikenal sebagai “Kelas Malam” ini sebelumnya? Berani melangkahkan kaki di salah satu kelas paling mengerikan yang merupakan salah satu urban legend di fakultas ini? Tahukah kamu jika letak kelas paling pojok dan terpencil serta yang selalu digembok itulah yang namanya “Kelas Malam”? Tahukah kamu mengapa K-113 itu dinamai Kelas Malam dan selalu dilibatkan dalam ritual 100 Kisah yang diadakan tiap malam Jumat ini? Kamu akan mengetahuinya setelah kisah yang ke-100 berakhir! Krit! Tuh anaknya sudah datang. Meski pun pintu kelas sudah terbuka lebar, namun Chika dan kawan-kawannya masih ragu untuk memasukinya. Ayo, silakan masuk! Padahal “aku” kan sudah capek-capek loh menyalakan 100 batang lilin untuk ritual malam jumat ini di tengah-tengah kelas. Banyak sekali, bukan?! Padahal tidak sedang mati lampu juga. Tapi namanya juga permainan 100 Kisah Hantu. Yang lainnya juga, ayo silakan masuk. Nanti akan kujelaskan aturan mainnya bagaimana! Chika dan kawan-kawannya kemudian duduk mengitari 100 batang lilin yang menyala-nyala di kelas itu dengan wajah tegang. Mereka memandangi sekitarnya dengan wajah memucat. Bangku-bangku yang ditumpuk tampak sebagian besarnya tak layak pakai, debu-debu yang menghiasi ruangan, juga sarang laba-laba di mana-mana. Pokoknya ruangan kelas K-113 ini benar-benar sudah lama tak difungsikan. Mengapa bisa begitu, ya? Sabar! Nanti juga kalian akan tahu…. “Aku” menunggu ketua BEM kalian membuka ritual permainan 100 Kisah Hantu ini, “Sebelum permainan 100 Kisah Hantu ini saya buka, saya akan menjelaskan aturan mainnya terlebih dahulu. Di permainan ini, masing-masing peserta harus menceritakan kisah horornya. Setelah bercerita, diwajibkan meniup satu buah lilin yang menyala. Dan jika lilin terakhir dipadamkan—” “Wah, bakal semakin gelap, nih!” seru Chika yang menjabat sebagai ketua angkatan itu antusias. “Terus apa yang akan terjadi jika lilin yang keseratus dipadamkan?” “Kita lihat saja nanti. Saya tak akan membeberkannya di awal permainan, takutnya para pesertanya kabur, lagi!” Nah, kalian dengar sendiri, bukan? Aku yakin kalian tertarik untuk ikutan! Ayo, sini merapat… “Oke! Kita mulai saja dengan ketua angkatan kalian,” pinta senior mereka itu. “Oke, deh!” Chika dengan bergairahnya memulai permainan. “Rupanya malam ini adalah malam keberuntungan saya sebagai ketua angkatan mahasiswa baru di fakultas ini untuk meniup lilin yang pertama.” Teman-teman lainnya pun menahan napas, tegang menanti kisah yang akan dibawakan oleh Chika yang terkenal sebagai pakar thriller itu . Kalau kalian bagaimana? “Kalian pernah mendengar tentang aborsi, bukan?” Wajah kawan-kawan Chika semakin menegang dalam kekelaman. “Baiklah! Aborsi adalah terhentinya kehamilan sebelum 28 minggu alias ke-gu-gu-ran. Aborsi dibagi atas beberapa macam. Yang pertama, abortus habitualis yaitu abortus yang berturut-turut 3 kali atau lebih. Selanjutnya abortus—” Pliz deh, Chika! Tujuan kita ke sini bukan untuk mendalami ilmu Biologi. Ini Kelas Malam, bukan Kelas Sains! Langsung saja kenapa?! Lihat wajah teman-temanmu itu. Ntar pesertanya pada ngantuk, lagi. Ingat, sudah jam berapa ini! “Aku” juga sudah capek-capek menyediakan lilin untuk kalian dan ini baru permulaannya saja. Kalau ritual ini tak tamat sampai 100 kisah, aku tak akan … aku… “PERMAINAN 100 KISAH HANTU DIMULAI!!!” Alhamdulillah!!! … Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Mengapa “alat” ini mengatakan “positif”? Apa yang harus kulakukan kini?! Apakah ia mau bertanggung jawab?! *** “Seandainya saja wajahku cantik, aku pasti bisa menggaet hatinya si Tomi itu,” kata Dara—seorang gadis polos. Dia sekampus denganku, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Ada apa dengannya? Apa yang ingin diperlihatkan Roh Janin itu padaku? “Bu? Ibu mau kan meminjamkan sesuatu pada gadis itu?” tanyanya sambil melayang-layang di sekitarku. Aku tak mengerti apa maksudnya! Tapi aku ikuti saja kemauannya itu… *** Dara menjerit-jerit tak karuan sambil memegangi wajahnya. “Tidaaak!! Tidak! Aku memang mau cantik, tapi bukan seperti ini mauku!” pekiknya. Roh Janin itu lalu menyeret Dara ke cermin. Dara menatapi wajah barunya dengan mata sembab. “Mengapa?! Bukankah kau sudah menyetujui perjanjiannya padaku? Kau kan sudah mendekati Tomi dengan wajah baru.” “Tapi kenapa dengan ‘wajah’ yang seperti ini? Yang ada barusan, dia malah lari dan ketakutan karena ini wajah orang yang sudah meninggal! Sebenarnya apa maumu? Mengapa kauberikan wajah ini padaku?” pekik Dara. Roh Janin itu menyeret wajah baru Dara ke cermin. “Lihat! Tatap wajah itu. Kurasa tak ada ruginya bukan, berwajah cantik setelah kaumemanfaatkannya? Ibuku cantik banget, bukan?!” Dara menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Seharusnya kau berterimakasih padaku karena berkat wajah itu, kau sudah mengetahui sebusuk apa Tomi—lelaki pujaan hatimu itu—yang sebenarnya!” Si Roh Janin memang merencanakan sesuatu dengan memanfaatkan perjanjian dengan Dara. Aku pun teringat saat-saat yang telah membuat Dara jadi uring-uringan seperti itu. Ternyata Roh Janin itu punya rencana brilian untuk memberikan pelajaran pada pria yang telah merengut keindahan masa remajaku dan aku tak mau melewatkan kesempatan indah ini. Saat itu, Dara dengan wajah yang serupa denganku itu berjalan ke suatu tempat. Tomi terlihat menunggu di sebuah taman. Ia memang sudah janjian dengan Dara di tempat itu. Mereka kenalan lewat dunia maya dan lelaki itu masih belum mengetahui wajah Dara yang sebenarnya. Dara perlahan mendekatinya lalu menepuk bahu Tomi. Tomi berbalik dan terkejut begitu melihat wajahnya. Ia terperangah syok melihat wajah baru Dara! Wajah Tomi tampak pucat pasi. Ia tergagap-gagap ketakutan. Ia kemudian menghindari Dara. Dara tak mengerti apa yang terjadi, gadis itu hanya bisa kebingungan. “Kau … kau … kau kan sudah meninggal! Tinggalkan aku! Pergii!!” usirnya. Dara yang tak mengerti apa-apa, malah semakin mendekat. “Kamu kenapa, Sayang?!” Tomi berusaha untuk lari. Ia tak mendengar suara Dara. Yang didengarkannya adalah suaraku yang berada di tubuh Dara itu. Tapi Dara tak menyadari sudah menggerakkan bibirnya sesuai kemauanku. “Bagus, ya! Enak punya kekasih baru?! Dasar lelaki jahanam! Pengecut yang tak mau bertanggung jawab! Kau harus membayar mahal untuk ini. Kau mencampakkanku setelah memuaskan hawa nafsumu padaku. Dasar bajingan!” “Ampun! Ampun, Vir! Aku … aku malu! Aku juga belum siap untuk menjadi seorang ayah! Aku tak bisa menikahimu karna aku masih ingin kuliah!” ia memelas. “Apa?! Kaupikir aku tidak seperti itu?! Kau tak pikir bagaimana penderitaanku menanggung benih kita sendirian?! Aku juga sama seperti kamu! Aku juga masih ingin melanjutkan sekolahku dan aku belum siap untuk menjadi seorang ibu! Tapi ini tidak adil! Mengapa hanya harus aku yang menanggung malu, sementara kau enak-enakan sebagai laki-laki?!” pekikku emosi menggunakan bibir Dara. “Mengapa hanya masa depanku saja yang harus hancur karenamu?! Kau pun harus ikut hancur bersamaku dan merasakan bagaimana rasanya dihancurkan sebagai seorang wanita yang tak bisa berbuat apa-apa jika orang yang menaruh benih di rahimnya tak mau bertanggung jawab dan lepas tangan terhadap apa yang diperbuatnya!!” Lelaki pengecut itu lalu lari menghindar. Ia begitu ketakutan kucerca sedemikian rupa. Ia tak menyadari sebuah truk melintas saat menyebrang. Truk itu pun menabrak tubuhnya dan menggilas wajah bajingannya hingga remuk. Darah menggenang. Lelaki yang telah merengut kebahagiaan masa depanku itu, akhirnya menemui ajalnya sebagai orang yang hina. Semoga saja ia kekal di neraka, tapi sebelumnya tentu saja ia harus melewati siksa kubur. Rasakan! Dara yang menyaksikan semua itu menjerit histeris dan langsung kabur berlari pulang. Selang beberapa saat setelah kejadian itu, Dara pun kembali memiliki wajahnya yang asli dengan mengembalikan wajahku… *** “Bagaimana? Kau sudah puas?” tanya Chika pada roh halus yang tak bisa dilihat orang-orang di sekitarnya itu. Roh Janin itu tersenyum. Ia akhirnya terbang semakin tinggi melayang kemudian memudar. Ia pun menghilang dari pandangan Chika. Chika menghela napas. “Akhirnya roh janin itu bisa tenang di nirwana setelah kumeminjamkan kekuatan padanya untuk memberi pelajaran pada cowok setan itu,” ujarnya. “Tapi…” Ia lalu menatap foto seorang gadis, “kasihan ibunya! Ia juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia sehingga harus jauh dengan alam si janin.” Chika membuang foto itu, kemudian beranjak pergi. Hatinya miris melihat banyaknya kejadian seks bebas pranikah pada kaum remaja. Dan yang lebih memprihatinkannya lagi, kasus aborsi yang marak terjadi pada kaum remaja lebih banyak menelan korban jiwa secara otomatis pada remaja putri dan janinnya sementara kaum adam yang seharusnya ikut bertanggung jawab akan pihak yang bersangkutan itu, memungkiri dan lari dari tanggung jawab. Hidup mereka maunya enak sendiri tanpa mau memikirkan kesengsaraan pasangannya yang menelan kepahitan dengan perut yang semakin membuncit dan menanggung malu sendirian, tanpa perlindungan orang yang telah menanamkan benih itu. “Dalam hal ini, kaum hawa yang selalu menanggung semua deritanya. Wahai kaum hawa, jagalah kesucian dan kehormatanmu sebelum berakhir tragis dan penyesalan takkan ada gunanya lagi,” gumam Chika seorang diri sambil menatap para muda-mudi yang tengah asyik berpacaran di tempat remang-remang. *** Setiap tahun, ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dimana 20 persennya dilakukan oleh remaja. Setiap tahun, 700 ribu remaja Indonesia melakukan aborsi akibat kehamilan tak diinginkan (KTD) yang merupakan imbas dari pergaulan seks bebas. Lebih dari 200 wanita mati setiap hari disebabkan komplikasi pengguguran (aborsi) bayi secara tidak aman. … “Kisah pertama selesai. Fup!” Chika meniup lilin bagiannya begitu usai bercerita. Fiuh, “aku” turut lega! Akhirnya lilin pertama padam juga. Sekarang tinggal 99 lilin lagi dan aku akan… Red Breakfast - 1 “Aku tak yakin kalian akan kuat jika melihat isi kulkasku yang sekarang ini! Apa?! Kalian masih ngotot juga ingin melihat isinya? Yakin tak bakalan menyesal, nih? Baiklah, akan kupenuhi rasa penasaran kalian itu. Akan kubuka pintunya sekarang ini juga untuk kalian. Bersiap-siaplah untuk pemandangan yang takkan pernah kalian lupakan seumur hidup! “Dan … tada!!! Inilah isi kulkas yang kumaksud ini. Tapi … pssssst! Setelah kau melihat makanan kegemaranku ini, janji ya jangan pernah bilang pada siapa-siapa. Kalau sampai rahasia terbesarku ini sampai bocor, maka nasib kalian kupastikan akan sama seperti “mereka” di sana! “Sekarang, mari sarapan! Apa?! Selera makan kalian hilang setelah melihat isi kulkasku barusan?” … “Hosh-hosh…” Kedua gadis cantik itu tampak aktif berjoging ria pagi-pagi di sekitar kampus hingga tak sadar sudah berada di mana. “Miyu, berhenti dulu sebentar!” pekik Eza—si gadis berkepang dua itu. Gadis berkuncir yang dipanggil Miyu itu menolehinya. “Ada apa?” “Ngrh … kamu tak merasa ada yang aneh dengan tempat ini?” Miyu menatap ke sekitarnya dan merenung. “Iya juga, ya? Saking asyiknya joging, kita jadi kesasar di tempat tak jelas seperti ini.” Eza memandangi hutan tempat mereka berada sekarang. “Kenapa kita bisa terdampar ke sini, ya? Terus kamu merasa ada yang aneh, tidak? Coba lihat sekelilingmu dengan seksama.” Mata Miyu kemudian terbelalak. “Eh, bukankah kita sudah melintasi tempat ini? Kok sepertinya kita hanya keliling-keliling saja, padahal kita kan bergerak maju?” “Itu dia masalahnya. Sepertinya kita tersesat, deh!” keluh Eza. “Kok bisa-bisanya ya kita joging sampai ke sini? Hutan yang berada di belakang kampus ini mengundang perhatian, sih!” “Iya, di sini memang sangat indah!” Miyu lalu mengambil ponselnya. “Aku akan menelpon bantuan … grrr! Astaga! Tak ada sinyal!” “Di ponselku juga! Bagaimana ini?” Eza menatap Miyu tegang begitu mengecek ponselnya juga. “Ck! Semua ini malah membuatku haus!” Miyu membuka botol air yang dipegangnya dan tersadar seketika karena airnya tinggal sedikit. “Duh, airnya tinggal sedikit lagi!” “Punyaku malah sudah habis, jadinya kubuang. Duh, aku laper! Tadi di kosan kan hanya sempat minum susu doang,” gerutu Eza. “Aku malah belum sarapan apa-apa.” Mata Miyu lalu terbelalak begitu melihat sesuatu di kejauhan sana. “Hei! Di sana tampaknya ada rumah. Mungkin si Tuan Rumah bisa menolong kita yang tersesat ini!” “Ng?” Eza mengernyitkan kening. “Loh, perasaan waktu kita lewat di sini tadi, di situ tak ada rumah, deh!” “Ah, sudahlah! Itu kan hanya perasaanmu saja. Sekarang kita ke rumah itu saja dan meminta bantuan. Kita bisa meminjam telepon mereka agar ada yang bisa menjemput kita di sini. Yuk!” Tanpa memedulikan firasat buruk Eza, Miyu pun segera menarik tangan Eza ke rumah mungil di tengah hutan itu. *** “Spada! Permisi!” pekik keduanya berbarengan sambil mengetuk-ngetuk pintunya. “Ng? Kok nggak ada yang bukain, sih? Jangan-jangan tak ada orangnya, lagi,” gerutu Eza mulai putus asa. “Kita kan sudah lama ketuk-ketuknya!” “Habis, mau gimana lagi dong? Kita ini kan dalam masalah dan hanya rumah ini yang kita temui di sini. Belum tentu kan ada rumah lagi?” Krit … Tiba-tiba saja, pintunya terayun terbuka. “Hei! Pintunya terbuka sendiri?” Tanpa ragu-ragu, Miyu lalu melongokkan kepalanya masuk. “Eh, nih rumah orang, tahu?” tegur Eza. “Tapi kita kan membutuhkan bantuannya. Lagian kan kita ini bukan maling.” Miyu secara perlahan menjejaki rumah itu. “Permisi? Apa ada orang? Kami butuh bantuan! Kami lagi tersesat.” Eza mengikuti Miyu memasuki rumah yang dicat meriah itu. Meski itu hanya rumah mungil, tapi suasananya terasa sangat nyaman apalagi begitu mata Eza terpaku pada apa yang ada di sebuah meja makan sana. “Hei! Ada banyak kue-kue di sana!” pekik Eza sumringah. “Aku lapar sekali!” Gadis berkepang dua itu langsung mendekati meja makan dan duduk di kursinya. “Huah!” Miyu pun turut sumringah. “Kebetulan sekali, aku kan belum sarapan.” Tanpa ragu-ragu, ia juga duduk di kursi meja makannya. “Eh? Tapi apa nggak apa-apa, nih? Ini kan kue punya Tuan Rumah!” “Tapi apa dia bisa menghabiskan sebanyak ini?” Eza malah sudah melahap sepotong kue cake. “Kalau mau menunggu pertolongan datang, kita bisa mati kelaparan dan kehausan! Mendingan kita isi tenaga dululah, baru cari jalan keluarnya lagi. Mumpung ada kue. Masuk akal, bukan?” Miyu membenarkan sambil menjilati sisa krim di jarinya. “Ya, kita memang harus saling membantu. Termasuk membantu Tuan Rumahnya menghabiskan kue-kue ini. Hihi!” “Ya, benar! Salahnya Tuan Rumahnya juga malah keluyuran entah ke mana. Pintunya tak dikunci, lagi…” Dan keduanya pun tampak begitu asyik melahap kue-kue cake lezat itu sambil bercanda-ria. Kue-kue itu tampak begitu enak dan manis, penampilannya pun menggiurkan. Tak lupa, mereka juga menuangkan susu ke gelas-gelas mereka. Keduanya tampak seperti tengah berada di surga yang terletak di hutan terpencil. Kret … Saking asyiknya menikmati kue, mereka sampai-sampai tak menyadari ada sepasang kaki seorang pria yang tengah melangkah gontai mendekati mereka dari arah pintu yang mereka masuki tadinya! … “Eh, malah jadi laper!” Ash mengelus-elus perutnya. “Ntar aku lanjutin lagi ya, setelah kenyang. Aku ke kantin sebentar, ya. Jajan.” Ash pun mulai melangkah keluar kelas menuju kantin yang memang masih buka di jam-jam segini. Ya, namanya juga kampus! “Huuuu! Gimana sih Ash?! Lagi seru-serunya, malah kelaparan!” omel Chika disambut anggukan oleh kawan-kawan lainnya. “Iya, nih! Semoga saja ia makannya tak kelamaan, deh!” keluh Ryu. “Anggap aja iklan! Tiga menit juga beres,” Ruci menanggapi. Ck! Sementara ceritanya di-pending, kudengar sepertinya ada yang mengintai dari luar sana. Kualihkan perhatianku sejenak keluar pintu dan melihat… Red Breakfast - 2 “Eh, malah jadi laper!” Ash mengelus-elus perutnya. “Ntar aku lanjutin lagi ya, setelah kenyang. Aku ke kantin sebentar, ya. Jajan.” Ash pun mulai melangkah keluar kelas menuju kantin yang memang masih buka di jam-jam segini. Ya, namanya juga kampus! “Huuuu! Gimana sih Ash?! Lagi seru-serunya, malah kelaparan!” omel Chika disambut anggukan oleh kawan-kawan lainnya. “Iya, nih! Semoga saja ia makannya tak kelamaan, deh!” keluh Ryu. “Anggap aja iklan! Tiga menit juga beres,” Ruci menanggapi. Ck! Sementara ceritanya di-pending, kudengar sepertinya ada yang mengintai dari luar sana. Kualihkan perhatianku sejenak keluar pintu dan melihat… Eh, kalian! Sudah lama berada di depan pintu kelas? Ayo, masuk sini! Jangan malu-malu begitulah. Santai saja, kali! Apa?! Kalian bertanya kami sedang ngapain malam jumat begini di sini? Oh, begini! Kalian belum tahu kalau Permainan 100 Kisah Hantu merupakan ritual wajib di kampus ini tiap malam Jumat? Apa? Kalian juga bertanya permainan macam apa itu? Oke, akan “aku” jelaskan lagi. Tapi janji ya, setelah “aku” jelaskan, kalian bakal menjadi kontributor yang akan meniup lilin selanjutnya! Begini, kumpulan 100 kisah menakutkan merupakan berkumpulnya orang-orang di malam hari dengan menyalakan 100 batang lilin. Setiap satu kisah menakutkan selesai, maka nyala satu lilin harus ditiup. Kalo sudah tertiup 100 lilin, maka genaplah 100 kisah. Jika nyala lilin terakhir ditiup, maka akan terjadi hal yang menakutkan! Apakah itu? Kita lihat saja nanti. Oke, makanya tetap duduk di sini ya bersama kami sampai cerita ke-100… Kalian setuju? Oke, kalau begitu silakan masuk! Toh, kalian belum telat-telat amat kok mendengar ceritanya si Ash, soalnya ceritanya kan kepotong. Biar kalian tambah penasaran, hehe. Untung saja kan, ia menceritakan bagiannya tak sampai habis. Kalau tidak, kalian pasti nyesal tak ikutan sejak awal. Makanya, ayo sini! Senior yang lainnya juga boleh ikutan, kok! Seharusnya “aku” tak perlu menjelaskannya lagi pada kalian, kan? Eh, itu dia anaknya masuk lagi. Buruan ambil tempat di dekat “saya”! … “Bagaimana?” tanya si pria pada kedua gadis itu di dapur. “Apa kalian juga mau belajar cara membuatnya?” “Oh, tentu saja kami mau belajar, soalnya kuenya kan enak banget! Baunya juga harum melezatkan!” seru Eza antusias. “Benar kan, Miyu?” Ia lalu menyodok pinggul Miyu yang daritadi hanya diam saja. Miyu tampak ragu, apalagi begitu melihat kondisi dapur tersebut. “Hm … bagaimana, ya? Aku tak begitu yakin.” Eza langsung mendekatkan wajahnya ke telinga Miyu. “Miyu, kamu ini bicara apa? Kita ini mau diajarin, loh. Gratis, lagi!” “Eza, coba lihat sekelilingmu ini. Apa kamu tak merasa ada yang aneh?” Miyu tampak risih. Eza memandangi sekitarnya dan kemudian tersadar begitu melihat banyak bercak-bercak aneh di lantainya yang putih. Warnanya merah seperti noda darah yang telah mengering. “Bisa saja kan itu hanya cat yang nodanya susah hilang atau darah binatang yang tak sengaja tumpah, kali?” “Itu bukan cat, Za! Di rumah ini tak ada tembok yang berwarna merah darah seperti itu.” “Tak usah berpikiran yang macam-macam, Miyu. Bisa jadi kan pemilik rumahnya belum sempat membersihkannya karena sibuk. Saking sibuknya, ia bahkan tak sempat mengunci pintu rumahnya tadi.” “Tapi tetap saja perasaanku tak enak begini.” “Anggap sajalah si Tuan Rumah lagi malas membersihkannya. Masih untung kan Bapak itu tak marah karena kue-nya kita makan tanpa permisi. Seharusnya kita bersyukur karena Bapak ini baik banget!” “Bagiku ini mengerikan!” “Kalau pun bukan noda cat, pastilah ini hanya darah hewan yang dibantai di dapur ini untuk dimakan. Kau tenang sajalah!” Setelah saling berbisik-bisik, mereka berdua kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada pria yang tak menaruh curiga itu. “Kami mau belajar!” Eza menegaskan. “Kami mau bisa membuat kue seenak itu, jadi kami mau belajar.” “Kalau begitu, biar saya ambilkan bahan-bahannya dari kulkas.” Pria itu kemudian melangkah menuju kulkas dan mengeluarkan bahan-bahannya, lalu menaruhnya di atas meja. Ia pun mulai mengajarkan cara membuat kue tersebut. Namun begitu di tengah-tengah kegiatan mereka, tiba-tiba saja terdengar suara bel. “Maaf, mengganggu sebentar! Kalian lanjutkan saja dulu buat kuenya. Aku akan membukakan pintunya.” Mereka berdua pun lanjut membuat kue. Namun… “Duh, susu kentalnya habis. Sepertinya kurang, nih!” Eza mengeluhkannya. “Kau ambil saja di kulkas,” Miyu menyarankan. “Kulihat tadi Paman itu mengambil bahan-bahannya dari kulkas sana.” Eza pun segera menuju kulkas untuk membukanya, namun… Red Breakfast -3 Ia pun mulai mengajarkan cara membuat kue tersebut. Namun begitu di tengah-tengah kegiatan mereka, tiba-tiba saja terdengar suara bel. “Maaf, mengganggu sebentar! Kalian lanjutkan saja dulu buat kuenya. Aku akan membukakan pintunya.” Mereka berdua pun lanjut membuat kue. Namun… “Duh, susu kentalnya habis. Sepertinya kurang, nih!” Eza mengeluhkannya. “Kau ambil saja di kulkas,” Miyu menyarankan. “Kulihat tadi Paman itu mengambil bahan-bahannya dari kulkas sana.” Eza pun segera menuju kulkas untuk membukanya, namun… “Tunggu!” Pria yang kemudian datang itu bergegas mencegahnya. Eza bahkan tak sempat menyentuh pintunya. Ia langsung menolehi pria itu yang langsung berlari ke arahnya. Pria itu segera berdiri di depan kulkas itu, menghadang Eza membukanya. “Jangan dibuka!” “Tapi kenapa?” Eza kebingungan. “Susunya kurang, jadi kami mau—“ “Kulkasku berantakan! Apa kalian yakin masih mau membukanya?” “Tak apa! Santai saja, Pak,” ujar Eza santai. “Bapak tanya sekali lagi. Yakin, nih?” Eza mengangguk lantang kemudian membuka pintu kulkasnya dan mengeluarkan sekaleng susu kental dengan riangnya. Si Tuan Rumah tampak lega karena Eza tak risih melihat kulkasnya yang berantakan karena sebenarnya di dalam sana penuh dengan daging yang berserakan, tapi Eza tampak tak mempermasalahkannya. Atau mungkin tak menyadarinya sama sekali saking kepikirannya membuat kue. Kedua gadis itu pun segera menyelesaikan kuenya dan tak terasa waktu berlalu, kue buatan mereka pun selesai juga begitu hari sudah petang. “Wah, tak terasa ya sudah mau malam begini. Saking keasyikannya bikin kue, jadi lupa waktu, nih!” komentar Eza sambil menghela peluh di keningnya. “Iya, nih! Untung hari ini lagi libur. Tapi besok pagi kan kita harus ngampus pagi-pagi,” timpal Miyu. “Jadi kita pulang ke kosan, nih?” Miyu mengangguk tegas. “Tapi bapaknya mana, ya? Kita harus segera pamitan, nih!” Miyu tampak celingukan mencari-cari si Tuan Rumah yang ternyata berada di… “Kalian sudah mau pulang, ya?” Tiba-tiba saja, suara si Tuan Rumah bergema di belakang mereka. Keduanya pun segera membalikkan badan. “Eh, Bapak! Iya, nih. Urusan kami di sini kan sudah selesai. Tapi kue-kuenya…“ Eza memandangi kue jerih payah mereka berdua dengan bingung. “Kalian sudah coba belum bagaimana rasanya?” “Belum, sih!” jawab Miyu. “Hm! Semoga saja seenak kue buatan Bapak waktu kami sarapan tadi.” “Mungkin sebaiknya kita cicipi dulu hasilnya, ya!” seru Eza riang. Ia pun segera mengajak Miyu untuk turut mencicipinya, namun… “Tunggu dulu!” si Tuan Rumah langsung mencegahnya. “Sepertinya ada yang kurang.” “Apanya yang kurang?” Eza kebingungan. Si Tuan Rumah melangkah semakin mendekat. “Bapak yakin rasa kue-nya masihlah belum lengkap.” “’Masih belum lengkap’ bagaimana? Kan semua bahan yang Bapak ajarkan tadi sudah kami campurkan semua,” timpal Miyu. Eza kemudian mencicipi kue-nya, namun wajahnya masih biasa-biasa saja. “Bagaimana kue-nya? Enak nggak kayak buatan Bapak tadi?” Miyu menanyainya langsung. “Padahal semua bahan sudah kita gunakan dan sudah sesuai arahan Bapak itu, tapi kok kue-nya tak seenak yang tadi pagi, ya?” “Bagaimana?” tanya si Tuan Rumah sambil tersenyum menyeringai. “Bapak bilang juga apa, kan? Apa kalian mau kue-nya bisa seenak yang Bapak bikin tadi?” “Tentu saja!” Eza mengangguk kencang. “Iya kan, Miyu?!” Miyu diam saja, tapi tetap penasaran apa yang bisa membuat kue-nya enak. “Bapak sengaja tak bilang tadi kalau kue buatan Bapak itu ada bumbu rahasianya hingga rasanya bisa jadi lezat banget. Dan bumbu rahasia itu hasil eksperimen Bapak sendiri hingga kue buatan Bapak laris manis di kantin kampus kalian.” “Jadi bumbu rahasia itu belum dimasukkan ke kue buatan kami ini?” Eza menganalisis kalimat si Tuan Rumah tadi. Si Tuan Rumah mengangguk tegas. “Bapak sengaja tak membocorkannya. Bapak takut kalau kalian tahu, kalian akan…“ “Apa boleh kami tahu apa bumbu rahasia itu hingga kue Bapak laris banget di kantin kampus kami itu?” Miyu yang penasaran, akhirnya ikut angkat suara. Si Tuan Rumah tersenyum semakin lebar. “Kalian yakin mau tahu?” Keduanya kembali mengangguk kencang, tanpa ragu sedikit pun. “Kalian yakin mau bikin kue selezat kue buatan Bapak?” Keduanya mengangguk semakin kencang, dengan semangat yang semakin meninggi. “Jadi kalian mau mengikuti jejak Bapak dan takkan menyesal begitu mengetahuinya?” “Ya, Guru!” Keduanya menjawab serempak penuh keyakinan. “Baiklah kalau begitu! Bapak suka dengan semangat muda kalian yang berapi-api ingin mempelajarinya. Ini baru namanya semangat ‘darah muda’!” Tuan Rumah itu lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, sesuatu yang daritadi disembunyikannya dari mereka berdua. “Dan rahasianya adalah…“ Red Breakfast -4 “Bagaimana?” tanya si Tuan Rumah sambil tersenyum menyeringai. “Bapak bilang juga apa, kan? Apa kalian mau kue-nya bisa seenak yang Bapak bikin tadi?” “Tentu saja!” Eza mengangguk kencang. “Iya kan, Miyu?!” Miyu diam saja, tapi tetap penasaran apa yang bisa membuat kue-nya enak. “Bapak sengaja tak bilang tadi kalau kue buatan Bapak itu ada bumbu rahasianya hingga rasanya bisa jadi lezat banget. Dan bumbu rahasia itu hasil eksperimen Bapak sendiri hingga kue buatan Bapak laris manis di kantin kampus kalian.” “Jadi bumbu rahasia itu belum dimasukkan ke kue buatan kami ini?” Eza menganalisis kalimat si Tuan Rumah tadi. Si Tuan Rumah mengangguk tegas. “Bapak sengaja tak membocorkannya. Bapak takut kalau kalian tahu, kalian akan…“ “Apa boleh kami tahu apa bumbu rahasia itu hingga kue Bapak laris banget di kantin kampus kami itu?” Miyu yang penasaran, akhirnya ikut angkat suara. Si Tuan Rumah tersenyum semakin lebar. “Kalian yakin mau tahu?” Keduanya kembali mengangguk kencang, tanpa ragu sedikit pun. “Kalian yakin mau bikin kue selezat kue buatan Bapak?” Keduanya mengangguk semakin kencang, dengan semangat yang semakin meninggi. “Jadi kalian mau mengikuti jejak Bapak dan takkan menyesal begitu mengetahuinya?” “Ya, Guru!” Keduanya menjawab serempak penuh keyakinan. “Baiklah kalau begitu! Bapak suka dengan semangat muda kalian yang berapi-api ingin mempelajarinya. Ini baru namanya semangat ‘darah muda’!” Tuan Rumah itu lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, sesuatu yang daritadi disembunyikannya dari mereka berdua. “Dan rahasianya adalah…“ ZEB! “Kyaaaaa! Kyaaaaaa!! Toloooong!!!” *** “Sarapan, Cantik!” terdengar suara berat si Tuan Rumah sambil membuka penutup wajah Miyu. “Kau pasti sudah lapar berat, kan?” Miyu terisak-isak. Matanya sembab sekali saking takutnya. “Hiks-hiks!” Dia tengah terduduk di sebuah kursi—tempatnya kemarin pagi duduk di hadapan meja makan yang sama—tapi kali ini, dalam posisi tangan dan kaki yang terikat! Miyu teringat bagaimana kencangnya ia memekik ketakutan semalam begitu si Tuan Rumah mengayunkan kapak yang disembunyikannya daritadi di belakang punggungnya itu kemudian membelah-belah tubuh Eza dengan sadisnya. Dengan mudahnya, si Tuan Rumah memenggal leher gadis itu dan juga anggota tubuh lainnya hingga darahnya pun mencrot menghujani kue-kuenya. Saking syoknya, Miyu pun pingsan. Tapi mengapa ia masih dibiarkan untuk hidup? Di hadapannya kini masih terhampar kue-kue buatannya dengan Eza kemarin. Hanya saja bedanya, di kue-kue itu terdapat banyak bercak-bercak darah yang menyatu dengan krim kue. Sungguh menjijikkan dan bau amisnya pun menyatu dengan aroma harum kue lezat itu. “Kau pasti kehausan kan, Sayang?” si Tuan Rumah mengelus-elus lembut rambut Miyu. “Ini, mula-mula aku punya minuman spesial untukmu. Diminum, ya!” Miyu kemudian teringat rasa dahaganya yang seperti saat joging kemarin pagi itu, sebelum bencana ini terjadi. Sekarang hari sudah gelap, tepatnya pada dini hari. “Tak kalah enak loh dengan susu yang kalian nikmati kemarin. Aku sudah capek-capek membuatkannya khusus untukmu, Cantik.” si Tuan Rumah itu lantas menyodorkan segelas susu yang anehnya berwarna kemerahan hingga terkesan berwarna pink. Tapi itu bukan susu strawberi! Begitu melihat isinya, Miyu jadi merasa mual dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Di gelas itu memang isinya susu, hanya saja warnanya menjadi merah muda seperti itu karena ada sepasang bola mata yang dibelah-belah secara mentah, mengapung di permukaannya. “Huek!” “Ayo diminum! Anggap saja es batunya. Kalau tidak, sama saja kan kau tak menghargai temanmu itu yang sudah mengorbankan dirinya agar kau bisa merasakan bumbu rahasiaku ini!” gertak si Tuan Rumah sambil meminumkan susu kemerahan itu padanya. “Bagaimana? Masih mau bernegosiasi denganku? Aku ini sudah cukup berbaik hati padamu, bukan?” Mau tak mau sambil menahan jijik, Miyu pun meneguk cairan menjijikkan tadi dengan berlinangan air mata. Meski harus curang dengan membiarkan sebagian cairan itu tak membasahi kerongkongannya, tapi membasahi bajunya. Diam-diam saja ia memuntahkan sebagian seolah terus meminumnya. Tapi pria itu menyadari siasatnya. “Ck-ck-ck! Minum dengan benar. Kau ini sungguh tak menghargai jerih-payahku, ya? Kau tak suka, ya?!” Dengan kapaknya yang masih berlumuran darah segar, si Tuan Rumah itu lalu meletakkan sepotong kue di atasnya untuk menyuapi Miyu. “Aha! Kalau yang ini, kamu pasti suka!” Miyu menggelengkan kepala melihat krim kuenya yang bercampur darah amis … sahabatnya. “Ampuuun!” “Kenapa?! Bukankah kemarin pagi kau sendiri begitu menikmatinya? Kok sekarang nggak mau?” “Aku sudah kenyang,” rintih Miyu, meski sebenarnya dia sedang kelaparan setengah mati. Tapi mana mau dia mencicipi kue berdarah itu? “Ck! Aku sudah berbaik hati, malah kamu tolak segala. Kerja samalah sedikit! Bukankah kamu membutuhkan bantuanku? Sekarang Tuan Rumah ajak makan, mana sopan kau menolaknya? Ayo, cepat! Buka mulutmu!” Miyu menelengkan kepalanya jauh-jauh dari kue itu. “Sekarang aku minta kau menghabiskan semua kue ini karena temanmu tadi sudah membuatnya sekotor ini hingga aku tak mungkin mau memakannya. Cepat buka mulutmu atau kau juga akan berakhir di kulkas bersama temanmu itu,” ancam si Tuan Rumah. “Mau?!” Akhirnya Miyu membuka mulutnya dan memakan kue yang pastinya rasanya mengerikan itu! “Nah, begitu dong! Kamu benar-benar tamu yang baik. Lain kali, aku pasti akan mengundangmu makan-makan di sini.” Si Tuan Rumah terus saja menyuapi Miyu dengan kue-kue berdarah tersebut satu per satu. Miyu hanya bisa melahap kue-kue yang tadinya enak itu tanpa mengunyahnya terlebih dahulu alias langsung ditelan. Karena mana mau dia merasakan kue mengerikan yang bercampur darah temannya itu di lidahnya?! Ia sungguh tak tega! “Hoek!” Tak lama kemudian, Miyu mulai merasa mual-mual dengan perut yang mengembung. “Ayo, masih banyak loh yang tersisa!” Sementara itu, si Tuan Rumah masih saja terus menyuapinya pakai “sendok” kapaknya. “Ayo, habiskan semuanya! Siapa suruh kalian bikin yang banyak. Kulkasku hanya satu dan tak bisa memasukkan semua kue-kue itu karena tubuh temanmu itu sudah memenuhi kulkasku sekarang,” sahutnya enteng. Miyu menggelengkan kepalanya. Perutnya membuncit. Dia sudah sangat kekenyangan sekarang! “Cepatlah! Jangan buat kesabaranku habis! Kaupikir menyuapimu seperti ini, tidak capek apa? Aku juga mau tidur, tahu! Waktuku tak banyak lagi mengurusimu seperti ini.” Akhirnya Miyu mau bersusah-payah membuka mulutnya lagi dan memakan kue-kue berdarah itu dengan perut yang semakin membuncit, terus menggembung, dan akhirnya, “Hooeekk!!!” Dia pun muntah-muntah hebat, memuntahkan kue-kue mengerikan yang ditelannya dengan susah payah. “Wah, sepertinya aku harus menyuruhmu untuk mengulangi makan hal yang sama, dengan jumlah yang sama pula dengan kue yang kaumuntahkan barusan!” Miyu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudah cukup … ampun,” rintihnya mengiba-iba. “Eits, tidak bisa! Ini sudah menjadi aturan main di rumahku bagi para tamu yang tak diundang. Hm, nanti akan kugantikan dengan daging temanmu saja, ya? Sekarang lanjut!” si Tuan Rumah lanjut menyuapinya. “Ayo, tugasmu masih belum selesai! Semangat dong, jangan kayak anak kecil yang susah disuruh makan begitu. Tinggal sedikit lagi, nih! Mana semangat darah mudamu kemarin?!” Miyu merasa sudah tak sanggup lagi menelannya. “Ayo, berjuanglah! Aku yakin di sana itu masih ada tempat. Kalau kamu tak mau makan, kau terpaksa harus meluangkan waktumu untuk menyantap daging temanmu sendiri. Bagaimana?” Miyu terpaksa membuka mulutnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi saking mualnya, mulutnya jadi terasa berat untuk terbuka lagi. Si Tuan Rumah berusaha meneroboskan kue itu masuk hingga hancur di depan mulut Miyu. “Argh! Kau ini sungguh membuatku kesaaaaalll!!!” raung si Tuan Rumah sambil mengayunkan kapaknya tanpa ragu ke leher Miyu! Red Breakfast -5 “Ayo, tugasmu masih belum selesai! Semangat dong, jangan kayak anak kecil yang susah disuruh makan begitu. Tinggal sedikit lagi, nih! Mana semangat darah mudamu kemarin?!” Miyu merasa sudah tak sanggup lagi menelannya. “Ayo, berjuanglah! Aku yakin di sana itu masih ada tempat. Kalau kamu tak mau makan, kau terpaksa harus meluangkan waktumu untuk menyantap daging temanmu sendiri. Bagaimana?” Miyu terpaksa membuka mulutnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi saking mualnya, mulutnya jadi terasa berat untuk terbuka lagi. Si Tuan Rumah berusaha meneroboskan kue itu masuk hingga hancur di depan mulut Miyu. “Argh! Kau ini sungguh membuatku kesaaaaalll!!!” raung si Tuan Rumah sambil mengayunkan kapaknya tanpa ragu ke leher Miyu! “Kyaaaaaa!!” Sekarang, baru mulut Miyu mau terbuka lebar dan… Grek! “Hahaha! Bagaimana rasanya bumbu rahasiaku ini?!” *** Ting-tong! Bud membuka pintu rumahnya dan melihat teman-temannya datang berkunjung. “Halo, semua!” sapanya riang. Mereka kemudian saling bercipika-cipiki sebelum akhirnya memasuki rumah sederhana itu. “Bud? Kenapa undangan makan-makan kemarin itu dibatalkan?” tanya seorang temannya mencegat sebelum ia melangkah ke dalam. “Padahal aku sudah di jalan waktu itu, loh!” “Ngrh … itu…” Bud jadi tampak bingung mau ngomong apa. “Hidangan yang kemarin itu rusak dimakan tikus, jadinya aku harus mengganti bahannya, deh. Tikus sialan! Padahal aku sudah susah-payah loh, capek-capek ke kota hanya untuk membeli semua bahannya, eh malah disantap tikus-tikus jahanam itu. Kalian tentunya tak mau kan makan kue cake bekas tikus?” Teman-temannya kemudian mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Kasihan! Malah jadi jatah tikus, padahal kita-kita juga kan mau mencoba mencicipinya. Hihi!” “Tenang, tikus-tikusnya sudah aku bereskan, kok! Nah sebagai gantinya, aku punya masakan istimewa buat kalian semua. Ini aku sendiri loh yang buat. Menunya sudah aku ganti. Tak apa, kan?” Tak lama, Bud lalu membawakan aneka menu daging ke meja makan. “Wah, asyik ini. Pasti lezat!” Tak lama, mereka pun asyik menyantap hidangan tersebut sambil mengobrol ceria. “Hm, memang enak! Kalau boleh tahu, apa sih bumbu rahasianya?” “Yang namanya bumbu rahasia ya pastinya rahasia, dong! Tapi tak apalah kalau kalian memaksa.” Bud berdehem kemudian melanjutkan, “Bumbu rahasianya kuberi nama ‘Red-Breakfast’!” “Kenapa kau menamakannya seperti itu?” tanya salah seorang rekannya. “Karena idenya muncul saat aku sarapan. Setiap sarapan kan aku selalu buat makanan sendiri di rumah, sedangkan siang sampai malam aku makan di kantin kampus. Jadi aku hanya bisa merasakan masakan sendiri saat sarapan saja. Makanya aku menamainya seperti itu.” “Tapi apa itu ‘Red-Breakfast’?” pertanyaan selanjutnya menyusul tanpa henti. “Iya. Kenapa harus ada kata ‘Red’-nya segala?” Bud sempat terdiam beberapa saat. “Itu karena … aku menggunakan darah perawan sebagai bumbu rahasia kelezatannya. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya!” Hening seketika hingga suasana kemudian cair kembali begitu salah seorang dari mereka angkat bicara. “Hahahaha! Kau bercanda, kan?!” “Sepertinya itu bumbu yang mengerikan, tapi enak juga ya. Hiiii!” “Mengerikan, tapi kamu doyan, kan?” Bud ikut tertawa bersama mereka kemudian melanjutkan makannya. “Eh, Sam!” Bud menegur salah seorang temannya. “Kenapa dagingnya kamu sisihkan begitu? Tak suka, ya?” “Kalau tak suka, buat aku saja!” Teman di dekatnya hendak menyerobot, namun Sam segera menyentil tangannya. “Enak saja!” protesnya. “Aku ini punya cara makan yang unik, tahu! Aku memang sudah terbiasa menghabiskan makanan yang paling kusukai di urutan paling terakhir.” “Oh!” Teman di sampingnya kemudian mengangguk-angguk. “Jadi kamu paling suka sama daging itu, ya? Kenapa tak dicampur saja, sih? Kan lebih enak kalau dicampur-campur.” “Kalau dicampur sih, kepuasan batinnya kan nggak kena, Rob!” Sam memberi alasan. “Kalau begitu, sama dengan aku dong!” Bud angkat suara juga. “Aku juga paling suka menghabiskan makanan terfavoritku di urutan paling belakangan.” “Memangnya makanan terfavoritmu itu apaan?” Kali ini Sam yang bertanya. “Makanan yang paling cantik fisiknya,” jawab Bud misterius. “Miyu!” “Apa?! Miyu?” “Miyu itu makanan apaan? Kok kayak nama orang?” Bud jadi tampak gelagapan mencari jawaban yang pas hingga ia terselamatkan oleh… “Eh, Bud,” salah seorang temannya menegur. “Kok ada anting sih di daging ini?” Temannya itu lalu mengangkat sebuah anting emas. Red Breakfast - 6 (end) “Memangnya makanan terfavoritmu itu apaan?” Kali ini Sam yang bertanya. “Makanan yang paling cantik fisiknya,” jawab Bud misterius. “Miyu!” “Apa?! Miyu?” “Miyu itu makanan apaan? Kok kayak nama orang?” Bud jadi tampak gelagapan mencari jawaban yang pas hingga ia terselamatkan oleh… “Eh, Bud,” salah seorang temannya menegur. “Kok ada anting sih di daging ini?” Temannya itu lalu mengangkat sebuah anting emas. Bud ternganga dan langsung merampas anting itu, seolah ada yang dirahasiakannya. “Ng … ini … ini anting saya!” “Hah? Sejak kapan kamu pake anting?” “Maksudnya … maksudnya anting ini hendak kuberikan pada pacar saya, tapi malah jatuh ke masakan,” Bud segera memberikan serentetan alasan. “Akunya juga sih yang salah, sudah membawa-bawa anting ke dapur segala sementara aku sedang memasak. Maafkan atas kecerobohanku ini, ya!” Teman-temannya pun kembali menikmati hidangan yang tersisa. “Aku ke dalam dulu ya, mengembalikan anting ini ke tempatnya.” Bud buru-buru ke dalam untuk mengembalikan anting itu pada tempatnya dengan … membuka kulkasnya. Iya, membuka kulkasnya dan… Dua buah kepala menyambutnya di sana! Yang satu dengan mulut terlongo lebar dan yang satunya lagi kedua bola matanya sudah hilang. Kedua kepala yang tergeletak di piring lebar itu menyapanya dari dalam sana. Bud meletakkan anting itu ke piring. “Nih, aku kembalikan! Sori, aku tak tahu ini punya siapa, tapi…” Bud lalu mendesis dengan telunjuk di bibir, “ssssstttt, kalian jangan bilang siapa-siapa ya kalau kalian ada di sini!” bisiknya. Drep. Bud pun segera menutup pintu kulkasnya, sebelum teman-temannya menjerit jika harus melihat isinya. Bud memang tipe orang yang sangat menjaga bumbu rahasia kelezatan masakan buatannya yang dinamakannya “Red-Breakfast” itu! … “Fuh! RED BREAKFAST selesai,” Ash mengakhiri cerita thriller-nya sambil meniup lilin ketiga. “Kalau ada yang mau mencari tahu tentang hilangnya 13 mahasiswi di kampus ini, dipersilakan ke rumah misterius di tengah hutan itu. Itu pun kalau kalian bisa menemukannya! Karena kehadiran rumah itu antara ada dan tiada…” Ash kemudian lanjut melahap kue cake-nya dengan santai lalu meminum susu kotaknya. Tak lama, ia lalu memandang sekelilingnya begitu sadar kawanannya tampak terpaku melihatnya makan. “Ng? Kenapa? Kalian juga mau?” Krik-krik-krik…. Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga masih bernafsu makan kue cake dan minum susu? Kantin Cita Rasa Kematian (prolog) “Selamat datang di Kantin Cita Rasa Khas Makassar!” Sambutan hangat itu kudapatkan dari penjaga sebuah kantin, begitu kujejakkan kakiku di kantin kampus itu. Pria itu kemudian mengarahkanku untuk duduk di depan sebuah meja yang mengarah ke pemandangan pantai yang indah. Wow! Aku diperlakukan bak pelanggan VIP di kantin ini. Padahal tempat ini kan hanya kantin kampus biasa, tapi pelayanan yang diberikan seolah-olah di restoran ekslusif! “Mau pesan apa, Mbak? Di sini semua makanan khas Makassar ada,” kata pelayan kantin. “Ada Soto Mangkasara, Sop Saudara, Sop Konro, Barongko, Pisang Epe, Palu Butung, Pisang Hijau, Gogoso—“ “Ng? Apa saja, deh! Aku orang baru soalnya di kampus ini, jadi tak begitu mengerti makanan khas kota ini,” kataku menyerahkan semua padanya. “Kalau begitu, saya akan membawakan makanan khas Makassar yang paling diminati pendatang di kota ini. Anda pasti suka! Nyesal loh ke Makassar tanpa mencicipi kuliner yang satu ini.” “Ya, terserahlah. Yang penting bisa dimakan…” Pelayan itu kemudian pergi untuk membawakan menu yang entah apa itu. Aku sih tak begitu peduli menu apa yang akan dibawakannya nanti. Sambil mengisi waktu, kubuka-buka buku yang baru saja kupinjam dari perpustakaan kampus. Mungkin sebaiknya aku menunggu pesananku sambil membaca novel horor berjudul “Ghost Writer” ini. Namun sebelum memutuskan untuk membaca, kulayangkan pandangan ke sekelilingku. Kumengernyit dan merasa aneh. Baru sadar juga sih kalau kantin ini ternyata sepi sekali. Mengapa tak ada yang mau makan siang di kantin ini? Kulihat keluar kantin. Mereka semua berlalu-lalang begitu saja. Padahal ini kan jam-jam makan siang. Apa makanan di sini tak enak ya sampai-sampai mereka mengabaikan kantin ini begitu saja? Apa hanya aku saja pelanggan di kantin ini? Apa sebaiknya aku pergi saja mencari kantin lain yang lebih normal pengunjungnya? Tapi ke mana? Aku kan anak baru di kampus ini. Itu pun hanya kebetulan saja menjelajahi kampus dan menemukan kantin ini. Pantas saja Bapak itu memperlakukanku sebegitu ramahnya karena tak ada pelanggan lain. Tapi kenapa? Eh? Namun ternyata dugaanku salah begitu melihat seorang pemuda di meja sebelah yang duduk membelakangiku. Aneh! Sepertinya tadi hanya ada aku sendiri, deh. Kok pemuda itu tiba-tiba saja berada di sana dan sedang makan, lagi. Sejak kapan?! Apa karena saking keasyikannya melihat ke sekeliling, aku jadi tak menyadari kehadirannya? Ah, itu tak mungkin! Waktu baru datang kan—aku yakin betul—tak ada seorang pun yang duduk di sana. Lalu kenapa tiba-tiba saja—dalam sekejap—ada orang makan di situ? Aku kan melayangkan pandang juga tak sampai semenit. Benar-benar aneh! Atau apakah dia pindah dari meja lain ke meja itu? Ah, sepertinya itu juga bukan! Kalau ia pindah, pasti aku juga sempat kan melihatnya. Ini aneh sekali! Dan yang juga menarik perhatianku, ia menyendok menggunakan tangan kiri. Karena saking penasarannya pada pemuda yang sedang makan itu, akhirnya aku pun berpindah tempat duduk di hadapannya. Lumayan kan bisa dapat teman baru. “Hai! Aku Karen—anak baru dari Teknik. Kita boleh berkenalan, kan?” sapaku sambil mengulurkan tangan. Pemuda yang tengah menyantap makan siangnya itu lalu menengadahkan kepala padaku. Wow, ganteng juga sih! Lumayan juga untuk dijadikan daftar calon gebetan. “Aku Ryan Samudra. Maba jurusan Kuliner.” Ia malah menjabatku dengan menggunakan tangan kiri juga. Memangnya kenapa dengan tangan kanannya yang tersembunyi di bawah meja itu? Ah, itu tak penting! Aku yakin ia bukannya bermaksud tak sopan. “Eh, kamu lagi makan menu apa sih kalau boleh tahu?” Ryan melirik ke santapannya. “Oh! Kalau yang ini sih tak ada di menu kantin ini.” Kumengernyit. “Loh, tapi kok kamu makannya di sini? Terus, itu kan piring kantin ini. Tuh, ada label nama kantinnya: Kantin Cita Rasa Makassar.” Ryan tersenyum. “Oh, ini? Aku pinjam sebentarlah piringnya tiap makan, kan boleh. Lagipula aku juga begitu menyukai piring ini. Hanya yang ini saja kupakai.” Kusemakin terperangah. “Mengapa kau bisa begitu menyukai piring itu? Kan semua piring di kantin rata-rata sama saja.” “Aku bisa membedakannya dengan tanda ini.” Ryan lalu mengangkat piringnya dan memperlihatkan tanda titik merah di samping badan piring itu. Wajahku memucat begitu melihatnya. “I-itu kok seperti darah yang mengering? Kenapa tak dibersihkan dengan baik? Kan jijik!” “Tapi karena tanda inilah, aku jadi bisa membedakannya dari piring yang lain. Aku tak bisa makan kalau tak memakai piring ini.” “Eh, kenapa?” Aku malah semakin penasaran akan keanehan teman baruku ini. Ryan lalu lanjut menyantap makanannya yang entah apa itu, seolah menghindari pertanyaanku tadi. Aku mengangguk-angguk saja. “Sepertinya kau punya relasi yang kuat dengan si pemilik kantin ini karena beliau mau memberi pinjaman piring begitu saja. Boleh dong hari ini dikasih gratisan.” “Memangnya kau pesan apa? Kenapa lama sekali datangnya?” “Iya, nih! Sudah hampir 15 menit berlalu. Memangnya di sini pesanannya lama, ya? Apa makanannya enak-enak? Kan sebentar lagi aku ada kelas, nih!” ujarku kepanikan begitu sadar sudah jam berapa. “Hm! Itulah sebabnya mengapa anak-anak tak ada yang mau makan di sini pada jam istirahat.” “Oh!” Kumenepuk jidat. “Namanya juga anak baru, baru tahu pula. Pantas tak ada yang mau ke sini, padahal ini kan kantin yang paling dekat dengan kelas-kelas dan paling terjangkau.” “Kalau soal rasa sih, masih lebih enak yang ini!” Ryan melirik makan siangnya. Kucemberut. “Ya udah, deh! Aku pindah kantin saja dan beli cemilan di kantin seberang sana meskipun jauh. Huh, padahal aku dari pagi belum sarapan. Lapar banget, nih!” Baru saja aku hendak beranjak, tiba-tiba saja Ryan mencekal lenganku. “Eh, bukannya mau memberi sisa, sih! Tapi kalau kamu mau, kamu boleh mencicipi makan siangku. Kamu mau?” Ia menawarkan. Kembali kurapikan dudukku. Meskipun sisanya—tapi kalau orangnya tampan begini sih—tak mengapalah! Tak ada jijik-jijiknya sama sekali. “Hm. Sepertinya menggiurkan!” Ia lalu menyodorkan piringnya. Kulirik cabikan-cabikan daging berantakan di balik saos tomat yang bertebaran di permukaannya. “Yakin tak apa nih aku makan sisamu? Memangnya kamu sudah kenyang?” Kutatap dia sejenak. Ryan tersenyum manis. “Apa sih yang nggak buat gadis semanis kamu?” godanya. Kutersipu malu kemudian mulai mengaduk-aduk makanan itu. “Hm, enak juga!” komentarku begitu makanan itu menyentuh lidahku. “Ini kamu yang buat? Tapi memangnya nama menu ini apa, sih? Makanan khas kota ini juga?” tanyaku sambil terus makan dengan lahapnya. Akhirnya bisa memanjakan indera pengecapku juga! Hening. Hanya terdengar suara kunyahanku yang seperti orang kelaparan. Ng? Apa dia sudah meninggalkanku? Kumendongak dan masih melihatnya di hadapanku. Kali ini, wajahnya tampak sedikit berbeda. Ia tampak murung. “Makanan itu memang bukan menu di kantin ini. Tapi yang buat sih si pemilik kantin ini—Pak Johan. Dan nama menunya adalah…” Ryan menggantung kalimatnya, tampak ragu untuk meneruskan. Aku menatapnya sambil menunggu jawabannya. Tak lama, Ryan lalu menunduk dalam-dalam hingga membuatku semakin penasaran saja. Kruk … kruk…. Perhatianku malah teralihkan begitu terdengar suara gemeretak di santapanku tadi. Kembali kumerunduk. Mulanya kukira ada kucing yang ikut makan diam-diam, namun ternyata aku salah. Cabikan daging-daging di piring kesayangan Ryan itu bergerak-gerak seolah-olah ada mahluk tertimbun yang ingin keluar dari tumpukan daging-daging yang berserakan itu. Kumengernyit sedalam-dalamnya kemudian mendekatkan wajah ke makan siangku. Kusingkirkan daging-daging yang kiranya menimbun “benda bergerak” itu saking besarnya rasa ingin tahuku. Apa itu serangga? Kecoa?! Blug! “Sesuatu” itu kemudian menerobos keluar di antara daging-daging. Kumembelalakkan mata begitu berhasil menerjemahkan apa yang kulihat barusan. I-itu … itu kan jari?! Jari telunjuk manusia yang gosong itu bergerak-gerak! Tak lama kemudian, menyusul jari-jari lainnya yang tak kalah menggenaskannya! Ada yang kukunya tercabik, ada yang terpotong setengah, ada yang kulitnya melorot… Kutatap Ryan dengan ngeri. “Ryan! Sebenarnya menu makanan apa yang kauberikan padaku?! Jawab!” pekikku ketakutan. Ryan akhirnya menengadahkan wajahnya yang kini tampak sangat pucat, menatapku. “Nama menu baru Pak Johan itu adalah—” “Adalah apa?! Apa nama menu mengerikan ini?!” pekikku histeris. “Maafkan aku karena tak jujur sejak awal, Karen. Nama menu itu adalah … AKU!” Kuterperangah dengan mata terbelalak. “Jadi … jadi….” Tanpa rasa takut, kulirik kembali menu aneh itu dan sekarang sebuah potongan pergelangan tangan kanan menggenaskan bergerak-gerak lancang dan dengan agresifnya langsung saja melayang ke arah leherku! “Menu baru itu dinamakan ‘Ryan Samudra’!” pekiknya lagi. “Kyaaaaa!!!” Sepertinya terlambat untuk melarikan diri. Tangan itu kemudian mencekikku hingga aku kehabisan udara. Kalimat terakhir yang sempat kudengar darinya adalah… Kantin Cita Rasa Kematian - 2 “Hm, enak juga!” komentarku begitu makanan itu menyentuh lidahku. “Ini kamu yang buat? Tapi memangnya nama menu ini apa, sih? Makanan khas kota ini juga?” tanyaku sambil terus makan dengan lahapnya. Akhirnya bisa memanjakan indera pengecapku juga! Hening. Hanya terdengar suara kunyahanku yang seperti orang kelaparan. Ng? Apa dia sudah meninggalkanku? Kumendongak dan masih melihatnya di hadapanku. Kali ini, wajahnya tampak sedikit berbeda. Ia tampak murung. “Makanan itu memang bukan menu di kantin ini. Tapi yang buat sih si pemilik kantin ini—Pak Johan. Dan nama menunya adalah…” Ryan menggantung kalimatnya, tampak ragu untuk meneruskan. Aku menatapnya sambil menunggu jawabannya. Tak lama, Ryan lalu menunduk dalam-dalam hingga membuatku semakin penasaran saja. Kruk … kruk…. Perhatianku malah teralihkan begitu terdengar suara gemeretak di santapanku tadi. Kembali kumerunduk. Mulanya kukira ada kucing yang ikut makan diam-diam, namun ternyata aku salah. Cabikan daging-daging di piring kesayangan Ryan itu bergerak-gerak seolah-olah ada mahluk tertimbun yang ingin keluar dari tumpukan daging-daging yang berserakan itu. Kumengernyit sedalam-dalamnya kemudian mendekatkan wajah ke makan siangku. Kusingkirkan daging-daging yang kiranya menimbun “benda bergerak” itu saking besarnya rasa ingin tahuku. Apa itu serangga? Kecoa?! Blug! “Sesuatu” itu kemudian menerobos keluar di antara daging-daging. Kumembelalakkan mata begitu berhasil menerjemahkan apa yang kulihat barusan. I-itu … itu kan jari?! Jari telunjuk manusia yang gosong itu bergerak-gerak! Tak lama kemudian, menyusul jari-jari lainnya yang tak kalah menggenaskannya! Ada yang kukunya tercabik, ada yang terpotong setengah, ada yang kulitnya melorot… Kutatap Ryan dengan ngeri. “Ryan! Sebenarnya menu makanan apa yang kauberikan padaku?! Jawab!” pekikku ketakutan. Ryan akhirnya menengadahkan wajahnya yang kini tampak sangat pucat, menatapku. “Nama menu baru Pak Johan itu adalah—” “Adalah apa?! Apa nama menu mengerikan ini?!” pekikku histeris. “Maafkan aku karena tak jujur sejak awal, Karen. Nama menu itu adalah … AKU!” Kuterperangah dengan mata terbelalak. “Jadi … jadi….” Tanpa rasa takut, kulirik kembali menu aneh itu dan sekarang sebuah potongan pergelangan tangan kanan menggenaskan bergerak-gerak lancang dan dengan agresifnya langsung saja melayang ke arah leherku! “Menu baru itu dinamakan ‘Ryan Samudra’!” pekiknya lagi. “Kyaaaaa!!!” Sepertinya terlambat untuk melarikan diri. Tangan itu kemudian mencekikku hingga aku kehabisan udara. Kalimat terakhir yang sempat kudengar darinya adalah… … “Bagaimana cita rasa daging AKU?!” Nada suara Andi yang meninggi mengagetkan semua anak di ruangan itu … hm kecuali “aku” tentunya! “Sebaiknya cerita ini tak usah diteruskan saja, deh,” respon Chika yang mulai ketakutan. “Perasaanku jadi tak enak, nih! Daritadi kan cerita gore mulu.” Eits! Mana bisa begitu?! Kalau tak dilanjutkan sampai selesai, “aku” tak akan bisa… “Kan tak ada salahnya menceritakan sejarah kelam tentang kantin itu.” Betul tuh, Ndi! “Aku” mendukungmu… “Takut-takutnya tadi Ash ke kantin itu dan memakan…“ Ash langsung saja mendeliki Andi sambil terus mengunyah rotinya yang masih belum habis-habis itu. “Kalian lanjutkan saja, aku mau ke toilet sebentar.” Ia pun kemudian melangkah keluar dari kelas itu. “Lanjut!!!” … “Kyaa!!” Begitu kumembuka mata, rasa sesak mengerikan itu hilang sudah. Kutatap langit-langit ruangan yang kukenali pasti: kamarku! Sebenarnya apa yang terjadi?! Begitu kesadaranku terkumpulkan semua, kuterduduk sambil kembali melayangkan pandangan ke sekelilingku untuk memastikan kalau aku benar-benar berada di dalam kamarku. “Hosh-hosh! Iya, benar. Syukurlah. Itu semua hanya mimpi!” ucapku lega. Kumemekik tertahan dengan pandangan yang terpaku ke suatu sudut. Kuterbelalak dan terpaku begitu melihat benda yang berdetak menakutkan itu. “Tidaaaak!” *** Buru-buru kuberpakaian serba rapi sambil menggigit roti. “Duh, aku kan baru beberapa hari kuliah di kampus itu. Belum juga seminggu, harus dinodai pakai terlambat segala, lagi!” keluhku. Kumasukkan buku-buku yang kuperlukan untuk pelajaran di kampus nanti kemudian tertegun begitu teringat. “Eh! Buku perpustakaan yang kupinjam minggu lalu mana, ya? Kan sudah harus dipulangin hari ini juga.” Panik kucari-cari buku perpustakaan yang kumaksud itu ke segala sudut kamarku. “Duh, mana ya?! Sial! Bisa semakin telat nih jika harus mencari buku itu lagi. Aku tak mau didenda segala. Tapi bagaimana kalau buku itu sampai hilang?!” Lengkap sudahlah penderitaanku pagi ini! “Kagome-kagome, nige rarenu yooni…” Kali ini, perhatianku lalu teralihkan untuk mencari ponselku yang melantunkan lagu vocaloid horror Kagome-kagome itu. Aku senang menggunakan lagu itu untuk nada SMS masukku, merinding saja mendengar nyanyiannya. Kumengernyit begitu melihat SMS dari nama kontak “Ryan”. “Hah?! Aneh! Sejak kapan aku menambahkan kontak bernama ‘Ryan’ di ponselku?!” Penasaran, segera kubuka SMS-nya: Kau pasti sedang mencari-cari ‘ini’, kan? Kuterbelalak begitu melihat foto novel horor yang terlampir di SMS itu. “I-ini kan … ta-tapi ini semua kan hanya mimpi!” Ponselku kembali melantunkan lagu Kagome-kagome. SMS dari Ryan lagi: Oh, ya? Kau yakin ini semua hanya mimpi? Coba lihat ke cermin! Ia seolah menjawab pikiranku tadi! Buru-buru kumengikuti arahannya itu untuk bercermin ke meja riasku. Ada petunjuk apa di bayanganku ini? Kuamati baik-baik, bayanganku masih ada di cermin. Wajahku dan penampilanku juga masih seperti biasa. Apa ada yang berubah? Kuterperangah begitu menyadari ada yang sedikit berbeda denganku kini. “Ryan benar…” Kutersaruk ke lantai saking syoknya sambil memegangi leherku. “Ini semua bukan mimpi!” Kantin Cita Rasa Kematian - 3 Oh, ya? Kau yakin ini semua hanya mimpi? Coba lihat ke cermin! Ia seolah menjawab pikiranku tadi! Buru-buru kumengikuti arahannya itu untuk bercermin ke meja riasku. Ada petunjuk apa di bayanganku ini? Kuamati baik-baik, bayanganku masih ada di cermin. Wajahku dan penampilanku juga masih seperti biasa. Apa ada yang berubah? Kuterperangah begitu menyadari ada yang sedikit berbeda denganku kini. “Ryan benar…” Kutersaruk ke lantai saking syoknya sambil memegangi leherku. “Ini semua bukan mimpi!” *** Aku tak tahu jelas pemuda mengerikan itu penyihir, hantu atau apa. Tapi daripada dipermalukan oleh penjaga perpustakaan yang killer-nya minta ampun itu, aku jadi lebih memilih untuk menemui Ryan! Aku berharap bisa menemuinya di tempatnya berkuliah dan meminta buku itu kembali. Soalnya aku sudah mencoba membalas SMS atau meneleponnya, tapi nomornya mati seolah tak pernah ada yang menggunakannya. Tapi di mana ya letak fakultasnya itu? Sementara mencari-cari, aku terus berlogika. Bagaimana bisa buku itu ada di tangannya? Apa ketinggalan di kantin misterius yang tak kuketahui jelas apakah itu mimpi atau bukan? Kalau memang kenyataan, kenapa aku bisa terbangun di kamarku? Siapa yang membawaku ke sana? Dan mengapa semua itu terasa bagaikan mimpi? Masa iya sih ada buku yang bisa ketinggalan di alam mimpi? Bagaimana caranya? Ah, sudahlah! Semuanya memang terasa sangat tak logis. Sebaiknya sekarang aku fokus mencari pemuda mengerikan itu kemudian meminta penjelasan atas semua yang terjadi padaku di kantin misterius itu serta apa maunya! Tapi ke mana aku harus mencari? “Permisi! Numpang tanya, jurusan Kuliner di mana, ya?” Anak yang kutanyai itu mengernyitkan kening, menatapku aneh kemudian menjawab, “Jurusan Kuliner? Di kampus ini kan tak ada jurusan seperti itu! Jurusan itu sudah lama tutup.” “Apa?!” *** Kantin Cita Rasa Makassar! Ide yang bagus memang untuk berusaha menemuinya di sana. Hanya saja, letaknya di mana? Aku yang lupa ataukah memang tak pernah datang ke kantin itu?! Jalannya saja sudah tak ingat lagi! Bukannya tak ingat, aku malah merasa tak pernah melewati jalan apa pun ke kantin itu. Huh, semuanya jadi terasa membingungkan! Bagaimana caraku agar bisa ke sana? Dan sekarang, aku tengah berada di mana? Kupandangi lapangan berumput yang sepi di sekitarku dengan malas. Aku tak begitu memperhatikannya karena sibuk mengingat-ingat jalan ke kantin misterius itu. Ada atau tidak pun, aku tak tahu persis. Kumenyerah! Mungkin sebaiknya aku kembali saja sebelum tersesat. Mungkin sebaiknya aku mengganti buku tersebut saja meski harus dipermalukan dan mendapat hukuman berupa denda. Baru saja kumembalikkan badan, tiba-tiba saja ada seseorang berlari kencang di belakangku. Refleks kumenolehkan kepalaku dan melihat Ryan tengah berlari ke gedung usang di seberang! “Ryan! Tunggu!” pekikku seraya mengejarnya tanpa rasa takut. Aku terus mengejarnya hingga menuju koridor yang sepi dan lengang. Gedung tersebut tampak rusak sana-sini. Aku terus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejarnya. Hosh-hosh! Tenagaku cukup terkuras begitu tiba di lantai 2. Sekarang di mana dia? “Ryan! Kamu di mana?!” pekikku sambil melangkahkan kaki mencari-carinya. Duh, begini amat ya hanya demi sebuah buku. Aku jadi rela menantang maut seperti ini dengan mahluk yang entah apa itu. Rasa takutku terkalahkan begitu mengingat betapa galaknya si penjaga perpustakaan itu. Oke, mungkin inilah keputusan paling bodoh apalagi begitu kalian sadar sudah berada di mana. Oke, ini di mana? Aku terus melangkah dan mengurungkan niatku untuk kembali begitu melihat kantin misterius itu. Ya, tak salah lagi itulah kantinnya! Bergegas kuberlari mendekati kantin itu dan mengernyit begitu melihat ada banyak orang di sana tengah santap siang. Ramai sekali! Nyaris tak ada tempat yang kosong di sana. Kusemakin memantapkan hati ini untuk masuk begitu melihat Ryan memasuki kantin itu tak lama kemudian. Tapi keadaannya begitu berbeda. Ia tampak begitu “hidup” daripada yang sebelumnya. Dia tengah ceria-cerianya bersama kawanannya. Karena merasa ada yang aneh padanya, kuputuskan untuk tak menyapanya terlebih dahulu. Sebaiknya aku mengikutinya saja. “Hei! Minggir! Ini meja kami, tahu!” bentak Ryan sambil mengusir beberapa orang di sebuah meja—meja yang ditempatinya di sebelah “mejaku sebelumnya” tempo hari itu. Hei, kasar sekali dia! Ryan dan kawanannya lalu menyeret mereka berdiri kemudian mendorongnya pergi. Tak hanya itu, geng Ryan juga menepis piring-piring dan gelas-gelas mereka hingga berjatuhan ke lantai. Prang! Prang!! “Apa-apaan, nih?! Banyak banget sih sampah di meja kita!” Ceceran makanan dan tumpahan minuman pun mengotori lantai. Ih, keterlaluan! Tak ada yang berani melawan. Semua hanya bisa terdiam. Sepertinya saatnya aku bertindak. Aku harus menegur mereka! Aku lalu duduk di salah satu kursi di meja yang mereka perebutkan. Ryan dan kawanannya seolah tak peduli aku ada di sekitar mereka dengan wajah memerah karena marah. “Ryan! Apa-apaan kamu ini?!” pekikku sambil menggebrak meja. Brak! Begitulah aku kalau saking emosinya. Namun anehnya, mereka seolah tak mendengarkanku sama sekali dan malah asyik merokok. Sial, aku tak dianggap! “Pak Johan! Mana pesanan kami? Kenapa lama sekali?!” pekik Ryan gusar. Seorang pria bertubuh tambun kemudian mendekati mereka sambil tertunduk-tunduk segan. “Maaf, Mas! Apa saya boleh menagih … menagih hutang kalian yang sudah membengkak selama sebulan? So-soalnya kalau Mas-mas ngutang terus, saya bisa rugi! Bisa-bisa saya tak bisa jualan lagi di sini.” Ryan melotot kemudian berdiri sambil menarik kerah baju pria malang itu. “Apa kamu bilang?! Kamu berani menagih kami?!” tantangnya. “Begini saja, Mas! Ba-bagaimana kalau kalian membayar hutang kantin kalian yang selama sebulan itu, sebagai gantinya … sa-saya … saya akan menggratiskan makanan kalian hari ini sampai kenyang dan dengan makanan yang paling enak serta termahal di sini! Apa pun itu, jadi deh!” Mendengar tawaran setengah membujuk itu, Ryan memberi kode pada kawanannya dengan picingan mata. “Oke!” Ryan lalu melepaskan pria tua itu. “Akan kami bayar semuanya, asalkan kau mau membuatkan kami masakan dengan bahan utama yang kami mau. Gra-tis!” Pria itu mengangguk-angguk lega. “Iya! Iya, Mas! Akan saya buatkan menu yang paling enak. Dengan bahan apa pun itu!” Ryan dan kawanannya kemudian beranjak pergi. “Yup! Akan kami bawakan bahan utamanya untuk kaumasakkan buat kami nanti!” Napasku termegap-megap menahan marah. Kutatap tajam Pak Johan kini. “Mengapa Bapak tak melaporkan para berandalan itu?! Biar mereka tahu rasa dan dikeluarkan dari kampus! Mereka kan sudah semena-mena pada Bapak!” pekikku. Namun Pak Johan yang nampak bersusah hati itu segera berlalu, seolah ucapanku hanya angin lalu belaka. Karena geram, aku lebih memilih untuk mengejar Ryan. Aku mau memberinya pelajaran! Pokoknya harus ada salah satu dari mereka yang harus mendengarkanku. Tanganku hampir saja mencekal bahunya begitu ia tinggal selangkah lagi meninggalkan ambang pintu kantin. Hasilnya, hampir saja aku jatuh terhuyung-huyung karena tanganku menembus tubuhnya! Untung saja aku berhasil menyeimbangkan tubuhku. Hah?! Apa yang terjadi? Kutatap kedua tanganku. Belum habis keherananku, tahu-tahunya saja aku sudah berada di dapur kantin milik Pak Johan dan melihat pria malang itu tengah menangisi anjing kesayangannya yang sudah dikuliti di bak cuci piring. “Mengapa? Mengapa kalian melakukan ini padaku?!” rintih Pak Johan. “Kalian sudah keterlaluan!” Ryan dan kawanannya yang rupanya sudah berada di dapur itu—entah sejak kapan—terkekeh. “Loh kan kata Bapak mau buatkan masakan dari bahan apa saja. Hahahahaha! Jadi senjata makan tuan, kan?! Masih untung bahannya bukan dari daging orang! Wahahaha!!!” “Buddy sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri karena saya tak punya keluarga. Kenapa kalian tega melakukan ini?!” “Yaelah! Anjing saja dianggap sebagai keluarga!” Ryan kembali mencengkram kerah baju pria itu. “Kamu mau tahu kenapa kami melakukan ini?! Itu karena kau sudah mempermalukan kami di depan umum dengan menagih hutang kami! Kau itu sudah membuat kami seperti orang miskin saja!” Ryan tersenyum bengis. “Jadi bagaimana janji yang barusan? Jadi dibuatkan, nggak?!” Mata Pak Johan berkaca-kaca. Tak lama ia lalu menunduk, tampak berpikir sejenak. “Oke. Akan saya buatkan!” “Nah, gitu dong!” Ryan segera melepas kerah baju Pak Johan sambil tersenyum puas. “Kalian bertiga tunggulah di kelas kuliner tengah malam nanti. Kalian tahu kan di mana letak kelas spesial itu? Akan saya bawakan menunya ke sana.” Kantin Cita Rasa kematian - 4 “Mengapa? Mengapa kalian melakukan ini padaku?!” rintih Pak Johan. “Kalian sudah keterlaluan!” Ryan dan kawanannya yang rupanya sudah berada di dapur itu—entah sejak kapan—terkekeh. “Loh kan kata Bapak mau buatkan masakan dari bahan apa saja. Hahahahaha! Jadi senjata makan tuan, kan?! Masih untung bahannya bukan dari daging orang! Wahahaha!!!” “Buddy sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri karena saya tak punya keluarga. Kenapa kalian tega melakukan ini?!” “Yaelah! Anjing saja dianggap sebagai keluarga!” Ryan kembali mencengkram kerah baju pria itu. “Kamu mau tahu kenapa kami melakukan ini?! Itu karena kau sudah mempermalukan kami di depan umum dengan menagih hutang kami! Kau itu sudah membuat kami seperti orang miskin saja!” Ryan tersenyum bengis. “Jadi bagaimana janji yang barusan? Jadi dibuatkan, nggak?!” Mata Pak Johan berkaca-kaca. Tak lama ia lalu menunduk, tampak berpikir sejenak. “Oke. Akan saya buatkan!” “Nah, gitu dong!” Ryan segera melepas kerah baju Pak Johan sambil tersenyum puas. “Kalian bertiga tunggulah di kelas kuliner tengah malam nanti. Kalian tahu kan di mana letak kelas spesial itu? Akan saya bawakan menunya ke sana.” *** “Si Boni lama banget ya ke toiletnya,” keluh Ryan. “Iya, nih! Dia itu ke toilet atau nongkrong di mana, sih? Kok belum balik-balik juga?” Kiki—rekan Ryan yang lain—menimpali. Karena masih penasaran seperti apa kelas itu dan apa yang akan terjadi nanti, aku masih saja terus mengekori Ryan dan gengnya ke mana pun mereka pergi. Sekarang mereka berdua tengah asyik merokok dan mabuk-mabukan. Apakah aku harus lanjut mengikuti mereka untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya ataukah mencari jalan untuk pulang? Namun karena lelah mengikuti mereka sepanjang hari, akhirnya aku berhenti juga. Mau mencari jalan ke duniaku pun, rasanya sudah tak sanggup lagi. Akhirnya kumemutuskan untuk memasuki sebuah kelas kosong dan merapatkan 2 meja untuk tidur di atasnya…. *** Ndus-ndus… Hm, bau apa ini? Harum sekali! Kuterbangun begitu bau aroma masakan menjepit penciumanku. Aku jadi lapar! Begitu kumembuka mata, senyumanku merekah begitu melihat beberapa jenis masakan khas Makassar berjejer rapi di meja sebelah. Kumenjilat bibir. Sejak dari siang kan aku belum makan apa pun. Apa boleh nih ikut mencicipi? Tapi siapa yang punya, ya? Kuterduduk di tepi meja yang kutiduri tadi kemudian celingukan dan tak mendapati siapa pun di kelas itu. Karena saking laparnya—tak tahan lagi—segera saja kumengambil kursi dan duduk di depan meja itu. Secara membabi buta, segera kusikat menu apa saja di meja itu tanpa harus memedulikan makanan itu untuk siapa. Bukankah tak ada siapa-siapa di sini? “Tolong … tolong….” Kupasang telingaku baik-baik. Sepertinya aku salah, deh! Sepertinya bukan hanya aku saja yang berada di kelas ini. Kuhentikan makan malam gratisku sesaat. Perlahan kuedarkan pandanganku ke sekitar dan tak menemukan siapa-siapa di sana. Keringat dinginku mencair. Terus suara itu berasal dari mana, dong? Tes-tes. Kumengernyit begitu merasa ada tetesan air mendarat ke hidungku. Spontan saja kuseka tetesan air di hidungku itu kemudian mengeceknya. Kuterbelalak dan memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku ke atas secara perlahan dan… “Kyaaaaaaaaaa!!!” Seorang pemuda tampak bergelantungan secara terbalik di atas. Kakinya diikat di atas plafon dan tangannya pun diikat ke belakang tubuhnya. Meskipun wajah dan pakaiannya berlumuran darah, namun ia masih hidup. Ia masih bernapas… “Kiki!!!” terdengar suara lain di hadapanku hingga membuatku refleks meluruskan pandangan. Kuterperangah begitu melihat sudah ada Ryan yang duduk di seberang meja sana, terikat di sebuah kursi, entah sejak kapan. Ia berusaha membebaskan dirinya sambil memandangi Kiki yang tengah sekarat di atas sana. “Hehehehe!” terdengar suara tawa di ambang pintu itu. Sesosok pria kemudian memasuki kelas sambil membawakan sebuah nampan berisi makanan yang lezat. “Kau tak usah khawatir! Aku akan segera memberikan apa yang kau mau.” “Pak Johan?!” desisku begitu melihat pria itu meletakkan beraneka ragam masakan lagi di meja. Ia tampak tak bisa melihatku di sini. “Bukankah ini yang kau mau, Nak? Sekarang, ayo makan!” Pak Johan membawakan salah satu menu ke hadapan Ryan. “Ini Konro kesukaanmu, kan? Ayo, buka mulutnya! Sini Bapak suapin. Ini tulang iga-nya.” Namun Ryan segera membuang muka. Aku baru bisa tahu alasannya begitu Pak Johan mengambil sepotong iga di mangkuk itu kemudian menjilatinya. “Kenapa? Tak suka?! Enak, loh!” Pak Johan lalu mengisapi iga itu. “Benar-benar rasa ‘Boni’!” Pria itu lalu tertawa-tawa kesetanan sementara Ryan menangis. Kumerinding ngeri mendengarnya. Pak Johan lalu meletakkan mangkuk itu ke meja dan menatap Kiki yang masih bergelantungan—entah mau diapakan. Tapi untung saja ya meski posisinya dekat begini, pria psikopat itu dan yang lainnya tak bisa melihatku. Kalau iya sih, pasti sudah daritadilah aku lari. “Kamu ini kayak anak kecil saja! Susah sekali disuruh makan,” komentar Pak Johan. “Bagaimana kalau begini saja? Aku tahu bagaimana caranya agar nafsu makan orang sepertimu bertambah.” Pria itu lalu mengambil sebuah pisau besar dan melakukan hal di luar dugaan! “Jangaaaaaaaaannn!!!” pekik Ryan histeris begitu Pak Johan menjambak rambut Kiki dan menyembelih lehernya. Sedikit demi sedikit, pisau itu menggerek kulitnya kemudian masuk ke tenggorokannya hingga tembus ke belakang leher Kiki. Pisaunya pun dibiarkan tertancap di leher itu. Pak Johan memotongnya seolah-olah kepala Kiki adalah daging yang digantung di pasaran. Riwayat Kiki pun tamat dalam seketika. Hujan darah dari pangkal leher Kiki pun meluncur deras dan mendarat ke mangkuk-mangkuk di meja. Kepala yang hampir terlepas itu bergelantungan dengan luka menganga di batang tenggorokan. “Huuuuaaaaahh!!!” Ryan meraung-raung setengah gila menyaksikan pembunuhan keji itu. “Maaf, ya! Saos tomat Bapak sudah habis. Sebagai gantinya, tak apalah mengorbankan teman. Bukankah ini yang kauinginkan?” Pak Johan kembali menyuapi Ryan. “Sekarang, ayo makan!” Ryan nyaris muntah begitu aroma amis darah Kiki bercampur di kuah Konro berwarna coklat kemerahan berisikan daging Boni itu. “Kalau kau tak menghabiskannya, kujamin besok di kantin, kupastikan kau dan kawananmu sudah berada di perut teman-temanmu yang sering kalian sakiti. Ya, aku akan dengan senang hati menyuguhkan menu istimewa untuk mereka dan … gratis!” Mendengar ancaman serius Pak Johan, akhirnya Ryan mau saja menerima suapan sup mengerikan tersebut sambil meringis-ringis. Entah bagaimana rasanya, yang pasti rasanya mengerikan dan memualkan. Namun Ryan sepertinya berusaha untuk menahan mualnya. “Bagaimana rasanya bisa bersatu dengan kawananmu dalam satu tubuh?” Pak Johan terus menyuapi Ryan hingga mangkuk keempat yang kali ini berupa soto. Perut Ryan sudah tampak kembung dan ia pun menolak untuk melanjutkan makannya. Namun Pak Johan terus saja memaksanya untuk menghabiskannya. “Ayo, ini baru mangkuk ke-4 dari 13 mangkuk yang ada. Bapak sudah capek-capek loh membuatkannya spesial untukmu! Membagi tubuh Boni ke 13 menu itu tak mudah, loh.” Baru sampai mangkuk ke-6, Ryan sudah muntah-muntah hebat. Ruangan kelas itu jadi semakin kacau dan mengerikan! Pak Johan yang tampak kesal kembali mendekati mayat Kiki. “Apa lagi yang harus Bapak lakukan agar kau bisa makan banyak?! Ini belum sampai penutupnya.” Ia kembali mengambil pisau dan… Bercampur mual, Ryan semakin menangis-nangis begitu Pak Johan membelah perut Kiki dan mengeluarkan isi perutnya dengan semena-mena. “Bapak tahu kau mau jeroan, kan?! Akan Bapak penuhi asupan gizimu!” serunya sambil menggaruk keluar organ dalam Kiki ke bawah menu-menunya. Dengan kalapnya, Pak Johan memasukkan beberapa isi perut Kiki ke Sop Saudara buatannya. “Sekarang, Bapak akan lepaskan ikatanmu agar kau bisa makan sendiri dan berhenti merepotkan Bapak! Dasar anak ingusan!” Pria itu lalu melepaskan ikatan Ryan. “Cukup … cukup … ampun!” Namun tentu saja Ryan sudah tak mau makan lagi. “Apa?! Dasar anak tak tahu diuntung! Padahal sudah dikasih makan gratis, malah ditolak!” Karena kalap, Pak Johan langsung memenggal pergelangan tangan kanan Ryan dengan kapaknya. “Arrrrrrghhhh!!!!” Ryan menjerit kencang sambil menahan darah yang mengucur deras dari pangkal potongan pergelangan tangannya. Ia berguling-guling di lantai menahan sakit yang luar biasa karena banyaknya syaraf di tangan itu. “Bukannya kau suka makan gratis? Bukannya kau suka kuliner khas Makassar buatanku ini meski yang beda hanya bahannya saja? Tapi sekarang, apa yang salah?!” raung Pak Johan sambil kembali mengayunkan kapaknya, kali ini ke… “Arrrrrgghhh!!” Itu jeritan panjang terakhir Ryan sebelum pada akhirnya kapak Pak Johan menancap membelah mulut yang terbuka lebar itu, menembus rahangnya. “Kyyaaaaaaaa!!” Kali ini gilirankulah yang menjerit, setelah sekian lamanya menahan kengerian. Tenang saja, bukankah takkan ada yang… Namun, Pak Johan malah menoleh ke tempatku duduk dan perlahan mendekatiku. Napasku tercekat, tubuhku tak bisa bergerak! Apakah ia melihatku?! “Kenapa mangkuknya tadi tinggal 12?” terdengar suara kelam Pak Johan. “Kamu ya yang memakan isi mangkuk ke-13?” Aku tak sanggup bersuara lagi saking tegangnya. “Ternyata kalian sama saja! Sama-sama suka gratisan!” pekik Pak Johan sambil… “Sama-sama mau enaknya sendiri dan tak mau bayar!!!” …mengayunkan kapaknya… “Kyyyyyaaaaaaa!!” Kantin Cita Rasa kematian (epilog) “Kyyaaaaaaaa!!” Kali ini gilirankulah yang menjerit, setelah sekian lamanya menahan kengerian. Tenang saja, bukankah takkan ada yang… Namun, Pak Johan malah menoleh ke tempatku duduk dan perlahan mendekatiku. Napasku tercekat, tubuhku tak bisa bergerak! Apakah ia melihatku?! “Kenapa mangkuknya tadi tinggal 12?” terdengar suara kelam Pak Johan. “Kamu ya yang memakan isi mangkuk ke-13?” Aku tak sanggup bersuara lagi saking tegangnya. “Ternyata kalian sama saja! Sama-sama suka gratisan!” pekik Pak Johan sambil… “Sama-sama mau enaknya sendiri dan tak mau bayar!!!” …mengayunkan kapaknya… “Kyyyyyaaaaaaa!!” *** Kumembelalakkan mataku dan memandang ke sekitar. Suasana kantin! Fiuh, syukurlah semuanya itu hanyalah mimpi buruk belaka. Mungkin karena kebanyakan membaca novel horor. Sepertinya aku ketiduran di kantin ini. Sekarang sudah waktunya aku pulang. Tapi tunggu dulu, aw! Aw, kok mataku perih banget sih?! Sebuah garpu tampak menusuk-nusuk mataku. Hei, hentikan! Sakit, tahu! Tanpa mau mendengarkan jeritanku, garpu itu malah mencabik-cabik mataku hingga … hei, pandanganku jadi kabur! Sebenarnya apa yang terjadi di sini?! Kusadari begitu melihat sekelilingku. Hei, mengapa aku ada di “piringnya” Ryan?! Aku tak sendirian, sepertinya ada yang “menemani” di piring itu. Jadi ramai rasanya, tapi pantaskah aku berada di sini?! Tak hanya itu, penglihatanku pun jadi hilang total begitu si pemilik garpu memasukkan cabikan-cabikan bola mataku ke mulutnya kemudian mengunyahku. Argh!!! Akhirnya aku (yang sudah berbentuk mata) meluncur ke pembuangan daging bersama dengan yang lainnya dan antre untuk dicerna dan hancur. Aku tak bisa mengenali lagi yang mana bagian tubuhku dan yang mana bagian tubuh Ryan dan yang lainnya. Semuanya jadi satu sama persis di sana: DI PERUT PAK JOHAN! “Maaf ya, Karen!” terdengar sebuah suara. “Aku yang sengaja menjebakmu kemari karena jatuh cinta pada pandangan pertama padamu sejak di kantin itu. Mungkin ini bukan momen yang tepat untuk bilang: aku suka padamu! Tapi aku tak mau sendirian….” Kutertegun. Senang sih, “ditembak” oleh orang sekece Ryan, hanya saja… “Makanya aku menyeretmu ke duniaku. Tapi sekarang, aku sudah bisa lega karena kita takkan terpisahkan lagi. Kamu senang, nggak?” Sudahlah! Cukup! Jangan bicara lagi! Aku menolakmu! “Percuma saja kau menolakku karena kita kan … sudah berada di perut yang sama! Description: Namaku Chika—seorang mahasiswi baru di Fakultas Kesehatan di sebuah universitas negeri favorit di Makassar—dan … aku tak percaya dengan adanya hantu mau pun mahluk gaib lainnya! Tapi sebuah kegiatan di bina akrab yang bertepatan pada tanggal 13 Juni 2013 (malam Jumat) nanti, sepertinya membuatku harus berubah pikiran… RITUAL 100 KISAH HOROR merupakan novel horor karya Thirteen (Fb: Arieska Arief / Menulis Bukti Hidupku). novel horor ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DarkSecret2019 yang diadakan oleh Storial :=(D nb: dewasa (18+)
Title: Rangkaian Nada Category: Puisi Cinta Text: Akhir dari Kisahnya Cinta akan hadir Namun ia juga mampu untuk sekedar mampir Meski belum saatnya untuk berakhir Ia bisa tega untuk berhenti hadir Terkadang cinta seperti senja Hadir untuk memberi keindahan Tapi hanya sementara Lalu pergi dan menghilag Saat cinta tiada lagi Seakan dunia pun telah mati Meninggalkan memori yang menggores hati Luka mendalam yang tak dapat terobati Hadirnya cinta baru tuk menghapus goresan di hati Namun nyatanya membuat luka itu semakin menjadi Apalah daya diri ini Karena cinta dua buah kaki sulit tuk berdiri Description: Mengisahkan perjalanan cinta seorang insan manusia, yang awalnya terbelenggu oleh rasa cinta yang ia punya hingga kekecewaan melanda membuatnya tak berdaya karna cinta.
Title: Risalah Sang Pencipta Category: Non Fiksi Text: Prolog Aku bukanlah lelaki yang gemar bergaul sembarangan, aku tak sekeren mereka yang mengendarai motor-motor besar, memakai pakaian mahal, juga seputung rokok di bibir. Aku hanyalah lelaki yang sanggup menadahkan tangan kepada Sang Penciptaku, diam dan tak banyak menggoda wanita. Jika diamku membuat kau risih, pergilah, aku tak apa, karena aku takut menyesali bicaraku yang tanpa disadari membawa keburukan. Lelaki sepertiku kadang dianggap pengecut, bukan sejati, aku tak tahu apa selera mereka sebenarnya. Ini adalah sebuah kisah cinta yang sudah dirisalahkan, dan ini mungkin jalan cintaku yang sudah ditetapkan. Akan kujaga sampai nafas ku terhenti dengan caraku sendiri. Inilah aku dan kisahku. Description: Hati ini berlabuh menuju cinta-Nya. Sungguh mulia Engkau mengirimkan Yusuf pria pendiam namun ramah itu seorang gadis cantik akhlak juga parasnya. Dipersatukan dalam cinta yang suci, tentu saja ada setiap jalan yang mulus pasti ditemui batu kerikil. Apakah yang akan terjadi antara Yusuf dan gadis bernama Zulaikha itu? Bagaimana mereka menjalani hidup bersama?
Title: RUMAH SEBELAH Category: Adult Romance Text: SALAH SANGKA Sudah berbulan-bulan kehidupan Febro berlangsung tak normal. Tidak kuliah, belum kerja, teman-teman dekat ... ambyar ... banyak yang pulang kampung, was-was nongkrong di tempat ramai, tak bisa travelling (karena musim covid dan bokek), dan rumah jadi dunia gadis berambut kribo mekar itu sejak pagi sampai pagi lagi. Bagi orang yang senang bergerak ke mana-mana, kondisi semacam ini sungguh membuat gregetan! Ah, tidak saklek begitu sebenarnya. Dengan tetap menaati 3M, Febro masih bisa sesekali kumpul dengan teman-temannya untuk sekadar ngobrol buang suntuk atau mencoba-coba peluang mencari cuan. Namun situasi memang tak lagi leluasa seperti dulu. Dunia mendadak seperti sempit. Tepatnya, dunia menjadi sempit ketika kita bokek pada saat usia sudah dewasa! Beda kasus dengan adiknya, Okta. Dia masih SMA. Masih pantas jika tak tahu malu minta uang jajan setiap hari kepada Mamah dan Bapak. Nah, sedangkan dia dan April kakaknya? Malu dong. Makan-tidur-wifi-bensin digratisin saja malu, apalagi minta uang jajan! Oh ya, April kakaknya yang terkenal cantik se-komplek itu pun, sudah beberapa bulan ini dirumahkan dari kantor event organizer yang paling besar di Bandung ini. Sekarang kesibukannya coba-coba jadi reseller baju dan skin care, tapi sepertinya belum untung besar. Buktinya dia masih sering uring-uringan di depan cermin. Argh! Sudah empat bulan Febro resmi menyandang gelar Sarjana Teknik dari jurusan Teknik Sipil, meski acara sidang skripsi dan wisudanya hanya berlangsung online. Intinya dia sudah punya modal untuk melamar kerja ke perusahaan konsultan, developer, kontraktor, atau apalah yang ada hubungannya dengan struktur bangunan. Tapi masalahnya, pada masa pandemi covid-19 ini, perusahaan-perusahaan sejenis itu umumnya tak menerima karyawan baru. Malah justru banyak yang terpaksa mem-PHK karyawan yang sudah ada. Sekarang, proyek-proyek fisik memang banyak yang berhenti. Entah sampai kapan. Mengerikan. Kehidupan akan makin tak jelas jika trend pandemi masih begini-begini saja. Menanjak terus. Yang positif cofid sudah lebih dari sejuta. Ya Robbanaaa ... bagaimana coba? Bagaimana nasib mereka sekeluarga jika terus-terusan begini? “Lama-lama begini, bisa nyungsep kita...!” sembur Febro kepada ikan nila dalam ember hasil tangkapannya. Jadi begini, sebagai filolog (orang yang pekerjaannya mengurusi naskah-naskah kuno sebagai sumber sejarah) yang merangkap menjadi dosen di universitas swasta, Bapak dan Mamah tidak menghasilkan banyak uang, meski tentu saja tidak berkekurangan. Cukuplah untuk menghidupi dan membiayai sekolah tiga orang anak. Tapi jelas tak bisalah bermewah-mewah. Apalagi Bapak dan Mamah memiliki kegilaan tertentu untuk berburu naskah-naskah kuno yang tersimpan entah di pelosok mana untuk kemudian berusaha menerjemahkan dan menguak misterinya dalam sejarah budaya masyarakat terkait. Dan aktifitas itu kebanyakan merupakan proyek pribadi, artinya hanya mengandalkan dana sendiri. Maklum hobi. Bapak dan Mamah memang sepasang filolog yang sering bikin geleng kepala anak-anaknya. Seperti sekarang ini. Sudah beberapa hari ini Bapak dan Mamah pergi ke Sintang Kalimantan Barat untuk mencari dan mempelajari kitab-kitab kuno yang konon ditulis oleh sultan-sultan Melayu setempat berabad silam. Dan itu bukan tugas dari universitas atau proyek penelitian yang didanai pemerintah atau lembaga asing. Entah berapa puluh juta yang telah mereka siapkan untuk membiayai setiap perjalanan semacam itu. Yap, pemerintah memang agak kurang perhatian pada hal-hal demikian. Nanti jika penemuan itu sudah menjadi perbicangan hangat—apalagi sampai menarik minat peneliti asing—biasanya barulah pemerintah turut sibuk dan mengambil alih. Begitulah, tak bisa dipungkiri ... pemerintah memang sering kedodoran dalam menangani berbagai hal, apalagi jika menyangkut urusan-urusan yang dianggap kurang penting bagi hajat hidup orang banyak. “Bro, kirain lagi masak nasi goreng. Nggak taunya malah ngelamun depan ember...!” usik April tiba-tiba. Alih-alih “Feb”, orang serumah memang lebih suka memakai penggalan “Bro” dari nama Febro. Mungkin karena dia adalah anak gadis paling ganas di sini. Gayanya mirip cowok. Febro mendongak. Lalu mencibir melihat penampilan April yang terlilit selimut warna shocking pink dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hih, jadi mirip pocong buta warna. Heran juga sih, sudah bertahun-tahun tahun jadi warga Bandung, kenapa April masih saja menggigil kedinginan setiap pagi? Padahal sekarang ini suhu sedang tidak dingin-dingin amat. Kan sudah lama juga Bandung tidak dingin lagi. Si sulung yang bisa kelihatan cantik meski masih ileran dan belekan itu, lalu ikut-ikutan nongkrong di sebelah Febro. Menghadap ember merah berisikan dua ekor ikan nila, tak jauh dari kolam ikan kecil di halaman belakang. “Mau diapain nih ikan Bapak? Mau digoreng? Waaah, ngaco ah. Bapak bisa marah nih kalo ikan kesayangannya dijarah gini....” Febro berdecak sebal. “Bapak miara ikan nila ini kan tujuannya memang buat kita makan, teteh cantiiik! Nah, sekarang kita lagi kelaparan dan di kulkas nggak ada apa-apa ... ya udah, memang rejekinya ikan ini buat kita gasak!” “Dih, geli ah. Aku nggak mau makannya. Nggak tega. Mending juga makan sama kerupuk aja.” “Ya silakan kalo hobi nasi kerupuk doang mah. Biar yang makan ikan goreng sambal matah ini cewek-cewek yang tegaan aja...!” sentak Febro sambil ngakak. “Minggir! Nanti pingsan lagi liat golok dan darah muncrat berhamburan ke mana-mana...!” April langsung berdiri sambil memekik-mekik. Apalagi ketika dilihatnya Febro—adik sarap yang paling senang mengusilinya sejak mereka kecil—mulai mengayun-ayunkan golok yang biasa dipakai Bapak untuk memangkas ranting pohon. “Bro! Jangan mainan golok dong! Ngeri, tauk...!” jerit April sambil cepat-cepat menyingkir. Kini dia bersembunyi di balik tiang teras belakang. Percuma dong. Kan tiangnya lebih kurus dari badan April. Febro tergelak. Mumpung Mamah dan Bapak sedang tak di rumah, dia bebas merdeka menggoda kakaknya yang bagai barbie itu. Dia pun segera mengejar April. Satu tangan memegang golok, satu lagi memegang ikan nila licin yang menggelepar-gelepar dalam genggamannya. “Sini, majuuu! Jangan cuma muka aja yang dielus-elus! Nih ... ikan juga perlu kasih sayang!” “Bro! Apaan sih! Nggak lucu, tauk!” “Eeehhh, ini lucuuuu. Liat deh, mulutnya meuni mangap-mangap siga minta dicipok! Muah, muahhh ... Teteh April cantik, sini dooong...!” Febro melonjak-lonjak kesenangan. Golok dan ikan nila masih teracung-acung dalam tangannya. Sementara mata April makin melotot ngeri. Si Bro jadi-jadian ini memang tambah gila saja sejak resmi jadi pengangguran. “Bro! Itu golok, tolooong ... diturunin! Horor, tauk...! Jangan sampe dia mendarat di tempat yang salah!” Febro makin ngakak. Tapi tawa gilanya mendadak susut begitu pandangan matanya terlempar ke arah jendela lantai dua di rumah sebelah. Di sana, dalam bingkai kusen jendela warna putih yang terbuka lebar itu ... terpampanglah sosok setengah badan dengan wajah tak ramah sedang memperhatikan mereka. Matanya sinis, mulutnya bengis, dan wajahnya sadis. Mereka menyebutnya Mr. Antagonis. “Kantor polisi?! Sedang ada percobaan pembunuhan di sini, Pak...!” ucap Mr. Antagonis lantang pada ponsel yang menempel di telinganya. Jarak antar dua rumah ini hanya sekitar tiga meter, dengan dibatasi oleh pagar tembok tak terlalu tinggi. Jadi para penghuninya bisa saling mendengar dengan jelas jika ada suara-suara teriakan. Bisa saling melongok juga untuk mengintip keadaan rumah sebelah. Tangan Febro sontak seperti kehilangan kekuatannya. Kedua tangannya langsung turun lunglai. Si golok beku di sebelah pahanya dan si ikan meluncur tak indah ke tanah. Pasti bakal benjol-benjol dan keduluan mati sebelum disembelih. Meski dia sering ngaco, tapi tentu saja tak mau berurusan dengan polisi. Bukan hanya Febro, April pun sama gagu-nya. Bibirya yang tipis dan berwarna merah muda asli tanpa polesan itu kontan terkatup, lupa untuk terus memekik-mekik. Sebenarnya dia ingin menggulung tubuhnya lebih jauh ke dalam selimut shocking pink-nya. Tapi sayang, otot-ototnya seperti lupa cara bekerja. Jadi dia mematung saja di sebelah tiang. Persis kepompong. Kepompong pink. Eh, pocong pink. Lalu ... BRAKK! Mr. Antagonis pun menutup jendelanya dengan kasar. Febro dan April saling pandang. “Dia seriusan mau laporin kita ke polisi...?” tanya April. “Kita kan nggak gangguin dia....” Febro mendengkus. “Huh. Dia cuma caper. Maklum om-om jablay...!” “Tapi tadi mukanya serem banget. Kayak vampir.” “Halah, itu cuma muka lapar! Pasti dia lagi nggak punya makanan. Ngiri kali liat ikan nila kita...!” jawab Febro nyaring. Kekagetannya tadi sudah lenyap sama sekali. BRAKK. Tiba-tiba jendela di lantai dua itu terbuka lagi. Wajah sadis Mr. Antagonis pun terpampang. Lalu ... settt ... dia menodongkan pistol hitam ke arah mereka. Febro dan April membelalak sebulat-bulatnya. “Aaaaakk...!!” April dan Febro pun lari lintang pukang memasuki pintu belakang rumah mereka. Sampai April kesrimpet-srimpet selimutnya dan Febro menabrak-nabrak ember merah dan tiang teras.... TETANGGA OH TETANGGA April menghambur ke jalan di depan rumah. Tengok kiri, ada segerombolan ibu-ibu dasteran sedang megerubuti Mang Usep, tukang sayur keliling. Tengok kanan, di depan rumah Mr. Antagonis yang terlihat angker karena pohon nangka di halamannya terlalu rimbun itu ada Pak RT sedang jogging bersama kucing oren gembulnya. Tentu saja April lebih memilih mendekati Pak RT daripada gerombolan ibu-ibu yang kapan hari itu pernah rempong tanya-tanya tentang kepengangguran dan kejomloannya. “Pak, Pak RT...!” teriak April agak tertahan. Pak RT menoleh, menghentikan larinya, lalu berbalik menyambut anak gadis Pak Irwin yang pagi ini tumben-tumbenan berani keluar rumah dengan penampilan seadanya. Hanya piyama dan tanpa alas kaki. Kelihatannya belum mandi juga. “Ada apa, Neng?” tanya Pak RT mendadak was-was. Pasti telah terjadi sesuatu hal buruk sampai gadis cantik yang biasanya keren dan wangi ini berani memamerkan muka bantalnya ke luar pagar rumahnya. Bagai tak sabar April memburu Pak RT. Lalu kedua kakinya berhenti di depan bak sampah yang letaknya ada di ujung kiri pagar rumah Mr. Antagonis. “Aya naon, Neng? Kenapa lari-lari manggil Bapak? Jangan bilang karena rindu, ya. Bahaya. Nanti Bu RT nyuruh Bapak tidur di keset....” Situasi sedang genting. Jadi April tak menanggapi candaan Pak RT. “Dia mau nembak saya sama Febro, Pak...! Nakutin!” lapor April ngos-ngosan. Pak RT terperanjat. “Dia teh siapa maksudnya?” “Mr. Antagonis, Pak! Siapa lagi?” “Eh? Mr. Antagonis? Seingat Bapak nggak ada warga yang namanya Mr. Antagonis.” Menyadari keceplosannya, April jadi gemas sendiri. Serta merta dia mengarahkan telunjuknya ke arah rumah sebelah. “Maksud saya, ini nih, tetangga. Dia tadi mau nembak!” Alih-alih tanggap darurat, Pak RT malah terkekeh. Kekhawatirannya langsung lenyap. “Ooh, maksudnya Mas Jody? Dia nembak kalian berdua? Halahhh, kok serakah? Pacar kok maunya sekaligus dua. Satu aja kan cukup....” April bengong sekejap. Perlu waktu sekian puluh detik untuk memahami maksud kalimat Pak RT. “Haduh, Paaak. Bukan nembak yang kayak gitu. Tapi ini nembak betulan. Pakai pistol. Dorr...!” “Heh...? Mana mungkin Mas Jody punya pistol? Dia kan bukan polisi, bukan tentara. Jangan sengaja bikin keributan pagi-pagi begini demi konten, ah. Nggak baik. Ketenangan hidup di dunia nyata teh lebih baik dari pada ribuan like di medsos, Neng....” Hadeeeh. April jadi kesal. Rasanya percuma bicara dengan Pak RT yang punya keyakinan bahwa semua yang aneh-aneh pastilah tak terjadi di dunia nyata. Bahwa semua yang gila-gila dan tak masuk akal hanyalah konten di media sosial. Ini pasti gara-gara Okta, adiknya yang suka membuat konten lucu-lucuan di medsosnya. Okta memang penggila tik-tok. Orang se-RT sepertinya tahu itu. April malas jika harus menjelaskan panjang lebar kronologi kejadian tadi kepada Pak RT. Pasti akan membuat emosi saja. Sayang kulit mukanyalah. Bisa sia-sia manfaat skin care yang dipakainya. Untunglah Febro segera datang. Cewek yang kekurangan kromosom X ini pasti lebih tahan adu keyakinan dengan Pak RT. “Nah, ini nih saksinya, Pak. Tadi orang sebelah mau nembak kami pakai pistol. Kan bahaya, Pak. Pistol kan bisa membunuh. Iya kan, Bro?” ujar April sambil menarik tangan Febro. Febro yang sudah lebih tenang dan bisa menguasai diri, mengangguk-angguk. “Iya, Pak. Dia nodongin pistolnya waktu saya ngacung-ngacungin golok....” Pak RT kontan melompat mundur. Kaget campur ngeri. Lalu dengan mata memelotot dipandanginya dua gadis yang perbedaannya bagaikan bubur ayam dan pecahan genteng itu. “Aya naon iyeu teh, neng?! Wot hepen? Kenapa pagi-pagi udah ada pistol dan golok saling serang di RT sini?! Apa serangan copit masih belum cukup menyusahkan kita?!” “Lhooo, bukan gitu, Paaak...!” sahut April dan Febro nyaris bersamaan. “Lalu apa? Bohongan? Nge-prank? Hih, jangan gitu atuhlah. Jadi anak muda teh yang bermangpaat dikit buat bangsa dan negara. Jangan kelewatan kalo becandaan. Ini bapak kan jantungan. Gimana coba kalo bapak bablas lewat? Kalian mau tanggung jawab? Biayain Bu RT dan anak-anak?!” April bengong. Febro terbatuk hebat bagai tersedak gayung. “Kami nggak nge-prank, Bapaaak. Orang sebelah memang mau nge-dor pakai pistol ilegalnya...!” sergah Febro serius. Jangan sampailah dia harus membiayai hidup Bu RT sekeluarga. Lah hari ini saja dia harus nangkap ikan nila Bapak untuk lauk makan. Pak RT mendengkus. Siap ngomel lagi. Menurutnya, anak-anak sekarang kelakuannya memang makin mengkhawatirkan. Demi konten youtube atau medsos, mereka mau bertingkah tak masuk akal. “Nah, kebetulan ada Pak RT...!” seru sebuah suara berat tiba-tiba. Pak RT, April, dan Febro kompak menoleh. Dua meter dari mereka, berdirilah Mr. Antagonis dengan wajah yang tak enak dilihat. “Ini nih, Pak. Cewek jadi-jadian yang ini ... tadi mau ngebacok yang ini...!” ujar Mr. Antagonis ... eh, Jody ... sambil menunjuk muka Febro dan April bergantian. Pak RT memelotot lagi, entah untuk yang ke berapa kali. “Gimana maksudnya, Mas Jody? Ada apa sih sebenarnya? Tadi katanya ada yang mau nembak pakai pistol, ada yang ngacungin golok, lalu sekarang ada yang mau ngebacok. Kok kayak berita-berita di tipi aja. Duh Gustiii, kenapa kampung kita jadi horor begini?” Mr. Antagonis alias Jody langsung tertegun. Wajah sadisnya pun berangsung turun grade. “Maaf, Pak RT. Sepertinya memang perlu ada pembinaan generasi muda di RT kita. Supaya jangan ada bacok-bacokan antar saudara. Kan bisa bikin jelek nama RT ini..,” ucap Jody. “Soal pistol ... mana mungkinlah saya punya pistol, Pak. Saya nggak sebar-bar itu. Itu fitnah....” Mendengar kata-kata Jody, Febro jadi meradang. Tadi disebut cewek jadi-jadian, sekarang dianggap membuat fitnah. Dia pun segera maju. Dengan berani, ditantangnya mata tetangga yang jarang bersosialisasi dengan warga lainnya itu. “Menuduh orang lain fitnah itu namanya fitnah kuadrat, Pak. Ancamannya susah masuk surga...,” ucap Fabro dingin. Febro sengaja menyebut Jody dengan “Pak”. Bukankah dari pembicaraannya dengan Pak RT tadi menunjukkan bahwa dia tak termasuk dalam kategori generasi muda? Jody terperanjat. Mungkin tak mengira gadis kribo ini berani membalas kata-katanya, bahkan mengatainya susah masuk surga. Kemudian dia memangdang Pak RT sambil mengangkat bahu dan tersenyum miring. “Pak RT pasti lebih bisa menilai ... siapa yang waras dan siapa yang gila di sini. Sebaiknya kita pulang aja, Pak. Lama-lama bicara dengan mereka bisa bikin darah tinggi dan serangan jantung. Permisi....” Jody pun balik badan. Lalu melangkah tegap memasuki halaman rumahnya yang angker. Febro mendengkus sebal. “Pak RT percaya sama omongannya dia?” Pak RT mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya dalam sekali embusan keras. “Selama ini Jody nggak pernah bikin masalah di RT sini. Nggak pernah bikin kasus, nggak pernah ngajak ribut, patuh bayar iuran segala macam, dan bersedia ikut kerja bakti. Ya, Bapak percaya sama dia....” Febro membelalak. “Jadi Bapak nggak percaya omongan saya? Bahwa saya ini sudah nge-fitnah?!” Pak RT meringis. “Bapak kan nggak ngomong begitu. Sudahlah. Kalian pulang saja. Mandi. Lalu ngapain kek ... yang berguna. Buatlah orang tua kalian senang dan bangga.” Pak RT pun pergi. Sendirian. Tanpa kucingnya. Sebab kucingnya sudah kabur entah ke mana. Tinggallah Febro dan April saling pandang. Lalu saling mengernyit. “Haduh, gimana ini? Kamu sih ngomongnya ngaco...,” ucap April setengah merengek. Febro pun tersedak lagi. “Heh? Jadi cuma aku yang salah di sini? Gimana sih? Kan tadi kamu nyaksiin sendiri gimana kejadian yang sebenarnya. Kok sekarang nyalahin aku? Malesin banget. Fix deh, silakan kamu makan nasi kerupuk doang selama tiga hari! Awas kalo minta-minta nila goreng!” Kemudian Febro balik badan dan segera masuk ke halaman rumahnya. Tak dipedulikannya gerombolan ibu-ibu yang sedang berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Huh. Siapa sih sebenarnya yang gila di sini? PETIR DI SIANG BOLONG Febro, April, dan Okta duduk bersama menghadap meja makan. Setelah melalui beberapa adegan absurd yang melibatkan wajan dan helm—karena takut terkena percikan minyak panas saat menggoreng ikan—akhirnya mereka menghadapi piringnya masing-masing. Saatnya makan siang dengan lahap. Akibat terpaksa melewatkan sarapan gara-gara insiden dengan Mr Antagonis. Piring Febro dan Okta berisi nasi feat ikan nila goreng siram sambal matah. Sedangkan piring April hanya berisi nasi + kerupuk aci + kecap. “Kalian nggak punya hati. Kanibal. Itu kan peliharaan Bapak dari bayi...,” komentar April entah untuk yang keberapa kali. Dia mengatakannya dengan sendu. Entah karena iba pada ikan nila atau karena trenyuh melihat isi piringnya sendiri. Febro terkekeh. Lalu mencolek Okta yang sedang menggigiti pinggiran ikan nilanya yang garing kemriuk. “Ta! Berdoa dulu atuh sebelum memangsa sepupu sendiri. Dasar kanibal nggak bermoral!” Okta mendadak menghentikan aksinya. Lalu menghadapkan kepala ikan nila itu pada wajahnya. “Permisi ... mohon maaf ya saudaraku ... karena aku sudah memakanmu. Perjuanganmu sudah selesai. Kamu pahlawan bintang tujuh. Semoga pengorbananmu akan mendapatkan ganjaran di surga. Amin....” Febro mengangguk-angguk, makin terkekeh. “Memang susah ngomong sama jambu mete. Otaknya pada di luar...,” ucap April sinis. Sekarang gantian Okta yang terkekeh. Lalu dipandangnya kakak tercantik di jagat raya itu dengan sayang. “Kasian banget kamu harus hidup dalam keluarga yang rumit begini silsilahnya, Teh. Saudara sekandungmu adalah jambu mete dan sepupumu adalah ikan nila. Padahal kamu manusia cantik, memesona, punya otak di dalam kepala sampe rangking satu terus dari SD, punya gebetan banyak....” “Yang nggebet banyak, tapi kebanyakan jambu mete, kedondong, ikan mujair, lele, belut, kadal, buaya. Mana mau dia? Bikin pusing aja ya, Teh...? Mending juga tetap memelihara mantan dalam ingatan...,” sela Febro tanpa belas kasihan. April memang memiliki satu orang mantan abadi. April mendengkus. “Huh, harusnya tadi Mr Antagonis beneran nembak mulut kamu, Bro! Kamu jahar!” Febro tak terima dibilang jahar. Sebab yang benar adalah jahap. “Coba deh ... jahar mana sama kamu yang pelit banget nyimpan duit makan dari Mamah? Mamah kan ninggalin duit makan yang cukup buat dua minggu, tiga kali sehari. Plus biaya operasional rumah dan dana cadangan. Tapi ini, susah bener keluarnya dari dompet. Bela-belain makan kerupuk. Padahal gopud kan gampang...,” cerocos Febro sebal. “Ishh, kita kan nggak tahu pasti ... makanan dari warung-warung online itu bersih dan sehat apa nggak. Kita nggak tahu tukang masaknya pakai masker apa nggak, cuci tangan apa nggak, jaga jarak sama mantan apa nggak...!” “Halah, seterah teteh tersayang ajalah. Bingung. Si jambu mete mah ngertinya cuma kenyang dan lapar. Nggak urusan sama segala macam mantan. Da nggak punya mantan....” April dan Okta jadi tergelak. Febro memang tak punya mantan. Lah, pacaran saja belum pernah, apalagi putus. “Makanyaaa ... benerin tuh kelakuan! Supaya punya mantan!” ledek April lagi. “Dih, ngapainnn?! Aku maunya cari suami, bukan cari mantan!” “Cari suami itu lebih susah dari cari mantan, Brooo. Benerin dulu kelakuan dan penampilan. Jangan kayak preman terminal gitu. Cukur tuh rambut kribo brokoli, lalu bedakan, lipstikan, jangan pake jaket kulit, jangan pake sneaker...!” April tambah semangat meledek. Bisa mengoreksi gaya dan tingkah adiknya ini adalah hiburan. Janganlah dia melulu yang dibully hanya gara-gara dia terlahir cantik dan pintar. “Konsep cantikmu parah banget, Teh. Sori, kita berseberangan. Bagiku cantik itu untuk kenyamanan dan penghargaan pada diri sendiri, bukan supaya bikin senang mata cowok. Kalau cowok merasa sakit mata bagai ditusuk-tusuk talenan gara-gara lihat rambut kriboku, ya bagus...” “Ditusuk gergaji, Teh, bukan talenan...,” ralat Okta. “Ngaco, ah. Gergaji tuh nggak nusuk, tapi nggesek. Yang nusuk tuh omongan ibu-ibu komplek yang tiap pagi ngerubutin Mang Usep!” Haddehh. Perdebatan ini bisa melebar dan memanjang ke mana-mana jika terus dibiarkan. Awalnya membahas soal ikan nila ... ujungnya bisa sampai ke persoalan portal rahasia menuju dunia dimensi lain. Untung saja bel pintu berbunyi. Teeeett! Teeeettt...! April yang sering kalah dalam setiap perdebatan ngawur dengan Febro segera bangkit. Dia lebih memilih menemui si tamu pengganggu acara makan siangnya. Siapa tahu ada kiriman paket. Ucapan salam pun langsung terdengar begitu dia membuka pintu. Ternyata Pak RT dan Bu RT. Wah, apakah beliau masih ingin menceramahi mereka soal tingkah laku yang baik? “Assalamualaikum, Neng....” “Waalaikumsalam, Pak, Bu. Wah, ada apa nih ... tumben komplit....” Wajah Pak RT dan Bu RT terlihat kaku dan serba salah. Mereka saling pandang. Haduh, ada apa ini? Apakah beliau sedang menghadapi dilema : memilih akan menangkap dia dan Febro atau menangkap Mr Antagonis? “Aya naon, Pak...?” Bu RT berdehem-dehem. Pak RT terbatuk-batuk. “Kita bicara di dalam aja ya, Neng...?” April segera menyadari ketidaksopanannhya. Dia pun melebarkan bukaan pintu. “Silakan atuh, Bu, Pak. Mangga....” Pak dan Bu RT masuk, lalu duduk di ruang tamu yang adem karena jendela-jendela lebar yang menghadap pohon mangga itu terbuka semuanya. April duduk di seberang mereka. “Anu, Neng, Bapak mau menyampaikan....” Pak RT tak menyelesaikan kalimatnya. “Ada apa, Pak? Soal yang tadi pagi ya? Haduh, kami mohon maaf kalau sudah bikin Pak RT kesal....” Pak RT meneguk ludahnya dengan susah payah. Lalu saling pandang lagi dengan Bu RT yang tumben-tumbenan tidak ceriwis siang ini. “Bukan itu, Neng. Tapi ... anu ... Neng Febro ada? Sebaiknya dia juga ikut mendengarkan. Dia kan orangnya kuat....” “Iyaaa, Febro mah kuat. Biasa ngangkat galon sendirian.” Pak dan Bu RT tak menanggapi candaan April. Wajah mereka masih saja kaku. Jadi April tak punya alasan untuk berbasa-basi lagi. Dia segera masuk kembali ke ruang makan. Tak lama, April muncul lagi bersama Febro dan Okta yang mulutnya masih mendesis-desis karena kepedasan oleh sambal matah. Gaya tengil Febro langsung lenyap ketika dilihatnya dua orang penting di komplek ini menampakkan wajah tak seperti biasa. Bu RT segera berdiri. Kemudian menghambur pada tiga gadis bersaudara itu. Direngkuhnya ketiganya. April, Febro dan Okta gelagapan. Tak mengira akan direngkuh sedemikian rupa oleh Bu RT. Sebab beliau tak pernah begini sebelumnya. Apalagi kemudian mereka mendengar suara sesunggukan. Bu RT menangis? Febro segera melepaskan diri dan mundur. Lalu dipandanginya Bu RT dan Pak RT dengan kening berkerut banyak. “Ada apa sebenarnya, Pak? Kenapa Bu RT menangis? Jangan bikin cemas ah...,” tanya Febro dengan dada mulai berdebar. Ya, dia kurang menyukai suara tangisan. Sebab tangisan itu identik dengan kesedihan. Dia lebih menyukai kegembiraan. Bu RT melepaskan April dan Okta. Lalu mundur. Dia berusaha mengendalikan tangisnya. Tapi tak bisa. Suara sedu sedannya malah menjadi. Padahal sebelum ke sini, dia sudah berjanji akan tenang. Eh, kejadiannya malah begini. Pak RT segera mengambil alih. Dibimbingnya Bu RT agar mundur. Kemudian gantian dia yang paling depan menghadap tiga anak gadis Pak Irwin dan Bu Hera itu. Dipandanginya ketiganya dengan prihatin. “Maaf ya, Neng-neng sekalian. Sing kuat, sing sabar, sing tabah. Bapak baru dapat kabar. Tadi ada yang datang....” Febro tak sabar. Firasat buruk mulai menendang-nendang hatinya. “Ada apa, Pak...?!” Pak RT berusaha tetap berdiri tegak. “Neng, barusan ada polisi dari Polsek yang datang ke rumah. Meneruskan kabar, katanya Bapak dan Ibu Neng kecelakaan di Kalimantan. Tabrakan. Bapak dan Ibu udah nggak ada, Neng. Innalillahi wainnailaihi rojiun....” Ketiga gadis itu mematung dan bengong. Sepertinya belum bisa mencerna kabar duka itu. “Neng, sing sabar. Udah takdirnya...,” ujar Bu RT sambil kembali merengkuh mereka. Febro mundur lagi. Lalu memandangi Pak dan Bu RT dengan tajam. “Gimana maksudnya, Pak? Saya nggak paham.” Pak RT Menghela napas dengan berat. Matanya mulai berkaca. Ah, keluarga ini tak ada hubungan darah dengannya. Tapi sebagai tetangga, mereka telah menjadi keluarganya juga. Dia merasakan kesedihan dan kehilangan yang luar biasa juga. “Pak Irwin dan Bu Hera udah meninggal, Neng. Itu ... polisi yang ngasih kabar ada di luar....” Febro membelalak tak percaya. “Betulan, Pak? Serius?!” Pak RT sangat ingin berbohong dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Bahwa Pak Irwin dan Bu Hera sehat-sehat saja, bahkan sedang menikmati gulai asam paddas di tepian Sungai Kapuas.Tapi tentu saja kabar yang sebenarnya harus disampaikan. Sebab banyak sekali hal yang harus mereka urus. “Iya, Neng. Bapak ikut berduka....” Febro membeku. Ini tak mungkin. Ini tak benar. Bapak dan Mamah tak mungkin kompakan meninggalkan mereka dengan cara seperti ini. Bapak dan Mamah adalah pasangan yang kuat dan bersemangat. Mereka bukan orang yang mudah menyerah. Mereka pasti punya cara untuk tetap bisa bernapas.... TERNYATA DIA Setelah melakukan check and recheck dengan cara teleponan dengan Polres Pontianak dan memperhatikan foto-foto yang dikirimkan lewat WA, akhirnya didapatlah kepastian bahwa korban tewas dalam kecelakaan lalu lintas antara mobil innova dan truk bermuatan kelapa sawit di ruas jalan poros Tayan-Pontianak KM 60 (sudah dekat ke Pontianak) adalah benar Bapak dan Mamah. Pak Irwin dan Bu Hera. Sepasang filolog yang memiliki minat luar biasa pada aksara kuno dari peradaban terdahulu. Polisi setempat mengetahuinya dari KTP dan beberapa kartu lain dalam dompet yang masih utuh. Dalam video call sekeluarga kemarin pagi, mereka memang mengatakan akan ke Pontianak menggunakan mobil sewaan supaya bisa melihat-lihat situasi kota-kota yang dilintasi antara Sintang-Pontianak. Rencananya mau bermalam empat hari pula di Pontianak. Mau melihat koleksi kitab kuno yang dimiliki Keraton Kadriyah dulu. Setelah itu, barulah akan terbang kembali ke Jakarta, lalu lanjut naik kereta api ke Bandung. Bapak dan Mamah memang begitu. Masih senang melakukan perjalanan yang tak mudah, meski usia sudah limapuluhan. Itu kesenangan sejak muda. Sejak masih sama-sama kuliah di Arkeologi. Kini mereka sudah tiada. Bersama-sama pula. Sungguh pasangan sehidup semati. Semoga tetap bersama sampai surga. April dan Okta masih menangis tersedu-sedu di sofa. Dipeluk Bu RT dan Bu Nengsih, tetangga rumah sebelah kiri. Bunyinya sungguh mengiris hati. Febro sudah selesai menangis. Sudah selesai memukuli dadanya sendiri juga. Sebab saat video call kemarin itu, dia sempat melarang Bapak-Mamah naik mobil yang akan menghabiskan waktu sekitar delapan jam itu. Dia sempat meminta mereka untuk ganti naik pesawat saja yang hanya empat puluh menit. Tapi kenapa dia tak ngotot dan memaksa mereka agar mengganti moda angkutan? Kenapa dia dengan mudahnya menyetujui dan memaklumi keinginan mereka? Jika saja mereka naik pesawat, mungkin kecelakaan dengan truk ugal-ugalan itu bisa dihindari. Tapi sudahlah. Namanya juga takdir. Bagaimana pun caranya, jika sudah sampai waktu ajalnya, ya akan terjadi juga. Sekarang, lebih baik mengurus kepulangan jenazah Bapak-Mamah dari pulau seberang. Bagaimana caranya? Siapa yang akan menjemput? Dan berapa biaya yang harus disediakan untuk mengirim dua kargo berisi jenazah? Beruntunglah mereka memiliki Pak RT dan Bu RT yang sangat sigap membantu, serta para tetangga yang peduli ikut urun rembug soal kepulangan dan pemakaman jenazah. Bu Nengsih si ratu gosip, pada hari ini tak berhenti berdoa dan menguatkan mereka dengan tulus. Bahkan Mr Antagonis yang tadi pagi ingin menembak mereka, siang ini terlihat di antara para tetangga yang memenuhi teras. Meski sedih tak terkira, Febro jadi merasa lebih kuat. Anak-anak gadis Bapak-Mamah ini tak dibiarkan bingung sendirian menghadapi musibah. Ada tempat bertanya, ada tempat memohon saran. “Neng, Neng teleponin para saudara aja ya. Kasih tau kabar duka ini. Tapi kalau yang di luar kota, dipikirkan lagi kalau mau ke sini. Maklumlah situasi lagi kopid begini...,” ujar Pak RT kepada Febro, satu-satunya anak Pak Irwin yang sudah bisa diajak bicara. Sebab yang dua lagi masih menangis terus. Bahkan April sempat pingsan tadi. “Iya, Pak....” “Urusan pemulangan jenazah, biar warga yang urus. Kamu nggak usah pusingin itu dulu ya. Barusan udah dapat kontak di Pontianak yang bisa bantu ngurus. Katanya orang AURI. Jadi bisa dipercayalah. Udah, cep ... kamu tenang aja dulu ya...?” “Iya, Pak RT. Nuhun pisan....” “Ya, ya. Sing sabar. Sudah ya, Bapak ke depan dulu....” Febro segera menghubungi keluarga besar dari pihak Bapak dan Mamah yang kesemuanya itu tinggal di luar Bandung. Ada yang di Surabaya, Yogya, Makassar, Medan, bahkan Mekah-Saudi Arabia. Semuanya kaget luar biasa, bagai mendengar suara petir di siang bolong. Tak ada yang menyangka. Tak ada yang berfirasat. *** Siang keesokan harinya, jenazah Bapak dan Mamah sampai di rumah. Diantar mobil jenazah hijau milik TNI. Febro tak sempat memikirkan siapa gerangan yang memiliki privilege sehingga proses pengangkutan jenazah ini bisa berjalan lancar tanpa banyak cing-cong sejak dari Pontianak sampai Bandung. Dia pun tak sempat mengurus biaya untuk semua itu. Otaknya seperti blank. Febro, April, dan Okta hanya fokus pada dua peti kayu yang diturunkan dari mobil untuk disalatkan dulu sebelum lanjut ke tanah pemakaman. Tubuh mereka disangga oleh keluarga dari Yogya dan para tetangga. Tangisan terpaksa lolos lagi. Nasihat dari ibu-ibu yang mengatakan agar mereka tidak menumpahkan air mata demi tak menyulitkan arwah almarhum, tak bisa mereka taati. Alangkah sulitnya menjadi tabah menghadapi kejadian ini. Ketiga gadis itu ikut menyalatkan orang tuanya bersama para pelayat lain yang jumlahnya cukup banyak hingga memenuhi ruang tamu dan ruang keluarga. Hanya sebagian saja yang mereka kenal. Selebihnya kemungkinan adalah para kolega Bapak-Mamah, para mahasiswanya, dan teman-temannya. Entah siapa yang menyebarkan berita duka ini. Tahu-tahu saja, meski jenazah belum datang, para pelayat sudah berdatangan sejak pagi. Alhamdulillah. Dalam dukanya, Febro masih bisa bersyukur bahwa cukup banyak yang mendoakan Bapak dan Mamah. *** Bapak dan Mamah sudah dimakamkan. Letak makamnya bersisian. Bunga-bunga bertabur di atas pusara keduanya. Para pengantar yang lain sudah pulang. Tinggallah mereka bertiga, ditemani Bu RT, Pak RT, Bu Nengsih, dan Pak Agus suaminya. Febro memandangi kedua pusara itu dengan pikiran yang “entah”. Rasanya masih tak yakin bahwa sepasang manusia enerjik itu telah pergi selamanya. Kakinya seperti mengambang, pikirannya mengawang, dan hatinya berlubang. Bisakah mereka meneruskan hidup sama baiknya seperti ketika Bapak-Mamah masih ada? Ingat, mereka belum bisa mencari uang sendiri secara cukup. Apakah pihak keluarga besar mau membantu mengongkosi hidup mereka? Ah, rasanya tak sampai hati ... mengingat semua sedang jungkir balik menyiasati hidup masing-masing dalam masa pandemi ini. “Yuk, Neng. Kita pulang...,” ajak Bu RT sambil mencolek lengan Febro. Pikiran Fero yang berkelana, kembali memijak tanah pemakaman. Kenyataan memang pahit. Kematian adalah kematian. Tak bisa terus-menerus menganggapnya tak nyata. “Ya, Bu....” Membisu, ketiga gadis itu mengikuti langkah Pak RT menuju mobilnya yang diparkir di jalan depan pemakaman. Sudah tak ada motor atau mobil lain. Kemudian, kebisuan tetap tercipta sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya dipecahkan oleh suara Pak RT ketika memasuki jalan utama komplek. “Alhamdulillah semuanya lancar, Neng. Banyak yang bantu...,” ucap Pak RT sambil tetap menyetir dengan serius. “Almarhum dan almarhumah memang orang baik.” Kata-kata Pak RT itu mengingatkan Febro akan satu hal penting yang sejak kemarin tak terlalu dipikirkannya “Oh ya, Pak. Biaya pengiriman jenazah totalnya berapa ya? Siapa yang menalangi? Kami harus menggantinya...,” tanya Febro dengan was-was. Dia memang kurang paham dengan prosedur pengiriman kargo jenazah yang lebih dikenal dengan Human Remain Services itu. Tapi dia pernah baca, prosesnya tak mudah dan biayanya cukup mahal. Bisa sampai puluhan juta untuk satu jenazah. Nah, ini ada dua. Pak RT terlihat menghembuskan napas kuat-kuat. “Mas Jody yang nalangi sementara, Neng. Soal berapa jumlah pastinya, nanti Neng tanya langsung ke dia ya.” Deg! Bukan hanya Febro yang terkesiap. Tapi juga April dan Okta. Mereka saling pandang. “Alhamdulillah ada Mas Jody, Neng. Dia yang ngurus semuanya. Yang jemput jenazah ke bandara Soetta juga dia. Berangkat tadi malam ke Jakartanya...,” sambung Bu RT. Bibir Febro terkatup. Serius...? MR. ANTAGONIS Selepas Isya, Febro mendatangi rumah Mr. Antagonis ... eh ... Jody. Ditemani oleh April dan Pakdhe Halim, kakak Bapak yang tinggal di Yogya. Selama enam tahun menjadi warga komplek, baru kali inilah Febro dan April memencet bel pintu rumah sebelah. Mereka memang tak pernah saling mengunjungi. Bahkan saat lebaran. Sebab saat itu, penghuni rumah ini pasti tak ada di rumah. Kemungkinan pulang kampung, entah di mana. Sehari-hari, mereka pun jarang berinteraksi. Sibuk masing-masing. Ah, sebenarnya itu bukan alasan. Sebab tetangga yang lain pun punya kesibukan segambreng, tapi masih sempat untuk sekadar say hello atau tersenyum. Ini sih memang Jody-nya saja yang agak antisosial. Eh, jika ada kesempatan berinteraksi ... dia hanya bicara menggunakan mata dingin, seringai sinis, bahkan todongan pistol! “Nanti Pakdhe ya yang ngomong? Kami takut sama orang ini. Serem...,” bisik April sambil memposisikan tubuhnya di belakang Pakdhe. “Hushh. Jangan ngomong sembarangan. Ingat, dia ini udah bantuin kita ngurus jenazah almarhum. Harusnya kalian baik-baik sama dia...,” jawab Pakdhe balik berbisik. Febro sudah mau menambahkan info tentang betapa seramnya tetangga sebelah ini, tapi sayang ... pintu kayu di depan mereka sudah kadung terkuak. Lalu muncullah Mr. Antagonis dengan wajahnya yang dingin, plus pakaiannya yang serba hitam. Kaus hitam lengan panjang dan celana panjang hitam. Jangan-jangan dia menyimpan topi kupluk hitam juga di sakunya. Hitam-hitam saat di rumah malam-malam begini ... apa namanya coba? “Assalamualaikum...,” sapa Pakdhe. “Waalaikumsalam...,” jawab Jody setelah tertegun beberapa saat. Pakdhe Halim segera menyalami Jody. Tapi tidak dengan April dan Febro. Kedua gadis itu seperti sudah tak sabar ingin segera angkat kaki dari sini. “Mohon maaf, Mas, jika mengganggu. Ada yang ingin kami tanyakan sama Mas soal pengiriman jenazah Bapak-Mamahnya ponakan saya ini...,” ucap Pakdhe sopan. Meski lahir di Jawa Timur, tapi gaya Pakdhe sangat Yogya sekali. Kalem. “Oh, sama sekali ndak mengganggu, Pak. Silakan masuk saja. Silakan....” Jody segera melebarkan bukaan pintu dan memberi jalan. Pakdhe Halim pun masuk, lalu duduk di kursi kayu berbantalan krem di ruang tamu. Diikuti Fabro dan April yang sejak tadi saling pandang dan saling colek secara sembunyi-sembunyi. Dua gadis itu memang sedang serba salah, tak tahu harus bersikap bagaimana. Jody duduk menghadapi mereka. Kepada Pakdhe Halim dia tersenyum sopan. Tapi kepada April-Febro, senyumnya langsung susut limapuluh persen. Dih, kenapa sih? Punya dosa apa coba mereka sama dia sampai dia kelihatannya sebal begitu? “Begini, Mas ... menurut Pak RT, pengiriman jenazah almarhum dari Pontianak sampai ke sini kan Mas-nya yang ngurus semuanya. Bahkan sampai njemput ke Jakarta. Jadi, kami sekeluarga mengucapkan banyak-banyak terima kasih sudah dibantu. Mohon maaf juga karena kemarin itu kami sibuk sendiri dengan kesedihan sampai melimpahkan urusan ini kepada warga...,” tutur Pakdhe. “Ndak apa, Pak. Semua itu memang hasil keputusan dari rembugan RT dan warga.” “Bahkan Mas-nya menalangi semua biayanya....” Jody mengangguk-angguk. “Itu hanya supaya praktis aja, Pak. Karena kita harus bergerak cepat.” “Iya, Mas. Makasih. Jadi, maaf ... total biaya semuanya itu berapa, ya? Kami akan menggantinya....” “Totalnya sekitar ... emm ... empatpuluhan. Sebentar saya ambilkan surat-suratnya dulu, Pak.” Jody pun berdiri dan melangkah masuk. Bagai dikomando, ketiga tamu itu pun mengambil napas dan mengeluarkannya serentak. Lega karena maksud mereka sudah tersampaikan. Sekarang tinggal menunggu pemberitahuan paling inti, yaitu total biaya. Sesuatu yang sudah membuat Febro dan April panas dingin sejak kemarin. Semoga angkanya tidak gila-gilaan seperti yang pernah dibacanya dalam berita. Semoga sudah tak ada lagi pungutan-pungutan tak resmi yang dibebankan kepada pengguna. Semoga tak ada lagi calo ini-itu yang senang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Untuk membuang gelisahnya, Febro mengalihkan perhatian pada sekeliling. Furniture dan interior ruang tamu bercat putih ini tidak bergaya kekikinian seperti yang sedang trend diupayakan oleh para tetangga yang lain. Rumah ini justru terkesan retro. Meja kursi, lemari pajangan, lukisan dinding, tirai ... seperti koleksi jadul dari tahun 1960-an. Ah ya, tentu saja. Rasanya Bu Nengsih pernah cerita bahwa pemilik asli rumah ini adalah Oma Santi, nenek dari Jody. Jody tinggal di sini semenjak memulai kuliah di Bandung, sekitar limabelas tahun lalu. Oma Santi sudah berpulang, satu bulan sebelum keluarga Febro pindah ke komplek ini. Jadi mereka belum sempat ketemu. Tapi Febro beberapa kali mendengar cerita tentang Oma Santi dari ibu-ibu. Bahwa beliau adalah nenek tua yang lincah, supel, baik hati, dan senang menginisiasi acara jalan-jalan murah meriah sambil botram[1]. Beliau wafat dalam usia delapanpuluh tahun. Dan warga masih sering mengenangnya sampai sekarang. Beliau termasuk nenek legendaris di sini. Hm, kenapa dari seorang nenek yang supel dan lincah itu bisa menghasilka seorang cucu yang dingin dan sinis seperti Jody? “Stt, Mas Jody ini udah punya istri belum? Demi sopan santun, sebaiknya kalian tanyakan kabar istrinya...,” bisik Pakdhe. Febro otomatis mengikik. “Mana ada cewek yang mau sama cowok mengerikan kayak dia, Pakdhe? Dia nggak laku....” “Husshh, kamu ini lho. Suka sembarangan kalo ngomong,” sergah Pakdhe sambil mengelus dada. “Dia itu jelas orang baik. Kalau bukan karena kebaikannya dia, belum tentu jenazah Bapak-Mamahmu bisa cepat sampai Bandung. Mbok ya menghargai bantuannya. Jangan asal njeplak....” April pun menyikut perut Febro. “Mulutnya memang harus dicabe-in nih, Pakdhe. Supaya sedap sedikit.” “Ssshhh, sudah, sudah. Jangan ribut di rumah orang....” Bersamaan dengan selesainya Pakdhe memperingatkan kedua keponakannya, muncullah Jody. Dia membawa amplop coklat besar. Febro dan April pun langsung diam. Jody mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari dalam amplop. Kemudian menyodorkannya kepada Pakdhe. Febro yang posisi duduknya paling dekat dengan Pakdhe, langsung melongok. Jadi dia bisa melihat lembaran apa saja itu. Ada surat kematian dari RSUD Soedarso Pontianak, surat keterangan dari Polres Pontianak, dan beberapa lembar surat keterangan lain. Tapi yang paling menyedot perhatian Febro adalah surat jalan dan invoice kargo (yang sudah distempel lunas) dari maskapai nasional. Angka yang tertera dalam invoice itu adalah empatpuluh juta. Jumlah itu tak segila biaya yang dipatok sebuah jasa ekspedisi swasta untuk kargo berisi jenazah yang pernah dibaca Febro. Sukurlah. Meski biaya itu tetap terasa mahal, tapi sepertinya masih bisa ditanggulanggi. Selain itu, masih ada beberapa biaya lainnya yang tak terlalu besar seperti biaya packing dan biaya ambulans. “Makasih, Mas, udah mau repot-repot ngurusin semua ini...,” ucap April setelah dilihatnya ada kelegaan pada wajah adiknya. “Ya, sama-sama,” jawab Jody datar. “Selain ini, ada biaya-biaya lainnya ndak, Mas?” tanya Pakdhe sambil melihat-lihat ulang berkas itu. “Ndak ada, Pak. Itu sudah lengkap semuanya.” “Bisa minta nomor rekeningnya, Mas? Biar nanti kami transfer aja...,” lanjut April. Sepertinya si sulung itu sudah berhasil menguasai keadaan. Jody mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. “Nomor ponselmu berapa? Nanti aku kirim nomor rekening dan screenshoot bukti transfer yang pernah dilakukan.” April menyebutkan sederet angka dan Jody menyimpannya dalam ponselnya. Setelah selesai, keduanya saling melemparkan senyum tipis basa-basi. Sebabagai satu-satunya orang yang tak dipedulikan di ruangan ini, Febro berdeham. “Kamu nggak perlu nomor ponselku? Siapa tahu perlu situasi masuk akal untuk menembakkan pistolmu. Jadi kamu bisa nelpon aku. Nanti aku atur adegannya....” Tak perlu waktu lama, cowok berambut ikal setengkuk itu pun langsung memperlihatkan kembali wajah antagonisnya. Dingin, sinis, dan kejam. [1] Istilah dalam bahasa Sunda yang artinya makan bersama secara santai, biasanya sambil piknik. Masing-masing akan membawa bekal makanan. Kemudian makanan itu dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. UTANG Total jendral, hutang keluarga Febro kepada Jody adalah empatpuluhsembilan juta. Jumlah yang cukup melegakan karena masih jauh di bawah “harga ngemplang” yang pernah mereka baca sebelumnya di beberapa berita online. Tapi, sekaligus jumlah yang cukup membuat gemetar karena mereka tak yakin memiliki uang tunai sebesar itu sekarang. Uang yang ditinggalkan Mamah untuk biaya hidup selama mereka di Kalimantan ditambah uang simpanan pribadi tiga gadis bokek itu ... sekitar sepuluh juta saja. Itu uang tunai yang jelas-jelas ada. Sedangkan berapa saldo di tabungan Bapak dan Mamah, baru bisa mereka ketahui setelah mengurusnya di bank besok. Iya kalau saldonya lumayan, nah kalau tipis bagaimana? Itu pun belum tentu bisa langsung dicairkan. “Ya sudah, kita tanggulangi bersama aja. Patungan. Dari saudara-saudara Bapak dan Mamah. Ini kan kewajiban keluarga. Kalau bisa mereka transfer malam ini, supaya besok pagi bisa kita bayarkan ke Mas Jody. Nggak enak berhutang dengan tetangga untuk urusan semacam ini...,” usul Pakdhe Halim setelah mereka duduk bersama di ruang tengah rumah mereka. “Kami nurut gimana baiknya aja, Pakdhe. Terima kasih banget kalau Pakdhe, Om Fariz, Tante Emy, Om Agus, dan Tante Vini bisa bantu...,” ucap April sambil menyebutkan satu per satu nama saudara kandung Bapak dan Mamah. “Om Fariz sebentar lagi sampai. Nanti Pakdhe sampaikan ke dia....” Om Fariz adalah adik bungsu Bapak yang tinggal di Surabaya. Dia sedang dalam perjalanan dengan kereta api sekarang. Kemarin tak bisa langsung berangkat ke Solo karena anaknya yang masih SD itu demam, sementara Tante Indri istrinya tak bisa bolos ngantor. “Tapi Om Fariz kan baru di-PHK dari kantornya, Pakdhe. Tante Indri yang kasih tahu di telepon kemarin. Kasihan kalau kita mintai bantuan biaya...,” kata Febro. Perusahaan retail tempat Om Fariz bekerja memang sepi semenjak pandemi covid 19 dimulai. Setelah berbulan-bulan mencoba bertahan, akhirnya kolaps juga. Pendapatan tak bisa menutup biaya operasional dan gaji karyawan. “Ya sedikit juga nggak apa-apa, Bro. Yang penting mau bantu. Dulu juga kan yang biayai sekolahnya dia itu ya bapakmu....” Tiba-tiba Budhe Ami—istri Pakdhe Halim—terbatuk. Beliau memandangi suaminya dengan dahi berkerut. “Keuangan kita juga lagi pas-pasan lho, Pak. Kita kan perlu juga untuk melunasi uang pangkal kuliahnya Dimas. Jangan lupa, paling lambat bayarnya minggu depan...,” sela Budhe Ami. Dimas adalah anak bungsu Pakdhe. Karena gagal menembus SNMPTN/SBMPTN, jadi dia mendaftar di satu universitas swasta di Yogya. Yang namanya universitas swasta, apalagi yang bagus, tentu lumayan juga biayanya (meski uang pangkal dan SPP-nya bisa dicicil empat kali). Padahal Pakdhe hanya guru SMP dan Budhe hanya ibu rumah tangga saja. Sedangkan Hanum anak sulungnya, belum punya pekerjaan tetap. Hanya menjadi guru privat untuk beberapa anak SD dan bekerja paruh waktu di panti lansia. “Bu, membayar hutang ini lebih penting diurus dulu. Apalagi ini hutang pengurusan jenazah. Untuk biaya Dimas, kan baru minggu depan deadlinenya. Insyaallah ... semoga ada rejeki....” “Lhooo, nyari uang berjuta-juta dalam seminggu kan ya susah tho, Paaak. Nanti kita kelabakan sendiri. Aku ndak mau lho kalau Dimas sampai kena SP....” Budhe Ami merepet. “Bu, aku ini anak tertua. Sudah kewajibanku mengurus keluarga adikku. Lagi pula, apa kamu ndak ingat, siapa yang selama ini sering membantu-bantu keuangan kita kalau pas lagi kepepet? Kan almarhum....” “Haduhhh, Pak, membayar hutang keluarga itu memang wajib. Tapi kan harus sesuai kemampuan....” Febro meneguk ludah dengan susah payah. Lalu saling pandang dengan April yang wajahnya sudah lunglai bagaikan daun layu. Ya Tuhan, tak pernah terbayangkan, mereka akan membicarakan soal uang sampai seperti ini dengan pihak keluarga besar. Mereka memang bukan orang kaya raya dan bergelimang harta, tapi selama ini mereka selalu bisa mengatasi semua persoalan keuangan sendiri. Bapak dan Mamah pandai mengelola keuangan, seberapa pun yang mereka miliki. Keributan kecil antara Pakdhe dan Budhe soal bantuan keuangan tak lama setelah Bapak-Mamah dimakamkan, sungguh membuat dada sesak. Sedih, miris, dan malu sekaligus. “Sudahlah, Pakdhe, Budhe. Jangan dipaksakan. Kita kan belum tahu juga jumlah saldo tabungan Bapak dan Mamah. Siapa tahu cukup. Bayar ke Mas Jody mundur sedikit kan nggak apa-apalah. Nggak harus besok pagi. Nunggu urusan di bank beres aja...,” lerai Febro. “Nah, betul itu. Janganlah belum apa-apa sudah ribut patungan,” balas Budhe Ami. Pakdhe tersentak, lalu mengehala napas gusar. Terlihat sekali beliau tak suka dengan sikap Budhe. Tapi terlihat tak ingin bersitegang dengannya di depan para ponakan yang sedang berkabung. “Iya, Pakdhe. Kita baru bicarakan langkah selanjutnya kalau udah tahu pasti berapa jumlah saldo Bapak-Mamah,” imbuh April. Dia merasa tak enak pada Budhe Ami. Ah, andai saja mereka tahu nomor PIN kartu ATM Bapak dan Mamah, mungkin ketidakpastian ini bisa segera terjawab. Sayangnya mereka tak tahu. Jadi tak ada yang bisa mereka lakukan terhadap kartu ATM dalam dompet yang berhasil terselamatkan dalam kecelakaan di Kalimantan itu dan disertakan dalam amplop bersama berkas-berkas pengiriman kargo. *** Telepon dari adik-adik Mamah: Tante Emy di Makassar dan Tante Vini di Medan cukup melegakan Febro, April, dan Okta ... setelah sebelumnya mereka dibuat shock lagi karena ternyata Om Fariz secara to the point mengatakan tak bisa membantu ikut patungan membayar hutang kepada Jody. Sebab dia sendiri sedang jungkir-balik. Tante Emy dan Tante Vini masing-masing bersedia membantu sepuluh juta. Ini mengharukan karena mereka tahu, Tante Emy hanya seorang penjahit rumahan dan Tante Vini adalah guru musik di SLB. Dalam situasi pandemi yang serba sulit, uang sejumlah itu tentu sangat berharga bagi mereka. “Makasih banyak, Tante Emy...,” ucap Fabro dengan suara serak. “Iya, sama-sama, ya. Ini tante mohon maaf banget belum bisa ke Bandung buat nemenin kalian....” “Nggak pa-pa, Tan. Ini Tante udah ngebantu banget kok. Kami nggak tahu gimana cara balasnya....” “Ssshh, jangan ngomong balas-balasan ah. Mamah kalian kan kakaknya Tante. Jadi kalian ini ya anak-anak Tante juga. Semoga Tante bisa ke Bandung secepatnya ya.” “Iya, Tan. Makasih.” “Kalau masih kurang, atau ada apa-apa, jangan sungkan nelpon Tante ya. Nanti Tante usahakan bantu....” Angeeett rasanya mendengarkan kata-kata dukungan semacam itu dari pihak keluarga besar. Merasa dilindungi. Merasa memiliki pegangan. Tak dibiarkan seperti anak ayam kehilangan induknya. Kepada Om Agus, adik Mamah yang bekerja di Mekah, Febro hanya sekali menelepon yaitu ketika mengabarkan soal kematian Bapak-Mamah saja. Untuk urusan hutang, tak perlulah merepotkannya dulu. Toh masih belum jelas berapa kekurangannya. Apalagi sekarang kan ibadah haji dan umroh ditiadakan. Jadi kemungkinan Om Agus sekeluarga di sana pun sedang ruwet. Maklum, pekerjaan Om Agus di sana adalah sebagai petugas yang membantu jamaah haji/umroh Indonesia. “Gimana kalo saldo Bapak-Mamah ternyata cuma sedikit, Bro? Gimana hidup kita nantinya?” bisik Okta dengan bibir bergetar. Okta yang masih SMA itu, tak pernah mikir yang rumit-rumit tentang hidup sebelumnya. Baginya dunia adalah melulu berisi keriangan. Dan kini, tiba-tiba dia melihat kakak-kakaknya kelabakan soal uang dan hutang. “Kita berdoa aja, Ta. Semoga semuanya aman terkendali. Selama kita bisa saling support, kita bakal bisa melewatinya dengan baik...,” jawab Febro. Sebenarnya Febro pun tak tahu bagaimana bentuk dan warna dunia mereka mulai besok. Bulatkah? Segibanyakkah? Kelabukah? Merahkah? Entah. Tapi, apa pun yang akan mereka hadapi kelak ... mereka harus tetap optimis! *** Keesokan harinya, dengan dibantu oleh Atika—teman kuliah April—yang bekerja sebagai customer service pada bank BUMN tempat Bapak menjadi nasabah, Febro dan April berhasil mengajukan klaim pencairan dana tabungan milik Bapak. Pencairannya memang tak bisa langsung hari ini, tapi setidaknya mereka bisa melalui tahap-tahapnya dengan jelas dan mudah. Sebab bagi orang awam, urusan pencairan dana kepada ahli waris ini memang cukup membingungkan. Ada banyak berkas yang harus disiapkan. Ketika mengajukan klaim pencairan tabungan milik Mamah pada bank yang berbeda, berbekal pengalaman di bank sebelumnya, mereka sudah lebih paham. Hasilnya pun sama. Dana tabungan baru bisa dicairkan sekitar dua atau tiga hari lagi. “Gimana nih ... dana yang kita punya hari ini nggak cukup buat bayar utang ke Mr. Antagonis...,” ucap Febro getir. “Sebaiknya kita cicil dulu atau bayarnya sekalian nanti aja kalau uangnya udah kumpul?” “Sekalian aja kali, Bro. Malesin banget kalo bolak-balik ngechat dia tiap mau bayar cicilan. Kalo sekalian lunas kan ... sekali aja ngechat-nya. Beres.” Febro mencibir. “Dih, tapi tetap aja sekarang juga kita harus ngechat dia ... bilang ayam sori ... kita baru bisa bayar besok-besok....” Febro dan April saling pandang sambil menyeruput es doger di bawah pohon akasia, tak jauh dari bank yang baru saja mereka tinggalkan. Kemudian mereka termangu, memandangi mamang es doger yang sedang menggumamkan lagu dangdut entah zaman kapan dengan penuh penghayatan. Ah, syahdu sekali hidupmu, Mang.... *** Setelah berkali-kali mengetik-mengedit-menghapus redaksional pesan untuk Mr. Antagonis, akhirnya Febro dan April bersepakat untuk mengirimkan pesan yang satu ini melalui whatsapp. Assalamualaikum. Mas. Mohon maaf, pengembalian biaya pengiriman jenazah baru bisa ditransfer setelah ada pencairan dana dari bank ya. Mungkin dua hari lagi. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan ini.Terima kasih. April, tetangga sebelah. Pesan itu sudah dibaca. Tapi tak dibalas. BUGG! Om Fariz sudah pulang tadi malam. Pagi ini Pakdhe dan Budhe Ami pun sudah siap-siap. Febro yang akan mengantar mereka ke stasiun kereta sebentar lagi. April tak ikut karena sedang menunggu temannya yang katanya mau mengajak berbisnis dan Okta harus sekolah via zoom meeting. Ah, tak lama lagi rumah akan sepi. Tinggallah mereka bertiga ... bersama setumpuk kegamangan yang berusaha mereka tutupi. Keberatan Budhe Ami dan Om Fariz untuk membantu melunasi hutang pada Jody secepatnya, membuat mereka menahan diri untuk pamer kebingungan dan kepanikan. Mereka tak ingin menjadi sumber konflik dalam rumah tangga adik-adik Bapak. “Maaf ya, Pril. Bukannya Budhe nggak mau nolongin. Tapi keadaanya memang lagi mepet. Uang simpanan Pakdhe cuma ada segitu-segitunya ... cuma pas untuk bayar cicilan uang pangkal dan SPP Dimas. Kamu tahu sendirilah, Pakdhe kan nggak punya usaha sampingan. Jadi cuma mengandalkan uang gaji aja...,” papar Budhe Ami setelah beres berpakaian dan berdandan. “Iya, Budhe. Nggak pa-pa. Uang tabungan Bapak-Mamah cukup kok. Ini cuma soal waktu pencairan aja. Rumah sebelah pasti maklum...,” sambar Febro. Tak enak rasanya dianggap sebagai pihak yang sedang menadahkan tangan. “Nah, iya. Sukurlah. Budhe tahu Bapak-Mamah kalian pasti punya banyak simpanan. Kan dua-duanya dosen. Kalau Pakdhe sih apalah ... cuma guru SMP.” Okta yang dari tadi sibuk sendiri dengan laptop di meja makan, langsung menoleh. Dia merasa tersentil. “Pakdhe itu guru teladan, Budheee. Bukan hanya ‘cuma’. Pernah dapat penghargaan dan diundang ke Istana Presiden. Hebat lho itu. Okta bangga...,” sela Okta, terlihat geram. Budhe Ami terkekeh santun. Lalu menjawil pipi Okta. “Iyaaa, pakdhemu memang hebat. Fotonya waktu salaman dengan Presiden dipajang terus di ruang tamu. Tapi dalam hidup, kita bukan cuma perlu kebanggaan. Perlu uang juga. Kalian kan sudah merasakan sendiri, gimana paniknya kalau nggak ada duit di tangan....” Eh? “Udah jam segini, Budhe. Sebaiknya kita berangkat aja. Barangkali macet di jalan...,” potong Febro sambil mengambil kunci mobil yang tercantol (eh, tergantung kali ya) di dinding. Febro kesal. Dia tak rela pakdhenya yang baik hati itu diremehkan istrinya. Uh, sejak dulu dia memang kurang sreg dengan Budhe Ami. Menurutnya, perempuan yang penampilannya kalem dan lembut seperti puteri keraton ini sebenarnya adalah serigala yang sedang menyamar. Kasihan Pakdhe. Demi tak mau ribut, Pakdhe lebih sering mengalah. Okta pun segera melompat dari kursi. Lalu mengambil travel bag Pakdhe yag sejak tadi sudah rapi di dekat televisi. “Pakdheee...! Jangan ngobrol sama ikan terus! Cepetan berangkat! Dari sini ke stasiun kereta banyak macetnyaaa...!” pekik Okta pada Pakdhe yang sedang asyik memperhatikan ikan nila di kolam belakang. Pakdhe dan Bapak memang mirip. Sama-sama suka memelihara ikan. Sepertinya mereka pun mengerti bahasa ikan. Buktinya sering mengajak bicara.... *** Ketika Pakdhe dan Budhe sudah aman masuk stasiun dan yakin tak ketinggalan kereta, barulah Febro meninggalkan stasiun dengan tenang. Dikendarainya mobil Ayah yang bahan bakarnya mulai menipis itu tanpa ngebut. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ting! Ada notif whatsapp masuk ketika dia berhenti di lampu merah. Ogah-ogahan, Fabro mengambil ponselnya dan membuka whatsapp. Ada nama Pakdhe pada notif paling atas. Febro segera membukanya. Assalamualaikum, Maafkan Budhe ya kalau terkesan kurang peduli. Jangan diambil hati. Pakdhe ada ninggalin sedikit uang untuk nambah-nambah belanja kalian. Pakdhe taruh di bawah bantal di kamar. Insya Allah nanti Pakdhe tambah lagi. Baik-baik ya di Bandung. Jangan keseringan berantem. Kabari Pakdhe kalau ada apa-apa. Febro meringis membacanya. Ada perasaan sedih dan hangat bercampur dalam hatinya. Dia yakin, Pakdhe meninggalkan uang untuk mereka itu tanpa sepengetahuan Budhe Ami. Dari pada ribut. Febro pun segera membalasnya. Terima kasih banyak, Pakdhe. Jangan terlalu memikirkan kami. Insya Allah semuanya akan baik-baik aja. Kami kan udah dewasa. Bisa mulai cari pekerjaan sendiri. Mohon doanya aja Pakdhe, supaya aman dan selamat. Doa kami juga untuk Pakdhe sekeluarga, semoga sehat dan banyak rejeki. Aamiin. Febro kembali menyetir. Menyusuri jalanan Bandung yang ramai dan padat, meski sekarang bukan hari Sabtu-Minggu. Ah. Jalanan memang ramai. Tapi tidak dengan rumah mereka, meski berada di kawasan Buah Batu yang cukup padat. Tanpa Bapak dan Mamah, rumah mereka akan terasa sepi. Mulai detik ini ... mereka harus mulai berani menghadapi hidup mereka sendiri. Tak elok terus-menerus merepotkan keluarga besar untuk urusan keuangan. Malu. Ingat, mereka bukan gadis kecil lagi. Sudah lulus kuliah, apalagi April ... sudah pernah ngantor tiga tahun. Hanya Okta yang masih wajar bertingkah kekanakan, itu pun sudah tak cocok lagi jika kebangetan. Baiklah. Selamat datang di dunia yang sesungguhnya! *** Febro sudah siap hendak membelokkan mobilnya memasuki carport rumahnya ketika pada saat yang sama ... dari arah berlawanan ... Jody pun hendak memasukkan mobil ke carport rumah sebelah. Mereka sempat saling lihat. Sial. Telanjur. Tak enak kan kalau pura-pura tak melihat dan langsung masuk rumah seolah tak ada apa-apa di antara mereka? Kok seperti tipikal orang yang pura-pura lupa punya utang. Kabur seenaknya tanpa kabar. Ghosting. Duh. Bagaimana ini? Febro tahu, dia tak bisa kabur dari pandangan Jody. Tapi masalahnya ... dia malu! Dia malu karena tak bisa menepati janji membayar hutang secepatnya seperti yang telah dijanjikannya. Dia malu untuk mengatakan bahwa harus menunggu pencairan saldo tabungan Bapak-Mamah dulu baru bisa bayar lunas (tadi pagi dapat kabar dari CS bank yang temannya April itu bahwa pencairan tabungan kemungkinan bakal molor ... paling cepat baru bisa minggu depan). Padahal waktu ke rumahnya dua malam yang lalu itu ... dia sudah bertingkah songong! Setelah memarkir mobil di carport, Febro turun dan memandang ke rumah sebelah. Melalui pagar pemisah yang hanya setinggi satu setengah meter, dia bisa melihat bahwa Jody pun sedang melakukan hal yang sama dengannya. Yaitu baru turun dari mobil dan kini sedang memandangnya. Sial. Sial. Siaaallll. Mana bisa dia lari bersembunyi? Duh, lagi pula ... tumben-tumbenan amat Mr. Antagonis itu menyempatkan diri memandang ke arah rumah sebelah. Biasanya kan tak pernah. Huh, pasti ini gara-gara hutang itu. Cowok itu pasti sudah tak sabar ingin mendapatkan uangnya kembali! Sebagai cewek yang sering dianggap paling kuat, paling berani, dan paling tak tahu malu, Febro tak punya pilihan lain. Apa boleh buat. Dia terpaksa mendatangi Mr. Antagonis itu untuk mengatakan alasan kenapa mereka belum juga mentransfer uangnya. Sebab percuma saja mengharapkan April yang akan melakukannya. Si kakak cantik itu bakal ngompol duluan sebelum sempat bicara. Dengan langkah yang dimantap-mantapkan, Febro menuju rumah sebelah. Sebagai pihak yang telah dibantu dan belum bisa menyelesaikan kewajibannya, dia harus punya itikad baik untuk setor muka. Jangan sampai dibilang tak tahu diri dan niat kabur. Mr. Antagonis aka Jody masih berdiri di samping mobil hitamnya yang terlihat sama sangarnya dengan dirinya. Jelas, lelaki itu sedang memperhatikan dan menunggunya. Sial. Sumpah, jika lari tunggang-langgang diangggap sebagai tindakan wajar bagi pengutang, dia pasti akan melakukannya dengan senang hati. Sebab risih benar diawasi seperti ini. Ketika Febro sudah memasuki pintu pagar dan jarak antara mereka tinggal tiga meter, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk tatapan Jody. Itu sama sekali bukan tatapan yang manis dan menghargai. Tapi tatapan meremehkan. Andai saja Febro tak punya urusan utang-piutang dengan mahluk ini, sudah sejak tadi dia melemparnya dengan buah nangka yang menggelantung di pohon. Kurang ajar benar. Mentang-mentang sedang berada di atas angin, lalu seenaknya meremehkannya. Huh. “Maaf ... bisa bicara sebentar...?” tanya Febro setelah jarak mereka sudah satu setengah meter. Jody mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi dan menarik sebelah ujung bibirnya. Membuat wajahnya yang sebenarnya lumayan manis itu jadi terlihat pahit campur asam. “Kamu kan sedang bicara...,” jawab Jody. “Maksudku, nggak bicara di luar begini....” “Kamu ingin bicara berdua denganku di dalam? Hmm, kok mencurigakan. Kamu mau merayuku atau mau ngapain? Percuma. Buang-buang waktu aja. Aku nggak tertarik.” Otomatis Febro melotot. “Eh?! Lemes bener ya tuh mulut!” “Oh? Jadi bukan? Kalau bukan, ya bicara aja di sini. Supaya nggak jadi fitnah dan dijadiin gorengan gosip ibu-ibu....” Dada Febro mendidih. Tapi jika dia menyemburkan kemurkaannya, bisa dipastikan urusannya bakal tambah panjang dan runyam. “Aku nggak tahu apa yang biasa kamu makan sampai bisa punya pikiran ngawur kayak gitu. Padahal aku cuma mau bersikap sopan, nggak bicara sambil berdiri di carport kayak gini. Tapi okelah kalau kamu lebih suka begini....” “Panjang banget prolognya...,” gumam Jody. “Langsung ke poinnya aja.” Dasar monyeeettt bahluuulll! “Oke. Aku mau minta maaf karena belum bisa melunasi utang sekarang. Baru bisa bayar separo dulu. Soalnya pencairan tabungan dari bank mundur lagi. Jadi uang tunai kami nggak cukup....” “Oh.” “Maaf. Bukan mau sengaja nggak bayar.” “Oke. Aku udah memprediksinya.” “Maksudmu...?” Jika saja ubun-ubun Febro bolong, pasti sekarang ini sudah menyembur kobaran api dari situ. “Ya begitu itu.” Febro menggeram. “Sebelumnya aku punya dosa apa sih sama situ kok situ kayak sinis banget sama aku...?!” Jody bengong karena di-situ-situ-kan oleh cewek kribo yang pasti umurnya jauh di bawahnya itu. Lalu dia meringis. “B aja kali. Nggak usah sensi.” Febro pun melotot. Sensi katanya? Sensi...? Kemudian, tanpa ba-bi-bu lagi ... tahu-tahu ... BUGG! Febro menghantamkan kepalan tangannya pada perut Jody. MUNDUR LAGI Di rumah, Febro-April-Okta segera bergerak. Mengumpulkan saldo tabungan masing-masing yang tak seberapa ke rekening April melalui m-banking. Kemudian, setelah digabung dengan uang transferan dari Tante Emy dan Tante Vini ... terkumpulah saldo sejumlah tigapuluhdua juta rupiah. Plus ada tambahan juga dari Pakdhe Halim. “Ini nggak bisa kita transfer ke Mr. Antagonis semuanya. Kita kan perlu makan juga. Kita nggak tahu pasti kapan tabungan Bapak-Mamah bisa cair. Takutnya mundur-mundur terus kayak tukang parkir...,” ujap Febro masygul. “Ya udah, sisain dikit aja buat kita. Minggu depan mudah-mudahan masuk duit dari Sopiah,” jawab April sambil menyebut satu platform belanja online tempatnya membuka toko baju dan skincare (reseller). “Oke.” Setelah sekian menit berunding, akhirnya disepakati mereka akan mentransfer ke rekening Jody sejumlah tigapuluh juta. Yang tersisa untuk mereka memang jadi mepet sekali, tapi tak apalah. Lebih baik mereka makan seadanya dari pada disindir dan diejek Mr. Antagonis terus. Malu. “Done...!” ucap April nyaring. Dia baru saja berhasil melakukan transaksi transfer ke rekening Jody. Febro dan Okta bernapas lega. “Jangan lupa telpon orangnya. Jangan biarin dia terus-terusan menduga kalau kita malas bayar,” kata Febro sambil mendengkus. Kekesalannya pada Jody masih menumpuk di dadanya. Rasanya dia masih ingin menghajar cowok itu lagi. April mencibir. “Dihhh, kamu dong ya nelpon. Bagi-bagi tugas!” “Lahhh, aku kan udah kebagian tugas ngomong langsung sama dia tadi, sampe diejek-ejek. Kamu aja deh, Ta...! Kalo aku yang nelpon, jangan-jangan nanti bakal ada kejadian aku ngelempar dia pake golok!” Sekarang Okta yang mencibir. “Hadeeeeh, aku kan masih SMA, teteh-tetehku sayaaang. Masa anak SMA jadi jubir urusan utang orang dewasa? Nggak pantes. Nanti dipikirnya aku punya kakak-kakak yang bermental kerupuk ... nggak punya nyali buat menghadapi dia.” “Issshhh, kamu mah ada aja alasaaannn. Cepetan telpon aja. Da pasti nggak tega mau marah-marah sama anak SMA,” sahut Febro sambil mengambil ponsel Okta dan memencet-mencet sederet angka yang diconteknya dari ponsel April. “Eeeeehhhh, nggak mau!” Febro melotot. “Harus mau. Kalau nggak mau, nanti nggak aku tangkepin ikan nila buat lauk. Mau makan pakai garem doang, hah? Gih, cepetan ngomong. Ngomong yang manis dan sopan. Supaya dia terharu...!” Okta manyun. “Isshhh! KDRT ini mah!” Tapi Okta tak bisa meneruskan pemberontakannya. Sebab suara Jody sudah terdengar menyahuti panggilannya. Tadi Febro memang menghidupkan fitur speaker. “Halo ... assalamualaikum....” “Waalaikumsalam. Emmm ... ini Okta, Om. Tetangga sebelah.” “Oh. Jadi kamu adiknya preman pasar kambing yang bar-bar itu? Bilangin sama dia, hutang jotos dibayar jotos.” “Lho, jadi Om baru dijotos sama Febro? Wah, parah sih. Sakit ya, Om?” “Am om am om, mulai kapan aku nikah sama tante kamu?” “Eh? Oh, salah ya? Wah, maaf, Om. Abis kukira Om udah om-om. Ketambahan kata Teh April sama Teh Febro yang matanya pada siwer itu, aku masih kecil. Jadi kalo aku manggil nama aja kan nanti dibilang kurang ajar. Mohon maaf kalo salah ya...,” cerocos Okta tanpa saringan. “Kakak-kakakmu ya yang nyuruh kamu nelpon?” “Iya ... awww! Aduuuhh, sakit tauk! Eh, eh, maaf, Om. Ada yang nginterupsi. Barusan aku dicubit sama Febro. Memang cakarnya kayak macan dia tuh. Ganas....” “To the point aja, Dek. Nggak usah drama.” “Eh? Drama? Dih. Ngapain sih kok drama? Jadi gini, Om, aku mau ngasih tau ... tadi barusan kami transfer sebagian utang kami sama Om. Bukti transfernya udah dikirim via WA. Kata Teh April ... sisanya belakangan....” “Hm....” “Udah ya, Om. Gitu aja. Ini tanganku udah biru-biru nih dicubitin Febro. Memangnya aku salah ngomong apa coba? Aku kan cuma ngomong apa adanya. Memang susah jadi cewek jujur. Awww! Bro...!” Febro langsung merebut ponsel Okta dan mematikan koneksi. Lalu dipelototinya adiknya yang sering membuat skenario sendiri itu dengan gemas. “Mulut kamu memang minta dicabein ya, Ta?! Ngapain sih ngomong begitu sama dia?! Sengaja banget bikin kisruh!” sembur Febro sambil mencubit pipi Okta kuat-kuat. Okta berontak dan segera lari menjauh. Tawanya berhamburan. Nah, siapa suruh dia yang menelepon kan? Kalau mau isi telepon sesuai dengan kemauan dan harapan, ya teleponlah sendiri. Tak dinyana, April yang sejak tadi terkaget-kaget dengan ocehan Okta kepada Jody, eh ikut tertawa juga. Bahkan ngakak. Ya ampun, dia bisa membayangkan bagaimana bentuk muka Mr. Antagonis disebut om-om oleh cewek sebelah. Padahal umurnya paling juga baru tigapuluhan! Febro memandangi keduanya dengan jengkel. Tapi beberapa detik kemudian, dia ikut tertawa juga. Lepas. Ya Tuhan, alhamdulillah ... di tengah kerumitan ini mereka masih bisa tertawa bersama seperti ini. *** Seminggu kemudian, Atika yang customer service bank itu menelepon April. Mengabarkan bahwa tabungan Bapak masih belum bisa dicairkan. Katanya, berkasnya masih nyangkut di bagian legal. Atika sampai memohon-mohon maaf. Dia merasa tak enak karena sebagai teman, dia tak bisa membantu lebih jauh lagi. Tentu saja, dia kan hanya customer service ... bukan senior pula. Jadi bukan dia yang mengambil keputusan dan tanda tangan. Hal yang sama terjadi pula pada nasib tabungan Mamah di bank lain. Malah lebih parah lagi. CS-nya mencontohkan beberapa kasus serupa ... klaim tabungan baru bisa cair setelah enam bulan diajukan. Huh. Apakah memang selama itu di mana-mana? Atau hanya terjadi pada bank-bank plat merah? Febro dan April saling pandang di teras belakang. Bahu keduanya terlihat melorot turun. Telepon dari Atika ini sungguh membuat lemas. Bagaimana tidak? Saldo tabungan Bapak dan Mamah ini satu-satunya harapan mereka yang terlihat “jelas”. Uang yang jumlahnya bisa untuk hidup bertiga kurang lebih selama setahun itu ada di bank dan benar-benar milik mereka. Bukan halu. Tapi kenapa susah benar mengambil uang yang menjadi hak mereka? Ribet sekali urusannya. Macam mau berutang saja. Eh? Febro meringis. Ada juga sih orang yang mau memberikan utang tanpa ribet, bahkan tanpa pengajuan permohonan. Siapa? Ya siapa lagi kalau bukan penghuni rumah sebelah? Dia sama sekali tak ribet urusan prosedur peminjaman dan pengembalian. Dia hanya tak punya perasaan! Gaya dan kata-katanya sadis! “Nggak enak nih minta mundur lagi sama Mr Antagonis sadis itu...,” keluh Febro. “Iya. Malu banget. Berasa kayak penipu kan kita ini...?” “Mana bulan ini harus bayar pajak mobil. Bulan depan pajak motor. Belum lagi bayar listrik dan wifi....” “Haduuuhhh. Gimana dooong...?” Febro meneguk ludah dengan susah payah. “Bertahun-tahun Bapak dan Mamah ngadepin tagihan segala macam, biaya makan, biaya sekolah, biaya liburan, biaya penelitian, tauk deh biaya apalagi ... tapi kita nggak pernah dengar mereka ngeluh. Nah kita? Belum juga sebulan ngadepin semua ini ... udah kerepotan begini....” Mendengar kata-kata Febro, wajah April langsung mendung. Berani taruhan, sebentar lagi dia bakal gerimis. April memang paling mellow di antara mereka bertiga. Sungguh tak cocok dengan predikatnya sebagai anak tertua. “Udahlah. Kita pasti bisa ngelewatin ini. Nanti sore aku coba ke tempat Jiwo aja, minta kerjaan. Jadi apa kek...,” ucap Febro berusaha terdengar gagah. Jiwo adalah teman ngobrol, teman nongkrong, teman nugas, dan teman gabut bagi Febro sejak mereka masih maba. Meski namanya sangat Jawa, tapi dia lahir dan besar di Bandung. Papinya adalah developer perumahan rakyat dan maminya buka usaha laundry. Setelah lulus, selama belum dapat pekerjaan di perusahaan impian, Jiwo bantu-bantu usaha papi-maminya itu. “Sayang tokoku di Sopiah belum banyak menghasilkan...,” gumam April. “Masa pandemik gini kayaknya orang-orang pada ngerem beli baju dan skincare.” “Maklumlah, Pril. Kita juga gitu kan? Udahlah, yang penting tetap usaha. Sambil cari-cari yang lain....” “Iya. Tapi kasihan Okta. Coba ... bisa nggak kita biayain kuliahnya dia?” Febro menabok lengan April. “Jangan pikirin itu dulu. Okta baru kelas XI. Masih ada waktu buat nyari sekarung emas.” “Mas nggak ada di sini. Ada juga Mang Usep, Kang Dadang, Aa Didin....” Tiba-tiba Febro tergelak. “Lho, ada! Tuh, Mas-mas sebelah rumah. Mas Jody. Karungin aja dia trus bawa ke pagadaian...!” Setelah mengatakan itu, otomatis Febro mendongak ke arah jendela di lantai dua rumah sebelah. Lalu ... DEG! Febro pun membelalak. Sejak kapan wajah mas-mas yang mau dikarungin itu ada di situ?! Parah. Kok suka benar mengintip dan menguping pembicaraan tetangga?! JUAL ASET? Setelah dua bulan berlalu sejak pertama kali April-Febro mengajukan klaim pencairan tabungan orang tua mereka, ternyata belum juga ada kemajuan apa-apa. Entah sudah berapa belas kali mereka menanyakan progresnya, baik melalui telepon maupun datang langsung ke bank. Jawabannya tetap sama saja. Klaim belum bisa dicairkan. Masih dalam proses. Mereka juga sudah mengajukan klaim asuransi jiwa Bapak-Mamah. Tapi seperti kompak, perusahaan asuransi BUMN itu juga tak bisa segera menyelesaikan kewajiban-kewajibannya karena sedang kolaps akibat pengelolaan yang kacau. Bahkan direktur utamanya sampai kena vonis 20 tahun penjara. Semua urusan polis nasabah kini dipindahkan pada perusahaan holding asuransi BUMN dan katanya baru bisa dicairkan tiga tahun lagi. (((((((tiga tahun lagi))))))) Pusing. Febro dan April duduk berhadapan di meja makan yang kosong. Kepala mereka berkerut-kerut. Okta sudah tidur sejak tadi, kecapekan mengerjakan tugas sekolah yang segambreng. Saat sekolah online seperti sekarang ini, para guru memang seperti kalap memberi tugas. “Mobil Bapak kita jual aja deh, Pril. Untuk mobilitas kan kita masih punya motor. Angkot dan ojol juga banyak...,” usul Febro sambil menyesap kopi hitamnya yang pahit akibat kekurangan gula. “Sayang ah, Bro. Itu kenang-kenangan dari Bapak-Mamah....” “Atau jual tanah kebon yang di Cimahi?” “Sayang juga. Sepuluh tahun lagi pasti harganya udah tinggi banget tuh. Anggap aja itu untuk tabungan masa depan. Buat Okta kuliah, buat modal nikah....” Febro kontan terbatuk. “Dih, modal nikah! Ngapain?! Kalo mau nikah mah sekarang aja pas musim kopit, jadi nggak perlu resepsi besar-besaran. Cukup di KUA dan siapin nasi kotak sepuluh biji! Hemat!” April terkekek. “Kalo kamu maunya begitu ya silakan, Bro. Tapi jangan ngajak-ngajak. Aku maunya akad dan resepsi yang indah dan berkesan. Biar kata nanti suami kita kaya raya, tetap aja sebagai pihak perempuan kita harus siap modal juga. Dan itu nggak sedikit. Namanya juga sekali seumur hidup kan...?” “Nah kan, ngelantur! Woy, kita lagi musingin besok mau makan apa, kok malah mikir soal nikahan! Kayak udah ada calonnya aja!” April berdecak. “Kalo asal mau sih gampang, Brooo. Banyak tuh yang ngantri.” Febro menghela napas banyak-banyak dan mengeluarkannya dalam sekali embus. “Oke, oke ... yang ngantri kamu memang banyak. Tapi yang ngantri aku cuma tukang batagor keliling! Tiap hari mukul-mukul pagar nawarin dagangan! Udah maksa nawarin, eh masih maksa nagih bayaran juga!” April terkekeh lagi. Teringat Aa Didin, tukang batagor yang rajin memukuli pagar setiap rumah di komplek ini. Orang-orang terpaksa beli, daripada berisik! “Ya ampun, kita lagi ruwet ... eh malah ngomong nggak jelas gini....” “Kan kamu yang nggak jelasss. Padahal kita lagi pusing kayak Bu Nengsih....” Bu Nengsih si tetangga sebelah kiri, selain sebagai induk gosip ... memang terkenal juga sebagai “emak-emak pusing” karena ketiga anaknya yang sudah menikah itu masih tinggal bersamanya. Masih berbelanja dan masak untuk anak-menantu dan cucu-cucunya. Mana menantunya ada yang mokondo doang (mokondo apaan sih? cari sendiri di gugel ya!). Disamakan dengan kepusingan Bu Nengsih, April kontan melenguh panjang. Uh, naga-naganya dia bakal mewek sebentar lagi. “Duhhh, jangan-jangan kita kualat sama Bu Nengsih, Bro. Kita kan sering sebel kalo dia mulai julidin kita. Padahal dia julid mungkin cuma buat pelampiasan gara-gara pusing soal duit. Ternyata gini rasanya nggak punya duit. Meranaaa....” “Dih, udah-udah. Stop bahas Bu Nengsih. Fokus lagi ke urusan jual aset!” sergah Febro. Disergah begitu, April malah makin sedih. Bibirnya sudah melengkung ke bawah dan mata sudah berkaca-kaca. “Fix, sekarang kita udah miskin ya, Brooo. Sampe nggak bisa bayar utang ke tetangga sebelah. Sampe disumbang tante-tante. Sekarang, sampe mau jual-jual aset. Cuma untuk bertahan hidup....” Haduh. Memang susah diskusi dengan April yang gampang sedih dan baperan begini. Kan jadi tak tega mau lanjut soal kemungkinan-kemungkinan lain, seperti jual motor, jual rumah ini lalu pindah ke rumah yang lebih kecil di pinggiran kota, jualan kue, atau jualan pepes ikan nila. “Ya ampun, teteh paling cantik sejagat rayaaa, kita belum miskin! Kita masih punya rumah dua lantai, punya mobil, motor, tanah kebon, segala perabotan rumah...,” ujar Febro, tak ingin membiarkan April kebablasan nangis. “Tapi kan ... kita nggak punya uang tunai. Beli beras, bayar ini-itu ... kan harus pakai duit, bukan pakai tanah sekarung atau wajan-panci....” Febro tahu April masih belum bisa mantap menghadapi tantangan kehidupan ini tanpa orang tua. Tentu saja, Febro pun merasa begitu. Tapi mau bagaimana lagi? Faktanya, kehidupan nyata yang segala macamnya harus diselesaikan dengan uang ini ... kini jelas-jelas ada di depan mata mereka. Mereka tak bisa berpaling atau mundur. Febro pun menurunkan nada suaranya. “Makanya, sementara uang real dari tabungan dan asuransi itu belum ada di tangan kita, mau nggak mau kita harus merelakan melepas aset yang ada. Dari pada kita minta-minta lagi sama Tante atau Pakdhe kan? Sambil kita tetap usaha cari penghasilan....” April makin mewek. “Lagian ini kopiiiittt, kapan sih selesainyaaa. Gimana kita mau dapat kerjaan kalau dunia usaha pada hancur gini hu hu hu....” Sebenarnya Febro ingin bilang ‘Berhentilah menangis. Sebab air mata nggak bisa menyelesaikan masalah.’ Tapi tentu saja dia tak tega. Dia memahami kegamangan dan kekalutan kakaknya. Kondisi mereka sekarang ini memang sedang rumit. Dan mereka masih kaget dan tak siap. “Udahlah. Mendingan kita tidur aja. Semoga besok pagi-pagi, kita nemu solusi yang bagus....” *** Tapi Febro tidak tidur. Tidak bisa. Matanya masih nyalang menghadapi malam. Dia duduk sendirian di teras belakang yang selama ini menjadi spot favoritnya jika sedang ingin “mikir” sendirian malam-malam. Gelas kopi di meja tinggal menyisakan ampas dan baterai ponsel pun tinggal segaris. Tapi dia masih ingin lama-lama di situ. Walaupun dingin. Kepala rasanya penat dan dada rasanya sesak. Ingin teriak, tapi mustahil. Dia tak ingin orang satu komplek terbangun lalu berbondong-bondong mendatanginya karena dikira sedang jadi korban perampokan. Ddddrrrrttttt.... Ponsel Febro yang tergeletak di meja bergetar. Dengan malas, diraihnya ponsel itu dan memperhatikan layarnya. Jiwo calling. “Halo, assalamualaikum, Wo. Ngapain tengah malam gini nelpon? Kangen atau nyari temen buat ngadepin kuntilanak?” “Bacot lu yaaa....” “Cepet ngomong, batere-ku udah sekarat nih.” “Nongkrong di mamang nasi goreng yuk....” “Udah malam, nyet! Nggak bermoral banget ngajakin anak perawan nongkrong di jalanan tengah malam gini.” “Jadi kamu perawan? Kirain abang-abang! Abang cilok!” “Dih! Alicia Keys gini disamain abang-abang cilok!” “Alicia Keys bukannya udah tante-tante? Tuwir amir kamu, Broh?! Mana belum punya gandengan. Kalah sama truk...." “Eh, landak! Kalo nggak bisa bantuin cariin kerjaan, mendingan gak usah komen!” “Tsahhh, siapa juga yang setrip mau kasih kerjaan cewek sarap kayak kamu?!” “Udah deh, Wo, aku lagi pusiiing. Mending dilakban aja deh mulut kamu yang kelebihan gigi itu! Bikin emosi naik aja!” “Laaah, ngamuk....” “Serah!” “Oke, oke, Neng Alicia Keys from gentong beras ... nih dengerin ya. Besok pagi-pagi buta datang ke rumah. Mami butuh tenaga buat nyulap garasi jadi warung kopi. Upahnya bikin ngiler dah.” “Berapa emang?” “Dasar. Eh, yang namanya bikin ngiler tuh dikasih makan enak selama pengerjaan. Tau dong kaliber Mami urusan masak-memasak? Chef Renata aja sampe melata-lata saking nyungsepnya!” “Aduh, Wooo, aku ini lagi butuh duit. De-u-i-te. Bukan bubur ayam atau karedok! Tega amat ngasih upah makanan sepiring dua piring!” “Mata duitan banget sih. Udah, pokoknya datang aja besok. Soal upah, nanti deh aku rayu Mami supaya ngasih satu gepok!” “Satu gepok duit seribuan? Ogah!” “Cerewet. Mau nggak nih? Kalo nggak mau, nanti aku kasihin Titot aja. Dia sih jelas, nggak banyak cing-cong tapi kerjaan bagus!” “Halaahhh. Iya deh, iya. Nanti aku datang sebelum matahari terbit. Ngeduluin Mang Usep jualan!” “Nah, gitu dong. Aku kan jadi tambah cinta sama Alicia Keys yang semangat tempurnya tinggi kayak gini.” “Bacot ah. Bye.” Febro menjauhkan ponsel dari telinganya bersamaan dengan habisnya batere. Senyumnya tercetak samar. Alhamdulillah. Tawaran Jiwo tengah malam begini lumayan bisa memangkas kegalauannya. Terserahlah mau diupah berapa. Yang penting ada yang bisa dikerjakan. Capek terlalu lama nganggur. Ah. Untung Febro tak mendongak ke arah jendela atas di rumah sebelah. Sebab saat itu, jendela kayunya terkuak sedikit. Mr. Antagonis sedang mengintip dan menguping omongan Febro kepada Jiwo di ponsel. Bukan sengaja sebetulnya. Awalnya dia hanya mau membuang abu rokoknya, tapi lalu tertarik memperhatikan pemandangan di teras belakang itu. Jika saja Febro tahu ... uhh ... pasti emosinya bakal tersulut. Atau tertekan. Karena merasa seperti sedang ditagih utang! Hadehh, kenapa yang punya utang jadi lebih galak dari yang memberi utang? N E G O Pagi-pagi, Febro sudah menstarter motor matik hitamnya. Siap memenuhi panggilan Jiwo. Eh, maminya Jiwo. Dia menduga akan dipekerjakan sebagai tukang mengosongkan garasi dari barang-barang tak berguna, menyapu, mengepel, lalu memasukkan perabot baru untuk warung kopi. Tak masalah. Yang penting dia punya alasan untuk keluar rumah. Dia perlu ganti suasana. Hmm, Maminya Jiwo memang ulet. Ada-ada saja idenya untuk cari cuan. Segala macam yang ada di rumah, bisa saja dijadikan sumber penghasilan. Si Jiwo itu tinggal menunggu giliran saja untuk di-cuan-kan, hehe. Semangatnya yang menggeliat pagi ini, mendadak terpangkas separuh ketika dilihatnya penghuni rumah sebelah sedang ada di carport juga. Sedang mencuci mobil. Dan sepertinya Mr Antagonis itu sudah memindai keberadaan Febro. Sebagai orang yang paling tak mau dianggap tak sportif atau pengecut (meski untuk kasus ini dia sangat ingin melakukannya), Febro pun memutuskan mampir. Dia mengendarai motornya perlahan saja, lalu belok memasuki carport sebelah. Fabro turun dari motor. Sejenak diperhatikannya Mr. Antagonis yang pagi ini tak tampil serba hitam. Dia memakai celana pendek khaki, kaus tanpa lengan warna putih, dan sandal jepit biru yang sudah buluk. Tangan dan kakinya yang berwarna coklat terang itu basah terkena air dari selang yang disemprotkannya ke badan mobil. Hal itu membuat keantagonisannya bagai kekurangan daya. Dia tak ubahnya laki-laki biasa di pagi hari. “Assalamualaikum, Mas...,” sapa Febro sambil waspada memperhatikan arah selang. Jangan sampai dia kena semprotan air. Jody menoleh. “Waalaikumsalam.” “Mas, itu airnya dimatiin dulu dong. Nanti nyemprot aku. Aku malas ganti baju lagi....” Jody mengernyit. Meski terlihat enggan, dia bergerak juga menuju keran air dan memutarnya. Air pun berhenti mengalir dari selang. “Udah jadi tamu tanpa diundang, eh main perintah lagi ke tuan rumah. Itu nggak sopan,” komentar Jody tanpa bersusah-payah bersikap ramah. “Samalah. Tuan rumah yang siap nyemprotin airnya ke tamu juga nggak sopan. Tapi sudahlah. Aku lagi nggak mau berdebat. Lagi buru-buru.” “Oke, oke. Aku juga lagi nggak mau merusak moodku dengan cekcok sama tetangga. Ada apa?” Ditodong pertanyaan ‘ada apa’, Febro refleks meringis dan grogi. Merasa kalah angin. Sial, kenapa selalu dia yang ketiban apes berhadapan dengan mahluk ini untuk urusan minta dispensasi? Bukankah seharusnya muka memelas April yang lebih bisa dimanfaatkan? “Anu, Mas ... emm ... anu....” “Anu kamu kenapa? Hilang...?!” Febro melotot. Lalu seperti biasa, ketidakramahan Jody akhirnya memunculkan kesongongannya juga. Duh, betapa sulitnya bersikap kalem dan sopan terhadap mahluk ini. “Nggak usah kepo dengan anuku deh, Om. Nggak kelas banget ngomongnya. Aku cuma mau bilang ... minta maaf ... yang ke tigabelas kali ... bahwa pelunasan utang terpaksa mundur lagi. Alasannya masih sama. Aku tahu kami ini menyebalkan karena mangkir kok tuman ... terus-terusan. Tapi sungguh, ini bukan sengaja mau nipu. Faktanya memang kami lagi nggak pegang uang tunai...,” ucap Febro sampai ngos-ngosan. Ditekannya rasa malu dan pelajaran etika dari oragtuanya jauh-jauh ke ujung usus besar. Jody mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Dari hasil ngupingnya semalam, dia tahu cewek ini tak bohong. Rumah sebelah memang sedang krisis keuangan. Tapi gaya songong cewek yang bentukkannya jauh dari feminin ini sungguh membuatnya enggan bersimpati. “Sekarang ini, semua orang akan ngaku nggak punya duit...,” balas Jody. Memang benar. Dari rakyat jelata sampai pengusaha besar sedang susah sekarang ini. Maka Febro pun mengagguk. “Ya.” “Jadi, kamu akan minta maaf berapa ratus kali lagi?” Pembicaraan ini akan panjang jika dibiarkan berlarut-larut. Jody akan punya seribu pertanyaan dan tuduhan, seperti dia juga akan punya seribuseratus jawaban untuk ngeles. Maka dia memutuskan menghentikan pembicaraan ini sampai di sini. Sayang energinya. Dia kan harus menyimpannya untuk jadi tukang ini-itu di rumah Jiwo. “Mohon maaf kalau saya bangsat, Mas. Tapi saya nggak akan lari, meski kaki udah gatal aja pengen kabur. Nanti malam saya datang lagi untuk melanjutkan pembicaraan ini. Sekarang saya terpaksa harus pamit....” Tanpa menunggu jawaban Jody, Febro pun balik badan dan menaiki motornya. Lalu melaju ke jalan komplek yang sudah mulai ramai oleh ibu-ibu yang sedang menanti kedatangan lelaki idola sejuta umat yakni Mang Usep si tukang sayur. Jody membiarkannya pergi. Tapi mimik muka lesu gadis itu saat mengucapkan kalimat yang mengakui bahwa dia bangsat, masih tertinggal dalam otaknya. Ini tidak benar.... *** Febro tiba di rumah Jiwo disambut oleh sepiring nasi goreng teri buatan Mami. Kebetulan, di rumah tadi dia cuma sempat sarapan seiris roti tawar dengan toping susu kental manis. Akibat tak sabar menunggu hasil masakan Arpril. Lah pelakunya saja masih bergelung dalam selimut di tempat tidur sambil mainan ponsel. “Mami tahu aja kalau aku masih lapar...,” ucap Febro sambil cengengesan di meja makan. “Makasih banyak ya, Mam.” Mami yang sudah berpakaian rapi bagai siap menghadapi dunia, tertawa. “Iyalah. Mami tahu, perut kamu sama kayak perut Jiwo. Muatnya banyak....” Jiwo ngakak. “Sori ya, Bro. Mami sering lupa kalo kamu tuh cewek. Jadi ngomongnya sama kayak lagi ngomong ke aku....” Mami tertegun. “Eh? Iya ya? Tapi bukan soal cowok-ceweknya sih, Bro. Bagi Mami kamu itu ya sama kayak Jiwo. Sama-sama anak Mami. Apalagi sekarang Mamah kamu udah nggak ada. Jadi ya anggap aja Mami ini mami kamu juga....” “Teeettt! Jangan bahas itu, Miii,” potong Jiwo. Pembicaraan tentang kematian orang tua Febro hanya akan membuat semangat gadis ini terjun bebas. Mami tersenyum. Lalu mengelus punggung Febro berkali-kali. “Maaf, ya. Ya sudah, sekarang makan aja yang banyak. Lalu kerjain garasinya sesuai dengan gambar yang udah Jiwo bikin. Mami mau ngurus pajak dulu....” Febro tertawa kecil. “Santai aja, Mi. Aku oke kok.” Sepeninggal Mami, Fabro dan Jiwo pun melanjutkan makan dengan lahap. Masakan Mami memang badass abis. Sedappp. Febro sudah terbiasa keluar-masuk rumah Jiwo. Mami-Papi dan kakak-kakak Jiwo pun sudah tak menganggapnya orang asing. Apalagi karakter Febro memang tak malu-malu (malah seringnya malu-maluin) dan tak tersinggungan, jadi asiklah. “Wo, Mami masih kurang sibuk ya ... kok masih mau buka warung kopi juga?” tanya Febro setelah isi piringnya tinggal sedikit. Jiwo menyeringai. “Sebenarnya Mami bikinin warung kopi itu buat aku, Bro. Mami sebel lihat aku gabut terus....” “Bisnis Papi masih tiarap ya?” “Masih. Nggak tahu sampai kapan. Belum ada tanda-tanda berjaya lagi. Sekarang Papi sibuk gerilya aja ... cari peluang sana-sini. Jadi maaf, belum bisa ngajak kamu kerja di proyek.” Begitulah. Pandemi yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini masih membuat banyak bisnis sepi. Sebagian sudah nyungsep, sebagian lagi masih mencoba sekadar bisa bertahan atau pindah jalur. “Semoga warung kopimu nanti rame, Wo...,” harap Febro sungguh-sungguh. “Kerja keras. Jangan kendor.” “Aamiin. Semoga. Makasih ya. Nanti kalo warung kopiku rame dan cepat balik modal, aku traktir jalan-jalan ke Sumedang. Beli tahu.” Mereka tergelak dan terus ngobrol remeh-temeh. Sampai nasi goreng mereka habis. Sampai tangan dan kaki mereka sibuk membersihkan garasi lalu mendekornya dengan furniture dan pernak-pernik interior yang sudah dipesan Jiwo sebelumnya. Sampai lupa waktu. Kesibukan Febro hari ini yang didominasi oleh kerja otot, membuat otaknya sempat bergerak liar ke mana-mana, mencari solusi atas persoalannya terhadap Jody. Dia bertekad harus membayar utangnya secepat mungkin. Rasa malu dan sungkannya terhadapnya benar-benar sudah mencapai ubun-ubun. Jika dibiarkan begini terus, bisa-bisa dia tak berani lagi ke luar rumah untuk bertemu dunia. “Kamu kenapa...?” usik Jiwo. Jiwo sudah kenal baik gadis kribo ini cukup lama. Jadi dia tahu aura Febro jika sedang gembira, sedih, sumpeg, atau marah. Febro nyengir. Nyengir yang tidak indah. “Biasa deh....” “Urusan dengan rumah sebelah belum beres...?” “Gitu deh.” Jiwo memandang Febro prihatin. Dia sudah menawarkan bantuan pinjaman uang kepada Febro sejak beberapa minggu yang lalu, meski saldo di rekeningnya tak banyak-banyak amat. Tapi dia bisa mengusahakan saweran dari Mami dan kakak-kakaknya. “Aku bantuin mau, ya? Kan lebih enak utang sama aku dari pada utang sama Mr. Penggaris itu....” Febro terkekeh. “Woy, kenapa jadi Mr. Penggaris sih? Antagonis, Wooo. Antagonis. Jauh amat jadi penggaris.” “Iyalah, ituuu. Sama ajalah.” Febro menghentikan kegiatannya mengecat multipleks untuk dijadikan papan tulis hitam. Lalu menghadap Jiwo yang sedang berjongkok memandangnya. Dia tahu Jiwo serius ingin membantunya. “Makasih banyak, Wo. Aku hargai niat baik kamu. Kamu memang sahabat kesayangan. Tapi ... sebaiknya nggak usah dulu deh. Kalau aku punya utang sama kamu, nanti aku jadi nggak bebas lagi keluar masuk rumah ini karena sungkan. Aku juga jadi mikir-mikir kalau mau bully kamu. Nggak asik kan?” “Dih....” “Di rumah masih ada mobil Bapak. Sertifikat tanah juga ada. Kupikir itu bisa dijual aja. Daripada gali lubang tutup lubang ... utang ke sini buat nutup utang di sana. Malesin banget utang-utang terus. Bikin senyum manisku jadi terasa palsu aja....” Jiwo terkekeh sedih. Lalu ditepuknya pipi Febro dengan tangannya yang kotor kena debu serbuk gergajian kayu. “Ya udah. Tapi kamu tahu kan harus datang ke mana kalau benar-benar kepepet?” “Iya, Wo. Aku tahu di dalam badan kurusmu ini tersimpan hati seterang berlian seratus sisi. Kamu pasti bakal pasang badan buat bantuin aku.” Jiwo mendengkus. Lalu diacak-acaknya rambut kribo itu. Sehingga kribonya sudah naik tingkat jadi suprobrobrogrumbul. Meski sering menyebalkan dan memalukan, dia sayang cewek ini. *** Meski badan rasanya remuk dan ingin segera selonjor, Febro tak bisa leha-leha. Dia sudah berjanji akan ke rumah sebelah untuk membahas persoalan utang-piutang malam ini. Dan dia tak ingin mangkir. Sebab kesungkanannya pada Jody sudah berada pada level maksimal. Harus segera ada penyelesaian dengan cara-cara yang bisa dikompromikan. Febro pergi ke rumah sebelah bersama April. Okta tak ikut. Dia sedang sibuk mengerjakan tugas. Jody menerima mereka di ruang tamu. Dia memakai celana panjang hitam dan kaus oblong abu muda. Sesuatu yang membuat mereka bertiga sempat tertegun beberapa saat. Sebab warna pakaian Jody ini sama persis dengan yang dipakai April. Hanya model kausnya saja yang berbeda. “Ck ck, kompak benar. Mau pentas orkes gambus...?” celetuk Febro. April langsung mencubit perut Febro. “Ssshh.” Tapi Jody tak terpengaruh. Celetukan Febro tak mengubah kesan dinginnya sama sekali. Dia tetap bersikap efisien : mempersilakan tamunya duduk dan menghadapi mereka tanpa banyak basa-basi. “Jadi ... ada hal baru yang mau disampaikan...?” tanya Jody. Seperti yang sudah disepakati di rumah sebelumnya, April-lah yang akan bicara. Supaya adem. Febro hanya mengawal saja. “Begini, Mas. Sebelumnya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena nggak bisa secepatnya melunasi sisa utang. Soalnya proses pencairan tabungan di bank ternyata masih ribet terus. Perlu waktu lama. Dan kami nggak tahu sampai kapan beresnya...,” papar April dengan intonasi yang diusahakan tenang dan runut. Jody menarik ujung-ujung bibirnya secara tak jelas. Jadi entah ... dia sebenarnya sedang tersenyum atau mencibir. “Hmm, begitu....” “Iya, Mas. Maaf. Nah, karena waktu pencairannya masih belum jelas begini, supaya sama-sama enak ... gimana kalau kami menjaminkan mobil kami aja? Silakan mobil itu dipegang Mas Jody aja selama kami belum bisa melunasi utang.” Jody terbatuk. “Menjaminkan mobil? Nggak salah? Utang kalian kan cuma tinggal sedikit. Nggak sebandinglah dengan nilai mobil.” “Nggak apa-apa, Mas.” Setelah berpikir sebentar, Jody menggeleng. “Aku nggak butuh mobil. Udah punya kok. Carport juga cuma cukup buat satu mobil. Kalau mau, kalian bisa menggantinya dengan tenaga....” Barulah Fabro ikut bersuara. “Tenaga? Maksudnya?” “Kalian bekerja di sini, tanpa upah. Bersihin rumah, masak, atau jaga toko bangunanku di dekat pasar....” Hah? Gimana...? Gimana...?! KOMPENI Karena merasa mentok, akhirnya Febro dan April setuju untuk bekerja di rumah Jody. Tanpa upah. Selama enam bulan. Melaksanakan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah dan memasak. Tambah satu lagi : menjaga toko bangunan jika diperlukan. Kata Jody, setelah bekerja enam bulan, maka utang mereka akan dianggap lunas. Jika saja mereka punya alasan yang benar, pasti mereka akan menolak mentah-mentah tawaran itu. Bayangkan, selama ini hubungan pertetanggaan mereka kurang baik, eh lalu tiba-tiba harus keluar-masuk rumahnya setiap hari. Apalagi mereka beda jenis. Apa kata orang sekomplek nanti? Jangan-jangan nanti mereka dituduh kecentilan dan kegatalan! Sayang mereka tak ada alasan untuk menolak. Mengganti uang dengan tenaga adalah hal yang paling mungkin dan mudah sekarang ini. “Malesin banget kerja rodi buat Mr. Antagonis kompeni itu...,” keluh Febro setelah mereka sampai di rumah. Kini mereka berkumpul di kamar April. “Bukan kerja rodi, ah. Kita cuma mengganti uang dengan tenaga. Kurasa, dia baik banget mau kasih opsi kayak gini...,” ralat April. “Kamu kok jadi ngebelain dia sih, Pril?!” tanya Febro sebal. April melempar Febro dengan bantal. “Ya iyalah. Coba deh pikir ... orang lain belum tentu mau begitu. Yang ada juga mereka nyewa preman buat nagih-nagih ke kita lalu nyita rumah atau mobil....” Okta ikut nimbrung melempar Febro dengan guling. “Iya, Bro. Mukanya memang antagonis. Tapi hatinya protagonis....” “Haddeh. Gampang banget sih kalian berubah...!” “Kamu yang keras kepala...!” balas April. Febro mencibir. Ya sudah, dia kalah. Dia akan mengikuti suara terbanyak. Bagaimana lagi? *** Pagi-pagi sekali, sekitar jam enam, Febro-April-Okta sudah mengetuk pintu rumah sebelah. Untungnya pintu pagar tidak digembok, jadi mereka tak perlu teriak-teriak minta dibukakan pintu dari pinggir jalan. Hadeeeh, demi apa coba ... mau-maunya mereka bangun pagi untuk membersihkan rumah orang? Rumah sendiri saja masih berantakan! Mau-maunya memasak untuk rumah sebelah? Halah, diri sendiri saja belum nengok kompor di rumah! Mau-maunya ngegeruduk rumah tetangga? Ck ck ck, jam segini kan biasanya masih selimutan! Tapi pagi ini memang pagi yang tak biasa. Pagi dalam babak baru hidup mereka. Peristiwa bersejarah yang akan dikenang dan dijadikan bahan cerita untuk anak cucu kelak. Bahwa pada zaman dahulu kala ... mereka pernah jadi Upik Abu di rumah seseorang dalam dongeng Beauty and The Beast. Ck ck ck. Teeeett ... teeeettt ... teeeeetttt...! Febro memencet bel untuk membuyarkan pikiran-pkiran kacaunya dari kepala. Oke, hari ini dia akan siap menjalani konsekuensi atas kesepakatan mereka. Meski tak suka, dia tak akan mangkir. Teeeet ... teeeett ... teeeettt...! Setelah menunggu sekian lama yang rasanya bagai seribu abad, pintu pun terbuka. Lalu muncullah kepala Mr. Antagonis. Wajahnya masih muka bantal, rambut ikal setengkuknya berantakan mencuat ke sana ke mari, mata menyipit masih mengantuk, area cambang berwarna kelabu dan kasar karena belum bercukur, kaus kuning super kusut, dan celana pendek katun motif dinosaurus! “Nggak bisa lebih pagi lagi nih bertamunya...?” sambut Jody. Antara heran campur kesal. April jadi salah tingkah. “Maaf, ganggu. Kami cuma ngikutin instruksi Mas yang semalam. Katanya kami harus datang jam enam pagi....” Jody mengernyit. Seperti mengingat-ingat. Masa sih jam enam? Febro berdecak tak sabar. “Kami mau mulai kerja rodi, Mas. Jadi langsung aja deh. Apa aja yang harus kami bikin kinclong dan segar kayak mukanya Maudy Ayunda sehabis berwudu? Lalu ... apa yang mau dimasak jadi hidangan hotel bintang lima? Buah nangka di depan yang penampilannya mengintimidasi itu atau jantung pisang yang menggelantung nggak sopan di halaman belakang? Kami siap....” Pagi-pagi dibangunkan oleh bunyi bel nan bar-bar, lalu sekarang menghadapi tiga cewek ajaib yang menodongnya dengan pertanyaan dari peradaban planet Merkurius ... bagaimana tak membuat shock? Jody pun mendengkus. “Terserah kalianlah. Pokokya rumah bersih dan aku tinggal makan...,” jawab Jody malas. “Aku mau tidur satu jam lagi. Tadi baru tidur habis Subuh. Masih ngantuk. Masuk....” Jody melebarkan bukaan pintu. Kemudian dia balik badan, melangkah masuk, dan tak menoleh lagi. Febro, April, dan Okta saling pandang. Bengong. “Ini maksudnya gimana sih?” tanya April bingung. Febro terkekeh. “Maksudnya ... dia memang sarap!” Okta menguap dan siap-siap kabur. “Aku balik aja ya, Teh. Kan udah ikutan setor muka? Urusan kerjanya sih aku serahkan sama teteh-teteh baik hati aja deh. Aku mau mandi terus ikutan zoom meeting. Bu Gurunya galak. Presensinya nggak boleh bohongan.” Tapi Febro segera mencekal lengan Okta. “Eh, eh ... enak aja mau kabur. Ikutan tanggung jawab dong. Ngelap-ngelapin meja kek barang setengah jam....” “Yaaah, aku mau sekolah, Brooo...!” “Ssshhh, udah ... jangan kebanyakan ngoceh. Kerjain aja. Biar cepat beres. Biar kita nggak di sini lama-lama.” Percuma berkelit dari Febro. Cewek itu bisa seganas dan secepat macan saat berburu rusa di gurun pasir. Jadi dari pada mereka kejar-kejaran di rumah orang yang kemungkinan akan membangunkan macan tidur lainnya lagi, lebih baik menurut. *** Febro-April-Okta pun masuk ke bagian dalam rumah Jody, dengan langkah mengendap-ngendap bagai pencuri. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Dalam sekali pandang, terlihat bahwa isi rumah ini kurang terawat. Perabotan jadul di sini agak berdebu. Lantai pun tidak mengilat, menandakan hanya dibersihkan sekadarnya. Tak heran sebenarnya. Penghuni rumah ini hanya satu orang, laki-laki pula. Sepertinya Jody pun jarang menghabiskan waktunya di dalam rumah. Pagi-pagi dia sudah pergi. Pulangnya mungkin baru tengah malam, entahlah. Jadi rumah ini hanya dipakai untuk numpang tidur dan mandi, tak terlalu diurus. Dulu, ada Bu Entin—yang rumahnya ada di kawasan belakang komplek ini—datang untuk membersihkan rumah setiap dua hari sekali. Tapi sudah beberapa bulan ini tak lagi kelihatan. Entah kenapa atau ke mana. “Oma Santi pasti sebel nih kalau tahu cucunya pemalas, nggak mau bersihin rumahnya...,” bisik Febro sambil memandang foto Oma Santi yang tergantung di dinding dan mencolek permukaan meja yang berdebu. “Padahal barang-barangnya bagus. Berkelas. Vintage.” “Halahh, kayak kamu rajin aja. Kamu juga pemalasss...,” ledek April. Febro nyengir. “Masa sih? Aku rajin, ah. Rajin makan.” Okta pun terkikik. “Itu sih banayk temannya, woy! Orang se-Indonesia Raya!” “Husshh, kok malah pada ngoceh nggak jelas sih?! Udah deh, cepetan kerja! Cari sapu kek, lap kek, apa kek ... di belakang!” lerai April. “Siap, Ndan...!” Mereka kemudian menuju belakang, tempat di mana biasanya alat-alat kebersihan berada. Tentu sambil tengok kiri-kanan, memperhatikan sekeliling. Ketiganya menghidu sesuatu yang sama. Bahwa rumah ini kesepian karena kurang dipedulikan penghuninya. *** Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera bekerja. Pintu dan jendela dibuka lebar-lebar, meja-kursi-bufet dilap, lantai disapu dan dipel. Mengerjakannya secara cepat saja, tidak sampai terlalu teliti. Kamar-kamar pun dilewati, karena tak berani membuka pintunya, takut dianggap lancang. “Ini apa yang bisa dimasak sih? Nggak ada apa-apa, kecuali mi instan...,” keluh April sambil membukai kulkas dan kitchen set tua. “Beras aja nggak ada.” “Gampang. Masakin aja sop,” celetuk Febro sambil meregangkan punggung. “Sop apaan? Nggak ada sayuran, nggak ada daging.” “Ya sop air. Itu udah mengandung hidrogen, oksigen. Kalo mau ada ijo-ijonya ... tuh ... di halaman belakang ada rumput dan daun pisang. Jantung dan batangnya juga sekalian buat nambah gizi. Lagian nih orang parah banget, nyuruh masak tapi nggak ngasih duit belanja. Dikiranya kita ibu peri, bisa tring tring simsalabim..?!” jawab Febro ngakak. Tapi tawa Febro langsung susut begitu matanya menangkap sosok Jody yang sedang berdiri di pintu dapur. Lho, sejak kapan dia berdiri di situ? Dasar siluman. Huh, apakah dia sempat mendengarkan ocehan mereka barusan? “Eh..., Mas..., udah lapar...?” tanya Febro pura-pura polos. “Udahlah. Mana hasil masakannya?!” Kini Jody sepenuhnya memasuki dapur. Lalu memperhatikan meja dapur yang kosong melompong, kompor yang nganggur, dan tiga gadis yang sedang santai bersandar di mana-mana. April terbatuk-batuk. “Maaf, Mas. Tapi nggak ada bahan-bahan yang bisa dimasak....” Jody mengernyit. “Di kolam sebelah kan ada ikannya....” Febro bengong. “Maksudnya gimana, Mas? Mau minta ikan kami? Dihh, itu kan nggak ada dalam kesepakatan tadi malam.” Okta tergelak. Dia sudah mencium bakal ada aroma huru-hara. Maka dia buru-buru ngacir, melewati tubuh jangkung Jody. “Maaf ya, Om. Eh, Mas. Aku pamit dulu. Mau sekolah. Bentar lagi bel masuk nih. Urusan selanjutnya sama Teh April dan Teh Febro aja ya? Mereka sih hobi kerja kok...!” April dan Febro tak sempat mencegah Okta. Si centil itu sudah kabur meninggalkan dapur. Hanya suara gelaknya saja yang masih ketinggalan. Kini tinggallah mereka berdua yang belum kering keringatnya, berhadapan dengan tuan rumah yang sudah tidak mengantuk dan tengah menenteng handuk warna merah. Siap mandi. Letak kamar mandinya memang satu area dengan dapur. “Masakin ikan itu dapur kalian. Di sini nggak ada bumbu apa-apa. Sekalian minta nasinya juga. Kalau udah mateng, antar ke sini...,” perintah Jody tanpa senyum. April dan Febro saling pandang dengan mulut selebar mangkok. Ternyata Mr. Antagonis betul-betul kompeni. Sudah meminta mereka kerja rodi, eh masih juga merampok sumber daya alam mereka! KAMAR RAPI Sudah satu minggu Febro-April-Okta bekerja pada Mr. Antagonis. Bagi-bagi tugas. April memasak sarapan sesuai permintaan tuan majikan (untunglah si kompeni itu masih punya otak dengan memberi uang belanja setiap hari yang diletakkan di meja dapur). Okta membersihkan lantai satu. Febro membersihkan lantai dua dan halaman depan belakang. Rumah sebelah tak terlalu luas, sama persis seperti rumah mereka. Tapi tetap saja membuat lelah. Apalagi tak ada bonus suguhan teh hangat dan bakwan atau pisang goreng! Rumah sebelah benar-benar tipe rumah bujangan pemalas. Berantakan, berdebu, dan kering kerontang dari bahan makanan. Bahkan gula-teh-kopi pun tak ada. Yang ada hanya air galon! Ck, sebenarnya dia itu pemalas atau pelit?! “Rumah ini dibuatnya kayak losmen aja. Cuma buat numpang tidur dan be’ol...,” komentar Febro sambil memutar anak kunci pintu depan pagi ini. Okta berdiri di belakangnya, masih sambil kucek-kucek mata dan menguap. Oh ya, karena Jody merasa sangat terganggu jika harus membukakan pintu pada saat lagi enak-enaknya tidur, maka dia menyerahkan satu kunci cadangan kepada mereka. Katanya silakan masuk dan langsung kerja saja, tak usah banyak gaya apalagi cingcong bagai ibu tiri! Klek. Febro membuka pintu. Tapi.... “Ehh, Neng...?! Ngapain...?!” Sebuah seruan menghentikan gerak tubuh Febro dan Okta. Mereka kontan menoleh. Ada Pak RT di carport. Tidak dalam kostum olahraga, tapi sarung+baju koko putih+peci. Mungkin beliau baru pulang salat Subuh di masjid Lembang atau Ciwidey atau Sukabumi, makanya jam segini baru sampai. “Ya, Pak...?!” sahut Febro. Febro mengurungkan masuk rumah. Dia berjalan mendekati Pak RT. Pada akhirnya, dia memang harus menjelaskan situasi ini kepadanya. Dari pada beliau menduga yang tidak-tidak. “Neng, ngapain anak gadis udah masuk rumah lalaki pagi-pagi...?” tanya Pak RT. Matanya bersinar curiga. Febro meringis. Lalu menggandeng tangan Pak RT dan mengajaknya duduk di bangku kayu di teras. Okta sudah tak terlihat di situ. Pasti dia sudah bercengkerama dengan sapu dan lap. “Maaf, Pak RT. Saya lupa ngasih tahu. Kalau sekarang, kami bantu-bantu bersihin rumah Mr. Antago ... eh, Mas Jody. Jadi tiap pagi ke sini....” “Bantu-bantu? Maksudnya kerja? Kunaon atuh? Kalian udah nggak punya duit?” Febro bimbang. Dia malu mengaku. Tapi jika dia tak menjawab dengan sejujurnya, Pak RT bakal penasaran terus. Bahkan bisa menimbulkan fitnah. Maka Febro pun menceritakan kronologinya kenapa mereka bertiga bisa sampai pada titik ini. Singkat tapi jelas. Tanpa muka memelas dan minta dikasihani. “Ooo, jadi begitu...,” gumam Pak RT sambil mengangguk-angguk. “Iya. Mohon diizinkan ya, Pak....” “Emmm, diizinkan sih, Neng. Tapi tetap harus jaga diri ya? Waspada. Maklumlah, namanya juga anak gadis di rumah bujangan. Takutnya ada setan yang ngajak jalan-jalan....” Baik amat setan ngajak jalan-jalan.... “Pasti, Pak. Tapi ... tolong info soal utang-piutang ini berhenti sampai di Pak RT aja ya? Malu atuh kalau orang sekomplek tahu soal utang beginian....” Pak RT terkekeh. “Iyaaa. Nanti kalau ada yang kepo nanya-nanya, Bapak bilang kalian lagi ada proyek sama Mas Jody.” “Boleh, Pak. Nuhun pisan pengertiannya....” “Sama-sama, Neng. Kalau ada masalah lagi, jangan sungkan atuh ngomong sama Bapak ya? Anggap aja orang tua sendiri. Warga sini juga pasti maulah jagain kalian.” “Muhun, Pak. Makasih.” Setelah Pak RT pulang, Febro pun masuk rumah. Lalu mengambil sapu dan kemonceng di dapur dan naik ke lantai atas. Sambil naik tangga, sempat dipergokinya Okta sedang nyapu sambil tik-tokan. Dasaaar. Tapi kali ini dia senang melihat adiknya bisa santuy begitu. Itu artinya, situasi aneh ini tak dianggapnya sebagai beban yang membuat stres. *** Ketika kaki Febro menjejak lantai atas, langsung nampak olehnya pintu kamar Jody yang terbuka lebar. Juga terdengar bebunyian dari dalamnya. Hm, tumben. Biasanya, dari dia mulai datang sampai pulang, pintu itu selalu tertutup rapat. Bahkan sampai hidangan sarapan diantarkan April, dia tetap belum memperlihatkan diri. Tak ingin kepo, Febro melewati kamar itu. Dia langsung saja menyapu ruang duduk. Gerak cepat. Supaya segera selesai dan bisa lekas menyigkir dari sini. Sebab, entahlah ... rasanya dia masih saja tak bisa mengenyahkan perasaan malunya akibat tak bisa sesegera mungkin membayar utang. Dia jadi merasa seperti beda kasta. Uh, sebenarnya dia lebih suka membayar utang dengan cara menjual mobil Bapak saja, dari pada membayar dengan tenaga seperti ini. Secara psikis, dua cara ini menghasilkan efek yang berbeda. Tapi alasan emosional April dan Okta juga tak bisa begitu saja diabaikan. Maklum mereka masih belum bisa benar-benar lepas dari kesedihan akibat kematian Bapak-Mamah. Masih tak ingin kehilangan benda-benda peninggalannya. Mereka memerlukan kenang-kenangan. “Eh, eh ... kamu ... sini...!” Febro menoleh. Pada kusen pintu kamar, berdirilah Mr. Antagonis yang menjulang. Pakai celana pendek hitam dan kaus oblong hitam bergambar muka bajak laut. Rambut ikalnya berantakan dan area cambangnya lebih kelabu dari terakhir kali dia melihatnya. Sepertinya kulitnya juga lebih gelap. Apa dia baru pulang dari merampok kapal di Laut Cina Selatan? “Eh, eh ... kamu ... sapuin kamar ini....” Febro mendekat. Kemudian menjulurkan sebelah tangannya. “Apa kita belum kenalan, Mas? Namaku Febro. Ef-e-be-er-o. Febro. Bukan Eh. Ah, Eh...!” Jody mengernyit. Lalu menyambut tangan Febro dengan kepalan tangannya. “Oke, Broh, sapuin kamarku. Sapu. Es-a-pe-u. Bukan bakar.” Setelah mengatakan itu, Jody kembali masuk ke kamar, kemudian keluar lagi dengan menyeret kardus berisi buku-buku dan entah benda-benda apa lagi. “Kalau yang ini boleh dibakar...?” tanya Febro usil sambil menunjuk kardus. Jody mendengkus. “Kalau kamu berisik terus, nanti kamu yang aku bakar!” Febro mencibir. “Eittt, santuy, Bos! Bos majikan kok panas mulu bawaannya. Jomlo ya?” “Kamu cerewet bener kayak cewek!” Febro ngakak. “Kamu juga merepet terus kayak Bu Nengsih!” “Eh? Kualat kamu ngomongin orang tua! Udah, jangan kebanyakan orasi, cepet nyapu aja. Aku mau mandi. Selesai aku mandi, kamar ini harus udah rapi....” Jody pun melangkah menuju tangga. Meninggalkan Febro yang sebenarnya sangat ingin melanjutkan orasi pemberontakan. Sial. “Dasar perompak nanggung...!” sungut Febro sambil masuk kamar. Lalu ... ajegileee...! Febro ternganga. Dan melotot. Lalu mundur lagi keluar kamar untuk tengok kiri-kanan. Kemudian masuk kamar lagi. Serius ini masih di dunia yang sama? Ck ck ck. Febro geleng-geleng kepala. Takjub. Jadi, gaess ... kamar ini sangat berbeda dengan ruangan-ruangan lain di rumah ini. Kamar dengan style rustik ini ... bersih tak berdebu dan tak berantakan. Lantai dilapis parket kayu warna coklat muda, plafon yang mengikuti kemiringan atap itu juga terbuat dari susunan kayu berpelitur coklat tua, warna dindingnya yang putih menjadi background cantik bagi aneka furnitur kayu coklat tua. Lukisan dekoratif bentuk daun-daunan, seprai dan bed cover linen putih yang rapi, meja kerja dan rak buku yang tertata apik, serta alunan saxophone yang datang dari laptop yang terbuka di atas meja itu ... sungguh tak terbayangkan bisa hadir di rumah berperabot jadul tak terawat ini. Juga tak terbayangkan jika dikaitkan dengan Mr. Antagonis. Masih terheran-heran, Febro makin masuk ke dalam. Dia menghampiri meja dan mencolek permukaannya. Lalu dipelototinya ujung jarinya. Bersih. Yang mengotori lantai pun hanya serpihan sampah di bawah meja dan beberapa gumpalan kecil kertas, mungkin struk belanja atau ATM. “Kirain kamarnya kayak gua kelelawar, nggak tahunya keren begini. Nggak cocok banget sama orangnya....” Terakhir, dia mendekati jendela yang terbuka. Lalu melongokkan kepalanya keluar. Maka ... tampaklah dngan jelas dari sini ... area teras dan halaman belakang rumahnya. Juga terdengar suara srang-sreng dari dapur. Plus nyanyian April tentang rindu...! Ck ck ck, jadi dari kamarnya ini, Mr. Antagonis bisa dengan leluasa melihat dan mendengar aktifitas dari bagian belakang rumah sebelah. Haduh. Apa mahluk itu pernah melihatnya saat nongkrong mengajak ikan nila ngobrol soal kebokekan dan kesepiannya? Atau pernah melihat April sit up di teras dalam kostum alakadarnya alias mini? Atau melihat Okta sedang megal-megol tiktokan sambil pegangan tiang? Sial. Sial. Sial. Selama ini dia tak mengira jika ini adalah kamar tidur Jody. “Ehem! Kamu ngapain di situ?! Nyapunya udah belum?! Masih kotor gini...!” Febro gelagapan. Dia pun segera menarik tubuhnya menjauhi jendela dan balik badan. Di pintu kamar, Jody sudah berdiri sambil berkacak pinggang. Rambutnya basah. “Ah. Sorry....” Jody mendengkus. Terlihat tak sabar. “Cepat selesaikan.” “Oke.” Tapi Febro tak bisa segera menggerakkan sapunya. Sebab Jody masih saja berdiri di pintu. Kenapa dia tak cepat-cepat angkat kaki dari situ? “Kok masih bengong? Kamu tulalit apa lelet?” Febro mendengkus. “Aku juga mau cepetan nyapuuu, Bapak Bos Majikannn. Tapi ya kamunya jangan di situ atuh. Nanti kalau kesapu ... ngamuk...!” Jody berdecak sebal. “Ngeles aja! Cepetan nyapu! Habis ini ikut aku. Jaga toko!” Febro terbelalak. “Euleuuuhhh, Pak Bos kenapa kompeni banget?! Udah disuruh nyapu, masih juga disuruh jaga toko! Mana toko bangunan! Nanti sampai sana jangan-jangan aku disuruh manggul-manggul sak semen juga...!” “Pastinya....” Kemudian Jody balik badan dan menuruni tangga lagi. Mungkin mau sarapan hasil masakan April. Request-nya dia hari ini adalah nasi goreng udang. Cleguk. “Mimpi buruk beneran ini mah. Awas aja. Aku dorrr baru nyaho...!” Febro pun mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar. Juga melongok-longok ke laci meja dan kolong tempat tidur. Mencari pistol yang dulu pernah dilihatnya diacungkan Jody. Di mana si kompeni itu menyembunyikannya?! KERJA DI TOKO Karena belum tahu pasti lokasi toko bangunan Jody, jadi pagi ini Febro setuju ikut numpang mobil cowok itu. Daripada nyasar. Nanti untuk besok-besok, dia akan naik motor sendiri saja. Atau naik angkot. Lebih enak. Bebas. Sejak pertama duduk sebelahan di mobil ini, Febro sudah tak betah. Rasanya ingin melompat kabur dari jendela. Kenapa? Tentu saja karena sejak awal beriteraksi, mereka ini tak ada ramah-ramahnya. Gayanya seperti mau ngajak bentrok terus. Lah, lalu sekarang mereka kok bisa terjebak dalam kabin sempit ini berdua saja. Kan jadi canggung. Tapi tak lucu juga kan jika mereka diam-diaman terus sepanjang jalan? Meski basa-basi, sebaiknya harus ada percakapan. Mungkin dia bisa bertanya soal material apa saja yang dijual di tokonya, atau tentang daerah asalnya. Apa sajalah. “Sebenarnya kamu pernah kuliah di mana sih? Di Akmil atau Akpol?” tanya Jody tiba-tiba. “Desersi atau gimana...? Gara-gara maksa mau punya rambut kribo begitu ya?” Coba.... Baru juga berniat mengajak ngobrol secara baik-baik, tapi si tetangga sebelah ini sudah mengacaukannya. “Bukan, Mas. Aku lulusan Akgul....” Jody menoleh. “Akgul? Apaan tuh? Baru dengar. Kampus baru ya? Jangan-jangan akreditasinya masih Z dan belum tercatat di Ditjen Dikti....” “Akgul itu ... Akademi Gulat. Lulusannya dilatih untuk jago gulat menghadapi orang-orang resek kayak kamu....” Jody bengong sejenak. Lalu tergelak. Singkat saja. “Seram amat tetanggan sama kamu.” “Dan kamu nggak seram gitu? Nodongin pistol ilegal ke tetangga!” “Gimana sih? Katanya lulusan Akademi Gulat. Tapi sama pistol aja seram. Itu belajar gulatnya khusus untuk melawan ikan cupang atau anak ayam baru netas?” Febro mencebik. “Tauk ah. Males ngobrol sama orang yang nggak menganggap pistol sebagai benda berbahaya.” Jody pun bersiul. “Yang berbahaya itu bukan pinstolnya. Tapi aku-nya. Pistol sih benda mati. Nggak bakal bergerak kalau nggak diapa-apain. Jadi, aku kasih tahu, ya ... sebaiknya kamu hati-hati. Jangan coba-coba bikin aku pengen narik pelatuknya...!” “Ngancam...?” Mobil berhenti di lampu merah. Jadi Jody bisa menoleh dan memamerkan mukanya yang disetel bengis. “Ya. Aku ngancam. Kenapa? Takut?” “Nggaklah. Aku kan bisa balas. Aku bukan cewek agar-agar ... yang begitu diinjak langsung pasrah aja dibikin rata.” Jody menyeringai. “Kamu terlalu sombong untuk ukuran orang yang statusnya sedang bekerja padaku. Awas ya, di toko nanti, kalau kamu berani-berani judes dan songong pada pembeli, kamu aku denda. Masa bekerja diperpanjang.” Febro melengos, menghadap jendela. Memandangi cewek pengendara motor di samping yang sedang mengangkut puluhan bungkus kerupuk yang digantungkan di mana-mana di sekujur tubuh motornya. Ah, dia pun mendadak merasa senasib. Bahwa dunia ini tak mudah untuk ditaklukan. *** Toko bangunan Jody bukanlah toko besar dan kokoh dengan model baru. Tapi hanya toko satu lantai selebar delapan meter yang kelihatannya dibangun tahun delapanpuluhan dan terjepit di antara dua deret ruko bertingkat bergaya modern. Namun, sudah memiliki toko butut di kawasan cukup ramai ini tetap saja hebat untuk ukuran anak muda tigapuluhan (Eh, berapa sih umurnya? Entahlah. Tapi pastinya belum empatpuluhlah). Jika dijual, nilai tokonya ini bisa milyaran. “Kamu jaga di sini aja. Layani pembeli. Kalau mau tahu ketersediaan barang dan harganya, kamu bisa cek di laptop...,” ucap Jody sambil menepuk meja kayu dengan laptop hitam buluk di atasnya. “Kalau ada yang nggak ngerti, bisa tanya Dudung, Pepen, atau aku.” Kemudian Jody membuka laptop besar yang mungkin diproduksi pada zaman Dinosaurus itu, lalu klik-klik, dan memperlihatkannya pada Febro. “Pelajari dulu, biar nggak cengo kalau ditanya pembeli....” “Anak buah cengo biasanya berasal dari bos yang cengo juga...,” balas Febro setengah bergumam. Tapi Jody mendengar gumaman itu. Kemudian dia mengambil sebatang kawat pendek yang tergeletak di meja, menyambar telapak tangan Febro, dan manaruh kawat itu di atasnya. “Jawab melulu kalau dikasih tahu. Nih, ikat rambut kribomu. Biar otak dan omonganmu rapi dikit, nggak kusut ruwet kayak rambutmu...!” Setelah mengatakan itu, Jody berlalu, menuju meja lain yang terletak di sudut belakang toko. Meninggalkan Febro yang kesal memandangi batang kawat di tangannya. Sebenarnya Febro sudah ingin membalas lagi (stok ocehannya masih banyak kalau pagi begini), tapi kedatangan seorang pembeli—dengan kostum tukang bangunan yang siap mendirikan maha karya—menghentikan niatnya. “Jang, besi cor 16 ada? 50 batang aja dulu. Sama besi 8-nya 30 batang....” Febro kontan melotot. Lalu memandangi dirinya sendiri. Dia memang memakai kaus oblong warna navy bergambar tengkorak, celana jeans biru pudar, dan sneaker merah kusam. Tapi masa iya pembeli ini tak bisa melihat tonjolan di dadanya? Ah, tapi ini bukan hal baru sebenarnya. Sebelum ini banyak juga yang mengiranya sebagai cowok pada pandangan pertama. Lalu dengan enteng memanggilnya “Bang”, “Kang”, “Om”, atau “Mas”. Dan sekarang “Jang”. Ujang. Itu panggilan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Sunda. Meski sebal, Febro malas mengajak ribut. Apalagi ada Bos Kompeni di pojokan. Bisa kena denda dia. Huh, tak sudi! “Bentar ya, Mang. Dicek dulu...,” jawab Febro sambil berjalan menuju balik meja. Dia pun memperhatikan layar laptop. Si pembeli terlihat terperanjat. “Euleuh, suaranya cewek. Kirain cowok....” Febro mengibaskan tangannya. “Cowok apa cewek nggak penting, Mang. Yang penting masih hidup apa nggak....” “Hehehe, leres[1], Neng....” “Besi cor polos apa ulir, Mang?” tanya Febro sambil menggulir mouse. “Polos aja atuh. Hemat. Menurut pengalaman Mamang mah, mau polos atau ulir teh nggak ada bedanya. Tahan juga. Kuat.” Harga besi ulir memang lebih mahal dari besi polos. Lumayan kan, selisihnya bisa untuk beli paku atau apalah. “Nggak salah sih, Mang.” “Kecuali sengaja digerudug alat berat sama istri tua ... pastilah roboh.” Hadeeeh. Melihat gelagat Si Pembeli ini mau ngajak ngobrol, Febro segera fokus pada layar laptop lagi. Lalu mendongak. “Besi 16 limapuluh batang dan besi 8 tigapuluh batang. Ada lagi, Mang...?” “Bendrat[2]-lah tiga gulung sama kateha[3] empat biji ... buat mengikat hati Si Eneng. Eneng udah lama kerja di sini? Kayak baru lihat. Rumahnya di mana? Tetangganya Koswara si jawara Cicadas bukan?” Febro menahan diri untuk tidak mendengkus. “Saya tetanggaan sama segala jawara, preman, pendekar, pejuang, dan penjahat kambuhan. Jadi supaya Mamang selamat, sok atuh ... beli apa lagi selain besi, bendrat, dan kateha? Semen ya 40 sak? Sama papan mal 100 lembar dan paku 10 kilo...? Soalnya kalo belinya cuma sedikit, keamanan nggak ditanggung, Mang....” Si Pembeli langsung manyun. Selera menggodanya langsung menguap begitu disadarinya Febro bukan sejenis cewek yang mudah digoda. Kemudian dia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko, hingga akhirnya melihat sosok Jody di pojokan. Saat itu Jody juga sedang memperhatikannya. “Eh, Bos ... ini pegawai baru mau permanen kerja di sini? Memangnya pegawai lama ... si Hasan tea ... ke mana?” Jody mendekat. Dari tempatnya duduk tadi, dia bisa mendengarkan percakapan keduanya. “Hasan pulang kampung, Mang. Ke Cianjur. Disuruh garap sawah sama bapaknya,” jawab Jody. “Gantinya ya dia ini. Jawara dari Buahbatu. Hati-hati, Maaang...!” Jody tertawa. Si Pembeli ikut-ikutan tertawa. “Waaah, kirain ganti pegawai bisa ganti cuaca. Nggak tahunya lebih berbahaya dari si Hasan. Nawarin dagangannya pakai ngancam.” Jody terkekeh. “Maaf, Mang. Dia bercandanya memang gitu. Jangan diambil hati....” Si Pembeli mengangguk-angguk, tapi matanya sangsi. “Ya udah, hitungkeun ajalah yang tadi. Besi, bendrat, kateha. Diantar ya ke Gang Geulis nomor 17, persis di sebelah kos-kosan “Dilarang Parkir”. Ada papan namanya. Gampang dicari. Pagi ini ya, Bos. Mau dikerjain....” “Siap, Mang. Tapi, itu Dilarang Parkir ... nama kos-kosan?” “Teu teuing. Pokona mah di pagarnya digantungin papan yang tulisannya begitu.” Jody tergelak. “Oke, oke. Siap, Mang. Nanti saya sendiri yang ngantar....” Febro segera membuat nota pembelian dan menghitung total harganya dengan serius. Klik-klik. Sret-sret. Kemudian diserahkan kepada Jody untuk diperiksa, yang selanjutnya dioper kepada Si Pembeli. Setelah urusan pembayaran dengan Si Pembeli beres dan dia sudah pergi, Jody langsung menghadap Febro. Gelak tawanya sudah tak bersisa. Hanya muka bengislah yang tertinggal. “Karena kamu sudah judes menghadapi pembeli, kamu kena denda.” *** Toko cukup ramai. Mungkin karena efek pandemi covid 19 sudah mulai bisa disiasati. Pembangunan rumah, ruko, atau apalah ... mulai berjalan lagi. Ada yang membeli puluhan batang besi cor, satu pick up semen, ada juga yang sekadar membeli kuas cat atau kape[4]. “Waktunya istirahat. Kamu bisa ikut makan siang bareng aku. Ada warung Padang di ruko sebelah...,” kata Jody pada Febro yang sedang membungkuk merapikan boks-boks berisi segala engsel dan kunci selot di etalase. Febro mendongak dan menegakkan tubuhnya. “Wah, aku udah janjian sama Dudung. Mau makan di warteg ijo. Katanya oreknya[5] sedap banget....” “Sekarang...?” “Iya. Cacing dalam perut udah angkat senjata dari tadi. Dudung juga udah kelojotan kelaparan di atas tumpukan semen....” “Hm. Oke. Kalian makanlah dulu. Gantian jaga toko. Jangan sengaja lama-lama ngunyahnya, apalagi jalan-jalan dulu lihat barang diskonan.” “Tergantung nantilah, Bos. Aku sih nggak janji bisa cepat balik sini lagi...,” jawab Febro asal-asalan. Dia masih kesal karena kena denda tadi pagi. “Terserah aja. Tapi ingat, kinerjamu mempengaruhi upahmu.” Febro pun tersentak. “Lho? Jadi ada upahnya nih? Bukan kerja rodi kayak kerja di rumah?” Jody mendengkus. “Ada upahnya kalau kamu kerjanya bener.” YESS. Febro menarik kepalan tangannya kuat-kuat. “Beres itu mah, Bos. Aku nggak masalah manggul semen, ngangkut besi, nimbang paku, jadi supir, apa aja. Yang penting ada duitnya.” “Mata duitan....” “Cuma orang setrip yang nggak mata duitan. Yasud, Bos, aku makan dulu. Silakan jaga toko, jangan sampai ada yang nggondol ini toko. Susah nyari gantinya nanti. Antik gini....” Kemudian Febro pun menyudahi kemesraannya bersama boks-boks engsel. Siap-siap angkat kaki keluar toko. Makan di warteg bersama Dudung atau Pepen pasti lebih menyenangkan daripada dekat-dekat Pak Bos satu ini. “Eh, Jang! Nanti pulangnya sendiri, ya. Aku mau ada urusan dari siang sampai malam...!” seru Jody. Febro menghentikan langkahnya. Lalu menoleh. Si Bos beneran ngajak ribut. Seenaknya memanggilnya “Jang”. Untung dia sedang lapar, kekurangan energi. Jadi kali ini Si Bos selamat dari amukannya. “Kamu nggak harus laporan sama anak buah, Bos. Silakan mau pulang jam berapa aja! Nggak ada urusannya sama aku!” Febro melanjutkan langkahnya. Di belakangnya, Jody memperhatikan kepergiannya dengan setengah mendongkol. Cewek itu sepertinya memang punya kelainan. Tak ada sopan santunnya terhadap Bos. Untung saja dia sedang perlu orang untuk jaga toko. Jika tidak, malas benar melihat mahluk aneh itu berkeliaran di dalam tokonya. Bikin emosi saja. Lihat saja. Sekarang dia sedang pasang kuda-kuda ... pura-pura ngajak Dudung berkelahi. Dan Dudung sama gilanya. Pemuda dengan leher berkalungkan handuk kecil yang warna aslinya sudah tak jelas dan berpakaian dekil akibat terkena debu semen dan entah apa lagi itu juga meladeni kekonyolan Febro. Mereka berdua saling pasang kuda-kuda. Dasar sarap. Serius mahluk itu cewek tulen? Kok beda sekali dengan kakak dan adiknya yang bisa bersikap kalem.... [1] Benar [2] Kawat untuk mengikat besi balok dan sengkang pada pengerjaan pembuatan tiang kolom [3] Alat bantu untuk memudahkan pengikatan bendrat [4] Pisau dempul/scraper. [5] Oseng tempe. GANGGUAN PERTAMA Sudah satu bulan ini Febro jaga toko Jody setiap hari, setelah beres membantu Okta membersihkan rumahnya. Kerjanya di toko itu serabutan. Kadang jaga etalase, kadang jadi kasir, kadang jadi supir pick up untuk mengantar material, kadang jadi konsultan bagi pembeli yang bertanya apa saja, kadang juga jadi jin penunggu toko alias tidur meringkuk di atas tumpukan sak semen yang dialasi terpal (meniru kelakuan Dudung saat toko sepi pembeli). Dari dulu Febro memang sudah tomboy. Setelah bekerja di toko bangunan, ketomboyannya makin menjadi. Setiap hari bergaul dengan pekerja toko Dudung dan Pepen, serta para tukang bangunan langganan, membuat Febro jadi mirip mereka. Tak ada manis-manisnya. Cenderung liar. Sekarang, Febro sudah tidak terlalu terpaksa lagi kerja di toko Jody. Sebab seperti yang pernah dikatakan Pak Bos, dia mendapatkan upah di sini. Bukan kerja rodi. Lumayanlah, ada pemasukan selama dia belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan pendidikannya. “Bro, pulang bareng aku...!” peritah Jody ketika dilihatnya Febro sedang nongkrong menunggu angkot bersama Pepen dan Dudung di pinggir jalan depan toko. Febro menoleh. Jody melambai dari jendela mobil jeep-nya. Febro berdiri dan mendekat. “Aku nggak langsung pulang. Mau main ke rumah teman dulu.” “Kamu masih punya tenaga buat main...? Lagian mau main ke rumah teman ... dekil begitu...,” ucap Jody sambil memperhatikan penampilan Febro dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Febro terlihat berdebu. Hanya maskernya yang tampak bersih. “Ya nanti aku numpang mandi di rumah temanku itu. Biasa kok.” “Ohh, temanmu yang pernah nyamperin ke sini itu...? Yang skinny...?” “Namanya Jiwo, Mas.” “Hm. Jadi kamu biasa mandi di rumah cowok...?” Febro menjuling-julingkan bola matanya. “Apa penting buat dibahas? Kan kamu sering bilang kalau aku ini nggak jelas. Cewek bukan, cowok juga bukan. Mahluk jadi-jadianlah, inilah, itulah. Jadi ngapain ngeribetin urusan jenis kelamin? Udah ah, silakan pulang duluan aja.” Jody mendengkus. “Okelah.” Tanpa berkata-kata lagi Jody pun melajukan mobilnya, meninggalkan area toko. Dia tidak mengajak Dudung dan Pepen pulang bareng karena rumah mereka berlawanan arah. “Kamu mah aneh. Diajakin pulang bareng Bos malah nolak. Kan lumayan ngirit ongkos...,” komentar Pepen, satu-satunya di antara mereka yang sudah berkeluarga. Febro terkekeh. “Males semobil sama Bos galak.” “Halahhh, kamu kan galak juga. Apa bedanya...?!” “Bedalah. Dia Bos, aku rakjel[1]. Selamanya rakjel selalu dianggap salah.” Pepen mencibir. “Eeeeh, hati-hati. Sekarang sebel, ujung-ujungnya cintaaa...!” “Dihh, malesin! Udah ah, duluannn...!” seru Febro sambil melambai pada angkot yang lewat. Angkot menepi. Sebelum angkot itu benar-benar berhenti, Febro sudah melompat naik. Setelah duduk, dia masih sempat dadah-dadah pada Dudung dan Pepen. Angkot pun melaju lambat. Maklum, sore-sore begini, ruas jalan ini lebih ramai dari siang hari. Kemudian, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba saja Febro merasa sendirian. Kesepian. Hampa. Ini aneh, mengingat di dalam angkot ini ada juga beberapa penumpang lain. *** Febro tak jadi main ke tempat Jiwo. Di tengah jalan tadi dia berubah pikiran. Dia ingin pulang saja. Badan rasanya remuk. Mau mandi, cuci rambut, selonjor, makan, nonton televisi, atau ngobrol remeh-temeh dengan April dan Okta. Sepertinya enak juga bermalas-malasan di rumah. Sebelum memasuki halaman rumah, Febro sempat melirik rumah sebelah. Jeep Jody sudah terparkir di carport. Lampu ruang tamunya hidup dan pintunya terbuka. Sepertinya sedang ada tamu. Febro meneruskan langkah. Bergegas. Dia sudah tak sabar ingin mandi. Supaya badan dan rambut kribonya enteng. Setelah itu, pasti semuanya jadi bisa lebih menyenangkan dan menenangkan. Setelah mencuci tangan dari keran air dekat carport, Febro masuk rumah lewat pintu samping. Dari situ langsung terpampanglah pemandangan ruang keluarga. Di ruang itu bukan hanya ada April dan Okta. Tapi ... ada juga Om Fariz. Febro mengernyit. Tumben. Sebab berbeda dengan Pakdhe Halim, Om Fariz ini paling malas berkunjung. Dulu, ketika Eyang masih hidup pun, Om Fariz hanya kumpul keluarga di Yogya saat lebaran saja, itu juga kadang absen. “Assalamualaikum...,” salam Febro. “Waalaikusalam...,” jawab Om Fariz, April dan Okta tak kompak. Febro langsung mendekat dan menyalami Om Fariz. Dia tak menutupi ketakjubannya melihat kehadiran sang paman di sini. Ah, apakah kematian Bapak-Mamah telah membuatnya tergerak dan tersadar bahwa dia memiliki keponakan permpuan yang perlu diperhatikan dan dilindungi? Semoga saja begitu. Sebab setelah dua bulan lebih kepergian Bapak-Mamah, mereka masih saja bagai anak ayam kehilangan induknya. Kelabakan tak tentu arah. Apalagi dalam keadaan tak berduit begini. “Kapan datang, Om...?” tanya Febro, agak terharu. “Tadi sore...,” jawab Om Fariz sambil memperhatikan penampilan Febro. “Kamu kerja di kantor apa sih kok lethek[2] begini?” Febro meringis. “Bukan kantor, Om. Tapi toko bangunan. Lumayanlah daripada nganggur.” Om Fariz geleng-geleng kepala. “Capek-capek sekolah Teknik Sipil, mati-matian belajar fisika dan matematika ... kok nyangkutnya di toko bangunan? Gengsi dong.” Rasa haru yang tadi sempat mampir di hati Febro, kontan menguap lagi. Dia tak suka mendengar nada bicara Om Fariz. Itu bukan nada bercanda, tapi memang sedang mengejek. “Yaaa, namanya juga lagi musim pandemi gini, Om. Semuanya berantakan. Kita jadi nggak bisa terlalu pilih-pilih. Kerja apa aja okelah, yang penting bisa buat makan. Yang penting halal...,” jawab Febro berusaha tetap sopan. “Memang betul ... kerja apa aja boleh. Tapi ya jangan di toko bangunan jugalah. Lihat tuh, gaya kamu udah kayak tukang bangunan aja. Gimana mau cepat dapat suami kalau begini...?” Febro menghembuskan napas putus asa. Bukan putus asa karena dia belum punya suami, tapi karena capeeek punya paman model begini. Bukannya memberi support, malah menjatuhkan mental. Toxic amat. April yang duduk tak jauh dari Febro menepuk-nepuk pundak gadis itu. Dia juga tak suka mendengarkan perkataan Om Fariz. Febro sudah mengusahakan banyak hal agar keluarga tanpa nakhoda ini bisa tetap berdiri. Febro tak pernah membiarkannya berjuang sendirian. “Kamu mandi aja dulu, Bro, biar segar. Lalu kita makan sama-sama. Ngobrolnya dilanjut nanti lagi....” “Thanks, Teh.” Febro pun bangkit. Meninggalkan Om Fariz yang sepertinya belum rela membebaskannya dari ceramah, petuah, atau apa pun untuk menyadarkannya. “Aku masakin air buat mandi ya, Teh...?! Udah kemalaman nih buat mandi air dingin...!” seru Okta sambil menyusul Febro. Febro meringis. Dia tahu, siapa yang benar-benar menyayanginya secara apa adanya di sini sekarang. Hanya April dan Okta. Saudara sedarah, serahim, se-DNA, dan sepersusuan. *** Febro, April, Okta, dan Om Fariz sudah duduk mengelilingi meja makan. Siap makan malam. Makan malam dengan menu sederhana : nasi hangat, telur dadar, sayur bayam, sambal bawang, dan kerupuk. “Silakan, Om. Maaf seadanya...,” ucap April. Om Fariz mengangguk-angguk. “Kalian makan begini setiap hari?” April tertegun. Lalu saling pandang dengan Febro dan Okta. Suasana tak nyaman pun muncul lagi. “Semua ini udah memenuhi standar gizi dari WHO, Om...,” jawab Febro. “Lagian ini April yang masak lho. Dia udah setara chef hotel bintang lima, Om. Sedap banget masakannya. Cobain dulu....” Om Fariz tertawa. “Iyain ajalah. Kalau lagi lapar sih, nasi kuah air putih aja udah enak....” April menunduk. Okta manyun. Febro mendengkus. “Kalau Om nggak pengen makan ... ya nggak papa sih. Jangan dipaksa. Nanti malah mules-mules,” ucap Febro sambil mengambil nasi. “Kalau aku sih ... rugi bangeeet kalau nggak ngabisin masakannya April. Nyesalnya bisa sampai kebawa mimpi.” Di bawah meja, April menendang kaki Febro. Dia paham Febro kesal pada Om Fariz. Sama, dia juga. Tapi tak usahlah menciptakan konfrontasi. Bagaimanapun, mereka harus menghargai usaha Om Fariz yang telah mau jauh-jauh menengok mereka. “Makanlah, Om. Sedikit juga nggak apa...,” bujuk April. Ternyata tak perlu membujuk dengan seratus kalimat rayuan. Sebab tak sampai sepuluh detik, Om Fariz sudah meraih centong nasi. Lalu mengambil telur, sayur, sambal, dan kerupuk. Tak lama, dia sudah nyam-nyam. Lahap. Lalu nambah. Dih.... Di bawah meja, kaki Febro, April, dan Okta saling senggol. Malesin amat punya Om model begini. Kenapa bisa berbeda sendiri dibanding Bapak dan Pakdhe Halim? Setelah selesai makan dan Okta sudah membawa tumpukan piring kotor ke dapur untuk dicuci, Om Fariz bicara lagi. Nadanya serius. “Oh ya, maksud Om datang ke sini ... mau membicarakan masalah penting dengan kalian. Jadi gini, sesuai dengan ketentuan hukum waris, jika seorang lelaki nggak memiliki keturunan laki-laki ... maka harta miliknya itu akan diwariskan juga kepada saudara-saudara lelakinya. Dalam hal ini Om dan Pakdhe Halim. Maka, selain kalian, Om juga punya hak atas harta peninggalan Bapak kalian....” Febro dan April bengong. Otak tak langsung bisa mencerna kata-kata Om Fariz. Apa sih maksudnya? “Om tahu Bapak kalian punya banyak aset. Ada rumah ini, tanah di mana-mana, mobil, tabungan di bank yang jumlahnya milyaran, emas batangan entah berapa kilo, dan nggak tahu apa lagi. Om meminta hak Om pada kalian. Maaf ya, Om bukannya jahat. Om hanya mengikuti ketentuan tata waris aja. Supaya kalian nggak kena dosa karena zalim pada orang-orang yang berhak. Sebab kalian tahu sendirilah, sekarang keadaan Om sedang jatuh. Di-PHK. Belum lama mencoba bisnis, eh malah kena tipu dan terjerat utang. Jadi Om sangat butuh hak Om itu....” Febro dan April makin bengong. Mulut dan mata keduanya kompak membulat sempurna. Mereka tahu keadaan ekonomi Om Fariz sedang ruwet. Tapi ... apa iya Bapak dan Mamah memiliki uang milyaran dan emas batangan berkilo-kilo? Di mana menyimpannya? Di gentong beras? Atau dikubur di bawah pohon jambu? Kalau memang ada, hayuklah kita gali bersama-sama lalu berpesta pora! “Jangan pura-pura bodoh begitu. Om yakin kalian paham....” Febro tertawa sinis. “Ya. Kami paham. Bahwa Om itu kelewatan halu-nya!” Om Fariz pun menggeram. Matanya berkilat marah. Tangannya terkepal. Dan urat-urat bertonjolan di lehernya. [1] Rakyat jelata [2] Kotor, dekil SERANGAN Ternyata Om Fariz kukuh dengan dugaannya sendiri bahwa Bapak-Mamah memiliki banyak harta. Uang milyaran, emas kiloan, tanah hektaran, dan banyak lagi. Dia tak percaya ketika diberi tahu bahwa jumlah saldo tabungan Bapak-Mamah tak sampai seratus juta, itu pun entah kapan bisa dicairkan. Halooo, mereka kan bukan miliarder atau konglomerat. Mereka hanya dosen non struktural, dengan jam mengajar tak terlalu padat. Mereka juga bukan terlahir dari kakek-nenek yang kaya raya. Bukankah Om Fariz tahu sendiri? Bapak-Mamah juga tak mungkin menimbun emas batangan atau perhiasan sampai berkilo-kilo gram. Memangnya emas bisa dibeli pakai daun jambu? Mamah pun bukan jenis perempuan yang suka memakai perhiasan. Dari pada jajan perhiasan, beliau lebih suka jajan buku atau jajan tiket pesawat menuju pelosok negeri untuk mencari prasasti, monumen, relief, atau kitab kuno. Apakah Bapak tidak memiliki simpanan? Ada juga, tapi tak banyak. Hanya sebidang tanah kebun , sedikit saldo tabungan, dan benda-benda yang mereka pakai sehari-hari seperti rumah, mobil, dan motor saja. Hanya itu. “Nggak mungkin Bapak kalian nggak punya apa-apa. Sekolah aja sampai Belanda...,” ucap Om Fariz kesal. Febro garuk-garuk kepala. Gemas campur keki. Bapak memang pernah lanjut studi S-3 Arkeologi di University of Groningen. Tapi itu kan program beasiswa. Bahkan untuk nambah-nambah pemasukan, di sana Bapak bekerja sebagai pramusaji paruh waktu di restoran. Dan di Indonesia, kala itu Mamah harus kerja keras mengurus tiga anak sendirian, jadi dosen tidak tetap sambil nulis-nulis artikel untuk koran dan majalah ... yang hasilnya tak seberapa. “Om, jika ukurannya harta, Bapak dan Mamah bukan orang kaya raya. Bapak nggak menginvestasikan duitnya buat beli emas, saham, atau rumah dan tanah di mana-mana, yang nilainya bisa berlipat-lipat sekarang. Penghasilan Bapak-Mamah banyak habis untuk pendidikan kami, urusan penelitian dan ekspedisi ke situs-situs arkeologi. Untuk hidup sehari-hari, kami biasa-biasa aja. Lagian, mereka cuma dosen biasa. Bukan rektor, bukan dekan....” Om Fariz berdecak. “Lalu apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau nggak jadi apa-apa? Aneh dan nggak mungkin.” Kesabaran April sudah habis, tapi dia tak berani bicara keras. Yang dilakukannya hanya menghela napas dengan susah payah, duduk gelisah, sambil memandang Om Fariz tanpa daya. Okta yang belum terlalu paham persoalan, lebih banyak jadi pendengar. Tapi Febro bukan April atau Okta. Dia bukan cewek yang bisa dengan mudah memendam emosinya. Kata Mamah dulu, dia sudah biasa spontan sejak baru lahir. Waktu bayi, dia sudah bisa menjerit marah sambil nendang-nendang saat mau ditaruh di ayunan, bisa langsung tertawa tergelak-gelak saat melihat kucing melompat menangkap kupu-kupu yang bertengger di tirai, atau menangis histeris ketika didekati orang lain yang auranya negatif. “Om ngomongnya kayak orang yang nggak pernah kuliah aja. Masa nggak tahu kalau dosen itu memang dituntut sekolah tinggi? Mana ada kampus yang ngebiarin dosennya cuma lulusan S-1 atau S-2? Jadi sekolah tinggi itu bukan karena kelebihan duit, Om. Tapi keharusan. Om aneh deh!” ujar Febro dengan suara naik satu oktaf. “Bisa-bisanya mau ngakalin ponakan sendiri. Bukannya bantuin ngatasin persoalan, malah mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kalo licik jangan kebangetan, Om...!” Om Fariz tersentak. Tak menduga keponakannya yang masih bau kencur ini berani mengata-ngatainya seperti itu. Benar-benar tak tahu adab. Percuma orang tuanya berpendidikan tinggi dan mengajar di universitas jika tak bisa mendidik dan mengajar anak sendiri. “Justru kelakuan kamu yang aneh. Kayak orang nggak pernah sekolah. Nggak punya etika. Mulutmu bar-bar...!” seru Om Fariz. “Lhaaa, gimana sih, Om? Yang bar-bar bukannya Om sendiri? Kan Om yang ujug-ujug datang, ngomongin harta yang mengada-ada, dan nuntut warisan? Boro-boro mau ngasih duit, malah mau morotin...!” Refleks, April berdiri. Dipandangnya sang paman dan si adik dengan mata memohon. Sebagai anak tertua, dia berusaha meredam kemarahan dan menengahi keduanya. Jika dibiarkan, mereka berdua bisa baku maki bahkan baku hantam. Sebab jika merasa benar, Febro itu tak ada takutnya. Dia pernah beberapa kali berkelahi dengan cowok gara-gara dilecehkan atau dibully. “Ya ampuuun, tolong dong ... jangan berantem. Jangan nge-gas. Malu kan kalau sampai didengar tetangga kita ribut urusan harta warisan? Bapak-Mamah belum lama meninggal lho, tapi masa kita udah kayak gini...,” ucap April setengah panik. Okta pun memeluk Febro. Kedua lengannya melingkari perut kakaknya. Seolah takut gadis kribo itu akan bangkit dan menerjang Om Fariz. Om Fariz mendengkus. Matanya yang berapi saat memandang Febro, tampak mulai meredup ketika melihat April. Mungkin April yang kalem, lembut, dan baik hati ini lebih bisa diajak bicara dari pada adiknya. “Om juga nggak suka ribut, Pril. Om juga maunya ngomong baik-baik. Tapi kelakuan adikmu sungguh keterlaluan. Bikin emosi aja.” “Iya, Om, Iya...,” sahut April. April duduk kembali. Dia pun memandang Febro dengan mata menenangkan. Tapi Febro membalasnya dengan kernyitan di dahi dan mulut mengkerut. “Pembicaraan ini akan cepat selesai kalau kalian nggak ribet. Kalian pikir Om nggak malu berisik soal ginian?” April terlihat berusaha mengatur napasnya dengan baik. Sungguh, dia sebenarnya tak tahu harus bagaimana menghadapi tuntutan Om Fariz ini. Tapi sementara ini dia hanya ingin mengendalikan situasi agar tak makin runyam. “Maaf ya, Om. Tadi kami memang kaget karena tiba-tiba dituntut soal pembagian warisan atas harta-harta yang sebenarnya nggak Bapak-Mamah miliki. Kalau misalnya semua itu betulan ada, tentu kami bisa bernapas lega. Nggak pusing kayak sekarang karena belum bisa bayar utang biaya pengiriman kargo jenazah Bapak-Mamah akibat klaim tabungan masih belum cair juga. Untung tetangga sebelah mau mengganti utang uang itu dengan tenaga....” “Ganti tenaga gimana...?” tanya Om Fariz. April pun menceritakan kesepakatan antara mereka dengan rumah sebelah. Tapi Om Fariz gagal paham. Dia menganggap para ponakannya ini hanya banyak alasan alias pelit. “Ceritamu nggak masuk akal. Kayak sinteron aja...,” ucap Om Fariz tak sabar. “Aku nggak tahu harus gimana lagi supaya Om percaya...,” sahut April, mulai terlihat tak sabar juga. Febro berdecak. “Udahlah, Pril, nggak usah diladenin. Percuma. Kita ngotot sampai urat leher putus juga nggak ada gunanya. Soalnya dia pikir kita ini sama aja kayak dia ... suka ngeles, sering bohong, pelit. Jadi nggak bakalan percaya....” Om Fariz membelalak. Lalu bangkit dengan gerakan tiba-tiba. Seperti siap hendak menghajar Febro. “Om! Jangan...!” jerit April otomatis. Okta berdiri dan menarik tangan Febro agar menjauh. “Lari, Bro!” Febro tersentak. Kaget. Om Fariz mau apa? Menghajarnya? Sial. Sengaco-ngaconya dia, tak pernah terlintas akan adu fisik dengan paman sendiri. Tapi kalau Om Fariz memang sengaja ngajak duel, kenapa tidak? Lu jual, gue beli! Febro pun melompat menjauh dari sofa tempatnya duduk, lalu berdiri di tengah ruangan yang cukup lapang. Pasang kuda-kuda. “Mau ngehajar, Om?! Ayolah...!” seru Febro sambil menggerak-gerakkan jarinya sebagai kode untuk maju. Dan Om Fariz benar-benar maju. Dia menghambur ke arah Febro dengan kedua tangan terkepal, mata mendelik marah, dan wajah kaku mengerikan. April dan Okta sudah menjerit-jerit saja. Kelabakan, tegang, dan panik. “Om! Ya Allah, Om! Jangan!” pekik April sambil menarik ujung kemeja Om Fariz. “Lari, Brooo! Bisa remuk kamu...!” teriak Okta sambil mendorong tubuh Febro sekuat tenaga menuju pintu terdekat yang terbuka, yaitu pintu teras belakang. Tumben-tumbenan tenaga Okta sangat kuat. Mungkin begitulah kita jika sedang terancam campur panik. Tenaga mendadak bisa berlipat ganda. Maka tubuh Febro pun terdorong menjauhi Om Fariz yang sedang dihalangi-halangi April. Okta terus mendorong. Kuat. Tak berhenti. Sampai keluar ke teras belakang. “Loncat pagar! Kabur!” pekik Okta. Tapi Febro memaku kakinya di lantai teras dan balik badan. Kemudian menyingkirkan tubuh Okta ke balik punggungnya. Dia memilih menyambut terjangan Om Fariz. Tak peduli Om-nya adalah seorang lelaki yang memiliki tubuh tinggi besar, atletis, dan berotot karena dulu rajin fitness. Sebab ini persoalan kelanjutan hidup dan membela keluarga. Febro pasang kuda-kuda lagi. Om Fariz yang dengan mudah membebaskan diri dari pegangan April, langsung menghambur keluar. “Om! Tolooong...!” jerit April, lintang pukang berusaha menyambar tubuh Om Fariz. “Bro...!” lolong Okta. Om Fariz melayangkan kepalan tinjunya ke arah Febro. Febro masih sempat berkelit. Tinju itu mengenai bahu Febro. Memang hanya bahu, tapi sukses membuat Febro nyaris jatuh terjengkang. Badan dan tenaga Om Fariz tentu saja bukan tandingan Febro. Om Faris siap melayangkan pukulan kedua. “Kamu memang harus dihajar sopan santun!” raung Om Fariz. Pukulan pun melayang. Syuuuuttt. Jebb. Tapi, pukulan itu tak mendarat di kepala atau dada Febro. Melainkan tersangkut pada cekalan tangan ... Jody. Om Fariz terbelalak dan marah mengetahui ada yang menyabot serangannya. Dihentakkan tangannya agar terlepas dari cekalan. Tapi cekalan Jody lebih kuat. “Malu, Pak, duel dengan perempuan...!” ucap Jody dingin. “Brengsek! Siapa kamu ikut campur...?!” sembur Om Fariz. Om Fariz benar-benar marah. Dia tak suka ada orang lain tiba-tiba bisa muncul di sini. Maka kini dia mengganti sasaran. Dia siap menghajar si penyusup. Namun.... “Lanjut aja, Pak! Kalau mau rame dihakimi orang sekomplek!” seru sebuah suara lain. Suara nyaring tak dikenal. Om Fariz menoleh cepat. Begitu pun dengan April, Okta, dan Febro. Dan di sana ... di atas pagar tembok yang membatasi rumah ini dengan rumah Jody, bertenggerlah sesosok laki-laki berkumis dan berberewok lebat. Sebelah tangannya mengacungkan pistol hitam ke arah Om Fariz! LAGI-LAGI JODY Om Fariz sudah duduk kembali di sofa di ruang keluarga. Diapit Jody dan temannya yang berewokan itu. Meski kemarahan masih tercetak pada wajahnya, tapi dia sudah tak berontak. Duduk diam saja. Sedangkan Febro, April, dan Okta berkumpul di meja makan. Mereka sedang video call dengan Pakdhe Halim. Menceritakan kejadian barusan. Sempat pula menyorot posisi Om Fariz. Pakdhe Halim yang bijak (meski istrinya sering jutek) pasti memiliki solusi yang baik bagaimana cara menanggapi permintaan Om Fariz. “Rusuh si Fariz. Biar nanti besok pagi Pakdhe ke Bandung saja.” “Pakdhe nggak ngajar?” tanya Okta. “Nanti anak-anak dikasih tugas ajalah. Kan lagi darurat.” “Makasih, Pakdhe.” “Iya, iya. Ya sudah, sekarang Pakdhe mau nelpon Om Fariz dulu ya....” Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Pakdhe Halim, ketiga gadis itu kompak menghembuskan napas kuat-kuat. Mereka merasa sedikit lega karena Pakdhe Halim berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan ini. Mereka akan duduk bersama besok. Berembug. Mencari jalan terbaik. “Lalu ...... HATI TAK TAHU DIRI Semalam setelah menguping ocehan Om Fariz—yang entah fakta, entah hoax—Febro jadi tak bisa tidur nyenyak. Tanpa bisa dicegah, pikirannya jadi melantur ke mana-mana. Menduga-duga. Berandai-andai. Macam-macam. Akibatnya, menjelang dini hari barulah dia bisa memejamkan mata. Namun pagi-pagi, dia sudah bangun lagi. Yang pertama bangun. April dan Okta masih pulas di sebelahnya. Hari masih sunyi. Dari lubang angin, terlihat dunia luar belum terang. Sebelum turun dari tempat tidur, diperhatikannya dulu wajah April dan Okta. Wajah-wajah yang cantik. April dengan wajah oval, dagu panjang, alis tebal rapi, hidung mancung, bibir tipis dengan bentuk sempurna, dan rambut panjang lurus hitamnya itu ... layak mendapatkan nilai sembilan. Tak heran pemujanya banyak. Entah sudah berapa puluh cowok patah hati dibuatnya karena dia bukan tipe gadis yang gampang dipacari. Dia hanya pernah satu kali pacaran dan putus ketika zaman kuliah. Lalu belum ada gantinya sampai sekarang. Okta? Siapa tak menyukai kehadiran gadis cantik berambut ikal sebahu,... FITNAH ATAU FAKTA? Pakdhe Halim sudah datang. Setelah ngobrol sedikit soal kabar dan minum teh hangat, Om Fariz langsung mengajaknya membahas soal harta warisan. Tak sabaran benar. Membuat Febro-April-Okta mendongkol dan Pakdhe Halim jengah saja. “Pakdhe masih capek kali, Om. Mana bisa tidur nyenyak di kereta kan?” sentil Okta. Pakdhe Halim langsung mengusap-usap kepala Okta, menenangkan. Dia tahu para ponakan ini menyayanginya dan kesal dengan tingkah Om Fariz. Om Fariz memang keterlaluan. Pantas saja semalam mereka panik dan menghubunginya. Om Fariz sulit untuk dihadapi sendirian. Apalagi mereka masih muda dan kurang pengalaman, terutama soal warisan. Kesedihan terhadap kepergian Bapak-Mamahnya saja belum selesai, sudah ditodong dengan tuntutan semacam ini. Namun, persoalan ini memang sebaiknya cepat dibahas saja. Supaya Om Fariz segera berhenti mengganggu dan pulang ke Surabaya. “Nggak apa. Kita bahas sekarang saja. Supaya cepat beres dan kalian tenang...,” ujar Pakdhe Halim sabar. Jadi begitulah. Tanpa sempat istirahat dulu, Pakdhe Halim memimpin pembicaraan soal... INSECURE? *** Para pembaca kesayangan, mohon maaf ya ... baru sempat update bab baru. Beberapa minggu ini agak kurang sehat jadi maunya rebahan aja. Semoga setelah ini, semangat berkobar lagi. Oh ya, Selamat Idulfitri bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin... ***   Tidak seperti kemarin-kemarin, pagi ini Febro masih duduk-duduk santai menghadap sepiring nasi goreng + telur ceplok (yang tepi-tepinya sengaja dibuat garing kecoklatan supaya renyah). Dia menyendoki nasinya sambil whatsappan dengan Jiwo, sahabat sejiwanya.            â€œBro, tumben jam segini masih di sini? Nggak jaga toko?” tanya April sambil meletakkan piring berisi nasi goreng dengan topping cantik (telur ceplok yang bundar sempurna dan tidak gosong, timun dan tomat yang diiris secara bergerigi, serta seonggok kerupuk udang) di atas meja.            Febro melirik piring itu. Huh, untuk sarapan pagi Tuan Majikan Kompeni itu, April selalu menyajikannya secara teliti. Tak pernah sembarangan. Bahkan piringnya pun dipilihkan yang terbaik dari koleksi Mamah. Jadi mirip seperti hidangan... SIAPA JODY? Febro baru selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas meja dapur menjerit-jerit tak kenal lelah. Masih sambil mengeringkan rambut kribonya dengan handuk, dia meraih ponsel itu dan matanya kontan melotot menyaksikan siapa yang telah meneleponnya. Itu Tuan Majikan Kompeni Paling Antagonis Sedunia! Mau apa lagi dia? Mau menyuruhnya mengelapi genteng rumahnya? Cih! “Halo? Ada apa lagi nih, Bos? Udah mecat masih aja nelpan-nelpon....” “Kamu ke sini.” “Ke sini ke mana?” “Ke rumahku-lah. Kerja.” “Kerja? Maaf-maaf nih ya, Bos. Kamu amnesia apa gimana nyuruh-nyuruh aku kerja? Bukannya aku udah dipecat-cat-cattt...? Cari April atau Okta aja.” “Kamu memang dipecat jadi pekerja toko bangunan. Tapi ada kerjaan baru di tempat lain.” “Oh.” “Cepetan ke sini, sebelum aku pergi.” “Oh.” “Ah, oh, mulu.” “Apa aku harus mau?” “Boleh aja nggak mau kalau kamu punya pilihan lain.” “Lho, jelas dong aku punya pilihan lain. Kerja sama kamu bukan satu-satunya cara supaya tetap bisa bertahan... GEMPA DI HATI “Kamu lagi ngapain...?!” Setengah terlonjak, Febro menoleh kaget. Jody. Dia berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan bersarang dalam saku celana bluejeans-nya. Dahinya berkerut dan matanya memicing ... memandang sejurus ke arah tangan Febro. Eh? Otomatis Febro mengikuti arah pandangan Jody. Tangannya! Tangannya sedang memegang pistol! Dua detik kemudian Febro menyadari bagaimana posisinya saat ini : berdiri di dekat tempat tidur dengan kedua tangan memegang gagang pistol. Persis seperti gaya aktris di film-film action Hollywood. Waduh. “Kerjaan kamu udah selesai?” tanya Jody dingin sambil melangkah memasuki kamar. Febro meringis kikuk. Dengan gerak setengah gugup ditaruhnya kembali pistol itu di atas nakas. Tingkahnya jadi macam pencuri yang tertangkap basah. Dia tahu, tindakannya memasuki kamar Jody tanpa permisi adalah sesuatu yang salah. Apalagi sampai lancang menyentuh pistolnya. “Kalau kamu mikir yang seram-seram, kamu akan kecewa. Pistol ini cuma replika. Air soft gun. Pelurunya dari plastik,” ucap Jody sambil mengambil alih pistol... PENGAKUAN APRIL Seperti yang sudah-sudah, April-Febro-Okta tidur bersama di kamar Bapak-Mamah. Tidur di sini memang nyaman. Jejak suasana dan aroma orang tua mereka masih tersisa. Rasanya seperti pulang ke sarang. Apalagi tempat tidur yang ada di sini memang dipesan khusus. Ukurannya 220 x 200. Dulu, Bapak-Mamah sengaja memesannya begitu agar bisa menampung mereka berlima jika sedang mendadak kangen kruntelan bagai keluarga kucing. Ketika anak-anak sudah besar, sekali-sekali mereka tidur bersama di sini. Terutama jika Bapak-Mamah baru pulang dari berpergian untuk urusan penelitian yang mengharuskan mereka berminggu-minggu jauh dari rumah. Bercerita, tertawa, saling ledek, dan berbagi ungkapan rasa sayang. Tak ada dengki, tak ada prasangka. Semuanya tulus dan menghangatkan. Kenangan yang indah. Walau kini Bapak dan Mamah sudah tak ada, Febro ingin tetap mempertahankan perasaan semcam itu terhadap April dan Okta, sampai kapan pun. Persaudaraan ini harus tetap terpelihara selamanya.  Harus. Gangguan seperti kemungkinan mereka bukan saudara sekandung atau persoalan keuangan, tak boleh... BERJUTA SISI HATI April makin menjadi. Sepertinya dia bersungguh-sungguh jatuh cinta pada Jody. Setiap pagi, dia sengaja membuat menu sarapan yang serba enak dan bervariasi. Dengan senang hati dia mencari ide menu itu dari akun Ig chef ternama, youtube, atau browsing ke sana ke mari. Tampaknya Jody pun menyukai keadaan itu. Dia selalu semangat datang setiap pagi. Oh, siapa sih yang tak suka dimasakkan menu enak, bergizi, bersih, dan bervariasi setiap hari kan? Sekarang Jody menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan menu kepada April. Dia tak pernah lagi request menu tertentu. Sebab apapun yang dimasak April, tak pernah mengecewakan. Dia tinggal memberi uang belanja saja secara mingguan lalu duduk manis di meja makan mereka setiap pagi. Tentu dengan cara lompat pagar. Daripada ketahuan ibu-ibu rempong di depan sana. Pagi ini April membuat nasi bakar yang dibungkus daun pisang dan dibakar khusus menggunakan arang kayu. Dia menyiapkan segala macamnya sejak semalam supaya pagi-pagi tinggal eksekusi. Bahkan... GARA-GARA KRISNA Memang benar yang dikatakan Jody saat sarapan tadi. Bahwa banyak yang bisa Febro pelajari jika mengikuti tahap-tahapan lelang proyek dari A sampai Z. Apalagi dalam proyek pemerintah seperti ini. Yang harus diperhatikan bukan hanya harga dan wujud fisiknya saja, tapi juga ada banyak hal ajaib dan aneh lain yang mau tak mau harus dihadapi. Sepanjang sesi makan siang yang terlambat bersama Jody dan Krisna di sebuah warung sate yang sudah tak terlalu ramai, Febro berkali-kali ternganga karena shock mendengar pembicaraan soal proyek-proyek pemerintah. Tahap pembuktian kualifikasi yang dia ikuti di kantor pemkot tadi, ternyata hanyalah sejumput kecil pelajaran saja. “Kata Pak Roby, ada yang nyoba-nyoba nyabot di lelang jembatan Sekeloa. Katanya sih anak dirjen. Ruwet nih, tapi kita harus bantu kawal...,” ucap Jody perlahan setelah toleh kiri-kanan. Maklum ini topik sensitif, jangan sampai ada yang menguping. “Basi banget mainannya anak pejabat. Masih ijo aja udah berani sikut sana-sini...,” dengkus Krisna sebelum... JIKA CINTA Febro merasa ... dia harus bergerak cepat mengendalikan situasi sebelum semuanya menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Oke, ini memang baru dugaannya saja, tapi sepertinya benar.            Jadi begini, April jatuh cinta pada Jody karena cowok itu telah menjadi pahlawan bagi keluarga mereka. Apalagi sikap dan kata-katanya pada April tak pernah negatif. Dia care, cukup ramah, tak pernah sinis, dan tak pelit memuji hasil masakannya. Siapa tak luluh dan berbunga-bunga kan?            Namun, sepertinya Jody tak memiliki perasaan khusus pada April. Sikap positifnya pada April terjadi karena ya pada dasarnya April memang gadis yang baik, paling santun di antara mereka bertiga, dan menyenangkan. Cantik pula. Tak ada alasan untuk tidak memedulikan dan menjauhinya. Jadi tetap ada peluang bahwa pada akhirnya Jody akan jatuh cinta juga pada April.            Dan sepertinya lagi ... entah karena apa, Jody justru jatuh cinta pada Febro. Padahal interaksi di antara mereka jarang sekali manis. Malah lebih sering... ABSURD Bertekad memberi peluang pada April dan Jody untuk jadian, Febro memilih tak ikut sarapan sama-sama di rumah. Sebab ternyata April tetap menawarkan paket sarapan di rumah. Dia tak mau pakai cara delivery-delivery-an. Katanya itu lebih praktis. Halah, lebih praktis atau supaya rutin ketemu Jody? Terserahlah. Febro merasa tak punya kuasa untuk memaksakan pandangannya. Yang penting dia sudah memberikan masukan. Jika dia ngotot melarang, nanti April curiga ada ‘sesuatu’ dengannya. Selama April tak kelewatan bucin, dia akan membiarkannya. Setiap orang memang punya gayanya masing-masing kan? Febro hanya merasa perlu menjauh dulu. Karena menjauhi April adalah kemustahilan, maka yang bisa dilakukannya adalah menjauhi Jody. Tak usah berada satu area dengannya, juga tak usah chat atau teleponan. Dia pun memblokir Jody dari daftar kontaknya. Sebenarnya hal ini menyakitkan dan membingungkan bagi diri Febro sendiri. Apa yang telah dilakukannya bertolak belakang dengan kata hati. Ada perasaan tak rela, tak ikhlas, dan tak suka. Dia... FEBRO Vs APRIL Sudah dua minggu Febro tak berjumpa dengan Jody. Selain karena Jody sudah menghentikan acara sarapan di rumah, juga karena nyaris setiap hari dia keluar rumah. Pagi-pagi dia sudah pergi dan petang baru pulang, bahkan kadang sampai malam. Febro bukannya keluyuran ke mana-mana. Dia hanya sibuk di rumah Jiwo. Dia dan Jiwo sedang dapat orderan dari Mami untuk membangun gazebo di halaman depan dan dapur terbuka di halaman belakang. Mami dan Papi Jiwo memang selalu punya cara untuk tidak membuat anaknya jadi punya terlalu banyak waktu untuk bengong. Ada-ada saja idenya untuk mendandani rumah. Beruntunglah Jiwo karena memiliki orang tua seperti mereka. Dan beruntunglah Febro karena tidak dianggap orang asing di keluarga ini. “Sekarang ini Mas Jody udah nggak pesan sarapan lagi. Padahal aku mau lho ngantar ke rumahnya...,” keluh April. Saat ini Febro, April, dan Okta sedang duduk-duduk di lantai dapur. Mengudap bala-bala[1] feat cengek[2] sambil menunggui pepes... JALAN MENJAUH Sebelum menuju rumah Jiwo dengan mengendarai motor matik hitamnya, Febro menyempatkan mampir ke rumah sebelah. Sebab mobil Jody masih terlihat di carport, artinya dia belum ke mana-mana. Lantai carport ini basah. Begitu pun ban mobil. Masih tampak pula air yang menetes-netes dari bumper depan. Pasti Jody baru mencuci mobil ini. Baguslah. Jadi mahluk itu sudah bangun dan beraktifitas di rumah. Maka dia tak perlu menggedor pintu dan berteriak-teriak memanggilnya yang kemungkinan akan menimbulkan keingintahuan tetangga yang lain. Febro bergerak cepat menapaki teras, lalu memencet bel. Dia harus menunggu nyaris sepuluh menit sampai pintu berpelitur coklat tua itu akhirnya terbuka. Jody. Penampilannya masih acak-acakan. Celana pendek hitam, kaos oblong abu-abu yang basah di beberapa bagian, rambut ikalnya berantakan, dan area cambangnya kelabu. Sudah berapa hari dia tak bercukur? “Hei...,” sapa Febro, berusaha terlihat tenang. Padahal jantung rasanya melompat-lompat tak tahu diri. Jody mengernyitkan dahinya. Pandangannya menyelidik. “Ada apa?” “Eh? Ah,... PERGI ATAU TIDAK? Setelah menimbang-nimbang selama seminggu, akhirnya Febro memutuskan akan ikut proyek pengembangan pelabuhan Santiong Ternate saja. Dia memang sudah sangat ingin bekerja pada perusahaan besar untuk menimba pengalaman. Apalagi kemarin lusa Om Danang menelepon Papi lagi, mengulang tawarannya untuk Jiwo (dan teman kribonya). Kapan lagi kan? Kesempatan belum tentu datang dua kali. Selain itu, dia juga ingin menjauh sementara dari April. Febro bukannya membenci April. Sama sekali bukan. Namun situasi di rumah sedang kurang kondusif. Prasangka dan sakit hati kerap berkelindan di antara mereka. Mereka jadi saling menghindar, semata-mata agar tak kebablasan bentrok. Jika dia pergi sementara, siapa tahu perseteruan sepihak yang aneh ini akan menguap. Digantikan oleh rindu tak tertahankan dan akhirnya bisa saling menertawakan kekonyolan masing-masing. Sebab kata orang, saudara itu ... bau jika dekat, wangi jika jauh. Malam ini di ruang keluarga, Febro mendekati April yang sedang menonton televisi. Ah, tidak, tidak ... bukan menonton, tapi melamun. Wajahnya memang... KEJUTAN TAK TERDUGA “Maaf, Bos. Aku nggak punya alasan untuk nurutin permitaanmu. Aku ingin cari pengalaman di proyek pelabuhan Ternate. Mumpung ada kesempatan...,” jawab Febro setelah terdian nyaris satu menit. “Udah malam. Aku masuk dulu, ya....” Tanpa menunggu respon Jody, Febro memutar tubuhnya dan membuka pintu garasi. Kemudian menuntun motornya masuk ke sana. Lalu, dddrrrggg ... pintu garasi pun tertutup. Jody terpaku. Memandang nanar pada pintu garasi abu-abu itu seperti memandang dinding pembatas kehidupan, antara dunia nyata dan dunia siluman. Febro sama sekali tak menganggap penting permintaannya, bahkan kehadirannya di sini malam-malam begini. Ah, tak aneh sebenarnya. Memangnya siapa dia kan? Selama ini juga mereka sering saling tak ramah. Mereka tidak berteman baik. Sial. Ke mana otaknya? Kenapa dia begitu tak masuk akal? Berjam-jam dia bolak-balik mengintip rumah sebelah ... menunggu gadis itu pulang. Lalu ... setelah mengkritik perilakunya, tahu-tahu dia memintanya batal ke Ternate. Apa-apaan? Huh, tak heran Febro buru-buru masuk rumah!... DARI TERNATE! Kemudian waktu bergerak sangat cepat. Berkejaran dengan berbagai urusan dan kepentigan. Tak semua hal sudah terselesaikan dan siap untuk dilupakan. Namun Febro sudah tak bisa mundur. Dia harus melanjutkan keputusan besar yang sudah dibuatnya. Pergi ke Ternate. Ke tempat yang baru kali ini didatanginya, yang sebelumnya hanya dia lihat melalui foto-foto cantik di internet. Semoga di sini dia bisa menguburkan semua hal-hal buruk dan pahit yang telah membuat hati dan jiwanya jungkir balik. Febro ingin menorehkan jejak baru dalam perjalanan hidupnya. Bagaimana pun nanti bentuk jejak yang akan didapatnya, yang penting dia sudah memulai. Bergerak. Teringat bagaimana sulitnya dia menenangkan Okta satu malam sebelum meninggalkan Bandung. Okta baru berhenti merengek ketika dia berjanji akan sering-sering video call-an dengannya. Akan sering pulang ke Bandung juga tiap ada kesempatan. Semalaman itu Okta memegangi terus tangannya, meski sudah terlelap. Duh, bagaimana hatinya tak basah dibuatnya? Sedangkan April tak berkomentar apa-apa. Tidak juga... KENAPA APRIL? Jody memperhatikan foto Febro yang dikirimkan Okta semalam. Foto dengan kualitas biasa-biasa saja. Kurang fokus dan warnanya kurang artistik akibat pemakaian lampu flash ponsel. Namun obyeknya sangat menyedot perhatian. Bagaimana tidak jika delapanpuluh persen dari bidang foto itu didominasi oleh dua wajah yang saling menempel dengan ekspresi muka paling menjengkelkan sedunia? Si Kribo dan Si Cowok papan itu sama-sama sedang nyengir secara tidak estetik. Yang satu sambil menjulurkan lidahnya, yang satu lagi menjulingkan hitam-hitam bola matanya. Konyol. Childish. Huh. Jody mendengkus. Mereka memang cocok sih. Sama sintingnya. Sama menyebalkannya. Tak heran jika mereka bisa saling dekat, saling ketergantungan, dan saling nyambung. Kata Okta, sudah bertahun-tahun mereka lengket begitu. “Assalamualaikum....” Jody menoleh. “Waalaikumsalam. Hei.” Yang datang dan kini sedang berdiri di ambang pintu depan adalah April. Dia membawa nampan yang ditutupi napkin warna pink. April terlihat cantik. Pastinya wangi juga karena bisa dipastikan dia sudah mandi. Dia mengenakan gaun selutut warna navy berbunga-bunga... Description: Kehidupan tiga bersaudara di Bandung--Febro, April, Okta--berubah 180 derajat ketika tiba-tiba kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Kalimantan. Kini mereka harus mengatasi semua kebutuhan dan persoalan hidup sendiri. Bukan hal mudah karena ketiganya belum bekerja, ditambah situasi sedang sulit akibat pandemi covid 19 belum berakhir bahkan makin menggila. Klaim uang tabungan ortu yang lama pencairannya, utang pada tetangga sebelah, himpitan ekonomi dan masalah keamanan, membuat mereka kelabakan. Tawaran Jody si tetangga sebelah rumah untuk membayar utang uang dengan tenaga pun mereka terima. Ada yang jaga toko materialnya, ada yang membersihkan rumah dan memasak untuknya. Apakah itu artinya kehidupan mereka menjadi beres dan semua persoalan teratasi? Ternyata tidak. Kerumitan justru makin menjadi. Salah satunya adalah kerumitan soal hati....
Title: Revasiana Category: Adult Romance Text: awal menyukainya Sabtu 20 Agustus 2020. Gadis cantik yang mengenakan jins hitam serta jaket hitam dan sepatu kets putih, rambut yang digerai indah keluar dari rumah mewahnya dan langsung menaiki motor sport berwarna biru. " Reva kamu mau kemana nak nanti malam ada pertemuan keluarga sayang. " teriak Andini yang merupakan ibu dari anak itu. Reva tidak menghiraukan mamahnya yang meneriakinya dia langsung memakai helm berwarna hitam dan menjalankan motornya keluar dari area rumahnya. " yaampun reva kamu selalu aja kaya gini. " ucap Andini yang pasrah akan kelakuan anaknya. meskipun reva selalu menjadi anak yang bisa bikin keluarga nya bangga dengan kecerdasan otaknya tapi anak ini memiliki sikap yang keras dia tidak suka dipaksa dengan siapapun gadis ini selalu mengikuti semua pendirian yang ia punya. " kenapa mah Reva pergi lagi? ucap pria tampan yang mengenakan kemeja berwarna merah memegang pundak Andini. " Iya Regar mamah gak abis pikir sama adik kamu itu mamah cuma takut terjadi apa-apa sama dia. " balas Andini dengan wajah yang cukup khawatir atas kepergian Reva. Regar Anjayawangksa merupakan Kakak dari gadis cantik ini. Regar memiliki wajah yang tampan persis seperti papahnya saat ini Regar membantu papahnya untuk mengurus perusahaan besarnya. Regar adalah kakak yang tegas dan sabar dia sangat menyayangi reva meskipun kadang reva selalu saja membuat nya kesal karena selalu membuat mamahnya khawatir setiap kali gadis ini keluar rumah dengan penampilan seperti itu dan menggunakan motor sport kesayangannya. " mamah tenang aja yah reva pasti gakpapa mamah tau sendiri kan dia cewe yang kuat. " ucap regar menenangkan mamahnya. " sekuat-kuatnya dia Regar adik kamu kan perempuan yang sama seperti kita pasti bakalan ada kelemahannya. " balas Andini. " yaudah nanti Regar suruh orang buat cari reva yah mah mamah tenang aja sekarang kita masuk kita siap-siap buat nanti malam. " ucap regar membawa mamahnya masuk kembali kedalam rumah. Andini tau reva anak yang sangat kuat dengan segala kemampuan bela diri yang hebatnya tapi tetap saja namanya orang tua akan selalu khawatir dengan anak perempuan nya. Reva menjalankan motornya di atas rata-rata gadis itu sepertinya belum punya tujuan kemana dia akan pergi sebenarnya Reva hanya ingin menghindari acara makan malam bersama dengan keluarga besarnya. dia tidak pernah menyukai acara keluarga bukan karena reva tidak memiliki keluarga harmonis hanya saja dia malas dengan ucapan-ucapan para saudaranya yang selalu memujinya. gadis cantik ini tidak menyukai pujian apalagi jika pujian itu di ucapkan hanya sekedar untuk basa-basi terhadapnya jika dia tidak sehebat ini tidak akan ada yang memuji nya. Reva melihat sekeliling jalan yang kini ia lintasi. Jalanan ini nampak terlihat sepi padahal masih sore gadis itu juga biasa melewati jalan ini kerena jalan ini menuju suatu taman-taman yang indah yang nantinya akan membuat dirinya menenangkan dirinya di salah satu taman dekat sini. Di sisi jalan kiri nampak ada seorang wanita paruh baya yang tengah dikerubungi banyak pria yang sepertinya akan merampok wanita ini. " kasih tas itu ke saya atau anda tidak akan bisa pulang kerumah. " ucap pria berbadan besar yang mencoba untuk mengambil tas mewah milik wanita paruh baya itu. " gak saya gak akan kasih disini ada hadiah untuk anak saya. " balas wanita itu dengan wajah yang sudah pucat. Reva yang melihat itu langsung menjalankan motornya ke arah mereka yang mencoba untuk merebut tas wanita paruh baya itu. dia bahkan hampir menabrak salah satu motor pemilik pria yang tengah mengerubungi wanita itu. Semua para pria yang mengerubungi wanita itu menoleh ke arah gadis yang mencoba untuk ikut campur dengan mereka yang jumlahnya sekitar lima orang. " Siapa loh. " ucap pria bertubuh besar itu. gadis cantik itu langsung turun dari motor sport nya dan membuka helmnya yang menampilkan wajah yang sangat cantik serta senyum tipis dan tatapan tajam kearah mereka. " Cewe bos gila cantik banget. " ucap salah satu pria kurus. " Mau apa Lo kesini. " ucap pria bertubuh besar itu yang memegang pisau tajam. " Seharusnya gw yang tanya sama kalian semua beraninya kok ngancem sama ibu ini pake segala nodong Pisau lagi basi banget cara ngerampok kalian. " ucap reva tanpa rasa takut. " wah jaga mulut Lo ya neng tapi dia boleh juga ya. " ucap pria berbadan gendut yang tertawa dan dikuti oleh yang lainnya. reva menatap nanar ke arah pria yang berbadan gemuk dia benar-benar tidak tahan dengan kelincahan nya dia langsung menendang wajah pria gendut itu sampai jatuh tersungkur. " wah gila nih cewe. " ucap pria yang tepat disampingnya ingin memukul kepalanya namun dengan sigap Reva langsung melintir kuat tangan pria itu dan menendang punggung pria itu hingga jatuh kesakitan. " kenapa Liat gw gitu maju sini. " ucapnya kepada mereka yang masih tersisa tiga orang. dengan tatapan marah kedua pria itu langsung menyerang reva dan gadis cantik itu langsung melawan mereka yang mencoba untuk memegang tangan nya dan Reva langsung dengan cepat menepisnya dan memelintir tangan mereka berdua pelintiran gadis itu benar-benar kuat hingga membuat tangan kedua pria itu mengeluarkan suara patahan. kedua pria itu merintih kesakitan dan gadis itu langsung menendang perut mereka hingga jatuh tersungkur. reva menghampiri mereka berdua yang jatuh kesakitan sambil memegang tangannya yang patah gadis itu malah menginjak kembali perut mereka dengan kakinya. Di ujung jalan tiga orang laki-laki yang melihat ada seorang wanita yang sedang melawan para perampok itu memberhentikan motornya dan melihat kearah gadis yang sangat berani melawan mereka. " lah Rio itu nyokap disana. " ucap salah satu pria yang bernama Aldi melihat ke arah wanita paruh baya yang memegang tasnya dengan wajah ketakutan. Rio yang melihat itu langsung turun dan membuka helmnya serta kedua temannya. pria berbadan besar yang memegang pisau yang melihat semua anak buahnya jatuh tersungkur langsung menyerang gadis itu dengan pisaunya. Mata reva benar-benar sangat jeli dia langsung menghindar dari pisau tajam itu yang hampir menusuk lehernya dengan sigap reva langsung memukul tangan pria berbadan besar itu hinga mengeluarkan suara kretekan tangan patah dan pisau itu jatuh ke tanah. saat pria itu mencoba untuk mengambil pisau menggunakan tangan kirinya dengan cepat reva langsung menginjak tangannya tanpa ampun hingga kini kedua tangan pria berbadan besar itu benar-benar patah serta merintis kesakitan. Reva tertawa puas kepada mereka semua yang sudah lemah tak berdaya. " badan doang gede sama cewe kalah lain kali kalo mau ngerampok pake cara yang elit jangan ke gini udah basi banget. " ucap reva dengan senyuman miringnya. Rio dan kedua temannya berlari menghampiri wanita itu dan para perampok itu langsung pergi menggunakan motornya meski tubuh dan tulang tangan mereka benar-benar sakit. " Mamah, mamah gakpapa. " ucap Rio yang langsung memeluk mamahnya erat. " Mamah takut banget rio tapi gadis itu nolong mamah. " ucapnya melepaskan pelukannya anaknya dan beralih menatap reva. wanita paruh baya itu menghampiri gadis cantik itu dan memeriksa seluruh tubuhnya. " Kamu benar-benar gakpapa nak saya benar-benar takut liat kamu tadi, makasih nak udah nolong saya. " ucapnya. " Iya sama-sama. " balas reva singkat. Rio dan kedua temannya menatap kearah gadis cantik itu dan reva hanya menatap malas ke arah mereka. " Lo Reva kan anak IPA 1 murid terbaik itu. " ucap Fandi mengingatnya dan menunjuk ke arah reva. Reva tidak menjawab nya melainkan gadis itu hanya mengganggukan kepalanya. Rio berjalan mendekati gadis itu dan menatap nya dari atas sampai bawah. " ngapain Lo. " ucap reva yang merasa risih dengan tatapan Rio. " Lo benar-benar gak papa kan gak ada yang luka. " ucap rio menatapnya dengan memegang kedua pundak gadis itu namun dengan cepat reva langsung menepis tangan nya dan membuat wanita paruh baya itu serta kedua teman rio terkejut. " gak usah sok kenal lo. " ucap reva kasar. " gw cuma mau bilang makasih banget udah nyelametin nyokap gw dan gw cuma mastiin kalo Lo gak ada yang luka. " balasnya. " basi. " ucap reva singkat dan langsung menaiki motornya dan memakai helmnya meninggalkan mereka yang masih menatapnya kecuali wanita paruh baya itu dia malah menatap kagum kepada gadis itu. Reva langsung menjalankan motornya meninggalkan area itu dia benar-benar sudah malas dengan laki-laki yang ada dihadapannya. Rio masih menatap kepergian gadis cantik yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam. dia benar-benar tidak percaya sebelumnya akan gadis yang baru saja diucapkan oleh Fandi. Rio tidak pernah melihat gadis itu disekolah hanya saja dia pernah mendengar bahwa ada siswi terbaik di sma mark high school yang selalu memenangkan berbagai macam olimpiade. " kenapa kaget ya Lo sama dia dan baru kali ini kan Lo nemuin cewe ke dia. " ucap Fandi menghampiri Rio sambil merangkul pundak nya. " udah kali sayang ngeliat nya. " ucap hani yang merupakan ibu dari anak itu yang sudah ditolong oleh reva. " biasa tante dia gak pernah liat cewe secantik itu orang bolos Mulu sih. " sahut Andi. " apaan sih loh gak usah ngadu-ngadu, udah ayok mah kita pulang. " balasnya melepas rangkulan Fandi dan membawa mamahnya berjalan ke arah motor besar berwarna merah yang ia parkir di ujung jalan. " yeah marah dia. " ucap Aldi sambil menertawakan nya. " udeh ngeledek nya ayo balik. " ucap Fandi berjalan mengikuti rio serta Aldi juga mengikuti nya. Aldi dan Fandi ikut mengantarkan rio pulang yang membawa mamah nya setelah sampai dirumah besar milik rio Aldi dan Fandi langsung berpamitan dengan hani. " yaudah Tante kita pamit yah. " ucap Aldi yang membuka kaca helmnya. " pamit yah Tante. " lanjut fandi. " iya hati-hati nak. " balas Hani yang sudah turun dari motor anaknya. " oi pamit yah. " ucap Aldi melambaikan tangannya. " okeh. " balas rio. Aldi dan Fandi langsung menjalankan motornya meninggalkan area rumahnya. Rio membuka helmnya dan langsung berjalan masuk kedalam rumah dengan wajah yang marah. Hani yang menyadari itu langsung segera menyusul masuk anaknya. " aduh bahaya nih anak. " batin Hani. " keluar kalian semua bi Suti , bi Nina , mang Hardi keluar. " teriak rio yang membuat mereka semua yang sedang mengerjakan pekerjaannya langsung terburu-buru menghampiri nya. " Rio udah sayang kan mamah bilang mamah gkpapa. " ucap hani yang mencoba menenangkan anaknya. Ternyata benar dugaan hani bahwa anak ini pasti akan memarahi mereka semua lagi. " ada apa atuh den teriak-teriak. " ucap bi Suti yang masih memegang centong nasi. karena bi Suti sedang menyiapkan nasi di dapur dan mendengar teriakannya Rio dia langsung kaget dan cepat-cepat menghampiri nya tanpa menaruh centong nasinya dulu. " Iyah ada apa sih den. " ucap bi Nina dan juga mang hardi. " ada apa kalian bilang, siapa udah biarin mamah keluar sendirian udah berapa kali sih aku bilang jangan pernah biarin mamah pergi keluar sendiri hah. " ucap Rio dengan nada tinggi nya. " tapi den tadi anu sih nyonya. " ucap mang hardi yang dipotong olehnya. " tadi apa hah aku udah bilang berkali-kali masih aja gak ngerti-ngerti mamah tadi hampir ditodong pake pisau sama perampok untung ada yang nolong mamah sebelum aku ngeliat mamah disana coba kalo gak ada kalian semua harus tanggung akibatnya. " lanjut rio. " sayang udah nak jangan marah-marah Mulu. " ucap hani yang masih mencoba menenangkan anaknya. " kali ini aku maafin kalian tapi ingat ini untuk terakhir kalinya sekarang kembali ke pekerjaan kalian masing-masing. " kata rio yang kini emosinya sedikit mereda. " baik den. " balas mereka semua yang langsung meninggalkan rio dan mamahnya di ruang tamu. " yaudah mah aku mau ke kamar dulu mamah istirahat yah jangan kemana-mana tanpa izin aku okeh. " ucap rio yang mengecup kening mamahnya dan berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. " Iya sayang. " balasnya. hani duduk di sofa sambil mengingat-ingat kejadian tadi dan gadis cantik yang menolongnya itu. " minum dulu nyonya. " ucap bi suti yang membawakan segelas air putih untuk nya. " makasih bi, dan saya benar-benar minta maaf ya bi sama semuanya juga jangan diambil hati perkataan rio tadi. " ucap hani tidak enak hati. " atuh gakpapa nyonya Kitakan udah biasa sama den rio , eh tapi nyonya siapa yang udah nolong nyonya kata sih Aden tadi. " tanya bi Suti penasaran. " tadi yang nolong saya bidadari yang jago banget berantem bi. " balasnya yang mengingat wajah gadis itu dan cara dia melawan para perampok itu. " wah yang bener itu atuh nyonya. " tanyanya yang tidak percaya. " beneran bi saya benar-benar kagum banget sama anak itu. " lanjut hani menyakinkan bi Suti. " ya ampun nyonya bibi teh jadi penasaran banget sama bidadari jago itu. " ucap bi Suti. " semoga aja sama bisa ketemu lagi sama anak itu dan saya akan bawa dia kesini bi. " balas hani. " amin ya nyonya saya benar-benar gak sabar atuh nyonya. " ucap bi Suti. Sementara dikamar nya rio langsung membuka laptop Macbooknya dan mencari identitas gadis itu yang merupakan siswi terbaik di sma mark high school. Rio membuka website sekolah nya dan benar ternyata siswi terbaik di sma mark high school adalah gadis yang tadi menyelamatkan mamahnya. " Revasiana Safina kelas sebelah IPA 1. " ucapnya membaca artikel yang bertuliskan dengan identitas gadis itu. " Revasiana Safina. " ucap Rio yang mengulangi nama gadis itu dan sambil tersenyum melihat foto gadis yang memegang piala olimpiade matematika di tangan kanannya. Rio mengingat kembali wajah gadis yang menepis tangan nya kasar serta saat gadis itu melawan para perampok itu. dari cara pandang gadis itu benar-benar beda dengan wanita yang sering menatap nya terkagum-kagum berbeda dengan reva yang selalu memutar bola matanya malas melihatnya. Sejak kejadian itu rio selalu mendekati gadis itu dimana pun dia berada rio bahkan akan menjaganya selalu seperti dia menjaga mamahnya. reva yang merasa rio selalu mendekati dirinya membuat gadis itu mudah marah dan selalu mengeluarkan kata-kata yang kadang membuat rio mengelus dadanya. sudah hampir berjalan satu tahun hingga saat ini mereka duduk di bangku kelas dua belas. Reva gadis cantik itu malah semakin tidak menyukai rio yang masih terus mengejarnya. Happy reading ✨ Dia yang tak pernah lemah 🌁🌁 SMA Mark High school tempat dimana banyak siswa dan siswi hebat yang selalu mendapatkan banyak penghargaan dimana-mana. bisa dibilang sma ini penghasil murid murid yang memiliki potensi yang tinggi dalam dunia akademik maupun non akademik. meski banyak murid yang selalu memenangkan banyak olimpiade diberbagai bidang tetapi Revasiana Safina yang tetap menduduki nomor satu sebagai murid terbaik di sma mark high school yang selalu mendapatkan juara satu di segala bidang olimpiade di tingkat daerah, kabupaten, bahkan tingkat nasional. Gadis cantik ini seperti mempunyai kecerdasan yang luar biasa yang mungkin sudah ada didalam dirinya sejak lahir. dari kelas sepuluh reva selalu membuat takjub para guru dan juga kepala sekolah itu. dari tahun ke tahun gadis ini tidak pernah gagal untuk membawa banyak piala besar yang kini telah memenuhi lemari piala yang ada diruang kepala sekolah. di sma mark high school banyak orang yang kagum dengannya serta banyak juga yang tidak menyukainya akibatnya sikapnya yang dingin cuek dan ketus. Reva hanya memiliki dua teman yang mungkin bisa dibilang sabar dalam menghadapi segala sikapnya. yang paling bawel soal urusan sikap Reva yaitu Riana Sandewi Shakira, gadis keturunan turki Yang jago main piano. memilki suara yang bagus membuat riana begitu sempurna saat memainkan piano nya. riana juga banyak memenangkan segala perlombaan piano. gadis keturunan turki ini memiliki kekasih yang sangat romantis yaitu Damar Dimasatara, yang merupakan kapten tim basket sma mark high school. damar Yang jago main basket dan riana Yang jago main piano membuat mereka menjadi pasangan yang sempurna disekolah. yang kedua si ratu desainer Yasmin Vionara. Meski masih kelas dua sma tapi yasmin sudah berhasil membuat banyak desain gaun yang mungkin harganya di atas rata-rata. bahkan saat ini gadis cantik itu telah membuat perusahaan gaun milik mamahnya menjadi terkenal karena semua desain-desain dengan model yang bermacam-macam yang dibuat olehnya. bisa dibilang Yasmin teman yang paling sabar dalam menghadapi sikap Reva yang bagaikan teka teki silang. status hubungan percintaan Yasmin sih belum ada kepastian karena orang yang dia sukai belum juga menyatakan cintanya. .... Reva keluar dari kelasnya dengan kedua earphone di telinga nya gadis ini sengaja memakai earphone agar tidak ada yang bisa mengganggu nya. " Reva ini gimana soal nomor lima oi. " teriak riana berlari keluar kelas dengan membawa buku matematika nya. riana ini kurang paham dengan matematika makannya dia selalu nanya ke reva atau minta contekan. " aduh riana volume suara Lo gak bisa dikecilin apa entar kalo gak bisa nyanyi lagi baru tau rasa deh loh. " ucap Yasmin yang ikut keluar kelas dan kini posisi mereka berdiri di depan pintu kelasnya sedangkan reva gadis itu sudah sangat jauh dari pandangan mereka. " gak bisa lah Yasmin Lo liat aja tuh kupingnya di sumpel lagi kan. " gerutu riana. " yah reva kan emang gitu kalo gak mau diganggu. " balas Yasmin. " yah tapikan tuh kan udah jauh kan reva nya. " ucap riana. " yaudah kita susul aja yah. " ucap Yasmin yang benar-benar tidak tahan dengan riana. " susul gimana orang udah ngilang gitu tuh. " balas riana. " lagipula percuma disusul yas kita bakalan susah cari reva nya lagi dan Lo tau kan yas reva itu kaya punya dua dunia sekarang kita masih bisa liat dia nih baru aja pergi kearah sana giliran kita cari sampe di seluruh sekolah reva gak terlihat sama sekali. " cerocos riana yang membuat Yasmin pusing mendengarnya. " yaudah nanti lagi aja ngerjainnya nugguiin reva balik lagi ke kelas kalo gitu. " ucap Yasmin dengan penuh kesabaran. riana menghembuskan nafasnya pasrah daripada dia nyari reva mending dia lihat damar main basket mumpung belum bel. " yaudah deh la mending gw liat damar main basket aja dilapangan, yuk kita ke lapangan basket liat damar main yas. " ucap riana antusias. " ogah gw gak mau jadi nyamuk mending gw ke perpus cari inspirasi atau di kelas aja. " balas yasmin. " ih kok gitu sih temenin gw dong Yas plis yah siapa tau nanti ketemu sama Aldi gimana mau gak. " ucap riana yang mencoba membujuk yasmin. " gak deh gw mau ke perpus aja. " balas Yasmin entah mengapa dia malas sekali mendengar nama Aldi. " kok gitu sih kenapa Yas. " tanya riana. " udah Lo aja yah bye. " ucap yasmin berjalan meninggalkan riana. " ah gak Lo gak reva sama aja tukang ninggalin orang pantesan pada jomblo bodo deh gw aja sendiri. " ucap riana berdecak kesal. Saat ini Reva duduk di salah satu kursi taman yang ada di samping sekolah nya. gadis cantik ini menutup matanya sambil menikmati alunan musik favorit nya. rasanya sangat begitu tenang menjauh kan dirinya dari kebisingan Yang ada didalam kelasnya apalagi harus mendengarkan ocehan riana yang membuat nya semakin pusing. pria yang mengenakan jaket berwarna coklat tiba-tiba saja datang dan langsung mencopot salah satu earphone sebelah kiri yang dipakai oleh Reva. " seenak apa sih nih lagu sampe buat Lo nyaman banget. " ucapnya yang memakai earphone milik reva. Reva langsung berdiri dan mencopot earphone yang di ambil olehnya kasar dari telinga pria itu. " ngapain sih Lo disini bisa gak sih buat gak ganggu gw rio. " ucap reva yang mulai emosi. Rio tersenyum melihat wajah gadis itu yang mulai menunjukkan rasa emosinya. " gw gak bisa gimana abisnya gw merasa cemburu karena Lo dibuat nyaman gitu sama tuh lagu dan masa iya sih gw biarin cewe secantik Lo disini sayang banget kan. " balas rio yang kini berdiri menghadap gadis itu. " Lo mau tulang Lo patah lagi hah atau sekalian aja biar Lo gak punya tulang. " ucap reva dengan nada yang mulai tinggi serta tatapan matanya yang tajam. " ehem gakpapa sih kalo Lo mau patahin patahin hati gw juga gkappa asal kan Lo yang patahin ini. " ucap rio mendekat kan wajahnya kepada gadis itu. " basi Lo. " balas reva yang langsung berjalan meninggalkan rio yang masih cengar-cengir mendengar respon gadis itu. Rio ikut berjalan menyusul reva dan menyamai langkahnya dengan nya. " Revasiana Safina nama yang gak akan pernah membuat gw bosan setiap kali menyebutnya wanita cantik dengan hati kerasnya gak akan membuat gw mundur satu langkah pun. " kata rio yang benar-benar sudah tergila-gila dengannya. Reva menghentikan langkahnya dan menatap nanar ke arah rio. " gw gak peduli dengan semua ucapan Lo rio. " balas reva melanjutkan langkahnya. dan rio masih tetap berdiri menatap kepergian gadis itu dan dia masih setia memasang senyuman nya untuk reva yang selalu jutek kepadanya. " Aduh rio Lo tuh ya gak ada bosen nya ngejar dia. " ucap fandi yang tiba-tiba datang bersama dengan aldi dan langsung merangkul pundaknya rio. " rio Lo itu cowo paling keren disini emang Lo gak capek apa ngelakuin hal-hal yang gak akan bikin reva jatuh cinta sama Lo sadar dong bro ini udah satu tahun ayolah move on. " ucap Fandi yang sudah lelah dengan temannya ini. " Sorry nih ya gw gak bisa gimana dong. " balas rio melepaskan rangkulan fandi. " gw ngerti rio reva emang perfect banget tapi Lo harus tau dia itu gak punya hati buat mencintai Lo. " lanjut fandi. " gw setuju sih sama Fandi. " ucap Aldi yang ikut-ikutan. " mendingan daripada pusing kita bolos aja yuk. " ucap Fandi dengan suara yang pelan. " gak lah gw gak mau kali ini keknya gw mau tobat deh. " balas rio yang membuat Aldi dan Fandi menatapnya tidak percaya. " wah bahaya nih orang udah mulai terganggu dia nih jiwanya sama reva Lo gkpapa kan bro. " ucap Fandi menempelkan tangannya di jidat rio dan Rio langsung menepisnya. " Apaan sih Lo heran dah gw punya temen diajak ke jalan yang bener kaga mau Lo keknya pada demen banget ya gw ajak ke jalan yang sesat. " balas rio mengerutkan keningnya. " hayo siapa yang mau bolos. " ucap pak bimo yang menguping pembicaraan mereka. Fandi Aldi dan rio terkejut dengan kedatangan pak bimo yang merupakan guru BK di SMA ini. " Ini pak sih Fandi mau ngajakin saya bolos lagi padahal saya udah mau tobat ini pak. " ucap rio sambil meledek Fandi. " bener begitu Fandi. " ucap pak bimo dengan suara yang tegas. " bener tuh pak. " ucap Rio memanas manasi pak bimo. " Aldi kamu juga mau ikut bolos. " tanya pak bimo. " saya sih pak kalo diajak ikut aja. " balas Aldi dengan entengnya. " wah bangus banget ya emang teman yang setia kamu, pokoknya awas aja kalian kalo sampe bolos lagi bapa akan panggil orang tua kalian ngerti. " ucap pak bimo dengan nada yang tinggi. " Ngerti pak. " balas mereka. " masuk kelas sana kalian dan inget Mata bapa ada dimana-mana jangan main-main kalian. " ucap pak bimo. Rio Aldi dan Fandi langsung buru-buru berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Riana duduk di kursi penonton paling depan agar dia bisa lebih jelas melihat damar yang sedang latihan basket. mata gadis itu serasa tidak bisa berpaling dari damar. " dam Riana tuh. " ucap salah satu teman damar yang melihat riana duduk sendiri di kursi penonton. Damar menoleh kearah gadis cantik yang duduk disana dengan senyuman manisnya. damar yang tidak tahan dengan senyuman riana langsung menghentikan aktivitasnya dan menghampiri gadis itu. " hai kamu sendirian disini. " ucap damar kini duduk disampingnya. " Menurut yang kamu liat aku sendiri kan. " balas riana. mendengar ucapan itu damar langsung mengacak-ngacak rambut riana gemas. " jangan diacak-acak dong rambut aku susah lagi tau natanya. " ucap riana merapikan kembali rambut nya. " uhh gemes banget sih pacar aku. " ucap damar yang kini mencubit pipi riana. " always dong. " balas riana. " Loh kamu ngapain bawa buku mau belajar sambil liat aku main basket gitu. " ucap damar yang melihat ada buku disamping riana dan bodohnya riana dia lupa menaruh buku itu dulu. " ah ini aduh aku lupa taro bukunya eem yaudah yah aku mau ke kelas lagi kan udah liat kamu ini. " ucap riana yang sedikit malu kalo damar tau bahwa dia belum selesai ngerjain tugas matematika nya. " Mau aku anter? tanya damar. " eem gak usah sayang aku sendiri aja kamu lanjut aja main basket nya yaudah bye. " balas riana melambaikan tangannya. damar yang melihat kepergian gadis itu membuat nya tertawa kecil. " lucu banget sih pacar gw. " ucap damar melihat punggung riana yang perlahan menghilang. Reva masuk ke dalam kelasnya dengan wajah yang begitu kesal. " akhirnya Lo masuk ke kelas juga. " ucap yasmin yang menyadari kedatangan reva dan menghentikan aktivitas membaca bukunya. " eh tunggu itu muka kenapa sih rev keknya kaga ada seneng-seneng nya. " lanjut Yasmin. " eem pasti rio ganggu Lo lagi yah? tanya yasmin yang sudah benar-benar paham dengan sikap reva. " taudeh tuh orang emang pengen banget kali gw patahin semua tulang-tulang nya. " balas reva ketus. " aduh jangan dong reva kan kasian rio nya Lo tuh ya galak banget sih sama dia. " ucap yasmin. " tapi kalo dipikir-pikir rio udah satu tahun ini dia gak pernah berhenti buat ngejar Lo reva dan emang Lo gak merasa apa-apa gitu sama dia. " tanya yasmin. " gak ada rasa apapun buat dia." balas reva dengan muka kesalnya. " tapi Lo bener gak mau gitu buka hati Lo sedikit aja buat dia. " ucap yasmin yang membuat reva semakin kesal. " aduh yas udah berapa kali gw bilang sama Lo jawaban nya akan tetap sama udah ah gw gak mau bahas dia. " balas reva yang langsung mengambil bukunya di tas. " nah nih dia orangnya kemana aja sih Lo rev gara-gara Lo gw jadi bawa-bawa buku ke lapangan basket kan gw malu sama damar kalo dia tau gw belum selesai ngerjain ini. " ucap riana yang tiba-tiba saja muncul. Reva memutar bola matanya malas lagi-lagi dia harus mendengar ocehan riana. " kenapa salah gw itukan salah Lo ngapain bawa-bawa buku. " balasnya. " yah kan gw lupa abisnya tadi gw teriakin Lo buat bantuin gw ngerjain nih nomor lima tinggal satu lagi tapi Lo malah pergi gitu aja terus kuping Lo di sumpel Mulu. " decak riana. Reva yang benar-benar tidak tahan dengan ocehan riana dia langsung melempar buku matematika nya ke meja riana. " tuh Lo liat aja sendiri. " ucap reva dengan muka malasnya. " Aduh reva sopanan dikit dong ngasihnya. " ucap riana kesal. " lo jadi nyontek apa gw ambil lagi nih buku. " balas reva mengancamnya abisnya riana berisik banget sih. " Iya iya deh. " ucap riana menahan amarahnya dan langsung membuka buku reva. " ah dasar temen laktat sabar riana oke sabar yah biar cantik nya gak ilang. " batin riana. Yasmin yang pusing mendengarkan mereka yang selalu ribut menggelengkan kepalanya dan melanjutkan aktivitas membacanya. bel pulang sekolah telah berbunyi dan reva langsung berjalan keluar kelas nya tanpa berpamitan dengan riana dan juga yasmin. " astaghfirullah gw punya temen gini amat ya kaga ada basa basi nya. " ucap riana memakai tas nya. " udah lah yuk entar juga ketemu di depan. " ucap yasmin yang tertawa kecil melihat sikap reva dan riana yang tidak pernah habis nya selalu bawel terhadap sikap reva. " Lo bawa mobil yas? tanya riana sambil berjalan keluar kelas bersama yasmin. " bawa kok gw Lo mau sama damar yah. " balas yasmin. " Iya dong bareng yah ke parkiran nya gw sekalian kan pasti damar juga udah nunggu disana. " iya ayo yuk. " balas yasmin. dan kini mereka berdua berjalan ke arah parkiran. Reva keluar dari toilet gadis itu telah mengganti rok nya dengan celana jins berwarna hitam serta jaket kulit berwarna biru Karena hari ini dia membawa motor sport kesayangannya. gadis itu berjalan ke arah parkiran dan langsung menaiki motor sport nya. saat reva mau menjalankan motornya tiba-tiba saja ada segerombolan laki-laki yang datang dengan membawa balok kayu dan keknya mereka mau tawuran dengan anak sma nya. Reva menjalankan motornya tepat untuk menghadang mereka yang jumlahnya ada sepuluh orang entah mengapa rasanya tangan Reva sangat gatal jika tidak menghajar mereka yang suka membuat kerusuhan di sekolah nya. gerombolan laki-laki itu menghentikan motornya Karena dihadang oleh reva. " Oi siapa Lo. " ucap salah satu pria yang langsung turun dari motornya. reva turun dari motornya dan membuka helmnya lagi-lagi gadis itu membuat terpesona semua orang yang selalu melihat nya dengan parasnya yang begitu cantik. " cewe cuy gw kira cowo cantik banget lagi. " ucap pria yang berjaket biru dongker. " Mau apa Lo pake ngehadang kita. " ucap pria yang bernama dion yang merupakan ketua dari gerombolan mereka. Reva tersenyum miring mendengar nya entah mengapa dia sangat malas mendengar orang yang selalu bertanya seperti itu. " Lo nanya gw gitu apa gak kebalik yah Lo ngapain ke sini mau buat keributan lagi. " balas reva dengan sorotan mata tajam. " gw gak ada urusan sama cewe kek lo urusan gw sama rio yang udah bikin salah satu temen kita gak bisa sekolah lagi. " balas dion yang penuh dengan amarah. Reva yang mendengar nama itu lagi membuat nya semakin kesal lagi-lagi dia harus berurusan dengan nya. " terus gw perduli gitu itukan salah kalian siapa suruh berantem-berantem gak jelas akhirnya apa ada yang terluka kan dan gw juga gak akan biarin kalian bikin kerusuhan di sekolah gw. " ucap reva dengan berani nya. Dion dan semua temannya tertawa mendengar perkataan yang baru saja dia katakan. " Mendingan Lo pulang deh apa Lo mau main-main disini sama kita. " ucap pria yang berada di samping dion yang menertawakan nya. kali ini reva benar-benar tidak tahan dengan mereka yang berani menertawakan nya dengan kelincahannya dia langsung menonjok wajah pria itu dan menendang nya hingga jatuh. " wah berani loh yah. " ucap dion dengan muka marah nya dan langsung menyerang gadis itu serta mereka semua juga ikut langsung menyerang nya. tanpa rasa takut dan penuh keberanian reva melawan mereka dengan kehebatan bela dirinya. satu persatu dari mereka mulai jatuh tersungkur meski mereka memegang balok tapi gadis itu selalu berhasil menghindar saat mereka ingin memukul dirinya. Rio Fandi aldi serta teman yang lainnya melihat seorang cewe yang sedang melawan banyaknya pria menghentikan motornya. Mereka membuka helmnya masing-masing dan benar ternyata yang menyerang gadis itu adalah anak dari sma nuasa yang waktu itu pernah mencari Masalah dengan rio. " Rio anak nuasa tuh gila itu kan reva. " ucap Fandi menunjuk ke arah gadis yang dengan gigihnya melawan mereka. tanpa bicara satu katapun rio turun dari motornya dan berlari ke arah gadis itu dan membantunya melawan dua pria yang memegang balok. padahal walaupun rio tidak membantu nya gadis itu pasti bisa mengalahkan nya. karena sudah tinggal dua orang yang ada dihadapannya yang lainnya sudah jatuh tersungkur kesakitan kerena tendangan tonjokan dan pelintiran gadis cantik itu yang begitu kuat. Reva menendang wajah pria yang hampir saja memukul pundak nya dengan balok dan pria itu langsung terpental jatuh. Sedangkan rio dia masih melawan salah satu dari mereka. reva melihat ada salah satu dari mereka yang bangkit dan ingin memukul Rio dengan balok itu dengan sigap reva langsung menepis balok yang ada di tangan pria itu melintir tangannya kuat dan langsung menendang perut pria itu hingga jatuh tersungkur. orang yang rio lawan pun juga sudah jatuh dengan wajah yang bonyok. dan mereka semua sudah benar-benar kesakitan. " awas Lo gw gak akan biarin Lo. " ucap dion yang bangkit dan menyuruh semua temannya untuk meninggalkan tempat itu. Reva tertawa puas melihat mereka dan kini pandangan berubah yang menyadari rio disampingnya. " reva Lo gakpapa kan. " ucap rio yang memeriksa keadaan gadis itu dari atas sampai bawah. " Apa sih Lo gak usah sok peduli. " ucapnya menepis tangan rio. " reva gw bener-bener khawatir sama Lo lagian Lo ngapain sih ngelawan mereka mereka itu bahaya banget buat Lo reva. " ucap rio dengan wajah yang begitu cemas. " bahaya? " gw gak takut sama yang namanya bahaya dan Lo gak usah sok khawatir sama gw. " ucapnya kasar. " gw tau Lo emang bukan cewe yang lemah tapi kalo Lo kek gini terus Lo bisa nyelakain diri Lo sendiri reva dan gw gak mau sampe terjadi apa-apa sama Lo mereka itu bakalan dendam sama Lo reva. " ucap rio yang benar-benar mengkhawatirkan gadis itu apalagi dia berurusan dengan anak nuasa. " Terserah gw gak peduli. " balasnya yang langsung naik ke motornya dan menjalankan nya meninggalkan rio yang masih berdiri disana. " reva gw masih ngomong sama Lo. " teriak rio kepada gadis itu yang sudah jauh menjalankan motornya. Rio mengacak-ngacak rambutnya frustasi dia benar-benar tidak tahu apa yang ada dipikiran gadis seperti reva apalagi saat ini kondisi reva bisa dibilang sedikit berbahaya karena sudah berurusan dengan anak nuasa yang selalu penuh dengan dendam. Fandi Aldi yang melihat Rio begitu frustasi langsung menghampirinya. " sabar bro Lo harus tenang. " ucap Fandi menepuk pundaknya. " gw gak bisa tenang Lo tau kan anak sma nuasa itu kek apa gw cuma gak mau dia kenapa-napa. " balas rio. " iya kita tau tapi Lo liat tadi kan reva bisa ngelawan mereka gw yakin kok reva gak akan kenapa-napa. " ucap aldi. " Lo pikir dong dia itu cewe Lo tau kan sehebat apapun dia dia tetep aja cewe yang harus gw lindungin gak cuma gw kalian juga semua cewe itu lemah yang membuat mereka kuat itu cuma tingkat kepercayaan diri mereka aja supaya gak terlihat lemah. " balas rio yang benar-benar frustasi. " yaudah Lo tenang dong jangan kaya gini pokoknya kita harus jaga jaga sama mereka supaya gak ngelukain reva. " ucap Aldi yang ikut menenangkan nya. Rio yang merasa tidak bisa tenang langsung berjalan ke arah motornya dan langsung menaiki serta menjalankan motornya niat dia saat ini adalah mengikuti gadis itu dan memastikan apa benar gadis itu baik-baik saja dan sampai kerumah dengan selamat. Aldi dan Fandi yang melihat kepergian Rio juga langsung naik ke motornya mengikuti rio serta teman-teman yang lainnya. " kita ikutin rio. " ucapnya kepada ke lima orang temannya. tidak butuh waktu lama rio dan semua temannya yang mengikutinya sudah sampai di depan rumah mewah milik reva. Rio memberhentikan motornya dan membuka helmnya matanya tertuju mata motor sport berwarna biru yang di parkir tepat di rumah itu. Rasanya benar-benar lega melihat reva yang sudah ada di dalam rumahnya. " tuh kan rio gw bilang apa reva tuh gakappa. " ucap fandi yang ada dibelakangnya. " yaudah sekarang kita pulang. " balas rio yang kembali memakai helm nya. " engak mau nongkrong dulu nih di tempat biasa. " ucap pria yang bernama Jodi yang ada di belakang Fandi. " gak usah kita pulang aja. " balas rio dengan tegas. Dan sekarang mereka semua menjalankan motornya meninggalkan area rumah reva. Meskipun Rio melihat gadis itu baik-baik saja tapi kekhwatiran dia tidak bisa hilang begitu saja apalagi saat kejadian reva yang melawan mereka membuat rio harus terus berada disisinya terus meskipun reva akan selalu menjauhi dirinya. Sekeras apapun reva menentangnya rio akan terus berdiri tepat di sampingnya meskipun ini terasa sangat berat untuknya. revasiana Reva masuk kedalam rumahnya yang megah itu. gadis itu melewati ruang tamu yang menampilkan sosok Regar yang sedang duduk sambil membaca buku ditangannya. saat reva mau menaiki anak tangga menuju kamarnya tiba-tiba saja regar yang menyadari kedatangan adiknya langsung menghampirinya dengan menghalangi langkahnya. " tunggu reva. " ucap regar menahan gadis itu. " kenapa? " tanyanya beralih menatap Regar dengan kedua tangan di pinggangnya. " reva kaka tanya sama kamu kenapa kamu ke sekolah naik motor itu lagi? " ucap regar yang sama sekali tidak suka adik nya mengendarai motor sport itu. " Kaka udah bilang sama kamu reva untuk gak pake motor itu lagi kenapa kamu masih ngeyel. " lanjut regar. " Lalu? " aku harus nurutin gitu kalo ka regar ngelarang aku. " balas reva menaikkan kedua alisnya. " ya haruslah kamu itu cewe reva kamu gak pantes naik motor itu apalagi ke sekolah bahkan udah seribu kali Kaka ngomong ini sama kamu. " ucap regar dengan nada sedikit meninggi. " Lalu kalo aku tetap gak peduli sama semua larangan ka regar , ka regar mau apa? " tanyanya yang memancing emosi regar. Sorot mata regar kini berubah menjadi sangat menakutkan rahangnya mulai mengeras seolah dia kali ini benar-benar marah kepada adiknya itu. regar mendekati wajah reva sontak membuat gadis itu memundurkan badannya. walaupun sebenarnya dia tidak takut dengan ekspresi kakaknya itu tapi wajah reva kini seperti takut kepadanya aneh bukan seorang reva bisa punya ekspresi takut kepada pria yang ada di hadapannya saat ini yang merupakan kakanya. reva terus berjalan mundur hingga menabrak dinding di belakangnya. dan kini gadis itu tidak bisa pergi kemana-mana lagi karena posisinya sudah mentok sekarang. Sedangkan regar mengunci pergerakan adiknya dengan kedua pergelangan tangannya serta ekspresi yang masih menyeramkan itu. " Kenapa ka regar marah? " tanyanya seolah menantang regar padahal bisa saja reva menendang kakaknya tapi entah mengapa dia terasa tidak bisa melakukan nya. Regar tidak menjawab malahan dirinya semakin geram dengan adiknya. Reva berusaha mengatur nafasnya dan tetap tenang melihat regar yang sepertinya ingin memakannya lahap-lahap. regar mengangkat tangan kirinya yang sepertinya ingin memukul gadis itu. bola mata reva melirik ke kanan kiri seolah mencari sebuah pertolongan siapapun yang melihat disini. dan dalam hitungan detik tangan regar melayang di pipi Mulus reva eh tunggu regar tidak menampar gadis itu malahan dia mencubit kedua pipi adiknya setelah itu mengacak-acak rambutnya gemas. " dasar bocah nakal. " ucap regar tertawa kecil apalagi melihat wajah reva yang sepertinya takut kepadanya. " ka regar. " ucap reva yang tidak terima. dan gadis itu langsung menonjok perut regar. " Awww. " rintih regar memegang perutnya. tonjokan reva walaupun pelan tapi sakit juga ternyata. " gak lucu tau ka. " ucap gadis itu berjalan menaiki anak tangga meninggalkan regar yang masih kesakitan memegang perutnya. " eh reva sakit tau ini. " teriak regar kepada gadis yang telah masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya kasar. " kenapa kamu regar sakit perut. " tanya Andini menghampiri putranya yang kesakitan memegang perutnya. " ini mah ditonjok reva gila sakit banget ini mah bisa-bisa gak bisa kerja ini. " balas regar. Andini yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. " lagian kamu sih pasti ngisengin reva lagi ya makanya jangan isengin anak singa jadi gini kan. " ucap andini kemudian berjalan menuju dapur meninggalkan regar. " ah mamah gimana sih orang anaknya kesakitan juga. " gumam regar. ditempat lain dengan waktu yang sama rio duduk di kursi meja belajarnya entah mengapa sampai saat ini pikirannya hanya tertuju kepada reva gadis yang telah memenuhi seluruh isi otaknya. rio merasa benar-benar tidak bisa tenang apalagi mengingat kejadian tadi dia tau reva benar-benar jago bela diri apalagi berita yang selalu tersebar bahwa wanita cantik itu sering menghajar orang yang selalu mengganggunya. Walaupun rio juga pernah sih mengalami itu tapi rasanya rasa sakit akibat tonjokan reva hanya terasa beberapa saat saja entahlah mungkin karena rasa cinta yang ia punya semakin kuat. Rio membuka buku pelajaran matematika seolah-olah membolak-balikan halaman nya saja. merasa bosan didalam kamarnya rio pun langsung mengambil jaket kulit nya berwarna coklat keluar kamar. " rio kamu mau kemana sayang makan dulu yuk. " ucap hani yang melihat anaknya menuruni anak tangga. " Aku mau cari angin dulu mah. " balasnya. " bukannya rumah kita ini udah adem banget yah kamu ngapain nyari angin eem mama tau kamu pasti bukan mau cari angin kan pasti kamu mau liat reva kan. " ucap hani yang paham betul kepada anaknya yang sangat menyukai gadis itu. " iya nih mah abisnya aku kepikiran reva terus apalagi tadi dia habis ngelawan anak sma nuasa aku benar-benar gak bisa tenang mah takut reva Kenapa-napa. " ucap rio terus terang. " tapi reva gak terluka kan sayang. " ucap Hani khawatir. " gak mah mamah tau kan reva itu kaya apa aku kaya gak pernah liat dia terluka walaupun dia habis ngelawan orang yang jumlahnya itu gak sedikit. " balas rio dengan wajah khawatir nya yang tidak pernah hilang. " iya kamu bener rio apalagi waktu dulu mamah liat dia nyelametin mamah sama sekali gadis itu gak terluka padahal preman-preman itu megang pisau yang hampir aja melukai lehernya. " balas hani mengingat kejadian itu lagi. " yaudah yah mah aku pergi dulu. " ucap rio menyalami tangan mamahnya. " kamu gak mau makan dulu rio? " gak usah mah nanti makan diluar aja. " balas rio yang sudah berjalan keluar rumahnya. Rio mengendarai motor sport hijaunya niatnya kali ini adalah kerumah gadis yang sampai saat ini masih membuat dirinya khawatir setengah mati. tidak butuh waktu lama untuk rio sampai dirumah reva dan Rio memberhentikan motornya tidak jauh dari arah pandang rumah itu. rio melihat kearah gerbang rumah mewah itu dan ada seorang gadis yang keluar menggunakan motor sport nya. siapa lagi kalo bukan reva yang mengendarai motornya sport nya keluar dari rumah itu. rio yang melihat reva pergi dia pun langsung bergegas untuk mengikutinya. saat mengikuti gadis itu tiba-tiba saja reva memberhentikan motornya disalah satu tempat yang tidak asing baginya. danau singala tempat gadis itu memberhentikan motornya. reva membuka helmnya dan berjalan menuju danau itu disana ada bangku panjang sehingga gadis itu langsung duduk di sana sambil menatap ke arah danau. rio memarkirkan motornya jauh dari motor reva dia sengaja agar reva tidak mengetahuinya bahwa rio mengikuti nya. gadis cantik itu menatap kosong kearah danau di depannya entah apa yang dirasakannya saat ini dia sendiri tidak bisa menjelaskan tentang perasaan nya saat ini. keheningan di danau ini membuat dirinya larut ke dalam suasana. reva menyukai danau ini dia sering sekali datang kesini kerena baginya keheningan di danau inilah yang membuat reva bisa merilekskan tubuh dan pikirannya. Rio memperhatikan gadis yang duduk di depan danau itu dibalik pohon besar yang berjarak sekitar lima meter lebih dari danau itu. sejujurnya rio ingin sekali menemani nya duduk disana tapi dia ngurungkan kembali niatnya. Rio tidak mau jika sampai merusak tempat yang membuat gadis itu terasa begitu nyaman. reva mengeluarkan mobil mainan yang sangat kecil berwarna biru dari saku jaketnya. gadis itu membolak-balikan mobil mainan yang dipegangnya dan tiba-tiba satu butir air mata jatuh ke wajah mulusnya dan reva langsung menyapu butir airnya dengan ibu jari nya. rio memperhatikan lekat-lekat benda kecil berwarna biru yang dipegang olehnya. dan ternyata itu adalah mobil mainan kecil dan dibalik mobil mainan kecil itu ada sebuah nama yang terukir disana namun rio tidak bisa melihatnya kerena jarak pandangnya yang jauh dan lagipula untuk apa reva memegang mobil mainan itu. Reva mengusap air matanya lagi dan menaruh kembali mobil mainan kecil itu ke saku jaketnya. keajaiban bukan seorang reva bisa menjatuhkan dua butir air mata di pipinya dan hanya rio yang melihatnya. rio menarik nafasnya dia berusaha untuk tidak berpikir apa-apa tentang kondisi reva saat ini dan dirinya masih tetap setia melihat gadis cantik itu dibalik pohon besar. reva yang merasa dirinya sudah cukup tenang gadis langsung berjalan ke arah motor sport nya yang terparkir tepat dibelakangnya. raut wajah reva seperti menyimpan banyak misteri yang membuat rio tidak bisa memecahkan nya. rio menaiki motornya dia mengikuti gadis cantik itu lagi. ditengah perjalanan motor reva yang melaju dengan kecepatan rata-rata dihadang oleh banyak nya pria yang mengendarai motor-motor sport juga. reva turun dari motornya dia yang merasa tidak nyaman langsung membuka helmnya dan ternyata mereka adalah anak-anak yang tadi di hajar olehnya. " mau apa lagi kalian. " tanya reva dengan tatapan tajamnya mengarah kepada mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang kali ini sepertinya anak nuasa menambah jumlah anggotanya. dion yang merupakan ketua dari mereka turun dari motornya dan membuka helmnya dikuti yang lainnya juga. " gw cuma pengen tau apa cewe kaya Lo bisa tumbang. " ucap dion dengan senyum liciknya. dan semua temannya tersenyum tipis kepada gadis cantik itu. " Lo ternyata masih belum puas yah keknya harus ada bagian tubuh Lo yang patah biar supaya lo gak kebanyakan mimpi bisa ngalahin gw. " balas reva menantangnya. Reva sama sekali tidak takut dengan jumlah mereka yang bertambah banyak apalagi badan mereka cukup tinggi dan besar-besar. " Waw ternyata Lo cewe yang tingkat kepercayaan diri nya cukup tinggi yah padahal Lo itu cantik dan seharusnya cewe kaya Lo itu bisa lemah sama kita apalagi Lo cuma sendiri. " ucap dion yang mendekati gadis itu. merasa tidak terima dengan ucapan dion reva langsung menonjok wajah nya hingga mengeluarkan darah segar dari hidung nya. dion mengelap darah segar yang keluar dari hidung nya akibat tonjokan reva yang begitu kuat bukannya kesakitan tapi dia malah tersenyum tipis. " waw boleh juga Lo yah. " ucap dion yang mengintruksikan kepada semua teman-temannya untuk menyerang gadis itu. reva menepis semua tangan mereka yang hampir membuat dirinya kurang keseimbangan. dengan kelincahan nya satu persatu dari mereka mulai jatuh tersungkur lagi jumlah mereka memang banyak tapi itu sama sekali tidak membuat nya takut. Rio memberhentikan motornya dia langsung membuka helmnya pandangan matanya kini tertuju pada reva yang lagi-lagi melawan anak nuasa. ternyata dugaan rio benar anak nuasa pasti akan membalas dendam kepada gadis itu mereka pasti akan mencari sisi kelemahan nya. dengan raut wajah emosi serta kekhawatiran rio langsung berlari ke arah gadis itu dan membantunya melawan mereka semua. sepuluh dari mereka sudah tumbang karena reva yang sangat lihai menendang perut mereka hingga jatuh tersungkur. dan kini Reva berhadapan dengan dion yang masih saja tersenyum miring kepadanya. tanpa aba-aba reva langsung menghajar dion. rio yang melihat dirinya berhadapan dengan dion langsung berlari ke arah gadis itu. gadis cantik itu menepis tangan dion yang mencoba memukul kepalanya dia langsung memelintir tangannya hingga dion merintih kesakitan. " kenapa Lo belum puas kan sekarang gw bakalan bikin Lo lebih puas. " Kata reva yang memperkuat pelintiran nya hingga mengeluarkan suara patahan dan gadis itu langsung menendang punggung dion hingga jatuh tersungkur. " Lo ngapain disini gw gak butuh bantuan Lo. " ucap reva menyadari ada Rio disampingnya. " gw gak perduli reva. " balas rio menatap cemas kepada gadis itu. Saat reva dan rio berbincang dion yang masih bisa berdiri mengambil pisau lipat yang cukup tajam di sakunya dia langsung bangkit untuk menusuk gadis itu rio yang melihat dion ingin menusuk reva dengan sigap rio menghadang dion dan memeluk tubuh reva dari belakang. tepat saat itu pisau lipat yang tajam itu menusuk pinggang rio. " agh. " rintih rio. dion yang merasa puas Langsung memerintahkan semua temannya untuk pergi dari tempat ini. " kita cabut. " pinta dion walaupun sasarannya kali ini meleset tapi dion merasa puas karena rio lah yang tertusuk pisau tajam itu. rio jatuh di depan gadis itu sambil memegang pinggangnya. " udah gw bilang Lo gak usah ikut campur liat sekarang Lo jadi kaya gini. " ucap reva berjongkok memegangi kepala rio. " gw gak akan bisa reva sekeras apapun Lo menolaknya. " balas rio yang menahan rasa sakitnya. " Lo tau dengan Lo kaya gini gw semakin benci sama Lo rio. " ucap reva dengan raut wajah yang sulit diartikan. " gakpapa reva semakin Lo benci gw maka semakin besar rasa cinta gw sama Lo. " ucap rio yang kini menutup matanya. " rio bangun rio bangun rio. " kata reva yang menggoyang-goyang kan tubuh rio. reva mengambil handphone di saku jaketnya dia langsung menghubungi ambulans untuk membawa rio kerumah sakit. tidak butuh waktu lama ambulan itu sudah tiba didepan nya. " tolong bawa dia. " ucap reva tanpa mengeluarkan air mata. " baik dek. " ucap petugas ambulan yang langsung mengangkat tubuh rio masuk kedalam ambulan itu. reva naik ke motornya mengikuti ambulan itu perasaan nya saat ini benar-benar kacau saat melihat rio menyelamatkan nya padahal reva bisa menghindari pisau itu tapi mengapa rio bodoh sekali malah dia membuat dirinya tertusuk pisau tajam itu. sesampainya di rumah sakit reva duduk di depan ruang ICU dengan wajah yang terlihat seperti mengkhawatirkan pria yang berada didalam ruang itu. dokter keluar dari rungan itu dan reva langsung berdiri untuk menanyakan keadaan nya. " gimana dok keadaan dia. " tanya reva. " Alhamdulillah dia baik-baik saja karena cepat ditangani luka di pingganya tidak terlalu parah dan kami sudah menjahit luka goresan pisau yang ada di pinggangnya. " ucap dokter deni. " baiklah makasih dok. " balas reva yang merasa lega. " sama-sama kamu juga udah boleh kalo mau liat dia saya permisi. " ucap dokter deni menepuk pundak reva berjalan meninggalkan nya. reva bolak-balik didepan ruangan itu dia tidak tahu apa dia harus masuk kedalam untuk melihat keadaan rio atau menunggu Aldi dan Fandi yang tadi sudah dia telpon bahwa rio ada dirumah sakit. " mana rio. " tanya Fandi yang tiba-tiba datang bersama dengan aldi. " dia didalam. " balas reva dingin. " emang apa sih yang terjadi Sampe rio masuk kerumah sakit. " tanya Aldi cemas. " Mending Lo tanya aja sama orangnya didalam. " balas reva yang langsung pergi meninggalkan mereka. " udahlah ayo kita liat keadaan rio. " ucap Aldi yang menahan emosi nya. Fandi dan Aldi masuk kedalam ruang ICU dan ternyata rio sudah membuka matanya lebih dulu sebelum mereka datang. " Lo kenapa bisa kaya gini Rio? " tanya Aldi yang sedikit cemas. " gakpapa kok cuma kecelakaan kecil aja. " balas rio yang mencoba bangkit dari brankar itu. " Pasti karena reva lagi yah Lo kek gini. " ucap fandi seolah dia sudah mengetahuinya. " engak kok bukan karena dia. " bela rio. " terus kenapa reva ada disini kalo bukan karena dia siapa lagi. " ucap fandi. " udahlah gw gakpapa aman kok. " balas rio menepuk pundak fandi yang duduk di brankar nya. reva masuk kedalam ruangan icu dan dia sudah melihat rio memutar bola matanya malas apalagi ada Aldi dan juga Fandi disana. " nih bubur ayam buat Lo dan biaya rumah sakit ini udah gw bayar. " ucapnya dingin yang menaruh bubur itu di meja. Fandi dan Aldi menatap heran perlakuan reva yang tiba-tiba saja datang membawa bubur untuk rio padahal reva sama sekali tidak peduli dengannya. reva menatap malas ke arah mereka yang menatapnya dia langsung berjalan keluar. " tunggu reva. " panggil rio dengan suara serak nya menghentikan gadis itu. " Aldi Fandi Lo keluar dulu yah. " pinta rio kepada kedua temannya. aldi menarik tangan Fandi ke luar mengikuti perintah rio untuk membiarkan mereka berbicara. reva membalikkan badannya menatap malas ke arah rio yang sepertinya akan membicarakan hal-hal yang tidak penting untuk di dengar. " reva gw mohon sama Lo untuk gak berurusan lagi sama mereka karena sekuat apapun Lo Lo pasti bisa terluka dan gw gak mau itu terjadi. " ucap rio menatap gadis itu penuh kecemasan. " Lo siapa ngatur-ngatur gw oh atau Karena Lo nolong gw jadi Lo berhak gitu buat ngatur gw dan asal Lo tau gw gak pernah berurusan sama mereka mereka sendiri yang cari masalah sama gw dan Lo cowo lemah gak usah sok perduli sama gw. " balas reva kasar membalikkan badannya untuk segera pergi dari ruangan ini. " Sampe kapan reva sampe kapan Lo selalu nutup hati Lo sampe kapan reva Lo gak pernah liat gw sampe kapan hati Lo terus keras sama gw apa salah gw yang membuat Lo gak pernah suka sama gw reva perasaan gw reva Lo gak pernah liat bahkan ngerasain sedikit pun. " ucap rio membuat gadis yang ingin keluar dari ruangan ini mengentikan langkahnya. Saat ini rio benar-benar sudah kehabisan akal bagaimana lagi caranya untuk tetap bisa selalu ada disamping gadis yang tidak pernah menengok sedikit ke arahnya. " Apa yang Lo suka apa yang membuat Lo jatuh cinta sama gw? " tanya reva memutar balikkan tubuhnya lagi. " karna penampilan atau karna kejadian satu tahun lalu Lo mengatakan bahwa itu namanya jatuh cinta? " Setelah berkali-kali Lo terluka karna gw lu pikir gw akan menerima semuanya menerima perasaan Lo dan setelah gw bisa menerima Lo apa Lo bisa jamin bahwa Lo benar-benar cinta sama gw atau mungkin nantinya malah Lo yang berbalik buat nyakitin gw karna semua sikap gw selama ini gitu maksud lo kan. " ucap reva dengan nada yang sedikit meninggi. " dan asal Lo tau selama ini Lo bukan terluka karena gw tapi Lo sendiri yang ngelukain diri Lo berkali-kali gw suruh Lo buat mundur tapi apa Lo tetap aja memaksakan ego lo sehingga Lo pikir Lo bisa buat gw merasa bersalah gitu? " Lo salah rio karna sampai kapanpun Lo gak akan pernah bisa dan gak akan pernah hati gw terbuka untuk Lo. " ucap reva langsung berjalan keluar meninggalkan rio yang masih menatapnya. hati rio terasa seperti ada sesuatu yang menusuknya betapa tajamnya semua perkataan yang keluar dari mulut reva. sangat menyakitkan bukan mencintai seseorang yang tidak mau sedikit pun membuka hatinya. Mencoba melindungi nya meski pun dia tidak pernah menoleh ke arahnya menggapai dirinya yang terus semakin jauh hingga kecurigaan gadis itu terhadap dirinya kian selalu menggores kan rasa sakit di hati rio. rio yang selalu berkata mencintai gadis itu yang tidak pernah di percayai nya. reva benar-benar gadis yang mudah sekali membuat orang berhenti menyukainya. tetapi itu sama sekali tidak mempengaruhi rio untuk berhenti memperjuangkan rasa cintanya kepada reva. rio percaya bahwa segala perjuangan akan ada hasilnya mesti tidak terlihat meskipun berkali-kali reva selalu menyangkalnya. dan dia percaya reva gak akan pernah bisa melawan takdir untuk nya yang saat ini sangat dinantikan oleh pria yang duduk di brankar ruang icu. Fandi dan Aldi kembali masuk kedalam ruangan. Wajah rio yang terlihat begitu murung membuat mereka tidak tahu harus melakukan apa untuk menghibur nya. " rio udahlah jangan dipikirin bro mending Lo makan aja buburnya kan yang beliin reva yah walaupun keknya ngasihnya gak ikhlas sih. " ucap Fandi mencoba menghibur rio. mendengar ucapan Fandi Rio langsung mengambil bungkus bubur itu dan langsung menyantap nya lahap. " wuih laper juga dia. " sahut aldi melirik ke arah Fandi. " berisik Lo pada mau gak? tawar rio. " eem gak deh buat Lo aja. " balas Fandi yang cengar-cengir. " iya udah abisin biar pun gak ikhlas tetep enak kan. " ucap Aldi terkekeh. Rio kembali menyantap bubur itu hingga abis sementara Fandi dan Aldi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah rio yang terlihat sama sekali tidak sakit padahal dia masuk ruang icu yang hampir saja membuat Aldi dan Fandi jantungan saat mendengar kabar bahwa dirinya ada dirumah sakit. 🌁 keesokan harinya dilapangan basket sma mark high school damar dan semua teman-temannya masih sibuk latihan basket padahal hari ini hari libur tapi mereka semua memanfaatkan nya untuk latihan kerena nanti tim basket damar akan bertanding dengan sma nuasa yang merupakan musuh besar rio dan temen-temennya. di ujung lapangan basket gadis cantik yang mengenakan jins putih serta jaket kulit berwarna hitam duduk dengan arah pandang ke lapangan basket itu. " damar udah ada yang nunggu lo liat deh keknya ngajakin malmingan tuh. " ucap salah satu teman damar yang bernama Faldi memegang bola basket yang di opernya. damar menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Faldi. dan benar dugaan nya pasti itu riana kekasihnya yang selalu setia menunggu nya disaat dirinya masih sibuk latihan basket. riana yang melihat damar tersenyum padanya dan langsung membalas nya. Damar menangkap bola basket yang dilempar temanya dan memberikan instruksi kepada anggota tim basket nya. " hari ini cukup latihannya besok Senin kita harus lebih giat lagi sekarang gw mau pacaran dulu yah kalian pulang kerumah masing-masing aja. " ucap damar terkekeh. " uhh damar" seru mereka semua yang merasa iri kepada nya. " yaudah kita balik bro. " ucap Faldi dan semua temannya. " oke hati-hati yah. " balas damar dan dia langsung berjalan menghampiri riana. " nih minum dulu. " ucap riana memberikan air mineral yang sudah ia siapkan dari tadi untuknya dan damar langsung meneguk air mineralnya. " capek yah latihan terus. " tanya riana lembut. " eem engak sih kan ada kamu terus disini jadi gak akan terasa cape." balas damar mencubit hidung riana gemas. " ah kamu bisa aja. " ucap riana tersipu malu. " oh iya pacar aku udah cantik begini mau kemana sih. " tanya damar memerhatikan riana yang sangat cantik hari ini. " eem keknya aku mau cari cowo yang bening-bening deh yang bisa buat jantung aku selalu berdebar-debar. " ucap riana tertawa kecil meledek damar. " ooh gitu mau yang bening-bening yah emang kamu gak berdebar kalo liat aku. " balas damar mendekat kan wajahnya. " eem enggak sih cuma jantungan aja dan untung gak masuk rumah sakit. " balas riana yang cengar-cengir. " uh kamu nih. " balas damar kini mencubit kedua pipi riana yang sedikit chubby. " ih kamu jangan dicubitin terus entar kalo tambah chubby pipi aku gimana. " decak riana. " biarin aja. " balas damar yang mencubit pipi riana lagi. dana riana hanya bisa pasrah sih lagian kalo dia marah gak jadi romantis kan. " mau makan gak. " tanya damar menyudahi dirinya yang mencubit pipi riana terus. " Mau dong aku laper banget nih. " balas riana manja. " yaudah yuk kita cari makan yang enak. " ucap damar bangkit dari tempat duduknya mengulurkan tangannya agar Riana bisa menggenggam nya. " let's go. " balas riana bergelendot di tangan damar dengan manja. riana dan damar benar-benar pasangan yang romantis hampir banyak orang di sma mark high school yang mengagumi bahkan iri terhadap hubungan mereka. Description: Revasiana Safina gadis yang memiliki paras yang sangat cantik, otak jenius, perfeksionis, disiplin dan selalu menjadi murid terbaik di SMA Mark High school. selain punya wajah yang cantik dan otak yang cerdas reva juga jago bela diri gadis ini pernah mematahkan kaki seorang laki-laki yang menjadi tandingannya di olimpiade karate tingkat nasional. sikapnya dingin cuek dan jutek kepada semua pria yang mencoba untuk mendekati jika mereka berani nyentuh reva maka tidak segan-segan gadis itu akan mematahkan semua tulang-tulang nya. dan itu semua tidak berlaku untuk Rio Andrana, cowok tertampan disekolah yang memiliki wajah yang putih bola mata berwarna kecoklatan postur tubuh yang sempurna. dibalik kesempurnaan itu Rio adalah murid yang nakal, nilainya selalu jelek, pembuat onar dan suka tawuran. banyak wanita yang mengejar-ngejarnya bahkan mereka tidak perduli dengan kebobrokan yang Rio punya mereka hanya terpikat oleh wajahnya yang tampan bak malaikat. Rio tidak menyukai gadis-gadis yang selalu mengejar nya dia hanya menyukai Reva sejak suatu kejadian yang hampir membuat Rio kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya disitulah Rio menyukai reva yang sampai saat ini sulit untuk didapatkan. sudah hampir berjalan satu tahun Rio mencoba untuk meluluhkan hati gadis itu dengan segala cara serta pengorbanan yang Rio lakukan tidak membuat reva melirik ke arahnya Reva sama sekali tidak tertarik dengan Rio yang selalu di puja-puja para wanita disekolah gadis itu tahu bahwa Rio hanya sekedar penasaran atau karena gadis itu telah menolongnya bagi nya itu benar-benar sangat basi. apakah Rio bisa mendapatkan hati Reva? dan apakah Rio benar-benar tulus kepadanya? serta reva akankah dia bisa membuka hatinya setelah melihat segala pengorbanan yang Rio lakukan atau dia tetap kepada pendiriannya untuk tidak jatuh cinta dengan siapapun. yuk langsung aja baca ceritanya::) # sulit # Reva # Rio #double R
Title: Rank or Love? Category: Novel Text: Morning Mood Dua mobil mewah memasuki gerbang SMA Nusantara. Pengemudi sama-sama seorang gadis cantik dan bertalenta. Siswa-siswi di sekitar langsung menatap kedua mobil tersebut dengan decakan kagum. Tak sedikit terdengar berbagai pujian-pujian di lontarkan membuat suasana semakin terasa berbeda. Mobil terparkir rapih. Pintu sisi kemudi terbuka secara bersamaan. Decakan kagum kembali terdengar. Kali ini, di iringi tatapan minat dan penuh tanya. Gadis berlesung pipi membenarkan letak kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya. Rambut gerai berombre coklat gelap dan coklat terang itu terlihat semakin indah saat tertiup angin. Ia menutup pintu dengan keras. Tersenyum sinis pada gadis yang berada tepat di samping mobilnya. Keadaan berbanding. Satu gadis lagi terlihat diam menatap malas dengan rasa pongah. Ia menekan salah satu tombol pada kunci mobil sebagai tanda kunci. Menyampirkan jas almamater kebanggaan pada tangan kiri, tangan kananya Ia gunakan untuk merapihkan beberapa helai rambut memberi kesan mempesona seketika. Berjalan angkuh. Derap langkah membawanya ke hadapan gadis yang menjabat sebagai rival sejati selama Ia bersekolah di sini. "Selamat pagi, My Enemy," sapa Seryl seraya tersenyum ramah. Maksudnya, pura-pura ramah. Tertawa hambar. "Siap menerima kekalahan hari ini?" tanya Audy. "Oh, tentu saja iya!" jawab Seryl cepat. Ia kemudian mendekatkan diri mengikis jarak di antara mereka. "Kalo lo emang ajak gue ke dunia mimpi lo." "Sh- "Sstt.." Ia menempelkan jari telunjuknya pada bibir gadis di depannya. "Tidak baik mengumpat di depan seorang ketua osis." Menepis kasar. "Masih ada satu point lagi untuk lo mencapai gelar itu. Dan jangan lupakan bahwa skor di antara kita sampai saat ini adalah gue pemenangnya. Jadi, tolong untuk sadar diri." Berdecak kesal. Ia mengerucutkan bibirnya membuat siswa-siswi di sskitar mereka menahan rasa gemas. "Tapikan walaupun kayak gitu, kamu gak boleh terlalu percaya diri, tau!" Mata bulat itu mengerjap lucu. Ia semakin membuat gaduh sekitar dengan teriakkan menahan gemas. "Eh, gak papa deh ... Biar kalo kalah 'kan jatuh malunya beda rasa!" lanjutnya. Ia kemudian berbalik pergi meninggalkan area parkir dan rasa geram pada diri sang rival. "Liat aja! Gue, Maudy Frasia Lenora, gak bakal membiarkan harga dirinya jatuh hanya karena seseorang yang tak pantas untuk menang." Mengangkat dagu penuh percaya diri. Siswi cantik yang akrab di sapa Audy ini, berjalan angkuh saat melewati para siswa-siswi yang berada di sisi jalannya. OoO "Oke, soal pertama! Dalam penerapan hukum Hess, kadangkala persamaan termokimia yang tersedia perlu dimanipulasi terlebih dahulu, ada yang bisa menyebutkan semua aturan memanipulasinya secara rinci?" Audy mengernyit bingung merasa tidak asing dengan pertanyaan yang baru saja di lontarkan. "Iya Seryl, apa jawabannya?" "Aturan memanipulasi termokimia ada tiga. Ketika persamaan reaksi dibalik, tanda nilai ΔH juga harus dibalik.Substansi yang dihilangkan dari kedua sisi persamaan reaksi harus dalam fase yang sama.Jika semua koefisien dari suatu persamaan reaksi dikali atau dibagi dengan faktor yang sama, maka nilai ΔH reaksi tersebut juga harus dikali atau dibagi dengan faktor tersebut." Mendengus kesal. Audy merutuki kinerja otaknya yang lambat Menjetikkan jarinya puas. "Benar sekali. Kepintaran kamu memang tidak perlu diragukan lagi," kata Pak Setya. Seryl tersenyum menanggapi. "Tapi Seryl, ini masih soal pertama," Pak Setya bergerak membolak balik halaman buku paket kimia dengan acak. "Oke! Lanjut, soal kedua!" serunya. "Semakin sering terjadinya tumbukan partikel maka semakin besar peluang terjadinya?" "Tumbukan efektif sehingga laju reaksi juga menjadi semakin cepat." jawaban kembali datang dari Seryl saat Audy terlihat baru membuka mulut. Pak Setya menaikkan kedua alisnya menatap Seryl. "Baiklah, kita akan mencoba yang lebih sulit! Ada yang bisa menyebutkan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi? Hanya point dan contohnya saja!" Audy menjawab cepat. "Pertama. Konsentrasi reaktan, dengan contoh, dalam reaksi korosi besi di udara, laju reaksi korosi besi lebih tinggi pada udara yang kelembabannya lebih tinggi. Kedua. Wujud fisik reaktan, sebagai contoh, pada reaksi pembakaran kayu, akan lebih mudah dan cepat membakar kayu gelondongan yang telah dipotong menjadi balok-balok kecil dibanding dengan langsung membakar kayu gelondongan tersebut. Ketiga. Temperatur, untuk contohnya, pada reaksi glowing stick menyala atau reaksi chemiluminescence, glowing stick menyala lebih cepat dan terang di dalam air panas dibanding dalam air dingin. Keempat," Audy menggigit bibir bawahnya gugup. Ini adalah bagian yang memang sering Ia lupakan. Lebih tepatnya, ini bisa di bilang sebagai bagian yang sangat sulit di ingat lama oleh memori otaknya. Semua yang berada di dalam kelas mengernyit heran. "Kenapa berhenti Audy?" tanya Pak Setya. Seryl melemparkan tatapan meremehkan. Ia kemudian mengangkat satu tangannya mengalihkan seluruh perhatian kelas. "Boleh saya yang menjawab sisanya Pak?" "Jika kamu tahu," Mengangkat bahu acuh. "Untuk apa tidak boleh?" "Faktor terakhir adalah keberadaan katalis. Untuk contoh, Saya mengambil contoh Katalis Homogen. Katalis NO(g) digunakan pada reaksi pembentukan SO3(g) seperti reaksi 2SO2(g) O2(g) NO(g ) → 2SO3(g) NO(g)" "Sempurna! Sepertinya ini adalah soal terakhir. Menyetarakan atom O dengan H2O(l), lalu menyetarakan atom H dengan H (aq) Ini adalah metode apa?" Hening. Untuk soal terakhir ini, semua siswa-siswi terlihat kebingungan memikirkan jawaban. Beberapa menit kemudian, Seryl tersenyum senang saat tiba-tiba saja sekelebat ingatan hinggap di otak cantiknya. Ia mengangkat tangan kembali membuat seluruh pandangan seketika mengarah kepadanya. "Kalo tidak salah metode Setengah-Reaksi atau Ion-Elektron. Tapi, sepertinya itu pembelajaran di kelas dua belas," Seryl memelankan kalimat terakhir. "Tepat sekali! Saya semakin bangga dengan kamu. Bagaimana bisa tahu?" "Waktu itu saya salah meminjam buku Pak. Seharusnya saya meminjam buku kelas sebelas, tetapi saya malah meminjam buku kelas dua belas. Karena baru menyadarinya saat malam hari ketika berada di rumah. Akhirnya, untuk menghilangkan rasa bosan, saya iseng-iseng baca, Pak." tutur Seryl. "Iseng? Kamu bilang iseng?" tanyanya memastikan. Seryl mengangguk ragu. "Iseng tapi masih bisa di ingat. Heran saya sama kamu." Pak Setya menggeleng takjub. Seryl tersenyum kikuk. Mengusap tengkuknya pelan. Ia memang benar-benar iseng kok pada saat itu. Masa respon mereka selebay ini? Hm.. Mungkin Seryl kurang tau diri. "Oke anak-anak! Waktu pergantian jam sebenarnya tersisa 15 menit lagi. Tapi, berhubung saya memiliki kepentingan. Jadi, pembelajaran kita cukupkan sampai di sini. Kita lanjutkan di pertemuan berikutnya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." jawab kami serempak. Setelah Pak Setya menghilang dari pandangan. Seryl melipat kedua tangan di atas meja dan bersiap untuk tidur. Merasa di perhatikan, sebelum menjatuhkan kepalanya. Ia menoleh ke sebelah kanan dengan alis terangkat. Benar saja. Ternyata, Audy sedang melayangkan tatapan permusuhan yang sedikit berbeda kepadanya. Seryl membalas dengan satu sudut bibir terangkat. Matanya menatap tanpa rasa takut sebelum berakhir dengan Audy yang memutuskan kontak pandang mereka. Seryl beralih apatis. Ia memilih untuk meneruskan niatnya sebelum tenaga pengajar mereka selanjutnya datang. Audy memejamkan mata erat menahan segala gejolak amarah dalam dirinya. Ah, tidak! Kali ini rasa kecewa lebih mendominasi. Sebenarnya, Ia benci mengakui hal ini. Tapi, faktanya memang ini perlu di akui. Seryl memang selalu unggul dalam prestasi walaupun terlihat tidak pernah belajar. Berbanding terbalik dengan Audy yang harus merelakan waktu remajanya untuk mengikuti berbagai les tambahan agar Ia terlihat pantas bersanding dengan seorang Cassandra Seryl Durant. Fardan Mahendra Seryl mengerjapkan bola matanya terkejut melihat siapa yang berdiri dengan senyum menyebalkan itu di depan pintu rumahnya. "Long time no see, my girl!" seru orang tersebut merentangkan kedua tangannya. Jujur, Seryl sangat-sangat ingin berlari menumbrukkan diri pada orang tersebut. Tetapi, Ia harus bisa menahnnya untuk menunjukkan betapa kesalnya Ia sekarang. "Tidak ingin memelukku, heh?" tanya orang tersebut dengan kedua lais yang dinaik turunkan. Seryl menggigit pipi bagian dalam menahan senyum. Ia berdehem pelan kemudian berbalik melengos pergi. Membiarkan ointu terbuka dan orang gila yang sedang terkekeh gemas. Menggelengkan kepala tidak mengerti. Ia berjalan menyusul gadisnya dengan langkah lebarnya. Saat Seryl akan menaiki satu anak tangga, dengan cepat Ia menarik tangan kiri Seryl membuatnya berbalik dan langsung saja berada dalam dekapannya. "Ish, lepasin gak?!" berontak Seryl. Satu tangannya Ia gunakan meumukul dada bidang lelaki yang menjabat sebagai kekasihnya. Bukannya menurut, Ardan malah semakin mengeratkan pelukannya dan sesekali mengecup puncak kepala Seryl dengan lembut. "Ayolah, sayang.. Seperti inikah caramu melepas rindu?" Seryl diam dengan kaki di hentakkan. Tak ayal, kedua tangan mungil itu pada akhirnya membalas pelukan kekasih tak kalah erat. Runtuh sudah pertahannya hanya dengan mendengar suara lembut Ardan? Benar-benar bucin sekali Cassandra Seryl Durant ini... Tawa Ardan mengudara. Ia sudah sangat yakin bahwa Seryl tak akan pernah mampu kesal lama dengannya. "Jadi,- Meregangkan pelukan mereka. Kedua tangan Ardan bertengger manis pada sisi pinggang kekasihnya. Kepalanya sedikit Ia tundukkan untuk melihat raut wajah Seryl dari jarak sedekat ini. -Apa kesalahanku kali ini sampai membuatmu begitu kesal?" tanya Ardan lembut. Seryl mengerucutkan bibirnya menatap Ardan dengan nyalang. Bukannya takut, Ardan malah mengulum senyum menahan gemas. "Kok selama seminggu ini kamu gak kabarin aku? Udah gitu, post foto cewek seksi lagi di Instagram! Dia siapa? Selingkuhan kamu? Iyah?!" sentak Seryl memburu. Oke, Ardan tertawa keras dengan sebelah tangan memegang perut. Ternyata, gadisnya ini sedang cemburu? "Kau lucu sekali, sayang.. Haha.." tawa Ardan belum berhenti. Ditambah melihat wajah memerah Seryl karena kesal membuat Ia sulit mengontrol diri. Seryl berdecak kesal dengan kedua tangan yang di kepalkan dan memukul Ardan membabi buta. "Haha, oke, oke.. Hentikan,- Ardan mengambil dua tangan Seryl dan mengecupnya lembut. -Nanti tanganmu sakit jika memukulku sekuat itu," nasihatnya. Ya Tuhan! Kenapa dia manis sekali? "Ekhm! Cie blushing cie.. Pacar aku blushing nihh, cie.." goda Ardan. Seryl menyentak tangan Ardan yang mengganggu pipinya. Ia mengulum senyum kemudian berbalik pergi menuju ruang tamu. Ardan menarik Seryl agar duduk di samoingnya. Ia menggantungkan tangan kirinya pada bahu sempit milik Seryl seraya memastikan Seryl bersandar pada dada bidangnya. "Aku sengaja gak ngabarin kamu supaya pekerjaan aku cepet selesai dan aku bisa ketemu kamu tanpa harus nunggu bulan depan. Soal postingan instagram dua hari yang lalu, dia namanya Flera, anak dari tante Ana," jelas Ardan Seryl menggigit bibir bawahnga gugup. Ternyata, Ia cemburu pada sepupu kekasihnya sendiri? Memalukan! Ardan menatap Seryl mengerti. "Udah, gak papa.. Gak usah malu gitu, kamu 'kan emang belum tau dia siapa. Jadi wajar aja kalo kamu cemburu," terang Ardan Oke, Seryl malas mengakui tapi ini adalah sebuah faktanya. Ia benar-benar malu sekarang... "Udahlah, gak penting! Sekarang, mana oleh-oleh dari Aussie buat aku?" tangan Seryl menengadah membuat Ardan tersenyim jahil. "Oh iya, sayang.. Sorry banget aku lupa bawa oleh-oleh kamu.." sesal Ardan memohon. Ralat, pura-pura memohon. "Ya udah ayo ambil, ketinggalan di mana? Apart? Rumah? Atau dimana?" tanya Seryl. "Em, itu-aduh! Di.. "Dimana?" "Di pesawat." "Hah?" "Hah?" ulang Ardan mengikuti gaya bicara Seryl. "Ish! Aku serius, Ar! Dimana ketinggalannya?" kesal Seryl. Bukannya menjawab, Ardan malah menarik kedua pipi Seryl dan menggoyangkannya ke kanan ke kiri membuat Seryl memukul-mukul tangannya. "Pacar siapa sih, kamu? Kok gemesin banget," Ardan melepas cubitannya kemudian mengelus pipi Seryl lembut. Tersenyum smirk. "Pacarnya bang Farel, dong.. Siapa lagi?" jawab Seryl cepat. Fardan yang mendengarnya langsung saja mengapit kepala Seryl memendam emosi. "Aaa! Ardan!" pekik Seryl. "Lagian kam- "Loh, ada apa ini?" tanya Lara -Bunda Seryl. "Hwaa.. Bunda.. Tolongin Seryl.." seru Seryl membuat Ardan mengerjap kaget. "Eh Ardan? Kamu kapan datang? Udah lama? Kok Bunda gak denger yaa?" "Enggak kok, Bun. Ardan emang baru dateng." jawab Ardan tanpa melepaskan jepitannya pada kepala Seryl. "Em, kalo boleh tau.. Itu anak tante kenapa?" "Oh ini... Biasalah Bun, Seryl daritadi nakal banget pengen makan makanan pedes," alibi Ardan. Seryl melotot tak terima. "Bisa banget boongnya! Enggak Bunda, tadi Ardan tanya Seryl pacar siapa, terus Seryl jawab jujur, 'kan Seryl pacarnya bang Farel, salah gak, Bunda?" Seryl membuat ekspresi sepolos mungkin. Tidak ingin ikut campur. Lara memilih berdehem canggung, kemudian meminta maaf untuk pergi keluar ada urusan sebentar. "Hwa.. Bunda! Bunda! Jangan tinggalin Seryl, Bunda! Monster jahatnya mau kubur Seryl hidup-hidup, masa?!" teriak Seryl memanggil Lara yang sudah setengah jalan. Ardan menggeleng tak mengerti dengan tingkah pacarnya yang luar biasa ini. Ia menurunkan tangannya, menyentil pelan kening Seryl dengan kesal. "Lebay deh kamu! Lagian, suruh siapa buat aku kesel? Pake bawa-bawa si bang itu lagi!" Seryl tergelak. Saking posessifnya, Ardan sampai kesal hanya dikerjai dengan menyebut nama abangnya sendiri? Well, mungkin jika Seryl menyebut nama orang lain, Ardan akan langsung membunuhnya? Hm, berlebihan. Seryl mencoba mengenyahkan pemikiran bodoh itu dari kepalanya. Membuat Ardan menatap Ia bingung dan aneh. "Ayo, Ar!" ajak Seryl menarik tangan kanan Ardan. Sebelah alisnya naik memperhatikan gerak-gerik Seryl. "Ck! Ayo ambil oleh-oleh aku! Gak percaya sama seorang Fardan Mahendra meninggalkan barang untuk kekasihnya di pesawat," ejek Seryl. Sebelah tangan Ardan bergerak mengacak puncak kepala Seryl. "Tau banget sih, kamu." Seryl tersenyum pongah menaikkan dagunya. Ardan kembali di buat teratawa sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah laku gadisnya. Ada saja, cara Seryl membuat hari-harinya penuh warna. "Yaudah, kita pergi ke apartemen aku!" *** Berbanding terbalik dengan Seryl yang menghabiskan waktu luang dengan sang kekasih. Audy justru terlihat begitu serius duduk di atas kursi belajrnya mempelajari apa yang Ia belum mengerti. Sesekali, tangannya bergerak memijat pangkal hidung yang terasa lelah karena telah berkutat selam satu jam lebih lamanya. Padahal, sepulang sekolah tadi Ia mengikuti les tambahan. Sekarang, setelah sampai rumah, Ia kembali mengulang berbagai materi yang di pelajari hari ini dan mempelajari materi untuk esok hari. Bukannya tak kenal lelah. Tetapi, apa yang bisa Ia lakukan selain terus menerus belajar untuk bisa bersanding dengan Seryl yang sudah memilikinya dengan percuma. Ia kadang ingin keluar dari lingkup yang memaksa dirinya masuk. Hanya saja, keberanian dan kekuasaan tidak beroihak dan menempat pada dirinya. Membuat Ia harus patuh dan tunduk dengan segala apa yang di perintahkan. "Bisa mati lagi belajar dah gue kalo kerjanya kayak gini terus," monolognya gusar. Ia bahkan membiarkan tangannya bergerak tak tentu arah mengacak susunan buku yang semula rapi. "Huft.. Kapan semua ini berakhir, ya?" Kursi berderit pelan. Ia beranjak mundur melangkah menuju pintu yang berada satu meter di depannya. Pintu itu di apit oleh pintu lain yang menghubungkan balkon kamar dan walk in closet. Tangannya terulur memutar knop pintu dan mendorongnya pelan. Ia masuk lebih dalam mengamati setiap sisi ruangan yang terpajang rapih berbagai karya. Ya, ini adalah tempat yang hanya Ia sendiri mengetahuinya. Tempat menumpahkan berbagai warna tinta menjadi objek rupa. Audy berjalan mendekat pada bangku yang di depannya terdapat kanvas juga alat melukis lainnya. Ia menghela nafas pelan saat lagi-lagi bakat harus Ia pendam dan kubur dalam-dalam demi menuruti ego seseorang. Uluran itu menggantung di antara ingin menarik kembali atau melanjutkan. Bergerak gamang. Antara ingin menyentuh dan memainkan cantik tangannya untuk melukis atau berbalik pergi menggoreskan kata pada bagian garis buku mempelajari materi esok hari. Tok,tok,tok. "Non, ini bibi." ujar salah satu kepala pelayan di rumahnya yang sudah Ia anggap sebagai Ibu sendiri. Audy berjalan cepat menutup pintu ruangan karyannya dan segera membuka pintu kamar di hiasi senyuman terbaik. "Kenapa, bi?" tanyanya sopan. "Itu non, bibi cuman mau ngingetin. Ini waktunya non buat makan malam. Kata nyonya, 'kan non gak boleh telat makan," jawab Bi Ayu. "Oh gitu, yaudah bi, ayo ke bawah temenin saya makan," Audy bergerak menutup pintu kamar dan meninggalkan Bi Ayu yang mematung. "Loh, bi? Kok malah diam di sana?" Bi Ayu tersentak melihat nonanya yang sudah berada di ujung tangga. "Eh, itu non, em, masa bibi yang nemenin non makan? Di bawah udah ada nyonya, non," Bi Ayu menjawab dengan hati-hati. Audy berbalik kembali menuju kamarnya. "Kalau gitu, saya mau di bawain aja makanannya ke kamar saya, ya, bi ..." "Ta tap "Kalau mamah saya tanya, bilang aja lagi sibuk sama tugas sekolah, bibi nanti gak bakal di marahin kok tenang aja," pungkas Audy seakan mengerti kekhawatiran pelayannya. "Audy masuk ya, bi," lanjutnya tanpa meminta oersetujuan dari Bi Ayu. Bi Ayu menghela nafas pasrah dengan tingkah putri majikannya. Ia pun dalam hati mengucap berbagai do'a agar putri majikannya itu selalu di beri kebahagiaan dan kebebasan. Description: SMA Nusantara terkenal dengan banyaknya siswa siswi yang mencari sensasi, kata tetangga sekolah depan. Selain ambis di keaktifan organisasi, tak ayal ektrakurikuler juga menjadi panjatan sosial mereka, katanya. Lalu, apakah hal yang sama akan terjadi pada siswi baru yang tiba-tiba saja memperebutkan posisi ketua OSIS bersama most wanted boy sekolah?
Title: Rubah Karakter Diri Category: Pengembangan Diri Text: Bab Pendahuluan Jika ada banyak komplain akan satu orang, maka orang itu bisa diidentifikasikan sebagai orang yang bermasalah. Dalam dunia pekerjaan hal itu menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai kinerja karyawan. Bagaimana dia bisa bekerja sama dgn tim ?. Bukan ttg keberhasilan satu target pekerjaan, namun lebih kepada kerjasama tim. Karena dengan kerjasama tim, maka target bisa tercapai lebih tinggi. Jadi omong kosong, bahwa setiap orang mengklaim bahwa tidak bisa berubah. Orang itu hanya tidak mau, atau memutuskan untuk tidak mau berubah. Saya sudah menemukan cara yang terbukti merubah karakter saya, dgn langkah mudah teknik SMA dan K. Saat itu saya masih belum bisa bangun jam lima pagi. Setelah saya mau rubah diri saya, maka saya bisa mencapai itu, walaupun ditempuh dalam beberapa bulan dan masih memakai alarm hp. Sampai akhirnya sekarang saya bangun jam tiga lewat tiga puluh pagi. Agar saya bisa merenungkan lebih banyak hal. Dan saya lakukan itu dimanapun, tiga ratus enam puluh lima hari, setahun. Saya membiasakan untuk itu. Agar tubuh saya mempunya jam tubuh yang sama selamanya. Jadi bagi saya, perubahan itu mudah, asal tahu langkahnya. Dan saya akan berbagi dgn Anda, langkah yang terbukti dengan saya, dan silahkan mengikuti langkah teknik SMAK. Salam perubahan. Bab 1 : Sadar Sudah ratusan tahun, rekor lari 1 mil (sekitar 1,6km) belum ada yang bisa memecahkan lagi. Rekor tertahan disekitar empat menit lebih. Pada tahun 1952, John Landy, pelari asal Australia, mendekati rekor 4 menit dan 2 detik. Beliau terus berlatih dan mendapatkan hasil yang sama. Dia mulai putus asa. Setelah terus melihat John Landy, Roger Bannister pelari kelas Olympiade asal Inggris, yang masih menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas College School, bahkan nanti menjadi Master di Pembroke College, Oxford. Dia mempelajai teknik berlari yang diterapkan oleh John, dan dia yakin bisa memperbaiki waktu berlarinya. Kuncinya adalah 60 detik di setiap putarannya. Pada tahun 1953 ia menguji hasil latihannya, dan hasil yang dicapainya adalah 4 menit 3 detik. Dengan waktu itu, dia menjadi pelari tercepat Ingggris, yang lari 1 mil. Ia terus meningkatkan porsi latihan yang sudah berhasil dan dia punya kesempatan untuk menunjukkan hasil latihannya. Di saat dia ditunjuk oleh Asosiasi Atletik Amatir Inggris, di memecahkan rekor waktu 3 menit dan 59 detik. Dia menjadi pelari tercepat 1 mil. Ternyata John Landy, yang mulai putus asa itu, ternyata juga terus berlatih dan sebulan dari rekor Roger, 3 menit dan 59 detik, John memecahkan rekor waktu 3 menit dan 58,8 detik. Sejak saat ini, dunia lari, diramaikan oleh persaingan kedua tokoh itu. Mereka akhirnya dipertemukan di Kejuaraan Negara Persemakmuran Inggris pada 21 Juni 1954, di Stadion Empire, Vancouver, British Columbia. Saat itu John, memimpin di 3 putaran, dan akhirnya Roger dipenghujung putaran, menyalip John, dan keluar menjadi pemenang dgn catatan waktu 3 menit dan 58 detik. Bab 2 : Menulis Di bab sebelumnya ada cerita Roger Bannister, menerapkan latihan yang dilakukan oleh John Landy, yang berhasil mendekati catatan waktu 4 menit dan 3 detik. Menulis adalah hal yang menyenangkan, langkah apa yang harus dilakukan sedikit demi sedikit untuk mencapai perubahan. Roger, menulis lengkap, langkah demi langkah, berlatih secara intensif, menulis dalam hal pengaturan langkah, kondisi, percepatan waktu, dan lain lain. Dengan menulis, Roger bisa menjalankan latihan intensif dengan baik dan benar. Yang akhirnya rekor lari 1 mil bisa terpecahkan. Menulis dibagi menjadi 4 langkah mudah. goAL PrAtice ChAnge PErsisten (ALPA CAPE) Goal/tujuan : Roger mempunyai tujuan untuk memecahkan rekor John Landy, dan rekor dunia Practice/latihan : Roger berlatih secara intensif untuk memecahkan rekor tersebut Change/berubah : Roger merubah gayanya dari analisa gaya John dan menyesesuaikannya Persisten/gigih : Roger sampai akhirnya pensiun dari dunia lari, dikenal persaingannya dgn John dan didunia Dengan menulis ke-4 langkah ini, maka Anda dipastikan akan berubah Bab 3 : Aksi Setelah Sadar dan Menulis, langkah berikutnya adalah Aksi. Yang artinya Anda menjalankan apa yang sudah ditulis tadi (Alpa Cape) Roger melakukan latihan yang insentif, guna mencapai tujuan dalam memecahkan rekor John dan dunia. Begitu juga Anda, harus melakukan apa yang sudah ditulis. Mulai dari hal yang kecil dulu. Contoh bangun pagi setiap jam 5.00. Lakukan selama 1 bulan, 2, 3 bulan, sampai berhasil. Sampai bisa bangun sendiri dan lebih cepat dari alarm. Contoh tentang marah. Setiap kali marah, selalu diam dulu, dan berpikir apa yang harus dikatakan dan dijelaskan kepada lawan bicara Aksi ini adalah kegiatan yang paling sulit dilakukan, karena biasanya dia akan merasa aneh dan banyak orang disekitar akan berkomentar akan perubahan yang mulai dijalankan. Jadi tetaplah berubah terus sampai kualitas diri Anda bisa meningkat dan bisa menjadi contoh bagi orang lain. Dalam tahap inilah Anda dinyatakan berhasil Bab : Bonus Roger Bannister, tidak hanya diam di tahap awal. Melainkan beliau terus aktif dalam dunia lari. Sampai akhirnya beliau bisa dikenal oleh publik bahkan dunia. Setelah dia menunjukkan penampilannya dan memecahkan rekor dunia, waktu itu, maka publik mengenalnya. Begitu juga dengan Anda, lakukanlah secara konsisten, perubahan yang abadi itu. Perubahan akan terus Anda harus lakukan, karena jaman terus berubah. Ada suami dan istri yang hidup dengan dunia waktu mereka berjaya saja, mereka konsisten terhadap apa yang mereka percayai. Walau jaman sudah berubah. Yang terjadi adalah mereka salah paham dengan apa yang ada sekarang. Segala sesuatu harus ada bukti fisik, sedangkan sekarang harus ada bukti digital. Dan banyak lagi hal yang tidak sesuai. Jadilah orang yang konsisten berubah sesuai jaman. Bukan konsisten dengan apa yang sudah dialami. Jika Roger konsisten berubah di dunia lari, maka rekor dunia tercapai. Bab : Penutup Anda sudah tahu teknik rubah diri SMAK. Sadar, Menulis, Aksi dan Konsisten. Anda sudah dapat berubah sekarang sendiri. Ingat Perubahan adalah hal yang abadi, jika tidak berubah, akan ketinggalan kereta, seperti suami dan istri tadi. Salam perubahan Description: Bagaimana merubah karakter diri yang benar ? Ada tiga langkah mudah yang bisa dilakukan. Ingat teknik SMA dan K. S adalah Sadar. Merubah Karakter Diri itu perlu kesadaran penuh. Jika Anda tidak sadar akan hal itu, maka perubahan tidak terjadi. M adalah menulis. Strategi, langkah kecil, untuk merubah karakter diri itu perlu ditulis. Seperti perang harus ada strategi untuk menang. A adalah aksi. Melakukan strategi yang sudah ditulis adalah hal penting, itu seperti tindakan follow up. dan K adalah konsisten. Perubahan perlu dilakukan konsisten, walaupun ada yang gagal di langkah awal. Terus lakukan dgn sadar dan sampai perubahan itu terjadi
Title: Rasa Category: Puisi Text: Aura Selamat Pagi Emir Pagiku penuh suka Malamku penuh cinta Bulan dan bintang menyambutku Sebelum senja memperhatikanku Sore lalu kamu datang ditempat aku bercerita Tentang siang yang menyengatkan sinarnya Pada semua orang yang aku rasa dapat membuatku bahagia... Pagiku lalu aku bersemangat untuk datang bergelak tawa Bersama mereka yang terundung duka Kini, Aku menemukan seseorang yang punya selera sama Denganku yang kuanggap berbeda Kau sungguh jenaka pagi ini Untukmu aku ucapkan Selamat Pagi Emir Ambarawa, 25 November 2019 Emir Aura Aura? Wanita perkasa Yang menyambut pagiku dengan hangatnya Senyum yang membuatku terpesona Dengan rona yang merah penuh bahagia Aura? Begitu mereka menyapa Masihkah sama dengan saat kita TK? Saat aku disambut tangannya Dan kembali tertawa.... Aura Sore Ini Bersama Kamu Lucu...., Baru saja aku mengenalmu Tapi sudah merasakan rindu Indah sore yang membuatku pura-pura lugu Bertanya, Apakah nanti juga akan begini? Kau tersenyum Seindah Bulan mengasuh bintang-bintang Yang berterbangan Polosnya kamu Menggenggam jari-jariku Bolehkah ini menjadi milik pribadiku? Aku lalu mengangguk setuju... Sore ini Bersamamu... Ambarawa, 26 November 2019 Emir Masih Tentangmu Aku bersua dengan kenangan masalalu Berdiri berdampitan hingga tiada celah memisahkan Bercerita panjang lebar hingga tak ada waktu untuk diam Wajahmu masih saja setia kupandang Hingga pagi menemukan cerita untuk Tuhan menulis tentang pertemuanmu dan aku... Atau sore yang tetap ingin berjalan bergandeng tangan bersamamu Aku menghela nafas panjang Apa saja isi otakmu selama ini? Hingga kau dengan mudahnya melupakanku Apa aku kurang bersahaja di depan matamu? Lalu apa pengorbananku? Jika itu pertanyaanmu, Akan ku jawab Semenjak dulu hatiku Masih tentang kamu Ambarawa 28 November 2019 Aura Pagiku melihat senyumanmu Sebelum kamu datang, pagi ini terasa sepi Lalu, canda tawamu menyambutku dengan hangatmu... Aku tersanjung dengan ucapan manismu Memang, Kita baru saja bertemu tetapi hatiku Sudah menatapmu... Pagi... Aku menyukaimu Dengan hangat kau menyambut tanganku Senyum itu seperti reruntuhan emas untukku... Pagiku dengan senyumanmu Ambarawa, 3 Desember 2019 Emir Tetap Disini Bersamaku Aku mengajakmu berdiskusi Aku sedang mencintaimu saat ini Ra... Aku tetap menyanjungmu selama ini Meski kau juga belum mengerti siapa aku ini Aku tetap mencintaimu Dan bertahan sendiri Meski aku dulu sama sekali tidak berarti Mana jemarimu? Mendekatlah, aku tetap menyukai hangat tanganmu saat itu Itu tidak masalah, saat kau melupakan tanganku Aku tidak meminta kau menghargai perjuanganku... Aku hanya ingin kau mencintaiku hari ini... Ra.... Tetap disini Bersamaku sampai suatu hari nanti Aura Kamu Siapa? Katakan padaku Sebenarnya kamu ini siapa? Apa kita pernah menjadi patner sebelum ini? Aku sama sekali tidak pernah mengingat sebelum ini kita pernah kenal Aku hanya ingat... Sekarang aku mencintaimu Sekarang, atau juga nanti... Emir Aku Adalah Ceritamu Tak perlu kau tahu Tentangku dan kamu dahulu Buatku, Dahulu adalah pelajaran Dan sekarang adalah masa depan Tidak peduli seberapa cintanya dulu kamu terhadapku Atau bahkan, Kamu dulu tak pernah menganggapku Aku tak mempermasalahkan Karena sekarang, Aku adalah ceritamu Description: Tentang aku dan kamu
Title: Rasa Category: Puisi Text: RASA Aku dan kamu, kita manusia,Punya cipta, rasa dan karsa. Untuk yang rela patah,Demi utuhnya hati yang lain,Berserah nan pasrah,Atas takdir dalam hidup,Jiwamu akan baik-baik saja. Terkadang masalalu menggenang,Dalam malam-malam panjang,Jiwa yang patah, rindu tumbuh dan berkembang. Ternyata aku,Terlalu dalam perasaan,Bagaimana jika?Aku minta kembalian,Untuk rasa nan melimpah ruah?Karena sesuatu yang berlebihan tidak baik, katanya. Pikiranku tertebar,Oleh karenanya ku rapikan,Pun kusisihkan segala sebab,Untuk segala yang melekat dikepala,Kecuali luka. Untuk luka, Sebab kesalahan dari masalalu,Ku coba ikhlas memaafkan,Semoga. Tujuan memaafkan bukan bagaimana kita untuk kembali bertemu,Dengan kepahitan pun kesalahan dari masalalu,Tetapi untuk bisa menerima masalah-masalah dalam hidup yang sempat berlalu lalang,Hingga kita yakin akan ada saatnya masa depan yang menjulang. Memang terlalu banyak manusia-manusia menyebalkan,Pun tak sedikit yang menentramkan,Hidup sangat adil bukan? Sulit mencintai, sedang patah hati gampang sekali,Semoga kita bisa sama-sama belajar menikmati,Pun menghargai,Segala permasalahan-permasalahan rasa dalam hidup. Description: Aku dan kamu, kita manusia, Punya cipta, rasa dan karsa.
Title: recit Category: Puisi Text: Bukan Rindu Teringat masa kecil Ketika raga mulai mengenal duniaMulai berfikir sosok ksatriaHadir dalam pelindung dunia Seiring detik bahkan bertahunSebabkan lupa dalam ingatanKini pagi beranjak siangCerita rindumu mulai terdengar Setelah lama waktu terlaluiMembawa hati pada rasa asingBukan rinduHanya saja ingin bertemu Harapku lihat rupamuBukan rinduHanya ingin cerita padamuAkan dunia yang kulalui Namun semua berbayang semuSosokmu fatamorganaYang selalu kunantiMenjadi kisah nyata tanpa jarak Description: ungkapan perasaan melalui kata dan aksara
Title: Rahasia Tersirat Category: Cerita Pendek Text: Puzzle Yang Hilang "Kejora!" sebuah suara memanggilku dari kejauhan. Dengan segala keengananku untuk beranjak dari apa yang sedang kukerjakan ini, kupaksakan juga memalingkan wajahku untuk melihat siapakah si pemilik suara yang telah mengganggu aktivitasku ini. Prasetya Wirya Utama, nama sosok yang paling disegani di perusahaan tempatku bekerja ini. Dari jabatan, Prasetya hanyalah seorang manajer personalia, tetapi dari kekuasaan, dia memiliki wewenang seorang Direktur Utama. Lah? Kok bisa? Begitulah kenyataan yang ada. "Ada apa Bapak memanggil saya?" tanyaku setelah langkah kakiku membawaku tepat 1 meter di hadapannya. Membaca raut wajahnya yang agak suram dan keningnya yang berkerut, kuduga ada yang salah dengan dokumen yang kuserahkan tadi pagi di mejanya. Hening menyapa sampai akhirnya Prasetya membuka suara "Kamu lupa mempersiapkan rapat tadi pagi. Ada apa denganmu hari ini?" Pelan namun cukup menyentakku. Rapat? Kenapa saya tidak tahu? Sebelum sempat kujawab, Linda meminta Prasetya untuk melihat dokumen yang sedang dibawanya dan terlihat tegang. Keduanya berlalu meninggalkanku yang masih terbengong. Sebagai seorang staf personalia yang baru bertugas sejak dua bulan yang lalu, bisa dibilang penyesuaian diriku termasuk cukup dapat dibanggakan. Demikian juga performa kerjaku. Selama ini tidak pernah melakukan kesalahan kecil apapun. Namun sebuah statement yang keluar dari bibirnya mampu menyentakkanku bagaikan kesetrum aliran listrik 1000W. Mengapa tidak ada sedikitpun gambaran kalau akan ada rapat di pagi hari ini? Dimana letak kesalahannya?  Fatamorgana atau Fakta? Suara kokok ayam jago di fajar pagi membangunkanku. Segarnya pagi yang menyongsong menyemangatiku untuk segera turun dari ranjangku, dan bergegas membasuh mukaku. Baju olahraga yang telah kusiapkan dari kemarin malam dan sepatu kets yang baru kubeli seminggu yang lalu itupun segera kuraih dan dalam 15 menit, penampilanku berubah dari sosok putri tidur menjadi olahragawan. Haha. Tawaku dalam hati. Betapa rutinitas olahraga bersama di Sabtu pagi ini paling kusukai dari sekian banyaknya rutinitas yang kulakukan di kantor tempatku bekerja. ... "Hai!", sapa seseorang saat aku menginjakkan kakiku di bus. Kupalingkan wajahku dan Brukk! Tak sadar, ternyata ada orang berdiri tepat di belakangku. Malang, termos yang dipegangnya terjatuh dan air segera membanjiri lantai bus tempat dimana kami berdiri. Cewek berambut sebahu itu segera berlalu dengan raut wajah dongkol. Syukurlah aku tidak digampar. Ntah dari divisi manakah dia. Memang tidak semua karyawan di perusahaan tempatku bekerja bisa kukenali. Maklumlah, aku belum genap 3 bulan bekerja di sana. "Ayo, cepat ambil tempat duduk!", sahut si supir yang sudah tak sabar melihat kondisi yang terjadi. "Maaf," ucapku. Ntah itu ditujukan pada korban tabrakan tak sengajaku atau pada pak supir. Mataku segera mencari tempat duduk kosong yang mungkin kududuki. Yah, bus ini memang bus karyawan yang siap mengantar kami semua ke lapangan Merdeka tempat kami melakukan olahraga bersama seminggu sekali. Saskia segera menjejali langkahku setelah bus yang kami tumpangi telah sampai pada tujuannya. Saskia yang merupakan staf divisi pembukuan ini memang akrab denganku sejak aku pertama kali bergabung sebagai karyawan di perusahaan ini. "Gara-gara aku ya Ke... kamu jadi dimarahi oleh pak supir....", kata Saskia. Kugelengkan kepalaku. "Ga lah, Sas... Jangan menyalahkan dirimu," balasku. Tak lama setelah itu, kami sudah disibukkan dengan instruksi dan arahan 2 instruktur senam dan 3 asistennya itu. Percakapan singkat kami tidak berlanjut sampai dengan ketika mata kami tertuju pada Prasetya Wirya Utama dan seorang cewek langsing semampai yang bercanda manja di sampingnya. "Kan Bapak sudah buat janji akan mentraktirku makan hari ini. Anti batal ya, Pak! Kalo Bapak batal, saya tidak mau ngomong lagi dengan Bapak." Sayup-sayup kudengar suara si cewek berkata manja pada Prasetya. Raut wajahnya tampak manyun. Prasetya tampak melemparkan senyum termanisnya sambil tersipu-sipu. Oh God! Apakah mataku menciptakan fatamorgana ataukah ini fakta? Prasetya yang terkenal dengan sikapnya yang tegas dan berwibawa hari ini menunjukkan sisinya yang lain di hadapan cewek langsung semampai itu, yang baru kuketahui bernama Fransiska setelah Saskia membisikkannya di telingaku. "Wow! Saya baru melihat sisi lain dari Prasetya," ujarku pada Saskia. Ehm! Sebuah suara mengagetkanku. "Pak..." , tergagap aku menyapanya. Apakah dia mendengar kalimat terakhirku ini? Semoga saja tidak! Doaku dalam hati. "Nanti siang, ada pertemuan dengan Grup Permata. Siapkan rapat dan makan siang. " Kalimat pertama yang keluar dari mulut Prasetya dan diikuti oleh instruksi-instruksi lainnya yang harus kukerjakan. Aku mencoba mengingatnya dalam memoriku yang tidak seberapa ini karena kebetulan aku tidak menyiapkan pulpen dan notes yang biasa kugunakan untuk mencatat. Lah! namanya juga lagi olahraga, iya tidak? ... Pukul 12.05 tepatnya perwakilan dari Grup Permata telah datang ke lokasi. Setelah memastikan semua file yang diperlukan telah disiapkan di atas mejanya, aku mempersilahkan tamu menunggu di ruang rapat. Saat melewati kantornya Prasetya, kulihat dia sedang berbicara dengan Kepala Bagian Produksi, Bapak Rajamin. Kuurungkan niatku untuk menyampaikan kepadanya kalau tamu Grup Permata sudah tiba. Lima menit kemudian, aku telah sampai di depan kantornya. Sebelum mengetuk pintu, aku baru tersadar ada si cewek langsing semampai ternyata berdiri di samping Pak Rajamin, sedang menunggu gilirannya bicara ke Prasetya. Sebersit tanya tanya muncul di benakku apakah hubungan Prasetya dengan cewek langsing semampai itu. Bukannya tidak sopan, jika kita berdiri di dekat orang yang sedang berbicara? Tidakkah lebih baik menunggu setelah pembicaraan mereka selesai? Ah! ternyata memang spesial posisi si cewek langsing semampai ini. Pikirku dalam hati. Sepuluh menit telah berlalu. Kupikir inilah waktu yang tepat untukku bertindak. Jangan sampai tamu menunggu terlalu lama. Tok Tok kuketuk pintu kantornya. "Masuk!" suara Prasetya menjawab dari dalam. "Pak, tamu telah menunggu selama 10 menit di ruang rapat," kataku mengingatkannya. Tidak ada sahutan. Kata-kataku tidak diresponnya. Apakah dia mendengarkanku? Ataukah volume suaraku terlalu kecil sehingga tidak terdengar? Bisikku dalam hati. Baru akan kuulangi pernyataanku, Prasetya bersuara, "Ada apa mencariku, Fransisca?" Alamak! ternyata memang benar, aku dianggap angin berlalu. Kuurungkan niatku untuk mengulangi kata-kataku. Aku hanya berdiri terpaku mendengarkan saat Fransisca membalas "Saya perlu Bapak menandatangani bon ini. Maaf, penting dan harus segera. Maka saya menunggu di sini." "Apakah masih ada yang lain, Fransisca?" Prasetya memandangnya dengan tatapan ramah yang sulit kusinkronkan dengan profilnya yang selama ini tersimpan di memoriku. "Ini saja, Pak. Maaf telah mengganggu. Saya permisi dulu," ucap Fransisca dengan sopan. "Saya akan datang lagi setelah meeting Bapak selesai," lanjutnya. Kali ini dengan sikapnya yang sedikit manja. Prasetya hanya mengangguk kecil lalu melihatku seakan baru tersadar akan keberadaanku di situ. Astaga! Description: Siapa yang tidak memiliki rahasia? Apakah itu rahasia di dalam persahabatan, ataukah rahasia tempat persembunyian di masa kecil, bahkan rahasia percintaan di tempat kerja. Rahasia, sebuah kata yang bisa membuat hati deg degan. Di kala sebuah rahasia terkuak... bagaimana raga akan bertindak?
Title: Rusip in Love Category: Novel Text: Bagian 1 “Ini makanan apa?” tanyaku sedikit histeris mendapati semangkuk makanan asing di meja makan. Bentuknya aneh, seperti cairan dengan benda-benda semacam ikan kecil yang sudah hancur, ada irisan bawang merah dan cabe di dalamnya. “Owh, ini namanya rusip,” jawab Ovi santai. “Rusip?” ulangku. “Iya, rusip. Fermentasi ikan bilis,” jawab Ovi lagi. “Nah, itu ikan apa lagi?” tanyaku makin penasaran. “Sejenis ikan laut, ukurannya kecil kayak ikan teri,” jelas Ovi. “Terus diapain bisa jadi rusip kayak gini? Enak nggak?” todongku pada Ovi dengan serentetan pertanyaan. “Enaklah Za. Makanan apa sih yang nggak enak di Bangka?” jawab Ovi membanggakan daerahnya. “Ikannya difermentasi selama seminggu, terus kalau udah jadi langsung dimakan deh,” lanjutnya. “Hah! Langsung dimakan? Jadi ini nggak dimasak dulu?” tanyaku sambil menatap nanar makanan yang berwarna kecoklat-coklatan di meja makan. Seketika perutku terasa mual. “Ya nggak lah Za. Rusip itu enaknya dimakan mentah kayak gini,” jawab Ovi mulai emosi dengan pertanyaan demi pertanyaanku. “Hiiii,” aku bergidik medengar jawaban Ovi. “Lu coba deh, dijamin elu bakal ketagihan,” “Nggak deh! Makasih,” tolakku. “Coba dulu Za,” “Nggak!” “Ihhh! Coba dulu. Gue yakin lu pasti ketagihan,” “Nggak!” tolakku lagi. “Sejak kapan Zalfa Annisa makan makanan kayak gini?” aku memalingkan wajah dari makanan yang berhasil membuatku bergidik itu. “Alaaah, elu Za. Paling bentar lagi goyah tu pendirian. Lu kan pemakan segalanya,” ujar Ovi santai. Selama ini tidak ada yang bisa menggoyahkan pendirianku, kecuali makanan. Tapi, melihat tampilan makanan yang satu ini sepertinya ia tidak akan menggoyahkan pendirianku. “Tapi, nggak untuk makanan yang satu ini!” tegasku. Ovi terkekeh. Sahabatku itu paling tahu tentang pendirianku yang tidak mudah digoyahkan, kecuali bertemu makanan enak. Seberapa pun keras kepalanya manusia, pasti ada suatu hal yang menjadi titik lemahnya, dan titik lemahku adalah makanan. “Za, yakin nggak mau coba?” Ovi mencocol lalapan kemudian menyodorkannya padaku. “Nggak!” tegasku. “Ya udah deh. Aku habisin ya,” Ovi berpaling pada sepiring nasi dengan ikan goreng, lalapan, tak lupa semangkok kecil makanan yang ia sebut rusip. Sementara aku memilih lempah kuning kepala ikan tenggiri. Masakan khas Bangka yang disiapkan oleh ibunya Ovi selaku tuan rumah liburanku kali ini. Masakan perempuan paruh baya itu benar-benar membangkitkan selera makanku. Perpaduan rasa rempah-rempah dengan pedas dan asamnya, perfecto! Belum lagi bumbu yang dipadukan dengan ikan yang masih segar dari nelayan sehabis melaut. Hmmm, sekadar membayangkan saja, aku sudah menelan ludah. “Za, elu yakin nggak mau coba?” tanya Ovi lagi masih dengan menunjukkan lalapan yang sudah ia cocolkan dengan rusip. “Ini enak Za. Sumpah enak banget!” lanjutnya. “Hus! Jangen ngumong macem tu, dak arus!” tegur Mak Leha, ibunya Ovi yang tiba-tiba datang dari arah ruang keluarga dengan Bahasa Bangka yang tak aku mengerti. Perempuan tambun dengan jilbab merah jambu itu melenggang keluar lewat pintu belakang. “Aok Mak, maaf,” kata Ovi meringis. (Iya Mak, Maaf,) “Vi, nyokap lu ngomong apa?” tanyaku setengah berbisik. “Nyokap ngomong, lu mesti bayar selama makan di sini,” jawab Ovi terkekeh. “Gue nggak percaya!” aku mengangkat sendok dan menggerakkannya seperti gaya guru yang mengetuk papan tulis dengan mistar. “Terserah deh,” kata Ovi beralih pada makanannya. “Mak, dak arus itu artinya apa?” tanyaku kepada Mak Leha kali ini masuk dari pintu belakang. “Dak arus itu artinya tidak boleh,” Jawab Mak Leha. “Terus tadi apanya yang tidak boleh?” tanyaku penasaran. “Terlalu berlebihan memuji makanan yang berasal dari laut, pamali kalau kata orang Sunda,” jelas Mak Leha. “Owhh,” aku membulatkan bibirku. Intinya, kita tidak boleh terlalu lebay bilang makanan laut itu enak. Selain itu, kata Mak Leha, kita juga tidak boleh terlalu maruk atau serakah terhadap makanan tersebut, bisa kedadak atau mabok dengan gejala sakit perut disertai pusing dan mual, begitu mitos orang Bangka. “Za, cobain deh,” pinta Ovi masih keukeh mengajakku untuk mencicipi rusip. “Nggak!” tolakku. “Daripada maksain gue makan tuh rusip, mending kita cari solusi siapa yang bakal jadi guide kita nanti buat ke pantai apa namanya? Gue lupa,” lanjutku. “Udaah, lu tenang aja. Semuanya re-bes!” sahut Ovi. “Bagus deh,” sambutku. “Abisin dulu makanan lu Za. Gue dah dua kali nambah nasi, lu masih berkutat dengan satu kepala tenggiri aja dari tadi,” Ovi menunjuk nasiku yang masih setengah. Sementara jari-jariku sibuk mencomot daging ikan yang menempel di kepala ikan kualitas ekspor itu. Ovi benar-benar kalap, nasi sudah habis tiga piring. Katanya rusip itu membangkitkan nafsu makan. Sampai habis butiran nasi terakhir di piringnya, Ovi masih merayuku agar mencoba rusip ikan bilis itu. Tapi, bagi Zalfa Annisa sekali tidak, tetap tidak! Selesai makan siang, Ovi mengajakku ke rumah bibinya. Tak jauh, hanya lima belas menit dengan sepeda motor dari rumah Ovi. “Bik Dah bikin rusip loh Za,” kata Ovi setelah sepeda motor ia parkirkan di halaman sebuah rumah bercat hijau muda. “Terserah, asal lu nggak maksa gue makan tuh makanan aneh,” jawabku asal. “Lu belum nyoba aja Za,” kekeh Ovi. Aku mendelik. Benar kata Ovi, Bik Dah, adik Mak Leha itu sedang sibuk membersihkan ikan-ikan kecil di baskom. Ikan bilis, begitu kata Ovi namanya. Terserah deh apa namanya, tapi asli ikan ini kecil-kecil banget, kayaknya kalau digoreng bakal keriuk-keriuk gemes gitu. Hahaha, imajinasiku liar jika sudah berhubungan dengan makanan. “Makan Vi,” tawar Bik Dah. “Ada goreng ikan bilis di meja,” lanjutnya. Huuu, pucuk dicinta ulam pun tiba. Seketika ilerku mau keluar. “Siaaappp Bik! Ayo,” ajak Ovi mengibaskan tangannya. Tak perlu menunggu lama, aku dan Ovi sudah berada di meja makan. Sepiring ikan bilis goreng tersedia di meja. Ada juga lalapan, dan … Hiii, rusip lagi! Kembali aku bergidik melihat daging ikan yang hampir hancur bercampur cairan dengan irisan cabe, bawang, dan sereh. “Ayoo Za kita makaaan,” Ovi menyambar piring dan nasi yang sudah tersedia. Jangan tanyakan, kenapa kami makan lagi ya? Aku dan Ovi sudah biasa begini. Jangan tanyakan juga berapa berat badan kami? Lagi-lagi aku dan Ovi senasib, makan segentong tapi jauh dari kata gemuk. Ada yang senasib? Asyik Ovi mencocol lalapan dengan rusip, aku pun asyik dengan keriuk ikan bilis goreng hingga kami tidak sadar, makanan di depan kami ludes. Aku benar-benar makan enak selama liburan di tanah kelahiran Ovi. “Vi, ka abisin aok rusip tadik?” Aku dan Ovi kompak menoleh saat mendengar suara laki-laki dari belakang kami. (Vi, kamu habisin ya rusip tadi?) “Eh, Bang Jali! Iya Bang, Ovi abisin,” jawab Ovi sambil menyungging senyum yang dimanis-manisin di depan laki-laki yang ia panggil Bang Jali. “Bang Jali, Bang Jali! Jangan asal ganti nama orang. Emak udah potong kambing 2 ekor buat ngasih nama keren Abang,” protes Bang Jali. Eh, Bang apa ya? Abang sayang? Ups. “Biarin, Ovi seneng panggilnya Bang Jali,” Kata Ovi cuek. “Udah ganti orang sembarangan, habisin makanan lagi! Nyesek banget punya sepupu kayak gini,” Bang Jali pasrah. “Dia!” Aku dan Ovi saling tunjuk. Bang Jali mengalihkan pandangan kepada kami. “Maksud gue, dia yang abisin makanan ini,” kataku tak sadar sepiring nasi dan ikan goreng telah aku lahap tanpa sisa. “Eh, itu apa namanya?” tunjuk Ovi pada piring nasi dan ikan goreng yang sudah bersih. “Yang ditanyain kan rusip Vi,” belaku. “Abis vi makanannya?” tanya Bik Dah yang baru selesai mencuci ikan. “Abis Mak. Zikri aja ga kebagian.” Bang Jali cepat menjawab pertanyaan Bik Dah. “Miyak, Miyak! Badan be cem sedan, muatan e tronton,” cerocos Bik Dah sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya garuk-garuk kepala tak mengerti. Setelah dapat bisikan dari Ovi, baru aku terkekeh. Ternyata Miyak itu adalah panggilan untuk perempuan di Bangka. Terus Bik Dah bilang, aku dan Ovi badannya saja kayak sedan, tapi muatannya tronton. “Bang Jali tadi anaknya Bik Dah?” tanyaku pada Ovi setelah berhasil menghabiskan makanan di meja makan adiknya Mak Leha itu. Hehehe, tamu yang tak tahu diri memang. Untung Bik Dah baik hati dan tidak sombong. “Iya,” jawab Ovi singkat. “Jadi sepupu elu?” tanyaku lagi. “Iya, kenapa? Naksir?” Ovi menatapku penuh selidik. “Idiih!” aku memonyongkan bibir. “Naksir juga nggak apa-apa, paling saingan dengan Jubaedah tetangga sebelah rumah,” lanjut Ovi. “Ga lah ya. Kasih aja buat siapa tadi, Jubaedah?” tanyaku. “Ihhh, jangan songong ye. Kecantol Bang Jali baru tahu rasa,” jawab Ovi. “Emang namanya beneran Bang Jali, Vi?” “Udaah, ga usah pikirin nama, panggil aja Bang Jali,” jawab Ovi lagi. “Ga bisa gitu Vi…” “Ciee, naksir Bang Jali ya?” potong Ovi. “Idiih!” “Za!” “Iya,” “Za, naksir Bang Jali ya?” “Nggak!” “Iya,” ‘Nggak!” “Hahaha…” tawa Ovi akhinya pecah. Sementara pipiku terasa panas. Description: Nama lengkap/pena : Nurul Badriah media sosial @nurul_badriah22 “Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #ComfortFood 2020. Rusip merupakan makanan khas Bangka Belitung. Makanan yang terbuat dari fermentasi ikan bilis (sejenis ikan teri). Rusip dikonsumsi tanpa dimasak, sajiannya serupa sambal yang disertai dengan lalapan. Nah, bagaimana jika gadis cantik bernama Zalfa Annisa jatuh hati pada penyuka rusip? Sementara ia bahkan melihat rusip pun sudah merinding. Padahal Zalfa adalah gadis yang doyan makan dan hobi jalan-jalan. Akankah Zalfa menyukai rusip?
Title: Rintik Hujan di Bulan November Category: Cerita Pendek Text: Rintik Hujan di Bulan November Sore ini jalanan kota solo terasa lebih menyejukkan dari biasanya setelah diguyur hujan beberapa jam. Aku masih terdiam sendiri di sudut kafe favoritku yang sedari tadi memberikanku tempat untuk berteduh meski secangkir kopi dan kue sus yang kupesan sudah tak bersisa lagi. Pemilik kafe yang kutahu berasal dari kota yang sama denganku sedari tadi memperhatikanku dari kejauhan mulai menghampiri. “Ngapain dek diem aja dari sebelum hujan sampek hujannya dah reda tuh” sambil memberikan kue sus kesukaanku yang selalu ku pesan ketika ku mampir ke kafe ini sendiri — seperti saat ini. “Gak apa-apa kok mas, lagi inget aja sama orang rumah” dan dia mulai duduk di kursi depanku. “Ya kalau inget orang rumah mbokya balik sana, lagian juga lagi gak sibuk kan sekarang. Tuh sus-nya cepetan di makan mumpung tak kasih gratisan” sambil mendekatkan kue sus ke arahku. “Makasih mas” aku memberikan senyum tipisku sembari memakan kue dari si mas-mas ini. “Ya udah, mas balik kerja dulu. Ntar kalau dah selesai tak mbalik nemenin sampean itupun kalau sampeannya masih sendirian aja di pojok sini” ia kemudian berdiri dan mengelus rambutku dan membuatnya sedikit berantakan setelahnya iapun berjalan menuju balik mesin kopinya. Aku mulai mengeluarkan beberapa lembar foto hitam putih yang aku sembunyikan diantara tumpukan kertas di atas meja kafe itu dan saat itu suara intro dari pengeras suara di kafe mengeluarkan suara lembut dari penyanyi kesukaanku Tulus — Monokrom. Aku sadar saat melihat seseorang di balik mesin kopi sedang tersenyum ke arahku, ia pasti dengan sengaja memutar lagu itu. Rintik hujan mulai turun lagi di luar kafe dan membuatku semakin larut dalam foto hitam putih itu. Aku mencoba mengingat siapa saja yang ada dalam foto itu dan sedang membicarakan apa saat itu. Tak terasa butiran air mataku menetes perlahan ketika aku berusaha menguatkan diriku melihat seorang laki-laki paruh baya yang memakai baju khas madura (walaupun kami sebenarnya suku jawa asli) terduduk di atas kursi roda. Raut wajahnya yang menggambarkan kesedihan yang ia rasakan meskipun saat itu ku tahu ia sedang berkumpul bersama keluarganya. Aku masih ingat setiap kali ia pulang dari tempat kerjanya dulu ia selalu tersenyum sambil membawa satu karung penuh rumput untuk pakan ternaknya. Ia selalu tersenyum bahagia ketika ia melihat ternaknya dengan lahap menyantap rerumputan yang ia bawa. Wajahnya yang setiap hari terus terlihat semakin menggelap karena terik matahari yang membakarnya saat bekerja. Ia yang dulu berdiri dengan gagahnya memanggul batangan kayu berjalan diatas tembok rumah tanpa rasa takut. Kini semua kenangan itu hanyalah tinggal kenangan yang selalu membuatku menangis ketika menyadari keadaanya kini yang hanya bisa terduduk di atas kursi rodanya menantikan anak-anaknya kembali pulang berkumpul bersamanya, mendengarkan apa yang ia pikirkan dan membicarakan tentang masa depan anaknya yang belum bisa ia berikan karena ketidakmampuannya kini. Butiran air mataku semakin deras ketika rintik hujan diluar kafe juga semakin deras. Tak kusadari si-mas empunya kafe sedang menuju ke arahku dan kini sudah duduk di depanku. Ia kemudian mengeluarkan tisu yang ia bawa dan menyapu butiran air mata di pipiku. “Ngapain sih dek nangis sampek kayak gini” sambil menyapu butiran air mataku “Bicara sama mas, jangan dipendam sendiri gitu ntar sampean malah gak fokus lo kalau ngapa-ngapain” ia kemudian menggenggam tangan kananku dengan salah satu tangannya. Semua sikapnya membuatku semakin tersedu-sedu menangis dan tak bisa membalas perkataannya. Ia pun berdiri dan memindahkan kursinya tepat disampingku dan tanpa aba-aba ia membenamkan kepalaku dalam pelukannya. Sesekali tangannya mengelus pelan rambutku seolah ia memberikanku ketenangan dalam setiap elusan itu. Aku semakin tak bisa menahan air mataku dan tak sadar berapa lama aku berada dalam pelukannya. Setelah air mataku mulai kering aku melepaskan diriku dari pelukan mas-mas yang tepat disampingku ini. Ia kembali mengusap bekas air mata di pipiku namun kini ia mengusapnya dengan jari-jarinya yang selalu beraromakan kopi sangrai. “Udah kan nangisnya ?” tanya dia “hemm” jawabku tak bersemangat untuk berbicara “Ingat ya dek, kalau sampean pengen nangis kapanpun boleh, tapi disini aja ya pas mas ada” “Yah mas ngarep aku bakalan sering nangis ?” jawabku dengan nada kesal “Bukannya gitu, tapi lek sampean nangisnya di sini kan mas bisa nemenin sampean dan nenangin sampean, ngapus tuh air mata kayak tadi” sambil menyubit pipiku. Aku tak menjawab perkataannya dan malah memasukkan semua tumpukan kertas dan juga beberapa foto hitam putih ke tasku. “Lah kan mas didiemin, malah sibuk beres-beresin kertasnya” kemudian ia mengambil satu lembar foto yang masih tersisa di atas meja. “Fotonya orang rumah to ? tak kira lak foto mantannya” ia berusaha membuatku menjawab perkataanya. “Kalau mantan ya masak aku nangis kayak tadi” jawabku sinis sambil mengambil foto itu dari tangannya. “Ya siapa tahu sampean masih pengen balikan sama si dia tapi dianya ndak mau” sambil terkekeh berusaha menenangkanku tanpa harus menyinggung apa yang sebenarnya kupikirkan ketika melihat foto-foto itu. “Enggak lah mas, aku cuman kangen sama orang rumah dan kepikiran aja soalnya dah lama gak pulang” “Ya udah minggu depan pulang bareng yuk sama mas. Mas juga kemarin disuruh cepat pulang sama si Emak katanya kangen banget sama anak gantengnya satu ini” sambil menopangkan dagu ke dua telapak tangannya berpose seperti cherrybelle dulu dan membuat senyumku terbit beberapa saat saja. “Nah gitu, kan enak dilihat kalau senyum. Jangan nangis kayak tadi bikin sedih yang ngeliat. Gimana mau balik bareng gak sama mas minggu depan” aku hanya membalasnya dengan anggukan. “Mas ke belakang dulu yah ambil tas baru mas anter pulang ke kos sampean” “Gak usah dah mas, aku naik ojek aja” “Diluar tuh masih ujan, ntar sampean malah kehujanan kalau ngojek. Kan mendingan sama mas naik si butut aja yang penting gak kehujanan” belum sempat aku mengiyakan tawarannya ia sudah berlalu mengambil tasnya. Laki-laki yang dua tahun lebih tua dari umurku itu bernama mas Andre Setia Darmawan atau lebih sering dipanggil Andre (tapi aku gak pernah manggilnya mas Andre cuman mas aja). Pertama kali aku bertemu dengannya saat itu ia baru saja membuka kafenya saat rintik hujan turun di senja hari bulan November. Saat itu rintik hujan mulai turun dan aku sedang kebingungan mencari tempat berteduh karena saat itu toko-toko di jalanan kota Solo mulai tutup dan hanya satu kafe itu yang malah baru membuka pintunya. Akupun menjadi pengunjung pertama saat sore itu. Hujan semakin deras namun tak ada pengunjung lain yang datang dan membuat si empunya kafe menghampiriku dan memulai pembicaraan ngalor-ngidul­ sampai akhirnya kita tahu berasal dari kota yang sama. Aku dan mas sudah mengenal kurang lebih 2 tahun sejak pertama kali bertemu dan mungkin karena orangnya yang ramah terlebih dari kota yang sama membuatku nyaman untuk sering ketemu ataupun sekedar ngomongin hal-hal yang sepele. Aku dan mas tak pernah ada kata untuk bersama seperti pada umumnya orang diusia kami yang sering ketemu karena aku merasa dia seperti seorang kakak bagiku ketika aku berada jauh dari rumah. Kini aku dan dia sudah berada di mobilnya yang ia namai butut karena kerap kali mogok. Selama membelah jalanan Slamet Riyadi kota Solo yang masih saja diguyur hujan lantunan lagu Tulus kembali memecah keheningan dalam mobil itu. Saat ini si Tulus lagi nyanyiin 1000 tahun lamanya, aku penasaran kenapa harus lagu itu saat suasana hening gini. Aku larut dalam setiap lirik milik si Tulus dan saat itu aku tak menyadari sudah sedari tadi aku menatap sosok dibalik kemudi dengan lengan kemeja yang digulung hingga sikunya. Saat sosok itu merasa sedang diperhatikan ia pun menoleh ke arahku saat menghentikan mobilnya tepat saat lampu merah menyala. “Ngapain sih dek dari tadi lihatin mas, awas lo nanti kesengsem sama kemanisan si mas” katanya sambil memencet hidungku. “Mas apa sih mencetin hidung Rara, kan sakit mas. Lagian mas tuh bukan manis tapi pahit soalnya tiap hari parfumnya kopi terus gak ganti-ganti” “Biarin parfumnya kopi, kalau gak gara-gara kopi mungkin mas gak akan buka kafe dan gak akan ketemu sampean dan gak akan bisa ....................” jawabnya dengan santainya sembari melajukan kembali mobil bututnya ketika suara klakson dari mobil belakang mulai memekakkan telinga karena lampu hijau sudah menyala beberapa saat yang lalu. Aku tak bisa mendengar dengan jelas kata-kata terakhir dari mas satu ini karena klakson dari mobil dibelakang tadi dan membuatku penasaran dengan apa yang ia katakan tadi “Sampean tadi bilang apa mas? gak akan ketemu aku dan gak akan bisa apa ?” ia tak menjawab dan hanya tersenyum. Setelah beberapa saat membelah jalanan Slamet Riyadi akhirnya kami sampai di depan kosku. Aku pun segera turun dan tak lupa berterima kasih kepada si mas-mas satu itu dengan senyuman tipis. Belum sempat aku membuka pagar kosku genggaman tangannya menghentikanku dan menarikku ke pelukannya. “Mas.. apaan sih ?” aku berusaha melepaskan diriku dari pelukannya namun pelukannya lebih kuat dari sebelumnya di kafe dan membuatku tak bisa melepaskan diri. “Jangan nangis terus, jangan disimpan sendiri setiap masalah ataupun yang sampean pikirin. Kita udah kenal kurang lebih 2 tahun dan aku nyaman tiap kali kita ngobrol di kafe, tiap kali aku curhat tentang kafe yang kadang sepinya gak ketulungan tapi juga kadang rame tambah gak ketulungan. Bahkan aku nyaman ngobrolin tentang mantan-mantan aku ke sampean. Aku berharap sampean juga bisa nyaman ke aku untuk bicarain apapun dan sebisaku buat bantu sampean ataupun sekedar ndengerin sampean. Aku gak pengen lihat sampean diem di sudut kafeku tapi tiba-tiba pas aku lihat sampean nangis dan aku gak tahu apa yang sampean pikirin. Bisa gak dek sampean bicarain semuanya ke aku biar aku tahu tiap sampean sedih bisa ngelakuin sesuatu” kemudian pelukannya mulai tak sekuat awalnya dan kinipun aku dan mas saling menatap. “Iya mas, maafin aku ya selalu buat sampean khawatir karena sering nangis di sudut kafenya mas. Bukannya aku gak nyaman untuk bicarain semuanya ke mas tapikan kita kenal juga gak sengaja 2 tahun lalu dan aku ngerasa gak enak ngomong ke sampean walaupun aku tahu kita dari kota yang sama. Cuman aku gak pengen sampean ikut kepikiran dengan apa yang menjadi masalah terlalu dalam” “Mas tahu, tapi mas juga gak bisa lihat sampean nangis kayak tadi” ia pun mulai menggenggam kedua tanganku dan tiba-tiba saja iapun bertanya “Boleh gak mas menjadi lebih dari teman laki-laki buat sampean, lebih dari seorang teman laki-laki yang selalu sampean anggap seperti seorang kakak. Boleh gak mas tahu semua tentang apa yang sampean pikirkan, tentang segala sesuatu tentang keluarga sampean dan tentunya tentang sampean lebih dari sebelumnya ?” Malam itu aku tak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata apa dan aku hanya terdiam karena selama ini aku memang hanya menganggapnya sebagai teman laki-laki yang lebih seperti kakak ketemu di tanah rantau jauh dari keluarga. Aku tak pernah sekalipun membayangkan ia akan bertanya akan hal itu. Iapun menyadari betapa terkejutnya aku ketika ia bertanya. “Sampean gak perlu jawab sekarang aku tahu kok sekarang sampean lagi ndak bisa berpikir dengan tenang karena tadi sore nangis dan pasti masih kepikiran sama orang rumah. Sampean bisa jawab kapanpun selagi sampean gak akan ngehindar dari aku setelah bertanya tentang itu. Selagi sampean tetep dateng ke kafe tiap kali pulang ngantor dan kasih senyum tiap kali datang. Itu semua gak akan buat aku ngerasa lagi menunggu meskipun lama” ia pun berhenti sejenak mengambil nafas berusaha menenangkan dirinya juga yang mungkin sebenarnya iapun sedari tadi merasakan gugupnya saat ia bertanya tentang hal itu kepadaku untuk pertama kalinya sejak pertemuan 2 tahun lalu. “Ya udah mas pulang dulu, sampean cepet istirahat ya”iapun masuk ke mobilnya dan melajukan mobil bututnya meninggalkanku yang masih berdiri di depan pagar kos. Keesokan sorenya setelah pulang ngantor aku mampir ke kafe si mas dan seperti biasa ngasih senyum sembari nunggu pesanan walaupun aku udah lama sekali gak pernah pesan karena ia selalu tahu apa yang aku inginkan tak lain secangkir kopi hitam dan kue sus tepat harus diantar ke tempat duduk di sudut kafe miliknya. “Gimana dek hari ini, lancar ngantornya ?” sembari menaruh secangkir kopi dan kue sus di mejaku kemudian ia dengan santainya duduk di depanku seperti biasa tanpa ragu seakan kemarin ia tak pernah mengatakan apapun. “Lancar mas” akupun mulai meminum kopi didepanku saat itu. Kemudian aku mulai mengatakan tentang hal kemarin yang ia tanyakan. “Mas, soal yang kemarin....” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku dia berkata “Ndak usah keburu dek, mas bisa nunggu kok. Oh ya kita jadi pulang bareng kan minggu depan ? kalau iya mas pesenin tiket kereta ya biar gak kecapekan apa lagi kalau harus naik si butut takutnya nanti ndak bisa pulang cepet adanya malah mogok di tengah jalan” “Iya, Rara jadi pulang sama mas” “Ya udah sampean lanjutin aja ngopinya, mas mau balik dulu kerja” iapun beranjak dari tempat duduknya kembali di balik mesin kopinya. Tak beberapa lama kemudian lagu Anji — Menunggu Kamu terdengar dari audio kafe sore itu. Sore itu kafe lebih ramai dari biasanya dan membuatnya tak bisa pulang lebih awal dan melihatnya sedikit kewalahan dengan pesanan yang ada akupun bangkit dari tempat dudukku dan mengantarkan pesanan pengunjung kafe. Ia pun berusaha menghentikanku tapi tak bisa karena pesanan memang sedang menumpuk. Akhirnya hari itu kami baru bisa pulang jam 23.00. “Sampean pasti capek kalau harus bantuin di kafe kayak tadi” ucapnya sambil mengemudikan mobilnya. “Gak papa kok mas, lagian gak setiap hari aku bantuin sampean apalagi sering dikasih gratisan kue sus” jawabku sambil tersenyum ke arahnya “Aku gak enak ke sampean,takutnya besok gak kuat ngantor soalnya kecapekan bantuin mas” “Tuenang mas, Rara kuat kok kalau cuman sekali-kali bantuin sampean di kafe kayak tadi” “Sudah sampek Ra” tak terasa jalanan kota Solo malam itu yang sepi membuat perjalanan pulang lebih cepat dari biasanya. “Makasih mas” Lima hari ini tugas kantorku semakin banyak bukan karena tertumpuk tapi memang aku berusaha menyelesaikan lebih awal dari tenggang waktu yang diberikan karena aku sudah berencana untuk pulang dalam minggu ini bersama mas. Hal itupun membuatku tak lagi bisa ngopi sore di kafe mas dan selalu pulang larut malam hingga di hari ke lima pesan dari mas masuk ke hp ku. Dari : Mas Dek, kok lama gak ngopi sore di kafe ? takut kecapekan lagi ya gara-gara bantu mas ? (21.08) (21.10) Gak kok mas, Rara lagi ngerjain tugas biar bisa pulang minggu ini. Oh..ya udah kalau gitu semangat ya. Jangan lupa makan dan jangan kecapekan atau mau mas bantuin juga ngerjain tugasnya ? :D (21.11) (21.15) :D ya udah sini bantuin, ini buanyak yang perlu dikerjain Lima belas menit sudah setelah pesan terakhirku dibaca namun ia tak membalasnya. Malam itu kantor sudah mulai sepi hanya ada beberapa orang yang juga masih berjibaku dengan tugasnya. Beberapa saat aku mencium aroma kopi yang selalu mengingatkanku aroma mas pas lagi duduk di sudut kafe sama aku di setiap sore. Ternyata saat itu ia sudah berada dibelakangku dengan menenteng dua cup kopi dan satu kotak kue sus. “Mas, ngapain kesini bukannya lagi ngurusin kafe ?” “Kafe ada anak-anak kok yang ngurusin tadi juga aku minta mereka nutup sekalian biar aku bisa kesini bantuin sampean. Katanya tadi ada buanyak yang perlu dikerjain.” ia pun menaruh kue sus di meja kerjaku dan memberikanku kopi yang ia bawa. “Makasih mas kopinya. Tadikan Rara bercanda aja, eh mas malah beneran kesini” aku meminum kopi yang ia bawakan. “Ndak papa, sekali-kali mas main ke kantor sampean. Mana yang bisa mas bantu sini” “Ndak usah dah mas, sampean duduk aja disitu yah. Ini tinggal ngerekap data bulan ini kok habis itu selesai paling setengah jam aja” aku menunjuk kursi milik teman kantorku yang tepat berada disamping meja kerjaku. Rekapanku ternyata lebih dari setengah jam karena banyak barang baru yang masuk bulan ini dan ketika aku mematikan komputerku bersiap untuk pulang aku melihat mas sudah tertidur dengan kedua tangannya terlipat di dadanya. Aku mengamati dirinya yang terlelap dengan beragam pertanyaan. Apakah ia benar-benar serius dengan apa yang ia tanyakan waktu itu ? Apakah ia akan menerima keadaan keluargaku ? Apakah ia akan bisa menyayangi keluargaku seperti keluarganya terlebih kedua orang tua ku?. “Mas...pulang yuk. Rara dah selesai nih” aku membangunkannya pelan “Hemm...udah selesai ? mas ketidurannya lama ya?” “Gak kok mas, Rara aja yang lama ngerjainnya” “Yaudah yuk..” Keesokan paginya tepat hari saat kami pulang ke kota asal dengan kereta api. Kami bertemu langsung di Stasiun Balapan yang terkenal karena sang Musisi Didi Kempot menyanyikan lagu dengan judul yang sama dengan nama stasiun ini. Perjalanan kami hampir lima jam untuk sampai di kota asal kami Blitar. Sesampainya di stasiun Blitar mas memintaku untuk mau diantarnya sampai rumah dan ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Akhirnya akupun menyetujui karena rumah kami memang searah bila dari stasiun Blitar. Sesampainya dirumah sore itu, Bapak sudah menunggu kepulanganku di teras rumah ia duduk diatas kursi roda ditemani Emakku yang saat itu sedang menyapu halaman rumah. Sesampainya dirumah aku langsung memeluk si emak terlebih dulu dan kemudian bapakku. Mas yang sedari tadi menurunkan barang-barangku dari mobil pesanan (online) kemudian ikut menyalami emak dan bapak. Sore itu ternyata si bapak belum sempat mandi karena si emak lagi nyapu-nyapu halaman rumah yang gak ketulungan luasnya kayak lapangan sepak bola (gak segitu juga kali Ra...). Akhirnya akupun yang semula pingin mandi duluan malah mandiin si Bapak karena sejak bapak sakit dan ndak bisa jalan sendiri kami sekeluarga tiap hari gantiin mandiin si Bapak. “Mas, diminum tehnya mumpung masih anget. Rara mau mandiin bapak dulu, sampean tunggu sini aja” “Mas ikut ya mandiin bapak, kalau disini mas sendirian lagian si emaknya sampean lagi ke dapur” “Beneran mas mau ikut ?” aku terkejut mendengar perkataan mas “Iya beneran” akhirnyapun kami berdua memandikan bapak dan saat itulah aku melihat kesungguhannya akan pertanyaan malam itu. Kesungguhan dirinya menerima keadaanku dan keluargaku terlebih kondisi ayahku. “Le..sampean gak isin ta ngedusi bapak e Rara ngene, opo eneh sampean jek tas rene pisanan” (Nak, kau gak malu mandiin bapaknya Rara kayak gini, apalagi kamu baru pertama kali kesini) kata Bapak setelah selesai mandi dan kini duduk di ruang tamu bersama mas. “Ndak kok Pak, lagian saya udah nganggep Bapak seperti Bapak sendiri” “Oh ya nak Andre kenal Rara piye lo ?” akhirnya mas pun bercerita bagaimana ia bertemu denganku dan akhirnya ia pun berkata hal yang lebih mengejutkan ketika aku dan ibuk mengantarkan kue ke ruang tamu. “Sebenarnya saya suka ke Rara anak bapak dan ibuk, sebelum kami pulang kesinipun saya sudah menanyakan ke Rara untuk bisa mengenalnya lebih dari seorang teman laki-laki yang ia anggap seperti kakak” ucap mas dengan tenangnya. “Benar gitu nduk ?” tanya Emak “Iya mak, pak”. “Terus kamu gimana ?” tanya Bapak “Rara belum kasih jawaban apapun ke mas, sampai akhirnya sore ini Rara sudah yakin harus jawab apa ke mas” “Jawabannya ?” tanya mas dengan penuh harap “Ya” jawabku singkat, padat dan yang pasti jelas Kedua orang tuaku pun tersenyum mendengarkan jawabanku dan tanpa kusangka ternyata mas sudah mempersiapkan semuanya. “Pak, mak. Ijinkan saya menyematkan cincin ini di jari manis putri bapak dan emak Rara Tri Setiawati” sembari mengeluarkan cincin yang ia siapkan entah sejak kapan ia beli. Kedua orang tuaku pun hanya bisa menjawab dengan anggukan karena keduanya telah menangis bahagia menyaksikan anak gadisnya dilamar seorang yang baru pertama kali datang kerumah dan ikut membantu memandikan bapak dari si gadis yang ia suka tanpa rasa risih sedikitpun. Pertemuan keluarga besar kamipun tak butuh waktu lama hingga akhirnya tanggal pernikahan kami ditentukan. Sore ini tepat di bulan November seperti saat rintik hujan di bulan November dua tahun lalu yang mempertemukan kami. Bedanya hari ini kami dipertemukan dalam sebuah acara yang tak pernah aku bayangkan bisa bersanding dengan seseorang yang aku kenal selalu penuh dengan aroma kopinya dan lengan kemeja yang ia gulung sampai sikunya. Hari ini aku melihat dia duduk disampingku lengkap dengan baju pengantin dan kopiahnya. Iapun kini tengah menjabat tangan bapakku dan mengucapkan kalimat yang membuat kami berdua halal di mata agama dan negara. Setelah doa dipanjatkan untuk kali pertama kening ini dikecup laki-laki selain bapak dan kakak laki-lakiku, ia adalah imamku yang dipertemukan saat rintik hujan di bulan November. Sesaat setelah acara resepsi dimulai mas meminta ijin kepada pembawa acara untuk membacakan sesuatu untukku dan meminta untuk diputarkan video yang telah ia siapkan. Ketika video itu diputar ternyata video rekaman cctv di kafenya 2 tahun yang lalu saat pertama kami bertemu kemudian foto-foto saat aku sedang duduk sendiri di sudut kafe miliknya dan juga saat ia duduk berdua di depanku bahkan ketika ia memelukku ketika aku menangis terakhir kali di kafe miliknya. Sepertinya ia juga sudah meminta bantuan karyawan kafenya untuk memfotokan kami berdua saat itu. Iapun kemudian membacakan rangkaian kata dari sepucuk kertas yang ia pegang saat ini. Rintik hujan di bulan November Dua tahun lalu awal aku mengenal seorang gadis ciptaan-Mu engkau pertemukan aku pada ciptaan-Mu ketika hati ini lama sengaja kubiarkan kosong setelah berulang kali mencoba namun tak berujung indah akhirnya gadis dengan kaca mata itu datang menghampiriku dan bertanya bolehkah aku berteduh di kafemu sambil memesan secangkir kopi dan kalau ada kue sus ? aku pun beberapa saat terdiam karena kusadari ada detak jantungku yang tak seperti biasanya dan aku sadar, aku telah jatuh hati dengan senyuman tipis yang Kau ciptakan dan Kau tampilkan dalam wajah manis gadis ini Tuhan semakin aku mengenalnya semakin aku tertarik ciptaan-Mu setiap kali air matanya mengalir dan membasahi pipinya, hati ini terasa perih dan diri ini mencoba memberanikan diri untuk menghapuskan kesedihannya dengan berharap kepada-Mu Tuhan Yang Maha Esa meridhoiku untuk bisa menghalalkannya suatu hari nanti, memintanya di hadapan kedua orang tua gadis ini Ridhoilah setiap langkahku untuk bisa mencintainya dan mengasihinya tak hanya dia tapi juga keluarganya. Aamiin Description: Cerita tentang Rara dan Andre yang bertemu di perantauan tepatnya di kota Solo saat rintik hujan di bulan November. Andre yang selalu berusaha untuk menghapus kesedihan Rara setiap kali ia menangis di sudut kafenya dan memberanikan diri untuk bertanya suatu hal yang amat penting kepada Rara setelah dua tahun mengenalnya. Akankah Andre berhasil menghapus kesedihan Rara ?
Title: REMAJA BIASA Category: Slice of Life Text: TEMAN Kriiiinng!!! Bel masuk sekolah berbunyi nyaring, menggema keseluruh penjuru sekolah. Para siswa yang berada dimanapun, langsung bergegas masuk kedalam kelas. Disebuah lorong terlihat seorang siswa berkacamata sedang berjalan dengan santai. Rambut siswa itu agak gondrong dan badanya juga agak kurus. Siswa itu dilihat darimanapun memiliki badan yang rapuh. Wajah santainya berubah waspada ketika mendengar suara derap langkah dari arah belakangnya. "Woy kal, jarang-jarang lo berangkat agak siang." Ucap orang pemilik suara langkah itu. Ia ingin merangkulkan tanganya kepundakku. Aku menepis tanganya "Najis." Ucapku Orang itu langsung cemberut, "Oh ya Kal, lo nanti pulang sekolah mau ikut ngga?" "Kemana?" Orang itu merogoh saku lalu mengeluarkan posel "Futsal, Nico ditantang sama kakak kelas." Jedanya saat melihatku berpikir. "Gimana?" Aku mengangguk "Hmm, Lana ikut?" Tanyaku saat memasuki kelas. Kelas terlihat ramai. "Dia ikut." Jawabnya usai menggeser chat digrup. Tiba-tiba seorang wanita berambut hitam lurus seperti diiklan sampo berdiri di depanku. Aku menatapnya sebentar sebelum melewatinya. Saat aku berada disampingnya, ia menggegam lenganku "Pulang sekolah ikut gue sebentar." "Gue futsal." Jawabku "Setelah futsal." "Lelah." kataku acuh tak acuh Wanita itu memutar badanku sampai menghadap kearahnya. Ia menatapku "Kenapa?" Nada suaranya terdengar sedikit tercekat. Aku melepaskan tanganya "Berpikirlah." Ucapku seraya melangkah ke bangkuku. Saat wanita itu ingin menghentikanku, orang tadi menarik tanganya "Udah, lo malah bikin tambah rumit." Katanya. "Tapi yus, Ik-" "Rin, ingat lo udah punya pacar. Ikal cuma ngga mau ada diantara kalian, mulai sekarang lo mending jaga jarak sama Ikal." Aku bergidik jijik saat mendenggar perkataan Yusra yang sok bijak. Aku meletakan tas di bangku lalu melangkah keluar lewat pintu belakang kelas. "Kal, mau kemana?" Tanya seseorang yang duduk didekat pintu. "Mau kebelakang sebentar." Jawabku sambil menegangi perut. Orang itu hanya mengangguk. Langit terlihat sangat gelap dan angin bertiup sedikit kencang menghembuskan daun-daun berserakan. Aku memejamkan mata, menikmati angin yang menerpa wajahku "Ngantuk." Gumamku pelan. *** "Kal.. Woy Kal..." Aku merasa seseorang menggoyangkan tubuhku "Kal bangun." Orang itu mengoyangkanya lebih kencang. Aku membuka mata perlahan terdengar suara khas hujan. "Woy Kal, lo kok bisa-bisanya tidur disini." Kata orang itu seraya duduk diatas kepalaku. Aku duduk lalu melihati sekitar, ribuan air hujan jatuh diatas roftop. Dan tempat kami duduk dilindungi oleh sebuah besi. Di bawah besi itu ada 1 meja besar, sofa, dan beberapa kursi lipat. Seorang pria ganteng (terpaksa gue ngakuinnya) berambut hitam duduk disebelahku. "Oh lo Lan, jam berapa?" Tanyaku. "Istirahat pertama." Jawab Lana singkat. Ia menkan-nekan sofa "Kal nih sofa dapat dimana?" Aku memutar-mutar badan, suara benturan antar persendian terdengar agak keras "Entah, temen Nico yang bawa kesini." Ucapku sambil berdiri dan melangkah ke arah kran air. "Ngapain lo kesini?" Tanyaku setelah membasuh muka. "Biasa takdir jadi orang ganteng." Jawabnya sombong. Aku hanya menatapnya sinis lalu berjalan kearah tangga. "Gue turun dulu." Ucapku saat menuruni tangga. Ketika aku berada di pertengahan tangga aku berpapasan dengan seorang wanita. Aku hanya menatapnya sekilas dan melewatinya. Saat dikantin seseorang menepuk pundaku "Woy Kal, darimana aja lo?" Tanya yusra yang entah muncul dari mana. "Tadi Nico nyari lo." "Dimana dia sekarang?" Yusra menunjuk ke arah bangku paling pojok. "Lo mau makan apaan? biar gue yang mesen." "Nasgor." Jawabku lalu melangkah ke arah Nico. Saat aku tiba di meja kantin paling pojok. Nico menoleh kearahku "Darimana aja lo?" Aku duduk didepanya "Roftop." Jawabku singkat. "Ngga nyangka gue, orang serajin lo bisa bolos juga." Kata Nico seraya terkekeh. "Bukanya gue yang ajarin lo bolos ya." Ucapku agak kesal. "Ada apa?" Nico mengangkat alisnya lalu tersenyum tipis "Lo tahu kalo tadi pagi ada murid baru?" Tanyanya "Kalo emang ada kan, bukan urusan gue." "Dia cantik lho." Ujar Nico berniat menggodaku. Aku menatapnya datar lalu menoleh ke kanan "Woy fa, otak ni orang ketinggalan dirumah ya?" Tanyaku pada orang yang dari tadi duduk dipinggir Nico, ia sibuk dengan gamenya. Alfa melirik ku sebentar lalu mengangguk "Hmm, tadi pagi aja dia nabrak tiang bendera." Aku tersentak lalu tertawa lirih, aku menyeringai sambil melihati Nico. "Siapa?" Nico dengan panik langsung ingin menutupi mulut Alfa, tapi tiba-tiba ia dipegangi oleh seseorang. "Diem lo fa!" Serunya Alfa menyeringai "Cewek osis yang pakai kacamata." "Jadi tipe lo kaya gitu ya Nic." Kata Orang yang memegangi Nico. "Siapa fi?" Tanyaku pada orang itu. Zafi menatapku tak percaya lalu menepuk jidatnya "Hedeh.. Kal, lo udah sekolah disini 1 tahun dan belum tahu wakil ketos. Bodo amat lo dah tingkat akut Kal." "Kan dia emang ngga terkenal." Kataku sebagai pembelaan. Tiba-tiba ketiga orang didepanku menepuk jidatnya bersamaan. Yusra menyenggolku dan menatap mereka jijik, dikedua tanganya ada sebuah piring. "Oy Kal, nih para orang koplak lagi ngapain? kaya ceribel." Aku mengamati pose mereka lalu tertawa. Cekrek! Tiba-tiba duara jepretan kamera terdengar "Hahaha besok kita pasang dimading." Kata Lana sambil tertawa. "Woy Lan hapus ngga." Seru Zafi seraya menghampiri Lana. Lana memasukan ponselnya kedalam saku celana "Tidak semudah itu ferguso." Dia menghalangi Zafi dengan tanganya. "Oh ya Kal, ada seseorang yang menyuruhku untuk menyerahkan ini." Kata Lana sambil menyerahkan sebuah surat. Aku menerimanya dan langsung membukanya. "Siapa dia? Ngga jelas amat." Kataku agak kesal karna tulisan didalam surat sangat singkat. Yusra menarik surat yang ada di tanganku, Aku hanya menatap tanganya. Lana mengangkat bahunya "Entah, kayanya dia murid baru." "Yus baca yang keras." Ujar Nico penasaran. Yusra mengernyitkan alis "Pulang sekolah temui aku diroftop." "Itu doang?" Tanya Zafi yang sudah menyerah dengan foto konyolnya. Yusra mengangguk lalu meletakan surat itu diatas meja. Alfa langsung memungut surat itu. "Nic, Nanti pulang sekolah langsung berangkat atau gimana?" Tanya lana pada Nico "Langsung aja, lagian besok ganti seragam." Jawab Nico lalu menatap kita bergantian "Eh, sudah lama ya, kita ngga kumpul kaya gini disekolah." Katanya sambi tersenyum. Yusra menatap Nico jijik "Jijik sial." "Lebay." Tambah Lana "Emang bener kata Ikal, otak lo ketinggalan dirumah." Ucap Alfa sambil menjauh dari Nico Wajah Nico langsung berubah masam. Zafi yang melihat itu langsung berdiri dan mengambil sebuah engkrak. "Mau ngapai lo?" Tanya Yusra heran. Kita berlima juga menatapnya heran. Zafi hanya diam, ia mengeluarkan posel dan sebuah selotip dari dalam sakunya. "Woy, lo maling dimana tuh selotip." "Maling pala lo, setelah ini kelas gue seni budaya." Jawab Zafi kesal. Ia hampir selesai menyelotip ponselnya diengkrak. Lana menggeleng-gelengkan kepalanya "Gue merasa bangga sendiri punya temen gila kaya lo fi." Zafi tersenyum "Bentar oy gue belum siap." Kata Yusra ssambil membenarkan rambutnya. "Nih lo yang pegang." Zafi menyerahkan engkraknya ke Nico setelah mengotak atik ponselnya. Nico menerimanya lalu mengangkat engkrak itu. Kita berenam menjadi pusat perhatian seisi kantin dan mendapat puluhan cibiran dan sedikit pujian. Tapi saat kita bersama dengan makhluk yang bernama teman, Perkataan atau cibiran dari orang lain akan kita anggap sebagai pujian. Cekrek! Terlihat 6 orang siswa yang sedang duduk mengelilingi sebuah meja berwarna merah. Mereka menghadap kearah kamera dengan pose dan senyum khasnya masing-masing. FARAH Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, semua guru mengakhiri pelajaran mereka. Terlihat semua siswa berkemas tengah sambil berbincang dengan teman-teman nya. Aku berdiri lalu melemparkan tas ke arah Yusra. "Tunggu gue di parkiranaku." aku langsung berjalan menuju ke Roftop. Saat aku membuka pintu roftop, kepalaku dipenuhi oleh pertanyaan siapa yang ingin menemui, Biasanya Nico yang memanggilku sepulang sekolah. Masa cewe, aku langsung menggeleng. Tepat setelah itu pintu roftop dibuka. Seorang cewe modis dengan jaket di pinggangnha, rambut hitam sebahunya mengkilap karena terkena sinar matahari. Tapi, yang paling menarik perhatian mataku adalah dada besarnya. "Ekhm... Mau sampai kapan liatin dada gue hmm?" Katanya sambil tersenyum jahil. Aku menatapnya aneh "Lo bodoh ya." "Eh..." Wanita tersentak keget plus keheranan. "Maksud lo?" Aku menatapnya sedih "Mungkin karena ekonomi keluarga lo ya. Gue turut sedih dengan nasib keluarga lo." Wanita itu tambah bingung "Maksud lo apaan ya? gue ngga paham." "Itu lho, baju yang lo pake, baju smp lo kan? Kalo ortu lo ngga bisa beli, gue bisa minjemin uang." Wanita itu menunduk dan berjalan ke arahku. Aku mengingat-ingat harga seragam SMA "kayanya 100 ribu cuk- ugh." Sebuah pukulan mendarat di perutku. Aku menunduk seraya memegangi perut. Sepertinya uang yang ku tawarkan terlalu sedikit "200 ribu deh, kal- ugh." lagi-lagi perutku menerima pukulan darinya. "Kok bisa ya, gue bisa suka orang aneh kaya lo." Katanya sambil duduk di sofa. Aku membulatkan mata kaget "Suka?" Tanyaku membenarkan. Aku menegakkan badan, tadi aku hanya berpura-pura kesakitan. Aku menatapnya datar. Wanita itu tersenyum "Seperti dugaan gue." Gumamnya pelan, tapi masih bisa tertangkap indra pendengaranku. "Hmm, gue suka sama lo." Lanjutnya dengan bangga. Setelah menatapnya beberapa detik. Aku melangkah ke pintu 'Pacaran dengan orang terkenal adalah neraka' pikirku saat mengamatinya. Aku memegang gagang pintu dan ingin membukanya. Tapi "Dikunci." Kataku sambil menatap wanita yang sedang tersenyum jahil kearahku. Aku tak menghiraukanya lalu berjalan ketepi roftop yang dekat dengan pohon besar. "Percuma, Batang yang menjorok ke sini sudah ditebang." Katanya saat aku tiba ditepi roftop. Benar, cabang yang menjorok ke arah roftop sudah ditebang. "Lebih baik. Sekarang, lo ngajakin gue pacaran." Ia berdiri lalu berjalan ke arahku. "HAH!..." saat aku ingin mengatakan sesuatu ia langsung mendahului. "Gue ngga mau laki yang gue suka jadi pecundang." Katanya sambil menarik dasiku. "Gue ngga terima penolakan." Lanjutnya saat aku hendak ingin membuka mulut. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkanya. Hampir saja aku kehilangan ketenangan, aku menatapnya lekat-lekat "Kenapa lo suka sama gue?" Aku berniat mencari alasan penolakan yang masuk akal dari jawabanya. Wanita itu menghela nafas dan kembali menatap mataku "Kal asal lo tahu, gue ngerti apa yang akan lo lakukan. Lo ingin cari alasan yang masuk akal untuk menolak kan." Aku mengangkat alis kaget. Ni cewe bisa baca pikiran ya. Wanita itu menggelng "Gue ngga bisa baca pikiran kal. Gue tahu karna gue selalu memerhatikan tingkah lakumu selama 1 tahun ini." 'Apa dia penguntit' Wanita itu menatapku tajam "Lo tahu, ngga sopan nuduh orang sembarangan." Sepertinya tidak ada cara lain, selain jadi laki yang sok suci. "Kita kan baru saja ke-" Wanita itu meletakan jari telunjuknya di mulutku, ia menatapku dengan ekspresi sedih "Udah, kayanya mustahil gue bisa jadi pacar lo." Ia melepaskan dasiku "Segitunya ya, lo ngga suka sama gue. Sampai bela-bela in jadi tipe orang yang sangat lo benci." Ucapnya sambil menunduk dalam-dalam, matanya sudah mulai mengeluarkan air. Aku menatapnya bingung. Perasaan tulusnya terlihat sangat jelas, sepertinya dia sangat menyukaiku. Tapi, ini pertama kalinya kita bertatap muka. Aku menggelengkan kepala sambil mengingat-ingat, dia tadi bilang sudah memperhatikanku selama 1 tahun. Berarti kita sudah pernah bertemu, saat aku mengingat-ingat lagi hasilnya nihil. Aku mencengkram rambut frustasi. "Siapa nama lo?" Tanyaku saat dia berbalik dan ingin melangkah. Wanita itu berhenti "Farah." Ujarnya pelan lalu melanjutkan langkahnya. Badannya sudah naik turun karna menangis dalam diam. Saat di mengetuk pintu, aku mengambil sebuah keputusan yang sangat ambigu hasilnya "Farah." Panggilku yang langsung disambut kesunyian, entah itu efek pesikolog atau memang dunia ini tiba-tiba menjadi sunyi. Angin berhembus menerbangkan rambut hitam wanita yang sedang terisak itu. "Jadilah pacarku." Kataku sambil membayangkan kehidupan sekolah yang merepotkan. 'Selamat tinggal kehidupan damaiku' Batinku. Farah yang masih menunduk berbalik menghadap kearahku "Ulangi sekali lagi." Katanya agak lirih. Karna jarak dan angin pendengaranku tak bisa menangkap perkataanya "Apa?" "Ulangi sekali lagi." "Apa har-" "Cepatlah." ucapnya agak ngotot. Aku ragu-ragu sebentar "Jadilah pacarku." Aku hendak muntah karena perkataanku ternyata sangat menjijikan. Untung tidak ada mereka, jika ada aku akan jadi bully-bullyan mereka. Farah menyeka air matanya "Kok ngga ada kata suka atau cintanya?" "Yah, karena memang gue belum suka atau cinta dengan lo." Kataku mantap sambil berharap Farah akan membenciku. Farah tertawa lalu menatapku. Air matanya masih mengalir, aku sempat berpikir bahwa ia kecewa setelah mendengar perkataanku. Tapi karena senyum diwajahnya pikiranku berbalik sepenuhnya. "DALAM 1 BULAN GUE AKAN BUAT LO JADI MENCINTAIKU." Serunya agak keras, Aku merinding mendengarnya "Serah lo dah, yang penting ngga usah selingkuh aja." Farah berlari kearahku dan saat jarak kurang beberapa langkah lagi ia melompat. "Liciknya" Gumamku sambil menangkapnya, lalu mundur beberapa langkah untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh. Farah menempelkan dahinya ke dahiku "Hehe... Gimana? aku pintar kan." Katanya sambil tersenyum bahagia. Dia tahu, kalo aku tidak akan membalas pelukanya. Jadi dia melompat dan membiarkanku menangkapnya "Iya in aja deh, biar seneng." Balasku. Farah menatapku cemberut lalu menarik tanganku dan melangkah kearah sofa. Dia duduk disana sambil menepuk-nepuk tempat disebelahnya, menyuruhku untuk duduk. Tapi saat aku ingin duduk, ponsel di saku celanaku bergetar. Aku melihat nama yang tertulis lalu mengangkatnya "Gimana Yus?" Tanyaku "Lama banget, ngapain aja lo?" Aku menepuk dahi 'gue lupa'. Aku mematikan sambungan tanpa menjawab pertanyaan Yusra. "Far gue ad-" Farah menatapku tajam "Mulai sekarang pakai aku-kamu." Ujarnya dengan tegas. "Ngga menerima penolakan." lanjutnya saat aku ingin mengajukan pembantahan. Aku menghela nafas pasrah "Ayo turun, aku udah ditunggu sama yang lain diparkiran." "Mau ngapain?" "Futsal." "Selesai jam?" "Kira-kira jam setengah lima." Farah tampak berpikir sejenak "Kamu bawa sepeda atau motor?." "Sepeda." Dia tampak kecewa "Besok antar aku pulang, jadi besok kamu bawa motor!." Ujarnya sambil berdiri. Aku mengangguk "Hmm." Ia melangkah ke pintu lalu mengetuk pintu. Suara kunci diputar terdengar lirih, lalu pintu itu terbuka "Udah selesai Far?" Tanya seseorang wanita berkacamata. Kalo tak salah ingat, ia adalah Wulan sang rokie ranking 1 angkatan 47. Peringkatnya selalu berada diatas, sampai sekarang belum ada yang menggantikannya. Wulan meliriku sebentar saat aku lewat didepannya. Farah menyolek-nyolek perutku sambil tersenyum "Pacarku hebat ya, ngga ngelirik Wulan sama sekali. Asal kamu tahu dia selalu menjadikanmu rivalnya." Katanya agak berbisik. "FARAH!." Seru Wulan sambil membenarkan kacamatanya. Farah hanya cengengesan. MENCAIR Aku berpikir keras dengan kata-kata dari Farah "Rival?" Kataku setelah berpikir dan tak menemukan jawaban. Farah meliriku sebentar "Mungkin semua siswa ngga sadar sama nilaimu. Tapi kamu tahu, aku selalu mengamatimu. Dan otomatis Wulan tahu tentang nilaimu." Jawabnya dengan bangga. "Oh, emang ada apa ya dengan nilaiku?" Farah langsung menginjak kakiku "Berani juga ya, kamu bohong sama aku." Ucapnya agak kesal sambil menatap tajam kearahku. Aku meringis karna Farah menginjak dengan tumitnya, lalu aku tersenyum canggung sambil menggaruk kepala yang tindak gatal "Maaf." Farah menatapku beberapa detik lalu "Hemp." memalingkan wajahnya dan berjalan lagi. "Gue ngga habis pikir kenapa lo buat nilai lo jadi pas rata-rata, padahal lo bisa dapet nilai sempurna?" Tanya Wulan dengan masam. "Gue ngga suka jadi terkenal." Farah menatapku dengan seringai di mulutnya "Trus, kanapa kamu suka cewe yang terkenal?" "Em.." Aku merasa keringat mengalir didahiku "Apa aku penah mengatakan hal itu." Jawabku dengan tenang, "Hmm.." Farah menatapku jahil, dia pasti tahu bahwa aku sedang merahasiakan sesuatu "Yakin nih? Kamu tahu ak-" Aku langsung merangkulnya dan berjalan lebih cepat, mendahului Wulan yang sedang menatap kami dengan wajah bingung. Aku menarik nafas mempersiapkan mental lalu tersenyum kearah Farah "Farah sayang, jika kamu ingin sesuatu. katakanlah ke pacarmu ini ok!." Aku hampir mutah dengan ucapanku sediri. Farah tertawa menang "Ok sayang. Aku akan bilang semuanya besok." Katanya sambil membentuk jarinya menjadi O (👌) dan mengedipkan mata kanannya. BRAK!! PUK!! PLAK!! COLNTANG!! Suara motor, ponsel, buka, dan kaleng minuman. Membuatku tersadar kalo aku sudah tiba diparkiran. Aku menatap ke-5 temanku yang sedang melongo tak percaya, mulut mereka terbuka lebar. "Woy Lan gue bulum mati kan?" Tanya Nico ke Lana tanpa memedulikan motornya. Lana tidak bergeming seperti syok dengan kejadian didepan matanya. Alfa menampar yusra agak keras "Sakit ngga?" "Sakit sialan." Balas Yusra kesal. "Woy telepon Viko!" Suruh Zafi pura-pura panik. "Bilang, kakaknya jadi gila." Nico melangkah ke arahku, tapi saat kurang beberapa langka ia terdiam sambil melihat kearah belakangku. Wajahnya tampak konyol. "Woy situasi apaan nih?" Kata Yusra dari tempatnya. Alfa tertawa "Akhirnya, setelah sekian lama duo es kita cair juga." Ucapnya dengan ekspresi bangga. "Sudah, tinggal sikat Nic." Lanjutnya sambil mengerakan tanganya. "Fa, kasian Nico, Dia gugup banget kayanya. Lihat deh kakinya." Kata Lana bersimpati. Tapi sebenarnya ia sedang menyindir terlihat di ekspresinya. Yusra tertawa terbahak-bahak "Haha Fi cepet vidio momen langka nih ha..ha..ha.." Dia ingin menghentikan tawanya tapi tak bisa. Zafi langsung mengambil ponselnya yang jatuh tadi lalu merekamnya. Aku menyeringai karna mendapat sebuah ide. Dengan posisi masih merangkul Farah aku berjalan kedepan "Tinggal sikat Nic, dari pada ntar lo nyesel." Bisikku saat lewat dipinggirnya. Zafi mengacungkan jempol 'MANTAP' walaupun dia tidak bersuar, aku bisa mendengar itu dari ekspresinya. Lana yang langsung paham dengan interaksi kita berdua, juga mengacungkan jempol. Yusra dan Alfa hanya menatap kami bertiga bingung. Sedangkan Farah hanya terkekeh. Setelah menghirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Nico langsung melangkah maju menghentikan langkah Wulan. Wulan menatap Nico bingung "Emm.. Ada apa ya?" Tanyanya usai di tengah-tengah suasana cangung. "Hahaha Dia gugup banget, liat tuh kakinya." Alfa menahan tawanya sepelan mungkin. Bukan hanya Alfa yang sedang menahan tawa, yang lainya juga. Kecuali aku yang menatap Nico kasian sambil meletakan dagu dibahu Farah. Tiba-tiba Kaki Nico yang agak gemetar menjadi tenang "Lo punya pacar?" Tanyanya dengan tenang dan terlihat wajah jantannya. "Ngga." Jawab Wulan seraya menggeleng. Lana tiba-tiba memakai kacamata "Seperti yang diharapkan dari orang bodoh." Katanya sok tahu. Yusra tercengang seketika "Maling dari mana tuh kacamata?" "Idihh.. Sok jenius lo." Cibir Alfa sambil menatap Lana jijik. "Bener kata Lana, seperti yang diharapkan dari orang bodoh." Aku berbicara dengan malas. "Ada orang yang lo suka?" Nico masih tenang. "Ada." Jawab Wulan enteng. "Oh." Wajah Nico tampak kecewa, dan otomatis suasana hening terjadi. Zafi mendesah dan diwajahnya ada ekspresi kasian "Dia mikir lagi." "Maksud lo?" Tanya Alfa dan Yusra berbarengan. "Dari tadi, sebelum Nico ngomong. Dia pasti mikir dulu." Jawab Lana. "Mau ngga jadi pacar gue?" PLAK!!! Kami berlima langsung menepuk dahi berbarengan. "Terlalu umum." (Lana) "Ngga ada yang spesial." (Yusra) "Jangan bilang dia mbrosing dulu tadi." (Alfa) Aku dan Zafi hanya terdiam. ISUK0~PECEL AWAN~PECEL MBENGI MANGAN PECEL~ Suara nada dering ponsel Nico terdengar keras. Dia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel itu "WOY SIALAN, LO LAMA BANGET. JAMURAN KITA NUNGGU KALIAN!!" Terdengar teriakan dari sebrang sambungan. "Sial, gue lupa." Jawab Nico "Bentar kita otw." Nico memasukan ponselnya "Tolong beri gue jawaban besok." Nico berbalik dan bergegas menuju motornya. Zafi mematikan rekaman dan menyusul Nico. "Ayo Kal." Ajak Alfa yang sudah siap diatas motor Ninjanya. Lana dan Yusra sudah melaju duluan. "Gue nyusul." Alfa menatapku sebentar lalu tersenyum "Ok, awas kalo ngga dateng." Katanya sambil menarik gas. Suasana perlahan hening, hanya terdengar suara dedaunan yang tertiup angin. Keadaan hening berlangsung agak lama, sampai Farah menyadari apa yang ingin kulakukan. "Lan bisa kedepan duluan." Ucapnya. Wulan mengangguk lalu berjalan kegerbang depan. "Apa dia sahabatmu?" Tanyaku seraya menatap punggung wulan. Farah juga menatap kearahnya lalu mengangguk "Hmm, dia sahabat terbaik ku." Jawabnya sambil tersenyum. Jantungku berdebar saat melihat senyum diwajahnya "Lo yakin pacaran sama gue?" Dia menatapku "100% yakin." Jawabnya mantap. Saat aku ingin membuka mulut, Farah menempelkan jari telunjuknya dimulutku "Aku tahu kamu ingin bilang bahwa Wajahmu pas-pasan, badanmu rapuh, dan hal negatif lainnya kan?" Aku langsung mencubit kedua pipinya "Lo tuh ng-" "Kamu." Potongnya marah. Aku tersentak lalu terkekeh "Iya iya." Aku mencubit pipinya lebih kencang karena wajah marahnya sangat imut. "Aw.. Sakit Kal." Rintihnya sambil berusaha melepaskan tanganku. Aku tertawa lalu melepaskan cubita dan kemudian mengelus-elus rambutnya "Jika dimasa depan aku punya salah tolong dimaklumi karena ini baru pertama kalinya aku pacaran, dan untuk mencegah kesalahpahaman dimasa depan, kita hilangkan rahasia diantara kita." Farah mengangguk dengan senyum cerah diwajahnya. "Dan yang terakhir, kamu tahu sendiri kan. Apa yang palingku benci." Farah mengangguk lagi "Penghianatan kan." Aku tersenyum lalu melepaskan tangan yang dari tadi mengelus-elus kepala Farah "Dah sono pulang!" Kataku. "Hmm, kalo gitu sampai jumpa besok." Dia berbalik "Jangan menyesal dengan perkataanmu tadi ok!" Katanya sambil menyeringai senang. Aku berjalan ke arah sepeda yang didekat tembok. BUK!!! Aku memukul tembok sekeras mungkin lalu menjambak rambut "Sial, bisa-bisanya gue tadi sok romatis gitu." Ucapku. Setelah mengubur ingatan itu dalam-dalam aku menaiki sepeda lalu mlaju ke HAMAS dekat sekolahan. Description: Menceritakan kisah seorang remaja biasa yang penuh dengan keberuntungan.
Title: Rambak Ruang Category: Puisi Text: Memorial Mimpi Kala itu menutup senja: Tak hanyut tapi tak larut Tak carut tapi tak marut Bercadar tapi sadar radar Penuh pudar meski tak sampai hingar Yang hidup selalu punya ruang memaksa mundur yang tidak punya kuasa atas hatinya. Lantas sama saja seperti memaksa mimpi untuk meninggalkan keceriaannya dalam memori ini. Lambat Ruam Masuk tapi tak dianggap Mau abu entah mengapa ini jadi kelabu? Terawang tapi nyatanya ini bukan di awan Menggencat hati yang sesak penuh selisih Lantas... Apakah pantas seribu dua ribu bahkan sepuluh ribu ruam menyintas sepuh sepersepuluh? Karena nyatanya inilah kehidupan Tak saling menyapa meski dalam satu ruang Karena waktu nampaknya bisa melambat seperti alurnya hati tanpa tuan. Jenuh Jenaka Rindu jenuh penuh sesak Riuh menghambur masa indah dan duka Ini sempurna karena nyatanya jenaka tak selalu sama Apa yang kelihatan nampak fasih bermain panggung Dalamnya lubang hati tak bisa menjemukkan dalamnya perasaan Sekali lagi mencoba riasan sang akar Kelakar bodoh penuh ilusi Lihatlah sang pemandu sorak sibuk menari di tengah kesakitan tim nya Semoga kelak ia akan ingat hari ini Kecapaiannya tak sampai melambungkan hati siapapun Ladang Gembira Deru angin melewatiku: Berbisik halus tanpa keluh Merajam hati setajam hantam Ini hidup harusnya mulus malah tandus Sudah kusiapkan hati meredam kelam Yah, inilah hidup memikul pilu bahkan kadang bulir sejuk Mau ku terjun bebas tanpa batas Karena memiliki angin seperti bernapas lepas Memilikimu tak sekedar binar maupun pijar Kamu ladang berkat penuh nikmat Seuntal nyaman dalam aman Semoga saja besok gembira bersama Karena sejukmu adalah ladang gembiraku Remah Manis Menggoda hati menimbun peluk Kejora lalu jatuh memeluk gerimis Nah itu dia, bagaimana bisa bertemu? Meski malam tak selalu mendung Setiap malam setia menunggu gerimis Wangi awan berbentuk tipis Mencium remah berbuah manis Seperti itu hati menemukan rumah Rumah hangat berbalut cinta Hallo Juga Menyapa tapi tak menyapa Disebut tapi tak menyebut Dianggap tapi tak dianggap Melukai tapi nyatanya malah dilukai Peluh saja bisa berurai perih: Aku ini tak bisa kembali Semua salahmu silih berganti menepi geming Aku jadi diam dan meluruh saja Inilah aku si peluh yang penuh sepi Layaknya aku disebut apa oleh si api Toh ternyata meringis lirih malah ke hilir mimpi Sudahi saja atau bisa bilang hallo juga Ah, paling besok aku ini tembok tanpa gembok Ditembak hilang ditelan pun tak ada Mengolok waktu seolah pahlawan setu Padahal bobrok mengais momok Hidup(kah) (a)ku? Kadang aku bermimpi Berpindah ruang kembali fana Inikah rasanya gemetar tanpa badan Punya rasa meski tak perlu berasa Mau teriak tapi ih malah beriak kusut begini Kembali lagi badanku tanpa isi Isinya hilang tanpa asa Apalagi perasaan apa perlu diperjuangkan Ingat saja barang tentu kembali hidup Bersyukur padu bukan menyatu Sekedar ingat tanda tanpa lepas Pesakitan perlu juang Perjuangan perlu sakit Kalau hidup perlu aku? Menikmati Mati Mati asa Mati rasa Mati jiwa Bahkan mati hatinya Beginikah tanda pertapaan hati penuh lara Duka pun tidak bisa dibagi Hanya bisa dinikmati selagi perih Katanya bahagia kita yg ciptain Tapi penciptaan lahir dari petualangan hati Description: Ini tentang ruang dalam kehidupan. Yang selalu penuh warna dan membawa kisah indah tentang pojok teduh hati manusia.
Title: Rasa Category: Cerita Pendek Text: Rasa Alana berjalan sambil sesekali menggerakan badannya, mengikuti irama lagu yang sedari tadi dia dengarkan mengunakan headset yang terpasang ditelinganya. Tanpa dia sadari siswi-siswi di SMAnya berlarian kearahnya, tepatnya ke arah seseorang yang sedang berjalan di belakang Alana. Nuga, laki-laki yang tidak pernah kehabisan fans. Dengan wajahnya yang bisa di bilang memiliki proposisi yang sempurna, mulai dari hidung, mata dan lehernya. Hampir semua perempuan di SMA Nebula menjadi fans garis kerasnya. Karismatik, calm dan cool menjadi nilai tambahan dalam diri Nuga. Alana terhimpit dan terhuyung kesana kemari, bertubrukan dengan siswi-siswi yang siap menerkam Nuga kapanpun. Dengan susah payah Alana berusaha mengeluarkan dirinya dari kerumunan. “Akhirnya,” Alana membungkukan tubuhnya, berusaha bernapas dengan normal. “Nuga!!” “Makin ganteng aja setiap hari!” “Nuga, ini sarapan buat kamu” “Nuga.” “Nuga.” Teriakan melengking dari para perempuan itu, membuat telinga Alana sakit. Alana menegakan badannya, menatap kerumunan yang melewatinya, kesal. Meski pemandangan itu bukanlah pemandangan yang asing bagi Alana setiap paginya. Setiap kali Nuga datang, mereka seperti ikan piranha yang akan melahap mangsanya hingga tersisa tulang belulang. “Alana!” Teriakan Jia, sahabat Alana, berhasil mengalihkan Alana dari kerumunan itu. “Ngapain lo?” Tanya Jia memegang pundak Alana. “Biasa lah, pemandangan yang ga pernah absen dari pagi,” kesal Alana. “Ga bosen apa ya?” Lanjutnya. “Namanya juga orang ganteng,” jawab Jia santai. “Gue juga suka kali sama Nuga, secara ganteng, cool, calm kaya­—.“ “Kanebo kering,” potong Alana. “Nuga!!” teriak salah seorang perempuan yang berlarian kearah Nuga sambil membawa papper bag. Zora, perempuan yang paling bersemangat dan tidak pernah lelah untuk mendapatkan hati Nuga. Seantero sekolah pun sudah tau itu, bahkan kepela sekolah pun tau. Pandangan Alana dan Jia mengikuti gerakan Zora yang berlari kencang melewati mereka. “Padahal gue ga kalah ganteng dari Nuga, tapi kenapa gue ga ada yang negerubing ya?” Alana dan Jia menoleh kearah suara. Kapan dia datang?, benak Alana. Rabi, sudah berdiri tepat dibelakang mereka. Laki-laki yang sebenarnya tidak kalah tampan dari Nuga. Laki-laki yang cukup dekat dengannya. Laki-laki yang pandai berterus terang menyukai Alana. Alana tau itu, tapi hubungan mereka baik-baik saja, tetap teman. Tidak ada yang berubah. Alana memincingkan matanya dan mengerengitkan dahi. Jia menggeleng geli saat mendengar pernyataan Rabi. “Kepedean lo,” Jia tidak terima. “Tapi ga apa-apa, selama ada lo sih Al, gue tetep seneng,” Rabi mengedipkan matanya. Alana dan Jia saling tatap, lalu Alana menggeplak kepala Rabi. “Berisik!” “Ga usah malu-malu gitu lah Al,” Goda Rabi. “Jangan-jangan lo udah cinta sama gue lagi?” Rabi memincingkan matanya. “Ga akan!” Jawab Alana singkat, padat dan jelas. Jia tertawa mendengarnya. Sedangkan Rabi? biasa saja karena dia sudah terbiasa dengan penolakan Alana. “Lagian,” Alana menjeda bicaranya menatap kerumunan itu. “Jangan-jangan dia homo lagi,” lanjut Alana yang tentunya mengejutkan Jia dan Rabi. “Sembarangan!” jawab Jia cepat. Rabi tertawa mendengar itu. “Bisa jadi.” “Ini lagi provokator,” seru Jia kesal dan hendak menyikut Rabi. Alana mengangkat kedua bahunya, “Ya, Siapa tau, buktinya Nuga ga pernah naggepin mereka.” Setelah 8 jam belajar, rasanya kepala Alana panas sekali, untuk mendinginkan kepalanya, dia selalu pergi berenang selepas sekolah di kolam renang milik sekolah. Sudah hampir setengah jam Alana meluncurkan dirinya bolak balik. Bahagia itu sederhana, hal kecilpun bisa menjadi kebahagiaan untuknya. “Nuga, aku cariin kamu kemana-mana, taunya disini,” seru seseorang dari lorong kolam renang yang berdekatan dengan ruang ganti. Mendengar suara, Alana langsung menghentikan gerakannya, jarang-jarang ada orang yang datang ke kekolam renang selepas pulang sekolah, selain yang mengikuti eskul renang dan dirinya. Setau Alana hari ini tidak ada jadwal eskul renang. Alana berenang ke pinggiran kolam renang, melihat siapa yang datang. Dari sisinya, dia dapat melihat sedikit kearah lorong yang menghubungkan ruang ganti yang dekat pintu masuk dan kolam renang. Zora dan Nuga, sesegera Alana menenggelamkan setengah wajahnya, menyisakan sebagian kepalanya, dari batas hidung hingga rambut. Sudah tidak heran, Zora selalu mengikuti Nuga kemanapun Nuga pergi. Bahkan samapai di kolam renang?, Alana tidak habis pikir. “Ini, aku bawain coklat untuk kamu,” lanjut Zora sambil menyodorkannya kepada Nuga. Dengan wajahnya yang datar dan tatapannya yang tajam, Nuga menatap papper bag yang Zora sodorkan bergantian menatap Zora dihadapannya dengan senyum malu-malu. Azora tersipu malu saat mendapatkan tatapan itu, dirinya menundukkan kepala lalu memeprhatikan kaki hingga ujung kepala Nuga yang sedang bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana renang. “Hmm… aku ga tau kamu punya badan sebagus ini,” Zora memuji malu. Nuga tidak menggubris, dia meninggalkan Zora sendirian dengan papper bag yang masih di tangannya. Membuat pikiran liar Alana mengenai Nuga adalah seorang homo berputar di kepalanya. Bagaimana tidak, seorang Nuga bisa bersikap acuh pada Zora yang cantik bahkan di kejar oleh banyak laki-laki. “Jangan-jangan bener lagi homo,” bisik Alana. Menyadari Nuga berjalan menuju kolam renang, membuat Alana panik. Tanpa pikir panjang Alana bersembunyi, dia menenggelamkan seluruh tubuhnya agar tidak terlihat, dan berhasil, Nuga tidak menyadari kehadirannya. Tapi sampai kapan Nuga akan berdiri di pinggir kolam tepat diatasnya, Alana sudah tidak tahan menahan napasnya di dalam air. Tidak lama, tedengar suara seseroang menyebur kedalam kolam. Alana menutup matanya rapat-rapat bergerak bersamaan dengan suara air yang dibuat oleh Nuga. Berjalan pelan di dalam air, namun gerakannya terhenti saat Alana menyadari seseorang menghalanginya. Alana benar-benar sudah tidak tahan menahan napas, dia memunculkan dirinya dan berusaha bernapas sebaik mungkin. “AHH!” Alana terkejut saat mendapatkan wajah Nuga di hadapannya. Refleks, Alana membalikan badannya dan berusaha kabur. Tapi, gagal, lengannya sudah ditahan terlebih dahulu oleh Nuga dan dirinya tertarik kearah Nuga. Membuat wajahnya dan Nuga hanya berjarak setengah jengkal. “Ini pacar gue, jadi sekarang jangan pernah ganggu gue lagi,” Nuga membuka suara, untuk pertama kalinya, dengan tatapan masih kepada Alana. Alana membulatkan matanya, kali ini Nuga benar-benar membuat dirinya serangan jantung. Seperkian detik saling tatap, Nuga menadahkan kepalanya, tetap dengan wajah datarnya, diikuti oleh Alana. Membuat Alana hampir saja pingsan. Zora. Zora yang baru saja Alana lihat. Zora mematung dan menjatuhkan papper bagnya. Matanya berkaca-kaca. Terlihat jelas oleh Alana. Membuat Alana merasa iba kepadanya. Zora melangkah mundur, berbalik arah dan berlari meninggalkan Alana dan Nuga. Alana menoleh kearah Nuga dan menatapnya tajam. “Lo kenapa sih?” seru Alana dengan nada tinggi, membuat suaranya bergema. “Kita kenal aja enggak, kenapa lo tiba—“ “Mulai sekakarang lo pacar pura-pura gue,” Nuga menjawab dengan santai. Kemudian berenang meninggalkan Alana dengan mulut menganga. Alana mengaduk-aduk makanannya. Rasa tidak nafsu makan, mengingat kejadiaan beberapa hari lalu di kolam renang. Kantin yang sangat bising pun terasa sepi ditelinganya. “Alana!” Panggil Jia. “Alana, lo ga kesurupan kan?,” Rabi melambai-lamaikan tangannya didepan muka Alana. Alana memecah lamunannya. “Apa?” Jawabnya jutek. “Lo kenapa?” “Dimakan dong makanannya, jangan di aduk-aduk aja,” seru Rabi. “Kalau lo ga makan nanti sakit, terus gue ga semangat sekolah,” Rabi mengerucutkan bibirnya sok imut. Membuat Alanal dan Jia serasa ingin muntah saat itu juga. “Sini gue yang suapin,” Rabi mengambil sendok dari tangan Alana. Hingga seseorang menahan pergerakannya. Alana, Jia dan Rabi langsung menengok dan terkejut seketika saat yang mereka liat adalah Nuga. Seorang Nuga yang tidak pernah peduli dengan apapun yang disekitarnya jika tidak menyangkut diri dan saat ini Nuga sedang berdiri didekat mereka denga tatapan yang tajam dan muka datar. Tentunya dengan puluhan pasang mata yang terkejut dengan pemandangan itu. “Apaan sih!” kesal Rabi menarik tangannya yang ditahan oleh Nuga. Nuga hanya diam dan langsung mengambil sendok yang dipegang Rabi lalu duduk tepat disebalah Alana. Nuga menarik piring milik Alana dan menyendoknya, lalu menyuapinya kepada Alana. “Apa-apan sih lo!” Seru Rabi berdiri dari duduknya, gantian menahan pergerakan Nuga. “Maksud lo apa sama Alana kaya gini?,” Nuga menanahan amarahya. “Kenal juga enggak.” Dengan wajah datarnya, Nuga menatap tajam Rabi. “Alana, pacar gue,” jawab Nuga santai. Tidak hanya Jia dan Rabi, satu kantin benar-benar terkejut mendengar pernyataan Nuga yang lugas itu. Terkhusus siswi-siswi fans garis keras Nuga, dunia mereka seolah runtuh. Sudah tidak ada harapan lagi. Nuga menarik tangannya agar lepas dari genggaman Rabi, lalu menyodorkannya kepada Alana. “Lo bohong kan?” Zora yang tiba-tiba sudah didekat mereka membuka suara, menahan Nuga. “Rabi bilang lo ga kenal sama Alana, kenapa tiba-tiba kalian pacaran?” Nuga menaruh sendok yang dia pegang. “Mau kalian apa?” Tanya nya, terkhusus pada Rabi dan Zora. “Kalau nyatanya gue sama Alana pacaran kenapa?” Alana yang sedari tadi hanya memperhatikan ketiganya langsung berdiri, pergi meninggalkan kantin. “Alana!” Panggil Jia. Jia yang ingin mengejar mengurungkan niatnya saat melihat Nuga langsung mengejar Alana. “Ga usah ngikutin gue lo!” Alana berjalan cepat. Nuga tidak menggubris, dia hanya berjalan mengikuti Alana. Alana memutar badannya tiba-tiba. “Bisa gak sih ga ngikutin gu-,” Alana menabrak dada Nuga. “Ish,” kesalnya. “Mau lo apa sih?” “Jadi pacar gue” “hah?” “Maksud gue, pacar pura-pura gue.” “Gam mau,”Alana berballik dan meninggalkan Nuga. Alana membarikan badannya diatas kasur. Tiba-tiba saja sekolah menjadi list hal yang paling menyebalkan baginya. Disaat dirinya sedang menangkan diri, tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Sherclock” Isi pesan yang membuat Alana menyerengitkan dahinya. Nomor yang tidak dia kenal, tiba-tiba saja mengirim pesan seperti itu padanya. “Salah sambung,” balas Alana. “Alana kan?” “Ini siapa?” “Pacar lo” “Dapet nomor gue dari mana? dan gue bukan pacar lo!” Alana langsung membanting hadnphonenya diatas kasur, dia benar-benar lelah. Permainan apa ini?, pikirnya. Handphonenya kembali berdering sesaat Alana melemparnya, dia pun langsung mengangkatnya. “Sherclok rumah lo.” “Ga mau, jangan ganggu gue, Nuga!” Alana langsung memutus panggilan dan mematikan handphonenya. Alana berlari menuju gerbang sekolah, dia sudah terlambat datang kesekolah. Pintu gerbang sudah di tutup oleh satpam. Aluna menggerutu kesal, akhir-akhir ini hidupnya begitu sial, di kolam renang, di kantin, Nuga, dan bahkan sekarang dia terlambat datang ke sekolah. “Pak bukain pintunya dong,” Alana memohon. “Ga bisa, kalau telat ga bisa masuk sebelum guru BP datang kesini buat nge cek.” “Ayolah pak, saya kan baru kali ini terlambat.” “Alana, kamu telat juga?” Rabi sudah berdiri di belakang Alana. “Tuben?” Alana membalikan badan, dan melihat Rabi. “Au nih! hidup gue sial akhir-akhir ini,” keluh Alana. “Lu manyun gitu lucu deh, jadi makin tambah cinta,” Rabi tersenyum sambil mengelus pelan kepala Alana yang langsung mendapatkan pukulan dari Alana. “Uhmm” Alana dan Rabi menoleh ke arah suara. Nuga, dia terlambat juga dan sekarang Alana terjebak dengan kedua manusia luar biasa. “Kalian terlambat?” Bu Nani selaku guru BK sudah berada di gerbang sekolah. “Ya bu, menurut ibu aja gimana?” Dengan santainya Rabi balik bertanya dan mendapat sikutan dari Alana. “Kamu ini,” kesal Bu Nani. “Kalian bertiga saya hukum,” lanjutnya. “Bersihin halaman sekolah” “Oke bu, asal sama Alana sayamah ikhlas-ikhlas aja,” jawab Rabi santai. Alana mengendus mendegar pernyataan Rabi, lalu melirik Nuga yang tidak kalah santainya. Sudah satu jam mereka bertiga membersihkan halaman sekolah dan sebentar lagi akan selesai. Alana mengelap keringatnya dan duduk beristirahat sebentar. “Ini minum,” Nuga dan Rabi menyodorkan minuman ke Alana bersamaan. Alana melihat kedua botol minum dingin dihadapannya dan mendongak menatap kedua laki-laki yang sedang saling tatap seperti ingin saling membunuh. “Nuga,” panggil Zora, yang entah kapan dia sudah berada disana. “Kamu dihukum?” Tanya Zora. Nuga hanya mendesah kesal. Dia sudah lelah dengan Azora yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. “Ini minum buat kamu,” lanjut Zora menyodorkan minumannya kepada Nuga. Nuga menatap tajam Zora. “Pacar gue disini,” jawab Nuga dingin. “Gue tau kalian ga pacaran kan?” “Kita pacaran.” Rabi tidak peduli dengan apa yang terjadi di hadapannya, dia membuka tutup botol minumannya dan memerikannya kepada Alana. Alana menerimanya, dia sudah benar-benar kehausan. “Udah selesai kan?” Rabi melihat sekitar memeriksa pekerjaan mereka. “Balik ke kelas aja kalau gitu, yuk.” Ajak Rabi. “Lo duluan aja Bi,” Alana menolak . “Gue mau ke toilet dulu.” Dijawab anggukan oleh Rabi. Alana berdiri dan memberikan sinyal kepada Nuga untuk bertemu dengannya di rooftop sekolah. Nuga mengerti, dia mengambil tasnya dan meninggalkan Zora untuk kesekian kalinya. Zora hanya menghela napasnya, dia berusaha untuk tidak menangis melihat tingkah Nuga yang selalu dingin kepadanya. “Kasih gue alasan yang bener kenapa gue harus jadi pacar bohongan lo,” Alana membuka percakapan setelah mereka berada di rooftop. “Gue capek,” jawab Nuga. “Capek harus diikutin kemana aja, apalagi Zora,”lanjutnya. “Gue kira lo seneng-seneng aja dapet banyak fans.” “Enggak,”jawan Nuga singkat. Alana merasa kasihan kepada Nuga. Siapa di dunia ini yang tidak lelah kalau di ikutin terus kemana-mana. Nuga juga manusia, mungkin dari luar saja dia terlihat santai tapi nyatanya sebaliknya. “Oke” “Oke?” “Katanya gue pura-pura jadi pacar lo?” seru Alana. “Mau ga nih? sebelum gue berubah pikiran.” Nuga tersenyum mendengar jawaban Alana. Senyum pertama yang dilihat oleh Alana dari manusia dingin di hadapannya. “Alana!” Rabi menongolkan kepalanya menyapa Alana. “Ayo kekantin,” ajak Rabi. Meski Rabi tidak sekelas dengan Alana dan Jia, setiap jam istirahat dia selalu datang untuk mengajak makan bareng. “Gue ga diajak?” Jia berdecak. “Enggak,” jawab Rabi santai. “Lo juga ikut dong Jia,” ajak Alana. Kantin sangat ramai di jam istirahat, hampir mereka tidak mendapatkan kursi, kalau saja Nuga tidak melambaikan tangan kepada Alana untuk duduk di meja yang sama dengan dia. Aluna berjalan menghampiri Nuga. “Ko lo ke arah Nuga sih?” Seru Rabi, diikuti anggukan Jia. “Gue kan pacarnya,” jawab Alana santai. “JADI KALIAN BENERAN PACARAN?” Teriak Rabi dan Jia bersamaan. Membuat mereka menjadi pusat perhatian. Kantin menjadi semakin ramai dengan gunjingan mengenai Alana dan Nuga. Siswi-Siswi Nebula benar-benar patah hati mendengar itu. “Kenapa kamu belum makan?” Tanya Alana saat mendudukan dirinya disebelah Nuga. Diikuti oleh Rabi dan Jia yang duduk di hadapan mereka. “Nunggu kamu.” “Iya deh yang udah pacaran,” Jia tertawa. Rabi menghembuskan napasnya kesal. Bagaimana seorang Alana bisa berpacaran dengan rangginang. “Eh rangginang!” panggil Rabi kepada Nuga, tapi Nuga hanya diam saja karena merasa tidak dipanggil. “Eh kanebo kering!” lanjut Rabi sambil menyenggol kaki Nuga. Nuga langsung menatap Rabi. “Lo jangan sakitin Alana ya, gue hajar lo!” lanjut Rabi. “Gue tetep ga akan nyerah selama janur kuning belum melengkung!” Nuga hanya menatap tajam Rabi. Lalu kembali bermain handphone-nya. Dia benar-benar tidak peduli dengan ancaman Rabi. “Paan si lo Bi,” seru Alana. “Kenapa lo bisa jadian sama rangginang sih Al?” Tanya Rabi menemani Alana menunggu bus di halte. Alana tidak pulang dengan Nuga saat itu. Karena Nuga sedang berlatih basket dengan teman –temannya. “Ya karena suka lah,” Alana menjawab senatural mungkin agar Rabi tidak mengetahui fakta yang sesungguhnya. “Yakin?,” Tanya Rabi. “jangan-jangan lo dipaksa? diancam?” Rabi tidak berhenti bertanya. “Kenapa si lo?” “Habis, dulu-dulu kan lo kayanya ga suka aja gtu sama Nuga.” Alan menaikan kedua bahunya. “Lo gamau gue anter Al?” Rabi mengalihkan topik. “Ga usah, lagian rumah lo kan beda arah sama gue,” jawab Alana. “Eh, ada kucing itu kasian,” lanjut Alana saat melihat kucing yang kurus dan kotor. Alana langsung menghampirinya dan memberikan makan dengan sedikit roti yang dibawa. Rabi mengikuti Alana dan ikut berjongkok dengan Alana. “Kasian kamu, seandainya aku bisa bawa kamu Cio,” Alana memberi nama dan berbicara pada kucing itu. “Ko lo tau namanya Cio?” Tanya Rabi. “Baru gue kasih nama,” Aluna mengelus-ngelus Cio. Senyumnya terlihat begitu hangat membuat Rabi tersenyum kecil saat melihatnya. “Biar gue aja yang rawat,” lanjut Rabi. “Lo mau?” Tanya Alana, yang diikuti anggukan oleh Rabi. “Tapi ini harus dimandiin dulu,” lanjut Alana. “Ya udah tinggal mandiin, ke pets shop kan?” “Sekarang udah sore Bi, kayanya petshop juga udah mau tutup.” “Lo boleh pulang agak malaman?” “Kenapa?” “Ya mandiin kucingnya lah, dirumah gue tapi.” Alana berpikir sejenak. “Boleh,” Alana tersenyum. “Gue izin nyokap dulu ya.” Setelah Alana mendapatkan izin dari ibunya. Mereka langsung menuju rumah Rabi, menggunakan mobil Rabi. “Lagu BTS,” seru Alana saat mendengar radio memutarkan lagu BTS. “Kamu suka BTS?” “Siapa yang ga suka sama orang ganteng?” Alana tertawa, lalu ikut bernyanyi. Setelah perjalanan yang cukup lama karena macet yang sangat parah. Mereka pun sampai dirumah Rabi. “Kucingnya di mandiin disana aja Al,” seru Rabi sambil menunjuk kamar mandi. Alana langsung membawa kucing itu kedalam kamar mandi. “Bi!, bantuin gue dong!” seru Alana dari dalam kamar mandi. Terkadang Alana suka lupa tempat, berteriak seenaknya dirumah orang. Rabi menghampiri Alana dan siap membantu Alana yang sedang menyiapkan air untuk mandi Cio. “RABII!” Teriak Alana. “Pegang Cio yang bener!” lanjutnya saat Cio tidak berhenti bergerak. “Gue udah bener ini megangnya,” sekuat tenaga Rabi menahan gerakan Cio yang semakin menjadi. Membuat baju mereka basah kecipratan air. “Aduh Cio!” Teriak Alana. Tiga puluh menit mereka membutuhkan waktu untuk memandikan Cio, sekarang Cio sudah bersih dan terlihat lebih menggemaskan. Sedangkan Alana dan Rabi sudah tidak karuan bentuknya. Melihat Alana basah kuyup, Rabi memberikan handuk kepadanya dan menyuruh Alana untuk mangganti baju yang sudah disediakan dengan Rabi. Sedangkan Rabi membersihkan badannya di kamar mandi lain. “Orang tua kamu mana?” Tanya Alana setelah mengganti pakaian dan duduk berdua diruang tamu dengan Rabi. “Oh, mereka lagi ke rumah saudara, saudara gue ada yang sakit.” Alana mengangguk. Tiba-tiba saja perutnya bunyi. “Lo laper?” Tanya Rabi. “Iya,” jawab Alana dengan cengiran. “Ya udah, gue masakin dulu,” Rabi berdiri dari duduknya. Diikuti oleh Alana. “lo bisa masak?” “Bisa,” jawab Rabi. “Apalagi kala buat lo!” serunya bersemangat. “Gue juga bantu deh!” Alana tidak kalah semangat. “No! No!” Rabi menggerakan jari telunjuknya melarang Alana ikut masak. “Lo tamu, jadi duduk manis aja ya!” Alana mengerucutkan bibirnya dan menurut. Dia berkeliling rumah Rabi, melihat foto-foto masa kecil Rabi yang dipajang rapih. Aluna tersenyum saat melihatnya. Rabi selalu terlihat ceria di matanya. “Alana!, ini udah siap,” teriak Rabi dari dapur. Alana berjalan menuju dapur menghampiri Rabi. “Wah enak nihh kelihatannya.” Untuk pertama kalinya Alana menghabiskan waktu berdua dengan Rabi. Ternyata tidak buruk juga. Cukup menyenangkan dan Alana sangat menikmatinya. “Wah udah malam Bi, gue harus balik nih,” “Gue anter.” “Ga usah gue naik online aja.” “Bawel,” potong Rabi. “Gue ga akan biarin lo pulang sendiri, kalau ada apa-apa gimana?” ceramah Rabi. “Lagian nanti si rangginang bisa-bisa bunuh gue kalau lo kenapa-kenapa,” lanjut Rabi sambil meggelengkan kepalanya setelah membayangkan hal mengerikan baginya. Alana berjalan di belakang Rabi sambil membalas chat dari ibunya. “Alana!” Teriak Rabi sambil melambaikan tangannya. Alana mendongakan kepalanya dan berlari kecil kearah Rabi. “Kamu pasti ga liat ini.” Alana tersandung batu, dirinya hampir terjatuh kalau saja Rabi tidak menahan kedua tangannya. Membuat Alana hampir masuk kedalam pelukan Rabi. Alana terkejut dan langsung mendongakan kepalanya. Menatap mata coklat yang indah milik Rabi. Membuat mereka mematung beberapa detik. “Sorry,” Aluna langsung melepaskan tangannya dari genggaman Rabi. “Ga apa-apa yang penting kamu baik-baik aja.” Setelah beberapa jam dirumah Rabi dan memandikan Cio. Alana merasa lelah dan membaringkan dirinya. Sebelum tertidur lelap, dia memikirkan kejadian yang baru saja dia alami dengan Rabi. Hatinya berdetak tidak seperti biasanya. Tanpa sadar dia tersenyum sendiri dan tertidur dengan lelap. Nuga sudah berada di depan rumah Alana saat Alana sudah siap berangkat sekolah. Alana segera masuk kedalam mobil Nuga. “Pagi,” Nuga memberikan senyum yang tidak seperti biasanya. Membuat Aluna ketakutan sendiri. “Iya, pagi,” jawab Alana menyerengitkan dahinya heran. “Mood lo lagi bagus ya Ga?” Tanya Alana. “Kenapa?” “Jarang-jarang lo senyum.” “Ga boleh emang?” “Boleh lah! Bagus malah!!” Alana tertawa sambil menepuk pelan pundak Nuga. Nuga hanya diam konsentrasi pada jalan. “Eh, ga mukhrim, maaf,” Alana berhenti menepuk-nepuk pundak Nuga. Gerbang sekolah masih terbuka dengan lebar. Siswi-siswi SMA NEBULA sudah bersiap berdiri didepan sekolah menyambut idolanya. Nuga. Namun, semangat mereka luntur saat melihat Alana turun dari mobil Nuga. “Jadi kalian beneran pacaran?” Tanya salah seorang perempuan yang merupakan ketua fans Nuga. “i-i-iya,” jawab Alana terbata. Sedangkan Nuga hanya diam saja, lalu menggandeng Aluna membelah kerumunan fans Nuga. “Gue jadi ga enak sama mereka jadinya,” Alana berbisik pada Nuga. Nuga hanya diam saja sambil tetap menggandeng Alana hingga didepan kelas Alana. Mereka menjadi pusat perhatian satu sekolah. Bahan perbincangan yang tidak ada habisnya, apalagi mengenai Alana. Walaupun sedikit risih, Alana berusha untuk tidak ambil pusing. Saat bel istirahat berbunyi, Alana tergesa-gesa keluar kelas dan berlari. “Mau kemana lo Al?” Panggil Jia. “Ke WC, lo duluan aja ke kantin sama Rabi,” teriak Alana. Alana merasa lega setelah dari WC. Dia sudah menahannya cukup lama tapi tidak bisa izin ke WC, karena guru Sejarahnya tidak pernah mengizinkan siapapun untuk keluar kelas saat pelajarannya termasuk ke WC. Saat menuju kantin, Alana berpapasan dengan Zora. Zora menatap Alana begitupun sebaliknya. “Lo ga pacaran beneran kan sama Nuga?” pertanyaan yang berhasil menghentikan langkah Alana. Alana berbalik untuk melihat Zora. “Gue pacarnya,” jawab Alana, lalu beralik dan berjalan menuju kantin. “Alana!” panggil Rabi. Rabi sudah duduk bersama Jia dan Nuga. Entah sejak kapan mereka menjadi lebih dekat. Alana sudah tidak canggung di dekat Nuga, tidak jarang mereka akan berada di satu meja saat makan di kantin, bersama dengan Jia dan Rabi. Pada awalnya Jia dan Rabi merasa canggung. Melihat Nuga hanya diam saja, bahkan hampir tidak pernah bicara, tapi lama-lama mereka menjadi terbiasa dan Rabi sudah mulai dekat dengan Nuga. Rabi yang seenaknya terkadang mengusili Nuga. “Bagi ya,” Rabi langsung mengambil bakso yang ada di mangkok milik Nuga. “Jangan pelit-pelit sama temen,” kata Rabi sambil menyuap bakso kedalam mulutnya. Nuga hanya menatap Rabi tajam. Awal-awal dia memang sangat kesal dengan kelakuak Rabi, tapi lama-lama dia terbiasa akan sikap Rabi. Memang begitu wataknya. “Bagi minum juga,” Rabi hendak mengambil jus jeruk milik Nuga, namun dengan cepat Nuga menyelamatkan minumannya lalu meminumnya hingga habis. “Lo kenapa sih ga beli sendiri?” Tanya Alana. “Lo tau kan utang gue banyak di ibu kantin,” jawab Rabi santai sambil cengengesan. Kebiasaan Rabi, meski wajahnya tidak kalah tampan dengan Nuga, berprilaku seenaknya dan tukang utang di ibu kantin sudah mendarah daging pada dirinya. Itu yang membuat dia berbeda dari Nuga. Jauh. “Hari ini pulang bareng,” Nuga membuka suara. “Emang lo ga ada latihan basket?” Nuga menggeleng sebagai jawaban. Sudah biasa, begitupun bagi Jia dan Rabi. Meskipun hati Rabi sedikit panas, tapi dia tidak ingin membebani Alana dengan rasa cemburunya yang mungkin akan membuat Alana menjadi kesusahan. “Oh iya Al,” Rabi memanggil Alana. “Ini gantungan kunci lo, ketinggalan dirumah gue.” Jia menatap Rabi lalu Alana denga heran. “Kapan lo kerumah Rabi Al?” selidik Jia. “Kemarin,” jawab Alana singkat. Nuga yang mendengar itu menatap tajam Alana dan juga Rabi. Dia berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Jia, Rabi dan Alana yang kebingunan. “Lo si Bi!” kesal Jia. “Ada Nuga ngapain ngungkit-ngungkit Alana kerumah lo!”, lanjut Jia. “Bodoh.” Alana menggaruk lehernya bingung. “Ngapain lagi lo disini?” Jia ikut memarahi Alana. “Kejar sono!” perintah Jia. “Emang harus?” “Harus bego!” Kutuk Jia. “Lo kan pacarnya.” Alana langsung mengjera Nuga. Istirahat masih ada setengah jam lagi. Alana mencari Nuga kesetiap sisi sekolah tapi tidak menemukannya. Hingga Alana berhenti di ruang club musik dan mendengar seseorang bermain piano. Entah mengapa Alana membuka pintu ruang club musik dan berjalan masuk. Saat Alana berdiri tepat di belakang si pemilik suara, secara bersamaan orang itu berhenti bernyanyi. Dia menoleh ke arah Alana berdiri dan betapa terkejutnya Alana, bahwa si pemilik suara adalah Nuga. “Lo punya suara sebagus ini?” Tanya Alana dengan menggebu. Matanya berbinar, tidak menyangka laki-laki kriuk seperti rangginang garing ini pandai bernyanyi dan bermain alat musik. Nuga menaikan bahunya tidak peduli. “Kenapa bakat lo di simpen aja sih?” Tanya Alana lagi. “Lo harusnya jadi wakil sekolah lomba musik, nyanyi ke, atau main piano. Dua duanya kamu jago loh,” entah mengapa Alana menjadi sangat cerewet. Sungguh untuk pertama kalinya dalam seumur hidup Alana mendengar suara seseorang begitu indah. Nuga tersenyum kecil melihat Alana yang begitu semangatnya berbicara. Alana mendudukan diri di sebelah Nuga. Dia memencet not not piano, Nuga menatapnya. Senyum Alana, yang selalu dia inginkan. Rasanya bagi Nuga, senyuman perempuan didepannya ini selalu berbeda dari yang lain. “Gue suka musik, pingin bisa nyanyi dan mainin alat musik,” Alana memecah hening keduanya. “Tapi gue ga punya bakat,” Alana tersenyum lebar menatap Nuga yang sedang menatapnya juga. “lo mau gue ajarin?” Tawar Nuga. “Hmm,” Alana hanya diam menatap mata coklat Nuga yang indah jika dilihat dari dekat. “Lo mau ngajarin?” Nuga mengalihkan pandangannya ke arah not not piano sambil memencet bebarapa not dan mengangguk sebagai jawaban. “Tapi ada syaratnya,” lanjut Nuga. Perasaan senang pun memudar menjadi sebal saat Alana mendengar kata syarat. “Apa?” tanya Alana. “Apa Syaratnya?” “Jangan pergi kerumah Rabi lagi tanpa gue.” “Kenapa?” “Lo kan pacar gue.” “Pacar pura-pura,” Alana membetulkan. Nuga mendesah pelan.“Suka lagu apa?” dia mengalihkan pembicaraan. “Gue suka banyak lagu, selama enak di denger dan pas dihati,” jawab Alana. “Kenapa?, lo mau mainin?” tanya Alana. Nuga mengangguk. “Gue lagi suka lagunya SUGA yang Shadow, lo tau?,” seru Alana. “Tapi rap,” lanjut Alana. “Kira-kira dong masa piano tapi ngiringin Rap,” gerutu Nuga. Alana tertawa, melihat Nuga seperti itu sangatlah lucu ternyata. “Tumben-tumbenan kalimat lo panjang, biasanya singkat padat dan jelas,” Alana tertawa. Nuga hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Oke. Lo tau lagu BTS, yang judulnya Magic Shop,” lanjut Alana mengabaikan tatapan Nuga. “Enggak.” “Sudah ku duga,” Alana memincingkan matanya sambil menaruh kedua jarinya di dagu. Alana membuka tasnya dan mengamil handphone beserta headset. Dia memasangkan headset ditelinga kirinya dan satunya lagi dia pasangkan ke telinga kanan Nuga. Dia memutar lagu BTS yang berjudul Magic Shop. “Dengerin, lagunya enak,” Alana tersenyum. Selepas sekolah Alana pulang dengan Nuga. Mungkin akan menjadi rutinitas barunya saat ini. Berangkat dan pulang dengan Nuga. Meskipun Nuga tidak terlalu banyak bicara. Alana tidak masalah. “Alana,” panggil Nuga. “Iya?” Alana menoleh menatap Nuga yang sedang menyetir. “Ke timezone dulu ya,” pintanya. “Tiba-tiba banget lo.” Nuga memberhentikan mobilnya. Dia membuang napas lalu menghadap Alana. Nuga, seorang Nuga yang memiliki wajah datar memeperlihatkan sisi lainnya pada Alana. Membuat Alana shcok berat. Nuga mengerucutkan bibirnya dan memberika puppy eyes. Memohon. “L-L-Lo sakit?” Tanya Alana sambil memundurkan kepalanya. Nuga kembali dengan wajahnya yang datar dan menjalankan mobilnya kembali. “Mau ga?” “Boleh! hayu,” jawan Alana bersemangat. “Mumpung gue banyak energi ini!” Alana dan Nuga sudah menginjak mall dan menuju ke timezone dilantai atas. “Masa lo kalah sama gue?” ejek Nuga. “Lo kan pemain basket, gue ga bisa ngelempar bola basket ke ring,” gerutu Alana. Nuga menaikan kedua bahunya dan tertawa, dia berjalan ketempat permainan lain. Tembak-tembakan. “Sekarang gue yang menang Nuga!” teriak Alana. “Gue jago kaaan!!” Alana bersemangat setelah memenangkan game tembak-tembakan. Tidak hanya dua permainan yang mereka mainkan. Hampir seluruh permainan di Timezone mereka mainkan, hingga mendapatkan tiket yang sangat banyak. “Nuga ayo kita tuker,” Alana bergitu riang sambil membawa tiket. “Eh tapi sebelum nuker, main ini sekali ya.. ya..” mohon Alana sambil menunjuk permainan mencapit. Nuga pun mengikuti kemauan Alana. “Ayo Nuga sedikit lagi, NUGA!!!” teriak Alana membuat dirinya menjadi pusat perhatian pengunjung lain. “YEAAAYY!!!” Alana loncat-loncat dan mengangkat kedua tangannya untuk tos. Namun Nuga hanya menatapnya. Lalu Alana menarik tangan Nuga untuk tos dengannya. “Bonekanya buat gue ya,” seru Alana sambil merebut boneka dari tangan Nuga. Alana dan Nuga menukar tiketnya, banyak sekali hadiah yang mereka dapat. Hingga tiketnya tersisa sedikit lagi. “Sisanya, saya mau gantungan itu, yang couple,” Nuga menunjuk. Setelah mendapatkannya, Nuga langsung menggantungkan gantungan berbentuk kelinci itu di handphone miliknya. “Ini buat kamu,” Nuga memberikan gantungan kunci berbentuk sama dengan miliknya . “Dipake, jangan ga dipake.” Hidup Alana sedikit berubah saat mengenal Nuga. Kini Alana tidak hanya memiliki Jia dan Rabi sebagai temannya. Hampir setiap hari Nuga akan selalu duduk bermsama dengan Alana, Jia dan Rabi. Meski terkadang masih banyak siswi-siswi lain yang mendekati Nuga dan tidak memperdulikan Alana. “Alana!” teriak Jia, sambil tetap memainkan handphone miliknya. “Sekolah kita bakalan ngadai pensi.” Alana yang mendengar itu langsung tertarik. “Lo tau dari mana?” “Media sosial, lihat artisnya bakalan banyak nih,” Jia memperlihatkan post yang berada di instagramnya. “Artisnya keren-keren, ada Tulus, Afgan, The Cangcuters, ada Kahitna juga, kesukaan lo,” seru Jia benar-benar semangat. “Yang bener?” Alana tidak kalah semangat. “Kahitna? OMG!!” teriak Alana kencang. Mendengar perbincangan perempuan-perempuan disebelahnya, Rabi tidak peduli dia tidak tertarik. Saat ini perutnya lapar dan yang dia inginkan saat ini adalah makan. Begitu juga dengan Nuga, dia asik melahap makanannya. “Bagi lagi ya Ga,” Rabi mengambil telur dari piring Nuga, meski Nuga belum mengiyakan. Nuga membulatkan matanya seperti akan meledak hingga Jia berhasil menahannya. “Eh ini kalau ada yang mau nyumbang lagu atau apapun bisa ikutan tapi di seleksi dulu,” seru Jia. Enatah mengapa mendengar itu, Alana begitu senang. Dia tersenyum dengan gembira. Nuga menatap Alana. Nuga tahu betul apa yang ada dipikiran Alana saat ini. “Gue ke WC dulu ya,” Alana mencari alasan untuk pergi. Nuga hendak mengejar Alana, namun Rabi menahannya. “Makanannya kan belum lo bayar, jangan kabur Nuga, sahabat baru gue yang lucu,” Rabi menyengir. “Kalau lo pergi gue ga bisa nalangin, gue juga ngutang.” Nuga berdecak kesal. “Lo kesekolah make mobil tapi makan aja ngutang,” Nuga mengambil uang dan memberikannya kepada Rabi. “Lo yang bayarin nih!” Setelah pergi menemui anggota osis, Alana berdiam diri di rooftop. Sudah lama Aluna tidak berdiam diri di rooftop sekolah. “Gue cariin, lo disini,” Rabi berjalan kearah Alana. Alana menoleh sekilas lalu kembali melihat pemandangan yang indah didepannya. “Ngapaon lo kesini?” Tanya Alana. “Emang ini rooftop milik lo?” Rabi berdiri disebelah Alana. Ikut memandangi pemandangan yang tidak ada duanya dari sekolah mereka. “Al.” “Hmm?” “Sampai kapanpun perasaan gue ga akan pernah berubah sama lo,” Rabi membuka suara. “Meski lo punya pasangan atau gue dengan pasangan gue, lo selalu ada tempat di hati gue. Tapi bukan berarti gue ngelarang lo sama siapapun ko,” lanjut Rabi. Alana langsung menatap Rabi. Kenapa laki-laki dihadapannya ini bisa sesuka itu kepada dirinya. “Sebenernya apa yang lo suka sih dari gue, Bi?” “Semuanya,” jawab Rabi. “Tapi, yang paling gue suka dari lo itu, karena lo selalu bisa bahagia meski dari hal sekecil apapun.” “Contohnya?” “Lo inget waktu lo kerumah gue dan saat makan kita sambil nonton”konser BTS” di Youtube?” Rabi menatap Alana begitu pun dengan Alana. “Padahal nonton di Youtube tapi lo bahagia banget, sampe teriak-teriak manggilin member-member BTS.” Alana tertawa kecil mendengarnya. “Bahagia itu dari diri sendiri bukan dari orang lain,” jawab Alana. “Dan… makasih udah suka sama gue Bi,” Alana terdiam sebentar, “Gue..” “Lo disini.” Rabi dan Aluna menoleh kearah suara. Nuga sudah berdiri dibelakang mereka. Nuga berjalan kearah Alana dengan tatapannya yang tajam, lalu menarik tangan Alana. “Udah gue bilang jangan pergi berdua sama Rabi.” “Kenapa sih lo Ga?” Alana sudah mulai kesal. “Lo jangan kasar sama Alana ya,” Rabi memegang tangan yang lain milik Alana dan menahannya. “Ini bukan urusan lo!” Nuga menatap Rabi tajam. “Lepasin tangan Alana.” “Enggak!” Rabi tetap memegang tangan Alana. Nuga berjalan menghampiri Rabi dan menarik kerahnya. “Lepasin!” “Bi, gue ga apa-apa,” Alana berusaha untuk menyudahi pertengkaran ini. Rabipun melepas genggamanya. Nuga segera menarik Alana keluar dari rooftop. “Sory,” Nuga melepas genggamannya setelah turun dari rooftop. “Kitakan cuman pura-pura, kenapa lo sampe segitunya sih?” Alana sudah benar-benar kesal dengan tingkah Nuga. “Lo daftarin gue?” Nuga mengalihkan pembicaraan. “Jadi lo marah karena itu?” “Enggak” “Terus kenapa?” “Kenapa lo daftarin gue?” “Gue pingin lo tampil aja,” jawab Alana sederhana. “Lo maukan? buat gue?” Tanya Alana. “Gue kan udah nolongin lo.” Nuga hanya menatap Alana. Tidak meng iyakan ataupun menolak. Pensi tahunan sekolah mereka pecah. Banyak sekali orang-orang berdatangan. Secara artisnya pun oke oke. Alana, Jia dan Rabi berdiri paling depan untuk mendukung Nuga. Bahkan Rabi sampai membawa poster Nuga, benar-benar membuat Nuga malu. Semakin hari tidak hanya Alana saja yang semakin dekat dengan Nuga, tapi Jia dan Rabi juga. Setelah kejadian di rooftop, Rabi dan Nuga terlihat baik-baik saja. Hal yang di khawatirkan oleh Alana pun tidak terjadi. Rabi dan Nuga memutuskan untuk melupakan kejadian itu. Nuga sudah berada di atas panggung, dia akan bernyanyi sambil bermain piano. Setiap kali Alana bertanya Nuga akan membawakan lagu apa, Nuga selalu menjawab “kejutan”. Alana terdiam saat Nuga memencet not not piano. Lagu yan tidak asing di telinga Alana. Magic Shop milik BTS. Dia terlalut dalam setiap melodi yang dinyanyikan oleh Nuga, rasanya begitu menenangkan untuknya. Tapi tidak untuk Jia ,Rabi dan fans garis keras Nuga. Mereka berteriak dengan kencang, Rabi lebih kencang dan bersemangat. Sahabat barunya yang garing kaya rangginang itu ternyata memiliki suara yang bagus. “NUGAA!!! GUE GA TAU LO PUNYA SUARA BAGUS!,” Teriak Rabi. “GUE BANGGA PUNYA SAHABAT KAYA LO!” Melihat itu Alana rasanya ingin menembak Rabi dengan AWM, mengganggu Alana saja menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Nuga. Apalagi Nuga yang sedang berkonsetrasi bernyanyi mendengar teriakan Rabi membuatnya harus fokus berkali-kali lipat. “NUGA! Lo keren banget!” Teriak Jia dan Rabi secara bersamaan. Rabi memeluk Nuga dan menggoyang-goyakan badanya. Nuga berusaha melepas pelukan Rabi yang kuat. Alana dan Jia hanya tertawa melihat itu. “Sebentar lagi Kahitna,” Seru Jia. “Ayo!” Alana besemangat. Saat Kahitna sudah berada di panggung, orang-orang berlarian kearah panggung dengan cepat karena ingin menonton paling depan. Alana, Nuga, Jia dan Rabi sampai kalap dan terdorong-dorong. Nuga dengan sigap memegang tangan Alana dan membawnaya pelan melawan arus keluar dari kerumunan. Membuat mereka terpisah dari Jia dan Rabi. Alana dan Nuga terengah-engah setelah sepuluh menit bergulat dengan kerumunan orang-orang. “Hosh!” Nuga membungkukan badannya dan mengelap keringat di dahinya. “Kita ga bisa nonton paling depan,” lanjutnya terbata-bata. Kondisi Alana tidak jauh berbeda dari Nuga, peluh membasuhi tubuhnya. “Ga apa-apa,” jawab Alana diikuti dengan batuk. Setelah menenangkan diri masing-masing, mereka pergi ke stand minuman untuk membeli minuman lalu bergegas mencari tempat yang nyaman untuk menonton Kahitna, meski tidak dari jarak dekat. “Disini aja,” Alana menunjuk tembok yang sedikit tinggi. “Arg! Susah banget naiknya.” Tiba-tiba saja Nuga memegang pinggangnya dan membantu Alana untuk duduk ditembok itu. Sedangkan Nuga berdiri bersadar pada tembok. Mereka menikmati lagu yang dibawakan dengan Kahitna. Alana bersenandung dan berteriak, sesekali Nuga menatapnya. Saat Alana menoleh kearah Nuga, senyumannya semakin kecil ketika manik mata mereka bertemu. “Aku beneran suka sama kamu.” Description: Nama Pena : Magmanum Media social : Magmanum Cerpenl ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #CintaTanpaBatas 2020.
Title: ROGO SUKMO Category: Horor Text: PROLOG “Jangan main jauh-jauh, Dam. Nanti kamu tersesat.” Kata-kata itu masih terngiang di telinga Adam, setelah sepuluh tahun ia kehilangan sang kakek. Kakek meninggal begitu cepat dan tidak meninggalkan pesan apa-apa. Konon sang kakek memiliki ilmu yang diturunkan kepadanya. Ilmu yang tidak semua orang memilikinya. Merogo Sukmo, yang artinya keluar dari tubuh. Adam melakukan rogo sukmo saat ia berusia sepuluh tahun. Arwah Adam keluar dari jasatnya dan bermain-main dengan mahluk tak kasat mata. Mahluk-mahluk itu membawanya ke sebuah tempat yang sangat indah. Banyak buah-buah yang ranum dan tempat bermain. Adam memiliki sahabat kecil bernama Robert, anak Belanda yang tewas karena ditembak di bagian kepala. Sedangkan gadis kecil berambut pirang bernama Laura. Mereka kakak beradik yang tewas mengenaskan pada tahun 1940. Hingga menjelang tengah malam, arwah Adam tidak kembali dan hal itu membuat bapak dan ibunya cemas. Adam tertidur dari pukul 12 siang dan belum terbangun hingga pukul 1 malam. “Bagaimana ini, Pak? Adam belum bangun juga.” Kata Sariani, perempuan berusia empat puluh lima tahun. Ia tampak khawatir dan terlihat cemas. Sesekali ia meletakan telapak tangannya ke kening Adam. “Adam memang masih tidur, Bu. Ibu jangan khawatir.” Ujar Maryoto, sang suami. “Perasaan ibu tidak tenang. Adam pasti kenapa-napa, Pak. Tidak mungkin seorang anak tidur 12 jam. Kita harus memanggil pak ustad, Pak.” “Mau panggil di mana tengah malam begini, Bu?” “Pokoknya kita harus cari orang pintar.”Sariani terlihat sedih dan menangis. Ini memang tidak seperti biasanya. Adam kalau tidur selalu terbangun untuk makan. Kenapa kali ini Adam tidur sampai dua belas jam. Akhirnya Maryoto pergi mencari orang pintar dalam ilmu gaib. Selang beberapa menit Maryoto datang bersama seorang laki-laki baya mengenakan surban. Kemudian mereka langsung masuk ke kamar dan melihat tubuh Adam yang lemas di tempat tidur. “Tolong anak saya, Pak.” Pinta ibu, seraya memberondong laki-laki berambut sedikit beruban. Laki-laki berjanggut yang biasa dipanggil Kyai itu manggut-manggut sambil mengelus janggutnya. Kemudian ia menghampiri tempat tidur dan mengelus rambut Adam. Laki-laki itu memejamkan matanya sambil membaca beberapa ayat. “Anak kalian lagi bermain-main bersama temannya.” Katanya kemudian. Kata-kata itu membuat Sariani bingung. Sariani mengerutkan kening dan bergumam. “Bermain-main?” gumamnya. “Ya. Anak itu telah merogo sukmo.” Kata sang Kyai dengan suara berat. “Merogo sukmo?” Maryoto terlihat bingung. “Maksudnya?” “Arwah anak itu keluar dari jasad dan bermain-main di alam gaib.” “Alam gaib?” Sariani dan Maryoto bersama terkejut. “Ya.” “Tolong kembalikan anak saya, Pak Kyai.” Mohon Sariani. “Siapkan air putih.” Kata laki-laki itu. Sariani buru-buru mengambil air putih ke dapur dan tergopoh-gopoh saat kembali ke kamar Adam. Kemudian laki-laki itu duduk di tikar yang sudah disiapkan Maryoto. Air putih diletakkan di depanya dan ia duduk bersila. Sariani dan Maryoto ikut duduk sambil terus berdoa. Alam gaib yang berkabut terlihat temaram. Laki-laki itu menelusuri jalan setapak dan mencari Adam. Ia melihat Adam duduk terpaku sambil menangis. Sang Kyai mendekatinya dan bertanya ke Adam. “Kenapa kamu menangis?” tanyanya sambil mengelus kepala Adam. “Saya tidak bisa pulang, Pak.” Laki-laki itu tersenyum. “Lain kali kamu jangan jauh-jauh ya mainnya. Ayo ikut saya. Saya akan mengantarmu pulang.” Kata sang Kyai. Adam bangkit dari duduknya san mengamit tangan sang Kyai. Tam sampai satu menit Adam pun terbangun dengan lenguhan nafas yang berat. Adam membuka matanya dan melihat kedua orang tuanya. “Bapak? Ibu...?” Adam merengkuh sang ibu yang sudah bersimbah air mata. “Adam... Kamu kemana aja sih, Nak.” “Adam lagi main, Bu. Trus Adam gak bisa pulang.” Sariani mengelus rambut Adam dan merengkuhnya erat. ### ALAM ASTRAL Adam berlari kencang melewati semak belukar. Nafasnya tersengal dan keringat membanjiri keningnya. Ia baru saja melihat seseorang memotong ari-ari anaknya dan memasaknya. Ari-ari itu disuguhkan ke suaminya yang baru pulang bekerja. Konon ceritanya, sang suami selingkuh ketika ia tengah melahirkan. Sang suami tidak ada di sampingnya. Ia mendengar gosip-gosip tetangga kalau suaminya bersama perempuan lain. Sang istri kalap dan membongkat gundukan tanah tempat ari-ari anaknya dikubur, lalu memasaknya. Sang suami sangat lahap memakan masakan istrinya. Sedangkan sang istri tertawa aneh sambil menatap sinis ke suamini. “Enak dagingnya?” tanya sang istri. “Enak sekali. Tumben kamu masak enak.” “Kamu tahu itu daging apa? Itu ari-ari anakmu yang aku masak. Hahaha...” Sang istri tertawa lebar dan bertingkah aneh. Sang suami pun marah dan kalap. Ia menghunuskan pisau dan mencabik-cabik perut istrinya. Sang istri terkulai di lantai dengan lumuran darah dan isi perutnya. Sang istri pun tewas. Adam yang melihat kejadian itu bergidik ngeri dan berlari sekencang-kencangnya. Di tengah perjalanan di dalam semak ia melihat seorang perempuan yang menangis pilu. Bajunya berlumuran darah. Perempuan itu adalah perempuan yang ia lihat tadi. Adam pun ketakutan dan ia terus berlalu menuju rumahnya. Adam kembali ke jasadnya dan terbangun dengan nafas memburu. Keringat masih membanjiri keningnya. Ia melihat ibu masuk ke kamarnya dan mengamati dirinya. Sepertinya Sariani tahu tentang Adam yang meraga sukma. Sariani kemudian duduk di sampingnya. “Kamu dari mana lagi, Dam?” tanya Sariani ingin tahu, ketika melihat wajah Adam yang berubah pias. Adam tercekat dan mendongak melihat ibunya. Sudah sepuluh tahun lalu ia tidak menggunakan ilmu itu dan kini usia Adam sudah dua puluh tahun. Ilmu itu hadir lagi. “Adam... Ee...” Adam terlihat gugup. “Ibu kan sudah bilang sama kamu, jangan menggunakan ilmu itu lagi. Bahaya, Dam. Ibu tidak mau kamu tersesat lagi seperti waktu itu. Kamu mengerti? Ibu harus memanggil Kyai untuk membuang ilmu itu.” “Bu, Adam melihat...” “Melihat apa? Kalau kamu melihat mahluk tak kasat mata jangan cerita sama ibu. Bapakmu dimutasi dari kantornya. Kita terpaksa pindah ke kota yang baru.” Kata ibu dan beranjak dari kamar Adam. Sariani keluar. Adam terpaku mengingat kejadian tadi. Perempuan itu, ia kenal dengan perempuan itu. Ia seorang buruh di desa itu. ### Adam yang sudah rapi menemui pembantunya di dapur. Ia melihat pembantunya berdiri mematung. “Bik Sumi?” tegur Adam mengagetkan perempuan itu. Ia berdecak dan refleks menoleh ke belakang dan melihat Adam yang menatapnya. “Bibik kenapa kok melamun gitu?” “Hhh.. gak apa-apa mas Adam. Mas Adam mau dibuatin teh?” “Iya, Bik. Saya duduk di teras depan aja ya.” “Iya, Mas.” Adam pun berlalu keluar dan menuju teras depan. Di ruang tamu ia melihat ibu dan bapak bercengkrama. Mereka membicarakan tentang pembunuhan. Perempuan dibunuh gara-gara memasak ari-ari anaknya. “Kamu mau kemana, Dam?” tegur Sariani. “Mau duduk-duduk di teras aja, Bu.” “Sebaiknya kamu persiapkan barang-barangmu. Minggu depan kita harus sudah pindah.” “Minggu depan? Cepat sekali, Bu?” “Itu sudah tertera di surat tugas bapakmua.” “Betul, Dam. Bapak dimutasi ke kota kecil.” Adam mengangguk, lalu berjalan keluar. Sebelum ia duduk, ia melihat sosok perempuan yang ia lihat kemarin berdiri menatapnya dari ujung halaman depan. Adam memperhatikan sosok itu dengan lumuran darah di perutnya. “Dam.” Tegur Sariani mengejutkan Adam. Reflek Adam pun menoleh. Sosok perempuan itu pun hilang. “Antar ibu ke desa sebelah yuk. Ibu mau melayat. Ada yang meninggal karena dibunuh.” Kata ibu. Adam menghela nafas sejenak. Ia tahu betul kejadian pembunuhan itu dan perempuan itu pernah jadi pembantu di rumah mereka. Sudah lama sekali waktu Adam berumur sepuluh tahun. Sepeda motor milik Adam melaju di jalan dengan kecepatan rendah. Sariani yang duduk di boncengan melingkarkan tangan kanannya ke pinggang Adam. Tak beberapa lama mereka tiba di desa dimana perempuan itu meninggal. Disana sudah banyak warga yang berkasak-kusuk tentang kematian perempuan itu. Sariani pun masuk dan menyalami beberapa tamu. Adam yang juga ikut pun masuk sambil menyalami tamu. Sariani kemudian duduk, lalu membuka kain penutup jenazah di depannya. Mayat perempuan itu menatapnya dengan mata melotot. Hal itu hanya Adam yang melihat. Adam pun bergidik, lalu keluar. Menjelang sore, jenazah baru dikuburkan. Berita kematian perempuan itu pun santer di kampung sebelah. Konon arwahnya gentayangan dan muncul dikala magrib. Arwah itu menangis tersedu dan lirih. Orang akan merinding bila mendengarnya. Menurut cerita ia sering menghantui warga sekitar. Ia datang sambil menangis dan mencari anaknya. Ketakutan warga ketika mereka mendengar seorang itu yang didatangi arwah Surti. Perempuan yang dibunuh suaminya. Sedangkan anaknya sudah dibawa oleh suaminya melarikan diri entah kemana. Konon Surti datang dengan suara tangisan yang pilu sambil menggedor pintu rumah. Ia menangis mencari anaknya. Ia ingin minta maaf karena hilaf melakukan itu. Malam itu mendadak menjadi mencekam. Menjelang magrib semua warga sudah menutup pintu dan desa itu menjadi sangat sepi. Semua ketakutan karena arwah Surti yang mengerikan. Di pos jaga malam ada dua orang yang duduk sambil mengawasi rumah-rumah warga yang sudah senyap. Angin dingin menyapu kulit kedua laki-laki bernama Marwan dan Subroto. Mereka juga ketakutan dan mendekap tangan sambil menutupi tubuhnya dengan sarung. “Malam ini sepi sekali, bang. Tidak seperti biasanya.” Kata Marwan yang sedari tadi bergidik. “Sudahlah, kamu jangan ngomong begitu. Kita main catur saja biar suasananya anget.” Subroto mengambil catur yang mereka letak di selipan dinding. Kemudian membuka papan catur dan mengatur pion di atasnya. Mereka pun asyik main catur sambil ngobrol dan kepulan asap memadati pos berukuran kecil. Malam semakin terasa sepi manakalah suara burung hantu yang entah darimana berkoak perih. Suara lolongan anjing membuat Marwan merinding. “Kok ada suara anjing, Bang?” tanyanya penasaran. “Sudah cuekin aja. Kita main lagi.” Kata Subroto mencoba menghalau ketakutannya. Tiba-tiba saja ada suara yang menegur mereka. “Bang, lihat anak saya gak?” Sekonyong-konyong saja mereka terkejut dan ketakutan. Sosok perempuan itu sudah berada di samping Subroto. Rambutnya acak-acakan dan bajunya berlumuran darah. Isi perutnya terburai keluar. Bau amis memuakkan. “Arrkkhhhh... Setaannnn....” Jerit Maryoto histeris sambil keluar pos dan berlari terbirit-birit. Subroto pun ikut berlari sambil berteriak minta tolong. Malam semakin mencekam dan sepi. Semua warga ketakutan di dalam rumah.. ### ARWAH SURTI Subroto tiba di rumah dan menggetor pintu rumahnya. Tubuhnya gemetaran saking takutnya. Suara Surti menghantuinya sampai di depan pintu. Subroto adalah teman suaminya. Suami yang membunuhnya. “Carikan anak saya, Bang...” Subroto kalang kabut mendengar suara itu. Ia pun menggedor pintu semakin kuat dan berteriak kepada istrinya. Ketika pintu dibuka, Subroto langsung masuk dan menutup pintu rapat-rapat. “Ada apa, Bang?” tanya sang istri. Subroto mala langsung ngeloyor masuk ke kamar. Sang istri pun mengikuti Subroto masuk ke kamar. “Surti, Ning. Arwah Surti masih penasaran.” Kata Subroto. Ningsi pun ketakutan dan bergidik. Ia buru-buru naik ketempat tidur dan memeluk suaminya. Lampu dimatiin dan mereka tidur sambil menutup tubuh dengan selimut. ### Adam tidak bisa tidur dan berusaha memejamkan matanya. Namun, lagi-lagi bayangan perempuan itu bermain-main di benaknya. Ia berusaha membaringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Pikirannya tak juga hilang dari kejadian tragis yang menimpah perempuan malang itu. Kemana suami Surti? Pikir Adam. “Mas Adam…” tiba-tiba Adam terkejut ketika mendengar ketukan dari jendela kamarnya. Itu suara Surti. Adam tercekat. Ia menoleh ke jendela kamar dan melihat sosok Surti di sana. “Bik Surti, jangan ganggu saya.” “Saya mau mina maaf, mas. Maafkan saya sudah melakukan tindakan ceroboh. Saya mencari anak saya. Tolong saya, mas Adam.” “Memangnya anak kamu di mana?” tanya Adam ingin tahu. “Saya tidak tahu. Tolong saya, Mas. Saya ingin melihat anak saya.” “Baiklah, saya akan mencari anakmu, tapi setelah itu kembali ke alammu. Jangan mengganggu warga.” “Saya akan pergi setelah bertemu anak saya, Mas. Saya dibunuh suami saya.” “Saya udah tahu, Surti.” “Saya pergi dulu, Mas.” Suara itu pun menghilang dan ada menarik nafas dengan lega. Adam pun kemudian berbaring di atas tempat tidur. Ia memjamkan matanya dan mencoba keluar dari raga. Adam meraga sukma dan mencari suami Surti. Ia melewati hutan dan semak belukar. Kemudian tiba di sebuah rumah sederhana. Di sana ia melihat seorang laki-laki tua dan melihat kehadirannya. Adam terkejut. Sepertinya laki-laki itu dapat melihat sukma Adam. Laki-laki tua itu hanya tersenyum. “Jangan jauh-jauh.” Ucapnya ke Adam. Adam bingung dengan ucapan laki-laki itu. Apa maksud kalimat jangan jauh-jauh. “Kembalilah.” Katanya lagi. “Maaf, Kek. Saya mau mencari suami Surti dan anaknya.” “Mereka baik-baik saja. Pulanglah...” Adam terdiam sejenak, lalu beranjak pulang. Ia pun kembali ke raganya dan terbangun dengan desahan nafas yang berat. Ia memperhatikan situasi di kamarnya. “Siapa kakek itu?” pikirnya. “Kenapa kakek itu bisa melihat sukmanya?” Adam kembali berbaring dang berusaha tidur. ### Arwah Surti masih gentayangan dan kini menemui Sumi, pembantu di rumah Adam. Sumi terbangun di kamarnya rumahnya, ketika mendengar suara ketukan di jendela. Sudah jam dua belas malam. Ia terbelalak dan kembali mendengarkan suara ketukan yang bertubi-tubi, sedangkan suaminya masih tertidur lelap. Ia berusaha membangunkan sang suami, tapi suaminya tidak bangun. Akhirnya Sumi ketakutan sendiri. “Sumi... Sum...” panggil arwah Surti. Sumi tercekat dan mendekap tangannya di dada. Ia sangat ketakutan, apalagi mendengar berita santer tentang arwah Surti yang suka menakuti warga. “Jangan ganggu aku!” teriang Sumi. Sumi pun bangun dan keluar dari kamar menuju ruang tamu. Ia menyalakan semua lampu. “Sumiii...” “Pergi, Surtii! Jangan ganggu aku!” Sumi semakin ketakutan. Tiba-tiba jendela depan terbuka sendiri dan membuat Sumi terkejut. Ia melihat ke arah jendela dan disana berdiri arwah Surti dengan lumuran darah. Matanya memerah dan wajahnya pucat. “Arrhkk...” jerit Sumi sambil berlari dan kembali ke kamar. Kali ini ia membangunkan suaminya hingga terbangun. “Ada apa, Sum. Kenapa kamu teriak-teriak?” tanya sang suami. “Ada hantu, bang. Arwah Surti.” jawab Sumi sambil menangis. Sang suami melihat jam di dinding. Masih jam satu malam. “Masih tengah malam. Kita tidur yuk.” “Aku takut, bang. Arwah Surti menggangguku.” “Sudahlah... mungkin itu hanya perasaanmu saja. Orang yang sudah meninggal dunia tidak mungkin bangkit lagi. Dia gak mungkin bisa menakuti kita.” Sumi menelan air liurnya yang pahit. Kemudian naik ke tempat tidur dan mendekap sang suami. Suara lolongan anjing di kejauhan sana pun terdengar sangat perih. Membuat malam semakin terasa mencekam. ### Pagi itu Sumi melamun saat di rumah Adam. Ia terpaku mengingat kejadian tadi malam yang membuatnya sangat ketakutan. Ia mengiris sayuran sambil melamun, tapi Adam menegurnya. “Bik... Bik, Sumi... Kenapa melamun?” tanya Adam. Sumi tercekat dan refleks menoleh ke Adam. “Eh, mas Adam.” “Ada apa rupanya sampai bik Sumi melamun?” Sumi meletakkan sayurannya ke meja. “Gak ada apa-apa, Mas.” Jawabnya singkat. “Mas Adam mau sarapan apa?” “Nasi goreng aja, Bik.” “Sebentar saya buatkan.” Kata Sumi dan segera membuatkan sarapan untuk Adam. Kemudian Adam mulai cerita tentang Surti yang meninggal. “Bik Sumi kenal dengan Surti kan?” tanya Adam. Sumi tak langsung menjawab karena asyik memasak nasi goreng. “Iya. Bibik kenal, memangnya kenapa?” “Kasihan bik Surti. Dulu dia pernah menjadi pembantu di rumah ini. Dia baik, tapi nasibnya bisa tragis begitu.” “Namanya nasib tidak ada yang tahu, Mas. Ini nasi gorengnya.” Kata Sumi. “Tapi kabarnya arwah Surti gentayangan dan menakuti warga. Apa Surti masih ada sangkut pautnya sama dunia ini ya?” Sumi terdiam dan berusaha mengalihkan pembicaraan. “Hm, bibik ke pasar dulu ya, mas Adam.” Kata Sumi segera keluar dari dapur. Adam hanya mengangguk dan menikmati nasi goreng buatan Sumi. ### Description: Adam bermain-main di alam gaib. Ia diajak teman-temannya yang tak kasat mata. Adam tidak bisa kembali. Ada mahluk jahat di sana.
Title: Riak Syukur di Sungai Busuk Category: Cerita Pendek Text: Riak Syukur di Sungai Busuk Di sebuah Minggu yang hangat di tepian sungai berkarat, aku duduk di bawah sebuah pohon Bintaro yang banyak dipaksa tumbuh di sekitar sini. Menenteng sebuah buku tebal dan segelas kopi sachet yang kerap kali dihina para barista milenial akhir-akhir ini. Di seberang sana ada pria paruh baya yang baru saja melempar joran pancing dengan penuh keyakinan. “Ah, ikan tolol mana yang mau hidup di sungai busuk ini?” Batinku setengah menggerutu. Kubuka lembaran-lembaran halaman buku yang sudah mulai menguning, isinya tak terlalu menarik karena tujuanku di sini bukan hanya untuk sekadar membaca. Aku hanya suka suasana seperti ini; Menikmati sisa libur ditemani kopi dingin dan sebuah buku, lalu memperhatikan bagaimana para pemancing sukses mendapatkan ikan mabuk dari sungai yang bahkan kuman saja enggan berenang menyambut pasang surutnya yang selalu berhias sampah. Aku senang menatap anak-anak kecil yang gembira dan berlarian, menyusuri jalan kereta api yang membentang di seberang sungai. Beberapa tampak asyik membuat pisau dari paku yang diletakkan di atas kepala rel, lalu menunggu roda-roda baja melindasnya. Kereta api listrik melintas setiap lima belas menit, cukup untuk membuat mereka tertawa riang. Setengah jam berlalu, dan hari ini masih tetap bernama Minggu. Namun semua itu seperti tak berlaku bagi orang-orang yang asyik bertengger di atap gerbong-gerbong berwarna oranye itu. Bagi mereka, hari Minggu tak ubahnya hari-hari biasa. Hari-hari di mana mereka harus tetap mencari nafkah agar setiap kembang kempis paru-parunya tak begitu menyiksa lambung. Nafas-nafas perih yang mengiringi rasa lapar. Mereka tak peduli akan naiknya Dollar, atau pernikahan mewah seorang pangeran dari Eropa. Aku masih merasa bersyukur. Enam hari yang berganti secara monoton, meski disisipi libur kecil selama dua puluh empat jam, membuat hidupku cukup suram. Aku benci kehidupan yang seperti mesin, namun lambungku tak sepakat denganku. Dia masih butuh gizi yang katanya harus dipenuhi dengan empat sehat lima sempurna. Aku tak peduli dengan omong kosong para motivator yang selalu mengagungkan profesi pengusaha dan segudang mimpi tentang income passive-nya. Atau peduli pada mereka, para hipster milenial yang selalu bilang carilah pekerjaan yang sesuai dengan passion. “Huh, persetan! Apa masih bisa mereka mengatakan itu saat semua warung makan menolak semua alasanmu di tanggal tua?” Carilah pekerjaan yang membuatmu bisa makan, begitulah prinsipku saat lulus sekolah menengah. Masalah kuliah, hobi dan tetek bengek lainnya bisa menyusul kemudian. Meski kenyataan begitu menamparku, aku masih cukup bersyukur setiap melihat senyum yang mengembang saat pria paruh baya itu menarik kail pancing murahan dengan seekor ikan mabuk tersangkut di ujungnya. Aku masih sangat bersyukur tidak menjadi bagian dari taruhan nyawa orang-orang yang setia bertengger di atap kereta. Aku bersyukur karena kedua orang tuaku mengajariku tentang bagaimana menjadi seorang survivor, bukan protestor. Aku dididik bukan untuk banyak bicara, banyak mengeluh. Aku dididik untuk bagaimana caranya aku tetap hidup dan bisa membeli sesuatu berapapun mahal harganya, berapapun sering naik harganya. Dalam cara yang tetap benar, tentunya. Dengan pekerjaanku, aku bukan termasuk orang yang bergelimang harta, tetapi tidak juga termasuk dalam kategori rakyat jelata. Aku hanya merasa miskin hari libur. Minggu masih belum beranjak, meski matahari mulai bergerak lingsir. Gelas plastik bekas air mineral yang kujadikan pengganti cangkir untuk kopi sachet ini, mulai menggelinding karena kehabisan isinya. Terus berputar dan jatuh ke dalam sungai. Tanpa disadari, rupanya aku termasuk bagian dari orang-orang tolol yang suka membuang sampah ke sungai, dan mungkin akan ikut menunjuk hidung pemerintah saat datang musim penghujan datang lalu rumah kontrakanku mulai tergenang luapan sungai busuk ini. Aku cukup menyesali keteledoran ini. Sebuah beban moral di sisa hari libur yang tak seberapa panjang. Jalan raya yang kupunggungi, mulai beranjak padat. Klakson dan umpatan mulai menyalak. Kuda-kuda besi dengan joki dungu tampak dipacu di atas trotoar jalanan. Mereka yang selalu berdemo mengatasnamakan rakyat namun tidak pernah punya rasa respek terhadap para pejalan kaki dan penyeberang jalan yang juga bagian dari kata rakyat itu. Rakyat adalah sebuah kata yang tak ubahnya sebuah komoditas yang selalu menggema di setiap moncong pengeras suara saat ada demonstrasi. Aku hanya bisa menarik nafas, setengah menghirup polusi udara kota yang lebih mungkin membunuhmu secara perlahan ketimbang asap kretek. Para pemancing mulai mengepak joran dan kailnya, pertanda siang yang hangat akan segera berakhir. Aku beranjak meninggalkan sisa ceceran ampas kopi hitam yang mulai mengerak di tanah cemar. *** Description: Sebuah liburan sederhana.
Title: Rahasia I Category: Cerita Pendek Text: Rahasia Kawan, aku seorang bebal yang minta kaki mengemis berlari, tetapi bermimpi saja dilarang. Aku hidup bukan dari sini yang, amboi, betapa tidak membosankan nan penat. Di malam sekarang, sepi merdu sempurna. Bilik ini tempat aku meleburkan diri dalam Sastra dengan membaca segala karangan, mematikan ponsel, hingga sampai sebuah kisah. “Seseorang berjalan. Entah dari mana, ia terus berjalan. Entah ke mana. Dari mana, ia berjalan. Menuju mana, ia berjalan. Lewat belantara, lewat pesisir, berjalan masih. Pedestarian hingga kantor walikota, sungai sepi, bingar pasar, gulita gua, benderang plaza, padang bebas, kekang lapas, ke menjulang, ke mendalam, ke sayap lebar, ke sempit sejengkal, ke mana saja, ke kekal, ke baka, hingga ke ada, ke tiada. Terus berjalan. Seseorang berjalan. Entah sejak kapan, ia berjalan. Entah sampai kapan. Sejak kapan, ia berjalan. Sampai kapan, ia berjalan. Lintas buta, lintas larut, berjalan masih. Diguyur basah hingga dihantam terik, terpaan topan, terjang ombak, diterbangkan, diremukkan, ditenggelamkan, datang gering, dingin kaku sekujur, terbakar mampus seluruh, berapa lama sudah, berapa lama lagi, lintas kapan masa, hingga kapan awal, hingga kapan akhir, hingga kapan kapan. Terus berjalan. Seseorang berjalan. Meninggalkan tapak sejenak, menjatuhkan sepucuk kenang. Aku berjalan masih dan terus berjalan. Lupa sejak kapan entah sampai kapan dan masih terus berjalan. Ke mana saja, aku berjalan, barangkali kau bosan, tetapi aku terus berjalan. Aku lepas dari sejarah dan bukan bagian masa datang. Ku tahu apa yang kucari takkan ku temu. Bilamana datang akhir, biarlah hidupku penuh perjalanan. Bila kau pusing, aku mencari Suatu.” Kawan, ada dua hal yang sempat aku lewatkan di sini. Pertama, aku terlalu fokus pada perjalannnya, hingga lupa mencari jatinya. Apakah dia tuan atau puan, renta atau belia, latar hidupnya, dan alasan mengapa ia terus berjalan dan mencari. Tiadakah lelah ia? Kedua, bukankah dari mana hingga menuju mana, sejak kapan hingga sampai kapan, Suatu itu ada dalam perjalanannya—menghidupi langkahnya? Ada yang janggal. Teleponku berdering. Aku memilih tidur. Description: "Seorang bebal mengemis kaki minta berlari, tetapi bermimpi saja dilarang membaca kisah seorang yang terus berjalan dan mencari."
Title: Rahasia Jogja Category: Cerita Pendek Text: Rahasia Jogja Aku mengenal Jogjakarta sejak kecil. Bukan karena aku lahir dan besar di sana, tapi karena nenek dan kakekku menetap cukup lama di kota itu. Sebelum akhirnya mereka pensiun dan memutuskan untuk pindah ke kota lain, Jogja adalah kota keduaku. Sebagai anak kecil pada umumnya yang setiap liburan menghabiskan waktu di rumah nenek dan kakeknya, aku pun sama. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat sejuta kenangan. Tapi beberapa dariku mungkin bisa menjadi gambaran Jogja di tahun 2000-an. Jogja kala itu masih sepi dan dingin. Ukuran tubuhku yang tidak lebih dari seratus sentimeter membuat angin dan udara dengan mudah melewati pori-pori kulitku, menyentuh ujung-ujung sarafku hingga menyisakan dingin yang begitu. Aku ingat, aku pernah tertidur dengan sangat lelap di kasur kamarku dan terbangun karena dinginnya Jogja. Jogja? Ya, aku berteleportasi ke sana. Ini pasti ulah ayahku. Tubuhku yang mungil dengan sangat mudah dipindahkan ke dalam mobil, dan hanya sekitar lima jam saja, kami sudah sampai di kota ini. Walaa! Ketika pagi menyapa, yang kutemui tak hanya ayah dan ibuku saja, senyum nenek dan kakekku seakan menjadi mimpi yang begitu nyata. Rumah nenek dan kakek berada di sebuah komplek perumahan di daerah Banteng, di dalam sebuah gang di Jalan Kaliurang. Rumah ini tidak memiliki halaman yang begitu besar, disekat oleh pagar pendek berwarna hitam di bagian depan. Hanya ada dua pilihan bermain, di dalam rumah atau di jalanan sekitar komplek. Jalan sepanjang gang ini adalah favoritku. Salah satu rumah di ujung jalan ini memiliki pagar dari tanaman berbunga. Aku suka memetiknya sesekali, kemudian menyelipkannya di lekuk telingaku. Terkadang juga membuat cincin, gelang, kalung, atau bahkan mahkota dari tautan tangkai serta satu bunga berwarna ungu tepat di bagian tengahnya. Tampak cantik pikirku dahulu, seperti puteri. Tak jarang kamar pun juga menjadi tempat bermain favorit ketika matahari cukup terik di luar. Kamar di dalam rumah ini cukup banyak. Ada dua kamar di tengah ruang, dan dua kamar lain di bagian belakang rumah. Kami, para kurcaci, lebih memilih untuk tidur di kamar belakang. Kasurnya terdiri dari dua tingkat, atas dan bawah. Satu kamar terdiri dari masing-masing dua kasur tingkat, sehingga setidaknya kami bisa tidur berempat di dalam satu kamar. Hanya sebuah teori. Kenyataannya, kami membagi satu ruangan ini untuk semua cucu perempuan, yang kalau dihitung ada tujuh orang. Dan kamar lainnya, untuk para lelaki. Jalan Kaliurang belum sepadat sekarang. Belum banyak orang yang memiliki kendaraan. Satu-satunya tempat yang ramai di Jogja hanyalah tempat wisata, Gembira Loka misalnya. Kebun binatang ini sudah ada sejak aku masih sangat kecil. Setiap liburan tiba, aku selalu main ke sini, ya karena tidak banyak pilihan lainnya saat itu. Hampir tidak pernah absen. Aku mengamati perkembangannya yang tidak begitu banyak di setiap tahunnya, meskipun selalu ada yang berbeda. Dan inilah pertama kalinya aku melihat secara langsung hewan-hewan buas seperti buaya, harimau, dan singa yang selama ini hanya bisa aku lihat dari poster ‘mengenal nama hewan’ yang terpampang di dinding kamarku. Jogja telah mengajari aku sesuatu, bahkan ketika aku masih sekecil itu. Aku mulai meninggalkan Jogja sejak nenek dan kakek memutuskan untuk menghabiskan hari tua di kota yang lebih dingin. Rumah ini kemudian ditinggalkan dan disewakan. Entah untuk berapa tahun hingga aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di Jogja. Beberapa kali hanya sekedar untuk berlibur ke tempat wisata dan pulang seperti sedia kala. “Eyang, Tia mau kuliah di UGM, di Jogja,” kataku dengan semangat ketika berbicara dengan kakek lewat telefon. “Oh, ya? Bagus kalau begitu. Nanti Tia saja yang pakai rumah Jogja. Rumah Eyang kan ngga jauh dari UGM. Eyang jadi ngga perlu sewa orang untuk bersihkan rumah, bayar listrik dan airnya.” Sepertinya kakek bahkan lebih senang daripada aku. Senyumku mengembang. Kupikir kakek akan seperti orang-orang lainnya yang melarangku kuliah di Jogja karena stigma Jogja yang kurang baik, terutama untuk mahasiswa dan kalangan anak muda. Tapi tidak, kakek telah membekaliku dengan rasa percaya, yang berhasil mengubah pemikiran ayah dan ibu. Setelah berpuluh-tahun, aku akan datang kembali ke kota impianku, Jogja. Tinggal di sana, mengulang kenangannya, serta menghirup udara yang sama. Aku punya keinginan yang kuat dan keyakinan yang besar untuk dapat melanjutkan sekolah di Jogja, UGM khususnya. Aku tidak pernah gagal mendapatkan sesuatu sebelumnya. Aku punya kepercayaan diri yang terlalu tinggi untuk dapat pulang membawa gelar dokter gigi dari universitas ini. Aku bersikeras untuk memperjuangkan UGM. Setelah gagal di ujian jalur undangan dan ujian tulis, aku tetap kekeuh dengan pilihanku. Sedikit egois mungkin memilih jalur mandiri, apalagi untuk kisaran fakultas ternama seperti kedokteran gigi. Tapi bahkan ayah tidak keberatan. Rasanya saat ini pun keinginanku belum goyah, aku mungkin hanya membutuhkan sebuah pembuktian. “Ayo, buruan! Jangan lama-lama siap-siapnya. Nanti keburu macet.” Ayah memang selalu begitu. Manusia super disiplin yang tidak pernah mau terjebak macet apalagi sampai terlambat. Jogja memang sepadat ini kini. Berbeda dengan Jogja yang pertama ku kenal dulu, kota ini telah banyak berubah. Gedung tinggi dengan baliho dan videotron dimana-mana. Jalan baru yang lebih padat hampir tiga kali lipat dengan penambahan lampu lalu lintas di setiap persimpangan menjadi tanda semakin berkembangnya kota ini. Meski tampak lebih kacau, kota ini tetap begitu mempesona dengan aksen lampu jalan dan jembatan yang khas. Jogja tak lagi dingin, tapi berhasil membekukan hatiku hari ini. Hari ini adalah hari terakhir ujian mandiri. Aku tidak sekhawatir hari kemarin. Setelah membereskan seluruh koper, aku keluar dari rumah eyang dan menyusul ayah yang sudah berjalan lebih dulu. Aku diantar ayah hingga area parkir, kemudian meneruskan perjalananku sendiri. Jalanan yang cukup padat karena banyaknya peserta ujian ini membatasi pergerakan kendaraan menuju lokasi, aku memilih untuk berjalan kaki saja. Sepajang jalan menuju lokasi, aku bertemu beberapa orang yang sepertinya memiliki tujuan yang sama denganku. Beberapa tak berani menyapa dan beberapa lainnya bahkan tersenyum pun tidak. Aku sudah berdiri di depan bangunan tua bertuliskan Fakultas Filosofi. Mungkin ini adalah bangunan tertua di kampus semegah ini. Aku mencari tempat duduk paling nyaman untuk sekedar beristirahat dan membaca sekilas beberapa materi. Ya, aku sendirian tentunya. Sistem random dalam penempatan ruang ujian membuat aku terpisah dari teman-temanku. Jam menunjukkan pukul 08.30. Setengah jam lagi, ujian akan dimulai. Aku menghentikan aktivitas membacaku, mulai mempersiapkan segala peralatan perang untuk nanti di dalam ruangan. “Mampus, dimana kartu ujianku?!” Aku benar-benar panik ketika kartu ini tidak kutemukan di dalam tas. Tidak mungkin aku kalah sebelum berperang kan? Aku mencoba mengingat kembali kapan terakhir aku membawa kartu ini, meruntutkan setiap kejadian di hari lalu dan entahlah, tidak ketemu. Mataku berkaca-kaca. Apa yang harus kukatakan pada ayah jika hari ini aku tidak jadi ikut ujian karena kartu ujianku hilang? Kenapa jadi sesial ini! Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Menggigit kukuku yang tidak panjang. Bergeser ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak terjatuh di sekitar. Panik sejadi-jadinya. Beberapa orang mungkin menyadari tingkahku, tapi bahkan aku sudah tidak mempedulikannya. Aku hanya mau kartu itu, setidaknya sebelum aku masuk ruang ujian ini. “Kamu cari ini?” Sebuah suara mengejutkanku. Suaranya matang seperti lelaki dewasa. Aku menoleh ke kanan, sumber suara itu memang menuju padaku. Badannya yang tinggi besar bergerak ke arahku dan membawa selembar kertas putih dengan tanda tangan yang mirip sekali denganku. Ah, iya, ini memang milikku. Aku terdiam sejenak sembari mengambil kertas itu darinya. “Kok bisa di kamu?” kataku tersendat. “Lain kali jangan ditinggal lagi ya. Kemarin setelah selesai ujian, kamu taruh gitu aja di meja sana. Coba kalau hilang, kamu mau minta tolong siapa?” Katanya sambil menunjuk salah satu meja di depan ruang ujianku. Lelaki ini menasehatiku seolah aku adalah anak kecil yang tidak bisa menjaga barang milikku sendiri. Tapi aku tidak kesal. Aku tentu berterima kasih padanya. Setidaknya sebelum kalah, aku telah diijinkan untuk berjuang terlebih dahulu. Dan untuk menjaga kertas ini dan memberikannya padaku lagi, adalah sesuatu yang benar-benar kuhargai. Lagi-lagi, Jogja mengajarkanku sesuatu. “Tiara Bistya Astari, dari Pati, kedokteran gigi dan farmasi. Passion atau dipaksa orang tua?” Aku menoleh ke arahnya yang kini duduk disampingku. Aku yakin dia telah membaca tulisan di kertas ujianku, dan mungkin menghabiskan separuh malam untuk menghafalkan identitasku, atau mungkin me-mata-matai sosial mediaku. Aku tidak mengerti mengapa lelaki ini dengan mudah mengajak berbicara seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. “Pengen aja,” jawabku singkat. Aku terlalu takut untuk mengenal orang baru, apalagi laki-laki. Sekalipun kalau boleh jujur, dia sama sekali tidak terlihat jahat. Bahkan setelah ku jawab pertanyaannya dengan singkat, ia hanya manggut-manggut dan tersenyum kepadaku. Bel berbunyi. Tanda bahwa kami, seluruh peserta ujian harus segera memasuki ruangan. Aku membereskan beberapa barang dan mulai bersiap dengan berdiri. “Ini buat kamu. Jangan ceroboh lagi. Doraemon bahkan ngga sanggup kalau harus bantuin nyari kartu ujian yang hilang dari manusia-manusia ceroboh di Indonesia,” kata-kata itu sontak membuatku tersenyum lebih lebar. Ia memberikan sebuah pensil 2B dengan penutup berkarakter doraemon berwarna biru. “Semangat calon dokter gigi! Tenang, gigi aku udah bagus, jadi mungkin aku ngga akan periksa di kamu. Tapi semoga kita bisa ketemu lagi di kampus ini.” Ia kemudian tersenyum memperlihatkan gigi-giginya dan pergi ke ruangan yang berbeda denganku. Ada yang berbeda pagi ini. Sebuah kata semangat yang sama dengan rasa yang berbeda. Tanganku menjadi dingin. Degup jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku masih memandangi kepergiannya hingga ketika menyadari ia menangkap arah mataku, aku berpura-pura memandang ke arah yang lain. Entah siapa malaikat ini. Ia berhasil menyulap gerah pagi ini menjadi sedingin salju. Ia berhasil mengubah panikku menjadi senyum kaku. Oh, tidak! Aku baru saja teringat. Aku belum sempat mengucap terima kasih padanya. Bodohnya aku. Aku mulai berfikir untuk menyempatkan diri menemuinya nanti setelah bel berbunyi, saat kami telah diperbolehkan pulang. Kurasa mengucapkan terima kasih akan sedikit mengurangi bebanku yang mulai berfikir bahwa aku berhutang budi padanya. Aku mencarinya di antara ratusan peserta ujian di sekitarku. Yang aku ingat, dia mengenakan kemeja panjang kotak-kotak berwarna biru tua dengan lengan setengah dilipat. Dia sangat tinggi dan besar, seharusnya dengan mudah kutemukan. Tapi tidak juga. Bahkan setelah aku menunggunya hingga kampus ini semakin sepi. Aku memutuskan untuk kembali. Siapapun kamu, terima kasih telah menyelamatkan hariku, menunda air mataku. Jika bukan karenamu, aku tidak tahu apakah hari itu aku masih bisa mengikuti ujian atau bahkan tidak sama sekali. Dan lagi, jika itu bukan kamu, mungkin aku tidak akan pernah membawa kenangan pagi itu sejauh ini. Terima kasih sudah membuat Jogja menjadi semakin istimewa. Semoga Jogja menjagamu dan mengijinkan aku untuk bertemu denganmu sekali lagi, tepat seperti doamu pagi itu. Tiga kali aku mencoba ikut ujian saringan masuk, mencari namaku, Tiara Bistya Astari, di sela-sela daftar mahasiswa yang lolos tahap akhir, tapi tidak juga ku temukan. Selesai di halaman terakhir kertas pengumuman itu, aku mengubur impianku dalam-dalam. Tidak akan ada lagi Jogja, tidak akan ada lagi UGM. Dadaku sesak, pilu. Aku mengecewakan ayah dan ibu. Aku mengecewakan kakek dan nenek. Bahkan aku mengecewakan impianku untuk menjadi bagian dari universitas ini. Aku mengecewakan impianku untuk menetap lebih lama dan mengukir kenangan baru di kota ini. Dan jika diijinkan untuk jujur sekali lagi, ada sedikit rasa kecewa karena aku pun gagal memiliki kesempatan untuk bertemu dia yang hingga kini masih awet bertengger di pikiranku, dia yang bahkan namanya saja pun aku tidak tahu. Aku masih terus saja menyalahkan diri atas ketidakmampuanku. Meskipun segalanya kemudian berjalan baik-baik saja, hingga hari ini aku masih merindukan Jogja dan rahasianya, kamu. Description: Tiara Bistya Astari - @tiabistya Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi untuk undangan workshop #StorialRoadshow2019
Title: Romantika cinta Category: Novel Text: Prolog Samar - samar kudengar suara, namun aku tak bisa bergerak. "Biar aku yang bawa mereka, ke rumah sakit." ucap seseorang yang masih terdengar samar - samar. Aku merasakan tubuhku di angkat, sebenarnya apa yang terjadi? 3 hari kemudian .... Sepasang mata menatapku dengan senyum, Namun di wajahnya terlihat jelas kalau ada yang di tutupinya. "Syukurlah, kamu sudah sadar." tangannya dengan lembut membelai pucuk kepalaku, aku menatapnya penuh heran. "Ma, kenapa aku bisa di rumah sakit?" tanyaku, menatap bingung meminta kejelasan. Tiba - tiba Mamaku memeluk tubuhku dengan erat, seakan ia sudah menahan rindu cukup lama. "Kamu kecelakaan, dan kamu baru sadar sekarang," ungkapnya. hal itu membuat aku tertegun. "Tapi syukurlah, kamu sekarang sudah sadar." Aku melihat sekeliling, tampaknya yang di ceritakan oleh Mama benar adanya. meski ingatanku masih terasa samar - samar. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 pagi, ah sepertinya sudah jadwal pemeriksaanku. Pintu ruanganku di buka, kulihat suster dan dokter sudah siap mengerjakan pekerjaan mereka. "Bagaimana, kondisi anak saya?" tanya Papa dengan raut wajah cemas. ini pertama kalinya aku melihat itu di wajahnya. Rasanya sulit untuk di percaya. "Kondisi anak anda, sudah lebih stabil, mungkin dua hari lagi dia bisa pulang," ungkapnya. terlihat Mama dan Papa menarik nafas lega bersamaan. "Kalau begitu, kami permisih." pamitnya, Mama dan Papa secara bersamaan menganggukkan kepala. Dokter dan suster berjalan ke arah pintu, tampak Papa mengantar mereka keluar. "Sekarang kamu istirahat, ya." aku menurut, Mama tampak membelai kepalaku dengan lembut. 5 hari kemudian .... "Hua! Axell!" teriak histeris para wanita pengagum Axell. Axell Alexander Julian adalah anak tunggal dari Alexander, orang yang merupakan pengusaha, dan kolomerat ternama. Meski beberapa tahun ini kami berada do kampus yang sama. dia benar - benar angkuh dan dingin kepadaku meski aku tak tau alasannya. "Meski angkuh dan dingin, dia tetap banyak yang suka, ya." aku hanya mengangguk mulutku selalu terasa berat tiap kali membahas soal Axell. Shintia mengaitkan tangannya ke lenganku, lalu bersama - sama berjalan ke kelas kami. Di kelas .... "Menurut lo, gimana Axell?" aku tak menjawab, tetapi tanganku mulai sibuk menuliskan sesuatu di bukuku. Tak lama, ia mengambil alih bukuku sontak perhatianku beralih ke arahnya. "Shintia!!! balikin nggak?!" tak lama, ia menyodorkan bukuku itu embali kepadaku. Aku langsung mengambil buku dari tangannya, gadis itu masih tak megalihkan pandangannya dariku. "Lo tuh ya, di ajakkin ngombrol juga," keluhnya. aku hanya menghela nafas berat. "Gue tanya sekali lagi, gimana Axell, menurut lo?" tanyanya, dengan tatapan serius. gue berbalik menatapnya penuh heran. Tiba - tiba ponselku berbunyi, mendengar ponselku berbunyi. Shintia melirik matanya sekilas ke ponselku, lalu mengalihkan pandangan kembali kepadaku. "Gue angkat dulu, ya." ia menganggukkan kepalanya, lalu beralih sibuk dengan ponselnya. sementara aku pergi menjauh untuk menjawab panggilan yang masuk tersebut. Ketika selesai menjawab telpon dari Mama, aku menghela nafas karena setiap 2 jam sekali Mama pasti menelpon untuk menanyakan keadaanku. Sangat berlebihan, tapi aku tidak tau harus melakukan apa untuk menghentikannya. Aku bergegas menuju ke kelasku, cepat - cepat aku menuju ke kelasku karena waktuku tak banyak. tapi ..... Brakk!! Karena kurang hati - hati, aku menabrak seseorang, dan orang itu adalah .... Axell!!! Sekarang, aku hanya perlu memikir yang perlu aku lakukan selanjutnya. Namun belum sempat aku memikirkannya, aku melihat Axell berdiri. Aku raih barang - barangku yang berhamburan di lantai, dan kumasukkan kedalam tas yang ku bawa. dari pada nanti berhamburan lagi!! Akhirnya barang - barangku selesai aku bereskan, saat aku hendak berdiri. sebuah tangan terulur dihadapanku, dengan mengabaikan uluran tangannya aku pun berdiri. Tampak ia mengepalkan tangannya, namun aku tak mempermasalahkannya. "Kalau tidak salah kau, Alexa kan?" tanyanya, aku menganggukkan kepala menanggapinya. "Ada yang ingin kau, sampaikan?" aku diam, namun sepertinya aku paham maksudnya. "Maaf, yang barusan aku tidak sengaja." ucapku, entah bagaimana ia pergi begitu saja. sepertinya benar dia hanya ingin mendengar itu dariku. Tanpa berlama berpikir aku langsung lanjut lari menuju ke kelasku, begitu sampai aku langsung berhambur masuk. Kuraih buku dari dalam tasku, tak lama dosen yang mengajar di jam selanjutnya datang. Aku segera mengontrol diri, agar terlihat baik - baik saja, meski sebenarnya nafasku masih sedikit terengah karena lari saat menuju ke kelas. Pukul 15 : 34 Buru - buru aku meninggalkan kampus, begitu tak ada lagi kelas. dari pada nanti dicariin lagi! Tak ada waktu Setelah sedikit Stres kerena kondisi jalanan yang macet, akhirnya aku tiba di rumah. Turun dari mobil, aku langsung lari memasuki rumah. dan langsung di hadang oleh sosok yang kurang familiar bagiku. "Tante ini, siapa?" tanyaku, aku mencoba mencari informasi mengenai wanita paruh baya di hadapanku, namun aku tak berhasil mengingatnya. "Dia temen Mama, sayang." sela Mama, saat aku berniat bertanya langsung. "Oh, Hallo Tante." sapaku, dengan senyum ramah. "Hallo sayang, kamu cantik sekali seperti Mama kamu." pujinya, aku tersenyum sambil tersipu. "Ma, aku izin ke kamar dulu, ya." Mama menganggukkan kepalanya sebagai ganti jawaban. setelah berpamitan aku langsung menuju ke kamarku. Aku menghampiri tempat tidurku, dan merebahkan tubuhku diatasnya. rasanya benar - benar nyaman. Saat aku memejamkan mata, aku di buat tersentak ketika ada sesuatu yang muncul di pikiranku, mungkin itu ingatanku yang hilang. Aku tampak masih terkejut, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. Tak lama pintu kamarku, kulihat Mama melangkah masuk ke kamarku. "Sayang, kamu mau istirahat sekarang?" tanyanya, aku berbalik menatap bingung ke arah Mama. "Kenapa, Ma?" tanyaku, ku lihat Mama menatap penuh heran ke arahku. "Sayang, kamu nggak mau ngobrol dulu sama tamu kita?" tanyanya. akhirnya aku mengerti maksud dari perkataan Mama. "Iya Ma, Alexa ganti dulu." ucapku, ia mengangguk, lalu setelah mengatakan beberapa hal lain Mama pergi meninggalkan kamarku. Sayup - sayup, aku mendengar pembicaraan Mama dan temannya dari kejauhan. aku merasa kedaan mulai tak kondusif, dan hanya menyisakan suasana tegang. "Lalu apa yang terjadi setelahnya? aku dengar Alexa bersama pacarnya saat itu, dan kabarnya dia meninggal, apa itu benar?" Tiba - tiba, kepingan - kepingan puzzel itu menyatu dan menjadi memory yang utuh. Aku ingat semuanya .... Flashback .... Malam itu turun hujan deras, Glen pacarku yang mengemudi malam itu, dan dalam kondisi marah. "Harus berapa kali aku bilang, itu nggak seperti yang kamu bilang!" respon yang aku berikan terhadap penjelasannya sepertinya membuatnya kecewa, hingga membuatnya marah. "Bohong, aku sudah sering liat kalian jalan bersama, mau bohong apa lagi! buktinya juga sudah ada, kan?!" kulihat Glen semakin marah, ia menambah kecepatan laju mobilnya. "Glen! kamu udah gila, ya!!!" aku tidak tau bagaimana ekpresi panikku saat ini, yang jelas aku sangat panik. Ingatan Yang Kembali Muncul Flashback Off Sekita aku merasa kakiku seketika lemas, bahkan aku bisa saja ambruk saat ini juga. Ingatan yang berputar di kepalaku, seperti film horor yang menakutkan. dan aku aku tak sanggup melihatnya! Tak lama entah bagaimana mereka ternyata sadar akan keberadaanku, aku mematung di tempatku, mereka tampak menatap penuh heran ke arahku, lalu berjalan menghapiriku. "Alexa? sayang? kamu baik - baik aja?" tanya Mama, dengan raut wajah cemas. aku hanya tersenyum kecut. "Alexa?" tanpa banyak bicara, aku berjalan ke pintu keluar. mereka tampak kebingungan dengan sikapku, namun aku tidak terlalu memusingkannya. Hari demi hari telah aku lalui setelah keluar dari rumah sakit, dan akhirnya semua ingatanku kembali. Aku fokus menyetir, namun air mata yang dari tadi aku coba untuk aku tahan. akhirnya tak berhasil aku bendung, tangisku pecah saat itu juga. "Kenapa? kenapa aku baru ingat sekarang? khiks ... " tak tampak ada orang yang menghampiri mobilku, aku anggap tak ada yang terusik dengan keberadaan mobilku yang berada di pinggir jalan. Sesaat, rasanya aku ingin menghela nafas, dan mencoba mengontrol emosiku. Tetapi tidak berhasil, tangisku tetap pecah seolah aku ingin menumpahkan semua yang aku tahan selama ini. Keesokan harinya .... Aku menoleh ke arah Mama, yang tengah sibuk menyiapkan sarapan, dan ku lirik Papa yang berada di sebelahku yang tengah sibuk dengan ponselnya. Kupastikan aku akan mendapat informasi yang aku mau, tidak perduli apa yang terjadi nanti. Mama meletakan sarapan untukku, saat Mama hendak menarik tangannya aku menahannya. Mama berbalik, dan menoleh ke arahku. Kini dia menatap penuh heran ke arahku. "Alexa? ada apa?" tanya Mama, Papa kini mengalihkan perhatiannya ke arah kami berdua. "Ada yang ingin aku tanyakan, ke Mama." ucapaku dengan ragu, Mama tampak tak melepas pandangannya dariku. "Soal, Glen." aku bisa lihat betapa Mama terkejut saat aku menyebut namanya, namun Mama terlihat lebih memilih menutupi rasa terkejutnya. "Ingatanmu, sudah kembali?" Meski sempat ragu, pada akhirnya aku menganggukkan kepala. tak ada respon apapun dari Mama. "Mama senang ingatanmu kembali, tapi kenapa kamu tiba - tiba bahas, Glen?" tanya Mama dengan nada dingin. seharusnya aku sudah tidak heran, karena sejak awal Mama dan Papa tidak suka dengannya. Sejak aku memberitahu mengenai hubungan kami .... "Kenapa? karena Mama dan Papa nggak suka? Ma aku cuma mau tau dimana Glen sekarang." ucapku, dengan menekan di beberapa kalimat. "Anak itu sudah meninggal, sekarang kamu mau apa?" tanya Mama sinis, aku menatap Mama tak percaya. "Dimana dia di makam, kan?" tanyaku pada akhirnya, dengan mata berair. Beberapa saat kemudian .... Langkahku melambat, tiba - tiba ada yang mengganggu pikiranku. Beberapa menit kemudian langkahku terhenti, kini aku menatap nisan bertuliskan nama Glen. Kulihat sebuah buket, yang berisikan bunga segar berada di makamnya. aku bisa mengambil kesimpulan kalau buket itu masih sangat baru diberikan. Tak seperti yang ku harapkan, kini lelaki itu tak akan pernah kembali lagi. tangisku pecah saat itu juga. Mungkin kami sempat bertengkar, tapi itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Ingatan bagaimana perdebatan kami, hingga kecelakaan itu terjadi memenuhi pikiranku saat ini. Membuat tangisku semakin sulit untuk di bendung, karena rasa penyesalan yang kini menyelimutiku. Aku melihat sekeliling, tak ada siapapun disana. aku mulai menghapus air mataku. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, setelah datang ke makam Glen. Tapi aku ingin menghilangan rasa penyesalan sebelum menjadi menggerotiku kedepannya. Aku melihat jam di tanganku, sepertinya sudah waktunya aku harus kembali kerumah. sebelum Mama mencariku. Hembusan angin yang lembut mengenaiku, sehingga membuatku menghentikan langkahku untuk menikmati hembusannya. Malam harinya, pukuk 21 : 00 Aku tiba di rumah setelah perjalanan yang melelahkan, sesaat aku pikir semua orang sudah tidur. Namun ternyata aku salah Mama ternyata menunggu kepulanganku. "Jam segini baru pulang? kemana aja?" tanya Mama dengan nada dingin. aku berpikir keras untuk mencari alasan. "Alexa?" aku tersentak karena terkejut, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak tahu berapa lama pikiranku kosong, yang jelas kesadaranku kembali ketika Mama menyadarkanku. "Kamu beneran pergi ke makam, Glen?" tanya Mama dengan tatapan menyelidik, aku hanya menganggukkan kepala. "Sayang _ " saat Mama ada sesuatu yang ingin disampaikan, aku memotongnya. "Ma, Alexa mau istirahat, Alexa ke kamar nggak Papa, kan?" aku melihat Mama tampak diam, seketika aku merasa bersalah. "Ma?" tanyaku, Mama tiba - tiba tersenyum kepadaku. "Sayang, kamu pergi saja ke kamar kamu, nanti lain kali kita bicara lagi." dari nada bicaranya tampak lemas, namun aku hanya bisa menatap kepergiannya yang meninggalkanku. Saat aku akhirnya tiba di kamarku, aku menatap keluar jendela. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi kepadaku, padahal selama aku pikir semuanya baik - baik saja. Ku buka laci di meja riasku, ketika aku melihat ada bingkai foto. kukeluarkan bingkai foto itu dari laci riasku, kutatap foto itu cukup lama. Kurasa, sudah jelas kenapa aku kehilangan ingatan tentang Glen. Glen itu adalah orang yang ingin aku lupakan ketika aku mengetahui faktanya bahwa ia selingkuh di belakangku. Aku baru berpikir harus bagaimana setelah aku mengingat semuanya, tetapi dering di ponselku mengalihkan perhatianku. Seseorang membuka pintu kamarku, dengan segelas susu ditangannya Mama melangkah masuk ke kamarku. Seketika aku terdiam, Mama menyodorkan susu yang ia bawa. aku menerim susu itu dari tangannya. "Makasih, Ma." ucapku, ia tersenyum seraya mengangguk kepala. Kulihat Mama memperhatikan kamarku, aku menatap penuh heran ke arahnya. "Aku sudah mau tidur?" tanya Mama, aku menganggukkan kepala. aku sibuk menghabiskan susu yang di buat oleh Mama. Ketika aku selesai, aku memberikan gelasnya ke Mama. Mama menerima gelas itu dari tanganku. "Kalau gitu Mama keluar ya, supaya kamu bisa istirahat." aku mengangguk, setela mengusap pucuk kepalaku, Mama pergi meninggalkan kamarku. Tak lama aku berjalan ke arah tempat tidurku, lalu duduk di pinggirnya. Keesokan harinya .... Kulihat Shintia berjalan menaikki tangga, sementara buku tergeletak di lantai. "Kebiasaan nih anak, barangnya sampe jatuh gini." aku berlari mengejar Shintia, nafasku berpacu mengimbangi langkahku menaikki anak tangga. Dengan gesit aku meraih pengangan untuk menaikki tangga, namun entah bagaimana aku kehilangan keseimbangan. Aku pikir aku akan jatuh, namun ketika aku membuka mataku, kulihat Axell tengah menahan bahuku agar tidak jatuh. Mata kami saling bertemu, Axell tidak menungguku bangun dari tubuhnya yang menahan tubuhku, namun aku langsung menjauh dari Axell. "Ternyata kamu ceroboh juga, ya." aku baru mau menyela ucapannya, tetapi tiba - tiba ponselku berbunyi. Dilema Axell pergi meninggalkanku, sepertinya ia mencoba memberi ruang untukku agar bisa leluasa menjawab telpon. Aku memilih menyipan telponku, dan siap - siap untuk lanjut mencari Shintia untuk mengembalikan barangnya. Puas mencari, dan akhirnya aku bisa menemukannya. kulihat Shintia tengah kebingungan. "Lo kenapa?" tanyaku pura - pura tak tahu, ia menatapku dengan raut wajah sedih. "Buku gue, kayaknya ada yang jatuh, deh." tidak tega melihat raug sedih di wajahnya, aku menyerahkan buku milik Shintia yang aku temukan. Ketika kusodorkan bukunya, seketika ia melihat ke arah buku yang berada di tanganku dengan wajah sumringa. "Makasih ya, Alexa sayang." ia tampak mengecek bukunya, kemudian menyimpab bukunya ke dalam tas miliknya. "Sama - sama, asal jangan keterusan aja, ya," ia memutar bola mata malas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kenapa?" tanyaku, menatap penuh heran ke arahnya. "Gue cuma bingung aja, kenapa lo bisa tau gue disini?" tanyanya, menatap bingung ke arahku. "Gue ngikutin lo, menurut lo gue punya kemampuan cenayang, gitu?" ia tertawa, entah kenapa aku ikut tertawa melihatnya. "Btw lo ada perlu apa kesini, ada perlu sama seseorang?" dia diam, aku pikir kalau dia diam begini artinya iya. Aku berharap Shintia akan menjawab pertanyaanku, tapi sepertinya dia memilih diam di banding menjawab pertanyaanku. Shintia yang kupikir selalu terbuka, ternyata bisa tertutup juga. Aku sudah tak ingin mendengar jawabnnya, Shintia kini bahkan telah mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain. Kulihat sekeliling, memikirkan kira - kira apa yang bisa mengalihkan perhatiannya. Sambil memikirkan cara untuk menghadapi Shintia yang tak juga mau bicara. aku mengeluarkan ponsel dan melirik jam yang tertera disana. "Gue harus cabut sekarang, kalau lo ada urusan lo lanjut aja, ok?" ia mengangguk. "Lo mau kemana?" tanyanya, aku menatapnya. "Ke perpus, balikin buku, dah." aku pergi meninggalkan Shintia setelah mengucapkan salam perpisahan. Di perpus .... Aku tengah mencari - cari sebuah buku, aku hendak meraih sebuah buku. namun tanganku tertahan ketika aku melihat ada tangan lain yang ingin mengambil buku itu. "Lo mau ambil buku, itu?" tanyanya, sambil tersenyum kikuk aku menganggukkan kepala. Entah kenapa ia membiarkan aku mengambil buku itu, setelah mengambil buku lain ia pergi meninggalkanku. Aku memilih untuk tak tinggal diam, aku langsung bergerak menyusulnya. Tanpa sadar aku bergerak kepadanya, aku menatap Axell yang tengah mengantri untuk mencatat bukunya di bagian peminjaman. Ia tampak santai, dan rileks. dan tak ada ekpresi tengang, dan kaku seperti yang selama ini aku lihat. Ini pertama kalinya aku melihat cukup lama seperti ini, tapi dari caranya di benar - benar memukau. tak heran kenapa para wanita di kampus bisa sangat menyukainya. Aku mulai paham, bagaimana pria yang dikenal cuek, dan dingin tetap banyak yang suka. Aku yakin, ada banyak hal yang belum semua orang tau mengenai Axell. kalau dipikir - pikir lagi, aku bahkan tidak tau apapun soal Axell. Aku tidak tau, ada takdir apa yang mengikat kami kedepannya. Tapi, aku tidak akan banyak berharap. apalagi aku masih merasa bersalah mengenai Glen. Kalau di pikir - pikir lagi, kenapa aku begitu? apa aku masih mencintai Glen? setelah apa yang dia lakukan ? Sampai sekarang aku masih sulit percaya, kalau Glen menghinatiku, dan karena kecelakaan yang kami berdua alami dia sampai meninggal. Tapi hanya dengan mengingat semua itu, apa aku bisa terus maju kedepan? Kurasa ... apapun yang telah terjadi, tidak akan mengubah apapun. Termasuk menghidupkan Glen. Bahkan, aku pernah mendengar kata bahwa hidup terus berlanjut. Ya, sekarang aku harus melupakan segalanya termasuk Glen, dan melanjutkan hidupku yang baru. Aku berjalan ke arah Axell, aku ingin mengembalikan, dan mencatat buku yang ingin aku pinjam. Aku berbali untuk mencari Axell, tetapi Axell sudah lenyap. Entah pergi kemana. Aku langsung bergerak meninggalkan perpustakaan, tanpa aku sadari aku mencari - cari keberadaan Axell sembari menuju kembali ke kelas. Saat aku tiba di sebuah lorong, aku hanya mendapati pemandangan yang membuat aku terkejut, dan sebuah pertanyaan terlintas dibenakku. Sedang apa Axell, bersama seorang wanita? Axell, dan wanita itu berdiri saling berhadapan. ekpresi Axell tampak biasa saja, tapi gadis itu tersipu di hadapannya. Sebenarnya ada apa ini? ada apa diantara mereka? Gadis itu tampak menyodorkan sesuatu ke hadapan Axell, Axell tampak memperhatikan. "Kak, aku suka dengan Kakak." tak percaya dengan apa yang kudengar, kakiku seakan bergerak dengan sendirinya. menjauh dari mereka, takut jadi mengganggu mereka. "Tapi aku menyukai wanita lain, Alexa." aku tak kuasa menahan rasa terkejutku, setelah mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Axell. Apa maksud Axell, menyebutku sebagai wanita yang dia sukai? Apa yang sebenarnya tengah terjadi di hadapanku saat ini ? Axell siap pergi meninggalkan gsdis itu, tapi gadis itu menahannya. seolah tak rela Axell pergi begitu saja. Aku hanya diam di tempatku, menyaksikan apa yang tengah terjadi diantara mereka. "Alexa?" aku menoleh ke asal suara, kulihat karena suara itu Axell dan gadis itu jadi menyadari keberadaanku, dan ikut menoleh ke arahku. Gawat! Aku tak bergerak sama sekali, kini ketigamya mendekat ke arahku. seketika aku bingung harus bagaimana. "Lo kok, bisa disini?" tanya Axell, menatapku menyelidik. "A-anu, aku nggak sengaja lewat." ia memasukkan tangannya ke dalam sakunya, lalu mengamatiku. Apa dia percaya? "Kebetulan ketemu lo, disini." sela orang yang memanggilku tadi, aku menoleh ke arahnya. "Ada perlu apa?" tanyaku, menatap bingung. "Lo di cariin tuh, sama dosen," jawabnya. "Kalau nggak salah, Buk Tita." sambungnya, aku mengangguk paham. setelah mengatakan itu, ia pergi setelah berpamitan. "Gue permisih." pamitku, lalu meninggalkan Axell, dan gadis itu. Selepas kejadian itu, aku berharap tak akan bertemu Axell lagi. karena rasanya akan sangat canggung, di tambah setelah apa yang aku dengar. 3 jam kemudian .... Saat aku hendak keluar dari kelasku, yang kebetulan keluar terakhir sekali karena harus merapikan barang - barangku, dan memeriksanya kembali. Seseorang menahan tanganku, yang hendak meninggalkan kelas. aku menoleh untuk melihat siapa pemilik tangan tersebut. "Axell? ada perlu apa sampai datang ke kelasku?" tanyaku, dengan tatapan penuh heran. "Ada yang ingin aku bicarakan," jawabnya. aku menatap bingung ke arahnya "Soal kejadian tadi, apa kau dengar semuanya?" Kini, tinggal aku yang dihujani pertanyaan - pertanyaan di benakku, pertanyaan - pertanyaan tentang apa yang telah aku dengar. Haruskah aku bertanya untuk memastikan? tapi apa dia mau menjawab pertayaan itu? Aku tidak mau menghadapi Axell, dengan keadaan seperti orang kebingungan. tapi nyatanya aku memang tengah kebingungan untuk menjelaskan kepada Axell. Description: Romantika Cinta sepasang hati manusia, ada suka dan duka. Namun, perjalanan cinta ini akan menjadi jejak kenangan yang tak terlupakan. Cinta yang memberikan rasa rindu dan menentramkan, karena cinta sejatinya selalu membuat hati terpaut
Title: Rasa Category: Novel Text: Prolog Dear notes di hp , Kata siapa kisah cinta remaja itu selalu berakhir dengan istilah “Happy ending”. Kalau ada yang bilang kayak gitu, mungkin dia belum pernah merasakan gimana hancurnya semua perhatian yang diberikan orang-orang untuk kita hilang, karena sifatmu sendiri. Sifat yang menurutmu baik yang tak kamu sadari ternyata malah membuat orang risih terhadapmu. Entahlah…, sekarang aku jadi melankolis yang suka nulis-nulis curhatan, kata-kata sok bijak, kisah cinta remaja ini, dan semua sifat-sifat sampah ku dulu. Ya…, memang sebagian besar masih menganggap aku anak yang baik, cantik, populer, ramah, alim, polos dan lainnya, tetapi sebagian kecil teman yang dekat denganku sudah tau dan muak denganku. Masih ada satu teman dekatku yang masih belum muak dengan sifat asliku Lovely, kenapa ? karena dia ingin populer, numpang tenar karena aku populer. Yayaya… walaupun sebagian besar masih banyak yang mencintaiku, tetap saja rata-rata perlakuan mereka kepadaku hanyalah pandangan sebelah mata. Aslinya mereka-mereka juga tidak tulus denganku. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa disini. – Alana Ayudisa Description: Percaya, gak percaya, gak selalu kisah cinta dalam novel romantis itu berujung indah loh ! Terkadang memang ada kisah di hidup ini yang harus berakhir menyakitkan. Dia cantik, populer, imut, apa lagi ya ? Apapun, yang pasti banyak sekali yang menyukainya, semua itu ada di sosok perempuan bernama Alana. Kehidupan masa remaja gadis cantik yang akrab disapa Alana ini, awalnya sangatlah indah. Sayangnya, kenyataan tak seindah hipotesis. Di balik sosok cantik dan populer itu, Alana memiliki sifat asli yang membuat semuanya tidak akan pernah tulus berteman dengannya. Pura-pura polos agar bisa cari perhatian ke anak laki-laki, terlalu diimut-imutin, cari perhatian, PHP, dan masih banyak lagi. Kalian pasti bingung kan ? Kenapa tokoh utama mempunyai sifat antagonis ? Hei ! Di kisah satu ini, jangan lihat dari segi tokoh dan romansanya, tapi lihatlah pesan dan makna di dalamnya. “ Gelembung, percikan suatu zat dalam zat lain, biasanya gas dalam cairan. Banyak sekali teori dan prinsip fisika maupun kimia tentang gelembung. Bagaimana kalau gelembung kita masukan ke dalam teori cinta, gelembung, gelembung sabun dimainkan anak-anak agar langit terlihat cantik dan berwarna, karena gelembung menghasilkan ilusi warna pelangi, tapi gelembung terbang akan membuatnya malah menjadi hancur atau pecah, sama seperti cinta, jika kamu memainkan cinta, cinta akan hancur jika yang kamu mainkan sudah terlalu berharap (bagaikan terbang)“
Title: Randu Category: Cerita Pendek Text: Prolog: Napas Kabut membayang di depan mata, semakin lama semakin pekat seiring oksigen yang kian menipis. Suara ‘ngik’ dari kerongkongan melirih. Kupikir sudah saatnya. Jika tak tak menyisakan suara, pertanda napasku nyaris berhenti. Lalu, aku akan berjumpa Tuhan? Seketika rasa takut menyergap. Aku tersedak, memuntahkan napas yang kukira penghabisan, lalu berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen yang bisa kumasukkan ke rongga dada. Mengembuskan, dan meraup udara lagi, secara membabi buta. Tuhan, aku belum siap. Aku terlalu kerdil untuk menjumpai-Mu sekarang. Aku menjatuhkan diri dari dipan, merasai dinginnya lantai. Tubuh gemetar, dada terasa kebas. Berat, seperti ditindih seekor gajah. Tidak! Aku belum boleh mati. Dosaku masih bejibun! Panik, aku merangkak dengan tenaga yang tersisa, menuju nebulizer yang teronggok di atas meja di sudut ruang. Hanya dua meter jaraknya, tapi seolah tak akan pernah sampai. Aku sempat berhenti ketika pandanganku kian berkabut. Kupejamkan mata dengan khidmat, memohon pertolongan. Tuhan, seandainya Kauberi kesempatan, aku akan memperbaiki caraku menghadap-Mu. Beri aku waktu sebentar lagi. Saat kubuka mata, seakan keajaiban datang. Kabut melayang menjauh, selarik udara berembus melalui mulutku yang terbuka, menyelusup lembut di kerongkongan, lalu mengisi paru-paruku. Bunyi ‘ngik’ kembali terlontar, pertanda eksistensi napasku. Harapan menjelma asa, menggerakkan kaki, tangan, dan tubuhku. Aku merangkak seperti bayi, berfokus pada kaki meja di depanku. Ada kelegaan yang dalam saat aku berhasil mencengkeram kaki meja. Aku memanfaatkannya sebagai tumpuan saat mecoba berdiri, lalu duduk di kursi. Untung aku pemalas. Nebulizer dan tetek—bengeknya belum kumasukkan pada kantungnya. Kabel masih terhubung dengan listrik. Benda itu masih ‘siap sedia’ menunggu saat ini tiba. Tanganku gemetar saat membuka ampul ventoline 2,5mg, dan meneteskannya pada tabung nebulizer. Pada tetes demi tetesnya aku menggantungkan harapan hidup. Terengah, kurapatkan tutup tabung dan memasangkan pada selang yang terhubung dengan masker. Begitu masker menangkup hidung dan mulutku, segera kuutekan tombol on. Nebulizer mengeluarkan deru yang kian kuakrabi, obat dalam tabung membuih, lalu mengirimkan uap menuju masker. Dengan penuh napsu, aku menghirupnya. Panjang. Dalam. Lalu kuembuskan perlahan. Terdengar bunyi ‘ngik’ yang panjang. Perlahan, paru-paruku mengembang, membuatku merasa lebih nyaman. Aku hidup. Tapi… sebuah pemikiran berkelebat dalam pikiranku, menerbitkan gigil kecil. Bab 1: Rencana Besar “Randu, sekali ini nurut dong, sama aku. Kamu harus dirawat di Rumah Sakit. Mau, ya?” Mitha menatapku sendu. Wajahnya dipenuhi gurat kekhawatiran. Gadis itu segera datang ke kos begitu aku mengabari, semalam asmaku kambuh. Ia duduk bersila di kasur yang tergeletak di lantai, dengan punggung menyandar dinding. Aku mendesah pelan. Terasa nikmat sekali saat oksigen memenuhi paru-paru tanpa kendala, lalu kuembuskan perlahan dengan segenap rasa syukur. Tuhan berbaik hati padaku. Apa yang harus kutakutkan kini? Semalam aku telah merenungkan banyak hal tentang hidup, juga mati. Lagi pula, aku tidak butuh rumah sakit saat napasku tengah berembus dengan normal seperti saat ini. “Aku sudah baikan, Mitha. Kamu nggak perlu khawatir.” Kusap ubun-ubun Mitha sekilas dan tersenyum lembut untuk menenangkannya. Tapi gadis itu justru menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sela-sela jarinya perlahan membasah. “Sayang?” tanyaku. Mitha mengusap matanya dengan kasar. Matanya yang lembab menatapku marah. “Kamu selalu begitu! Merasa baik-baik saja, tapi lagi dan lagi kamu bertaruh nyawa. Kamu kira cuma kamu yang bertaruh? Aku juga! Setiap hari aku menguatkan hati, mengusir sebuah pertanyaan yang terus mengusik pikiranku. Kalau napasmu berhenti, aku bagaimana? Aku bagaimana tanpamu?! Apa kamu pernah memikirkan itu? Hah! Tidak? Kamu egois!” Aku tertegun. Gadisku benar-benar marah rupanya. Suaranya bergetar, matanya membulat menyemburkan luka. Tidak pernah ia menatapku segusar itu. Ya, Mitha betul. Pernahkah aku memikirkan bagaimana dia kalau aku mati? Jawabannya tidak. Semua tentang diriku sendiri. Tapi bukankah sebelumnya, aku tidak pernah berpikir akan mati? Saat napasku di ujung maut, yang kupikirkan hanyalah hidup. Wajah Mitha sudah tak sekeras tadi. Tapi isaknya membuat hatiku jeri. Kuraih dua telapak tangan Mitha yang terkulai di pangkuannya. Membawanya ke dadaku, agar ia bisa merasakan gerak paru-paruku yang stabil. Ah aku tahu, tak akan serta-merta melunakkan hatinya. “Maafkan aku, Mitha. Aku tak berpikir sejauh itu. Tapi aku ingin mengajakmu serta untuk berpasrah.” Dagu Mitha mengangkat. Pupilnya bergerak-gerak saat menatapku. Aku menelan ludah. Gadis itu tengah menyelidiki pikiranku. Tapi tekadku sudah bulat untuk menyuarakan segalanya tanpa terdistraksi tangisan atau pun amarahnya. Saat aku mengatur napas sekaligus menunggu reaksinya, Mitha tertawa sumbang. Bibir merah jambu itu merentetkan kekehan, namun matanya menyalangkan kepedihan. Aku menunduk dalam-dalam. Aku tak menyalahkannya. Ia baru saja mendengar, bahwa kekasihnya ingin berhenti berjuang. Kekasihnya ingin membuang nebulizer, minyak-minyakan, juga inhaler yang biasa membantunya saat serangan asma terjadi. Ia baru saja menyaksikan kekasihnya berbicara-sungguh-sungguh, kalau mungkin sudah saatnya kekasihnya itu berjumpa Tuhan. Ya, itu yang barusan kukatakan pada Mitha. Bahwa aku siap mati. Dan mungkin pada serangan asma berikutnya, aku akan berdiam diri hingga napas penghabisan. Menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Sudah lebih dari lima belas menit aku menanti ucapan dari bibirnya, tapi ia hanya tertawa. Lalu diam, kemudian tertawa lagi. Kontras dengan mendung yang kian pekat menggayuti matanya. Lidahku kelu. Padahal aku belum mengutarakan segala pemikiranku tentang itu. “Mitha?” Ia mendengus. Aku menghela napas dalam sebelum berujar, “Dua minggu lagi aku ke Sumbing. Seandainya Tuhan masih memberi napas hingga aku tiba di puncak, di sanalah aku akan mati.” “Jadi dua minggu lagi rencana matimu, heh?” oloknya. “Kenapa bukan besok atau tahun depan? Apa kamu sudah bersepakat dengan Tuhan tentang rencana itu?” Mitha kembali mengumbar tawa pahit. Aku menulikan telinga, berusaha menanggapi dengan setenang mungkin. Bagaimana pun, aku sudah memikirkan segalanya dengan matang. “Dua minggu lagi masuk musim kemarau. Udara sangat kering sekaligus dingin. Angin kencang meniup debu-debu. Pada saat seperti itu, biasanya asmaku lebih sering kambuh. Dan angin gunung akan membekukan napasku.” Kini, mata indah gadis itu membelalak, menatapku penuh amarah. Aku menunggu omelan meluncur dari mulutnya, dan siap mendebatnya. Tapi gadis itu mengatupkan mulut rapat. Ia berdiri, lalu menampar pipi kiriku. Aku terperanjat, tak siap dengan reaksinya. Ini pertama kali tangannya menyentuh pipiku dengan cara seperti itu. Panas di pipiku menjalar cepat hingga ke hati. Rasanya sakit dan terluka. Tapi lebih sakit lagi ketika aku melihat mata Mitha yang basah. “Mitha, aku….” Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk menyelesaikan kalimat. Gadis itu berlari keluar setelah membanting pintu. Bab 2: Para Pengiring Teman-teman menganggapku sudah gila. “Bah! Kerasukan setan gunung mana, kau ini? Sesak napasmu kan, lagi kumat-kumatan. Kau harusnya istirahat dulu yang lama. Lari keliling kampus saja kau belum boleh, apa lagi naik gunung!” Ucok, sahabatku, marah-marah. Selain Mitha, Ucok adalah teman yang paling tahu kondisiku. Rupa-rupa reaksi sahabatku yang lain. Ada yang terbahak-bahak. Ada yang mengolok, ada juga yang keheranan. Aku bergeming. Tekadku sudah bulat. “Lho, lebaran kan masih lama? Minta maaf untuk apa?” Sherly bengong saat tiba-tiba aku menyalaminya di koridor kampus. Aku tak peduli, aku salami semua teman-temannya sembari mengucap maaf lahir dan batin. Aku membayar semua utangku, tak segan membantu teman bahkan menolong orang asing, lebih banyak bersedekah dan tak absen beribadah. Sementara itu, aku belum berani menampakkan diri di hadapan Mitha. Tapi aku janji, akan berpamitan sebelum berangkat menuju Sumbing. Satu lagi yang agak berat kulakukan, adalah memberitahu Ibu dan Bapak. Aku baru berani menelpon ibu dua hari sebelum tanggal keberangkatan. Barang bawaanku bahkan sudah kusiapkan dengan rapi di dalam ransel. Tinggal kubawa saat hendak berangkat. Aku tidak biasa menyembunyikan sesuatu pada ibu. Segala kuceritakan, apalagi hal sepenting ini. Setelah ngobrol berputar-putar, aku menguatkan diri untuk berkata, “Ibu, kemungkinan besar aku mati dua atau tiga hari lagi. Kalau beruntung, lokasinya di puncak Gunung Sumbing. Jika tidak, ya aku pasrah saja, kapan Tuhan mau menghentikan napasku, aku siap.” Hening. “Bu?” Terdengar helaan napas panjang. Lalu, Ibu lembut berkata, “Kamu sehat, Ndu? Urungkan dulu niatmu naik gunung. Pulang dulu….” “Nggak bisa, Bu. Aku takut terlambat. Ketika tiba waktunya aku menghadap Tuhan, aku ingin berada di puncak Sumbing. Aku ingin kematian yang indah.” Ibu terkekeh. “Bocah gemblung! Masalah hadap-menghadap itu ada urutannya. Menghadap wong tuwomu sik, lagi menghadap Gusti Allah. Ndang muliho, Ibu tunggu.” Sambungan telepon terputus. *** “Randu!” Aku berhenti, tak serta merta membalikkan badan. Aku takut, suara itu hanya ilusi saja. “Randu,” sapa suara itu lagi, kini terdengar jelas di belakang punggungku. Aku berbalik, dan mendapati wajah Mitha, tengah tersenyum manis. “Aku ikut!” “Mitha… kamu tahu aku mau ke mana?” “Ya tahulah! Ibu telpon aku. Katanya aku disuruh jaga anak laki-lakinya yang paling gemblung!” Mitha terkekeh. Renyah dan tulus, seolah drama peristiwa pertemuan terakhir kami telah menguap tak berbekas. Ada rasa haru yang menyelusup dalam hatiku. Kugandeng tangan gadisku itu, membimbingnya menaiki bis yang akan membawa kami ke Solo. Sepanjang perjalanan kami saling menggenggam tangan erat. Kami mengobrol dan bercanda hal-hal yang ringan saja, tak menyinggung sedikit pun tentang rencana ‘kematian’ku. Ada saat di mana Mitha tiba-tiba tertegun saat menatap wajahku. Tatapannya sukar kuartikan. Saat kutanya, Mitha hanya tersipu. Jengah, ia mengalihkan pandangan jauh menembus kaca jendela. Tapi ia melakukan hal tersebut berulang kali. Tak tahan, aku mengancamnya. “Ada apa?” bisikku. “Kalau kamu tidak memberi tahu arti tatapanmu itu, aku akan bercerita dengan lantang pada semua penghuni bis ini, kejadian saat kamu nembak aku dulu.” Aku mengerling usil. Mitha memekik tertahan. Jarinya sigap mencubit pinggangku, membuatku berjengit. Beberapa penumpang melirik kami gusar. Pasti mereka menganggap, kami pasangan alay yang sangat norak. Ah, aku tidak peduli. Aku senang bisa menggoda kekasihku hingga wajahnya merah padam. “Katakan kenapa,” desisku. “Aku tidak main-main dengan….” “Oke… oke,” potongnya. Wajah kami berhadapan, intens bertatapan. Entah mengapa, jantungku berdegup sedikit lebih cepat. Menunggu sebuah alasan ternyata bisa menaikkan adrenalin. Mitha membelai pipiku sekilas. “Maaf ya, aku kemarin menamparmu….” “Nggak apa-apa, Mitha. Aku bisa mengerti, kok.” Mitha tersenyum. “Selepas itu aku merenung, mencoba berandai-andai kalau aku adalah kamu. Dan kupikir….” Mitha mengerutkan hidung seraya tersenyum lucu. “Kukira aku mungkin tidak akan setegar kamu. Aku pilek saja serasa hampir mati, hahaha!” Aku nyengir, mengingat saat Mitha terserang influenza dulu. Gadis itu sampai meminta orang tuanya datang, jauh-jauh dari Manado, hanya untuk merawatnya di kos. Kalau kuledek, biasanya ia merajuk. “Lagi pula, aku terlalu egois kalau marah. Bukankah kamu ingin menghadap Tuhan? Apa yang lebih indah dari pada itu? Kami terdiam. Dadaku dialiri desir halus. Perasaanku seperti lautan yang mengirim ombak ke tepi. Damai sekaligus dihiasi riak ketakutan. “Tapi, itu belum menjelaskan arti tatapan kamu tadi,” desakku, memecah jeda kesunyian yang sempat tercipta. “Oh itu,” Mitha tersipu. “Entah, ya. Mungkin ini hanya perasaanku saja, lho,” ia menekan intonasinya sedemikian rupa, membuatku ingin tertawa. “Wajahmu saat ini malah terlihat lebih cerah.” “Ehm… aku tambah putih?” “Bukan!” tukas Mitha. “Gimana ya, njelasinnya. “Aura kamu itu lho, kayak lebih terang.” Tawaku sontak menyembur. “Hei, sejak kapan kamu bisa baca aura?” Mitha mengangkat bahu, lalu bersandar, tak lagi menghadap wajahku. Matanya mengawang menembus kaca jendela bis saat berbicara pelan. “Cahaya di wajahmu itu, aku pernah melihatnya pada beberapa orang. Guru ngajiku, seorang biksu, dan seorang ibu tua yang memelihara 20 kucing di rumahnya. Entahlah, mungkin mereka orang-orang yang tingkat spiritual dan kepasrahannya pada Allah sudah sedemikian tinggi?” Pertanyaan itu dilantunkan serupa gumaman. Aku terlalu bingung sampai tak bisa membedakan, Mitha tengah memuji atau mengejek. *** Ibu memelukku erat, lalu memeluk Mitha. “Capek, Nak? Duduk dulu, Ibu buatkan teh.” Mitha tertawa kecil. “Tadi di bis nggak nyampe dua jam kok, Tante. Langsung lanjut naik gunung juga masih kuat.” Ibu terkekeh. Aku merasa mereka bersekongkol menyindirku. Aku masuk ke dalam, hendak menaruh tas di kamarku. Di ruang tengah aku tertegun, melihat beberapa carrier, gulungan matras, dan lipatan tenda teronggok di sudut ruangan. “Bapak dan kakak-kakakmu mau ikut naik. Nanti malam Mas Kala dan Mbak Kembang nyampe. Ibu juga ikut. Besok kita berangkat bareng ke Sumbing,” ujar Ibu santai, saat lewat membawa teh ke ruang depan. Aku bengong. Apa-apaan ini? “Tapi….” “Ibu dan bapakmu seribu persen sehat dan kuat!” potong Ibu setengah berseru. Keputusan mereka sudah bulat, tak mempan didebat, apalagi diganggu gugat. Bab 3: Dari Malim Hingga Genus Esok subuh, dengan mobil pribadi, kami berangkat menuju Wonosobo. Lima orang tercinta mengiringi langkahku menuju Sumbing lewat jalur Garung. Mereka benar-benar pasukan konspirasi kelas berat. Sepanjang perjalanan tak ada yang menjawab pertanyaanku, tentang tujuan mereka melakukan hal ini. Juga tak ada yang berniat mendebatku saat aku mengomel tentang betapa anehnya apa yang tengah kami lakukan. Sepasang manula, tiga orang yang tak pernah naik gunung–seorang lelaki yang lebih senang meneliti komponen AC ketimbang merasakan sejuknya udara pegunungan, perempuan pecinta high heels, dan pacarku yang kalau pilek cengengnya minta ampun–mengawal cowok sekarat menuju puncak. Mereka selalu mengalihkan isu dengan guyonan-guyonan ringan, yang menurutku tak lucu, namun mereka akan serempak tertawa riuh. Tunggu… apa yang kupikirkan tadi? Aku, sekarat? Aku mencoba bernapas selambat mungkin, meresapi saat paru-paru-paruku mengembang dan menyusut, menghayati gerakan hidungku, dan bunyi desis dari napas yang kukeluarkan. Kurasai setiap bagian tubuhku. Aku sehat dan kuat, siap mendaki hingga puncak Sumbing. Kuharap Tuhan akan berbaik hati melancarkan napasku hingga ke ketinggian 3.371 Mdpl. Dikepung pemandangan empat gunung, yakni Merapi, Merbabu, Slamet, dan Sindoro, maka kematian tak lagi menakutkan. Justru indah, setidaknya bagiku. Aku teringat kata-kata Bapak tadi malam. “Le, meski Bapak tidak mengerti jalan pikiranmu, seperti biasanya, kami nggak mau melarang-larang. Kami ikut untuk menjagamu….” “Seharusnya nggak usah begitu, Pak,” keluhku. “Kalau Bapak dan Ibu jaga aku, pas aku kumat, pasti nggak akan biarin aku kumat sampai mati. Pasti kepengin nolong. Takdirku akan berbeda kalau Bapak dan Ibu ikut.” “Oalah, Nak. Kalau pada akhirnya kamu kumat dan nggak mati, ya emang takdirnya begitu itu. Tuhan maunya begitu.” “Tapi….” “Wis, ngene wae,” potong Bapak. “Katakanlah, napas kamu abis. Trus kalau kamu mati sendirian, siapa yang bawa kamu ke rumah? Kamu kira mati sendirian itu enak? Indah, seperti cita-citamu? Bukannya lebih indah mati di tengah orang-orang yang mencintai kamu? Yang kamu cintai?” Aku terdiam. Bapak juga diam, menatapku serius. Aku dapat melihat, Beliau sebenarnya kesal dan belum mengerti. Tapi dari dulu, Bapak dan Ibu memang orang yang demokratis. Tiga anak mereka berbeda karakter, dan tak pernah mereka terlalu mencereweti pilihan hidup masing-masing anaknya. Atau pilihan mati…. Ah… mungkin benar kata ibu. Aku adalah anaknya yang paling gemblung. *** Sebenarnya aku gondok, tapi mau bagaimana lagi. Bapak, ibu, dan Mbak Kembang memutuskan untuk naik ojek menuju Pos 1: Malim. Kata mereka, untuk menghemat waktu dan tenaga lebih baik merelakan uang seratus lima puluh ribu untuk mencarter lima ojek. Hah, di mana seninya? Start mendaki kok pakai bantuan mesin. Tapi ya sudahlah. Biasanya, dengan berjalan kaki, butuh waktu satu sampai dua jam tiba di Malim. Dengan Bapak, Ibu, dan Mbak Kembang, aku tak yakin bisa memenuhi standar waktu. Apalagi, aku dan Mas Kala juga kerepotan karena membawa sebagian barang bawaan mereka. Berbotol-botol air mineral kemasan 1,5 liter ini yang bikin berat. Kami harus menjaga diri agar tak mengalami dehidrasi. Sepeda motor membawa kami melewati jalan berbatu. Puncak gunung masih bisa kami lihat sepanjang perjalanan. Indah sekali. Sinar matahari pukul sembilan pagi sudah cukup terik. Cahaya memperjelas debu-debu yang beterbangan di seantero udara. Aku tersenyum gamang. Debu-debu dan angin dingin, perpaduan sempurna yang akan memicu serangan asma. Jadi, selama napasku belum terkontaminasi si penyakit langganan, aku akan nikmati perjalanan ini dengan segenap hati. Kami beristirahat sejenak di Malim. Bapak dan ibu tak tampak lelah. Sebaliknya, keduanya ceria dan mesra, saling memijat pundak yang sempat terbebani carrier. Mitha mendekatiku dan berbisik, “Jangan langsung nengok. Coba kamu diam-diam lihat Mbak Kembang.” Kakakku yang cantik tengah melihat ke kejauhan, sambil mengusap air mata. Aku jadi merasa bersalah. Mbak Kembang tentu tak ingin melakukan pendakian ini. Ia gadis mal, bukan penakluk gunung. Aku menghampirinya, ingin mengucapkan maaf dan tak berkeberatan jika ia tak turut hingga ke puncak. Di belakang punggungnya, aku berucap dengan canggung, “Mbak… maaf aku….” Mbak Kembang berbalik tiba-tiba, kemudian memelukku. Erat sekali, sambil sesenggukan. Telapak tangannya memukul-mukul punggungku. “Mbak?” Bingung, aku memandang Bapak dan Ibu bergantian. Tapi mereka hanya menggeleng dan memberi kode tak ingin ikut campur. “Mbak Kembang nggak perlu ikut aku ke atas kalau capek, aku tidak apa-apa. Aku malah watir Mbak Kembang sakit….” “Kamu tuh, ya! Dasar adik gemblung! Kalau kamu mati, siapa lagi yang bakal ngusilin Mbak? Siapa yang bakal jemput Mbak di stasiun? Siapa yang mau bawain belanjaan Mbak? Dan… dan… Mbak minta maaf. Dulu waktu kamu kecil, sebenarnya Mbak yang rusakin robot-robotan kamu… Mbak pernah cubit paha kamu sampe lecet gara-gara sebel… Mbak… Mbak…..” tangis Mbak Kembang semakin menjadi. Tak sadar, aku ikut menangis. Aku membelai rambut panjang Mbak Kembang dengan sayang. Hal yang sebelumnya jarang kulakukan. “Mbak, aku belum tentu mati….” Kalimat itu terlontar begitu saja. Apakah aku mulai goyah? Ah, tidak. Aku sungguh bahagia jika bisa menemui-Mu sebentar lagi ya, Tuhan. Di puncak Sumbing, saat napas yang penghabisan…. *** Menuju Pos 2: Genus, jalan semakin menanjak, dan debu kian pekat. “Randu, pakai maskermu!” bentak Bapak. Aku nyengir. Jujur saja, saat napasku ternyata lancar begini, timbul niat iseng di hatiku untuk menantang. Ayo debu-debu… masuklah ke dalam hidung dan kerongkonganku, hingga paru-paruku menyempit, dan napas menjadi berat! Tapi tidak terjadi apa-apa. Sementara jalanan menuju Genus semakin menanjak. Aku tersengal karena hal yang lumrah. Medan terasa berat saat kami tiba di engkol-engkolan, sebuah titik di mana jalan terbagi tiga cabang, dan semuanya berujung di Pos Genus. Jalan yang kami lalui menerjal, dan debu menghalangi batas pandang. Kami berhenti sejenak untuk mengatur napas. “Kemiringan medan lebih dari enam puluh derajat, atur langkah dan napas,” komandoku. Aku mengecek kondisi Ibu dan Bapak. Keduanya sungguh mengagumkan, karena tak mengeluh sedikit pun. Mas Kala, masih dengan wajah datar dan keheningannya. Tak berkata jika tidak merasa perlu. Mbak Kembang membungkuk memegang lutut. Ia yang paling terlihat kepayahan. “Lima menit… beri Mbak waktu lima menit lagi….” pintanya saat kusodorkan air mineral. Sementara Mitha, wajahnya berangsur murung. Aku menggamit lengannya. “Mitha, ada apa?” “Seberapa jauh lagi? Berapa jam lagi?” desisnya. “Aku tak ingin cepat sampai,” ujarnya getir. Lalu ia melengos, mendahului kami meneruskan perjalanan. Aku membuntuti Mitha, kira-kira dua meter di belakangnya. Debu mengepul dari jejakkan kaki-kakinya, terbang menerpa wajahku. Orang tua dan kakak-kakakku tertinggal agak jauh di belakang. “Mitha….” panggilku. “Hati-hati… jalannya tambah susah, tambah nanjak….” “Ya lalu?” seru Mitha sinis, tanpa menoleh. “Kalau kamu jalannya serampangan gitu, nanti jatuh….” “Ya lalu?” potongnya, dengan pertanyaan yang sama. “Kalau aku jatuh terus mati, ya berarti itu takdir. Aku bertemu Tuhan di Sumbing. Bukankah itu kematian yang indah?” Aku bergegas menjejerinya, mencekal lengannya, dan menghadapkan tubuhnya kepadaku dengan paksa. Kutangkup wajahnya dengan dua telapak tangan, “Tatap aku,” ujarku tegas. “Kamu tidak boleh berkata begitu.” “Lalu kenapa kamu boleh?” Matanya nyalang menuntut jawaban. Aku mendesah. “Kamu sudah tahu alasannya, Mitha. Aku pasrah dan yakin begitu saja, bukan karena pemikiran emosional seperti kamu saat ini. Bukankah kemarin kita sudah bicara? Katamu, kamu bisa mengerti?” Mitha menatapku intens. Lalu ia mengangkat bahu. “Sialan kamu, Randu! Kamu benar, kamu tenang dan bercahaya sekali saat ini. Kalau memang kematianmu benar-benar terwujud, dan kamu kemudian entah berada di mana, tolong jangan lupakan aku, ya?” Mitha berjinjit, dan mengecup keningku sebelum ia berbalik dan meneruskan perjalanan. Aku terpaku. Sekelebat perasaan aneh mengusik pikiranku. …dan kamu kemudian entah berada di mana…. Akan ada di manakah aku kelak jika sudah tak lagi ada di sini? Bab 4: Senja di Pestan Walau satu jam lebih lama dari waktu standar, tiba di Pos Genus tanpa kendala berarti bagi ‘rombongan aneh’ seperti kami adalah prestasi. Matahari sudah bergeser dari atas ubun-ubun, dan condong ke arah barat. Terik, membuat lelah dan haus makin menjadi. Kami beristirahat sejenak saja di Pos Genus, sebelum menuju Pos 3: Seduplak Roto. Untunglah, sekarang bukan musim hujan hingga trek yang kami lalui tak licin. Kami hanya perlu berperang melawan debu dan angin. Tak hanya mengandalkan kaki untuk memijak, kami memerlukan bantuan kedua tangan untuk merambat dan mendaki di tanjakan bebatuan. Beberapa kali, aku melihat Bapak telaten sekali membimbing Ibu naik. Mereka seperti pasangan muda yang sedang pacaran. Mbak Kembang dan Mitha juga kian akrab. Sesekali aku mencuri dengar, mereka mengobrol tenang fashion dan grup musik idola. “Ndu,” “Mas Kala menepuk pundakku. “Bagaimana napasmu? Aman?” Aku seolah diingatkan akan misiku mendaki Sumbing. Baru saja kami berjalan tiga jam nonstop di medan yang lumayan terjal, dan ajaib! Napasku lancar dan teratur. Dada terasa lapang. Kuamati wajah Mas Kala. Ia tampak pucat. Napasnya tersengal. “Mas Kala sepertinya butuh istirahat,” kataku. Ia mengangguk sambil mengusap peluh dengan punggung tangan. "Dan butuh indomie," sahutnya, tertawa garing. Aku dan kakak sulungku tidak akrab. Mas Kala lebih suka menyendiri di kamar, membaca, atau mengutak-atik alat elekronik. Sementara aku hobi keluyuran dan lebik aktif mengobrol dengan Mbak Kembang. "Nanti di Pestan kita masak mie trus tidur siang," ujarku garing. Kami berdekatan sepanjang menyusuri celah-celah bebatuan hingga ke Pestan. Pestan tak jauh dari Seduplak Roto, berupa hamparan tanah lapang. Meski ada imbauan untuk tak mendirikan tenda di sana karena rawan tersapu badai, toh Pestan tetap menjadi tempat favorit bagi pendaki untuk beristirahat. Kami mendirikan dua tenda, bergabung dengan beberapa tenda para pendaki yang sudah lebih dulu berdiri. Para perempuan menjerang air dan memasak mie. Sesekali aku mendengar mereka bertiga cekikikan sambil melirikku. Setelah berpesan untuk dibangunkan saat mie matang, Bapak dan Mas Kala terkapar di matras, beradu suara dengkur. Aku duduk menekuk kaki, memeluk lututku, dan mengamati semua itu. Suasana pegunungan yang hijau, wajah orang-orang terkasih, desir angin dan kerisik dedaunan, debu yang tertiup angin dan memercik kilau di udara.... Semuanya indah. Tapi yang terindah saat ini adalah, desah napasku yang halus, meluncur mulus dari kerongkongan, seolah menyuarakan: kematian belum akan datang. Entah ia baru sampai di mana.... *** Langit menguning, berangsur oranye. Aku berdiri agak jauh dari tenda, memandang ke arah Gunung Sindoro yang terlihat di kejauhan. Sindoro adalah gunung terakhir yang kudaki sebelum saat ini. Dari Sindoro, aku bisa melihat Sumbing dan bersumpah akan mendakinya. Tapi tiba-tiba saja asma menyerangku ketika aku berusia delapan belas tahun dan menetap hingga saat ini. Otomatis, aku menghentikan hobi mendaki. Naik motor malam hari saja bikin aku menggeh-menggeh, lalu mana berani aku melawan angin gunung. Tapi detik ini, aku menyadari, kita ternyata tidak bisa memprediksi sedikit pun kuasa Tuhan. Segala keyakinan yang kubangun dengan logika medis, ternyata tak berlaku. Sekarang aku di pos ketiga Gunung Sumbing, dan sehat seribu persen. Tiba-tiba, aku mulai kuatir dengan kondisi orang-orang tercinta yang mengiringiku. Mereka semua terkapar di dalam tenda, lelap dalam lelah. Seseorang mengambil posisi di sampingku. "Kopi?" tawarnya. Ternyata Mas Kala. Aku menyambut secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Saat melihat uap yang meliuk dari permukaan kopi, aku teringat nebulizerku yang minggu lalu kusumbangkan ke sebuah puskesmas. Kutiup perlahan permukaan kopi dari bibir cangkir, lalu menyeruputnya lambat-lambat. "Makasih, Mas. Kopi buatanmu masih yang terbaik." Mas Kala mesem. "Ndu, sehat?" Aku mendelik. Entah mengapa, ada perasaan seolah Mas Kala tengah menyindirku. Melihat lirikanku, Mas Kala tertawa. "Ndu, kamu sukses bikin Bapak dan Ibu bermesraan di gunung. Kamu sukses bikin keluarga berkumpul. dan kamu sukses buat kakak cewekmu yang manja menggantung high heels dan jalan berkilo-kilo. Terima kasih, ya. Dan ah... kamu juga bikin Mas terinspirasi untuk punya pacar. Masa kalah sama adek bungsu." Tawa Mas Kala kembali berderai. Aku tak pernah melihatnya tertawa selepas itu. Tapi, aku menangkap nada getir pada tawanya, segetir kopi yang baru saja kucecap. Mas Kala mendesah di ujung tawanya. "Ndu, seandainya kamu tahu, kematian belum tentu seindah yang kamu bayangkan...." Sontak aku menoleh. Bukan karena isi kalimat itu, melainkan getar di suara Mas Kala. Aku menangkap wajah Mas Kala mengeras, dan sebutir air bening tiba-tiba saja meluruh dari ujung matanya. "Mas?" "Kamu ingat nggak, Ndu, waktu kamu SD, dan Mas sudah SMA. Pernah ada ambulans datang ke rumah, jemput Mas Kala. Kamu dan Kembang ikut ke rumah sakit waktu itu." Ingatanku dilempar kembali pada dua belas tahun yang silam. Samar-samar aku ingat. Kami pernah naik ambulans. Ada darah, Mbak Kembang yang gemetar, tangisan Ibu, wajah Mas Kala yang pucat.... Mas Kala menggeser tubuhnya, kini menghadapku. "Ini akan menjadi rahasia yang seharusnya dikubur dalam-dalam. Namun hari ini, Mas harus menggalinya kembali. Karena kamu merasa sudah dekat dengan kematianmu... entah bagaimana caranya, Mas juga bingung... tapi Mas kasih tahu sesuatu ya, Ndu. Masmu ini sudah pernah hampir mati. Kematian yang direncanakan...." "Heh?" dengusku. Mas Kala melinting ujung kaos lengan panjangnya, membuka arloji, dan menunjukkan segaris bekas luka melintang. "Ya, Mas waktu itu mengiris nadi pegelangan tangan...." Aku gemetar, merasa ngilu dan tak percaya. Ternyata, Mas Kala selalu memakai baju lengan panjang, dan memakai arloji ukuran besar untuk menutupi rekam jejaknya yang kelam. "Kenapa, Mas?" tanyaku, nyaris berbisik. Mas Kala mengusap matanya yang semakin berair. Ia menggeleng. "Waktu itu Mas juga nggak begitu paham, kenapa bisa senekat itu, Ndu. Mungkin pas remaja memang masa-masa emosi bergejolak. Kamu masih kecil, main sepedaan terus seharian sama Kembang. Jam delapan malah sudah tidur. Kamu nggak tahu, nggak dengar, kalau Bapak dan Ibu sering banget berengkar. Ibu nangis terus. Bilang mau cerai. Mas Kala stress. Apalagi waku itu hampir ujian kelulusan. Nggak bisa belajar. Puncaknya, Mas Kala nggak lulus SMU. Maluuu banget, rasanya. Pengen mati saja, dan yah... begitulah akhirnya...." Langit semakin jingga, dan desir angin menggelitik tengkuk, mengusik bulu kuduk. "Gelap, dingin, dan menakutkan, Ndu. Mas entah berada di mana waktu itu. Segalanya menggema di kepala, tapi entah suara apa. Mas menggigil, memanggil-manggil Bapak, Ibu, Kembang, dan Kamu. Tapi mulut Mas nggak keluar suara. Yang dominan hanya rasa takut. Ngeri... tapi entah persisnya karena apa. Hanya takut, dan perasaan ingin kembali bersama kalian." Reflek, tangan kiriku mencengkram lengan Mas Kala. "Tapi untunglah, Mas nggak mati. Dan kehidupan kita berangsur baik. Hanya saja, satu yang Mas tanamkan dalam diri Mas sejak saat itu. Mas tidak akan sekali pun lagi memikirkan tentang kematian. Yang harus kita pikirkan adalah, tentang kehidupan. Itulah sepasrah-pasrahnya manusia. Diberi hidup, ya dijalani. Untuk hidup...." Langit mulai bersemu kelabu, bersemburat jingga dan bercak keemasan. Bergerak... mengambang.... Hei... bahkan langit pun selalu tampak hidup! Epilog: Napas Semua di sekitarku seolah bergerak dengan lambat. Daun yang berayun, tawa yang mengalun, matahari yang semakin turun. Pintu tenda tersibak, lalu keluarlah orang-orang tercinta. Bapak ngulet, Ibu melambai, Mbak Kembang mengucek-ngucek mata, dan Mitha bersin-bersin. Aku menoleh ke samping kanan, menangkap senyum Mas Kala yang penuh arti. Semuanya bagai slide film yang diputar perlahan. Lalu kupejamkan mata. Gelap. Mereka menghilang dari pandangan. Ah... aku tak sanggup berlama-lama dalam gelap. Aku butuh mereka ada di depanku. Kubuka mata perlahan, untuk mencerap keindahan yang mereka tawarkan. Mereka telah mendekat ke arahku, dengan senyum merekah, dan mata berbinar. "Gimana, Ndu? Siap melanjutkan perjalanan?" tanya Bapak. Aku menarik napas panjang, merasainya sepenuh jiwa. Aku mengangguk. Napasku cukup kuat untuk membawaku ke puncak Sumbing. Bukan untuk kematian yang indah, melainkan untuk kehidupan yang lebih elok. Description: Randu, penderita asma akut, suatu saat merasa harus menyerah. Berkali ia berada di ujung maut, dan ia selalu sekuat tenaga bertahan hidup. Timbul di pikirannya kalau ia telah melawan takdir. Akhirnya, Randu memilih pasrah. Ia bahkan menyiapkan kematiannya. Ia ingin kematian yang indah, di suatu tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi, di puncak Sumbing. Ia memlih bulan di ujung kemarau, di mana angin berembus sangat dingin, dan berharap napasnya masih menyisa saat tiba di puncak dini hari, menyongsong matahari terbit sebelum meninggal dunia. Tapi pendakian menjemput ajal tak berjalan sesuai rencana. Keluarga dan kekasihnya ingin ikut serta dalam ‘kematian yang indah’ bagi Randu. Di puncak Sumbing yang syahdu, apakah malaikat pencabut nyawa benar-benar menanti Randu?
Title: Rose My Guardian Angel Category: Fantasi Text: Prolog "Tadi sungguh menakjubkan," ucap Rose bersemangat. "Aku takkan pernah melupakannya" "Inikan pengalaman pertamamu menghadiri sebuah pesta kan" ucap Ella tersenyum, "syukurlah kalau kau menikmatinya, Rose" Aku membalasnya dengan senyuman. Namaku Rose Dinn, umurku 7 tahun dan ini pertama kalinya aku menghadiri pesta, sungguh menakjubkan, aula dansa yang besar, berbagai makanan yang lezat di sajikan di prasmanan, musik yang dimainkan membuatku terpesona, "Kita ada dimana, Ma Pa," tanyaku bingung "Hmmm," Ella heran mendengar ucapan Rose "Memangnya kenapa nak" "Tidak apa apa, hanya saja pemandangan diluar sungguh membuatku takut dan cukup asing buat ku" ucapku takut sambil melihat ke luar dari dalam jendela mobil, di luar hanya terdapat pepohonan yang lebat dan rindang dengan suasana gelap mencengkeram dan hanya suara binatang yang terdengar jauh berbeda dengan kota yang selalu dihiasi oleh lampu lampu yang menyala dan suara kendaraan selalu terdengar setiap harinya hal tersebut memuatku asing seolah aku berada di tempat yang belum dikunjungi orang. "Tenang saja," ucap Ella dengan senyuman yang lembut, "kata papa inilah jalan tercepat menuju rumah" "Oh..." balasku sambil menatap Mama, tetapi pandangan Mama tertuju kepada Papa aku bisa tahu dari raut wajahnya, raut wajah seorang istri yang cemas menunggu suaminya yang belum pulang "Ada apa sayang, Kenapa dari tadi kau terus melamun?" Tanya Ella cemas "Tak ada apa apa" David menghindari kontak mata dengan istrinya "Kau berbohong" ucap Ella jengkel "kau pikir aku tak tahu kalau kau sedang berbohong, aku ini istrimu tak bisakah kau jujur kepadaku" "Kau benar, maaf" ucap David menyesal "aku hanya tak tahu bagaimana caranya menanggapi perkataannya tadi" "Anak muda" ucap sang peramal "aku lihat hidupmu akan mengalami banyak cobaan" "Apa maksudnya" ucap David heran "Ku lihat, kamu terikat dengan perjanjian Iblis" lanjut sang peramal "A-apa" David takut dan perlahan menjauh dari wanita itu "Kau takkan bisa lari" ucap sang peramal sambil tertawa seram. David terkejut mendengar kata kata terakhir itu. "A-apa maksudnya semua itu" tanya Ella bingung, Ella tak pernah percaya yang namanya sihir atau semua hal hal berbau mistis, Ella percaya semua masalah pasti ada solusinya. David pun tak bisa menjawab pertanyaan istrinya itu, sebab dirinya pun memiliki banyak pertanyaan sendiri tentang kejadian tadi. Aku tak tahu apa yang papa dan mama bicara pasti mereka membicarakan hal yang penting, ucap ku dalam batin sambil melihat mereka. Aku mendengar suara seseorang yang sedang bersenandung. "Pa, Ma apa kalian mendengar suara seseorang sedang bersenandung" tanyaku Mama tertawa mendengar ucapanku barusan. "Aku tak mengerti apa maksudmu, nak" Aku terkejut mendengar jawaban Mama, "mana mungkin hanya aku saja yang mendengarnya", pikirku tetapi saat aku melihat keluar jendela, aku terkejut melihat pemandangan pepohonan, "ta-tak mungkin jadi kita masih belum keluar dari hutan, ja-jadi suara yang kudengar ta-tadi apa, ja-jangan ha-hantu" pikirku takut tubuhku pun bergetar sangkik takutnya perlahan lahan pikiranku menjadi kacau dan dadaku terasa sesak, aku tak mau membuat papa dan mama khawatir jadi aku mulai mengatur nafas untuk menenangkan pikiran. "Tenanglah Rose, tadi itu hanyalah hayalan semata, benar hanya hayalan, tak ada yang perlu dicemaskan" ucap ku dalam batin untuk menenangkan diri. Dari belakang terdengar suara kendaraan yang sedang berjalan diatas jalanan untuk beberapa saat hal tersebut membuat ku tenang karena tak sendiri di hutan. Tetapi mobil yang berada dibelakang melesat dan menabrak bagian belakang mobil kami. Ayah yang dari tadi diam melamu kini mulai sadar. "A-apa yang terjadi" ucap Ella panik, David pun bergegas memeluk Ella dan Rose supaya mereka tetap tenang "takkan kubiarkan sesuatu yang buruk menimpa keluargaku" pikirnya "Aku akan keluar dan melihat situasi" ucap David , Ella hanya mengangguk saat ia mau melangkah keluar anaknya memanggil namanya "Papa"ucap anaknya, David pun langsung melihat anaknya itu "kumohon berhati-hatilah" lanjutnya, David tersenyum. "Terimakasih nak, sebagai gantinya bisakah kau jaga Mama" anaknya mengangguk dan ia sudah berada diluar mobil. "Apa-apaan ini" ucap David kesal sambil menghampiri mobil yang menabrak keluarganya,"keluarlah kalian" David menggedor-gedor kaca pintu mobil pelaku. Dari dalam keluarlah segerombolan pria mengenakan pakaian serba hitam, wajah ditutupi hingga tak dapat melihat tempang mereka, "lihat yang kalian perbuat" teriak David "ganti ru-" sebelum David menyelesaikan perkataannya segerombolan pria tersebut memukul David habis-habisan, ia sudah sekarat dan terkapar diatas tanah dengan tatapan kosong, tak lama segerombolan pria tersebut mulai mendekati Rose dan Ella, "Papa, tolong!" Teriak Rose David pun sadar dan mencoba untuk bangkit, ia menghampiri para penjahat itu dan sekuat tenaga berusaha melawan mereka sendirian, didalam mobil Ella dan Rose ketakutan setengah mati. Ella merasa tak tega melihat suaminya berjuang sendirian dan ia melihat Rose ketakutan membuat nya berpikir untuk menolong suaminya dan melindungi anak kesayangannya dengan kedua tangannya, "Nak, kau harus cepat pergi dari sini" ucapanya Aku terkejut mendengar perkataan mama yang tak masuk akal, "a-aku tak mungkin lari dan meninggalkan kalian sendiri melawan mereka" ucapku terbata-bata "Sekarang bukan waktunya ragu" Ella tersenyum "kami tak ingin kamu terluka, kami ingin kau selamat" lanjutnya "Kenapa" ucapku sedih tak lama Mama memelukku dan berkata "karena kami sayang kamu" Rose tak sanggup menahan air matanya, perlahan air matanya mengalir keluar, ia bersikeras untuk tetap tinggal bersama kedua orangtuanya apapun yang terjadi, tetapi ia tak ingin perjuangan mereka menjadi sia-sia, "Pergi" teriak Ella, Ella perlahan keluar untuk membuntu suaminya Rose menuruti perkataan mamanya dan keluar dari mobil, ia melangkah menuju hutan setiap langkahnya berat tetapi ia tak bisa berhenti sekarang jadi ia terus berlari menuju kedalam hutan yang gelap Ia pikir ia sudah aman karena itu ia berpikir untuk istirahat sejenak, nafasnya menjadi tak teratur, jantung nya terus berdetak sangat cepat "apa papa dan mama baik baik saja" pikirku Duar!!!! Terdengar suara tembakan , suara itu berasal dari tempat kedua orangtuanya berada "pa-papa ma-mama" pikiranku menjadi kacau dadaku terasa sesak, "aku harus kembali" pikirku tetapi aku teringat teringat perkataan Mama jadi aku bergegas berdiri dan melanjutkan berlari sambil meneteskan air mata dan dipikiranku hanya ada rasa benci yang mendalam terhadap mereka yang menyerang keluarga ku. Saat Rose berpikir sudah lolos dari penjahat tetapi para penjahat sudah mengepung Rose, Rose yang tak berdaya hanya bisa menangis sambil mengepalkan tangannya, ia benci kepada mereka dan kepada dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa, sekejap para penjahat itu mengeluarkan pistol dan menodongkan pistol tersebut di depan wajahnya, ia berteriak "TOLONG!!!!!" Ia tahu itu sia-sia, ia tahu takkan ada yang akan menyelamatkannya tapi hanya itu yang bisa ia lakukan. Tiba-tiba kabut kebal mulai menyelimuti hutan, dan seorang gadis muncul mengenakan jubah yang sudah kumuh, kedatangannya di iringi cahaya bulan purnama, aku menatap mata sang gadis, matanya sebiru langit sungguh membuatku terpana, "ku-kumohon tolong selamatkan aku dan keluargaku" mintaku pada sang gadis sambil menangis Sang gadis hanya menatap ku tak lama ia tersenyum padaku dan berkata "~tenanglah aku akan melindungi mu. Rose" Perlahan-lahan Rose mulai kehilangan kesadaran dan akhirnya ia pingsan, ia lupa semua yang dialaminya malam itu. Bersambung Setelah ini saya akan menampilkan Kehidupan Rose 5 tahun kemudian jadi untuk itu saya harap kalian para pembaca memberikan masukan supaya kedepannya menjadi lebih baik dan bisa memuaskan kalian yang membaca karangan saya Terimakasih Description: TERIMAKASIH SUDAH MELINDUNGI MY GUARDIAN ANGEL
Title: ribut minta ampun Category: Anak Text: ribut minta ampun Suatu hari seperti biasa anak - anak pada bermain dengan teman sebayanya.dikolong rumah iyu,andi,hadi serta aan bermain karet.mareka keasyikan bermain " andi mana karetmu.."kata iyu "Aku lupa sy pulang ambil dulu karetku" kata andi "Iya..."kata iyu Selang beberapa menit andi datang membawa karetnya dan bermain bersama. "Aan kamu lagi ....sudah mau habis karetmu "kata hadi " beli saja karet dirumah ica dia jual karet tuh" kata hadi Akhirnya aan dan hadi memutuskan untuk membeli karet yang cukup jauh dirumah ica " ica mau beli karet ...apa karetmu masih ada" kata aan " iya" kata ica "Aan belikan aku teh gelas saya sudah temani kamu jalan haus sekali jalan sampai disini"kata hadi " Iya...ya...ok " kata aan " makasih ya" kata ica sedari memberikan karet dan teh gelas mareka Akhirnya aan dan hadi kembali bermain bersama temannya Tanpa disadari anak -anak sudah hampir 1 jam bermain mau menjelang sore rupanya sudah kelihatan kecurangan iyu... Membuat andi tak sabar untuk menegur iyu menghabiskan karet aan ... Andi memanggil dan membisikkan ditelinga iyu " kamu tuh curang kenapa kamu bodohin aan" kata andi " ah jangan ribut"kata iyu Akhirnya aan menyadari kecurangan iyu dan langsung meninju kepala iyu. iyu tidak mau kalah dia juga maju membalas pukulan aan... Karena mareka saling pukul memukul andi dan hadi sudah capek melerai mareka yang tak kunjung berhenti Didengarnya mama iyu yg dari tadi mareka berkelahi maka datanglah mama iyu untuk melerai mareka.dengan hebatnya semakin dilerai tambah memukul dinasehati tdk ada mau mendengar..... Keesokan harinya mareka kembali bermain bersama.mareka bermain bola dilapangan bersama andi,aan iyu sama hadi Tiba tiba datang mail ingin bergabung bermain bola "Iyu boleh gabung main bola "kata mail "Ayo lah" kata iyu Mareka keasyikan bermain bola tiba tiba iyu membuat kecurangan akhirnya kembali lagi berkelahi Semua penonton yang melihat mareka akhirnya datang mama iyu...memarahi iyu memang kamu iyu ribut minta ampun.... Description: seorang anak mempunyai teman yg ributnya minta ampun tdk dinasehati
Title: Rewrite The Stars Category: Fantasi Text: Prolog Aira menengadahkan tangannya, merasakan setiap buliran air hujan yang turun. Menghadapkan wajahnya ke arah langit. Hujan yang turun sore itu seolah membasuh rindunya. Ia rindu. Dengan sang pembuat hujan. Bibir tipisnya tersenyum. Merasakan tiap buliran air itu berjalan di atas kulitnya. Perlahan, Aira membuka matanya karena merasakan air hujan berhenti menyentuh wajahnya. Seketika senyumnya semakin lebar. Menatap seorang laki-laki yang berdiri sambil memayunginya di sana. “Arsen?” Laki-laki itu tersenyum, lalu hujan pun berhenti. Payung vintage bergambar bunga itu ditaruh di samping Aira, dan Arsen duduk di sana. Aira menyandarkan kepalanya ke bahu laki-laki yang ada di sampingnya. Saat Aira menikmati waktu yang saat ini ia habiskan bersama Arsen, laki-laki itu sibuk menggunakan kekuatannya untuk mengeringkan baju Aira. “Aku gak mau kamu sakit kalo ujan-ujanan terus,” ucap Arsen, membuat Aira membenahi duduknya dan menatap Arsen dengan senyuman yang belum pudar dari wajahnya. “Maka, kamu jangan jauh-jauh. Biar aku gak kangen dan mencari hujan.” Arsen tersenyum. Laki-laki itu menggenggam erat tangan Aira. “Gimana bisa aku jauh kalo separuh hidup aku ada di kamu.” Gombalan klasik, yang keluar dari mulut seorang laki-laki. Tapi, Aira menikmati. Tak apa itu hanya sebuah gombalan semata, yang penting saat ini ia bahagia. Langit yang tadinya mendung, kini berganti menjadi senja yang indah. Langit berwarna orange begitu memanjakan mata Aira dan Arsen. Pemandangan burung-burung yang kembali ke sangkar pun menghiasi langit sore kala itu. “Semoga Semesta tidak menghukumku,” ujar Arsen. Aira menoleh kaget,”Kenapa? Kamu ngelakuin kesalahan?” Arsen menatap langit, bibirnya yang tipis tersenyum penuh arti. “Kalo mencintai kamu adalah sebuah kesalahan, aku akan terus melakukannya. Gak perduli seberat apa hukumannya.” Aira memukul lengan Arsen dengan pukulan kecil,”Dewa bisa gombal juga?” “Kan aku udah les, Ra.” “Mana ada les gombal.” “Ada,” Arsen menoleh ke Aira. “Lewat tulisan-tulisan yang kamu buat, aku belajar untuk memahami semuanya, termasuk perasaan kamu.” Sore itu, Semesta berpihak pada mereka. Membiarkan sang Dewa Air merasakan bagaimana indahnya jatuh cinta. Terbukti, dengan indahnya senja yang disajikan Semesta. Membuat siapapun enggan beranjak dan berpaling dari sang senja. Sore itu, Semesta sedang baik. Membiarkan dua orang dari dua dunia berbeda duduk berdampingan berbicara tentang cinta. Cinta yang fana. Dan, entah akan berujung di mana. R1 *** Di dunia ini, ada beberapa hal yang tak bisa sejalan. Ada hal yang tak seharusnya ditentang. Dan, ada hal yang tak seharusnya dicampur adukkan dengan perasaan. Namun, semua hal yang tabu dan terlarang dapat dilanggar, dengan alasan perasaan. Meski pun pada akhirnya, segala hal yang mengutamakan perasaan tidak selalu menang. Tidak selalu berakhir menyenangkan. Tapi, begitulah cara dunia bekerja. Entah apa pun pilihannya, hanya ada dua pilihan yang tersisa; mementingkan logika atau perasaan? Dua-duanya memiliki akibat yang tidak menyenangkan. Kehilangan, adalah salah satunya. Aira masih asik bersandar di bahu Arsen. Sedangkan, Arsen sibuk mengukir tangan Aira dengan sebuah tanda. Sebuah tanda yang mampu menghubungkan keduanya. “Kenapa harus dibuat tanda kayak gini?” tanya Aira pada Arsen. “Biar bisa saling merasakan satu sama lainnya kalo kamu sama aku lagi sama-sama jauh,” jawab Arsen. “Biar aku bisa ngerasain kamu ya kalo kamu ada di Bumi atau di Langit?” tanya Aira polos. Arsen mengangguk. Angin di pagi itu begitu menyejukkan. Suara burung-burung berkicauan. Dan, udara pun terasa sangat segar. Jam 6 di salah satu bangunan di kota Jakarta. “Kamu masih harus ya bolak-balik bumi ke langit?” Selesai mengukir tanda di tangan kanan Aira, Arsen menghela napasnya sambil mengarah ke Aira,”Pacar kamu itu Dewa, inget? Dan, aku gak boleh tinggal di Bumi, Aira.” Aira mendesah,”Ribet ih punya pacar Dewa. Rasanya pengen punya pacar manusia aja yang gak perlu LDR.” Arsen mendelik. “LDR tuh yang kerenan dikit, kek. Indonesia — Korea, gitu. Ini mah Bumi dan Langit,” ucap Aira tiada henti, yang hanya dibalas dengan tawa kecil dari Arsen. Arsen berdiri, dan mengulurkan tangannya pada Aira. Matanya memberi isyarat pada Aira untuk segera meraih tangannya. Aira langsung meraih tangan Arsen. Seketika itu juga, Aira sudah berada di sebrang rooftop dari rumahnya. “Wow,” ucap Aira yang masih belum berkedip. Arsen mendekatkan wajahnya ke telinga Aira dan berbisik,”Kalo punya pacar manusia, kamu gak akan bisa kayak gini.” Arsen tertawa puas. Dan, Aira masih diam tak berkutik. 1-0 untuk Arsen. Aira memicingkan matanya, melihat Arsen masih asik tertawa setelah meledeknya. Satu detik kemudian, wajah Aira berubah. Arsen terdiam. “Kalo pacarnya Dewa kayak gini, bisa Aira nikahin gak, ya?” Deg. 1 untuk Arsen, dan 100 point untuk Aira. Arsen kalah telak, dan tak bisa menjawab. R2 *** “Aira, bekelnya jangan lupa di bawa,” ujar Satya yang begitu posesif pada anak perempuan satu-satunya itu. Aira hanya bisa pasrah sambil mengangguk setiap pagi melihat sang Ayah begitu sibuk menyiapkan keperluannya. “Nanti jangan main hujan-hujanan, ah. Kamu nih udah gede tapi malah suka hujan-hujanan. Heran deh,” keluh Satya. Aira menghabiskan sepotong roti dengan selai nanas yang menjadi menu sarapannya pagi ini. “Aira, denger nggak?” Dengan mulut penuh makanan, ia menjawab pertanyaan Aira,”Iya, Pa.” “Kamu tuh kalo lagi makan jangan sambil ngomong.” Aira rasanya ingin menepuk dahinya saat itu juga. Ia senang memiliki Papa yang begitu perhatian padanya. Namun, ia juga bingung saat sang Papa sudah mulai posesif padanya. Satya adalah ayah yang mengurus anak perempuannya seorang diri. Aira adalah harta berharga baginya. Ia akan memastikan untuk siapapun tidak menyakitinya. Bahkan, nyamuk pun tidak boleh menyentuh putri kesayangannya itu. “Aira telat, jalan dulu ya, Pa,” Aira mencium tangan Satya dan berpamitan. “Aira, inget...” Aira mengacungkan jempolnya pada Satya. “Apa?” “Jangan main hujan-hujanan, kan?” “Good, girl.” Aira menutup pintu rumahnya dan bergegas pergi ke kantor. Ia hampir terlambat karena asik pacaran dengan sang Dewa. “Butuh tumpangan sampe kantor?” Suara Arsen tiba-tiba saja datang mengejutkan. Aira tertawa. “Antarkan aku dengan selamat sampe tempat tujuan, ya.” Arsen mengangguk. Dan, dalam hitungan detik Aira sudah berada di rooftop kantornya. Arsen menatap Aira sambil menunjuk bagian tubuh Aira. “Mata, lengkap. Tangan, dua. Kaki, dua. Badan, utuh. Udah aman, aku nganterin kamu dengan utuh.” Aira tertawa. “Ada yang kurang, nih.” “Apa?” Aira mendekatkan wajahnya ke arah Arsen,”Hati aku ketinggalan di kamu.” Arsen tersenyum. Wajahnya memerah. “Dah, aku kerja,” usai membuat wajah sang Dewa terbakar, Aira langsung pergi meninggalkannya begitu saja. “Aira, pulang nanti jangan tunggu aku. Aku ada tugas,” teriak Arsen, yang langsung mendapat balasan acungan jempol dari Aira. Arsen menyentuh wajahnya dengan kedua tangan. “Masa Dewa Air gini, sih,” ia juga menyentuh bagian dada tepat di jantungnya yang berdetak tak karuan. “Inget Sen, lo ini Dewa, masa deg-degan. Malu-maluin dunia perdewaan aja,” keluhnya pada diri sendiri. Tak lama kemudian, Arsen pun menghilang. Kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada. Langit. R3 *** “Pagi, Aira,” ujar salah seorang rekan kantor Aira. “Pagi,” jawab Aira dengan antusias. Aira meletakkan tas gendongnya di bawah meja, dan mengeluarkan makan siangnya. Lalu, membuka laptopnya dan matanya mulai terfokus pada layar 15 inch yang ada di depannya. Saat jari Aira mulai berjalan di atas huruf-huruf keyboard, ia dikejutkan dengan kedatangan Gita yang tiba-tiba langsung meletakkan undangan di hadapannya. Aira menoleh pada Gita yang masih senyum kegirangan. “Apa, nih?” “Ya undanganlah, Ra.” Aira mengambil undangan itu dari atas mejanya. “Lo nikah?” Gita berdecak,”Nggak, sunatan. Ya iyalah gue nikah, Ra.” Aira sontak tersenyum. Ia berdiri dan kemudian memeluk Gita, rekan kantornya yang selama ini menemaninya. “Selamat, ya, Git. I’m happy for you,” ucap Aira. “Makasih. Jangan lupa dateng, yaa.” Aira mengangguk. Ia melepaskan pelukkannya. “Jadi, lo kapan?” pertanyaan yang dilontarkan Gita barusan, tiba-tiba saja membuat senyuman Aira menjadi canggung. Matanya membendung airmata di sana. Saat ini, ia memang tengah merasakan jatuh cinta. Namun, di saat yang sama juga, ia mengakui salahnya. Jatuh cinta dengan ia yang bukan manusia. “Tunggu aja,” jawab Aira lirih. “Oke, gue tunggu ya undangannya,” Gita terlihat begitu antusias. “Gue balik kerja dulu, bye.” Aira melambaikan tangannya pada Gita yang juga menghilang dari pandangannya. Ia kembali duduk. Menatap sebuah undangan berwarna merah maroon di depannya. Matanya menatap kosong layar. Aira membuka akun twitter miliknya, dan mulai mengetikkan sesuatu di sana. Jika mencintai kamu adalah sebuah kesalahan, aku akan terus melakukannya. Gak perduli seberat apa hukumannya. - @AiraP Jika mencintaimu adalah salah, aku rela untuk tidak jadi benar. Jika bersamamu adalah salah, aku rela dihukum. Dan, jika hidup bersamamu itu ada harga yang harus, akan ku bayar dengan hidupku yang pernah kamu selamatkan. Aku ingin kamu. R4 *** Arsen berjalan dengan bucket bunga di tangannya. Menikmati suasana sunyi senyap. Hanya terdengar suara burung berkicau. Dan, beberapa makhluk tak kasat mata yang berlalu-lalang di depannya. Ia berdiri dengan tatapan hampa. Lalu, duduk di sana. Di samping batu nisan bertuliskan Amalia Widjaja. Bunda Arista. Arsen tertunduk. Ia merasa pikirannya saat ini kosong. Meski pun sekeliliingnya berisik. Saat ia mulai merasa terusik, ia menjetikkan jarinya untuk membuat semua makhluk yang ada di sekitarnya pergi. Dan, meninggalkan ia sendiri. Ia merutuk dirinya sendiri. Menyalahkan atas apa yang ia lakukan 21 tahun silam. Suara petir mulai bergemuruh. Hujan mulai turun dari sedang hingga lebat, juga disertai dengan angin kencang. Arsen mengepalkan tangannya. Memendam amarah yang amat hebat. Ia marah, pada dirinya sendiri. Yang menghancurkan separuh hidup perempuan yang saat ini ia cintai. - Langit yang mendung, dan hujan yang begitu deras. Aira sontak langsung teringat Arsen. Sebuah tanda yang sempat digambarkan Arsen itu terasa sedikit sakit. Aira bisa merasakan perasaan yang Arsen rasakan saat ini. “Arsen?” ujarnya lirih, sambil terus memandangi rintik hujan yang masih turun dengan deras dari balik kaca ia duduk saat ini. - Arsen berjalan di bawah rintik hujan. Ia terus membiarkan amarah yang ada di dalam dirinya terus menyala. Hukumannya memang telah usai. Namun, ia memiliki hukuman lain yang jauh lebih sakit untuk dijalani. Saat melihat Aira yang tengah duduk di bangkunya saat ini, Arsen merasakan sakit dan kesedihan yang luar biasa. Ia seperti petaka bagi Aira. Melihat wajah Aira, mengingatkannya pada sosok manusia yang pernah ia temui puluhan tahun lalu. Andai saja kala itu ia bisa mengendalikan emosinya. Pasti tidak akan ada manusia yang jadi korban karenanya. Aira mendelik senang, melihat sosok Arsen yang sedang berdiri di luar jendela kantornya. Aira mengeluarkan senyum terindahnya. Yang hanya mampu dibalas dengan deraian penyesalan dan airmata dari Arsen. “Apa mungkin kita bisa terus bersama? Apa Semesta akan selalu berada di pihak kita?” gumam Arsen. Aira tidak henti-hentinya melambaikan tangannya ke arah Arsen. Ia begitu senang melihat sang kekasih di sana. Meski ia tau, perasaan Arsen sedang tidak baik-baik saja. Namun, Aira berusaha melihatkan senyuman terbaiknya. Di balik senyumnya, Aira juga menyimpan pertanyaan yang sama. “Kamu adalah bagian dari do’a. Yang selalu ku utarakan pada Semesta. Semoga Tuhan menyetujui hubungan kita,” ucap Aira dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca. R5 *** Arsen sedang duduk termenung di sebelah air mancur yang begitu indah. Satu-satunya air mancur yang menghiasi taman. Tempat favourite para penghuni Langit. Matanya bias, bingung, dan linglung. Seakan tak ada tanda kehidupan di sana. Ia bengong, sampai tak sadar dengan kedatangan sang Ayah, Poseidon. Poseidon menggerakkan tangannya untuk membuat cipratan air yang mengarah ke Arsen. Arsen terkejut. Lalu, berdiri dan menundukkan kepalanya saat melihat Poseidon berjalan mendekatinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Poseidon yang duduk di sebelah Arsen. “Tidak ada. Hanya sekadar duduk, Dewa.” Poseidon adalah ayahnya, namun ia tetap menyebutkan dengan sebutan Dewa selama ini. Bukan sebutan ayah yang banyak penghuni Bumi lakukan. Poseidon tertawa,”Berbuat ulah lagi kamu di Bumi?” “Tidak, Dewa,” Arsen menggeleng. “Ayah dengar kamu banyak membuat hujan angin di Bumi.” Arsen kikuk. Poseidon dengan memegang tongkat saktinya, duduk menghadap ke arah Arsen yang lebih banyak terdiam. Menatap anak laki-lakinya yang seringkali berbuat ulah dan membuatnya susah. “Ayah sudah dengar,” Poseidon mengambil napas dan melanjutkan berbicara,”Tentang kamu dan makhluk Bumi itu.” Arsen terperangah. “Aira?” Poseidon tersenyum, kali ini tatap matanya mengarah ke arah taman yang berbunga. Ada satu bunga yang mulai layu di sana. “Kamu lihat itu Arsen?” tanya Poseidon dengan menunjuk bunga yang layu. Arsen menoleh. “Seperti itu manusia. Hidup, tua, dan mati,” sambung Poseidon. “Tapi, kita berbeda.” Poseidon berdiri dan menghampiri bunga-bunga yang sejak tadi ia tatap,”Kita adalah Dewa. Penyeimbang Semesta. Suka atau tidak, kamu harus terima.” Arsen masih diam seribu bahasa. Bahkan mulutnya kelu hanya uuntuk mengeluarkan suatu patah kata. “Biarkan manusia hidup dengan takdirnya, dan Dewa hidup dengan tugasnya,” tutup Poseidon. Saat laki-laki dengan tongkat saktinya itu mulai berbalik badan, Arsen menahannya dengan sebuah pertanyaan. “Bisa ‘kah Arsen jadi manusia? Anggap saja sebuah penyesalan dari sebuah dosa di masa lalu.” Poseidon berbalik dan tersenyum,”If you cross the line, you pay the price,” katanya, lalu berjalan menjauhi Arsen. R6 *** Hari ini, pukul 23.55 WIB. Arsen sudah berada di atas rooftop rumah Aira bersama dengan sepasang lilin dan kue. Arsen melihat Aira dengan baju tidurnya di kegelapan malam. Cantik. “Kamu cantik,” kata Arsen. Aira mendelik,”Cantikkan mana sama Dewi-Dewi yang ada di Langit?” Arsen tertawa. “Kamu,” katanya lagi. “Modusss,” kata Aira sambil duduk di sebelah Arsen, lalu bersandar di pundak laki-laki itu. Arsen menatap langit malam yang dihiasi bintang. Tidak banyak memang, tapi tetap terlihat indah. Mereka saling terdiam, menikmati keheningan malam. Menyambut angin yang menerpa tubuh mereka. Dan, menyapa bintang dalam diam. Tepat pukul 00.00 WIB, Aira dengan cepat menyalakan lilin dan menarik Arsen mendekatinya. “Kita tiup bareng-bareng, ya, Sen,” ujarnya antusias. Arsen mengangguk. “Satu... Dua... Ti...” Wush. Arsen dan Aira meniup lilin bersamaan. “Selamat ulang tahun, Aira,” kata Arsen. “Terimakasih, Dewa kesayangan Aira,” ujar Aira centil. “Mana kadonya?” tanya Aira to the point. Arsen menggeleng. Aira terperangah,”Kamu gak ngasih aku kado? Aku ulang tahun, loh,” ujar Aira kesal. Perempuan dengan rambut diikat itu memanyunkan bibirnya. “Aku,” kata Arsen tiba-tiba. “Kamu?” tanya Aira bingung. “Kenapa?” “Aku akan menghadiahkan diriku untuk kamu.” “Hah? Maksudnya? Kamu mau ngebungkus diri kamu masuk ke kardus dan dipakein pita, gitu?” Arsen meraih tangan Aira. “Aku ingin membahagiakanmu. Hidup bersamamu. Dan, menjagamu.” Aira melepaskan tangannya Arsen dan menghela napas. Pandangannya berpendar menatap langit yang mulai kosong tanpa bintang. “Aku ragu, Sen.” Arsen terdiam. “Aku ragu kita bisa terus bersama.” “Kenapa?” tanya Arsen datar. Aira menoleh ke arah Arsen. “Karena, kita berbeda. Kamu Dewa dan aku... manusia.” Arsen diam. “Kita gak akan bisa bersama. Kita bukan ditakdirkan untuk bersama.” Arsen mendekati Aira, dan memegang pundaknya. “Kalo gitu, kita tulis ulang takdirnya.” Gantian, Aira yang kini terdiam. “Aira Pramesti, akan ku pertaruhkan hidupku untuk bisa bersamamu. Bahkan, kalo ada harga yang harus dibayar, aku akan bayar dengan hidupku. Untuk menjagamu, melindungimu, dan hidup bersamamu,” kata Arsen menenangkan. Aira melepaskan tangan Arsen dari pundaknya, menatap Arsen dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Kamu tau apa yang aku minta pada Semesta? Aku gak meminta dunia dan isinya. Aku cuma minta kesempatan, agar kita bisa bersama,” buliran airmata Aira turun secara perlahan, ia tak dapat lagi membendungnya. “Tapi, perasaan gak akan pernah bisa menang melawan takdir.” Aira berlalu meninggalkan Arsen. Tepat, selangkah sebelum Aira masuk kembali ke dalam rumahnya, Arsen berkata,”Cinta bisa memenangkan segalanya. Dengan restu Semesta.” Klik. Pintu di tutup. Hanya tinggal Arsen sendiri bersama dua lilin yang sudah padam, dan kue cantik yang sama sekali belum disentuh empunya. Angin yang datang malam itu seolah membisikkan kabar buruk yang tak ingin keduanya dengar. Arsen menatap langit dan berkata lirih,”Semesta, izinkan aku untuk bisa bersamanya.” Dan, rintik hujan pun mulai turun perlahan. R7 *** “Happy birthday, Airaaa,” ucap Satya yang membangunkan Aira. “Papa..” “Bangun-bangun,” Satya menggoyangkan tubuh Aira. “Iya,” ucap Aira lirih yang menahan kantuk. “Tiup lilinnya dong,” Satya membawa kue beserta lilin dengan angka 21. “Iya,” Aira meniup lilinnya. “Horayyy,” ucap Satya antusias. “Bangun, terus sarapan bareng. Oke?” Satya mencium dahi anak perempuannya lalu kembali ke ruang makan. “Hm,” dengan setengah sadar dan rasa kantuk yang berat, Aira berusaha mencerna apa yang semalam terjadi antara ia dan Arsen. Dua puluh detik kemudian, Aira baru tersadar akan sesuatu. Ia langsung berlari menuju rooftop rumahnya. Dan, betapa kagetnya Aira tidak mendapati Arsen ada di sana. Napasnya terengal-engal. Aira menemukan secarik kertas di bawah kue ulang tahunnya. Aira, aku pergi sebentar, ya. Jangan cari aku. Aku pergi untuk membawa hadiahmu pulang. Jangan sedih. Kamu tetap bisa merasakan kehadiranku di mana pun aku, karena kita terhubung dengan tanda yang ada di tanganmu. Aku pasti kembali dalam dua minggu atau bahkan bulan, membawa janjiku. With love, kang air. Aira terkejut. Ia panik seketika. “Kemana Arsen pergi?” gumamnya. Ia langsung kembali masuk ke kamar dan mandi untuk mencari sang Dewa yang mendadak drama seperti ini. - “Aira, sarapan udah siap,” panggil Satya. Aira dengan berlari, ia meraih tasnya dan memakai sepatunya. “Aira, kamu gak sarapan dulu?” “Nanti aja,” ujarnya terburu-buru. “Aira mendadak ada urusan.” Satya heran,”Tapi...” Aira mencium pipi Satya dan bersalaman,”Dah, Pa. Aira berangkat.” Brug. Pintu terdengar sedikit dibanting saat Aira keluar. Satya hanya bisa terheran melihat anak perempuannya seperti itu. Aira berlari, menyusuri jalanan. Tapi, ia terdiam sejenak saat melihat jalanan yang basah. Pertanda hujan baru berhenti beberapa saat lalu. Ia menyusuri jalanan, mencari keberadaan Arsen. Aira menuju ke taman tempat biasa Arsen mengajaknya. Nihil. Aira tau, dan Aira bisa merasakan keberadaan Arsen melalui tanda di tangannya. Hanya saja, ia tidak tau Arsen berada di mana. Aira duduk dengan napas terengah. Lelah. dan, lapar. “Kamu di mana, Sen?” gumamnya seraya memegang tanda yang ada di tangannya. “Kamu gak bisa ngelakuin ini di hari ulang tahun aku, Sen.” Rumput yang masih basah karena terguyur hujan menemani kesunyian Aira. Hanya bertemankan angin yang berhembus sejak tadi, Aira terus bergumam. Memanggil nama Arsen, berharap laki-laki itu akan segera muncul. Meski akhirnya, ia menyerah setelah satu jam menunggu. Ia bergegas menuju kantor dengan kebingungan dan tanda tanya. Di hari jadinya yang ke-21 tahun, Aira mendapatkan banyak surprise dari teman-temannya. Ia nampak terlihat bahagia, nyatanya yang ia pikirkan saat itu hanya Arsen yang entah berada di mana. Banyaknya mention yang masuk hanya sekedar mengucap ulang tahun dan do’a baik lainnya pun tak mampu menghiburnya. Aira membuka laptop dengan kue kecil di sampingnya. Ia mulai mengetikkan sesutu pada halaman kosong yang ada di depannya... R8 *** Dear, kamu dan hujan. Aku mencarimu, di tengah dinginnya hujan. Di bawah gelapnya malam. Aku tau, kita bagaikan siang dan malam. Yang tak pernah bisa bersama. Tapi, aku ingin kamu. Mungkin takdir tidak berpihak pada kita, mungkin Semesta akan membenciku atas perasaanku padamu. Namun, sejujurnya aku tak ingin kamu jauh dariku. Aku tak ingin hadiah berupa harta dan semacamnya. Aku juga tidak tertarik dengan keindahan dunia dan isinya. Yang aku mau saat ini, adalah keberpihakan Semesta pada kita. Dan, untuk Semesta. Aku tau, aku bukan manusia sempurna. Yang belum tentu layak mendapat bahagia. Namun, aku ingin meminta. Pertimbangkanlah perjuangan yang selama ini aku lakukan. Yang tak seorang pun tau tentang apa saja yang sudah aku kerjakan. Pertimbangkanlah banyaknya langkah kaki ini berjalan, dan mulut ini yang tak berhenti mengucap agar terdengar olehmu. Aku tau, setiap manusia di dunia, memiliki satu cerita yang selalu ia simpan dan jaga. Satu cerita yang tidak akan ia bagi dengan siapapun selain diri sendiri. Cerita yang sesungguhnya. Tentang perjuangan yang tak pernah usai. Kadang, aku merasa lelah untuk menggapai. Aku ingin istirahat dan tertidur lelap. Selama ini, aku sudah berusaha yang terbaik untuk Semesta. Kini, aku ingin meminta Semesta. Untuk mempertimbangkan segala usaha dan do’a. Seorang anak manusia yang penuh luka. Yang nyaris menyerah untuk menginginkan bahagianya. Aku, Aira. Dia. Dan, Semesta. [Ditulis oleh Aira Pramesti] Telah disukai sebanyak 25K, dan dibagikan sebanyak 70K. R9 *** Aira masih duduk termenung di ruang pantry dengan makanan yang sama sekali belum disentuh. Ia masih memikir di mana keberadaan Arsen. Meski pun hari ini, ia tidak hanya mendapatkan banyak kejutan untuk ulang tahunnya. Tapi, ia juga mendapatkan pujian atas tulisannya yang begitu banyak disukai orang-orang. Ia membuka handphonenya, dan masuk ke dalam akun Twitternya. Lalu, meng-klik kolom untuk menulis. Hujan tak mampu meredam rinduku. - @AiraP “Ra,” Kedatangan Gita sontak membuyarkan lamunan Aira kala itu. ia menoleh ke arah Gita yang langsung menarik bangku untuk duduk di samping Aira. “Ngapain di sini bengong? Lagi ulang tahun tuh harusnya seneng-seneng, Ra. Bukan malah sendirian di sini,” ujar Gita sembari mengambil segelas air putih. Aira hanya terdiam. Pandang matanya mengikuti ke arah dimana Gita duduk. “Kenapa? Mau cerita?” tawar Gita. Aira menggeleng. Dua detik kemudian, ia menduduk. Dan, menangis. Gita yang saat itu terkejut dan tak mengerti apa yang tengah terjadi langsung mengusap punggung Aira pelan. “Gak apa-apa, nangis aja. Siapa tau bisa bikin lega.” Diiringi dengan air hujan yang masih turun membasahi bumi, airmata Aira juga tak kalah derasnya. Beberapa kali ia mengusap dadanya, seakan ada ruang yang begitu sakit di sana. Ingin rasanya ia berbagi tentang perasaan yang sedang ia alami saat ini. Tapi, ia bingung bagaimana memulainya. Terutama soal kisahnya. Jatuh cinta dengan sosok yang beda dunia. Jelas, tidak akan ada tempat berbagi dengan siapapun. Kecuali, jika ia ingin dianggap gila. - Aira berjalan gontai sore itu. Langit masih saja menurunkan rintik sedang gerimisnya. Tidak ada senja. Hanya ada cuaca sendu yang membuatnya semakin rindu. Langkahnya gontai, ia meraba dinding hanya untuk sekedar berjalan. Seolah tengah merasakan kehilangan yang pernah ia rasakan beberapa tahun silam. Kehilangan itu menyesakkan. Terlebih, jika ditinggalkan tanpa alasan. Ada rasa yang tak pernah usai di sana. Saat kamu kehilangan tanpa ada jawaban. Bahkan, waktu pun akan kewalahan untuk menyembuhkan. Saat ia sudah berada beberapa meter dari rumahnya, Aira tiba-tiba terjatuh. Ia lemas. Kakinya gemetar. Matanya terbelalak. Sorot pandangnya berubah 180 derajat. Ia mengarahkan pandangannya ke arah lengan kanannya. Betapa terkejutnya ia saat melihat tanda yang menghubungkan antara ia dan Arsen menghilang. Jantungnya seolah berhenti sepersekian detik. Ia tidak dapat lagi merasakan keberadaan Arsen. Sejauh ini, meski ia tidak dapat tahu di mana Arsen berada, setidaknya ia tetap dapat merasakan keberadaan Arsen. Setidaknya ia tahu, bahwa Arsen ada. Tapi, kali ini berbeda. Ia hampa. Tidak merasakan apa-apa. Aira menyentuh dadanya. Merasakan satu ruang kosong di sana. Ia mengedarkan pandangannya. Mencari sosok yang tengah ia khawatirkan saat ini. Ia juga menyadari, rintik hujan yang sedang itu mulai berhenti. Tepat saat tanda itu menghilang. Aira menghela napas berat. Perasaannya tak enak. Seperti, benar-benar ada yang hilang. Atau, memang benar menghilang. R10 *** Aira masih duduk sambil memandangi langit malam. Pandangannya bias. Tak tentu arah. Bahkan, ia juga mengabaikan panggilan Satya. Dan, melewatkan makan malamnya. Ini hari bahagianya, tapi Semesta malah memberinya luka. Seharusnya, ia dapat menikmati hari bahagianya. Dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Tapi, apalah arti hari bahagia, jika ia harus kehilangan yang juga berharga. Langit malam itu tanpa bintang. Hawa dingin yang dibawa selepas hujan tak mampu mengusir Aira dari rooftop rumahnya. Ia memeluk kedua kakinya. Lalu, menenggelamkan wajahnya di sana. Dalam hening, ia berusaha menutupi luka. Tak lama, hujan deras turun dengan tiba-tiba. Membasahi tubuh Aira yang masih mengenakan pakaian kantornya. Diiringi dengan kilatan petir yang begitu kencang. Aira menatap sang langit dengan tatapan tajamnya. “Arsen,” ucapnya lirih. Aira menyunggingkan senyumnya saat melihat sosok yang berjalan dari kegelapan malam dan mendekatinya. Binar mata sendunya berubah saat itu juga. Tapi, betapa terkejutnya ia saat mendapati bahwa sosok yang ia lihat bukanlah orang yang ia kenal. Aira menautkan kedua alisnya. “Siapa, ya?” tanya Aira pada laki-laki separuh baya yang berjalan dengan tongkatnya. Laki-laki itu berhenti di depan Aira, dan menatap manik mata Aira dalam. Aira bingung. Juga, takut. “Kamu pasti Aira,” kata laki-laki itu. Aira mengangguk. “Arsen banyak cerita,” lanjutnya. “Saya juga banyak mendengar tentang kamu dari penduduk Langit.” Laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Aira yang masih terdiam. “Kamu terkenal di Langit,” ucapnya seraya tersenyum. “Tapi, Anda siapa, ya?” Laki-laki itu menoleh kecut,”Arsen gak pernah cerita tentang Ayahnya yang jadi penguasa lautan?” lalu tertawa. Saat itu juga, Aira mendudukkan wajahnya. “Santai aja, Aira. Saya bukan manusia yang gila hormat.” Aira tersenyum kikuk. “Saya ke sini mau berbicara tentang Arsen,” ucap Poseidon. Mereka duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari mereka berdiri. “Saya khawatir sama Arsen,” Aira mencoba untuk berani berucap. “Saya juga.” Aira terkejut. “Memang, Arsen kemana?” Poseidon menghela napasnya,”Beberapa hari lalu, Arsen pernah bertanya.” “Apa?” “Apa bisa saya menjadi manusia?” ucap Poseidon seraya menirukan gaya Arsen berbicara. Poseidon tertawa ringan,”Dia begitu sangat ingin bersamamu,” ucapnya dengan melayangkan pandangan teduhnya. Aira tersentuh. Matanya mulai berlinang. “Tapi, apa itu mungkin?” Hujan yang datang bersamaan dengan Poseidon mulai berhenti. “Sekali pun kesempatan itu ada, tentu akan membahayakan, Aira,” katanya. Jawaban Poseidon barusan semakin membuat Aira khawatir. “Apa mungkin....” Poseidon mengangguk mantap. “Arsen berusaha untuk melawan takdirnya.” Aira ternganga. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sorot matanya benar-benar panik sekarang. “Apa Arsen akan baik-baik saja?” tanyanya takut. “Semua tindakan yang kita lakukan itu pasti ada konsekuensinya, Aira. Seharusnya, kita sadar akan konsekuensi itu,” ucap Poseidon. “Dengan kata lain, gak ada yang bisa menjamin keselamatan Arsen saat ini. Melawan takdir adalah hal yang berat dan hampir mustahil.” Buliran airmata pun turun dari mata Aira. “Uriel,” Aira tertegun. “Arsen berada di Uriel, tempat di mana Dewa ingin mengubah takdirnya,” jelas Poseidon. “Kami para Dewa tidak bisa memasuki tempat itu kecuali kami ingin merubah takdir kami juga.” “Jadi, Arsen gak bisa dibantu?” Poseidon menggeleng. “Tapi, konon katanya Uriel bisa dimasuki oleh manusia.” Aira menegakkan pandangannya pada Poseidon. “Jika kamu mau membantu Arsen, hanya kamu yang bisa memasuki tempat itu.” Tanpa berpikir panjang, Aira mengangguk mantap. Tanda setuju. R11 *** Pagi menyongsong dengan cuaca yang begitu cerah. Embun-embun basah yang juga kedinginan semalaman penuh. Jalanan yang belum begitu kering akibat hujan semalam. Satya sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk si anak. Ia mengetuk pintu kamar Aira pelan. Mencoba membangunkan putrinya. “Aira, bangun. Udah pagi,” teriak Satya. Berkali-kali ia mengetuk, ia tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Satya mulai gelisah. Pasalnya, sejak kemarin, Aira bertingkah sangat aneh menurutnya. Membuatnya khawatir akan anak satu-satunya yang ia punya. Satya mulai mengetuk dengan kasar. Dan, memanggil-manggil nama Aira. Tapi, masih tak ada jawaban. Hingga akhirnya, Satya mendobrak pintu kamar Aira. Betapa terkejutnya Satya saat mendapati ruang kamar putrinya yang kosong. Hanya ada secarik kertas di atas meja di samping tempat tidur Aira. Satya membaca surat kecil itu. Pa, Aira pergi dulu sebentar. Gak usah khawatir. Aira pasti pulang. Ada yang harus Aira cari. Tunggu ya, Pa. Kedua lutut Satya lemas saat itu juga. “Aira, kamu kemana,” Satya berkata dalam lirih yang bercampur aduk dengan kekhawatiran. Kekhawatiran seorang Ayah terhadap putri satu-satunya. Aira lebih dari seorang putri bagi Satya. Ia merupakan harta yang paling berharga melebihi apapun di dunia ini termasuk diri Satya sendiri. Aira adalah matahari yang selalu menyinari hidup Satya yang pilu. Setelah kepergian sang istri, Aira menjadi satu-satunya alasan Satya untuk terus melanjutkan hidup. Menjaga Aira agar terus bahagia merupakan misinya. Melakukan segala cara untuk membuat putri semata wayangnya bahagia. Tapi, hari ini, hati Satya hancur berkeping-keping. Mengetahui kepergian putrinya yang entah kemana. Khawatir, jelas. Takut pun, juga. “Cepat pulang, Aira...” perlahan, tubuh laki-laki paruh baya itu pun melepas dan jatuh pingsan. R12 *** Uriel. Sebuah kota di dimensi lain yang menghubungkan dua dunia. Dunia Bumi, dan dunia penduduk Langit. Di sinilah Aira harus memulai segalanya. “Kamu harus berani, karena dengan keberanianmu-lah yang akan menuntunmu bertemu Arsen,” ucap Poseidon. Aira mengangguk. Ia nampak terlihat gugup. “Saya akan berikan kamu ini,” Poseidon memasangkan sebuah gelang ke lengan Aira. “Setidaknya ini mampu melindungimu saat kamu dalam bahaya, dan bisa kamu gunakan untuk kembali ke Bumi saat kamu tak sanggup untuk melanjutkan perjalanan ini.” Aira menatap ke arah mata Poseidon. Sang Dewa Air itu juga menatap balik Aira. “Sampaikan salam saya ke Arsen jika kamu berhasil bertemu dengannya,” ucap Poseidon dengan airmata di pelupuk matanya. Aira mengangguk mantap,”Saya akan menemukan Arsen,” ucap Aira seraya berpamitan dengan Poseidon. Anak perempuan itu melangkah dengan mantap. Dengan membawa keyakinan dan harapannya. Meski degub jantungnya semakin tak karuan, ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke arah Poseidon yang masih melihatnya dalam kejauhan. Aira mengembangkan senyum dan melambaikan tangannya, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam gerbang Uriel. Dalam sekejap, bayangan Aira menghilang ditelan kabut tebal. - “Selamat Datang di Uriel.” Tulisan besar di gerbang menyambut kedatangan Aira. Suasana nan indah dan sejuk sangat memanjakan mata Aira saat ini. Sepanjang jalan setapak, dipenuhi oleh banyaknya bunga warna-warni, dan keindahan berbagai macam kupu-kupu dengan berbagai warna. Matahari bersinar sangat terik, namun tidak memberikan hawa panas. Sepanjang jalan, berhembus angin yang sejak tadi memeluk tubuh perempuan mungil itu. Misi pertamanya adalah menemukan Pohon Peri. Satu petunjuk yang ia temukan akan menghantarkannya pada petunjuk lain yang saling berhubungan. Aira berjalan mantap, menyusuri tiap jalan setapak yang ia lewati. Dengan memegang teguh harapan dan keyakinan bahwa ia akan menemukan Arsen. Saat ia tengah berjalan santai, tiba-tiba salah satu akar pohon di sekitarnya menariknya. Ia terjatuh dan terseret ke belakang. Ia terikat oleh salah satu pohon yang menjeratnya. Aira memberontak. Namun, semakin ia memberontak, pohon itu semakin mengeratnya. “Siapa kamu?” tanya si Pohon. “A-aira,” jawabnya terbata, dadanya mulai terasa sesak karena jeratan yang semakin kuat. “Ada perlu apa datang kemari?” Aira semakin sulit bernapas,”Men-mencari Pohon Peri.” Eratan si Pohon semakin menguat setelah mendengar jawaban Aira. “Untuk apa?” “A-“ Aira kesulitan untuk berbicara,”A... Aku harus menemukan seseorang.” Sang Pohon diam. “Anak Poseidon,” lanjut Aira. Mendengar nama Poseidon, pohon itu langsung mengendurkan eratannya. Akhirnya, Aira dapat bernapas kembali. Meski harus sedikit terasa sesak akibat eratan tadi. “Arsen?” tanya si Pohon. Aira mengangguk,”Kamu kenal?” “Siapa yang tidak mengenal anak Dewa yang dibuang ke Bumi itu. Ceritanya menyebar di seluruh lapisan Langit.” “Aku mencarinya.” Si pohon terdiam sebentar,”Dia lewat sini beberapa hari yang lalu. Tapi, aku enggan bertanya kemana perginya.” “Pohon Peri,” tegas Aira. “Dia pasti ke Pohon Peri.” “Hanya orang-orang dengan alasan tertentu yang ingin menemui Pohon Peri. Dan, aku rasa, Arsen tidak memiliki kepentingan itu.” Aira duduk di tanah, sembari memandangi pohon yang memandangnya balik dengan seribu pertanyaan,”Beritahu aku di mana Pohon Peri. Aku harus mencari Arsen.” Pohon itu berpikir,”Baik. Ikuti jalan setapak yang banya kupu-kupu. Jalan itu yang akan membawamu pada Pohon Peri.” Aira berdiri dengan perasaan senangnya. “Jangan senang dulu. Apapun alasanmu menemukan Pohon Peri, ada harga yang harus dibayar nantinya,” ujar si Pohon sebelum akhirnya kembali menjadi Pohon seutuhnya. Aira mengangguk. Ia mulai mengikuti jalan setapak yang banyak dilalui kupu-kupu terbang. Dan, bayangnya mulai hilang ditelan kabut pagi itu. R13 *** Aira tiba di sebuah tempat yang berisikan banyak pohon. Bukan pohon sembarangan, melainkan pohon di mana banyak Peri tinggal di dalamnya. Perempuan itu mulai kebingungan, harus bagaimana ia memulainya. Mengetuk satu per satu pohonnya, ‘kah? “Siapa kamu?” suara seorang perempuan datang mengejutkan. Aira berbalik ke arah sumber suara, lalu menunduk. “Saya Aira.” Perempuan dengan sayap yang mengepak dan berpakaian serba putih itu sontak membuat Aira diam terpaku di tempatnya. “Ada perlu apa?” tanya sang Peri tegas. “Saya ingin mencari seseorang. Arsen namanya.” Sang Peri terhenyak kaget. “Arsen?” Aira mengangguk. “Saya perlu untuk tahu kemana dia pergi.” Perempuan bersayap itu berdiri tepat di hadapan Aira,”Ia pergi melawan takdirnya.” “Untuk menjadi manusia,” ucap Aira. Sang Peri mengangguk. “Beberapa hari lalu dia memang menemuiku. Lalu, ia mengutarakan keinginannya. Dan, aku tidak tahu lagi kelanjutannya. Aku bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak.” Aira menelan ludahnya. “Berusaha melawan takdir adalah hal yang tidak memungkinkan bagi siapapun. Meski dia anak Dewa.” Aira tertunduk. “Tapi, ia melakukan itu demi cinta.” Seketika, kepala Aira terangkat. Memandangi sang Peri yang juga menatapnya dengan mata berkaca. “Aku penasaran, perempuan seperti apa yang ia kejar hingga ia rela mempertaruhkan nyawanya.” Perempuan itu perlahan mendekati Aira,”Ternyata, seorang perempuan yang juga rela mempertaruhkan nyawanya di dunia yang tidak ia kenal sebelumnya.” Airmata Aira menetes. “Perjalananmu berat, ini bukan duniamu. Kamu harus yakin dengan segala resiko yang bisa kamu hadapi.” Aira mengangguk. “Aku tidak bisa membantumu apa-apa, tapi aku ingin memberikan bekal untukmu. Yang mungkin akan berguna saat perjalananmu nanti.” Peri menyerahkan dua butir mutiara ke tangan Aira,”Simpan ini baik-baik.” Aira hanya diam memandangi mutiara itu dengan penuh kebingungan. “Setelah ini, kamu harus ke Laut Mati.” “Laut Mati?” “Ya.” Aira menarik napasnya, bulu kudunya merinding. Mendengar namanya saja sudah membuat kakinya bergetar. “Akan ada sesuatu yang mengerikan ‘kah di sana?” Peri tersenyum,”Sudah pasti.” Aira bergidik ngeri, takut mendengar jawaban dari sang Peri. “Melawan takdir saja sudah salah. Dan, usaha yang harus dilewati pun tidaklah mudah.” “Ada apa di sana?” Peri mengangkat kedua bahunya,”Tidak tahu pasti. Tapi, yang ku dengar, di sana mematikan.” Aira memejamkan matanya sejenak, mencari sisa keberanian yang ada dalam tubuhnya. “Dengar, kamu masih bisa untuk kembali tanpa harus menyelesaikan perjalanan ini.” Aira menggeleng,”Aku harus mencari Arsen.” “Akan ada harga yang dibayar untuk setiap perjalananmu. Meskipun itu nyawamu sebagai taruhannya.” “Aku tidak perduli.” Peri tersenyum,”Oke. Kupu-kupu ini akan menuntunmu menuju Laut Mati. Di sana, kamu harus menemukan Ariel untuk menuntunmu pada petunjuk yang lain.” Sang Peri memberi aba-aba pada kupu-kupunya untuk bersiap membawa Aira menuju Laut Mati. “Good luck! Semoga kamu bisa bernegosiasi dengan Ariel,’ bisik sang Peri. Aira mulai berjalan mengikuti kupu-kupu yang terbang di depannya. Dengan jantung yang berdegub teramat kencang tentunya. “Sampaikan salamku jika kamu berhasil bertemu Arsen.” Aira menoleh dan mengangguk. Ia kembali berjalan mengikuti kupu-kupu itu. Menyusuri jalan setapak yang mulai berubah suasana dari sejuk dan peuh bunga, menjadi jalanan yang gersang dan seolah ‘mati’. R14 *** Jalanan gersang yang pecah-pecah menyambut kedatangan Aira. Tak lama setelah ia tiba di kawasan Laut Mati, kupu-kupu yang tadi bersamanya pun pergi. Kini, tinggal ia sendiri yang harus mencari di mana tepatnya keberadaan Laut Mati itu berada. Kakinya bergetar, jantungnya berdetak tak karuan. Keberaniannya menciut. Perempuan itu menyusuri jalanan yang ada di hadapannya. Dengan terus meyakinkan dirinya bahwa ia dapat menemui Arsen. Tak jauh dari tempatnya berada, terhampar sebuah lautan berwarna hitam. Anehnya, laut itu diam. Tidak menampilkan adanya tanda-tanda ombak atau pun riak. Aira mendekati laut itu dari jarak dekat. “Laut Mati,” gumamnya. Laut yang berwarna hitam itu benar-benar tenang. Aira dengan ragu menyentuh air itu. Keras. Air di Laut itu keras. Layaknya lantai yang bisa disentuh. “Apa ini bukan benar-benar laut? Apa ini hanya sebutan? Atau, ini pernah menjadi laut namun sekarang tidak lagi?” Aira tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya. Dengan memberanikan diri, ia melangkahkan kakinya di laut itu. Aira terkejut, ia bahkan bisa berdiri di atas tempat yang bahkan disebut lautan. Di ujung penglihatannya, Aira melihat sebuah daratan yang lain di sana. Dengan mantap, ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Pandangannya berpendar, melihat sekeliling. Hanya hamparan laut yang berwarna hitam ini yang dapat ia lihat. Kakinya sudah melangkah setengah perjalanan, ia pun mempercepat langkahnya. “Mudahnya,” gumam Aira senang. Seketika setelah ia mengucap kata itu, keadaan laut berubah. Air yang tadinya keras mendadak berubah menjadi air yang menenggelamkan tubuhnya seketika. Aira tenggelam dan tubuhnya tertarik menuju dasar laut. Pandangannya gelap, ia tidak dapat melihat sekelilingnya. Ia berusaha memberontak, namun hasilnya sia-sia. Ia semakin tersedot ke dalam laut. Ia bahkan sudah tidak dapat lagi bernapas. Tubuhnya yang sejak tadi memberontak, kini terlihat lemas tak berdaya. Aira membiarkan tubuhnya semakin tenggelam ke dalam dasar laut yang. Detak dalam jantungnya pun mulai tidak lagi terdengar. Tubuhnya bak semesta sunyi yang tak terdengar bunyi apa-apa. Saat itu juga, datang seekor manusia berekor ikan yang menarik tubuh Aira. Dengan kecepatan yang luar biasa, manusia itu menyelamatkan tubuh Aira menuju permukaan. Detak jantung Aira masih tak terdengar. Manusia itu menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan air yang memenuhi tubuh Aira. Beberapa detik kemudian, Aira pun terbatuk. Ia memuntahkan air yang ada di dalam tubuhnya. Lalu, matanya terperanjak melihat sosok yang ada di dekatnya sekarang. “Ariel?” Seorang manusia dengan setengah ikan. Atau, bisa disebut duyung atau mermaid. “Dari mana kamu tau namaku?” jawab Ariel dengan memainkan ekornya ke Laut Mati. “Dan, apa yang kamu lakukan di sini? Tidak ‘kah kamu tau bahwa Laut Mati itu berbahaya?” Aira masih mengatur napasnya. “Aku mencari Arsen.” Ariel menoleh kaget. “Arsen?” Aira mengangguk. “Kamu melihatnya?” “Hmmm,” Ariel bergumam seraya berpikir. “Ya, aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.” “Dia kemana?” Aira memegang tangan Ariel dengan kencang, seakan tidak sabaran untuk segera mendengar jawaban dari Ariel. “Aw,” ucap Ariel yang merasakan cengkraman kencang Aira. “Maaf,” Aira melepaskan tangannya dari lengan Ariel. “Apa hadiah untukku jika ku beritahu?” Aira terhenyak. “Aku sudah menyelamatkan nyawamu. Dan, kamu meminta petunjuk tentang Arsen dari aku. Lalu, apa yang akan aku dapatkan?” Aira diam. Lalu, dengan beratnya menjawab,”Aku tidak punya apa-apa.” Ariel tersenyum sinis. “Lalu, kamu tidak bisa mendapatkan apapun dariku.” Ariel bersiap untuk kembali ke dalam Laut Mati. “Tapi, aku punya ini,” Aira memperlihatkan mutiara yang ia dapatkan tadi. Mata Ariel seolah terpana. Mutiara yang dipegang Aira bersinar begitu terang. Membuatnya terdiam. Ariel berusaha untuk meraih mutiara itu dari tangan Aira. “Eits, kasih tau dulu di mana Arsen?” Ariel menggeram. “Oke, oke.” Aira tersenyum menang. “Kamu cukup ikuti jalan ini, di ujung kamu akan menemukan sebuah taman.” “Taman lagi? Are you gotta be kidding to me?” “Ini bukan taman biasa.” Aira menyimak ucapan Ariel dengan amat serius. “Bunga bicara.” “Aku sudah bertemu dengan pohon peri, pohon yang bisa mengikatku dengan akarnya, laut yang hidup tiba-tiba, sekarang...” Aira menatap Ariel dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aneh?” tanya Ariel. Aira menggeleng tak percaya,”Ini semua terlalu mengejutkan untukku. Keberadaan kalian semua.” Ariel menggoyangkan ekornya di dalam air, menciptakan riak kecil di sana. “Bunga bicara ini bukan seperti aku atau peri yang sudah kamu temui.” “Kenapa? Apa dia akan memakanku?” Ariel tertawa kecil,”Mereka lebih dari sekedar bunga biasa.” “Ya, apa? Aku tahu mereka bukan bunga biasa, karena mereka bisa bicara, iya? Lalu?” Ariel menajamkan pandangannya pada Aira,”Mereka adalah sekumpulan bunga yang pandai memanipulasi orang atau pun keadaan.” Aira berdecih,”Like what?” Ariel mengulurkan tangannya, seolah meminta imbalan atas informasi yang sudah ia terima. “Lihat saja nanti.” Aira dengan berat hati memberikan satu butir mutiara yang ia dapatkan dari Pohon Peri. “Good luck, young lady,” tutup Ariel dengan senyuman meremehkannya. Aira mulai lelah, ia letih. Perjalanan ini dirasa tidak pernah usai. Bukan hanya itu, ia juga lelah untuk mengira-ngira apa yang akan ia temui nanti. Ia butuh istirahat. Tapi, harapan dan keinginannya bertemu Arsen membawanya terus berjalan. Melawan keinginan kakinya yang ingin terus berhenti. R15 *** Aira tertatih, kakinya sedikit nyeri. Belum lagi bajunya yang basah akibat ulah si Laut Mati. Ia terduduk, memandangi langit di atasnya. Memesona. Kilauan warnna emas bercampur jingga. Sayang, yang terlihat di atas, berbanding terbalik dengan apa yang ia temukan di bawah. Mungkin ini artinya jangan melihat sesuatu hanya dari satu sisinya saja. Yang terlihat indah, belum tentu seperti kelihatannya. Bisa jadi, itu hanya sebuah pemanis dari kelamnya keadaan yang ada. Aira menyentuh tanda yang ada di lengannya. Ia masih tidak merasakan kehadiran Arsen di sana. Dalam letihnya, ia selalu berharap, ia akan kembali merasakan kehadiran Arsen. Sesungguhnya, ia merindukan sosok laki-laki itu. Ia berharap. Dan, selalu berharap. Setelah sekitar lima belas menit ia beristirahat, Aira kembali melanjutkan perjalanannya. Ia menyusuri jalanan yang mulai dipenuhi oleh bunga. Hingga akhirnya, ia sampai pada sebuah taman yang berisikan bunga cantik nan indah. Samar-samar, ia mendengar bisikkan. Ia menoleh ke sekitar, mencari sumber suara yang tengah ia dengar. Ternyata, segerombolan bunga sedang berbisik cantik di sana. Suaranya semakin kencang, saat Aira mulai mendatangi bunga-bunga itu. “Hai,” sapa Aira. Bunga-bunga itu hanya tertawa. “Aku mencari seseorang laki-laki. Anak seorang Dewa. Mungkin kalian pernah melihatnya?” Tanpa banyak bicara, para bunga itu menunjukkan arah jalan. Aira terkejut, semudah ini kah caranya melewati rintangan kali ini? Ia bisa menghembuskan napas lega. Pasalnya, ia tidak perlu bertemu dengan hal-hal yang bisa mengancam nyawanya. “Terimakasih,” ujar Aira senang. Bunga-bunga itu hanya membalas ucapan Aira dengan tertawa. Lalu, Aira melanjutkan perjalanannya. Ia terus melangkahkan kakinya, berdampingan dengan rasa lelah yang terus mengikuti. Tapi, selalu ditangkal oleh rindu yang kian menggebu. “Sebentar lagi, Aira,” gumamnya sendiri. Sesampainya Aira di jalanan yang ditunjuk oleh bunga-bunga itu, Aira diam. Hampa. Jalanan itu seakan hampa. Ia tidak dapat melihat apapun disekelilingnya. Bahkan, ia tidak bisa menemukan jalan awal yang ia masuk. Aira tersesat. Di dalam pikirannya sendiri. Sampai ada suatu cahaya yang datan mengejutkannya. Aira menaikkan tangannya untuk menutupi sebagian wajahnya agar tidak silau. Dari balik cahaya itu, muncullah satu sosok yang berjalan mendekati Aira. Mata Aira terbelalak, perempuan itu bahkan diam terpaku dengan mulut menganga. “Aira?” Suara berat yang sangat ia rindukan itu kembali menyapanya. Meruntuhkan segala pertahanannya. Airmatanya mengalir. Tanpa perlu menunggu lama, ia berlari dan menghampiri laki-laki itu. “Arsen...” ucap Aira dengan nada bergetar dan airmata yang tak dapat dibendung lagi. “Aku kangen.” Arsen hanya tersenyum. “Kamu gak kangen aku, ya?” Aira mulai merajuk. Lagi, Arsen hanya tersenyum. “Kamu kenapa diem aja?” Arsen benar-benar tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu, lelaki itu menggandeng tangan mungil Aira, dan mulai berjalan tanpa arah. “Kita mau ke mana?” “Tempat barumu,” Akhirnya Arsen pun bersuara kembali. Namun, ada yang aneh dari Arsen yang muncul tiba-tiba ini. Nada suara bicaranya, tidak seperti ia biasanya. Aira bahkan hampir tidak mengenali sosok Arsen saat ini. Pandangan matanya, sangat amat berbeda dari Arsen yang biasa memandangnya dengan tatapan hangat. Saat ini, hanya pandangan dingin yang menusuk yang Aira dapati. Aira memundurkan tubuhnya sedikit. Dengan perlahan, ia melepaskan tangannya dari genggaman Arsen. Ia memandangi laki-laki itu lamat-lamat. Arsen menoleh sambil tersenyum. “Ada apa, Aira?” tanya Arsen. Lalu, Aira menyentuh tanda yang ada di tangannya. Ia masih tidak dapat merasakan kehadiran Arsen. Aneh, sangat aneh. Arsen berdiri di hadapannya sekarang. Namun, ia masih tidak dapat merasakan kehadirannya. Arsen sedang menatapnya sekarang. Namun, ia terasa asing dengan tatapan yang Arsen berikan. Membuat Aira seolah sedang bersama orang lain. Semua terasa membingungkan, dan menakutkan di waktu yang bersamaan. “Apa kamu Arsen yang aku cari? Atau, ini hanya sebuah ilusi dari pikiranku sendiri?” Brak. Aira terjatuh dan pingsan. R16 *** “Aira... Aira...” Samar-samar Aira mendengar suara yang terus memanggilnya. Perlahan, ia membuka matanya. Kepalanya terasa berat dan pusing. Tubuhnya seakan kehabisan tenaga. Dan, anehnya, ia sekarang berada di tempat yang tidak asing baginya. Aira terbangun di Danau tempat ia biasa menunggu Arsen. Di Bumi. “Bumi?”pekik Aira saat ia menyadari tempatnya berada sekarang. “Aira,” Arsen menyentuh bahu Aira. “Kamu gak apa-apa?” Aira mendelik. “Arsen?” “Iya, ini aku,” ujar Arsen dengan menyentuh wajah Aira. Lagi, Aira menarik napasnya dalam-dalam. Dadanya seakan sesak. Seperti ditimpa beban yang beratnya berton-ton. Sebelum Aira berlarut terlalu dalam, Aira kembali melihat tanda miliknya. Masih sama, ia belum bisa merasakan kehadiran Arsen di sana. “Hey, kamu kenapa?” tanya Arsen. Aira menoleh pelan. Ia bergidik ngeri. “Ng–nggak apa-apa.” Laki-laki itu tersenyum di hadapan Aira. Namun, jantung Aira semakin berdegub kencang tidak karuan. “Ini di mana?” tanya Aira asal, untuk mengalihkan segala ketakutan yang ia rasakan. “Bumi, sayang.” Aira bergidik ngeri seketika, mendengar kata sayang yang baru saja ia dengar. Asing. Dan, aneh. “Ke-kenapa bisa ada di bumi?” “Ini ‘kan tempat kami, Aira. Masa kamu harus nanya kenapa bisa ada di Bumi?” Arsen mengelus ujung kepala Aira pelan. Bukan membuat Aira tenang, justru membuat Aira semakin ketakutan. “Nggak, harusnya aku ada di Uriel. Bukan di sini,” ujar Aira panik. “Kamu ngomong apa sih, sayang?” Saat Arsen akan menyentuh bahu Aira, perempuan itu sontak menolak dengan kasar. “Jangan sentuh aku!” teriak Aira seraya terus menjauh dari Arsen saat ini. “Kamu bukan Arsen. Aku gak kenal siapa kamu. Yang pasti, kamu bukan Arsen yang aku cari.” “Aira,” laki-laki berwajah Arsen itu terus berjalan mendekati Aira yang berusaha menjauh. “Nggak! Kamu bukan Arsen!” “Aku Arsen,” ujarnya meyakinkan. “Di mana Arsen? Kamu siapa? Kenapa muka kamu mirip Arsen?” pekik Aira tanpa henti. Nadanya terdengar bergetar. Airmatanya mulai berjatuhan perlahan. “Ini aku, Aira.” “BUKAN!” Aira teriak dengan setengah putus asa. “Kamu lihat ini?” Aira menunjukkan tanda yang ada di tangannya. “Ini adalah tanda yang kamu buat untukku. Agar aku bisa selalu merasakan kehadiranmu di manapun kamu berada,” lanjut Aira. “Lalu?” “Dan, aku gak merasakan kehadiran kamu saat ini. Aku gak merasakan itu sekarang!” airmata Aira terjatuh. Ia menangis sejadinya. “Kamu siapa? Arsen kemana?” Perempuan itu terus menangis tanpa henti. Ia menangis sampai sesegukkan. Ia menangis seolah putus harapan. “Aku mau ketemu Arsen,” ucap Aira. “Bawa aku ke Arsen.” Laki-laki bernama Arsen itu hanya berdiri, memandangi Aira yang masih menangis terisak. Meluapkan segala emosinya. Tempat yang ia berada saat ini pun langsung berubah seketika. Semua benda bergerak mengitari Aira. Dari pelan, lalu semakin cepat. Sampai keadaan menjadi sangat gelap. Dan, berubah menjadi ruangan kecil yang berhias banyak lingkaran berputar. Aira memandangi sekitar. Ia ketakutan. Laki-laki yang menyerupai Arsen tadi pun menghilang, tepat saat tempat ini berubah. Aira semakin merasa sesak. Kepalanya terasa semakin berat. Hingga akhirnya ia pun terjatuh, lagi. R17 *** “Aira...” Lagi, lagi, Aira dibangunkan oleh suara berat milik Arsen. Aira membuka matanya pelan-pelan. Ia masih terbaring di atas tanah. Pandangan Aira berpendar, tapi ia tak menemukan siapapun di sana. “Aira...” Suara itu kembali menggema. Aira bangun dan duduk. Kali ini, tempat ia berada berubah jadi tempat ia pertama tiba. Sebuah ruangan yang hampa. Semua gelap. Hanya terdengar suara yang terus menggema. Degub jantungnya menyeruak. Ia bahkan tidak tahu lagi bagaimana ia harus mengakhiri semua ini. Atau ‘kah, ia akan terjebak selamanya di sini? “Aira...” Panggilan ketiga, dan tanda yang ada di tangan Aira pun menyala. Aira dapat kembali merasakan kehadiran Arsen. Aira bangkit. Dan, mencari Arsen di tengah kegelapan. Ia berlari dari satu sudut ke sudut lainnya. “Arsen?” panggil Aira. “Aira...” suara itu terus menggema, memanggil namanya. “Arsen kamu di mana?” Aira berputar, melihat sekitar. Berharap suara itu dapat menuntunnya pada si sumber suara. “Aira...” Suara itu semakin kuat. Aira pelan-pelan mengikuti dari mana suara itu berasal. Ia menembus kegelapan untuk mencari si pemilik suara. “Arsen,” panggilnya denga nada bergetar. Airmata sudah memenuhi pelupuk matanya. “Arsen...” “Aira...” Suara mereka saling bersautan. Kaki Aira rasanya sudah tak sanggup lagi berjalan. Ia benar-benar lelah. ia ingin berhenti. “Arsen...” pandangan Aira terpaku pada sosok laki-laki yang berada di dalam jeruji. Laki-laki lemah tak berdaya yang ia yakini itu adalah Arsennya. “Arsen,” Aira berlari menghampiri Arsen yang masih berada di dalam jeruji. Bukan jeruji sembarangan, tapi sebuah jeruji yang dibuat oleh para bunga bicara. “Aira...” Dalam ketidakberdayaannya, Arsen terus memanggil nama Aira. Namun, laki-laki itu tidak menyadari kehadiran Aira. Pandangan Arsen kosong. Suasana yang gelap berubah jadi taman tempat para bunga bicara berada. Aira menatap segerombolan bunga yang sejak tadi terus berbisik ke arahnya. “Arsen kenapa? Kenapa dia begini?” tanya Aira pada para bunga. “Dia terjebak di dalam ilusi pikirannya sendiri.” Aira mengerutkan kedua alisnya,”Maksudnya?” “Sama sepertimu, ia juga mengalami apa yang kamu alami tadi. Saat pertama kali kamu melihat Arsen,” jawab bunga yang lain. “Lalu? Bagaimana aku harus menolongnya?” “Kamu harus berusaha untuk menyadarkan dia. Bahwa kamu adalah nyata.” Aira menoleh pada Arsen, ia berjalan perlahan mendekati Arsen. Aira menyentuh wajah laki-laki yang sangat ia rindukan itu. Seraya terus membiarkan airmatanya mengalir memenuhi pipinya. “Arsen,” panggil Aira. “Ini aku Arsen.” “Aira...” “Iya, ini aku, Arsen.” Arsen hanya memandangnya dengan tatapan hampa. “Arsen sadar. Apa yang kamu lihat sekarang adalah nyata, Arsen.” Arsen masih bergeming. Aira kehabisan akal untuk membangunkan Arsen dari ilusinya. “Arsen...” Aira menangis, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku di sini buat jemput kamu. Ayo pulang. Aku kangen.” Tiba-tiba, rintikan air hujan itu turun. Sebuah fenomena aneh yang terjadi di Uriel. Di sini, bahkan matahari pun tidak bisa memancarkan sinarnya seenaknya. Uriel merupakan sebuah Kota, di mana sang ‘penguasa’ atau pemilik tempatnyalah yang mengatur terang dan gelapnya. Para Bunga Bicara itu sedikit terheran. Menyaksikan hujan itu turun semakin deras. Tidak hanya hujan, tapi juga ada kilatan. Aira menatap wajah Arsen. Kedua tangannya menyentuh wajah laki-laki yang masih belum sadar dengan ilusinya. Perlahan, Aira mendekatkan wajahnya. Hingga bagian lembut bibirnya menyentuh bibir Arsen. Seketika, saat itu juga, langit bergemuruh. Fenomena aneh terjadi lagi. Bukan, bukan lagi hujan dan kilatan. Langit seolah berputar cepat mengitarinya. Awan bergerak tak karuan. Warna langit berubah dari warna biru menjadi mendung dan begitu seterusnya. Aira panik. Ia takut. Ia terus menggenggam tangan Arsen sambil terus mengamati apa yang sedang terjadi dengan sekelilingnya. Tak lama kemudian, Arsen memudar. Tangan yang Aira genggam sejak tadi perlahan menghilang. Aira panik luar biasa. Ia meraih tangan Arsen yang lain yang perlahan juga ikut memudar. “Arsen!” teriak Aira. Perlahan, tubuh Arsen yang tak berdaya itu memudar. Seperti ditelan waktu. Hingga akhirnya tubuh Arsen benar-benar menghilang. Lagi, Aira kehilangan Arsen untuk yang kesekian kalinya. Aira menangis terisak sebelum akhirnya ia terjatuh pingsan akibat kelelahan. R18 *** “Aira...” Aira masih tak sadarkan diri, anak perempuan itu masih belum menunjukkan ia akan segera sadar. “Aira..” Tangan Aira didekap oleh seorang laki-laki yang begitu mengkhawatirkannya. “Aira...” Pada panggilan ketiga, akhirnya Aira membuka perlahan matanya. Aira melihat dengan samar dinding kamarnya yang berwarna cerah. Ia juga dapat melihat banyak frame foto yang terpajang di kamarnya. Aira masih menganggap ini ilusi, sebelum akhirnya ia menyadari genggaman tangan sang Ayah adalah nyata. “Papa?!” pekiknya kaget. Aira mengedarkan pandangannya. Ia tercengang mendapati dirinya berada di kamarnya. “Aira, di mana? Kenapa Aira bisa ada di sini?” Satya menarik napasnya berat, ia menjelaskan pelan-pelan pada putri semata wayangnya yang masih dilanda shock. “Kamu ditemukan pingsan di taman deket komplek. Yang menemukan kamu tetangga kita, makanya kamu langsung di bawa pulang,” jelas Satya. “Taman?” Satya mengangguk. “Kamu ngapain bisa sampe pingsan di taman?” Aira memegangi kepalanya yang sedikit pusing. “Aira kenapa bisa ada di sana?” tanya Aira bingung. Satya hanya bisa mengerutkan kedua alisnya mendengar pertanyaan sang anak. “Yaudah, Papa siapin makan dulu, ya. Kamu siap-siap,” Satya mencium pucuk kepala putrinya. Tapi, Aira tak menjawab apa-apa. ia hanya terdiam. Sembari mengingat apa yang telah terjadi padanya. Apa ‘kah misinya gagal? Aira menarik napasnya berat. Matanya terbelalak saat mendapati tanda yang ada di tangannya pun memudar. “Loh, kok?!” Aira benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi padanya. Ia bingung. Dan, membutuhkan jawaban. Tapi, tak ada satu pun orang yang bisa memberikannya jawaban. - Setelah menyantap makanan yang disediakan Satya, Aira pamit untuk berjalan-jalan. Awalnya, Satya melarang. Namun, dengan bujuk rayu Aira, akhirnya Satya mengizinkan. Aira berjalan menyusuri langit yang kala itu mendung. Ia berjalan ke taman di mana ia ditemukan pingsan. Taman yang juga menjadi tempat favoritenya bersama Arsen. Pandangan Aira memudar, dibayangi air mata yang bergerumul di matanya. Aira mengusap airmata itu sebelum jatuh ke pipinya. Aira duduk di rumput yang hijau. Sambil terus memandangi indahnya air mancur yang ada di hadapannya. Bibirnya menarik senyuman kecut. Lalu, perempuan itu menundukkan kepalanya. Seakan sedang menyesali sesuatu di sana. “Harusnya aku gak memaksa kamu untuk terus bersamaku. Harusnya aku gak berkata sesuatu yang membuatmu terpojok. Dan, harusnya kamu gak melakukan ini, Arsen,” gumamnya. Rintik hujan turun dengan intensitas ringan. Aira menengadahkan wajahnya menatap langit. Lalu, memejamkan matanya sejenak. Membiarkan air hujan itu terus membasahi wajahnya. Yang beriringan dengan airmata yang mulai turun di pipinya. Aira merasakan Arsen di dekatnya. Tiap tubuhnya dibasuh air hujan, ia merasa Arsen ada di sana. Ia merasa kekasihnya sedang bersamanya. Bibirnya menarik senyuman tipis. Ia membuka matanya. Namun, sedetik kemudian, senyumnya kembali memudar. Ia tak menemukan satu orang pun di taman itu, kecuali dirinya sendiri. Aira putus asa. Ditambah dengan menghilangnya tanda yang ada di tangannya. Aira menjadi semakin takut. Takut jika Semesta memang tidak mengizinkan ia dan Arsen untuk bersama. “Pulang, Arsen. Aku menunggumu. Di sini. Aku rindu...” R19 *** Berhari-hari, Aira terus mencari dan menanti. Ia menantikan kekasihnya yang hilang untuk kembali. Setiap hari, tidak pernah ada hari yang terlewat untuk Aira mengunjungi tempat ini. Aira selalu menyempatkan dirinya untuk kembali. Ke tempat yang amat ia sukai ini. Dengan membawa keyakinan, bahwa Arsen akan kembali. Kekasihnya akan kembali. Kisah cintanya akan terjalin lagi. Tapi, Aira masih juga tidak menemukan jawaban. - Hari ini sudah lewat tiga bulan Aira menanti. Namun, Arsen tidak juga kembali. Harapan yang selama ini ia bawa mulai memudar. Ia bukan hanya kehilangan Arsen, bahkan penduduk Langit pun tak ada satu pun yang datang memberinya kabar. Aira benar-benar kehilangan. Ia bimbang. Haruskah ia menyerah atau terus melanjutkan penantian. Jika ia terus menanti, mungkinkah rindunya akan terbayarkan nanti? R20 *** Satu tahun berlalu. Aira masih terus menunggu. Hari ini adalah ulang tahunnya. Ia membawa lilin ke tempat yang selalu ia kunjungi. Lalu, ia memantik korek api yang ia bawa. Dengan memegang lilin, Aira memejamkan matanya. “Aku ingin Arsen kembali,” pintanya. Belum sempat ia menium lilinnya. Sang angin sudah lebih dulu menyambar api lilinnya. Angin yang membawa hawa dingin itu semakin membuatnya sedih. Terlalu banyak hal yang membuatnya tidak dapat melupakan Dewa Air yang telah meninggalkannya tanpa kabar. Tidak satu malam pun Aira tidak merindukan Arsen. Tidak ada hari Aira melupakan Arsen. Bahkan, meski tanpa kabar sampai detik ini, Aira tetap tegak berdiri membawa keyakinan bahwa Arsen akan kembali. Ia selalu berharap cintanya akan kembali. Dengan restu Semesta mengiringi. “Menulis ulang takdir?” gumam Aira sore itu. “Jika seperti ini jadinya, mungkin lebih baik tidak usah ditulis ulang. Karena, yang aku butuhkan hanya kehadiranmu di sini.” Taman sore itu terlihat sepi. Tidak ada anak-anak yang bermain di sana. “Semesta, kembalikan dia.” Angin berhembus semakin kencang. Sangat kencang hingga Aira merasa kedinginan. Meski kedinginan, ia tetap tidak beranjak pergi. Ia bahkan mampu berdiam diri lama-lama di sana. Hanya untuk menunggu Arsen. Tapi, sore itu. Ia tak dapat lagi menahan dinginnya. Aira memutuskan untuk pulang. Lagi pula, sebentar lagi hujan. Sudah terlalu sering Aira membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Hingga akhirnya perlahan, ia pun mulai menyerah. Hari itu, ulang tahunnya yang kelabu. Satya berusaha mati-matian untuk menghibur putrinya yang selama ini tidak lagi seceria dulu. Aira hanya membalas usaha sang Ayah dengan senyuman. Ya, senyuman yang amat dipaksakan. Bahkan kadang, Aira tersenyum, namun mengeluarkan airmata. Sangat terlihat luka di matanya. Saat Aira sudah mulai menangis, Satya hanya bisa memeluknya. Aira tidak pernah mau bicara, alasan yang membuatnya menangis tiba-tiba. Satya tidak memaksa. Aira terus menangis dalam pelukkan sang Ayah. Dan, malam akan berakhir seperti ini, lagi. Dan, lagi. Seperti malam-malam lainnya. R21 *** Hari ini, Aira terlihat sangat cantik. Dengan mengenakan gaun selutut dan rambut dicepolnya. Ia terlihat anggun. Satya tak henti-hentinya memuji sang anak. Hari ini adalah hari yang spesial untuk Aira. Hari peluncuran buku pertamanya. Ya, Aira menuangkan semuanya menjadi satu buku kisah cinta dramatis. Ia tak tau harus kemana ia cerita. Dan, manusia waras mana yang akan percaya dengan ceritanya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk bercerita dengan dirinya sendiri. Melalui satu judul buku yang berhasil ia buat. “Good luck today, my lil kids,” ujar Satya pada Aira. “Makasih, Pa.” Aira mencium pipi sang Ayah sebelum akhirnya ia pergi ke tempat di mana ia akan memperkenalkan ceritanya pada dunia. “Aira,” panggil Satya sebelum Aira melangkahkan kakinya keluar rumah. “Senyum.” Aira tersenyum. Meski masih terlihat dipaksakan, setidaknya ia sudah mencoba untuk terus tersenyum. Ia pergi dengan taksi. Sepanjang perjalanan, Aira terus memasang headset pada kedua telinganya dengan alunan lagu yang begitu kencang. Usaha itu ia lakukan agar Aira tidak terus tenggelam dalam perasaan sepinya. Ia berusaha mati-matian untuk berjuang. Ia berjuang untuk kembali menjalani hidupnya. Tepat satu jam perjalanan dengan dibumbui kemacetan, akhirnya Aira sampai. Ia sudah disambut oleh penerbitnya di sana. Acara lima menit lagi mulai. Aira bergegas untuk menyiapkan diri. Ia menyentuh dadanya. Sambil menggumamkan satu nama. “Arsen...” R22 *** AIRA POV Buku ini saya persembahkan untuk kalian yang tidak percaya bahwa cinta itu nyata. Bahwa, cinta mampu menembus segalanya. Bahwa, cinta mampu mengubah cerita. Mungkin terdengar klise. Tapi, aku percaya, bahwa Semesta bersama orang-orang yang percaya bahagia itu ada. Aku menghabiskan banyak hari untuk menunggu. Menghabiskan banyak malam untuk berharap. Dan, menghabiskan banyak airmata untuk terus berdo’a. Meminta ia yang pergi untuk segera kembali. Tanpa kabar, aku terus menanti. Membawa rindu ini ke dalam mimpi. Setiap hari. Percaya, bahwa suatu saat ia akan datang. Untuk mengucap salam, dan kembali membawa bahagia. Aku terus berharap, Semesta akan mengembalikan ia. Cintaku yang kini entah ada di mana. Bahkan, angin pun enggan membawa kabar tentangnya. Setiap hari, aku mengadu pada Semesta. Bertanya, tentang keberadaannya. Aku memendam luka. Tidak ada hari aku tidak menangis. Membayangkan bagaimana Semesta dengan tega merampas ia. Amarahku menggelora. Tapi, aku tidak tau harus melampiaskan kemana. Bahkan, saat aku terluka pun. Semesta hanya diam. Aku tidak tau lagi harus mencari cintaku kemana. Selain, harapan dan do’a yang terus aku yakinkan, kelak ia akan pulang. Padaku. Tempat yang selalu ia datangi saat ia rindu. Selagi aku terus menanti. Ku abadikan ia ke dalam lembaran kertas penuh arti. Sebagai tanda, aku pernah menunggu dengan bodohnya. Aku pernah merindu segininya. Dan, aku pernah jatuh cinta. Dengan ia, yang kini entah di mana. R23 *** Riuh suara tepuk tangan pun menutup speech singkat Aira. Bahkan, ada yang juga meneteskan airmata mendengar cerita Aira. Tak terkecuali Aira. Perempuan itu terlihat sedang menghapus airmatanya. Entah karena terharu. Atau, ia memang sedang menutupi lukanya. “Great job, Aira,” ujar salah seorang Marketing penerbitnya. Aira berjalan gontai menuruni panggung. Sebelum akhirnya langkahnya terhenti oleh seorang anak yang memberinya kopi. Ya, sebotol kopi. “Buat kakak,” ujar anak kecil itu. “Makasih,” Aira membalas dengan senyuman. “Kak, harus dihabiskan sekarang, ya. Kalo nggak, kakak akan menyesal,” tutupnya, anak kecil itu berlari dan menghilang di kerumunan banyak orang. Aira mengerutkan dahinya. Bingung. Tapi, ia menanggapinya santai. “Ada-ada saja anak zaman sekarang.” Aira membuka tutup botol itu, dan meminum kopi yang ia terima. Ia meminum hampir seperempat botolnya. Matanya dikejutkan oleh sebuah tulisan yang ada pada botolnya. Lalu, Aira meminum kembali kopinya. Setengah botol sudah ia minum. “Aira..” Begitu tulisan yang terlihat. Aira lalu memutuskan untuk kembali meneguk kopinya. Kali ini, ia meneguknya sampai habis. Matanya membulat seketika mendapati tulisan di botol tersebut. Aira, mau kah kamu menikah denganku? Begitu bunyinya. Aira panik. Ia berputar, pandangannya berpendar. Ia mencari sosok di tengah kerumunan orang-orang. Aira berjalan menembus kerumunan sambil membawa botol yang sudah kosong. Mata Aira berbinar. Seakan kembali menemukan harapan. Ia terus berjalan, sampai ia keluar gedung. Aira melihat ke atas Langit. Awan cerah. Tidak meunjukkan adanya hujan. Sepersekian detik kemudian, ia tersadar. Mungkin tulisan itu hanya ulah iseng anak tadi yang memberinya minuman. Aira menghela napasnya berat. “Aira,” suara berat laki-laki memanggilnya. Aira menegakkan wajahnya. Mendengar dengan hati-hati suara yang memanggilnya. “Aira...” Aira menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Dan.... Diam terpaku.*** Riuh suara tepuk tangan pun menutup speech singkat Aira. Bahkan, ada yang juga meneteskan airmata mendengar cerita Aira. Tak terkecuali Aira. Perempuan itu terlihat sedang menghapus airmatanya. Entah karena terharu. Atau, ia memang sedang menutupi lukanya. “Great job, Aira,” ujar salah seorang Marketing penerbitnya. Aira berjalan gontai menuruni panggung. Sebelum akhirnya langkahnya terhenti oleh seorang anak yang memberinya kopi. Ya, sebotol kopi. “Buat kakak,” ujar anak kecil itu. “Makasih,” Aira membalas dengan senyuman. “Kak, harus dihabiskan sekarang, ya. Kalo nggak, kakak akan menyesal,” tutupnya, anak kecil itu berlari dan menghilang di kerumunan banyak orang. Aira mengerutkan dahinya. Bingung. Tapi, ia menanggapinya santai. “Ada-ada saja anak zaman sekarang.” Aira membuka tutup botol itu, dan meminum kopi yang ia terima. Ia meminum hampir seperempat botolnya. Matanya dikejutkan oleh sebuah tulisan yang ada pada botolnya. Lalu, Aira meminum kembali kopinya. Setengah botol sudah ia minum. “Aira..” Begitu tulisan yang terlihat. Aira lalu memutuskan untuk kembali meneguk kopinya. Kali ini, ia meneguknya sampai habis. Matanya membulat seketika mendapati tulisan di botol tersebut. Aira, mau kah kamu menikah denganku? Begitu bunyinya. Aira panik. Ia berputar, pandangannya berpendar. Ia mencari sosok di tengah kerumunan orang-orang. Aira berjalan menembus kerumunan sambil membawa botol yang sudah kosong. Mata Aira berbinar. Seakan kembali menemukan harapan. Ia terus berjalan, sampai ia keluar gedung. Aira melihat ke atas Langit. Awan cerah. Tidak meunjukkan adanya hujan. Sepersekian detik kemudian, ia tersadar. Mungkin tulisan itu hanya ulah iseng anak tadi yang memberinya minuman. Aira menghela napasnya berat. “Aira,” suara berat laki-laki memanggilnya. Aira menegakkan wajahnya. Mendengar dengan hati-hati suara yang memanggilnya. “Aira...” Aira menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Dan.... Diam terpaku. R24 *** “Aira...” Berdiri di sana seorang laki-laki tampan dengan mengenakan jas hitamnya. Laki-laki itu juga membawa bunga. Aira diam terpaku. Tidak bergerak sedikit pun. Laki-laki itu berjalan mendekati Aira dengan senyuman yang begitu Aira rindukan. Tubuh Aira bergetar. Jantungnya berdegub kencang. Dan, kakinya lemas saat itu juga. Aira nyaris terjatuh. Tapi, tangan kekar laki-laki itu menangkap tubuh Aira. Menciptakan jarak yang begitu dekat di antara mereka. Mata mereka saling beradu pandang. Laki-laki itu memandangi Aira dengan senyuman. Dan, Aira menatapnya dengan pertanyaan. “Aku lagi mimpi?” gumam Aira tak percaya. Laki-laki itu menggeleng,”Kamu gak mimpi. Ini aku, Aira.” Aira masih terdiam tak percaya. “Aku Arsen...” Airmata Aira jatuh. Ia menangis detik itu juga. “Arsen?” Sontak Aira memeluk laki-laki yang amat ia rindukan itu. Laki-laki yang selalu pergi dan menghilang. Membuat Aira meyakinkan dirinya bahwa cerita cintanya hanyalah dongeng belaka. “Kamu kemana aja?” tanya Aira dengan terisak. “Kamu jahat pergi gitu aja. Dan, sekarang kembali seenaknya,” rutuk Aira. Arsen hanya tersenyum. Ia membiarkan perempuan yang berada dalam dekapan itu terus memukulnya. “Kamu jahat tau gak!” pekik Aira kesal. “Iya, aku jahat. Maafin aku, ya...” “Aku nyaris nyerah tau gak nunggu kamu!” “Iya, maaf, Aira...” “Tiap malem aku nangis nungguin kamu. Aku sampe masuk angin ujan-ujanan. Tau gak!!” “Iya, Aira.” “Jahat,” Aira menangis dalam dekapan. Suaranya tak lagi terdengar. Arsen hanya mampu memeluk perempuan itu sambil terus memenangkannya. “Sekarang, aku pulang. Aku akan terus bersama kamu, Aira.” Aira melepaskan pelukannya. “Aku mau terimakasih banyak sama kamu yang udah menyelamatkan aku. Kalo bukan karena kamu, mungkin aku masih akan terus terjebak di sana.” Arsen menyentuh pipi Aira. “Terimakasih sudah berjuang. Terimakasih sudah menunggu. Dan, terimakasih untuk cinta yang begitu besar darimu.” Lalu, Arsen merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia membuka kotak itu, dan terlihat sebuah cincin di sana. “Aku menghilang untuk mendapatkan ini. Sulit ya jadi manusia, harus kerja untuk dapet barang kayak gini,” ucap Arsen. “Aku menunggu waktu yang tepat untuk kembali. Dengan membawa apa yang kamu butuhkan nanti. Aku memantaskan diri.” Airmata Aira terus mengalir. “Aku gak pernah ninggalin kamu. Aku ada di setiap tidurmu. Aku ada di setiap mimpimu. Aku ada di setiap malammu. Aku memandangimu dari jauh. Bukan hanya kamu yang rindu, aku juga. Tapi, semua butuh waktu. Sampai akhirnya aku bisa berada di sini untuk membawamu hidup bersamaku dalam ikatan yang selalu kamu impikan.” Arsen menyentuh tangan Aira dan berlutut,”Aira, mau ‘kah kamu lebih lama lagi mencintaiku? Mau ‘kah kamu terus merindukanku? Dan, mau ‘kah kamu menghabiskan sisa waktumu bersamaku?” Tak perlu pikir panjang, Aira langsung mengangguk dan berkata,”AKU MAU!” Arsen menariknya dalam pelukkan. Akhirnya, takdir yang berusaha untuk ditulis kembali itu pun berbuah kebahagiaan. Menulis takdir, menentang Semesta. Dilakukan agar mereka bisa bersama. Cerita dua insan yang berbeda. Memaksa untuk Semesta menyetujui ceritanya. Perjuangan mereka tidaklah mudah. Merindu tiap malah bukanlah hal yang indah. Nyaris kehilangan harapan pun bukan hal yang diinginkan. Tapi, sekarang Semesta menyerah. Dengan perjuangan dan keyakinan yang tidak pernah putus dipanjatkan. Dua insan yang berbeda, kini menyatu dengan izin Semesta. Kisah mereka direstui Semesta. Bahkan, Semesta pun turut bahagia menyaksikan mereka bahagia. Memang, tidak semua cerita seberuntung mereka. Tapi, tidak ada salahnya mencoba, bukan? Description: Dengan restu Semesta. Cinta bisa memenangkan segalanya. [Sekuel Hujan & Rindu]
Title: Renjana Category: Young Adult Text: pagi seperti bajingan "Susunan proposal kamu berantakan. Perencanannya ngga sistematis dengan anggaran yang terlalu besar. Urutan kegiatannya juga ngga terlalu bermanfaat." Bu Vera di hadapannya sibuk mencoret laporan proposalnya dengan tinta merah. Renjana bisa melihat sorot remeh dan cebikan yang terlukis jelas pada wajahnya. Proposal itu telah renjana susun satu minggu lamanya dengan segala titik keringat yang tercurah habis di dalamnya. Riset lapangan, susunan anggaran penuh perhitungan, perencanaan kegiatan yang strategis, serta rangkaian manfaat yang melibatkan pihak bersangkutan tidak membuat renjana mendapatkan satu kalimat pujian. "Saya harus jelasin berapa kali sih kalau kamu ini kurang kompeten. Saya tau niat kamu baik untuk memimpin acara. Tapi kalau urusan sepele kayak gini aja masih bermasalah, kamu pikir mudah untuk saya bilang setuju?" Bu Vera tidak berhenti bicara dan Renjana hanya diam mendengarkan di tempatnya. "Terlebih agak kurang etis juga kalau saya biarkan perempuan pimpin acara. Kalau masih ada laki-laki, kayaknya ngga perlu repot cari pengganti. Kita masih punya Sadewa. Selain lebih profesional, saya berani jamin dia jauh lebih bertalenta." Semua temannya menatap Renjana penuh keprihatinan. Dan dari sudut matanya, renjana bisa melihat Sadewa tersenyum penuh kemenangan. "Jadi, kesimpulan rapat sudah jelas. Proposal Sadewa yang akan pihak sekolah pertimbangkan dengan pengajuan proposal Renjana yang kita siapkan sebagai cadangan," pungkas Bu Vera selagi menutup buku catatan. Terdengar riuh tepuk tangan disusul semua orang yang bergerak pergi meninggalkan ruangan. Tepat di hadapannya, Renjana bisa melihat Sadewa menatapnya. "Aku ngga tau kalau ternyata kamu ngajuin proposal untuk acara tahunan." Sadewa memulai pembicaraan sembari menumpuk buku catatan. Sorot matanya mendominasi. Sayangnya, tidak ada yang Renjana perlu takuti. "Maaf karena lupa cerita," balas Renjana dari kursinya. Bukan langkah sulit baginya untuk meminta maaf. Tidak perlu sesal yang teramat untuk lelaki gila hormat. Mata Sadewa memicing tajam."Kamu ngga lupa janji kita untuk selalu diskusi kan?" Sadewa melangkah menghampiri. Meski pandai menyimpan emosi, Renjana tahu Sadewa tengah menahan kesal setengah mati. Tidak ada pilihan lain, Renjana harus mengeluarkan sorot penuh prihatin. "Karena sibuk ngurusin proposal, aku beneran lupa ngomong sama kamu. Maaf Sadewa. Aku beneran ngga sengaja," katanya lagi. Kali ini dengan raut wajah menyesali. "Renjana aku udah bilang berapa kali sama kamu. Acara ini penting untuk portofolio beasiswa aku. Dan tingkah kamu barusan, bukan cuma jadi ancaman tapi juga bisa jadi kehancuran!" teriak Sadewa dengan penuh penekanan. Wajah lelaki itu memerah penuh kekesalan dengan Renjana yang diam memperhatikan. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sadewa hanyalah seonggok manusia penuh kerakusan. "Dewa kamu ngga perlu emosi. Ngga peduli seberapa keras usahaku, tetep kamu yang diakui." Itu adalah kalimat penenang untuk seseorang yang tidak percaya diri. Ironinya, Sadewa mempercayainya. Proposalnya jauh dari kata sempurna. Dibandingkan milik Renjana, milik Sadewa jauh lebih banyak cela. Atas segala pujian lampau untuk sadewa yang terdengar tidak berguna, lelaki itu mengakui bahwa ia kalah telak darinya. Sadewa tersenyum ironi. "Maaf, aku cuma lagi emosi." Renjana balas tersenyum mengasihani. "Kamu harus inget janji kita untuk selalu diskusi," tuturnya lagi. Dan renjana hanya mengangguk mengerti walau tak berjanji sepenuh hati. "Lima belas menit setelah istirahat aku tunggu di perpustakaan. Aku udah buat catatan untuk ujian minggu depan." Renjana benci mendengar suaranya. "Jangan lupa jaga kesehatan karena sebentar lagi kita mau ujian," terlebih senyumnya. Semua tentangnya. Apa pun yang berhubungan dengan Sadewa. "Aku pergi duluan. Jangan lupa istirahat ke perpustakaan. Aku sayang kamu." Setelah mengecup pipinya buru-buru, Sadewa melenggang pergi secepat angin berlalu. Renjana berdecih sebelum meremat laporan proposal penuh kekesalan. Paginya berjalan seperti bajingan. Ia melewatkan sarapan setelah malamnya direpotkan membuat tugas harian. Ia juga hampir dijemput keterlambatan setelah sebelumnya terpakasa berdamai dengan kemacetan. Begitu juga dengan kardigan rajutnya yang nampak tak serasi dengan seragam. Tali sepatunya yang salah ikatan dan bandana merahnya yang terasa kesempitan. "Setan," racaunya kesal sebelum pergi meninggalkan ruangan. penjara kompetisi Ujian akan segera tiba. Bukan hanya berlomba, semua siswa dipaksa tampil prima. Tuntutan guru dan orang tua memaksa siswa untuk paripurna. Sederet rumus yang membuat pusing kepala. Coretan angka yang memenuhi buku matematika. Rapalan mulut yang tidak berhenti mengeja. Hampir semua murid menunduk, menghapal, dan membaca. Targetnya bukan hanya nilai yang baik, tetapi harus sempurna. Saingannya bukan hanya siswa yang rajin, tetapi juga bertalenta. Tidak ada kalimat pujian. Jika gagal mendapat omelan, jika berhasil mendapat tujuan baru yang harus diperjuangkan. "Durasi belajar menentukan kualitas belajar kamu," kata gurunya sewaktu pelajaran fisika. Sejak saat itu, Renjana belajar lebih keras. Tidak berhenti mengaplikasikan rumus pada secarik kertas. Selalu berusaha menduduki peringkat teratas. Renjana akan gelisah jika tidak belajar. Rumusnya selalu menghargai waktu. Sibuk membaca buku dan mencoba berbagai soal baru. Kegiatan ekstrakurikuler tersusun rapi pada perencanannya. Sederet perlombaan bertaraf internasional. Berbagai kelas tambahan dan cerdas cermat sebagai pintu penghargaan. Bersekolah di sekolah yang berintegritas membuat Renjana tidak kesulitan dalam menangkap pelajaran. Kualitas guru yang mumpuni. Cara belajar yang efektif. Sumber bacaan lengkap dengan berbagai fasilitas sekolah yang baik. Kantin selalu berhasil menyajikan makanan sesuai standar kesehatan dengan kualitas udara segar dari rimbun pepohonan. Yang menyesakkan adalah persaingan antarpertemanan. "Kelompok dipilih secara acak dengan jumlah maksimal empat orang tiap kelompok." Suara keras Renjana mencuri perhatian. Targetnya sudah terekam di dalam kepala. Gisel yang pandai menganalisa. Niki yang ahli berbicara. Doni yang jago matematika. "Milih sendiri lagi? Bukannya Bu Vera yang nentuin kelompok?" Thalia membalas ucapan Renjana dari kursinya. Renjana mengangkat bahunya tak acuh. "Dia berubah pikiran. Dari awal juga lo tau jawabannya. Ngga ada satu pun murid di sini yang setuju untuk dipilih secara acak," balasnya santai. "Gue ngga setuju," Renjana mencebik. "Ngga ada yang peduli." Thalia berdecih tidak percaya. "Lo bisa sekali aja jangan mentingin diri sendiri?" Renjana pura-pura terkejut mendengarnya. "Ngga ada yang mentingin diri sendiri. Gue ambil keputusan sesuai dengan banyaknya pilihan," jelas Renjana yang dihadiahi decihan. "Lo kira gue percaya?" Thalia membalas dengan cebikan. Renjana tersenyum geli mendengarnya. "Gue ngga perlu buat lo percaya. Lo bisa liat sendiri pake mata kepala." Tidak harus menunggu waktu lama, Renjana bangkit berdiri dari tempat duduknya. Bibir merahnya terbuka lantang meneriakkan suara. "Angkat tangan lo semua yang bersedia pilih kelompok secara acak. Ngga perlu setengah suara, gue hanya butuh lima yang emang bersedia," serunya keras di antara sunyi ruang kelas. Setelah lima detik menunggu jawaban, tidak ada satu pun yang mengangkat tangan. Sekarang, gantian Renjana yang tersenyum kepuasan di atas raut wajah Thalia yang penuh kekesalan. "Ini semua pasti akal-akalan lo," Renjana mendecak mendengarnya. "Lo ini harusnya buka mata. Semua orang males satu suara sama lo karena ngga berguna. Buat apa juga buang waktu untuk hal yang sia-sia," ejek Renjana. "Parasit," ucap Renjana dengan suara kecil. Wajahnya hampir tanpa ekspresi bersamaan dengan Thalia yang melangkah mendekati. "Ngomong apa lo barusan! Parasit?" Thalia brteriak penuh kesetanan selagi Renjana diam memperhatikan. "Lo mengharapkan gue ngomong apa? Benalu? Orang gatau malu? Atau cewek belagu otak dungu?" kelakar Renjana yang dihadiahi gelak tawa. Seisi ruangan balas memperhatikan dengan sorot jenaka. Thalia naik pitam dengan raut kesalnya. Dan Renjana tidak merasa bersalah atas amarahnya. Air mata Thalia hampir jatuh menetes. Ayunan tangannya hampir bergerak menampar keras Renjana dengan penuh tenaga. Wanita licik yang selalu bertingkah layaknya si pemegang kuasa. Dengan gelagat seperti pemeran utama. Thalia membenci Renjana seperti ingin menghancurkannya. "Gue tau lo ngga percaya diri. Dengan nilai, kemampuan, bahkan diri lo sendiri. Yang perlu diinget, ngga ada satu pun orang yang peduli." Setelah tersenyum menyeringai, Renjana kembali duduk di kursi. Membuka catatan dengan lembar yang dipenuhi coretan. Bukan sekarang waktunya bersimpati. Sekolah ini penuh kompetisi. Dan Renjana tidak bertanggung jawab dengan segala insecurity. "Semua orang harus belajar. Jadi jangan berisik atau lo bisa keluar," Sesulit apa pun Thalia terlepas dari genggamannya, wanita itu selalu berhasil mencekiknya. Ironinya, bukan hanya masuk ke dalam kendalinya, Thalia jatuh terjerembab ke dalam perangkapnya. kompolotan gila Renjana terdiam penuh penyesalan. Kalau saja ia sempatkan waktu menulis tugas pengayaan, ia tidak perlu repot mendengar teriakan penuh isakan. Renjana diam memperhatikan selagi gadis gila itu cekikikan penuh kegirangan. Tangan mereka gantian bergerak memberi jambakan disusul tamparan. Namanya Jesika. Gadis aneh satunya bernama Sasa. Dua orang gila yang sialnya adalah komplotannya. Tidak banyak hal yang Renjana ketahui dari keduanya. Selain ayah Jesika yang seorang pengusaha dan ibu Sasa yang gemar berpesta. Bersekolah di SMA Erlangga hanya karena 2 alasan. Kalau bukan karena kepintaran, pasti mengandalkan kekayaan. Jalan ceritanya mudah ditebak. Jesika karena kaya raya dan Sasa yang mengandalkan koneksi ibunya. "Belagu emang itu cewek. Sok superior padahal tolol," sahut Jesika setelah selesai memberi tamparan. Gadis itu menatap Renjana sembari mencuci tangan tanpa penyesalan. Renjana bahkan melihat sorot angkuh wajahnya yang penuh arogan. "Dari dulu kelakuannya emang udah gue tandain. Anaknya banyak gaya padahal modalnya ngga seberapa," Selain mulutnya yang berisik, Jesika jago dalam mengkritik. Parasnya yang cantik tidak mudah membuatnya merasa simpatik. Renjana mengenal Jesika dua tahun lalu. Gadis kaya raya layaknya penguasa. Ekspresinya mengintimidasi dengan gerak-gerik mendominasi. Dikenal sebagai tokoh publik yang sebenarnya tidak mengedukasi. Biarpun begitu, Jesika adalah tokoh sempurna dalam berafiliasi. "Lo ngga mau jambak rambutnya atau tampar pipinya gitu?" cetus Jesika dengan nada ketus. Renjana tertawa mendengarnya. Dia malas menguras tenaga untuk sesuatu yang tidak berguna. "Biar gue yang urus Thalia. Bukan cuma dijambak paksa, gue labrak sampe jera juga bisa." Sasa membalas seruan layaknya pahlawan. Bukannya terkesima, batin Renjana sibuk meneriaki psikopat gila. Tidak berbeda dengan Jesika, Sasa terlahir dengan bergelimang harta. Bedanya, Sasa hidup sebagai budaknya. Gadis manja itu tidak punya kekuatan. Berbeda dengan Jesika yang suka dengan kekuasaan. Kombinasi keduanya adalah aliansi terbaik untuk Renjana kendalikan. Sebagai balasan, Renjana memberikan contekan. "Orangnya emang keliatan problem si. Liat aja kelakuan nyokapnya. Selain hobi nyombong, gue denger dia tukang goda laki orang." Renjana menaruh perhatian dengan penuh pertanyaan. " Oh, iya?" Sasa mengangguk. "Gosip lama itu," "Mau tau siapa target terakhir nyokapnya?" Jesika memberi tebakan disertai candaan. "Aksa," jawab Sasa yang dihadiahi gelak tawa Jesika. Tidak cukup ditampar realita, Renjana harus berdamai dengan berita aneh yang membuat pusing kepala. "Aksa bukannya mantan Thalia?" Tanya Renjana setelah berhasil mencerna cerita di kepala. Jesika menyeringai. "Kayak gatau Aksa aja. Lo kasih orang gila juga dia bersedia," cowok sinting gila miring, batin Renjana tidak berhenti berbunyi mengulangi. "Gue baru tau," sahut Renjana yang dihadiahi decakan Jesika. "Gimana mau tau. Thalia naksir Dewa aja lo ngga sadar. Perlu gue tampar Thalia baru mata lo kebuka lebar." Ucapan Jesika menyulut kenangan lama. Setelah berita hubungan Sadewa dan Renjana menyebar cepat lewat telinga, Thalia murka bagai sulut api di atas bara. Perempuan itu kesal dan tidak berhenti meneriakinya seperti orang gila. Akibatnya, Thalia mendapat hukuman dan panggilan orang tua. "Urusan pengajuan proposal gimana?" Sasa gantian berbicara dengan sorot tanya. Renjana memutar bola mata. "Gagal," ucapnya sembari berusaha menyamarkan sorot luka. "Lagi? Setelah gagal jadi ketua OSIS, Lo masih gagal jadi ketua acara?" sergah Jesika tidak percaya. Semua mata yang menyaksikannya tahu, kalau Renjana sudah berusaha seperti orang gila. "Ngga gampang lawan Sadewa. Dia punya segalanya," "Begonya, lo adalah pacarnya. Satu sekolah juga tau kalau dia cowok maniak gila kuasa." Jesika mendecak tidak percaya. Renjana balik tersenyum pahit di tempatnya. Anak kaya raya seperti Jesika tidak akan mengerti permasalahannya. Sadewa adalah kunci kesuksesannya. Tidak peduli bagaimana lelaki itu menghancurkannya, Renjana tetap membutuhkannya. Kuasa dengan akses segalanya membuat Renjana harus sudi menjilat sepatunya. Renjana tersenyum ironi dan tak berhenti mengasihani diri sendiri. "Heh, cupu. Bangun lo. Siapa yang suruh duduk," Sasa menyahut penuh teriakan. Yang diperintah bergetar ketakutan. Bola mata Renjana bergulir menatap sudut toilet sedikit khawatir. Dilihatnya Gina, Ginda, atau Gilsa? Renjana selalu lupa namanya. Gadis itu masih menundukkan kepalanya. Menatap sepasang sepatunya yang terlihat lusuh. Renjana bisa melihat gemetar jemarinya dengan koyakan baju pada lengan seragamnya. Rambutnya kusut karena dijambak dengan pipi merah akibat dirisak. Dan bagian paling menyedihkan, gadis itu bahkan tidak punya kesempatan untuk melawan. Pilihan hidupnya cuma dua. Menjadi budak yang harus serbabisa atau siswa tidak berdosa yang siap disiksa. Bukannya sedikit besimpati, Jesika kembali datang menghampiri sembari menatapnya penuh benci. "Lo ini cuma anak beasiswa. Sekolah juga pake uang kita. Buka mata pasang telinga. Hidup ngga ada yang gratis. Jadi, berhenti bersikap dramatis karena realita emang sadis." Meski bukan pilihan. Menjadi miskin terkadang adalah kesalahan. Semua orang menderita di dalam ceritanya. Meski merasa iba dan ingin membela, Renjana tidak punya kuasa. Berteriak meminta keadilan hanyalah angan. Berkoar memohon kesetaraan bukanlah pilihan. Bertindak seperti pahlawan yang ada hanya ditertawakan. Jadi, selagi melihat Jesika yang kembali memberi tamparan dan jambakan, Renjana hanya bisa diam memperhatikan. Tidak ada waktu untuk iba apalagi merasa berdosa. Menjadi apatis adalah amunisi penting dalam menghadapi hidup penuh realistis. Description: Di antara angin malam yang berhembus melewati jendela, Renjana lantas bertanya. Apa Tuhan melihat segala usahanya? Setumpuk keluh kesahnya? Atau semua perjuangannya? Ironinya, Renjana bahkan ragu kalau Tuhan sempat untuk memikirkannya. Setelah belajar keras selagi mata terbuka. Pikiran yang selalu terjaga. Otak yang tak berhenti bekerja. Renjana tetap tidak berhasil menemukan sumber kegagalannya. Dengan segala cemas dan rasa takut yang tak berhenti menghantuinya, Renjana menitikkan air mata untuk kesekian kalinya. Ia kembali bertanya kepada dirinya. Kepada sesosok Tuhan yang selalu dipercayainya. Kepada semesta atau siapa pun yang bisa menjawab pertanyaannya. Apa Tuhan benar-benar bersamanya ketika tak seorang pun bersedia mendekapnya?
Title: Renjana Category: Cerita Pendek Text: Renjana Katanya, namanya memiliki arti yang indah. Pembawa senyum dan kebahagiaan untuk orang disekitarnya. Ya, hanya sekedar katanya. Nayara Aashi Raharja, seorang gadis cantik yang memiliki segalanya, tapi tidak untuk kasih sayang. Harta. Tahta. Kepandaian. Kecantikan, tidak menjamin kau akan selamanya bahagia. Hidup memang selucu itu, kadang kala kita tidak butuh uang untuk menemukan kebahagiaan. Tetap saja, di dunia ini siapa yang tidak butuh uang? Uang bukanlah segalanya, tapi segalanya membutuhkan uang. Layaknya sebuah mesin yang terus bekerja tanpa henti, seperti inilah hidupnya sekarang, dan ... bisa rusak kapan saja. Nayara, seorang gadis yang kini berusia delapan belas tahun itu kini membuka pintu kamarnya yang megah. Hidungnya yang kecil langsung menghirup wangi pengharum ruangan yang khas. Masih memakai seragam sekolah, dengan tubuh yang penuh keringat dan rambut yang sudah tidak tertata rapi, gadis itu memasuki kamar mandi dan memulai membersihkan diri. Selepas mandi, Nayara bercermin. Tampak sekali kantung mata yang menghitam dan tampak lelah. Ia meletakkan telapak tangannya di atas wastafel, menopang tubuh yang selama ini membutuhkan istirahat dan kasih sayang, ia menghela nafasnya pelan. Tanpa sadar setetes kesedihan mengalir melewati pipinya yang cantik. “Bunda, Naya lelah.” *** Jam menunjukkan pukul sebelas, Nayara masih berkutat dengan buku-bukunya yang tebal. Matanya terus membaca, sesekali menguap, menahan rasa kantuk. Meja belajar dengan rak buku besar disampingnya itu sudah tidak tertata dengan semestinya. Aku tak mengerti apa yang kurasa. Rindu yang tak pernah begitu hebatnya. Dering lagu Pupus - Cover Hanin Dhiya membangunkan Nayara yang hampir saja terlelap, diraihnya ponsel yang terus bergetar itu lalu menekan tombol hijau. “Halo?” sapanya dengan malas. “Pasti masih belajar,” ucap seseorang diseberang sana. “Hemm,” jawab Nayara sekenanya, sungguh matanya sudah tidak bisa diajak kerja sama lagi. “Aku ada sesuatu.” “Apa?” “Minggu depan sekolahku bakal ngundang Aaraf Kendrick untuk perayaan hari ulang tahun sekolah! Aku sudah booking satu tiket untukmu!” ujarnya dengan senang. Ucapan seseorang disana mampu membuat matanya membuka lebar, bukan seseorang yang spesial apalagi kekasih, hanya sekedar teman baik yang selalu menemani nya. “Benarkah?! Meisya jangan bohong!” Nayara memekik tertahan, sangat bahagia rasanya. Akhirnya ia akan menemui pianis favoritnya. “Iyalah, jangan lupa datang. Oh ya, besok datang ke rumahku, aku mau buat poster yang besar untuk pacarku.” Suara diseberang sana terdengar sambil terkekeh geli. Nayara berdecak. “Jangan halu.” Ceklek Nayara menoleh pada pintu yang sudah terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya yang selalu pulang larut malam dengan pakaian yang sudah berantakan. Bau alkohol yang kuat menguar di setiap penjuru kamar. Dengan raut wajah yang marah, pria paruh baya itu menghampiri putri tunggalnya, cukup membuat Nayara takut. “Nayara!” bentak Raharja. “Nay?” Meisya terdengar panik. Nayara langsung saja mematikan sambungan ponselnya. Plak! Rasa panas langsung menjalar di daerah pipinya. Nayara mengusap pelan pipinya yang terasa perih sembari menunduk, tidak berani menatap Ayahnya. “Kau bolos sesi bimbel lagi?!” Nayara diam, tangannya meremas rok nya dengan kuat hingga kusut. “Jawab!” “I— iya,” jawabnya takut-takut. Raharja memegang kedua bahu putrinya dengan kencang, membuat Nayara meringis pelan. “Mau jadi apa kau hah?! Setiap hari bolos bimbel!” bentaknya sembari mengguncangkan kedua bahu putrinya tersebut, membuat Nayara mau tidak mau bersitatap dengan kedua mata Ayahnya. “Tapi ... Naya udah paham semua, Yah.” “Paham katamu? Segitu aja masih belum bisa kalahin Kara!” Raharja bertolak pinggang, kepalanya menengadah keatas. Sudah pusing menghadapi tingkah anak semata wayangnya. “Inget Naya, Ayah gasuka kalah kau selalu menjadi yang kedua!” Raharja kembali mendekati putrinya, lalu menangkup kedua pipi putrinya dengan tangan besarnya. “Naya, kau harus selalu menjadi yang pertama, oke?” ucapnya dengan lembut kali ini, namun penuh dengan tekanan dan obsesi. “Putri Ayah gaboleh jadi yang kedua,” lanjutnya sembari mengelus rambut sang putri. “Ayah sudah mengeluarkan mu dari tempat les musik, minggu depan Ayah mau rankingmu naik jadi tingkat satu pararel sekolah,” final Raharja. “Tapi, Yah—” “Diam Naya! Ayah gak suka dibantah!” Blam! Pintu dibanting keras, menyisakan seorang gadis yang bersiap menumpahkan air matanya. Tak lama kemudian masuk seorang wanita paruh baya dengan membawa gelas berisi air putih didalam nya. Wanita itu memeluk seorang gadis yang terlihat rapuh itu. Nayara langsung membalas pelukan itu dengan kuat, menumpahkan seluruh air matanya di dalam pelukan hangat sang Bunda. “Bunda, Naya mau les musik!” ujarnya dengan sesenggukan. "Naya gamau belajar bisnis! Naya benci Ayah!" “Jangan paksa Naya, Bunda,” lanjutnya masih dengan air mata yang mengalir dari kedua mata cantiknya. “Naya ....” Wanita itu menangkup kedua pipi gadis itu dengan sayang. “Jangan bicara seperti itu tentang Ayahmu,” ujarnya memberi pengertian. Wanita itu mengusap pelan kedua pipi Nayara yang basah karna air mata dengan ibu jarinya, lalu menatap kedua mata yang berkaca-kaca itu dengan sayang. “Naya sudah minum obat?” tanyanya dengan lembut. Nayara menggeleng. “Bunda ambilkan obat dulu ya,” ujarnya. Tapi Nayara menggeleng cepat. "Temenin Naya tidur, Bunda." “Baiklah, tapi minum airnya dulu ya?” Nayara mengangguk, tangannya dengan gemetar meraih gelas itu, lalu meminumnya dengan cepat. Setelah itu, Nayara tertidur di dalam dekapan wanita tersayang nya. *** Pagi harinya, Nayara berangkat sekolah lebih pagi. Ia menghindari Ayahnya. Nayara berjalan dengan cepat melewati lorong sekolah yang belum terlalu ramai, menghindari tatapan aneh dan tidak suka dari semua orang. Padahal ia hanya sedang mengabari Bundanya kalau ia berangkat lebih awal. Nayara tidak tahu mengapa tidak ada yang mau berteman dengannya. Yang ia tahu mungkin karena dulu ia pernah dekat dengan Kara. Ya, mungkin. Tapi sekarang, jangankan dekat, mereka sudah seperti menjadi musuh dalam meraih ranking tertinggi di sekolah. Selalu dituntut oleh Ayahnya, membuat Nayara begitu ambisius. Sebenarnya Nayara tidak menganggap Kara sebagai musuhnya, tapi cowok itu yang menjauhinya tanpa sebab. Nayara sempat sedih mengetahui seseorang yang disukainya sama saja seperti yang lainnya, tapi sekarang Nayara sudah tidak peduli, yang hanya ia pedulikan hanyalah mengalahkan Kara agar Ayahnya tidak menyiksanya lagi. Nayara memasuki kelasnya dengan sedikit gugup, pasalnya hari ini adalah hari pertama diadakannya Penilaian Tengah Semester. Ia akan bertekad menduduki ranking satu pararel sekolah ini. Gadis itu sempat melirik ke arah depan, tempat Kara duduk. Cowok itu belum datang. Gadis itu mulai membuka lembaran bukunya, memfokuskan diri untuk menghafal materi pelajaran. *** Kini Nayara sedang berada di rumah Meisya selepas pulang sekolah, satu-satunya teman baik yang ia punya. Sayang sekali mereka berdua tidak satu sekolah. Mungkin jika mereka satu sekolah, Nayara tidak akan kesepian. Tapi mau bagaimana lagi, sekolah Nayara adalah tempat dimana orang-orang kaya berkumpul. Sedangkan Meisya, dia adalah gadis yang sederhana. Tapi orang tuanya juga masih bisa memenuhi semua kebutuhan nya. Rumah minimalis dua tingkat itu menjadi favorit Nayara berkunjung, menurutnya rumah tidak harus mewah yang terpenting ialah kenyamanannya serta banyaknya cinta dan kasih sayang di dalamnya. Nayara menaiki tangga satu persatu setelah bersalaman dengan Mama Meisya dibawah, saat sampai dikamar ia mendapati sahabat baik nya itu sedang asik melukis di atas kertas berukuran cukup besar dengan senyuman yang amat lebar membuat Nayara bergidik ngeri sendiri. “Nay, sini lihat lukisan ku!” ujarnya ketika melihat Nayara di depan pintu kamarnya. Nayara berjalan mendekat, setelah melihat lukisan itu Nayara tersenyum seraya memberi dua jempol. Ya, tak perlu diragukan lagi. Mungkin bakat sahabatnya itu adalah melukis. “Sendfood!” tiba-tiba seseorang berteriak dibawah sana. Meisya yang mendengarnya pun langsung terlihat panik, lalu berlari kearah jendela. Nayara hanya memperhatikan. “Sstt, makanannya letakkan saja di ember,” ujarnya berbisik aneh pada pengantar makanan online tersebut sembari menunjuk-nunjuk ember dibawah. Tetap saja suaranya tidak cukup terdengar. Meisya kalang kabut, Nayara terlihat bingung, dan Mama Meisya sedang berjalan menghampiri pintu masuk. Akhirnya Meisya mengirim pesan pada pengantar makanan tersebut dengan cepat yang langsung dibaca dan dilaksanakan perintahnya. Sebelum pergi, pengantar makanan itu memberikan satu jempol dan kedipan mata pada Meisya. Gadis itu tersipu malu melihatnya. “Ganteng juga,” gumamnya terkekeh malu. Meisya menarik tali yang tergantung dari jendela kamarnya ke bawah, agar ember di bawah sana terangkat keatas. Seperti mengambil air di sumur. Nayara yang melihatnya hanya berdecak kagum akan keberanian sahabatnya itu. “Sendfood, lagi?” Nayara melipat tangannya di dada. Meisya hanya menampilkan deretan giginya yang rapi. “Mama masak pare, lagi,” katanya dengan cemberut. Meisya meletakkan makanan yang ia pesan diatas lantai kamarnya, lalu mengajak Nayara ikut duduk disana. “Fried chiken?” tanya Nayara. Meisya mengangguk. Nayara terlihat memikirkan sesuatu, ia tampak melamun. Gadis itu memikirkan kapan terakhir kali ia makan makanan seperti ini. Ayahnya sangat overprotektif padanya, pertemanan nya pun dibatasi. Ia hanya pernah makan junk food sesekali, itupun diam-diam dengan Bundanya. Hidupnya penuh dengan aturan. “Nay, gak dimakan?” tanya Meisya. “Hah?” Nayara terlihat bingung. Meisya yang mengerti pun menyodorkan satu potong ayam pada sahabatnya itu. “Sekali-kali,” katanya sembari tersenyum. Nayara mengangguk senang, lalu makan berdua dengan nikmat. Ia sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Meisya, setidaknya ia dapat merasakan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya. Tok! Tok! Tok! “Meisya, Mama boleh masuk?” tanya Naina—Mamanya Meisya. Suara itu mengagetkan dua orang gadis yang sedang makan itu. Meisya panik, ia dengan cepat menyembunyikan box fried chicken itu dibawah kolong tempat tidur. Untung sudah dibersihin kemarin, pikirnya. “Nay! Cepat letakkan ayamnya disana!” ujar Meisya panik melihat Nayara masih memegang ayam tersebut. “Huh?” Nayara bingung, sedetik kemudian dia mengangguk mengerti lalu meletakkan potongan ayam itu dengan cepat. Ceklek Pintu kamar terbuka, karena tidak ada jawaban dari dalam. “Meisya, kayanya tadi ada orang dibawah, siapa ya?” tanya Naina. “Engga ada, Ma,” jawab Meisya gugup. Meisya menyenggol lengan Nayara, memberi kode pada gadis itu agar membantunya memberi jawaban. “O—oh itu tadi jemputan aku Bibi—” “Naya, kan Mama sudah bilang, panggilnya Mama aja jangan Bibi, okay?” potong wanita tersebut karena Nayara memanggilnya dengan sebutan Bibi. “Okay, Ma,” jawab Nayara sembari tersenyum. “Kayanya tadi ada yang teriak sendfood,” kata Naina kembali menggoda putrinya. “Itu jemputan nya Naya,” jelas Meisya dengan cepat. “Oh, pekerjaan nya udah ganti jadi pengantar makanan?” tanya Naina membuat Meisya memutar otaknya dengan cepat. “Itu apa?” Naina berjalan mendekat, lalu memungut paper bag bergambarkan logo fried chicken yang sudah terkenal disana. "Meisya beli ini?" tanyanya. Meisya melotot kaget, kenapa bungkus makanan itu masih disana! “Kemarin,” alibi Meisya, lagi. “Tapi tanganmu berminyak,” ucap Naina telak. Meisya terdiam sambil menunjukkan giginya yang rapi. Sebenarnya Naina sudah curiga dari awal, ia hanya mengetes putrinya saja. “Kenapa gak makan dirumah aja? Kan Mama udah masak.” “Meisya gasuka pare, Ma,” jawab Naraya membantu menyuarakan isi pikiran sahabat nya itu. Meisya pasti tidak akan mau menjawab, karena takut menyakiti perasaan Mamanya. “Loh Meisya? Kok gabilang aja sama mama kalau Meisya gasuka pare, nanti Mama masakin yang lain,” kata Naina lembut. “Maaf, Ma,” ucap Meisya merasa bersalah. “Aku gamau nyakitin perasaan Mama,” lanjutnya. “Justru itu, yang bikin Mama sakit kalau anak Mama diam-diam beli makanan sendiri, padahal Mama sudah masak.” ”Lain kali bersikap terbuka sama Mama, apapun itu, ya?” “Baik, Ma.” Meisya mengangguk senang. Nayara ikut senang melihat interaksi Meisya dengan Mamanya. Andai ia bisa seperti itu dengan Ayahnya. Setidaknya bersikap terbuka adalah cara termudah untuk seseorang bisa mengetahui isi hati kita. “Yaudah, makannya pakai nasi ya, ajak Naya sekalian,” kata Naina sembari mengusap pelan rambut putrinya. “Okay, Ma,” jawab Meisya, ia mengambil kembali box tempat ayam itu dari kolong tempat tidur. “Ya ampun Meisya! Kenapa diletakkan di kolong?” Naina terlihat kaget dengan kelakuan putrinya. “Hehe panik, Ma,” jawab Meisya lalu berlari keluar kamar. “Nay, aku mau mengambil nasi dulu dibawah,” ujar Meisya kembali lagi ke kamar. Nayara mengangkat tangannya lalu menyatukan jari telunjuk dan jempol, membentuk simbol 'oke'. Selagi menunggu Meisya kembali, Nayara melihat-lihat sekitar. Mama Naina pun sudah turun kebawah, ia baru sadar ternyata kamar ini sudah di renovasi. Tak sengaja matanya menangkap jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Gadis itu dengan terburu-buru merapikan barang bawaannya lalu turun kebawah. “Nay, mau kemana?” tanya Meisya melihat Nayara menuruni tangga dengan cepat. “Sya, maaf aku pulang cepat. Aku ada les hari ini,” ujarnya setelah sampai dibawah. Ia tidak mau membuat Ayahnya marah lagi. “Tapi Nay—” “Aku dijemput Bunda tenang aja, bye Meisya!” sela Nayara lalu berlari keluar rumah. Meisya menatap kepergian Nayara dengan sendu. *** Satu minggu berlalu dengan cepat, dan Nayara sudah yakin hasil ujiannya pasti akan memuaskan, karena ia sudah belajar dengan keras akhir-akhir ini. Hari ini hari Minggu, masih pagi. Tapi Nayara sudah tidak sabar menghadiri acara perayaan ulang tahun sekolah Meisya nanti sore. Hey, ia juga punya poster buatannya sendiri, namun dalam kertas ukuran biasa, karena ia membuatnya juga diam-diam. Untung saja Ayahnya ada pekerjaan penting hari ini, jadi Nayara bisa bebas. Sepertinya setiap hari Nayara memang selalu bebas karena Ayahnya selalu pulang larut malam. Tapi ia sendiri yang memilih untuk tidak sering keluar, karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Kecuali Meisya. Nayara menghampiri Bundanya yang sedang duduk di ruang keluarga. Dengan se-cup besar es krim, Nayara mendudukkan dirinya di sofa yang empuk disamping Bunda tersayangnya. Nayara lalu memeluk wanita itu sembari tersenyum. Kanaya—Bunda Nayara hanya tersenyum melihat tingkah putrinya. “Bunda mau es krim?” tawar Nayara. Kanaya menggeleng lalu mengelus rambut putrinya itu dengan sayang sembari menonton Televisi. “Bunda, Naya seneng banget nanti Naya bakal ketemu sama pianis favorit Naya. Jangan bilang-bilang Ayah ya, Bun.” Gadis itu mulai bercerita. Kepalanya bersandar pada bahu wanita itu, mencari posisi nyaman. “Oh ya, doain Naya biar aku dapat ranking satu pararel sekolah, biar Ayah gak galak terus sama Naya,” lanjutnya sambil terus memakan es krim. “Iya, Naya,” jawab Kanaya. “Non, ada telepon rumah masuk,” ujar Bibi Ame pada Nayara. “Dari siapa, Bi?” “Dari Meisya, Non. Katanya telepon ponselnya gak diangkat daritadi,” jelas Bibi Ame lalu pamit undur diri dari sana. Nayara berjalan mendekati telepon rumah yang terletak di dekat dapur. “Halo?” sapanya. “NAY! CEPAT DATANG KE SEKOLAH SEKARANG!” teriak Meisya dari seberang sana. Nayara sampai menjauhkan telepon itu dari telinganya, suaranya cempreng sekali. “Kenapa?” “AARAF KENDRICK SUDAH DATANG! DIA SEDANG LATIHAN DI BACKSTAGE! BERUNTUNGNYA AKU BISA MASUK KESANA! GANTENGNYAAA! NAYA CEPATLAH KESINI! KUTUNGGU OKE?! BYE NAYA!” Tut! Setelah berbicara seperti itu, Meisya langsung mematikan sambungan teleponnya. Nayara langsung saja menaiki tangga rumahnya dengan cepat, mengambil tas kecil lalu turun kebawah kembali. “Bunda, Naya pergi dulu ya,” ujarnya lalu memeluk Kanaya sebentar. Nayara berjalan menjauh sembari melambaikan tangannya pada Kanaya, yang dibalas sama oleh wanita itu dengan senyuman. Gadis itu berjalan sebentar keluar komplek perumahan nya, lalu berhenti di depan halte bus. Setelah menaiki bus, Nayara duduk dengan tenang sembari tersenyum. Kesempatan langka dalam hidupnya. Semoga saja Ayahnya tidak tahu. *** Nayara memasuki rumah dengan mengendap-endap, ia membuka pintu dengan hati-hati. Semoga saja Ayahnya belum pulang, tapi sepertinya memang belum pulang karena tidak terlihat ada mobil terparkir di halaman depan. Gadis itu berjalan pelan-pelan menuju kamarnya di lantai atas, setelah sampai di kamar, gadis itu menghela nafas lega. Ayahnya belum pulang. Ia melihat jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ini pertama kalinya ia pulang selarut ini. Nayara merebahkan tubuhnya di atas kasur, gadis itu tersenyum cerah mengingat kejadian tadi. Alunan melodi yang indah masih saja terngiang di kepalanya, rasanya ia ingin meminta agar penampilan solo dari Aaraf Kendrick itu ditambahkan durasinya. Tak apa, yang penting ia mendapat kesempatan bermain bersama pianis terkenal itu dan mendapatkan tanda tangannya. Sepertinya malam ini ia tidak bisa tidur. *** Masih dengan senyum cerahnya, Nayara berjalan melewati lorong sekolah dengan bahagia. Auranya sangat positif pagi ini, ia juga optimis akan menempati ranking pertama pararel sekolah di semester ini. Gadis itu duduk di kursinya dengan tenang, menunggu guru masuk. Ia tidak peduli pada tatapan siswa-siswi yang menatapnya aneh hari ini. Begitu juga dengan Kara, yang menatapnya sekilas tadi. “Selamat pagi semua!” sapa Pak Hariadi selaku wali kelas. “Pagi!” jawab seluruh murid. Pak Hariadi langsung saja membagikan kertas berisi nilai-nilai hasil Penilaian Tengah Semester minggu lalu. Nayara mengelus dadanya pelan, menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. “Nayara Aashi Raharja.” Nayara langsung maju kedepan, mengambil selembar kertas yang akan mempertaruhkan nasibnya. Setelah dapat, gadis itu undur diri dengan sopan. Nayara melihat rata-rata nilai hasil ujiannya, sembilan puluh tujuh. Nayara hanya bisa berharap agar nilai rata-rata Kara lebih rendah darinya. Setelah beberapa saat menunggu, dipanggil lah nama yang membuat jantung gadis itu berdetak kencang. “Raden Akarsana.” Kara maju kedepan. “Seperti biasa, nilai rata-rata tertinggi, sembilan puluh delapan koma lima,” lanjut Pak Hariadi memberi apresiasi. Seketika Nayara meremas kertas yang ada di tangannya dengan kasar, lalu meletakkan nya di dalam tas. Emosi nya bergejolak, apakah dalam hidupnya hanya ada kekalahan seperti ini? Nayara mengangkat tangan kanannya keatas. “Ada apa Nayara?” tanya Pak Hariadi. “Izin ke kamar kecil, Pak,” jawab Naraya dengan suara yang tidak biasa. Siapapun pasti tahu kalau gadis itu sedang menahan amarah. “Silahkan.” Nayara segera keluar kelas setelah mendapat izin. Tujuannya bukan ke kamar kecil lagi, tapi ke taman belakang sekolah yang sepi saat pelajaran berlangsung. Ini pertama kalinya Nayara membolos seperti ini. Gadis itu sempat berhenti di depan mading sekolah, ia membacanya sekilas. Ia mengepalkan tangannya kuat. Nayara Aashi Raharja, berada dalam urutan ke-2, lagi. Nayara duduk di kursi taman dengan kesal, di depannya ada air mancur, tapi belum bisa meredakan emosi nya. “ARGHHHH!!” Gadis itu berteriak dengan kencang, kakinya bergerak asal menendang kumpulan batu dibawah nya. Nayara mengacak-acak rambutnya dengan frustasi, ia lalu menunduk, menumpu kepalanya dengan kedua tangannya, tidak lama kemudian ia terisak pelan. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Ayahnya setelah ini. “Merasa kalah, huh?” Ucapan seseorang membuat Nayara mendongakkan kepalanya, ia lalu mengusap air matanya dengan kasar. “Kau!” Nayara menunjuk seorang cowok yang dengan santainya berdiri dengan melipat tangannya di dada. "Kau lelaki brengsek yang pernah kutemui!" teriaknya dengan marah. Kara mengangkat sebelah alisnya. “Benarkah? Aku tidak peduli.” Gadis itu terpancing emosinya, ia berdiri mendekati cowok itu lalu mendorong nya dengan kasar. Membuat Kara mundur beberapa langkah. Nayara sudah tidak peduli bagaimana ia bisa mendapatkan kekuatan seperti itu. “Tidak bisakah kau mengalah sekali saja padaku?!” ujar Nayara dengan mata yang berkilat penuh amarah. Kara diam saja. “Bisakah kau merasa kasihan padaku walau sebentar saja?!” “Bisakah kau memberikan posisimu padaku?!” “Aku lelah hidup seperti ini!” “Tidak bisakah?!” Teriak gadis itu dengan frustasi, setetes air mata mengalir lagi di pipinya yang cantik. “Tidak,” jawab Kara singkat, lalu berbalik dan pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Nayara langsung terduduk lemas di atas tanah, ia menarik rambutnya kasar sembari menangis. “ARRGHHHH!!” “AKU BENCI PADAMU!” Gadis itu terus saja terisak, meratapi hidupnya yang selalu saja bermasalah. “Bunda ... Naya harus apa?” *** Nayara pulang kerumah dengan keadaan berantakan dan mata yang sembab. Saat memasuki pintu rumah ia sudah disambut oleh Ayahnya yang berdiri disana. “Sudah puas nonton konsernya? Dan sudah selesai bolosnya?” tanya Raharja tajam. Nayara diam saja, ia lelah menangis. Dan ya, seharusnya ia tidak lupa kalau Ayahnya selalu mengawasi apapun yang terjadi padanya. Plak! Satu tamparan di pipi kanan yang mulus itu. “Ini untuk kekalahan mu.” ujar Ayahnya dingin. Plak! Dan satu tamparan lagi di pipi kiri. “Ini untuk kau yang selalu membangkang pada Ayah.” Nayara masih tetap diam, namun di dalam dirinya ia menahan amarah yang bergejolak. “Dasar tidak berguna!” bentak Raharja kasar. Nayara mendongak, menatap kedua mata Ayahnya. “Tapi itu sudah nilai yang bagus!” “Ayah tidak akan bilang nilaimu bagus kalau belum bisa kalahin Kara!” bentak Raharja masih saja dikuasai obsesi nya. “Apakah semua itu masih kurang?!” Nayara menatap kedua mata Ayahnya dengan tidak percaya. Apakah semua usahanya selama ini tidak pernah terlihat di matanya? “Kalau begitu, AKU BENCI AYAH!” Nayara berlari menuju kamarnya dengan berlinang air mata. “NAYARA! BERANI BICARA SEPERTI ITU PADA AYAHMU HAH?!” Gadis itu sudah tidak peduli dengan teriakan Ayahnya. “NAYARA! KEMBALI AYAH BILANG!” BLAM! Gadis itu membanting pintu kamarnya dengan kuat lalu menguncinya. Gadis itu jatuh terduduk sembari memeluk lututnya kuat, rasanya ia ingin menghabiskan air matanya malam ini agar ia tidak bisa menangis lagi esok hari. Nayara sudah lelah rasanya. Tiba-tiba gadis itu merasakan ada yang memeluk dirinya. Nayara mendongak, menatap mata wanita tersayangnya. Ia tidak tahu sejak kapan Bundanya ada disini. Kanaya tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memeluk dan mengelus punggung putrinya dengan lembut. Malam itu Nayara hanya terus menangis sampai matanya lelah dan tertidur. *** Pagi harinya, Nayara bangun dengan mata yang sembab. Ia menggeliat pelan. “Tidur dilantai, lagi?” tanyanya bingung. “Bunda gak bangunin aku kah?” Gadis itu masih terlihat bingung. Tapi tak lama kemudian bangkit lalu memasuki kamar mandi, ia tak ingin terlambat masuk sekolah. *** Kelas sudah sepi, tersisa dua orang saja. Salah satunya adalah Nayara. Gadis itu memberanikan diri mendekati seorang cowok yang biasanya memang pulang paling akhir. Ia langsung saja menyodorkan sebotol yogurt dan setangkai bunga tulip putih pada cowok itu. “Sebagai permintaan maafku,” ujar Nayara singkat lalu bersiap pergi darisana. Tadi pagi, ia juga sempat menuliskan permintaan maaf untuk Ayahnya di kertas note yang ia tempelkan di atas meja makan. Setelah merenung semalaman, rasanya tak pantas, dan Nayara merasa bersalah karena telah menyalahkan seseorang sebagai alasan kekalahannya. Seharusnya ia yang harus belajar lebih giat. Bukan menyalahkan orang lain. “Tumben sekali,” komentar Kara sinis. Nayara berbalik. “Kata Bunda, aku tidak boleh menyalahkan seseorang sebagai alasan kekalahan ku.” Kara terkekeh sebentar. “Bunda? Dasar tidak waras.” Nayara menatap sengit cowok itu, kenapa dia selalu memancing emosinya?! “Tidak waras katamu? Aku atau kau yang tidak waras!” Kara berjalan mendekat, meletakkan jari telunjuknya di dahi Nayara lalu sedikit mendorongnya kebelakang, dan berkata, “Kau yang tidak waras.” Nayara menepis kasar tangan Kara dari hadapannya. Kenapa rasanya sakit sekali? Kemarin Ayahnya dan sekarang seseorang yang disukainya. Jujur saja, ia masih ada rasa dengannya. Tapi apakah sebegitu bencinya kah cowok itu padanya? “Berhenti menemui Ayahku,” tegas Kara pada gadis dihadapannya ini. “Dan berhenti menghancurkan keluarga ku,” lanjutnya dengam tajam. “Aku tidak menemuinya! Ayahmu yang selalu datang padaku!” balas Nayara tak mau kalah, dan berhasil membuat Kara terpancing emosi. “Jangan menjadi jalang seperti Bundamu itu,” ujar Kara dingin. Matanya menatap Nayara dengan nyalang. Nayara tertawa mendengar itu, lebih tepatnya tertawa yang dipaksakan. “Oh, jadi sebab itu kau menjauhiku?” “Dan, apa katamu? Bundaku jalang? TANYAKAN SAJA PADA AYAHMU KENAPA DIA TERTARIK DENGAN BUNDAKU! AYAHMU SAJA YANG TIDAK SETIA!” teriak Nayara penuh amarah. Ia tidak terima ada yang mengejek wanita tersayangnya. Kara mencengkeram dagu Nayara kuat, memaksanya untuk menatap matanya yang berkilat amarah. Nayara merasakan sakit pada dagunya, belum lagi rasa perih kemarin yang belum hilang. “Kau! Beraninya berbicara seperti itu tentang Ayahku! Kau sama saja dengan wanita itu! Keluarga mu telah menghancurkan keluarga ku! Aku lelah kau tahu itu?!” Setelah itu, Kara menghempaskan tangannya dengan kasar membuat Nayara terdorong kebelakang dan menabrak meja. Untung saja ia berpegangan pada meja itu agar tidak jatuh sepenuhnya. Nayara mengusap air matanya kasar, ia tidak menyangka Kara yang dulu ia kenal akan sangat kasar padanya. “BUKAN HANYA KAU YANG LELAH! AKU JUGA LELAH! AKU INGIN PERGI DARI DUNIA INI DARIPADA HARUS BERTEMU DENGAN ORANG-ORANG SEPERTI MU!” “AKU BENCI AYAHKU! AKU JUGA BENCI PADAMU! DAN AKU BENCI PADA DUNIA YANG TIDAK PERNAH BERPIHAK PADAKU!” Nayara berlari menjauh dengan berlinang air mata. Mengapa air matanya tidak kunjung habis? Ia lelah. Sedangkan Kara, ia menatap tangannya kosong, matanya memanas. Ia tidak percaya bisa melakukan hal seperti itu pada perempuan. Ditambah perkataan gadis itu yang langsung menyakiti hatinya, sudah dua kali Nayara mengatakan benci padanya. Hanya karena benci yang terpendam sampai mengalahkan rasa cinta yang ia miliki pada gadis itu. Akhirnya Kara mengejar Nayara yang sudah menjauh, ia menemukan gadis itu sudah di depan pagar dengan badan yang bergetar karena menangis. Tapi lagi-lagi rasa benci kembali mendominasi saat gadis itu pergi dengan seorang pria paruh baya. Dan itu adalah Ayahnya. *** 28 Juli 2020 Aku tidak tahu hidupku diantara fiksi atau fakta, yang kutahu adalah, aku senang hidup seperti ini. Ya, hidup diantara fiksi dan fakta. *** “Bisakah kau tidak menemui gadis itu lagi?!” teriak seorang wanita pada suaminya. Kara yang baru saja pulang dari sekolah menghela nafasnya, sudah terbiasa dengan semua ini. “Ambar! Jangan membahas masalah ini! Aku muak!” balas Ray—Ayahnya Kara. Pria itu berprofesi sebagai Dokter spesialis jantung. “Oh, apa kau masih menyukai nya? Atau kau berganti mendekati putrinya?!” Ambar mengepalkan tangannya kuat. “Ambar!” bentak Ray, ia merasa istrinya sudah sangat keterlaluan. “Bukankah masalah ini sudah selesai?! Tidak ada lagi Kanaya dalam keluarga ini! Apa kau masih tidak mengerti?!” “Tapi kau terus menerus menemui anak itu! Apa Ibu nya saja tidak cukup?” tanya Ambar yang mulai berkaca-kaca. “Aku hanya menjaganya! Dia sudah tidak punya siapa-siapa yang menyayangi nya! Kau tahu itu?!” ujar Ray emosi, kenapa masalah ini tidak selesai-selesai? “Sudahlah, aku lelah.” Ambar mencengkeram lengan suaminya erat. “Dia tidak butuh kau untuk menjaganya! Dia punya keluarga!” balas Ambar. “Dia punya penyakit mental! Kau tidak tahu itu kan?!” Ambar mengendurkan cengkraman tangannya, wanita itu terlihat terkejut, emosinya turun perlahan. “Ke— kenapa kau tidak memberitahu ku?” “Kau yang tidak pernah memberi ku kesempatan untuk mendekati mu lagi, maaf telah membuat keluarga ini hancur.” Ray berniat berjalan menjauh untuk menenangkan hatinya, tapi istrinya itu memeluk tubuhnya erat. “Lalu, bagaimana dengan Naya?” “Dia langsung pergi setelah ku antar ke rumah sakit,” jawab Ray. Sedangkan Kara yang mendengar semuanya langsung berlari kembali keluar rumah. Ia menyesal telah menyakiti gadis itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. *** Seorang gadis berjalan pelan pada tanah coklat yang becek. Ia sudah tidak peduli jika seragam sekolahnya akan kotor. Setelah berjalan cukup jauh, gadis itu berhenti di pusaran makam bertuliskan Kanaya. Ya, nama Bunda tersayangnya. Nayara terduduk lemas disamping makam itu, ia memeluk gundukan tanah yang terjaga kebersihannya, lalu menangis pelan disana. “Bunda ... Naya sudah minum obat,” ujarnya sembari terkekeh. “Naya baru sadar kalau Bunda udah gak ada di samping Naya,” lanjutnya dengan pilu. Air matanya semakin deras. “Bunda, Naya kalah lagi, dia gamau ngalah sama Naya,” ujar gadis itu bercerita. Sesekali tertawa pelan. “Dia benci Naya, Bunda.” “Dia mengataiku tidak waras, Bunda. Aku memang sudah tidak waras,” ujarnya sambil tertawa. “Naya sayang ....” Nayara mendongak, lalu tertawa lagi. Halusinasi itu datang lagi, pikirnya. “Bunda, lihat Naya halusinasi lagi, padahal tadi Naya sudah minum obat lho.” Gadis itu tertawa pilu. “Naya sendiri, Bunda. Ayah udah ga sayang Naya lagi,” katanya, lagi-lagi sambil mengusap pipinya yang basah. “Naya ... kamu ga sendiri, sayang,” ujar sosok di depannya. Nayara tidak tahu ini halusinasinya lagi atau bukan. “Bunda akan selalu bersama Naya, tapi simpan Bunda di dalam hati Naya jangan simpan Bunda sebagai wujud yang nyata lagi, okay?” “Naya harus lebih bersikap terbuka sama Ayah, Bunda yakin Ayah bakal ngerti.” “Ingat, jangan simpan Bunda sebagai wujud yang nyata lagi. Bunda mau Naya fokus jadi pianis. Wujudkan cita-cita Naya.” “Bunda pergi dulu, ya?” “Bunda akan selalu bersama Naya. Jaga diri, anak Bunda yang paling tersayang.” Nayara berteriak kencang saat sosok itu pergi dari hadapannya. “Bunda, Naya mau ikut sama Bunda!” ujarnya sembari terisak kencang. Dadanya sangat sesak, dan air matanya tak kunjung berhenti. “Naya mau pergi sama Bunda ....” ujarnya sesenggukan. Ia memukul-mukul dadanya dengan pilu. Kenapa rasa ini sesak sekali. Tangannya berhenti saat seseorang memeluknya dari belakang. “Naya ... jangan tinggalin Ayah! Naya gaboleh ikut Bunda! Nanti Ayah sendiri bagaimana?” ucap pria paruh baya itu ikut menangis, ia tidak menyangka putri kecilnya menanggung beban sebesar ini. Ia tidak becus menjadi orang tua. “Bunda, Naya udah gak berguna buat Ayah. Naya mau ikut Bunda!” ujarnya masih tetap melantur. Raharja memutar balikan tubuh putrinya lalu memeluknya dari depan. Membisikkan kata-kata menenangkan pada putrinya itu. “Maafin Ayah, sayang. Naya masih punya Ayah disini, Naya gaboleh tinggalin Ayah sendiri, oke?” “Naya masih berguna buat Ayah, Ayah bakal berubah jadi lebih baik buat Naya.” “Ayah bakal izinin Naya belajar seni musik, Ayah gabakal maksa Naya lagi.” ucap Raharja menenangkan putrinya yang kalut. Ia baru sadar ia terlalu egois dan terobsesi pada kemauan nya sendiri. Apalagi setelah kematian istrinya setahun yang lalu dengan mendadak. “Jangan tinggalin Ayah, ya?” Nayara masih diam sembari menangis tapi tak lama kemudian ia tertidur karena terlalu lelah menangis. Raharja menoleh sendu pada pusaran makam di hadapannya. “Maaf telah gagal menjaga putri kecil kita.” Raharja mengusap air matanya pelan. Setelah itu Raharja membawa putrinya pergi dari tempat penuh kenangan menyakitkan dan sebuah diary yang terjatuh dari sakunya disana. Kara memungut buku diary itu lalu membacanya, air matanya menetes membaca semua kenangan menyedihkan tentang gadis itu. Ia melihat semuanya, dan ia membaca semuanya. Kara harap ia benar-benar mempunyai kesempatan kedua. *** 24 Maret 2020 Aku tidak tahu harus merasa sedih atau senang. Aku baru saja pulang check up dengan Bibi Ame, karena sering melihat Bunda akhir-akhir ini. Kata Dokter aku mengidap penyakit Prolonged Grief Disorder, yang artinya kesedihan berkepanjangan setelah kematian orang tersayang. Aku tidak mau memberitahu Ayah, karena nanti Ayah akan menganggap ku aneh. Kasih sayangnya berkurang setelah Bunda tiada karena penyakit jantung koroner. Oh ya, untuk Dokter Ray, terimakasih telah merawat dan menjaga Bunda semasa hidup dulu. Aku berdoa semoga Dokter bisa kembali berdamai dengan keluarga mu yang utuh dan bahagia. Hey, aku menulis ini saat sedang sadar haha. Haruskah aku senang karena bisa melihat Bunda kembali? Tapi aku tidak yakin, karena itu hanya ilusi ku semata. *** Nayara terbangun di tempat tidur yang empuk. Ia tidak tahu seberapa sembab matanya sekarang ini. Ia duduk sembari melamun. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka menampilkan Ayahnya yang sudah berpenampilan rapi. Tidak biasanya, pikir Nayara. Ia terdiam sebentar mengingat apa yang terjadi kemarin. Yang ia ingat adalah Bunda dan ... Ayahnya. Nayara tidak yakin apakah Ayahnya bisa berubah sepenuhnya. Ia terlalu kalut malam itu. “Pagi, Naya,” sapa Raharja hangat. “P— pagi, Yah,” balas Nayara kikuk. Ia tidak terbiasa dengan situasi ini. “Mau makan apa hari ini?” tanya Raharja sembari merapikan rambut putrinya yang berantakan sehabis bangun tidur. “Makan apa saja,” jawab Nayara cepat. “A— ayah, bolehkah Naya minta sesuatu?” “Apapun untuk Naya,” jawabnya tersenyum. “Naya boleh belajar musik?” “Boleh.” “Naya ga akan belajar bisnis?” “Ayah gabakal maksa Naya lagi mulai sekarang.” “Naya boleh bawa teman kerumah?” “Boleh, sayang.” “Ayah jangan pukul Naya lagi, ya?” Raharja sedikit tersentak kaget mendengar itu. Ia bukan Ayah yang baik, namun ia akan berusaha menjadi yang terbaik mulai sekarang. “Engga ... Naya,” jawab Raharja sendu. Nayara tersenyum senang, ia langsung saja memeluk Ayahnya, pelukan yang ia rindukan sejak dulu. “Maafin Ayah, sayang.” Raharja mengusap air mata yang menetes dengan cepat sebelum putrinya melihat. Nayara mengangguk dalam pelukannya. Gadis itu bersyukur setidaknya Ayahnya mau berubah. Dan terimakasih untuk Bunda yang selama ini selalu menemani nya. “Terima kasih, Ayah mau berubah untuk Naya.” “Terima kasih kembali Naya bisa bertahan sejauh ini untuk Ayah.” “Mulai sekarang, Naya harus rajin psikoterapi, oke?” “Eumm,” jawabnya sambil mengangguk. “Naya mau dimasakin nasi goreng sama Ayah,” pinta Nayara. “Siap laksanakan, putri!” *** “Untukmu,” ucap Kara tiba-tiba pada gadis yang sedang membaca novel itu. “Hah?” “Terima saja,” ujarnya cepat, sebelum melangkah pergi darisana. Wajahnya saja menampilkan raut tenang, namun jantungnya berdetak kencang. Ia tidak pandai berkata-kata, dan ia sangat gugup! Nayara menatap pemberian cowok itu dengan tersenyum. Sebuket bunga tulip putih, dan sebotol yogurt. Sepertinya ia akan memikirkan bunga apa yang akan ia berikan untuk membalasnya. Nayara merogoh ponselnya di saku, lalu menelepon satu-satunya sahabat yang ia punya. “Halo, Sya,” sapanya setelah teleponnya tersambung. “Apa, Nay?” “Malam ini menginap dirumahku, tidak ada penolakan. Bye Meisya.” Nayara langsung memutuskan sambungan teleponnya setelah itu. Ini adalah hari pertama sekolah setelah liburan tengah semester. Semoga ia akan mendapatkan teman hari ini. Ia baru sadar bahwa teman-temannya menganggap nya aneh karena sering berhalusinasi. Nayara berjalan mendekat segerombolan siswi yang sedang mengobrol itu. “Hai, bolehkah aku gabung?” tanya Nayara gugup, ia tidak pernah seperti ini. Segerombolan siswi itu menatap nya aneh, tapi sedetik kemudian salah satunya mengajak nya bergabung dengan ramah. Nayara tersenyum senang, seperti inikah rasanya punya teman? Sementara disisi lain, Kara mengedipkan matanya pada siswi yang telah mengajak Nayara bergabung itu karena telah menjalankan misinya dengan baik. “Naya, maaf sebelumnya kami tidak mengajakmu berteman karena sikapmu yang aneh. Kami tidak tahu kalau kau punya penyakit mental,” jelas salah satu siswi itu. Nayara mengangguk. “Tak apa, aku akan mencoba berteman dengan kalian mulai sekarang,” ujarnya dengan tersenyum tulus. *** “Nay, jangan matiin lampunya,” rengek Meisya saat mereka mau tidur. “Nanti Ayah marah kalau lampunya nyala,” jawab Nayara. “Tapi Ayahmu sudah tidak galak Nayy.” Meisya masih saja merengek, ia tidak biasa tidur seperti ini. “Oh iya, lupa.” Akhirnya Nayara menghidupkan kembali lampu di kamarnya. Lalu berbaring untuk tidur. Lihat, sekarang Meisya sudah memejamkan matanya dengan tenang. Tapi itu tak berlangsung lama, gadis cerewet itu terbangun lagi. “Nay, rumahmu berhantu kah?” “Tidak!” jawab Nayara cepat, selama ia tinggal disini, tidak ada yang pernah mengganggu nya. “Tapi tadi ada yang menggelitik telapak kakiku!” “Pakai selimut,” saran Nayara. Sungguh ia sudah sangat mengantuk mendengarkan perkataan melantur dari sahabat nya itu. “Tapi disini panas, Nay.” Nayara langsung menyalakan AC kamarnya. “Sudah, tuan putri?” Meisya mengangguk senang, ia sangat tidak terbiasa tinggal di rumah sebesar ini, dan kamar sebesar ini. Membuatnya merinding. “Nay, sebenarnya aku punya phasmophobia.” “Kau takut hantu?” tanya Nayara, wajahnya terlihat panik. Meisya mengangguk. “Kasihan sekali, karena rumahku banyak hantunya,” kata Nayara. “Nayaa jangan menakuti ku!!” “Ssttt.” Naya membekap mulut sahabat nya itu karena berteriak malam-malam. “Hantunya sudah kusedot semua.” “Benarkah?” Meisya terlihat tidak percaya. “Tapi tidak heran, karena kau orang kaya. Pasti bisa membeli alat penyedot hantu,” lanjutnya. Nayara melongo, ia tidak percaya candaannya dianggap serius oleh Meisya. “Sya, terimakasih karena telah membantuku mengurangi memikirkan Bunda,” ujar Nayara. “Hmm, sama-sama Naya,” jawabnya dan setelah itu langsung tertidur pulas dengan seluruh badan yang ditutupi selimut. *** “Ini balasanku, dibuka nanti saja,” ujar Nayara pada cowok yang terlihat kalem itu, padahal jantungnya berdetak menggila. Nayara langsung pergi setelah memberikan kotak berisi balasan nya itu. Tapi ia tidak jadi pergi, gadis itu bersembunyi di samping loker sambil terkekeh geli, ingin melihat bagaimana reaksi cowok itu. Sedangkan Kara, cowok itu terlihat takut dan penasaran dengan isi kotak itu. Nayara tertawa melihat reaksi Kara, padahal kotaknya belum dibuka. Sebegitu gugupnya kah? Jangan tulip kuning, jangan tulip kuning, jangan tulip kuning, jangan tulip kuning. Batin Kara dalam hatinya. Cowok itu membuka tutup kotaknya pelan-pelan, lalu matanya menutup sebelah. Dan yang sebelah lagi mengintip isi kotak itu. Anggrek? Sebentar, ia mengingat-ingat dulu apa arti bunga anggrek. Setelah mengingat nya, Kara bersorak senang. Tangannya mengepal keatas dengan bahagia. “Yess!” Ya, ia dapat kesempatan kembali. Nayara tersenyum melihatnya, ia tidak akan mengingat masa lalu. Seperti ini sudah cukup untuknya, saat melihat cowok itu begitu tulus, dan tidak ada kebencian lagi di dalamnya. *** Waktu berlalu begitu cepat, seorang gadis memekik senang melihat papan pengumuman di mading sekolah. Nayara Aashi Raharja, berada dalam urutan ke-1 rangking pararel sekolah. Kara merangkul gadis itu dari samping lalu menyentil jidatnya pelan. “Sampai kapanpun kau tidak bisa mengalahkan ku. Aku hanya sengaja menurunkan nilaiku agar kau bahagia.” Nayara menepis rangkulan itu dengan kesal, cowok itu senang sekali membuat moodnya turun. “Aku sudah giat belajar! Kau saja yang selalu sibuk mengikuti ku! Jadi nilai mu turun!” ujar Nayara sebal. “Ya ya ya, terserah,” balas Kara malas. “Malam ini ayo kita lihat bulan,” ajak cowok itu pada Nayara. Nayara berfikir sebentar. “Bulan? Menarik, ayo pergi malam ini,” ujarnya sembari tersenyum manis. Setelah ajakan yang tiba-tiba itu, Nayara pulang kerumah dengan tergesa-gesa. Ia akhirnya sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan malam ini. Mengapa ia jadi terlihat sangat gugup?! Nayara memakai satu persatu pakaian yang ia punya, dan menurut nya tidak ada yang cocok sama sekali. Apa perempuan seperti ini saat ingin berkencan? Tunggu, kencan? Nayara tersenyum sendiri membayangkan nya. Ya, ia akan menganggap nya seperti itu. Matanya menangkap satu dress yang diberikan Bundanya dulu. Nayara mencocokkan nya di tubuhnya, masih terlihat bagus dan cantik. Bahkan disaat seperti ini, Bundanya masih membantu dirinya. Nayara akan memakai dress ini untuk nanti malam. *** Seorang gadis berjalan pelan di bawah sinar rembulan, ia berjalan mendekati air mancur tempat seorang pemuda duduk. Nayara mendudukkan dirinya disamping Kara. Kenapa malam ini dia begitu tampan? Suara air mancur dibelakangnya memberikan kesan menenangkan. Kara melihat Nayara dari atas sampai bawah. “Cantik,” pujinya. “Ya, aku memang selalu cantik,” balas Nayara percaya diri. Kata Ayahnya ia harus percaya diri dan tidak boleh tersipu berlebihan. Ya, maksudnya seperti ini, kan? Mereka berdua melihat bulan yang cantik dengan tenang. Sesuai permintaan tadi siang, melihat bulan. “Hey, the moon is beautiful, isn't it?” Perkataan Kara membuat jantungnya berdetak cepat, ia menoleh pada cowok itu. Namun Kara masih tetap menatap bulan dengan tenang, tidak lupa dengan senyum menawan di bibirnya. Nayara langsung memeluk Kara dengan erat, ia tidak menyangka bisa bertahan sejauh ini. Kini seorang gadis yang selalu mempunyai masalah dalam hidupnya, selalu dituntut menjadi yang terbaik, dan seorang gadis yang selalu terselimuti ambisi, bisa hidup lebih bahagia. Nayara sadar, seburuk apapun masalahnya, sesulit apapun kehidupannya, ia harus tetap mensyukuri itu. Dan mencoba bertahan selama mungkin adalah cara terbaik agar hidupmu tidak terbuang dengan sia-sia, karena semua masalah pasti ada solusinya. Ia tidak sendiri, semua orang menyayangi nya. Dan Nayara akan menjalani hidupnya lebih baik. Nayara dan hidup barunya. Kara balas memeluk Nayara dengan lembut, gadis itu tersenyum lalu berkata, “Yes, the moon was always beautiful.” TAMAT Fyi: - Renjana artinya adalah rasa hati yang kuat. -Tulip putih adalah tanda permintaan maaf dan kesempatan kedua. - Tulip kuning menunjukkan penolakan cinta. - Bunga anggrek bisa melambangkan terimakasih. - The moon is beautiful, isn't it? adalah ungkapan lain untuk mengungkap kan cinta. Dan jawabannya adalah 'the moon was always beautiful.' Description: “Rasa hati yang kuat” Harta, kecantikan, tidak menjamin kau akan bahagia. Aku tidak tahu hidupku diantara fiksi atau fakta, yang kutahu adalah, aku senang hidup seperti ini. Ya, hidup diantara fiksi dan fakta. Nama: Zalfaa Zakyyah Ig: @zalfaakyh “Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri”
Title: Renjana Kita yang Tertunda Category: Puisi Text: Api Renjana Aku memasukkan abnus dalam api yang menggelora Sedikit demi sedikit terbakar hingga ia pun menghitam Begitu pulalah renjanaku kepadamu Pekat hingga tak bersekat bertingkat-tingkat Aku yang lelah menunggu sekian waktu Tapi, kamu tengah asyik bermain dengan candumu Aku yang tak pernah mau tahu Hingga akhirnya rentan hati kutelan sendiri dalam bisu Dalam labirin waktu Dan janji-janji yang tak menentu Haruskah kuakhiri semua? Sedangkan cinta baru saja menggelora Aku pasrah dalam ketiadaan yang fana Aku menyerah Mataram, 10 Mei 2020 Jejak Kita Selangkah, lalu berhenti Begitu seterusnyaTak bosankah langkahmu berjeda? Selangkah, lalu berhentiKamu ketuk pintu yang lainPadahal, masih ada yang menantimu di balik pintu di belakangmu Selangkah, lalu berhentiBergeming, tak berkata apa punKamu cuma membisu Selangkah, selangkah lagi, lagi, dan lagiTinggalkan jejak kitaJangan menoleh Kita cuma butuh jarak Selamat tinggal .... *Mataram, Agustus 2019 Denting Bel Genta berbunyi bersahutan dengan riangAngin menggerakkannya, lalu diamGenta berdenting beriringanAngin mempermainkannya, lalu diam Tak ada siapa pun di balik dinding pagar ituBegitu juga kamuTak ada siapa pun di antara pepohonan ituWujudmu pun tak tampak Denting bel berirama bagai suara hati penuh cintaTapi, yang aku dapati hanya sunyi dalam hiruk pikuk duniawiAkankah kamu datang?Atau, aku lebih baik menyusulmu ke luar? Ah, lebih baik aku di sini sajaHingga nanti denting bel cinta akan datangItu kamuYa, kamu .... *Mataram, Agustus 2019 Perih Asaku: Untuk Sepotong Senjaku Mr Superman,Masih ingatkah saat mentari mulai turunSiluetmu pun membentuk indahSemburat kemuning itu membias di balik kacaAku mengagumimu dari mejaku Mr Superman,Masih belum cukupkah perih iniKetika senja mulai tampak di ufuk barat ituLalu, senja itu pun membuka kenangan demi kenangan tentangmu Mr Superman,Kita pernah merasakan cintaMeski cinta kita tak menjadi kisah sempurnaAku mencintaimuKamu mencintainyaLalu, cinta pun bertepuk sebelah tanganKita berduka Mr Superman,BahagialahBersama dia dan putri kecilmuBahagialahSeperti aku, yang masih mencintai senja seperti biasaDan bahagia dengan ketiga lelakiku *Mataram, September 2019 Berdua Saja ‘Langkah kita dihitung sejak sekarang’Itu katamu, dulu‘Jangan jauh-jauh dariku’Katamu saat aku tertinggal di belakang ‘Hai, kenapa baju itu yang kamu pilih?’Kulihat penampilanku yang kasual bersandal jepit biru‘Poleslah wajahmu dengan bedak dan lipstik’Aku tak biasa berhias cantik ‘Jangan lupa makan’Sakitku hanya flu, itu saja‘Lihat, aku sudah memesan tiket bioskop’Padahal, aku lebih suka pertunjukan teater Ya, berdua saja denganmuAku terpenjaraAku hanya ingin kita memahamiBukan memaksa Mari, sudahi saja langkah kitaAku ingin bahagiaBersama caraku sendiriBukan hanya jadi seorang putri di hatimu *Mataram, September 2019 Menyusuri Sunyi Kita, pernah sepiPernah sendiri dan berjalan di tepian dermaga tak bertepiDi sana, setangkup rindu menjebakmu dalam gelora kenangan sunyi Kita, pernah sepiPernah meratapi tentang ketidakadilan sebentuk cinta suciCinta bertuan yang berakhir dalam diam dan tak kembali Kita, pernah sepiBerdua sekarang tak cukup memayungi rintiknya gerimis hatiLalu, nyanyian hujan pun datang silih berganti Kita, pernah sepiMenyusuri sunyiMencari sepi sendiri Kita, pernah sepiAkankah kamu tulus mencintai?Dia yang pernah sendiriYang kini membersamai *Mataram, Agustus 2019 Menjaga Kenangan Kamu tahu benar tentang setiap sudut hatikuBegitu juga saat kamu buka kotak ituDi sana, di kotak jingga bergembok nestapaAda luka abadi yang berhias duka Kamu bilang tak mengapa bila ingat masa ituBegitu juga saat kamu melepaskan semua ingatan tentang dia yang kamu sayangBiasa saja bukan?Katamu Menjaga kenangan indah itu tentu biasaTapi, tidak untuk sebuah kepura-puraan Kamu bisa apa kalau kenangan pahit yang bermunculan?Menjaganya pun kamu tak akan rela Aku cuma bilang kalau kenanganku itu kamuJangan paksa aku membuka kotak ituKotak kenangan tentang luka darinya *Mataram, Agustus 2019 Sejumput Asa Aku bisa apa saat kalian berdesakan meminta keluarMembuncah dan terus membuncahAku bisa apa saat kalian berimpitan menyesakkanMembuat gelembung di dadaku bertambah banyak Ya, kalian yang bernama rinduMembuat sejumput asaku berlaluSudahi saja semuaTak perlu lagi kalian membuatku resah Biarkan aku diam sejenakMenikmati helaan kenangan yang beriakJangan biarkan rindu datang lagiToh, cintaku tak akan kembali *Mataram, Agustus 2019 Setangkup Cinta Sehelai daun jatuh saat cinta bersemiDi batas senja janji terpatriTapi, kau masih juga pergiDan tak pernah kembali Masih adakah cintamu kasih?Jangan biarkan aku tersisihDemi setangkup cintaku yang gigihHingga tak ada lagi perih *Mataram, Agustus 2019 Batas Sunyi Kau bertanya kepadaku tentang kitaCinta tanpa syarat yang hadir begitu sajaSedangkan gerimis masih belum usai kala ituTapi, kau masih terus bertanya Kau berkata kepadaku tak ada cinta yang lain selain akuSebelah hatimu sudah kau isi dengan cinta untukkuSedangkan aku masih belum membuka hati untuk cintamuTapi, kau bilang tak mengapa Kau bilang kita ditakdirkan bersamaMengarungi bahtera cinta dan akan bahagiaSedangkan hatiku saja masih belum tertataTapi, kau bilang nanti terbiasa Detik ...Jam ...Hari ...Akhirnya, kau pergi jugaMeninggalkan semua tentang kitaBersama batas sepi yang terpatriDi pelabuhan sunyi tak bertepi Inikah cinta kita? *Mataram, Agustus 2019 Hujan Bicara Kepadaku :Sayang, hujan deras di luarAkankah kamu datang sekarangAtau menunggu hujan reda: :Aku datangTunggu sajaSebentar lagi: Kutatap jarum jam berputarSudah sekian menit berlaluSekian jam menungguKamu masih belum merangkulku Kulihat hujan masih turun dengan derasTak ada jawaban saat kuhubungi dirimuTak ada kabar di manakah dirimuAku lelah menunggu :Cinta?Kekasihmu matiJangan lagi kamu menunggunyaJuga menghubunginya: Hujan, bicara padakuBenarkah dia telah pergi?Tapi, kenapa perempuan laknat itu yang memberi tahu?Bukan dia yang kutunggu *Mataram, Agustus 2019 Detak Detik Kamu mengubah waktukuAku tak bisa pergi ke mana aku mauLihat saja matahari ituMasih belum tinggi, tapi kamu sudah menjagaku hingga tak menepi Jantungku berdetak cepat saat detik jam itu seolah berjalan lebih lambatKamu tahu kenapa?Itu karena kamu masih di dekatku Ah, andai saja kamu jauhAku pasti tak akan beginiMaukah kamu? *Mataram, September 2019 Selepas Kamu Pergi Kamu tahu?Musim dingin hampir tiba, tapi kita masih diam tak bicaraSejak daun berguguran di sepanjang jalan rindu itu, kamu pun tetap membisuTak adakah sedikit pun hati bekumu mencair demi ruang penuh kisah? Sudah terlambat, katamu tiba-tibaSaat aku masih memintamu berkata-kata penuh maknaKamu masih tak bisa membuat harapku membuncahKamu tak bisa membuat daun gugur itu indah Sudahi saja, katamu saat dingin mulai menyelusup di akhir daun jatuhBaiklahSudahi saja cinta semu yang bersemi di hatikuSudahi saja cinta semusimmu ituSaat musim bergantiToh, kamu pun lantas pergi *Mataram, September 2019 Kemuning Daun Gugur Musim berganti Kita masih di siniSebuah tanya menyelusup di hati:Benarkah kalau kita pernah mematri janji? Lihat saja daun musim gugur ituKemuningnya membuncahkan rindukuTapi kamu? Tetap saja membisuTak peduli meski musim gugur akan berlalu Torehkan saja terus luka di hatikuToh, aku masih akan merinduMenghidu baumuMenyesap kenangan di hatiku Musim bergantiKita masih di siniSebuah tanya menyelusup di hati:Pertahankan atau sudahi?Untuk siapa cinta ini?Kalau kamu tak peduli Kita Bukan Siapa-Siapa Pagi kamu! Kita sedang bicara dari hatiSayangnya, aku mau diam-diam tak lagi peduliTapi, apa dayaSetiap kueja namamu dalam doaKupu-kupu menyergap rongga perut dan naik ke dadaDegupnya lebih kencang daripada jatuh cintaBolehkah aku tetap mengeja namamu?Atau, aku pergi saja diam-diamKita, atau lebih tepatnya aku, tak lagi di sisimuPagi kamu! Kita bukan siapa-siapa Mataram, 04 April 2020 Pengharapan Aku tengah menulis namamu dalam kertas buramKemudian, mengeja namamu agar Tuhan mendengar di sepertiga malamAku juga memupuk benih-benih rindu agar bisa kita tuai menjadi tunas-tunas jatuh cinta yang manisHei, pernahkah kamu berpikir kalau kita akan menua bersama, menikmati masa bahagia hingga senja, lalu Tuhan memanggil kita pulang?Sejak 40 hari kita bersemayam dalam rahim ibu, garis takdir sudah tercatat dalam segumpal daging ituKalaupun jalan kita telah usai, bisa jadi nanti di taman-Nya kita akan bertemu kembaliBukankah cinta pertama akan menjadi pendamping kita di sana? Tapi, entah siapa yang akan beruntung mereguk nikmat ituTerima kasih untuk sebentuk cinta yang tulus saat iniDariku yang mendoakanmu baik-baik saja Mataram, 08 April 2020 Tentang Kita Kamu tahu?Saat mulai mengenalmu, aku tak pernah menyangka akan terjebak dalam asa penuh rasaHampir setiap waktu, bayangmu menyelusup di separuh hidupkuHingga aku tak tahan ingin menyapamu selalu agar renjanaku tak lagi penuh dukaLalu, aku menerima kenyataan dari ketiadaan yang menjebakku dalam labirin-labirin rinduBahagiakah kita saat itu?Ya, aku masih ingat benar saat kamu membuat duniaku berubah dengan perlakuan manismuKita bicara tentang masa bahagia nantiDi antara kabut-kabut sunyi dan harapan sepenuh jiwaDi antara embun pagi yang mentari pun enggan membuat dia pergiHai, apa kabarmu sekarang? Aku berharap kamu baik-baik saja selepas kupergiMaaf, aku pergi hanya agar kamu tetap bahagia dan tak berharap tentang aku kembaliAku pergi setelah aku menanti kamu mendekatkan jarak kitaSetelah aku mulai bosan dengan jalan kitaBukankah memilih pergi lebih baik daripada terluka saat tahu kita tak akan baik-baik saja?Ini tentang kita, jawaban akan pertanyaanmu kenapa aku pergiLupakan aku, lalu bahagialah dengan duniamu sekarangJangan ingat aku juga, yang fana di antara kenyataan cerita kita *Mataram, Maret 2020 (Puisi ini terinspirasi dari puisi seorang kawan berjudul Ranu, Eko Nur Soleh @eknrsl) Akshaya (Ingatan tentang Kamu) Akshaya ... Kita berjumpa saat siluet senja tampak manis dan gerimis menghapus jejak masa laluNetramu tenggelam dalam kepedihan di awal perjumpaanHingga aku tak bisa memelukmu meski sebentar saat kau butuh bahu untuk bersandar Di penghujung hari itu, ketika hati kita mulai berlabuh di dermaga yang sama, nuansamu semakin membuatku jatuh cintaCerita demi cerita mengalir saat kita mulai mengeja baris demi baris kebahagiaanAku yang mencoba membuatmu ceria hari demi hariAkhirnya bisa melihat senyum menghiasi wajah cantikmu yang sempurna Akshaya ...Berbahagialah seperti mentari pagi yang bersinarTeruslah melangkah meski aku tak lagi bersamamuHai, bukankah dulu kita berjanji akan baik-baik saja bila salah satu di antara kita pergi?Ingat saja itu, bukan tentang aku yang pergi dan tak kembaliKamu yang menyerah saat baik-baik sajaAtau, kita yang tak menemukan pelabuhan terakhir atas doa-doa kitaIngat saja tentang kenangan terindah yang pernah kita bagi di setiap pagi dan penghujung hari demi hari laluIngat saja itu ... *Mataram, Maret 2020 (Puisi yang masih terinspirasi dari puisi Ranu, Ekon Nur Soleh) Sajak Sore Hari Kupandang lekat-lekat potongan wajahmu dari layar minikuMata yang katamu meneduhkanMata yang katamu menenangkanMata yang katamu menyejukkanBuatku semua salah Mata itu bukan saja membius sukma terdalamkuJuga mengoyak pertahananku yang kujaga benarAku tahu, kita tak bisa melipat jarak meski sebentarKita tak bisa saling berdekatanLalu, menghidu aroma cinta kita masing-masingHingga sedekat yang kita mau Sejak lalu, hingga sore iniKita hanya berceritaTak lebihItu sajaPadahal, aku rindu *Mataram, 22 April 2020 (Puisi yang terinspirasi dari potongan puzzle mata seseorang yang baru bangun tidur ???) Kita dalam Diam Kita Sudah menyerah Kalah Dalam ketiadaan yang pasrah Kita Beku dalam bisu Meratapi sebentuk sedu sedan Tentang kehilangan Kita Diam Mengeja kenangan Yang datang pelan-pelan Hingga rindu tertahan Kita bukan siapa-siapa Hanya fana yang nyata *Mataram, 23 Mei 2020 Di Balik Jendela Tertutup Hujan turun Kenangan menyelusup perih Di hati yang terluka Di balik jendela tertutup Bisik angin berembus perlahan Mengabarkan rindu tertahan Netra yang redup perlahan bercerita Kalau ia tak bisa lagi menunggu Di antara kabut sunyi dalam sayup-sayup malam Description: Kumpulan puisi dari sekelumit rindu, asa, dan kenangan yang menjadi satu. Padahal, sang empunya cerita bukan siapa-siapa untuk Tuan yang diceritakan. Selamat membaca ....
Title: RENCAH Category: Adult Romance Text: KING BAKER Prolog Entah ada angin apa, seluruh wartawan yang biasa ngepos di kementerian pariwisata dipanggil. Kasak kusuk muncul info bahwa ada pengumuman super penting. Saking pentingnya, semua wartawan diwajibkan ngumpul sesegera mungkin. Mereka diminta jangan mikir panjang panjang. Pokoknya dateng dulu. Kalo mereka gak dateng, bisa kecewa berat karena bakal kehilangan kesempatan meliput berita yang bakal jadi kepala garis alias headlines. Bahkan ada ancaman yang lebih keras lagi, yang gak dateng bakal diketawain semua media di Indonesia karena melewatkan berita yang hanya ada sekali dalam sejarah ini. Lebay sih…tapi itu emang kadang jadi strategi humas biar press conference gak jadi kayak pertunjukan wayang kulit di jam 1 malam. “Reshuffle kali, makanya menterinya mau pamit,” kata Yonde, wartawan majalah GO! “Heh, reshuffle itu pengumumannya di istana, bukan di kantor kementerian pariwisata!” balas Robert, wartawan televisi SatuBerita. “Lagipula mana ada menteri bakal mengaku direshuffle kalau belum ada kabar dari pihak istana??” “Yon, diliat dari karakter loe nih, harusnya nama majalah loe dirubah!” balas Konde, wartawan majalah OLD HERITAGE kepada Yonde yang mengeluarkan hipotesa agak nyeleweng mengenai pemanggilan mereka. “Dirubah gimana?” tanya Yonde. “Harusnya jangan GO! aja. Tapi ditambah judulnya pake BLOK,” kata Konde. “Wah, jadi GO BLOK dong!” kata Yonde. “Kok GO BLOK?” “Iya, sesuai ciri khas elo!” kata Konde. Para wartawan lain tertawa mendengar guyonan Konde dan Yonde yang bagai pinang (busuk) dibelah dua. Ketika mereka asyk tertawa, humas Kementerian Pariwisata muncul. Dia sebenarnya gak mau ketemu wartawan, dia cuma lagi nyiapin tempat buat press conference. Yah, cuman waktu dia datang tidak tepat. Langsung saja dia diserbu para wartawan yang level penasarannya menyamai gadis gadis penggemar drama Korea yang menantikan kelanjutan drakor mereka yang misterius (padahal cuma dipanjang panjangin biar pas enam belas episode). “Lex, kok ada pres-kon tiba tiba nih? Ada apa sih? Reshuffle yah?” tanya Yonde. “Lex, makan siang di kementerian kok lama lama sayur terus? Ayam goreng kapan?” tanya wartawan lain. “Sekali kali Hok Ben gitu kenapa??” “Lex, loe kata pasang Liverpool pasti juara!? Kenapa kalah kemarin nyet!” Alex kebingungan dan berusaha menenangkan para wartawan. “Sabar kawan kawanku, semua akan indah pada waktunya,” kata Alex. “Loe kira lagunya Delon apa? Awas loe Lex kalo beritanya sampe gak penting!” keluh Konde kesal. “Gue udah lari larian dari CuMi (Cut Mutia, tempat nongkrong wartawan) sampai kesini!” “Nggak nggak, ini bakal jadi headlines. Ini tentang ekshibisi di Paris,” kata Alex. “Itu lho yang festival kuliner internasional!” “Waa ini, bocor!” balas Robert. “Jadi beneran nih chef nomor satu kita bakal berangkat dengan sponsor Jang Family?” “Heh, kita gak perlu minta mintalah ama kakek tua bangkotan si Jang itu,” kata Robert. “Bukan itulah! Malu kita minta ama dia!” “Terus apa?” “Ya.. tunggu Pak menteri ngomong lah.” Saat mereka masih ribut, menteri pariwista masuk bersama dengan jajarannya, termasuk panitia delegasi keberangkatan ke Paris. “Lho lho,” kata Robert. “Kok bintang utamanya gak ada?” “Siapa?” kata Yonde. “Ya siapa lagi dong nyet!” kata Konde. “Yongki Himawan lah! Our celebrity chef yang kepopulerannya sekarang udah tinggal satu level di bawah Martin Yan!” “Padahal masih muda,” balas wartawan lainnya. “Harapan Indonesia nih!” kata Konde. “Kalau aku harapan siapa?” canda Yonde. “BERISIK!” balas wartawan wartawan lainnya. Menteri Pariwisata maju ke depan, mengambil mic dan mulai berbasa basi. Para wartawan manggut manggut saja mendengarkan. Mereka gak peduli apa yang diomongin si menteri. Mereka cuma mau tahu satu hal: intinya, ada apa sih? “Jadi, kalian sudah paham maksud saya?” tanya menteri. Wartawan wartawan kompak menggelengkan kepala. “Yah, saya gak kaget, tadi sebenarnya saya sedang menceritakan kenapa istri kemarin mengusir saya dari rumah dan kalian bahkan gak tahu kalau saya ngomongnya ngaco,” kata Menteri Pariwisata kecewa. “Anda diusir dari rumah?” kata Yonde langsung bersemangat. “Ya enggaklah! Tuh kan, kalian emang cuma peduli apa inti press conference hari ini dan gak peduli apapun lainnya,” kata Menteri kesal. “Okelah, langsung to the point saja, Yongki Himawan resmi mengundurkan diri dari ekshibisi Prancis. Terima kasih.” “Apaa???” “Dan dia mengundurkan diri dari dunia kuliner seluruhnya,” kata Menteri Pariwisata. “Ini gak bercanda. Dan anda aja kaget, apalagi saya yang menteri ini, rasanya seperti kena serangan jantung saja. Sudah ya? Makasih.” Berlalulah Menteri Pariwasata dengan banyak pertanyaan dalam diri para wartawan yang sedang bertugas di situ. * * * Dua setengah tahun kemudian… Yongki Himawan sampai di dapur King Baker pada pukul empat pagi. Dapur masih kosong. Dia yang pertama datang. Dia selalu menjadi yang pertama datang. Pegawai dari King Baker silih berganti keluar masuk menjadi bagian tim. Bakat bakat dari berbagai baker di banyak penjuru Indonesia sudah pernah mampir di King Baker. Sesuai namanya, King Baker memang ingin menjadi kawah candradimuka dari para baker terbaik di kota Yogyakarta. Tapi mereka semua—sebesar apapun bakatnya—tidak bisa mengalahkan dedikasi Yongki. Yongki berbeda, otaknya hanya berisi soal kuliner saja, terutamanya pembuatan roti (untuk saat ini, walaupun dengar dengar ia memang suka belajar ilmu kuliner apapun), ia terlihat seolah tidak memiliki ruang untuk masalah masalah lain. Persetan dengan cinta, keluarga dan apalagi liburan!…mungkin seperti itu kira kira isi kepala Yongki. Di usia ke dua puluh delapan, banyak orang bertanya, apakah Yongki tidak punya kehidupan lain selain menjadi baker? Sejujurnya, orang tak percaya bahwa ia pernah menikah. Pernah di sini harus ditekankan dengan benar benar. Karena statusnya saat ini adalah seorang duda. Istrinya meninggal. Begitu kabar burungnya walau tidak bisa dipastikan dengan benar benar. Tak banyak yang tahu siapa istrinya. Ia juga jarang bercerita mengenai kisah cinta misteriusnya itu. Bahkan ini yang lebih parah, tak ada yang tahu nama istrinya. Yongki benar benar tidak pernah menyinggung soal siapa sosok wanita misterius itu. …Jangan jangan istrinya kuntilanak, begitu canda orang orang… Hush! Dia tidak terlihat sedih atas kematian istrinya. Begitu pendapat orang pada diri Yongki. Soal waktu istrinya meninggal juga tak ada yang tahu. Cuma katanya kira kira tiga tahun yang lalu, pokoknya sebelum dia bergabung dengan King Baker. Ia juga seperti tak punya keluarga dan hanya berkutat di dapur hampir setiap waktu tanpa henti. Ia hampir selalu berangkat pukul empat pagi dan langsung sibuk dengan rutinitasnya sebagai baker. Kenapa harus sepagi itu? Pertanyaan bagus. Yongki menilai roti manis dengan butter cream khas King Baker menurutnya harus dibuat pagi benar. Roti yang dikenal dengan nama Roti Semir di kalangan masyarakat Yogyakarta ini memang punya karakteristik unik. “Saya tidak menggunakan ragi instan untuk membuatnya, dibutuhkan ragi koral yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum bisa digunakan,” kata Yongki menjelaskan pada baker lainnya. “Kenapa ragi koral? Ragi Koral memiliki kemampuan untuk mengembangkan roti tanpa membuatnya jadi kehilangan kadar air dan kelembapannya. Permasalahannya ragi instan membutuhkan waktu hingga kurang lebih dua belas jam hingga mengembang sempurna, sementara ragi instan hanya membutuhkan waktu kurang dari dua jam saja. Roti matang dan bisa dipanggang tepat pukul tujuh malam jika saya membuatnya dari pukul empat pagi. Mengapa? Setidaknya dibutuhkan waktu hingga dua jam untuk membuat adonan menjadi kalis. Kenapa saya butuh dua jam? Sebab adonan ini memiliki kandungan telur yang sangat tinggi. Saya tak akan memberitahu kamu berapa tepatnya butir telur yang dibutuhkan untuk membuat roti ini sebab itu rahasia perusahaan dan juga rahasia saya. Namun, dengan banyaknya telur, makin lama waktu yang dibutuhkan adonan untuk menjadi kalis. Oke, kembali mengapa roti harus dipanggang pukul tujuh malam, sederhana, saya menemukan bahwa waktu antara jam tujuh malam hingga pukul tujuh pagi alias waktu buka toko merupakan waktu terbaik untuk menjual roti itu. Pukul tujuh pagi, roti akan memiliki tekstur yang tepat sehingga rasanya jauh lebih enak daripada saat disajikan panas panas. Kenapa? Roti hangat mungkin terasa enak, tapi rasa panas juga membunuh beberapa indra perasa sesaat sehingga kamu tidak akan merasakan rasa terenak dari roti itu. Pukul tujuh pagi untuk roti yang matang pukul tujuh malam, itulah waktu yang terbaik.” Saat Yongki menjelaskan cara pembuatan roti semir itu, beberapa baker junior yang hobinya sibuk bermain instagram terpana. Yongki lalu bertanya apa mereka memahami penjelasannya. Mereka menggeleng bareng bareng dan lalu kembali ke smarphone mereka, sibuk membalasi chat para gebetan atau pacar mereka. Yongki cuma bisa tersenyum pahit. Hanya ada satu orang yang mendengarkan dengan sungguh sungguh. Namanya Kara Culina. Yongki menekan saklar lampu. Saat lampu menyala, ia melihat Kara tertidur di kursi dengan tangan disilangkan di meja dan kepala dibenamkan di lengan. Yongki terkejut. Kara ini masih baker baru. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang memilih untuk menjadi baker daripada kuliah dimana gitu yang jelas lebih nyaman. Toh, dia berasal dari keluarga mampu. Mampu sekali malah. Dia seharusnya pergi ke Le Cordon Bleu di Australia dan menjadi chef di salah satu restoran Michelin di Bali atau Jakarta setelah lulus. “Kara, bangun,” kata Yongki. Kara terbangun dan kaget saat melihat Yongki. “Maaf kak, saya tertidur di dapur,” kata Kara. “Kamu kenapa tertidur di dapur?” tanya Yongki. “ Saya khawatir roti gandum saya terlalu mengembang, jadi saya tungguin,” kata Kara. “Karaa, Roti gandum gak usah ditungguin,” kata Yongki sambil tertawa pelan. “Saya pakai gist coral sebagai raginya supaya tekstur roti tidak kering,” kata Kara menjelaskan. “Roti gandum itu teksturnya emang kering. Kamu gak perlu repot repot bikin roti gandum dengan gist coral, gak ada bedanya. Pakai saja ragi instan,” kata Yongki menasehati. “Oh gitu ya,” kata Kara kecewa. “Iya,” kata Yongki. “Kara kamu kayaknya capek, mau pulang aja?” “Gak bisa Kak! Aku kan ada shift pagi ini,” kata Kara. “Aku gak mau kamu sakit, aku anterin pulang aja ya?” kata Yongki. “Ciee..perhatian banget kakak,” goda Kara. “Ha..ha..kamu nih udah pinter ya,” kata Yongki. “Beda kayak pas masih kecil dulu..” “Ya kan udah gede, beda dong!” kata Kara. “Kara, kamu lucu deh,” goda Yongki. “Gini aja, aku bikin adonan dulu sampai jam enam pagi, abis itu aku anter kamu pulang. Gimana?” “Oke, aku mau lihat Kak Yongki bikin roti.” “Boleh,” kata Yongki. “Yang harus kamu tau dulu, roti manis yang jadi dasar roti semir khas Indonesia ini bukan roti yang perlu teknik aneh aneh seperti Sourdough atau Baguette misalnya.” “Tapi kenapa yang bikin seenak Kak Yongki gak ada?” “Itu karena mereka bikinnya gak serius, mereka gak sungguh sungguh,” kata Yongki. “Misalnya aja nih kamu lihat ya mixer ini. Kalau kamu memasukkan adonan terlalu banyak atau menyalakan hook terlalu cepat, adonan akan panas, pengembangan roti tak maksimal. Ini teknik dasar, tapi banyak yang melakukan kesalahan mendasar ini.” “Oh, pantes,” kata Kara. “Pantes apa?” tanya Yongki. “Pantes kemarin adonanku gak mengembang,” kata Kara. “Lhah, terus dikemanain?” “Digoreng ama anak anak, dicocol pake saus coklat ama vanilla.” “Beneran?” “Aduh maafin Kara ya Kak Yongki. Kara jadi bocorin aib teman teman.” “Santaaii.” “Kak Yongki…kok bisa pintar sih bikin roti?” “Aku bukan pintar. Aku cuma belajar saja. Terus aku ini dasarnya bukan baker. Aku ini chef masakan Indonesia. Cuma sekarang aja aku jadi baker,” kata Yongki menjelaskan. “Oh ya, kenapa kok milih jadi baker?” tanya Kara. “Suatu hari aku akan cerita. Intinya ada hubungannya dengan liburanku pasca pensiun perdana waktu itu sih,” kata Yongki sambil tertawa. “Sekarang aku fokus bikin roti dulu ya?” ”Siaap,” kata Kara. Yongki melemparkan senyum pada Kara. Ia lalu mengacak acak rambut gadis itu pelan. “Gak nyangka kok ya bisa segede ini,” canda Yongki. “Padahal dulu masih main petak umpet!” “Kak Yongki itu ngomongnya kayak kita ini bedanya tiga puluh tahun aja!” protes Kara. “Lho kan emang beda kita lumayan lho. Sepuluh tahun.” “Sepuluh tahun biasa aja kali.” GUNAWAN Kira kira pukul enam pagi, pekerjaan Yongki selesai. Adonan roti telah selesai dan tinggal ditunggu beberapa waktu sebelum kemudian dibentuk menjadi adonan bola bola yang kemudian diletakkan di cetakan dan didiamkan hingga mengembang sempurna. Saat itu Yongki menghabiskan waktu dengan sebatang rokok A Mild Slim yang beraroma mentol. Saat melihat Yongki merokok, Kara terkejut. Ia tidak menyangka orang seperti Yongki akan merokok. Rokok bukanlah hal yang baik untuk chef atau baker karena mempercepat proses melemahnya indra perasa. Meski demikian, beberapa chef tetap saja merokok, mereka tak terlalu peduli karena mereka merasa layak butuh hiburan dan relaksasi. Namun untuk seorang Yongki…orang dengan standar tinggi…itu aneh..walau rokoknya adalah jenis rokok yang ringan sekalipun. “Kenapa?” tanya Yongki sambil mematikan rokoknya di asbak. “Kakak merokok,” kata Kara. “Aneh ya?” tanya Yongki. “Aneh banget.” “Maaf, aku sebenarnya merokok baru setahun ini,” kata Yongki. “Berhentilah Kak, demi Kara!” kata Kara serius. Yongki menyunggingkan senyum. Anak ini kok udah pinter ya ngomongnya… “Nanti aku akan mencoba belajar berhenti pelan pelan ya?” kata Yongki. “Jangan pelan pelan dong!” kata Kara. “Buruan!” Yongki tertawa mendengar cara Kara mendesak dia. Cara Kara mendesak dia kok malah terdengar imut ya..Aneh.. “Kara yuk bantu aku membulatkan adonan. Gimana?,” kata Yongki. “Oke,” kata Kara. Mereka berdua lalu membulatkan adonan yang akan digunakan untuk membuat roti semir. “Kakak ‘kan udah lama kenal ayah. Tapi aku gak tahu dulu Kak Yongki ketemu ayah dimana” tanya Kara. “Jadi penasaran…” “Ya ketemu ketemu aja, aku aja lupa,” kata Yongki. “Dunia kuliner Indonesia kan gak segede itu juga. Orangnya ya itu itu aja. Seenggaknya kita pasti pernah bersilangan jalan dimana gitu. Gak mungkin bener bener blank.” “Tapi Kak Yongki ama papa itu kok dulu bisa akrab banget?” kata Kara. “Padahal perasaan kalian beda generasi ‘kan?” “Aku suka ama papamu. Orangnya suka ngobrol dan gak malu malu berbagi ilmu, dia juga orangnya gak jaim. Makanya kita banyak ngobrol,” kata Yongki. “Dia orang yang sangat menyenangkan. Aku malah kaget mendengar kamu kurang tahu soal papamu. Apa kamu jarang ngobrol ama papamu?” “Papa kan sibuk. Aku lebih sering ngobrol ama mama. Dulu…” Yongki terdiam. Ia tahu bahwa ibunda Kara sudah meninggal beberapa tahun lalu. Kanker serviks katanya. Menurut dokter, penyakit ini seharusnya bisa lebih cepat ditemukan seandainya wanita itu sering melakukan tes. Namun, nampaknya wanita itu terlalu sibuk dan menyepelekan symptom awal penyakit itu. Ia lengah sehingga tahu tahu saja kanker itu sudah menyebar ke organ organ vital dan mengakhiri kehidupan wanita ramah itu. Gara gara kejadian itu, ayah Kara sering kelihatan sedih di beberapa momen tertentu. Banyak yang mengatakan Ayah Kara merasa sangat bersalah dengan kejadian itu. “Kamu cewek hebat,” kata Yongki. “Papamu pernah bilang begitu padaku.” “Benarkah?” kata Kara. “Aku gak sekuat itu Kak Yongki.” “Kamu sekuat itu. Aku bisa melihat dari mataku. Mataku jarang salah. Instingku juga berkata demikian dan aku orang yang amat instingtif.” “Iya, aku percaya ama mata kakak yang kayak heat detector, dari mata kakak aja, kakak tahu mana adonan yang lupa dikasih butter ama yang enggak.” Yongki meringis. “Itu gampang kali, kan dari warna jelas beda..” “Hanya Kak Yongki yang ngomong gitu di King Baker.” Yongki tertawa. “Kamu tuh pinter kalau ngomong. Cerdas banget. Kayak mamamu.” “Oh ya, tahu darimana?” “Papamu.” Mereka berdua akhirnya selesai membentuk adonan dalam satu jam. Yongki lalu mengambil jaket kulitnya dang mengajak Kara pulang dengan mengendarai motor Yamaha RX King Jet Darat miliknya. Motor Yongki langsung melaju cepat menembus pagi di Jogja, lewat Malioboro, lalu jalan Diponegoro dan berhenti di penjual jajan pasar khas Jawa Mbah Satinem yang terkenal dengan Lopisnya. “Jajan dulu,” kata Yongki sambil tersenyum. “Wuih, gak pa pa nih?” tanya Kara. “Gak pa pa lah. Emangnya anak SD, gak boleh jajan di jalan?” canda Yongki. Mereka berdua lalu ngantri menunggu lopis buatan Mbah Satinem. “Kamu serius pengen jadi baker atau chef?” tanya Yongki. “Serius lah,” kata Kara. “Kata papamu dulu kamu dancer K-Pop, terus nilai nilai ilmu alam kamu bagus. Kamu jarang kerja di dapur. Sekarang tiba tiba pengen kerja di bidang kuliner, papamu aja kaget,” kata Yongki. “Sebenarnya aku benci dapur,” kata Kara. “Dulunya…” “Oh ya, kenapa?” “Karena kecintaan papa di dapur, rasanya cintanya ke keluarga berkurang,” kata Kara. “Aku makin benci dengan dapur setelah mama meninggal..” “Lalu kenapa kamu tiba tiba berubah?” “Aku lihat papa menangis…di dapur kami…Ia menangis saat bikin makanan kesukaan mama.” “Masakan apa itu?” Kara tertawa pelan. “Sambal Leunca yang pake oncom.” “Seriusan?” tanya Yongki tak percaya atas apa yang baru ia dengar. “Iya, kayaknya gampang ya, tapi Mama cuma suka Sambal Leunca buatan Papa aja. Menurutnya, yang lain gak bisa bikin seenak punya papa,” kata Kara. “I see,” kata Yongki. “Mama benar benar bisa bedain mana Sambal Leunca buatan ayah dan mana yang bukan,” kata Kara. “Padahal, aku aja mana ngerti. Hahahaha…” Kara tertawa. “Saat itulah aku baru sadar Kak Yongki. Ada hal yang gak aku paham dari Papa dan Mama,” kata Kara. “Aku gak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Selama ini aku hanya ngejudge mereka dari pengalamanku sendiri. Aku pengen jadi chef untuk tahu cerita papa dan mama sebenarnya,” kata Kara. Ia termenung. Yongki jadi tidak enak hati. “Kok aku jadi curhat ya??” kata Kara lagi. “Maafin aku Kak Yongki!” “Maaf untuk apa?” kata Yongki. “Kamu kan gak bikin kesalahan apa apa!” “Yaa, siapa tahu aja, aku salah,” kata Kara. “Aneh kamu,” kata Yongki. Ia tersenyum simpul, Setelah menghabiskan lopis mereka, Yongki mengantarkan Kara sampai ke rumahnya. Saat tiba di rumah Kara, ayah Kara rupanya sedang menyirami tanaman. Ia tampak terkejut melihat Kara diantarkan oleh Yongki. “Lho Yongki ‘kan? Akhirnya kita ketemu juga!” kata Ayah Kara. “Sejak aku pulang dari Jakarta, aku belum sempat lihat kamu. Baru tau dari ceritanya Kara aja nih. Kok baik banget kamu mau nganterin anakku pulang. Ada apa?” “Ini si Kara kecapekan. Kasian kalau dia pulang sendiri, “ jelas Yongki. Ayah Kara tertawa. “Dasar kamu, jadi ngrepotin Om Yongki deh!” “Kakak!” kata Kara mengkoreksi. “Kak Yongki belum setua itu kali Pah.” “Tiga delapan kan?” tanya Ayah Kara. “dua…dua delapan,” kata Yongki salah tingkah. “Oh iya?” kata Ayah Kara terkejut. “Iyaa. Pak Gunawan,” kata Yongki meyakinkan. “Maaf yah, maklum banyak yang harus aku ingat,” kata Ayah Kara sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Saya paham pak,” kata Yongki. Kara menguap. Ia ngantuk sekali. “Aku masuk duluan yah,” kata Kara. “Mau tidur. Aku tinggal dulu ya Pa? Makasih Kak Yongki.” “Iyaa,” kata Yongki. Kara melempar senyum dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah. Yongki lalu menatap Gunawan, ayah Kara itu. “Anda bercanda ‘kan waktu lupa umur saya?” tanya Yongki. Gunawan cuma nyengir. Yongki langsung tahu Gunawan tadi cuma bercanda (ato sebenernya dia beneran lupa? Yongki gak bisa bedain). “Eh Yong,” kata Gunawan. “Kamu buru buru pulang gak?” “Yah, enggak sih. Masih ada anak buahku yang bisa handle di bakery.” “Temani aku sarapan yuk? Mau ‘kan?” kata Gunawan. “Saya gak bisa makan banyak banyak, tadi saya udah makan sama Kara,” kata Yongki. “Ternyata kalian sudah sedekat itu,” kata Gunawan. “Ya saya gak pa pa juga sih..” “Tenang Pak, kita cuma rekan sesama baker.” “Saya gak ngelarang kalian pacaran lho..” Yongki bingung mau ngejawab apa. GURAMEH Gunawan mengajak Yongki sarapan di salah satu gudeg Jogja yang ada di dekat rumahnya. Gunawan mengatakan gudeg yang dijual bukan gudeg paling enak, tapi lebih mending daripada beberapa restoran gudeg yang mengklaim original atau khas. Sejujurnya, siapa juga yang tahu gudeg original kayak apa? Kayaknya udah berlalu puluhan tahun dan jelas gudeg sekarang beda dengan yang dulu. “Seenggaknya ya, ini Gudeg rasanya gak kayak permen!” jelas Gunawan. “Gila bener sekarang, banyak orang jualnya asal manis banget, asal pedas banget, dan seterusnya..mereka kayak gak tau kalo manusia itu makan tuh juga butuh rasa.” “Mereka ‘kan bukan chef pak,” kata Yongki sembari nyengir. “Masak ya masak, gak pake ilmu, gak pake seni.” “Ah kata siapa, itu Mbok Satinem kurang pinter apa kalo soal jajan pasar, gak perlu sekolah chef tuh. Ya itu kembali ke orangnya! Mau belajar apa gak,” kata Gunawan menjelaskan secara berapi api. Gunawan memang selalu begitu. Kalau sudah bicara soal masak memasak, ia paling gila. Harusnya dia nikah saja ama panci dan frying pan, anaknya bakal keluar Iron Man, bukan Kara. Hi…hi..hi… “Kamu ingat waktu kamu belajar sama saya pertama kali?” tanya Gunawan. “Ingat soal kisah Gurameh itu?” “Siapa yang bisa lupa pak?” kata Yongki. Itu adalah hari pertama di Bulan Agustus. Yongki menjadi anak magang di sebuah rumah makan khas Sunda. Pelajaran pertama hari itu bagi Yongki adalah cara menyembelih ikan Gurameh. Oke, bagi kalian ini aneh. Kenapa Yongki menyebutnya sebagai Gurameh? Padahal dalam KBBI jelas cara memanggil ikan itu adalah Gurami. Namun, Yongki terbiasa menyebut ikan itu sebagai Gurameh karena Gunawan juga terbiasa memanggilnya begitu. Jadi kenapa Gunawan menyebutnya sebagai Gurameh? “Ya gini caraku menyebut Gurameh dari kecil. Gurameh ya Gurameh, kalau kusebut Gurami ya aneh,” kata Gunawan suatu kali. “Anda gak khawatir ditertawakan?” tanya salah satu murid sekaligus teman seangkatan Yongki. “Kenapa saya harus ditertawakan?” tanya Gunawan. “Saya sudah hidup di tanah Sunda selama bertahun tahun dan saya tak mempermasalahkan bagaimana cara orang Jakarta berbahasa Sunda dengan aneh. Kini kenapa saya harus malu dengan aksen saya dalam berbahasa Indonesia?” Yeah…benar juga sih dia. Kira kira itulah yang dipikirkan Yongki. “Sekarang kalian sembelih Gurameh yang ada di akuarium itu, lalu kalian bersihkan sisik luarnya dan buang jeroannya. Yang hasilnya paling jelek, gak dapet makan malam hari ini!” “Hah!” kata Yongki dan teman temannya. “Bercanda kali, kamu kira aku guru kungfu sadis di film apa? Pake cara keras seenak jidat. Bisa bisa aku dipanggil Kemenaker pulak,” kata Gunawan sambil terkekeh. “Udah buruan digarap.” Kenyataannya membunuh Gurameh atau Gurami atau apalah itu tak semudah yang dibayangkan. Gurameh ikan yang bandel. Satu pukulan keras di kepalanya tak akan langsung membunuhnya, ia masih bisa meronta ronta dan jatuh ke lantai, mencari sedikit air untuk bertahan hidup walau cuma menambah waktu hidupnya kurang dari sepuluh menit. “Anjrit!” kata salah satu teman Yongki. “Ini Gurami mutan kali ya! Gue pukul tiga kali kagak mati mati!” “Cara kamu kayaknya kurang tepat, boleh aku bantu?” kata Yongki. “Iya kak, aku minta tolong..” Yongki lalu mengambil palu yang sudah disiapkan. Yongki kemudian menahan badan Gurameh dengan tangannya dan memukul kepala Gurameh itu dengan keras dan cepat serta pastinya efisien. Gurameh itu langsung berhenti bergerak. “Kamu harus bisa mengguncang kepalanya hingga ia masuk ke dalam keadaan koma,” kata Yongki. “Setelah dia lemah, baru kau hajar lagi kepalanya.” Yongki lalu mengayunkan palunya lagi dan terdiamlah ikan Gurami malang itu. “Itu mampus?” tanya salah seorang teman Yongki retoris.. “Yah, demikianlah,” kata Yongki. Yongki langsung membersihkan jeroan dari Gurami. Ia lalu menyikat bagian sisik luar dari si Gurami yang keras dan kasar. Setelah itu, ia mencari susu kotak Low fat tanpa rasa di kulkas dan merendam Gurameh itu ke dalam susu. “What the fuck Yong!” kata teman temannya. “Apa yang kamu lakukan.” Yongki hanya tersenyum tipis. Gunawan yang melihatnya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala tanda keheranan. Yongki segera sadar bahwa Gunawan tahu betul apa yang Yongki lakukan, segera Yongki mengambil cuka dan mencampurkan cuka ke dalam campuran susu dan ikan itu. Setelah itu ia keluar dari dapur disertai keheranan dari teman temannya. Gunawan lalu menyusul Yongki keluar. Ia lalu menemani Yongki yang sedang bersantai dan merokok. “Darimana kamu tahu trik itu?” tanya Gunawan. “Percobaan biologi waktu SMA,” kata Yongki. “Aku tahu kalau susu mengandung kasein yang bisa menyerap bau bau amis pada ikan, terutama yang disebabkan oleh trimetila oksidan,” kata Yongki. “Wah, aku baru tahu,” kata Gunawan. “Kalau aku sih biasa merendam ikan Gurameh di susu karena kebiasaan aja. Maaf ya, soalnya dulu aku anak kelas Bahasa, sering bolos pula buat nonton film dan teater.” “Santai pak,” kata Yongki. “Mereka tidak tahu kalau ikan Gurameh banyak juga yang tak berasal dari kolam semen,” kata Gunawan sembari meringis. “Mereka hidup di kota sekian lama, mereka tak menyangka bahwa ada ikan yang hidup di kolam lumpur, tahunya mereka semua ikan hidup di kolam semen,” jelas Yongki. “Iya begitulah,” kata Gunawan. “Omong omong, asyk tahu ngajarin anak anak dari generasi sekarang. Ada titik dimana kita bisa ngomong ‘Wah pinter banget mereka!’ tapi ada kalanya jadi pengen nyebut ‘Wah…Puinnteer banget mereka!’ “ kata Gunawan sambil terkekeh. “Pak,” kata Yongki. “Saya juga termasuk yang bapak sebut sebagai anak masa kini,” kata Yongki. “Oh, benar juga ya,” kata Gunawan. Yongki tertawa. “Santai sajalah Pak Gun.” “Benar,” kata Gunawan. “Well, habis ini aku mau pasang tampang gahar deh. Kumaki maki mereka karena ikannya bau tanah. Hi..hi..” “Wah itu sih terserah bapak saja.” Gunawan hanya mengangkat bahu. “Bercanda, saya mana bisa marah marah,” kata Gunawan. “Kata istri saya, saya ini kayak orang bener, ndak bisa marah!” “Orang bener?” tanya Yongki keheranan. “Iya,” jawab Gunawan sambil terkekeh kekeh. “Orang bener itu kayak apa?” tanya Yongki penasaran. “Ya begituu..” . . Yongki dan Gunawan tertawa berbarengan. Yongki lalu mengambil segelas teh tawar untuk membersihkan sisa sisa rasa manis Gudeg di mulutnya. “Hari hari yang menyenangkan, tanpa beban,” kata Yongki. “Bukannya hidupmu juga sekarang kayak gitu?” kata Gunawan. “Kamu ini berbakat, kok gak mau nyoba sesuatu hal yang baru kayak dulu lagi. Ke Prancis misalnya? Kudengar kamu ditawari beasiswa pastry di Bordeaux.” “Ya begitulah,” kata Yongki. “Kupikir pikir dulu laah.” “Jangan kelamaan. Keburu males ngapa ngapain, aku paham perasaanmu. Tapi…ya begitulah…kadang kamu harus tetap aja berjalan dan coba memahami bahwa waktu akan menyembuhkan luka.” Yongki tersenyum, “terima kasih atas sarannya Pak.” “Kamu enggak tertarik ama Kara?” “Dia baru tujuh belas tahun pak.” Gunawan menepuk pundak Yongki. “Tapi dia sudah jauh lebih dewasa dari usianya. Aku melihat sendiri bagaimana cara dia berjuang agar menjadi orang independen. Aku bangga pada anak itu.” “Dia juga bangga punya ayah kayak Pak Gunawan.” “Dia cerita ya?” “Cerita soal apa?” “Sambal Leunca pakai oncom.” “Yap,” kata Yongki. “Aku penasaran seunik apa sambal Leunca Oncommu.” “Kapan kapan aku ajak ke tempat aku mendapatkan oncomnya, tempatnya agak jauh.” “Kamu punya langganan oncom khusus?” “Well, kukira semua chef pasti memilih bahan yang terbaik ‘kan?” “Iya..juga sih..tapi punya langganan oncom khusus dimana kamu harus melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkannya. Itu sudah di level berbeda.” “Kamu tidak?” “Tidak.” Gunawan terkekeh. “Yah, berarti ya memang cuma aku yang begitu.” JONAH Baru berapa menit sejak Yongki memarkirkan motornya, terdengar suara keributan di dapur. Yongki lalu buru buru masuk ke dalam dapur. Di dalam dapur tampak beberapa baker senior sedang mencak mencak. Yongki lalu bertanya apa yang terjadi. Ternyata di tengah tengah mereka ada anak baru yang sedang dimarahi. Siapa lagi kalau bukan.. “Jon, kau yang benar saja, masa ini roti item semua kayak komodo bakar?” Kata Kania Liem yang hari ini bertanggung jawab sebagai koordinator di divisi pemanggangan. “Kok Komodo bakar?” tanya salah seorang teman Kania. “Komodo itu kan item, terus dibakar, tambah item kan?” tanya Kania. “Repot amat, bilang aja item kayak arang,” balas temannya. “Ya pokoknya gitu deh!” Yongki mendekati oven gas dan melihat roti roti yang sudah menghitam. Ia lalu mengecek suhu oven sejenak dan kemudian balik memandang Jonah. “Oven gas beda dengan oven listrik, kalau suhunya naik..dia akan naik terus..makanya pintu oven harus kamu buka supaya panasnya keluar,” jelas Yongki. “Yah, ini kesalahan pemula sih. Banyak yang melakukan kesalahan kayak gini pas awal awal belajar memanggang roti.” “Iya, maaf Kak,” kata Jonah sembari menundukkan kepala berulang kali kayak orang Jepang. Bentar lagi hara-kiri juga nih anak. Ada yang diam diam bawain pisau dapur paling tajem.. “Makanya! Kalau diajarin ya merhatiin!” bentak Kania dengan kesal. “Muka itu diisi, jangan kosong!” “Dia sudah minta maaf,” kata Yongki. “Udahlah.” “Tapi gimana nih? Rotinya pada hangus semua?” kata Kania dengan aura panik. “Gak pa pa biar dia bikin lagi dari awal. Entar aku bantu,” kata Yongki. “Kalau kamu khawatir jadi masalah gede, biar aku aja yang jelasin kejadian ini ama Bobby..” “Ya udah, kalau Kak Yongki udah bilang gitu.” Yongki lalu mengajak Jonah ke Working table yang ada di belakang dapur. Ia lalu mulai menimbang adonan roti, gula, dan mentega. “Jon, telurnya sepuluh ya, anteronya dua aja,” kata Yongki. “Antero apa kak?” “Coba deh cek di google,” kata Yongki yang terheran heran dengan pertanyaan kocak dari Jonah. Itu kan dasar… “Baik kak.” “Naah…” Jonah Miller, iya, namanya Jonah Miller. Sebenarnya bukan orang keturunan mana mana. Kakeknya yang merupakan kameramen berbagai film dokumenter emang namanya Miller. Terus kenapa namanya Miller? Ah, ceritanya panjang, susah juga dicari dan ditelusuri. Intinya Jonah ini dikasih nama Jonah Miller karena ibunya mengganggap nama itu penting untuk mengenang kakek Jonah yang sudah berpulang. Sebenarnya bukan berpulang, kakek Jonah hilang saat melakukan peliputan di hutan di sepanjang sungai Mahakam. Waktu itu katanya dia sedang membuat film doku mengenai penebangan liar. Setelah itu udah aja dia gak ada kabarnya. Bisa jadi dia mati, bisa jadi dia emang sengaja ‘dihilangkan’ dan bisa jadi juga dia melakukan perjalanan waktu ke masa depan. Kalau dipikir pikir, terlalu banyak teori konspirasi. Jonah sebenarnya anak cerdas. Ia lulusan S2 Pertahanan Laut. Harusnya dia jadi tentara, entah kenapa dia malah milih jadi baker. Gak tahu apa yang ada di pikiran bocah itu. “Kan’ keren juga yak bisa kerja di daerah Jalan Diponegoro,” kata Jonah saat Yongki menanyakan alasan Jonah bekerja di King Baker. “Kamu lagi bercanda ‘kan?” tanya Yongki pada Jonah. “Enggak Kak,” kata Jonah sambil tertawa terkekeh. “Orang tuaku bangga lho Kak aku bisa kerja di daerah Jalan Diponegoro!” Ini anak pasti ada sesuatu yang salah di otaknya… “Yah, terserah kamu saja,” kata Yongki. “Coba kamu mix dulu telurnya ampe putih. bahan bahannya nanti dimasukkin…terus terakhir mentega dan garam.” “Siap!” Jonah langsung melaksanakan perintah dengan cepat, dia itu gak bodoh sebenarnya. Cuma emang suka cengegesan aja anaknya. Tak beberapa lama adonan telah menjadi kalis sehingga bisa didiamkan dulu sementara Yongki dan Jonah bersantai dulu di luar sembari menghisap rokok. “Saya gak ngerokok Kak,” kata Jonah saat menolak pemberian Yongki. “Wow,” kata Yongki. “Ada juga ya anak muda yang gak merokok.” “Iyaa Kak, ayah saya meninggal karena kanker paru paru…” Mendengar perkataan Jonah, Yongki jadi gak enak. Ia memutuskan untuk mematikan rokoknya. “Ayahmu, seperti apa dia?” tanya Yongki. “Rajin pak, dia orang asli Temanggung, kerjaannya emang berdagang tembakau. Lumayan berhasil pak…Sayangnya dia salah pola pikirnya.” “Salah gimana?” “Dia berpikir kalau dia jualan tembakau, dia juga harus ngerokok. Sebenarnya kan gak ada hubungannya.” “Oh. Ya ada benernya..” “Pengusaha rokok terbesar di negeri ini gak merokok lho kak..” “Wah, baru tahu aku.” “Dia tahu rokok berbahaya..” “Oh begitu.” “Bagi mereka rokok itu cuma soal bisnis saja.” “Lalu kenapa kita masih merokok ya?” “Karena kita gampang dibodohi oleh mereka Kak.” “Gilak..gilak ngerti banyak juga ya kamu,” kata Yongki. “Tapi kamu ya emang udah Master ya..kok nggak ngedaftar jadi PNS atau apa gitu yang sesuai dengan gelarmu?” “Nggak deh pak,” kata Jonah. “Saya gak cocok di politik.” “Lha terus ngapain S2 kamu ngambil jurusan Pertahanan Laut itu?” “Dapet beasiswa..sayang kan..daripada uangnya dikorupsi, mending buat saya sekolah..” “Oh. Kamu banget emang. Daripada sayang juga ya beasiswanya gak kepake..” Setelah ngobrol beberapa waktu, mereka kembali membentuk adonan yang sudah disiapkan. “Pinter banget Kak Yongki, bulatannya bisa sempurna!” kata Jonah. “Ya, aku belajar dulu, gak ujug ujug bisa,” kata Yongki. “Waktu pertama kali kerja di sini, aku gak bisa bikin roti sama sekali.” “Wah, tapi bisa diterima gitu di sini..” Yongki tersenyum, “ceritanya panjang, intinya sih owner kita percaya aja aku pasti bisa cepat belajar di sini.” “Oh iyaa? Hebat.” “Tapi jarang jarang juga di sini yang diterima dari nol kayak aku. Orang kayak kamu istimewa. Ada juga orang istimewa lainnya di sini,” kata Yongki. “Kayak Kania misalnya. Dia masuk kesini masih nol banget. Tapi…dia keras banget sama dirinya sendiri. Bener bener niat dia belajarnya.” “Kania sih keliatan Kak, orangnya disiplin dan ambisius! Seksi lagi ya, aku jadi pengen dimarahi lagi ama Kania. Ha..ha..ha..” “Aneh banget kamu Jon,” kata Yongki sambil geleng geleng kepala. “Kamu tahu gak kalau Kania gak ujug ujug seseksi itu. Ia pernah gede banget kata orang orang.” “Hah serius. Sekarang hot boss begituu...” “Kamu naksir Kania?” “Enggak enggak. Ya kali…” “Naksir juga gak pa pa. Dia cewek hebat. Tangguh.” “Keliatan banget,” kata Jonah. “Dia sebenarnya gak segalak itu, coba aja kamu ngomong ama dia baik baik. Bisa aja kamu malah cocok ama dia,” kata Yongki. “Baik kak!” “Oke, adonan udah dicetak,” kata Yongki. “Sekarang tinggal dibiarin ngembang dan kita bisa ngerjain hal lainnya. Sip?” “Sip kak!” * * * Hingga sore tak ada kejadian yang luar biasa. Semua berjalan dengan damai. Yongki lalu pamit pulang pada rekan rekan kerjanya. Rekan rekan kerjanya juga mengatakan pada Yongki bahwa mereka akan segera pulang ke rumah masing masing. Setelah Yongki pamit, tinggal Jonah dan Kania yang masih ada di dapur. “Kania, aku mau ngobrol,” kata Jonah pada Kania yang sedang membaca buku resep. “Ngobrol soal apa?” balas Kania ketus. “Aku minta maaf atas kesalahanku hari ini, harusnya aku belajar lebih baik lagi,” kata Jonah. “Aku sudah memaafkanmu,” kata Kania. “Ada lagi?” “Ehm, enggak sih, tapi…” “Tapi apa?” “Kania rumah dimana?” “Godean, emang kenapa?” “Mau pulang bareng? kebetulan rumahku di sekitar situ juga.” Kania berpikir sejenak. “Baiklah,” kata Kania. “Kamu naik apa?” “Mobil kak. Agya.” “Good, cukup besar ‘kan berarti. Tolong naikkin buku buku resepku ini ke mobilmu ya.” “Buku resep?” “Iya.” Kania lalu menunjuk tumpukkan buku resep yang hampir setinggi menara Pisa. “Oke,” kata Jonah dengan ekspresi terkejut. “Walau banyak, kayaknya cukup sih di mobilku.” * * * Yongki tiba di apartemennya cukup larut. Tadi ia berhenti di salah satu warung nasi Rames di Jalan Magelang. Ia suka sekali makan Krecek Mercon di situ karena berbagai alasan tentunya. Salah satunya adalah alasan nostalgia. Dulu ia pernah menghabiskan waktu dengan orang tercintanya di situ kala mereka ke Jogja untuk sekedar berlibur saja. Namun sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di sana. Sebab, ia tak yakin punya siapa siapa lagi untuk berbagi. Ketika Yongki sampai di depan pintu kamarnya. Ia terkejut. Kenop pintu kamarnya terbuka. Padahal, Yongki tidak lupa mengunci pintu. Ia tidak pernah lupa. Meski hampir terdengar seperti ejekan, Yongki adalah orang terteliti yang dapat ditemui di Jogja. At least, dia pasti masuk Top 10 orang paling teliti di Jogja. Lalu siapa yang membuka pintu kamarnya? Apakah ada maling yang menyatroni kamarnya? Yongki khawatir, buru buru ia ke lantai bawah dan menemui salah satu satpam kenalannya. Namanya Pak Wartono. “Pak Wartono,” kata Yongki. “Boleh minta tolong?” “Boleh lah. Masa enggak boleh,” kata Pak Wartono. “Ada apa?” “Kamar saya, ada yang membongkar kuncinya…” “Hah? Siapa?” “Saya juga gak tahu. Bisa kita cek bareng?” “Ayok, kenapa enggak?” kata Pak Wartono. “Bawa senjata dulu ya tapi.” “Silahkan Pak.” “Golok cukup gak?” “Mending yang lain pak…” MISTERI Wartono dan Yongki membuka gudang security. Wartono lalu mengambil senapan angin yang disimpan di sana. Ia lalu mengokang senapan angin itu. Yongki tampak terkejut. Ia merasa Wartono agak berlebihan. Yongki lalu bertanya, apakah perlu menyiapkan senjata itu. “Lhah, kalo maling gimanak?” kata Wartono dengan logat agak ngapak. “Gimanak kalo ampe dia bawa clurit, ndak takut mati Mas Yongki?” “Ya..takut sih,” kata Yongki. “Samak.” Yongki langsung sadar tak ada gunanya berdebat dengan Wartono. Benar juga kata Wartono. Lebih baik berlebihan, daripada tidak ada persiapan sama sekali. Mereka lalu naik ke atas, saat Wartono membuka kenop pintu pelan. Tiba tiba pintu terbuka dan didorong dari dalam. Wartono dan Yongki langsung kaget. “Apaan sih kalian ini?” tanya seorang gadis kecil yang membuka pintu. “Lho?” tanya Yongki. “Siapa kamu?” “Oranglah!” kata gadis kecil itu. “Emang keliatan kayak hantu?” * * * Jonah masuk ke rumah Kania sambil membawa tumpukkan buku resep yang menggunung. Jonah lalu meletakkan buku itu di meja makan sesuai arahan Kania. Kania berterima kasih pada Jonah karena sudah membantunya. Diam diam dia kaget karena Jonah berhasil mengangkat seluruh tumpukan buku itu. “Btw, mau minum apa? Aku gak enak sudah ngrepotin kamu,” kata Kania. “Apa saja boleh?” kata Jonah. “Kamu minum alkohol?” tanya Kania. "Alkohol buat luka?" "Yang buat diminum laah!" “Yah, kadang,” kata Jonah. “Ok,” kata Kania. Ia lalu mengambil gelas dan memberinya es batu, serta soda dan menuangkan Sangsom, rum khas Thailand ke dalamnya. “Ini kesukaanku,” kata Kania. “Coba deh.” Jonah mengambil gelas itu dan menyesapnya. “Enak?” tanya Kania. “Good,” kata Jonah. “Gak nyangka, bisa seenak ini.” “Ya kan?” kata Kania. Jonah lalu melihat sekeliling rumah Kania. Agak berantakan. Ada sofa, satu buah tivi, router wifi dan juga buku buku dimana mana. “Kamu hidup sendiri?” tanya Jonah. “Yah, begitulah, ayah dan ibuku hidup di Medan,” kata Kania. “Ooh…” “Mereka gak suka aku hidup di Jogja. Maunya mereka aku menikah,” kata Kania. “Aku gak suka pernikahan.” “Lhoh, kenapa?” tanya Jonah penasaran. “Aku merasa semua cowok brengsek. Mereka semua mengatai aku dengan kasar saat aku masih jelek banget. For your information, Aku pernah berbobot 90 kg. Lihat aja tuh fotoku di sana.” Jonah melempar pandang. Emang gede sih dulu sih si Kania ini. Sekarang gak keliatan sama sekali. “Aku suka makan,” kata Kania. “Aku babi lumpur yang menyebalkan. Benar ‘kan?” “Enggak, aku juga suka makan,” kata Jonah. “Bukan itu yang dipikirkan oleh lelaki yang melihatku,” kata Kania. “Oke..mungkin hanya sebagian yang brengsek..” “Kamu salah, hampir semuanya kayak begitu kok,” kata Kania. “Aku tahu..” “Jadi kamu diet karena kamu naksir cowok gitu?” “Enggak, aku diet karena aku pengen nunjukkin bahwa aku bisa memperlakukan cowok kayak sampah!” “Oke, aku mengerti.” “Tapi kalau dipikir pikir ada satu cowok yang berbeda. Yongki berbeda. Dia tidak memandang aku sebagai babi lumpur..” “Oh ya? Dia emang baik sih.” “Dia punya kelainan jiwa. Pikirannya cuma tentang kuliner saja.” “Oke..” Perasaan aku salah terus.. “Yongki menemukan aku saat aku mengikuti lomba masak amatir,” kata Kania. “Ia memuji bakatku dan memaksaku ke Jogja untuk kerja di King Baker dan ia berjanji mengajari aku dari awal.” “Baik yah..” “Dia cuma bodoh dan terlalu antusias. Dia tidak melihatku sebagai babi lumpur, dia hanya melihatku sebagai bakat hebat dalam dunia memasak. Udah itu aja.” “Ok..” “Tapi karena dia, aku jadi menghargai diriku sendiri. Tak pernah aku dihargai seorang cowok. Yongki yang pertama..” Jonah menjentikkan jarinya. “Oh, jadi kamu diet supaya Yongki naksir kamu? Bener gak?” Hening. Kania jadi salah tingkah. * * * “Kamu siapa?” tanya Yongki. “Aku ikut Om mulai hari ini,” kata gadis itu. “Itu tidak menjawab pertanyaan! Siapa yang memutuskan?” kata Yongki. Gadis itu tak menjawab dan langsung melengos masuk ke dalam apartemen Yongki. “Lhah, jadi gimana ini?” tanya Wartono. “Ya sudah pak, saya ajak ngobrol dulu anak itu.” “Ya terserah ananda saja.” Yongki menggelengkan kepala dan masuk ke dalam apartemennya. Ia melihat anak itu sedang mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya. “Nak, kamu siapa?” tanya Yongki. “Solada,” kata anak itu. “Kamu anak siapa?” “Nggak tahu,” kata anak itu. “Aku cuma disuruh tinggal di sini aja.” “Sama siapa?” “Mama.” “Mamamu siapa?” “Udah ah, Solada laper!” “Lho?” Solada menutup buku tulisnya dan ngacir ke dalam kamar Yongki. Yongki hendak mencegahnya masuk, tapi gadis itu masuk masuk aja dan langsung mengunci pintu kamarnya. “Katanya laper! Kok malah masuk kamar tidur?” kata Yongki kesal. * * * Paginya... “Solada?” kata Yongki sembari mengetuk pintu kamar anak itu. “Ya?” tanya Solada. “Kamu gak sekolah?” “Aku sekolah online.” “Oke kalau begitu. Solada aku mau berangkat kerja dulu, kamu gak pa pa ‘kan aku tinggal?” “Gak pa pa,” kata Solada. “Ya udah..” Ya udah..aku emang harus ngomong apa?? Ketika sampai di King Baker, Yongki bertemu dengan Kara yang sedang mencoba belajar mengimitasi roti semir buatan Yongki. Kara ini benar benar rajin sekali. “Ini adonan kamu?” tanya Yongki. “Iya,” kata Kara. “Gimana?” “Bentuknya agak terlalu kering. Tapi ini bagus,” kata Yongki. “Mungkin akhirnya aku gak harus setiap hari berangkat subuh.” “Yes!” kata Kara. “Kan jadinya kamu yang berangkat subuh.” “Gak pa pa kok, aku suka,” kata Kara dengan senyum berbinar binar. “Kamu aneh juga,” kata Yongki. “Dipuji Kak Yongki itu udah suatu berkat buat aku!” kata Kara. “Kok ngomongnya gitu,” kata Yongki sembari berusaha menyembunyikan pipi merahnya. Kania lalu masuk ke dalam dapur, saat ia melihat Yongki ia langsung salah tingkah, wajahnya bersemu merah. Ia hanya memandang mata Yongki dengan bingung dan langsung ngacir saja. Yongki bingung, ada apa nih dengan Kania? Baru beberapa waktu, tiba tiba Jonah masuk dengan senyum lebar dan langkah kaki lebar. Ia tiba tiba menepuk pundak Yongki dengan keras. “Jago banget kau Kak Yongki!” Yongki makin bingung dengan reaksi Jonah. Ada apaan nih? * * * “Mantep banget adonanmu,” kata Jonah pada Kara. “Bisa elastis begitu.” “Iya, aku butuh 10 kali mencoba, baru dapet yang begini,” kata Kara. “Gile bener,” kata Jonah. “Keren keren. Aku aja ndak bisa lho.” Kara tersipu. “Lama lama kuyakin Kak Jonah juga pasti bisa,” kata Kara. “Semoga ya!” kata Jonah. Kania tiba tiba lewat dan menepuk pundak Jonah dan memanggilnya. Jonah mengikuti langkah Kania. Mereka lalu berbicara empat mata di sudut tersembunyi dekat dapur. “Yang semalam, jangan sampai Yongki tahu yaa..” ancam Kania. “Amaan,” kata Jonah. “Bener?” kata Kania. “Iya, masak kamu gak yakin dengan mukaku?” tanya Jonah. “Aku gak yakin…” “Waduh…” “Pokoknya..” “Iya?” “Jangan sampai tahu…” SEMUANYA AYO KUMPUL! “Sapa tuh?” tanya Jonah. “Manajer..Bobby..Romawi,” kata Kania. “Ponakan bos.” “Kok jarang keliatan ya dia?” “Sibuk.. tapi sebenarnya orangnya asyk…Cuman…kalo dia udah teriak begitu..berarti ada yang gak beres…” * * * “Kue ulang tahun buat anak Pak Kenji?” kata Kania dan Yongki berbarengan. “Iyaa,” kata Bobby. “Ya udah, bikinin aja yang gambar Naruto ‘kan?” tanya Kania. “Atau Doraemon?” “Andaikan aja kalo masalahnya cuma itu,” kata Bobby. “Lho emang ada masalah apalagi?” kata Kania. “Jadi gini Kan, anaknya Pak Kenji itu alergi telur…” “Okee, kita bisa bikin cake tanpa telur dan…” kata Yongki. “Dan alergi terigu juga…” potong Bobby. “Hah? Termasuk yang gluten free juga??” kata Kania. “Termasuk yang gluten free…” jelas Bobby. “Jadi kita disuruh bikin cake tanpa telur dan tepung?” kata Kania. “Apaan ini? Tantangan Masterchef?” SAMURAI Yongki menelpon ke apartemennya, si anak gadis misterius mengangkat teleponnya. Solada ternyata tetap tinggal di rumah. Ia kayaknya lagi nonton drama Korea dengan memanfaatkan jaringan wifi kamar apartemen. “Solada, aku kayaknya pulang telat malem ini, kamu pengen makan apa? Entar aku pesenin via delivery yaa?” tanya Yongki. “Santai aja, nanti Solada pesen sendiri,” kata Solada. “Ha? Kamu emang ada uang?” tanya Yongki. “Ada. Aku cuma mau pinjem rumah Om Yongki aja.” “Oke..” Telepon dimatikan. “Siapa? Ponakan?” tanya Kania. “Ceritanya panjang,” kata Yongki. “Kok?” tanya Kania. “Ya gitu deh, ok, kumpulin Kara ama Jonah, aku perlu ngobrol ama mereka.” * * * “Buntu,” kata Kania. “Aku gak ada ide.” “Oke,” kata Yongki. “Gimana kalo kita bikin cake ice cream tapi dari sorbet?” tanya Kara. “Hmmm, bisa dicoba sih, yang penting sorbetnya padet,” kata Yongki. “Kania dan Jonah beli buahnya, aku dan Kara siapin alat alatnya, gimana?” “Ok,” kata Kania. “Siap pak ketua,” kata Jonah. Mereka berdua langsung pergi. “Nah,” kata Yongki. “Kita siapkan apa yang bisa disiapkan.” “Oke,” kata Kara. * * * Kania berada di kursi penumpang sementara Jonah menyetir. Ia terngiang ngiang kejadian semalam. Ia minum terlalu banyak dan menceritakan semuanya pada Jonah, termasuk saat dirinya patah hati ketika mengetahui Yongki sudah menikah. Namun kenapa Yongki tak pernah menceritakan apapun soal istrinya? Lalu saat Kania tahu kalau ternyata istri Yongki sudah meninggal, harapan langsung tumbuh dalam diri Kania. Masalahnya, kok Yongki tak berbicara apapun soal kejadian itu? Orang seperti Yongki menikah aja sudah aneh sih sebenernya. “Kemana kita Mbak Kania?” tanya Jonah. “Coba ke pasar Kranggan dulu,” kata Kania yang tersadar dari lamunannya. “Siapa tahu ada yang masih jual strawberry atau raspberry atau…” “Durian?” “Naah..durian..” “Enak juga kan?” “Banget.” * * * “Ini gak akan berhasil,” kata Kania. Ia terkejut…ah seharusnya dia bersikap biasa saja..tak pernah ada yang berhasil membuat cake dari sorbet. Terlalu sulit, tak ada pondasi untuk cake itu dan cake itu cepat mencair.. Yongki juga shock karena idenya gagal. Ia hanya bisa melihat sorbet yang luluh perlahan itu dengan perasaan sedih. Ini memang agak susah sih. Membuat cake ulang tahun tanpa cakenya. Well.. “Jangan menyerah..jangan menyerah…,” kata Jonah sembari menyenandungkan lagu dari D’Massiv. “Oi, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda!” bentak Kania. “Pasti ada jalan lain,” kata Kara. “Ribet sih emang orang Jepang,” kata Jonah. “Sukanya apa sih mereka? Doraemon? Dorayaki? Teriyaki? Sushi?” “Coba ulangi lagi tadi kamu ngomong apa?” kata Yongki. Waduh..Yongki tersinggung (?) “Maaf kak,” kata Jonah. “Enggak..aku enggak marah…cuma tiba tiba aku dapet ide dari kalimatmu.” “Oh ya?” “Iya.” “Doraemon?” “Bukan.” “Teriyaki?” “Satu lagi.” “Sushi?” “Nah, itu dia…,” kata Yongki. “Ini kesempatan kita, kita bikin cake ulang tahun dari sushi!” “Oke, tapi di antara kita gak ada yang sushi chef,” kata Kania. “Tapi ada temenku yang bisa,” kata Yongki. “Jangan jangan…” kata Kara. Tapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya. “Jangan jangan siapa?” tanya Kania. Kara langsung menutup mulutnya. * * * “Maafkan aku para senior ,” bisik Yongki pada dirinya sendiri saat mengetuk pintu rusun yang cukup kumuh itu. “Kenapa?” tanya Jonah pada Yongki. “Aku gak seharusnya mengontak dia” kata Yongki. “Status dia saat ini adalah dikucilkan dari dunia kuliner dan gak boleh ada chef anggota asosiasi yang berhubungan langsung dengan dia.” “Emang apa salah dia?” tanya Jonah. “Ngamuk di konfrensi chef Indonesia,” kata Kara. “Oh…” “Dibawah pengaruh alkohol,” kata Kara. “Oh…” “Dia…” kata Yongki. Tiba tiba ia berhenti berbicara. Ia berpikir apakah bijak menceritakan bagian itu pada Jonah. “Dia kenapa?” tanya Jonah. “Melepas celananya di depan menteri pariwisata,” kata Kara. “Masih pake celana dalam ‘kan?” “Dia membuka pintu.” Jonah langsung menutup mulutnya. Pintu terbuka. Dari dalam muncul laki laki berkepala botak dengan anting anting di telinga kirinya. Ia memandang Yongki dan tampak senang karena keberadaan seorang Yongki. Ia langsung memeluk Yongki erat erat. “Kamu orang pertama yang mengunjungi saya,” kata pria itu. Ia mengusap air matanya..dan ingusnya..lalu ia membersihkan ingusnya dengan menggunakan bajunya. “Yang lain kemana, udah pada mati? Kayak Gunawan segala?” “Pak Gunawan masih hidup kok,” kata Kara Pria itu lalu melihat Kara dan memandanginya dengan sungguh sungguh. “Ini siapa? Istri muda si Gunawan? Mirip gitu ama istri pertamanya,” tanya pria itu. “Engg…” Yongki bingung, kenapa dari semua kemungkinan, bisa bisanya dia mengira Kara sebagai istri muda Gunawan. “Saya putrinya,” kata Kara menjelaskan dengan sabar. “Oh, aduh, kok saya gak kepikiran ya,” kata pria itu. Jonah cuma tertawa melihat pria itu. “Seru nih orang kayaknya.” kata Jonah. * * * Johny Samurai dulunya koki hebat. Spesialisasi di masakan Jepang. Pertama kali di Indonesia. Dia memegang sertifikat untuk mengolah ikan fugu. Orang Indonesia pertama. Si jenius ini sayangnya agak sombong. Dia banyak menghabiskan waktu minum sake dan bercengkrama dengan kawan kawan ekspatriat Jepangnya. Ia juga jarang mau belajar hal baru. Puncaknya ia dipecat dari restoran Jepang terkenal di Jogja dan luntang lantung sampai dia bikin kekacauan di konfrensi chef Indonesia. “Tapi emang ya, si Menteri Pariwisata itu agak nyebeli orangnya,” kata Johny. “Aku sih gak nyesel nunjukin celana dalamku di mukanya.” “Anda gak pake celana dalam waktu itu,” kata Kara. “Masa? Hoax itu!” balas Johny. “Iya kan Yong?” Yongki membisu dan menyunggingkan senyum awkward. Johny mengangguk pelan. “Tapi aku yakin kamu setuju dengan aksiku,” jelas Johny. “Emang sih,” kata Yongki sambil tertawa pelan. “Orang kayak gitu kok bisa jadi menteri pariwisata? Ngurus perusahaannya sendiri aja bangkrut, kok bisa jadi menteri?” “Iya, itulah, politik.” Kara terkejut, gak biasanya Yongki mengungkapkan hal negatif tentang orang lain. Ia gak akan begitu kalau dia gak ngerasa nyaman banget. “Yong, aku paham kok kenapa kalian begini sama aku,” kata Johny. “Untung bentar lagi pemilu dan ketua asosiasi chef diganti, jadi aku bisa bergaul lagi ama kalian kalian lagi.” “Sebenernya banyak yang kangen ama anda,” kata Yongki. “Aku juga kangen,” kata Johny. “Jadi apa yang bisa aku bantu nih?” “Jadi gini pak Johny, aku butuh bantuan karena Pak Kenji memesan kue ulang tahun. Ia minta dibuatkan cake ulang tahun untuk anaknya tapi gak boleh mengandung tepung dan telur..” “Oh.” “Kita kepikiran untuk bikin cake dari sushi..” “Ide bagus tuh. Dari siapa?” tanya Johny. “Saya pak,” kata Jonah. “Wuih, cengangas cengenges gini pintar juga ya,” kata Johny. “Gak laah pak,” kata Jonah. “Kapan deadlinenya?” tanya Johny. “Besok,” kata Yongki. “Oh, kirain entar sore, masalahnya cuma satu, aku harus nyari beras Jepang, cukanya, ikan salmon, alpokat, gari, kepiting cangkang lunak goreng, daging belut…” “Wow,” kata Kania. “Banyak juga ya.” “Mau enak atau asal jadi aja?” “Saya bisa bantu,” kata Jonah. “Saya ada teman yang bisa menyediakan bahan bahan itu.” “Great,” kata Kania. “Tapi saya ada satu syarat untuk membantu kalian,” kata Johny. “Syarat?” tanya Kania. “Iya, aku gak bisa terus terusan hidup dengan mengandalkan bunga tabunganku..yang semakin tipis..karena…yah gitu deh. Aku butuh pekerjaan.” Yongki berpikir sejenak. Situasinya agak rumit karena Johny tak mungkin dipekerjakan di restoran yang berlabel fine dinning. Sementara itu, dia tidak terlalu punya koneksi dengan restoran restoran kekinian yang tidak terlalu menuntut keberadaan chef professional. “Oke,” kata Kara. “Aku dan Kak Yongki akan menemukan pekerjaan untuk Pak Johny, sebelum besok.” “Nice,” kata Johny. “Jadi kita deal?” Yongki kebingungan. Kara nekat bener. Kara menyengol Yongki. Yongki langsung paham bahwa itu isyarat dari Kara untuk mengiyakan permintaan Johny. “Deal,” kata Yongki. Gak tahu besok gimana.. PENTHOUSE Jonah menyetir mobil sementara Johny asyk mendengarkan lagu lagu dari Maroon 5. Suaranya cukup keras. Mungkin dengan volume maksimal. Karena, meskipun Johny menggunakan earphone, suaranya bisa cukup terdengar di dalam mobil. Kania tampak agak terganggu dengan suara dari lagu Johny. “Well,” kata Johny. “Ia mencabut earphonenya, kalian kok diem aja berdua? gak ngobrol gitu? Lagi berantem?” “Enggak,” kata Kania. “Kita baik baik saja.” “Masa?” kata Johny. “Kalau kalian sudah setua aku, kalian baru sadar bahwa tak ada gunanya pertengkaran dalam hubungan.” “Maaf,” kata Jonah. “Kita enggak pacaran.” “Beneran?” kata Johny. “Kukira kalian cukup cocok. Mbak ini cantik, sementara Mas Jonah ini gak jelek. Kalian cocok berdua.” “Well, tunggu sampai dia bikin roti,” kata Kania. “Bikin emosi.” “Really?” kata Johny pada Jonah. “Enggaklah, dia cuma terlalu penuntut,” kata Jonah membela diri. “Lelaki butuh wanita yang ambisius,” kata Johny. “Kalau aku bisa memutar waktu, aku akan mencari pasangan yang ambisius dan bisa mengarahkan kehidupanku yang kacau ini.” “Aku setuju. Tapi dia bukan pacarku,” kata Kania. “Benarkah?” kata Johny. “Kulihat dari cara kalian berbicara, seenggaknya kalian pernah berbicara dari hati ke hati…” “Gak,” kata Kania. “Bapak salah sangka.” “Betul,” kata Jonah. “Tapi kita emang pernah berbicara dari hati ke hati.” Hening. “Itu bukan pembicaraan dari hati ke hati,” koreksi Kania. “Kita cuma mabuk.” “Really?” protes Jonah. “Kalian suka minum juga?” tanya Johny. “Kita bisa jadi teman yang sempurna!” Hening. Jonah dan Kania saling pandang agak sebal. Kania lalu melirik ke arah Johny dengan tajam. “Bapak sukanya minum apa?” Johny nyengir. “Apapun yang murah, kuat dan banyak.” * * * Yongki sama sekali tak mengerti rencana Kara. Yongki hanya menurut saja ketika Kara mengajak Yongki ke sebuah hotel mewah. Hanya dengan mengucapkan beberapa kata, security langsung memperlakukan Kara bak tamu VVIP. Yongki sampai terheran heran. Yongki dan Kara lalu naik ke lift khusus yang naik terus hingga ke lantai puncak hotel milik teman Kara. Ternyata di atas hotel itu ada sebuah Penthouse. Saat tiba di lantai teratas itu, muncul seorang pria tampan dengan kemeja putih dan celana coklat kotak kotak bermotif khas Burberry. Pria itu sangat sopan dan langsung mengenalkan dirinya pada Yongki. “Henry Jang,” kata pria itu pada Yongki. “Yongki,” kata Yongki pada Henry. “Jadi sayang ada yang bisa aku bantu?” tanya Henry sambil melirik Kara. Kara Nampak kesal dipanggil sayang. “Aku bukan pacarmu,” kata Kara. “Jaga mulutmu!” “Belum sekarang, nanti siapa tahu?” kata Henry dengan nada bercanda tapi serius. Kara diam saja. “Atau besok?” kata Henry pada akhirnya, terdengar mulai putus asa dia. Kara menggelengkan kepala keheranan pada kepercayaan diri Henry. “Yah, bisa jadi lusa atau minggu depan, oke Kak Yongki, ada yang bisa aku bantu?” tanya Henry. “Kami membutuhkan pekerjaan. Bukan untuk aku, untuk seseorang,” kata Yongki. “Siapa?” tanya Henry. “Seorang chef masakan jepang. Johny Samurai namanya, dia cukup terkenal..dulunya.” “Siapa ya?” kata Henry. “Baru dengar.” “Kamu gak kenal chef chef yang punya nama?” kata Kara heran. “Enggak tahu,” kata Henry. “Sisca Soewitomo kenal gak?” tanya Kara. “Nenek siapa itu?” tanya Henry. Kara menepuk kepalanya. “Kalau Chef aku cuma tahunya yang level internasional,” kata Henry. “Kayak Aaron Ramsey misalnya.” “Aaron Ramsey itu pemain bola,” kata Kara. “Oh, sorry, berarti ketuker ama Gordon Banks,” ujar Henry. “Ini lagi…” kata Kara. “Udah udah,” kata Yongki. “Gimana kalo kita kembali ke topik awal?” “Itu permintaan yang mudah saja Kak Yongki. Aku tinggal telepon manajerku dan besok kita sudah bisa mulai bikin restoran sushi di Babarsari.” “Kamu bercanda ‘kan?” kata Kara. “Nggak, aku memang punya tanah kosong di Babarsari, belum tahu mau aku bikin apaan…Namun, aku rasa, restoran Jepang bukan bisnis yang jelek.” Yongki hanya memandangi dua anak muda yang sedang bertengkar itu dengan pandangan keheranan. “Ya sudah, bikin saja ‘kan restorannya?” kata Yongki. “Kalau memang menguntungkan kenapa tidak?” “Tidak ada makan siang gratis di dunia ini,” kata Henry. “Aku pengen ngajak Kara berlibur di Bali. Dua hari satu malam. Kalau sudah setuju, kita impas.” “Apaa?” kata Kara. “Emangnya aku cewek apaan?!” “Kamar kita terpisah. Aku gak akan megang kamu…tanpa seizin kamu…tapi kalau diizinin…apa boleh buat..” Damn…batin Yongki. “Aku cuma pengen kamu tahu betapa aku mencintaimu,” kata Henry. “Wait, itu kamu ambil dari lagunya Vagetoz ya?” tanya Yongki. “Enggak, ini aku bikin sendiri,” kata Henry. “Kamu bukan orang sepuitis itu..,” kata Kara kesal. Atau senorak itu? “Udahlah,” kata Henry. “Let’s just talk about it. You take it or leave it?” Yongki melirik Kara. Ia tidak suka harus mengorbankan Kara. * * * Saat melihat ikan tuna itu, mata Johny berbinar binar. Ia tidak pernah melihat ikan tuna sebagus dan sebesar itu. Ia lalu melihat ke arah Jonah dan langsung memeluk bocah itu dengan semangat. “Udah kuduga, kamu emang bocah hebat boy!” kata Johny. “Oh cantik banget ini ikan, lihat matanya yang berbinar binar itu. Aku ingin menikahi ikan ini!” “Itu…agak berlebihan,” kata Kania. “Jangan khawatir,” kata Jonah. “Aku sudah mengontak temanku untuk ikan salmon dan acar jahenya. Nice ‘kan?” “Dan kecap asinnya?” “Dan kecap asinnya.” “Ini sih pasti berhasil!” kata Johny. “Aku sudah pernah membuat cake dari sushi sebelumnya, saat perdana menteri Jepang kesini. Dia bilang…” “Bilang apa??” kata Jonah dan Kania berbarengan. “Kok masih ada durinya??” ujar Johny sembari nyengir. “Yah, beneran Pak e?” tanya Jonah. “Ya enggaklah, tapi emang aku tuh punya kelemahan, gak telaten membersihkan duri ikan tuna,” kata Johny. “Sering kelewat.” “Oh,” kata Jonah. “Ya udah aku aja.” “Emang kamu bisa?” kata Johny. Jonah cuma nyengir. “Jadi bisa apa gak?” tanya Kania. Cuma cengiran Jonah aja yang tambah lebar. * * * Kara dan Yongki berbicara dan berdebat di salah satu penthouse. Yongki mengatakan bahwa Kara tak perlu ‘berkorban’ dan pergi dengan Henry Jang, tapi Kara mengatakan ini salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan tantangan cake tanpa tepung dan telur untuk anak Pak Kenji. “Gak gini juga, masa aku menjual anak temanku sendiri ke orang kayak si Henry ini?” tanya Yongki. “Emang Kak Yongki punya solusi lain?” kata Kara. “Aku bisa kok menghubungi teman temanku yang lain!” kata Yongki. “Aku gak akan sampai mengorbankan kamu!” “Ya udah coba saja,” kata Kara. “Kita masih punya waktu sampai jam enam sore,” kata Yongki, “Aku akan menghubungi teman temanku yang sudah berbisnis restoran Jepang cukup lama..” “Silahkan,” kata Kara. Dua jam kemudian… Henry mendatangi mereka dan menanyakan apakah mereka ingin makan malam dengannya. “Bentar!” kata Kara kesal. “Gimana Kak Yongki?” “Aku telepon lagi temenku yang di Hotel Empire..” “Kenapa sih kamu gak pengen banget liburan ama aku?” kata Henry Jang kesal. “Gak mau aja!” jawab Kara. “Kok aneh kamu, gampang kesal, padahal cantik…” “Bodo amat!” “Kalau marah tambah cantik…” “Berisik!” Yongki menghela napas. “Udah ah,” kata Yongki. “Kita makan malam dulu saja.” “Kok?” kata Kara kesal. “Kan udah ditawari sama Henry juga,” kata Yongki. “Bener ‘kan,” kata Henry. “Kak Yongki emang asyk.” “Kok!?” kata Kara tambah bingung plus jengkel. Tapi baik Henry dan Yongki sudah berjalan ke ruang makan. KAPAL SELAM Jonah telah selesai memfilet ikan tuna. Ia juga telah selesai mencabuti durinya. Baik Johny maupun Kania melongo. Johny lalu bertanya darimana Jonah belajar mencabuti duri ikan tuna, bahkan tak ada daging tuna yang menempel di duri. “Ini Masterpiece!” kata Johny. “Aku pernah ke Tokyo dan melihat hal kayak gini di Tsukiji, tapi ini pertama kalinya aku melihat ini di Indonesia.” “Kok kamu tiba tiba bisa gitu?” kata Kania. “Aku dulu kerja di kapal selam,” kata Jonah. “Jadi koki. Salah satu menu kesukaan awak kapal adalah sashimi tuna dan tenggiri. Kayak gini aku bikinnya tiap hari.” “Itu tetap tidak menjelaskan skillmu,” kata Kania. “Jarinya unik,” kata Johny. “Lentik banget dan memang lincah.” “Kamu harusnya kerja di restoran Sushi Jon, bukan bakery,” kata Kania. “Kata siapa,” ujar Johny. “Tangannya ini bisa berguna dalam pembuatan roti. One day.” “Wow, kamu terlalu memuji kayaknya,” kata Kania. “Atau jangan jangan kamu sedang menyindir?” “Yah, sebenarnya aku serius,” jawab Johny. “Nah,” kata Jonah sambil melemparkan senyum polosnya. “Selanjutnya gimana?” * * * Henry, Yongki dan Kara menikmati makanan khas Korea dengan berbagai macam Banchan. Kara sampai gak tahu mana yang Banchan dan mana hidangan utamanya. Yongki tampak menikmati hidangan yang dihidangkan oleh Henry. “Kak Yongki tampaknya bisa menghargai makanan enak ya?” tanya Henry. “Iya, bagiku semua makanan enak, asal kita bisa melihat di perspektif yang tepat,” kata Yongki. “Termasuk McDonald?” “Termasuk McDonald.” “Minyak Truffle?” “Wah No comment, bisa disikat habis sama rekan rekan chef aku kalau kommen di bagian itu.” Henry menghela napas. “Aku senang bisa bertemu dengan orang seperti Kak Yongki. Kak Yongki tahu cara menghargai orang lain. Selama ini aku sering bertemu dengan orang yang hanya menilaiku dari luar saja. Mereka tak tahu siapa aku,” kata Henry. “Aku tahu kok kamu orang baik,” kata Yongki senang. “Ayah dan ibuku dari Korea dalam keadaan miskin. Kami mengadu nasib di Yogyakarta karena kami pikir ada peluang untuk sukses. Nyatanya menjual makanan khas Korea tidak cukup berhasil untuk ayahku. Kami bisa buka tapi gak sesukses itu. Hingga ayahku meninggal, kami tidak pernah benar benar kaya. Sampai mati, ayahku cuma jadi bahan ejekan dari kakekku. Bagi kakekku, ayahku gagal menjawab ekspetasinya.” “Lho Penthouse ini kamu dapet darimana, nyolong?” protes Kara. “Kara, kakakku cukup berhasil dengan usaha usahanya. Berkat kakekku juga sih. Kakekku tidak mau kakakku dan aku menjadi pecundang seperti ayahku. Ia memberi modal yang cukup banyak buat kami. Kakakku sangat termotivasi dengan pemberian kakekku. Kini kakakku punya banyak pusat perbelanjaan, bahkan ia punya kantor di Singapura serta cabang cabang dari mall mallnya di Thailand. Ia lalu mulai membangun hotel dan lain lain. Kini ia juga mulai memproduksi frozen food dan tentu saja puluhan franchise restoran yang siap dilaunching segera. Dia benar benar idola bagiku,” kata Henry. “Ooh. Jadi kamu berfoya foya di atas kerja keras kakakmu ya?” ujar Kara sinis. “Kamu berburuk sangka Kara,”ujar Henry. Yongki melihat ke sekeliling rumah Henry. Ia tampak mencoba mencari petunjuk. Kara keheranan dengan sikap Yongki. “Ada apa Kak Yongki?” tanya Kara. “Kamu sadar gak, gak ada orang lain yang tinggal di sini selain Henry?” kata Yongki. “Iya, lalu kenapa Kak?” kata Kara heran. “Aku tahu dari caramu memotong,” ujar Yongki. “Potongan sayur di sini, meski bermacam macam memiliki satu ukuran yang mirip mirip. Yang motong sayur ini cuma satu orang.” “Jadi kamu tahu ya Kak?” kata Henry dengan kagum. “Pantas kamu disebut sebagai chef paling berbakat di generasimu. “Kamu yang masak ini semua?” tanya Kara tidak percaya. “Ya,” kata Henry. “Kapan?” kata Kara. “Saat kita sedang menelpon sesama teman chefku,” kata Yongki. Kara semakin terkejut. Henry hanya mengangkat bahu saja. * * * “Kenapa sih kamu pengen jadi baker?” tanya Kania pada Jonah. “Aku cuma ingat kata kata temenku di kapal selam itu,” kata Jonah. “Mereka ngomong kalau selama bertahun tahun mereka menghabiskan waktu di dasar air, mereka paling merindukan kehangatan makan malam bareng keluarga…” “Okee..” “Salah satu temanku meninggal di dalam kapal selam,” kata Jonah. “Oh, aku turut berduka cita.” “Gak pa pa kok,” kata Jonah. “Aku jadi sadar bahwa aku gak mau hidup di bawah air terus menerus.” Kania mengangguk. “Kukira itu keren, menjadi tentara dan sebagainya. Hanya saja suatu pekerjaan yang terlihat keren tak selamanya nyaman. Aku hanya ingin bahagia, makanya aku belajar jadi baker.” “Aku paham.” Saat mereka sedang asyk bercerita, Johny muncul dengan ikat kepala bandana khas sushi chef. Ia tampak bersemangat. Ia mengatakan bahwa ia akan memanggang unagi sebentar lagi. Ia meminta bantuan Kania dan Jonah. “Wah seru nih,” kata Jonah. “Paling suka tuh ama unagi!” “Apaan tuh?” tanya Kania. “Belut,” kata Jonah. “Hiii, kalian suka makan belut?” kata Kania dengan tatapan jijik. “Kamu gak suka??” kata Johny. “Yang benar saja nona!” “Iyaa, aneh banget,” kata Jonah. “Please, itu ‘kan kayak ular ya, aku benci ular!” ucap Kania. “Kamu gak suka ular??” kata Jonah dan Johny berbarengan. Kania mulai meragukan siapa yang sebenarnya waras. * * * Yongki dan Henry duduk di tepian kolam renang penthouse sambil menghabiskan rokok. Henry batuk batuk, Yongki lalu tertawa pelan. “Kamu gak biasa ngerokok ya?” kata Yongki. “Enggak,” kata Henry. “Lha kenapa kamu ngerokok?” tanya Yongki. “Kata kakakku, aku seenggaknya harus tahu cara merokok supaya aku bisa bergaul dengan beberapa calon partner bisnisku.” “Wah, aneh,” kata Yongki. “Kalau Kak Yongki kenapa merokok?” “Aku juga enggak tahu.” “Kok enggak tahu?” Yongki mematikan rokoknya dan menghela napas. Ia teringat momen saat merokok pertama kalinya. Ia sedang dalam keadaan tidak enak. Perasaanya tak tenang meski di luar ia terlihat biasa saja. Lalu, kawannya menawari ia untuk menghabiskan segelas whisky dengan es dan soda. “Kadang elo harus agak santai,” kata Johny. “Aku santai kok,” kata Yongki. “Santai kok tiap saat tetap memikirkan memasak?” kata Johny. “Kayak aku ini lho, kalau gak kerja ya gak mau lihat mukanya Salmon! Lihat ya muka cewek!” “Aku gak ngerti, lagi gak pengen aja. Mungkin aku butuh sesuatu yang beda dalam hidup. Gak bisa begini terus. Kerja terus sampai capek.” “Yah, gak usah terlalu dipikirin. Sebat dulu laah,” kata Johny. “Sebat? Aku gak ngerokok,” kata Yongki. “Ini hari pertama kamu ngerokok, kalau nggak suka, tinggal nggak usah ngerokok lagi. Iya kan?” kata Johny. “Duh, kamu ini memang pengaruh buruk,” kata Yongki. “Ya udah deh.” Maka itulah rokok pertama Yongki. . . “Anggap saja, aku pernah ada masalah,” kata Yongki. “Makanya aku memilih merokok.” Henry mengangguk. “Kukira orang kayak Kak Yongki gak akan punya masalah,” kata Henry. Yongki tertawa. “Ya pasti adalah, mana ada orang gak punya masalah?” Henry tertawa juga, sementara di seberang kolam renang Kara mengamati dua orang itu sambil garuk garuk kepala. Kara lalu berinisiatif untuk menelpon ayahnya. Gunawan yang sedang duduk duduk di belakang rumah sembari membaca novel langsung merasa agak terganggu dengan telepon dari putrinya. “Ada apa Ra?” tanya Gunawan. “Ada kode 130 Yah…” “Lho, kamu dimana?” Kara lalu menceritakan apa yang terjadi padanya. Gunawan mendengarkan dengan seksama. Setelah mendapat cerita lengkapnya, Gunawan langsung memberikan tanggapannya. “Percaya aja ama Yongki,” kata Gunawan. “Terus, jangan sampai mengecewakan Pak Kenji. Dia itu kode 133…” “Hah? Kenapa?” “Dia itu…” NORMAL 10 tahun yang lalu… Apa yang paling diinginkan oleh pecinta sepak bola di Jogja? Juara! Mana ada yang senang jadi pecundang? Tidak tahu malu! Tapi ini Jogja bung, Jogja bukan kota bal balan. Secara logika, tim yang ada secara tradisional sulit bersaing dengan kekuatan tradisional. Oke, bagaimana jika ada peluang 1 persen saja untuk juara, apakah Jogja tak boleh bermimpi? Itulah pemikiran Bambang Sugema, pemilik dari klub Jogja Bersatu Bersama (JBB). Ia yakin, walau kecil kemungkinannya, JBB akan juara! Kesempatan itu datang saat pemain timnas Jepang, Kenji Ozora bersedia bergabung dengan JBB. Padahal Kenji belum tua tua amat! Dia belum juga berumur 34. Yah, tahun itu usianya masih 32 tahun. Plus, dia masih ditawari bermain di liga yang lebih bergengsi seperti J-League atau K-League. Namun, Kenji memilih bergabung dengan JBB. Gila! Ini gila! Dan dia mengajak Leonardo De Souza, seorang pemain dari Brazil yang meski tidak pernah bermain di timnas Brazil, tapi punya pengalaman segudang di Eropa. Kenji lalu mengatakan bahwa ia dan Leonardo akan mewujudkan mimpi gila itu, mereka akan menjadi juara Liga Indonesia. Kenji berkata,”tugas saya adalah menciptakan keajaiban! Tugas anda adalah melihatnya.” Bambang Sugema juga berkata demikian, “Jika mereka memang berniat membuat keajaiban, saya juga akan selalu memberi mereka keajaiban sampai mereka mati di tanah Jogja ini.” “Itu artinya?” tanya wartawan yang mewawancarai Bambang Sugema dengan penuh antusiasme. “Jika Kenji dan kawan kawan memenangkan liga Indonesia, saya akan kabulkan permintaan mereka, apapun itu!” ujar Bambang. “Apapun itu pak? Beneran?” tanya wartawan. “Iyalah, saya pantang cuma ngomong doang…” Dan kemudian JBB benar benar juara… Bambang Sugema di sisi lain, siap memberikan segalanya pada Kenji yang kemudian pensiun dan tinggal di kota Jogja bersama istrinya. Lalu kini… Tim Baker dari King Baker harus menerima konsekuensinya. Kenapa? Karena King Baker adalah salah satu dari sekian banyak bisnis milik Bambang Sugema. “Kenji tidak suka dikecewakan,” kata Gunawan pada Kara. “Ia sangat sombong dan penuntut, fansnya menganggap dia dewa, jika kamu memusuhi dia atau membuatnya tersinggung, rumah kita bisa diserbu…” “Kok jadi kita yang nanggung?” kata Kara kesal. “Ya..karena kamu kerja di King Baker..” kata Gunawan. “Papa, yang benar saja!” kata Kara kesal. “Aku sudah dengar ide cake sushi dan kenekadan Yongki menghubungi Johny. Kalian sudah mengusahakan yang terbaik. Good luck!” “Papa enggak membantu sama sekali..” “Lha aku harus bilang apa?” kata Gunawan dari seberang. “Papa tahu gak..sebenarnya ada satu solusi dari masalah ini…tapi kuyakin papa gak akan suka..” “Minta tolong ama Henry Jang kan? Ya sudah, lakukan saja. Papa sih gak keberatan walau dia anaknya agak aneh gitu.” “Papa..Henry minta syarat untuk bantuannya…” “Apa itu?” tanya Gunawan. Kara menghela napas. “Jangan jantungan ya pah pas aku cerita…” * * * “Persiapan sudah selesai,” kata Johny. “Kita tinggal mengatur semua ini untuk besok. Tinggal mencari beras jepang dan cukanya untuk ditanak besok pagi.” “Wah..” kata Jonah. “Kok wah?” tanya Johny. “Benar juga ya? Gak mungkin Sushi gak pake nasi ya…” “Jangan jangan kamu lupa beli berasnya..” “Naah…” “Kukira pake Rojolele bisa..” “Mana ada? Rojolele kan berasnya kepisah pisah, kalo beras Jepang itu nempel!” “Pake ketan? "Loe kira sushi foodcourt!? Ya kali!” Kania menenangkan mereka berdua. Ia berkata bahwa ia yang akan menemukan beras dan cukanya untuk mereka berdua. Baik Johny dan Jonah langsung setuju. Ya iyalah, kalau gak setuju mereka mau gimana juga ‘kan? Perjalanan merekapun berlanjut. Mereka lalu menuju ke sebuah restoran (?), tunggu, saya koreksi dulu, ini bukan restoran, ini warung sushi karena bentuknya nyempil begitu, di salah satu titik di jalan Demangan Baru. Ketika Kania memperkenalkan teman temannya, si pemilik sangat antusias, terutama saat melihat Johny Samurai. “Oalah, Senpai Johny,” kata wanita kurus berkacamata itu. “Aku ini penggemarmu lho!” “Oh, hai,” kata Johny salah tingkah. “Senang berkenalan denganmu.” “Aku belajar bikin California roll dari anda. Keren banget!” kata wanita itu. “Yeaah, tak sulit kan,” kata Johny. “Mudah bukan cara membuatnya?” “Yes..yes..” kata wanita itu. “Tapi saya sempat gagal berkali kali sih.” “Oh.. well…” Kania tersenyum melihat Johny dan temannya bisa langsung akrab. “Sis, ini Johny Samurai,” kata Kania. “Tapi kayaknya gak perlu aku kenalin kamu juga sudah tahu yaa…” “Ya iyalah, siapa sih yang gak kenal ama Johny Samurai?” kata wanita itu retoris. “Jujur aja,” kata Kania. “Aku enggak tahu siapa dia sebelumnya.” “Hah? Kamu chef beneran bukan sih?” “Aku baker, dan aku hampir gak ada ide kenapa orang disekitarku bisa tertarik pada hal hal yang aneh.” “Kalau kamu beda sendiri, berarti kamu yang aneh!” kata teman Kania itu. “Ok, whatever…” Kania lalu melirik ke arah Johny. “Dan ini adalah Gigi,” kata Kania. “Salah satu temanku yang Japanese Freak gitu..” “Kamu itu yang aneh!” kata Gigi. “Masa ada ya orang yang gak suka soal Jepang Jepang sama sekali.” “Yah orang kan beda beda!” kata Kania. “Kalau Pak Johny, kenapa suka dengan sushi?” tanya Gigi. “Dari dulu aku penasaran.” Johny tampak bingung menjawab pertanyaan itu. “Sebenarnya aku tidak punya minat spesifik,” kata Johny. “Aku dulu cuma mikir, kalo sushi itu mahal ya..wah pasti banyak duitnya kalau aku jadi chef spesialis sushi..” Hening. “Wah keren keren,” kata Jonah tiba tiba. Tidak ada yang menanggapi. * * * “Kenapa kamu naksir banget sama Kara?” tanya Yongki pada Henry. “ ‘Kan banyak cewek di luar sana? Kalau kamu, aku yakin bisa milih cewek lain..” “Ya itu…aku ngerasa dia berbeda,” kata Henry yang kebingungan menjawab pertanyaan Yongki. “Itu gak ngejawab pertanyaan lho menurut aku,” kata Yongki terkekeh sambil menyesap Soju yang dituangkan oleh Henry. “Benar juga,” kata Henry. “Aku cuma kesal dengan banyak perempuan. Mereka cuma mendekatimu karena uangmu, rupamu, pokoknya mereka gak peduli siapa dirimu. Mereka hanya peduli pada apa yang kau punya.” “Emang Kara enggak?” “Kara…kalau melihat dia..aku suka aja..dia gak suka menggantungkan dirinya sama cowok, dia suka berusaha sendiri. Cewek kayak gitu bukannya yang malah membuatmu jatuh cinta ya?” “Aku gak terlalu paham sih,” kata Yongki. “Lalu kenapa kamu pengen ngajak dia berlibur ke Bali, apa poinnya?” “Aku mau nunjukkin ke dia kalau aku benar benar pria baik baik,” kata Henry. “Aku pengen dia tahu kalau aku serius.” “Oke…” kata Yongki. “Tapi aku gak mungkin membiarkan dia berlibur berdua denganmu di Bali.” “Aku ngerti Kak Yongki. Itu gak sopan.” "Soalnya aku tanggung jawab langsung ke papanya." "Baik Kak, aku paham banget." “Naah, baguslah kalau kamu paham. Gimana kalau aku mengajukan satu ide lain. Mungkin kamu gak terlalu suka, tapi ini jalan tengah yang bagus. Gimana?” “Idenya apa ya Kak Yongki?” “Jadi…begini…” RICE VINEGAR Ketika Bobby menerima telepon dari Yongki, ia sangat senang. Sebab, di hari penting esok, kok malah si Yongki gak kelihatan? Yang ada malah munculnya chef aneh yang cukup bikin berantakan dapur. Tadi dia motong motong ikan, terus bakar belut, terus…ketawanya keras pula..dan dia seenaknya saja ninggal sake di Working table, gimana kalau sampai keliatan orang dari dinas kesehatan? Dapur untuk bikin roti kok serasa kayak tempat potong ikan? Ya itu sama sama masakan, tapi beda kali! “Loe dimana sih Yong?” tanya Bobby kesal. “Ngerjain tugas dari elo kan Bob,” kata Yongki. “Ya..tapi…” “Tapi apa?” “Ah sudahlah, gue cuma bisa percaya ama loe juga ‘kan pada akhirnya?” “Emang, he…he…” “Nah, kalo loe telepon, pasti ada sesuatu. Iya kan?” “Iyaa..he..he…” “Loe mau minta apa?” Ketika mendengar permintaan Yongki. Bobby langsung menghela napas. “Seminggu mah santai aja,” kata Bobby. “Cuman seminggu to?” “Iya, seminggu doang.” “Deal!” “Terima kasih!” Telepon dimatikan. Bobby menghela napas. “Pokoknya beres, please!” Kalau gak beres gue ngomong apa gitu ama si om? * * * Johny terkejut saat melihat ada penyulingan yang berada di rumah Gigi. Ia tak mengira ada orang Jogja yang berani bikin penyulingan cuka beras sendiri di rumah. Gigi tampak bangga saat Johny mengamati alat pembuat cuka berasnya dengan pandangan kagum. “Gimana Om John?” tanya Gigi. “Ini sih keren!” kata Johny. “Dan rasanya juga enak.” “Enak, gak kayak merek K…” kata Johny. “Eh! Stop!” kata Jonah. “Jangan nyebut merk, gak enak kalau ada yang denger.” “Kamu ngomong apaan sih?” kata Kania. “Aneh!” “Kan bercanda doang Kania,” ujar Jonah sambil ngekek ngekek gak jelas. “Kadang anehnya kamu di luar nalar banget.” “Siapa tahu kan pertemuan kita hari ini dibukuin, dibikin novel, terus ada yang baca?” kata Jonah. “Jon, kalo tambah aneh, aku tampol nih ya,” ucap Kania agak mulai kesal. “Yah, udah tho?” kata Johny. “Kalau udah lengkap gini, kita tinggal pulang, dan besok kita arrange dan kita sajikan ke anak Pak Kenji.” “Siaap!” kata Jonah. “Tapi aku gak akan menyelesaikan cakeku kalau Yongki belum menepati janjinya…” ujar Johny. “Waduh,” kata Jonah. “Dimana dia sekarang?” tanya Henry. Kania menelan ludah. Dari tadi dia juga belum dihubungi oleh Yongki. * * * “Wah, keren juga tuh anak,” kata Gunawan pada Kara di seberang telepon. “Kok ayah gitu sih!” protes Kara. “Lha cowok kan emang harus berani nekad kalau mau dapet cewek yang dia inginkan. Emang kamu suka cowok cemen, kalau papa sih ogah!” kata Gunawan. “Ya gak gini juga kali!” kata Kara. “Henry juga udah mapan sih…” “Pa..” “Gak ada salahnya juga aku menimang cucu di umur sekarang.” “Pa!?” Gunawan tertawa pelan. “Iya, papa bercanda,” kata Gunawan. “Udah, percaya aja ama Yongki. Dia masih ngobrol ama Henry ‘kan?” “Iya. Masih,” kata Kara. “Tungguin aja dulu. Yongki orangnya pinter kok. Kecuali pas…Ah gak jadi deh...kapan kapan saja aku ceritain.” “Pa, beneran deh?” ujar Kara kesel. “Good luck!” Telepon dimatikan. “Bapak kok gak bisa ngasih solusi!” keluh Kara kesal pada dirinya sendiri. Ternyata saat dia masih mengeluh, Henry dan Yongki sudah selesai berbicara. Mereka langsung menemui Kara dan Yongki dengan santainya mengatakan bahwa Kara akan mendapat cuti selama seminggu untuk pergi bersama Henry. “Hah? Kok seenaknya gitu?” protes Kara. “Jangan khawatir, aku juga cuti,” kata Yongki. “Lho kok?” kata Kara. “Kabar gembira!” kata Henry. “Kita liburan bareng! Ke Bandung!” What the fuck. * * * “Jadi kita nunggu kabar dari Yongki sekarang?” kata Kania. “Iya dong,” kata Johny. “Aku mau pulang aja!” kata Kania kesal. “Lho kan emang perjanjiannya begitu,” kata Johny. “Ya biar aja, aku lagi kesel,” kata Kania. Kania langsung ngeloyor pergi. Jonah lalu menyusul Kania. Kania tetap melengos pergi. “Kan,” kata Jonah. “Tunggu dong!” “Apa?” kata Kania berbalik. “Aku capek, mau pulang aja!” “Ya udah, aku anter ya?” kata Jonah. “Aku bisa naik Go Car! Atau Grab!” kata Kania. “Aku gak mau ngrepotin kamu.” “Udahlah,” kata Jonah. “Yuk, naik mobilku.” “Lha Johny kamu tinggal gitu aja?” kata Kania. “Santai, kan ada si Gigi.” “Gigi bukan Baby sitter kali!” kata Kania. “Ya emang enggak, tapi dia happy happy aja tuh ama Johny,” kata Jonah. “Terserah kamu!” Jonah lalu mengantarkan Kania pulang ke rumah. Selama di perjalanan mereka diam saja. Mereka baru ngomong saat Jonah mengatakan bahwa dia butuh mampir ke toilet umum. Kania lalu membiarkan Jonah untuk buang air. Saat menunggu Jonah, Kania sibuk membuka pesan pesan di handphonenya. Apa boleh buat, dari tadi ia belum sempat mengecek pesan di handphonenya. Saat sedang membaca baca pesan di handphonenya, ia terkejut karena ada pesan dari sepupu yang sangat ia benci. Ya tidak sampai benci, tapi bagi Kania orang ini adalah salah satu orang paling ngeselin di dalam hidupnya. Ketika Jonah kembali, Jonah langsung bisa melihat muka kesal dari Kania. “Ada apa nih?” tanya Jonah. “Ada masalah…” “Waduh..” * * * “Ya udah deh,” kata Kara. “Kalau ini yang terbaik.” Henry bersorak gembira. “Tapi…,” kata Kara. “Ini gak berarti apa apa ya Hen.” “Aku mengerti,” kata Henry. “Gak masalah. Sampai kapanpun tak bisa membenci dirimu, sesungguhnya aku tak bisa..” “Kamu ngutip lagunya Geisha ya?” kata Kara agak jijik. “Enggak kok, aku bikin sendiri.” Yongki hanya senyam senyum sendiri. Tiba tiba ia teringat sesuatu. “Oh ya,” kata Yongki. “Aku lupa sesuatu. Aku buru buru, ada tamu di rumahku.” “Kakak ipar, sini biar aku temeni pulang,” kata Henry. “Kok Kakak ipar?” protes Kania. “Ya ‘kan kalau kita menikah dia jadi Kakak iparku,” ujar Henry. “Heh, yang pertama kita belum siapa siapa,” kata Kania. “Dan yang kedua, dia bukan kakak kandungku atau kakak sepupuku sekalipun!” “Oh, beneran?” kata Henry. Yongki mengangkat bahu. “Kamu jadi nganterin aku ke rumah ‘kan?” tanya Yongki. “Oh pasti pasti,” kata Henry. * * * Yongki dan Kania diantar dengan mobil Henry ke apartemen Yongki. Yongki lalu mencoba menelpon apartemennya, tapi tidak ada yang menjawab panggilannya. Perasaannya langsung tak enak. Yongki tak menyangka, ia bakal di luar sampai selarut ini. Dia pikir dia akan pulang dengan waktu normal, ternyata tak semudah itu Ferguso. Benar saja, pintu ruang apartemen Yongki terbuka. Yongki lalu masuk ke dalam, mencari sosok mungil yang baru saja menjadi penghuni apartemennya. Nihil. Gadis bernama Solada itu tidak ada di apartemen Yongki. Yongki mencoba mengambil napas dan bersikap tenang. Bisa aja ‘kan Solada cuma keluar sebentar? Tidak akan lama ‘kan dia? Masalahnya, Yongki saja tak tahu siapa itu Solada, mengapa ia datang ke apartemen Yongki? Jangan jangan dia sebenarnya orang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak anak dan berniat membunuhnya waktu tidur? Apaan sih? “Kak Yongki nyari siapa sih?” tanya Kania. Dia juga jadi ikutan panik tanpa tahu apa sebenarnya yang menyebabkan kepanikan ini. “Ehm…” Yongki bingung. Dia gak pernah menangani masalah anak hilang. Orang dia aja gak punya anak… KAPAN KAWIN? Kenapa Kania sekarang menceritakan masalahnya pada Jonah? Tapi ia memang harus menceritakan masalah ini. Ia baru saja mendapat telepon dari sepupunya, Naomi. Naomi cuma bilang: aku nikah. Datang ya. Sungguh lugas dan tegas, penuh dengan kebencian serta kemenangan. Naomi adalah sepupu yang selalu dibanding bandingkan dengan Kania selama ini. Ketika mereka masih kecil, Naomi menang…banyak. Namun seiring berjalannya waktu, karir Kania lebih moncer dan tiba tiba semua pujian berbalik kepada Kania. Kini Kania ada di atas angin, kecuali dalam satu hal: jodoh. “Aku harus menemukan solusi untuk ini! Aku tidak mungkin pergi ke nikahan sepupuku si Naomi kampret ini tanpa pasangan!” rutuk Kania. “Lhah kenapa?” kata Jonah. “Dia akan mempermalukan aku!” kata Kania. “Aku takkan membiarkan hal ini terjadi.” “Tapi kamu kan udah keren Kania, udah cantik, langsing dan pintar. Apalagi yang mau orang ejek ke anda?” tanya Jonah. “Gimana aku membuktikan kalau diri aku cantik kalau aku gak ada gandengan?” kata Kania. “Iya ‘kan?” “Wah, gak ikut ikut aku mbak,” kata Jonah. “Jonah, kamu harus mencarikan solusi untuk aku! Harus!” “Iya Kan, nanti aku bantu. Pasti!” “Bener!” “Bener!” “Cariin aku gandengan yang ganteng ya!” “Aku bukan mucikari Kania!” “Bodo amat!” * * * “Solada hilang,” kata Yongki. “Mungkin aku harus menelpon polisi.” “Siapa itu Solada?” tanya Kara curiga. “Itu…ceritanya panjang,” kata Yongki. “Pasti pacar Kak Yongki ya,” kata Henry. “Gak…gak gitu juga,” kata Yongki. “Solada ini cewek ‘kan?” tanya Henry. “Dia cewek. Tapi…: Aku pulang! Terdengar suara Solada dari pintu. Ia datang dengan santainya. Membawa tas ranselnya. Ia langsung mencopot sepatunya, menaruhnya di rak. Tak lama kemudian, ia juga melepas kaos kakinya, dan meletakkannya di dalam sepatu. Ia kaget melihat Yongki, Kania dan Henry di dalam apartemen. “Lagi ada arisan?” tanya Solada. “Hei,” kata Yongki sambil mendekati Solada. “Kamu darimana aja?” “Beli makan,” kata Solada santai. “Kok gak ngabari?” kata Yongki kesal. “Kukira Om Yongki sibuk,” kata Solada. Solada lalu ke meja makan, ia duduk di kursi dan mengeluarkan bento box yang disimpan dalam tasnya. “Kamu siapa?” kata Kara pada gadis itu. “Om Yongki gak cerita?” kata Solada. “Enggak, Kak Yongki gak ngomong apa apa,” kata Kara. “Ya udah, kalau begitu,” kata Solada. Ia lalu kembali makan dengan santainya. “Lhah,” kata Henry. Yongki menghela napas. “Aku butuh kopi, yang item dan pahit,” kata Yongki. * * * “Gimana?” kata Jonah. “Kamu sukanya yang mana?” Kania menscroll up dan menscroll down berkali kali foto foto di handphone Jonah…jujur, ia tidak merasa puas. Tampan sih..tapi kayaknya terlalu tampan.. “Jon, kalau terlalu ganteng kayak gini, mereka juga gak akan percaya! Mereka akan tahu kalau ini pacar sewaan.” “Lho, kamu mau yang jelek, sini aku tunjukin satu…” “Bukan jelek juga kali..Maksudnya yang masuk akal! Masuk akal kalau dia mau sama kamu…eh maksudnya aku…gitu lhoh Jon!” “Aku gak paham lho sama maksudmu..” “Kamu bisa gak nyariin yang setara gitu sama kayak aku.” “Sama sama galak dan judes gitu maksudnya.” “Eh malah kurang ajar!” “Lha aku bingung, maksud kamu apa…” Kania menggaruk rambutnya yang tidak gatal pelan. Ia lalu melirik ke arah Jonah dan seakan mendapatkan inspirasi. “Aku ada ide!” kata Kania. “Ide apa?” tanya Jonah. Belum sempat Kania menjelaskan, telepon berdering. * * * “Iyaa,” kata Yongki pada Kania di seberang. “Kita udah berhasil urus masalah itu. Kamu pulang saja sama Jonah. Besok pagi kita ketemu di King Baker.” Kara dan Henry memperhatikan. Yongki lekat lekat. “Tidurlah, mau ngapain lagi?” kata Yongki. “Santailah. Nanti aku kasih tahu si Johny.” Hening sebentar, Yongki masih mendengarkan jawaban dari Kania. “Iya, Kara emang keren.” Kara langsung mengepalkan tangannya dan meninju ke udara dengan senang. “Beneran lho kita liburan bareng,” kata Henry khawatir. “Iya..iya..aku akan menepati janji,” kata Kara sebal. Yongki mematikan telepon, mengambil cangkir kopinya dan menyesap kopi hitam miliknya. “Hmmm,” kata Yongki. “Anak itu datang ke tempatku kemarin. Dia gak mau cerita darimana dia.” “Anak temanmu mungkin?” kata Henry. “Atau anak Kak Yongki, dan ia baru tahu kalau Kak Yongki adalah ayahnya baru baru ini,” kata Kara. “Itu tidak mungkin,” kata Yongki. “Kenapa gak mungkin?” tanya Kara. “Aneh. Emang Kak Yongki…” Kara terdiam, ia bingung mencari padanan kata yang tepat. “Gak pernah Snu Snu yaa??” kata Henry frontal. Kara langsung menggeplak pundak Henry dengan sebal. “Nanyanya gak gitu juga kali!” kata Kara. “Lhoh, kan Snu Snu bahasa yang sopan,” kata Henry. “Gak semua orang pernah melihat Futurama, cuma orang pinter aja. Kayak kamu Kara pasti nonton ‘kan?” “Nonton…lah.” “Dan Kak Yongki…” “Iya, aku nonton….” “Tuh kaan.” Yongki menutupi wajahnya dengan perasaan prihatin. “Oke, aku akui kalau aku berhubungan…hanya dengan istriku… Oke?” “Wah, perlu gingseng tuh kayaknya!” kata Henry. “Henry, terima kasih, tapi bukan itu masalahnya..” balas Yongki agak malu. Kara menggelengkan kepala dengan keheranan. “Daripada kita ngomongin masalah kehidupan yang itu, gimana kalo kita kembali ke topik semula. Jadi, siapakah Solada ini?” kata Kara. “Good idea,” kata Yongki. “Jadi gimana kalau kita tanyai anaknya langsung?” kata Henry. “Aku rasa itu solusi terbaik ‘kan?” “Nice, aku akan memanggilnya sekarang,” kata Yongki. Yongki bangkit dari kursi di berandanya dan menuju meja makan..hanya untuk menemukan bahwa Solada sudah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. “Solada..” bisik Yongki di dekat pintu. “Boleh ngobrol sebentar?” “Enggak ah! Besok aja!” jawab Solada. “Bentar doang kok.” “Gak bisa, besok sekolah!” Yongki menghela napas. Ia lalu kembali ke Kania dan Henry dengan tangan hampa. “Gimana?” tanya Henry. “Nihil,” kata Yongki. “Sudahlah, toh itu bukan masalah besar untuk sekarang. Besok kita bahas lagi setelah serah terima cake sushi.” “Oke,” kata Henry. “No problem.” * * * “Gimana?” kata Kania. “Ide bagus ‘kan?” “Ya aku sih gak pa pa,” kata Jonah. “Tapi kenapa aku gitu lhoh. Gak malu bawa aku ke kondangan?” “Ih Jonah, kamu gak jelek kali, kamu rajin lari juga. Gak bego, kenapa aku harus malu ngebawa kamu?” tanya Kania. “Ya ‘kan kamu cantik. Orang secantik kamu harusnya dapet yang lebih baik dari aku ‘kan?” kata Jonah. Mereka berdua saling bertatap tatapan. Tiba tiba mereka menjadi salah tingkah. Pipi Kania bersemu merah. “Ya udah, kalau..ya..kalau kamu keberatan, gak usah deh,” kata Kania. “Kita kan baru kenal dan aku gak mau bikin kamu merasa gak enak gitu.” “Enggak Kan,” kata Jonah. “Aku mau, aku serius, aku akan menemanimu di kondangan Naomi.” “Bener nih?” kata Kania. “Iya,” kata Jonah. “Mukaku gak keliatan bercanda ‘kan?” Jonah tersenyum. Kania juga. AYAM GEPREK Solada hampir tak percaya apa yang baru dilihatnya tadi. Diantara tamu tamu Yongki tadi, ada seseorang yang ia kenal baik, meski orang itu tidak atau kemungkinan besar tidak terlalu mengenalnya. Solada bertanya tanya, apakah orang itu tahu juga tentang dirinya? Namun, dari tingkah lakunya, orang itu seperti tidak mengenali Solada. Atau dia cuma pura gak mengenali Solada? Entahlah. Toh ia dan orang itu sudah lama tak bertemu. Ayahnya memang protektif pada Solada dan ibunya hingga banyak orang tak tahu identitas mereka sebenarnya. Terkait orang itu, Solada melihat orang itu saat masih kelas satu SD. Kini sudah berlalu beberapa tahun, mungkin orang itu benar benar tak mengenali Solada lagi. Yah, baguslah kalau dia tidak tahu..Solada tidak mau identitasnya sampai terbongkar. Tidak sekarang! * * * Semua berjalan dengan baik. Cake itu diterima oleh Kenji yang terharu dengan desain cake yang sangat menghormati negara asalnya. Bobby berani bersumpah ia melihat Kenji menangis. Kenji lalu mengatakan bahwa terakhir kali ia melihat sushi seindah ini adalah saat ia melihat Sushi milik Jiro. “Enak mana nih ama buatan Jiro Ono?’ tanya Bobby iseng. “Mana saya tahu? Saya belum pernah makan di sana,” kata Kenji. “Lho kok?” ujar Bobby bingung. “Antriannya panjang! Obama aja ngantri,” kata Kenji. Baiklah kalau begitu.. Johny asyk merokok di salah satu café di dekat King Baker dengan ditemani Kara dan Henry, saat mereka tahu dari Bobby bahwa sushi cake berhasil, mereka langsung bersulang gembira. “Gak salah lah kita mengandalkan senpai Johny ini,” kata Henry. “Nggaklah, aku gak sehebat itu,” kata Johny. “Ya ada gunanya juga ‘kan belajar sushi saat kepepet?” “Kok kepepet?” tanya Kania. Johny lalu bercerita bahwa ia pertama kali belajar sushi saat terperangkap di Houston pada tahun 1998. Ia sebenarnya sedang belajar untuk menjadi pilot, eh malah terjadi krisis ekonomi. Mau tak mau ia harus belajar menyambung hidup dengan cara lain. Karena mukanya yang sangat Jepang, iapun diterima di sebuah restoran sushi. “Awalnya disuruh bersih bersih saja,” kata Johny. “Aku cuma butuh waktu dua minggu untuk kemudian ditempatkan sebagai staff dapur.” “Kenapa?” tanya Henry penasaran. “Aku suka nanya,” kata Johny. “Karena suka nanya mereka jadi penasaran dengan hasratku untuk belajar memasak. Makanya aku kemudian dijadikan staff memasak.” “Anda tuh sebenarnya gak sejelek yang digambarkan orang orang,” kata Kara. “Kenapa sih anda bisa segila itu buka celana di hadapan menteri?” “Oh itu. Mereka bilang aku mabuk ya?” kata Johny. “Well, biarlah itu yang orang tahu.” “Lho, anda sebenarnya tidak mabuk?” kata Kara. “Well, aku gak segoblok itu untuk mabuk saat mau rapat akbar,” kata Johny. “Anda sengaja melakukan itu, kenapa?” tanya Henry penasaran. “Aku gak suka aja. Masa lah Asosiasi Chef dipake buat kendaraan politik. Sekalian aja aku bikin rame acaranya.” “Wow,” kata Henry. “Apa anda tidak memperhitungkan akibatnya?” “Nggak sih. Waktu itu kepengen aja. Bikin rusuh.” Kara geleng geleng kepala mendengar pengakuan Johny. Mereka tertawa bareng. * * * Seharian Yongki di rumah dan memperhatikan Solada. Ia berusaha untuk mendekati Solada dan memecahkan misteri: Siapa sebenarnya Solada? “Om Yongki nggak kerja?” tanya Solada penuh curiga. “Udah tadi pagi,” kata Yongki. “Enggak kerja lagi?” “Besok bisa kubereskan.” “Aku gak nyaman diperhatikan terus…” “Aku yang harus bertanya,” tanya Yongki. “Kenapa kamu kesini?” “Kata mama ini tempat paling aman.” “Lalu?” “Makanya aku kesini.” “Itu tidak menjawab pertanyaan Solada!” “Aku mau aja cerita..” “Nah, bagus itu!” “Tapi enggak sekarang..” “Lhah..” “Aku janji gak akan merepotkan. Aku cuma numpang tidur dan aku akan membayar keperluanku sendiri.” “Kamu gak mungkin tidur di kamarku terus terusan dan aku gak mungkin tidur di sofa terus menerus,” kata Yongki. “Aku akan tidur di sofa nanti malam.” “Enggak. Kamu bisa tidur di kamarku yang kosong,” kata Yongki sambil menunjuk kamar kosong di sebelah kamar miliknya. “Oke, aku akan beli tikar untuk diriku sendiri.” “Endak, aku punya ide yang lebih baik..” * * * “Semuanya lima belas juta rupiah…Pak Yongki,” kata si sales toko. “Oke, ini kartu kredit saya,” kata Yongki sembari menyerahkan kartu kreditnya. “Siap pak,” kata si sales di toko tampak terkejut. Solada tak percaya apa yang baru dilihatnya. “Om Yongki membelikan aku meja, ranjang dan lemari baru?” kata Solada. “Just like that?” “Yah, biar kamu nyaman,” kata Yongki. “Itu uang yang banyak,” kata Solada. “Kok bisa bisanya dihambur hamburkan gitu aja.” “Lho, demi kenyamanan kamu sih gak apa.” “Om Yongki aneh,” kata Solada. Yongki cuma nyengir saja. “Pantes mama cinta,” guman Solada. “Apa kamu bilang?” tanya Yongki. “Gak, aku gak ngomong apa apa,” jawab Solada sekenanya. * * * “Mulai sekarang kita partner bisnis,” kata Henry sembari menyalami Johny. Johny tampak senang. Ia kembali menjadi head chef meski ia tidak bisa menggunakan title itu untuk jabatannya. Yang penting, jadilah. “Aku gak pinter hitung hitungan,” kata Johny. “For your information.” “Santailah, nanti aku hire akuntan,” kata Henry. “Dan ada manajer juga.” “Siip,” kata Johny. “Kalau gitu aku pamit ya Hen.” “Oke,” “Tagihan kopinya sama siapa nih.” “Sama aku aja,” kata Henry. “Oke.” Johny lalu meninggalkan Henry dan Kara berdua saja. Setelah Johny pergi, Kara langsung mencecar Henry. “Heh, Hen, kamu jujur deh sama aku. Sebenarnya kamu memang ingin menghire dia jadi kepala dapur untuk restoran sushimu di Babarsari itu ‘kan? Kamu mencarinya kemana mana dan gak berhasil menemukan dia. Terus ada aku dan Kak Yongki nyamperin kamu dan kamu memanfaatkan kesempatan saat tahu Kak Yongki ‘ngebawa’ Johny Samurai. Kamu pura pura jual mahal untuk ngasih kerjaan ke Johny karena ingin kencan denganku. Padahal kamu memang pengen ngrekrut Johny, dan kamu juga memanfaatkan kesempatan untuk membujukku liburan bareng. Sayang, rencanamu gak berhasil sepenuhnya karena Kak Yongki juga ikut di ‘kencan kita’.” Henry tersenyum. “Kamu benar. Semua yang kamu katakan benar. For your information, Aku tahu kamu gak suka ama aku dan kamu orang yang cukup keras juga,” kata Henry. “Lalu kenapa kamu masih ngotot ngejar aku?” Henry menghela napas dan memandang dalam mata Kara. “Membuatmu mencintaiku adalah misi terpenting di hidupku saat ini.” Tak sadar pipi Kara tersipu merah mendengar kata kata Henry. “Aku gak akan maksa kamu mencintai aku,” kata Henry. “Tapi aku gak mau kamu maksa aku untuk berhenti mencintaimu. Gimana? Adil kan?” “Terserah kamu!” kata Kara sekenanya. Perasaan dia agak kacau. * * * “Makan yuk,” kata Yongki. “KFC aja, aku yang bayar,” kata Solada. “Jiah, sombong banget kamu,” kata Yongki dengan nada bercanda. “Gak enak lah kalau aku jadi beban Om Yongki,” kata Solada. “Siapa juga yang nganggep kamu beban?” kata Yongki. “Daripada KFC, aku ada ide yang lebih baik. Gimana?” “Apa itu?” Yongki lalu mengajak Solada ke daerah Demangan Baru, di sana ada rumah makan yang mana banyak orang mengantri untuk makan di sana. Solada terkejut. Yongki lalu ikut mengantri. Saat tibalah giliran mereka, Solada dapat melihat ayam goreng yang digoreng tepung setipe Kentucky Fried Chicken. Setelah memilih dada dan paha atas, Yongki menyerahkan ayam goreng krispy itu ke bagian dapur dan menambahkan cabai, tomat serta terasi, setelah itu… “Prek!” Ayam digeprek. Saat melihat ayam digeprek, Yongki bisa melihat raut wajah berbinar dari Solada. Nampaknya ia belum pernah melihat ayam geprek sebelum ini. “Pertama kali makan ayam geprek?” tanya Yongki. “Iya,” kata Solada. Mereka berdua lalu makan bersama. “Mamamu gak pernah ngajak makan kayak gini?” tanya Yongki. “Papa gak bisa makan makanan Indonesia yang pedes pedes kayak gini,” ujar Solada. “Kenapa?” “Papa kalau makan harus di tempat netral super bersih dengan bumbu hampir kayak hambar, pokonya yang aman aman ajaa,” kata Solada. “Dia gak mau anggota keluarganya sampai kenapa kenapa.” “Lebay!” kata Yongki. “Lalu sekarang papamu dimana?” Solada tak menjawab, ia terus makan. Yongki menghela napas. Belum saatnya ia menanyakan pertanyaan seperti itu. Ia yang salah hari ini. Suatu saat..dalam waktu dekat ini..Yongki akan tahu siapa ayah dan ibu Solada. * * * Henry Jang baru saja memarkirkan mobilnya ketika ia mendapat telepon dari salah seorang kenalannya. Kenalannya itu langsung mencecar Henry Jang dan seolah panik karena Henry telah mengetahui suatu rahasia penting. “Dengar ya,” kata Henry Jang. “Anak itu bukan urusanku, aku gak akan membocorkan keberadaan anak itu. Gak ada gunanya buat aku. Kalau buat kamu? Entahlah, kamu ‘kan orang aneh. Pokoknya kita berdua cool. Oke?” YOKOSO Yongki dipanggil oleh Bobby ke ruangannya. Yongki terkejut. Bobby lalu bertepuk tangan setelah Yongki menutup pintu kantornya. “Keren loe bro,” kata Bobby. “Ada apa ini?” tanya Yongki. “Tingkahmu aneh.” “No..no…,” kata Bobby. “Pak Kenji suka banget dengan sushi cake tempo hari, ia pengen ngajak kamu ketemuan di rumahnya.” “Yang bikin cake itu bukan aku,” kata Yongki. “Johny yang harusnya dia undang.” “Cake itu gak akan terwujud kalo kamu gak mimpin mereka semua Ki,” kata Bobby. “Dan jujur saja Kenji sangat kagum padamu.” “Oke, jadi aku harus pakai baju apa ke rumahnya? Pakaian samurai?” “Sejujurnya kamu akan terkejut dengan hobinya?” “Dia seorang nudist?” * * * Jonah terkejut saat Kania mengajaknya pergi ke mall untuk membeli pakaian pakaian yang akan digunakan untuk kondangan. Bagi Jonah ini agak berlebihan, tapi ia membiarkan Kania berbuat sesukannya. “Kamu ganteng kalau pakai slim fit,” kata Kania. “Apa iya?” kata Jonah. “Aku tuh suka ngerasa agak gemuk.” “Kamu gak gemuk, lebih tepatnya kamu berisi.” “Nyindir…” “Gak, aku serius,” kata Kania. Jonah tertawa,”Aku tahu kok, aku cuma suka bercandain kamu saja.” Kania jadi kesal. “Kamu nih, pengen aku lempar deh rasanya!” Jonah tertawa terbahak bahak sesuai ciri khasnya. “Ok,” kata Kania. “Kita harus serius, aku gak mau Naomi sampai membuatku malu.” “Yah, terserah kamu saja Kan,” kata Jonah. “Memangnya apa yang terjadi dengan kamu dan Naomi?” “Itu…jujur saja, ceritanya agak panjang,” kata Kania. “Aku akan menceritakannya saat kita istirahat setelah ini.” “Oke,” kata Jonah. * * * Yongki mengenakan kemeja batik khas Pekalongan yang ia beli sekitar tiga bulan yang lalu. Ia sempat bercanda dengan Bobby, batik ini bagus, tapi warna warni gitu. Ada gak ya momen tepat untuk mengenakan batik ini? Bobby lalu berkata begini, warna warni itu gak salah. Di Afrika pejabatnya juga pakai baju warna warni. Kita aja yang ribet, mikirnya kalau baju resmi harus hitam putih, gak boleh warna lain. “Pantes ya,” kata Yongki. “Pantes apa?” tanya Bobby. “Pantes negara kita gak maju maju,” kata Yongki. “Kok bisa?” “Semua dilihatnya cuma item ama putih doang!” “Jiah, pinter juga, loe harusnya jadi anggota partai, jangan jadi tukang masak!” “Iya juga, kata orang gue kalo pake jaket parasut merah cocok juga!” “Udah udah, jangan ngomongin politik,” kata Bobby. “Kita masak aja yang enak!” Mereka berdua tertawa terkekeh. Solada sedang membaca novel Dealova ketika ia melihat Yongki mengenakan baju batik dan melihat dirinya sendiri di depan cermin. “Mau kondangan kemana Om?” tanya Solada. “Aku mau ketemu klien,” kata Yongki. “Ooh. Bagus batiknya. Tapi papa gak akan suka,” kata Solada. “Sayang sekali. Papamu pasti orang yang sangat membosankan,” kata Yongki. “Mama juga terpaksa kok nikah sama dia, gitu kata tante,” ujar Solada. “Lhah, terpaksa kok dinikahin. Harusnya nikah ya ama yang bener bener disukain,” kata Yongki. “Gimana lagi yang disukai gak peka!” “Siapa emang cinta seriusnya mamamu?” “Om Yongki.” Hening. * * * Naomi dan Kania lahir di waktu yang hampir bersamaan. Ibu mereka berdua adalah kakak beradik. Sejak lahir, baik Naomi dan Kania selalu dibanding bandingkan oleh keluarga besar mereka. Yang paling parah adalah nenek mereka, Oma Betty. Oma Betty memang bukan orang sembarangan. Dia adalah salah satu wanita pertama yang mendapat gelar Doktor di ilmu Sosiologi balik di Medan sana. Oma Betty juga punya berbagai macam usaha sehingga boleh dibilang kalau Oma Betty super sukses. Padahal awalnya Naomi dan Kania berteman dekat. Namun karena sering dibanding bandingkan akhirnya mereka membenci satu sama lain…wait…membenci bukan kata yang mereka suka. Mereka lebih suka dibilang, ‘gak nyaman’ dengan satu sama lain. Tapi dari gaya bahasanya rasanya mereka memang saling membenci. Banyak sekali sikap Oma Betty yang membuat Kania kesal. Misalnya saat Naomi mengikuti lomba balet dan menjadi juara pertama, Oma langsung berkomentar begini. “Saya gak kaget lihat Naomi pinter balet, badannya aja langsing begini, udah gitu pergelangan kakinya kuat, kayak Oma dulu. Coba kalau Kania balet, kayak babi guling.” . . “Kok babi guling?” potong Jonah. “Kamu lupa kalau aku pernah gendut,” kata Kania. “Gak gendut lagi, aku udah obesitas.” “Kok,” kata Jonah. “Gimana bisa ya sekarang langsing terus dulu obesitas, penasaran aing..” “Heh Jon, aku lagi cerita soal Oma Betty. Jangan ganti topik dulu!” “Oh iyaa, siap salah kakak!” “Aku bukan kakakmu!” “Oke lanjut.” . . Ada lagi, banyaklah keanehan Oma Betty. Misalnya waktu Kania jadi ranking satu di kelas, Oma Betty malah ngomong begini, “wajarlah dia pinter, gemuk gini! Males gerak, kerjaannya baca buku mulu!” Kania merasa sakit hati dibegitukan oleh Oma Betty. Tapi ia disuruh ngalah terus oleh mamanya. Menurut mamanya, ya emang begitu Oma Betty. Kania lalu bertanya, kenapa ya Oma kejam begitu omongannya? Ya, balik lagi, emang begitu. Terus kenapa Naomi dipuji melulu? Ya emang begitu. . . “Tapi ya…tapi…Oma itu sempat jadi pemurung,” kata Kania. “Kenapa tuh?” tanya Jonah. “Gara gara Naomi lah, masak aku!” kata Kania. “Naah..seru nih,” kata Jonah. “Jiah…suka ghibah juga ternyata ya kamu,” kata Kania. . . Suatu hari keluarga besar panik. Panik karena muncul foto foto seronok yang viral dimana mana mengenai seorang mahasiswi. Ya kalau di media massa kan pasti di blur gitu lah mukanya. Jadi gak banyak yang tahu. Cuma aku tahu persis kalung yang suka dipakai Naomi. Dari kalung itulah aku jadi curiga. Dan..benar saja..tak beberapa lama versi asli dari foto foto seronok itu ditemukan..beserta..tentu saja videonya. . . “Lhah, gimana tuh?” kata Jonah. Kania menghela napas. “Ya udah, kita coba membendung persebaran video video dan foto itu hingga akhirnya…yah…kayak banjir, hilang sendirilah masalah itu. Tapi…luka yang sudah tertinggal itu gak bisa hilang begitu saja. Oma Betty jadi pendiam. Gak pernah lagi banyak omong. Tapi..dia juga gak pernah ngomong lagi ke aku..cuma…” “Cuma apa?” tanya Jonah. “Sebelum aku pergi ke Jogja dia melakukan sesuatu yang aneh,” kata Kania. “Anehnya gimana?” tanya Jonah lagi. “Jadi…” Kania lalu menjelaskan hal aneh itu kepada Jonah. Dan Jonah mendengarkan dengan seksama. “Wah,” kata Jonah. “Bener, aneh juga.” “Iya ‘kan? Kenapa coba dia kayak begitu?” ujar Kania. “Kita harus menemukan alasannya pas kita ke kondangannya Naomi.” “Betul!” kata Kania. “Aku juga pengen tahu.” * * * Saat tiba di rumah Kenji, Yongki tampak terkejut karena rumah Kenji seperti joglo mewah dan benar benar kuat nuansa Jawanya. Saat melangkah ke dalam joglo itu, Yongki menemukan seorang gadis yang juga duduk di ruang tunggu. Yongki lalu menyalami gadis itu. “Yongki,” kata Yongki memperkenalkan diri. “Lestari Maryam,” kata gadis itu. “Panggil aja Males.” “Lho kenapa?” kata Yongki. “Kan Maryam Lestari, diambil depannya jadi Males.” “Ohh,” kata Yongki. “Dulu temanku suka ngatain namaku. Buat mereka itu lucu,” kata Males. “Tapi sekarang aku suka aja dipanggil Males.” “Aku paham,” kata Yongki. “Mau ketemu pak Kenji Ozora juga?” “Iyaa.” “Bisnis?” “Enggak, aku cuma diajak makan malem saja.” “Sama dong.” “Oh ya?” kata Yongki. Ia tampak antusias. Ya, ia tertarik dengan si Males ini, bibir tipis, bentuk wajah dengan rahang tegas memanjang serta mata tajam dan alis yang lancip serta hidung mancung, gadis ini terlihat menarik di mata Yongki. Kapan yah Yongki pernah tertarik dengan gadis lain setelah kematian istrinya? —Kamu aja yang gak peka!— Wait, siapa itu yang komentar? Netizen kah? “Yokoso!” terdengar suara dari balik dinding. Kalau dari suaranya sudah jelas siapa dia. Muncullah Kenji dengan pakaian batik dan jenggot panjang serta rambut panjang dikuncir. Sebagian dari rambutnya sudah memutih dengan gurat gurat hitam. Ia begitu ramah. Tak ada kesan bahwa ia salah satu legenda dari kota Jogja. Tak ada kesan juga ia sesombong yang digambarkan oleh banyak orang sebelumnya. “Hai Males chan,” kata Kenji. “Gimana perjalanan dari Bandung? Capek?” “Ya begitulah,” kata Males dengan ramah. “Tapi saya senang banget hari ini bisa ketemu Pak Kenji.” “Kamu bisa aja Males! Justru aku yang senang bisa ketemu sama kamu. Kalau gak ada kamu, aduh, kadang kesepian aku ini. Gak ada teman ngobrol gitu.” Kenji lalu ganti melirik ke arah Yongki. “Kamu pasti Yongki,” kata Kenji. “Benar pak,” kata Yongki. “Les, anak ini pinter banget masak,” kata Kenji. “Sayang bukan dia yang masak untuk hari ini.” “Waduh,” kata Males dengan senyum manisnya. “Mungkin next time.” “Iyaa, kapan kapan aku masakin,” kata Yongki. Ia tersenyum ke arah Males. “Sip!” kata Kenji. “Kalau begitu, kita langsung ke ruang makan saja ya.” SATE KLATHAK Mendengar Males berbicara menjadi pengalaman yang menyenangkan. Namanya sama sekali tak menggambarkan sifatnya. Males rajin membaca dan ia tahu banyak soal sejarah kuliner nusantara. Ia juga mengerti betul banyak bumbu dan hal hal menarik lainnya. Jujur, ia baru saja melakukan sesuatu yang membuat Yongki terpesona. Males mengambil dua bunga Cempaka Kuning yang tumbuh di dekat tangga joglo. Ia lalu menuangkan air panas di atas bunga itu. Baunya langsung semerbak. Ia baru saja membuat teh Cempaka Kuning. Ia lalu membuat dua gelas lagi untuk Kenji dan Yongki. Yongki lalu mengicipi bunga Cempaka Kuning itu. Ia merasa tenang dan relaks. Mungkin inilah yang paling dekat dengan prinsip bahwa makanan adalah obat. “Bahkan di kebun kitapun banyak bahan makanan menarik,” kata Males. “Menurut saya, kita sangat beruntung bisa hidup di Indonesia.” “Menurut saya, kita sangat beruntung bisa mengenal perempuan seperti anda,” kata Kenji. “Terima kasih Pak Kenji,” kata Males. “Anda terlalu memuji.” Setelah itu mereka menyantap makan malam dengan makanan khas Indonesia dan warisan Belanda seperti steak lidah sapi, urap, oseng oseng tempe dan berbagai masakan lainnya. “Anda tampaknya sangat menyukai masakan Indonesia ya Pak Kenji,” kata Yongki. “Ah, jangan salah paham nak. Cintaku tetap pada masakan Jepang,” kata Kenji. “Tapi, saat aku pertama kali memutuskan pindah ke Jogjakarta, aku telah bersumpah pada diriku bahwa aku akan mempelajari segala hal yang berkaitan tentang kota ini. Aku ingin juara! Tentu saja, bersama dengan spirit kota ini.” “Bagaimana petualangan anda Pak Kenji?” tanya Males. “Aku menemukannya dalam satu link, sate Klatak,” kata Kenji. Ia lalu memanggil anak buahnya dan anak buahnya membawakan hidangan utama hari itu, Sate Klatak. “Masakan ini membuatku menyadari bahwa orang Yogyakarta dan orang Jepang sebenarnya memiliki satu kesamaan, kita selalu ingin mengeluarkan potensi terbaik dari sesuatu. Misalnya saja, masakan. Kita selalu berusaha menampilkan yang terbaik dari seekor ikan yang sangat umum dimakan siapapun di dunia ini, salmon. Tak ada bedanya ketika aku melihat Sate Klatak ini…Sate ini dibuat dengan bahan yang sangat sederhana, benar benar berusaha untuk menonjolkan potensi daging kambing ini ke titik maksimal. Saat itulah aku sadar, yeah, di sinilah caranya aku bisa juara dengan mengajak rekan rekanku mengeluarkan apa yang terbaik!” “Dan menjadi juara,” kata Yongki. “Yap!” kata Kenji. “Sejujurnya, timku saat menjadi juara bukanlah tim yang terbaik yang pernah aku bela. Bahkan aku yakin di level Indonesiapun bukan mereka yang terbaik saat itu. Tapi kita bicara soal mentalitas dan bergerak efisien. Itulah yang kita dapat, kemenangan.” “Itu masih dibicarakan orang hingga saat ini,” kata Males. “Luar biasa!” “Yah orang suka cerita tentang kuda hitam,underdog,” kata Kenji. “Orang di negara ini suka sekali sepakbola meski tak pintar memainkannya.” Mereka tertawa bersama. “Kenapa anda akhirnya memilih menetap di sini?” tanya Yongki. “Well, tidak ada alasan khusus. Aku sudah berkeliling di banyak negara. Sebelum pensiun aku bermain di sini. Anakku suka tinggal di sini, begitu juga istriku. Jadi aku berkata pada diriku sendiri. Kenapa tidak aku tinggal di sini? Orang orang ini juga begitu mencintaiku,” kata Kenji. “Yeah, siapa tidak?” kata Males. “Satu gelar juara dan anda jadi legenda seumur hidup.” “Koreksi, gelar juara yang hampir mustahil didapat secara logika,” kata Kenji. Mereka berdua tertawa bersama. * * * Tak disangka ternyata Males dan Yongki tinggal di apartemen yang sama. Mereka pulang bersama dengan mencarter satu taksi online. Mereka banyak berbincang bersama. Yongki akhirnya tahu kalau Males sekarang tinggal di Bandung dan menjadi jurnalis lepas untuk beberapa media internasional. Ia banyak menulis, terutama soal makanan. “Aku bukan chef berbakat,” kata Males. “Atau mungkin saja aku berbakat, tapi bakat itu hilang saat aku lebih sibuk menjadi jurnalis.” “Kamu masih bisa belajar kok,” kata Yongki. “Nih sekarang kamu belajar.” “Ya, akhirnya aku menemukan kerjaan yang sesuai dengan passionku,” kata Males. “Tapi jujur saja aku masih kurang puas. Aku kadang iri melihat chef sepertimu, mengeksplorasi kesempurnaan makanan.” “Aku tak sehebat itu,” kata Yongki merendah. “Aku tidak percaya,” kata Males. Mereka berdua tertawa. Tak terasa mereka tiba di apartemen mereka. Yongki dan Males lalu turun berdua sebelum berpisah di lobi. “Senang berkenalan denganmu,” kata Yongki. “Aku yang lebih senang, sebab aku awalnya tak menyangka bahwa Pak Kenji akan mengundangmu dan memberiku kejutan.” ”Well…” “Sebenarnya aku ingin bertanya, bisa tidak aku melakukan wawancara denganmu untuk Bristih Central News?” tanya Males. “Kenapa tidak?” kata Yongki. “Aku ingin mencari narasumber yang kompeten untuk membahas Sate Klatak,” kata Males. “Sate Klatak? Jangan bilang karena tadi Pak Kenji membahas soal Sate Klatak itu terus kamu tiba tiba tertarik membahas Sate Klatak,” canda Yongki. “Well, sebenarnya aku memang mewawancarai beliau soal Sate Klatak,” kata Males. “Oh, aku mengerti,” kata Yongki. “Kenapa aku terlalu bodoh ya. Masa aku tidak menangkap alasan kamu hadir di rumah Pak Kenji?” “Iya, kalau Pak Kenji sebenarnya lebih pas menjadi narasumber yang berbicara soal kisah kisah menarik di balik Sate Klatak, kalau kamu lebih pas bicara teknis,” kata Males. “Yah, bisa dibilang begitu,” kata Yongki. “Gimana kalau besok? Kamu free jam berapapun aku siap,” kata Males. “Jam makan siang gimana? Aku kerja di sebuah bakery di Jalan Diponegoro,” kata Yongki. “Boleh, boleh,” kata Males. “Jadi, sampai ketemu besok?” kata Yongki. “Sampai ketemu besok,” kata Males. Mereka berdua lalu berpisah jalan. Namun belum jauh melangkah, Yongki berhenti. “Tunggu dulu Les,” kata Yongki. “Ya?” tanya Males yang juga menghentikan langkahnya. “Kita belum tukeran nomor hp,” kata Yongki. “Oh iya,” kata Males. Mereka berdua melempar senyum dan Males segera bertukar nomor dengan Yongki. * * * Jonah menenggak lagi gelas yang tadinya berisi tequila. Sementara itu di sampingnya Kania sudah lemas karena banyak minum. “Kamu tahu,” kata Jonah. “Shoot yang tadi enak juga.” “Yap,” kata Kania. “Ayo kita coba shot lainnya,” kata Jonah. “Nice,” kata Kania. “Kenapa tidak?” Mereka lalu menghabiskan 3 shot tequila lagi sebelum kemudian tertidur. Saat Jonah akhirnya bangun, hal pertama yang ia cari adalah kamar mandi. Ia perlu buang air. Maka ia buru buru buang air. Saat ia masuk ke dalam kamar mandi Kania, ia terkejut dengan banyaknya jenis sabun, shampoo, lulur, vitamin rambut, conditioner dan berbagai alat perawatan lainnya. “Niat banget Kania,” kata Jonah. Ia kadang heran sendiri dengan keinginan Kania untuk selalu tampil cantik. Mungkin diam diam Kania sebenarnya ingin menjadi the next Farah Quinn. Gak tahu juga sih… Jonah lalu keluar, mencuci tangan dan menemukan bahwa Kania tidur dengan berbantalkan tangannya yang menyilang di atas meja makan. Ia benar benar wasted. Jonah tersenyum. Ia lalu membopong Kania. Kania sempat terbangun meski agak tidak sadar. “Mau kemana kita Jon?” tanya Kania. “Kamu tidur di atas kasur aja. Jangan begini!” ujar Jonah. “Oke..oke…,” kata Kania. Ia membiarkan dirinya dipapah Jonah hingga ranjang. Kania langsung memeluk guling ketika Jonah membaringkannya di ranjang. “Kamu bisa tidur di sofa kalau mau,” kata Kania tanpa melihat ke arah Jonah. “Oke,” kata Jonah. “Kayaknya aku gak kuat pulang juga.” “Jon?” kata Kania lagi sebelum Jonah membuka daun pintu. “Ya?” kata Jonah. “Makasih ya,” kata Kania. “Sama sama,” kata Jonah. Ia lalu keluar dan menutup daun pintu. MAKAN SIANG Celingak celinguk, Kara seperti orang bingung di dapur saat jam makan siang. Tentu saja, teman temannya memperhatikan, terutama Kania. Kania lalu memberanikan diri bertanya pada Kara. Kara lalu bertanya, kemana perginya Yongki. Gak biasanya Yongki tiba tiba menghilang pas jam makan siang. “Yah, dia memang misterius ‘kan?” kata Jonah. “Sok tahu,” cela Kania. “Lho bener ‘kan? Hampir gak ada yang tahu siapa dia sebenarnya,” kata Jonah. “Kita aja gak pernah tahu siapa istrinya atau kisah di balik keluarganya. Kerasa gak sih kalau dia gak pernah cerita kehidupan pribadinya ama kita kita?” “Aku tahu…sesuatu,” kata Kara. Tapi ia mencoba menutup mulutnya. Tidak bijak juga jika ia bercerita tentang Solada. Ia sendiri tidak yakin siapa sebenarnya Solada. “Enggak deh,” kata Kara. “Gak jadi aja.” “Lhah,” kata Jonah. “Aku jadi makin penasaran. Aku tuh beberapa hari ini searching soal dia di Google. Dan emang hasilnya hampir nihil. Kalau cerita soal prestasinya sih banyak, kalau kehidupan pribadinya, hampir gak ada!” “Baguslah, dia gak jadi langganan akun Lambe Turah,” kata Kania. “Nah itu dia, gila ‘kan? Lambe Turah aja gak tahu siapa dia,” kata Jonah. “Bokap loe pernah cerita soal Yongki?” tanya Kania. “Gak banyak, cuma soal dia punya istri dan meninggal…” balas Kara. "Papaku aja gak tahu siapa nama istrinya, sampe detik ini!" “Di Google juga ada,” kata Kania. "Eh bangkek, gak ada namanya juga lho. aneh banget." “Wah, aku jadi makin penasaran,” kata Jonah. “Aku gak bisa tidur nih kalo gak dapat cerita lengkap sedikit aajaa.” “Cerita lengkap sedikit tuh terus gimana,” ejek Kania. “Ya maksudnya lebih lengkap dari yang kita biasa denger gitu,” kata Jonah. “Masa aku yang pernah belajar militer ini kalah?!” “Heh, kamu tuh S2 Pertahanan Laut, bukan sekolah detektif,” tegur Kania. Kara menjentikkan jari. “Kalian benar benar penasaran siapa si Yongki sebenarnya ‘kan?” kata Kara. “Ya iya lah,” kata Jonah. “Aku ada ide, ada satu orang yang bisa kita temui,” kata Kara. “Sekarang?” tanya Kania. “Udah pada beres ‘kan kerjaan?” kata Kara. “Udah sih,” kata Jonah. “Tapi aku telepon dulu orangnya ya?” kata Kara. “Mastiin dia lagi kosong apa gak?” “Terserah,” kata Jonah. 20 menit kemudian “Aduuh,” kata Henry Jang. “Ini pada mau makan siang atau piknik sih?” Kania, Jonah dan Bobby yang duduk di belakang cuma nyengir. “Kok si Bobby jadi ikut sih?” protes Kania. “Lhah, kamu pikir aku gak penasaran?” kata Bobby protes. Kadang keluar juga sisi kanak kanaknya dia. “Ya..ya..,” kata Henry Jang. “Ternyata deep down, kalian kepo semua. Kayak Bu Tedjo aja.” “Heh, ini ‘kan buat team bonding,” kata Bobby membela diri. “Terserah,” ujar Henry."Aku juga sebenarnya bukan tim kalian!" * * * Johny sedang menata interior restoran sushi barunya saat rombongan datang. Ia langsung kaget sekaligus senang dengan kunjungan itu. Henry juga sebenarnya sudah tiga hari belum mengecek kesiapan restoran sushi barunya. Sekarang ia melihat bahwa…semua desain yang sudah ia siapkan…dirubah semua, benar benar dibongkar…semua mulai dari nol. “Kok berubah semua begini?” tanya Henry. “Soalnya desain kamu aneh, kayak rumah makan Korea!” kata Johny. “Oh,” kata Henry. “Terserah kamu aja deh, asal gak melebihi budget.” “Nah,” kata Johny. “Omong omong akuntanmu cukup bagus, makasih yah.” “Good, gak sia sia lah dia dikuliahin,” kata Henry. “Anak buahmu lulusan kuliah?” kata Kara tak percaya. “Padahal kamu SMA aja susah payah untuk naik kelas dan gak kuliah. Hebat juga kamu.” “Kar, kalau kamu bisa nyewa orang pintar, ngapain juga kamu harus pintar,” ujar Henry. Kara memegangi dahinya sembari mencoba mencerna omongannya Henry. “Omongan dia gak salah juga, tapi aku yakin ada yang gak bener,” celetuk Kania. “Udah udah,” kata Jonah. “Balik ke topik nih, kita ‘kan mau tanya Johny, sebenarnya kayak apa sih masa lalu si Yongki.” Johny menghela napas. “Kalian kenapa nanyanya ama aku?” “Kayaknya kau deket gitu ama si Yongki,” kata Jonah. “Bukan berarti dia akan cerita semua hal ke aku,” jelas Johny. “Yaahh…” “Tapi…” “Nah ini dia,” kata mereka hampir berbarengan. “Sabar, sabar,” kata Johny. “Aku akan ceritakan apa yang aku tahu.” * * * “Udah gitu doang?” kata Kania dalam mobil. “Yang diceritakan Johny gak menjawab pertanyaan!” “Seenggaknya,” kata Henry. “Kalian jadi tahu betapa gilanya dia soal dunia kuliner.” “Kalau itu sih gak usah ditanya!” jawab Kania. “Hebat sih tapi, si Yongki itu,” kata Jonah. “Itu sih gak usah ditanya,” kata Kara. “Dia tuh udah terobsesi.” Tadi Johny menceritakan pertemuan pertamanya dengan Yongki. Semua berawal ketika Johny menunjukkan jenis jenis pisau pada suatu seminar yang diadakan Asosiasi Chef. Saat itu mereka bahkan belum berkenalan. Setelah acara, Yongki langsung mengajak Johny berkenalan dan meminta untuk menjadi teman Johny. “Aku gak punya banyak teman tahu,” kata Johny. “Si kampret ini memintaku untuk jadi temannya! Orang yang banyak dipuji orang sebagai bakat alami, tentu saja aku mau!” “Lalu, apa yang kalian bicarakan?” tanya Kara penasaran. “Dunia masak lah!” kata Johny. “Dia penasaran mengenai banyak hal terkait masakan Jepang. Aku sebenarnya cuma ahli soal sushi saja, tapi yah tahu sedikit banyaklah soal masakan Jepang dibanding orang awam. Jadi aku layani saja pertanyaan dia yang sekiranya bisa aku jawab.” “Dia gak cerita soal keluarganya gitu, sedikitpun?” tanya Bobby. “Melihat wajah istrinya saja aku tak pernah!” kata Johny. “Kurasa fakta bahwa dia menikah saja sudah cukup aneh. Ia tak seperti tipe orang yang cocok dengan hubungan antar manusia.” Para anggota King Baker mengangguk berbarengan. “Tapi…” kata Johny. “Aku tahu saat istrinya meninggal.” “Nah,” kata Bobby. “Kudengar ia banyak menghabiskan waktu denganmu setelah istrinya meninggal.” Johny mengangkat bahu. “Tidak bisa dibilang aku menghabiskan banyak waktu dengannya karena dia juga memiliki banyak kegiatan lain,” ujar Johny. “Hanya saja ia lebih mudah diajak minum dan kuajari merokok juga setelah tragedi itu.” “Ternyata kamu emang pengaruh buruk John,” ujar Bobby sembari menggelengkan kepala. “Hei, jangan salahkan aku! ‘Kan dia cuma kuajari cara aku mengatasi masalahku,” kata Johny. “Sedikit doang kok aku ngerokoknya.” “Kayaknya gak sedikit deh. Jujur aja Pak Johny, anda harus berhenti merokok,” kata Henry. "Atau seenggaknya mengurangi...dengan cukup banyak tentunya." “Hei, jujur aja, kecanduanku gak separah itu,” balas Johny. “Asbakmu berkata lain,” kata Henry. Anggota King Baker langsung serempak melihat asbak di meja Johny. Johny merasa malu. "Oke, kamu gak salah juga," kata Johny. Mereka akhirnya tiba di King Baker lagi. Henry turun dari mobil dan menemani Kara bersama kawan kawan kembali ke dapur. Saat sedang berjalan berdua, Kara menepuk pundak Henry dan menegurnya. “Tadi kamu bilang sendiri ke Pak Johny untuk berhenti merokok,” kata Kara. “Aku berharap kamu berhenti merokok juga!” “Aku?” kata Henry sembari menunjuk dirinya sendiri. Kara mengangguk. “Kalau aku berhenti merokok, kamu bakal mau sama aku?” tanya Henry. “Bisa aja!” jawab Kara. ia lalu melempar senyum dan berlalu. “Beneran nih?” bisik Henry pada dirinya sendiri. THE TALK Saat Yongki kembali ke dapur dari jam makan siang, dapur tampak kosong dan lenggang. Hanya ada dua baker senior yang sedang bekerja. Yongki lalu bertanya kemana yang lain pergi. Salah satu dari kedua baker itu mengatakan bahwa orang orang di dapur pergi makan siang. “Pergi makan siang, rame rame?” tanya Yongki. “Iya, sama Pak Bobby,” kata pria gendut itu. “Bobby?” kata Yongki terkejut. “Wow, sekarang mereka jadi akrab.” “Yah, begitulah.” Yongki senyam senyum sendiri dan kembali bekerja. Saat makan siang tadi ia berbicara banyak dengan Maryam Lestari alias Males. Iya..Sebenarnya Yongki ingin sekali memanggil wanita itu dengan nama lain, Lestari misalnya? Atau Maryam? ‘Kan lebih enak didengar ya? “Udah gak usah,” kata Males. “Dari kecil aku udah biasa dipanggil Males.” “Kalau memang begitu, ya udah,” kata Yongki. “Aku gak mau mempermasalahkan namamu.” “Yap, sama kayak kata Shaskepare ‘kan? Apa arti sebuah nama,” kata Males. “Tapi kamu suka dipanggil Males,” kata Yongki. “Kebiasaan lama aja,” kata Males. “Kuharap kamu gak keberatan huh?” “Aku? Enggak,” kata Yongki. Mereka lalu membicaran sate Klatak hingga kemudian berbicara banyak hal lain seperti mengapa Sate Klatak terkenal hingga hal hal random mengenai kehidupan mereka. “Aku dulu banyak baca Cooking Master Boy,” kata Males. “Bahkan aku nonton serialnya di AXN…” “Wah hebat, sejak muda sudah bisa Bahasa Inggris,” ujar Yongki. “Aku tidak terlalu bisa waktu itu, tapi aku belajar..juga dari album Westlife.” “Westlife?” kata Yongki. “Tahun berapa itu?” “Aku hidup di masa SMA yang berbeda denganmu. Kamu lebih modern kukira,” kata Males dengan senyum malu malu. “Kamu suka bola?” tanya Yongki antusias. “Suka karena ayahku.” “Siapa juara Liga Champions saat kamu lulus SMP?” “Waduh, ketahuan dong aku angkatan berapa…” “Aku juga bukan orang yang sangat muda.” “Sejujurnya, itu Real Madrid..” “Zidane atau Seedorf?” “Aduuuh…makin ketahuan laah.” Yongki tertawa, “Aku cuma bercanda.” “Jadi siapa juara Liga Champions saat kamu lulus SMP?” “Itu adalah Milan,” kata Yongki sambil mengangkat bahu. “Shevchenko atau Kaka?” tanya Males. “Shevchenko,” kata Yongki. “Oh, ternyata kita gak beda jauh.” Mereka berdua tertawa. “Menikah?” tanya Yongki ketika melihat cincin emas di jari Males. “Tidak lagi,” kata Males. “Aku bercerai, lima tahun lalu, aku menikah dengan orang yang salah. Terlihat menjanjikan pada awalnya, namun waktu akhirnya waktu memberitahu aku siapa dia sesungguhnya.” “ I see,” kata Yongki. “Kamu punya anak?” “Tidak, tapi mantan suamiku punya beberapa anak. Sangat manis dan pintar, sayang mereka punya ayah seperti dia.” “Kasian anak tirimu…” “Mereka bukan anak tiriku, aku lebih menganggap mereka sebagai teman…teman sependeritaan.. Bukan aku mau menjelek jelekan ayah mereka. Tapi kurasa mereka paham kalau ayah mereka bukan orang terbaik di dunia menurutku,” kata Males. “Jujur saja, mereka anak anak yang malang. Kadang aku merindukan mereka, tapi tidak mantan suamiku.” “Yah, sedih banget mendengar hubungan kalian serusak itu, lalu cincin itu?” tanya Yongki. “Kebiasaan lama saja. Seperti kataku tadi. Old habit die hard. You know?” “Benar juga,” ujar Yongki. “Kamu?” tanya Males. “Istriku meninggal. Dia memiliki kelainan darah sedari kecil.” “Kamu tahu keadaannya sebelum menikahinya?” “Iya.” “Dan kamu tetap menikahinya?” “Iya, aku tetap menikahinya.” “Kamu cinta dia?” Yongki mengangguk. “Sampai sekarang pun masih. Kamu tahu? Agak susah melupakannya. Banyak cara kucoba. Aku masih tidak bisa membiarkannya pergi dari pikiranku. Ia tinggal begitu saja di dalam diriku.” “Kamu gak kepikiran menikah lagi Yong?” “Belum,” kata Yongki. “Kini aku mencurahkan cintaku pada dunia kuliner saja.” “Kamu menjadikan dunia kuliner sebagai pelarian sekarang nampaknya…” “Yah, setidaknya pelarian yang positif ‘kan?” “Kamu bahagia.?” “Cukup untuk saat ini…” Males tersenyum dan mengangguk pelan. “Aku berharap banget kamu bisa kembali tersenyum dengan lebar. Seperti saat kamu memenangkan All Japan Junior Chef Championship misalnya.” Yongki mengerutkan dahinya. “Kamu ada di situ waktu itu?” tanya Yongki. “Iya, kamu mungkin tidak terlalu memperhatikanku tapi betul, aku ada di situ dan mewawancarai kamu yang masih …sebentar…bahkan belum kelas dua SMA.” “Well.” “Dari dulu aku sudah suka kamu dengan passion dan pembawaanmu Yong,” kata Males. “Kamu gak sadar. Hanya saja banyak orang tahu betapa berharganya kamu.” * * * Aku pulang! Kita pulang! Yongki terkejut begitu juga baker yang sedang menghias kue tart, ia hampir saja salah. Well, sebenarnya dia sudah salah. Berturut turut masuk Kara. Kemudian Kania dengan gaya tetap cool dan Jonah yang cengangas cengeges serta Bobby yang masuk dari belakang. Yang teriak teriak tadi si Kara. “Kalian darimana?” tanya Yongki ceria. “Ada deh,” kata Kara. Yongki mengerutkan dahi. “Kak Yongki darimana coba?” balas Kara. “Kok pergi gak bilang bilang..” “Aku tadi ada wawancara dengan wartawan,” ujar Yongki. “Bener?” tanya Kara curiga. “Iyaa kok,” kata Yongki, pipinya bersemu merah. “Kencan jangan jangan,” kata Jonah menimpali. “Enggak kok,” kata Yongki membela diri. Kenapa ya aku harus menyanggah kalau aku pergi kencan? Emang dia siapa? Bapakku? “Omong omong,” kata Bobby. “Gara gara kamu ngomong wartawan aku jadi ingat sesuatu. Kalian mungkin kurang aware, cuman sebentar lagi akan ada event besar yang sudah siap untuk diadakan dalam waktu dekat.” “Jangan jangan udah setahun lewat sejak penilaian terakhir…” tanya Yongki. “Aku kurang peka sama waktu.” “Kamu benar. Seminggu lagi akan ada tim reviewer dari Agatha Star,” kata Bobby. “Bakal menantang nih,” kata Yongki. “Aku akan urus persiapan review di King Baker, kita akan baik baik saja.” “Masalahnya gak hanya itu saja,” kata Bobby. “Sebenarnya Pak Bambang ingin meminta kamu lebih aktif tahun ini.” “Lho bukannya tiap tahun aku aktif ya?” protes Yongki. “Maksudnya…” “Maksudnya?” “Kamu tahu ‘kan kalo usaha Pak Bambang bukan cuma di sini saja..” “Yeah, terus?” “Pak Bambang ingin kamu jadi ketua tim Agatha Star untuk Sugema Food Group..” “Wah…” kata Yongki. “ Tapi Aku ‘kan harus bekerja sebagai baker di sini juga…” “Aku tahu Yongki,” kata Bobby. “Tapi aku tak bisa menolak permintaan Pak Bambang. Tahu sendiri tahun lalu ada kejadian apa.” “Aku tahu,” kata Yongki. “Pak Bambang tak ingin hal itu terulang lagi.” Yongki mengambil napas pelan. “Oke, aku paham,” kata Yongki. “Apa boleh buat.” Mendengar pembicaraan Yongki dan Bobby, Kara dan Jonah hanya melongo saja kebingungan sementara Kania memperhatikan dengan seksama. “Eh, apaan sih Agatha Star?” tanya Jonah pada akhirnya. “Itu..ceritanya panjang,” kata Kania. “Kalian para junior harus tahu cerita lengkapnya.” * * * Pernah dengar ada warung nasi ayam Hainan di Singapura yang dikunjungi ratusan orang tiap harinya? Padahal warung itu hanya ada di sebuah foodcourt. Foodcourt itupun termasuk tak terlalu dekat dengan pusat kota. Lalu bagaimana bisa tiba tiba si warung nasi ayam Hainan ini terkenal? Semua karena Agatha Star. Agatha Star adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada tiap restoran yang dianggap berhasil menyajikan hidangan berkelas dan pelayanan nomor satu. Awalnya..tapi kini Agatha Star lebih kompetitif, setiap food stall di dunia bisa mendapatkan Agatha Star asal mereka bisa memenuhi lima kriteria : Kualitas hidangan, Kebersihan, Pelayanan, Pengalaman Pelanggan dan Desain Gerai. Food Stall yang mendapatkan Agatha Star dijamin akan dicari banyak orang di seluruh dunia, begitu juga jika Agatha Star mereka dicabut, maka seluruh dunia akan bertanya tanya dan itu bisa berarti vonis mati bagi si Food Stall alias kebangkrutan. “Gak asyk banget anjir,” kata Jonah ketika Kania selesai menjelaskan. “Ya, itu resiko bagi orang yang pengen sukesnya gak nanggung nanggung,” kata Kania. “Tahun lalu kita dapat bintang berapa?” tanya Kara pada Kania. “Tiga,” kata Kania. “Bukan yang tertinggi, tapi cukup baiklah.” “Masalahnya?” kata Jonah. “Pasti ada masalah ‘kan sampai Yongki ditunjuk sebagai ketua tim Agatha Star Sugema Food Group?” “Iya, masalahnya tahun lalu terjadi semacam…kegemparan,” kata Kania. “Karena…” “Seseorang melakukan kesalahan fatal,” kata Kania. “Fatal banget.” KASUS RUMAH CINTA King Baker memang brengsek! Begitu menurut Kania. Brengsek dalam artian bagus tapi. King Baker benar benar menerapkan standard protokol yang ketat. Kania ingat, seorang pegawai ketahuan mendulit (?) apa yah padanan yang tepat..ya semacam mencelupkan jari ke dalam jerigen selai coklat dan mencicipinya begitu..Jadi, si pegawai ketahuan dari cctv. Bobby langsung mengambil tindakan tegas. Ia memutuskan memecat pegawai itu setelah bertemu dengan Yongki selaku penasihat tidak resmi dari King Baker. Lain waktu, ada pegawai yang tidak cuci tangan setelah merokok sehingga membuat roti berbau kretek dan cengkeh hangus. Tak ada ampun! Ia juga dipecat. Benar benar, semuanya dikerjakan dengan sangat professional di King Baker. Bahkan terkadang terasa terlalu lebay. “Tapi itu harus dilakukan,” jawab Bobby mengenai kebijakan di King Baker. “Kita tidak boleh main main dengan standard. Kita tidak bisa puas dengan jadi nomor dua saja.” “Aku…ngikut aja,” kata Yongki sembari tertawa. “Tapi emang kata Bobby bener juga.” Berkat Yongki dan Bobby, King Baker selalu dihargai sebagai Bakery top di kota Yogyakarta, tak ada yang bisa mendekatinya. Namun nasib berbeda dirasakan oleh restoran lain milik Bambang Sugema. Mungkin kata ‘parah’ terdengar kasar, tapi restoran lain bahkan tak mendapat Agatha Star, atau paling bagus dapat satu bintang, itupun setelah Bambang benar benar mengeluarkan uang milyaran untuk memastikan restoran itu ditata sedemikian baiknya. Menurut Yongki, banyak faktor mengapa restoran sampai gagal berprestasi maksimal dalam mendapatkan Agatha Star. “Yang terparah adalah ‘Rumah Cinta’,” kata Kania. “Itu GOBLOK sekali sih. Kesalahan yang mereka lakukan gak bisa dinalar untuk standar paling tolol sekalipun.” “Apaan nih namanya kok kocak, Rumah Cinta,” kata Jonah. “Itu rumah makan Vegan,” kata Kara menjelaskan. “Kamu gak pernah makan di tempat sekeren itu?” “Aku ‘kan Carnivor!” balas Jonah sembari ketawa tawa. Kania menghela napas pelan menanggapi Jonah yang sikapnya emang kekanak kanakan abis. “Seseorang di ‘Rumah Cinta’ menyimpan daging nugget di dalam freezer,” kata Kania. “Si goblok yang mengatakan ‘kan sekalian SAMBIL TERTAWA.” “Lhoh ‘kan bener, ‘kan sekalian,” kata Jonah bingung. “kulkas segede itu harus dibikin multi guna bukannya?” “Kamu gak bisa mikir kayak gitu Jonah! Itu sama aja kalau kamu sama gobloknya dengan pegawai ‘Rumah Cinta’! Ini Agatha Star, salah satu lembaga pemeringkat terketat di dunia! Mana bisa kamu bilang wajannya “cuma” bekas nugget pak di fucking vegan restaurant!” kata Kania. “Pola pikir kayak gini yang bisa bikin Pak Bambang bangkrut!” “Oke,” kata Jonah. “Maaf.” Kania mencoba bersikap lebih tenang dan mengendalikan emosinya. “Aku butuh air,” kata Kania. Ia bangkit dan mengambil air di dapur belakang. “Tuh kan,” kata Kara. “Kak Jonah sih!” “Lho kok aku?” kata Jonah tidak terima dipersalahkan begitu saja. “Mana aku tahu kalau Kania bakal sebaper itu.” “Iya, aku juga gak nyangka, tapi kita emang harus hati hati kalo ngomong, Agatha Star ini bikin semua orang tegang.” * * * Gunawan mencari cari buku yang diminta oleh Yongki di perpustakaannya. Sementara itu, Yongki dan Kara menunggu. Kara tampak tegang. Ayahnya baru saja memintanya untuk menjadi partner Yongki langsung dalam penilaian dengan Agatha Star. Bobby juga setuju. Menurut Bobby, Yongki perlu dibantu dan Kara juga perlu belajar soal Agatha Star. “Sabar ya,” kata Gunawan pada Yongki dan Kara. “Santai aja Pak,” kata Yongki. Gunawan menghela napas pelan. “Inilah makanya aku males jadi head kitchen restoran, ribet kalau ada hal hal kayak Agatha Star itu,” kata Gunawan. “Siapa sih yang bikin bikin Agatha Star?” protes Kara. “Orang Perancis Didier Blanc,”kata Yongki. “Dia adalah pemimpin redaksi majalah life style Agatha…yang dinamai dari istrinya yang hedonis dan kapitalis sejati.” “Wow, jadi hidup kita dibikin repot oleh seorang pansos,” kata Kara. “Luar biasa.” “Bukan pansos biasa,” kata Gunawan. “Ah ketemu nih bukunya!” Gunawan lalu mengambil buku itu dan meletakkannya di depan Yongki dan Kara. Kara tampak shock melihat betapa tebalnya buku itu. Kalau ada kucing lewat dan ditimpuk buku itu kayaknya pasti mati deh… “Ini Pe-Ermu Kara,” kata Gunawan. “Semua manual mengenai Agatha Star ada di situ. Lumayan buat baca bacaaan kalau mau tidur.” “Pa?” kata Kara.“Gak bercanda ‘kan?” “Ngapain?” ujar Gunawan heran. * * * Gunawan dan Yongki ngobrol di halaman belakang setelah Kara mandi dan mengurung diri di kamar serta mulai membaca manual Agatha Star. “Kamu gak usah bohong sama aku,” kata Gunawan. “Kamu sebenarnya senang ‘kan dapet tugas ini?” Yongki tertawa pelan. “Ini repot lho Pak. Banyak banget yang harus diperhatikan. Saya aja bingung harus mulai darimana.” “Bohong ah, kayak aku baru kenal kamu kemarin.” “Ya..ya…” “Aku tuh juga heran, orang sekompetitif kamu kok milih beristirahat di tempat kayak King Baker. Ada apa sih?” “Ingin saja Pak,” kata Yongki. “Capek juga ‘kan saya sudah aktif di dunia kuliner sejak remaja…” “Bohong banget kamu capek,” kata Gunawan. “Apa karena istrimu?” “Yah,” kata Yongki. “Ada faktor itu juga.” “Cobalah membuka diri,” kata Gunawan. “Tempo hari aku bicara soal Kara. Aku serius lho Yong. Kamu tuh cowok baik baik, aku yakin Kara akan aman sama kamu.” Yongki melengkungkan senyum. “Saya gak melihat dia sebagai calon pendamping hidup saya.” “Kenapa? Karena dia masih muda begitu?” kata Gunawan. “Apa dia kurang cantik?” “Cantik kok pak..” “Lha terus kenapa?” “Saya duda lho Pak Gun.” “Saya juga…” “Ya..itu… Bapak gak keberatan punya menantu duda?" "Kalau dudanya kamu bisa lah aku pertimbangkan." "Kok gitu ngomongnya..." Gunawan menghela napas panjang. “Ini nasihatku aja sih Yong. Kamu mungkin masih melihat Kara sebagai anak anak, tapi aku, sebagai bapaknya, melihat dia sudah banyak berubah akhir akhir ini. Bagiku dia sudah wanita utuh, punya visi dan punya arah. Kadang aku aja terkejut dengan betapa cepat dewasanya dia..” “Iya, saya juga bisa melihatnya, dia bertumbuh. Mungkin dia lebih pas dengan cowok seperti Henry Jang misalnya.” “Halah, kamu tuh ngomong apa! Nggak lah kalo sama Henry, kukira dia lebih pasnya ke kamu Yong. Aku tuh bisa membaca kepribadian putriku.” Yongki tak berkata apa apa. “Coba deh pikirkan baik baik Yong. Gak setiap hari kamu dapat restu dari bapaknya sebelum anaknya mau.” * * * Henry bersin bersin saat menunggu tamunya datang. Ia jadi ingat sebuah mitos. Katanya ada yang lagi ngatain kalau sampai kita tiba tiba bersin gak jelas begitu. Hari ini ia menunggu tamu dari luar negeri, ada lima orang jurnalis luar negeri yang sudah berpengalaman mengenai dunia kuliner dan seorang wartawan Indonesia yang tak kalah hebatnya. Mereka akan membicarakan mengenai sebuah proyek yang menjadi alasan banyak chef jantungan. Tak lama sekretaris pribadinya datang. Ia memberitahu Henry bahwa tamunya telah datang. Henry lalu meminta waktu sebentar agar ia bisa merapikan baju dan rambutnya. Setelah melakukan semua itu, dengan percaya diri ia keluar dan berjalan menuju ruang tamu. Di sana tamu tamunya sudah menunggu. Henry langsung berkenalan dengan mereka semua. Terakhir ia menyalami si wartawan Indonesia yang menjadi perwakilan lokal dari kelompok elit itu. “Perkenalkan ini Pak Benoit Chow dari Prancis, lalu ada Charles McKinney dari Amerika Serikat, kemudian Mika Polanski dari Ukraina dan Kemudian ada Sandro Michel dan Gordon Giggs,” kata jurnalis lokal itu sembari memperkenalkan delegasinya. “Saya sudah baca CV mereka, orang orang hebat semua ya, kayak kamu,” kata Henry. “Ah, saya cuma beruntung,” kata Maryam Lestari alias Males. LIMA JAGAL Mata Kara berkantung, Yongki sampai tidak tega melihatnya. Nampaknya Kara tidak tidur semalaman. “Aku baru separo jalan,” kata Kara pada Yongki. “Maafkan aku.” “Hah, udah separo lebih kamu baca?!” kata Yongki. “Gimana bisa?” “Ya dibaca aja ‘kan Kak?” kata Kara. “Coba kamu kasih tahu aku soal standar prosedural pengaturan meja untuk rumah makan dengan menu utama mie.” “Setiap rumah makan wajib menyediakan sumpit dari bambu atau kayu sejenis lainnya yang tidak berserat kasar serta mangkuk yang seukuran genggaman tangan dan atau nyaman dipegang dengan satu genggaman tangan orang dewasa (menurut standar Amerika Utara),” kata Kara. “Bener gak?” “Bener,” kata Yongki. “Kok bisa sih langsung apal begitu?” “Ya bisa aja..” Saat mereka sedang asyk berbincang di ruang tamu Yongki, tiba tiba pintu terbuka dan muncullah Solada masih memakai piyama dan mengucek ucek matanya. “Lho Solada,” kata Yongki. “Tumben bangun siang?” “Sekolah libur,” kata Solada. “Kok bisa?” kata Yongki. “Ada guru jadi korban klitih.” “Beneran?” “Ngapain aku bohong,” kata Solada. “Kak Yongki juga harus hati hati, siapa tau di jalan bakal diserang orang jahat, banyak orang iri ama Kak Yongki juga.” Solada lalu ngeloyor saja ke kamar mandi. Kara memperhatikan Solada dengan heran. “Kak Yongki udah beneran kayak punya anak aja,” kata Kara. “Iya..ya begitulah,” kata Yongki. "Atau kayak punya nyokap?" “Heh, by the way, Dia udah mau cerita siapa dia sebenarnya?” tanya Kara. “Belum..” kata Yongki. “Aku juga gak mau maksa.” Kara mengangguk pelan. “Nah, kata Yongki. “Sebenarnya aku ada satu pe-er lagi buat kamu.” “Apa itu?” tanya Kara. “Agatha Star itu bisa dibilang salah satu standar paling objektif yang subyektif…” “Ngomong apa sih Kak Yongki, aku gak ngerti. Kebolak balik ya?” “Enggak, aku serius,” kata Yongki. “Emang Agatha Star punya manual. Tapi jurinya sendiri tiap tahun berbeda beda. Jumlah jurinya selalu ada lima dengan satu jurnalis lokal sebagai konsultan. Jurnalis lokal ini gak punya hak suara, tapi dia bisa banget mempengaruhi penilaian akhir.” “Dan?” tanya Kara. “Kamu harus mempelajari kelima juri ini supaya kita bisa memilih strategi yang tepat untuk memenangkan Agatha Star.” “Baiklah.” “Ingat, semua datamu harus lengkap, lima orang ini bisa jadi sangat berbahaya, makanya mereka sering dipanggil dengan sebutan horor oleh chef di Indonesia. “Sebutannya apa?” * * * “Lima Jagal tahun ini kayaknya ramah ramah ya,” kata Henry pada Males. “Jangan salah, mereka memang kelihatannya asyk, tapi mereka sangat peduli pada detail. Uang saja takkan cukup untuk membuat restoran yang berkesan bagi mereka,” balas Males. “Pastilah,” kata Henry. Males tersenyum. “Kemarin aku bertemu dengan Yongki. Ternyata dia emang masih hebat. Sekeren yang kamu bicarakan Henry,” kata Males. “Iyaa..makanya aku tuh khawatir, dia sainganku untuk mendapatkan Kara.” “Hmm..dan kamu meminta aku untuk mengalihkan perhatian Yongki dari Kara?” kata Males. “Gilak aja ya kalo dipikir pikir, orang kayak aku dilibatkan kisah cinta segitiga anak SMA. Aku ngerasa bodoh.” “Tolonglah aku Males, kan aku juga sudah bantu kamu untuk membuka restoran di Dago,” kata Henry. “Aku gak minta kamu banyak banyak kok, yang penting bikin si Kara agak berjarak dengan si Yongki. Kalau nggak kalah lah aku sama dia!” “Henry…Henry…you have a fucking penthouse!” kata Males. “Percaya diri dikit kenapa?” “ Seperti yang kamu bilang, Kara itu kayak Lima Jagal, uang saja tak akan membuat ia terkesan.” “Tapi kamu harusnya berusaha membuat Kara terkesan dengan apa yang ada dalam dirimu!” kata Males. “Jangan kayak pengecut!” “Itu…” Henry berusaha membalas Males tapi dia kebingungan. “Itu benar,” kata Males. Dia langsung ngeloyor pergi begitu saja. * * * Kara membaca manual Agatha Star di ruang makan Yongki. Sementara itu, Solada juga tampak rajin belajar. Kara memperhatikan Solada. Kalau dilihat lihat, Solada ini ada mirip miripnya dengan Yongki. Jangan jangan memang benar anak Yongki lagi? Tapi Yongki ‘kan gak berbohong juga kalau dia… “Aku pulang!” kata Yongki. Ia membawa banyak belanjaan. Kara langsung ke pintu depan dan membawa barang belanjaan milik Yongki. Yongki berterima kasih pada Kara. Ia lalu menuju ke dapur, mengenakan celemek dan mengeluarkan bahan bahan yang baru saja beli. Salah satu yang ia beli adalah sayur Pare. “Wah, mau masak Pare ya?” tanya Kara. “Yes, aku juga sudah beli ebi,” kata Yongki. “Cocok banget nih, apalagi pakai telur.” “Waah, asyk nih,” kata Kara. “Kita bakal makan masakan dari spesialis masakan Indonesia yang paling berbakat. Kurang beruntung apa kita?” “Gak gitu juga kali,” kata Yongki salah tingkah. “Aku cuma mengutip dari British Foodies Association,” ujar Kara. “Mereka suka lebay aja,” ujar Yongki. “Oh ya, aku akan masak tempe geprek juga, tadi aku dapet terasi yang bagus. Terus…” Yongki melihat ke kanan dan ke kiri seperti mencoba mencari sesuatu. Ia lalu menemukan tauge yang baru dibelinya dan juga ikan teri medan yang baru didapatnya dari pasar tadi. “Makan besar kita,” kata Kara. “Vegetarian style?” “Yah, aku sekalian mikir cara mbenerin masakan di ‘Rumah Cinta’ sih,” kata Yongki. “Parah banget ya ‘Rumah Cinta’?” “Masalahnya nyari chef khusus untuk masakan Vegan emang sesusah itu, padahal makanan Indonesia banyak yang cocok untuk Vegan. Misalnya saja Gudeg.” “Gudeg?” “Yess, Gudeg awalnya diciptakan karena orang susah mendapatkan daging sapi, mereka lalu melihat bahwa nangka muda punya tekstur seperti daging sapi, setelah itu kepikiranlah mereka untuk mengolah daging nangka muda itu dengan teknik karamelisasi sehingga rasanya mendekati rasa sapi. Walaupun akhirnya ya gak mirip mirip amat ama sapi tapi bisa menjadi khazanah makanan sendiri.” “Oh begitu,” kata Kara. “Aku belajar hal baru.” “Bagus dong,” kata Yongki. “Kak Yongki, sebenarnya kenapa sih untuk masakan Vegan kita gak boleh memakai ikan teri sekalipun?” “Soalnya vegan dan vegetarian itu beda. Orang vegetarian itu ‘kan menjalani pola makan seperti itu untuk kesehatan, sedangkan vegan itu sebuah ideologi, ideologi untuk tidak menyakiti mahluk hidup apapun. Ikan ‘kan juga mahluk hidup Kara.” “Oooh,” kata Kara. “Untuk ca kecambah yang aku masak ini aku menggunakan ikan teri supaya lebih gurih,” kata Yongki. “Namun untuk ‘Rumah Cinta’ aku sedang mencari alternatif, mungkin aku akan menggunakan parutan kelapa bakar untuk mengganti citarasa ikan teri dan juga aku akan menggunakan kecap ikan vegetarian.” “Kecap ikan vegetarian itu apa?” tanya Kara. “Ya, sebenarnya kayak kecap ikan, namun kecap ini menggunakan bahan dasar fermentasi rumput laut, jadi bisa dibilang bebas dari hal hal berbau hewani gitu.” “Menarik ya,” kata Kara. “Apa aku mencoba menjadi vegan juga ya?” “Kalau aku sih gak sanggup,” celetuk Solada. “Cheese Burgernya Mcd enak banget tau.” Yongki tertawa. “Aku juga susah sih menjalani pola hidup Vegan, tapi kemarin aku makan rendang vegan buatan temanku dan rasanya enak banget. Katanya sih bahan dasarnya jamur. Jadi kurasa aku bisa mulai belajar dari itu.” “Ha..ha..ha..aku juga mau ngicipin,” kata Kara. “Bisa..bisa…,” kata Yongki. “Nanti aku angetin, masih ada sisa kok di kulkas.” “Kalau nasi apakah ada pantangan?” tanya Kara. “Sebenarnya tak ada,” kata Yongki. “Tapi entah kenapa kalau masakan berbau sayur aku lebih suka memakai beras merah. Rasanya lebih ringan dan gak enek.” “Aku juga mulai gak cocok ama beras putih,” kata Kara. “Duh, aku tambah gendut.” “Nggak, menurut aku kamu segitu cocok kok,” kata Yongki. “Beneran?” kata Kara. “Iya, beneran.” Kara sumringah. “Makasih Kak Yongki!” “Iya,” kata Yongki ramah. “Aku senang banget kalau dipuji Kak Yongki!” Eh… DUA HATI? Solada, Yongki dan Kara makan bersama di meja makan. Mereka seperti keluarga muda kecil saja. Yongki berpikir seperti itu. Tiba tiba ia kepikiran kata kata Gunawan. Iya juga, mau sampai kapan ia akan begini terus? Almarhum istrinya tak mau juga ia selamanya begini. Yongki ingat saat ia masih merawat istrinya sekitar lima tahun lalu. Gadis itu berkata bahwa ia ingin Yongki memulai hidup baru setelah dirinya tiada. “Kamu ngomong apaan sih?” itulah kata yang terucap dari mulut Yongki. Ia tahu waktu istrinya takkan lama lagi. Tapi ia tak mau mengingat ingat hal seperti itu. Ia ingin terus menghabiskan waktu dengan istrinya seperti seolah tak pernah berakhir. “Ini serius,” kata gadis itu. “Kita memang dipertemukan seperti ini, tapi kita tak boleh terus menerus terjebak dalam penyesalan. Hidup harus maju, baik untuk aku maupun kamu.” “Aku tidak menyesal kok!” kata Yongki. “Ini sudah menjadi pilihanku.” “Aku tahu, aku cuma takut, laki laki baik sepertimu akan terus menyesali kepergianku,” kata wanita itu. “Jangan ya?” “Iya,” kata Yongki dengan berat hati. “Aku gak akan bersedih terus menerus. Dia berbohong. Yongki sampai sekarang tidak bisa melepaskannya… . . “Kak Yongki baik baik saja?” tanya Kara. “Kok kayak tiba tiba kepikiran sesuatu?” “Ah nggak,” kata Yongki. “Hanya ingat kenangan di masa dulu.” “Kenangan apa tuh?” kata Kara penasaran. “Ada deh,” kata Yongki sembari melanjutkan makan. “Jadi penasaran,” ujar Kara. Yongki hanya tertawa pelan. “Ada laah,” kata Yongki. Mungkin juga aku takut kehilangan lagi…aku gak mampu. * * * Yongki berjanji bertemu lagi dengan Males di galeri lukis Affandi. Males memang ingin sekali mengunjungi museum yang dikelola oleh puteri Affandi itu. Mereka banyak berbincang dan membahas seni. Tapi Yongki harus mengakui, ia tidak tahu banyak soal hal hal di dunia selain memasak. “Kamu tuh tipe cowok yang menarik bagi banyak cewek,” kata Males. “Hah, kenapa?” tanya Yongki. “Kamu orangnya fokus pada satu hal, hampir seperti obsesi, cewek suka ngeliatinnya,” kata Males. “Aneh ya?” kata Yongki. “Bukannya cewek suka dinomor satu ‘kan?” “Kalo cowoknya bucin dan gak punya ambisi, si cewek ogah juga kali Yong,” kata Males. “Bisa bisa,” kata Yongki. Mereka berdua lalu pergi ke salah satu café di jalan Demangan, dekat pertigaan rumah makan Ramen. Coffe shop yang cukup menarik, seperti salah satu rumah Nyonya yang direnovasi agar lebih bersih namun sisanya masih sangat otentik. Mereka lalu asyk berbincang dan bersenda gurau diiringi lagu lagu Indonesia tahun 70an ke 80an. “Kalau ngobrol sama kamu aku serasa ngobrol sama artis aja,” kata Males. “Aku ngikutin kamu banget lho dulu sebelum kamu hiatus.” “Ah kamu berlebihan, siapa sih aku ini?” tanya Yongki. “Yongki, si jenius,” kata Males. “Ah berlebihan,” kata Yongki. “Bagiku bisa masak aja sudah menyenangkan.” “Lhoh kenapa?” tanya Males. “Dulu ayahku melarangku memasak.” “Kenapa?” “Karena kurang cowok katanya..” “Orang tua macam apa yang melarang anaknya memasak.” “Orang tua yang takut anaknya menjadi seorang banci.” Males tertawa. “Iya iya, masih ada aja yang mikir kayak gitu.” “Yah, itulah, ayahku.” Setelah selesai menyeruput kopi Americano tanpa gula, mereka masih bicara hingga berjam jam kemudian. Males suka berbicara dengan Yongki. Memang, ia berbicara dengan Yongki karena permintaan Henry. Hanya saja, jikapun ia tidak diminta oleh Henry, ia tetap akan menikmati perbincangan dengan Yongki. Yongki ini pribadi yang menarik. Menarik sekali malahan. Males ingat, sudah lama ia bicara dengan lelaki semenyenangkan Yongki. Suaminya yang seorang pengusaha ekspor impor salah adalah salah satu orang termenyebalkan di dunia? Kenapa sih Males sampai menikahi dia? Kayaknya karena rupa dan uang saja. Ketika kamu masih muda, kamu melihat dua hal itu penting. Saat kamu menikah, tiba tiba semua itu tidak penting. Kamu membutuhkan hal lain. Kamu membutuhkan seseorang yang tahu soal kamu. Ia tidak perlu berusaha untuk membuatmu bahagia. Semuanya alami saja terjadi. Tanpa dipaksa. Ia juga peduli pada kamu, tanpa kamu harus memaksa dia menjadi peduli pada kamu. “Yong,” kata Males. “Boleh aku tanya sesuatu padamu?” “Ya?” tanya Yongki. “Kamu lagi deket sama cewek gak saat ini?” “Aku, ah kayaknya enggak, enggak ada.” “Di tempat kerjamu? Gak ada satu orangpun yang menarik gitu.” “Well, aku menganggap mereka sebagai teman teman baikku. Beberapa kuanggap seperti saudara.” “Benarkah?” kata Males. “Ya, ada satu anak temanku yang sering ngikutin aku. Tapi ya dia masih muda, 17 tahun, Namanya Kara,” kata Yongki. “Oh,” kata Males. “Kayaknya dia orang yang menyenangkan ya?” “Dia orang yang keinginan belajarnya kuat. Orangnya agak serius.” “Cocok dengan kamu dong..” “Ya, cocok aja sebagai teman,” kata Yongki. “Enggak untuk hal lainnya.” “Kamu yakin?” tanya Males. Ada jeda sesaat sebelum Yongki menjawab. “Iya, kata Yongki. “Aku yakin.” * * * “Jon!” panggil Kania dengan suara yang cukup keras. Jonah segera menyusul ke dapur saat dipanggil Kania. “Ada apa Kan?” tanya Jonah yang sedang mengecek sela sela dapur dan kebersihannya. “Kita ada masalah,” kata Kania. “Di belakang kompor ada lubang seukuran tikus. Kurasa dalam beberapa hari ini ada tikus yang masuk kesini.” “Waduh. Bisa jadi mereka sudah lebih lama di sini.” “Kok malah nakut nakutin sih, anjir. Kalau sampai para reviewer dari Agatha Star itu menemukannya, mampus kita.” “Benar.” “Jangan sampai Yongki tahu.” “Lho kenapa?” “Dia cukup sibuk sekarang. Kita harus bisa diandalkan untuk mendapatkan Bintang tiga dari Agatha. Paling nggak!” “Oke,” kata Jonah. “Jadi gimana nih ama tikus.” “Kita harus ngomong sama Bobby. Gimanapun dia yang in charge di sini.” Mereka berdua lalu menemui Bobby. Bobby langsung menunjukkan raut muka kesal. “Kok bisa sih, padahal aku sudah ada kontrak dengan pest control,” kata Bobby. “Bayar mahal aku cuma buat dapat kayak gini! Brengsek!” “Yah, mungkin ini saat dimana mereka lengah,” kata Kania. “Kita harus segera mencari solusi.” “Benar, kita harus fokus pada masalah dan menyelesaikannya,” kata Bobby. “Aku ada ide,” kata Jonah. “Aku punya teman yang pintar dalam melacak Rodensia.” “Kita ‘kan mau nyari tikus bukan Rodensia!” protes Bobby. “Pak,” kata Kania. “Tikus itu masuk keluarga Rodensia.” “Masa?” kata Bobby salah tingkah. “Kukira tikus gak punya keluarga, nyebelin gitu! Masih ada yang mau ngaku anak rupanya?” “Ya udah,” kata Kania sambil menggeleng gelengkan kepala keheranan. “Panggil gih temanmu.” “Oke,” kata Jonah. “Kalau dia belum bunuh diri ya…” “Lho kok?!” kata Bobby dan Kania berbarengan. “Dia terdiagnosa punya penyakit mental seperti..apa tuh namanya,” kata Jonah mencoba mengingat ingat. “ “Bipolar?” tanya Bobby. “Bukan..” “Schizophrenia?” “Bukan..” “Bucin?” “Njir, itu udah masuk kelainan jiwa ya? Ya pokoknya dia begitulah…” * * * Baik Males dan Yongki tiba di apartemen mereka berdua. Mereka lalu berpisah di lobi apartemen. Namun sebelum berpisah, Males kembali memanggil Yongki. Yongki menghentikan langkahnya. “Aku senang bisa pergi denganmu,” kata Males. “Aku berharap setelah ini kita masih akan bertemu.” “Kita akan bertemu,” kata Yongki. “Aku bukan orang yang susah dicari kok.” “Iya, aku tahu,” kata Males. “Sampai besok Yongki.” “Sampai besok.” Yongki lalu berjalan ke pintu lift. Tiba tiba ia merasa berbunga bunga meski ada kebimbangan juga. Ia memikirkan Kara juga saat memikirkan Males. Dua perempuan itu tiba tiba menjadi dominan di pikirannya. Apakah ia harus memilih salah satunya? Atau jangan jangan dua duanya akan menolak? Atau..mikir apa sih aku! Kata Yongki pada dirinya sendiri. Kenapa aku jadi tiba tiba kemana mana? ‘Kan aku baru kenal juga mereka berdua..tegur Yongki pada dirinya sendiri. Dan kayak mereka mau sama aku aja? Mimpi! Well…Well… LAST SURVIVOR Jonah gak tahu kenapa pria ini disebut The Last Survivor. Awalnya sih demikian. Karena pria bernama Joshua 'Josh' Dolloney ini nampaknya bukan tipe cowok gahar. Dia kurus. Rambutnya selalu botak. 0 centimer. Skin head. Matanya juga selalu berkantung, kayak gak pernah tidur. Hidungnya mancung parah karena dia ada turunan Lebanon dari kakeknya. Sekilas ini orang mirip psycho. Tapi dia bisa masuk Angkatan Laut. Dengan nilai tes fisik tertinggi. What the fuck. “Aku bukan orang terkuat, bukan juga terpintar, tapi aku yakin,” kata Josh. ” Aku orang paling gigih. Kalau ikut perang, aku pasti mati terakhir.” Dalam beberapa konteks, Jonah setuju. Suatu hari Josh dan kawan kawannya berlatih di sebuah pulau terpencil yang rimbun dengan hutan. Singkat cerita. Josh tertinggal dari rombongannya. Mereka baru menyadari ketidakhadiran Josh setelah dua hari. Mereka lalu mengirim regu penjemput untuk menolong Josh. Itu memakan waktu tiga hari. Lima hari di pulau terpencil, Josh bisa hidup dan baik baik saja. “Saya minum dari darah kelinci serta hewan pengerat di sini,” kata Josh. “Darah mereka mengandung besi, kalsium, lemak, itu saja cukup bagi saya untuk survive.” Dan kamu tetap bisa menjaga kewarasanmu selama kamu ditinggal di sini? “Pertanyaan macam apa itu, tentu saja saya bisa!” kata Josh ketus. “Akh! Saya butuh darah lagi! Saya Edward Cullex!” Interogrator bergidik ngeri melihat tingkah Josh dan meminta supaya exit interview diakhiri sebelum dia dimakan oleh Josh. Saat itulah banyak orang meyakini kalau Josh akan tetap bertahan. Meski dunia berakhir dan semua manusia punah, kayaknya Josh akan baik baik saja. Dan Josh inilah, harapan dari King Baker untuk mengatasi krisis tikus. “Aku gak yakin pada metodenya,” kata Bobby saat melihat Josh. “Dia ini spesialis mencari ranjau darat padahal dia orang AL,” kata Jonah. “Jadi, dia hebat?” tanya Bobby. “Kalau hebat kenapa dia tidak di Angkatan Laut lagi? “Karena dia terlalu hebat,” kata Jonah. “Terlalu hebat,” kata Kania sembari membuat tanda petik dengan kedua jarinya. “Dia sangat hebat hingga mungkin ia lepas kendali…” “Seperti Hulk?” kata Bobby mencoba mengkonfirmasi. “Wolverine,” kata Jonah. “Tapi Wolverine kan bisa mengontrol diri..” “Aduh, udahlah. Jadi gini Pak..Dia terobsesi,” bisik Jonah pada Bobby. “Terobsesi apaan?” tanya Bobby. “Lihat aja sendiri.” * * * Solada pergi keluar pagi pagi sendiri. Yongki masih tertidur di kamarnya. Gak biasanya dia bangun siang, saking kecapekannya mungkin? Solada lalu pergi ke lobi apartemennya dan saat di bawah dia tak sengaja bertemu seseorang yang ia hindari. “Solada,” kata Tante Amerika. “Ngapain lagi sih ini!?” kata Solada kesal. Ia langsung lari ke arah lain dan menghindari Tante Amerika. “Dengerin dulu, jangan lari dulu nak!” kata Tante Amerika berusaha menahannya. Solada tampak kesal. Tante Amerika, begitulah panggilannya. Nama ini muncul karena wanita yang merupakan teman dekat ibunya itu suka mewarnai rambutnya sehingga tampak seperti orang bule. Sebenarnya Tante Amerika juga nama sindiran dari salah satu sinetron. “Aku tahu kamu masih kesal sama ayahmu,” kata Tante Amerika. “Tapi kamu gak bisa terus menerus ngrepotin Yongki.” “Om Yongki gak ada masalah kok!” kata Solada. “Dia cuma gak ngomong aja…” “Bodo amat.” “Solada..dengar..aku paham dengan perasaanmu. Kata kata mamamu juga benar, Yongki orang yang sangat baik, tapi gak bisa gini terus. Papamu kangen sama kamu lho!” “Bodo! Kenapa kangennya baru sekarang!” kata Solada, mendengar ayahnya disebut ia menjadi emosi. Ia lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Tante Amerika. Tante Amerika hanya bisa mengelus dada melihat tingkah Solada. Ia lalu menyusul Solada dan mencobanya berbicara seperti teman, bukan anak kecil dan orang dewasa. “Oke, oke, kamu boleh tinggal di sini. Tapi ingat kamu harus memikirkan semuanya baik baik, kamu tidak bisa terus menerus merepotkan Om Yongki apapun alasannya.” “Jangan khawatir, aku tahu diri kok!” kata Solada. “Gak perlu khawatir! Dan aku punya hati, gak kayak papa!” “Solada, jangan begitu..” Solada tidak menggubris, ia langsung pergi. Kali ini Tante Amerika mengalah lagi. Saat Solada membeli makanan, ia memikirkan Tante Amerika. Rasanya dia mungkin terlalu ketus, seharusnya dia lebih memikirkan perasaan Tante Amerika. Tante Amerika tidak salah, ia hanya berharap situasi membaik di antara ayahnya dan dirinya. Tapi mau gimana lagi? Solada tidak yakin ayahnya akan berubah menjadi orang yang lebih baik. “Kok bengong?” kata Yongki saat melihat Solada sedang memakan nasi dan ayam goreng. Yongki baru saja bangun dari tidurnya dan meminum segelas the bunga Krisan tanpa gula saat itu. “Gak pa pa, lagi banyak pe er aja,” kata Solada. “Aneh, kayaknya kamu pinter banget dan PR kayak gitu paling kamu beresin dalam waktu satu jam,” ujar Yongki. “Pe er yang satu ini susah,” kata Solada. “Pake banget.” “Oh,” kata Yongki. Ia meneguk tehnya lagi. “Om Yongki, kenapa sih Om gak lapor polisi aja?” tanya Solada. “Lapor polisi untuk apa?” tanya Yongki. “Lapor polisi karena ada anak hilang di rumah Om Yongki,” kata Solada. “Oh, gak perlu lah,” kata Yongki. “Kok gitu? Siapa tahu aku penjahat, malem malem aku ngerampok rumah Om Yongki dan ngebunuh Om Yongki. Bisa aja kan?” “Bisa aja, tapi aku memilih untuk percaya ama kamu.” “Kok gitu, kenapa?” “Karena aku mau aja.” “Gitu doang?” “Ya emang perlu ada alasan lain?” “Om Yongki aneh.” Yongki cuma tertawa terkekeh. * * * “Aku menemukan remahan roti di balik kompor. Remahan biskuit juga terlihat di bawah oven. Sementara itu di atas oven,di bagian yang agak berdebu, aku menemukan jejak jejak kawan kecil kita. Kayaknya udah jelas tikus itu kemana. Tadi aku juga mencoba mengetes adanya gelombang suara supersonic dengan alat milikku. Dan yah, aku menemukan gelombang suara supersonic di sekitar sini. Gelombang suara tinggi ini biasanya hanya dikeluarkan oleh bayi cindil merah. Artinya, mereka sudah bersarang di sini,” kata Josh. Bobby mendengarkan penjelasan sambil mengangguk angguk. “Jadi dimana mereka?” “Di salah satu lemari di dapurmu, itu artinya kita harus bongkar semua lemari lemari di sini dan jika kita beruntung, kita akan menemukan mereka,” kata Josh. “Dan jika tidak beruntung?” “Berdoalah semoga para orang dari Agatha Star itu tidak menemukan si keluarga pengerat.” “Ouch,” kata Bobby. “Jangan khawatir,” kata Jonah. “Tidak sulit menemukan sarang tikus.” “Kalau cuma satu,” kata Josh. “Bisa saja mereka sudah bikin kampung tikus di sini. Ada camatnya…ada lurahnya dan ada bupatinya juga.” “Ada omnya ada tantenya, ada istri simpanannya gitu?” kata Kania menimpali dengan sinis. “Bisa aja,” kata Josh. “Kamu harus menutup tokomu dulu untuk dua hari.” “Tidak..tidak bisa,” kata Bobby. “Tim Agatha Star akan curiga!” “Lagipula pengunjung di sini sangat banyak, jika ada masalah sanitasi, kita bisa ancur,” ujar Bobby. “Tenaang,” kata Jonah. “Serahkan padaku.” “Apa idemu Jon?” tanya Kania curiga. * * * “Tolong!” teriak Kania. “Teman saya pingsan!” Para pengunjung kaget mendengar teriakan Kania. Mereka lalu takut dan buru buru keluar. Satpam juga membantu para pengunjung untuk keluar, mereka juga meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh para pengunjung. Setelah semua pengunjung selesai, baru Jonah muncul dengan mulut berbusa busa menggunakan whipping cream. “Udah pada pergi?” tanya Jonah. “Udah, loe ngapain sih Jon?” tanya Kania melihat Jonah dengan busa palsu di mulutnya. “Yah, siapa tahu ada yang tak percaya ‘kan?” tanya Jonah. “Kalau kamu muncul kayak gini malah dikira kamu keracunan makanan di sini!” tegur Kania. “Oh iya juga,” kata Jonah. “Udah..udah…,” kata Josh. “Ayo segera kita bereskan kawan kawan kecil brengsek ini.” “Kasihan juga ya sebenarnya?” kata Jonah. “Kasihan sama siapa?” tanya Kania. “Sama tuh tikus. Siapa tahu di antara mereka ada yang punya passion dalam memasak ‘kan?” “Buset, sempet sempetnya,” kata Kania sembari menggelengkan kepala. “Loe kira film apa??” API Kara datang ke apartemen Yongki dengan raut wajah khawatir. Yongki bisa menangkap apa maksudnya. Kara lalu mengatakan bahwa ia sudah melakukan penelitian kepada Lima Jagal dan hasilnya tidak menyenangkan. Lima Jagal ini semua orang yang perfeksionis. Salah satu yang paling berbahaya adalah Charles McKinney. “Kenapa dengan Charles ini?” tanya Yongki sambil menguap. “Dia terkenal punya pengetahuan tinggi soal keamanan dapur dan juga detail pada prosedur.” “Wow, sedetail apa?” kata Yongki. “Ia baru saja mencabut Agatha Star milik Dragon Jade,” kata Kara. “Anjrit,” kata Solada. “Apalagi itu Dragon Jade?” “Itu rumah makan spesialis Chinese Food terkenal di daerah Tangerang. Dibuat dengan desain seperti istana musim panas kaisar Tiongkok, tiap sabtu selalu ada pertunjukkan Live Cooking. Mereka menggunakan api besar di outdoor dan dilihat banyak pengunjung yang menghabiskan jutaan rupiah.” “Mending aku makan Chinese food kaki lima. Fu Yung Hai di jalan Moses enak tuh!” kata Solada. “Fu Yung Hai bukan Chinese food,” kata Yongki. “Dan yang di Moses itu bisa kujamin bukan Fu Yung Hai walaupun bisa dimasukkan sebagai Omellete.” “Oke,” kata Kara. “Itu kita bahas lain kali.” “Apa yang terjadi?” tanya Yongki. “Jadi gini,” kata Kara yang lalu menceritakan apa yang terjadi pada Dragon Jade. . Saat Live masakan..Charles menyadari bahwa api terlalu tinggi dan bisa mencapai tali layangan yang digunakan sebagai dekor lampion. Jika misalnya api itu mengenai benang, maka lampion akan jatuh dan lampion yang berisi minyak dan api itu bisa membahayakan orang di bawahnya. Buruknya, APAR yang disediakan seolah cuma jadi pajangan saja, seandainya terjadi kebakaran takkan mampu menyelesaikan masalah. “Sorry Mister, we will fix this next time,” kata manajer DJ pada Charles. Ia berharap Charles mau memaafkan kesalahan mereka. “I don’t like it. You put people’s life in danger just because money. I can’t accept it,” ujar Charles. “Sorry, but we should act fair here.” . . “Begitulah,” kata Kara. “Tunggu,” kata Solada. “APAR itu apa?” “Alat Pemadam Api Ringan,” ucap Kara. “Kamu memangnya gak belajar bahasa itu?” “Bilang aja Fire extinguisher kali,” kata Solada. “Itu bukan bahasa Indonesia…sayang,” tegur Kara. “Kita hidup di Indonesia, maka berbahasa Indonesialah yang baik dan benar.” Solada kesal, tapi ia tak bisa membalas Kara. “Masalah berikutnya,” kata Kara. “Adalah jurnalis lokal yang mendampingi Lima Jagal ini. Dia amat terkenal dan berbahaya.” “Ho, siapa dia?” tanya Yongki. Bel pintu berbunyi. “Biar aku yang membukakan pintu,” kata Yongki. Ia bangkit berdiri dan membuka pintu. Tak lama si tamu masuk ke dalam dan sukses membuat Kara terkejut. “Kak Yongki!” kata Kara sembari menunjuk nunjuk Maryam Lestari alias Males. “Ini nih si orang berbahaya!” “Hei nak, kalau sama orang tua jangan asal tunjuk ya,” tegur Males dengan kesal. “Lha kamu kesini ngapain?” balas Kara. “Hah? Gimana gimana?” tanya Yongki. * * * “Jangan meremehkan tikus,” kata Josh. Ia membungkuk dan seperti mencium cium kesana kemari, beberapa kali ia mengetuk ngetuk menggunakan semacam tongkat besi. Ia juga mengeluarkan sempritan yang terlihat seperti sempritan anjing. Ia lalu meniup sempritan yang seolah tidak mengeluarkan suara itu. Tiba tiba ada beberapa hewan kecil itu berlari keluar. “Anjrit!” kata Kania. Josh langsung bergerak cepat dan memukul tikus itu dengan tongkat besinya. Si tikus langsung mati. Kania dan Jonah bergidik. “Di dunia liar, semua itu soal mental,” kata Josh dengan mata tajam seperti elang. Bobby hanya bisa menelan ludah melihat Josh. “Ini sampai jam berapa ya kita begini?” tanya Bobby. “Serius nanya.” “Ini baru si papa tikus atau om tikus,” ujar Josh. “Masih ada keluarganya yang bersembunyi di salah satu tempat di sini. Mereka membuat kerajaan tikus di dapur ini.” “Ada juga kerajaan tikus yang lebih gede,” kata Jonah. “Dimana?” tanya Kania. “Lha itu, di negara ini,” kata Jonah. Bobby langsung tertawa. “Kalau kerajaan tikus yang itu mah gak usah dilawan. Gede gede. Pinter pinter. Bisa nggigit dan gak tahu malu!” timpal Bobby. Kania menggelengkan kepala keheranan dengan tingkah Jonah dan Bobby yang kadang off road banget. Bisa tiba tiba nyambung kemana gak jelas. “Waduh,” kata Jonah. “Josh kayaknya melihat sesuatu.” “Benar,” kata Josh. “Kita nyalakan oven di sini. Kita akan pancing mereka keluar.” “Saaap,” kata Jonah. Ia lalu mendekati oven itu dan menyalakannya. Saat Oven itu mulai naik ke suhu 100 derajat, dua ekor tikus lainnya langsung lari dari bawah oven. “Anjrit! “ teriak Kania. “Mampus loe!” teriak Josh berbarengan dengan tongkat besinya yang mengayun keras. “Fuck!” kata Kania berbarengan dengan suara mencicit dari salah satu tikus yang terkena pukulan Josh. * * * “Kamu mata mata ya?” tuduh Kara pada Males. “Sembarangan,” kata Males. “Aku memang teman si Yongki kok.” “Kalau kamu temannya kenapa kamu gak jujur soal posisimu?” balas Kara. “Kamu mau mengerjai kita! Tahu sendiri kan kalo sampai kalian ketahuan berdua begini?” “Dia gak nanya, dan saya bukan orang yang sombong,” ujar Males. “Lagian kamu mikirnya kejauhan nona…mikir tuh yang sederhana aja..” “Kamu harusnya tahu betapa berbahayanya posisimu,” kata Kara. “Gak tahu malu!” “Udah udah,” kata Yongki. “Ini ‘kan cuma masalah kecil saja.” “Nggak! Kak Yongki aku mau ngobrol ama Kakak,” kata Kara. “Sekarang!” “Oke, kita ngomong di beranda saja ya,” ujar Yongki. “Bebas!” balas Kara ketus. Mereka lalu ngobrol di beranda. Kara sangat kesal pada Males, Yongki juga kaget dengan identitas asli Males. Namun Yongki tidak mau berpikir buruk soal Males. Menurutnya Males cuma ingin bersahabat dengan dirinya saja dan tidak ada niatan buruk. “Menurut Kak Yongki sih begitu, kalau aku enggak!” kata Kara. “Aku paham kok dengan perasaanmu,” kata Yongki. “Tapi kamu gak berhak ngomong gitu!” “Aku enggak mau Kak Yongki sampai dijebak,” kata Kara. “Iya, makasih Kara, aku pastikan semua akan baik baik saja. Cuma cara kamu ngomong itu gak bener!” “Ingat Kak, aku tuh di sini untuk melindungi Kak Yongki,” kata Kara. “Terima kasih, tapi gak usah berlebihan!” balas Yongki kesal. Kara memandang Yongki dengan sungguh sungguh. “Papa sudah percaya sama aku untuk menjaga Kak Yongki, aku gak akan mengecewakan Papa,” kata Kara. “Maaf kalo aku gak bisa ngasih yang terbaik.” Kara lalu berlalu dan meninggalkan Yongki di beranda. Yongki membisu, emang dia goblok soal ngomong sama cewek. * * * Menjelang malam akhirnya tikus tikus berhasil diberantas semua, Kania menunggu di luar karena tidak kuat melihat pembantaian keluarga tikus. Ia bahkan merokok saking stresnya. Jonah menemani di luar dan mencoba menenangkan Kania. “Nggak nggak lagi deh,” kata Kania. “Besok aku maki maki tuh Pest Control. Trauma aku lihat pemberantasan tikus tikus itu.” Jonah tertawa. “Ya begitulah, untung kamu gak lihat proses pembersihan ranjau darat.” “Gak! Gak! Jangan cerita, eneg aku.” “Iya iya,” kata Jonah. “Minum yuk?” “Sebenarnya aku lagi diet, aku gak mau kelihatan buruk pas pernikahan Naomi,” kata Kania. “Malem malem ini minum, besok aku ajari cara lari yang baik dan benar,” kata Jonah. “Eh buset,” kata Kania. “Gimana?” “Ya udah deh.” MENTEGA Yongki merasa tidak enak dengan kelakuan Kara pada Males. Ia berusaha untuk memperbaikinya dengan meminta maaf dan mengantarkan Males hingga ke kamar apartemennya. Males sendiri tampaknya baik baik saja. Ia tampaknya bisa mengerti perasaan Kara. “Apa yang dilakukan Kara gak salah juga,” kata Males. “Dia berhak curiga kepadaku.” “Aku tahu, tapi dia sangat tidak sopan, kamu tidak pantas diperlakukan begitu,” ucap Yongki kesal. “It’s okay,” kata Males. “Dia nggak salah juga. Memang seharusnya untuk seminggu ini kita jangan bertemu dulu deh supaya gak ada kecurigaan dari yang lain juga.” Yongki tampak kecewa. “Baiklah,” kata Yongki. “Aku harap ini gak mengganggu pertemanan kita.” “Nggaklah, setelah minggu ini berakhir, kita ‘kan masih bisa ketemu lagi di Bandung. Kamu mau ke Bandung ‘kan?” “Yap, aku menemani si Kara kencan,” kata Yongki. “Awalnya mereka mau ke Bali, tapi aku berhasil meyakinkan mereka untuk ke Bandung saja.” “Menemani dia kencan?” kata Males. “Bagaimana bisa?” “Ceritanya panjang Mal,” kata Yongki. “Aku sudah janji sama bapaknya si Kara dan itu amanat yang harus aku laksanakan.” Males tertawa pelan. “Lucu banget kamu.” “Hidupku emang agak kocak, akhir akhir ini,” kata Yongki dengan senyum tipis dipaksakan. “Baiklah kalau begitu,” kata Males. “Terima kasih sudah menemani aku kembali ke tempatku.” “Santai,gak pa pa kok,” kata Yongki. “Sampaikan salamku pada Kara,” kata Males. “Aku minta maaf jika ada kata kataku yang menyinggung dia.” “Well, harusnya dia yang minta maaf sih,” ujar Yongki. “It is okay, sebagai orang yang lebih tua, kita harus coba mengerti anak anak ‘kan?” “Benar juga,” kata Yongki. Males tersenyum. “Kalau begitu sampai jumpa lagi.” “Sampai jumpa, Mal..” Males masuk dan menutup pintu kamarnya. Yongki cuma bisa membuang napas dengan perasaan tidak enak pada Males. * * * Kara dan Solada sedang asyk bercanda ketika Yongki kembali ke ruangannya. Yongki lalu berkata bahwa ia ingin bicara empat mata dengan Kara. Kara tahu ini tidak berarti sesuatu yang baik. Namun Kara menurut saja. “Walau kuakui kamu nggak salah sepenuhnya,” kata Yongki. “Tapi caramu gak bisa aku terima.” “Iya,” kata Kara sambil menundukkan kepala. “Aku minta maaf.” “Yah, yang penting jangan diulangi saja,” kata Yongki. “Semua orang tahu betapa pentingnya Agatha Star. Ini adalah kompetisi beneran, kita gak bisa menyuap atau memaksakan hasil yang kita inginkan dengan cara cara yang tidak benar,” kata Yongki. “Semua orang tertekan. Tapi itu gak perlu merubah diri kita menjadi orang yang agresif.” “Aku tidak akan merubah pendirianku, aku cuma pengen melindungi Kak Yongki aja,” balas Kara. “Kamu nggak perlu melindungi aku,” kata Yongki. “Aku baik baik saja tanpa kamu!” Kara menggenggam tangannya dengan kesal, ia berbalik dan pergi meninggalkan Yongki. Yongki tak berusaha menghentikannya. Tapi dalam hatinya, api kemarahan dalam diri Yongki pelan pelan berubah menjadi penyesalan karena kata katanya tak sepenuhnya benar. Kara tidak salah. Yongki berbohong, ia tidak baik baik saja tanpa Kara. * * * Kania baru saja memberesi dapur saat ia menyadari ada sesuatu yang salah. Jonah memperhatikan tingkah Kania dengan hati hati. Ia lalu bertanya pada Kania ada masalah apa. Kania lalu mengatakan bahwa ia merasa mentega yang ia lihat agak bermasalah. Jonah mendekati mentega itu dan mengatakan bahwa mentega itu terlihat baik baik saja. Kania mengatakan ada sesuatu yang ‘off’ dari mentega itu. Jonah bingung. Off tuh apalagi gitu maksudnya? “Warna mentega ini lebih terang dari biasanya,” kata Kania. “Aku sering memakai mentega ini, jadi aku tahu kalau ada yang salah dengan mentega ini.” “Cacat produksi?” tanya Jonah. “Aku harus memastikan sesuatu,” kata Kania. Ia lalu pergi ke dapur dan membuka beberapa kaleng mentega secara acak. Benar saja, mentega itu berbeda warnanya, ada yang berwarna terang dan ada juga yang berwarna kuning sesuai standard. “Brengsek,” kata Kania. “Kita harus ketemu Bobby.” “Oke, siap kapten!” kata Jonah sembari memberi salam hormat. Mereka berdua lalu menemui Bobby yang nampak terkejut dengan temuan mereka. Bobby akhirnya juga bisa membedakan kedua mentega itu. Setelah itu Kania menjelaskan, kemungkinan besar mentega yang berwarna kuning cerah adalah mentega KW,maksudnya mentega yang tidak biasa mereka gunakan. Mendengar hal itu, Bobby langsung garuk garuk kepala kesal. “Gilak, mentega aja dipalsu? “ ujar Bobby. “Aku kira cuma muka aja yang palsu!” “Kita harus segera membereskan mentega mentega palsu ini sebelum tim dari Agatha Star datang,” kata Kania. “Jika tidak…” “Waduh,” kata Jonah. “Siapa distributor mentega ini?” tanya Kania. “Kita ‘kan menggunakan dua distributor sejak akhir bulan lalu. Entar aku tanya dulu ke pihak purchasing, siapa yang menyediakan mentega palsu ini.” “Oke,” kata Kania. “Saap,” kata Jonah. * * * Kara pulang dengan lesu. Gunawan juga memperhatikan tingkah laku dari Kara. Gunawan lalu memanggil Kara untuk duduk bersamanya di teras depan rumah. “Putri papa kok mukanya ditekuk kenapa?” tanya Gunawan. “Aku dimarahin Kak Yongki,” kata Kara. “Kak Yongki gak suka dengan cara aku bicara dengan salah satu temannya.” “Yah, Yongki gak marah. Dia paling cuma negur kamu aja,” kata Gunawan. “Nggak usah diambil hati lah.” “Kak Yongki itu terlalu baik! Dia pikir semua orang punya tujuan baik pada dia,” kata Kara. “Kadang aku kesel aja!” “Lhoh, kenapa malah kamu yang kesel?” tanya Gunawan. “Emang kamu siapanya Yongki?” Goda Gunawan. “Iiih, papa kok kayak gitu!” kata Kara. Gunawan tertawa terbahak bahak. “Ya, papa ‘kan cuma nanya?” “Udah ah,” kata Kara sembari berdiri dengan kesal. “Lho kok malah marah?” kata Gunawan. “Papa sih!” protes Kara kesal. “Yah gitu aja marah,” kata Gunawan. “Ya marah lah,” kata Kara. “Aku lagi kesel malah dibecandain begitu.” “Gini gini, duduk dulu,” kata Gunawan. Karapun kembali duduk di kursinya. Gunawan memegang tangan Kara dan menaruh tangannya yang lain di atas tangan Kara. “Jangan khawatir, semua akan baik baik saja. Papa janji,” kata Gunawan. Kara memandang mata ayahnya dalam dalam. “Iya Papa,” kata Kara. “Aku harap begitu.” * * * “Apa? Si kampret itu sudah resign sebulan yang lalu,” kata Bobby di telepon. “Si brengsek itu sudah merugikan kita puluhan juta rupiah dan kabur begitu saja. Benar benar brengsek!” Bobby lalu mematikan telepon. “Pengen makan orang aku rasanya,” kata Bobby kesal. “Mau tahu rasanya?” tanya Jonah. “Waktu di Pa…” “Bukan sekarang saatnya cerita hal itu Jon,” kata Kania. “Oke,” kata Jonah. “Yang penting kita singkirkan mentega mentega ini sebelum menjadi masalah besar.” “Sip,” kata Jonah. Bobby tiba tiba mendapat panggilan lagi. Bobby menerima panggilan itu dan dari raut wajahnya tampak ada suatu informasi mengejutkan yang baru ia terima. Kania dan Jonah menunggu dan memperhatikan. Kayaknya seru nih… “Ada apa?” tanya Kania saat Bobby mematikan teleponnya. “Tadi dari kantor polisi,” kata Bobby. “Waa…” kata Jonah sebelum mengakhirinya dengan kata kesukaannya. “..Duh..” “Wah, ada info apa?” tanya Kania. “Kayaknya masih ada hubungannya sama mentega ini,” kata Bobby. “Dasar mentega.” * * * Kara sedang bermain dengan smartphonenya saat ada panggilan masuk. Kara lalu mengangkat teleponnya. Ternyata dari Henry Jang. “Kar, besok mau gak makan malam bareng?” tanya Henry. Kara berpikir sesaat. “Tapi aku gak mau kalau di tempatmu. Kita makan di luar saja,” kata Kara. “Boleh boleh,” kata Henry. “Gak masalah.” “Ya udah, besok jam tujuh malam kamu jemput aku di rumah ya? Gimana?” tanya Kara. “Ya boleh lah.” “Sip..” “Sip..” TOPENG Henry senyam senyum sendiri sementara Males tampak heran dengan tingkah laku Henry. Saat itu mereka sedang ada di sebuah acara wine testing. Males sempat berpikir bahwa Henry ini sudah mulai mabuk, padahal dia cuma minum wine doang dengan kadar alkohol sedikit. Masa sudah mabuk? “Mabuk kau Hen?” tanya Males. “Ah nggak,” kata Henry. “Lagi seneng nih. Si Kara mau aku ajak keluar. Udah setuju dia. Biasanya kan dia nolak terus.” “Terus?” tanya Males. “Bagus ‘kan?” kata Henry. Males tertawa pelan. “Kamu kayak anak SMA aja!” “Heh, jangan bilang begitu,” kata Henry. “Ini aku udah berusaha maksimal tahu.” Males menggelengkan kepala pelan. Henry ini emang pin-pin-bo. Pinter pinter bodo? Ah sorry sorry, Males mau mengoreksi. Henry itu pinter pinter bangsat. Dia bisa memikirkan rencana sedetail mungkin. Ia menemui Kenji dan meminta tolong pada Kenji. Kenji tidak mungkin menolak Henry. Sebab, berkat Henrylah, Kenji bisa mewujudkan restoran masakan Jawa pertamanya di daerah Prawirotaman. Lokasi yang bagus. Promo yang luar biasa. Makanya usaha restoran Kenji bisa berjalan dengan baik. Henry bahkan mau memberinya modal yang lumayan untuk memastikan restoran Kenji memiliki kualitas yang bisa dibilang sangat baik. Henry cuma minta tolong satu hal, Ia menyuruh Kenji meminta King Baker membuatkan cake tanpa telur dan terigu serta bernuansa Jepang karena yang memesan adalah Kenji. Henry tahu, cepat atau lambat, pasti Yongki akan memikirkan untuk membuat cake dari sushi. Di saat seperti itu, ia pasti akan meminta tolong teman dekatnya, Johny Samurai, orang yang juga sedang dicari cari oleh Henry. Ia yakin betul karena sushi chef membutuhkan keahlian yang sangat spesifik dan bahkan seorang Yongkipun tetap butuh bantuan orang lain untuk menciptakan sushi yang enak. “Oke, tapi kenapa kamu yakin kalau Yongki dan Kara akan meminta tolong ke kamu?” tanya Males. “Karena Johny tidak punya uang,” kata Henry. “Ia pasti akan meminta sesuatu yang berhubungan dengan uang. Jika Kara mau meminta tolong soal uang, ya ia harus meminta tolong ke aku. Siapa lagi temannya yang punya uang sebanyak aku?” “Oke,” kata Males. “Itu sombong.” “Aku gak nyangka Johny minta kerjaan. Pas banget,” kata Henry. “Aku juga ingin menjadikan dia head chef di restoran baruku yang di Babarsari itu.” “Gilak,” kata Males. “Rencanamu ini tipis tipis riskan, tapi berhasil.” “Sebenarnya aku tuh cuma punya dua tujuan saja: mengerjai Yongki dan yang kedua adalah menemukan dimana Johny. Itu saja.” “Lhoh, kenapa dengan Yongki?” kata Males. “Aku kesal. Gunawan selalu ingin menjodohkan Kara dengan Yongki,” kata Henry. “Si tua bangke itu. Tipikal ayah yang suka mencampuri kehidupan anaknya. ”Atau ia memang cuma mau melindungi anaknya dari pria pria kayak kamu?” ujar Males. “Jangan sembarangan ya kamu Les!” “Okee,” kata Males. “Kamu kekanak kanakan ternyata.” “Bodo amat, tujuanku harus tercapai apapun caranya,” kata Henry. “Dan aku juga sudah menyiapkan jebakan lain supaya Yongki kesulitan.” “Apa yang kamu lakukan?” “Ada lah,” kata Henry. “Banyak hal.” * * * “Apa?” kata Bobby tidak percaya. “Kami tidak akan melakukan hal itu!” “Kami mendapat laporan pak dari masyarakat,” kata detektif yang berbicara dengan Bobby. “Kabarnya bakery anda telah menyalahgunakan ketetapan halal yang telah diberikan. Dari laporan seseorang, mentega anda diduga mengandung lard.” “Lard apa tuh?” kata Bobby bingung. “Minyak babi,” kata Jonah. “Tapi ngapain juga bikin roti pakai minyak babi?” “Mentega itu…,” kata Kania. “Mentega palsu itu!” “Wanjeng,” kata Bobby. “Bener juga.” “Apaa nih?” tanya si detektif kebingungan. “Bentar ya pak, saya mau ngobrol teman saya,” kata Kania. Ia lalu menarik Jonah ke belakang. Jonah mengikuti dengan perasaan tidak enak. “Di antara kita, yang kemampuannya kayak James Bond cuma kamu!” kata Kania. “Kamu harus menolong kita!” “Menolong gimana?” tanya Jonah. “Kamu harus menemukan pegawai kita yang sudah memberi kita mentega palsu! Kalau tidak, Agatha Star kita akan dicabut! Kamulah harapanku,” kata Kania. “Sebenarnya Kan, aku…” “Kenapa?” “Aku jadi panas dingin kamu ngomong gitu.” Kania langsung salah tingkah “Maaf-maaf,” kata Kania. “Tapi…kamu tahu maksudku ‘kan?” “Tahu kok,” kata Jonah. “Jadi?” “Jadi?” “Kamu akan menemukan solusinya kan?” “Mudah mudahan…” * * * Yongki sudah mengecek ke beberapa rumah makan dan café milik Bambang hari ini. Ia mencoba menelpon Kara dan mengajak ia untuk menemaninya, namun Kara tidak menjawab panggilannya. Yongki jadi merasa tidak enak hati. “Kenapa?” tanya Solada yang hari ini menemani Yongki. “Nggak..nggak pa pa,” kata Yongki. “Bohong,” kata Solada. “Kak Yongki itu orang yang paling gak bisa berbohong.” “Kata siapa?” “Kata mama ama papa.” “Beneran mereka ngomong gitu?” “Iyaa..” “Ooh…” “Kak Kara ya?” “Aduuh,” kata Yongki sembari menggaruk garuk rambutnya. “Kamu nih kalau ngomong kenapa selalu frontal dan tepat sasaran sih.” “Siapa dulu! Solada!” kata Solada membanggakan dirinya sendiri. “Ya udah, kita ngobrol dulu sambil minum kopi ya?” “Aku kan masih kecil.” “Lha kamu maunya apa?” “Baskin Robbins!” “Buset.” Yongki akhirnya yang mengalah. Mereka berdua makan es krim di Baskin Robbins. “Kak Yongki naksir Kara yah?” kata Solada. “Mana ada!” kata Yongki. “Dia tuh masih anak anak, kayak kamu aja.” “Dia udah tujuh belas tahun Kak Yongki,” kata Solada. “Aku duda sudah mau umur tiga puluh! Apa kata dunia?” “Bukannya Kak Yongki gak peduli apa kata dunia?” “Kata siapa?” “Papa…” “Papamu tuh siapa sih?” “Bukan itu yang harus kita bicarakan sekarang Kak Yongki. Kita bicara soal Kak Yongki nih.” “Kamu nih. Duh, aku kesal, tapi kamu kenapa bener sih?” Solada mengangkat bahunya. “Menurutmu, aku harus gimana?” kata Yongki. “Ya minta maaflah,” kata Solada. “Mau disesali juga gak ada gunanya.” “Lha dia aja gak mau ditelpon aku.” “Ya Kak Yongki samperin lah. Cowok bukan sih!” “Aduh,” kata Yongki. “Aku kesel karena kamu banyak benernya!” “Ya udah. Selesai ‘kan masalahnya?” kata Solada. “Sekarang biarkan aku tambah satu cup lagi. Pajak konsultasi nih!” Yongki cuma ketawa pelan sambil garuk garuk kepala. * * * Malam itu Henry mengajak makan malam Kara, tapi Kara tampak tidak nyaman. Ia seperti bosan dan gelisah. Henry jadi merasa salah tingkah. Ia akhirnya bertanya pada Kara, apa yang sebenarnya sedang ada di pikiran Kara. “Aku lagi kesel, ama Kak Yongki,” kata Kara. “Lho kenapa?” tanya Henry pura pura bego. Pinter dia kalau akting. Kayak drama drama Korea. Park Bo Gum kalah. “Abis dia terlalu baik. Semua orang dia baikin. Padahal kan banyak juga yang punya maksud buruk ke dia,” kata Kara. “Yaah, emang buruk sih kalo cowok gak tegas,” kata Henry sok bijak. Padahal dia sedang berusaha menghancurkan imej Yongki di pikiran Kara. Lalu, aku bakal masuk niih, begitu pikir Henry. “Aku emang bodoh,” kata Kara. “Aku pikir dia nganggep aku lebih dari temen.” Eh, tunggu dulu…tungguu…bangkek! “Maksudnya gimana tuh?” tanya Henry. “Ya, aku tuh ngira dianggap adek, dianggap saudara gitu ama dia,” ucap Kara. “Oh, yah, he..he..,” kata Henry sembari menghela napas lega. “Kenapa? Kamu cemburu ama Yongki?” tanya Kara. “Ya nggak. Dikit sih, soalnya kamu tahu ‘kan kalo aku tuh suka kamu…” kata Henry kebingungan karena ditanyai begituan. “Cuma suka aja?” “Maksudnya?” “Kalo suka, kamu kan bisa suka ama cewek manapun.” “Yah..ha..ha..enggak, aku sebenarnya sayang ama kamu, walau aku tahu kalau kamu..mungkin gak ada rasa ama aku,” kata Henry. “Kamu beneran sayang ama aku?” tanya Kara. “Yah, kamu tahu ‘kan kalo aku dari dulu tertarik ama kamu.” “Bener?” “Yah bener lah Kar…” “Oke kalau begitu. Kita jadian aja gimana?” Hah? What the…Omg… “Kamu kalau bercanda jangan gitu dong,” kata Henry Jang salah tingkah. Seneng dia padahal. “Kamu kira wajahku ini wajah orang bercanda?” tantang Kara. “Aku serius. Serius beneran.” SAHABAT Gunawan menemani Yongki di teras rumahnya. Yongki ingin sekali bertemu Kara. Entah kenapa. Gunawan sih tidak masalah, ia juga tidak akan tidur sebelum melihat Kara muncul di rumahnya. Yongki sendiri tampak sabar menunggu Kara. Dan ia tidak merokok! ‘Kan aneh? “Kok tumben kamu gak merokok Yong?” tanya Gunawan. “Lagi..lagi gak pengen aja Om Gun,” kata Yongki. “Lhah kenapa kamu manggil aku Om?” kata Gunawan bingung. “Emang iya ya?” kata Yongki. “Iya, sakit apa kamu nak?” “Ah enggak Pak Gun.” Akhirnya yang ditunggu datang juga. Yongki langsung bangkit berdiri dan bersiap menyambut Kara untuk meminta maaf, tapi Kara melengos dan langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. “Lhoh, Kara!” kata Gunawan bingung. “Gak biasanya dia gak sopan gitu.” “Udah..udah..gak pa pa,” kata Yongki. Henry lalu muncul dan masuk dari luar. Ia lalu menyalami Yongki dengan mantap. “Hai Kak Yongki, apa kabar?” kata Henry mantap. “Hai,” kata Yongki. “Aku baik.” “Om!” kata Henry mantap, ia juga menyalami Gunawan. Gunawan makin keheranan. “Maaf saya telat,” kata Henry Jang. “Tadi Kara pengen ngobrol banyak.” “Yah, gak pa pa juga sih,” kata Gunawan. “Asal gak diapa apain aja anak saya..” “Siap om! Masa orang kayak saya bisa ngapa ngapain anak orang,” kata Henry. “Itu yang biasa dikatakan orang yang bisa ngapa ngapain anak orang,” ujar Gunawan. Henry hanya tersenyum kecut dikatain begitu. “Kalau begitu saya pamit dulu yaa,” ujar Henry. “Gak enak udah malem.” Henry lalu melambaikan tangan dan meninggalkan Gunawan serta Yongki. “Eh itu anak kenapa Yong? Kepentok kepalanya?” Yongki hanya mengangkat bahu. * * * Ketika Yongki sampai di apartemen, Solada langsung tahu kalau hasil pertemuannya dengan Kara tidak positif. Solada lalu menanyakan bagaimana tanggapan Kara. Yongki berkata, bahwa Kara bahkan tak mau melihat matanya. Melengos saja. Solada lalu mencoba menyemangati Yongki. “Everything will be all right,” kata Solada. Yongki mengangguk. Tapi tiba tiba ia seakan mendapatkan satu déjà vu. Ia ingat, sewaktu dirinya masih muda. Let say, sepuluh tahun lalu, ada seseorang yang mengatakan hal persis seperti kata Solada. “Kenapa kok malah kayak abis digendam?” tanya Solada bingung. “Ah,” kata Yongki. “Enggak kok.” “Nggak, tapi matanya kosong,” sindir Solada. “Enggak ding, abis kayak disetrum.” “Apaan sih?” kata Yongki sembari tersenyum. “Aku tidur duluan ya Sol.” “Okee,” kata Solada. Yongki lalu masuk ke kamar, berganti pakaian dan bersiap tidur. Sesaat sebelum tidur, ia mengambil foto saat dirinya memenangkan kontes ikan bakar di Cianjur pada saat ia masih kelas dua SMA. Di situ ada foto foto sahabatnya yang sekarang entah kemana. Ada Elon, yang terkenal sebagai jago basket di sekolahnya, orangnya tinggi gede dan lincah, cukup ganteng juga. Elon suka bersahabat dengan Yongki karena Yongki tipe orang yang passionate pada bidangnya. Menurut Elon, gara gara Yongki ia belajar mencintai basket. Dulunya ia main basket cuma karena biar gampang dapet cewek. Namun, melihat Yongki yang mencintai dunia memasak dengan tulus, ia jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Sekarang ia menjadi pelatih basket di salah satu universitas di Bandung, namun beberapa waktu kemudian katanya diundang melatih basket di Singapura. Seenggaknya itulah yang Yongki dengar terakhir kali. Lalu ada Miss Amerika. Nama aslinya sih Phoebe dibaca Pi-bi. Ia keturunan separo Polandia, separo Indonesia, Ia adalah pacarnya Elon. Gosipnya begitu. Cocok sih kalau dipikir pikir. Phoebe cantik, manis dan populer, Elon ganteng dan tinggi besar, pasangan serasi, dua duanya suka banget ngobrol dengaan Yongki. Apalagi kalau Yongki masakin buat mereka berdua. Yongki emang beda waktu itu, masih SMA masakannya sudah enak. Lalu beralih ke Veronica alias Vero. Cewek yang jago nyanyi sopran. Suaranya bagus banget. Ia sudah menjadi teman Yongki sejak SD malahan. Mereka tetanggaan. Makanya cocok berdua. Vero adalah anak temen mamanya Yongki. Keempat ada Jing Jing. Sering banget diledek ama temen temen yang lain karena Matematikanya bagus banget. Ia juga sangat strict soal uang. Kalau enam sekawan ini lagi mau hang out, Jing jing yang jadi bendaharanya. Ia pintar berhitung dan tahu cara memilih tempat terbaik untuk mereka hang out, dengan harga efisien. Tapi dari kabar terakhir yang Yongki dengar, Jing Jing frustasi karena gak keterima akuntansi UGM, dia keterimanya di jurusan Hukum. Habisi itu dia sedih, suka mengucilkan diri dan belajar dengan rajin karena gak mau jadi orang gagal lagi. Terakhir adalah… Yah siapa lagi, perempuan yang bisa meluluhkan hati Yongki? Perempuan yang menjadi sumber inspirasi Yongki. Yongki rajin masak karena dia. Yongki mengejar mimpi karena dia. Dan perempuan ini juga alasan di balik kebahagiaan dan kesedihan di hati Yongki. “Aku seneng lihat kamu masak,” kata wanita itu pada Yongki. Yongki yang sedang mengiris wortel di dapur mereka cuma melempar senyum. “Aku cuma masak cap cay lho hari ini,” ujar Yongki sembari tertawa kecil. “Ya, tapi kamu tuh perfeksionis, bahkan cap cay aja jadi terasa enak banget.” Yongki menggelengkan kepala keheranan. “Kadang aku tuh ya ngerasa terlalu beruntung punya istri kamu,” kata Yongki. “Aku senang kamu ngomong gitu,” kata wanita berambut panjang sebahu itu. “Aku tahu umurku gak panjang. Aku cuma pengen dalam waktu pendekku ini, aku bisa membantu kamu sukses sesuai mimpimu.” Raut wajah Yongki berubah sedih mendengar kata kata istrinya. “Jangan ngomong begitu,” kata Yongki. “Kita pasti akan temukan obatnya ya?” “Aku harap sih begitu.” “Aku janji gak akan menyerah!” “Baik. Aku percaya kamu Yong. Kamu gak pernah menganggap janjimu main main.” Aku janji… Tapi, janji aja gak cukup. Manusia berusaha, nasib yang punya otoritas untuk menentukan. Itulah kehidupan. * * * Yongki tiba agak subuh di King Baker, ia lalu langsung membuat roti semir khas King Baker. Ia menunggu nunggu Kara muncul. Ia berniat untuk bicara lagi dengan Kara. Ia terus menunggu, hingga akhirnya pukul tujuh pagi, Kara diantar dengan mobil BMW oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Henry Jang. Henry bahkan membukakan pintu depan untuk Kara. Kara lalu keluar dengan mantap. “Nanti aku jemput jam berapa sayang?” tanya Henry. “Yah, aku sih sebenarnya bisa pulang sendiri,” kata Kara. “Janganlah sayang, aku gak mau terjadi apa apa sama kamu,” kata Henry. “Aku gelisah kalau gak tahu kamu baik baik saja…” Dari dulu gue pulang sendiri dan gue baik baik aja kali. “Ya udah, jam tiga an gitu?” tanya Kara. “Telat telat dikit gak pa pa.” “Oke,” kata Henry. Henry lalu mengepalkan tangan dan berkata yes perlahan. Kampungan. Begitu pikir Kara. Ia lalu berjalan meninggalkan Henry dan mobil BMWnya. Kara lalu masuk ke dapur dan melihat Yongki seorang. Yongki tampak sedang membentuk adonan untuk roti semir. “Selamat pagi,” kata Yongki seolah tidak terjadi apa apa pada malam sebelumnya. Kara jadi salah tingkah dibegitukan oleh Yongki. “Selamat pagi juga,” kata Kara. Ia lalu buru buru menuju ke loker untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut dengan Yongki. Yongki hanya menghela napas mencoba menahan kekecewaannya. Saat itulah Kania datang dengan tampang kusut. “Kan,” kata Yongki. “Kamu kok kayak lemas banget. Kurang tidur?” Kania langsung membuka matanya lebar lebar seolah tidak terjadi apa apa. “Enggak, enggak ada apa apa,” kata Kania. “Beneran?” tanya Yongki. “Bener Kak Yongki,” kata Kania. Yongki berpikir sejenak dan berpikir bahwa anggep aja Kania jujur. “Oke,” kata Yongki. “Baiklah.” TRUST Yongki sedang beristirahat di belakang ketika tiba tiba ada dua orang polisi datang. Yongki kaget dan menanyai apa yang sedang terjadi. Polisi polisi itu hanya mengatakan bahwa mereka diminta mengantarkan surat ke manajer King Baker, Bobby. Yongki merasa aneh. Rasa rasanya Bobby tidak mungkin berurusan dengan polisi kecuali ada hal besar terjadi. Yongki lalu menemui Bobby di ruangannya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Bobby menggaruk garuk kepala karena bingung bagaimana menjelaskannya tanpa membuat Yongki emosi. Yongki sendiri sangat sensitif dengan hal hal begini. Ia tidak suka ada hal buruk terjadi di dalam pengawasannya. “Jadi gini Yong, aku gak nyangka kamu bakal masuk pagi..hari ini,” kata Bobby. “Aku kira kamu masih sibuk dengan restoran Pak Bambang lainnya. Aku berpikir untuk menyelesaikan masalah di sini bersama Kania dan juga Jonah serta…” “Bob, cukup! Aku masih karyawan di sini. Jadi aku rasa tidak aneh juga kan aku masih masuk kerja di sini,” kata Yongki ketus. “Aku juga berhak tahu hal apa yang membuat para polisi itu kesini!” “Iya, aku paham,” kata Bobby. “Kami awalnya tidak ingin membuatmu khawatir. Tapii…” “Tapi apa nih?” tanya Yongki menyelidiki. “Ceritanya susah untuk dijelasin…” “Kenapa susah? Memangnya separah apa masalahnya?” “Nah, kami tidak bermaksud untuk membuatmu khawatir..tapi..yah..begitulah.” “Bobby..langsung ke intinya saja. Sekarang aku sudah tidak khawatir lagi, aku marah!” Bobby tidak punya pilihan lain, ia akhirnya menceritakan hal ini pada Yongki. Ketika Yongki mendengar apa yang terjadi. Ia langsung merasa down. Ia lalu memutuskan untuk memanggil Kania dan berbicara enam mata dengan Bobby juga. “Aku mau buka bukaan sekarang” kata Yongki. “Kita gak akan mendapat tiga bintang Agatha Star tahun ini. Kita dalam kondisi yang terlalu parah. Bakery kita hancur!” “Yah,” kata Bobby. “Seharusnya, sebagai manajer, aku yang harusnya lebih kecewa. Tapi aku juga paham kenapa kamu tampak terpukul Yong.” "Emangnya kamu peduli ama King Baker!" bentak Yongki. "Oke..Oke...," kata Bobby. "Aku..hanya bisa..minta maaf.." “Jonah akan segera menemukan si brengsek itu,” kata Kania. “Aku percaya pada dia.” Yongki menggeleng kepala pelan. “Aku juga awalnya percaya pada kalian,” kata Yongki sembari keluar ruangan Bobby tanpa banyak omong lagi. Tak perlu ahli membaca raut wajah untuk tahu betapa kecewanya Yongki. Bobby dan Kania hanya bisa melihatnya dengan kecewa. * * * Tumben amat. Begitu pikir Gunawan saat Yongki mengajak makan siang di sebuah café bernuansa masakan Betawi. Restoran ini cukup top. Baru buka juga. Di Jakarta reputasinya udah bagus banget. Kini restoran ini buka di Jogja. Gunawan sudh cukup lama kepikiran untuk mampir. Beruntung dia diajak Yongki. “Pak Gun, aku ngerasa butuh teman ngomong,” kata Yongki. “Kenapa? Gara gara putriku ya?” kata Gunawan. “Duh, kok ngomongnya begitu, masa aku curhat sama bapaknya yang jadi obyek curhat.” “Yong..” “Ya?” “Kamu tuh orangnya ketebak banget.” “Iya ya?” “Iya banget Yong.” “Pak Gun, sebenarnya aku ada masalah lain juga.” “Masalah apa?” “Ada pengkhianat di King Baker,” kata Yongki. “Kita telah disabotase dan kita gak sadar selama berminggu minggu.” “Siapa yang mensabotase King Baker?” tanya Gunawan. “Itu yang baru aku coba cari tahu,” kata Yongki. “Anak buahku, Jonah, juga lagi menyelidikinya. Sabotasenya parah pula.” “Anjrit,” kata Gunawan. “Sabotase itu telah membuat kualitas sanitasi di King Baker setara dengan kita menjadikan air sungai Ciliwung untuk berenang.” “Istilahmu membuat masalah ini terdengar sangat buruk…” “Sebenarnya lebih buruk pak.” “What the fuck.” Saat mereka sedang asyk berbincang. Kara tiba tiba masuk ke dalam restoran dan bergabung dengan mereka. “Lho papa kok di sini?” kata Kara heran. “Iya papa mau main tenis,” kata Gunawan. “Beneran?” tanya Kara tambah heran. “Ya enggaklah, di sini ya mau makan!” kata Gunawan. Kara lalu melihat ke arah Yongki. “Kak Yongki, aku…maaf banget…atas apa yang terjadi dengan King Baker,” kata Kara. “Makasih Kara,” kata Yongki. Kara lalu mengambil kursi dan duduk. “Apa yang harus kita lakukan Kak?” tanya Kara. Yongki menghela napas. “Kita harus ngomong ama Pak Bambang Sugema, untuk sekarang. Sementara itu, kita nunggu hasil penyelidikan dari Jonah.” “Oke,” kata Kara. “Kapan kita ketemu Pak Bambang?” “Hari ini, aku langsung menghubungi dia dan udah minta jadwal ketemu.” “Oke.” “Dia sebenarnya orang yang sangat sibuk,” kata Yongki. “Omong kosong,” kata Gunawan. “Kalau kamu yang memanggil, dia gak akan mikir dua kali,” kata Gunawan. * * * Yongki dan Kara berangkat ke rumah Pak Bambang. Di perjalanan mereka tampak awkward. Yongki ingin menanyakan banyak hal, tapi ia bingung harus mulai darimana. Sudah lama sekali sejak ia berada dalam situasi seperti ini. Ia gak tahu kapan terakhir kali ia merasa begini. Mungkin saat ia masih pedekate dengan almarhum istrinya? “Kar,” kata Yongki. “Aku minta maaf kalau ada omonganku yang gak enak..” Kara mengangguk pelan. “Aku juga meminta maaf,” kata Kara. “Aku gak harusnya ngomong kayak gitu. Kamu benar emang harusnya aku gak ketemu Males,” kata Yongki. “Iya Kak, gak pa pa,” kata Kara. “Kar, aku boleh tanya sesuatu ama kamu?” tanya Yongki. “Tanya apa Kak?” “Kamu udah jadian ya ama Henry?” tanya Yongki. Kara terdiam, ia tak langsung menjawab. “Kenapa nanya gitu Kak?” kata Kara. Yongki menjadi salah tingkah. “Sorry, harusnya aku gak nanyain hal kayak gitu..,” kata Yongki. “Kak Yongki, aku gak bilang Kak Yongki gak boleh nanyain hal kayak gitu..” “Iyaa, tapi harusnya aku gak ngomong begitu.” “Kenapa?” “Itu…” Taksi mereka berhenti di depan rumah Bambang. Sebuah rumah yang lebih seperti istana daripada rumah normal. Ya wajar sih, siapa yang tidak tahu Bambang Sugema dan sederet prestasinya (serta asetnya). Mereka menyebut dia ‘si gila’ dari Jogja karena keberaniannya dalam berbisnis serta tingkah laku nyentriknya juga. “Sebenarnya dia dulu dipanggil juga sebagai Raksasa dari Jogja,” kata Yongki pada Kara. “Oh ya?” tanya Kara. “Kenapa sekarang enggak lagi.” “Dia gak suka…” “Ha?” “Dia gak suka diasosiasikan sebagai orang yang hangat dan disukai perempuan..” “Kenapa?” “Novel itu..” “Ooh…okee.” * * * Jonah dan Josh akhirnya menemukan dimana rumah kos si karyawan purchasing bermasalah. Josh tampak kesal sekali dengan si penipu. “Entar gue tekek dia dikit sampe aliran oksigen gak bisa masuk ke otaknya. Terus nanti otaknya bakal kekurangan oksigen dan dia bakal cacat. Gak akan gue biarin dia mati gitu aja, akan gue buat menderita!” “Jangan deh Josh,” kata Jonah. “Kita cuma mau nyari siapa dalang di balik masalah mentega itu.” “Kita gak bunuh orang?” “Nggak Josh.” “Ok.” Mereka berdua kemudian naik ke lantai dua dan mengetuk empunya yang punya kamar kos, tak ada jawaban. Mereka lalu mengetuk lagi kali ini lebih keras. “Si brengsek ini, perlu dikasih pelajaran!” kutuk Josh. Ia lalu mendobrak pintu kamar kos si kampret dan benar saja, si kampret sudah di tepi jendela dan hendak kabur. “Heh!” teriak Josh kesal. Si penipu langsung mempercepat langkahnya dan melompat ke tepian pagar sebelum melompat ke tanah dan lari sekencang kencangnya. Josh langsung lari dan melompat ke luar jendela dengan teknik parkournya dan mengejar si penipu. Jonah menggelengkan kepala. Heran dia. Jonah lalu memilih turun ke bawah dengan tangga dan mengejar sekedarnya aja sambil mengikuti Josh. Josh sendiri punya kecepatan lari yang baik. Tapi si penipu juga tak kalah cepat. Ia benar benar atletis! Tapi ia paham bahwa di belakangnya adalah hewan buas yang siap menerkamnya. Ia terus lari dan tidak memperhatikan apapun. Yang penting kabur dulu bos! Hingga akhirnya terdengar tabrakan keras. Si penipu ternyata baru saja melewati pertigaan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya dia tertabrak mobil dan kepalanya langsung berdarah. Ketika Jonah sudah berhasil menyusul. Ia hanya bisa terdiam melihat Josh berdiri mematung dengan badan kaku si penipu di depannya. “Hmmm,” kata Josh pada Jonah. “Kok Hmmm?” tanya Jonah. “Kita harus panggil ambulans…” “Waduh…” BUZZ Jonah dan Josh melihat si penipu diangkut dengan menggunakan ranjang pasien ambulans dengan perasaan bingung. Para perawat yang menolong si penipu tampak biasa saja sambil berusaha menahan luka di kepala si penipu. “Dia gak kenapa kenapa ‘kan?” tanya Jonah. “Oh,” kata salah seorang perawat. “Well.” “Lewat nih kayaknya,” kata salah seorang perawat lainnya. “Oh,” jawab perawat yang baru saja berbicara dengan Jonah. Ia lalu menutupkan kain di jenazah si penipu. Mereka lalu menaikkan jenazah si penipu ke dalam ambulans dan pergi meninggalkan Jonah dan Josh, begitu saja. Jonah dan Josh cuma bisa melongo. Beberapa waktu kemudian seorang pria menghampiri Jonah dan Josh. “Ikut saya,” kata pria itu. Jonah dan Josh melihat pria itu dengan curiga. “Kalau kita nggak mau?” tantang Josh. “Ya sana kalian cari taksi online ke rumah Pak Bambang!” ujar pria itu. “Bambang siapa nih?!” tanya Josh kesal. “Ssst,” kata Jonah pada Josh. “Ya udah pak,” kata Jonah. “Kita ikut.” “Sip,” kata pria itu. Mereka lalu dijemput dengan sebuah mobil Toyota Avansa berwarna hitam. Rombongan itu langsung dibawa menuju ke rumah Pak Bambang. “Bambang ini siapa sih?” tanya Josh penuh curiga. “Pak bos,” kata Jonah. “Dia adalah bos kita.” “Kita? Elo aja kali,” kata Josh. “Orang kayak aku mana bisa tahan hidup dengan bos!” “Ya udah, kita tuh maksudnya aku, Yongki, Kania dan lain lain…” “Oke, ini mafia yaa by the way?” tanya Josh. “Pakaiannya aja udah kelihatan tuh. Sama kayak penculik di film Sherina..” “Ssst, jangan ngawur Josh,” kata Jonah. “Kenapa, orang gue gak takut!” Dua orang yang ada di kursi depan tampak biasa saja mendengar perkataan Jonah dan Josh. “Mafia kalau beneran ternyata nggak mudah tersinggung ya?” kata Jonah berusaha membuat keadaan menjadi lebih baik. Tapi kayaknya gak ada pengaruhnya. “Gue kira bakal dijemput pakai mobil apa kek, yang lebih bagus!” tantang Josh. “Josh! Duh, jangan bikin masalah!” “Mafia yang bener itu pake otak,” kata pengemudi itu. “Mobil Avansa itu dimana mana ada, jadi lebih gampang buat kita untuk bersembunyi dengan mobil ini. Kamu mau mobil lain? Land Rover? Huh, musuh musuhmu jadi gampang mendeteksi kamu. Matilah kau juga gak sampe seminggu jadi mafia.” Josh terdiam. Ia tahu ia kalah debat. “Nah,” kata Jonah berusaha menetralisir keadaan. “Musik bro,” kata si pengemudi pada temannya. Teman si pengemudi lalu menyalakan musik dan mengalunlah lagu Didi Kempot, Cidro. Si pengemudi pelan pelan lalu ikut menyanyikan lagu Cidro. Jonah dan Josh melihat mereka berdua dengan bingung. * * * Bambang Sugema adalah seorang pria tinggi besar. Mungkin ada kali 190 cm. Dia tampak mengerikan dengan rambut bergelombang yang dibiarkan tumbuh sampai pundak. Hidungnya besar panjang dengan sorot mata tajam. Kulitnya yang mulai berkeriput berwarna sawo matang dan membuat tampilannya makin gahar. Sekilas dia mirip aktor Toro Margens. “Aku minta maaf padamu,” kata Bambang pada Yongki. “Aku gagal menepati janjiku untuk melindungi King Baker.” Kara terkejut. Bambang Sugema si manusia garang ini minta maaf pada Yongki. Gak salah denger ini? “Bobby keponakanku itu. Dia teledor,” kata Bambang. “Ini bukan salah anda pak,” kata Yongki. “Saya juga tak hati hati dalam melakukan pengecekan bahan. Malah Kania yang menyadari adanya keanehan dari mentega itu.” “Iya,” kata Bambang. “Saya dapat bocoran, mentega palsu itu…ini cuma bukan masalah kecurangan purchasing biasa. Ada orang yang ingin mensabotase usaha kamu dan saya.” “Apa?” kata Yongki tak percaya. “Iyaa, tapi saya belum tahu siapa,” kata Bambang. “Tahu sendiri musuh saya banyak. Banyak tersangka dalam penyerangan ini.” “Betul pak,” kata Yongki. “Kamu gak usah khawatir,” kata Bambang. “Aku akan segera menemukan pelakunya. Yang aku minta dari kamu adalah mempersiapkan diri sebaik baiknya untuk seleksi Agatha Star.” “Baik pak,” kata Yongki. “Hanya saja kasus mentega ini benar benar berbahaya pak.” “Jangan khawatir, saya sudah menemukan cara untuk mengatasinya.” Kara awalnya kebingungan. Tapi tiba tiba ia mendapat banyak pesan notifikasi di Instagram, Twitter dan Facebooknya. Ia lalu mencoba membaca berita macam apakah yang membuat kegemparan terjadi. Ternyata itu adalah berita dari berbagai portal berita dan akun anonim yang mengabarkan bahwa telah terjadi penggebrekan beberapa gudang oleh pihak kepolisian terkait beredarnya mentega palsu dan mengandung babi. “Kalau mau menyembunyikan daun, sembunyikanlah di hutan,” kata Bambang. “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Kara. * * * Sejak awal Bambang curiga ada gerakan mensabotase usahanya. Dimulai dengan insiden di Rumah Cinta, lalu insiden tikus di King Baker dan kemudian terakhir masalah Mentega babi. Seseorang pasti sedang berusaha untuk menghancurkan usaha Bambang. Bambang lalu memutuskan melakukan investigasi mandiri. Ia menemukan bahwa mentega babi ini sudah lama beredar, namun biasanya dipakai di bakery kelas bawah, bukan bakery seperti King Baker. Purchasing Manager bakery yang sudah berpengalaman tak mungkin membeli mentega ini. Kecuali… “Memang disengaja,” kata Bambang. “Itulah yang terjadi di King Baker. “Saya paham,” kata Yongki. “Untuk mencegah nama kita hancur, saya sekalian aja buka kasus ini ke pihak kepolisian sehingga polisi segera mencari gudang penyimpanan mentega babi ini. Lalu aku segera meminta bantuan tim mediaku untuk menaikkan kasus ini sehingga..” “Trending,” kata Kara. “Lalu…” “Mau gak mau,” kata Yongki. “Kita dicatat sebagai ‘salah satu korban’, bukan sebagai bakery yang mengalami mismanagement sehingga mengalami kebobolan..” “Inilah bagian terbaiknya,” kata Bambang. Polisi akan menutup seluruh bakery di Jogja selama tiga hari ini sehingga tim Agatha Star terpaksa harus menunda penilaian,” kata Bambang. “Now we are in a fair game.” Terdengar suara tepuk tangan dari kejauhan. Ternyata Josh dan Jonah baru saja masuk ke ruang tamu. Josh yang bertepuk tangan. “Gilak gilak, gue dengerin cerita bapak ini dari tadi di belakang. Gue kayak baru aja kuliah ilmu mafia tingkat tinggi. Ini bapak pinter banget coy,” ujar Josh sambil menunjuk nunjuk Bambang dengan tangan kanannya. “Dul,” kata Jonah. “Yang sopan!” “Jonah,” kata Bambang. “Gak pa pa. Aku seneng dengan Josh. Ini orang adalah orang yang pengen aku rekrut jadi timku. Gimana?” “Jadi anak buahmu?” kata Josh. “Jelaslah! Aku mau!” “Ha?” kata Jonah tidak percaya. “Katanya kamu gak mau jadi anak buah orang lain.” “Man! Ini orang hebat, kenapa aku nolak gitu lho?” kata Josh. “Aku bahkan belum ngasih penawaran uang ke kamu,” kata Bambang. “Bodo amat, ini orang yang bikin gue bakal tambah keren, lebih tangguh dan menjadikan gue host tetap My Trip My Adventure. Uang gak penting bro!” ucap Josh. “Dua puluh juta sebulan berarti cukup ya?” kata Bambang. “Cukup bos!” kata Josh sembari memberi hormat. Yongki tersenyum. “Baguslah kalau begitu.” “Pada akhirnya kita semua senang,” kata Bambang. “Tugas pertamamu Josh adalah melakukan penyelidikan ke rumah si penipu.” “Oke bos!” kata Josh. “Boleh bawa Jonah?” “Boleh,” kata Bambang. “Boleh bawa sopir bapak dan kernetnya yang tadi ngejemput saya?” “Maksudmu Dudung dan Maman? Bawa aja!” “Namanya Dudung dan Maman?” bisik Jonah sambil garuk garuk kepalanya. “Yongki,” kata Bambang. “Boleh aku ngobrol berdua denganmu?” “Yah, tentu saja pak,” kata Yongki, “Nice, yuk ke perpustakaan saya.” SI BODOH Bambang mengambil cangklong miliknya, mengisinya dengan tembakau, membakarnya dan mulai menghisap asap dari cangklongnya itu. Ia lalu menawari Yongki rokok, tapi Yongki menolak. “Kamu gak ngerokok?” tanya Bambang. “Saya lagi mencoba berhenti Pak,” kata Yongki. “Wah keren, karena cewek?” tanya Bambang. Yongki menggeleng pelan. “Halah kamu itu ketebak banget,” kata Bambang. “Ya udahlah, masa orang bener mau aku jerumusin.” Bambang menghembuskan asap tebal ke udara. “Kamu tahu aku ‘kan?” kata Bambang. “Iya Pak,” kata Yongki. “Kamu tahu betul kalau aku sudah punya dugaan siapa si bodoh yang sudah berani mengerjai saya dan kamu,” kata Bambang. “Saya gak sepolos itu juga kali.” “Benar,” kata Yongki. “Tapi saya belum memegang bukti saja,” kata Bambang. “Cuma bisalah saya mengharapkan Josh dan si Jonah. “Iya Pak,” kata Yongki. “Kamu perlu bantuan apa?” tanya Bambang. “Saya butuh melakukan pembersihan dapur King Baker dan penataan ulang agar safety kita jauh lebih baik,” kata Yongki. “Kalau di restoran saya yang lain gimana?” “Restoran lain perlu banyak perbaikan, tapi kita pasti at least dapat dua bintang Agatha Star.” “Gak jelek,” kata Bambang. “Makasih ya Yong. Kamu selalu berusaha dengan keras. Nanti aku siapkan uang dan orang untuk membantumu.” “Terima kasih,” kata Yongki. “Sama sama,” kata Bambang. Bambang memperhatikan Yongki dengan seksama. Anak muda ini memang begitu istimewa di matanya. Ia ingat, ia pertama kali menemui Yongki saat sedang memancing ikan di sebuah danau di Jawa Timur. Bambang kesal karena dari tadi ia cuma dapat ikan nila dan gabus saja. Bagi dia, dua ikan itu adalah ikan sampah, merusak pemandangan saja. Bambang lalu memarahi anak buahnya. Ia menanyakan alasan kenapa sampai danau itu dipenuhi nila dan ikan gabus. “Kenapa bapak sangat membenci mereka?” kata Yongki yang tak sengaja lewat dan memperhatikan Bambang yang sedang memancing ikan. “Kamu tahu kenapa danau ini banyak ikan gabus dan nilanya? Karena manusia tak bertanggung jawab! Nila dan gabus itu ikan invasif, jika mereka dilepas begitu saja, mereka akan beranak pinak dengan banyak dan menguasai danau ini sehingga spesies ikan lain tidak bisa survive!” kata Bambang. “Dan banyak orang goblok di sini gak mengawasi kolam mereka sehingga banyak ikan gabus dan nila masuk kesini! Bikin emosi saja!” “Oh, “ kata Yongki. “Kalau begitu anda tidak menginginkan ikan gabus dan nila ini?” “Enggaklah!” kata Bambang. “Boleh aku minta?” tanya Yongki. “Terserah!” Yongki lalu mengambil nila dan ikan gabus yang jumlahnya sangat banyak itu. Bambang heran sendiri. Bambang baru tahu untuk apa ikan gabus dan nila itu saat dia kembali ke hotel tempatnya menginap. Ternyata Yongki sedang membuat ikan bakar dari Nila yang ditangkap oleh Bambang. Bambang heran, ia lalu mencicipi ikan yang dibakar Bambang dengan sambal jeruk limau bikinan Yongki. Dudung yang mendampingi Bambang juga ikut mencicipinya. “Duh sedap benar ini bos!” kata Dudung. “Saya nyari nasi putih dulu ya!” “Ya sana,” kata Bambang. "Ama lalap!" "Terserah!" ujar Bambang. Bambang lalu melihat satu kuali besar yang dibakar dengan api dari arang dan ditaruh di halaman belakang hotel oleh Yongki. “Apa itu?” tanya Bambang. “Masakan utama hari ini,” kata Yongki. Ia lalu membuka tutup panci dan segera saja semerbak bau harum memenuhi udara. “Ini…” “Ya, ikan gabus yang tadi,” kata Yongki. “Gila benar!” kata Bambang. “Ikan gak guna bisa jadi seharum ini.” “Silahkan mencicipi!” kata Yongki. “Baiklah,” kata Bambang. Setelah mencicipi sup ikan Gabus itu Bambang merasa senang. Ia jadi ingin mengobrol banyak dengan Yongki. “Kudengar kamu seorang chef masakan Indonesia ya?” tanya Bambang. “Ya, begitulah,” kata Yongki. “Kenapa kamu berlibur di sini?” tanya Bambang. “Sebenarnya saya sedang menyepi,” kata Yongki. “Saya sudah tiga bulan tinggal di sini..” “Hah? Kok bisa!” kata Bambang bingung. “Saya lagi ingin menjauh dari keramaian kota, apalagi Jakarta.” “Kenapa begitu.” “Istri saya baru saja meninggal, saya butuh ketenangan…” “Oh, saya paham,” kata Bambang. “Tapi kamu gak mungkin di sini terus menerus ‘kan?” “Yah, sepertinya begitu.” “Kamu suka Yogyakarta?” tanya Bambang. “Saya pernah kesana. Hanya itu yang bisa saya katakan.” “Mau coba beristirahat di sana dan sesekali memasakkan sesuatu buat saya?” “Tabungan saya tidak banyak pak..” “Saya akan memberimu pekerjaan..dan apartemen,” kata Bambang. “Gimana?” “Hmmm…” “Saya punya banyak restoran, kamu tinggal pilih mau kerja dimana…” “Bakery ada?” “Ada, saya punya satu di Jalan Diponegoro Jogja, namanya King Baker. Gak terlalu besar sih, tapi punya reputasi yang lumayan.” “Kenapa dinamakan begitu?” “Dulu ada tamu, seorang raja, ia makan di situ dan ia langsung suka serta minta nama bakery itu diubah menjadi King Baker.” “Ooh,” kata Yongki. “Aku suka namanya.” “Kamu mau bekerja jadi baker?” “Iya, boleh kah? Tapi saya tidak bisa membuat roti..” “Hah? Lha nanti gimana tuh..” “Aku akan belajar dari nol.” Bambang memperhatikan reaksi Yongki dan entah kenapa tiba tiba dia yakin saja pada Yongki. “Ya udah,” kata Bambang. “Kalau begitu.” “Terima kasih Pak Bambang!” The rest is history.. . Yongki dan Bambang berdiri di beranda rumah Bambang, mereka melihat pemandangan Gunung Merapi dari situ. “Sejak hari itu kamu gak pernah mengecewakan aku,” kata Bambang. “Ah masa,..,” kata Yongki merendah. “Pak Bambang berlebihan..” “Aku cuma punya satu kekhawatiran saja sejujurnya,” kata Bambang. “Kuyakin kamu gak akan selamanya di sini. Kamu terlalu besar untuk Jogja.” “Itu tidak betul pak..” Bambang menghela napas. “Hari dimana kamu mengundurkan diri dari King Baker pasti akan jadi hari paling menyedihkan buatku.” “Hari itu masih jauh lah Pak,” kata Yongki. “Atau mungkin malah sudah sangat dekat,” kata Bambang. “Apapun itu, kamu adalah salah satu teman terbaik saya.” “Dan anda adalah salah seorang mentor terbaik yang pernah saya kenal.” * * * Suasana di dalam taksi terasa aneh. Kara tahu ada banyak pikiran berseliweran di benak Yongki. Dia malu menjawab pertanyaan Yongki. Setelah dia memutuskan untuk berpacaran dengan Henry, kenapa sekarang ia malah begitu ragu? Bukankah ini yang dia inginkan? Balas dendam pada Yongki. Sebab, selama ini, kemana saja Yongki? Tidak memahami perasaan Kara. Dasar laki laki! Gak tegas, susah ditebak! Tapi kok aku jadi kesel! “Kak Yongki?” tanya Kara. “Ya?” tanya Yongki. “Kakak baik baik saja ‘kan?” “Tentu, aku baik baik saja, kenapa?” “Enggak, aku cuma nanya aja,” kata Kara. “Oh. Makasih.” Dan kini Kak Yongki sudah mulai menjaga jarak dari aku, begitu pikir Kara. Andai saja ada sesuatu yang bisa dia lakukan..di saat begini, telepon dari Henry malah masuk. “Kara, entar malam temenin aku belanja kemeja ya?” kata Henry. “Aku ada acara untuk besok, aku gak punya kemeja yang bagus..” “Oke,” kata Kania. “Entar aku temenin.” “Makasih ya sayang..” “Ya…” kata Kara. Ia lalu mematikan telepon. “Kamu ada acara?” tanya Yongki. “Iya, tapi masih nanti malam,” kata Kara. “Ya udah,” kata Yongki. “Maaf ya, aku jadi ngrepotin kamu.” “Apaan sih Kak,” kata Kara. “Ini ‘kan udah pekerjaanku.” Yongki hanya melempar senyum dan mengangguk. Melihat hal itu perasaan Kara makin sakit. Ah..kok jadi begini… FAKTUR Hei! Senangnya dalam hati, kalau beristri dua! Itu kata orang. Buat Johny Samurai, ia sudah bahagia dengan kembalinya dia di posisi head chef meski bukan restoran sushi eksklusif kayak di ibu kota tercinta, Jakarta. Seenggaknya dia kembali ke dapur, secara rutin. Ia harus berterima kasih pada Yongki. Yongki memang orang penuh kejutan. Bisa tiba tiba menjadi solusi. Inilah contoh teman yang ada gunanya, sudah pasti tidak merepotkan dan pastinya sangat menguntungkan. Dan bisa dibilang, mereka berdua cocok. Yongki kalem, Johny berapi api. Yongki cerdas baik teori dan praktik, Johny bodoh. Tapi meski bodoh, Johny punya insting tajam. Makanya cocok dia megang pisau dan memotong motong dengan cepat. Hal lainnya? Yongki berteman baik dengan siapa saja sementara Johny banyak musuhnya. Ha..ha..ha..di bagian itu Johny cuma bercanda, tapi dia memang merasa beruntung punya teman kayak Yongki. Yongki ini banyak membuka pikiran Johny yang cupet akal. Kini sebagai head chef atau executive chef ia bisa mengatur restoran Henry sesuka hatinya. Kebebasan yang menyenangkan. Tapi di sisi lain, ia juga harus mengurusi masalah manajemen. Salah satunya adalah nota nota faktur pembelian yang luar biasa..banyaknya..dan menyebalkan..tentu saja. Memang, Henry sempat menjanjikan seorang akuntan. Tapii…dia tetap harus mengecek faktur faktur itu. “Andai saja aku belajar akuntansi dengan benar waktu SMA,” kata Johny pada dirinya sendiri. Saat sedang melihat lihat faktur pembelian. Tiba tiba ia menemukan satu faktur yang aneh. Itu adalah tagihan untuk pembelian mentega. Johny tidak bodoh. Tak ada sedikitpun kebutuhan untuk membeli mentega bagi rumah makan Jepang, apalagi sushi. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menanyakan langsung pada bagian purchasing. “Oh maaf Pak Johny, ini bukan untuk bapak.” kata si pria di bagian purchasing. “Lalu untuk siapa?” tanya Johny. “Ini langsung ke Pak Henry,” kata pria itu. “Kok kamu yang beli?” “Dia nitip pak…” “Nitip?” “Iya nitip.” “Ya sudah kalau begitu,” kata Johny. “Toh secara teknis dia adalah bosmu. Dan bosku juga sih omong omong.” “Baik pak, makasih,” kata pria itu. Johny lalu pergi ke belakang restoran dan merokok. Ia berpikir..Jarang jarang ia berpikir..kali ini dia coba menggunakan sedikit otaknya. “Perasaan si Henry gak punya restoran yang membutuhkan mentega sebanyak itu,” kata Johny. “Jangan jangan dia…” * * * Yongki mendapat telepon dari Johny. Yongki terkejut karena beberapa hari ini mereka jarang berhubungan. “Bro, ada yang perlu aku omongin,” kata Johny. “Ya?” “Kurasa Henry sedang merencanakan sesuatu,” kata Johny. “Merencanakan apa?” tanya Yongki. “Tadi aku melihat faktur pembelian barang yang nyasar ke aku.” “Terus?” “Dia beli mentega banyak banget…” “Ooh…emang menurutmu buat apa?” “Kurasa dia mau bikin bakery. Bakery potensinya gede. Kurasa pasti dia pengen punya bakery sendiri..” “Oalah, cuman itu mah santai.” “Kok santai, nanti King Baker susah dong ketambahan pesaing.” “Ya gak pa pa.” “Kok gak pa pa?” “Saingan itu justru membuatku makin bersemangat. Aku jadi makin pengen berusaha menjadi yang terbaik.” “Aneh kamu!” Yongki tertawa. “Namun,” kata Johny. “Karena kamu aneh, aku jadi senang berteman dengan kamu!” “Iya, santai aja,” kata Yongki. “Kapan nih kita minum sake bareng?” “Segerakanlah!” kata Johny. “Aku sih siap kapan saja. Rokokmu apa sekarang?” “Aku tidak merokok,” kata Yongki. “Wah, kenapa nih? Gara gara punya pacar baru ya?” “Ah enggak, lagi gak pengen aja,” kata Yongki. “Bohong kamu, kamu tuh orang yang gampang ketebak! Kara ‘kan?” “Gak..gak lah..Kara udah jadian ama Henry.” “Lho kok?! “Iya, begitulah…” “Duh, aku ikut berduka untukmu kawan.” “Santaiii…” “Tapi namanya cinta abg mah gak akan lama. Kamu masih punya peluang!” Yongki ngakak. “Anjir, tapi makasih lho.” “Sama sama brooo.” * * * Solada memperhatikan Yongki dengan heran. Tumben tumben Yongki ngajak makan di luar. Padahal dia lagi sibuk. Banyak pikiran. Tapi mungkin ini yang dibutuhkan Yongki. Membersihkan pikiran dan menenangkan batin. “Ini pertama kali buat aku,” kata Solada. “Pertama kali apa?” tanya Yongki. “Makan di warung kaki lima,” ujar Solada. “Kemarin kita makan ayam geprek, sekarang makan di kaki lima. Kayaknya bersama Om Yongki pengalaman kulinerku makin kaya dan seru, gak sama kayak waktu sama papa.” “Hah, beneran?” kata Yongki tidak percaya. “Iyaa, soalnya ama papa gak pernah dibolehin makan di luar,” kata Solada. “Oh ya?” tanya Yongki. “Iya, soalnya dia pernah ngalamin trauma gara gara makan di luar.” “Oh gitu. Memangnya apa yang terjadi.” “Gak ah, kalau aku cerita, Kak Yongki entar tahu siapa ayahku. Soalnya Om Yongki juga ada di situ.” “Beneran? Jangan jangan kamu…” “Apa? Aku gak nyembunyiin apa apa kok, kalau udah waktunya entar aku cerita siapa papa dan mamaku,” balas Solada. “Iya iya,” kata Yongki. “Kak Kara gimana?” tanya Solada. “Ya gitu. Dia udah dapet pacar baru. Mungkin dia lagi makan malam ama pacar barunya.” “Sedih ya?” “Kok sedih.” “Ya sedih karena Om Yongki di sini doang menikmati Mie Jawa ama seorang anak yang gak jelas darimana asal usulnya sementara Kak Kara lagi happy happy dengan pacar baru.” Yongki cuma tertawa. “Enggaklah Solada, aku senang kok makan sama kamu,” kata Yongki. “Kamu anaknya kayak bukan anak kecil aja. Enak diajak omong.” “Beneran?” “Dari dulu aku pengen ngerasain gimana rasanya punya anak. Sekarang aku tahu.” “Idih, aku baru dua mingguan di sini Kak Yongki.” “Bener juga. Hahahaha…” Namanya Solada Tiba tiba Yongki teringat omongan dari almarhum istrinya. “Kalau aku bisa punya anak, aku mau ngasih nama Solada.” Yongki memandang kosong ke depan. Solada jadi bingung. Kenapa Solada? Suka aja “Om Yongki! Om!” kata Solada sembari melambaikan tangan di depan muka Yongki. Yongki langsung tersadar. “Sorry..sorry..,” kata Yongki. “Aku jadi ingat sesuatu.” “Ingat apaan?” tanya Solada. “Ya ada lah.” * * * “Gimana menurut kamu?” kata Henry Jang sambil keluar dari ruang pas. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna krem. “Gak cocok,” kata Kara. “Kulitmu ‘kan putih.” “Oh ya?” “Cari yang warna gelap Hen, pasti lebih bagus.” “Oke.” Henry lalu mengganti kemejanya dengan warna yang lebih gelap. “Gimana sekarang?” tanya Henry. “Bagus..tinggal celananya yang warna krem malah gak pa pa,” kata Kara. “Sip, makasih sayang.” Henry lalu bergegas dan mengganti pakaiannya. Kara sendiri menunggu dengan perasaan malas malasan. Dari tadi dia berulang kali mengecek telepon selulernya. Ada sedikit perasaan berharap kalau Yongki akan menghubunginya. Untuk menanyakan apa saja begitu. Aneh, kenapa ya dia tiba tiba memikirkan Yongki? Yongki yang mau mengajarinya bikin kue dan roti, Yongki yang kaku tapi perhatian, Yongki yang selalu menjadi pribadi yang hangat..aah, Kara yang berapi api ini kadang seharusnya belajar lebih banyak agar tidak menyesal..Sekarang harus gimana? “Kara,” kata Henry. “Yuk makan malam?” “Boleh,” kata Kara. “Mau makan apa Hen?” Henry merasa ada yang salah. “Kok kamu nggak pernah manggil aku sayang sih?” protes Henry. “Yah, kan aku gak biasa..soalnya kita lama temenan Hen..” Meski kesal, Henry berusaha menerima alasan Kara. “Oke deh,” kata Henry. Kok aku jadi gak nyaman ya.. PANCAKE Jing Jing tampak kesal karena kepalanya tiba tiba pusing dan perutnya mulai berasa diputar putar kayak mesin cuci. Teman temannya yang lain memperhatikan dengan bingung. Mereka baru saja makan Chinese food di pinggir jalan. Salah satu yang terenak. Jing Jing mengatakan itu pertama kalinya dia makan di kaki lima. What? Aneh banget memang. Jing Jing mengatakan bahwa perutnya sensitif, makanya dia enggan makan di warung kaki lima. Namun karena kali ini Elon memaksa, Miss Amerika juga dan Yongki hanya ketawa ketawa aja, maka makanlah mereka di warung kaki lima tersebut. Sekarang, Jing Jing sakit. “Aku ambil mobilku dulu,” kata Elon pada teman temannya. “Oke,” kata Yongki yang berusaha menenangkan Jing Jing. “Jing, ambil napas dalam dalam,” kata istri Yongki. “Iyaa,” kata Jing Jing yang berusaha untuk tetap sadar. Miss Amerika lari lari mencari air. Ia akhirnya mendapatkan satu botol air minum dan memberikannya pada Jing Jing. Jing Jing meneguknya pelan pelan. “Ya Tuhan, apa udangnya tadi mengandung kaporit ya?” tanya Jing Jing pada teman temannya. “Udang murah mana mungkin gak ada kaporitnya!” balas istri Yongki. “Fuck, gue akan mati, fuck!” kata Jing Jing. “Tenang Jing, jangan ngomong gitu,” kata Vero. “Maafkan aku teman teman. Kalau ada salah, aku minta maaf ya!” kata Jing Jing. “Jing, kamu ngomong apaan sih!” balas istri Yongki. “Mana mungkin kamu bisa mati karena makan udang!?” 25 menit kemudian “Dia bisa aja mati karena makan udang,” kata dokter jaga kepada kawan kawan Jing Jing. “Untungnya dia bisa ketolong.” “Oh,” kata istri Yongki sembari menutup mulutnya karena merasa berdosa atas apa yang baru dikatakannya pada Jing Jing. “Tapi gak mati ‘kan dok??” tanya Vero. “Enggak,” kata dokter. “Belum lah.” Yongki lalu merangkul istrinya dan mencoba membuatnya lebih nyaman. Yongki lalu mengajak istrinya untuk ngobrol di luar rumah sakit. Sementara itu Elon, Vero dan Miss Amerika menunggui Jing Jing bergantian. “Ini buruk banget,” kata istri Yongki. “Well…” “Yang penting ‘kan Jing Jing udah baikan sayang,” kata Yongki. “Kamu benar? Lain kali aku harus berhati hati kalau ngomong.” Yongki menepuk nepuk punggung istrinya. “Ingat, omongan itu doa,” kata Yongki. “Kalau kita ngomong yang baik baik, mudah mudahan ya hasilnya baik.” “Benar juga sayang,” kata istri Yongki. “Kamu emang bijak banget.” Yongki cuma tertawa, ia lalu memeluk istrinya. Di pagi hari saat Yongki membuka mata, ia baru sadar ia tertidur di ranjang dengan tangan kanan masih memegang foto dengan sahabat sahabatnya di masa lalu. Ia lalu bangun dengan perasaan agak malas, di luar sudah ada Solada yang sedang sarapan dengan memasak roti pancake. “Pagi,” kata Solada. “Aku membuatkan pancake untuk kita. Walau rasanya gak seenak buatanmu, seenggaknya ‘kan aku sudah berusaha.” “Well,” kata Yongki. “Mari kita coba.” Yongki lalu mengambil satu lembar kue pancake dan mencoba mencicipinya. Saat dia memakan pancake itu, ia langsung terdiam. Ini adalah resep pancake yang ia bikin waktu SMA. Hanya ada lima orang yang mengetahui resep ini; istrinya, Vero, Miss Amerika, Jing Jing dan Elon. Bagaimana Solada bisa tahu? “Enak?” tanya Solada. “Iya, siapa yang mengajarimu?” tanya Yongki penasaran. “Mama, dia kalau lagi gak bisa kemana mana, suka masak sendiri,” kata Solada. “Ooh, masakan mamamu enak,” kata Yongki. “Iya, dia selalu bilang, kan aku temennya Yongki Himawan!” Yongki melempar senyum, hanya untuk menutupi perasaannya yang lumayan excited setelah merasa sedikit banyak tahu soal siapa orang tua Solada. * * * “Kara, kamu ngapain tiba tiba ngajak aku ketemuan empat mata begini?” kata Kania pada Kara. “Dan kamu mengatakan dengan jelas, ‘kita ketemuan agak jauh yuk dari King Baker’. Gak biasanya kamu begini…” “Aku tahu, tapi di King Baker gak ada lagi cewek yang bisa aku ajak ngobrol selain Kak Kania,” kata Kara. “Well, kita gak sedekat itu sih. Pasti ada alasan kuat kenapa kamu sampai ngundang aku ketemuan,” kata Kania. “Sebenarnya iya kak,” kata Kara. “Aku telah membuat kesalahan.” “Kesalahan apa?” Kara lalu menceritakan insiden yang dialaminya dengan Males. Ia juga bercerita pertengkarannya dengan Yongki. Tidak lupa juga kegilaan yang ia lakukan setelah berantem dengan Yongki. Ya, apalagi kalau bukan ‘nembak’ Henry Jang untuk jadi pacarnya hanya untuk bikin Yongki kesal. Lalu, belum juga seminggu jadian, ia sudah ngerasa gak nyaman dengan Henry. “Kenapa sih kamu gak nyaman dengan Henry? Kayaknya itu cowok baik baik aja. Tajir, ganteng dan kayaknya dedicated banget ke kamu, apalagi yang kamu keluhkan soal dia?” tanya Kania. “Aku cuma ngerasa gak cocok aja,” kata Kara. “Atau kamu ada perasaan ama Yongki?” balas Kania “Itu…” Kania menghela napas. “Sudah kuduga, kayaknya semua orang bisa melihat kecuali kalian berdua. Saat aku pertama kali melihat kamu bergabung dengan kami, aku ngerasa kalau kamu dan Yongki cocok. Kalian berdua sangat antusias dengan kerjaan kalian. Yongki juga langsung ngasih perhatian ke kamu karena faktor ayahmu. Namun, di luar itu, kalian memang pas. Yongki orang yang suka ngebimbing orang. Terutamanya jika orang itu punya semangat tinggi dan apalagi berbakat, kamu orang yang antusias belajar. Yongki kalem, kamu berapi api. Kamu dan dia pas sih. Lagipula…ada hal lain soal kamu yang kurasa bikin Yongki senang. Aku nggak bisa mendeskripsikan itu dengan tepat, tapi aku cuma tahu kalau itu ada,” kata Kania. Kara terdiam. Ia nggak tahu kalau Kania selama ini memperhatikan semua sebegitu detailnya. “Aku mau jujur sama kamu,” kata Kania. “Aku juga suka ama Yongki dan aku berusaha menunjukkannya. Tapi itu gak berhasil, hingga akhirnya aku menyerah. Tapi kalau kamu…meski Yongki belum mengakui, aku tahu kalau dia ada rasa sama kamu,” kata Kania. “Sekarang tinggal gimana kaliannya aja..nggak ding..salah..maksud aku, tinggal gimana kamunya aja.” “Maksud Kak Kania?” tanya Kara. “Yongki itu orangnya pasif. Dia terlalu fokus sama dunia kuliner,” kata Kania. “Kalau kamu berharap dia yang ngomong duluan, kurasa akan sia sia saja. Kalau kamu emang ada perasaan ama dia, ya kamu harus nyoba duluan. Kalau kalian udah jadi, kurasa ia akan menunjukan sisi kepeduliannya sama kamu.” “Begitu ya?” kata Kara. “Ya itu yang aku lihat dari dia. Tapi dalam kasusku, meski aku berusaha, ya gak bisa berhasil, karena..emang dia bukan untuk aku saja,” kata Kania. “Ya pokoknya begitulah, tinggal kamunya aja gimana.” “Kak Kania nyerah ngejar Yongki?” tanya Kara. Kania tertawa. “Aku bukannya nyerah ngejar Yongki. Cuma aku sekarang menyadari satu hal. Yongki emang mungkin bukan buat aku. Kalau dipikir pikir, banyak hal dimana aku gak cocok ama Yongki juga in one or two points of my life.” “Oh gitu,” kata Kara. “Jangan khawatir,” kata Kania. “Bukan karena kamu kok.” Kara mengangguk. “Makasih Kak Kania.” “Sama sama..” MALES Jonah bertemu dengan Johny hari ini setelah sekian lama. Johny memang sengaja mengundang Jonah ke apartemennya yang baru. Apartemen yang keren. Karena apartemen itu punya mini bar. Gak sekedar mini bar kulkas kecil begitu. Tapi beneran mini bar. Damn cool man! “Jadi Pak Johny ngundang saya kesini cuma untuk pamer mini bar?” tanya Jonah. “Yes!” kata Pak Johny. “Wah anda emang betul betul…” “Betul betul apa?” “Keren!” Mereka berdua tertawa terbahak bahak. Lalu Johny segera membuat cocktail untuk Jonah. Jonah sih ketawa ketawa aja dikasih minum gratisan. “Rum, batang tebu, air soda, daun mint dan lemon,” kata Johny. “Coba deh.” Jonah langsung mencicipinya dan mengacungkan jempol. “Ini enak,” kata Jonah. “Nice!” kata Johny. “Coba aku buatkan yang lain. Oke?” “Oke bos.” Johny lalu memamerkan keahliannya dan lahirlah satu lagi minuman karyanya. “Gin, Sprite, sedikit irisan lemon dan mint, dan kuberi sirup blueberry,” kata Johny. “Cobalah!” Jonah tak menunggu waktu lama untuk meminumnya. “Gilak, kayaknya Pak Johny mending jadi bartender deh!” ucap Jonah. “Just like my mom said,” kata Johny. “Ibu?” “Ceritanya panjang, dia ibu yang baik, cuma sedikit berbeda.” “Never mind,” kata Jonah. Setelah itu mereka masih meminum Tequilla shot dan… “Aku butuh air putih,” kata Jonah. Johny ngakak. “Ternyata kamu bisa K.O. juga ya.” “Well,” kata Jonah. “Aku masih manusia pak.” Jonah berusaha berdiri tapi untuk berjalan lurus saja ia tidak bisa, ia terjatuh dan bukannya menolong Johny malah ketawa. Tapi ia cuma ketawa sebentar sebelum kemudian membantu lagi Jonah untuk duduk. Mereka berdua lalu ngobrol santai sambil minum air putih yang disediakan oleh Johny. “Kerja sama Henry gimana?” tanya Jonah. “Yah, dia orang yang baik, agak ambisius,” kata Johny. “Tipikal anak muda jaman sekarang lah.” “Banyak mimpi?” “Banyak ego.” “Oh..” Mereka lalu menghabiskan air putih yang ada di meja. “Aku malah berubah kerjaannya,” kata Jonah. “Sekarang aku disuruh jadi detektif dan harus punya hasil dalam seminggu. Bikin stress aja.” “Siapa yang nyuruh kamu jadi detektif?” “Bos besar langsung. Bambang Sugema.” “Emang ada kasus apa?” “Ya gitulah, urusan di dapur emang suka ribet.” “Seribet apa?” “Seribet urusan mentega aja jadi kasus besar.” Raut muka Johny langsung berubah serius. “Ada apa dengan mentega?” selidik Johny. “Duh, aku salah ngomong lagi,” kata Jonah. “Ini sebenarnya masih sangat rahasia Pak Johny. Tapi ada seseorang yang menukar mentega di King Baker dengan mentega non halal.” “Dan?” “Ini disengaja pak. Aku sempat membongkar kamar kos si penipu ini dan aku menemukan beberapa nota dari sebuah supplier, cuma supplier ini aku cari cari ternyata gak ada bos! Dengar dengar begitu kasus ini meledak, supplier itu langsung tutup. Kita gak tahu ada siapa dibalik supplier itu.” “Tiba tiba aku merasa ada yang fishy (bermasalah) di sini,” kata Johny. “Anda kali bau ikan, hidup jadi chef sushi kan bergaulnya ama ikan!” ejek Jonah dalam mabuknya. “Bukan bau ikan yang itu, maksud aku ada yang mencurigakan gitu,” kata Johny. Jonah memandang Johny dengan kaku, shock berat gitu rasanya. “Damn, sekarang anda membuat saya penasaran,” kata Jonah. “Kayaknya anda gak salah deh Pak Johny.” “Ya emang aku gak salah Jon. Ada keterkaitan erat di sini!” kata Pak Johny. “Tapi apa?” tanya Jonah. “Mana kutahu.” Hening. Mereka berdua tertawa terbahak bahak sebelum melanjutkan minum lagi. * * * Kara tidak tahu harus bersikap apa saat Males muncul di acara Gala Dinner Welcome Agatha Star Team. Males tampak dingin dan percaya diri, hal itu membuat Kara tidak tahu seharusnya bersikap apa. “Pacar baru?” tanya Males dengan agak menyindir. Kara suka kesel karena Males seperti melihat Kara kayak anak kecil..Ya usia mereka emang bedanya lumayan jauh..tapi gak perlu juga kan merendahkan begitu? “Iyaa. Mbak Mar,” kata Henry malu malu. “Cantik,” kata Males dengan pelan. “Tapi gak yakin apakah kepinterannya setara kecantikannya.” Henry cuma tertawa. “Dia pinter kok. Jago masaknya,” kata Henry. “Baguslah, kalau begitu,” kata Males. Ia melempar senyum dan langsung pergi. Melihat Males lewat membuat Kara makin jengkel, sampai ke ubun ubun dah. Semua ini bermula dari seorang Males yang membuat hubungannya dengan Yongki menjadi renggang. “Aku mau pulang,” kata Kara ketus. “Lhoh kok gitu sayang,” kata Henry sedih. “Aku gak enak badan, kamu di sini aja,” kata Kara. “Oke..oke..biar diantar driverku aja ya gimana?” kata Henry. “Gak usah! Aku bisa pulang sendiri!” balas Kara. “Ayolah Kar…” “Nyebelin banget kamu Hen!” “Kok jadi aku yang nyebelin?” “Huh, Ya, udah deh, yang penting aku gak mau ngrepotin kamu,” jelas Kara. “Enggaklah sayang.” Kara lalu pulang duluan. Ia diantar sampai depan rumahnya. Di teras rumahnya ia melihat Gunawan dan Yongki sedang berbincang bincang. “Lho kok udah pulang aja?” kata Gunawan kecewa. “Kok ayah sedih aku pulang cepat, bukannya semua ayah senang kalo anak perempuannya pulang lebih cepat?” tanya Kara. “Pengen liat anaknya diculik terus dijual ke luar negeri ya? Emangnya papa Liam Nesson?!” “Gak gitu, aku berencana ngobrol ama Yongki dan dia ‘kan lagi gak enak kalo ketemu kamu,” kata Gunawan. “Atau kalian udah baikan? He..he..” “Gak enak kenapa?” tanya Kara sengit. “Emangnya aku ngegigit!? Kalau ada masalah bilang!” “Kara, tenang,” kata Yongki. “Bukan itu yang papamu maksud.” “Terus maksudnya apa?!” kata Kara tambah ngegas. “Ngomong yang jelas! Jadi cowok yang bener!” “Kara..duduk dulu ya?” tanya Yongki. “Kak Yongki kalau ada yang mau ngomong, diomongin dong! Kalo emang suka ya bilang suka!” kata Kara berapi api. “Jangan bikin orang nunggu!” “Lho?” kata Gunawan yang bingung harus bersikap gimana. “Aku ora melu melu.” Kara menghentakkan kakinya dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa bicara apa apa lagi. Yongki melongo. “Anak muda ya kayak gitu Yong. Gampang galau,” kata Gunawan. “Dulu almarhum istriku juga begitu. Waktu SMP dia bilang Ahmad Dhani keren. Pas Ahmad Dhani bikin ‘The Rock’..boro boro..” Yongki menggelengkan kepala pelan. “Padahal aku gak merasa ada masalah ama dia,” kata Yongki. “Kita juga udah ngomong baik baik kemarin.” “Dia lagi kesel aja ama Henry kali. Biasa kan anak muda kalo udah pacaran lama, suka sering berantem.” “Pak, mereka baru pacaran seminggu ini lho…” “Oh ya? Aku kira udah ada sebulan.” “Kayaknya bapak perlu periksa kesehatan otak deh. Dengan segala hormat,” kata Yongki. “Ah masa?” kata Gunawan. “Atau emang aku perlu ya?” “Terserah bapak saja.” Gunawan mengangguk angguk dengan perasaan bimbang. * * * “Kenapa ya dia sikapnya aneh begitu?” kata Henry keheranan. “Kamu gak bisa baca sikap perempuan ya?” tanya Males. “Gimana nih maksudmu?” balas Henry. “Perempuan itu gak bener bener menyukai kamu Henry,” kata Males. “Omong kosong! Dia itu terenyuh ketika akhirnya tahu kerja keras apa yang telah kulakukan!” ucap Henry. “Aku udah berhasil bikin dia mengarah ke aku!” “Benarkah? Masalahnya gini lho Hen, tanpa berusaha sekalipun, Yongki itu sudah berhasil menarik perhatian Kara. Kenapa? Ya karena mereka cocok aja. Dibanding kamu yang maksa banget, ya jelas beda!” “Nggak, aku yakin kalau caraku bener, Kara pasti suka ama aku!” kata Henry tak mau kalah. “Terserah kamu aja Hen, kalau aku jadi kamu sih males ya memperjuangkan yang tak pasti.” “Jaga omonganmu ya Mar!” bentak Henry. Males hanya menyunggingkan senyum dingin. “Sekeras apapun berusaha, anjing gak akan bisa jadi serigala, selamanya kamu akan tetap di bawah bayang bayang kakakmu…,” kata Males. Ia lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Henry. Henry merasa begitu direndahkan. Tapi ia juga tak bisa melawan Males. KAKAK Dua minggu lalu, Henry tiba tiba diminta ke Singapura untuk bertemu Hyung alias kakak laki lakinya. Saat Henry tiba, Hyungnya itu tak banyak berbasa basi dan langsung menanyakan hubungan Henry dengan Kara. “Kamu harus menyerah mengejar dia,” kata Hyungnya. “Sudah jelas gadis itu gak mau sama kamu.” “Aku gak mau menyerah kakak. Bagiku dia satu satunya wanita dalam hidupku!” balas Henry. “Aku beneran cinta ama dia kak!” “Terus memangnya kamu mau apa? Kudengar ia sudah mulai dekat dengan Yongki,” kata Hyung. “Mereka cuma rekan kerja kakak!” “Benarkah?” “Kak, aku gak akan melakukan apapun yang membahayakan perusahaan atau keluarga kakak!” ujar Henry. “Biarkanlah aku mengejar cintaku!” Hyung berdiri dan berjalan ke arah dinding kaca kantornya. Ia melihat ke bawah, melihat ke panorama Singapura yang menakjubkan. “Aku bekerja keras sampai di sini,” kata Hyung. “Aku ada di puncak dunia dimana seharusnya tak ada wanita yang menolakku. Nyatanya tidak, istriku sendiri justru menolakku..” “Kak..” “Sampai mati aku tahu sebagian hatinya masih ada di Yongki. Aku tahu dia tak pernah mencintai aku sebenar benarnya,” kata Hyung. “Bahkan putriku sendiri, kini melawan aku. Dalam hatinya dia membenci aku,” kata Hyung lagi. “Putri kakak yang itukah?” kata Henry. “Iya, putriku yang kujaga baik baik itu,” kata Hyungnya Henry. “Yang kuharapkan gak akan pernah mengerti arti penderitaan kayak bapaknya ini.” “Brengsek! Ini semua salah Yongki!” kata Henry kesal. “Bajingan emang Yongki.” “Bukan, Yongki memang hebat,” kata Hyung. “Dia orang yang eksepsional. Aku tidak dendam padanya.” “Kak, jangan ngomong begitulah! Seolah olah kakak sudah kalah!” “Aku orang ambisius, tapi aku sudah cukup dewasa untuk bersikap realisistis adikku,” ujar Hyung. “Aku berharap kamu juga tidak dendam pada Yongki.” “Kok Kakak bilang begitu?” balas Henry. “Aku bicara begini bukan karena aku sahabat Yongki,” kata Hyung. “Aku berbicara begini demi kamu.” “Kak, jangan meremehkan aku!” “Dengar ya Henry, kalau pertarungan terjadi di antara kalian…aku jamin…kamu pasti hancur duluan,” kata Hyung. “Percayalah.” “Aku dengan senang hati akan membuktikan kalau kakakku salah!” balas Henry. “Selamat siang, Hyung.” Dia pergi. * * * Yongki menghela napas panjang setelah membaca koran. Ia lalu meletakkan koran itu dan melihat ke langit langit apartemennya. Solada memperhatikan Yongki dengan seksama. “Sol, kemarin Kara ngomong sesuatu yang aneh sama aku coba,” kata Yongki. “Aneh gimana?” tanya Solada. “Dia bilang, ‘kalau suka ngomong dong!’ gitu,” kata Yongki. “Ya bener ‘kan, kalau suka ya ngomong, kalau diem aja gimana dia bisa tahu?” balas Solada. “Aku tahu Solada, tapi dia ‘kan udah punya pacar,” kata Yongki. “Terus?” “Gak enak lah Sol.” “Bodo amat sedikit kenapa sih om ?!” “Kok gitu?” “Kalo om nggak berjuang, apa om nggak takut nyesel?” “Nyesel kenapa?” “Nyesel kalo akhirnya ampe mati kakak gak akan pernah tahu perasaan Kak Kara sesungguhnya.” “Sial…” “Kenapa kamu bijak?” “Tanteku yang bilang…” “Tantemu?” “Iya, Tante bilang kalau dia pernah nyatain perasaan ke Kak Yongki dan ditolak, tapi dia gak pernah nyesel karena seenggaknya sudah pernah bilang…” “Siapa nama tantemu?” “Itu..” “Kamu bohong ‘kan? Bukan tantemu yang ngomong gitu? Siapa sebenarnya yang ngomong gitu?” Solada mengangguk. “Iya, aku akui, itu mama yang ngomong gitu,” kata Solada. “Dia suka banget ama Om Yongki, tapi dia tahu kalau hati Om Yongki bukan buat dia.” “Mamamu pernah nembak aku?” kata Yongki. “Iya, dia pernah cerita…” “Buset..” “Kenapa Om?” “Perasaan aku belum pernah ditembak cewek.” “Om?” “Ya?” “Yang bener aja. Mama sampe kepikiran.” "Aku..beneran..gak tahu." Solada menggeleng pelan dengan agak kesal. "Lupakan saja!" kata Solada. * * * Hari ini Yongki tidak pergi ke King Baker. Sejak King Baker ditutup sementara, Yongki lebih fokus mengurusi restoran restoran lain milik Bambang Sugema, apalagi hari ini ada dugaan tim Agatha Star akan melakukan sidak ke ‘Rumah Cinta’. Dan ternyata memang mereka beneran dateng dan ya…tentu saja..artinya Yongki harus bertemu dengan Males. Pertemuan yang agak aneh. Tidak agak lagi sih sebenarnya..memang aneh.. “Hai,” kata Males pada Yongki. “Hai juga,” ucap Yongki yang tak tahu lagi emang harus ngomong apa. “Kayaknya kita gak ketemu beberapa waktu tapi berasa kayak udah lama sekali ya,” kata Males. Yongki hanya melempar senyum. “Anak itu masih marah padaku?” tanya Males. “Enggak kok, dia gak marah, dia cuma sangat protektif padaku.” “Kulihat dia pergi bersama Henry.” “Iya, anak muda, wajarlah kalo berpacaran.” “Kamu gak pa pa?” “Enggak, kenapa aku harus kenapa kenapa?” “Ya siapa tahu kamu naksir dia?” Males cuma bercanda, namun meski sekilas, Males bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Yongki. “Aku nggak apa apa,” kata Yongki. “Lagian kenapa aku harus mikirin banget.” “Oke, kalau menurutmu begitu,” kata Males. “Iyaa,” kata Yongki. “Jadi gimana menurut Lima Jagal terkait ‘Rumah Cinta’?” “Kalau lihat ekspresi muka sih kayaknya rumah makan ini berubah cukup banyak dan perubahannya ke arah bagus,” kata Males. “Emang beda ya kalo chef jempolan kayak kamu yang jadi supervisor.” “Masih banyak yang jauh lebih pinter dari aku lah Mar,” kata Yongki sambil melepas tawa gagu. “Gak lah, aku udah keliling Indonesia, dan cuman beberapa yang bisa dibilang ada di levelmu,” kata Males. “Terima kasih.” “Omong omong soal King Baker…” kata Males. “Aku turut prihatin, namun banyak bakery di Jogja juga mengalami masalah yang sama. Jadi tim Agatha Star akan memberikan pengecualian pada masalah itu ke semua bakery di Jogja. Semoga setelah penundaan seminggu, bakery bakery di Jogja bisa pulih dari krisis ini.” “Kami akan bangkit,” kata Yongki. “Aku tahu kok,” kata Males. Ia melempar senyum penuh kharismanya. Betul betul perempuan yang berbeda dari perempuan kebanyakan. Males lalu berbalik dan kembali berkumpul dengan juri. Namun sebelum Males benar benar berlalu, Yongki mencegahnya. “Mal, setelah penjurian ini selesai, apakah kamu mau keluar untuk makan malam bareng lagi?” tanya Yongki. Males cuma melempar senyum. “Kalau kamu masih mau pergi berdua sama aku,” kata Males. “Kenapa tidak? Tapi sebaiknya kamu jangan membuat janji dulu dengan aku. Siapa tahu kamu berubah pikiran.” “Oke,” kata Yongki. Males mengangguk dan pamit dari hadapan Yongki. Dalam hati ia sedikit merasa sedih. Tapi ini hal yang harus dilakukan. * * * Solada baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya dan bersiap untuk menonton drama Korea ketika smartphonenya berbunyi. Ternyata ada pesan dari Tante Amerika. Tante Amerika hanya menuliskan dua kata: Papa tahu. Mendengar pesan itu Solada langsung merasa panik. Ia berpikir sesaat. Apa yang harus dia lakukan. Sejak kematian ibunya, ia sudah sampai ke tahap muak melihat ayahnya. Ia tidak mau melihat lagi ayahnya yang menurut ia telah membuang dirinya dan ibunya. Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan untuk melakukan reservasi di sebuah kamar hotel, namun ia sadar ayahnya akan segera menemukannya dengan melacaknya via kartu kredit. Ia lalu mencoba menelpon salah satu teman dekatnya di Indonesia. Teman dekat yang ia temui di Instagram karena mereka sama sama penggemar Korean Pop. “Daebak!” kata Renny ketika mendengar Solada akan datang. “Udah nginep aja di rumahku, mau berapa lama juga gak pa pa. Papa dan mamaku jarang pulang juga.” “Oke, lho papa mamamu emang kerja apa?” tanya Solada bingung. “Biasa, Youtuber, jalan jalan mulu.” “Kamu dan kakakmu gak diajak?” “Enggaklah, kalau buat konten kan lucuan adikku yang masih umur dua tahun. Aku ama kakak ya tugasnya jaga rumah!” “Ya udah,” kata Solada. “Kalau begitu, aku kesana sekarang ya. Aku nginep di sana sampai orang tuamu balik? Oke?” “Yess.” MASALAH PASANGAN Henry kaget mendapat pesan dari Kara. Kara meminta untuk bertemu, sekarang juga. Padahal, Henry masih ada pertemuan dengan klien kliennya. Tapi demi Kara, apa sih yang enggak? Maka Henry memutuskan untuk menunda jadwal makan siang dengan klien dan memilih untuk bertemu dengan Kara. Mereka lalu makan di café di dekat King Baker. Mereka berbasa basi sedikit hingga Kara akhirnya mengatakan apa maksudnya mengajak Henry bertemu. “Aku mau kita break dulu,” kata Kara. “Lho kok break?” tanya Henry. “Kita ini baru jadian semingguan Kara!” “Oh ya? Kukira sudah ada satu bulan lebih?” “Kamu ini bercanda atau nyindir sih Kara?” Kara mengangguk dan memegang tangan Henry, berusaha menenangkan Henry yang kesalnya udah seperti gunung mau njeblug. Tinggal dueer saja sebenernya. “Kurasa dalam masalah ini aku yang salah,” kata Kara. “Seharusnya kita tidak terburu buru. Sekarang rasanya semua kayak terlalu cepat dan…” “Kamu gak yakin ama dirimu sendiri gitu?” kata Henry. “Basi banget! Itu alasan paling sampah setelah ‘kamu terlalu baik buat aku!’ ” Henry berpikir sejenak.."Dan bahwa yang salah itu aku! Itu juga alasan paling menjijikan yang aku pernah dengar!" “Hen..aku minta maaf…” Henry berdiri dan berkacak pinggang. “Kalau cuma mau ngomong gitu, nggak usah ketemu kali Kar!” kata Henry. “Udah ada smartphone juga.” Henry mengambil napas. “Oke, kita gak usah break,” kata Henry. “ Aku yang salah. Biar aku yang jadi penjahat kali ini. Bodo amat. Akan kukatakan dengan jelas. Mending kita putus sekalian!” Kara terdiam mendengar jawaban dan tanggapan Henry. Namun ia juga menyadari, kenapa juga dia memaksakan sesuatu yang jelas tidak ia suka? Maka satu kata terlontar dari mulutnya dan mengakhiri hubungannya dengan Henry. Begitu saja. “Oke,” kata Kara. “Oke, aku tidak keberatan. Kayaknya kita memang mending putus aja.” “Kamu serius?” Giliran Henry yang terkejut dengan ucapan Kara. “Aku gak tahu apa yang aku inginkan sekarang,” kata Kara. “Aku lebih memilih sendiri. Kurasa sendiri itu lebih baik.” Kara lalu berdiri dari kursinya. Matanya berkaca kaca dan ia segera meninggalkan Henry yang hanya berdiri terpaku dan bingung mau bereaksi apa. “Pak, permisi,” kata pelayan di sebelah Henry. “Ya?” kata Henry lemas. “Billnya…” “Oh..” * * * Kania tidak perlu super cerdas ketika ia melihat Kara berlari cepat cepat ke toilet dengan lengan bawah menutupi matanya yang…sudah jelas…basah. Kania lalu menyusul Kara ke toilet. Seenggaknya dia bisa menenangkan Kara, membuatnya lebih nyaman. Begitu Kania masuk ke dalam toilet, Kara langsung memeluk Kania. Kania lalu mengelus lembut punggung Kara dan coba membuat gadis muda itu merasa lebih baik. Setelah Kara cukup tenang, Kania mengajak Kara duduk di kursi belakang King Baker yang biasa menjadi tempat para baker pria merokok. “Kak Kania benar,” kata Kara. “Aku telah melakukan kesalahan fatal, harusnya aku gak asal ngomong ke Henry.” “Udahlah,” kata Kania. “Tapi akhirnya aku tahu…” “Tahu soal apa?” “Pada akhirnya kamu masih muda Kar, kalau kamu melakukan kesalahan itu masih wajar. Gak usah terlalu dipikirkan ya?” “Aku bingung Kak,” kata Kara. “Aku harus gimana sekarang.” “Sekarang? Emang kamu udah putus ama Henry?” tanya Kania. “Ya, dia mutusin aku.” “Nggak mungkin.” “Aku yang ngajak dia break, dan dia ngajak aku putus, terus dia kaget..gitu,” kata Kara. “Ooooh…” “Terus gimana sekarang?” kata Kara putus asa. “Ya ambil break dulu lah. Istirahat.” “Break gimana Kak Kania?” “Kamu sudah tujuh belas tahun kan?” “Udah lah Kak Kania.” “Good! Berarti udah legal nih!” “Legal apaan Kak?” * * * “Buset,” kata Jonah. “Sore sore udah minum aja kita.” “Nyantailah,” kata Johny. “ Kasian anak ini butuh hiburan.” “Alkohol sebenarnya bukan solusi,” kata Kania. “Tapi ini yang paling gampang.” Ia lalu meneguk satu shoot sake. “Keras anjir,” kata Kania. “Aku baru tahu kalau rasa sake senyegrak ini yaa. Kayak arak beras.” “Mau bir aja?” tanya Johny. “Aku nyimpan bir Asahi.” “Ok,” kata Kania. Kara tersenyum bingung. Harusnya acara minum minum sore di rumah makan sushi Johny Samurai ini untuknya. Tetapi, ia malah jadi penonton dari orang orang tua depresi (?) ini. Ia sebenarnya tak banyak minum. Ia cuma senang menemani mereka saja. Setidaknya bisa membuatnya agak lupa dari masalah ini. “Kok Yongki gak diajak?” tanya Johny. “Ya mana bisa, orang dia yang bikin si Kara ini sedih,” kata Kania. “Lho?” kata Johny. “Ah aku paham.” “Dia emang goblok soal cewek,” kata Kania. “Pengen aku cuci otaknya sekali kali.” “Jangan salah paham Kak, Kak Yongki gak salah apa apa kok,” kata Kara berusaha membela Yongki. “Iya iya,” kata Jonah. “Dia gak salah, dia cuma bego.” “Tapi dia itu emang aneh ya?” kata Jonah. “Dia gak pernah ngomongin almarhum istrinya. Namanya aja aku gak pernah tahu.” “Jangankan kamu, aku aja gak tahu,” kata Johny. “Tapi istrinya itu nyata kan?” tanya Kania. “Ya, katanya..,” kata Johny. Mereka tertawa bersama sama, kecuali Kara. “Jangan jangan dia nikah ama peri,” kata Kania. “Buset, Suzzana dong,” kata Johny. “Aku propose, yang tahu nama istri Yongki duluan akan aku transfer lima juta rupiah dan bisa pake villaku di Gunung Kidul,” kata Jonah. “Buset, ini beneran mau buat taruhan?” kata Johny. “Aku ikut!” “Ya udah, boleh deh aku ikut,” kata Kania. “Kok, jadi gini?” kata Kara. “Kara ikut yaa!” kata Jonah. “Wajib!” Kara tak bisa melawan. Namun ia memang ingin tahu, seperti apa sih almarhum istri Yongki? * * * Henry merasa kesal dengan apa yang terjadi dengannya. Ia rasanya malas kemana mana hari itu. Ia memilih berada di kantornya saja. Ketika ia datang, kebetulan Males lagi berkunjung. “Kamu gak menepati janji padaku Males!” kata Henry. “Lho kok jadi salah aku?” kata Males. “Emang cewek itu aja yang gak mau sama kamu!” “Semuanya berjalan lancar, sampai…ah menyebalkan sekali!” “Ya udah, move on dong,” kata Males. “Gak..gak bisa! Aku akan menghancurkan Yongki dengan sungguh sungguh kali ini!” “Kamu sudah gila ya?” “Males, bisa nggak sih kamu bikin supaya Agatha Star dari King Baker dicabut?” “Mana bisa?” kata Males. “’Kan ada kasus mentega itu?” “Kasus itu sudah jadi isu regional di Yogyakarta, semua bakery mengalami masalah itu…” “ ‘Kan sudah kudesain supaya yang kena masalah itu cuma King Baker!” “Kamu ngelawan Bambang Sugema sayang. Dia lebih pintar dari kamu. Dengan Buzzernya dia telah membuat kesan bahwa semua bakery mengalami masalah yang sama. Apalagi memang ada bakery dengan standar rendah yang menggunakan mentega itu…” “Anjing! Masa kita gak bisa melakukan apa apa?” “Kamu harus berhenti,” kata Males. “Kamu sudah melukai juga brand milik Hyungmu. Pugsinhan cake juga terkena dampaknya..” “Persetan! Kakakku masih punya cakery lainnya. Dia akan baik baik saja!” “Kamu yang tidak akan baik baik saja. Apalagi kalau sampai kakakmu tahu apa yang terjadi…” “Diam!” bentak Henry. “Terus kamu mau apa? Kamu mau menyerang King Baker? Dengan apa? Masalah tikus gagal, masalah mentega gagal? Kamu mau gimana lagi coba?” “AKU GAK AKAN MENYERAH!” “Terserah kamu saja. Ingat, Hyungmu sendiri yang bilang…jangan melawan Yongki kalau kamu gak siap dengan konsekuensinya.” * * * Semua orang sudah tertidur. Tinggal Jonah dan Johny yang masih bangun. Mereka membereskan beberapa botol sake dan bir yang masih tersisa. Saat itulah Jonah memberanikan diri untuk bertanya mengenai suatu hal pada Johny. “Pak Johny, ada yang ingin kutanyakan,” kata Jonah. “Oh, soal apa?” tanya Johny. “Waktu kita minum terakhir kali kemarin…” “Ya?” “Anda bicara soal mentega kan.” Johny langsung terdiam. “Anda gak sengaja ngomong kan?” kata Jonah ketus. “Nah, sekarang anda cuma separo sadar, saya ingin bertanya pada anda, benarkah anda percaya bahwa mentega itu cuma untuk bikin bakery?” “Apa maksud kamu,” kata Johny kesal. “Kamu mau menuduh aku melakukan suatu kejahatan?” “Tergantung jawaban anda.” “Hei Jon,” kata Johny kesal. “Aku tidak suka diancam!” “Aku tidak mengancam,” kata Jonah. “Aku ingin anda menjawab kenyataan dengan jujur.” “Aku tidak takut padamu,” kata Johny. “Saya juga tidak takut pada anda,” kata Jonah. CINTA CADANGAN Yongki sedang dalam perjalanan pulang dengan sepeda motornya ketika ia ditabrak dari belakang. Yongki terjatuh berguling namun ia masih terselamatkan oleh helmnya. Tiga orang turun dari sepeda motor dengan membawa pipa besi panjang dan salah satu dari mereka juga membawa rantai sepeda. Yongki kaget. Apa mau orang orang ini? “Serang tangannya saja!” kata salah satu dari mereka. “Ok!” “Tangan kanannya! Sesuai dengan permintaan!” Yongki merangkak mundur. Bangke, aku harus gimana? Tiba tiba dari belakang para pria itu muncul seorang pria tinggi besar. Ia memukul tengkuk si berandalan dengan tangan kanannya. Ia terjatuh. Yang lain berusaha melawan si pria tinggi besar, namun si pria langsung dijatuhkan dengan sekali sapuan. Yongki seperti baru saja diselamatkan oleh superhero. Namun di depannya bukan superhero, malah Yongki sudah kenal siapa dia. Lalu kemudian dari balik pria itu, muncul seorang wanita yang juga Yongki kenal. Wanita itu langsung berlutut di samping Yongki dan berusaha menolongnya. “Yong, kamu nggak apa apa?” tanya wanita itu. “Miss Amerika,” kata Yongki. “Kok kamu di sini?” Laki laki itu mendekati Yongki dan mengulurkan tangan pada Yongki. Ia lalu menarik Yongki hingga Yongki berdiri. “Elon?” kata Yongki. “Kita sudahi dulu basa basinya,” kata Elon. “Sekarang katakan dimana putriku!” “Solada maksudmu?” tanya Yongki. “Iya, emang siapa lagi anak di apartemenmu?” * * * Yongki tampak kesal. Ia kesal karena Miss Amerika tidak memberitahu kenyataan tentang siapa itu Solada. Sementara itu, ia kesal pada Elon karena menyembunyikan fakta bahwa ia telah menikah dan memiliki anak. Bahkan Yongki juga baru tahu kalau Elon adalah kakak dari Henry. Lalu ada satu hal lagi yang membuat Yongki kesal. Apalagi kalau bukan identitas istri Elon. Ketika Yongki tahu siapa dia, makin kesallah Yongki. “Kenapa harus pake acara sembunyi sembunyi?” kata Yongki. “Bukankah kita teman?” “Kamu nggak ngerti keadaannya waktu itu,” kata Elon. “Emang keadaannya gimana?” tanya Yongki. “Maaf Yongki, tapi itu kesepakatan antara Elon dan Vero,” kata Miss Amerika. “Itu sebabnya kami tidak memberitahumu dan bahkan Henry saja hanya tahu sangat sedikit mengenai Vero dan Solada…” “Gak bisa kayak gitulah!” balas Yongki kesal. “Kawan,” kata Elon. “Aku berusaha menahan diri, tolong jangan buat semua ini lebih sulit.” “Udah Yong,” kata Miss Maria. “Nanti biar aku yang cerita ama kamu.” “Oke,” kata Yongki. “Yang penting aku mau membawa putriku pulang malam ini,” kata Elon. “Dengan cara apapun.” * * * Elon meminta kunci apartemen Yongki. Ia berkata bahwa ia akan berbicara langsung dengan Solada. Yongki langsung memberi kuncinya tanpa berpikir dua kali. Ia berkata pada Elon, pada akhirnya Solada adalah putri Elon, ia tidak punya hak apapun pada Solada. Miss Amerika hanya bisa memediasi mereka agar tidak bertengkar. “Bukan aku juga yang menginginkan anak itu datang!” protes Yongki pada Miss Amerika. “Aku tahu, itu keinginannya sendiri,” kata Miss Amerika. Yongki memandangi Miss Amerika dengan pandangan tajam. “Kamu sudah tahu dari awal dia kesini?” “Itu…” “KAMU YANG MEMBERITAHU DIA DIMANA APARTEMENKU?” “Yong, aku bisa jelaskan…” “Kenapa sih? Aku gak suka dilibatkan dalam drama kayak gini!” “Aku tahu Yong. Tapi…” “Tapi apa!” “Vero mencintaimu dan bagi Vero kamulah yang terbaik…ia juga selalu bilang begitu pada Solada. Hingga akhirnya Solada..” Yongki lemas. Ia duduk di sofa di ruang tunggu apartemennya. * * * “Kamu pengen ngomongin apa?” tanya Vero yang dibawa oleh Elon ke atap rumah sakit tempat dimana Jing Jing dirawat. Elon langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak perhiasan. Ia membuka kotak itu dan menunjukkan cincin di dalamnya. “Ver, mau gak kamu menikah denganku?” kata Elon. Vero terkejut, ia berjalan mundur dan memasang muka keheranan. “Pacaran aja nggak kita Lon!” kata Vero. “Iya, aku gak mau pacaran, kita langsung nikah, aku mau bangun kerajaan bisnisku. Kakekku mau ngasih modal dan aku yakin pasti berhasil. Aku gak kayak papaku yang hidup kayak seniman itu, aku akan lebih sukses dan membuktikan diriku layak disebut sebagai cucu keluarga Jang!” kata Elon. “Dan kamu Vero…aku janji sama kamu. Kamu akan jadi tuan putri buat aku. Kamu akan jadi wanita paling bahagia, aku janji.” “Nggak..nggak Lon, aku nggak bisa menerima ini,” kata Vero. “Kenapa nggak bisa?” kata Elon. “Apa yang menyebabkan jadi nggak bisa??” “Karena aku gak sesayang itu ke kamu Lon!” “Lalu kamu sayangnya sama siapa? Sama Yongki? Kamu gak liat Yongki udah sedekat itu ama….” Mata Vero berkaca kaca. Ia tidak bicara apa apa. “Bangsat!” kata Elon. Ia melempar kotak yang berisi cincin ke bawah. “Ya udah, kalo kamu emang nggak mau menyayangi aku kayak aku menyayangi kamu, ya udah,” kata Elon. “Aku gak tahu juga kenapa kamu begitu menyayangi Yongki.” “Lon, bukan begitu,” kata Vero. Ia berusaha mencegah air mata jatuh. “Mungkin emang takdir kita kayak begini Ver. Kita gak cocok jadi satu. Bagusnya kita jalan sendiri sendiri. Aku ya aku, kamu ya kamu.” “Lon!” Elon berbalik dan turun ke bawah dengan perasaan emosional. Meninggalkan Vero di atap gedung bergumam dan bingung harus ngapain. * * * “Saat lulus SMA, kamu menikah dan itu pukulan yang berat buat Vero,” kata Miss Amerika. “Itulah alasan kenapa akhirnya Elon menikah dengan Vero. Yah, tapi pada akhirnya gak semuanya berjalan dengan baik. Elon bukan kamu. Kamu orang yang sabar dan passion pada bidang yang kamu geluti. Sedangkan Elon? Ia penuh dengan ego dan terobsesi dengan kamu, makanya dia fokus di bisnis kuliner segitunya, semua gara gara kamu. Vero akhirnya sadar, menikahi Elon membuatnya gak bahagia,” kata Miss Amerika. “Ia murung dan suatu hari ia meninggal dalam tidurnya..” “Kenapa?” tanya Yongki. “Dokterpun tidak menemukan penyebabnya. Banyak orang bergosip dan mengatakan bahwa ini karena Vero tertekan memiliki suami seperti Elon. Kamu bisa bayangin gak gimana perasaan Elon dikatain begitu?” “Iyaa..aku paham..” “Elon makin rajin bekerja dan hampir tak punya waktu untuk Solada. Akhirnya aku yang rajin merawat Solada..dan..suatu saat…” “Suatu saat apa?” tanya Yongki. “Solada menemukannya, buku harian ibunya,” kata Miss Amerika. “Tiba tiba Solada terobsesi dengan kamu, sama seperti ibunya. Ia merasa hidupnya akan lebih baik jika ia hidup dengan dirimu. Ia melihatmu sebagai sosok ayah fantasinya.” “Ya ampun…pantas dia banyak tahu hal soal kita berenam…” “Itulah Yong,” kata Miss Amerika. “Ia lalu kabur dan pergi ke apartemenmu. Saat ia masuk ke apartemenmu, ia langsung merasakan aura kehangatan ibunya dan juga kamu. Aku tahu dia di apartemenmu dari Henry Jang. Kamu pasti tahu dia, dia adalah adik dari Elon. Setelah tahu keberadaannya, aku mendatanginya dan ia marah padaku. Ia mengatakan bahwa ia sudah muak dengan ayahnya dan ingin menjadi putrimu saja. Ia yakin kamu akan menerimanya dan…memang kamu sebaik itu Yong,” kata Miss Amerika. “Aku bingung Vero, tapi aku ada pertanyaan yang lebih penting lagi…Kenapa kamu mau merawat dan memperhatikan Solada segitunya?” tanya Yongki. Miss Amerika menunduk dan mulai menangis. “Bukan cuma Vero yang patah hati,” kata Miss Amerika. Yongki merangkul Vero dan membiarkan Vero menyapu air matanya. “Aku..aku minta maaf,” kata Yongki. “Buat apa Yong? Buat apa?” kata Miss Amerika. “Aku ‘kan cuma manusia konyol yang gak pernah kalian lirik. Aku mencintai Elon sepenuh hati, ia cuma enggan melihat saja karena semua hanya untuk Vero. Terus aku ini disuruh apa?” “Aku paham..” “Aku berharap gak akan jadi begini Yong..” PENCARIAN “Solada?” panggil Elon saat masuk ke dalam ruang apartemen Yongki. Ia tahu putrinya akan bersikap menyebalkan padanya dan mencari tempat persembunyian. Mereka memang tak pernah dekat. Elon juga tak tahu bagaimana caranya agar mereka berdua menjadi lebih dekat. Selalu ada dinding itu, dinding di antara mereka, dinding itu bahkan sudah ada semenjak Vero masih hidup. Tidak ada jawaban. Hening. “Solada, papa mau jemput kamu nih?” kata Elon dengan panggilan yang dibikin lebih ramah. “Yuk pulang sayang, papa akan kasih apapun yang kamu mau.” Gak ada. Solada gak ada di sana. Elon lalu duduk di sofa dan melihat sekeliling apartemen Yongki. Ada waktu lebih dari sepuluh tahun dimana ia hampir tak tahu lembaran hidup Yongki sama sekali. Mereka sudah terlalu lama berpisah. Padahal… Pandangan Elon jatuh pada foto yang dipajang dengan pigura meja yang diletakkan di dekat televisi. Elon bangkit berdiri, mendekati televisi dan mengambil foto itu. Mereka berenam masih ada di situ. Melempar senyum sebagai seorang sahabat. “Entah kenapa kita harus begini,” bisik Elon sedih. “Mungkin memang akulah yang bajingan dalam pertemanan kita ini.” Elon agak menyalahkan dirinya sendiri.Ia memegangi kepalanya. Ia lalu mengalihkan pandangan ke meja makan. Ia mendekati meja makan dan menemukan sepucuk surat. Ia lalu membuka surat itu dan tak ada yang membuatnya terkejut lagi. Ia tahu betul dalam darah Solada mengalir kejeniusan dari keluarga Jang. Anak itu bukan anak biasa. Tak heran jika anak itu telah berpikir selangkah dua langkah di depan. Setelah membaca surat itu, Elon memutuskan untuk turun ke bawah dan menemui Yongki serta Miss Amerika. “Kok sendirian? Solada mana?” tanya Yongki. “Dia tahu aku akan kesini,” kata Elon. “Dia sudah pergi lebih dulu. Aku kalah cepat.” “Apa?” kata Yongki tak percaya. “Sudahlah, toh ini semua salahku,” kata Elon. “Aku gak akan menyalahkanmu atas apa yang terjadi.” “Kok gitu, aku akan mencari Solada, aku akan bantu kamu,” kata Yongki. “Udah, kita urus besok aja,” kata Elon. “Sekarang saatnya aku dan Miss Amerika pulang. Aku yakin Solada ada di tempat yang aman, dia bukan anak yang bodoh.” “Oke,” kata Miss Amerika. “Maafkan aku telah mengecewakanmu Lon.” “Udahlah, bukan masalah besar.” Dan itulah saat Yongki kembali berpisah jalan dengan Elon. Sesaat sebelum berpisah, Elon kembali berbicara empat mata dengan Yongki. “Kurasa aku berhutang maaf padamu,” kata Elon. “Maaf gimana? Kamu gak salah apa apa,” kata Yongki. “Enggak enggak,” kata Elon. “Aku telah bersalah padamu Yong. Aku minta maaf ya. Secara sadar aku telah memutus tali persahabatan kita cuma karena aku cemburu. Itu nggak bijak, aku harap kita bisa memulai semuanya kembali.” “Iya,” kata Yongki. “Aku juga minta maaf jika selama ini ada salah.” Elon mengangguk dan hanya mengucapkan dua patah kata setelahnya. “Sampai jumpa,” kata Elon. Lalu Elon dan Miss Amerika pergi. Bersama juga dengan misteri kemana perginya Solada. Yongki naik ke lantai atas, ia menuju ke apartemennya. Ia duduk di sana sendirian. Apartemennya terasa sepi sekali. Ia lalu bangkit berdiri dan menyadari bahwa tadi Elon sempat melihat foto antara Yongki dan kawan kawannya. Kalau diingat ingat, perpisahan di antara mereka benar benar berlangsung begitu saja. Banyak penyesalan di sana. Tangan Yongki menggaruk garuk kepalanya. Ia lalu menuju ke kamar Solada. Kamar Solada sudah kosong, tak ada siapa siapa di sana. Padahal dulu Solada pernah menghabiskan banyak waktunya di sana. Tak terasa air mata menetes dari sisi kiri bola mata Yongki. Ia kembali merasakannya, rasa kesepian. Kara sudah tak lagi dekat dengannya, sementara itu Solada pergi juga. Lalu, hubungannya dengan Males, bahkan sudah selesai sebelum dimulai. Ia kembali menjadi Yongki yang kelam seperti kala istrinya meninggal untuk pertama kalinya. Sepi banget…brengsek… Saat Yongki sedang termenung di kamar Solada, tiba tiba terdengar suara bel pintu berbunyi. Yongki bangkit dan membukakan pintu. Ia mendapati tamu yang tak disangka sangka. “Apakah kita bertamu terlalu larut?” tanya Johny pada Yongki. “Nggak, tapi kenapa tiba tiba kalian bertiga datang rombongan begini?” tanya Yongki. “Ceritanya panjang,” kata Jonah. “Dan aku sedikit kecewa,” kata Josh. “Lho kenapa?” tanya Yongki. “Mereka berdua minum tanpa mengajak aku!” ujar Josh kesal. Yongki mengerutkan dahi bingung. “Udah udah,” kata Jonah pada Josh. “Setelah masalah ini selesai, kita bakal ngetraktir kamu..” “Bener lho ya!” kata Josh. “Aku pegang janji kalian!” “Beres beres,” ujar Johny. “Jangan kayak orang susah.” “Aku makin gak paham,” kata Yongki. “Kalian masuk sajalah dulu. Ok?” “Ide bagus,” kata Johny. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam apartemen Yongki. * * * “Aku gak ada bedanya ama adikku,” kata Elon. “Aku juga telah tenggelam dalam egoku sendiri.” “Aku paham kok Elon,” kata Miss Amerika. “Kamu nggak perlu menyalahkan dirimu sendiri.” “Selama ini aku selalu merasa lebih hebat dari Yongki. Tapi ternyata aku tetap tidak bisa mengalahkannya,” kata Elon. “Benar, aku lebih cerdas, lebih ambisius dan bahkan lebih kaya sekarang. Tapi, ada sesuatu dari Yongki yang akan membuatnya selalu menang dari aku dan entah kapan aku bisa mengalahkannya.” “Apa itu?” tanya Miss Amerika penasaran. “Ia selalu berhasil membuat orang tertarik padanya dan merasakan kecintaan tulusnya pada dunia kuliner yang mengubah banyak orang. Ia adalah energi murni yang menyebarkan semangat positif. Tidak banyak manusia yang seperti itu. Akupun telah kotor karena rasa iri dan dengkiku. Ia memang takkan berhasil mengalahkanku dengan kemampuannya sendiri, namun kharismanya membuat orang bersedia menolongnya dan membantu dirinya mengalahkan musuh musuhnya.” “Termasuk Henry kah?” kata Miss Amerika. “Yah, termasuk Henry,” kata Elon. Miss Amerika menghela napas. “Aku bukan orang yang seharusnya memberitahukan ini padamu. Namun, aku mendapat laporan bahwa Henry tidak mengindahkan kata katamu Elon. Ia masih berusaha untuk menjatuhkan Yongki. Bahkan orang orang yang tadi menyerang Yongki tadi adalah orang orangnya…kelihatannya begitu meski belum ada bukti yang sangat jelas menunjuk dia.” “Sudah jelas itu dia,” kata Elon. “Jujur aku malah cukup kagum pada Henry.” “Kok gitu?” tanya Miss Amerika. “Melihat sejauh apa dia berhasil menekan Yongki, dia cukup hebat meski cepat atau lambat dia akan menerima konsekuensinya,” kata Elon. “Lebih baik aku diam saja dan melihat sejauh mana dia bisa menghadapi Yongki.” “Kamu gak takut efeknya akan menghancurkannya?” kata Miss Amerika. “Tidak ada yang bisa menghancurkan keluarga Jang sampai hancur. Lagipula ada bagusnya jika dia belajar dari kesalahannya.” “Oke, terserah kamu. Sekarang kita harus fokus mencari dimana Solada.” “Yap. Aku akan coba berfokus mencari Solada meski aku yakin anak itu cukup pintar untuk menjaga dirinya sendiri. Seenggaknya kita tahu dia sudah tak bisa menggunakan kartu kredit yang kuberikan padanya.” “Iya, dia pasti tahu bahwa kartu kredit itu akan bisa dilacak,” kata Miss Amerika. “Makanya, dia pasti akan mencari cara untuk bertahan hidup. Dia pasti akan mengeluarkan sosoknya nanti,” kata Elon. “Pasti.” SERANGAN FAJAR Yongki menemani Josh, Jonah dan Johny datang berempat ke sebuah gudang yang ada di daerah Bantul. Tempat itu begitu terpencil, jauh dari pemukiman penduduk, di sisi kanan dan kiri saja masih banyak sawah dan rumah pendudukpun masih bangunan yang berasal dari bambu. Berasa jauh kemana mana. Dan mereka datang ke tempat itu pagi pagi. Malah hampir mendekati subuh. Menurut Josh, subuh adalah saat yang paling tepat untuk melakukan penyergapan. Pada saat itu konsentrasi orang masih separo, mereka belum bisa berpikir dengan baik. Dengan begitu lebih mudah menggali informasi dari mereka. “Dudung ama Maman siap kan untuk pelarian kita?” tanya Josh pada Jonah. “Amaan,” kata Jonah. “Mantap..” Semalam mereka bertemu di rumah Yongki. Saat itulah Johny membuat pengakuan. Saat Johny mengajak Jonah untuk minum bareng, tak sengaja Johny bercerita soal jual beli mentega yang aneh pada Jonah. Jonah awalnya menanggapi dengan biasa saja. Namun kemarin setelah acara minum minum yang kedua, ia langsung mencecar Johny. Johny awalnya tak mau banyak bicara, namun Jonah menekan Johny untuk membuka semua data mengenai pembelian mentega yang aneh itu. “Kamu tega mengkhianati Yongki?” kata Jonah. “Man, aku barusan dapet pekerjaan setelah sekian lama. Ini bukan pilihan yang mudah buat aku,” kata Johny. “Kamu dapat pekerjaan karena Yongki Pak Johny!” “Aku mendapat pekerjaan karena aku berhasil membuat cake yang mustahil itu!” Lalu, kenapa Pak Johny berubah pikiran? Johny sempat berbincang bincang dengan sekretaris Henry. Wanita bernama Ginawati itu mengeluhkan sikap Henry yang nyentrik, ia suka sebal dengan Henry. “Pak Henry itu aduuh…dia kayak anak kecil, egois banget…ngerinya dia punya kecerdasan dan kelicikan yang bahkan melebihi Hyungnya,” kata Gina. “Aku pengen nyari kerja yang lain aja.” “Tapi ‘kan gajimu gede Gin? Masa kamu mau keluar cuma gara gara itu?” kata Johny. “Pak Johny, saya orang yang butuh uang, tapi dalam hati saya masih manusia. Saya nggak bisa kerja dengan orang macam Henry begitu. Kalau orang kayak Henry ini dibiarin, banyak orang terjebak dalam kesusahan. Bahkan lebih parah lagi, kalau dia sampai masuk politik? Sampai jadi katakanlah wali kota ataun gubernur gitu, apa gak ngeri negara ini? Aku tahu banyak orang kayak Henry dan sudah berhasil membuat kacau di sini, tapi aku membantu mereka? Mending aku jualan donat di rumah! Lebih terhormat!” Johny bercerita, kata kata itu benar benar memukul dirinya dari dalam. Ia lalu memutuskan bahwa ia harus melakukan sesuatu. Apalagi ia tahu juga dari Gina kalau Henry diam diam mengincar Yongki. Alasannya juga sangat kekanak kanakan, masalah Kara. Gilak! Kata Johny. Lalu, saat Kara datang dan minum minum dengannya serta Kania, Johny baru menyadari bahwa Henry sudah terlalu jauh, ia bahkan menipu Kara dengan menggunakan Males. “Males juga terlibat!” kata Yongki tak percaya. “Padahal dia terlihat seperti perempuan baik baik. Kenapa bisa dia seperti itu?” “Wah aku gak mau memberi komentar,” kata Johny. “Nanti aku salah lagi.” “Mending kamu tanyain langsung aja ke orangnya,” kata Jonah. “Iya, benar,” kata Yongki. “Lalu? Kenapa kalian menemui aku malam ini…” “Itu…boleh aku yang cerita? Dari tadi belum ngomong aku,” kata Josh. “Okee…Josh…aku akan menerima saja apa kata katamu,” kata Yongki. “Langsung saja, kenapa kalian kesini?” “Jadi..” kata Josh. Jadi begitulah mereka berenam ( mereka mengajak Dudung dan Maman ) ada di sebuah gudang di daerah Bantul. Di sebuah tempat antah berantah. Josh menjelaskan pada Yongki kalau mereka menemukan bahwa mentega mentega yang dibeli Henry ditimbun di sini. Memang, usaha mentega Henry sudah ditutup, namun Josh yakin masih ada mentega yang belum dipindahkan dari gudang itu. Di situlah mereka bisa menemukan bukti bahwa Henrylah pelaku utama yang menyebabkan krisis mentega di King Baker. “Dan kota Jogja,” kata Jonah. “Meski tentu saja kita yang menderita terparah. Untung Pak Bambang turun tangan.” “Bentar bentar,” kata Johny sembari membetulkan letak kupluknya. “Dingin ya di sini. Gak ramah untuk kepala botak kayak aku.” “Emang ngefek?” kata Josh. “Coba aja kau gundul kayak aku ini,” kata Johny. “Oke Triple J,” kata Yongki. “Apa yang akan kita lakukan?” “Jadi, berdasar informasi yang aku himpun, kalau pagi biasa terjadi pergantian shift security. Pas pergantian ini, kita cegat mereka dan buat mereka mengaku. Kalau perlu kita cabuti gigi mereka satu persatu sampai mereka mengaku!” kata Josh. Tak ada yang menanggapi. “Lhoh, kalian gak pernah menginterograsi teroris?” tanya Josh bingung. “Josh, meski mukaku kayak mafia, aku ini chef sushi,” kata Johny. “Namamu aja Samurai!” kata Josh. “Itu bukan berarti aku Samurai beneran,” kata Johny. “Udah udah,” kata Yongki. “Ayo kita bergerak.” Mereka lalu bergerak menuju pos security. Mereka pikir bakal sulit untuk membuat satpam mengaku. Namun… “Dua juta rupiah dan saya akan mengakui bahwa gudang ini milik Henry Jang,” kata pria berkumis dan mengaku bernama Ence itu. “Saya juga akan membantu anda untuk bertemu supervisor gudang ini, dia akan meminta sepuluh juta rupiah. Bukan uang yang besar buat kalian eh?” kata si satpam dengan santainya. “Tambahan satu lagi, dia akan membongkar juga bahwa Henry sengaja mengirim mentega mentega itu ke King Baker lewat si brengsek siapalah yang kalian sebut itu.” “Ya…” kata Jonah pelan. “Ya…boleh ngobrol dulu ama teman temanku?” “Terserah.” Jonah dan kawan kawannya lalu membicarakan tawaran si satpam. “Ini seriusan? Kok segampang ini?” tanya Johny. “Mana aku tahu!” kata Jonah. “Padahal aku sudah bawa Stun Gun,” kata Josh kecewa. “Ama bawa alat penyiksaan Tiongkok kuno yang aku beli online.” “Heh! Kita di sini gak mau nyiksa orang Josh!” kata Jonah. “Yaah.” Yongki lalu menjadi mediator mereka dan memberi jalan tengah. “Udah, gimana kalau aku tanya ke dia kenapa dia bisa sesantai itu. Gimana?” tanya Yongki. “Oke, tanyain dulu aja Kak Yongki,” kata Jonah. Yongki lalu menemui Ence yang tadi memberi tawaran ringan. Yongki menanyakan kenapa si satpam arogan itu bisa mengkhianati Henry semudah itu. “Gudang ini mau ditutup, saya juga pasti dipecat, ngapain juga saya mikir ribet ribet,” kata Ence. “Supervisor juga saya pasti dipecat oleh Henry. Dia lagi bingung nyari nyari pekerjaan baru. Kita semua sudah cukup pusing! Gak ada waktu untuk mikir ribet ribet,” kata si satpam. “Hmmm…baiklah,” kata Yongki. “Lagipula, apa yang dilakukan Henry mengerikan. Masa demi egonya dia sampai menipu orang di Jogja sebanyak itu. Gila itu! Tahu gini saya gak mau kerja sama dia, jijik saya sama dia.” “Oke,” kata Yongki. “Baiklah.” Yongki lalu menemui Trio J untuk menjelaskan apa yang sudah dibicarakan dengan satpam itu. “Yes,” kata Jonah. “Kita tinggal ngasih tahu Dudung dan Maman untuk memberikan uang yang kita butuhkan dan selesailah urusan kita.” “Benar!” kata Josh. “Tolong!” terdengar suara dari pos satpam. “Suara apa tuh?” kata Johny kaget. Ia langsung keder. “Biar aku yang ngecek,” kata Josh. “Kita harus ngecek bareng,” kata Jonah. “Ok,” kata Yongki. Mereka lalu menuju pos satpam dan mereka menemukan tiga orang pria dengan topeng sedang menyandera si Ence malang dengan pistol di kepala si satpam. DU DU DUEL Para pria bertopeng tampak serius. Josh tidak takut. Atau seenggak enggaknya, ia berpura pura tidak takut. Ia malah menantang para pria bertopeng. Ia yakin kalau pistol itu cuma mainan. Pria bertopeng terprovokasi, mereka menembak jendela pos satpam hingga pecah. “Nah, mampus, sekarang semua orang akan tahu kalau ada masalah di sini karena mendengar suara tembakan,” kata Josh dengan penuh kemenangan. “Kamu nggak liat kita ada di tengah antah berantah?” kata si pria bertopeng. “Bercanda mulu ya kamu.” “Well, kita punya Stun Gun dan kamu punya Gun,” kata Josh. “Kita impas. Jika kita berduel, kemungkinan kita menang tipis lebih besar!” “Mau dicoba?” kata pria bertopeng dan komplotannya. “Josh..,” bisik Jonah. “Kamu bawa pistol?” “Nggak, ‘kan aku bawa Stun Gun,” bisik Josh. “LOE BISA BELI ALAT PENYIKSAAN DARI CINA TAPI NGGAK BAWA PISTOL?!” kata Jonah kesal. “Loe udah gila?” “Lhoh, kan aku gak nyangka mereka bakal bawa pistol,” kata Josh. “Pistol kan ilegal!” “Terus alat penyiksaan Cina kuno udah SNI gitu!?” “Waah, apa itu?!” teriak Johny tiba tiba. Para pria bertopeng kaget. Ence langsung memanfaatkan kesempatan itu dan menggigit tangan penyanderanya. “Berpencar!” kata Josh. Lalu mereka berlima berpencar dan membuat para penyandera kebingungan mengejar yang mana. “Aku tembak aja salah satu dari mereka!” kata pria bertopeng nomor satu. “Heh goblok, jangan buang buang peluru!” Lalu mereka berlima masuk gudang dan bersembunyi. Yongki sendiri bersembunyi di balik tumpukan tong minyak. Ia lalu mengeluarkan smartphonenya untuk menelpon. Namun ternyata tidak ada sinyal sama sekali. “Bangkek,” umpat Yongki. Sementara itu Jonah dan Johny Samurai menemukan persembunyian di bagian dalam gudang. “Mereka bawa pistol. Anjrit banget gak sih,” kata Johny. “Kita harus ngelawan,” kata Jonah. “Gimana?” kata Johny. “Aku ada ide,” kata Jonah. “Tapi aku butuh bantuan anda Pak Johny. Anda harus mau jadi umpan.” “Muka gile! Aku gak mau!” “Ayolah Pak, demi kita semua,” kata Jonah. “Enggga…enggak! Sekali enggak ya enggak!” 10 menit kemudian… “Tolong tolong saya gak mau mati!” teriak Johny. Ia berlari keluar dari persembunyian. Salah satu pria bertopeng langsung menuju ke arah Johny. Ia gak melihat ada tabung berisi minyak jatuh dan menggelinding mengenai dirinya. Ia langsung terpeleset bak tokoh di komik Tom and Jerry. Saat si pria bertopeng berusaha bangkit. Johny segera mendekati pria itu dan menjatuhkan kaleng mentega yang ia temukan ke kepala pria itu hingga ia pingsan. “Mampus!” kata Johny dengan kegembiraan membuncah. “Yes!” kata Jonah. “Awas!” Peluru melesat dan memantul ke tabung minyak yang berada di atas badan si pria bertopeng. “Ngent*t!” kata Josh. Tiba tiba ia muncul bagai kucing hutan menubruk si penembak Johny dan Jonah hingga jatuh. Josh langsung merebut pistol si penembak dan mengarahkan pistol itu ke arah si penembak. “Siapa yang nyuruh loe bangsat! Cepet sebutin namanya!” kata Josh kesal. “Henry…Henry Jang mas, jangan bunuh saya, please pak!” kata pria itu. “Saya masih jomblo, tolong jangan bunuh saya!” “Ya udah, aku tembak selangkangan kau saja ya biar kapok…” “Aduh pak jangan!” katanya sambil menangis. “Bercanda kali,” kata Josh. “Tapi seru tau nembak selangkangan..” “Please pak, jangaan!!” “Mana Yongki!” kata Jonah. “Yongki gak ada!” “Iya, dimana Yongki?” * * * Yongki berada dalam mobil safari hijau lumut. Tangannya diikat ke belakang dan pistol mengarah ke kepalanya. “Loe nih aset gue,” kata si pria bertopeng. “Kalau gak ada loe, si Henry Jang gak akan mau membayar mahal.” “Sudah kuduga, kalian ternyata anak buah Henry Jang…” “Enak saja! Kami partner kerjanya! Bukan kacungnya brengsek!” “Sama aja, kalian rendah banget, mau maunya dikerjai ama bucin kemarin sore,” balas Yongki. “Jaga mulut loe brengsek, uang tetaplah uang.” Bruak! Mobil ditabrak dari samping hingga terguling sebelum jatuh menyamping. Pintu terbuka ke atas. Dudung dan Maman mengarahkan pistol ke pria bertopeng dan Yongki yang ada di bawahnya. “Makasih,” kata Yongki. “Nyantai Mas Yongki.” Mereka lalu membantu Yongki keluar dari dalam mobil. Setelah itu mereka segera menolong Yongki dan membantunya untuk menenangkan diri. “Kakak Yongki mau rokok?” tanya Dudung. “Enggak. Makasih Dung…” “Abis ini kakak mau kemana? Apartemen?” “Boleh gak ke tempat lain?” “Boleh banget.” * * * Josh mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di mulut. “Abis ini kita gimana?” tanya Josh. “Kaburlah,” kata Jonah. “Gitu aja? Terus gudang ini gimana?” tanya Johny. “Nanti polisi akan datang dan menggebrek isi gudang ini dan mereka akan menemukan seluruh mentega lard ini,” kata Jonah. “Nanti saya yang akan mengaku,” kata Ence. “Amanlah.” “Bener aman nih?” kata Johny gak yakin. “Nomor rekening saya jangan lupa dicatat,” kata Ence. “Kalau nggak bayar pakai Go Pay juga bisa. Lengkap saya.” “Dasar!” kata Josh. “Eh..eh..itu suara sirene,” kata Jonah. “Cabut!” “Cabut!” Mereka bertiga lalu pergi bersama meninggalkan Ence. “Eh kampret, jadinya tambahin ya!” teriak Ence pada Triple J. “Lima juta! Biar gue jadi nyicil PS 5” Tidak ada jawaban. “Heh!?” Triple J sudah berlalu. * * * Elon Jang dan Miss Amerika baru saja bangun dari tidur saat mereka menerima panggilan dari pihak kepolisian. Ternyata Henry sudah resmi ditahan oleh pihak kepolisian karena menyebarkan mentega berbahan dasar lard. Mendengar itu Elon geleng geleng kepala karena kecewa berat. Ia baru saja kehilangan Solada dan sekarang harus mengurusi kecerobohan adiknya. “Sabar ya Elon,” kata Miss Amerika pada Elon. “Yah, kayak aku punya pilihan lain saja,” kata Elon. “Salah aku juga terlalu sering membiarkan dia berbuat semaunya.” “Dia boleh ditemui kan?” tanya Miss Amerika. “Masih kok,” kata Elon. “Tapi aku bingung harus ngomong apa sama dia?” “Kasih tahu yang baik baik saja Lon…” . . “GOBLOK DASAR PECUNDANG KERAS KEPALA,” bentak Elon pada Henry. “Aku bilang apa kemarin?!” “Maaf Kak,” kata Henry. “Aku salah.” “Ini bukan kesalahan biasa Hen, kamu gak akan bisa kembali lagi ke dalam dunia kuliner dengan masalahmu yang sekarang! Mereka akan selalu mengingat apa yang telah kamu lakukan ke banyak orang di sini!” bentak Elon. “Dan kamu telah membuat aku terlibat dengan kebodohanmu yang tidak ada duanya!” “Ampun kak, iya saya salah,” kata Henry sembari mengatupkan kedua tangannya dan memohon ampun pada kakaknya. “Aku ngerasa bodoh gak lebih keras padamu,” kata Elon. “Udah ya Elon, jangan emosi, ya?” kata Miss Amerika. “Kamu gak tahu ya aku lagi pusing gara gara putriku? Sekarang kamu berulah kayak gini, brengsek kamu Hen!” bentak Elon. “Udah udah,” tiba tiba muncul Jing Jing dari belakang Elon dan Miss Amerika. “Jing,” kata Elon. “Kamu bisa bantu beresin masalah adikku ini?” “Bisa diaturlah,” kata Jing Jing. “Bukan pertama kali pengacara kayak saya ini ngurusin anak muda dan kebodohannya yang kronis.” “Makasih banget Jing,” kata Elon. “Iya Lon, sama sama,” kata Jing Jing. “Dia bakal dipenjara lama ya?” tanya Elon. “Aku nggak ngira dia sampai nyewa pembunuh bayaran, kan tolol!” “Ya, dia emang tolol,” kata Jing Jing. “Kak, maafkan aku!” kata Henry dengan mata sembab. “Diam!” kata Elon dan Jing Jing berbarengan. “Duh,” kata Elon. “Mending aku pergi keluar dan mendinginkan kepalaku.” “Setuju,” kata Jing Jing. “Bawa rokok?” “Nggak.” “Ya udah pake punya aku aja.” Mereka berdua lalu keluar dari penjara, jauh jauh dari hadapan Henry. PESAN Yongki tiba di depan rumah Gunawan. Gunawan kaget dengan kedatangan Yongki yang tampak lusuh. Yongki lalu menanyakan dimanakah keberadaan Kara. Gunawan berkata bahwa Kara ada di kamarnya, baru saja bangun tidur dan belum mandi serta masih berleha leha di kamarnya. Yongki tak peduli, ia masuk saja dan menemui Kara yang rambutnya berantakan dan sedang menyeruput kopi di meja makan. Melihat Yongki datang, Kara terkejut dan merasa malu karena penampilannya berantakan. “Kak Yongki, kenapa datang pagi pagi begini?” tanya Kara. “Aku pengen ngomong sesuatu ke kamu,” kata Yongki. “Ngomong apa Kak?” tanya Kara. “Kamu ‘kan bilang, kalau suka ya harus bilang suka,” kata Yongki. “Sekarang aku mau ngomong terang terangan.” “Ngomong apaan Kak?” tanya Kara. “Aku mau ngomong…kalau aku suka kamu Kara,” kata Yongki. "Enggak, aku sayang Kara...aku gak jujur...tapi aku sayang kamu!" Kara terdiam. Bingung harus bicara apa. Dia bahkan belum sikat gigi pagi itu. * * * Yongki membawa gelas berisi dua buah es dawet, untuk dirinya dan istrinya. Ia lalu memberikan es dawet itu pada istrinya. Mereka lalu duduk di pinggir pantai Parang Tritis dan menikmati senja yang tenggelam di depan mata mereka. “Bagus ya,” kata istrinya pada Yongki. “Iya, akhirnya kesampaian juga kita melihat sunset,” kata Yongki. “True,” kata istri Yongki. “Malem ini kamu masak apa?” “Kamu suka ikan bakar gak? Tadi aku dapat ikan sebelah dan mau aku bakar dikasih sambel terasi. Gimana?” tanya Yongki. “Terdengar enak,” kata istri Yongki. “Enak ya punya suami yang pinter masak.” Yongki tersipu malu. “Cuma kamu yang ngomong gitu,” kata Yongki. “Ayahku gak merasa seperti itu. Ayahku nganggep aku banci.” “Jangan ngomong begitu sayang,” kata istri Yongki. Ia meraih lengan Yongki dan memeluknya. “Kamu lelalki tercowok yang pernah aku kenal. Ayahmu itu hidup di jaman dimana cowok itu baru bisa dibilang cowok kalau sudah ikut perang. Aku berbeda dari ayahmu…aku merasa bangga kepadamu.” “Beneran?” “Iya, aku bangga sama kamu.” “Aku tuh gini gini aja lho,” kata Yongki. “Malah bisa dibilang aku anak durhaka.” “Gara gara kamu mukul kepala ayahmu pakai teflon waktu itu?” kata istri Yongki. “Itu parah sih.” “Iya, aku gak suka dia ngobrak ngabrik dapurku…,” kata Yongki sembari tertawa pelan. “Ya udahlah, kan dia juga yang salah…” “Makasih sayang, kalau gak ada kamu, aku gak tahu harus gimana,” kata Yongki. “Kamu bisa kok,” kata istri Yongki sembari melepaskan pelukannya pada lengan Yongki. “Bisa apa?” tanya Yongki. “Aku yakin kamu bisa hidup tanpa aku.” “ Kamu ngomong apaan sih?” kata Yongki tiba tiba merasa kesal. “Yong, udah cukup, ini saatnya kamu melepaskan aku…” “Sayang, kenapa kamu ngomong begitu. Ada apa?” “Kamu sudah terlalu lama menahan aku di sini, dan aku juga sudah terlalu lama menghantui kamu…” “Sayang, please jangan ngomong kayak gitu! Aku gak suka!” “Kamu sayang Kara?” “Itu…” “Gak pa pa Yong, dan aku yakin kamu tetap mencintai aku seperti dulu kok. Hanya karena kamu menyayangi Kara, bukan berarti kamu gak lagi mencintai aku…” “Ira…Ira aku minta maaf,” kata Yongki. “Aku mencintaimu..tapi… “Tapi apa?” tanya Ira. “Perasaanku sama Kara..kenapa yah? Aku ngerasa bersalah.” “Udah Yongki, gak pa pa kok, ini memang sudah jadi jalannya. Ya harus begini,” kata Ira. “Sampai ketemu lagi Yong. Aku cinta kamu.” Yongki memandang mata Ira. Tak pernah sejelas ini sebelumnya karena dulu Yongki sangat berusaha melupakannya. Sampai sampai, Yongki lupa bagaimana lekuk dan rupa wajah Ira sesungguhnya. “Aku juga cinta kamu Ira..” kata Yongki. “Suatu hari nanti…kita akan bertemu lagi.” . . “Yongki! Yongki! Bangun!” Yongki tersungkur dan pingsan di lantai, Kara langsung histeris sementara Gunawan kebingungan. Namun Dudung dan Maman bertindak cerdas, mereka langsung menelpon ambulans untuk membawa Yongki ke rumah sakit. Beberapa waktu kemudian, ambulans datang dan menjemput Yongki untuk dibawa ke rumah sakit. “Kak Yongki, bertahanlah! Jangan menyerah!” kata Kara sembari menggenggam tangan kanan Yongki. “Jangan pergi Kak, please.” Kara menjatuhkan air matanya ke ranjang Yongki. Ia berharap semua tidak berakhir menyedihkan. Kan..akhirnya…Kak Yongki bicara…Please Tuhan, jangan ambil dia.. Begitu sampai di rumah sakit, Yongki langsung dibawa ke ruang gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan. “Kayaknya dia mengalami gegar otak,” kata dokter jaga. “Coba di cek, apakah ada pendarahan dalam gak..” “Siap dok!” “Kalau sampai ada pendarahan, kita harus siap melakukan operasi untuk mecegah penggumpalan di kepala.” “Siap!” “Dok,” kata Kara. “Ini masalah serius?” “Kami lagi berusaha semampunya ya dik.” “Tolong selamatkan Kak Yongki dok!” “Iya, kami mencoba yang terbaik.” . . . Yongki berjalan menuju ke padang bunga. Ia melihat Vero duduk dan memandangi bunga bunga di sana. Yongki lalu duduk di samping Vero dan menghela napas. “Kenapa sih kamu gak bilang Ver?” kata Yongki. “Aku sudah bilang ya!” protes Vero. “Ya maaf… aku gak sadar” “Yah,” kata Vero. “Mau Gimana lagi. Ketika aku melihatmu lagi deket banget ama Ira, aku tahu peluangku sudah gak ada…habis sudah…” “Aku paham.” “Malah Elon yang sibuk ngejar ngejar aku.” “Kan lebih keren dia.” “Gak peduli.” Yongki menghela napas. Cewek kalau sudah keras memang susah. “Tapi gak gitu juga kamu ke Elon,” ujar Yongki menasihati. “Jadi aku jahat karena aku gak bisa mencintai dia dengan tulus?! Begitu…” “Ya nggak juga,” kata Yongki. “Tapi kadang kita juga harus belajar mencintai yang mencintai kita…” “Kamu kok ngomong gitu?” kata Vero. “Buktinya kamu gak pernah mencintai aku balik?” “Iya, aku juga salah Ver. Kita emang gak pernah jelas pada akhirnya..” Vero terdiam. “Benar juga. Kita berdua sama sama salah.” Mereka berdua sama sama membisu. “Aku yang salah karena memaksakan cinta,” kata Vero. “Bahkan aku menamai putriku dengan nama yang dibuat kamu dan Ira untuk bakal calon bayi kalian…” “It is okay, toh akhirnya nama itu gak kepake siapa siapa karena…ya kamu tahulah.” “Aku turut berduka cita Yong.” “Makasih.” Mereka kembali membisu berdua. “Ver, aku masih mau pulang ke duniaku, kamu ada titip pesan gak?” tanya Yongki. “Boleh kasih tahu ke Elon kalau aku menghargai apa yang dia lakukan?” “Oke,” kata Yongki. “Aku meninggal bukan karena dia,” kata Vero. “Apa yang mereka katakan padanya terlalu kejam.” “Lalu..Ada lagi Ver?” “Katakan bahwa aku mengerti jika ia mau bersama dengan Miss Amerika,” kata Vero. “Ia akan jadi ibu yang baik bagi Solada. Solada butuh dia.” “Baiklah,” kata Yongki. Ia lalu berdiri dan bersiap pergi. “Kita bakal ketemu lagi gak Yong?” kata Vero. “Aku gak tahu.” “Masih banyak hal yang ingin kubicarakan..” “Misalnya?” “Tentang betapa bodohnya aku…” “Aku juga gak pintar pintar amat.” “Nanti kita ketemu lagi ya?” “Oke.” “Please?” “Ya.” * * * Solada asyk menonton drama Korea dengan Renny. Mereka berdua sudah menonton hingga tiga jam lamanya. Mereka sudah mulai lelah hingga akhirnya Solada memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengambil air untuk minum. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat kakak Renny sedang menyaksikan siaran televisi berita mengenai penangkapan seorang pria keturunan Korea. Siapa lagi kalau bukan… Henry Jang kan itu? Solada lalu mendekat ke ruang tamu untuk mendengar berita itu lebih jelas. Ia melihat ayahnya, Elon, ada dalam rombongan yang menjenguk Henry dalam penjara. Elon tampak frustasi. Ia kelihatan lelah dan sedih. Tiba tiba Solada merasa kasihan pada ayahnya. Ayahnya memang sangat tegas dan sering bersikap dingin padanya hingga Solada kadang merasa tidak seperti anaknya. Solada selalu kesal, namun ia juga mengagumi ayahnya yang selalu kelihatan seperti tak punya masalah itu. Ayahnya pria kuat dan tampak seperti mudah menghadapi masalah apapun. Namun ini pertama kalinya ,dalam pandangan Solada, ayahnya terlihat begitu terpuruk dan seolah tak tahu harus ngapain. Disamping ayahnya terlihat Tante Amerika yang selalu mendampingi ayahnya. Lalu dimana Solada? Bersembunyi dan menonton drama Korea sampai eneg. Iya, Solada telah menjadi seorang pengecut. Ia jadi merasa malu pada dirinya sendiri. Bukankah keteguhan dan kecerdasannya menjadi kebanggan seorang Solada pada dirinya selama ini. Kok sekarang ia merasa bak pecundang… Lalu aku harus apa? Begitu kata Solada dalam dirinya sendiri. Haruskah ia menemui ayahnya dan memperbaiki semuanya di antara mereka. Karena, jika begini terus, toh mereka takkan kemana mana. Ibunya sudah lama pergi dan kini Solada cuma punya ayahnya meski Solada tak begitu suka dengan kenyataan itu. “Sol, apapun yang terjadi jangan benci ayahmu,” begitu kata ibu Solada suatu kali. “Ayahmu bukan orang paling buruk di dunia, ia cuma..di dalam keadaan yang salah dan ia tak pernah tahu harus bagaimana dengan perasaannya. Hingga akhirnya, malah egonya yang menuntun dia melakukan apa yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan…” Solada terdiam. Ayahnya bukan orang jahat. Itu kata ibu Solada. Benarkah? FINALE Solada naik ke dalam lift. Ia lalu berhenti di lantai puncak. Pintu lift terbuka. Ia berada di penthouse milik keluarga Jang. Selama ini Henry tinggal di sana, hingga kemudian kasus itu terjadi. Di dalam penthouse itu, Elon tampak sedang duduk di sofa, menunggu seseorang. Ya, ia menunggu putrinya. “Ayah,” kata Solada. “Hai.” “Hai Solada,” kata ayahnya. “Aku gak menyangka kamu mau menemuiku pada akhirnya tanpa aku harus mencarimu.” “Yah, aku gak mungkin meninggalkan ayah dalam kondisi seperti ini,” kata Solada. “Aku turut menyesal atas apa yang terjadi pada Om Henry.” Elon mengangguk pelan. “Itu kesalahannya sendiri. Dia gak mau mendengarkan aku dan membayar akibatnya,” kata Elon. Elon melihat ke arah putrinya dan meminta putrinya duduk di seberangnya. Solada menurut. Ia duduk di kursi dan melihat ke arah Elon dengan tatapan dalam dalam. “Aku telah gagal menjadi suami yang baik,” kata Elon. “Jujur saja, aku tidak ingin gagal juga menjadi ayah. Cuma masalahnya, seberapa banyakpun aku mencoba, aku tetap gagal, tidak pernah cukup.” “Bagaimana kalau ayah berhenti mencoba?” tanya Solada. “Bagaimana kalau ayah menjadi diri ayah sendiri?” Elon mendengarkan putrinya dengan seksama. “Setelah aku hidup dengannya beberapa waktu, akhirnya aku sadar kenapa Om Yongki begitu menarik,” kata Solada. “Ia orang yang jujur dan tulus, tak ada satu perbuatannyapun yang dibuat buat untuk menyenangkan orang lain. Ia sekedar menjadi dirinya sendiri, baik atau buruk, ia perlihatkan sisi dirinya tanpa rasa khawatir. Kurasa itulah inti menjadi seorang manusia; berhenti berpura pura.” Elon mengangguk beberapa kali. “Kurasa aku telah mencoba secara berlebihan,” kata Elon. “Maafkan aku.” Solada mengangguk pelan. “Aku juga sudah bersalah ayah.” “Lalu,” kata Elon. “Kita harus ngapain setelah ini?” Solada menggeleng. “Aku tidak tahu.” “Jadi?” “Kenapa kita tidak cari sama sama setelah ini?” * * * Solada menemui Yongki di rumah sakit ditemani oleh Elon. Suasana agak aneh. Tapi teman teman Yongki tidak menaruh dendam pada Elon. Pihak yang telah merugikan mereka adalah Henry. That’s it. Apapun hubungan Elon dan Henry tak lagi penting. Yongki belum sadar. Ternyata ia mendapat pukulan di tengkuk dari pria bertopeng. Pukulan itu membuat pendarahan di dalam otak. Dokter tak yakin kapan Yongki akan sadar. Fakta bahwa Yongki masih bisa menjaga kesadaran sampai dia bicara dengan Kara saja sudah luar biasa. Seharusnya ia pingsan lebih cepat dari itu. “Apakah ada harapan kita bisa melihat Kak Yongki bangun lebih cepat?” tanya Solada. “Sulit,” kata Kara dengan mata berkaca kaca. “Sulit banget.” Kara menunduk dan mengangguk angguk lesu. “Aku akan datang lagi bulan depan,” kata Solada. “Semoga saat itu Kak Yongki sudah sadar.” “Iya,” kata Kara. “Makasih ya Solada.” “Sama sama Kak.” * * * “Sudah selesai,” kata Males pada Bobby. “Hasil penilaian Agatha Star sudah muncul.” “Gimana hasilnya?” tanya Bobby. “Tiga bintang, sama seperti tahun lalu,” kata Males. “Yaah…” “Ingat, kalian mendapat banyak masalah dan tetap mendapatkan bintang tiga. Itu luar biasa.” “Makasih Mbak Males. Omong omong, aneh banget saya harus memanggil anda dengan nama Males. Boleh saya panggil anda dengan nama Lestari saja?” “Jangan. Terdengar menjijikan. Seperti saya ini seolah anak gadis muda yang polos dan jadi obyek taruhan cowok cowok nanggung saja. Saya gak suka.” “Oke," kata Bobby. "Saya gak mengerti...tapi oke.." Males melihat ke sekeliling. Ia melihat suasana dapur yang sepi. “Jadi di sini Yongki biasa bekerja dalam dua tahun terakhir?” ujar Males. “Iya,” kata Bobby. “Apakah dia akan kembali setelah sembuh?” tanya Males. “Aku tak tahu,” kata Bobby. “Kuharap tidak.” “Lhoh kenapa?” Bobby menyunggingkan senyum. “Dapur ini..terlalu kecil buat dia,” kata Bobby. “Aku berharap dia kembali ke jalurnya, menjadi seorang chef papan atas Indonesia.” “Kamu gak sedih?” tanya Males. “Dia sudah menjadi teman yang baik. Sebagai teman, aku ingin dia mendapatkan yang terbaik. Itu saja.” Bobby mencoba menarik napas untuk mencegah air mata keluar dari matanya. “Tapi kurasa, untuk sekarang, aku cuma ingin melihat dia sembuh,” kata Bobby. “Itu saja…” Males menggangguk. “Aku juga.” * * * Akhir pekan ini Jonah menemani Kania pulang ke Medan untuk datang ke pernikahan sepupu Kania, Naomi. Saat melihat Jonah, keluarga Kania tampak kagum. Jonah tinggi, berwibawa dan menyenangkan. Mereka juga senang dengan latar belakang pendidikannya yang kuat. Semua keluarga langsung bertekuk lutut pada Jonah. “Calonmu hebat,” kata Oma Betty saat sedang berbicara berdua dengan Kania. “Dari dulu aku tahu kamu bakal jadi orang hebat..” “Masa?” tanya Kania. Bukannya ia mengejek Oma Betty. Ia ingin tahu alasan Oma Betty sering memarahi dan mengkritiknya. Ia ingin tahu apa yang ada di pikiran wanita tua itu. “Aku tahu kalau kamu sedang menyindir. Kamu itu mirip banget dengan aku. Jujur saja, aku yakin kamu pasti mau bertanya mengapa aku sering menyindir kamu,” kata Oma Betty. “Enggak,” sanggah Kania. Tapi aku memang pengen tahu sih… “Kan sudah kubilang tadi. Kamu gak tahu betapa banyak kemiripan kita,” kata Oma Betty. “Kita berdua sama sama sangat berbakat. Tapi kesuksesan itu gak bisa dicapai dengan bermanja manja, kamu butuh orang yang terus mendorong kamu. Aku tahu kamu bisa! Cuma aku melihat kamu sering menyalahkan dirimu sendiri dan tak yakin dengan dirimu sendiri. Makanya aku pengen terus melecut semangat dalam dirimu.” Kania terdiam mendengar penjelasan Oma Betty. “Aku hanya ingin kamu berhasil,” kata Oma Betty. “Aku pengen kamu mendapat apa yang layak buat kamu.” . . Kania berada di beranda. Menatap kosong kepada langit yang beranjak mendung. Jonah menyusul dan bertanya pada Kania apa yang terjadi. “Kamu baik baik saja?” tanya Jonah. “Sejujurnya enggak,” kata Kania. “Aku hanya merasa…bodoh…Kurasa begitu?” “Kamu merasa bodoh? Demi apa?” ejek Jonah. “Ya begitulah,” kata Kania. “I see..” “Besok setelah resepsi, mau menemani aku minum?” tanya Kania. “On me.” Jonah menyunggingkan senyum. “Oke…” Kania tersenyum. “Tapi kalau aku pingsan, kamu yang menggendongku pulang ya?” “Santai,” kata Jonah. * * * Gunawan tiba di sebuah daerah dekat Subang. Ia menuju ke tempat langganannya membeli oncom. Si pemilik usaha tampak senang melihat Gunawan. Sudah lama Gunawan tidak datang. “Beli oncom?” tanya pria itu dengan logat Sunda yang cukup kental. “Iya,” kata Gunawan. “Saya ingin memasak buat teman saya.” “Wah hebat, demi teman sampai jauh jauh kesini.” “Iya,” kata Gunawan. “Sudah satu bulan teman saya tidak bangun. Kata dokter, ia harusnya segera bangun. Saat dia bangun, saya ingin memasakkan masakan terenak untuknya.” “Oh begitu. Saya turut berduka Kang Gunawan.” “Terima kasih.” * * * Seperti biasa, Kara selalu tidur di rumah sakit saat pulang kerja. Sudah tiga minggu begitu. Saat melihat Yongki masih terbaring dengan alat bantu pernafasan serta infus, ia sering sekali merasa hancur. Dalam hati ia berharap Yongki akan bangun. Namun belum ada tanda tanda ia akan bangun. “Kak Yongki, aku pengen banget ngobrol banyak,” kata Kara lirih. Kara menggenggam erat tangan kanan Yongki. “Maafin aku yah Kak Yongki, suka ngomong yang nyakitin hati…” “Tapi,” kata Kara. “Aku seneng Kak Yongki gak pernah kepikiran buat ninggalin aku..” Napas berhempus pelan bersama penyesalan. Kara menunduk dan mencium kening Yongki. Seandainya saja keajaiban itu nyata. “Malem Kak Yongki,” kata Kara. “I miss you..” Kara lalu tertidur di sofa. * * * Ketika Kara membuka mata. Yongki sudah tak berada di ranjang. Kara kaget, ia keluar kamar dan mencari cari. Saat itulah ia melihat dua orang perawat pria sedang mendorong jenazah pria dengan selimut menutupi hingga wajah. Kara kaget, ia langsung mendekati jenazah pria itu dan menyibak selimutnya. “Ya ampun,” kata Kara sambil menutup mulutnya. Itu… Itu bukan Yongkilah! Menurut ngana aja! Lalu dimana Yongki? Kara lalu berlari ke arah suster jaga. Ia menanyakan dimanakah Yongki. Suster jaga segera menangkap maksud Kara. Ternyata, Yongki sedang ada di dapur rumah sakit. Di atas kursi roda, ia sedang menyantap bubur dan berbincang dengan perawat yang bekerja di sana. “Kak Yongki!” kata Kara kesal. “Kok nggak bilang bilang kalau sudah sadar!” Yongki menoleh ke Kara dengan terkejut. “Kar, maaf, tadi kulihat kamu masih tidur. Jadi gak enak banguninnya…” “Kak Yongki jangan gitu deh! Aku tuh khawatir banget!” kata Kara. Dia mewek. “Kar, sorry, aku.” Kara langsung menghambur dan memeluk Yongki. “Kak Yongki,” kata Kara sambil mewek. “Jangan pingsan lagi! Aku khawatir banget!” Yongki mengelus pelan punggung Kara. “Iya Kara, aku minta maaf ya,” kata Yongki. “Aku janji ini gak akan terulang lagi. Oke?” “Iya Kak!” * * * 2 bulan kemudian Lagu ‘3.00’ dari Osvaldorio melantun di dalam mobil Xpander sewaan. Yang nyetir? Siapa lagi kalau bukan Kara. Di sampingnya Yongki duduk dengan ekspresi takut takut. “Kar, kamu yakin udah lancar nyetir?” tanya Yongki. “Yakinlah! Aku belum pernah nabrak,” kata Kara. “Oh.” “kecuali kemarin…” “OH” “Cuma nabrak dokar…kok..” Yongki menggeleng pelan. Nyatanya mereka sampai juga di tempat yang dituju. Sebuah pemakaman yang berada di sebuah bukit kecil di luar kota Jakarta. Dekat Tangerang begitu. Kara lalu mencoba menyetir dan ia cukup berhasil meski bikin deg deg an juga. Kara lalu keluar dari mobil duluan. Ia lalu membantu Yongki untuk keluar dari mobil. Kini Yongki sudah mulai bisa jalan dengan dibantu kruk. Mereka berdua lalu berjalan bersama hingga tiba di sebuah makam. Makam itu adalah tempat istri Yongki terbaring. Yongki dan Kara lalu berdoa bersama kepada Ira. Setelah itu Kara mendekati makam Ira dan berbicara pada nisan Ira, seolah ia sedang berbicara dengan Ira. “Kak Ira, aku izin ya mendampingi Kak Yongki,” kata Kara. “Aku tahu aku gak akan bisa menggantikan posisi Kak Ira, tapi seenggaknya aku bisa berusaha menemani Kak Yongki dalam susah dan senangnya…” Dari jauh Yongki melihatnya dengan perasaan haru. Ia tak tahu harus berkata apa. Air mata menetes dari bola matanya yang jarang mencerminkan isi hatinya itu. Kali ini ia tak bisa membendung perasaan lagi. Setelah mereka berziarah ke makam Ira, Yongki dan Kara duduk di atas bukit kecil itu dan mengamati hamparan pemandangan alam di bawah kaki langit dan kaki mereka. Mereka banyak ngobrol satu sama lain, ngalor ngidul kesana kemari. Mereka begitu nyaman untuk menceritakan semuanya. “Kak Yongki kenapa dulu bisa menikah muda dengan Kak Ira?” tanya Kara. “Oh itu, itu karena aku berpikir cuma Ira yang bisa menahan emosiku,” kata Yongki. “Kak Yongki emosian? Emosi darimana? Dari Hong Kong?” ejek Kara. “Aku ini orangnya emosian,” kata Yongki. “Aku dulu sering berantem dengan banyak orang di dapur.” “Gilak, kayak bukan Kak Yongki aja,” kata Kara. “Iya, itu ‘kan aku yang dulu,” kata Yongki. “Ira lah yang mengubah aku jadi begini. Ira lah yang menjadi alasanku untuk serius mengejar mimpiku di dunia kuliner..” “Oh gitu.” “Kalau sekarang sih alasanku itu ya kamu,” kata Yongki. Mendengar Yongki berkata begitu, pipi Kara bersemu merah. Tiba tiba ia mendapat ide nakal. “Tadi ngomong apa ya? Gak denger!” goda Kara. “Alasannya itu kamu Kara,” kata Yongki dengan penuh ketegasan. “Apa, coba dong ngomongnya itu yang lebih jelas!” “Alesannya itu kamu sayang!” “Nah, akhirnya,” kata Kara. Ia tersenyum puas. Akhirnya! “Dasar,” kata Yongki. Ia merangkul Kara dan mendekatkan tubuh gadis itu ke arahnya. Dia memeluk hangat Kara dengan tangan kanannya diiringi hembusan angin yang menyejukkan diri mereka berdua. --SEKIAN-- TENTANG PENULIS RENCAH Tentang Penulis Ardi Pramono lahir di Magelang, 3 Agustus 1991. Saat ini ia bekerja sebagai manajer di sebuah café di Magelang dan sedang mempersiapkan peluncuran media onlinenya sendiri, Pakbob.id. Sebelumnya ia bekerja sebagai jurnalis di Beritasatu TV. Sebelum menulis Rencah, Ardi Pramono telah meluncurkan dua novel di platform Storial. Novel pertamanya yang berjudul Di Rawa Peteng berhasil menjadi juara kedua dalam kompetisi #darksecret. Sementara itu, novel keduanya, Santiran, menjadi salah satu buku Premium Storial yang dirilis di tahun 2020. Kini ia sedang mempersiapkan novel perdananya yang diterbitkan dalam bentuk cetak, Terbantun. Rencananya, Terbantun akan terbit pada akhir tahun ini. Tentang Rencah, novel ini terinspirasi dari kisah nyata seorang chef berbakat asal Indonesia yang berjuang menghadapi trauma pasca kematian istrinya. Ardi Pramono sendiri mendeskripsikan Rencah sebagai novel Romantic Comedy yang bermain di wilayah Satir. Secara jujur, Ardi Pramono mengakui bahwa Rencah adalah salah satu tantangan terbesar dalam karir menulisnya. Ia mengaku belajar banyak hal sebagai penulis dari Rencah. Setelah Rencah terbit, Ardi Pramono berharap novel ini dapat diterima dengan baik oleh pecinta literasi Indonesia. Bagi anda yang ingin menghubungi penulis, anda dapat mengontak Ardi Pramono di instagram resminya (@tan.ardi.pramono) atau mengirim email ke [email protected] Description: Profil Penulis Nama Lengkap : Ardiyanto Pramono Nama Pena : Ardi Pramono Instagram : @tan.ardi.pramono Facebook : Ardi Pramono Twitter : @Ardi_Pram ------ Berada di puncak karirnya saat masih muda, Chef Yongki Himawan malah memutuskan menarik diri dari dunia kuliner Indonesia dan menjadi baker di kota Yogyakarta. Banyak yang menyayangkan keputusannya untuk 'menyepi'. Namun, Yongki memiliki alasannya sendiri. Tragedi yang ia alami adalah salah satu alasannya. Namun ternyata, kehidupan di Yogyakarta tak sedamai yang ia bayangkan. Masalah masalah baru bermunculan dan pribadi pribadi unik datang mewarnai kehidupannya. Apakah akhirnya ia bisa ikhlas menerima tragedi yang ia alami? Apakah pada akhirnya ia akan menemukan kebahagiaan baru? Temukan dalam Rencah, sebuah kisah mengenai Komedi Cinta, Misteri dan Tragedi. “Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #ComfortFood 2020.”
Title: Rumah Bintang Category: Cerita Pendek Text: Hari pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas Semua orang yang hadir di sekolah itu memiliki ekspresi yang sama, senyum lebar, gerak tubuh cepat, mata berbinar dan hati yang hangat. Mereka bahagia dengan kabar dan sesuatu yang terjadi saat itu. Bayangan-bayangan tentang masa depan mulai menggelayut di setiap kepala anak-anak SMA yang baru saja lulus. “Akhirnya selesai memakai seragam” “Haruskah membeli banyak pakaian untuk ke kampus?” “Seperti apa penampilan orang yang dikagumi saat dia menjadi mahasiswa” “Seberapa banyak lapangan kerja untuk lulusan SMA?” “Hidup pasti lebih menyenangkan jika memiliki banyak uang hasil kerja keras sendiri”. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran liar dari setiap kepala. Di sudut taman sekolah yang ramai hiruk pikuk, gadis itu duduk sendirian. Satu-satunya wajah yang tidak memiliki ekspresi seperti gadis lain. Matanya menatap kosong, senyumnya datar, tubuh yang bersandar di kursi dan hati yang hampa. Berdiam di keramaian seolah mencari suara dari luar tapi yang terdengar malah isi kepalanya sendiri. Telinganya sama sekali tidak fokus dengan apa yang teman-temannya bicarakan. Ia menepuk-nepuk dadanya, sesak. Semua masalahnya dengan sang Ibu terasak menyesakan. Sedetik kemudian, suara tarikan nafasnya yang panjang menjadi penghibur diri, helaan nafasnya meringankan beban. Kebisingan seolah sirna dan ia hanya mendengarkan suara nafasnya sendiri. Cara Karina menenangkan diri memang seperti itu. Tidak mau diungkapkan, tidak memiliki teman berbagi, menjauh dari teman-temannya, menutup diri dan sulit bersosialisasi. Tampilan luarnya memberi kesan meski selalu sendirian, Karina tak terlihat kesepian. Ia sibuk dengan buku-bukunya, sibuk mendengarkan lagu kesukaannya, nyaman menonton film sendirian, duduk sendiri di kursi pojok belakang, belajar sendirian, kemanapun ia pergi hanya bayangannya yang mengikuti. Bukan karena temannya takut, tapi karena dia tak pernah mau ditemani dan tidak menganggap ada orang bersamanya. Maka tak satupun ada yang sukarela menemani jika tak dianggap. Karina terlampau cuek. Padahal jauh dalam hatinya, ia kesepian, sedih dan tidak percaya dengan apa yang ada dalam hidupnya sekarang. Karina lulus dengan nilai rata-rata. Selama ini ia tidak peduli dengan hasil belajarnya atau seberapa besar nilai ujiannya. Ia seperti hanya menjalani apa yang tidak bisa ia hindari. Maka lulus sekolah adalah kesempatannya keluar dari kewajiban. Mood pagi Karina hari ini dirusak oleh harapannya sendiri. ia lupa dengan kalimat yang mengatakan “Jika tak berharap, kau takkan kecewa”. Hari kelulusan ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Tapi tidak ada kalimat indah yang terucap dari ibunya. Harapannya sejak malam tentang bayangan akan ada kue ulang tahun, akan di peluk, akan di doakan hanya menjadi bayangan, hanya mimpi yang hilang saat terbangun. Bangun tidur hari ini ia tak bertemu lagi dengan satu-satunya wanita yang ia sayangi, satu-satunya yang tinggal bersama, satu-satunya yang Karina miliki. Tapi, ibunya tidak sama sekali menyapa secara langsung. Hanya meninggalkan memo di kertas yang ditempelkan di pergelangan tangan Karina. “Na. Ibu berangkat lebih pagi hari ini karena ada rapat di kantor. Jangan lupa ambil uang diatas kulkas untuk ongkos berangkat ke sekolah” Isi surat yang ibunya tuliskan hanya itu. Sudah tiga tahun ini hanya tiga hal itu yang menjadi topik di memo, chat dan telepon. Memberi kabar tentang tiga hal mengenai pekerjaan, berangkat lebih pagi atau pulang terlambat, dan uang. Seolah seluruh dunia Karina akan baik-baik saja jika memiliki uang. Seolah kepribadian Karina masih senormal tiga tahun lalu, seolah hubungan dengan teman-temannya masih semenyenangkan tiga tahun lalu. Seolah hatinya masih sebaik tiga tahun lalu. Saat ayahnya masih ada, saat rumahnya masih hangat, saat dirinya tumbuh dilengkapi kasih sayang dari ayah dan ibu, dan saat ibunya tidak perlu bekerja. Karina rindu semua hal itu. Bug! Kursi tempatnya duduk tiba-tiba tersenggol seorang lelaki yang berlari kencang melewatinya. Tidak sampai jatuh tapi sentakan itu membuyar lamunan Karina. Kepala dan tubuhnya menoleh kearah laki-laki itu, alisnya beradu dan siap mengomel. Tapi saat itu juga Karina membatalkan niatnya. Laki-laki yang menabrak kursinya seperti tidak menyadari dengan apa yang dilakukannya, bahkan tidak merasakan sakit karena membentur kursi, seperti tidak melihat semua orang di sekelilingnya, tidak mendengar apapun kecuali suara yang terakhir didengarnya. Wajah panik dan tatapan sedih laki-laki itu seperti dejavu bagi Karina. Spontan Karina mengikuti laki-laki tadi sambil berlari kecil agar tak kehilangan jejak. Wajah laki-laki itu tidak asing. Mungkin satu angkatan. Tapi Karina tidak tahu dia dari kelas mana. Langkahnya terhenti karena melihat laki-laki itu sudah melaju dengan sepeda motornya, dan entah pergi kemana. Karina berhenti mengejar, menghela nafas kecewa. “Siapa yang kau cari?” Tanya Dian salah satu teman satu kelasnya. Karina menoleh, berjalan mendekati Dian yang sedang memakai helm di samping sepeda motornya. “Kau lihat laki-laki yang baru saja keluar terburu-buru tadi? Yang menaiki sepeda motornya dari sana?” tanyanya sambil menunjuk arah. Dian mengangguk. “Ares?” Karina berkedip, sadar ia bahkan tidak tahu nama orang yang dicarinya. “Mungkin. Aku tidak tahu namanya. Yang aku tahu dia pergi seperti orang panik” jawabnya. “Namanya Ares. Dia bahkan satu angkatan dengan kita dan kau tidak kenal?” Dian menggeleng seraya mendekatkan wajahnya. “Sungguh Karina kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri hingga lupa dengan sekitar. Laki-laki yang kau cari itu pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa orang tuanya mengalami kecelakaan bus di jalan tol” jelas Dian. Karina mematung, matanya menatap Dian, “Keadaannya baik-baik saja kan?” dadanya sesak karena pertanyaan itu. Dian menggeleng. Merogoh saku lalu mengeluarkan telepon seluler miliknya, mengetik beberapa saat dan menunjukan isi berita dari layar telepon seluler pada Karina. Nafas Karina tertahan, sesak itu semakin dalam, kejadian ini membawanya pada masa lalu. Karina tahu persis bagaimana perasaan Ares, dia pernah di posisi itu. Karina tiga tahun lalu adalah yang berlari meninggalkan sekolah dengan perasaan dan ekspresi wajah seperti Ares. Berharap ini hanya berita burung, berdoa agar orang-orang yang dicintai baik-baik saja, menepis jauh-jauh prasangka buruk. Tapi kenyataan memang harus dihadapi, kenyataan dengan takdir yang tidak bisa dihindari. Dian menatap Karina dengan seksama. “Kau baik-baik saja, Karina?” Tanya Dian. Sudah sejak lama Dian mencoba berteman dengan Karina, tapi tak pernah berhasil benar-benar dekat. Pada akhirnya Dian hanya bisa menjadi pemerhati. Apa yang sebenarnya Karina alami? Mengapa sulit baginya membuka diri dengan orang baru? Bagaimana perasaannya saat ini? Kenapa tak bisa bersosialisasi dengan baik? Dan banyak lagi pertanyaan dalam benak Dian yang tak pernah terucap. Karina mundur selangkah, kepalanya menunduk dalam. Mengangguk “Ya. Terima kasih informasinya” jawab Karina. Dian tersenyum. Menepuk pundak Karina tiga kali “Entah kenapa kau penasaran tentang kejadian ini dan keadaan Ares. Aku tidak mau tau. Aku hanya cukup senang, kau mulai melihat orang di sekitarmu” Ujarnya. Karina menoleh kearah Dian, mencerna kalimat yang barusan didengarnya. Ada beragam emosi mendengar kalimat itu. Ingin marah karena orang di hadapannya terlalu sok tahu. Tapi sadar bahwa yang dikatakan Dian tidak sepenuhnya salah, Karina memilih diam. “Dunia setelah kita lulus sekolah itu menjadi awal apa yang akan kita pijak lima tahun mendatang. Kau dipaksa mampu menjalani roda kehidupan. Setiap perubahan akan menjadi baik atau buruk tergantung apa yang kita pilih”. Dian tersenyum ramah. “Satu tahun kita jadi teman satu kelas. Kau tidak pernah menyapaku, tidak bermain denganku. Menariknya, itu membuatku memahami saja apa dan bagaimana kepribadianmu. Karena mungkin kita tidak lagi bertemu di kelas, aku berani mengatakan ini padamu” Kalimat itu membuat Karina terdiam, tidak tahu harus menjawab apa karena dia sendiri tidak mengerti dirinya. “Dimanapun berada, semoga kau baik-baik saja. Jangan lupa menyapaku jika nanti kita bertemu di suatu tempat. Mengerti?” Sambung Dian dengan nada riang. Karina tersenyum, baginya kalimat itu lebih menyenangkan didengar, dan kalimat itu lebih baik daripada kalimat ucapan selamat ulang tahun. Teman satu sekolahnya memang tidak ada yang tahu hari ini ulang tahunnya. Satu teman berhati lembut seperti Dian sudah cukup menjadi hadiah ulang tahun kali ini, “Kau… Maukah berteman denganku?” Pinta Karina sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman. Dian gesit meraih tangan itu, mengayunkannya dua kali “Jangan pernah sungkan” jawabnya dengan tawa dan senyum yang menyenangkan. Satu tahun kemudian Karina kuliah di salah satu kampus swasta. Setelah hari kelulusan itu, ibunya memaksa Karina untuk mencari kampus negeri dan fokus menyelesaikan kuliah. Tapi itu berlawanan dengan keinginan Karina. Satu minggu perdebatan antara Karina dan ibunya berlangsung, akhirnya Karina berada dilingkaran keinginannya. Ibunya mengalah, sekaligus menjadi semakin sibuk dengan diri dan pekerjaannya. Seperti menggantikan rasa kesal dengan menjadi karyawan tanpa libur. Keinginan Karina yang menjalani kuliah sambil bekerja membuatnya sibuk. Karina tidak mau membuat ibunya bekerja terlalu keras, maka ia akan membiayai sendiri kuliahnya. Ia pilih kampus dengan kelas karyawan, mencari pekerjaan yang menerima keadaannya yang masih sebagai mahasiswa, membagi uang gaji untuk biaya kuliah dan biaya hidupnya sendiri. Tapi pilihannya malah semakin menjauhkan hubungan Karina dengan ibunya. Saaat perdebatan berlangsung. “Ibu tidak keberatan jika terus bekerja untuk membiayai kuliah kamu, Na” Ujar ibunya saat itu “Karina yang keberatan, Bu” Jawabnya. “Karina tahu apa yang tiga tahun ini Ibu lakukan untuk mengisi kekosongan posisi Ayah, bekerja untuk memberikan Karina kehidupan yang layak, memberikan uang yang cukup, membiayai sekolah Karina” Sambungnya. Karina terisak, matanya terasa panas, kalimat yang menyangkut di tenggorokan membuatnya sesak “Tangan dan kaki Ibu pegal, Karina tahu. Kepala Ibu pusing dan tubuh demam, Karina tahu. Waktu tidur dan makan Ibu berantakan, Karina tahu, Bu… Karina tahu” isakan Karina semakin dalam. Ibunya memalingkan wajah, mendongak keatas, menahan emosi, “Ibu ingin kamu baik-baik saja. Kamu harus menyelesaikan kuliah, jadi tolong ikuti perintah Ibu” Karina menatap ibunya lamat-lamat. “Bu. Tolong hargai keputusan Karina” lirihnya. “Karina bingung keadaan ini jadi sangat rumit” Menggeleng. “Maka ikuti keinginan Ibu” jawab Ibunya singkat. Karina menghapus air mata di pipinya. Tersenyum samar. “Padahal yang Ibu inginkan dan yang Karina inginkan adalah sama-sama mementingkan kebaikan kita berdua. Yang berbeda adalah cara memandang kita. Mungkin karena kita kurang memahami bagaimana rasanya berada di sepatu orang lain. Maafkan jika Karina tetap keras kepala, Bu” jelasnya. Perdebatan itu berakhir dengan sama-sama mendiamkan diri. Sama-sama merenungkan diri. Ibunya yang tak menyadari apa yang sang anak butuhkan antara uang atau kasih sayang. Dan anaknya yang tak mengerti harapan ibunya antara kebahagiaan atau kecukupan. Hingga tanpa sadar hari-hari yang berganti terasa cepat. Tapi keadaan mereka masih sedingin es. Ibunya yang mencoba memahami keinginan Karina. Tetap bekerja seperti sebelumnya. Karina yang tidak bisa membujuk ibunya untuk beristirahat, jadi semakin sibuk menjalani dua hal sekaligus. Ia lebih sibuk dari ibunya. Tapi apapun pilihan keduanya. Mereka tetap menjalaninya tanpa penyesalan. Meski hanya saling menyapa di pagi dan malam hari, tatkala saling merindukan satu sama lain walau berada diatap yang sama. Rumah yang hanya menjadi tempat untuk tidur, entah kapan rumah ini menjadi tempat pulang untuk dua jiwa yang merindu. ***** Karina berjalan menelusuri lorong kampusnya. Kelas karyawan dimulai pukul 18.30 sampai 21.30. Berbeda dengan saat ia di sekolah. Kali ini Karina mencoba membuka diri, meski tidak sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya Karina jadi tak canggung tersenyum untuk orang-orang yang menyapanya. Tak banyak teman yang ia miliki. Baginya, seorang Dian cukup membantu agar lebih percaya pada dirinya sendiri. Walau tidak satu kampus, terkadang mereka meluangkan waktu untuk saling bercerita hal ringan seperti film apa yang sedang populer, lagu yang menjadi kesukaan dan novel yang akan diangkat ke layar lebar. Karina membuka pintu kelasnya yang berada diujung lorong dekat tangga darurat. Selangkah memasuki kelas, ia teringat belum mengambil flash disk yang tertinggal di toko alat tulis saat mencetak tugasnya tadi. “Aah! Karina kenapa baru ingat sekarang” gumamnya. Karina berbalik keluar kelas. Tiba-tiba seorang lelaki melewatinya dan hendak menaiki tangga darurat. Tapi lelaki itu berhenti melangkah dan memperhatikan Karina dengan seksama. Keduanya saling menatap, mengernyitkan dahi, terpikir seperti tak asing dengan wajah yang dilihatnya saat ini. Bukan menyapa, Karina justru merasa risih, ia berbalik lagi dan memasuki kelasnya, menutup pintu sambil mengintip untuk melihat ulang wajah lelaki yang berdiri dekat tangga itu. Tapi ia malah semakin malu karena lelaki itu melihatnya masih mengintip dari balik pintu. Buru-buru ia tutup rapat pintu kelasnya. “Waah. Ini memalukan” batin Karina. Karina memutuskan untuk tidak keluar kelas lagi dan mengambil flash disk miliknya setelah pertemuan kelas selesai malam ini. Ia berjalan menuju kursi, duduk dan mengecek telepon selulernya, membaca chat dari grup kelas dan grup tempatnya bekerja. Waktu menunjukan pukul 21.00. Mata kuliah kedua selesai lebih cepat karena pembahasan materi yang tidak banyak. Karina berlari melewati lorong, menuju toko alat tulis untuk mengambil flash disk. “Semoga toko itu belum tutup” batinya memohon. Matanya berbinar saat melihat lampu toko masih menyala terang. Karina melanjutkan larinya untuk tiba di sana. “Pak, flash disk saya tertinggal di sini. Sore tadi saya mencetak tugas tapi lupa mengambil kembali flash disk. Warnanya hitam dengan gantungan lilin bertuliskan nama Karina” jelasnya. Bapak penjaga toko mengangguk. “Aah! benar. Memang ada yang tertinggal, saya sudah rapikan flash disk itu, khawatir kau akan datang kembali untuk mengambilnya” Jawab Bapak paruh baya itu sambil celingak celinguk menelusuri mejanya. Karina merasa lega, ia mengangguk tegas sambil menunggu Bapak penjaga toko menemukan flash disk. Karina mengambil minuman dari lemari pendingin di samping toko alat tulis. Berlari dari kelasnya sampai ke luar kampus, ternyata lumayan membuatnya merasa haus. “Karina” Sapa suara berat disampingnya. Karina tidak jadi menenggak minumannya, ia menoleh kearah suara. Matanya membulat, terkejut dengan apa yang dilihatnya, lelaki dari tangga darurat itu lagi. “Kau mengenalku?” Tanyanya kaku. Lelaki itu mengangguk. “Dulu, kita satu SMA. Kau tidak ingat aku?” Dia tersenyum sinis, menggeleng. “Wah! Rumor itu ternyata benar. Kau tidak pernah peduli dengan teman sekitarmu” Karina memperhatikan wajah lelaki itu, ingatannya berkeliaran mencari jawaban, wajah itu memang tidak asing, tapi entah bertemu dimana ia tak ingat. “Tunggu” ujar Karina singkat, lalu melangkah mendekat “Kau… Orang yang berlari panik di hari kelulusan! Meninggalkan sekolah begitu saja. Aku benar! Itu kau” Jari telunjuknya menunjuk kearah lelaki itu “Akhirnya otakku bekerja dengan baik” sambungnya dengan rasa senang. Tapi, tidak dengan lelaki di hadapannya. Raut wajah datar itu berubah mengerikan. Tatapan matanya dipenuhi emosi, rahangnya geram dan kepalan tangan yang bergetar. Lalu pergi begitu saja menjauhi Karina. Karina sadar semua hal yang terjadi pada lelaki itu. Mungkin kata-katanya terdengar kasar atau menyinggung hal yang sensitif. “Hei! Tunggu!” Perintahnya. “Ini flash disk milikmu” ujar Bapak penjaga toko sambil menjulurkannya pada Karina Karina menoleh, benar itu miliknya, tangan kanannya mengambil flash disk “Terima kasih, Pak. Dan ini uang untuk membayar minuman” jawabnya, kemudian terburu-buru pergi. Karina memasukan flash disk kedalam tas, menutup kembali botol minuman dan memasukannya juga kedalam tas. Lalu berlari kearah lelaki tadi. Mengejarnya. Karina yakin akan menemukannya di sepanjang jalan, “Wah! Tidak aku sangka hal ini terjadi lagi. Kenapa pula aku selalu mengejar lelaki itu” gerutunya. Karina menggeleng. “Tidak usahlah mencarinya lagi. Aku sudah cukup sibuk” gumamnya sambil berbalik arah. Sepersekian detik kemudian ia kembali menelusuri jalan itu “Kau harus mencarinya, dia seperti tersinggung dengan ucapanmu” Perintahnya pada diri sendiri. Karina seperti berperang, antara melawan rasa penasaran atau pergi saja tanpa perlu mempedulikan. Kakinya berjalan tapi pikirannya tidak fokus. Karina bahkan tidak sadar jalan yang di telusurinya semakin sepi dan tidak ada orang lain yang melewati jalan itu. Tiba-tiba ia teringat nama lelaki tadi. “Ares!” ujarnya lantang saat berhasil mengingat. Langkahnya terhenti di ujung jalan. Matanya terbelalak melihat empat orang lalaki bertengkar melawan satu lelaki. Dan satu orang itu adalah Ares. Kakinya tidak bergerak dari sana. Pikirannya semakin kacau menebak dan mencari tau apa yang sebenarnya sedang ia lihat sekarang. “Tolong!!!” teriaknya tiba-tiba. Jantungnya berdegup kencang, kakinya melemah. Kedua tangannya menutupi telinga. Karina tidak sanggup mendengar suara hantaman dari pukulan-pukulan itu. Karingan ingin menjauh. Tapi ia juga ingin menolong Ares. “Tolong!!” ulangnya histeris. Semua mata yang berkelahi sontak menoleh ke arahnya. Ares mengernyit. Sempat tidak percaya dengan yang dilihatnya. Perempuan yang ia sapa tadi, sekarang berdiri disana. Melihat Karina berdiri ketakutan, Ares semakin gesit menghindar dan memukul lawannya. Saat berhasil meloloskan diri, Ares berlari mendekati Karina. “Lari!!” teriaknya sambil menarik tangan kanan Karina. Mengajak berlari menjauhi empat orang di belakangnya. Karina terhuyung, lalu dengan cepat sadar posisi mereka berdua dalam bahaya, Karina berlari mengimbangi langkah Ares. “Kita harus kemana?” tanyanya pada Ares. Ares tengengah “Menjauh” jawabnya singkat “Ikuti aku! Dan tak usah banyak tanya” sambungnya sambil menggenggam erat tangan Karina. Agar tidak terlepas. Empat orang yang mengejar mereka semakin dekat dan Ares menoleh ke kanan kiri untuk mencari gang lain. Ia hanya ingin menjauh dari empat orang itu. “Kesini” ajaknya kemudian. Karina mengikuti “Eiisst. Kenapa jalanan ini sepi sekali” gerutunya. “Sssssstttt!” bisik Ares sambil menempelkan jari telunjuk di depan mulutnya. “Masuklah lebih dulu” perintahnya pada Karina. Karina menurut. Diikuti Ares yang berdiri di sampingnya sambil memperhatikan sekitar. Keduanya bersembunyi dibalik tembok sempit yang menjadi batas antara tembok gang dan tembok kampusnya. Sela-sela tembok itu hanya muat diliewati satu orang. Keduanya saling bersandar di tembok. Berusaha menyamarkan diri agar tidak terlihat oleh empat lelaki yang mengejar mereka. “Sial! Lari kemana mereka” bentak salah satu lelaki yang berdiri tak jauh dari tempat Karina dan Ares sembunyi. Beberapa detik kemudian disusul suara-suara dari tiga orang lainnya yang mengumpat kesal karena tidak berhasil menemukan orang yang mereka kejar. Karina menoleh ke sebelahnya, menatap wajah Ares penuh cemas. Nafasnya menderu tertahan emosi, matanya memanas, Karina takut, pikirannya mulai membayangkan kejadian-kejadian mengerikan, terlebih saat mendapati pipi Ares yang terluka karena baku hantam sebelumnya. Dan bulir itu jatuh juga, perasaan takut, cemas sekaligus kesihan melihat orang di sampingnya. Ares menatap balik. Menelusuri bagaimana perasaan Karina. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya. Raut wajah Ares yang tanpa ekspresi menggeleng pelan, matanya menatap tajam bola mata Karina. Tatapan yang memberikan isyarat untuk jangan menangis. Tatapan itu juga seolah berkata semua akan baik-baik saja. Karina spontan mengagguk pelan, mengatur deru nafasnya, menghentikan isakannya. Kadang kala bahasa tubuh dan isyarat mata menjadi alat komunikasi terbaik untuk meredamkan emosi. Terlebih lagi, manusia diciptakan dengan akal dan pikiran yang bisa mengerti hal-hal semacam itu. Meski tetap dengan sudut pandang yang berbeda-beda. setelah beberapa saat, akhirnya empat lelaki itu pergi. Setelah mereka menjauhi tempat itu. Ares memperhatikan sekitarnya dengan hati-hati. Berjalan perlahan keluar dari balik tembok. “Ayo pergi” ajak Ares. “Aku mau pulang” lirih Karina. Ares berjalan “Iya. Aku antar kau pulang” sambil menarik lengan Karina “Sekarang jalan saja dulu, kita harus menjauhi tempat ini secepatnya” Karina mengangguk. Berjalan mengikuti langkah dan arah Ares. Meski tidak tahu jalan yang ia tuju mengarah kemana. Ia sudah tidak fokus lagi untuk memikirkan banyak hal. Semua yang terjadi terlalu mendadak dan mengerikan. “Masuk” ajak Ares saat tiba di depan pintu rumah. Karina menatap bingung. Celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya. Tidak ada orang lain, dan pintu rumah-rumah di sekitar sudah rapi tertutup. Lingkungannya pun tampak asing baginya. “Ini rumah siapa?” Tanya Karina “Rumahku” Karina bingung. terlintas pikiran "Oh! ternyata rumahnya tak jauh dari kampus" batinnya. Kemudian sadar dengan keadaan, “Aku tunggu diluar saja” balasnya kaku. “Bahaya!” bentak Ares. “Kau mau bertemu dengan empat orang itu?” sambungnya Karina menggeleng cemas. Ares menghela napas. “Masuk saja. Tidak akan lama. Aku hanya mengeluarkan sepeda motor untuk mengantarmu pulang” ujarnya datar. Karina mengangguk pasrah. Melangkah memasuki rumah Ares. Entahlah ini akan menjadi kandang macan selanjutnya atau tempat berlindung. Ia sudah lelah. Kali ini ia percaya lagi, kalau Ares akan membantunya. Rumah itu tampak sepi, kosong dan dingin. Cahaya dari setiap lampunya terlalu remang. Halaman rumah yang kosong dan tidak terawat. Membuat Karina teringat hal satu tahun lalu. Kecelakaan bus yang merenggut semua nyawa penumpang. Dan orang tua Ares termasuk didalamnya. Karina menghela napas dalam. Duduk di teras rumah, menunggu Ares yang sudah dulu memasuki rumah. “Ares” panggilnya “Hmmmm” sahut Ares dari dalam rumah. “Maaf jika perkataanku menyinggungmu. Aku tidak bermaksud membahasnya” ujar Karina “Dan maaf jika aku tidak mengenalimu” Ares keluar dari dalam rumah, sambil mendorong sepeda motornya tanpa menyalakan mesin, kemudian mengenakan jaket. Dan duduk di samping Karina. Menoleh kearah Karina dengan raut wajah datar “Tidak masalah jika tidak mengenaliku” Pungkasnya. Ares menghela napas. “Yang menjadi masalah adalah ucapanmu membuka luka yang susah payah aku kubur. Kau tahu? Butuh waktu lama untukku melupakan kejadian satu tahun lalu. Kedua orang tuaku menjadi korban kecelakaan itu. Karena aku mereka menaiki bus itu, karena aku ingin mereka cepat kembali dari perjalanan bisnis, karena aku ingin ditemani di hari kelulusanku. Aku menyesalinya. Aku mulai berandai-andai. Seandainya aku tidak manja, seandainya aku tidak mengistimewakan diri, Seandainya..." Kalimatnya tercekat. Suara Ares bergetar menahan emosi. Lidahnya keluh “Kini, yang tersisa dari kenangan mereka hanya rumah ini. Saksi bisu aku pernah hidup dengan lengkap, aku pernah hidup normal, aku pernah hidup seperti orang lain. Dan aku pernah menjadi seorang anak. Meski sekarang sendirian. Kau tahu seperti apa posisiku? Kau tahu rasanya ditinggalkan?” ujarnya, menahan emosi. Karina menoleh. Sejak pertemuan tadi, ini pertama kalinya mendengar Ares berbicara banyak dan entah kalimat-kalimat itu sebagai pembuka diri atau sekedar mengulas luka yang terlanjur di gores. “Bagaimana kalau tahu? Bagaimana kalau pernah?” Jawab Karina. Karina menunduk. Matanya berkaca-kaca. “Aku bukan ingin menyamakan rasa, tapi aku juga ditinggalkan. Ayahku menjadi korban kebakaran di kantornya dan tewas di tempat. Lalu, Ibuku memaksakan dirinya menjadi orang tua tunggal yang sempurna untukku. Karena aku, dan untuk memenuhi kebutuhanku. Ibu menjadi sangat sibuk. Ibu belum mengerti bahwa keinginanku adalah hadirnya Ibu di setiap pagi, belaian Ibu di setiap malamku. Bukan hanya uang, bukan hanya memo, bukan hanya pengingat makan atau tidur” Katanya panjang lebar, kalimat yang panjang itu rasanya terpancing untuk mengalir, dan Karina sadar telah mengatakannya. Ares menatap perempuan di sebelahnya. Mencerna kalimat yang keluar darinya. Tersadar persamaan hal yang sedang mereka bahas adalah luka. Luka tentang kesakitan sebagai pihak yang ditinggalkan, luka yang menyalahkan diri sendiri, luka yang memenjarakan jiwa dalam rindu, luka yang membuat langkah melemah, luka yang merusak impian tentang rajutan masa depan penuh suka cita. Dan tidak tahu sampai kapan rasa sakit itu akan sembuh, di mana tempat untuk memulihkan kesakitan itu. Karina tersenyum getir. “Bagaimana kau bertahan hidup melewati semua yang terjadi? Bagaimana keadaan menjadi sangat kejam dalam sekejap? Bagaimana mungkin terjadi di saat kita masih membutuhkan mereka? Apakah untuk bertahan hidup kita harus berpura-pura bahwa semua baik adanya?” Karina menunduk. “Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang terpikirkan saat itu” lanjutnya. Ares menarik napas dalam-dalam. “Kita tidak akan membahas siapa yang hidup lebih beruntung, kan?” Balasnya. Ares menengadah, matanya menatap ke langit malam yang dihiasi bintang. “Cuaca yang bagus dan banyak sekali bintang yang muncul malam ini” ujarnya beralih topik. Lalu menoleh sekilas pada Karina “Aku menjalani kehidupan yang tidak pernah terbayangkan setelah ditinggalkan kedua orang tuaku. Bekerja keras untuk bertahan hidup dan harus bekerja lebih giat lagi untuk membiayai kuliah. Aku bukan ingin meraih impianku. Aku hanya memegang impian ibuku. Ibu ingin aku menyelesaikan kuliahku, menemukan impian dan kebahagiaanku sendiri, dan melanjutkan hidup dengan baik” Ares menelan ludah. “Aku hanya bertahan hidup karena tak bisa mati” lanjutnya. Karina terhenyak. Tatapannya tertuju pada Ares. Posisi tubuhnya persis menghadap ke lelaki disampingnya. Ares menoleh. “Lihat aku!” Pintanya pada Karina sambil menunjuk wajahnya. “Apa mata ini masih hidup?” Suaranya bergetar, akhirnya, satu bulir itu mengaliri pipi kanannya. “Apa kau pikir hidupku baik-baik saja? Omong kosong dengan kalimat bijak yang mereka lontarkan. Sejak hari itu, aku tak pernah baik-baik saja. Hari-hari yang kosong, malam-malamku yang dingin. Pagiku yang sepi. Hati yang hampa. Pikiranku yang kacau. Rindu yang menikam jantung. Hidupku yang aku sendiri tidak tahu akan seperti apa. Jangan tanya tentang impian dan cita-cita. Bahkan roda kehidupan tetap berputar pada porosnya meski orang sepertiku tidak memiliki impian” Ares tertunduk lesu. “Dan satu lagi. Empat lelaki tadi adalah preman. Mereka memukul untuk membalas perbuatanku yang memecat adik salah satu preman itu di restoran tempatku bekerja. Aku kepala toko dan adik preman itu anak baru yang berkelahi dengan salah satu karyawan, bertindak seenaknya dan membuat pelanggan tidak nyaman. Jadi aku memecatnya. Ternyata dia tidak terima dan seperti tadilah yang terjadi” Karina mengangguk. Tertunduk. Semua kalimat yang Ares ucapkan menjadi deskripsi atas dirinya sendiri. Karina yang juga sulit menerima kenyataan, sulit melupakan kejadian yang menimpa ayahnya, bekerja di restoran atas keputusan membiayai dirinya sendiri. Melihat Ares yang hidup sendirian, Karina sejenak tersadar. Betapa masih beruntung dirinya karena memiliki ibu. Karena masih diberi kesempatan untuk melihat dan tinggal bersama ibunya. Dan ia malah menjauhkan diri. Saat itu juga Karina terisak, mendadak menangis tersedu. Bayangan di benaknya adalah wajah Ibu yang tersenyum, wajah Ibu yang marah, wajah Ibu yang lelah, wajah Ibu yang sedang tidur. Karina menangis sesugukan. Ares melirik, alisnya mengernyit. Bingung. “Kau menangis?” “Aku rindu Ibu” lirih Karina. “Aku ingin pulang” tambahnya. Ares membuang napas. “Bisa-bisanya kau mengatakan itu di depan orang yang baru saja meluapkan emosinya” Ares berdiri. “Ayo pergi. Aku antar kau pulang” sambil mengusap pipi kananya, bergerak kikuk karena sadar meneteskan air mata di depan perempuan yang baru di temuinya. Karina menengadah. Tersenyum samar, sedikit terhibur dengan prilaku lelaki di sampingnya. Mengusap wajah, mengendalikan tangisnya. Melihat Ares yang seperti baik-baik saja dari luar. Karina membayangkan betapa kuat dia. Sebenarnya, Karina bingung apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Tiba-tiba saling menceritakan hal yang mereka sendiri tidak mau mendengarnya, tidak mau menjawab pertanyaan orang lain mengenai cerita itu, tidak akan pernah membahasnya. Tapi saat ini? Cerita itu mengalir sendiri. Seperti aliran air yang tak lagi tersumbat. “Ekheemm.” Ares berdeham. “Malam ini, untuk pertama kalinya aku bisa membahas perasaanku sendiri. Aku merasakan semua luka mencair, meskipun belum sepenuhnya mengalir” Sambungnya seraya melihat Karina. “Tapi aku senang. Terima kasih, Karina. Mau berteman?” Ujarnya dan menjulurkan tangan, mengajak Karina bersalaman. Karina tersenyum menjabat tangan Ares. “Kau ingin berteman karena kita memiliki luka yang sama atau karena sejak sekolah kau ingin berteman?” Karina menyeringai. Lalu tertawa kecil. Ares mengangkat alis. “Mudah sekali membuatmu tertawa setelah menangis seperti tadi” Sindirnya. Karina melepas jabatan tangannya. “Sial” umpatnya karena malu, teringat bagaimana dia menangis dan tiba-tiba menyeringai setelah mendengar kalimat singkat untuk berteman. Meski jauh di lubuk hatinya, Karina merasakan ruang yang sama. Rasa ringan. Dadanya tak lagi sesak, emosinya tak lagi tertumpuk sendirian. Karina mengingat satu hal. Bahwa siapapun manusia itu pasti memiliki luka, pasti pernah terpuruk dan dia bukan satu-satunya yang pernah terluka, Karina tidak sendirian menghadapi kekejaman hidup. Tidak hanya dia dan Ares. Di luar sana, pasti masih banyak lagi, dengan luka dan sakit yang beda-beda. Sepeda motor yang dikendarai Ares mendarat mulus di depan rumah Karina Karina melihat jam tangannya. Waktu menunjukan pukul 22.30. “Biasanya Ibuku baru pulang, mau menyapa?” Tanya Karina kikuk. Ini pertama kalinya dia pulang diantar teman, terlebih teman laki-laki. Dia bimbang antara menjadi gadis santun yang mengenalkan temannya pada orang rumah atau gadis cuek yang tak peduli norma-norma itu. Perasaan yang sama juga terjadi pada Ares. Bimbang dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Rasa penasaran tentang kehidupan Karina dan rasa ingin lebih sopan, tapi rasa itu kalah oleh pikiran bahwa ia belum mau membuka dirinya dan tidak mau melangkah terlalu jauh. “Tidak. Aku langsung pulang” Jawab Ares, cuek. Masa bodo kesan apa yang Karina ambil, yang jelas dia sudah mengantarkan Karina dengan selamat. Titik. Karina mengangguk. Membuang nafas perlahan. Lega. Karena dia belum siap melihat raut wajah ibunya yang kaget jika memperkenalkan Ares sekarang. “Terima Kasih, Res” ujarnya. Ares mengangguk santun, menarik pedal gas dan perlahan menjauh dari rumah Karina. Karina memasuki rumah, mengucap salam, matanya menelusuri ruangan, mencari Ibunya. “Ibuuu” panggilnya pelan. “Ibu di kamar” sahut ibunya datar. Karina melangkah gesit. Memasuki kamar ibunya. Berdiri di depan Ibunya yang sedang membereskan tempat tidur. “Bu. Maafkan Karina” ucap Karina lirih, perlahan memeluk ibunya dari belakang. Wanita paruh baya yang itu mengusap lembut pergelangan tangan Karina, berbalik menghadap anak gadis satu-satunya. “Ada apa, Na?” Tanya ibunya lirih. Keduanya kemudian duduk di ujung ranjang, masih berpelukan. Karina semakin terisak mencium aroma tubuh Ibunya, merasakan kehangatan Ibunya yang sudah lama sekali tidak ia rasakan, “Maafkan Karina untuk semua yang Karina lakukan, Bu. Semua perkataan kasar yang Karina lontarkan, maaf untuk Karina yang keras kepala dan tidak menghargai usaha Ibu. Karina sungguh lupa, bahwa yang terluka di rumah ini bukan hanya Karina. Yang bertahan kesakitan dan yang merindu bukan hanya Karina. Tapi Ibu juga” Karina menenggelamkan wajahnya di pundak sang Ibu. Ibunya menangis, hanyut dalam suasana. Rasa lelahnya berganti dengan sedih yang lama terpendam, sakit yang terkubur penat, sepi yang ditutupi senyuman, rindu yang di manipulasi kesibukan. Kenyataan menjadi orang tua tunggal untuk Karina membuatnya harus membuang jauh sedih, sakit, sepi dan rindu miliknya. Membuatnya harus kuat dan tegar, berharap sosok luar biasa tangguh itu akan menjadi cermin untuk anaknya, hingga keduanya melanjutkan hidup dengan baik. Meskipun ternyata hasil akhir tak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Karina mengendurkan pelukannya, mengusap air mata di wajah Ibunya. “Karina sangaaaat rindu Ibu. Padahal kita tak pernah terpisah atap. Tapi kenapa Karina baru sadar sekarang bahwa Karina beruntung memiliki Ibu yang luar biasa. Seharusnya Karina tidak cuek, seharusnya Karina bertanya apakah Ibu baik-baik saja. Kenapa Karina tidak bercerita, dengan begitu Ibu tahu perasaan Karina. Maaf Bu, Karina sangat lama menyadari hal-hal itu” Ibunya tersenyum getir. “Tidak semua kesalahan ada di kamu, Na. selama ini, Ibu lupa bahwa umur bukanlah ukuran menjadi bijaksana. Ibu tidak menyadari apa yang sebenarnya kau butuhkan, bagaimana Ibu memperlakukanmu, dan seharusnya Ibu memberi tahumu bahwa kamu tidak sendiri” Ibunya mengelus lembut kepala Karina. “Kamu tidak sendiri. Do’a Ibu mengiringimu, kenangan Ayah menghangatkanmu. Mungkin terlambat untuk mengucapkan itu sekarang. Tapi Ibu yakin kau jauh lebih bijaksana memahami keadaan kita berdua” Sambil tersenyum lembut “Karina. Maafkan Ibu juga. Sekarang, mari kita melepaskan keluh, kita melepaskan resah bersama. Dan manatap pagi yang baru. Kau menjadi pengingat untuk Ibu bahwa Ibu tidak sendiri, dan jadikan kehadiran Ibu sebagai reminder bahwa kamu tidak sendiri” Karina mengangguk setuju! Mengusap air mata di wajahnya, tersenyum riang menatap sang Ibu. Memeluk untuk kesekian kalinya. Perasaan ringan yang tadi di rasakannya menjadi sangat ringan, jauh lebih ringan. Semua yang terpendam menguap bergitu saja. “Kau tidak melakukan kesalahan apapun, kan?” Tanya Ibunya tiba-tiba Karina menggeleng tegas. Khawatir Ibunya berpikiran macam-macam tentang pergaulannya selama ini, karena memang dia tiba-tiba bersikap seperti sekarang. “Karina habis bertemu teman sekolah, Bu. Dia bercerita tentang masa-masa sedihnya dan masa saat orang tuanya meninggal. Kenyataan bahwa dia harus tetap hidup meski sendirian membuat Karina ingat Ibu, Karina sadar bahwa Karina bukan orang yang paling tersakiti oleh takdir yang Karina anggap kejam. Karina baru menyadari sudah sangat lama Karina melupakan harta paling berharga dalam hidup ini. Rasanya lama sekali tidak bercerita, tidak membagi beban, tidak bertanya apa yang Ibu tanyakan pada Karina. Padahal, tanpa Ibu, Karina tidak akan lahir dan tumbuh sesehat ini” katanya panjang lebar menceritakan asal kesadarannya akan banyak hal. Karina bahkan lupa kapan kali terakhir bisa berbagi dengan Ibunya. Ibunya tak henti-henti mengulum senyum. Senang mendengar sang anak bercerita lagi. “Siapa nama temanmu, Na? Laki-laki atau perempuan?” Tanyanya. “Laki-laki, Bu. Namanya Ares” Jawab Karina. "Ooh! Ares.." Jawab Ibunya singkat. lalu, Ibunya menengadah, kedua bola matanya memandangi langit-langit kamar. Mengingat sesuatu. “Kamu ingat cerita yang dulu selalu Ibu dongengkan saat kamu masih kecil?” Tanya ibunya “Hmmm” Karina menggumam, mencoba mengingat. “Tentang dewa-dewa dalam mitologi romawi bukan, Bu?” Salah satu dongeng yang Ibunya bacakan saat ia masih kecil. Ibunya mengangguk. “Dalam mitologi Romawi, Ares dikenal dengan sebutan Mars, dewa yang diadaptasi dari mitologi Etruska. Mulanya, Mars lebih dikenal sebagai dewa pertanian ketimbang dewa perang. Tapi semua berubah saat kekuasaan Romawi semakin lama semakin kuat. Ia dikenal sebagai dewa perang yang selalu haus akan pertempuran darah. Ares berkuasa atas alat-alat perang, penyerangan dan pertahanan kota, pemberontakan, penjarahan, kejantanan, serta keberanian” Jawabnya. Karina menyimak. Pikiran melayang pada kejadian beberapa saat lalu, mengingat setiap gerakan Ares melawan empat preman dan berhasil melarikan diri. “Dewa yang kuat dalam pertempuran” gumamnya. Otomatis menyamakan Ares yang dikenalnya dengan Dewa Ares dari cerita Ibunya. Tanpa sadar Karina mengulum senyum tipis di sudut bibirnya. Ibunya menyeringai. Menelisik senyum Karina yang tersipu. “Dulu, Ibu bertanya pada Ayahmu, kenapa memberikan nama Karina. Lalu Ayahmu menjelaskan tentang namamu. Karina dengan penulisan Carina; adalah konstelasi di langit selatan. Carina mengandung Canopus. Kedua bintang yang paling terang di langit malam. Carina adalah rumah bagi beberapa bintang ganda dan bintang biner. Upsilon Carinae adalah bintang biner dengan dua komponen raksasa berwarna biru-putih, 1600 tahun cahaya dari Bumi. Carina berada di langit selatan cukup dekat dengan kutub langit selatan, membuatnya tidak pernah terbenam untuk sebagian besar belahan bumi selatan” “Wah. Bahasa antariksa Ibu hebat. Bisa hapal semua itu” Puji Karina. Terselip rasa bangga mengetahui arti namanya yang hebat. “Sepertinya Ayah mau Karina bersinar seterang itu ya, Bu” Ibunya mengangguk pasti. “Benar sekali, itu yang Ayahmu maksud. Rumah dari bintang-bintang. Rumah yang bersinar” Ibunya menatap lembut. “Lain kali, coba kenalkan Ibu dengan Ares. Ajak saja kerumah. Siapa yang tahu, mungkin 'Carina' bisa menjadi rumah juga untuk Ares” Jawab Ibunya dengan senyum jahil. Karina tertawa, mengangguk cepat. “Iya, Bu” Jawabnya dengan senyum riang. Description: Nama Lengkap: Lilis Adetiana Media Sosial Instagram: @lilisadetiana "Cerpen ini di tulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri" Sinopsis: Tentang dua jiwa yang mencari rumah bintang paling terang, raga yang bermanuver diantara ribuan bintang, menelusuri rasi menuju rumah, pulang dan pulih. Kepergian ayahnya karena musibah kebakaran merubah kehidupan Karina. Ditinggalkan, menyalahkan diri sendiri, mengurung jiwa dalam penjara kesakitan, meratapi yang pergi, hingga lupa bahwa penyembuh luka bisa dari kasih sepanjang masa, segala yang masih bertahan, dekat dan ada. Ares yang tak lagi mengenali rumahnnya sebagai tempat pulang, rumah tanpa kehangatan, tanpa cahaya, dan tak ada lagi wajah yang terkasih. Ares bertahan untuk hidup, berjuang, melawan, walau resah dan tanpa arah.
Title: Rumah Semua Orang Category: Metropop Text: Cerita Sebelum Tidur Sudah lewat tengah malam. Dan perempuan kurus itu sudah sejak siang terus bersembunyi di sebuah rumah kosong. Sesekali mengintip dari balik jendela yang tinggal bingkai saja, pecah kaca-kacanya. Tepat di seberang jalan, ada sebuah rumah kayu tua, lampu mereka masih menyala. Ini sudah tengah malam, dan penghuninya belum juga tidur? Si perempuan terus mengintip. Tak mau melewatkan satu dua detik saja pengamatan ini. Satu pasangan suami istri keluar rumah, tanpa senter, tanpa obor. Kaki-kaki mereka hanya beralaskan sandal japit tua, tidak layak digunakan untuk masuk hutan. Tapi biar sejelek apa pun sandal itu, tetap mereka pakai sebab cuma itu mungkin satu-satunya sandal yang dipunya. Si Perempuan di rumah kosong memicing tajam, Apa yang mereka bawa? Sebuah jerami yang begitu banyak. Dipanggul layaknya memanggul mayat manusia. Setelah kedua orang itu menghilang di balik belukar dekat rumah mereka, segera perempuan itu menyusul, bergerak cepat dalam diam. Melangkah di antara suara-suara jangkerik. Dua matanya terus mengamati tingkah aneh pasangan suami istri itu. Semak-semak tak begitu padat. Mudah dilewati orang. Tapi ini sudah lewat tengah malam. Tak ada orang yang keluar segelap ini. Tak seorang pun berani. Apalagi … lihat! Dua orang—yang memanggul jerami—tadi, menuju sebuah danau terlarang. Danau Hitam! Tempat yang kata orang angker. Si perempuan kurus menelan ludah dalam-dalam, merinding tiba-tiba bulu kuduknya. Pelan-pelan dia melangkah, terus mengikuti suami istri itu hingga tiba di Danau Hitam. Jerami disingkirkan, dibuangi, dan Si Perempuan baru tiba tak jauh dari mereka, mengintip di balik semak belukar. Terkejut bukan main saat tahu isi di balik tumpukan jerami itu adalah seorang anak gadis, masih kecil, mungkin usianya belum genap sepuluh tahun. Malangnya, anak gadis itu tampak lemas tak berdaya, seperti tidak makan berhari-hari, dan seluruh badannya diikat tali, tak bisa bergerak. Mulutnya diplester. “Sudah kau bawa bunga mawar putihnya? Sini cepat!” Pria itu masih menyibak-nyibak sisa jerami di tubuh si anak gadis. “Ya sudah, lah! Kau kira aku bodoh!” yang wanita mengambil buntelan kresek dari saku, diberikan kepada suaminya. Lantas mereka melakukan sebuah ritual aneh, menabur bunga mawar putih, mengucapkan kalimat-kalimat yang tak dimengerti, kemudian bersujud, menunduk menghadap Danau Hitam. “Kuserahkan anak ini untukmu, wahai Dewa Danau! Satu kurban untuk kelangsungan hidup yang lebih baik.” Kemudian si pria menarik plester mulut anak itu. “Jangan, Pak! Buk! Aku ini anakmu …” anak itu menangis amat deras, menggeleng tanpa tenaga. Terus menerus memohon untuk dilepaskan. Perempuan di balik semak itu akhirnya memberanikan diri keluar dari semak belukar. “Hei! Lepaskan anak itu!” Suasana gelap, tak ada cahaya lampu sama sekali di sini. Dan yang tampak hanya bayangan hitam, dan samar-samar wajah yang tidak jelas. Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Si pria tak menghiraukan, malah langsung mendorong anaknya sampai jatuh ke dalam danau. Dia menjerit. Tapi apalah daya teriakan itu. Tak ada yang menolong. Anak itu tenggelam dalam pekatnya Danau Hitam. Dalam keadaan diikat seluruh badan. Si Perempuan kaget bukan main. Matanya memerah, berlinang air dari sudut-sudut mata itu. “Kalian gila!” tapi dia tak berani menolong. Tidak bisa berbuat apa-apa. Dua orang gila itu punya mata yang mengancam. Sedikit pun si perempuan kurus tak berani mendekat. Takut. Di antara samar-samar gelap malam, perempuan itu bisa melihat tak ada sedikit pun penyesalan dari ratu wajah mereka. Justru sebaliknya, mereka tersenyum lega, seolah beban hidupnya telah hilang, ditebus dengan nyawa sang buah hati. Pasangan suami istri itu melangkah mendekat, sang istri mengambil pisau lipat dari sakunya. Suara-suara binatang malam mendadak senyap, hilang begitu saja. Seolah mereka sedang takut, bersembunyi dari tingkah gila dua orang itu. “Mau juga kau masuk ke danau ini?” kata si pria. Perempuan itu melangkah mundur dengan kaki gemetaran. Keringat dingin mengucur tiba-tiba. Tentu saja tidak! "Hiiiii ... Seram! Aku tidak mau dengar lagi dongeng itu!" Yuri menutup mata. Alin buru-buru memeluknya. "Tenang, Yuri. Ada aku," kata Alin sambil menepuk-nepuk punggung Yuri. Mereka sedang tiduran di atas kasur. Lampu remang-remang di atas nakas menyala, suasana ruangan tampak lebih gelap, lebih seram. Bu Dahlan terkekeh. "Ya sudah, kalau begitu kalian tidur saja." Dia bangkit dari kasur dua anak itu, hendak mengambil selimut di tepi ranjang. "Tapi bagaimana akhirnya? Apa perempuan itu selamat?" Yuri bicara sambil tetap menutup mata. "Katanya tidak mau dengar lagi?" Alin langsung menutup telinganya. "Sudah, Bu Dahlan! Aku merinding, nih!" Suara Alin sedikit gemetaran. "Sudah, Lin, tidak apa. Kan ada aku." Yuri kini yang menepuk-nepuk pundak Alin. Bu Dahlan semakin tertawa, sambil geleng-geleng kepala. Memaklumi tingkah dua anak kecil itu. "Ayo tidur saja! Ini sudah jam sepuluh. Besok katanya mau nyiram tanamanmu pagi-pagi sekali?" "Jam sepuluh?" Alin mengendus-endus, hidung kecilnya kembang kempis. "Padahal kukira ini belum jam sepuluh." "Kau benar, Alin. Bu Dahlan memang lebay. Ini kan masih, emm ..." Yuri melihat jam dinding yang menempel di atas pintu kamarnya. "Jam sepuluh kurang 4 menit. Ya, ya. Kurang empat menit." Bu Dahlan menghela. Lantas mengambil selimut, digelar sampai membungkus dua anak itu. Menyisakan dua kepala kecil saja yang melongok dari balik selimut. "Selamat tidur anak-anak. Jangan lupa berdoa." "Dadah, Bu Dahlan! Selamat malam. Besok cerita lagi, ya ...." Yuri mengeluarkan telapak tangannya dari dalam selimut, melambai singkat, lalu dimasukkan lagi. Bu Dahlan keluar kamar, menutup pintu. Mengakhiri malam dengan sebuah dongeng memang bagus. Tapi dia sedikit menyesal sudah menceritakan kisah seram itu. Ada satu alasan yang terselip di balik kisah seram itu. Bahwa mereka tak seharusnya banyak berharap bisa bertemu ayah ibu mereka, yang sudah menelantarkan mereka di tempat ini, rumah kecil ini. Katakan Harapanmu! Di panti asuhan ‘Rumah Kita’, mereka bercocok tanam, sekolah, dan memasak sendiri. Di panti asuhan ‘Rumah Kita’, yang kecil dan terlihat suram ini, kebahagiaan selalu ada, menyentuh setiap dinding dan meja kursi, merebakkan aroma keceriaan. Di panti asuhan inilah, biar dikata orang sempit dan suram. Tapi kau takkan percaya. Begitu masuk, hatimu akan mendadak cerah. Hujan lebat. Suaranya memukul genting-genting rumah ini. Di satu sudut sana, langit langit berjamur, menghitam. Air hujan merembes, menetes ke ubin. “Klek! Cari baskom di dapur!” Bu Dahlan memegang nampan berisi kue tart mungil. Berjalan pelan dan hati-hati, sedikit gemetaran seolah badannya yang kurus itu tak bertenaga, tak sanggup mengangkat yang hanya sebatas kue tart mungil. “Sama serbet, Klek!” tambahnya sambil menengok ke belakang, memastikan Oklek sudah benar-benar meluncur ke dapur demi megambil baskom dan serbet. Sebab si anak nakal itu kadang-kadang susah diatur, seenaknya, dan paling menyebalkan di antara yang lain. Sebentar kemudian, kue tart itu diletakkan di tengah-tengah meja makan segi panjang. Dia membenahi rambutnya yang digelung, lantas duduk, toleh sana-sini. “Ayo ngumpul! Ngumpul!” Bu Dahlan tepuk tangan, meminta anak-anak berkumpul di meja makan. “Yuri! Sini! Untuk apa kau pandangi terus halaman depan?” Yuri hanya menoleh sebentar, lantas kembali memandangi halaman depan rumah ini dari jendela. Hujan lebat, basah jendela itu, basah juga ladang di depan. Yuri mengusap tetes-tetes embun yang menempel di jendela. “Bagaimana nasib cabe dan tomat yang baru kutanam pagi tadi?” dan gadis tujuh tahun itu belum juga beranjak dari jendela. Ya ampun! “Sini, Yuri!” Bu Dahlan menghela, berjalan mendekati Yuri. “Besok pagi kita lihat. Cabe dan tomat itu mungkin senang banyak makanan malam ini.” “Makanan? Air hujan? Pohon ceri itu juga?” Tanpa komentar, Bu Dahlan memegang tangan Yuri, sedikit menariknya agar segera duduk di meja makan. Dia menurut. Dari kamar mandi, terdengar air kran mengucur, gayung berisi air disiramkan berkali-kali, dan suara anak laki-laki bernyanyi fals. “Martin!” Bu Dahlan berteriak ke arah kamar mandi. “Jangan bernyanyi di toilet! Setan-setan bisa masuk ke mulutmu!” Saat itu juga suara nyanyian Martin di dalam toilet tak lagi terdengar. Dia keluar sebentar kemudian, sambil membenahi resleting celananya, lalu berjalan mendekati meja makan. Melotot gembira melihat kue tart di atas meja. “Yee!! Ada ku …” “Ssstttt ….!! Martin! Jangan berisik!” Bu Dahlan menoleh, melirik sengit ke arah Martin, anak tertua di rumah ini. Buru-buru Martin menutup mulut, lantas ditepuk-tepuk sendiri, memberi hukuman atas mulut lancangnya. “Hari ini kita makan malam apa, Bu Dahlan?” di meja makan, Alin sudah lebih dulu duduk, memegangi boneka kelincinya, dimain-mainkan. “Nanti juga kau tahu.” Bu Dahlan membelai rambut Alin. “Ayo semua kumpul! Kita makan malam! Siapa yang belum datang? Nely Mely! Keluar dari kamar! Kalian mau di sana sampai kapan?” Duduk mengelilingi meja makan, Yuri, Martin, Alin, Bu Dahlan. Lantas tak berapa lama kemudian datang Nely dan Mely, si kembar yang tak pernah terpisah. Sama-sama suka di kamar, asik dengan dunia imajinasi buku-buku yang dibaca. Mereka juga sama-sama berkacamata. Kompak sekali. Keduanya duduk bersebelahan. Bungkam, satu dua kali tertawa pendek. “Alin! Kenapa kau belum makan?” “Belum disiapkan, Kak,” kata Alin. Dia menyentuh meja. Masih belum ada piring sendok di sana. Garis-garis bibirnya turun. Perutnya sudah lapar. “Si Enci sudah lapar,” katanya sambil mengangkat tinggi-tinggi boneka kelincinya. Semua anak tertawa. Bu Dahlan geleng-geleng maklum. “Oklek mana?” tanya Martin sambil toleh sana sini. Belum tampak jambul rambutnya. Tersadar, Bu Dahlan menengok ke belakang. Hujan masih deras, ubin masih basah, kebocoran. Oklek mengambil serbet dan baskom saja bukan main lamanya. “Klekk!! Baskom dan serbet!” Suara Bu Dahlan meninggi. “Iya!” dari dapur Oklek bergegas keluar sambil membawa baskom dan serbet, langsung diletakkan di tempat yang bocor. Mulutnya bergerak-gerak, seperti mengunyah sesuatu. Bu Dahlan mendelik. “Kau makan duluan?” “Sudah lapar, Bu! Lha itu cuma kue! Mana kenyang?” Oklek menunjuk meja makan. “Jadi ya saya makan nasi dulu di dapur.” Martin menepuk jidad, mendelik ke arah Oklek. Nely dan Mely cekikikan. “Kue? Ada kue malam ini?” Alin sedikit kaget, girang, tangannya meraba-raba meja. “Mana? Mana?” Yuri yang duduk di sebelahnya langsung menepuk-nepuk pundak Alin. “Tenang, Lin, sabar … Aku tahu kau tidak sabar, kan? Soalnya ini kan hari ulang tahunmu. Yang ke berapa?” polos sekali anak itu bertanya. Bu Dahlan hanya menghela lemas. “Ulang tahun!” Alin melotot. Alisnya naik, kaget. Senyumnya mengembang tak terhingga. Dan rencana mengejutkan Alin dengan kue dan nyanyi-nyanyian ‘Selamat ulang tahun’, gagal total. Gara-gara Oklek dan Yuri. Maka malam ini ketika semuanya berkumpul, dikumandangkanlah lagu ‘Selamat ulang tahun’ bersama-sama, tanpa kejut-kejutan. Bu Dahlan, Martin, Oklek, Nely dan Mely, Yuri, lalu Alin. Duduk mengelilingi meja. Di tengah-tengah, kue tart mungil menghias. Lilin kecil di atasnya menyala. Bu Dahlan mendekatkan kue itu sekian puluh senti di depan Alin. “Kau bisa merasakan panasnya, Nak?” tanya beliau. Alin mengangguk pelan. Coba lihat! Wajahnya diterangi sinar lilin. Semakin kuning, semakin berkilau. Senyum Alin tak kunjung padam. Didekapnya erat-erat boneka kelinci itu. Bu Dahlan pelan-pelan mengambil boneka Alin, “Bonekanya Ibu simpan dulu, ya. Sekarang tiup lilin itu. Kau bisa, kan?” Sedetik diam. Alin mendekatkan kepalanya pelan-pelan. Sangat pelan. Lantas ditiup. Api lilin belum padam. “Kurang dekat, anak cantik.” Bu Dahlan bicara dengan halus. Alin sedikit tertawa, lantas pelan-pelan mendekatkan kepalanya lagi. “Kau mau kubantu, Lin?” Oklek tidak sabar, langsung beranjak dari kursinya, mendekati Alin, tangannya mau memegang kepala anak itu, mau didorong lebih dekat lagi. Saat itu juga Bu Dahlan langsung menepuk tangan Oklek keras-keras, melotot. “Biarkan Alin sendiri!” Oklek menghela lemas. Kembali duduk, wajahnya melas, menguap lebar-lebar. Tak lama kemudian ketika jarak kepala Alin dan lilin sudah semakin dekat. Alin meniup kencang-kencang. Sinar lilin mati. Semua gembira. Semua tepuk tangan. Tidak semua sebenarnya. Oklek masih duduk memelas, menguap lebar-lebar. Nely memukul pundak Oklek, memintanya ikut tepuk tangan. Dia tak mau Alin tahu ada satu orang yang tidak ikut serta tepuk tangan. Terpaksa, malas-malasan Oklek bertepuk tangan. Benar saja. Seketika itu senyum Alin semakin terkembang, tahu kalau semua orang yang ada di rumah ini bertepuk tangan untuknya. “Selamat ulang tahun, Alin. Kau sudah bertambah besar.” Bu Dahlan mencium keningnya. “Apa harapanmu tahun ini?” “Aku ingin terus bersama kalian, bersama keluargaku.” Yuri, Nely dan Mely bangkit, memeluk Alin rapat-rapat. Martin hanya bersendekap, tersenyum lebar. Sebagai anak yang paling dewasa. Dia memang tak ingin peluk-pelukan lagi. Seperti anak kecil saja. Dan Oklek menguap lagi, mencolekkan jarinya ke kue mungil itu, lalu dimakan. Dia masih lapar. Lama sekali menunggu adegan sedih-sedihan ini selesai. Bu Dahlan menitikkan air mata. Menghela napas dalam-dalam. Dia memang perasa, tak bisa melihat adegan-adegan begini. Air matanya langsung menetes. Sebentar diusap dengan tangan. “Kau akan selalu bersama kami, bersama keluargamu, Alin.” “Oh, ya! Satu lagi!” Alin mengacungkan jari telunjuk. “Apa?” tanya Yuri. “Aku ingin melihat kalian semua. Tidak apa-apa, kan, aku berharap seperti itu?” Senyum Alin merekah. Boleh jadi, itu adalah harapan paling besar dalam hidupnya. ‘Bisa melihat’. Tidak hanya melihat seisi panti ini, tapi melihat dunia. Hening. Pelukan mereka semakin erat saja. Oklek menegapkan badan, hilang kantuknya, hilang laparnya. Memandang dua mata Alin yang berkaca-kaca, lantas jatuh satu dua tetes kristal dari sudut mata itu. Biar dia menangis, dan api lilin sudah padam, tapi senyum gadis kecil itu tetap bersinar. Merekah oleh harapan-harapan besarnya. Ingin Tahu Sebuah Rahasia? Hujan masih deras malam ini. Dan semua orang sudah berada di kamar masing-masing. Lampu dimatikan. Tidak ada lagi suara apa pun selain hujan. Rumah ini sunyi. Dan di balik selimut itu Oklek tidak bisa tidur. Begitu memejamkan mata, rasanya ingin terjaga lagi. Dia menyibak selimutnya. Menarik napas dalam-dalam. Di kamar sempit ini, ada satu ranjang tingkat. Oklek tidur di bawah, Martin di ranjang atas. Dia sudah mendengkur. “Dasar pemalas!” lirih Oklek. Bukannya Martin benar-benar pemalas, sih. Tapi memang ini sudah malam. Dan justru Oklek yang susah tidur. Dia memikirkan kata-kata Alin tadi. Ingin melihat, ingin bersama semua orang di sini, keluarganya. Yang namanya orang buta, tentu harapannya ingin bisa melihat. Tapi untuk bersama keluarganya. Tidak! Alin sekarang tidak sedang bersama keluarganya. Oklek tahu dulu saat Alin berusia dua tahun, ada dua orang laki-laki perempuan menitipkan Alin di sini. Saat itu dia benar-benar ingat obrolan mereka dengan Bu Dahlan. “Kami ini orang miskin, Bu Dahlan. Tak kuat merawat anak yang sudah empat. Kini ditambah satu, buta lagi. Macam mana cara kami menghidupi mereka?” kata tamu yang laki-laki. Bu Dahlan tak bisa berbuat banyak. Dia terpaksa menerima Alin tinggal di sini. “Tapi saya berharap kelak kalian akan mengambilnya lagi. Biar bagaimana pun, kami takkan bisa menggantikan orang tua yang sebenarnya.” “Tentu, Bu Dahlan. Tentu …” Si laki-laki menjawab kalem, memelas. Oklek mengintip di balik pintu kamar. Pria itu berkumis tebal, kurus, membungkuk. Dan yang perempuan memakai jilbab asal-asalan, juga kurus seperti tidak terurus. Wajahnya memelas, dengan gigi tonggol lebih menonjol ketimbang hidungnya. Pakaian mereka lusuh sekali. Seperti tidak dicuci berminggu-minggu. “Tentu akan kami ambil kembali kalau dia sudah berusia enam tahun. Paling tidak di umur segitu Alin sudah cukup besar, dan tak begitu merepotkan kami.” Bu Dahlan menghela. “Kalian bicara begitu seolah-olah anak ini merepotkan sekali.” Saat itu, Oklek melihat anak kecil usia dua tahun. Duduk-duduk saja di ruang depan, memegang boneka kelinci. Pandangannya kosong, diam saja. Anak itu tidak bisa melihat. Tak menjawab, tak bicara apa-apa lagi, si laki-laki merogoh saku, memberikan kertas kepada Bu Dahlan. “Ini alamat kami. Jika saja kelak saya tidak bisa datang, mungkin Bu Dahlan bisa mengantarnya ke rumah.” Itu dia! Oklek bangkit dari tidurnya. Angan-angan masa lalu itu dikibas tangan, sirna. Usia enam tahun Alin sudah seharusnya pulang! Tapi ini sudah lewat. Dia sudah tujuh tahun. Bu Dahlan telah melewatkan masa usia Alin untuk kembali ke keluarganya. Keluarga yang sebenarnya. Bukan di sini. Malam itu juga. Ketika hujan masih deras, Martin masih mendengkur, Oklek menyibak selimut, beranjak dari kasur. Membuka pintu kamar. Kebelet pipis. Tapi lampu ruang depan sudah menyala. Siapa malam-malam begini belum tidur. Oklek melangkah pelan, memanjangkan lehernya, mengintip di ruang depan. Rupanya tak jauh di sana, ada Nely Mely sedang mencari sesuatu, ke kolong meja, kursi. Di atas lemari berisi buku-buku. Alin juga ada. Sedang berdiri tepat di depan kamarnya. “Psstt! Ada apa?” Oklek melangkah pelan, mendekat. Di bawah meja, Mely menjawab. “Mencari boneka Alin. Kau tahu ditaruh di mana?” karena tidak ketemu, dia bangkit, menata rambut dan kacamatanya. “Duh! Di mana, ya?” “Alin tidak bisa tidur tanpa bonekanya,” tambah Nely. Dia selesai merogohi atap lemari. Kosong. Boneka kelinci itu tidak ditemukan. “Bukankah tadi dibawa Bu Dahlan?” Nely Mely kompak menepuk jidad. “Oh iya! Bagaimana ini?” pandangan mereka menuju ke arah Alin di depan pintu kamar. Berdiri mematung, kebingungan. “Aku tidak bisa tidur, Kak. Bonekaku mana?” Alin merengek. Oklek buru-buru menutup mulutnya. “Sstt … diam dulu. Biar Kak Oklek ambilkan, ya.” Senyum Alin mengembang. “Asiikkk!!” Dan itulah hal yang paling disesalinya hari ini. Oklek berjanji yang susah. Dia harus masuk ke kamar Bu Dahlan dan mengambil boneka kelinci. Kalau Bu Dahlan bangun. Mati dia dihukum. “Apa yang kau lakukan? Masuk ke kamar Bu Dahlan?” Mely memukul punggung Oklek. Dia hanya garuk-garuk kepala. Menghela lemas. Mau tak mau. Daripada mengecewakan senyum Alin yang lebar itu. Tidak tega rasanya. Mendadak kebelet pipisnya hilang. Kamar Bu Dahlan berdempetan dengan kamar Nely Mely. Dan seluruh penghuni panti sudah tahu, bahwa kamar itu tidak pernah dikunci. Kuncinya hilang, dan gagang pintunya dulu dipatahkan Oklek waktu tak sengaja lari-lari dengan Martin. Jadi saat ini pintu kamar itu hanya diganjal kertas saja. Sudah pasti bisa dibuka kapan pun. Oklek menelan ludah, berkeringat. Dia membuka pintu itu pelan-pelan. Ganjal kertas jatuh, pintu terbuka sedikit lebar. Oklek mengendap masuk. Kamar ini tak begitu besar. Dan di atas kasurnya Bu Dahlan sudah pulas, selimut tersibak, rambut yang biasa dikuncit, kini diurai panjang. Dia menghadap membelakangi Oklek. Setidaknya posisi Bu Dahlan sedikit membuat napas Oklek lega. Pandangan mata Oklek mengedar cepat. ‘Boneka … boneka …’ dia membatin. Tak mau membuang waktu. Beruntung. Tepat di atas meja rias itu boneka Alin tergeletak. Segera diambil, dan bergerak pergi. Tapi sedetik kemudian urung. Kembali menoleh, memperhatikan kamar ini padat-padat. Ada dua meja di kamar ini. Satu meja rias. Ada cermin, bedak dan macam-macam perlengkapan rias. Oklek mulai membuka lacinya. Lipglos, eye shadow. Huff! Dia menghela. Dan dua laci sisanya juga berisi peralatan make up. Oklek bergerak ke meja satunya. Di atasnya ada buku-buku bacaan, alat tulis, juga kertas-kertas. Rapi dan bersih. Meja ini mungkin yang dipakai Bu Dahlan kerja. Oklek membuka laci pertama. Dan di sinilah sesuatu yang tak seharusnya ketemu, akhirnya diambil oleh tangan lancang Oklek. Sekilas diperhatikan kertas itu. Dibuka, isinya hanya nama seorang pria dan sebuah alamat rumah. “Ini pasti alamat Alin. Dia harus tahu.” Katanya sambil tersenyum. Sebentar dipandangi Bu Dahlan yang lelap itu. “Kau memang baik, Bu. Tapi tak seharusnya ingkar janji. Memulangkan Alin di usia enam tahun adalah janji yang tidak kau tepati.” Oklek berkata lirih, menghela. Dia bergegas keluar kamar. Tak lupa menutupnya dengan ganjal kertas lagi. Di luar kamar. Nely dan Mely senang bukan main boneka itu sudah ketemu. Oklek memberikannya ke Alin. “Terima kasih Kak Oklek.” Dia meraba-raba, menjabat tangan Oklek, lantas memeluk Enci erat-erat. “Ayo tidur! Ini sudah malam!” Mely menarik lengan Nely, keduanya beranjak lebih dulu, menuju kamar. “Ayo Lin! Kau bisa masuk kamar sendiri, kan?” Alin mengangguk. Dia berjalan sambil meraba-raba dinding, satu tangannya mendorong pintu kamar. “Lin!” Oklek memanggil, menghentikan langkahnya. Suasana ruang depan sudah sepi. Nely dan Mely sudah masuk kamar lebih dulu. Menutup pintu. Tinggal Oklek dan Alin di luar. “Ya?” Alin menoleh pendek. Dia tak bisa melihat. Jadi pendengarannya yang di arahkan ke tempat Oklek berdiri. Berhati-hati Oklek melangkah, lalu jongkok tepat di depan Alin, membelai rambut panjang anak kecil itu. Poninya tergerai lembut, memanjang hampir menutupi dua alisnya. Oklek menghela sebentar. “Kau …” Hening. Susah sekali mulut Oklek untuk terbuka. “Kau apa?” tanya Alin. Boneka dipegang erat-erat. Alisnya sedikit naik, penasaran. “Kau ingin tahu sebuah rahasia?” Lalu dua alis yang sudah naik itu, kini lebih naik lagi. Voting Kalau malam tadi hujan deras, maka pagi ini langit sangat biru, awan mengapas, berlarian saling kejar, membentuk macam-macam. Nely Mely, dan Martin sudah berangkat sekolah sejak awan-awan itu belum datang. Maka di rumah kecil itu cuma ada Yuri, Alin dan Oklek. Tentu Bu Dahlan juga harus dihitung. Dia memang selalu datang dan pergi setiap waktu untuk bekerja. Tapi tetap saja, kan, rumahnya di sini. Tidur dan makannya di sini. Sama seperti yang lain. “Tanah-tanah jadi basah. Kebun kita sekarang tak perlu disiram air lagi, Lin.” Yuri di halaman depan, menatap kebun dengan mata segar berbinar. “Ow! Rupanya benar kata Bu Dahlan malam kemarin!” “Apa?” Alin melangkah pelan, meraba sekitar. Ada meja dan kursi dari kayu. Dia duduk di situ. “Kata Bu Dahlan, cabe dan tomat punya banyak makanan! Pohon ceri itu juga! Tampak kenyang dan lebih gemuk.” Yuri menunjuk pohon ceri di sisi kiri rumah ini. Usianya cukup tua. Sudah ada sebelum Alin datang empat tahun lalu. Ranting-rantingnya sudah memanjang, menjulang setinggi rumah ini. “Dan kau tahu, Lin?” “Apa?” Alin bertanya lagi. Tersenyum lebar. “Mereka tampak lebih segar!” Yuri menghirup udara dalam-dalam. “Dan baunya juga segar. Bisa kau rasakan?” Alin menggeleng singkat. “Boleh aku ke sana?” Alin bangkit, meraba-raba lagi. “Ke sana itu ke mana? Ke ladangku, atau ke pohon ceri itu?” “Aku tidak mau ke pohon ceri. Banyak ulatnya.” Alin bergidik, menggaruki tangannya yang mendadak gatal gara-gara memikirkan ulat-ulat bulu. Yuri tertawa singkat. Karena Alin tidak pakai alas kaki, maka Yuri buru-buru mengambil sandal, lantas dipasangkan di dua kaki Alin. “Sini, kupegangi tanganmu,” katanya sambil menuntun Alin hati-hati. Berjalan menuju tepian ladang. Yuri lalu jongkok, menyuruh Alin mengikuti ikutan jongkok. “Ulurkan tanganmu! Akan kubantu kau menyentuh daun-daun mungilnya.” Tangan kecil Alin bergerak, mengulur, lantas Yuri memeganginya, menuntun ke salah satu tanaman cabe yang masih sangat kecil. Begitu tangan Alin menyentuhnya. Dingin, basah bekas hujan tadi malam. Segar sekali rasanya. Senyum kecil mengembang di wajah Alin. “Yang itu cabeku.” “Tidak pedas kalau disentuh begini?” Yuri tergelak, menggeleng saja walaupun—sudah tentu—Alin tidak akan melihatnya. Lalu dia menuntun Alin memegang tomat. Belum ada buahnya. Masih dedauan yang tumbuh. “Yang ini tomatku. Sudah lebih besar, kan?” Alin mengangguk. “Kau menyirami tanaman di ladang ini setiap hari?” “Tentu. Tapi kemarin malam hujan lebat. Tak perlu disiram, mereka sudah banyak makan.” Mereka bicara banyak. Tentang lahan, cabe tomat, angin, sampai awan-awan di atas yang berbentuk macam-macam seperti hewan. “Kau tahu ikan, kan?” Yuri bertanya. “Aku pernah memegang ikan peliharaan Kak Oklek.” “Nah, kalau kau mendongak. Bisa kau bayangkan awan-awan di langit itu ada yang bentuknya ikan.” Alin tersenyum lebar, mendongak. Seolah-olah turut memandangi awan bentuk ikan itu. Dan mereka kembali berbincang. Banyak sekali. Yuri memang cerewet. Alin suka dekat-dekat Yuri. Selalu ada cerita yang disampaikan. Tapi kegembiraan sederhana di pagi ini mendadak hancur ketika pintu dari kayu rumah ini dibanting kasar-kasar. BRAAKK!! Alin dan Yuri kaget, menoleh. Jantung tiba-tiba Alin berdetak cepat. Ada apa itu? “Sudah kubilang kau jangan lancang!” Suara Bu Dahlan di dalam terdengar keras. Lalu dari dalam rumah muncul Oklek memakai kaos dalam dan celana tiga per empat saja, melangkah cepat keluar. “Saya tidak lancang, Bu. Ini yang seharusnya dilakukan.” “Tidak boleh! Ini Perintah!” Bu Dahlan keluar, berkacak pinggang. Melotot. Sedikit pun ekspresi itu tidak menakuti Oklek. “Seharusnya setahun lalu Alin sudah pulang. Tapi Bu Dahlan seolah-olah menyembunyikan hal itu. Jadi sekarang dia harus pulang. Ke rumahnya yang asli. Ke keluarganya yang asli.” “Dia sudah di rumah. Mau ke rumah siapa lagi?” Oklek menghela, mendekati Bu Dahlan. Di sana, Alin diam saja. Jongkok saja. Mematung. Yuri yang tak tahu menahu hanya mengelus dada, merangkul Alin rapat-rapat. Ada apa ini? Begitu pikirnya dalam hati. “Bu Dahlan untuk apa menempel anak itu terus? Apa mau Alin seperti kami yang yatim piatu? Atau seperti Yuri yang tiba-tiba Martin menemukannya di depan pintu? Tanpa ayah ibu, tanpa tahu di mana rumahnya?” Bu Dahlan diam sambil mengelus dada. Sekilas dia melirik si cerewet Yuri yang tiba-tiba mematung. Takut sebab namanya disebut-sebut dengan kasar. “Dan kalau memang Bu Dahlan tidak ingin Alin pulang. Lantas buat apa kertas alamat itu disimpan terus? Kenapa tidak kau buang saja?” Bu Dahlan muntap. “Kau lancang sekali, Klek! Mengambil barang orang tanpa ijin!” Oklek diam, memandang sengit ke arah lain. Tak berani menatap Bu Dahlan. “Siapa yang lancang? Orang yang menahan-nahan keinginan orang lain untuk pulang, atau yang ingin mengantarnya kembali menemui ayah ibunya?” Bu Dahlan tidak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan. “Alamat itu kusimpan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.” “Kalau begitu inilah waktu yang tepat itu!” Oklek tak mau kalah. Dia bahkan kini berani melihat Bu Dahlan. Seolah sudah memendangkan perdebatan sengit ini. Gemas, kesal. Bu Dahlan memijat-mijat keningnya. “Seharusnya sudah kubuang saja alamat itu sejak dulu! Dan membiarkan Alin tak tahu apa-apa.” “Lalu dia akan bernasib sama sepertiku?” “Maksudmu, Klek?” “Apa Bu Dahlan tidak ingat dulu aku siapa? Anak lugu umur empat tahun, melihat dengan mata kepalaku sendiri Bapak Ibu pergi meninggalkanku di sini. Tanpa diberitahu alamat rumahnya, tanpa diminta untuk kembali? Aku ingat waktu itu Bu Dahlan menangis sambil memelukku erat-erat, tak memperbolehkan aku mengejar bapak ibu yang kabur. Aku memang anak buangan, Bu. Tapi Alin tidak. Ayah ibunya meminta dia pulang.” Hening. Oklek meraih sandal di rak sepatu, lantas memasangnya. Dia mendekati Alin, jongkok. “Alin. Kau sudah kuberitahu rahasiamu kemarin malam. Sekarang coba sampaikan keputusanmu di depan Bu Dahlan. Supaya dia dengar.” Alin bingung. Diam. Menggigit bibir bawah. Dia gemetar. Takut jika keputusannya malah membuat Bu Dahlan semakin mengamuk. “Tidak perlu dikatakan! Sudah kubilang. Keputusan ada di tanganku. Alin tidak boleh kembali ke rumah ayah ibunya. Titik!” Oklek bangkit. Kali ini dia beranikan diri melangkah mendekati Bu Dahlan, mengambil sikap perlawanan. “Itu pemaksaan, Bu.” “Tak perlu ada sanggahan lagi! kalau titik, ya titik! Keputusan tidak bisa diubah.” Bu Dahlan balik badan, pergi dari halaman depan, masuk ke dalam. Sejenak diam. Oklek sebenarnya heran dengan keputusan Bu Dahlan yang sepihak itu. Dia memang hanya anak umur empat belas tahun. Tapi tidakkah anak-anak di sini diberi kebebasan memilih hidup? Hei! Ini jaman milenial! Negara demokrasi. Biar sedikit, Oklek tahu juga tentang kebebasan berpendapat. Tak sampai semenit kemudian Bu Dahlan keluar dari rumah, menenteng tas, berangkat kerja. “Camkan baik-baik! Tidak ada yang boleh pergi! Apalagi itu Alin. Titik!” Kata ‘titik’ itu keluar lagi dari mulutnya. Mengheningkan semua orang. Bahkan Oklek tak berani bicara. Lihat wajah Bu Dahlan yang garang. Baru ini mereka melihat wanita baik hati itu melotot tajam, dan bicara keras-keras. Oklek hanya menunduk. Tak mau lama-lama melihat wajah marah Bu Dahlan. Setelah dia pergi. Mereka bertiga menghela lega. Yuri menarik napas dalam-dalam. Dan hilang sudah rasa takut Alin. “Kau beneran mau pulang ke rumah ayah ibumu, Lin?” Alin mengangguk pelan, sediki ragu. Gara-gara Bu Dahlan menahannya, semakin sempit kesempatannya untuk pulang. “Apa kau tidak ingat cerita Bu Dahlan tentang rumah-rumah orang gila?” Alin memicing, telinganya dipasang baik-baik untuk lebih detil mendengar suara Yuri yang semakin kecil. “Pernah. Kenapa memang?” Tak jauh dari mereka, Oklek penasaran, mendekat supaya ikut mendengar obrolan dua anak kecil itu lebih jelas. Yuri melirik Oklek sedikit takut. Dia tak bertanya tentang dongeng itu ke Oklek, sebab teman kecil Alin itu memang hampir tak pernah bicara dengannya. Wajah Oklek yang seperti anak nakal membuatnya selalu merinding. “Nah itu! Bagaimana kalau itu benar? Kalau di luar sana ada rumah yang penghuninya kejam, suka mengikat anak, dan tidak memberinya makan berhari-hari, seperti cerita Bu Dahlan itu. Kan mengerikan, Alin!” Oklek tergelak, mengibas tangannya. “Itu cuma cerita sebelum tidur!” Kali ini Yuri menggeser duduknya ke Alin, melingkarkan tangan pada lengan Alin, tak berani memandang Oklek lama-lama. “Bagaimana kalau itu benar-benar ada? Kau dalam bahaya, Lin! Lebih baik di sini saja.” Oklek mendekat lagi, jongkok tepat di belakang Yuri. “Kalau pun asli, tentu di tempat lain. Alin kan mau ke rumahnya. Pulang, menemui ayah ibunya. Kau tidak punya ayah ibu, sih! Jadi tidak tahu.” Pandangan Oklek menusuk-nusuk Yuri. Dia berpaling sambil menjerit kecil. Semakin takut. “Sudah Lin! Jangan percaya Yuri. Cerita itu hanya dongeng sebelum tidur. Tidak nyata.” Oklek beranjak bangkit. “Kita harus voting!” Oklek berkacak pinggang, dua matanya melirik Alin kasihan. “Apa itu voting?” Yuri bertanya. “Memilih yang terbanyak, Yuri.” “Maksudnya?” Oklek menghela, malas menjelaskan. Dia berjalan pergi sambil mengibas tangan. “Nanti juga kalian tahu.” Pencuri! Oklek dan dua temannya, Kiki dan Hem, adalah satu tim dalam mengamen. Mereka selalu janjian jam dua siang di sebuah pasar tradisional. Pasar yang selalu ramai bahkan di malam hari. Tempat itu menjadi langganan mereka. Kadang-kadang mereka merambat ke gang-gang kampung sebelah. Bermodal dua gitar, kendang, dan vokal. “Mana Kiki? Sial! Masa aku yang nyanyi?” Oklek mengutak atik gitarnya, menyetem nada sampai dirasa pas. Hem tertawa, menepuk lengan Oklek keras-keras. Bahkan asap rokoknya sampai tertelan, batuk-batuk, mau muntah. “Mati kita! Bukan dibayar, kita yang malah disuruh bayar ganti rugi!” ucap Hem sambil pemanasan, memukul-mukul kendang, menghapal tempo untuk lagi kali ini. “Maksudmu?” “Ganti rugi karena sudah merusak telinga mereka.” Oklek menarik rambut Kiki. “Sialan! Suaraku tak buruk-buruk amat. Di panti, suaraku paling enak.” “Mereka saja yang tak pandai menyanyi.” “Alin bisa.” Oklek protes. Dia pernah beberapa kali mendengar Alin menyanyi lagu anak-anak. Suaranya tak jelek. “Yang buta itu?” “Iya.” “Biasanya orang buta pandai tarik suara. Tapi kau jangan pura-pura buta pas nyanyi. Bisa kabur orang-orang.” Dari seberang, Kiki datang, melangkah menyeberang. Lari-lari kecil menuju ke dua temannya. Dia berdeham, memijat-mijat tenggorokannya. Tanpa salam tanpa permisi. Langsung memukul Oklek pelan. “Suaraku habis! Klek! Nyanyi, ya?” suara Kiki berat, serak. Nyaris hilang. Oklek dan Hem terkejut. “Kok bisa?” “Kemarin begadang. Kebanyakan rokok,” jelas Kiki sambil berdeham lagi. “Sini gitarmu!” tanpa ijin dia mengabil gitar Oklek. Diam. Dua anak yang lebih dulu datang itu saling berpandangan. Sore ini alamat dapat uang sedikit. Memang benar suara Oklek tak buruk, tapi tak juga bagus untuk jadi penyanyi. Hasil sore ini begitu mengenaskan. Baru setengah jalan, sudah malas melanjutkan. Hem menaruh kendangnya, duduk di sebuah gazebo pinggir jalan bekas posko partai. Bahkan di gazebo bambu itu masih ada poster-poster pemilu yang sudah kadaluarsa. “Apess … apess!” Hem merebahkan badannya, mau istirahat. Tidak semangat rasanya. Tapi karena banyak semut di sini, dia bangkit lagi sambil mengibas-ngibas bajunya yang dirambati semut. “Kalau begini, mending aku pulang saja.” “Eh, tunggu lah!” Oklek menahan Hem. “Besok aku mau pergi ke luar kota. Uang sakunya kurang, Hem. Bantulah dulu.” Di sudut gazebo ini, Kiki menghitung hasil mengamen, lantas meletakkan semua uangnya di tengah-tengah mereka. Menghela sebentar. “Biasanya jam segini kita sudah dapat tiga atau empat puluhan. Sekarang baru dua puluh dua ribu.” “Dua dua ribu? Ya ampun!” Hem kembali merebahkan badannya. Kali ini bahkan dia tak peduli ada semut atau tidak. “Bagaimana nasib makan malamku nanti?” Lama memikirkan hal itu. Mereka malas mengamen kecuali Oklek. Dia butuh uang untuk perjalanannya bersama Alin. Martin, Nely Mely dan Yuri jelas tak punya banyak uang. Mereka jarang diberi uang saku oleh Bu Dahlan. Pengeluarkan mereka sehari-hari selalu cukup untuk makan minum saja. “Sini uang kalian!” Oklek tanpa ijin langsung mengumpulkan uang itu lagi, lantas dimasukkan ke dalam tasnya. “Uang ini biar kuambil.” Kiki dan Hem protes. Belum juga mereka memarahi Oklek, lebih dulu dia bicara. “Untuk makan malam kalian. Biar aku yang urus! Kau mau apa, Ki?” “Maksudmu? Kau mau belanja dengan uang itu?” “Aku akan mencuri.” “APA!” Kiki terhenyak. Hem bangkit, melotot tak percaya. “Mencuri makanan itu jauh lebih mudah ketimbang uang. Uang biasanya di laci yang terkunci. Di dompet yang dikempit di ketiak. Di dalam saku celana yang selalu dipegangi pemiliknya. Susah, Hem! Tapi kalau makanan beda. Digelar, dibiarkan, bahkan jika lalat atau tikus kencing di situ pun tidak ada yang peduli. Jadi kalau kalian butuh makan. Akan kucurikan di pasar. Bagaimana?” “Kau gila? Mau ditangkap seperti dulu? Ingat dulu gara-gara mencuri kau dipukuli Bu Dahlan sampai tidak bisa jalan!” Hem menggoyang-goyang pundak Oklek, menyadarkan. “Alaaa! Sudahlah! Itu dulu karena aku mau nyuri uang. Bukan barang.” “Apa bedanya?” Oklek mengibas tangan, beranjak turun dari gazebo itu. “Sudahlah! Percaya Oklek!” katanya sembari menepuk-nepuk dada. “Kembali nanti, akan kubawakan kalian lauk pauk. Sayuran, kalau sempat, ya buah-buahan. Asal uang ini kuambil. Lagi butuh, nih!” Dua teman Oklek saling berpandangan. Lantas mengangguk setuju. Senyum Oklek mengembang lebar. Dia melangkah menjauhi dua temannya. Menuju pasar lagi. Selembar kresek terbang kena angin, menepi tepat di depan Oklek. Sepertinya nasib baik sedang menolongnya. Dia ambil kresek itu untuk bungkus barang-barang. Di pasar ini selalu ramai. Tak kunjung sepi. Sepeda motor parkir berjajar, tak pernah renggang. Satu pulang, satunya masuk. Begitu seterusnya. Tempat untuk mencuri yang tiada duanya. Oklek mencari lokasi yang tepat, mengamati pedagang yang lemah. Sebenarnya banyak sekali orang begini. Akan lebih mudah mengambil dompet orang. Tapi dia tak mau ambil resiko. Dulu pernah sekali taruhan dengan Hem mencuri uang. Dia tertangkap, dan Bu Dahlan marah besar. Oklek tak mau mengambil resiko terlalu besar, dan tertangkap lagi seperti dulu. “Bu, minyak itu berapa!” Oklek menunjuk deretan minyak di rak belakang. Begitu pandangan penjualnya lengah, menoleh ke belakang mencari yang ditunjuk Oklek, dia sigap ambil segenggam beras. Ditaruh di saku. Dan seperti itulah yang dilakukan sampai semua saku penuh. Dan satu kresek itu berat oleh tempe, jeroan, dan sayur mayur campur aduk. Sungguh hebat dia berbuat dosa. Kembalinya dari pasar. Benar saja dua temannya tertawa tak berhenti-henti. Oklek mengeluarkan hasil curiannya, membaginya dengan Hem dan Kiki. “Kalian sudah bersedia, kan?” Dan pulang hari ini dia memegang uang dua puluh dua ribu tujuh ratus rupiah di saku. Ditambah uang celengan, uang Martin, Nely Mely. Mungkin sudah cukup untuk pulang pergi. Dengan ditemani gitarnya, dan matahari yang sudah jingga di barat, Langkah Oklek riang menuju ke panti asuhan. Menelusuri jalan kampung, menikmati sore yang hangat. Pilihan Terbaik Jarum pendek jam dinding menunjuk angka tiga. Martin, Nely dan Mely sudah pulang sekolah. Tidak ada yang keluar rumah sore ini. Oklek yang biasanya mengamen, sekarang urung. Dia duduk-duduk saja di ruang depan, memainkan gitarnya dengan pelan. Sekilas pandangannya menyisir sekitar. Alin duduk di depan teve dengan Yuri. Mereka cerita macam-macam. Yuri suka bercerita. Bahkan iklan sabun mandi yang tayang di teve pun dia ceritakan ke Alin. “Wanita itu cantik, putih, rambut panjang diikat ke belakang.” “Putih seperti aku?” Alin bicara. “Iya. Dia memakai sabun judulnya GIV. Kita pernah memakai sabun itu.” Seperti yang diduga, Alin tidak paham. Dia hanya mengedikkan bahu. “Bagiku semua sabun sama saja. Harum, segar.” “Lain kali aku akan minta Bu Dahlan untuk belikan GIV. Supaya mirip-mirip di teve itu, Lin.” “Aku setuju!” dan mereka gembira sekali. Nely dan Mely di kamar, Martin baru saja makan siang. Dia ikut bergabung degan Yuri. Oklek tahu ini kesempatan bagus untuk mengumpulkan mereka. Dia meletakkan gitarnya hati-hati, bangkit, mendekati Martin. “Ayo kita voting!” Suara Oklek mengiang semua anak. Alin yang semula tertawa riang, kini mendadak bungkam. “Nely! Mely! Sini! Kita mau adakan voting!” Tak sampai lima detik, dua anak kembar itu sudah meluncur ke depan. Berdiri di dekat Martin. Berkerut dahi mereka. Sigap Oklek menyuruh semua orang duduk. Lantas dengan gaya bak guru di depan kelas, menjelaskan sedetil-detilnya tentang kondisi Alin, surat alamat itu, dan juga orang tuanya yang ingin kembali mengambil Alin di usia 6 tahun. “Tapi dia sudah tujuh tahun. Dan tidak ada orang tua yang datang mengambilnya.” Nely berpikir logis. Mely setuju. Mengangguk cepat. “Artinya ayah ibu Alin bisa jadi tidak mau Alin kembali ke rumah mereka.” Oklek berkacak pinggang. “Bagaimana kalau mereka tidak punya biaya untuk ke sini? Atau menunggu kita yang datang ke sana?” “Tapi bagaimana kalau mereka tidak menghendaki? Memangnya siapa yang tahu?” “Tidak ada yang tahu!” Oklek tak mau kalah. Dia menegapkan dadanya, secara tidak langsung sudah menciutkan nyali Nely dan Mely. “Tidak ada yang tahu kecuali aku. Dulu ayah ibunya bilang ke Bu Dahlan, bahwa setelah usia enam tahu mereka akan menjemputnya. Atau sebaliknya, Bu Dahlan yang mengantarnya.” “Tapi … kalau …” sedikitnya Nely takut dengan Oklek yang membusungkan dada itu. Kata-katanya kaku, tak diteruskan. Sebagai yang paling besar dari semua anak di sini, Martin menyudahi pertengkaran adik-adiknya. “Sudah … sudah! Kau menghendaki voting? Mari kita voting! Siapa yang ingin Alin tetap di sini?” Tak disangka. Yuri, Martin, Nely Mely, angkat tangan. Sudah jelas mereka menang. “Yang mau Alin pulang ke keluarga aslinya?” Martin bertanya lagi. Hanya Oklek yang angkat tangan. “Alin?” “Apa?” “Kau pilih yang mana?” tanya Martin. “Kalau kau mau tetap pulang, acungkan tanganmu. Kalau tetap di sini, tidak usah bergerak.” Tak disangka-sangka, Alin mengacungkan tangan. “Aku mau pulang. Ketemu ayah ibu. Seperti kata Kak Oklek kemarin.” Ada dua orang yang mau Alin pulang. “Voting selesai. Tetap saja lebih banyak yang ingin Alin tetap di sini. Dan kau, Klek!” Martin menatap Oklek sedikit jengkel. Menghela sedikit kecewa dengan anak nakal itu. Dia memang biasa membuat jengkel semua penghuni panti. “Sudah kalah voting. Sekarang selesai. Tidak perlu dibahas lagi.” Tapi begitulah Oklek. Dia punya banyak cara untuk membalikkan keadaan. “Kami memang cuma dua. Tapi salah satunya adalah Alin sendiri. Dan dia adalah anak yang ingin pulang.” Hening. Semua mata memandang kepadanya. Alin menunduk. Dipegang erat boneka kelincinya. Sedikit pun dia tak merasa semua orang memandangnya. Tiba-tiba ruangan ini hening. Telinganya tak menangkap suara apa-apa. “Kalian masih di sini?” Yuri menggeser duduknya, menepuk pundak Alin. “Iya … iya … kami masih di sini.” Lalu merangkulnya erat. “Kau benar-benar mau pulang, Lin?” “Aku mau. Barangkali orang tuaku nanti bisa membantuku banyak hal. Sekolah, menyanyi, atau barangkali bisa membuatku bisa melihat lagi.” Senyum kemenangan tampak di wajah Oklek. “Kalian dengar? Alin ingin pulang. Dan aku yang akan mengantarnya.” Dia menepuk dada, membusung bangga. “Bagaimana dengan Bu Dahlan? Kau sudah izin?” Mely bertanya. “Dia tidak setuju. Tapi tidak apa-apa. Kami akan pergi tanpa izin Bu Dahlan.” Martin menggeleng tidak setuju. “Kau gila! Dia bisa marah.” Oklek melotot. Menyentuhkan jari telunjuknya di bibir, tanda meminta Martin diam. Dua matanya melirik Alin dan Martin bergantian. Segera Martin menoleh, melihat Alin diam saja. Menunduk saja. Seolah keputusan yang dia ambil tak ada yang mendukung, kecuali Oklek. Dia jadi merasa bersalah mengambil keputusan ini. “Percayalah. Kalau pun Bu Dahlan marah, dua tiga hari kemudian pasti sudah mereda. Tipe-tipe seperti beliau tidak akan marah lama-lama.” Semua anak mengangguk. Setuju dengan ucapan Oklek. Memang Bu Dahlan bukan orang yang suka marah-marah. Maka voting ini berakhir. Tentu akhirnya mereka setuju membantu Alin pulang. Sekalipun dengan berat hati. Malam hari. Di kamar sempit itu, Oklek mengambil dua celengan sapi di bawah kasur. Miliknya dan Martin. Tak lama berselang, Martin masuk kamar sambil membawa pisau, menyerahkannya kepada Oklek. Ikut jongkok mengamati gerak gerik anak itu. “Untung celengan kita dari plastik. Tinggal disobek bagian bawahnya saja.” Oklek mengiris bagian bawah celengannya dengan sekuat tenaga. Lampu bohlam remang-remang membuatnya sedikit susah melihat. Dan lebih berhati-hati. Tak mau pisau itu keliru menusuk tangannya. “Yang kuheran, untuk apa kau juga mau membongkar celenganku? Punyamu memangnya tidak cukup?” Selesai menyobek bagian bawah celengannya, Oklek mulai membuka, menuang uang di dalamnya. Recehan jatuh berantakan ke lantai. Tak banyak, hanya sekitar lima belas ribu rupiah. Martin mendelik tak percaya. “Apa hasilmu mengamen? Cuma segini?” tak percaya, Martin menatap uang itu, menghitungnya dengan cepat. “Kau pikir Nely tak perlu biaya sekolah? Belum lagi sebentar lagi Yuri TK.” Martin mengernyit, menatap Oklek heran. “Dulu Bu Dahlan pernah mengeluh, memintaku mencari uang untuk biaya sekolah salah satu dari si kembar. Itu karena aku lebih bodoh darimu. Daripada dia membuang-buang uangnya untuk sekolahku, alangkah baiknya sekolahku diputus. Dan akhirnya aku mengamen untuk biaya sekolah Nely.” “Aku baru tahu.” Pandangan Martin masih sama, memicing. “Kau memang tak banyak tahu.” Sekarang Oklek mengutak atik celengan Martin, jauh lebih berat dari kepunyaannya. Setelah disobek bagian bawahnya, lantas dibuka, dituang. Uang koin, uang kertas, berjatuhan. Lebih banyak dari yang Oklek kira. “Jangan semuanya! Kau kira-kira saja habisnya berapa.” Martin protes. Sedikit menghalangi tangan Oklek yang mulai mengeruk semua uang Martin. Oklek menghela, sudah pasti tidak akan memaksa. Dia tahu bagaimana susah payahnya Martin menabung. Dari sisa uang saku, dari sisa sumbangan orang-orang sekitar. Uang ini patut digunakan untuk masa depannya kelak. Setelah dihitung, dipilah uang kertas uang logam. Lima ratus dan seribu rupiah. Jadilah Oklek mengambil tiga puluh ribu. Martin menghela, pasrah memasukkan sisa tabungannya yang tak sampai dua puluh ribu. “Duh! Seandainya saja uangnya lebih banyak. Untuk jaga-jaga saja, Tin!” Oklek mengeluh. Dia merasa seharusnya membawa uang lebih banyak dari yang diambil sekarang. “Semoga Nely Mely memang punya uang untuk tambahan.” “Atau … kita bisa meminjam ATM Bu Dahlan.” “Kau gila!” “Aku ingat betul paswordnya, Tin! Tahun lalu pernah kuintip saat diajak ke ATM. Barangkali belum diubah.” Martin menggeleng tidak setuju. “Itu tabungan untuk memperbaiki rumah ini.” “Sedikit saja. Untuk jaga-jaga. Kalau tidak terpakai, nanti bisa kukembalikan.” Oklek bersikeras. Dia bisa mengambilnya malam ini. Mengendap-endap ke kamar Bu Dahlan seperti kemarin. Martin sedikit mengamuk, menampar pipi Oklek sekalipun tidak keras. “Jaga sikapmu, Klek! Kita di sini sudah numpang. Dan kau mau mencuri uang Bu Dahlan? Dia menabung sejak dulu untuk memperbaiki rumah ini. Menutupi bocor, mengganti langit-langit. Kau pikir uang itu untuk apa?” Oklek diam. Dia hanya mau mengambil sedikit. Tak banyak. Tapi tetap saja dia tak berani melawan Martin, anak yang paling tua di rumah ini. “Bagaimana ganti baju Alin?” Sekarang Martin menatap bagian bawah celengannya yang berlubang. Mengalihkan pembicaraan. Setelah beres, ditembal dengan solasi. “Disiapkan Nely,” jawab Oklek datar. Tidak ada jawaban. Martin meletakkan celengannya, naik tangga menuju ranjang tingkat dua. “Semoga kalian berhasil.” Ucapan itu mengakhiri obrolan mereka. Oklek menaruh semua uangnya di saku celana kanan kiri, dan sisanya di jaket. Dia harus ingat besok pagi setelah kepergian Bu Dahlan, berangkat memakai jaket itu. Di dalamnya ada alamat tujuan mereka. Tak boleh hilang, tak boleh jatuh. Oklek harus menyimpannya baik-baik. Berangkat Pagi itu semua orang bergerak tenang, santai, seperti hari-hari biasa. Bedanya sebelum berangkat sekolah, Martin lebih dulu mencubit pipi Alin, mencium dahinya sebentar, pamintan. Nely dan Mely tak kalah heboh. Mumpung Bu Dahlan masih di kamar mandi, mereka gantian memeluk Alin. Mencium pipi kanan kiri, tak sengaja air mata mereka menitik. “Kau akan baik-baik saja, Lin!” Mely mengacak rambut batok kelapanya. Alin mengangguk, tersenyum. Jemarinya pelan merambat ke wajah Nely, merasakan air matanya yang jatuh. “Kak Nely nangis?” “Tidak.” Nely menurunkan tangan Alin. Tak ingin jari Alin lebih jauh menelusuri wajahnya. “Ini bekas cuci muka. Kau tahu kan aku jarang mandi pagi. Cuma cuci muka saja.” Alin tertawa. Dan bagi Martin, Nely dan Mely. Itu adalah tawa terakhir Alin yang mereka lihat. Setelah ini mereka berangkat sekolah, dan mungkin takkan bertemu lagi dengan gadis kecil berambut panjang nan halus, mirip batok kelapa ini. Begitulah pagi ini ketika Bu Dahlan selesai mandi. Tiga anak pintar di rumah ini sudah berangkat sekolah. Tinggal Oklek, Yuri dan Alin. Seperti kemarin. Yuri dekat-dekat terus dengan Alin, duduk di halaman depan, menghirup udara pagi yang segar. Dan banyak bercerita. “Mana Oklek?” Bu Dahlan baru saja keluar dari rumah, mendekati Alin dan Yuri. “Masih tidur mungkin.” Yuri yang menjawab. “Anak itu! Sudah jam berapa masih di dalam kamar? Klekk!!” Panggilan itu sudah pasti didengar. Oklek di kamar sudah rapi, ganti pakaian bagus, celana yang ada uangnya kemarin, dan sudah memakai jaket. Seandainya dia keluar dengan pakaian begini, tentu Bu Dahlan curiga, bertanya macam-macam. Semakin sulit dia nanti menjawab alasan bohong. “Klekk!!” Bu Dahlan memanggil lagi. kali ini lebih keras suaranya tiga kali lipat. “Sebentar!” Oklek di dalam kamar melepas jaket, melepas bajunya, cepat-cepat ganti kaos oblong jelek yang biasa dia pakai sehari-hari. Sebelum keluar, diacak-acak rambutnya. Dirusak jambul yang sudah diberi gell itu. Oklek keluar kamar dengan malas-malas. Wajah dibikin mengantuk. “Apa Bu?” “Saya berangkat. Kau jaga dua adikmu! Mengamennya nanti saja sore-sore, pas Nely Mely datang.” Oklek mengangguk sedikit. Dan dia kembali ke kamar, pura-pura melanjutkan tidur. “Saya berangkat dulu anak-anak. Yuri. Kalau kau lihat ada orang tak dikenal datang, lekas bawa Alin masuk. Panggil Oklek cepat-cepat. Mengerti? Anak itu memang pemalas. Segini masih juga berantakan.” Bu Dahlan beranjak pergi tanpa menunggu tanggapan Yuri. Langkahnya cepat, terburu-buru. Melewati pagar, menelusuri jalan setapak menuju jalan utama. Bu Dahlan bekerja di sebuah pabrik rokok. Setiap hari berangkat pagi, pulang sore. Naik angkot ke arah Selatan. Suasana kembali lengang. Yuri cerewet lagi, kali ini menjelaskan cacing-cacing di tanah. “Aku tidak tahu bagaimana bisa Martin bilang cacing-cacing itu membuat tanaman cepat besar. Tapi ini kenyataan, Lin.” “Cacing yang katanya menjijikkan itu?” Alin bertanya. Tangannya meraba tanah, merasakan lembab, dingin, kotor. “Apa aku bisa menyentuhnya?” “Hiiii!” Yuri bergidik, mengangkat tangan Alin agar tidak lagi menyentuh tanah. “Kau mau menyentuhnya? Aku tidak akan! Cacing itu menjijikkan.” Alin mengusap tangannya yang kotor ke bajunya. Boneka kelinci ia taruh di samping. “Apa cacing-cacing itu menyentuh tanamanmu?” “Tentu, Alin cantik! Kalau tidak, bagaimana mungkin dia membesarkan cabe dan tomat?” Yuri bicara asal. Sok tahu. Tapi begitulah Alin yang ingin tahu. Menerima mentah-mentah apa penjelasan Yuri, mengangguk-angguk paham. “Artinya tanamanmu sudah disentuh cacing-cacing jijik itu? Tanamanmu tidak ikut jijik?” Diam. Yuri mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari, berpikir. “Hiii! Benar juga, ya!” sepertinya dia akan sedikit membenci sambel dan jus tomat setelah mendengar kata-kata Alin. Sedang asik-asiknya ngobrol, Oklek datang, menyangklong tas, sudah memakai jaket dan celana. Dia tidak punya sepatu. Jadi sandal jepit menjadi pilihan terbaik untuk alas kaki. “Alin. Kita berangkat!” Alin terkejut. Segera meraih boneka kelincinya, didekap erat-erat. “Sekarang? Kak Oklek yakin?” “Tentu! Ini waktu yang tepat.” Yuri ikut berdiri, lantas memeluk Alin erat-erat. Menepuk punggungnya seperti menabahkan. Padahal dia tahu, dirinyalah yang patut ditabahkan. Siapa yang akan mendengar ceritanya nanti setelah Alin pergi? “Yuri. Kau masuk rumah dulu. Kunci rapat-rapat. Ada makanan di lemari dapur kalau lapar. Sampai nanti Martin pulang, jangan membuka pintu. Mengerti?” Yuri mengangkat jempol. Kembali menepuk-nepuk punggung Alin. “Hati-hati Lin. Semoga Orang tuamu itu orang baik. Seperti Bu Dahlan ini. Kau tahu kan Bu Dahlan seperti apa? Dia itu memberi kita makan, menyapu rumah, membelikan sabun GIV seperti yang kuminta kemarin. Kau tahu …” “Ehem!” Oklek berdeham, melirik sengit, memintanya diam. Memotong seketika itu juga ucapan Yuri. Alin menjawab dengan Anggukan kecil. Pelukan dilepas. Oklek kini memegangi tangan Alin, menuntunnya berjalan. Pelan sekali. Mereka menjauh dari rumah kecil ini. Meninggalkan Yuri sendiri. Sampai kedua anak itu menghilang di belokan, baru Yuri masuk rumah. Mengunci pintu seperti perintah Oklek. Dia takkan keluar sebelum Martin atau Nely Mely datang. Perjalanan ini akan cukup panjang. Mereka menuju Utara, akan menaiki banyak kendaraan umum. Melelahkan, lapar haus sudah pasti melanda. Oklek masih memegang tangan Alin, menggandengnya berjalan. Berharap uang saku mereka cukup. “Kau tidak takut jatuh?” Alin menggeleng. “Kita bisa berjalan lebih cepat?” “Tentu! Aku biasa berjalan sendirian lebih cepat. Kalau dituntun Kak Oklek, tentu lebih aman, kan?” Oklek tersenyum lebar. Sekilas dia melirik wajah Alin. Itulah wajah penuh harap. Ingin berjumpa ayah ibu, ingin menempuh hidup baru yang lebih bersinar. “Kalau lapar bilang. Kalau haus bilang. Kalau capek bilang. Kakak tidak mau kau diam saja menuruti langkah kaki kakak. Mengerti?” Alin mengangguk. “Aku capek,” katanya sambil tersenyum menggoda. Belum juga sampai di ujung jalan. Belum naik angkot ke terminal di Utara. Sepuluh menit mereka berjalan saja belum dilalui. Oklek tergelak, mengacak-acak rambut Alin. Perjalanan ini bisa jadi akan menyenangkan. Tapi bisa jadi tidak. Yang namanya perjalanan, sudah pasti melalui masa depan, yang tak sedikit pun orang tahu nasibnya nanti. “Kak Oklek bawa payung?” “Tidak.” Alin menghirup udara yang terasa lebih pekat ketimbang biasanya. “Hujan mungkin akan turun.” Dua mata Oklek menatap jauh ke langit, melihat mendung seperti berarak mendekat. “Kau benar. Tapi semoga saja tidak.” Terminal “Madiun? Kalian naik bis saja! Kira-kira dua jam dari sini.” Begitulah kata salah satu orang yang mereka tanyai di terminal. Kurang lengkap, tidak spesifik. Tentu masih membingungkan dua anak kecil itu. Dan Oklek berani sumpah. Ini kali pertama dia masuk terminal. Banyak sekali kendaraan. Orang lalu lalang. Penjual kue dan makanan berderet-deret. Tempat ini tak jauh beda dengan pasar besar. Banyak penjual, banyak angkok parkir di pinggiran jalan. “Orang itu buru-buru saja pergi! Sekarang kita tidak tahu bis yang mana yang harus kita naiki.” Mata Oklek mengamati sekitar. Banyak bus parkir, berjajar di tepian terminal. Dimandikan, dibetulkan bannya. Satu dua bus bergerak, menuju ke dalam terminal. Tak tahu itu bus mau diapakan. “Di sini banyak sekali bis besar-besar.” Alin masih digandeng. Diam saja. Baju kuningnya sudah kotor. Beberapa kalli dia memegang pohon-pohon, lantas diusap di bajunya. Dan boneka kelinci itu tetap didekap di perut. Tak pernah lepas. Ada gelagat tak baik dilihat dari wajah letih Alin. “Kau lapar?” Alin mengangguk. Mereka memutuskan duduk di sebuah bangku panjang pinggir terminal. Di sini bau pesing. Sekilas Oklek melihat seorang sopir keluar dari angkot, melankgah santai ke tepian semak, lantas buang air di sana. “Pantas! Jorok!” Oklek bergidik. Biarpun dibilang nakal, pemalas, jarang mandi. Dia tak pernah pipis di semak-semak begitu. “Siapa yang jorok?” “Ada orang kencing di semak-semak. Jangan dilihat! Ayo pergi! Katanya mau makan.” Oklek menggandeng Alin. Tak sadar anak yang digandengnya itu memang tak bisa melihat. Masih di area terminal. Beruntung di sekitar sini tidak bau pesing. Bahkan bisa dibilang bersih. Mereka masuk ke dalam warung. “Kau mau pesan apa, Lin? Ada ayam goreng, ikan goreng. Cumi. Kupikir kita jarang makan yang begituan, kan?” Alin menggeleng. “Apa tidak apa-apa makan yang enak-enak?” Oklek menepuk pundak Alin, tertawa pendek. “Jangan kuatir! Uang kita cukup. Tenang saja.” Bagi Oklek, satu dua kali menyenangkan hati Alin dengan makanan mahal tak akan masalah. Mereka nyaris tak pernah makan makanan enak dan mahal. Selalu sayuran, tahu tempe, kadang kala cuma ada nasi dan garam saja di dapur. Alin akhirnya memilih cumi. Oklek memesan dua piring nasi campur lauk cumi. Setelah pesanan datang, Oklek memberitahu Alin kalau di depannya sekarang ada piring berisi nasi dan cumi. Alin gembira sekali. Wajahnya tersenyum lebar. Dia tak sabar ingin melahap cuminya. Hati-hati meletakkan Enci di atas meja, meraba sendok, bergerak sangat pelan mengayunkannya ke dalam piring. “Cuminya?” Oklek mengarahkan tangan Alin untuk merasakan tekstur cumi dalam piringnya. “Yang kau sentuh sedikit kenyal itu cuminya.” “Masih mentah?” “Ya sudah matang, lah …” Oklek menyendok makanannya, cumi itu masuk ke mulut. Ini pertama kali dia makan cumi. Sedikit aneh. Pekat sekali rasanya. Hampir dia muntah. “Bisa langsung dimakan?” “Bisa. Tapi nasinya dibanyakin ya. Rasanya kuat sekali.” Katanya sambil mulutnya penuh nasi cumi. Lalu pelan-pelan sekali anak kecil itu makan. “Setelah makan, kita naik bis ya, Lin.” Mulut Oklek penuh nasi. Dia lapar. Membawa tas berat berisi pakaian Alin membuat perutnya cepat lapar. “Langsung ke depan rumah Ayah?” “Tidak tahu.” Alin menghela, sebelah tangannya mengusap keringat. Rambut batok kelapa itu memang masih halus, tapi sedikit berantakan. Oklek bangkit, menata rambut Alin sebentar. “Kalau panas, kita bisa naik bis yang ada AC-nya.” “Apa itu AC?” Berpikir sebentar “Emm, pernah kau membuka jendela rumah pagi-pagi sekali?” Sebentar diam, Alin mengangguk pendek. “Kemarin lusa aku membuka jendela sendiri. Yuri yang membantuku. Dia bilang, salut kepada orang yang menciptakan jendela.” Oklek belum jadi menjelaskan, lebih dulu ingin mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Alin. “Salut kenapa?” Sedetik kemudian Alin malah tertawa lebar. “Katanya. Berkat jendela itu, Yuri bisa melihat tomat dan cabenya dari dalam rumah.” Suasana warung masih sepi. Hanya ada Alin, Oklek, dan penjualnya saja. Dari tema jendela, obrolan berlanjut ke mana-mana. Tentang Nely Mely yang iseng membuka jendela pas malam hujan lebat, tentang Martin yang katanya suka muncul tiba-tiba dari balik jendela saat Yuri sedang melamun menatap ladangnya di luar. “Yuri langsung menjerit. Sudah pasti aku di dekatnya ikutan kaget. Lalu kudengar tawa Kak Martin yang seperti hantu mengejek Yuri. Dia malam tidak bisa tidur. Katanya sebal sekali dengan tingkah Kak Martin.” Siang yang panas ini jadi sedikit mencair, sejuk dengan cerita-cerita Alin. Tawa Oklek sedikit meledak. Sampai Ibu penjual warung ini kaget, mendelikkan matanya kepada mereka. “Cepat, sambil habiskan makanmu! Supaya kita lekas sampai.” Cerita selesai. Alin kembali melahap makannya dengan pelan. Nasi-nasi yang berjatuhan dibiarkan mengotori meja. Jika satu dua kali tempenya yang jatuh, Oklek sigap mengambilnya dalam diam, diletakkan lagi di atas piring. “Nah, AC itu sama persis dengan jendela pagi hari di rumah kita. Kalau terbuka, angin akan lewat. Kau tidak akan gerah lagi.” “Hhmm … aku tidak sabar naik Bis.” Alin melahap nasinya. Sisa sedikit. Oklek pindah tempat duduk, menyuapi sisa-sisa nasi di piring Alin. Boneka kelinci itu tidak pernah tertinggal, selalu dibawa-bawa, didekap, diapit di ketiak. Tak pernah sebentar pun Alin bosan. Dalam perjalanan memutari terminal, mencari bus kota ber-AC, boneka itu menjadi satu-satunya teman. Oklek tidak banyak bicara. Hanya tangan kirinya memegang erat jar-jari Alin. Tak bersuara. Lantas Oklek menggiring Alin ke sisi terminal, tepat di bawah tiang beton. “Tunggu sebentar ya, Lin! Jangan bergerak! Biar kau tidak capek jalan terus.” “Kak Oklek mau ke mana?” “Mencari bis ke Madiun. Yang ada AC nya. Nanti kalau ketemu, aku jemput kau di sini. Mengerti?” Alin mengangguk. Maka pergilah Oklek mencari Bus ke Madiun. Sebelum itu, lebih dulu dia mencari ATM. Tak jauh di sudut sana, ada satu kotak besar ATM Bank Swasta. Dia harus mengambil uang tambahan untuk saku. Sebab makan cumi untuk dua porsi sudah tiba-tiba menguras uang sakunya. Beruntung tadi malam dia berhasil meminjam (mengambil) ATM Bu Dahlan ketika dia pulas di kamarnya. Oklek masuk bilik ATM, dingin ber-AC. Dia bayangkan nanti kalau naik bus dengan udara sedingin ini. Tentu nyaman, tidak kepanasan. Sebentar mengambil ATM di dalam tas, lalu dimasukkkan. Seperti biasa, menekan tombool PIN. Tapi bencana datang. PIN salah. Dua kali Oklek menekan PIN, semua keliru. Dia heran. Dia ingat betul dulu angka-angka PIN-nya. Lalu dia coba lagi menekan PIN untuk ketiga kalinya. Dengan sangat hati-hati, sambil memandangi nomer di tombol biar tidak salah. Tapi sia-sia. Layar ATM menyatakan bahwa nomer PIN salah. Kartu itu tiba-tiba keluar dengan sendirinya. Diblokir. Oklek menelan ludah dalam-dalam. “Sialan! Pasti PIN-nya sudah diganti!” Lupakan tentang ATM. Sudah terlanjur diblokir, sudah terlanjur sampai sini. Dan baru saja Oklek melempar ATM itu ke tempat sampah. Sudah tidak berguna lagi. Dia harus menghemat uang untuk ongkos pulang pergi ini. Di terminal yang besar ini, dia tak banyak tahu. Dangkal sekali pengetahuannya tentang prosedur naik bus dan segala macam aturannya. Dia harus ke mana? Menuju peron, tempat banyak orang berkumpul itu, harus bayar. Anak itu tidak mau bayar. Uang harus dihemat. Kalau pun bertanya, dia tak tahu harus ke siapa. Orang-orang di sini seperti tidak ada yang murah senyum. Sekedar lewat, membawa koper dan tas. Tak ada yang saling sapa. Dan petugas-petugasnya juga tampak pemarah. Sedikit pun Oklek tak ingin salah langkah. Jika dia bertanya ke orang yang salah, lantas orang itu mempermainkannya. Bukan rumah Alin yang bakal mereka temukan. Tapi tersesat di tempat lain. Tiba-tiba saja dia punya cara jitu. Bertanya ke banyak orang sekaligus. Keyakinannya menumpuk. Dengan cara itu, dia akan tahu siapa yang mempermainkannya, siapa yang menjawab jujur. Oklek berada di antara keramaian. Toleh sana sini. Siapa yang lebih dulu harus dia tanyai? Mesin dari mobil-mobil besar itu terdengar lantang, berat, mengejutkan telinga Alin. Banyak sekali orang melangkah, ngobrol, dan berteriak-teriak menyebut nama tempat. Dia masih bersandar di tiang beton itu. Tak bisa diam. Bingung menanti kedatangan Oklek. Boneka kelinci itu satu dua kali dia mainkan. Dilempar, dipeluk, dilempar lagi ke atas. Tapi sayang nasibnya, dia tak sengaja tersenggol orang. Alin hampir jatuh, untung masih bisa menahan keseimbangan. Tapi bonekanya? “Enci! Enci!” Dia jongkok, meraba tanah kotor. Ke mana jatuhnya boneka itu? Dua alisnya memicing, berpikri barangkali bisa mengingat-ingat tadi bonekanya dilempar ke arah mana. Meraba-raba sebisa mungkin. Merangkak sedikit demi sedikit mengikuti jari tangan kirinya. Si Enci tidak ketemu. Lebih malang lagi, Alin tidak sadar sudah merangkak ke arah yang keliru. Berada jauh dari tiang beton, dari Enci yang hanya satu dua langkah di sisi kanan tiang beton itu. “Enci! Apa kau di situ?” suara Alin beradu dengan mesin mobil, kalah bergelut dengan hiruk pikuk keramaian orang. “Duh! Ramai sekali tempat ini … Enciii!” Sudah tentu! Ini terminal. Bahkan malam hari pun tetap ramai. Langkah kaki Oklek yakin, girang bukan main. Dia tahu akhirnya ke mana jalan benar menuju ke Madiun. Naik bus model apa, tentu yang ber-AC. Senyum di wajah merahnya mengembang begitu mantap. Sesampainya di tiang beton tadi. Senyum Oklek surut. Ganti cemas. Dia bahkan mengira berada di tiang beton yang salah. Tidak! Tiang ini benar! Dia meyakinkan dalam hati. Dipandangi lagi sekeliling. Memang di sini dia tadi meminta Alin menunggu. Lantas dua matanya tertuju pada boneka kelinci yang terjatuh. “Ya Ampun! Alin!!” Oklek mengambil boneka itu, cepat memutar pandangan, mencari di sekeliling. Di antara keramaian terminal. “ALIN!!” dia berteriak lagi. Langkahnya cepat, menuju ke arah jatuhnya boneka. Sambil berjalan, pandanganya tak berhenti mengedar, meneliti banyak orang di sini. “ALIINN!!” Sekian menit mencari. Seperti hilang anak itu disambar orang. Cemas bukan main rasanya hati Oklek. Bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan kepada anak-anak di rumah nanti? Kepada orang tua Alin di Madiun? Napas Oklek diburu. Jantungnya berdebar keras. Dia hampir menyerah. Bertanya ke banyak orang. “Bapak melihat anak kecil buta? Memakai baju kuning? Rambutnya diponi? Apa Bapak lihat? Ibu lihat?” pertanyaan itu bergulir terus. Sampai satu orang memberi harapan kepadanya. “Aku melihatnya di dekat kamar kecil. Sebelah sana!” seorang ibu-ibu menunjuk ke arah toilet. Oklek berterima kasih, bergegas menuju ke arah yang ditunjuk. Sudah macam mayat saja wajahnya. Pucat pasi. Berkeringat dingin. “Alin!” dia memanggil lagi. Berharap suaranya terdengar, lantas Alin membalas panggilannya. Toilet sudah di depan mata. Mana? Tidak ada. Beberapa orang ditanya lagi. Tidak ada yang tahu. “Alin!!” Tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang menoleh kepadanya. Oklek berkali-kali memanggil Alin lantang. Hingga akhirnya panggilan itu dijawab juga. “Kak! Kak!!” Di mana? Suara itu di mana? Tolah toleh, melotot ke sana sini. Oklek benar-benar mendengar suara itu. “Kak Oklekk!!” Lagi! Sudah pasti itu Alin. Suaranya semakin dekat. Langkah kaki Oklek bergerak ke depan toilet perempuan. “Kak Oklek!” semakin dekat. Suara itu berasal dari dalam ruangan toilet. Maka tanpa menunggu lagi Oklek masuk, melihat banyak bilik-bilik kecil yang di dalamnya jamban. Kotor, bau pesing. Tak jauh di bawah sebuah wastafel, Alin jongkok bersandar, memeluk lutut, toleh sana sini seperti mengamati suara-suara sekitar. “Alin!” “Kak Oklek!” Nada Alin bergetar, ketakutan. Wajahnya diangkat, berusaha memastikan telinganya tidak salah dengar. Kedua tangan mungil itu terlepas dari lutut, merangkak ke sumber suara. “Kau di sana?” Secepat mungkin Oklek melangkah, mendekati Alin, lantas memeluknya sambil jongkok. Bajir air mata Oklek. Dia tak habis pikir kalau-kalau kehilangan anak ini. Tak bisa membayangkan bagaimana jika Alin tersesat, lalu diculik orang. Alin menangis bukan kepalang. Air matanya jatuh membasahi jaket Oklek. Dia mencium bau jaket lusuh Oklek. Rasa-rasanya rindu sekali dengan bau ini. Dengan suara ini. “Bagaimana kau bisa sampai sini, heh?” Oklek menepuk punggung Alin, memukul beberapa kali sebagai hukuman karena tidak patuh kepadanya. “Aku takut!” Cuma itu jawaban dari Alin. Semakin rapat pelukan Oklek. Alin adalah tanggung jawabnya. Dia sadar meninggalkan anak itu sendirian bukanlah jalan yang benar. Dua tiga detik kemudian Oklek melepas pelukan Alin, merapikan rambut batok kelapa itu yang berantakan. “Sekarang kita berangkat. Aku sudah tahu naik bis apa.” Alin mengusap air matanya berkali-kali, lantas tersenyum tipis. Tak sabar dia melanjutkan perjalanan ini. Bus ini sesak. Tempat duduk penuh. Ada beberapa bahkan yang berdiri. Jendela bus terbuka lebar-lebar. Angin dari luar masuk, tapi tak juga mengusir panasnya. Terpaksa Oklek melepas jaket, dilipat sedemikian rupa, dipakai untuk mengipasi Alin. “Apa ini yang namanya AC?” Alin menghela napas lega. Angin dari jaket Oklek sedikit banyak membuat badannya dingin. Dia mengusap keringat. Wajah Alin memerah gerah. “Bukan. Ini jaketku. Rupanya aku salah. Tidak semua bis punya AC.” Alin mengangguk maklum. “Pantas, baunya tidak enak.” Kata-kata itu membuat Oklek tertawa. Dia mencubit pipi merah Alin. Gemas sekali dengan anak ini. Dia pandangi wajah lucu itu. Tak lama lagi akan pergi. Akan menghilang dari kehidupannya. Kehidupan anak-anak panti asuhan. Jalan yang Panjang Tak sesuai prediksi, dua jam lebih tiga puluh menit bus yang ditumpangi Oklek berhenti di terminal. Para penumpang mengantre turun. Udara panas bus kota ini membuat mengantuk, Alin terlelap, menyandarkan kepalanya di jendela. Oklek menggoyang-goyang badan Alin. “Sudah sampai di Madiun. Bangun!” Matanya terbuka, deru mesin tidak terdengar. Getarannya tak sehebat tadi. Bus ini benar-benar sudah berhenti. Suara di sekitar tak lagi berisik seperti tadi di perjalanan. Oklek memegang tangan Alin, menuntunnya berdiri, memintanya hati-hati berjalan. Menuruni tangga bus. Mereka berdua mulai berjalan. Kali ini benar-benar baru. Dan jauh dari rumah. Oklek menatap langit, melihat matahari sudah hampir di puncak. Tidak lama lagi suara adzan berkumandang. Genggaman tangan Oklek makin erat. Ada perasaan gelisah yang seolah muncul dari daratan ini, merambat menuju ke jantung hatinya. Ini tanah orang. Bukan kampung halamannya. Orang asing, udara lebih meletihkan ketimbang di tempat sendiri. Oklek takut mereka tidak akan sampai ke rumah Alin. Bagaimana kalau kesasar? Atau ini alamat palsu? Ongkos pulangnya? Hal itu tiba-tiba saja baru terpikirkan. Dia tidak bawa ongkos pulang ke panti asuhan untuk dua orang. Keputusan baru harus diambil. Untuk jaga-jaga, mereka harus berjalan. “Setelah ini masih jauh?” Alin bertanya. Langkah kaki mereka ragu, menuju gerbang luar terminal. “Tidak lama lagi.” Oklek bohong. Dia bahkan tak tahu harus ke arah mana untuk sampai di rumah Alin. Diambilnya kertas alamat itu di saku jaket. JL. Anak Gunung Krakatau, Retjo Pentung, Kec. Nganjum Barat, No.45 Itu saja? Oklek mengernyit. Dia menengok kanan kiri, memastikan ada orang yang cocok untuk ditanyai. Beberapa orang duduk-duduk sambil merokok, berpakaian kotor seperti preman. Dia harus hati-hati, bertanya ke orang yang salah akan membautnya makin tersesat. Tentu para preman itu bukan pilihan bijak untuk ditanyai. “Setelah ini ke mana?” Alin bertanya lagi. Wajahnya memelas. Panas, haus. “Tidak lama lagi, Lin. Sabar.” Dan mereka terus melangkah, mengunjugi satu bedak kecil di pinggir jalan besar. Membeli air mineral. Mereka duduk tak jauh dari bedak itu. “Tunggu sebentar. Dan jangan ke mana-mana! Jangan sepeti tadi, oke!” “Tidak lama, kan?” “Tidak. Aku hanya mau bertanya ke orang sebentar. Tidak jauh.” Oklek menghela. Melangkah pelan meninggalkan Alin yang duduk sambil memegang boneka dan air botolan. Satu dua kali dia meneguknya. Menghembuskan napas lega. Seperti tadi. Oklek mencari orang terdekat yang sepertinya terpelajar. Paling tidak terlihat baik hati seperti Bu Dahlan. Hampir sepuluh menit. Dia kembali. Membawa hasil yang sedikit mengecewakan. Alin masih duduk. Kali ini dia sepertinya belajar untuk tidak gegabah seperti tadi. “Ayo, Lin. Kita jalan kaki.” Senyum Alin mengembang. “Jalan kaki? Sudah dekat?” berdebar-debar jantungnya. Tidak dijawab. Oklek sudah bertanya ke banyak orang. Daerah Retjo Pentung berada sekitar lima belas kilometer dari tempat ini. Menaiki angkot dua kali, lantas bisa jadi di tepian kampung itu, tak ada angkot. Hanya bendi atau sepeda. Orang-orang biasa naik bendi untuk angkutan umum. Bayarnya lebih murah dari angkot. Oklek tak ingin ambil resiko menghabiskan uangnya untuk perjalanan yang belum tentu berakhir baik ini. Dia harus menghemat. Di tengah panas, ditimpa terik. Kedua anak ini melangkah ke arah Utara, bergandengan tangan. Oklek meneguk sisa air mineral sampai habis. Lantas botolnya disimpan di dalam tas. Kalau nanti ada masjid, dia bisa mengisi botol itu dengan air kran. Lama sudah berjalan. Langkah semakin lemas, tenggorokan kering. Genggaman Oklek merenggang. Alin berkeringat sampai membasahi bajunya. “Belum sampai, Kak?” “Belum.” “Masih lama?” Sebentar Oklek menghela. Dia tak berani jujur. Tapi juga tak mau bohong. Mereka berhenti. Oklek jongkok, mengusap keringat Alin, membenahi rambutnya yang berantakan kena angin. “Kau capek?” Alin mengangguk. “Mau kugendong?” “Gendong? Memangnya masih jauh?” “Entahlah. Tapi kita harus hemat, Lin. Uang saku kita tak begitu banyak.” Diam. Alin tak berani bicara. Tak juga berani melangkah lagi. dua kakinya sudah gemetar. Sudah sangat capek. Tapi dia tak mau mengakui. Sudah tidak kuat rasanya berjalan sejauh ini. Oklek tahu gelagat itu. Dia membalik badan. “Ayo! Kugendong!” Alin menurut. Melingkarkan tangannya di pundak Oklek. Dua tiga detik kemudian Oklek mulai melangkah, pelan-pelan. Sambil menggendong Alin. “Apa yang bisa kubantu?” Alin tak ingin begitu merepotkan. “Emm … tidak tahu. Mungkin bernyanyi. Kau bisa?” “Kenapa harus menyanyi?” Oklek tertawa. Dia mengangkat Alin, menata gendongannya. “Kau tahu kan aku suka mengamen? “He em.” Alin mengangguk. “Aku suka berjalan sambil bernyanyi. Tapi sekarang, aku harus menyimpan tenaga karena menggendongmu, kan?” Tawa Alin terdengar lebar. Renyah. Udara semakin panas. Bayang-bayang sebentar lagi berada di pertengahan manusia. Kepala mereka seperti disengat api. Alin merangkulkan tangannya lebih erat biar tidak jatuh. Lantas bibirnya mulai bergerak, menyanyi. Lihat daun di atas tanah Mengapa hijau berubah merah Bukankah sama dengan aku begini? Dulu berseri sekarang bersedih. “Stop! Lagu lain, dong!” Oklek menggeleng. Menolak Alin meneruskan. “Kenapa, Kak?” Seketika itu juga nyanyiannya berhenti. “Suasananya tidak mendukung. Aku jadi malas jalan kaki.” Alin tertawa singkat. Lantas berdeham, berpikir satu dua jenak. Dan kembali menyanyi. Lagu anak-anak yang sering dia nyanyikan bersama Yuri boleh jadi menjadi pilihan yang tepat saat ini. Naik-naik ke Puncak Gunung, Burung Hantu. Tapi lagu itu baru juga diputar sekali, suara Alin mendadak hilang, bibirnya mengatup rapat. “Kenapa berhenti? Yang itu bagus, kok.” “Tidak apa-apa.” Dan dia kembali menyanyi. Tanpa Oklek tahu bahwa tiba-tiba saja Alin rindu panti asuhan, rindu bernyanyi bareng Yuri seperti kemarin-kemarin. “Suaramu bagus. Kapan-kapan kuajak mengamen, Mau?” “ENGGAK!” Orang Bodoh Kaki-kaki Oklek menegang, bergetar seperti tak sanggup lagi melangkah. Dia meletakkan Alin di teras sebuah masjid. Keduanya kompak menghela napas, kompak mengusap keringat di dahi. Oklek buru-buru duduk, meluruskan dua kakinya sambil dipijat-pijat. “Apa masih jauh?” Alin bertanya. Dia meraba tas Oklek, membuka resletingnya, mengambil air mineral yang masih sisa sedikit. Diminum sampai habis. “Sebentar lagi. Aku yakin sudah tidak jauh.” Sekitar lima menit duduk. Oklek melepas jaketnya, coba berdiri. Sudah agak mendingan kaki-kakinya. Dia meminta Alin menunggu di sini. Jalan raya semakin sempit. Tidak selebar tadi saat keluar terminal. Orang-orang seperti malas keluar di hari yang panas ini. Tak begitu ramai orang di sekitar sini. Hanya ada satu toko penjual sepatu, dan beberapa penduduk yang kebetulan lewat. Mereka menutupi kepala, berkeringat, mengernyit, seolah masalahnya sama dengan yang dirasakan Oklek dan Alin. Kepanasan. “Permisi, Bu.” Oklek mendekat, menyodorkan kertas alamat kepada seorang Ibu legam yang kebetulan lewat depan masjid. “Apa Ibu tahu alamat ini?” Sekilas dibaca. Dia menunjuk arah ke Utara. Sama seperti beberapa orang yang ditanyakan sebelumnya. Malang, mereka tak tahu pasti nama jalan itu. Hanya berkisar di kecamatan Ngajum Barat. Oklek menghela panjang. Merasa jalan di depan sama masih sangat panjang. Istirahat berakhir. Mereka kembali berjalan. Kalau Alin capek, digendong. Dan dia akan bernyanyi lagi. Lalu istirahat lagi. Begitu puncak siang lewat, perut lapar, keduanya mampir ke warung pinggir jalan. Makan menu paling murah. Minumnya air putih. Tapi Oklek cuma pesan seporsi. Untuk Alin. Dia tak tega menghabiskan uangnya lima atau sepuluh untuk dirinya sendiri. Paling tidak untuk mengisi perut, Oklek mengambil dua bungkus roti seribuan. Keduanya makan dalam diam. “Kau mau yang lain?” Oklek mengunyah roti itu lahap, matanya melirik Alin minum air putih. Barangkali Alin bosan dengan air putih. Wajahnya seperti tidak bersemangat. “Es teh, es jeruk?” “Es jerukk!” dan berubahlah ekspresi itu jadi berseri-seri. Oklek tergelak, bangkit, berjalan menuju kasir. Memesan es jeruk setengah gelas saja. “Saya tidak suka es jeruk, Pak. Jadi kalau adik saya itu saja rasanya kebesaran kalau penuh segelas.” Bapak penjual memaklumi. Lantas memberi setengah gelas es jeruk. Oklek kembali, meletakkan setengah gelas es jeruk di depan Alin. Menuntun tangannya untuk memegang gelas itu. Langit memutih. Matahari tak tampak sekalipun hari belum sore. Oklek sekilas melihat mendung yang begitu rata tergelar di atas sana. Tak lama lagi mungkin hujan. “Cepat minum. Kita harus berangkat lagi.” Jemari Alin menelusuri bentuk gelas, meraih sedotannya. Diaduk-aduk sebentar. “Sisa segini? Kakak cuma menyisakan aku setengah gelas?” kata Alin sambil meneguknya berkali-kali. Oklek hanya tertawa, membiarkan Alin mengira dia yang minum setengah gelasnya. “Yuri pernah bilang. Anak kecil butuh banyak vitamin. Seharusnya aku dapat es jeruk lebih banyak dari kakak.” Wajah Alin cemberut. Pipinya mengembung, memerah. “Iya deh, maaf. Tapi kan kakak yang paling capek. Tidak kasihan, apa?” Diam. Alin kembali minum. Sedetik kemudian mengangguk-angguk. “Benar juga.” Oh, andai dia tahu yang sebenarnya. Jarak sekiloan dari warung ini. Oklek berhenti, menatap simpang jalan yang tak dimengerti. Ke kiri atau lurus? Garuk-garuk kepala. Dia tak merasa wajah Alin sedikit memucat. Genggaman tangan Alin mendadak lepas. Dia jongkok, memegangi perutnya. Sigap Oklek menoleh, ikut jongkok memegang pundak Alin. “Kau kenapa? Ya ampun! Pucat!” dia garuk-garuk kepala lagi. Tidak hanya jalan yang bikin bingung, sekarang ditambah kondisi buruk Alin. “Sakit ….” terbata-bata Alin bicara, tangannya mendekap boneka kalinci, menekan perutnya dalam-dalam. “Perutku … sakit ….” “Tahan sebentar! Tahan!” Oklek menarik lengan Alin, menggendongnya di punggung. Dia berlari menyeberang jalan, mencari masjid, atau toilet umum di pasar, pom bensin, atau di mana, lah. Tidak ada kah rumah-rumah di sini yang bisa diajak kompromi? Lihat saja! Pintu mereka ditutup. Semua orang seperti takut panas, dan ketika mendung mau hujan begini, takut hujan. Tak ada yang keluar. Hanya sepintas lalu kendaraan-kendaraan mengebut. “Tahan sebentar!” “Perutku …” Dan nasib buntung ini tak juga bertambah baik, malah lebih buruk lagi. Hujan datang berbaris dari arah Timur. Merambat cepat, sekian detik kemudian menebas Oklek dan Alin. Dua anak ini tiba-tiba basah. Bergegas Oklek menurunkan Alin, membiarkannya jongkok memeluk perut kecilnya. Oklek melepas jaketnya, lantas dibalutkan rapat-rapat ke seluruh badan Alin, juga menutupi kepalanya. Dia menggigil, menampakkan wajah basah kena hujan yang pucat tak main-main. “Ayo!” Oklek kembali merangkulkan lengan Alin, menggendongnya lagi. Lari cepat-cepat mencari masjid, sekaligus tempat untuk berteduh. Tak peduli napasnya sudah sesak mau habis. Air hujan menembus baju dan celana, menembaki seluruh tubuhnya. Hujan ini bertambah deras. Di balik derasnya air hujan itu, terlihat mushola kecil yang diapit pekarangan di kanan kirinya. Tampak gelap. Dan itulah satu-satunya penyelamat mereka saat ini. Begitu Oklek tiba di teras mushola itu, buru-buru dia menurunkan Alin, melepas jaketnya yang basah kuyub. Diletakkan sembarang di batas alas kaki dan lantai mushola. Segera dia mengambil pakaian Alin di dalam tas. Diapit di ketiak. “Cepat ganti baju!” tergesa-gesa dia mengangkat tubuh Alin, dibawa ke kamar kecil. Lantas menyerahkan bajunya kepada anak itu. “Tidak mungkin aku membantumu, kan?” Alin menggeleng, gemetar tangannya meraih baju dari tangan Oklek. Dia menutup pintu toilet. Hening. Tinggal suara hujan saja yang berisik di telinga. Dua tiga detik, tak ada suara. Oklek tak boleh diam saja. Sekalipun tidak ikut masuk ke toilet, sudah seharusnya dia tahu Alin masih baik-baik saja atau tidak. Setidaknya dengan mendengar suaranya. “Alin. Kau masih hidup, kan?” tanya Oklek sedikit tertawa letih. Di kamar mandi terdengar suara Alin menjawab hanya dengan tawa pendek, juga letih. “Di sana dingin. Cepat keluar kalau sudah selesai.” “Iya …” lemas terdengar. “Kau boleh bernyanyi. Untuk memastikan kau baik-baik saja di dalam.” “Bu Dahlan melarang bernyanyi di kamar mandi.” Oklek menghela. Setidaknya Alin masih bisa menjawab. “Tidak juga. Aku sering bernanyi di toilet.” “Oh ya?” suara Alin mulai sedikit lantang, tidak lesu. Terdengar lebih baik. “Dalam hati. Kapan-kapan cobalah. Bu Dahlan tidak akan marah, kok.” Oklek tergelak lebar. Berharap kalimat itu membuat Alin ikut tertawa juga. Tapi tidak. Dia lupa Alin sebentar lagi sudah tak lagi tinggal di panti asuhan. Dan begitu sampai di rumah barunya, mereka akan berpisah. Alin akan memulai hidup baru, dan jauh dari hiruk pikuk panti asuhan yang berisik saban hari. Buru-buru Oklek menutup mulut. Menyetop tawanya. Merasa bersalah. Dan kalimat itu menyudahi obrolan keduanya yang dipisahkan pintu toilet. Satu dua menit kemudian Alin membuka pintu. Dia sudah ganti baju, lengan panjang. Dan pakai jaket. Lebih hangat tentu saja. Oklek buru-buru meraih tangannya. Menuntunnya berjalan ke teras mushola. “Kita istirahat dulu. Wajahmu memang tak lagi pucat. Tapi tetap saja masih belum cerah betul.” Alin mengangguk. Menurut. Duduk di dinding mushola, dekat jendela. Memeluk lutut, memegangi bonekanya yang basah. Saat itulah Oklek baru ingat satu hal yang sangat penting. “Ya ampun! Alamatnya!” dia melompat cepat ke batas alas kaki mushola, meraih jaketnya yang tergeletak di sana, basah kuyub. Merogohi saku jaket. Mengambil semua uang yang kemarin malam dimasukkan ke dalam saku jaket. Dan juga kertas alamat rumah Alin. “Ada apa, Kak?” Tidak dijawab. Kertas itu sudah basah kuyub. Lembek sekali. Oklek membuka lipatannya perlahan. Hati-hati. Satu dua bagian tak sanggup bertahan, sobek akhirnya. “Kau hapal alamatnya, Lin?” pertanyaan putus asa keluar dari mulut Oklek. “Alamat siapa?” Tidak dijawab lagi. berkali-kali mengaduh, mendengkus. Oklek sangat hati-hati membuka lipatannya sampai lebar. “Jalan apa ini?” dia meletakkan kertas itu di lantai. “Sialan! Tulisannya rusak!” “Tulisan apa?” Alin penasaran, meletakkan boneka kelincinya, merangkak ke arah suara Oklek. “Rusak bagaiman, sih?” “Jalan … Gunung Krakatau … Retjo … “ dua mata Oklek memicing. Alin mendekat, meraba kertas itu. Bergegas Oklek menampel tangan Alin. “Jangan sentuh! Kau bisa merusaknya!” Dia terkejut. Segera kembali duduk memeluk lutut. Tanpa bicara lagi. takut menganggu Oklek. Kembali Oklek memicingkan mata, berpikir, coba mengingat lagi sepintas kemarin saat membaca alamat ini lengkap-lengkap. “Retjo Pentung! Ah ya! Pentung!” Dan beberapa menit kemudian. Dia lupa nama kecamatannya. Hanya ingat Jalan Krakatau dan Retjo Pentung saja. “Jalan Krakatau, Retjo Pentung … Jalan Krakatau, Retjo Pentung … Jalan Krakatau, Retjo Pentung.” Oklek terus menggerak-gerakkan bibirnya, mengingat alamat itu supaya tidak hilang disapu ingatannya tentang tulisan yang buruk. “Nomer rumahnya berapa?” Alin masih memeluk lutut. Kini dia mengambil baju-baju di dalam tas, ditumpukkan di atas tubuhnya biar lebih hangat. “Pssstt! Aduh! Kau membuatku tambah bingung!” Suara Oklek tinggi. Mengejutkan Alin. Ini sudah kali kedua dia terkejut. “Sial! Nomernya berapa ya? Tadi alamatnya jalan apa, ya?” dia memukul-mukul kepalanya, mengutuki dirinya yang tak pandai menghapal kata-kata. “Bodoh sekali, kau, Klek! Pantas Bu Dahlan tak mau menyekolahkanmu! Sial! Sial!” Saat itu hujan mulai reda. Oklek mendengar suara tangis dari belakang. Dia menoleh. Alin sesenggukan. Memerah wajahnya, meneteskan air mata. Gara-gara itu seluruh huruf dalam ingatanya mendadak acak-acakan. “Alin, tenang! Kau malah membuatku lupa semuanya!” Kalimat itu seketika menusuk telinga Alin, membuatnya memaksa menahan air matanya sambil menggigit bibir. Tangannya menutup mulut, sesenggukan. Lalu kertas itu pun tak lagi terselamatkan bentuknya. Oklek berpikir keras, yang teringat hanya kata Krakatau dan Retjo Pentung. Itu saja. Kecamatannya tak ingat, nomernya apalagi. “Kita harus segera mencari kertas dan pena. Harus!” Benar hujan mereda, tapi ganti tangis Alin yang membuncah. Di dalam hatinya. Tanpa sedikit pun mengeluarkan air mata. Hati kecil si gadis kecil semula masih bertahan ingin pulang ke ayah ibunya. Namun mendadak kini condong untuk kembali ke panti asuhan, kembali mendengar cerewetan Yuri, dan berisik seluruh isi rumah. Hampir Sampai “Jalan Krakatau … Retjo Pentung.” “Jalan Krakatau … Retjo Pentung.” Bibir Oklek tipis bergerak, melirihkan kalimat itu. Dia takut lupa, dan hilang semua kesempatan mengembalikan Alin ke rumah aslinya. Karena gadis kecil berambut batok kelapa itu tak kunjung pulih kondisnya, daripada makin parah, Oklek kembali menggendongnya. Sekarang bebannya makin berat. Menggendong Alin, menjinjing tas pakaian. Dan ketambahan satu kresek berisi pakaian basah. Menyesal tadi hanya makan roti dan tidak mencicipi es jeruk Alin. Mereka tidak saling bicara. Berani satu kali lagi menggangu Oklek, bisa-bisa dia lupa seluruh alamatnya. Pulang lagi mereka ke panti asuhan. Alin diam saja. Bahkan hanya sekedar menyarankan Oklek untuk mencari kertas sobekan dan pensil saja tidak berani. Di sebuah simpang jalan. Suasana mendadak sepi. Angkot tidak ada. Mobil hampir punah, dan sepeda motor sangatlah jarang. Jauh membentang di sana, jalan setapak ini diapit rumah-rumah kecil, seperti panti asuhan mereka. Hanya lebih kotor dan tidak terurus. Oklek tak yakin rumah Alin masuk ke jalan ini. Maka dia bertanya ke beberapa orang lewat. Jawabannya sama. Ke arah jalan kecil yang di apit rumah-rumah kecil itu. Masih jauh. Kira-kira tiga atau empat kilo lagi. Oklek menela ludah. “Naik bendi saya saja.” salah seorang yang ditanyai Oklek menawarkan bendinya. Dua sapi cokelat besar itu terikat tali, menarik gerobak besar beroda empat. “Berapa, Pak?” “Berapa apanya?” “Bayarnya.” Pengemudi bendi tertawa, mengibas-ngibas tangan, menyuruh dua anak kecil itu naik. “Kau pikir bendi itu angkutan umum? Cepat naik! Tak perlu bayar apa-apa.” “Gratis?” Alin kini berani bicara. Senyumnya mengembang. Dia tahu dengan begitu uang saku Oklek tidak berkurang. Pengemudi itu mengangguk. Tak tahu kalau Alin tak bisa melihat jawaban itu. “Semua bendi arahnya ke Retjo Pentung. Jadi sekalian ke sana, kalian bisa numpang.” Oklek menurunkan Alin. Lima detik kemudian mereka sudah berada di atas bendi, duduk pada tumpukan jerami. Dan sapi-sapi berjalan lambat. Selambat-lambatnya sapi itu, masih lebih baik ketimbang berjalan sambil menggendong Asa dan menenteng semua barang. Oklek bisa tersenyum, bernapas lega seperti baru saja minum banyak air. Dia memiringkan badan, berbantal tangan, menikmati perjalanan. Tak lama, dua mata bulatnya memejam. “Kalian mau ke mana?” Sekian detik diam. Alin menunggu Oklek bicara. Tapi karena tak kunjung terdengar suaranya, dia sendiri yang akhirnya menjawab. “Rumah Ayah Ibu.” “Pulang?” Alin mengangguk pelan. Tak yakin dia saat ini benar-benar menuju jalan pulang. “Memangnya kalian dari mana?” “Luar kota,” jawab Alin pelan. Suaranya nyaris hilang beradu dengan suara lonceng bendi yang seperti memenuhi seluruh jalan. Tak ada suara sekian menit. Sapi-sapi terus melaju. Pengemudinya memerintah lebih cepat. Seolah kata-katanya memang bisa dimengerti sapi-sapi itu. Sebab mendadak bendi ini bergerak lebih cepat. Sapi meng-emoo, lonceng bergoncang lebih girang. Alin tak tahu ini di mana. Takut nyasar. Dia juga tak berani membangunkan Oklek. Sudah pasti anak itu kelelahan. “Yang sedang tidur itu kakakmu?” pengemudi bendi ini sepertinya bosan tak ada obrolan. Kembali membuka suara. Bertanya basa-basi. Alin mengangguk. “Iya.” “Berarti kalian satu rumah.” Pertanyaan basa basi—apalagi dengan anak kecil—memang biasanya seperti itu. Tak sulit dijawab. “Iya. Tapi sekarang tidak satu rumah.” jawaban Alin mengejutkan. Pengemudi itu menoleh, mengernyitkan alis, menamatkan wajah Alin. Dan saat itulah dia baru sadar anak kecil itu buta. Dia tak berani menyinggung indra penglihatan Alin. Coba mencari topik lain untuk setidaknya mengimbangi suara lonceng yang ramai itu. “Bagaimana mungkin? Apa dia tidak ikut pulang?” Tak ada jawaban. Alin diam saja. Pengemudi bendi melepas tali kemudi, lalu mengikatnya di sisi kanan pagar gerobak. Dia mengangkat kaki, selonjoran, bersandar di sisi pagar sebelah kanan. “Nama saya Budiman. Panggil saja Pak Budi.” Dia memperkenalkan diri. Tidak ada respon dari Alin kecuali anggukan kecil. “Lalu kalian itu sebenarnya kakak adik yang tidak tinggal satu rumah. Begitu?” Alin tak bisa menjawab. Terpaksa dia membangunkan Oklek, menggoyang-goyang badannya. “Jangan, Nak! Biarkan saja. Tampaknya kakakmu kelelahan. Bebannya berat sekali, bukan?” Kalimat itu membuat Alin menunduk. Mengangguk singkat. Benar kata Pak Budi. Beban anak empat belas tahun di depan Alin ini bebannya sangat berat. Dan sekarang dia terlelap, seperti melupakan sejenak kepenatan yang sepanjang hari ini dilalui. “Kami tinggal di panti asuhan, Pak.” “Oo … Di luar kota sana?” Alin mengangguk. “Lalu yang di sini rumah siapa?” Tidak dijawab. Sebab Alin pun tak yakin di tempat ini adalah rumahnya. “Rumah ayah ibumu? Dan kakakmu ini mengantarmu sampai sini?” Alin mengangguk lagi. Diam sekian detik. Bendi terus berjalan. “Berapa lama kau di panti asuhan?” Tidak dijawab. Alin tak ingat sudah berapa lama dia di sana. Gelagat itu cukup membuat Pak Budi menghela napas. “Lama? Sejak kecil?” tanya Pak Budi. Dua matanya bergantian melihat Alin, dan jalanan lurus di depan mereka. Jawaban Alin sama. Mengangguk. “Setelah sebesar ini, sekarang kau yakin pulang ke rumah lagi?” Pertanyaan itu tak dijawab. Wajah Alin berpaling. Tak mau telinganya diarahkan ke posisi Pak Budi duduk. Dia sendiri belum yakin jalan ini akan menggiringnya pulang. Tanpa Bu Dahlan, tak ada ocehan Yuri lagi. Sudah terbayang kehidupan barunya tanpa mereka. Merinding tiba-tiba bulu kuduk Alin. “Apa kau mengenal ayah ibumu sebelumnya?” Alin menggeleng. Pak Budi mengangguk singkat. Dari tempat Alin duduk, terdengar helaan napas Pak Budi. Sejenak kemudian Pak Budi kembali duduk di meja kemudi, mengambil tali kemudi, mulai mengendalikan sapi-sapinya lagi. “Istirahatlah dulu, Nak. Perjalanan ini mungkin masih satu jam lagi.” katanya mengakhiri obrolan. Alin meraba papan jerami di dekatnya. Pelan-pelan membaringkan kepala, memejamkan mata. Udara sekitar amat segar. Cocok untuk berbaring, istirahat. Dari sini terdengar suara Oklek mendengkur. Dia tesenyum pendek. Lalu senyum itu surut sebab dia tahu tidak akan lama, tinggal hitungan menit barangkali, tak ada lagi Oklek dalam hidupnya. Rumah Alin Bendi menepi, sapi-sapi istirahat di pinggir jalan sambil memakan rumput-rumput yang bisa dijangkau. Pak Budi mengikat tali kemudi, lantas bergerak ke belakang. Dua anak itu pulas. Alin sampai mendengkur. Pak Budi tak tega membangunkan anak-anak ini. Maka ditungunya di situ sampai sekian menit. Sampi Oklek membuka mata, dan bangun pelan-pelan sambil menguap. Masih mengantuk. “Kau sudah bangun?” Oklek garuk-garuk kepala, mengumpulkan nyawa yang belum lengkap masuk ke tubuhnya. Dia menoleh ke kanan kiri, melihat suasa perkampungan, orang-orang bercocok tanam, memelihara sapi dan ayam. “Kita sudah sampai.” Pak Budi berdiri, mengambil sebatang kayu panjang, menyibak daun-daun yang menutupi sebuah papan kecil yang menancap di pinggir jalan. Jl. Anak Gunung Krakatau, Retjo Pentung. Papan itu kecil, terbuat dari kayu tipis. Dan catnya memudar. Yang mengherankan, sebuah pohon tinggi menutupi tulisan itu. Kalau Pak Budi tidak menyibak rantingnya, bagaimana mungkin papan itu bisa terbaca oleh orang lain? “Baiklah. Sekarang kalian sudah tiba di kampung ini. Lalu?” alis Pak Budi mengernyit. Menunggu Oklek sepenuhnya hidup, lalu bicara mau mereka. “Lalu …” Diam. Tiga empat detik menunggu lanjutan kata-kata Oklek. “Lalu apa?” Badan Oklek masih pegal-pegal. Tak puas tidurnya kali ini. Rasanya masih ingin berbaring lebih lama lagi. Tapi dia sudah sampai. Tinggal mencari rumah Alin saja. Bergegas dia turun dari bendi. “Aku akan mencari rumah Alin.” “Tunggu! Tinggal kau sebutkan saja nomer rumahnya berapa. Nanti kuantar.” “Emm …” Oklek menghela, bola matanya berputar-putar bingung. “Tapi aku lupa nomer berapa.” Pak Budi geleng-geleng, turun dari bendi, melangkah mendekati Oklek. “Kalau begitu apa yang kau ingat?” Pria ini baik sekali. Tulus hati ingin membantu dua anak dari jauh ini. Oklek garuk-garuk kepala, berpikir sekian detik lamanya. “Kau tahu ingat nama orang tua Alin? Kita bisa tanya ke Pak RT di sini.” “Aku tidak ingat nama mereka. Tapi wajah mereka mungkin samar-samar aku tahu.” “Samar-samar? Kau yakin?” Oklek mengangguk. Kalau persoalannya begini, Pak Budi tak bisa bantu banyak. Dia semakin kasihan dengan dua anak ini. Meminta Oklek mencari dulu orang itu dari rumah ke rumah. Sementara itu Pak Budi akan menunggu di sini, sekaligus menunggu Alin bangun tidur. Perinta Pak Budi segera dilakukan. Oklek mulai menyisir dari rumah ke rumah. Mencari orang tua Alin dengan hanya mengandalkan wajah samar-samar di ingatannya. Dia ingat pria yang dulu membawa Alin ke panti asuhan. Kumisnya tebal, kurus, punggungnya loyo membungkuk. Dan istrinya memakai jilbab berantakan, juga kurus seperti tidak terurus. Wajahnya memelas, dengan gigi tonggol lebih menonjol ketimbang hidungnya. Ciri-ciri itu menjadi patokan di ingatan Oklek. Dari rumah ke rumah, mengetuk pintu, memperhatikan wajah-wajah setiap manusia dewasa yang dia lewati, sudah dilakukan selama tiga puluh menitan. Dia hampir putus asa, kalau bukan tiba-tiba semua ciri-ciri itu hinggap pada seorang bapak-bapak yang berjalan memanggul kayu-kayu bakar, lewat di depannya. Berkumis tebal, kurus, punggungnya loyo membungkuk! “Itu dia!” Oklek mengikuti langkah pria itu. Sampai di sebuah rumah kecil di tepi jalan. Ditandai dengan pohon mahoni besar yang lebat daunnya. Berjatuhan memenuhi latar rumah kecil itu. Oklek bersembunyi di balik pohon, memandang pria tadi dari sana. Dari dalam rumah, muncul seorang perempuan yang ciri-cirinya pun sama. “Gigi tonggol itu!” Oklek tersenyum senang. Birang bukan kepalang. “Benar sekali! Ini rumah Alin!” sejenak Oklek memandangi rumah kecil di depannya ini. Dan ada kandang sapinya juga. Tapi mendadak senyumnya pudar. Mereka tergolong keluarga tidak mampu. Memasak dengan kayu, rumah kecil dan temboknya berjamur. Seakan-akan niatnya untuk mengembalikan Alin ke keluarga ini menipis. Dia merasa tidak tega. Akan lebih baik kalau Alin tetap berada di panti asuhan. Dengan Yuri, Martin, Nely Mely yang gemar tertawa, dan Bu Dahlan. Dia memang tidak sekolah, tapi di panti itu semua kebutuhan dasarnya terpenuhi. Makan, minum, punya teman sebaya. Oklek menunduk, sedih. Dia melangkah gontai menuju bendi yang masih di tepi jalan. Menyesal rasanya membawa Alin jauh-jauh ke sini. Betul kata Bu Dahlan. “Tidak perlu dikatakan! Sudah kubilang. Keputusan ada di tanganku. Alin tidak boleh kembali ke rumah ayah ibunya. Titik!” Suara Bu Dahlan kala itu beterbangan di sekitar telinga Oklek. Bodohnya dia tidak menuruti kata-kata Bu Dahlan. Dan sekarang sudah terlambat. Rumah sudah di depan mata. Keinginan Alin sebentar lagi terwujud. ‘Pulang. Bertemu keluarga aslinya.’ Sore ini sudah semakin habis ditelan langit malam. Matahari separuh tanggal di batas langit. Jingga menyala. Bu Dahlan pasti sudah pulang kerja. Dia akan marah kepada Martin, Nely dan Mely karena membiarkan Alin pergi. Atau bisa jadi, Bu Dahlan bersedih sepanjang malam. Sebab satu anak asuhnya bandel bukan main. Oklek namanya. Tak bisa diatur. Mau menang sendiri. Dan kini dia menanggung semua akibatnya. Menyesal tiada batas. “Bagaimana, Nak?” Pak Budi menjemput Oklek. Heran melihat tampangnya yang sedih tak karuan. “Tidak ketemu?” “Ketemu. Tapi …” “Bagus dong!” Pak Budi segera beranjak. Ingin cepat-cepat membangunkan Alin. “Tapi, Pak! Ada yang mengganjal hati saya.” Urung. Alin dibiarkan tidur dulu. Gelagat Oklek tak menampakkan kesenangan apa pun. Pak Budi menghela. Dia menjadi satu-satunya orang yang siap mendengar keluh kesah Oklek. Cerita Kecil “Yuri! Kau di mana?” langkah Alin pelan, meraba-raba dinding, menangkap-nangkap angin. “Kiri atau kanan?” “Kiri! Eh, kanan!” Yuri mengernyit. Tak begitu tahu bedanya kiri dan kanan. Alin bergerak ke kanan, senyumnya mengembang tipis. “Salah! Salah! Kiri, ding!” Yuri membenarkan saat tahu Alin belok ke arah yang salah. “Lagipula meskipun kau tidak bisa lihat. Tapi bisa dengar kan? Kata Bu Dahlan. Telinga juga bisa digunakan untuk tahu di mana letak bendanya dari suara-suara,” oceh Yuri. Alin membalik badan, lantas melompat cepat ke arah suara Yuri. Dia menangkap Angin. “Tidak kena! Weekk!!” Yuri meledek. Dia bergerak menghindar, lari ke sudut ruang depan. Martin dan Nely Mely duduk-duduk saja di kursi kayu, asik menonton dua anak kecil itu bermain. “Gantian, ah! Aku terus yang jadi!” Alin mengeluh, cemberut. Pipinya memerah karena capek. Sejak tadi Alin terus mencari Yuri. Tapi tidak juga bisa ditangkap. Yuri menghela lemas. “Lalu kau ingin aku yang jadi? Pura-pura buta, mencarimu dengan bertanya ‘Kau di mana, Lin?’ lalu bagaimana caramu yang juga tidak bisa melihat itu memberitahuku harus belok kiri atau kanan?” Alin tergelak. Benar juga. Martin dan Nely Mely tak mau kalah tawanya. Suasana ruang depan ini hidup. Oklek saja yang asik sendiri dengan gitar. Duduk di kursi depan menatap ladang-ladang Yuri, sambil berlatih untuk mengamen sore nanti. Bu Dahlan? Jam segini belum pulang dari pabrik rokok. “Kita main yang lain saja, yuk!” Martin angkat bicara. Dia bergerak ke arah lemari buku, menarik salah satu laci, mengambil papan ular tangga sebesar bak mandi. Lengkap dengan dadu dan gaconya. “Ular tangga!” Yuri lompat-lompat. Girang sekali. Lantas dia menuntun Alin duduk sila. Martin mendekat, menggelar papan ular tangga. Dan mereka mulai main. Alin juga ikut serta. Setiap kali gilirannya, tangan Yuri selalu memegangi Alin, menuntunya berjalan dari kotak satu ke kotak lain, sambil berhitung. “Satu, dua, tiga … Lin! Kau kena ular. Turun, ya! Siiuttt!” suara Yuri memenuhi ruangan. Genggaman tangan Yuri menuntun tangan Alin menurni kotak sesuai panjang ular. Tak jauh dari sana, Oklek sudah masuk rumah, meletakkan gitarnya, ikut hadir di antara tiga orang bermain ular tangga itu. Bau Oklek kecut. Alin buru-buru menutup hidung. “Kak Oklek mandi sana!” “Alaa … sebentar lagi juga ngamen. Keringetan lagi,” katanya sambil mengibas tangan. Tiba-tiba tangan jailnya itu bergerak lincah, memindahkan gaco Alin. “Sstt …” memberi kode Yuri agar tidak bicara. “Jangan! Kak Oklek jahat!” Yuri menghalangi, memukul-mukul tangan Oklek. Dan sigap mengembalikan gaco Alin ke kotak semula. “Sedikit saja! Anak ini tidak akan tahu, kan?” “Tahu apa?” Alin bingung, alisnya berkerut penuh tanya. “Apa yang kau lakukan, Kak?” “Dia jahat, Lin! Mau memindahkan gacomu. Jauhi Kak Oklek! Dia selalu saja merusak suasana!” Yuri bangkit, tangan kecilnya mencekal lengan kecil Alin. “Kau mau memukul Kak Oklek? Sini kubantu!” Lantas dibantu Yuri, Alin memukul-mukul Oklek. “Pergi kau hantu gentayangan!” Yuri berseru. Alin dan Martin tertawa lepas. Oklek saat itu juga pergi dari sana dengan wajah sebal. Mengambil handuk di kamar, lantas bergerak ke kamar mandi. Wajah Alin pucat pasi. Panas badannya. Malam itu di panti asuhan, suasana mendadak kelam. Bu Dahlan sibuk memeras kain kompres, membasuh badan Alin dengan air hangat. Yuri tak boleh dekat-dekat, takut badan Alin terasa lebih panas. Jadi anak kecil seumuran Alin itu cuma duduk-duduk jauh dari tempat Alin terbaring. Dengan wajah lesu, sedih. Mau nangis. “Martin! Ganti air kompres ini!” Bu Dahlan sedikit berteriak. Martin secepat kilat datang ke kamar, mengambil baskom berisi air yang sudah dingin. “Kalau air hangatnya tidak ada. Kau masak dulu, ya! Jangan diisi air dingin!” Martin mengangguk, bergegas ke dapur melaksanakan tugasnya. Tidak lama setelah itu, Nely Mely datang. Duduk di samping Yuri. Tangan Nely merangkul Yuri, menabahkan. Mereka sama-sama bedoa untuk kesembuhan Alin. Lihat saja anak itu! Hanya tiduran. Bergumam aneh, dan badannya masih panas. “Dia sakit apa, Bu?” Mely bertanya. “Dari gelagatnya, Alin mungkin kena flu. Seharusnya kita beri obat anak ini.” DARR!!! Petir menggelegar. Hujan turun malam ini. Dan begitu Martin sudah mengambil air kompres, saat itu juga Oklek datang, pulang dari mengamen. Kehujanan. Seluruh tubuhnya basah kuyub. Ingin rasanya segera mandi air hangat dan ganti baju tebal lengan panjang. Sebelum hidungnya pilek gara-gara kehujanan. Dia melihat suasana ruang depan sepi. Martin keluar kamar Alin dengan wajah memelas. “Ada apa?” tanya Oklek sambil meletakkan gitar basahnya. “Badan Alin panas. Kata Bu Dahlan, dia mau kena flu.” “Sudah minum obat?” “Belum. Hujan deras, Klek. Tak ada payung. Siapa juga yang berani keluar hujan petir begini?” “Oo …” tenang Oklek berjalan, menghela. “Memangnya panasnya parah ya?” Martin hanya mengedikkan bahu. “Alin tidak bisa bergerak. Hanya tiduran saja sambil mengigau.” Kaki Oklek berhenti. Dia mengambil beberapa lembar uang dalam tas pinggangnya. Kemudian tas itu diberikan ke Martin. “Keluarkan semua uangnya. Lalu tolong jemur di atas kompor, ya! Besok mau kupakai lagi.” “Kau sendiri mau apa?” “Keluar!” Oklek menggengam uang beberapa puluh ribu. Memasukkannya ke saku. Lantas berlari keluar rumah, menembus hujan deras. Tak peduli petir kilat memenuhi langit. Dia pergi ke apotek, membeli obat panas dan flu. Dia tahu obat apa yang menjadi langganan Bu Dahlan kalau ada yang flu dan panas. Jadi tak perlu tanya-tanya Bu Dahlan lagi untuk obat flu pilihannya. Lantas setelah transaksi selesai. Oklek lari cepat-cepat kembali ke panti asuhan. Obat segera diminumkan. Bu Dahlan tampak lega. Ketika semua kembali tenang. Alin mulai istirahat dengan nyaman. Dan panasnya menurun. Tapi di kamar kecil anak laki-laki, Martin hampir tak bisa tidur malam itu gara-gara mendengar Oklek mengigau. Sekarang giliran Oklek yang sakit. Badannya panas. Hidungnya memerah, pilek. “Tin … ambilkan obat flu Alin, cepat!” kata Oklek dengan nada gemetar. Selimut membungkus tubuhnya dari kaki sampai kepala. Sisa hidung dan mulut saja yang tampak. Martin menghela. Alamat tak bisa tidur sampai subuh datang. *** “Itu baru segelintir. Masih banyak lagi yang lainnya, yang tidak bisa kukatakan satu per satu, Pak. Panti asuhan kami punya banyak cerita. Tidak pernah sepi, tidak pernah suram seperti kata orang-orang saat pertama kali melihat bangunan tua kami.” Pak Budi menghela, menggaruki dagunya. Oklek duduk di jerami, dekat Alin. Memeluk lutut, bersandar di pagar gerobak. Pandangannya mengedar jauh ke jalanan berkelok. Satu dua kali sepeda pancal lewat, bendi membawa orang, dan barang-barang dagangan. “Kau yakin mengembalikan Alin ke rumah orang tuanya?” kini Pak Budi tampak lebih ragu-ragu ketimbang Oklek. Jawaban Oklek membingungkan. Hanya sebentar mengedikkan bahu. Lantas diam. “Kalau Alin kembali ke panti asuhan. Maka sia-sia perlawanan saya dengan Bu Dahlan. Sia-sia kami bertengkar, sia-sia aku dan Alin melakukan perjalanan sejauh ini seharian. Kepanasan, kehujanan, menghabiskan uang tabungan anak-anak lain. Apa menurut Pak Budi saya harus tetap memulangkan Alin ke rumah orang tuanya?” Pak Budi mengernyit. Kini dia yang mengedikkan bahu. Bingung. Mereka takkan tahu satu rahasia dari anak kecil buta ini. Dalam tidurnya yang tak nyaman, dia mendengar seluruh pembicaraan Oklek dan Pak Budi. Alin sudah bangun sejak tadi. Hanya pura-pura tidur. Dan kini sudut-sudut matanya mengeluarkan air. Dia tak ingin mengecewakan Oklek, dan uang patungan semua anak panti asuhan. Ayah dan Ibu sudah bangkit. Tersenyum gembira. “Kita sudah sampai! Kita sudah sampai di rumah!” nada bicaranya gembira. Dia melompat-lompat, berjalan riang seperti sedia kala saat mereka pertama berangkat. Tentu saja dengan digandeng Oklek. Lantas begitu sampai di depan rumah kecil itu. Mereka jongkok di dekat pohon. Bingung mau segera masuk atau menunggu moment yang pas.“Kau sudah siap?”Diam. Alin hanya merespon dengan dua alis yang berkerut.“Rumahmu sekarang sudah ada sangat dekat sekali. Di depanmu sana.”Alin menunjuk ke arah depan. “Di dekat sini?”“Benar. Kau tinggal melangkah dua puluh atau tiga puluhan langkah.”Merinding bulu tengkuk Alin. Dia menelan ludah. “Sedekat itu?”“Iya. Kita tinggal berjalan sebentar, dan mengetuk pintunya. Orang tuamu akan menyambutmu dengan hangat. Kau siap?”Menelan ludah lagi. Masih ragu dengan keputusan ini. Bagaimana mungkin rumah ayah ibunya sudah begitu dekat, tapi rasanya jauh sekali ia dengan keluarga? Dan karena lama sekali menunggu keputusan Alin. Oklek terpaksa mempercepatnya. Dia bangkit, menggandeng lengan Alin, mengajaknya segera melangkah maju. Anak berambut panjang itu satu dua kali menyibak poninya, mengusap keringat di dahi. Tak berani menolak. Tak bisa melawan genggaman tangan Oklek.“Mulai sekarang aku tinggal di sini?”“Iya. Jangan kuatir. Kudengar kau punya tiga kakak.”Sedikitnya kabar itu membuat Alin sedikit lebih lega. Dan langkahnya semakin ringan saja.“Assalamualaikum!” Oklek memberi salam, mengetuk pintu. Terdengar sangat keras. Tidak dijawab. Sebentar kemudian pintu rumah ini terbuka. Kepala seorang pria muncul. Telanjang dada. Kurus, kulitnya legam, tebal kumis dan jambangnya. Dia melirik dengan mata mengantuk. Mengantuk? Ini masih sore! Belum juga magrib menjelang.“Siapa kau?” suaranya berat, sedikit kasar. Sebentar batuk-batuk. Kadang kala suara begini mirip-mirip suara penjahat. Dan Alin mendadak takut, mendadak merinding lagi. Tapi itu kadang-kadang. Tidak selalu orang baik jahat bisa dinilai dari suaranya, bukan?“Saya Oklek. Dan ini …” dia mendorong Alin sedikit maju. “Saya mengantar anak ini ke rumah kalian. Dia anak yang dulu kalian titipkan di panti asuhan.”Alis pria itu menurun sangat dalam. “Kami?”“Iya. Namanya Alin. Dulu waktu usianya masih dua tahun, kalian menitipkannya. Lalu bilang akan mengambilnya lagi saat enam tahu. Apa Bapak ingat?”Hening. Tak ada ekspresi lain kecuali alisnya yang masih turun. Lantas dua tiga detik kemudian pria itu membuka pintu lebar-lebar, menyuruh Oklek dan Alin masuk.“Duduk!” suara pria itu datar. Sambil menunjuk kursi kayu di ruang depan. Oklek menuntun Alin duduk lebih dulu. Dia memperhatikan sekeliling rumah ini. Tak ada hiasan dinding. Tak ada teve, radio. Tidak juga ada anak-anak lain seperti kata mereka waktu ke panti asuhan bertahun-tahun lalu.“Jum!! Ada tamu!” teriak pria itu. Dia ikut duduk di kursi. Agak jauh dari Oklek. Mengambil rokok, lantas dinyalakan. Asap melingkari angkasa, menyebar seketika ke seluruh ruangan. Sebelah kakinya diangkat ke kursi. Batuk-batuk. “JUUMM!!”Oklek dan Alin kaget. Genggaman mereka semakin kuat. Semakin tidak bisa lepas.Seorang perempuan seusia Bu Dahlan keluar. Tidak memakai jilbab seperti ketika dulu Oklek melihatnya. Tapi ciri-cirinya sama. Kurus, memelas dua matanya. Dan giginya tonggol. Dia membawa sebatang bambu setebal gagang sapu. Dipukulkan bambu itu ke lengan si pria.“Suaramu sekampung dengar! Anjing!”Oklek bergidik. Tak percaya saja wajah memelas itu mengelurkan kata-kata yang luar biasa menghina suaminya. Tak di sangka wanita itu lebih ganas ketimbang yang laki-laki.“Kalian mau apa?”Oklek menelan ludah. Gemetaran menjawab pertanyaan itu. “Sesuai dulu janji kalian yang akan membawa lagi Alin pulang di usia enam tahun.”Dua mata mereka melirik Alin tajam. Beruntung anak kecil itu tak bisa melihat. Tak tahu seperti apa berandalannya mereka. Jika bisa, sudah pasti Alin akan lari terbirit-birit. Merengek minta kembali ke panti asuhan.“Ya sudah.” Perempuan tonggol itu tak bicara lagi. Lantas kembali ke belakang.“Ya sudah.” Laki-laki berkumis tebal juga sama. Tapi dia tak langsung pergi. “Dia buta, kan? Biarkan di situ. Kau pergilah!”Oklek sediktinya tak mengerti dengan jawaban santai mereka. Tak ada peluk-pelukan bahagia? Tak ada tangis haru saat melihat anaknya kembali? Keluarga macam apa ini? Dengan ragu Oklek menaruh tasnya di dekat Alin. “Tas ini berisi baju-bajunya.”“Hm.” Cuma itu jawaban si laki-laki berkumis.Sebentar Oklek menggenggam tangan Alin. Dingin, persis ketika dulu dia sakit meriang. Dibelainya wajah Alin, pipinya, rambut batok kelapanya. “Kakak pergi dulu. Kau sudah siap berada di keluarga barumu?”Alin mengangguk. Dia siap? Tentu belum sebenarnya. Tapi dia tak mau mengecewakan usaha Oklek yang begitu besar. Bertengkar dengan Bu Dahlan, mengumpulkan saku anak-anak panti, menggendong Alin sampai dua kakinya kelelahan. Usaha Oklek tak boleh sia-sia di mata Alin.Dan terakhir, sebelum mereka berpisah. Oklek mencium kening Alin. Mengusap rambutnya. Dia akan pergi, meninggalkan anak buta ini sendirian di rumah ini. “Tenang, kau tidak sendirian. Ada kakak-kakakmu.”“Apa mereka di sini?”Oklek sekilas melihat rumah ini, sekitarnya. Tak ada suara anak-anak. Tak ada suara lain selain batuk-batuk orang itu. Bahkan si laki-laki melirik Oklek sengit. Seperti tanda menyuruh dia segera pergi.“Ada. Mungkin belum pulang,” jawab Oklek sok tahu. “Atau sedang di belakang membantu ibumu.”Begitulah akhirnya Alin ditinggal. Dia tetap duduk mematung di situ. Tak bersuara. Tak juga bangkit karena tak ada yang menuntun langkahnya. Oklek pamitan, melangkah pergi, menutup pintu pelan-pelan. Sekilas dia melirik dari sela-sela pintu. Alin tak bergeming. Diam terus. Jemari kecilnya digaruk-garuk, gemetaran. Rasanya, dia telah membuat keputusan yang keliru. Danau Hitam Rumah ini jauh lebih baik ketimbang yang ditinggali Alin. Oklek baru tahu kalau Pak Budi adalah kepala di desa ini. Papan yang dipajang di depan rumah buktinya. Seluruh keluarganya ramah. Pak Budi, istrinya, juga dua anaknya yang masih kecil-kecil. Lebih kecil dari Yuri. Dan lagi, rupanya jarak rumah Pak Budi dan orang tua Alin tak jauh. Hanya selisih dua atau tiga rumah saja, pekarangan, dan kebun-kebun. Kira-kira tiga atau empat puluh meteran saja.Baru juga Oklek masuk, sudah disuruh duduk, disiapkan teh hangat, disediakan beberapa kue kering. Pak Budi sengaja menyuruh Oklek menginap di sini. Ada yang harus dia ceritakan, terkait keluarga Alin. Sebuah rahasia umum yang hanya diketahui orang-orang desa sini. Dan tak ada yang menyebarkannya sekalipun itu ke desa sebelah.“Tahu kau kenapa kuajak ke rumahku?”Oklek menggeleng cepat.“Sebab aku ingin kau menengok mereka nanti malam.”“Mengengok siapa, Pak?” Oklek mengambil satu kue kering, menikmatinya. Lalu minum teh hangat.“Tentang Pak Takir dan Bu Takir. Orang tua Alin.”Oklek mengangguk-angguk. Dia baru tahu nama mereka. “Kenapa mereka, Pak?”Pak Budi menghela. Dia duduk tak jauh dari Oklek. Memakai sarung dan busana muslim, baru saja selesai sholat. Tak lama kemudian istrinya datang, duduk di samping Pak Budi.“Memangnya kenapa?”Pak Budi mulai bercerita.“Adat kampung ini buruk, tak jauh beda dengan perilaku mereka. Tapi itu dulu. Jaman ketika negeri ini belum merdeka, Klek. Seandainya kau tidak tahu, itu mungkin lebih baik. Tapi mengingat Alin ada di rumah Pak Takir. Tak ada salahnya sekarang aku bercerita tentang adat buruk kampung ini, jaman dulu.”Oklek menelan ludah dalam-dalam. Dia sebenarnya tak siap mendengar dongeng sebelum tidur ini. Apalagi jika berkaitan dengan yang jelek-jelek. Tapi karena Pak Budi bilang ada sangkut pautnya dengan Alin. Tak ada salahnya mendengar. Sambil memakan kue-kue kering mungkin tak cerita itu tidak lagi jadi lebih buruk.“Tidak jauh di Utara. Setelah melewati hutan-hutan di ujung jalan ini. Ada sebuah danau hitam yang pekat sekali airnya. Orang-orang dulu tak berani mandi atau mengambil air di sana. Mereka menganggap itu danau keramat. Seperti dongeng telaga pasir yang mungkin pernah kau dengar waktu kecil dulu.”Sebentar Oklek garuk-garuk kepala. Dia tak pernah dengar dongeng itu. Pak Budi sedikit tergelak, mengibas tangannya. “Lupakan! Kita lanjutkan saja ceritanya.”“Kemiskinan desa ini telah melanda berpuluh-puluh tahun. Orang-orang susah mencari kerja. Maunya memburuh di mana saja asal dapat uang untuk makan. Tapi jangankan dapat kerja. Pergi ke kota saja mereka seperti tak mau. Satu yang membuat desa ini miskin sekali. Mereka tidak punya etos kerja. Malas keluar rumah. Tidur kemalaman karena begadang tak penting, dan bangun siang ketika matahari sudah hampir di puncak.Anehnya, mereka menganggap kemiskinan itui adalah adzab Tuhan, bukan nasib karena kerja keras. Tidak tahan dengan derita itu, salah satu petinggi desa yang sok tahu. Kenapa bagiku dia sok tahu? Sebab kupirik tidak ada cerita khayal seperti yang diucapkan petinggi sok tahu itu.”“Apa katanya?” Oklek semakin penasaran. Masih tak berhenti mengunyah.“Dia mengatakan, seluruh penderitaan ini diakibatkan oleh danau hitam di utara hutan. Danau itu seharusnya biru bersih, bening tampak ikan-ikan di dalamnya. Tapi ini hitam. Bahkan tak seorang pun berani mandi dan mencuci pakaiannya. Itu danau pembawa nasib buruk. Dan satu-satunya jalan untuk mengembalikan warna biru danau itu adalah dengan berkorban. Bagi yang bersedia berkorban, menyerahkan anaknya kepada Dewa Danau hitam, kehidupannya akan makmur sebab telah membantu mengembalikan kelestarian danau. Pengorbanannya takkan sia-sia. Dan kejayaan akan menyertai mereka seumur hidup. Boleh jadi karena Dewa senang, danau itu akan kembali membiru. Jernih airnya, bisa dipakai mandi dan minum.Siapa jaman dulu warganya yang pandai? Tidak ada! Hanya petinggi desa yang bagi mereka mempunyai pengetahuan paling luas sejagat raya. Ada memang segelintir orang yang tak menuruti perintah sang petinggi desa. Mereka itu rata-rata yang tak mau menukar anak mereka dengan uang dan kekayaan. Maka berbondong-bondong warga lain membuat lapar haus anak-anak mereka yang masih kecil. Membikin lemah tak berdaya. Ketika dirasa sudah cukup tak bertenaga, para ayah ibu menggotong anak mereka masing-masing, mengikatnya dengan tali kuat-kuat sampai mereka menangis bukan kepalang. Mereka dilempar ke danau hitam. Dibiarkan tenggelam diiringi doa-doa orang tua mereka kepada Dewa Danau.”Sebentar Pak Budi menghela, meneguk kopinya. “Dan kisah masa lalu itu menjadi sejarah kelam desa ini yang tak sedikit pun kami sebar ke mana-mana. Danau hitam tetap hitam sampai sekarang. Tak satu pun dari mereka yang doanya terkabul”“Lalu, kalau bukan karena Dewa danau, lantas kenapa danau itu bisa hitam?”Pak Budi sedikit tergelak. “Kurasa hal itu diajarkan di sekolah. Kau kelas berapa?”Oklek menggeleng. “SD belum tamat.”Tawa Pak Budi langsung surut. Merasa sudah tak sopan menanyakan hal itu. Dia lantas menjelaskan singkat, bahwa sebenarnya danau itu memiliki kadar oksigen yang tinggi, dan ada bakteri-bakteri yang menyebabkan warna danau berubah hitam. Tidak ada dewa danau, tidak akan ngefek tradisi mistis yang memakan korban itu. Semua hanya kebohongan petinggi waktu itu saja. Kalau memang tak mau kelaparan, ya kerja, bercocok tanam. Seperti orang-orang desa ini jaman sekarang. Kecuali Pak Takir.“Pak Budi tidak bohong?”“Tidak perlu kami tutup-tutupi, Nak. Kau sekarang berada di situasi gawat. Sebab ketika desa ini mulai bergerak maju, melupakan adat yang berlangsung puluhan tahun itu. Memulai hidup baru dengan bercocok tanam dan bekerja di kota, maka tinggal satu orang yang kami duga masih percaya adat buruk itu.”“Pak Takir dan Bu Takir!” Oklek terhenyak. Kaget. Pak Budi mengangguk pelan, menghela napas dalam-dalam.“Jadi sebenarnya Pak Takir sudah punya anak sebelumnya.” Kini giliran istri Pak Budi yang bicara. “Ada tiga kakaknya yang lebih dulu ada sebelum Alin.”“Empat,” ralat Pak Budi.“Tiga apa empat? Kayaknya tiga. Empat dengan yang terakhir ini, bukan?” Istri Pak Budi tampak tidak yakin.“Entahlah. Ya pokoknya ada lah.” Pak Budi malas mengingat-ingat.Oklek hanya bergantian memandang mereka. Diam saja. Menunggu kelanjutan cerita itu.“Nah, semua anak-anak Pak Takir itu hilang. Ketika sudah sampai usia enam atau tujuh tahun, tiba-tiba saja tidak ada. Lantas lahir lagi, usia enam tahun, hilang lagi. Sampai di anak terakhir. Pada suatu hari warga desa melihatnya menggotong jerami dengan jumlah yang sangat banyak. Langkahnya berat, pelan, malam-malam pas semua lampu tetangga sudah mati. Kecuali para peronda. Mereka curiga. Dan benar saja, Nak. Isi jerami itu adalah anak terakhirnya yang diikat. Wajahnya sudah lemas. Membiru. Dia mungkin tak makan berhari-hari.”Oklek menelan ludah dalam-dalam, gemetar. Menggigit jari. Mengerikan.“Anak itu tak berhasil diselamatkan. Meninggal karena kelaparan.”“Seharusnya Pak Takir dibawa ke polisi!”“Tidak ada yang berani. Sepuluh tahun yang lalu. Masih ada sisa-sisa orang tua yang sudah renta, yang dulu pernah membuang anak-anak mereka. Pak Takir mengancam akan menyebarkan kabar ini ke seluruh negeri. Dan menunjuk siapa saja orang-orang tua yang dulu ikut tradisi kejam ini.”Diam. Sebentar istirahat. Jalanan kampung ini benar-benar sunyi. Tak satu pun ada suara kendaraan bermotor. “Dan kenapa Alin tidak jadi korban? Kenapa dia diserahkan ke panti asuhan? Bahkan jauh sekali. Di luar kota.”“Entahlah.” Pak Budi mengedikkan bahu. “Begitu saja hilang. Kupikir nasibnya sama dengan kakak-kakaknya dulu. Tapi baru kutahu sore tadi bahwa anak itu Alin. Dan sekarang dia sudah besar, Klek. Kau harus periksa nanti malam. Periksa besok pagi. Periksa siang hari. Bisa jadi ini Alin akan menjadi korban selanjutnya.”Kue kering tinggal sedikit. Teh manis di gelas itu masih penuh. Oklek sudah tak enak makan. Tak sanggup membayangkan jika terjadi sesuatu kepada Alin. “Jam berapa aku ke rumah Pak Takir, Pak?”“Sebentar lagi. Saat semua orang sudah tidur. Saat Pak Takir dan Bu Takir bebas berbuat apa saja untuk anaknya. Aku akan menyiapkan bendi.Tapi malam ini saat Oklek memberanikan diri memeriksa ke rumah Pak Takir. Tak terjadi apa-apa. Rumah itu hening. Semua orang seperti sudah lelap. Tidak ada suara tangisan Alin. Jika dia benar-benar tidak betah, atau terancam, seharusnya ada suara tangisan di sini. Oklek melangkah ke samping, melewati kandang sapi, memutari rumah itu, barangkali akan dia temukan hal aneh. Kandang sapi ini kosong, tapi bohlamnya menyala. Masih ada sisa-sisa bau kotoran. Tapi seperti sudah lama tidak digunakan. Langkah Oklek pelan-pelan menuju belakang rumah, jendela tertutup. Pintu belakang dikunci. Di sini gelap, nyaris tak ada sinar kecuali lampu kecil di kandang sapi itu.Aman. Malam ini dia tak menemukan kejanggalan. Mungkin Alin sudah tidur. Dia kembali ke rumah Pak Budi dengan hati lega.“Baiklah, Klek. Semoga dugaanmu benar. Semoga anak itu baik-baik saja.” Pak Budi menyuruh Oklek tidur di kamar tamu. “Akan kubangunkan saat subuh. Setelah sholat, kau periksa lagi. Aku tidak main-main!”Oklek hanya menjawab dengan anggukan kecil. Dia lelah. Mau istirahat. Setidaknya menumpang di sini tidak perlu bayar. Dan harapannya Alin betah tinggal di rumah barunya. Sehingga besok pagi dia bisa pulang. Kembali ke panti asuhan dengan hasil yang takkan mengecewakan Martin, Nely Mely, dan juga Yuri. Mereka sudah banyak patungan, membantu melancarkan rencana kabur ini. Lalu Bu Dahlan? Itu urusan nanti. Yang penting misi ini selesai dulu. Pikirnya sambil berbaring. Selimut hangat yang masih terlipat rapi, ditarik sampai menyentuh leher.Malam telah larut. Dia tidur dengan nyaman. Manyuapi Alin Malam ini berlalu aman. Sejak subuh sampai pagi bahkan, tak ada tanda-tanda Pak Takir keluar rumah. Apalagi dengan memanggul benda besar (Alin mungkin). Semua berlangsung normal.Setelah mandi dan sarapan. Pak Budi memberikan serantang makanan kepada Oklek, memintanya datang ke rumah Pak Takir memberikan ini untuk Alin.“Kau tidak perlu buru-buru. Jika hari pertama belum ada tanda-tanda buruk. Kita tidak tahu di hari kedua atau ketiga, kan? Jadi coba ini berikan ke Pak Takir. Sambil kau beralasan ingin bertemu dengannya.”“Kalau dia baik-baik saja, apa aku sudah bisa pulang?”Pak Budi jongkok, menepuk pundak Oklek, menghela panjang. “Klek. Aku memang baru mengenalmu. Tapi dengan Pak Takir, lama sekali. Sejak anak pertamanya hilang.”Oklek menunduk. Dia sebenarnya segan tinggal di rumah ini. Pak Budi dan istrinya begitu baik. Dua anaknya ceria, mirip Nely Mely saat kecil dulu. Ramah sekali keluarga ini. Jadi kalau harus menginap di sini semalam atau dua malam lagi, rasanya tidak enak.Dari arah dapur, istri Pak Budi datang. “Apa kau mau itu terjadi ke Alin?”Lemas Oklek menggeleng.“Menginap saja di sini satu dua malam lagi. Kalau Alin sudah bisa dipastikan aman. Saat itu juga kau boleh pergi. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke terminal.”Desakan Pak Budi tidak bisa ditolak. Oklek memutuskan menginap di sini semalam lagi. Tapi pagi ini dia dan Pak Budi bertamu ke rumah Pak Takir. Berniat menjenguk Alin.Ketika pintu dibuka. Sama seperti kemarin. Pak Takir hanya menengokkan wajahnya.“Mau apa kalian?”Tangan Oklek gemetar mengangkat rantangnya. “Mengantar ini. Sekaligus mau menjenguk Alin.”“Dia baik-baik saja. Dijenguk hanya untuk orang sakit saja.” kata Pak Takir datar.Oklek mencari cara lain. “Emm, biasanya dia sarapan disuapi.” Oklek berbohong. Sebenarnya Alin justru tidak suka disuapi. Dia anak mandiri. Ingin melakukan apapun sendiri biarpun susah payah karena tak bisa melihat. “Boleh aku masuk? Aku ingin menyuapinya sekali lagi. Sebelum pulang ke kotaku.”“JUUM!! Suapi Alin! Kata anak yang kemarin, Alin biasa disuapi!” Pak Takir berteriak. “Nah, sekarang puas, kan? Jadi untuk apa kau masih mau menemuinya?”“Untuk memastikan dia baik-baik saja.” Pak Budi tak mau basa basi. Sudah tentu jawaban itu membuat Pak Takir sedikit tersinggung. Dia diam saja, lantas membuka pintu.“Ikut aku!” katanya sambil berjalan di depan. Lalu saat kami memasuki ruang makan. Sekitar enam meteran dari sini, tampak Alin sedang duduk membelakangi Oklek dan Pak Budi. Duduk di sampingnya, wanita bergigi tonggol itu, sedang memegang piring, menyuapi Alin pelan-pelan. Ketika sendok itu dia sodorkan ke mulut. Alin geleng-geleng.“Kau tidak mau? Ini ikan bandeng, Lin. Kesuakaan kakak-kakakmu.”Alin tidak bersuara. Tidak juga menoleh ke arah Oklek.“Sudah lihat sekarang?”Oklek tersenyum senang Alin baik-baik saja. Dia bergerak maju, maunya mendekat, melihat kondisi Alin lebih dekat. Tapi tangan legam Pak Takir menghalangi. Mereka dilarang lewat.“Kalian sudah kelewatan. Ini ruang keluarga. Untuk tamu di situ!” sambil menunjuk kursi kayu di ruangan depan ini dengan matanya. “Atau di luar. Dekat kandang sapi.” Pak Takir mengakhiri pagi ini dengan tawa yang menyeringai. Seram. Oklek dan Pak Budi pulang tanpa hasil. Setidaknya, biar pun dari jauh, Oklek tahu Alin masih diberi makan oleh mereka.“Menginaplah di rumahku lagi! Kita akan cek setiap waktu.” Kalimat Pak Budi itu tegas. Ada emosi di dalamnya. Oklek sama sekali tidak membantah. Kabur Mungkin Oklek adalah anak yang paling bodoh sedunia. Atau bisa kau bilang, dia anak terceroboh di antara semua anak panti asuhan. Bagaimana tidak? Subuh hari, belum … belum …. Bahkan adzan subuh saja masih sejam lagi berkumandang. Tapi Oklek sudah beranjak bangun dan keluar rumah Pak Budi. Tanpa mengenakan jaket. Hanya kaos oblong, celana panjang dan sandal japit, dia melangkah dalam diam, menuju rumah Pak Takir.Suasana hening. Jangkrik menyanyi di setiap sudut. Lampu-lampu jalan tak banyak membantu. Jadi rumah Pak Tarik semakin terlihat menyeramkan. Oklek masih berdiri di pohon mahoni remaja yang tumbuh di depan rumah Pak Takir. Matanya jelalatan di kegelapan malam, mencari apa pun yang terbilang mencurigakan. Tapi semua tampak sama seperti tadi malam.Belum sepenuhnya yakin. Oklek memberanikan diri melangkah lebih dekat. Dan begitu tiba tak jauh dari pintu, terdengar suara lirih nyanyian yang sangat dia kenal. Dan suara itu! Suara Alin? Suara Alin begitu sendu, tipis beradu dengan binatang malam. Oklek melangkah mengikuti insting telinganya. Ke arah samping rumah. Mendekati kandang sapi, melewatinya. Tapi mendadak suara itu semakin dekat.Oklek menoleh, suara itu berasal dari dalam kandang sapi. Nyanyian itu terdengar semakin jelas. … Bukankah sama dengan aku begini?Dulu berseri sekarang bersedih … Penggalan lirik itu! Oklek sangat mengenalnya. Maka dia beranikan diri membuka pintu kandang sapi. Nyanyian tiba-tiba berhenti. Bohlam redup yang menggantung di atas kandang bergerak ringan. Tepat di sudut sana, seorang anak terbaring lemah, separuh wajahnya tertutup bayangan gelap.Dia menggeleng. “Jangan … hiks! Aku di sini saja ….” Suara anak itu serak dan lemas, sesenggukan.“Alin!” Oklek tak percaya itu benar Alin. Dia berada di kandang sapi? Terbaring tanpa selimut, tanpa jaket dan alas kaki? Sedetik kemudian Oklek melompat cepat mendekati Alin, melihat wajahnya yang penuh luka memar, memelas, memucat. Terisak-isak.“Pulang, Kak … pulang ….”Berlinang air mata Oklek melihat tragisnya nasib Alin. Langsung dua tangannya mendekap Alin, memeluknya erat sekali. Dia disiksa ayah ibunya. Benar kata Pak Budi. Anak Pak Takir dibikin lemas, dibuat tak berdaya sampai akhirnya nanti ditenggelamkan di danau hitam. Seperti yang dialami Alin saat ini.Oklek segera melepas pelukannya, mengamati sekitar. Sepi orang. “Ayo bangun! Kita pulang!”Alin menggeleng. Ya ampun! Tubuhnya lemas sekali. “Kau lapar? Belum makan?”Dia mengangguk pelan. Nyaris tak punya tenaga. Oklek langsung menghadap belakang. “Ayo kugendong!” Tapi belum juga Alin bangkit, ada satu bayangan lagi di sana. Kali ini orang dewasa, laki-laki, berdiri tepat di pintu masuk kandang sapi ini. Bulu kuduk Oklek berdiri.“Berani kau mengambil Alin!”Itu suara Pak Takir. Dia mendekat dengan langkah berat, tangannya mengepal rapat, mendengus bak sapi jantan. “Kau ambil yang sudah kau kembalikan ke kami?”Oklek merebahkan Alin lagi. Dia tak tahu harus berbuat apa. Menghindar? Lari dari manusia biadab itu? Menemui Pak Budi, dan memberitahu semua ini. Tapi dia tak mau meninggalkan Alin. Maka ketika Pak Takir semakin dekat, Oklek segera mengambil apa saja yang tedekat. Sebuah batu! Tepat sekali. Belum juga tangan-tangan kotor Pak Takir menangkap, Oklek sudah nekat mengayunkan batu itu tepat di kepalanya. Pak Takir terjungkal, jatuh mengaduh, sambil memegangi kepalanya yang berdarah.Tak tinggal diam. Waktu sangat sempit. Dia langsung jongkok, memunggungi Alin. “Ayo cepat! Kita kabur dari sini!”Alin sekuat tenaga merangkulkan tangannya. Oklek bangkit. Lari keluar kandang sebelum Pak Takir bangun. Dia harus memberitahu Pak Budi. Harus! Sayang, jalan keluar rumah ini lebih dulu dihadang Bu Takir. Wanita itu memakai jilbab asal-asalan, berpakaian lusuh, dan tersenyum menyeramkan menampakkan gigi-gigi tonggolnya.“Sini kau! Kami tidak main-main!” Dia mengeluarkan sebilah pisau panjang, diangkat tinggi-tinggi hendak menerkam Oklek.Anak itu gemetaran, menelan ludah. Bukan main takutnya. Baru ini dalam hidupnya, dia melihat orang memegang pisau, hendak mengayunkannya sekuat tenaga. Ini masih gelap. Jarak tetangga pun tak berdempetan. Rumah Pak Budi masih sekian puluh meter dari sini. Oklek balik badan, berlari kembali ke arah kandang. Pak eTakir sudah bangun, sudah bergerak keluar kandang walaupun dengan tertatih. Oklek lari secepat kilat, menghindari tangkapannya. Mereka berdua kini mengejar.Belakang rumah Pak Takir hutan belantara. Inilah satu-satunya jalan. Oklek tak mau ambil resiko kembali dan ditangkap dua orang gila itu. Sekilas dia lihat Alin lemas tak berdaya. Memejamkan mata.“Bertahanlah! Kita akan selamat!” Oklek mencengkeram kaki Alin lebih kuat. Dia nekat, melompat-lompat menuju ke dalam hutan. Dengan sandal japit, dan kaos oblongnya. Memasuki hutan yang gelap. Pak Takir dan istrinya berhenti di tepian sana. Tak mau ikut masuk.Tapi ini hutan. Bukan main-main. Tidak seperti ladang Yuri. Tidak seperti halaman depan rumah Pak Takir yang cuma ditumbuhi pohon mahoni. Di sini pepohonan lebat dan basah. Udara menusuk pekat. Dan semak belukar berkali-kali menggores kaki tangan Oklek. Dia terus menggendong. Satu dua kali menatap jauh ke depan. Ada lampu kendaraan yang melintas.“Jalan raya! Kau bertahanlah, Lin!” Oklek terus bergerak, menegakkan langkahnya sambil menggendong Alin. Napas diburu, jantung hebat bertalu. Suara binatang malam, suara ranting-ranting bergerak di sekitarnya, tak dihiraukan. Dia harus segera tiba di jalan raya. Paling tidak itu lebih aman ketimbang di tengah belantara begini, bukan? Mencari Jalan Pulang Benar memang kedua anak itu tiba di tepi jalan dengan selamat. Tapi nasib tak membaik. Mereka tidak tahu ini daerah mana, setelah ini harus pergi ke mana untuk sampai di terminal.Di sepanjang jalan ini sepi orang. Kendaraan bergerak cepat, tak bisa dicegat. Kaki-kaki Oklek mulai lelah. Sandal japitnya nyaris putus, dan coba lihat itu! Penuh sekali dengan luka gores, bentol-bentol. Bisa jadi di hutan tadi tak sengaja menyenggol beberapa ulat bulu.“Aku tidak kuat. Kita istirahat dulu, Lin.” Pandangan Oklek menyisir sekitar. Mencari tempat untuk duduk. Batu-batu besar, pagar pembatas jembatan, apa saja. “Alin! Kau dengar?”Tidak ada jawaban. Oklek menoleh sebisa mungkin. Tangan Alin menggantung lemas di pundak Oklek. Matanya memejam. “Alin! Alin!” Berkali-kali dipanggil, tak juga menjawab. Kondisinya kritis. Entah sudah hilang nyawa dikandung raga, entah belum. Oklek tidak tahu. Dia hanya ingin segera mencari bantuan. Tidak ada waktu istirahat. Oklek melanjutkan perjalanan. Kini langkahnya dipercepat. Bernapas lebih dalam, menangis lebih deras.Tak lama berlari, melewati jalan sepi, belokan, jalan menurun. Kendaraan mulai ramai. Di pinggir jalan mulai banyak rumah dan pertokoan. Oklek melangkah lebih cepat dengan sisa-sisa tenaganya. Dia menuju sebuah toko kecil. Membeli roti dan air mineral. Sebenarnya dia tak membawa uang. Tapi beruntung sekali, Oklek mendudukkan Alin di sebuah bangku panjang, merogoh saku celananya. Dia menemukan uang lima ribu rupiah.“Makanlah!” Oklek membuka bungkus roti, menyobeknya sedikit, disodorkan ke mulut Alin. “Ini roti! Kau mau, kan?”Dua mata Alin terbuka. Dia mencium aroma lezat roti di tangan Oklek. Segera tangannya meraih roti itu, makan dengan rakus. “Mana lagi!” katanya. Tangannya meraba angin, menyambar roti di tangan Oklek. Lalu dimakan lagi. Sampai seperti ini Alin makan? Baru pertama Oklek memandang begitu rakusnya cara makan Alin. Seperti lama sekali tidak makan.“Berapa hari kau tidak makan?”“Terakhir di warung dengan Kak Oklek.” Katanya sambil mengunyah roti.“Tidak mungkin.” Oklek menggeleng. Dia lihat kemarin Alin menghadap belakang, makan disuapi ibunya. “Kemarin kau makan disuapi ibumu, kan? Pas pagi-pagi itu?”Alin tidak menjawab. Menelan roti yang baru dikunyah satu dua kali. “Minum!”Oklek memegang tangan Alin, mengarahkannya untuk mengambil sebotol air mineral. Dia minum seperti baru keluar dari gurun pasir. Banyak, cepat. Langsung habis sebotol. Jari-jari kecil itu masih juga gemetaran.Selagi Alin makan, kesempatan bagi Oklek untuk istirahat. Dia meluruskan dua kakinya. Bentolnya merambat. Gatal, panas. Sekalipun darah goresan ranting sudah mengering, tapi perihnya tetap ada. Oklek memijat-mijat kakinya, menahan perih dan pegal tanpa suara. Tak mau Alin mendengar keluhannya. Tak ingin dia kuatir, lantas membuat waktu pulang mereka semakin lama.“Aku tidak makan. Mulutku diplester.”Oklek menoleh, kaget. Menutup mulut tak percaya.“Ayo pulang, Kak! Seharusnya kita tidak usah ke sini!” tangan kecil Alin mencari-cari di mana Oklek. Dia bangun, mendekatkan badannya sampai tangan Alin menyentuh pundak Oklek. Lalu menggoyang-goyang badan Oklek. Merengek. Tenaganya sudah cukup pulih. Tapi tak terlalu baik untuk perjalanan panjang. Lagi pula, mereka tak punya uang sekarang. Hanya tersisa dua koin lima ratus kembalian beli roti dan air tadi.“Ayo pulang, Kak! Ayo ke Rumah Kita.” Suara Alin lirih, air matanya merembet jatuh ke pipi. Wajah yang baru kemarin lusa cerah, kini redup kelabu. Rambut yang kemarin lusa jatuh lurus berayun, sekarang bagaikan benang kusut digenggaman tangan kotor. Berantakan, mirip rambut orang gila. Oklek membelai rambut Alin, menatanya biar sedikit rapi.“Kita akan pulang, Alin. Aku berjanji. Mana kelingkingmu?” Oklek mengangkat jari kelingking. Lalu dengan tangan kiri, memegang tangan Alin, kelingking mereka bertaut. Senyum Alin mengembang walaupun tipis. Matahari terik. Kota ini benar-benar seperti neraka. Panas bukan main. Masjid adalah tempat yang sangat tepat untuk istirahat. Maka setiap kali melihat ada masjid, mereka menyempatkan duduk-duduk di terasnya, memijat-mijat kaki, meminum air kran, rebahan. Oklek lapar. Dia belum makan sampai matahari terik begini. Uang tinggal seribu rupiah. Dan kondisi Alin rupa-rupanya belum bisa dibilang baik. Wajahnya masih mirip aspal jalan. Pucat.“Aku akan coba cari uang. Kau tunggu di sini.”“Sendirian?”Oklek memegang pundak Alin, menabahkan. “Tidak usah kuatir. Aku tidak lama. Hanya berkeliling gang-gang sini. Akan kuambilkan selimut dulu.” Lalu Oklek mengelilingi masjid. Tak jauh dari tempat wudhu, ada rak sajadah dan mukenah. Tangan Oklek cepat mengambil satu mukenah dan sajadah. Keduanya bisa dipakai alas dan selimut. Lagipula sholat duhur sudah lewat. Masjid sepi orang.“Tidurlah di sini. Pejamkan matamu. Akan kubangunkan saat aku kembali.” Sajadah digelar. Alin merebahkan tubuhnya, berbantal tangannya. Mukenah itu diselimutkan menutupi seluruh tubuh Alin kecuali wajah.“Aku tidak bisa tidur. Apa Kakak membawa Enci?”“Aku bahkan tidak melihat Enci saat kau di kandang sapi. Mungkin ayah ibumu sudah membuangnya.”Jemari Alin bergerak-gerak tak pasti, seperti meraupi angin, membayangkan memeluk Enci. Dia tahu tak mungkin bonekanya diambil lagi. Jadi sebisa mungkin membayangkan boneka kelinci itu, membayangkan memeluknya seperti kemarin lusa.Tak tega, Oklek kembali lagi ke rak sajadah. Dia mengambil satu sajadah lagi, digulung mirip guling, lantas diberikan ke Alin. “Anggap ini Enci. Kau bisa?”“Akan kucoba.”Senyum Oklek terkembang. Setidaknya Alin kini sedang memeluk sajadah itu, berusaha keras membayangkan sedang memeluk Enci.“Wajahmu masih pucat. Mungkin makanan di perutmu kurang banyak, Lin. Setelah dapat uang, aku akan langsung beli makan. Kau mau makan apa?”Alin mengedikkan bahu. “Apa saja.”Oklek tersenyum, mengangguk biarpun Alin tak bisa melihat. Lalu pamitan, mulai bergerak memasuki gang-gang dekat sana. Bermodalkan dua koin lima ratusan itu, Oklek mengamen dari pintu ke pintu. Mengetuk-ngetuk dua koinnya sebagai musik. Dua tiga pintu masih tak ada hasil.Pantang menyerah. Langkah demi langkah tak menyurutkan semangat Oklek. Dia sudah belok di banyak simpang, bernyanyi penuh semangat berharap semangat itu menumbuhkan rasa iba pendengarnya, lantas dia diberi uang barang lima ratus atau seribu.Tapi barangkali kampung ini memang tak suka didatangi pengamen. Mereka enggan memberi uang. Jika ada yang mengulurkan tangannya, itu pun tak lebih dari seratus atau dua ratus rupiah. Terlalu lama untuk bisa dipakai beli makan.Oklek bersandar di tiang listrik pada simpang jalan. Menggaruki kepalanya, dipandangi terus uang di tangan itu. Masih seribu enam ratus? Makin digaruki kepalanya biarpun tidak gatal. Ini sudah satu jam lebih. Jika di tempatnya dulu, sudah pasti sudah dapat dua puluhan, apalagi kalau temannya, Kiki yang bernyanyi.Mendadak ide gila berputar di atas kepalanya. Ide yang sebenarnya tak boleh dilakukan. Mencuri. Dengan tekad bulat, daripada habis waktunya untuk mendapat sedikit uang. Berjalanlah Oklek mencari sasaran. Ini kali pertama dia mencuri di kampung—bukan pasar seperti di kotanya. Sudah pasti harus lebih hati-hati.Agak lama mengelilingi kampung. Keberuntungan datang. Tak jauh di sana ada penjual bakso keliling. Anak-anak berkerumun. Beberapa laki-laki perempuan dewasa tak mau mengalah. Rupanya laris manis bakso itu. Cocok untuk jadi target pertama.Tenang dia melangkah, mengamati jalan sekitar. Ada beberapa gang kecil. Ramai orang, tidak cocok untuk rute kabur. Jalan belokan di sebelahnya sepi orang. Nanti, simpang inilah yang akan menjadi jalannya untuk kabur.Semakin mendekati rombong, semakin jantungnya berdetak kencang. Oklek bersiul lirih—menenangkan diri—sambil pura-pura ingin membeli bakso. Tak ada yang curiga. Tak satu pun dari mereka memperhatikan Oklek. Masing-masing sibuk degan pesanan mereka.Dia mendekat ke bapak penjualnya, semakin lama semakin dekat. Bapak itu sibuk mengambili plastik, kresek, menuang kecap, menyerahkan semangkok bakso kuah panas, dan melayani yang lain. Kemudian menerima uang dari pelanggan. Saat si tukang bakso membuka tasnya, mengambil segenggam uang, menghitung kembalian, kesempatan emas itu tak disia-siakan. Begitu lengah, tangan Oklek secepat kilat menyambar uang yang masih di tangan si penjual bakso.Kaget semua orang. Membeku satu dua detik. Untuk mengalihkan perhatian, Oklek sengaja menampel semangkok bakso kuah panas. Terlempar mangkok itu, muncrat kuahnya, mengenai baju dan celana seorang pelanggan wanita. Mangkok terjatuh, pecah berkepingan di tengah jalan. Semua mata mengarah pada wanita yang bajunya berlumuran kuah bakso itu. Kepanasan. Dia menjerit, mau menangis. Oklek kabur dengan gesit, serampangan. Nyaris jatuh kesandung.“MALING!” penjual bakso teriak. Orang-orang bingung. Menolong wanita itu, apa mengejar maling? Mana malingnya? Anak kecil yang lari itu, bukan? Mereka tak kunjung bergerak menentukan mau ke mana dulu.Tapi mungkin keberuntungan sedang tak sepihak. Sesuai rencana, kabur menuju belokan yang sepi itu. lari secepat-cepatnya. Dan begitu dia sampai, hendak menikuk tajam. Sepeda motor dari arah sana melaju cepat. Kaget ada anak tiba-tiba muncul, banting stir. Terlambat! Motor itu menyerempet tubuh Oklek. Dia terpelanting, jatuh tersungkur, uang digenggaman terbang berhamburan, semburat ke jalanan. Sambil memegangi tubuhnya yang sakit, dia mengaduh, pasrah nasib sudah menelannya mentah-mentah pada cekalan para penduduk sekitar.“Bawa ke Polisi!”“Pak RT saja dulu!”“Langsung hajar!” seorang warga tak kalah emosi.“Jangan!” satu dua orang menolak.Oklek menghela lemas. Bagaimana nasib Alin sekarang? Rumah Pak RT ramai. Ada maling anak-anak ditangkap masa! Ibu-ibu semangat meninggalkan masakannya, berlarian menggendong anaknya yang masih setahun menuju rumah Pak RT, melotot mata mereka ke dalam rumah Pak RT. Ingin tahu si maling anak-anak itu. Ada yang bilang dia menculik anak-anak, lalu dijual. Atau diambil organ-organ dalamnya untuk jamu. Tak banyak yang kemudian membenarkan bahwa maksudnya adalah maling yang masih anak-anak, bukan penculik anak.Ibu-ibu ber “Ooo …” kompak. Dan herannya, masih juga mereka membicarakan penculikan anak-anak, bukan si maling yang masih anak-anak itu. Suasana masih ramai selama sekian menit. Karena tak juga maling itu keluar dari rumah Pak RT, tentu mereka bosan, dan kembali pulang, melanjutkan masak yang sejenak tadi ditunda.Oklek masih mengaduh, tetap memegangi badan dan lengannya yang sakit. Beberapa luka lecet sudah dirawat, diperban. Pak RT menginterogasi dengan sedikit pertanyaan, tapi penting.“Siapa namamu? Dari mana asalmu? Kenapa mencuri?”“Adik saya di sana!” Oklek tak mau menjawab, “Alin masih di masjid, lapar, Pak. Saya terpaksa mencuri untuk makan adik saya.”Hening. Pak RT mengganti pertanyaannya. “Di masjid mana? Kau jangan bohong! Maling itu tak bisa dipercaya omongannya.”Merasa dirinya sakit, perut Oklek seperti diremas-remas, isinya bagai didorong ke atas, mau dimuntahkan. Dia mual-mual. Bangkit dan bergerak ke luar. “Tempat sampah, mana!”Orang-orang tak menjawab. Oklek langsung menuju halaman depan rumah Pak RT, dan muntah di sana. Sakit perutnya, bau asam mulutnya. Namun saat itu juga otaknya berputar keras. Dia sekarang ada di luar. Orang-orang sibuk mengambil kain pel, jijik menghindari Oklek. Dan kesempatan ini tak disia-siakan untuk kabur. Dia melihat pagar rumah Pak RT terbuka. Orang-orang yang ingin menonton sudah pada pulang. Dengan tenaga yang tersisa. Oklek secepat kilat berlari keluar rumah. Mengejutkan banyak orang. Dan mereka mengejar, tak mau kehilangan anak nakal itu.Begitu dikejar, baru juga sampai di luar pagar. Sosok Oklek sudah menghilang. Dia lolos dari kejaran semua orang.Tak ada yang dirugikan di sini kecuali Oklek sendiri. Sakit perutnya, uang tak dapat, dan Alin masih lapar. Terpaksa, dia membeli roti lagi dari uang seribu enam ratus hasil mengamen tadi. Rencananya, roti itu akan dibagi dua. Dia belum makan sejak pagi. Tak Sadar Sore baru saja lewat, sekitar jam limaan. Oklek kembali sambil memegangi perutnya. Tangan satunya memegang sebungkus roti. Dia membuka pagar masjid, melangkah pelan menuju teras. Sesaat dia baru sadar. Teras itu sepi orang. Sajadah untuk alas, mukenah untuk selimut, tidak ada satu pun. Alin hilang!“Alin! Alin!” suara Oklek lantang, menggaung di seluruh masjid. Tidak ada satu pun orang. Oklek mengelilingi masjid, mencari barangkali Alin dibawa masuk ke dalam ruangan takmir. Kosong. Bahkan ketika dia memeriksa rak-rak sajadah. Dia ingat sajadah yang dipakai Alin sudah terlipat rapi, mukenahnya juga.“Alin!” Oklek memanggil lagi. Hening. Masih tak ada jawaban. Maka dia memutuskan duduk di teras depan, mendekap lutut, bersandar pada sebuah pilar beton. Pandangannya kosong ke depan. Di sampingnya, roti tinggal separuh, dibungkus, diikat rapat. Menyisakan untuk Alin barangkali tak lama lagi dia kembali.Jika tiba-tiba Oklek mau muntah, seperti yang di rumah Pak RT tadi, dia segera lari ke tempat wudhu, memuntahkan roti yang baru saja dimakan. Anehnya, perut Oklek terasa sakit. Matanya sedikit berkunang-kunang. Dia memutuskan tak banyak bergerak dulu. Duduk memeluk lutut lagi di dekat pilar beton.Tapi senja sudah berakhir. Syafak merah muncul tanda magrib sudah tiba. Orang-orang berdatangan ke masjid. Adzan berkumandang. Oklek tak bergerak sedikit pun. Bahkan satu pun mereka tak ada yang membangunkan, menyuruhnya sholat barangkali. Tidak ada.Baru ketika semua jamaah sudah pulang. Seorang bapak-bapak gemuk, mengenakan sarung, berbaju koko. Mendatangi Oklek, menepuk-nepuk pundaknya. Tapi dia tak peduli. Tetap menunduk, pura-pura tidur.“Hei! Bangun!”Tidak juga bangun. Bapak itu menghela napas, geleng-geleng kepala. “Belum juga sehari, sudah ada dua anak gelandangan datang ke masjid ini.”Oklek dengar ucapan itu. Dia tak lagi pura-pura tidur. Langsung mendongak, melotot kepada bapak itu dengan mata sembab. “Dua? Bapak bilang dua?”Terkejut, Bapak itu mengelus dada, mengucap istighfar. “Iya dua! Satunya anak kecil malahan.”Oklek bangkit, memegang lengan Bapak itu. “Perempuan, Pak? Anaknya buta?”Bapak itu diam mematung. Tahulah dia akhirnya bahwa kedua anak itu saling bersangkutan. Maka petang ini juga Oklek dibawa ke sebuah tempat tidak jauh dari masjid ini. Oklek masih menggenggam sisa roti yang tinggal separuh itu, nanti kalau bertemu Alin, akan dia berikan roti itu supaya tidak lapar lagi.Begitu tiba, dia kaget. Ini … rumah sakit?Bapak itu menjelaskan kondisi Alin ketika ditemukan tergeletak di masjid. Dia berantakan, tubuhnya lemas, tangan kakinya menggigil. Anak itu nyaris tak bisa bergerak. Tentu seluruh jamaah sepakat membawanya ke rumah sakit. Oklek makin tak sabar. Melangkah lebih cepat.Di sebuah ruangan kelas tiga. Bapak itu menggiring Oklek sampai di bilik Alin. Oklek bergegas membuka tirai, melihat tubuh Alin terbujur lemas di atas ranjang. Infus di lengan, selimut menutupi sampai dada. Dia sudah bersih. Wajahnya tak lusuh, tidak juga memucat seperti tadi. Saat ini dia sedang lelap.Oklek duduk, mematung. Bapak itu menyusul duduk di samping Oklek, lirih berbicara. “Kalian tinggal di mana?”“Di luar kota. Jauh dari sini,” jawab Oklek.“Lalu kenapa bisa sampai di sini?”“Kami ….” Oklek menahan jawabannya. Dia tak mau menceritakan tujuan utama mereka di sini. Tidak ingin mengungkit-ungkit masalah itu, apalagi di depan orang asing. “… tersesat. Lalu tidak bisa pulang.” Kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.Bapak itu menghela, bingung. “Tidak ada keluarga di sini?”Hanya satu gelengan kecil saja jawaban Oklek. Dia menunduk, tangannya memegang jemari kecil Alin. Masih dingin.“Atau kira-kira kenalan? Barangkali kalian punya satu atau dua orang. Nanti biar Bapak usahakan mendatangkan orang itu.”Kenalan? Dahi Oklek berkerut. Tidak mungkin mereka mendatangkan Pak Takir dan Bu Takir. Mau cari petaka lagi? Dan bagi Oklek, tak seorang pun yang dia tahu selain dua orang tua Alin. Tapi mendadak dia ingat Pak Budiman. Orang pemilik bendi yang mengantar mereka menuju rumah Pak Takir.“Kepala desa Retjo Pentung!” Oklek mengangkat telunjuk.“Baik, besok pagi akan Bapak temui orang itu. Sekarang kau istirahat dulu saja di sini. Temani adikmu.” Lalu selang satu dua menit kemudian Bapak itu pamit pulang. Dia memberi Oklek dua lembar dua puluhan untuk beli makan. Dia berterima kasih, sekalipun nanti dia tak mau beli makan. Uang ini sangat berarti. Disimpan, jika besok lusa Alin sudah baikan, dia bisa pulang menggunakan uang ini. Malam hari, ketika suasana rumah sakit menjadi sunyi. Para pengunjung pasien sebelah beranjak pamit. Suara jangkerik mengerik di teras depan ruang ini, berkelahi dengan hujan deras. Malam ini juga kerai panjang bilik ditutup. Ruangan ini jadi sunyi. Alin masih lelap. Oklek duduk di kursi, memegangi perutnya yang sakit.Sebentar disibak bajunya, mengamati bagian perut yang terasa perih itu. ada bekas merah, seperti memar. Jika disentuh, sakit bukan main. Ini luka terkena sepeda motor tadi sore. Tidak menyangka sampai memar begini. Dan lagi-lagi, Oklek mau muntah. Dia menahan perutnya, melangkah ke toilet. Mengeluarkan semua isi perut yang cuma tersisa air putih saja. Kepalanya pening, dan berkunang-kunang lagi. Dia kembali ke bilik Alin dengan langkah terhuyun-huyun.Sampai jam dua belasan. Semua masih sepi. Oklek masih duduk, berbantalkan tepi kasur Alin. Dia harus istirahat. Kondisinya sedang tak baik. Berharap besok perutnya akan sembuh. Tapi tiba-tiba genggaman tangan Alin membangunkan Oklek. Dia menoleh, melihat Alin membuka mata—yang tentu saja baginya itu masih gelap pekat.“Kau sudah bangun?” Oklek bicara lemas.Bibir Alin mengembangkan senyum. “Kak Oklek.” suara kecil itu terdengar lemas. “Ini di mana?”“Rumah sakit. Sudah … sudah. Jangan banyak bicara dulu. Kau masih belum pulih benar.”“Ayo kita pulang …” Alin bicara terbata. Dia rindu kembali ke kota mereka. Kembali ke panti asuhan. “Aku kangen Yuri.”“Kak Oklek juga. Besok ya, kalau kau sudah sembuh.”“Uangnya?”Oklek tertawa pendek, “Jangan kuatir. Aku sudah dapat banyak. Nanti kalau ongkosnya kurang, di sana aku bisa ngamen lagi.”Oklek bangkit, menatap selimut Alin. Juga bantalnya. “Sekarang kau istirahat dulu. Besok kubangunkan pagi-pagi sekali.”Tapi malam ini Alin tidak bisa tidur. Dia masih merasa sendirian. Takut. Meminta Oklek tidur di dekatnya. Daripada malam ini tidak istirahat, Oklek menurut, naik ke kasur Alin, tidur di sampingnya. Anehnya, keringat dingin Oklek tiba-tiba mengucur. Dia seharusnya memakai selimut, atau minimal jaket. Tapi tak ada. Tak enak rasanya kalau harus berbagi selimut dengan Alin. Dia lebih membutuhkan daripada Oklek. Maka dia merebahkan badannya, sambil bersendekap, menahan dingin. Tak ada orang yang tahu, apalagi Alin, bahwa raut wajah Oklek mulai memutih, memucat.“Kak. Ceritakan sesuatu.”“Apa?” Oklek menjawab lirih. Memejamkan mata.“Tentang Rumah Kita.”Diam sebentar. “Tentang Bu Dahlan yang pemarah? Atau Nely Mely yang cerewet?”Alin tersenyum, memejamkan mata. “Bu Dahlan tidak pemarah. Kak Nely Mely tidak cerewet. Yuri yang paling cerewet.”“Oh iya … Kau benar. Bu Dahlan tak pernah marah padamu. Dan Nely Mely sangat cerewet hanya denganku. Yuri malah diam saja.”“Yuri takut Kak Oklek.”“Oh ya? Kalau begitu besok sampai di rumah, dia tak kubayarkan uang sekolahnya.”Alin tertawa, kali ini suaranya sedikit lebih cerah. Senang sekali Oklek mendengar tawa Alin. Dia telah mengalami hari yang buruk, hari yang melelahkan. Sekiranya tawa itu membuat hati Oklek sedikit lega.Dan malam semakin larut saja. Alin menggeser kepalanya, bersandar di lengan Oklek. Dia tak mau berpisah lagi dengan Oklek untuk malam ini. Tak mau tidur sendirian seperti tadi sore, dan hari-hari kemarin saat di rumah Pak Takir.“Mau kuceritakan lagi?”“Apa?”“Tentang monster yang suka makan diam-diam di dapur kita.” Suara Oklek dibuat menyeramkan.Alin tersenyum lebar. “Kata Yuri, Kak Oklek seram seperti monster. Jangan-jangan monster yang suka makan diam-diam itu Kak Oklek sendiri.”Tawa Oklek dipaksa. Dia mencubit hidung Alin. Lalu mulai bercerita walaupun tenaganya sedang terkuras. Dan keringat dingin terus mengucur. Biar saja tak ada yang tahu. Biar saja Alin tidak tahu. Malam ini dia mau terus begini, menunggui Alin, demi mengganti malam-malam berat kemarin, demi menebus kesalahannya yang sudah menjerumuskan gadis mungil ini ke sebuah masalah besar.Lalu tiba-tiba saja ruangan ini hening. Alin tertidur, Oklek menutup mata, tak kuat bicara lagi, tak kuat mengatur napas. Dia mau muntah, tapi apalagi yang akan dimuntahkan? Isi perut itu sudah terkuras habis. Dengan begitu beratnya dia coba menelan ludah dalam-dalam, mengembalikan muntah yang seharusnya dikeluarkan.Tubuh Oklek lemas bukan main. Dia terlelap juga. Tidak … tidak. Lebih tepatnya, tak sadarkan diri. Buka Mata, Buka Hati Di kamar ini sepi suara-suara orang. Layar monitor menampakkan garis detak jantung Oklek. Slang ventilator melingkar, terpasang di hidungnya. Sekalipun matanya terpejam, tapi dia tahu jendela ruangan ini sudah terbuka. Sinar matahari menembus sisi gelap matanya. Lantas dua tiga detik kemudian dia membuka mata, melihat langit-langit warna putih, kipas angin berputar lirih, tak terasa anginnya sampai sini. Dia baru bangun. Dan yang ada dipikirannya cuma satu. Jam berapa ini?Ketika mau bangkit, anehnya tubuhnya lemas, sama sekali tak bisa mengangkat seluruh badan. Dipandangi sekitar. Kamar ini beda dari bilik punya Alin. Dan sekarang dia berada di kasur sendirian. Oklek terkejut. Mana Alin? Batinnya. Dia tengok lagi kanan kiri. Lengan sebelah kirinya diinfus. Dan dia menggunakan slang untuk membantu pernapasan.Kenapa jadi aku yang begini? Apa yang sebenarnya terjadi?Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Oklek masih tak mengerti. Lalu semenit kemudian pintu kamar ini terbuka. Dia menoleh, melihat orang yang amat sangat dia kenal. Sedang berjalan mendekat, tersenyum bahagia. Air mata menitik jatuh ke pipi wanita kurus itu, diusap dengan jemari. Bu Dahlan. Dan tidak jauh di belakangnya, ada Pak Budi bersamanya, berjalan mendekat dengan senyum terkembang lebar.Bu Dahlan membelai rambut Oklek, memegang jemari tangannya yang masih lemas. “Alhamdulillah, Klek! Kau sadar juga akhirnya.”Bibir Oklek masih tak kuat bicara. Tapi Bu Dahlan tahu maksudnya dari gerak mata Oklek. Dia bingung, heran bagaimana mungkin tiba-tiba dia terbaring lemas dengan infus dan ventilator. Beliau duduk, masih tersenyum tipis, masih menitikkan air mata. Dan tangannya lengkap memegang jemari Oklek.“Kau pingsan waktu tidur di kasur Alin.”Dua alis Oklek terangkat tak percaya.“Kata Alin, pagi itu ketika dia bangun. Kau tak juga bangun. Dan badanmu dingin sekali. Alin berteriak-teriak minta tolong. Lantas tak lama kemudian kau digendong. Dibawa pergi. Kau tahu, Alin bercerita sambil menangis. Aku benar-benar merasakan bagaimana takutnya dia saat itu.”Oklek menggerak-gerakkan lingkar hitam matanya. Dia menanti penjelasan lain. Tentang bagaimana bisa dia sakit, atau Alin pulang dengan siapa. Lalu bagaimana Bu Dahlan bisa sampai di sini. Tapi mulutnya masih lemah, tak sanggup bicara. Bu Dahlan menjelas semua perstiwa yang terjadi ketika dia pingsan.“Klek. Kau mengalami pendarahan di perut. Beruntung nyawamu masih tertolong. Rumah sakit ini melakukan yang terbaik supaya kau sembuh. Dan …” Bu Dahlan menghela napas dulu, mengusap air matanya lagi. “… jangan kuatir. Alin sudah pulang. Dia sudah di rumah dengan anak-anak yang lain.”Sedikitnya napas Oklek melega. Pandangannya tak lagi bergerak kacau.“Seminggu yang lalu. Pak Budi yang mengantarnya ke rumah.”Dahi Oklek berkerut. Ya ampun! Aku pingsan berapa lama?Pak Budi yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. “Ada kabar baru yang perlu kau dengar. Tentang Pak Takir dan Bu Takir.”Apa? Berita apa? Oklek penasaran. Sebenarnya dia tak mau dengar nama itu lagi. Tapi melihat gelagat Pak Budi yang tenang, rasanya itu kabar baik.“Mereka sudah kami serahkan ke polisi, dan terbuki melakukan pembunuhan kepada tiga anaknya. Juga percobaan pembunuhan kepada Alin. Sekarang, desa kami tak ada lagi ritual menyeramkan itu. Dua pengikut terakhirnya, suami istri itu, akan mendenkam di dalam penjara. Di sana tidak ada danau hitam, bukan?”Oklek tersenyum sedikit. Semakin lega hatinya.Seorang dokter dan dua perawat masuk ruangan ini. Mereka lega Oklek akhirnya terbangun juga. Dokter itu bilang, kondisi Oklek mengalami kemajuan yang luar biasa. Diperkirakan dia bisa pulang dalam waktu satu mingguan lagi. Begitu pemeriksaan selesai. Dokter itu pamit, dan menyempatkan diri mendoakan Oklek agar segera sembuh.“Kau tahu, Klek.” Pak Budi mendekat sesaat setelah dokter itu beranjak. Dua alisnya mengernyit. Oklek hanya menoleh saja.“Bu Dahlan ini orang tua yang baik hati.” Dia menepuk pundak Bu Dahlan. Sekilas wanita itu tersipu.“Dan ternyata panti asuhan Rumah Kita sangatlah menyenangkan. Rugi sekali waktu kemarin mengantar Alin, aku hanya bisa satu jam di sana. Bagiku, tempat itu tidak sekedar rumah panti asuhan, tapi rumah semua orang. Siapa yang tak betah tinggal di rumah kecil penuh keceriaan itu? Kau pun merasakannya, kan, Klek?” Pak Budi mendekatkan kepalanya, tersenyum penuh arti. “Itu adalah tempat pulang kalian. Dan tentu saja tempat pulang Alin yang sebenarnya.”Kalimat itu jelas-jelas menusuk hati Oklek. Dua matanya bergerak-gerak tak pasti, seperti mendadak sadar betapa bodoh tindakannya waktu itu. Alin—yang seharusnya tak tahu apa-apa itu—telah dia lempar ke dalam jurang yang pekat, disiksa ayah ibunya sendiri. Itu adalah peristiwa yang paling mengerikan yang tak sedikitpun pernah dia bayangkan.“Jadi, Klek …” Bu Dahlan menghela sebentar, menambahkan. Menyadarkan lamunan Oklek.“Semua sudah berakhir. Masalah sudah beres. Dan besok-besok kau tak perlu lagi iseng mencari jalan pulang seperti kemarin.”Oklek tergelak singkat. Tentu saja hanya di dalam hati. Pak Budi benar, Rumah Kita adalah tempat pulang yang sebenarnya. Oklek menghela, mengalihkan pandangan, tak mau dua orang itu melihat air matanya yang menitik halus. Dia kangen ingin segera pulang, bertemu anak-anak yang lain. Rumah Kita, Rumah Semua Orang Ini adalah catatan yang ditulis Oklek ketika dia sampai di ‘Rumah Kita’. Saat malam itu, dan semua orang sudah lelap. Kepada seluruh anak panti asuhan catatan ini ditulis. Agar saat besar nanti, dan semua anak-anak panti sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, dia tidak lupa tentang masa lalu, tentang cerita-cerita lucu dan haru di Rumah Kita.Begini sebagian kecil isi catatan itu: Suara mesin bus menyala, besi besar ini melaju melewati jalur kota, bergerak di antara ribuan kendaraan lain. Aku duduk di dekat jendela, menatap pemandangan kota, merasa ini adalah hari yang paling bahagia, sebab tak lama lagi aku akan kembali ke panti asuhan. Akan pulang, berkumpul lagi dengan yang lain.Di sampingku, Bu Dahlan sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya, lantas mengambil buku kecil. Buku tabungannya. Dia membukanya, melihat sederet tulisan di dalamnya. Aku penasaran, kuintip sebentar. Bu Dahlan langsung menyingkirkan buku itu dari pandangan mataku, langsung memukul kepalaku pelan. “Kau ini memang nakal! Merepotkan orang tua saja! Sudah ATM hilang. Aku harus ke bank dulu ambil uang. Huff!” dia menghela. Aku bungkam. Tak mau mengaku tentang ATM-nya yang kubuang di terminal dulu.Aku mengintip lagi buku tabungan itu. Barangkali ATM itu tidak bisa karena uangnya memang sudah habis. Pikirku. Tapi lagi-lagi Bu Dahlan menjauhkan buku tabungannya dari pandanganku.“Kenapa? Biasanya Bu Dahlan memperbolehkan aku mengintip buku tabungan? Bahkan dulu Bu Dahlan memberitahu nomer pin ATM, menyuruhku mengambil atau setor uang. Kenapa sekarang aku tidak boleh mengintip?”Memang benar, aku adalah satu-satunya yang dipercaya soal keuangan. Katanya, aku ini anak yang paling dewasa sekalipun tidak lebih tua dari Martin. Jadi Bu Dahlan lebih senang membagi masalah keuangannya denganku.Bu Dahlan menghela, lantas canggung memberikan buku tabungan itu kepadaku. Sejenak kupandang, aku mengucek mata. Tak percaya. Saldonya tinggal tiga puluh ribu? Kaget sudah pasti.“Aku tidak ingin kau melihatnya, sebab tabungan memperbaiki rumah sudah kupakai untuk membayar biaya rumah sakit kalian. Siapa lagi memangnya yang kau harapkan membayar biaya sebesar itu selain aku?” Bu Dahlan menghela lagi, menarik buku itu, lantas dimasukkan ke dalam tas lagi. “Sudah! Jangan dilihat lama-lama! Mau ubanan rambutmu sepertiku?”Mulutku bungkam. Bahkan sepanjang perjalanan ini tak sanggup bicara apa-apa. Begitulah memang orang tua. Mereka akan menabung untuk masa depan, untuk kepentingan keluarga. Tapi jika ada situasi mendesak, tak mengapa rencana masa depan itu ditunda dulu, demi kepentingan yang mendesak itu.Sepanjang jalan ini aku tak berani menoleh ke arah Bu Dahlan. Malu rasanya. Mataku terus menatap jalanan, melihati pemandangan kota biarpun leher sudah tak karuan capeknya. Malam itu tanganku digandeng Bu Dahlan. Beliau sedikit menarikku, meminta agar segera berjalan. Aku bukannya ragu, hanya malu. Sebab kini tepat di hadapanku, rumah lusuh nan mungil itu kupandangi. Masih sama seperti dulu. Bedanya simpel. Ladang Yuri semakin tinggi. Dia merawatnya dengan sangat baik.Kakiku melangkah, menapak halaman depan rumah ini. Merinding, rasanya aku tak percaya sekarang benar-benar terasa di rumah. Dan begitu pintu depan itu dibuka, suasana meriah. Aku melihat anak-anak menyambutku dengan gembira. Dalam rumah masih sama seperti kemarin saat kutinggalkan. Cat dinding mengelupas, dan kursi yang tak tertata. Berantakan. Pasti bekas dipakai main Nely Mely, dan Yuri.Baru juga disinggung dalam hati, Nely Mely langsung mendekat, melompat kompak merangkulku.“Aduh! Kau ini! Perutku masih belum sembuh betul!”“Eh, maaf!” lagi-lagi dengan kompak keduanya melompat mundur, menunduk merasa bersalah. Di sebelah kanan, Martin tertawa, menyambutku dengan uluran tangan. Kami berjabatan. Lalu Yuri tak juga bicara. Diam saja. Kupikir dia masih menganggapku monster, tapi rupanya tidak. Yuri sedikit berceloteh.“Aku tahu apa yang Kak Oklek pikirkan saat melihatku. Kemarin Alin cerita banyak sekali. Dia bilang Kak Oklek tidak mau membayarkan uang sekolahku. Oke, ladangku juga akan panen. Besok-besok akan kujual hasil panen itu untuk membayar uang sekolahku sendiri.”Aku tergelak. Bu Dahlan hanya geleng-geleng saja. Rupanya benar, dia memang cerewet.“Ya ampun …” Aku menghela, menatap satu per satu mereka. Bahkan Yuri yang hampir tak pernah kucubit pipinya, sekarang kucubit dia sampai menjerit kecil. “Kalian sudah bertambah besar saja.”“Baru juga dua minggu pisah!” Nely Mely protes, menjulurkan lidah mereka. Martin tak berhenti tertawa.Dan ini yang paling kutunggu-tunggu. Di dekat Yuri, seorang anak buta yang baru saja menempuh perjalanan jauh. Alin. Dia membawa sebuah kue tart, melangkah mendekat.“Dan kau, Lin? Untuk apa bawa kue? Siapa yang ulang tahun?” Aku menggosok-gosok perut, tak sabar mau makan kue itu.“Kata Alin.” Yuri bicara lagi. “Tidak ada yang tahu kapan Kak Oklek ulang tahun. Bahkan Bu Dahlan juga tidak tahu. Jadi kami semua menyarankan untuk membuat kue ulang tahun. Anggap saja ini hari ulang tahun Kak Oklek. Alin lho yang mengusulkan kalau hari ini adalah ulang tahun Kak Oklek, padahal kupikir …” Nely buru-buru menarik tangan Yuri, membekap mulutnya yang tak berhenti bicara.Alin melangkah pelan-pelan, mendekatiku, dengan senyumnya yang begitu cerita. Tanpa suara aku melangkah menghindari Alin, melompat ke belakangnya, tersenyum jail. Aku ingin tahu seberapa jauh Alin terus melangkah. Barangkali nanti akan menabrak dinding.“Klek! Kau jangan jail!” Bu Dahlan melotot. Semua anak bersorak, memintaku tidak mengerjai Alin.“Lho, memangnya Kak Oklek sekarang di mana?” langkah Alin terhenti. Memusatkan telinganya untuk mendengar setiap gerak gerik di sekitarnya.“Di belakangmu, Lin.” Suaraku lirih. Alin hat-hati membalik badan. Masih kulihat senyuman cerah itu.“Astaga, Klek! Kau masih iseng seperti dulu!” Martin menepuk jidadnya. Geleng-geleng kepala.“Dulu kau bilang? Baru juga dua minggu,” balasku.Dan pertengkaran kami singkat saja. Sebab Alin tiba-tiba mengangkat kuenya. “Selamat ulang tahun, Kak Oklek.” kata-kata itu mengheningkan seluruh rumah. Termasuk Yuri yang cerewet.Begitulah aku langsung terharu. Sampai usiaku yang ke empat belas ini, aku tidak pernah merayakan ulang tahun. Tak ada yang tahu kapan aku lahir. Orang tuaku tidak mengatakan apa-apa kepada Bu Dahlan. Tapi malam ini, tanggal dan bulan ini. Oleh seorang anak kecil yang dua matanya gelap tertutup, aku bisa merasakan bahwa sekalipun buta, dia masih bisa melihat kami, dengan hatinya, dengan cinta yang dia berikan kepada semua orang.Alin namanya. Dan aku segera mengambil kue itu, lantas memeluknya erat-erat. Buncah air mataku. Tiba-tiba deras juga air mata Alin mengalir membasahi pundakku. Kami saling merindukan. Kami saling menyayangi. Dan besok lusa, aku takkan lagi-lagi mengecewakannya.Satu harapanmu sudah terwujud, Alin. Tentang pulang. Tentang bersama keluargamu. Tinggal satu yang selalu ingin kau wujudkan. Bisa melihat kami, orang-orang di Rumah Kita. Semoga tidak lama lagi. Description: Kami tak mengerti kenapa kau putuskan untuk pulang. Benarkah kau ingin meninggalkan Bu Dahlan? Menjauh dari si kembar? Dan kau takkan lagi mendengar celotehan Yuri, sahabatmu itu, lagi. Apa itu keinginanmu? Kami tak mengerti kenapa kau putuskan untuk pulang. Apa kau mau begitu saja pulang ke rumah ayah ibumu, dan melupakan kami semua? Tapi biar bagaimana pun, kau memang tetap harus pulang, bertemu ayah ibumu, dan meninggalkan kami. Semoga perasaan cinta mereka lebih besar dari cinta kami kepadamu, Alin. Nama: Auni Fa Akun IG: aunifa.penulis Novela ini ditulis dalam rangka megikuti kompetisi #pulang2020
Title: Rumah Tua dan sebuah Koper Category: Horor Text: Pembuktian “Sayang, sudah saatnya.” Wajahnya masih sama seperti waktu aku bertemu. Cantik seperti bulan purnama malam ini. Aku menggengam tangannya dan saling pandang lekat. “Aku tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Tapi ini tak ‘kan lama.” Aku berkata dalam hati. Aku ingin terlihat kuat di depannya. Krak.. Pandangan kami teralih ke suara pintu yang terbuka sedikit. Sesosok makhluk mungil berdiri dengan piyama biru bergambar Minnie Mouse dan sebuah Teddy Bear di tangan kanannya. “Daddy, aku tidak bisa tidur. Aku ingin dibacakan cerita.” Gadis kecil itu menatap kami dengan tatapan memohon. Aku berjalan menghampirinya. Aku berjongkok di depan gadis kecil berambut panjang pirang. “Ada apa, sayang?” Aku mengelus rambutnya yang setengah berantakan. “Ada hantu di jendela, Daddy. Aku takut.” Tanganku digenggamnya erat, menarikku menuju kamarnya. Hiasan lampu menyorotkan berbagai bentuk pernak-pernik angkasa yang berkelip dilangit-langit. Gadis kecilku menghambur ke rak buku yang berada di sudut ruang. Mengambil satu buah buku dan berlari ke tempat tidurnya yang penuh dengan berbagai macam boneka. “Daddy, aku ingin dibacakan buku ini.” Gadis itu menyodorkan buku kearahku yang masih berdiri di tengah ruangan. Aku berjalan mengambil buku cerita itu. Duduk disebelahnya. “Buku ini kan pernah Daddy bacakan, sayang?” Tanyaku sambil mengelus rambutnya. “Iya, tapi aku suka, Daddy.” Gadis itu memeluk Teddy dengan gemesnya. Membuat boneka lain iri melihatnya. “Hmm, Daddy punya cerita bagus buat kamu, sayang. Mau dengar?” Aku mencoba menawarkan. “Cerita apa, Daddy? Aku mau dengar.” Gadis itu menatapku dalam dan masih memeluk boneka beruang yang aku sendiri lupa kapan terakhir boneka itu dicuci. Cahaya bulan purnama diluar menembus kaca jendela dan menerangi sisi sebelah kanan kamar. Membenarkan posisiku agar nyaman. Gadis kecilku merapatkan tubuhnya ke sebelahku, masih memeluk boneka beruang itu. Siap mendengar cerita baru yang belum pernah didengar sebelumnya. *** Aku menghentikan laju sepedaku tepat di bawah pohon Oak yang rindang. Disusul dengan sahabatku. “Kamu tahu rumah besar itu, kan?” Aku menunjuk sebuah rumah besar yang bangunannya menonjol diantara yang lain. “Rumah hantu itu?” Kevin menatapku heran. “Aku rasa itu hanya kabar burung saja. Aku yakin, sebenarnya di sana tersimpan harta karun yang disimpan pemiliknya. Mungkin sebanyak harta karun milik Paman Gober.” Jelasku. “Aku takut nanti kita kena kutukan. Lupakan tentang harta karun itu, Billy.” Kevin mengayuh sepedanya kembali. Meninggalkanku yang masih di terdiam. “Hey, Kevin tunggu aku. Kamu harus dengarkan aku dulu.” Aku mengayuh sepedaku bergegas menyusulnya. Siang ini angin berhembus kencang. Merontokkan daun-daun kering dan biji-biji Oak. Aku meminta Kevin untuk menghentikan laju sepedanya. Aku turun dari sepeda dan mendekatinya. “Kamu gila, Billy. Aku tidak mau ikut.” Kevin menatapku tajam dan sesekali merapihkan rambutnya yang berantakan terkena angin. “Hey, dengarkan aku dulu, kawan. Tidak ada salahnya kita ke sana. Ada dua keuntungan jika kita pergi ke sana. Pertama, jika memang benar ada harta karun di sana, kita bisa menjadi kaya, kawan. Kita akan menjadi anak berumur dua belas tahun terkaya di kota tua ini. Kita akan terkenal.” Aku memegang pundaknya, berusaha untuk meyakinkannya. “Dan kedua, Kamu ‘kan penulis hebat, Kevin. Kamu bisa menuliskan kisah ini dan kirim ke koran atau majalah. Aku ingin menjadi orang pertama yang membaca tulisanmu. Percaya padaku, kawan.” Aku menatap kedua bola matanya yang sedikit berkaca. “Baiklah, nanti malam kita ke sana.” Kevin menyunggingkan senyuman kepadaku. Aku tahu dia akan ikut. *** Dunia Baru Jam sepuluh malam kami bertemu di ujung gang. Tidak ada bulan malam ini. Kami mengayuh sepeda tanpa sepatah katapun keluar dari mulut kami. Hawa dingin menembus sweatherku. Lampu jalan seperti enggan bersinar. Suara nafas dan suara angin menemani kami hingga pintu gerbang bangunan tua. Kami parkir sepada di sembarang tempat. Mengambil senter di ransel dan menyorotkannya ke bangunan itu. Rumah bergaya arsitektur akhir abad 19 ini nampak menjulang tinggi, seperti ingin menelan kami. Pintu gerbang itu ditumbuhi tanaman rambat yang meliuk-liuk seperti ribuan ular yang menempel dan siap mematuk siapa saja yang mendekat. Di masing-masing sisi terdapat patung perempuan yang sudah pudar dan tidak menarik. Aku sudah memeriksa tempat ini kemarin lusa. Dan berhasil menemukan cara untuk bisa masuk ke dalamnya. Kami bergegas masuk melalui pagar besi yang celahnya bisa dilewati tubuh kami. Semak belukar dan pohon mawar yang tumbuh dengan liarnya. Menebarkan aroma yang membuat bulu kuduk siapa saja yang menciumnya bergidik ngeri. Setelah berhasil melewati pintu gerbang. Aku menyoroti tanah yang ditumbuhi rumput liar. Cahaya senterku menemukan sobekan kain putih yang sengaja aku sebar sebagai petunjuk jalan kami menuju pintu masuk dan membantu kami untuk kembali. Karena pintu masuk utama terkunci. Kemarin lusa pula aku dengan sengaja memecahkan jendela dengan batu dan membuka engsel disampingnya. Jendela sebesar pintu kamarku ini menjadi pintu masuk kami. Aku memimpin ekspedisi malam ini. Kevin masih mengikutiku dengan setia. Dia seperti Watson dan aku adalah Holmes dalam novel Sherlock Holmes yang baru aku selesaikan dua hari yang lalu. Langkahku serasa berat dan ruangan ini terasa hangat. Bak mercusuar senter kami menyisir sudut ruang ini. Di tengah ruangan ada tangga besar yang meliuk seperti leher Brachiosaurus hingga lantai dua. Di langit-langit, menggantung Chandelier berukuran besar dengan kristal-kristal yang meggantung indah bercahaya terkena sinar senter kami. Entah mengapa aku seperti masuk ke dalam istananya Beast. Aku melirik ke Kevin, memastikan dia baik-baik saja di belakangku. Aku berjalan perlahan sambil memperhatikan setiap sudut ruangan ini. Di samping tangga ada sebuah piano tua berukuran besar. Terdapat beberapa lukisan terpajang di dinding. Ada lukisan wajah seorang pria berambut cokelat yang tampan, seorang perempuan cantik berambut panjang mirip model majalah yang pernah aku lihat di toko buku samping stasiun dan lukisan dengan bangunan yang tinggi dengan latar senja yang suram. Sepertinya pemilik lukisan ini penggemar Superman, pikirku. Kevin menarik ranselku pelan, menyorotkan senternya ke sebuah pintu. Aku berjalan menuju pintu besar tersebut. Aku dorong pintu itu pelan. Suara decit pintu terbuka menggema dalam ruangan ini. Aku langkahkan kakiku, menyorotkan lampu senter dan kembali menyisir ruangan ini. Aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa, jam ditanganku mati. Padahal tadi siang baik-baik saja. Ruangan ini membuatku berkeringat. Mungkin aku sudah satu jam di rumah ini. Aku kembali berjalan pelan. Ada sebuah lemari dan rak buku berukuran besar bersandingan di sudut ruang. Lampu senterku juga menemukan dua pasang meja dan kursi yang berada di sisi kanan dan kiri ruangan ini. Di meja sebelah kanan terdapat sebuah mesin ketik tua yang kertasnya masih menempel dan sudah setengah halaman terketik. Sebuah pena dan sebotol tinta tergeletak kaku bersama berlembar-lembar kertas yang berserakan diatas meja. Di meja sebelah kiri, terdapat tempat lilin dan buku-buku tebal penuh debu terbaring di atas meja. Aku mengambil salah satu buku, membuka halama per halaman. Buku ini dipenuhi rumus dan angka. Seperti gabungan antara buku fisika dan matematika. Dari sudut kanan terdengar Kevin memanggil setengah berbisik. Aku letakkan kembali buku itu dan berjalan menghampirinnya yang sedang berjongkok di depan sebuah benda asing. “Lihat ini, Billy. Menurutmu ini benda apa?” Kevin menyentuh benda itu takut-takut. “Mirip sebuah koper.” Aku ikut berjongkok bersama Kevin, memperhatikan benda asing yang cukup berat itu. Aku menyimpulkan senyum. “Sepertinya aku akan kaya mendadak.” Batinku. “Kevin, tolong arahkan sentermu ke benda ini. Biar aku coba periksa.” Dengan dua senter yang diarahkan ke benda itu, membuat aku lebih mudah memeriksa dan membuka koper tersebut. “Hati-hati, Billy. Aku takut benda itu meledak dan melukai kita.” “Jangan khawatir, kawan. Semua akan baik-baik saja.” Bentuknya sebesar koper yang biasa dipakai Ayahku pergi ke luar kota seminggu. Ketika dibuka terdapat beberapa tombol, bohlam berukuran kecil dan sedang serta kabel yang aku tidak mengerti fungsinya. Ada juga dua buah antena kecil seperti parabola setinggi tiga puluh sentimeter. “Sial, aku terlalu banyak berkhayal. Ternyata hanya koper rongsok saja.” Cetusku dalam hati. Aku meraba benda aneh yang penuh dengan debu. Siapa yang sudah menciptakan benda rongsok seperti ini, kurang kerjaan. Seketika aku terlonjak kaget. Benda itu bergetar, bohlam kecil menyala berkedip mengeluarkan cahaya kekuningan. “Ada apa, Billy?” Kevin yang ikut terkaget terlihat cemas. Aku hanya menggeleng dan memperhatikan benda itu dengan seksama. Dua antena kecil berbentuk parabola itu bergerak dan tegak saling berhadapan. Keduanya saling berhadapan dengan jarak kurang lebih empat puluh sentimeter. Saling memancarkan sinar berwarna biru membentuk seperti bulatan dengan lubang gelap di tengahnya. Ada yang aneh. Tubuh aku bergerak sendiri, aku seperti tertarik. Aku dan Kevin saling pandang dalam diam. Aku berusaha memegang tangannya walau terasa berat sekali. Tarikannya semakin kuat. Tubuh kami seperti bongkahan besi yang tertarik magnet raksasa. Lidah kami keluh, ingin berteriak tetapi entah mengapa tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Sinar itu semakin kuat menarik kami. Aku dan Kevin pasrah. Tarikan itu semakin kuat dan kami pun tersedot masuk ke dalam lubang itu. Kembali Kepalaku terasa pusing sekali. Aku melihat Kevin terkulai di dekat koper tua itu. Aku berusaha bangkit. Mataku menyisir sekitar. Tempat ini sungguh tidak asing. Aku lekas membangunkan Kevin yang masih tak sadarkan diri dan lemas. Malam ini terasa panas, badanku basah berkeringat. “Kita di mana, Billy?” Kevin seperti orang yang kelelahan karena habis melakukan perjalanan jauh. “Sepertinya di rumahku, kawan. It’s okay.” Spontan aku menjawab. Menepuk bahunya untuk menenangkan dan membantunya berdiri. Aku berjalan menuju jendela kamar (yang sepertinya kamarku) yang sedang terbuka. Aku mengintip. Aku terdiam sejenak. “Ada apa dengan kamarku?” Aku berjalan ke teras depan. Melihat kotak pos. “Keluarga Lockwood” papan nama itu masih terpampang. Aku kembali ke jendela yang aku yakini betul itu adalah kamarku. “Siapa anak kecil itu?” aku memanggil Kevin setengah berbisik, menyuruhnya untuk segera mendekat dan melihat kejadian aneh ini. Anak kecil yang sedang bermain boneka itu tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke kami. Membuat kami saling pandang beberapa detik, sebelum dia menghampiri, kami buru-buru pergi. *** “Sayang, sudah waktunya..” Suara Aleya terdengar lembut dari depan pintu kamar yang setengah terbuka. Aku memandangi gadis kecil yang sedang tertidur pulas mendekap boneka beruang kumalnya. Aku terdiam, berusaha untuk menguatkan diri. “Semua akan baik-baik saja.” Aku gendong Gadis kecilku. Aleya memimpinku di depan menuju halaman belakang. Malam ini dia menggunakan gaun tercantiknya. Kami berjalan dalam diam. Di halaman, sahabatku sudah menunggu. Ditemani dua orang yang sudah aku kenal. Sebelum aku menyerahkan gadis kecilku ke Kreya, adik perempuan istriku yang tidak kalah cantiknya. Aku mencium gadis kecilku lebih lama dari sebelumnya. Aku pun memeluk istriku dan menciumnya seakan itu ciuman terakhir yang aku berikan kepadanya. Aku menatap sahabatku lekat, “Aku titip istri dan anakku.” Dia terlihat gagah dengan jubah dan pedang di tangannya. “Kami hanya sebentar, kami akan kembali.” jawab Kevin tenang. Pesawat baja yang berbentuk seperti mangkuk itu bertengger setinggi seratus meter dari kami. Terlihat gagah dan tenang. Cahaya putih kehijauan keluar dari bawah pesawat itu. Mereka berjalan dalam diam. Berhenti di bawah sinar itu. Gaun yang digunakan istriku berubah menjadi jubah berwarna perak. Ada mahkota perak berkilauan di atas kepalanya. Rambutnya yang panjang berubah berwarna perak tergerai indah. Ujung telinganya runcing, dan tersemat anting bertahtakan ruby. Wajahnya putih dan bersinar. Tangan kanannya memegang pedang dengan butiran batu mulia berwarna merah, hijau dan biru. “Kita pulang, Putriku. Ibumu dan seluruh penghuni planet Becka akan menyambutmu dan cucuku dengan suka cita.” Pria tua itu menatap Aleya lekat. “Terima kasih, Ayah. Aku kembali.” Aleya menatap King Zeiya sebentar dan berlalu. Di bawah sinar putih itu mereka menghilang, istriku menatap nanar kearahku, meninggalkan senyum cantiknya sebelum melesat dan menghilang di telan langit malam berbintang. *** Aku dan Kevin saling menatap heran. “Apa itu, Billy? Siapa mereka?” aku hanya bisa menggeleng. Menarik tangan Kevin erat dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin. “Ada yang tidak beres dengan tempat ini.” Pikirku. Aku kembali ke tempat semula. Aku memencet tombol-tombol yang ada di koper secara asal. Aku tidak tahu harus bagaimana. Lampu kembali menyala dan antena parabola itu pun bergerak mengeluarkan cahaya kebiruan. Tubuh kami mulai terasa tertarik. Kami terseret ke lubang itu lagi, melesat dan menghilang tertelan benda aneh ini. Description: Dua anak remaja menerima tantangan dari teman-teman sekolahnya untuk mengunjungi sebuah rumah tua di kotanya. Tengah malam dua orang sahabat yang penakut itu memberanikan diri pergi pada tengah malam. tanpa mereka bayangkan, kejadian ganjil akhirnya menimpa mereka. Keanehan-keanehan mulai terjadi. Sesuatu yang tidak pernah orang-orang bayangkan.
Title: Red Queen #3: King's Cage Category: Fantasi Text: Bab 1 Mare Aku bangkit saat dia menyuruhku. Rantai memaksaku berdiri, menarik kerah berduri di leherku. Pasak-pasaknya menusuk, tapi kurang tajam untuk menghasilkan darah—belum, setidaknya. Walau begitu, per­gelangan tanganku sudah berdarah. Luka sayat akibat berhari-hari dikekang borgol kasar nan tajam dalam keadaan pingsan. Warna darah menodai lengan bajuku yang putih hingga bebercak-bercak merah terang dan kehitaman, memudar dari yang lama ke yang baru, menjadi saksi atas cobaan yang telah kutanggung. Demi menunjukkan kepada seisi istana Maven betapa aku telah menderita. Dia berdiri menjulang di hadapanku dengan ekspresi tak terbaca. Ujung-ujung mahkota ayahnya menjadikannya tampak lebih tinggi, seolah besi tersebut tumbuh dari batok kepalanya. Mahkota itu gemerlapan, tiap ujung hitam logam yang bertatahkan perunggu dan perak berkilau bagaikan lidah api. Kupandang benda tak asing itu dengan getir, sekadar supaya tidak perlu menatap mata Maven. Dia tetap saja menggiringku mendekat, menarik rantai lain yang tidak bisa kulihat. Hanya bisa kurasakan. Anehnya, tangan putih itu mencengkeram pergelanganku yang terluka dengan lembut. Meskipun tidak ingin, mataku spontan ter­tumbuk ke wajahnya dan tak mampu berpaling. Senyumnya sama sekali tidak ramah, tipis dan kecut. Tapi, yang lebih parah adalah matanya. Mata setajam silet yang seakan mengiris-irisku. Mata Elara. Dulu kukira matanya dingin, terbuat dari es hidup. Sekarang aku tahu bukan begitu halnya. Api terpanas adalah yang biru, dan mata birunya pun tidak terkecuali. Bayangan api. Dia jelas-jelas berkobar, tapi kegelapan menggerogotinya di tepi. Jejaring pembuluh darah perak pucat tampak di mata sayunya, sedangkan kantong matanya hitam kebiruan seperti luka memar. Dia kurang tidur, rupanya. Dia lebih kurus daripada yang kuingat, lebih ramping, lebih kejam. Rambutnya yang sehitam kehampaan telah mencapai telinganya, mengikal di ujung, sedangkan pipinya masih mulus. Terkadang aku lupa betapa belia dirinya. Betapa belia kami berdua. Di bawah baju terusanku, cap M di tulang belikatku berdenyut-denyut perih. Maven berbalik cepat, masih sambil mencengkeram rantaiku erat-erat, alhasil memaksaku untuk bergerak mengikuti dirinya. Seperti bulan yang mengelilingi planet. “Jadilah saksi atas tawanan ini, atas pertanda kemenangan ini,” kata Maven dengan bahu tegak di hadapan khalayak ramai. Setidak-tidaknya tiga ratus orang Perak, bangsawan maupun warga biasa, pengawal istana maupun penjaga keamanan. Dari ekor mataku, aku menangkap kehadiran Sentinel berjubah menyala, yang seakan mengingatkan bahwa kurunganku kian lama kian mengecil. Para penjaga dari klan Arven juga tidak pernah jauh-jauh, seragam mereka putih menyilaukan, kemampuan mereka sebagai pembungkam terasa menyesakkan. Gara-gara kehadiran mereka saja, aku bisa-bisa mati tercekik. Suara raja bergema di sepenjuru Alun-Alun Caesar nan mewah, berkumandang di tengah-tengah khalayak yang responsif. Mikrofon dan pengeras suara pasti terpasang di mana-mana, untuk menyampaikan kata-kata getir sang raja ke seluruh kota dan, tak diragukan lagi, ke seisi kerajaan. “Ini dia Mare Barrow, pemimpin Barisan Merah.” Meskipun sengsara begini, aku hampir-hampir mendengus. Pemimpin. Kematian sang ibu ternyata tidak mengekang kebiasaannya berdusta. “Seorang pembunuh, teroris, musuh besar kerajaan kita. Dan sekarang dia berlutut di hadapan kita, darahnya yang mengucur menjadi bukti akan identitasnya.” Rantai lagi-lagi ditarik, membuatku terhuyung-huyung ke depan sehingga aku harus mengulurkan tangan agar tidak hilang keseimbangan. Aku bereaksi pasif dengan kepala ter­tunduk. Sandiwara yang keterlaluan. Rasa marah dan malu menjalariku saat aku tersadar betapa pertunjukan sederhana ini niscaya melukai Barisan Merah. Kaum Merah di seluruh Norta yang menyaksikanku menari-nari di bawah kendali Maven akan berpikir kami lemah, kalah, dan tidak layak mereka bantu atau perhatikan, apalagi menjadi tumpuan harapan mereka. Kenyataannya tidak seperti itu. Namun, tidak ada yang dapat kulakukan pada saat ini, sementara aku berdiri terpojok di bawah belas kasihan Maven. Aku bertanya-tanya tentang Corvium, kota militer yang kami lihat terbakar dalam perjalanan ke Choke. Telah terjadi huru-hara selepas aku bersiaran. Apakah itu merupakan percik-percik awal revolusi—atau justru percik-percik penghabisannya? Aku tidak tahu. Di sini, tidak akan ada yang repot-repot membawakanku surat kabar. Cal sudah lama mewanti-wantiku akan ancaman perang saudara, sebelum ayahnya meninggal, sebelum dia tidak punya siapa-siapa selain gadis petir bergejolak. Pemberontakan di kedua belah pihak, katanya. Tapi selagi berdiri di sini, dirantai di hadapan anak buah Maven dan warga Perak kerajaannya, perpecahan macam itu tidak kulihat. Sekalipun aku sudah menunjukkan penjara Maven kepada mereka, memberitahukan betapa orang-orang terkasih mereka telah dipenjarakan, membuktikan bahwa kepercayaan mereka telah dikhianati oleh sang raja dan ibunya, aku masih mereka anggap sebagai musuh. Aku ingin menjerit-jerit karenanya, tapi aku tahu percuma berteriak-teriak. Suara Maven akan selalu lebih keras daripada suaraku. Apa Ibu dan Ayah menyaksikan? Duka melandaku saat membayangkan itu dan, untuk menghalau air mata, kugigit bibirku keras-keras. Aku tahu kamera video terpasang di dekat sini, diarahkan untuk menyorot wajahku. Sekalipun aku tak bisa lagi merasakan keberadaan kamera, aku tahu. Maven takkan melewatkan kesempatan untuk mengabadikan kejatuhanku. Akankah mereka melihatku mati? Tidak. Demikianlah yang kusimpulkan, berdasarkan kerah di leherku. Untuk apa repot-repot menggelar tontonan ini kalau Maven hanya akan membunuhku? Orang lain barangkali merasa lega, tapi perutku justru melilit-lilit karena ngeri. Maven tidak akan membunuhku. Aku merasakan itu dalam sentuhannya. Jemari lentiknya yang pucat masih membelai pergelanganku sementara tangannya yang sebelah memegangi rantaiku. Saat ini sekalipun, ketika aku sudah menjadi miliknya—barang kepunyaannya—dia tetap tak mau melepaskan. Lebih baik aku mati daripada dikurung begini, dikerangkeng oleh obsesi seorang raja edan yang masih bocah. Aku teringat akan suratnya, yang masing-masing ditutup oleh salam pilu nan janggal. Sampai jumpa lagi. Dia terus berbicara, tapi suaranya berdengung di kepalaku, seperti tawon yang terbang terlalu dekat, menjadikan seluruh sarafku tegang. Aku menengok ke balik bahuku. Tatapanku mengembara ke kerumunan pejabat istana di belakang kami. Mereka semua berdiri gagah dan menjijikkan dalam balutan busana berkabung hitam. Lord Volo dari Klan Samos dan putranya Ptolemus tampak cemerlang dalam balutan baju tempur eboni hitam mengilap dan selempang perak yang bersisik-sisik dari panggul ke pundak. Saat melihat Ptolemus, penglihatanku sontak menjadi merah darah. Kulawan hasrat untuk menyerbu dan mencakar wajah Ptolemus sampai kulitnya terkelupas. Ingin aku menikam jantungnya, sebagaimana dia menikam kakakku Shade. Hasrat itu rupanya tampak, sebab dia langsung cengar-cengir. Berani-beraninya. Andaikan aku tidak terbelenggu oleh kerah ini dan para pembungkam, aku pasti sudah menyetrum tulang-tulangnya hingga pecah berkeping-keping bak kaca berasap. Entah bagaimana, saudarinya yang adalah musuhku sejak berbulan-bulan lalu justru tidak memandangku. Evangeline, yang mengenakan gaun bertabur kristal hitam, masih menyerupai bintang terang dari konstelasi nan brutal. Kuperkirakan dia akan menjadi ratu dalam waktu dekat, apalagi dia sudah kelamaan bertunangan dengan Maven. Tatapannya terpaku ke punggung raja, matanya yang gelap seakan menusuk tengkuk Maven saking berkonsentrasinya. Angin sepoi-sepoi menyebabkan rambut lebatnya yang perak mengilap berkibar-kibar di belakang bahunya, tapi Evangeline tidak berkedip. Setelah lama berselang, barulah dia menyadari bahwa aku memperhatikan. Kendati demikian, matanya bahkan tidak melirikku barang sekejap pun. Matanya tidak memancarkan perasaan apa-apa. Aku telah menjadi demikian remeh sehingga tidak layak lagi dia perhatikan. “Sebagai tawanan raja, Mare Barrow akan dihakimi oleh raja dan dewan. Dia mesti mempertanggungjawabkan sekian banyak tindak kejahatannya.” Bertanggung jawab dengan cara apa? aku membatin. Khalayak menanggapi dengan sorak-sorai, meraung-raung untuk mendukung titahnya. Mereka adalah orang-orang Perak biasa, bukan keturunan bangsawan. Sekalipun rakyat biasa menyambut kata-kata Maven dengan gegap gempita, para pejabat istana ternyata tidak bereaksi. Malahan, sebagian menjadi pucat pasi, menyiratkan perasaan berang nan kelam. Yang terutama adalah Klan Merandus, baju berkabung yang mereka kenakan berornamen biru tua—warna terkutuk mendiang ratu. Evangeline tidak memperhatikanku, tapi Klan Merandus kompak memelototiku dengan galak. Mata mereka yang biru menyala-nyala dari segala arah, seperti ingin membakarku. Aku kira bakal mendengar mereka berbisik-bisik, mengebor kepalaku dengan suara mereka seperti cacing yang menggali apel busuk. Namun, sunyi senyap belaka yang kurasakan. Barangkali para penjaga Arven yang mengapitku bukan sekadar menahanku tapi juga melindungiku, bukan sekadar mengekang kemampuanku tapi juga siapa pun yang bisa saja menggunakan kemampuan untuk menyakitiku. Perintah Maven, kuduga. Tak seorang pun boleh melukaiku di sini. Tak seorang pun selain Maven. Tapi, sekarang saja aku sudah kesakitan. Segalanya terasa menyakitkan. Berdiri itu menyakitkan, bergerak itu menyakitkan, berpikir itu menyakitkan. Sakit karena tabrakan jet, karena alat bunyi, karena impitan para pembungkam yang mengepungku. Itu baru rasa sakit ragawi. Memar-memar. Tulang retak. Rasa sakit yang niscaya sembuh seiring berjalannya waktu. Beda dengan rasa sakit yang lain-lain. Kakak laki-lakiku meninggal. Aku ditawan. Dan aku tidak tahu apa yang menimpa teman-temanku sejak berhari-hari lalu, ketika aku menyetujui kesepakatan sialan ini. Cal, Kilorn, Cameron, kedua kakakku Bree dan Tramy. Kami meninggalkan mereka di cerang, tapi mereka tengah terluka, lumpuh, rentan. Maven bisa saja mengutus sejumlah pembunuh ke sana untuk merampungkan misi. Aku mempertaruhkan diri demi mereka, tapi aku tidak tahu apakah mereka lantas memang selamat. Maven pasti memberitahuku jika aku bertanya. Aku bisa melihatnya di wajah pemuda itu. Matanya jelalatan ke arahku tiap kali dia selesai mengucapkan kalimat keji, memberi penekanan bagi tiap dusta yang dia muntahkan kepada rakyatnya yang kagum. Untuk memastikan bahwa aku memperhatikan, bahwa aku menyimak, bahwa aku memandanginya. Dasar kekanak-kanakan. Aku tidak mau mengemis-ngemis kepadanya. Tidak di sini. Tidak seperti ini. Begini-begini, aku masih punya harga diri. “Ibu dan ayahku meninggal saat bertarung dengan makh­luk-makhluk biadab itu,” lanjut Maven. “Mereka berdua telah mengorbankan nyawa demi menjaga keutuhan kerajaan ini, demi melindungi keselamatan kalian.” Dalam keadaan takluk sekalipun, kupelototi Maven mau tak mau. Kubalas pandangannya yang berapi-api dengan desisan. Kami berdua ingat akan kematian ayahnya. Pembunuhannya. Ratu Elara membisiki otak Cal, mengubah anak kesayangan raja menjadi senjata mematikan. Maven dan aku menyaksikan saat Cal dipaksa menjadi pembunuh ayahnya, memenggal kepala raja dan mengandaskan kesempatannya sendiri untuk menjadi penerus takhta. Aku telah melihat banyak kejadian mengerikan sejak saat itu, tapi kenangan akan kematian raja terdahulu masih menghantuiku. Aku tidak ingat apa saja yang dialami oleh sang ratu sejak saat itu, terkecuali peristiwa di Penjara Corros. Kondisi jasadnya membuktikan petir bisa berdampak dahsyat terhadap daging manusia. Aku tahu aku membunuhnya bahkan tanpa bertanya-tanya, tanpa penyesalan. Badai yang meledak dari dalam diriku disulut oleh kematian Shade yang mendadak. Fragmen terakhir pertempuran di Corros yang kuingat dengan jelas adalah gerak tubuh Shade, yang tumbang karena jantungnya ditusuk oleh pedang baja dingin Ptolemus yang tak kenal ampun. Entah bagaimana, Ptolemus berhasil lolos dari murkaku yang membabi buta, tapi lain halnya dengan sang ratu. Dengan memamerkan jasad sang ratu lewat siaran kami, setidak-tidaknya Kolonel dan aku memastikan bahwa dunia tahu tentang nasib wanita itu. Kuharap Maven mewarisi kesaktian sang ratu sebagian, supaya dia bisa membaca pikiranku dan melihat hadiah pamungkas yang kuberikan kepada ibunya. Aku ingin dia merasakan kepedihan karena kehilangan orang terkasih, sebagaimana yang kurasakan. Matanya menatapku saat dia menyelesaikan pidato hafalannya, satu tangannya terangkat supaya rantai yang menghubungkan kami berdua terlihat lebih jelas. Semua dia lakukan secara metodis, demi pencitraan. “Aku bersumpah kepada diriku sendiri, aku akan melanjut­kan perjuangan orangtuaku, yaitu dengan menghabisi riwayat Barisan Merah dan monster seperti Mare Barrow, atau mati selagi berusaha untuk itu.” Mati saja, kalau begitu, aku ingin berteriak. Raungan khalayak menenggelamkan celoteh pikiranku. Ratusan suara yang menyoraki raja mereka dan tiraninya. Aku menangis selagi menyusuri jembatan, di hadapan sekian banyak orang yang menyalahkanku atas kematian orang-orang terkasih mereka. Aku masih bisa merasakan air mataku yang mengering di pipi. Kini aku ingin terisak-isak lagi, bukan karena sedih, melainkan karena marah. Bisa-bisanya mereka memercayai omong kosong ini! Bisa-bisanya mereka menelan dusta Maven bulat-bulat! Bagaikan boneka, aku disetir untuk memalingkan pan­dang dari pemandangan itu. Dengan sisa-sisa tenagaku yang penghabisan, aku menjulurkan leher ke balik bahuku untuk memburu kamera, untuk mencari mata dunia. Lihatlah aku, pintaku. Lihatlah betapa dia berbohong. Rahangku menjadi kaku, sedangkan mataku menyipit, mudah-mudahan menampakkan kesan gigih, membangkang, dan murka. Aku si gadis petir. Aku adalah badai. Bohong. Gadis petir sudah mati. Bab 1-2 Tapi, aku setidak-tidaknya mesti berbuat sesuatu demi misi kami dan untuk orang-orang yang kukasihi yang masih di luar sana. Mereka tidak akan melihatku terseok-seok pasrah pada momen paripurna ini. Aku harus berdiri tegak. Dan aku harus terus berjuang, sekalipun aku tak tahu caranya, sekalipun aku berada di dalam sarang macan. Rantai yang lagi-lagi ditarik memaksaku untuk berputar, untuk menghadap khalayak. Aku disambut tatapan dingin kaum Perak, yang berkulit kebiruan dan kehitaman serta keunguan dan keabu-abuan, yang pembuluh darahnya sewarna baja dan berlian, yang pucat seakan tak memiliki vitalitas hidup. Fokus mereka adalah kepada Maven, bukan kepadaku. Dalam diri merekalah aku menemukan jawaban. Dalam diri merekalah aku melihat keserakahan. Sekejap aku mengasihani si raja cilik yang duduk seorang diri di singgasananya. Kemudian, jauh di lubuk hati, aku merasakan secercah harapan. Aduh, Maven. Celaka kau. Aku hanya bisa mengira-ngira siapa yang akan menyerang lebih dulu. Barisan Merah, barangkali—atau mungkin juga para bangsawan yang siap menggorok Maven dan merebut semua yang telah diperjuangkan oleh ibunya. Dia menyerahkan rantaiku kepada salah seorang penjaga Arven selepas kami menaiki undakan Istana Api Putih untuk memasuki lobi nan lapang. Aneh. Dia teramat bernafsu untuk menguasaiku, untuk mengurungku di dalam kerangkengnya, tapi dia membuang rantaiku begitu saja bahkan tanpa melirikku sedikit pun. Pengecut, kataku dalam hati. Dia tidak kuasa memandangku saat tidak ditonton. “Apa kau menepati janjimu?” desakku sambil tersengal. Suaraku serak karena berhari-hari tidak dikeluarkan. “Apa kau tidak ingkar?” Dia tidak menjawab. Para pejabat istana membuntuti di belakang kami. Mereka berbaris rapi dan teratur, berdasarkan hierarki jabatan dan status nan pelik. Cuma aku yang tampak tidak cocok berada di sana, yang pertama mengikuti sang raja, berjalan beberapa langkah saja di belakang, yaitu di tempat ratu seharusnya berada. Padahal, aku bukan ratu—mendekati pun tidak. Aku melirik salah seorang pengawalku, pria bertubuh paling besar di antara mereka, sambil berharap bisa melihat gelagat di luar loyalitas total. Pria itu mengenakan seragam putih tebal tahan peluru, yang diritsletingkan sampai ke leher. Sarung tangannya mengilap—bukan sutra, melainkan plastik atau karet. Aku berjengit saat melihat bahan itu. Walaupun mempunyai kemampuan membungkam, para pengawal Arven rupanya tidak mau mengambil risiko. Kalaupun mereka sempat lengah sehingga aku bisa melecutkan percik-percik listrik, sarung tangan akan melindungi mereka dan memungkinkan mereka untuk terus menahanku, membelengguku, memerangkapku. Si Arven besar tidak membalas tatapanku, sebab dia sibuk berkonsentrasi dengan mata yang fokus jauh ke depan dan bibir terkatup rapat. Pengawalku yang satu lagi juga sama saja, menjajariku dengan langkah seirama saudara kandung atau sepupunya. Kulit kepala mereka yang botak berkilauan dan aku serta-merta teringat akan Lucas Samos. Si penjaga lembut hati, temanku, yang dieksekusi karena aku ada dan karena aku memperalatnya. Aku saat itu beruntung karena Cal menugaskan seorang Perak yang baik hati untuk menjagaku. Walau begitu, kini pun aku beruntung karena dikawal oleh penjaga yang acuh tak acuh, yang tak peduli padaku dan tidak kupedulikan. Alhasil, akan lebih mudah bagiku untuk membunuh mereka nanti, jika bisa. Sebab mereka mesti mati. Entah bagaimana. Entah dengan cara apa. Jika aku ingin melarikan diri, jika aku ingin merebut kembali petirku, mereka adalah rintangan pertama yang mesti kuenyahkan. Sisanya gampang ditebak. Aku harus menghadapi para Sentinel, atau penjaga dan pengawal lain yang ditempatkan di sepenjuru istana, dan tentu saja Maven sendiri. Aku takkan bisa keluar tempat ini tanpa meninggalkan mayatnya—atau justru meninggalkan istana sebagai mayat. Kubayangkan diriku membunuhnya. Membelitkan rantaiku ke lehernya dan mencekiknya sampai tidak bernyawa. Khayalan itu membantuku mengabaikan kenyataan bahwa seiring tiap langkah, aku justru digiring ke bagian istana yang semakin dalam, melalui langit-langit marmer putih, melewati dinding-dinding menjulang yang bersepuh emas, melintasi selusin kandelir kristal terang benderang yang menggelayut di atas. Penjara bergembok keemasan dan berjeruji berlian ternyata masih seindah dan sedingin yang kuingat. Setidak-tidaknya, aku tidak perlu berhadapan dengan sipir yang paling kejam dan berbahaya, sebab wanita itu—sang ratu—telah mati. Elara Merandus terbayang-bayang bak hantu dalam kepalaku. Dulu dia sempat mencabik-cabik memoriku. Kini dia semata-mata menjadi bagian dari memoriku. Sosok berbaju tempur melintas di depanku, mengitari kedua pengawalku untuk memosisikan diri di antara sang raja dan aku. Dia melangkah secepat kami, mengawal kami dengan teguh sekalipun dia tidak mengenakan jubah atau topeng Sentinel. Kuduga dia tahu bahwa aku membayangkan hendak mencekik Maven. Aku menggigit bibir, menguatkan diri untuk menanggung serbuan memerihkan dari sang pembisik. Bukan, salah—dia bukan dari Klan Merandus. Baju tempurnya hitam obsidian, rambutnya perak, kulitnya seputih cahaya rembulan. Matanya, ketika dia menengok kepadaku dari balik bahunya, hitam kelam dan hampa. Ptolemus. Aku bergerak untuk mencaplok, tidak menyadari apa yang kulakukan, juga tidak peduli. Asalkan aku bisa membekaskan luka. Aku bertanya-tanya apakah darah Perak lain rasa dengan darah Merah. Jawabannya tidak aku dapatkan. Kerah logam menahanku ke belakang kuat-kuat sampai-sampai punggungku melengkung dan jatuhlah aku ke lantai. Kalau sedikit saja lebih keras, leherku pasti patah. Benturan antara marmer dengan batok kepalaku menjadikan dunia serasa berpusing, tapi begitu saja tidak cukup untuk melumpuhkanku. Aku buru-buru berlutut sambil mencurahkan perhatian ke tungkai Ptolemus yang terbungkus pelindung. Sementara kakinya berputar untuk membalikkan badan ke arahku, aku lagi-lagi menyerbu, tapi kerah di leherku lagi-lagi menahanku. “Cukup,” desis Maven. Dia berdiri menjulang di hadapanku, berhenti untuk menyaksikan upayaku yang payah dalam rangka membalas dendam kepada Ptolemus. Prosesi di belakang juga ikut berhenti, sedangkan sejumlah orang malah berkerumun ke depan untuk melihat si tikus Merah sinting yang melawan sia-sia. Kerah seakan bertambah ketat dan, sambil menelah ludah, kuulurkan tangan untuk memegangi leherku. Maven memakukan pandang ke logam sementara kerahku menciut. “Evangeline, kataku cukup.” Walaupun kesakitan, aku menoleh dan melihat bahwa gadis itu ternyata berdiri di belakangku dengan satu tangan terkepal. Sama seperti Maven, Evangeline menatap kerahku lekat-lekat. Logam di leherku bergerak sambil berdenyut-denyut, pasti seiring dengan detak jantungnya. “Biar kulepaskan dia,” kata Evangeline, sampai-sampai kusangka aku salah dengar. “Biar kulepaskan dia di sini, sekarang juga. Suruh mundur semua penjaganya dan kemudian, akan kubunuh dia, beserta petirnya.” Aku menggeram kepada gadis itu, berlagak bak binatang buas persis seperti yang mereka kira. “Coba saja,” kataku kepadanya, berharap sepenuh hati semoga Maven setuju. Sekalipun luka-luka, sekalipun berhari-hari diam saja, dan sekalipun bertahun-tahun merasa inferior dibandingkan dengan si gadis magnetron, aku menginginkan tawarannya. Aku sudah pernah mengalahkan dirinya. Aku bisa melakukan itu lagi. Setidak-tidaknya, ini adalah sebentuk peluang. Peluang lebih bagus daripada yang kuharapkan, malahan. Maven sontak berpaling dariku ke tunangannya. Cemoohan menghina tersirat di matanya. Alangkah miripnya dia dengan sang ibu. “Apa kau mempertanyakan perintah rajamu, Lady Evangeline?” Gigi-gigi putih berkilat-kilat di antara bibir yang diwarnai ungu. Tata krama hampir saja Evangeline buang jauh-jauh, tapi sebelum dia sempat berkata-kata kurang ajar, ayahnya bergeser sedikit saja sehingga menyenggol lengannya. Pesan pria itu jelas: Turuti saja. “Tidak,” geram Evangeline, menyiratkan ya. Dia menekuk leher untuk menundukkan kepala. “Paduka.” Kerah di leherku mengendur, membesar kembali ke ukuran­nya semula. Sepertinya malah lebih lebar daripada semu­la. Untung Evangeline tidak secermat yang dikesankannya. “Mare Barrow adalah tawanan raja dan rajalah yang menentukan akan memperlakukannya seperti apa,” kata Maven keras-keras. Suaranya niscaya didengar oleh semua orang, bukan hanya calon istrinya yang temperamental. Maven mengedarkan pandang ke seluruh anak buahnya, dalam rangka menegaskan maksudnya. “Kematian adalah nasib yang terlalu enak untuknya.” Kasak-kusuk pelan merebak di antara para bangsawan. Aku mendengar nada menentang, tapi lebih banyak yang setuju. Aneh. Kukira mereka semua ingin aku dieksekusi semenyakitkan mungkin, diikat untuk dijadikan makanan burung pemangsa dan alhasil menyapu bersih keunggulan yang sempat dicapai oleh Barisan Merah. Tapi, barangkali mereka menginginkan nasib yang lebih mengenaskan bagiku. Nasib yang lebih mengenaskan. Demikianlah kata Jon. Ketika dia melihat masa depanku, ke mana aku akan melangkah. Dia sudah tahu tentang kejadian ini. Sudah tahu dan lantas memberi tahu raja. Demi merebut kedudukan di sisi Maven, dia mengorbankan nyawa kakakku dan kebebasanku. Aku mendapati Jon berada di tengah-tengah kerumunan, tapi dia seorang diri karena dijauhi oleh yang lain. Matanya merah marah; rambutnya beruban kelewat dini dan dikuncir rapi. Dia pun adalah Darah Baru piaraan Maven Calore, tapi dia tidak mengenakan kerah yang kasatmata. Karena dia membantu Maven menghentikan misi kami untuk menyelamatkan selegiun anak-anak, bahkan sebelum misi kami dimulai. Memberi­tahukan arah perjalanan dan masa depan kami kepada Maven. Menghadiahkanku kepada si raja cilik. Mengkhianati kami semua. Jon tentu saja balas menatapku. Aku tidak mengharapkan dia minta maaf atas perbuatannya. Sebaliknya, pria itu juga tidak minta maaf. “Bagaimana dengan interogasi?” Suara yang tidak kukenali terdengar dari kiriku. Meski demikian, aku mengenal wajah si pemilik suara. Samson Merandus. Si petarung di arena, seorang pembisik nan buas, yang adalah sepupu mendiang ratu. Dia merangsek maju dari kerumunan untuk menghampiriku dan, mau tak mau, aku berjengit. Di kehidupan lain, aku sempat melihat lawannya di arena menikam diri sendiri sampai mati. Ketika itu, Kilorn menonton di sampingku sambil bersorak dan menikmati jam-jam terakhir kebebasannya. Kemudian atasannya meninggal dan porak-porandalah kehidupan kami. Perjalanan hidup kami berubah. Dan kini aku telentang di lantai marmer tak bercela, kedinginan dan berdarah-darah, lebih rendah daripada anjing di kaki raja. “Bukankah dia sangat cocok untuk diinterogasi, Paduka?” lanjut Samson sambil menudingku dengan tangannya yang putih. Dia memegangi daguku untuk memaksaku mendongak. Aku menahan hasrat untuk menggigitnya. Aku tidak perlu memberi Evangeline alasan lain untuk mencekikku. “Bayangkan apa saja yang sudah dia lihat. Apa saja yang dia ketahui. Dia pemimpin mereka—dan kunci untuk memahami kaum mereka yang terkutuk.” Dia salah, tapi jantungku tetap saja berdentum-dentum di dalam dadaku. Yang kuketahui cukup banyak sehingga bisa saja dimanfaatkan untuk mencelakai kaum Merah dan para sekutu kami. Tuck, sang kolonel, dan si kembar dari Montfort berkelebat di mata batinku. Rencana untuk menginfiltrasi legiun. Kota-kota. Para Whistle di sepenjuru negeri, yang kini menyelundupkan pengungsi ke tempat aman. Rahasia berharga yang disimpan baik-baik bisa-bisa terungkap. Berapa banyak orang yang terancam bahaya akibat pengetahuanku? Berapa banyak yang akan meninggal jika kaum Perak memaksaku buka mulut? Itu baru informasi militer. Yang lebih gawat adalah rahasia kelamku sendiri. Yang kututup rapat-rapat supaya tidak menyiksa diriku. Maven merupakan salah satunya. Sang pangeran sebagaimana yang aku ingat, yang aku cintai, yang kukira memang nyata. Lalu ada juga Cal. Perbuatanku kepadanya, apa-apa saja yang sudah kuabaikan, dan kebohonganku kepada diri sendiri terkait kesetiaannya. Aib dan kekhilafan menggerogotiku, mencabik-cabik jiwaku. Aku tidak boleh membiarkan Samson—ataupun Maven—melihat yang jelek-jelek di dalam diriku. Jangan, aku ingin memohon seperti itu. Bibirku tidak bergerak. Meskipun aku membenci Maven, meskipun aku ingin melihatnya menderita, aku tahu kepada dialah aku bisa menggantungkan harapan. Namun, memohon belas kasihan di hadapan para sekutunya yang lebih kuat dan musuh bebuyutannya hanya akan memperlemah kedudukan raja yang sudah lemah. Oleh sebab itu, aku tetap bungkam, berusaha untuk mengabaikan cengkeraman Samson di daguku, dan hanya memusatkan perhatian ke wajah Maven. Mata kami berserobok, terlalu lama dan sekaligus terlalu sebentar. “Terima saja perintah yang sudah kuberikan,” kata Maven ketus sambil mengedikkan kepala ke kedua penjagaku. Dengan pegangan yang kuat namun tanpa menyakiti, mereka memapahku hingga berdiri. Dengan tangan dan rantai, mereka memanduku untuk keluar dari tengah-tengah kerumunan orang. Kutinggalkan semua itu di belakang. Evangeline, Ptolemus, Samson, dan Maven. Sang raja membalikkan badan menuju arah yang berlawanan denganku, ke satu-satunya yang masih bisa menghangatkan dirinya. Ke singgasana api beku.[] Bab 2 Mare Aku tak pernah sendirian. Para sipir tidak pergi-pergi. Selalu berdua, selalu mengawasi, selalu membungkam dan mengungkung jati diriku. Mereka tidak butuh apa-apa selain pintu terkunci untuk mengurungku. Bukan berarti bahwa aku bisa mendekati pintu karena, kalaupun coba-coba, aku pasti langsung diseret untuk kembali ke tengah-tengah kamar tidur. Mereka lebih kuat daripada aku dan selalu waspada. Satu-satunya tempat pelarian dari tatapan mata mereka adalah kamar mandi kecil, yang berubin putih dan berlis keemasan serta lantainya dibubuhi deretan Batu Hening nan mencekam. Jumlah batu kelabu mengilap cukup banyak sehingga membuat kepalaku berdenyut-denyut dan tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berlama-lama di dalam sana, harus gesit memanfaatkan detik demi detik nan menyesakkan. Sensasi itu mengingatkanku pada Cameron dan kemampuannya. Dia bisa membunuh seseorang berkat kesaktiannya membungkam. Sekalipun aku membenci keawasan para penjaga yang tak putus-putus, aku tidak mau mengambil risiko mati sesak di kamar mandi hanya karena ingin menikmati kedamaian barang beberapa menit. Lucunya, dulu aku mengira bahwa ditinggalkan sendirian adalah sumber rasa takutku yang terbesar. Sekarang aku tidak pernah sendirian, tapi aku justru tak pernah setakut sekarang. Empat hari sudah aku tak merasakan petirku. Lima. Enam. Tujuh belas. Tiga puluh satu. Tiap hari aku membuat satu takik di papan alas di samping kasur, menggunakan garpu untuk mencungkil berjalannya waktu. Menyenangkan sekali meninggalkan bekas seperti ini, menimbulkan cedera kecil-kecilan di penjara Istana Api Putih. Para penjaga Arven tidak keberatan. Mereka biasanya mengabaikanku, sekadar berkonsentrasi untuk membungkamku secara mutlak dan total. Mereka menempati pos masing-masing di samping pintu, duduk seperti patung bermata hidup. Ruangan ini bukanlah kamar yang kutiduri kali terakhir berada di Istana Api Putih. Tidaklah pantas menampung tawanan kerajaan di tempat yang sama dengan calon istri raja. Tapi, tempat ini juga bukan sel. Kurunganku nyaman dan berperabot lengkap, yang terdiri dari kasur empuk, rak berisi buku-buku menjemukan, beberapa kursi, sebuah meja untuk tempat makan, bahkan tirai bagus, yang kesemuanya berwarna netral abu-abu, cokelat, dan putih. Nirwarna, sebagaimana kedua pengawal Arven menyebabkan diriku nirkekuatan. Aku lambat laun terbiasa tidur sendirian, tapi mimpi buruk mengusikku karena tidak ada Cal yang mengusirnya. Karena tidak ada orang yang membuaiku. Tiap kali terbangun, kusentuh anting yang berderet di kupingku sambil menyebut nama pemberinya satu per satu. Bree, Tramy, Shade, Kilorn. Saudara sedarah dan seperjuangan. Tiga masih hidup, seorang sudah menjadi hantu. Aku berharap kalau saja aku menyimpan pasangan anting yang kuberikan kepada Gisa, agar aku juga mempunyai sekeping simbol dirinya. Aku terkadang memimpikan adikku. Bukan adegan konkret, cuma sekelebat wajahnya, rambut merah tuanya yang seperti tumpahan darah. Kata-katanya yang menghantui menyayat-nyayat kalbuku. Suatu hari nanti orang akan datang dan mengambil semua yang kau miliki. Dia benar. Tidak ada cermin di sini, di kamar mandi juga tidak. Tapi, aku mengetahui dampak keterkurungan terhadap diriku. Walaupun aku banyak makan dan kurang olahraga, wajahku serasa lebih tirus. Tulang-tulangku menonjol di balik kulit, semakin tajam seiring dengan semakin kurusnya badanku. Aku tidak punya kesibukan apa-apa selain tidur atau membaca salah satu buku perpajakan Norta, tapi keletihan tetap saja merasukiku sejak berhari-hari silam. Tiap sentuhan memekarkan memar. Selain itu, tulang belikatku terasa panas sekalipun aku menghabiskan hari demi hari dengan menggigil kedinginan. Ini bukan gejala demam. Aku sekarat. Bukan berarti aku bisa menyampaikan hasil pengamatanku kepada siapa pun. Aku bahkan sudah berhari-hari tidak bicara. Pintu terbuka untuk mengantarkan makanan dan air, untuk pergantian penjaga, tapi cuma itu. Aku tidak pernah melihat pembantu ataupun pelayan Merah, walaupun orang seperti mereka pasti berada di istana. Sebaliknya, justru para penjaga Arven yang mengambilkanku makanan, seprai dan sarung bantal linen, serta pakaian dari luar, membawakannya masuk untuk kupergunakan. Mereka juga yang bersih-bersih—dengan muka merengut karena jengkel disuruh mengerjakan tugas rendahan seperti itu. Kuduga mereka menyimpulkan bahwa terlalu berbahaya membiarkan orang Merah masuk ke kamarku dan aku pun tersenyum karenanya. Bahwa protokol yang dengan kaku melarang pelayan dekat-dekat denganku menunjukkan betapa Barisan Merah masih dianggap sebagai ancaman. Meskipun demikian, selain para pelayan, sepertinya di sini memang tidak ada siapa-siapa terkecuali para penjaga. Tidak ada siapa-siapa yang datang untuk menonton atau mentertawai si gadis petir. Bahkan Maven juga tidak. Para penjaga Arven tidak berbicara kepadaku. Mereka tidak memberitahuku nama mereka. Jadi, kukarangkan saja nama untuk mereka. Kucing, wanita sepuh yang bertubuh lebih kecil daripada aku, berwajah mungil, dan bermata tajam cerdas. Telur, yang berkepala bulat putih dan botak seperti kerabat-kerabatnya sesama penjaga. Tri memiliki tiga baris tato di lehernya, yang menyerupai bekas cakaran nan sempurna. Yang terakhir adalah Semanggi, gadis bermata hijau seusiaku yang tidak gentar menjalankan tugasnya. Hanya dia yang berani menatap mataku. Kali pertama menyadari bahwa Maven menginginkan aku kembali, aku mengira bakal dihujani rasa sakit atau kegelapan, atau kedua-duanya. Aku terutama mengira bakal melihat dia menonton dengan mata menyala-nyala sementara aku disiksa habis-habisan. Tapi, aku ternyata tidak menerima apa-apa. Tidak sejak hari kedatanganku, ketika aku dipaksa berlutut. Dia memberitahuku bahwa dia akan memamerkan jasadku. Namun, eksekusi tak kunjung tiba. Begitu pula para pembisik, orang-orang seperti Samson Merandus dan mendiang ratu, yang memiliki kemampuan untuk mengorek isi kepalaku dan mengurai benang kusut pikiranku. Jika ini adalah hukumanku, alangkah membosankannya. Maven ternyata tidak punya daya khayal. Kepalaku masih diramaikan oleh suara-suara dan juga berbagai kenangan, terlalu banyak kenangan. Kesemuanya mengiris-irisku bak pisau. Aku mencoba menumpulkan kepedihan dengan buku yang menumpulkan antusiasme, tapi kata-kata malah berenang-renang di depan mataku, huruf-huruf campur aduk sampai-sampai yang terlihat hanyalah nama sekian banyak orang yang telah kutinggalkan. Yang masih hidup dan yang sudah mati. Dan yang selalu muncul, di mana-mana, adalah Shade. Ptolemus mungkin sudah membunuh kakakku, tapi akulah yang menjerumuskan Shade sehingga bernasib demikian. Karena aku egois, karena aku menganggap diriku sebagai juru selamat. Karena, sekali lagi, aku menaruh kepercayaan kepada seseorang yang ternyata tidak layak dan mempertukarkan nyawa seperti penjudi menukar kartu. Tapi, kau memerdekakan orang-orang yang terpenjara. Kau membebaskan banyak sekali orang—dan kau menyelamatkan Julian. Pembelaan payah dan kata-kata penghibur yang malah lebih payah lagi. Aku sekarang mengetahui harga yang mesti kubayar demi Penjara Corros. Tiap hari aku mesti bergulat dengan kesadaran bahwa, jika diberi pilihan, aku takkan sudi membayar harga sebesar itu lagi. Tidak demi Julian, tidak demi ratusan nyawa Darah Baru. Aku takkan menyelamatkan seorang pun dari mereka dengan mempertaruhkan nyawa Shade. Tapi, hasil akhirnya sama saja. Berbulan-bulan Maven memintaku kembali, menyampaikan permohonannya lewat surat demi surat berlumur darah. Dia bermaksud menyogokku dengan mayat, dengan jasad orang-orang mati. Kukira aku tidak sudi membuat pertukaran, sekalipun taruhannya adalah ribuan nyawa tak berdosa. Tapi, kini aku berharap kalau saja aku menuruti permintaan Maven sedari dulu. Sebelum terpikir olehnya untuk mengincar orang-orang yang paling kusayangi, sebelum dia menyadari bahwa aku rela berbuat apa saja demi menyelamatkan mereka. Bahwa hanya demi Cal, Kilorn, dan keluargaku aku rela berkorban. Bahwa demi nyawa mereka, aku rela menyerahkan segalanya. Kuduga Maven tahu bahwa menyiksaku sama saja dengan membuang-buang tenaga belaka. Sekalipun dia bisa saja menggunakan alat bunyi, yang mengubah petir milikku menjadi musuhku, yang mencabik-cabikku dari dalam, saraf demi saraf. Penderitaanku tidak berguna bagi Maven. Ibunya telah mengajarinya dengan baik. Satu-satunya yang menghibur hatiku adalah, sang raja belia tidak lagi disetir oleh ibunya yang keji. Selagi aku dikurung di sini, diawasi siang-malam, Maven duduk seorang diri di tampuk kekuasaan, tanpa Elara Merandus yang mampu memandunya dari samping dan melindunginya dari belakang. Sudah sebulan aku tidak menghirup udara segar dan hampir selama itu pula aku tidak melihat apa-apa selain bagian dalam kamar dan pemandangan dari satu jendela sempit. Jendela itu menghadap ke pekarangan istana yang sarat tumbuhan meranggas karena musim gugur sudah mencapai akhir. Pohon-pohon berbatang bengkok berkat campur tangan tukang kebun. Selagi berdaun, pohon-pohon itu pasti tampak memukau: mahkota kembang meriah di pucuk batang meliuk-liuk nan mustahil. Tapi dalam keadaan gundul, pohon-pohon ek, elm, dan beech berbatang bengkok justru menyerupai cakar; ranting-ranting kering yang mati saling gapai seperti tulang jemari. Pekarangan itu terbengkalai, terlupakan. Sama seperti aku. Tidak, gertakku dalam hati. Yang lain akan datang menjemputku. Aku memberanikan diri untuk berharap. Perutku melilit-lilit tiap kali pintu dibuka. Sekejap aku menduga bakal melihat Cal, Kilorn, Farley, atau bahkan Nanny yang berkedok wajah orang lain. Atau malah sang kolonel. Sekarang aku niscaya menangis apabila melihat matanya yang merah berdarah. Tapi, tak seorang pun datang menyelamatkanku. Memberikan harapan kosong adalah perbuatan kejam. Dan Maven mengetahuinya. Saat matahari terbenam pada hari ketiga puluh satu, aku memahami tujuan Maven. Dia ingin aku membusuk. Memudar. Terlupakan. Di luar pekarangan gundul, salju turun sebagai serpih-serpih lembut dari langit sekelabu besi. Kaca terasa dingin saat kusentuh, tapi tidak membeku. Demikianlah, aku pun menolak untuk membeku. Salju di luar tampak sempurna di bawah sorot cahaya pagi, taburan putih halusnya menyelimuti pohon-pohon gundul. Salju niscaya sudah meleleh siang nanti. Berdasarkan hitunganku, hari ini tanggal 11 Desember. Selang kelabu dingin antara musim gugur dengan musim dingin. Salju baru akan turun dengan deras dan memadat secepat-cepatnya bulan depan. Di kampung halaman kami kerap melompat dari beranda ke guguran salju, bahkan sesudah Bree patah kaki gara-gara mendarat di tumpukan kayu bakar yang terkubur. Upah Gisa sebulan mesti dihabiskan untuk mengobati kakinya, sedangkan perlengkapan yang dibutuhkan oleh tabib untuk menyembuhkan Bree mesti aku curi. Kejadiannya adalah pada musim dingin sebelum Bree dipanggil untuk wajib militer, kali terakhir kami berkumpul sebagai satu keluarga. Kali terakhir. Untuk selamanya. Kami tidak akan pernah utuh lagi. Ibu dan Ayah bersama Barisan Merah. Gisa dan kakak-kakak lelakiku yang masih hidup juga. Mereka aman. Mereka aman. Mereka aman. Kuulangi kata-kata tersebut tiap pagi. Itulah kata-kata penghiburku, sekalipun mungkin tidak benar. Perlahan-lahan, kudorong piring sarapanku menjauh. Hidangan berupa havermut bergula, buah, dan roti panggang yang kini familier tidak membangkitkan seleraku. “Selesai,” kataku karena kebiasaan, tahu persis takkan ada yang menanggapi. Kucing sudah berada di sisiku, cengar-cengir sambil me­man­dangi makanan yang baru setengah dimakan. Wanita itu mengambil piring untuk dibawa ke pintu seperti memegangi serangga, lengannya terulur seperti tidak ingin dekat-dekat dengan bekas makananku. Aku buru-buru melemparkan lirikan, berharap semoga sempat melihat ruangan di luar kamarku. S­perti biasa, ruangan itu kosong dan hatiku pun mencelus. Kucing menjatuhkan piring hingga berkelontangan ke lantai, mungkin memecahkannya, tapi wanita itu tidak ambil pusing. Kalaupun pecah, pelayan akan membersihkannya. Sementara pintu tertutup di belakangnya, Kucing melangkah untuk kembali ke kursinya. Tri menempati kursi yang satu lagi sambil bersedekap dan menatapku lekat-lekat dengan matanya yang seakan tak berkedip. Aku bisa merasakan kemampuan mereka berdua. Kesaktian mereka seperti selimut yang dibebatkan terlampau erat, sehingga mengimpit dan menyembunyikan petirku, jauh di tempat yang bahkan tidak dapat kudatangi. Ingin aku merobek-robek kulitku sendiri karenanya. Bab 2-2 Aku benci ini. Aku benci ini. Aku. Benci. Prang. Aku melemparkan gelas ke dinding seberang sehingga menumpahkan air dan pecah berantakan ke permukaan bercat kelabu butut. Kedua penjagaku bahkan tidak berjengit. Aku sering melakukan itu. Dan perasaanku menjadi enak karenanya. Untuk sementara. Barangkali. Aku menjalani rutinitas yang biasa, yang kuterapkan sejak dikurung sebulan ini. Bangun. Langsung menyesal karena terbangun. Menerima sarapan. Kehilangan selera makan. Membiarkan makanan diambil. Serta-merta menyesal karena makananku diambil. Melemparkan air. Lalu menyesalinya. Menarik-narik seprai dan sarung bantal sampai lepas. Mungkin mencoba untuk merobek-robek seprai, terkadang sambil berteriak-teriak. Kemudian menyesalinya. Berupaya untuk membaca buku. Menerawang ke jendela. Menerawang ke jendela. Menerawang ke jendela. Menerima makan siang. Ulangi dari awal. Aku ini gadis yang sangat sibuk. Atau mungkin “wanita” yang sangat sibuk. Delapan belas adalah usia yang memisahkan kanak-kanak dengan orang dewasa. Entah ketentuannya dari mana. Barangkali asal saja. Yang jelas, aku berulang tahun kedelapan belas beberapa minggu lagi. Tujuh belas November. Bukan berarti ada yang peduli ataupun ingat. Aku ragu para penjaga Arven peduli bahwa tawanan mereka bertambah usia satu tahun. Di seisi istana ini, takkan ada yang peduli. Dan Maven tidak berkunjung, untungnya. Ketidakhadiran Maven merupakan satu-satunya yang kusyukuri dari penahananku. Selagi aku dipenjara di sini, dikelilingi oleh orang-orang paling tercela yang pernah kukenal, aku tidak perlu disiksa oleh kehadirannya. Sampai hari ini. Kesunyian pekat di sekelilingku terbuyarkan, bukan karena ledakan, melainkan karena bunyi klik. Bunyi kunci pintu yang dibuka. Tidak sesuai jadwal, tanpa peringatan. Aku memalingkan kepala ke arah bunyi itu, sama seperti kedua penjaga Arven, konsentrasi mereka pun terbuyarkan karena kaget. Adrenalin mengucur di dalam pembuluh darahku, dipompa ke dalam sana oleh jantungku yang mendadak berdebar kencang. Dalam kurun sepersekian detik, aku memberanikan diri untuk kembali berharap. Aku memimpikan siapa yang kiranya berada di balik pintu. Kakak-kakakku. Farley. Kilorn. Cal. Mudah-mudahan yang datang Cal. Aku ingin api Cal melalap tempat ini dan semua orang di dalamnya hidup-hidup. Tapi, lelaki yang berdiri balik pintu ternyata tidak kukenali. Hanya pakaiannya yang tidak asing—seragam hitam, ornamen perak. Petugas Keamanan, anonim dan tidak penting. Dia melangkah ke dalam penjaraku sambil menahan pintu dengan punggung agar tetap terbuka. Rekan-rekannya sesama petugas berkumpul di luar ambang pintu, menggelapkan ruang antara berkat kehadiran mereka. Kedua penjaga Arven terlompat berdiri, seterkejut aku. “Apa yang kau lakukan?” sergah Tri. Inilah kali pertama aku mendengar suaranya. Kucing bertindak sesuai prosedur, yakni dengan memosisikan diri di antara aku dengan si petugas. Keheningan kembali menelikungku, dikompori oleh rasa takut dan kebingungan Kucing. Kesaktiannya melandaku bagaikan gelombang, mengikis sisa-sisa kekuatan yang masih kupunyai. Aku mematung di kursiku, pantang jatuh di hadapan orang lain. Petugas Keamanan tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap lantai. Menunggu. Kemudian, masuklah dia dalam balutan gaun dari jarum. Pada kepangan rambut peraknya yang rapi, tersematlah taburan batu permata sebanyak yang tertatah di mahkota dambaannya. Aku bergidik saat melihatnya, sempurna dan dingin serta awas, berpembawaan layaknya ratu sekalipun belum bergelar demikian. Karena, aku bisa melihat, bahwa dia belum menjadi ratu. “Evangeline,” gumamku sambil berusaha mencegah suaraku bergetar, baik karena takut maupun karena jarang dipakai. Mata hitamnya membelaiku selembut sabetan pecut. Mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung kepala, bolak-balik, untuk mencermati tiap cela dan tiap kelemahan. Aku tahu jumlahnya banyak. Akhirnya tatapan Evangeline tertumbuk ke kerahku, ke pasak-pasak logam. Bibirnya yang mencibir menyiratkan rasa jijik dan bernafsu. Alangkah mudah bagi Evangeline untuk meremas, untuk menghunjamkan pasak-pasak di kerahku ke dalam leherku dan menguras darahku. “Lady Samos, Anda tidak diperbolehkan berada di sini,” kata Kucing, masih sambil berdiri di antara kami. Aku terkejut akan kenekatannya. Mata Evangeline melirik penjagaku, sedangkan senyumnya yang mencibir kian mengembang. “Kau kira aku berani membangkang tunanganku sang raja?” Evangeline tertawa terpaksa, nadanya dingin. “Aku ke sini atas perintahnya. Dia memerintahkan tawanan ini datang ke balairung istana. Seka­rang juga.” Tiap kata menusuk dalam-dalam. Sebulan dipenjara mendadak terkesan terlampau singkat. Sebagian dari diriku ingin mencengkeram meja dan memaksa Evangeline menyeretku keluar dari kurungan. Tapi, kondisi terisolasi sekalipun tidak mematahkan harga diriku. Belum. Selamanya tidak akan, aku mengingatkan diri sendiri. Jadi, aku berdiri dengan tungkai lemas, sendi-sendi ngilu, dan tangan gemetaran. Sebulan lalu aku berani menyerang kakak laki-laki Evangeline hanya dengan gigiku. Aku mencoba menyerukan api semangat sebanyak itu sebisaku, sekadar supaya bisa berdiri tegak. Kucing tetap bersikukuh, bergeming seperti sediakala. Kepalanya ditelengkan ke arah Tri, bertatap mata dengan sepupunya. “Kami tidak mendapat pemberitahuan. Protokolnya bukan seperti ini.” Evangeline lagi-lagi tertawa, alhasil menampakkan gigi-gigi putih cemerlang. Senyumnya seindah dan sebrutal senjata tajam. “Apa kau menampikku, Penjaga Arven?” Selagi dia berbicara, tangannya bergerak ke gaun, menyisir jarum-jarum yang menyembul dengan telapak berkulit putih sempurna. Sebagian jarum menempel ke tubuhnya seperti magnet, menjadikan tangannya berduri. Dia mengusap lidi-lidi logam yang menempel, menunggu dengan sabar sambil mengangkat sebelah alisnya. Kedua pengawal Arven tahu bahwa tidaklah bijak membungkam seorang putri Samos, apalagi calon ratu. Mereka berdua bertukar pandang tanpa berkata-kata, kentara sekali tidak sepakat. Tri mengerutkan alis sambil melotot dan akhirnya, Kucing mendesah. Wanita itu menjauh. Dia mengaku kalah. “Pilihan yang takkan kulupakan,” gumam Evangeline. Aku merasa telanjang di hadapannya, seorang diri di depan tatapan matanya yang menusuk sekalipun para pengawal dan petugas lain terus memperhatikan. Evangeline mengenalku, mengetahui identitasku, mengetahui kemampuanku. Aku hampir membunuhnya di Mangkuk Bengkarak, tapi dia lari karena takut padaku dan petirku. Sekarang dia jelas-jelas tidak takut. Aku justru melangkah maju dengan sengaja. Untuk menghampirinya. Untuk menghampiri kehampaan melenakan yang mengelilinginya, yang memberdayakannya. Selangkah lagi. Untuk menghampiri udara bebas, untuk menyambar listrik. Akankah aku merasakan kekuatanku kembali secara serta-merta? Akankah listrik langsung menjalariku? Pastinya begitu. Seharusnya begitu. Tapi, cibiran Evangeline melunak menjadi senyuman. Dia bergerak ke belakang, menyamai kecepatanku. Melihat aksinya, aku hampir saja menggeram. “Jangan cepat-cepat, Barrow.” Baru kali ini dia mengucapkan nama asliku. Dia menjentikkan jari, kemudian menunjuk Kucing. “Bawa dia.” Mereka menyeretku seperti pada hari pertama kedatanganku, terbelenggu oleh kerah, rantaiku dicengkeram kuat-kuat oleh Kucing. Kesaktiannya dan Tri terus membungkamku, berdentum-dentum di tengkorakku seperti tabuhan genderang. Perjalanan panjang mengarungi Istana Api Putih serasa bagaikan lari jarak jauh bermil-mil, padahal kami melangkah dengan kecepatan sedang. Sama seperti sebelumnya, mataku tidak ditutup. Mereka bahkan tidak repot-repot berusaha untuk membingungkanku. Semakin banyak saja yang kukenali semakin dekat kami dengan tujuan, memintas koridor-koridor dan galeri-galeri yang kujelajahi dengan bebas di kehidupanku yang lampau. Ketika itu aku tidak merasa perlu mengingat-ingat tata letak istana. Kini aku berusaha semaksimal mungkin untuk memetakan istana tersebut di dalam kepalaku. Kalau aku berencana keluar dari sini hidup-hidup, aku jelas harus mengetahui tata letaknya. Kamar tidurku menghadap ke timur dan terletak di lantai lima; itu kuketahui berdasarkan jumlah jendela yang kuhitung. Seingatku Istana Api Putih berbentuk seperti segi empat-segi empat yang berpaut, sedangkan tiap sayapnya mengelilingi pekarangan seperti yang terlihat dari jendela kamarku. Pemandangan dari jendela tinggi lengkung berubah seiring tiap koridor baru yang kami lewati. Taman istana, Alun-Alun Caesar, halaman latihan tempat Cal beradu keterampilan dengan para prajurit, tembok-tembok dan Jembatan Archeon nun jauh di sana. Untung kami tidak melalui kediaman tempat aku menemukan jurnal Julian, tempatku menyaksikan Cal mengamuk dan Maven diam-diam bersiasat. Aku terkejut karena ternyata istana ini menyimpan banyak kenangan, padahal aku hanya di sini sebentar. Kami melewati sederet jendela di bordes yang menghadap ke barat, yang pemandangannya terdiri dari barak-barak, Sungai Ibu kota, dan sebagian kota. Mangkuk Bengkarak bertengger di antara bangunan-bangunan, bentuknya yang besar mencolok terlalu familier. Aku mengenal pemandangan ini. Aku pernah berdiri di balik jendela-jendela ini bersama Cal. Aku membohonginya, padahal aku tahu serangan akan tiba malam itu. Tapi, aku tidak tahu serangan itu akan berdampak apa terhadap kami berdua. Cal berbisik pada saat itu bahwa dia berharap semoga saja situasinya berbeda. Aku sepakat dengannya. Kamera pasti mengikuti perjalanan kami, sekalipun aku tidak bisa lagi merasakan kehadirannya. Evangeline diam seribu bahasa sementara kami turun ke lantai utama istana sambil diikuti oleh para petugas yang mengawalnya, bak sekawanan gagak yang mengelilingi angsa logam. Musik berkumandang entah dari mana. Nadanya sendu seperti irama hati yang lara. Aku tidak pernah mendengar musik semacam itu sebelumnya, bahkan tidak pada saat pesta dansa yang pernah kuhadiri ataupun saat pelajaran dansa di bawah bimbingan Cal. Musik itu seakan memiliki nyawa sendiri, yang kelam serta meluluhlantakkan namun anehnya mengundang. Di depanku, pundak Evangeline menjadi kaku saat mendengar suara itu. Lantai utama istana, yang setingkat dengan balairung, ternyata relatif kosong. Koridor-koridor hanya dijaga oleh segelintir pengawal. Penjaga istana biasa, bukan Sentinel, yang pasti sedang menemani Maven. Evangeline tidak berbelok ke kanan seperti yang kuperkirakan, untuk memasuki ruang singgasana melalui pintu lengkung agung, melainkan maju terus. Kami mengikutinya sementara Evangeline merangsek masuk ke ruangan yang kelewat aku kenal. Aula dewan. Lingkaran sempurna dari marmer dan kayu mulus mengilap. Kursi-kursi melingkar sejajar dinding, sedangkan lambang Norta, Mahkota Api, mendominasi lantai nan elok. Merah, hitam, dan perak berpadu membentuk lidah api yang lancip. Aku hampir terpeleset karena kehilangan keseimbangan saat melihat mahkota itu, lalu cepat-cepat aku pejamkan mataku. Kucing akan menarikku melalui ruangan itu, tidak diragukan lagi. Aku akan dengan senang hati membiarkannya menyeretku jika dengan demikian, aku tidak perlu melihat tempat itu lagi. Walsh meninggal di sini, aku ingat. Wajahnya berkelebat di balik kelopak mataku yang terkatup rapat. Dia diburu seperti kelinci. Dan yang menangkapnya adalah serigala—Evangeline, Ptolemus, Cal. Mereka menangkapnya dalam terowongan bawah tanah Archeon, selagi dia mengikuti perintah Barisan Merah. Mereka menangkap Walsh, menyeretnya ke sini, dan menghaturkannya kepada Ratu Elara untuk diinterogasi. Meskipun dia nyatanya tidak sempat diinterogasi, sebab dia keburu bunuh diri. Dia menelan pil maut di hadapan kami semua, untuk melindungi rahasia Barisan Merah. Untuk melindungi aku. Ketika volume musik bertambah kencang tiga kali lipat, aku kembali membuka mata. Ruang dewan sudah lenyap, tapi pemandangan di hadapanku ternyata lebih mencekam.[] Bab 3 Mare Musik mengalun di udara, disemarakkan oleh semerbak alkohol manis nan memuakkan yang menguar ke setiap jengkal ruang singgasana megah. Kami menjejakkan langkah ke bordes yang terletak beberapa kaki di atas lantai ruangan dan, dari situ, kami bisa melihat sebuah pesta meriah yang tengah berlangsung. Selama beberapa saat, orang-orang tidak menyadari kehadiran kami. Mataku jelalatan karena tegang, karena defensif, menelaah tiap wajah dan tiap bayangan untuk mencari kesempatan, atau bahaya. Sutra dan batu permata serta baju tempur indah bekerlap-kerlip di bawah cahaya belasan kandelir, menciptakan konstelasi manusia yang mengombak dan berputar-putar di lantai marmer. Setelah sebulan dikurung, pemandangan itu menyebabkan pancaindraku kewalahan, tapi aku mereguk semuanya bak seorang gadis yang kelaparan. Begitu banyak warna, begitu banyak suara, begitu banyak bangsawan yang sudah tak asing lagi. Karena kini mereka tidak menyadari kehadiranku. Mata mereka tidak memburuku, sebab mereka kelewat sibuk memperhatikan satu sama lain, kelewat berkonsentrasi pada gelas anggur dan minuman keras warna-warni, irama musik yang menghentak, asap membubung nan harum di udara. Acara ini adalah sebuah perayaan, pesta pora, namun untuk apa, aku tidak tahu. Pikiranku otomatis mengembara. Apa mereka baru memenangi pertempuran lain lagi? Pertempuran melawan Cal, melawan Barisan Merah? Ataukah mereka masih bersorak atas penangkapanku? Sekali lirik ke Evangeline, terjawablah pertanyaanku. Aku tidak pernah melihatnya merengut seperti sekarang, bahkan kepadaku juga tidak. Senyumnya yang selicik kucing berubah menjadi ekspresi marah yang jelek tak terkira. Tatapan matanya menjadi kelam saat dia memperhatikan adegan di hadapan kami, menghitam bak lubang kehampaan yang mampu menenggelamkan sekian banyak rakyatnya yang terlarut dalam kegembiraan. Atau, aku tersadar, terlarut dalam keterlenaan. Atas perintah seseorang, sepasukan pelayan Merah beranjak terburu-buru dari dinding jauh dan menyerbu ruangan dengan formasi nan terlatih. Mereka membawa nampan yang memuat gelas-gelas kristal berisi cairan seperti rubi, emas, dan cahaya bintang. Sesampainya mereka di dinding seberang, nampan sudah kosong dan dengan cepat diisi kembali. Mereka menyeberangi ruangan sekali lagi dan nampan mereka menjadi kosong kembali. Mencengangkan bahwa sejumlah orang Perak masih sanggup berdiri. Mereka terus bersukaria, mengobrol atau berdansa sambil memegangi gelas. Beberapa orang mengisap pipa, sesekali meniup asap berwarna aneh ke udara. Asap tersebut berbau bukan seperti tembakau, yang disimpan dengan tamak oleh sejumlah tetua di Desa Jangkungan. Aku melihat percik api di dalam pipa mereka dengan iri, masing-masing berupa setitik sinar belaka. Yang lebih berat adalah melihat para pelayan, kaum Merah. Mereka membuatku pedih. Aku rela berbuat apa saja demi menggantikan posisi mereka. Lebih baik menjadi pelayan daripada tahanan. Bodoh, kuomeli diriku sendiri. Mereka juga terkurung, sama sepertimu. Sama seperti seluruh kaum kalian. Diinjak-injak oleh kaum Perak, sekalipun sebagian memiliki ruang lebih lega untuk bernapas. Karena dia. Evangeline turun dari bordes, lalu kedua pengawal Arven memaksaku untuk mengikuti. Tangga mengantarkan kami langsung ke podium lain. Posisinya yang ditinggikan menunjukkan bahwa podium itu adalah tempat penting. Dan tentu saja, selusin Sentinel sudah berdiri di sana, dalam keadaan bertopeng dan bersenjata, memancarkan kesan mengerikan dari seluruh jengkal tubuh mereka. Aku mengira bakal melihat singgasana seperti dalam ingatanku. Kaca berlian yang dibentuk seperti kobaran api untuk sang raja, tempat duduk dari safir dan emas putih mengilap untuk sang ratu. Namun demikian, Maven ternyata menduduki singgasana seperti yang kulihat sebulan lalu, ketika dia bangkit untuk merantaiku di hadapan seisi dunia. Singgasana itu tidak bertabur batu permata ataupun logam berharga. Hanya bongkahan batu kelabu berhiaskan sesuatu yang pipih mengilap dan praktis tidak bertanda. Kursi itu kelihatannya dingin dan tidak nyaman, belum lagi teramat berat. Singgasana itu mengecilkan diri Maven, menjadikannya tampak semakin belia dan semakin kecil. Supaya perkasa, kita mesti kelihatan perkasa. Itulah pelajaran yang kupetik dari Elara, meskipun Maven sepertinya tidak paham akan pelajaran itu. Dia masih seperti seorang bocah, pucat pasi dalam balutan seragamnya yang hitam. Lapisan dalam jubahnya yang berwarna merah darah tampak kontras dengan medali-medalinya yang perak serta mata birunya yang dingin menggigilkan. Raja Maven dari Klan Calore balas menatapku begitu dia tahu aku sudah di sini. Aliran waktu serasa terhenti, tersendat dan mengumpul ke dalam satu momen. Jurang menganga memisahkan kami berdua, sarat dengan keributan dan keriuhan nan elegan, tapi kami seolah berdua saja di dalam ruangan itu. Aku bertanya-tanya apakah dia memperhatikan bahwa aku sekarang lain. Bahwa penderitaan, kepedihan, dan siksaan batin di dalam penjara yang hening telah mengubahku. Dia pasti memperhatikan. Tatapan matanya meluncur dari tulang pipiku yang menonjol ke tulang belikatku, terus ke rok terusan putih yang mereka pakaikan kepadaku. Aku kali ini tidak berdarah, tapi kuharap kalau saja begitu. Untuk menunjukkan kepada semua orang siapa diriku, jati diriku sejak dulu. Seorang Merah. Yang memang terluka, tapi masih hidup. Sebagaimana sebelumnya di hadapan para pejabat istana, sebagaimana beberapa menit lalu di depan Evangeline, aku menegakkan punggung dan melemparkan pandang galak. Kukerahkan seluruh kekuatanku, seluruh tuduhan yang mampu kuberikan. Kupandangi Maven lekat-lekat, sambil mencari retakan yang hanya terlihat olehku seorang. Mata cekung, tangan berkedut-kedut, postur yang saking kakunya jangan-jangan bisa mematahkan tulang belakangnya. Kau seorang pembunuh, Maven Calore, seorang pengecut, seorang yang lemah. Taktikku berhasil. Dia berpaling buru-buru dan terlompat berdiri, sambil tetap mencengkeram lengan kursi dengan kedua tangannya. Amarahnya yang mendidih meluap tiba-tiba. “Apa-apaan ini, Penjaga Arven?” bentak Maven kepada pengawalku yang terdekat. Tri nyaris terlompat. Bentakan Maven menyetop musik, tarian, dan kegiatan minum-minum dalam sekejap. “B-Baginda—” kata Tri terbata-bata sambil mempererat cengkeraman di lenganku. Keheningan sontak mengungkungku, sampai-sampai detak jantungku melambat. Mulutnya terbuka-tutup sementara dia berusaha untuk, barangkali, mengarang penjelasan yang tidak menimpakan kesalahan kepada dirinya sendiri ataupun calon ratu, tapi dia ternyata tidak mampu berkata-kata. Rantaiku bergetar di tangan Kucing, tapi cengkeramannya tetap mantap. Hanya Evangeline yang tidak terpengaruh oleh keberangan sang raja. Dia sudah memperkirakan tanggapan seperti ini. Maven tidak memerintahkan Evangeline untuk membawaku ke sini. Tidak ada panggilan untukku. Maven tidak bodoh. Dia melambaikan tangan ke arah Tri, menyudahi sikap sang pengawal yang tergagap-gagap dengan satu gerakan. “Pembawaanmu yang salah tingkah sudah cukup memberikan jawaban,” kata Maven. “Apa penjelasanmu, Evangeline?” Di tengah khalayak, ayah Evangeline berdiri tegap sambil memperhatikan dengan mata membelalak. Orang lain mungkin menebak dia takut, tapi menurutku Volo Samos tidak bisa merasakan emosi. Dia mengelus janggut lancipnya yang perak dengan ekspresi tak terbaca. Ptolemus tidak seberbakat ayahnya dalam menyembunyikan isi pikiran. Dia berdiri di podium beserta para Sentinel, satu-satunya yang tidak mengenakan jubah menyala ataupun topeng. Walaupun tubuhnya bergeming, matanya memandangi sang raja dan adik perempuannya silih berganti, sedangkan satu tangannya mengepal pelan-pelan. Bagus. Takut karena mengkhawatirkan adiknya sebagaimana aku takut karena mengkhawatirkan kakakku. Saksikanlah Evangeline menderita sebagaimana aku menyaksikan Shade mati. Karena apa lagi yang bisa Maven lakukan sekarang? Evangeline telah secara sengaja membangkang perintahnya, melampaui kewenangan yang diberikan oleh sang tunangan. Aku sekurang-kurangnya mengetahui bahwa pembangkangan terhadap raja pantas dihukum. Apalagi membangkang raja di hadapan seluruh anak buahnya. Maven bisa saja langsung mengeksekusi Evangeline di tempat. Kalaupun Evangeline berpikir dirinya menyongsong risiko maut, dia tidak menunjukkannya. Suaranya tidak melirih ataupun gemetar. “Paduka memerintahkan agar teroris ini ditawan, dijaga ketat, dan bahkan setelah dewan berembuk sebulan lebih, sanksi untuknya belum juga disepakati. Kejahatannya banyak, setara dengan belasan kematian, seribu masa kehidupan di penjara kita yang terburuk. Dia sudah membunuh atau melukai ratusan anak buah Paduka sejak dia ditemukan, termasuk orangtua Paduka sendiri, dan sampai sekarang dia masih bisa beristirahat dalam kamar tidur nyaman, makan enak, bernapas—masih hidup, tanpa mendapatkan hukuman yang pantas dia terima.” Layaknya putra ibunya, topeng kepalsuan Maven bisa dibilang nyaris sempurna. Kata-kata Evangeline sepertinya tidak memengaruhi Maven barang sedikit pun. “Hukuman yang pantas dia terima,” ulang Maven. Kemudian dia mengedarkan pandang ke seisi ruangan sambil mengedikkan dagu. “Jadi, kau membawanya ke sini. Apakah pestaku sungguh seburuk itu?” Gelak tawa, baik yang tulus maupun yang terpaksa, tertumpah dari para hadirin yang takzim. Sebagian besar mabuk, tapi beberapa masih berkepala jernih sehingga mampu menyadari apa yang terjadi. Apa yang telah diperbuat oleh Evangeline. Evangeline menyunggingkan senyum sopan yang tampak teramat menyakitkan sampai-sampai aku mengira sudut-sudut bibirnya bakal berdarah tak lama lagi. “Saya tahu Paduka berduka atas meninggalnya ibunda Paduka,” kata Evangeline, tanpa simpati sedikit pun. “Kami semua juga begitu. Tapi, ayahanda Paduka takkan bertindak seperti ini. Waktu mengucurkan air mata sudah usai.” Yang terakhir bukanlah kata-kata Evangeline sendiri, melainkan kata-kata Tiberias Keenam, ayah Maven, pria yang menghantuinya. Sekejap topeng ketenangan terancam copot dari wajah Maven, matanya berkilat-kilat karena gusar sekaligus ngeri. Sama seperti Maven, aku masih ingat persis kata-kata itu. Diucapkan di hadapan khalayak seperti ini, sebagai reaksi atas pembunuhan politik yang dilancarkan oleh Barisan Merah. Pembunuhan politik yang target-targetnya dipilih oleh Maven, atas nasihat sang ibu. Kami melakukan pekerjaan kotornya, sedangkan kaum Perak menambah korban jiwa dengan meluncurkan serangan balasan kepada kaum Merah. Mereka memperalat aku, memperalat Barisan Merah untuk menghabisi sejumlah musuh mereka sendiri, dan, sambil menyelam minum air, mengambinghitamkan yang lain. Mereka menghancurkan lebih banyak, membunuh lebih banyak daripada yang kami inginkan. Aku masih bisa mencium bau darah dan asap. Aku masih bisa mendengar seorang ibu menangisi anak-anaknya yang meninggal. Aku masih bisa mendengar kata-kata yang menyulut pemberontakan. “Kekuatan, kekuasaan, maut,” gumam Maven sengit. Kata-kata tersebut menakutiku pada saat itu dan sampai sekarang juga masih. “Apa saranmu, Lady Evangeline? Hukum pancung? Regu tembak? Atau kita robek anggota badannya, satu-satu?” Jantungku berdebar kencang di dalam dadaku. Akankah Maven membiarkan hukuman semacam itu? Entahlah. Aku tidak tahu dia rela bertindak apa. Aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa aku bahkan tidak mengenal dirinya. Pemuda yang kukira kukenal hanyalah ilusi. Tapi bagaimana dengan surat-suratnya, yang dia tinggalkan dengan brutal, tapi dipenuhi permohonan agar aku kembali? Sebulan masa pengurungan yang damai dan aman? Barangkali itu juga palsu, lagi-lagi sebuah tipuan untuk menjeratku. Sebentuk siksaan jenis lain. “Kita bertindak berdasarkan ketetapan hukum. Sebagaimana yang akan dilakukan oleh ayahanda Paduka.” Cara Evangeline mengucapkan ayahanda, menggunakan kata itu seperti menyindir, mengonfirmasi bahwa dia, sama seperti sekian banyak orang di ruangan ini, tahu bahwa Tiberias Keenam meninggal bukan seperti yang dikatakan oleh Maven dan Elara. Walau demikian, Maven terus saja mencengkeram lengan singgasana kelabu sampai-sampai buku jarinya menjadi putih. Dia melirik para anak buah yang melantai, merasakan tatapan mereka yang tertumbuk kepada dirinya, lalu kembali memandangi Evangeline sambil menyeringai mencemooh. “Kau bukan anggota dewan kerajaan. Selain itu, kau tidak mengenal baik ayahku sampai-sampai bisa mengetahui isi pikirannya. Aku seorang raja sama sepertinya dan aku memahami apa-apa saja yang perlu kita lakukan untuk merebut kemenangan. Hukum memang sakral, tapi kita kini tengah menghadapi dua peperangan.” Dua peperangan. Adrenalin mengucur deras sekali di dalam tubuhku sampai-sampai aku mengira petirku telah kembali. Tidak, bukan petir. Harapan. Aku menggigit bibir untuk menahan diri supaya tidak menyeringai. Berminggu-minggu setelah aku ditahan, Barisan Merah masih bertahan dan berjaya. Mereka bukan saja masih melakukan perlawanan, Maven bahkan mengakuinya secara buka-bukaan. Eksistensi Barisan Merah sekarang mustahil ditutup-tutupi atau ditepis begitu saja. Kendati aku ingin tahu lebih banyak, kututup mulutku rapat-rapat. Maven menyorotkan tatapan nan membakar yang seolah-olah dapat menghanguskan Evangeline. “Tahanan politik, apalagi yang seberharga Mare Barrow, tidak akan kita habisi secara percuma melalui eksekusi.” “Mengurungnya juga percuma!” sanggah Evangeline seke­tika, saking cepatnya sehingga tahulah aku dia sudah melatih argumentasi ini. Dia maju beberapa langkah lagi untuk mengurangi jarak antara dirinya dengan Maven. Ini semua kelihatan seperti pertunjukan belaka, sandiwara, sesuatu yang dipertontonkan supaya disaksikan oleh kaum bangsawan dan seluruh pejabat istana. Tapi, demi keuntungan siapa? “Dia cuma duduk sambil ongkang-ongkang kaki, tidak melakukan apa-apa, tidak memberi kita apa-apa, sementara Corvium terbakar!” Satu lagi kepingan informasi berharga untuk disimpan baik-baik. Lagi, Evangeline. Beri aku informasi lagi. Dengan mata kepalaku sendiri, sebulan lalu aku melihat kota benteng tersebut, jantung militer Norta, menjadi kacau karena dilanda kerusuhan. Huru-hara rupanya masih terjadi. Begitu Corvium disebut-sebut, khalayak yang mabuk langsung tersadar. Maven tidak melewatkan hal itu dan dia mesti berjuang untuk mempertahankan ketenangan. “Dewan akan membuat keputusan beberapa hari lagi, Lady,” kata Maven ketus. “Maafkan kelancangan saya, Paduka. Saya tahu Paduka berniat untuk menghormati dewan sebisa mungkin, termasuk bagiannya yang terlemah sekalipun. Termasuk para pengecut yang tidak punya nyali untuk bertindak sebagaimana seharusnya.” Evangeline maju selangkah lagi, sedangkan suaranya melirih lembut. “Tapi, Paduka adalah seorang raja. Keputusan berada di tangan Paduka.” Alangkah piawainya Evangeline, aku tersadar. Dia ternyata seorang pakar manipulasi. Dengan beberapa patah kata saja, dia bukan saja telah menyelamatkan Maven dari kesan lembek, melainkan juga memaksa sang raja untuk mengikuti kehendaknya demi mempertahankan citra tangguh. Meskipun tidak ingin, aku mau tak mau terkesiap. Akankah Maven menuruti kehendak Evangeline? Atau akankah dia menolak, alhasil mengompori api ketidakpuasan yang telah menyala di antara Klan-Klan Terkemuka? Bab 3-2 Maven tidak tolol. Dia memahami perbuatan Evangeline dan dia terus memusatkan perhatian pada gadis itu. Mereka saling tatap, berkomunikasi dengan senyum terpaksa dan mata yang menusuk tajam. “Pemilihan Ratu betul-betul sudah mengedepankan putri paling berbakat,” kata Maven sambil menggamit tangan Evangeline. Mereka berdua kelihatan jijik akan tindakan itu. Kepala Maven menoleh ke arah khalayak, untuk memandang ke seorang pria ramping berbaju biru tua. “Sepupu! Permohonan interogasi yang kau sampaikan aku kabulkan!” Samson Merandus berdiri hormat, lalu meruyak keluar dari kerumunan orang dengan mata cemerlang. Dia membungkukkan badan hampir-hampir menyeringai. Jubah biru tuanya yang berombak segelap asap. “Terima kasih, Paduka.” “Tidak.” Kata itu keluar sendiri dari mulutku. “Tidak, Maven!” Samson bergerak dengan gesit, naik ke podium dengan murka tapi penuh kendali diri. Dia telah memperkecil jarak di antara kami hanya dengan beberapa langkah penuh tekad, hingga matanya kini menjadi satu-satunya yang aku lihat di dunia. Mata biru, mata Elara, mata Maven. “Maven!” aku kembali terkesiap, memohon-mohon sekali­pun percuma. Memohon-mohon sekalipun sakit harga diriku saat memikirkan bahwa aku mesti mengajukan permintaan kepada Maven. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan? Samson seorang pembisik. Dia akan menghancurkanku dari dalam ke luar, mengacak-acakku, menggali semua yang aku ketahui. Berapa banyak orang yang akan mati gara-gara pengetahuanku? “Maven, kumohon! Jangan biarkan dia berbuat begini!” Aku kurang kuat sehingga tidak mampu melepaskan rantaiku dari cengkeraman Kucing, juga tidak sanggup untuk terus meronta saat Tri memegangi pundakku. Mereka berdua menahanku di tempat dengan mudah. Mataku jelalatan dari Samson ke Maven. Satu tangannya memegangi singgasana, satu tangannya menggandeng Evangeline. Aku merindukanmu, demikianlah yang tertulis di suratnya. Ekspresi Maven tak terbaca, tapi setidak-tidaknya dia melihat aku. Bagus. Jika dia tidak mau menyelamatkanku dari mimpi buruk ini, aku ingin dia melihat kejadian yang menimpaku. “Maven,” aku berbisik satu kali lagi, berusaha supaya terkesan seperti diriku yang dulu. Bukan gadis petir, bukan Mareena sang putri yang hilang, tapi Mare. Gadis yang dia lihat dari balik jeruji sel dan, dia bersumpah, akan dia selamatkan. Tapi, gadis itu ternyata bukan siapa-siapa baginya. Dia semata-mata memalingkan mata dan pandangan. Aku seorang diri. Samson memegangi leherku dengan tangannya, mencekik di atas kerah logam, memaksaku untuk memandang matanya yang seram dan tak asing lagi. Matanya biru dan tak kenal ampun, sama seperti es. “Kau salah sudah membunuh Elara,” kata pria itu tanpa basa-basi. “Dia tukang bedah pikiran.” Dia mencondongkan badan ke depan dengan ekspresi bernafsu, seperti seorang pria kelaparan yang hendak menggasak makanan. “Sedangkan aku adalah tukang jagal.” Ketika alat bunyi menghantamku, tiga hari aku tersiksa habis-habisan. Gempuran gelombang radio menjadikan listrikku menyerang tubuhku sendiri, mendesing mondar-mandir di permukaan kulitku, menggaruk-garuk seluruh jaringan saraf­ku seperti kabel terburai yang tersambar petir. Alat bunyi meninggalkan bekas berupa garis-garis putih bergerigi yang terbentuk di sepanjang leher dan tulang belakangku, parut jelek yang masih tak terbiasa kuterima. Parut-parut tersebut berpuntir dan berkerut janggal, menjadikan gerakan tertentu yang biasa-biasa saja terasa menyakitkan. Bahkan senyumku menjadi pupus, lebih tipis selepas kejadian yang menimpaku. Kini, aku niscaya memohon-mohon agar disiksa lagi dengan alat bunyi jika bisa. Dibandingkan dengan bisikan Samson, detak memekakkan alat bunyi yang mencacah-cacahku dari dalam tak ubahnya nirwana, sebentuk belas kasihan yang menghanyutkan kesadaranku. Lebih baik tulang dan ototku yang disiksa, hingga yang tersisa hanya gigi dan kukuku, daripada pikiranku dirongrong sedetik lebih lama oleh Samson. Aku bisa merasakannya. Pikirannya. Memenuhi sudut-sudut benakku bagaikan daki atau pembusukan atau kanker. Dia mengampelas bagian dalam kepalaku dengan kulit tajam dan niat yang malah lebih tajam. Bagian dari diriku yang tidak diracuni olehnya menggeliang-geliut kesakitan. Dia menikmati perbuatannya padaku. Biar bagaimanapun, inilah caranya membalas dendam. Atas perbuatanku terhadap Elara, kerabatnya dan ratunya. Kenangan tentang Elara adalah yang pertama-tama pria itu rampas dariku. Ketiadaan penyesalan membuat Samson berang dan aku sekarang menyesalinya. Kuharap aku bisa memaksa diri untuk merasakan simpati barang secuil, tapi kematian Elara terlalu menakutkan sehingga yang sempat kurasakan hanya­lah keterkejutan. Aku sekarang ingat. Samson memaksaku mengingatnya. Dalam sekejap rasa nyeri yang membutakan mengempas­kanku kembali ke dalam kenangan, ke saat ketika aku membunuh wanita itu. Kemampuanku menarik sambaran petir ungu-putih dari langit. Satu sulur petir menyambar kepala Elara, menjalar ke mata dan mulutnya, terus merambat ke leher dan lengannya, dari jari tangan ke jari kaki dan kembali lagi ke tangan, bolak-balik. Keringat di kulitnya mendidih hingga menguap, kulitnya hangus sampai berasap, sedangkan kancing-kancing jasnya menjadi merah membara, membakar kain baju dan kulitnya. Elara terkejang-kejang, mencakar-cakar dirinya sendiri, berusaha untuk mengenyahkan amukan listrikku. Ujung jemarinya robek sehingga tampaklah tulangnya, sedangkan otot-otot wajahnya yang cantik menjadi kendur, melorot karena terpaan arus listrik yang tak berkesudahan. Rambut perak terbakar hingga menjadi hitam, hingga menyerpih dan mengepulkan asap. Belum lagi baunya. Suaranya. Elara menjerit-jerit sampai pita suaranya putus. Samson memastikan agar adegan itu berlangsung lambat dalam kepalaku, kemampuannya memanipulasi kenangan yang terlupakan sehingga terpatri ke dalam alam sadarku. Mungkin beginilah rasanya dijagal dari dalam. Amarah Samson menjungkirbalikkanku dalam badai yang tak bisa kukendalikan, dalam gejolak yang tidak bisa kurem. Aku hanya bisa berdoa mudah-mudahan aku tidak melihat apa pun yang Samson cari. Aku berusaha menepis nama Shade dari ingatanku. Tapi, tanggul yang kudirikan hanyalah kertas belaka bagi Samson. Pria itu merobek-robek dinding pembatas di batinku dengan senang hati. Aku merasakan tiap lapisnya dirobek-robek, tiap bagian diriku dicabik-cabik. Samson tahu apa yang sedang kucoba sembunyikan darinya, apa yang tidak ingin aku lalui lagi. Samson mengejar-ngejarku di dalam pikiranku sendiri, lebih cepat daripada otakku, mengungguli tiap upaya payahku untuk menghentikannya. Kucoba untuk menjerit atau memohon-mohon, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut ataupun benakku. Samson menguasai semua di telapak tangannya. “Terlalu gampang.” Suaranya berkumandang di dalam diriku, di sekelilingku. Sama seperti akhir riwayat Elara, kematian Shade ditangkap secara terperinci dan menyakitkan. Aku harus menjalani kembali tiap detiknya yang mengerikan dalam kepalaku, tak mampu melakukan apa-apa selain menyaksikan, sebab aku terperangkap di dalam diriku sendiri. Radiasi memekatkan udara. Penjara Corros terletak di pinggiran Wash, terlalu dekat dengan timbunan limbah nuklir yang terbentuk di perbatasan barat. Kabut dingin menyelubungi fajar nan kelabu. Sekejap segalanya hening, tertahan di tengah-tengah kesetimbangan. Aku menerawang sambil bergeming, terbekukan di tengah langkah. Penjara menganga di belakangku, masih berkecamuk gara-gara kerusuhan yang kami sulut. Para tawanan dan pengejar keluar berduyun-duyun dari gerbang-gerbangnya. Mengikuti kami untuk menyongsong kebebasan atau seharusnya begitu. Cal sudah pergi, sosoknya yang familier sudah sejauh hampir seratus meter. Aku menyuruh Shade melompatkannya duluan, untuk melindungi salah seorang pilot kami dan satu-satunya sarana kami untuk melarikan diri. Kilorn masih bersamaku, mematung sama seperti aku, sambil menumpukan senapan ke pundaknya. Dia membidik ke belakang kami, ke arah Ratu Elara, para pengawalnya, dan Ptolemus Samos. Peluru meledak dari moncong, dipicu oleh percik api dan bubuk mesiu. Ledakan itu pun tertahan di udara, menanti Samos melepaskan cengkeramannya dari benakku. Di atas, langit yang teraduk-aduk menjanjikan listrik. Kekuatanku sendiri. Andai merasakan listrik, aku pasti menangis jika bisa. Memori itu mulai bergerak, mulanya perlahan-lahan. Ptolemus menyandang pedang tipis panjang nan berkilau, alhasil membubuhkan satu lagi senjata di antara sekian banyak yang sudah beredar. Tepi bilah gemerlapan karena bersimbah darah Merah dan Perak, tetes-tetesnya yang berkilau seperti batu permata membelah udara. Walaupun sakti, Ara Iral kurang gesit berkelit dari sabetan bilah nan mematikan. Pedang itu menebas lehernya dalam kurun satu detik saja. Dia terhuyung-huyung beberapa kaki dariku, seperti sedang mengarungi air belaka, lalu ambruk. Ptolemus bermaksud membunuhku dengan cara serupa, menggunakan momentum tebasannya untuk menghunjamkan bilah ke jantungku. Namun demikian, kakakku ternyata menghalangi. Shade melompat kembali ke tengah-tengah kami, untuk mengantarkanku ke tempat aman dengan teleportasi. Tubuhnya mewujud dari udara kosong: pertama-tama dada dan kepalanya, lalu tungkainya. Tangan terulur, mata difokuskan, perhatiannya tercurah hanya kepadaku. Dia tidak melihat bilah pedang tipis. Dia tidak tahu dia akan mati. Ptolemus tidak berniat membunuh Shade, tapi dia tidak keberatan melakukan itu. Satu lagi musuh yang mati tidak ada bedanya bagi pria tersebut. Cuma satu lagi rintangan di tengah peperangan, satu lagi jasad yang tak bernama dan tak berwajah. Berapa kali aku bertindak sama sepertinya? Malahan, Ptolemus mungkin tidak tahu Shade siapa. Aku tahu apa yang selanjutnya terjadi, tapi tak peduli sekeras apa aku berusaha, Samson tidak berkenan membiarkanku memejamkan mata. Bilah tipis menikam kakakku dengan mulus, menghasilkan luka tusuk nan rapi yang menembus otot dan organ, darah dan jantung. Ada yang meledak dari dalam diriku dan langit pun menanggapi. Saat kakakku terjatuh, amarahku turut tertumpahkan. Namun, dalam kenanganku, aku tidak sempat melepaskan petir dan merasakan kenikmatannya yang manis-getir saat menyambar tanah sehingga menyetrum Elara sampai mati dan mencerai-beraikan para pengawalnya. Samson tidak rela aku mengingat sampai ke sana. Sebaliknya, pria itu justru memutar balik adegan, kemudian menampilkannya lagi. Adegan berulang kembali dan kakakku mati sekali lagi. Lagi. Lagi. Tiap kali memutar ulang adegan, Samson memaksaku untuk melihat sesuatu yang lain. Sebuah kekeliruan. Satu kesalahan langkah. Pilihan yang bisa saja kubuat untuk menyelamatkan Shade. Keputusan kecil. Melangkah ke sini, berbelok ke sana, lari sedikit lebih cepat. Begitu menyiksa. Lihat perbuatanmu. Lihat perbuatanmu. Lihat perbuat­anmu. Suara Samson merambat di sekelilingku. Kenangan-kenangan lain terhanyutkan ke dalam adegan kematian Shade, aneka visi merembes ke dalam satu sama lain. Masing-masing menyoroti satu rasa takut atau kelemahanku. Ada mayat mungil yang kutemukan di Templyn, seorang bayi Merah yang dibunuh oleh para pemburu Darah Baru atas perintah Maven. Sekejap lainnya, tinju Farley menghajar wajahku. Dia menjeritkan kata-kata pedas, menyalahkanku atas kematian Shade sementara dukanya sendiri seolah akan menelannya hidup-hidup. Air mata mengucur di pipi Cal saat pedang bergetar di pegangannya, bilah senjata itu mengiris leher ayahnya. Kuburan Shade yang bersahaja di Tuck, menyendiri di bawah langit musim gugur. Para petugas Keamanan Perak yang kusetrum di Corros, di Teluk Harbor, para lelaki dan perempuan yang hanya mengikuti perintah. Mereka tidak punya pilihan. Tidak punya pilihan. Aku mengingat semua kematian. Semua kepedihan. Ekspresi di wajah adikku saat seorang petugas Keamanan mematahkan tangannya. Buku-buku jari Kilorn yang berdarah ketika dia mendapati dirinya diharuskan mengikuti wajib militer. Kakak-kakakku yang digiring untuk berperang. Ayahku yang kembali dari baris depan dalam keadaan hancur lebur dalam segi mental dan raga, mengucilkan diri dalam kungkungan kursi roda reyot—dan menjauhi kami semua. Mata sedih ibuku saat dia memberitahuku bahwa dia bangga kepadaku. Bohong. Sekarang bohong. Dan akhirnya kepedihan nan menyayat-nyayat, kebenaran hampa yang telah membuntuti hidupku sedari dulu—aku ujung-ujungnya pasti celaka. Sekarang pun aku celaka. Samson menyisir semuanya sesuka hati. Pria itu menarikku melalui kenangan-kenangan tak berguna, memunculkan hanya yang mendatangkan kepedihan bagiku. Bayang-bayang berkelebat dalam benakku. Citra-citra bergerak di tiap momen menyakitkan. Samson mengurai semuanya, terlampau cepat sehingga tidak sempat kutangkap jelas. Tapi, yang kulihat sudah cukup. Wajah Kolonel, matanya yang merah, bibirnya membentuk kata-kata yang tak bisa kudengar. Tapi, Samson pastinya bisa. Inilah yang dia cari-cari. Informasi. Rahasia yang bisa dia gunakan untuk melibas pemberontakan. Aku merasa seperti telur bercangkang retak, yang isinya mengucur sedikit-sedikit. Samson meraup apa saja yang dia inginkan dariku. Aku bahkan tidak mampu merasa malu akan entah apa lagi yang dia temukan. Malam-malam yang dilewatkan dengan bergelung di samping Cal. Memaksa Cameron mengikuti misi kami. Membaca ulang surat-surat memuakkan Maven diam-diam. Kenangan tentang diri sejati seorang pangeran; bukan, yang aku kira adalah diri sejatinya. Kepengecutanku. Mimpi burukku. Kesalahan-kesalahanku. Langkah-langkah egois yang mengantarkanku ke sini. Lihat perbuatanmu. Lihat perbuatanmu. Lihat perbuatanmu. Maven akan segera mengetahui semuanya. Inilah yang sedari dulu dia inginkan. Kata-kata, yang diterakan dengan tulisan tangan bulat-bulat, terpatri dalam benakku. Aku merindukanmu. Sampai jumpa lagi.[] Bab 4 Cameron Aku masih tak percaya kami bisa bertahan hidup. Aku terkadang memimpikannya. Menyaksikan mereka menyeret Mare pergi, tubuhnya dipegang kuat-kuat oleh sepasang lengan perkasa. Mereka menggunakan sarung tangan untuk menghalau petirnya, bukan berarti bahwa Mare coba-coba menggunakan petir setelah dia mengajukan pertukaran. Hidupnya demi nyawa kami. Tidak aku sangka Raja Maven sudi menepati kesepakatan. Apalagi taruhannya adalah sang kakak yang terasing. Tapi, dia ternyata menepati janji. Dia lebih menginginkan Mare daripada yang lain. Walau begitu, aku tetap saja terbangun selepas mimpi buruk yang biasa, takut kalau-kalau raja dan para pemburu kembali untuk membunuh kami. Dengkuran teman-teman sekamarku langsung mengusir sangkaan itu. Mereka memberitahuku bahwa markas baru berupa reruntuhan, tapi kukira kondisinya bakalan seperti Tuck. Bekas fasilitas terbengkalai, yang terisolasi namun masih fungsional, yang dibangun kembali diam-diam dan dilengkapi segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh calon pemberontak. Aku serta-merta membenci Tuck begitu melihatnya. Barak-barak berbentuk blok dan tentara mirip penjaga Keamanan, sekalipun mereka adalah kaum Merah, terlalu mirip dengan Penjara Corros. Aku menganggap pulau itu sebagai sebentuk penjara. Semacam sel tempat aku lagi-lagi dijebloskan paksa, kali itu oleh Mare Barrow alih-alih oleh petugas Perak. Namun, setidak-tidaknya Tuck beratapkan langit. Setidak-tidaknya di sana aku bisa menghirup udara dan angin segar untuk paru-paruku. Dibandingkan dengan Corros, dibandingkan dengan Kota Baru, dibandingkan dengan ini, Tuck bagaikan surga. Kini aku menggigil beserta yang lain di dalam terowongan beton Irabelle, markas pertahanan Barisan Merah di pinggiran Trial, kota kaum Lakelander. Tembok-tembok serasa dingin membekukan saat disentuh, sedangkan batang-batang es menggelayut dari ruangan-ruangan yang tak memiliki sumber panas. Segelintir tentara Barisan kerap mengikuti Cal ke sana kemari, sekadar untuk memanfaatkan kehangatannya yang memancar. Aku justru sebaliknya, menghindari keberadaan Cal sebisaku. Aku tidak butuh seorang pangeran Perak, yang memandangku dengan ekspresi menuduh belaka. Seolah-olah aku bisa menyelamatkan Mare. Biar bagaimanapun, aku masih kurang terlatih. Hei, Yang Mulia, kesaktianmu juga tidak cukup untuk menyelamatkannya, kan? aku ingin membentaknya seperti itu tiap kali kami bersimpang jalan. Apinya bukanlah tandingan bagi kekuatan sang raja dan para pemburu. Lagi pula, Mare memilih untuk mengajukan diri secara sukarela. Kalau Cal ingin marah-marah, dia seharusnya marah kepada Mare. Si Gadis Petir bertindak demi menyelamatkan kami dan karenanya, aku akan selalu berterima kasih. Meskipun dia munafik dan egosentris, dia tidak layak menerima nasib yang menimpanya. Kolonel memerintahkan evakuasi Tuck begitu kami menghubunginya lewat radio. Dia tahu interogasi terhadap Mare Barrow akan menunjukkan lokasi pulau. Farley berhasil mengamankan semua orang, dengan cara menaikkan mereka ke perahu dan kapal atau pesawat jet kargo mahabesar yang dicuri dari penjara. Kami sendiri terpaksa berjalan lintas darat, angkat kaki buru-buru dari tempat pesawat jatuh ke seberang perbatasan untuk menjumpai Kolonel. Aku mengatakan terpaksa karena, sekali lagi, aku memang dipaksa untuk melakukan hal tertentu dan pergi ke tempat tertentu, sesuai perintah. Kami mula-mula terbang menuju Choke dalam rangka menyelamatkan selegiun tentara anak. Salah seorang dari mereka adalah saudara laki-lakiku. Tapi, misi tersebut mesti dibatalkan. Untuk sementara ini, mereka selalu mengatakan itu tiap kali aku menolak untuk menjauhi garis depan pertempuran barang selangkah lagi. Kenangan itu membuat pipiku membara. Aku seharusnya terus bersikukuh. Mereka takkan menghentikanku. Tidak bisa menghentikanku. Tapi, aku takut. Sedekat itu dengan garis depan, aku menyadari apa artinya berderap seorang diri. Aku niscaya mati sia-sia. Walau begitu, rasa malu akibat pilihan itu tidak dapat kuenyahkan. Aku telah lagi-lagi angkat kaki dan meninggalkan saudaraku. Setelah berminggu-minggu, barulah semua orang berkumpul kembali. Farley dan para anak buahnya sampai paling akhir. Kutebak selama Farley belum datang, ayahnya, sang kolonel, menghabiskan tiap hari dengan mondar-mandir di koridor-koridor membekukan dalam markas baru kami. Setidak-tidaknya, pemenjaraan Barrow bermanfaat. Berkat perhatian yang teralihkan gara-gara tawanan sepenting dirinya, juga kekacaubalauan di Corvium, pergerakan pasukan di seputar Choke menjadi tersendat. Saudaraku aman. Seaman anak lima belas tahun yang berseragam militer dan bersenjata api, pokoknya. Jelas lebih aman daripada Mare. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku melihat pidato Raja Maven. Cal menduduki pojokan ruang kendali untuk memutar pidato itu berkali-kali setibanya kami di sini. Kali pertama kami melihat tayangan itu, sepertinya tak seorang pun dari kami berani bernapas. Kami semua mengkhawatirkan yang terburuk. Kami kira kami akan menyaksikan Mare kehilangan kepalanya. Kakak-kakak Mare kalut bukan main, sibuk menghalau air mata, sedangkan Kilorn bahkan menutupi wajah dengan kedua tangan karena tidak sanggup melihat. Ketika Maven meng­umumkan bahwa eksekusi justru terlalu gampang untuk Mare, Bree sepertinya sempat pingsan saking leganya. Tapi, Cal terus memperhatikan sambil membisu dan mengerutkan alis penuh konsentrasi. Jauh di lubuk hati dia tahu, sama seperti kami semua, bahwa hukuman yang lebih mengerikan daripada kematian tengah menanti Mare Barrow. Dia berlutut di hadapan seorang raja Perak dan mematung sementara Maven memasangkan kerah ke lehernya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tidak berbuat apa-apa. Membiarkan Maven mengatainya teroris dan pembunuh di hadapan seluruh bangsa. Sebagian dari diriku berharap kalau saja Mare mengamuk, tapi aku tahu dia tidak boleh macam-macam. Dia semata-mata memelototi semua orang di sekelilingnya, matanya yang jelalatan mengamati kaum Perak yang bersesakan di seputar podium. Mereka semua ingin berdekatan dengannya. Berkerumun mengelilingi tangkapan besar. Walaupun bermahkota, Maven tidak tampak seperti raja. Capek, mungkin muak, jelas-jelas marah. Barangkali karena gadis di sebelahnya baru saja membunuh ibunya. Maven menarik kerah Mare, memaksanya berjalan ke dalam istana. Mare sempat menoleh ke balik bahunya untuk kali terakhir, matanya yang membelalak mencari entah apa. Tapi, satu tarikan lagi efektif memutarnya ke dalam dan kami belum melihat wajah Mare sejak saat itu. Dia di sana, sedangkan aku di sini, bergumul kedinginan dan sibuk memperbaiki alat-alat yang lebih tua daripada aku. Buang-buang waktu saja. Menit terakhir di tempat tidur kumanfaatkan dengan memikirkan saudaraku, di mana kira-kira dia berada, apa yang sedang dia lakukan. Morrey. Kembaranku dari segi penampilan, tapi cuma itu. Dia seorang bocah yang lembut di gang Kota Baru nan keras, senantiasa sakit gara-gara asap pabrik. Aku tidak tega membayangkan dampak pelatihan militer terhadap dirinya. Bergantung pada siapa yang kita tanyai, pekerja telky entah terlalu bernilai atau terlalu lemah untuk dijadikan tentara. Sampai Barisan Merah mulai bertindak macam-macam, yakni dengan membunuh beberapa orang Perak, alhasil memaksa almarhum raja untuk melakukan tindakan balasan. Kami berdua direkrut untuk mengikuti wajib militer, padahal kami berdua mempunyai pekerjaan. Padahal kami baru lima belas tahun. Ketetapan sial yang disahkan oleh ayah Cal mengubah segalanya. Kami dipilih, disuruh menjadi prajurit, dan kami digiring untuk meninggalkan orangtua. Mereka memisahkan kami hampir seketika. Namaku tertera di satu daftar, sedangkan nama Morrey tidak. Aku sempat bersyukur dikirim ke Corros. Morrey takkan hidup lama jika dikurung di dalam sel. Kini aku berharap bisa bertukar tempat dengannya. Dia bebas, sedangkan aku di garis depan. Tapi, tak peduli berapa kali aku mengajukan petisi kepada Kolonel untuk minta izin menginfiltrasi Legiun Cilik, dia selalu menampikku. Jadi, lebih baik aku bertanya lagi sekalian. Bobot sabuk perkakas telah familier di panggulku, berge­debuk seiring tiap langkahku. Aku berjalan dengan pasti, agar siapa pun urung untuk coba-coba menghentikanku. Tapi, kebanyakan koridor nyatanya kosong. Tak seorang pun melihat­ku melenggang lewat sambil menggigiti sarapan berupa roti gulung. Para kapten dan unit mereka pasti sedang keluar untuk berpatroli, memantau kondisi di Trial dan perbatasan. Untuk mencari kaum Merah, tebakku, yang mujur sehingga berhasil menyeberangi perbatasan. Sebagian datang ke sini untuk bergabung dengan kami, tapi semuanya cukup umur untuk direkrut sebagai tentara atau memiliki keterampilan yang bermanfaat untuk misi kami. Aku tidak tahu keluarga mereka dikirim ke mana: para yatim piatu, janda, duda. Orang-orang yang mungkin menyusahkan saja. Seperti aku. Tapi, aku sengaja bersikap menyebalkan. Cuma itu caranya menarik perhatian. Lemari sapu Kolonel—maksudku kantornya—terletak satu lantai di atas kamar-kamar asrama. Tanpa repot-repot mengetuk pintu, aku langsung saja memutar kenop pintu. Pintu terbuka dengan mudah dan tampaklah sebuah ruangan suram serak berdinding beton, berisi segelintir lemari terkunci, dan sebuah meja. Seseorang tengah duduk di balik meja tersebut. “Dia di ruang kendali,” kata Farley tanpa mendongak dari kertas-kertasnya. Tinta menodai tangannya, juga mencemong hidung serta bagian bawah matanya yang semerah darah. Farley sedang menelaah kertas-kertas yang sepertinya adalah surat dari Barisan, berisi pesan-pesan dan perintah-perintah bersandi. Dari Dewan Panglima, aku tahu, teringat akan bisik-bisik di antara eselon atas Barisan Merah. Tak seorang pun tahu banyak mengenai mereka, apalagi aku. Tak seorang pun memberitahukan apa-apa kepadaku kecuali aku bertanya belasan kali. Aku mengerutkan kening karena prihatin. Walaupun meja menyembunyikan perutnya, kondisi Farley mulai tampak. Wajah dan jari-jarinya kelihatan bengkak. Di meja terdapat pula tiga piring berisi sisa-sisa makanan. “Mungkin ada baiknya kau tidur sesekali, Farley.” “Mungkin.” Dia kelihatan jengkel akan kepedulianku. Ya sudah, jangan dengarkan aku. Sambil mendesah lirih, aku membalikkan badan ke ambang pintu dan memunggunginya. “Beri tahu dia Corvium sedang tegang,” imbuh Farley, suaranya keras dan tegas. Perintah, tapi bukan sekadar itu. Aku melirik ke balik bahuku sambil mengangkat alis. “Tegang bagaimana?” “Kerusuhan di mana-mana, laporan sporadis tentang petugas Keamanan Perak yang didapati tidak bernyawa, dan ledakan di sejumlah depot amunisi.” Dia hampir-hampir menyeringai. Hampir. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sejak Shade Barrow meninggal. “Kedengarannya tidak asing. Apa Barisan Merah berada di kota itu?” Akhirnya, Farley mendongak. “Sepengetahuan kami tidak.” “Berarti legiun memberontak.” Harapan yang membuncah di dadaku meletup-letup menyakitkan. “Para prajurit Merah—” “Yang ditempatkan di Corvium berjumlah ribuan. Banyak yang menyadari bahwa dari segi jumlah, mereka jauh mengungguli petugas Perak. Empat banding satu, setidak-tidaknya.” Empat banding satu. Dalam sekejap, padamlah harapanku. Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri kaum Perak seperti apa dan mampu berbuat apa saja. Aku pernah menjadi tawanan dan musuh mereka, bisa melawan semata-mata karena kesaktianku. Empat orang Merah melawan satu orang Perak tetap saja bunuh diri. Masih belum seimbang. Tapi, Farley sepertinya tidak sepakat. Dia merasakan kegelisahanku dan melembut sebisanya. Seperti silet yang menjadi pisau. “Saudaramu tidak di kota itu. Legiun Belati masih berada di Choke, di balik garis depan.” Terjebak di antara ladang ranjau dan kota yang terbakar. Fantastis. “Bukan Morrey yang aku cemaskan.” Pada saat ini. “Aku cuma merasa kaum Merah tetap saja tidak mungkin menguasai kota. Jumlah mereka mungkin lebih banyak, tapi kaum Perak ... mereka Perak, kan? Beberapa puluh magnetron bisa membunuh ratusan bahkan tanpa berkedip.” Aku membayangkan Corvium dalam kepalaku. Aku hanya pernah melihat kota itu melalui video-video singkat, cuplikan dari siaran berita atau liputan Perak yang didapat oleh Barisan Merah. Tempat itu lebih pantas disebut benteng daripada kota, dikungkung oleh tembok batu hitam kokoh, sebuah monolit yang menghadap utara ke medan-medan tempur nan gersang. Corvium entah bagaimana mengingatkanku pada tempat yang dengan enggan kusebut sebagai kampung halaman. Kota Baru juga bertembok dan dipantau oleh banyak sekali petugas Keamanan yang berpatroli. Kami juga berjumlah ribuan, tapi kami memberontak semata-mata dengan datang telat saat giliran kerja kami atau mengendap-endap keluar selepas jam malam. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kehidupan kami rapuh dan tak berarti layaknya asap. Farley kembali memusatkan perhatian ke pekerjaannya. “Pokoknya, beri tahu dia tentang yang kukatakan barusan. Dia pasti tahu harus melakukan apa.” Aku hanya bisa mengangguk, lalu kututup pintu saat Farley berusaha namun gagal menahan kuap. “Penerima video harus dikalibrasi ulang, perintah Kapten Farley—” Dua prajurit Barisan yang menjaga pintu ke ruang kendali sentral melangkah mundur bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimat, dustaku yang biasa. Keduanya berpaling, menghindari tatapanku, dan aku merasakan wajahku memerah malu. Darah Baru membuat takut orang-orang sama seperti kaum Perak, mungkin malah lebih. Kaum Merah sakti sama tidak terduganya, sama perkasanya, sama berbahayanya seperti kaum Perak, di mata mereka. Sesampai kami di sini dan seiring dengan semakin banyaknya prajurit yang tiba, bisik-bisik tentang aku dan yang lain menyebar bagaikan penyakit. Si perempuan tua bisa mengubah wajahnya. Yang sering berkedut-kedut itu bisa menyelimuti kita dalam ilusi. Si gadis telky bisa membunuh hanya dengan pikiran. Ditakuti ternyata tidak enak. Yang paling parah, aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Kami memang lain dan aneh, menyimpan kekuatan yang bahkan tidak dimiliki oleh kaum Perak. Kami tak ubahnya kabel terburai dan mesin rusak, yang masih perlu belajar tentang diri sendiri dan kemampuan kami. Siapa tahu kami bisa menjadi seperti apa? Aku menelan rasa jengah yang sudah tak asing dan melangkah masuk ke ruangan berikut. Ruang kendali sentral lazimnya riuh karena dengung layar-layar dan alat-alat komunikasi, tapi saat ini ruangan tersebut anehnya sepi. Yang menyala cuma satu layar monitor, yang memuntahkan selembar kertas korespondensi panjang berisi pesan bersandi yang sudah terpecahkan. Kolonel berdiri di depan mesin itu sambil membaca kertas yang makin lama makin panjang. Kedua kakak Mare seperti biasa menghantuinya, duduk dengan gelisah seperti kelinci yang gatal ingin melompat. Begitu melihat penghuni keempat ruangan itu, aku langsung bisa menebak isi laporan yang baru masuk. Pasti ada kabar tentang Mare Barrow. Kalau tidak, mana mungkin Cal berada di sini? Dia menumpukan dagu ke jari-jarinya yang berpaut, mukanya murung seperti biasa. Hari-hari nan panjang di dalam tanah telah menjadikan kulitnya yang pucat semakin pucat. Katanya dia pangeran, tapi dia ternyata tidak memedulikan penampilan pada saat krisis. Saat ini dia sepertinya butuh mandi dan bercukur, juga tamparan supaya melek. Biar begitu, dia adalah prajurit tulen. Matanya melirikku sebelum yang lain tersadar akan kehadiranku. “Cameron,” kata Cal, berusaha sebaik-baiknya untuk tidak menggeram. “Calore.” Dia cuma pangeran yang terasing. Tidak perlu menyebut gelar segala. Kecuali aku betul-betul ingin mengesalkannya. Ayah dan anak ternyata sama saja. Kolonel Farley tidak berpaling dari pesan yang sedang dia baca, tapi dia menyambut kedatanganku dengan desahan. “Mari kita menghemat waktu, Cameron. Aku tidak mempunyai sumber daya manusia ataupun kesempatan untuk mencoba-coba menyelamatkan prajurit selegiun.” Aku berucap tanpa suara seturut kata-katanya. Dia mengatakan itu kepadaku hampir tiap hari. “Selegiun kanak-kanak tak terlatih yang akan dibantai Maven begitu diberi kesempatan,” tangkisku. “Demikianlah yang kau ingatkan kepadaku berkali-kali.” “Karena Anda memang perlu diingatkan! Pak,” imbuhku, hampir-hampir berjengit saat mendengar kata itu. Pak. Aku tidak bersumpah setia kepada Barisan Merah, sekalipun mereka memperlakukanku seperti anggota klub mereka. Mata Kolonel menyipit saat membaca satu bagian pesan. “Dia sudah diinterogasi.” Cal terduduk tegak cepat sekali sampai-sampai kursinya terjungkal. “Merandus?” Hawa panas serasa merambati ruangan dan aku serta-merta merasa mual. Bukan karena Cal, melainkan karena Mare. Karena kengerian yang menimpanya. Kecemasan spontan menggerakkan kedua tanganku ke belakang kepala, untuk menarik-narik rambut hitam keriting di tengkukku. “Ya,” jawab Kolonel. “Seorang pria bernama Samson.” Sang pangeran menyemburkan umpatan kasar yang tidak kusangka bisa keluar dari mulut seorang ningrat. “Apa maksudnya?” Bree, kakak sulung Mare yang gempal, memberanikan diri untuk bertanya. Tramy, putra Barrow satu-satunya yang masih hidup selain Bree, mengerutkan kening. “Merandus adalah klan ratu. Pembisik—pembaca pikiran. Mereka mengorek-ngorek pikiran Mare untuk memburu kita.” “Dan untuk sekadar bersenang-senang,” gumam Cal berang. Wajah kedua kakak-beradik Barrow memerah, menangkap implikasinya. Bree berkedip cepat-cepat untuk mengusir air mata yang terbit tiba-tiba. Aku ingin memegangi lengannya, tapi aku diam saja. Aku sudah sering melihat orang berjengit saat kusentuh. “Itulah sebabnya Mare tidak boleh tahu tentang operasi kita di luar Tuck. Tuck juga sudah kita tinggalkan sepenuhnya,” kata Kolonel cepat-cepat. Benar juga. Mereka meninggalkan Tuck secepat kilat, menyisihkan apa saja yang diketahui oleh Mare Barrow. Bahkan kaum Perak yang kami tangkap dari Corros—atau kami selamatkan, bergantung pada siapa kita bertanya—juga kami tinggalkan di pantai. Terlalu banyak untuk ditahan, terlalu berbahaya untuk dikendalikan. Aku baru sebulan bersama Barisan Merah, tapi aku sudah menghafal kata-kata mereka di luar kepala. Bangkitlah, untuk menyongsong merahnya rona fajar, tentu saja, dan ketahui yang perlu kau ketahui saja. Yang pertama adalah pekik perang, yang kedua peringatan. “Apa pun yang Mare sampaikan kepada mereka kebanyakan hanya bernilai sampingan,” imbuh Kolonel. “Bukan yang pen­ting-penting mengenai Dewan Panglima, pun hanya sedikit tentang kegiatan kita di luar Norta.” Tidak ada yang peduli, Kolonel. Aku mesti menggigit lidah supaya tidak menyergahnya. Mare seorang tawanan. Terus kenapa kalau mereka tidak mendapat informasi apa-apa mengenai Lakelands, Piedmont, atau Montfort? Bab 4-2 Montfort. Negeri nun jauh di sana yang konon diperintah dengan demokrasi, persamaan hak antara kaum Merah, Perak, dan Darah Baru. Taman firdaus? Mungkin, tapi aku sudah lama tahu bahwa di dunia ini tidak ada taman firdaus. Sekarang aku mungkin lebih banyak tahu tentang negara itu daripada Mare, sebab si kembar, Rash dan Tahir, selalu mengocehkan keunggulan Montfort. Aku tidak menelan mentah-mentah perkataan mereka, sebab aku tidak bodoh. Lagi pula, percakapan dengan mereka luar biasa menyiksa, sebab mereka selalu saja menyelesaikan kalimat dan pikiran satu sama lain. Terkadang aku ingin membungkam mereka dengan kemampuanku, ingin memutus ikatan yang menghubungkan pikiran mereka menjadi satu. Namun begitu, berbuat demikian bukan saja kejam, melainkan juga tolol. Sekarang saja orang-orang sudah takut kepada kami, padahal kaum Darah Baru belum pernah bertengkar antarsesama. “Memangnya itu penting?” kataku berang. “Siapa peduli mereka bisa atau tidak bisa mendapatkan apa saja dari Mare?” Mudah-mudahan Kolonel memahami maksud yang kusiratkan.... Bab 5 Mare Aku terapung-apung di laut gelap, beserta bayang-bayang. Kenangan, barangkali. Mungkin juga mimpi. Tidak asing sekaligus ganjil, masing-masing terkesan keliru. Mata Cal keperakan, panas membara, mengepulkan darah. Wajah kakakku lebih menyerupai tengkorak daripada daging. Ayah bangkit dari kursi roda, tapi tungkai barunya kurus kering, berbonggol-bonggol, seolah bisa saja patah seiring tiap langkahnya yang gemetar. Tangan Gisa disambung oleh pin-pin logam, sedangkan mulutnya dijahit rapat. Kilorn tenggelam di sungai, tersangkut dalam jaring nan sempurna. Kain gombal merah tertumpah dari leher Farley yang digorok. Cameron mencakari lehernya sendiri, berjuang untuk bicara, terjebak dalam keheningan ciptaannya sendiri. Sisik-sisik logam bertumbuh di sekujur tubuh Evangeline, menelannya bulat-bulat. Maven terkulai di singgasananya yang janggal, membiarkan kursi batu itu mengencang dan membekap dirinya hingga dia sendiri menjadi batu, menjadi patung duduk yang bermata safir dan berair mata berlian. Warna ungu menggerogoti tepi penglihatanku. Aku men­coba berputar dalam dekapannya, mengetahui warna ungu itu menjanjikan apa. Petirku dekat... Bab 5-2 Alangkah mudahnya jatuh tertidur. Namun demikian, aku terus terjaga. Dua menit berlalu, tapi para penjaga Arven tidak kunjung kembali. Kuduga mereka mengira belenggu sudah mencukupi untuk menahanku di dalam sini. Mereka salah. Tungkaiku gemetaran saat turun ke lantai, kaki telanjangku menjejak lantai kayu bermotif yang dingin. Kalaupun ada kamera yang mengawasi, aku tak peduli. Kamera tidak mempan untuk mencegahku berjalan. Atau berusaha berjalan. Aku tidak suka bertindak pelan-pelan. Terutama sekarang, ketika tiap momen amatlah berharga. Tiap detik bisa berarti matinya satu lagi orang yang kukasihi. Jadi, aku beranjak dari tempat tidur, memaksa kakiku yang lemah dan gemetar untuk menopang tubuhku. Sensasi janggal dari Batu Hening, yang menggelayuti pergelangan kaki dan tanganku, menguras secuil kekuatan yang dibangkitkan oleh amarahku. Lama sekali baru aku sanggup menanggungnya. Aku ragu aku bakal terbiasa dengan sensasi ini. Tapi, aku bisa saja mengabaikannya. Langkah pertama adalah yang termudah. Aku tinggal doyong saja ke meja kecil tempatku... Bab 6 Mare Aku menerima Kartu-kartu bertuliskan huruf-huruf yang terketik rapi, berisi garis besar pernyataan yang harus kusampaikan. Aku bahkan tidak sanggup melihat dan alhasil, kutinggalkan saja kartu-kartu itu dalam keadaan tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Entah Maven membayangkan akan menghaturkanku ke hadapan para pejabat istana sebagai siapa, tapi aku ragu dia akan mengutus pelayan untuk membantuku berdandan, padahal mengenakan gaun, memasang kancing, dan menarik ritsleting sampai tertutup seorang diri pasti merepotkan. Gaun tersebut berkerah tinggi, menjuntai sampai ke lantai, dan berlengan panjang—bukan saja untuk menyembunyikan cap Maven di tulang belikatku tapi juga belenggu yang terpasang di pergelangan tangan serta kakiku. Tak peduli sudah berapa kali aku lolos dari sandiwara nan elegan, ujung-ujungnya aku tetap saja mesti memainkan peran di dalamnya. Gaun itu tampak kebesaran untukku, longgar di bagian lengan dan pinggang. Aku bertambah kurus di sini, padahal aku sudah memaksa diri untuk makan banyak-banyak. Berdasarkan pantulanku di kaca jendela,... Bab 7 Cameron Sinyal “peringatan petir”—istilahnya begitu—berkumandang di lantai utama Irabelle, membahana naik turun di kuda-kuda kayu, bolak-balik di koridor-koridor. Para pembawa pesan berlarian ke luar, mencari siapa saja di antara kami yang cukup penting untuk diberi kabar terbaru mengenai Mare. Biasanya aku tidak masuk prioritas. Tak seorang pun menyeretku turun supaya turut serta dalam rapat dengan para anggota klubnya. Anak-anak mendatangiku belakangan, selagi sedang bekerja, dan menyerahkan kertas berisi informasi apa saja yang dikumpulkan oleh mata-mata Barisan terkait masa tahanan si Barrow yang berharga. Informasi tidak berguna. Apa yang dia makan, jadwal rotasi penjaganya, yang seperti itu. Tapi pembawa pesan hari ini, seorang gadis cilik berambut hitam lurus nan licin dan berkulit cokelat kemerahan, menarik-narik lenganku. “Peringatan petir, Nona Cole. Ikut saya,” dia berkata dengan nada tegas sekaligus merajuk. Aku ingin membentaknya bahwa prioritasku adalah menggarap pemanas supaya bisa difungsikan di barak, bukan mencari tahu berapa kali Mare ke kamar mandi... Bab 7-2 Seisi ruangan kembali diramaikan oleh bisik-bisik, yang disusul oleh suara sst di sana sini. Namun demikian, suasana masih sarat ketegangan dan kebingungan. Kolonel menegakkan badan sambil bersedekap. Aku yakin mereka semua memikirkan dosa masing-masing, termasuk apa kiranya yang diocehkan oleh si Samson. Di satu sisi, Farley menepuk-nepukkan garpu ke bibir sambil memicingkan mata. Dia mengumpat pelan, tapi aku tidak tahu sebabnya. Mare mengangkat dagunya, seperti hendak muntah ke sepatu raja. Taruhan, pasti itulah yang dia inginkan. “Aku masuk ke Barisan Merah secara sukarela,” kata Mare. “Mereka memberi tahu bahwa kakakku telah dieksekusi selagi mengabdi di legiun, atas tindak kejahatan yang tidak dia perbuat.” Suara Mare pecah saat menyebut-nyebut Shade. Di sebelahku, napas Farley bertambah cepat dan tangannya menekuk di atas perutnya. “Mereka menanyakan apakah aku ingin membalaskan dendam atas kematiannya. Aku mengiakan. Jadi, aku bersumpah setia kepada misi mereka dan aku ditempatkan sebagai pelayan di dalam kediaman kerajaan di Balairung... Bab 8 Mare Aku sengaja memudahkan para pengawal Arven untuk memindahkanku dari podium. Telur dan Tri memegangi lenganku, sedangkan Kucing dan Semanggi mengikuti di belakang. Tubuhku menjadi mati rasa saat mereka menggiringku meninggalkan sorotan publik. Apa yang telah kuperbuat? aku membatin. Apa kiranya dampak semua ini nanti? Entah di mana, nun jauh di sana, yang lain tentu menonton. Cal, Kilorn, Farley, keluargaku. Mereka pasti menyaksikan yang barusan. Saking malunya, aku hampir-hampir muntah ke gaunku yang mewah dan memuakkan. Aku merasa lebih tidak enak hati pada saat ini ketimbang ketika membacakan Ketetapan atas perintah ayah Maven, alhasil menjerumuskan sekian banyak orang ke dalam keharusan wajib militer untuk membayar perbuatan Barisan Merah. Pada saat itu, semua orang tahu Ketetapan bukanlah hasil rekaanku. Aku semata-mata menyampaikan pesan. Para pengawal Arven mendorongku ke depan. Tidak kembali ke penjaraku, tapi ke belakang singgasana, melalui sebuah ambang pintu ke ruangan-ruangan yang belum pernah kulihat. Ruangan pertama jelas merupakan... Bab 8-2 Pemuda itu menyisir rambut gelapnya dengan jemari, menarik helai-helainya sampai berdiri. Keheningan janggal berkepanjangan lantas menyusul sehingga kami berdua menjadi salah tingkah. Aku merasa seperti mengeluyur ke tempat yang seharusnya tak kudatangi, menerobos ke tempat yang seharusnya tak kumasuki. “Pergi, sana,” Maven akhirnya berujar sambil gemetar. Aku bergeming dan justru mereguk apa saja yang bisa kuraup. Untuk dipergunakan kapan-kapan, kataku dalam hati. Bukan karena aku terlalu kebas sehingga tidak mampu berjalan. Bukan karena aku lagi-lagi merasa kasihan kepada sang pangeran khayali. “Kataku pergi sana.” Aku terbiasa menghadapi amarah Cal yang memanaskan ruangan. Amarah Maven membekukan dan pada saat ini, bulu kudukku merinding. “Semakin lama kau membiarkan mereka menunggu, sema­kin mereka akan menggerecokimu.” Evangeline Samos paling pandai dan paling payah dalam memilih waktu. Dia menyerbu masuk bagaikan badai logam dan cermin seperti biasa, jubah panjangnya mengekor. Busananya menangkap dan memantulkan warna merah dari ruangan, berkilat-kilat seiring tiap langkahnya. Selagi aku memperhatikan... Bab 9 Mare Menjadi boneka itu aneh. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di rak daripada dimainkan. Tapi ketika aku dipaksa untuk menari, atas perintah Maven, dia tetap memegang janjinya. Biar bagaimanapun, dia adalah orang yang selalu menepati janji. Paling tidak, begitulah katanya. Darah Baru pertama mencari aman di Bukit Laut, istana di Teluk Harbor, dan persis seperti yang Maven janjikan, dia memberinya perlindungan penuh dari aksi “teror” Barisan Merah. Beberapa hari kemudian pria malang itu, Morritan, dikawal ke Archeon dan diperkenalkan secara pribadi kepada Maven. Acara itu disiarkan di mana-mana. Baik identitasnya maupun kemampuannya kini dikenal luas oleh kaum bangsawan istana. Yang mengejutkan banyak orang, Morritan adalah pembakar, sama seperti keturunan Klan Calore. Tapi lain dengan Cal dan Maven, dia tidak membutuhkan gelang logam atau bahkan percik api. Apinya dilahirkan dari kesaktian semata, sama seperti petirku. Aku mesti duduk menonton, bertengger di kursi bersepuh emas bersama para bangsawan anak buah Maven. Jon,... Bab 9-2 Yang pertama, seorang wanita gempal yang bisepsnya sebesar Cal, berjalan ke dinding dengan hati-hati. Dia tidak berhenti, tapi terus saja menembus dinding, seolah-olah kayu bersepuh emas dan berlis logam elok hanyalah udara. Atas dorongan penyemangat dari Maven, dia berjalan menembus seorang Sentinel juga. Pria itu berjengit, satu-satunya pertanda kemanusiaannya di balik topeng hitam, tapi dia tidak terluka sekalipun baru ditembus oleh si Darah Baru. Aku tidak tahu bagaimana cara kerja kemampuannya dan alhasil, aku teringat pada Julian. Dia sekarang bersama Barisan Merah dan mudah-mudahan saja menyaksikan siaran-siaran ini. Jika Kolonel memperbolehkan, tentu saja. Biar bagaimanapun, Kolonel kurang menyukai teman-teman Perakku. Dua lelaki lantas menyusul, veteran berambut putih yang bermata menerawang dan berbahu bidang. Kemampuan mereka ternyata sudah kukenal. Yang pendek bergigi ompong seperti Ketha, salah seorang Darah Baru yang kurekrut berbulan-bulan silam. Walaupun Ketha bisa meledakkan benda atau orang hanya dengan pikirannya, dia kehilangan nyawa saat serangan ke Penjara Corros.... Bab 10 Mare Aku merobek-robek semua buku di rakku sampai sampul-sampulnya copot dan halaman-halamannya menyerpih. Kuharap buku-buku itu berdarah, bisa berdarah. Dia mati karena aku tidak. Karena aku masih di sini, terjebak dalam perangkap, dijadikan umpan untuk memancing Barisan Merah keluar dari suaka mereka. Setelah melakukan perusakan sia-sia beberapa jam, aku menyadari bahwa aku keliru. Barisan Merah takkan melakukan ini. Kolonel ataupun Farley takkan sudi mengambil risiko sebesar ini demi menyelamatkan aku. “Cal, dasar bodoh. Dasar bedebah bodoh,” kataku, tidak kepada siapa-siapa. Karena tentu saja ini adalah idenya. Itulah pelajaran yang dia camkan baik-baik. Meraih kemenangan dengan cara apa pun. Kuharap dia tidak terus-menerus membayar harga yang mustahil untukku. Di luar, salju kembali turun. Hawa dinginnya tidak terasa, sebab hatiku sudah telanjur dingin. Keesokan pagi, aku terbangun di tempat tidur, masih mengenakan gaun, sekalipun aku tidak ingat sempat pindah dari lantai. Buku-buku yang rusak juga sudah lenyap, telah disapu bersih dari kehidupanku.... Bab 10-2 Evangeline tidak menggiring kami ke ruang singgasana, tapi ke ruang dewan Maven. Para Sentinel yang berjaga di pintu kelihatan lebih galak daripada biasanya. Ketika masuk, aku menyadari bahwa mereka bahkan menjaga jendela-jendela. Tindakan jaga-jaga ekstra selepas infiltrasi yang dilakukan oleh Nanny. Kali terakhir aku lewat, hanya Jon yang berada di ruangan tersebut. Dia masih di sana, diam saja di pojokan, tampak tidak mencolok bila dibandingkan dengan setengah lusin orang lain di sepenjuru ruangan. Aku bergidik saat melihat Volo Samos, yang bagaikan laba-laba hitam, beserta sang putra Ptolemus di sisinya. Samson Merandus tentu saja di sini juga. Dia memandangiku dengan ekspresi buas sehingga aku serta-merta menundukkan mata, menghindari tatapannya seakan dengan begitu aku bisa menamengi diri dari kenangan ketika dia merayap masuk ke otakku. Kukira Maven bakalan duduk sendirian di kepala meja marmer, tapi ternyata dia diapit oleh dua orang pria. Keduanya mengenakan baju bulu tebal dan suede lembut seolah-olah perlu... Bab 10-3 “Tidak, tidak, tidak,” kata Samson sambil melangkah ke depanku. Aku bahkan tidak bisa berjengit, saking kencangnya pegangan si Sentinel. “Tidak boleh begini.” Sekarang baru aku paham. Bukan misi penyelamatan. Bukan demi aku. Ini kudeta, percobaan pembunuhan. Mereka datang untuk menghabisi Maven. Keluarga Iral, Haven, dan Laris tidak bisa memenangi pertarungan ini. Mereka kalah jumlah, tapi mereka sudah mengetahuinya. Mereka sudah siap menerima kekalahan. Keluarga Iral adalah pakar siasat dan mata-mata. Mereka piawai menjalankan rencana dengan mulus. Saat ini saja, mereka sudah melarikan diri melalui jendela-jendela yang kacanya pecah. Aku menyaksikan sambil terbengong-bengong saat mereka melemparkan diri ke angkasa, menunggangi angin kencang yang mengembuskan mereka jauh-jauh. Tidak semua berhasil kabur. Manusia cepat Nornus menangkap beberapa orang, begitu pula Pangeran Daraeus, sekalipun pisau panjang menancap ke bahunya. Aku mengasumsikan keluarga Haven juga sudah lama angkat kaki, sekalipun penglihatanku sempat menangkap satu atau dua orang yang berkelebat, masing-masing berdarah-darah, sudah sekarat, luluh lantak... Bab 11 Cameron Walaupun aku bisa saja membeku karenanya, aku ingin bertahan di Trial. Bukan karena takut, tapi untuk memberi penegasan. Aku bukan senjata untuk diperalat, lain dengan si Barrow. Tak seorang pun berhak memerintahku harus ke mana atau berbuat apa. Aku sudah bosan disuruh-suruh. Aku sudah menjalani seumur hidup seperti itu. Insting mengamanatkanku untuk jauh-jauh dari operasi Barisan Merah di Corvium, kota benteng yang menelan prajurit hidup-hidup dan memuntahkan tulang belulangnya. Masalahnya, saudaraku Morrey, yang kini hanya berjarak beberapa mil, masih terperangkap di parit. Walaupun sakti, aku tetap saja membutuhkan bantuan untuk menyelamatkannya. Dan jika ada yang kuinginkan dari Barisan tolol ini, aku harus memberi mereka imbalan. Farley sudah menggarisbawahi hal itu. Aku menyukai Farley, semakin suka padanya setelah dia minta maaf atas komentar “memanfaatkan”. Omongannya blakblakan. Dia tidak mengasihani diri sendiri, sekalipun dia berhak untuk itu. Lain dengan Cal, yang bersungut-sungut di pojokan dan menolak membantu, tapi lantas mengalah sesuka-suka... Bab 11-2 Walaupun tidak bisa bicara, Sara mempunyai cara untuk mengomunikasikan keinginannya. Dia mengetuk lututku, memaksaku menatap mata kelabunya yang mendung. Kemudian dia mengangguk dan menempelkan tangan ke atas jantungnya. Aku mengikuti gerakan itu, mengetahui maksudnya. Aku menyelaraskan pernapasanku dengan pernapasan Sara: tenang, dalam, teratur. Mekanisme penenang yang membantu menenggelamkan pikiran ruwet di dalam kepalaku. Bernapas seperti itu menjernihkan benakku, memungkinkanku untuk merasakan macam-macam yang lazimnya kuabaikan. Kemam­puanku berdengung di balik kulitku, konstan seperti biasanya, tapi kini aku membiarkan diriku mencermatinya. Bukan untuk menggunakannya, melainkan untuk mengakui kehadirannya. Kesunyian seperti ini tidaklah lazim bagiku dan aku harus membiasakan diri terhadapnya, sebab kemampuan membungkam kesaktianku sama pentingnya seperti kesaktianku sendiri. Setelah bermenit-menit bernapas dengan tenang, Sara menepukku lagi sehingga aku mendongak. Kali ini dia menunjuk dirinya sendiri. “Sara, saya sedang tidak ingin,” aku mulai memberitahunya, tapi dia menebaskan tangan ke udara. Diam, maksudnya, kentara sekali. “Saya serius. Bisa-bisa saya menyakiti Anda.” Dia mengeluarkan... Bab 12 Mare Berbulan-bulan lalu, ketika orang-orang Perak bertemperasan dari Balairung Matahari, ketakutan gara-gara Barisan Merah menyerang pesta dansa mereka yang gemilang, mereka beraksi serempak. Mereka melarikan diri sebagai satu kesatuan, menghilir sungai berturut-turut untuk berkonsolidasi di ibu kota. Sekarang situasinya lain. Maven mendepak orang-orang secara berkelompok. Aku tidak tahu detailnya, tapi aku memperhatikan jumlah mereka di istana kian hari kian menyusut. Segelintir penasihat sepuh tidak kelihatan lagi. Bendahara kerajaan, sejumlah jenderal, beberapa anggota dewan. Diberhentikan dari jabatan mereka, menurut desas-desus. Tapi, aku tahu intinya bukan itu. Mereka dekat dengan Cal, dekat dengan ayahnya. Maven terlalu pintar sehingga dia mengerti dia tidak bisa memercayai mereka. Oleh sebab itulah dia main pecat, tanpa ampun. Dia tidak membunuh mereka atau menghilangkan mereka. Dia tidak sebodoh itu karena bisa-bisa menyulut perang saudara antar-Klan Terkemuka. Tapi, langkahnya yang tegas memang berani. Maven menyapu bersih rintangan seperti pion dari papan catur. Hasilnya, perjamuan lebih mirip mulut bergigi... Bab 12-2 Aku lagi-lagi menyakiti Maven tanpa sadar. Dia menun­dukkan pandangan, ke piring kosong di depannya. Dia mengulur­kan tangan untuk mengambil gelas air, tapi lantas mengurungkan niat. Jemarinya gemetar sesaat, lalu dia menyembunyikan tangannya supaya tidak kelihatan. “Aku tidak tahu,” Maven akhirnya berkata. “Aku tidak pernah bermimpi.” Aku mendengus. “Mustahil. Bahkan untuk orang seperti dirimu.” Sesuatu yang kelam, sesuatu yang pilu, berkelebat di wajahnya. Rahangnya menegang dan lehernya bergerak-gerak, seperti hendak menelan kata-kata yang tak boleh dia ucapkan. Namun demikian, kata-kata tetap saja tertumpah dari dirinya. Tangannya muncul lagi, untuk mengetuk-ngetuk meja dengan lemah. “Aku dulu sering bermimpi buruk. Dia merampasnya dariku ketika aku masih kecil. Seperti kata Samson, ibuku piawai membedah pikiran. Dia mengiris entah bagian apa yang tidak cocok.” Pada pekan-pekan belakangan, amarah dahsyat yang berapi-api telah menggantikan kehampaan dingin yang sempat kurasakan. Tapi saat Maven berbicara, es seakan kembali menyelimuti hatiku, membekukan seluruh diriku, menjalariku seperti racun atau infeksi. Aku... Bab 13 Mare Seminggu berselang, barulah aku meninggalkan kamarku lagi. Walaupun buku-buku Julian adalah hadiah dari Maven, sebentuk pengingat akan obsesinya yang ganjil terhadapku, aku tetap bersyukur. Buku-buku itu adalah satu-satunya yang menemaniku. Satu-satunya teman di tempat ini. Aku menjaga buku-buku itu baik-baik, beserta secarik kain bordir Gisa. Berhalaman-halaman aku baca dalam hitungan hari. Aku merunut perjalanan sejarah dengan mencermati kata-kata yang kian lama kian sulit dipercaya. Tiga ratus tahun masa kepemimpinan raja-raja Calore, berabad-abad masa kekuasaan panglima-panglima Perak—inilah dunia yang aku kenali. Tapi semakin ke belakang aku membaca, situasi semakin sumir. Catatan tertulis yang mendokumentasikan masa yang dikenal dengan istilah Periode Reformasi memang langka, tapi sebagian besar cendekiawan sepakat bahwa periode itu berawal kira-kira pada 1500 Era Lama (atau EL) berdasarkan kalender Norta modern. Sebagian besar arsip yang bertanggal sebelum Reformasi, tepatnya di seputar masa Musibah Besar yang menimpa benua ini, telah hancur atau tidak terbaca pada saat ini. Arsip yang... Bab 13-2 Dia membiarkanku berpikir, memperhatikan sementara aku menekuri kondisi kami. Dia tahu petunjuk yang kupunyai masih kurang sehingga aku tidak mampu membuat kesimpulan. Walau begitu, dia membiarkanku menebak-nebak sendiri dan tidak menyampaikan penjelasan lebih lanjut. Menit demi menit berlalu dan kualihkan saja perhatianku kepada Ptolemus. Kebencianku kepadanya kian bertambah beberapa bulan terakhir ini. Dia membunuh kakakku. Dia menghilangkan Shade dari dunia ini. Dia akan berbuat serupa terhadap semua orang yang kucintai jika diberi kesempatan. Sekali ini, dia tidak mengenakan baju tempur bersisik-sisik dan alhasil terkesan lebih kecil, lebih lemah, lebih rentan. Aku mengkhayalkan alangkah asyiknya apabila aku bisa mengiris leher Ptolemus dan menodai kompartemen Maven yang baru dicat dengan darah Perak. “Ada yang menarik?” hardik Ptolemus sambil balas memelototiku. “Biarkan dia melihat,” kata Evangeline. Dia menyandar ke kursi sambil menelengkan kepala, tidak pernah memutuskan kontak mata denganku. “Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat.” “Kita lihat saja nanti,” aku balas menghardik.... Bab 13-3 Matahari turun semakin rendah sementara konvoi kendaraan meninggalkan kota ketiga yang diramaikan sorak-sorai penduduk, berarak-arak menuju jalan ke barat. Kucoba untuk menelan kesedihan yang membuncah. Utara menarik-narikku, memanggil-manggilku sekalipun aku tidak bisa menanggapi. Tempat-tempat yang kukenal kian lama kian jauh saja di belakang. Aku berusaha mencamkan arah angin dalam kepalaku. Di barat ada Jalan Besi. Jalan menuju Westlakes, Lakelands, Choke. Di barat, terdapat perang dan puing-puing. Telur dan Tri tidak memperbolehkanku banyak bergerak, maka aku harus menjulurkan leher untuk melihat. Aku menggigit bibir saat kami melalui gerbang, berusaha untuk mencermati kalau-kalau terdapat tanda atau simbol. Tapi, tidak ada pertanda khusus—cuma kisi-kisi besi yang dibelit tumbuhan rambat hijau mencolok. Aneh, padahal sekarang bukan musimnya. Kami memasuki jalan yang berpagar tanaman tak bercela, terus hingga mencapai sebuah lapangan batu luas. Sebuah griya mewah berdiri di sisi lapangan tersebut. Konvoi kami mengitari lapangan, lalu berhenti hingga kendaraan-kendaraan terparkir bersisian membentuk setengah lingkaran. Tidak... Bab 14 Mare Sebelum tertangkap, berbulan-bulan aku melintasi sepenjuru negeri untuk menghindari para pemburu yang dikerahkan Maven untuk merekrut kaum Darah Baru. Aku tidur di lantai tanah, makan apa saja yang bisa kami curi, menghabiskan jam-jam ketika aku terjaga dengan merasa kewalahan atau malah kebas, berusaha sebaik-baiknya untuk menepis semua yang menghantui kami. Berdasarkan pengalaman tersebut, aku mengerti aku payah dalam menghadapi tekanan. Aku mengurung diri dan menjaga jarak dari teman-temanku, keluargaku, semua orang yang dekat denganku. Siapa saja yang ingin membantu atau memahamiku. Tentu saja aku menyesalinya. Tentu saja aku berharap bisa kembali ke Takik, ke pelukan Cal dan Kilorn serta Farley dan Shade. Aku akan bertindak lain jika bisa. Aku akan bersikap lain. Sayang bahwa di antara kaum Perak dan Darah Baru, tak seorang pun mampu mengubah masa lalu. Kesalahanku tidak bisa diralat, dilupakan, ataupun diabaikan. Tapi, aku bisa menebus kesalahan. Aku bisa mengubah sikap. Aku sudah melihat Norta, tapi... Bab 14-2 Aku mengusap-usap wajahku dengan murka, berusaha untuk menyembunyikan emosiku. Maven tetap saja memperhatikan, ekspresinya melembut sedikit. Seolah-olah dengan begitu dia bisa membuatku merasa baikan. “Jadi, apa yang akan dilakukan oleh dua kerajaan Perak begitu mereka berhenti lempar-lemparan prajurit Merah?” desisku. “Mulai mengambili kami secara acak untuk menyuruh kami melompat ke jurang? Memilih orang lewat undian?” Maven bertopang dagu. “Masa Cal tidak pernah memberitahukan semua ini kepadamu? Aku tidak percaya. Tapi, dia memang tidak pernah menyambar kesempatan untuk mengubah keadaan, tidak juga demi kau. Barangkali dia pikir kau tidak sanggup menerima kenyataan—atau mungkin, dia pikir kau tidak mengerti—” Kepalanku menggedor kaca jendela tahan peluru. Tanganku langsung terasa pedih, tapi aku bersyukur karena bisa menikmati rasa nyeri itu, menggunakannya untuk mengusir pemikiran tentang Cal. Aku tidak boleh menceburkan diriku ke dalam lingkaran setan itu lagi, kalaupun perkataan Maven memang benar. Kalaupun Cal dulu bersedia untuk membiarkan kengerian ini berlangsung selamanya. “Jangan,” bentakku... Bab 15 Cameron Aku curiga si pangeran terasing takkan kunjung beraksi—sampai Raja Maven mulai menggelar safari penobatan terkutuk. Jelas-jelas sebuah siasat, sebuah tipu daya entah dalam rangka apa. Rutenya tepat ke arah kami. Semua orang curiga akan ada serangan. Oleh sebab itu, kami harus menyerang duluan. Cal ada benarnya. Mengambil alih benteng Corvium merupakan rencana terbaik untuk kami. Jadi, dia melakukan itu dua hari lalu. Sambil bekerja sama dengan Kolonel dan para pemberontak yang sudah berada di dalam kota benteng, Cal memimpin Barisan Merah dan para prajurit Darah Baru untuk menyerbu. Badai salju sengaja mereka panggil, untuk menyamarkan pergerakan, dan efek kejutan ternyata ampuh menyukseskan serangan. Cal tahu percuma mengajakku ikut serta. Aku menunggu saja di Rocasta bersama Farley. Kami berdua mondar-mandir di dekat radio, tidak sabar menanti kabar. Aku sempat jatuh tertidur, tapi Farley membangunkanku sebelum fajar sambil menyeringai. Kami berhasil menduduki benteng kota. Corvium sama sekali tidak mengantisipasi serangan kami.... Bab 15-2 “Jika diperintahkan, legiun dari Choke bisa melakukan mars ke sini dan sampai dalam kurun sehari. Kurang dari itu jika mereka ... dipacu.” Ada terbata saat mengucapkan kata terakhir. Dia tidak bermaksud untuk menjelaskan lebih lanjut. Aku bisa melihat saudaraku, yang secara teknis telah dibebaskan dari wajib militer berkat hukum baru Maven, justru digiring oleh para perwira Perak dan dipaksa mengarungi salju. Semata-mata untuk melawan kaumnya sendiri. “Prajurit-prajurit Merah tentu akan berpihak kepada kita,” aku membatin keras-keras, sekadar untuk melawan bayangan dalam kepalaku. “Biarkan saja Maven mengirim tentaranya. Itu justru akan meningkatkan semangat juang pasukan kita. Para prajurit akan berbalik melawan perwira mereka sendiri, sama seperti di sini.” “Dia ada benarnya—” Kolonel memulai, sekali ini sepakat denganku. Aneh benar rasanya. Namun, Farley memotong ayahnya. “Barangkali. Garnisun di Corvium telah diagitasi selama berbulan-bulan, dipanas-panasi sampai meledak menjadi rusuh seperti sekarang. Kondisi di legiun berbeda, jadi mereka belum tentu bereaksi sama seperti para... Bab 15-3 “Serdadu Perak yang berjaga di dalam sekurang-kurangnya lima puluh orang,” imbuh Farley. Dia tidak mengecilkan bahaya. Kalaupun dia ingin Harrick menyumbangkan bantuan, dia takkan menipu pria itu. “Oh,” gumam Harrick. “Waduh.” Farley mengangguk. “Terserah kau sendiri, tentu saja. Kami bisa mencari cara lain.” “Tapi yang lain mengandung risiko pertumpahan darah lebih besar.” “Betul. Ilusimu—” aku mendesak, tapi Harrick mengangkat tangannya yang gemetar. Aku bertanya-tanya apakah kemam­puannya sering goyah, sama seperti dirinya. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Aku menanti dengan tegang, tiap urat sarafku memohon-mohon agar dia mengiakan. Harrick harus memahami betapa pentingnya misi ini. Pokoknya harus. “Baiklah.” Aku harus menahan diri untuk tidak bersorak-sorai. Ini kabar bagus, tapi bukan sebuah kemenangan. Sebelum Morrey selamat, aku tidak boleh lupa diri. “Terima kasih.” Kujabat tangan Harrick yang gemetar. “Terima kasih banyak.” Dia berkedip-kedip cepat, mata cokelatnya menatap mata­ku. “Jangan berterima kasih kepadaku sampai pekerjaan kita beres.” “Benar sekali,” gumam... Bab 15-4 Pesanku tersebar cepat. Para sandera menjadi tegang. Sekalipun sebaya denganku, mereka terkesan lebih tua, sudah kuyu karena menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berlatih dan kemudian mendekam di parit. Morrey juga sama, sekalipun dia kelihatan lebih berisi daripada di rumah. Masih tak tampak di matanya, aku mengulurkan tangan dan coba-coba untuk memegang tangannya. Jemarinya serta-merta menggamitku dan mencengkeram erat-erat. Ilusi yang menjadikan kami tak kasatmata terbuyarkan. Lingkaran sandera bertambah berkat kehadiran dua tubuh. Yang lain memandangi kami sambil mengerjapkan mata, kesusahan untuk menutup-nutupi keterkejutan. “Siap-siap,” gumam Harrick. Di belakang kami, orang-orang Perak terus adu mulut di antara para korban jiwa dan sekarat. Mereka tidak menyisihkan waktu sedikit pun untuk menggubris para sandera. Harrick memicingkan mata ke dinding lengkung menara di sebelah kanan kami. Dia bernapas tersengal-sengal, udara melengking saat masuk ke hidungnya dan keluar lewat mulutnya. Harrick sepertinya sedang mengerahkan kekuatan. Sementara itu, aku turut menguatkan diri untuk menyambut serangan yang sejatinya tidak... Bab 16 Mare Aku tidak bisa melihat Corvium di balik awan yang menggelayut rendah. Aku tetap saja menatap, mataku terpaku ke cakrawala timur yang membentang di belakang kami. Barisan Merah telah menduduki kota itu. Mereka sekarang mengendalikan Corvium. Kami harus mengitari kota musuh tersebut, jauh-jauh dari sana. Maven berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menggembar-gemborkan kejadian tersebut; dia sekalipun tidak bisa menutup-nutupi kekalahan sebesar itu. Aku bertanya-tanya kabar itu akan ditanggapi seperti apa oleh seisi kerajaan. Akankah kaum Merah bersorak-sorai? Akankah kaum Perak bereaksi dengan membalas dendam? Aku teringat akan kerusuhan yang menyusul tiap kali Barisan Merah meluncurkan serangan. Tentu saja insiden itu akan berdampak luas. Pendudukan Corvium adalah pernyataan perang. Akhirnya, Barisan Merah telah menancapkan bendera yang tidak bisa dicabut begitu saja. Teman-temanku dekat sekali sehingga aku merasa bisa saja lari menghampiri mereka. Mencabut belenggu, membunuh para penjaga Arven, melompat dari kendaraan, menghilang ke keremangan kelabu, dan berlari menembus hutan yang digunduli... BAB 16-2 Seorang ratu yang sangat belia, barangkali? Tidak, paras mereka terlalu mirip. Dia pasti putri Lakelands, yang bermata seperti sang raja dan bergaun biru tak bercela yang bertabur batu permata. Rambut hitam lurusnya berkilauan, diuntai dengan mutiara dan safir. Selagi aku memperhatikan, dia menyadari tatapanku—dan balas menatap. Maven bicara duluan, alhasil membuyarkan pengamatanku. “Untuk kali pertama dalam seabad, kita ternyata sepakat.” “Betul.” Orrec mengangguk. Mahkota di atas alisnya berkilat-kilat memantulkan sinar matahari tenggelam. “Barisan Merah dan semacamnya mesti dibasmi. Dengan cepat, supaya penyakit mereka tidak menyebar lebih luas. Supaya kaum Merah di kawasan lain tidak terpikat oleh janji palsu. Saya mendengar rumor mengenai kekisruhan di Piedmont?” “Rumor, betul.” Rajaku yang berhati kelam tidak mau mengakui apa-apa melebihi yang diperlukan. “Anda tahu para pangeran seperti apa. Selalu berkelahi sendiri.” Orrec hampir-hampir menyeringai. “Benar. Para penguasa Prairie juga sama.” “Mengenai persyaratan—” “Jangan cepat-cepat, Kawan Muda. Saya ingin mengetahui kondisi rumah Anda sebelum saya... Bab 17 Mare Butuh berhari-hari untuk kembali ke Archeon. Bukan karena jaraknya, bukan juga karena raja Lakelands mengajak serta tak kurang dari seribu orang, para petinggi istana serta serdadu dan bahkan pelayan Merah, melainkan karena seisi kerajaan Norta mendadak dilanda keriaan. Ingin merayakan usainya perang dan digelarnya pernikahan tak lama lagi. Konvoi Maven yang seakan tak ada habis-habisnya mengular selambat semut di Jalan Besi dan kemudian di Jalan Kerajaan. Kaum Perak dan Merah sama-sama turun ke jalan untuk bersorak-sorai, sekaligus memohon-mohon supaya raja mereka sudi menampakkan wajah barang sekilas. Maven senantiasa memenuhi permintaan mereka, berhenti untuk menemui khalayak bersama Iris di sisinya. Walaupun kami telah dididik untuk membenci kaum Lakelander sampai ke tulang sumsum, warga Norta nyatanya membungkuk di hadapan sang putri. Iris adalah tontonan menarik dan sebentuk karunia. Semacam jembatan. Raja Orrec sekalipun menerima sambutan hangat-hangat kuku. Tepuk tangan sopan, bungkukan hormat. Musuh lama berubah menjadi sekutu sepanjang perjalanan jauh ke... Bab 17-2 Evangeline tampak kontras ketika disandingkan dengan Iris yang berpakaian sederhana. Aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan gaun logam leleh semengilap ter yang memeluk tiap lekuk tubuhnya. Evangeline tak lagi mengenakan mahkota dan tiara, tapi perhiasannya mengompensasi ketiadaan tersebut. Dia mengenakan rantai perak halus bertatahkan berlian di leher, pergelangan tangan, dan telinganya. Penampilan kakak lelakinya juga lain, tidak lagi berbaju tempur bulu seperti biasa. Siluet Ptolemus yang berdenyar masih tampak mencekam seperti lazimnya, tapi pria itu kini lebih mirip dengan ayahnya, dalam balutan baju beledu hitam tak bercela yang dihiasi seuntai rantai perak kemilau. Volo memimpin anak-anaknya, didampingi oleh seseorang yang tidak aku kenal. Tapi, aku bisa menebak siapa orang itu. Dalam sekejap, aku merasa lebih memahami Evangeline. Ibunya menakutkan bukan main. Bukan karena perempuan itu jelek. Sebaliknya, wanita itu menyeramkan saking cantiknya. Dia mewariskan mata hitam sipit dan kulit semulus porselen kepada Evangeline, tapi tidak rambut hitam... Bab 17-3 “Senang mendengar bahwa aku membuatmu geli.” Koridor berliku-liku di hadapan kami. Kiri, kanan, kanan. Cetak biru Istana Api Putih bertambah tajam dalam mata batinku. Kami melewati permadani gantung merah-hitam bergambar phoenix, yang pinggirannya berhiaskan batu permata asli. Lalu kami melalui galeri yang sarat dengan patung dan lukisan untuk menghormati Caesar Calore, raja pertama Norta. Sesudah itu, kami menuruni tangga marmer dan memasuki ruangan yang kujuluki Aula Pertempuran. Koridor panjang membentang yang diterangi oleh cahaya matahari dari jendela langit-langit, dinding kanan-kirinya didominasi oleh lukisan mahabesar yang diilhami oleh Perang Lakelander. Namun, Evangeline tidak membimbingku untuk melewati lukisan maut dan kejayaan. Yang hendak kami datangi bukanlah lantai utama istana. Sementara Evangeline menuntunku menuju kediaman keluarga kerajaan, koridor-koridor yang kami lalui semakin apik tapi kemewahannya relatif kurang menyilaukan mata. Lukisan raja, politikus, pendekar yang berbingkai emas sepuhan mengamati langkahku, sebagian besar dari mereka berambut hitam khas Calore. “Apakah Raja Maven memperbolehkanmu tetap tinggal... Bab 17-4 “Wajar kan, apalagi taruhannya adalah persoalan militer,” tukas Maven tajam. “Kaum Lakelander tidak dikenal penyabar.” Aku mendengus. “Memangnya Klan Samos lebih toleran?” Sudut bibirnya terangkat sehingga membentuk senyum miring lagi. Dia memain-mainkan gelang pembuat api, memutar lingkaran perak itu pelan-pelan di pergelangannya yang bertulang kecil-kecil. “Mereka punya kegunaan.” “Kusangka Evangeline akan menembakimu sampai kau mirip bantalan jarum.” Senyum Maven mengembang. “Jika dia membunuhku, dia akan kehilangan peluang yang dia kira dia miliki, sekecil apa pun. Bukan berarti ayahnya akan mengizinkannya membunuhku. Klan Samos tetap memiliki kekuasaan besar, sekalipun Evangeline tidak menjadi ratu. Namun, bayangkan dia bisa menjadi ratu yang seperti apa.” “Membayangkannya saja aku tidak ingin,” kataku sambil bergidik. Mahkota yang terbuat dari jarum, belati, dan silet. Didampingi oleh sang ibu yang mengenakan perhiasan ular dan sang ayah yang mengendalikan Maven seperti boneka. “Aku tidak bisa membayangkannya,” Maven mengakui. “Sungguh. Bahkan sampai saat ini, aku hanya bisa membayangkan Evangeline sebagai... Bab 18 Mare Sekali ini, aku tidak menjadi korban penyiksaan. Jika sempat, aku ingin berterima kasih kepada Iris karena sudah memperbolehkanku duduk di samping dan diabaikan begitu saja. Yang kali ini tersiksa justru Evangeline. Dia berusaha kelihatan tenang, tidak terpengaruh oleh adegan di sekeliling kami. Para pengiring pengantin yang lain berkali-kali melirik Evangeline, gadis yang semestinya mereka layani. Sungguh aku mengira bahwa kapan saja, Evangeline niscaya bergelung seperti ular ibunya dan mendesis-desis kepada tiap orang yang berani mendekat barang beberapa kaki dari kursinya yang bersepuh emas. Biar bagaimanapun, ruangan ini dulu miliknya. Ruang rekreasi telah dirombak habis-habisan oleh sang penghuni baru, sebagaimana mestinya. Pajangan biru cerah, bunga segar di air jernih, dan sejumlah air mancur yang bergemericik lembut menjadikan ruangan itu mustahil salah dikenali. Seorang putri Lakelands bertakhta di sini. Di tengah-tengah ruangan, Iris sedang dikelilingi para pelayan Merah yang menguasai seni kecantikan. Dia hanya membutuhkan sedikit bantuan. Tulang pipinya yang tinggi... Bab 18-2 Aku tidak sempat melihat sambaran petir yang berikut karena Kucing dan Semanggi keburu melemparkanku ke tanah supaya tiarap, rupanya tidak ambil pusing kalaupun gaun kami kotor. Mereka memiting pundakku, menekan otot-ototku yang ngilu dengan tangan dan kemampuan mereka. Keheningan membanjiri tubuhku, teramat cepat dan kuat sampai-sampai turut mengeluarkan udara dari paru-paruku. Aku megap-megap, berjuang untuk bernapas. Jemariku menggaruk-garuk lantai berubin, meraba-raba untuk mencari pegangan apa saja. Jika aku bisa bernapas, aku niscaya tertawa. Bukan cuma kali ini aku dipiting di Alun-Alun Caesar. Guntur kembali menggelegar, disertai sambaran petir biru terang. Dorongan Arven merambatkan keheningan ke tubuhku dan hampir-hampir membuatku muntah. “Jangan bunuh dia, Janny. Jangan!” hardik Semanggi. Janny. Nama asli Kucing. “Kepala kita bakal melayang kalau sampai dia mati.” “Bukan aku,” kataku tersengal. “Bukan aku.” Kalaupun Kucing dan Semanggi mendengar, mereka tidak menunjukkannya. Impitan mereka tak kunjung berkurang, terus-menerus merambatkan nyeri ke sekujur tubuhku. Karena tak mampu berteriak, kupaksa kepalaku... Bab 18-3 “Kau tahu apa ini.” Mana mungkin tidak? Aku kerap memimpikan kunci itu. “Akan kuberi kau tawaran.” “Silakan,” bisikku, mataku tidak pernah berpaling dari besi hitam lancip. “Akan kuberi kau apa saja.” Evangeline menyambar rahangku, memaksaku untuk memandangnya. Aku tidak pernah melihatnya seputus asa ini, bahkan di arena juga tidak. Tatapan matanya menjadi gentar, sedangkan bibir bawahnya bergetar. “Kau kehilangan kakakmu. Jangan ambil kakakku.” Amarah berkobar-kobar dalam perutku. Apa saja asal bukan itu. Karena aku kerap memimpikan Ptolemus juga. Menggorok lehernya, mengiris-irisnya, menyetrumnya. Dia membunuh Shade. Nyawa dibayar nyawa. Seorang kakak untuk seorang kakak. Jemari Evangeline menekan kulitku, kukunya mengancam hendak mengoyak dagingku. “Kalau kau berbohong, akan kubunuh kau di tempat. Kemudian akan kubunuh keluargamu.” Di suatu tempat dalam koridor-koridor istana yang berkelok-kelok, kumandang pertempuran semakin kencang. “Mare Barrow, silakan memilih. Biarkan Ptolemus hidup.” “Dia akan hidup.” “Bersumpahlah.” “Aku bersumpah.” Air mata mengumpul saat dia bergerak, dengan cepat melepaskan belenggu satu-satu.... Bab 18-4 Para serdadu Barisan Merah melompati puing-puing, untuk mengikuti Darmian. Banyak yang mendahuluinya. Menghabisi para Sentinel bukanlah misi mereka. Target mereka adalah Maven. Mereka membanjir ke dalam Balai Keuangan, bergegas-gegas melacak jejak raja yang masih segar. Selagi aku berlari ke depan, aku membiarkan kemampuanku menyambar-nyambar. Aku merasakan lampu-lampu dari aula utama Balai Keuangan, yang menjorok ke dalam batu di bawah kami. Indraku meraba kabel-kabel, kian lama kian dalam. Sesuatu yang besar sedang menongkrong di bawah, mesinnya mendengung lembut. Dia masih di sini. Onggokan marmer mudah untuk dinaiki. Aku merangkaki puing-puing sambil memfokuskan pikiran tiga puluh meter ke bawah. Ledakan granat yang berikut mengejutkanku. Ledakan tersebut mengempaskanku ke belakang beserta hawa panas. Aku jatuh berdebum dalam keadaan telentang dan megap-megap, diam-diam bersyukur atas jaket Crance. Api berkobar-kobar ke atasku, cukup dekat sehingga bisa saja membakar pipiku. Bukan granat, sebab ledakan barusan terlalu besar. Tapi bukan juga kebakaran alami, sebab kobarannya terlalu terkendali.... Bab 19 Evangeline Detak jantungku menggila gara-gara dia terlambat. Aku melawan rasa takut yang menggelegak dan justru menyalurkannya untuk mengomporiku. Menggunakan energi baru itu, kukoyak-koyak bingkai bersepuh emas yang menyangga semua potret di sepanjang koridor istana. Emas rombeng nan kemilau menyerpih-nyerpih dan terpelintir. Emas adalah logam yang lemah. Lembek. Lentur. Tidak berguna dalam pertarungan sungguhan. Kujatuhkan sobekan-sobekan emas itu. Aku tidak punya waktu ataupun tenaga untuk diboroskan pada yang lemah-lemah. Pelat-pelat rodium seputih mutiara di lengan dan tungkaiku bergetar sementara adrenalin mengucur dalam pembuluh darahku, pinggiran pelat yang secemerlang cermin beriak seperti raksa cair. Siap untuk menjadi apa pun yang kubutuhkan demi mempertahankan nyawa. Pedang, perisai, peluru. Aku tidak terancam bahaya langsung, tidak pada saat ini. Tapi jika Tolly tak kunjung datang, aku akan keluar untuk mengejarnya, padahal yang demikian sama saja seperti menantang bahaya. Dia berjanji, kataku dalam hati. Alangkah tololnya, seperti angan-angan kosong seorang anak yang luar biasa dungu. Aku... Bab 19-2 Perahu-perahu yang meluncur mulus membelah perairan tanpa suara. Laju perjalanan kami cepat. Satu-satunya rintangan adalah polusi di Kota Kelabu. Baunya menempel ke rambutku, masih membuat tubuhku mual bahkan saat kami telah menembus lingkaran kedua pohon pelindung. Wren merasakan ketidaknyamananku dan menempelkan tangan ke pergelanganku. Sentuhannya yang menyembuhkan membersihkan paru-paruku dan mengusir keletihanku. Mendorong baja mengarungi air lama-lama memang melelahkan. Ibunda mencondongkan badan ke samping perahu sambil mencelupkan tangan ke arus air Sungai Ibu Kota. Segelintir lele melompat untuk menyentuhnya, kumis mereka menyenggol jemarinya. Makhluk-makhluk berlendir itu tidak mengusik ibuku, tapi aku bergidik karena jijik. Apa pun yang mereka katakan kepada Ibunda tidak membuatnya resah—dengan kata lain, hewan-hewan itu memberitahunya bahwa tidak ada yang mengejar kami. Elang ibuku berputar-putar di atas untuk mengawasi juga. Ketika matahari terbenam, Ibunda akan menggantinya dengan kelelawar. Sesuai perkiraan, dia tidak menderita lecet barang sedikit pun, begitu pula dengan Ayahanda. Ayahku kini berdiri di haluan perahu... Bab 20 Mare Si teleporter berseragam hijau mendarat mulus dengan pijakan mantap. Sudah lama aku tidak merasakan dunia menciut dan mengabur. Kali terakhir adalah bersama Shade. Memori tentang dirinya, yang mengemuka sepersekian detik saja, mendatangkan kepedihan. Dibarengi luka-lukaku dan rasa nyeri yang membuat mual, pantas saja aku ambruk hingga berlutut. Bintik-bintik hitam menari-nari di depan mataku, terancam membesar dan membutakanku. Aku harus tetap terjaga dan tidak muntah ke ... entah ke mana. Aku baru sempat melihat logam di bawah jemariku ketika seseorang menarik dan mendekapku erat-erat. Aku bereaksi dengan berpegangan sekuat yang kubisa. “Cal,” bisikku ke telinganya, bibirku menyinggung kulitnya. Dia berbau seperti asap dan darah, panas dan keringat. Kepalaku pas sekali pada ruang di antara leher dengan pundaknya. Dia gemetar dalam pelukanku. Bahkan napasnya tersendat-sendat. Dia berpikir sama seperti aku. Ini tidak mungkin nyata. Dia memundurkan badan perlahan-lahan sambil meng­ulurkan kedua tangan untuk memegangi wajahku. Dia menelaah mataku dan memelototi tiap... Bab 20-2 Sebaliknya, Cameron justru naik darah. “Baru beberapa jam, tapi sifatmu yang sok benar sendiri sudah pulih kembali. Ini pasti rekor baru.” Kata-kata Cameron menyakitkan hati justru karena benar. Aku bergegas mengejar anak perempuan itu, didampingi oleh Cal. “Aku cuma—maaf. Kukira begitu aku kembali, semua persoalan bakalan beres.” Tangan di punggungku merembeskan kehangatan, melemas­kan otot-ototku. “Apa yang kau tahu yang tidak kami ketahui?” tanya Cal, suaranya kelewat lembut. Sebagian dari diriku ingin mengguncang-guncangkannya supaya sadar. Aku bukan boneka—bukan boneka Maven, bukan boneka siapa-siapa—dan aku telah kembali memegang kendali atas diriku sendiri. Aku tidak butuh perlakuan yang hati-hati. Tapi, bagian yang lain menikmati perlakuan yang lemah lembut. Lebih baik ini daripada pengalaman yang baru kujalani sekian lama. Aku terus melangkah dengan cepat, tapi aku memelankan suara. “Pada hari ketika Klan Iral dan lain-lain mencoba membunuh Maven, dia mengadakan perjamuan untuk dua pangeran dari Piedmont. Daraeus dan Alexandret. Mereka sebelumnya menanyaiku, tentang Barisan... Bab 21 Mare Warna cokelat dan merah teraduk-aduk di air mandi. Tanah dan darah. Ibu mengganti air dua kali, tapi darah dan tanah masih saja tersisa di rambutku. Setidak-tidaknya si penyembuh di pesawat jet telah menyembuhkan luka-lukaku yang baru, sehingga aku bisa menikmati baluran sabun dan air panas tanpa merasakan nyeri. Gisa menduduki bangku di samping bak mandi dengan pose tegak yang sudah bertahun-tahun dia sempurnakan. Entah dia bertambah cantik atau waktu enam bulan telah menumpulkan ingatanku tentang dirinya. Hidung mancung, bibir ranum, dan mata berwarna gelap nan cemerlang. Seperti mata Ibu, seperti mataku. Keluarga Barrow bermata seperti itu, kecuali Shade. Dialah satu-satunya di antara kami yang memiliki mata seperti emas cair atau madu. Diwarisi dari ibu ayahku. Mata tersebut sudah lenyap selamanya. Kutepis pemikiran tentang kakakku dan kutatap saja tangan Gisa. Tangan yang patah gara-gara kesalahanku yang bodoh. Kulit tangannya sekarang mulus, tulang-tulangnya sudah dibetulkan. Bagian yang remuk, gara-gara dipatahkan oleh... Bab 21-2 Di atas cakrawala timur, matahari memancarkan sinar terik yang menjadikan cuaca panas sekalipun masih pagi. Aku mencopot jaket tipis yang tadi kukenakan atas paksaan Ibu. Pohon-pohon rimbun berderet di jalan, menyamarkan pangkalan militer sehingga terkesan seperti perumahan kelas atas belaka. Sebagian besar rumah bata kelihatan kosong, jendela-jendelanya tertutup kerai dan gelap. Di kaki undakan depan pintu, kendaraan sudah menunggu. Sopir di balik kemudi menurunkan kacamata hitam ke mukanya sambil mengamat-amatiku. Seharusnya sudah bisa kuduga. Cal memberiku waktu untuk menghabiskan waktu bersama keluargaku, tapi dia tidak bisa menjauhkan diri lama-lama. “Kilorn,” panggilnya sambil melambai. Kilorn membalas gestur itu dengan senyuman dan sikap santai. “Sampai ketemu nanti,” kataku kepada Kilorn. “Untuk bertukar cerita.” Kilorn mengangguk. “Sip.” Walaupun yang duduk di balik kemudi adalah Cal dan dia memancingku mendekat bagaikan suar, aku berjalan pelan-pelan ke kendaraan. Di kejauhan, mesin pesawat jet menderu. Tiap langkah mengantarku untuk menjalani kembali enam bulan masa kurunganku. Jika... Bab 21-3 “Tidak akan lagi.” Davidson masih berdiri, kepalannya ditumpukan ke meja. “Betul bahwa Barisan Merah perlu menjaga kerahasiaan, tapi saya khawatir dalam perjalanan kita ke depan, main rahasia-rahasiaan justru akan lebih berakibat negatif daripada positif. Anggota kita sekarang banyak. Jika kita tidak saling tahu, bisa-bisa kita malah saling menghalangi.” Farley bergeser di kursinya. Entah dia hendak memprotes atau kursi tersebut tidak nyaman. Tapi, dia tutup mulut dan membiarkan Davidson terus melanjutkan. “Jadi, demi keterbukaan, saya berpendapat alangkah baiknya apabila Nona Barrow memaparkan masa kurungannya, sebisa mungkin, kepada semua pihak. Sesudah itu, saya akan menjawab semua pertanyaan yang mungkin ingin Anda ajukan mengenai diri saya, negara saya, dan perjalanan kita ke depan.” Dalam buku-buku sejarah Julian, tercatat ada penguasa yang dipilih alih-alih mewarisi jabatannya. Mereka meraih mahkota karena memenuhi syarat berlainan—entah karena kekuatan, kecerdasan, janji-janji palsu, atau intimidasi. Davidson adalah penguasa Republik Montfort Merdeka, yang dipilih untuk menjadi pemimpin oleh rakyatnya. Berdasarkan... Bab 21-4 Davidson berkedip pelan-pelan, matanya yang tanpa ekspresi tak terbaca. “Dia ingin menelikung kami.” “Oh,” gumamku, tercenung karena pangeran Piedmont bisa meninggal di negeri orang. “Yang lain bagaimana?” desak Kolonel. “Michael dan Charlotta. Pangeran dan putri yang hilang.” “Anak-anak Bracken,” kata Julian dengan nada kaku. Aku mendadak merasa mual. “Anda menculik anak-anaknya? Supaya dia mau bekerja sama?” “Menculik anak laki-laki dan perempuan demi memperoleh kendali atas wilayah pesisir Piedmont? Demi semua ini?” Torkins mendengus, rambutnya yang putih tampak beriak selagi dia menggeleng-gelengkan kepala. “Pertukaran yang sebanding. Pikirkan berapa banyak nyawa yang melayang andaikan kita mesti memperjuangkan tiap mil kawasan ini. Dengan mengamankan mereka berdua, Montfort dan Barisan Merah bisa mendapatkan keunggulan nyata.” Hatiku pedih saat membayangkan dua orang anak, Perak atau bukan, ditawan supaya ayah mereka berlutut. Davidson membaca sentimen itu di wajahku. “Segala kebutuhan mereka terpenuhi. Mereka dirawat baik-baik.” Di atas, lampu-lampu berkelip-kelip seperti terancam korslet. “Penjara tetap saja penjara,... Bab 22 Mare Tiap pagi bermula sama persis. Aku tidak bisa terus-menerus mendekam dalam kamar, sebab burung-burung selalu membangunkanku pagi-pagi. Justru bagus. Andai bangun kesiangan, aku takkan lari pagi, sebab suhu sudah terlalu panas. Untung juga pangkalan Piedmont menyediakan jalur yang enak untuk berolahraga lari. Tempat itu aman dan terlindung, sebab batas-batasnya dijaga oleh prajurit Montfort dan Piedmont. Prajurit dari Piedmont kesemuanya Merah, tentu saja. Davidson tahu bahwa Bracken, si pangeran antek-anteknya, sangat mungkin bersiasat secara sembunyi-sembunyi dan, oleh sebab itu, Davidson tidak memperbolehkan orang Perak anak buah Bracken masuk ke pangkalan. Malahan, aku belum berjumpa satu pun orang Perak di sini, kecuali yang sudah kukenal. Semua yang sakti adalah kaum Darah Baru alias Ardent. Jika Davidson mengajak serta kaum Perak, yang mengabdi sebagai rekan setara di Republik Montfort sebagaimana pengakuannya, aku belum bertemu seorang pun. Aku mengikat tali sepatuku kencang-kencang. Kabut bergulung-gulung di luar, menggelayut rendah di antara dinding-dinding bata. Aku... Bab 22-2 “Biasanya keluarga kami tidak keluyuran jauh-jauh dari rumah. Julian kadang-kadang bertamu, ketika dia tidak sibuk mengurung diri dalam lab. Kilorn sering datang juga. Para perawat singgah untuk membantu rehabilitasi ayahku, supaya dia terbiasa menggunakan kaki baru. Perkembangan ayahku bagus, omong-omong,” imbuhku sambil menoleh ke arah Sara, yang mendekam dengan tenang di pojokan. Sara berbinar-binar kesenangan. “Dia pandai menyembunyikan perasaan, tapi bisa kulihat dia bahagia. Sebahagia yang masih dimungkinkan.” “Aku tidak menanyakan kabar keluargamu. Aku me­nanya­kan kabarmu.” Farley menepuk bagian dalam perge­langan­ku dengan jarinya. Aku spontan berjengit, teringat akan belenggu nan membebani. “Sekali ini, kuberi kau izin untuk mengeluh dan mengasihani dirimu sendiri, Gadis Petir.” Aku mendesah. “Aku—aku tidak sanggup sendirian dalam ruangan yang pintunya terkunci. Aku tidak sanggup ....” Aku perlahan-lahan melepaskan tanganku dari genggaman Farley. “Aku tidak suka pergelanganku dipegangi atau ditutupi. Soalnya, aku jadi teringat pada belenggu yang Maven gunakan untuk menahanku. Dan aku tidak bisa melihat situasi... Bab 23 Evangeline Dia tertawa. Mahkotaku bertengger rawan di atas kepalanya yang berambut merah, baja dan berlian berkilauan di atas ikal-ikal sewarna rubi. Dengan kemampuannya, dia menjadikan berlian bekerlap-kerlip bagaikan bintang terang. Aku duduk tegak. Elane memekik ketika aku membuka tirai sehingga cahaya matahari membanjir ke dalam. Dia mengayunkan telapak tangan sehingga membesarlah bayangan jendela, mengurangi cahaya yang masuk sampai dia rasa cukup. Aku berpakaian dalam keremangan, mengenakan pakaian dalam minim hitam dan sepasang sandal berenda. Hari ini istimewa dan aku sengaja berlama-lama membentuk busana dari lembaran logam di dalam lemariku. Titanium dan baja berwarna gelap beriak di sepanjang tungkaiku. Hitam dan perak, yang memantulkan cahaya sehingga berwarna-warni cemerlang. Aku tidak butuh pelayan untuk menyempurnakan penampilanku, juga tidak menginginkan pembantu yang luntang-lantung di dalam kamarku. Aku bisa berdandan sendiri. Kucocokkan lipstik biru kehitaman dengan celak sehitam batu bara yang bertabur serbuk-serbuk kristal. Elane tidur terus selama aku berdandan, sampai aku mengambil mahkota... Bab 23-2 Si macan kumbang menggeram lagi, menyamai amarah Ibunda yang kian lama kian mendidih. Ayahanda terus saja duduk menyandar di singgasananya sambil mencermati ancaman terbuka yang merambat di sepenjuru Selasar Senja. Setelah keheningan berkepanjangan, Jerald jatuh berlutut sambil gemetaran. “Mohon maaf, Paduka. Saya salah bicara. Saya tidak berniat ....” Ucapannya melirih di balik tatapan awas sang raja, kata-katanya tersangkut di bibirnya yang penuh. “Barisan Merah takkan berakar di sini. Tak peduli kaum radikal mana saja yang mendukung mereka.” Ayahanda berbicara dengan tegas. “Tidak terbantahkan lagi bahwa kaum Merah inferior, di bawah kita. Secara biologis memang demi­kian. Alam sendiri tahu kita adalah penguasa mereka. Jika bukan, kenapa kita menjadi Perak? Kenapa kita menjadi dewa-dewi mereka, jika bukan untuk memerintah mereka?” Sepupu-sepupu Samos bersorak. “Hormat kepada raja, pengendali besi!” kembali berkumandang di ruangan. “Jika kaum Darah Baru ingin mencoba peruntungan dengan serangga-serangga remeh, silakan saja. Jika mereka ingin menampik jalan hidup kita, silakan... Bab 24 Cameron Morrey ternyata lebih keras kepala daripada sandera-sandera lain. Beberapa orang sudah percaya dalam hitungan menit. Yang lain bertahan sampai berhari-hari, bersikukuh berpegang pada dusta yang telah dicekokkan ke kepala mereka. Barisan Merah adalah gerombolan teroris. Barisan Merah jahat. Barisan Merah akan menjadikan kehidupan kalian semakin tidak enak. Raja Maven telah membebaskan kalian dari peperangan dan memerdekakan kalian dari ketertindasan. Dusta dan pelintiran yang dirajut menjadi propaganda. Aku bisa memahami apa sebabnya mereka dan sekian banyak orang Merah termakan omong kosong itu. Maven memanipulasi kaum Merah dengan memanfaatkan dahaga yang mereka rasakan. Mereka melihat seorang Perak yang bersumpah akan menyimak keluh kesah kaum tertindas, lain dengan penguasa-penguasa Perak terdahulu. Sulit untuk menolak mentah-mentah harapan seperti itu. Lagi pula, Barisan Merah bukanlah pahlawan yang bebas dari kesalahan. Mereka setidaknya adalah pejuang yang bercela, yang melawan penindasan dengan tindak kekerasan. Anak-anak anggota Legiun Belati masih saja waswas. Mereka semua hanyalah anak remaja... Bab 25 Mare Walaupun waktu yang kulalui di Takik sarat dengan keletihan dan kepedihan, aku masih menyimpan tempat khusus baginya dalam hatiku. Sekali ini, yang jelek-jelek dan yang bagus-bagus aku ingat dengan sama jelasnya. Hari-hari ketika kami kembali beserta Darah Baru yang masih hidup, yang diselamatkan dari eksekusi. Keberhasilan tersebut serasa bagai keunggulan yang nyata. Tiap wajah menjadi bukti aku tidak sendirian—dan aku bukan cuma bisa membunuh, melainkan juga menyelamatkan orang. Terkadang, hari-hari terkesan biasa saja. Terkesan pas. Yang biasa-biasa saja itulah yang sudah kuincar sejak saat itu. Pangkalan Piedmont memiliki fasilitas latihan sendiri, baik di dalam maupun di luar ruangan. Sebagian diperlengkapi untuk kebutuhan kaum Perak, sisanya untuk dipergunakan oleh para prajurit Merah dalam rangka mempelajari seni peperangan. Kolonel dan anak buahnya, yang kini berjumlah ribuan dan kian hari kian banyak saja, menduduki lapangan tembak. Kaum Darah Baru seperti Ada, yang berkesaktian kurang mematikan, berlatih bersama Kolonel dalam rangka mengasah keterampilan... Bab 25-2 Dia mengangguk, lalu mengedikkan kepala ke simbol petir di lengan bajunya. “Ya, kami seperti kau.” Bukit Badai adalah nama yang pas untuk tempat itu. Letaknya adalah di tengah-tengah sebuah lapangan di ujung pangkalan, jauh sekali dari landasan pacu. Supaya pesawat jet tidak terkena petir kesasar, tentunya. Aku memperkirakan bukit itu baru dibuat, berdasarkan tanah yang longgar di kakiku saat kami mendekati puncak. Tumbuhan juga baru tumbuh, hasil kerja penghijau atau ekuivalen Darah Barunya. Rumput di sini lebih subur daripada di lapangan latihan. Tapi, puncak bukit itu hancur lebur, didominasi oleh tanah padat gosong yang retak di mana-mana. Aroma badai petir pun menguar di sana. Lain dengan seisi pangkalan yang berlangit biru cerah, awan hitam berpusing di atas Bukit Badai. Awan badai tebal membubung ribuan kaki ke angkasa seperti kepulan asap. Aku tidak pernah melihat pemandangan seperti itu, awan hitam yang amat terkendali dan terbendung. Perempuan berambut biru yang sempat kulihat... Bab 25-3 Sewaktu di Takik, kami tidur berdampingan. Hampir tiap malam Cal berguling bolak-balik sambil berkomat-kamit dalam tidurnya. Kadang-kadang, dia malah menangis. Otot rahangnya berkedut. “Cuma sesekali. Paling banyak dua kali seminggu, seingatku.” “Tentang apa?” “Ayahku, biasanya. Kau. Pertarungan denganmu, menyak­sikan diriku berusaha untuk membunuhmu, dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyetop diriku sendiri.” Dia meregang­kan jari-jarinya dengan tatapan menerawang, seolah mengingat-ingat mimpi itu. “Aku memimpikan Maven juga. Maven kecil. Enam atau tujuh tahun.” Nama itu masih menyakitkan tulang-tulangku, padahal sudah lama aku tidak melihat dia. Maven telah melakukan siaran dan menyampaikan pengumuman beberapa kali sejak aku melarikan diri, tapi aku menolak menonton tayangan-tayangan tersebut. Kenanganku tentang dirinya sudah cukup menerorku. Cal mengetahui itu dan, untuk menghormati perasaanku, dia tidak pernah membicarakan adiknya. Sampai sekarang. Kau sendiri yang bertanya, tegurku dalam hati. Aku menggertakkan gigi, terutama agar tidak memuntahkan kata-kata yang belum kusampaikan kepada Cal. Bisa-bisa hatinya semakin pedih. Percuma memberi tahu... Bab 26 Mare Porsi latihanku bertambah dua kali lipat, alhasil menyebabkanku kecapaian setengah mati. Lebih baik begitu. Keletihan memudahkanku tidur dan menepis kekhawatiran. Tiap kali keraguan mengusik benakku, gara-gara Cal atau Piedmont atau masa depan yang tak pasti, aku terlalu capai untuk menekurinya. Aku lari dan berlatih angkat beban dengan Cal pada pagi hari, justru menikmati kesibukan itu. Setelah berbulan-bulan dibebani oleh Batu Hening, aktivitas fisik seberat apa pun terkesan enteng. Cal juga menyelipkan pelajaran teori di sela-sela olahraga lari, sekalipun aku menegaskan Ella sudah membekaliku. Cal semata-mata mengangkat bahu dan terus saja menguliahiku. Aku tidak menyebut-nyebut latihan di bawah bimbingan Ella malah lebih brutal, dirancang untuk membunuh. Cal dibesarkan untuk bertarung, tapi senantiasa didampingi oleh penyembuh kulit. Latih tanding versi Cal dan versi Ella sangat berlainan. Fokus Ella adalah pemusnahan total, sedangkan fokus Cal adalah pertahanan. Keengganan Cal membunuh kaum Perak kecuali terpaksa amat kontras dengan berjam-jam yang kuhabiskan bersama para... Bab 26-2 Reese bersikukuh. “Berlatih tanding itu ada konsekuensinya. Kita bukan kaum Perak. Kita mesti menyadari dampak kesaktian kita terhadap orang lain.” Kata-kata mengalir mulus, seperti hasil hafalan. Andaikan aku tak kesakitan setengah mati, aku niscaya setuju. Aku teringat arena tempat kaum Perak bertempur sekadar untuk hiburan, tanpa rasa takut. Aku teringat Pelatihan yang kulalui di Balairung Matahari. Penyembuh kulit selalu menanti, siap untuk menyembuhkan segala luka. Kaum Perak tidak ambil pusing kalaupun menyakiti, sebab dampaknya takkan permanen. Reese memandangi kami berdua dengan tatapan menegur. “Luka-luka mereka tidak membahayakan nyawa. Setelah 24 jam, baru mereka boleh disembuhkan. Protokolnya begitu, Warren.” “Aku lazimnya akan setuju,” Davidson berkata. Dengan langkah pasti, dia menghampiri Reese dan menatap sang Penyembuh Kulit lekat-lekat. “Tapi, sayangnya aku mem­butuhkan mereka berdua dalam keadaan prima, sekarang juga. Tolong sembuhkan mereka.” “Tapi, Pak—” “Sembuhkan mereka.” Tanah merembes ke sela-sela jemariku, menyejukkan tanganku barang sedikit sementara aku mencakar-cakar permu­ka­annya. Jika dengan begitu... Bab 27 Mare Manuver Maven ternyata bukan jebakan dan juga bukan tipuan. Gisa mengguncangkanku hingga terbangun selepas tengah malam, mata cokelatnya membelalak khawatir. Aku memberi tahu keluargaku saat makan malam. Persis seperti perkiraanku, mereka tidak senang akan keputusanku. Ibu menggarami lukaku sebisanya. Dia menangisi Shade, yang kematiannya masih menyakitkan kami semua, dan penahananku. Mengatakan betapa egois diriku. Lagi-lagi menjauhkan diriku dari mereka. Belakangan, omelan Ibu berubah menjadi permohonan maaf dan bisik-bisik tentang betapa beraninya aku. Terlalu berani, keras kepala, dan berharga, sehingga dia tidak rela melepaskanku. Ayah semata-mata mencengkeram tongkat sampai buku-buku jarinya memutih dan diam seribu bahasa. Kami berdua, Ayah dan aku, pada dasarnya sama. Kami membuat pilihan yang lantas kami kerjakan sampai tuntas, bahkan kalaupun pilihan itu keliru. Setidak-tidaknya Bree dan Tramy mengerti. Mereka tidak dipanggil untuk mengikuti misi ini. Itu saja sudah menghibur hatiku. “Cal sudah di lantai bawah,” bisik Gisa sambil memegangi pundakku dengan mantap. “Kau harus berangkat.”... Bab 27-2 Aku berbaring di tempat barang sedetik dengan otak kosong. Kupandangi saja langit yang baru saja kuarungi—dengan selamat, entah bagaimana. Kemudian Cal menyambar lenganku dan memapahku hingga berdiri, secara harfiah membangunkanku ke kenyataan. “Yang lain akan mendarat di sini, jadi kita harus menyingkir.” Cal mendorongku ke depannya dan aku pun terhuyung-huyung di air yang menggenang. “Rekan-rekan gravitron, Arezzo akan ke sini untuk mengantarkan kalian berteleportasi ke pesawat berikut. Tetaplah waspada.” “Siap,” jawab mereka serempak, menyiagakan diri untuk mengantar kloter berikut. Membayangkannya saja, aku hampir muntah. Sementara itu, Farley sedang muntah betulan ke gang, mengeluarkan entah makanan apa yang dia lahap untuk sarapan. Aku lupa Farley benci terbang, juga berteleportasi. Terjun bebas barusan tak ubahnya perpaduan terburuk kedua-duanya. Aku menghampiri Farley, kemudian merangkulnya untuk membantunya menegakkan diri. “Kau baik-baik saja?” “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Cuma mengecat dinding.” Aku melirik langit, yang masih mengguyurkan air hujan yang dingin. Kelewat dingin untuk periode sekarang, sekalipun... Bab 28 Mare Angin melolong. Embusannya menampar-nampar dinding dan kubu pertahanan, malah menyebabkan sejumlah orang terlempar dari posisi mereka. Air hujan membeku di batu, membuat pijakan kami menjadi tidak mantap. Korban pertama nyaris kehilangan nyawanya karena jatuh. Seorang prajurit Merah, anak buah Townsend. Angin menyambar jaketnya sehingga dia tertiup ke belakang di titian yang licin. Dia berteriak saat badannya terguling dari tepi, terjun bebas dari ketinggian sembilan meter—tapi kemudian terlontar ke angkasa, berkat kekuatan seorang gravitron. Sang prajurit Merah jatuh terempas di atas benteng, disertai bunyi berderak yang membuat ngilu. Kendali sang gravitron kurang memadai. Tapi, prajurit itu masih hidup sekalipun cedera. “Awas!” disuarakan dari barisan prajurit, disampaikan di antara orang-orang berseragam hijau dan merah sehingga membahana di atas benteng. Ketika angin meraung lagi, kami menguatkan diri. Aku menunduk di balik penahan logam sedingin es pada kubu pertahanan, terlindung dari terpaan angin kencang. Serangan penenun angin tidak terprediksi, lain dengan cuaca normal.... Bab 28-2 Percik-percik ungu berkelindan di sela-sela jemariku dan terajut menjadi bola cahaya nan destruktif yang berdenyut-denyut. “Dua.” Para pengebom berlutut seperti penembak jitu. Alih-alih membidikkan senjata api, mereka menggunakan tangan dan mata saja. “Satu.” Tameng biru berkedut dan kemudian terbelah dua, alhasil terbenturlah kedua lengan perkasa ke dinding disertai derak tulang nan memilukan. Kami kompak memberondongkan serangan melalui celah secara serta-merta. Petirku yang menyala-nyala menerangi kegelapan di balik celah sehingga menampakkan belasan manusia batu yang hendak membobol masuk. Banyak yang jatuh berlutut sambil menghamburkan api dan darah ke mana-mana saat para pengebom meledakkan jeroan mereka. Sebelum seorang pun sempat memulihkan diri, Davidson kembali menyegel tameng sehingga menghalau tembakan peluru bertubi-tubi dari seberang sana. Keberhasilan kami sepertinya mengagetkan pria itu. Pada dinding di atas kami, bola api teraduk-aduk dalam badai hitam, bagaikan obor di kegelapan prematur. Api Cal menyebar dan menggampar seperti pecut raksasa yang berkobar-kobar. Panas menjadikan langit tampak merah membara.... Bab 28-3 Tyton menari-nari dengan luwes, masing-masing telapak tangan memancarkan petir putih. Aku menyambarkan jejaring petir ke tanah, untuk menyebarkan energi listrik ke kaki-kaki yang berderap maju. Tubuh yang tersetrum lantas bertumpuk-tumpuk sehingga membuntu celah. Namun, para telky tinggal melambaikan tangan saja untuk melemparkan jasad-jasad itu ke badai hitam. Aku mengecap darah, tapi pergelangan tanganku hanya terasa kebas. Tanganku sekarang menjuntai loyo dan aku bersyukur dalam hati berkat adrenalin yang mencegahku merasakan tulang patah. Jalanan dan tanah berkecipak di bawah kakiku, dibasahi oleh cairan merah dan perak. Lahan becek ternyata memakan korban juga. Ketika seorang Darah Baru jatuh terpeleset, seorang nymph yang datang menyergap langsung menggelontorkan air ke hidung dan tenggorokannya. Sang Darah Baru mati di depan mataku. Seorang lagi tergolek tak bernyawa di sebelah si korban tenggelam, akar yang meliuk-liuk menyembul dari bola matanya. Tapi, hanya petir yang aku tahu. Aku tidak ingat namaku, tujuan hidupku, maksud perjuanganku. Yang penting saat... Bab 29 Evangeline Pintu menara administrasi Corvium terbuat dari kayu ek padat, tapi engsel dan pinggirannya berbahan besi. Pintu meluncur terbuka di hadapan kami, tunduk terhadap kekuatan keluarga kerajaan Samos. Kami memasuki ruang dewan dengan anggun, disaksikan sekian pasang mata sekutu. Montfort dan Barisan Merah duduk di kiri, bersahaja dalam balutan seragam hijau, sedangkan kaum Perak rekan kami duduk di kanan dengan baju berwarna-warni berlainan menurut klan. Pemimpin kedua kubu, Perdana Menteri Davidson dan Ratu Anabel, memperhatikan kami masuk sambil membisu. Anabel kini mengenakan mahkota, alhasil menandai dirinya sebagai ratu sekalipun sang raja suaminya sudah lama mangkat. Mahkota tersebut berupa ring emas tempa sewarna mawar, yang bertatahkan batu-batu permata hitam mungil. Sederhana, tapi tetap saja mencolok. Sang ratu mengetuk-ngetukkan jemarinya yang mematikan ke permukaan meja, seolah antusias memamerkan cincin kawinnya. Cincin emas sewarna mawar yang bermata permata merah menyala. Sama seperti Davidson, sang ratu berpembawaan seperti predator, tidak berkedip, tidak pernah lengah.... Bab 29-2 Cal digembleng untuk menjadi pemimpin negara dan pidato sudah tidak asing baginya. Namun, betul dia tidak seberbakat sang adik, sempat keseleo lidah beberapa kali saat dia berbicara kepada hadirin. Sayangnya, tak seorang pun tampak keberatan. “Kaum Merah menjalani seumur hidup sebagai budak, yang terbelenggu oleh takdir masing-masing. Entah itu di permukiman kumuh, di istana kita—atau di lumpur desa pinggir sungai.” Pipi Mare merona. “Saya dulu berpikir sebagaimana yang diajarkan kepada kami. Bahwa jalan hidup kita memang lumrah dan tak perlu diubah. Bahwa kaum Merah inferior. Bahwa mustahil mengubah keadaan mereka, kecuali kita menginginkan pertumpahan darah dan pengorbanan besar. Pengorbanan yang dulu saya pikir berharga terlampau mahal. Tapi, saya ternyata keliru. “Kepada Anda sekalian yang tidak setuju,” dia memelototiku dan aku sontak gemetaran, “yang meyakini bahwa diri Anda lebih baik, yang meyakini bahwa diri Anda adalah dewa-dewi, Anda keliru. Bukan karena keberadaan orang-orang seperti Gadis Petir. Bukan juga karena kita mendadak... Epilog Cal menggesekkan kedua gelangnya dengan marah, alhasil memercikkan lidah api dari pergelangannya. Tak satu pun membesar menjadi kobaran yang melalap-lalap. Percik-percik dingin dan lemah, apalagi jika dibandingkan dengan percik listrikku. Tidak berguna. Sia-sia. Aku mengikuti Cal menuruni tangga spiral menuju balkon. Kalaupun peman­dangan dari sana indah, aku tak tahu. Aku tak memiliki kapa­sitas untuk melihat apa pun selain Cal. Sekujur tubuhku gemetar karena tegang. Harapan dan rasa takut yang sama kuat bertarung di dalam hatiku. Aku melihat keduanya beradu di dalam diri Cal juga, berkilat-kilat di matanya. Badai berkecamuk dalam dua bola perunggu, menghasilkan sepasang kobaran api. “Kau sudah berjanji,” bisikku, berusaha untuk mencabik-cabiknya tanpa menggerakkan satu otot pun. Cal mondar-mandir beberapa lama, lalu akhirnya menyan­darkan punggung ke pagar balkon. Mulutnya terbuka tutup, untuk mencari-cari perkataan yang tepat. Untuk menyampaikan penjelasan apa pun. Dia bukan Maven. Dia bukan pembohong, demikianlah aku mesti mengingatkan diriku. Dia tidak mau memperlakukanmu seperti ini.... Description: ^Jadilah saksi atas tawanan ini, atas pertanda kemenangan ini! Ini dia Mare Barrow, pemimpin Barisan Merah. Seorang Pembunuh, teroris, musuh besar kerajaan kita. Dan, sekarang, dia berlutut di hadapan kita. Darahnya yang mengucur menjadi bukti akna identitasnya.^ Gadis berkekuatan petir dari Kaum Merah-Mare Barrow-tertangkap saat memberontak dan ditahan dalam sangkar cantik Kerajaan Norta. Maven, sang Raja Kaum Perak, terobsesi membalas dendam kepadanya. Dia menjadikan Mare boneka yang tak berdaya menolak perintahnya. Namun, pemberontakan belum selesai. Percobaan pembunuhan terhadap sang Raja terjadi dan perang pun berkobar. Mare diselamatkan. Kini dia harus berlatih keras untuk menyempurnakan kekuatannya demi pertarungan puncak nanti. Di tengah situasi yang semakin panas, hubungan Mare dengan Cal-Pangeran Perak yang terbuang-pun semakin dalam. Perang menjanjikan dimulainya Era Baru. Namun, benarkah semua perbedaan bisa bersatu dan perdamaian bisa tercipta? Bagaimana jika untuk mencapai itu semua, Mare harus melepaskan hal terpenting dalam hidupnya?
Title: RUMAH Category: Adult Romance Text: Prolog Bagai keharusan untuk kita menikmati setiap rasa yang sudah Tuhan beri untuk setiap manusia, karena tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan hal buruk bahkan untuk keluarga Rockefeller sekalipun. Tidak, tidak ada satupun yang terlewat apalagi hanya untuk seorang aku yang notabene-nya bukan siapa-siapa bahkan untuk orang disekelilingku. Dia, Indah ku, telah memberikan semuanya, mulai dari hal terburuk sampai dengan hal yang paling menakjubkan. Dia, Indah ku, juga telah merasakan semuanya, mulai dari ketiadaan sampai keberadaan. Dia, Indah ku, rumah ku, rumah yang pernah disinggahi orang lain, rumah yang pernah berantakan, rumah yang pernah aku tinggalkan namun rumah tetaplah rumah, aku akan tetap kembali sejauh apapun aku pergi dan sekeras apapun aku pernah diusir. Rumah tetaplah rumah, rumah akan tetap menunggu kepulanganku, rumah akan tetap hangat disaat tubuhku dingin. ZING! Aku tidak pernah tau apa itu ZING sampai akhirnya Aku mengenalmu. Tidak sampai saat dimana Aku sedang menunggu kamu di ujung gang dekat rumahmu dan Aku merasakan seperti ada kupu-kupu didalam perutku yang membuatku sangat ingin pergi ke kamar mandi detik itu juga. Dan rasa itu masih terjadi sampai sekarang setiap kali aku ingin bertemu dengan mu. ZING setiap orang mungkin berbeda-beda, ada yang seperti tersetrum kabel-kabel bertegangan tinggi yang banyak menjuntai di beberapa titik di bilangan jakarta timur, ada yang kepalanya tiba-tiba pusing dan Aku, Aku selalu ingin buang air besar setiap kali itu terjadi, dan lucunya ZING Aku dengannya itu sama, kita sama-sama ingin buang air besar. ZING mungkin tidak langsung kita ketahui pada saat itu juga, karena ZING hanyalah rasa nervous yang entah apa nanti output-nya itu hanyalah gejala-gejala yang lumrah yang sering terjadi pada setiap orang. Aku saja baru mengetahuinya setelah 2 tahun menjalani semua asam, manis dan getirnya kisah ini. ZING mungkin bisa jadi patokan match atau tidaknya kita dengan pasangan. Mungkih loh ya, bukan pasti, karena seindah dan seaneh apapun ZING yang pernah kita rasakan, semua akan sekedar menjadi fenomena jika kita tetap mendewakan ego dan sisi iblis dari diri kita. Singkat cerita, akhirnya dia pun muncul dari ujung gang dengan setengah berlari. Aku yang merasa sedikit aneh dengan tingkah lakunya pun tidak sempat untuk bertanya mengapa karena dia langsung minta bergegas untuk menjalankan motor ku. Kita pun pergi menuju tak terbatas dan melampauinya. Description: Tubuh ku gontai seketika, menatap kosong pada satu titik dan tidak berkata apa-apa. Aku hanya tau beberapa kata yang sepertinya tidak mewakilkan apapun tentang perasaanku. Kamar ini begitu oranye, terpapar sinar dari lampu gantung yang beberapa lampunya sudah tidak lagi menyala, ibarat menandakan bahwa minimnya kepekaan dan hasrat ingin merawat kamar kecil ini. "Kamu kenapa?" Ucapnya sambil menahan tubuhku yang mulai jatuh dari pelukannya. Hidungku seperti terhunus aroma cokelat tatkala dia mendekatkan bibirnya ke setiap bagian dari wajahku.Cokelat? Ya, aku hafal betul aroma lipstik matte-nya yang selalu dia gunakan. Dahinya mengkerut isyaratkan ke khawatiran yang menggebu. Peluknya semakin erat isyaratkan betapa kuat tubuh wanitanya untuk menahan beratnya sifat kekanak-kanakkan ku. Aku tegap kembali berkat kasih sayangnya. Kita dingin dikamar yang hangat. Aku semakin tidak karuan, lidahku meronta-ronta ingin mengucapkan sesuatu tapi aku takut dibilang kekanak-kanakkan. Akhirnya kutarik nafasku dalam-dalam seraya menelan semua perasaanku mentah-mentah dan akhirnya aku bisa mengucapkan 1 kalimat yang menenangkan semuanya "Selama kamu disini, Aku baik-baik saja."
Title: Romance Category: Spiritual Text: Romance life Hari ini aku mengalaminya lagi. Sosok perempuan yg aku idam²kan pergi lagi. Aku hanya berusaha untuk tidak mengulangi kesalahanku yang dlu pernah aku alami yg kurang perhatian hanya terus ngekang. Tapi aku masih salah dengan cara itu. Menerapkannya kepada dia untuk selalu perhatian dan tidak ngekang masih salah. kurang protektif? Aku tetap sabar namanya juga sebuah kehidupan kita harus tetap bangun menatap kehidupan. Jangan menyesali kebelakang karena semua itu semua pengalaman hidup. I'm fine . Begini banget rasa percintaan. Selalu gagal semoga ini terakhir aku untuk gagal. YaAllah tolong bukakan jalan mulus buat hambamu ini. Aku gak tahu tiba² kayak begitu aku sabar banget. Aku ikhlas dengan A semoga dia bahagia dengan dia. Padahal aku udah sayang sama dia. Tolong YaAllah berikan hidayah kepada dia , tolong bisikkan rasa cinta ku ini yang bener2 ikhlas menerima dia apa adanya. Description: Romance life
Title: Remember Me Category: Adult Romance Text: 1. Resya Vivalda Natal yang Indah, gemerlap lampu di setiap sudut kota seperti bintang bertaburan. Langit yang tidak terlalu cerah tapi indah. Resya Vivalda, gadis 19 tahun remaja belia yang hidupnya penuh dengan perjuangan itu sedang menikmati susu coklatnya di balkon kamarnya. Melihat keindahan Jakarta dari lantai 15. Namun di tengah acaranya menikmati kota sebuah pesan masuk. Bisa temani aku besok pukul 20.00 di Diamond Bar.Ya tentuKau jemput atau bagaimanaAku jemputDia bukan simpanan om-om atau semacamnya. Dia hanya menemani minum. Banyak teman sekolahnya yang mencibir bahwa dia wanita malam, tapi Resya adalah gadis mental baja tidak pernah diaa hiraukan semua cemooh dan cibiran itu. Dalam hidupnya hanya ada satu tujuan, yaitu uang yang banyak lalu pergi ke negara yang indah hidup sendirian hingga mati hanya itu cita-citanya. *** 2 tahun yang lalu ketika keluarganya masih ada Resya adalah gadis yang baik, segalanya dia lakukan dengan baik hingga malam itu datang, Puluhan perampok datang kerumahnya. Ayah dan adik laki-lakinya dibunuh, ibunya diperkosa dan disiksa hingga meninggal dan dia hanya bisa bersembunyi di bak cucian baju kotor, meringkuk dibawah baju-baju kotor sambil mendengarkan jeritan kesakitan orang-orang yang disayanginya. Tidak ada barang-barang yang dicuri, para perampok hanya mau membunuh keluarganya, Resya keluar dari persembunyian ketika matahari sudah datang. Sepanjang malam dia terjaga, matanya tidak ingin tertutup ingin dia menangis kala itu tapi tidak bisa. Dengan pelan dia berjalan menuju ruang keluarga, semuanya hancur. Darah dimana-mana lututnya lemas dadanya sesak. Tak kuasa menahan dirinya terjatuh duduk melihat orang-orang yang disayangi dibunuh dengan sangat kejam. Resya sakit, fisik dan batinnnya dibunuh dalam waktu sekejab bahkan airmata saja tak ingin keluar. Matanya meneliti setiap sudut ruangan hingga ia menangkap pergerakan dari mamanya, di tengah ruangan mamanya tidak mengenakan baju, tubuhnya hanya ditutupi taplak meja. Melihat mamanya bergerak Resya langsung berlari dan memegang tangan sang mama. "Jangan membalas." Ucap sang mama sembari memberikan gelang berbandul bulat dengan ukiran nama. Setelah itu mamanya pergi untuk selamanya. *** Jangan membalas.... Jangan membalas.... Jangan membalas.... Jangan membalas.... Jangan membalas.... "MAMA...!!!" Lagi-lagi Resya memimpikan malam tragis itu. Sekuat apapun Resya mencoba melupakan malam itu tetap saja tidak bisa. Resya mengambil minum ke dapur, lalu meminumnya sambil melihat apartemen mewahnya, hasil kerjanya selama 1,5 tahun. "Aku akan menemukan mu." Lirih Resya sambil memegang gelang yang dipakainya. Gelang sang perampok. Selama 2 tahun terakhir tidak pernah dia lepas gelang itu. . . . . . Untuk cerita pertama aku, mohon kritik dan sarannya ya kak. Selamat membaca :) Wednesday, May, 27th 2020 Nubqwen Description: "Jangan datang hanya karena kamu membutuhkan ku, lalu pergi setelahnya. Jangan menjadikan cintaku sebagai alasan kamu menyakitiku." - Resya Vivalda "Aku ingin menyakitimu sampai kamu memohon ampun, tapi aku tidak akan membiarkan orang lain menyentuhmu bahkan seujung rambutmu." - Jason Rain Mraz Ingin melihat kelanjutan dari mereka berdua. Yuk intip ========>
Title: REBORN : Curse Land of Dawn Category: Fantasi Text: prolog Namanya Venice Christabel. Mahasiswa semester satu Oxford University di London. Tahun ini tahun 2020. Semua orang sibuk melakukan kegiatan baru dalam hidupnya. Tahun baru saja berganti dan tepat hari ini bulan Januari tanggal satu. Mungkin bagi sebagian orang hari ini adalah hari spesial. Menyambut tahun baru dengan perasaan gembira, salju yang sudah mulai mencair menyambut musim semi yang indah di London. Tapi tidak bagi Venice. Gadis yang memiliki tubuh semampai itu tak pernah membuat hari-hari mudanya menjadi lebih baik atau menyenangkan. Akibat otaknya yang terlalu jenius atau terkadang lebih pintar dari orang-orang, ia menjadi lebih cepat bosan dan tak tahu ingin melakukan apa. Tapi, waktu ia masuk ke kamar adik laki-lakinya, melihat pemuda kecil itu sedang sibuk dengan gadgetnya, bermain dengan game online yang waktu itu sedang terkenal sekali, detik itu juga, Venice memulai petualangan yang benar-benar mengancam nyali hidupnya. Bahkan, ia nyaris tak tahu harus melakukan apa saat ia melakukan penyebrangan ke dunia Nexus itu. Dunia di mana semua orang bekerja untuk mempertahankan diri sampai tahap kemenangan. Dunia dimana Venice melihat kalau tak selamanya ia akan hidup sejenius itu. Tapi dunia dimana ia bisa melihat kalau kekuatan juga dilakukan demi mempertahankan atau mengendalikan kemenangan. Kehidupan si Gadis Jenius Siang itu saat pulang pulang kampus, Venice menaiki mobil jemputannya di depan kampus sebelum seseorang memanggil namanya dari teras parkiran. “Veni!” panggil gadis berambut panjang yang memakai mantel tebal berwarna cokelat. Kaki Venice tertahan lagi dan menoleh kearahnya dengan malas. “Aku lupa memberitahumu, besok, jangan lupa bawakan aku buku matematika yang tadi kau catat ya, kelasku membutuhkanmu besok,” Kelasnya membutuhkannya, maksudnya adalah, kelas mereka membutuhkan contekan miliknya. Ya orang jenius selalu dimanfaatkan. Venice juga tidak mau rugi, ia selalu minta bayaran untuk hasil otaknya itu. Ia bukan mahasiswa tolol yang dengan mudahnya tunduk dengan gadis famoussepertinya. Venice hanya mengangguk kecil dan tersenyum, lalu ia memasuki mobil dan mobil bergegas membelah jalanan kota. Udara masih dingin menusuk, bahkan didalam mobil mantel tebalnya masih belum membawa rasa kehangatan seperti yang seharusnya. Hidung Venice sedikit terasa membeku, ia melipat tangan di depan dada sambil matanya melihat keluar jendela pemandangan salju yang sudah menipis dari aspal hitam dan pohon-pohon. “Kita akan menjemput Venom dulu,” kata si sopir berambut cokelat tua itu. Venice tak menjawab, hanya menghela napas lelah. Menjemput atau tidak juga sama saja, semua akan terus membosankan. Tiba-tiba ada telepon masuk dari ponselnya, Venice melirik itu, dari Max, alias mantan pacarnya. Mau apa lagi dia? Dengan malas, Venice mengangkat telpon yang berdering tiga kali lalu menempelkannya ke telinga. “[Halo, Venice, kau dimana?]” katanya, dari kedengarannya Max seperti masih ada di kampus. “Dalam perjalanan pulang, ada apa?” “[Oh aku terlambat, tadinya aku ingin mengajakmu...ya! sebentar! Maaf, baiklah, kau...bersenang-senanglah!]” Telpon pun ditutup tanpa Venice mengatakan salam perjumpaan. Dalam hati, Venice lebih baik merasa seperti itu karna Max adalah pria yang sangat memanfaatkan kejeniusannya saja. Ia selalu datang kerumah untuk alasannya mengerjakan tugas bersama, tapi padahal, Venice yang mengerjakan itu, sisanya Max hanya bermain ponselnya sambil sesekali menanyakan keadaan tugasnya. Pria sialan, pikir Venice. Tapi sekarang, ia sudah tak perlu lagi memikirkan hal itu karna Max sudah jauh darinya. Walaupun tadi ia masih dikampus juga, Venice lebih baik berbosan-bosan ria di kamarnya dibanding ikut dengan Max yang banyak maunya. Hari ini tahun baru, tapi tugas masih selalu berdatangan dan hari akan selalu membosankan. *** Mungkin bagi sebagian orang, Venice dianggap sebagai anak jenius yang langka, tapi ada juga orang yang menggapnya sebagai orang aneh yang paling aneh. Yah, entah darimana juga Venice mendapat karunia itu. Padahal orangtua Venice hanya pebisnis biasa yang kerjanya menggunakan otak kiri. Skor matematika kedua orang tuanya sangat payah, tapi tingkat seni mereka sangat hebat. Kedua orang tua Venice sudah mengelola beberapa cabang toko baju yang mereka desain sendiri. Sudah hampir ada berpuluh-puluh atap toko mereka ada di sekitar London, dan sekitarnya. Brand-brand bajunya sudah tak perlu dipungkiri lagi. Selain itu, karna bakat langka itu, Venice dimasukkan ke perguruan Oxford. Awalnya Venice tidak mau, tapi karna Oxford-lah yang mengundangnya untuk mengikuti tes ujian untuk sekolah gratis, Venice melalui itu tanpa ada kata susah. Menjawab soal matematika atau sains macam itu, sambil menutup mata juga Venice sudah tahu jawabannya. Pikirannya selalu berlari cepat dan memikirkan suatu hal dengan detail. Ingatannya dengan hanya sekali membaca, ia langsung hapal dan paham. Bahkan jika diajak menghapal rumus calculus setebal apapun juga, semalam Venice mampu melakukan itu. Karna itu, dari umur 13 tahun, piala dan medali di rumah Venice semakin penuh. Medali olimpiade internasional, nasional, dan tingkat bergengsi lainnya, sudah menumpuk tak terpakai. Awalnya Venice sangat senang mendapat semua penghargaan itu, tapi sekarang? Sudah hampir lima tahun hidupnya tak berubah. Hanya menjawab soal, menghapal pelajaran, tak sengaja mengingat sesuatu kemudian mendapat pujian yang membosankan dan melakukan rutinitas yang sama saja. Bosan bosan bosan. Bahkan Max saja tak pernah membuatnya bahagia. Kau tahu, seperti kata orang, cinta membuat hidupmu akan berbeda. Huh, tidak bagi Venice. Sekalipun Max mencumbunya, Venice hanya menerima itu dan tak merasakan sebuah rasa yang mengubah hidupnya seperti yang orang normal bilang. Mungkin karna itu Max memutuskan hubungan dan berpaling kepada Erina mahasiswa dari fakultas Dokter di kampus yang cantiknya seperti model. Venice menuruni tangga menuju ruang makan, sebentar lagi makan malam. Semenit yang lalu Mom berteriak dari bawah kalau makan malam sudah siap. Baru kali ini Mom memasak lagi. Seminggu yang lalu, Mom baru saja menginap di Paris untuk melakukan pembukaan toko brand baju terbarunya disana. Venice, Veronica, kakak perempuan Venice dan Venom, adik laki-laki Venice terus-terusan memesan makanan cepat saji selama orang tua mereka tak ada. Dan sama juga, itu membosankan. Malam ini Mom memasak, siapa tahu ada hal yang masih bisa dinikmati Venice hari ini sebelum memulai hari besok yang membosankan juga. “Anak-anak, lihat Mom masak apa, sup ayam jamur dengan kuah kental! Aku yakin kalian pasti akan menyukainya,” katanya heboh sambil menaruh celemek di gantungan samping kulkas. Ruang makan lumayan luas, dindingnya berwarna kuning mewah dan lampunya terang layaknya kristal menyala diatas meja. Semua orang sudah berkumpul dan duduk siap makan makanan spesial itu. “Dad, kapan kau ke Taiwan? Katanya kau ada rencana kesana?” tanya Veronica sambil menyeruput sup hangat. Venice menyipi kuahnya. Hmm, hangat dan gurih. Sangat enak. Setidaknya pikirannya sedikit cerah dan ia bisa tersenyum sedikit. “Hmm dua hari lagi, kenapa? Kau ingin kubelikan sesuatu?” tanya Dad yang duduk di kursi tengah, di sampingnya duduk Mom yang sedang mengomeli Venom karna terus bermain gadgetnya. “Ya! Kau tahu, Jay Chou sedang mengadakan konser dan dia sedang meluncurkan beberapa brand baju dan topi yang keren-keren, aku ingin kau melihat tokonya dan membelikanku!” pekik Veronica heboh. Kakaknya selalu seperti itu jika sedang membicarakan idolanya. Entah kenapa, Jay Chou itu seperti dewanya dia. Kamarnya penuh dengan posternya dan koleksi albumnya sangat lengkap. Veronica berumur 20 tahun, dan dia penulis terkenal yang bukunya sudah terbit lebih dari lima. Karirnya boleh dibilang sangat sukses. Bahkan Venice iri dengan keseruan hidup kakak perempuannya itu. “Oh, Jay Chou lagi Jay Chou lagi, kau kan sudah punya banyak koleksinya,” “Ayolah, yang ini langka! Baru dikeluarkan malam ini tapi stoknya sudah limited edition!” Dad menoleh kearah Mom dengan mata melongo. Venice terkikik. “Sudahlah Dad, lebih baik kau belikan daripada nanti dia meminta yang aneh-aneh saat kau tak ada disini,” ujar Venice tak menoleh masih sibuk menyuapkan sup ke dalam mulutnya. Venice duduk di samping Venom. Adik kecilnya itu sedang diam-diam memainkan gadgetnya di bawah meja. Ia masih berumur 12 tahun, tapi kecintaannya terhadap game lebih besar dibanding belajar. Venice menepuk tangan bocah kecil itu. “Mom, Venom mulai lagi,” adu Venice puas. Venom mendelik kesal dan mendengus. Mom dari samping dengan kasarnya merebut gadget itu dan melemparnya ke tempat sampah. “Sekali lagi kulihat kau makan sambil bermain, aku akan menghancurkan benda itu,” tukas Mom tegas. Venom cemberut kemudian makan dengan malas. “Venice, bagaimana kampusmu, apa menyenangkan?” tanya Mom sambil menyeruput kuah. Venice meliriknya dan berkata dalam benaknya, sangat membosankan, “biasa saja,” jawabnya pendek. “Hey, seriuslah dalam kuliahmu, itu kan untuk menentukan masa depanmu juga,” kata Dad dengan nasihatnya. “Ya, jangan seperti kami, kami tidak kuliah alhasil hanya bisa menjadi desainer baju.” Venice mendelik, “kau sedang memuji diri atau merendahkan diri Mom?” suara Venice sedikit kesal mendengar itu. Mereka masih menganggap usaha mereka kurang? “Bukan begitu, jaman sekarang, kalau kau tidak kuliah, kau akan susah kerja,” ujar Mom. “Apalagi otak jeniusmu itu sangat hebat, sangat sayang untuk dilewatkan,” timpal Dad. “Aku bosan dengan otak ini, kejeniusan ini membuatku jenuh,” ujar Venice datar. “Kenapa? Bukankah orang-orang menganggapmu sebagai profesor pintar? Kau tahu, mungkin kau bisa saja mengalahkan dosenmu dengan otak seperti itu.” Venice mengangkat wajahnya dan pikirannya kembali teringat waktu di kelas tadi. Profesor Kimia di kelas praktek tadi dibuat kesal olehnya. Karna semua hasil percobaan berhasil di lakukan olehya. Pencampuran zat-zat dan cairan kimia seharusnya menjadi pelajaran tersulit tapi profesor mengesalkan itu karna Venice sudah tahu jawabannya tanpa harus mencatat semua petunjuknya. “Kau tahu, aku jadi diomeli oleh profesor karna aku tak menulis petunjuknya. Lagipula, untuk apa aku mencatat itu semua? Aku sudah menyimpannya di dalam otakku lebih dulu.” Seketika meja makan bergemuruh tawa. “Kau tahu kenapa dia marah? Karna kau sepuluh tahun lebih singkat bisa menyamai tingkat kehebatannya dengan profesor itu.” Venice berkerut, tak mengerti maksudnya, tapi ia mengumbar tawa hambarnya. “Bersyukurlah kau memiliki otak sejenius itu, kau tahu, orang-orang itu hanya iri padamu,” kata Dad. “Apalagi gadis-gadis yang pernah kulihat waktu itu, dia hanya iri dan takut bersaing denganmu,” timpal Veronica. “Ayolah, berhenti mengatakan itu, aku sudah bosan menerima kata-kata itu terus setiap kali membahas kejeniusanku yang merepotkan ini,” balas Venice dengan suara sebal. “Kenapa harus bosan selama jenius? Bukankah perhatian mereka terhadap orang jenius lebih hebat?” tambah Dad. Venice semakin menghela napas. Perkataan mereka mulai membosankan lagi. Sebentar lagi pasti Mom akan mengatakan hal yang sama di waktu yang sama juga. Venice tahu mereka hanya ingin menyemangatinya, tapi entah kenapa setiap kali mengingat waktu yang sama minggu lalu, ia selalu merasa bosan. “Oh ya, bagaimana dengan pacarmu?” sahut Veronica dengan mata lebarnya yang cantik menatap Venice dari sebrang meja. “Sudah putus,” kata Venice santai sambil menaikan kedua alisnya. “Ah, sayang, padahal tadi aku ingin bertanya padamu apa dia sudah pernah menciummu atau belum,” sahut Mom sambil memotong daging sup. Dad menoleh dengan sigap, merasa perkataan itu terlalu frontal untuk dikatakan di depan Venom yang masih anak-anak. “Sudah, dia sudah pernah menciumku,” potong Venice cepat, tanpa sadar, garpu dan sendok yang tadinya bersahut-sahut berhenti berdenting dan semua mata tertuju padanya. “Tapi aku tak tahu caranya mencium jadi aku diam saja,” lanjut Venice. Veronica nampak menggerutu sambil alisnya berkutat. Mom tercengang tapi Dad tertawa lepas. “Kenapa? Kalau kau tak membalas ciumannya, itu artinya kau tidak mencintainya,” kata Mom dengan nada prihatin yang berlebihan. Seperti ia merasa begitu iba melihat anaknya yang begitu polos dalam hal itu. “Memang begitu sepertinya, Max hanya memanfaatkanku, aku hanya terlalu jenius untuk dibohongi olehnya,” “Ha! Benarkan kataku juga! Max itu penipu, hm, aku sudah tahu dari caranya berbicara, baguslah kau memutuskannya, siapa tahu kau bisa mencari pacar yang lain,” timpal Veronica. Pikiran Venice yang tadinya berdengung-dengung tentang beberapa teori aneh yang selalu simpang siur di kepalanya mendadak berhenti dan terpaku pada kata-kata ‘pacar lain.’ Huh, apa aku bisa mencari yang lain? “Ya, benar, nikmatilah masa mudamu dengan hal-hal seru, jangan mengungkit tentang teori-teori aneh yang selalu kau bicarakan itu,” ujar Dad. Venice mendelik keras dan ingin membantah. “Aku tidak mengungkitnya, itu hanya tiba-tiba muncul dalam pikiranku dan tanpa sadar, mulutku akan mengatakan itu semua, ah...aku terkadang sebal menjadi jenius seperti ini, suka bertindak semaunya sendiri tanpa perintahku,” tutur Venice setelah mengingat-ingat lagi beberapa waktu ia di kampus suka mengatakan teori-teori yang mungkin hanya profesor yang mengerti, kemudian karna Venice mengatakan teori-teori itu, perbincangan para wanita seketika langsung bubar dan lenyap. Alias garing. “Orang jenius itu aneh, tapi karna kepintarannya dia bisa menjadi hebat,” celetuk Venom tiba-tiba. Venice menoleh cepat kearah adik laki-lakinya sambil menahan senyum. “Terimakasih telah membela orang aneh.” Venom tertawa kecil disusul ketiganya. Yah, setidaknya Venice punya keluarga ini. Ia masih bisa merasa bahagia dan merasa kehilangan seperti yang orang normal rasakan. *** Terima kasih sudah membaca, jangan lupa support penulis dengan memberi rating dan follow ya^^ cerita ini akan di update setiap dua hari sekali, jadi jangan lupa masukkan ke perpustakaan kamu ya! ^^ Victory? Setelah dua hari kepergian Dad ke Taiwan, dan Veronica memberikan list yang sebegitu panjang kepadanya untuk membeli barang-barang Jay Chou-nya, Venice dan hidupnya kembali ke tahap bosan lagi. Apalagi hari ini tidak ada kelas, ia hanya bisa menikmati pagi cerah dibalik selimut tebalnya. Hari ini musim semi, suasana terasa lebih hangat dan menyenangkan. Seharusnya. Tapi Venice, tetap tidak merasakan apa-apa. Matanya yang terpejam dan kepalanya yang masih menempel di bantal rasanya masih tak ingin beranjak dari sana. Pikirannya masih terus berdengung-dengung tentang teori-teori aneh tapi ia membiarkan itu. Lagipula, mau diapakan lagi? Tentang cahaya matahari yang menerobos jendelanya, kemudian teori tentang cuaca pagi, temperaturnya, posisi matahari yang bisa ia lihat walau hanya merasakan cahayanya, rasa asam dimulutnya dan perutnya yang sesekali keroncongan. Setiap hari pasti pikirannya mengatakan hal itu, seakan memberitahu kalau dunia hari ini keadaannya seperti ini dan blablabla... Venice harus bangun sekarang, ia benar-benar lapar dan ingin sarapan. Ia melirik jam meja, pukul setengah tujuh pagi. Astaga, ini masih terlalu pagi, kenapa ia tak bisa bangun pukul dua belas siang saja? Kau tahu, siapa tahu tidur bisa menghabiskan waktu bosannya tanpa harus di pertunjukan. Venice bangun dari tempat tidur, terduduk sebentar sambil mengamati cahaya matahari yang masuk dari jendelanya dan menguap sekali. Kemudian ia beranjak membuka pintu kamar dan beralih ke ruang makan. Hari ini Mom pergi ke luar kota. Lagi. Begitu juga Dad yang masih ada di Taiwan mengurusi brand bajunya disana, sedangkan Veronica di kampus. Kuliahnya berjalan semester lima, di kampus yang sama pula dengannya, hanya saja Veronica mengambil jurusan sastra Inggris. Rumah besar ini seketika kosong lagi. Hanya sesekali suara tukang kebun dan tukang kebersihan kotak-katik sibuk menjalankan tugas. Oh ya, Venom. Hari ini anak itu tidak sekolah karna ada rapat guru-gurunya. Kemana anak itu? Dia tidak mau makan sereal pagi bersamanya? Entahlah, Venice tidak peduli. Paling tidak, anak itu sekarang masih tidur dengan bergulat malas bersama bantal dan selimutnya. Venice membuka kotak sereal, menumpahkannya asal di mangkuk besar, kemudian menuangkan susu dari botol di kulkas, lalu membanting pintu kulkas dengan keras setelah menaruh botolnya lagi, dan beranjak kearah meja makan. Dengan langkah gontai dan rambut yang masih acak-acakkan, Venice duduk sambil menyuap dan mengecek ponselnya. Hari ini ada banyak buletin dari facebook dan twitter. Tapi kebanyakan, tentang gamer yang membicarakan game yang sedang ngehits itu. Venice memperhatikan dengan wajah datar sambil mulutnya sibuk mengunyah gumpalan sereal dan susu bersamaan. Tubuhnya masih berselimut piyama putih aura malasnya bisa terlihat masih mengelilingi tubuhnya. “Apa yang kau makan?” tiba-tiba suara cempreng anak laki-laki membuatnya menoleh ke belakang. Venom menatapi Venice yang berhenti mengunyah sambil menyirnyit. “Sereal, kenapa? Kau mau? Aku bisa buatkan untukmu,” kata Venice seraya memperhatikan Venom yang berjalan ke sampingnya dengan mata tertuju pada mangkuk serealnya. “Ada apa?” tanya Venice lagi dengan mulut penuh, sebelah tangannya masih menggegam ponsel. Venom juga sedang membawa ponsel dengan piyama tidurnya. Dengan kerutan samar bocah itu ia berucap, “itu kan sudah basi, apa masih enak?” Seketika Venice membeku, merasakan wajah Venom yang menjengkelkan dan sereal di dalam mulutnya seketika terasa tidak enak. Memang agak asam, tapi Venice membiarkan itu, ia pikir rasanya memang begitu. Tapi teori di kepalanya berputar dan merangsang jawaban yang cepat. “Paling aku sakit perut lalu kemudian aku buang air, techniclytubuh mampu mengeluarkan racun dengan cepat,” sahut Venice santai. Venom hanya melongo kemudian ia beranjak kearah kulkas mengambil puding susu yang kemarin dibuat oleh Veronica. “Kau makan puding pagi-pagi begini?” tanya Venice saat Venom dengan cueknya membawa mangkuk berisi puding itu ke meja makan. Tangannya masih sibuk menekan-nekan sesuatu di ponselnya. Sepertinya game itu lagi. “Ya, memangnya kenapa? Lebih baik makan puding daripada makan sereal basi.” “Hm, kau benar, aku ini jenius jadi mudah saja merancang obat dalam kepalaku sendiri kalau aku sakit.” “Jenius aneh,” kata Venom dengan nada anak kecil yang menyebalkan. Venice menghiraukan itu. Anak kecil memang selalu menyebalkan, bukan? Tapi disitu tingkat perkembangannya. Masih sambi menyuap, samar-samar dengan kedatangan Venom, suara di ruang makan seketika bergemuruh dengan suara game dari ponselnya. Hampir beberapa menit pudingnya dibiarkan sedangkan tangan dan matanya tertuju pada game itu. Venice mengamati dengan wajah acuh tak acuh. “Akan kuadukan pada Mom kalau kau terus seperti itu,” tukas Venice. Venom menghiraukannya, ia terlalu serius. Tiba-tiba terdengar suara dari game itu berkata, ‘Victory!’ setelah itu Venom berteriak gembira sambil meloncat-loncat dikursinya. Venice memperhatikan dengan kerut samar. “Sebetulnya game tengik apa sih, yang kau mainkan terus...” dengan kasar Venice merebutnya dari sebrang meja, Venom masih bergelumat senyum sumringah yang sangat bahagia. “Aku menang! Aku menang master tiga!” katanya sambil girang. Entahlah, Venice tak mengerti dan tapi saat ia mengecek game itu dari ponsel Venom, permainan itu ternyata tentang perang. Tunggu. Perang yang berbeda. Itu semacam orang-orang yang saling menghancurkan pertahanan kemudian saling membunuh demi mendapat kemenangan di benteng lawan. Ah, Venice tahu permainan itu. Permainan strategi yang menggunakan kekuatan-kekuatan yang berasal dari magic. Setelah diingat lagi, ternyata ini permainan yang tadi sedang ramai di buletin. Nampaknya memang seru. Pemain bisa memilih orang untuk menghajar lawannya, setiap orang tergantung kekuatannya. Dan tampilang orang-orang di game itu cukup keren. “Kau tak akan bsia mengalahkanku, Venice! Aku sudah master tiga!” sahut Venom dengan nada suara belagu. Ia menyuapkan puding, Venice hanya meringis. “Lagi pula ini hanya permainan, apa gunanya untuk hidupmu!” Venice melempar ponsel itu ke sebrang Venom. “Ini bukan sembarang permainan, kau harus memikirkan strategi yang pas untuk melakukan penyerangan, dan ini membutuhkan kerja tim. Bukan dengan otak jeniusmu itu!” ujar Venom tak mau kalah. “Oh ya? Coba kubuktikan, lihat saja nanti aku akan memainkannya, permainan strategi itu mudah, kau pancing kiri kemudian satu orang lari kearah lainnya dan kemudian menang!” kata Venice sedikit menggebu. Venom terdiam sebentar, terlihat sedang mencermati kata-katanya. “Kau ada benarnya, tapi, tetap saja kau tak bisa sendirian, kau butuh teman untuk menghancurkan tiap lawan, dan kau juga tak akan tahu sekuat apa lawanmu nanti,” ujar Venom seketika melupakan gadgetnya dan menyuap puding sesendok lagi. Venice hanya mencibir. Hmph, itukan hanya permainan, mana mungkin otak jeniusnya kalah dengan hal macam itu? *** Venice membuka ponselnya dikamar, kemudian mengetuk layanan toko aplikasi dan mendownload game yang Venom katakan. League of Legend. Ratingnya cukup tinggi dan grafiknya sangat bagus untuk dimainkan di ponsel. Venice menunggu beberapa menit sampai download-anya penuh di meja belajarnya, sembari itu, ia mengecek ponsel yang satu lagi. Ada sebuah pesan masuk. Dari Max. Astaga, mau apa lagi dia? Venice menyentuh layar sentuhnya dengan malas sambil menghela napas. Pesannya berisi: Hai Venice, bisakkah aku kerumahmu sekarang? Aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan tugas calculusku. Max adalah mahasiswa fakultas mesin, sedangkan Venice fakultas sipil. Keduanya terkadang bertukar materi, tapi kali ini Venice akan menolaknya keras. Maaf Max, tapi aku sedang diluar kota, aku sedang bersama Dad. Dengan cepat pesan langsung terkirim dan seketika ia melupakan Max, sibuk memperhatikan permainan yang sudah terunduh itu yang dengan sendirinya mem-patch data-datanya. Sebetulnya, Venice tidak ingin benar-benar bermain. Ia lebih suka membaca atau mengerjakan sesuatu yang mengasak otaknya yang suka terasa panas jika tidak digunakan. Tapi kali ini, ia hanya ingin membuktikan ke adik kecilnya itu kalau ia bisa menaklukan permainan anak kecil itu dengan otak jeniusnya. Dan pasti Venice mampu melakukannya. Setelah terpasang dengan sempurna, Venice memulai permainan. Pertama-tama ia menunggu loading beberapa menit, kemudian papan permainan terbuka. Dari layar ponselnya terdapat tempat medan perang, di sampingnya ada beberapa event dan obrolan online sesama pemain. Kemudian ada beberapa tombol lagi yang mengarah pada petarung, kemampuannya, skil, dan toko atau tas. Venice mempelajarinya satu-satu, dan tanpa sengaja menghapal tiap petunjuk yang sesekali suka muncul di tengah layarnya. Setelah dipelajari, ternyata, petarung disini dinamakan hero. Orang yang digunakan untuk mempertahankan tiap benteng atau menghancurkan benteng lawan sampai menuju kemenangan. Tampilan animasi yang bagu serta suara-suara dari permainannya semakin menambah kesan seru dan hebat. Tanpa sadar, hanya melihat tampilannya saja, Venice mulai tertarik untuk memainkannya. *** “Venom! Kau adik yang sangat buruk! Kenapa kau tak mengajariku dulu bagaimana cara menyerang!?” gerutu Venice yang sedang tiduran telungkup di kasur adik kecilnya. Disampingnya Venom terkikik kecil meremehkan kakak jeniusnya. Sudah beberapa jam yang lalu, semenjak Venice memainkan demo sampai pertandingan perang yang sebetulnya, ia tak pernah menang atau mencetak kata ‘victory’ itu. Semakin lama Venice bermain, semakin jengkel perasaannya terhadap permainan itu. Itu kan hanya permainan strategi, mana bisa otak jeniusnya kalah oleh permainan macam itu? Ditambah Venice harus selalu menerima tawaran Venom untuk melawan timnya di medan permainan, tentu saja Venice selalu dibunuh dan mati, bahkan ia tak sempat balik membunuh musuh. Venice bukan kesal, ia hanya jengkel. “Aku master satu kak! Sudah kubilang, otak jeniusmu tak akan berguna disini. Permainan ini membutuhkan kerja sama dan pikiran yang bercabang-cabang!” jelas Venom, suaranya terdengar seperti orang yang sudah berpengalaman sekali di bidangnya. Venice mencibir kemudian ia bangkit dari kasur setelah battle field berakhir. “Kau mau kemana kak?” sergah Venom ketika melihatnya berdiri dan beranjak ke ambang pintu sambil membawa ponselnya. “Lapar, ini sudah pukul tiga sore, kita melewatkan makan siang hanya karna permainan ini, tahu?” kemudian Venice berbalik dan melanjutkan langkahnya. Saat Venice menuruni tangga, tiba-tiba pintu rumah di depan terbuka lebar, seseorang memasuki rumah. Venice menoleh dan mendapati Veronica yang kerepotan membawa beberapa barang. Nampaknya itu seperti barang titipannya dari Dad. “Apa itu?” tanya Venice sambil menaikan alis. Wajah Veronica tertutup kardus yang dibawanya dan beberapa kantong plastik yang digenggamnya. Dengan lutut sedikit menekuk karna agak berat membawa kardus itu, gadis itu segera menaruhnya di sofa ruang tamu sambil mendesah lelah. Venice menghampiri kakak perempuannya dan mengamati isi kardus dan kantong plastik. Ada beberapa stiklight bertuliskan ‘The Invincible World Tour Concert’ dan ada action figure sang idola, dan beberapa tempat minum dan belanjaan untuk makan malam. Veronica sedang membuka kotak kardus dengan mata berkilat-kilat, seakan tak sabar melihat isinya. Setelah ia menggunting solatipnya dan membuka kardus, tangannya langsung meraih benda-benda yang ada di dalamnya dengan perasaan puas. “Aha! Astaga, oh...ini sangat bagus! Ini limited edition, kau tahu! Ah, aku sangat beruntung Dad sedang di Taiwan,” pekik Veronica ketika mengeluarkan beberapa potong baju, jaket dan topi keluaran official dari pihak sang idola. Wah, memang bagus, tapi tetap saja itu hal biasa menurut Venice. “Kau membeli itu semua dari tokonya?” tanya Venice lagi masih mengamati Veronica yang menciumi baju dan jaket-jaket itu dengan perasaan berbunga-bunga. “Ya, tentu saja,” jawabnya pendek. Venice menggeleng sambil berlalu ke ruang makan. “Kau boros sekali.” *** Malam sudah membentang. Pukul sepuluh lewat. Seharusnya besok Venice ada kelas, tapi entah kenapa, karna game itu, ia masih saja terus-terus-an kalah sehingga membuatnya ingin main lagi dan lagi. Veronica sedang bermain ponselnya diatas ranjangnya sambil tersenyum-senyum, nampaknya ia sedang memamerkan barang-barang baru yang ia dapatkan itu di sosial media. Venice sedang tiduran telungkup dan baru saja ia kalah lagi. Yang kedua puluh kali. Astaga, memalukan sekali, pikir Venice. “Kak, apa kau tahu permainan ini?” tanya Venice membuyarkan Veronica sebentar. “Apa?” “Ini,” ujar Venice sambil memutar ponselnya dan menampikan tampilan serba animasi itu kepadanya. Dengan gerak cepat Veronica mengangguk. “Tentu saja, di permainan aslinya, Jay Chou sempat membuat lagu untuk permainan itu, biasalah, dia itu ambassador game itu, jadi pihak game menyuruhnya membuat lagu dan...” “Tunggu,” potong Venice cepat, “aku sedang tidak membicarakan Jay Chou, bisa tidak kau melupakan pria itu sedetik saja?” mata Venice terbuka setengah agak sebal jika kakaknya mulai membicarakan idolanya itu lagi. “Oh, okay-okay maafkan aku, dia terlalu banyak ambil andil jadi selalu saja ada hal yang menyangkut tentangnya,” katanya sambil terkekeh. Venice memutar bola matanya dan menghela napas kecil. “Jadi, kau permah memainkan ini?” tanya Venice dari sebrang ranjangnya. Ranjang Venice dan Veronica terpisah tapi jaraknya hanya dipisahkan oleh meja lampu di tengahnya. “Pernah, aku sudah Master dua,” jawabnya pendek dengan mata tertuju pada ponselnya. “Apa? Master?” “Ya, kenapa?” tanya Veronica memastikan. Venice menghela napas keras-keras kemudian berguling diatas kasur dengan lemah. “Apa hanya aku yang masih warrior satu?” katanya pasrah. Terdengar suara Veronica tertawa. Jadi dalam tahap permainan itu, setiap battle ada masing-masing tingkatan. Master satu adalah tingkat yang paling tinggi dan sudah pasti tingkat kesulitan dan pertahannya sudah sangat hebat. Sedangkan warrior satu adalah tingkat paling bawah, alias tingkat pemula yang terhitung masih payah. Walaupun Venice sudah membeli hero yang paling hebat, tapi tetap saja, skor Venice tak berubah-berubah. Ia memejamkan mata, menelan semua rasa malunya terhadap permainan itu. “Yang benar saja? Kau kan jenius, mana bisa kalah di battle field?” jawab Veronica dengan suara sedikit remeh. “Hmph, kalau bukan Venom yang menantangiku permainan ini, aku tak akan menyentuhnya, tapi, lihat saja sekarang, aku malah jadi terobsesi untuk memenangkan satu battle!” ponsel Venice sudah mati, ia sudah agak lelah memainkan itu, jadi ia memejamkan matanya, dan tanpa sadar, karna kelelahannya terhadap permainan itu, ia sedikit mengantuk. “Bersabarlah, menjadi hero itu memang agak sulit, kau harus menempuh prosesnya,” tanpa sadar, kata-kata Veronica sudah menjadi samar-samar masuk ke dalam mimpi Venice yang baru saja dimulai. Dan ia benar-benar terlelap. *** Venice membuka mata. Samar-samar, kegelapan menyelubungi pandangannya, dan kabut masih menutupi pandangannya. Ruang kamar sudah gelap. Hanya ada lampu depan yang sesekali masuk menembus ke jendela yang tidak tertutup tirai. Suasana sudah sangat sepi. Venice melirik kesamping, ke tempat tidur Veronica. Kakak perempuannya sudah tidur ternyata. Pukul berapa ini? Venice berusaha bangkit dari posisi tidurannya yang asal kemudian membenarkan posisinya hendak melihat kearah jam. Tapi saat matanya melirik kearah jam dinding, ia melihat seseorang di depannya. Astaga, Venice nyaris saja terpekik. Karna matanya masih agak buram, ia tak bisa memastikan itu apa atau siapa. Tapi sepintas, saat ia melihat wajahnya, entah kenapa pikirannya terhenti pada salah satu hero di permainan yang tadi ia mainkan itu. Kalau tidak salah sebut, wanita yang sepintas tadi ia lihat di depannya adalah hero Miya. Venice mengucek-ngucek matanya sampai kembali jernih, kemudian melihat lagi ke depan dengan mata yang sudah bersih. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Astaga, paling ini hanya pikiran jeniusnya yang suka mengelabuhinya jika ia sedang tidak fokus. Terkadang, otak jeniusnya bisa menjadi berbahaya jika sedang tidak fokus dan Venice menyadari itu kalau ia harus berhati-hati. Walaupun sosok wanita yang berdiri di depannya tadi sedikit terasa nyata, tapi Venice tetap menghiraukan hal itu. Pasti ini karna ia terlalu terobsesi pada game sehingga sampai terbawa mimpi. Venice melirik ponselnya yang tergeletak di ujung ranjang, lalu meraihnya dan membuka permainan itu lagi. Sambil menunggu loading, Venice bangkit dari ranjang dan beranjak ke meja belajar. Kamar sudah gelap, tapi Venice sudah tahu langkah-langkah pastinya. Permainan dimulai. Venice menunggu ruang match up, menunggu seseorang yang sedang online juga untuk menjadi satu tim, kemudian menunggu tim lawan, dan sebentar...tim Venice sudah match. Tampilan berubah ke layar pemilihan hero untuk battle. Venice biasanya menggunakan hero Layla, yaitu penembak laser yang jitu. Setelah itu teman-teman tim lainnya juga ikut memilih hero masing-masing dan menunggu loading lagi untuk sampai ke medan pertarungan. Venice memperhatikan hero lawan. Sebagian wajahnya yang gelap terkena cahaya dari ponselnya. Matanya tak berkedip, benar-benar tak sabar untuk menembak tiap hero lawan dan megnhancurkan pertahanan. Venice benar-benar ingin menang, sekali saja, ia sangat ingin merasakan kemenangan itu. Permainan dimulai. Masing-masing hero sudah maju kearah pertahanan dan berjaga-jaga ditiap pertahanan. Ada tiga jalur dan masing-masing jalur terdapat pertahanan, dan setiap pertahanan terdapat hero untuk mempertahankan pertahanan itu dari serangan lawan. Hero Venice masih melaju, kemudian beberapa menit, permainan menjadi panas. Di jalur tengah aksi dari hero lawan begitu hebat, ada penembak dan petarung, tapi penjaga pertahanan hanya satu, dan itu hanya penembak, sudah pasti lemah. Tapi tiba-tiba hero dari berbagai jalur datang dan dengan sekali pancingan hero musuh terkepung dan akhirnya dengan kemampuan masing-masing hero, hero lawan mati dan salah satunya, Venice berhasil menghancurkan satu pertahanan lawan. Begitu terus sampai empat belas menit kemudian. Venice sempat terjebak diantara kepungan penembak, dan dua petarung, Venice sudah bisa membaca, sebentar lagi nyawanya akan menyurut dan sebentar lagi ia akan mati dan menunggu waktu bangkit. Tapi ternyata, tanpa sepengetahuannya, permainan tiba-tiba berhenti dan tampilan kamera bergeser cepat kearah benteng lawan diujung sana, dan seketika pertahanan utama lawan hancur dan kata-kata ‘victory’ seketika terdengar. “Victory!” kata permainan, kemudian tertampiklah gambar dan tulisan itu diatas sebuah perisai biru yang bersayap emas. Detik itu juga Venice hampir melempar ponselnya dan berteriak kegirangan, tapi Venice ingat Veronica sedang tidur, dan ia tidak ingin membangunkannya. Jadi Venice menahan rasa itu dan sebagai gantinya ia mengepalkan tangan dan menggerak-gerakkannya keatas sambil berbisik ‘yes, yes.’ Ternyata, waktu tangannya mengepal keatas dan tak sengaja menyenggol sebuah pajangan diatas lemari meja belajarnya, Venice terhenti dan sedikit membuat gertakan kecil dilantai. Benda itu jatuh dan sedikit berguling. Venice meraih benda itu dan hendak menaruhnya lagi di tempatnya. Tapi saat ia hendak menaruh benda itu lagi, ia baru sadar, kalau benda itu ternyata sebuah action figure perisai biru dengan sayap emas yang tengahnya terdapat tulisan ‘victory’ yang sangat sama dengan yang tertampik dilayar ponselnya. Venice melirik kesamaan itu bergantian dan merasa ada keanehan. “Victory? Sejak kapan ada disitu?” gumamnya sambil menaikan alis memperhatikan persamaan keduanya. Venice menoleh kearah Veronica hendak bertanya apakah itu salah satu barang yang tadi ia beli juga atau bukan. Karna tentu saja bentuk dan modelnya sama persis seperti yang dipermainan. “Victory,” bisik Venice dengan sedikit tersenyum setelah ia teringat lagi ia baru saja menyelesaikan battle dengan jabatan warrior dua. Wah, Venice sedikit puas malam ini. Tapi, sewaktu Venice merasakan senyumnya tertahan lama, tanpa sengaja atau memang terjadi, patung action figure itu menyala sebentar dan redup lagi. Huh? Venice melirik jam dinding. Pukul satu pagi. Pasti otaknya sudah bekerja aneh-aneh lagi. Seharusnya di jam segini, otaknya mencerna mimpi-mimpi Venice kemudian dijadikan sebagai hiburan malamnya. Lebih baik Venice segera tidur sekarang karna ia benar-benar merasa seperti diawasi setelah beberapa detik ia menaruh benda itu lagi ke tempat asalnya kemudian beranjak ke kasur menaruh tubuhnya di balik selimut dengan cepat. *** NOTE: Mohon maaf, part selanjutnya ada di bagian akhir cerita yaa. Ter-skip satu part, krn tidak bisa di rombak, jadi saya taruh di akhir cerita. Mohon maaf sekali lagi, terima kasih🙏 Runettra Sudah beberapa menit setelah ia menutup pintu dan terduduk di tepi ranjang tanpa gemingan. Kepalanya tiba-tiba terasa hening begitu saja, kemudian sedetik, bayang-bayang wajah Venom ketika di ruang makan, bermain permainan itu, kemudian kilasan waktu Mom dan Dad sedang duduk di ruang makan, membicarakan otak jeniusnya yang aneh, dan Veronica yang sibuk dengan barang-barang barunya, sampai saat dimana Venice kegirangan karna menang permainan itu dan melihat kilasan cahaya yang menyala pada action figure yang ia temukan di meja belajarnya. Semua saling terhubung hingga otak jeniusnya berhenti pada waktu ia tertidur menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut malam itu, lalu saat ia membuka mata, ia sudah disini. Di antah berantah yang masih terasa seperti tidak nyata. Tapi Venice tetap harus mengiyakan kalau ini benar-benar kenyataan dan suasana ini benar adanya. Ini bukan permainan otak jeniusnya, tapi ini kenyataan yang sangat sulit untuk diterima manusia normal sepertinya. Eh, normal? Tunggu, sepertinya kurang tepat. Manusia jeniusnya, lebih tepatnya. Venice mengucek-ngucek matanya yang loyo, kemudian teringat akan energi yang tersalur dari mulut Yun Zhao ke dalam tubuhnya. Energi apa itu sebenarnya? Dan kenapa setelah Yun Zhao menciumnya, rasa tubuhnya sekarang menjadi lebih berbeda? Apa yang Yun Zhao lakukan sebetulnya? Apa yang terjadi sebetulnya? Tidak bisa. Ia harus menghentikan otak jeniusnya yang terus-terusan berbicara. Ia pusing, ia butuh istirahat. Kemudian beberapa detik, Venice kembali tersadar kalau ia sedang duduk di kamar istana itu. Istana para hero Mobile Legend. Kamar berdinding batu besar, layaknya kamar rapunzel dengan bentuk jendela yang sedang tanpa kaca, menampikan pemandangan langit dan suasana hutan dibawah sana. Langit kelam dan hitam, seolah-olah langit memang tetap seperti itu, tak akan berubah dan selamanya tak akan ada matahari. Angin sesekali memasuki ruangan, membuat Venice sedikit bernapas. Ha, lucu sekali jika disadari. Itu artinya Venice ada di dalam permainan yang sedang Venom mainkan, begitu? Lalu, akan ada hero terbaru dan koleksi baru untuk Venom? Benar-benar lucu. Masih susah untuk masuk akal pemikiran jenius Venice untuk saat ini. Tiba-tiba dari ambang pintu, seseorang mengetuk pintu dan membukanya. Venice menoleh dan mendapati Miya melongokan kepalanya sambil membawa sebuah nampan berisi kue-kue kecil. Ia tersenyum dan bertanya apakah boleh masuk, lalu dengan cepat Venice mengangguk dan melupakan pertanyaannya sejenak. Satu hal yang Venice suka dari Miya. Dia cantik dan selalu membawa busur panahan ajaibnya itu. Pakaian Miya sangat aneh, tapi kain-kain itu hanya menutupi dada, panggul, betis keatas, dan lengan. Terbuka tapi sangat bagus dan pas untuknya. Miya menaruh nampan di atas meja yang ada di ujung kamar. “Aku membawa beberapa kue kecil, yah, ini memang hanya kudapan kecil, tapi kuharap kau menyukainya,” katanya sambil berbalik menatap Venice. Venice bangkit dan melihat kue-kue yang dibawa Miya. Sejauh ini, kue-kue itu layaknya brownies, cupcake dengan beraneka rasa dan mini tart. Semua nampak normal seperti makanan kudapan sehari-hari di dunia nyata. “Sepertinya enak,” Venice mengambil salah satu cupcake dan mencobanya, kemudian dengan mulut yang lebar ia melahap satu kue sekaligus dan berdeham-deham. “Ini enak sekali,” kata Venice dengan mulut penuh kue. Miya terkikik kecil. “Itu kue yang kami buat dari pohon cokelat di hutan sana dan mencampurya dengan sedikit sihir untuk pemanis buatan,” kata Miya yang menghentikan alur langkah kunyahan Venice. “Apa? Sihir?” tanya Venice menatapi Miya dengan beribu kerutan lagi. “Ya, oh ya, kau ingin bertanya apa? Aku yakin kau pasti sangat bingung untuk saat ini.” Venice menelan kue dan mulai berucap ringan, “aku tak tahu harus mulai dari mana tapi.. bisakah kau menjelaskan kenapa aku bisa disini?” Miya beralih ke kasur dan duduk di tepiannya. Venice membututi dan tetap berdiri menanti jawaban. "Ini akan menjadi cerita yang panjang." "Aku tahu." "Mungkin bagi beberapa makhluk, manusia adalah wujud yang paling sulit menerima ini semua. Aku adalah keturunan elf, Yun Zhao adalah ksatria di Negaranya, kami memiliki keturunan dari gen yang beragam, termasuk gen manusia. Di Runettra, hanya ada kau, dan Gusion." "Gusion?" tanya Venice. "Dia adalah hero dari Nexus Timur. Musuh kita. Bedanya, dia sudah diperkenalkan sihir sejak kecil. Sedangkan kau, lahir dan turun ke bumi," kata Miya sambil melepaskan tas busurnya dan meletakkannya di atas meja. Busur-busur yang seperti terbuat dari es itu berkilau ketika berbenturan dengan meja. Venice duduk kembali di sebelah Miya. "Lalu?" "Nenek moyangmu adalah Dewi Galaksi. Pemilik langit dan angkasa. Kau tahu kenapa otakmu sejenius itu?" Yang diajak bicara hanya menggeleng takjub. "Karena kekuatan itu turun ke otakmu. Sihir itu lahir dari dalam sana. Karena tinggal di bumi, kau jadi tidak mengetahui sihir dan cahaya dari dirimu tidur di dalam hatimu." "Cahaya apa?" tanya Venice lagi, semakin tidak mengerti. Keningnya tak berhenti berkerut. "Cahaya kehidupan yang diberikan nenek moyangmu. Cahaya sihir itu." "Jadi kalian semua memiliki cahaya itu?" "Ya. Cahayamu yang tertidur itu butuh pancingan dari cahaya yang lebih besar. Maka itu, Yun Zhao putra dari The Great Dragon yang melakukannya." Miya menjelaskan dengan sabar. Seketika Venice kembali teringat pertanyaan yang tadi pria itu lontarkan. Tiba-tiba Venice merasa berhutang budi. "Apakah, ada resiko dari cahaya yang diturunkan olehnya kepadaku?" Miya mengangkat bahu, "aku tidak yakin. Tapi kurasa, sebagian energi Yun Zhao jadi tinggal dengan cahayamu. Alias, kau mendapat sebagian kekuatan Yun Zhao." "Apa?" Senyum Miya agak miring, ia menatap Venice yang terkejut. "Tenang saja. Sekarang, yang perlu kita lakukan adalah mengasah skill mu." "Tunggu. Jadi, untuk apa aku mengasah skill ku? Untuk apa semua ini terjadi? Kenapa aku harus turun di Nexus Barat dan kenapa sebuah action figure bisa membuatku masuk ke … Sini?" Tangan Venice tidak berhenti berayun, bertanya penuh tekanan. Miya hanya tersenyum lembut. "Kau tahu, terkadang, kalau terlalu banyak informasi, kau akan semakin ketakutan. Pengaruh sihirmu sudah mulai bekerja. Dan di sini tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita semua adalah hero. Yang memiliki beragam skill dan sihir. Kami Nexus Barat harus mempertahankan wilayah kami dengan Nexus Timur agar Lord Land of Dawn tidak menghancurkan Runettra." "Apa maksudnya? Apa itu Lord Land of Dawn?" "Bumi yang kita miliki ini adalah Land of Dawn. Dan negrinya adalah Runettra. Tanah peperangan ini dibentuk oleh Lord. Dia adalah pencipta Nexusos dan Nexusis. Dua kembar roh yang sama sama memiliki kekuatan putih dan hitam. Mereka sama-sama mewujudkan peperangan yang kuat, untuk membuktikan tanah siapa yang lebih besar dan kuat. Apa kau terlalu banyak informasi sekarang?" Miya memandang Venice yang menganga. Ia menggeleng keras, lalu menyentuh kepalanya terasa pusing. "Sudah kubilang apa.." ujar Miya agak meringis. "Bukan. Aku hanya.. tidak percaya kalau semuanya sejelas ini.." mata Venice membayang ke langit-langit kamar. Susunan batu dan kayu menjadi kekuatan konstruksi bangunan ini. Mereka bertumpu dengan pondasinya yang cukup dalam, pasti. Venice menggeleng, otak jeniusnya mulai bekerja. "Aku tahu ini akan sangat sulit. Tapi, aku yakin, takdir tidak pernah salah mengukir jalan," ucap Miya sambil tersenyum. Lagi-lagi matanya berkilau saat mengucapkan kata itu. Kata-kata yang menenangkan batin Venice ketika melihatnya. "Lalu, apakah aku bisa kembali ke bumi?" Miya bangkit berdiri lalu mengambil tas busurnya sambil hendak keluar ruangan. "Jika takdirmu berkata demikian," kata Miya lalu ia melambai sambil memberi senyuman terakhir, kemudian menutup pintu, kembali membiarkan Venice termenung di ruangannya. Di dalam kesepian, otak jeniusnya bergemuruh. Ini nyata. Jangan menyangkal. Takdir itu di depan mata. *** Yun Zhao Yun Zhao meletakkan tombaknya di samping ranjang, kemudian beralih ke balkon di depan kamarnya sambil pikirannya terus memikirkan kejadian itu. Waktu Yun Zhao tanpa sengaja mengeluarkan energi murninya sampai hampir setengah kekuatan sihir murninya. Memang tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri. Ia melepas topeng dan perisai emas yang ada di pundaknya, kemudian di letakan di atas meja disamping ranjang. Pikirannya tersumbat pada keraguan yang tak bisa ia ucapkan. Apa ini? Kenapa ia jadi mengesalkan ciuman itu? Apa yang sebetulnya ia takutkan? Menyalakan energi sihir dalam tubuh seseorang memang seharusnya bukan tugasnya. Tapi waktu tadi, terhitung sebagai tugasnya. Karna tak ada satupun calon hero yang tiba-tiba muncul di battle fields tanpa konfirmasi dari Lord dahulu. Dan itu, sempat membuat Yun Zhao panik. Karna hukum sihir mengatakan, siapapun yang menemukan hero duluan, maka pertahanan merekalah yang akan paling sulit di pecahkan. Sama halnya seperti mengamankan Venice waktu itu. Waktu ia hampir dibunuh Minatour. Ia tak menyangka kalau kepalanya terus berputar pada kilasan waktu ia mencium gadis itu, kemudian merasakan sebuah rasa yang tiba-tiba muncul dan membingungkannya. Antara penyesalan energi murni yang terlalu banyak ditransfer pada pada gadis itu, dan penyesalan kalau rasanya, ia terlalu menuruti kata hati sampai-sampai terlalu banyak memberikan kekuatan pada gadis itu. Kata hati yang ‘sesungguhnya.’ Kakek buyut Naga Biru pernah mengatakan padanya, “jika setengah kekuatanmu diberikan kepada orang lain, itu otomatis akan membuat orang itu memiliki kekuatan yang sama hebatnya denganmu, dan apabila orang itu adalah seorang wanita, maka berhati-hatilah, dia bisa jadi musuhmu, atau.. cintamu." Yun Zhao terkesiap di atas balkon lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan mengusir kata-kata kakek buyutnya. “Mana mungkin aku merasakan cinta hanya karna ciuman dan kekuatan itu? Tidak mungkin,” gumamnya kepada langit di atas sana. Terlalu cepat untuk memikirkan itu, lebih baik, aku segera melupakan itu dan tetap bertarung demi kakek. *** Bukan Bumi Suara burung pipit yang bercicit samar-samar merasuki kepala Venice. Perlahan lahan ia membuka mata. Jendela tak berkaca hanya nampak seperti lubang di antara batu itu menampakkan pemandangan Runettra. Langit biru membentang. Kehitaman yang rasanya mencekam seperti pertama kali ia menginjakkan kaki itu tak nampak. Bukit di garis pinggir langit, pohon besar yang teduh dan sekelompok burung melintasi cakrawala, membangunkan Venice seketika. Ia melangkah pelan, melihat pagi yang bukan di bumi. Kemudian, ia kembali melihat tangannya lagi. Diingatannya, tangannya yang bercahay kembali muncul. Kata-kata Miya terngiang-ngiang hampir semalam. "Bagaimana caranya aku mengeluarkan kekuatan itu?" "Sihir itu ada di dalam otakmu. Jenius yang selama ini kau miliki adalah sihirnya." Venice mengangkat wajah, menyapa semilir angin yang baunya seperti daun basah. Sejuk tapi menyakitkan. Di satu sisi, Venice merasa sangat sendirian, tapi di satu sisi, ia penasaran akan semua ini. Ia pun tidak bisa kembali, dan entah kapan bisa mengharapkan takdirnya menjadi manusia seperti biasa lagi. Kami akan memperangi tanah Nexus Barat dan Timur. Kami akan membela Nexusos, pemimpin negri ini. Sejenak, ia mengingat lagi semua hal yang terjadi. Hero. Apakah ini memang takdirnya? Kalau iya, apakah sebuah sihir bisa menaklukan logis otaknya? *** Di tengah ruangan, meja besar yang terbuat dari batu itu mengisi penuh ruang pertemuan. "Nexus Timur sudah mendapatkan hero barunya." Lunox, keturunan penyihir dari Nexus Barat menunjuk sebuah gulungan kertas. Gusion, pemuda darah biru itu melongok, melihat sosok yang Lunox lukis di atas kertasnya. "Apakah wujudnya persis seperti ini?" tanya Leomord, pemimpin kelompok Nexus Barat dengan suara beratnya. Di sebelahnya, berdiri seekor kuda hitam dengan perisai dan baja menutupi wajahnya. Dari antara kakinya, terhentak angin hitam yang keluar akibat atmosfer sihirnya. Mata kanan Leomord berwarna merah, jendela sihir untuk berinteraksi dengan Barbiel, kuda hitamnya. Lunox, penyihir bersayap cahaya dan gelap itu menjentikkan jari telunjuknya, lalu keluarlah serbuk sihir berwarna putih yang menggumpal kemudian memuncul kan sebuah gambaran dimensi lain seperti film. "Dia adalah manusia. Kekuatannya, aku tidak tahu. Karena dia sendiri masih belum tahu." Suara Lunox tanpa tekanan. Mata runcingnya tajam, tapi nada bicaranya selalu lembut dan terdengar seperti anak kecil. Dari kursinya, Gusion terkekeh kecil. Senyum miring dan tatapan penuh cibiran memandang Venice yang sedang berjalan di lorong bersama Miya. Sihir Lunox bagai cermin paralel. "Kasihan," dengusnya. "Dia sedarah sepertimu." Karrie, seekor monster dari kerajaan Alaghat yang memiliki dua kaki namun serupa kadal, menyembur. Rambutnya berwarna putih dan dikepang panjang, membujuri lekuk tubuhnya yang legok. Kulitnya hitam, sangat mencolok dengan warna bajunya yang ungu dan rambutnya yang putih. Gusion memicingkan matanya seketika. "Darah merah. Aku ini darah biru. Ayah dan ibuku adalah raja dan ratu dari Negri Sihir Selatan. Dia hanya manusia yang tinggal di bumi. Belajar apa dia sebelum ke sini?" "Ayolah, Gusion, semua orang tahu kau tidak pernah disetujui orangtuamu untuk berkelana." Karrie kembali membalas penuh sindiran. Gusion kabur dari rumah dua tahun yang lalu. Ia adalah Putera Mahkota namun gemar mengumpulkan dagger dari es yang ada di Kutub Selatan. Di beberapa tempat, Gusion menemukan sebuah tempat kutukan yang dimana, jika seseorang mencabut es dari tanah salju beracun itu, ia akan mengabdi pada racunnya. Dan itu tidak bisa dilepas jika ia menemukan penawarnya sendiri. Dan Gusion yang tertarik pada hal konyol penuh bahaya seperti itu mengambil kesempatan untuk kabur dari istananya. Tapi, ketika ia kabur, ia hampir mati karena racun itu jika tidak diselamatkan oleh Nexusis. Gusion lahir kembali oleh cahayanya yang dihidupkan lagi oleh Nexusis. Dan sebagai imbalannya, ia harus mengabdi pada Nexus Timur. "Sudahlah, bukan saatnya untuk berdebat. Kalian tahu kalau hari ini kita akan kedatangan ksatria juga. Namun dia seorang wanita," lerai Leomord sambil berjalan, menghentakkan tongkatnya ke arah meja batu itu. Ditunjuknya sebuah peta besar di area gambar hutan. "Hutan Enchanted. Dia akan muncul dari sana." Leomord menatap kelima hero di depannya. "Apa kekuatannya?" tanya Minotaur. Seekor banteng raksasa yang memiliki tanduk sebesar batang pohon. Tubuhnya dua kali lebih besar daripada Barbiel. Suaranya seperti bariton yang ditiup susah payah. "Sihir. Seperti Lunox. Tapi bedanya ia keturunan dari Roh Onmyouji. Sebuah kekuatan langka berupa sakura. Aku rasa, keluarganya dari desa Sakura di Onmyouji. Ia pengembara yang sama kisahnya seperti Gusion. Tapi aku yakin, kedatangannya perlu di rahasiakan juga," kata Leomord sambil memandang Lunox. Gadis itu mengangguk, lalu menutup serbuk cermin paralelnya. "Sore ini kita akan bertemu dengannya. Kita harus mempersiapkan fieldsnya." "Siapa namanya, Leomord?" tanya Karrie sebelum rapat bubar. "Master Onmyouji, Kagura." *** "Jadi di sini tempat kami biasa melakukan latihan." Miya membawa Venice ke belakang istana, dan di sana terbentanglah padang rumput luas yang pinggirnya di batasi oleh tembok besar dan tinggi, pembatas Hutan Enchanted dan Istana Nexus Barat. Venice menyipitkan mata ketika melihat langit secerah hari ini. Ia jadi teringat saat-saat ia terbangun kemarin di rumput itu. Setengah tak menyangka, ia bisa melewatkan satu malam di sini layaknya seorang manusia biasa. "Latihan?" tanya Venice melihat Miya mengambil anak busur dan meletakkannya di tali panahan. Wajah Miya tersenyum, lalu dengan posisi tegak, Miya memanjangkan leher, mengambil bidik lalu menarik tali busur dan melepasnya ke udara. Ketika busur biru itu melesat di udara, yang Venice lihat hanya sekelebat cahaya biru terang melesat secepat cahaya. "Wow! Bisakah kau melakukannya lagi?" Venice terkesan, ia tidak pernah melihat hal semacam itu dengan mata kepalanya sendiri. "Kau bisa melakukan kekuatanmu sendiri," ujar Miya tersenyum kecil. "Kekuatan? Maksudmu, kekuatan yang Yun Zhao berikan padaku?" Miya tertawa kecil. "Bukan," jari telunjuknya menyentuh kening Venice. "Kekuatan dari nenek moyangmu." Sulit untuk mencerna setiap kata yang Miya ucapkan. Kekuatan? Manusia seperti ini bisa mengeluarkan apa selain cairan darah, liur, air mata, nanah, dan kencing? Apa maksudnya gas? Tinja? Atau.. bayi? Menyadari Venice yang terlalu lama berpikir, Miya pun menarik tangannya agak ke tengah taman. Venice tergagap sejenak, lalu Miya berjalan menjauh dan berdiri dengan posisi siap menembak busurnya. Venice terkejut, lalu dengan sigap ia berteriak ketakutan. "Tidak! Kau tidak akan membunuhku kan?" Dengan sebelah mata tertutup dan senyum kecil menyungging, Miya hampir melepas tarikan busurnya sambil berucap, "ini akan membantumu." "Jangan!!" Busur biru itu melesat ke arahnya, Venice terjepit waktu dalam sedetik. Refleks, tangannya yang terulur itu terangkat dan dengan cepat, busur yang Miya lemparkan tadi seketika melesat lambat seakan akan ada dorongan angin yang melawan ke arahnya. Venice menutup mata, berharap ia tidak mati dan rasanya, angin yang melintasi telinganya masih terasa. Pelan pelan ia membuka mata, napasnya tergagap ketika melihat ke arah depan. Mata pisau busur Miya tepat melayang di depan hidungnya. Ia menahan napas dan menyadari kalau ada beberapa serbuk ungu yang mengitari busur itu hingga melawan gravitasnya. Venice tergagap sejenak, kedua tangannya terangkat seakan membuat tameng untuk wajahnya, dan ketika ia melepas tameng tangannya, serbuk itu dihempas angin dan busur Miya jatuh ke tanah, hancur menjadi abu. Pemandangan itu menjadi hal yang sangat mengejutkan. Sama-sama Venice dan Miya bertatapan dengan mulut menganga. "Apa itu barusan?" tanya Miya dan Venice bersamaan, lalu pertanyaan mereka hanya dijawab angin lewat. Miya menghampirinya, lalu melihat serbuk abu batang busurnya yang masih tersisa di tanah. Ia melihat Venice bertanya-tanya. "Kau tahu, belum pernah ada sihir yang bisa menghancurkan busurku seperti ini. Mereka biasanya hanya menghindar atau terkena saja." Ia bangkit berdiri, memandang Venice yang kebingungan menatapi tangannya. "Apa kau tahu cara mengendalikannya?" Venice melongo, ia memandang Miya seakan mengatakan, manusia mana yang bisa mengetahui ilusi kekuatan seperti tadi itu? "Apa kau bercanda? Yang kulakukan hanya berusaha menutupi wajahku karena ketakutan dengan kematianku sendiri. Apa aku punya ide untuk hal lain?" "Itu dia." Miya mengangkat busurnya ke udara, "pikiranmulah kendalinya." "Hah?" Dalam gerakan sedetik, Miya melesatkan busur Moonlightnya ke arah Venice seperti ingin mematahkan lehernya, dengan sigap Venice menghindar, setengah hampir melompat beberapa meter ke belakang. Itu belum selesai. Miya yang selama ini ramah dan baik padanya tiba-tiba melanjutkan serangannya. Ia mengambil anak panah, menyiapkan posisi untuk membidik. Melihat itu, Venice buru-buru bangun dari tempat dan kabur. Anak panah Miya melesat bagai mobil balap tanpa batasan. Venice berlari bersama hujaman anak panah Miya yang berkilau seperti hujan meteor. Venice memejamkan mata dan berteriak mengelilingi Miya yang terus berputar membidik dan menembak Venice seperti sebuah mesin. "Miya! Hentikan! Aku bisa terluka! Apa-apaan ini!" Anak panah terakhir melesat cepat menembak ke depan tubuh Venice. Venice terkejut, ia terjungkal dan terlempar jatuh ke tanah. Seluruh pundak dan pinggulnya nyeri, terbentur tanah. Ia melihat ke arah Miya. Tangannya terangkat, lalu seperti udara disekelilingnya bergumpal, dan menarikkan lagi semua busur yang menancap di tanah ke tasnya. Venice melihat itu agak khawatir, dan benar saja, belum selesai ia mengistirahatkan tubuhnya, Miya sudah siap ambil posisi. Ketika Venice baru saja mau menghindar, tiba-tiba Miya menghilang, menembus udara kosong. Venice terperanjat, ia bangkit dari posisinya, namun tiba tiba pundaknya di dorong oleh sesuatu. Suara sepatu seseorang bergesekkan dengan rumput ditanah terdengar. Venice sigap menoleh ke arah datangnya suara, namun tidak ada siapa siapa di sana. Tepat ketika ia menoleh ke depan, saat itulah Miya ada di sana. "Fokus!" Miya melesatkan dua buah busur. Tubuh Venice bergerak miring, menghindar. Ia berlari keluar padang rumput. Miya kembali mengarahkan busurnya ke langit lalu langit yang tadinya cerah menjadi hitam. Di depan Venice, gemuruh meteor mulai berseru-seru, ia menyeret langkahnya bergerak menjauh. "Sekarang!" teriak Miya seakan melucuti awan itu ke arah Venice. Dengan tangan yang secepat kilat, Miya langsung menembakkan lima busur dari kiri dan kanan Venice. Venice terkejut, lalu tanpa ada hitungan lagi, ia langsung berputar dan beribu serbuk ungu muncul dari tangannya, menghempaskan tubuh Venice ke udara dan membalikkan semua busur Miya ke arah angin yang berhasil ia kendalikan. Busur Miya terlempar ke arah lain, lalu di luar kesadarannya, kepala Venice terasa berat. Miya yang masih berdiri di tempatnya mengamati perubahan itu. Dengan tangan kosongnya, Venice berdiri, lalu seperti kelinci bertenaga pesawat jet, serbuk ungu itu mengelilingi tubuh Miya. Detik detik Venice menengadahkan tangannya ke udara, saat itulah sebuah api berwarna ungu tersembur dari tangannya. Miya segera menyalakan Light Meteor untuk melindungi tubuhnya, lalu dalam beberapa detik, tidak ada lagi yang ia rasakan setelah kepalanya terbentur tanah dan gelap. Sesuatu yang besar Di bawah pohon sakura satu-satunya, hutan Enchanted menghentikan hujan lokalnya. Leomord, Gusion, Karrie dan Lunox mengelilingi pohon sakura itu. Daun merah mudanya berayun lembut terkena angin. Pohon Keabadian dari Slynt. Buahnya bisa menyembuhkan penyakit dalam. Namun, karena hutan Enchanted jauh dari istana mereka, Leomord hanya membawa beberapa hero untuk menyambut hero baru mereka. Lunox merentangkan tangannya ke arah sinar matahari yang menelusup dari pohon Slynt. Sebuah gumpalan cahaya berwarna kuning menembus pohon itu. Lunox menyorot batang pohon besar itu, cahaya dari tangan Lunox menghantarkan kekuatan yang membuat pohon itu bergerak seperti terkena angin kencang. Lalu dalam beberapa detik, Lunox menghentikan sihirnya dan melihat ke arah Leomord. "Sepertinya kita harus mencoba memanggilnya lagi malam nanti," kata Lunox bergerak mundur. Chaos of Ordernya tidak mampu memberi kekuatan untuk menghidupkan cahaya dari hero baru itu. Namun, beberapa saat Leomord baru ingin mengucapkan sesuatu, sebuah suara langkah dari dalam hutan terdengar keras. Mereka langsung mengatur posisi dengan sigap, tanpa menyadari sesuatu, tiba-tiba dari tengah mereka muncul sebuah payung Seimei berwarna merah, berputar seperti bernapas. Leomord menarik Black Swordnya, berjaga-jaga pada serangan lanjutan. Tapi ketika mereka bersiaga, dari payung itu muncullah sebuah energi berwarna merah muda yang meledak bersamaan seorang gadis dari balik payung. Kelimanya tengadah, memandang gadis itu tersenyum ke arah mereka. "Maaf, aku hanya keliling sebentar." Gadis berambut putih itu tersenyum kecil. Ia memandang Lunox, lalu mengulurkan tangan. "Lunox?" "Ya." Lunox menjawab sambil membalas uluran tangannya, lalu dalam sedetik sebuah bayangan gadis itu muncul di kepala Lunox. Gambar demi gambar, Lunox tahu, roh gadis itu sedang memberitahu kalau gadis ini adalag hero yang mereka tunggu. Lalu ia melepas genggaman tangannya dan Lunox agak terhuyung. Ia memandang gadis berambut putih itu hati-hati. Kekuatannya sangat besar. Roh dari Master Onmyouji mengitari payung itu. Keturunan Onmyouji dari Runettra Seimei adalah salah satu dewa yang paling ditakutkan. Lunox memandang bola mata ungu itu, dan melihat segala kecantikan itu rasanya sangat berbanding terbalik dengan kekuatannya. "Kagura. Selamat datang." *** Samar-samar, di antara kegelapan, Venice bisa mendengar suara Miya yang lembut berkata dari jauh, "aku yakin, kekuatannya sangat besar. Lebih dari kau ataupun Gusion. Cahayanya murni turunan dari dewa angkasa. Kau harus melihatnya." Sejenak, Venice membuka mata. Sayup-sayup ia mengerjap, melihat dirinya sendiri terbaring di kasur kecil di sebuah tenda. Ada beberapa kasur kecil yang biasa dipakai untuk tentara jika terluka, dijajarkan di setiap pinggir tenda. Kain yang menutupi tendanya itu agak kuning terkena sinar matahari. Hari masih siang. Itu artinya ia belum lama tertidur. Apa? Koreksi, sepertinya ia merasa ada yang aneh dengan lehernya. Ia mengernyit ketika merasakan tulang lehernya bergemeletuk. "Aw!" Yun Zhao dan Miya menyadari Venice sudah bangun segera menghampirinya. Tangan Miya menyentuh leher Venice. "Jangan dipaksakan. Kau bersandar saja dulu. Ini minum." "Apa yang terjadi? Oh--astaga, maaf soal tadi siang Miya, aku tidak sungguh-sungguh melak--" Miya baru saja ingin mengelak tapi Yun Zhao tiba-tiba menyentuh tangan Venice, menggenggamnya hangat. "Ketika aku membangunkan cahaya itu, aku tahu sesuatu yang besar akan muncul. Kau memiliki kekuatan yang mungkin tidak bisa kau kendalikan." Yun Zhao melepaskan genggaman itu, memandang keduanya serius. Kepala Venice yang bersandar seketika lunglai. Kekuatan apa lagi yang ia maksud? "Apa maksudnya tidak bisa kukendalikan?" Yun Zhao menatap Venice tanpa ekspresi. Baju perisainya sesekali berbunyi karena bergesekan dengan lantai. "Setiap cahaya dikendalikan oleh pikiran kita. Dari penglihatan, itu akan di proses oleh otak dan diturunkan ke cahaya. Cahaya dan otak akan bekerja sama dalam mengendalikan kekuatan itu. Tapi masalahnya di sini adalah, otakmu masih belum sinkron dengan cahayamu. Cahayamu terlalu besar sedangkan otakmu masih belum menerima semua keadaan di sini." "Dari mana kau tahu, tuan-sok-pintar?" Venice mencibir. Miya menengahi. "Keturunan anak naga memiliki kemampuan dalam pengetahuan itu, Venice." Venice hanya cemberut, kepalanya masih terasa berat. Kalau ia bisa mengeluarkan kekuatan seperti tadi--di lapangan itu, ia sendiri bahkan masih terasa sulit untuk mengingatnya. Semua ini masih seperti mimpi. Otak kejeniusannya masih belum memproses semua sihir ini. Baiklah katakan kalau sihir itu ada, dan Venice memang keturunan yang mereka sebut-sebut itu. Lalu, kenapa dia selamanya tidak ada di sini saja? Kenapa ia bisa tinggal dan turun di bumi? "Itu karena nenek moyangmu ingin keberadaan kau di rahasiakan," ujar Yun Zhao tiba-tiba. Mata besarnya seakan mengilatkan cahaya ke arah Venice yang tergagap. "Apa?" Venice terkejut, menatap Yun Zhao lalu ke arah Miya. "Apa dia juga memiliki keturunan membaca pikiran orang?" Miya tersenyum simpul, dan mengangguk. "Ada banyak hal yang semestinya kau ketahui sebelum kau mengendalikan kekuatan itu," kata Miya sambil beranjak ke arah kantung yang di gantung di kaki tenda. Ia merogoh sesuatu dari dalamnya, lalu mengeluarkan sebuah jeruk. "Ini makanlah," Miya menyodorkan jeruk itu ke arah Venice yang kemudian di amatinya sejenak. Itu bukan jeruk. Ada sebuah garis merah yang seperti spidol, dicoret mengelilingi buah itu. "Apa ini?" tanya Venice. "Itu Magic Plum. Dari pohon di hutan Enchanted. Makan lah, ini untuk memulihkanmu." Masih memandangi buah itu dengan curiga, tapi Venice tidak mau berargumen lagi. Ia segera menggigit pinggiran buah yang nyatanya seperti apel lalu menelannya. Memakan sesuatu dari dunia ini, sejauh ini rasanya masih wajar saja. Tiba-tiba ia merindukan apel basi yang pernah ia salah makan. "Makanan ini mengingatkanku tentang rumah," sahut Venice pelan. Miya kembali duduk di tepi kasur sambil tersenyum simpatik. "Kau pasti merindukan mereka." Venice menatap Miya yang sudah lebih dulu melihatnya. "Sangat. Hanya mereka yang kupunya. Di bumi, aku tidak pernah memiliki teman yang benar-benar teman. Mereka hanya memanfaatkanku, memanfaatkan otakku." "Kau sama seperti kami. Waktu aku sekolah di sekolah elf, mereka juga menganggapku hanya sebatas aku bisa meyakinkan orang-orang atas ucapanku. Alias, mereka memanfaatkanku untuk membohongi teman teman yang lain, demi keuntungan pribadi," cerita Miya. "Kenapa kau mau melakukannya, Miya?" tanya Venice berbalik penasaran. "Karena saat itu, aku butuh mereka untuk meyakinkan ayah dan ibuku agar aku bisa menjadi ksatria bulan." Beberapa saat, Venice mengerjap pelan. Antara melongo mendengar itu dan juga simpatik atas kisahnya. "Cerita yang panjang. Bagaimana kalau kita mengunjungi Temple of the Moon?" Miya kembali sumringah. Kening Venice mengerut. "Tempat apa itu?" "Kuil yang dibuat para elf untuk berdoa kepada bulan. Tanahnya dibangun oleh kawanan prajurit bulan yang turun ke Runettra. Kami semacam koloni kecil di sana." "Oh ya?" Mendengar tempat unik seperti itu, kepala Venice langsung terasa ringan. Ia memandang penuh semangat ke arah Miya. "Ya. Boleh, kan, Yun Zhao?" Yang ditanya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Pria itu sedari tadi hanya berdiri, bersandar pada kaki tenda dengan tangan dilipat di depan dada. "Hey, tuan-pembaca-pikiran." Venice membuat Yun Zhao tersadar. Pria itu menatapnya tajam lalu beralih ke arah Miya. "Saran yang baik. Dia perlu didikan sedikit supaya otaknya itu bisa menerima keberadaannya di sini," komentar Yun Zhao seraya mengambil tombaknya hendak pergi. "Hey! Sepertinya seharusnya aku yang sesekali membawamu ke bumi. Biar otakmu perlu refreshing sedikit." "Apa? Otakku baik-baik saja. Lagipula, bumi itu seperti neraka." Setelah berdebat soal bumi, Venice ingin menimpali lagi, tapi Yun Zhao keburu meninggalkan percakapan itu. Dengan angkuhnya melangkah keluar tenda, meninggalkan Miya dan dirinya yang masih agak tidak terima soal pernyataan "bumi yang seperti neraka". Venice mengendus sebal. Ia melirik Miya yang tersenyum. "Apa dia selalu menyebalkan seperti ini?" "Tidak. Kurasa, ia senang melakukannya denganmu." "Apa?" Alis Venice menaik sebelah. "Yun Zhao tidak pernah menunjukkan emosinya pada siapapun. Dia itu sangat misterius. Sebelum kau datang, yang kami tahu soal dia hanyalah, dia pemimpin yang sangat baik dan bijaksana. Kami semua menghormatinya. Tapi ketika kau datang …" "Apa?" tanya Venice tak sabaran. Miya selalu terkikik kecil kalau sedang membicarakan pria itu. Seakan-akan Venice anak kecil yang tidak tahu kebiasaan ayah dan ibunya. "Kau paling sering membuatnya emosi. Dan aku pikir itu sangat lucu." Venice memutarkan bola matanya, jengah. "Baiklah, ayo kita pergi sekarang." Miya bangkit dari tempatnya, mengulurkan tangannya ke arah Venice. "Sekarang?" "Ya." Tangan Miya yang menunggunya seketika terasa seperti ajakan seseorang yang akan membawanya ke tempat berbahaya namun penuh tantangan. Kehidupan di balik tirai kamarnya, ujian dan seluruh piagam penghargaan itu, seketika seperti tidak ada apa-apanya. Inilah yang ia nantikan. Degup jantung penuh semangat dan bayangan akan seluruh petualangan itu. Ia yakin, kekuatannya lahir untuk ini. Venice yakin, Runettra tidak jauh berbeda seperti Bumi. Ini hanya masalah waktu, dan sepertinya sekarang Venice bisa menerima ini. *** Temple of the Moon Tempat itu seperti kuil yang ada di atas gunung. Sangat berkabut, dan Miya harus membawanya dengan Egra--Elang Raksasa--karena sejauh ini burung bersayap besar itu nampak seperti elang jika di bumi. Kawasannya luas, seperti hutan di atas gunung. Meski tidak begitu rindang, namun ketika Venice menginjakkan kaki ke batas masuk Kuil itu, ia merasa ada sebuah energi kuat yang mendorongnya untuk masuk ke dalam. Hawa dan udaranya sangat sinkron. Miya tersenyum sambil menengglengkan kepalanya, mengajak Venice jangan malu-malu. Dengan tangan kosong, ia memandang berkeliling, melihat jalan setapak yang dipinggirnya dijajari rumah-rumah beratap seperti bintang. “Miya, apa yang ada di atas atap rumah itu?” tanya Venice tidak melepas pandangannya. “Oh, itu adalah perisai yang diberikan oleh Moongod. Penguasa Bulan yang melindungi desa kami.” "Untuk apa perisai itu?" tanya Venice memandangi perisai-perisai yang nampak menyelimuti atap rumah dengan sejuta kilauan serbuk biru. "Perlindungan saja. Kita tidak tahu kapan bahaya akan mengancam kan?" Venice termenung sebentar sambil memandangi kakinya yang terus berjalan. Ia menoleh ke arah Miya dan bertanya pelan. “Apa aku bisa bertemu Moongod? Kudengar, ia adalah dewi yang sangat bijaksana?” Miya menoleh ke arah Venice, tersenyum kecil, “itulah tujuan aku membawamu ke sini.” Venice melihat gadis itu sambil tersenyum cerah. Mereka kembali melanjutkan perjalanannya menelusuri jalan setapak itu. Miya bilang, kalau siang seperti ini, para elf tidur. Mereka akan bekerja pada malam hari. Perkebunan akan membuah ketika tanggal hujan meteor sudah dekat. Di desa ini ada sebuah danau yang kalau agak mendaki ke atas, bisa melihat pantulan bulan tepat di atas permukaannya. Dan Miya bilang airnya bisa membuat siapapun yang terluka jadi sembuh. “Bagaimana bisa?” “Pada dasarnya, air adalah unsur yang bulan kendalikan. Kekuatannya murni dari Moongod.” “Bagaimana kalau luka dalam?” tanya Venice yang masih memandangi danau itu dari jauh. Mereka sudah semakin mendekati puncak. “Luka dalam tidak pernah bisa disembuhkan oleh sihir. Apalagi kalau soal cinta.” Mendengar pernyataan Miya, ia jadi teringat lagi soal kehidupan asmaranya di Bumi, lalu membandingkan dengan ingatannya soal ciuman itu dengan Yun Zhao. “Miya, apa kau pernah tahu, kalau di bumi jika seseorang mencium pasangannya, itu artinya mereka menyatakan perasaannya?" Di tengah langkah mereka, Miya terdiam sejenak. "Sebenarnya, aku tahu. Bumi bagiku adalah tempat wisata. Aku sering bermain ke sana." "Benarkah?" Miya menoleh, tersenyum. Kemudian ia menunjuk deretan awan yang ada di ujung bumi, tempatnya agak jauh dari bukit. Tapi Venice masih bisa lihat kawasan itu seperti sebuah kerajaan langit yang membentang di atas awan. "Di sana itu adalah Hidden Land of Dragon. Tempat naga satu-satunya yang masih hidup dan di jaga ketat oleh anak-anaknya," Miya menjelaskan. Mereka berhenti sejenak untuk memandangi itu. "Tempat tinggal naga?" "Kau tahu kan, Yun Zhao anak naga dari selatan?" "Sebenarnya aku agak bingung, dengan pernyataan itu. Bagaimana naga melahirkan anak? Bayinya anak manusia, begitu?" tanya Venice menuruti otak jeniusnya. "Bukan," bahu wanita itu berguncang, tertawa. "Anak-anak naga adalah, ksatria pengembara yang diutus dan di beri kekuatan oleh Blue Dragon untuk menjaga tradisinya." "Ah, utusan ya. Jadi, Yun Zhao tinggal di sana?" tunjuk Venice ke arah istana di atas awan itu. Seketika ia membayangkan Yun Zhao kecil, berdiri di antara awan, belajar cara bela diri. Rasanya aneh, tapi otak jeniusnya pelan-pelan menerima itu. "Tempatnya sangat dekat dari sini," ujar Venice kembali melanjutkan langkahnya. Miya masih memimpin perjalanan, mereka sudah hampir mencapai puncak. "Ksatria naga sering berkunjung ke Moon Lake, danau itu bisa menyembuhkan mereka yang habis latihan bertarung. Dan… beberapa elf yang masih muda, pasti bisa menggodanya," kata Miya sambil tersenyum kecil. Alis Venice terangkat sebelah, lalu berkata menggoda, "apakah Yun Zhao bisa terpengaruh oleh godaan mereka?" "Pada dasarnya, tidak semua ksatria mudah tergoda. Mereka sangat tangguh dan bijaksana. Hanya ada satu ksatria yang kukenal, yang kelihatannya sangat… menggoda." "Oh? Siapa dia?" "Ling," ujar Miya pendek, namun kembali melanjutkan, "dia ada bersama kita. Yun Zhao yang membawanya ke Nexus Barat." "Hm. Apakah kita sudah sampai?" Tepat setelah itu, Miya dan Venice tiba di puncak. Mereka menghampiri sebuah kuil besar yang atapnya berbentuk segitiga, seperti sebuah gereja di Charlottesville dekat rumahnya. Namun pemandangan ini semua sangat berkilau. Pinggiran atapnya seperti di buat dari batu meteor, berkilau seakan-akan bintang yang ada di langit malam menempel di sekitarnya. Miya mempersilakan Venice memasuki kuil itu, bersama-sama membuka pintu dan sebuah ruang kosong menyambar pandangan Venice. Tempat itu gelap. Hanya ada satu lilin di dekat dinding yang menyorot ke sebuah kristal berkilau yang menempel di sebuah kotak beludru hitam. Pandangan Venice tak beralih dari kotak itu, ia menghampirinya dan bertanya pelan pada Miya. "Apa ini?" Venice mengangkat kotaknya, lalu dari belakang Miya membuka kota itu pelan-pelan. Kristal biru itu seperti memiliki energi. Cahayanya memantul dari bola mata Venice. Seakan-akan ia bisa melihat semua kekuatan jika ia menyentuhnya. Degup jantungnya seakan-akan bisa dirasakan ketika Venice makin tak beralih dari kristal itu. "Itu adalah jantung desa kami. Kristal itu jika dirampas oleh orang tidak bertanggungjawab, desa kami akan hancur. Dan kekuatan bulan akan melemah. Karena pada dasarnya, separuh kekuatan Moongod, ada di dalam sana," Miya menjelaskan. "Wow." "Dan karena itu aku mengajakmu ke sini." Venice terperangah menatap Miya. "Aku ingin kau menyentuhnya, menenangkan otakmu. Aku berharap, Moongod bisa mendengarmu dan membantumu untuk mengenal cahaya dalam diri sendiri." "Bagaimana caranya?" tanya Venice bingung. Miya mengambil tangan Venice lalu menyentuhkan tangannya ke kristal itu. Seketika, saat permukaan kristal itu bersentuhan dengan telapak tangannya, saat itulah kepala Venice terasa sangat pening. Seperti ada sebuah ledakan dari bayangan yang ada di otaknya, merasukinya dengan sebuah cahaya terang. Tubuhnya seketika terasa ringan. Dan tanpa sadar, ia sedang menutup matanya. Gelap. Venice membuka mata. Ia melihat ke sekelilingnya. Venice terduduk di sebuah permukaan es yang sangat berwarna biru. Ia mencoba mengetuk-ngetuk es itu, tapi kelihatannya es itu seperti tanah. Venice bangkit berdiri, mencari Miya di antara gelap. "Miya? Miya, aku ada di mana?" Suara Venice menggaung jauh. "Di sebuah permukaan pembuktian, aku mendatangimu atas utusan anak kami." Tiba-tiba entah darimana suara berat yang menggaung itu menjawab dari antara kegelapan. Venice terkejut, ia bergerak mundur tapi ia tetap tidak melihat siapa-siapa. Cahaya biru yang muncul dari permukaan es hanya cukup menerangi langkahnya. "Siapa kau?" seru Venice memandang berkeliling, takut-takut. "Aku adalah Moongod. Berlututlah. Kau harus menyentuh permukaan es supaya bisa melihatku," kata suara itu. Awalnya Venice ragu. Ia dilema antara terkejut bisa bertemu Moongod, dan takut bayangan Moongod tidak sesuai yang ia harapkan. Tapi, mau tak mau, Venice pun menurut, dan mulai berlutut dengan gerak pelan. Permukaan es itu disentuhnya. Venice melihat ke bawah, menunduk dan berusaha mempersiapkan diri kalau-kalau terkejut pada wujud Moongod. "Jadi Pixie benar-benar membawa anaknya, ya. Kau tahu, kekuatanmu itu sangat besar. Lebih dari kekuatanku." Ketika suara itu muncul lagi, Venice terperangah waktu melihat sebuah bayangan berbentuk wajah perempuan cantik dari bawah permukaannya. Ia memakai selendang panjang dan gaun dengan dada terbuka. Di kepalanya terangkai sebuah mahkota biru bercahaya seindah bintang di malam hari. "Mooongod?" Wanita itu tersenyum. "Kau menyimpan begitu banyak pertanyaan. Manusia, seharusnya jangan terlalu memikirkan hal itu." "A--aku--bukan begitu. Ini terlalu tiba-tiba. Dan aku bukan orang yang mudah mempercayai hal seperti ini. Tapi, ketika melihat semua ini terasa sangat nyata, sepertinya aku sadar, aku telah salah," ungkap Venice. Ia takut dengan beragam hal. Ia takut tidak bisa kembali ke Bumi. Ia takut apakah keputusan ini benar-benar pilihannya. Ia tidak yakin apakah menjadi hero di alam ini akan membuatnya lebih terasa hidup. Ia sendiri masih tidak tahu apakah bisa meninggalkan keluarganya di bumi. "Kau bisa kembali ke bumi kalau kau tidak yakin atas semua ini," ujar Moongod terdengar sangat lembut dan bijaksana. Wajah Venice tersiram cahaya biru dari permukaan es. Ia menatap wanita itu tanpa suara. "Aku pasti bisa kembali, kan?" Moongod memandang penuh arti. "Takdir akan membawamu. Bahkan kalau kau turun ke bumi lagi, angkasa dan langit akan tetap bersamamu. Mereka yang tidak terlihat, akan terus memperhatikanmu. Bahkan aku, selalu bisa melihatmu." Venice terkunci pada kata-katanya sendiri. Ia ingin sekali kembali ke bumi, merasakan kalau ia masih manusia. Tapi di sisi lain, Runettra yang ia lihat sangat konyol, pelan-pelan membuka matanya terhadap hal lain yang selama ini tidak ia perhatikan. Kepercayaan. "Kenapa kalian begitu percaya aku bisa menjadi hero?" "Venice," Moongod melangkah sedikit maju, "hero bukanlah pahlawan yang mengharuskanmu menang di medan perang. Tapi hero adalah menjadi dirimu sendiri. Seberapa kau percaya pada hatimu, maka cahaya itu akan menunjukkan sendiri jalannya. Menunjukkan takdirmu." Pelan-pelan, hidung Venice beringsut. Tanpa sadar, apa yang ia pikirkan selama ini tentang hidupnya di bumi seakan-akan akan menjadi sia-sia. Kejeniusannya, kepintarannya dan teman-temannya yang memanfaatkannya, ia pikir semua itu hanya akan terus membuat warna abu-abu dalam hidupnya. Tapi mendengar perkataan Moongod, sekarang ia tahu kenapa Miya, Yun Zhao, dan semua penghuni Nexus Barat percaya pada dirinya. Venice bisa mengubah dirinya sendiri. Ia bisa tinggal dan percaya pada hatinya. Pada cahayanya. Itu hanya bergantung bagaimana ia menerima diri dan menerima semua kehidupan ini. Seandainya ia mendengarkan kata-kata ibunya untuk menikmati zona nyamannya untuk terus belajar dan membuka perusahaan, apakah Venice bisa mengerti kalau sebenarnya ia sangat tidak percaya diri karena kejeniusannya membuat ia sangat dipandang aneh di antara teman-temannya? Venice seharusnya bisa membuka mata. Cahaya itu sudah menyala. Dan sekarang ia paham, mengerti diri sendiri sesulit itu. *** Moonlake Setelah dua hari bertemu Moongod, setiap malam Venice jadi memikirkan Temple of the Moon. Miya bilang, semua elf akan bekerja di perkebunan dengan bantuan hujan meteor. Pengaruh Moongod yang ia temui rasanya sangat menyentuh bagian dalam perasaan Venice. Tentang keluarganya di Bumi, ia sekarang yakin, bahwa takdir mungkin suatu saat akan mempertemukan ia lagi dengan keluarganya. Dan ia percaya, dirinyalah, yang akan mempertemukan dirinya sendiri dengan keluarganya. Langit malam membentang cerah. Di atasnya, bintang-bintang seakan mengedipkan matanya, menggoda pikirannya untuk terus tertuju pada niatnya itu; pergi ke Temple of the Moon. Ia tidak tahu apakah orang bukan keturunan elf boleh ke sana jika tidak bersama warga di sana, tapi keinginannya untuk menatap bulan dari pinggir Moon Lake rasanya menjenggut kepalanya terus. Ia butuh ketenangan yang mendalam. Jika mengingat tentang Yun Zhao yang selalu menanyakan apakah ia sudah bisa mengendalikan kekuatannya atau belum, ia masih selalu ketakutan untuk menjawab. Karena sampai sekarang, ia masih tidak mengerti bagaimana cara mengeluarkan kekuatan itu tanpa mengambil tindakan refleks. Sekarang Venice juga mengerti kenapa Miya bisa setenang dan seyakin itu. Karena kekuatan Miya turunan dari Moongod. Sama-sama lembut dan menenangkan seperti suara air yang tersapu angin. Menderu lembut dan menghangatkan pikiran beku. Ia ingin sekali bertemu Moongod jika diberi kesempatan. Tapi, kesempatan itu dibuat jika kita memilihnya, kan? Maka malam itu, ketika ia melongok ke lorong istana, memastikan semua orang sudah tertidur, ia mengambil mantel panjangnya, lalu berjinjit keluar dari pintu belakang. Menembus hutan Enchanted, dan memanggil Egra, pergi ke Temple of the Moon sendirian. *** Dari atas Egra, desa yang sebelumnya ia lihat sepi, kini ramai penduduk elf yang sibuk melakukannya. Benar kata Miya. Mungkin bagi penghuni Temple of the Moon, bulan adalah mataharinya. Dan matahari adalah bulan mereka. Mereka lahir dari bulan, maka tinggal dan memiliki tenaga ketika malam. Elf-elf itu berwujud persis seperti manusia. Hanya saja telinga mereka agak panjang dan melancip diujung. Venice ingin sekali turun dan menyapa atau sekedar mengamati kesibukkan desa malam itu. Hanya saja, ia tidak mau membuat para penduduk mengiranya penyusup yang tiba-tiba turun dengan Elang raksasa. Akhirnya ia hanya mengamati itu dari atas, dan menyuruh Egra untuk tetap turun di danau. Sayap Egra membentang melawan angin, tubuh burung itu merendah, kemudian menginjak tanah. Venice turun dari punggung burung itu, lalu mengelus lembut bulu-bulu lehernya yang panjang. "Aku tidak akan lama." Egra hanya mengedip, dan ia tidak beranjak sampai Venice berjalan ke tepi danau. Riak air danau mendesir bersamaan angin malam yang berembus. Gesekkan angin membuat daun ikut berdesis pelan, menyanyikan merdu sebuah lagu di tengah danau tanpa kata-kata. Venice duduk di sebuah batu kecil, mengulurkan tangan lalu menyentuh air danaunya. Pertama kali ia merasa ada kekuatan yang besar memasuki tubuhnya adalah ketika Yun Zhao menciumnya hari itu. Pancingan cahaya yang diberikannya sangat kuat sampai bahkan membuat Venice takut pada dirinya sendiri. Meski sekarang ia sudah paham akan teori cahaya itu, yang menjadi masalah adalah, bagaimana cara ia mengulangi apa yang ia lakukan terhadap Miya beberapa hari yang lalu. Venice berusaha mengingat bagaimana rasanya menembak api dari telapaknya, terbang di udara dan lupa pada ingatannya sejenak. Bahkan ia mengulurkan tangan berkonsentrasi untuk mengulangi kekuatannya lagi. Tapi semua itu sia-sia. Karena Venice hanya dijawab rumput yang bergoyang. "Dikendalikan oleh pikiran? Hm, baiklah. Bagaimana kalau kita memikirkan danau ini berhenti terkena angin?" Perlahan-lahan Venice menggerakkan jarinya, berkonsentrasi pada gerak angin dan bayangan akan air danau yang benar-benar berhenti beriak. Ia tersentak pada pemandangan itu, sambil mempertahankan posisi tangannya, ia bergerak maju ke depan, memandangi permukaan danau yang bagai es. Tanpa Venice sadari, di sekitar tepian danau, ada sebuah batasan yang berupa angin, seakan-akan membatasi gerak udaranya, lalu dengan masih tatapan tidak percaya, dari atas danau, ia melihat sebuah gumpalan awan yang pelan-pelan menurunkan salju. Apa? Salju? Yang benar saja! Venice tidak tahu kenapa ia tiba-tiba bisa mengeluarkan salju hanya sebatas di danau. Ia terbengong-bengong, antara takut dan terkejut. Permukaan danau mulai membeku. Udaranya semakin dingin. Venice memandang sekitar, pohon-pohon disekitarnya tidak terkena salju. Mereka hanya sesekali bergoyang terkena angin malam. Venice ketakutan, ia melihat ke arah Egra. Burung raksasa itu sedang memejamkan mata dan meletakkan lehernya di tanah. Sekarang, kalau Moon Lake berubah jadi salju begini, bagaimana cara mengubahnya kembali? Tidak tahu. Ia benar-benar kehabisan akal. Yang sekarang ia percayai hanyalah pikirannya. Ia punya kendali atas cahaya itu. Pelan-pelan, Venice memejamkan mata, menarik napas lalu membuangnya pelan. Kalau ia bisa membuat salju, maka ia bisa menghilangkan saljunya. Pelan-pelan, Venice berkonsentrasi penuh pada bayangan danau yang berair, riaknya yang mendesir terkena angin malam. Ia memutar tangannya, membuat gerakan untuk menghalau perbatasan angin ditepian danau. Seketika awan salju yang tadi memudar, hujan salju menghilang, permukaan danau mencari, dan dalam beberapa detik, pemandangan itu berubah menjadi sedia kala lagi. Demi apa ini semua terjadi? Tiba-tiba dari belakangnya, tepat di pinggir hutan Moonlake, terdengar suara tepukan tangan lambat. Venice menoleh tersentak ke arahnya, lalu memicingkan mata ketika melihat seorang pria muncul dari bayangan hitam yang menyelimutinya. Senyum pria itu tersungging, ia menatap Venice penuh kemenangan. “Pertunjukkan yang sangat hebat, Venice.” Venice kian termenung. “Siapa kau?” “Aku khawatir kau tidak bisa melupakan hari ini setelah berkenalan denganku,” katanya sambil mengibaskan rambut di depan matanya. Pancaran matanya seterang Moonlake. Untuk pertama kalinya, Venice terpikat pada suatu hal yang ada di depan matanya. Jantungnya mendesir bersamaan senyum di wajah itu terangkat. Tubuhnya lebih tinggi dari Venice, di bajunya terdapat ekor seperti baju pangeran di drama-drama kolosal. Banyak kancing dari batu unik yang menempel di bajunya. Kerah baju itu agak meninggi, sisa kain yang melilit di bajunya di biarkan terurai ke belakang, membuatnya terhempas angin beberapa kali. Sebelah tangannya menggenggam sesuatu, seperti pisau kecil dari es. Venice ingin mencuri pandang, tapi pria itu sudah mendekat lebih dulu. “Sedang apa kau di sini?” Venice menyembunyikan gugupnya, ia beralih was-was, mengetahui banyak makhluk yang masih belum ia kenali, bisa saja pria yang ada di depannya ini salah satu keturunan abbys. Miya pernah bilang, keturunan Abbys adalah makhluk berbahaya jika masuk ke Runettra. Lord menjaga Runettra dengan Everlasting Shield yang berfungsi menahan serangan Abbys untuk memasuki Runettra. Venice pernah bertanya kenapa Lord harus memberi Shiled pada Land of Dawn? Miya hanya mengatakan, Lord tidak mau Moniyan dan segala kebaikannya runtuh. Sebelah alis pria itu menaik, tersenyum miring, memandangi Venice dari ujung rambut sampai kaki. “Untuk manusia seukuran kau, menjadi hero pasti bukan yang mudah. Bukan begitu?” Kerut di kening Venice mengendur sedikit. “Apa maksudmu?” Sedetik, pria itu memicingkan matanya lalu tersenyum kecil, “kita lihat sudah sehebat apa cahayamu.” Setelah berkata demikian, pria itu melompat tinggi sekali, membuat Venice terkejut dan mundur selangkah. Ketika Venice menyadari pria itu turun lagi, gerakannya secepat tupai. Lompat ke dahan-dahan pohon tanpa suara, berlari sehalus angin dan di antara kegelapan samar-samar Venice melihat sesuatu yang berkilau dari tangannya. Lebih tepatnya pria itu seperti menggengam sesuatu dengan posisi siap melemparkan benda itu. Venice tahu di mana ia harus bergerak. Lalu dalam gerakan secepat kilat, sebelum menyadari semuanya, Venice melompat ke kiri, hujaman pisau pendek melucutinya. Ia tak sempat berteriak untuk menghentikan pria itu. Hingga hujaman itu tidak berhenti, satu buah langkah membuat kesalahan Venice. Pisau itu mengenai leher Venice ketika berlari menghindar. Venice terjatuh, berdebum ke tanah. Nyeri di pipi kirinya yang terhantam di tanah. Beberapa sayatan baru ia sadari ketika ia merasakan perih di sekitar kulit lengannya. Venice terluka. Ia terbatuk sekali. Sebelah tangannya menyentuh sayatan dalam yang terasa beku di lehernya. “Ya tuhan,” gumamnya menahan rasa dingin yang kian lama-kian menjalar ke seluruh wajahnya. Ia tak bisa berkutat, pria itu mendekati Venice. Sambil memutarkan pisau itu di tangannya lalu kembali memasukkannya ke dalam saku bajunya, pria itu berjongkok dan mendekati Venice yang sesak napas sambil tersenyum sedih. IP“Mungkin pertemuan kita akan lebih baik nanti di kehidupan berikutnya. Setidaknya, kemampuanmu akan kalah dengan kecepatanku,” ia beranjak berdiri, sedikit menunduk menatap Venice yang masih terus berusaha bernapas. Wajahnya semakin membiru karena dingin. “Sampaikan salamku pada Yun Zhao, katakan padanya, aku bukan hanya satu-satunya racun yang membekukan, tapi kami juga akan kedatangan manis yang mematikan.” Setelah berkata begitu, pria itu berjalan pergi. Venice baru saja ingin meringis kesakitan sebelum ia kembali menghentikan langkahnya dan berbalik. “Omong-omong, bilang pada Yun Zhao, kalau Gusion sudah mengetahuinya sekarang.” Wajah Venice sepenuhnya membiru, ia berusaha membuka mulutnya dan membuat napasnya tetap teratur. Tapi ketika pandangannya memburam dan semua tubuhnya menggigil kesakitan, saat itulah dari dalam hatinya ia meneriakkan nama Yun Zhao. *** The Tale of Hidden Land Tangan Yun Zhao yang sedang menggenggam surat, gemetar. Matanya memanas. Setelah sekian lama, kabar itu muncul lagi. Hidden Land Dragon. Kepada Anakku, aku tahu ini sebenarnya tidak perlu kau ketahui, tapi aku ingin kau kembali. Benar-benar saat ini juga. Terakhir kali Yun Zhao membaca surat itu adalah beberapa tahun yang lalu ketika Abbys menyerang Blue Dragon, membuat cahaya Blue Dragon melemah dan kemungkinan akan mati. Sebagai anak yang diturunkan cahaya murni dari Blue Dragon, Yun Zhao tidak bisa tinggal diam. Ia langsung menukarkan sebagian cahayanya kepada Blue Dragon supaya Naga itu bisa bertahan lebih lama. Tapi, ia tidak pernah menyangka kalau Blue Dragon kembali menginginkannya. Apa terjadi sesuatu? Apakah ini tanda-tanda Abbys kembali? *** Tempat Hidden Land Dragon tidak begitu jauh dari Istana Nexus Barat. Yun Zhao hanya perlu menempuh hutan Enchanted dan desa Temple of the Moon. Tadinya ia ingin menaiki Egra, tapi melihat burung raksasa itu tidak ada di rumahnya, ia pergi ke kandang kuda dan menaikinya. Sepanjang jalan, yang ia pikirkan hanyalah Blue Dragon. Semasa kecil, ia masih ingat seberapa keras latihan pedang bersama naga itu. Kata Blue Dragon, dulu kala, mereka ada 3 bersaudara. Red Dragon adalah keturunan pertama, kemudian Blue Dragon dan ketiga Black Dragon. Semasa kejayaannya, wilayah ketiganya sama-sama adil. Red Dragon tinggal di Utara, Blue Dragon di Selatan, sementara Black Dragon di ujung Timur, jauh dari Utara dan Timur. Namun karena salah satu roh Abbys merasuki naga dengan kekuatannya beberapa abad silam, Red Dragon dan Black Dragon mati dalam perjuangan melawan cahayanya sendiri. Blue Dragon yang mengetahui pengaruh cahaya itu ternyata sangat besar, maka ia memikirkan caranya untuk membuat keturunan yaitu memberi sebagian cahaya itu ke anak pengembara. Dan Yun Zhao adalah ksatria terpilih itu. Yun Zhao tidak memiliki ibu dan ayah seperti kebanyakan makhluk lain miliki. Sejak kecil ia hanya belajar menghormati Blue Dragon yang membesarkannya dengan penuh teknik bela diri dan cahaya. Ia masih ingat kata-kata Blue Dragon waktu itu, "anakku, kalau salah satu di antara kita mati, aku hanya berharap Hidden Land tidak hilang dari peradaban. Aku ingin mereka tahu, kalau para Naga pernah memiliki kekuatan yang mengalahkan kebijakan. Jagalah cahaya itu, kalau kau membaginya lagi, maka kekuatanmu akan besar dan kebaikan akan menjadi keabadian." Peradaban Naga pun berakhir dengan Blue Dragon yang sudah menua. Yun Zhao tidak memiliki siapa-siapa lagi jika Blue Dragon mati, baginya, itu sama seperti langit dan bumi. Yang tidak bisa hidup jika tidak melengkapi. Kaki kuda Yun Zhao melangkah penuh tenaga dan cepat. Debu tanah yang berdebum meninggalkan jejak angin. Yun Zhao baru saja hendak berbelok memasuki Temple of the Moon dan melewati kerumunan Elf. Mereka berteriak "beri jalan! Sang putera Blue Dragon akan lewat!" Dan ia hanya tersenyum sekilas sambil terus melucuti tali yang melingkari leher kudanya untuk terus berlari. Tapi, ketika ia melewati Moonlake yang sepi, sang kuda berdecit berhenti di depan seseorang yang terbaring tak sadarkan diri. Yun Zhao mengernyit dalam. Matanya membelalak ketika ia mengetahui sisi wajah seseorang itu. "Venice? Venice!" Ia berseru sambil turun dari punggung kuda, berlari menghampiri tubuh gadis itu. Ia menarik Venice ke atas pangkuannya, menyentuh wajahnya. Dingin. Dalam sedetik, ia segera melihat ke sekitar. Matanya bergerak-gerak, membayangi jejak seseorang lewat mata naganya. Gussion. Lalu, semerbak bayangan itu muncul, dan Yun Zhao menyentuh kepalanya yang berdenyut sakit seiring tekanan yang ia rasakan ketika Gussion melemparkan dagger penuh racunnya ke leher Venice. Pelan-pelan ia meletakkan tubuh Venice ke tanah lagi, lalu dari kantung bajunya, ia mengeluarkan sebutir Magic Plum. Ia merunduk, hendak membuka mulut Venice yang tertutup rapat menggunakan tangannya, tapi tidak bisa. Mulut Venice seperti patung. Apa ini? Kenapa sihir Gussion semakin parah? Ia memandangi buah itu sejenak, lalu ke arah Venice yang terpejam. Mau tidak mau, ia harus memasukkannya sendiri dengan kekuatan cahaya atau Venice akan mati. Ia tidak tahu sudah berapa lama Venice tak sadarkan diri, tapi jika lebih dari 24 jam tidak diberi Magic Plum, cahaya Venice akan mati. Dan seluruh raganya tidak pernah kembali ke dunia manapun. Yun Zhao menggigit Magic Plum, mengunyahnya sejenak lalu menelan itu hingga rasanya memasuki liang cahaya dalam tubuhnya. Ia merunduk, menyentuh dagu Venice, lalu menyentuhkan bibirnya dengan bibir Venice yang beku. Cahaya dalam tubuh Yun Zhao menyala, ketika mulut Yun Zhao membuka, kebekuan di bibir gadis itu melunak. Dengan pelan, ia berusaha membuka mulut Venice, dan sekali lagi, ia memasukkan ramuan Magic Plum lewat cahaya itu. Venice terbatuk beberapa kali setelah Yun Zhao buru-buru melepaskan ciuman itu. Ia tidak tahu kenapa harus selalu memakai cara ini, tapi ia berharap Venice berhasil bernapas kembali. "Ya Tuhan!" Venice terperanjat dari bangunnya. Wajah birunya lenyap, ia bangun dan terduduk di tempat sambil memegangi kepalanya. "Apa yang terjadi?" Yun Zhao berkata acuh tak acuh, ia bangkit dari posisinya dan menatap Venice yang masih merasa pusing. Gadis itu mendongak, matanya memicing tajam. "Apa setidaknya memperingatkanku kalau Gussion bisa saja datang?" Mata Yun Zhao berkilat. "Masa depan tidak selalu terprediksi dengan tepat. Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak bilang kalau kau akan membawa Egra juga?" Venice menoleh ke arah Egra yang memandanginya dan Yun Zhao. "Aku hanya butuh ketenangan. Jadi aku pergi ke sini." Venice menundukkan kepala, ia berkata lemah. Yun Zhao tidak tahu rasanya menjadi manusia seperti apa. Tapi Miya pernah memperlihatkan kehidupan di Bumi. Dan itu mungkin penuh tuntutan. Dan itulah yang menyebabkan Venice sulit menerima segala hal di Land of Dawn. Karena manusia selalu menganggapnya sulit, sementara Land of Dawn hanya mengajarkan bagaimana menjadi diri sendiri. "Apa kau masih sakit?" tanya Yun Zhao kali ini sedikit memancarkan simpatiknya. Venice bangkit berdiri, membersihkan bajunya dari debu tanah dan tersenyum kecil. "Terima kasih. Apa aku bisa saja mati tadi?" "Ya." Mata gadis itu tertegun. Yun Zhao buru-buru melanjutkan. "Kalau bukan karena aku yang memberikan Magic Plum ini cepat-cepat, setelah 24 jam mungkin jasadmu sudah benar-benar membeku," jelas Yun Zhao tanpa menaik turunkan nada suaranya. Venice berjalan ke tepi Moonlake, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh permukaan airnya hingga beriak tipis. "Gussion itu siapa? Apakah dia akan menjadi lawanku nanti?" Yun Zhao menjawab singkat, "ya." "Ajaibnya, aku baru tahu kalau tingkat sihir Gussion sehebat itu," lanjutnya tanpa niat menyindir Venice. "Apa … Aku bisa mati lagi?" Suara Venice bergetar. Gadis itu nampak ketakutan. Yun Zhao tahu. Tapi karena bakatnya yang terbatas, kekuatan angkasa yang mengelilingi tubuhnya kadang tak cukup menguasai logika di kepalanya. Belum, hanya masih belum. "Kita semua akan mati, Venice. Maka itu, aku ingin kau tahu, bahwa kau tidak perlu takut untuk itu. Kau hanya perlu percaya, kalau dunia ini, benar-benar ada." The One Dengan kecepatannya, Gussion membelah hutan Enchanted tanpa cekatan. Kakinya ringan dan tangguh untuk melewati dahan per dahan pohon besar di dalam hutan. Ia harus kembali ke Istana, ini berita besar. Ia berhasil mengetahui Venice dan segala keraguannya. Dari awal ketika ia melihat hero baru itu dari cermin paralel Lunox, ia tahu kalau seorang manusia pasti memiliki rasa takut yang lebih besar. Apalagi dunia seperti ini sulit diterima makhluk paling logis di dunia. Dan itu mengingatkannya pada Gussion yang dulu. Ketika ia dan orangtuanya memasuki Gerbang Utara, yang adalah perbatasan Bumi dan Land of Dawn. Waktu itu Gussion masih kecil, dan ia merasa Runettra saat itu sangat indah dan menakjubkan. Kedua orang tua Gussion adalah penyihir dari Inggris. Jadi, sejak kecil pun Gussion tidak pernah merasa aneh dengan segala sihir-sihir di Bumi. Ia tahu kedua orangtuanya memiliki kerajaan sesungguhnya beserta wilayah dan prajurit di Runettra. Namun karena kesalahan orangtuanya, Gussion jadi terperangkap seperti anak bayi. Waktu bergulir dan Gussion membangkang hingga terjadi kecelakaan yang memaksanya untuk mengabdi kepada Lord Nexusis. "Lunox!" Gussion menuruni tangga istana setelah melihat sayap Lunox melewati lorong. Ia harus segera memberitahu semua timnya, ini adalah hal paling penting untuk pertarungan selanjutnya. Lunox berhenti di tempatnya, menunggu Gussion melanjutkan. "Venice masih sangat buruk," ujarnya agak tersengal setelah melompati anak tangga langsung ke lantai bawah. Lunox mengamati Gussion tanpa ekspresi lalu mereka melanjutkan langkah menelurusi lorong. Beberapa obor api di gantung di sekitarnya. Ada beberapa pintu kamar tamu di sepanjang lorong, sementara di depan pintu kamar itu terdapat jendela tanpa kusen yang hanya terbuka begitu saja, mengangkat tirai-tirainya terbang karena angin malam. Purnama menggantung tinggi, Nexus Timur terang oleh cahaya itu. "Apa yang kau lakukan Gussion?" tanya Lunox tanpa menaikkan sedikitpun nadanya. Gussion menatap Purnama itu. Seakan-akan ia bisa melihat mata Moongod mengancamnya. Semua hero tahu kalau kerajaan terbesar di Runettra adalah Hidden Land Dragon, sedangkan kerajaan kedua adalah Temple of the Moon. Mereka menguasai daratan dan langit. Moongod adalah legenda lama yang sampai sekarang masih hidup di antara mereka. Dan Gussion tahu tujuan Venice ke sana malam itu. Gadis itu bukan seseorang yang tangguh untuk menghadapi kenyataan, seperti halnya seorang manusia. "Apa kau sudah melihat sesuatu dari hero itu?" Gussion memandang Lunox yang lebih pendek darinya. "Semalam belum. Tapi sepertinya perlahan-lahan, cahaya hero itu menyala," jawab Lunox menelaah pikirannya sendiri. Gussion hanya tersenyum miring. "Dia mungkin sudah mendapatkan cahayanya utuh. Tapi dia belum tahu kekuatannya sebesar apa. Kamu bertarung. Tapi dia terlalu cepat untuk kalah," Gussion berjalan ke arah jendela, masih terus memandangi Purnama. "Gussion, seharusnya kau tidak meremehkannya sejauh ini. Kedatangan Kagura adalah lawan yang tepat untuknya. Bukan kau." Lunox mendekat, menjelaskan agak intens kepada pria itu. "Aku hanya mau tahu kekuatannya apa. Meski aku merasa ada yang aneh dengan matanya, tapi aku yakin dia belum bisa mengendalikan semua itu. Kau berharap apa? Dia manusia," ujar Gussion tanpa niat menyindir, ia hanya merasa manusia sampai kapanpun tidak akan mengerti tentang sihir ini. "Kau benar. Dia manusia. Kadang manusia sangat sulit mengerti dirinya sendiri. Apa itu mengingatkanmu pada sesuatu?" Lunox bertanya lembut, tidak ada niat untuk menyindir Gussion, tapi pria itu sudah tahu. Seharusnya ia dan Venice yang sesama manusia tidak saling mengalahkan, karena mereka sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu; keraguan. "Gussion, kau hanya perlu bersiap dan memenangkan pertarungan. Urusan hero baru itu ada di Kagura. Kalau kau berniat mengalahkannya, urusanmu akan ada pada Hidden Land. Kau ingat, Yun Zhao menurunkan cahayanya ke gadis itu?" Pernyataan Lunox mengingatkan Gussion sejenak. Ia menatap Purnama, bisik-bisik Moongod yang sedari tadi hendak menyentuh telinganya seketika seperti terdengar di kepalanya. Gadis itu bisa paling kuat. Bahkan, Moniyan pasti butuh kekuatan itu untuk melawan Abbys. Kejeniusannya tanpa batas dan kekuatannya 4 musim yang bisa meledakkan Runettra sekalipun. "Kau hanya perlu lebih cepat daripada aku. Kelemahannya hanya satu," Gussion menatap Lunox penuh keyakinan, "kecepatan. Dia sangat lambat, dan jangan sampai menatap matanya langsung." "Kenapa?" Gussion tersenyum kecil sambil mengangkat sebelah alisnya. "Sesuatu di matany bisa menghipnotismu dan merasukimu." *** Faith Siang itu, setelah Venice kembali dari kamarnya, ia dan seluruh hero dipanggil untuk berkumpul di ruang pertemuan membahas strategi baru. Alice bilang, strategi kali ini akan cukup tricky, karena mengingat hero baru dari Nexus Barat adalah Master Onmyouji dari Selatan. "Apa itu Onmyouji?" tanya Venice kepada Alice yang berjalan penuh legok. Ia memiliki sayap besar di punggungnya. Karena Alice keturunan Vampire, maka separuh badanya kadang bisa bergerak dan terbang seperti kelelawar. Bedanya, Alice tidak meminum darah, keturunan Blood O sudah lepas dari tradisi lama. "Onmyouji itu semacam perkumpulan dari tradisi desa Sakura Selatan. Ia memiliki hubungan baik dengan para roh. Mereka merupakan mahkluk terkuat dan terlincah. Kau ingat Gussion? Setahuku Kagura adalah lawan terberat Gussion. Kekuatan Gussion itu ada di kecepatannya, jika bertarung melawan Kagura, Gussion bisa kalah karena Kagura lebih cepat dalam perbedaan 0.1 detik," jelas Alice selama perjalanan di lorong menuju ruang rapat. Sejenak, Venice teringat kembali pertarungannya dengan Gussion. Bagaimana pria itu begitu memesona sampai ia lupa kalau mereka bukan dari kubu yang sama. Pisau es yang melesat di lehernya, masih Venice ingat dengan jelas rasanya. Tegang di sekitar wajah, dingin yang menjalar dan rasa sesak napas sehingga tidak bisa bicara. Venice ingat semua itu. Dan jika ia bisa menguasai kekuatannya secepat mungkin, bahkan Venice tidak tahu apakah ia bisa lebih cepat dari Gussion. "Bagaimana kau tahu Kagura lebih kuat dari Gussion?" Mereka telah sampai di ujung tangga. "Oh yang benar saja. Kita punya cermin paralel di kepala Yun Zhao. Jadi ia bisa melihat semuanya!" Alice berseru, namun Venice dengan satu sentakan menghentikan langkah Alice sebentar. "Apa Yun Zhao bisa membaca pikiran orang?" Venice agak memaksa Alice yang lebih tinggi darinya merunduk, setengah berbisik. Entah kenapa, tiba-tiba ia takut kalau Yun Zhao mulai membaca-baca masa depannya. Selain ia masih takut, ia tidak mau melihat kenyataan apa yang harus ia hadapi nanti. Ia lebih memilih menempuh kehidupan tanpa mengetahui masa depan. Terkadang, satu detik hari ini adalah hal berharga untuk masa depan. Tidak ada yang akan tahu soal itu. "Apa? Kenapa seperti ini bicaranya--" "Sshh!" Venice mendesis pelan. "Aku takut Yun Zhao bisa membaca pikiranku," ujar Venice volume kecil. Wajah Alice yang tadi kebingungan seketika tersenyum miring. "Kenapa? Apa ciuman itu memiliki efek terhadapmu?" Kalau ditanya begitu, memang ada efeknya. Ia menjadi seperti lebih aman dan tenang. Darahnya seperti di selimuti oleh tombak dan perisai baju Yun Zhao. Ia terikat, oleh cahaya itu, Venice selalu merasa tidak pernah sendiri. Buru-buru Venice menggeleng. "Tidak. Tidak. Ciuman itu, mungkin yeah, hanya sepersekian detik karena aku benar-benar kaget ia melakukannya." "Yeah, Yun Zhao pria yang sulit ditebak," kata Alice sambil mengedipkan satu matanya dan hendak berjalan lagi. "Tapi bukan itu intinya! Maksudku, meskipun aku dibantu Yun Zhao, aku masih tidak yakin apakah aku bisa membuka semua kekuatanku," Venice menunduk lemah, seketika ia merasa kakinya rapuh untuk berjalan. Alice mendekatinya pelan, lalu menyentuh pundaknya, merendahkan suaranya. "Venice, kau tidak sendiri. Aku pun sama sepertimu dulu. Tapi karena aku yakin kalau aku adalah Puteri dari Kerajaan Blood O, kekuatan itupun mengalir sendirinya. Dengar," ia agak membungkuk, berbisik di telinga Venice, "kalau kau sudah menguasai kekuatanmu, mudah untukmu mengalahkan semuanya. Kau adalah anak Pixie." Mata bulat Alice berkilat yakin. Miya bilang, Pixie adalah pemimpin Galaxy. Tempat yang jarang bisa dikunjungi oleh hero-hero yang bukan berkekuatan khusus Langit. Hanya Great Dragon dan Moongod yang bisa mengunjungi tempat tanpa batas itu. Moongod bilang, Pixie adalah dewi paling bijaksana dalam menentukan langkah. Ciptaannya dalam membuat empat musim untuk mengendalikan Bumi adalah pengaruh besar untuk Abbys. Abbys yang mudah mempengaruhi manusia di bumi, kadang tidak betah dalam perbedaan cuaca tertentu. Karena pada dasarnya Abbys sangat menyukai gelap dan lembab. Tapi, meskipun semua itu dikatakan langsung oleh para sesepuh di Runettra, Venice selalu berharap bisa bertemu Pixie. Siapapun Galaxy yang menaunginya, ia hanya ingin tahu seberapa kuat ia bisa mengendalikan semuanya. *** Di dalam ruang pertemuan yang sangat luas itu, Venice berdiri di antara Balmond dan Alice. Ruangan itu hanya diterangi dari api obor yang menggantung di setiap dinding batu. Langit-langitnya tinggi, Venice seakan bisa melihat kehidupan para burung hantu di atasnya. Di depan meja yang bentuknya seperti meja perjamuan malam Kudus itu, berdiri sebuah batu besar yang ditempel oleh papan peta Runettra. Di atas peta itu Venice bisa membaca Runettra Maps dengan gaya huruf sambung klasik. Banyak hero yang tidak datang, hanya ada Natalia, Miya, Alice, Balmond, Tigreal, Alucard dan Rafaela. Hero yang lain tidak muncul di pertemuan ini. "Mungkin kalian tahu Nexus Timur kedatangan Master Onmyouji Selatan, tapi sebenarnya bukan itu yang kukhawatirkan," kata Yun Zhao yang baru saja masuk ke ruang pertemuan langsung berjalan ke depan ruangan. Semua hero langsung tertuju pada pria yang balas memandang semuanya itu. "Mereka justru lebih khawatir pada Venice," lanjutnya membuat semua hero menoleh pada Venice. "Apa maksudnya?" tanya Venice ragu. "Malam itu, ketika Gussion menyerangmu." Yun Zhao membuahkan desis kaget semua hero. Terutama Miya yang langsung menoleh padanya. Alice tertegun memandang Venice. "Kau bertemu pangeran tampan itu? Astaga, apa Miya sudah memperingatkannu tentang kekuatannya?" tanya Alice agak khawatir. Seketika Venice melirik Miya. "Tidak. Aku tidak tahu apa-apa soal kekuatan Gussion." "Lagipula bukan itu intinya," potong Yun Zhao. "Gussion melatih sesuatu yang khusus untuk mencari celah cara mengalahkan Venice." "Lunox pasti membacamu terus, dia pasti akan tahu cara untuk mengalahkanmu nantinya," balas Natalia acuh tak acuh dari sebrang meja. Venice menatap Yun Zhao. "Lunox yang bisa membaca pikiran dan melihat masa depan itu?" "Ya," jawab Yun Zhao singkat. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia kembali melanjutkan, "setidaknya kita juga perlu mencari cara mengalahkan Master Onmyouji itu. Dan strategi kita kali ini harus imbang dengan kekuatan Venice." "Yun Zhao, apa kau punya ide bagaimana caraku untuk benar-benar bisa menguasai kekuatanku? Maksudku, sesuatu yang bisa kusentuh selain keyakinan?" Venice bertanya lantang. Di sebelahnya, Balmon berujar dengan suara baritonnya, "bukankah hanya perlu kau kendalikan lewat pikiranmu?" "Kalau semudah itu, mungkin aku tidak perlu sekarat waktu Gussion menyerangku," jawab Venice sambil terkekeh pelan. Ia berbalik kembali menatap Yun Zhao yang ternyata sedang memandanginya seakan berpikir. "Kalau kau berkenan, aku ingin mengajak kau ke tempat latihanku waktu kecil." Tawaran Yun Zhao seketika menimbulkan desah pelan dari para wanita. Alice dan Natalia saling mengangkat alis dari kejauhan kemudian tertawa. Sementara Miya hanya menatap tersenyum ke arah Venice yang tertegun. "Dulu, Naga adalah makhluk yang memiliki kekuatan paling besar. Tubuhnya tidak sekuat itu menopang anugrah yang ia terima. Tapi karena perputaran waktu dan bantuan matahari, ia bisa menerima diri." "Tapi, … " Miya memotong, "Venice, kau membutuhkannya. Pergilah. Nanti kita akan berlatih lagi setelah kau kembali." Venice tercenung sejenak. Hening merayap, semua hero menunggu keputusannya. "Baiklah. Ayo." Yun Zhao tak membalas, ia hanya merenggut tangan Venice menariknya keluar ruangan sambil mengatakan kalau Miya yang akan mengambil alih rapat strategi. Sementara Yun Zhao masih terus menggenggamnya sepanjang jalan menembus lorong, Venice tidak bisa melepaskan kecanggungan itu. Ia hanya terlalu nyaman dengan kehangatan dari jari jemari Yun Zhao yang menempel erat, memeluk jari-jari tangannya yang gelisah. *** The Hidden Land Dragon Langit cerah Runettra membentang luas di atas kepalanya. Rambut Venice berkibar di tengah Egra yang membawanya bersama Yun Zhao ke Hidden Land. Tanah tersembunyi, suci bagi para Naga dan keturunannya. Dulu, kalau di film-film, yang Venice tahu, Naga adalah makhluk langka yang jumlahnya tidak banyak. Mereka sangat di rahasiakan keberadaannya demi menghindari perburuan. Namun keberadaan Naga terkadang tidak diakui karena makhluk itu terlalu jarang dibicarakan di Amerika. Di sebagian film Asia, terkecuali. Yun Zhao menggenggam tali kendali Egra. Meski Egra tahu tujuan mereka tanpa harus di arahkan lagi, Yun Zhao hanya ingin Venice terus membayangi Hidden Land di sepanjang perjalanan. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Yun Zhao dari balik bahu Venice. Ia duduk di belakang Venice. "Tidak ada. Hanya sedang memikirkan kehidupan di Bumi," ujar Venice memandang lurus. Ke awan-awan yang ditembus Egra, profile gadis itu terkesan polos. Yun Zhao tahu seberapa luas dan rinci pemilik otak jenius tanpa batas itu, namun di sisi lain, ia juga melihat sebuah luka. "Apa kau tidak nyaman duduk di Egra bersamaku?" Yun Zhao menahan senyum usilnya sementara Venice tersentak enggan. "Yang benar saja. Egra membuatku nyaman," katanya sambil mengelus bulu leher burung itu. Yun Zhao hanya tersenyum kecil dari belakang gadis itu. Berkat turunan cahaya Blue Dragon, tidak ada seorang pun yang bisa membohongi seorang Putra dari Hidden Land. *** Egra melebarkan sayapnya, perlahan-lahan turun di sebuah kubah khusus ketika mereka sampai di sebuah perbatasan awan tebal. Istana itu bagai kristal di tengah sorotan matahari. Venice kira bangunannya hanya dialasi oleh awan, mengambang seperti dunia fantasi yang sebenarnya. Namun ketika Egra melewati pinggiran Istana, ia melihat gunung di bawah istananya. Puncak gunung yang terlalu tinggi, di selimuti awan dan dikelilingi fajar serta senja. Itulah Hidden Land of Dragon. Tanah yang hanya bisa kau masuki ketika kau diundang. Yun Zhao bilang, Hidden Land akan sulit ditemukan jika kau pergi sendirian untuk mencarinya. Semakin kau cari, tanah itu tidak akan ketemu. Tapi jika kau percaya pada dirimu sendiri, maka Hidden Land akan menunjukkan jalannya padamu. "Apa aku cukup percaya diri?" tanya Venice ketika turun dari Egra. Yun Zhao menoleh ke arahnya, menatapnya beberapa detik lalu menjawab pendek. "Tidak." Istana itu tidak lebih dari beberapa kastil yang menjulang. Batu-batu putih berdiri kokoh di antara awan. Cahaya matahari menembus permukaan istana. Di tempat Egra, kubah itu sudah cukup menampilkan seisi istana. Hidden Land sama seperti istana Nexus Timur. Bedanya, segala hal yang ada di sini berwarna keemasan dan begitu putih. Jalan setapak yang dibuat di atas danau, pilar-pilar yang menopang kubah teras, serta patung-patung Naga di pinggir gerbang masuk. "Blue Dragon, keadaannya agak…" Venice menoleh khawatir ke arah Yun Zhao. Pria itu agak tertunduk ketika mereka berdiri di depan gerbang. "Ada apa Yun Zhao?" Yun Zhao mengangkat wajah, menatap Venice di matanya. "Sekarat." Mata Venice membulat. "Apa? Apa yang terjadi?" "Cerita yang panjang. Sudah kewajiban naga untuk membagi cahayanya, jadi ketika cahaya dari dirinya akan redup bersamaan usianya, yang bisa kulakukan hanya memberinya cahaya kembali supaya tetap hidup," jelas Yun Zhao. Venice mengerutkan kening sejenak. Ia tidak tahu apa-apa soal cahaya Naga. Bahkan ia baru tahu kalau Naga memiliki cahaya sendiri. Apa semua makhluk memilikinya kalau begitu? "Ya semua makhluk memilikinya, bahkan Egra punya." Venice tidak lagi tersentak ketika pikirannya dibaca oleg Yun Zhao. Bahkan itu sudah menjadi hal biasa. Ia melihat garis wajah Yun Zhao dari samping. Dagu yang lancip dan tatapan teduh itu seakan lenyap. "Apa kau harus membawaku bertemu dengannya? Kalau tidak, aku tidak masalah. Kau…" "Aku tidak akan mempertemukan kau dengan Blue Dragon. Aku hanya ingin kau ke ruang rahasia Blue Dragon," kata Yun Zhao sambil berdiri tegak, menyodorkan tombaknya ke arah kunci gerbang. Seketika kunci berornamen kepala naga itu bergerak memutar, dan dengan gerak pelan gerbang besar itu membuka dan membelah cahaya dari dalam istana. Venice tak kuasa menahan teriknya sinar itu, ia menutup matanya sejenak sebelum benar-benar kembali melihat. Istana itu ada di depan matanya. Matanya seakan tersiram oleh semua pemandangan itu. Puluhan pilar berdiri kokoh di setiap sisi lorong teras yang terbuka. Sebuah air mancur keluar dari mulut patung naga berwarna putih. Di sekitarnya ada taman membentang hingga ke jalan setapak. Istana yang berwarna putih dan agak berkilau itu diam saja, tapi Venice seperti merasa bangunan itu lama-lama bergerak mendekat. Ia mengerjap sekali, lalu melirik Yun Zhao yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. "Yun Zhao, kenapa istananya sepi sekali?" Hal pertama yang Venice perhatikan. Tidak di Temple of the Moon, di Hidden Land juga. Apakah kediamannya sendiri akan sesepi ini kalau siang hari? "Memangnya harus berisik?" "Setidaknya aku melihat penghuni lain." Yun Zhao menoleh ke belakang, menahan langkah Venice, lalu berujar datar, "penghuni di sini memang tidak banyak. Dan sekalinya ada, mereka hanya berjaga di pertahanan depan, para Finch." "Apa? Finch?" Venice berkerut dalam, bingung. "Ling. Dia adalah penjaga Hidden Land yang diutus oleh Black Dragon dari sungai Cadia. Keberadaan mereka sebenarnya tahanan, tapi karena tuan mereka, Black Dragon sudah dibekukan, maka mereka hanya bisa meminta cahaya dari Blue Dragon. Dan sebagai imbalannya mereka menjaga garis depan Istana dan Sky Arch." "Apa itu Sky Arch?" tanya Venice. Telunjuk Yun Zhao mengarah ke ujung kastil yang letaknya lebih tinggi. Puncak menara itu tertancap sebuah besi berukir sayap Naga berwarna putih. Di bawahnya, jendela kastil itu tertutup, gelap. "Blue Dragon." Venice terdiam di pandangannya. Ia membayangkan naga besar itu tinggal di dalam menara. Tapi bagaimana bisa? Logikanya naga adalah makhluk besar yang membutuhkan tempat luas. "Jangan terlalu banyak bertanya-tanya. Kau akan melewatkan inti perjalanan ini nantinya," sela Yun Zhao yang sudah membaca kepalanya duluan. "Apa aku bisa ke sini lagi suatu saat nanti?" Yun Zhao baru saja hendak melangkah, ia hanya mengangkat ujung bibirnya, "mungkin." *** Master Onmyouji "Lintasan ini pasti sulit kita kuasai, mereka akan membawa Tigreal. Tigreal selalu cerdik, pendengarannya sangat tajam," ujar Leomord di tengah rapat siang itu. Lunox, Gussion, Karrie, Minotaur, Kagura meriungi satu meja besar itu. Dengan peta besar di atasnya, Leomord memantau setiap sela Battle fields. Biasanya, mereka tidak pernah merencanakan pertarungan sampai sedetail ini, tapi karena lawannya adalah Venice, hero yang belum diketahui kekuatannya akan seperti apa, maka mereka menelaah segala kemungkinan yang hero Nexus Timur lakukan. Leomord seharusnya bisa membaca setiap gerakan Nexus Timur. Tim mereka lebih lambat dibanding kecepatan Gussion atau Karrie. "Masalahnya, apa yang akan kita lakukan jika sampai sekarang saja kita belum tahu kekuatan anak itu? Beberapa minggu lagi Ekuinoks. Kita tidak tahu sampai kapan lahan kita semakin menipis, bukan?" Karrie menegakkan dagunya, memandang penuh kerut ke arah Leomord. "Karrie, kau hanya perlu bertahan di Towermu, sisanya kami yang bertarung," ujar Minatour. "Oh ya? Lalu kau hanya akan mati kemudian bangkit dengan sisa cahayamu itu dan kita kalah, begitu? Tidak, kita butuh …. " "Kita bisa mempertimbangkan itu," sahut Leomord tanpa berniat menyambung komentar Karrie soal pertahanan mereka. Selama ini, taktik dan strategi Leomord adalah cepat di menit awal, kemudian sisanya Minatour dan Karrie menjaga posisi, maju jika mereka sudah memimpin langkah, atau bertahan jika mereka terkunci oleh Nexus Timur. Kagura, dengan payung Seimeinya yang selalu dibuka dan diletakkan di pundaknya itu beranjak berdiri dan mendekati meja itu. "Sebenarnya, aku punya sesuatu yang bisa membantu," katanya pelan membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Kimono rok pendek yang senada dengan warna pita rambutnya menjuntai lurus di punggungnya. Harum sakura bertebaran di sekitar tubuhnya. Minatour yang berdiri tepat di sebelahnya hanya tersenyum menikmati setiap pesona itu. "Tidak. Kau bisa menuliskannya nanti saja. Kita tidak bisa membicarakannya sekarang--" Leomord mengangkat tangannya. Tapi Kagura lebih dulu menyentakkan payungnya ke atas, mengibaskannya di udara hingga serbuk berwarna merah muda menjatuhi meja. Kagura berputar ketika payungnya semakin bercahaya. Kemudian ketika seluruh tubuhnya mulai diselimuti cahaya merah muda itu, meledaklah sinarnya. Lunox dan yang lainnya menutupi wajah mereka dengan kilau cahaya itu. Dan ketika mereka membuka mata, seluruh dinding batu yang gelap dan temaram itu berubah jadi agak terang. Di sekitarnya ada sebuah udara yang seperti pembatas udara luar dan dalam. Kagura membuat perisai Seimei, hingga udara dan suara hanya berkabung dalam lingkaran itu. "Aku pernah menemui Abbys," katanya langsung. Gussion yang baru saja membuka mulut hendak bertanya apa yang baru saja ia lakukan kembali tertegun pada perkataan gadis itu. Leomord turun dari kursinya, ia menyentuh lapisan perisai itu. Rasanya seperti air. "Siapa dia?" tanya Leomord datar. "Selena." Karrie dan Minatour tersentak dalam diam. Selena adalah Abbys yang bermuka dua. Wajahnya bisa jadi secantik peri, atau bisa jadi seburuk monster Abbys. Kelompok Abbys yang di pimpin Selena hampir saja membobol perisai pertahanan Runettra. Kalau bukan karena Freya yang membangkitkan kaum penjaga Moniyan, mungkin Runettra akan habis ditelan kegelapan. Selena bukan makhluk yang mudah ditemui, tapi bagaimanapun juga, tak seorang pun ingin menemui atau bertemu Abbys. "Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?" tanya Minatour. Kagura menyibak payungnya, "Selena hendak menghancurkan desa kami. Bahkan, ia berhasil merenggut nyawa Kakekku." "Aku turut berduka," sembur Minatour. "Aku sama sekali tidak sedih. Karena dengan kematian kakekku, aku jadi tahu kelemahannya." Karrie tersenyum miring. "Semua Abbys memiliki kelemahan kalau aku bisa sekuat Blue Dragon." "Apa yang kau bicarakan, Kagura?" tanya Gussion langsung pada intinya. "Aku bisa memanggilnya kembali jika aku membutuhkan kekuatannya," jawabnya dengan nada lembut tapi tersirat kelicikan yang lebih daripada Alucard. Leomord hampir menjatuhkan tongkatnya. Ia mendekati Kagura. "Apa maksudmu memanggil Abbys? Apa kau…?" "Ia hampir mati olehku. Aku belajar cara membuka cahaya dengan bantuan Roh Seimei dari kakekku. Ketika kucoba dengan mahkluk itu, aku memilih bernegosiasi dengannya dengan menukarkan separuh kekuatan dan cahayanya dengan umur yang agak panjang," jelas Kagura. Tatapan matanya teduh, tapi Karrie tahu kalau gadis mungil dan cantik ini tidak lebih dari ular yang menyelip di antara bulu anak domba untuk menerkam ibu dombanya. Lunox terpejam, mencoba menyamakan cerita Kagura dengan penglihatannya. Beberapa saat ketika Lunox melihat semuanya, ia tersentak sendiri, sayapnya agak menyala saat ia menatap Kagura. Matanya berkilat takjub. "Selena bahkan benar-benar memilih mati. Tapi Abbys tidak mau selemah itu. Ia ingin mencari cara untuk menarik kembali umurnya, atau cahayanya tapi kau…" mata Lunox kembali melebar, ia memandang Kagura tergagap. "Kau menyiksanya dari alam bawah sadar." "Apa?" "Hah?" Gussion dan Karrie sama-sama tersentak pelan. Antara sadar atau tidak sadar mendengar pernyataan Lunox. Kagura kembali menjelaskan. "Alam bawah sadar bisa kukendalikan jika cahaya Selena sedang lemah. Dan itu bisa kukendalikan apabila ia sedang tertidur. Ingat? Aku dan cahayanya telah bersatu. Aku dan ia tidak bisa dipisahkan kecuali aku membuang cahayanya." "Lalu, kemana arah pembicaraanmu ini?" Leomord tak sabaran, kerut dikeningnya sudah cukup menimbulkan banyak tanya dan ketakjuban. "Kita akan mempersiapkan senjata rahasia." Kagura berujar yakin. "Tapi kita tidak bisa bekerja sama dengan kekuatan Abbys. Kalau Moniyan tahu kita akan…" Karrie belum selesai bicara ketika Leomord menahan tangannya. "Maka jangan sampai tahu," katanya berbisik. "Lagipula, kita sampai sekarang juga belum tahu kekuatan Venice, bukan?" sembur Minatour. "Sebenarnya aku tahu," sela Gussion. Lunox menoleh ke arahnya sekilas. Leomord menoleh ke arahnya, menunggunya melanjutkan. "Aku mengikuti Venice dari Hutan Enchanted ketika aku sedang mengambil Magic Plum. Ia terbang bersama burung raksasa itu dan turun di Moonlake. Di sana Venice berusaha mengendalikan air di dalam danau. Ia berbicara sendiri dan danau itu berubah menjadi salju. Sedetik kemudian, ia berubah menjadi air lagi," jelas Gussion sambil membayangkan pertemuan terakhirnya dengan gadis itu. Leomord angkat bicara. "Ia mengendalikan musim?" "Nenek moyangnya adalah Langit dan Angkasa?" tebak Karrie yang membuat Lunox tersentak. "Kekuatan itu sangat besar bukan?" kata Lunox menatap Leomord. "Ya, tapi intinya Venice tidak bisa menggunakannya untuk menyerangku. Ia roboh sebelum mengeluarkan kekuatannya. Aku terlalu cepat untuknya." Gussion tahu itu karena semua lawannya hanya akan kewalahan dengan kecepatan yang dimilikinya. Daggernya setajam mata elang, dan karena bentuknya seperti es, semua musuhnya akan susah melihat. Tapi ia harus mengakui sedikit kalau Venice menghindar dengan cukup cerdik. "Ia terlalu lambat untukku, dengan begitu Kagura tidak ada masalah dengan kecepatan. Namun yang membuatku ragu sampai sekarang adalah tatapannya," lanjut Gussion. Ia menatap lantai ruang pertemuan. Di dalam mata itu, walau hanya beberapa detik, Gussion seperti bisa melihat lautan bintang yang seperti ingin menerjangnya dalam ketidaksadaran. Gussion pernah diberi tahu kalau kekuatan terbesar hanya dimiliki Angkasa dan Langit. "Ada apa dengan matanya?" tanya Karrie cepat. Gussion melirik ragu ke semua hero. "Aku seakan bisa dirasukinya. Matanya terlalu indah. Semua bintang ada di tatapan itu. Kurasa, kita tidak boleh menatapnya terlalu lama. Bisa-bisa ia melakukan senjata rahasia dari sana." "Itu dia." Kagura menyeletuk, "aku akan memakai senjata rahasia. Aku akan menambahkan roh abbys di dalam payungku." Leomord terperangah tidak yakin ke arah gadis itu. "Apa kau yakin bisa mengendalikan kekuatan itu?" "Aku dan cahaya Selena sudah memyatu. Aku bisa mengendalikannya lebih dari apa yang ia lakukan. Kalau Venice semenakutkan itu bagi kalian, aku akan mengurusnya dengan caraku." Setelah berkata demikian, perisai yang tadi Kagura buat runtuh, bersamaan gadis itu beranjak pergi meninggalkan ruangan. Karrie mendesis, "dia terlalu hebat. Tapi sangat angkuh. Sama seperti kau Gussion. Kalian benar-benar cocok." Meski kelihatannya tidak ada yang mendengar omong kosong Karrie, mereka nampak setuju karena semuanya hanya diam dan fokus pada pernyataan Master Seimei tadi. *** The Pigeon Balance Venice dan Yun Zhao berjalan di lorong istana setelah mereka melewati ruang utama yang sangat besar tadi. Pilar-pilar istana dengan ukiran kulit naga dilapisi emas bertengger di tiap jenjang bangunan. Lentera redup terpasang di sekitar ruangan, menerangi sudut-sudut lukisan yang tergantung. Venice menikmati pemandangan itu. Ada banyak patung, lukisan dan guci besar dengan lukisan di sisi luarnya. Sejauh ini, istana Hidden Land tidak nampak seperti istana pada umumnya. Tidak ada meja dan kursi untuk sang raja. Hanya ada patung Naga setinggi 5 meter waktu ia memasuki ruang utama tadi. Yun Zhao menggiringnya tanpa suara ke sebuah lorong yang mereka lewati seperti sebuah goa pendek. Goa itu lebih rendah dari Venice, jadi ia harus membungkuk sedikit sambil mengamati dinding-dindingnya yang dipenuhi kristal berwarna biru. "Yun Zhao, apa ini?" tunjuk Venice ke salah satu potongan kristal sebesar jari kelingking. Pria yang sudah beberapa langkah di depannya itu menoleh. "Ini adalah Goa Ketamakan. Kristal itu mungkin akan berharga di Bumi. Tapi di sini hanya untuk menerangi Goa saja. Kau bisa mengambilnya, tapi tidak lebih dari yang kau butuhkan." "Aku tidak membutuhkannya. Aku hanya bertanya," celetuk Venice kembali melanjutkan langkah. "Baguslah. Kau sepenuhnya bisa kupanggil Hero sekarang," tukas Yun Zhao dengan wajah datarnya. "Aku memang hero." Di ujung goa, Venice tercengang karena di dalamnya ada sebuah ruangan yang amat besar seperti… aula? Tidak. Dindingnya rata oleh batu, di sela-sela itu ada kristal biru yang seperti di Goa tadi. Namun keseluruhan ruangan ini hanya diterangi kristal berwarna biru itu, membuatnya sangat menakjubkan. Venice tidak berhenti mendesah ketika semuanya seakan berkilat di matanya. "Yun Zhao, apa ini semua ada pengaruhnya bagi Hidden Land?" Suara Venice bergaung rendah. Ia menatap Yun Zhao yang berjalan ke arah sebuah pintu. Mirip pintu sebenarnya namun ia tidak memiliki panel. "Sangat pengaruh. Kalau kristal di sini hilang, Hidden Land pun akan runtuh. Maka semua orang harus lewat Goa Ketamakan dulu sebelum ke sini," jelas pria itu. Ia kembali mengangkat tombak, mengayunkannya sesaat ke udara, lalu menyentuhkan ujung tombaknya yang berwarna itu ke pintu. Sesaat, gemuruh menderu. Pintu batu itu perlahan-lahan bergeser kemudian terbukalah sebuah lemari kecil di dalamnya. Venice mendekati Yun Zhao dengan hati-hati. "Apa yang kau lakukan?" tanya Venice setengah berbisik. Yun Zhao berlutut sejenak sambil menyibakkan ekor bajunya, lalu merunduk mengambil sebuah kota kayu seukuran kotak sepatu dan memberikannya pada Venice. Venice tertegun sejenak. "Apa ini?" "Kau bilang kau butuh sesuatu untuk menguatkanmu selain keyakinan, bukan?" Yun Zhao menatap dengan matanya yang sebiru laut. Hati Venice mendesir pelan. Pelan-pelan ia menerima kotak itu. Padahal dalam hati ia sama sekali tidak tahu apakah pantas menerimanya. Bahkan berdiri di dalam sini saja ia tidak tahu apakah Blue Dragon mengizinkannya. Bisa saja Yun Zhao melarang peraturan istana demi membantunya. "Aku tidak melarang peraturan istana. Semua ini kulakukan karena aku hanya ingin kau benar-benar sepenuhnya mengerti kekuatanmu," jawab Yun Zhao atas pikiran Venice. "Bagaimana kalau aku menyalahgunakan ini?" Venice agak mengangkat kotak ini. Yun Zhao menggeleng kecil. "Mungkin kau akan susah pertamanya, tapi percayalah, ini sangat mudah. Buka saja." Kening Venice berkerut menatap Yun Zhao yang menunggunya membuka kotak itu. "Kau tidak sedang membuatku takjub terhadap ini semua, bukan?" Yun Zhao bergeming, menatap Venice sesaat lalu merampas kotak itu kembali. "Eh! Bukan begitu maksudku. Aku hanya… kau benar-benar perhatian di setiap detail yang aku butuhkan.." Venice bisa merasakan pipinya memerah. Ia tidak berani menatap Yun Zhao yang kini rasanya menyiram degup jantungnya dengan sejuta kegugupan. Yun Zhao kembali menyerahkan kotak itu. Ia berkata dengan suara rendah. "Kau adalah sebagian dari aku sekarang. Cahayaku tinggal di dalammu. Aku hanya ingin kau tidak menyalahgunakan cahaya itu dengan memberikanmu semua ini." Pelan-pelan Venice mengangkat wajahnya. Sekarang ia mengerti. Cahaya yang telah bergabung hanya akan semakin menguatkan cahaya murni seseorang. Dan jika seseorang itu tidak bisa menahan kekuatannya, Venice mungkin bisa hancur dengan cahayanya sendiri karena ketamakan kekuatan yang tak terkendali. "Sekarang, kau buka kotak itu." Yun Zhao memerintah pelan. Venice mengamati kotak itu lagi beberapa saat, lalu dengan sekali tarikan napas keyakinan, ia membuka kunci kotak itu dan membukanya. Wajah Venice di siram cahaya sesaat. Ada sebuah pena bulu berwarna putih. Seperti bulu burung Merpati gereja yang sangat putih dan suci. Ia terpukau beberapa saat sebelum menyentuhnya. "Itu adalah Pigeon Balance. Bentuknya bisa berubah-ubah sesuai keyakinanmu. Kalau kau berani, ia akan berubah menjadi sebuah benda yang menyeimbangkanmu. Tapi kalau kau takut, ia akan menjadi sesuatu yang bisa mempertahankan keberanianmu." Venice terlalu terkejut. Ia mengambil bulu itu dengan hati-hati, lalu menunjukkannya pada Yun Zhao dengan ragu. "Bagaimana bisa, benda ini berubah menjadi sesuatu yang menyeimbangkanku?" "Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri," tukas Yun Zhao acuh tak acuh. "Sekarang coba ayunkan bulu itu, kita lihat dia akan menjadi apa." Venice tidak yakin akan melakukannya. Tapi ia sangat penasaran. Sejenak, ia menenangkan pikirannya, memusatkan seluruh konsentrasi pada wajah Gussion yang beberapa waktu menyerangnya. Ia tidak tahu kenapa melakukan itu, tapi dari lubuk hatinya ada keinginan besar untuk melakukan pertarungan lagi dan menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Sebelah tangan kanan Venice terangkat ke udara, lalu dengan sekali ayun, sebuah energi menjalar dari bulu itu. Sebelum cahaya terang muncul, Venice merasa berat ditangannya, dan ketika semua cahaya itu hilang, terkejutlah ia ketika memegang sebuah pedang. "Yun Zhao!" pekik Venice kaget. "Kau tidak ragu. Kau yakin bisa mengalahkan Gussion. Benar, bukan? Kau hanya masih takut tidak bisa mengendalikannya dan menimbulkan kekacauan," ujar Yun Zhao pelan. Ia mendekati Venice kemudian berdiri di belakangnya sambil menyentuh tangan Venice yang menggenggam pedang itu dengan kaku. "Kau tidak bisa menghunus Gussion. Dia terlalu cepat. Tapi kau bisa menepis semua daggernya dengan ini. Ia akan mengendalikanmu, tapi kau juga bisa mengendalikannya." "Apa? Pedang ini?" tanya Venice kikuk. "Bukan. Pigeon Balance. Dia bisa berubah kalau kau merasa tidak yakin dalam beberapa detik." Yun Zhao mundur lalu berdiri di depannya. "Maka, yakinlah pada dirimu sendiri mulai dari sekarang." Hidung Venice kembali terenyuh. Ia tidak tahu sejak kapan bisa merasakan rasa ngilu di hidungnya. Dulu, waktu di kampus ia tidak pernah merasa selemah ini, semuanya sangat mudah dan Venice adalah tiang yang kokoh meski dibudaki teman-temannya. Ia tidak tahu apa yang Runettra lakukan padanya, namun mendapati sosok pria di depannya ini, ia sangat ingin Yun Zhao tahu kalau kehidupannya berubah menjadi lebih baik. "Terima kasih." "Aku tidak mau gratis. Kau harus membayarku." Yun Zhao menahan untuk tidak tersenyum. "Apa?" "Bertarunglah denganku." Venice tersentak. "Apa? Sekarang?" Tubuh Yun Zhao agak bergetar sejenak. Pria itu memejamkan matanya seakan mengeluarkan energi hingga semua perisai bajunya menyala dan berkilat biru. Ujung tombaknya menyala sesuai warna biru perisainya, rambutnya yang berwarna putih berkilau terang. Venice terpana sesaat. Ini adalah tampilan Yun Zhao ketika pertama kali ia melihatnya. "Kau siap?" Venice menelan ludah. Ia menodongkan pedang itu di depan wajahnya. Lalu dengan satu tarikan napas, ia menatap Yun Zhao tajam. "Siap." *** Yun Zhao mengayunkan tombaknya ke udara, dengan gerak cepat ia membuat gertakan hingga Venice balas melawan tombaknya dengan pedang itu. Sejenak, Yun Zhao terkejut. Energi dari Pigeon Balance ternyata lebih dari yang ia duga. Sentuhan keyakinan Venice menyala rata di setiap mata pedangnya. Ia melihat Venice, menatapnya di mata yang berubah gelap itu. Astaga. Itu adalah lautan bintang yang bisa membuat siapapun tinggal dalam keindahan itu. Yun Zhao menggelengkan kepalanya, berusaha lepas dari tatapan itu, kembali mengayunkan tombaknya ke kanan. Venice menepis dengan lincah. Gerakan mereka semakin cepat. Kaki Yun Zhao bergerak maju, tapi beberapa detik kemudian, mata pedang Venice terasa sangat kuat. Yun Zhao berusaha menguatkan tombaknya, memberi semua energi cahayanya pada mata tombaknya, lalu mengibaskan ke seluruh sisi Venice. Namun dengan cepat gadis itu bisa menepis. Semburat bayangan dari pedangnya menyala seperti ada ribuan meteor yang menjatuhi pedangnya. Semakin kuat, dan cepat. Yun Zhao merasa gerakannya semakin mundur. Ia sadar kekuatan Venice semakin terasa. Venice tidak menatap matanya, ia dengan gemulai menepis semua gerakannya, bahkan melakukan serangan balik. Suara pedang dan tombak yang beradu meramaikan ruangan. Yun Zhao tidak memiliki ruang lagi ketika Venice memberi serangan terakhir. Dengan lincah Venice memutarkan Pigeon Balance ke tubuh tombak Yun Zhao, menguncinya lalu menebaskan tombak itu hingga terlempar ke sisi ruangan. "Matamu berubah," kata Yun Zhao memburu napas setelah Venice selesai mengalahkannya. Pedangnya yang masih terangkat di udara pelan-pelan ia turunkan. Venice terpejam beberapa saat, lalu menarik napas dan terduduk lemas. "Apa kau bilang?" Yun Zhao menghampiri gadis itu. "Ada lautan bintang di sana. Apa yang kau lihat?" Venice bersandar sambil terengah. "Hanya kau dan tombak itu. Apa itu menyeramkan?" "Tidak. Aku merasa kau bisa saja merasukiku." "Merasukimu?" "Moongod dan Blue Dragon pernah melakukan energi penggabungan. Waktu itu Blue Dragon bisa saja mati, maka ia meminta keyakinan diri dari kekuatan Bulan. Miya dan seluruh pasukannya membantu Hidden Land ketika Abbys itu masuk dan hendak mencakar Blue Dragon yang sedang sekarat. Moongod terpaksa menurunkan sedikit cahayanya pada Blue Dragon dan membuat Moniyan ikut membantu Hidden Land yang hampir musnah karena Abbys itu. Tapi berkat kekuatan Moongod, kami semua terselamatkan. Cahayanya seterang itu untuk mengalahkan kegelapan Abbys." Yun Zhao tiba-tiba bercerita. "Kau dan Miya membantu perang?" "Ya," kata Yun Zhao sambil menatapnya. "Aku dan Blue Dragon berhutang cahaya pada Moongod. Maka itu, aku sangat menghormati kekuatan Angkasa dan Langit seperti yang kau miliki. Moongod pun mendapatkan cahayanya dari nenek moyangmu." Venice tidak nampak terkejut. Ia lebih seperti berpikir menelaah semuanya. "Cahaya Moongod, cahaya Blue Dragon, cahayaku, dan cahayamu, murni menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau belum sekuat itu untuk sekarang. Tapi aku harap, dengan Pigeon Balance," Yun Zhao menyentuh mata pedang itu, "kau bisa mendapatkannya. Jangan takut." Venice tertunduk, ia seperti memikirkan setiap detailnya. Wajahnya tidak terbaca. Tapi yang Yun Zhao percayai sekarang, setidaknya Venice tahu kalau mereka semua mengharapkan keturunan Angkasa dan Langit itu segera bangun dari ketakutannya. *** About Fearness Venice memandangi Pigeon Balance selama beberapa saat setelah Yun Zhao kembali mengantarnya ke Istana. Kata-kata Yun Zhao tidak berhenti berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Cahaya Moongod, cahaya Blue Dragon, cahayaku, dan cahayamu, murni menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau belum sekuat itu untuk sekarang. Tapi aku harap, dengan Pigeon Balance. Tiba-tiba ia jadi kepikiran tentang kehidupannya di Bumi. Apa karena ini ia jadi orang jenius? Sesekali Venice menelusuri helaian bulu itu dengan jarinya, merasakan ketajaman seperti pedang yang tadi ia pegang. Apa yang ia lakukam tadi saat bertarung dengan Yun Zhao saja rasanya refleks terjadi begitu saja. Ketika pikirannya terus beralih dan memproses untuk menghalau gerakan tombak Yun Zhao, ia dan seluruh tubuhnya seakan merespons itu dan membuat gerakan alami. Ia bisa melakukannya, bukan? Tapi, bagaimana dengan lautan bintang yang orang lihat ketika ia sedang bertarung itu? Apakah ia benar-benar akan merasuki sama seperti apa yang Yun Zhao bilang? Cahaya Moongod, Blue Dragon, dan Yun Zhao. Apa yang nenek moyangnya pikirkan untuk menurunkan kekuatan besar semacam itu? Ia jadi ingat pertemuannya dengan Moongod waktu itu. Kalau Moongod pernah memberikan cahayanya untuk hidup Blue Dragon, maka pantas saja kalau Miya dan Yun Zhao seperti sepasang belati. Miya sangat mengetahui cerita leluhur Yun Zhao karena Moongod pasti menceritakan sejarah itu kepada seluruh penduduk Temple of the Moon. Terlebih, Blue Dragon adalah makhluk paling suci. Keberadaannya hanya satu-satunya yang mampu menyeimbangkan Runettra. Venice berusaha mengingat sesuatu yang sepertinya ia lupakan. Sesuatu tentang Blue Dragon… Ah! Wajah Venice terangkat seketika ketika mengingat kata-kata Yun Zhao soal Blue Dragon yang sedang sekarat. Ia melupakan pertanyaan untuk itu. Padahal bagaimana pun, cahaya Yun Zhao juga milik Blue Dragon. Itu artinya Venice selalu ada hubungan dengan cahaya mereka. Dan sudah seharusnya Venice memaksa Yun Zhao memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari depan kamar, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Venice buru-buru meletakkan bulu Pigeon Balance ke kotaknya baru berteriak "masuk" ke seseorang di depan sana. Wajah Miya melongok dari balik pintu. "Venice?" panggilnya sambil bergerak masuk. Ia menghampiri Venice, duduk di sebelah kasurnya. "Yun Zhao bilang, kalian baru saja melakukan pertarungan dan kau memenangkannya? Benarkah?" Venice tercenung sejenak. "Ya. Apa dia juga memberitahumu soal--" "Pigeon Balance?" sergah Miya cepat. Diam-diam Venice memandang gadis itu ciut. Miya bagaikan tangan kanan Yun Zhao. Apapun itu, Yun Zhao memang sering memberitahu beberapa hal penting kepadanya. Miya adalah pemimpin kedua setelah Yun Zhao. Keberadaannya selalu penting. Baik di pertarungan maupun di pengaturan strategi. Melihat kedekatan itu, Venice selalu minder. Miya hanya terlalu hebat untuk disandingkan dengannya. "Ya, kurasa Yun Zhao memang memberitahu semuanya." Venice setengah bergumam. "Venice, ia melakukan itu supaya aku selalu tahu perkembanganmu. Kami ingin kau tidak memaksakan kekuatanmu sebelum waktunya," kata Miya lembut. Seperti biasanya. Ada apa dengan dirinya? Kenapa tiba-tiba ia seperti merasa ada sesuatu yang direnggut dari hubungannya dengan Yun Zhao? Padahal latihan tadi juga untuk pertarungan. "Kapan waktunya Miya?" Venice beranjak berdiri, mengambil kotak Pigeon Balance di atas meja dekat jendela. "Ekuinoks." Kening Venice berkerut seraya menoleh ke arah Miya. "Apa itu?" tanyanya bingung. "Itu adalah waktu ketika semua sumbu Bumi dan Matahari berada di garis yang sama. Malam dan siang akan sama panjangnya. Dan itu berpengaruh pada pergerakan tanah Runettra bagian Nexus Timur dan Barat. Ibaratnya, Runettra dan Bumi selalu berdampingan, maka efek itu akan terbawa ke sini. Bedanya, Runettra hanya selalu terasa lebih dekat dengan Angkasa. Apa kau merasa begitu?" "Aku baru dengar kata Ekuinoks itu. Apa yang akan terjadi selama Ekuinoks?" tanya Venice. "Runettra akan mengalami gempa beberapa saat. Daratan Nexus Timur dan Barat semakin mendekat. Tapi kami selalu berusaha menjauhkannya. Maka, siapapun yang memenangkan pertarungan, ia lah yang memenangkan lahan. Atau bisa diartikan, lahan kami atau lahan mereka yang saling memakan satu sama lain," jelas Miya dengan sabar. "Jadi, daerah mana yang sudah lebih besar?" tanya Venice hati-hati. "Kami." Entah kenapa, mendengar itu Venice merasa lega. Tapi di dalam hatinya, ia selalu bertanya-tanya, kenapa mereka harus terpisah kalau mereka nampaknya sama-sama kuat? "Apakah pertarungan ini harus terjadi?" tanya Venice pelan. Ia memainkan jemarinya dengan kunci kotak Pigeon Balance. Miya mengamati itu bergeming. Beberapa saat kemudian, gadis itu baru menyahut ragu. "Aku juga tidak tahu. Lord Nexusis selalu bilang kalau Nexus Barat memiliki hero yang keturunan Abbys. Tapi sebenarnya kekuatan itu tidak menurun. Ia hanya memiliki darah Abbys. Sama seperti aku yang memiliki darag elf. Tapi kami selalu berjaga-jaga kalau saja hero itu menyelipkan kekuatan Abbysnya untuk menembus Moniyan dan meruntuhkan Runettra," cerita Miya dengan kepala agak tertunduk. "Jadi, karena posisi Nexus Barat agak ke selatan, sementara posisi kita selalu dekat dengan Moniyan, maka kitalah yang bertanggungjawab menjaga Moniyan?" "Semua makhluk di Runettra harus menjaga Moniyan. Kau tidak tahu kekuatan Abbys jika sudah mencapai perisai pelindung Runettra bukan?" Venice menggeleng ragu. "Abbys bisa menciptakan abbys yang lain dengan ketakutan kami. Dan ketakutan kami adalah, rumah ini. Jika Abbys berhasil menyentuh tanah Runettra, maka mereka akan dengan mudah masuk lewat cahaya itu. Kau mengerti?" Sejenak, Venice menatap Miya yang menjelaskan cukup serius. Ia tidak pernah tahu kalau sebenarnya Abbys lah yang seharusnya mereka takutkan. "Moniyan adalah pertahanan kedua sebelum mereka menyentuh rumahku, rumah Yun Zhao dan rumahmu. Kalau mereka sudah mencapai Moniyan, itu hanya lebih mudah untuk mereka meruntuhkan Runettra." Keduanya terdiam sesaat. Venice yang masih berusaha mencerna itu, sementara Miya hanya memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. "Maka itu kami selalu bertarung. Kami hanya berusaha untuk melatih diri, jika seandainya rumah ini direnggut Abbys." *** The Last Dragon Naga itu mengerang keras bersamaan cahaya di dalam jantungnya berkedut nyala. Hembusan napas dari hidungnya yang besar mengeluarkan sepercik api. Sejenak, ia mengangkat kepala dan leher panjang yang meliuk berbentuk S ketika seseorang memasuki ruangan besar itu. "Yang Mulia," sapa seekor Elang berbulu cokelat emas itu ketika ia turun dan mengepakkan sayapnya di hadapan Blue Dragon. Yang di sapa hanya mengangguk lemah, Naga itu mengangkat lengannya pelan, membenarkan bulu sayapnya yang terjepit kakinya. "Ekuinoks tinggal beberapa minggu lagi. Apa kau yakin bisa bertahan sejauh itu? Aku harus memberitahu Yun Zhao untuk memberi cahayanya lagi sebelum kau--" "Tidak, Pouli. Yun Zhao harus menjaga kekuatan cahayanya demi pertahanan Nexus Timur. Setidaknya, aku cukup hanya dengan bernapas." Pouli dengan mata beningnya menatap penuh getir. Ia tahu umur Blue Dragon tidak akan lama lagi. Keruntuhan Hidden Land akan nampak, Yun Zhao tinggal satu-satunya keturunan cahaya paling murni darinya. Suatu saat nanti semua ini akan memang tinggal kenangan. Tapi Pouli tidak bisa meninggalkannya. Ia belum siap untuk itu semua. Mereka semua masih butuh Blue Dragon. Runettra tidak mau membuat Blue Dragon pergi dari peradaban. "Aku tidak akan pernah mati, Pouli," suara berat Blue Dragon menyadarkannya. Di depannya, kepala Naga itu terkulai dengan semburat senyum tulusnya. Pertama kali Pouli di selamatkan oleh kebaikan Naga itu adalah ketika ia sedang kabur dari kejaran Roh Abbys dari Goa Tanpa Arah di daerah Black Tears Valley Ketika itu sayapnya sudah kelelahan karena harus terbang terus pergi dari Abbys yang tidak berhenti mengejarnya. Kristal hitam milik Dyroth. Pemimpin Abbys dari Selatan yang sangat menyukai koleksi benda itu. Pouli pada dasarnya adalah burung elang yang memiliki jangkuan mata setajam teleskop dan sayap kuat dan cepat. Namun entah kenapa, ketika ia pergi ke daratan Abbys yang harus menempuh jurang, sayapnya jadi lemah dan susah melesat. Kutukan Dyroth, bisik batinnya. Dyroth tidak akan merasa kehilangan satu, tapi karena Pouli melempar lagi kristal hitam itu ke danau Musim Dingin di perbatasan Runettra dan Abbys, seketika beku menjalar hingga melintasi garis Abbys. Mahkluk yang tinggal di danau itu seketika membeku dan Pouli bisa lihat dengan jelas kalau perbatasan itu membentangi sekeliling Runettra, seakan membuat sebuah gerbang jaga. Pouli yang bingung hanya terus terbang menghindari Ngengat yang tubuhnya dua kali lebih besar darinya. Ngengat itu bermata ungu dengan tubuh cokelat dan sayap sebesar lalat. Mulutnya terbuka dan sorotan matanya seperti tengkorak, kosong namun jiwanya membatin ingin membunuhnya. Pouli melesat di tiap hutan hingga tampaklah papan jalan bertuliskan 1000. Itu adalah 1000 meter lagi Runettra. Kontan, Pouli yang tidak bisa berpikir karena masih dikejar itu hanya terperanjat kalau ia bisa saja membawa abbys itu ke tanah Runettra. Dan pilihan terakhirnya hanya berharap pada perisai pelindung bisa membakarnya nanti. Tapi betapa kagetnya ia ketika itu sang Ngengat malah semakin kuat dan cepat. Ia menusuk sayapnya dengan sorot api dari matanya. Pouli menghindar kaget. Itu adalah Ngengat Api. Matanya buta. Tapi karena ia adalah penjaga Goa dan penciumannya sangat kuat, maka ia tahu bau kristal hitam itu masih menempel di tubuh Pouli. Pouli tidak memiliki pilihan lain selain menahan luka bakar yang pelan-pelan merambati bulu sayapnya. Ia kesakitan. Udara di sekitarnya kian melambat, kepakan sayapnya menurun. Ketika Ngengat itu menyemprotkan api lagi dari hidungnya yang setajam suntik, Pouli tersentak di dahan pohon. Tubuhnya oleng dan ia terlempar jatuh ke tanah. Ia mengerang kesakitan, tapi tak jauh dari situ ia mencium bau pohon Magic Plum. Ia sudah ada di Runettra. Sayap kanannya terbakar hangus. Ia ingin mati saja daripada merasakan sakit itu lebih lama. Tapi ketika si Ngengat kembali ingin membakar dirinya utuh-utuh, Blue Dragon yang tiba-tiba muncul dari sekitar hutan membuat angin puting beliung di depan Ngengat itu. Pouli memejamkan matanya ketika melihat Ngengat itu terhempas ke udara, keluar dari perisai. Blue Dragon dengan sayap besarnya mengepak penuh kekuatan, dari mulutnya ia menyemburkan api berwarna biru membuat bolongan perisai tadi kembali rata dan si Ngengat mati di beku es. Pouli tidak pernah melupakan bagaimana Blue Dragon membagi cahayanya lewat bola mata birunya ketika mereka bertatapan. Blue Dragon menyembuhkan sayapnya, bahkan ia bilang, Pouli bisa terbang lebih cepat dari biasanya. Maka, setelah satu abad itu, ia memutuskan untuk mengabdi pada kebaikannya. Dan sekarang, kalau Blue Dragon harus pergi, Pouli tidak akan pernah siap. Tidak akan. Seluruh Runettra bahkan tidak pernah sanggup membayangkan. Runettra yang penuh kebaikan adalah ajaran Blue Dragon. Kebijaksanaannya tersebar lewat cerita dan pengalaman para makhluk yang pernah ditolong atau bertemu dengan Naga itu. Moniyan bahkan mengutus Blue Dragon sebagai makhluk yang harus dilindungi karena keberadaannya menyeimbangkan Runettra. Perisai perlindungannya melekat di setiap makhluk hidup di sini. Tanpa Blue Dragon, mungkin Nexus Barat dan Nexus Timur selamanya tidak akan mengerti arti pertarungan mereka selama ekuinoks terjadi. "Kebaikan itu abadi. Sekarang, tugasmu adalah memantau anakku. Jika nanti ketika ekuinoks hero baru itu jadi tidak terkendali, aku akan berusaha menghentikannya." "Tidak!" sergah Pouli, "aku hanya akan mengutus elf Moongod. Kau tidak perlu menangani ini secara langsung." Leher Blue Dragon terangkat, memandang Pouli tidak setuju. "Kau ingat dia keturunan Pixie? Runettra bisa hancur kalau ia tidak bisa mengendalikannya. Dibandingkan dengan Abbys, kita justru harus melindunginya. Abbys akan lebih tertarik jika hero baru itu lepas kendali dan mereka yang menanganinya. Apa menurutmu itu cukup hanya mengutus elf Moongod?" Pouli merunduk. Blue Dragon benar. Pixie tidak akan pernah turun langsung untuk menghadapi Abbys. Ia terlalu kuat dan jika semuanya runtuh, Pixie tidak bisa menyeimbangkan semesta. Planet akan hancur dan tidak ada lagi keturunan. Maka, sebisa apapun, Pixie menurunkan kekuatannya lewat manusia dan mengutusnya kembali ke Runettra. Kenapa manusia? Karena Pixie tahu, semua makhluk di Runettra tahu kalau kekuatan terbesar itu adalah Angkasa dan Langitnya. Ia tidak bisa memberikan kekuatan itu pada makhluk yang sudah "tahu" tentang seluk beluk itu. Maka ia menurunkannya pada manusia yang sama sekali buta akan itu semua. "Baiklah. Tapi kau tahu, kalau kau mati, Yun Zhao mungkin tidak akan diam," lanjut Pouli mengingatkan. Pancaran mata Blue Dragon seketika melemah. Kepalanya kembali direbahkan ke lantai sejenak, lalu dengan hembusan napas pelan, ia menyahut rendah, "maka, jangan sampai ia tahu." *** One Week Before Ekuinoks Ini adalah pertarungan nyata. Pagi-pagi, Venice menarik napas dalam-dalam, mengisi seluruh jiwanya dengan keyakinan penuh. Ia adalah Venice. Keturunan Angkasa dan Langit yang kekuatannya lebih besar ketimbang siapapun. Ia adalah yang terkuat, dan juga ia yang paling ragu. Digenggamnya Pigeon Balance kuat-kuat, samar-samar bayangan sorot mata biru Yun Zhao ketika mereka bertarung muncul di pikirannya. Kalau ia saja bisa mengalahkan Yun Zhao ketika latihan waktu itu, seharusnya ia bisa setidaknya mendapatkan kekuatan untuk tidak mengingat betapa mengerikannya pisau Gussion yang membekukan itu, bukan? Latihan minggu pertama sebelum Ekuinoks. Tim pertama akan ada Yun Zhao yang memimpin, Miya di baris terakhir, Venice, Tigreal dan Natalia. Hari ini akan melawan; Balmond, Ling--saudara Yun Zhao dari Black Dragon yang adalah seorang Finch--kemudian Ratu Blood O--Alice, Alucard dan Grock. Di taman luas tempat pertama kali Venice mendorong Miya dengan kekuatannya. Ia dan keempat kawananya berdiri saling menghadap namun ada di sisi berlawanan. Yun Zhao berhadapan dengan batang hidung Ling yang tingginya hampir sama. Semuanya bersiap, mereka berkonsentrasi penuh. Bahkan Alucard yang dulu suka menggoda Venice, kini wajahnya yang terpapar sinar matahari, membuat pakaian biru peraknya menyala seperti keyakinannya. Di sebelah tangannya ia mengenggam pedang yang lebih besar daripada tubuhnya tapi ketika di tangannya, berat pedang itu terlihat ringan. Venice beralih menatap Ling yang tinggi dan kurus di depan Yun Zhao. Wajahnya kecil, bibirnya mungil namun tatapan matanya setajam elang. Ada sejumput rambut yang terkulai lepas dari ikatan rambutnya yang diikat. Pedang dengan ujung mengilat tajam itu terselip di ikatan sabuknya. Venice jarang sekali melihat Ling. Ia hanya pernah melihat makhluk itu sekali, ketika rapat strategi pembahasan hero baru dari Nexus Barat. Sisanya ini adalah kali pertama Venice benar-benar mengamati wajah pria itu. Finch. Tubuhnya sangat ramping, pasti gerakannya cepat, pikir Venice ketika tiba-tiba matanya beradu pandang dengan pria itu. Ling mendelik ke arah Yun Zhao sambil tersenyum. "Kau seharusnya mengunjungi Blue Dragon," ujar Ling pelan namun Venice masih cukup dekat untuk mendengarnya. "Jangan bahas itu sekarang," alih Yun Zhao mengangkat tombaknya dan menancapkannya di tanah. "Blue Dragon tidak keluar Skyarch. Dan Pouli hanya terus mengantar makanan untuknya. Cahayanya meredup--" "Aku tahu. Sekarang, cukup sampai di situ. Kita harus fokus, Ling." Yun Zhao menatap mata Ling berputar jengah, kemudian ia hanya tersenyum tipis. "Apa katamu saja, kak." Yun Zhao mengangkat tombaknya, Ling dan sekawanannya bergerak mundur untuk siap-siap. Dari dalam istana, Rafaela, dengan sayap emasnya, turun dari balkon ke tengah-tengah mereka. "Buat Battle fieldsnya, Rafaela." Yun Zhao memerintah. Dengan tangannya yang kosong, Rafaela menengadah, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskan napas seraya mengangkat kedua tangannya. Sayapnya mengepak di udara. Dari tanah, sebuah dinding batu perlahan-lahan muncul seiring kepak sayap Rafaela yang makin tinggi. Ling dan kawanannya kian bergerak mundur, Battle fields buatan Rafaela pun semakin utuh. Pohon-pohon di sekitarnya menutup istana, dinding berbatu dengan corak dan sebuah tower besar di tengah Yun Zhao berkamuflase menjadi sebuah benteng utama. Rafaela menghembuskan napas terakhirnya, lalu dengan satu sorotan tajam, cahaya berwarna kuning menyorot dari tangannya ke setiap tower pertahanan benteng mereka. Meninggikan towernya, membuatnya semakin terlihat terlindung dari luar. Venice menengadah, menatap setiap batu itu terangkat dan membentuk sebuah tower tinggi. Sekarang, tak ada apa-apa lagi kecuali dinding batu dan tanah yang tertutup rumput serta 3 jalur yang membelah masuk ke dalam hutan. Ada 6 tower. Di setiap jalurnya ada 2 tower pertahanan. Jalur atas, utama dan bawah. Setiap tower bisa menembakkan bola api jika pertahanan mereka hendak dihancurkan. "Rafaela, sekarang." Yun Zhao memerintahkan wanita itu, lalu dari atas kepalanya ia meruntuhkan serbuk-serbuk yang menunjukkan sebuah jam pasir di udara. "Sekarang," kata Yun Zhao sambil menoleh ke arah yang lain. Sekejap, Miya berlari ke jalur bawah sendirian, di susul Natalie bergerak ke jalur utama, sedangkan Yun Zhao memutarkan tombaknya dengan penuh cekatan berlari ke jalur atas. Venice memandang itu sejenak sebelum Yun Zhao benar-benar pergi. "Kau tahu harus kemana, bukan?" Yun Zhao menengglengkan kepalanya sebelum benar-benar hilang dari jejaknya. Ia melirik ke arah Tigreal, lalu mereka berdua sama-sama mengangguk. "Natalia akan mengecek setiap rumput persembunyian, kita hanya perlu waspada pada Ling." Tigreal memimpin jalan, sementara Venice terus merekatkan tali pinggang di baju barunya hari ini. Miya khusus merangkai kain berwarna putih dengan rok model panjang dan leher terbuka. Bulu Pigeon Balance ia selipkan di rambutnya yang diikat setengah, ia dan Tigreal berlari menembus hutan. "Kita hanya perlu menemukan sungai lalu menjaga di baris depan," bisik Tigreal dengan sebuah perisai baja di tangan kanan dan pedang berukir di tangan kirinya. Tubuhnya dilapisi baju baja emas yang terdapat lambang Moniyan. "Apa aku harus mengecek sungainya" "Jangan dulu. Semua pergerakan harus aku kuasai sebelum kau masuk. Siapa tahu nanti kita--" tepat ketika Tigreal berkata demikian, dari sebelah kiri hutan, ada seseorang yang berlari cepat lalu menghantam pundak Tigreal hingga terjatuh. Venice tersentak sekali, ia langsung memasang posisi ketika yang ia lihat adalah Ling. Ling mengangkat pedang pipihnya ke udara, ia hendak melawan Tigreal. Tapi Tigreal segera berputar dan berdiri dengan perisainya. Kalau tidak cepat, bisa saja pedang itu membelah tubuh pria itu, Venice dengan sigap menyentak pedang Ling dengan Pigeon Balancenya yang berubah menjadi pedang. Ling langsung mundur dengan cepat ketika sayatan pedang Venice menyobek setengah ekor bajunya. Ia menatap Venice kagum, “wah, Pigeon Balance? Pasti susah di dapat bukan?” “Minggir kau Ling! Jangan berusaha mencegat kami di sini, kau tahu kami punya Natalia.” Tepat setelah berkata demikian, wujud Natalia yang berjalan di belakang Ling melempar asap ke arahnya, lalu dengan cepat wanita itu mengeluarkan cakar besar emasnya dan mencabik-cabik tubuh Ling hingga ia terkulai mati. Gas Natalia memiliki racun yang membuat siapapun di sekitarnya pingsan dan tidak bisa bernapas. Melihat itu Venice tertegun, namun Natalia berbisik pelan sambil kembali berjalan, “dia hanya mati sementara, ingat? Semua magic di sini hanya untuk latihan. Ia akan terbangun dalam sepuluh detik setelah Rafaela memberinya Magic Plum.” Venice langsung mengangguk. Ia dan Tigreal pun melengang bebas ke jalur utama, berusaha menghancurkan tower paling depan tim Ling. “Venice, kita harus mengecek jalur Yun Zhao, Alice pasti sedang menekan di sana!” ucap Tigreal yang sudah setengah jalan melewati rumput di tepi sungai. Dengan sekali hujaman Pigeon Balance, tower utama pun hancur, tepat setelah ia menghampiri Tigreal, jasad Ling sudah tidak ada. “Ling sudah hidup kembali, kita harus berjaga.” Venice mengingatkan. Langkah keduanya bergesekkan dengan rumput tinggi itu. Samar-samar suara pedang Yun Zhao berdenting keras dengan pedang seseorang. Alucard. Venice mengintip dari semak-semak, melihat keadaan sekitar apakah ada seseorang yang bersembunyi untuk melakukan last hit. Dan tepat ketika ia berpikir demikian, dari rumput belakang tower jalur atas, sebuah gumpalan berwarna merah terbang melintasi jarak dan tepat ketika gumpalan merah itu sampai di tengah Yun Zhao dan Alucard, Alice muncul dengan kekuatan Blood O nya menghentakkan tanah dan mengeluarkan kekuatannya. Yun Zhao di bekukan satu detik, lalu ketika Yun Zhao tidak bisa bergerak dengan pedangnya, Alice memekarkan sayapnya dan muncullah sebuah energi yang seperti menghisap darah. Alucard mengayunkan pedangnya hendak menebas kepala Yun Zhao, tapi Tigreal keburu lompat dan dengan kekuatan pedang besarnya, ia mencongkel tanah tempat Alice dan Alucard berdiri. Ketika tanahnya tercongkel, ia kembali menusukkan pedang itu ke tanah, membuat energi seluruhnya terhisap ke tengah dan Alice, Alucard berbalik terkena beku. Tepat ketika itu Venice melompat ke tengahnya lalu dengan cepat melempar Pigeon Balancenya berubah menjadi sayap lalu ia merentangkan tangan mengeluarkan energi berwarna ungu lalu pecah setelah 3 detik Alucard dan Alice sama-sama tidak bisa bergerak dan mati di tempat. Serbuk bintang-bintang berjatuhan, menyisakan bekas energi itu di udara. Venice terbungkuk lemas, ia melirik Yun Zhao yang terengah lalu tersenyum kecil. Sayap Venice kembali berubah menjadi pedangnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Venice pada Yun Zhao yang mengangguk. “Sekarang kau perlu menghampiri jalur Miya. Ling pasti bergerak ke sana setelah tahu Alice dan Alucard mati di sini.” Yun Zhao memejamkan mata, ia hendak kembali ke base untuk memulihkan keadan sejenak. “Dari mana Ling tahu kalau Alice dan Alucard sudah mati di sini?” tanya Venice. “Ling tidak berjalan di tanah, dia melompati dinding-dinding ini tanpa ketahuan seperti Natalia. Sekarang, cepat!” Cahaya biru yang mengelilingi Yun Zhao seketika seperti mengisap tubuhnya menghilang dan mengirimnya cepat ke base utama. Venice dan Tigreal berlari menembus semak di tepi sungai, kembali menuju jalur paling bawah. “Energi Miya belum sekuat pertengahan waktu nanti, ia masih butuh pemanasan yang cukup lama sehingga tidak bisa di press terus-terus-an. Seharusnya kita membantu Miya dulu tadi,” kata Tigreal yang terus ada di sebelahnya. Venice dengan kakinya yang ringan, berlari menembus rumput dengan cekatan. “Baik. Aku paham sekarang. Jalur utama adalah tengah lalu kedua jalur Miya, bukan?” “Ya benar! Yun Zhao akan mati, tapi tidak masalah jika kita mengatur strategi untuk memenangkan jalur Miya dulu.” “Oke.” “Tigreal, aku akan melompat dari sisi kiri, menghindari Ling!” seru Venice dengan segera melompat setelah mereka sampai di jalur bawah, tempat Miya mempertahankan tower. Di sudut matanya, ia melihat bayangan melesat, persis seperti apa yang Gussion malam itu lakukan. Ia menarik Pigeon Balance dari rambutnya, lalu dengan sekali lompatan, Ling yang ada di jalur yang sama segera menghindar dari serangan Venice. Miya bergerak mundur, panahnya meleset di semua gerakan Ling yang menghindar, sementara Tigreal melindungi Miya ke belakang tower, Venice menyentakkan rok bajunya, lalu menatap Ling yang berdiri tegak menghampirinya. “Aku penasaran, apa yang sudah kakakku latih padamu.” Perawakan Ling lebih kurus dan tinggi. Venice selalu melihat Ling seperti pelayan kelas atas yang memiliki perawakan super anggun dan hati-hati. Pedangnya ia sisipkan ke baju belakangnya, lalu dengan senyum miring, ia menghampiri Venice yang tidak berekspresi. Miya kembali ke base, sementara Tigreal pergi ke jalur tengah. Dengan gerak perlahan, Venice mengeluarkan pedang Pigeon Balance ke udara, “kau mau tahu?” Ling menggerakkan sebelah alis, lalu dengan satu sentakan, ia melompat ke dinding. Venice mengejar pandangannya, tapi Ling dengan cepat menghilang di antara dinding-dinding itu. “Aku akan menawarkanmu untuk menguji kepekaanmu, kau tentu tahu kekuatanku, bukan?” Venice tercenung di tempatnya, sejujurnya, ia tidak tahu. Ling bukan musuh utamanya, tapi bagaimana pun, ini bukan waktunya negosiasi. Ia harus berhasil kali ini. Sejenak, pikirannya tertuju pada bayang-bayang Yun Zhao yang terkena beku Alice, atau Miya yang terkena dorongan batu Grock di jalur tengah. Sementara, ini adalah pertarungan antara ia dan Ling. Natalia selalu mengcover Miya, tapi itu tidak cukup waktu. Bagaimanapun, tujuan ia hanya tower, dan sebelum melangkah ke sana, ia perlu Ling menyingkir. Ia memandang ke arah dinding-dinding itu, membayangkan keberadaan pria tadi sedang menatapinya dengan senyuman menggoda. “Keluarkan saja kekuatanmu, Ling.” Venice bersuara lantang. Ia menyelipkan rambut ke telinga, lalu memasang pendengaran dengan tajam. Angin menderu pelan, Venice mendengar langkah samar dari atas dinding, seperti gesekan sepatu yang melompat cepat. Ia melirik ke arah kiri, Ling yang muncul dari udara seketika membuka cahaya biru menyilaukan dan menyakiti matamya. Venice membuat perisai perlindungan, tapi ia terlambat. Cahaya itu mengenai tubuhnya, Venice terlempar ke samping, terdorong kekuatan Ling yang tiba-tiba. “Kupikir Yun Zhao memberitahu tentang aku yang bisa menghilang di setiap dinding?” Venice terbatuk sekali. Ia merasa siku dan lengannya berdarah, tapi ia tidak peduli. Ia kembali bangkit, menatap pria itu tajam seakan ingin melakukan balas dendam. “Tidak penting. Bagiku, aku tetap bisa merasakanmu.” “Oh ya?” Ling menaikkan alisnya lagi. “Coba lihat aku,” dalam satu detik, Ling bergerak ke kiri, Venice tersentak ke kiri. Ling melesat lagi ke kanan, semakin dekat dan semakin cepat. Venice masih mendapati Ling. Hingga ketika Ling menghempaskan udara di depan wajah Veince, mereka saling menebas pedangnya di udara, Venice terkejut, Ling melempar senyum miringnya lagi. “Sudah cukup, Ling main-mainnya.” Dengan kekuatan penuh, Venice membanting pedang Ling ke bawah, lalu dengan gerakan berputar, ia membawa angin ke sekeliling dirinya dan Ling. Ling berusaha melompat kabur dari lingkaran angin itu, tapi angin itu terlalu deras. Venice membuat topan kecil lalu dengan sekali tebas, ia melilitkan angin itu ke kaki Ling. Ling bisa menebas semua angin itu dengan gerak menghindarnya, tapi ketika ia meliaht Venice dengan mata hitamnya, Ling terkejut dan ia terjatuh. Angin menampar wajahnya dan melemparnya ke dinding hingga kepalanya terhantam, dan Ling tak sadarkan diri. “Venice! Yun Zhao sudah membuka tower jalur atas sampai ke base lawan! Ayo kita semua ke sana!” Miya muncul dari rumput sebelah jalur utama. Ia melirik Ling yang terkulai tak sadarkan diri sedang dibawakan Magic Plum oleh peri-peri kecil pembantu Rafaela. “Kau melakukannya?” tanya Miya menatap Ling. “Lama-kelamaan, ia menyebalkan juga.” Miya tersenyum kecil, lalu mereka segera melewati sungai lagi menuju jalur atas. Yun Zhao dan Alucard sedang beradu pedang, di belakangnya Alice berusaha membantu Alucard. Grock menghalangi gerakan Tigreal dengan batunya, tapi Miya sudah lebih dulu menghunuskan panahnya ke tubuh Balmond yang ada di depan, lalu dengan gerak sigap, Venice terbang ke udara dan melesatkan satu kekuatan besar dari Pigeon Balance. Energi itu terhunus ke tanah, menggemparkan sekitarnya. Alice dan Alucard terlempar ke sisi dalam. Yun Zhao bertahan dengan tombak naganya, lalu Grock berusaha mendorong mundur Yun Zhao, tapi Miya keburu menghunusnya dengan panah. Grock mati, Alice dan Alucard bangkit, tapi itu tidak cukup waktu. Ling muncul dari basenya, dengan sigap menghunuskan sebuah penjara pisau dari tangannya. Yun Zhao menari dengan tombaknya, menghindar setiap hujaman itu dari atas langit. Ling melesatkan kekuatan pedangnya yang terakhir, giliran Venice yang bertukar tempat. Ia menghalau energi itu dengan Pigeon Balancenya, dengan sigap mendorong kembali kekuatan itu. Matanya berubah hitam, ia menyarlurkan energi ke Pigeon Balance, dengan sempurna energi itu menyatu dan meledak di depan Alice, Alucard dan Ling. Mereka terpental ke belakang. Tigreal dengan perisai pelindungnya menembus kawasan tower. Tower mulai menembakkan bola api ke arah Tigreal. Miya dan Natalia masuk, mereka menghancurkan tower dengan kekuatannya, lalu seketika dunia itu semua runtuh. Rafaela bertepuk tangan dari langit, “selamat Venice. Latihan hari ini sangat sempurna.” Ia melirik ke arah Yun Zhao dan pedangnya. Cahaya itu menyala sekali, “ini hanya baru awalannya.” *** Deep Consecuencess “Apa kau sudah mengerti sekarang?” Dari sebelahnya, Miya duduk di kursi batu. Ruang pertemuan hari ini hanya diisi Venice, Miya dan Yun Zhao. Latihan sudah masuk ke dua minggu sebelum Ekuinoks. Miya dan Yun Zhao selalu menilai kekuatan dan perkembangan gadis itu. Meski Venice sendiri nampaknya mulai yakin, ia hanya butuh sedikit kepekaan untuk merasakan keberadaan teman-temannya di jalurnya masing-masing. “Jalur utama ada di tengah, jalur bawah akan Miya kuasai, sedangkan jalur Yun Zhao hanya sebagai perpanjang waktu untuk musuh mengeluarkan senjata rahasianya?” tanya Venice di tengah coret-coretan tangan Yun Zhao di peta Battle Fields. “Ya, kemungkinan Nexus Barat akan meletakkan Leomord di jalurku. Aku selalu berlawanan dengannya jika kami bertarung, tapi aku tidak tahu untuk saat ini strategi mereka seperti apa. Karena hero baru itu cukup cepat. Bahkan kalau mereka mengeluarkan Gussion dan Master Onmyouji itu, aku yakin, kita hanya bisa bergantung padamu dalam menit-menit awal.” Miya menjelaskan. Venice mengamati coretan tangan Yun Zhao. Ekuinoks hanya terjadi satu hari. Dan itu hanya sampai matahari terbenam. Jika pertarungan sudah selesai setelah itu, tanah mereka yang memenangi pertarungan akan bergerak ke arah tanah lawan. Menjamah sedikit demi sedikit kawasannya. “Apakah sudah terbaca strategi mereka?” tanya Venice pelan. Setiap kali memikirkan ekuinoks yang semakin dekat, ia selalu terbayang-bayang akan wajah Gussion malam itu. Wajah dinginnya yang melesatkan pedang es beracunnya hingga membuatnya tidak bisa bergerak dan bahkan mati. Kalau ia tidak tahu kekuatan yang lain seperti apa, apakah ia bisa mengantisipasi supaya tidak terbunuh sekalipun? Yun Zhao mencabut bulu Pigeon Balance dari ikat rambutnya, lalu menyerahkan pada Venice. “Kau punya ini. Jangan ragu pada dirimu sendiri. Kau punya kami selama pertarungan nanti.” Venice terperangah sedikit. Ia menatap bulu Pigeon Balance, lalu beralih ke arah Yun Zhao yang memandangnya penuh kehangatan. Ia merasa seribu kali lebih tenang jika bola mata biru sedalam laut itu merasuki pandangannya. Ia seperti tahu, kalau apa yang selama ini Yun Zhao katakan, selalu tulus dan berasal dari hati. Nyawanya semua tergambar dari manik biru itu. Seakan-akan ingin membuat Venice selalu di sana, tinggal di dalamnya dan merasakan semua perasaan itu secara utuh. “Yang terpenting adalah, kau jangan pernah terbunuh. Karena jika kau terbunuh, satu per satu tower kita akan didorong cepat. Mereka punya Lolita dan Karrie yang sangat kuat dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk pemanasan.” Yun Zhao melepas pandangannya, kembali beralih fokus pada peta di mejanya. “Apa kemungkinan dia akan membawa Lunox juga?” tanya Miya. Yun Zhao terdiam sejenak, berpikir. Lunox adalah gadis dengan kekuatan magic terbesar. Selama ini, Miya selalu kewalahan jika jalurnya didatangi oleh gadis itu. Maka ia selalu waspada jika suatu saat nanti akan berhadapan dengannya. “Aku rasa tidak. Mereka akan membawa Master Onmyouji. Yang pasti, kekuatan mereka lebih besar. Sugestiku adalah, Nexus Barat akan mengeluarkan Gussion, Master Onmyouji, Lolita, Karrie dan Leomord. Itu adalah tim yang kuat,” jelas Yun Zhao sambil menggaruk dagunya yang tak berjanggut. “Lalu apa kau sudah memutuskan siapa saja yang akan turun kali ini?” Miya bertanya. “Kau, aku, Venice, Grock dan Natalia,” katanya yakin. Ketiganya terdiam sejenak. “Aku akan mengurus towernya, dan tugasmu hanya cukup berpindah ke jalur utama lalu jalur Miya. Ingat, kalau aku mati, kau harus terpisah dari Grock, karena Grock akan ke jalurku sementara untuk cover, dan saat itu, kau harus pergi ke tempat Miya, karena Master Onmyouji pasti mengincar Miya.” Master Onmyouji. Sepertinya Venice harus mencari asal-usul gadis itu di perpustakaan nanti. Ia tidak tahu sejauh mana kekuatannya dan seberapa bahayanya. Apakah sekuat Gussion, atau lebih kuat dibanding Gussion? Bagaimana kalau lebih cepat dibanding Ling atau Alice? Mereka saja bagi Venice sudah sedikit merepotkan. Bagaimana Master Onmyouji yang selalu dikhawatirkan orang-orang? “Venice, kau selalu ragu untuk menghadapi lawanmu, padahal aku sudah memberimu Pigeon Balance. Apa aku harus memberimu sesuatu yang lebih besar?” Yun Zhao menaikkan alis sedikit menyindir. Venice mengatupkan bibirnya, tergugup sejenak karena pria itu selalu membaca pikirannya. “Yun Zhao, Ekuinoks tinggal seminggu lagi.” “Benar,” jawab Yun Zhao santai. “Lalu, apa kau tahu aku segugup ini? Ini adalah pertarungan pertamaku.” “Dan ini adalah pertarungan pertama kami denganmu,” balas Yun Zhao cepat. Menghentikan alur kenyataan di kepalanya. Ini memang bukan tentang dirinya saja. Kekuatan dari dalam keyakinannya seharusnya bisa tumbuh karena kepercayaan setiap teman-temannya. Bagaimana cara Miya selama ini mengangkat tangannya, melatihnya dengan sabar demi Ekuinoks nanti, bagaimana Yun Zhao dengan ketulusannya memberikan sebuah barang penting dari Hidden Land yang benar-benar sangat membantunya akhir-akhir ini, Venice lupa akan itu semua. Ia terlalu fokus pada ketakutannya sendiri, ia terlalu ragu untuk benar-benar yakin pada kepercayaan yang seluruhnya sudah dicurahkan padanya. Venice menatap Miya dan Yun Zhao bergantian. “Maafkan aku. Aku hanya terlalu takut untuk menghadapi Ekuinoks. Aku takut, aku melakukan kesalahan dan kalian kalah karena aku. Aku takut, seluruh perjuangan kalian selama ini menjadi sia-sia karena kekalahanku,” ujar Venice pelan. Dari sebelahnya Yun Zhao melempar diri ke kursi, duduk dengan kaki terangkat dan menatap Venice lurus-lurus. “Pertama, ini bukan kekalahanmu. Tapi ini kekalahan kami. Kecuali ketika kau dan Gussion beradu battle. Kau memang kalah. Tapi kita ini melakukannya berlima. Kedua, apa manusia selalu merasa sepengecut itu?” kata Yun Zhao dengan nada agak menaik. Venice menatap Yun Zhao bergeming. “Tidak semuanya pengecut. Tapi, kebanyakan dari mereka seperti itu…” Sejenak, Venice jadi teringat Max dan kawan-kawan kampusnya. Apa yang sekarang mereka lakukan? Apakah mereka bisa mengerjakan tugasnya tanpa otak Venice? Apakah Max, si cowok tidak bertanggungjawab itu sekarang menjadi pengecut karena selama ini semua tugasnya dikerjakan olehnya? Mungkin cowok itu sekarang sedang memohon-mohon pada dirinya untuk bangun dan berpura-pura simpatik padahal ia melakukan itu hanya untuk keuntungannya. “Kau ingin melihat bagaimana kau di Bumi, Venice?” Dari tempatnya, Miya bertanya pelan. “Maksudmu.. aku bisa melihat diriku sendiri?” “Ya.” “Bagaimana caranya?” “Aku akan membawamu ke Gerbang Perbatasan Bumi dan Runettra di Barat nanti ketika kita selesai bertarung, bagaimana? Gerbang itu butuh waktu agak lama. Sementara kita hanya memiliki sedikit waktu lagi untuk sampai ke minggu Ekuinoks, bagaimana?” Segumpal rindu yang mendadak muncul seketika melesak dari tenggorokannya. Ia ingin sekali ke bumi. Ia ingin sekali melihat pemandangan kota yang membosankan tanpa berniat hidup lebih lama karena otak jeniusnya. Ia ingin sekali dikata-katai oleh Venom, atau bahkan ia rindu sekali bagaimana kakaknya membicarakan tentang Jay Chou hingga larut malam. Ia rindu otak jeniusnya yang berbicara tentang seberapa kubik bakteri yang terdapat di bak cucian, atau seberapa kotor selimut dan udara pagi. Ia rindu semua itu, ia ingin mencium udara New York lagi. “Kau menangis?” tanya Yun Zhao tiba-tiba. Pandangan mata Venice buram. Ia tidak sadar kalau Yun Zhao tidak berteriak heran. Ia buru-buru menyeka air matanya dan menarik napas. “Tidak. Ini hanya sedikit efek terharu karena aku bisa mengingat segala hal tentang bumi dan aku bisa merindukannya.” Yun Zhao dan Miya saling pandang, Venice tidak lagi tertuju pada ketakutanya, ia sekarang terlalu sibuk untuk bernostalgia tentang Bumi. “Setelah pertarungan nanti, kau bisa kembali, Venice.” Dengan lembut, Miya berujar. Venice menengadah, melihat perempuan itu yang sudah tersenyum ke arahnya. “Benarkah? Tapi--” Sejenak, ia kembali menunduk. Runettra. Apakah Negri dengan penuh ilusi, Negri yang selama ini Venice hujat karena semuanya sangat mustahil dimasuki logika, bisa ia tinggalkan begitu saja ketika ia terlalu banyak dan terlalu lama membuat kenangan? Venice si Putri dari Galaxy dan Langit. Ia yang terkuat, akan datang di Minggu ke-200 Ekuinoks. Ia yang bisa merasakan keberadaan semuanya dengan nyata, kehangatan dan rasa yakinnya tumbuh akibat ketakutannya selama ini. Bagian dari dalam dirinya yang tidak pernah ia sentuh, selama ini yang sembunyi di balik kepedean otak jeniusnya, berakhir dengan ketakutan dan keraguannya di Runettra? Ia memang sangat ragu, tapi jika dipikir-pikir lagi, Runettra cukup memberitahunya kalau semua itu memang ada, dan Venice hanya butuh percaya akan kelemahan itu semua. Ia jenius, tapi ia memang penuh ragu. Venice belajar dari Miya dan Yun Zhao, bagaimana kehangatan mereka tersalurkan ke dalam hatinya, ia yang beku akan keraguan, diluluhkan oleh kata-kata semangat mereka. Berkat Runettra, pemandangan kota bukan lagi sesuatu yang membosankan, tapi sesuatu yang kini ia rindukan. Venice menatap Yun Zhao dan Miya bergantian, senyumnya menggantung di bibirnya. “Dengan wajah seperti itu, aku tahu kau mungkin hanya akan mengucapkan terima kasih kepada kami,” celetuk Yun Zhao. “Tidak,” kata Venice, “aku tidak ingin berterima kasih padamu. Tapi aku tidak pernah ingin melupakan kalian. Semua ini, adalah bagian dari hidupku. Aku mungkin hanya satu orang yang beruntung bisa merasakan ini semua. Dan sekarang, bagaimana caraku mengalahkan keraguanku adalah, dengan menerimanya. Aku tahu sekarang, Yun Zhao, aku tahu!” Miya berlari ke arahnya lalu memeluk Venice dengan erat. Venice balas memeluknya, ia butuh itu. “Aku tahu kau pasti bisa, Venice. Aku tahu, Galaxy yang tanpa batas pun bisa memiliki kekurangan. Dan aku tahu, kau pasti percaya itu suatu saat nanti,” jawab Miya sambil menepuk-nepuk punggung Venice yang mulai menahan hidungnya yang beringsut. Dari balik pundak Miya, Venice beradu pandang dengan Yun Zhao. Pria itu. Tatapan teduh yang selalu ia ingin miliki, ada di sana. Menenangkan jiwanya, ketika manik biru itu menyambar hatinya. Dan diam-diam, ia berharap Yun Zhao bisa mendengar suara di kepalanya kalau ia sangat ingin memiliki itu. *** The Thing. Sekarang tentang Master Onmyouji. Payung Seimei memiliki kekuatan yang bisa menguasai alam bawah sadar karena roh yang menghidupi payungnya ada beragam jenis. Di tempat duduknya, Venice meletakkan sebuah buku besar yang ia dapatkan dari lemari perpustakaan. Malam itu, ia mengambil mantelnya dan berjalan sendiri ke perpustakaan yang sepi. Diambilnya lentera untuk menerangi jalan seadanya, lalu bergerak ke sisi lemari bagian Sejarah makhluk di Runettra. Dengan mudahnya, bagian itu terpisah dari jenis Elf, Witch, Vampire, Warrior dan Abbys. Venice tidak suka membaca, tapi dengan ini ia harusn memahami setidaknya basic yang dimiliki setiap keturunan Onmyouji. Desa mereka ada di Onmyouji South Village. Letaknya dekat Twilight Orb. Desa itu kecil, tapi kaya akan segala sakura ajaib yang bisa menyembuhkan penyakit apapun. Kekuatan roh yang suci ada di setiap payung bermotif bunga yang diturunkan oleh Kakek buyut Onmyouji, si Master yang paling kuat dari antara Onmyouji lainnya. Venice membalik penjelasan teknis soal desa-desa di saja, bagaimana kehidupan mereka yang selalu berakhlak baik, ramah namun sebenarnya mereka sama-sama memiliki kekuatan untuk berjaga-jaga satu sama lain. Payung Seimei hanya ada satu di dunia ini. Dan payung itu adalah payung yang ditinggali roh dengan beragam kekuatan. Ia sangat kuat, bahkan bisa membahayakan pemiliknya jika pemiliknya bukanlah seseorang yang lebih kuat dari payung tersebut. Sakura di musim semi terlalu indah, Payung merah berkaki dua, Pindai merasuki pandangan, Ketika kau kewalahan, Berjagalah bahwa matahari bahkan ditelan dia. Venice mengangkat wajah, mengerutkan kening sejenak sambil menggumam, "sekuat itukah dia?" *** Membayangi wujud Master Onmyouji yang ia lihat dari sketsa buku tua tadi membuat Venice tidak bisa kembali tidur. Di lorong istana, ia berdiri di balkon, memandangi hamparan hutan di depannya. Bulan di malam hari begitu terang, kalau dihitung jaraknya, entah kenapa Venice merasa ia bisa lebih dekat memandang bulan. Seakan Moongod terus melindunginya diam-diam. Bagaimana keadaan Moonlake saat ini ya? Terakhir ia berdiri di malam hari seperti ini adalah ketika ia sangat ingin pergi ke tempat itu. Tapi sekarang ia sudah agak lelah. Latihan fisik dan pernapasan setiap hari benar-benar menguras tenaganya. Minggu depan Ekuinoks. Venice tidak lagi takut untuk berhadapan dengan siapapun itu. Ia sudah benar-benar siap mulai dari kemarin. Miya berjanji akan membawanya ke Bumi setelah perang ini, tapi apa yang akan ia lakukan setelah perang nanti? Venice tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelahnya, sama sekali. Tapi, pasti ada banyak hal yang bisa ia lakukan di sini. Kalau seandainya di Bumi, apa yang ia lakukan, ya? Ujian tengah semester mungkin? Sudah berapa lama kira-kira wujudnya tidak bangun di Bumi? Entahlah. Suara-suara di kepalanya itu hanya dibalas angin lembut yang menyapu wajahnya. Harum khas Runettra sangat sejuk. Rasanya tidak ada sedikitpun debu yang menyumbat hidungnya. Sangat ringan dan menenangkan. Bagaimana bisa ia baru tahu tempat ini seindah itu? “Apa yang kau lakukan, Venice?” Tiba-tiba dari belakangnya, Miya muncul dengan mantel panjangnya. Ia berdiri di samping Venice. Venice menoleh dan mengangkat senyum tipis. “Tidak. Hanya sedang membaui Runettera. Aku sangat suka wanginya,” ujar Venice ringan. “Apa kau kepikiran tentang sesuatu lagi? Ekuinoks tinggal minggu besok.” “Tidak. Aku sudah tidak mengkhawatirkan apapun. Sungguh, aku hanya…” Angin malam mendesir lembut, mengangkat rambut-rambut kecil di samping dahi dan pelipisnya. “Aku hanya memikirkan apa yang akan aku lakukan ketika pertarungan nanti selesai. Miya, kira-kira apa yang akan aku lakukan di sini ya? Apa aku bisa hidup seribu tahun di sini?” Miya menoleh ke arah langit, mengangkat sedikit dagunya lalu memejamkan mata. “Pasti sulit bagi manusia sepertimu untuk memulai kehidupan di sini secara langsung. Kami tidak pernah menahanmu, tapi kau tahu, aku hanya ingin kau mengerti kalau kehidupan di sini tetap ada sampai kapanpun. Kami abadi. Kecuali Abbys, menghancurkan ini.” Venice terpusat pada bulan yang menggantung di langit. Cahayanya menyoroti pucuk-pucuk pohon yang disinggahi burung malam. “Aku tidak ingin pergi dari sini. Aku belum siap. Tapi aku hanya merindukan Bumi. Katamu, kita hidup berdampingan, bukan?” “Ya,” jawab Miya sambil menghadapkan tubuhnya pada Venice. “Kalau nanti aku kembali ke Bumi, apa ada jalan pintas untukku kembali ke sini?” tanya Venice pelan. Miya terlihat memutarkan bola matanya, berpikir. “Mungkin bisa. Pertama kali kau kesini karena undangan kami dan kau pun menyetujuinya tanpa sengaja. Tapi untuk kali ini, kau bisa mencari kami semaumu. Kau kan sudah memiliki cahayamu sendiri.” “Tapi, bagaimana caranya?” “Venice, kau pasti akan menemukan caranya suatu saat nanti. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri, ingat? Tenang saja, Runettra selalu menunggumu kembali.” Miya mengangkat senyum lembutnya yang menular. “Miya, kalau malam itu kau tidak datang kepadaku, apakah aku akan berdiri di sini?” “Mungkin tidak. Ini tentang takdir, Venice. Kau akan selalu menjadi bagian dari kami kalau takdir sudah mempertemukan kita.” Venice merasa dadanya hangat. Ia sangat mengerti kenapa Yun Zhao dan hero-hero yang lain menyukai Miya, kekuatannya dalam menenangkan hati, senyumnya yang selembut keindahan pagi, selalu bisa membuang penat-penat yang rasanya sulit di hindari. Miya merangkul Venice seperti seorang sahabat. Kalau di bumi ia bertemu Miya, atau seseorang yang mirip Miya, ia percaya, Bumi hanya menurunkan satu keturunannya dari Runettra, dan itu hanya Miya satu-satunya. *** Di dalam kamarnya, Yun Zhao terbangun kaget. Ia mengerjap beberapa saat, lalu melirik ke luar jendela. Bulan sudah menggantung tinggi. Astaga, kenapa tiba-tiba ia merasa sesak napas? Ia menyibak selimut, turun dari kasur hendak bergerak ke dapur mencari sesuatu yang bisa melegakan sesak napasnya. Tapi ketika ia turun dari kasur, sesuatu dari dalam tubuhnya, tepatnya di jantungnya, seakan menembaknya dnegan bola api. Perih, kemudian menyebar ke seluruh tenggorokannya. Yun Zhao roboh, terbatuk sekali hingga seluruh badannya gemetar hebat. Ada bercak darah di lantai. Ia tercengang, hampir tidak percaya apa yang baru saja ia lihat. Apa ini? Dari pikirannya, muncul bayang-bayang Blue Dragon yang mati, kemudian ia melihat dirinya sendiri mengangkat tangan dan menyalurkan seluruh energi dan cahaya murni yang ia miliki sampai habis kepada Blue Dragon. Yun Zhao tergeletak jatuh dan mati. Seketika ia merasa urat di seluruh matanya menegang. Penglihatan apa barusan? Masa depan memang tidak bisa dipercaya, tapi ketika ia melihat dirinya sendiri mati di hadapan Blue Dragon adalah kengerian terbesar yang bisa dijadikan kenyataan. Ia terbatuk lagi, kali ini lebih parah. Yun Zhao menahan sesuatu yang menggelegak di dalam jantungnya, tidak bisa membaca apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini tidak bisa membaca masa depan sejelas itu. Penglihatannya seperti dikurangi, atau karena ia telah membagi cahaya murninya kepada Venice? Tidak, seharusnya itu tidak berpengaruh banyak. Tapi, pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini. Dari ujung jendela, suara kepakan sayap terdengar keras. Yun Zhao bangun dari berlututnya, melihat bayangan burung besar bertengger di bingkai jendelanya. “Kau bisa mati Yun Zhao.” Itu Pouli. “Pouli?” Yun Zhao bangkit dengan susah payah. Di sekitar mulutnya, bercak darah membekas, ia berjalan menghampiri burung itu dengan langkah di seret-seret. “Cahaya murnimu tidak bisa di produksi dengan baik lagi karena kau terlalu fokus pada perasaanmu itu.” Pouli memandang Yun Zhao lurus. Yun Zhao mengerut kebigungan. “Apa maksudmu, Pouli? Perasaan apa?” Pouli melebarkan sayapnya, menunjukkan bulu-bulu cokelat emasnya, lalu melipatnya lagi sambil membenarkan posisi kedua kakinya yang mencengkram bingkai jendela. “Kau tidak benar-benar memahami konsekuensi jika kau membagi energi murnimu pada seorang yang kau sukai, bukan?” Sejenak, Yun Zhao bergeming menatap burung itu. “Kau tahu, cahaya murnimu tidak bisa tumbuh lagi jika cahaya yang kau bagi dengan gadis itu tidak dibalaskan. Kau membaginya dengan perasaan, bukan dengan logika. Kau tahu itu, kita semua tahu. Dari awal sejak kau melakukan transfer energi lewat ciuman seperti itu, kau telah meletakkan perasaanmu runtuh bersama cahaya itu. Maka gadis itu bisa kuat, bahkan lebih kuat darimu. Apa kau tahu itu?” Yun Zhao bergerak mundur, ia terduduk di tepi kasurnya tak menjawab apa-apa. Kalau seandainya Venice tahu apa yang selama ini ia lakukan… Pouli membaca pikirannya. “Kau harus memberitahunya. Ini bukan tentang kau dan gadis itu, tapi ini tentang Blue Dragon juga. Ekuinoks tinggal besok, kau tidak bisa pergi bertarung dengan kekuatanmu seperti itu. Kau butuh cahaya tambahan, kau butuh jawabannya. Jangan membuat dirimu sendiri tersiksa.” “Apa yang terjadi kalau aku memberitahunya?” “Kalian akan saling menumbuhkan cahaya yang sama. Dan Blue Dragon setidaknya bisa hidup lebih lama,” jawab Pouli cepat. “Tapi kupikir aku melakukannya atas kebaikan?” kata Yun Zhao berusaha meretas segala ketakutan yang tiba-tiba melesak dari pikirannya. “Kau adalah Putera Kebajikan, tapi bukan Putera Cinta. Apa yang kau mengerti tentang cinta dan segala keinginan untuk memilikinya? Kau terlalu naif, Yun Zhao.” “Pouli, aku tidak pernah tahu. Perasaan itu pun datang tanpa aku sadari. Bagaimana bisa aku membaca masa depan yang seperti ini?” “Kau tidak pernah bisa membaca masa depan tentang cinta Yun Zhao. Semua penglihatanmu hanya murni untuk kebaikan. Dan sayangnya, cinta hanya selalu buram jika bersebelahan dengan kebaikan. Karena cinta, kau bisa berbuat baik, atau karena dia baik, kau bisa mencintainya. Pisahkan itu, lalu kau akan mengerti, sebenarnya kedua hal itu adalah hal yang sama namun berbeda juga.” “Pouli, hentikan. Kau hanya membingungkanku. Jadi, apa yang harus kulakukan?” Yun Zhao mengibaskan kepalanya dari kerumitan penjelasan Pouli tentang cinta. Kalau ia memang mencintai Venice tanpa sadar, lalu apa yang harus ia lakukan? Ia sama sekali tidak mengerti pencampuran perasaan dengan cahaya itu. Semua yang ia lakukan hanya ketulusan, ia tidak ingin Venice terluka atau gagal. Ia hanya murni ingin membantunya. “Keadaan Blue Dragon semakin buruk. Kau renungkan semua penjelasanku tadi, aku yakin kau sebenarnya mengerti, hanya saja belum tahu caranya.” Pouli hendak terbang pergi lagi, tapi Yun Zhao menahannya cepat. “Pouli! Apa--apa aku harus mengatakan perasaanku padanya?” Dari balik sayapnya yang melebar, Pouli menatap Yun Zhao dalam, “Putera Nagaku yang kuhormati, kau tidak perlu bertanya pada seekor burung. Kau mencintainya, kalau kau ingin ia tahu, beritahu saja. Tapi kalau kau ingin mati, itu juga terserah kau. Aku hanya ingin kau segera sadar akan teori itu, maka hari ini aku ke sini dan memberitahumu. Aku tidak mau kau lupa kalau Blue Dragon juga masih di butuhkan di Runettra.” Pouli melompat dari bingkai jendela, lalu dengan kedua sayapnya ia terbang melesat ke udara menjauhi istana. Burung itu memang tidak pernah menjelaskan sesuatu dengan jelas. Tapi Yun Zhao paham kemana semua penjelasan itu berakhir. Ia bisa menyatakan cinta atau tidak. Tapi intinya, ia hanya perlu tahu, kalau Venice juga mencintainya, supaya cahaya murni di hatinya tumbuh dan memperbaiki kondisinya. Supaya ia juga bisa membagi cahaya itu pada Blue Dragon. Tapi kalau Venice tidak membalas perasaannya, itulah cahaya terakhir yang ia miliki. Cahaya untuk Blue Dragon, di kematiannya sendiri. *** Ekuinoks 200 Minggu Ekuinoks ternyata lebih cepat dari pada yang ia kira. Nexus Timur serentak siap keluar istana. Miya dengan baju biru dan kain yang dililitkan di sekitar tangannya, panah busur yang ia selempangkan dan busur-busur biru bercahaya di tas pundaknya. Yun Zhao dengan baju besinya yang lebih bercahaya, tombak yang lebih tinggi darinya berdiri berjejer di sebelah Miya. Grock dan Natalia dengan hening memandangi Lord Nexusis yang muncul dari ruang pertemuan. Venice dengan pakaian yang sebelumnya di buatkan Miya, kali ini agak terlihat gugup. Terakhir ia bertemu dengan Lord Nexusis adalah pertama kali waktu ia bertanya-tanya tentang seluruh negri ini. Namun, setelah hari itu, ia sadar, ia lebih berani dan lebih percaya diri dari apapun itu. Lord Nexusis yang berwujud debu itu menggumpal menjadi satu dan dalam sedetik, gumpalan angin yang menyatu itu memunculkan seorang manusia raksasa besar yang permukaan kulitnya berwarna biru tua. Wujud yang sama seperti yang pertama kali Venice lihat. Namun, kalau dilihat lebih detail, ia bukan seperti manusia lagi. Tapi lebih seperti keturunan elf raksasa yang memiliki kaki besar dan permukaan kulit seperti batu berwarna biru tua. Dari balik retakan batu di tubuhnya, ada cahaya biru yang keluar dari dalamnya. Bola mata Lord tidak pernah terlihat jelas, karena ia terlihat seperti roh. Meskipun besar, tapi Venice bisa merasakan kalau energinya tidak senyata hero yang lain. “Matahari Ekuinoks telah siap, bawalah tanah mereka ke dalam bagian kita,” suara berat Lord membahana ke seluruh ruangan. Natalia, Grock, Yun Zhao dan Miya serentak berlutut dan menunduk. Venice tergagap, ia segera mengikuti yang lainnya. Dari tangan Lord, ia mengeluarkan sebuah kristal sebesar ibu jari yang di berikan satu-satu kepada mereka. Yun Zhao bangkit berdiri, menerima kristal itu lalu menempelkannya di baju besinya. “Mereka yang melawanmu tahu semua tentangmu. Setidaknya kau bisa memiliki satu pertahanan sebelum kau benar-benar runtuh. Kembalilah, menggunakan ini.” Miya, kristal berwarna merah muda yang yang langsung di tempelkan di badan busurnya. “Kekuatanmu bukan yang terpenting, tapi posisimu adalah yang paling dicari. Perlindunganmu akan lebih kuat dengan ini.” Seterusnya kepada Natalia dan Grock, mereka masing-masing menerima kristal yang sama. Natalia untuk lebih cepat, sedangkan Grock untuk lebih kuat. Giliran Venice yang bangkit berdiri dan menatap Lord di depannya. Lord menyapukan tangannya di udara, ia tidak memberi Venice kristal, melainkan meminta sesuatu yang lain. “Pigeon Balance yang suci, selalu akan menyertaimu. Kristalku, tidak ada apa-apanya, namun kau selalu tahu kau adalah penyeimbang ini semua.” Lord Nexusis mengambil bulu yang dijepit dirambutnya, menyapukan seserbuk cahaya dari tangannya, lalu meletakkannya kembali seperti mahkota di rambut Venice. Venice tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, kek.” “Rafaela akan mendampingi kalian. Ekuinoks telah di mulai. Battle Fields sudah kembali hidup. Pergilah dan bawa kabari baik untuk kembali.” Kelimanya serentak bersujud dan menjawab, “kami akan kembali!” Setelah berkata demikian, Yun Zhao yang sempat menatap Venice dari sebelah Miya mengangguk yakin. Mereka semua berbalik dan keluar istana. Untuk kali pertama, Venice bisa bernapas dengan lega. Matahari pagi dengan langit bersemburat keunguan, itu lebih indah daripada hari kemarin. Karena setelah ini, ia yakin, apapun yang akan ia hadapi, ia telah lebih berani daripada kemarin. Ia lebih kuat karena ia percaya, ia punya teman-temannya ini. Ekuinoks menggantungkan porosnya, dan jam waktu yang berputar telah berdiri di cahaya bayangan sama. Runettra, akan mengalami pergeseran lempeng. Nexus Barat dan Nexusu Timur menuju Land of Dawn. *** Venice dan keempat hero yang lainnya tidak memakai Egra atau kuda. Miya sudah menyiapkan sebuah bola kristal yang bisa membuat mereka teleport langsung ke Battle Fields. Miya menyuruh semua orang bergandengan tangan, dan ketika Yun Zhao menyentuh tangan Venice, ia merasa seperti kehangatan menjalar penuh dari sana. Ia melirik Yun Zhao yang sudah mengamatinya lebih dulu, membuat Venice jadi kembali membuang wajah, terkejut. Kalau pria itu sampai melihat matanya, terbaca semua pikirannya. “Jangan gugup, ini cuma tangan.” Ternyata ia sudah membaca lebih dulu. Venice menggigit permukaan pipinya dari dalam mulut, malu. “Siap?” “Rafaela akan mengawasi dari Battle Fields. Nexus Barat sudah datang,” kata Yun Zhao. Miya mengangguk, lalu ketika ia menjatuhkan bola kristal itu, asap mengembus di tengah mereka. Energi teleport yang tadinya terasa mengejutkan dan memusingkan, bagi Venice sekarang hanya seperti terlempar kecil dan dalam sedetik mereka sudah tiba di base mereka. Rafaela dengan sayap emasnya terbang ke arah mereka dari jalur utama. “Aku akan terbang ke atas, membuat jam pasirnya. Kaja sudah datang, aku harus segera ke sana, karena Nexus Barat sudah siap. Kalian bersiaplah.” Rafaela langsung terbang dengan sayapnya ke pinggir Battlefields. Rafaela dan Kaja adalah pendamping untuk mengawasi jalannya pertarungan. Mereka akan membawakan peri-peri kecil untuk menyiapkan Magic Plum. Sampai pada tower terakhir di hancurkan, Kaja dan Rafaela akan merekam itu ke seluruh istana dengan cahaya paralel. Yun Zhao berdiri di tengah keempat hero itu, menatap mereka satu per satu. “Kagura memimpin jalur utama bersama Lolita. Miya kau akan berhadapan dengan Gusiion, dan Leomord ada di jalurku.” “Apa!?” Miya menatap Yun Zhao terkejut. “Aku sudah tahu mereka akan membuat pertarungan kali ini berbeda. Venice, kita percayakan semuanya padamu.” Yun Zhao menatap gadis itu yang langsung mengangguk. “Aku akan langsung ke jalur Miya. Dan melakukan duel dengan Gussion.” Natalia tersenyum miring. “Ini adalah kesempatanmu untuk balas dendam,” katanya. Venice tersenyum kecil. “Ayo, kita mulai.” Dari kejauhan, Rafaela memberi sinyal kepada Yun Zhao kalau tim mereka harus segera bubar dan bersiap. Rafaela dan Kaja saling berhadapan, mereka sama-sama mengeluarkan energi cahaya berwarna kuning, saling berputar dan menyatu hingga terbentuklah sebuah jam pasir di tengahnya. Matahari telah menggantung pelan di langit, Venice menarik napas, memejakan matanya dan mengosongkan pikiran. Setelah hari ini, matahari akan kembali terbenam. Ini bukanlah sebuah akhir, tapi hanya permulaan. Ia membuka mata, jalur tengah yang dipagari pohon-pohon membentang di hadapannya. Serbuk-serbuk pasir yang berjatuhan dari botol itu menipis, semakin sedikit dan semakin hiilang. Yun Zhao, Miya, Natalia, Grock dan Venice sama-sama menatap jalur mereka penuh keyakinan. Kemudian dalam satu butir jam pasir yang terakhir, pertarungan di mulai. Miya, ditemani Natalia bergerak ke jalur bawah, Yun Zhao bergegas ke jalur atas. Venice dengan Grock membelah jalur utama di tengah dengan penuh hati-hati. Grock memimpin langkah, ketika mereka sampai di depan sungai, tower berwarna ungu yang ada di sebrangnya sudah di datangi seseorang lebih dulu. Pandangan Venice dan Kagura beradu. Master Onmyouji yang ada di sketsa gambar buku seminggu lalu benar-benar persis. Gadis berambut putih panjang, dengan rok kimono pendek dan payung terbuka bermotif bunga berwarna merah muda berdiri dengan anggun. Di sebelahnya, seorang gadis yang lebih pendek darinya membawa sebuah palu besar yang kelihatan sangat berat namun dijinjing ringan di tangannya. “Ah, jadi ini hero barunya,” kata Lolita, si gadis dengan suara anak kecil berambut oranye itu. Ia melihat Kagura yang tak berpaling dari Venice. “Venice, jangan terlibat topik dengan Lolita, ia hanya mengulur waktu,” bisik Grock. Venice mengangguk kecil, “aku tahu.” Kagura melangkah ke tengah sungai yang dangkal lalu tersenyum kecil. “Maafkan aku, tapi aku harus mengambil jalur utamamu lebih dulu.” Ketika berkata demikian, payung yang ada di pundaknya seketika ia lempar seirama tubuhnya yang berputar. Payung itu terlempar ke arah Venice, namun Grock lebih dulu menghalangi Venice dengna tubuhnya yang besar. Venice terperanjat sekali, lalu buru-buru melompat mundur. Ini bukan hal yang biasa. Kagura membuka duluan. Venice menyibak ekor bajunya, mendorong payung Kagura dengan tangannya yang mengembuskan angin. Kagura terdorong, air sungai membasahi kaki lolita yang berusaha melindungi Kagura. Dalam sekelebat Venice melempar kembali mendorongkan gumpalan angin ke arah Kagura, tapi dalam sedetik Kagura sudah berpindah tempat. Venice mengikuti arah perginya gadis itu, tapi dalam sekelebat ia bergerak sangat cepat. Dari antara Kagura dan payung itu, Venice seperti melihat serbuk asap yang menjarak di antara mereka. Dalam detik-detik ini, ia masih harus mempelajari kekuatan gadis itu. Payung Kagura bergerak ke arahnya, Venice melompat ke kiri, tapi Lolita dengan ayunan palunya hampir menghantam kepalanya. Grock membuat deretan dinding batu dengan kekuatannya, menghalangi lolita yang terkunci langkahnya. Kagura berhasil lompat ke payungnya yang ada di belakang. Dengan tubuh Grock yang besar, ia mendorong Lolita yang terkunci di dinding, dan Venice langsung menyemburkan angin sampai Lolita jatuh tak sadarkan diri. Dinding Grock kembali ke tanah, serangan tiba-tiba payung Kagura kembali datang. Venice bergerak mundur, payung itu menyala, Grock terkena sinar yang menyebar dari payung itu, Venice melihat itu agak terkejut, ia berusaha memisahkan cahaya itu dengan cahaya Venice, tapi Kagura keburu melompat ke payungnya, berputar meledakkan cahaya di depan wajah Grock hingga makhluk itu kehabisan tenaga dan jatuh tak sadarkan diri. Kagura tidak melompat mundur, kini, ia dan Venice saling berhadapan. Venice mengambil ancang-ancang, Kagura dengan payung dan senyum kecilnya sangat menawan. “Kau memiliki kekuatan langit dan angkasa yang tidak terbatas, tapi sayangnya, kau tidak bisa mengendalikan roh.” “Itu tidak penting, kau tanpa payungmu itu tak lebih dari seorang manusia lemah,” balas Venice yang langsung melompat, dengan gerakan sedetik ia terbang ke udara, menyalakan cahaya dari tubuhnya kemudian menyemburkan api berwarna ungu untuk membakar payung Kagura. Kagura segera melompat dari payungnya, tapi ketika Venice berhenti menyemburkan api itu, payung Kagura sama sekali tidak terbakar. Venice tertegun, Kagura tersenyum kecil, menarik payungnya kembali ke pundaknya. “Kau tahu sekarang?” Venice terdiam. Samar-samar, dari kejauhan, ia seperti bisa merasakan langkah kaki seseorang dengan cepat datang ke arah Miya. Ia terkesiap, menatap Kagura sedetik. Ini bukan masalah siapa yang menang bertarung, tapi ini tentang sesama tim mereka yang harus selamat. Gussion sudah di jalur bawah, ia melakukan serangan pada Miya. Tanpa kata-kata, Venice segera melompat ke sisi kiri, menghindari lemparan payung Kagura dan tidak berusaha membalas. Ia melintasi sungai ke jalur bawah, Kagura mengikutinya dengan cepat. Dari kejauhan ia melihat kondisi jalur bawah. Miya sedang belari kabur, sementara Natalia sedang mengasapkan Gussion dengan gas beracunnya dan mencakar pemuda itu. Tapi Kagura melesat lebih cepat di sebelahnya, melemparkan payung ke tubuh Natalia dan langsung mengerahkan cahaya yang tadi Venice lihat hingga mengenai tubuh Natalia. Natalia tertarik oleh energi itu ke payungnya, tepat ketika Natalia tertarik ke payungnya, Kagura berpindah ke payung itu, dan meledakkan cahaya energinya. Asap beracun Natalia tidak ada tandingannya dan perempuan dengan cakar emas itu jatuh tak sadarkan diri. Gussion terluka, namun Kagura sempat menggiringnya ke dalam tower. Venice tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk serangan balik. Dengan gerakan sedetik, Venice mendorong angin membuat Gussion terlempar ke dinding dan mati di tempat. Kagura melirik Venice, ekor matanya berkilat tajam. “Mundur Miya! Aku akan mengcovermu!” Di dalam tower, Miya mengangguk lalu dengan cepat melakukan teleport ke base untuk penyembuhan sementara. Venice menghadang tower kawasan mereka, ia mencabut Pigeon Balance dari rambutnya, berubah menjadi sebuah payung juga. Kagura mendelik kecil. “Oh, jadi kau ingin melakukan senjata rahasia?” Venice mengangkat payungnya yang berwarna putih, “menurutmu ini senjata rahasia?” “Kau tidak bisa mempermainkanku.” Setelah berkata begitu, Kagura melempar payung ke arahnya, kali ini lebih cepat dan dengan lompatan singkat gadis itu mengerahkan cahayanya. Venice hampir terkena cahaya itu dan hampir tertarik, tapi dengan cepat ia berputar dan melompat ke arah sungai. Giliran Venice yang melempar payungnya, mengendalikannya dengan angin. Ia memang tidak punya roh seperti payung Kagura, tapi setidaknya ia punya unsur-unsur yang bisa dikendalikan. Payung Venice mengenai tubuh Kagura. Kagura segera berpindah ke posisi payungnya yang ada di pinggir tower Nexus Timur. Posisinya sangat cocok untuk di dorong ke dalam, supaya Kagura terkena serangan bola api tower. Venice menghitung jaraknya. Lalu dengan penuh keyakinan, ia melemparkan payungnya ke arah payung Kagura, membuatnya bergeser ke arah rumput. Kagura hendak berpindah, tapi Venice membuat batasan angin. Kagura hendak menarik kembali payungnya, tapi gerakan itu terhenti karena angin yang ada di depan wajah Kagura sudah keburu menghempasnya ke dalam tower. Kagura menoleh ke arah bola api yang menembaknya, tepat ketika ia ingin berlindung dari bola api itu dengan payungnya, Venice sudah melompat ke depan wajahnya dan mengurungnya dengan topan. Pergerakan Kagura terkunci, bola api tower sudah menembak 3 kali ke arahnya. Dan dalam lingkaran itu, Master Onmyouji pun roboh. Miya muncul setelah Kagura tak sadarkan diri. Peri-peri kecil Kaja membawakannya Magic Plum. Tapi itu belum selesai. Ketika Miya hendak mengucapkan sesuatu, 3 buah pisau es meleset di udara. Tepat di pinggir perbatasan tower, Gussion melempar keenam pisaunya di udara, menusuk Miya dengan sekali gerakan dan membuat gadis itu beku di tempat dan mati. “TIDAK!” Venice berteriak, tapi terlambat. Miya sudah beku dan mati. Gussion melompat keluar tower, ia hanya terkena satu tembakan bola api. Ia kembali menarik pisau esnya ke saku. Sambil tersenyum penuh kemenangan, ia bertanya pada Venice. “Mau melakukan rematch?” tanya Gussion. “Kau bercanda? Kagura sudah terkunci olehku, kau bahkan tidak ada apa-apanya.” “Oh begitu? Apa sekarang kau tahu kalau Karrie si kaki aneh itu sudah membunuh Yun Zhao?” Gussion memainkan pisaunya dengan tangan kanannya.Venice berusaha tidak terpengaruh ucapan Gussion, tapi ia tida bisa terpancing untuk urusan yang berhubungan dengan Yun Zhao. “Yun Zhao bisa hidup kembali, sama seperti Kagura.” “Tidak,” Gussion menatap Venice lebih dengan dagu terangkat. “Yun Zhao sudah kehabisan energi dan cahayanya tidak lagi menyala.” Mata Venice membelalak. Astaga, apakah itu ada hubungannya dengan Blue Dragon yang sekarat? Tidak mungkin. “Bahkan jalur atasmu sebentar lagi akan hancur. Kagura mati sekarangpun tidak ada gunannya karena kau, akan kalah.” “Tidak,” Venice bergerak mundur. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin ia sama sekali tidak meraskaan keberadaan Karrie di jalur atas? Bagaimana mungkin ia tidak bisa merasakan keredupan cahaya yang ada di dalam tubuh Yun Zhao yang sudah menyatu bersamanya? Tidak mungkin. Gussion hanya mengelabuhinya. “Aku akan melepasmu untuk mengecek tower atasmu. Kurasa Karrie sudah masuk ke base. Apa kau ingin melawanku lagi?” Kening Venice berkerut. Ini hanya negosiasi dadakan yang membuatnya supaya ragu. Gussion adalah manusia sama sepertinya. Gussion tahu cara membuat Venice takut, yaitu dengan sifat manusianya yang sama-sama suka tidak percaya diri dan dengan bodohnya percaya pada keraguan untuk mundur dan kalah. Tapi kali ini, suasananya bukan yang cocok untuk melawan. Kalau benar apa yang dikatakan Gussion, ia harus segera mundur. “Kau tidak akan kemana-mana Gussion.” Pigeon Balance yang tadinya payung seketika berubah menjadi pedang. Venice meraih pedangnya, melucutinya ke arah tubuh Gussion yang melompat menghindar. Gussion melempar daggernya ke sisi kanan, Venice melompat menghindar. Ekor bajunya tersobek sedikit, wajahnya hampir mengenai bibir pisau es itu. Tidak, bukan sekarang. Dengan pedang pipihnya, Venice menyalakan cahaya ungu, membakar pedang itu dengan api ungu. Lalu dengan kekuatan yang besar, ia menyemburkan pedangnya ke wajah Gussion. Gussion terkejut dan ia segera melompat menghindar. Ia melemparkan pisau ke arah Venice, tapi dengan mudah Venice menepis semua gerakan itu dengan pedangnya. Venice kian berjalan maju, menebas semua angin ke arah Gussion. Ia mengangkat tangan, membuat dinding angin menyumbat pergerakan Gussion. Ia mengurung Gussion karena angin itu seperti dinding udara yang deras. Rambutnya terombang-ambing, Venice tidak menurunkan tangannya, lalu dengan suara nyaring ia berteriak. “Apa aku pernah membual soal pernyataan kalau aku menginginkan re-match? Kau tidak mengenalku sebaik itu.” Lalu dengan gerakan sedetik, dinding udara yang ada di sekitarnya mengelilingi Gussion, mengangkatnya tinggi ke udara. Gussion berusaha kabur dengan lompatannya, tapi kekuatannya tidak secepat itu. Ia terperangkat dalam penjara angin. Venice membantingnya ke tanah, Gussion terhantam ke tanah dan kepalanya terbentur keras. Venice mengerjap ketika ia tersadar dari kekuatannya. Angin itu mereda, dan Gussion sudah terbaring tak sadarkan diri. “Venice! Tower atas sudah hancur! Kembalilah!” Rafaela berteriak panik dari atas tempatnya berdiri. Venice merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ia tidak punya waktu lagi selain teleport ke base. Tepat ketika ia teleport ke tower atas, kehancuran ada di matanya. Leomord, Karrie dan Lolita ada di sana, berusaha menghancurkan tower. Natalia hendak melemparkan gas beracunnya, tapi ia terlanjur ketahuan dengan kuda Barbiel milik Leomord. Kuda hitam itu melompat tinggi, menginjak cakar Natalia dan menghantam Miya yang sedang menembakkan panah. Miya terdorong ke belakang, Grock menahannya dengan batu besar. Tower hampir hancur, tapi Karrie dengan berani terus menembakkan piringan besi tajam ke tubuh Grock. Grock bergerak mundur, dengan sisa kekuatannya. Lolita meratakan tanah dengan palu ajaibnya. Miya agak pusing ketika palu itu menginjak tanahnya. Venice segera maju, menghantam semua itu dengan angin, tapi gerakan Venice keburu di kunci oleh Lolita dengan palu besarnya. Baju Venice di injak palu itu, Leomord dengan kudanya bergerak hendak mendorongnya, tapi payung Kagura muncul entah dari mana. Venice merasa tertarik ke dalam energi itu, Grock dengan sisa kekuatannya berusaha mendorong mereka semua, tapi Karrie melakukan last hit dan Grock mati. Venice memejamkan mata, merasakan sengatan hebat di sekujur tubuhnya. Kagura berpindah ke payungnya meledakkan cahaya itu di depan wajah Venice. Venice roboh, Miya pun roboh. Cahaya itu tersebar di sekitar payung, membuatnya mengenai siapapun di sekitar payung itu. Tidak… Ini bukan akhirnya.. Venice merasakan sesak napas, matahari yang tadi kelihatan baik-baik saja, kini seperti menangis di matanya. Tidak… Miya jatuh tak sadarkan diri, busurnya terlepas dari tangannya. Grock jatuh ke tanah, Natalia terbaring tak sadarkan diri. Sementara jam pasir terus berjatuhan, ia tidak memiliki banyak waktu lagi untuk menunggu Gussion hidup sementara teman-temannya baru saja mati. Yun Zhao tak ada di manapun, kemana dia? Astaga, apa yang terjadi? Kau bisa menyeimbangkan semuanya dengan Pigeon Balance. Sebelum Kagura kembali berpindah ke luar tower, Venice bisa merasakan langit seakan mengguyurnya dengan keyakinan. Aku seakan-akan bisa merasakan kau akan merasukiku. Tiba-tiba bayangan wajah Yun Zhao waktu itu memenuhinya. Sebelum ia benar-benar roboh, Venice menatap dalam Karrie dalam dua detik. Karrie menjauhi tatapan itu dengan wajah ketakutan, tapi ketika itu terjadi, Venice seperti bisa merasakan rohnya pergi dari tubuhnya dan pindah ke tubuh Karrie. Venice merasuki Karrie. Energi Karrie bertabrakan dengan cahayanya, Venice terlalu kuat di dalam tubuh Karrie. Ia menembakkan dua piringan besi ke arah Leomord yang dengan dahsyatnya membunuh kuda dan pria itu dalam sekejap. Kagura berteriak kaget. “Karrie, apa yang kau lakuk--” Venice melesatkan tembakan ke arah Kagura sebelum ia selesai berbicara. “Ia merasuki Karrie! Lolita! Cover aku!” Gussion melesat ke dalam tower untuk membunuh Venice yang belum benar-benar mati. Tapi untung ia segera sadar akan tindakan itu, dan Venice kembali ke tubuhnya. Cahaya ungu menyelimuti tubuhnya dan Venice terbangun di tubuhnya sendiri, segera membuat dinding angin di sekitarnya ketika pisau Gussion terlempar ke arahnya. Kagura terbatuk dan tidak memiliki tenaga lagi. Gussion segera keluar tower, ia menarik kembali pisaunya. Tower atas hancur. Venice bangkit dari tubuhnya agak terombang-ambing. Pandangan matanya buram. Ia merasakan kalau bajunya sudah tidak beraturan. Gussion melihatnya dari jauh, Kagura dengan kekuatan seadanya bergerak bangkit. Ia mengangkat payungnya. “Aku sudah tahu kalau dari awal kau bisa merasuki kami. Lunox mempercayaiku. Dan bahkan aku tahu kalau kau bisa sekuat itu bertahan. Sekarang, kau tidak punya siapa-siapa sebelum dari kalian semua sadar. Aku akan lebih dulu mengambil kawasanmu!” Tepat setelah itu Gussion melempar daggernya, Venice langsung melesat menatap mata Gussion yang terbang ke arahnya, menghentikan gerakan pemuda itu. Venice merasuki Gussion, beralih melemparkan dagger ke arah Kagura. Kagura menyadari itu. Ia melemparkan payungnya, dan dalam gerakan yang tidak disangka-sangka, payungnya yang berwarna merah muda berubah menjadi hitam. Venice di dalam Gussion terkejut bingung, ia menyerang Gussion dengan cahaya gelap dari payungnya, membuat tubuh Gussion roboh dan mati. Jiwa Venice segera kembali ke tubuhnya, ia memegang kepalanya, terpana melihat Kagura. “Apa itu!? Apakah itu…?” Rafaela datang dari atas, berteriak lantang. “Venice mundur! Abbys di sekitar Kagura sedang menguasainya!” “Apa?!” Venice menatap Kagura yang tersenyum tipis. “Kau tidak tahu apa-apa soal Abbys. Sungguh sangat di sayangkan, tapi aku bisa mengendalikannya,” ujar Kagura yang langsung melesatkan payungnya mengenai tubuh Venice, menyalakan cahaya hitam itu hingga membuat tubuh Venice terguncang hebat. Tepat ketika itu, gelap menyelimuti pandangannya, dan ia merasakan tidak ada lagi harapan untuk menang. *** After Hening di kamar menghantar ketenangan yang cukup sepi. Venice membuka matanya perlahan-lahan. Langit-langit kamar menyapa. Sinar matahari pagi masuk dari jendela. Ia menghirup harum khas Runettra, dan ia merasa sesak di tubuhnya. Apa itu semua hanya mimpi? “Venice?” Venice menoleh pelan ke arah Miya di sebelahnya. “Akhirnya kau pulih. Ini adalah hari ke delapan setelah kau terkena racun Abbys.” Jadi itu semua bukan mimpi. Masih teringat jelas bayangan akan Kagura yang melempar payung hitamnya lalu meledakkan cahaya gelap itu di depan wajahnya. Rasa gemetar hebat mengguncang tubuhnya masih terasa ngilu di darahnya. Ia masih ingat betapa sakit jiwanya ketika cahaya hitam itu memeluknya seperti menjepitnya ke dalam jiwa yang penuh ketakutan. "Kagura… apa yang dia lakukan dengan Abbys?" "Venice.." Miya terlihat menelan ludah sebelum berbicara, "Kagura mengendalikan roh abbys Selena. Ia melakukan perjanjian dengan Selena supaya bisa mengambil rohnya sekaligus menguasai kekuatan abbys dari bawah payungnya. Dia.. sudah di penjarakan oleh Moniyan." "Apa?" Venice terbangun dari baringnya, tapi Miya mendorong pundaknya untuk kembali berbaring. "Apakah itu… dilarang?" "Ya. Sangat. Dan Kagura tidak bisa lagi kembali ke Nexus Barat sebelum ia menyerahkan roh abbysnya kembali ke Selena," jelas Miya. Pantas saja. Semua warna cerah yang ada di tubuh gadis itu tiba-tiba berubah gelap dan hitam. Rasa getar ketakutan yang ia rasakan dari dalam sana ternyata kekuatan Abbys. Itu.. sangat menakutkan karena Venice masih ingat ia tidak bisa mengendalikan kekuatannya sama sekali. "Lalu, apa yang terjadi dengan kita?" Sebelum mengatakan sesuatu, Miya menunduk pelan. Matanya yang tadi menatap yakin, kini berubah menjadi mendung dan tidak percaya diri. Manik biru cerah itu terhalau bayangan. Ia berkaca-kaca. "Miya, apa yang terjadi? Kenapa kau… menangis?" Miya menarik napasnya yang tersumbat, berusaha menahan air mata yang menggenang. Ketika melihat itu seketika Venice teringat akan sesuatu. Apa sekarang kau tahu kalau Karrie si kaki aneh itu sudah membunuh Yun Zhao? Yun Zhao. Ia langsung mendelik panik, "Yun Zhao.. apakah ia.. baik-baik saja?" Miya bergeming sesaat lalu menggeleng. Darah mendesir dingin di tengkuknya, Venice merasa pusing seketika. Ia seperti tersambar petir di siang hari. Itu bukan mimpi. Sama sekali bukan. Dengan gerakan sedetik, ia turun dari kasur, tidak memedulikan kepalanya yang berdenyut, meninggalkan Miya yang duduk mematung. Ia sangat terguncang, Venice tahu itu. Dan bodohnya lagi, ia bisa 8 hari tak sadarkan diri. Sekarang, apa ia bisa meminta waktu untuk bergerak mundur dan memilih semuanya dalam keadaan baik-baik saja? Ia berlari menembus lorong, kamar Yun Zhao tak jauh dari pertigaan lorong. Sekarang, ia tahu kalau perkataan Gussion kemarin bukanlah omong kosong. Seharusnya Venice menyadari ini sebelum Ekuinoks. Seharusnya ia lebih peka dan tanggap. Kekalahan kemarin, wilayah Nexus Timur mengecil. Ini semua gara-gara kesalahannya. Yun Zhao matipun--Venice menelan ludah di tenggorokannya kuat-kuat--itu juga kesalahannya. Semua ini kesalahannya. Air mata Venice turun bersamaan langkahnya. Ketika tiba di depan pintu tetutup itu, ia langsung menyeruak masuk tanpa permisi. Pandangan Venice langsung jatuh pada tubuh Yun Zhao yang terbaring pucat. Matanya terpejam, tubuhnya tidak bergeming. Lutut Venice lemas, jantungnya yang berdebar tak keruan seketika menyumbat pernapasannya. Sesak di dada yang semakin jelas adalah ketika ia memanggil nama pria itu, tapi tak ada balasan apa-apa. Hanya hening. "Venice?" Dari balik pintu, Ling muncul dalam diam. Venice tidak lagi bisa menyembunyikan air matanya, ia menoleh ke arah pria jangkung itu. Ekspresi terluka juga muncul di wajahnya. "Ling.. apakah…" ketika Ling menarik tubuhnya ke dekapan pria itu, seketika tangis Venice pecah. Ia tidak tahu kenapa sesakit itu menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Yun Zhao, orang yang selalu ada di sampingnya ketika ia masih belum menjadi apa-apa, Yun Zhao yang selama ini selalu tahu isi pikirannya, pemilik manik biru yang menenangkan hatinya, kehangatan tanpa diminta, Venice telah kehilangan itu semua. Ekuinoks ke 200 sudah menutup sejarahnya hari ini. Bahwa puteri Langit dan Angkasa telah gagal di medan perang, bahkan gagal menjaga sosok yang ia sayang. Tubuhnya gemetar hebat, tapi Ling hanya diam dan mengusap kepalanya. "Ini bukan salahmu," kata Ling dengan suara hangat. Andai saja Yun Zhao bisa melihat mata dan membaca pikirannya sekarang, air mata ini adalah kali pertama yang ia rasakan hanya untuk pria itu. "Kalau saja aku sempat berbicara padanya, kalau saja aku masih punya waktu untuk melihat matanya… " napas Venice kian sesak, perih di dadanya semakin berjengit ke seluruh tubuh. "Aku hanya ingin dia tahu kalau dia adalah orang yang paling aku sayangi." Seandainya ia tahu. Seandainya ia tahu itu dari awal. Pelan-pelan Venice mengatur napasnya yang sesenggukan, melepaskan dekapan itu dan kembali memandang pria di atas kasur dengan terluka. "Kagura menyimpan Abbys. Ia sudah menyimpan jebakan di jalur Yun Zhao. Sebelum Yun Zhao benar-benar mati… sebenarnya… ia menyelamatkan Blue Dragon." Langkah Venice terhenti di tempat. Ia berbalik menatap Ling yang menunduk. "Apa yang ia lakukan?" Kepala Ling terangkat, "ia memberikan napas terakhirnya untuk menghidupkan Blue Dragon kembali." "Apa?" Ling berjalan mendekat, menatap saudaranya yang hanya berpakaian kain putih di lilitkan di sekitar tubuhnya. "Kakak adalah orang yang bijaksana sama seperti Blue Dragon. Ia layak menyatu bersama Naga itu. Kebaikan Runettra akan selamanya abadi." Venice merasakan hidungnya beringsut lagi. Dengan pelan, ia berjongkok di depan Yun Zhao yang terpejam, meraih tangan pria yang lebih besar darinya itu demi mengingat genggaman hangat terakhir yang pria itu berikan sebelum pertarungan. "Kalau saja aku bisa menyadari ini dari awal, kalau saja aku tahu kalau sebenarnya aku teramat sangat tidak ingin pergi darimu. Aku akan membiarkanmu tahu," ujar Venice lembut. Air mata bergulir dari matanya. Tapi sayang, itu sudah terlalu lama. Yun Zhao tidak lagi mendengarnya. Kemudian dengan gerak pelan, ia mencondongkan tubuhnya, hendak mencium Yun Zhao untuk yang terakhir kali. Ia ingin sebuah perasaan yang sebenarnya ada. Ia ingin merasakan itu dan ia mau Yun Zhao mengetahuinya. Kalau saja cahaya yang awalnya hanya memancing dirinya untuk layak hidup di sini, ia yakin, ia tidak akan pernah merasa senyaman dan seterlindungi seperti ini. Dengan lembut Venice memejamkan mata, meletakkan bibirnya di atas bibir dingin Yun Zhao. Ia tidak tahu kalau dinginnya hening akan menyakitkan seperti ini. Perasaan yang tak terbalas, hanya tinggal sebatas cahaya. Sesuatu yang pernah memberinya nyawa, memberinya napas baru telah hilang selamanya. Seandainya Langit dan Angkasa mengijinkannya mengembalikan cahaya itu, ia ingin Yun Zhao hidup kembali. Tapi, Venice tahu, ia tidak bisa memaksakan sesuatu itu demi keinginannya. Ia harus rela kalau Yun Zhao sudah benar-benar pergi. *** Runettra Sky "Kalau kau membawaku kembali ke Bumi, apakah artinya ini perpisahan?" Di langit petang Runettra, sekelompok burung-burung berpindah pohon ke rumahnya. Deretan bukit Hidden Land samar-samar terlukis di semburat cahaya oranye itu. Di depannya, Miya sedang menghirup udara sore dalam-dalam. "Sebenarnya, kau selalu bisa kembali kapan saja. Tapi manusia di mata kami adalah makhluk bebas. Jadi ia tidak bisa bertahan dalam jangka lama. Dan aku sadar, itu benar adanya." Venice menatap cakrawala di atasnya. "Aku hanya merindukan bumi. Aku tidak ingin tinggal dimanapun selain di sini." Aku Venice dengan suara pelan yang ikut bersama angin sore. "Jangan merasa bersalah terus. Kekalahan kami, kematian Yun Zhao--itu bukan salahmu. Ini hanyalah takdir yang harus kami hadapi." Venice tertunduk. "Apakah Nexus Barat tahu soal ini?" "Sejak kematian Blue Dragon, kami semua sudah tahu kalau Yun Zhao akan memberikan napas terakhirnya untuk Blue Dragon. Maka, ketika ia benar-benar memutuskan itu, aku dan semua makhluk di Runettra hanya bisa merelakannya pergi." Hening menjarak sejenak. Venice menatapi peri kecil yang berputar di atas tanaman bunga di sebelah balkon istana. "Yun Zhao adalah orang yang aku sayangi. Aku tahu itu tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Ia memberikanku napas baru, ia memberikanku banyak sekali kesempatan. Cahayanya tinggal bersamaku, tapi aku hanya terlalu egois untuk mengabaikannya. Dan yang menyedihkannya lagi, aku adalah manusia yang tinggal tanpa hati. Aku tidak tahu kalau rasa cinta akan terasa sesesak ini ketika kau tahu orang yang kau cintai akan pergi selamanya," jelas Venice panjang lebar. Di sebelahnya, Miya mengusap pundak Venice dengan gerak lembut. "Takdir. Dan apa kau tahu?" Miya menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "dulu, Yun Zhao sering kuajak untuk mengamatimu dari cermin paralel. Jangan salah sangka, tapi semenjak kau adalah keturunan Langit dan Angkasa yang sangat dicari-cari orang. Runettra sangat gempar karena Langit dan Angkasa menurunkan kekuatannya pada manusia sepertimu. Kau adalah suci. Kekuatanmu, sekuat keturunanmu. Bahkan tanpa kau sadari, kau juga mendapatkan kekuatan Yun Zhao. Yaitu kebajikan." Venice menggeleng cepat. "Tidak. Aku merasa tidak pantas mendapatkan itu. Lagi pula, Yun Zhao hanya tidak sengaja menurunkan cahayanya padaku." "Kau hanya tidak mengetahuinya, Venice." Seketika Venice menoleh pelan ke arah Miya yang memandang langit sore. Tatapannya sendu, sebiru maniknya yang rindu pada orang yang sedang dibicarakan itu. "Sebenarnya, alasan kenapa ia mau menurunkan cahayanya padamu adalah…" Pernyataan menggantung itu membuat degup jantung Venice beradu. Miya beralih menatapnya, "karena Yun Zhao sudah menyukaimu sejak awal." Venice bisa merasakan jantungnya melesak, darahnya mendesir dingin. "Ia menyukai caramu bertindak dan membuat keputusan. Ia suka bagaimana kau tidak membenci manusia-manusia itu padahal kau sedang dimanfaatkan mereka. Yun Zhao tahu sesiap apa porsimu untuk kemari. Maka itu, malamnya aku meletakkan action figure yang berisi cahaya Yun Zhao untukmu." "Action figure itu bahkan--" dada Venice semakin terasa sesak. Bahkan dari awal ia sudah menerima cahayanya tanpa ia tahu. Bagaimana bisa ia--baru tahu ini semua sekarang? "Lalu kenapa--kenapa Yun Zhao tidak mengatakan perasaannya padaku? Seandainya aku tahu--" pandangan Venice memburam, hidungnya beringsut dalam. Ia tahu, apapun itu, saat ini bukanlah yang tepat untuk membicarakan orang yang baru saja hilang dari hidupmu. "Venice," Miya menyentuh pundaknya lagi, penuh ketenangan, "Yun Zhao tahu kalau manusia itu makhluk bebas. Kalau ia menyatakan perasaannya juga, ia tidak mau membuatmu terkurung di sini." "Aku sama sekali tidak terkurung. Bagiku, Runettra sekarang adalah bagian hidupku. Kau tahu, kekalahanku di pertarungan kemarin hanyalah permulaan. Sampai kapanpun, aku ingin bertarung lagi." "Yun Zhao tidak pernah tahu kalau ia menyukaimu. Akulah yang memberitahu." Venice tertegun sejenak, "dia tidak tahu?" "Ya. Dia terlalu polos untuk memisahkan antara cinta dan kebaikan. Yang ia pikir ia melakukan kebaikan, sebenarnya ia hanya memberi cintanya padamu. Kau tahu kenapa cahayanya mati?" Venice menggeleng pelan, Miya melanjutkan, "itu karena cahaya yang turun berdasarkan cinta butuh balasan kembali. Cahaya kebaikan murni bisa tumbuh sendiri. Tapi kalau cahaya cinta itu berakar dari perasaan, tapi akarnya tidak disiram, logikanya, akar itu akan mati, kan? Itulah yang terjadi dengannya." Venice mengangkat wajahnya, menjangkau air matanya supaya tidak jatuh. "Apakah masih ada waktu untukku menyiram.. akarnya?" Miya berjalan memeluk Venice pelan. "Venice, akar yang mati tidak bisa tumbuh kembali." Ketika itu, jingganya langit sore menyaksikan tangis air mata itu lagi. Janji yang teringkari, tidak pernah dapat ditarik lagi. Pada kehidupan, semua orang pada dasarnya memiliki cahaya masing-masing, wujud keterbukaan untuk berbuat kebajikan dalam hidupnya masing-masing. Tapi bagi Venice, Yun Zhao melebihi itu. Ia adalah napas baru, cahaya yang dibaginya adalah petualangan baru bagi hidupnya. Sekarang, ketika ia sangat rapuh, ia hanya ingin memberitahu bintang-bintang dilangit, kalau ia sudah kehilangan planet terindah yang pernah ia kenal. Maka, bergemuruhlah angkasa di detik Venice terluka. *** Home "VENOM! JANGAN LAKUKAN ITU! KAU MAU VENICE MATI?!" Veronica berlari panik ke arah bocah laki-laki yang mencelupkan kepala Venice ke dalam ember. Ini sudah pukul sepuluh, sudah sepuluh menit gadis itu tertidur pulas dalam otak jeniusnya. Setelah menelepon dokter di ruang tengah dan kembali ke kamar adiknya, ia malah mendapati Venice sedang ditenggelamkan oleh adik kecilnya. Dengan kasar Veronice menyeret Venom keluar dari kamar. "Kau dasar bocah gila! Kau mau kakakmu ini mati! Iya?!" Veronica memukul bokong Venom seraya menyeretnya keluar. Tapi ketika mereka sibuk bertengkar, dari dalam kamar suara terbatuk-batuk seseorang menghentikannya. "Uhuk! Uhuk uhuk! Astaga, ya tuhan, apa yang terjadi--" Venice terbangun dari duduknya. Di sebelahnya ember dengan air penuh membuat Venice menatap bingung. Kakak perempuannya menghela napas, lalu menempeleng Venom yang tersenyum puas. "Kau kakak tertua yang paling tidak berguna. Lihat, usahaku tidak sia-sia menenggelamkannya ke ember." "Apa?" "Kau tahu? Aku hampir terlambat karena kau mulai tidur dengan ala otak jeniusmu itu! Ah, menyusahkannya. Bereskan kamarmu, aku harus ke kelas karena ada ujian. Venom, selesaikan sarapanmu sekarang juga!" Veronica buru-buru pergi sebelum mendengar penjelasan Venice, di susul Venom yang mencibir dan bersungut-sungut kembali berjalan ke dapur. Dalam dua detik setelahnya, Venice bergeming sesaat. Apa yang baru saja terjadi? Mereka sama sekali tidak menyadari kepergiannya yang sudah lama sekali? Venice menoleh ke arah jam dinding dan kalender bersamaan. Tunggu. Malam terakhir ia tertidur dan hari ini tidak terpisahkan jarak. Apa jangan-jangan… Dari jendela kamarnya, cahaya matahari musim semi sayup-sayup memasuki ruangannya. Ia bangkit dan berjalan mendekat. Pemandangan kota New York, jembatan Manhattan ramai mobil-mobil, kepadatan lalu lintas, beberapa burung camar yang melintasi sungai Hudson, semua seperti mimpi bagi Venice sekarang. Ia kembali ke bumi. Setelah perjalanan dua hari yang ditempuhnya bersama Miya di Runettra, akhirnya mereka tiba di gerbang Selatan perbatasan Bumi. Ia tidak tahu kalau ternyata semua manusia manapun bisa keluar dari sana untuk masuk ke bumi. Tapi, untuk menemukan gerbang itu di bumi, tidak akan pernah mudah. "Kalau kau ingin kembali, kau hanya butuh percaya. Sampai jumpa," Miya melambai dan ketika Venice melewati perbatasan itu, cahaya terang memenuhi pandangannya dan seketika, ia terbangun di kamarnya. Hanya satu kata yang sampai sekarang selalu tinggal dalam pikirannya. Tentang Runettra, semuanya memiliki cahaya sendiri. Cahaya dari dalam diri masing-masing hero adalah kunci kehidupan mereka. Bagaimana kau mempercayai dirimu sendiri, dan bagaimana para hero yang lain mendukungmu, itu adalah satu dari banyak hal yang tidak pernah ia dapatkan. Setidaknya, ia mempelajari banyak hal dari Runettra. Negri yang hanya dibatasi bayangan ilusi, antara Bumi, tapi Venice yakin, kalau ia akan kembali. Ya, dia pasti kembali. Reborn. "Venice! Besok aku akan pinjam catatan yang tadi. Hari ini aku mengantuk sekali di kelas." Max, dengan mata hijaunya memandang iba ke arahnya. Venice menahan untuk tidak memutar jengah bola matanya, lalu ia hanya mengangguk dan berjalan pergi meninggalkannya. Untung saja kerumunan mahasiswa di lorong membuatnya tidak perlu mengucapkan sampai jumpa, karena Venice sudah muak dengan kelakuan Max yang kian hari makin seenaknya saja. Bulan depan ujian akan dimulai. Semua mahasiswa sudah sibuk mengejar tugas atau bolak-balik perpustakaan meminjam buku catatan. Taman di depan kampus juga mulai penuh orang-orang yang mengerjakan tugas sambil mengemil. Bagi Venice, kegiatan itu hanya membuang waktunya. Lebih baik ia dirumah, memainkan game yang Venom pernah berikan padanya. Venice berlari menembus koridor menuju lobi dengan sepatu ketsnya. Rambut panjangnya terurai bebas di udara. Pigeon Balance yang waktu itu terikat di rambutnya, kini berbentuk jepitan kecil di sisi poninya. Setidaknya ada sesuatu yang bisa membuatnya tenang dan berada di Runettra terus. Ketika sampai di lobi, di meja resepsionis, ia melihat seorang pria bertubuh jangkung agak membungkuk sedang berbicara pada petugas. Matanya menyorot lembut, suaranya yang berat mendengung di sekitar lobi yang sepi. Untuk sesaat, Venice menghentikan langkahnya. Jantungnya yang terpompa karena lelah, kini pelan-pelan berubah karena terperenyak. Pria itu tersadar, ia bergerak menoleh ke arahnya. Dan saat itulah pandangan mereka bertemu. "Yun Zhao?" Dalam senyum tipisnya, sendu merebak, jantungnya mendesir hangat. "Jangan sekarang, aku sedang--" Venice berlari memeluk pria itu hingga mereka berdua terjatuh. Terdengar tawa Yun Zhao sementara dirinya menangis haru. "Hey, hey, kau liar sekali di bumi ya." Venice melepaskan pelukannya, lalu menatap Yun Zhao yang terbaring pasrah di bawahnya. Ia menarik ingus sejenak, lalu menghapus air matanya kasar. "Yun Zhao--" "Ssh--jangan panggil aku dengan nama itu. Aku sedang tidak memakai tombak dan rambutku tidak putih. Lihat? Rambutku cepak dan coklat seperti ini." Yun Zhao merentangkan tangannya di lantai, menunjukkan semua hal yang berbeda di tubuhnya. Sweater hijau lumut dengan jeans dan sneaker, serta tas punggung yang diselempangkan asal di bahunya, membuat Yun Zhao terlihat lebih manusia daripada seorang manusia. Tapi… Bagaimana bisa? "Kau menyelamatkanku, Venice." Jantung Venice berdentum tak keruan. Di mata biru itu, ia terkunci di antara ruang waktu yang diciptakan oleh pria itu. Rindu yang bergejolak, spontanitas yang terjadi begitu saja sudah cukup untuk membuat Yun Zhao tahu semua isi pikirannya. Ia tak peduli seberapa banyak suara-suara kecil tentang pria itu muncul di pikirannya, ia malah tidak peduli seberapa banyak yang bisa Yun Zhao lihat. Bahkan, ia hanya ingin Yun Zhao tahu kalau ia teramat sangat menyayanginya. "Kau memang tidak menyiram akarku. Akarku memang mati. Tapi kau tidak membuangnya. Kau hanya menggantinya dengan yang baru, dan membuatku terlahir kembali dari cahayamu atas dasar cinta." "Tidak--" Venice buru-buru merasa malu karena pipinya yang merona mendadak. Ia tidak bisa ditatap begitu lagi. Sudah cukup. Tapi ketika Venice hendak bangkit, Yun Zhao tertawa kecil lalu menarik kepalanya mendekat hingga bibir mereka bersentuhan. "Harusnya aku melakukan ini dari dulu," ujar Yun Zhao dengan suara rendah. Venice mengerjap beberapa saat. Ia berciuman di lantai lobi. Dan untung saja tidak ada yang menyaksikan kecuali pot di samping pintu keluar. "Kau memang melakukannya dari dulu. Bahkan sebelum aku tahu. Kau benar-benar brengsek." Yun Zhao dan Venice sama-sama tertawa. Namun mereka tahu itu bukanlah akhirnya. Bagaimanapun, cahaya yang pernah redup dan hilang bukan berarti tidak bisa datang lagi. Napas kehidupan yang tidak berhenti dari peradapan adalah kebaikan dan cinta kasih yang sesungguhnya. Dan di Runettra Venice menemukan kehidupannya. Bumi adalah tempatnya untuk mengenang itu semua. *** Dyroth: The Everlasting Tanah Abbys bergemuruh riuh. Ekuinoks berakhir 10 hari yang lalu. Kagura karena kebodohannya memakai abbys, dipenjara di Moniyan. Dengan langkah lebarnya, iblis keturunan elf itu bangkit dari singgasananya, berjalan ke cermin paralel yang sekelilingnya berukir tubuh ular meliuk tak ada ujungnya. Ruang temaram dengan lantai karpet berwarna merah menggemakan suara tawa Dyroth, sang Penguasa Abbys. "Selena tahu cara mengalahkan anak kecil itu. Dia pikir keturunan abbys sebodoh itu ya?" Di sebelahnya, makhluk Orc dari Fortress of Despair yang berkulit seperti batu menghampirinya. Tubuh makhluk itu seperti dilapisi magma dan suaranya serak seperti tersumbat air lava. "Kita bisa menjadikan Kagura serangan balik. Sayang sekali, Master Onmyouji hanya cerdas tapi tidak memikirkan resikonya," ujar makhluk itu. "Thamuz, siapkan mejanya. Kita akan mempersiapkan sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan mengejutkan Land of Dawn, bahwa Abbys akan kembali." *** THE END ucapan terima kasih Halo, penulis mengucapkan terima kasih bagi yang sudah membaca, follow dan mendukung cerita ini. Dalam rangka mengikuti lomba storial untuk membuat cerita dari Karakter Mobile Legend, penulis sangat tertarik dan cukup mengenal banyak karakter sehingga banyak yang memiliki pernan dalam Reborn ini. Untuk edisi berikutnya, kemungkinan penulis akan membuat sequel, karena cerita dengan karakter seperti ini penulis buat berdasarkan kesenangannya. Meskipun nanti tidak terpilih, penulis setidaknya berhasil memenuhi janjinya untuk tahun ini menyelesaikan Reborn: The Curse of Land of Dawn dengan tepat waktu. Terima kasih sekali lagi, untuk para pembaca. Penulis dapat di hubungi di: Wattpad: @NiceMcQueen Instagram: @nicemcqueen Bab 3-1 Suara-suara ribut mengelilingi kepalanya. Sengatan sinar matahari entah kenapa terasa sedikit menyilaukan matanya yang masih terpejam. Venice bergulat sedikit, merasakan ada keanehan diatas tempat tidurnya. Pukul berapa ini? Kelas masih akan lama sekali tapi siapa yang membuat keributan pagi-pagi seperti ini? Venice membuka mulut, menguap dan membuka matanya. Astaga. Sinar matahari pagi tepat jatuh diatas matanya. Dan posisi tiduran Venice bukan di tempat tidur, tapi ditanah yang sekitarnya terdapat rumput-rumput besar dan tinggi mengengelilinginya. Seperti ada di hutan. Dari luar suara ribut-ribut itu masih bergemuruh. Ya ampun, pasti Venice terbangun di mimpinya lagi. Terkadang orang jenius sepertinya harus disiram air dulu baru bisa membedakan kehidupan antara mimpi dan kenyataan. Tapi saat Venice mengucek-ngucek matanya cepat untuk segera bangkit ke alam sadar, tiba-tiba seseorang dari balik rumput tinggi itu menampikan wajahnya. “Ya tuhan!” pekiknya seketika. Satu, ucapan Venice terdengar sangat lantang dan keras. Dua, itu bukan orang, tapi seperti....hantu? Atau, sebentar, sepertinya ini ada yang salah. Mata merah itu menatapnya, tubuhnya kekar seperti batu merah dan tangan kanannya menyatu dengan belahan pisau belati yang begitu besarnya. Rambutnya gondrong dan ia memiliki taring panjang keluar dari mulutnya. Ya ampun, mimpi macam apa lagi ini? Tapi tunggu, Venice merasa bernapas dengan nyata. “Kau!” katanya dengan suara berat yang menggetarkan tubuh Venice seketika. Ya tuhan, ia benar-benar ingin segera bangun. Ini sudah parah, Venice benar-benar ketakutan. Sekarang pria itu menatapnya dengan penuh seringai dan tawa yang menakutkan. Perlahan-lahan langkahnya mendekat kemudian Venice mundur sekali dengan posisi sambil menyeret tubuhnya yang masih setengah sadar. Tapi saat Venice buru-buru beranjak, pria bertaring itu mengayunkan tangan pisaunya kemudian diangkat, Venice memejamkan matanya sambil hendak berteriak benar-benar bangun dari mimpinya. “Menyingkir kau Balmond!” tiba-tiba suara seorang pria lainnya yang terdengar lebih bijaksana muncul dari sisi rumput lainnya lalu langsung menghantam pria seram itu dengan gaya petarungnya. Venice membuka mata dan melihat pria itu dengan cepat memutar-mutarkan pisau tombaknya yang menyala bagaikan tongkat kehidupan yang penuh cahaya, menepis gerakan pria seram itu. Sedetik, mereka bertarung sebentar. Oh, ternyata suara ribut itu berasal dari keduanya. Huh? Apa lagi ini? Venice memperhatikan dengan raga ketakutan sekaligus heran setengah mati. Benar, seseorang harus membangunkannya sekarang juga! *** “Cepat! Pegang tanganku!” kata pria dengan tombak menyala itu kearah Venice yang masih melongo. Wajahnya tak nampak ketakutan, tapi terlihat sangat tegas dan rasanya ia sedang buru-buru. Tadi, ia baru saja membunuh pria seram bertaring itu dengan menghunus tubuhnya sampai berkali-kali. Agak menakutkan sebetulnya melihat pertarungan keduanya, tapi Venice sedikit lega pria itu berhasil membunuh pria seram itu. “Apa?” tanya Venice dengan nada kebingungan. Ia masih merasa aneh. Ini hanya mimpi, ini hanya mimpi. Tapi mimpi apa? Kenapa semua pandangan terasa begitu nyata? “Kau ingin mati atau hidup?” ujarnya, kali ini suaranya terdengar sedikit keras. Ia menunggu sedikit tidak sabar. Langit biru membentang luas di belakangnya. Venice sedikit melirik ke sekeilingnya yang terdapat banyak pohon dan rumput tinggi. “Aku..aku hanya ingin segera bangun,” jawab Venice cepat dengan wajah sedikit linglung. Lalu dengan sekali hentakan, pria yang berkata sedikit membungkuk itu meraih tangan Venice dengan cepat kemudian ia menariknya dengan sekali hentakan yang membuat Venice tak bisa meronta selain mengikuti arahnya keluar dari rumput-rumput besar itu. Saat Venice dan pria itu keluar, sebuah pemandangan super aneh kembali menyelubunginya. Ternyata di luar rumput tadi keadaan lebih parah dan buruk. Semua orang sedang bertarung! Semua orang saling membunuh dengan pisau atau entah dengan menembakan sesuatu yang nampak sangat aneh dimata Venice. Sungguh, ia ingin bangun sekarang. Tolong, siapapun, Veronica, Venom, cepat siram dia sekarang juga! Pria itu menarik tangannya lebih kencang dan disusul Venice yang juga setengah berlari dengan mata tak berpaling dari orang-orang aneh itu. Ada orang yang besar dan nampak seperti manusia, tapi ada juga mahkluk yang nampak seperti kurcaci kuat sedang bertarung dengan para kurcaci lainnya, Venice merasakan kerutan di dahinya semakin mendalam tak mengerti lagi apakah ini benar-benar nyata atau tidak. Tapi kalau kenyataan, Venice tak tahu apa ia bisa membuka matanya untuk melihat kejadian aneh ini benar-benar ada. Genggaman pria itu sangat erat sampai-sampai Venice merasa sedikit tenang diatas ketakutan yang mengelilinginya. Mereka berlari hingga ke sebuah kawasan dimana nampaknya sudah terlihat aman, agak menjauh ke dalam sebuah bangunan yang nampak seperti benteng pertahanan. Pria itu menarik Venice sedikit melangkah kedepan, kemudian seorang wanita dengan rambut putih dan mata penuh kemilau yang cantik menghampiri keduanya. “Miya, bawa dia ke ujung Nexus!” kata pria itu sambil melepaskan genggamannya kemudian tangan wanita cantik itu berganti yang menggandengnya sekarang. Venice memperhatikan dengan keanehan yang tak bisa ia temukan jawabannya. Entah kenapa, otak jeniusnya seketika membeku terlalu terkejut dan bingung dengan hal-hal yang ia amati dari tadi. Sambil berlari melewati beberapa batu besar yang nampak seperti pertahanan, Venice masih mencoba menerka-nerka ada dimana ia sekarang. Wanita itu tersenyum kearahnya waktu ia berpaling sejenak. Tunggu. Bukankah dia yang semalam Venice lihat sedang berdiri di kamarnya? “Kau...Miya?” tanya Venice masih sambil berlari, kerutan di dahinya belum hilang. Wanita itu membawa sebuah busur dengan panah seperti berkekuatan sihir. “Ya, aku Miya, sekarang, kau bersama kami, kau aman,” katanya. Suaranya lembut dan menenangkan, tapi jujur, Venice belum setenang itu, karna ia belum tahu sebetulnya apa yang sedang terjadi. “Apa yang terjadi? Kenapa semua orang bertarung? Dan dimana aku?” Venice tiba di sebuah tempat yang sedikit lebih tenang agak jauh dari para petarung-petarung aneh itu. Mereka berhenti di sebuah tempat yang letaknya sedikit menyudut tapi dindingnya berbentuk setengah lingkaran, lantainya batu tua bercorak warna batu kuno. Di depannya ada sebuah batu besar yang mengambang diatas sebuah kolam bermuatan cairan....kalau itu normal, Venice bisa menyebutkan cairan itu kimia, tapi entah bagaimana cairan kimia itu bisa membuat batu besar itu mengambang layaknya pemberi kekuatan. Alis Venice tak berhenti berkerut. “Kau sedang di battle fields sekarang,” jawabnya sambil menoleh ke belakang memastikan sesuatu, “tunggu disini sebentar ya, kami akan kembali, pertahanan lawan sebentar lagi akan hancur dan kami akan memenangi pertarungan ini.” Apa? Pertarungan? Battle fields? Pertahanan lawan? Ya ampun, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertarungan apa yang dimaksud, dan kenapa Venice tiba-tiba ada disini? Miya tersenyum kemudian beranjak pergi meninggalkannya sendirian di tempat itu. Tunggu. Venice membuka matanya lebar-lebar, kemudian menengadah menatap langit cerah tanpa awan diatas sana. Angin mengguyur wajahnya perlahan, batu besar di depannya terasa sangat hidup dan bernyawa, kawasan perang yang penuh dengan keanehan itu nampak seperti kenyataan. Venice mengangkat tangannya yang gemetar kemudian bergumam, “apa ini benar-benar nyata?” suaranya serak dan saat otak jeniusnya mengiyakan dengan keras pertanyaan itu, tubuh Venice seketika membeku dan bergetar hebat. Astaga, tidak mungkin. Tidak mungkin ini kenyataan, tidak....tapi, bagaimana bisa? Venice melahap pemandangan sekitarnya lagi. Benteng pertahanan penuh dinding tua yang luas, batu pertahanan yang terasa hidup dan nyata, pohon-pohon di belakang dinding yang menyerupai hutan, lapisan batu kuno yang melapisi lantai dan perasaan yang benar-benar membingungkan. Tiba-tiba sebuah cahaya besar yang mengkilat muncul dari sebrang hutan sana, dan membuat kilatan sinar itu menyilaukan mata. Sampai-sampai, saat Venice menutup matanya sebentar, ia merasa cahaya yang berkekuatan besar itu seperti menghancurkan matahari dan sayup-sayup keadaan menjadi abu-abu dan....gelap. Dengan cepat, Venice membuka matanya, merasakan cahaya besar yang mengkilat itu benar-benar menghilang dan keadaan sekitar menjadi sangat gelap. Hanya ada cahaya kecil dari bawah batu tiap pertahanan, kemudian sedetik, beberapa orang muncul dari balik hutan dan memasuki jalur menuju ke tempatnya berdiri dengan berlari. Orang-orang itu. Orang-orang yang tadi bertarung di dekat hutan sana. Venice mengamati mereka yang berlari dengan senyum penuh kemenangan. Apa lagi ini? “Ayo, kita harus ke Runettera sekarang,” kata pria dengan tombak cahaya itu. Venice semakin berkerut. Disana ada lima orang. Mengelilinginya seakan mereka sudah tahu dengan kedatangannya. Mereka tidak terkejut seperti yang Venice rasakan. Selain Miya, dan pria bertombak cahaya itu, ada lagi seorang wanita memakai baju perisai yang cantik berwarna kuning keoranye-an, kemudian ia memegang tongkat panjang yang atasnya terdapat sebuah kristal, wanita itu memiliki sayap layaknya peri-peri di dongeng. Wajahnya cantik dan rambutnya pirang. Ia tersenyum kearah Venice. Kemudian di sampingnya ada seorang pria bermata nakal, ia menggenggam pedang besar yang nampaknya cukup berat, tapi terlihat ringan jika ia pegang, pria itu memakai mantel tipis berwarna merah dan rambutnya pirang, wajahnya tampan, tidak seperti orang yang ada disebelahnya. Pria itu menyeramkan, lebih menyerupai setan, bukan manusia. Dan sepertinya, kalau tidak salah, itu adalah makhluk yang tadi hampir membunuhnya di hutan tadi dan bukankah seharusnya ia tadi sudah mati dibunuh oleh pria itu? Dan kenapa sekarang mereka terlihat sudah berbaikan? Apa ini? Kenapa ia tak henti-hentinya membuat pertanyaan sebanyak itu di kepalanya? “Hey! Bukankah kau tadi sudah mati dibunuh olehnya? Kau juga tadi menyerangku!” tukas Venice tiba-tiba membuat orang-orang sedikit tertegun dengan jari telunjuk Venice yang menunjuk pria bermata merah itu. Pria bermata merah itu memiringkan kepalanya sambil berkerut, kemudian terkekeh sebentar mengisi jeda. “Mungkin kau salah lihat, aku bagian tim ini, mana mungkin ingin membunuhmu dan jika aku mati, aku masih bisa bangkit lagi,” katanya ramah. Aneh aneh aneh. Benar-benar aneh. Lalu, kalau bukan dia, siapa? Apa kembarannya? “Lalu, kalau bukan kau, siapa?” tanya Venice ragu menatapi orang-orang yang kini menatapnya sambil tersenyum. Tapi tidak dengan pria bertombak cahaya itu. “Tidak ada waktu untuk menjelaskannya,” kata pria bertombak cahaya itu. “Hey, ada waktu atau tidak, aku tetap saja tak peduli, aku benar-benar ingin bangun sekarang! Veronica! Venom! Tolong bangunkan aku! Siapapun tolong sadarkan aku! Ini tidak nyata, ini hanya mimpi!” tiba-tiba suaranya semakin memekik menyadari kalau ia benar-benar ketakutan dan tak ingin berada disini. Miya buru-buru menghampirinya. “Hey, kau kenapa ingin kembali? Bukankah kau yang memanggil kami?” katanya sambil menatap lurus. Venice semakin berkerut. “Memanggilmu? Apa maksudnya?” tak terasa, Venice semakin merasa kebingungan. “Lambang ‘victory’ yang menyala itu, yang ada di meja belajarmu. Saat itu kami mendapat sinyal kalau Nexus Timur akan kedatangan hero baru.” Sesaat, bayangan dirinya memegang action figure yang tak sengaja ia jatuhkan dan genggam itu, teringat lagi. Malam hari dimana pertama kalinya Venice menyentuh angka kemenangan dan menaiki peringkatnya sebagai hero waktu itu. Dan saat action figure itu menyala, Venice baru tahu sekarang. “Kau bercanda? Itu hanya action figure konyol! Tidak mungkin pajangan seperti itu menghasilkan ilusi sebesar ini. Aku hanya bermimpi, dunia bawah sadar orang jenius memang berlebihan seperti ini, aku hanya perlu terbangun beberapa saat lagi,” tukas Venice menghalau semua fantasi yang ia alami di ujung matanya. "Kau pasti bingung--" "Ya! Sangat-sangat bingung,” potong Venice penuh tekanan. Miya melirik pria bertombak yang membalikkan badan. “Tapi aku janji, aku akan menceritakan semuanya nanti ketika kita sudah sampai di istana. Di sini tidak aman.” suara lembut Miya tidak berhasil sama sekali. Venice masih nampak begitu tegang dan gelisah. “Sekarang atau nanti, aku sama sekali tidak bisa mengatakan ini nyata. Aku ini manusia, aku hanya tidak normal pada beberapa hal, tapi tolong, jangan buat aku semakin tertekan ketika kau—” “Venice!” Miya menarik kedua pundaknya dan membuatnya saling berhadapan dengannya. Mata biru muda miya berkilau, sekilas Venice seperti terserang sesuatu. Degup jantungnya yang tadinya menggebu-gebu keras, seketika melambat dan terasa pelan. Napas Venice berembus lembut, otaknya berangsur-angsur hening. Suara ketakutan yang tadi melolong kini hilang dan ia merasa tenang. Sejenak, ia memandang Miya yang tersenyum lembut. “Kita akan baik-baik saja. Percaya aku, Venice.” suara Miya penuh keyakinan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sambil terpejam. “Baiklah. Aku… aku akan mencobanya.” Venice melirik ke enam orang yang masih memandanginya itu kecuali si pria bertombak. Miya mengangguk lalu menarik sebelah tangannya. Diikuti keenam yang lainnya, mereka saling berpegangan tangan, lalu beberapa detik setelah membentuk lingkaran, dari tengah sana, sebuah cahaya biru perlahan-lahan muncul dari antara angin dan Venice terlalu kaget untuk menyaksikan itu semua yang berjalan hanya beberapa detik saja. Dan dengan sekejap Venice merasa gelap dan hilang. *** “Hey! Putri tidur! Cepat bangun! Apa kau tidak ingin ke kampus hari ini?” pekik Veronica yang sudah siap ingin pergi dengan baju baru yang ia dapatkan kemarin. Ini sudah ke limapuluh kali Veronica mengguncang tubuh gadis yang tak bergerak layaknya seorang mayat hidup yang tak bangun-bangun dari mimpinya. Adik perempuannya memang suka begitu jika sudah tidur dan bermimpi yang jauh, bahkan ia sempat mengecek apakah Venica masih bernapas atau tidak. Tapi kenyataan adiknya memang masih hidup, walau tidurnya benar-benar sangat pulas. Terkadang ia sedikit lelah dengan otak jenius anehnya itu. “Venice!!! Ya tuhan, kalau begini aku bisa terlambat!” gumamnya sambil membanting tas tangannya ke kasur kemudian beranjak ke toilet di ujung ruangan, mengambil air sebaskom besar, lalu menggotongnya ke ranjang Venice. “Rasakan ini!” seketika dengan gaya nekatnya, Veronica mengguyur gadis itu diatas kasur sampai benar-benar banjir dan basah. Tapi tetap saja, anak itu tetap tidak membuka matanya. “Astaga, kenapa dia tidak bangun-bangun sih?” Dengan gerak pasrah ia melempar baskom ke ujung ruangan dengan asal, kemudian meninggalkannya sambil beranjak keluar kamar. Waktu diujung tangga, Veronica berteriak ke bawah, “Julia! Tolong kau nanti bersihkan kamar Venice, anak itu tidak bangun lagi karna mimpi jeniusnya itu, oh ya! Dan tolong keringkan dia ya!” pekiknya sampai suaranya menjuru ke seluruh ruangan. “Ya akan kulakukan!” seseorang yang muncul dari ruang dapur menengadah keatas sambil mengangguk patuh. “Sekarang!” katanya lagi. Julia terlihat menghela napas, “baiklah!” *** Venice tiba-tiba merasa pusing dan ia terhempas ke tanah yang penuh puing-puing daun kering di bawahnya. Ia meliat ke arah yang lain, mereka semua berdiri tegak menatap bangunan besar di depannya. Venice ikut melihat ke arah mereka dan mendapati sebuah kastil besar yang terbuat dari batu, menjulang tinggi di depannya. Ada sebuah jembatan kayu pendek yang dibawahnya diarungi sebuah sungai kecil. Tangan Miya terulur, membantunya berdiri meski ia masih sedikit merasa terhuyung. Pria bertombak itu sempat meliriknya, tapi tidak mengatakan apapun, lalu mereka semua bersama-sama kembali melangkah memasuki istana. Cakrawala hitam, angin dingin yang menusuk raga, langkah kaki dari sepatu besi itu, semua terasa sangat asing di mata Venice. Ia masih tidak menyangka kalau otaknya hampir 80 persen memproses kalau semua pemandangan ini adalah nyata. Udara dingin, napas yang keluar masuk di hidungnya, matanya yang kering karena suhu seperti musim dingin, dan semua pohon-pohon yang bergerak layaknya menari di atas angin yang tertawa melihatnya kebingungan. Pelan-pelan membawa otak Venice pada ketakutan itu lagi. “Tunggu!” Yun Zhao yang memimpin gerombolan seketika berbalik menghadapnya dengan wajah dan alis yang menukik kesal. “Sekarang apa?” “Aku merasa ini semua tidak akan bagus,” ujar Venice menatap sekeliling dengan pundak gemetar karena dingin. “Bagus apanya? Semua yang ada di sini baik-baik saja sebelum kau datang. Tidak ada lagi pertanyaan, kenapa, kenapa, dan kenapa! Cukup kau ikuti kami, dan kau akan menemukan jawabannya, bisa?” suara Yun Zhao yang berada beberapa langkah dari Venice menaikkan darah di tulang lehernya hingga tiba ke ubun-ubun. Venice melotot, menatap Yun Zhao yang seakan-akan tidak peduli akan mental jenius yang seperti sedang tersambar petir ini. “Hey! Apa kau bukan manusia?! Kau ini siapa hah!? Memangnya kau presiden? memangnya kau orang yang paling penting hingga kau bisa menyuruhku kesana kemari sesuai perintahmu? Iya?” Dagu Venice semakin menaik. Tanpa sadar, Yun Zhao berjalan mendekat, sementara yang lain mengamati percekcokan itu dalam diam. Tangan pria bertombak itu menjulur ke belakang, merangkul leher Venice dan menariknya mendekat hingga hidung mereka hampir saja bersentuhan. Venice refleks mengambil langkah mundur, tapi pria itu terlalu kuat untuk mengunci seluruh tubuhnya hanya dengan merangkul lehernya. “Apa aku terlihat seperti itu?” Pandangan Yun Zhao merasuki kepala Venice. Bola mata abu-abu itu memicing tajam, menusuk kornea cokelat Venice yang tergagap seketika. “Kalau kau bisa menjaga bicaramu sedetik saja, tidak bertanya dan terus tidak mengatakan ini adalah tempat bahaya, aku tidak akan seperti ini.” “Seperti apa maksudmu, hah?” “Memaksamu.” Yun Zhao sama sekali tidak berkedip. Semata-mata Venice diyakinkan oleh semua pernyataan itu. Ia mungkin merasa tertekan, jadi segala langkah yang ia ambil rasanya salah dan menakutkan, lagipula, manusia mana yang tidak merasa bodoh dan bermimpi jika di hadapannya terbentang luas pemandangan fantasi seperti di video game?! Sedetik, Yun Zhao melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur. Venice menarik napas lega diam-diam dan baru menyadari kalau sedari tadi ia menahan napas. Wajah marah Yun Zhao perlahan berbalik, dan Miya merangkulnya dengan lembut di sebelahnya. “Venice, kami tidak akan melakukan hal buruk padamu. Justru jika kami tidak mengajakmu masuk, di luar adalah hal yang lebih buruk.” Tangan Venice digenggam Miya untuk kesekian kalinya. “Tenangkan dirimu, ya. Kau bisa melewati ini semua,” ujarnya sambil tersenyum. Venice menghela napas panjang. Ia menengadah, langit hitam kelam di atas sana, tapi ia harus membentuk sebuah pemandangan kelam itu menjadi hal yang biasa. Pelan-pelan… tarik napas, buang, tarik napas, buang… “Okay. Ini bukan hal yang mudah. Sama sekali bukan,” ujar Venice memandang Miya yang tidak pernah menghilangkan senyum menenangkan itu. “Memang bukan. Maka dari itu, aku akan membantumu. Kau hanya butuh percaya.” Venice mengangguk lemah. Lalu segerombolan itu kembali berjalan. Satu-satu menaiki jembatan dan memasuki gerbang yang terbuka setelah Yun Zhao bersiul panjang yang keras. Pintu kayu yang tinggi dan besar itu berderak lambat, terbuka ke arah berlawanan. Venice meliaht itu sedikit terpukau karena otak jeniusnya tidak bisa mengira-ngira lagi berapa ketinggian pintu itu. 20 meter mungkin? Entahlah, tapi itu sangat besar dan terlihat kuat. Pelan-pelan, semuanya memasuki gerbang itu dengan hening. Miya dan Venice yang terakhir masuk. Tapi ketika Venice melewati gerbang itu, tiba-tiba kulitnya terasa panas dan tubuhnya seperti tersengat sesuatu yang menyakitkan. Venice memekik dan langsung bergerak mundur sambil memeluk tubuhnya yang ngilu. Miya dan yang lainnya serentak menoleh ke arah Venice dan tertegun padanya. “Ada apa?” “Apa yang terjadi?” Venice meringis. “Ah,.. itu… ada sesuatu yang rasanya seperti menyengat tubuhku. Aliran listrik? atau sengatan lebah? Aku tidak tahu, tapi rasanya sangat perih, seperti membakar kulitku.” Ia melihat ke kulitnya yang masih terasa halus. “Apa ini?” tanyanya ke arah Miya dan yang lain. “Ah, Yun Zhao, aku baru ingat..” “Oh! Cahayanya—” Natalia hendak memotong. “Dia masih manusia murni, cahayanya belum nyala,” lanjut Miya ke arah Yun Zhao yang bergeming di tempat tak mengatakan apa-apa. Sementara Venice tenggelam kebingungan, menatap Miya dan Yun Zhao bergantian. “Apa maksudnya? Cahaya apa yang kalian bicarakan?” “Yun Zhao, kau harus segera melakukannya, kalau tidak dia tidak bisa masuk ke sini.” “Melakukan apa maksudmu, Miya?” tanya Venice menatap bingung. “Yun Zhao harus menciummu.” “Apa?” Yun Zhao tetap bergeming. Matanya menatap lantai seakan hujaman tuntutan Miya tadi seperti angin lewat.Venice mengangkat kedua tangannya, lalu bergerak mundur. “Ah, tidak. Jika itu pilihannya, lebih baik aku mundur. Aku bisa kembali ke tempat asalku, lalu aku akan—” Dalam sedetik, Yun Zhao yang melangkah maju, menarik tubuh Venice yang mungil ke depannya dan dengan sekali tangkapan, ia berhasil meraup bibir Venice yang dingin. Astaga. Detak jantung Venice berdentum tak keruan. Ia mengerjap cepat ketika melihat mata Yun Zhao terpejam, dan rasa bibirnya yang kaku dilumat perlahan oleh pria itu. Venice merasa sebelah tangan pria itu merasuk semakin dalam ke belakang kepalanya, menariknya mendekat bersamaan tekanan di bibirnya itu. Venice tidak suka ini, ia tidak mau melanjutkannya. Dengan sekuat tenaga ia ingin melepaskan ciuman itu dan menghentikan Yun Zhao yang semakin melumat bibirnya semakin dalam. Tapi tenaga Yun Zhao lebih kuat dari yang ia kira. Kembali lagi, ia tak berdaya dan pasrah ketika ia tahu, hal itu tidak akan berhasil. Namun, tak lama dari sana, ketika mulut mereka saling terbuka, Venice merasakan ada sesuatu yang masuk lewat sana. Seperti segumpal energi terhembus dari napas Yun Zhao dari tertelan ke dalam tubuhnya. Venice tertegun sejenak, merasakan energi itu seperti mengalir, pelan-pelan lalu menguasai tubuhnya. Tanpa sadar, Yun Zhao yang melepas ciuman itu bergerak mundur membiarkan Venice terpaku dengan keadaan tubuhnya sendiri. Ia mengangkat kedua tangannya, seketika telapak tangannya berkilau. Dalam sedetik, cahaya muncul dari balik kulitnya, Venice terperenyak, ia langsung melihat Yun Zhao yang pergi dan tidak berkata apa-apa lagi. “Apa—apa yang terjadi denganku?” Miya dan Natalia tak bisa menutup mulutnya. Mereka berdua sama-sama kehabisan kata-kata sementara Natalia lebih dulu berdecak kagum. “Ciuman yang hebat..” “Ya, ya, Yun Zhao memang sangat hebat..” ujar Miya sambil mengangguk setuju. “Hey! Apa yang terjadi denganku!? Apakah aku baik-baik saja?! Apa yang barusan dia lakukan?” Venice mulai merasa tidak baik, ia terus-terusan melihat telapak tangannya. “Venice, lebih baik kau masuk dulu, kita akan menjelaskannya di dalam. Ok? Coba, sekarang kau tidak akan tersengat lagi, bukan?” Miya sembari menuntun Venice, ia pun ikut terkagum. “Miya… tadi itu apa?” tanyanya lagi sambil memandangi dinding lorong yang tinggi. Di sebelahnya, Miya menyamakan langkah, sambil tersenyum malu, ia berbisik pelan. “Yun Zhao menyalakan cahayamu. Ia memberikan sedikit kekuatannya padamu.” *** Venice berjalan di tengah lorong mengikuti kelima hero. Lorong itu lumayan tinggi dan terbuat dari tumpukan bata yang besar dan kokoh. Di sepanjang lorong ditaruh sebuah obor untuk penerangan jalan. Beberapa menit kemudian Venice tiba di sebuah tempat yang nampak seperti sebuah aula besar. Ia melebarkan pandangannya, mengarah ke atas bangunan yang nampak seperti corong. Diatas bangunan itu terdapat sebuah jendela besar yang memperlihatkan awan kelabu itu. Di tengah ruangan ada sebuah batu besar yang mengambang pada cairan kimia seperti waktu di tempat pertarungan tadi. Kemudian ada pilar-pilar yang menyelubungi ruangan ini berbentuk lingkarang. Di belakang salah satu pilar, ada sebuah tangga besar yang mengarah ke suatu tempat. Venice melihat yang lain menengadah keatas, menatap sesuatu. Venice ikut melihat. “Kakek,” panggil Yun Zhao. Seketika, bayangan hitam layaknya sebuah debu kristal menggumpal jadi satu kemudian terbang ke depan barisan kelima hero seperti terbawa angin. Lalu waktu gumpalan kristal itu menyatu, gumpalan itu terpecah dan hadirlah sebuah bayangan aneh. Venice berkerut melihat sebuah makhluk besar berwarna biru tua menyala dengan wujud seperti manusia duakali lebih besar dari wujud normal muncul di hadapannya. Tapi, tak begitu nyata dan berbentuk, hanya sebatas bayangan yang sedikit lebih terisi. Seperti...roh. “Ah, ternyata ini hero baru kita,” ujarnya dengan suara terdengar menggema dan besar, seakan ia berbicara pada dinding-dinding tua itu. Makhluk itu langsung mengarahkan bola matanya kearah Venice yang berdiri di paling belakang barisan. “Uh?” Venice berkerut menatapi orang-orang yang menoleh kearahnya. “Hero?” tanya Venice lagi. “Ya, kau akan menjadi bagian dari kami mulai hari ini,” katanya ramah. “Ah, maaf, sepertinya kalian benar-benar terlalu menganggap ini serius. Aku hanya manusia biasa, mana mungkin ada hal seperti itu dialami oleh manusia sepertiku? Lagipula, aku masih terasa seperti ini tidak nyata,” ujar Venice. “Tapi Yun Zhao menciummu,” kata makhluk itu. “Ia menciumku, aku tidak,” sela Venice datar. Terlihat makhluk itu tersenyum kearahnya. Senyum menggoda. Tapi Venice berharap Yun Zhao tidak tersinggung. Entahlah, rasa ciuman itu memang nyata, tapi keajaiban ini sudah terlalu jauh untuk dipandang dari sisi kenormalan manusia. “Tunggu, kau siapa?” tanya Venice seketika. “Aku Lord Nexusis, saudara kembarku, Nexusos, dia tinggal di Ruttero bagian Barat, aku adalah pemimpin dari dunia roh yang memantau pertempuran antar hero,” tuturnya. Venice merasa masih tidak mengerti. “Sudahlah, Miya akan menjelaskan padamu nanti, aku tahu kau pasti memiliki banyak sekali pertanyaan, kan?” katanya sambil beralih menatap Yun Zhao di depannya. “Kakek, kami memenangkan battle,” kata Yun Zhao. “Ya, aku tahu, kristal dari dunia Roh bertambah sedikit, kekuatan demi kekuatan mulai memasuki kerajaan di surga.” “Baguslah, lebih sering kita menang, kristal itu semakin kuat.” Kristal? Kristal apa? Venice tak bisa bertanya sekarang, waktunya sedang tidak tepat. “Baiklah, sebaiknya kalian istrirahat dan kau, tuntun hero baru kita ke ruangannya,” katanya kepada Yun Zhao. Sekilas, Venice teringat lagi ciuman itu dengannya. Sedikit memalukan tapi Venice berusaha tidak mementingkan hal itu sekarang. Dari belakang, Yun Zhao nampak mengangguk, kemudian kelimanya berpamitan dan kakek itu langsung menghilang lagi terbang keatas bagaikan debu yang terpecah begitu saja. Kelimanya kembali beriringan menuju tangga besar, kemudian masing-masing hero mengambil langkah sendiri-sendiri dan terpisah waktu sampai diujung tangga di sebuah ruangan besar yang nampak banyak pintu-pintunya. Lantainya batu kuno, masih sama seperti lantai di lorong tadi. Miya belok ke lorong sebelah kiri bersama Aulcard, sedangkan Rafaela mengarah ke salah satu ruangan pintu di ruangan besar itu. Balmond nampak ke pintu lain tapi tetap diruang yang sama. Yun Zhao berdiri di depannya, mengamatinya yang memperhatikan pergerakan para hero itu. Miya sempat mengedipkan mata untuk salam pamitan. “Kamarmu di sebelah sini,” kata Yun Zhao mengarah ke sebuah lorong di antara ruang besar itu kemudian Venice ikut menyusul di belakangnya. Tombak Yun Zhao yang menyala sedikit membuat penerangan langkahnya. Obor-obor masih terkait di tempatnya. Setelah berjalan sedikit ke tengah lorong, Yun Zhao menghentikan langkahnya dan berdiri di depan pintu sebuah ruangan. Venice menerka itu adalah kamarnya. Pintunya kayu tua besar, dan banyak besi-besi penguncinya. Di samping pintu kamarnya ada sebuah balkon besar dengan pintu besar tak berdaun, menampikan suasana luar istana memasuki lorong itu. Venice melangkah sedikit ke depan hendak menyamakan pundak dengan pria itu. “Disini,” katanya pendek, kemudian ia mendorong pintu dengan sebelah tangannya seperti mempersilahkan Venice masuk. Venice menoleh sebentar kemudian tersenyum, “terimakasih.” Saat Venice hendak memasuki ambang pintu, suara Yun Zhao menghentikannya seketika. “Tunggu.” Venice menoleh dan menatap pria itu, “ada apa?” tanyanya. Wajah pria itu nampak sedikit ragu sebelum mengatakan sesuatu. Ada jeda sejenak yang membuat Venice sedikit bertanya-tanya apa yang ingin pria itu katakan. “Ciuman itu...” jeda sejenak, “aku baru kali itu melakukannya,” katanya. Venice tertegun sebentar, bingung ingin mengatakan apa. Mata Yun Zhao yang berwarna biru seakan membekukan raganya. Posisi sudut seperti ini membuat wajah pria itu sedikit nampak lebih tampan. "Uh?" hening lagi. “Apa kau.. merasakan sesuatu?” tanyanya dengan suara ragu lagi. Venice menelan ludah. Sebetulnya ia ingin sekali menanyakan energi apa yang memasuki tubuhnya itu, tapi entah kenapa pandangan mata Yun Zhao menghentikan alur keingin-tahuan dari otak jeniusnya. “Well...” jeda lagi. Yun Zhao nampak menunggunya. Pikiran Venice sesekali mengkilaskan bayangan mata Yun Zhao yang terpejam waktu menciumnya. Meskipun pria itu awalnya nampak tidak peduli, tapi apapun yang merasuki tubuhnya tadi adalah sesuatu yang rasanya sangat besar. Dan itu diberikan pada pria itu tanpa berpikir panjang. Venice tidak tahu kenapa Yun Zhao sendiri sekarang nampak ragu, seperti ada yanh salah dan harus dipertanyakan padanya. Apa jangan-jangan kekuatan itu sesuatu yang sebenarnya buruk? “Aku tidak mengerti untuk sekarang. Terlebih ketika kau melakukan itu." "Apa ada solusi lain? Kau mati, itu akan jadi lebih buruk." "Jadi kau melakukannya terpaksa? Begitu?" Mata Yun Zhao memicing. "Aku hanya mengatakan aku tidak punya pilihan. Terserah kau saja, selamat malam,” Yun Zhao buru-buru mau beranjak dan menutup pintu tapi dengan gerakan refleks, ia langsung menahan tangan pria itu dan berkata pelan, "maaf. Tapi, terima kasih," sahut Venice tak berani menatap pria itu. Ia pelan-pelan melepas lengan kekarnya dan Yun Zhao hanya berdeham pelan dan menutup pintu. Sejenak, sepi menyambar dan Venice meras ini benar-benar mimpi. *** “Mom, kurasa Venice sedang tertidur ala otak jeniusnya,” sahut Veronica di telepon di dalam mobil jemputannya setelah pulang kampus. Sebelah tangannya membelah helaian lembar buku novel yang ia pangku. “[Oh tidak, bisa berhari-hari ia pasti seperti itu]” kata wanita di sebrang sana dengan nada khawatir. “Lalu kau ingin aku apa?” Mobil mulai melaju lagi waktu tadi sempat berhenti di lampu merah sebentar. “[Pasangkan infus saja, aduh, anak itu memang merepotkan]” “Baiklah, aku akan memanggil dokter biasa, bye Mom!” Adik perempuannya memang suka begitu. Venice terlalu jenius, terasa seperti adiknya mempunya beban yang lebih berat untuk menopang otak jeniusnya. Seolah-olah tidurnya ini seperti mengisi ulang baterai, dan dalam beberapa hari lagi, Venice pasti akan bangun dalam keadaan normal. *** Description: Satu per satu para hero memasuki istana, pertama-tama dari Yun Zhao, kemudian Rafaela, Balmond, Miya dan terakhir Aulcard dan Venice. Tapi saat giliran Venice ingin memasuki pintu masuk istana, ia merasakan sebuah getaran petir layaknya mengelilinya, membuat kulitnya bersentuhan dengan kekuatan besar dan ia memekik kecil sambil melangkah mundur. Venice merasa ngilu disekitar kulitnya. Ia meringis sedikit, merasakan luka yang tak terlihat itu. Para hero di depannya seketika berhenti dan berpaling kearahnya karna pekikan itu. “Kenapa?” tanya Yun Zhao dari ambang pintu. Venice meringis kecil lagi sambil mengusap-usap kulitnya yang perih, “aku seperti tersengat oleh aliran listrik tadi.” Miya kembali ke ambang pintu setelah ia sudah melangkah setengah ke dalam lorong, memperhatikan Venice dari dalam sana. “Astaga, aku lupa. Dia masih manusia, kekuatan sihirnya belum menyala, salah satu dari kita harus menyalakan kekuatan sihirnya,” gumam Miya kepada Yun Zhao yang masih menatapinya dengan keheningan.  “Sihir? Sihir apa?” tanya Venice kepada keduanya. Miya dan Yun Zhao menatap dengan keraguan. “Kau harus menyalakannya Yun Zhao, kau yang paling kuat disini, dan.. kau yang paling bisa melakukan itu,” suara Miya seketika berubah datar seakan ingin menggoda.  Venice mendelik, “apa? Melakukan apa? Apa yang kalian bicarakan?” Miya menatapnya lurus, “Yun Zhao harus menciummu.” * ©Copyright NiceMcQueen 2019 instagram : @nicemcqueen cover : credit to owner Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi e-novel challenge #StorialElexBangBang 2019 yang diadakan oleh Storial, Elex Media Komputindo, dan Moonton”
Title: RENJANA Category: Young Adult Text: hujan jadi temu kita Kakinya bergerak melompati berbagai macam ukuran genangan air bekas ditimpa hujan dua jam yang lalu. Sepatunya pun turut terkena cipratan air saat hendak menghindari genangan air. Hujan masih rintik-rintik, membasahi bumi tanpa deru yang keras. Kedua tangannya terangkat menopang tas ranselnya guna melindungi kepalanya dari tetesan kecil air hujan. Tak hentinya dia merutuki dirinya yang ceroboh. Sekarang dia tak tahu ada di daerah mana, yang pasti ini masih bagian dari pulau Sumatera. Kai Kamal Pradipta, pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun yang dapat gelar sebagai pewaris tunggal perusahaan kakeknya. Di ulang tahunnya yang ke-24 ini Sang Kakek memberikan wejangan kepada dirinya supaya mau menikahi gadis pilihan beliau. Namun, jiwa bebas Kamal menolak. Dia masih ingin sendiri, kalau perlu dirinya harus mendapat pasangan sesuai tipenya. Kamal memilih minggat, alias kabur dari rumah setelah pesta ulang tahunnya. Dia mendarat di pulau Sumatera kemarin sore. Hanya saja, sekarang dia sedang menikmati liburannya; sebatas kabur. Entah kesialan karena melawan orang tua atau memang ini salah satu hukuman karena masa bodoh terhadap Tuhan? Kamal tidak tahu. Yang pasti sekarang dirinya harus segera berteduh karena rintik hujan perlahan sudah berganti dengan volume air lebih besar. Melihat sebuah garasi di depan rumah penduduk setempat, Kamal segera masuk ke halaman rumah tersebut. Berteduh di bawah garasi mobil. Hujan makin deras dan kemungkinan berhenti itu sangatlah lama. "Sial banget hari ini. Mana bentar lagi maghrib." Kamal menggosok tangannya di lengan supaya bisa menghantarkan panas.Samar-samar Kamal bisa mendengar suara dua orang cewek tengah mengobrol dari dalam rumah. "Siapa tuh, Ta?" "Gak tau. Suruh masuk aja kali ya, Kak?" "Ya udah gapapa, suruh masuk aja. Aku ke belakang mau nyiapin teh hangat buat dia." "Oke. Abis itu Kakak sekalian minta izin ke Kak Jordan ya?" "Siap, Ta!" Tak lama pintu rumah terbuka menampilkan seorang cewek berambut krimson tengah mengelus seekor kucing di dalam gendongannya. "Sampeyan nggolekki sopo yo?" Lantas Kamal menoleh ke arah samping kirinya. Yang mana suara lembut itu berasal dan mengalun indah. Tapi, Kamal tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pemilik rumah tempatnya berteduh sekarang ini. "Maaf, lo ngomong apa ya? Gue gak ngerti." Kamal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyalurkan rasa canggungnya. "Kamu nyari siapa?" Ucap cewek itu lagi. Kamal tersenyum tipis. "Gue numpang teduh sementara di sini. Boleh?" "Masuk aja ke dalam. Bentar lagi mau maghrib, gak baik di luar." "Eh? Gak usah! Ntar gue ngerepotin lo." "Kamu orang baru, toh, di sini? Masuk aja, ya? Saya nggak merasa direpotkan, kok." "Beneran?" "Iya. Mari, masuk." Pemilik rumah mempersilahkan Kamal masuk ke dalam."Duduk aja dulu, saya ambilkan handuk buat mandi supaya kamu nggak masuk angin." Kamal mengamati isi ruang tamu, sederhana dan tidak terlalu memberi kesan mewah seperti kebanyakan rumah orang kaya lainnya di daerah yang pernah ia kunjungi. Matanya menangkap pigura tergantung di dinding. Potret bahagia sebuah keluarga kecil yang beranggotakan enam orang. "Ini handuknya." Cewek berambut krimson itu menyodorkan kain dilipat pada Kamal. Diterima dengan baik. "Kamar mandinya di belakang, sebelah kiri dekat dapur." "Makasih... err, nama lo siapa?" "Damla Katara Nareshwari. Kamu bisa panggil saya Tara." Katara tersenyum manis. "Oke, Tara. Kenalin gue Kai Kamal Pradipta, lo bisa panggil gue Kamal." Ketika sudah berada di dapur Kamal dikejutkan dengan kehadiran seorang laki-laki yang mungkin bisa Kamal asumsikan sebagai Kakak dari Katara. Soalnya wajah mereka mirip. Tersenyum canggung saat ditatap begitu tajam olehnya. "Permisi, Bang. Pinjam kamar mandinya sebentar." "Bentar dulu," "Iya kenapa, Bang?" "Lo bukan sindikat narkoba ataupun spesialis maling, kan?" Ada-ada saja prasangka buruk dari Kakaknya Katara ini. Memangnya wajah Kamal tidak atau kurang meyakinkan sampai dikira punya maksud buruk dengan menuduh dan sedikit menumpang di rumah mereka? "Sesungguhnya sudzon itu gak baik, Bang. Emang muka gue gak kelihatan kayak anak baik-baik apa?" "Gak. Lo mencurigakan, soalnya Tara gak punya teman dari luar kota. Belum lagi, lo kayaknya benar-benar baru di sini." "Kelihatannya memang baru, padahal dulu gue waktu TK pernah main kesini." "Oh, lo mau ke rumah saudara jauh lo ceritanya?" "Iya." "Siapa?" "Gue atau saudara gue?" "Sodara lo lah! Nggak minat nanyain nama lo." "Susi Mega Pradipta." "Lo gak lagi ngarang?" "Makanya kenalan dulu. Nama gue Kai Kamal Pradipta, keponakannya Tante Susi." "Jordanakala Casugraha, Kakak sepupu dari Tara. Gue gak nyangka orang berpengaruh kayak lo numpang di rumah orang lain padahal kaya raya." "Kepepet, Bang. Udah dulu ngobrolnya, gue mau mandi." "Iya udah sono!" Kaburmu pesan dari alam semesta "Kalau saya boleh tahu, kamu dari mana?" Kamal mendudukkan dirinya di single sofa ruang tengah. Sebelah tangannya sibuk mengacak-acak rambut cokelatnya yang masih basah. "Dari Jakarta.""Kamu lagi liburan atau kunjungan keluarga jauh?""Liburan.""Kok, bisa sampai daerah sini? Daerah mriki tebih saking kuto. Pajenengan, saget dumudi mriki pajenengan bagus. Nopo malih pajenengan piyantun enggal saking kuto enggal.""Hei! Ngomongnya jangan campur aduk, gue gak ngerti artinya apaan."Katara terkekeh kecil. "Artinya, daerah sini tuh jauh, lho, dari kota. Kamu, kok, bisa sampai sini, rasanya hebat. Apalagi kamu orang baru dari kota besar.""Oh... itu anu, gue nyariin alamat rumah Tante gue. Dulu katanya tinggal di daerah Ambarawa.""Ambarawa tuh luas, Kamal. Masalahnya Tante kamu itu tinggal di daerah mananya Ambarawa?""Ini daerah mana?""Desa Margodadi Tiga.""Ini desa!?" Tampaknya Kamal belum juga teliti dengan nama tempat tujuannya. "Iya, desa. Kamu kira ini daerah apa?""Gue kira ini komplek perumahan gitu.""Bukan, ini desa." Katara menaruh setoples kripik pisang buatannya di atas meja supaya Kamal bisa makan. "Nah, kamu udah punya alamat Tante kamu belum?"Kamal menggeleng. "Nggak ada.""Lantas kamu mau mencarinya bagaimana? Alamat aja nggak punya." Katara geleng kepala heran. Kamal tampak mengingat sesuatu, setelah Katara menyebutkan nama desa tempatnya tinggal membuat Kamal teringat dengan desa yang Tantenya singgahi. Tapi, dia agak lupa karena terakhir kali kemari adalah saat usianya lima tahun. "Gue bisa tanya. Soalnya Tante gue satu-satunya Pradipta di desa ini. Lo tahu?""Pradipta?" Katara tampak berpikir menerka pemilik nama itu di desa tempat tinggalnya. "Oh! Susi Mega Pradipta ya!?""Iya! Itu Tante gue, Ta!""Setahu saya, beliau udah lama nggak tinggal di sini lagi. Beliau udah pindah ke daerah Krui, Lampung Barat."Bahu Kamal merosot tanda kecewa, senyum luntur dari bibirnya. "Jauh nggak dari sini?""Lumayan, sih, Mal. Waktu tempuh sekitar lima sampai enam jam perjalanan dari sini.""Ada bus buat ke sana, kan?" Tanya Kamal penuh harap."Ada, kok. Besok saya antar ke haltenya. Sekarang kamu istirahat aja, jangan lupa siapkan apa yang perlu buat besok. Kamar tidurnya yang itu." Katara menunjuk kamar sebelah ruang tamu."Iya, makasih.""Sama-sama, Kamal." Kamu Berbeda Entah keberuntungan atau ini salah satu dari sekian banyak hal yang Tuhan berikan, yang pasti Kamal sangatlah bersyukur bisa bertemu dengan seorang cewek bernama Katara ini. Hatinya lembut bagaikan seutas sutra, senyumnya manis bak permen kapas, dan sifatnya seperti air sungai yang tenang dan jernih.Kamal belum pernah bertemu seorangpun yang seperti Katara. Belum. Untuknya, Katara itu berbeda tetapi punya kesan yang kuat. Kamal tersenyum tipis ketika melihat Katara sedang menyetir mobil. Anak itu banyak bicara juga, sangat lucu ketika sedang cerewet. Rasanya, Kamal tidak ingin meninggalkan seinci pun apa yang ada di Katara. Ia ingin memilikinya. Tapi, itu ditepisnya jauh dari pikiran. "Tara.""Hm?""Lo tahu tempat wisata terbaik buat lihat sunset dan sunrise nggak? Gue ingin ke sana.""Tahu. Besok kamu ke rumah saya aja sehabis check-out dari hotel.""Sebenarnya, Ta..""Ya? Kenapa?""Gue gak tidur di hotel lagi. Soalnya gue di hotel cuma sehari doang karena rencananya mau nginep di rumah Tante."Katara mengerem mendadak mobilnya. Untung jalanan masih sepi, dia menoleh horor pada Kamal yang cuma bisa pamer cengiran lima jari. Katara menghela nafasnya. "Lebih baik kamu saya antar langsung ke rumah Tantemu. Jangan naik bus. Kamu kira ini daerah kecil?""Gak usah, Ta! Gue makin gak enak udah ngerepotin lo." Tolak Kamal cepat, dia menggeleng ribut."Udah, kamu nurut aja sama saya.""Ck, ya udah kalau lo mau gue nurut, maka lo juga harus nurut apa kata gue.""Kamu mau apa?""Gue yang nyetir. Sebagai balasan udah mau nganterin gue ke Krui."Pun demikian, mereka bertukar posisi. Kini Kamal yang menyetir sembari fokus mengamati peta digital dari ponselnya. Terus mengikuti garis warna biru yang akan membawanya ke tempat tujuan. Sudah terhitung empat jam perjalanan dari rumah.Mereka berada di daerah Lampung Barat. Tinggal satu jam lagi mereka tiba di tempat tujuan. Kamal mendapat kesan baru pada orang Lampung, konon katanya orang sini keras dan banyak begal, tapi nyatanya itu cuma angin belaka. Kamal berpikir ada yang berbeda dari Katara dan berkata;"Lo orang Lampung tapi, kok, malah ngomongnya Jawa, sih?"Katara menoleh sekilas. "Saya suku Jawa, dari kakek buyut asli Jogja. Cuma dari kecil saya tinggal di Lampung.""Emang Sampeyan sama Pajenengan artinya sama ya? Lo ngomongnya beda asli, kek, campuran.""Hahaha, iya artinya sama. Sampeyan itu dari Jawa Tengah, sedangkan Pajenengan halus tingkat madya dari Jogjakarta.""Kok lo bisa dua-duanya?""Ayah dari orang tua saya asli Jawa Tengah. Sedangkan Kakek pihak Kanjeng Ibu dari Jogjakarta. Paham?""Enggak, hehehe.."Katara menggeleng sambil tersenyum geli. "Begini, Kakek saya asli Jawa Tengah, sementara Kakek buyut dari pihak Kanjeng Ibu asli Jogja. Sampai sini paham?""Paham. Hehehe.""Kenapa kamu tanya? Kamu ngerti?""Nenek asli Jawa juga, cuma bagian Solo. Kadang dengarin beliau ngomong halus banget. Gue nggak ngerti.""Apa yang kamu tangkap?""Nggih, mlebet mawon. Itu doang yang gue inget. Dari kecil gue dengar itu kalau Nenek nyambut tamu.""Oh, itu mah gampang, biasanya emang buat menerima tamu. Halus madya.""Artinya apaan?""Iya untuk nggih. Dan silahkan masuk untuk mlebet mawon.""Oh, gitu. Gue kira artinya selamat datang ke rumah kami, ahahaha.""Panjang amat artinya." Katara tertawa renyah. Lucu juga manusia asing bernama Kamal ini. "Jenengan gelem ra dadi koncoku?""Hah? Lo ngomong apaan?" Katara tersenyum kecil. "Kamu mau nggak jadi temanku?""Eh? Ya mau lah! Mau banget!" Cari Sudah terhitung lima belas menit mereka berdua mengelilingi Lampung Barat, bertanya sana-sini pada masyarakat sekitar. Tapi, nihil hasilnya. Sama sekali belum ketemu. Dengan penuh harap segera bisa ketemu, Kamal bertanya kembali pada salah satu warga yang sedang berkumpul di teras rumah mereka. "Permisi, Bu. Boleh saya tanya?""Eh, iya, boleh. Mau tanya apa?" Kentara sekali logat khas Lampung."Ibu kenal Susi Mega Pradipta? Suami beliau namanya Kresna Wiwaha Darapati.""Oh, tahu saya! Kamu dari sini jalan aja lurus ke sana, nanti setelah lima rumah sebelah kiri ada rumah besar cat abu-abu, itu rumahnya.""Kalau begitu saya permisi, Bu. Terima kasih atas bantuannya.""Oh iya, Nak. Sama-sama. Hati-hati ya.""Iya, Bu."Sekitar lima menit berjalan kaki, Kamal dan Katara sesekali mengobrol ringan. Kamal bisa melihat khas daerah Lampung, yaitu; Siger dan alat tenun Tapis. Banyak anak kecil yang bermain permainan tradisional khas Lampung. Terlepas dari omongan orang lain yang mengatakan bahwa penduduk Lampung punya watak keras dan rata-rata ada begal. Namun, demikian ada beberapa warga yang masih berbahasa lembut dan tidak njeblak alias kasar. Kaki mereka berhenti di depan rumah bercat abu-abu yang dilindungi pagar besi menjulang tinggi. Kamal mengecek, ada Satpam yang jaga atau tidak. Ternyata pos Satpamnya kosong, tidak ada penghuninya. Lantas Kamal berbalik badan menghampiri Katara yang berdiri menunggu."Kayaknya nggak ada orang.""Coba tanya dulu ke tetangga Tante kamu, siapa tahu ada orangnya." Katara mengajak Kamal untuk mampir sebentar ke warung sebelah rumah."Permisi, Bu.""Iya, Nak? Mau beli apa?""Maaf sebelumnya, Bu. Saya mau tanya sesuatu boleh?" Katara tersenyum manis saat Ibu pemilik warung memasang wajah Kamalk."Boleh, tanyakan aja.""Itu, Ibu Susi dan keluarganya sedang bepergian atau masih di rumah, ya Bu?""Bu Susi lagi keluar kota, kayaknya minggu depan baru balik dari Padang. Ada perlu apa nyari beliau?""Ini keponakannya mau berkunjung." Katara menunjuk Kamal yang sedang asyik makan beng-beng.Ibu pemilik warung cuma mengangguk saja. "Kemungkinan ketemunya sehabis pulang dari Padang. Soalnya Bu Susi ada urusan keluarga juga di sana.""Oh, ya udah nggak apa-apa, deh. Saya bisa ketemu beliau kapan-kapan. Kalau begitu terima kasih atas bantuannya, Bu. Ini sekalian saya bayar snack." Kamal menyodorkan selembar uang sepuluh ribu."Pas, ya?""Iya." Kamal nyengir kuda sambil menenteng satu kantung plastik yang berisi banyak makanan ringan dan minuman kemasan. Setelah mereka mendapatkan informasi mengenai Tante Kamal, memutuskan untuk kembali ke mobil yang jaraknya lumayan jauh. Katara geleng-geleng kepala heran melihat tingkah Kamal yang sangat unik. Memakan keripik singkong sambil meminum susu pisang. Merasa jika Tuhan sedang mempertemukan dirinya dengan seseorang yang merupakan cerminan dari dirinya. Katara tersenyum kecil melihat Kamal yang sangat berbeda. Terlihat dingin tetapi sebenarnya dia cuma seorang cowok biasa suka bercanda. Tak menyangka bahwa Katara bisa bertemu dengan Kamal. Yang akan mengisi hari-harinya selama beberapa hari kedepan."Untuk sementara waktu gue nginep di rumah lo gak apa-apa, kan?"Katara mendongak menatap wajah Kamal yang ragu. "Nggak apa-apa. Silahkan aja kalau kamu mau. Saya nggak keberatan sama sekali.""Syukurlah. Gue sangat-sangat berterima kasih banget atas bantuan lo buat gue. Kalau gue gak ketemu sama lo mungkin sekarang gue udah luntang lantung gak jelas soalnya ATM gue cuman cukup buat beli makanan ringan sama tiket. Bukan ATM utama yang gue bawa."Tersenyum tipis. "Sama-sama. Mbotennopo-nopo, nggih.""Mau lihat samudera Hindia?""Ayo, aja. Saya juga mau refreshing." Samudera dan Warna Sekitar sejam mereka berdua menaiki mobil menuju pantai yang dimaksud oleh Katara. Sebenarnya tidak begitu jauh karena tadi mereka harus berhenti sejenak untuk membeli sesuatu di pasar, jadinya agak lama untuk sampai ke sana. Sesampainya, riuk ombak diterpa angin menyapa mereka. Tempatnya sepi dan teduh. Ada gubuk warung kecil yang sudah tak terpakai. Mereka beristirahat di sana. Duduk di kursi panjang yang menghadap langsung ke luasnya samudera Hindia. Kapan lagi Kamal bisa melihat secara jelas lautan biru gelap dengan ombak besar seperti ini? Jakarta selalu menyambutnya dengan suasana kota penuh kebisingan nan padat penduduk yang menimbulkan banyak polusi udara. Udaranya panas dan gedung sebagai cinderamata. Kamal terlalu bosan melihat itu semua, dia ingin sesuatu yang bisa menyejukkan hati menyegarkan mata dan meringankan beban pikiran.Lampung ternyata bukan pilihan yang buruk. Nyatanya dia bertemu dengan seorang cewek manis yang lemah lembut seperti Katara ini. Membawanya ke depan samudera Hindia yang mustahil dia temui."Kamu suka?" Katara tersenyum ketika melihat wajah Kamal yang damai. Sejumput rambut Kamal dibelai angin yang menyapa. "Banget. Apalagi ini adalah hal yang jarang gue lihat atau mungkin sesuatu yang mustahil gue temui.""Sekarang kamu memilikinya. Simpan baik-baik dalam memori kamu, jangan lupa untuk selalu mengingatnya lagi dan kembali ke sini.""Pasti. Gue bakal selalu ingat itu semua, termasuk senyum lo yang cantik itu.""Jangan ngomong macam-macam.""Lho, gue ngomong kenyataan." Kamal tersenyum jahil melihat Katara yang sepertinya malu."Udah, ya. Lebih baik kita turun ke bawah main pasir.""Hei! Tungguin gue, Tara!" Kamal segera melepas sepatunya melihat Katara yang sudah turun ke bawah duluan.Mereka berdua tertawa bersama di atas pasir hitam yang halus bak tepung tumpah. Kaki telanjang mereka kotor oleh butiran batu kecil lembut itu. Berlarian saling kejar, ombak menerpa bibir pantai, menghapus jejak kaki mereka berdua. Nyiur melambai semangat saat angin datang menghembus.Melupakan bahwa mereka memiliki segumpal masalah yang dihadapi. Seolah Tuhan sedang menghibur dua Hamba-Nya. Hanya dengan menyuguhkan lautan luas nan indah, samudera biru luas bagaikan tangis bumi yang terbendung tak tertuang.Katara berdiri menghadap lautan biru dan merentangkan kedua tangannya. Dua maniknya terpejam menikmati angin yang berhembus menerpa wajahnya. Helaian rambut Katara melambai ditiup angin. Menikmati setiap detik yang berjalan, hati tenang tanpa beban. Akan tetapi, kedua lengan Kamal dengan seenaknya melingkar di pinggangnya dan bahunya merasa ada bobot yang mendarat. Sepertinya itu kepala Kamal. Jujur saja, dia tidak bisa apa-apa, menolak apalagi. Tapi, kendati demikian Katara memikirkan tanggapan orang lain jika melihat posisi ambigu mereka berdua."Lepas, Kamal. Gak enak dilihat orang.""Biarin kayak gini sebentar." Matanya terpejam bibirnya tersenyum.Katara terdiam. Seperti alunan pinta yang sangat ingin. Kamal mengatakan bahwa dirinya ingin diberi afeksi. Katara melirik ke wajah Kamal yang jaraknya cuma sejengkal dengan wajahnya. Beralih kembali melihat lautan yang sempat ia abaikan. Sebelah tangannya terangkat untuk mengelus punggung tangan Kamal yang menyatu bertumpu pada perutnya."Tara.""Y-ya?""Apa yang harus gue lakukan?""Hah? Kamu memang mau melakukan apa?""Menghindari perjodohan ini atau menerimanya dengan terpaksa?"Sepertinya Kamal bicara ngawur."Hei, jangan tidur.""Gue gak tidur. Gue sedang cerita sesuatu yang membawa gue sampai ke sini.""Kamu mau saya menjawab atau memberi pilihan?""Gue cuma mau bertanya dan berikan alasannya."Katara menurunkan sedikit kelopak matanya, menatapi pasir yang bercumbu dengan ombak di bibir pantai. Katara bukan tidak mau menjawab atau tidak memiliki jawaban, hanya saja dia ragu. Pelik tentang konfrontasi mereka. Akankah bisa korelasi? Setahunya, mereka berdua baru saling mengenal sekitar dua hari, itupun tidak seluruhnya."Kamu yakin cerita sama saya?" Katara bertanya guna meraih keyakinan, bukan tuk sekedar peduli kemudian lupa. Tak mau bikin Kamal kecewa. Katara merasa pergerakan di bahunya. Jawaban Kamal. "Gue lari ke sini bukan untuk liburan tapi kabur dari rumah karena gue gak mau dijodohkan oleh Kakek gue. Gue gak mau.""Kenapa kamu gak mau justru kabur? Kamu pikir bakal menyelesaikan masalah? Nggak seperti ini caranya, Kamal. Khawatirkan perasaan orang tuamu saat tahu kamu kabur.""Tapi, mereka egois, Ta. Gue gak suka dipaksa. Gue gak mau nikah tanpa landasan, itu rasanya sakit. Lagipula gue bisa cari jodoh di sini."Detik menit terakhir Kamal mengucap kalimat itu, tubuh Katara menegang bak patung. Terdiam kaku. Bukankah itu seperti hal yang ingin Kamal berikan pada Katara? Yang akan membawa Katara ke dalam kehidupan warna-warni Kamal. Ketika Kamal Curhat "Abang sepupu lo emang cerewet ya orangnya?" Kamal merasa kalau Kak Jordan itu tukang ngomel, kemarin saja ia kena semprot omelan laki-laki itu saat baru di sini."Enggak terlalu sih, Kak Jordan kalem kok orangnya.""Kalem sama lo doang kali."Katara cuma menggeleng. "Dia kalem juga kalau lagi sama Kak Bomi dan Kak Daniel. Kenapa kamu ngiranya gitu?""Kemarin gue diinterogasi sambil diomelin. Kesel banget bawaanya.""Ya wajar, toh. Kamu kan baru di sini, masih orang asing. Kakak saya orangnya proktetif.""Nggak sampai sudzon juga, lah. Masa muka gue yang mirip oppa-oppa Korea gini dibilang mirip maling.""Kadang Kakak saya emang suka ngadi-adi orangnya, yang sabar ya." Katara tertawa setelah mengucapkannya."Puas lo ngetawain gue?"Kamal bete jadinya gara-gara Katara sibuk tertawa setelah mendengar keluh kesahnya yang sempat diomeli Jordan kemarin. Karena kesal bercampur gemas, Kamal iseng mencubit pipi Katara yang hampir mirip bakpau."Kamal!""Makanya jangan tertawa diatas rasa bete orang lain!"Katara mengusap-usap pipinya yang bekas dicubit Kamal. "Sakit tau!""Hahahahahaha!" Giliran Kamal yang tertawa melihat raut kesal Katara."Ih kamu ya! Saya usir mau?""Iya, deh nggak lagi. Diusir bisa barabe."Daripada mempedulikan Kamal, lebih baik Katara mengobrol dengan Jordan yang kebetulan lewat sedang bawa semangkuk makanan."Kak mau ngapain?"Yang ditanya menengok, berhenti lalu menyodorkan isi mangkuk yang dibawanya."Apa itu, Bang? Chiki-chiki cokelat?" Sontak Jordan dan Katara langsung tertawa mendengar pertanyaan polos dari Kamal ketika diperlihatkan sebuah makanan berwarna cokelat."Hidung lo mampet apa gimana? Bau macam pelet ikan gini lo kata cokelat? Katarak hidung lo?""Hah? Kan gue gak tau, makannya tanya." Kamal mendengkus.Katara menggeleng maklum. "Kamu ini nggak pernah lihat wishkas emang?""Wishkas? Harapan kas gitu maksudnya?""Bukan, Kamal. Wishkas itu makanan kucing.""Oooh."Jordan masih sibuk tertawa melihat betapa polosnya Kamal yang tidak tahu makanan kucing."Kamu mau?"Kamal menoleh, "Amit-amit! Bisa barabe kalau gue makan itu, masa iya mau buang air besar kudu berpikiran ngorek-ngorek pasir dulu." Kamal bergidik. Kenapa manusia yang satu ini sangat polos? Bahkan tanpa niatan melawak pun menadadak bisa jadi pelawak hanya dengan tingkah polosnya. Jordan saja tertawa sampai menangis, memgangi perutnya yang sakit akibat ngakak tak berhenti-berhenti. Kamal mendengkus, dia rebut mangkuk berisi wishkas itu lalu diberikan pada Katara. Jordan masih lemas, setengah tertawa berdiri dan kembali ke rumahnya yang ada di belakang."Sumpah ya, Abang lo ngeselin abis.""Ya kamunya juga, ngapain plonga-plongo macam orang dungu coba? Mana dengan polosnya gak tau apa itu wishkas.""Gue, kan gak pernah pelihara binatang, wajar lah kalau gak tau. Lagian yang gak tau makanan kucing gak gue doang, masih ada yang lain.""Ngaku aja deh kalau kamu emang katro.""Lo ngeledek gue nih?""Iya.""Sabar, Kamal. Orang sabar jodohnya kayak Yeri Red Velvet." Kamal mengelus dadanya."Kamu lucu banget sih." Ditatapnya Katara yang masih tertawa."Iyalah gue lucu! Kan mirip pinguin, jadinya gemesin.""Kamu mirip lumba-lumba tuh.""Syukur gue masih mirip lumba-lumba. Lah lo? Mirip tupai yang ada di Masha And The Bear, hahahaha!""Mau saya tabok?!""Jangan dong! Nanti kalau gue sakit, yang bikin lo ketawa siapa?""Saya mau ngasih makan kucing dulu, bye!""Gemesin banget sih bocah." NKCTC "Di rumah sendirian ya? Orang tua lo dinas atau gimana?" Kamal kini terduduk di kursi dapur, sebelah tangannya sibuk dengan tab dan satu gelas mug berisi cokelat panas.Katara menoleh pias. "Iya, saya dari SMA udah tinggal sendiri sambil jaga rumah. Romo di luar kota dinas, Kanjeng Ibu ikut beliau."Kamal mengangguk. Bukan sekedar tanya kemudian tak peduli. Dia bertanya bukan untuk rasa penasaran, tapi dia pernah ada di posisi Katara. "Lo gak ada saudara kandung?""Kakak saya ikut suami mereka. Pulang ke sini itupun setahun sekali." Katara melepas apron kemudian mengelap tangannya dengan tisu."Ta, gue mau minta pendapat lo." Kamal menunjukkan tab yang dipegangnya, ada proposal yang setengah jalan."Baca dan koreksi, ya? Gue mau bangun usaha sendiri.""Kalau dari sudut pandang saya gak srek sama kamu jangan disetujui karena konfrontasi kita berbeda, Mal." Katara menerima tab berlogo apel separuh digigit itu dari pemiliknya. Menampilkan sketsa sebuah bangunan kafe. Nggak begitu besar tetapi nyaman untuk ditempati. Mengamati dengan seksama hasil gambaran imajinasi Kamal yang dia tebak sebagai toko buku multifungsi."Untuk toilet kalau bisa jangan di dekat kasir, deh. Dipindahkan aja ke sebelah barat daya. Soalnya pengunjung terfokus sama sudut sana.""Oke. Nanti gue rubah.""Yakin?""Iya, yakin. Terus gimana lagi?""Tambahkan beberapa rak buku di samping pintu masuk, taruh kursi sama meja khusus di situ, soalnya literatur fans itu bakal suka kalau kafe menyediakan layanan ini. Jangan terpaku pada trend yang lagi booming.""Terus proposal yang gue buat menurut lo udah bagus belum bahasanya?""Udah, kok. Kan kamu pernah nyusun skripsi, makalah, dan lainnya.""Err, iya sih.""Ya udah, kurang lebih itu yang bisa saya berikan sebagai pendapat. Ayo ke ruang keluarga. Saya mau beres-beres.""Oke. Gue bantuin ya.""Sesuka Kamal aja." Buru-buru Kamal habiskan segelas cokelat panas yang tinggal setengah kemudian mencuci mug dan menaruhnya ke rak piring, setelah itu menghampiri Katara yang ada di dekat kusen dapur.Mereka hanya sesekali lempar senyum untuk menghilangkan rasa canggung, sepi namun tetap rasanya nyaman bagi Kamal karena mungkin ada Katara dan hewan peliharaan cewek itu. Seekor kucing belang abu-abu yang diberi nama Bake. Cuma butuh waktu tiga menit beberes bersama, mendudukkan diri di kursi setelah selesai."Tara."Lantas empunya nama menoleh."Iya, Mal? Ada yang bisa saya bantu?""Eh, nggak! Gue cuma mau ngobrol aja sama lo. Daripada hening doang.""Kirain kamu mau apa, haha. Ya udah, silahkan."Kamal mengangguk. "Kenapa lo gak takut mempersilahkan gue masuk dan tinggal bareng lo? Gak ngira kalau misal gue pencuri atau perampok gitu?""Takut ada, cuma saya dengar kamu itu baru di sini. Buktinya dari kemarin kamu nggak ngapa-ngapain saya, kan?""Iya, sih..""Kanjeng Ibu saya bilang kalau kita enggak boleh sombong, harus menghormati dan mengayomi orang lain. Makanya saya gak pernah membentak ataupun judes sama kamu, Kamal. Karena saya tahu kamu orang baik."Senyuman manis dan tutur kata dengan suara lemah lembut itu membikin jantung Kamal berdebar kencang, seolah tersihir oleh Katara yang cuma sesederhana itu menyampaikan ucapannya. Tapi Kamal merespon lain, ada apa dengan jantungnya yang terus berdetak anomali seperti ini? Dia menatap Katara yang sekarang sudah fokus membaca novel dengan kacamata mystic favoritnya. Cewek itu memiliki paras yang Kamal tidak kira mungkin dimiliki oleh cewek manapun yang pernah ia temui.Katara mempunyai paras wajah bak seorang dewi Yunani. Sangat cantik. Bulu mata lentik hitam, bibirnya tipis merah muda dan rambut crimson agak panjang. Belum lagi ditambah dengan sifat cewek itu yang selalu lembut dan anggun. Jujur, Kamal belum pernah sekalipun dapati bahwa ada cewek seperti Katara. Bolehkah dirinya jatuh cinta pada cewek itu? "Tara, menurut lo cinta itu seperti apa?"Katara mengangkat pandangannya. Menatap lurus Kamal yang tampak gugup setelah ditatap begitu. "Kamu sendiri mendeskripsikan kata itu gimana?""Sesuatu yang bebas, nggak mematok satu jenis tujuan aja. Soalnya cinta ya hanya sebuah cinta. Dan cinta nggak menuntut kita memilih siapa yang kita cintai, hanya menunjukkan dengan tepat seseorang yang akan dicintai."Mengangguk mengerti. "Bagus. Kalau menurut saya, cinta itu seperti hujan.""Kenapa dengan hujan?""Hujan itu adalah Rahmat, jika turun ada yang menyukainya dan ada yang membencinya. Hujan bisa deras, rintik, dan muncul ketika sedang terik. Menenangkan juga bisa menakutkan. Banyak orang yang menyukai hujan-hujanan ada juga yang takut lalu menghindarinya. Ada yang menerobos ada yang meneduh. Hujan itu air yang meluruh tanpa aba-aba, sama seperti cinta bukan?""Kamal kenapa diam?" Kamal merasa kalau tatapan Katara begitu menyihir."Kamal!""Eh!? Astaga, maaf. Gue ngelamun, hehe."Katara cuma menggeleng. "Kamu ini kenapa, sih? Kagum sama bahasa saya?""Geer banget lo, hahahaha.""Ih, ya udah! Kalau gitu kamu sebaiknya tidur, ini udah malam hampir larut. Besok pagi saya ajak ngelihat matahari terbit. Bangun jam lima ya?""Iya. Selamat malam, Tara.""Malam juga, Kamal." Kamu dan Matahari Terbit "Kamal cepatan bangun!" Katara mengguncang tubuh Kamal yang masih terlelap. Ini sudah pukul setengah lima, ayam berkokok dan kumandang adzan subuh mulai bersahutan. "Sepuluh menit lagi, Mba~" Dahi Katara mengernyit. "Lhadalah, kok malah koyo kebo iki lanangan." Katara tersenyum maklum, mungkin saja Kamal begadang, jadi agak susah untuk dibangunkan. Tak masalah sebenarnya jika berangkat pukul enam pagi, matahari terbit biasanya tepat di angka tujuh lebih tiga puluh menit. Inginnya Katara mengajak pagi buta itu adalah mengenalkan daerah tempat tinggalnya pada Kamal. Ia ingin cowok itu tahu bagaimana menikmati udara segar di pagi hari yang masih gelap. "Kamal bangun. Ini saya Tara, bukan kakak kamu." Pipinya ditepuk. Tak tega sebetulnya untuk membangunkan seengok daging bernama Kamal ini. "Ayo nanti kita telat, ini udah jam enam lho. Mataharinya sebentar lagi terbit. Kamu harus mandi dulu." "Hng. Iya, iya, ini gue bangun." Dengan muka bantal dan kesadaran belum penuh Kamal beranjak dari tidurnya lalu keluar kamar untuk ke kamar mandi. "Saya tunggu di luar!" "Hmm!" Tujuh menit kemudian Kamal turun bersama wajah kesalnya. Tadi ia mengecek jam berapa, ternyata masih terlalu pagi untuk bangun tidur yang biasanya pukul setengah sembilan. Kamal mau kesal rasanya tidak tega, ia sudah menumpang, diberi fasilitas dengan nyaman, masa iya dia harus mengambek atau merasa kesal pada Katara? Tapi tetap saja dia masih punya perasaan terganggu dengan apa yang diminta. "Kamu yang bawa sepedanya ya? Saya naik di belakang." Ditepuknya jok sepeda onthel kuno di sampingnya. "Lo yakin sepedanya bakal sehat wal'afiat setelah kita naikin?" Menatap ragu benda roda dua tersebut. Nampak jelas sekali kalau usia benda itu lebih tua darinya. Mungkin saja usianya sudah seumuran dengan Ayahnya. "Yakin. Tenang aja, sepeda ini awet muda. Saya sendiri sering naik bareng Nikita kalau mau ke pasar." "Oke. Nikita itu bocah atau udah dewasa?" "Lebih tinggi dari kita malahan. Baru kelas tiga SMA padahal, saya iri deh sama tubuh dia yang pola makannya teratur, rajin olahraga. Tapi balik ke kenyataan kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya. Enggak boleh memaksa diri untuk jadi orang lain." Kamal diam, hanya tinggal menginjak pedal lalu sepeda akan bergerak. Katara sudah naik di boncengan, dengan posisi menghadap samping kiri karena kakinya yang terlalu panjang. Dia menunggu supir sepedanya bergerak. Namun tak kunjung juga ada tanda-tanda ingin melaju. "Kamal kenapa? Gak bisa nyetir sepeda?" "Bukan. Gue cuman bingung aja ada orang semacam lo di dunia kotor ini. Rasanya kayak nemu oasis di gurun. Seger gitu lihatnya." "Kamal jangan banyak bicara, deh. Ayo kita berangkat. Belok ke arah kiri lurus aja." "Iya, iya, Ta. Sabar napa. Ini gue doa dulu biar sepedanya ikhlas lahir batin dinaikin gue sama lo." Sontak tawa Katara pecah mendengar ucapan Kamal. "Kamu ini eneng-eneng wae jan gole ngomong, Le." "Please your language in Bahasa, jangan campur aduk, gue gak paham." Dia mulai melajukan sepeda onthel kuno itu menuju keluar gerbang dan berbelok ke arah kiri. "Hahaha, iya deh. Maaf saya khilaf, suka campur aduk ngomongnya. Terbiasa dari kecil memang begitu ciri khas bicaranya." "Jangan sampai tuh bahasa bikin gue muter tujuh keliling buat translate ke Indo." "Kamu seharusnya belajar bahasa buyut kamu sendiri, itu termasuk warisan budaya Indonesia, loh. Kamu gak boleh meninggalkan apa yang udah melekat di darah kamu dari keturunan orang mana." "Kapan-kapan, deh. Gue gak mau mempersulit otak gue di tengah-tengah proyek yang lagi gue garap." "Kamu bisa memulainya dengan yang lebih mudah untuk sering diucapkan, misalnya sampeyan, kula nuwun, riko aring pundi, hatur nuhun, jenengan, gelem, dan masih banyak lagi." "Kalau gitu mah mending dengarin lagunya Didi Kempot aja." Lagi-lagi Katara dibuat tertawa oleh jawaban Kamal. "Terus kamu nyanyi. Rasanya lucu banget tahu." "Ketawa aja terus! Tawain nih sampai lo bengek terus tengkleng dari sepeda." "Apa, sih, Kamal! Bawa sepedanya yang hati-hati dong! Kalau saya jatuh kamu mau saya usir dari rumah!?" Katara memeluk erat pinggang Kamal, takut jika sepeda yang mereka naiki tiba-tiba oleng. "Ya, lo makanya jangan ketawa mulu dari tadi! Gue yang was-was bawanya! Kalau lo jatuh entar gue yang repot." Akhirnya setelah sepuluh menit menyusuri jalan mereka berdua tiba di sawah besar yang dikelilingi gunung-gunung hijau nan asri. Udaranya benar-benar sejuk, Kamal merasa jika paru-parunya segar dan kosong akan polusi. Jujur, Kamal belum pernah sekalipun merasakan suasana sejuk seperti ini, yang biasa ia lihat hanya latar kota besar penuh asap kendaraan berlalu lalang di pagi hari. "Gimana perasaan kamu?" Kamal duduk di sebuah pembatas jembatan kecil menghadap ke timur. "Bebas dan tenang. Gue jarang sekali bisa merasakan sensasi seperti ini." Senyuman penuh bahagia sederhana itu membikin jantung Katara mendadak spot. Sangat manis dan tulus. Jantungku kenapa begini secara mendadak coba? "Di Jakarta memang nggak ada sawah?" "Ada, kok. Cuman jauh dari rumah gue." Katara memutar badannya agar menghadap ke timur sama seperti Kamal. Dia menatap lembut teman barunya ini. Seperti seorang lebah yang baru bebas dari jeratan sarangnya. "Kamu bisa coba untuk mengingat tempat ini, rasakan suasananya lalu simpan baik-baik dalam memori kamu. Jika kamu rindu, sebut namaku dua kali, maka kamu akan merasakan sejuknya udara ini." "Hei, kesannya kayak drama Korea tahu. Geli gue dengarnya." "Loh itu efektif tahu! Saya juga sering sebut nama mantan pacar saya kalau rindu pada tempat yang pernah kami kunjungi." "Lo punya pacar?!" "Mantan pacar, Kamal. Ih!" "Oke, maksudnya itu. Jadi, lo beneran punya pacar sebelumnya? Gantengan gue atau dia?" "Kepo deh kamu. Ini privasi tahu! Gak boleh asal cerita. Kamu sama saya itu belum kenal dekat, jadi saya masih belum bisa terbuka banyak-banyak." "Iya, deh, iya. Maaf udah lancang nanyain. Sekarang kita mau ngapain lagi selain lihat matahari terbit?" "Jalan-jalan ke pasar pagi." "Lo bawa duit?" "Nggak, hehehe. Traktir ya, Kamal?" "Ck, untung imut lo." "Kamal mulutnya minta saya tonjok." "Mama bilang gak boleh bohong kalau kita muji orang lain. Soalnya mereka perasa dan selalu percaya diri kalau dipuji." "Terserah, deh. Saya imut atau nggak ya sama aja. Saya tetap Tara di mata orang." "Jujur nih, lo itu unik banget karakternya. Udah cerewet, kalau galak malah kayak orang ngambek, anggun, lembut pula. Mana pernah gue ketemu modelan cewek kayak lo." "Karena saya limited edition, Kamal." "Benda sejarah lo? Sampai bilang langka segala?" "Kamal pengin saya tabok deh ginjalnya." "Tabok aja. Nanti pankears lo gue sentil." "Kamu mau saya usir?" "Lo itu ngebet pengin gue pergi apa gimana? Bawaannya kalau ngancam sukanya ngusir." "Soalnya kamu kayak cumulonimbus." Temu Hal Baru Setelah menyusuri betapa rumitnya jalan yang mereka lewati akhirnya dengan perasaan lelah Kamal berhasil membawa sepeda serta pemiliknya tiba di pasar yang tadi diberi tahu. Memarkir sepeda di dekat salah satu pedagang yang Katara kenal, ternyata itu adalah bibinya. Kamal menyapa wanita paruh baya yang menjajakan dagangannya itu kemudian pergi mengekor di belakang Katara.Hingar bingar pasar terasa seperti euforia yang jarang Kamal rasakan. Untuk belanja kebutuhan sehari-hari biasanya dia akan ke supermarket buat beli bahan-bahannya. Jarang sekali bisa merasakan suasana pasar di pagi hari. Ramainya tidak seberapa tapi nampak jelas sekali kalau masyarakat sekitar sangatlah ramah dan mudah berbaur. Kamal mendapatkan pengalaman baru yang bisa mengubah sudut pandangnya yang masih hitam putih mengenai dunia luar.Tersenyum melihat seorang nenek tua yang menjajakan makanan tradisional nusantara, Kamal belum pernah memakan makanan buatan negerinya sendiri itu. Jadi sepertinya ia tertarik untuk membeli."Kamal mau beli dua puluh ribu ya, Nek.""Alhamdulillah, rezeki dari Allah datang. Kamu mau apa? Cenil atau ciwel?""Dua-duanya, Nek.""Ya udah, Nenek bungkus dulu. Kalau mau ditinggal juga nggak apa-apa, kamu bisa keliling dulu nanti kemari lagi."Kamal mengangguk setuju dengan saran Nenek penjual camilan tradisional itu lalu mengajak Katara untuk berkeliling. Sepertinya hanya mereka berdua dengan gaya nyentrik persis artis K-Pop yang nyasar di pasar. Tidak masalah, toh, dirinya cuma ingin nyaman saja. Katara menariknya ke dalam sebuah bangunan tanpa dinding, banyak jajanan tradisional yang berjejer di sana. Sangat beragam."Bu donat sepuluh ribu, bakpau lima ribu, sama risoles empat ribu. Lupis ketan masih nggak, Bu?""Masih, Dek. Mau berapa?""Sebungkus aja.""Lo nggak beli sayurannya?""Stoknya masih banyak, Kamal. Saya udah ngisi dari jauh-jauh hari.""Ini, Nak." Ibu penjual memberikan sekantung plastik sedang, diterima dengan baik oleh Katara."Makasih, ya Bu." Setelah membayar mereka berdua kembali ke tempat Kamal membeli camilan."Kembaliannya buat Nenek, simpan baik-baik ya, Nek. Kamal permisi mau pulang.""Terima kasih banyak, Nak. Hati-hati di jalan. Semoga Allah selalu menyayangi kamu."Kamal mengangguk kemudian berjalan menuju parkiran sepeda. Katara sudah duluan menyantap camilan yang dibelinya, padahal ini masih di jalan. Anak itu dengan bebasnya malah makan sesantai seperti sedang di pantai."Oh ya, kapan lo bakal bawa gue ke pantai yang gue minta?""Nanti sore. Kita nginep aja, soalnya kata Paman ada villanya, kok.""Paman?""Iya, pantainya punya teman Romo saya."Hening. Kamal tak tahu harus membalas apa dan bagaimana, kalaupun bicara balik yang ada malah dia sama saja bertanya hal bodoh lagi. Lebih baik selama perjalanan pulang mereka berdua berdiam saja, untunglah Katara lebih sibuk dengan makanannya sendiri ketimbang lanjut atau mendengar balasan dari Kamal. Kamal memperhatikan binar bening berwarna hitam yang melekat apik di balik kelopak mata Katara, cewek itu sedang menonton televisi setelah tiba di rumah delapan menit yang lalu. Katara melirik sekilas Kamal yang ketahuan mengamati dirinya atau mungkin sedang curi-curi pandang."Kamu mau mengatakan sesuatu?" Tanya itu membikin Kamal menengok dengan kecepatan flash, menyebabkan lehernya terasa sakit."Eh, ya ampun, Kamal. Kamu ini gimana, sih? Kalau nengok biasa aja, dong. Maaf juga udah bikin kamu kaget." Rasanya Katara itu ingin tertawa sekaligus prihatin melihat Kamal yang tampak gugup tadi. Yang ditanya mendengus kesal. "Lo itu ya selalu aja bikin gue jadi sasaran empuk. Naik sepeda hampir jatuh, diomelin Kakak sepupu lo, mau kesel gak bisa.""Kamu nyalahin saya?" Katara berganti tatapan menjadi sorot lirih.Duh, sepertinya Kamal salah bicara. Mana sampai bikin anak orang jadi sedih pula, bodoh sekali dirinya ini. "Nggak! Maksud gue lo—""Maaf ya, gara-gara saya kamu bukannya dapat nyaman malah sebaliknya. Maaf udah bikin kamu ngerasa kesal setiap ladenin saya, Ka—""Sstt! Sstt! Jangan ngomong lagi. Gue gak tega lihat mata lo yang hampir mewek itu, barabe kalau ketahuan Kak Jordan nanti gue kena geprek sama dia."Katara tersenyum tipis. "Tapi terlepas dari itu, saya beneran minta maaf sama kamu, Kamal.""Untuk apa? Lo nggak ngapa-ngapain juga, bikin gue sakit aja kagak. Ngapain lo minta maaf segala, dah, Ta?""Ih, kamu!! Saya itu merasa bersalah udah ngerepotin kamu beberapa hari ini. Padahal kamu itu tamu saya." Segaris tipis itu berganti menjadi manyun.Justru Kamal malah membalasnya dengan tawa renyah. "Lo itu polos banget astaga. Gue tuh cuma bercanda soal sambat. Serius deh, lo itu beneran cewek yang lugu.""Jadi kamu nggak kesal ataupun menyalahkan saya?""Kesel sih ada, tapi balik lagi kalau gue ini numpang di rumah lo, mana dengan senang hati lo ngasih banyak hal ke gue. Wajar aja kalau gue direpotkan balik sama lo, Tara.""Eung, tapi saya tetap merasa nggak enak udah merepotkan kamu.""Santai aja kali sama gue. Gak bakal gigit nggak, gue orangnya baik.""Ya udah, sekarang kamu siapin barang-barang yang mau dibawa nanti. Kita berangkat jam setengah tiga.""Iya, siap. Kalau gitu gue ke kamar dulu, sekalian ngecek saldo masih atau nggak. Nanti bangunin aja kalau misal gue ketiduran ya, Ta.""Iya."Katara menatap punggung Kamal yang perlahan menghilang ditelan pintu, mata lentiknya enggan menyudahi memandang jejak bayang dari Si surai hitam. Katara menyentuh dadanya, ada alarm manis di sana yang muncul ketika Kamal menatap dirinya ataupun bertingkah lucu. Sama seperti masa lalunya bersama pemberi janji di ujung lidah. Buang nafas panjang, fokus kembali pada layar kotak yang beberapa detik lalu terabaikan.Meyakinkan diri bahwa mereka sama saja, Katara enggan untuk menyambangi letak di mana ada ruangan tertambat buat dirinya pada Kamal. Sangat-sangat tidak mau. Cukup sudah pahitnya kopi dulu menumpahi merah muda arum manis kisah cintanya. Ada sepercik harapan yang mengalun di benak, namun gumpalan tolak belakang lebih mendominasi. Katara rasa dirinya harus segera hilangkan tanda yang tumbuh karena cowok bernama Kamal itu.Atau mungkin ketakutannya harus ia lawan? Mungkinkah Kamal bisa berbeda padanya? Katara bukan ragu, tapi lebih spesifik takut pada kenangan masa lalunya bersama Sang kekasih hati. Bukan dirinya yang mengakhiri, tapi karena komitmen dari mantan kekasihnya lah yang menjadi dasar utama, kekasihnya dulu melupakan kata penting itu. Katara gak mau nanti jika dia melabuh pada Kamal akan berakhir sama seperti itu. Bisakah dadanya berhenti berdetak kencang saat bersama Kamal? Bisakah dirinya mempercayai pria itu? Laba - Laba "Aku harus gimana? Ini terlalu pelik.""TARA GUE MINTA TOLONG!!"Suara Kamal menjadi penghilang lamunannya, segera Katara berdiri lalu mengambil sapu membawanya ke kamar tamu."Huh? Kamal ngapain nangkring di situ?"Bisa dia lihat Kamal berdiri di atas kepala kasur sambil mengangkat sebelah kakinya. Katara melirik arah pandang Kamal yang tertuju pada seekor serangga kecil di atas sprei. Laba-laba berkaki tebal warna cokelat. Bukannya menolong, Katara malah lari keluar kamar dengan kaki dan tubuh gemetaran. Demi Tuhan! Katara anti dengan serangga, terutama hewan berkaki delapan itu!"TARA!! WOI JANGAN LARI!"Astaga, Kamal benar-benar seperti dipermainkan oleh hewan itu karena laba-laba tersebut gak bergerak sama sekali sejak lima menit yang lalu jatuh ke tempat tidur. Bisa kebas kaki Kamal jika terlalu lama berdiri nangkring di atas kayu sedang yang jadi alasnya sekarang."Itu, Kak Jun. Tolong bunuh aja! Aku takut!"Katara berlindung di balik punggung saudara sepupunya, Daniel. Dengan kata lain tadi ia berlari bukan sekedar karena rasa takutnya saja melainkan berniat untuk meminta sepupu gantengnya itu agar bisa mengusir hewan berkaki delapan yang menyeramkan tersebut."Katara, lepasin dulu, gimana gue mau ngusir laba-labanya kalau lo megangin gue terus.""Tapi aku takut, ih! Serem itu! Geli~"Daniel menghela nafasnya, dia suruh Katara untuk duduk yang sekiranya jauh dari lokasi pengusiran hewan itu, Katara lari dengan mata sedikit tertutup saking takutnya. Dia bahkan sampai mengangkat kedua kakinya naik ke atas kursi. Takut jika ada laba-laba lainnya muncul."Woi cepetan! Semutan nih kaki gue!""Sabar elah."Dengan mudahnya Daniel mengeluarkan laba-laba tersebut, Kamal bernafas lega kemudian turun untuk mengembalikan image cool seperti nggak terjadi sesuatu yang bikin dia teriak minta tolong tadi. Tak lupa ia ucapkan terima kasih pada sepupu Katara. Daniel mendengus sebal melihat Kamal yang berlagak seolah-olah gak ada dirinya yang menyelamatkan mereka berdua dari ketakutan. Tahu begini Daniel lemparkan saja laba-laba itu ke wajah Kamal biar pingsan."U-udah? Kakak buang jauh-jauh, kan!? Gak akan masuk ataupun ber-""Tenang, hewannya udah gue buang jauh dari sini kok." Daniel mengelus rambut Katara supaya adiknya itu lebih tenang. "Kalau ada apa-apa panggil gue aja ya, Dek?""Iya, Kak. Makasih, ya." Cicit Katara, masih trauma melihat hewan itu."Sama-sama. Mau ikut gue atau di sini aja?" Tawaran itu menyulut keinginan Kamal untuk segera mengusir makhluk bernama Daniel ini agar dirinya bisa bebas berbicara dengan Katara."Aku di sini aja." Daniel melirik sinis pada Kamal. "Ya udah. Asalkan dia bisa tenang juga. Gue pamit pulang dulu, Dek. Jangan lupa minum air putih."Seperginya Daniel, Kamal membuang muka. Entah kenapa dirinya merasa tidak suka saat Kamal begitu perhatian pada Katara, juga sangat-sangat dekat sampai skinship. Oh, ayolah Bung. Mereka itu saudara sepupu. Hanya sepupu dan tidak lebih, tapi kenapa malah seperti ini perasaanya? Perasaan tak berdasar itu membuat Kamal kembali membuang nafas panjang. Ia duduk di sebelah kursi yang ada di samping Katara."Lo udah mendingan? Atau mau gue peluk supaya lebih tenang?"Niat hati sih bercanda, tapi Katara merespon hal lain. Sekarang Kamal bingung ingin membalas pelukan Katara atau malah terdiam seperti patung?"J-jangan kemana-mana dulu. Saya masih takut."Dentuman bersahut-sahutan ketika dua tubuh itu bersatu. Menimbulkan euforia lebih keras, nggak mengerti kenapa harus ada perasaan ini. Di mana Katara sudah melupakannya sedang Kamal baru bisa merasakannya. Hanya suara televisi yang menemani keheningan. Tak memungkiri bahwa otak rasional keduanya terus dipaksa berpikir mengapa dan apa alasan munculnya perasaan ini."Maaf ya, gue malah bikin lo panik dan trauma gini. Harusnya gue yang ngelindungi lo.""Gak apa-apa.""Lo beneran udah lebih tenang?"Katara mengangguk di dada Kamal. Memberikan sensasi tergelitik untuk perut empunya dada. "Mau lanjut nonton TV atau kita jalan-jalan keluar? Kebetulan aja gue lagi pengin makan jajan.""Tapi minimarketnya lumayan jauh. Kamal nggak capek memang? Soalnya saya penginnya jalan kaki.""Gak apa-apa capek, sehat. Gimana? Lo mau?"Anggukan kepala itu disambut segaris tipis yang memiliki kesan berbekas dalam ingatan Katara. "Ya udah, saya matiin televisinya dulu. Kamu bisa siap-siap dan ambil dompet." Tawa Itu Ada Setelah Sedih "Kamal itu siapa lo?" Mereka berdua baru saja meninggalkan rumah, terhitung sudah lima menit berjalan. Ada besit ingin merasa pada genggaman tangan. Namun, cuma keraguan yang datang."Sepupu saya. Gala mau kenalan sama Kamal?" Ditatapnya wajah Yudha yang tampak sedikit malu."Eh? Gak, gue gak minat kenalan sama dia. Cuma sekedar tanya aja, sih, soalnya ini kali pertama gue ngelihat ada orang di rumah lo selain Bang Sandy."Bomi tertawa kecil. Yudha itu kalau sedang malu ternyata lucu sekali. Rasanya seperti dineschara di pagi hari. Dedas itu muncul kembali saat melihat tawa renyah dari bilah bibir Bomi, Yudha jujur saja walaupun sudah sering mendengar tawa seorang gadis di lingkup pertemannya, tapi tak pernah ia dapati letupan kecil itu muncul di dada kirinya."Kenapa lo ketawa, dah?""Gak apa-apa, kamu itu lucu juga kalau sedang gugup.""Dih, lo seneng banget kayaknya ngetawain gue.""Kalau gak lucu ngapain saya ketawa?""Ya, ya, terserah lo aja."Bomi kembali fokus berjalan, meski sesekali tersenyum tipis menilik wajah Yudha yang terlihat dingin bercampur jutek saat bertemu orang baru. Perasaan itu kembali muncul, tentu tanpa beri aba-aba. Tangan kanannya terangkat tuk raba dada, menjelma sebagai perasa untuk kabar pada otak bahwa ada rasa di sana yang menanti untuk dimengerti."Gala kapan mau pulang ke Jakarta?"Ada sekat awalnya. Tepis anggapan bahwa itu cuma akan bawa dirinya pada pahit."Lusa mungkin? Gue udah dua hari di rumah lo. Jadwal kabur gue gak tertentu jadi gantung banget.""Pokoknya apapun itu, kamu harus pulang, Gala. Saya nggak suka ya kalau kamu itu kekanakan menyelesaikan masalah. Kabur bukan hal bagus, lagian kenapa kamu gak bilang dengan baik-baik sudut pandang kamu ke mereka?""Gue takut dipaksa.""Nggak seperti itu. Mereka keluarga kamu yang pasti bakal menerima penolakan kamu, hanya aja terkadang mereka melihat usahamu untuk membuktikan ucapan."Tak terasa lama, mereka tiba di minimarket setelah menyebrangi jalan raya. Sejuknya pendingin ruangan menyambut peluh yang bercucuran di dahi mereka berdua. Sambutan hangat dari kasir mereka balas tak kalah hangat; mungkin jika bukan suruhan Bomi mana mau Yudha melakoninya.Hampiri rak bagian makanan ringan tertidur rapi beragam harga. Yudha lebih memilih memborong beberapa snack kecil yang harganya cukup menguras kantong, setelah itu ia mengambil empat bungkus roti. Sementara Bomi memilih untuk membeli dua botol Pororo yang menjadi favoritnya. Ikut mengambil beberapa makanan gurih yang sekiranya cocok tuk disandingkan dengan minumannya.Keranjang belanja terasa penuh, Yudha tak masalah. Ini semua baru setengah dari jumlah biasa dia belanja. Memang orang kaya itu bebas. Menghampiri kasir untuk bayar total. Bomi waspada, takut jika kartu ATM Yudha benaran diblokir oleh Mama cowok itu. Tapi nyatanya mereka keluar dari minimarket tanpa ada masalah mengenai biaya. "Eh? Mala, apa kabar?" Suara seorang cewek menjadi alasan berhentinya langkah mereka berdua.Bomi menoleh ke samping kirinya yang mana ada dua manusia berbeda gender sedang bergandengan tangan mesra. Hal yang dulu pernah ia lakukan bersama cowok yang digandeng oleh cewek tadi."Saka..." Yudha menukik saat Bomi melirihkan nama seseorang sambil menatap lekat pada cowok tinggi semampai yang Yudha asumsikan sebagai kekasih cewek di sebelah cowok tersebut."Mala? Hei! Aku manggil kamu loh.""Eh, maaf, Lia. Saya nggak dengar. Tadi kamu bilang apa?""Kamu apa kabar, La?""Syukurlah, saya baik-baik aja. Kamu sendiri gimana kabarnya? Udah mau sebar undangan belum?"Lia mengangguk. "Mungkin besok udah mulai." Dia tatap muka Yudha yang hanya pamerkan raut dingin. "Ini siapa, La? Pacar kamu?""Ah, bukan." Bomi curi-curi pandang ke Saka yang diam saja. "Kenalin ini Galaksi, teman saya dari Jakarta. Nah, Gala kenalin ini Lia sama Saka.""Hai." Yudha hanya menyapa cuek. Sudah tabiatnya seperti itu."Halo, juga Galaksi. Senang ketemu kamu.""Ayo, Sayang kita lanjut jalan." Saka sedikit menundukkan kepalanya dan kembali berjalan menuju minimarket.Selama perjalanan pulang, Bomi jadi agak pendiam, gak mengeluarkan suara sama sekali. Yudha tahu, kelihatan sekali tatapan Saka dan Bima yang memancarkan cahaya binar saling rindu satu sama lain. Hanya saja Saka menepis sedang Bima terus melanjutkan. Yudha gak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua, yang jelas ada hubungan khusus kemudian kandas di tengah jalan."Bim.""Iya?""Bukan maksud gue ikut campur urusan lo sama cowok tadi. Tapi gue merasa ada yang gak beres di antara kalian. Apa dia masa lalu yang coba lo lupakan?""Yah. Benar.""Seperti yang di salon waktu kita ganti warna rambut, gue kasih tahu kalau hati kayak gitu. Gampang berubah. Jadi, apapun yang terjadi di masa lalu antara lo sama dia udah cukup sampai di sini. Tatap masa depan lo yang bakal bawa lo jauh mengarungi dunia yang luasnya kebangetan ini.""Seperti itu ya?""Ya iyalah! Lo pikir cowok yang bisa lo cintai cuma Saka doang? Nih ada gue Galaksi Yudha Lazuardi yang gantengnya sejagad raya! Udah gitu gue baik hati dan tidak sombong. Terus gue manis juga, lucu, macam bocah! Coblos aja gue, Bim.""Gala! Mau saya lempar sepatu?!""Jangan dong! Kan gue lagi promosi!"Bomi menggeleng heran dengan tingkah Yudha yang diluar dugaan, sangat menghibur. Sepucuk kehangatan muncul di hati Bomi saat melihat Yudha hanya menunjukkan cengiran lima jari. Bomi jadi sedgikit terhibur, dia pamerkan senyum tipis."Nah gitu dong senyum! Jangan cemberut mulu.""Gala saya mau cerita.""Boleh! Dengan senang hati kuping gue bersedia menampung tanpa memotong ucapan. Dijamin terjaga dan tidak bocor, kalau bocor pakai no drop saja. Mari kita berbagi keluh kesah. Jangan—""—udah Galaksi. Kapan saya mau cerita?""Hahahaha, iya, iya sini gue dengerin."Bomi tersenyum tipis. Menatap lurus langit yang cerah di pukul dua siang, ada phospenes setelah ia buka matanya. Yudha menunggu."Namanya Vikram Saka Abimanyu. Dia adalah tempat saya menyambangi letak cinta. Dulu dia pernah berkata bahwa ini gak akan berakhir. Nyatanya dia sendiri yang buat itu berakhir. Saya kecewa, tapi saya terlalu cinta sampai gak mengerti untuk ikhlas. Namun, Romo bilang kita nggak boleh mematok satu tempat untuk mencintai. Jadi setelah kami berakhir, saya berubah. Saya mencoba untuk terlihat lebih baik, gak mau terlalu lama menangisi ataupun menanti orang yang gak mengharapkan saya lagi."Dilihat dari sudut pandang manapun, hanya ada kehampaan hati saat Bomi mengeluarkan kisah lamanya."Saya rindu sama dia. Saya masih sayang sama dia. Hanya aja, Saka terlalu aksa untuk saya yang berharap berubah.""Lo kuat sampai sekarang itu udah termasuk pencapaian. Gue salut sama lo yang bisa dewasa menerima lara hati, lo gak skeptis terhadap cinta, lo gak takut untuk mencoba, dan yang terbaik adalah lo bisa menerima semuanya dengan baik."Beomgyu tersenyum saat Yeonjun menngatakan hal positif tentangnya yang bisa sampai titik di mana semunya berputar antara lepas atau terjebak. sebuah kata dan putusan Kamal berdecak malas ketika nada dering ponselnya terus berbunyi dari seorang pemanggil yang sama sejak kepergiannya ke Lampung. Nomor tersebut bukanlah nomor tidak dikenal melainkan nomor yang akan membuatnya makin muak."Apa?""Mama sama Papa nyariin kamu.""Gak usah manggil orang tua gue dengan sebutan itu. Lo bukan siapa-siapa.""Pulang, Kai.""Kalau lo batalin perjodohan ini gue bakal pulang dengan senang hati tanpa paksaan."Terdengar grasak-grusuk di sebrang. Kemudian suaranya berganti menjadi khas ibu-ibu."KAMAL PULANG NGGAK KAMU, NAK?! MAMA TUH PUSING NYARIIN KAMU!""Gak mau. Kalian egois. Maka Kamal juga bakal egois balik.""Pulang atau mau Mama blok kartu ATM kamu?""Blok aja. Toh, Kamal gak akan pulang sebelum perjodohan itu dibatalkan. Kalau belum juga, ya Kamal bakal di sini selama yang Kamal mau.""Gak boleh gitu, Kamal! Mau gimanapun juga mereka itu keluarga kamu, harusnya kamu bersyukur mereka khawatir dengan kondisi kamu sekarang.""Siapa itu, Kamal?""Pacarku, Ma. Kenapa? Gak suka? AW! Sakit Tara!""Kamal jangan ngaco! Kamu itu harus dengerin Mama kamu. Kalau kamu kayak gini terus nantinya akan gak selesai. Kamu pulang dan temui semuanya, bicarakan apa yang jadi alasan kamu menolak.""Kamal, dengarkan teman atau pacar kamu itu. Pulang ya, Nak? Mama kangen sama kamu."Bimbang. Tapi tekad mengatakan kalau dia harus tetap di Lampung sampai keluarganya mau mengerti dirinya. Spesifik ke sifat ingin dimengerti jika keinginannya tidak dituruti karena terbiasa dengan hal yang berbau bebas. Kamal diam, menimbang. Sementara Katara dan Mama menunggu apa yang akan Kamal katakan.Mini Cooper merah ia pinggirkan lebih dulu, sudah empat puluh tujuh menit mereka ada di jalan raya. Menunda sebentar perjalanan mereka demi seutas tali penghubung antara dia dan Mama di Jakarta. Hanya sambungan telepon yang menyampaikan suara."Kamal dengarkan Mama kamu, ya?"Kamal menatap Katara lamat-lamat, mata cantik itu menghipnotis pikirannya membuat memorinya kalut seolah sudah dikuasai wajah manis Katara yang ada dalam benaknya belakangan ini. Katara itu seperti mentari saat mendung tiba."Kamal!""Hah!?! Iya, Ta!?""Itu teleponnya dijawab. Bilang ke Mama kamu kalau kamu bakal pulang dan bicara semuanya. Utarakan sudut pandang kamu pada Kakekmu.""Pulang ya, Nak? Mama mohon.""Kasih Kamal waktu sampai benar-benar matang buat ngambil keputusan."Panggilan sengaja Kamal cepat matikan, ia menjalankan mobil Katara kembali masuk ke jalan raya. Dengan satu tangan sibuk mengetuk-ngetuk stir mobil. Katara mengamatinya, tapi Kamal gak mau peduli. Ia hanya butuh diam sebagai tempatnya berpikir. Katara menatap wajah Kamal yang tampak tenang tapi siratnya akan penuh dengan kebingungan, memang seperti tembok, gak memungkiri kalau anak itu gak bisa menyembunyikan masalahnya lewat raut wajah."Kita mampir dulu ke pom bensin.""Iya."Pun hening sampai berjam-jam di mobil hingga tiba di tempat tujuan. Kamal sama sekali belum ada niatan sekedar berucap satu patah kata untuknya. Katara resah, bukan perkara gampang menghadapi orang dengan sifat seperti Kamal. Dari luar memang gak ada masalah, nyatanya kendati demikian Katara memikirkan bagaimana perasaan cowok itu saat ini."Kamal!" Seru Katara memanggil empunya nama yang tengah berdiri di pinggiran pantai yang penuh bebatuan.Kamal dengar namun enggan bersuara untuk membalas. Ia biarkan saja Katara menghampirinya. Sungguh tak ada niatan buat bersikap seperti ini pada Katara yang gak tahu apapun, tapi batinnya selalu menolak untuk bersikap seolah tak ada apa-apa."Kamu marah pada saya?" Katara tiba, ia berdiri di sebelah Kamal.Kamal menggeleng samar. Netranya tetap fokus pada matahari yang mulai agak turun. Terhambat satu jam karena menolong orang lain yang motornya bocor, jadinya mereka tiba di sini pukul lima sore."Kamu jangan diam seperti ini, Kamal. Saya takut." Menunduk, meremat ujung hoodie merahnya.Kamal menolehkan kepala menatap Katara yang wajahnya menghadap ke pasir. Tersenyum tipis, tanpa beri tahu ia peluk saja Katara agar cewek manis itu tidak perlu terlibat perasaan bersalah dan menjadi resah karena sikapnya. Yang diberi pelukan menegang, sedikit terkejut saat mendapat perlakuan seperti ini. Mendadak pula.Mereka berdua gak peduli persepsi orang lain yang melihat keduanya berpelukan. Mereka hanya perlu waktu untuk menjadi lebih baik. Hanya membutuhkan satu sama lain. Katara melepas remasan tangannya kemudian bergerak patah-patah membalas pelukan Kamal yang nyaman. Kedua kalinya ia merasakan pelukan seperti ini. Cuma sekarang berasal dari orang yang berbeda. Dan kondisi yang berbeda pula.Katara memejamkan matanya begitu Kamal mengeratkan pelukannya, bersamaan matahari mulai terbenam di ufuk barat, lembayung senja sudah menghias latar belakang mereka. Mencipta siluet tubuh keduanya yang bersatu. Senja akan menjadi saksi perasaan bisu mereka. Sementara lautan menjadi tempat utama keduanya jatuh cinta."Maaf." Description: Awal mulanya Kamal kabur dari rumah karena menghindari perjodohan yang disarankan oleh Kakeknya. Kamal mendarat di pulau Sumatera untuk menetap sampai ia bisa menemukan jodohnya yang diberikan Tuhan. Kamal bermuara pada salah satu warga di sana, di sebuah desa. Dipertemukan dengan cintanya, Tara. Gadis cantik berambut merah krimson dan mata belo. . Mereka saling jatuh cinta pada akhirnya setelah ragu pada perasaan masing-masing. penasaran gimana uwunya mereka? dibaca aja.
Title: Review Category: Review Text: Serendipity An Indonesian film was adapted from a novel by erisca febriani. Well, that certainly makes the novel a page-turner. It tells of a teenage girl named rani, who changed her life overnight after her father died. She was forced to be a maid of honor. Her boyfriend broke it off when he found out she was with another man. Gibran is the new student in rani's class, being the best friend who always helps rani. Rani cannot accept gibran's presence because her heart still exists. But there is one problem that makes both of them so complicated. Sincerity becomes the most valuable value for rani's journey. "Similarly, understanding love can't be black and white." Love gets complicated when it only speaks from a selfish side. review Erisca relates that the novel that made this film came from a very simple idea. It's about changing schools that often happen in real life. The idea of a story is simple, but somehow erisca wanted to send a message that in life there are so many miracles or surprises that can never be predicted. Including the shaking of something good happening in our lives. The novel is also expected to be the same as the movie. But, of course, everything changed. The conflict and storyline built in the novel must have a more unique value than dramatization. Although it is of a teen nature, it has a moral message. One factor is the denial of the bullying that still prevails in the midst of teen association.That's why these teen films are so interesting. Overalls in these adolescent movies are great. A little romanticism and a little more positive moral advice for her movie and novel viewers. The Power of Music I like pop music. I love pop because the melodious nature of his music endears many to me. My favorite singer was vain. I love the song she sings is chandelier. I love that song because I feel the opposite emotions from every part of the song. But the chandelier song wasn't too memorable for me. What makes you beautiful from one direction. This song has a good meaning to me. The meaning of this song we must show ourselves. It tells of a young man who admires a woman. The young man was shot at a woman's natural beauty without having to wear makeup. Being on her own was enough to win the young man over. Like a bright light illuminates his heart. A man who is trying to make his or her spouse believe that she is so beautiful that she doesn't have to bother looking for a way to 'look' differently. And the only way to do that is to give the couple a full love. Description: review about movie
Title: Roman La Vie en Rose Category: Cerita Pendek Text: Prologue Pernahkah kau sempat tidak memercayai sebuah kata mutiara gara-gara itu terdengar berlebihan? Namun ketika hal itu terjadi pada kehidupanmu, kau memujanya. Termasuk apa yang dikatakan Bunda Teresa tentang paradoks dalam kisah cinta umat manusia. Beliau berkata, “I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.” Daffo—adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak mengindahkan kata mutiara, tapi prasangkanya kemudian berubah ketika kata-kata tersebut mewujud di dalam kehidupannya. Ia tidak menyangka jika hal itu benar adanya sampai membuktikannya sendiri; bahwa ketika seseorang mencintai sesuatu atau seseorang yang lainnya sampai terluka, bukan rasa lebih terluka yang akan kau temukan, namun rasa cinta yang lebih besar. Lima tahun yang lalu, lelaki itu pernah menjadi seorang lelaki paling terluka di Palais Garnier ketika asmara dan impiannya harus kandas. Lagu kesukaannya, La Vie en Rose milik Edith Piaf yang seharusnya menjadi lagu paling romantis sedunia serta-merta berubah menjadi lagu patah hatinya sepanjang masa. Hingga suatu ketika ia ditemukan oleh seorang perempuan bernama Quilla. Quilla, si perempuan tidak romantis yang membuat diri Daffo kembali hidup. Quilla, si perempuan yang terlampau mencintai dirinya sendiri, begitu halnya Daffo terhadapnya. Mereka akhirnya terlibat kisah cinta; kisah cinta yang berbeda. Les Rêves et L'amour Hanya ada satu hal yang melekat di dalam kepala Daffo ketika auditorium Palais Garnier menghening, disusul dengan padamnya lampu-lampu kristal grand chandelier di tengah langit-langit. Lampu sorot dari balkon teratas membuat tubuhnya diselimuti cahaya. Sementara itu dari sisi pentas, para musisi orkestra menatap fokus deretan notasi alat musiknya masing-masing. Tiupan pertama saksofon terdengar merdu lantas membuatnya memejamkan mata; dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk kembali hidup. Lelaki itu menarik napas panjang, melepas segala gelisah yang menjadi surai kusut di batinnya. Beberapa not setelah tangan sang konduktor bergerak dan serentak membuat musik bergaung, mantra-mantra roman La Vie en Rose terdengar mengalun merdu dari bibirnya. 'Des yeux qui font baisser les miens. Un rire qui se perd sur sa bouche. Voilà le portrait sans retouche. De l'homme auquel j'appartiens. ... Quand il me prend dans ses bras. Il me parle tout bas. Je vois la vie en rose. Il me dit des mots d'amour' Edith Piaf seolah merasuk ke dalam tubuhnya, berpadu dengan komposisi baru dari alunan orkestra yang lebih landai dan lambat temponya. Sekalipun ini adalah gladi resik sebelum mereka benar-benar pentas di depan banyak mata, Daffo mengerahkan segala kemampuannya. 'Des mots de tous les jours. Et ça me fait quelque chose. Il est entré dans mon cœur Une part de Bonheur.' Ketika berbalik badan untuk mengganti nada, tiba-tiba saja adrenalin membuat dadanya bergemuruh. Bagian larik yang akan dinyanyikannya menyimpan emosi yang berbeda. Daffo mencoba meredakan perasaan itu dengan melirik deretan kursi berwarna marun di auditorium, menyapu deretan lain di balkon lantas membayangkan kursi-kursi itu penuh dengan para penonton yang tengah menatapnya dengan takjub. Di antara deretan itu, akan ada mata-mata perempuan yang dulu menyepahnya seperti barang sisa, yang setelah pentas pasti menyerbunya ke Grand Foyer untuk meminta kesempatan kedua. Daffo berjanji itu akan terjadi. Sebab lelaki itu sudah memenangkan pertarungannya dengan mimpi dan cinta. Dia sudah mendapatkan segalanya, segala apa yang tak mudah diraihnya ketika menjadi musisi tanpa rumah. Le Musiciens du Louvre memberinya ruang untuk terbangun, menumbuhkan sayap dan terbang. 'Dont je connais la cause. C'est lui pour moi, moi pour lui dans la vie. Il me l'a dit, l'a juré pour la vie.' Di antara nada-nada tinggi yang dijangkaunya dengan baik, ingatan-ingatan di sepanjang jalan L’Opera menembus bilik-bilik memorinya, memecah konsentrasi yang dijaganya dengan erat. Nadanya melenceng satu, konduktor meliriknya sekilas dengan alis bertaut. Sekuat tenaga ia berusaha kembali untuk terdengar sempurna, tetapi ingatan-ingatan itu malah memberondonginya dengan semakin jelas, seakan enggan membiarkannya membentangkan sayap semakin lebar. Adrenalinnya mulai mengubah nada-nadanya mendekati sumbang. Menuju bagian coda, bukannya berkonsentrasi untuk menyanyikan bagian akhir lagu tapi ia malah semakin terkekang oleh diorama L’Opera di dalam kepalanya. L’Opera yang remang, dalam jarak dua ratus meter di depannya, Palais Garnier menjulang bak istana dalam fantasi putri-putri Disney. Dia sedang merutuk ketika itu, mantan kekasihnya mengejek suara merdu dan impiannya untuk berdiri di pentas Palais Garnier. Ini bukan kali pertama. “Apa yang bisa kumakan dari seorang penyanyi gagal sepertimu? Suara yang merdu?” “Impianmu cuma sampah!” Mata Daffo kini terpejam. Suara gesekan biola dan cello, gaung horn, pekik klarinet dan merdu piano menjadi selimut yang membatasinya dari ingatan-ingatan buruk itu. Dalam temaram kelopak matanya sendiri, dia menemukan Quilla tengah menatapnya dengan intim. Daffo tidak akan pernah membiarkan kenangan buruk itu kembali menyentuhnya dalam dunia nyata, terlebih menyentuh identitas baru yang masuk dalam kehidupannya dengan begitu intens. 'Et dès que je l'aperçois. Alors je sens en moi Mon cœur qui bat.' Perempuan itu hadir dan mengubah kehidupannya. Roman La Vie En Rose, pertunjukkan ini; untuk Quilla. *** D'aimer et D'être Aimé Pertama kali memasuki bangunan megah bergaya arsitektur kontemporer karya Charles Garnier yang disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece of theatre architecture abad ke-19 itu, Quilla disuguhi logo besar L’Opera Restaurant. Sejak lima tahun yang lalu, perempuan itu sering datang ke restoran yang terletak di lantai bawah gedung teater Palais Garnier untuk memanjakan dirinya dengan wine dan steak favorit. Setidaknya, ia rutin mengunjungi restoran megah yang terletak di depan Paris Apple Store Opera ini satu atau dua kali dalam seminggu. “Bienvenue!1” Gaun merah yang membentuk tubuhnya dengan sempurna ditambah aksen lilitan membuatnya terlihat menawan, dipadu dengan stiletto heels model d’Orsay yang membuatnya terlihat lebih sexy, serta syal merah chiffon yang tidak pernah lupa ia sematkan di lehernya yang jenjang. Syal keramat itu, syal pemberian dari seorang lelaki yang sangat mengaguminya. Lelaki yang ia temukan pertama kali dalam keadaan putus asa di avenue de l’Opera, tepat di depan pusat perbelanjaan Galeries Lafayette. Lelaki yang memuja kecantikan dan keindahan dirinya. Lelaki yang berjanji membuat pertunjukan terbesar bertajuk Roman La Vie En Rose hanya untuknya. Hadiah istimewa yang tidak pernah ditawarkan lelaki manapun. Hanya Daffo. “Tu es la plus belle fille que j'ai jamais vue,2” kalimat itulah yang pertama kali diucapkan oleh si lelaki putus asa yang sedang patah hati ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Pandangan mata Quilla beralih pada lalu lalang orang-orang yang sedang menikmati suasana malam kawasan L’Opera dari jendela besar, jendela itu menghubungkan dirinya dengan dunia di luar gedung Palais Garnier. Sepintas, ia melihat berpasang-pasang mata sesekali mengawasinya dengan kerutan di dahi. Quilla tak pernah peduli. Menikmati makan malam di restoran mewah sendirian mungkin terlihat aneh bagi orang lain. Namun tidak bagi Quilla, ia sangat menikmati kesendiriannya. Baginya, waktu terbaik adalah ketika ia menikmati steak dan wine kesukaannya tanpa diganggu siapa pun. Sembari memanjakan matanya dengan pemandangan jalanan L’Opera yang tampak dari jendela-jendela raksasa Palais Garnier. Tu me manques.3 Pesan yang terbaca di layar smartphone-nya membuat ia tersenyum. Siapa lagi, tentu saja lelaki itu pengirimnya. Ia meletakkan lagi gawai tersebut tanpa berniat menjawab pesan yang masuk. “Un… deux… trois….4” Quilla mulai menghitung sembari mengamati pulasan cat kukunya yang berwarna merah. Tepat seperti dugaannya, pada hitungan ketiga sebuah pesan kembali muncul di layar gawainya. Je t’aime.5 Selama lima tahun ini, lelaki itu tidak pernah berubah. Quilla tersenyum setelah menyesap wine yang tersaji di dalam wasserglass untuk menghangatkan tubuhnya. Menjadi perempuan ternyata bukanlah hal yang buruk, terlebih perempuan cantik dengan tubuh yang indah seperti miliknya. Kenyataannya para lelaki sangat menyukainya dan tergila-gila padanya. Tidak aneh jika mereka mengagumi dirinya, toh Quilla sendiri—pemiliknya—sangat mengagumi keindahan dirinya sendiri. Quilla mengeluarkan cermin kecil dari clutch-nya. Mematut-matutkan wajah dengan pulasan make up sempurna yang ia buat sendiri, hanya warna lipstik yang sedikit melebar di ujung bibirnya. Bulu mata lentiknya, menjadi bagian yang paling ia suka dari wajahnya sendiri. “Je t’offre un verre?6” Seorang lelaki asing mendekatinya, lelaki itu bukanlah lelaki pertama yang datang untuk menggodanya. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi semacam ini sebelumnya. “Laissez-moi tranquille!7” Kenapa lelaki menjadi bebal dan dungu ketika menginginkan seorang perempuan yang menarik perhatiannya, ia bahkan tidak menggubris jawaban Quilla. “Tu viens souvent ici?8” Quilla hanya menanggapi pertanyaan itu dengan senyuman sinis. Terkadang lelaki seperti ini membuatnya muak. Laki-laki yang menggoda perempuan yang sedang sendirian. Entah mereka tahu atau berpura tidak tahu, perempuan yang sedang sendirian tidak selamanya kesepian. Namun, hal itu selalu dijadikan kesempatan bagi si lelaki untuk mengganggunya. Perempuan itu kembali menuangkan wine dalam wasserglass tanpa memedulikan keberadaan laki-laki yang sedang berusaha berbicara dengannya. Sementara lagu La Vie en Rose milik Edith Piaf masih menggema seakan memenuhi langit-langit L’Opera Restaurant, memaksanya menghadirkan bayangan seorang lelaki yang menyukai lagu itu, Daffo. Duh, Quilla jadi merindukannya. Epilogue Daffo menggigil. Banyak staf berkata bahwa para pengunjung sudah mulai memenuhi auditorium, bahkan tempat duduk di sepanjang balkon sudah penuh terisi. Beberapa media televisi sudah mulai memberikan liputan langsung dari dalam maupun luar gedung pertunjukkan. Padahal acara akan benar-benar berlangsung lebih dari satu jam lagi. Daffo gelisah. Tampil di pentas Palais Garnier bukan hanya tentang mimpinya yang terwujud atau ajang pembuktian diri bahwa dia melebihi apa yang diekspektasikan oleh banyak orang. Ini adalah kali pertama baginya bernyanyi di hadapan tak kurang dari 2000 pasang mata. Ia tak ingin acaranya gagal gara-gara adrenalin atau ingatan buruk yang datang meski tak diundang. “Itu Melissa, yang menolakmu mentah-mentah karena kau seniman jalanan.” ... “Oh astaga! Itu pacar pertamamu, Cybile! Dia masih sendiri?” ... “Bukankah itu Kate, yang memutuskanmu di depan Galeries Lafayette. Dia yang tadinya mau kau lamar setelah pertunjukkan ini, kan?” ... Tut! Daffo mematikan sambungan telepon dan menyimpan smartphone-nya di atas meja rias karena jengah dengan laporan terbaru dari sahabat lamanya di depan gedung Palais Garnier. Matanya kemudian membulat, memerhatikan pulasan make up yang baru memenuhi separuh wajahnya di depan cermin seraya menenangkan buncahan adrenalin yang membuat dadanya bergemuruh. Belum ada kabar dari Quilla, satu-satunya perempuan yang membuatnya kembali hidup di tengah rasa terpuruk karena kisah cinta dan mimpinya yang gagal terwujud, lima tahun lalu. Satu-satunya perempuan yang juga mampu mengatasi kekhawatiran, ketakutan dan rasa kesepiannya. “Quilla.” Perempuan itu juga kartu As untuk membunuh perempuan-perempuan yang telah mencampakkannya. Dia akan memamerkannya di Grand Foyer ketika opera diselingi istirahat sejenak atau di semacam acara meet and greet saat para penggemarnya meminta tanda tangan. Jadi mereka benar-benar yakin, Daffo sudah berhasil meraih apa yang dulu dikejarnya dengan susah payah; mimpi dan cinta. Namun, apakah itu mungkin? Daffo mulai memulas separuh wajahnya yang lain. “Kau menungguku, Daffo?” Lelaki itu tersenyum semringah sebab yang ditunggu sudah tiba. Ia berharap ada tangan yang tersampir di bahunya atau pertanyaan Quilla diucapkan serupa bisikan tepat di depan telinga hingga bulu kuduknya meremang, tetapi Daffo tahu perempuan itu tidak pernah mau romantis. “Aku sudah lama menunggumu. Kau membuatku khawatir, Quilla.” “Oh, maafkan aku.” Quilla menampakkan wajah pura-pura menyesalnya, tetapi justru itu yang membuatnya semakin terlihat manja. “Maafkan aku.” “Pas de problème.1” “Pertunjukkanmu akan menarik, jangan khawatir!” Quilla mencoba untuk menenangkan dada Daffo yang bergemuruh hebat. “Kita hadapi pentas dan perempuan-perempuan yang sudah mencampakkanmu bersama-sama.” “Merci bien2, Quilla. Je t’aime!3” “Je t’aime!” Sekarang pulasan make up di wajah Daffo sudah benar-benar sempurna. Quilla melihatnya lewat cermin dengan puas. Mereka saling bertukar senyum. Begitu juga dengan Daffo yang balik memandangnya lama-lama seolah tak ingin terpisah lagi. Sebab hanya di pentaslah mereka mampu bersama. “Daffo, prépare toi!4” Seorang staf muncul dari balik pintu dengan handy talky di tangan. “Tous attendaient.5” “Ah, oui!6” Daffo bangkit dari duduknya lalu memantas-mantaskan diri di depan cermin. Quilla memperbaiki coretan lipstik yang sedikit melebar di ujung bibirnya, sementara bulu matanya yang lentik alami adalah bagian yang paling ia suka dari riasan wajahnya. Quilla menatap pantulan dirinya sendiri yang tampak begitu cantik hingga membuat dirinya dan Daffo mencintainya melebihi siapa pun. Daffo melangkahkan kakinya ke pintu yang tersibak terlebih dahulu oleh si staf. Sementara setiap langkah yang ia ambil semakin membuat dirinya merasa khawatir. Tak kurang dari 2000 pasang mata akan menontonnya, termasuk mereka yang dulu mencampakkannya. Dadanya kembali bergemuruh. “Quilla?” panggilnya dengan cemas. Tak ada jawaban dari perempuan itu. “Quilla?” Daffo—sebelum keluar dari ruangannya—mematung kembali di depan cermin yang memantulkan seluruh lekuk tubuhnya dalam balutan busana separuh tuksedo. Quilla tak pernah pergi, Quilla ada di separuh tubuhnya yang lain, begitu anggun dengan separuh gaun burgundy selutut tanpa tali. “Je suis Castrato!7” *** Description: “I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.” —Mother Teresa Ini cerita tentang Daffo yang patah hati dan terpuruk. Ini cerita tentang Quilla yang hidup dan kembali menghidupkan Daffo. Ini cerita tentang kisah cinta mereka yang bahagia. Namun jangan terkecoh, sebab kisah cinta yang bahagia kadang hanya sebuah paradoks. ---
Title: Rainbow Orchid The Third Twilight Orb Category: Fantasi Text: Prolog Hujan deras semalam masih menyisakan tanda tanya. Tiba-tiba saja, saat langit penuh bintang dan bulan bersinar terang, tanpa ada angin yang menerbangkan awan gelap hingga saling berkaitan, hujan turun dengan sangat deras, langit langsung gelap gulita, seolah bulan dan bintang-bintang yang memenuhi langit meledak menjadi milyaran butiran air. Namun, tidak bagi beberapa orang di Land Of Dawn. Mereka tahu kalau alam selalu memberi tanda pada semua makhluk tentang apa yang akan terjadi, terlebih jika bencana besar ada di depan mata. Semua dari mereka mulai bergerak, menyambut hujan semalam bahkan ketika hujan itu belum reda. Ada ramalan dari sebuah perkamen kuno ribuan tahun silam, dan hujan seperti tadi malam adalah tanda pertama ramalan itu akan terjadi. “Ini saatnya,”ucap seorang berbadan gemuk, dengan tongkat bambu yang tidak pernah lepas dari tangannya. Di bahu kanannya ada seekor katak berwarna hijau yang terus saja tak terhenti bersuara, menyahut kawannya yang lain. Katak mana yang tak bahagia dan bernyanyi riang bersahutan setelah hujan turun? Tapi, suara katak-katak itu menyiratkan sesuatu yang lain. Si Tongkat Bambu mendesah tertahan. Para katak itu menyanyikan lagu kesedihan, bencana besar menanti di depan mata. Orang itu lalu menulis sepucuk surat, melilitkannya pada tubuh seekor kodok seukuran dua kepal tangan orang dewasa. “Sahabat, segera sampaikan padanya, waktu kita tidak banyak,” kata si tongkat bambu pada kodok yang sekujur tubuhnya dipenuhi kutil itu. Kodok itu langsung melompat ke udara. Lompatannya luar biasa tinggi, sekali lompat dia bisa mencapati tiga puluh kaki. Si tongkat bambu nampaknya kesal dengan pamer kebolehan dari si kodok. “TIdak usah berlama-lama, cepat gunakan lebur cahaya saja,” kata si tongkat bambu. Wajah si kodok sedikit menyeringai dan lompatan berikutnya, tubuhnya berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan dan kemudian lenyap. Si tongkat bambu menarik nafas lega. Kodok itu adalah sahabatnya sejak kecil. Sebetulnya, bisa saja dia menyampaikan pesan tadi sendiri, tapi ada banyak hal yang harus dia siapkan, dan dia harus menyimpan energinya. Apa yang akan dia hadapi selanjutnya, pasti akan menguras kekuatannya. Dia harus menyimpan setiap energi yang dia punya. Semoga setelah pesan itu sampai, semua sudah benar-benar siap. Seperti yang dia katakan pada si kodok kalau waktu mereka tidak banyak. Ada rasa sesal di hatinya, seharusnya dia segera mengirim pesan ketika tanda pertama –hujan deras itu terjadi. Tapi, dia menunggu tanda berikutnya ketika fajar mulai datang di ufuk timur, seperti dalam perkamen yang dia baca seratus tahun lalu. Kala sahabat Bimasakti datang ke Land Of Dawn mendekati masanya, akan banyak tanda yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Di hari itu, langit dengan bulan sempurna dan bintang-bintang berkilauan, seketika akan datang derasnya air, dan ketika mentari datang segerombolan burung bersama-sama terbang, menyerahkan diri pada terkaman mulut raksasa bergigi runcing. Isi perkamen itu terus diingatnya sejak hujan tadi malam. Dan, tadi pagi, ketika mentari mulai datang, segerombolan burung bangau, elang, dara, merpati, pipit, dan berbagai jenis lain yang jumlahnya sangat banyak, memang benar terbang ke selatan. Seratus tahun Si Tongkat Bambu berusaha memecahkan misteri mulut raksasa bergigi runcing. Baru ketika melihat burung-burung itu terbang ke arah selatan, semua misteri akhirnya terjawab. Ratu Kejahatan pasti akan bergerak lebih dulu. Tidak ada waktu, dia membawa sebilah pedang besar dan dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, Si Tongkat Bambu berlari ke arah selatan. Satu-satunya mulut raksasa bergigi runcing, adalah goa stalaktit dan stalakmit di ujung Pulau Darah. Di sana dia harus mengambil sebuah materai suci milik Dewa Terkuat di Land Of Dawn, Sang Penguasa 7 Samudera. Selama seratus tahun, dia menjadi penjaga suci dari pedang besar yang dibawanya sekarang, juga rahasia besar, di mana materasi suci itu berada. Konon, si pemegang pedang dan materai itu dapat membuat Tiga Raja dari Timur akan menuruti segala perintah si pemegang materai suci. Di antara semua penjaga, bahkan gurunya sendiri, hanya si tongkat bambu yang sedekat ini dengan rahasia salah satu kekuatan paling besar di Land Of Dawn. Si tongkat bambu teringat akan perkataan gurunya dulu, tentang takdir sebagai penjaga pedang dewa dan materai suci. Pedang itu harus selalu dia bawa di dalam perutnya, sedangkan materai suci itu, yang tempatnya baru akan terbuka ketika segerombolan burung-burung tepat di depan pintu masuknya. “Semoga saja takdir kebenaran yang akan menang, kalau kegelapan berhasil mendahului dan menang, hidup semua penghuni jagad raya akan hancur. Pedang Dewa dan materai suci dan bantuan Tiga Raja terkuat sekalipun, tidak akan mampu menandingi kekuatan inti sari bintang itu. Bintang itu akan semakin kuat karena berada di Galaksi Bimasakti, kekuatannya menyerap kekuatan alam yang tanpa batas,” harap Si Tongkat bambu sambil terus berlari menuju Pulau Darah. *** Si Tongkat bambu masih berusia 15 tahun, saat gurunya menceritakan tentang takdir yang harus dia lalui sebagai penjaga pedang dan materai suci. Di antara waktu 5000-10000 tahun sekali, akan ada bintang di galaksi Andromeda yang meledak. Setiap pecahannya akan tersebar ke seluruh jagad raya dan memberikan kekuatan alam pada setiap keturunan murni Land Of Dawn. Semua keturunan murni, akan merasakan kehadiran bintang itu. Masalahnya, tidak semua keturunan murni Land Of Dawn, berhati baik. Malah lebih banyak yang terseret dalam dunia kegelapan. Inti bintang itu sendiri akan terlempar ke poros Land Of Dawn, tepat di garis khatulistiwa. Tempat itu disebut sebagai Atlansea, dijaga oleh tiga raja, Penguasa Laut, Penguasa Udara dan Penguasa Daratan. Tugas Si Tongkat Bambu sebagai penjaga adalah memastikan inti bintang itu sampai ke pemilik sesungguhnya. Hanya akan ada dua orang yang bisa menyerap semua kekuatan inti bintang itu. Perkamen kuno Land of Dawn menyebutnya, Dua Sisi Galaksi, si jahat atau si baik. Keduanya, sama-sama memiliki tanda di tubuhnya, berupa tujuh titik hitam di bawah pusarnya. Kalau si jahat yang berhasil, dia akan menjadi pengikut setia kegelapan, kegelapan yang paling gelap juga akan bangkit, sebaliknya jika si baik yang mewarisi inti bintang itu, kedamaian akan meliputi jagad raya, seluruh kekuatan jahat paling kuat dan ilmu-ilmu hitam akan tersegel selama 1000 tahun. Pun begitu, jika bukan satu di antara Dua Sisi Galaksi, siapapun yang mendapatkan inti bintang itu, sekalipun tidak menyerap semua kekuatannya, tetap akan menjadi yang tak terkalahkan. Konon, tangan kanan penguasa neraka, Uranus dan pasukannya sudah berada dekat dengan Atlansea sejak beratus tahun silam, menunggu inti bintang itu lahir sebagai Orb. Beruntung tidak ada satu pun orang yang tahu, letak pasti kelahiran bintang itu dan dalam bentuk apa. Kecepatan lontaran inti bintang itu setelah lapisan luarnya meledak akan berjuta kali lipat lebih cepat dari kecepatan cahaya. Tidak ada tanda, tidak ada petunjuk, tidak ada pancaran cahaya, getaran suara, bekas ledakan atau apapun yang dapat memberi petunjuk. Selain perasaan dari Dua Sisi Galaksi yang dapat merasakan di mana Orb itu berada, pedang besar yang dibawa Si Tongkat Bambu akan mampu memberi petunjuk di mana inti bintang itu berada. Mendengar semua cerita itu, jiwa remaja Si Tongkat Bambu bergejolak, sangat ketakutan. Hatinya juga sempat ragu, apakah dia mampu mengemban tugas sebagai seorang penjaga Orb paling sakti sejagad raya? Mengapa tidak langsung saja si baik yang ditakdirkan mencari Orb itu, dan menyelesaikan semuanya? Ada seorang penjaga lagi, yang seharusnya menjadi teman Si Tongkat bambu saat menjalankan tugas sebagai penjaga, tapi penjaga yang satu itu tidak pernah muncul. Sesuai perjanjian kedua guru mereka antara Si Tongkat Bambu harus menemui orang itu pada purnama ke-24 setelah Gerhana Bulan Darah. Sampai waktu yang ditentukan, Si Tongkat Bambu menunggu selama tujuh hari tujuh malam di tempat itu, tidak ada seorangpun yang datang. Dia sampai menahan kantuk dan tidur. Ketika itu, sudah delapan tahun sejak Si Tongkat Bambu mengetahui kenyataan bahwa takdirnya adalah sebagai penjaga. Dia semakin ketakutan, tugas yang seharusnya diemban berdua, kini harus dipikulnya sendiri. Karena semakin cemas dan takut dalam penantian selama seratus tahun, Si Tongkat Bambu memutuskan menyiapkan penjaga-penjaga lain untuk membantunya. “Semoga saja, kekuatan mereka bisa membantu untuk menemukan dan mengamankan orb itu. Jika saatnya tiba pasti akan banyak pemuja kejahatan yang menuju ke titik pusat khatulistiwa. Aku hanya bisa berharap, bahwa Si Baik akan datang tepat pada waktunya,” bisik Si Tongkat Bambu lirih setelah dia berhasil mengumpulkan lima orang ksatria yang dia sebut sebagai Penjaga Misteri. Kepada merekalah, Si Tongkat Bambu mengirimkan kodok pembawa pesan, bahwa saatnya telah tiba. Namun, ada satu rahasia yang tidak diketahui oleh Si Tongkat Bambu, rahasia yang membuat penjaga kedua tidak pernah datang saat Si Tongkat Bambu menunggunya. Semua rahasia memang dipecah-pecah dalam beberapa perkamen kuno, agar Lord Of Abyss –Penguasa Neraka dan seluruh unsur kegelapan di alam semesta, tidak mengetahui bagaimana cara mendapatkan lokasi Third Twilight Orb, bintang tercerah di Galaksi Andromeda. Kaki Langit Sun terus melempar tongkat saktinya ke udara, melompat dari pohon ke pohon dengan kecepatan tinggi. Ilmu meringankan tubuhnya luar biasa. “Semoga saja aku tidak terlambat dan si gemuk itu tidak bertindak bodoh.” Ya, Sun –seekor kera yang lahir dari sebuah batu meteor. Kekuatan alam semesta mengalir dalam tubuhnya. Bahkan sebelum dilahirkan ke Land Of Dawn, Sun sudah terpilih menjadi penjaga seperti Si Tongkat Bambu. Seratus tahun lalu, ketika mereka seharusnya bertemu, Sun pergi ke laut timur, mencabut satu di antara empat kaki langit. Dia menggantinya dengan tiang batu berukuran seperti pensil raksasa. Batu itu dia bawa dari Atlansea. Konon, batu itu adalah kembaran batu yang selalu dibawa oleh Grock, titisan Dewa Atlas. Tongkat yang sejak tadi dilemparkan oleh Sun itulah Kaki Langit sebelah timur. Dalam bagian perkamen kuno yang dimiliki gurunya tertulis: KAKI LANGIT, SAHABAT MATAHARI TERBIT, ADALAH SAHABAT TAK TERPISAHKAN SUMBER KEABADIAN Semua mengira Sun mencuri tongkat itu karena keusilan dan kenakalannya. Rahasia itu disimpan Sun rapat-rapat, dan dia tidak menemui Si Tongkat Bambu sampai waktunya benar-benar tiba, agar tidak ada satupun di jagad raya yang mengetahui rahasia itu. “Aku merindukanmu sobat lama, kita akan bersama lagi, seperti janji kita dulu,” Sun kembali berbicara dalam hatinya. Teringat bayangan masa silam, Sun yang menemukan Si Tongkat Bambu ketika dia lahir dari sebuah batu yang berbentuk seperti telur. Batu itu tiba-tiba saja keluar dari dalam sungai di Land Of Dawn, dan langsung retak ketika permukaannya menyentuh tanah. Sun, kegirangan ketika dia menemukan bayi. “Aku dapat bayi. Aku dapat bayi,” teriaknya pada para penghuni hutan terlarang –tempat dia dibesarkan oleh sepasang kera raksasa, Han dan Hin. Bayi yang ditemukan Sun itu mirip dengan anak panda. Sun menamainya, Akai. Untuk pertama kalinya, Sun merasa tidak sendirian. Meski ditemani para penghuni hutan terlarang, Sun tetap saja selalu merasa aneh bahwa dirinya lahir dari sebuah batu meteor. Setelah, Akai lahir, Sun senang, tidak cuman dia yang lahir dari sebuah batu. Sun berumur 10 tahun dan Si Tongkat Bambu masih berumur empat tahun, ketika di tepi danau, mereka berjanji akan terus bersama selamanya. Mereka akan menjaga hutan dan semua isinya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. “Demi hutan,” kata Akai. “Kita akan menjaga hutan ini bersama, jika perlu kita akan menjaga dunia,” balas Sun dengan lantang. “Menjaga dunia? Asyik-asyik, aku Sang Penjaga Dunia,” teriak Akai sambil melompat-lompat dengan tubuhnya yang gemuk. “Itu memang alasan mengapa kalian dilahirkan,” entah datang dari mana, dua orang kakek berjanggut putih panjang hingga menyentuh tanah, tiba-tiba menangkap mereka dalam sekejap, membawa mereka ke arah yang berbeda. Satu membawa Sun ke arah utara, dan satu lagi membawa Akai ke sebelah barat, kakek ini yang tadi menyahuti teriakan Akai. Sun dan Akai yang memiliki kekuatan alam semesta, memiliki ketajaman indera sepuluh kali lipat dari orang biasa, tapi bahkan mereka tidak mendengar derap langkah dua orang itu. Ini berarti keduanya memilik ilmu meringankan tubuh yang bukan olah-olah. Sun masih sempat melihat orang yang membawa sahabatnya, selain janggut putih yang panjang menyentuh tanah, kedua tangannya dipenuhi sisik berwarna hijau, wajah orang itu juga mirip seekor katak dengan guratan panjang di pipi sebelah kirinya. Sebilah tongkat bambu berada di punggunggnya. Di ujung tongkat itu ada seekor katak berwarna hijau. Sun mencoba menggerakan tubuhnya, berusaha melepaskan diri, tapi gagal. Dia juga tidak bisa bersiul memberi tanda pada para sahabatnya, penghuni hutan, juga pada Han dan Hin. Kakek berjanggut putih yang menangkap Sun, memiliki bahu dan lengan yang kokoh dan berotot. Tidak tampak kerentaan dari otot-otot di tubuhnya. “Aku tahu kau punya kekuatan luar biasa, tapi kau belum dapat mengeluarkannya dengan benar. Tidak usah melawan, tidak ada gunanya. Jalan darahmu sudah kutotok. Kau akan baik-baik saja. Dua pengasuhmu, Kera Han dan Hin juga sudah kuberitahu, apalagi temanmu si gendut itu juga aman bersama Raja Katak, saudaraku.” Jika tidak dalam keadaan ditotok Sun pasti sudah tertawa terbahak-bahak mendengar itu. Pantas saja kakek yang membawa Akai itu, mirip seekor katak. Dia rupanya Raja Katak. Sekali lagi Sun mencoba mengalirkan kekuatan ke tangan kirinya yang terjuntai bebas, kalau berhasil dia akan bisa memukul kepala kakek yang membawanya sekarang. ”Bagus, secara alami kau belajar mengalirkan kekuatan ke anggota tubuhmu. Aku Raja Elang akan mengajarimu agar kau lebih hebat dari sekarang. Sekali lagi, dengan si gemuk itu, kau akan bertemu dengannya 18 tahun lagi. Kalian berdua akan menjadi penjaga keselamatan dunia,” jelas kakek yang menggendong Sun. Sun meneteskan air mata mengingat semua itu, seharusnya penantian selama 18 tahun sudah terbayar seratus tahun silam, tapi demi keselamatan dunia Sun memilih mengorbankan kerinduan pada sahabat yang sangat disayanginya itu. Dia harus menanti hingga inti Bintang Andromeda meledak. Sun dan Akai memang adalah generasi Nazar Guardian yang paling dekat dengan waktu bintang itu terlahir kembali ke Land Of Dawn. Bahkan kelahiran mereka berdua, dari batu meteor adalah satu di antara banyak pertanda dalam perkamen-perkamen kuno. Akai dan Sun mengorbankan kerinduan, demi tugas yang diembannya, Akai memilih untuk tidak mencari keberadaan Sun, dia hanya fokus pada tugas membawa Orb ke tangan orang yang tepat. Padahal kedua sahabat itu, saling merindukan. Sayangnya, tanpa potongan rahasia yang hanya diketahui oleh Sun, Akai akan berada dalam bahaya setelah menemukan satu di antara lima Twilight Orb itu. Tiga Raja Ratu Kadita duduk termenung di atas kereta kencana yang melaju kencang ke arah utara. Kereta Kencana yang dinaiki Kaditha melaju di atas air. Kaki kuda penariknya, berputar dengan kecepatan yang sangat tinggi, menimbulkan riak ombak berbuih-buih. Jika manusia biasa melihat itu, sungguh aneh tujuh ekor kuda besar dan tegap berlari cepat di atas air. Tapi, mereka bukan kuda biasa, semuanya terlahir dari kekuatan samudera milik penguasa samudera selatan, Ratu Kadita. “Lebih cepat lagi Lapu-Lapu,” perintah Kaditha. “Baik Ratu,” jawab Lapu-Lapu, senopati yang juga menjadi juru masak Kerajaan Laut Selatan itu menepuk punggung kuda agar berlari lebih cepat. Ratu Kadita, sering meminta Lapu-Lapu untuk menjadi kusir kereta kencana miliknya, saat dia tidak ingin ada satu orang pun pengawal kerajaan yang ikut. Sekalipun memiliki kesaktian samudera selatan yang luar biasa, Ratu Kadita merasa jauh lebih aman berpergian dengan Lapu-Lapu. Selain karena kemampuannya yang hebat mengendarai kereta, Senopati ini bisa dipercaya dari siapapun di kerajaan. Rahasia apapun tidak akan terbongkar, seperti ketika Kaditha diam-diam mencintai Martiz, ksatria dari klan Ashura. Kaditha menjalin hubungan dengan diam-diam, sebab ada perselisihan antara ayah Martis –pemimpin Klan Ashura, dengan ibunda Kadhita. Lapu-Lapu yang dengan patuh dan setia membantu ratunya itu, mempertemukan kedua sejoli itu diam-diam, dan menjaga rahasianya rapat-rapat. “Maaf Ratu, hamba melihat ada awan hitam di sebelah barat laut, sepertinya menuju ke Kerajaan Angin Utara,” kata Lapu-Lapu khawatir. Ratu Kadita menghela nafas, ada deru tertahan, sebagai pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya, dia tahu bencana besar akan terjadi di Atlansea. “Itu pasti Vexana, kita harus lebih cepat. Kedamaian negeri ini akan bergantung dengan kedatangan para ksatria penjaga, sesuai ramalan kepala suku di Pangandaran. Tapi, saudaraku Gatot Kaca tidak percaya itu semua. Dia terlalu tinggi hati setelah menguasai kekuatan Brajamusti,” kata Ratu Kadita, wajahnya terlihat semakin cemas. Vexana, Sang Ratu Kegelapan, kedatangannya pasti membuat Faramis, Sang Dewa Altar Kematian mengikutinya diam-diam. Sudah bukan rahasia lagi di Land Of Dawn jika Faramis ingin membalas dendam pada Vexana. Selama ini satu hal yang membuat Faramis gagal adalah Vexana yang sangat kuat ketika berada dalam istananya. Konon, jika meninggalkan istana, kekuatan Vexana akan melemah. Apa jadinya jika penguasa kegelapan dan kematian berada di tanah Atlansea yang penuh dengan kehidupan? Dengan dendam kesumat dari Faramis, kedua kekuatan jahat itu bisa jadi akan bertarung di tanah Atlansea. Seluruh rakyat di Altansea sungguh berada dalam bahaya besar. “Tenang saja Ratu, kalau hanya melawan orang-orang itu, kekuatan tujuh samudera milik Ratu, Brajamusti milik Prabu Gatot Kaca, dan Ajian Bumi Kencana milik Raden Minsithar, tidak akan terkalahkan,” seru Lapu-Lapu dengan sejuta keyakinan. “Kau benar, kami bertiga pasti bisa melawan para begundal itu, tapi yang aku khawatirkan adalah semua rakyat di Atlansea. Kegelapan yang datang itu bisa membawa kematian dan bencana paling dahsyat,” jelas Ratu Kadita. Lapu-Lapu hanya terdiam, dia tahu junjungannya benar. Mereka harus segera sampai di Kerajaan Angin Utara dan meyakinkan Prabu Gatot Kaca. Lapu-Lapu menuju ke belakang kereta, mencabut kedua pedangnya dan mengaitkan pada dua kakinya. Lapu-Lapu memasukkan kedua kakinya ke air, dia berpegangan pada sisi belakang kereta. Hampir tidak terlihat, kedua pedang berputar dengan kecepatan sangat tinggi., menimbulkan daya dorong yang luar biasa pada kereta. Ratu Kadita tersenyum melihat itu, sebenarnya dengan kekuatan samudera miliknya, dia bisa saja membuat kereta kencananya berjalan lebih cepat. Tapi, itu pasti akan menarik perhatian penghuni laut. Sang Ratu, dengan kesaktian luar biasa itu, hanya akan menggunakan kekuatan dalam pertarungan atau di saat-saat yang paling kritis. Dia lebih suka, membuat para pengawal dan orang-orang kepercayaannya, belajar dan berlatih dengan hal sederhana seperti apa yang dilakukan Lapu-Lapu sekarang. *** Kerajaan Angin Utara, terletak dekat dengan pusat garis Khatulistiwa. Di sana adalah surga bagi semua makhluk hidup, setiap jengkal tanah di kerajaan itu sangat subur. Apa saja yang ditanam pasti akan tumbuh dengan baik. Belum lagi, Prabu Gatot Kaca, raja Kerajaan Angin Utara sangat pandai mengatur kesejahteraan kerajaan dan seluruh rakyat. Semua kesenangan itu dapat menutupi sifat sang raja yang kadang tidak sabaran dan tinggi hati, sejak menguasai ilmu Brajamusti, kesaktian legendaris di tanah Atlansea. Tapi, rakyat tidak peduli dengan itu semua, yang terpenting semua hidup sejahtera, perut tidak kelaparan, tidur nyenyak di setiap malam, buat apa lagi mereka ikut campur dengan urusan para pemimpinnya? Prabu Gatot Kaca adalah saudara dari Ratu Kadita dan Raden Minsithar. Ketiganya saudara seibu, yakni Dewi Armora, penguasa Atlansea –tempat para dewa, manusia dan raksasa hidup berdampingan. Dewi Armora adalah raksasa perempuan yang paling cantik sejagad raya, kecantikannya bahkan mengalahkan kecantikan Dewi Sinta. Dewi Armora menjalin cinta dengan tiga saudara tertua dari Pandawa, dan melahirkan empat orang anak yang sangat sakti. Gatot Kaca adalah putra Bima, Minsithar, putra Arjuna, konon Minsithar juga adalah titisan Khresna. Sedangkan, dengan Prabu Yudhistira, Dewi Armora melahirkan Kaditha dan Lunox. Lalu, Atlansea dibagi menjadi tiga kerajaan. Kerajaan Angin Utara, Kerajaan Samudera Selatan dan Kerajaan Majapahit. Masing-masing kerajaan itu diserahkan pada Gatot Kaca, Kaditha dan Minstihar. Sebenarnya, Dewi Armora juga menyerahkan Samudera Utara pada Lunox, tapi gadis itu terus berada di antara kenyataan dan waktu, bahkan kadang terjebak dalam mimpi yang panjang, sehingga Samudera Utara dibiarkan tanpa seorang pemimpin. Dewi Armora dan ketiga saudara Lunox yang lain berharap dia akan sembuh suatu hari kelak dan akan memimpin Samudera Utara. Ratu Kadita memeluk erat Prabu Gatot Kaca. Dia berharap Raden Minstihar juga ada di sini sekarang. Telah lama, sejak pemakaman Dewi Armora mereka tidak pernah lagi bersama dan saling mengunjungi. Mereka sama-sama saling menyalahkan diri atas kematian ibu mereka. Semua menyesal karena tidak punya waktu dan membiarkan Dewi Armora meninggal sendirian dalam pertapaannya, di pulau terpencil. Kalau saja bukan karena alam yang memberi tanda, ketiga anaknya bahkan tidak akan tahu saat Dewi Armora wafat. Gempa bumi bergejolak di sebelah timur, badai topan di sebelah utara dan tsunami dahsyat di laut selatan, alam seolah menyambut kembali raksasa berhati malaikat pulang ke peraduannya. Dewi Armora dimakamkan di Pegunungan Jayawijaya, di atas puncak yang diselimuti salju. Di tempat itu juga, Dewi Armora dilahirkan. Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita menyatukan kekuatan, membuat peti dari kristal es. Jasad Dewi Armora, terbungkus kristal itu hingga kini, kecantikannya belum pudar meski terlihat garis keriput di wajahnya. Senyum yang mampu meluluhkan hati tiga Pandawa abadi dalam kristal es itu. Minsithar lalu menggerakan tanah di sekeliling puncak gunung, membuat susunan batu-batu runcing di sekeliling makam ibunya. Dua tiang batu besar diletakkan di depan pintu masuk makam. Minsithar membuat tiang itu dari dua buah gunung tertinggi di Atlansea, Merapi dan Merbabu. Gunung itu dia cabut, dan dibentuk menjadi dua buah tiang raksasa. Dua ratus tahun yang lalu, Grock, panglima Kerajaan Majapahit mengambil satu batu itu dan menjadikan senjata yang selalu dia bawa di pundaknya. Senjata itu awalnya digunakan untuk melawan pemberontakan Rangkuti, seorang raksasa di Kepulauan Kuluma yang jatuh cinta dengan permaisuri Minsithar. Raksasa itu menantang Minsithar bertarung, jika kalah Minsithar harus menyerahkan permaisurinya tanpa syarat. Minsithar berhasil membunuh Rangkuti dalam pertarungan yang berlangsung tiga hari tiga malam. Grock yang berhasil menyatu dengan kekuatan tiang batu Merapi juga berhasil mengalahkan pasukan raksasa yang dibentuk Rangkuti demi mendapatkan permaisuri. Atas izin Minsithar, Grock tetap membawa tiang batu itu setelah selesai mengalahkan pasukan raksasa. dan karena tiang batu itu berasal dari gunung berapi paling dahsyat di Atlansea, akan berbahaya jika nanti akan ada orang jahat yang sanggup menyatu dengan kekuatan tiang batu itu seperti Grock. Sedangkan, yang kelak diambil oleh Sun, kekuatannya tidak sedahsyat tiang batu milik Grock, tapi itu sudah cukup sebagai pengganti Kaki Langit yang dicabut Sun dari tempatnya. “Sudah lama sejak pemakaman Ibu, aku tidak melihat kalian berdua seakrab ini,” suara Raden Minsithar mengejutkan kedua kakaknya. Wajah Ratu Kadita sumringah, dia tahu Minsithar pasti dapat membantunya meluluhkan hati sang prabu. Gatot Kaca sangat menyayangi Minsithar, karena kecerdasan dan kesederhanaannya sebagai seorang raja. Dalam sejarah Atlansea, hanya Minstihar yang menolak dipanggil prabu atau raja. Dia lebih senang disebut Raden. “Tidak kusangka, kau akan datang ke sini, adikku. Kemarilah, aku merindukanmu,” ajak Prabu Gatot Kaca. Minsithar yang paling tampan di antara semua laki-laki di Atlansea mendekat. Kharisma Arjuna, ayahnya melekat kuat. Panah Pasopati yang dulu dipakai Arjuna melekat dipunggunggnya. Dia hampir tidak pernah menggunakan panah itu, kecuali dalam keadaan mendesak. Ketika bertarung, Minsithar lebih suka menggunakan tombak dan perisai. Dengan gabungan kekuatan dua pusaka dewa itu, dia dapat memanggil empat prajurit langit untuk menyerang lawan dari empat penjuru mata angin. Ketiga saudara itu saling berpelukan, mereka sebenarnya merindukan Lunox, tapi entah di mana gadis yang mewarisi kecantikan Dewi Armora itu. Lunox menghilang dua ratus tahun yang lalu. “Bukannya aku ingin merusak suasana, tapi kita tidak punya banyak waktu. Orb itu sudah berada di suatu tempat di pusat khatulistiwa. Aku merasakan laut bergetar ketika itu terjadi, pecahan kulit luar bintang itu sendiri sudah menyatu dengan tubuhku, kalian juga merasakannya kan? Kita harus mencari inti bintangnya segera, mengamankan orb itu dari orang-orang jahat,” kata Ratu Kadita berapi-api. Prabu Gatot Kaca menatap saudarinya lekat-lekat. Dia tahu, kekuatan orb itu bahkan akan sanggup mengalahkan mereka bertiga sekaligus, tapi hati kecilnya tidak ingin mengakui itu. Kekuatan Brajamusti, bahkan yang sekarang dia sempurnakan dengan pukulan Brajadewa dan Brajageni, adalah yang paling tangguh di Atlansea. Kalau mereka mau mencari Orb itu, dia takut semua rakyat di Atlansea akan memandang rendah kekuatan ketiga rajanya, bahkan dengan kekuatan sedahsyat Brajamusti. Hal itu, dilihat Prabu Gatot Kaca sebagai sesuatu yang tidak baik dan akan menimbulkan keresahan di antara rakyatnya. “Kurasa itu tidak perlu, Kaditha,” sahut Prabu Gatot Kaca. “Kau takut dianggap Brajamusti tidak ada artinya?” “Aku…,” suara Prabu Gatot Kaca tertahan. Dia berbalik, berusaha menghindari tatapan tajam Ratu Kadita. “Sudahlah, kau yang tertua di antara kita. Tolong bijaksanalah. Dulu Ayah Bima pernah bilang, Brajamusti akan mengubah sifat seseorang jika dikuasai tanpa semedi dan matiraga selama seratus tahun. Kau benar-benar berubah Kakak, hampir tidak ada lagi welas asih yang diajarkan Ibu kepada kita,” keluh Ratu Kadita sembari menahan tangis. Keheningan merasuki tiga saudara itu, sebelum akhirnya, Ratu Kadita berkata lagi, “Lagipula jika kedua penjaga itu membawa pedang dan materai suci, mau tidak mau, suka atau tidak suka, orang-orang Atlansea harus membantu melindungi orb itu.” Raden Minsithar tersenyum, dia melihat Ratu Kadita memberi tanda agar dirinya ikut bersuara, meyakinkan kakak mereka. Bukannya mengatakan sesuatu untuk merubah pendirian Prabu Gatot Kaca, Raden Minsithar mengambil seruling bambu yang selalu terselip dipingganggnya. Seruling itu sebenarnya adalah tombak yang mengecil saat tidak digunakan dalam pertarungan. Minsithar memainkan seruling itu, memainkan lagu yang dulu dimainkan Dewi Armora ketika dia dan saudara-saudarinya masih kecil. Perlahan, Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita ikut menyanyikan lagu itu. Kenangan pada ibu mereka yang memiliki kelapangan hati seluas samudera, pada cinta yang luar biasa besar, pada kasih seorang ibu yang tak berbatas, tapi kadang lupa mereka balas… Laut di Selatan menjadi saksi ketika cinta datang dan bernyanyi Burung camar hinggap di ujung batu karang Mendera hati dalam bahagia tak bertepi Aku jatuh cinta pada nyanyian ikan-ikan di lautan Samudera di utara, bergejolak dengan badai angin Hati tetap menggelora dengan sejuta cinta Anggrek bulan bersinar mengusir dingin Setiap purnama seribu burung menari berdendang Ketika hati pergi ke timur, membawa raga tidur terpekur Aku bermimpi dalam pelukan penuh cinta Seisi binatang di hutan menemani tanpa henti Singa tersenyum pada lambaian pohon kelapa Hati Prabu Gatot Kaca luluh, meski tubuhnya tegap dan berotot, nyanyian itu perlahan menyentuh sisi terapuh dalam relung terdalamnya. Raden Minsithar memainkan lagu itu sekali lagi, suara serulingnya semakin menyayat hati dengan lagu yang penuh rasa cinta itu. Prabu Gatot Kaca menangis, hatinya menyesal pada ketidaksadarannya yang lebih mementingkan ego dan kejayaan. Brajamusti memang benar-benar mempengaruhi sifatnya. Seharusnya dia bermatiraga selama seratus tahun sesuai pesan ayahnya, dan tidak membiarkan Brajamusti mengambil alih kesadarannya. Beruntung lagu Dewi Armora dan suara seruling sakti milik Raden Minsithar dapat menghilangkan pengaruh jahat. Sang Prabu lalu menatap kedua saudaranya, mengajak mereka dengan tangis yang belum berhenti, “Kita akan pergi ke pusat khatulistiwa, kita cari Orb itu, dan sekalian mengusir semua pengikut kegelapan dari tanah Atlansea.” Ratu Kadita tersenyum penuh arti, dia segera melompat tinggi ke udara, memanggi Lapu-Lapu untuk segera bersiap. Raden Minsithar, bersiul memanggil burung Garuda tunggangannya. Kedua pemimpin itu tidak membawa pasukan mereka sama sekali. Prabu Gatot Kaca geleng-geleng kepala, sekarang siapa yang terlalu pongah, menghadapi para pengikut kegelapan tanpa membawa pasukan sama sekali? “Beri tanda agar pasukan kalian segera menyusul,” perintah Prabu Gatot Kaca. “Jangan kakak, kita tidak tahu bagaimana kekuatan Orb itu, bisa saja ada pengaruh jahat jika berada di dekatnya,” Raden Minsithar menghela nafas, “jika kau mau cukup bawa Badang, tangan kananmu itu,” jawab putra Arjuna pada kakaknya. “Lagipula, harus ada yang menjaga kerajaan, akan berbahaya jika rakyat ditingalkan,” Ratu Kadita menimpali. “Kalian benar. Brajamusti sepertinya membuatku menjadi bodoh,” keluh Sang Prabu. Prabu Gatot Kaca memutuskan tidak membawa Badang, Sang Ksatria Tinju Besi. Badang dimintanya menjaga kerajaan dan seluruh isinya, bahkan jika dia dan kedua saudaranya tidak kembali. Ratu Kadita dan Raden Minsithar segera pergi lebih dulu, mereka tahu Sang Prabu dapat melompat dan terbang ke tempat itu dengan sekejap mata. Namun, yang mengejutkan adalah kereta Ratu Kadita. Sungguh ajaib, selain bisa melaju cepat di air, kereta kencana Sang Ratu juga dapat melaju di darat. Sementara, Sang Prabu menyiapkan pakaian perangnya, terbuat dari seribu gading gajah, dan senjata paling mematikan yang menggentarkan Abyssal Demon, sarung tinju garuda. “Badang, ingat apapun yang terjadi, pertahankan kerajaan ini dari segala serangan,” pesan Sang Prabu sebelum dia melompat ke udara. Lompatan itu lebih tinggi dari lompatan kodok pembawa pesan milik Akai. Sekali lompatan Sang Prabu dapat setinggi gunung paling tinggi di Atlansea, kira-kira 8000 mdpl, sehingga dalam sekejap mata, dia sampai ke pusat khatulistiwa yang jaraknya hanya sepeminuman teh dari pusat Kerajaan Angin Utara. Sang Prabu menunggu kedua saudaranya di bawah pohon akasia, duduk di tepian akarnya, menikmati semilir angin utara yang menyejukkan di penghujung kemarau. Hanya sebentar sampai kedua saudaranya datang, tapi itu mampu membuat hatinya sejuk kembali, melepas pengaruh jahat dari kekuatan Brajamusti. Dulu seperti inilah Bima menghabiskan waktu di pusat khatulistiwa, Gatot Kaca kecil sering bertanya apa gunanya duduk di bawah sebuah pohon, tanpa melakukan apa-apa bahkan tidur juga tidak. Sekarang Sang Prabu mengerti, angin utara sangat menyejukkan hati, ada damai dalam setiap detik hembusannya. “Terima kasih, Ayah…,” kata Prabu Gatot Kaca penuh haru. Land Of Dawn Ada tiga tempat di jagad raya yang saling berkaitan dan bertemu dalam satu titik, yakni Land Of Dawn. Land Of Dawn, tempat manusia dan kaum raksasa dilahirkan. Abyssal Demon, tempat para kaum Abyssal, pengikut kegelapan bersemayam, Celestial Palace rumah para dewa. Dahulu kala, Sang Pencipta membuat Land Of Dawn untuk dihuni oleh dewa, manusia dan kaum Abyssal –penghuni kegelapan. Ketiga elemen itu, jika semuanya mampu hidup berdampingan tanpa saling ingin menjadi lebih dari yang lain, akan tercipta kedamaian. Namun, setelah ribuan tahun kaum Abyssal ingin menguasai seluruh Land Of Dawn. Lord Of Abyss, pemimpin kaum Abyssal berhasil mendapatkan dua Twilight Orb yang memberikan kekuatan luar biasa bagi pasukan Abyss. Kedua Twilight Orb itu diciptakan jutaan tahun lalu, untuk menampung hawa dahsyat dari hasil penciptaan galaksi Bimasakti. Semula, kedua Orb itu tersimpan dalam perut Land Of Dawn, masing-masing dikelilingi oleh cairan magma dan batu permata yang tak pernah berhenti berkilau. Lord Of Abyss secara tidak sengaja, menemukan sebuah prasasti, tentang penciptaan alam semesta, hasil guratan tangan Dewa Atlas, dewa pertama di alam semesta. Prasasti itu disimpan di sebuah gunung batu, di bawah makam Dewa Atlas. Semula Lord Of Abyss ingin mengambil senjata legendaris milik Dewa Atlas, sebuah bola besar seukuran Land Of Dawn, dan sepasang tombak bermata delapan. Kedua senjata itu tidak ditemukan, tapi prasasti tentang Twilight Orb itu lebih berharga dari apapun. Tidak sulit bagi Lord Of Abyss untuk masuk ke inti perut Land Of Dawn. Dua Twilight Orb itu juga hanya dijaga oleh seekor makhluk raksasa berkaki seribu, legenda menyebutnya Kraken. “Land Of Dawn adalah milikku dan kaum Abyssal. Serahkan diri kalian, dan mengabdilah padaku, atau aku akan menyatakan perang pada dewa dan manusia,” seru Lord Of Abyss ketika dia berhasil mendapatkan dua Twilight Orb. Keduanya dia letakkan masing-masing di bahu kanan dan kiri, sesuai petunjuk dalam prasasti, bahwa pemiliknya akan menjadi tidak terkalahkan. Tentu saja, para dewa dan manusia tidak mau menuruti perintah Lord Of Abyss. Mereka berjuang mati-matian melawan Lord Of Abyss dan pasukannya. Sialnya bagi manusia dan para dewa, kaum raksasa ikut membantu kaum Abyssal. Para raksasa terpengaruh oleh kekuatan jahat yang mengalir dari mata Lord Of Abyssal. Sedikit lagi kaum Abyssal berhasil mengalahkan pasukan dewa dan manusia. Sabit panglima pasukan Abyssal sudah hampir menebas kepala Kaja, dewa terakhir yang masih mampu melawan –para dewa lainnya sudah terluka parah, beberapa sudah tewas dalam peperangan selama 40 hari 40 malam itu. “Aku tidak akan membunuhmu Kaja, menyerahlah dan tunduk pada Lord Of Abyss,” kata panglima pasukan Abyss. Kaja tidak menyahut. Dia bergeming, hanya menatap tajam ke arah Lord Of Abyss dari kejauhan. Hatinya dipenuhi rasa amarah, Lord Of Abyss telah membunuh istri dan anak-anaknya. Dalam hati kecilnya, Kaja memohon kepada Sang Maha Pencipta, “Jika benar ini adalah hari terakhir hidupku, izinkan aku untuk menyelamatkan semua orang dari bencana paling gelap.” Panglima pasukan Abyss mengangkat sabit kembarnya ke udara. Para dewa tercekat, Kaja adalah pejuang terakhir yang mampu bertahan. Tiga dewa terkuat, Jupiter, Neptunus dan Pluto juga sudah terluka parah ketika mendapat pukulan jarak jauh dari Lord Of Abyss. Sebetulnya, sudah sejak beberapa hari lalu, para dewa dan manusia menjadi bulan-bulanan musuhnya. Lord Of Abyss sangat bahagia mendengar rintihan kesakitan dewa dan manusia. Perang yang tidak seimbang itu, hanya menyisakan kegetiran, tapi daripada menyerah dan tidak melakukan apa-apa, lebih baik bertahan sampai titik darah penghabisan. “Sang Maha Pencipta, kumohon, jangan biarkan kegelapan menguasai dunia ini,” pinta Kaja sekali lagi dalam hatinya. Tiba-tiba saja, langit menjadi gelap gulita, hujan turun disertai badai petir. Para dewa yang terluka sempat melihat sebuah cahaya sangat cepat merasuk ke dalam tubuh Kaja. Mereka semua juga merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh masing-masing, dan memulihkan kekuatan mereka, bahkan dua kali lipat lebih kuat dari sebelumnya. Kaja dan seluruh dewa mulai melawan balik. Tiada ampun pasukan Abyssal terdesak dan kalah dalam sekejap. Kekuatan yang baru dimiliki Kaja sangat dahsyat. Dengan kekuatan itu dia mengurung Lord Of Abyss dan pasukannya di sebuah tempat yang dipenuhi kegelapan sepanjang waktu. Tempat itu, di kemudian hari disebut Abyssal Demon. Kaja lalu mengambil Twilight Orb yang ada pada Lord Of Abyss dan dengan kekuatan barunya dia mengurung kedua orb itu dengan lingkaran bersinar pelangi. Selama seratus tahun tercipta kedamaian, tapi sampai hari itu tidak ada yang tahu, kekuatan apa yang sebenarnya datang menolong para dewa dan manusia, serta menyadarkan kaum raksasa dari pengaruh Lord Of Abyssal. Kaja akhirnya bertapa di puncak tertinggi di Land Of Dawn, berharap agar Sang Maha Pencipta memberikan jawaban. Seribu purnama berlalu, sampai jawaban itu diberikan, sebuah suara yang terdengar begitu agung dalam pertapaan Kaja menceritakan semuanya. Ternyata, setiap 5000-10000 tahun akan ada satu di antara bintang di galaksi Andromeda meledak, pecahan luarnya akan terserap ke dalam tubuh keturunan murni Land Of Dawn, yang tediri dari para dewa, manusia dan kaum abyss. Inti bintangnya akan menuju satu tempat di pusat khatulistiwa, terlahir kembali sebagai wujud yang tidak seorangpun akan mengetahuinya. Inti bintang itu adalah Twilight Orb ketiga yang ada di alam semesta. Ketika selamat dalam peperangan terakhir itu Kaja tepat berdiri di tempat inti bintang itu jatuh, dan memang dewa dengan kekuatan petir itu, ditakdirkan untuk memilikinya, selain seorang lagi yang memiliki sisi gelap dalam hatinya. Jika sisi baik yang mendapatkan inti bintang Andromeda, kekuatan gelap akan terkurung sampai inti bintang itu kembali ke galaksi Andromeda, hingga saatnya tiba bintang itu akan kembali ke Land Of Dawn. Sebaliknya, jika sisi jahat yang mendapatkannya, semua kebaikan yang akan terkurung dalam kegelapan yang paling gelap. Pada hari terakhir peperangan itu, kaum Abyssal juga merasakan pecahan bintang yang ingin masuk ke tubuh mereka. Akan tetapi, kekuatan dua Twilight Orb yang lain mementalkan pecahan bintang itu, sehingga hanya masuk ke dalam tubuh para dewa dan beberapa orang ksatria dari kaum manusia. Kaja dan para dewa tertua lalu menuliskan hal itu dalam perkamen-perkamen yang dipecah dan dipercayakan pada Ordo Pelindung yang disebut Nazar Guardian terdiri dari 12 ksatria terbaik Land Of Dawn, dipimpin langsung oleh Kaja. Ordo Pelindung akan diteruskan turun temurun sampai waktu Twilight Orb Andromeda kembali ke Land Of Dawn. Para dewa juga menciptakan sebuah pedang dan materai suci untuk membantu Nazar Guardian generasi selanjutnya menjaga inti bintang agar benar-benar sampai ke tangan orang yang baik. Seribu tahun lalu Ordo Pelindung merubah nama mereka menjadi Secret Guardian, demi menjaga rahasia Bintang Andromeda tersimpan rapat-rapat. Sulitnya mencari orang yang bisa dipercaya membuat hanya ada dua penjaga dalam setiap generasi, sejak ordo ini merubah nama mereka. Raja Katak dan Raja Elang adalah keturunan ke-47 dari Ordo Pelindung. Dengan kekuatan inti bintang yang masih ada padanya, Kaja juga mewariskan banyak kesaktian pada penghuni Land Of Dawn, untuk mencegah Pasukan Abyssal –jika nanti terbebas, melakukan usaha penaklukan lagi pada Land Of Dawn, atau jika ada yang kembali berhasil menemukan Twilight Orb Magma dan Twilight Orb Berlian dan memakai kekuatannya. Sekalipun, itu tidak sebanding, tapi Kaja berharap dapat memberikan waktu hingga Twilight Orb Andromeda kembali. Bersama Jupiter, Neptunus dan Pluto, Kaja menyatukan kekuatan, kemudian menciptakan dimensi alternatif dari Land Of Dawn, yakni Magical City, Moniyan Empire, Alt-World, City Of Scholar, dan lalu meminta kepada Sang Maha Pencipta untuk menciptakan dua dunia lagi, yakni Abyssal Demon --tempat kaum Abyssal terkurung dan Celestial Palace, rumah para dewa. Supaya manusia biasa tidak lagi menjadi korban, dalam pertempuran. Para dewa akhirnya tinggal Celestial Palace di puncak sebuah gunung. Pertemuan dengan manusia dibatasi, meski beberapa dewa sering mencuri-curi waktu. Namun, semakin rapat sebuah rahasia disimpan, semakin banyak pula cara untuk mendapatkannya. Uranus, tangan kanan Lord Of Abyss berhasil memperdaya seorang dewi, yang memberitahu rahasia kemenangan perang ribuan tahun lalu itu. Lord Of Abyss lalu menghentikan usaha menaklukan Land Of Dawn yang selalu saja gagal berkat kesaktian yang diwariskan oleh Kaja, melalui inti kekuatan Bintang Andromeda. Dari kekuatan yang diwariskan itu, lahirlah para ksatria seperti kelima Pandawa, Dewi Armora yang dikenal sebagai Arimbi dalam wujud raksasanya, juga Sun dan Akai yang terlahir dari batu meteor yang ditangkap Kaja dengan cambuk petirnya. Lord Of Abyss memutuskan untuk menunggu hingga waktu inti Bintang Andromeda kembali ke Land Of Dawn, dia akan merebut bintang itu, hingga dia akan menjadi lebih kuat dari para dewa. Lord Of Abyss sebenarnya juga terus berusaha menemukan kedua Twilight Orb yang lain, tapi usahanya selalu gagal. Kaja menyembunyikan keduanya dengan sangat rapat, hanya dia yang tahu di mana inti kekuatan galaksi Bimasakti itu berada. The Assassin Dalam perjalanannya menuju Pulau Darah, Akai mengingat kejadian yang membuat dia kembali kuat, setelah sempat ragu meneruskan tugas sebagai Ordo Pelindung… Keputusan untuk mundur sebagai Ordo Pelindung, dan mencari pengganti dirinya tak semudah yang dibayangkan, dia juga tidak tahu harus mencari ke mana, mencari siapa atau bagaimana orang yang dicari. Semua hanya berbekal instingnya, untuk merekrut para penjaga baru. Sudah seratus tahun sejak dia dipilih menjadi Penjaga. Dia gamang, dipenuhi ketakutan, sahabatnya tidak datang ke tempat perjanjian, dan sudah seratus tahun. Seharusnya, Akai menunggu sampai sebuah komet terlihat di malam bulan purnama. Pertanda kalau waktunya meninggalkan dunia sudah dekat. Tapi, belum sampai pertanda itu muncul Akai sudah memutuskan mengalihkan tugas ini pada orang lain. Sayangnya, di dalam gua ini dia berakhir. Sudah satu hari satu malam, tidak ada jalan keluar. Beberapa jam yang lalu dia menyesal ketika tanpa perhitungan mengikuti seekor kelelawar bersayap pelangi masuk ke mulut sebuah gua. Dia berpikir kelelawar itu adalah sebuah petunjuk dari kegamangan hatinya. Baru saja dia masuk, pintu gua tertutup. Alih-alih mendapatkan apa yang diinginkan dia justru terjebak, bahkan mungkin tidak dapat keluar, tidak ada cahaya yang masuk di gua itu. Beruntung, gurunya dulu sering melatihnya di bukit tersembunyi yang gelap gulita. Sehingga matanya, benar-benar dapat melihat walau dalam gelap. Langkah kakinya terhenti, di depannya terdengar riak air yang sangat keras. Apa mungkin di depannya kini, ada sungai bawah tanah yang mengalir deras? Kalau ada sungai berarti gua yang sudah seharian dia lewati ini memiliki ujung. Sebuah senyum mulai terkembang wajah gemuk itu. Dia lalu bersiul memberi isyarat pada seekor katak yang sedari tadi berjongkok di ujung tongkat bambu yang dibawanya. Katak itu kegirangan, melompat ke depan, sekujur kulitnya sudah mencium aroma air sejak tadi, tapi dia ragu untuk memberi tahu panda gemuk yang bersamanya. Sepuluh menit, hingga katak itu kembali, panda itu duduk bersila di tepi sungai. Tongkat bambunya dia lemparkan ke udara dan berputar di atas tepat di atas kepala panda itu. “Kraaakk… kraaaakkk….,” suara katak itu yang dimengerti oleh si panda. “Terima kasih saudaraku, kita akan keluar dari tempat ini,” seru panda itu. Dia lalu melompat ke dalam air, menyelam dan menggunakan tongkat bambunya seperti dayung, memberikan daya dorong yang luar biasa cepat. Panda itu mengumpat bukan main, memang ada jalan keluar di ujung sungai itu, sebuah lubang seukuran manusia dewasa, tapi tubuhnya yang sangat gemuk, tidak akan muat masuk melalui lubang itu. Dia bisa saja membuat lubang itu menjadi besar dengan putaran tongkat bambu, tapi itu akan merusak sungai bawah tanah, sungai itu bisa kering, kalau pintu keluarnya dibuat selebar ukuran tubuh si panda. “Sial, apa aku harus berakhir di tempat ini,” gumam panda itu. Tanpa di duga, dari atas langit-langit gua, sebuah batu besar jatuh. Semula panda itu akan menggunakan tongkatnya untuk menghancurkan batu itu. Dia membatalkan, ketika melihat dua orang dengan penampilan yang saling berbeda jauh sedang bertarung. Satu orang dengan pakaian kerajaan di Timur, membawa senjata sebuah busur yang tanpa henti menembakkan anak panah ke arah seorang lagi yang tubuhnya di kelilingi banyak logam. Orang dengan logam di sekujur tubuh itu, membawa sebuah pedang yang bersinar dalam kegelapan gua, menandakan betapa tajamnya pedang yang sedetik kemudian berhasil melukai musuhnya, sebuah sayatan besar di depan dada. Si tubuh logam melemparkan pedangnya ke udara, dia lalu membuat gerakan cepat, menghentakan kedua kaki di atas air, daya dorong yang dia buat dari hentakan itu dipakai untuk meninju musuhnya ke dinding gua. Laki-laki itu berusaha memutar tubuh dan menjatuhkan diri ke dalam air sungai. Dia tahu sekarang posisinya berada dalam bahaya, belum hilang rasa sakit dan darah di dada juga belum berhenti mengalir, dengan kecepatan yang luar biasa si tubuh logam bersalto di udara, dan sejurus kemudian menendang pedang tajamnya ke arah yang sama dengan laki-laki yang terluka itu. “Kalau kubiarkan, orang kerajaan timur itu akan mati, tapi apa pantas ikut campur?” tanya panda itu pada dirinya sendiri. Dia melupakan etika pertarungan, lagipula laki-laki itu sudah terluka parah, masa harus dihabisi juga. Sebuah angin menggulung keluar dari dalam air, membelokkan arah pedang sedetik sebelum pedang itu menembus dada kiri orang dari kerajaan timur dan menancapkannya di dinding gua. Punggung laki-laki itu membentur sebuah batu, sakit bukan main, tulangnya serasa remuk, tapi itu jauh lebih baik andai pedang tadi menancap di dadanya. “Kurang ajar!” seru si tubuh logam. Dia melompat menangkap pedangnya, menyerang ke arah datangnya angin tadi. Aneh, mengapa dirinya tidak sadar ada seseorang di dalam sungai, padahal orang itu memiliki tubuh yang sangat besar. “Triple Sweep,” teriak si tubuh logam. Tangannya menebaskan pedang ke air. Panda gemuk itu terkejut, luar biasa kekuatan lawannya kali ini, dengan sekali tebasan, tercipta gelombang air yang sangat besar, membuat tubuh panda terlonjak ke atas. Si tubuh logam tidak memberi kesempatan dan langsung mengarahkan tiga tebasan ke arah tubuh panda yang berputar-putar di udara. “Gila, dia mau membunuhku. Hurricane Dance,” teriak si panda, lalu tubuhnya berputar sangat cepat, seperti angin tornado, terdengar bunyi berdesing yang sangat memekakkan telinga. Si tubuh logam terkejut, tebasannya mengenai sasaran, tapi seolah membentur dinding batu yang sangat keras. Bahkan kini ada dorongan angin yang sangat kuat, membalikkan tebasan pedangnya, dia terdorong dan hilang keseimbangan, jatuh ke dalam air. Sekujur tubuh sangat sakit, tapi si tubuh logam tidak mau menyerah. Baru kali ini, dia mendapat lawan yang sangat hebat, hanya dengan memutar tubuh seperti itu bisa membuatnya terluka. “Flying Sword,” si tubuh logam rupanya mengeluarkan kemampuan yang lain. Empat buah pedang kecil keluar dari tubuhnya, berputar dengan sangat cepat membentuk lingkaran, seperti sebuah shuriken raksasa. Si panda yang sudah bergelantungan di dinding gua, tahu kalau serangan kali ini cukup mematikan, tapi tidak sekuat serangan pertama. Panda itu memutar tongkat bambunya ke udara, “Hurricane Blender,” teriak panda itu, ujung tongkat bambunya terbuka, mengeluarkan gelombang air berbentuk katak sebanyak empat buah. Gelombang itu menyambut serangan empat pedang kecil, masing-masing gelombang menangkap pedang, si tubuh logam terkejut. Bagaimana mungkin gelombang air dapat menangkap empat pedang yang mewarisi kekuatan empat Sword Master di dunia. Namun, si tubuh logam kehilangan kewaspadaan, gelombang katak itu tidak hanya menangkap pedangnya tapi juga membalikkan serangan, bahkan dengan putaran yang lebih cepat dari jurusnya tadi. “Triple Sweep,” si tubuh logam berusaha menangkis, tiga dari pedang kecil berhasil dia hindari, tapi pedang terakhir mengenai lengan kirinya, memberikan sayatan yang cukup dalam. Si tubuh logam tahu, tangannya bisa saja putus andai si panda gemuk meningkatkan daya serangan. Ini yang dia cari selama ini, seseorang yang bisa mengalahkannya, bahkan tidak bisa dia lukai sama sekali. Pencarian selama ini terjawab. Laki-laki dari Kerajaan Timur itu sesungguhnya cukup tangguh, dia hanya kalah setelah pertarungan mereka berlanjut ke dalam sebuah gua, laki-laki itu tidak bertarung dengan baik ketika dalam gelap. “Siapa kau sebenarnya? Caramu bertarung sungguh hebat, aku Saber, mengaku kalah,” kata si tubuh logam. “Kau bisa memanggilku Akai. Aku hanya menolong laki-laki itu, apa masalahmu dengannya? Sampai kau berniat membunuh dirinya yang sudah terluka parah,” jawab si panda yang ternyata adalah Akai, sang penjaga. “Akai? Aku seorang Assassin. Tugas dan misiku hanya bertarung, setiap lawanku akan mati dengan tebasan pedangku.” Panda gemuk itu tertegun mendenganya, dia tidak melihat amarah di tatapan mata Saber. Semuanya seperti sebuah tugas, tidak ada pikiran lain, hanya sebuah semangat yang berapi-api, tanpa rasa takut seperti yang sekarang dia rasakan. Akai teringat akan maksud perjalanannya, mencari para ksatria penjaga, generasi berikutnya. Para ksatria yang tidak mengenal rasa takut dan memiliki semangat berapi-api, tapi memiliki hati selembut sutra. Apakah kini dia menemukannya, tapi siapa sesungguhnya Saber, sayatan di tangan kirinya memunculkan pertanyaan baru, tidak ada darah dan kulit yang tersayat. Di balik logam yang dipakai Saber, ada jalinan tali-tali seperti urat. Dia seperti manusia buatan, legenda di zaman Mesir kuno, batin Akai. “Dari mana kau berasal, kau bukan penduduk tanah ini,” tanya Akai lebih jauh. “Aku dari Laboratorium 1718,” ketika Saber mengatakan itu tubuhnya bersinar, dan perlahan ujung kakinya menghilang, terus hingga ke seluruh bagian tubuhnya. Akai melemparkan gelombang katak lagi, kali ini dengan seutas benang tipis yang terikat di tongkat bambu. Gelombang katak, tepat mengenai dada Saber, Akai berusaha menarik Saber, dia tahu si tubuh logam itu sedang memasuki portal waktu. Portal itu juga yang muncul ketika gurunya Raja Katak menghilang dua tahun yang lalu. Usaha Akai gagal, tubuh Saber menghilang. Kini bertambah kekhawatiran Akai, kalau Saber sebenarnya adalah pembunuh antar dimensi, dengan tugas menghabisi para ksatria dari zaman ke zaman, untuk mengubah sesuatu di masa lalu, atau bahkan di masa depan. Andai dia memiliki kemampuan memasuki portal waktu… “Belum lagi selesai masalah Orb itu, aku harus memikirkan manusia logam itu. Keberadaannya dapat mengacaukan dunia, apalagi jika orang-orang sepertinya mengetahui kekuatan terbesar di alam semesta akan lahir menjadi sebuah Orb,” gumam Akai. “Toooo… lll… ooong,” suara itu mengejutkan Akai. Dia teringat pada laki-laki Kerajaan Timur tadi, beruntung dia masih hidup, sayatan besar di dadanya itu cukup parah. Akai mengeluarkan seekor kodok berwarna biru dari dalam tongkat bambunya, melemparkan kodok itu dan ajaib, luka besar di dada orang itu perlahan menutup. Kodok biru itu, lalu masuk ke dalam air, dan melompat lagi ke tempat semula, Akai memukul perut orang yang terluka itu dengan tongkat, membuat mulutnya terbuka. Kodok biru lalu menyemburkan air sungai ke arah mulut laki-laki itu. “Telanlah air itu sampai habis, itu inti sari air liur kodok biru, obat dari segala luka,” perintah Akai. Laki-laki itu menurut, dan dia merasakan hawa dingin meresap di dadanya, juga perlahan masuk dalam aliran darah dan menghilangkan seluruh rasa sakit di dada dan punggunggnya. “Terima kasih.” “Sebentar, sepertinya punggunggmu juga terluka.” Akai mendorong tongkat bambunya pada punggung orang itu sebanyak tiga kali. “Arghhhhh…,” teriakan keras dari laki-laki yang ditolongnya, membuat Akai tertawa geli. “Kupikir dari pakaianmu, kau jauh lebih kuat dari ini,” ledek Akai. “Maaf, itu tadi sakit sekali, tapi luar biasa, sakit akibat benturan batu itu malah hilang, bagaimana bisa?” tanyanya pada Akai. “Itu namanya, sakit membuang sakit,” canda Akai yang diakhiri dengan gelak tawanya. Melihat tingkat tuan penolongnya, laki-laki itu juga malah ikut tertawa. Akai menghentikan tawanya, lalu meminta orang itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hingga dia bertarung dengan manusia logam misterius itu. “Aku adalah Panglima Kerajaan Timur, terima kasih atas pertolonganmu Master Akai. Namaku, Yi Sun-Shin. Aku sedang dalam perjalanan kembali dari Atlansea. Semua baik-baik saja, sampai kapalku diserang manusia logam itu. Jurus yang dipakainya bertarung denganmu tadi, empat pedang kecil itu, membelah kapalku menjadi dua bagian. Kapalku tenggelam, aku memerintahkan sahabatku Zilong untuk menolong para prajurit. Aku sendiri menyerang manusia logam dan memancingnya untuk pergi dari sana. Dia penasaran, tiga kali serangannya luput. Dia terus mengejarku dengan berlari di atas air, dan kecepatannya luar bisa, tidak ada pilihan lain, kutembakkan panahku ke laut, menciptakan ledakan besar, agar aku terlempar ke daratan. Tapi, dia luar biasa cepat, hanya hitungan detik dia berhasil menyusulku. Berikutnya, aku masuk ke sebuah gua. Dan, di situlah letak kesalahanku, gua itu sangat gelap, aku tidak biasa bertarung di dalam gelap. Aku memilih untuk terus berlari dari kejarannya, berharap para prajurit telah berada jauh dan menyelamatkan diri. Lorong gua itu bercabang dua, aku memilih lorong sebelah kiri yang ternyata buntu. Dalam keadaan terdesak, manusia logam itu kembali mengeluarkan serangan mematikan. Aku mengelak sebisaku, bertahan dengan sekuat tenaga, konyol kalau aku mati dalam gua tanpa ditemukan. Serangan manusia logam itu malah berhasil menjebol dinding gua. Berikutnya seperti yang kau liat, dia berhasil menebas dadaku,” terang laki-laki yang terluka itu. “Kau berlebihan memanggilku Master. Aku hanya seorang pengelana tanpa rumah. Namun, aku tidak tahu apa harus berterima kasih padamu dalam keadaan begini, tapi keputusanmu masuk ke dalam gua ini membuat aku menemukan jalan keluar, sudah sehari semalam aku terjebak. Mari, kita segera pergi, aku yakin prajuritmu sedang menunggu, bahkan mungkin mencarimu,” kata Akai sambil mengangkat tubuh Yi Sun-Shin. Akai melompat ke lubang yang dibuat Saber, dia mengikuti jalan seperti yang diceritakan Yi Sun-Shin, hingga mereka berhasil ke luar dari gua. Akai kemudian berlari ke arah kapal Yi Sun-Shin terbelah, panglima Kerajaan Timur itu tetap dia gendong di bahunya. “Hurricane Dance,” Akai mengeluarkan jurus itu lagi saat ratusan anak panah melesat ke arahnya. “Zilong, hentikan, ini aku. Dia ini tuan penolongku,” teriak Yi Sun-Shin. Serangan anak panah berhenti, dari dalam hutan di tepi pantai itu, keluarlah seorang laki-laki berbadan tegap dengan tombak besar di tangan. Baju zirahnya berkilauan seperti emas, wajahnya terlihat sangat lembut, dengan garis ketegasan seorang pemimpin. Laki-laki yang sepertinya adalah Zilong itu diiringi kira-kira tiga ratus prajurit yang pelan-pelan juga keluar dari tempat persembunyian. Yi Sun-Shin lalu meceritakan apa yang terjadi pada Zilong. Akai sebenarnya curiga, kalau kedua panglima Kerajaan Timur itu bukan pulang dari Atlansea. Namun, dia membuang jauh kecurigaan itu, karena itu juga bukan urusannya. Yi Sun-Shin, Zilong dan pasukan mereka akhirnya pulang melalui jalur darat, kapal mereka tenggelam, hanya sedikit yang bisa diselamatkan. Beruntung hadiah dari Atlansea untuk sang Raja masih sempat diselamatkan. Laut Cina Timur sangat dalam, arus bawah lautnya juga sangat kuat, tidak mungkin pasukan Kerajaan Timur menyelam untuk mengambil barang-barang mereka. Serangan pedang Saber menimbulkan kerusakan parah, bukan hanya kapal yang terbelah dua, serangan Saber menyebabkan ledakan dahsyat, menghancurkan beberapa bagian kapal. Zilong dengan susah payah melindungi prajuritnya dari ledakan, hebatnya dia memiliki kecepatan yang luar biasa. Seandainya posisi ditukar, Zilong yang menghadapi Saber, kekuatan mereka berimbang. Sebagai seorang pemimpin dalam detik yang sangat menentukan, Yi Sun-Shin mengambil keputusan besar, mengorbankan diri demi keselamatan seluruh pasukannya. Keputusannya tepat, semua prajurit selamat dan dia mendapatkan bantuan dari sang pertapa Akai. Ketulusan dalam pengorbanan, selalu membawa kebahagiaan. Begitulah, kata-kata dari gurunya yang selalu diingat Yi Sun-Shin. Kata-kata yang selalu dia pegang teguh sejak kecil, hingga sekarang dia menjadi panglima di sebuah kerajaan besar di tanah timur. Pasukan Yi Sun-Shin memerlukan waktu hampir satu minggu jika pulang melewati jalur biasa, dan dengan jumlah pasukan yang sangat besar jelas akan menimbulkan keresahan bagi rakyat. Apakah akan ada perang? Akan ada ketakutan, kedamaian bertahun-tahun semenjak Raja Ling naik tahta apakah akan hilang dalam sekejap mata. Dengan pertimbangan itu, Akai lalu mengantar mereka melewati jalur alternatif di antara dua buah gunung. Jalur itu tidak berpenghuni, hanya hutan belantara yang jarang dijamah. Jalurnya memang lebih berat, tapi hanya memerlukan waktu tiga hari. Raja Ling, berterima kasih atas pertolongan Akai, dan meminta pertapa itu untuk bertahan di Kerajaan TImur untuk beberapa waktu. Sang panda menolak, dia tidak ingin rahasianya sebagai penjaga terbongkar, Akai tidak terlalu percaya pada orang-orang kerajaan yang sering kali bermain intrik politik. Tatapan mata Yi Sun-Shin pun menyimpan sebuah rahasia. Sungguh aneh perjalanan dua orang panglima tertinggi kerajaan dengan 300 pasukan terbaik, hanya untuk menyampaikan hadiah persahabatan kepada Kerajaan Atlansea. “Terima kasih atas kebaikan tuan, tapi aku harus pergi, untuk berkelana dan menolong banyak orang. Semoga lain waktu, aku dapat singgah ke kerajaan ini,” kata Akai. “Tentu saja, kapanpun kau mau. Aku dan seluruh generasiku kelak akan menjadi sahabatmu,” sahut sang Raja. “Terima kasih sekali lagi. Aku pamit. Yi Sun-Shin, Zilong, terima kasih atas persahabatan yang begitu hangat,” kata Akai sambil menjura hormat pada raja dan kedua panglimanya Semula Akai ingin melanjutkan perjalanan mencari Sun, sahabatnya. Tapi, dia merasakan dirinya dibuntuti. Akai mengubah perjalanannya ke sebuah gunung, dan bertapa di sana setahun lamanya, sampai tidak ada lagi yang mengikuti dan mengawasinya. Sang penjaga itu membatalkan niatnya mencari generasi penerus Ordo Pelindung, menunggu waktu datang, benar-benar di saat yang tepat. Dia berusaha menghadapi kenyataan, sebelumnya dia terlalu cepat memutuskan, Sun pasti punya alasan mengapa dia tidak datang sesuai perjanjian. Andai sampai waktu bintang Andromeda meledak, atau bahkan jika Akai dan Sun bukan penjaga yang ditakdirkan menjaga Orb itu, dia harus menghadapi semuanya, bukan lari dari kenyataan, dan mengalihkan tugasnya sebagai penjaga kepada orang lain. Raja Katak pernah bilang kalau setiap penjaga cenderung akan berumur panjang. Itu anugerah dari kekuatan Bintang Andromeda yang diwariskan Kaja. Kalau sebuah komet datang dan terlihat di malam bulan purnama, barulah itu pertanda jika waktu seorang penjaga berpisah dengan dunia fana semakin dekat. Sampai waktu itu tiba, Akai berjanji untuk menuntaskan misinya, seperti Saber yang tidak pernah mundur dari misi. “Jika aku yang terpilih, aku harus mengantarkan Orb itu ke tangan yang tepat,” janji Akai dalam hatinya. Akai menoleh ke sekelilingnya, kini hatinya pun dipenuhi tanda tanya, apa itu Laboratorium 1718…. Laboratorium 1718 Bangunan itu berbentuk persegi panjang, jika dilihat dari luar orang akan berpikir tempat itu hanyalah gudang pertanian tua yang sudah tidak digunakan. Di depan bangunan itu terdapat sebuah papan nama usang yang hampir jatuh, di sana tertulis: BENGKEL KEAJAIBAN DR. ROONEY; DI SINI KAMI MENCIPTAKAN KEAJAIBAN. Sesuai nama yang tertulis, bangunan itu memang milik seorang bernama Dr. Rooney, ilmuwan aneh yang menghilang tanpa jejak empat tahun lalu. Misterius, sama seperti kedatangannya ke Alt-World 20 tahun lalu. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal, semua orang di kota tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran ilmuwan hebat, dengan pengetahuan mesin-mesin analog yang sudah lama ditinggalkan. Kepintarannya luar biasa, setelah membaca Ensiklopedi Science Of Alt-World –ditulis oleh empat ilmuwan besar sepanjang sejarah, Dr. Rooney menggabungkan keahliannya pada mesin analog dengan semua yang ada di ensiklopedia itu. Hasilnya dia menciptakan banyak alat ajaib yang membantu kehidupan manusia. Contohnya, kursi roda otomatis, kaki palsu mekanik, tulang rusuk metalic, dan masih banyak lagi. Presiden Alt-World sampai memberikan penghargaan dan jaminan hidup selamanya pada Dr. Rooney, sampai secara misterius dia menghilang, meninggalkan Bengkel Keajaiban. Sebelum menghilang, Dr. Rooney, bersama banyak ilmuwan di Alt-World menyatukan pemikiran bersama dan membentuk sebuah tim, berharap mereka akan menemukan penemuan baru dan membawa dunia pada kemajuan teknologi yang luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan itu menjadi tergila-gila dengan modifikasi tubuh manusia, mencoba apapun, menggabungkan kombinasi teknologi dan kekuatan. Konon, Dr. Rooney tidak setuju dengan cara yang sering tidak beradab itu. “Penelitian ini untuk membangun peradaban, apa kita harus merusaknya dengan perbuatan tidak beradab,” kata Dr. Rooney, sebelum dia membubarkan tim dan menghilang. Para ilmuwan yang sudah terlanjut bersatu itu tidak meninggalkan impian dan cita-cita mereka. Lahirlah Laboratorium 1718 di dalam Bengkel Keajaiban Dr. Rooney. Ilmuwan-ilmuwan itu menggunakan semua peralatan Dr. Rooney dan beberapa hasil penelitiannya untuk menciptakan senjata yang lebih kuat dan maju, jika perlu mampu menyerang berbagai dimensi di alam semesta. Penelitian ini berhasil menciptakan Saber, Sang Pembunuh. Penyerangan pada Yi Sun-Shin adalah misi yang ke-80. Sebelumnya, Saber tidak pernah gagal menghabisi lawannya, sekalipun dapat melukai Saber, luka itu hanya luka ringan. Dalam misi terakhir itu, Saber kembali dengan luka besar di lengan, semua orang pun terkejut, dia kembali dengan luka separah ini. Para ilmuwan di laboratorium mulai memperbaiki kondisi Saber dan bertanya-tanya apa yang terjadi, apa Saber menemukan lawan yang benar-benar tangguh. Jika begitu, mereka akan menciptakan senjata yang lebih kuat lagi. Untuk pertama kalinya Saber tidak memberitahu semua yang terjadi dalam misinya, dia hanyar bercerita tentang Yi Sun-Shin. Bagian tentang Akai dia sembunyikan. Saber mengarang cerita kalau Yi Sun-Shin berhasil dibunuhnya, tapi orang itu sangat tangguh, sehingga sempat melukai lengan Saber dengan anak panah yang dapat melesat dari jarak yang sangat jauh. Beruntungnya, para ilmuwan di masa itu, belum menemukan cara untuk membaca memori dan kenangan dalam otak Saber. Mereka hanya mampu menghapus ingatan itu, untuk memberikan misi lagi pada Saber. Ingatan yang terus dihapus itulah yang membuat Saber hanya menggunakan naluri bertarungnya, tanpa ada belas kasihan pada lawan-lawannya. Pertemuan dengan Akai membuat Saber merasakan kerinduan bahwa dia tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Saber merasakan kesepian. Perasaan itu membuatnya ingin tahu dari mana dia berasal, siapa dirinya sesungguhnya selain jati diri sebagai Saber. Setiap kembali dari misi dan pertempuran, Saber akan masuk ke sebuah ruangan dan memasang sebuah helm di kepalanya. Saber menyadari, setiap dia selesai dengan helm itu, dia akan melupakan pertarungannya. Dia tidak ingin melupakan Akai, seseorang yang telah mengajarkannya arti mengampuni orang yang tidak berdaya. Dengan sangat cepat, Saber melumpuhkan semua orang di laboratorium 1718. Sebelum pergi, dia mencari data tentang bagaimana semuanya dimulai. Hampir tidak ada keterangan tentang apa dan siapa Saber sebenarnya, sampai tiba-tiba satu di antara ilmuwan melihat Saber dalam ruangan data. Sebelum sempat membunyikan alarm, Saber menusukkan gagang pedangnya, membuat ilmuwan itu pingsan seketika. Untuk kali pertama, ada perasaan tidak ingin membunuh di hati Saber. Di dada ilmuwan itu tertulis: KEPALA LABORATORIUM. Ilmuwan itu membawa sebuah jurnal, di dalamnya banyak catatan formula dan rancangan mekanis, Saber memeriksanya dan menemukan sebuah catatan... Kami bersyukur berhasil menyelamatkan seorang ilmuwan paling hebat sepanjang sejarah City Of Scholar –setidaknya begitu yang dia katakan. Kegilaan membawanya pada kami, dia bercerita begitu banyak tanpa henti. Dari dialah kami mengetahui ada dunia lain selain dunia yang sekarang kami tinggali. Andai Dr. Rooney ada di sini, dia akan sangat senang dengan keberuntungan ini. Ilmuwan gila ini membuka cakrawala baru dalam ilmu pengetahuan Alt-World, tetapi luka di tubuhnya begitu parah, ada energi yang luar biasa mengalir dan memercik bagai bunga api tanpa henti. Tanpa berpikir panjang, kami membungkus tubuhnya dengan rangkaian logam untuk robot pertama ciptaan laboratorium 1718. Logam itu dapat menahan percikan energi dan kegilaannya, bahkan karena itu, eksperimen kami untuk meningkatkan kemampuan manusia secara alami berhasil. Gabungan antara teknologi, kekuatan aneh dan sedikit keberuntungan. Beruntungnya ilmuwan itu datang pada kami. Kami lalu menamainya Saber, menyerahkannya banyak misi, untuk mengukur sejauh mana kegilaan Saber dapat bertahan dalam logam itu, juga untuk menemukan dunia-dunia di luar sana. Saber selalu mengikuti nalurinya, berlari dengan langkah kaki dan tebasan pedangnya dengan sangat cepat. Kekuatan utama Saber adalah pada pedang yang merupakan inti sari gabungan dari ratusan ahli pedang di seluruh dunia, termasuk yang dia kalahkan. Dalam tubuh Saber juga tersimpan DNA para Sword Master dari semua bangsa. Perpaduan itu menciptakan tebasan pedang Saber bahkan dapat memotong ruang dan waktu. Dengan pedangnya itulah, Saber melakukan perjalanan antar dimensi. Kemajuan besar, Saber membawa kami pada kenyataan kalau ruang dan waktu dapat dilewati manusia. Demi penelitian, Saber terus kami kirim ke berbagai dimensi, hanya saja semakin sering dia melintasi dimensi, kegilaannya perlahan kembali. Seorang ilmuwan menyarankan untuk mereset otak Saber ketika dia kembali, dengan menggunakan listrik 10.000 volt. Kami berhasil, kegilaan itu tidak pernah kembali lagi. Lambat laun, para ilmuwan Laboratorium 1718 menemukan cara agar kami dapat mengembalikan Saber dari dimensi yang dia datangi, saat tubuhnya terluka parah. Tidak ada yang ingin kehilangan subjek penelitian dan hasil karya terbesar ini. Dr. Rooney pasti akan menyesal telah meninggalkan kami, para ilmuwan terhebat di Alt-World. Berikutnya, kami akan menggunakan Saber untuk pergi ke berbagai dimensi itu, untuk mencari tempat bagi New Alt-World pengganti dunia yang kritis. Dari jurnal kepala laboratorium, Saber menemukan catatan setiap tempat yang pernah menjadi misinya. Termasuk tempat terakhir yang masih dia ingat dengan jelas. “City of Scholar? Itu tempat aku mengikuti Yi Sun-Shin, sebelum menyerangnya di atas laut.. Aku harus ke sana, menemukan jati diriku,” gumam Saber. Master Of Magician Harley adalah pewaris tunggal Keluarga Vance, keluarga bangsawan yang begitu dekat dengan kerajaan. Stanley Vance --ayah Harley, adalah penasehat utama sang raja. Sebelum masuk dalam lingkaran pertama kerajaan, Stanley Vance adalah seorang pebisnis paling sukes di Magical City. Tokonya menjual berbagai macam pernak-pernik dan peralatan sihir. Setelah membuka sepuluh cabang di seluruh kota di Magical City, dan satu cabang di dimensi jajahan, City Of Scholar. Magical City memang ditugaskan Kaja untuk menjadi pelindung dari City Of Scholar, tapi sejak beberapat ratus tahun lalu, raja yang baru terpilih membuat perubahan besar. Dia mewajibkan kota-kota mesin, tunduk pada kekuatan Magical City, memberikan upeti setiap bulan, yang terus dinaikkan jumlahnya setiap tahun. Pada awalnya, hanya seorang raja dan sepuluh Mage terbaik dari Magical City yang dapat membuka portal ke City Of Scholar, itu pun dengan kombinasi rumit yang dibuat Kaja. Semua demi melindungi kedua dimensi alternatif itu dari kemungkinan orang-orang Land Of Dawn datang. Sedangkan Alt-World, dimensi yang sangat maju itu tidak diberikan akses ke semua dimensi lain. Kaja, semula menyiapkan dimensi ini sebagai pasukan alternatif, yang akan membantu jika suatu saat perang terjadi. Tapi, dibawah bimbingan Vulcan, dimensi itu menjadi tanpa batas. Alt-World, membiarkan teknologi maju begitu pesat. Senjata dibuat dengan sangat banyak, bahkan manusia juga dijadikan senjata. Vulcan, merencanakan cara terbaik untuk bertahan adalah menyerang Lord Of Abyss tepat saat dia bebas dari kurungan energi Orb Andromeda. Sejak menjajah City Of Scholar, Khufra, raja Magical City, raja pertama yang berasal dari Western Desert, membentuk Divisi Penghancur, terdiri dari 100 mage terbaik. Seratus mage itu bertugas menundukkan City Of Scholar, agar selalu patuh pada Magical City. Dalam, perjalanan antar dimensi, beberapa orang di antara mage itu menemukan beberapa portal dimensi dalam ruang hampa. Ketia Khufra mengetahuinya dia lalu membentuk Dark Wizard, dari tujuh orang kepercayaannya. “Biarkan mereka yang mematuhi saya berhasil dan mereka yang memberontak pada saya binasa,” perintah Khufra pada semua anggota Dark Wizard. Tujuh orang mage dengan kemampuan sihir kuno milik Western Desert ditugaskan mencari cara untuk membuka portal ke berbagai dimensi lain. Mereka terus menggali di seluruh Magical City dan City Of Scholar, berharap menemukan jawaban. Sepuluh tahun, dan tidak ada hasil. Khufra marah besar, dia tidak bisa menerima kegagalan. Dengan amarah berapi-api, Khufra melilit tubuh Loodiyan --pimpinan Dark Wizard, dengan perban saktinya. Tidak ada yang berani melawan, karena para mage itu tahu, kekuatan Khufra sebanding dengan kekuatan 100 mage terkuat. Apalagi jika dia sudah mengeluarkan Bouncing Ball dan Tyrant’s Rage, sekali serang saja lawannya akan langsung mati. “Kuberi satu kesempatan lagi, jika gagal lagi, kalian semua akan bernasib sama seperti dia,” teriak Khufra dengan amarah yang juga belum surut. “Baaaikkkk, Tuan…,” jawab Vale, wakil pimpinan Dark Wizard dengan terbata-bata. Dia ketakutan, sangat ketakutan, begitu juga dengan anggota Dark Wizard yang lain. Mereka sudah menjelajah setiap inci tempat di Magical City dan City Of Scholar. Ke mana lagi mereka harus mencari, apalagi Raja Khufra telah membunuh yang terpintar di antara mereka. Untuk kali pertama para mage itu berharap mendapatkan keberuntungan. “Biarkan mereka yang mematuhiku berhasil dan mereka yang memberontak padaku binasa,” ucap Khufra dengan nada yang lembut, tapi justru mengisyaratkan kematian bagi mereka yang mau melawan. Dark Wizard menyadari, kalau raja mereka sudah benar-benar di ambang batas kesabaran, tapi apa yang bisa mereka lakukan, mengungkap rahasia yang tidak pernah tersimpan dalam dimensi sihir dan mesin. Vale yang mulai mengajukan usul, tidak ada cara lain, kalaupun terus mencari tetap saja mereka semua akan mati. Lebih baik mengambil resiko yang lebih besar. Mereka akan membunuh Khufra. “Kau gila Vale,” keluh Professor Of Hell. “Tidak ada pilihan lain, lambat laun kita akan mati.” “Setelah kita berhasil, lalu kau mau menjadi raja.” “Untuk apa berada dalam kebodohan itu, kita curi emas kerajaan secukup yang bisa kita bawa, pergi dari sini dan menghilang,” kata Vale pada rekan-rekannya. Kelima anggota Dark Wizard yang lain memandang hal itu jauh lebih baik, ketakutan akan kematian membuat mereka akhirnya menyusun rencana, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. “Seminggu lagi, aku tunggu kalian di pangkalan. Aku dan Professor Of Hell akan membakar semua hasil penelitian, termasuk barang-barang ajaib itu. Khufra tidak boleh mendapakatnnya,” Vale dan Professor Hell segera berlalu. Empat Dark Wizard yang tersisa saling melirik, “Kedua pecundang itu terlalu bodoh,” kata Dark Wizard berjubah merah. “Biarkan saja, setelah semuanya selesai dan kita berhasil mendapatkan perban sakti Khufra, kita lenyapkan mereka,” Dark Wizard berjubah biru menimpali. “Kita beruntung, Khufra membunuh Loodiyan. Tinggal dua orang yang harus kita lenyapkan,” si jubah merah bicara lagi. “Kesabaran kita berbuah, biar dua penyihir bodoh itu yang mengotori tangan mereka,” kali ini Dark Wizard berjubah kuning yang berkata. “Kita tetap harus waspada. Vale mungkin terlalu polos. Kebenciannya pada Valir membawanya sampai di sini. Tapi, Professor Of Hell tidak sebodoh yang terlihat. Hanya karena amarah pada Valir, api birunya menjadi semerah darah,” kata si jubah merah lagi. Keempat Dark Wizard itu akhirnya pergi dari lorong gang yang sangat sempit itu. Selangkah lagi, dan keempat penyihir dari Moniyan Empire itu akan dapat pergi ke Land Of Dawn, mencari Vexana, penyihir yang berhasil membunuh guru mereka. Dalam kegelapan, tiga pasang mata menahan nafas. Keringat dingin mengucur di kening. Bukan hanya karena takut ketahuan, tapi para Dark Wizard yang membicarakan pembunuhan dan kematian. Mereka berharap, para anggota Dark Wizard tidak mengetahui sedari tadi ada tiga anak kecil sedang mengintip di atas langit-langit ruangan. “Kita harus laporkan ini pada kepala sekolah,” bisik seorang anak perempuan berpakaian serba ungu. ‘’Jangan, aku takut, Lylia,” balas yang seorang lagi. “Tidak Vince, mereka akan membunuh Raja Khufra. Dalam sejarah, ketika seorang raja dibunuh, Magical City berada dalam perpecahan dan kerusuhan. Dan tentang rahasia yang mereka bicarakan, dimensi lain. Itu akan menjadi jawaban untuk berbagai rahasia sihir yang selama ini dicari oleh seluruh penduduk Magical City,” sahut seorang anak laki-laki yang selalu memegang sebuah tongkat sihir. Anak yang dipanggil Vince itu tetap saja tidak ingin terlibat, dia berusaha meyakinkan Harley dan Lylia, “Kau jangan gila, Harley. Kita ini hanya anak-anak dari Lion Academy. Empat orang tadi, dan dua yang sebelumnya pergi adalah mage terkuat di Magical City. Apa yang bisa kita lakukan pada mereka?” Harley dan Lylia saling pandang, mereka mengerti ketakutan Vince. Berdiam diri juga bukan solusi, mereka bertiga adalah murid terbaik dari Lion Academy –sekolah sihir paling hebat di Magical City. Sekolah itu mengajarkan dan bahkan meminta seluruh siswanya bersumpah untuk menggunakan sihir untuk kebaikan, menolong mereka yang lemah dan dalam batas paling akhir: menumpas kejahatan. Bagian terakhir itu tidak mudah untuk dilakukan, andai saja tadi tidak muncul keisengan saat kabur dari Camp School di Boomian Forest, mereka tidak akan terlibat di sini, dan ada diambang resiko melanggar sumpah setia sebagai murid Lion Academy. “Aku tahu yang kalian pikirkan, mengenai sumpah itu, tapi kabur ke sini juga sudah membuat kita menggunakan sihir bukan untuk kebaikan. Kita menggunakannya untuk kabur dari pengawasan,” Vince melanjutkan. Harley menanggapi, “Kau benar, tapi ini menyangkut hidup orang banyak. Ayolah, kita hanya perlu melaporkannya pada kepala sekolah, biar Mage Impact yang menyelesaikannya.” Mage Impact adalah divisi yang dibentuk oleh Don Juan –kepala sekolah Lion Academy, untuk menyelesaikan masalah-masalah serius, yang menyangkut keselamatan penduduk Magical City. Harley, Vince dan Lylia adalah calon anggota Mage Impact, menunggu usia mereka mencapai 17 tahun. Tidak ada argumen lain yang dapat diberikan Vince untuk meyakinkan kedua kawannya. Dia tahu, Harley, bocah paling pintar sekaligus pembuat onar paling lihai di sekolah, tidak akan berhenti jika dia meyakini sesuatu, apalagi jika menyangkut membela kebenaran. “Tenang saja Vince, Harley diberkati dengan Magical Goddess, kita pasti akan baik-baik saja,” Lylia mengingatkan kekuatan Harley yang luar biasa. Ucapan itu membuat raut muka Vince sedikit lebih tenang. Telah beberapa kali memang, mereka bertiga mengambil resiko besar, dan kekuatan Magical Goddess dalam tubuh Harley selalu menyelamatkan mereka. Magical Goddess adalah warisan kekuatan dari Kaja. Pemiliknya akan dapat melakukan sihir aneh dan bahkan tidak terduga. Magical Goddess selalu memilih pemiliknya, seseorang yang pantas dengan hati seluas samudera, kemudian menyatu dalam jantung dia yang terpilih. Keyakinan pada berkah Magical Goddess, membuat ketiga penyihir muda itu malah bertindak lebih jauh dari sekadar melaporkan konspirasi Dark Wizard pada kepala sekolah. Andai ketiga anak itu sempat melihat Khufra membunuh Lodiyan, mungkin mereka tidak akan berani melakukan apa-apa. Tapi, begitulah perjalanan ketiganya dimulai, perjalanan yang akan membawa Harley pada takdir baru sebagai pemilik Magical Goddess terpilih: menjadi seorang Master Of Magician. Dunia Yang Dijaga Para Elf Keesokan harinya, di belahan dimensi lain, seorang Elf dan seorang manusia sedang berbincang di pos patroli Eruditio, ibu kota Republik Antoinerei. Mereka adalah dua sahabat paling setia di kota, tidak pernah terpisahkan, sejak Dr. Rooney dulu membawa Elf itu ke Eruditio. Elf itu bernama Lolita, dan sahabatnya adalah Bruno. “Apa kalian berdua baik-baik saja?” Dr. Rooney meletakkan sebungkus keju yang baru dibelinya. Keju makanan favorit –dan sumber kekuatan para Elf, seperti nektar bagi para dewa, Lolita sangat senang, semakin banyak keju, luka di tubuhnya akan semakin cepat sembuh. “Seharusnya kalian beristirahat saja, kekuatan kalian belum pulih sejak penyerangan itu.” “Tidak apa-apa, Tuan. Kami sudah bersumpah menjaga kota. Lagipula, orang yang kami hadapi kemarin, berkata dia akan kembali,” sahut Bruno sambil sesekali tersenyum melihat cara Lolita menikmati kejunya. Dr. Rooney menggelengkan kepala, dia memang tahu keduanya sangat setia pada kota dan telah bersumpah menjaganya. Kadang dia sendiri merasa aman, dengan keberadaan keduanya. Kekuatan mereka membuat sang ahli mesin itu tidak takut lagi jika ada pasukan Alt-World yang menemukan cara sampai ke Eruditio. Satu sisi dirinya juga terus memikirkan penyerang kota kemarin. Seorang panda dengan senjata tongkat bambu. Kemampuannya luar biasa, dan mampu melumpuhkan Bruno dan Lolita. Panda itu sempat berkata akan kembali mengambil sesuatu yang adalah miliknya, tapi tidak ada satu penduduk kota pun yang tahu. Para pemimpin kota, langsung berembuk untuk mencari tahu dan menyerahkan saja barang yang dicari sang panda, atau kota mereka akan diporak-porandakan. “Apa mungkin, panda itu mencari serpihan Magic Stone yang kubawa,” Dr. Rooney berkata dalam hatinya. Serpihan Magic Stone adalah benda pusaka yang dipakai Dr. Rooney melintasi dimensi. Bertahun lalu, Dr. Rooney atas permintaan dari Loodiyan, pimpinan Dark Wizard, sedang mencari cara untuk memasuki pintu-pintu dimensi yang sangat banyak di portal waktu. Dark Wizard, atas perintah Khufra bertugas menemukan semua dimensi dan kemudian menaklukkannya. Semula ahli mesin terbaik dari City Of Scholar itu tidak mau menuruti kemauan Dark Wizard, tapi ancaman demi ancaman membuat Dr. Rooney terpaksa menurut. Lagipula, dia berpikir tidak ada salahnya menurut, saat Dark Wizard lengah dia akan mencari cara untuk menggagalkan penaklukan dimensi itu. Tanpa sengaja, Dr. Rooney membuka portal dimensi ke Alt-World saat dia sedang mengamati serpihan kecil yang konon berasal dari Magic Stone. Serpihan kecil itu membuat sahabatnya Frankie nekad pergi mencari Magic Stone utuh, demi ambisi menciptakan senjata terhebat. Ketika dengan serius meneliti serpihan Magic Stone, Dr. Rooney tidak sengaja meniup serpihan-serpihan itu. Ajaib! Semua bagian serpihan itu melayang di udara. Ketika mengumpulkan kembali serpihan-serpihan itu, Dr. Rooney mengulurkan tangan dan memutarnya hingga seluruh serpihan itu berada dalam genggamannya. Detik berikutnya, Dr. Rooney berada di sebuah tempat asing, yang dia tidak tahu apa itu. Penduduknya menggunakan logam di bagian tubuh. Ada yang di kaki, tangan, kepala, bahkan seluruh tubuh. Alt-World adalah dimensi logam. Tempat peradaban manusia mengalami kemajuan dalam bidang teknologi. Beberapa kondisinya bahkan sangat mengerikan, Dr. Rooney ketakutan, otak cerdasnya tahu apa yang dilakukannya pada Magic Stone, berhasil membawa sang dokter melewati sebuah dimensi baru. Meski tidak tahu di mana berada, dia harus bertahan dan berjuang hidup. Di tempat itu, Dr. Rooney berhasil mendapatkan sebuah lahan pertanian. Hadiah yang didapat setelah dirinya berhasil menjawab sebuah teka-teki yang tak pernah bisa dijawab selama sepuluh tahun, di festival tahunan kota. Dari sana dia mulai dikenal dan menjadi ilmuwan hebat, hingga dia memutuskan pergi sesaat sebelum Laboratorium 1718 didirikan. Dr. Rooney berhasil pergi dari dimensi Alt-World, dengan mengulangi apa yang dilakukannya pada Magic Stone dulu. Dr. Rooney mengira dirinya akan pulang ke City Of Scholar, tapi justru serpihan Magic Stone membawanya ke dimensi tempat kaum Elf dan manusia hidup berdampingan. Setelah itu, baru Dr. Rooney menyadari, kalau ada banyak dimensi selain City Of Scholar, Magical City dan Alt-World. “Bagaimana caranya, aku menggunakan Magic Stone untuk kembali ke tanah airku, atau minimal kembali ke Magical City, portal dimensi ke City Of Scholar dapat dengan mudah kubuka dari sana?” pertanyaan yang terus berada di hati Dr. Rooney setiap malam. Seperti dedaunan yang tak pernah berhenti jatuh, begitulah derita Dr. Rooney yang begitu merindukan rumah. Otaknya terus melakukan kalkulasi, bagaimana bisa dari City Of Scholar dia terlempar ke Alt-World, lalu sampai di Antoinerei. Kemunculan Dr. Rooney berhasil menyelamatkan Lolita dari kematian. Elf itu terluka parah dan sekarat, tanpa berpikir panjang Dr. Rooney menggendong Elf kecil itu dan berlari ke arah rumah-rumah bertingkat yang terlihat banyak dari kejauhan. Semua tentu bingung siapa Dr. Rooney, manusia yang tidak pernah mereka lihat, menolong seorang Elf dari perang bangsa Elf. Demi melindungi rahasia dimensi, Dr. Rooney berbohong, “Aku tidak tahu dan tidak ingat siapa diriku, ketika terbangun, aku melihat Elf itu terluka parah, dan tanpa berpikir kubawa dia ke sini.” Lolita sendiri tidak dapat memberi kesaksian, dia tidak sadarkan diri setelah dua anak panah menembus dadanya. Rakyat Antoinerei tidak suka mencari musuh, hati mereka sangat baik dan penuh kedamaian, sebab dengan kedamaian dimensi Antoinerei diciptakan. Karena itu, kebohongan Dr. Rooney dengan mudah diterima semua orang. Kebohongan demi melindungi rahasia multi dimensi. Para oetinggi Antoinerei memberi julukan Diggy pada Dr. Rooney. *** “Kurasa, dia adalah orang yang layak, Tuan. Elf sejatinya adalah penjaga kita para manusia, jadi dia yang pantas memiliki Noumenon Energy Core,” kata Bruno di depan para petinggi kota. “Aku mengerti kau bersahabat baik dengan Elf itu, tapi mereka menciptakan perang saudara. Sudah berpuluh tahun tidak peduli lagi dengan kita, kehidupan yang damai mulai terusik sejak perang itu,” sahut seorang petinggi kota dengan jubah hitam menjulang. “Kau tidak boleh egois, Andrean. Jika bukan Lolita, lalu siapa yang pantas, tidak ada Elf lain yang bahkan bisa kita percaya saat ini. Mereka bisa saja menggunakan Noumenon untuk kepentingan perang,” Bruno menyergah perkataan petinggi kota, sekalipun semua yang ada dalam ruangan itu tahu, bagi budaya di kota Antoinerei, Bruno sudah berlaku tidak sopan. Orang yang dipanggil Andrean itu terdiam, terlihat kerutan di keningnya, tanda dia sedang berpikir sangat keras. Dalam kondisi biasa, dia pasti akan marah atas sikap Bruno, tapi sebagai pemimpin paling bijak di Antoinerei dia tahu apa yang dilakukan Bruno karena dia mengkhawatirkan keadaan kota. Para Elf gunung yang membelot selalu mengancam setiap saat. Andai tidak ada tanda lahir Elf tanah di tubuh Lolita, Andrean sudah pasti tidak akan mau menolong. Para manusia tidak ingin terlibat pada perseteruan Elf yang tidak berkesudahan. Andrean dan beberapa ilmuwan kota bahkan mengembangkan teknologi tercanggih dan membentuk City Guard. Bruno adalah anggota pertama City Guard. “Aku masih menghargaimu sebagai anggota pertama City Guard. Kupercayakan Noumenon Energy Core dalam pengawasanmu, berikan itu pada Lolita. Semoga saja pilihan ini tepat,” kata Andrean melanjutkan. Bruno senang bukan main, kekuatan Lolita sudah hampir hilang karena terkena panah beracun. Hanya Bruno dan Dr. Rooney yang tahu kalau Elf itu sekarat, Noumenon Energy Core dapat menggantikan hati Lolita yang rusak dan membusuk dari hari ke hari. Meski dalam sakit yang luar biasa itu, Lolita masih berani bertarung melawan Akai beberapa hari lalu. Akibat pertarungan itu kondisi Lolita makin melemah. Bruno yakin kristal teknologi tercanggih di Antoinerei cocok untuk jiwa Elf muda itu. Saat seluruh bangsanya berperang dan saling membunuh, hanya Lolita yang memilih menjalani takdir sebagai penjaga manusia di Antoinerei. “Terima kasih Andrean, aku akan membayar kepercayaanmu,”ucap Bruno. “Berhati-hatilah, kristal itu satu-satunya kekuatan kita, hanya itu yang bisa melindungi kita saat ini,” pinta Andrean dengan menundukkan kepala, menggenggam kedua tangan, seperti sedang berdoa. “Ada satu lagi Andrean,” kata Bruno “Kau ingin kita juga menyerahkan Storm Hammer?” tanya Andrean. “Kau benar, tidak ada salahnya kan? Warisan The First Elf itu hanya bisa diangkat oleh mereka yang layak, itu bisa menjadi ujian sebelum kita menyerahkan Noumenon Energy Core,” jelas Bruno dengan yakin. Andrean mengangguk, dia menjelaskan kepada semua petinggi Antoinerei, ketimbang menyerahkan kristal energi secara sembarangan, lebih baik mencoba ketulusan Lolita dengan Storm Hammer. Pulau Darah Mengenang semua peristiwa itu membuat Akai tidak sadar dia masih berlari tanpa henti mengikuti kawanan burung… Sejak pagi hingga sore menjelang, gerombolan berbagai jenis burung baru berhenti di sebuah gua di pulau paling selatan. Pepohonan tumbuh liar dan tinggi menjulang, tidak seorang pun manusia yang enggan tinggal di sana. Kaum raksasa, peri dan para dewa juga tidak ada yang mau menghuni pulau itu. Konon, tumbuhan di sana dapat berbicara dan hidup, belum lagi hewan-hewan buas yang tidak terhitung jumlahnya. Ukuran hewan-hewan buas itu sungguh besar, dan mewarisi kekuatan kaum Abyss. Karena kerimbunan pepohonan yang diameternya mencapat tiga kali ukuran tinggi manusia normal, saat memasuki pulau itu, sedikit saja cahaya matahari yang dapat masuk. Dahulu kala ada segerombolan bajak laut, kira-kira 300 orang yang memilih bermukim di sana, untuk menambah keangkeran mereka sebagai bajak laut. Naas, para bajak laut itu dimangsa hewan buas di sana. Lolongan kesakitan dari para bajak laut itu menggema hingga ke Celestial Palace. Seorang dewa dari kaum Centaur memimpin satu pasukan dewa menuju pulau itu, tapi terlambat, tidak ada yang tersisa, selain lautan darah yang menggenang di pulau itu, tulang para bajak laut itu, seolah ditelan habis oleh para binatang buas di sana. Setelah lautan darah mengering, hampir seluruh tanah di pulau itu berubah menjadi semerah darah. Penghuni Land Of Dawn kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Darah. Bau anyir tercium di sekitar pulau hingga kini, menambah ketakutan semua orang. Raksasa paling menakutkan, dewa paling sakti dan manusia paling pemberani lebih memilih untuk tidak berdekatan dengan pulau itu. Akai sedang ada di sana sekarang, untuk mengambil materai suci di sebuah gua rahasia. Jika seratus tahun lalu, dia datang ke sini mungkin akan tersisa rasa takut. Perjalanan selama ini, telah menjadikan Akai berani menghadapi apapun demi menjunjung tugasnya sebagai penjaga. Pertemuan dengan Saber di gua bawah tanah dua tahun lalu juga mengubah semuanya. Tidak mundur dari misi yang sudah ditakdirkan. “Sabar kawan, aku tahu kalian tidak tahan dengan bau anyir pulau ini,” kata Akai pada para katak yang selalu bersamanya. Akai menatap langit timur, meresap kehangatan mentari yang entah sampai kapan bisa dia rasakan. Inti Bintang Andromeda sudah sampai lagi ke Land Of Dawn, sejak kemarin malam saja, sudah banyak ksatria, para dewa bahkan raksasa yang menuju ke pusat khatulistiwa, mengadu peruntungan untuk menemukan inti Bintang Andromeda yang bisa saja terlahir dalam wujud apapun. “Kita harus cepat kawan, bertahanlah, pinta pasukanmu bersiaga di seluruh pintu gua,” perintah Akai pada Neo, pimpinan pasukan katak. “Baik, Master,” sahut Neo dengan wajah yang murung. “Aku tahu kau khawatir pada Nea, tenanglah dia pembawa pesan paling hebat di Land Of Dawn. Lagipula, aku mengutusnya pada Saber,” kata Akai berusaha menenangkan Neo. “Saber, entah mengapa kau justru percaya pada assassin itu,” keluh Neo. “Karena bertemu dengannya aku menjadi tidak takut menghadapi takdir sebagai Ordo Pelindung,” kata Akai sambil melempat tongkat bambunya ke udara. “Semoga dia juga benar-benar berubah setelah bertemu denganmu. Kekuatan jahat Magic Stone bisa saja merubahnya kembali.” “Takdir juga yang membawanya terjebak ke dimensi lain, pasti ada alasan hingga dia menyerap kekuatan Magic Stone,” Akai berjalan ke arah mulut gua, menatap setiap inci stalagtit dan stalagmit yang menggantung indah di dalam gua, “Beri aku tanda jika ada hal jahat yang tidak bisa kalian atasi,” kata Akai melanjutkan. “Kau tenang saja, selesaikan tugasmu di dalam. Sisanya serahkan pada kami,” ucap Neo. Akai meneruskan langkahnya masuk ke dalam gua, berharap tidak ada kesulitan yang akan dia hadapi di sana. Dia harus cepat-cepat mengambil materai suci agar dapat meminta bantuan dari Tiga Raja Atlansea. Bau anyir makin pekat terasa di dalam gua yang dimasuki Akai. Padahal tidak ada tanda bekas darah para bajak laut seperti di luar gua. Sesaat, Akai merasa ngeri. Dia memantapkan hati beberapa detik kemudian, sembari terus waspada jika ada bahaya di dekatnya. Gua itu berbentuk lingkaran dengan langit-langit berbentuk oval. Luasnya kira-kira hanya setengah luas Collouseum di Roma. Akai mengelilingi seisi gua, mencari di mana letak materai suci berada. Tidak ada petunjuk, meski Akai sudah mengarahkan pedang dewa ke seluruh bagian gua. “Apa aku memasuki gua yang salah, tapi bukankah ini tempatnya? Mulut raksasa bergigi guncing di selatan,” Akai terus memutar otaknya, mencari tahu misteri materai suci yang harus segera dia temukan. Hingga matahari terbenam, dan kembali di ufuk timur keesokan harinya, tetap tidak ada petunjuk dan materai suci itu tidak berhasil ditemukan. Dengan putus asa, Akai keluar dari gua itu dan memutuskan segera pergi ke pusat khatulistiwa. Waktunya tidak banyak, apapun yang terjadi meski tanpa materai suci, dia harus menemukan inti Bintang Andromeda dan menjaganya sampai Sisi Baik –yang ditakdirkan itu datang. “Apa tanpa materai suci, Tiga Raja Atlansea akan mau membantu?” tanya Neo. Akai bergeming, terus berlari tanpa menjawab pertanyaan Neo. Hatinya gundah, kesulitan utama adalah bukan memecahkan misteri atau teka-teki untuk menemukan materai suci. Kesulitan utama adalah tidak ada misteri sama sekali. “Tiga Raja itu pasti tidak akan membiarkan Atlansea diserang kekuatan jahat,” Akai akhirnya berbicara. “Kau tahu, mereka lebih mementingkan seisi Atlansea daripada seluruh dunia ini,” sergah Neo. “Mungkin kau benar, sobat. Andai mereka tidak berniat membantu, aku tidak akan mundur, para pengikut kegelapan tidak boleh mendapatkan Bintang Anromeda,” balas Akai tanpa rasa ragu. Sekali lagi Akai mempercepat langkah, ingin dia menggunakan kekuatan lebur cahaya, tapi tidak mungkin selama Nea belum kembali. Lebur Cahaya dimiliki berpasangan oleh Neo dan Nea, serta diwariskan pada Akai. Jika satu di antara Neo dan Nea sedang menggunakannya, maka Akai tidak bisa melakukan jurus itu, sebab memerlukan energi yang sangat besar. Bisa-bisa tubuh Nea akan terbakar dalam kecepatan cahaya. Akai sudah mencapai batas kecepatan, menggunakan seluruh kemampuan yang dia miliki, juga dengan gabungan Hurricane Dance dan jurus 1000 Putaran Bambu, paling cepat dia baru akan sampai di Atlansea adalah ketika matahari terbenam esok hari. Sisi Akai yang urakan merutuki keadaan ini, kalau tahu tidak ada petunjuk mengenai materai suci di Pulau Darah, lebih baik dia langsung pergi ke pusat khatulistiwa. Neo bertambah khawatir, di saat sedang marah begini, Akai sering kehilangan kebijaksanaannya. Nasib seluruh penghuni jagad raya benar-benar berada di ujung tanduk. Dalam amarah yang kian memuncak, pandangan Akai dikejutkan oleh sebuah cahaya yang sangat menyilaukan. “Nea,” seru Neo dengan gembira. “Pesan telah sampai, Saber dan yang lainnya sudah menuju titik pertemuan di Atlansea,” kata Nea yang meredakan sedikit amarah Akai. Setidaknya, ada sekumpulan orang yang akan membantunya melawan para pengikut kegelapan, atau bahkan Lord Of Abyss yang muncul demi mengambil inti bintang Andromeda. “Terima kasih, sobat,” Akai memandang ke langit, mengingat kembali setiap pertemuannya dengan para Penjaga Misteri, tim yang dia bentuk untuk membantunya mengamankan inti Bintang Andromeda. Kenangan yang dipenuhi suka dan duka. Kenangan yang menjadikan mereka semua sahabat sejati. Pesan Tersembunyi Dalam keremangan malam itu, tiga sosok sedang berlari kencang. Tidak sedetik pun, ketiganya berhenti atau sekadar menoleh ke belakang. Deru senapan mesin mulai terdengar semakin dekat. Ketiganya dikejar oleh pasukan robot yang terus menembakkan peluru tanpa henti. Meriam besar ditembakkan ke arah mereka. Si penyerang sepertinya tidak ingin membiarkan mereka lolos. “Jangan biarkan mereka bisa pergi dari sini, kejar sampai ke manapun,” kata seorang dengan pakaian jas besar berwarna putih. Orang itu berperawakan tinggi besar, tubuhnya tegap dengan kacamata bentuk kotak dan kumis tipis di wajahnya. Dia terus menekan tombol di jam tangannya, menggerakan meriam besar agar menembak lebih kuat lagi. Ledakan dahsyat terdengar bersahutan, kilatan cahaya berpendar di mana-mana. “Teruslah berlari,” perintah Saber pada dua orang yang bersamanya. “Mengapa kau membantu kami?” tanya seorang berpakaian serba hijau. Sebelum Saber sempat menjawab, seorang lagi yang berpakaian biru, berbalik arah melemparkan Dragon Spearnya ke udara sambil berteriak,“Kita tidak akan bisa sampai ke sana, kalian larilah, aku akan menahan mereka.” “Tidak, sedikit lagi… Beta!” teriak Saber menahan orang berpakaian biru itu agar membatalkan serangan. Ya, dua orang yang bersama Saber adalah Si Kembar Alpha dan Beta, yang diciptakan Laboratorium 1718 setelah Saber pergi. Belum sempat Saber dan seorang lagi yang berpakaian hijau menyusul, sebuah ledakan mengenai tempat Beta berdiri tepat ketika dia menangkap Dragon Spear miliknya di udara. Tubuh Beta hancur berkeping-keping. “Beeee… taaaaa…,” lirih tertahan dari Alpha menyaksikan saudaranya tiada. Sesaat, Alpha bangkit dan sekarang mengarahkan Light Spearnya, ingin membalas kematian Beta. Saber berhasil menahan Alpha untuk bertindak lebih jauh. “Tahan dirimu, jangan biarkan kematian Beta sia-sia,” kata Saber berusaha menenangkan hati Alpha. Alpha dan Beta memang adalah manusia buatan, tapi keduanya memiliki hati nurani yang kuat, dan menolak perintah Laboratorium 1718 untuk menjadi mesin pembunuh di Alt-World. Tidak pernah ada misi pembunuhan yang berhasil mereka lakukan, karena setiap di detik terakhir keduanya selalu mengampuni korbannya. Jika kekuatan Saber berasal dari para ahli pedang, kekuatan Alpha dan Beta berasal dari para ahli supranatural. Kekuatan mereka berdua juga sangat misterius. Perpaduan Dragon Spear dan Light Spear memang tidak terkalahkan. Namun, kini Alpha sendirian. Dia berusaha menuruti kata-kata Saber menguatkan hati, mengambil lengan Beta yang masih utuh memegang Dragon Spearnya. Alpha ingin menguburkannya di suatu tempat. Saber dan Alpha kembali berlari, menghilang di balik kegelapan malam, menuju titik di mana Saber bisa membawa mereka pergi dari Alt-World untuk selamanya. “Time Sword,” ucap Saber sambil menebaskan pedangnya. *** Saber dan Alpha tiba di Antoinerei ketika terjadi pertempuran antara Bruno dan Lolita melawan Akai. Bruno dengan kaki buatan terus menerus menembakkan bola energi ke arah Akai. Sementara Lolita dengan Storm Hammer di tangan, menciptakan shield untuk menahan setiap serangan Akai. Namun, panda itu memang luar biasa, Lolita dan Bruno terpojok ketika menghadapi Hurricane Dance. Saber mengingat betul gerakan memutar badan milik Akai itu, ketika mereka berhadapan di gua. Akai mengeluarkan Hurricane Dance dengan kecepatan luar biasa, menghempaskan serangan Triple Sweep dan Flying Sword milik Saber dengan mudah. “Panda itu hanya menggunakan setengah dari kekuatannya,” kata Saber pada Alpha. “Luar biasa,” sahut Alpha. Gerakan Akai berikutnya, dia memutar tongkat bambunya di udara, mengarahkan serangan pada Lolita dan Bruno. Shield yang dibuat Lolita sudah melemah, dia mencoba memukul Akai dengan Storm Hammer, tapi sia-sia, Akai begitu kuat. Tongkat bambunya berhasil membuat palu raksasa di tangan Lolita terpental. Bola Energi milik Bruno yang terus memantul berbalik menyerang pemiliknya sendiri. Sedikit lagi tongkat bambu Akai mengenai leher Bruno, panda bertubuh gempal itu membatalkan serangan dan berkata, “Cukup sudah, kalian memang layak menjalankan tugas ini.” Tentu saja, Lolita dan Bruno kebingungan, bahkan Dr. Rooney dan para petinggi Antoinerei yang menyaksikan pertarungan itu dari kejauhan hanya mampu menatap penuh tanda tanya. Apa sebenarnya mau panda itu? Menyerang tiba-tiba sejak beberapa hari lalu, dan datang lagi dengan serangan yang lebih mematikan. Tapi, mendadak mengatakan ini hanya sebuah tes kelayakan. “Aku tahu kalian semua ada di dalam, maafkan jika aku berbuat tidak sopan, tapi kemarilah, aku akan menjelaskan semuanya.” Tampak ragu-ragu para petinggi Antoinerei keluar dari tempat persembunyian. Lolita dan Bruno berusaha memulihkan diri, bersiap-siap jika penyerang mereka ternyata melakukan tipu muslihat. Sekian lama Bruno menjadi City Guard, belum pernah dia menghadapi lawan sekuat ini. Siapa orang itu sebenarnya, dari bentuk tubuhnya saja sudah sangat aneh. Bagaimana bisa, seekor panda dapat berbicara dan bertarung sehebat itu. Bruno dan seisi Antoinerei tidak tahu, meski di dimensi mereka ada bangsa Elf dengan segala keanehannya, masih banyak keanehan dan keajaiban di Land Of Dawn, dimensi di mana Akai berasal. “Aku hanya menguji kedua petarung kalian, demi menjaga dunia ini dari penguasa kegelapan,” Akai memulai penjelasannya. “Apa maksudmu?” tanya Andrean dengan masih menunjukkan sikap waspada. Akai memperhatikan itu, dia tersenyum, pasti akan sulit jika dia menjelaskan semuanya sendirian. “Kemarilah Saber, aku tahu kau sudah tiba sejak tadi,” kata Akai tanpa menjawab pertanyaan Andrean. Tindakan yang tidak sopan bagi rakyat Antoinerei. Saber diikuti oleh Alpha keluar dari tempat mereka, mendekat pada Akai. Saber dan Akai berpelukan hangat, seperti dua sahabat yang lama tidak bertemu. “Terima kasih, kau akhirnya kembali.” “Sudah kubilang, aku hanya mengambil pedangku.” “Tapi, kau membawa lebih dari sebuah pedang,” sindir Akai sambil melirik pada Alpha. “Seharusnya aku membawa dua orang, tapi dia gugur dalam pelarian kami. Ini Alpha, kau tenang saja Master, dia bisa dipercaya,” jelas Saber. “Baiklah, mari kita mulai. Para petinggi Antoinerei, maafkan jika aku berlaku tidak sopan. Aku akan menjelaskan semuanya, kumohon bersabarlah mendengar cerita membosankan ini,” Akai tertawa gelak, lagi-lagi justru di saat genting begini, dia malah berlaku tidak waras. Akai menatap semua orang di situ, semua diam, mereka menunggunya memberikan penjelasan. Pelan tapi pasti, Akai melihat Bruno mulai menyiapkan bola energi di kakinya. Dia harus cepat, atau akan sulit menahan amarah orang-orang itu lagi. Akai mulai menceritakan pertemuannya dengan Saber, dan bagaimana Akai meninggalkan gelombang katak di tubuh Saber agar mereka masih bisa saling terhubung meski berada di ruang dan waktu yang berbeda. Penjelasan tentang ruang dan waktu membuat banyak orang di tempat itu sedikit bingung. Akai tak peduli, dia terus saja melanjutkan kisahnya. Saber yang melarikan diri dari Laboratorium 1718 lalu menggunakan gelombang katak untuk menemui Akai dan meminta petunjuk. Saber ingin berguru pada Akai demi mencari kedamaian hati. Dari pertemuan itu, Akai mendapatkan firasat kalau Saber adalah sosok yang selama ini dia cari, bagian dari tim yang akan menyelamatkan dunia dari kuasa kegelapan. Dari pengalaman Saber dalam misi-misinya, Akai lalu mengetahui banyak dimensi seperti legenda tentang Kaja yang selama ini dia dengar. Dari semua dimensi yang ada, Akai memilih Antoinerei untuk mencari anggota tim lainnya. Karena ketulusan hati semua orang di Antoinerei, dia percaya akan menemukan orang yang tepat. Meski Akai sendiri tidak tahu tentang para Elf yang mulai haus akan kekuasaan dan sedang berperang karena berhasil dipengahuri kekuatan jahat tak terlihat. Semula Saber mengatakan bahwa tidak ada petarung di kota itu, bahkan para Elf sekalipun tidak kuat dalam pertarungan. Akai tetap yakin, bahwa ada alasan Kaja menciptakan sebuah dimensi dengan hati penuh ketulusan. Dengan Time Sword, Saber membawa Akai ke Antoinerei, dan setelah berhadapan dengan Lolita dan Bruno, bahkan menguji kekuatan keduanya, Akai akhirnya memutuskan untuk menjadian mereka sebagai anggota Penjaga Misteri. Akai pun dengan cerdik menguji kesiapan Bruno dalam mengatasi masalah. Ketika mengatakan bahwa akan kembali lagi, Akai ingin tahu apakah Bruno –yang dilihatnya cerdik, akan mampu mengatasi keadaan dan menyiapkan kekuatan untuk menghadapi dirinya. Dengan luka yang diderita Lolita tentu akan sangat sulit menghadapi Akai lagi, tapi Noumenon Energi Core dan Storm Hammer berhasil membuat pertarungan kedua nampak seimbang sebelum Akai mengeluarkan Hurricane Dancenya. “Kau belum menjelaskan kuasa kegelapan bagaimana yang akan mengancam dunia,” tanya Andrean ketika beberapa saat Akai menghentikan penjelasannya. Akai lalu menceritakan tentang Kaja dan inti Bintang Andromeda, semua petinggi Antoinerei saling berpandangan, mereka tidak menyangka bahwa hal yang selama ini mereka tunggu dari generasi ke generasi ada di saat ini. “Tidak salah dirimu datang kemari, dan kau benar kalau ada alasan mengapa Tuan Kaja menciptakan dimensi ini,” sahut Andrean. “Jadi kalian tahu,” Akai tidak menyembunyikan keterkejutannya. Andrean lalu mengajak semua orang ke pusat istana Antoinerei. Tepat di tengah istana ada sebuah air mancur yang mengalir indah berwarna-warni. Ada tujuh semburan dari pusat air mancur, masing-masing semburan memiliki warna yang berbeda. Andrean mengambil sebuah batu yang terselip di ikat pingganggnya. Batu itu dia lemparkan ke dalam air mancur yang seketika menghentikan semburan air. Berikutnya, batu di sekeliling air mancur berputar serentak ke arah kanan. Perlahan dari dalam dasar air mancur itu keluar sebuah batu besar, di tengah batu itu ada sebuah lubang yang tembus sampai ke sisi sebelahnya. Andrean mengambil pedang berlekuk tujuh, selama ini terus berada di pingganggnya. Bruno mengira pedang itu hanyalah sebuah senjata, tapi ternyata ketika pedang itu dimasukkan ke dalam batu di air mancur, tanah di sekeliling tempat Andrean, Akai dan yang lainnya berdiri pelan-pelan terus menurun. Akai dan Saber ingin melompat, mengira ini adalah jebakan. “Tahan dirimu, sesuatu yang akan kutunjukkan ada kaitannya dengan ceritamu tadi, pantang bagi rakyat Antoinerei menusuk lawan dari belakang,” kata Andrean meyakinkan Akai dan Saber. Tetap saja, Akai bersiap, ini bisa saja sebuah jebakan, apalagi ketika Akai melihat ke atas, ada lempeng batu yang bergeser dari segala sisi dan pelan-pelan membentuk tutup di atas kepala Akai dan yang lain. “Ke mana kau membawa kami?” tanya Akai. “Bersabarlah, sudah kubilang, pantang bagi kami menyerang lawan dengan cara licik,” jawab Andrean. Tanah di sekeliling air mancur memang turus turun, semakin lama semakin cepat, jika diukur jarak dari permukaan sebelumnya tanah itu sudah turun sejauh tiga puluh meter. Akai menatapi ke sekeliling, sekalipun terus turun ke bawah tanah, tempat itu membentuk sebuah ruangan besar berbentuk lingkaran. Air mancur itu di bawahnya adalah sebuah tiang berbentuk pipa tembus pandang. Di dalam pipa itu mengalir tujuh air yang memancarkan cahaya, yang menyinari seluruh ruangan. Tanah tempat Akai dan yang lain berpijak baru berhenti turun ketika panjang pipa di bawah menara air mancur mencapai 100 meter. Seharusnya, berada di dalam tanah begitu, tidak banyak udara dan pasti akan membuat paru-paru terasa sesak. Anehnya Akai merasakan ruangan itu malah sangat menyejukkan. Apa mungkin sumber udara yang menyejukkan ini berasal dari air di dalam pipa tembus pandang? Ketika sekali lagi Akai memandang ke sekeliling ruangan, dia kembali dibuat takjub. Dinding ruangan itu dipenuhi dengan lukisan seorang dewa dengan cambuk petir di tangannya sedang menghadapi berbagai musuh. Di antara semua lukisan itu ada satu yang menarik perhatian Akai. Lukisan ketika cambuk petir sang dewa diubah menjadi sebuah pedang. Pedang itu sama persis dengan pedang yang selama ini dijaga oleh Akai. “Ini adalah makam Tuan Kaja, yang dalam ceritamu tadi kau sebut sebagai dewa. Aku adalah generasi ke-18 dari petinggi kota Antoinerei. Kami dipilih dengan syarat ketika pendahulu kami meninggal. Kelayakan kami memimpin ditentukan dengan meletakkan tangan di tujuh semburan air mancur di atas. Jika semua semburan itu kami rasakan dingin dan sejuk, berarti kami pantas menjadi dewan petinggi di kota. Itu dilakukan demi menjaga sebuah pesan dari Tuan Kaja yang ditinggalkannya sebelum dia pergi dari dunia ini. Pesan itu tersimpan ribuan tahun di sini, di makamnya. Tidak ada satupun dari rakyat Antoinerei tahu tentang isi pesan itu. Kami para pemimpin pun hanya tahu sepenggal kisah sebagai petunjuk yang harus ditunggu sampai waktunya tiba. Dan, hari ini kau datang ke tempat kami, memenuhi ramalan itu,” terang Andrean. “Ramalan?” “Akan datang seorang ksatria yang berperilaku aneh dan bahkan sangat tidak sopan ke tempat ini untuk menjemput orang-orang Antoinerei, demi menjaga kekuatan terbesar di alam semesta. Tongkat bambu tidak pernah lepas dari tangannya, sahabat para katak, teman sejati para dewa,” ucap Andrean dalam sekali tarikan nafas, “Itulah ramalannya yang terus kami ceritakan dari generasi ke generasi dan hanya menjadi rahasia bagi para dewan pimpinan kota. Ketika hari dalam ramalan itu tiba, kami harus membawa orang yang disebut dalam ramalan itu ke makam Tuan Kaja, dan menyerahkan pesan sesungguhnya,” lanjut Andrean lagi. “Apa isi pesan itu?” tanya Akai. “Tidak ada yang tahu, kau hanya harus masuk ke dalam pipa di bawah ari mancur itu. Pesannya ada di sana.” “Bagaimana kami tahu, kalian tidak mengarang cerita?” Saber ikut menimpali dengan rasa tidak percaya. “Terserah pada kalian. Kami hanya melaksanakan tugas. Jika kau tidak mau, kami rakyat Antoinerei tidak pernah memaksakan kehendak.” Akai berada dalam kebimbangan. Raja Katak, gurunya tidak pernah bercerita tentang pesan Dewa Kaja di dimensi Antoinerei. Selama ini dia hanya menunggu kedatangan seorang penjaga lain yang seharusnya menemui dia di purnama ke-24 setelah gerhana bulan darah. Orang itu tidak kunjung datang, dan Akai memutuskan untuk membentuk tim penjaga sendiri, dari orang-orang yang bisa dia percaya. Saber menjadi orang pertama yang dia percayai menjadi anggota tim, karena ketulusan dalam pertobatannya. Berhenti menjadi pembunuh. Namun, justru keputusan Akai itu malah membawanya pada kondisi sulit, apakah harus percaya pada rakyat Antoinerei bahwa Dewa Kaja menitipkan sebuah pesan di sini untuknya? Jika dia salah mengambil keputusan dan ternyata Andrean berbohong dan ingin menjebaknya, tugasnya sebagai penjaga akan jadi pertaruhan besar. “Lakukanlah sobat, aku dan Alpha akan berjaga-jaga jika orang-orang ini berbohong dan melanggar kesucian hati mereka,” kata Saber. Tidak ada pilihan memang, semakin lama memutuskan, semakin lama pula semuanya akan terjawab. Ksatria panda itu menguatkan hati, melangkah menuju pipa transparan di depannya. “Bagaimana aku harus masuk?” “Melangkah saja terus, dinding pipa itu terbuat dari air. Tidak ada benda padat yang menghalangimu.” *** Saber bersiaga penuh, dia memberi kode pada Alpha agar bersiap untuk menolong Akai jika terjadi sesuatu. Dua puluh menit berlalu, Akai belum keluar dari dalam pipa, Saber sudah tidak sabar. Seakan bisa membaca pikiran Saber, Andrean mendahului dan berkata, ”Ini cukup lama, tapi tidak ada seorang pun dari kita yang bisa masuk ke sana, beberapa pendahulu kami sudah pernah mencoba, dan tubuhnya terpanggangg api. Segala sesuatu di Antoinerei diciptakan hanya untuk mereka yang layak.” “Gila, bagaimana bisa air menjadi api?” “Kau mau mencobanya?” Andrean mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke arah pipa. Kilatan cahaya memancar menyilaukan mata semua yang ada dalam ruangan itu. Bunyi dentuman yang lumayan memekakkan telinga juga terdengar. Batu yang dilempar Andrean, terlontar balik ke arah kening Alpha. Lolita dengan insting Elfnya mengarahkan Storm Hammer membentuk sebuah shield dan berhasil menahan batu kecil yang sudah berubah menjadi bara itu. “Ajaib!” seru Dr. Rooney yang sejak tadi diam saja. Saber juga terkejut bukan main, belum pernah dia melihat keajaiban seperti ini di dimensi manapun sebelumnya. Air bisa membuat sebuah batu menjadi bara. Air yang benar-benar ajaib. Tapi, jika begitu bagaimana dengan Akai? Walau tubuh Akai sangat kuat dan dapat menahan semua seragan, bukan tidak mungkin air itu kini sudah memangganggnya hidup-hidup. Saat Saber ingin maju dan ingin menolong Akai, dari dalam pipa keluarlah ksatria panda itu. Akai keluar dengan mengenakan zirah berwarna coklat dan sebuah kalung besar tergantung di lehernya. Di tangannya dia membawa lima buah zirah berbeda bentuk dari yang dipakai Akai. Dari segi ukuran, lima zirah di tangan Akai itu jelas tidak muat dipakai olehnya. Mengapa pesan yang dikatakan begitu penting dari seorang dewa yang menciptakan banyak dimensi adalah beberapa baju zirah? “Terima kasih Andrean, kalian semua benar, ini memang pesan yang ditinggalkan Dewa Kaja untukku. Aku bahagia ternyata keputusanku membentuk tim benar. Ini adalah baju zirah yang ditinggalkan oleh Dewa Kaja. Satu yang kupakai sekarang, lima lagi aku yakin sesuai dengan tim yang akan kubentuk. Saber; Assassin dengan baju zirah Onimaru, Bruno; Marksman mendapat baju zirah The Protector, dan Lolita; Tank dengan baju zirah Steel Elf. Tinggal dua lagi, seorang Fighter dan Mage.” Semuanya terkejut, bukan karena Akai berhasil keluar dari pipa dalam keadaan baik-baik saja, tapi enam baju zirah yang disiapkan Dewa Kaja, semuanya sesuai. Ramalan itu ternyata benar. Pesan tersembunyi dalam pipa itu memang ditujukan untuk Ordo Pelindung. Kenyataan Pahit Antoinerei selalu sunyi ketika malam tiba, tidak ada satu pun manusia yang berpergian ketika matahari terbenam. Budaya ini sudah dilakukan sejak awal Kaja menciptakan Antoinerei. Ketika malam tiba, semua orang hanya akan bercengkerama di dalam rumah, hanya para Elf yang berkeliaran di luar. Sejak perang saudara bangsa Elf, jam malam diberlakukan, rumah menjadi tempat teraman ketika kegelapan malam tiba. Bangsa Elf saling menaruh curiga satu sama lain. Akai mulai merasakan keanehan di tempat ini, ada aura jahat yang meliputi wilayah bangsa Elf. Dalam hatinya, Akai berharap Lolita dan Bruno adalah orang yang tepat untuk menjadi anggota tim. Sudah tiga hari sejak mereka ada di makam Dewa Kaja, Akai masih menimbang-nimbang permintaan Saber, untuk memasukkan Alpha sebagai anggota tim. Andrean, Ketua Dewan Pimpinan Antoinerei juga layak, baju zirah yang disiapkan Kaja ribuan tahun lalu cocok untuk Alpha dan Andrean. Lalu siapa yang pantas? Pertanyaan itu membuat Akai terus bergulat dalam kebimbangan. Andrean, sudah pasti memiliki ketulusan dan kejujuran seperti semua penduduk Antoinerei. Lagipula, dirinya adalah satu di antara generasi penjaga makam Kaja, orang-orang yang dipilih dengan kelayakan. Tidak ada satu pun alasan yang dapat meragukan kesetiaan Andrean. Sedangkan Alpha, dia manusia buatan seperti Saber. Meski memiliki hati yang murni dan kuat, Alpha belum teruji. Akai selalu percaya dengan suara hatinya, termasuk ketika dia memutuskan membentuk tim. Kini suara hatinya berkata untuk memilih Alpha, tapi akal sehatnya terus berpikir mencari logika yang pantas. Apa layak dia mempercayakan nasib kekuatan terbesar di alam semesta pada dua manusia buatan? Jika memilih Alpha, Akai menolak permintaan Dewan Pimpinan Kota Antoinerei. Menurut mereka, satu di antara anggota generasi penjaga makam adalah bagian dari rakyat Antoinerei yang harus dijemput Akai, sang penjaga dalam ramalan Kaja. Akai memilih keluar dari istana, berjalan-jalan mengelilingi Eruditio. Ibukota Republik ini masih menyisakan keindahan negeri, saat bangsa Elf dan manusia hidup dalam damai. Terakhir, Akai berhenti pada sebuah taman bunga. Di sana ada banyak kolam ikan, beberapa ikan berlompatan seolah menyambut kedatangan Akai. “Mungkin ini yang tepat untuk merenungkan semuanya,” batin Akai. Dia duduk bersandar pada sebuah kolam, mematikan seluruh inderanya dan bermeditasi. Sementara itu, Dr. Rooney terus bekerja pada lengan Beta yang tersisa. Alpha dan Saber sudah meminta izin pada Andrean untuk menguburkan Beta di tanah Antoinerei. Dr. Rooney bersikeras dia bisa melakukan sesuatu pada Beta; menyelamatkannya. Dulu, Dr. Rooney pula yang berhasil memasang kaki logam pada Bruno. Padahal semua ilmuwan sudah putus asa, kaki logam yang berhasil dibuat tidak cocok dengan struktur tulang Bruno. Dr. Rooney melakukan modifikasi pada kaki logam itu dan membuat pejuang tangguh itu bisa berjalan lagi. “Aku berhasil…,” teriak Dr. Rooney. Alpha dan Saber terkejut bukan main. Beta kembali online. Memang tidak sempurna, Dr. Rooney memodifikasi lengan Beta yang tersisa menjadi sebuah pesawat kecil. Sebelum terkena ledakan, tampaknya Beta sempat memindahkan seluruh memori pada Dragon Spear miliknya. Kekuatan dan semua pengetahuan Beta tersimpan di dalam tombak itu. Dr. Rooney memang luar biasa, entah bagaimana dia juga berhasil menggabungkan Dragon Spear dan Light Spear. Alpha kini memiliki dua elemen pada tombaknya, yang sekarang disebut Light Dragon Spear. “Terima kasih, Tuan,” kata Alpha. “Jangan sungkan, ini memang hobiku. Modifikasi dan memperbaiki.” “Beta is Online,” suara Beta terdengar lagi. Beta sekarang menjadi pesawat kecil yang selalu mengikuti Alpha. Kekuatan mereka menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Keberadaan elemen air milik Beta, membuat Alpha kini mempunyai healing factor alami jika dia terluka. “Aku yakin Akai akan memilihmu menjadi Fighter dalam tim,” ucap Saber. “Sudahlah sobat, jangan terlalu kau paksakan,” sahut Alpha. Saber mencabut pedangnya, menebaskan pedang itu tiga kali di udara. Detik berikutnya dia sudah ada di depan Akai yang sedang duduk termenung, “Beta sudah berhasil diperbaiki. Dia jadi satu dengan Alpha sekarang, dan itu melipat gandakan kekuatan Alpha. Mereka berhasil mengaktifkan healing factor di tubuh Alpha.” Akai yang baru selesai meditasi, berpaling mendengar suara Saber, menjawab singkat, “Kumpulkan semua orang di istana republik, aku sudah memutuskan.” *** Matahari baru saja tepat berada di atas kepala, semua orang menunggu dengan gugup pengumuman dari Akai. Tim yang dia bentuk memang belum akan bertugas apa-apa, sampai inti Bintang Andromeda terlontar ke Land Of Dawn –dimensi dengan sejuta keajaiban. Bagi para petinggi Antoinerei, tugas ini adalah tugas mulia, karena akan mewujudkan apa yang disiapkan oleh Kaja, junjungan dan panutan mereka. Bagi Saber, Alpha dan Beta ini akan menjadi pembuktian bahwa mereka bukanlah mesin pembunuh. Lolita sendiri ingin menunjukkan pada bangsa Elf kalau tidak pantas mereka berseteru sementara dunia sedang di ambang kehancuran. Kalau sesuai perhitungan Andrean, antara waktu meninggalnya Dewa Kaja –yang diasumsikan waktu inti Bintang Andromeda kembali ke orbitnya di Galaksi Andromeda, hingga masa sekarang sudah berjalan sekitar 7900 tahun. Sesuai perkamen kuno yang dimiliki Akai, waktu 10.000 tahun, yang menjadi batas terakhir masa meledaknya bintang Andromeda tersisa 2100 tahun lagi. Andrean merasakan saatnya sudah dekat, dia ingin mengemban tugas ini. Kaja pasti memiliki alasan ketika membentuk para penjaga makam yang juga menjadi dewan pimpinan Republik Antoinerei. Dan alasan itu adalah mereka juga berkewajiban menjadi penjaga seperti Akai dari Nazar Guardian. “Para petinggi Antoinerei, dan semua yang telah hadir. Terima kasih, karena bersedia menunggu. Aku akan mengumumkan siapa yang akan menjadi bagian tim yang akan kubentuk. Aku membutuhkan satu orang Fighter, da nada dua kandidat. Andrean dan Alpha. Keduanya adalah calon yang pantas dan sesuai. Andrean adalah pemimpin kota ini, sahabat para Elf. Alpha adalah ksatria berhati mulia, sahabatku Saber menjadi saksinya. Semula, aku berada dalam kebimbangan, siapa yang harus kupilih, atau haruskah keduanya kupilih sebagai tim. Padahal aku juga tidak tahu, kapan tim ini dapat mulai bertugas. Kita hanya akan menunggu sampai waktu yang disampaikan para dewa dalam perkamennya itu tiba. Waktu saaat inti Bintang Andromeda terlahir kembali ke Land Of Dawn, sebagai Twilight Orb ketiga,” Akai diam sesaat, mencoba membaca setiap raut wajah semua orang, tatapannya tertuju pada satu titik yang membuat dirinya terkejut. Saber yang melihat itu mencoba bertanya, tapi Akai memberi isyarat agar Saber tidak berkata apa-apa. Akai melanjutkan, “Aku dengan segala kerendahan hati, memutuskan bahwa Andrean dan Alpha akan membuktikan siapa di antara mereka yang layak, seperti tradisi dan budaya di Antoinerei, segala sesuatu ditentukan dengan kelayakan bagi mereka yang sungguh-sungguh layak. Semoga ini akan menjadi jalan keluar bagi semua orang dan tidak akan menyakiti siapapun.” “Bagaimana kita menguji kelayakan mereka?” tanya Dr. Rooney. “Storm Hammer, Pedang Besar yang selalu kubawa ini dan Air Tujuh Warna. Ketiga benda itu hanya dapat digunakan oleh mereka yang pantas.” “Palu dan pedang itu mungkin, tapi Air Tujuh Warna akan memanggang dan meledakkan Alpha, Andrean sudah membuktikan diri sewaktu dipilih menjadi pemimpin kota ini, bukan?” Saber menimpali. “Itu hanya semburan air mancur di bagian atas, entah bagaimana Dewa Kaja menciptakan air mancur itu, tapi setelah melewati pusat menara, dia tidak akan berbahaya dan meledakkan siapapun. Kita akan menggunakan bagian air di pipa di makam Dewa Kaja.” Semua orang mengangguk setuju dan menilai ide Akai ini terlalu berlebihan. Akai sendiri tersenyum. Saber mengerti kalau Akai pasti sudah memikirkan hal ini, dan seperti kebiasaannya ketika dia tersenyum, Akai selalu memiliki jalan keluar. “Kita tidak akan menggunakan semua Air Tujuh Warna, hanya beberapa tetes saja. Kalau pun terpanggang, luka bakar yang diterima Andrean atau Alpha nanti hanya luka kecil,” terang Akai. Alpha dan Andrean bergantian mencoba mengangkat Storm Hammer dan Pedang Besar. Andrean sedikit bisa mengangkat Pedang Besar, meski hanya dua jari dari permukaan tanah, tapi gagal di Storm Hammer. Alpha sebaliknya, dia mampu mengangkat Storm Hammer bahkan sampai dua kilan dari permukaan tanah, tetapi Alpha gagal mengangkat Pedang Besar. Kedua kandidat seimbang, meski angkatan Alpha jauh lebih tinggi, bagi semua orang keduanya sama-sama layak sekarang. Kini tinggal penentuan dengan Air Tujuh Warna, siapa yang akan terbakar dan tidak. Akai mengambil dua tetes air itu, meletakkannya masin-masing satu tetes di jari tangan Alpha dan Andrean. Jari keduanya tidak terbakar. Mereka sama-sama layak dan semakin bingunglah semua orang. Saber mengira Akai tidak memperhitungkan kondisi ini, nyatanya dia salah. Akai sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi. Perlahan, ada perubahan di telinga Andrean. Kedua bagian atas telinganya memanjang dan meruncing, seperti telinga Elf. “Mengapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Andrean ketika melihat semua orang melihat ke arahnya dengan perasaan marah. “Telingamu, Tuan.” “Apa maksudmu Bruno?” Andrean menyentuh kedua telinganya, dia terkejut bukan main. Rahasia yang selama ini dia jaga terbongkar di depan semua orang. Dalam peraturan di Antoinerei yang disepakati manusia, Elf dan Kaja di masa lalu, tidak boleh ada bangsa Elf yang menjadi dewan pimpinan di Antoinerei, apalagi menjadi ketua dari dewan pimpinan itu. Elf adalah penjaga manusia di tanah Antoinerei, begitu ketentuan hukum yang disepakati. “Ini sihir. Apa yang kau lakukan padaku?” Andrean bertanya pada Akai, berusaha agar semua orang percaya ini adalah sihir dari Akai. “Jangan berdusta lagi. Awalnya aku ingin agar kau dan Alpha bertarung untuk membuktikan siapa yang layak, tapi sebelum mengatakan itu, aku melihat kilatan perak di dalam hidungmu. Bulu perak hanya dimiliki oleh Bangsa Elf. Karena itu aku mengubah ujian kelayakan dengan Storm Hammer dan Pedang Besarku. Storm Hammer hanya bisa diangkat oleh mereka yang benar-benar layak. Tapi, Pedang Besar itu dapat diangkat oleh siapa saja. Aku hanya menahan ketika kau dan Alpha mengangkatnya, agar dapat membongkar muslihatmu, aku membiarkan Pedang Besar itu terangkat sedikit ketika kau mencoba dan menahannya saat Alpha yang mencoba.” Andrean dan yang lain tercengang mendengar itu, bukan saja karena jebakan Akai yang luar biasa cerdik, tapi betapa hebatnya Akai yang mampu menahan gerakan pedang seukuran orang dewasa itu dari jarak jauh. “Dan tentang Air Tujuh Warna, tetesan air yang kuberikan pada kalian bukan Air Tujuh Warna itu. Aku tidak mungkin mengambil resiko, meski setetes bisa saja air itu meledakkan kalian berdua,” terang Akai lebih jauh. “Apa yang kau berikan padaku?” “Itu air sungai suci di Land Of Dawn, para Elf di sana suka dengan sungai itu dan perasaan hati mereka akan berbunga-bunga setiap menyentuh airnya. Seharusnya kau tahu, Elf yang sedang senang dan berbunga-bunga hatinya tidak akan bisa melakukan sihir muslihat dan tipuan. Itu yang membuat telingamu terlihat, kawan,” kata Akai yang diakhiri dengan gelak tawanya. “Untuk apa kau lakukan itu Andrean, semoga penjelasanmu sepadan,” kata seorang anggota petinggi Antoinerei. Andrean tidak memberikan jawaban, dia mengambil sesuatu di kantongnya, sebuah bola kecil berwarna hitam. Bola itu dilemparkan Andrean ke tanah, dan mengeluarkan asap hitam yang sangat pekat. Dia berusaha kabur, tapi Saber dengan cepat meringkusnya. “Flying Sword…,” tebasan pedang Saber itu membuat Andrean terpukul mundur dari kepulan asap hitam, sebelum dia sempat melarikan diri. Akai melemparkan gelombang katak ke arah dada Andrean. Tubuh Andrean tidak dapat digerakkan, dia mencoba menggunakan sihir Elf untuk melepaskan diri, tapi sia-sia. Akai telah menotok jalan darahnya, totokan itu hanya dapat dilepaskan oleh Akai sendiri dan Raja Katak. “Kau membuat bangsa Elf malu,” seru Lolita. Andrean tersenyum getir mendengar itu, “Kau Elf kemarin sore tidak usah menceramahiku tentang rasa malu. Aku seratus kali lebih paham tentang bangsa Elf dari dirimu. Kau pikir jika bukan aku yang mengizinkan Noumenon Energy Core dan Storm Hammer diberikan, kau pasti sudah mati sekarang. Satu lagi, kau pikir untuk apa aku memberikanmu kekuatan paling dahsyat itu? Bangsa Elf sudah sekian lama menjadi budak manusia. Kita dijadikan pelayan bukan penjaga seperti pesan Tuan Kaja. Bangsa kita diperbudak, hingga perang saudara pecah. Manusia hanya diam saja, dan tidak sedikit pun berusaha mendamaikan kita. Sekarang, dengan adanya kau kita punya kesempatan. Kembalilah ke bangsamu, kalau kau masih peduli dengan rasa malu bangsa Elf.” “Kau gila, kalau aku melakukan itu, bangsa Elf akan seratus kali lipat lebih malu dari apa yang dirimu lakukan ini.” Akai dan yang lain membiarkan dua Elf itu terus berdebat. “Aku pergi dari tengah bangsa kita, ketika kau masih dalam perut ibumu. Para petinggi Elf yang mengutusku, dan berkat Akai yang datang dengan legenda bintangnya tidak ada yang sadar saat aku mengirimkan Cambuk Petir Tuan Kaja ke Moon Elf. Cambuk itu dapat menyatukan bangsa kita yang tercerai berai akibat perang, dan tanpa cambuk itu, manusia tidak punya kekuatan apa-apa untuk menundukkan bangsa Elf. Sihir Elf akan dengan mudah mengalahkan manusia. Kini giliran manusia yang harus tunduk pada bangsa Elf,” ucap Andrean berapi-api. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” “Ketika kita sedang berbicara, pasukan Elf sudah bersatu dan datang ke Eruditio. Kini giliran manusia yang menjadi pelayan Elf. Tanpa cambuk petir itu, manusia tidak bisa mengalahkan Elf.” Semua yang mendengar itu terkejut bukan kepalang. Tidak ada yang menyangka, kalau bangsa Elf diam-diam bertindak sejauh ini. Akai jauh lebih menyesal. Kedatangannya ke dimensi ini justru membawa bencana dan perpecahan antara Elf dan manusia. Tiba-tiba saja, sebuah lingkaran berwarna ungu kehitaman seukuran kepalan tangan manusia muncul di depan Dr. Rooney. Alpha menarik ilmuwan itu, membawanya menjauh. Saber dan Akai bersiap. Bruno merangkul Lolita, dia tahu Elf muda itu sedang berada dalam kemarahan luar biasa. Lolita tidak menyangka, dalam perjuangannya mengakhiri perang, bangsa Elf justru mengakhir perang demi mengingkari takdir dan sumpah setia menjadi penjaga manusia. “Ayo, mereka sudah datang, kau harus kendalikan dirimu.” Lolita tidak menjawab, dia hanya mengangkat Storm Hammer, menyiapkan shield. Di sudut matanya, buliran air mata perlahan menetes. “Mag…iiii…caaaaallllll Gooodddeeeeesssss,” sebuah teriakan panjang membahana dari dalam lingkaran yang semakin lama semakin besar. Dari dalam lingkaran itu keluar sebuah topi yang bagian atasnya tinggi, ada banyak bintang di sekeliling bagian atas topi itu. Semua orang di istana Eruditio melangkah mundur. Topi itu tergeletak di lantai, tepat saat lingkaran ungu tadi menutup dalam sekejap. Bruno mendekat diikuti Lolita, berusaha memastikan apa sebenarnya topi itu. Apa ini tipu muslihat dari sihir para Elf? Lolita ragu, dia tidak merasakan sedikit pun kehadiran kaum keluarganya. Sedikit lagi Bruno mengangkat topi itu, seorang bocah laki-laki berjubah ungu kehitaman keluar dari dalam topi. “Dia bukan Elf,” kata Lolita. Bruno, Akai, Saber, Alpha dan petinggi Antoinerei masih waspada, mereka masih curiga kalau ini adalah tipu muslihat para Elf. Yang mereka semua lihat detik berikutnya, jubah bocah itu terlepas. Di baliknya terlihat tubuh bocah itu penuh dengan luka goresan, punggung tangan kirinya menyisakan luka bakar yang masih mengeluarkan asap. “Toolooong,” pinta bocah itu sebelum kesadarannya benar-benar lenyap. Pendeta Suci Sudah dua belas jam, serangan Elf yang dikatakan Andrean tidak kunjung datang, membuat Akai dan yang lain terus berjaga. Para petinggi Antoinerei segera memilih pengganti Andrean dan Bruno terpilih setelah uji kelayakan sesuai tradisi Antoinerei. Mereka percaya pada Bruno, meski sedikit ragu pada Lolita, tapi hati tulus yang menjadi ciri khas Antoinerei itu membuat keraguan pada Lolita tidak terlalu mereka pikirkan. Ketulusan hati itu pula yang membuat mereka semua hanya menunggu serangan datang, tanpa berusaha menyerang lebih dulu untuk melumpuhkan lawan. Sementara itu, bocah laki-laki yang keluar dari lingkaran ungu kemarin adalah Harley. Dia pulih berkat gelombang katak penyembuh milik Akai. Harley mulai menceritakan apa yang terjadi sampai dia terluka parah seperti itu. Hari itu Harley bersama kedua kawannya Vince dan Lylia pergi ke kantor kepala sekolah Lion Academy untuk melaporkan konspirasi yang baru mereka dengar. Persekutuan anggota Dark Wizard yang ingin membunuh Raja Khufra. Harley dan teman-temannya ketahuan, mereka diserang sebelum sempat melaporkan ini pada kepala sekolah. Vale dan Professor Of Hell mendengar pembicaraan mereka sebelum Harley, Vince dan Lylia sempat masuk ke dalam sekolah. Ketiga anak-anak itu dikejar, mereka berusaha melawan. Vale menyerang dengan kekuatan anginnya, Professor Of Hell dengan kekuatan api. Angin Vale menyayat tubuh ketiga bocah itu, dan dengan susah payah mereka menghindar dari panas api yang dikirimkan Professor Of Hell melalui Vince menciptakan tameng raksasa dengan kekuatan sihir, tapi dorongan angin Vale sangat kencang. Vince terlontar ke udara, dan detik berikutnya, Professor Of Hell menyerang dengan Mystic Gush. Teknik rahasia ini mengeluarkan Energy Blast terus-menerus ke arah lawan. Tubuh Vince terpanggang, dia hanya bisa berteriak kesakitan. Harley berusaha menarik tubuh kawannya itu, Energy Blast Mystic Gush mengenai punggung tangan Harley. Bocah itu berteriak kesakitan, tangannya serasa mau putus. Dengan sisa tenaga Vince menciptakan pusaran udara di telapak tangannya, mendorong tubuh Harley ke arah Lylia. “Cee…pat lari,” seruan terakhir Vince, sebelum tubuhnya berubah menjadi debu. Lylia mengeluarkan Magic Shockwave, membuat tubuhnya terlontar ke udara, dengan sekali gerakan dia menangkap tubuh Harley, kemudian melemparkan Shadow Energy ke depan. Saat itulah, Harley meneriakan Magical Goddess yang bergema hingga ke dimensi Antoinerei. Kekuatan ajaib Magical Goddess membuat Harley dan Lylia terlempar ke dalam portal dimensi yang tidak sengaja terbuka. Vale dan Professor Of Hell tercengang. Hal yang selama ini mereka cari, portal dimensi berwarna ungu itu mereka lihat dalam ruang portal. Vale melompat ke arah portal, tapi dengan cepat pula portal itu tertutup. “Lalu di mana temanmu itu sekarang?” tanya Akai. “Saat berada dalam portal itu, dia tiba-tiba berubah menjadi jubah yang menyelimuti tubuhku,” jawab Harley. Ajaib. Satu kata itu yang ada di benak Akai. Dan, dia menemukan satu kepingan lagi bagi timnya. Suara hati Akai percaya, jika tidak kebetulan sekarang Harley berada di sini sekarang. Pasti Sang Maha Pencipta sudah menyiapkan segala sesuatu dalam takdir-Nya, sama seperti dahulu Kaja dan penghuni Land Of Dawn diselamatkan dari cengkraman Lord Of Abyss. “Beristirahatlah, segera setelah kau pulih kami akan membantu menyelesaikan masalahmu dan berusaha menolong Lylia,” kata Akai. *** Dr. Rooney bekerja selama beberapa jam, dengan serpihan Magic Stone. Dia tahu kondisi Antoinerei sedang genting, kalau Elf benar-benar menyerang dengan cambuk petir nasib manusia di dimensi ini berada di ujung tanduk. Dengan segala pengetahuan di dimensi City Of Scholar dan dari Ensiklopedi Science Of Alt-World, ditambah banyak ilmu sains di Antoinerei, Dr. Rooney berhasil menciptakan sebuah jam kecil yang dapat membalikkan waktu untuk sesaat. “Dengan alat ini, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, aku bisa menolong rakyat Antoinerei dengan mengulang waktu.” Dr. Rooney menunjukkan alat ciptaannya pada Akai. “Aku berterima kasih atas niat baikmu, Diggy, tapi aku yakin kau bukan laki-laki yang hilang ingatan. Ketulusan negeri ini membuat mereka percaya akan ceritamu. Jujurlah, sehingga aku bisa tahu kau kawan atau lawan.” “Dirimu memang pantas menjadi Ordo Penjaga. Matamu sungguh jeli. Aku adalah Dr. Rooney dari City Of Scholar, dimensi yang dijaga oleh Magical City. Harley, bocah itu berasal dari sana. Aku kenal baik dengan ayahnya, dan aku terkejut mengapa dia bisa melompati portal dimensi ke Antoinerei. Seharusnya, hanya mereka yang menyerap kekuatan Magical Stone yang mampu melintasi dimensi. Dugaanku, Harley memiliki unsur Magical Stone dalam dirinya.” “Magical Stone?” “Ya, seperti yang ada dalam tubuh Saber.” “Bagaimana kau tahu?” “Ketika melihatnya pertama kali, aku langsung mengenali. Saber adalah Frankie, seorang ilmuwan senjata terbaik di City Of Scholar. Dia sahabatku. Saat aku meneliti serpihan Magical Stone, Frankie pergi untuk mencari bagian utuh dari Magical Stone. Aku yakin dia sudah menemukannya, dan itu yang membuat dia dapat melompati dimensi. Yang aku tidak habis pikir, Frankie sama sekali tidak mengenaliku.” “Maksudmu, dia hilang ingatan?” “Mungkin saja, aku tidak tahu pasti.” Dr. Rooney lalu menunjukkan serpihan Magical Stone yang ada padanya, dan menceritakan semua yang dia tahu tentang batu sakti itu. “Jadi Saber dapat memilih dimensi yang dia lompati, sedangkan kau tidak?” tanya Akai. “Benar. Dia pasti memiliki bagian batu itu utuh. Hanya, aku tidak tahu apa yang membuat Frankie menjadi ahli pedang sekarang.” “Dia pernah bercerita, tentang Laboratorium 1718.” “Apa?” “Mengapa?” Dr. Rooney sekali lagi bercerita tentang perjalanannya di dimensi Alt-World dan tentang Laboratorium 1718. “Rupanya ilmuwan-ilmuwan gila itu berhasil meneruskan project manusia buatan yang kurancang, dan memasukkan unsur ahli pedang pada Frankie,” kata Dr. Rooney. “Lantas, Alpha dan Beta? Saber bilang mereka berasal dari Laboratorium 1718.” “Laboratorium itu berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari konsep mesin yang kutinggalkan. Hasil karya mereka pada Alpha dan Beta, sungguh luar biasa.” “Setelah urusan dengan para Elf dan Dark Wizard selesai, kau harus ikut denganku membereskan laboratorium itu.” “Aku siap!” *** Ringkikan kuda bersahutan dengan keras. Ini adalah tradisi bangsa Elf, pergi berperang dengan jumlah kuda yang sangat banyak. Kuda-kuda itu memiliki suara yang sangat lantang dan keras, memekakan telinga. Siapapun yang mendengar suara pasukan kuda bangsa Elf, nyalinya akan ciut. Rakyat Antoinerei kebingungan, apa yang terjadi sampai bangsa Elf datang dengan posisi menyerang. Mereka meminta penjelasan pada para pemimpin kota. Bruno tampil ke depan, diperkenalkan sebagai pengganti Andrean. Tidak ada rahasia di antara penduduk Antoinerei. Bruno menceritakan tentang apa yang dilakukan Andrean dan bagaimana Akai membongkar semua itu. Kesedihan melanda kota, hati rakyat Antoinerei menangis. Tidak sekalipun mereka berniat melakukan hal seperti apa yang dikatakan Andrean. Bagi mereka bangsa Elf bukanlah penjaga, tapi sahabat. Sungguh keji apa yang dituduhkan Andrean. TIdak ada yang tahu, kalau Andrean sudah mendapatkan kekuatan dari penguasa kegelapan yang berhasil menemukan dimensi ini karena ikatan sihir dengan bangsa Elf. Sehingga, dengan mudah Andrean terpengaruh dan menebarkan tuduhan palsu pada manusia. Lolita berada di garis terdepan, berdiri di depan pintu gerbang Eruditio. Demi Antoinerei, demi Moon Elf Lolita bersumpah akan mendamaikan bangsa Elf dan manusia. Andai saja Estes, Elf King yang terluka parah dalam perang –ketika kaum Abyssal mencoba menaklukkan Moon Elf, bangun dari tidur panjangnya, semua tidak akan berakhir begini. Bangsa Elf kini dipimpin oleh kakak beradik Karina dan Selena. Keduanya mewarisi kekuatan Dark Elf yang legendaris. Kekuatan ini dahulu kala berhasil menyelamatkan banyak manusia dari kematian, tapi pengaruh kekuatan itu sangat kuat. Para Elf yang tidak lahir di Emerald Woodland tidak akan sanggup menolak pengaruh jahat dari sihir Dark Elf. Sebelum Kaja memindahkan Elf ke Antoinerei, kekuatan Elf diperebutkan para dewa dan kaum abyssal. Apalagi para Elf King yang lahir di Tree Of Life memiliki kekuatan yang unik dan luar biasa. Karina dan Selena mengutus Andrean untuk menyamar menjadi manusia dan menipu semua rakyat Antoinerei dengan sihir dark elf yang kuat. Tes kelayakan dapat dilalui Andrean dengan mudah. “Berhenti. Atau kalian akan merasakan amarahku!” seru Lolita. Pasukan Elf terus melangkah dan tidak berhenti. Lolita menangis, dia mengayunkan Storm Hammer ke udara. Tidak disangka, kini dia harus berjuang melawan bangsanya sendiri. Serangan Lolita memukul tiga baris terdepan pasukan Elf. Tapi, alangkah terkejutnya Lolita serangan Noumenon Blast miliknya mengenai tempat kosong. Hanya ada lingkaran bersinar di area serangan Lolita. “Hentikan anakku. Jangan kau lukai bangsamu sendiri,” suara yang begitu anggun terdengar menggemar di udara. Bruno, Akai dan yang lain tertegun mendengar suara itu. Begitu merdu dan syahdu. Seorang Elf keluar dari dalam kereta kuda, Lolita tidak pernah melihatnya. Elf itu memakai jubah bersinar biru keemasan. Matanya putih keabuan. Rambutnya terjurai panjang dengan warna putih berkilauan. Di tangannya ada sebuah buku berwarna emas. Elf itu berjalan dengan tenang menuju kea rah Lolita. Seolah tidak percaya Lolita menusukkan Storm Hammer ke depan, serangan ini cukup mematikan. Tubuh Akai sempat bergetar terkena serangan ini beberapa hari yang lalu. Elf yang sedang berjalan ke arah Lolita sepertinya tidak memiliki kulit setebal Akai, tapi serangan itu luput. Ada tameng tak terlihat yang menghempaskan serangan Lolita. “Hentikan Lolita.” “Apa maksudmu, Bruno? Mereka akan menyerang Eruditio.” “Itu Estes, Elf King.” “Tidak mungkin, Tuan Estes terluka parah dan tertidur di Tree Of Life jauh sebelum kedua orang tuaku lahir.” “Itu Estes, hanya kekuatan dari para Elf King yang mampu melawan Storm Hammer.” Para Elf keluar dari kabut yang tadi menyelimuti mereka. Semua Elf berkumpul, dan berlutut di belakang Elf bersuara merdu yang disebut Bruno sebagai Estes. Seorang Elf lain, dari desa asal Lolita maju mendatangi Lolita dan Bruno. “Itu Tuan Estes, berhentilah menyerang, dia telah bangun dari tidur panjang, karena Dark Elf mempengaruhi kita semua dan perang sudah sampai di ambang batas, dan Tree Of Life membangunkan Tuan Estes.” “Apa maksud Anda?” tanya Akai yang mendekat ke gerbang Eruditio bersama yang lain. “Mundurlah Rohita, biar aku yang menjelaskan,” seru Estes pada Elf yang tadi berbicara pada Lolita dan Bruno. “Baik, Tuan.” “Salam hormatku untuk rakyat Antoinerei, penghuni kota Eruditio. Aku Estes, Elf King dari Moon Elf, kalian pasti tidak pernah bertemu denganku. Aku terluka dan memulihkan diri di Tree Of Life jauh sebelum kalian lahir. Antoina, orang yang kupercayakan memegang kepemimpinan Elf sampai aku kembali, justru menciptakan perang baru dan menjadikan dua orang muridnya Karina dan Selena yang dipenuhi sihir Dark Elf memimpin Moon Elf. Maafkan atas kelalaianku, banyak Elf telah melanggar sumpah untuk hidup dalam damai bersama manusia. Meski perang saudara bangsa Elf terjadi, tapi aku bersyukur White Elf yang setia masih berjuang mempertahankan takdir kami melindungi manusia. Untukmu, Lolita. Kau adalah pejuang hebat. Kau tetap berdiri di garis terdepan untuk melindungi sahabat kita di Eruditio.” Semua orang mendengarkan kata-kata Estes dengan khidmat. Suaranya memang mampu mendamaikan hati yang risau. Sehingga, semua hanya diam dan mendengarkan. Estes melanjutkan, “Dan salam untukmu Akai, generasi ke-48 dari Ordo Pelindung…, gurumu Raja Katak adalah sahabatku, dia yang mengajariku sihir pelindung ketika aku masih kecil. Raja Katak pernah bilang, bahwa suatu hari muridnya, Akai seorang panda dengan sahabatnya para katak akan datang ke Antoinerei, dan aku harus menyerahkan apa yang dititipkan gurumu padaku. Untungnya, aku terbangun dari tidur panjang ketika sihir Dark Elf berusaha merasuki Tree Of Life. Sehingga, pesan itu tetap aman bersamaku,” Estes lalu mengeluarkan gulungan surat dari buku yang sedari tadi dia pegang. “Terima kasih, kau pasti Holy Priest. Guruku pernah bercerita tentangmu, dan aku beruntung bisa bertemu denganmu di sini. Kau adalah raja Elf yang paling dicintai dalam sejarah, bahkan di tempat asalku, para Elf merindukan bertemu denganmu. Setelah aku memenuhi takdirku, mereka akan kubawa pulang ke Antoinerei.” “Aku hargai niat baikmu, tapi biarkan para Elf itu ada di sana. Dewa Kaja memiliki alasan tidak membawa semua Elf ke sini. Dari yang kudengar turun-temurun, semua agar keseimbangan dunia tetap terjaga,” sahut Estes. “Baiklah jika begitu.” “Maafkan aku, Tuan Estes, tapi ada yang tidak kami semua mengerti mengapa kau datang ke Eruditio dengan seluruh pasukan Elf?” Lolita ikut berbicara. “Ini tradisi kuno para Elf untuk meminta maaf, dan ini bukan seluruh pasukan Elf. Ini adalah seluruh rakyat Moon Elf. Kami juga datang, untuk menjemput Andrean dan mengembalikan cambuk suci milik Dewa Kaja.” “Cambuk suci?” tanya Akai “Ya, Andrean mengirim cambuk petir ini pada Karina. Leluhur Elf menyebut ini cambuk suci. Aku berhasil mengambilnya sebelum dia sempat memaksa seluruh Elf bersatu dan menyerang Eruditio.” Bruno membawa Andrean keluar dari tahanan, tubuhnya masih tertotok, tidak bisa bergerak apalagi menggunakan sihir. Andrean ketakutan ketika dia melihat Estes. Dia tahu rencananya bersama Karina dan Selena pasti telah gagal. “Kau akan merenungkan semua ini dalam tahanan abadi di Emerald Woodland. Dirimu membuat seluruh leluhur Elf malu. Lagipula, rakyat Eruditio tidak pernah menjadikan kita budak, seperti yang dirimu, Karina dan Selena yakini. Apa yang merasukimu, sampai kau tega melakukan tipu daya semacam ini,” kata Estes pada Andrean. Estes lalu menyerahkan Cambuk Petir pada Bruno, ketika itu posisi Bruno sangat dekat dengan Akai, Pedang Besar yang ada di punggung Akai tiba-tiba bergolak dan ingin melepaskan diri. Cambuk Petir yang dipegang Bruno juga berusaha lepas dari genggaman Bruno. Akai dan Bruno berusaha menahan kedua senjata itu sekuat tenaga, Lolita membantu memegangi Bruno. Tapi, ketiganya malah terpental dan semua orang melihat sebuah keajaiban. Cambuk Petir melilitkan dirinya pada Pedang Besar. Ketika lilitan itu makin erat, kedua senjata itu memancarkan sinar kuning keemasan yang berkilau. Sinar itu terasa hangat dan sejuk bersamaan. Bruno segera ingin menarik cambuk petir, mengira kedua senjata ini sedang bertarung dan akan meledak. “Tahan, sobat!” seru Akai. “Ini berbahaya,” sahut Bruno. “Tunggu sebentar. Estes, dulu guruku bercerita buku milik Holy Priest adalah sumber segala ilmu pengetahuan. Dapatkah kau melihat ke dalam buku itu, tentang dua senjata ini?” pinta Akai. Estes tersenyum dan berkata, “Kau memang pantas menjadi Ordo Pelindung, Raja Katak mengajarimu dengan baik.” Elf King itu lalu membuka lembaran demi lembaran bukunya, yang terlihat kosong. Dr. Rooney yang paling ilmiah di antara semuanya, tidak habis pikir bagaimana bisa buku yang hanya berukuran dua kali tangan manusia itu dapat menjadi sumber semua ilmu pengetahuan, dan tidak ada tulisan sama sekali di setiap lembaran yang dibuka Estes. Mulut Estes terlihat membaca mantra, kata-katanya tidak terdengar, tapi perlahan saat Estes tidak membalik lembaran bukunya lagi, ada sebuah tulisan yang tiba-tiba muncul. Estes membaca tulisan itu, “Dewa Kaja memiliki dua senjata kembar, Cambuk Petir dan Cambuk Cahaya. Cambuk Cahaya lahir setelah Dewa Kaja mendapatkan kekuatan inti Bintang Andromeda. Senjata itu lahir dari bagian Cambuk Petir yang terpotong oleh sabit panglima Abyss. Selanjutnya, ketika perang telah usai, saat masa yang sungguh damai, di akhir-akhir kehidupannya Dewa Kaja mengubah Cambuk Cahaya menjadi sebuah Pedang Besar. Alasan Sang Dewa melakukan itu, tersimpan dalam makam Dewa Kaja dan hanya dapat dilihat oleh para Nazar Guardian.” “Jadi begitu,” kata Akai. “Kau pasti sudah melihat di dalam makam. Jangan kau katakan alasan Dewa Kaja mengubah wujud Cambuk Cahaya menjadi pedang. Biarkan itu menjadi rahasia Nazar Guardian.” “Benar, hanya aku tidak tahu jika terdapat Cambuk Petir dan Cambuk Cahaya. Kini mereka saling merindukan setelah ratusan tahun tidak bertemu.” Tiba-tiba dengan cepat Pedang Besar dan Cambuk Petir melepaskan diri dan menyerang ke arah para Elf. Tanpa mampu dicegah karena gerakan yang sangat cepat, kedua senjata itu melukai puluhan Elf. Semua orang berusaha menghentikan kedua senjata itu, sampai Estes berseru dengan suara nyaring, “Biarkan senjata Dewa Kaja melakukan tugasnya, mereka hanya mengeluarkan sihir Dark Elf dan kekuatan hitam kaum Abyssal dari para Elf.” Benar saja, beberapa detik kemudian, gumpalan asap hitam keluar dari mulut para Elf yang terluka dan menggumpal di udara. Saber, Alpha, Lolita dan Bruno masing-masing mengeluarkan kemampuan mereka ke arah asap hitam. Akai dan Estes juga ikut menyerang sihir Dark Elf dengan gelombang katak dan sinar dari Holy Book milik Estes. Gabungan sihir Dark Elf dan Abyssal dilenyapkan. “Ring Of Fire,” sebuah sinar emas berbentuk cincin mengurung satu gumpalan asap hitam yang tersisa dan hampir lolos, ketika lubang cincin mengecil, saat itu juga asap hitam lenyap dan tercipta percikan api seperti kembang api . Tampak Harley berdiri di antara semua orang, tersenyum denngan wajah anak-anaknya. Dia mengenakan topi dan jubah hitam, tongkat sihir kecil ada di tangan kanan. Estes berkata lirih, “Tergenapi sudah janji Dewa Kaja pada Elf King pertama sebelum kepergiannya: Ketika Antoinerei berada di ambang kehancuran, akan datang lima ksatria dan seorang dari Nazar Guardian, melenyapkan kekuatan jahat, menciptakan kedamaian di antara Elf dan Manusia. Tulus dan saling percayalah, seperti sejak awal Antoinerei diciptakan. Demi Eruditio, demi Moon Elf, demi Land Of Dawn –asal usul semua kehidupan di jagad raya. ” Tugas Pertama Penjaga Misteri akhirnya terbentuk. Saber, Alpha, Bruno, Lolita dan Harley. Lima orang itu akhirnya mengenakan baju zirah warisan Dewa kaja. Estes memberkati kelima baju zirah itu, agar menolong para Penjaga Misteri di saat-saat genting. Ketika Harley memakai zirah Royal Magister miliknya, tubuhnya bersinar terang. Magical Goddess dalam tubuhnya bereaksi dengan berkat dari Estes. Kedua kekuatan itu memiliki unsur dan asal yang sama yakni gabungan kekuatan antara Jupiter, Neptunus, Pluto dan Kaja. “Magical Goddess yang legendaris,” kata Estes. “Magical Goddess selalu membuatku mampu melakukan sihir aneh di saat-saat genting, tapi aku menyesal, kekuatan itu tidak muncul ketika Vince sahabatku dalam bahaya. Dan, karena kekuatan itu aku mengubah Lylia menjadi jubah ini.” “Kau masih terlalu muda untuk mengerti. Selalu ada alasan di balik setiap kejadian. Sang Maha Pencipta tidak pernah tidur sedetik pun dan selalu mengatur kehidupan manusia. Apa yang terjadi pada kedua temanmu pasti memiliki alasan. Jangan kau tangisi, tapi syukurilah dengan ketulusan hati.” “Aku akan mengingat kata-katamu, Tuan.” Penjaga Misteri disiapkan untuk berangkat ke Magical City untuk membongkar kejahatan terselubung para Dark Wizard. Akai dan Dr. Rooney ikut serta. Dr. Rooney sudah menceritakan siapa dirinya kepada rakyat Antoinerei, kecuali bagian tentang Saber dan Laboratorium 1718. Akai yang meminta, sebab kondisi Saber snagat labil, akan berbahaya jika dia tahu kenyataan tentang Magical Stone dan dirinya yang bukan manusia buatan. Bruno dan Lolita ingin tetap tinggal di Antoinerei, demi janji mereka sebagai City Guard. Estes dengan bijak memberikan pengertian agar dua ksatria itu pergi bersama Akai, “Kepergian kalian juga adalah untuk menjaga Antoinerei tetap berada dalam kedamaian, itu bagian terpenting. Kuatlah, takdir kalian masih sangat panjang dan akan sangat berat.” *** Kata-kata Estes menjadi penggiring kepergian Akai, Dr. Rooney dan Penjaga Misteri untuk menjalankan misi pertama, membereskan konspirasi di Magical City. Saber menggabungkan kekuatan dengan Harley. Atas saran Estes, Harley hanya perlu membayangkan Magical City dan memanggil Magical Goddess. Diam-diam, Dr. Rooney juga membantu lompatan dimensi tujuh orang itu, seperti kata Estes, dengan menggenggam Magic Stone, Dr. Rooney membayangkan Magical City. Berhasil. Tujuh orang itu tiba di Magical City. Portal dimensi mengarahkan mereka ke halaman Lion Academy. Raja Khufra sedang memberi penghormatan terakhir pada pemakaman Vince sebelum makam itu ditutup. Atas kesepakatan pihak sekolah, Vince akan dimakamkan di Lion Academy, untuk menjadi pengingat akan peristiwa naas oleh Dark Wizard. Raja Khufra marah besar. Dia memang raja yang lalim dan kejam, tapi melihat seorang anak terpanggang di depan matanya sendiri, dengan cepat mengubah Raja Khufra. Dia menyesal sejadi-jadinya, kalau saja dia tidak memaksakan kehendak mencari cara ke berbagai dimensi lain, tidak akan ada anak-anak yang menjadi korban. Bahkan Harley dan Lylia yang digadang-gadang menjadi penyihir masa depan Magical City, kini menghilang entah ke mana. Sang Raja menangkap semua anggota Dark Wizard dan mengurung mereka di penjara bawah tanah. Harley, tanpa berpikir panjang berlari ke arah makam dan mengejutkan semua orang. Bocah itu menangis dengan keras di atas makam Vince. Raja Khufra senang Harley selamat dan kembali. Don Juan menatap curiga pada enam orang yang datang bersama Harley, apalagi dia tidak melihat keberadaan Lylia. Kepala sekolah Lion Academy itu memberi tanda pada Mage Impact agar bersiap. “Kau selalu saja berhati-hati, sobat lama,” Don Juan terkejut melihat Dr. Rooney melepaskan topeng yang dia pakai. Akai meminta Dr. Rooney menyembunyikan identitas, sebab mereka ingin membongkar kejahatan Dark Wizard, tapi Akai dan timnya tidak tahu kalau Raja Khufra langsung berubah 180 derajat. Kematian Vince menyentuh perasaan terdalamnya. “Dokter, apakah itu kau?” “Apa ada orang lain yang sepertiku, Raja? Terima hormatku.” Diam-diam dalam kepalanya Saber mulai merasakan potongan-potongan ingatan. Dia pernah berada di Magical City. Dr. Rooney dan Akai sempat mengkhawatirkan hal ini, tapi tidak alasan untuk meninggalkan Saber di Antoinerei. Harley begitu terpukul, sehingga tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan dari Don Juan dan Raja Khufra. Dr. Rooney mengambil alih peran itu, dia menceritakan siapa yang bersamanya kepada Raja Khufra dan penduduk Magical City dan tentang Harley dan Lylia. Bagaimana mereka bisa berada di Antoinerei, tapi tentang Land Of Dawn dan cerita inti Bintang Andromeda, tidak mereka ceritakan. Tangisan Raja Khufra pecah, dia semakin menyesali perbuatannya. Dengan kekuatan magic sand, Khufra berusaha mengembalikan Lylia ke wujud semula. Don Juan juga membantu, tapi sia-sia. “Kami sudah mencoba itu Tuan Khufra, bahkan dengan sihir terkuat, tapi gagal. Hanya waktu yang dapat memberikan jawaban, bagaimana Lylia kembali,” kata Dr. Rooney. Pemakaman Vince dilanjutkan, Harley masih menangis. Keluarga Harley tidak datang dalam pemakaman itu. Duka mendalam saat kehilangan Harley, membuat Stanley Vance memilih untuk mengurung diri di dalam rumah. Setelah pemakaman usai, atas usul Dr. Rooney, mereka menuju ke rumah keluarga Vance. “Stanley harus tahu anaknya selamat,” kata Dr. Rooney. *** Separuh malam itu dihabiskan Harley untuk menceritakan semuanya pada keluarganya. Juga pada satu-satunya keluarga Lylia, bibinya yang tak berhenti menangis menatap jubah ungu kehitaman di pundak Harley. Bibi Lylia awalnya meminta Harley untuk memberikan jubah itu, tapi Harley berjanji akan mencari cara agar Lylia kembali seperti semula. Atas permintaan Harley, sejak saat itu bibi Lylia yang sebatang kara, kini tinggal di rumah keluarga Vance. Ketika fajar tiba, Raja Khufra datang mengunjungi Harley dan berniat memberikan simpati pada bibi Lylia. Stanley Vance kurang senang, tapi dia dengan pandai menutupinya. Akai sendiri memutuskan untuk tetap berada di Magical City beberapa hari untuk memberikan waktu berkabung bagi Harley. “Mungkin rasa bela sungkawa ini tidak seberapa, tapi semoga ini dapat menjadi permohonan maaf sesuai tradisi di Magical City,” Raja Khufra datang membawa dua ratus kain tenun terbaik. Lima puluh untuk keluarga Vance, sisanya untuk bibi Lylia. Sedangkan, keluarga Vince sudah mendapat santunan tiga kali lipat dari yang di dapat Stanley Vance saat pemakaman. “Aku tidak mau menerimanya. Lylia masih hidup. Seratus lima puluh kain tenun itu hanya untuk orang yang sudah meninggal,” tolak bibi Lylia dengan tegas. “Maafkan, bukan maksudku menyinggungg perasaan Anda. Tapi, terimalah sebagai lambang persahabatan dariku,” pinta Raja Khufra. Bagi rakyat Magical City, pantang menolak ajakan persahabatan dari siapapun. Apalagi, ajakan ini datang dari orang nomor satu di seantero negerio. Dengan haru dan tangis, bibi Lylia menerima kain tenun itu. Isak tangisnya semakin pecah, di satu sisi, dia seperti menerima bahwa Lylia telah meninggal. Harley datang dan memeluknya, menguatkan dan mengatakan agar percaya kalau Lylia suatu saat akan kembali. Raja Khufra juga ikut meneteskan air mata. Sang raja masih menyesali semua ini. Semua akibat keserakahannya. Belum selesai keharuan itu, terdengar ledakan di luar. Para pengawal raja segera memeriksa. Di depan, terlihat Vale, Professor Of Hell dan empat anggota Dark Wizard lainnya. “Keluarlah raja lalim,” teriak Vale dengan lantang hingga terdengar sampai ke dalam rumah. Semua orang berlari keluar. Akai memberi tanda kepada Penjaga Misteri untuk bersiap atas segala kemungkinan. Dark Wizard berhasil meloloskan diri dari penjara kerajaan, berarti semuanya tidak bisa dianggap remeh. Mereka pasti memiliki kekuatan sihir yang tidak main-main. Raja Khufra tanpa rasa takut melangkah, menghadapi para Dark Wizard yang pasti ingin menuntut keadilan. Dia sudah pasrah, walau setelah ini, rakyat tidak akan mempercayai dirinya lagi sebagai raja. Semua itu sepadan dengan nyawa anak yang hilang. “Tidak usah menciptakan keributan di sini. Aku yang kalian mau, lakukanlah sesuka kalian,” Raja Khufra benar-benar menyerahkan diri. Para pengawal diperintahkan untuk tetap di tempat dan tidak berbuat apa-apa. “Kau pikir, caramu itu dapat menarik simpati rakyat. Mereka harus tahu, kau yang membentuk Dark Wizard untuk menemukan cara pergi ke semua dimensi. Dan, kini kau menimpakan semua kesalahan pada kami.” “Aku tidak akan menyangkal itu. Aku sudah tidak peduli tentang semua itu. Kalian dikurung bukan karena hal itu, tapi karena seorang anak yang dengan keji kalian bunuh. Dia anak tunggal di keluarganya, tidakkah kalian berpikir bagaimana nasib ibu dan ayahnya setelah ini,” Raja Khufra terlihat sangat marah, semua tahu dia tidak berbohong dalam kata-katanya. Jauh sebelum ini, seantero Magical City memang mengetahui kalau Raja Khufra sangat menyayangi anak-anak. “Itu hanya jadi alasanmu, terimalah bagianmu,” Professor Of Hell, menembakkan Mystic Gush kepada Raja Khufra. Semua tercekat, menanti apa sang raja akan melawan atau setidaknya melindungi diri. Sang raja bergeming. Bahkan ketika Vale mengirimkan Wind Blade mengunci kedua tangan Raja Khufra. Sinar Mystic Gush ditembakkan terus menerus, Vale lalu memanggil Windstormnya, menciptakan pusaran angina yang dahsyat. Rumah Stanley Vance bergoyang. Akai memerintahkan semua orang berpegangan pada apa saja. Empat Dark Wizard yang lain juga tak ingin tinggal diam. Mereka menembakkan Energy Blast yang mirip dengan milik Professor Of Hell ke arah Raja Khufra. Mata semua orang terpejam, tak tahan menyaksikan sang raja diserang tanpa melawan sedikit pun. Pijaran sinar Mystic Gush dan Energy Blast sangat menyilaukan, Raja Khufra dengan tenang terus maju, terdengar dentuman berulang kali. Akai melihat dentuman itu adalah ledakan di tubuh Raja Khufra, tapi ada yang aneh, sedikit pun yang diserang habis-habisan itu tidak terluka. Para Dark Wizard juga bingung dan keheranan, hingga akhirnya Professor Of Hell menghentikan Mystic Gushnya dan berlutut di tanah. “Hanya mereka yang memiliki keyakinan teguh dan kejujuran dalam kata-katanya, dapat selamat dari ledakan terkuat dari api biruku,” lirih Professor Of Hell. Ke enam anggota Dark Wizard akhirnya kembali dimasukkan dalam penjara kerajaan. Vale dan empat Dark Wizard yang lain sebenarnya masih penasaran, tapi orang terkuat dari mereka menyerah, tidak ada jalan lain selain ikut menyerah. Akai dan Penjaga Misteri masih tinggal di sana untuk membereskan beberapa kekacauan kecil, akibat ambisi Raja Khufra pada dimensi lain. Hingga masa berkabung seratus hari kematian Vince telah lewat mereka semua melanjutkan perjalanan ke City Of Scholar. Dr. Rooney memilih untuk menetap di sana. Dia akan dijemput Saber, jika suatu hari kemampuan teknikalnya dibutuhkan Akai dan Penjaga Misteri. Tiga Raja VS Tiga Kegelapan Akai menangis mengingat semua kejadian yang dialami timnya itu. Sudah dua tahun sejak Penjaga Misteri dibentuk, dan tanpa diduga tim ini menyelesaikan banyak masalah di berbagai dimensi…. Ada haru, tawa, sedih dan bahagia yang terjadi. Ini tugas utama berada di depan mata. Mereka semua –seperti Akai, sedang dalam perjalanan ke pusat Khatulistiwa. Kini, Akai berharap tiga raja Atlansea akan dengan suka rela membantu dirinya, meski tanpa materai suci… Prabu Gatot Kaca, Ratu Kadita dan Raden Minsithar sudah mengelilingi garis khatulistiwa sebanyak lima kali dari berbagai sisi. Tidak ada petunjuk yang bisa mereka temukan, di mana inti Bintang Andromeda berada. “Rupanya kita memang harus menunggu Ordo Pelindung datang,” kata Ratu Kadita. “Sebaiknya kita bersembunyi sekarang, kalau para budak kegelapan datang, baru kita ringkus mereka,” ucap Raden Minstihar. “Bersembunyi bukan jalanku,” keluh Prabu Gatot Kaca. Dia menoleh pada kedua saudaranya. Mereka tersenyum melihat ego sang prabu yang masih saja tinggi. “Kita harus cerdas, saudaraku. Ayolah, jangan kau gunakan egomu, Minsithar benar, sebaiknya kita menunggu dan bersembunyi. Keberadaan kita yang terang-terangan begini, akan mudah mereka serang dari belakang. Aku yakin Vexana sudah sampai, dia pasti menunggu sampai Faramis lengah, atau bahkan mencuri inti bintang itu, ketika Ordo Pelindung menemukannya,” sahut Ratu Kadita. Prabu Gatot Kaca menurut, mereka bertiga akhirnya bersembunyi di atas pohon Ki Hujan raksasa. Masa itu di pusat khatulistiwa pohon-pohon masih berukuran sangat besar, beberapa bahkan bisa mencapai sepuluh kali ukuran normal. Mata ketiga raja itu sangat tajam, mereka membagi arah pengawasan. Prabu Gatot Kaca melihat ke arah utara, Ratu Kadita ke selatan, dan Raden Minsithar yang dapat menggandakan diri melihat ke arah timur. Arah barat diserahkan pada Lapu-Lapu yang sejak tadi mengikuti ratunya. Berjam-jam mereka menunggu, tidak ada sesuatu yang aneh. Matahari telah beranjak pulang ke peraduan. Malam tiba, dan ketiga penguasa Atlansea bersiap untuk kemungkinan terburuk. Beruntung bulan bersinar terang malam itu, meski begitu pandangan Prabu Gatot Kaca dan kedua saudaranya terbatas. “Mohon ampun Prabu, hamba melihat sinar hijau menyala kecil di balik awan,” kata Lapu-Lapu yang mampu melihat lebih tajam dari tiga penguasa Atlansea. “Apa kau yakin?” tanya Prabu Gatot Kaca. “Hamba yakin, ke arah timur laut. Itu pasti Vexana.” “Dia bersembunyi di balik awan, pintar sekali, untung aku membawa Lapu-Lapu bersama kita,” ucap Ratu Kadita. “Apa kita serang dia sekarang?” Raden Minsithar ikut bertanya. “Kalian bersiagalah, aku akan melompat ke atas awan itu dan menghadapi Vexana, kalian awasi dari jauh. Gunakan Ajian Napak Sancang ketika ada musuh lain mendekat perhatikan jika Faramis atau bahkan Uranus muncul.” “Kakang Prabu, kau bisa jatuh cinta pada Vexana,” goda Raden Minsithar. Wajah Prabu Gatot Kaca memerah, meski telah berubah menjadi pengikut kegelapan, tapi kecantikan Vexana masih terkenal sampai ke seluruh Land Of Dawn. Sang Prabu tidak menjawab pertanyaan adiknya, dia langsung melompat menggunakan gerakan Avatar Of The Guardian. Vexana merasakan angin yang sangat dahsyat saat Prabu Gatot Kaca sampai di permukaan awan, tempat dia bersembunyi mengawasi Ordo Pelindung yang akan menjemput inti Bintang Andromeda. “Tak kusangka, kau mampu berdiri di atas awan Gatot Kaca.” “Lama tidak berjumpa Vexana, terakhir sejak kau masih waras, cantik dan tidak berwarna hijau.” “Kau masih saja suka menggoda perempuan.” “Jangan coba mengalihkan perhatianku. Ini daerah kerajaanku, untuk apa seorang ratu sihir hitam ada di sini. Cepat pergi, atau aku akan membuatmu menyesal.” Vexana tahu, tidak mungkin dia akan menghadapi Gatot Kaca secara terbuka. Tinju Garudanya dapat membuat siapapun terpental. Diam-diam sambil terus mengajak Gatot Kaca berbicara, Vexana menyiapkan sihir Cursed Oath di tanganya. Sihir itu dapat membuat musuh menjadi linglung dan menyalin kekuatan siapapun yang terkena pada boneka yang dapat digunakan Vexana dari jauh. Prabu Gatot Kaca bukanlah petarung kemarin sore, dia mengetahui ilmu sihir Vexana. Sang Prabu mengatupkan kedua tangannya di dada, mengeluarkan gerakan Unbreakable. Tubuhnya bergerak kencang kea rah Vexana. Gerakan ini akan memaksa Vexana untuk menyerang Gatot Kaca, tapi tubuh sang Prabu akan kebal terhadap serangan itu, malah akan memberikan serangan balik. Saat tubuh Vexana tidak terkendali itu, Prabu Gatot Kaca melayangkan Tinju Garuda dan Blast Iron Fist. Vexana terpukul hebat. Dia tidak menyangka akan diserang begitu cepat dan ganas. Dia hampir pingsan saat datang sinar kebiruan berbentuk altar. Vexana dikurung oleh altar itu. “Cult Altar. Itu Faramis,” Prabu Gatot Kaca mengenali sihir Faramis. Dia tidak bisa melakukan kontak fisik dengan Faramis yang sedang memasuki mode bayangan. Pada mode Shadow Stampede, Faramis akan menandai lawan yang menyentuhnya dan memberikan serangan mematikan yang tak terlihat. Ketika keluar dari mode itu, lawan yang mendapat tandar dari Faramis akan mendapat luka tambahan. Prabu Gatot Kaca melompat, mengeluarkan Ajian Brajamusti, untuk memberikan pukulan jarak jauh. Pukulan Brajamusti menciptakan gemuruh yang luar biasa. Awan tempat Vexana bersembunyi tadi terburai hancur. Tapi, tubuh Vexana sudah terlintung dalam altar Faramis. Pukulan Brajamusti berhasil membuat Faramis dari mode Shadow Stampede. Dia tidak terluka sedikit pun, padahal Prabu Gatot Kaca sudah mengeluarkan semua tenaga dalamnya. “Kau semakin hebat saja, Gatot.” “Kupikir kau masih sakit hati dengan Vexana, mengapa malah menolongnya?” “Itu bukan urusanmu.” “Kau masih mencintainya.” Faramis tidak menjawab, dia membuat Cult Altar lagi dan menggabungkan dengan Ghost Bursters. Serangan itu berbentuk kipas dan melemparkan Evil Spirit ke arah lawan. Prabu Gatot Kaca menyiapkan lompatan terkuatnya –Avatar Of The Guardian, untuk meremukkan altar Faramis. “Masih saja menggunakan lompatan murahan itu,” cela Faramis. “Sekali lompatan, akan kuguncang dunia,” sahut Prabu Gatot Kaca. “Rough Waves,” Ratu Kadita terbang ke arah Faramis dan kakaknya yang bertarung di langit. Ratu Kadhita mengeluarkan jurus terkuatnya. Dengan Rough Waves, Kadita mengirimkan serangan berupa gelombang tsunami. Sementara itu Raden Minsithar dan Lapu-Lapu masih mengawasi dari balik pohon. Mereka tahu pertarungan di atas langit itu akan dapat dilihat oleh kawan dan lawan. Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita bisa saja diserang dari belakang dan arah yang tak terduga. Faramis melompat, membentuk altar lagi untuk melindungi dirinya dan Vexana yang mulai pulih. Meski berhasil menghindar, tapi gelombang tsunami yang dikirimkan Ratu Kadita berhasil mengenai dada kanan Faramis. Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita terus melancarkan serangan. Perpaduan Pukulan Brajamusti dan Ocean Oddity menyudutkan Faramis. Vexana yang mulai sadar, mengirimkan sihir Cursed Oath berkali-kali. Tapi, Ratu Kadita yang menjadi putri duyung dan memanggil gelombang laut lewat gerakan Ocean Oddity dapat menangkis setiap serangan Vexana. Pertarungan di udara itu berlangsung cukup lama, sampai Vexana dan Faramis saling memberi tanda, mereka mengeluarkan ilmu meringankan tubuh, bergerak sangat cepat menyisakan bayangan saja. Kini giliran Prabu Gatot Kaca dan Kadita yang kewalahan. Dua saudara itu akhirnya menyatukan kekuatan angin dan lautan, menciptakan badai dahsyat. Raden Minshitar semakin khawatir, ini akan memancing banyak orang ke lokasi mereka. Benar saja, beberapa menit berikutnya, sinar merah keunguan terlihat mendekat. Ratusan kelelawar mengiringi sinar merah itu. Suara tawanya bergema di angkasa. “Lapu-Lapu, tunggu di sini, tetap awasi keadaan. Siapkan pedangmu.” “Apa sebaiknya biar hamba yang ke sana, Raden.” “Tidak, kalau kau yang muncul, musuh dapat menebak aku pasti mengawasi dari jauh. Jika aku yang menolong kedua kakakku, mereka tidak akan menduga ada kau di sini, sebab semua orang di Land Of Dawn tahu, ketiga raja Atlansea lebih suka bertarung tanpa pengawal.” Lapu-Lapu mengangguk paham. Dalam hatinya, dia memuji Raden Minshitar yang bertindak cerdik. Sinar ungu kemerahan yang mendekat, langsung menyerang Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita yang kini berubah menjadi gumpalan angin dan air laut. Raden Minsithar melemparkan perisainya ke arah ratusan kelelawar, dan tombaknya tepat ke jantung sosok yang datang dengan sinar ungu kemerahan itu. Dia adalah Alice, Elf yang berubah menjadi vampire. Serangan sinar ungu kemerahan dengan ratusan kelelawar itu dapat menghisap darah lawan dalam sekejap. “Minsithar, putra Dewi Armora yang paling tampan, mundurlah, jangan sampai kelelawarku merusak wajahmu yang mulus itu,” kata Alice setelah mengelak serangan tombak Minsithar yang dengan cepat kembali pada tuannya. “Kau yang harus pergi dari Atlansea. Seharusnya dirimu berterima kasih ketika ayahku, Arjuna mengampuni nyawamu.” “Rupanya ayahmu yang menawan itu telah bercerita. Tapi, apa kau tahu? Aku yang lebih dulu mengampuni nyawanya ketika dia tertidur. Harusnya aku membunuhnya, tapi aku jatuh cinta pada Arjuna dan tidak melaksanakan tugas dari Uranus. Saat bangun, ayahmu malah menyerangku, dan dalam keadaan terluka aku kembali pada Uranus yang menghukumku menjadi vampire karena gagal menjalankan tugas.” “Dasar Iblis, kau sendiri malah mengincar kekuatan vampire dari lama. Kau sengaja membuat ayahku tetap hidup, agar Uranus menghukum dirimu.” “Dirimu lebih pintar dari yang terlihat.” “Jangan kira dapat membodohi orang Atlansea.” Alice tersenyum kecut, dia mendorong tangan ke depan, mengirimkan sinar berbentuk oval beruntun dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam setiap sinar itu ada seekor kelelawar di dalamnya. Raden Minsithar memasukkan ujung tombaknya ke bagian dalam perisai. Dia mengayunkan tombak, setiap ayunan membuat perisai berputar dengan sangat cepat. Perisai itu bukan hanya tebal dan kuat, tapi sekeliling sisinya sangat tajam dan dapat dengan cepat membelah sehelai rambut tipis sekalipun. Serangan Alice dimentahkan begitu mudah, tapi Raden Minsithar dikejutkan dengan kelelawar yang jumlahnya semakin bertambah. Ternyata, setiap kelelawar itu ditebas oleh perisai Minsithar, setiap bagian tubuh kelelawar yang terbelah akan jadi dua kelelawar. Jadi, jika Raden Minsithar membelah satu kelelawar jadi tiga bagian, akan muncul enam kelelawar lagi. “Percuma saja, menyerahlah dan jadi budakku, Raden.” Raden Minsithar mengubah gaya bertarung, bagian tajam dari perisainya dimasukkan. Masih dengan gerakan yang sama, dia menciptakan gelombang yang menyedot ribuan kerikil dari tanah. Kerikil-kerikil itu menusuk tubuh kelelawar milik Alice. Peliharaan Ratu Vampire itu tidak bisa membelah diri lagi. Berikutnya, Raden Minsithar mengambil panah Pasopati, empat anak panah dilesakkan. Keempat anak panah itu berubah jadi api biru dan menuju empat arah ke gerombolan kelelawar. Satu di atas, satu di bawah, dua lagi di kiri dan kanan. Raden Minsithar mengayunkan tombaknya lebih kuat. Tombak itu memanjang, gelombang kerikil yang diciptakan perisai juga semakin besar, sebesar area yang dibentuk keempat anak panah Pasopati. Api pada anak panah Pasopati menyambar gelombang kerikil dan tercipta gumpalan api biru yang sangat besar, membakar semua kelelawar Alice tanpa tersisa. Alice terkejut, gabungan kekuatan senjata warisan Arjuna dan milik Raden Minsithar sendiri mampu dengan mudah mengalahkan pasukan kelelawarnya. Sementara itu, Prabu Gatot Kaca telah berhasil mengalahkan Faramis. Vexana sempat menduplikasi Prabu Gatot Kaca, boneka sang prabu menyerang dengan ganas karena mewarisi tiga perempat kekuatan Prabu Gatot Kaca, tapi gumpalan air lautan Ratu Kadita yang dahsyat, menghancurkan boneka itu. Faramis menciptakan Altar lebih besar, memasukkan tubuhnya dan Vexana yang terluka ke dalam altar itu. “Altar Pelarian,” seru Ratu Kadita, tapi Faramis lebih cepat, mereka berhasil melarikan diri dengan altar yang menghilang dalam sekejap. Alice merutuk habis-habisan. Kini dia akan menghadapi tiga orang terkuat di Atlansea. Ratu Kadita mengirimkan gelombang tsunami ke arah Alice, sebelum serangan itu sampai semua orang dalam pertarungan itu dikejutkan sebuah pusaran angin puting beliung di dalam hutan. Pusaran itu berputar dengan sangat cepat mengarah ke timur. “Hurricande Dance,” seru ketiga anak Dewi Armora hampir bersamaan. “Rupanya panda itu juga ikut ke sini. Dari lama, aku curiga dia adalah Sang Penjaga, sepertinya dugaanku benar,” seru Alice yang mengejutkan lawan-lawannya. Perhatian Prabu Gatot Kaca dan kedua saudaranya yang terpecah, membuat Alice memiliki waktu melarikan diri dalam bayangan bulan. Lapu-Lapu yang terus mengawasi, melemparkan pedangnya dan sempat menyayat bahu Alice, tapi Sang Ratu Vampire masih sempat melarikan diri. Ratu Kadita memandang kedua saudaranya dan berkata, “Kalian dengar itu, apa benar panda itu adalah Sang Penjaga. Tapi, aku tidak melihat dia membawa Pedang Besar.” “Dia membawa pedang itu dalam perutnya,” sahut Raden Minsithar. “Sesuai pesan Ibunda, seharusnya ada seorang lagi. Tapi, siapa dia?” “Kita harus mengikuti panda itu Kakang Prabu, dia akan menuju ke tempat inti Bintang Andromeda berada.” Prabu Gatot Kaca setuju, ketiga saudara itu segera terbang ke arah Akai berlari dengan sangat kencang. Inti Bintang Andromeda Ditemukan Pedang Besar di perut Akai makin lama semakin bergetar. Sinar yang dipancarkannya juga semakin kuat. Belantara pusat khatulistiwa yang terdiri dari hutan tropis, begitu indah di pandang mata. Jika tidak ingin cepat sampai, Akai sudah pasti akan berlama-lama menikmati warna hijau yang memanjakan mata. Akai tahu posisinya dengan inti Bintang Andromeda sudah sangat dekat. Dia meningkatkan kewaspadaan. Para pengikut kegelapan mulai mengikutinya sejak dia masuk di wilayah Atlansea. Apalagi Saber dan yang lainnya masih menunggu di titik pertemuan. Akai meminta mereka menunggu, sampai dia mengambil inti Bintang Andromeda. Titik pertemuan itu adalah padang rumput yang luas dan memudahkan timnya bertarung. Dia mengambil resiko besar, tanpa pengawalan. Tapi, lagi-lagi suara hatinya mengarahkan dia untuk melakukan itu. Akai pasrah. Dia yakin Sang Maha Pencipta sudah mengatur semuanya. Akai berhenti di ujung hutan, di depannya ada ngarai yang sangat luas. Ngarai itu dikelilingi bukit batu kapur yang menjulang tinggi. Bagian kaki bukit kapur itu dipenuhi tanaman merambat yang sangat lebat. Di tengah-tengah ngarai mengalir sebuah sungai dengan air yang sangat jernih. Beberapa teratai tumbuh menjamur di pinggiran sungai. Pedang Besar kini memancarkan sinar paling terang. Akai tahu, di ngarai inilah tempat inti Bintang Andromeda berada. Tapi, di mana? “Tempat ini sangat luas, akan berbahaya jika kau segera menemukannya,” bisik Neo. “Aku tahu, tapi tidak ada pilihan,” sahut Akai. “Hanya materai suci yang dapat menentukan di mana lokasi Orb itu,” Nea menimpali. “Sekarang masalahnya, materai suci tidak ada. Aku harus menggunakan insting,” kata Akai. Akai dikejutkan dengan sebuah bentakan. Seorang laki-laki berjubah merah hitam dengan pedang terhunus melayangkan serangan. Akai menangkis dengan tongkat bambunya. Dengan cepat, laki-laki itu terus melancarkan serangan pedang yang dahsyat. Laki-laki itu juga menggunakan cakar di tangan kanan untuk menyerang Akai. Sang Penjaga terdesak. “Itu Whirling Smash dan Fission Wave, serangan pedang seorang Demon Hunter,” kata Neo pada Akai. “Hanya ada satu Demon Hunter yang sekarang menguasai gerakan ini. Hurricane Dance,” Akai mengeluarkan gerakan pamungkasnya, “Hentikan Alucard, aku bukan Iblis,” seru Akai dengan suara keras sekali. Laki-laki yang menyerang Akai menghentikan serangan. Dia terkejut, lawan mengetahui siapa dirinya. Akai melihat mata Alucard semerah darah, dan memegang pedang di tangan kiri. “Dia berada di bawah pengaruh Vexana, jubah yang dipakainya adalah jubah Viscount, panglima Kerajaan Vexana,” batin Akai. Akai berusaha menyadarkan Alucard, dia melemparkan gelombang katak penyembuh. Alucard mengira itu adalah serangan mematikan. Dia menebaskan pedangnya lagi, sembari melompat, “Groundsplitter,” teriaknya dengan lantang. Akai terpukul mundur, tebasan Fission Wave dengan cepat menyasar ke arah perut. Tak sempat mengelak, perut Akai terkena tebasan pedang. Pedang Alucard seolah mengenai dinding batu yang sangat keras. Bunyi benturan terdengar sangat keras. Akai melenguh kesakitan, saat dia melihat cahaya berpendar dari dalam perutnya dan pedang besar itu melesat terpental ke udara. Akai masih sempat melemparkan Neo dan Nea untuk mengejar pedang itu. Serangan Alucard belum berhenti, dia mengarahkan cakar ke leher Akai, berusaha mencekiknya. Cekikan itu membuat Akai tidak bisa bergerak. Pasukan katak, berusaha menyerang Alucard agar cekikannya terlepas. Alucard menebaskan pedang lagi, tapi suara berdentang kembali terdengar. Sebuah tongkat menangkis serangan pedang. Alucard melepaskan cakarnya, meninju ke lawan barunya. Cakar itu mengenai kepala lawan yang berubah menjadi kepulan asap. “Tidak ada yang dapat memberi tahu mana yang asli dan mana yang palsu, Doppelganger bersiap. Instantaneous Move,” teriak orang itu. Ada lima orang yang sama menyerang Alucard dari lima arah berbeda. “Clone Techniques. Kau pikir dapat mengalahkanku dengan jurus murahan itu,” ejek Alucard. Alucard mengayunkan pedang, menebas semua Doppelgangger yang keluar, dan kini pedangnya beradu dengan tongkat berwarna keemasan. “Kupikir kera sakti hanya sebuah legenda,” seru Alucard lagi. “Kau kini melihat kenyataannya.” Hanya ada satu kera sakti yang mampu menggunakan teknik klon. Sun, yang juga berjuluk ksatria tongkat emas. Alucard tidak takut pada Sun, dia yakin bisa mengatasinya, tapi dari kejauhan dilihatnya tiga raja Atlansea datang. Ketika sekali lagi pedang Alucard dan tongkat Sun beradu, Alucard mengibaskan jubahnya ke udara, dan menghilang di balik jubah itu. Dengan segera, Sun menolong Akai. “Sudah lama sekali sobat, aku merindukanmu,” kata Akai. “Jangan banyak bicara, lukamu parah. Maaf aku terlambat.” “Pertemuan ini lebih berarti, buatku. Jangan pedulikan aku, cepat ambil Pedang Besar. Kita membutuhkannya.” “Jangan bodoh,” Sun mendekatkan mulutnya ke telinga Akai dan berbisik sangat perlahan, “Materai suci ada padaku, kita akan menemukan Orb itu dulu. Biarkan mereka mengejar pedang itu, cepat panggil dua kodokmu pulang.” “Apa itu alasanmu tidak datang waktu itu?” “Kita diincar banyak orang, dan berada bersama membawa dua kunci menemukan Orb bukan hal yang bijak. Itu mengapa isi perkamen yang ada padamu, tidak mengatakan lokasi sebenarnya materai suci.” Akai mengangguk, misteri materai suci memang sengaja disembunyikan... Ketiga raja Atlansea tiba dan melihat Akai terluka. Prabu Gatot Kaca sudah ingin mengeluarkan lompatan saktinya sewaktu Akai terdesak, tapi Ratu Kadita melarang, karena lompatan itu bisa saja melukai Akai. Secepat kilat, mereka bertiga berusaha segera sampai dan meringkus Alucard, tapi di tengah jalan dari kejauhan Alice, Faramis dan Vexana mengirimkan gelombang yang sangat kuat. Gelombangnya tidak bisa ditembus, sampai Raden Minsithar memanggil empat pasukan langit dan memecah kekuatan gelombang itu. “Untung saja kau menggunakan zirah itu, tebasan pedang Demon Hunter tidak bisa dianggap remeh,” ucap Prabu Gatot Kaca. “Tapi, cekikan cakarnya luar biasa. Bukankah cakar itu lambang keluarga sahabatmu?” tanya Ratu Kadita pada Prabu Gatot Kaca. “Kau benar, selama ini cakar itu hanya tergantung di leher sahabatku. Aku tidak mengira cakar itu dapat menjadi senjata mematikan.” “Apa kau baik-baik saja,” Raden Minsithar memberi tanda pada kedua saudaranya, ketika melihat Akai mulai berdiri dan luka di sekitar lehernya telah menutup. “Salam hormat kami dari Ordo Pelindung, Akai dan Sun, pada ketiga raja Atlansea. Terima kasih telah datang. Luka akibat cakar itu sempat membuat tubuhku tidak bisa bergerak, tapi aliran darahku sudah normal sekarang. Hanya perutku masih sedikit sakit. Tidak kusangka Hurricane Dance dapat ditembus dengan pedang Demon Hunter,” sahut Akai sambil menjura hormat. Sun dengan berat hati mengikuti apa yang dilakukan sahabatnya. “Berdirilah Penjaga,” pinta Ratu Kadita. “Seharusnya Hurricane Dance milikmu memang tidak bisa ditembus. Hanya ada satu kekuatan yang dapat menembusnya, tapi aku tahu dia tidak ada di sini. Getaran Pedang Besar itu mengacaukan gerakanmu. Aku melihat itu dari atas langit,” jelas Prabu Gatot Kaca. “Pedang itu hilang, Akai.” Neo dan Nea datang dan keduanya melompat ke pundak Akai. “Ceritakan apa yang terjadi?” “Kami mengikuti pedang itu ke titik dia terlempar. Ketika tiba di sana, pedang itu lenyap,” tukas Neo. Akai menyesal karena tidak bisa menjaga senjata itu. Pedang Besar harus diserahkan pada penerima Orb Andromeda dan menjadi kunci agar tiga raja Atlansea mau membantu. Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Akai, Prabu Gatot Kaca langsung berkata, “Jangan khawatir Penjaga, tanpa pedang itu dan materai suci, kami tetap akan membantu sampai titik darah penghabisan. Ini sumpahku, Raja Kerajaan Angin Utara Negeri Atlansea, keselamatan seisi jagad raya, jauh lebih berharga. Sekarang lanjutkan bagian kalian, temukan Orb itu. Itu jauh lebih penting.” Ratu Kadita dan Raden Minsithar tersenyum melihat kakak mereka dengan tulus membantu. Prabu Gatot Kaca benar, sekarang menemukan dan menyelamatkan orb itu jauh lebih penting. Akai meminta Sun untuk melakukan bagiannya. Sun memanggil Doppelgangernya, ada tiga puluh. Sun dan Doppelganger melompat ke udara, merapat dan bersalto hingga menyebar ke pinggiran sungai di sepanjang ngarai. Setiap Doppelganger kini menjadi empat Doppelganger. Jadi sekarang ada 120 Sun di sepanjang ngarai. Tidak ada yang tahu mana Sun yang asli atau yang palsu. Setiap Sun menyebar ke semua sudut. Ada ke bukit kapur, ke sela-sela tanaman merambat, ke atas pohon-pohon tinggi dan ke dalam sungai. Prabu Gatot Kaca tersenyum melihat ini, dia menebak Sun sangat cerdik dan alasan kera itu memperbanyak diri agar mata setiap orang yang mengawasi pergerakannya kini, tidak tahu di mana Sun yang asli akan mengambil Orb Andromeda. Semua Doppelganger kembali. Kini tepian ngarai itu penuh dengan kera sakti. Masing-masing membawa satu benda di tangan. Mata ketiga Raja Atlansea terbelalak. Semua benda yang di bawa Sun adalah benda yang tak biasa, ada tulang ikan, sisik ular, daun sambiloto, bunga mawar, teratai, anggrek bulan, anggrek pelangi, tanah liat, lumpur hidup, akar kuning, kayu bajakah, semua jenis rempah-rempah, pasak bumi, dan masih banyak lagi. Mana Orb Andromeda yang asli? Akai memberi tanda dengan gelombang katak pada Saber, agar mereka bersiap. Escape Or Fight Akai, ketiga raja Atlansea, Sun dan para Doppelgangernya segera pergi meninggalkan ngarai. Akai mengarahkan mereka semua ke titik pertemuan dengan Penjaga Misteri. Jaraknya sekitar lima belas menit dari ngarai. Tetap saja dalam jarak yang tidak begitu jauh, rombongan Akai sudah diserang oleh para Abyssal Demon. Satu per satu Doppelganger Sun berjatuhan. Ratu Kadita yang ahli dalam serangan jarak jauh menggunakan Might Of The Ocean untuk mengirimkan gelombang-gelombang air yang tak terhitung banyaknya. Abyssal Demon seolah tidak ada habisnya. Alice dan pasukan kelelawar juga mendekat. Entah di mana Faramis dan Vexana yang terluka, kalau mereka juga ikut menyerang. Muslihat Doppelganger akan cepat terbongkar. Prabu Gatot Kaca dan Raden Minsithar melindungi Akai dan beberapa Doppelganger Sun. Abyssal Demon berusaha mendekati Akai dan Sun, mereka tahu salah satu Doppelganger adalah Sun yang asli. Belum selesai menghadapi para Abyssal Demon, Uranus sudah menunggu dengan sabit emasnya. “Majulah terus Ratu. Biar aku yang menghadapinya,” suara itu diiringi dengan dua buah pedang buntung yang melesat ke arah Uranus. Itu Boomeranging Blade Of Light milik Lapu-Lapu, ada rasa cemas di hati Ratu Kadita. Meski sangat tangguh, Lapu-Lapu bukan tandingan Uranus. Tidak ada pilihan lain, mereka harus segera menuju titik pertemuan, mengamankan Orb yang sekarang di bawa Sun. Lapu-Lapu menyerang Uranus dengan dahsyat. Dia langsung mengkombinasikan Twin Blade menjadi Heavy Sword, melakukan Brave Stance dan Justice Blade lalu menutupnya dengan Chieftain’s Rage. Uranus tidak menyangka diserang langsung demikian dahsyat. Brave Stance masih bisa dia hindari. Serangan itu adalah serangan tusukan dengan pedanng, tapi Justice Blade sulit untuk dihindari. Lapu-Lapu seperti memegang seratus pedang yang berputar menyerang Uranus. Panglima Abyssal Demon terdesak, tapi Lapu-Lapu salah besar ketika mengira Uranus sudah terluka parah, justru semakin terluka dia akan semakin kuat, sebab Uranus memiliki Healing Factor yang luar biasa. Teknik ini disebut Radiance, menyerap energy serangan lawan, semakin mematikan serangannnya Uranus akan berlipat kali lebih kuat. Energi itu berikutnya akan dia lepaskan dengan Ionic Edge, teknik ini akan memusatkan energi pada tubuh Uranus dan keluar dalam bentuk Energi Sphere yang berputar di sekeliling tubuh. Teknik tersebut biasanya dikombinasikan dengan Transcendent Ward. Teknik ini akan menyerap energi di sekitar untuk menjadi shield, dan akan membuat lawan tidak dapat bergerak, berikutnya shield itu akan meledak setelah beberapa saat, dan memberikan luka yang cukup besar pada lawan. Pertarungan tidak seimbang itu hanya berlangsung sebentar. Teriakan kesakitan Lapu-Lapu membahana di hutan khatulistiwa. Ledakan shield Uranus begitu menyakitkan. “Lawan memiliki tombak yang tajam, tapi kita memiliki jiwa yang kuat dan berani,” teriak Lapu-Lapu ketika nyawanya sudah hampir putus. Ratu Kadita yang mendengar teriakan itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia tahu sebentar lagi, Uranus akan melayangkan sabit emasnya. Tangan kanan Lord Of Abyss itu tidak pernah melepaskan lawannya. “Aku berjanji pengorbananmu tidak akan sia-sia. Uranus akan menerima balasan atas takdirnya,” janji Ratu Kadita pada Lapu-Lapu. *** Saber, Alpha dan Harley menyerang kerumunan Abyssal Demon. Alpha mengayunkan Dragon Light Spear dengan kuat, melakukan gerakan Force Swing dan Rotary Impact. Berturut-turut tebasan dan tusukan tombak Alpha dan tembakan pesawat Beta menghajar banyak musuh. Saber berlari ke berbagai arah, memainkan Triple Sweep dan Kombinasi empat Flying Sword. “Satu percikan dapat membuat hutan terbakar,” seru Harley sambil menembakkan sihir mematikannya, Magic Fire Ring. Sihir yang telah dia kembangkan dengan baik sejak dua tahun lalu. Para Abyssal Demon mengira itu hanya lingkaran cahaya biasa, tapi ketika Harley menembakkan koleksi kartu pokernya, Magic Fire Ring meledak, ledakannya bahkan mengenai Abyssal Demon yang tidak terbungkus Magic Fire Ring itu. Sementara itu Bruno mengamankan area titik pertemuan. Rombongan Akai sudah hampir sampai. Marskman dengan energy ball itu menembakkan Wave Of The World Animation dan Volley Shot tanpa henti. Kekuatan dalam Mecha Legnya semakin kuat setiap kali dia menendang. Abyssal Demon tahu Bruno harus dilenyapkan lebih dulu, serangan jarak jauhnya sangat mematikan. Mereka berusaha menyerang Bruno, bahkan Dyrroth –Son Of Darkness yang diutus oleh Lord Of Abyss untuk menemani Uranus dan Alice melancarkan Abysm Strike. Fatal Strike yang dia pelajari dari Thamuz. Namun, tim Penjaga Misteri memiliki kombinasi yang lengkap. Sedikit lagi Abysm Strike mengenai Bruno –yang dapat langsung membunuhnya, Lolita maju dengan Storm Hammer. Meski tidak sekuat shiel milik Akai, tapi shield Lolita selain dapat menangkis serangan musuh juga dapat menciptakan shield pada tubuh orang yang ingin dia lindungi. Dyrroth kewalahan menghadapi Lolita. Storm Hammernya bergerak lebih ringan hari ini. Ada kekuatan baru yang merasuk dalam tubuh Lolita, membuat gerakan dan tekniknya menjadi lebih ganas. Padahal Lord Of Abyss sudah yakin, Uranus, Dyrroth dan Alice akan mampu mengambil Orb Andromeda dari pasukan penjaga. Hanya saja, Lord Of Abyss tidak tahu tentang Penjaga Misteri yang disiapkan oleh Akai. Rombongan Akai dapat tiba di tengah padang rumput tanpa terluka. Lima Doppelganger yang ikut rombongan Akai juga masih bertahan. Kelimanya masing-masing membawa anggrek pelangi, pasakbumi, tulang harimau, teratai dan sebatang kayu kering. Saber memberi tanda pada Akai, kalau perpindahan dimensi telah siap sesuai rencana mereka. Ketiga raja Atlansea belum mengetahui rencana ini, dan Akai merasa bersalah jika harus meninggalkan mereka menghadapi Abyssal Demon. Andai Saber masih bisa membawa beberapa orang lagi, bagaimana dengan rakyat Atlansea. Uranus pasti akan menghabisi mereka. Di sisi lain, jika tidak pergi sekarang, Orb Andromeda akan berada dalam bahaya. “Sun, saat kuberi tanda, biarkan dirimu yang asli mengikuti timku. Doppelgangermu biarkan bertahan bersamaku dan ketiga raja Atlansea. Amankan Orb itu, timku sudah tahu rencananya,” pinta Akai. “Kau gila, Uranus akan tahu, jika aku memisahkan diri.” “Tidak ada pilihan lain. Larilah untuk menemukan Sisi Baik, pemilik Orb itu.” Dalam kebimbangan Sun untuk mengikuti rencana sahabatnya, tampak tiga sosok mendekat. Dia adalah Uranus, Dyrroth dan Alice. Ratu Kadita menatap Uranus marah, ingin rasanya dia pergi menerjang dan membalas dendam, tapi Orb Andromeda sekarang jauh lebih penting dari sebuah balas dendam. Abyssal Demon seolah tidak ada habisnya terus mengurung rombongan Akai. Sepuluh orang menghadapi tiga pimpinan Abyssal Demon bersama pasukan yang seolah tanpa batas terus keluar dari tanah, air dan udara. “Menyerahlah, dan serahkan Orb yang asli,” perintah Uranus. “Langkahi dulu mayatku,” sahut Prabu Gatot Kaca. “Kau pikir akan sanggup menghadapi Abyssal Demonku?” Prabu Gatot Kaca dan yang lainnya tahu, mereka mungkin bisa menghadapi para Abyssal Demon, tapi keberadaan Orb Andromeda dalam bahaya. Lagipula, kekuatan mereka memiliki batasan. Sampai kapankah semuanya dapat bertahan menghadapi jumlah Abyssal Demon yang sangat banyak. Belum lagi kelelawar Alice yang bisa datan dari mana saja. “Minsithar, Kadita, jurus rahasia Ibunda,” bisik Prabu Gatot Kaca dalam bahasa kuno Atlansea. Raden Minsithar dan Ratu Kadita langsung mengerti maksud kakak mereka. Prabu Gatot Kaca mengambil ancang-ancang, bersiap mengeluarkan lompatan Avatar Of The Guardian. Uranus dengan senyum mengejek meminta seluruh Alice dan Dyrroth, serta pasukannya membiarkan. “Paling-paling serangan itu akan membuat kita batuk,” ejek Uranus. Namun, Uranus tertipu. Prabu Gatot Kaca tidak melompat ke arahnya, tapi membalikkan badan ketika berada di udara. Avatar Of The Guardian mengenai udara dan menciptakan gumpalan angin yang dahsyat. Sementara itu, tanah tempat rombongan Akai berpijak turun dengan sangat cepat. Prabu Gatot Kaca telah berada di dekat Akai, ketika Ratu Kadita menutup permukaan tanah dengan gumpalan kristal es. Uranus marah besar, pasukan Abyssal berusaha mendekat, tapi gumpalan angin akibat hentakan Avatar Of The Guardian membuat angin tornado besar. Baru setelah angina tornado itu berhenti, Uranus dan pasukannya bisa mendekat, tapi mereka tidak bisa juga menembus kristal es buatan Ratu Kadita. Dengan geram, Uranus memerintahkan pasukannya mencari musuh ke segala arah. “Sekarang, pergilah Akai, Sun,” pinta Prabu Gatot Kaca. “Tidak mungkin, Uranus akan menyerang rakyatmu,” sahut Akai. “Kami akan menjaga Atlansea. Kalian belum melihat kekuatan Atlansea yang sesungguhnya. Pergilah, kami bisa mengatasi Uranus dan itu akan memberikanmu cukup waktu.” “Entah bagaimana aku harus membalas kebaikanmu Prabu.” “Bawa Orb itu dengan selamat ke tangan pemiliknya. Itu sudah cukup.” “Terima kasih, akan kujaga kepercayaanmu. Ratu Kadita, aku minta maaf atas kepergian orangmu.” “Aku hargai kepedulianmu, tapi aku baru sadar kalau Lapu-Lapu masih hidup. Kalau dia telah tiada, Twin Bladenya akan datang padaku,” jawab Ratu Kadita. Akai, Sun dan penjaga misteri akhirnya pergi dari Atlansea menggunakan lompatan dimensi ke Antoinerei. Yang Ditakdirkan Rombongan Akai, sampai di Antoinerei dengan hati yang tidak tenang. Mereka khawatir pada keselamatan Atlansea. Uranus pasti akan mengobrak-abrik negeri itu. Apakah Prabu Gatot Kaca, Raden Minsithar, dan Ratu Kadita mampu menghadapi Abyssal Demon. Belum lagi jika Lord Of Abyss datang. Karena itu, keputusan pergi ke Antoinerei selain untuk mengamankan Orb Andromeda adalah untuk meminta bantuan Estes. Di antara semua ksatria yang sekarang ada, kekuatan Estes, jika digabungkan dengan ketiga raja Atlansea, diyakini akan setara dengan Lord Of Abyss. Apakah Elf King mau meninggalkan negerinya? Terakhir kali dia pergi berperang, Estes terluka parah dan harus tidur beratus tahun lamanya. “Kami mohon Estes, aku dan Sun harus mencari pemilik Orb ini, kami tidak mungkin ikut bertarung,” pinta Akai dengan sepenuh hati. Semua orang, bahkan rakyat Eruditio berkumpul di Moon Elf saat itu. Mereka kini berada di Emerald Woodland, sebuah tanah lapang dengan hamparan padang rumput hijau nan luas. Di tengah-tengahnya berdiri satu buah pohon raksasa yang disebut Tree Of Life. Akar-akar Tree Of Life tersebar ke seluruh wilayah Antoinerei. Semua Elf King dilahirkan di atas Emerald Woodland. Tepatnya di sekitar Tree Of Life, di sana terdapat istana Elf King yang tidak terlihat oleh mata biasa. Hanya para Elf dan beberapa dewa terpilih yang mampu melihat istana itu. Dari cerita yang diwariskan Raja Katak dan Raja Elang pada Akai dan Sun, konon istana Elf King hanya terdiri dari delapan buah rumah sederhana yang berjejer di sekeliling Tree Of Life. Keadaan itu yang membuat Andrean sejak kecil membenci manusia. Jika dibandingkan dengan istana Eruditio, apa yang dimiliki bangsa Elf tidak sampai sepersepuluhnya. Andrean menganggap semua itu adalah simbol perbudakan manusia pada bangsa Elf. Estes termenung mendengar permintaan Akai, Elf King ke-18 itu memperhatikan dengan seksama rakyatnya dan bangsa manusia yang dengan sumpah setia harus dia jaga. Tapi, apa harus dia ikut pergi ke medan pertempuran, dan bagaimana jika kekuatan jahat kembali datang ke Antoinerei yang bukan saja akan membahayakan para Elf, juga semua manusia di Eruditio yang hidup dengan penuh ketulusan hati. Estes berada dalam kekalutan, dia menatap Tree Of Life, memohon pada para Sang Maha Pencipta, agar menunjukkan jalan terang. Sementara itu Sun terkagum-kagum. Elf King yang selama ini hanya menjadi legenda, kini nyata di depan matanya. Sun masih ada dalam mode Doppelganger. Hanya dia dan Akai yang tahu mana Orb Andromeda yang asli. “Bahaya dan kegelapan selalu mengintai di mana saja,” kata Sun dan tetap membiarkan mode Doppelganggernya aktif. Sebenarnya, bisa saja mereka menggunakan kekuatan Orb Andromeda untuk melawan Lord Of Abyss, tapi resikonya terlalu besar. Justru hal itu pasti sudah ditunggu oleh Lord Of Abyss, sehingga para Nazar Guardian sudah disumpah tidak akan menggunakan kekuatan Orb Andromeda. Karena, kekuatan itu terlalu besar, jika tidak tahan pemegang orb itu justru tidak dapat bergerak, dan sudah pasti menjadi kesempatan bagi pengikut kegelapan untuk mengambil Orb itu dengan mudah. Sun yang sedari tadi memeganggnya merasakan kekuatan yang sangat dahsyat. Sedikit saja salah menggunakan kekuatan itu, tubuhnya bisa meledak. Hal ini yang tidak diketahui oleh Uranus dan pasukannya. Uranus mengira setelah mendapatkan Orb Andromeda, dia akan dengan mudah mendapatkan kekuatan untuk mengalahkan Lord of Abyss dan menjadi penguasa selanjutnya. Sun dan Akai dipilih menjadi Nazar Guardian, karena keduanya terlahir dari batu meteor yang ditangkap Kaja dengan Cambuk Petir dan Cambuk Cahaya. Nazar Guardian dibentuk untuk menunggu sampai kedua batu meteor itu melahirkan dua ksatria yang akan menjaga Orb Andromeda. Kedua meteor itu adalah satelit Bintang Andromeda sebelum meledak. Ketika Bintang Andromeda meledak, kedua meteor itu kehilangan orbitnya sampai Kaja berhasil menangkapnya. Lalu siapa yang ditakdirkan untuk menerima kekuatan terdahsyat di alam semesta itu? Akai dan Sun sangat khawatir kalau Sisi Jahat yang muncul lebih dulu dan menyerap kekuatannya. Tidak ada yang tahu, siapa yang benar-benar layak dan pantas. Estes masih belum menjawab permintaan Akai, tapi seluruh Elf berkumpul dan memanjatkan doa di depan Tree Of Life. Semua meminta petunjuk. Konon, pohon itu masih menyimpan kedekatan dengan para dewa tertua. Elf King lalu menyusul seluruh rakyatnya. Rakyat Eruditio yang sepeninggal Bruno dipimpin oleh Widore, juga ikut melantunkan doa permohonan. “Kalau Tuan Estes pergi, siapa yang akan menjaga Antoinerei?” tanya Widore yang memecah keheningan semua orang. Pertanyaan itu seolah menjadi setetes air di tengah gurun pasir yang gersang. Kebimbangan dan kekalutan menyelimuti semua orang. Para Penjaga Misteri, terutama Bruno dan Lolita mencoba memberi jalan keluar, bahwa mereka yang akan tinggal menjaga Antoinerei. Tiba-tiba dari kejauhan sebuah teriakan, menghentikan doa semua orang. “Elf King tidak perlu pergi ke mana pun. Pemilik Orb Andromeda yang sah telah ditemukan.” Suara itu sungguh mengejutkan. Bukan hanya karena dia mengatakan pemilik Orb Andromeda sudah ditemukan, tapi kilatan api di tubuhnya. Orang itu seperti terpanggang dalam api, tapi dia tidak terbakar sama sekali, matanya berwarna merah bagaikan api. “Manusia api,” desis orang banyak. Belum selesai keterkejutan itu, di samping si manusia api, ada seorang berbadan besar, dengan baju zirah tebal, membawa sebuah perisai yang juga besar. Akai, Sun dan Penjaga Misteri serta semua rakyat Antoinerei lebih terkejut ketika orang besar itu membawa Pedang Besar yang terlempar ketika pertarungan antara Akai dan Alucard. Bagaimana bisa? “Kalian semua pasti terkejut mengapa Pedang Besar ada pada kami. Aku adalah Valir, Dewa Api. Dan, ini adalah Tigreal, Dewa Cahaya. Pedang Besar yang terlempar dari perut Akai, tertancap di tanah dan Tigreal mencabutnya dalam sekejap. Telah sejak lama, Lord Of Light menyiapkan Tigreal untuk menjadi penerima Orb Andromeda. Itu adalah potongan rahasia yang ditinggalkan Dewa Kaja pada Lord Of Light yang kini memimpin Celestial Palace,” jelas Valir tanpa ragu. Dewa Api dan Dewa Cahaya? Sun, Akai dan Estes saling berpandangan. Mereka bertiga pernah melihat kedua dewa itu sebelumnya, apa telah terjadi pergantian dewa di Celestial Palace? Memang, jika dilihat kedua orang yang datang ini mewarisi watak dan kekuatan dari kedua dewa itu. Estes memberi tanda agar kedua Nazar Guardian tidak bertanya tentang hal itu. “Bagaimana kami bisa percaya padamu, dan bagaimana bisa kau mengikuti kami ke Antoinerei,” tanya Saber yang selalu waspada. “Dia pelintas dimensi, pergi dari Magical City ke barat daya Land Of Dawn, untuk menyerap kekuatan gunung berapi aktif paling kuat di sana. Orang-orang menyebutnya Inferno Of Fire, tempat legenda Mage Terkuat belajar kekuatan api. Vale dan Professor Of Hell terus mencarinya, tapi dia tidak pernah kembali,” kata Harley yang tiba-tiba bicara. “Luar biasa, kau pasti Harley Vance, putra Stanley. Pengetahuanmu ternyata cukup luas,” Valir Nampak kagum pada sosok Harley. “Kami sempat kewalahan sewaktu kalian menghilang. Aku dan Tigreal khawatir Uranus mendapatkan Orb itu lebih dulu. Untung saja Lapu-Lapu yang kami tolong membawa kami ke posisi kalian,” lanjutnya. “Lapu-Lapu, bagaimana keadaannya?” tanya Akai prihatin. “Aku berhasil menarik dirinya dengan pusaran api, sebelum sabit emas Uranus membelah kepalanya. Teriakan yang kalian dengar, ketika pusaran apiku membakar punggung Lapu-Lapu. Itu lebih baik daripada kepalanya terpenggal, bukan? Kami beruntung Uranus tidak penasaran dan mengejar. Kalian dengan Orb Andromeda lebih dia utamakan.” “Ceritamu tentang Lapu-Lapu bukan berarti dapat membuat kami percaya begitu saja,” sergah Saber. Valir terkekeh, “Tigreal, cepat tunjukkan pada mereka bahwa memang kau adalah yang ditakdirkan. Supaya kita bisa segera membasmi Uranus dan pasukan kegelapan, dan kembali kepada para dewa di Celestial Palace.” Tigreal segera menancapkan Pedang Besar di tanah. Akai tahu ini bukan pertanda bagus. Dia dan Sun tidak dapat menolak untuk memberikan Orb Andromeda jika orang itu berhasil mencabut Pedang Besar dari tanah. Hanya yang layak yang dapat mencabut pedang itu jika dia tertancap ke tanah. Entah mengapa, suara hati Akai kembali memberi tahu untuk waspada dan tidak memberikan Orb Andromeda pada Tigreal. Suara hati yang selama ini membimbingnya menegakkan kebenaran di seluruh dimensi dan menjaga rahasia Orb Andromeda. Apa semua yang telah terjadi selama ini, layak dikorbankan dengan memberikan Orb Andromeda dengan penuh keraguan? Yang terjadi berikutnya memang Tigreal berhasil mencabut Pedang Besar itu, dan secara reflek Doppelganger Sun menyatukan diri dengan Sun yang asli. Kini semua orang melihat wujud asli dari Orb Andromeda itu berupa anggrek pelangi yang begitu indah. Telah menjadi sumpah Ordo Pelindung untuk menyerahkan Orb Andromeda pada pemilik yang sah. Meski berat hati, Akai tidak dapat melarang ketika Sun melangkah maju ke arah Tigreal. Tigreal menerima Rainbow Orchid dengan senyum terkembang di wajahnya. Beberapa saat menunggu, tidak ada yang terjadi, Tigreal tidak merasakan kekuatan apapun. “Apa ini? Kalian tidak menyerahkan Orb yang asli. Tidak ada kekuatan di dalamnya,” keluh Tigreal sembari meremukkan Rainbow Orchid yang dia pegang. “Kekuatan Orb Andromeda hanya akan dapat diserap ketika berada di puncak tertinggi Atlansea. Selebihnya dia hanya akan menjadi benda yang tak berguna,” sahut Estes yang membaca tulisan di Holy Book miliknya. “Holy Book, sumber segala pengetahuan di alam semesta,” kata Valir antusias. “Itu mengapa, kami membawanya ke tempat ini, agar siapapun tidak dapat mengambil kekuatannya secara sembarangan,” pungkas Akai. “Tapi, kalian tetap memberiku Orb palsu. Orb asli tidak akan bisa dihancurkan.” “Tidak bisa dihancurkan, bukan berarti tidak bisa tercerai berai. Lihatlah dulu,” sahut Sun. Ratusan pasang mata di dekat Tree Of Life terbelalak. Rainbow Orchid yang hancur jadi debu itu menyatu kembali, dan utuh seperti semula. Tigreal dan Valir segera pergi ke tempat yang disebutkan Akai. Sementara rombongan Akai pergi sisi lain Land Of Dawn, agar ditemukan dan dikejar oleh Uranus, untuk memberi waktu bagi Tigreal menyerap kekuatan pada Rainbow Orchid. Rakyat Antoinerei bersorak, Elf King, pelindung terkuat mereka tidak jadi pergi membantu tiga raja Atlansea. Tanpa dilihat semua orang, Estes tersenyum. Terpancar rona bahagia diwajahnya…. Kenyataan Yang Sebenarnya Setelah pergi dari Antoinerei, rombongan Akai kembali ke Land Of Dawn. Kali ini mereka pergi ke sisi paling timur di Atlansea. Sun mengatakan di antara semua tempat, hanya daerah itu yang paling aman. Karena para Abyssal Demon, akan berpikir seribu kali untuk ke sana. Sejak masa Dewi Armora, para raksasa menjadi sahabat sejati manusia. Mereka tidak bisa lagi dipengaruhi Lord Of Abyss seperti di masa lalu. Sun, memiliki seorang sahabat di sana. Raksasa berwujud banteng. Namanya, Minotaur. Ibunya adalah adik perempuan Dewi Armora. Minotaur dan Minsithar teman sepermainan ketika kecil, konon mereka terhubung oleh semacam telepati yang diwariskan Dewi Armora dan ibu Minotaur. Sehingga, Sun berharap Minotaur dapat mencari kabar kondisi ketiga raja Atlansea, tanpa harus mendekati tempat itu yang pasti masih dalam pengawasan Uranus dan pasukannya, apalagi jika Atlansea telah ditaklukkan. “Tidak akan semudah itu, para sepupuku, baru akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Kalian hanya belum melihat kekuatan sesungguhnya dati Atlansea,” terang Minotaur ketika Sun dan yang lain tiba di rumahnya. “Kami hanya merasa bersalah,” kata Akai sedih. “Sudahlah, mereka adalah para raja yang lahir dari rahim dewi terkuat di alam semesta. Kau tidak usah meragukan keputusan mereka.”kata Minotaur lagi. “Bagaimana mereka sekarang?” tanya Sun. “Pertempuran masih terjadi, aku sudah mengirim pasukan raksasa untuk membantu. Atlansea berhasil bertahan dengan kuat. Seharusnya itu memberi waktu kalian untuk pergi, mengapa malah kembali?” “Ini takdir yang harus dijalani, kau beritahu kami jika mereka terdesak, aku akan mengirimkan bala bantuan,” Sun melanjutkan. Minotaur hanya geleng-geleng kepala. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Sun. Mereka berdua adalah kawan lama, dan Sun selalu punya alasan dalam setiap tindakannya. Akai lalu meminta Saber untuk menyiapkan parameter dimensi, ke Mooniyan Empire. Sementara itu, di gunung tertinggi Atlansea, Valir dan Tigreal memaki tidak karuan. Akai dan Sun memperdaya mereka. Entah mengapa, kedua sahabat itu merasakan bahwa mereka tetap harus menjaga Orb Andromeda. Orb Andromeda memang terlahir kembali sebagai Rainbow Orchid, tapi ada satu rahasia yang hanya diketahui Sun selama seratus tahun. Sun yang sejak tadi berbicara dengan Minotaur adalah Doppelganger. Sedangkan, Sun yang asli bersembunyi dalam telinga Akai, membawa Rainbow Orchid asli, yang selama ini tersimpan dalam kaki langit. Kaja dan ketiga Dewa Tertua memang menciptakan banyak cerita tentang inti Bintang Andromeda, yang akan meledak dan lahir ke Land Of Dawn. Ribuan tahun lalu, ketika Kaja mendapatkan kekuatan Andromeda memang bintang itu meledak dan intinya merasuk ke dalam tubuh Kaja. Tapi, setelah itu…, tepat ketika Kaja berada di detik terakhir dalam hidupnya, inti Bintang Andromeda keluar dari tubuh Kaja dan terlahir kembali sebagai Rainbow Orchid. Demi melindunginya, Neptunus memasukan benih Rainbow Orchid itu ke dalam Kaki Langit dan dijadikan penyangga langit di dalam lautan terdalam. Jupiter memberkahi Kaki Langit dengan kekuatan petir dan Pluto menganugerahi Kaki Langit dengan keabadian. Kaja memberi tahu waktu Rainbow Orchid itu akan mekar dan siap memberikan kekuatannya pada Yang Ditakdirkan adalah ketika dua batu meteor yang dia tangkap melahirkan ksatria. Sehingga, Kaja mewariskan pengetahuan pada Nazar Guardian, menunggu sampai Sun dan Akai terlahir dari batu meteor. Jika itu terjadi, maka waktunya tidak akan lama lagi. Tanda seperti hujan tiba-tiba ketika langit cerah dan kawanan burung yang pergi ke Pulau Darah, memang adalah tanda yang benar saat Rainbow Orchid telah mekar dan siap mewariskan kekuatan terbesar sejagad raya. Dari semua itu, hanya satu Nazar Guardian dari tiap generasi yang diberi petunjuk tentang Kaki Langit, bahwa setelah berlatih keras, Sun harus mengambil Kaki Langit dan membawanya selalu, berpura-pura kalau dia hanyalah kera pengacau yang mengguncang istana Lord Of Light. Materai suci yang dicari Akai di Pulau Darah, adalah sebuah cerita palsu untuk mengecoh para pengikut kegelapan. Sebenarnya, Kaki Langit adalah materai suci itu. Seperti dalam tugas yang diberikan pada Akai, dia harus mengambil materai suci milik Dewa Terkuat di Land Of Dawn, Sang Penguasa 7 Samudera. Neptunus adalah Dewa Terkuat, lebih kuat dari Jupiter yang memimpin para dewa dan Pluto yang menguasai kematian. Dalam pengejaran oleh Uranus di pusat khatulistiwa dengan ilmu merubah wujud, Sun merubah dirinya menjadi seekor nyamuk, masuk dalam telinga Akai, memberi tahu rencananya. Sun juga memberi tahu Estes, sehingga dengan cerdik mereka mengelabui Valir dan Tigreal seolah Holy Book berbicara tentang kekuatan Orb Andromeda yang hanya akan dapat diserap ketika berada di puncak tertinggi Atlansea. Setelah tahu dirinya dibohongi, Tigreal dan Valir mencoba kembali ke Antoinerei. Hal itu sudah diperhitungkan oleh Akai. Dia meminta Estes menutup semua pintu dimensi ke Antoinerei. Meski ini adalah pilihan berat, membuat Antoinerei akan terisolasi dari semua dimensi dalam waktu sepuluh tahun, tapi keselamatan seluruh rakyat lebih berarti. Valir dan Tigreal pasti akan menyerang Antoinerei habis-habisan. Walau, Estes memiliki kekuatan Dewa, tapi kedamaian tanpa pertarungan lebih penting dari seegalanya. Pertarungan di tanah Antoinerei sudah cukup memakan banyak korban. “Apa kalian yakin dengan rencana ini,” tanya Estes pada Sun yang ada dalam telinganya. “Aku dan Akai sudah merencanakan semuanya. Minimal, jika kami gagal menghancurkan kegelapan dan semua angkara murka, masih ada tempat yang tak bisa dijangkau oleh kegelapan itu. Antoinerei akan jadi masa depan semesta,” ucap Sun dengan nada yang teramat sedih. Pilihan sulit yang harus mereka ambil. Kemarahan Uranus Untuk sementara waktu, Uranus dan pasukannya mundur. Kedatangan Badang dan Grock dalam pertempuran bersama pasukan terkuat di Atlansea membalikkan keadaan pertempuran. Uranus juga sadar, dia kehilangan banyak waktu. Dia terpancing dengan pertempuran bersama orang-orang Atlansea yang hanya mengulur-ngulur waktu. “Mereka pasti memberi waktu agar Orb Andromeda dibawa jauh. Sial, mengapa aku begitu bodoh,” keluh Uranus. Dia lalu memanggil petarung Abyss terkuat setelah Thamuz. Aldous yang baru saja menciptakan cakar terkuat di tangan kanannya. Aldous dapat masuk ke dalam cakar itu dan menyerang musuhnya dari jarak yang sangat jauh. Sebetulnya, Uranus ingin menggunakan Aldous untuk menyerang ketiga raja Atlansea diam-diam, tapi kali ini dia tidak ingin dipermainkan lagi. Aldous datang ke hadapan Uranus dengan kharisma yang luar biasa. Alice yang menyaksikan petarung itu datang, begitu terkesima. Aldous memiliki jiwa seorang pemimpin. Maka dari itu, Uranus jarang memintanya melakukan tugas. Kalau berhasil, popularitas Aldous akan naik dan itu dapat membahayakan posisi Uranus sebagai Panglima Pasukan Abyss. Namun, saat ini tidak ada pilihan lain lagi, hanya Aldous yang dapat menemukan posisi Akai dan Sun. “Kau sangat ahli dalam menemukan seseorang. Cari ke mana mereka membawa Orb Andromeda dan bawa kemari.” “Baik, Tuan. Aku tidak akan kembali sampai Orb itu kutemukan.” “Bagus, bawa ini, setiap Abyssal Demon yang melihatmu dalam perjalanan akan membantumu,” kata Uranus sambil menyerahkan jubah kecil berwarna biru pada Aldous. Uranus memang membenci petarungnya itu, tapi jalan terbaik untuk membuat seseorang patuh dan bahkan rela memberikan nyawanya, adalah dengan menunjukkan rasa percaya yang besar. Uranus memanfaatkan itu. Aldous kini benar-benar akan rela menyerahkan seluruh jiwa raganya demi pasukan Abyss. “Lalu, bagaimana dengan pasukan kita, apa kita harus mundur?” tanya Alice perlahan. Dia takut itu akan menyinggungg perasaan Uranus. “Kita akan memberi pelajaran orang-orang Atlansea itu karena berani mempermainkanku. Serangan penuh, bawa Faramis dan Vexana ke sini, juga tiga orang yang berada di bawah sihir Vexana: Alucard, Miya dan Gusion.” Perintah Uranus itu bagaikan air terjun yang mengalir dengan deras. Abyssal Demon bersiap dan melakukan serangan lagi. Prabu Gatot Kaca yang merasa perang sudah usai tidak menyangka dengan serangan tiba-tiba itu. Tapi, sang prabu masih sempat mengirimkan pesan pada seluruh prajurit Atlansea agar maju ke medan pertempuran. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Raden Minsithar memberi kabar ini kepada Minotaur, dan meminta sepupunya itu untuk bergabung karena serangan Uranus begitu dahsyat. Minotaur ingin memberi tahu Minsithar kalau Sun dan yang lain ada bersamanya, tapi Akai melarang itu, karena pasti akan membuat Prabu Gatot Kaca gusar. Mereka akan merasa sia-sia mengulur waktu padahal Akai dan yang lain tetap di Land Of Dawn. Belum selesai bicara, pasukan Atlansea benar-benar terdesak. Kehadiran Alucard, Gusion dan Miya menghajar Atlansea tanpa ampun. Prabu Gatot Kaca maju melawan Alucard. Raden Minsithar melawan Gusion dan Ratu Kadita melawan Miya. Pertarungan itu berlangsung sengit, sampai Alucard berhasil menebaskan pedangnya dan mengenai punggung Prabu Gatot Kaca. Sayap emas di punggungg sang prabu terbelah. Prabu Gatot Kaca tak sadarkan diri. Ratu Kadita menerima dua anak panah di dadanya. Panah itu beracun, membuat pelan tapi pasti sang ratu mulai kehilangan tenaga dalamnya. Kini hanya tersisa Grock, Badang dan Raden Minsithar. Alucard, Gusion dan Miya segera menyerang ketiganya. Minotaur yang mendengar keadaan tak menguntungkan itu segera mengambil senjatanya. Akai memberi tanda pada Saber dan Harley untuk menggunakan portal dimensi, agar membawa Minotaur ke arena pertempuran segera. “Harley, kau ambil alih kendali portal dimensi. Semua pergi membantu kecuali Saber. Aku punya tugas khusus untukmu,” kata Akai. Dalam kondisi genting itu tidak ada seorang pun yang mau bertanya. Kalau Uranus berhasil menundukkan Atlansea, Lord Of Abyss dan pasukannya akan berada dalam keuntungan besar. “Cepat kau pergi menjemput Tigreal. Kita tidak punya pilihan lain. Dia harus segera menerima kekuatan Rainbow Orchid,” seru Akai. “Apa?” sergah Sun dan Saber hampir bersamaan. Mereka tidak percaya dengan keputusan Akai. “Kau gila, lalu untuk apa tadi kita mengecohnya,” tanya Sun. “Apa kau melihat pilihan yang lebih baik. Dia harapan kita satu-satunya saat ini, bukan?” Akai bertanya balik. Sun menatap nanar ke langit. Di satu sisi Akai benar, tapi mereka berdua sama-sama tahu perasaan kalau Tigreal bukan orang yang layak menerima Rainbow Orchid. Entah apa ini karena mereka terlalu takut kekuatan Orb Andromeda dimiliki oleh Sisi Jahat. Kalau dilihat Tigreal bukan orang jahat. Sun sudah mengecek ke langit dengan Doppelgangernya, kalau Valir dan Tigreal memang telah diangkat menjadi Dewa Api dan Dewa Cahaya atas jasa mereka menyelamatkan Lord Of Light. Saber tidak membantah lagi. Dia selalu percaya Akai telah memikirkan segala sesuatunya dengan matang. Akai yang sudah dianggap sebagai guru oleh Saber itu memang memiliki firasat yang sangat kuat. Dan, segala sesuatu dilakukannya berdasarkan kata hati. Semoga kali ini pun, kata hati Akai memutuskan sesuatu yang benar. *** Saat pertempuran terakhir di masa Pandawa dimulai, Dewi Armora menyimpan sebuah Twilight Orb di dalam perutnya. Saat itu Sang Dewi sedang hamil. Janin dan Twilihgt Orb itu tumbuh bersama seperti saudara dalam rahim Dewi Armora. Sang Dewi akhirnya melahirkan dua orang anak. Satu adalah Kadita, yang mewarisi kekuatan samudera dan Lunox yang terlahir sebagai seorang gadis yang dikelilingi oeh kekuatan Chaos dan Order. Lunox menjadi Dewi Mimpi, dan dengan kemampuan itu dia dapat menjelajah ruang dan waktu. Namun, kekuatan Chaos dan Order yang dimiliki Lunox semakin hari semakin tidak seimbang. Dewi Mimpi sering tidak dapat mengontrol kekuatannya dan menjebak beberapa orang tidak berdosa di alam mimpi. Suatu hari, sebuah suara berbisik dan menyuruh Lunox untuk menyeimbangkan kekuatan Chaos dan Order. Untuk dunia yang dicintainya, Lunox menerima takdir ini tanpa diketahui oleh saudara-saudaranya. Lunox menyalurkan dua kekuatan tersebut ke alam mimpi untuk menjadi sebuah Twilight Orb. Sebagai gantinya, Lunox jatuh ke dalam tidur yang abadi di dalam dunia mimpi. Semua saudaranya mengira dia menghilang dan menjalani kesukaannya menjelajah waktu. Ratusan tahun Lunox terjebak hingga datang seorang penjelajah waktu, namanya Harith. Dia berasal dari Enchanted Forest, seorang Elf dari Ras Leonin. Ras itu hidup damai di sebuah tempat rahasia di Land Of Dawn. Semua orang Leonin merasa puas dengan kehidupan damai itu sehingga mereka berhenti mempelajari Magic Art, ciri khas dari bangsa Elf. Harith yang berumur lima belas tahun merasa tidak puas dan dengan percaya diri pergi dari Enchanted Forest. Harith tiba di ibukota Land Of Dawn dan bergabung dengan bangsa manusia untuk mengusir penjajahan bangsa Orc. Harith yang berhasil membuktikan diri dalam pertarungan tersebut, mendapatkan kepercayaan dari Tigreal. Harith kemudian mempelajari Magic yang dapat mengontrol ruang dan waktu. Dengan kekuatan itu dia melindungi kerajaan dari musuh dan melakukan perjalanan waktu ke mana saja demi mengobati kesepiannya pada dunia. Perjalanan itu yang tanpa sengaja membawa Harith pada Lunox dan membebaskan putri Dewi Armora itu dari tidur panjang di dunia mimpi. Raga Lunox selama beratus tahun tersimpan utuh di Ancient Lake. Ketika keluar dari Ancient Lake, Lunox melihat ketiga saudaranya sedang bertarung menghadapi Uranus. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk langsung ikut bertarung, tapi kemudian itu menjadi penyesalan terbesarnya. Dia menyaksikan pedang Alucard menebas sayap emas kakaknya, dan bagaimana Ratu Kadita tersungkur dengan anak panah di dada. Meski kekuatannya belum cukup Lunox ikut maju menyerang. Seluruh rakyat Atlansea bersorak kegirangan. Ratu mereka yang telah lama hilang kembali. Kekuatan Chaos dan Order pasti akan dapat mengalahkan pasukan musuh. Uranus mengenali apa yang dibawa oleh Lunox. Kekuatan Twiligt Orb ada pada Chaos dan Order memang sangat dahsyat. Dulu, ketika membantuk Kurawa melawan Pandawa, Uranus mencari Orb itu ke mana-mana agar dapat mengalahkan Pandawa dan Khresna. Sekarang dia akhirnya tahu, orb itu terlahir menjadi seorang manusia. Naluri Uranus bicara, kalau kini saatnya dia akan mendapatkan kekuatan Orb yang ada dalam diri Lunox. “Gusion cepat ringkus gadis itu dan bawa dia ke padaku hidup-hidup,” perintah Uranus. Tanpa banyak bicara Uranus melemparkan pisau saktinya kea rah Lunox, tapi luput. Serangan demi serangan terus dikirimkan Lunox. Ledakan yang diciptakan Chaos dan Order di kedua tangan Lunox berhasil memukul mundur pasukan Uranus, bahkan Alucard sampai muntah darah akibat serangan Dewi Mimpi. Harith yang sejak tadi bersembunyi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, melompat ke udara dan memanggil kekuatan rahasianya: Zaman Force, memunculkan multidimensional Rift, sebuah lintasan waktu yang membuat Harith muncul dan pergi sekehendak hatinya. Abyssal Demon yang semula tidak ada habisnya, dengan mudah diringkus Harith dengan serangan Chrono Dashnya. Berikutnya, Harith menciptakan bayangan dirinya di arah yang berlawanan dan mengeluarkan Synchro Fission, membuat bingung semua pasukan kegelapan. Dyrotth mencoba menghadapi Harith, mereka bertarung dengan sengit, seolah tidak ada pemenang di antara keduanya. Saat hendak bangkit menyerang, pasukan Uranus dikejutkan dengan hentakan banteng raksasa yang mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak. Di tambah dengan pukulan Storm Hammer dari Lolita yang memusnahkan banyak Abyssal Demon. Miya terpental akibat pukulan Lolita. Dengan cepat Harley mengurungnya dengan Ring Of Fire. Gusion berusaha menolong, tapi dengan cepat Bruno menembaki si raja pisau dengan bola energi. Faramis, Vexana dan Alice menyerang pasukan Atlansea. Grock, Badang dan Raden Minsithar telah waspada. Power Of Nature milik Grock yang mengangkat senjata tiang batunya tidak dapat ditahan Faramis dengan altarnya. Vexana yang melancarkan Nether Snare dengan memanggil Curse Power berhasil dipukul Badang dengan Fist Crack, pukulan beruntun tangan besi. “Berjuaang untuk melindungi dan bertahan untuk kebajikan,” seru Badang bersemangat. Alice yang dalam pertarungan sebelumnya dengan mudah dikalahkan Raden Minsithar, mencoba memikat musuhnya dengan kecantikan. Raden Minsithar tidak peduli. Dia menembakkan panah Pasopati dan menembus dada Alice tepat di jantungnya. Kengerian meliputi semua orang. Tubuh Alice berubah menjadi keriput dan lemah, mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan darah berwarna ungu. Belum berhenti, dengan kemarahan meluap-luap Raden Minsithar menyerang dengan Spear Of Glory. Tombaknya memanjang dan menebas Alice dan Faramis bersamaan. Kedua pengikut kegelapan itu lenyap tak berbekas. “Kalian baru melihat kekuatan Atlansea,” teriak Minotaur dengan sangat keras. Menggetarkan Abyssal Demon yang masih tersisa, sebagian lagi sudah musnah oleh serangan Alpha. Uranus marah besar dan matanya mengkilat memancarkan api. Dalam kemarahan itu dia berteriak memanggil junjungannya, Lord Of Abyss. “Celaka,” seru Prabu Gatot Kaca sambil menahan sakit. “Adik, waspada. Jangan sampai merasa panik ketika dia datang,” kata Ratu Kadita dengan nafas tersengal-sengal. Lord Of Abyss, penguasa segala kegelapan, penakluk kematian, penghancur kebaikan, dan raja dunia bawah datang. Kedatangannya langsung membuat prajurit biasa dari Atlansea tersedot jiwanya. Para ksatria dengan susah payah bertahan. Prabu Gatot Kaca dan ketiga saudaranya melihat ini seperti kisah perang Dewa Kaja di masa lalu, yang selalu diceritakan Dewi Armora sebelum mereka tidur. Kini pertarungan itu kembali terjadi di Atlansea, di poros khatulistiwa. Kehadiran Lord Of Abyss Saber muncul tepat ketika Valir dan Tigreal dengan amarah meluap-luap ingin meninggalkan gunung tertinggi di Atlansea. Keduanya menaruh curiga, tapi dengan cerdik Saber memberi tahu, kalau ini adalah muslihat Akai, sebab di Antoinerei ada Dark Elf yang mengintai. Entah mengapa, tanpa bersusah payah Tigreal dan Valir percaya begitu saja. Mereka segera menuju tempat Akai menunggu. Tidak menunggu waktu lama, Akai dan Sun menyerahkan Rainbow Orchid pada Tigreal. Dan, memang dia adalah Yang Ditakdirkan. Rainbow Orchid merasuk ke jantungnya, menyebar ke seluruh tubuhnya. Kini, Tigreal menjadi pemilik kekuatan terdahsyat di alam semesta. Dengan cepat pula, Valir, Akai, Sun, Saber dan Tigreal bergabung ke area pertempuran Atlansea. Mereka semua dapat merasakan jika Lord Of Abyss datang seluruh kebaikan yang bertahan akan hilang. Mereka tiba ketika Uranus berteriak memanggil Lord Of Abyss. Akai langsung berhadapan dengan Uranus. Sun menghadapi Thamuz yang datang bersama Lord Of Abyss. Valir langsung membakar banyak Abyssal Demon dengan apinya, sembil sesekali menyerang Uranus dan Thamus dengan pukulan api tak terlihat. Lord Of Abyss yang memakai jubah panjang. Wajahnya tidak terlihat, hanya warna hitam dan gelap yang Nampak. Di tangan kanannya ada pedang raksasa. Di tangan kirinya ada sabit panjang. Ternyata, Lord Of Abyss juga adalah seorang pertarung. Saber yang kini bersama para penjaga misteri mengurungnya. Juga Minotaur dan Raden Minsithar. Lord Of Abyss bertarung dengan cepat dan efektif. Kekuatan seranganya berhasil memukul mundur semua penyerangnya hanya dalam beberapa kali tebasan pedang. Dia menyatukan pedang dan sabitnya, bermaksud menebas semua lawan dengan tebasan terakhir yang mematikan. Tigreal menangkis serangan itu. Kekuatanya berpendar dengan dahsyat. Seperti dulu kala, ketika Kaja yang menggunakan kekuatan itu, Lord Of Abyss kembali terdesak. Kali ini dengan mudah, sebab dia tidak memiliki Twilight Orb Magma dan Berlian di bahunya. Uranus bergidik ngeri. Jika Lord Of Abyss dengan mudah dikalahkan, bagaimana dengan mereka. Pedang Tigreal kini bahkan sudah menebas arit kematian miliki Lord Of Abyss. Arit itu patah tiga. Dalam hatinya, Uranus merutuk habis-habisan, mengapa Aldous tidak berhasil menemukan Orb itu dulu sebelum meresap ke tubuh Yang Ditakdirkan. Jika begini, bagaimana bisa penantian ribuan tahun para Abyssal Demon akan kembali hilang dalam sekejap. Dan, kali ini tidak seperti Kaja yang hanya membuat Lord Of Abyss tidak bergerak, Tigreal menghajarnya habis-habisan. Benar saja, serangan berikutnya, Tigreal melancarkan Attack Wave. Tebasan Pedang Besar memenggal kepala Lord Of Abyss. Nyali pasukan Abyssal Demon ciut. Mereka berusaha lari, tapi prajurit Atlansea meringkusnya. Akai dan Sun bergidik ngeri, melihat Lord Of Abyss dihabisi tanpa belas kasihan. “Sejak saat ini, tidak akan ada lagi kejahatan di Land Of Dawn. Aku akan menjadi pelindung semua orang,” seru Tigreal sembari tersenyum penuh kemenangan. Tigreal merayakan kemenangan itu dengan berteriak keras-keras ke angkasa. Dia begitu bahagia setelah berhasil mencapai cita-citanya, menjadi yang terkuat sejagad raya. Perisainya di lemparkan ke tanah. Pedang Besar dia tancapkan begitu saja. Kegembiraan itu membuat Tigreal tidak waspada. Dari kejauhan sebuah serangan cepat dan dahsyat berbentuk kerucut besar meluncur deras ke arah jantung Tigreal. Ya, itu adalah Aldous yang menyerang dengan Chase Fatenya. Tigreal menjadikan tangan kanannya perisai, dan meninju tangan kirinya ke tanah ke tanah dengan gerakan Implosion, seperti yang biasa dia lakukan dengan perisai dan Pedang Besar. Aldous tertarik ke dekat Tigreal. Untuk sesaat wajah mereka bertemu. Berikutnya, semua orang di sana dikejutkan oleh pemandangan yang akan terus mereka seumur hidup. Cahaya pelangi berpendah keluar dari jantung Tigreal. Cahaya itu menuju ke tubuh Aldous. Para pengikut kegelapan bersorak. Walau sangat iri, tapi Uranus melihat peluang besar kemenangan kaum Abyssal. Mereka akan dapat menguasai Land Of Dawn bahkan Celestial Palace, serta seluruh dimensi alternatif dari Land Of Dawn. Akai dan Sun saling pandang. Semua rakyat Atlansea dan keempat pemimpin mereka tidak menyangka semua akan jadi begini. Penjaga Misteri terpaku di tempatnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua tidak menyangka jika Tigreal dan Aldous adalah Dua Sisi Galaksi, Sisi Baik dan Sisi Jahat yang selama ini menjadi cerita dari Kaja turun-temurun. Tanpa berpikir panjang, Saber menebaskan pedangnya ke Aldous. “Triple Sweep.” Saber ingin memindahkan Aldous ke dimensi lain, agar dia tidak menyerap inti Bintang Andromeda dan mengambil kekuatan itu untuk dimiliki para pengikut setia kegelapan. Tubuh Saber terpental, sinar pelangi menyayat dadanya. Dia memuntahkan darah segar berkali-kali dan kemudian tidak sadarkan diri. Alpha segera mengangkat tubuh Saber. Melihat itu, Akai berteriak, “Jangan ada lagi yang mendekat, itu berbahaya. Mereka berdua sedang tarik-menarik kekuatan. Kita harus menunggu. Semoga Tigreal menang.” Semua pembela kebenaran tahu itu bukan keputusan yang baik, tapi melihat apa yang terjadi pada Saber, mereka hanya bisa berharap kalau Tigreal dapat mengalahkan Aldous. Akai dengan cepat melompat mendekati Saber dan menutup luka Saber yang menganga dengan gelombang katak penyembuh. Mentari mulai terbit di ufuk timur. Tepat ketika fajar datang dari peraduannya, Tigreal berhasil memukul mundur Aldous, setelah setengah dari kekuatan Andromeda berpindah ke tubuh Aldous. Sosok Tigreal berubah, tubuhnya kini menampakkan wujud aslinya. Guratan besar di wajah, seperti bekas cambuk. Rambutnya terurai panjang hingga ke tanah, dan seputih kapas. Tangan dan kakinya dipenuhi duri dari tulang-tulang hewan raksasa. Di punggung Tigreal tertancap lima pasang gading gajah. Pedang yang tadi dia gunakan berubah wujudnya dari Pedang Besar menjadi berlekuk dua belas. Perisainya juga berubah bentuk menjadi perisai dari batu raksasa yang hitam berkilat. Di permukaan perisai terdapat ratusan macam batu-batu cadas yang semua berwarna hitam pekat. “Dia Lord Of Abyss yang asli,” teriak Prabu Gatot Kaca dan akhirnya mengejutkan banyak orang. Sun dan Akai mengerti, rupanya ini artinya mengapa perasaan mereka begitu berat ketika Tigreal meminta untuk menyerahkan Rainbow Orchid pada dirinya. “Ahh… rupanya sudah terbongkar ya. Aku sudah lelah dengan penyamaran ini. Tak kusangka, menyamar sebagai ksatria cahaya membuat semua orang percaya. Hasil kerjamu luar biasa Valir. Kemarilah, kita hancurkan begundal-begundal ini,” puji Tigreal yang ternyata adalah Lord Of Abyss. “Tigreal, kau?” seru Harith tidak percaya. “Kau, bocah sihir. Keberadaanmu, membuat aku berhasil meraih gelar Dewa Cahaya, dan itu membuat banyak orang percaya. Haruskah aku berterima kasih?” Air mata Harith perlahan menetes, Tigreal yang selama ini begitu dia percaya ternyata adalah Lord Of Abyss yang menyamar. “Uranus, dasar panglima bodoh! Kau gagal lagi kali ini, mengapa tangan kananmu justru menyerangku. Suruh dia mengembalikan kekuatanku. Dan ingat, segera setelah semua ini selesai, kau akan kumasukkan ke dalam kegelapan yang paling keji, dan terbakar di sana sampai selamanya,” kata Lord Of Abyss yang membuat Uranus merasakan malu yang luar biasa. Sambil menahan amarah dan rasa malu itu, dia berteriak pada Aldous, “Bocah edan, kau dengar bukan. Kebodohanmu membuat Lord Of Abyss marah.” Aldous menoleh pada semua orang. Sun dan Akai tersenyum, mereka melihat secercah harapan. Uranus masih berteriak, sampai akhirnya Aldous membuka suara, “Awalnya aku hanya menuruti perintahmu untuk melacak siapa yang membawa Orb Andromeda. Saat melihat Lord Of Abyss dihabisi dengan mudah, amarahku meluap. Aku langsung melancarkan serangan pada Tigreal yang ternyata adalah Lord Of Abyss. Kekuatan Orb Andromeda malah menyentuh relung terdalamku. Aku bukan lagi Aldous, budak kegelapan.” Ketika Aldous melepas topengnya, semua melihat sisik di wajahnya perlahan lenyap. Dan, menyisakan wajah yang bersinar penuh kemilau. “Dia memang Sisi Baik Yang Ditakdirkan,” bisik Akai pada Sun. Sun hanya tersenyum dan mengangguk. “Majulah Lord Of Abyss. Aku sudah mengetahui takdirku, menghapus segala kejahatan dan angkara murka di jagad raya,” teriak Aldous. “Lancang kau,” Lord Of Abyss mengangkat pedangnya ke udara, “Serang mereka semua, musnahkan,” perintahnya pada semua pasukan Abyssal Demon. Pertarungan tak dapat dihindari lagi. Uranus, Dyrotth, Vexana, dan Thamuz yang tidak terluka maju menyerang Aldous. Valir memainkan apinya dengan sangat lihai. Menyerang ke segala arah yang dapat dilihat mata apinya. Akai dan Sun menyambut serangan itu. Raden Minsithar, Minotaur, Badang dan Grock juga membantu. Sementara mereka yang terluka dikumpulkan dan dijaga oleh para Penjaga Misteri. Lolita memasang shield, memberi waktu agar Prabu Gatot Kaca dan Ratu Kadita dapat memulihkan diri, tapi sepertinya itu akan memakan waktu yang lama. Keadaan tidak menguntungkan bagi kubu Aldous sekarang. Banyak pasukan Atlansea yang sudah terluka. Keadaan itu dimanfaatkan Abyssal Demon, mereka mengincar semua yang terluka. Empat Penjaga Misteri terus berjuang melawan Abyssal Demon. Ratu Kadita berusaha cepat memulihkan dirinya. Dia melihat keadaan tidak seimbang, api Valir sungguh luar biasa. Kombinasi serangan Valir dan Lord Of Abyss sangat luar biasa. Semua petarung di kubu Aldous tidak memiliki serangan jarak jauh. Lunox dan Harith tidak bisa mendekat. Kelemahan keduanya adalah api. Melihat itu, Raden Minsithar meminta Minotaur untuk mundur. “Cepat kau pulihkan saudariku. Kau menguasai ilmu penyembuhan yang dikuasai bibi kan?” “Lindungi aku,” pinta Minotaur yang langsung melompat ke arah Ratu Kadita. Raden Minsithar melompat mengikuti saudara sepupunya, melindungi Minotaur dari segala serangan. Aldous terus bertarung dengan Lord Of Abyss. Cakar Aldous berkali-kali bertemu dengan pedang dan perisai Lord Of Abyss, menciptakan percikan bunga api yang menyilaukan mata. Uranus berhadapan dengan Akai. Hurricane Dance Akai berhasil mendesak Uranus. Sun dengan Doppelgangernya memukul mundur Thamuz. Dyrotth yang mendapat lawan seimbang ketika melawan Harith, kini justru menemukan lawan yang tak kalah kuat, Badang. Grock dengan tiang batunya melempari Vexana, kekuatan Dewi Armora yang sebagian berada pada tiang batu itu memusnahkan sihir Vexana pada Gusion, Alucard dan Miya. Ketiga petarung itu pingsan dan tak sadarkan diri. Sebelum berhasil mencapai Ratu Kadita, Minotaur yang melihat mereka bertiga dengan cepat menangkap Gusion, Alucard dan Miya, membawa mereka ke titik aman di bawah shield Lolita. “Mendekatlah Kadita, aku akan menyembuhkanmu.” Minotaur berhasil memulihkan Ratu Kadita, meski kekuatannya belum kembali seperti semula. “Cepat gunakan Tombak Bermata Delapan. Kita membutuhkannya sekarang,” kata Prabu Gatot Kaca yang masih meringis kesakitan. Dengan sisa tenaga, Ratu Kadita memanggil Might Of The Ocean dan menembakkan gelombang tsunami terdahsyat melalui kedua tangannya. Perlahan, dari belakang badannya, Ratu Kadita mengeluarkan tombak bermata delapan, senjata Dewa Atlas yang legendaris. Tombak itu dikelilingi Might Of The Ocean, dan berputar sangat cepat di udara. Mata Ratu Kadita berubah menjadi biru kehijauan. Dia benar-benar menyatu dengan Might Of The Ocean. Ratu Kadita memfokuskan serangan tombak ke arah Valir dan gelombang tsunami ke arah Uranus, Thamuz dan Dyrotth. Air menggulung, menerjang ke arah Dewa Api. Diam-diam Lunox dan Harith menyelinap masuk dalam gelombang tsunami dari kedua tangan Ratu Kadita. Tombak bermata delapan menancap kuat di bahu Valir, Sang Dewa Api tak bisa bergerak. Lord Of Abys melihat tombak yang ribuan tahun lalu dicarinya. Dia ingin mengambil satu dari sepasang tombak legendaris milik Dewa Atlas. Aldous tidak tinggal diam, dan menghalangi niat lawannya itu. Ini cukup memberi waktu bagi Ratu Kadita, untuk menarik kembali tombaknya. Sementara itu, Harith dan Lunox yang menyelinap dalam aliran tsunami, menyerang Uranus, Thamuz dan Dyrotth, melumpuhkan ketiga anak buah Lord Of Abyss itu. Lord Of Abyss melihat itu, tertawa mengejek. Dia maju dan berubah menjadi seratus orang, menyerang ke segala arah. Aldous tersenyum. Dia telah selesai mengumpulkan stack energy untuk gerakan pamungkasnya. Akai, Sun, Raden Minsithar, Grock, Badang, Minotaur, Harith, Lunox bersama Aldous maju menyerang Lord Of Abyss. Tanpa di duga Lord Of Abyss, Aldous mengubah dirinya menjadi cakar raksasa, dan menerjang ke semua Lord Of Abyss. Ketika Aldous kembali dari mode cakar raksasanya, tangan kanan Aldous mencengkram dada kiri Lord Of Abyss. Kekuatan Andromeda perlahan keluar dari tubuh Lord Of Abyss dan berkumpul ke dalam diri Aldous. Akai dan Sun tersenyum bersama, tugas mereka sudah selesai. Sisi Baik benar-benar menang kali ini. Dengan bijak, Aldous tidak membunuh Lord Of Abyss. Dia meletakkan tangan di kening Sang Penguasa Kegelapan. Perlahan, sinar pelangi menyinari Lord Of Abyss. Dia berteriak ketika kekuatan kegelapan perlahan sirna di telan sinar pelangi dari cakar Aldous. Epilog Dahulu kala, demi menjaga semuanya dari Lord Of Abyss, Dewa Kaja membagi dunia dalam banyak dimensi. Aldous atas saran Akai dan Sun, membuka semua sekat dimensi itu. Aldous terbebas dari kutukan sisik yang menggeluti tubuhnya sejak lahir. Ternyata ada satu dimensi, tempat semua kutukan berasal. Aldous menghapus kekuatan kutukan itu dengan sinar pelangi miliknya. Sejak hari itu, Aldous kemudian disebut sebagai Dewa Pelangi. Dia akhirnya berhasil menemui Jupiter, Neptunus dan Pluto yang bersemayam di sebuah tempat rahasia di Celestial Palace. Penyatuan semua dimensi memang memiliki dampak negatif. Alt-World yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan terus menjelajah semua dimensi untuk menciptakan banyak penemuan baru. Tapi, diam-diam mereka diawasi oleh Penjaga Misteri yang diangkat Akai dan Sun sebagai Nazar Guardian. Harith dan Lunox bergabung dalam Nazar Guardian. Dengan kekuatannya, Aldous berhasil menyembuhkan sayap Prabu Gatot Kaca yang dibelah oleh Alucard. Atlansea kembali damai di bawah pimpinan Prabu Gatot Kaca, Ratu Kadita dan Raden Minsithar. Lunox menyerahkan kekuasaan Samudera Utara pada Ratu Kadita. Dia lebih memilih bergabung menjadi Nazar Guardian. Hanya saja, Aldous entah mengapa tidak berhasil menyembuhkan Saber. Manusia buatan itu tetap koma berbulan-bulan lamanya. Dr. Rooney tidak ingin menyarankan ini, tapi bahkan Estes yang hebat dalam ilmu penyembuhan pun juga tidak berbuat apa-apa. Tidak ada jalan lain, kalau dugaan Dr. Rooney benar hanya ada satu hal yang bisa menyembuhkan Saber. “Apapun itu kita harus menyembuhkannya,” kata Akai. “Semoga semua akan tetap baik-baik saja,” harap Dr. Rooney. “Harley, aku butuh bantuanmu. Pergilah ke City Of Scholar bersama Dr. Rooney. Jemputlah seseorang yang di sana, dan segera bawa ke sini,” pinta Akai. “Baik, Master.” Harley dan Dr. Rooney segera berangkat untuk menjemput orang yang disebutkan Dr. Rooney dapat menyembuhkan Saber, dan membawanya ke Land Of Dawn. “Panggilan Master bisa jadi membuat kita lupa diri sobat,” kata Sun. “Sudahlah, biarkan saja itu mengalir secara alami,” sahut Akai. Ketika senja Harley dan Dr. Rooney baru tiba.Cukup lama mereka berusaha meyakinkan orang itu. Dia adalah Layla, putri Frankie. “Kalian bilang ayahku, masih hidup, di mana dia.” “Hanya ada satu cara untuk menemukan ayahmu. Senjata milikmu, tembakkan itu ke arah orang yang sedang terbaring koma itu,” Dr. Rooney menunjuk Saber di pembaringannya. “Kalian gila. Malefic Gun akan membunuhnya.” “Jangan khawatir, Nak. Percayalah. Dr. Rooney tahu apa yang dilakukannya. Kami hanya ingin menolong seorang sahabat,” terang Akai dengan lembut. “Resikonya kalian yang akan bertanggung jawab. Ingat ini permintaan kalian.” Layla mengarahkan senjatanya pada Saber, mengaktifkan Malefic Gun pada mode Void Projectile. Sinar kebiruan melesat ke arah Saber, menyinari seluruh tubuhnya. Logam di tubuhnya terlepas, dan seketika itu juga dia sadar dan langsung menghunus pedangnya. “Selamat datang kembali, sahabat,” ucap Akai. Saber menatap nanar pada semua orang. Air mata menetes di pipinya. Dia melihat Layla anaknya telah tumbuh menjadi seorang ksatria dengan senjata hebat. “Terima kasih, Rooney dan untuk Anda, Master Akai. Dalam koma, aku mendengar semuanya, tapi bagaimana bisa senjata itu menyelamatkanku?” “Tubuhmu dipenuhi dengan energi Magic Stone. Dan, ketika terluka oleh cahaya pelangi dari cakar Aldous, aliran darahmu tertutup dan kekuatan Magic Stone tidak dapat terpancar sempurna. Tembakan Malefig Gun, melancarkan kembali setiap aliran darah dan detak jantungmu. Kau sudah kembali sobat, dan aku yakin, kau sekarang menjadi Saber yang lebih kuat,” jelas Dr. Rooney bersemangat, teorinya benar, dan sahabat terbaiknya selamat. Kesembuhan Saber membawa kebahagiaan. Atas permintaan Saber, Layla juga masuk menjadi anggota Nazar Guardian. “Andai Dewa Kaja dan guru kita masih hidup, mereka pasti akan bangga melihat Nazar Guardian…,” kata Akai pada Sun dengan penuh haru. Epilog Dahulu kala, demi menjaga semuanya dari Lord Of Abyss, Dewa Kaja membagi dunia dalam banyak dimensi. Aldous atas saran Akai dan Sun, membuka semua sekat dimensi itu. Aldous terbebas dari kutukan sisik yang menggeluti tubuhnya sejak lahir. Ternyata ada satu dimensi, tempat semua kutukan berasal. Aldous menghapus kekuatan kutukan itu dengan sinar pelangi miliknya. Sejak hari itu, Aldous kemudian disebut sebagai Dewa Pelangi. Dia akhirnya berhasil menemui Jupiter, Neptunus dan Pluto yang bersemayam di sebuah tempat rahasia di Celestial Palace. Penyatuan semua dimensi memang memiliki dampak negatif. Alt-World yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan terus menjelajah semua dimensi untuk menciptakan banyak penemuan baru. Tapi, diam-diam mereka diawasi oleh Penjaga Misteri yang diangkat Akai dan Sun sebagai Nazar Guardian. Harith dan Lunox bergabung dalam Nazar Guardian. Dengan kekuatannya, Aldous berhasil menyembuhkan sayap Prabu Gatot Kaca yang dibelah oleh Alucard. Atlansea kembali damai di bawah pimpinan Prabu Gatot Kaca, Ratu Kadita dan Raden Minsithar. Lunox menyerahkan kekuasaan Samudera Utara pada Ratu Kadita. Dia lebih memilih bergabung menjadi Nazar Guardian. Hanya saja, Aldous entah mengapa tidak berhasil menyembuhkan Saber. Manusia buatan itu tetap koma berbulan-bulan lamanya. Dr. Rooney tidak ingin menyarankan ini, tapi bahkan Estes yang hebat dalam ilmu penyembuhan pun juga tidak berbuat apa-apa. Tidak ada jalan lain, kalau dugaan Dr. Rooney benar hanya ada satu hal yang bisa menyembuhkan Saber. “Apapun itu kita harus menyembuhkannya,” kata Akai. “Semoga semua akan tetap baik-baik saja,” harap Dr. Rooney. “Harley, aku butuh bantuanmu. Pergilah ke City Of Scholar bersama Dr. Rooney. Jemputlah seseorang yang di sana, dan segera bawa ke sini,” pinta Akai. “Baik, Master.” Harley dan Dr. Rooney segera berangkat untuk menjemput orang yang disebutkan Dr. Rooney dapat menyembuhkan Saber, dan membawanya ke Land Of Dawn. “Panggilan Master bisa jadi membuat kita lupa diri sobat,” kata Sun. “Sudahlah, biarkan saja itu mengalir secara alami,” sahut Akai. Ketika senja Harley dan Dr. Rooney baru tiba.Cukup lama mereka berusaha meyakinkan orang itu. Dia adalah Layla, putri Frankie. “Kalian bilang ayahku, masih hidup, di mana dia.” “Hanya ada satu cara untuk menemukan ayahmu. Senjata milikmu, tembakkan itu ke arah orang yang sedang terbaring koma itu,” Dr. Rooney menunjuk Saber di pembaringannya. “Kalian gila. Malefic Gun akan membunuhnya.” “Jangan khawatir, Nak. Percayalah. Dr. Rooney tahu apa yang dilakukannya. Kami hanya ingin menolong seorang sahabat,” terang Akai dengan lembut. “Resikonya kalian yang akan bertanggung jawab. Ingat ini permintaan kalian.” Layla mengarahkan senjatanya pada Saber, mengaktifkan Malefic Gun pada mode Void Projectile. Sinar kebiruan melesat ke arah Saber, menyinari seluruh tubuhnya. Logam di tubuhnya terlepas, dan seketika itu juga dia sadar dan langsung menghunus pedangnya. “Selamat datang kembali, sahabat,” ucap Akai. Saber menatap nanar pada semua orang. Air mata menetes di pipinya. Dia melihat Layla anaknya telah tumbuh menjadi seorang ksatria dengan senjata hebat. “Terima kasih, Rooney dan untuk Anda, Master Akai. Dalam koma, aku mendengar semuanya, tapi bagaimana bisa senjata itu menyelamatkanku?” “Tubuhmu dipenuhi dengan energi Magic Stone. Dan, ketika terluka oleh cahaya pelangi dari cakar Aldous, aliran darahmu tertutup dan kekuatan Magic Stone tidak dapat terpancar sempurna. Tembakan Malefig Gun, melancarkan kembali setiap aliran darah dan detak jantungmu. Kau sudah kembali sobat, dan aku yakin, kau sekarang menjadi Saber yang lebih kuat,” jelas Dr. Rooney bersemangat, teorinya benar, dan sahabat terbaiknya selamat. Kesembuhan Saber membawa kebahagiaan. Atas permintaan Saber, Layla juga masuk menjadi anggota Nazar Guardian. “Andai Dewa Kaja dan guru kita masih hidup, mereka pasti akan bangga melihat Nazar Guardian…,” kata Akai pada Sun dengan penuh haru. Description: Di Land Of Dawn, ada lima buah Twilight Orb yang memiliki kekuatan luar biasa. Di antara kelima orb itu, ada Orb Andromeda --Bintang tercerah di Galaksi Andromeda. Dahulu kala, Orb ini menyelamatkan Kaja, para Dewa, manusia dan seisi dunia di detik terakhir sebelum Lord Of Abyss menguasai semuanya. Kini Orb itu kembali dalam bentuk Rainbow Orchid, dan diperebutkan oleh banyak orang. Meski, Orb ini hanya akan memberikan kekuatan maksimal pada 'Yang Ditakdirkan', tapi siapapun yang memegang Orb itu, akan menjadi lebih kuat dan tidak terkalahkan. Lord Of Abyss bahkan sampai mengabaikan dua orb lain yang sebelumnya dia kejar, demi mendapatkan Orb Andromeda. Hal ini sudah diperhitungkan oleh Kaja, karena itu sebelum wafat Kaja membentuk Nazar Guardian yang akan menjaga rahasia kelahiran Orb Andromeda ke dunia dan menjaganya dari para penguasa kegelapan. Saat ini Nazar Guardian sudah mencapai generasi ke-48, mampukah para Nazar Guardian menyelesaikan tugas dan memberikan Orb Andromeda pada dia yang benar-benar layak? Atau justru penguasa kegelapan akan mendapatkan Orb itu lebih dulu dan melanjutkan misinya menguasai Land Of Dawn, tanah dengan sejuta keajaiban? Nama Lengkap : Lorensius Nama Pena : JH. Tanujaya Instagram : @lorenz_dasilva Facebook : Lorensius Tanujaya "Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi e-novel challenge #StorialElexBangBang 2019 yang diadakan oleh Storial, Elex Media Komputindo, dan Moonton"
Title: RANUM Category: Cerita Pendek Text: RANUM Lelaki muda, gagah, pemimpin kerajaan Buddha yang berkuasa atas wilayah sekitar hulu hingga hilir sungai Barumun itu, sontak tercengang bengang begitu melihat gadis yang tengah jadi buah bibir rakyatnya tersebut, muncul di hadapannya. Seperti halnya orang-orang yang telah melihat gadis itu, sang raja pun langsung beku tubuhnya karena terpana dan seperti kehilangan kesadarannya. Sepekan lalu, ketika kemunculannya di pasar dekat pelabuhan yang dibangun oleh para angkatan laut Belanda tujuh tahun lalu–yang kini latah disebut orang-orang “Labuhanbatu” karena hanya dibangun secara sederhana dengan tumpukan batu–sungguh orang-orang meyakini bahwa gadis itu adalah bidadari yang betul-betul turun dari langit. Ia berjalan keliling pasar bersama seorang perempuan renta yang sempat tak dipercaya oleh orang-orang kalau itu adalah ibunya. Orang-orang tak percaya lantaran mengenal betul siapa perempuan renta tersebut. Ia bersuami seorang lelaki yang biasa mencari ikan di sungai Barumun, tinggal di salah satu rumah reyot di kampung sebelah barat pasar, dan tak pernah diketahui punya anak seorang pun. Namun sebenarnya, orang-orang tak tahu kalau si gadis memang sungguh lahir dari rahim si perempuan renta Enam belas tahun lalu, dan telah melalui hidup yang menyedihkan karena harus memercayai pesan dukun beranak yang membantu proses kelahirannya dulu. Kata sang dukun kepada si perempuan renta, ibunya, “putrimu dianugerahi keindahan yang luar biasa. Tetapi, keindahan itu sungguh akan membawa derita untuknya dan orang-orang terdekatnya bila sampai ia menampakkan sosoknya kepada orang-orang.” Namun si perempuan renta, dan suaminya, tak percaya begitu saja. Sampai kemudian mereka melihat sendiri pertambahan keagungan dan kesempurnaan kecantikan anak mereka itu dari hari ke hari, hingga semakin nampak jauh berbeda dengan rupa mereka. Di situlah, mereka pun gelisah, dan dengan sangat terpaksa akhirnya harus memercayai pesan sang dukun. Mereka lantas membuat putri mereka tak pernah keluar dari rumah ketika mulai beranjak besar, dengan cara memberitahu sang putri tentang segala petaka yang mungkin akan menimpa sang putri, dan sang putri pun akhirnya menurut. Namun sepekan lalu, upaya untuk terus menyembunyikan anak gadis mereka yang kini menawan hati banyak orang itu, dengan sangat terpaksa harus disudahi pula. Sebab betapa letih sudah hati mereka melihat tangis sang putri yang mengeluhkan hidupnya yang menyedihkan karena harus terus terkungkung dalam rumah, “seperti burung malang yang terjebak di sangkar,” katanya. Maka itulah, ia diperbolehkan ikut ke pasar yang penuh dengan orang-orang yang kemudian memperbincangkan keelokannya yang agung hingga sampai ke telinga raja Guluraja yang ikut penasaran dengannya, sehingga kini sang raja telah berada di hadapan ia dan kedua orang tuanya, terbelalak dan ternganga di depan pintu rumahnya. “Sepasang matanya yang bulat, hidungnya yang lancip, bibirnya yang merah muda, lekak-lekuk tubuhnya yang aduhai, sepasang kakinya yang panjang, dan kulitnya yang putih cerah, sungguh berpadu dengan sempurna dan menjadikannya sosok wanita yang memang pantas dipuja,” puji raja Guluraja dalam hati. Sorot matanya asyik meningkahi setiap keindahan yang melekat di tubuh gadis di hadapannya. Sementara sang gadis berusaha menghindari tatapan tak patut raja yang kehilangan kesadarannya itu dengan menundukkan wajahnya. “Demi dewa-dewa yang menaungi langit dan bumi, sungguh benar kabar yang sampai ke telingaku,” kata raja Guluraja, tiba-tiba, setelah salah seorang yang mendampinginya berdehem untuk menyadarkannya. “Siapakah gerangan namamu, Adinda? Aku tak pernah melihat perempuan di negeriku ini memiliki semua keindahan yang kaupunya. Apakah kau Bidadari?” Matanya berusaha menangkap tatapan sang gadis yang enggan berpaling padanya. Namun, bukannya langsung menjawab, sang gadis justru tersenyum, bahkan hampir tertawa. Juga kedua orang tuanya, dan semua yang mendampingi raja Guluraja, pun merasa tergelitik dengan pertanyaan itu. Apakah raja muda ini telah ikut pula kehilangan akal sehatnya, sehingga begitu seriusnya ia mengira gadis di hadapannya itu adalah seorang Bidadari? Si gadis pun kemudian menjawab pertanyaan sang raja dengan suara lembutnya yang kembali membuat sang raja terbuai dengan khayalannya, “nama saya: Ranum, Raja.” … Sejak pertemuan itu, tak ubahnya para lelaki yang telah melihat Ranum, raja yang kebetulan memang belum beristri itu pun menjadi sama gilanya setiap kali terbayang sosok Ranum. Malam, ia susah tidur. Termenung sekejap, ia senyum-senyum. Sampai-sampai ketika sedang berbicara dengan orang-orang pun, kata-katanya bisa melantur ke mana-mana, membuat segenap penghuni istana geleng-geleng kepala. Tetapi kemudian sial bagi para pengagum Ranum di seantero negeri yang bernama Kerajaan Panai itu. Sebab sejak terjadinya pertemuan itu, mereka pun mau tak mau harus gigit jari. Karena tentu saja, mereka yang juga telah mengagumi Ranum, merasa tak mungkin bersaing dengan sang raja. Mau itu lelaki yang berlimpah hartanya, masyhur namanya, banyak budaknya, atau yang lebih lagak tampangnya sekali pun, semua akhirnya memilih untuk menarik langkahnya jauh-jauh dari Ranum. Karena kalau tidak, seperti kata mereka setiap kali membicarakan Ranum, “lebih baik mengkhayalkan saja Ranum jadi bini, atau mengkhayalkan raja muda itu mati menyusul ayahnya yang baru mati setahun lalu agar bisa mendekati lagi si Ranum, ketimbang harus angkat kaki dari negeri ini karena dimusuhi sang raja.” Namun jangan pikir sang raja muda itu kemudian mudah saja meluluhkan hati Ranum dengan iming-iming harta dan tahtanya. Sungguh, tidak. Ia bahkan harus rela menanggalkan kejantanannya berkali-kali demi menumpahkan air matanya dalam sepi, dan depresi hingga berminggu-minggu, karena gadis itu selalu saja berani menolak ajakannya: menikah. Alasan penolakan Ranum sungguh klise: dia belum hendak menikah karena merasa usianya masih belia. “Saya masih Enam belas tahun, Raja. Belum tahu caranya melayani suami,” kata Ranum dengan kepolosan yang mengguncang kewarasan raja Guluraja. Tapi pada akhirnya, setelah raja muda yang penuh semangat itu terus saja memutuskan bangkit lagi dari sakitnya penolakan demi penolakan yang diterimanya, dan kembali berjuang hingga berbulan-bulan lamanya, Ranum akhirnya luluh juga. Di suatu tempat di tepi sungai Barumun, ketika raja Guluraja mengikuti langkahnya menuju rumah, Ranum menerima ajakannya untuk menikah. Maka dua hari setelah itu, pesta besar pernikahan mereka pun digelar selama tiga hari tiga malam. Para raja dan pejabat-pejabat kerajaan lain serta para bangsawan, tak lalai diundang. Namun betapa tercengangnya para undangan terhormat tersebut ketika mengetahui bahwa perempuan yang dinikahi raja Guluraja adalah rakyatnya sendiri, yang miskin dan jelas tak terpandang. Persis seperti apa yang telah disampaikan para pejabat Kerajaan Panai, raja Guluraja pasti akan digunjingi seperti itu. Namun sungguh sejak bertekad mengejar cinta Ranum, raja Guluraja tak mengindahkan sedikit pun soal itu. Tiada penting baginya strata dan tahta yang ia duduki. Tetapi, sungguh sayang. Ada satu hal yang memang telah luput dari penelusuran raja Guluraja, dan itu seharusnya cukup penting untuk ia ketahui. Yakni, betapa tak pernah sekali pun terlintas di benaknya untuk bertanya pada gadis memesona yang kini menjadi istrinya itu: mengapa gadis itu akhirnya mau menerimanya menjadi suami? Andai ia tahu, Beven Hollen-lah alasannya. Seorang pemimpin angkatan laut Belanda yang datang ke negeri itu, sejak Tujuh tahun lalu. Tepatnya, tahun 1862. Datang dengan sebuah kapal besar, para prajurit, dan kemudian disusul pejabat-pejabat dari negerinya–yang datang bertujuan untuk membentuk sistem pemerintahan ala pemerintahan negara mereka–beberapa bulan setelah itu. Tepat Empat hari sebelum raja Guluraja menyambangi Ranum untuk pertama kali, Beven Hollen telah lebih dulu mendekati dan menggoda Ranum. Namun cara-cara pendekatan yang digunakan Beven Hollen, sangat membuat Ranum dan orang tua Ranum jijik dan ngeri. Sebab ia memandang dan memperlakukan Ranum layaknya perempuan yang tak punya harga diri sama sekali. Ia mengelus, mencoba mencium, lalu memukul Ranum jika Ranum mencoba menghindar. Maka itulah, mengapa Ranum akhirnya menerima ajakan menikah raja Guluraja. Tak lain dan tak bukan karena ia ingin terhindar selamanya dari Beven Hollen. Sebab sebagaimana yang kemudian ia ketahui setelah raja Guluraja rajin menyambanginya sehingga membuat Beven Hollen sedikit menjaga jarak dengannya, bahwa Laksamana Belanda itu ternyata menaruh hormat dan patuh kepada para raja, terlebih kepada raja Guluraja yang memimpin kerajaan besar yang menundukkan beberapa kerajaan kecil yang berdiri di sekitar hulu hingga hilir Sungai Barumun itu, karena terikat perjanjian diplomatik. Jadi, jika ditanya bagaimana perasaan Ranum begitu raja Guluraja pun terpikat dan terus mendekatinya, tentulah dia sangat senang. Meski jauh dalam lubuk hatinya, tak sebenih pun cinta tumbuh untuk sang raja. Ia hanya senang karena sang raja bisa menjadi tempatnya berlindung. Itu saja. Tetapi, benarkah ia sungguh senang sekarang? Tak ingatkah ia pada ramalan derita yang akan merundungnya setelah memutuskan nekat melanggar pantangan yang melekat padanya? Sungguh ia tak tahu, bahwa Beven Hollen takkan pernah merelakan ia lepas begitu saja. Laksamana Belanda bertubuh kurus dan tinggi itu telah mulai mencari siasat untuk merebutnya dari raja Guluraja. Dan tepat pada hari pertama perayaan pernikahannya dengan sang raja, Beven Hollen akhirnya menemukan cara. … Di salah satu ruangan sebuah istana, Beven Hollen berbincang empat mata dengan seorang lelaki bertubuh gagah yang mengenakan pakaian terhormat seorang raja, yakni raja Panurutan. Ia adalah pemimpin salah satu kerajaan kecil terkaya yang tunduk pada Kerajaan Panai, yakni Kerajaan Rantauprapat. Setelah cukup berbasa-basi, Beven Hollen akhirnya menyampaikan maksud dan tujuannya menyambangi raja Panurutan. Sebuah penawaran penambahan wilayah kekuasaan, diutarakannya secara gamblang kepada raja yang telah berusia tiga puluh delapan tahun dan telah beristri seorang perempuan keturunan bangsawan tersebut. Namun tawaran itu sungguh tak mudah. Jika raja Panurutan setuju, ia harus mau meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Panai. “Saya pastikan, Raja akan menguasai pula gerbang utama yang menjadi pintu masuk perniagaan yang hilir mudik di Selat Malaka itu,” kata Beven Hollen dengan bahasa melayu yang masih terbata-bata, merayu raja Panurutan. Pintu masuk perniagaan yang ia maksud adalah hilir sungai Barumun yang tersambung langsung dengan laut Selat Malaka. Pedagang-pedagang dari negeri asing yang melintas di Selat Malaka banyak yang memilih masuk ke Kerajaan Panai untuk menjajakan dagangannya ke Kerajaan Panai dan kerajaan-kerajaan lain, termasuk Kerajaan Rantauprapat, melalui hilir sungai Barumun. Maka itu, hilir sungai Barumun begitu berharga bagi Kerajaan Panai, karena dari sana jugalah kerajaan itu mendapatkan keuntungan besar berupa upeti dari pedagang-pedagang asing yang masuk. Dan itu, kini sedang coba ditawarkan oleh Beven Hollen agar beralih menjadi kekuasaan raja Panurutan. Menjadi kekuasaan Kerajaan Rantauprapat. Raja Panurutan tentu saja tertarik dengan penawaran itu. Tapi bagaimana cara mengalihkannya? Raja Panurutan menatap tajam mata Beven Hollen sembari mengangguk-angguk samar. Terlihat dari sorot matanya, bahwa betapa di dalam benaknya ia tengah menimbang betul-betul tawaran lelaki dari negeri asing nan jauh itu. Sebelum akhirnya menerima tawaran lelaki itu, raja Panurutan mengajukan pertanyaan. “Mengapa kau ingin aku menjatuhkan kekuasaan Kerajaan Panai? Apa kau menyimpan maksud lain?” tanya raja Panurutan dengan tatapan penuh selidik. Beven Hollen sontak tertawa, mencoba sedikit mencairkan suasana. “Ayolah, Raja. Saya telah tahu dirimu tak suka dengan Kerajaan Panai. Engkau tak menghadiri undangan acara pernikahan raja Guluraja beberapa hari lalu. Dari situ Saya tahu dirimu punya ambisi ingin melepaskan penundukan kerajaan itu terhadap kerajaanmu yang kaya raya ini.” Begitulah, raja Panurutan memang sangat berambisi melepaskan kerajaannya dari penundukan Kerajaan Panai. Bahkan, sebelum kerajaan kecil nan kaya yang kini dipimpinnya itu jatuh dalam kekuasaannya, ia telah lama mengangankan hal itu. Sebab betapa muaknya ia dengan sistem pembagian upeti hasil perniagaan Kerajaan Rantauprapat yang harus terus dijalankan Kerajaan Rantauprapat kepada Kerajaan Panai. Dan muak harus meminta izin kepada Kerajaan Panai jika kerajaannya ingin menjalin kerjasama dengan kerajaan lain, meskipun kerjasama tersebut sepenuhnya hanya akan berdampak pada kerajaannya saja. Itulah sebabnya ia tak suka dengan Kerajaan Panai. Sehingga ia tak pernah mau hadir dalam acara apa pun yang berhubungan dengan kerajaan itu. Namun sungguh sayang, lantaran sudah terlalu besarnya rasa bencinya itu, raja Panurutan yang tak tahu apa tujuan sebenarnya yang dirahasiakan Beven Hollen di balik tawaran penaklukan Kerajaan Panai itu, dan Beven Hollen pun tentu saja takkan mengatakan bahwa tujuan besarnya adalah ingin merenggut Ranum dari raja Guluraja yang pasti akan dihabisi raja Panurutan, pemimpin kerajaan kecil nan kaya itu menghapus begitu saja prasangkanya terhadap Laksamana Belanda itu, untuk kemudian sepakat menerima tawaran. Dan misi penyerangan pun disusun. Beven Hollen akan mempersenjatai para prajurit raja Panurutan untuk menyerang dan meruntuhkan Kerajaan Panai. Tapi, lantaran pintu masuk satu-satunya untuk setiap barang yang datang dari negaranya: Belanda, ke Kerajaan Rantauprapat dan kerajaan-kerajaan lainnya yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Panai hanyalah hilir Sungai Barumun, yang terhubung langsung dengan Selat Malaka, maka tak ada pilihan lain bagi Beven Hollen selain menyelundupkan senjata-senjata tersebut agar luput dari pemeriksaan para penjaga pintu masuk wilayah perairan Kerajaan Panai. Dalam perjanjian diplomatik antara Kerajaan Panai dengan pihak Belanda memang mencantumkan: bahwa tentara Belanda diperkenankan membawa dan menyimpan senjata dari negara mereka, namun hal itu tetap saja tidak menguntungkan untuk rencana penyerangan tersebut. Sebab di dalam perjanjian, Kerajaan Panai membatasi jumlah senjata Belanda yang boleh masuk ke wilayah kekuasaan Kerajaan Panai, hanya sesuai dengan jumlah tentara Belanda yang berdiam di wilayah kerajaan tersebut. Maka itulah, penyelundupan tak bisa dihindarkan. … Pada hari penyerangan. Raja Guluraja tengah membawa Ranum mengelilingi sungai Barumun dengan kapalnya. Dua kapal berukuran lebih kecil yang berisikan para pengawal Kerajaan Panai, mengiringi kapalnya di sisi kanan dan kiri. Kapal-kapal itu kini menuju kembali dari hilir sungai Barumun, dan baru saja melintasi muara Sungai Bilah–sungai besar yang terbentang sepanjang wilayah kekuasaan Kerajaan Rantauprapat dan bermuara di hilir Sungai Barumun–ketika puluhan kapal Kerajaan Rantauprapat terlihat keluar dari muara sungai tersebut. ”Terpujilah para Dewa. Sungguh Mereka menyertai penyeranganku,” kata raja Panurutan di geladak salah satu kapal, begitu diberitahu panglima perangnya bahwa salah satu dari tiga kapal di depan mereka beberapa puluh meter adalah kapal raja Guluraja. Raja Panurutan pun langsung memerintahkan panglimanya agar mereka semua lekas mendekati ketiga kapal itu. Lalu dilompatinya kapal raja Guluraja begitu telah dekat, lalu diajaknya sang raja muda itu bertarung dengannya, menggunakan parang. Sementara semua pengawal sang raja muda dan istrinya: Ranum, tak lagi bisa berkutik, karena langsung didekap dan dibekap para prajurit raja Panurutan. Benar saja. Di akhir pertarungan, kemenangan jatuh di tangan raja Panurutan. Kepala raja Guluraja berhasil ia tebas dalam waktu dua puluh menit, dengan beberapa luka sayat hadiah dari raja Guluraja menganga di tubuhnya. Lalu Ranum, yang terus menjerit dan menangis menyaksikan pertarungan itu, pun memilih ikut mati di parang tajam raja yang merenggut nyawa suaminya, lantaran ia tahu bahwa penyerangan raja Panurutan itu didukung oleh Beven Hollen, setelah dilihatnya senjata api yang dibawa para prajurit raja Panurutan sama persis dengan senjata api yang biasa dilihatnya ditenteng para prajurit Laksamana Belanda tersebut. Setelah menjatuhkan jasad Ranum, jasad para prajurit Kerajaan Panai, dan tubuh raja Guluraja di tengah-tengah muara sungai Barumun nan luas itu, raja Panurutan dan para prajuritnya pun kemudian langsung menuju istana Kerajaan Panai untuk melakukan penundukan terhadap semua pengabdi di kerajaan tersebut, dengan membawa kepala Sultan Guluraja sebagai bukti kemenangannya. Di tempat yang ia tuju, istana Kerajaan Panai, raja Panurutan tentu saja telah tahu bahwa satu kekuatan yang akan menaruh kecewa padanya, akan menyambutnya di sana. Ia telah telah siap dengan itu. ... Seratus lima puluh satu tahun kemudian. Tiga hari lalu, tepatnya tanggal 20 Desember 2020, masyarakat kecamatan Panai Hilir, Sumatra Utara, dihebohkan oleh berita kematian seorang pria di sebuah rawa di tepi Sungai Barumun. Kondisi mayat pria tersebut sangat mengenaskan. Tubuhnya celentang tanpa busana, penuh luka cakar, dan bibirnya memonyong seperti sedang berciuman. Menurut dugaan seorang lelaki tua, tokoh masyarakat di sana, pria tersebut nampaknya dibunuh oleh makhluk astral yang digadang-gadang adalah penguasa Sungai Barumun. Yakni, Sang permaisuri Kerajaan Panai yang malang hidupnya. Ranum. Rantauprapat, Januari 2020. Description: Ranum adalah anak semata wayang dari perempuan renta dan laki-laki renta miskin di sebuah negeri di Sumatra Timur. Ranum terlahir dengan dianugerahi sesuatu yang justru membawa malapetaka padanya.
Title: Rasa di Atas Dipo Category: Teenlit Text: ••• Tentang Sebuah Rasa ••• || @litanoia proudly present || ▪◽Rasa di Atas Dipo◽▪ a teenlit novel about two teenagers' feelings that they hide from each other . . . Dipo KRL Depok adalah Dipo KRL terbesar di Asia Tenggara. Letak tepatnya berada di Kecamatan Cipayung kota Depok. Bukan tempat itu yang ingin diceritakan di sini. Melainkan sebuah rasa milik dua insan Tuhan yang terekam dalam sebuah jembatan kecil. Jembatan yang menghubungkan dua kampung, yang di bawahnya terdapat pemandangan Dipo KRL terbesar di Asia Tenggara tersebut. Jembatan itu menjadi sebuah saksi bisu dari segala tingkah konyol dan rasa yang tersembunyi akibat ego yang terlalu tinggi dari si insang muda. ==== ==== • Rasa di Atas Dipo • ==== ==== Terkadang suatu rasa harus disembunyikan dengan rapat untuk mencegah banyak hati yang meratap -Hendery Bagaskara- Salahku, mengharapkan sesuatu yang tak mungkin tergarap -Ayunda Larasati- Namun, memang begini kan manusia? Selalu diam dan meratap Lalu kemudian bergerak di waktu yang tak tepat Ketika itu terjadi Mereka baru menyadari Ada beribu hati yang sudah tersakiti. _____________ Rasa di Atas Dipo ______________________ Start : 7 Desember 2020 End : ... 1. Tempat Ini Laras mengikat sepatu ventela hitam miliknya dengan erat. Kemudian ia menyambar tas serut hitam bergambar logo boyband dari negeri ginseng kesukaannya, EXO. "Mah! Laras jalan dulu! Assalamualaikum!" teriaknya dari depan pintu karena sebelumnya ia sudah pamit juga saat masih di dalam rumah. Laras terbiasa pamit dua kali saat di dalam rumah dan saat ingin berangkat. Laras berjalan menyusuri jalanan rumahnya. Ia berjalan dengan percaya diri sambil telinganya terpasang sebuah earphone yang menyetel lagu Power milik Exo. Hampir setiap hari Laras akan berjalan kaki dari rumahnya. Sampai bertemu jalan raya, baru ia akan naik angkot untuk sampai ke gang masuk sekolahnya dan selanjutnya ia akan berjalan lagi menuju sekolahnya. Ia menyukai ini karena dia dapat menikmati udara pagi dengan nikmat. Lagipula ini juga membantunya berolahraga. Jadi, ia tak perlu repot-repot lagi berolahraga keras agar menjadi sehat. Laras memelankan jalannya saat ia sampai di sebuah jembatan. Jembatan kecil yang memiliki atap dan sekelilingnya ditutupi oleh pagar jeruji kotak-kotak. Sejenak Laras menghentikan langkahnya dan memandangi jembatan ini. Ia melihat ke bawah jembatan dan dapat menemukan jejeran kereta berbaris di ujung. Laras menyukai tempat ini, ia suka jembatannya, ia suka pemandangan kereta di bawah sana, terlebih ia juga suka kenangan yang tersimpan di atas jembatan ini. Setelah sejenak menikmati tempat ini, Laras memutuskan untuk kembali berjalan. Ia berjalan pelan di atas jembatan itu. Sampai sebuah suara mengagetkannya. Tin Tin! Tin Tin Tin Tin Tin!!! Laras melepaskan eaphonenya. Rentetan klakson motor dari belakangnya yang terdengar sedikit jauh membuat ia sedikit minggir dan berhenti. Namun, motor itu tetap mengklaksonnya sampai di dekatnya. Laras sudah kesal dan berbalik. Tak heran lagi. Ia menemukan pria paling menyebalkan dalam hidupnya itu sedang mengendarai motor berisik yang mengganggu pagi indahnya. "Berisik woi!" ucapnya pada Hendery yang malah memberhentikan motornya tepat di belakang Laras. "Pagi-pagi kok dengerin lagu. Orang mah nikmatin nih pagi lo. Dengerin suara burung noh, desah rumput pagi hari, suara lembut batang dan daun pohon yang saling bergesekan--" Belum selesai Hendery memberi ceramah paginya, Laras sudah keburu menyelanya. "Lo ngapain sih?!" tanya Laras kesal. "Apa sih? Galak banget. Kebanyakan nonton drama korea nih pasti. Idup lo banyak drama, Ras." Laras menatap Hendery lelah. "Apa sih Hen? Capek gue tuh ngeliat lo mulu. Lagian rumah lo kan di mampang kenapa lewat sini sih?!" "Biar ketemu badut. Jarang ada badut di mampang, adanya di ratu jaya doang," balas Hendery sedikit kecewa karena tak ada badut di daerah rumahnya. "Badut? Di sini jarang ya. Gak usah ngadi-ngadi lo." "Ada kok. Nih di depan gue," celetuk Hendery yang membuat Laras membelalakkan matanya. Hendery segera tancap gas meninggalkan Laras saat melihat Laras sudah mulai melepaskan tasnya. "Henderyy!!!! Kebangetan lo ye jadi orang!" Laras menggebuk punggung Hendery yang semakin menjauh dengan tasnya. "Anjir," maki Hendery. Ia mengusap punggungnya lalu menatap ke Laras sambil terus mengendarai motornya. "Apa lo?!" teriakan dari Laras membuat Hendery kembali fokus mengendarai motornya sambil menggelengkan kepalanya. Laras menghembuskan napas beratnya. Rutinitas ini sangat melelahkan dan menjengkelkan bagi Laras. Iya, rutinitas. Karena nyatanya Hendery selalu saja mengganggu Laras saat berangkat sekolah. Laras melanjutkan perjalanannya ke sekolah dengan sedikit kesal. Sesampainya di sekolah ia meletakkan tasnya dengan kasar ke mejanya. "Ngapa lo? Si Hendery lagi?" tanya Dara teman sebangku Laras sudah bisa menebak sebab dari kelakuan Laras. Laras mengangguk dengan bete. Dara menggelengkan kepalanya lelah dengan temannya yang selalu saja ribut dengan kakak kelasnya. "Nyebelin banget. Hari ini dia ngatain gue badut. Kemaren dia ngatain gue boneka mampang. Terus besok gue bakal dikatain apa lagi? Banci taman lawang?" Laras menduduki bangkunya dengan kasar. "Ish nyebelin banget tuh orang. Pengen gue remes jantungnya!!" ucapnya sambil kedua tangannya meragakan gerakan meremas. "Ribut mulu lo sama Hendery. Baek-baek aja," peringat Lia, sahabat Laras yang duduk di depannya bersama Yesi. "Gue tuh gak pernah nyari ribut sama dia, cuma dianya aja. Gue gak ngerti. Kayak kenapa sih dia? Gue gak ada masalah sama dia, gak pernah nyari ribut juga. Ah! Capek gue." Dara memdekatkan tubuhnya ke arah Laras kemudian mengelus lengannya seolah menyuruhnya untuk bersabar. "Udahlah, Ras. Diemin aja. Mungkin Hendery butuh hiburan. Mending sekarang lo ngerjain pr-nya Pak Doni deh, dikit lagi bel soalnya." Laras terdiam mendengar perkataan Dara. Dengan cepat ia memandangi jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangannya. Benar saja, jam masuk hanya tersisa tinggal 15 menit lagi. Tanpa membuang waktu, Laras mengambil buku Sejarahnya dengan kasar kemudian mengerjakannya dengan terburu-buru. -TBC Description: Laras hanyalah seorang gadis yang baru saja memasuki dunia sma. Ia terlalu buta dengan dunia remaja. Bahkan tak tahu apa itu cinta. Tidak bukan tak tahu, ia hanya tak sadar. Belum. Di tahun pertamanya memasuki dunia sma, ia kembali dipertemukan pada seseorang yang pernah jauh darinya. Jaraknya memang tidak pernah benar-benar menjauh, namun hubungannya memang sudah sejauh itu. Hendery, kakak kelasnya. Ini hanya kisah remaja yang sedang mempelajari sedikit dari banyaknya bagian kehidupan. Mungkin ini bukan kisah yang kalian harapkan, namun mungkin kalian akan menyukainya. _________________ Rasa di Atas Dipo Start : 7 Desember 2020 End : ...
Title: RADA Category: Puisi Text: Cinta Tembang hati yang tak tersirat Terhanyut Melayang Jiwa di dalamnya Memburu Bergemuruh Dan debar di dada Manis Manis Membius nalar Yang teringat hanya dikau Kau sihir daku Wahai cinta. Bosan Jenuh Menanti dalam sunyi tak bergeming Deru hujan turut meriaki Aku bosan Dalam menunggu Dalam bersabar Agar kau datang Dan ucap sayang Tanpa perasaan Kau datang bak ratu di istanaku Menyingkirkan aku seketika Sungguh tak berperasaan Adakah kau mengerti? Aku benar-benar benci hadirmu Hingga buatku muak Dan muntah darah Jalang Rambut botak abrik Bagai monyet bertengger Bicara ular mendesis Kakimu kaku macan betina Kau jalang Kau brutal Karena menjadi sampah yang kau buang Munafik menampik Kamu naif Dan gila rasa hormat Kuburlah simpatikmu Dan sadar segera bercermin Prasangka petilas dalam sangka ku kira bertajuk dusta hingga begitu nestapa menduga dengan layarnya yang nyata tanpa kepastian hanya sia sia semata lalu menjadi dosa Dalam subuhku Aku bersama subuh ini Bersama doa Bersama air mata Aku dalam pilu Mengharap obat penawar Dari balik bilik berlubang Genangan rindu Kenangan yang membayang Menggenang dalam ingatan usang Hai kamu Apakah sedang rindu Aku pun Namun harus berlalu Lelah Lelah Koyak jiwaku Rohku membisu Mengapa kamu begitu? Membuatku ingin menyerah Terhadap dirimu Namun dalam diam Aku berderai pilu Secangkir kopi Bahkan wajah dan kenangan bersamamu Mampu memberi gula Pada secangkir kopi pahit pagi ini Walau hanya kenangan Ku akui semua itu manis Dan aku bercumbu lagi pada masa lalu Gundah Tak ada yang mampu terka Kita akan jumpa petang tadi Berikut senyuman mautnya Dan aku teringat duri di dada Buatku gundah gulana berkepanjangan Hingga ku tidur berselimut kenangan. Kembali Ku jejakkan langkah Tuk pulang di hadapmu Tak ingin tinggalkan hatimu sendiri Ingin temanimu Walau cinta telah usai Dan kini menjadi mendung Yang mengundang gerimis Namun aku teguh tuk kembali Menanti Duduk ku di temani suntuk Sepi tak bergeming Seolah tak hiraukan ku dalam kesendirian Harap harap dalam dada Kau kembali Hapus penantianku yang panjang Karena menanti membuatku remuk tulang. Rasa Hari ini aku begini Hari itu aku begitu Aku terkantuk pada rasa Rasa bimbang Bosan Dan rasa rasa yang tak pasti Harapku itu luluh Lantas terganti rasa manis Dan aku pun tersenyum. Orang-orang yang dulu Aku terbangun di pagi ku Dengan mata sembab sisa luka semalam Ku menemukan dia Orang-orang dulu yang pernah ku kenal Semoga jalan baru Tuk pergi dari perih Dan pelik hidupku kini Purnama Bulan purnama tersenyum bersamaku Bersama hikayat tentang merindukanmu Dalam doaku tentang kamu Semoga cincin permata milikmu Tersemat di jari manis ku Dan semoga hatiku tak salah arah Ku akhiri semua dengan mawar tanpa durinya Tentang alam Ilalang bergeming Enau mendecak Sepoi pembawa nyaman Melepas banyak tentang hidup Diraja Lupa perut kosong Karena bambu bersiul merdu Bersamanya aku terlelap Melupakan peluh dan lumpur Di peluk dan dekap alam Dosaku Tuhan Adakah engkau Sudi Merangkul ku yang di tumbuh duri dosa Di tengah simpuhku ini Pilu menengadah Mengadu akan sebab ulahku Yang tak mampu aku kalahkan lagi Maafkan Aku yang mengusik Bukan karena baikku Dan tersandung aku dari kehinaan itu. Kepergianmu Danaku dalam heningku Terisak dan berderai Dan aku pun tak dapat mencegah Kepergianmu karena maumu Biarlah menjadi beban hati Kan ku bawa hingga di jemput pagi Terlambat Danjika aku terlambat Di ujung penantianmu Kalau kau telah berkayuh jauh Tenang saja Aku tak menyesalinya Karena aku orang yang terlambat menyadari penantianmu Dan engkau yang telah sabar Namun belum lampaui terlambatku Tentang mendung Berhari-hariterlalu Namun aku tetap berteduh Di kanopi mendung Aku takut berlari Lantas menjadi gerimis Aku takut berjalan Lantas menjadi hujan Aku takut merangkak Lantas menjadi badai Bingkai Disebagian dinding rumah Kau tergantung kaku beku Memudar dan berdebu Ini soal kenangan bersamamu Telah berlalu Sehingga kau tetap disana Tak bergeming Kepada kekasih Janganberpelukan Cukup genggaman tangan ku Jangan menggenggam Cukup pandang aku Karena semua kan memudar Jika kau tau aku lebih dari satu Kopi Mari Yang sendiri Yang bersama Ku seduh kopi Secangkir Dua cangkir Dan sepiring kisah Penghalau dingin Surat Akubelum membalas Sebab kamu penyebabnya Aku hanya takut Menginjak nanah Menginjak hal yang kotor Demi rasa yang tak sebanding Demi laku yang tak membawa surga Suratmu Kenang kenangan saja ya? Tenggelam Akulama membisu Lantas kau remehkan aku Katamu aku hangat lantas bersalju Aku tak mengerti ucapanmu Sementara aku bersusah dalam diamku Sedangkan engkau tertawa menerjang sunyiku Abi Hai abi Ini tentang September yang berlalu Di sudut persimpangan Dengan 2 botol teh manis dingin Namun memanas dan pahit karena suasana Aku bersimbah air mata Karena dusta Dan berjalan di sisi yang lain Kosong Rasa apa ini? Aku terpaku dalam lamunku Tanpa bayang bahkan fikir Aku tenggelam dalam sepi Ku tarik nafas dalam dalam Ku pejamkan mata Harap terlelap Dalam sunyi yang kosong ini Asa yang putus Aku dan pantofel hitam Menjejak tegang akan harapan Gebu gebu menderu dalam dada Harap asa dapat tergenggam Entah mengapa Apa ini jalan takdir? Atau soal garis tangan? Ku rasa aku tamat Bersama gagal Lesung pipit Hai gadis Kamu membuatku jadi tersipu Senyum Dengan sedikit nada Di pipi Boleh kah aku cubit? Ah tidak jadi saja Takut ada yang marah Description: Kumpulan puisi yang berlanjut
Title: Remorse Category: Cerita Pendek Text: Remorse Baik-baik saja. Konsep kosong. Segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Seperti kenangan yang tidak pernah tandas. Selalu berkelindan. Mungkin menunggu badai bernama penyesalan yang membuatnya kandas. Ayah, Ibu, kekasih. Mereka sama saja. Ada lalu tiada. Tiga tahun aku terus memanggil mereka kala malam tiba, kala segala kesendirian memelukku erat. Tidak, sapuan ombak yang menggulung rumahku telah menenggelamkan seluruh kebahagiaan yang kumiliki. Seharusnya aku bahagia di malam itu. Seharusnya aku akan menjadi lelaki paling beruntung malam itu. Kekasihku mengiyakan lamaran dan ia berkunjung ke rumah bertemu Ayah dan Ibu. Kami berjanji akan menatapi pantai yang hanya berjarak lima belas menit dari rumah dan memandangi senja di sana sebelum bertemu dengan Ayah dan Ibu. “Kamu kenapa gugup begitu?” Tanyanya padaku yang sedari tadi menggigiti kuku jempol kananku. Kekasihku namanya Lasri. Ia memerhatikan wajahku yang tampak tidak tenang. Menatap sepasang bola cokelatku seperti meramal. Ia mendekatkan kepalanya padaku, melekatkan kedua hidung kami, menggosok-gosokkannya. Aku tenang. Dia tersenyum. Aku suka caranya tersenyum. Pada bibirnya yang tipis dan rekah seperti mawar. Aku tidak bisa menolak pertanyaannya. Keteduhan yang ada di dalamnya membuatku ingin berlindung dan menceritakan segalanya. “Aku tahu Ayah dan Ibu menyukaimu. Pun dengan orang tuamu. Aku hanya mengkhawatirkan kita.” “Kenapa?” Rambutmu berkibar diterpa angin. Langit sudah kian memerah. Perlahan pemandangan yang kami tunggu mulai menampakkan dirinya. “Aku hanya takut, kelak aku tidak bisa membahagiakanmu. Kelak, aku hanya menjadi beban untukmu.” Kamu tertawa. “Haruskah kita membahas itu? Bahagia bukan tentang apa yang ingin kamu berikan padaku. Kamu melamarku. Itu sudah menjadi keajaiban untukku. Apalagi yang bisa kutuntut?” Angin berembus dengan pelan. Bunyi deburan ombak yang menyelusup di telinga-telinga kami. Senja membuat kami terpesona. Lasri bukan berasal dari kota ini. Dia tidak pernah mengenal pantai. Hari itu adalah momen pertamanya. Kami bertemu di kota lain. Mataku masih menerawang. Menembus jendela yang terbuka di malam yang pekat ini. Aku sungguh marah pada Tuhan. Bila Ia tidak menyukai umat-Nya dan ingin menghukum, mengapa harus aku pula yang menjadi korbannya? Dadaku terus menyesak sejak saat itu. Berjalan menyelusuri kesepian, menembus hening, untuk mencapai ruang pertemuan. Ya, di hadapan pualam mereka, aku ingin menghabiskan banyak waktu untuk bercerita. Sampai suatu waktu, aku sadar, bahwa apa yang kulakukan itu tidak akan membawa mereka kembali. Suara jangkrik terdengar dari halaman belakang ini. Tanganku memegang pena dan buku tulis terbuka di atas meja. Sejenak aku ingin menuliskan sesuatu. Entah puisi atau sekadar curahan hati. Aku bukan seperti anak perempuan yang kerap menuliskan apa-apa yang dialaminya sehari-sehari. Aku mencintai puisi, seperti aku mencintai Lasri. Di dalam puisi, Lasri masih hidup. Menjelma kata-kata. Bukankah begitu? Selalu ada yang akan menyimpan berbagai kenangan. Hingga suatu waktu, kala kehilangan kian meranggas dada dan kepala, hanya benda itu yang bisa meredakannya. Menjatuhkan hujan di mata. Mengaliri pipi hanya untuk bermuara di penyesalan. Malam itu, ketika ombak besar menyapu wilayah pesisir ini, ketika aku, Ayah, Ibu, dan Lasri sedang berbincang di meja makan membicarakan tanggal pernikahan kami, tiada perasaan tidak enak. Apakah kegugupan tentang pernikahan bisa dijadikan pertanda? Kata-kata tidak mengalir dari dalam kepalaku saat ini. Selama ini aku menulis puisi untuk Lasri, rasanya kata-kata seperti air mata—mengalir deras ketika rasa rindu mulai meranggas dada. Kini, aku tidak tahu harus memilih mencintai mana lagi. Puisi atau Lasri. Sial, kepalaku kenapa sakit begini. Ingatan malam itu selalu terngiang hanya di satu hari setiap tahunnya. Aku masih ingat betul sesaat setelah kami mendengar gemuruh yang tersisa hanyalah sebuah kepasrahan ketika air seketika menghantam rumah kami. Aku berusaha meraih tangan Ibu dan Lasri yang berada di sisi kiri dan kananku waktu itu. Dadaku tiba-tiba sesak. Seakan aku sedang berada di malam itu. Ya, aku ingat. Malam itu pun hujan deras. Sangat deras. Napasku tersengal. Paru-paruku kesulitan memompa udara. Sialan. Selalu seperti ini. Aku ingat tatapan terakhir Lasri. Ia berusaha meraih tanganku. Meraih jemariku. Ketika aku sudah bisa menguasai diri dari terjangan ombak itu, aku tidak menemukan Ayah dan Ibu. Aku ingin teriak. Aku ingin memaki. Lasri ... ia masih ada di sampingku. “Nar ... and,” katanya perlahan, berusaha bicara. Aku berhasil meraih tangannya. Aku tidak tahu efek dari air ini atau bukan, di matanya kutemukan air mengalir. Aku yakin sekali ia menangis. Tetapi, Lasri sepertinya selalu ingin menjadi tegar di hadapanku. Bahkan di ambang hidup dan mati seperti ini. Bayangan itu perlahan memudar. Tubuhku terasa tertarik. Mundur, mundur, dan mundur. Kulihat Lasri kian menjauh, wajahnya penuh derita. Sampai suatu hentakan, aku terkejut. “Tidak ... aku tidak bisa menjalaninya seperti ini.” Aku meletakkan pena, menggenggam kedua jemariku erat-erat. Dalam satu embusan. Aku meneriakkan segalanya pada sang malam. Memaki-maki. Berteriak kencang. Masa bodoh. Tiga tahun melahirkan kegilaan. “Kamu akan baik-baik saja, Narand.” Sebuah suara terdengar. Aku terkesiap. Mataku mencerap ke sekeliling kamar, pada dinding-dinding kosong yang dingin; yang dulunya pernah ada foto kita. Kosong. Aku kembali mencengkeram kepalaku. Menarik-narik rambut ikalku. Berharap dengan begitu semua penyesalan akan mereda dan mereka akan kembali. Bodoh memang berharap seperti itu. Harapan tidak akan memberimu apa-apa. Tiga tahun mencari makna dari semua ini, dan aku tidak menemukan apa-apa. Seperti masa silam, setelah tubuhku tersadar dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit. Kata orang aku beruntung karena ditemukan selamat. Ya, keberuntungan tidak akan datang dua kali. Aku mengingat Lasri. Terkadang untuk melupakan, manusia harus mengingatnya sekali lagi. Aku mengingat Ayah dan Ibu. Rindu ini kian memuncak. Tiba-tiba tanpa peringatan, hujan turun dengan deras. Bunyinya yang khas, dan aromanya ketika menghantam tanah ... membuatku sadar. Rindu ini harus dituntaskan. Mereka akan marah padaku bila aku terus tenggelam dalam penyesalan. Mereka ingin aku bahagia tanpa mereka. Lalu, aku mulai menulis di buku tadi. Kata demi kata. Kalimat menguntai paragraf. Di tengah hujan. Aku tahu, segalanya tidak akan berjalan semestinya selama hujan terus menderas. Karena itu aku menamai buku ini dengan dua kata. Mencerminkan sebuah jawaban yang kupilih malam ini. Malam yang basah dan penuh bahagia. Kenapa? Karena buku ini kutulis untuk sesiapa pun yang menemukannya. Jawabanku yang kupilih adalah bertemu kembali dengan Ayah, Ibu, dan Lasri. Aku baik-baik saja. Dan bersama mereka, aku akan lebih baik-baik saja. Buku itu kunamakan dengan “Selamat Tinggal”. Description: Karena selama hujan terus menderas, tidak ada yang baik-baik saja. Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis cerita pendek yang diadakan oleh Storial, nulisbuku, dan Giordano #ALLISWELL!
Title: Rad Locke is HACKED Category: BNNS Text: Wyatt dan Locke Siang menjelang sore, seorang lelaki muda berpakaian lusuh masuk ke dalam kedai. Suara kipas angin berputar pincang mengisi kedai yang sepi itu. Dari arah dapur terdengar suara gelembung pecah dari dalam panci. Ada aroma kacang matang bercampur saus pepaya dari sana. Suara langkah kaki menapak lantai kayu yang berderit terdengar ketika pemuda itu berhenti melangkah karena melirik seseorang yang sedang berbicara di televisi. Kemudian, kepada pemilik kedai yang berdiri di balik sekat, pemuda itu berkata, "paket yang biasa!" Namun pemilik kedai itu membalas dengan omelan kecil, "paket biasa yang mana? Semua orang masuk ke dalam kedaiku setiap hari dan memesan paket biasa, kau pikir aku android dengan memori implant yang bisa mengenali wajah setiap manusia yang masuk ke kedaiku dan menghafal apa pesanan mereka setiap datang ke mari?" Pemuda itu menunggu si pemilik kedai selesai bicara, lalu menjelaskan dengan mengacungkan pistolnya ke kepala pemilik kedai itu. Pemilik kedai berhenti mengomel. Sejenak, hanya terdengar suara putaran kipas angin di langit-langit, dan suara sayup obrolan dari televisi yang terpasang di sudut ruangan. "Ingat sekarang?" tanya pemuda itu, memecah keheningan. Pemilik kedai itu tentu saja ingat dengan pistol dua barel yang sedang mengarah ke dahinya. Beberapa waktu yang lalu, sekelompok begundal datang dan menggoda putri si pemilik kedai, tidak ada yang berani bertindak. Namun seorang pemuda yang sedang makan menembakkan pistol dua barelnya itu kepada salah seorang begundal. Setelah perkelahian singkat, begundal-begundal itu kabur meninggalkan kedai. Sejak itu, pemilik kedai berjanji akan memberikan makanan gratis bagi Rad Locke. Seringai ramah terlihat di wajah pemilik kedai, matanya menyipit karena pipinya naik, "tentu saja aku ingat. Duduklah Rad, maaf, aku hampir tidak mengenalimu, kau sudah lama sekali tidak mampir ke sini dan... oh, ke mana janggutmu yang panjang itu? Kau tampak... jauh lebih muda." Rad mengusap dagunya, ada rambut-rambut kecil yang membuat pipinya menjadi kasar tumbuh di sana, pistol dua barelnya dia istirahatkan di bahunya. Kemudian dia memilih salah satu meja yang agak dekat dengan televisi di sudut ruangan. Bukannya bermaksud untuk tidak sopan, Rad hanya tidak suka basa-basi. Bukan karena minim kemampuan bersosialisasi, melainkan karena ada terlalu banyak kepahitan yang dia rasakan, masih terasa sampai sekarang walau sudah dikuburnya dalam-dalam. Bersandar di bangku kayu, Rad melepaskan holster kulitnya yang mulai melapuk, ada suara besi beradu dengan kayu ketika pistol dua barelnya mendarat di meja. "... ini tidak boleh diabaikan, rakyat butuh keadilan," terdengar suara dari televisi, dua orang pria sedang berebut mendominasi percakapan serius mengenai politik. "Presiden yang dahulu sudah terlalu lama mengabaikan ketidak-adilan ini, dan ini yang ingin saya ubah, saya ingin Rad Locke ditangkap dan diadili. Dia harus diesekusi!" Mata hijau Rad naik memperhatikan televisi. Seorang lelaki berambut tersisir rapi dengan pakaian kemeja dan cara duduk yang berkelas sedang diwawancarai. Ekspresi jijik terlihat sedikit di wajahnya karena dia tahu siapa orang itu. "Tapi, bukankah dewan pengadilan dunia sedang mempertimbangkan untuk memberikan amnesti tanpa syarat kepada Rad Locke?" "Dewan pengadilan dunia terdiri dari beragam belahan dunia, dan tidak semua dari mereka mengalami kebengisan pemuda berbahaya ini. Lelaki ini bisa melakukan apapun yang dia mau. Mendadak dia sudah meretas sistem keamanan di satelit kita, tahu-tahu saja dia merebut Plateland dan menyerahkannya kepada sekte genesis, oleh mereka digunakan untuk menghancurkan Liberta, ibukota kita sendiri. Anda harus ingat tragedi lima tahun lalu. Semua itu terlupakan hanya karena kita menyadari nama planet ini yang sesungguhnya, ini kan konyol. Kenapa hanya karena satu nama saja lantas dosa sebesar itu, pembunuhan massal itu terlupakan semuanya?" Pada saat mendengar itu, Rad ingin sekali masuk ke dalam televisi dan menarik rambut orang yang sedang mengoceh itu lalu menghantamkannya ke meja kaca di hadapannya. Sembarangan saja berbicara. Nama itu bukan sekadar nama, itu adalah bukti penipuan besar yang dilakukan leluhur manusia di planet ini. Penipuan besar yang mengakibatkan perang tak kunjung padam.... dan juga, alasan kenapa Rad memilih untuk membantu sekte Genesis yang dianggap teroris oleh Liberta. Seorang gadis datang membawakan semangkuk kacang merah dengan roti dan segelas air putih. Gadis itu menatap Rad sambil tersenyum, ayahnya boleh punya ingatan pendek, tapi gadis ini masih ingat siapa penyelamatnya. Sebelum nampan diletakkan di atas meja, Rad sudah menyambar segelas air putih itu dan menegaknya dengan cepat dalam satu tarikan nafas. Suara lega terdengar bersamaan dengan gelas kosong itu diletakkan di atas meja. Rad berkata kepada gadis itu, "tolong dua gelas lagi." Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil gelas yang kosong dan kembali ke dapur. Rad mulai melahap kacang merahnya bergantian dengan sepotong roti tebal. Roti itu agak keras, agak gosong juga. Tapi makanan gratis harus disyukuri, bukan? Dua gelas minumannya datang tanpa menunggu lama, Rad segera menghabiskan salah satu gelas dengan cepat. Dia sangat lapar dan haus, setelah menyelam hari ini. "Namun, apakah anda tahu di mana Rad Locke bersembunyi sekarang?" tanya si pembawa acara itu. Lelaki yang sedang diwawancarai itu tertawa sejenak, "sudah pasti dia ada di suatu tempat dimana para pembunuh, perampok, begundal, psikopat dan sebangsanya itu berkumpul. Saya tidak perlu sebut nama tempat itu, anda pasti sudah tahu sendiri nama tempat itu apa." "Lalu tindakan apa yang anda lakukan? Kan anda sudah tahu lokasinya di mana." "Tentu saja menyerbu tempat itu tidak bisa sembarangan. Bagaimanapun juga tempat tersebut masih termasuk ke dalam kawasan negara tertentu yang diakui kedaulatannya. Ini saya tidak usah sebut nama negaranya ya, kita sudah tahu kok apa dan di mana. Yang pasti saya butuh kewenangan presiden untuk bisa masuk ke sana dan mengadakan inspeksi." "Lalu kenapa tidak anda lakukan saja sekarang? Bukankah anda seorang Jendral?" "ijin tidak keluar." "Jadi itu alasan anda ingin jadi presiden? Demi menangkap seorang buronan?" "Menangkap buronan hanyalah salah satu misi demi menciptakan keadilan bagi bangsa Liberta yang semakin menipis." "Tapi bukankah Liberta sudah menyerahkan masalah Rad Locke kepada PUDF?" "Ya kita lihat saja kenyataannya PUDF mampu atau tidak menangkap satu orang lelaki saja? Nyatanya sudah lima tahun berlalu tapi masih saja tidak ketemu kok," selesai berkata demikian, calon presiden itu menyeringai. Seorang lelaki berdiri menghalangi televisi, kedua mata teduhnya yang tajam menatap Rad sambil tersenyum ramah, "bro." Rad tidak terkejut melihat kemunculannya, dia sudah melihat bayangan lelaki itu masuk ke dalam kedai. "Leonard Robust Wyatt, komandan tertinggi PUDF, posisi langsung di bawah siapapun yang sedang menjabat sebagai presiden Liberta, datang ke Armadillo dan memanggilku "bro"," Rad menggelengkan kepalanya. Dunia sudah gila. Leonard menarik kursi di depan Rad, tidak perlu meminta persetujuannya untuk duduk satu meja dengan si buronan. "Apa kabar?" tanya Leonard dengan suaranya yang rendah dan super bass. "Kalau tidak ingat kau pernah menyelamatkan nyawaku berulang kali di luar sana, aku tidak mau berbicara denganmu, jadi tolong kita bicara yang penting-penting saja. Kenapa kau ingin bertemu denganku?" sahut Rad, langsung ke inti permasalahan. Masih tidak kehilangan senyum tipisnya, Leonard berkata lembut, "santai saja. Masih sore." Ketika Rad mencabik roti di tangan kirinya, dia menyadari ada yang aneh dengan Leonard. Matanya terlihat bengkak dan memerah, badannya juga berbau tidak enak, seperti bau alkohol yang bercampur dengan daging basi. "Kau menangis sampai iritasi mata?" Leonard membuka mulutnya sambil bersandar, seperti baru saja ingat untuk bernafas, "Oh bukan, aku baru menemukan hobi baru, kemarin baru saja tur di pegunungan Boswick dengan motor trail." Rad tidak mempercayai ucapan Leonard. Orang ini kelihatannya sedang stres, sangat berbeda dari dia yang biasanya. Suaranya yang biasanya kencang, kini lesu. Biasanya dia punya banyak hal untuk dikomentari dengan ucapan-ucapan sengit namun sarkastis, tapi kali ini dia seperti orang sariawan. Namun Rad tidak tertarik untuk mencari tahu apa yang membuat orang ini stres, Leo bukan orang favoritnya di planet ini, dia tidak peduli sama sekali. Tadi pagi seekor burung aneh mirip elang dan burung hantu mendarat di jendela kamar Rad. Itu adalah Wager, seekor Jotun milik Leonard. Wager menyampaikan pesan bahwa Leo ingin bertemu. Tentu saja Rad curiga ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan Leo. Karena sebagai komandan tertinggi PUDF, sungguh berisiko bila sampai dia datang ke kota penuh dosa seperti Armadillo. PUDF adalah badan keamanan dunia, seperti polisi patroli dunia, sudah pasti penghuni Armadillo adalah incarannya. Apa bukan kunjungan bunuh diri kalau dia datang ke kota ini? Namun jawab Wager, kedatangannya karena ingin mengenang masa kecil, tapi Rad tidak percaya. Itu terlalu sensitif buat mereka berdua. Yah, sebentar lagi juga dia akan tahu apa yang diinginkan komandan tertinggi PUDF yang harusnya menangkap dirinya ini. Dua Pasang Mata, Dua Pancingan, dan Dua Pistol Waktu itu relatif, sekalipun kita sudah mengenal jam. Buktinya, satu jam bisa terasa lama, kadang bisa terasa sebentar. Tampaknya ada beberapa hal yang tetap tidak bisa ditebak, sekalipun bisa diukur. Saat menyelam tadi, matahari baru saja meninggi, tanpa terasa matahari sudah condong ke barat. Enam jam seperti berlalu begitu saja. Namun anehnya, mendengarkan Leonard menceritakan bagaimana kehidupannya sehari-hari sepertinya lama sekali. Padahal satu jam saja belum berlalu. Dia bercerita banyak, terutama tentang teman-teman mereka ketika masih di akademi militer PUDF dulu. Ernesto sekarang sudah meninggalkan PUDF dan pulang ke Breaston dan sekarang jadi seorang detektif di sana. Lalu Leonard bercerita tentang Astrid yang akhirnya bertunangan dengan Irving, barulah Rad menyahut, "Irving? Astrid?" Reaksi itu mengejutkan Leonard, "ya, ..." matanya berputar sejenak karena otaknya gagal memahami kenapa Rad tertarik dengan pertunangan dua orang itu. "Kenapa?" "Oh mereka tunangan," jawab Rad dengan wajah malas. Jenis ekspresi seorang petugas polisi yang baru saja mendapat ancaman telepon dari seorang penipu yang menyamar sebagai polisi. "Kau tahu sesuatu yang tidak kuketahui tentang mereka?" "Tidak. Aku tidak kenal Irving." Leonard tersenyum, dia tahu apa yang dipikirkan Rad, lalu dia berkata, "dia sering main ke Breaston. Makan malam ..." Rad berdehem, dia menahan marah sambil mengusap tangannya dengan tidak sabar seakan hal itu bisa mencegahnya meninju mulut Leonard untuk merontokkan satu atau dua giginya. "Kalau tidak ada hal penting, bisa diam sebentar? Sepertinya Piers sedang bicara sesuatu yang menarik di televisi." Leonard mendengus dan dia terdiam. Mereka berdua mendengarkan calon presiden Liberta berbicara merangkai kata indah tanpa makna di televisi. Rad memang tidak suka mendengar sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Walau begitu, ada yang menarik. Tidak sekalipun Leonard membicarakan Keita. Sama sekali tidak ada satupun dari mantan kekasih Rad yang disinggungnya. Sekali lagi Rad memperhatikan betapa merah dan bengkak kedua mata Leonard itu. Apa mereka berdua putus hubungan ya? Walau merasa penasaran, namun Rad sama sekali tidak tertarik untuk bertanya langsung. Baginya menarik kesimpulan langsung dari rentetan kisah untuk menemukan jawaban jauh lebih seru daripada langsung bertanya. Seru, seakan ini permainan menarik bagi Rad. Beberapa kali Rad melirik ke punggung tangannya, dimana ada jam tangan digital menunjukkan angka 15:55. Acara debat politik yang sejak tadi membahas bagaimana Perston Walter Piers akan membuat Liberta menjadi sehebat dua dekade lalu akhirnya berakhir. Rad meletakkan tangannya di atas meja, "yuk." Rad beranjak dari kursinya tanpa menunggu tanggapan Leonard. Komandan PUDF itu mengikutinya berjalan keluar kedai, dia berhenti sebentar untuk membayar kopi tubruk yang tadi dipesannya. Pemilik kedai tidak bisa sedikitpun memalingkan tatapannya dari Leonard. Dia benar-benar memperhatikan wajah itu dengan curiga. Sepasang mata yang galak dan tajam, seperti tatapan burung pemangsa yang selalu waspada. Hidung yang mancung dan rahang persegi, kombinasi yang begitu proporsional membuat lelaki itu memiliki segala kharisma yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin militer kharismatik. Dengan curiga, pemilik kedai itu bertanya, "sepertinya aku pernah lihat kamu dimana, ya?" Leonard menyunggingkan senyum di salah satu sudut bibirnya sambil menyematkan dompetnya ke saku dalam jaket kanvasnya. "Salah orang. Aku belum pernah ke sini. Permisi." Leonard meninggalkan kedai itu, Rad memunggunginya sambil menatap pemukiman kumuh tempat mereka berada. Ada rel kereta api berkarat yang telah mati persis di depan kedai. Dahulu tempat ini menjadi penghubung antara Metropolis bernama Atlantris, sebuah stasiun kereta api paling besar di seluruh planet. Sayangnya, tidak ada lagi Atlantris. Kota itu telah runtuh ditenggelamkan agar manusia terbebas dari gelombang hipnotis yang dimanfaatkan pihak berkepentingan untuk membuat rakyat takhluk dengan perintah mereka. "Yuk." ucap Leonard ketika dia berdiri di sebelah Rad. Komandan besar yang kini menyembunyikan wajahnya di bawah topi baseball itu mengikuti kemana Rad pergi membawanya. Hal yang logis, karena hanya Rad yang tahu tempat dimana mereka bisa berdiskusi empat mata. Walau tidak sering mengunjungi Armadillo, namun Leonard bukannya tidak punya informasi sama sekali tentang tempat ini. Dia tahu bahwa semua kriminal dan buronan yang membaur jadi satu dengan warga sipil biasa ini sebenarnya sangat solid. Alasan kenapa para pembunuh bayaran jarang berhasil menjalankan misi mereka, bahkan sering kali tewas digantung di atas menara sutet, tidak lain karena para pelanggar hukum itu bersatu dalam satu persaudaraan untuk saling melindungi. Wanted Bros, itu sebutan mereka sekarang. Leonard sadar bahwa di setiap jendela rumah kumuh di sekitar mereka, ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik bayang-bayang. Bahkan lelaki yang sedang membaca koran, atau bermain catur di tepi jalan, sesungguhnya sedang mengawasinya dengan lekat. Namun ketika Rad melingkarkan tangan kanannya merangkul bahu Leonard, semua tatapan penuh waspada itu seperti menghilang. Tentu saja Rad menjadi satu dengan perkumpulan mereka. Cuma itu satu-satunya cara untuk bisa saling bertahan. Leonard bisa menebak bahwa mereka membutuhkan kepandaian Rad, sementara Rad dengan harga kepala termahal di dunia itu pasti tahu bahwa dia membutuhkan perlindungan Wanted Bros dari para pemburu buronan. "Kau suka memancing?" tanya Rad. "Jarang, tapi kedengarannya seru," jawab Leonard. Rad membawanya ke tempat serupa dermaga. Hanya saja di sini tidak ada kapal besar, paling sebatas motor boat saja. Sebelum dermaga, ada sebuah bangunan yang catnya sudah terkelupas oleh panas dan hujan, dan lelehan karat yang menodai dindingnya. Di atas pintu bangunan kecil itu, ada papan banner dengan tulisan "Mancing!". Tentu saja orang-orang di sini tidak suka pusing memikirkan branding untuk toko dan bisnis mereka. Kapitalisme sepertinya sulit menembus Armadillo. "Kamu maunya apa sih?" terdengar suara lelaki tua marah-marah kepada seorang lelaki kurus berwajah kusut seperti anjing buldog. "Mau pancingan yang bagus tapi cuma punya duit sedikit, kamu pikir ini tempat amal?!" Lelaki kurus itu merebut pancingan bagus dari tangan pemuda itu lalu menyerahkan pancingan yang lebih jelek bentuknya. Pemuda itu tentu saja tersulut emosinya, namun ketika dia akan menarik pistol tangannya, lelaki itu sudah menodongkan senapannya ke muka pemuda itu. "Ayo cabut! Biar kita perang sekalian! Kau pikir aku takut sama kalian, anak muda?!" bentak lelaki tua itu. "Kau pikirlah, dengan pancingan sejelek ini mana bisa aku dapat ikan? Lebih baik kembalikan uangku, aku tidak jadi beli pancing!" kata pemuda itu. Sambil melotot, lelaki itu menunjuk sebuah papan di atas etalase bertuliskan "barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan" "Awas kau Barley! Awas kau! Lihat saja!" pemuda itu keluar toko sambil marah-marah, dia membanting pintu toko dengan keras hingga kacanya yang sudah terbelah itu jatuh ke lantai dan pecah. "Kau mau apa?" tanya lelaki tua itu kepada Rad. "Sewa pancingan buat orang ini," Rad menunjuk Leonard, lalu menyerahkan satu pancingan yang tadi dipilih Leonard. Mereka memang asal ambil pancingan saja karena tidak benar-benar ingin memancing. "Lima puluh dollar," kata si kakek itu. "Kita cuma sewa, pak," kata Rad, kaget karena harganya seperti harga beli. "Kau pikir aku tidak tahu mental kalian, hai generasi micin? Kalian semua maling! Orang yang sewa pancing tidak pernah mengembalikan pancinganku! Mulai sekarang sewa berarti beli!" kata kakek itu. "Lalu apa kita harus kembalikan pancingan yang kita beli ini kepadamu lagi?" ledek Leonard. Kakek itu berpaling kepada Leonard, "tentu saja harus dikembalikan! Kan sewa! Eh... kau ... kau ... apa yang kau lakukan di sini?" Oh tidak, kakek ini sepertinya menyadari siapa Leonard! "Kau komandan PUDF kan? Leonard Wyatt?" kakek itu nyaris berteriak. Rad sudah berdebar-debar tidak keruan. Kalau sampai berita ini tersiar ke luar Armadillo bahwa dirinya cukup dekat dengan komandan PUDF, bisa-bisa Leonard dipecat dari jabatannya dan pengganti Leonard belum tentu akan mengizinkan Rad berkeliaran bebas walau hanya di Armadillo. Namun Leonard tidak kehilangan ketenangannya, malah dia tertawa sambil berkata, "iya, banyak yang bilang begitu. Memangnya mirip banget?" "Banget!" kata kakek itu. "Kau Komandan Wyatt atau bukan?!" "Alexis Sanchez, aku hanya retenir yang sedang mengunjungi saudara sepupuku," Leonard mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan kakek itu. "Jangan bohong, aku tahu kau Komandan Wyatt!" "Yah, dia tidak percaya," Leonard tertawa. "Tentu saja aku tidak percaya! Kau pikir aku tidak kenal siapa Rad? Dia ini yatim piatu dan sampai sekarang tidak tahu siapa orangtuanya. Dia besar di panti asuhan di Pulau Orfen, lalu masuk akademi militer PUDF sampai dia drop out dan menjadi jurnalis freelance dan terlibat di perang saudara di Oro Marbolo dan jadi teroris lalu buron sampai sekarang. Mana mungkin dia tahu siapa sepupunya!" kakek itu bersikeras. Rad mengusap wajahnya seperti sedang cuci muka tanpa air. Wajahnya terlihat kecut, mungkin dia bermaksud mengusap rasa frustrasinya sampai bersih. "Kenapa diam saja? Benar kan dugaanku?" tanya kakek itu. Leonard mengeluarkan uang dua ratus dollar, "dia tidak tahu, tapi aku tahu. Dia baru tahu kalau dia punya sepupu. Aku sudah lama mencari saudaraku yang hilang ini, dan kita akan memancing untuk merayakannya. Demikianlah situasinya." Kakek itu malah seperti orang tersinggung dan hanya mengambil lima puluh dollar saja. "Tidak perlu menyuapku. Aku memang sudah lama mengagumi Komandan Wyatt. Orang yang mengalahkan Sekte Genesis di perang besar lima tahun lalu. Kau ini penyelamat dunia! Aku tidak akan bilang pada siapapun bahwa kau di sini." "Aku tidak menyuapmu, anggap saja aku traktir karena baru menemukan saudaraku yang hilang itu. Yakin kau tidak mau uang banyak ini?" tanya Leonard. "Aku mungkin perhitungan, tapi aku tidak materialistis. Aku hanya lelaki yang sering dikadalin warga lokal. Ini semua gara-gara Atlantris runtuh, dan aku terjebak di sini selamanya," kakek tua itu berkata dengan kesal, namun jelas ada kesedihan yang tersembunyi dibalik ucapannya. "Ya sudah kita memancing dulu, kami permisi, Barley," kata Rad, berjalan menuju pintu keluar. "Rad! Nanti malam kita ngopi, oke?" seru Barley, dan Rad tahu kenapa mendadak kakek tua itu mengajaknya ngopi bareng. "Oke, siap," jawab Rad. "Sampai nanti, kakek," pamit Leonard dengan ramah. "Dia kelihatan sudah sangat ringkih tapi otaknya masih encer juga," puji Leonard sambil mempersiapkan pancingannya. "Barley sudah 90 tahun, dia warga Atlantris. Sampai sekarang kalau kau periksa kartu identitasnya, dia masih warga negara Atlantris," kata Rad. "Dia tidak dendam kepadamu? Aneh juga." Rad menegak air liurnya, karena rasa bersalah kembali menyapanya. "Dulu dia dendam. Tapi waktu mengubah kita jadi sahabat." Kemudian Rad menyingsingkan lengan kausnya sehingga terlihat di dekat bahu ada bekas luka seperti lubang peluru, "dia menembakku sambil marah-marah ketika mengetahui siapa aku." "Oh, untung bidikannya meleset," kata Leonard. "Ya, begitulah. Tapi sejak itu tangan kananku terasa nyeri dan kaku ketika menggenggam sesuatu, terutama ketika suhu udara dingin." Mereka menyewa motor boat dan melaut sambil berlagak sedang memancing agak jauh dari dermaga Armadillo. "Nah, sepertinya tidak ada yang bisa mendengar kita sekarang, kecuali seseorang memasang penyadap di kapal kecil ini," Leonard melempar kailnya jauh ke samudra. "Aku tidak pasang penyadap, asal kau tahu saja," kata Rad, ikut melempar kailnya jauh. Dia masih menunggu Leonard bercerita tentang Keita. "Aku ingin bertemu denganmu secara langsung, ... kau pasti tahu ada yang penting, bukan?" tanya Leonard. "Itu sudah bisa ditebak dengan mudah," Rad memincingkan matanya karena sore ini matahari cerah sekali, senja akan datang sesaat lagi, warna oranye sudah memenuhi sisi barat langit. "Tidak terasa sudah lima tahun berlalu sejak kita mengacungkan pedang ke leher satu sama lain, berusaha saling bunuh, saling tumpah darah demi apa yang kita percayai masing-masing," gumam Leonard, cukup keras untuk terdengar oleh Rad. "Kalau dipikir-pikir, aku, kau, Ernesto, Hilda, Astrid, ... kita berlima selalu bersama sejak kecil." Rad merasa sedikit tidak sabar apa yang ingin disampaikan Leonard sampai dia mengambil risiko bertemu dengannya secara langsung. Biasanya mereka hanya berkomunikasi melalui Jotun. Kalau sampai Liberta tahu bahwa mereka memancing bersama di sini, jabatan Leonard jadi taruhan. Dia juga bisa bernasib sama seperti Rad karena dianggap melindungi buronan. "Kau ingat tidak? Kita selalu bertengkar karena terlalu mirip?" kata Leonard, tersenyum menatap langit senja. "Ya, terutama karena selera wanita kita sama," Rad sedikit berharap ucapannya bisa mengarah kepada Keita. Ya ampun! Apa yang terjadi dengan gadis itu? Kenapa sama sekali tidak disinggung oleh Leo? Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Keita dan Leo ingin dia menolongnya. Kalau itu benar, Leo harus tahu bahwa dia sudah tidak lagi menyimpan rasa romantik kepada gadis itu, bila harus bertaruh nyawa demi keselamatan Keita, Rad tidak mau! "Ya... kita selalu jatuh cinta pada wanita yang sama.... kadang aku merasa kaulah orang terdekatku, Rad," kata Leonard. Dalam hati Rad hanya berharap basa-basi ini cepat selesai. "Rad, apa kau percaya kepadaku?" tanya Leonard. Dia sudah tidak lagi memandangi langit senja, dia menatap Rad tanpa berpaling. Tatapan itu lebih seperti ancaman pembunuhan daripada persahabatan. Rad bersumpah Leo sangat serius sekarang. "Kalau aku tidak percaya padamu, kenapa aku mau memancing denganmu di tempat tak terjangkau seperti ini? Kau sendiri tahu sejak tadi sepanjang jalan banyak teman-teman satu gengku yang siap untuk menyerangmu bila kau bertindak aneh," kata Rad. Ketegangan yang terlihat di wajah Leonard tertutup kembali oleh sikap santai. "Ngomong-ngomong, kau sudah lama tidak mengunjungi Hilda ya?" "Ah," Rad berpaling ke langit. "Hilda hidup bahagia sekarang di Breaston, bersama Wes," kata Leonard. "Kau sudah bertemu Wes belum?" Pikiran Rad menjadi kacau, mendengar nama itu, dia jadi teringat banyak hal. Ada beragam emosi beraduk-aduk seiring memori demi memori muncul kembali. Mereka sempat bahagia bersama. Ketika Rad menyeludupkan diri dengan berani untuk hidup bersama Hilda selama satu tahun di Breaston. Cinta semasa kecil yang bersambut, yang harus pupus karena menyadari masa depan tidak akan bisa semanis apa yang mereka harapkan. Dia harus pergi, dia tidak punya pilihan. Karena Hilda masih menjabat sebagai seorang intel di PUDF, dia tidak bisa menghancurkan karir gadisnya yang bagus itu, dia tidak bisa menghancurkan masa depannya hanya karena masalah hati. Mendadak sesuatu menusuk lengannya, Rad terbangun dari lamunannya. Leonard menyuntikkan sesuatu ke dalam lengannya. Cairan kental berwarna ungu terang seperti neon. Rad mengayunkan lengannya untuk menghajar Leonard, namun orang itu menghindarinya dengan mudah sambil tertawa. "Brengsek! Apa ini?" geram Rad dengan marah. Dia memeriksa lengannya, terlihat perlahan ada sebuah simbol yang berbentuk seperti mata terbuka, sekilas mirip tato, namun menyala seperti neon berwarna jingga. "Apa ini Leo?" "Namanya "Atlas"," Leonard membuang pistol yang dia gunakan untuk menyuntikkan hal aneh itu ke laut. Pistol itu berputar-putar di udara dan masuk ke dalam lautan. "Atlas? Ini bukan makhluk Jotun, kan?" tanya Rad, walau dia tahu benar bahwa ini adalah Jotun. Dia sangat benci Jotun, menurutnya makhluk berbahaya untuk umat manusia. "Itu sejenis Jotun, tapi bukan sembarang Jotun, dan kau tidak bisa mengendalikannya." "Lalu maksudnya apa memberiku Jotun? Kau tahu sendiri aku anti dengan kekuatan super yang bisa membahayakan tubuh imangnya!" Rad marah-marah. Terdengar suara baling-baling helikopter dari kejauhan. "Oh, jemputanku sudah datang," kata Leonard. "Aku pamit dulu." Namun Rad menahan Leonard dan memaksanya duduk kembali di atas kapal, dia lalu menodongkan pistol dua barel nya itu ke kepala Leonard. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana sebelum menjelaskan semuanya!" Jotun dan Topeng Setan Dinginnya laras pistol terasa di permukaan kulit mata kiri Leonard, sementara laras satunya lagi menempel di antara alisnya. Pistol itu serupa desert eagle berukuran besar, hanya saja larasnya ada dua bersebelahan. Rad merakitnya sendiri karena kadang pemerintah Liberta mengirim android untuk memburunya, jadi bila dia bisa meluncurkan dua peluru sekaligus, tentunya akan bisa lebih cepat menghancurkan musuh. "Magnum .44 pada masing-masing selongsong siap meluncur. Kau kan jagonya persenjataan, kau tahu apa yang akan terjadi kepada kepalamu kalau kutarik pelatuk ini," ancam Rad. "Kau bebas meledakkan otakku lalu menjadikanku makanan ikan, bebas," jawab Leonard dengan ikhlas. "Tapi aku yakin bahwa setiap penjelasan yang kuberikan hanya akan membuat lebih banyak pertanyaan di kepalamu. Sementara itu ada seseorang atau sesuatu, atau sekelompok orang...entahlah, yang mungkin sedang mengawasiku di kejauhan. Mungkin dia sedang membidik kepalaku juga dengan laras panjang, jadi aku harus bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain." "Apa kau sadar kalau memberikanku Jotun ini sama saja dengan menegaskan kepada dunia bahwa aku masih bagian dari Sekte Genesis?? Katamu kau mengusahakan agar amnesti itu kudapatkan, kenapa kau malah melakukan ini kepadaku? Kau mau apa? Apa rencanamu, BRO?!" damprat Rad sambil menekankan pistolnya ke wajah Leonard. Tangan Leonard mencengkram kerah jaket hijau yang dikenakan Rad dengan kencang, lalu dia menarik Rad mendekat ke wajahnya. Leo sekarang juga tidak kalah serius dengan Rad, "mereka yang ingin membunuhku ini... karena mereka ingin Jotun ini. Jotun ini adalah fondasi semesta, siapapun yang memilikinya punya kekuatan atas semesta. Itu sebabnya kau tidak bisa mengendalikannya. Tapi bila tidak kutanamkan ke tubuhmu, kelak mereka akan merebutnya darimu dan menanamkan ke tubuh mereka. Itu akan jauh lebih mengkhawatirkan!" "Kau beri aku kekuatan semesta? Aku??" Leonard menepuk pipi Rad, "tidak ada orang yang lebih bisa dipercaya selain seseorang yang rela menjadikannya buronan termahal di dunia demi menyelamatkan dunia." "...brengsek..." geram Rad. "Itu saja yang bisa kukatakan kepadamu, bila kau ingin tahu lebih jauh, kau pulang lah ke Breaston dan tanya sendiri kepada Hilda. Sekarang lepaskan aku dan biarkan aku pergi. Seseorang mengikutiku dan bila dia sampai menembakku sekarang, kau berada dalam bahaya yang lebih besar. Aku harap kau bisa berpikir sekarang." Rad mengumpat dalam hati karena mau tidak mau dia harus mempercayai Leonard. Dia menarik pistol dua barrelnya itu dan menyarungkannya ke dalam holster. Dia melepaskan Leonard. Helikopter itu mendekat, Rad dapat melihat ada simbol setengah lingkaran dengan latar belakang burung elang yang merentangkan sayapnya dan mata yang tajam. Kemudian di dadanya ada tulisan besar-besar "PUDF", di luar elang itu ada lingkaran dan ada tulisan di sepanjang lingkaran itu berbunyi "Plateland United Defense Force". "Hilda masih di Plateland atau di Breaston? Dia bilang padaku bahwa dia pulang ke Plateland kalau aku pergi," tanya Rad. "Dia harusnya sih ada di Breaston," Leonard menepuk bahu Rad dan mengguncangnya, "aku titip Jotun itu padamu, bro. Kalau urusan sudah selesai semua, aku akan mengambilnya kembali. Jangan tinggalkan Armadillo selama Jotun itu masih ada di tanganmu. Kecuali..." "Kecuali?" tanya Rad dengan tidak sabar. Ada tangga gulung yang dilempar seseorang dari atas helikopter itu. Suara baling-baling yang keras dan bunyi udara berputar di sekitar mereka membuat suara Leonard jadi lebih terpendam, namun sesayup Rad masih bisa mendengar teman-musuh nya itu berkata "kecuali kalau aku gagal, alias mati, ... mereka akan mengincar nyawamu. Untuk itu, kau harus lari. Cari Hilda bila aku gagal." "Kenapa harus Hilda? Dia mengancam akan membunuhku kalau sampai melihatku dalam radius 30 meter," kata Rad. "Halah, kau tahu wanita bagaimana, kau cium dia dan lenyaplah semua ancaman kematian itu," Leonard memanjat helikopter itu dan meninggalkan Rad yang masih bergeming di atas motor boat. Baru saja helikopter itu bermanuver, seseorang meluncurkan rudal dari daratan Armadillo. Rudal itu tepat sasaran menghantam Leonard, meledakkan helikopter PUDF itu tepat di depan mata Rad. Untungnya Rad tahu darimana rudal itu meluncur dan bergegas menoleh ke sana. Dia pikir dia sudah terlambat dan si pembunuh sudah kabur, tapi Rad melihat sosok itu berdiri di sana, seakan dia harus memastikan bahwa Rad telah melihatnya. Itu bukan sosok yang asing bagi Rad, karena dia berulang kali bertemu dengan sosok itu. Menggunakan pakaian kevlar serba biru donker, dan topeng gading berbentuk setan, si pembunuh seperti menunggu Rad menemukannya, baru kemudian membuang pelontar granat yang dia gunakan untuk meledakkan Leonard ke laut dan berlari pergi. "Topeng Setan!" Rad mencabut pistol lain dari holster dadanya, itu adalah flare signal gun. Setiap anggota Wanted Bros di Armadillo wajib membawanya ke manapun mereka pergi. Rad menembakkan flare gun itu ke arah tempat si Topeng Setan kabur. Tidak butuh waktu lama bagi para Wanted Bros untuk melihat sinyal tersebut dan menghunus senjata masing-masing lalu mengejar si Topeng Setan. Sementara itu Rad mengendarai motor boatnya menepi ke dermaga, ada motor gede yang ngebut mendekati Rad dan berputar sambil mengerem. "Just, ayo!" seru pengendara motor itu. Rad melompat ke dermaga sambil menghunus pistol dua barrelnya dan mencabut machette tersembunyi di tepi motor gede itu. Sementara motor dengan kecepatan penuh mengebut ke arah dimana Topeng Setan itu melarikan diri dengan teknik parkournya. Dua flare merah kembali terbang ke langit di arah yang sama, memberitahu Rad bahwa Wanted Bros kesulitan menangkap si Topeng Setan. Ini gawat! Pikir Rad, seorang komandan PUDF tewas di Armadillo, sudah pasti pihak Liberta akan punya kesempatan untuk menginspeksi Armadillo, dan itu berarti ancaman bagi Wanted Bros juga. Setidaknya bila mereka berhasil menangkap si Topeng Setan, Armadillo bisa membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dalam pembunuhan ini. Sekali lagi terlihat ada letusan flare gun menyala di langit, kali ini mereka sudah dekat! Topeng Setan itu ada di puncak gedung perumahan kumuh, ada tujuh lantai, tidak mungkin berlari menggunakan tangga. Untungnya Rad juga mantan kadet PUDF, setiap kadet militer di manapun di planet ini pasti punya kemampuan parkour. Kemampuan itu sudah berhasil menyelamatkannya dari kejar-kejaran bersama petugas hukum selama Rad masih dalam masa pelarian. Tentu saja tubuhnya belum lupa bagaimana cara memanjat dinding tanpa tangga, semua tergantung dari kekuatan jari tangan. Hanya dalam beberapa detik saja Rad sudah berada di puncak apartemen kumuh dan terbelalak melihat si Topeng Merah berkelahi menggunakan golok perang. Dengan gerakan efektif, dia membunuh para kriminal dan buronan yang mengepungnya. Rad menembakkan pistol dua barrelnya dan dengan sigap si Topeng Setan menangkis peluru yang meluncur ke mukanya. Tanpa menunggu, Rad melesat dengan machette di tangan, dan keduanya saling sabet dengan penuh kecepatan dan tenaga. Ketika senjata mereka saling beradu di antara wajah mereka, Rad menyapa si "teman" lama, "kukira kau sudah mati di Morrowind. Aku yang menguburmu dan melepas topengmu, kujadikan hadiah perkenalan bagi seorang teman di sana." Namun dijawab dengan tendangan keras ke perut oleh si Topeng Setan. Rad melihat gerakan itu dan menahannya dengan lutut. Mereka saling menjauh mundur beberapa meter, namun si Topeng Setan tidak membuang waktunya, segera kembali melesat dengan golok di tangan. Rad menggapai pistol dua barrelnya dan menembakkan dua peluru lagi ke wajah si Topeng Setan. Sekali lagi Topeng Setan berusaha menangkisnya, namun satu peluru lolos menyerempet ke topeng gading itu sehingga retak di sisi kanan. Rad maju dengan cepat dan menyerang si Topeng Setan yang terhuyung oleh gesekan peluru tadi, pertahanannya terbuka, kesempatan emas bagi Rad untuk sekali lagi mengirim si Setan ke neraka! Namun sebelum dia sempat mengayunkan machettenya, sesuatu menyala dari sisi kanan Rad, dan segumpal bola api raksasa meluncur ke arah Rad. Dia harus menghindari serangan itu untuk menyelamatkan nyawanya dan melepaskan si Topeng Setan. Butuh beberapa detik bagi para buronan di Armadillo itu untuk menyadari bahwa ada Jotun di antara mereka. Untungnya para buron itu cukup sadar diri mengetahui bahwa mereka bukan lawan bagi makhluk seperti Jotun. Jotun berbentuk badak berambut lebat itu tingginya sekitar empat meter, bibirnya digantikan oleh gigi-gigi tajam dengan gusi biru keunguan yang mengkilat basah. Badak itu menyeruduk Rad, yang memilih untuk melepaskan machettenya dan menangkap culanya yang besar. Rad bergelantungan di cula badak itu, tangannya yang kuat menolak untuk menyerah pada ayunan-ayunan kuat yang hendak menghempasnya ke lantai atap apartemen kumuh. Rad menggunakan kakinya untuk naik ke atas mulut badak Jotun dan membidik ke titik di antara mata. Untung dia pernah dekat dengan Sekte Genesis sehingga dia tahu bagaimana harus melumpuhkan Jotun. Setiap Jotun terhubung dengan pemanggilnya melalui cord tak terlihat, namun akar dari cord itu terlihat seperti tato neon yang menyala dengan sinar jingga. Pada jotun ini, tato itu terdapat di dahinya, Rad menembak akar cord tersebut dan Jotun itu menghilang menjadi serpihan cahaya. Memang bahaya kecil yang tak bisa diremehkan tadi sudah menghilang, namun begitu juga dengan si Topeng Setan yang tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur barusan. Dia sudah tidak terlihat lagi di mana-mana. Sebagai gantinya, seorang pria berambut biru muda tertawa di atap gedung sebelah. "Rad Locke, ya? Menarik. Memang benar kata beliau, untuk membunuhmu jangan menggunakan Jotun level rendah. Padahal kau cuma manusia biasa," kata pria berambut biru itu. Rad mengawasi orang itu, ciri-ciri fisiknya memang seperti bangsa magus, mereka memiliki rambut yang warnanya seperti warna rambut yang disemir, anggota tubuh mereka lebih panjang, terutama bagian tangan. Mereka juga memiliki sepasang telinga lancip. Pria ini, siapapun dia, adalah seorang magus. Namun Rad tidak ingat pernah melihat atau bertemu dengannya selama masih ada di Sekte Genesis lima tahun lalu. "Kau magus juga? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?" tanya Rad. "Mungkin karena aku bukan magus dari Kretelin & Herebov," jawab pria itu. "Oh ya, namaku Makoto, kau bisa memanggilku Mako." Lalu dia mengangkat tangannya dan tato Jotun lain di bagian tubuhnya yang lain menyala. Dengan suara gahar, pria itu berkata, "salam kenal, selamat tinggal!!" Suara tawanya mengawali kemunculan Jotun lain yang menyerupai naga api. Jotun itu menghalangi Rad yang hendak mengejar Makoto sehingga mau tidak mau dia harus meladeni si naga api. Prasangka Kalender menunjukkan tanggal 3 Mei 2419, pukul 21:00. Tiga hingga empat jam setelah naga api itu menghilang dengan sendirinya setelah memuntahkan nafas panas yang menyala mengenai tubuh Rad. Gamma segera datang untuk menyemburkan spray pembeku. Selalu efektif untuk meredakan luka bakar dalam sekejap. Setidaknya tujuh orang tewas terbunuh dalam insiden tersebut, tiga diantaranya tewas karena semburan naga api. Belasan luka-luka dan dibopong ke bangunan serupa teater bekas, itu markas mereka. "Rad, kau butuh perban lagi?" seru Gamma dari kejauhan lima meter, dia sedang membalut luka bakar yang dialami adiknya. "Cukup, tapi aku butuh spray pembeku bila ada yang tidak terpakai," sahut Rad. "Nih, tangkap!" Gamma melempar spray pembeku itu dan ditangkap dengan mudah. Ketika naga itu menyemburnya, Rad berpaling ke kiri dan bertiarap, api itu berhasil terhindari walau sempat menyambar bagian kiri badannya. Dari pinggang, bahu dan lengan atas bagian kiri semuanya melepuh oleh api panas, namun lengan bawah tempat dimana tato Jotun pemberian Leonard itu masih tersisa tanpa terkena sambaran api sedikitpun. Namun dia menggulungkan perban cukup tebal di sana dan berharap Jotun itu tidak menyala sendiri. Bila sampai ada yang menyadari dia memiliki Jotun di tangannya, tentunya mereka akan berpikir macam-macam dan mencurigainya. Rad mengocok-ngocok kaleng spray itu kemudian menyemprotkannya begitu saja di atas luka bakar yang sudah tertutup perban. Tentu saja sensasi dinginnya tidak tertahan oleh perban, malah justru terserap di kain itu. Celananya robek sedikit tadi, terbakar oleh api. Meski tidak terbakar sepenuhnya seperti jaket dan kaus yang dia gunakan, namun tetap saja celana itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Rad dipinjami celana sweatpants berwarna gelap oleh geng. Dia memeriksa pistol dua barrelnya, kelihatannya masih berfungsi dengan baik meski tadi sempat terpelanting ke atas permukaan lantai atap apartemen. Sesuatu menariknya untuk menoleh kepada Alpha. Rupanya dia sedang berbicara dengan Beta. Beta menunjukkan sesuatu di ponselnya dan mereka berdua kelihatan serius sekali mendiskusikan sesuatu. Ketika mata Alpha melirik sebentar kepadanya, Rad langsung punya firasat buruk. Dia segera memeriksa sekelilingnya, seisi ruangan di teater ini. Disadarinya sesuatu, korban luka-luka dibawa keluar satu persatu, hanya tersisa sebagian yang masih sehat. Ada Epsilon, Phi, dan Kappa di lantai dua, mereka mengawasi dengan bebas situasi di lantai satu--tempat dia berada saat ini. Kemudian Rad memperhatikan lagi situasi lantai satu, dia menyadari ada Mu, Theta dan Xi berjaga di sudut-sudut ruangan. Tiga orang yang berada di lantai dua itu semuanya sniper, sementara yang di lantai satu, Theta, adalah seorang pemburu hewan liar. Dia diburon karena penyelundupan hewan langka yang dilindungi. Dia sangat suka menggunakan senapan bius. Namun obat bius yang dia gunakan mampu untuk menidurkan seekor gajah, apabila peluru bius yang sama digunakan untuk manusia, siapapun dia bisa langsung mati karena overdosis. Perasaannya benar-benar tidak enak sekarang. Rad mengambil celananya yang sudah menjadi kain rombeng itu, lalu menggulungnya di tangan kiri, dia ikat menggunakan sisa kain kasa. Dengan begini, bila cahaya yang keluar dari Jotun itu muncul, kain yang tebal itu akan menahannya. Kemudian dia melompati bangku untuk mendekati Gamma yang masih mengobati Nu. "Eh, Just? Kenapa kau? Bikin kaget saja!" kata Gamma. "Tas pinggangku mana?" tanya Rad. Gamma memang bertindak seperti seorang petugas medis dalam geng, dan dia juga yang bertanggung jawab terhadap barang-barang bawaan teman-temannya yang dititipkan. Dia meraih tas pinggang itu di dasar tumpukan tas pinggang dan tas selempang milik teman-teman lainnya yang terluka. Rad merebut tas pinggang itu dan memasangnya. "Tangan kirimu kenapa?" Gamma menyadari kain celana yang digunakan untuk membungkus lengan kiri Rad. "Sakit," jawab Rad asal, dia sedang memeriksa barang-barang yang dia bawa di dalam tas pinggangnya. Sepertinya tidak ada yang hilang. "Sepertinya tadi tanganmu tidak terlalu parah terbakarnya," kata Gamma. Rad tidak tahu harus menjawab apa, namun untungnya sebelum dia sempat menjawab, Alpha sudah berjalan ke arahnya, diikuti Beta dan Sigma. Berusaha menyembunyikan rasa gugupnya, Rad memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam tas pinggang, hanya menyembunyikan sebuah tabung kecil seperti kapsul dengan satu tombol pada salah satu ujungnya. "Just," panggil Alpha. Rad menoleh kepadanya. "Just, apa benar yang tewas itu Komandan PUDF?" tanya Alpha. "Benar, Leonard Wyatt," jawab Rad. "Ini gawat.." gumam Alpha. "Sialan! Apa yang dia lakukan di sini?" "Kami teman lama, dia hanya liburan saja," jawab Rad. "Tapi dia terbunuh di sini, dan kau sadar apa risikonya untuk kita semua dengan kejadian ini?" tanya Alpha. Sekalipun mereka menyembunyikan kematian Komandan PUDF itu, namun pastinya PUDF akan menyadari orang penting mereka hilang. Leonard menggunakan helikopter PUDF, dan sudah pasti mereka bisa mendeteksi keberadaan helikopter itu, kemudian mengadakan investigasi di Armadillo. Dalam kondisi normal, negara lain butuh izin khusus untuk mengadakan investigasi di negara lainnya. Tim investigasi itu harus didampingi oleh tim investigasi lokal juga untuk mengawasi pergerakan mereka dan apa yang mereka lakukan selama berada di tanah orang. Biasanya pemerintah Armadillo (yang hampir dianggap tidak ada sama sekali) tidak memberikan izin karena seringkali tim investigasi negara asing itu malah terbunuh dan menimbulkan masalah yang lebih runyam di antara dua negara yang bersangkutan. Tapi berhubung ini Komandan Wyatt yang menghilang, pasti Armadillo juga tidak akan mempersulit izin investigasi tersebut. PUDF merupakan satuan agen militer yang bertugas untuk mengamankan semua negara di dunia, walau pada praktiknya, Plateland secara tidak langsung sering diklaim sebagai milik Liberta. Bila sampai mereka tahu Leonard Wyatt tewas di lautan Armadillo, sudah pasti ini akan membenarkan tindakan Liberta bila mereka memutuskan untuk menyerang Armadillo. Alasannya jelas: Leonard Wyatt pasti dibunuh oleh para buronan yang bersembunyi di Armadillo. "Ya, aku sadar," jawab Rad dengan bernada menyesal. "Kau tahu apa yang akan kita hadapi beberapa hari nanti, kan?" tanya Alpha. Invasi Liberta, Rad paham itu. Dia menganggukkan kepalanya. "Kalau kau paham, kenapa kau masih mau saja bertemu dengannya di sini, Just? Kenapa kalian tidak bertemu di luar Armadillo saja?" Beta menyahut. Berbeda dengan Alpha, dia tidak menyembunyikan rasa curiganya terhadap Rad. Beta membuat Rad menyadari sesuatu. Wanted Bros mencurigainya. Mereka pasti mengira bahwa ini akal-akalan PUDF untuk membuat kondisi dimana Armadillo yang semakin dipenuhi oleh buronan itu bisa diserang. Bisa jadi ini konspirasi pemerintah Libertina untuk menangkap para buronan mereka yang bersembunyi di Armadillo. Mudah saja untuk menyimpulkan bahwa Rad sengaja menjebak Wanted Bros ke dalam situasi ini, memanfaatkan kedekatan antara dirinya dengan Leonard Wyatt. "Whoa, tahan dulu. Kau mencurigaiku?" tanya Rad kepada Beta. "Kau ini kan punya otak, kenapa kau bisa melakukan kecerobohan seperti ini? Atau jangan-jangan kau sengaja melakukannya?" Beta masih menuding. "Aku bersumpah, aku tidak tahu. Sejujurnya, dia juga sering main ke Armadillo diam-diam dan selama ini tidak ada masalah." "Tapi ini kelewatan, masa orang sepertimu bisa lengah?" Rad menatap wajah Wanted Bros yang mengepungnya itu satu persatu, jelas sekali mereka tidak percaya kepadanya. Termasuk Alpha. "Aku tahu kenapa kalian curiga kepadaku, tapi coba dipikir saja. Kalau memang aku bekerja sama dengan mereka, kenapa monster itu berusaha membunuh dan menyerangku? Lihat, aku nyaris mati terpanggang tadi," kata Rad. "Itu biar kami percaya kau bukan mata-mata mereka saja. Kenyataannya tujuh orang mati, tapi kau selamat!" suara Beta meninggi, membuat kepala Alpha jadi pusing. "Sudah, sudah, diam! Biar aku saja yang bicara sekarang," Alpha lalu maju dan menatap Rad dengan dingin. "Just. Tadinya mereka mendesakku untuk langsung membunuhmu saja dan menyerahkanmu kepada Liberta sebagai permintaan maaf. Itu lebih mudah bagi kami untuk lolos dari risiko yang akan terjadi bila Liberta tahu Leonard Wyatt sudah mati. Tapi kau tahu? Aku menolak. Karena aku masih ingat tiga tahun lalu ketika kita semua baru terbentuk. Kau pernah nyaris mati setelah menahan peluru yang meluncur ke jantungku. Luka di bahu kirimu yang dalam itu selalu membuatku percaya kepadamu. Maka dari itu aku ingin kau tahu diri sedikit dan menyerahkan diri kepada mereka. Kau bilang saja bahwa kau yang membunuh Leonard Wyatt, agar kita semua selamat. Lebih baik satu orang mati daripada semuanya, kan?" kata Alpha. "Kau sudah gila?" sahut Rad, dia merasa marah mendengar itu. "Kalau kau percaya kepadaku, aku punya ide agar kita semua selamat. Tapi kau harus percaya kepadaku bahwa aku sama sekali tidak menjebak kalian!" "Kenyataannya kau menemui Wyatt di sini, bukan di negara lain!" Beta kembali buka mulut. "Oke, aku akui ini kesalahanku. Aku benar-benar lalai, harusnya aku lebih berhati-hati. Aku minta maaf, tapi saat ini kita harus saling percaya dan bekerja sama. Percayalah kepadaku, sebelum Liberta sadar apa yang terjadi kepada Wyatt, aku sudah akan menangkap Topeng Setan itu sehingga kita semua selamat," kata Rad. "Hei, pengkhianat!" Beta menyahut, "dulu kau kadet di PUDF, tapi akhirnya kau berpihak kepada Sekte Genesis dan berperang melawan PUDF. Teman-temanmu sendiri saja kau khianati, apalagi kami yang baru saling kenal selama tiga tahun?" Rad terpojok sekarang. Dia memang tidak pandai membujuk, tidak bisa bernegosiasi. Tepatnya tidak tahu apa yang harus dia katakan agar orang percaya kepadanya. Sekali saja orang menyinggung reputasi buruknya ketika perang genesis lima tahun lalu, Rad terbungkam. "Kamu pikir kami asal tuduh bahwa kamu mata-mata PUDF?" Beta lalu menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. Ada gambar seorang pemuda berambut pirang sedang berpelukan dengan seorang wanita. Rad membeku ketika melihat foto itu. "Ini aku dapat dua tahun lalu di daerah pegunungan Truves. Dua tahun lalu kamu tidak ada di Armadillo, kan? Alasannya ada bisnis angkutan ke luar negeri, tapi kamu tidak sadar kalau kita bertemu di Truves. Dan kamu pikir aku tidak tahu siapa cewek ini?" Beta tertawa. "Ini kepala intel PUDF, Hilda la Vida! Kalian mesra sekali, tadinya kufoto banyak buat jadi bahan tertawaan. Ternyata sekarang ada gunanya juga. Hahaha!" Suara tawa Beta terhenti saat Alpha mendorongnya mundur. Alpha tinggi besar berkulit hitam seperti beruang, dia sangat menyeramkan, dia bertanya kepada Rad, "kau bisa jelaskan itu? Kenapa kau berkencan dengan cewek PUDF?" Rad menggelengkan kepalanya. Situasinya sekarang benar-benar mendukung hipotesa bahwa dirinya mata-mata PUDF. "Bos, kau lihat saja fotonya bagaimana. Buram tidak jelas begitu. Orang di foto itu bisa saja siapapun asal punya rambut pirang." "Enak saja, sebentar aku cari wajah yang jelasnya!" Beta menswipe foto-foto itu satu demi satu, namun ketika menyadari bahwa dia sudah menghapus sebagian besar foto-foto itu karena storage nya menipis, Beta jadi kesal. "Aku tidak mungkin berkencan dengan orang PUDF, sementara orang PUDF itu sendiri juga tahu risikonya bila sampai ketahuan berkencan dengan seorang buronan mereka sendiri. Dia bisa dipecat. Ayolah, jangan berpikir buruk kepadaku, kita bisa selesaikan masalah ini. Intinya kita cuma butuh menangkap si Topeng Setan itu saja," kata Rad. "Lalu ini apa?" Alpha mengeluarkan secarik foto dari saku celananya. Rad mengambil foto itu dan saking kagetnya, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dalam foto itu ada dirinya berlumuran darah duduk di atas bangsal rumah sakit. Ada seorang wanita cantik dengan rambut pirang menggendong bayi yang baru saja lahir. Rad terlihat akan menyentuh kepala bayi itu dengan tangannya yang berlumuran darah, namun dia terlihat ragu. "Oh lihat," Alpha memperhatikan reaksi Rad dengan seksama. "Kau emosi, Just." Rad tidak tahu harus berkata apa sekarang. Tidak, dia bukan mata-mata PUDF, tapi bila dia mengakui bahwa dirinya berkencan dengan orang PUDF, sudah pasti para Wanted Bros tidak akan mau percaya kepadanya lagi. Bila dia sampai kehilangan Wanted Bros, maka berarti Rad benar-benar sendirian. Karena seluruh dunia setuju untuk menangkapnya, dan kini Armadillo juga ikutan. "Biar kujelaskan bagaimana aku bisa mendapat foto itu. Jadi sebenarnya adikku sempat main ke Armadillo, kan? Dia sempat melihatmu. Dia naksir padamu, tapi kau tidak pernah sadar. Dua bulan lalu dia menangani seorang pejabat PUDF yang akan melahirkan, dia orang penting di PUDF, Hilda la Vida. Yang mendampinginya adalah Leonard Wyatt. Tadinya adikku mengira mereka berdua terlibat affair rahasia, mengingat Leonard kan sudah punya istri. Tapi kemudian dia melihat kau menyusup masuk ke ruang Hilda beristirahat dengan berlumuran darah segar. Karena dia naksir padamu, dia tahu kamu siapa. Lalu dia ambil foto itu dan mengirimnya kepadaku sambil bertanya... kakak, ini temanmu si Just Diver itu, bukan? Aku periksa sebentar foto itu. Tadinya aku tidak percaya, tapi memang aku yakin betul itu kau. Tadinya aku tidak ambil pusing, sampai aku tahu kalau wanita ini orang PUDF. Ternyata benar ada kejadian seperti ini sekarang, kecurigaan kami selama ini benar," Alpha menjelaskan. Di akhir ucapannya, dia memutar wajahnya ke bawah sehingga tatapannya terlihat tajam menatap Rad penuh penilaian. Walau dia menjelaskannya dengan nada suara yang sabar, namun sesungguhnya ucapan dia membuat Rad merasa terpojok, tidak bisa kabur lagi kecuali melawan balik. "Maaf ya Rad Locke, kami harus melakukan ini. Lebih baik satu orang mati daripada semuanya hancur," kata Alpha sambil mengangguk kepada Theta. Theta yang sudah siap dengan peluru biusnya itu segera menembak Rad dari belakang. Bidikannya tepat sasaran, namun Rad sudah siap, dia membalikkan badannya sambil mengayunkan tangan kirinya yang sudah terbalut kain tebal. Peluru bius itu tertahan, namun ujungnya masih menembus sehingga menggores permukaan kulit tangan Rad. Rad menembak dengan cepat, tiga sniper di atas yang sedang menembakinya. Tembakannya sangat jitu sehingga langsung melumpuhkan ketiga sniper itu. Sambil menembak, Rad berlari untuk dapat menghindari peluru-peluru dari para sniper yang tersisa. Setelah ketiga sniper di lantai dua itu lumpuh, Rad menembak Theta, kali ini telinga Theta dibuatnya meledak. Alpha mengeluarkan pistol kembarnya, sama juga seperti pistol milik Rad, magnum .44 yang kejam. Rad tiarap di balik salah satu bangku teater, melindungi tubuhnya di balik kursi kayu berbusa. "Kau tembaki kami, Rad? Apa salah kami ha? Ini benar-benar membuktikan bahwa kamu pengkhianat! Harusnya kamu relakan saja dirimu untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah!" Alpha berseru kepadanya sambil menembaki kursi tempat Rad bersembunyi. Tentu saja kursi itu terpecah belah, serbuk-serbuk kayunya berterbangan. Namun tidak ada satu pelurupun yang sengaja diarahkan cukup rendah untuk melukai Rad. Agaknya Alpha tidak ingin membunuh Rad secara langsung. "Obat biusnya pasti sudah bekerja sekarang, Sigma, kau penggal saja kepalanya biar gampang diserahkan pada Liberta," perintah Alpha sambil mengisi ulang peluru-peluru pada kedua pistolnya. "Siap!" pemuda itu masih sekitar 17 tahun, namun dia memiliki tato Jotun pada salah satu pipinya. Jotun yang dimilikinya bukan berupa makhluk yang bisa dipanggil, namun memberinya kekuatan fisik di atas rata-rata. Pemuda itu melompat dan mendarat di dekat Rad yang mulai terkulai lemas oleh pengaruh obat bius itu. Untung sebelumnya, Rad masih menggenggam kapsul yang berasal dari tas pinggangnya. Kapsul itu harusnya tinggal dipencet saja sudah beres semua, namun pandangannya mengabur dan tubuhnya kesulitan menjalankan perintah dari otaknya. Sepertinya dosis bius yang digunakan oleh Theta bukan untuk dosis melumpuhkan gajah lagi, tapi untuk membunuh ikan paus! Bahkan sudah ditahan oleh lapisan kain yang tebal pun masih tembus dan terasa pengaruhnya. Rad bisa merasakan ada yang menadarat di sebelahnya. Kemudian dia merasakan sol sepatu seseorang menginjak kepalanya, berusaha untuk meratakan kepalanya di atas kursi seperti adonan pizza. "Rad Locke, kau ingat tidak, dulu kau menghancurkan Atlantris agar Sekte Genesis bisa bebas berkeliaran?" Sigma mengangkat pedang di tangannya tinggi-tinggi, siap untuk memancung kepala Rad. "Kau membunuh ratusan juta manusia Atlantris yang tinggal di sana. Tapi aku selamat! Aku lolos dari maut! Dan sekarang, aku akan membalaskan kematian umat manusia Atlantris yang tidak berdosa itu! Membunuhmu bukan sebuah dosa, melainkan tugas suci!" Sigma mengayunkan pedangnya untuk memenggal leher Rad. Namun, sebelum itu terjadi, Rad berhasil memaksakan jarinya untuk menekan kapsul di tangannya. "Ayo kita berantem dulu biar lebih seru, Sigma!" Rad menyeringai sementara sebilah pedang tajam jatuh ke lehernya. Drugged Breaston, 27 Agustus 2417 ; 11:10 pm ... Rad mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, sementara handuk yang lebih besar menutupi bagian bawah tubuhnya. Badannya segar dengan aroma harum anggur dari sabun di kamar mandi Hilda. Baru melangkah keluar dari kamar mandi, dia menyadari ada cahaya remang yang menyusup keluar dari celah pintu yang setengah terbuka di seberang koridor ruangan. Itu ruang laboratorium pribadi Hilda. Lampu yang menyala itu memberi tahunya bahwa Hilda sedang sibuk di sana. Tak ada salahnya mengecek sebentar, Rad menyusup masuk ke dalam laboratorium pribadi itu, menemukan Hilda sedang serius meracik sesuatu. Ada cawan petri yang penuh dengan cairan hijau gelap, kemudian cawan petri lain yang berisi serbuk kristal serupa garam dapur. Tapi Rad yakin itu bukan garam. Secangkir kopi diletakkan agak jauh dari tempat Hilda duduk menimbang serbuk putih dengan telaten, asapnya masih mengepul. "Kau minum kopi sambil meracik cairan kimia?" tanya Rad sambil masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Mereka tidak bereaksi terhadap kafein...semua larutan ini tidak lain merupakan ekstrak dari benda-benda ber-manna. Kau tahu manna, kan? Kekuatan dasar para Magus," selesai mengukur takaran, Hilda memasukkan serbuk-serbuk itu ke dalam tabung kecil serupa kapsul. Kemudian dia menutupnya dengan sesuatu yang punya tombol kecil. Tidak jauh di sebelahnya, di sisi yang berlawanan dengan secangkir kopi panas itu berada, beberapa butir kapsul tergeletak. Itu pasti yang sudah selesai dibungkus. Rad memungutnya dan memeriksanya. Ukurannya cukup nyaman digenggam di tangan, dan pada bagian bawah tabung ada lubang kecil. Rad kenal kapsul ini, ini benda yang digunakan Leonard saat mereka berduel dulu di Plateland. Sebelum duel berlangsung, Rad menyiapkan pistol dua barrelnya, sementara Leonard hanya mengambil kapsul ini dan ketika dia menekan tombolnya, ada selubung pelindung terbuat dari medan magnetis, tebak Rad. Ketika senjata Rad menghantam tubuh Leonard, muncul percikan listrik dan cahaya di tempat yang seharusnya terluka sehingga Leonard selamat. Karena tidak bisa dilukai, Leonard mengalahkan Rad. "Sampai sekarang aku tidak tahu banyak mengenai benda ini selain berfungsi sebagai selubung pelindung yang sempurna," Rad memutar kapsul tersebut. Mendadak saja tangan Hilda mendarat di tangan Rad lalu mendorongnya ke samping sehingga wanita itu bisa mendorong tubuh Rad dengan badannya, "kenapa? Merasa dicurangi?" Rad menyengir, "tidak ada yang curang dalam perang dan cinta." "Bijak kau sekarang," puji Hilda dengan nada meledek, kemudian dia mencium bibir Rad untuk beberapa saat. "Kau bisa kaya raya bila menjual formulanya kepada PUDF atau Libertina," Rad menyudahi ciuman mereka. Tangannya mengusap punggung Hilda yang beristirahat di pelukannya. "Dan membiarkan orang-orang korup itu menjadi kebal? Aku bertaruh kau harus menghancurkan lebih dari sekadar satelit bila itu terjadi," Hilda tertawa kecil. "Jadi, untuk apa kau membuat mereka lagi? Apa ada misi ke suatu tempat yang berbahaya?" tanya Rad. "Ini untukmu, bekalmu," jawabnya. "Sini aku ajarkan cara menggunakannya. Tidak sulit kok..." Tombol pada kapsul itu lebih dari sekadar tombol, pada permukaannya ada pendeteksi DNA. Informasi DNA yang tertangkap oleh sensor tersebut kemudian akan diberikan kepada partikel magnetis yang kemudian tersembur keluar melalui lubang kecil di bawah kapsul dan menyelubungi DNA orang yang telah terekam informasi genetiknya. Kecepatan partikel pelindung itu sepersekian detik, lebih cepat daripada sambaran pedang Sigma yang mengayun ke batang leher Rad. Sigma terkejut melihat sabetannya tidak membelah target, dia terus menekankan ayunannya, namun malah membuat Rad terbang beberapa meter menghancurkan formasi kursi teater yang dia tabrak. Debu naik ke udara, seperti kabut yang menutupi lantai, Sigma menggeram seperti serigala mengendus penyusup ketika menyadari tak ada luka secuilpun pada tubuh Rad. Termasuk ke dalam formula selubung pelindung itu, ada juga semacam drugs sejenis kafein, yang memaksa metabolisme tubuh penggunanya meninggkat berkali lipat, dan penawar racun yang mengeluarkan zat berbahaya yang memasuki tubuh menjadi bentuk uap yang keluar melalui pori-pori kulit. Tubuh Rad berasap, obat bius itu sudah menguap. Doping di dalamnya membuat kulitnya memerah. Seperti kerasukan, Rad menyeringai dan menerjang Sigma dengan tangan terkepal. Sigma kesulitan meladeni kecepatan pukulan Rad yang tidak hanya cepat, tapi juga penuh kekuatan. Ketika satu ayunan tinjunya mengenai bangku kayu di sebelah Sigma, bangku itu hancur seperti tertembak peluru dari pistolnya Alpha. "Apa yang terjadi? Kenapa dia jadi begini kuat?" Sigma tak habis pikir, dia mencoba memanfaatkan peluangnya untuk membelah bahu Rad, namun pedangnya menjadi retak. Sekali tinju saja, pedang itu kemudian terbelah dua dan belahannya itu terbang sampai menancap di balkon lantai dua. "Sigma, menunduk!" Beta sudah siap dengan AK-47 nya dan membombardir Rad dengan catridge 7.62x39 mm berkecepatan 715 m/s, namun tak ada satupun yang membuatnya berdarah. Rad mencengkram satu bangku kayu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah Beta. Lelaki itu berusaha menghindar, namun bangku terbang seberat kurang lebih 40 kg itu menghantam dan menindih pinggangnya. Beta menjerit kesakitan saat merasakan engsel kakinya bergeser. Mu dan Xi maju berbarengan dengan pedang golok di tangan, Rad menangkap pergelangan tangan Mu, sementara kaki kirinya berputar ke belakang dengan cepat menggampar pipi Xi. Kemudian dia mematahkan pergelangan tangan Mu agar mudah merebut goloknya dan langsung berputar untuk menyabetkan luka melintang di badan Sigma yang masih belum menyerah walau pedangnya sudah tinggal setengah. Rad menancapkan goloknya ke punggung Xi, kemudian mendaratkan sikutnya ke mulut Mu, mematahkan dua gigi depannya. Rad memanjat salah satu bangku, menatap Alpha. Kini dia setengah meter lebih tinggi dari Alpha, berdiri seperti dewa perang. Namun Alpha tidak kenal takut, sementara Rad menggebuki anak buahnya tadi, Alpha sibuk mengisi ulang peluru-peluru ke dalam pistolnya. Kini semua telah penuh, dia kembali menembaki Rad tanpa peduli pelurunya bisa melukai orang itu atau tidak. "Ini jawabanmu, Alpha, alias Monte Carlo? Kau memilih untuk mati!" mengabaikan magnum .44 yang beterbangan di udara, gagal untuk melecetkan kulitnya, Rad menerjang Alpha dengan lutut terayun menuju hidung Alpha. Lelaki itu lebih tanggap daripada anak buahnya, dia tahu menghindar adalah pilihan terbaik. Sambil berputar menghindar, dia masih membuang pelurunya berharap bisa merobek selubung pelindung yang menyelimuti Rad. "Selubung macam apa itu?" Alpha bertanya kepada dirinya sendiri. Rad kembali mengejarnya, Alpha memilih untuk menyarungkan kedua pistolnya dan memasang metal knuckle dengan belati kerambit pada ujungnya. Adu tinju di antara mereka tak terhindarkan, mereka saling serang sebanyak mempertahankan diri dari serangan lawan yang berbahaya. Andai tidak menggunakan selubung pelindung, Beberapa otot penting di tubuh Rad pasti sudah tersobek-sobek oleh kerambit Alpha. Pendek cerita, Rad berhasil memanjat ke punggung Alpha dan mencekiknya dari belakang, Alpha sadar bila dia tidak melepaskan diri, maka tulang-tulang lehernya akan diputar sampai saling terlepas. Alpha menyelipkan jari-jari tangannya di antara kedua lengan Rad yang sedang menjepit kepalanya. Setelah lehernya aman, dia menghantamkan punggung Rad ke sana ke mari, berharap hantamannya bisa membuat Rad lengah. Namun bukan itu yang membuat Rad mengendurkan cekikannya. Durasi kapsul itu sudah habis. Alpha mengklaim kembali dominasinya, lalu dia memberikan bantingan kuat ke lantai, dia sama sekali tidak mengurangi kekuatan bantingannya. Nyawanya telah diampuni dan kali ini dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menghancurkan kematian yang nyaris merenggutnya. Rad mendengar sesuatu meretak di bahu kirinya ketika tubuhnya menghantam lantai dengan kecepatan tinggi. Tanpa ampun, Alpha menginjak leher Rad dan mengatur nafasnya yang terengah. Sambil mengatur nafasnya kembali, dia mencabut salah satu pistolnya lalu tanpa banyak bicara, dia tarik pelatuk itu dengan laras pistol mengarah ke mata Rad. "Selamat tinggal, bro!" Alpha tidak membuang kesempatannya dan meremas pelatuk itu. Gerbang Semesta BAM!! Timah panas menggali tengkorak Alpha sampai tembus, memuncratkan darah dan sedikit serpihan otak ke lantai teater yang berdebu. Tubuh tinggi besarnya ambruk seperti boneka, darah menggenang keluar di bawah matanya yang terbelalak. Topeng Setan melempar pistol milik salah satu sniper Wanted Bros ke lantai, lalu melompat dari balkon lantai dua teater. Sambil berjalan menghampiri Rad Locke, dia mencabut sesuatu dari saku celananya. Seperti suntikan dan satu lagi sebuah botol kecil. Diisinya tabung suntikan itu dengan cairan dari botol kecil tersebut sekitar 30 ml. Dia berlutut di sebelah Rad yang sedang mengigau. "Tidak bisa, ... tidak bisa pulang. Reynold, ... tidak bisa pulang...," Rad mengigau berulang-ulang nyaris tak terdengar, bola matanya bergerak-gerak cepat seakan dia sedang bermimpi dengan mata terbuka. Kesadarannya berada di tempat lain, dia tidak sadar Topeng Setan telah menarik lengannya dan mencari pembuluh darah besar di siku dalam kemudian menyuntikkannya. "Kasihan sekali orang ini, sudah kena bius dosis tinggi, overdosis doping, dan sekarang disutik lagi olehmu, huhuhu..." Makoto membelai rambut birunya yang panjang ke belakang, sambil tertawa dia berjalan elegan mendekati Topeng Setan. "Biusnya sudah keluar semua, berkat obat dari kapsul yang dia tekan itu. Namun kelihatannya efek samping dari doping membuat otaknya tidak seimbang. Sekarang dia berada dalam halusinasi tinggi, mungkin dia bermimpi, mungkin dia mengkhayal,..." "Reynold ... kalau kau lambat, ... aku takkan menunggumu," Rad berbisik, seketika wajahnya memerah dan air mata mengalir keluar dari ujung matanya, sementara itu nafasnya menjadi semakin cepat seperti orang yang sedang berduka. "Mimpi buruk ya?" tanya Makoto. Topeng Setan sempat terdiam sebentar sementara tangannya tengah menyuntikkan penetralisir ke pembuluh darah Rad, "... ingatan lama." "Ingatan lama?" mendengar itu, Makoto bergegas mendekati Rad dan menyentuh lapisan kain tebal yang menutupi lengan kirinya, "di sini tatonya, kan?" Makoto melepas kain itu dan terlihatlah tato Jotun di lengan Rad menyala seperti neon. "Hei, ini tidak seperti yang kupikirkan, kan?" tanya si Topeng Setan. "Bila maksudmu Jotun Atlas terbangun, sayang sekali, ini seperti yang kau pikirkan. Apalagi kalau sampai dia terbenam dalam memori lama," sementara Makoto berbicara, cahaya di tato itu menyala semakin terang. "Kenapa bisa begini? Kalau begini, kita tidak bisa membuka pintu semesta dong?!" Topeng Setan terdengar panik dan marah. "Peluru bius tadi menancap tepat pada mata Jotun Atlas, itu sebabnya dia terbangun. Apalagi orang ini menggunakan doping tadi, si Jotun pasti merasakan energi kehidupan yang kuat, itu sebabnya dia terbangun," Makoto mencoba menjelaskan, dia melihat ada luka pada bagian mata tato itu akibat tusukan peluru bius yang menembus kain tebal. "Makoto, cepat tidurkan lagi! Kau harus menidurkannya lagi! Kalau sampai Atlas bangun dan berbicara dengan Rad, semua rencana kita bisa berantakan!" desak Topeng Setan. Sementara mereka berbicara, pintu teater terbuka lebar, didobrak dari luar. Rupanya kelompok Wanted Bros sejak tadi mendengar suara tembakan berulang-ulang. Ketika baku tembak berakhir, tidak ada seorangpun yang keluar, mereka menjadi cemas lalu memeriksa keadaan di dalam teater. Melihat ada dua orang yang tadi sore baku hantam dengan mereka, sekelompok buron itu langsung menduga bahwa Alpha dan lainnya telah dibunuh oleh Topeng Setan dan Makoto. "Mereka membunuh Alpha, bunuh mereka!!" seru seseorang dengan automatic rifle terselempang di badannya. Tanpa bicara banyak mereka langsung menghujani Topeng Setan dan Makoto dengan ribuan peluru. Makoto mengangkat kedua tangannya, dengan kekuatan sihirnya dia menciptakan lapisan pelindung untuk menghalau datangnya peluru ke arah mereka. "Hei, kau ingin kabur dari ruangan ini atau tidak sih?" "Mereka terlalu banyak..." Topeng Setan memandang sekeliling untuk mencari pintu keluar, namun para buronan itu berdatangan dari semua pintu menuju ruangan teater ini. Topeng Setan terpaksa menghunus goloknya lagi untuk meladeni mereka yang datang dari belakang. "Ya, mereka terlalu banyak, dan aku terlalu gengsi untuk dikeroyok mereka," Makoto lalu menyenandungkan sebuah lagu. Mendengar lagu itu, Topeng Setan terkejut, "Mako! Jangan!!" Namun Makoto tidak peduli, dia masih terus menyenandungkan lagu tersebut. Cahaya yang berkedip-kedip dari tato Jotun Atlas di tangan Rad akhirnya bersinar sangat terang sehingga muncul pilar cahaya yang sangat tebal menembus ke langit-langit teater dan melubanginya. "Reynold, maafkan aku. Maaf... maaf,..." Rad masih saja mengigau, tidak sadar ada sesosok monster berupa mulut raksasa keluar dari tato di lengannya. Monster itu berbentuk seperti bakso raksasa berwarna merah darah, pada bagian bawah tubuhnya ada seperti ekor yang menghubungkan "kepala" yang berbentuk bola itu dengan tato di lengan Rad. "Mako kau goblok!!" umpat Topeng Setan dengan marah. Para buronan sibuk tercengang menatap makhluk aneh yang mendadak muncul dari balik cahaya di tengah ruangan teater. Mereka jadi lupa pada Makoto dan Topeng Setan, berusaha mengira-ngira makhluk apa ini, dan apa yang akan dia lakukan terhadap mereka. Bakso raksasa berekor itu berguncang, perlahan ada celah terbuka di tengah-tengah bakso raksasa itu, seperti mulut. Semakin lama celah itu terbuka semakin lebar, seakan ada mulut yang sedang meraung dengan lolongan sedih. Udara bergejolak, mendadak terasa ada aliran angin yang semakin lama semakin kencang. Ketika mulut di bakso itu terbuka sangat lebar, sadarlah para buronan itu bahwa sebenarnya tidak ada angin yang berembus, namun mulut itu sedang menghisap. Debu, kotoran, kecoa, tikus, beterbangan masuk ke dalam mulut itu, Mulut yang bagian tengahnya terdapat cahaya spiral, seperti pintu gerbang menuju alam yang tak dikenal, atau mungkin alam baka. Lama kelamaan bangku-bangku kayu yang berat itu terangkat dan terbang masuk ke dalam mulut tersebut. Para buronan mencoba melarikan diri, namun mereka yang terlambat kabur tidak berdaya saat dirinya terhisap masuk ke dalam mulut bakso tersebut. Selama beberapa menit, mulut itu terbuka dan menghisap semuanya, akhirnya dia puas menelan, mulut itu tertutup kembali dan berubah menjadi cahaya, masuk lagi ke tato di tangan kiri Rad. Mata Rad berkedip, wajahnya yang pucat kembali memerah. Dia menoleh menatap sekitarnya, tidak bisa menjelaskan kenapa seisi ruangan teater jadi bersih. Bahkan mayat pun tidak ada. "Monte?!" Rad berseru memanggil Alpha. Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya ada ruangan kosong yang tak berdebu. Dia menengok lengan kirinya, cahaya masih menyala lemah di sana, namun perlahan meredup. Tadi nyawanya berada di ujung tanduk, dia bahkan kehilangan kontrol atas pikiran dan kesadarannya sendiri. Mendadak ketika dia terbangun, semuanya bersih. Rad bergidik sendiri, mencoba menebak apa yang telah terjadi. Intuisinya mengatakan, Jotun ini telah melakukan sesuatu, dia harus segera menemui Hilda. Anehnya, tubuhnya terasa ringan dan segar, sangat fit. Dia tidak terhuyung atau merasakan pusing, Rad bahkan bisa berlari keluar teater--dimana kedua pintu yang berat itu telah terhisap semua oleh Atlas--mencuri motor Gamma, lalu tancap gas meninggalkan teater itu. Di atap teater, dua orang lelaki mengawasi cahaya lampu motor yang dikendarai Rad berbelok ke sebuah gang dan menghilang. "Sekarang bagaimana ini? Atlas sudah bangun sebelum dia sampai di Azranda," Topeng Setan terdengar kesal. Makoto tertawa kecil, "huhuhu.... ini menarik sih. Aku tidak tahu apa yang terjadi bila kasusnya seperti ini. Tapi kalau mau dipikirkan, ya, untuk menggunakan kekuatan Atlas, kita harus membawa Atlas dan kurbannya ke altarnya di kuil saat si Jotun masih tidur, dengan begitu kita bisa menggunakan kekuatan Atlas tanpa menunggu persetujuannya. Tapi dengan dia terbangun begini, aku rasa kita butuh bekerja sama dengan Rad untuk ke Azranda lalu membujuk Atlas untuk mau bekerja sama dengan kita membuka gerbang semesta." "Bernegosiasi dengan Jotun hah? Aku merasa kita harus punya sesuatu yang dia inginkan. Apa yang diinginkan Jotun?" "Jujur saja, aku tidak tahu," Makoto mengibaskan rambutnya yang lembut itu ke udara dengan gemulai. Terdengar geraman kesal dari mulut Topeng Setan, dia menghunus pedangnya dan menodong Makoto di leher. Pria tinggi besar berambut biru itu melangkah mundur sambil tertawa tegang, "hey, kenapa kau?" "Kau benar-benar tidak bertanggung jawab! Kau yang membangunkan Atlas tanpa pikir panjang, sekarang rencana kita hancur berantakan dan temanku dalam bahaya! Sekarang kau sebut satu saja alasan kenapa aku tidak boleh merobek lehermu sampai kau tidak mampu tertawa lagi selamanya!" Topeng Setan mengamuk. "Wah, tunggu, tunggu! Jangan marah dong, sayang..." "Sayang kepala nenekmu! Aku serius!" "Oke, sabar, segala sesuatu itu punya solusinya. Sebentar kupikirkan ya... hmm ... Mungkin ..." Topeng Setan menyimak. ",... kalau Jotun itu sudah lepas kontrak dari Rad, dia akan tidur lagi. Kau tahu maksudnya kan?" Makoto mengedipkan salah satu matanya kepada Topeng Setan. "Ada cara lain tidak selain itu?" Makoto tertawa sinis, "kau tega menjadikan temanmu kurban, namun tidak tega membunuhnya?" "Aku tidak pernah berencana membunuhnya atau mengorbankan siapapun. Aku pilih dia karena aku percaya dia orang yang sanggup membantuku dalam hal ini...," jawab Topeng Setan, masih menodongkan ujung pedangnya di leher Makoto. "Aku hanya ingin Keita kembali ..." Makna Kenangan Seperti sudah tersurat, bensin habis tidak jauh dari tempat Barley tinggal. Rad tidak akan menyebutnya "rumah", karena terlalu berbeda dengan kondisi layak. Sebenarnya itu adalah kapal selam yang sudah tidak terpakai karena sudah bocor parah. Barley tidak suka dengan karat di permukannya, maka Rad merenovasi kapal selam itu bersama adik angkatnya, Sam. Bagian dalam kapal selam bekas itu dilapisi oleh triplek. Walau tidak indah, namun cukup layak pakai dan bisa membuat kebencian Barley menyurut kepada orang yang telah menenggelamkan kampung halamannya itu. Barley sedang menonton tv, duduk di sofa lapuk dengan secangkir teh hangat. Rokok sudah lama dia tinggalkan, sejak paru-parunya mengamuk membuatnya memuntahkan dahak merah. Ketika Rad datang, dia terlihat santai, tidak seperti tadi sore saat mengamuk sambil menodongkan pistol ke kepala siapapun yang tidak sepakat dengannya. "Akhirnya kau muncul juga," Barley hanya melirik sesaat kepada Rad sebelum kembali memperhatikan televisi tabung tiga meter di hadapannya. Rad berjalan sedikit lelah, wajahnya terlihat kusut dan rambut pirangnya acak-acakan. Tentu saja dia pucat, setelah apa yang dialaminya sejak sore tadi. Rad hanya menarik kursi lalu duduk di sana seperti karung beras yang digeletakkan; nyaris tak tampak energi kehidupan darinya. "Leonard sungguh meledak?" Barley memecah hening di antara mereka. Rad termangu. Lelaki ini masih saja keras kepala. Tapi ya sudahlah, orangnya sudah mati dan cepat atau lambat, semua orang akan tahu bahwa Alexis Sanchez memang adalah Leonard Wyatt. Rad hanya mengangguk lemah, kemudian dia bersin. "Ambil jaketku itu, kasihan sekali kau telanjang malam-malam," kata Barley sambil menunjuk deretan kemeja dan jaket yang sedang dijemur di dinding. Rad memungut kaus tipis warna putih yang sudah kering, kelihatannya masih baru, belum ada bau keringat Barley yang mengering di sana. Kemudian dia mengambil jaket kanvas warna hijau tua yang juga sedang dikeringkan, jaket itu juga kelihatannya masih baru. "Lima tahun lalu..." Barley mengambil nafas dalam-dalam. "Aku pikir dunia akan berakhir. Para Magus mengambil alih Plateland, dengan piring terbang itu, mereka berkeliling dunia dan menghancurkan Atlantris. Tapi televisi hanya menyebutkanmu. Kau terkenal sekali." Rad angkat bahu, tidak terlalu suka masa lalunya diungkit-ungkit. "Aku punya alasan." "Tapi tidak perlu sampai menghancurkan Atlantris." "Maaf." Rad menghela nafas, kemudian saat dia menatap Barley, sesuatu seperti mendesaknya untuk mengatakan kepada Barley apa yang terjadi. "Kampung halamanmu tercinta itu... lima pilar raksasa di tengah laut yang terhubung dengan daratan Armadillo. Di atas lima pilar raksasa itu berdiri metropolis semegah legenda menara Babel. Tapi tidak ada seorangpun yang tahu apa yang dikeluarkan lima pilar raksasa itu. Gelombang isochronic yang menghipnosis warganya setiap detik agar pemerintah mampu mengendalikan mereka. Dan kau tahu? Bahkan presiden Atlantris turut terkena hipnosis itu, jadi siapa yang mengendalikan mereka?" Barley berkedip-kedip beberapa saat, tidak berani menatap Rad. Dadanya mengembang, kemudian sambil mengembuskan nafas, dia berkata, "Liberta..." "Jadi, kau tahu?" "Ya. Aku tahu. Sejak Atlantris tenggelam, aku mengikuti setiap berita yang berhubungan denganmu, dan alasan kenapa kau menghancurkan lima pilar Atlantris. Aku sudah mendengar informasi itu tapi aku tidak bisa menerimanya..." "Kenapa?" "Karena bila aku menerimanya, aku harus memaafkanmu, lalu harus kukemanakan kesedihanku atas kematian keluarga besarku?" "... jadi, kau memilih untuk menyalahkanku karena kau merasa berduka?" "Ya. Aku rasa sebagian besar orang di dunia yang menginginkanmu diesekusi juga seperti aku. Mereka mungkin sudah tahu apa yang kau lakukan, tapi memilih untuk menyalahkanmu karena kita semua ..." Rad melanjutkan, "... kalian semua butuh martir." Barley menghela nafas. "Apa kau membenciku?" Rad angkat bahu, "untuk apa?" "Karena aku tahu apa yang kau lakukan tapi tetap menembakmu," kata Barley. "Aku paham penderitaanmu." kata Rad. "Karena aku juga seorang ayah." Barley hanya membalas dengan senyum lebar tanpa perlu menunjukkan gigi-giginya yang masih utuh. "Cucuku seumur kau, aku ingin tahu apa yang dia lakukan sekarang bila dia masih hidup," Barley menyesap teh hangatnya. "Setelah smartphone ku jatuh ke lubang toilet dulu, aku sudah tidak punya apapun lagi untuk melihat wajah keluargaku. Tak ada video, tak ada foto, tak ada rekaman suara, ... hanya kenangan tentang mereka saja yang tersisa, dan semakin berusaha kuulang kenangan-kenangan itu, semakin berubah bayangan mereka." "Berubah?" "Manusia punya daya imajinasi, dan kekuatan itu bisa meracuni kenangan. Kini apa yang kuingat dari Fred sudah kabur oleh imajinasiku tentangnya. Dalam bayanganku Fred punya hidung mancung, padahal hidungnya lebar. Sementara itu istriku jadi mirip Anastasia Iliana, padahal istriku kan jelek... Mengerti sekarang, bagaimana imajinasi bisa menghancurkan kenangan?" Sebenarnya Rad masih tidak mengerti, bukankah kenangan yang penting kejadiannya? Bagus dong kalau imajinasi membuat orang itu jadi semakin rupawan. "Kelihatannya kau tidak paham maksudku, ya?" Barley menggerak-gerakkan bibirnya yang berkeriput dengan titik-titik hitam. "Maaf, tapi aku senang istrimu jadi semakin cantik saat kau mengenangnya," jawab Rad, mencoba untuk tidak menyinggung perasaan orang tua itu. "Omong kosong!" gerutu Barley. "Aku tidak ingin menikah dengan Anastasia Iliana walau dadanya membelendung seperti balon udara dan kulitnya licin tidak berkeriput, aku sayang istriku dengan hidung lebarnya, dengan tubuh gemuknya. Aku tidak ingin artis manapun menggantikannya, ... oh... andai kenangan dalam kepalaku bisa terus abadi seperti video." Barley menundukkan kepala dengan sedih sambil mengusap kepalanya yang beruban. "Sedih mendengarnya." "Mau bagaimana lagi. Ini gara-gara Jim sialan membuatku kaget saat aku sedang buang air sehingga smartphone ku masuk jamban," Barley menghela nafas dalam-dalam, cukup membantu meredam kekesalan. "Barley, aku harus pergi," Rad membuka mulut. "Apa kau akan memancing besok sore?" tanya Barley. "Tidak," Rad menggelengkan kepalanya, "aku tidak bisa lagi tinggal di Armadillo." "Oh, ... ada apa?" "Leonard menitipkan sesuatu kepadaku, kalau terjadi sesuatu padanya, aku diincar orang yang membunuhnya. Aku harus tahu apa yang sedang kuhadapi." Barley menganggukkan kepalanya perlahan, kemudian dia memincingkan mata, seakan melihat sesuatu. "Rad," panggilnya saat Rad memegang knop pintu keluar. "Ya?" pemuda itu tidak jadi membuka pintu. "Apa benar kau berkencan dengan wanita PUDF itu?" Pertanyaan Barley membuat Rad jadi terguncang sedikit. Kok bisa orang tua ini tahu soal Hilda? Walau Rad percaya dan hormat kepada Barley, namun ada sesuatu yang lebih penting untuk dia jaga dan lindungi. "Jangan percaya gosip. Kalau aku berkencan dengannya, dia sudah dipecat, dan hidup dalam bahaya bersamaku," jawab Rad. "Oh," Barley terkulai lagi. "Ada lagi yang ingin kau katakan? Mungkin ini terakhir kalinya kau melihatku. Maksudku, aku tidak tahu siapa yang kuhadapi, mungkin aku tidak bisa pulang lagi ke Armadillo," kata Rad. "Aku hanya ingin bertanya... menurutmu, kalau misalnya otak kamu kena penyakit katakanlah tumor atau kanker... lalu dokter harus mengamputasinya, dan aku mendonorkan sebagian otakku untukmu.... menurutmu ketika kau bangun dari meja operasi, apakah kau akan menjadi kau dengan kemampuanku? atau kau jadi setengah aku karena ada sebagian isi kepalaku di dalam kepalamu sekarang? Menurutmu bagaimana?" Rad jadi tersenyum karena merasa lucu. "Kurasa aku akan memiliki kemampuanmu setelah operasi cangkok otak itu. Dan mungkin sebagian ingatanmu juga. Tergantung bagian otak mana yang kau beri untukku." "Kalau kau punya ingatanku, apa itu berarti kau menjadi diriku?" tanya Barley, wajahnya terlihat super serius. Bila dia sambil tertawa, Rad bisa mengajukan gurauan ini atau itu, tapi Barley tampak sangat serius. "Entahlah, mungkin. Mungkin akan ada dua kepribadian dalam diriku setelah itu. Kenapa kau bertanya soal otak?" tentu saja Rad merasa aneh, karena biasanya Barley mengutuk pemerintahan dan semakin merosotnya moral generasi modern dan bagaimana perkembangan jaman menghancurkan dunia. Tidak biasanya dia mempertanyakan hal-hal yang butuh dipikirkan berulang kali seperti ini. Barley menatap Rad tanpa berkedip, seakan dia melihat sesuatu di belakang Rad, bilapun ada sesuatu di belakang Rad, itu bukan sesuatu yang baik. Sejujurnya ini membuat Rad merasa tidak nyaman. "Sering-seringlah buat vlog. Upload di suatu tempat dimana bisa kau download saat ponselmu dicopet orang atau jatuh ke jamban. Kita tidak pernah tahu. Saat kau tua nanti dan satu persatu orang-orang meninggalkanmu, video bisa menyelamatkanmu dari kerinduan," kata Barley. "Ya, akan kuingat itu," Rad membuka pintu keluar lalu mengucapkan selamat tinggal. "Tolong kunci pintu gerbang nanti ya," kata Barley. "Ya, tentu." Rad memastikan pintu tertutup rapat dan pintu gerbang tergembok. Sementara dia berjalan pulang, Barley menutup matanya dan tertidur dalam damai. Rasa yang Terpendam Duduk di dalam Toyota Cressida milik Barley yang dipinjamnya, Rad terdiam sesaat. Dia harus menemui Hilda. Tahun lalu, ketika dia meninggalkan rumah kecil mereka di Breaston, Rad mengira itu terakhir kalinya dia akan melihat kekasihnya. Rupanya tidak bisa tidak, dia harus menemuinya lagi sekarang. Leonard selalu berada di antara mereka, sejak dahulu. Apa jangan-jangan ini semua akal-akalan Leonard agar dia bisa rujuk kembali dengan Hilda? Sejak kecil Hilda selalu menyukai Leonard dengan hidung mancungnya, dan sifat pemberaninya. Memang, Leonard sangat heroik sejak kecil, dia sangat pemberani, namun juga tidak pernah mencari perhatian orang lain. Rad sadar, Hilda selalu membicarakan Leonard. Leo ini lah, Leo itu lah, pokoknya laki-laki di dunia ini hanya ada satu, yaitu Leonard. Ketika mereka menjadi kadet PUDF, Hilda memberanikan diri untuk menunjukkan perasaannya. Mungkin karena mereka bertemu semakin banyak orang, dan tentunya wajah tampan Leonard memikat banyak perempuan sebaya mereka juga. Barangkali Hilda merasa cemburu karena Leonard memang sangat populer. Bagaimana tidak? Leonard tidak bisa dibully. Ketika ada senior yang sedang mencoba untuk mengintimidasinya, Leonard akan melawan sekuat tenaga, tidak peduli dia harus bonyok atau dilaporkan ke kepala sekolah, tidak ada yang bisa menakhlukkan Leonard. Bagaimana para perempuan tidak kelepek-kelepek kepadanya? Sementara itu Rad hanya seorang anak nakal penyendiri yang lebih suka kabur dari kelas dan merokok di dekat bandar udara, mengagumi setiap kapal udara yang ulang-alik di pelabuhan udara Plateland. Apalagi nilai Rad tidak bisa dibilang istimewa, dia memang malas belajar dan hanya mendapatkan nilai secukupnya saja untuk dapat naik kelas. Hilda pernah menegurnya, "kalau seperti ini terus, nanti kamu bisa dikeluarkan dari Plateland, kamu mau apa dengan hidup dan masa depanmu?" 15 Agustus 2403, Plateland .... "Aku ingin terbang," dengan kagum, Rad menatap satu kapal udara yang melesat dengan kecepatan penuh meninggalkan Plateland. "Untuk menjadi anggota maskapai udara di PUDF, kau perlu melewati pendidikan dasar dengan nilai yang bagus," kata Hilda. Rad menyengir dan tertawa, "siapapun bisa jadi perompak langit." "Kau mau jadi pelanggar hukum?" Hilda terdengar kesal karena Rad melawan terus setiap ucapannya. Namun omelan Hilda malah terdengar manis di telinga Rad, karena itu menunjukkan gadis itu peduli kepadanya, Rad suka itu. "Atau pemburu pelanggar hukum juga, freelancer," Rad sudah membayangkan masa depan tersebut di awang-awang. Dirinya nanti akan ke Armadillo dan membangun kapal udaranya sendiri dari nol. Kemudian dia akan merekrut kru terpercaya, tidak usah banyak-banyak, satu dua orang juga cukup. Kemudian setiap hari dia akan menerima order dari website pemburu buronan, berpetualang menangkap para penjahat. Hey, siapa bilang jadi pahlawan harus lulus pendidikan PUDF yang berbelit-belit itu, kan? "Ya sudah terserah kamu mau jadi apa, tapi... aku ingin tanya dan tolong kau jawab jujur, oke?" Rad akhirnya membalas tatapan Hilda, gadis itu terlihat serius saat mengatakan, "menurutmu Leonard suka hadiah apa untuk ulang tahunnya yang ke 13?" "Tanya sendiri ke dia, apa hubungannya denganku?" Hilda terlihat ragu dan tidak bisa menatap balik mata Rad, "hmm..." Rad dalam hati mengeluh. Kenapa sih perempuan selalu saja mengejar lelaki yang jelas-jelas tidak pernah memperdulikan dia? Tapi kasihan juga Hilda, dia sudah lama sekali mengharapkan Leonard, dia pasti senang sekali kalau Leonard akhirnya memandangnya tidak seperti saudara perempuan. Rad pun pergi meninggalkan Hilda. "Rad!" Panggil Hilda, "mau ke mana?" "Aku mau tanya dia mau apa untuk hadiah ulang tahun," baru bicara setengah kalimat, Hilda sudah buru-buru menahan Rad. "Eh jangan! Nanti ketahuan kalau kau bertanya untukku." "Memangnya kenapa?" "Hmm ..." Hilda seperti tidak tahu harus berkata apa, pada dasarnya dia merasa malu bila Leonard sampai tahu kalau dia sampai minta tolong Rad untuk mencari tahu apa yang dia inginkan. "Kita tebak saja," kata Hilda. "Mana bisa, sudah bilang saja hadiahnya dari kita berdua," "Enak saja! Aku ingin dia tahu hadiah ini dariku pribadi. Uang saku dari PUDF kusimpan untuk membelikan dia benda yang paling dia inginkan..." Rad merasakan telinganya panas mendengar itu dan kemudian berjuang keras untuk menyembunyikan rasa cemburunya. "Kalau kau tanya aku, aku rasa dia suka sekali mengoleksi kalung atau cincin dengan motif singa." "Oh iya kau benar! Dia suka sekali dengan singa! Terima kasih Rad!" Kedua bahu Rad jadi lemas menatap Hilda tidak sabar ingin menghabiskan uang hasil puasanya selama setahun itu untuk membelikan Leo sialan itu sesuatu. Tapi, itu lebih baik daripada melihat Hilda sedih. Ya, setidaknya gadis itu bahagia. Malam itu Leo yang populer merayakan hari ulang tahunnya yang ke 13 di alun-alun asrama PUDF. Ada yang bermain gitar, tapi suaranya tertelan oleh musik dari smartphone milik seseorang. Anak-anak berusia 13 tahun itu minum soft drink dan makan pop corn sambil bercanda gurau, mencoba untuk bersenang-senang di hari spesial Leonard. Rad tentu saja diundang oleh Leonard, tapi dia hanya berkata "ya, aku datang nanti", padahal dia memanjat atap asrama lalu menyendiri di atas sambil main game. Lumayan hasil menabung puasa selama setahun, bisa untuk beli ponsel murah untuk main game. Berhubung Rad kalah terus, jadi dia malas lanjut main game, dia menyelipkan ponselnya ke dalam saku celana dan berusaha meredam rasa kesal. Andai saja dia bisa beli ponsel yang lebih bagus, yang lebih mahal, pasti dia tidak akan menderita lagging dan tidak mati terus di awal ronde. Ketika itulah dia melihat ada bayangan dua orang anak sebayanya yang menyelinap ke atap asrama juga. Rad menoleh kepada mereka, ternyata itu Hilda dan Leo! Mereka berdua tidak melihat Rad yang kebetulan sedang bersandar di balik tangki air. Hilda berdiri memunggungi Rad, namun Rad bisa melihat wajah Leo dengan jelas. Leo terlihat gusar, seakan dia ingin meninggalkan tempat itu dan kembali ke bawah untuk bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Hilda menyerahkan seuntai kalung bermata kepala singa, kilauan kalung silver itu terlihat dari kejauhan. Pasti kalung yang cukup mahal. Leonard memang kelihatan seakan dia menyukai hadiahnya itu. Dia bahkan tersenyum dan tertawa, langsung menggunakan kalung itu. "Oke, setelah ini mungkin aku akan melompat langsung ke bawah sana biar aku tidak perlu melihat mereka berdua mesra-mesraan di sepanjang koridor, di kantin, atau di manapun," pikir Rad dalam hati, kemudian dia mengatur siasat untuk melarikan diri dari Plateland dan langsung menjadi bounty hunter. Namun kemudian terdengar suara pintu besi berdebam. Itu adalah pintu atap asrama. Loh, siapa yang marah? Kenapa pintunya dibanting? Spontan Rad menoleh kembali ke arah dua orang temannya itu dan melihat Leonard sudah tidak ada, hanya Hilda di sana, berdiri terpaku memungut kalung hadiahnya itu dari lantai. Loh, kenapa ini? Tadi Leo kelihatan suka, kenapa dia membuang kalung itu? Rad tidak melihat Hilda lagi selama beberapa hari. Sempat terpikir jangan-jangan Hilda bunuh diri karena ditolak. Soalnya apapun yang terjadi kemarin itu tampaknya tidak berakhir baik antara Hilda dan Leonard. Gara-gara ini, Rad tidak membolos lagi, karena dia ingin menunggu Hilda di kelas. Mereka sekelas di mata pelajaran geografi dan bahasa. Rad merasa lega saat melihat Hilda masih hadir di dalam kelas, namun gadis itu tidak bicara banyak, bahkan saat ada yang menghampirinya, mencoba untuk mengajak bicara, Hilda tidak merespon. Seakan dia ingin ditinggalkan sendirian. Tidak bisa tidak, Rad harus tahu apa yang terjadi kepadanya! Rad mengejar Hilda seusai kelas, namun Hilda berjalan semakin cepat saat mendengar suaranya. Rad tidak menyerah, dia terus mengejar sampai dia berhasil menangkap Hilda dan membuat gadis itu menjelaskan apa yang terjadi. Namun bukannya bicara, Hilda malah menangis lalu membenamkan wajahnya di bahu Rad. Air matanya merembes di jaket jersey Rad, dan dia mengangkat tangannya untuk merangkul Hilda penuh simpati. Dia menunggu sampai Hilda selesai menumpahkan sakit hatinya, baru kemudian mereka duduk berdua di atap yang lain--karena Hilda sekarang benci dengan atap asrama. Rupanya Hilda sudah mengatakan sejujurnya bahwa dia sudah lama menyukai Leonard dan ingin menjadi kekasihnya. Karena Hilda merasa cemburu ketika gadis lain mencoba mencari perhatian Leo. Namun bukan penolakan Leonard yang membuatnya sakit hati, tapi apa yang dikatakan Leonard. "Maaf aku tidak ada waktu untuk ini, kukira ada yang penting, gitu," katanya sambil melepas kembali kalung yang dihadiahkan kepadanya itu dan membuangnya ke lantai. Setelah itu dia meninggalkan atap asrama sambil membanting pintu. Rad tidak mampu mengendalikan kemarahan yang mendadak muncul dari dalam hatinya, dia langsung meninggalkan Hilda dan mencari-cari Leonard. Sepanjang koridor, dia menarik kerah baju siswa lain, tidak peduli senior atau junior, semua dia pendeliki sambil ditanyai apa mereka melihat Leonard dengan cara bicara seakan ingin membunuh orang. Ternyata saat itu Leonard sedang berenang dengan cewek-cewek, main polo air. Kebetulan bola yang sedang mereka pakai itu terbang ke luar kolam, Rad menginjaknya dan memberikan tatapan siap berkelahi dengan apapun. Ketika James akan mengambil bola itu, Rad memukulnya sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan kau ini?" tanya James dengan mata terbelalak, mengira apa Rad sudah sinting? "Kau mau bola ini? Ya? Kau mau ini?" Rad lalu mengambil bola itu dan menghantamkannya ke kepala James sekerasnya sampai bola itu terpantul kembali dan mendarat di tangan Rad. Keberanian James sudah surut, tergantikan rasa takut. "Kau suruh bajingan itu kemari! Aku mau dia yang ambil sendiri!" Maka Leonard keluar dari kolam dan berhadapan dengan Rad yang sedang marah. Memang Leonard terkenal jago berantem dan sangat gagah, tapi sebenarnya Rad lebih tinggi dan lebih besar darinya sedikit. "Kenapa kau marah-marah?" tanya Leonard, terlihat dia enggan mencari masalah dengan Rad, namun dia siap meladeni bila Rad menyerangnya. Rad tidak suka beradu kata-kata, maka dia langsung saja meluapkan kemarahannya itu. Dia menyerang muka Leonard dengan bola, Leonard sudah siap maka dia menangkis bola itu. Tapi dia tidak siap dengan serangan susulan dari Rad yang mendarat ke perutnya. Rasanya sesak nafas, Leonard terbungkuk setelah perutnya dipukul dengan sangat keras oleh Rad. Rad tidak memberi ampun dia memberikan lebih banyak pukulan ke kepala Leonard hingga akhirnya Leonard menangkap perut Rad dan mendorongnya sampai menabrak meja kolam. Meja kolam itu ambruk, menimpa kursi dan kedua bocah marah itu berguling-guling di lantai kolam saling tinju dan saling cekik. Sebelum salah satu di antara mereka saling bunuh, Hilda sudah datang bersama seorang guru dan akhirnya perkelahian itu berakhir di ruang konseling. Dua murid bonyok duduk di atas sofa, yang satu tidak mengerti kenapa dia dipukuli, yang lain masih bernafas cepat karena tidak mampu mengutarakan apa yang membuatnya marah. "Kenapa kalian berdua berkelahi?" Rad hanya melirik marah kepada Leonard sesaat, kemudian dia kembali menerawang ke luar jendela. "Leonard, kamu membuatnya marah?" "Aku tidak ada urusan dengannya. mengobrol saja tidak pernah," kata Leonard sambil mengusap hidungnya yang bengkak dengan tisu. Guru pembimbing itu menyerahkan tisu lain untuk Rad juga karena bibirnya berdarah, namun Rad menolaknya dengan memalingkan wajahnya ke tempat lain. "Leonard, aku tahu kamu anak baik dan suka menolong, tapi Rad," ketika guru pembimbing itu menyebut nama Rad, dia mengucapkannya tanpa rasa hormat. Seakan dia tahu bahwa Rad pasti suka mencari gara-gara, semua karena dia sering mendengar keluhan betapa bandelnya Rad, sering mengerjai murid lain dan kabur dari kelas. "kalau kau tidak katakan kenapa kau mencari masalah, aku bisa menulis surat kepada kepala sekolah untuk mengeluarkanmu dari PUDF!" "Tidak masalah," kata Rad dengan sepenuh hati. Namun Hilda yang sejak tadi diam itu segera berbicara, nyaris memotong ucapan Rad barusan, "jangan, ini cuma salah paham... Rad tidak salah apa-apa." Guru pembimbing memperhatikan tiga orang siswa remaja di hadapannya ini dan tidak sulit baginya untuk menarik kesimpulan; Rad suka pada Hilda dan mereka pacaran lalu Rad cemburu pada Leonard yang dekat dengan Hilda... tunggu, rasanya tidak mungkin gadis baik berprestasi seperti Hilda mau pacaran dengan bocah biang kerok seperti Rad. Pasti ini cinta sepihak. Ya, pasti. Rad suka Hilda, tapi Hilda suka pada Leonard, dan mungkin Leonard mencium Hilda sehingga Rad cemburu. Tapi kenapa Hilda membela Rad, ya? "Mungkin kau bisa cerita, Hilda?" Hilda menundukkan kepalanya, dia merasa malu untuk cerita. Leonard kemudian tertawa sambil menggelengkan kepalanya, Rad mendelik kepadanya tanpa mampu berkata apapun karena dia merasa malu. Leonard pasti sudah tahu apa yang dia rasakan kepada Hilda. Sekarang Rad terlihat tegang, dia bersiap untuk melompat menerjang Leo di seberang meja bila sampai dia menebak perasaannya terhadap Hilda! "Pak, ini memang salah saya kok. Rad dan Hilda tidak bersalah, aku memang pantas dipukul," kata Leonard dengan tulus. Tentu saja ini membuat Rad terkejut. Kok bisa dia bilang begitu setelah dipukuli? "Ceritanya bagaimana?" "Aku berhutang pada Hilda tapi tidak dibayar-bayar, itu sebabnya Rad marah padaku," Leonard kemudian menatap Hilda, "nanti aku bayar ya. Maaf, belum ada tabungan." "Tidak apa-apa," Hilda tertunduk. "Tuh, Rad, kau dengar?" Guru pembimbing itu tersenyum dengan sedemikian rupa sehingga membuat Rad jadi salah tingkah. Guru itu tahu bahwa dia suka pada Hilda! Rad seperti kebakaran jenggot lalu membenarkan posisi duduknya dan berkata, "bukan, ini tidak seperti yang kau pikir." "Oh ya? Aku pikir kau bisa kok jadi pahlawannya Hilda, tapi harus kendalikan impulsifmu itu ya," ledek guru pembimbing, disusul tawa Leonard yang tertahan, sementara itu Hilda seperti kebingungan kenapa Guru pembimbing mengira Rad suka kepadanya. "Aku tidak ingin jadi pahlawan siapapun, kau dengar aku?" ancam Rad dengan pipi yang memerah. Meninggalkan ruangan konseling, Hilda berkata kepada Rad dengan marah, "kamu memalukan!" Rad hanya bisa memberengut dengan sedih dan kecewa saat melihat Hilda meninggalkannya dengan marah. 3 Maret 2419, Armadillo ... "Kau selalu membelaku, Leo. Walau aku selalu mengkambing-hitamkanmu," Rad menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal untuk berkendara ke semenanjung kecil di Armadillo dekat pelabuhan, di sana ada mercusuar, tempat adik angkat dan pacarnya tinggal. Di perempatan, menanti lampu rambu lalu lintas berganti hijau, Rad melihat suara iring-iringan motor datang dari arah lain. Banyak sekali. Mereka membawa senjata amunisi sampai benda tajam berboncengan menuju satu arah. Firasat Rad langsung tidak enak, karena dia baru saja "membunuh" Alpha. Rad menabrak saja lampu merah dan mengebut pulang ke rumahnya sambil berharap para preman itu tidak sedang melaju ke sana. Rad, Yuki, and Sam Rad menginjak pedal gas kuat-kuat, sampai mobilnya nge-drift saat belok di tikungan tajam. Dia sengaja memotong jalan melalui gang sempit, bahkan memotong turunan taman untuk sampai di jalan seberang dan nyaris menabrak dua orang berandal yang sedang mengobrol di antara api unggun. Itu iring-iringan Wanted Bros, tidak salah lagi. Rad bisa membayangkan apa yang terjadi kepada ratusan buron dan pelarian itu setelah menyadari perkelahian telah terjadi di antara dirinya dan Alpha. Walau masih ada yang mengganggu Rad, ... kenapa ruangan itu kosong melompong, bahkan sedikit debu pun tak ada? Apa yang terjadi selama dia tidak sadarkan diri? Kesadaran terakhirnya adalah ketika dia menembak jatuh semua sniper yang dipasang Alpha di belakangnya dan di lantai dua ruangan teater. Setelah itu kepalanya terasa berat dan dia sadar obat bius dari peluru Theta telah menembus masuk ke dalam saluran pembuluh darahnya dan mulai bereaksi. Rad menyadari ada kapsul pelindung pemberian Hilda di tangan kirinya lalu mencoba mengaktifkannya. Namun ibu jarinya terlalu gemetar dan mati rasa sehingga dia harus berjuang untuk melakukannya. Setelah itu dia merasakan kaki Sigma di kepalanya dan berhasil menekan tombol di kapsul itu. Setelah itu darahnya memompa dengan sangat kencang, membuat dirinya bergerak sangat cepat. Obat adrenalin itu bercampur dengan antitoxin dan berhasil mengeluarkan racun bius dalam tubuhnya itu dalam bentuk uap air. Setelah itu dia ingat menghajar Sigma, Beta, dan lainnya. Rad ingat perkelahian dengan Alpha, namun saat efek obat pemicu adrenalin itu sudah habis, perlahan kepalanya terasa lemas seperti orang kehabisan darah. Kemudian dia tidak tahu apa yang dilakukan Alpha terhadapnya, hanya merasakan dirinya jatuh dengan kecepatan tinggi dan merasakan benturan yang luar biasa sakit pada bahunya. Rad memijit bahunya dan mencoba menggerakkannya. Dia merasa bingung kenapa tidak ada rasa sakit di sana. Padahal, dia yakin setidaknya dengan benturan sekeras itu, bahunya itu bisa mengalami dislokasi. Cahaya lampu dari mercusuar terlihat di kejauhan, Rad berharap Sam dan Yuki baik-baik saja. ======================================================== Dugaannya memang tidak salah saat itu pukul sepuluh malam lebih di Armadillo, kehidupan liar dimulai. Setan-setan menyeringai keluar dari persembunyian mereka. Ketika Atlas muncul, beberapa dari Wanted Bros itu sempat melarikan diri keluar ruangan teater dan selamat dari hisapan Atlas. Mereka melihat Alpha tewas dan terhisap masuk ke dalam sosok Jotun aneh yang muncul dari tangan Rad, mereka menyimpulkan bahwa Rad telah berkhianat terhadap mereka. Sadar tidak bisa mendekati Rad, mereka banting setir beranjak menuju mercusuar tempat Rad tinggal bersama adik-adiknya. Mereka mengambil senjata tajam atau benda apapun yang bisa digunakan untuk menyakiti orang lain, kemudian berboncengan mengebut ke mercusuar. Dendam harus dibalas! Tidak ada yang boleh macam-macam dengan Wanted Bros! Sedang polisi dan agen pemerintah saja bisa mereka keroyok lalu digantung di tengah kota, apalagi dua cecunguk seperti Sam dan Yuki, kan? Mereka parkir jauh di luar mercusuar, tertawa nyaring mencekam teredam oleh deburan air laut dari samudra Atlantris. Mercusuar itu terletak di semenanjung yang kerap kali dihantam air laut. Pada awalnya mercusuar itu dijaga oleh seorang lelaki, namun karena sudah berusia lanjut, dia berniat untuk menjual mercusuar itu. Leonard membeli mercusuar itu dan menjadikannya tempat tinggal untuk Yuki, Rad dan Sam. Tiga tahun lamanya mereka tinggal di sana, sambil menjalin hubungan baik dengan para buronan dan penjahat yang senasib dengan Rad. Awalnya mereka berdiri sendiri, namun kemudian Rad dan Monte berkenalan di turnamen basement. Monte kesal karena dia dikalahkan oleh Rad yang tinjunya keras sekali. ternyata Rad sebenarnya main curang dengan menyembunyikan brass knuckle di balik sarung tinjunya. Awalnya Monte yang memang sudah punya anak buah dan pengikut itu berniat untuk memberi Rad pelajaran, namun kemudian seorang bounty hunter mengganggu mereka dan berhasil menangkap Monte. Rad melihat kesempatan ini dan menolong Monte. Sejak itu Rad bergabung dalam lingkaran Monte dan mengajukan usul agar para buronan yang bersembunyi di Armadillo itu bersatu saja untuk saling melindungi. Monte menyukai ide itu dan terbentuklah Wanted Bros. Karena memang sudah terpandang, Monte akhirnya mengambil peran sebagai Alpha. Sepertinya kharisma Monte lebih besar daripada Rad yang pada tahun lalu lebih sibuk berada di luar Armadillo dan menemani Hilda. Bahkan Rad sempat berpikir untuk meninggalkan Armadillo dan hidup sebagai orang lain di Breaston. Namun sesuatu membuatnya sadar, bahwa hidup bersama Hilda adalah sebuah impian yang muluk. Realita terlalu kuat sehingga impian tersebut sulit tercapai. Rad memilih jalan mudah dan meninggalkan Hilda. Itulah sebabnya kenapa ketika Monte telah mati dimakan Jotun sekarang, para buronan lebih memilih untuk membela Monte. Sedikit yang mereka sadari, rupanya Yuki sudah melihat kedatangan mereka dari kejauhan. Gadis itu menatap para buronan dari atas mercusuar dengan dingin. Mata merahnya tak berkedip walau rambut peraknya berkibaran tertiup angin kencang. Peluh bergulir turun menelusuri pahatan tubuhnya yang berotot. Kebetulan, dia masih menggunakan sarung tangan tinju pada kedua kepalan tangannya, dan dia bosan memukuli samsak. Saatnya mencoba teknik baru yang dia dapatkan dari video tutorial di DVD. Belati ninja berputar di jari telunjuknya, kemudian dicengkram kuat oleh kedua tangannya, Yuki tidak sabar untuk meladeni para begundal itu. ===================================================================== Sebuah kapal selam berwarna kuning dan catnya telah luntur memudar muncul dari bawah air laut. Kapal selam itu tidak hanya muncul, melainkan juga naik ke dermaga landai. Kemudian badannya terbuka dan satu ongok mayat termuntahkan keluar dari dalam kapal selam. Baru saja Sam keluar dari kapal selam itu, ponselnya berbunyi. Itu panggilan dari Rad. "Ya, ya, sudah ketemu mayatnya. Seluruh tubuhnya hangus terbakar, tapi jelas itu Leonard," kata Sam dengan cepat, seakan dia tahu apa yang akan dikatakan Rad. "Sam, kau di mana?" suara Rad terdengar tegang. "Baru saja mendarat, Leonard sudah ketemu, aku bisa tidur sekarang ya? Aku lapar sekali!" pemuda itu melompat keluar dari kapal selamnya. "Tidak usah kamu di situ saja. Tunggu aku jemput Yuki, kita berdua akan segera ke tempatmu," nafas Rad terdengar berat kemudian dia berbelok dan menimbulkan suara ban berdecit. Kebetulan mobilnya menabrak pipa air dan suara benturannya sampai terdengar ke dalam sambungan telepon. "Kamu sedang apa bro?" mata biru pemuda itu menyipit curiga. "Jangan ke mana-mana dan sedia pistol di tanganmu. Bila ada Wanted Bros yang datang, tembak saja langsung sampai mati!" Rad menutup ponselnya dan kembali fokus kepada jalanan. "Hey apa maksudmu? Kalian bertengkar? Just?!" panggil Sam. Dia mencoba menghubungi Rad kembali namun teleponnya dimatikan. Parahnya, di Armadillo tidak ada internet. Sekalipun ada, para buronan itu tidak akan mau menggunakan Internet karena takut dilacak oleh agen pemerintah. Jaman sekarang, teknologi pendeteksi DNA sudah ada, setiap orang memuat informasi DNA dalam kartu tanda penduduk masing-masing. Bahkan membuat izin mengemudi pun menggunakan sampel DNA. Ini seperti kisah distopia dimana pemerintah mengatur penduduk sampai ke urusan pribadinya sekalipun. Sam menengok ongokan mayat itu. Semua rambutnya sudah habis terbakar, menyisakan wajah yang hangus terbakar. Ada bagian yang tidak terbakar, dan itu bagian mata kiri. Sam pernah bertemu dengan Leonard tiga tahun lalu ketika dirinya terdampar di sebuah pulau dan tidak memiliki ingatan apapun. Hanya seuntai kalung Jotun Atlas yang masih tersegel. Leonard mengambil kalung Jotun itu dan menyuruh Sam diam di Armadillo bersama Yuki. "Armadillo adalah tempat paling aman buatmu di dunia ini," itu kata Leonard pada waktu itu. Karena dia petinggi PUDF, Sam percaya saja. Berjongkok di sisi mayat itu, Sam mengajaknya bicara sambil memutar-mutar pistol kecil di tangannya, "aku tidak percaya orang sehebat kau akhirnya mati ditembak rudal begini, Leo. Apa bedanya kau dengan babi guling sekarang? Oh ya, kau terlalu matang." Bila Kau Lambat, Aku Takkan Kembali Untukmu Yuki tidak sempat menghitung berapa jumlah lelaki yang hendak mengeroyoknya. Dia tidak pernah suka dengan siapapun di Armadillo, tidak pernah. Bahkan Rad sekalipun tidak disukainya. Memang sudah jadi sifatnya untuk membatasi diri. Dulu dia hanya bicara dengan Rad dan Reynold, sekarang dia hanya bicara dengan Sam. Sekarang dia hanya menyukai Sam saja. Selain dari Sam, dia takkan ragu untuk menyakiti. Pria-pria bersenjata dengan tubuh bau alkohol dan jaket bau rokok itu jelas bukan tandingan Yuki. Mereka hanya punya modal kekejaman, nurani yang telah lama mereka matikan. Tapi Yuki pun begitu, sudah sejak lama dia memproklamirkan dirinya seorang psikopat karena sebuah quis di internet mengatakan demikian.... walau dia bukan orang yang sembarangan akan menghabiskan nyawa orang. Tidak sama sekali. Justru karena Yuki sadar dirinya seorang psikopat, dia menahan diri untuk tidak menghabisi nyawa orang lain, ataupun berkomunikasi dengan orang lain. Karena dia tidak mau masuk penjara, atau berurusan dengan rumah sakit jiwa dan psikiater. Mungkin? Namun di antara para begundal yang hendak menyiksanya itu, ada juga yang punya kesaktian. Beberapa di antara mereka ada yang menggunakan bom sihir yang menimbulkan kebakaran di dalam mercusuar setelah bom yang dilemparnya itu meleset dari kepala Yuki. Namun pelempar itu tidak sempat melanjutkan serangannya karena pisau ninja di tangan Yuki sudah terbenam setengah di antara matanya. Yuki masih harus meladeni begundal lain yang mengayunkan pemukul bisbol berbahan besi. Dengan tenang Yuki menghindari ayunan-ayunan kuat itu sehingga begundal itu malah membuat benjol kepala buron lain yang hendak menerkam Yuki dari titik butanya. "Ahay," kata begundal dengan pemukul bisbol tersebut, "selama ini selalu diam di dalam mercusuar seperti gadis perawan yang penurut, ternyata kamu singa buas." Dengan tubuh-tubuh tergeletak berlumur darah di sekitar mereka, sepertinya "binatang buas" masih terdengar jinak. "Tidak apa-apa," begundal itu menjilat bibirnya seperti orang bernafsu, "aku nafsu melihat cewek galak seperti kamu..." Baru selesai bicara, pisau ninja Yuki yang satu lagi sudah menembus lehernya. Setelah terbatuk darah dan mengeluarkan suara tercekik, begundal itu roboh ke tanah seperti boneka tak bernyawa. Yuki membiarkan pisau ninjanya yang terakhir itu menancap di dinding mercusuar karena api sudah melalap ruangan dan tampaknya tak terpadamkan lagi. Namun mendengar suara gaduh di bawah sana, Yuki sadar dirinya butuh senjata. Dia mengambil pemukul bisbol dengan darah segar itu dari tangan si begundal dan berderap menuju kaca mercusuar. "Itu dia ceweknya!" seru seorang begundal yang baru saja memasuki lantai tiga mercusuar setelah memanjat tangga spiral yang melelahkan. Namun Yuki sudah mengayunkan pemukul bisbol di tangannya dan memecahkan kaca jendela mercusuar lantai tiga itu. Dia melongok ke bawah, sedikit tidak yakin karena dia masih manusia biasa yang pastinya sadar kemungkinan selamat terjun dari ketinggian enam meter itu cukup kecil. Sesuatu menembus lengan Yuki, tajam dan panas. Namun suara desingan pistol yang meluncurkan peluru membuatnya sadar bahwa seseorang telah menembaknya dari belakang. Yuki melemparkan pemukul bisbol di tangannya dan mengenai ubun-ubun si penembak itu. Pistol di tangannya terlepas, masuk ke dalam lalapan api. Seseorang melemparkan jala ikan dan berhasil menjerat Yuki, kemudian orang lainnya menghantamkan pipa besi mengenai lengan Yuki yang sedang melindungi kepalanya. Karena begitu sakitnya, Yuki sampai tidak bisa merasakan jari-jari tangan kirinya. Jaring ikan yang menjeratnya ini benar-benar mengganggu mobilitasnya. Namun bukan itu saja kemampuan jaring ikan tersebut, rupanya itu jaring ikan yang sengaja dijadikan senjata, di dalam tali jaring itu dipasangi kawat sehingga mampu menghantarkan kejutan listrik yang menyiksa Yuki dengan tegangan setara dengan shock gun. "Kena kau sekarang!" para buronan itu tertawa puas. "Kebakaran besar nih, ayo seret dia ke markas saja lalu kita bersenang-senang!" kata seorang buron sambil menarik jaring ikan itu. Suara tembakan terdengar beberapa kali, dan seketika, suasana jadi sepi. Kini hanya ada suara kelebatan api dan gemeletak benda terbakar. Yuki mencoba melepaskan diri dari jaring ikan tersebut, namun seseorang melompat dan mendarat di dekatnya. Yuki berteriak-teriak marah bercampur frustrasi, memberontak mencoba menghajar siapapun yang mendarat itu, namun terdengar suara Rad, "ini aku! Tenang, ini aku!" Yuki masih terlihat marah, mata biru gelapnya mendelik tajam kepada Rad, walau dia sudah berhenti melawan. Yuki membiarkan Rad memotong jaring ikan yang menjeratnya itu dengan belati saku sampai dia terbebas. Rad memperhatikan kondisi api yang membakar mercusuar itu, ketika disadarinya api sudah mencapai dapur, dia mendorong Yuki keluar dari jendela yang bolong, Rad lalu menunjukkan bagaimana dia bisa sampai ke lantai tiga. rupanya dia memanjat melalui pipa saluran air dengan kemampuan parkournya itu. Yuki juga dulu pernah menjadi kadet di PUDF, dia juga mengikuti Rad, terkejut dia masih ingat dengan kemampuan parkour yang sudah lama tidak dilatihnya. Baru saja keluar jendela, ledakan terjadi, meletuskan semburan api keluar jendela. Bila Yuki lambat sedikit saja tadi, dia sudah terluka oleh serpihan kaca dan semburan api dari tabung gas yang meledak itu. Rad sampai di bawah duluan, berlari menuju dimana mobil Barley yang dipinjamnya itu diparkir. Namun berlari seorang diri membuat ususnya menggeliat. Rasanya ingin muntah. Berlari sendiri membuatnya mual. Maka Rad menunggu sampai Yuki sampai di bawah kemudian berlari bersama Yuki. "Ayo cepat!" desak Rad. Walau dia terlihat tidak sabar, namun Yuki terkejut melihat Rad mau menunggunya. Bahkan sampai mereka masuk ke dalam mobil, dan melihat Rad menunggunya masuk mobil baru tancap gas, Yuki jadi semakin tidak menyangka. "Kenapa kau memandangiku terus seperti itu? Kukira kau sudah tidak mau lagi bicara padaku," Rad injak gas dan dengan terburu-buru memutar balik mobilnya. Yuki masih tidak mengatakan apapun, namun dia berhenti memandangi Rad dengan terheran. Baru saja mereka berbelok, iring-iringan truk dan motor berdatangan. Itu adalah kepolisian Armadillo. "Semua negara mengincar kepalamu, sekarang semua buronan ingin membunuhmu, dan polisi Armadillo akhirnya bergerak untuk menangkapmu," kata Yuki, berpegangan pada dashboard mobil yang berguncang kuat saat Rad terpaksa harus mengebut menghindari polisi yang mengejarnya. "Akhirnya kau bicara padaku sejak tiga tahun terakhir ini, dan hal pertama yang kau ucapkan adalah berita yang tidak ingin kudengar?" gerutu Rad, walau dalam hati dia merasa senang akhirnya Yuki mau bicara dengannya lagi. Rad secepatnya banting setir karena dia harus memotong jalan masuk gang kecil untuk mengurangi kejaran polisi. "Itu bukan berita," kata Yuki, "itu pertanyaan." "Nanti kujelaskan di kapal selam," kata Rad. Baru saja keluar gang, ada mobil polisi yang berniat untuk menyerempetnya untuk melumpuhkan laju mobilnya. Namun Rad melihat sorot lampunya datang dan dia banting setir di waktu yang tepat sehingga meminimalisir benturan. Melaju di jalan lurus, Rad menyadari salah satu ban mobil Barley bocor. Dia menginjak rem hingga ngedrift, sehingga badan mobilnya menutupi seluruh jalan kecil yang sedang dilalui itu. "Ayo keluar!" Rad meninggalkan mobil, diikuti oleh Yuki. Tidak jauh dari sana ada sekelompok remaja sedang ngobrol sambil mabuk dan main sepeda. Rad mendorong salah satu remaja dengan sepeda BMX nya, dan menggoes sepeda itu. Yuki ikut merampas salah satu sepeda mereka dan mengejar Rad. Dengan mobil Barley yang berhenti melintang di tengah jalan dimana di tepi jalan ada pertokoan dengan trotoar yang kecil, maka mobil-mobil polisi itu terpaksa berhenti mengejar. Rad sadar dirinya belum aman dari kejaran polisi, maka dia tidak mengurangi laju kecepatan sepedanya dan tetap ngebut bersama Yuki yang setia mengikutinya. Hati Yuki seperti tertusuk. Dia ingat kembali ketika mereka masih 14-15 tahun, dia, Rad dan Reynold, bertiga mencari masalah lalu dikejar polisi dan kabur dengan cara mencuri sepeda. Akhirnya mereka tertangkap polisi dan ditebus oleh PUDF. Tentu saja mereka mengalami diskors serius, masih beruntung karena lolos dari drop out. Kini, Reynold seakan hadir di antara mereka, bayangannya sedang berlari di dekat Rad, kemudian menoleh kepadanya seperti nyata. Reynold tersenyum kepada Yuki. Yuki mampu mendengarnya berkata "ayo semangat, Yuki! Ini menyenangkan!" Mata Yuki terasa panas dan berair. Sekarang bukan waktunya untuk berimajinasi, Yuki! Yuki menggelengkan kepalanya dengan kuat, menghilangkan bayangan Reynold yang sedang berlari bersama mereka. Dengan setia dia mengikuti Rad. Saat sirene polisi kembali terdengar di kejauhan, menuju arah mereka, dermaga terlihat. Rad melompat melewati trotoar, terbang di udara, dia melepaskan sepeda BMX nya dan mendarat di pasir sambil berguling tepat di sisi seongok mayat seorang pria dengan jaket hitam terbakar yang menempel pada kulit tubuhnya. Rad seperti merinding melihat mayat terbakar itu sesaat. "Rad, apa kau punya waktu untuk menjelaskan ini semua?" tanya Sam. Ketika Yuki mendarat di sebelahnya, Sam secepatnya membantu Yuki untuk berdiri, "kau tidak apa-apa, Yuki?" Yuki menggenggam tangan Sam yang membatunya berdiri itu dan menganggukkan kepalanya. Respon yang dingin? Sebenarnya direspon saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa dari Yuki. "Ini Leonard?" tanya Rad sambil menunjuk mayat itu. "Iya, lihat saja kalungnya, sama, kan?" Sam menunjuk leher mayat itu, tampak ada kalung berukir kepala singa terbenam di dalam kulit yang terbakar. Itu liontin yang dulu diberikan oleh Hilda di atap asrama pria. "Ayo cepat kita melaut!" Rad bergegas masuk ke dalam kapal selam, Yuki mengikutinya tanpa banyak bertanya. "Mayatnya?" Sam menunjuk mayat itu dengan semua jarinya. "Tinggalkan! Biar polisi Armadillo mengurusnya!" Rad menghilang masuk ke dalam kapal selam. "Polisi?" Sam terbelalak, namun sirene polisi dari kejauhan membuatnya tidak punya pilihan selain masuk ke dalam kapal selam. Begitu dia tutup pintu kapal selam amfibi itu, Rad sudah menyalakan mesin dan merayapkan mesin itu masuk kembali ke dalam lautan. Ketika polisi tiba di dermaga, kapal selam itu sudah masuk ke dalam air dan berlayar menuju Breaston. Yuki dan Rad mengistirahatkan punggung mereka, bersandar pada kursi yang tersedia di ruangan sementara Sam memandangi kedua orang di depannya. Selama Sam hidup bersama dua orang ini, dia hafal mereka berdua sangat malas untuk menjelaskan sesuatu. Tapi dia benar-benar penasaran sekarang, kenapa Leonard mati? Kenapa polisi Armadillo yang biasanya cuek pada buronan itu kini mengejar mereka? Apakah mereka sekarang buronan semua? Bahkan Armadillo yang cuek hukum itu akhirnya mengejar mereka? "Jadi, apa kau akan menjelaskan situasi ini pada pria amnesia sepertiku?" Sam bertanya baik-baik. "Alpha... dia sudah tewas," Rad berusaha menjelaskan dari awal. "Jadi kita dikejar karena membunuh Alpha?" Rad menggelengkan kepala, "karena mereka mengira aku membunuh Leonard." "Memangnya siapa yang bunuh Leonard?" "Topeng Setan." "Siapa itu Topeng Setan? Kenapa setiap pertanyaan pasti dijawab dengan nama yang berbeda? Ada berapa orang yang terlibat dalam situasi ini sih?" "Itu bounty hunter elite, dia termasuk bounty hunter yang susah dihadapi karena punya keahlian beladiri atau punya ilmu sihir." "Kan buronan juga punya ilmu sihir," kata Sam. "Topeng Setan ini pernah mengejarku dulu sebelum aku dibawa Leonard ke Armadillo..." "Tunggu... bukankah kau sudah dari dulu di Armadillo?" Rad merasakan kepalanya pening. Kemarahannya meluap, seketika wajahnya jadi merah dan mendelik kepada Sam yang sejak tadi bertanya-tanya terus dan pertanyaannya membuatnya mengingat hal-hal yang tidak ingin diingatnya. Dengan suara membentak marah, Rad menjawab sedikit lebih panjang, "aku dulu kadet PUDF, aku bukan kakakmu, kau bukan anak Armadillo, kau bukan adikku, kau paham??! Semua yang kau dengar tentang jati dirimu dari Leonard itu bohong semua! Bohong!! Kau dengar aku? Jangan percaya Leonard! Dia penuh tipu muslihat dan manipulatif! Kau dibohongi Leonard!" Sam terkejut bukan main mendengarnya. Memang, dia tidak bisa mengingat kehidupannya lebih dari 3 tahun lalu, ketika dirinya membuka mata di sebuah pantai sepi dan ditemukan Leonard. Saat itu Leonard mengatakan bahwa dirinya adalah adik Radjust Diver, bernama Samuel Diver yang terhempas badai dan terdampar lalu kehilangan ingatan. Sementara Sam terdiam, Rad menyadari sesuatu. Ingatannya mengenai Topeng Setan itu membuatnya kembali teringat kepada dirinya setelah perang Magus berakhir. Dia hidup sebagai buronan, kemudian datanglah Reynold untuk menjemputnya dan membawanya pulang ke Armadillo dimana Yuki telah menunggu mereka berdua. Namun di tengah perjalanan menuju Armadillo, sesuatu terjadi... Topeng Setan mengejar mereka, dan ... "Reynold!!" Rad meninggalkan kursi kemudi seperti lari dikejar setan. Dia bergegas menuju pintu keluar kapal selam dan menggunakan pakaian selamnya. "Kau mau ke mana? Jangan gila!" Yuki menegurnya sambil berdiri dari tempat duduknya. "Reynold ketinggalan! Aku harus kembali, apapun yang terjadi! Kalian berdua diam saja di kapal selam ini, setelah sampai di Breaston, kalian cari Hilda dan ceritakan apa yang terjadi. Hilda tidak akan menyerahkan kalian kepada polisi. Aku harus kembali ke mercusuar, aku harus kembali untuk Reynold!" Rad hampir selesai menggunakan pakaian selamnya, namun tangan Yuki menahannya pergi. Yang membuat Rad tertahan bukan sentuhan Yuki, namun sesuatu di tangan Yuki. Ada sepasang dog-tag dengan nama Reynold Huey. "Reynold juga penting buatku, melihat mereka datang, aku tahu aku harus meninggalkan mercusuar, maka aku bawa barang yang penting saja bersamaku, berharap bisa selamat menembus kepungan mereka. Kalau dia sangat penting buatmu, ambil saja, tapi sudah jangan kembali lagi ke Armadillo. Kita di tengah laut sekarang, gendang telingamu bisa pecah," kata Yuki. Rad mengambil dog tag milik Reynold, kemudian dia berjalan sampai ke sudut ruangan kecil dalam kapal selam mereka itu, sudut yang gelap dan dingin. Dia duduk berjongkok, bersandar di sudut gelap itu sambil mengusap dog tag milik Reynold. "Kalau kau punya ingatanku, apa itu berarti kau menjadi diriku?" tanya Barley beberapa jam yang lalu. Bila dia tidak ingat apa yang terjadi pada Reynold, apakah Rad adalah Rad? Apakah dia tidak akan menunggu Yuki dan meninggalkannya karena lambat? Namun, Sam tidak pernah ingat siapa dirinya lebih dari tiga tahun lalu, apakah itu membuatnya bukan anak dari wanita yang melahirkannya? Rad mengalungkan dog-tag itu di lehernya dan meringkuk di sudut gelap ruangan kapal selam. Kepalanya dia hadapkan ke tembok, enggan menatap siapapun. Rad memejamkan matanya dan bernafas lambat, mereka mengira dia telah tertidur. The Generous Bastard 26 November 2416, Dorian ... Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam melompati comberan, tergesa-gesa dia berlari. Dia menyembunyikan sosoknya dalam trench coat panjang dan topi baseball. Terutama bila ada polisi di dekatnya, pasti dia menundukkan kepala, berpura-pura seakan dia sedang terburu-buru menuju suatu tempat. Saat itu musim hujan, katak di tepi comberan berdengkung santai mencari rekan kawin. Lelaki tinggi besar itu menahan langkah kakinya yang nyaris mendarat di atas seekor katak. "Eits! Hampir saja," lelaki itu tertawa kecil, kemudian mengawasi langkahnya agar tidak menyakiti seekor katakpun di tepi comberan itu. Musim hujan di Dorian ini, katak merajalela, terutama di daerah di tepi kolam dalam taman kota. Setelah melewati kawasan taman kota, katak-katak itu mulai jarang terlihat, lelaki tinggi besar dengan wajah keras itu bisa kembali berjalan normal. Dorian memang indah, rata-rata penduduknya hidup makmur, dan jalanan kota dipenuhi grafiti seni. Di kota ini jadi pengamen pun bisa hidup layak, namun masih saja ada beberapa orang hidup miskin. Masih saja ada seorang ibu pengemis yang sedang memeluk anaknya yang menangis tersedu-sedu karena kelaparan dan kedinginan. Tangis mereka terhela saat lelaki itu lewat. Lelaki itu jadi kesal karena sejak kemarin dirinya memang selalu dipandangi lekat-lekat oleh masyarakat Dorian karena kulitnya yang gelap, "kenapa kalian? Tidak pernah melihat lelaki berkulit gelap seumur hidup?" Bocah itu sepertinya baru berusia tujuh tahun, dia terkejut mendengar suara lelaki itu yang ternyata cukup keras dan serak. Seperti suara penjahat yang mengerikan. Dia membenamkan wajahnya di bahu ibunya. Si ibu kemudian memohon, "maafkan kami, kami bukan memandang warna kulit anda. Anakku kelaparan sejak kemarin belum makan. Kebetulan... anda bawa makanan jadi... maaf ya... maaf. Tidak ada maksud untuk menyinggung perasaan anda... maafkan kami." Lelaki itu jadi merasa tidak tega. Dia teringat lagi kehidupannya sebelum menjadi kadet junior PUDF. ibunya jatuh miskin karena ayah masuk penjara. Uang habis untuk naik banding di pengadilan namun hakim terus bersikeras bahwa Tuan Franklin Huey terbukti bersalah karena membunuh enam orang polisi. Lelaki itu tahu rasanya tidak makan dua hari, melihat ibu dan anak itu dia jadi ingat akan dirinya dan ibunya dulu. Saat itu dia hanya berpikir untuk melakukan apa agar ibunya bisa makan dan mereka tidak kelaparan. Ternyata ibunya malah menandatangani surat persetujuan untuk mengizinkan anaknya diadopsi oleh PUDF. Sejak itu lelaki itu tidak pernah lagi melihat ibunya. Mencaripun percuma karena tidak ada yang tahu. Lelaki itu memberikan satu dari dua nasi bungkus yang dibawanya. "Maaf, aku cuma bisa memberimu ini," katanya dengan tulus, dalam hati dia sungguh berharap bisa memberi lebih, tapi dia harus menabung sisa uang yang di hasilkannya hari ini. Sedikit lagi mereka bisa punya cukup uang untuk beli kapal boat untuk berlayar ke Armadillo, dan Rad akan terbebas dari kejaran hukum. Ibu dan anak gelandangan itu saling tatap sebelum menerima nasi bungkus itu, lelaki itu memaksa, "ayo ambillah." Menangis terharu, ibu itu menerima nasi bungkus. Wajahnya sebenarnya cantik, apalagi kalau tidak kumel dan kucel oleh daki dan debu jalanan. "Terima kasih, pak. Tuhan memberkati anda." Oh ternyata orang religius, lelaki itu sedikit kecewa dalam hatinya. Orang religius punya vibrasi yang tidak terlalu enak. Mereka seakan hidup dalam dunianya sendiri, tidak membaur bersama realita yang ada. Tapi rasa kasihan melebihi rasa kecewa, lelaki itu hanya mengangguk dan merasa lega karena ibu dan anak itu tidak akan terlalu kelaparan malam ini. Biar nanti dia bagi dua saja jatahnya, makan sepiring berdua dengan Rad. Melanjutkan langkahnya, matanya terpaku saat melewati tempat minum bir yang remang-remang. Pasti nyaman sekali kalau minum segelas saja sekarang, apalagi dia habis pulang kerja memperbaiki jalanan yang rusak 2 kilometer dari tempat dia menginap di Dorian. Tapi ditahannya keinginan itu, dia memejamkan matanya sampai bar itu lewat, kemudian dia tersenyum lebar karena berhasil menang melawan dirinya sendiri. Uang yang dia dapatkan hari ini tidak seberapa, dirinya harus menabung banyak agar mereka berdua bisa menyeberang sampai ke Armadillo dengan cara menyamar sebagai dua orang pemuda yang ingin mengubah nasib dengan menjadi penyelam di sana. Uang yang dia dapatkan dalam sehari hanya cukup untuk membeli makan dua kali, itu berarti makan baginya dan bagi Rad. Bila dia beli satu porsi, Rad akan berpura-pura tidak lapar lalu diam-diam dia akan mencari pekerjaan untuk membantunya. Sebenarnya Rad sempat mengusulkan untuk mencuri kapal saja, tapi tentunya itu sangat berisiko sehingga Reynold bersikeras untuk menolak usulan tersebut. Rad tidak boleh keluar dari persembunyian. Dunia menginginkan kepalanya. Dia sudah mengubah penampilannya berkali-kali namun sepertinya orang-orang akan menemukan cara untuk membongkar kedoknya. Sudah berulang kali Rad luput dari kematian, dikejar-kejar polisi sekaligus bounty hunter. Pernah dia nyaris mati setelah ledakan di pom bensin, kemudian hampir saja dia mati tenggelam oleh air toilet setelah berkelahi dengan seorang bounty hunter. Apalagi di Dorian ini warganya mayoritas taat hukum, Rad sudah kehilangan rasa percaya diri untuk menyamar. Semua ini gara-gara keputusan Rad untuk ikut campur dalam perang Oro Marbolo. Gara-gara terlibat dalam peperangan itu, dia terlibat dalam gerakan pemberontakan para magus. Gara-gara itu, Rad mengetahui rahasia kebohongan besar yang selama ini dilakukan oleh Liberta terhadap dunia. Gara-gara itu Rad menghancurkan satelit yang setiap harinya mengatur manusia yang terhipnotis di permukaan planet Bumi. Tunggu dulu, bukan Bumi, itu yang mereka ingin percaya, mereka ingin manusia di planet ini percaya bahwa ini adalah Bumi, tempat para leluhur dikuburkan. Rad membongkar itu semua dan sejak itu tidak ada lagi yang menyebut planet ini Bumi. Ini adalah Soleira. Ya, itu nama yang benar. Walau begitu entah bagaimana caranya, Rad yang seharusnya menjadi pahlawan, kini malah diburon. Lelaki berkulit gelap itu menggelengkan kepalanya setiap kali memikirkan hal tersebut. Rad bukan orang jahat, dia tahu itu. Dulu saat dia masih kadet di PUDF, semua orang membully-nya. Semua karena tubuhnya gemuk, kulitnya hitam, wajahnya tidak tampan, dan ayahnya diesekusi sebagai penjahat. Ditambah dirinya tidak tahu apa yang harus dilakukan menghadapi para bully. Apakah dia harus membalas? Tapi bukankah memukul itu salah? Apa dia harus diam saja dan berharap mereka pasti akan cape sendiri membullynya lalu pergi? Rad-lah yang mengajarinya untuk membalas. Tentu saja Rad yang kasar itu menghasutnya dengan kata makian seperti, "kamu bodoh atau goblok? Kalau orang menindasmu, menginjak-injakmu, kamu harus membalas!!" "Tapi, mereka benar," dia ingat apa yang dia katakan saat itu. "Ayahku seorang buronan, dia manusia yang buruk karena Liberta sampai mengesekusinya di tengah publik...." "Memangnya kau ini ayahmu? Ayahmu Franklin itu, kan? Yang membunuhi polisi korup dengan cara radikal? Kau membunuh polisi korup juga atau tidak?" Rad membantunya berpikir dengan nada suara keras. "Kalau kau tidak melakukan dosa yang sama, kau harus membela dirimu, kau tidak salah. Bapakmu ya bapakmu, kamu ya kamu. Mengerti, pengecut?!" Lelaki itu tersenyum sendiri mengenang masa-masa di PUDF dulu saat dia pertama kali bertemu Rad. Baginya, seburuk apapun orang pikir tentang Rad, dia tidak akan pernah lupa bahwa Rad selalu ada untuk membelanya. Rad selalu ada untuk menyemangatinya, membangkitkan jiwa perlawanannya sampai akhirnya dia berhasil melawan balik saat para bully itu datang kembali. Awalnya memang kalah, tapi akhirnya dia berhasil membela diri dan para bully itu jadi malas meladeninya. Untuk itulah dia rela melakukan apapun untuk Rad. Biar dia yang cape kerja seharian dan Rad hanya diam di dalam persembunyiannya, sebuah bangunan terbengkalai yang belum selesai dibangun. Rad diam dalam kegelapan, mengisi waktu dengan berolahraga. Tidak ada akses internet namun Rad berhasil meretas kode password wifi terdekat dan menonton tv dari smartphone. Entah dari mana dia mendapatkan smartphone itu, paling dia mencopetnya dari seseorang. Dia sedang menonton tutorial beladiri saat Reynold masuk ke dalam ruangan kosong berdebu itu. Karena tidak banyak benda di ruangan luas itu, lelaki berkulit gelap itu langsung melihat temannya baru saja menghabiskan seongok nasi bungkus. "Rad, kau beli makan?" lelaki itu berharap Rad mengikuti sarannya untuk tetap diam di dalam bangunan terbengkalai dan menyerahkan semua kepadanya. "Ada bocah tadi, beli nasi bungkus. Bocah pengemis. Dia hampir mencopetku kemarin jadi kurampas saja makanannya," kata Rad tanpa memalingkan pandangannya dari smartphone. Dia sedang memperhatikan cara melepaskan diri dari cekikan kunci. "Bocah pengemis? Apakah dia punya mata sipit dan menggunakan topi yang sudah berlubang-lubang?" dalam hatI dia berharap Rad menjawab "bukan". Rad memalingkan tatapannya dari smartphone lalu menatap lelaki itu, dia menjawab dengan nada menantang berkelahi, "ya, itu bocahnya. Kenapa? Kau mau menguliahiku bahwa itu salah? Lebih baik kau simpan nafasmu, Rey. Kita berdua berbeda. Aku tidak tahu apa yang kau pelajari mengenai kehidupan sampai saat ini, tapi aku, aku belajar bahwa mau berbuat baik sebaik apapun terhadap orang lain, pada akhirnya orang lain hanya peduli pada diri mereka sendiri. Kebaikan itu omong kosong, dan tidak akan ada yang bisa mengubah prinsip itu dalam diriku. Tidak pula kau. Jadi lebih baik simpan saja nafas dan energimu, kau makan saja makanan itu sendiri, aku sudah kenyang." Reynold menahan semua yang hendak dikatakannya ketika tahu Rad yang membuat ibu dan anak tadi menangis. Dia tidak mau melawan Rad. Dia percaya Rad bukan orang jahat, dia masih percaya itu. "Baiklah. Kapan sih kau salah, Rad?" Reynold lalu mencari tempat di tepian, dimana dia bisa duduk memandangi kota Dorian yang gemerlap di malam hari. Kemudian dia makan lahap sekali. Baru setelah makan, dia menyadari betapa kosong perutnya. Setelah makanan-makanan itu mengisi lambung dan ususnya, mata Reynold seakan terbuka lebar, dia mampu mendengar lebih jelas, melihat lebih cerah. Nikmat sekali bila makan di saat perut benar-benar kelaparan. Setelah kenyang, Reynold membuka smartphone murahnya. Tidak ada internet. Reynold terlalu bodoh untuk meretas password wifi orang dan terlalu berhati-hati karena sadar bila sampai pemerintah mendeteksi alamat IP nya, Rad berada dalam masalah. Dia membuka smartphone itu untuk menonton rekaman video. Seorang pria berkulit gelap dengan rambut memutih terlihat di video itu. Wajahnya mirip Reynold, namun lebih tua dan lebih serius. Dia menggunakan pakaian jumper oranye, tanda bahwa dia seorang tahanan. Lelaki itu memaksakan diri tersenyum kepada kamera lalu berkata, "Reynold, anakku, bila kau menonton video ini, berarti aku gagal melarikan diri dari penjara dan sudah mati dibunuh pemerintah. Aku ingin kau tahu...apapun yang kau dengar tentang diriku, ... aku tetap sayang kamu dan ibumu. Aku melakukan ini semua demi kalian...." Sejak Leonard menjadi komandan besar di PUDF, dia memiliki akses terhadap dokumen rahasia. Saat Franklin diesekusi Liberta, berkas-berkasnya disimpan dan akan diberikan kepada Reynold nanti saat dia berusia 18 tahun. Leonard yang memberikan video rekaman itu kepada Reynold. Video itu hanya berdurasi sebelas menit. Namun Reynold tidak pernah bosan menontonnya berulang kali setiap hari. Kadang dia sampai meneteskan air mata saat menonton video pesan terakhir ayahnya itu, kemudian membayangkan andai ayahnya masih hidup, seperti apakah kehidupannya sekarang? Apa yang kira-kira sedang dia lakukan sekarang? Dia terus berandai-andai dan membayangkannya sampai tertidur. Luck 27 November 2416, Dorian ... Badan Reynold sudah pegal-pegal karena hari ini ada kecelakaan tak terduga sehingga lembur. Semua rasa lelah itu membuat Reynold jadi merasa kacau. Hampir saja dia menendang kucing yang melintas di depannya hanya karena mereka membuatnya terkejut. Reynold bahkan sudah melempar botol air kosong kepada kucing itu dan berharap mereka digigit anjing. Hari ini kacau sekali. Kesialan datang bertubi-tubi. Pagi hari dia bangun kesiangan, di tempat kerja dimarahi habis-habisan oleh bos, kemudian terjadi kecelakaan kerja yang diakibatkan olehnya, lalu perkara lembur. Reynold merasa seakan hari ini hari tersial sedunia dan curiga jangan-jangan ada yang mengutuknya. Saat dia membeli makanan, ada anak jalanan sedang balap motor liar nyaris menabraknya. Reynold yang kelelahan itu jatuh ke aspal dan semua makanan yang dibelinya berserakan di aspal basah. "Sialan!" Reynold menjerit marah. Suaranya bergema di jalanan sepi Dorian tengah malam. Satu jendela di lantai dua tidak jauh dari tempatnya memaki itu terbuka, menampakkan seorang nenek tua melongok ketakutan keluar jendela, untungnya dia lupa nomor telepon polisi. Reynold merayap menuju trotoar dan duduk menghela nafas. Ingin memaki tapi kepada siapa? Ingin memukul seseorang tapi masa memukul orang tidak bersalah? Sumber kemarahannya adalah situasi menumpuk sejak pagi, bukan orang lain. Kepalanya pusing sekarang, berdenyut-denyut seakan mau pecah, semua karena dia belum makan malam. Makanan terakhir yang di makannya tadi siang tidak sempat habis karena seseorang menyenggolnya sehingga makanannya tumpah ke lantai. Orang itu juga tidak mengganti makanannya. Mendadak ada tangan kecil yang menyodorkan gorengan tahu isi. Reynold tidak langsung menerimanya, dia menoleh kepada orang yang menawarinya makanan. Ternyata itu bocah gelandangan yang kemarin diberinya makan. Bocah itu tersenyum kepadanya sambil menyodorkan tahu goreng isi. "Buatku?" Bocah itu mengangguk. Satu kebaikan itu saja sudah cukup untuk membuat suasana hati Reynold kembali membaik. Dia berbagi tahu isi bersama bocah itu sambil mendengarkannya bercerita tentang ayahnya yang luar biasa dan sekarang sedang mengawasinya dari satelit. "Endru," suara seorang wanita memanggil bocah itu, bocah itu segera menoleh kepadanya. "Endru, sudah malam, kamu harus tidur. Katanya besok mau sekolah," kata wanita itu. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Reynold, bocah itu mengeloyor pergi. Setiap akhir pekan ada mahasiswa baik yang sukarela mengajar anak-anak jalanan ilmu sekolahan gratis. Membaca, menulis, berhitung, dan kadang mereka membawa buku-buku berisi ilmu pengetahuan. Mereka bilang bila Endru serius belajar, suatu saat nasibnya akan berubah dan dia bisa memberi ibunya selimut dan mereka tidak akan kelaparan lagi. Dua hal itu saja sudah cukup memotivasi Endru untuk menjadi manusia berpendidikan. "Tuan, kami melihat apa yang terjadi tadi. Kemarilah, kami ada makanan lebih," kata wanita itu, mengajak Reynold pergi memasuki satu bangunan seperti rumah kecil yang tampaknya tak berpenghuni. Setelah masuk ke dalamnya, ternyata ada lilin yang menerangi ruangan, bocah itu sedang terlelap membungkus dirinya dengan plastik sampah bekas. Reynold miris sekali melihatnya. Dia melepas trench coatnya sambil mendekati Endru, kemudian mengambil plastik sampah bekas itu dan menyelimuti Endru dengan jaketnya tersebut. Endru menatapnya seperti seorang superhero dan Reynold membalas dengan mengangkat jempolnya sambil mengedipkan salah satu mata. "Aku baru saja dapat pekerjaan tadi pagi, di sebuah restoran cepat saji. Restoran seperti itu kalau sudah tutup membagi-bagikan makanan sisa pada karyawannya. Kami tidak akan kelaparan lagi," wanita itu menyodorkan dua bungkus makanan. Reynold membukanya dan melihat isinya dua potong ayam goreng tepung dan satu burger beserta beberapa sisir kentang goreng. Reynold menyengir, "jadi semua keberuntunganku pindah ke kamu rupanya, ha? Kalau begini aku rela kena sial terus." "Aku tidak percaya pada keberuntungan," kata wanita itu, tertawa pada gurauan Reynold. "tapi aku percaya bahwa masih ada orang baik di dunia ini, walau hanya sedikit saja. Namun satu orang baik saja dengan satu tindakan baik yang sederhana, mampu mengubah dunia. Kamu, Tuan, kemarin telah menginspirasiku untuk tidak menyerah. Gara-gara kamu, malam itu kami tidak makan air obat nyamuk yang sebenarnya sudah kusiapkan bagiku dan anakku. Saat itu aku berdoa kepada Tuhan ... bila tidak ada lagi orang baik di dunia ini, biar kami kembali kepadaMu saja, lebih enak di Surga. Lalu kau datang dan memberi kami makan..." Wanita itu mengatakannya dengan tulus, membuat Reynold tercengang. Baru kali ini seseorang menyebutnya sebagai orang baik. Biasanya orang menyebutnya sebagai "gemuk", "bodoh", "idiot", "goblok", atau "anak pembunuh", "anak buronan", "anak penjahat". Tidak ada seorangpun yang menatapnya seakan dia manusia yang istimewa sebagaimana wanita itu memandangnya. Padahal bagi Reynold, dia hanya memberikan sebungkus makanan. Tapi setelah dipikir-pikir, wanita itu juga memberinya makan, tapi rasanya luar biasa. Semua kesialan yang dia alami hari ini seperti tidak ada artinya dibanding kebaikan yang dia rasakan dari ibu dan anak gelandangan itu. Lebih dari itu semua... Reynold pulang ke "rumah" merasa tidak percaya bahwa dirinya telah menyelamatkan dua nyawa. Kebaikannya ternyata mampu membuat perubahan di dunia. Ternyata berbuat baik itu rasanya luar biasa! "Makanya kau harus banyak berbuat baik kepada orang lain, Rad, karma itu ada!" Rad sejak tadi makan dengan lahap karena perutnya kosong seharian, sementara Reynold makan dengan santai sambil bicara. Tentu saja Rad menyelesaikan makan duluan sementara Reynold baru setengah jalan. "Selesaikan makanmu, aku tidak tertarik dengan apapun yang kau katakan itu," Rad lalu meninggalkan Reynold dan membaringkan diri di atas plastik sampah bekas, sama seperti bocah bernama Endru tadi. Reynold berhenti bicara dan kembali makan. Sementara dia mengunyah sendirian, dia menyadari bahwa Rad telah membeli pistol baru. Reynold jadi curiga. Sebodoh-bodohnya dia, dia tahu tidak mungkin ada pistol baru di dalam ruangan ini bila Rad tidak keluar. Harga pistol cukup mahal dan untuk memilikinya, seseorang harus punya izin memiliki senjata api. "Rad," panggil Reynold, cukup keras sehingga suaranya bergema di dalam ruangan. "Hmm?" jawab Rad dengan cuek, dia hanya ingin tidur. "Kau keluar dari bangunan lagi?" Hening beberapa detik lamanya baru kemudian terdengar jawaban ragu dari Rad, "tidak." Reynold jadi kehilangan selera makan padahal burgernya belum habis. Dia beranjak dan mengambil pistol itu, serupa glock biasa dengan peluru .9 mm kaliber. Pistol yang umum dimiliki warga Dorian yang ingin melindungi diri. "Rad, ini tidak seperti yang kupikirkan, kan?" Terdengar suara Rad menghela nafas dalam-dalam. "Tidak. aku juga tidak tahu bagaimana benda itu ada di sana." "Kau meninggalkan bangunan ini, Rad? Kenapa? Aku sudah katakan padamu untuk tetap jaga identitas. Jangan tampil di publik walau dengan wajah tertutup masker dan topi sekalipun. Mereka pasti bisa mengendusmu!" "Aku tidak keluar dari tempat keparat ini!!" suara Rad bergema keras dalam ruangan itu. Pada saat yang sama, terdengar suara decitan ban mobil basah berhenti di depan jalan. Reynold mengintip dan melihat ada sepasang polisi berjalan curiga memasuki pelataran gedung terbengkalai itu. Ketika membalikkan badan, Rad sudah berdiri dan mengemasi barangnya. Smartphone yang pastinya dia jambret dari seseorang di luar sana, dan jaket hitam. Tanpa bicara apapun, Rad memberi kode dengan tangannya agar Reynold mengikutinya, maka, Reynold mengikutinya. Rad sangat peka terhadap ancaman dan bahaya. Dia bisa mengendus pengejarnya sebelum mereka menemukan jejaknya. Ketika sepasang polisi itu sadar ada yang tinggal di gedung terbengkalai itu dan mayat partner mereka ketemu tertimbun pasir di halaman belakang gedung, Rad dan Reynold sudah berada di atap penduduk, merayap sambil menundukkan badan, mencoba untuk tidak terlihat para polisi yang semakin banyak saja jumlahnya di jalanan yang sepi. Reynold tahu bahwa ini bukan saatnya untuk meminta penjelasan apa yang terjadi. Tapi dirinya sudah bisa menduga, barangkali ada polisi malang yang kebetulan mampir dekat gedung terbengkalai itu dan menemukan Rad. Rad terpaksa membunuhnya dan merampas senjata yang dia gunakan untuk melindungi diri. Polisi itu tidak kembali untuk melapor, barangkali polisi patroli, sudah pasti rekan-rekan mereka akan menghubungi polisi yang hilang itu. Mengetahui tidak ada respon, mereka bergerak untuk mencari polisi tersebut. Setiap polisi punya GPS tracker, dan pasti sinyalnya hilang di sekitar gedung tempat Rad membunuhnya. Itu sebabnya dua polisi itu sampai di gedung mereka, dan cepat atau lambat, mayat partner mereka akan ditemukan, dan identitas orang yang selama ini menempati bangunan kosong itu pasti akan segera diketahui. Meksipun mungkin mereka baru tahu Rad Locke si buronan Liberta yang mengubah nama planet ini ternyata bersembunyi di sana selama ini, tapi sementara itu mereka tahu ada pembunuh polisi yang tinggal di sana, dan pembunuh polisi harus ditemukan, ditangkap dan diadili. Angin kencang Dorian berembus, salah seorang polisi kebetulan melihat ke atas dan melihat bayangan Reynold berlari dari atap ke atap. Polisi itu segera memberitahu teman-temannya dan pengejaran dilakukan. Tidak peduli yang terlihat itu tersangka atau bukan, tapi dua orang pria tinggi besar yang merayap di atas atap jelas-jelas mencurigakan. "Mereka mengejar kita, Rad! Ada helikopter!" "Cepat ke pelabuhan! Hati-hati melangkah, kalau kau lambat, aku tidak akan kembali untuk menyelamatkanmu, kau dengar itu, Rey?!" Rad memang selalu begitu, dia selalu berlari paling depan, tidak memedulikan keselamatan rekan-rekan yang bergantung kepadanya. Itu sebabnya selama menjadi kadet tentara PUDF, dia tidak pernah lagi dijadikan pemimpin tim. Selalu Leonard yang jadi pemimpin karena mereka berdua sangat berlawanan. Sementara polisi semakin banyak, Rad menemukan satu celah di kawasan bangunan terbengkalai juga. Dia menyelinap masuk ke dalam atap sebuah rumah bekas, Reynold mengikutinya tanpa peduli dirinya terlihat oleh para polisi dari helikopter atau tidak. Suara kelebatan baling-baling helikopter terdengar malang melintang di atas, sinar lampu sorotnya sempat menembus celah-celah genteng. Reynold hanya berharap para polisi itu tidak memiliki pandangan setajam burung hantu. Sementara itu Rad merayap dari balik langit-langit. Setiap langkahnya berjalan, terdengar suara derit kayu rapuh. "Rad, jangan banyak bergerak, atap ini sudah rapuh," kata Reynold. "Kau diam dulu, tunggu aku mencapai seberang baru kau bergerak," desis Rad. Namun sesuatu yang hitam dan cepat bergerak melintas di depan Reynold, mengejutkannya. Reynold terjengkang dan tangannya mendarat pada sisi langit-langit yang rapuh, kemudian dia jatuh ke bawah. Langit-langit jebol, Reynold jatuh ke sesuatu yang sedikit empuk. Rupanya lantai dua sebuah bangunan kosong, masih ada kasur lapuk sisa-sisa penghuni lama yang sengaja ditinggalkan. "Kau tidak apa-apa?" kepala Rad terlihat dari lubang di langit-langit, dia terlihat cemas. "Ada kasur, Rad. Sudah lama punggungku tidak berbaring di atas sesuatu yang empuk," desis Reynold dengan riang. Mencoba bersyukur di tengah-tengah kejaran polisi. Bila sampai Rad tertangkap kali ini, dirinya juga pasti ikutan kena. Kepalanya juga pasti akan dihargai sejumlah uang karena membantu buronan mahal melarikan diri. "Malam ini juga, kita harus menyelinap masuk ke dalam salah satu kapal nelayan di dermaga itu lalu kita bajak begitu lepas dari teritori Dorian. Kau paham?" desis Rad. "Iya, tapi tunggu sebentar lagi," Reynold merasakan kasur yang menahan beban tubuhnya ini sudah lembab dan berjamur, tapi masih tetap empuk dan itu saja yang dia butuhkan sekarang. Punggungnya terasa sangat kaku dan pegal, kasur empuk membuatnya bahagia. Rad geleng-geleng kepala, "lihat, kau capek-capek kerja keras dan puasa setiap hari demi membeli kapal, ujung-ujungnya kita mencuri kapal juga seperti ideku. Coba kau menurutiku sejak awal, kita tidak perlu buang waktu begini di Dorian." "Ahh... Tuhan itu memang ada..." Reynold keenakan di atas kasur. Tak disangka, seseorang membuka pintu kamar tersebut. Ayah Seorang lelaki kurus paruh baya terlihat dibalik pintu yang terbuka, menodongkan senapan laras panjang. Salah satu matanya terpejam rapat, sementara yang lain yaitu mata biru yang sudah mulai berkabut menyorot tajam mengawasi siapa lelaki yang jatuh tengah malam musim dingin begini di lantai dua tempat dia berteduh. Reynold cepat-cepat mengangkat tangannya ke atas, "jangan, jangan tembak!" Lelaki tua itu mengenali Reynold, dia menurunkan senapannya, "oh ternyata kau. Kau orang yang memberiku selimut tempo hari lalu itu, kan?" Reynold ingat dia pernah memberikan selimut, tapi dia tidak ingat kepada siapa. Dia ingat pernah bekerja serabutan, menjadi kuli angkut sebuah rumah yang sedang berkemas karena penghuninya akan pindah rumah. Si pemilik rumah itu orang kaya, dan ada beberapa barang yang tidak mau dia bawa ke rumah baru. Karena suka dengan sikap Reynold yang rendah hati selama bekerja dengannya dan tidak pernah mengeluh, orang kaya itu memberikan banyak barang pada Reynold. 19 September 2416, Dorian ... Rad menolak semua barang itu, "haduh, kau mau tinggal selamanya di kota ini? Aku tidak mau. Jangan terlalu banyak barang. Kita tidak butuh pakaian atau selimut, hanya atap berteduh dan internet sudah cukup buatku. Polisi itu bisa membuat anjing pelacak mereka mengendus kita dari perabotan yang kau bawa pulang ini." "Jadi aku apakan semua barang ini? Mereka semua masih bagus." "Terserah kau. Jual saja biar kita cepat punya duit dan pergi dari sini." Reynold mencoba menjualnya di tepi jalan, tapi yang datang malah anak-anak gelandangan dan kebetulan dekat tempat dia berjualan itu ada taman kota yang dipenuhi gelandangan. Dorian memasuki musim dingin sebentar lagi, tentunya orang tua kurus di sana akan membutuhkan sesuatu. Maka Reynold membobol rumah tak berpenghuni agar mereka bisa tinggal di sana. Kemudian dia memberikan selimut dan perabotan bekas yang harusnya dia jual itu kepada mereka. Asal polisi tidak tahu bahwa mereka menempati rumah terbengkalai itu, harusnya mereka tidak apa-apa. 28 November 2416, Dorian, 00:00 am... Lelaki tua itu masih ingat Reynold, dia menjabat tangan Reynold dengan erat, tatapannya terbuka lebar penuh haru saat menceritakan kembali apa yang Reynold lakukan padanya. Kemudian dia membawa Reynold turun ke lantai satu dimana teman-temannya sedang duduk-duduk melingkari api unggun di dalam dirijen bekas. "Hey semua, lihat siapa yang jatuh dari langit-langit?!" lelaki tua itu menggandeng Reynold dan mengenalkannya kepada gelandangan lainnya. Melihat Reynold, para gelandangan itu langsung berdiri dan mengerumuninya. Mereka berebut untuk berjabat tangan dengan Reynold, masih ingat dengannya padahal Reynold sudah lupa sama sekali. Mereka menatapnya seperti pahlawan. "Kau menghajar tiga preman saat mereka akan mencuri ginjalku, ingat tidak?" tanya seorang lelaki muda bertubuh kurus. Mereka semua berusaha untuk mengingatkan Reynold kembali mengenai apa yang dia lakukan terhadap mereka, tapi tidak semuanya Reynold ingat. Namun dalam hati Reynold merasa hidupnya seakan berubah. Mengetahui bahwa perbuatannya yang sederhana itu ternyata sangat berarti bagi mereka. Ternyata berbuat baik itu menyenangkan! Mereka mengajak Reynold duduk dalam lingkaran untuk mendengarkan penjelasan Reynold, bagaimana dia bisa jatuh dari atap genteng mereka. Tentu saja Reynold mengarang cerita, "jujur saja... aku dikejar polisi." "Hah? Kenapa?" mereka semua terlihat prihatin. "Aku bukan kriminal, tapi ada saudaraku yang dikejar polisi. Dia bukan penjahat, dia ditangkap karena difitnah polisi membunuh seseorang padahal bukan dia pelakunya. Jadi aku menolong saudaraku itu lari dari penjara kemudian kami berencana untuk meninggalkan tempat ini. Kami hanya ingin mencari kedamaian," Reynold mengulang kembali sebuah film yang dia tonton beberapa waktu lalu. "Kok mirip dengan cerita Prison Break ya?" "Wentworth Miller, Dominic Pulcer?" "Iya betul, aku suka sekali film itu!" "Tapi ini sungguhan, aku tidak berbohong pada kalian," kata Reynold. "Mana saudaramu itu? Kami akan membantu kalian keluar dari Dorian. Bilang saja apa yang kalian butuhkan," kata gelandangan-gelandangan itu. "Terima kasih atas niat baik kalian semuanya, tapi tidak apa-apa, kami bisa mengurus semuanya sendiri," Reynold berkata demikian karena dia yakin kalau dia jujur mengatakan bahwa mereka butuh kapal, Rad pasti akan membodoh-bodohi dia lagi dan jiwa paranoid Rad akan muncul kembali. Mereka tidak akan jadi kabur melalui jalur laut karena Rad yakin ada mata-mata di antara para gelandangan tersebut. "Saat ini di luar ada banyak polisi berkeliaran, lebih baik kau bermalam saja dulu, besok subuh baru kalian bergerak," lelaki tua itu menasihati Reynold. "Ngomong-ngomong, mana saudaramu itu?" seorang gelandangan berkepala botak bertanya sambil melongok ke lantai dua. "Dia tidak ingin terekspos. Biar aku saja yang bicara dengannya. Terima kasih atas bantuan kalian," kata Reynold. "Kemari saja bersama kita, lihat kita menemukan makanan kaleng dari tempat sampah. Restoran fast food membuang banyak ayam goreng dari piring pelanggan, enak-enak, lho!" kata lelaki tua itu, disusul tawa kecil si lelaki gemuk. Reynold sepertinya belum seikhlas mereka untuk bisa makan hasil mengais tempat sampah tanpa muntah-muntah. Dia bersikeras untuk menunggu polisi menghilang dari lantai dua saja, di tempat mereka berdua jatuh. Tentu saja dia menolak semua makanan pemberian gelandangan itu, entah berasal dari mana makanan-makanan tersebut. Bahkan setelah Reynold menutup pintu kamar dengan rapat, Rad masih lebih suka bersembunyi di balik langit-langit. Ya sudahlah, tidak bisa menyalahkan dia. Sejak terlibat dalam perang Magus, Rad sudah dianggap sebagai musuh dunia. Dia sudah terbiasa hidup sebagai orang yang terasing, tidak mempercayai siapapun. "Kamu bodoh sekali, Rey. Bodoh..." "Rad, mereka hanya gelandangan, mereka bisa apa?" Rad menggelengkan kepalanya, "cerita boleh saja, tapi jangan terlalu jujur. Ada hal yang harus kau tutupi. Untuk apa kamu menyebutkan aku? Bilang saja kau seorang diri, dikejar polisi karena mereka mengira kau maling, padahal kau baru kabur dari kamar tidur istri seorang komandan." Reynold jadi menyesali betapa bodoh dirinya. Dia mengusap rambutnya yang pendek keriting. "Oke, aku minta maaf. Aku akui, aku memang terlalu mudah percaya pada orang lain. Tapi berhubung semua sudah terjadi, mari kita jalani saja, oke? Kita harus tidur, bro. Ini ada kasur apa kau tidak kangen merasakan ranjang empuk?" Rad hanya menoleh kepadanya dan memberikan tatapan malas seakan Reynold sangat idiot, setelah itu dia kembali menyandarkan kepalanya pada salah satu pilar di balik langit-langit dan memejamkan matanya. Dia sudah biasa tidur di tempat macam-macam. Toilet, kolong jembatan, bekunya padang rumput, bahkan padang pasir sekalipun. Atap yang gelap seperti ini hanya masalah sepele bagi Rad. "Reynold, anakku, bila kau menonton video ini, berarti aku gagal melarikan diri dari penjara dan sudah mati dibunuh pemerintah. Aku ingin kau tahu...apapun yang kau dengar tentang diriku, aku tetap sayang kamu dan ibumu. Aku melakukan ini semua demi kalian...." Rad tahu Reynold sering menonton sesuatu dari smartphonenya lalu tersenyum sendiri. Dia tahu video itu berisi seorang lelaki paruh baya tinggi besar dengan otot kencang sedang berbicara dalam pakaian narapidana. Namun baru kali ini Reynold menonton dengan volume yang cukup keras sehingga Rad bisa mendengarnya. "... pembunuh polisi, itu yang mereka sebut tentang aku. Tapi kamu harus tahu, polisi-polisi itu bekerja sama dengan Don Barrimore untuk menggadaikan rumah pemukiman kita. Tidak hanya rumah kita, tapi juga rumah tetangga-tetangga kita. Kasus ini sudah kita bawa ke pengadilan, namun sepertinya hukum tercipta untuk mereka yang punya uang dan kekuasaan. Kita hanya punya keluarga dan sedikit tanah, tidak berarti. Walau itu memang milik kita secara sah, tapi rupanya uang bisa menyulap banyak hal. " "Bila kita kehilangan rumah itu, kamu dan ibumu mau tinggal di mana? Aku tidak bisa membiarkan kalian hidup seperti gelandangan, karena aku pernah merasakannya dan bersumpah anak istriku kelak tidak akan menderita sepertiku. Itu sebabnya lebih baik aku yang menanggung dosa itu, agar kalian bisa hidup dengan layak." "Namun dengan sekian banyak polisi dan antek mafia yang kubunuh yang mengantarkanku ke tiang gantungan, sebenarnya aku merasa sedikit menyesal. Aku menyesal telah membunuh manusia. Hidup ini tidak diberikan oleh manusia, lalu apa hak kita untuk mencabutnya? Itu saja penyesalanku." "Bila kau menonton video ini, aku yakin usiamu sudah lebih dari 18 tahun. Aku ingin tahu jadi apa kau sekarang. Aku berharap kau menjadi seorang yang berguna bagi orang lain di sekitarmu. Berbuatlah kebaikan karena apa yang kau beri pasti akan kembali kepadamu. Kau harus percaya bahwa hidup ini adil. Apa yang menjadi milikmu, bila dicuri orang pasti akan kembali lagi. Bila kau menyebar kebaikan di atas dunia, maka dunia akan memberimu kebaikan juga. Itu sebabnya, jangan takut kehilangan harta demi menyebar kebaikan. Intinya, hidup ini ada banyak pilihan, kita harus memilih untuk melakukan hal yang benar...." Terdengar suara dalam video tersebut, seorang pria menegurnya, "hei, sudah belum? lima menit lagi!" "Sebentar, dungu!" balas Franklin dengan mata mendelik. Kemudian tatapan matanya kembali melembut setelah berbicara kembali kepada kamera. "Aku mewariskan ini saja kepadamu, Reynold. Bukan harta yang bisa diukur. Karena harta yang sesungguhnya adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, termasuk pengalamanku. Aku juga meminta satu hal darimu. Aku ingin kau berkeliling dunia dan menolong siapapun yang bisa kau tolong. Tolong lakukan ini demi aku. Karena menurut agama yang aku anut, kebaikan yang aku atau keturunanku lakukan bisa membantuku mencapai surga. Tolong lakukan itu demi melunasi hal buruk yang aku lakukan selama aku hidup di dunia ini. Aku sayang kamu, nak. Tolong sampaikan pada ibumu juga, aku mencintainya." Video berakhir. Reynold mengusap matanya yang basah. Melihat itu, Rad merasa geli sendiri. "Serius? Orang itu seperti mencoret-coret tembok kemudian memintamu untuk membersihkannya karena dia harus pergi?" tanya Rad. "Hah? Kau dengar semua, Rad?" Reynold masih sibuk mengusap matanya yang basah. Rad melirik temannya. Dia melihat Reynold sudah memasang headset pada kedua telinganya, dan headset itu juga sudah terhubung pada smartphone. "Headsetmu rusak, mungkin." Reynold mengecek kembali, kemudian dia tertawa, "walah, ternyata tidak menancap dengan benar." Reynold lalu menghentikan tawanya setelah menyadari bahwa Rad tidak mau tertawa, dia sudah kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Mencoba untuk tidur. Reynold-pun mencharger smartphone-nya dan dia meluruskan tubuhnya, mencoba untuk beristirahat juga. Lelah sekali hari ini. Dari pagi sampai tengah malam sepertinya bergerak terus. Badannya sudah bau karena belum sempat mandi. Biasanya mereka mandi di toilet umum di taman terdekat, kali ini sepertinya tidak sempat. "Rey?" "Ya?" "Kau tidak bosan menonton video itu terus?" tanya Rad. Reynold tertawa kecil, "Rad, video itu adalah masa terakhir ayahku. Satu-satunya kenangan yang kupunya tentang ayah. Tentu saja aku tidak akan bosan. Aku tonton terus menerus karena walau pada saat itu ayah seperti berbicara sendiri, tapi sekarang, pesannya sampai kepadaku. Aku jadi merasa dia ada di dekatku dan berbicara denganku." "Jadi kau menonton video itu karena ada ayahmu di sana?" "Ya. Karena... aku sayang ayahku." "Lakukan hal yang benar," Rad menirukan ucapan dalam video itu sekali lagi, namun nada bicaranya seperti tertawa mengejek. "Benar itu relatif." "Kok relatif? Mencuri itu tidak benar, membunuh itu tidak benar, perang itu tidak benar..." "Kamu naif sekali," Rad berdecak kesal, "Ada orang yang mencuri dari orang miskin, kemudian seseorang mencuri hartanya untuk dikembalikan kepada orang miskin. Itu mencuri yang benar. Ada juga orang yang membunuh seorang psikopat haus darah, sehingga mencegah lebih banyak orang tak berdosa kehilangan nyawa, itu pembunuhan yang benar, kan? Sedangkan kadang kita harus mengumandangkan perang untuk menghentikan rezim tiran, demi kebahagiaan lebih banyak rakyat, itu perang yang benar." "Oke, kau benar, teman," Reynold berkata demikian karena dia malas berdebat saja. "Lalu apa yang benar? Kalau kau melakukan hal yang benar, lalu bapakmu berpikir itu tidak benar, kau pikir dia bahagia dengan keputusanmu?" Rad masih mengoceh. "Aku tidak tahu sih... jujur saja aku lelah sekali." Reynold menghela nafas dalam-dalam. "Tapi biar kutanya sesuatu kepadamu. Pada saat Perang Magus dan kau memilih untuk memihak mereka, apa kau pikir kau sedang melakukan hal yang benar?" "Tentu saja aku melakukan hal yang menurutku benar. Menurutmu orang-orang bagaimana yang menurutmu menganggapku tidak benar?" Reynold memijit keningnya, "orang-orang yang tidak lagi bisa memanipulasi dunia. Hehehe..." Hening kembali hadir di antara mereka. Terdengar suara sirene polisi dari jalanan di kejauhan. Namun suara helikopter sudah tidak terdengar lagi. "Seperti apa sih rasanya punya ayah?" tanya Rad. Reynold perlu waktu untuk menjelaskannya. Dia mencoba untuk menerjemahkan perasaan sayang antara dia dengan ayahnya sendiri. "Seperti punya sahabat yang rela mengorbankan hidupnya demi hidupku. Kalau kau bagaimana? Apa kau sudah tahu siapa ayah kandungmu?" Rad menggelengkan kepalanya, sambil tertawa kecil dia berkata, "aku tidak butuh sahabat seperti itu." Reynold pun membalas, "aku harap kau menjadi seorang ayah suatu hari, Rad." "Mana ada gadis yang mau denganku?" Rad tertawa. "Siapa tahu?" Betrayed! Guncangan keras membangunkan Reynold dari tidurnya yang pulas. Rad telah melompat dari balik langit-langit dan wajahnya terlihat sangat serius. "Ayo cepat pergi!" dia segera meninggalkan Reynold dan membuka jendela lalu melompat keluar. "Rad, ada apa?" Reynold merasakan kepalanya pusing, sakit sekali. Dia belum sepenuhnya beristirahat. Dilihatnya di luar jendela, langit masih gelap, jalanan masih sepi. Dari jendela yang terbuka terasa ada embusan angin malam yang dingin menusuk. Mungkin dia baru tiga atau dua jam tidur, jelas saja kepalanya masih pusing. "Polisi!" Satu kata itu sudah menjelaskan semua alasan untuk membuat Rey meninggalkan tempat tidur, memaksa kepalanya yang berat untuk berdiri. Ribuan kunang-kunang memenuhi pandangannya, Reynold nyaris tidak bisa merasakan keseimbangannya saat dia berjalan menuju jendela. "Polisi, berhenti!" terdengar suara seseorang saat pintu kamar terbuka, segera, Rad mengeluarkan pistol yang terjepit pada ban pinggangnya yang lapuk, lalu menembak polisi itu tepat pada kerongkongan. Polisi itu terjatuh dalam kondisi lumpuh berlumur darah. "Ayo cepat! Jangan buat aku membunuh lebih banyak orang lagi!" geram Rad sambil membantu temannya yang tinggi besar itu keluar dari jendela. "Oke, aku bangun, aku bangun..." Sekali lagi Rad menembak seorang polisi yang muncul sambil menodongkan pistolnya. Tembakan itu tepat mengenai bahu dan membuat polisi itu jatuh ke lantai bersama temannya. "ingat, kalau kau lambat, aku tidak akan kembali untuk menolongmu!" Rad mulai berlari. Reynold tumbuh dewasa bersama sahabatnya ini. Rad jagonya kabur, dan dia sangat cepat. Gerakan yang dibuatnya sangat efektif, tanpa membuang banyak nafas, membuat Rad sanggup berlari sangat jauh dan lelah lebih lambat daripada orang normal. Bisa dibilang dia cukup jenius, namun dia tidak akan mau kecepatannya berkurang gara-gara rekannya tidak secepat dia. Hal inilah yang membuat Rey selalu menempa fisiknya, agar dia secepat Rad. Hanya ada satu pertanyaan dalam benaknya, bagaimana polisi tahu ada mereka di dalam sana? Polisi itu tanpa basa-basi langsung menodongkan pistol ke arah mereka begitu membuka pintu kamar. Apakah ada salah seorang gelandangan yang menjual mereka? Rad berhenti setelah mereka berhasil melarikan diri ke rumah seberang jalan, merayap berlindung di bawah gang gelap. "Kau lihat di antara mobil-mobil polisi yang mengepung rumah terbengkalai itu?" bisik Rad. Reynold memperhatikan dengan baik-baik, matanya terbelalak melihat lelaki gemuk yang beberapa saat lalu tersenyum padanya, berjabat tangan dan tertawa bersama! Dia merasa geram luar biasa. Dia pikir orang itu baik hati. Bukankah itu lelaki yang bilang kalau dia sering diberi makan oleh Reynold? Bukankah Reynold sudah memberikan tempat berlindung baginya? Kenapa dia mengkhianati mereka? Namun Rad memahami apa yang bergolak dalam pikiran sahabatnya itu dan berkata, "tidak usah kecewa, manusia memang seperti itu. Orang baik itu tidak ada." "Yang aku tanyakan, kenapa dia tega menjual kita demi itu semua? Padahal... aku memberinya makan, memberinya ...?" Reynold kecewa sekali. "Oh ya? Kau sungguh berharap orang lain akan bersikap baik terhadapmu hanya karena kau bersikap baik terhadap mereka sebelumnya?" kata Rad dengan nada mengejek. "Reynold, manusia hanya peduli pada dirinya sendiri. Mengharap mereka membalas kebaikanmu dengan sama baiknya, sama saja seperti berharap seekor singa liar tidak menerkammu setelah kau memberinya makan. Singa tetap singa, orang tetap orang." Reynold nyaris membenturkan kepalanya ke tembok biar pecah sekalian saking kecewanya. Memang, ada manusia yang baik seperti ibu dan bocah gelandangan itu, tapi ternyata banyak juga yang pengkhianat seperti lelaki gemuk tu. "Mungkin saja dia polisi yang menyamar. Manusia hanya melakukan apa yang harusnya dia lakukan, kan?" Rad angkat bahu, kemudian dia mulai berjalan pergi masuk ke dalam gang sebelum para polisi itu mulai menyebar dan mencari mereka di luar rumah terbengkalai. Sementara mereka berlari dari gang ke gang, polisi mencari mereka di sana sini. Pada sebuah gang, hampir saja mereka menampakkan diri di hadapan seorang komisaris yang sedang mengobrol dengan partnernya. Mereka sedang merokok diam-diam, beristirahat di tengah misi. "Kau sudah dengar belum tadi? Peter dibunuh dan mayatnya ditemukan di halaman belakang gedung terbengkalai." "Peter dibunuh?!" "Awalnya kita hendak mencari siapa yang membunuh Peter, tapi di dalam gedung itu ada bekas makanan yang berserakan, tim forensik menemukan jackpot. Bisa kau tebak apa?" "Entahlah, anak haram pangeran? Hahaha..." "DNA penjahat besar." "Penjahat besar... maksudmu ...." "Yeah... Rad Locke." "Kau serius! Kita menemukan orang itu? Maksudku... dia benar-benar licik, setelah kabur dari penjara Liberta dia seperti menghilang begitu saja. Ya ampun! Mendadak dia ada di hadapan kita! Kau serius?" "Aku serius. Bahkan ada sidik jarinya juga di sofa kulit di dalam gedung terbengkalai itu." "Serius? Ya ampun!" "Bajingan itu sudah membunuh jutaan orang dan menyebarkan kebohongan!" polisi itu terdengar marah, "dia mengakibatkan Atlantris tenggelam, dia membunuh calon istriku. Dia harus membayarnya dengan nyawa!" Sementara Reynold sedang menguping pembicaraan kedua polisi tersebut, Rad merasakan instingnya bergejolak. Dengan penuh waspada dia menoleh ke sekitar, mungkin ada bahaya. Dia tidak asing dengan firasat itu, bahkan dia sudah melatihnya agar firasatnya bisa begitu tajam mendeteksi niat buruk orang lain terhadapnya. Benar saja, dari salah satu sudut gelap gang Dorian di belakangnya, Rad Locke melihat sesuatu berwarna putih, bulat lonjong. Tersenyum dengan empat gigi taring mencuat dari garis bibir. Matanya menyala merah dari balik celah pada topeng setan yang digunakannya untuk menyembunyikan muka dengan rapat. Tanpa basa basi, Rad langsung mengangkat tangannya dan menembaki topeng itu. Bukannya kabur, namun sosok iitu malah melesat mengejarnya. Rad memungut pipa besi dan melawan si Topeng Setan, namun musuh bertopeng itu menghunus goloknya dan mereka berkelahi sesaat. Ketika menemukan kesempatan lagi, Rad mengacungkan pistolnya untuk menembaki si Topeng Setan. Rad sadar aksinya ini bisa membuat kedua polisi di dekat mereka menyadari ada seseorang. Bahkan dia sengaja melakukannya untuk menciptakan perang tiga arah. Makhluk ini sudah menghantuinya sejak beberapa bulan terakhir sebelum dirinya tiba di Dorian. Sekarang dia muncul lagi. Rad akan mengadu domba dia dengan polisi. Bila sampai si Topeng Setan ini tidak sengaja membunuh polisi, maka dirinya juga akan diincar polisi. "Berhenti! Siapa kalian?!" kedua polisi itu mengacungkan pistol mereka, namun Rad dan Topeng Setan sama-sama berlari semakin dalam ke dalam bayangan gang, diikuti oleh Reynold. Topeng Setan kembali menghilang saat dia ditembaki oleh polisi-polisi Dorian itu. Tinggallah Rad dan Reynold yang sama-sama dikejar oleh kedua polisi itu sekarang. Salah seorang dari polisi itu mengambil walkie-talkie nya dan memberitahu teman-temannya bahwa mereka menemukan dua orang pelarian yang mereka cari. Bagus! Melalui GPS tracker pada lencana mereka, polisi lainnya akan segera menemukan posisi Rad dan Reynold. Rad harus memutar akalnya untuk membungkam kedua polisi itu dan mencegah lebih banyak polisi yang berdatangan ke arah mereka! Janji Rad bersembunyi dibalik bak sampah besar, suasana sangat gelap sehingga kedua polisi itu harus menyalakan senter. Rad menunggu mereka lewat, kemudian dengan cepat menghajar kepala mereka dengan balok kayu di tangan. Begitu kuat pukulan yang dia buat sehingga balok kayu itu terbelah jadi dua saat membentur kepala salah seorang polisi. Saat polisi yang satu lagi mengacungkan senjatanya kepada Rad, Reynold sudah menyikutnya dari belakang di tengkuk hingga polisi itu jatuh pingsan. Rad merogoh GPS tracker yang terdapat pada lencana kedua polisi itu kemudian dia melemparnya ke sungai. Hanyut bersama aliran sungai, GPS tracker mereka bergerak menuju selatan, kemudian Rad memimpin Reynold untuk kabur ke arah utara. Berkat GPS tracker yang hanyut itu, polisi semakin menjauh dari mereka, kali ini kedua pemuda itu bisa bergerak dengan tenang mencari arah menuju dermaga. Menyalakan peta online bukanlah pilihan. Di masa-masa seperti ini Rad menduga kepolisian pasti sedang memantau IP penduduknya. "Sebentar lagi kita meninggalkan Dorian, kau senang, Rad?" tanya Reynold dengan suasana hati yang ringan, walau sesungguhnya itu hanya kamuflase saja. "Jangan senang dulu, apapun bisa terjadi," kata Rad. "Kenapa? Kita berhasil menyingkirkan polisi, pembunuh bayaran, dan ada dermaga di depan mata. Wow aku kerja keras setiap hari tapi ujung-ujungnya kita mencuri kapal juga..." Berhubung suasana hati Rad sedang kesal saat ini, dia membalikkan badan untuk meluapkan kemarahannya kepada Reynold. Kenapa orang ini tidak bisa diam? Namun sebelum dia sempat mendamprat apapun, dia melihat ada Topeng Setan dari arah belakang Reynold sedang berlari menerjang mereka. Rad mendorong Reynold ke samping dengan tangannya, kemudian dengan pistonya dia menembak si Topeng Setan tepat di kepala. Peluru .9 mm kaliber itu memantul saat mengenai Topeng ala kabuki jepang itu, namun benturannya sempat menghentikan langkah si Topeng Setan. Rad tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia menahan tangan si Topeng Setan yang menggenggam golok, kemudian dia memukulkan glock ke topeng tersebut. Dia sengaja ingin memecahkan topeng itu agar tahu wajah dibalik topeng tersebut. Namun si Topeng Setan cepat pulih, dia mengayunkan lututnya menuju perut Rad. Rad menahan serangan bawah itu dengan kakinya, kemudian menyikutkan siku lengannya ke wajah si Topeng Setan itu lagi. Si topeng Setan juga tidak menyerah, dia mengayunkan wajahnya untuk membenturkan topengnya yang keras itu ke wajah Rad. BAM! Benturan keras terjadi, Rad merasakan kepalanya berputar karena topeng itu sungguh keras sekali entah terbuat dari bahan apa. Reynold menemukan tabung pemadam kebakaran dan menyemburkannya kepada si Topeng Setan sehingga pandangannya terganggu. Rad merayap pergi, terseok sedikit karena terburu-buru. "Ayo kabur!" seru Rad sambil berlari. Reynold mengayunkan tabung gas itu ke kepala Topeng Setan, maksudnya agar si Topeng Setan itu pingsan dan memberi mereka barang 10 atau 15 menit untuk melarikan diri darinya. Namun Topeng Setan menahan ayunan tabung gas itu dengan tangannya. Kelihatannya bounty hunter itu sudah emosi dan langsung saja dia membacok badan Reynold. Jeritan Reynold mengudara saat darahnya memuncrat keluar dari bahu. Rad yang sudah jauh itu masih mendengar suara jeritan sahabatnya. Dia memanjat ke atap sebuah gedung dan memantau apa yang terjadi di belakang. "Sialan! Reynold kau memperlambatku saja!" geram Rad, kemudian dilihatnya Reynold sedang merangkak dengan badan bersimbah darah. Ada luka terbuka menganga dari bahunya. Dia mencoba untuk melarikan diri walau jelas merupakan tindakan sia-sia. "Kalau kau lambat, aku takkan kembali untukmu! Aku sudah bilang padamu, sialan! Sialan!" Rad ingin pergi, dermaga di depan mata. Para nelayan terlihat sedang bersiap untuk melaut. Tapi Topeng Setan itu sedang mengangkat parangnya untuk menghabisi Reynold. Rad memeriksa pistolnya, ada peluru terakhir di dalamnya. Dia membidik sesuatu tidak jauh dari Topeng Setan itu berdiri ada deretan tabung gas yang bersandar di tepian dinding bangunan pabrik. Rad menembakkan pelurunya ke sana dan meledaklah tabung gas itu meruntuhkan bangunan di sekitar Topeng Setan, .... dan Reynold. Rad ingin sekali naik ke kapal nelayan itu dan bersembunyi sampai dia ada di tengah laut dan membajak kapal tersebut setelah lewat dari batas patroli marinir. Tapi dia berlari kembali ke reruntuhan gedung pabrik yang menimpa Reynold. "Sialan kau Reynold! Kau memperlambatku untuk kesekian kalinya! Tidak bisakah kau lebih becus sedikit saja?! Aku tinggal kau, aku tinggal kau sendirian, kau membuatku terjebak dalam bahaya! Bodoh! Idiot!" Rad menggali timbunan reruntuhan, puing-puing bata dan beton, lalu menemukan tangan kekar yang berdarah-darah dan tertutup debu. Nafas Rad menjadi cepat, paru-parunya kembang kempis, dirinya tahu Reynold sudah gawat darurat. Namun dia menggali dan terus menggali. Umpatannya sudah berhenti, tidak menyadari dalam hati dia berharap Reynold baik-baik saja, masih hidup, bahwa mukjizat itu ada, sekalipun Rad menganggap agama itu omong kosong. Dia berharap keajaiban terjadi. Orang begini baik, kenapa harus mati seperti ini? Terutama, dia mati demi menyelamatkan penjahat seperti Rad. ".... Rad?" terdengar suara Reynold dari bawah tumpukan. Tangannya yang terbebas dari reruntuhan itu bergerak melambai-lambai seperti sedang menggapai sesuatu. "... Rad, kau pergi saja... aku tidak bisa merasakan kakiku...." "Bodoh, kalau mereka menangkapmu mereka akan menginterogasimu untuk mendapatkan info mengenai aku!" Rad menggeram keras saat dia mencoba mengangkat tiang beton yang menimpa tubuh Reynold. "Kau kuat sekali, Rad... bisa mengangkat tiang ini... berat sekali... aku hampir tidak bisa... bicara..." kata Reynold. "Aku sudah bilang padamu, jangan lambat! Kenapa kau selalu lambat?!" namun sesuatu mencelus dalam batin Rad, karena dia tahu alasan kenapa Reynold terjebak di dalam reruntuhan ini adalah karena dia kembali untuk menyelamatkan Rad. Bila Reynold tidak kembali, Rad sudah mati. "Kemari, teman, ... pegang tanganku...." tangan Reynold yang terbebas itu terangkat ke udara, mencari-cari tangan Rad. Sirene polisi mulai terdengar mendekat. Rad pun menyerah. "Pegang tanganku, bro..." Rad memegang tangan temannya itu dengan erat menggunakan kedua tangannya. "Aku ingin kau berjanji.... berjanjilah padaku ..." Reynold terengah-engah, suaranya terdengar melemah. Rad masih menggenggam tangannya dengan erat. "Janji apaan?" Rad tidak ingin meninggalkan temannya seperti ini, namun sirene polisi terdengar semakin dekat, bahkan lampu merah biru mereka sudah terlihat di kejauhan. Dia harus lari sekarang. "Berjanjilah... bahwa kau ... akan menggantikanku... menjalankan wasiat ayahku...keliling dunia .. membantu orang ..." Reynold sepertinya tidak bisa menunggu jawaban Rad, setelah ucapannya selesai, tangannya lemas tanpa kehidupan. Rad masih menggenggamnya erat, kemudian dia menempelkan dahinya di sana, sebagai afirmasi. Mungkin dengan demikian, Rad ingin mengatakan "aku berjanji". Mungkin saja dia juga bermaksud mengatakan, "terima kasih selama ini", atau mungkin "selamat tinggal, sahabatku." Rad harus melepaskan tangan sahabatnya karena polisi sudah memarkir kendaraan mereka tidak jauh dari reruntuhkan pabrik itu. Rad melarikan diri menuju kapal nelayan. Dia telah menyusup seumur hidupnya, harusnya semua ini tidak sulit andai tidak ada bounty hunter yang mengejarnya. Rahasia Leonard 10 September 2418, Plateland Ballroom ... Malam berbintang terlihat paling indah di atas Plateland. Tempat itu berada sekitar 3.000 meter di atas permukaan air laut, menjelajahi dunia bagai piring terbang raksasa. Penghuninya seakan hidup di atas puncak gunung yang bergerak setiap saat. Malam itu ada pesta dansa perayaan kelulusan calon prajurit PUDF yang baru, tahun ke tiga dimana Leonard menjadi komandan besar di PUDF. Dilantik oleh presiden dari Liberta membuat Leonard mau tidak mau harus selalu tunduk pada kebijakan Liberta. Lagipula, Liberta merasa seakan Plateland berhutang segalanya kepada mereka. Pertama-tama, mesin tenaga solar yang menjadi sumber energi utama di Plateland, itu pemberian Liberta. Kemudian, mesin yang membuat Plateland selalu melayang di atas tanah, itu hasil temuan Alexander Holt, seorang ilmuwan dan teknisi jenius kelahiran Liberta--walau dia dibesarkan di Atlantris dan berkuliah di Atlantris, namun karena prestasinya, Liberta selalu mengklaim bahwa Holt adalah warga negara mereka--kemudian juga yang mendanai segala biaya... Hilda la Vida 3 Maret 2419, Plateland... Hilda 08:54 am -Leo, aku tahu kau membaca pesanku. tolong dibalas!! Hilda 09:04 am -Ini sudah berapa minggu kau tidak menampakkan diri? Mereka mencarimu! Aku tidak bisa lagi membuat alasan Hilda 10: 11 am - Kau masih hidup, kan??? "Oke, tuan Komandan terhormat yang meliburkan diri dua bulan ... semoga aku tidak melihat mayat di dalam sini," suara Hilda terdengar sebelum pintu kamar Leonard terbuka. "Hmm! Bau daging busuk bercampur muntahan orang mabuk dan asap rokok," Hilda merasa sedikit pusing sembari dia bergurau mengenai udara yang tercium dari kamar Leonard di asrama Plateland. Hilda terbatuk sesaat, seperti tercekik aroma memuakkan, "mereka memberiku kunci kamarmu, aku disuruh mengecekmu dan menyeretmu ke hadapan mereka, jadi jangan marah padaku, aku hanya disuruh. Oke?" "Mau apa kau ke sini?" tanya Leonard dengan malas. Sudah lama sekali dia tidak bercukur. Ada bintik-bintik janggut kasar tumbuh liar di sepanjang rahangnya. Hilda berjalan... Crink! Masih ada ratusan berkas lainnya yang harus diurus. Kopi susu yang mulai mendingin terabaikan di tepi layar komputer, Hilda terus mengetik seakan ini adalah kompetisi dan tantangan yang harus dia menangkan. Setidaknya setiap lima menit sekali ponselnya bergetar atau berdenting, tanda ada pesan teks masuk ke ponselnya. Tidak dia hiraukan sama sekali karena dia tahu siapa yang berusaha menggapainya melalui bunyi ringtone. Ting! Ting! Hilda mengabaikannya. Bila bunyinya "Ting!" maka berarti itu dari mantan aneh mengerikan yang punya kecenderungan psycho, yang tidak berhenti mengejarnya sejak bertahun lalu. Ganti nomer percuma saja karena dia selalu bisa menemukan nomer barunya, dan nomer Hilda sudah terhubung dengan orang-orang penting. Memblokirnya juga percuma karena dia akan membeli nomer baru untuk meneror Hilda dengan gairah seksualnya yang aneh. Bukannya tidak berpikiran terbuka, tapi Hilda tidak tertarik untuk bercinta dengan anjing sementara si kekasih menonton sampai terangsang, biar dia cari orang lain saja yang sama "Edan"nya... Reuni di Pemakaman 7 Maret 2419, Orfen ... Pemakaman berlangsung secara militer, tentu saja. Autopsi telah dilakukan dan kepolisian Liberta sepakat penyebab kematian Leonard adalah karena luka bakar kronis yang dideritanya. Begitu panas api yang menyambarnya sehingga kulitnya meleleh dan kalung singa yang dia gunakan sampai terbenam di dalam kulitnya. Namun tes DNA mengatakan bahwa orang ini memang positif Leonard Wyatt. Satu persatu orang meninggalkan area pemakaman, sehingga yang tersisa hanyalah seorang gadis cantik dengan rambut perak. Berbeda dengan orang lain yang menangis tersedu atau merasa kehilangan harapan karena merasa bahwa Leonard Wyatt adalah pahlawan dunia yang berjasa memimpin kemenangan umat manusia dalam perang Magus lima tahun lalu, wanita berambut perak ini terlihat damai wajahnya. Bahkan dia terlihat seakan sedang tersenyum melepas kepergian Leonard. Hilda menyatukan kedua telapak tangan di depan dada lalu membungkukkan badannya sedikit, cara untuk mengajukan salam kepada suku Namaste. Wanita itu juga membalas dengan gestur yang sama. "Aku turut... Pelahap Kenangan Hilda, Leonard, dan Rad dibesarkan di panti asuhan di pulau kecil bernama Orfen. Pulau itu letaknya tidak jauh dari Dorian yang indah, namun nyaris tidak pernah didengar kebanyakan orang. Setiap kali mereka pulang ke Orfen, aroma familiar tercium, membawa kembali kepada kenangan masa kecil dimana mereka berlarian di hutan di belakang panti asuhan, atau di pantai kecil di tepi panti asuhan. Dulu pulau ini adalah miliki seorang bangsawan kaya raya namun penyendiri bernama Bradley Orfen. Karena banyak yang datang kepadanya untuk minta bantuan atau menawarkan kerja sama bisnis, Tuan Orfen jadi gerah dan dia kemudian menjual semua hartanya untuk membeli pulau kecil di selatan Dorian lalu mendirikan kastil kecil di atas bukit. Setelah Bradley Orfen meninggal dunia, kastilnya jadi kosong dan banyak gosip horor mengenai kastil itu beredar. Seorang kapten dari Dorian terpaksa mendarat di pulau tersebut dan menemukan kastil itu, kemudian memiliki ide. Bagaimana kalau mereka membawa anak-anak yang... Pesan dari Masa Depan Pantai di belakang panti asuhan masih sama seperti dulu ketika Rad mengingatnya. Pantainya kecil, hanya sepanjang beberapa belas meter saja.  Airnya jernih, berwarna biru, bisa melihat tembus sampai ke lantai perairan.  Hilda sedang berdiri memandang horizon lautan Atlantris yang jauh, dia mendengar suara langkah sepatu bots Rad mendekat di sela-sela bunyi kicauan burung camar di langit. "Aku tidak percaya Leo benar-benar mengorbankanmu..." kata Hilda tanpa menoleh ke arah Rad di belakangnya. "Yang hilang hanya kenangan, bukan tubuhku atau jiwaku," kata Rad. Hilda berpaling kepada Rad sambil tertawa angkuh, "iya, itu masalahnya. Kenapa hanya kenangan? Lebih bagus kalau kamu ikut hilang saja semuanya." "Aku tidak paham kamu. Sebentar kau peduli, sebentar kau benci padaku." "Oh, jangan berimajinasi yang tidak-tidak. Jangan menyanjung dirimu sendiri. Kan aku sudah bilang padamu, bila kau ingin pergi, aku tidak akan pernah lagi sudi melihatmu!" Hilda meninggalkan Rad di tepi pantai itu, sementara itu Rad tetap membisu,... Sam Diver Sam memungut sejumput pasir putih di tepi pantai panti asuhan yang sunyi itu, perlahan meregangkan jemarinya sehingga butiran pasir itu terbang. Rambut pirangnya yang gondrong berkelebatan cepat tertiup angin laut yang kencang di sore hari, kulit kecoklatannya basah oleh air pantai. Dia sempat menyelam, berenang di pantai indah yang sunyi itu, namun tidak mampu mengingat alasan kenapa Leonard menemukannya di pantai ini, pantai Orfen. Baru sekarang dia sadar bahwa rupanya dia terdampar di Orfen, selama ini dia tidak tahu dia terdampar di pantai mana, begitu membuka mata hanya ada pantai yang sunyi dan tiga orang pria berseragam PUDF mengelilinginya. "Halo? Kau bisa mendengarku?" wajah Leonard dekat sekali dengan wajahnya, lelaki bermata tajam itu melambaikan tangannya di depan muka Sam. 2 Desember 2416, Orfen ... ".... Ya? Sepertinya ..." "Bagus, ternyata dia baik-baik saja," Leonard tadinya berjongkok, kemudian menjauhkan wajahnya dan berdiri. "Di mana aku?" Sam berdiri sambil memegang kepala, rasanya... Malam Tahun Baru 2417, Akhir dari Perburuan 31 Desember 2416, 23:59 pm, Mildad ... Saat itu malam hari di Mildad, malam tahun baru. Semua orang keluar ke jalanan, melihat parade, pertunjukan besar di tengah jalan dari jalan Monthway sampai Feguson. Malam itu sisi jalanan besar lain yang tidak menjadi rute parade berubah menjadi pertokoan kaki lima. Tahun 2417 akan dimulai beberapa detik lagi, ada jam besar di alun-alun kota yang menjadi titik berakhirnya rute parade. 5 4 3 2 1 ... Suara ledakan besar terdengar di sebuah atap apartemen kumuh bersamaan dengan meluncurnya ribuan kembang api ke langit. Tak ada seorang pun yang bercuriga, hanya pasukan pemadam kebakaran yang mendengar sirene bahaya dan bergegas meluncur ke pemukiman kumuh tersebut. Gedung apartemen kumuh itu cukup tinggi, ada 8 lantai, kamar yang meledak ini adalah kamar dari lantai 8. Lubang besar terbentuk dari ledakan tersebut, melayangkan asap pekat yang mengepul dari api kebakaran. Sesosok bounty hunter dengan topeng setan... Prototype 2 Januari 2417, Armadillo ... "Tidak ada. aku hanya ingin kau hidup damai di Armadillo bersama Yuki." Setelah mereka tiba di tepi pantai Armadillo, Leonard menyuruh Hilda untuk tinggal di kapal selam sementara dirinya mengantarkan Rad menuju mercusuar dimana Yuki berada. Berjalan berdua di jalanan yang sunyi subuh itu di Armadillo, Leonard menceritakan sedikit tentang Sam. "Saat ini aku sedang menyelidiki sesuatu yang sangat penting, Rad." "Uh-huh?" "Ya. Beberapa waktu lalu, mungkin sebulan lalu, aku menemukan seorang bocah amensia di pantai Orfen. Ada yang aneh dengan bocah ini, aku yakin ada sesuatu dari dalam dirinya yang bisa membuat Liberta memanfaatkannya untuk memperkuat kontrolnya terhadap umat manusia di planet ini." "Aneh seperti apa?" "Kami juga belum tahu. Tapi pada saat aku menemukan bocah ini, aku sedang mengudara bersama dua ajudanku di langit. Mendadak kompas kami hilang kendali dan berputar-putar dengan cepat. Kami terpaksa mendarat dan menemukan bocah itu berbaring di tepi... Kenangan Pertama yang Hilang Rad mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Matanya terpejam, namun pikirannya teraduk-aduk. Mereka bilang Reynold adalah sahabatnya sejak di Plateland. Semakin dia mencoba mengingat Reynold, semakin banyak yang dia lupakan. Mungkin sebaiknya tidak usah mengingat apa-apa, tetap fokus di masa sekarang atau masa depan. Lima jam yang lalu mereka berdiskusi bersama Soleil di ruang makan panti asuhan Orfen bersama semangkuk sup kentang dengan kuah susu keju. "Saat ini kita hanya bisa mengasumsikan bahwa Topeng Setan yang menginginkan kekuatan Jotun Atlas, dan besar kemungkinan dia ingin menguasai semesta," Hilda menyimpulkan. "Aku tidak pernah habis pikir dengan orang-orang ini, kenapa mereka ingin menguasai semesta? Sedangkan di sini aku hanya ingin hidup sebagai diriku sendiri." Rad menggelengkan kepalanya. Kemudian dia menyadari semua orang di ruangan itu menatapnya aneh. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?" "Rad, itu permintaan yang sangat sederhana, kau tinggal menjadi dirimu sendiri saja, kenapa susah sekali?" tanya Sam, tentu saja dia... Morrowind Teriknya sinar matahari menyengat kepala Rad sampai dia terbangun dari tidur. Badannya terasa pegal dan kaku karena posisi tidurnya yang buruk. Bagaimana seseorang bisa tidur dengan nyaman bila dia tidur dengan posisi duduk dengan leher tertekuk?  Rad menggerak-gerakkan tubuhnya sambil menatap ke sekeliling. Subuh tadi dia berhasil menyelinap masuk ke dalam kapal yang hendak berangkat meninggalkan Dorian.  28 November 2416, Di suatu tempat di tengah lautan Atlantris... Setelah apa yang terjadi kepada Reynold subuh tadi, Rad mengira dirinya akan bermimpi buruk. Dia mengira Reynold akan datang dalam mimpinya dan mengajak berkelahi. Tapi ternyata tidak seperti itu. Bahkan Rad tidak ingat apa yang dia impikan tadi. Semuanya seliweran, campur aduk. Seperti blender yang berisi beragam buah namun tidak mau menyatu juga. Kesendiran lalu membuatnya teringat apa yang terjadi pada Reynold, Rad mengusap wajahnya. Ya sudahlah, pikirnya. Orang datang dan pergi, hidup dan mati sudah jadi siklus alam. Hanya saja hari ini... The Death of Prey Pintu kamar dibuka dan terdengar suara seorang wanita menjerit. Wanita itu menjerit karena melihat seseorang terbunuh di dalam kamarnya, dan ada darah yang menggenang. "Ester! Ada apa?" terdengar suara seseorang dari lantai bawah. Langsung saja Rad menangkap perempuan itu dan membekapnya. Dia menutup mulut perempuan itu dengan salah satu tangannya. Tenaga perempuan itu terlalu lemah untuk memberontak lepas atau melawan balik, Rad menjeratnya hingga tak berkutik. "Dengar ya," bisik Rad. "kau bilang pada orang di bawah sana bahwa semua baik-baik saja. Bila kau berani berteriak atau panik, aku janji kau tidak akan melihat malam hari datang." Namun terjadi sesuatu yang aneh. Rad merasakan telinganya berdenging, kemudian kepalanya terasa begitu ringan. Dengan cepat pandangannya menggelap dan tubuhnya menjadi lemas seakan nyawanya terbang dari tubuhnya. Rad jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya seberat 94 kg itu jatuh seperti lemari di atas lantai kayu. Lelaki di bawah memutuskan ada yang salah di lantai atas... Soulmate Morrowind, 29 November 2416 ... Aroma sage tercium dari lantai dua, Esther sedang membakar daun sage untuk membersihkan aura kamarnya karena tadi ada yang mati di sana. Saat ini Esther sedang menyalakan lilin sambil bermeditasi. Selain seorang prototype yang bisa melakukan sihir, Esther juga seorang medium, dia dapat berkomunikasi dengan roh dan cukup peka terhadap energi. Dua cangkir kopi hitam yang pekat menemani obrolan dua orang beda generasi itu. Ringkasnya, sama seperti yang telah dilakukan Rad, Beverly juga melakukan hal yang sama.  Berawal dari rasa suka Beverly terhadap sejarah, Beverly berambisi untuk menjadi seorang sejarawan. Namun kemudian dia menemukan kejanggalan dalam sejarah, seakan kisah yang ditulis di sana tidak nyata dan minim bukti arkeologisnya. Malah sebaliknya candi-candi yang diklaim sebagai peradaban manusia purba malah lebih sesuai dengan beradaban kaum Magus. Karena tidak sanggup membayar uang masuk ke universitas untuk menjadi sejarawan atau arkeolog, Beverly menggunakan jalan lain. Dia memulai karirnya... Enya Breaston, 6:43 pm, 7 Mar 2419 ... Hilda dan Rad tiba malam itu juga di Breaston. Perjalanan panjang yang melelahkan. Rad membantu membawakan barang Hilda, tapi wanita itu menolak, dia tetap membawa tasnya sendiri. Bukankah kamu sudah memilih untuk meninggalkanku? Buat apa sok ramah membantu membawakan barang segala? Jadi cowok plin-plan yang konsisten dong! Demikian gerutu Hilda dalam hati. Mobil kecil Hilda diparkir di stasiun kereta Breaston dan mereka menaiki itu sampai ke rumah Hilda. Rumah itu masih seperti dulu, rumah cob yang terbuat dari tanah liat dan jerami, bangunan yang terasa sejuk di dalamnya walau sedang musim panas. Baru saja membuka pintu, terlihat ada seorang gadis muda berwajah manis menyapa mereka. Dia cantik sekali, pipinya kemerahan dan matanya menatap dengan polos. Itu sepasang mata yang menatap dunia dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang.  "Hai!! Lihat, mama sudah pulang," gadis itu mencium pipi seorang bayi lelaki dengan rambut kecoklatan.... Ballroom Surprise Plateland, 7 Maret 2419, 08:12 pm.. Hilda tampil cantik dengan setelan one piece hitam dengan manik-manik gliter. Rambut pirangnya terlihat seperti kain sutra emas yang berderet lurus. Kacamatanya tipis tergantung di atas hidungnya yang kurus, dilengkapi dengan senyum dingin. Hiasan serupa mawar hitam tersemat pada bagian atas gaunnya. Malam ini semua mata tertuju padanya. Musik waltz mengalun di lantai dansa, Hilda memungut segelas champagne dalam gelas panjang yang dibawakan seorang pramusaji keliling lalu dia menemukan salah satu sudut pilar di tengah ruang ballroom dan berdiri di sana mengawasi para hadirin. Rata-rata yang hadir di sini adalah tamu-tamu penting. Perwakilan Dorian, Mildad, Oro Marbolo, bahkan Armadillo juga ada. Pokoknya semua yang punya saham di PUDF hadir di sana.  Kemudian, seseorang menyapanya, "Hilda!" Baru mendengar suaranya saja Hilda sudah tergelitik. Orang ini seperti guilty pleasure. Kehadirannya membuat Hilda ingin pergi, tapi bila dia tidak ada rasanya ada yang kurang. Seorang lelaki ganteng... Serangan Topeng Setan Breaston, 11:25 pm, 7 Maret 2419 ...  Asap tebal terlihat dari kejauhan, ada sesuatu yang terbakar di Breaston dan itu membuat firasat Hilda semakin tidak enak. Dia benar-benar tidak sabar agar mereka cepat mendarat. Hilda semakin panik ketika menyadari rumahnyalah yang terbakar. Belum benar-benar mendarat, Hilda sudah melompat keluar dari kapal udara itu dengan tangan yang dipenuhi kekuatan es. Dengan semburan angin dingin yang kuat, Hilda menyambarkan kobaran api itu. Saking kuatnya sampai rumah tersebut membeku dengan cepat. "Wes!!" jerit Hilda, masuk ke dalam rumahnya yang masih terbakar.  Sementara Hilda dengan panik masuk ke dalam rumahnya yang terbakar, Rad menyadari ada seorang lelaki berambut biru jabrik berdiri di atas atap rumah tetangga. Dia sedang mencekik Enya yang terluka di sekujur tubuhnya dengan salah satu tangan. "Oh, lihat, ada Rad Locke. Kenapa kau masih di sini? Bukankah Topeng Setan menyuruhmu pergi ke kuil di Azranda?" "Hei, lepaskan gadis kecil itu, dia... Description: Mana yang lebih buruk? Kehilangan seseorang yang anda cintai karena kesalahan anda, atau perlahan melihat orang yang anda cintai menjadi orang lain? Ketika pahlawan dunia jatuh cinta dengan buronan nomer satu di dunia, kisah cinta menjadi rumit Nama Pena : Balter media sosial : facebook "Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #BNNS2019 yang diadakan oleh Storial"
Title: Rp 500 Category: Cerita Pendek Text: Rp 500 Rp500,00 Hari pertama di bulan Mei. Seperti biasanya, di sore yang cukup indah dengan pemandangan matahari berwarna merah di ufuk barat, sisa dari cuaca yang cerah di musim panas. Namun, bau lautan aliran keringat mendayu-dayu menusuk hidung membuatku merasa harus terus bergerak, Kota memang begitu panas hari ini, apa lagi di iklim tropis Indonesia. 1 May, hari di mana semua buruh di seluruh dunia bergerak memperjuangkan hak mereka, berbagai cara mereka lakukan, Berdemo di depan markas para buaya berdasi, dengan teriak-teriakan orasi yang menggebu-gebu mereka meminta, meronta, berteriak, terkadang pula memaki, terkadang tak bisa di hindari saling serang dengan aparat pun terjadi, semua mereka lakukan demi memperjuangkan sesuap nasi yang lebih baik dari hari ini. Mataku mulai lelah berkeliling liar. Lirik sana lirik sini. Kupandangi Kukitar hampir sama semua. Para buruh yang berteriak, beberapa penjual air mineral, yang terkadang jualan mereka di larikan begitu saja. Beberapa sopir bus dan metro mini yang sibuk mengibas-ngibaskan handuk yang biasa mereka kalungkan. Tapi sejenak mataku terpaku di satu titik, aku tak beranjak di titik itu beberapa saat, sudah kucoba berpaling tapi seketika kembali leher berputar membawa ke arah sana lagi. Terlihat samar olehku seorang kakek yang tua renta. Yang di kepalanya memanggul air mineral, kupandangi, air-air itu di ambil begitu saja oleh para demonstran. Dalam hati aku bergumam “apa tak punya otak mereka meminta hak, tapi melukai saudara sesama pencari sesuap nasi” tapi Entahlah itu di bagikan atau perampasan. Aku mengalihkan pandanganku. Beberapa saat. Aku terkejut melihathat sosok tua tadi di hadapanku sekarang. “Minum, nak ? ” Tawar sang kakek, yang tengah memikul air mineral di kepalanya “kek, itu air minumnya di jual ?” Tanyaku penasaran, aku belum meraih air yang ia tawarkan. “tak ada yang kujual anak Ku, kau haus ?”, Dia balik bertanya, aku sedikit terkejut mendengar perkataannya, “lalu kalau tak di jual, buat apa membagikan gratis begitu” gumamku dalam hati. “hemm, iya begitulah kek, tapi aku tak mau menerima gratis “ Jawabku, sambil membersihkan lensa kameraku dengan tisu, “kalau kau mau minum ambillah, tapi aku tak menerima uangmu nak” Ujarnya lagi, si kakek mengambil air mineral pada nampan yang ia taruh di atas kepalanya, kemudian memberikan sebotol kepadaku. Refleksku terima, lalu memberikan uang Rp 5000. Aku berharap dia meraih uang ini, badan begini, keadaan seperti itu, mau-mau saja di perbudak. Pikirku angkuh. “anak muda, kulihat tampangmu sehat, kau tampak seperti seorang wartawan” Ujarnya, dia tak meraih uang yang kuberi, apa karena tak ada kembalian atau apa? Mungkin. Dia menarik topi yang ia kenakan sambil menaikkan kembali nampan yang dari tadi ia pikul dengan kepalanya. “saya bukan wartawan kek, saya hanya anak pers sekolah, saya hanya ingin mencari berita untuk koran sekolah saya” Kakek itu tersenyum kepadaku, aku masih menyodorkan uang Rp 5000 itu kepadanya. “siapa namamu nak?” Aku agak kesal, kenapa tak ambil uangnya dan pergi, aku hanya kasihan melihat keadaanmu kek, badan kurus kerempeng, membawa minuman di atas kepala, lalu diambil begitu saja airmu. Aku terus mengomel dalam hati. Dengan sedikit perasaan angkuh, “nama saya Mori Rezukeya kek, kakek berjualan di sini?, aku hanya ingin membeli airmu kek” Ujarku lagi. Kemudian aku masukkan uang Rp5000 itu dan mengambil uang Rp50.000 dari saku celanaku dan kembali menyodorkan kepada si kakek “nak mori, sudah kukatakan, aku tidak berjualan di sini, simpanlah uangmu itu” Jawab kakek sambil mendorong tanganku. Dia berjalan meninggalkanku , menjauh dari keramaian demonstran. Tanpa pikir panjang aku mengikuti si kakek. “kek, tunggu saya kek” Panggilku Tapi kakek itu tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan meninggalkanku “kek tunggu saya, saya Cuma mau bantu” Tapi tetap saja dia terus berjalan tanpa menoleh kepadaku. “kek” aku berlari, kukejar, beberapa demonstran kutabrak saja, tak peduli. “kek, kenapa kakek pergi, niat saya baik kek” Ujarku terengah-engah “kakek kesini bukan mencari uang mori, kakek kesini Cuma ingin membantu orang-orang” kakek menatapku, dia menatap dengan mata penuh kejujuran, aku tahu itu. “lihat mereka mori” Kakek mengarahkan jari telunjuknya ke tengah-tengah lautan masa di hadapan kami. Tampak wajah-wajah penuh harap parah buruh, berharap harapan mereka tergurat, berharap permintaan mereka di kabulkan, berharap susah payah mereka ini di bayar sebuah kepuasan tanpa tara. Hal ini memukul jatuh jiwaku hingga terperosok di kedalaman rasa angkuh, menjatuhkanku. Orang macam apa aku ini ? “mereka perlu pertolongan, pertolongan dari Politik yang tidak mengenal keadilan, ekonomi yang memaksa mereka memakan beras Bulog, tapi aku tak mampu menolong lebih jauh, aku sadar, jadi akan kulakukan sebisaku, menolong orang tak harus merubah tatanan politik atau aturan ekonomi sebuah Negara agar mereka sejahtera mori, lakukanlah dari yang kau bisa, dari yang kita bisa” Ujar kakek cukup panjang, dia sungguh menampakan wajah tulusnya Beberapa orang menghampiri kakek, dan mengambil air mineral yang kakek pikul di kepalanya. “terima kasih pak muslim” Ujar seseorang dari mereka pada kakek yang hanya membalas senyum, tampak wajah kakek puas. “aku juga ingin mmbantu kek, aku mau membayar atas air mineral yang ku teguk, dalam tiap tetes yang membasahi tenggorokkan ku, dengan uang ini kakek bias membeli beberapa air minum lagi untuk di bagikan” Tawar ku, semoga kakek mau menerima. Kakek tersenyum pada ku , ya aku kenal senyum itu sedari tadi ku perhatikan. “baiklah,jika kamu benar-benar ingin menolong ku,coba lihat ke sana” Dia menarik tangan ku, membawa ku agak jauh dari keramaian, lalu Kakek menunjuk kearah gerombolan bocah Indonesia yang terlantar, gerombolan itu tengah memunguti beberapa botol bekas minuman, kaleng-kaleng, kardus-kardus. Mungkin sekitar 23-28 orang. Aku kembali terperosok jatuh, ke dalam dunia hina yang tak pernah kurasakan, kemana aku selama ini ? , kemana aku ? Kenapa aku sampai begitu tolol tak tau hingar-bingar kehidupan yang keras ini ? “dengar anak muda, aku tau ada jiwa yang begitu indah dalam jiwa mu, pertahankan dan kembangkan, rasa perduli mu itu, pertahan kan, sekarang bantulah mereka, Rp 500 saja begitu berharga bagi mereka, tolonglah mereka” Ujar kakek padaku, aku hanya diam, bingung, tapi satu yang ku sadari, kakek memberiku banyak pelajaran berharga di hari ini “Rp 500 kek?, serius” ujarku dengan wajah yang heran dan bodoh jaman sekarang Rp500 dapat apa ? Makiku dalam hati, kakek tersenyum padaku. Tapi Aku masih diam, diam heran “Mulailah dari hal terkecil yang kau miliki anak muda” Lalu kakek pergi meninggalkanku, dia hilang bersama nampan air mineralnya, hilang di antara lautan ribuan masa sore itu. Pertemuan singkat yang memukul keangkuhanku. Ku lihat gerombolan anak-anak jalanan itu tengah duduk berteduh di bawa dua batang pohon yang rindang, wajah mereka menggambarkan rasa kelelahan, aku hampiri mereka perlahan. “Ada yang mau es campur ?" *Cerpen ini saya tulis ketika masih di bangku kelas 1 SMA, Pernah terbit di koran dinding sekolah, saya posting karena saya menyayangi anak pertama saya ini (Cerpen Rp 500 yang sudah kamu baca) Description: "Aku tak mampu menolong lebih jauh, aku sadar, jadi akan kulakukan sebisaku, menolong orang tak harus merubah tatanan politik atau aturan ekonomi sebuah Negara agar mereka sejahtera mori, lakukanlah dari yang kau bisa, dari yang kita bisa”
Title: R E W I N D Category: Puisi Text: Tawaran untuk Melepaskan Kita pernah berada di posisi yang sama.Berusaha melepaskan.Aku melepasnya, kamu melepaskan dia.Kemudian aku mencoba satu cara terbaik dalam melepaskan.Sebuah pengalihan.Dengan berusaha menjadikanmu pusat perhatian.Bukan perkara mudah, namun akhirnya namamu berhasil tergenggam di tangan.Upayaku untuk maju telah terlaksana,Sedangkan kamu belum mau beranjak juga.Kemudian,Salahkah bila aku menyayangkan keputusanmu untuk tetap bertahan? Saling Yang tidak kamu tahu, aku memperhatikan detail perubahanmu.Sialnya tidak pernah sampai terucapkan kepadamu.Wangi barumu lucu, aku suka!Meskipun aku paham, berubahmu bukan karenaku ...apalagi untukku.Belakangan aku rajin-rajin membuka kamus.Berharap tanya demi tanya tentang istilah yang tak kumengerti akan menemui jawaban.Dan ...aku dapatkan satu.Saling.Dari arti kata itu, aku tahu.Tidak ada kata saling di antara kita.Sama sekali tidak. Istimewa Bahwa dalam sebuah siklus, menanjak naik dan jatuh terperosok adalah hal pasti.Memang buatku kamu istimewa.Mengapa?Yah, tentu saja.Bayangkan.Bagaimana bisa aku selalu memaklumi ketika dalam kecap prosamu,'dia' yang kamu sebut bukanlah namaku.Padahal dalam untai harapku, namamu selalu jadi pembuka, isi, serta penutup.Aku bisa marah.Tetapi tidak.Aku tidak akan.Karena sekarang aku paham.Perkara tersulit bukannya ditinggalkan.Tetapi merelakan.Kejar dan terus kejar dia jika kamu mau.Namun jangan cegah aku untuk membuntuti.Karena jika kelak kamu menyerah,Aku sudah siap.Menjadi sandaran barumu yang takkan beranjak pergi.Iya, aku memang tidak tahu diri.Tetapi setidaknya aku telah berusaha menggapai suatu hal yang membuatku mau menggapainya.Jangan tanya usahaku berbentuk apa.Memangnya, selain berdoa agar rapal doaku tentangmu didengar oleh-Nya, aku bisa apa? Semudah Itu Bahagiaku semu.Mudah sekali jika kau mau membantu.Mungkin kau tak tahu.Kau cukup menatap.Maka, di hatiku akan ada secuil ceria tertancap.Kau cukup tersenyum.Maka sorot tatapku padamu akan menjadi semakin kagum.Kau cukup menyapa.Kemudian aku merasa jadi manusia paling bahagia.Ajak aku bicara.Maka hariku yang kelabu akan lebih berwarna.Yah, semudah itu.Memberikan hati kepadamu bukan perkara main-main.Aku siap meski kau tak juga paham.Aku siap meski akhirnya aku akan merintih sendirian.Kau pernah hilang.Bahkan sebelum aku yakin bahwa kau telah kutemukan.Jangan hilang lagi.Setidaknya tetaplah di sini, biar kuawasi.Meski akhirnya kau bertemu, Dengan tokoh yang lain lagi. Kode Pertama Deret aksara sarat makna terhamparLupa akan maksud yang sebenarnya ingin tersiarInikah yang dikatakan suar?Waktu di mana kobar rindu makin menjalarYang membuat makian terdengar seperti kelakarMenguji setiap inci harapan, yang terbuka di kala datangnya debar Episode Waktu Senyapnya dini hariMenarikku paksa menuju lorong waktu lain dimensiBercengkerama akrab dengan masa yang telah tertinggalMeski jutaan harap tuk dapat menetap telah tanggalSebuah episode waktu membuatku melukis rentetan kisah penuh gairahMenuangkannya dalam kanvas mahabesar tanpa kenal lelahTanpa dapat dihapus atau dihilangkanHanya dapat ditambah atau dilanjutkanEpisode waktuYang membatasiku menembus dua ruangDulu, dan nantiHanya bisa berada di siniSaat iniMaju perlahan sesuai jalan setapak yang telah dituliskan Tanya Apakah ia menghindar?Atau takut menimbulkan lebih banyak debar?Yang aku tahu, cahaya senyumnya perlahan pudarMenyeretku menuju getirnya rasa tanpa getarYang tidak aku tahu, alasan dan tujuannya yang amat samarMemaksaku menyungging senyum berlapis kata sabarYang dia tahu, aku tidak akan menyoalkan hal ini terlalu lebarYang tidak dia tahu, timbunan rasaku semakin hari justru semakin berpendar Matahariku Kamu, yang kusebut matahariku.Yang membuatku bingung membedakan mana yang nyata mana yang semu.Kamu, yang senyumnya menjadi poros bahagiaku.Semoga kelak ada waktu,di mana aku mengatakan betapa aku mensyukuri keberadaanmu.Kamu, matahari pemecah konsentrasiku.Tetaplah bersinar, menghangatkanku seperti itu. Kode Kedua Akar permasalahan dari kalimat yang setiap hari kudengung-dengungkan mungkin hanya satu.Nada dari setiap bait lagu yang kunyanyikan mungkin selalu sama, berkisah seolah tanpa mau berganti dengan subjek yang baru.Dalam renungku di pagi buta ini, harapku mungkin tak lagi begitu menggebu.Larik demi larik sajak yang kutulis, mungkin hanya berderet sebagai prosa pengabar rindu.Waktu dengan culasnya terus menggerus kesempatan kita untuk sekadar bertukar temu.Ingin rasanya kubekukan jam meski sekejap, agar tak lagi ada kata rindu yang mengganggu. Noktah kecil di hatiku perlahan terbuka, menuntunku untuk kembali mengorek luka buatanmu yang menyiksa.Aku diam, menahan napas sembari mencoba memejamkan mata.Lalu dengan penuh percaya diri, aku kembali membukanya, melepas napas lega, dan mulai mengangkat bibir menuju lengkung indah tiada tara.Alunan merdu deru napasku berikhtisar hanya tentangmu saja.Untaian harap dan rentetan doa berpembuka 'semoga' berhilir tepat di relung hatimu sana.Mungkin cukup sekian, khayal yang kian membumbung menuntut kenyataan datang menyapa. Kopi Kamu serupa kopi.Pahit, tapi tetap aku sukai.Manis pun kadang hanya menutup sedikit rasa asli.Manismu sekejap, tidak abadi.Bahkan yang lebih keterlaluan, kamu membuatku kecanduan sendiri.Kamu serupa kopi.Ketika aku sedang lelah dengan hiruk pikuk dunia yang menjemukan, memikirkanmu saja sudah membuatku tenang.Kadang hanya dengan menghirup sekilas aromamu, peningku langsung hilang.Kamu serupa kopi.Membuatku bersemangat di pagi hari,Membuatku damai di malam hari,Menghangatkanku ketika rintik air menghujani bumi.Kamu serupa kopi.Tidak perlu banyak mengubah rasa alami, pencintamu yang sejati akan tetap selalu menggemari.Bahkan aku rela didera sakit luar biasa, ketika aku nekat mencecapmu meski lambung menari-nari memintaku berhenti.Kamu memang serupa kopi.Tetap aku nikmati meski akhirnya hanya ada sakit yang akan kualami. Perihal Rindu Menata puing demi puing rindu di sudut hati bukanlah hal yang mudah dilakukan.Butuh berjuta usaha untuk menepikan.Berikan aku ucapan selamat,sebab telah berhasil dengan baik menyusun dan menyimpan rapi sendirian.Meletakkan rinduku (yang hanya dan hanya akan selalu) untukmu di ujung hilir perasaan.Merajutkan benang-benang kenang menjadi rajutan ingatan yang akan indah diputar ulang.Terima kasih telah menjadi sebab sekaligus obat dari rinduku yang kerap belingsatan.Semoga kesempatan akan datang sebagai jelmaan dari doa-doa tak berjeda yang kupanjatkan.Meleburkan hangatmu ke dalam pelukan.Mendekap ribuan harap agar pedihnya jatuh cinta sendirian itu segera hilang.Aku menunggu. Dan selalu kuusahakan. Kesalahanku Mampuku hanya menghadirkanmu dalam imaji dan balutan angan-angan.Tidak ada daya untuk membuatmu menganggap bahwa aku ada,bahwa perasaanku benar-benar nyata.Ihwal perasaan, mungkin kamu tak akan pernah paham,jika di setiap malam usahaku membinasakanmu dari pikiran sudah tak lagi terkira.Aku tidak berani menyalahkanmu untuk kesalahan yang kuperbuat sendiri.Kesalahan besar karena meletakkan perasaan di setiap hal sepele yang kita lakukan.Jatuh hati itu berat,apalagi jika jatuh di tempat yang tidak tepat. Kirim Rindu Menuangkan rindu memang kadang sesulit itu.Berkata langsung aku tak mampu.Mengirim pesan pun aku ragu.Hanya tersiar lewat lagu yang terputar merdu,diiringi tatapan sayu sang rembulan di langit malam hari Sabtu.Kamu memang satu-satunya penyebab rindu yang paling buatku mencandu.Meski kerap dilingkupi halangan yang beribu-ribu, kuharap kiriman nyanyianku sampai padamu.Entah lewat bisik angin yang menyentuh wajahmu,Entah mengalir bersama air menuju parit dekat rumahmu,Entah merambat melalui udara malam yang sunyi menuju telingamu,Atau terkirim lewat sinyal yang kemudian dipancarkan menuju ponselmu.Merindukanmu memang sesulit itu.Maka doakan agar cara-cara sederhanaku berhasil membawa rinduku sampai padamu. Luka dan Duka Jadi menurutmu, menceritakan duka itu bukan apa-apa?Hahaha. Mungkin kamu belum pernah merasakan. Saat siku atau lututmu terluka dan hampir tertutup kembali, justru dikoyak hingga berdarah lagi, seperti terluka dua kali. Gamang Semula semua kukira akan berjalan sesuai rencana.Melalui babak demi babak, tahapan demi tahapan secara tertata.Tetapi aku lupa.Manusia yang selamanya teguh dan tak pernah berubah kata hatinya adalah ketidakmungkinan.Menanti kemustahilan datang bagai bersiap-siap ditertawakan keadaan.Meski diri diliputi kegamangan hanya karena satu-dua pesan yang menyiratkan ketidakpercayaan. Pamit [Katakanlah ini prosa terakhir dariku untukmu.Aku tidak janji, tapi semoga begitu.] Menulis tentangmu di lembar-lembar awal jurnalku bukan hal sulit.Hanya dibutuhkan sedikit saja kemauan agar tercipta bait demi bait yang sesuai dengan kenyataan. Di pertengahan, aku mulai menikmatinya.Seakan irama pena sejalur dengan memori yang kian lancar mengalirkan cerita demi cerita yang pernah–dengan, atau tanpa sengaja–kita lewati bersama.Tawa, kesedihan, canda, serta segala macam perasaan yang semakin kritis sebab terlalu lama dipendam,semua seakan bersinergi membisikkan kata demi kata,untuk kurangkai sebagai prosa. Menulis tentangmu pun akhirnya menjadi candu. Ironis memang.Menulis tentangmu tadi kataku?Haha. Ya.Karena menulis tentang kita hanyalah sebuah khayal yang faktanya tidak mungkin menjelma jadi nyata. Kini, di lembar-lembar terakhir, aku mulai kesulitan.Rasanya sesak.Aku benci menuliskannya.Bukan ini yang aku harapkan. Tahukah kamu?Kesempatan yang ada untukku hanya untuk mendoakanmu.Cukup itu.Maka selesai sudah drama-drama dan retorika yang sia-sia ini. Di ujung lembaran ini, aku berdoa ...semoga.Semoga ini benar-benar prosa terakhirku tentangmu.Prosa terakhir yang berisi luapan perasaan yang minim keberanian untuk diungkapkan. Terima kasih sudah selalu menjadi tokoh utama dalam jurnalku.Dengan senang hati, akan sering kuulang-ulangi membacanya lagi.Semoga kamu selalu bahagia.Dan, terima kasih untuk segalanya. #ever after kuucapkan selamat kepada tuan dan puan sebab telah berhasil menyaruk emas, menyenggau bintang tatkala sang pungguk menyaru sebagai permata nan elok, tuan dan puan tak merasa risau sebab ribuan kerlip telah tergenggam manakala turi yang kuncup malu-malu akhirnya terpetik, tuan dan puan hanya tersenyum sebab sekebun lembayung telah termiliki Nanti, Kalau Badainya Sudah Reda Adik murung.Bersendang dagu, matanya tersorot pada hamparan gersang tanah lapang.Tak ada kisah. Kasih yang ia damba tak pernah terasah.Matanya berlinang.Mengungkit kenang yang terjalin rumit di balik keningnya yang belang-belang.Adik mengangkat wajah tinggi-tinggi.Mengajak duel langit yang sedang dikuasai matahari.Wajahnya beringas, sadis.Tanpa adik sadar, jantungnya teriris.Wajah congkaknya coreng-moreng.Memberi kesan garang dan bengis.Tanpa mereka tahu, adik punya hati yang teramat tipis.Dukanya tertutup tawa.Badai di hidupnya tersembunyi oleh warna.Entah kapan waktu itu tiba.Suatu waktu, di ujung sore nanti.Adik terduduk tanpa suara.Tangisnya pecah tanpa bisa disela.Kesedihan menguar, duka dan pedih mulai tersiar.Suatu sore nanti.Entah kapan waktu itu tiba.Segala topeng yang adik beli sudah tak berguna.Air mata sekeras air raksa.Mengikis tipu daya bahagia.Adik menangis berpangku tangan.Mengiba pada Tuhan sampai napasnya sesenggukan.Di sore itu nanti, adik akan bercerita.Betapa ia rindu pada kejadian-kejadian lama.Yang adik tahu, semua hanya manis pada pembuka.Yang adik rasa, pahitnya akhir jalan cerita.Entah kapan waktu itu tiba.Mungkin nanti.Kalau badainya sudah reda. —Papercut— Seseorang pernah berkata padaku, bahwa kehidupan itu sangat misterius. Begitu misterius, sampai terkadang kita tidak sadar akan apa yang sudah, atau tengah kita lakukan. Menurutmu kau orang baik. Tak pernah menyakiti orang sampai keterlaluan, selalu menghormati orang lain, berjiwa besar, dan banyak lagi kebaikan yang dengan congkak selalu kau banggakan. Tanpa pernah kau sadari, caramu menyakiti memang begitu sederhana. Nyaris tidak terasa, seperti sayatan kertas tipis yang menembus kulit ari di ujung jemari.Lukanya parah? Tentu saja tidak.Tidak terlalu sakit, bukan jenis kesakitan yang pedih dan amat menyiksa. Dia–luka itu, hanya akan terasa perih.Tapi, mungkin kau lupa. Perihnya sayatan kecil itu tidak sebegitu sederhana. Ketika orang-orang abai pada luka yang nyaris tidak terasa sakitnya, luka itu tetap ada. Dia terbuka, dan berusaha sembuh tanpa sedikit pun obat ia minta.Luka itu kecil. Sedikit. Mungkin tidak mengeluarkan darah sama sekali. Tapi tetap saja, luka itu ada dan nyata. Tidak ada cara lain untuk menghilangkannya, kecuali dengan menunggu sampai ia sembuh dengan sendirinya. —Untuk Semua Orang yang Pernah Mampir— Demi rasa simpati yang sempat terselip. Rapi sekali. Melewati katup jantung, keluar mengikuti pembuluh nadi dan balik. Beredar teratur bagai orbit bumi mengitari matahari. Perlahan, simpati mekar jadi peduli. Entah mulai kapan, yang pasti semakin hari semakin sulit untuk pergi. Perpisahan itu keharusan, tapi melupakan adalah pilihan.Ketika hal pasti bernama perpisahan itu terjadi, maka bukan lagi tugasku atau tugasmu untuk saling menahan. Semua sudah sesuai rencana Tuhan, maka biarkan. Namun, melupakan bukanlah satu-satunya jalan. Berpisah, bukan berarti melepas semua memori yang sudah telanjur terjalin untuk dikenang. Mungkin tidak harus aku katakan. Tapi sungguh, terlupakan itu sangat menyakitkan. Tidak percaya? Buktikan. Galaksi Kamu tenggelam, aku sembunyi.Kamu menghilang, aku sengaja pergi. Kamu di andromeda, sementara aku di bimasakti. —Jarak— Kamu perlu tahu, jarak itu penting untukku. Untuk siapa saja, dalam hal apa saja. Memberikan jeda, entah waktu atau ruang, itu memang perlu. Bagi sebagian orang, berjarak mungkin terkesan jauh, tak tergapai. Tapi sebenarnya justru hal itu yang dibutuhkan ketika rasa jenuh mulai bersandar. Jenuh merasakan senang, jenuh merasa sedih, jenuh merasa sakit, jenuh merasakan rindu, jenuh merasakan jatuh berkali-kali, dan kejenuhan-kejenuhan lain yang terjadi akibat hal yang sama yang terlalu sering dirasakan. Yang diperlukan hanya jarak. Agar pesan basa-basi selevel "Apa kabar?" itu sampai dengan benar. Agar menanyakannya bukan lagi retorika yang tak memerlukan jawaban. Agar ketika aku mengatakan, "heii, kangen!" aku akan menemukan, "aku jugaaa" sebagai jawaban. Jarak itu penting. Untukku.Tapi juga tak melulu se-berjarak itu. Spasi berlebih membuat nyaliku untuk kembali menyapa lenyap seketika. Tidak ada daya lagi untuk sekadar mengangkat tangan dan pamer gigi. Bertemu denganmu, aku hanya bisa tertunduk dan diam tanpa suara."Dia apa kabar?" hanya akan jadi catatan ringkas di dalam hatiku sendiri. Pertanyaan yang begitu mustahil mendapatkan jawaban sebab pertanyaan itu tidak pernah terlontar. Hey? Cerita berkala secara rutin aku kirimkan.Tanpa satu pun kau perhatikan.Kau mungkin tak lagi peduli tentangku.Tentang apa-apa saja yang sudah atau sedang terjadi padaku.Pada hidupku sekarang, tanpamu.Tanpa kau sadari,tanpa pernah mau kaumengerti.Jika aku sangat menikmati perihnya sayatan rindu di tiap jengkal tubuhku.Meresapinya sebagaimana aku pasrah diterpa dinginnya udara yang membuat malamku beku.Aku merindukanmu.Tapi kau tak mau tahu. maaf Pulang, sudah malam.Anginnya kencang, dinginnya tidak lagi toleran.Nanti kalau sakit, kan sayang.Masa sibukmu akan datang.Jaga kesehatan.Maaf. Cemasku hanya mampu kuungkap lewat tulisan. —Yang Lalu— Lama sekali aku menunggu kesempatan ini. Kesempatan untuk menikmati rasa sakitku sendiri. Kesibukan dan keramaian memang membuatku lekas lupa akan luka yang sebenarnya masih menganga. Tanpa kusadari, hakikat hidupku sebenarnya hanya untuk merenungi salah dan dosa. Aku menunggu sampai pada titik ini lagi.Terduduk di sudut kamar, kemudian menyumpal telinga dengan diiringi bebunyian yang mengundang hawa sedih. Tanganku refleks membuka pesan-pesan lama, foto-foto masa lalu yang meski kualitas gambarnya buruk, tapi kualitas kenangannya tak pernah terhingga. Tanpa sadar, sudut mataku dialiri air mata. Punggung tanganku sibuk menyekanya. Bibirku melengkung menahan senyum bahagia. Sedang perasaanku hancur untuk kesekian kalinya. Sulit sekali rasanya menjelaskan bagaimana, kenapa, ada apa denganku saat ini. Berlarut menyesali kejadian lalu, mungkin bukan pilihan bijak. Tapi inilah aku. Disertai kegagalanku untuk memberi maaf pada diri sendiri. Kegagalan untuk tetap menjalani hari seolah hal dulu hanya ilusi tanpa arti. Aku gagal. Aku tetap menjadi pecundang. Merindukan hal-hal remeh yang mustahil diputar ulang. Bagaimana? Memangnya aku tidak bosan?Sering berceloteh tentang rindu dan kehilangan.Menuliskan berarti memikirkan, mengingat-ingat kenangan.Memangnya tidak menyakitkan?Rindu tidak sesederhana yang tertuliskan.Ia tak hanya berat seperti apa kata Dilan.Rindu itu menenggelamkan.Perlahan, ia mampu menggiringku menuju perasaan yang jauh, liar, tak terelakkan.Memangnya kehilangan itu tidak menyakitkan?Kehilangan berarti tak lagi memiliki apa yang dulu dipunyai.Kehilangan mencipta kekosongan.Yang entah hingga kapan menanti terisikan.Jadi menurutmu, apa rindu dan kehilangan yang dirasakan berbarengan tidak menyakitkan? —Keliru— Aku menyediakan secangkir kopi, membuat sepiring kue jahe, dan mulai menata tempat dengan selaksa bunga mawar yang harum dan berwarna-warni. Tak lama, kamu datang. Tersenyum manis sekali, lalu berterima kasih. Namun kemudian kamu pergi lagi. Menghilang entah ke mana. Belakangan aku menemukan secarik kertas di bawah pintu. Kertas lusuh berwarna biru. Terlipat rapi, meski sangat berdebu.Membukanya perlahan, mata dan hatiku bagai ditancapi sembilu. Isinya tidak panjang. Tidak pula kelewat singkat.Pesan tersirat yang menceritakan sesuatu seperti ini;"Aku ingin minum teh di suatu tempat, dengan ditemani bolu kukus dengan hiasan selaksa bunga sepatu warna merah jambu. Aku lebih suka minuman yang menenangkan, bukan yang bersifat stimulan. Aku suka makanan manis tanpa campuran rasa lain, apalagi pedas. Aku benci wewangian yang semerbak, apalagi benda yang rentan menyakitiku." Aku menggigit bibir, tersenyum kecut.Bodoh. Seharusnya aku tahu.Apa yang telah dengan susah payah aku sediakan, tidak sesuai dengan daftar keinginan yang kamu impikan. Aku keliru. Kamu tidak menginginkanku. bukan rindu hal "kecil" itu bernama rindu.oh, tidak. aku sudah muak.boleh aku menyebutnya hasrat ingin bertemu? kemudian aku mendengar ceracau cicak menertawakanku.sudah kuduga.mereka tertawa sebab kebiasaanku yang ini tak hilang-hilang juga. merebah, menatap jendela, memutar lagu, kemudian menangis atau tertawa sebab melihat-lihat lagi gulungan album yang ada. Gadis di Tepi Jembatan Seorang gadis duduk di tepi jembatan.Tatapannya ia lepaskan penuh pada hamparan perairan di depannya.Bibirnya tak melengkungkan senyum, namun tidak juga terlihat muram.Entah, tidak ada yang berani menebak ekspresi gadis itu. Bahkan matahari yang diam-diam memperhatikan sejak tadi, hanya mampu menyalurkan hangat, agar si gadis tetap merasa berada dalam dekap.Angin tak berani banyak bertanya, ia hanya mengembus perlahan, agar si gadis merasa rambut panjangnya masih terus dibelai mesra. Senja menutup sore itu dengan sempurna.Meski tanpa gurat jingga, tenggelamnya surya yang tidak tergesa mampu memberi kesan bahagia.Gadis itu perlahan menutup mata.Cuping hidungnya yang kecil kembang kempis mengikuti tarikan napas yang berkali-kali ia hela. Ah, sekarang aku tahu.Si gadis tengah merayakan kehilangannya.Kehilangan setengah dari harinya yang paling berharga.Memeluk asa, gadis itu akhirnya bediri.Ia berjalan meninggalkan jembatan, masih dengan ekspresi yang sama.Datar. Seakan tak punya rasa apa-apa. Ya.Ia merayakan momen kehilangannya.Merayakan sebuah perpisahan, ditemani kecupan singkat dari senja yang manis untuk penutup harinya. —GERILYA— Aku sudah menyusun rencana. Pokoknya, nanti kalau malam sudah tiba, matikan semua sumber cahaya. Pejamkan mata, kemudian letakkan pigura yang berisi foto kita tepat di dada. Rasakan letupan rindu yang tak berkesudahan itu dalam jiwa.Hahaha, sudah, sudah. Aku selesai menyusun gerilya. doa Aku benci pada angin.Buaiannya membuatku sulit beranjak dari ambin.Sapanya sesaat.Rayuannya pun singkat.Tapi aku sulit mendiamkannya.Bagaimana bisa aku diam sedang ia terus menggodaku untuk bicara?Menawarkan jasa untuk mengirim pesan rinduku padamu yang jauh di sana.Jauh yang benar-benar jauh; tak tergapai, tak terengkuh. Aku sedang ingin mengirim rindu tanpa bantuan angin.Maka kusalurkan rindu itu melalui doa-doa.Biarkan ia terbang sendiri.Atau memilih mengalir bersama aliran air setelah hujan turun malam tadi.Dari sudut cakrawala yang sama, semoga doaku dikabulkan oleh pemilik semesta. Puncak Rindu Bukan lagi adanya perbedaan ruang yang aku risaukan.Bukan juga perihal komunikasi yang berkurang.Tidak, aku tidak akan lagi mengutuk jarak dan radar.Apalagi memaksa agar bisa saling bertukar kabar.Kali ini aku paham.Bahwa tidak ada yang lebih membuatku sesak,selain mengetahui fakta bahwa puncak rindu yang sesungguhnya adalah ketika hanya aku yang ingin bersua.Sedang kamu di sana abai sepenuhnya. Ketakutan Apa yang lebih menakutkan dari sebuah ketakutan yang menjadi kenyataan?Tepat. Yaitu jika ternyata kenyataan itu jauh lebih mengerikan dari hal terburuk yang pernah dibayangkan.Lalu dengan apa menyikapinya?Senyuman. Setidaknya lengkung itulah satu-satunya penawar–meski dengan membohongi diri sendiri, yang bisa diandalkan untuk meredakan luka dan kesakitan. kata yang membuka [Surat fiksi dari seseorang, yang tidak akan pernah tersampaikan, sebab ia terlalu sering tersakiti oleh harap mendapat balasan.Siapakah dia?] Aku ingat, dulu rasanya sama sekali tidak ada kesulitan untuk membuka percakapan. Membicarakan segala hal, mulai dari sesuatu yang begitu sistematis, sampai sesuatu yang begitu acak, di luar nalar, rasanya pernah kita bicarakan. Mengangkat topik serius seperti masa depan, rencana studi dan lain hal, membahas masalah tak penting seperti, "kenapa kita bisa lahir sebagai kita?" atau "kamu pernah berpikir soal kematian?", sampai topik yang bahkan begitu rumit untuk dijelaskan; mengenai perasaan masing-masing. Lalu mengapa sekarang sulit sekali membuka obrolan? Padahal kita bukan dua pribadi berbeda. Kamu masih kamu yang dulu, masih utuh. Lubang hidungmu dua, rambutmu masih hitam, jari tanganmu lengkap sepuluh. Aku pun sama. Aku masih aku yang dulu. Lalu apa yang membuat "kita" berbeda?Entah. Pertanyaan riskan ini mungkin takkan pernah terjawab langsung. Sebab hanya waktu yang berani menyuarakan pendapat. Berseru bahwa jutaan hal yang kuingat-ingat itu hanya masa lalu berselimutkan kata "dulu".......Dia adalah kata yang membuka. Kode Ketiga (Happy Birthday) Hal yang terabai pada tiap detik waktuAkankah berpeluang untuk kembali?Pernah aku berpikir demikianPulang untuk kembali mengulangYang tanpa aku pedulikan lagi akhirnya akan sepahit atau semanis apa Bukankah terlalu congkak?Dan, jikalau diberi izinAku ingin menggunakan medium apa sajaYang dapat melemparku kembali ke masa itu....Preambule setiap deret aksara. Notifikasi Namamu di ponselku tak lagi berada di deret teratas.Jangankan teratas,lewat notifikasi saja sudah jarang melintas.Senyummu bukan lagi jadi menu sarapan pagiku.Jangankan mendapat senyum darimu,bertukar tatap saja rasanya matamu sudah tak mau.Rindu pun kini tak pernah berbalas.Jangankan berbalas,pada akhirnya ia hanya akan tertuang di atas kertas. Tidak Sedih, Katanya Aku tidak sedih untuk apa yang hilang.Aku hanya merasa telah menyia-nyiakan kesempatan.Bagaimana tidak?Betapa banyak hal tak sempat terpikir untuk dilakukan ketika masih dalam judul kebersamaan,yang justru mulai bermunculan ketika bertatap muka pun sudah jarang.Aku yang terlalu bodoh, atau memang aku pasrah dikuasai kenangan?Sungguh.Lebih baik menjadi aku yang bungkam, tetapi menatap lengkung itu dalam keseharian.Daripada menarik tawa palsu dan mengukir bahagia yang fana tanpa ada kesempatan berjumpa di dalamnya. Berlebihan Tadi apa katanya?Terlalu dilebihkan?Ah, iya. Dia benar.Berlebihan sekali masih menganggap semua belum selesai.Berlebihan sekali membiarkan ingatan liar terus menggerus waktu.Berlebihan sekali,terus berharap akan dipertemukan entah dari sisi mana asal masih beratap langit yang sama.Berlebihan bukan?Merapal doa setiap datang ke tempat yang berpotensi menarik minatnya untuk melangkah juga ke sana.Berlebihan.Benar-benar rindu yang berlebihan.Haha.Keterlaluan. Niskala Perhatianku dicuri. Fokusku dirampas.Hidupku dipusatkan ke sana, ke arahnya.Lalu ia hilang.Tenggelam.Bersama bebunyian asing yang menderu bising.Ia pergi,---dan tak lagi kembali. Ketika rindu terbabat habis.Ditelan bulat-bulat oleh kenyataan pahit.Ditampar keras oleh kesempatan yang perlahan terkikis.Ia yang pergi kenangannya kian mengabur,perlahan pudar.Perginya pun tak meninggalkan jejak.Ia,niskala. akhirnya [ a k a n ] hilang jua. Melupakan dan Dilupakan Dalam hidup, setiap fase yang sudah lewat, pada akhirnya akan terlupakan. Seberapa kuat pun kamu berusaha mengingat, kalau kejadian itu terlampau singkat, atau sudah terlalu lama terjadi, memorimu juga bisa berkarat. Melupakan dan dilupakan adalah hal biasa. Jadi, untuk apa bersedih ketika mengetahui hal itu terjadi lebih cepat?Kenapa? Belum bersiap-siap? Haha. Itu sebabnya aku tidak pernah jumawa, merasa terlalu percaya diri bahwa aku akan diingat. Karena aku pun tidak bisa menjamin kapan seseorang atau suatu hal akan luput dari ingatanku. Mereka; kenangan-kenangan itu kubiarkan bebas berkelindan di kepala. Biarkan saja. Nanti kalau sudah saatnya, mereka akan pergi juga. Manusia yang Kehilangan Kemanusiaannya Aku merasa bersikap tak adil dengan orang-orang di sekitarku sekarang. Hanya karena di masa lalu kepedulianku sering tidak dianggap, kedekatan kerap kali tidak diakui, kebaikan pun tak jarang terlupakan, bukan berarti hal itu harus menjadi dasar untuk menyamaratakannya kepada semua orang. Menganggap semua orang kejam, sampai-sampai berprinsip tidak akan lagi peduli, berbuat baik, dan memaknai kedekatan dengan benar. Sulit bagiku untuk kembali percaya dengan hal-hal yang terlalu melankolis. Mungkin karena dinding pertahanan untuk berhenti bersikap lemah sudah telanjur dibangun tinggi.Lengkaplah ia karena ditemani gengsi yang besar. Yang ada sekarang hanya aku; manusia yang tidak lagi tulus, sulit percaya kepada siapa-siapa, dan mulai terbiasa menertawakan hal remeh-temeh yang menurutku terlalu drama, bukan justru larut di dalamnya. Aku memang masih manusia, tapi seperti sudah kehilangan kemanusiaan. —Saat Aku Mulai Menyebalkan— Adalah tentang komunikasi. Hal termudah sekaligus paling rumit yang belakangan sedang kucari tahu lebih dalam. Sampai pada tahap yang membuatku berpikir berkali-kali. Ketika aku dibuat kesal oleh seseorang. Percayalah, rasanya sangat memuakkan. Terjebak dalam kondisi di mana kau ingin sekali berontak, tetapi tak bisa. Ingin sekali berkata tidak, tetapi rasanya sulit sekali. Dalam beberapa situasi, kadang aku justru dibuat sadar. Seakan ditampar oleh keadaan. Supaya aku mengerti, bahwa dalam setiap hal menyebalkan yang kuhadapi, aku bukanlah korban satu-satunya. Bahwa sebelum itu, aku pernah berada di posisinya; manusia menyebalkan itu. Seringkali memoriku terputar sendiri, "Hey, aku pernah melakukan hal yang sama pada orang lain seperti yang dia lakukan padaku sekarang."Dari situ aku mengerti betul rasanya jadi 'orang lain' tadi. Sekarang, aku mulai berusaha memosisikan diri sebagai orang lain sebelum melakukan hal tertentu; hal menyebalkan tadi.Betapa jadi manusia itu melelahkan sekali. Raib Setelah elegi tersenandung,membawa isak sampai rasanya sesak,maka hilanglah pula angan dan asa.Jangan bertanya.Semua sudah raib, habis tak bersisa.Termasuk kenang yang mulai luruh seluruhnya.Bak kabut yang kian tebal, memburam serta merta menelan apa yang nyata di hadapnya. Masih Manusia "Siang hari tawa diumbar, bahagia disiarkan. Tengah malam sedih dipendam, tangis disembunyikan.Kamu masih manusia 'kan?" Tanyaku pada diri sendiri suatu hari. Rapat Sedang rapat dengan aksara, membahas tentang proyek kami yang tidak selesai-selesai juga. Judulnya "Kita". Dulu, aku pernah meminta bantuanmu, tapi ternyata kamu tidak bisa membantu. Aku sudah minta proposal pada semesta, tapi semesta bahkan tidak mau tahu.Yang masih mau mendengarkan presentasiku tinggal dia, aksara. Dia kuajak bermain dengan kata, kalimat, puisi, serta prosa. Untuk mendeskripsikan kita tanpa menyentuhmu, tanpa butuh bertemunya kita di alam nyata.Katanya, memang tempat strategis membangun proyek ini hanya dalam imaji, mimpi, dan sesekali diselipkan dalam doa. Untold [] Seseorang duduk di sebelahku ketika aku membalik halaman buku. Dari ekor mata, aku mendapatinya sedang memperhatikanku. Kuputuskan menoleh, tanpa berniat bersuara. "Masih ingat aku?" tanyanya. Aku masih bungkam. Memutuskan kontak mata dan mengambil perangkat penyuara telinga dari saku jaket, alih-alih menjawab pertanyaannya. "Maaf untuk kelancanganku. Datangku tanpa kamu minta, kemudian aku menghilang begitu saja. Sekarang aku tahu, aku hilang untuk menunggu kamu temukan." Aku masih diam. Membiarkannya berceloteh ke sana kemari tanpa ada arah yang pasti. "Aku benar-benar minta maaf. Tapi, sungguh. Niatku hanya agar kamu cari. Itu saja. Aku hanya hilang. Bukan pergi. Aku kembali jika kamu tidak ingin menemukan. Aku bukan pergi yang tidak berkemauan pulang." Kuakui dia pria yang pantang menyerah. "Tapi aku sadar. Mungkin terlambat untuk menyadari itu. Waktu sudah membawamu pergi. Aku hilang, kamu pergi. Lengkap sudah. Memang kita bukan jodoh." Kemudian dia menarik napas sesaat sebelum beranjak meninggalkanku yang menatap nanar halaman buku yang sedari tadi tidak kubalik juga. Membuka lembar yang sama sejak ia menginjakkan kaki di sini. Sumpalan penyuara telinga juga hanya manipulasi. Benda itu kupasang tanpa ada audio yang kuhidupkan. Aku mendengar semuanya. Pengakuannya. Kemudian aku hancur sekaligus menyublim untuk kesekian kalinya. dia dia hadir. meski hanya berdiam di sudut tergelap.tak ada yang bisa dia lakukan selain menatap kosong ke arahku.jauh di kegelapan itu, ada percik tersulut dari bola matanya.entah kunamakan apa pijar itu.bencikah? rindukah? amarahkah?terlalu gelap di sana.sampai aku tak yakin apakah dia benar-benar ada.dia; bayang sendu tentang kisahmu dan aku. 17 Menit dan Rasa Itu Mana aku tahu mulanya bagaimana.Tahu-tahu kamu sudah di situ.Aku lupa bagaimana kalimat pertama yang terlontar saat itu.Bahkan, aku tidak ingat sesiapa yang membuka percakapan lebih dulu.Ada beberapa menit yang rasanya membuatku ingin sekali membekukan waktu.Biar kamu terjebak di sini saja, bersamaku.Entah di menit keberapa, fokusku terganggu.Ceritamu tak lagi kusimak, sebab tanganku sibuk menyibak anak rambut yang jatuh seiring meletupnya degup jantungku.Lihat!Senyummu rekah. Menghangatlah pipiku, sebab ujung pembuluh venaku dipenuhi aliran darah.Sesekali wajahmu muram,sampai dahiku turut mengernyit dan pandanganku memburam.Entahlah.Aku sudah lupa hal tidak penting apa saja yang tertangkap telingaku.Napasku memburu.Jemari terasa kaku.Lidah pun kelu.Entah sihir apa yang kaurapal untukku.Tujuh belas menit berisi obrolan tak penting itu,berhasil kusemat dalam di memoriku.Tujuh belas menit dan obrolan panjang kita sore itu.Tujuh belas menit ...dan rasa itu. Paket Bahagia Untukmu yang entah sedang melakukan apa. Mungkin sedang melamun, sedang berbaring, sedang sibuk dengan kegiatan baru yang melelahkan, sedang menyusun rencana untuk esok, atau bisa jadi sedang memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk dipikirkan.Jangan lupa untuk selalu menyelipkan senyum meski dadamu sedang memar.Aku sudah mengirim permohonan pada Tuhan agar paket bahagia untukmu jangan sampai tertinggal.Tapi, bukan kamu kalau tidak sering lupa.Jangan khawatir. Duduklah dulu sebentar. Kuberi sedikit penjelasan.Kalau kamu lupa membawa paketnya, dengan senang hati akan kubagi untukmu paket yang kupunya.Aku juga tidak tahu apakah kiriman itu bisa sampai padamu atau tidak, sebab aku hanya bisa menitipkannya pada alam. Pada siapa saja yang mau aku repotkan.Terima saja, ya.Jangan tanya paket itu berisi apa.Itu hanya sekotak bahagia. Biar, kusumbangkan semua untukmu seorang.Isinya bermacam-macam.Ada lagu, kenangan, lelucon, tawa sumbang, tawa terbahak, bahkan sekadar letupan kecil bermerek ceria sudah aku masukkan.Pakai saja semua.Pakai selagi jiwamu butuh ditenangkan.Tak apa.Aku tidak sendirian di sini.Ada sesal yang selalu setia menemani. Ditelan Waktu Untuk masa sekarang, kurasa tak ada lagi istilah hilang ditelan bumi.Yang ada hanya hilang ditelan waktu.Tidak bosan-bosannya aku bilang kalau waktu itu kejam.Tidak mau menungguku sebentar saja.Dia terus berjalan meski aku terseok-seok mengikutinya di belakang.Ragaku dipaksa terus maju sedangkan jiwaku masih terjebak di pesakitan. Kamu di mana? []Ini kali kesekian aku mendatangi tempat yang sama, di waktu yang berbeda-beda. Katamu, kamu di sana. Tapi mana? Bahkan sekelebat bayanganmu saja tak pernah kujumpa. Kadang aku berpikir, mengapa semesta senang sekali mengajakku bercanda. Puas membuatmu jauh sejauh-jauhnya, kini ia buat aku rindu sejadi-jadinya.Kepadamu, yang semoga masih suka menantikan matahari tenggelam meski dari sudut langit berbeda ...jangan lupa bahagia, ya. Senyummu bisa lebih cerah dari warna mega. Anomali Malam itu udara terasa hangat sekali.Meski sore kau tutup dengan lambai penuh arti.Embus napasku teratur seiring lalu lalang kendaraan di depan sana.Sedang imajinasiku meliuk-liuk tak beraturan di dalam kepala.Ragaku duduk terpekur di situ.Namun pikiranku dibawa terbang melangit bersama denganmu.Suasana terasa hidup.Hanya perasaanku yang kian redup.Kamu di sana baik-baik saja.Prasangkaku yang sibuk memberi sinyal celaka.Kota ini cantik.Cerita kita di sinilah yang tak selesai dengan baik.Aku pulang.Kutinggali kau kenang. Aku Juga Manusia Setiap cerita punya dua sisi, punya jutaan sudut pandang. Tergantung kepada siapa yang menceritakan, tergantung pada argumen orang yang diceritakan. Tidak mudah percaya pada apa yang orang lain katakan adalah salah satu perisai agar pikiran tidak mudah menghakimi. Agar ego tidak diberi makan sampai jadi asumsi. Tidak perlu merasa pendapat sendiri yang paling benar, sejatinya semua manusia sama saja. Sama-sama mau sudut pandangnya dipandang pula oleh manusia lain. Menggunakan satu teropong yang sama, agar sekiranya yang dilihat adalah titik yang sama.Omong-omong, aku juga manusia. Jadi .... Hilang Aku diam.Kau diam.Kita diam.Lalu kau hilang. Kamu Bukan Akhir [] Aku pernah memimpikan akhir yang indah denganmu. Sampai suatu saat kamu enggan memulai cerita denganku. Kita berakhir tanpa pernah mencoba memulai. Pada akhirnya aku harus mau menjalani babak demi babak cerita sendirian. Bersama banyak orang yang berlalu lalang, yang tak satu pun dari mereka mau menyamakan langkah denganku. Aku pun hampir sampai di akhir cerita. Akhir yang kukira adalah batas dari rangkaian kejadian yang dipintalkan Tuhan untuk kulalui selama ini. Di sana, aku dan dia bertemu. Ternyata akhirku bukan padamu. Ada dia yang mau mengulurkan tangannya untukku. Dia yang sudah memulai perjalanan lebih dulu, dan menungguku sampai di titik itu. Ada ada saja cara Tuhan mengajakku bercanda. Sulit Semakin sulit berkata-kataApalagi setelah tak ada kitaAh, maaf, maksudku setelah kamu tak adaKarena memang aku tak pernah ke mana-mana Tanam Tuai Sempat tidak percaya dengan konsep tanam-tuai. "Apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu panen," katanya.Berbuat baik pada seseorang, kemudian berharap kebaikan itu kembali. Berharap akan diperlakukan demikian.Kemudian kecewa sebab rasa-rasanya setiap kebaikan yang dilakukan seakan tak berharga di mata mereka. Lalu, apa ini salah konsepnya?Coba merenunglah.Kemudian, benahi cara berpikirmu. Reka ulang hal-hal apa saja yang mungkin terlewat oleh nalarmu yang sempurna itu.Di bumi bukan cuma ada kamu. Jutaan manusia memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Di hidup seseorang yang kamu anggap sebagai pemeran utama, boleh jadi kamu tidak ada. Figuran saja bukan.Hal yang kamu sombongkan berjudul kebaikan itu, juga belum tentu merupakan kebaikan yang sesungguhnya. Bahagiamu bisa jadi adalah derita orang lain.Berbuat baiklah semata-mata karena memang kamu orang baik. Bukan karena ingin diperlakukan baik.Balasan atas kebaikan yang kamu tanam tidak harus hadir di waktu yang sama. Tidak pula akan selalu bersumber dari orang yang telah kamu tanami kebaikan. Saham kebaikan yang kamu sebar akan kembali. Meski lewat jalur-jalur sempit yang tidak kamu sangka-sangka dari mana asalnya. Cukup yakin dan percaya, bahwa Tuhan memberikanmu jiwa yang lapang, agar mampu disinggahi orang-orang berjiwa sempit. Manusia tidak bisa adil, tapi Tuhan pasti adil. Jangan menunggu kebaikanmu dibalas. Memikirkannya bisa membuatmu tua lebih cepat. Nikmati saja kehidupanmu sebagai orang baik yang tulus. Ada jutaan manusia baik di dunia, tapi hanya beberapa yang ikhlas kebaikannya tidak terbaca. Menjadi manusia tulus memang sulit. Tapi bukan tidak mungkin kamu merupakan orang beruntung yang dipercaya Tuhan menjadi tangan kanan-Nya membagikan kebahagiaan kepada manusia lain.Caramu memanusiakan manusia akan berbuah baik pula. Entah, memang tidak ada jaminannya. Tapi percayalah, kebaikanmu akan terganti. Kalau bukan saat ini, mungkin nanti. Larut Lelah tak kunjung sudi menyergapSedang petang kian larut berisyarat senyapEntah substansi apa yang lancang menyelinapSehingga menyulitkan tubuh untuk lelapMungkin jiwaku yang kalapMencabuli memori yang terperangkapEnggan mengurut apa yang telah tersingkapPada semesta kutitip setitik harapSemoga malamku dengannya esok tak terlampau gelap Description: Kumpulan puisi dan sajak tentang seseorang, tentang kehidupan, tentang masa yang mustahil diputar ulang.
Title: Rintik Hujan Category: Adult Romance Text: Tali Sepatu Ting Tong Ting Tong Suara bell yang membuat gue terburu buru menuju kelas itu adalah suara bell upacara hari senin "huh hah" hembusan nafas gue yang tak teratur dan jantung yang berdegup cepat itu membuat keringat yang sangat banyak di sekujur tubuh "lo kemana aja sih??" tanya bella,temen gue dari SMP "lo gak liat gue tadi lari dari gerbang ke kelas? mana jauh banget lagi capek tau" jawab gue yang masih sedikit kesal dengan keadaan " yeee mana gue tahu mangkanya lain kali jangan telat bangun tu pagi pagi dasar gebleg" ucapnya dengan tertawa lalu upacara pun dimulai ~~ 45 MINUTES LATER~~ Upacara pun selesai gue dan bela pun kembali ke kelas untuk meanjutkan belajar oh iya bahkan gue lupa ngenalin nama gue ke kalian... gue Amanda Putri Calista biasa di panggil 'manda' atau 'putri' yaa nama gua memang feminim sih tapi sifat gua udah kek laki laki asli 100% "hoi manda" panggil seseorang dengan suara yang sering gue kenal itu "apa sih ben?" jawab gue Beni teman sekelas yang sangat sangat mengesalkan dan sering membuat orang marah "gapapa manggil aja siapa tau lo kerasukan soalnya dari tadi ngelamun aja " jawabnya yang sedikit membuat gue kesal tapi apaa daya? yang di katakannya itu memang benar " pagi anak anak " sapa seorang guru yang kami sebut Wali Kelas itu adalah bu sisil mengajar mata pelajaran yang cukup gue suka yaitu Bahasa Inggris Jam KBM pun dimulai untuk kelas 11 MIPA 4 yaa itu kelas gue dimana gue di besarkan menjadi seorang dewasa KRINGG!! suara yang membuat para siswa dan siswi itu adalah bell istirahat dimana para siswa dan siswi bisa bebas bermain dan keluar dari penjara yang disebut kelas itu "cong temenin gue ke kantin" ajak bela "sebenarnya sih males tapi ayok deh demi elo yaaa" ucap gue dan kami pun pergi ke kantin " eh cong katanya ada siswa pindahan lho terus denger dengernya juga orangnya ganteng" ucap bela " terus?" jawab gue yang masih focus dengan buku fiction yang ada di tangan gue " yaa gak gimana si tapi gue penesaran serius" ucap bela "yaudah kalo penesaran cari aja dia di kelasnya" jawab gue "iih goblok gue gatau kelasnya" jawab bela dengan sedikit kesal "permisi" ucap seorang siswa dengan menepuk bahu gue "hah?iya ada apa?" jawab gue " itu tali sepatu lo lepas" jawabnya dan ia pun pergi "ohh thanks"teriak gue dan ia pun mengacungkan jempolnya "omaigatttt mandaa dia ganteng bangettttt" ucap bela dengn girang sekali " hah?siapa? dia?" tanya gue lalu ia mengangguk " oo lumayan lahh" jawab gue lalu kami pun kembali ke kelas karna sudah bel masuk "hah?lumayan? gila ya lo.. orang ganteng naudzubillah gitu"jawab bela dengan kesal "ganteng dari mana coba?" tanyaku " yaampun mandaaa! dia itu putih,tinggi mana tadi dia make baju basket lagii aduhh ganteng banget dah apa lagi pas keringet dia yang menetes netes di area dahi nyaa yaampunnn jatuh cinta banget gue d" jawab bela yang hanya gue tanggapi dengan tertawa Penawaran " yaampun mandaaa! dia itu putih,tinggi mana tadi dia make baju basket lagii aduhh ganteng banget dah apa lagi pas keringet dia yang netes di area dahi nyaa yaampunnn jatuh cinta banget gue " jawab bela yang hanya gue tanggapi dengan tertawa Ditengah perjalanan ke kelas kami pun bertemu dengan seseorang yang sangat menyebalkan "hai manda kuh" ucapnya sambil merangkul pundak gue "paansih! Gue itu bukan milik lo jangan asal ngomong aja!" jawab gue dengan ketus sambil melepaskan tangan beni "iya iya suatu saat lo pasti naksir gue" balasnya lagi dengan sangat pede "iya iya" ucap gue dengan malas lalu kami bertiga pergi bersama ke kelas Sesampainya kami di kelas gue langsung duduk di bangku dan lagi lagi bela menganggu dengan ocehannya tentang laki laki yang ada di kantin tadi. "eh man lo mau kan bantuin gue deket ama cowok itu" ucap bela dengan memelas "hah?gue? ogah banget" ucap gue "pliss mannn lo kan sahabat gue satu satunya yang paling gue sayang" ucap bela dengan sedikit memujiku "iya iya gue bantuin tapi gue ada syarat" ucap gue "siap gue bakal lakuin syarat itu" balas bela "oke awas ya" ucap gue dan bela pun langsung memelukku sebagai ucapan terima kasihnya iih LESBI teriak beni yang membuat sesisi kelas melihat gue dan bela yang sedang berpelukkan "paan sih iri ya?" ucap bela setelah melepaskan pelukkan "gue?iri? hello siapa juga yang mau pelukkan ama cewek jadi jadian kek gitu " ucap beni yang membuat gue sedikit kesal "Gue pun menghampiri beni dan Gue pun lngsung mencubitnya" "aaaakhhh sakit goblog" teriak beni dan seisi kelas pun tetawa sangat keras Guru pun memasukki kelas dan kami pun mulai belajar. Kringggggg "oke anak anak jangan lupa tugas nya sampai bertemu minggu depan" ucap guru itu dan kami pun langsung pergi untuk pulang "eh man gue duluannya soalnya ada latihan" ucap bela lalu meninggalkan gue sendiri Gue pun pergi keluar kelas dan melihat diluar sana sudah hujan Tik tik tik tik Suara hujan yang sudah lama tidak kudengar akhirnya kembali.Suara yang membuat gue tenang itu pun sangat menyegarkan. Gue pun menadah air hujan yang turun dengan telapak tangan "huh" desahan nafas Gue melirik jam yang ada di tangan "gimana yah? Gue mau pergi lagi tapi hujan? Nanti sakit lagi" ucap gue yang sedikit kebingungan "nih" ucap seseorang lelaki yang ada di sampingku "hah?" ucap gue yang sedikit terkejut "nih payung, lo lagi buru buru kan? " ucap seorang lelaki tersebut "eitt bentar bentar lo bukannya yang negur gue di kantin tadi kan?" tanya gue "ha?ohh yang tali sepatunya lepas tadi? " balasnya "hmm lain kali jangan sok care ya " ucap gue dengan ketus lalu pergi meninggalkannya tanpa mengambil payung yang ditawarkannya tadi "sombong amat" gumamnya yang masih terdengar oleh kuping gue Gue pun mengabaikannya lalu pergi ke depan gerbang sekolah dan ternyata hujan masih turun dengan deras "yakin masih gamau payung ini?atau mau barengan?" ucap seseorang yang suaranya terdengar sangat familiar "lo lagi?!" ucap gue dengan kesal "mau barengan gak? Gue rasa hujan nya masih lama berenti.Bukannya lo lagi buru buru nanti telat " ucap nya dengan gaya nya yang sok cool Setelah gue melihat keadaan hujan di luar sana dan gue pun dengan terpaksa meng iya kan tawarannya "oke deh gue nebeng dengan lo tapi jangan kepedan dulu" ucap gue yang hanya ia balas dengan senyuman smirk nya Ia pun mengantar ku dengan mobilnya "thanks" ucap gue setelah sampai. Description: Entah mengapa aku berpikir bahwa turunnya hujan pada saat itu adalah takdir untuk menemukan kita dan memulai kisah cinta yang baru lagi di kehidupan ku
Title: renjana Category: Puisi Text: januari setelah kehilangan mu Sebelum kepergianmu, telah ada padaku firasat tetang hari ini. Di dadaku telah menganak sungai air mata menghantarkan kesedihan tentang pamit mu. Aku sampai di suatu malam yang paling aku takutkan: adalah tumbuh nya rekah senyum di langit langit kamarku. Seseorang yang sudah jauh pergi meninggalkan namun orang itu tetap mencuri waktu rindu, tak pernah hilang di ceruk kenang tak pernah memudah di saujana mataku Seseorang yang selalu aku hayati gerak gerik nya namun tak pernah sampai utuh membacanya Description: setelah kehilanganmu
Title: Rahasia Negara Category: Puisi Text: hanya bermimpi Tiap mimpi memiliki tujuan Tiap mimpi dapat terwujud Tiap mimpi memiliki langkahnya sendiri Tiap individu berhak bermimpi Dan tiap individu berhak mewujudkannya atau tidak Tiap individu berhak melakukan usaha atau hanya rebahan Memang hanya sekedar bermimpi Dan mimpi itu tak terasa terlalu tinggi dan dingin Membuat sesak hati Membuat sesak tiap langkah Namun sekali lagi Individu ini tak sendiri Individu ini tak bisa sok menyendiri Tiap individu punya pilihan Dan pilihan itu memiliki hasilnya masing masing Kita memang sedang bermimpi Tapi kita adalah mimpi orang lain Semakin besar cahaya yang kita buat dari mimpi Semakin besar pula bayangan yang dimiliki Memang hanya bermimpi Tapi tiap individu harus sadar diri bukan tempat pribadi Tak perlu egois Tak perlu tak peduli Apalagi pura pura peduli Apa salahnya emang jika egois Tak salah memang Namun bumi bukan tempat mu pribadi Kalau ingin menjadi pribadi tinggal saja di mars Description: rahasia diam manusia.
Title: re-Life Raganarok Online?! Category: Fantasi Text: Epilogue ~{ re-Life Ragnarok Online?! }~ Epilogue Hello guys nama gue Ari, umur gue 17 tahun, rambut hitam, mata hitam, kulit sawo matang, yahhh.. seperti ABG Indonesia pada umumnya. Gue sekolah di SMA 4, gue orangnya biasa-biasa aja, ga begitu ganteng, ga begitu pinter, ga begitu atletis, semuanya rata-rata, ini salah satu sebab kenapa selama ini gue jomblo. BTW, sekarang gue lagi liburan akhir tahun, seperti yang kita ketahui pria normie dengan standar pas-pasan kaya gue dan kalian para readers (Santuy cuk! Wkwkwk~) selalu menghabiskan waktu libur dengan bermain game. Game favorite gue adalah Ragnarok Online (PC ya bro, versi yang lain sampah, pay to win, ga bisa muasin hasrat nostalgia gue), dari dulu sampai sekarang gue selalu main game ini, gue jatuh cinta sama game ini, sayangnya game ini udah hampir punah, banyak player yang sudah pada pensi mengingat perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, game ini sangat tertinggal, bahkan tergolong sampah, belum lagi sekarang gamenya sudah ga kaya dulu lagi, Server Ragnarok Online resmi aja udah mulai pay to win, apalagi private server udah pay to win, sepi lagi. Gue "Anjing, bangke, tolol, babi! Sampah.. Sampah.. Kenapa kaga ada server yang bagus!? Gue pinginnya itu RO yang kek dulu lagi! Rate original, no item mall, semua tergantung kerja keras dan keberuntungan, nikmatin petualangan, ketemu kawan baru. Asu.. Asu..." Bzzzt.. Bzzzzzzttt... Hp gue bergetar sepertinya ada yang whatsupp gue Gue "Aishh.. Siapa lagi gangguin konsentrasi gw" Anto "Cuoookk! Ngapain lu? Coli ye?! Minggu depan anak-anak ngajakin jalan, ikut yok." Gue "Wey bangke, lu kira gue kaya loe! Apaan kaga jelas gitu." Anto "Haizz.. Ayok Ri, sekali-sekali lah. Lagian loe ga suntuk apa main RO mulu?" Gue "Tau aja lu tong, gue lagi pusing nih cari server yang bagus. Emang mau kemana sih Nto? Sapa aja yang jalan?" Anto "Yee.. si kampang maniak RO! ga banyak sih, anak-anak gamers sekolah kita. Gue, Roni, Iman, Nisa. Btw, Raisha dewi gamers kita juga ikut cok! Rencananye mau ke pulau seribu." Gue "Seriusan lu Nto?! Emang pada mau ngapain? Bukannya pada asik nge-game malah pada ngluyur." Anto "Lah si bego, loe kaga baca mading apa? Gamer Mania mau adain event sekalian silaturahmi antar club gamer sekolah. Pala lu sih isinya RO mulu!" Gue "Loe kan tau gue gimana Wkwkwk~ Tapi gue lagi bokek cuk! Kayaknya kaga bisa ikut gue." Anto "Ngeles bae lu ntot! Ayoklah temenin gue, ga ada loe ga asik, gue bayarin dah!" Gue "Najiss maho anyinkkk!" Anto "Anyink, ngentottt! Sok jual mahal lu peler! Siap-siap ye minggu depan kita jalan." Gue "Iye-iyeee." Setelah sekian lama cari server ternyata hasilnya tetep nihil, gue akhirnya istirahat untuk nyiapin barang-barang buat minggu depan di keesokan harinya. Waktupun berlalu, hari H pun tiba, gue, Anto, dan anak-anak lainnya kumpul di pelabuhan untuk berangkat ke pulau seribu. Gue ga nyangka ternyata banyak juga yang datang ke event ini, ada dari SMA 1, 3, 5, 7 mungkin ada sekitar 50an orang termasuk sekolah gue, belum lagi mungkin ada yang sudah duluan ke pulau seribu, kayaknya bakalan rame nih. Gue "Woy Nto, masih burik aje lu! Udah item, keriting, kumis ma jenggot lu tuh belom dicukur udah kek bulu jembut!" Anto "PANTEK!!, Asuu... Asssuuu.. akhirnya nongol juga lu bangke!" Iman "Wuahahahaha.. mampus si Anto! Tumben lu ikut acara club Ri." Roni "Cih.. Gue kira siapa, ternyata si maniak RO." Gue "Yahh.. Mumpung ada bos Anto. Btw, Sorry guys gue jarang nimbrung di club." Iman "Slow Ri, lebih rame lebih asik." Anto "enak ajee.. Bayar lu besok! dicicil, bunganye 10%!! Mentang-mentang Raisha ikut, langsung mohon-mohon gue pinjem duit biar bisa ikut." Gue "Beuh si kampret! Iya dong siapa juga yang mau relain kesempatan ini, jalan ma dewi Raisha, udah cantik, pinter, gamer, dan bodynyaa... Wuuwhh.. Aduhaaaiii~" Iman "Wow, Mantab juga selera lu brother! kalau gue lebih sange ma Nisa, udah cantik, imut, Uwuuw pokoknye!" Anto "Wuohhh.. si gembul ternyata loli mania! Wkwkwk~" Gue dan Anto ketawa jahat, sange bayangin Raisha, sedangkan Iman bayangin Nisa, semuanya pada bayangin fantasi kita masing-masing kecuali Roni. Roni sok cool, sok berwibawa, lumayan ganteng sih, tapi dilubuk hatinya juga sama dengan kita bertiga, sama-sama mesum, otaknya sedikit konslet, di depan cewe selalu narsis, PD nya minta ampun, itu yang bikin cewe-cewe jadi illfeel sama Roni. Tanpa kita sadari ternyata Nisa dan Raisha udah ada dibelakang kita. Nisa "Pagi guys! Lagi ngomongin kita ya?" Raisha "Humph.. Dasar cowo-cowo mesum." Para cowok dikagetkan dengan kedatangan Nisa dan Raisha. Gue, Anto, Iman menelan ludah kami masing-masing sambil menoleh ke belakang, gemeteran, takut kalau Nisa dan Raisha tau pembahasan kami bertiga barusan. Berbeda dengan Roni, setelah menoleh kebelakang, Roni langsung melancarkan aksinya, suasana yang tadinya awkward langsung kembali normal berkat Roni. Roni "Hallooo cantiikkk, kalian berdua bagaikan embun pagi yang menyejukkan hatiku, mentari pagi yang menghangatkan jiwaku, sini aku bantu bawa barang-barang ladies yang cantik-cantik ini." Nisa dan Raisha "ehh.. ii.. iya makasih Ron." Gue, Anto, Iman "Great job Ron!!" Akhirnya kami semua menaiki kapal dan duduk di kursi kapal sesuai tiket, kapal berangkat, perjalanan kami ke pulau seribu pun dimulai. Seperti yang diharapkan dari club gamer, kami semua disibukkan dengan game kami masing-masing, ada yang berkelompok memainkan moba, ada yang bermain solo game, suasananya sangat ramai bagaikan warnet, satu persatu dari kami akhirnya kecapean dan mulai tertidur dalam perjalanan. Tanpa kita semua sadari, langit mulai gelap, angin bertiup kencang, hujan badai dan ombak yang besar menerjang kapal kami, kamipun terbangun dan suasananya menjadi kacau, ada yang berdoa, menangis, panik, bahkan ada yang pingsan. Tiba-tiba ada ombak yang setinggi 5 meter menerjang kapal kami, alhasil kapal kami karam diterjang ombak. Well, entah ada yang selamat atau tidak, mungkin ini adalah hari kematian kami semua, tenggelam ke dasar lautan. Setelah kejadiaan naas yang menimpa kami, tiba-tiba gue mencium bau air laut, tanah dan rerumputan, mendengar suara burung berkicauan, cahaya menyinari mata gue yang tertutup, mentari menghangatkan tubuh gue yang basah kuyup, kemudian gue tersadar dan mulai menstabilkan tubuh gue sambil mengamati daerah sekitar. Gue "Uhuukk.. Uhuukkkk.. Oweehhh.. dii.. Dimana ini? Apa gue ada di surga? Arghh.. Badan gue sakit semua.. Huh.. Ada jembatan? Ada kastil di ujung jembatan? Tempat ini ga asing.. Tunggu dulu, dimana yang lainnya? Apa cuma gue yang selamat?" Seseorang "Hei anak muda yang disana, apa kamu baik-baik saja?" Gue "Huh? Nona siapa? Dimana ini?" Seseorang "Saya Shion, selamat datang di training ground Ragnarok." Gue "Shion? Training ground Ragnarok? Ragnarok.. Ragnarok Online?!" Dunia Baru Chapter 1 Dunia Baru Gue ga tau perasaan gue sekarang ini, sedih, sakit, emosi karena kejadian yang menimpa gue dengan teman-teman gue, di lain sisi gue juga shock dan seneng, entah gue sudah mati ataupun masih hidup, sekarang gue berada di dunia yang selama ini gue mimpi-mimpikan, Ragnarok Online. Shion "Maaf, bolehkah saya tahu nama anda tuan?" Gue "Ah? Te..tentu.. Nama saya Ari." Shion "Ini aneh, perasaan saya tidak pernah mendapatkan info tentang pendaftaran prajurit baru. Ditambah lagi pakaian yang tuan gunakan sangat unik, apakah tuan seorang anak bangsawan?" Gue "Tidak nona, saya hanya pemuda biasa. Saya sedang berpetualang bersama teman-teman saya, tanpa saya sadari, kapal kami karam dan saya terdampar di tempat ini." Shion "Jadi begitu, apakah tuan baik-baik saja? Mari saya antar ke kastil, saya akan bantu tuan agar para petinggi disini mau mengantar tuan kembali ke kediaman tuan, tentu saja setelah keadaan tuan membaik." Gue "Saya baik-baik saja nona, maaf menyela nona, apakah sebelumnya nona pernah menemui kejadian seperti saya akhir-akhir ini?" Shion "Sama sekali tidak pernah tuan." Gue "Nona Shion, apakah saya bisa mendaftar sebagai prajurit novice? untuk persyaratannya kira-kira seperti apa?" Shion "Tentu saja, saya akan mengkoordinasikannya dengan pimpinan nanti, lagipula kami membutuhkan prajurit resmi dan terpercaya. Untuk persyaratannya sebenarnya cukup mudah, kami biasanya mengadakan perekrutan setiap 3 bulan sekali di masing-masing ibu kota di benua ini, sebelum calon prajurit dikirim kesini, kami selalu mengecek riwayat hidup mereka dengan menggunakan batu sihir, apabila terdapat catatan kriminal pada calon prajurit, kami pasti akan langsung mendiskualifikasi mereka. Untuk umur, calon prajurit harus berumur minimal 15 tahun, tentu saja fisik dan mental mereka haruslah sehat. Kemudian kami membawa mereka ke sini, bertemu dengan resepsionis untuk mengisi formulir pendaftaran, lalu calon prajurit direkomendasikan untuk menemui mentor-mentor kami untuk memulai pembelajaran sebelum melakukan pelatihan mandiri untuk menghadapi para monster." Tret..tetet..tetet! Tiba-tiba muncul notifikasi di kepala gue Gue "Njay gue naik level!" Gue "Nona Shion, apa maksudnya prajurit resmi? Apakah ada yang tidak resmi? Terus bagaimana cara agar saya bertambah kuat? Shion "Kami dan anak didik kami semuanya adalah prajurit resmi, kami terpercaya, kami juga memeliki layanan khusus yang tidak bisa sembarang orang terima seperti pelayanan kafra, perekrutan prajurit lanjutan dan masih banyak lagi. Untuk prajurit tidak resmi adalah Guild Petualang, mayoritas disana dihuni oleh warga lokal dan prajurit resmi yang dicopot haknya karena melanggar peraturan prajurit resmi, bisa dibilang mereka sekelompok prajurit amatiran, dan banyak sekali desas-desus yang meresahkan masyarakat, walaupun tidak semua dari mereka buruk. Agar menjadi kuat tentu saja anda harus banyak mengumpulkan pengalaman, bertarung melawan monster, mempelajari gerak-gerik mereka, membuat strategi yang sempurna dan tentu saja mengasah kemampuan bertarung tuan." Gue "Sudah gue duga, walaupun sama tapi ada perbedaan dengan Ragnarok yang gue kenal." Gue "Sepertinya cukup sulit juga ya nona, untuk menjadi prajurit yang kuat hehe.." Shion "Itulah yang menjadi salah satu kendala kami semua para prajurit, banyak yang setengah hati melakukannya, banyak orang yang tidak mampu, bahkan menyerah saat pelatihan disini, alhasil warga kurang berminat menjadi prajurit resmi dan beralih bergabung ke guild-guild yang tersebar di penjuru benua. Yahh.. Meskipun begitu masih ada beberapa yang terus berjuang menjadi prajurit resmi walaupun membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun sekalipun. Huhft.." Setelah gue ngobrol panjang lebar dengan nona Shion, sekarang gue ngerti perbedaan dunia ini dengan Ragnarok Online yang gue kenal. Singkatnya player dulu disebut prajurit resmi, sedangkan prajurit non-resmi beranggotakan masyarakat pada umunya, semua orang bisa mendaftar dengan kemampuan yang dimilikinya. Untuk kekuatan sendiri, orang-orang disini perlu berjuang keras untuk menggapai job 4 dimana mungkin disebut prajurit veteran. Dan barusan gue mendapat notifikasi level up, mungkin gue harus coba membuka menu-menu yang ada di game Ragnarok Online nantinya. Gue berharap temen-temen gue semuanya selamat, target utama gue tentunya menemukan mereka semua, dewiku Raisha, loli imut gue Nisa, sohib gue Anto, teman seperjuangan gue Iman dan si bangke Roni. Gue bakal nemuin kalian! Tentu saja gue juga bakalan nikmatin hidup di dunia ini!! Wkwkwkwk~ Shion "Tuan, entah mengapa keadaan tuan sepertinya sudah membaik." Gue "OH SHIT! Gue lupa kalau setiap leveling health poin ma mana poin gue kembali penuh!" Gue "Ahh.. Iya sepertinya saya sudah membaik." Shion "Kalau begitu, bisakah tuan melanjutkan perjalanan ke resepsionis sendirian? Saya hendak pergi menemui pimpinan terkait pendaftaran tuan." Gue "Ya tentu saja nona Shion, mohon bantuannya, saya ucapkan terima kasih." Shion "Eh?! Sa...sama-sama tuan Ari, anda tidak perlu sampai sejauh ini." Gue "Ahh..uhh.. Ok, kalau begitu saya duluan ya nona Shion." Gue "AANCOOOKK! Lucu banget cokkk! Ga nyangka Shion yang keliatan dewasa bisa jadi kek gini. Wkwkwk~" Gue "Cotto matee! kalau Shion ga ikut gue, gimana cara dia hubungin pimpinannya?" Dari kejauhan gue liat Shion seperti lagi ngobrol dengan seseorang, mungkinkah itu Whisper? Salah satu fitur Ragnarok Online untuk ngechat ke seseorang walaupun dengan jarak yang berjauhan? Menarik, gue harus cepet-cepet belajar tentang dunia ini. Gue akhirnya berjalan melewati jembatan kayu yang terlihat kuno tetapi pondasinya bagus, sangat kuat. Gue lanjut berjalan ke arah kastil, disini gue sempat dikagetkan dengan bangunan kastil, benar-benar megah, indah, feelnya jauh berbeda sama yang ada di game. Dipintu kastil terdapat dua penjaga yang menurut gue ga penting, tapi karena ini dunia yang berbeda, gue putuskan untuk menyapa mereka dan menjelaskan tujuan gue masuk ke kastil. Tanpa banyak basa-basi, gue dipersilahkan masuk ke kastil. Ruangan pertama dari kastil adalah resepsionis, cuma terdapat satu resepsionis, sama seperti yang ada di game. Resepsionis "Selamat datang, mohon isi formulir pendaftaran ini tuan." Gue "Ya, terima kasih tuan.." Resepsionis "Resepsionis, panggil saja saya tuan resepsionis." Wkwkwk~ sudah gue duga ga di game ga disini dia ga punya nama, apa mungkin namanya resepsionis? Gue berusaha nahan tawa. Fiuh~ fokus-fokus, gue bersiap mengisi formulir pendaftaran, nama, umur, jenis kelamin. Gue bisa baca cok!? Apa dunia ini ada di Indonesia? Apa otak gue tiba-tiba punya kemampuan auto translate? Apa jangan-jangan otak gue bener-bener ke reset?! Well, masa bodoh, yang jelas ini sangat membantu dan gue ga perlu habisin waktu lama-lama disini. Setelah gue isi semua formulirnya, gue serahin formulirnya ke resepsionis, resepsionis mulai mengeceknya. Seperti kata Shion, karena gue bisa disebut pendatang gelap, resepsionis ngeluarin batu kristal berbentuk bola berwarna putihntransparan kaya di film-film peramal. Gue disuruh untuk nyentuh bola tersebut biar riwayat hidup gue terpantau. Resepsionis "saudara Ari, tolong letakkan tangan anda ke batu kristal ini." Gue sentuh bola tersebut. Shiiiiiniiiinnnggggg!! Bola tersebut memancarkan cahaya biru. Gue "Buaajingaaannn! Pedes mataku cokkkkk!" Resepsionis "Lah jancik, bisane arek iki misuh-misuh sakpenake dewe!" / "Lah jancok, bisanya anak ini ngomong kasar seenaknya sendiri!" Cahaya sinar pun akhirnya meredup dan gue lepasin tangan gue dari bola tersebut. Gue "Gimana hasilnya Res?!" Resepsionis "Selamat, anda lolos pendaftaran, riwayat anda cukup baik." Gue "Oiyaa dong, gue gitu loh! Putih bersih tanpa dosa, bagaikan bayi yang baru lahir. Hahaha.." Disini gue sebagai penulis meragukan hasil dari batu kristal, secara protagonis yang gue buat si Ari, aslinya orangnya cabul, mesum, tukang coli kaya kalian para reader. Wkwkwk~ Resepsionis "Silahkan lewati pintu ini, untuk menerima arahan dari para mentor training ground!" Gue "Ok, gue duluan ya tuan R-E-S-E-P-S-I-O-N-I-S." Gue pun lanjut ke rungan selanjutnya, setelah melewati pintu dan menutupnya kembali, gue langsung nempelin kuping ke pintu itu lagi, seperti yang gue duga si Resepsionis ngamuk berat sambil memukuli meja resespsionis. Baak! Bruk! Brakk!! Gue senyum dengan muka lega kaya orang boker yang udah lama ga bisa keluar tainya. Wkwkwk~ Novice Chapter 2 Novice Seneng rasanya bisa hidup di dunia ini, ga seperti di game, NPC nya ga terpaku dengan teks, bahkan bisa gue kerjain. Wkwkwk~ sekarang gue udah di main hall, gede juga ruangan ini, banyak pilar-pilarnya, dekorasinya kuno-kuno, mantap! Serasa hidup di zaman medieval! Kalau tebakan gue bener, di ruangan ini sendiri ada 3 instruktur dan 1 kafra yang bakal ngasih gue hadiah dan exp untuk naikin level, ada 2 penjaga ga penting, kemudian di samping kanan dan kiri ruangan terdapat pintu yang menghubungkan ruangan lain, pintu kanan ada 3 instruktur yang ga penting, sedangkan pintu kiri untuk proses ke misi selanjutnya ada 2 instruktur dan 1 pedagang, lalu ada gerbang menuju area monster yang berada di tengah-tengah ruangan. Ok, rute pertama gue adalah nemuin Kris yang berada di tengah main hall bertugas memberikan gue wawasan tentang map di dunia ini dan ngasih gue set perlengkapan novice. Kris "Selamat ya anak muda, kau berhasil melewati seleksi administrasi. Sudah siap menerima ilmu dariku? Tuan Kris Sang Crusader Terhormat." Gue "Uhh.. Ok tuan Kris, saya Ari, mohon bimbingannya." Kris "Bagus, aku rasa kau memeliki masa depan yang cerah dengan perilakumu itu, walaupun aku tak begitu yakin dengan antusiasmu. Hahaha!" Pelajaran pun dimulai, si Kris ngoceh tentang dunia ini cukup lama hal ini membuat gue bosen untuk mendengarkannya. Rasanya gue pingin tidur aj bangkee.. Bangkee.. Walaupun begitu gue dapat pengetahuan bahwa dunia ini sama persis dengan Ragnarok Online. Kris "Kenapa anak muda? Baru segini sudah pusing?" Gue "Tuan Kris, saya sudah tahu semuanya, saya ingin pergi menemui instruktur selanjutnya." Kris "Ohh.. Bagus, bagus.. Kalau begitu tolong ucapkan apa yang kau ketahui tentang dunia ini secara singkat!" Gue langsung aja nrocos semua yang gue ketahui tentang dunia ini, ditambah dengan pengetahuan yang diberikan oleh Nona Shion, alhasil Kris pun ga bisa berkutik ngadepin gue! Kris "Bagaimana mungkin?! Biasanya butuh waktu setidaknya seminggu untuk mengetahui semua ini." Gue "Ezzy pizzzy tuan Kris, sekarang tolong berikan hadiahnya dan izinkan saya menemui instruktur selanjutnya! Khekhekhe." Kris "Cih.. Ok, ini hadiah untukmu equipment set novice. Segera kenakan, dan temuilah instruktur selanjutnya!" Gue "Eehh?! Sekarang, disini?! Maaf tuan Kris, saya tidak tertarik dengan fetish anda, lagipula saya masih pria normal!" Kris "Dasar berandalan! Kau pikir aku tertarik bermain pedang huh!? Cepat pergi ke balik pilar itu!" Treeettt..tetet..tetettt! Hell yeah, gw naik level lagi! Gue bergegas menuju pilar dan mengganti pakaian gue dengan set novice yang diberikan si Kris, Widiiiwww.. Tambah kece gue! Armor novice, topi novice, tameng novice, mantel novice, sepatu novice. Gue udah bener-bener jadi petualang novice resmi! Kecuali belati novice ini, apa-apaan pisau kecil ini, ga keren banget bangke!! Trus gimana dengan pakaian gue yang lama? [inventory] gue mikirin dan mengucapkan salah satu fitur Ragnarok Online dimana fungsinya untuk menyimpan seluruh barang-barang kita sehingga kita ga kerepotan kaya emak-emak habis belanja di pasar. Tiba-tiba muncul kolom transparan didepan gue, Wuuaanjiiirrr! bentuknya sama persis dengan gamenya. Ternyata gampang untuk buka fiturnya, cukup pikirin, sebut, mungkin bisa gue pikiran aja? Coba gue buka yang lainnya [status] berfungsi melihat dan menaikan kemampuan fisik kita, [equipment] berfungsi untuk melihat perlengkapan yang kita gunakan saat ini, [info] menunjukkan identitas kita, health dan mana yang kita miliki, juga menunjukkan status kita baik experience yang dibutuhkan untuk level up, mungkin ini bisa menunjukkan buff dan debuff (effect positif dan negatif yang mempengaruhi keadaan fisik kita) yang kita peroleh baik dari kawan ataupun lawan? Lain kali bakalan gue coba. Sekarang [Hotbar] berfungsi untuk penggunaan kilat barang yang kita miliki dan sudah kita letakkan di salah satu kolom-kolomnya, baik ramuan penambah darah, equipment, dan lain-lain. Sayangnya [Hotbar] ga muncul. Masa bodo ahh! Yang penting sekarang waktunya untuk menyelesaikan pelatihan, akhirnya gue memutuskan kembali untuk mengucapkan terima kasih ke Kris dan berpamitan untuk menemui instruktur lainnya. Gue "Pak tua Kris, maaf membuatmu menunggu lama, saya ucapkan banyak terima.." Kris "Sapa yang kau panggil pak tua dasar anak setan!!! Cepat pergi dari hadapanku!!" Gue "Aaarrrggghh!! Muka gue.. Muka ganteng gue! Brengsek loe tua bangka! Awas loe ya bakalan gue bales suatu saat nanti! Gue sumpahin keturunan loe burik-burik babi!!" Tanpa sepatah katapun Kris pergi ninggalin gue yang kesakitan dengan wajah yang bahagia dan lega bisa melampiaskan amarahnya selama ini. Gue pun bangkit, karena Kris sudah menghilang, terpaksa gue melanjutkan perjalanan menuju instruktur selanjutnya dengan emosi yang meledak-ledak serasa mau bunuh orang. Rute selanjutnya gue nemuin instruktur Cecil, dia berada di pojok kiri atas hall utama, dia seorang monk yang akan mengajari gue skill [first aid] dimana berguna untuk penyembuhan, walaupun efeknya kecil, tetapi skill ini cukup membantu para pemula bila kehabisan ramuan penambah darah. Cecil "Yo bro~ whatsup? Muka loe kenapa cuy?" Gue "Bra bro bra bro, muka gue bonyok gara-gara si brengsek Kris." Cecil "Chill bro, sini gue bantu. [first aid]." Seketika itu sakit di wajah gue menghilang. Cecil "Gimana, skill ini cukup berguna kan? Mau gue ajarin ga bro? Btw, gue Cecil si Monk." Gue "Thanks brother! Gue Ari, gue udah paham skillnya, maaf klo gue udah ngamuk-ngamuk barusan cuy! [first aid]" Cecil "Holy shit!! Loe bener-bener udah nguasainnya!! Setidaknya butuh 2 minggu pelatihan untuk bisa nguasain ini! Mantappp kawannnn!! Apa loe si genius titisan dewi Freya?!" Gue "Busyetttt! Loe monk tapi omongan loe busuk juga! Hahaha.." Cecil "Segala sesuatunya itu ga ada yang buruk my man.. Cuma penempatannya aja yang perlu diperhatiin." Gue "Mantulll.. Gue suka gaya loe cuks!" Cecil "Btw, tolong dengerin nasihat gue bro klo ga mau jhonny lu gepeng kaya lempengan logam. Habis ini loe bakalan ketemu Alice si sexy blacksmith, dia suka disanjung, jangan sampe loe nyinggung dia, terutama masalah penampilan, dia sedikit kekar, inget itu baik-baik." Gue "Anjrit, seriusan loe bro?! Apa dia sesuai sebutannya? Mulut gue suka nrocos kalo ketemu cewe cantik, apalagi aduhai." Cecil "Eh? Wahahahaha! Kalo gitu aman bor! Udah jalan sono cuy!" Gue "Loe gile cok! Gimana nasib jhonny gue njinggggg!" Cecil "Udah percaya ma gue! Hey Alice!! Anak kucing ini milikmu sekarang!" Alice "Ok, kemari maniss~!!" Bangkee si Cecil, gue kira kita udah BFF! BANGSATTTT BANGSATTTTTT!! Mau ga mau gue harus nemuin Alice sekarang, Ya Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini, hamba-Mu ini masih jomblo, belum merasakan surga dunia, tolong Ya Tuhan, Amen. Btw, Alice adalah instrukur ketiga, dia bertugas memberikan pengetahuan tentang segala jenis barang konsumsi yang ada di dunia ini, selain itu dia akan memberikan beberapa barang konsumsi yang akan berguna dalam pertarungan melawan monster nanti. Alice "Waw.. Sesuai yang dikatakan Cecil, anak kucing ini sangat manis. Masih segar, wangi perjaka. Mmmnnnmm~" Gue "Uwwwwooooohhh!!! Asli cantik, semok guys!! A-1!!! Hehehe.." Alice "Hi bocah tampan~ namaku Alice, panggil aja Alice-nee ya~" Gue "Aauhhhhhh~ na..namaku.. Aarrri.. Alice-nee.." Alice "Ari-kun, pelajaran akan dimulai, tolong simak nee-san baik-baik ya~" Pelajaran dimulai, gue gabisa fokus sama sekali, Alice adalah wanita aduhai pertama yang gue jumpai di dunia ini, Meskipun Cecil bilang kalau Alice sedikit berotot, menurut gue Alice malahbterlihat sempurna, badannya semok, kenceng, teteknya gede.. Pantatnyaa.. uhhhhalala... Mamamiya~ Alice "Ari-kun~ apa kamu perhatiin pelajaran yang barusan nee-chan berikan? Dari tadi kamu melamun, terpesona dengan tubuh indah nee-chan ya?~" Gue "Ohh Alice nee-sama~ tubuhmu benar-benar indah, pingin rasanyaku tidur dipelukmu~ dadamu menggoda, pantatmu, uhhhh~ tubuhmu benar-benar sekseehhhhh!!" Alice "Ara..ara.. Terima kasih pujiannya Ari-kun~ tapi jangan pikir kamu bisa lolos dariku kalau ga bisa memahami pelajaranku ya~ siap-siap hukuman dari nee-chan~" Serontak gue inget nasihat dari Cecil, GUE GA PINGIN JHONNY GUE JADI PEYEK!! Saking paniknya gue nrocos semua pengetahuan tentang barang konsumsi yang gue ketahui. Saat gue nerangin itu semua, gue ga sadar kalau Alice terpesone dengan begitu hebatnya gue!! Wuahahahaha!! Alice "Oh my!! Kamu benar-benar anak yang jenius Ari-kun~ nee-chan bangga padamu!!" Gue "Tentu saja ini semua berkat bimbingan Alice nee-sama! Hehe~" Tanpa gue sadari, GUE NGACHEEENG CUUKS!! Jhonny gue kegesek-gesek paha Alice yang kegirangan. Uuuuwwwooooooowhhhh!!! Alice "Eh, apa ini? Araa.. Ara~ dasar anak nakal, kalau begini terus sitiasinya bakal memburuk, sebaiknya Ari_kun melanjutkan perjalanan ke instruktur selanjtnya yah~ nee-chan ga sanggup bila harus melayani nafsu buasmu ini~" Ouch! Disini gue bener-bener tersiksa! Alice PHP in jhonny gue AAARrrrrrghhh bangsattt.. Bangsat!!!! Mau ga mau gue harus tahan malu nerima pemberian dari Alice, alice memberikan beberapa item berupa [red potion] digunakan untuk menyembuhkan luka, [fly wing] untuk teleportasi jarak dekat dengan lokasi random, [butterfly wing] untuk teleportasi ke save point kita. Treet..tetet..treeteeettt!! Nice, naik level lagi gue Setelah nenangin pikiran gue, dan jhonny gue udah stabil, gue lanjutin menuju ke instruktur Kafra, kafra bertugas memberikan pelayanan kepada prajurit resmi, pelayanannya antara lain adalah untuk menentukan save point, teleportasi jarak jauh antar kota, penyimpanan barang-barang, btw kafra ini pekerjaan yah bukan nama instrukturnya. Lokasi kafra ini ga jauh, cuma di sebrang tempat intruktur Cecil berada. Kafra "Selamat pagi tuan Ari, nama saya Sherly, saya adalah head of kafra, ada yang bisa saya bantu?" Gue "Eh, kok bisa tahu neng? Apa kita pernah ketemu?" Sherly "Segala informasi yang ada di dunia ini tidak pernah lepas dari pemantauan kami." Gue "Ngeri kali bah! Apa bintang horoscope gue? Makanan kesukaan gue? Hobi gue? Warna kolor gue?" Sherly "Libra.. Mie instant.. Main game..Hijau.. Dan anda sering mansturbasi. Saya tahu segalanyan tentang anda tuan, anda juga bukan berasal dari sini dan tolong jaga sikap anda." Gue dikagetkan dengan jawaban neng Sherly, semuanya akurat, bahkan identitas gue terbongkar, gue bener-bener dibikin ga bisa berkutik, badan gue gemeteran, badan gue panas dingin, Shock berat Njinggg!! Takut rahasia gue kebongkar, dengan refleks gue menangis memohon maaf atas segala perilaku gue di kaki Sherly. Gue "Nona Sherly tolong rahasiakan semuanya tentang diri ini, agama melarang untuk membuka aib orang lain! Maafkan perilaku saya!!" Sherly "Tolong hentikan tuan, bersiaplah terima pelatihan dari saya." Setelah mendengar perkataan Sherly yang kejam dan tidak berperasaan, gue teringat tentang temen-temen gue. Akhirnya gue memberanikan diri meminta info dari Sherly. Gue " Sebelum itu, bolehkah saya bertanya Sherly tentang teman-teman saya? Apakah saya bisa kembali ke tempat asal saya?" Sherly "Maaf tuan, saat ini kami belum memiliki info tersebut. Apabila dikemudian hari kami mengetahui sedikit saja info tersebut, saya akan menghubungi tuan. Tapi kami mohon sekali lagi kerjasama dari tuan." Gue "Baiklah, apa yang nona inginkan?" Sherly "Tolong jaga kedamaian dunia ini." Alamak gue disuruh jadi super hero?! Dan sampai sekarang gue belum mendapat info temen-temen gue. Masa bodohlah! Lagian dunia ini ga bakalan hancur gitu aja, gue tetep bakalan nikmatin hidup disini! Gue "Baiklah, akan saya usahakan." Sherly "Karena tuan sudah tahu pelatihan saya, maka saya hanya kan menyampaikan sedikit rangkuman kepada anda." Treeett..tettet..treettettttttt!! Uhhh yeaahhh naik level lagi! Gue kudu segera cabut dari Sherly, kalau ga aib-aib gue bakalan kebuka. Sherly "Tuan tidak perlu menemui mentor Edwin, Jare Riotte dan Leo Handerson yang berada di balik pintu sebelah kanan, langsung saja lanjutkan ke pintu sebelah kiri, hadapi monster, dan tolong segeralah mati." Wasssyuuu!! kimakkkkkk kimakk!!! Gue langsung disuruh mati, ni orang bener-bener titisan setan!!! Gue "Oo.. Ke..y..." Seperti yang Sherly ucapkan, ketiga mentor tadi memang ga guna, ga bakalan ngasih gue apa-apa. Sekarang masalahnya apakah gue harus mati?! Mungkin di game gue bisa hidup lagi, tapi kalau sekarang? SHITTTT Shittt shitttt!! Lebih baik gue segera cabut dari sini. Gue sekarang menuju ke ruangan berikutnya untuk mengikuti pembelajaran dari Elmeen, dia adalah adventurer expert yang di recruit oleh prajurit resmi karena keahlian dan pengalamannya dalam menyusun strategi dan memahami gerak-gerik semua monster yang ada di benua ini. Walaupun Elmeen terlihat mengagumkan, tetapi skill bertarungnya tidak sehebat itu, bahkan tergolong lemah, mungkin dia lebih cocok disebut strategist. Gue sangat menghormati sosok beliau, walaupun gue serong expert di game Ragnarok Online, gue tetep harus belajar keadaan real monster-monster yangbada di dunia ini. Elmeen berada di sebelah kiri ruangan west hall, di kanan ada instruktur Muriel sebagai penjaga gerbang monster, dan di tengah ruangan ada pedagang wanita yang gue ga tau namanya. Gue "Selamat pagi tuan, saya Ari ingin berguru dengan anda." Elmeen "Selamat pagi tuan Ari, saya Elmeen dan saya adalah seorang ahli strategist. Karena antusias anda, saya akan langsung membagikan ilmu dan pengalaman yang saya peroleh selama ini, mohon untuk diperhatikan." Proses pembelajaranpun dimulai, gue bener-bener konsentrasi terhadap ilmu yang diberikan oleh Elmeen untuk bisa survive di dunia ini. Elmeen "Bagus, menurut saya tuan sangat diberkati, anda benar-benar seorang jenius. Tapi mohon diingat, fakta dilapangan mungkin saja berbeda, jadi anda tetap harus waspada." Gue "Bangkee!!! Ilmu yang loe barusan kasih berarti ngga guna tongggg!!!" Elmeen "Lebih baik belajar, daripada mati konyol bukan? Haha.." Treeeetttt..tetetttt..treteeeeet!! Level up Seketika itu, rasa hormat gue terhadap Elmeen menghilang. Instruktur selanjutnya adalah Muriel, dia bertugas sebagai penjaga gerbang area monster yang ada di castle ini, dia bakalan nyediain kita banyak red potion (ramuan penyembuh) saat kita hendak berburu monster. Kalau di versi game, setelah loe mati sama monster disini kemudian respawn, lalu meminta Muriel untuk dipindahin ke area monster lagi, loe bakal dapet experience dan dikasih sejumlah red potion lagi. Jujur untuk kemampuannya sendiri gue ga begitu tau. Muriel "Pagi kakak, aku Muriel, apa kakak udah siap untuk melawan monster?" Gue "Pagi cantik, namaku Ari, mohon bantuannya ya!" Muriel "Kak, sebelum kakak pergi ke area monster, tolong bawa red potion ini kak! Tolong jangan sungkan-sungkan menggunakannya, kalau habis Muriel akan kasih kakak lagi! Muriel harap kakak ga terluka." Gue "UWOOOOOOHHH!!! Kamu bener-bener malaikat ku!! Makasih ya cantik~" Gerbang ke area monster dibuka, gue melangkah kesana disambut dengan senyum manis dek Muriel. Petualangan pertama gue dimulai, gue harap gue bisa survive di dunia ini, dan tetap bisa menikmati dunia yang gue mimpi-mimpikan selama ini!! Pengalaman Pertama Chapter 3 Pengalaman Pertama Akhirnya sekarang gue berada di area monster, tempat ini adalah satu-satunya area outdoor yang ada di dalam kastil, dari gerbang gue bisa ngeliat ada jembatan kayu yang berada di tengah-tengah area, dibawahnya ada sungai yang cukup besar yang memotong area menjadi 2 daratan, diujung paling jauh ada gerbang menuju ruangan selanjutnya. Disini juga terdapat 2 orang instruktur yaitu Hoffman dan Keyman. Instruktur Hoffman bertugas untuk memotivasi dan memandu pemula dalam menentukan monster yang akan dihadapi sesuai dengan kemampuan murid didiknya, letaknya berada di selatan sungai. Instruktur Keyman bertugas untuk menilai kelayakan murid didiknya untuk dapat lolos ke ruangan berikutnya untuk mendapatkan sertifikat prajurit resmi, letaknya berada di utara sungai. Walaupun dibilang area monster, monster-monster disini hanyalah monster-monster lemah yang bisa kita temui di sekitar area perkotaan. Area monster ini terdiri dari 3 sub-area, walaupun ketiga area ini bentuknya sama, tetapi monster-monsternya berbeda sesuai dengan tingkat kesulitannya, area-areanya yaitu area beginner, area medium dan area hard. Kita dapat mengaksesnya setelah berkonsultasi dengan instruktur Hoffman. Di area beginner kita bisa menjumpai monster poring yang berwarna merah muda transparan, berbentuk slime agak abstrak menyerupai air mata. Monster lunatic yang mirip dengan kelinci berwarna putih cuma bulunya sangat tebal sehingga wajah, kaki dan tangannya ga kelhatan. Monster Fabre yang mirip dengan ulat bulu berwarna hijau. Untuk ukuran monster-monsternya paling besar adalah sebesar betis orang dewasa. Di area medium kita bisa menjumpai monster Willow, bentuknya seperti batang pohon berwarna cokelat yang dipotong salah satu ujungnya secara abstrak, memiliki dua tangan dan kaki, memiliki wajah seperti nenek sihir dengan hidung panjang, tubuhnya dihiasi dengan lumut hijau dan tanaman merambat, ukurannya sendiri paling besar sebesar orang dewasa. Monster Picky, mirip dengan anak burung yang baru menetas dengan bulu mohawk berwarna kuning emas dan badan berwarna merah, ukuran paling besar sebesar betis orang dewasa. Monster Condor, seperti namanya ini adalah burung condor, ukuran paling besar sebesar setengah badan orang dewasa. Di area hard kita bisa menjumpai monster Thiefbug, bentuknya mirip kecoa, gerakannya sangat lincah, ukuran terbesarnya sebesar kaki orang dewasa. Monster Thiefbug Female, seperti monster thiefbug hanya saja ukurannya lebih besar, sebesar betis orang dewasa, mampu melahirkan monster Thiefbug. Monster Rocker, mirip belalang hijau hanya saja monster ini tidak merangkak melainkan berdiri layaknya manusia, selalui membawa violin dan memainkannya, ukurannya bisa lebih besar dari orang dewasa. Monster Spore, mirip jamur merah, kepalanya berduri dan memiliki mulut yang mampu mengeluarkan racun dengan effek membuat tidur musuhnya, lidahnya panjang seperti lidah ular berwarna ungu, tubuhnya memiliki wajah boneka yang lucu, memiliki tangan dan kaki layaknya boneka pikachu, ukuran paling besar sebesar setengah badan orang dewasa. Saat ini gue berada di area beginner, anginya sejuk cuy, suegeeerrrr, banyak pepohan yang rindang, semak belukar, berbagai jenis bunga yang indah, air sungai yang jernih, suara burung, suara cicada.. Wuiihhhh indah banget dah pokoknyee, mungkin ini bisa disebut secret eden. Pertama-tama gue cek base level (untuk meningkatkan kekuatan fisik) dan job level (untuk meningkatkan skill, persyaratan untuk berubah job) gue, sekarang gue level 8, job level 8, tinggal 2 job level lagi gue bisa berubah job. Mendingan gue hunting disini sampe job level gue memenuhi syarat untuk berubah job, daripada buru-buru cabut dari sini malah endingnya bikin repot gue sendiri harus perjalanan jauh cuma untuk cari monster yang memadai. [status] str (kekuatan), agi (kelincahan), vit (vitalitas, pertahanan), int (mana, kekuatan magis), dex (Akurasi), luk (kritikal, keberuntungan) semua rata 1... Wtf, gue bingung harus seneng atau sedih cuoookss! Gue seneng karena bila semua stats gue rata 1, artinya gue memiliki banyak stats poin yang bisa gue distribusiin untuk ningkatin status yang berguna buat gue. Dilain sisi gue juga sedih mengingat selama ini kekuatan gue cuma dinilai sampah oleh dunia ini. Yah mau gimana lagi, gue cuma jones hikikomori, sad boy. Gue harus positif thinking, sekarang gue harus nentuin job yang menguntungkan agar gue bisa survive di dunia ini. Swordman ma archer jelas job tai, gue ga bakal bisa hidup lama disini, emang mau makan pedang ma berburu kayak suku pedalaman?! Merchant? gue bisa jadi sultan bergelimang harta tapi itu ngebosenin, belum gue ga punya modal awal buat usaha. Thief? Buat apa jauh-jauh kesini cuma buat jadi orang jahat cuoksss! Mage? kayaknya seru, gue bisa make sihir, naklukin dunia, tapi job ini terlalu lembek, bakalan susah kalau gue terpaksa solo. Additional job yang sering disebut Hidden Job kayak TaeKwon Kid, Gunslinger, Ninja dikehidupan gue dulu juga udah ada! super novice? Keburu mati tua Njingggg! Acolyte? Survival gue tinggi karena gue bakalan punya skill penyembuhan, gue ga perlu takut dengan racun, kekuatan fisik gue bisa ditopang dengan skill-skill buff job ini. Summoner? Job khusus yang hanya dimiliki oleh ras manusia-kucing (Doram), gue jelas ga bisa ambil job ini. Disini gue bingung harus nentuin job apa yang bakalan gue ambil, karena stats yang akan gue tingkatin harus sesuai dengan job yang akan gue pilih biar gue bisa survive di dunia ini, pro dan kontra memenuhi pikiran gue.. Kimaaakkk. Kimakkkk!! Dahlah jadi Acolyte bae, ga perlu modal, ga gampang mokad!!! Acolyte biasanya lebih fokus ke int biar mananya banyak dan sihir penyembuhannya akan jadi lebih efektif. Dex biar ga kelamaan komat-kamit baca mantra, bagus lagi kalau bisa instant cast. Sisanya vit biar ga gampang mokad. Tapi karena gue masih novice dan gue yakin bakal lebih sering solo leveling, gue bakalan ningkatin str, vit, dex lebih dulu, kedepannya baru gue tingkatin int. Ok, target sementara str, vit, dex gue tingkatin rata 10. Swiiiiiingggggggg... Cahaya biru nyelimutin tubuh gue, kekuatan mengalir masuk ke tubuh gue. Gue "Whoooahhhhh!!! Muantebbbbb reeeeeeeekkkkkk!!!! Tanpa latihan berat, gue udah bisa jadi binaragawan. Wkwkwkwk~" Hoffman "cahaya apa tadi barusan?! Hey, kau yang disana! Apa kau melihat sesuatu?!" Sebelum Hoffman mengetahui asal-usul cahaya tersebut, cahayanya udah redup dan menghilang. Begonya gue ga tau kalau Hoffman lagi nyamperin gue. Hoffman "Pffttt..Buahahahah!! Apa yang kau lakukan?! Apa menurutmu kau itu keren dan cukup kuat? Jadi prajurit resmi aja belum tentu, udah gaya-gayaan.. Hahahahahaha!!" Gue "....." Hoffman "Eh? Eeee... Anoo.. Apa kau tidak apa-apa? Saya instruktur Hoffman bertugas sebagai.. Mo..ti..va..tor.. dan pe.. Ma..ndu..mu.." Gue "LOE TUH SEHARUSNYA JADI MOTIVATOR!! BUKANNYA MALAH BIKIN GUE MALU SEUMUR HIDUP GUE!!!" PLETAAKKKK! Hoffman menjitak kepala Ari, cekikan Ari terlepas. Hoffman "SIAPA SURUH KAU GAYA-GAYAAN GA JELAS DISINI!! CEPAT BERBARIS!!" Setelah beberapa saat, Hoffman melepaskan cekikannya, gue tadinya malu, marah menggebu-gebu sekarang pusing sempoyongan dibuat Hoffman. Dengan keadaan mabok gue mencoba untuk berbaris. Hoffman "Sekarang kau tahu kan kesalahanmu?! Siapa namamu kadet?!" Gue "SIAP 69!! ARI NDAANNN!!!" Hoffman "Ari! Kenapa kau masih berdiri disini?! Sana pergi berburu monster!!" Dengan refleks gue lari terbirit-birit sehabis tersungkur ditendang Hoffman. Bangsaaaaaattt!!! Tupoksi loe sama yang loe lakuin beda jauh ANYiiiinnnkkkk!!! Gue lari lumyan jauh dari Hoffman kemudian duduk bersandar dibalik pohon. Gue "Si Hoffman bangkeee! Belum perang lawan monster aja gue udah dibikin capek." Apa yang harus gue lakuin sekarang? Tenang.. Tenang... Berpikir... Tarik nafas... Ulurkan...tarik nafas...ulurkan...Fiuhhhhh... Mumpung gue di area beginner, mendingan gue cari material buat bikin topeng Mr.Smile nanti. 10 jellopy drop dari monster poring, 10 fluff drop dari monster fabre, dan 10 clover drop dari monster lunatic. Gue mulai dari poring. Setelah cukup istirahat, gue beranjak pergi mencari poring. Poring pertama ketemu, gue langsung melakukan pertarungan pertama gue. Monster poring memiliki sifat non-aggresif, jadi gue mengendap-endap di belakang poring, kemudian gue tubruk, gue kunci dengan lengan gue, gue serang dengan belati gue. Walaupun poring ga berbahaya dan ga bakalan bisa bunuh gue, gue ogah main kejar-kejaran, antisipasi kalau dia sadar dan berhasil lari dari pengejaran gue, makanya gue lakuin hal tadi. Sayangnya serangan gue ge mempan. Gue "Lah kok bisa gini?! Gue tau dia sejenis slime, tapi apa harus gue bunuh dengan cara hancurin inti tubuhnya kayak yang ada di manga? Kayaknya gue harus pertimbangin ilmu dari Elmeen" Setelah gue menemukan inti poring yang warnanya sedikit gelap di tubuh poring, gue menusuknya, dan seketika itu poringnya meledak, badan gue dipenuhi slime yang lengket, dan gue menemukan jellopy di tempat kematian poring tersebut. Awalnya gue masih menggunakan cara lama dengan menggunakan Ragnarok Online sebagai acuan, sekarang gue sadar kalau gue salah! Apa yang dikatakan Elmeen benar, sesuai dengan manga-manga yang pernah gue baca. Nampaknya gue harus banyak belajar, ini adalah pengalaman pertama gue yang ga bakal gue lupakan. Mati Chapter 4 Mati Perburuan poring dimulai, gue masih butuh 9 jellopy lagi sebelum beralih hunting Fabre buat dapetin fluff. Poring demi poring gue sikat tanpa ampun dan akhirnya gue berhasil ngumpulin 10 jellopy dan beberapa drop lainnya seperti belati. Badan gue dipenuhi cairan slime, rasanya lengket banget, alhasil gue istirahat sebentar sembari mandi di sungai. Gue "pyokkk..pyok..pyok... Kalau gini caranya kapan gue bisa selesaiin latihan ini? Tapi mau ga mau dah, slimenya bener-bener mengganggu pergerakan gue..sial.." Hoffman bergerak menghampiri Ari sembari mengamati jejak kaki yang dipenuhi cairan slime. Hoffman "Hey Ari, kerja bagus! Tak kusangka kau berhasil mengalahkan Poring. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Gue "Berisik! Kepo aja loe! terserah gue mau ngapain, pergi sono loe!" Hoffman "Huuuufh...iya-iya maaf tadi saya sedikit keterlaluan denganmu." Gue "Terserah dah, habis ini gue mau hunting fabre." Hoffman "Oh, semangat yang luar biasa! Selamat berjuang!" Gue melanjutkan perjalanan untuk hunting fabre, disini fabre termasuk monster agresif, dia akan langsung menyerang apabila terusik, tidak hanya itu dia juga tidak akan segan-segan mengeroyok apabila salah satu jenisnya diganggu. Yah..bagi gue ini malah menguntungkan, monster ini tergolong lemah jadi ga bakalan mengancam nyawa gue. Satu demi satu fabre berdatangan ngeroyok gue, semuanya langsung gue bantai, gue berhasil ngumpulin 10 fluff dengan bonus beberapa gada tanpa susah payah. Karena gue ga begitu lelah, gue lanjutin hunting lunatic buat dapetin clover. Gue mondar-mandir di hutan cukup lama ga satupun lunatic dapet gue temuin. Gue "anjirlah, susah banget nyari lunatic." Tiba-tiba ada lunatic nongol dari semak-semak, disini dia belum nyadari keberadaan gue, gue putusin untuk mengendap-endap mendekati lunatic. Gue berencana menggunakan taktik yang sama waktu gue hunting poring, sayangnya waktu gue tubruk lunaticnya berhasil kabur. Gue "asuu!!!! Gesit banget! Ga bakalan gue biarin loe lolos!!" Hoffman ga sengaja ngelihat gue nguber lunatic, dia ngamatin cara gue ngeburu lunatic, hingga akhirnya lunatic berhasil lolos masuk ke sarangnya. Gue "Bangke! Gue ga nyangka bakal sesulit ini hunting lunatic!" Hoffman "Hey, kau baik-baik aja? Lunatic itu memang termasuk monster lincah jadi kau harus..." Karena saking keselnya, gue ga gubris omongan si Hoffman, gue celingak-celinguk mencari beberapa kayu dan jongkok di depan sarang lunatic. Hoffman "Ooo..ooii.. Apa yang mau kau lakuin?" Gue "Bikin api." Hoffman "PLETAAKKK! KAU BISA BAKAR HUTAN GOBLOK!!! makanya dengerin nasihat saya terlebih dahulu!" Gue "SEMPAKK!! Emang apaan nasihat loe! gue udah kesel ngejar-ngejar hewan bangke satu ini! Hoffman "UHUK! Sebaiknya kau kembali ke west hall untuk membeli beberapa wortel." Gue tau maksud si Hoffman, gue harus mancing lunatic keluar dengan wortel. Sumpah, game dengan dunia ini bener-bener jauh berbeda, buat hunting monster aja ribet banget bangke! Akhirnya gue putusin untuk ikutin nasihat Hoffman, gue berjalan kembali ke west hall. Sebelum masuk ke west hall, gue sembunyi-sembunyi ngeluarin semua drop item yang ga guna dari inventory, kemudian memasuki west hall untuk menjual beberapa monster drop yang ga berguna ke pedagang wanita yang ada disana, lalu gue beli beberapa wortel. Gue "Mbak, tolong tuker barang-barang ini dengan wortel." Pedagang wanita "mohon tunggu sebentar saya akan mengestimasi harganya terlebih dahulu. Pisau-pisau ini sangat buruk, gada ini juga, barang-barang ini cuma bisa untuk di daur ulang. Kamu hanya bisa mendapatkan beberapa wortel ini, dan ini kembaliannya. Terima kasih sudah berbelanja." Gue "WTF! 2 koin tembaga. Apa ini setara dengan 2 zeny? Gue bener-bener kere." Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri gue dari belakang. Muriel "Halo kakak~ kakak lagi ngapain? Tubuh kakak kotor, kakak keliatan lelah, kakak ga apa-apa?!" Gue "Ohhh malaikatku~ Kakak ga apa-apa kok, cuma beli beberapa wortel." Muriel "Kakak yakin? Kalau ada apa-apa Muriel mau bantu!" Gue "Makasih banyak cantik~ kakak cuma mau hunting lunatic, kakak pergi dulu ya~" Muriel "Semangat kakak~" Gue kembali ke sarang lunatic, gue ga nemuin Hoffman disana, mungkin dia lagi boker? Tau ah. Gue mencari semak-semak yang bagus di dekat sarang lunatic untuk sembunyi, terus gue taruh wortel di depannya. Ga lama, ada lunatic yang keluar dari sarangnya, dia mencium aroma wortel kemudian mengendap-endap ke arah wortel yang sengaja gue siapin. Saat lunatic asik makan wortelnya, gue langsung tikam dia dengan belati, darahnya muncrat kemana-mana ngotorin spot strategis gue dan pakaian gue. Alhasil gue mesti cari spot baru, walaupun begitu gue berhasil dapetin clover setelah lunatic mati, untuk mayatnya sendiri gue coba masukin ke inventory, dan ternyata bisa. Lumayan cuks buat makan nanti! Perlahan tapi pasti gue bunuh satu persatu lunatic dengan taktik yang sama, akhirnya gue berhasil ngumpulin 10 clover, badan gue dilumuri darah lunatic sehingga gue putusin untuk berendem lagi di sungai. Saat gue berendem, si kunyuk Hoffman muncul lagi. Hoffman "Wow, luar biasa! Kau berhasil mengalahkan semua monster di beginner area ini." Gue "DASAR CABUL! Loe muncul mulu pas gue mandi!" Hoffman "Memang kenapa? Kayak ada yang berharga yang bisa saya lihat. Lagipula saya masih seorang pria normal. Ngomong-ngomong, apa kau mau mencoba ke area medium? Saya bisa memandu kamu kesana." Gue "Sebelum itu, gue mau tanya. Apa pernah ada kematian calon prajurit resmi disini?" Hoffman "Kenapa kau tanya seperti itu? Selama ini tidak pernah ada, walaupun ada Muriel akan menyelamatkannya, dia bisa menghidupkan orang yang mati dengan [Yggdrasil Leaf] miliknya asalkan orang tersebut mati dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 jam." Gue "Bukankah itu item yang sangat berharga?" Hoffman "Tentu saja! berkat item ini, tidak pernah ada calon prajurit resmi yang mati disini." Gue "Ok, tolong antar gue ke area hard." Hoffman "Oi..oi.oi apa kau gila?! Kau mau mencoba bunuh diri?!" Gue "Loe pikir gue lemah?! Cepet antar gue kesana! Loe masih punya hutang mempermalukan gue!" Hoffman "Cih! Baiklah, tapi kau tetap harus jaga diri, jangan sampai mati." Hoffman mengulurkan tanganya nyuruh gue untuk memegangnya, dia mulai komat-kamit baca mantra, kemudian kami diselubungi cahaya dan menghilang. Tanpa gue sadari, kami berdua sudah pindah ke area hard. Hoffman "Kita sudah sampai, apa yang akan kau lakukan?" Gue "lihat saja." BAK BUK BAK!! semua monster yang ada di dekat kami gue pukul satu persatu, tujuannya bukan untuk dibunuh melainkan supaya monster-monster ini ngeroyok gue. Hoffman "DASAR GILA! APA KAU MAU MATI?!" Dalam waktu singkat gue udah dikroyok oleh rocker, spore, thiefbug dan thiefbug female. Gue dihajar dari berbagai arah, sumpah rasanya sakit banget coooook! Seketika itu gue mati. Hoffman "AAAAAAaaaaaa!!!! DASAR ANAK TOLLOOOOOLLLL!!" Prajurit Resmi Ari Chapter 5 Prajurit Resmi Ari Hoffman berlari keluar dari area monster dengan menggotong mayat Ari, dia berupaya menghidupkan Ari dengan bantuan Muriel. Hoffman "MURIELLL...Muriellll, dimana muriel?! Hoffman "Kenapa sangat sepi? Apakah ini waktunya istirahat siang? Bagus, semuanya pasti berkumpul di hall utama." Hoffman "MURIELLL!! Tolong selamatkan anak ini!!" Seluruh staff di kastil yang tadinya hendak makan siang bersama di hall utama dikagetkan dengan teriakan Hoffman. Muriel "Ada apa paman Hoffman? Apa yang terjadi? KYAAAAaaa!!! Apa yang terjadi dengan kak Ari?!" Hoffman "Ceritanya panjang, Ari tewas di area monster hard." Semua yang ada di hall utama mendekat ke arah Hoffman dan Muriel. Cecil "Ari?! Brother loe kenapa?!" Alice "Ari-kun!? Hoffman!! Apa yang terjadi dengan Ari?!" Shion "Tuan Ari, apa yang terjadi dengamu?!" Kris "Cih! Dasar lemah!" Sherly "Kerja bagus Ari." Elmeen "SEMUANYA HARAP TENANG! Muriel siapkan yggdrasil leaf! Hoffman segera letakkan Ari! Yang lainnya tolong mundur! Semua orang yang tadinya ribut, langsung terdiam dan bergegas melaksanakan perintah Elmeen. Hoffman meletakkan Ari di lantai, Muriel mengambil Yggdrasil Leaf miliknya, staf yang lain memberi ruang untuk memulai ritual resurrection kepada Ari oleh Muriel. Muriel "Kakak, bertahanlah. RESURRECTION!!" Tangan Muriel bersinar, muncul lingkaran sihir yang terang di lantai tempat Ari berada, cahaya keemasan berkumpul menyelimuti tubuh Ari yang nampak pucat. Sedikit demi sedikit tubuh Ari yang tadinya pucat, mulai berwarna lagi, tak lama kemudian lingkaran sihir dan cahaya yang menyelimuti Ari menembak ke langit, lingkaran sihir dan cahayanya perlahan memudar. Muriel jatuh, terduduk kecapaian di hadapan Ari. Gue melihat cahaya keemasan, jiwa gue kembali. Walaupun tadi gue mati, segala yang terjadi di sekeliling gue barusan, dapat gue ketahui gitu aja. Mulai dari Hoffman menggotong gue. Sahabat gue yang sedih dan panik Cecil. Muriel, Alice, Shion bidadari-bidadari gue yang sedih dan menangis melihat kematian gue. Si tsundere Kris. Si iblis Sherly. Perlahan gue mulai sadar, tubuh gue membaik, gue mulai membuka mata, lalu gue mencoba untuk bangun kemudian duduk, dan mengamati sekitar. Gue "Maaf merepotkan kalian, aku kembali." Melihat ritual resurrection berhasil, Muriel dan Alice langsung memelukku. Cecil tertawa bahagia sambil mengusap rambut gue. Hoffman yang kelelahan nampak tersenyum lega. Shion nampak bahagia sembari mengusap air matanya. Kris hanya tersenyum. Elmeen tersenyum bahagia. Si iblis kafra Sherly tersenyum sok cool. Muriel "Onii-chan! BAKA!!" Alice "Anak bodoh.." Cecil "Loe bener-bener berhasil bikin gue jantungan bro! Hahahaha.." Hoffman "Dasar bajingan gila.." Shion "Syukurlah tuan baik-baik saja." Kris "Dasar berandalan, tukang pembuat onar." Elmeen "Hahaha! Syukurlah semua berjalan lancar!" Gue "Terima kasih, aku baik-baik saja." Gue "Kerja bagus Hoffman!" Hoffman "KERJA BAGUS BAPAK KAU!" Hall utama yang tadinya hening dan mencekam, sekarang dipenuhi tangis dan tawa bahagia. Setelah kondisi kembali normal, gue diajak untuk makan siang bersama dengan seluruh staf di kastil. Selesai makan, gue disuruh untuk beristirahat, tetapi gue menolak, gue ga pingin menghabiskan banyak waktu disini, gue pingin segera mengelilingi dan menikmati dunia ini. Alice "Ari-kun habis ini tolong beristirahatlah." Elmeen "Ya, istirahatlah dulu. Jangan memaksakan diri dalam pertarungan." Shion "Iya tuan, saya akan siapkan kamar untuk anda." Gue "Maaf, aku menolak, aku harus selesaikan pelatihan ini secepatnya." Muriel "Kak Ari.." Gue "Hoffman, habis ini tolong anter gue ke monster area hard. Tenang aja, gue ga akan seteledor tadi." Kris "Hahaha..dasar bocah gila, kau mau mati lagi?" Cecil "Apa yang loe ketawain Kris?! Ari adalah prajurit yang kuat! Gue yakin dalam beberapa tahun kedepan dia mampu ngalahin loe!" Kris "Apa kau bilang?! Mau baku hantam huh?!" Alice "PLETAKKK-PLEETAKK!! Cecil, Kris hentikan pertikaian kalian." Setelah situasinya kondusif akhirnya Hoffman menjawab permintaan Ari. Hoffman "Maaf, untuk saat ini aku tidak akan mengizinkanmu. Kecuali kau mampu menaklukan seluruh monster di area medium seperti saat kau menaklukan area beginner, baru aku akan mengizinkanmu ke area hard." Gue "Hoooh~ tidak masalah." Muriel "tunggu, sebelum kalian berdua pergi, tolong tunggu Muriel di west hall." Gue dan Hoffman pergi ke west hall, menunggu Muriel di meja kerjanya, kami ga tau apa yang dilakukannya, yang jelas kami sudah menunggu cukup lama. Muriel "Maaf menunggu lama~ Kak Ari, tolong terima ini." Gue "Whoaaa! Berat... Ini apaan Muriel?" Muriel "ini semua adalah red potion yang Muriel racik khusus buat kakak~" Hoffman "Bukankah ini sedikit berlebihan Muriel?" Muriel "Ga paman! Ini semua untuk keselamatan kak Ari. Kak Ari juga, Tolong jangan ceroboh seperti tadi! Lain kali Muriel ga akan memafkan kakak!" Hoffman "Hahaha.. Tenang saja Muriel, Paman akan mengawasinya!" Gue "makasih cantik, Kakak janji ga akan ceroboh lagi." Treettt..tetettt..tretettt!! Level up, dengan begini gue udah dapetin semua yang ada di sini. Bagus, sesuai dengan rencana. Gue "Kalau begitu, kami pergi dulu ya Muriel." Muriel "Jaga diri kalian baik-baik!" Segera setelah memasuki area monster, gue dan Hoffman langsung berpindah ke area monster medium. Shiiiningggggg... Hoffman "Apa yang akan kau lakukan denga potion-potion itu?" Gue "Tentu saja menggunakannya, tolong jaga ini, gue bakal balik dengan cepat." Hoffman "Wahhh.. Lumayan berat juga. Ok, jangan ceroboh lagi!" Sekarang gue udah level 10 dan job level 9, kurang 1 job level lagi gue cabut dari tempat ini. Sekarang udah siang, kalau gue hunting disini bakal memakan waktu lama untuk level up. Sebaiknya gue bunuh aja semua monster disini, masing-masing 1 monster setiap jenisnya, ambil beberpa potongan tubuh sebagai bukti, menyerahkannya ke Hoffman, kemudian pergi ke area hard. Dengan cepat gue bunuh monster satu persatu, picky gue tusuk kemudian gue cabut bulunya sebagai bukti, willow gue belah kemudian gue ambil kayunya sebagai bukti, condor gue penggal lalu gue ambil paruhnya sebagai bukti. Hoffman hanya tersenyum bangga melihat gue membantai monster dari kejauhan. Karena semua bukti sudah terkumpul, gue kembali menemui Hoffman. Hoffman "Kerja bagus! simpan saja bukti-bukti itu. Jangan lupa kumpulkan bukti monster yang ada di area hard nanti. Itu semua akan membantumu saat menemui instruktur Keyman." Gue "Bagaimana dengan monster di area beginner? Gue cuma punya beberapa daging lunatic." Hoffman "tidak perlu, Instruktur Keyman hanya mengakui monster-monster yang kuat. Mari ke area selanjutnya." Gue dan Hoffman lanjut beralih ke area monster hard, disini gue lebih sering membunuh rocker dan spore karena monster ini ga bakal ngeroyok gue. Sisanya gue cuma bunuh 1 thiefbug female untuk mengambil bagian tubuhnya sebagai bukti, monster ini sangat lincah, monster ini akan melahirkan beberapa thiefbug setelah mati, dengan ini gue bisa membunuh dan mengambil bagian tubuh thiefbug sebagai bukti. Thiefbug dan Thiefbug Female memiliki sifat sama persis dengan Fabre, oleh sebab itu gue harus hati-hati, mencari dan membunuh thiefbug female yang terpisah dari kawanannya. Waktu menunjukkan sore hari, sekarang gue level 12 dan job level 10, gue juga berhasil mengumpulkan semua bukti yang gue butuhkan. Gue kembali menemui Hoffman untuk berpamitan dan mengambil semua potion yang diberikan Muriel. Hoffman "Nampaknya kau sudah berhasil, kau nampak lebih kuat dari sebelumnya." Gue "tentu saja, memangnya loe pikir gue siapa?" Hoffman "Hahaha.. Ini ambilah potion-potion mu. Aku akan menantikan keberhasilanmu." Gue "tunggu dan lihat saja." Setelah cukup jauh dari Hoffman, gue memasukan semua potionnya ke inventory gue, kemudian gue keluarin seluruh bukti yang udah gue kumpulin. Gue pergi ke ujung hutan untuk menemui Keyman sambil menikmati pemandangan hutan eden yang indah ini. Gue melewati jembatan kayu menyeberangi sungai, dari kejauhan nampak dinding dan pintu kastil menuju ruangan tes terakhir, di tengah pintu ada pria besar yang kekar, dia adalah instruktur Keyman yang bertugas menilai kelayakan calon prajurit resmi lolos dari pelatihan perburuan ini, kemudian mengizinkan kita untuk memasuki ruangan tes terakhir. Gue "Apakah anda instruktur Keyman? Saya Ari calon prajurit resmi novice." Keyman "Hoo~ 1 willow, 1 picky, 1 condor, 1 thiefbug female, 2 thiefbug, 4 rocker dan 4 spore. Hahahaha.. Kerja bagus nak!" Gue "Bagaimana dia bisa tahu, hanya dengan melihatnya dari kejauhan?" Gue "Apakah saya lulus? Saya ingin mengikuti tes terakhir." Keyman "Tentu saja nak, letakkan itu disini dan masuklah. Semoga beruntung dengan ujianmu." Gue "terima kasih." Gue memasuki ruangan test terakhir, dimana di ruangan ini hanya terdapat 2 instruktur yaitu instruktur Bruce yang berada di dekat pintu masuk sebelah kiri, dan instruktur Hanson yang berada di ujung tengah ruangan. Bruce "selamat anak muda, anda terlihat sangat menjanjikan, saya harap anda dapat menjadi prajurit yang hebat di masa depan. Nama saya Bruce, saya akan menerangkan berbagai kelas lanjutan prajurit resmi, mohon untuk diperhatikan." Gue "Terima kasih Pak tua Bruce." Bruce hanya tertawa melihat tingkah laku gue, kemudian dia mulai menerangkan berbagai jenis kelas lanjutan yang dapat gue ikuti setelah diangkat menjadi prajurit resmi novice disini. Dia menerangkan tentang Swordman, adalah kesatria berpedang yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Knight dan Crusader, rekruitmen berada di kota Izlude. Archer, adalah pemanah yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Hunter dan Bard/ Dancer, rekruitmen berada di kota Payon. Mage, adalah penyihir yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Wizard dan Sage, rekruitmen berada di kota Geffen. Merchant, adalah pedagang yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Blacksmith dan Alchemist, rekruitmen berada di kota Alberta. Thief, adalah pencuri yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Assassin dan Rogue, rekruitmen berada di kota Morroc. Acolyte, adalah pendeta yang kelak dapat melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yaitu Priest dan Monk, rekruitmen berada di kota Prontera. Bruce "Apa kamu tertarik dengan salah satu kelas ini nak?" Gue "Ya, gue pingin jadi Alcolyte." Bruce "Hohoho~ sungguh tidak disangka-sangka. Baiklah, silahkan ambil kartu ini, dan serahkan kepada instruktur Hanson untuk memulai ujiannya. Semoga beruntung nak." Kenapa rupanya dengan Acolyte? Memang ada yang salah dengan job ini? Terserahlah, gue pingin cepet-cepet selesaiin pelatihan ini. Gue menerima kartu dari Pak tua Bruce, kemudian datang menemui Hanson dan menyerahkan kartu tersebut untuk mengikuti ujian. Gue "Selamat sore instruktur Hanson, saya Ari ingin mengikuti ujian dari anda." Hanson "Hooh~ saya Hanson, senang bertemu denganmu nak. Baiklah langsung saja kita mulai ujiannya." Ujian dari Hanson adalah ujian kepribadian, ini cukup mudah, tetapi jangan salah, ujian ini berfungsi sebagai rekomendasi kelas apa yang akan kita pilih nantinya. Apabila kita cukup beruntung mendapatkan rekomendasi ke kelas sesuai yang kita inginkan, kemudian menerimanya, kita akan mendapatkan surat rekomendasi dan beberapa hadiah. Jika hasil test kita tidak sesuai keinginan kita, dan kita meminta untuk di rekomendasikan ke kelas yang lain, kita hanya akan mendapatkan surat rekomendasi saja. Test pun dimulai, gue langsung mengisi semua pertanyaan dengan cepat, hanya dalam waktu 5 menit, gue sudah menjawab semua pertanyaan. Gue langsung menyerahkan lembar jawab gue ke Hanson untuk di periksa. Gue "Ok, udah kelar. Ini lembar jawab saya tuan, mohon segera diperikasa." Hanson "Cepat sekali! apa kamu tidak membacanya? Baiklah akan saya periksa, mohon tunggu sebentar." Hanson "Hmmm...Oo..key.. Hasilnya adalah Acolyte? kamu dapat rekomendasi menjadi kelas Acolyte!" Gue "Woohhhh! Mantab sesuai dengan keinginan gue!! Tapi kenapa si jenggot pirang ini tampak kaget? Apa ada yang salah dengan job Acolyte?!" Hanson "Huffhh.. Maaf sebelumnya nak, apa kamu tidak ingin job lain? Misalnya job Thief? Soalnya saya sudah banyak mendengar berita tentangmu nak, kamu adalah anak yang barbar, seenaknya sendiri dan sangat mesum. Menurut saya job Thief adalah job yang sesuai dengan karaktermu." Gue "JINGGGAANNNN!! WOY JENGGOT PIRANG, KENAPA LOE SEENAKNYA NGATUR-NGATUR HIDUP GUE?! LOE NGLEDEK GUE HUH?!" Bruce mendengar gue ngamuk-ngamuk, kemudian memperhatikan gue dari jauh, lalu mulai mendekat ke arah kami. Hanson "T-tunggu sebentar! Saya hanya khawatir dengan masa depanmu! Saya tidak bermaksud ngeledekmu nak!" Gue akhirnya sadar, kalau Hanson adalah petinggi di training ground ini, kemudian gue lepaskan tarikan gue dan meminta maaf. Gue "Ah! Maafkan saya tuan Hanson." Hanson "T-tidak masalah, ini adalah sertifikat prajurit resmi dan pin prajurit resmi, tolong jaga baik-baik, jangan sampai hilang, mulai sekarang kamu resmi menjadi prajurit resmi novice, selamat! Dan ini adalah surat rekomendasi kelas Acolyte, beberapa kupon kafra, 7 Phracon untuk meningkatkan senjata kelas 1 (kelas terendah)." Gue "Yahuuuuuu!!!! Terima kasih banyak pak! Saya pasti akan menjaganya, dan saya berjanji tidak akan membuat nama prajurit resmi tercoreng!" Hanson "Hahaha.. Aku harap kamu menepati janjimu nak! Jika kamu sudah siap untuk pergi dari sini, tolong hubungi nona Sherly." Gue "Siap pak! Saya pamit undur diri!" Bruce "Hohoho~ benar-benar anak yang menarik." Hanson "Sigh.. Aku harap dia mendapatkan mukjizat dari Tuhan dan segera bertaubat." Gue keluar dari ruangan dan menemukan Keyman di depan pintu, dengan bangga gue perlihatkan semua pemberian Hanson. Keyman mengucapkan selamat, kemudian mendoakan gue semoga bisa menjadi prajurit yang hebat di masa depan nanti. Gue berpamitan dengan Keyman dan bergegaa pergi menemui Sherly. Anehnya di sepanjang perjalanan gue ga bisa nemuin Hoffman, gue putusin untuk memakai pin prajurit resmi yang di belakangnya terdapat nama gue, memasukkan barang-barang lainnya ke inventory. Hal serupa juga nampak di west hall, apa semuanya lagi istirahat? Padahal hari masih sore. Tau ah, saatnya cabut dari sini. Gue lanjut berjalan ke main hall, tak disangka semuanya menunggu kehadiran gue disana. Cecil "Yo bro? Gimana hasilnya?" Gue memamerkan pin prajurit resmi yang gue pasang di mantel gue. Elmeen "Pin prajurit resmi?! Selamat bergabung dengan kami Ari!" Cecil "Mantaaabbbb cuyyyy!!! Hahahaha!!!" Alice dan Muriel berlari ke arah gue, mendorong Cecil sampai jatuh, kemudian memeluk gue. Cecil "Aaarrghhhh!" Alice "Selamat adik kecil, Nee-san bangga padamu!" Muriel "Selamat kak Ari!" Shion "Selamat tuan Ari!" Hoffman "dasar bajingan gila." Gue menikmati pelukan hangat tetek-tetek Alice dan Muriel Mwuehehehehe~ sekilas gue ngeliat Kris dan Sherly tersenyum dengan gaya mereka yang angkuh dan sok cool, walaupun begitu, gue ikut tersenyum bahagia ngeliatnya. Cecil "Wokeeyy!! Malam ini kita pesta menyambut kawan baru kita!! YEAHHHH!! Alice dan Muriel melepaskan pelukan mereka. Main hall terdengar ramai dengan teriakan-teriakan kebahagiaan menyambut gue telah berhasil bergabung dengan prajurit resmi. Tapi semuanya berhenti begitu saja ketika gue menyela suasana bahagia ini. Gue "sorry guys, sepertinya aku bakalan langsung meninggalkan tempat ini, mengingat hari sudah sore, dan aku ingin menjelajahi dunia ini sesegera mungkin." Semuanya menatap gue dengan tatapan yang sedikit kecewa, kecuali Sherly yang mengerti betul seluk beluk gue. Gue "Sherly, tolong kirim gue ke Prontera." Sherly "Baiklah, saya mengerti." Cecil "BAIKLAH! GUE GA AKAN HALANGIN LOE BRO! TAPI INGET! LIBURAN TAHUN DEPAN KITA BAKALAN DATENGIN LOE! LOE MESTI SIAP-SIAP NYAMBUT KITA SEMUA!!" Muriel "Iya kak, kita pasti akan mengunjungi kakak!" Shion "Saya janji akan mengunjungi tuan" Hoffman "Inget! Kau harus traktir aku minum! Aku sudah menyelamatkan hidupmu sekali." Elmeen "Aku juga Man! Kau mesti traktir aku juga Ri!" Alice "Dasar anak nakal, Kris! Apa kau tidak akan mengucapkan apa-apa kepadanya?!" Semuanya mengamati Kris, Muriel melepaskan pelukannya, semuanya membukakan jalan agar Kris dapat menghampiri gue dengan tatapan penuh harap dan tersenyum hangat. Kris "Aargghhhhh.. Baiklah! Kau harus berjanji denganku untuk menjadi lebih kuat! Dipertemuan kita berikutnya, mari kita bertanding!" Gue "Ok, gue terima tantangan loe! Jangan sampai loe menyesali janji ini!" Kris "Heh! Tidak akan!" Sherly "Baik, semuanya tolong menjauh. Saya akan mengirim tuan Ari ke Prontera." Semuanya menjauh memberikan ruangan kepada Ari dan Sherly. Mereka semua melambaikan tangan dengan senyuman dan tawa yang hangat ke gue, disini gue sangat terharu, gue melambaikan tangan seraya membalas semua salam mereka. Sherly memberikan sinyal apakah gue sudah siap, gue anggukan kepala ke Sherly Sherly "TELEPORT!!" Angin yang sangat kencang namun lembut memenuhi ruangan, berkumpul membentuk pilar di tubuh gue, dengan sekejap gue menghilang dari training ground berpindah ke Prontera diikuti dengan menghilangnya angin. Disinilah petualangan gue yang sesungguhnya akan dimulai, PRONTERA!! GUE DATANG!!!! Description: Ari adalah ABG berumur 17 tahun, hobinya adalah bermain game online, dia sangat mencintai game Ragnarok Online original yang jadul dengan platform Windows/ PC, sehingga teman-temannya memberikan julukan "MANIAK RO". Suatu hari dia dan teman-temannya pergi ke sebuah event para gamers, sayangnya mereka mengalami kecelakaan saat di perjalanan. Entah bagaimana caranya Ari terdampar di sebuah dunia yang mirip dengan Ragnarok Online, bagaimana dengan teman-temannya? Entahlah. Kisah petualangan Ari di dunia barupun dimulai!
Title: Rumah Tangga Category: Novel Text: 1. Jebakan Lion Senja di langit ibu kota terlihat sangat menawan, burung burung yang terbang kesana kemari membuktikan bahwa langit hari ini bisa di ajak berkompromi. Baru pukul setengah lima sore, namun jalanan sudah di penuhi oleh kendaraan kendaraan baik yang menemani pemiliknya menikmati malam Minggu. Sama halnya, dengan kendaraan milik Ashel yang diperintahkan untuk mengantar pemiliknya ke suatu tujuan. "Depan belok kiri ya." Suara sahabat Ashel, Wanda memberi tau pasti kemana mobil ini harus melaju. Ashel mengarahkan kemudi ke jalan yang Wanda infokan, yang ternyata membawa mereka ke perumahan elite yang Ashel tau merupakan tempat tinggal ayah tiri Wanda. Dia memasukan mobilnya ke halaman rumah megah khas perumahan elite. "Assalamualaikum..." Salam Ashel sedikit menggema di rumah yang terlihat kosong. Ini kedua kalinya Ashel kemari, yang pertama yaitu saat Mama Wanda menikah dan yang kedua, ya sekarang ini. "Waalaikumsalam. Yuk langsung naik aja, mama papa ngga di rumah." Mereka naik ke lantai 2 dimana kamar Wanda berada. Sebenarnya Wanda tidak tinggal disini, namun sesekali ia menginap disini untuk menemani mamanya. Wanda memiliki seorang kakak kandung laki laki, dan seorang kakak tiri laki laki. Kedua kakaknya tidaklah akur, dan itu membuat atmosfer rumah tidak nyaman. Alhasil mereka hidup sendiri sendiri di apartemen ataupun kos kos an yang mereka sewa. "Kamar Lo bagusan yang di sini." Ashel dan Wanda merebahkan badan mereka diatas ranjang. Mereka berdua sudah bersahabat sejak hari pertama Ospek, sudah ratusan kali Ashel tidur di ranjang kosan Wanda yang sedikit keras dengan kubik yang sempit. "Gue juga maunya tinggal di sini. Tapi kakak gue bikin ulah mulu." Wanda bangkit mengengambil baju baju yang ada di dalam lemari dan memasukannya ke dalam koper. Mereka akan berangkat ke Bandung esok hari untuk merayakan kelulusan dan Wisuda mereka berdua 1 bulan lalu. Tok tok tok Wanda dan Ashel sontak menoleh ke arah pintu. Wanda menghampiri pintu kamar dengan perasaan bingung. Orangtuanya belum pulang ke rumah, rumah ini tidak memiliki ART, lalu siapa yang berani membuka pintu rumah dan berjalan ke kekamarnya? Ceklek "Loh kak? Ngapain Lo disini?" "Mau ketemu mama, tapi mama ngga ada di rumah. Gue liat di depan ada mobil temen lo. Jadi gue buatin minum buat kalian berdua." Dia Lion, kakak kandung Wanda. Orang yang sedikit Wanda benci karena perilakunya yang sangat busuk. Di dekat kakak kandungnya Wanda tidak merasa nyaman, dengan segera ia mengambil nampan yang kakaknya berikan. "Oh, oke makasih." Wanda menutup pintu kamar, meninggalkan lion yang raut mukanya berubah licik. "Kak Lion?" Tanya Ashel. Ashel sedikit mengetahui tentang Lion, beberapa bulan lalu dirinya pernah menolak cinta lion yang sudah lebih dari 2 tahun menunggunya dengan alasan sibuk mengerjakan skripsi. Tapi memang seperti itu adanya, selain itu ashel juga tidak menyukai sikap lion yang sedikit kasar jika berhadapan dengan Wanda. "Iya tuh. Nih, minum. Lo suka Es kan?" Wanda menyerahkan es teh untuk Ashel, sedangkan dirinya meminum teh hangat, karena Wanda tidak bisa meminum minuman dingin. Entah bagaimana kakaknya tau dan membuat minuman dengan suhu yang berbeda. Satu tegukan Dua tegukan Tiga tegukan Ashel dan Wanda meminum teh yang Lion buat sampai tegukan terakhir. "Rada gerah ya? Tolong AC nya dong Wan." Ashel mencepol rambutnya untuk menghalau rasa panas yang mendera tubuhnya. "Masa sih? Udah full noh." Wanda tidak merasakan suhu udara di kamar ini meningkat sedari tadi AC kamar pun sudah di setel dengan minus paling rendah. "Hoammm.. Demi apapun gue ngantuk banget. Bangun in jam 7 ya shel. Biar gue bisa tidur di kosan." Ashel mengangguk. Selang beberapa detik Wanda sudah tertidur nyenyak di atas kasur, meninggalkan Ashel yang resah dengan kondisi tubuhnya. Aneh, ashel hanya meminum es teh yang Lion berikan. Tapi mengapa kondisi tubuhnya seperti ini? Panas, Jantung nya berdetak cepat, dan di area area tertentu Ashel merasa gatal, padahal dirinya tidak alergi terhadap teh apapun. Dirinya memutuskan turun untuk mencari kamar mandi, rumah ini terlihat lebih sepi karena sudah memasuki waktu mahgrib dan langit mulai menggelap. "Mungkin kak lion udah pulang." Pikir Ashel Ashel masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dapur, tubuhnya ingin cepat cepat terbilas air, sensasi panas dan gatal yang ashel rasakan sangat mengganggunya. Karena kondisi rumah yang hening, suara air yang menetes dari showe terdengar sampai dapur. Ia melepas pakaian nya, dan menjatuhkan dirinya di bawah rintikan air dingin. "Kok gue gini sih?" Bisik Ashel lirih, akal sehatnya mulai menghilang samar samar ia mendengar seseorang berteriak memanggil nama Lion. Ashel tidak memperdulikannya tetapi... BRAKKK Ashel terkejut melihat pintu kamar mandi terdobrak dengan paksa. Ia melihat kakak tiri Wanda sedang memandangnya dengan tatapan yang sulit sekali dia artikan. "Kak Arsen?" Ashel membeku di tempatnya. Tanpa mengucap apa apa Arsen masuk ke dalam kamar mandi dan melumat bibir Ashel dengan penuh nafsu, tangan Arsen bahkan sudah berkeliaran di sekitar tubuhnya. Ashel tidak bisa menolak ia membalas lumatan laki laki ini. Mereka sudah terbuai oleh nafsu dan sudah dalam kendali obat. Arsen membawa Ashel dalam keadaan telanjang ke dalam kamarnya yang tidak pernah ia pakai di lantai bawah. Dia menjatuhkan ashel ke atas ranjang lalu mengunci pintu kamarnya. Mereka tidak bisa berfikir jernih, kelicikan seseorang dan nafsu yang menjadi mengendalikan , membuat malam ini menjadi awal dan sejarah panjang bagi mereka berdua. "Akhhhh..." Ini kali pertama untuk Ashel. Matanya berlinang air mata, tak kuat merasakan pedih di daerah intimnya. Arsen berulang kali mencoba menghalau rasa sakit yang di derita Ashel. Desahan mereka berdua terdengar di seluruh penjuru kamar. Setelah mereka berdua mencapai puncak, mereka juga mengulangi hal tercela itu selama beberapa kali. Dalam waktu 3 jam Mereka menyelesaikan hal yang bisa mengubah dunia mereka. "Arggghh fuck...!!!" Desis Arsen. Nafas mereka terengah engah, sungguh malam ini menjadi malam yang sangat melelahkan dan juga menakutkan. Ashel dan Arsen terlelap tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Sunyi, rumah ini sangat sunyi. Entah bagaimana rencana Wanda dan Ashel besok pagi. Seperti berlibur dan merayakan suatu hal bukan hal yang baik untuk di lakukan sekarang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah terlelap selama 2 jam Ashel terbangun dan menatap bingung sekeliling nya, ia sadar dan menangis saat menangis melihat wajah tampan Arsen yang notaben nya seorang kakak tiri sahabatnya, sedang tidur lelap menghadap ke perutnya. "Gue bego banget! Bego bego bego!" Dia yang pertama kali menyesal. Dengan tertatih tatih ashel membuka lemari pakaian Arsen, untuk mencari baju yang sekiranya layak ia gunakan. Hanya terdapat kurang lebih 5 baju, ashel memilih Hoddie yang mampu menutupi sampai setengah paha nya. Ia naik ke lantai atas kamar Wanda untuk mengambil kunci mobil dan tas yang ia tinggalkan, sahabat nya masih tertidur. Ashel tidak membangunkan Wanda sesuai yang ia janjikan. Sebelum keluar dari rumah itu, Ashel terlebih dahulu pengambil pakaian nya di dalam kamar mandi. Tanpa ba ba bi bu dia masuk ke dalam mobil, dan menjalankan kuda bajanya membelah jalanan ibu kota yang masih tampak ramai oleh muda mudi menikmati malam Minggu. ••• Arsen terbangun mendengar suara mobil di depan rumah nya. Betapa terkejutnya saat dia mengetahui bahwa tubuhnya telanjang dengan baju berserakan serta ada beberapa noda yang masih basah di atas kasur. "Darah? Shittt!" Dia memakai pakaian yang berserakan di atas lantai dan berlari menuju kamar adik tirinya di lantai atas. "Wan.." "Wanda!" Tidak ada pergerakan yang cukup berarti, arsen mengguncangkan bahu adik tirinya cukup keras. Pikiran nya kalut, jangan sampai apa yang dia pikirkan benar, walaupun itulah kenyataannya. "Wan!" "Enghh.. apa?" Wanda membuka matanya yang sangat berat. "Apa yang Lo minum?" Wanda mengerutkan dahinya tidak paham. "Apa maksud Lo si? Gue ngantuk ah kak." "APA YANG TADI LO SAMA ASHEL MINUM ANJING? GUE UDAH ZINA SAMA DIA!!!" Bentak Arsen frustasi. Kantung Wanda seketika hilang, obat yang mempengaruhi nya langsung tidak bereaksi. "Ap-Apa Lo bilang? Jangan bilang Lo-?" "Gue gamau itu jadi kenyataan. Tapi itu yang udah gue lakuin sama Ashel." Ucapnya lirih. Wanda membulatkan mulutnya tidak percaya, sahabatnya rusak di rumahnya sendiri? Oleh kakaknya sendiri? Ia langsung mengambil handphone nya yang berada di dalam tas. Menelfon Ashel untuk memastikan kondisinya baik baik saja walaupun itu tidak mungkin. Tut Tut Tut.. nomer yang anda hubungi sedang tidak aktif... "Ah sial! Ngga di angkat kak!" Tangan Wanda gemetar matanya memanas, bagaimana bisa hal seperti itu terjadi pada sahabatnya. "Kak Lo perk--" "Engga! Kasih tau yang Lo minum sekarang!" Wanda melirik gelas yang tadi siang dibawakan Kakak kandung nya. "Ka-kak Lion bawain es t-teh sama teh anget." "SHIT! LION BRENGSEK!" Umpat Arsen emosi. Wanda menangis meraung raung, mengetahui dirinya dan sahabatnya di Jebak oleh kakak kandung nya sendiri. Bagaimana bisa Mama nya melahirkan anak bersifat iblis seperti Lion. "Gu gue ta-takut kak! As-ashel--" "Hustt! Gue bakal cari Lion. Gue bakal minta maaf sama Ashel, Lo tenang ya." Arsen membawa adiknya ke pelukannya, dia sadar permintaan maaf tidak berguna namun dia harus bertanggung jawab, membicarakan ini semua dan menjelaskan kepada Ashel jika suatu saat ada hal yang tidak ia inginkan bahwa ada satu tanggungan yang menjadi bagian dari hidup Arsen. 2. Cafe Noa dan penjelasan Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian tidak menyenangkan yang terjadi di rumah Wanda. Hari hari Ashel masih seperti biasa, tidak ada yang berubah darinya. Tiga hari pertama jelas merupakan hari yang sangat berat, segala penyesalan dan ketakutan menjadi satu di dalam dirinya. Rencana mereka untuk berlibur ke Bandung pun terpaksa ia batalkan, pagi hari Ashel mengirim pesan singkat kepada Wanda yang berisi permintaan maaf serta Kalimat yang meyakinkan bahwa Ashel baik baik saja. Berulang kali Arsen mengirimi dirinya pesan singkat, mengajak untuk bertemu. Ashel tidak terlalu mengenal Arsen, bahkan mereka hanya tau sebatas Kakak tiri Wanda dan Sahabat Wanda. Entah apa yang akan dia katakan namun Ashel menyetujui untuk bertemu hari ini. Outfit Ashel hari ini serba hitam, Dress Sabrina Hitam selutut, Flatshoes hitam, serta tas Hitam menemani dirinya untuk bertemu Arsen. Ashel merasa pertemuan ini bukan pertemuan yang berujung baik. Dia menjalankan mobilnya menuju Cafe yang menjadi tempat mereka bertemu. CAFE NOA Ashel memarkirkan mobilnya di depan cafe tersebut. Dirinya sedikit tau tentang cafe ini, Cafe Noa adalah Cafe yang Arsen dirikan sejak dia masih berstatus mahasiswa. Kira kira cafe ini sudah berdiri sekitar 3 tahun dan memiliki 2 cabang di Surabaya serta Puncak Bogor. Nama Noa sendiri di ambil dari Nama depan Arsen yaitu, Noa Arsen Rafanda. Sore ini Cafe sangat ramai. Tempat yang strategis menambah nilai plus untuk cafe ini. Ashel menuju meja kasir untuk bertanya keberadaan Arsen. "Permisi, saya udah buat janji sama Arsen, ruangan nya dimana ya?" "Mbak Ashel ya? Ruangan nya ada di lantai 3. Mau saya antarkan?" Tawar kasir tersebut. Ashel menggeleng "Engga perlu. Makasih ya." Ashel menyusuri lantai tiga yang jauh lebih sepi dari pada lantai satu dan dua. Dia melihat ada ruangan yang tersekat kaca dengan pintu di dalam nya. Tok tok tok "Masuk." Ashel memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan ini. Matanya bertabrakan dengan Mata Arsen yang juga sedang menatap kearahnya. "Duduk dulu. Lo mau minum apa?" Ia duduk di hadapan Arsen. "Air mineral aja." Arsen membuka kulkas di samping nya. Soft drink dan makanan ringan terjejer rapi di dalam lemari es. Dia meletakkan sebotol air mineral, kue, serta cola di atas meja. "Diminum dulu." Air mineral dingin membasahi tenggorokan Ashel, perasaan gugupnya sedikit mereda. Arsen menghembuskan nafasnya pelan. "Maafin gue Shel. Gue tau permintaan maaf ga akan merubah apapun itu. Gue emang brengsek, tapi tolong jangan diem aja seolah olah perbuatan gue ga salah." "Lo ngga sepenuhnya salah kak. Lo sama sekali ngga maksa gue. Kita ngelakuin atas dasar engga sadar. Gue juga gatau kenapa kemarin gue mau." Ashel bercerita dengan berlinang air mata. "Tolong biarin gue tanggung jawab. Nikah sama gue, shel!" Pernyataan Arsen sungguh membuat Ashel terkejut. "Ni-nikkah?" Arsen mengangguk mantap. "Gue mau tanggung jawab." Ashel tertawa hambar. "Kak? Masalah kita engga se serius itu!" "Kalo Lo hamil gimana? Gue nggamau tanggung jawab pas "dia" udah Dateng. Gue ngga mau anak gue jadi anak ibu karena dia ada diluar nikah!" Ashel terdiam mendengar kalimat yang Arsen ucapkan. Menikah? Hamil? Anak? Sungguh dia tidak berfikir sejauh itu. "KAK LO ORANG BERPENDIDIKAN KAN? NGELAKUIN HAL ITU SATU KALI BELUM TENTU BIKIN GUE HAMIL! PEMIKIRAN LO TERLALU JAUH." Arsen memutar balikan perkataan gadis di depan nya. "DAN LO ORANG BERPENDIDIKAN KAN? PASTI LO PAHAM KALO KITA NGELAKUIN HAL ITU PAS LO LAGI DALAM KEADAAN SUBUR, ITU BISA BIKIN NYAWA BARU!" Tangisan Ashel terdengar di seluruh penjuru ruangan. Sungguh dia sangat tidak siap jika harus menikah muda apa lagi menjadi seorang ibu. "Shel, kita di jebak Lion." Ucapan Arsen sontak menghentikan tangis ashel. "Dijebak?" "Iya. Teh yang Lo minum udah di kasih obat perangsang, dan Teh yang Wanda minum udah di kasih obat tidur. Gue emang pulang ke rumah dalam kondisi mabuk, gue pulang buat nyari Lion. Ada masalah yang harus gue selesein sama dia." "Kak tolong jelasin gue gapaham. Apa salah gue sampe kak lion Setega itu?" Arsen mengusap wajahnya kasar. "Gue ada masalah sama lion. Dia selalu minta jadi penerus perusahaan Bokap, sedangkan status dia bukan anak kandung bokap gue. Berulang kali Mama tiri gue berantem sama Lion, dan papa ngga bisa nyerahin perusahaan nya yang udah dia bangun puluhan tahun lalu ke orang yang hatinya udah membatu." "Dan gue rasa ini yang harus Lo tau, ini inti dari kejadian kemarin. Gue punya cewe, dan cewe gue sering di pake Lion sampe akhirnya dia hamil. Dia ngga berani speak up atas perilaku Lion karena, lion selalu ngancem bakal bunuh dia. Dan anceman Lion emang ngga main main. Kemarin Cewe gue ngelahirin, dan gue baru tau ini semua kemarin--" Flashback on Arsen sedang duduk sembari melihat pelanggan yang silih berganti datang. Sebentar lagi malam, sudah pasti cafe akan lebih ramai karena sekarang malam Minggu. Drttt drttt Handphone arsen yang tergeletak di atas meja bergetar menampilkan nama saudara tiri nya. Lion Send picture Cewe Lo baru ngelahirin anak gue. Tau kan alasan dia ngehindarin lo terus selama 5 bulan ini? Gue tunggu Lo di Bar Deket cafe, btw anak gue lahir di Rumah sakit Harapan Pelita, kamar nomer 225. "BRENGSEK!" Arsen mengepalkan tangannya menahan emosi, saat membaca dan melihat gambar yang lion kirim. Ia sekarang tahu, mengapa pacarnya selalu menghindar selama 5 bulan ini, dia selalu menghindari Arsen karena perutnya yang semakin membesar. Arsen mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja. Dengan kecepatan tinggi ia membelah jalanan ibu kota menuju rumah sakit. Sepanjang jalan mata Arsen mengeluarkan air mata, ia tidak menyangka gadis yang ia sayangi melahirkan bayi dari saudara tirinya. Langkah kaki arsen terdengar di sepanjang lorong rumah sakit. Ia berhenti di bangsal ibu dan anak, tepatnya di kamar nomer 225. Arsen melihat papan nama di samping pintu "Meilani" itu adalah nama pacarnya. Dengan tangan gemetar arsen membuka pintu kamar itu. Perempuan yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur langsung menjatuhkan air matanya saat melihat siapa yang datang menjenguknya. "Mel." Panggil arsen lirih. "Arsen maafin aku. A-aku--" Dengan tangis yang terisak Isak Meilani menceritakan semua yang terjadi kepada Arsen. Ia menceritakan segela penderitanya yang tidak Arsen ketahui. Arsen membawa tubuh lemah itu ke dalam pelukannya "Sstttt! Aku maafin. Jangan nangis lagi ya? Nanti aku cariin jalan keluar." "Cowo or cewe Mel?" Tunjuk Arsen pada bayi di box samping tempat tidur Meilani. "Cewe. Mau gendong?" Arsen menggeleng. "Besok aja deh. Aku mau nemuin orang dulu. Besok aku kesini lagi. Bye cantik!" Lanjutnya. Setelah pamit, arsen melajukan kembali mobilnya menuju bar yang Lion janjikan. Bar tidak terlalu ramai dan terlanjur sepi karena hari belum memasuki tengah malam. Sembari menunggu Lion, arsen memesan beberapa minuman beralkohol. Pikirannya sangat kalut, hatinya sakit perempuan yang ia cintai sedari 2 tahun lalu harus menikmati paitnya hidup akibat kelakuan bejat saudara tirinya. Arsen sudah terlanjur mabuk namun Lion belum juga sampai di bar tempat mereka bertemu. Anda Lo dimana brengsek? Lion Gue ganti tempat nya jadi di rumah papi, ada kejutan yang nunggu Lo! Dengan setengah mabuk Arsen melajukan mobilnya menuju rumah Orang tua nya. Ia mencoba menyetir dengan hati hati walaupun sangat sulit. Jarak dari bar ke rumah hanya 10 menit. Sampainya di rumah arsen melihat mobil lion dan mobil satu orang lain nya terparkir di halaman depan rumah. Sudah bisa di pastikan orang tuanya tidak di rumah karena mereka sedang pergi ke rumah Nenek Arsen. "LION!" "BRENGSEK LO DIMANA ANJING!" Arsen mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dengan emosi yang sudah meluap luap ia mendobrak kamar mandi yang berada di dapur, berharap menemukan Lion. Namun apa yang di inginkan nya tidak terkabul, ia malah melihat hal yang seharusnya tidak ia lihat. Di atas anak tangga Lion tersenyum senang melihat semuanya berjalan sesuai rencana. Lion meninggalkan rumah dengan smirk licik yang menghiasi wajahnya. Flashback off Ashel paham akan semuanya. Ternyata dirinya bukan satu satunya orang yang di jebak. Ia mengusap air matanya dengan kasar. "Lo minta kita nikah dengan embel embel tanggung jawab, tapi Lo masih ada perasaan buat orang lain dan janji nyariin solusi buat dia?" Senyum hambar terbit di bibir Ashel "Lo bisa nikahin dia, kak! Kalaupun gue hamil gue gakan minta apa apa ke Lo!" Ashel mengambil tasnya dan pergi dari ruangan Arsen, meninggalkan pemilik ruangan yang sedang berkutat dengan emosinya. 3. Bujukan Wanda Pagi pagi sekali Arsen sudah berada di rumah sakit untuk menjenguk Meilani beserta bayinya yang baru berusia 2 hari. Hari ini dia datang dengan membawa buah tangan berupa Parcel dan Roti manis yang ia beli di Minimarket. Dilihatnya bayi yang masih sangat merah, menggeliat di dalam dekapan Meilani. Putri Mel sangat mirip dengan Lion, saat melihat bayi ini emosi arsen yang tidak tersalurkan juga semakin meluap luap mengingat perilaku lion yang menyerupai iblis. "Sen, mau gendong gak?" Tawaran Meilani membuyarkan lamunan Arsen. "Heum? Aku ngga bisa. Takut salah gendong." "Enggapapa, sini aku ajarin." Arsen berdiri menghampiri Meilani. Ia sadar Wajah Meilani terlihat lebih sumringah di banding kemarin sore. "Gimana?" Meilani memeragakan cara menggendong bayinya serta dengan telaten ia membantu agar tangan Arsen nyaman dan tidak kaku. Jika orang melihat mereka berdua sekarang, sudah pasti orang itu mengira bahwa Meilani adalah seorang istri yang sedang membantu suaminya menggendong putri mereka. "Nah gitu, tengkuknya jangan lupa dipegang ya." Meilani tersenyum hangat melihat orang yang ia sayang mampu menerima dirinya dan putri kecilnya. Dengan hati hati Arsen mengayun ayunkan lengan nya. Pikiran nya memang sedang kalut namun entah mengapa wangi sang bayi mampu mengobati stres yang menjerat Arsen. "Udah cocok banget jadi papa sen." Ia hanya tersenyum tipis mendengar pujian Meilani yang entah bermaksud apa. "Dia rewel ngga tadi malem?" Meilani menggeleng "Engga sih. Cuma bangun 2x minta minum sama ganti popok. Untung aku lahiran normal, jadi ngga susah kesana kesini nya. Gatau juga besok waktu udah pulang ke rumah." "Rumah udah di bersih in? Kalo belum aku aja yang beresin" Arsen menawarkan bantuan, tidak etis rasanya saat orang baru pulang melahirkan namun tidak disambut dengan acara apapun. "Ah ngga usah. Lagian di beresin juga ngga keliatan kok." Fyi, Meilani bukan dari keluarga berada. Ia merantau dari kampung untuk bekerja karena dia sudah tidak mempunyai siapa siapa, Meilani memiliki rumah kecil yang hanya memiliki 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, serta dapur dan ruang tamu yang menyatu. Hidupnya sangat sederhana. "Oh ya gimana ada kabar dari Lion? Aku ngga bisa hubungin dia." Ekspresi Arsen sedikit berubah. "Udah aku hubungin tapi nomernya ngga aktif, aku belum cerita sama mama papa. Kemungkinan Lion ke luar kota atau keluar negri." Meilani hanya menganggukan kepalanya lemah. Tidak masalah, masih ada Arsen yang menemaninya. ••• Setelah satu Minggu tidak bertemu sahabatnya, Wanda hari ini memberanikan diri mengunjungi rumah Ashel untuk memastikan bahwa sahabatnya baik baik saja. Ting tong Ting tong "Mana sih tu anak." Ucapnya menggerutu, hari semakin siang di luar cukup terik sekarang. Ting tong Ting tong "Iya bentarrr..." Mendengar sahutan dari dalam, jari Wanda tidak jadi memencet bel untuk yang ketiga kalinya. Ceklekk "Loh Dateng kok ngga ngabar--" "LO LAMA BANGET ANJIR! GUE KEPANASAN DI LUAR!" Teriak Wanda memotong ucapan Ashel. "Gue lagi nyuci piring. Mami belum pulang pulang." Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Wanda masuk ke dalam kamar sedangkan Ashel melanjutkan mencuci piring, hanya sisa beberapa tidak memakan lama. 1 Menit 3 Menit 5 Menit Ashel mengganti pekerjaan nya dengan membuatkan minuman segar untuk Wanda sebelum gadis itu berteriak di siang bolong yang terik ini. Di dalam kamar Ashel melihat sahabatnya sudah menjadikan kamarnya kapal pecah, make up-nya dimana mana, bantal dan guling berada dilantai, televisi yang menyala dengan suara sangat keras, serta lagu yang Wanda putar dari Handphone nya dengan volume full. "Jangan gila di rumah gue Lo!" "Shel, Lo nggapapa?" "Gue?" Ashel mengupas jeruk yang ia bawa dari dapur "Nggapapa lah emang kenapa?" Wanda paham bahwa Ashel tidak ingin mengungkit apa yang telah terjadi. Ia cukup senang ternyata sahabatnya tidak sedih berlarut-larut seperti karakter dalam Novel. "Nikah gih sama Kakak gue." Wanda berbicara begitu santai seolah olah menikah adalah hal yang bisa kita lakukan di Dufan. Ashel tersedak jeruk yang ia makan. "Uhukk...uhukk. Gila Lo." Ini saatnya Wanda mempromosikan Kakaknya. "Kakak gue ganteng bego! Duitnya banyak, masih muda, pengertian, kadang cuek, tapi berbakti, dikit garang sih." "Jangan promosiin Dia ke gue." Tidak bisa dipungkiri Noa Arsen Rafanda atau yang biasa di panggil Arsen memang tampan sangat tampan. Visualnya bisa menjadikan dia salah satu karakter utama di dalam Novel. Dia lelaki jangkung dengan tinggi 178 Cm. Kulitnya putih karena selalu menggunakan SunBlock, dompetnya tebal dan sudah bisa berdiri di kakinya sendiri. Arsen baru lulus kuliah 1 tahun lalu, penampilan nya yang casual serta rambut dan body yang beraroma wangi, membuat banyak wanita jatuh hati. "Kalo gue punya ponakan gimana?" Wanda memiringkan kepalanya mengandai andai. "Jangan ngarang lo! Lagian Lo udah punya ponakan." Ucap Ashel santai, yang ia maksud adalah Putri Lion. BRAKKK Wanda memukul meja Rias di samping nya. "LO HAMIL?" Ekspresi terkejut Wanda sangat ketara saat ini. "Bukan gue!" "Terus siapa?" "Au deh." Ashel memungut semua barang barang yang Wanda acak acak. Entah apa motivasi dia selalu membuat kamarnya berantakan, sudah biasa. "Shel ih.. kalo Lo hamil begimane?" "Yaudah hamil lah. Masa mau gue gugurin?" Ashel memang secuek itu dengan hidupnya. Sikapnya dingin jika belum terlalu dekat dengan seseorang. Ucapannya terkadang sarkas jika seseorang tersebut melakukan kesalahann, namun Ashel selalu menerima apa yang menjadi takdirnya, ia tidak pernah mengeluh sekalipun. Sifat sifat itu yang Wanda takut kan. Ia takut Ashel hamil dan tidak memberitahu siapapun terutama Kakaknya. "Nanti kalo Lo hamil dulu baru nikah, anak Lo jadi anak ibu. Kasihan loh shel. Gue tau pernikahan bukan hal yang main main, belum tentu juga Lo hamil. Tapi ngga ada salahnya kan nikah sama kakak gue? Kakak gue mau tanggung jawab atas hal yang udah di lakuin ke Lo." Ashel menghela nafasnya, ia ingin menangis sekarang. "Wan, Kakak Lo masih punya pacar. Itu alasan yang bikin gue nolak nikah sama Dia. Kalo soal Anak, gue juga tau konsekuensi hamil di luar nikah." "Pacar? Gue yakin kalo lo bilang setuju buat nikah, kakak gue bakal putusin dia." Wanda dengan cepat menyambar tas nya "Gue pulang dulu yah! Gue kasih lo waktu semalem. Bye!" Dengan terburu-buru Wanda meninggalkan rumah Ashel dengan mobilnya. ••• Arsen pulang ke rumah pukul 8 Malam, karena Wanda memintanya datang. Setelah menjenguk Meilani, dirinya mampir ke Cafe yang sedang ramai ramainya untuk membantu orang orang disana. Baru satu langkah memasuki rumah, Arsen dikejutkan oleh teriakan dari Saudari tirinya. "KAK LAMA BANGET LO!" "Gue sibuk." Arsen mendudukkan bokong nya di sofa, ia mengambil Air mineral yang terdapat di atas meja. "Cih! Sibuk pacaran? Katanya mau nikahin sahabat gue? Tapi masih main di belakang sama cewe lain." Cibir Wanda. "Tau dari mana lo kalo gue punya pacar?" Arsen terkejut bukan main, bagaimana adiknya bisa tau kalau dirinya mempunyai pacar? Apa mungkin Ashel yang memberi tahu? "Dah lah, ngapain juga gue bantuin lo? Kalo soal perawan ga perawan gue yakin masih banyak cowo yang mau nerima Ashel. Dan kalo soal hamil, gue juga yakin Ashel ga akan gugurin anak Lo apa lagi minta tanggung jawab ke lo!" Wanda berdiri hendak meninggalkan kakak tirinya, namun sebaris kalimat yang Arsen ucapkan mampu membuat Wanda mematung ditempatnya. "Cewe gue, baru ngelahirin anak Lion." "Ap-apa lo bilang?" "Cewe gue baru ngelahirin anak Lion. Dia kenal sama Lion pas dia kerja di Apart nya dulu buat bersih bersih. Dan Lion tau kalo dia pacar gue, sekarang si Lion ngilang. Gue harus nyariin solusi buat dia." Wanda terkejut bukan main mendengar pengakuan kakak tirinya. Lagi lagi dia dikejutkan oleh perilaku kakak kandung nya yang sangat di luar batas. "Jadi maksud Ashel gue udah punya keponakan, itu anak Lion?" Ucap Wanda tidak percaya. "Mama papa udah tau?" Arsen menggeleng "Belum. Mama papa pulang 6 hari lagi." "Dia pacar Lo, kalo Lo jadi ayah dari bayinya Lo mau?" "Gue mau. Tapi sekarang ada hal yang jauh lebih penting buat gue pertanggung jawabin." Wanda berlalu menuju tangga "Gue udah bujuk Ashel. Tolong jangan kecewain gue kak, besok sore lo kudu kerumah Ashel buat dengerin jawaban nya." 4. Akhir dari keputusan Ashel Siang sudah bertemu lagi dengan sore. Seperti yang sudah Wanda katakan, hari ini Arsen akan datang untuk menerima jawaban dari Ashel. Semalaman suntuk Ashel memikirkan keputusan apa yang sebaiknya ia ambil untuk kebaikan jalan hidupnya. Matahari sudah condong ke arah barat, setelah sholat Ashar, ashel bersiap untuk bertemu Arsen. Tangan nya mengambil Concealer untuk menutupi bawah matanya yang sedikit bengkak karena tadi malam menangis. Ashel merias sedikit wajahnya dengan menggunakan Concealer, bedak tabur, LipTint, serta Maskara dan Pensil Alis. Hanya butuh 10 menit bagi Ashel untuk merias wajahnya, ia hanya menggunakan produk secara tipis tipis, jika ia menggunakan terlalu banyak produk di wajahnya ia akan terlihat galak. Ting! From : Wandaela Kakak gue mo otw! Lo tunggu bawah dia mau ajak Lo pergi sekalian, pake baju yang jangan norak! Ketjup jauh:* Melihat pesan dari Sahabatnya, alis Ashel berkerut bingung. "Sejak kapan fashion gue norak?" Tidak mengambil pusing ia membuka lemarinya yang berisikan banyak dress, celana jeans, kaos, serta pakaian pakaian formal lain nya, ada juga sepatu, tas, dan sandal yang tidak seberapa banyak. Tangan ashel dengan sengaja mengambil Rok jeans 3 cm di atas lutut, dan kaos putih dengan gambar beruang di samping kiri. Ashel memasukan HandSanitizer, Dompet, Handphone, Parfum, Permen serta ikat rambut untuk berjaga jaga sewaktu ia butuh. Ashel membiarkan rambut sebahunya tergerai, jam tangan melingkar manis di tangan kirinya, kakinya yang jenjang beralaskan Sepatu Kets bewarna putih dengan logo terkenal. Siapa pun yang melihatnya Ashel sekarang bisa langsung mengatakan bahwa dia gadis yang sangat cantik. Ashel bergegas turun kebawah saat mengetahui jam kamarnya sudah menunjukkan pukul 4 kurang 5 menit. Sebuah mobil putih dengan merk yang tidak perlu Ashel sebutkan terparkir manis di depan rumahnya, itu mobil Arsen. Ia melihat pemiliknya berjalan menuju pintu rumahnya. "Eh udah keluar? Orang tua Lo ada?" Ashel menggeleng "Engga dirumah. Lagi kerja." Arsen yang berniat sopan untuk meminta izin pada orang tua Ashel akan membawa putrinya keluar, hanya menganggukkan kepala pertanda paham. "Ayo langsung masuk ke mobil aja." Saat Ashel membuka pintu mobil, wangi maskulin dari parfum Arsen masuk ke dalam penciuman nya. Mobilnya sangat bersih, namun di jok belakang Ashel melihat ada bantal, selimut, serta makanan ringan. "Shel. Lo udah bikin keputusan?" Pertanyaan Arsen menjadi awal percakapan mereka. "Udah kak." Ashel meremas jarinya gugup. "Lo pasti udah denger dari Wanda apa alesan gue nolak nikah sama lo. Setelah gue pikir pikir lagi, gue gamau egois, kalo "dia" beneran ada gue gamau dia lahir kaya anak Pacar lo." Arsen mendengar ucapan gadis di samping nya dengan cermat, entah apa yang akan menjadi keputusan Ashel. Namun jika ia menolak, sudah dipastikan bahwa Arsen akan terus meyakinkan gadis ini. "Gue rasa gamasalah kalo gue nikah sama lo tapi Lo masih ada hubungan sama cewe lain. Karena kita nikah, buat antisipasi kejadian yang mungkin bisa dateng, bukan karena cinta." Ucap Ashel di sertai senyuman tipis. Grebbb "Thanks. Makasih udah ngasih gue kesempatan buat tanggung jawab." Ashel membeku karena pelukan Arsen yang tiba tiba, rasanya sangat nyaman. Apa mungkin ia bisa membiarkan Arsen mencintai wanita lain? Arsen menguraikan pelukan nya "Lo ikut gue ke RS ya." "Mau ngapain?" Tanya Ashel bingung. "Kita ketemu Meilani." Arsen menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Nanti malam adalah jadwal Meilani pulang ke rumahnya, dan ada hal yang harus Arsen bicarakan dengan mereka bertiga. "Kak kayanya Lo aja deh, gue gaperlu." Tidak mungkin kan Arsen ingin dirinya bertemu dengan pacarnya? "Lo nemenin gue. Ada hal penting yang harus Lo tau." Ashel mengiyakan "Yauda, mampir baby shop dulu. Ga enak kalo gue kesana bawa tangan kosong." ••• Mereka berjalan berdampingan menuju kamar Meilani. Di tangan Arsen ada 2 paper bag berisi 3 pasang baju dan alat mandi baby, serta set alat makan yang baru Ashel beli. Sebenarnya, Arsen sudah mengatakan bahwa tidak usah membawa apa apa, di jok belakang mobilnya sudah ada kado yang ia persiapkan untuk Ashel bawa. Namun ashel mengatakan bahwa mereka belum menikah, ia belum pantas menerima barang apapun dari Calon suaminya. "Ini ruangan nya?" Tanya Ashel di depan kamar nomor 225. "Iya. Ayo masuk." Arsen membuka pintu ruang rawat Meilani. "Assalamualaikum..." Meilani yang sedang menonton tv langsung menoleh ke arah pintu. "Waalaikumsalam, Kok baru Dateng sen?" Meilani melihat ada seorang wanita cantik yang datang dengan Arsen "Arsen bawa siapa? Cantik banget." Meilani terkagum dengan kecantikan Ashel. Bagaimana tidak? Kulit putih bersih, badan yang sedikit berisi, rambut berkilau sebahu dan kaki jenjang, membuat banyak orang menganggap dia cantik walaupun tidak ada standar kecantikan yang berlaku. "Iya aku sengaja Dateng sekarang. Kenalin dia Ashel." Arsen mengenalkan Ashel tanpa embel embel apapun. Ashel mengulurkan tangan nya dengan sopan "Kenalin kak. Gue Ashel." Meilani membalas uluran tangan ashel "Hai. Aku Meilani. Panggil aja Mel. Eh Btw, duduk dulu yuk." Mereka berdua duduk di atas sofa yang ada di ruangan ini. Arsen menaruh paper bag yang Ashel beli ke atas meja. "Ini dari Ashel." "Waahh makasihh tantee." Ucap Mel bahagia, mewakili putrinya. Dia ikut duduk di sofa sambil membawa infus yang tergantung di tiang. Arsen menarik nafasnya panjang, ada hal yang harus ia sampaikan. Namun, ia terlalu bingung memulai dari mana. Ia tidak bisa bertahan di satu sisi, tapi tidak diperbolehkan bersandar di dua tempat. "Mel, ada sesuatu yang harus aku omongin." Ucapan Arsen sontak mengambil penuh atensi dari Mel dan Ashel. "Maaf, kita udahin semua disini ya. Aku bakal nikah dalam waktu dekat." Meilani terkejut dengan pengakuan Arsen. Bagaimana bisa satu satunya orang yang menjadi penguatnya akan pergi meninggalkan nya Sendirian? Ashel sama terkejutnya dengan Meilani, bukankah ashel mengizinkan Calon suaminya, menjalin hubungan dengan orang lain? Tapi mengapa Arsen menolaknya? "Me-menikkah? Sama siap-" Mel menolehkan kepalanya menatap Ashel. Air mata mulai berjatuhan dari kelopak mata Meilani. Ia sudah mulai mengerti situasi ini. "Kak! Bukan nya gue tetep bolehin Lo sama Kak Mel?" Arsen memejamkan matanya mencoba berfikir jernih "Hal yang lo bolehin itu salah, shel! Walaupun gue gabisa milih salah satu, tapi gue ngga boleh bersandar di dua tempat! Meilani mencoba mengembangkan senyum di bibirnya. "Kalian udah lama deket? Kalo boleh tau alasan kalian nikah apa?" "Lion jebak aku sama Ashel. Aku harus tanggung jawab Mel sama hal yang udah aku perbuat." Hati Arsen sakit saat melihat wanita yang di cintainya mencoba tersenyum walaupun tidak bisa menerima hal yang sedang terjadi. "Aku ngga tau Lion sejahat itu sama kamu." Air mata Mel kembali jatuh mengingat perilaku lion yang seperti iblis, tidak pandang bulu. "Besok kamu ikut aku ke rumah ya? Kita ngomong sama Mama Papa, gimana pun juga Anak kamu cucu mereka. Aku bakal terus cari lion." Mel mengangguk, ia hanya memiliki putrinya sekarang. Dan ia, ingin putrinya hidup nyaman, memiliki keluarga yang layak, dan diakui oleh seluruh penjuru dunia walaupun harus terpisah jauh dari Mel. Melihat Mel yang tak kunjung berhenti menangis, Arsen membawa baju lemah itu ke pelukannya, mengantarkan rasa aman dan rasa hangat yang tidak bisa lagi Mel rasakan. Tanpa mereka sadari, ada satu hati yang tersakiti oleh perilaku mereka. Ashel menahan air matanya yang hampir jatuh, kuku kuku cantiknya ia gunakan untuk mencengkram sofa, bahu yang tadi sore ia rasakan kenyamanan nya. Sudah berganti untuk dirasakan oleh orang lain. Mereka belum menikah, mereka pun tidak saling memiliki rasa, namun haruskah Arsen selalu berbaik hati kepada Mel? Ashel rasa Ucapan nya yang membiarkan calon suaminya menjalin hubungan dengan orang lain adalah suatu kesalahan besar. 5. Meminta Restu Ruang tamu rumah Keluarga Rafanda terlihat ramai pagi ini. Orang tua Arsen yang harusnya pulang 5 hari lagi, sudah berada di rumah sejak tadi subuh berkat telfonan dari Putra nya, kata Arsen ada "hal sangat penting" yang harus di bicarakan. Atmosfer uang tamu yang di isi oleh Pemilik rumah, Arsen, Ashel, Wanda, dan Meilani beserta bayinya, sedikit tidak bersahabat. Lina selaku Mama Wanda dan Arsen menangis sesenggukan di pelukan suaminya, Adani Rafanda. Ya, Arsen sudah memberitahu kepada orang tuanya tentang apa yang terjadi selama beberapa hari ini. Mulai dari Jebakan lion, Putri Lion, kehamilan Mel, Status Mel dan Arsen, serta Rencana Arsen untuk menikahi Ashel secepatnya. Ibu mana yang tidak hancur hatinya ketika mendengar kejahatan dari putra yang sudah ia didik selama puluhan tahun? "Lion mana? Biar Papa yang bicara!" Ucap Dani datar. "Lion ngga bisa di hubungi pa. Aku udah coba telfon dia dan datengin Apartemen nya bahkan temuin temen temen nya, tapi dia ngga keliatan semenjak dia jebak aku sama ashel. Kemungkinan dia keluar kota atau keluar negeri." Aktivitas Arsen selain, menemani Meilani ataupun bertemu Ashel selama beberapa hari ini adalah mencari Lion yang hilang bak di telan bumi. Lina mengusap air matanya "Nama kamu siapa?" Tanya nya pada Meilani. "Meilani Bu. Meilani Utari." Meilani datang di jemput oleh Arsen, bahkan Ashel yang menjadi calon istrinya di jemput oleh Wanda yang notaben nya hanya "sahabat". Ia baru di perbolehkan pulang pagi ini bersama putrinya. "Meil-meilani ut-tari?" Ulang Lina dengan gagap. "Nama Bapak kamu siapa?" Mel bingung dengan pertanyaan Mama Arsen, apakah ia mengenal bapaknya? Namun di tengah kebingungan nya Meilani tetap menjawab pertanyaan Lina. "Wartio Bu. Biasanya di panggil Tio, tapi beliau sudah meninggal 4 tahun lalu. Mendengar jawaban ibu dari anak putranya, Lina seperti tersambar petir di siang bolong. Ia meremas tangan suaminya meminta kekuatan. Semua orang menyadari raut wajah Lina berubah pucat. "Wanda, tolong anterin dia ke kamar yang kosong." Mel bahkan semua orang bingung dengan perintah Lina, namun tanpa mengatakan apa apa dirinya menuruti untuk pindah ke dalam kamar. "Jangan di kamar kosong. Pake kamar aku aja." Perintah Arsen. Ashel yang dari tadi diam mengikuti alur cerita keluarga ini, mendadak menoleh ke arah Arsen dengan tatapan tidak percaya. Ia merelakan wanita lain masuk ke dalam kamarnya, yang sudah pernah mereka gunakan di saat ada kamar kosong lain nya? "Yuk kak.." Ajak Wanda. Mereka berdua menuju kamar Arsen, meninggalkan ruang tamu yang sedikit di selimuti suasana canggung. Mel masuk ke dalam Pintu putih di sebelah dapur yang merupakan kamar Arsen. "Bayi lo, tidurin kasur aja. Baru pulang juga kan dari Rumah Sakit." "Iyaa. Makasih Wanda tumpangan nya." Wanda menutup pintu kamar Arsen. Ia harus balik lagi ke dalam ruang tamu untuk mengetahui apa yang akan terjadi lagi selanjutnya, dan bagaimana nasib dari sahabatnya. ••• "Tante ngga istirahat dulu aja di kamar? Mukanya pucet banget." Ucap Ashel sedikit khawatir. Tanpa mengucapkan apa apa Lina beranjak dari duduknya menghampiri Ashel. Grebbb Pelukan spontan dari Lina mengejutkan Ashel "Maafin anak Tante ya cantik hiks.. gara gara Lion hikss hikss.. masa depan kamu hancur." Lina sudah sangat mengenal Ashel, dia sahabat putrinya yang tidak pernah neko neko dan selalu sopan. Lina tau, Ashel merupakan satu satunya sahabat yang putri nya miliki, namun sahabat putrinya harus di rusak karena sifat buruk salah satu putranya. Ashel membalas pelukan Lina, ia mengusap punggung wanita paruh baya yang akan segera menjadi ibu mertuanya. "Nggapapa tante, udah aku maafin. Tante jangan nangis aku udah nggapapa." Arsen kagum dengan keteguhan Ashel menerima semua yang terjadi dalam hidupnya, mulai dari kesalahan satu malam mereka Ashel tidak marah bahkan tidak membangunkan Arsen saat itu juga. Di tidak menolak untuk menemui arsen, bahkan dia juga sampai merubah pikiran demi memikirkan hal lain di hidupnya. "Ashel, maafin anak om ya. Om tau Arsen emang ngga sengaja, tapi apa yang Arsen lakuin tetep salah." Dani ikut meminta maaf atas nama putranya. Ashel tersenyum tipis "Ngga masalah om. Aku juga tau yang sebenernya kaya gimana." "Btw, mama tadi kenapa? Kok abis tau nama bapak Kak Mel, jadi pucet?" Pertanyaan Wanda menginterupsi acara maaf maafan Yang sedang berlangsung. Lina menghela nafas panjang, ia balik ke sofa dimana suaminya berada. Entah apa yang ia pikirkan benar atau salah, tapi ia yakin semua yang terjadi bukan hanya kesalahan yang lion perbuat. "Mama ngga tau ini bener atau engga." Lina menatap Wanda dalam dalam. "Kamu inget Pak Tio yang jadi tangan kanan Alm.Papa kamu dulu? Sebelum dia akhirnya jadi penghianat, dan korupsi uang perusahaan sampai bikin Alm.Papa kamu kena serangan jantung dan akhirnya meninggal?" "Dia dulu sering cerita, punya anak yang namanya Meilani Utari. Anak perempuan dan keluarga satu satunya yang ia punya, yang ngebuat dia merantau jauh jauh dari desa ke Jakarta buat nyari pekerjaan. Dan Kakakmu Lion sempat beberapa kali ketemu sama anaknya." Wanda terkejut bukan main. Anak dari seseorang yang menyebabkan Alm.Papa nya meninggal ada di sekitar mereka? Arsen pun sama terkejutnya dengan Wanda, ia sedikit mengetahui tentang masa lalu keluarga tirinya. "Mm-ma?" "Wanda kita tau sifat kakak mu yang pendendam, tidak memungkiri kalau semua yang mama pikir itu benar. Tapi kita jangan bilang ataupun nuduh Meilani terlebih dahulu. Biar papa yang cari informasi lebih lanjut." Dani mengangguk, membenarkan ucapan istrinya. Tidak masalah baginya ikut terjun ke dalam masa lalu istrinya, selama anak anak mengizinkan dirinya masuk menjadi bagian. Lina mengalihkan atensinya kepada Arsen dan Ashel. "Kalian rencananya mau nikah kapan? Mama pikir lebih cepat lebih baik." "Aku rasa juga gitu ma. Kalo bisa Minggu ini." "Kalian udah bilang orang tua Ashel?" Tanya Dani. Ashel menggeleng "Niatnya malem ini, om." "Oke. Kalo nanti malem kalian bisa, besok biar Om dan Tante ketemu, orang tua kamu. Jadi besok kita siapin acara dan sebar undangan, Minggu kalian bisa menikah." Ashel terkejut dengan kemampuan orang tua Arsen mengatur sebuah pernikahan. Hanya kurang dari 5 hari? Tidak bisa ia bayangkan se gesit apa orang suruhan nya. "Ekhm.. ada hal penting lain nya yang mau aku sampein." Ashel sadar dadi keterkejutan nya. Ia menoleh ke arah calon suaminya. Begitupun dengan orang tua Arsen dan Wanda. "Aku mau anak Mel jadi anak angkat aku sama ashel. Biarin aku gantiin tanggung jawab Lion, biar dia punya keluarga yang lengkap dan tumbuh di lingkungan yang baik." Ashel tidak mempercayai apa yang ia dengar. Keterkejutan yang sama juga menghampiri Wanda, Lina, dan Dani. ••• Mereka berdua tiba di rumah Ashel sehabis mahgrib. Semenjak beberapa jam lalu Arsen mengatakan bahwa dirinya akan mengangkat anak Mel menjadi putrinya sendiri, Ashel hanya diam dan berbicara dengan Arsen hanya saat di tanyai. Sebelumnya Ashel sudah mengatakan kepada Arsen bahwa, mami nya membebaskan apa yang menjadi keputusan Ashel, lebih cenderung sedikit tidak peduli dan sudah pasti maminya setuju tentang pernikahan ini, walaupun akan di adakan dalam waktu dekat, tanpa menanyai alasan apapun. Mereka bahkan sudah ke beberapa tempat untuk fitting baju, memilih undangan, memilih dekor untuk acara akad mereka, bahkan sempat mengantarkan Mel ke rumahnya walaupun Ashel tetap berada di dalam mobil. "Mami lo udah di rumah kan?" "Udah." Arsen masuk ke dalam rumah mengikuti Ashel. Ia sedikit gugup, namun sedikit sedih juga karena ternyata Ashel sudah tidak memiliki seorang ayah. "Assalamualaikum Tante..." Tangan arsen terjulur untuk menyalami calon ibu mertuanya yang sudah duduk menunggu mereka di ruang tamu. "Waalaikumsalam. Aduh calon suami Ashel ganteng bangett! Duduk dulu yuk nak!" Sarah, Mami Ashel menyambut calon menantunya dengan bahagia. Ia sering berpergian ke luar kota untuk bekerja, karena ia tulang punggung keluarga dan tentu saja ia sering meninggalkan putri semata wayangnya. Dia sudah dikirimi pesan dari putrinya yang berisi, Ashel ingin dan akan menikah dalam Minggu ini. Sarah dengan senang hati membaca kabar tersebut, tanpa harus terkejut. "Tante, saya yakin Tante sudah tau apa maksud kedatangan saya kesini, karena sebelumnya Ashel terlebih dahulu mengirim pesan. Tetapi, disini saya Noa Arsen Rafanda mau meminta izin langsung ke Tante untuk menikahi Ashel.." Arsen menyampaikan tujuan nya datang ke rumah ini dengan lugas, sedikit gugup karena ini kali pertama dan semoga kali terakhir nya melamar seorang anak orang untuk menjadi pendamping hidup nya. Mata Ashel sedikit berkaca kaca, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia hidup menjadi seorang istri. Semenjak masuk kuliah, Ashel memiliki keinginan untuk menjadi wanita karir, tidak menikah, ataupun menjadi seorang ibu. Namun, dalam kurun waktu 3 hari ia akan menjadi istri seseorang dan bahkan menjadi seorang orang tua angkat. "Tante restuin kalian sayang. Tante seneng Akhirnya ada laki laki yang bisa di jadikan Ashel Sandaran dan Panutan. Kalian mau menikah kapan? Katanya dalam Minggu ini? Arsen mengangguk "Iya Tante. Kita baru nyiapin hari ini. Perkiraan Jumat semua udah beres, dan Insyaallah Sabtu jadi hari H nya." Sarah mengangguk paham "Duh beberapa hari ini bakalan sibuk nih. Besok Tante harus mikirin perlengkapan nya sama orang tua mu." "Kalo mami sibuk gapapa,mi. Udah banyak yang ikut bantu juga." Terbiasa dengan jadwal maminya yang sibuk, Ashel lebih baik mengerti dari pada di mengerti oleh maminya. "Mami bisa dong! Kerjaan udah beres semua Lagian kamu anak mami satu satunya.Masa mami ngga ikut andil." Mereka bertiga mengobrol tentang dekor, tempat acara, undangan, katering dan lain hal nya. Arsen juga memberi tahu Sarah bahwa dirinya akan mengangkat anak dari saudara tirinya. Sarah setuju saja, bahkan sangat setuju. Ia mengetahui keinginan putrinya yang ingin menghabiskan hidupnya seorang diri, semoga dengan ini semua Arsen bisa merubah mindset putrinya. "Mami ngga tau alasan kalian nikah dalam waktu sangat dekat ini apa. Mami juga ngga mau tau, karena takut itu merusak hubungan kalian. Mami cuman harap kalian bahagia ya sayang." Arsen dan Ashel mental Sarah sendu. Andai Sarah mengetahui apa yang terjadi, mungkin ia kecewa dengan Arsen. Namun, Ashel meminta untuk jangan memberi tahu maminya, dan melaksanakan pernikahan ini seolah olah mereka saling mencintai. 6. H-1 Menikah Arsen menutup bagasi mobil nya yang sudah penuh dengan beberapa koper dan paper bag "Udah masuk mobil semua?" "Udah kak." Jawab Ashel sembari mengunci pintu gerbang nya. "Ayo masuk." Hari ini adalah H-1 pernikahan mereka. Acara sakral itu tidak di lakukan di Jakarta, melainkan di kampung halaman orang tua ayahnya, yaitu rumah nenek Arsen. Orang tua Arsen dan Ashel setuju untuk mengadakan akad di sana, suasana khas pedesaan yang tenang dan dingin. Tidak ada resepsi, Arsen dan Ashel hanya mengundang beberapa teman serta karyawan Cafe Noa. Keluarga mereka beserta sudah berangkat lebih dulu kemarin untuk mempersiapkan acara. Mel dan putrinya yang baru berumur 10 hari juga ikut serta dengan rombongan keluarga, Mel harus siap mengiklaskan Arsen dan berbicara dengan Ashel tentang putrinya. "Perjalanan kurang lebih 3 jam. Kalo lo ngantuk tidur aja." Arsen menjalankan mobilnya di jalan yang sangat sepi, baru pukul 4 pag belum banyak kendaraan yang berlalu lalang, mereka sengaja berangkat dini hari agar bisa beristirahat untuk acara besok. Suasana mobil cukup tenang, sangat tenang. Ashel tidak tertidur, dia terdiam. Matanya menatap ke jendela mobil, melihat langit yang masih gelap. Pikiran nya sedikit kacau, setelah waktu nya sedekat ini, ia ragu untuk menikah di tambah Arsen mengatakan bahwa ia ingin mengangkat putri dari Mel. Ashel belum memutuskan, ia menerima atau tidak. Tetapi yang ia tau, Arsen sangat ingin mengangkat anak Mel untuk menjadi anaknya sendiri, entah apa alasannya Ashel pun tidak tahu, calon suaminya masih sedikit tertutup. Sudah lebih dari satu jam mereka berkendara. Sesekali Arsen menatap ke arah calon istrinya yang sedang melamun, Arsen sedikit tau apa yang Ashel pikirkan. "Shel?" Panggil Arsen, calon istrinya sudah terlalu lama melamun. Arsen sedikit khawatir, tentang hal yang mengganggu dan berputar putar di benak Ashel. "Ashel?" Sang empunya nama, menoleh ke arah Arsen yang ternyata sudah berhenti di depan minimarket 24 Jam. "Iya kak?" "Dari jalan sampe sekarang ngelamun, Lo mikir apa? ceritain ke gue." Ashel terdiam sepersekian detik. Ia tidak yakin harus menceritakan hal ini kepada Arsen, namun melihat calon suaminya yang menaruh Atensi penuh pada dirinya lidahnya dengan sendiri tergerak. "Gue ragu, gue ngga pengin nikah kak. Nikah ngga ada di list hidup gue. Udah hampir 2 Minggu sejak kejadian itu, tapi gue ga hamil kak. Gue rasa lo ngga perlu tanggung jawab." Yang orang katakan tentang keraguan calon pengantin di hari hari terakhir menuju pernikahan benar adanya. Arsen tau calon istrinya sedang mengalami hal itu. Dengan penuh kehangatan, arsen menggenggam tangan Ashel untuk memenangkan nya. "Shel, dengerin gue. Kalo pun lo ngga hamil, ngga masalah. Sekalipun tanpa cinta, Gue nikahin lo karena gue pengin tanggung jawab, atas apa yang udah gue lakuin. Kita udah ngelakuin dosa dan masa depan Lo udah gue rusak. Biarin gue tata ulang masa depan Lo." "Dan gue tau, Lo mikirin tentang anak Mel. Gue pengin ngadopsi dia, karena dia anak lion. Walaupun lion brengsek dia tetep sodara tiri gue. Anak Mel masih bagian dari keluarga gue, dia harus punya hidup yang layak. Kalo gue tunggu Lion tanggung jawab, dia ngga tau muncul kapan." Genggaman di tangan nya dan perkataan Arsen, mampu mengenyahkan keraguan yang bersarang di hatinya. Ashel menatap mata Arsen yang penuh dengan ketulusan. "Gue beli minum bentar, Lo tunggu sini." Dirinya masuk ke dalam supermarket, mengambil beberapa cemilan, roti, dan dua cups latte hangat, ia yakin Ashel belum memakan apapun sejak bangun tidur. Setelah membayar, Arsen kembali masuk ke dalam mobil. Ia sedikit tenang, ashel sudah tidak melamun, tangan nya sibuk memegang Handphone. "Nih, minum udaranya dingin. Di tas kresek ada cemilan sama roti, makan aja." Arsen menyerahkan secup latte hangat ke tangan Ashel. "Gue belum haus." Ashel menolak latte yang arsen berikan, hatinya belum cukup tenang untuk memakan dan meminum sesuatu. "Shel, percaya sama gue. Hadepin semuanya bareng bareng. Minum, masih jauh sampenya. Ashel meminum latte yang Arsen belikan. 30 menit mereka beristirahat di Minimarket sebelum melanjutkan perjalanan yang masih tersisa 1 setengah jam. ••• "Nenek sini keluar, Kak arsen sama calon istrinya udah sampee..." Ucap Wanda kepada nenek arsen, yang sudah dari tadi menunggu kedatangan dua manusia itu. "Bawa apa aja lo? Banyak bener kek mau pindahan." Selepas turun dari mobil, Ashel mengamati sekeliling rumah nenek Arsen yang cukup luas dan sudah di pasang dekor untuk acara pernikahan mereka esok hari. "Kan gue emang mau pindah." Arsen membawa koper mereka. Tanpa mengucapkan apapun Arsen menggandeng tangan Ashel untuk masuk ke dalam rumah. "Assalamualaikum." Ucap mereka bersamaan. "Waalaikumsalam, ini Ashel ya? Cantik banget sih! Pantes cucu nenek suka. Jauh ya rumah nenek?" Dami alias nenek arsen berjalan bergopoh gopoh untuk menyapa calon istri cucunya. Ya, Dami tidak tahu bahwa mereka menikah karena "kecelakaan" bukan karena cinta semata. Dia sangat excited dengan pernikahan cucu pertama dan satu satunya anak kandung dari Dani. "Iya nek, aku Ashel. Nggak jauh kok lagian jalan kesini nya pagi jadi ngga macet" Ashel mencium tangan Dami begitupun Arsen yang sudah lama tidak berkunjung ke rumah neneknya. "Arsen lama banget ngga kesini, sekalinya kesini malah numpang nikah. Selalu nenek yang kejakarta." Ucap Dami menyindir cucunya. "Sibuk nek, tahun kemarin kan aku wisuda. Tahun ini cafe lagi rame rame nya. Toh aku sekarang malah nikah disini" Arsen mencoba memberi pengertian kepada neneknya. "Udah nenek ngga nerima alasan. Nenek mau ke kamar dulu, kalian istirahat ya." Dami meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Belum sampai 5 detik nenek arsen pergi , Lina datang karena mendengar keramaian di ruang tamu. "Eh udah sampe? Ashel Arsen Langsung istirahat aja ya di kamar, masih pagi. Nanti mama panggil buat sarapan." "Iya ma." Ashel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu "Mami aku mana Tante?" "Tante? Mama dong cantik! Biar sama kaya Arsen." Koreksi Lina. "Emang udah boleh manggil mama? Kan belum sah" Goda Ashel. "Udah dong! Besok juga sah, jangan keburu buru ah! Mbak Sarah ada di kamar sebelah dapur, sama bayinya Mel. Gih samperin." "Kak gue ke mami dulu. Ma aku ke mami dulu ya." Ashel berjalan mencari maminya di rumah yang asing ini. Rumahnya besar dan bertingkat, namun tidak membingungkan karena semua ruangan tertata dengan rapi. Ia menemukan pintu tertutup di sebelah dapur, mungkin disini maminya berada. "Mi.." panggil Ashel sambil membuka pintu. Aroma dari minyak telon dan bedak bayi, menyambangi Indra penciumanya. "Loh Ashel udah dateng? Kapan sampe? Kok mami ngga tau?" Sarah mendatangi putrinya yang masih diam di depan pintu kamar. Bukan tanpa alasan Ashel diam, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Maminya seorang diri sedang menjaga putri Mel, yang sedang bergerak hangat di dekapan Sarah. Selama ini maminya selalu menggunakan waktu yang ia punya untuk bekerja, kerja dan kerja. Ini pertama kalinya Ashel melihat maminya santai setelah bertahun tahun, tanpa ada laptop di depan nya. Apakah gara gara bayi ini akan menjadi anak angkat Ashel? "Kok ngelamun? Sini masuk." "Mami ngga kerja?" Tanya Ashel spontan. "Mami dua hari ini mau santai, mau mainan sama bayi ini. Mau nikmatin waktu buat urus kamu juga, besok kan kamu nikah mami sedih jadinya." "Mamanya dia mana?" Ashel menunjuk putri Mel dengan dagunya. "Mama nya kamu. Gimana sih?" Sarah menaruh Putri Mel dikasur karena sudah tertidur. "Mi jangan bercanda!" Ashel sedikit tidak menyukai jawaban dari maminya, dirinya belum menyatakan "iya" dan menerima bahwa bayi itu akan menjadi putrinya, segala kenyataan datang tiba tiba ke dalam hidup Ashel, ia membutuhkan waktu untuk beradaptasi. "Mel lagi di kamar mandi. Kamu mending istirahat dulu deh, jangan kecapean baru juga Dateng." Ashel mengangguk, ia berjalan keluar menuju kamar Wanda untuk sekedar berbagi cerita ataupun hanya bergoleran bersama di atas kasur. ••• Malam hari rumah nenek arsen sangat ramai, banyak dari warga desa yang datang untuk membantu memasak ataupun sekedar duduk duduk di depan halaman, khas dengan citra orang pedesaan yang ramah dan tidak individualisme. Tidak ada makan malah bersama, semua orang sedang sibuk mengurus keperluan untuk besok. Setelah mandi rencana nya Arsen ingin mengunjungi kamar Calon istrinya, ada hal yang perlu ia bicarakan. Mereka terakhir bertemu tadi pagi, Ashel sama sekali tidak keluar kamar, ia sedikit khawatir bahwa Ashel mungkin sedikit tertekan kembali dengan pernikahan ini. Tok tok tok tok "Shel? Gue boleh masuk?" "Masuk aja kak." Arsen membuka pintu kamar yang dihuni Ashel, ia melihat calon istrinya sedang duduk di depan meja rias sambil memegang gelas berisi kopi. "Mau begadang? Kepikiran lagi?" Ashel menggoyangkan gelas kopi yang tinggal berisi setengah. "Dikit kak." "Sini, duduk samping gue. Ada yang mau gue omongin." Arsen menepuk sofa yang ia duduki, menyuruh Ashel pindah duduk di sebelahnya. Menuruti ucapan calon suaminya. Ashel beranjak untuk duduk di atas sofa kamar. Ia juga memiliki hal yang harus ia bicarakan dengan calon suaminya. "Besok kita emang nikah, tapi jangan terlalu di jadiin beban ya? Gue cuma pengin nikah sekali seumur hidup, Kita emang ngga tau kedepan nya gimana, tapi gue coba yang terbaik buat jadi suami lo." "Kita masih sama sama muda, gue yakin lo juga belum ada persiapan sama sekali buat jadi istri, gue gaakan nuntut macem macem shel. Tapi gue minta, tolong serius sama hubungan ini. Sekalipun tanpa cinta." "Kalo ada apa apa, langsung ceritain ke gue. Jangan di pendem sendiri ya? Gue nikahin lo, karena gue pengin bangun ulang masa depan lo yang udah gue rusak. Sembari berbicara, Ashel mengelus puncak kepala calon istrinya yang sedang menunduk dalam sambil mendengarkannya berbicara, arsen tau banyak hal hal yang membebani Ashel beberapa hari ini. "Gue minta kalo kita udah nikah, jangan pernah ungkit masa lalu ya kak? Seolah olah kita nikah, karena udah takdir bukan karena mempertanggung jawabkan apapun.." Ashel mendongakkan kepalanya menatap Arsen "Dann... Gue udah pikirin, kalo gue udah bisa sedikit Nerima, anak kak Mel. Terserah lo mau ngangkat dia kapan." Arsen menghentikan elusan pada puncak kepala Ashel, ia terkejut dengan pengakuan calon istrinya. "Shel. Gue udah ngasih waktu ke lo buat mikirin itu. Ngga perlu buru buru. Apa alesan lo Nerima dia secepet ini?" Ashel menggeleng "Cepat atau lambat sama aja kak. Gue harus adaptasi, gue liat mami seneng banget Deket sama anak kak Mel bahkan dia bisa bikin mami istirahat dari kerjaan nya." "Gue juga kasian, dia belum punya nama, belum bikin akta lahir, belum ngerasain sedetikpun kasih sayang dari bapaknya." Arsen membawa Ashel ke dalam pelukannya "Thanks Shel, udah mau nerima semua bagian dari keluarga gue. Gue harap kita bisa kerjasama buat besarin anak Lion." "Btw, gue belum liat kak Mel dari tadi. Dia kemana? "Dia bilang ngga mau bikin mood Lo ancur 2 hari ini, jadi dia milih ngehindar dulu." "Oh gitu." Arsen menguraikan pelukannya "Gue balik kamar dulu. Jangan begadang ya." "Iya." 7. Janji suci Udara pagi ini sangat dingin, mentari pun belum menampakkan sinarnya. Baru pukul 3 pagi, namun semua orang sudah sibuk untuk menyambut hari ini. Hari ini adalah hari yang sangat sakral. Hari yang di tunggu tunggu beberapa orang, dan hari yang disemogakan hanya mimpi semata oleh segelintir orang. Ashel masih bermimpi, udara dingin mendukung nya tetap terlelap di balik selimut hangatnya. Tadi malam dirinya tidur pukul 11 malam, tidak terlalu larut memang tapi ia harus menangis dan menguras tenaga nya agar bisa terlelap. Sarah, selaku Mami Ashel masuk ke dalam kamar putrinya. Sebentar lagi teman nya yang akan mendandani Ashel segera tiba, sedangkan putrinya masih terlelap di bawah selimut tebal. "Ashel bangun nak." Sarah menepuk kaki putrinya. Tidak bertele tele, Ashel segera membuka matanya saat sang Mami membangunkan nya. Tidurnya tidak begitu nyenyak, hanya tidur ayam. "Eumhhh... Udah jam berapa mi?" "Udah jam 3 lewat. Bangun dulu, abis itu mandi yah. Sebentar lagi yang ngerias Dateng. Mami turun dulu." Ashel mengiyakan ucapan maminya, kepalanya sedikit pusing. Setelah 5 menit mengumpulkan nyawanya Ashel masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Di dalam kamar mandi Ashel menggunakan waktu untuk mengscrub badan, luluran, serta keramas. Setidaknya di hari pernikahan nya ia terlihat segar dan sehat. Setelah selesai, ia tidak lupa mengoleskan beberapa skincare agar wajahnya tetap lembab sepanjang hari. Tok tok tok "Permisi Ashel, ini Tante Presta orang rias." Ashel membukakan pintu untuk teman maminya sekaligus orang yang akan mendandani dirinya "Ayo masuk Tante." "Wah udah mandi yah? Jadi Tante ngga perlu nunggu lama nih." Presta membawa 2 orang asisten nya yang sedang menata alat alat make up serta pencahayaan agar pekerjaan mereka bisa memperoleh hasil yang sempurna. Mereka orang orang profesional, hanya butuh 5 menit untuk menata perlengkapan nya. ••• Di kamarnya Arsen juga baru menyelesaikan bersih bersih setelah melaksanakan sholat malam dan Sholat subuh. Kamarnya yang arsen gunakan juga sudah di hias sedemikian rupa, padahal mereka hanya akan tinggal satu malam lagi. Seorang laki laki seumuran arsen , menaruh baju yang akan arsen gunakan untuk akad di atas kasur "Ini baju lo. Udah gue ambilin." "Hmm.. thanks." Dia adalah, Nalan sahabat Arsen sekaligus Manager Noa Cafe. Dirinya dan Arsen sudah bersahabat sejak SMA, Arsen menjadi penolong di saat nalan mengalami masa sulit saat remaja. Mereka sudah seperti saudara bukan lagi teman atau sahabat. "Udah apal ijabnya belum? Jangan salah nama, jadi Meilani Lestari! Kasian Ashel." "Udah. Ga akan salah nama juga." Arsen mengenakan baju yang dikhususkan untuk akad. Dirinya sedikit gugup, bukan lagi status yang akan berubah namun tanggung jawabnya akan berubah dari seorang anak menjadi seorang suami. "Sen, gue tau lo masih sayang banget sama Mel. Lo bahkan masih terima dia setelah dia hamil dan ngelahirin anak dari sodara tiri Lo yang udah bikin hidup lo berantakan. Tapi gue yakin lo bakal serius sama rumah tangga ini, apa lagi Lo udah mantepin buat ngadopsi anak Mel." "Fighting Broder!" Naran meninggalkan arsen sendirian di dalam kamar. Setelah menyiapkan diri, mengenakan pakaian nya, jam tangan, serta parfum, arsen menuju kamar calon istrinya untuk sekedar menengok. Arsen melihat calon istrinya sedang di rias oleh 3 orang. Ia melihat dari pantulan cermin yang menghadap ke arah pintu, Ashel sangat cantik. Ia mengakuinya, di tambah Ashel memiliki kepribadian yang mandiri, dan berpendidikan. Tapi mengapa sedetikpun ia tidak bisa berpaling dari Mel? "Belum selese?" Keempat orang itu menoleh ke arah Arsen "Ini calon suaminya ya? Udah hampir selesai kok. Mau ngobrol dulu bisa, kita keluar yah." "Boleh, makasih ya." Mereka tinggal berdua di dalam kamar setelah ketiga orang itu keluar. "Gugup kak?" Tanya Ashel. "Sedikit. Lo mau sarapan?" "Engga, belum laper." "Udah ketemu bayi mel belum?" Ashel menggeleng "Belum terakhir kemarin. Dia anteng banget ya? Gue gapernah denger dia nangis." "Anak baik. Dia ngga mau nyusahin mama nya. Nanti kita cari nama buat dia ya, besok dia udah ikut kita." Ashel termenung sesaat. "Kak arsen sering ketemu kak Mel?" Arsen mengusap kepala calon istrinya sekejap "Jangan mikir yang aneh aneh dan jangan ragu shel. Gue turun ya." "Iya." ••• "SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWIN NYA ASHELINA VAGESA BINTI ANASFAR DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DAN UANG TUNAI SEBANYAK 200 JUTA RUPIAH DIBAYAR TUNAI." "Bagaimana para saksi?" "SAHHH!" "Alhamdulillahi Robbil `Alamin..." Ashel duduk di sebelah lelaki yang sudah menjadi suaminya. Air mata terus menetes dari mata Ashel yang indah. Janji suci yang Arsen ucapkan sangat menggema di telinganya. Akhirnya statusnya berubah, menjadi seorang istri. "Jangan nangis." Bisik Arsen. Ashel mencium tangan suaminya, sebaliknya Arsen mencium kening istrinya. Orang tua mereka ikut menangis, melepaskan putra dan putri yang sangat mereka cintai. Terlebih Sarah, hatinya sangat sakit melihat putrinya di nikahkan oleh penghulu bukan dari Almarhum suaminya. Mereka berdua mengikuti acara dengan baik, seolah olah mereka benar benar pasangan yang saling mencintai. Beberapa kali Arsen mencuri pandang ke arah Mel yang sedang duduk di ujung ruangan. Ashel menyadari apa yang arsen lakukan. Tapi ia tidak ingin mengambil pusing, biarkan hari ini Ashel mengalami hari yang sedikit tenang. Dengan Mel tidak muncul di depan nya secara langsung, beban nya sedikit berkurang. "Berdua, liat sini. Biar gue Poto." Wanda mengarahkan kamera digitalnya ke kakak dan kakak iparnya. Wanda mengambil banyak foto candid dari kedua kakaknya. Ia membiarkan Ashel datang ke arah para orang tua. "Mami.." Panggilnya lirih. "Iya sayang? Kamu jangan nangis. Harus selalu bahagia oke? Nanti minimal 2 Minggu sekali main ke rumah mami ya? Mami sendiri loh sekarang." Ashel masuk ke dalam pelukan Sarah, mereka menangis bersama. "Arsen jaga anak Mami ya. Kalo ada masalah di bahas bareng, selesaikan dengan kepala dingin, bahagia in dia. Apa lagi kalian mau mengangkat anak, harus jadi orang tua yang hebat." Arsen mengangguk "Pasti mi. Aku usahin buat bahagiain Ashel, dan aku bakal jaga dia sekuat yang aku bisa." Dani menepuk pundak putranya "Kamu hebat udah mau tanggung jawab! Jadi kepala keluarga yang tanggung jawab ya nak. Kamu harus lebih hebat dari pada papa. Inget jangan sakitin dia, kamu masih punya satu adik cewe." Lina membawa Ashel dan Arsen ke dalam dekapan nya, sungguh hatinya sangat nyeri. Dia tau mereka menikah bukan karena cinta melainkan karena rasa tanggung jawab akan kesalahan yang tidak mereka buat. "Sayang mama ngga minta kalian maafin Lion. Tapi mama mohon kalian harus bahagia, jalan hidup kalian masih panjang. Mama yakin kalian akan saling mencintai suatu hari nanti. Mama selalu ngerasa bersalah sama kalian, mama ngga becus didik anak." "Sssttt.. itu bukan salah mama. Udah takdirnya aku nikah sama Kak Arsen. Jangan salahin diri sendiri ya? Mamaa orang tua yang hebat." "Bener kata Ashel ma. Jangan ngerasa bersalah, aku yakin mama lebih sedih karena Lion ngga muncul sampe sekarang." Di pojok ruangan, Mel menyaksikan itu semua dengan menangis. Ia menyesal tidak memberi tahu Arsen suatu hal, harusnya dirinya yang berada di sana. Mel mengusap air matanya, nanti ia harus membefi selamat kepada mereka. Ia harus menyiapkan diri. 8. Ceiza Adya Rafanda Sudah Berjam jam Arsen dan Ashel berdiri di atas panggung pelaminan. Hari juga sudah hampir gelap, namun para tamu sama sekali belum surut. Sebenarnya tidak banyak teman yang mereka undang, 60% Hadirin adalah Partner bisnis orang tua mereka, 10% adalah kerabat dekat, dan 30% teman mempelai semaja sekolah. Kaki Ashel sangat pegal sekarang, heels 7 cm dan berdiri selama berjam jam sungguh menyiksa kakinya. Ia bersyukur tidak menggunakan pakaian adat yang sudah pasti sangat berat dipakai. Saat akad Ashel menggunakan kebaya putih, rok batik serta rambut yang disanggul modern, sedangkan Arsen menggunakan Setelan putih dan kain batik di pinggangnya serta peci yang berwarna senada. Tetapi saat mereka berdiri di panggung pelaminan, Ashel menggunakan Dress putih panjang semata kaki dengan rambut yang digerai bebas, dan arsen menggunakan setelan tuxedo berwarna hitam. "Sen, kata Tante Lina istirahat dulu dikamar. Tamu tinggal tetangga desa sama orang bisnis." "Udah bisa di tinggal?" Nalan mengangguk "Udah." Ashel mengamati seseorang yang sedang bicara dengan suaminya. Ashel tidak mengetahui dia siapa, entah kerabat atau sahabat suaminya. Namun dia ikut sibuk mempersiapkan hari ini. "Oh iya, kenalin Shel dia Nalan. Sahabat gue, juga Manager Noa Cafe. Mungkin dia bakal sering ada di sekitar kita." Nalan menjulurkan tangannya. "Gue nalan. Kalo Sometimes ada butuh apa, bilang aja ke gue. Gue udah kaya Asisten suami Lo. "Hai kak. Gue Ashel. Makasih tawaran nya." Ashel membalas uluran tangan Nalan. "Mau istirahat sekarang?" Tawar Arsen. "Boleh." Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang sedikit ramai oleh kerabat dekat. Sesekali Ashel dan Arsen berhenti untuk menyapa dan berkenalan dengan keluarga pasangan mereka. Kamar yang semalam Ashel pakai sudah di rombak menjadi kamar untuk istirahat saudara mereka. Barang barang Ashel sudah berada di kamar yang Arsen gunakan semalam. Ashel sedikit terkejut saat masuk ke dalam kamar mereka. "Buat apa di dekor gini?" "Biar keliatan kamar pengantin. Lo mau bersih bersih dulu?" "Lo dulu aja kak." "Oke." Ashel membersihkan make up nya sembari menunggu suaminya selesai mandi. Make up yang ia gunakan tidak begitu tebal, namun tetap saja jika tidak di bersihkan akan menyebabkan jerawat ataupun bruntusan. Tidak sampai setengah jam Arsen keluar dari kamar mandi sudah dalam keadaan rapi. Giliran Ashel yang masuk untuk membersihkan diri. Dirinya tidak akan bisa tidur dengan kondisi tubuh yang lengket. ••• Tok tok Arsen yang hampir memejamkan matanya, terpaksa harus bangkit kembali untuk membukakan pintu. "Iya.." Jawabnya sambil narik gagang pintu. "Hai sen. Aku ganggu ya?" Meilani datang dengan membawa putri kecilnya yang sedang tertidur lelap di dekapan nya. "Engga kok Mel. Masuk dulu." Arsen menatap Meilani dengan tatapan yang lembut, tidak bisa ia bayangkan Meilani mengiklaskan orang yang ia sayangi untuk bersanding dengan orang lain. Mel mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Ashel "Ashel mana?" Tidak pantas rasanya memasuki kamar seorang lelaki yang sudah menikah, tanpa di dampingi sang istri. "Kenapa kak? Sini masuk jangan di depan pintu." Ashel keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut nya yang basah dengan handuk. Mel dan Ashel duduk di atas sofa, sedangkan Arsen duduk di atas kasur. Mereka menatap Mel heran, karena mel membawa tas bayi ke dalam kamar mereka. "Eum.. selamat ya buat kalian berdua. Semoga jadi keluarga yang Sakinah, Mawadah , Warahmah. Semoga terus bahagia, dan selalu bersama sampai maut memisahkan." "Aminn." Ucap Arsen dan Ashel bersamaan. Mel menatap kedua pengantin baru itu dengan tersenyum "Malem ini aku pulang. Makasih banget buat kesediaan kalian, jadi orang tua angkat buat dia. Kalian orang baik, tolong sayangi dia ya. Kasih dia figur ayah serta ibu yang baik serta figur keluarga yang lengkap." Mel menaruh bayinya di atas kasur yang sedang Arsen duduki. "Aku ngga tau lagi kalo ngga ada kalian, dia bakal gimana. Aku harus kerja, dia ga ada yang jagain. Dia gabisa ngerasain keluarga yang lengkap, dia punya orang tua yang berpendidikan." "Makasih Shel hiks..hiks.. kamu bisa Nerima anak aku. Walaupun notaben nya aku mantan pacar Arsen.. hiks." Air mata Mel tidak terbendung ia tidak menyangka, anak nya bisa merasakan keluarga yang lengkap, berpendidikan, serta berkecukupan. "Mel, Ngga harus sekarang. Kamu bisa ngerawat dia sampe beberapa bulan lagi. Aku yakin berat banget buat kamu pisah sama dia." Tutur Arsen. "Kak lo ngga mikir ini kecepetan?" Tanya Ashel, bagaimana pun ia tau. Berpisah dari darah daging kita bukan lah hal yang mudah. "Lebih baik sekarang. Tolong kasih dia nama yang cantik..." Arsen menatap bayi mungil yang sedang tidur di sampingnya, "CEIZA ADYA RAFANDA." Mel tersenyum "Ceiza Adya Rafanda? Nama nya cantik, aku suka." "Rafanda?" Ucap Ashel pelan. "Iya, nama belakang gue." "Oh o-oke." Mel menggenggam tangan Ashel "Makasih Shel, makasih udah Nerima dia. Dia anak baik kok, jarang nangis kalo malem. Nangis kalo haus atau minta di gendong doang." "Sama sama kak. Gue harap gue bisa jadi figur ibu yang baik buat dia." "Mel. Kamu juga bisa sering sering kerumah buat jenguk dia, apa lagi dia masih butuh ASI EKSKLUSIF. Minimal 1 Minggu 3 kali dia minum asi. Kasian kalo minum susu formula terus." "Makasih udah izinin aku. Aku pergi dulu ya." Arsen dan Ashel mengantarkan Meilani sampai depan rumah, meninggalkan Ceiza dengan Wanda di dalam kamar. Mel pulang sendiri karena ia harus bekerja, sudah terlalu lama ia mengambil cuti. ••• Sudah satu jam semenjak mereka mengantarkan Mel ke depan. Tamu sudah tidak lagi berdatangan karena sudah pukul 10 malam. Mereka berdua bahkan sudah makan malam bersama nenek Arsen. Namun, saat kembali pulang ke kamar, ashel hanya diam sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Arsen mengamati istrinya yang sedang duduk di sofa sambil melihat televisi. Sudah malam, lagi pula hari ini melelahkan. Apakah istrinya tidak ingin beristirahat. "Shel, tidur udah malem. Cape kan?" "Duluan aja kak." Ashel menjawab tanpa menatap Arsen. Arsen yang merasa aneh dengan sikap istrinya, lantas beranjak menuju sofa. "Kenapa shel? Cerita ke gue." Seperti manusia pada umumnya yang berhati lembut, ashel akan menangis jika di tanya "Kenapa" oleh orang lain. Air mata menyusuri pipinya yang kemerahan. Jika di tanya "Kenapa" Ashel menangis, dirinya pun tidak tahu mengapa ia menangis. "Loh kok nangis? Lo ngga nyaman? Gue bisa tidur di sofa. Gih tidur aja di kasur sama Ceiza." "Bukan itu kak. Gue kecapean kayaknya." "Sini tidur, Besok kita pulang. Lo tidur sebelah tembok ya." Arsen dengan hati hati memindahkan Ceiza yang masih lelap di tidur nya, menuju ke tengah kasur. Ia juga menata bantal di samping putrinya agar tidak jauh, walaupun itu tidak mungkin karena Ceiza tidur di tengah. Ashel merebahkan tubuhnya di samping Ceiza, begitu pula dengan Arsen. Tubuh mereka sangat pegal, fisik dan mental mereka juga sangat lelah. Melewati hari ini bukanlah suatu hal yang mudah. Ini pertama kalinya mereka tidur bersama, dalam artian tidur memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh, bukan tidur bersama dengan arti lain. Sampai pukul setengah 3 mereka bisa tidur dengan tenang, sebelum akhirnya... "Oekk...oekk.." "Oekk..oekk...oekkk..." Mendengar Ceiza menangis, tidur Ashel menjadi terusik. Ia terpaksa membuka matanya yang masih sangat berat. "Sstttt.. kenapa? Kok bangun?" "Oekkk...oekkk..." Ceiza terus menggeliat dan menangis di dalam selimut yang membungkus tubuhnya. "Mau minum susu? Bentar ya ,bikin dulu." Dengan mengantuk, Ashel turun dari kasur. Dan mengambil Dot serta susu formula yang ada di dalam tas bayi yang Mel bawa. Untung nya Arsen sudah menyiapkan termos air panas, jadi Ashel tidak perlu turun ke bawah. "Oekk..oekkk...oekkk...oekkkk..." "Bentarr dong.." Dengan tergesa gesa Ashel membuat susu untuk Ceiza. Arsen yang sedang nyenyak tertidur juga harus terbangun karena mendengar tangis Ceiza yang tak kunjung berhenti. "Ceiza kok bangun? Haus ya?" Suara Arsen yang serak khas orang baru bangun tidur mengalihkan atensi Ashel. "Bikin susu?" Tanya Arsen sembari menggendong Ceiza. "He'em kak. Nih coba, kepanasan engga." "Oekkk..oekkk..oekk." "Sabar sayang, di coba dulu ya takut panas " Arsen menuangkan beberapa tetes susu ke punggung tangan nya, di rasa tidak terlalu panas Arsen, menyerahkan dot ke Ashel untuk di pegangi. Karena Arsen belum bisa menggendong bayi dengan satu tangan. Mereka berdua memandangi ceiza yang sudah tidak menangis, dan meminum susu dari dotnya. "Haus banget ya?" Ashel mengusap pipi Ceiza dengan tangan kirinya. Arsen senang melihat ashel, peduli dengan anak angkat mereka. Walaupun Arsen sedikit khawatir istrinya harus membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan putri angkat mereka. Namun, ternyata praduga nya salah. "Tidur lagi aja, baru mau jam 3." "Nanti dia nangis, susu nya juga belum abis." "Udah merem lagi, gapapa. Bentar lagi juga gue taruh di kasur. Mending Lo lanjut tidur sekarang, besok lo gendong dia selama di jalan." Ashel mengangguk menuruti ucapan suaminya, lagi pula dirinya sangat mengantuk dan sedikit pusing. Ia tidak mau berakhir jauh sakit. 9. Rumah baru Tin tin Arsen membunyikan klakson mobilnya, tanda ia berpamitan untuk kembali pulang ke Jakarta. Wanda dan Nalan pun ikut mereka pulang dengan mobil yang berbeda. Nenek Arsen sempat meminta mereka untuk tinggal 3 hari lagi, namun arsen menolak dengan alasan pekerjaan, Cafe sedikit tidak terurus satu Minggu ini. "Bismillahirrahmanirrahim.." Arsen menjalankan mobilnya menuju Jakarta, lebih tepatnya ke rumah baru. Di samping nya Ashel duduk manis sembari menggendong Ceiza. Ia sudah di ajari oleh Mama Arsen yang masih tinggal di sana untuk menemani nenek nya serta menunggui orang WO melepas Dekor. "Kalo tangan nya pegel bilang shel, biar berhenti dulu. Ceiza juga ngga boleh kelamaan di dalem mobil." "Iya kak. Kita pulang ke mana? Ke rumah Mama?" "Engga. Gue udah beli rumah. Kita tinggal disana." Ashel membulatkan matanya "Rumah? Kenapa ngga tinggal di Apartemen lo aja? Apa di rumah mama? Di rumah gue juga ayo." Arsen mengerutkan dahinya bingung, bukan nya kebanyakan pasangan baru tidak ingin tinggal di rumah mertua dengan alasan tidak bebas? Namun mengapa istrinya malah ingin tinggal bersama orang tuanya? "Kenapa ngga mau tinggal di rumah baru? Tanya arsen heran. "Bukan nya ngga mau. Gue belum bisa ngurus dia sendiri." "Kan ada gue shel, kita urus bareng bareng. Kalo gue kerja Lo bisa ikut." Ashel merasa suaminya sangat perhatian, terlepas dari apapun alasan mereka menikah. Dengan Arsen yang seperti ini, ia begitu mudah untuk menerima Ceiza dalam hidupnya, perasaan khawatir yang selalu menghampiri perlahan pudar. "Kita berhenti dulu di depan shel." Mobil mereka berhenti di rest area, untuk membawa Ceiza keluar dari dalam mobil. Tidak baik bagi bayi terus terusan berada dalam waktu yang lama di dalam mobil, apa lagi Ceiza bahkan belum berumur 40 hari. Namun sudah di bawa kesana kemari karena suatu kepentingan. Selama perjalanan mereka berhenti di rest area 4 kali sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju rumah yang hanya tinggal 20 menit lagi. ••• Mobil yang arsen setir masuk ke dalam perumahan baru di kawasan ibu kota, untuk kelas menengah ke atas. Dari dalam mobil Ashel melihat rumah rumah cantik, dengan suasana yang nyaman. Arsen memberhentikan mobilnya di satu rumah yang tidak terlalu besar, namun bertingkat dengan pagar di depan nya. "Udah sampe. Sini Ceiza gue yang gendong." Ashel menyerahkan Ceiza kepada Arsen. Ia membenahi dress nya yang sedikit tersingkap, dan keluar dari dalam mobil. "Rumah nya bagus." Puji Ashel. Mereka berdua masuk dan mengelilingi rumah yang sangat nyaman ini. Dilantai bawah terdapat halaman depan, garasi, ruang tamu, dapur yang di gabung dengan meja makan, satu kamar tidur, satu kamar mandi, serta halaman belakang. Dilantai atas terdapat 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dalam, ruang televisi, balkon, serta satu ruangan yang mungkin akan di gunakan sebagai ruang kerja arsen. Arsen menaruh Ceiza di atas ranjang, ia kembali turun untuk mengangkat koper meninggalkan putrinya bersama sang istri yang sedang melihat lihat isi kamar. Ada 4 koper besar yang mereka bawa, semua merupakan pakaian Ashel dan Arsen. Mendengar Adzan Ashar, arsen kembali masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Lagi ngapain?" Tanya Arsen. Ashel mengalihkan pandangan nya dari ponsel "Udah selese? Ini Lagi liat liat perlengkapan baby. Ceiza cuma punya beberapa baju, dia bahkan ga punya box buat mandi." "Oh iya. Nanti mau beli?" Arsen merebahkan dirinya di samping sang putri yang sedang tidur. "Gue beli sendiri aja. Lo di rumah jaga dia. Kasian kalo di bawa keluar lagi.." Ashel mengambil tas, serta merapihkan sedikit rambutnya. Tubuhnya sangat lelah, tetapi ia tidak tega membiarkan putrinya menggunakan baju yang sama setiap hari. "Sama gue." Arsen menyambar handphone nya, mengetikan sesuatu kepada Wanda lalu mengambil dompet dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. "Dia gimana?" "Gue suruh Wanda kesini, lagian Mall ga jauh dari sini." Ashel mengangguk paham, 15 menit mereka menunggu Wanda datang. Dengan misuh misuh Wanda memasuki rumah baru mereka. "Baru juga ngurus berapa jam, udah di titipin ke gue." "Bentar doang, beli perlengkapan baby." Jawab Ashel. Wanda dengan cepat memegang perut Ashel "Hamil Lo?" "Bego! Gak lah! Buat Ceiza." Ashel menepis tangan Wanda yang mendarat di perutnya. "Ooo.. namanya Ceiza? Kirain Lo yang hamil." "Udah jagain anak gue yang bener!" Arsen keluar dari rumah di susul dengan istrinya, meninggalkan Wanda yang kembali menggerutu, sambil masuk ke dalam kamar. ••• Ashel dan Arsen sudah berada di baby shop, yang terletak tak jauh dari perumahan mereka. Di kerajaan yang Arsen pegang sudah berisi beberapa baju baby, bedong, kaos kaki&tangan, serta perlengkapan mandi. Mereka terutama Ashel sangat excited saat melihat barang barang baby yang menggemaskan. Ashel rasa ia sudah siap untuk menjadi seorang ibu. "Mau beli box bayi?" "Eum? Kayaknya engga perlu kak. Ceiza masih kecil." Sebenarnya alasan Ashel menolak bukan karena ceiza, tapi karena ia belum siap untuk tidur bersama arsen tanpa penggalang apapun. "Oke. Mau beli apa lagi?" Ashel menghampiri rak yang berisi kelambu, ia khawatir jika malam datang banyak nyamuk yang ikut serta hadir. "Kelambu kak, sama bantal guling baby terus selimut kecil.." "Bagusan kelambu yang biru atau abu abu?" Tanya Ashel sambil mengangkat dua kelambu kecil di tangan nya. "Biru bagus. Jangan abu abu, dia cewe." Mereka tampak sudah matang untuk menjadi orang tua. Saat mengambil barang, Ashel selalu meminta pendapat Arsen, begitupun sebaliknya. Dirasa keperluan Ceiza sudah terbeli semua, Ashel mengajak suaminya untuk membayar belanjaan ke kasir. Namun, saat melewati rak yang berisi sepatu baby Ashel menghentikan langkahnya. Sepatu kecil berwarna coklat muda menarik perhatian nya, bentuknya yang imut dan warna nya yang lembut menarik hati Ashel untuk membelinya. Tanpa sadar ia mengelus perutnya, seperti orang yang sedang hamil. Perasaan nya menghangat, membayangkan anak yang suatu saat ia kandung mengenakan sepatu ini. Arsen turut menghentikan langkahnya. Ia dengan jelas menatap raut kebahagiaan di wajah istrinya, saat memegang sepatu kecil tersebut. Arsen juga melihat bagaimana Ashel mengelus perut nya yang datar dan tersembunyi di balik dress coklat yang ia kenakan. "Gue boleh ambil ini kak?" Tanya Ashel di sertai senyuman yang merekah. "Buat siapa shel? Itu kan sepatu cowo?" "Gue pengin aja. Sepatunya lucu, tapi kayaknya ngga usah sih." Arsen mencekal tangan istrinya yang hampir mengembalikan sepatu itu ke atas rak. "Gue ngga bilang kalo ngga boleh, ambil shel. Masukin keranjang kita bayar." "Makasih kak." Mereka membayar belanjaan dengan total 965.000 Rupiah. Arsen mengeluarkan uang cukup banyak memang, namun itu sudah menjadi kewajiban nya sebagai orang tua. 10. Hari Biasa Matahari sudah naik ke peraduannya. Cahaya hangat dari sang mentari masuk ke sela sela jendela untuk membangunkan orang orang yang siap untuk beraktivitas. Hari ini merupakan hari Minggu, orang orang kebanyakan akan berlibur atau hanya sekedar beristirahat di rumah. Namun, lain halnya dengan Arsen. Pekerjaan nya yang fleksibel membuat dirinya bebas bisa berangkat kapan pun ia mau. Cabang cafe nya di Bogor juga sudah rampung ia kerjakan, dirinya hanya perlu mengontrol dari laptop, dan sesekali datang kesana. Sudah pukul 6 pagi namun istrinya belum terbangun, masih bergelung hangat dengan sang putri di atas tempat tidur. Sedangkan dirinya sudah selesai mandi. Tapi arsen memakluminya, Ceiza bangun lebih dari 3x semalam. Terpaksa Mereka juga harus ikut begadang, apa lagi Ashel karena ceiza tidak ingin di gendong oleh Papanya. Srekkk Arsen sedikit membuka gorden agar sinar mentari masuk ke dalam kamarnya. "Ceizaa.. bangun yukk." Arsen menoel pipi putrinya yang masih kemerahan. Ia sangat gemas dengan bayi kecil itu, arsen merasa dirinya benar benar sudah menjadi "Ayah". "Hei, berjemur ayo.. abis itu mandi. Kamu belum mandi loh dari kemarin." Arsen menggoyang goyangkan tangan putrinya yang masih terbalut sarung tangan. "Engh.. oek.. oekk..oekkk." "Oekk..oekkk." Arsen kalang kabut saat putrinya malah terbangun dengan menangis. Ia mencoba menggendong putrinya namun ceiza malah menangis lebih kencang. "Ssttt.. maafin papa sayang. Bobo lagi ya? Mama masih tidur jangan di bangunin." "Oekk..oekkk..oekkk.." Ashel sedikit terganggu dalam tidurnya, ia jelas mendengar putrinya menangis. Berhubung suaminya sudah bangun, Ashel tetap memejamkan matanya. Kantuk nya sungguh tidak dapat di tahan. Namun, tangisan dari putrinya tidak kunjung mereda membuat kantuknya hilang seketika. "Kok pagi pagi udah nangis? Sini sama mama.." Sudah 2 Minggu sejak mereka menikah. Dan ya! Mereka sudah memutuskan untuk di panggil Mama Papa. Ashel sudah bisa menerima Ceiza sepenuhnya, bahkan dalam waktu 2 hari ini, ia sangat sangat sangat menyayangi putrinya. Arsen menoleh ke arah istrinya yang sudah bersandar pada HeadBoard dengan mata yang masih memejam. "Kok udah bangun? Tidur lagi aja, Shel." "Ck..Gimana mau tidur? Orang ceiza nangis mulu." Dengan segera Ashel merebut Ceiza dari suaminya. "Oekk..oekk..oekk." "Cup cup cup. Sayang jangan nangis, kita ke depan ya. Tolong bikin in susu ya kak." Ashel membawa putrinya ke halaman depan, rasanya sangat sumpek berada di dalam kamar. Mungkin Ceiza merasakan hal yang sama. Ia menaruh ceiza di atas pahanya, wajah putrinya sangat memerah karena menangis terlalu lama. "Ini susunya. Gue bikin in roti tawar, dimakan." Arsen datang dengan sebotol dot, dan sepiring roti tawar yang ia buat untuk Ashel karena ia tau mereka sudah mulai repot dengan Ceiza. Sebisa mungkin mereka saling berperan baik saat menjadi pasangan suami istri dan orang tua "Kamu sama papa dulu ya.. mama mau cuci muka." Ashel menyerahkan Ceiza kepada suaminya, putrinya sudah tidak menangis. Tidak masalah jika ia tinggal sebentar. "Pelan pelan minumnya, haus banget ya?" Arsen menatap putrinya yang juga sedang menatapnya. Tidak ia pungkiri bahwa ceiza sangat mirip dengan saudara tirinya. Entah dimana Lion berada, sudah berkali kali ia cari namun Lion seperti hilang di telan bumi. Arsen harap lion tidak kembali saat semua orang sudah saling tidak ingin kehilangan. ••• Seperti biasa, noa cafe sangat ramai. Stafnya yang berisikan 3 orang pelayan 2 orang juru masak 1orang kasir selalu kewalahan. Sesekali arsen ikut mengantarkan makanan ke meja meja pengunjung cafe. Nalan selaku orang atas pun ikut terjun melayani para tamu yang selalu berdatangan. Bersyukur cafe mereka memiliki 3 lantai, jadi para pelanggan tidak perlu menunggu terlalu lama. "Gila.. cafe rame banget!" Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut nalan, saat ia menjatuhkan pantatnya di sofa sebelah Arsen. "Gue harap selamanya bakal serame ini." Ucap Arsen sambil menyesap kopinya. Melihat para pelanggan dari lantai atas dengan segelas kopi, merupakan hal yang arsen sukai. Mereka datang memarkirkan mobil, masuk ke dalam cafe, memesan, lalu duduk, dan menikmati hidangan yang disajikan. "Ceiza dah gede?" Nalan memang sudah mengetahui bahwa Arsen mengangkat anak dari mantan pacarnya sekaligus dari saudara tirinya. "Udah. Bentar lagi sebulan." "Udah bisa di bawa sini dong? Btw, Ashel nggapapa lo tinggal sendiri? Emang dia udah bisa ngurus ceiza?" "Ntar kalo dah 40 hari. Dirumah Ada adek gue, Wanda. Dia udah bisa ngurus bayi, walaupun kalo ceiza kejer dia bingung sendiri." Arsen sudah sejak pukul 11 siang tiba di cafe. Kedatangan Wanda ke rumah, membuatnya bisa untuk berada di sini sekedar memantau dan membantu pelayanan karena pengunjung yang selalu membeludak. Ting! Arsen mengambil handphone nya yang berada di atas meja setelah mendengar bunyi notifikasi masuk. Mel Arsen, besok aku boleh ke rumah? Soalnya besok jadwalnya Ceiza imunisasi... Ashel mengetikan jawaban untuk membalas Meilani. Karena sibuk beradaptasi dengan keluarga barunya, arsen sampai lupa kalau putri yang ia miliki mempunyai seorang ibu lagi. AndaDateng aja, besok kita bareng ke rumah sakitnya. MelMakasih sen. 11. Kedatangan Mel dan Pertengkaran "Shel." Ashel menoleh ke arah suara "Kenapa kak?" "Mel nanti kesini.." "Oh ya? Jam berapa?" Tanya Ashel sambil mengemas keperluan Ceiza ke dalam tasnya. "Bentar lagi mungkin." "Oke." Jawabnya singkat. Arsen menatap istrinya ragu, ada yang harus ia sampaikan. "Hari ini jadwal Ceiza imunisasi kan? Gue aja yang berangkat sama Mel ya?" Tangan Ashel yang hendak memasukkan minyak telon ke dalam tas terhenti di udara. Ia menatap suaminya bingung. "Kenapa? Kok cuma kalian berdua?" "Gue takut Mel ngga leluasa interaksi sama Ceiza. Kalo ada lo, lagian dia ibunya dia pasti pengin liat perkembangan anak nya." Ucapan Arsen sontak menyulut emosi Ashel "Lo pikir gue bukan ibunya? Lo pikir gue ngga pengin liat perkembangan Ceiza?" Arsen menghembuskan nafasnya kasar "Please, jangan egois! Mel belum ketemu Ceiza dari dia pulang ke sini. Apa salahnya kalo dia nemenin anak nya sekali tanpa campur tangan orang lain?" "Orang lain? Jangan lupa kalo lo juga orang lain kak! Kenapa ngga bisa kita bertiga ke RS buat nemenin Ceiza imunisasi? Kita bertiga orang tuanya! BUKAN CUMA LO, GUE, ATAUPUN KAK MEL!" Ashel sedikit meninggikan suaranya di akhir, pagi ini dia sedikit pusing dan mual. Ia menyempatkan diri mengemasi barang-barang Ceiza yang sekiranya penting untuk di bawa imunisasi, agar nanti tidak terburu buru. Ashel jelas sama sekali tidak masalah dengan kedatangan Mel ke rumah. Namun, mengapa Arsen hanya ingin mereka berdua yang pergi ke Rumah Sakit tanpa, dirinya? Tok tok tok Arsen dan Ashel sontak menoleh ke arah pintu. Pemikiran mereka sama, sudah pasti Mel yang datang. "Jangan egois, shel. Mel juga pengin ngerasain ada di posisi Lo." Setelah mengucapkan kalimat itu, arsen segera turun untuk membukakan pintu. Meninggalkan Ashel yang sudah terduduk di sofa karena sakit kepala yang tiba tiba datang. ••• Tok tok tok "Iya bentar." Ceklek Arsen membuka pintu ruang tamu. Sudah ia duga, Mel yang datang. Mantan Pacarnya itu terlihat sangat cantik hari ini, walaupun tidak secantik Ashel. Arsen rasa Mel terlihat semakin cantik karena mereka lama tidak bertemu. "Hai Arsen." Sapa Mel disertai senyuman yang mekar. Arsen mengembangkan senyum nya untuk membalas sapaan Mel "Ayo masuk dulu." Mel dan Arsen duduk bersebrangan di sofa ruang tamu, rasanya sedikit canggung tapi mereka sama sama rindu dengan hal hal seperti ini. "Naik apa kesini?" Tanya Arsen mengawali pembicaraan. "Naik ojek tadi. Ashel mana?" "Dia dikamar. Kok ngga minta jemput aku? Kan rumah mu ngga begitu jauh dari sini.." Mel menggeleng "Ngga ah nanti ngerepotin. Kamu sama Ashel udah sarapan? Ini aku bawain lauk." Mel menaruh tempat makan tingkat di atas meja ruang tamu. "Kebetulan belum. Makasih Mel." Mereka mengobrol selama beberapa menit, lalu Arsen mengajak Mel bertemu dengan Ceiza yang sedang tidur di dalam kamar. Arsen tau Mel sangat merindukan putrinya, andai Lion tidak menjebak dirinya sudah pasti ia siap untuk menikahi Mel dan menjadi Ayah tiri dari Ceiza. Mel masuk ke dalam kamar tidur Arsen dan Ashel yang pintunya sudah terbuka. "Hai Ashel." Sapa Mel saat melihat istri mantan pacarnya baru keluar dari kamar mandi. "Udah Dateng kak?" Tanya Ashel sambil tersenyum. "Iya, Ceiza bobo ya?" Mel duduk di atas ranjang tempat tidur, ia membuka kelambu yang menjaga putrinya dari gigitan nyamuk. "Iya baru tidur." Jawab Arsen. Arsen melihat di atas sofa terdapat barang barang Ceiza yang tadi Ashel masukan ke dalam Tas. "Mending sarapan dulu aja Mel, bentar lagi juga Ceiza bangun." Saran Arsen. Mel mengangguk setuju "Yuk shel, kita sarapan bareng. Aku tadi bawa lauk." "Iya kak, turun dulu aja. Aku siap siap bentar." Ucap Ashel. ••• Ashel turun dengan keadaan sudah rapi. Rambutnya ia Cepol dan wajahnya terbalut make up. Outfit ashel sangat simple namun bisa membuat Ashel berkali lali lipat lebih cantik. Ia hanya menggunakan jeans hitam di padukan dengan tank top hitam, cardigan abu abu dan flatshoes coklat. Ashel juga turun dengan membawa tas selempang. Arsen sedikit terpana dengan penampilan istrinya. Tapi Apakah istrinya benar benar tidak mengindahkan ucapan nya dan memilih ikut bergi bersama? "Loh Ashel udah siap? Aku janjian sama dokternya jam sebelas." Ucap Mel. Ashel menggeleng "Engga kak. Gue mau ketemu temen. Lo ke RS sama kak Arsen. Barang barang nya Ceiza ada di sofa kamar, nanti langsung ambil aja." "Emang nggapapa shel?" Ashel tertawa kecil "Hahaha.. ya gakpapa lah kak. Emang kenapa?" Arsen yang mendengar percakapan itu hanya diam mendengarkan. "Yuk sebelum pergi makan dulu." Ashel mengambil tempat duduk silang dengan Arsen, yang otomatis Mel hanya bisa mengambil tempat di sebrang dan di samping mantan pacarnya itu. Piring Arsen dan Ashel, Mel yang mengisikan. Mel hari ini tampak sangat bahagia, ia menemui putrinya, dan makan bersama sama di meja makan seperti keluarga. Mereka makan dalam diam, Ashel pun mencoba masakan yang Mel buat. Satu suapan masuk ke dalam mulut Ashel, saat akan mengunyah suapan kedua perut Ashel serasa di kocok ia sangat mual.. dengan segera Ashel berlari ke wastafel yang berada di dapur.. "Hoekkk... Hoekkk." Ashel memuntahkan sesendok makanan yang baru saja ia cerna. Melihat Ashel muntah, Mel dan Arsen langsung beranjak dari meja makan dan menyusul Ashel. "Hoekkk...hoekkk.." "Shel kamu nggapapa?" Tanya Mel dengan panik. Arsen turut menghawatirkan istrinya "Shel lo nggapapa?" Mel menggenggam tangan Ashel yang sedang, bertumpu di wastafel. Tiba tiba Ashel ingat, bahwa dirinya bulan ini belum kedatangan tamu. Namun, dengan segera Ashel menepis tangan Mel. Mel sedikit terkejut mendapat tepisan dari Ashel dan Arsen yang melihat hal tersebut sedikit naik pitam karena perilaku istrinya. "Mel kamu ke kamar ya, tolong cariin minyak angin." Suruh Arsen. "Iya sen." Mel segera berlari untuk mencari minyak angin, ia takut masakan yang ia bawa menyakiti Ashel. Ashel membasuh mulutnya setelah dirasa tidak akan muntah lagi. Tiba tiba pergelangan tangan Ashel di cekal dengan kuat oleh suaminya. "Kak apa ap-" "Lo kalo marah soal tadi bilang ke gue! Jangan di lampiasin ke Mel! Kalo masakan dia ngga enak lo bisa ke kamar, mutahin di sana! Ngga harus di depan orang nya, shel!" Nada tinggi keluar dari mulut arsen. "Siapa yang marah kak? Siapa yang yang ngga suka sama masakan kak Mel? Segitu ngga terima nya masakan pacar lo gue muntahin sampe lo nuduh gue sembarangan?" Cengkraman di tangan Ashel semakin kuat, Arsen sudah cukup tersulut emosi. "Aw-lepas.." Rintih Ashel. "Minta maaf sama Mel." Ucap Arsen dingin. "LO GILA? MINTA MAAF BUAT APA? GUE NGGA SALAH!" Teriaknya. "ASHEL!!!" Bentak Arsen dengan keras. Dengan paksa Ashel menarik tangan nya yang hampir membiru karena cengkraman suaminya yang cukup kuat, ia tidak mengerti apa alasan Arsen sangat tersulut emosi. Ashel mengambil tas nya yang tergeletak di atas meja makan, dengan menahan tangis dan tanpa mengucapkan apapun Ashel keluar dari rumah menunggu ojek online yang ia pesan di depan perumahan. 12. Kehamilan Ashel "Ibu Ashelina Vagesa." Panggil seorang perawat. "Iya." Jawab Ashel sembari masuk ke dalam ruangan. Setelah pertengkaran nya dengan Suaminya. Ashel memilih pergi ke rumah sakit. Saat kejadian di wastafel, tiba tiba ingatan bahwa bulan ini ia belum kedatangan tamu terputar begitu saja. Apa lagi sejak pagi ia merasakan pusing, dan finalnya adalah saat kejadian di wastafel. Ashel tidak ingin menduga duga, lebih baik memastikan secara pasti. "Selamat pagi Bu. Silakan duduk" Sapa seorang dokter wanita, dengan name tag bernama Gena Adiawati, yang terlihat sudah seumuran Maminya. "Pagi dok." Balas Ashel sambil tersenyum dan duduk di hadapan dokter tersebut. Dokter tersebut mengambil catatan yang berisi keluhan Ashel yang diberikan oleh perawat. "Eumm.. disini keluhan nya Mual, muntah, pusing, sama telat haid ya? Sebelumnya terakhir haid kapan? Dan bisa di jelaskan lagi secara rinci keluhan nya seperti apa?" Pinta dokter itu dengan sangat ramah. Ashel yang sebelumnya gugup bukan main, sekarang sedikit rileks karena pembawaan dokternya yang santai dan ramah. Jujur saja, Ashel tidak mengharapkan bahwa dirinya hamil, ia baru menerima Ceiza dan untuk sekarang Ashel tidak ingin Arsen memiliki seorang anak dari dirinya. Dengan rinci Ashel menjelaskan apa yang menjadi keluhannya. Setelah mendengar keluhan Ashel dengan cermat, dokter tersebut menyuruh Ashel merebahkan diri di atas brangkar rumah sakit, dan mulai melakukan sesi pemeriksaan. Setelah beberapa menit melakukan pemeriksaan, mereka kembali ke meja pemeriksaan. Dokter itu membawa sebuah surat dan dengan tersenyum ia mendorong surat dengan logo rumah sakit ke hadapan Ashel "Selamat ibu, sebentar lagi mempunyai seorang baby. Usia nya baru 13 hari, jadi tolong jangan kecapean ya. Alhamdulillah kandungan nya kuat, mungkin nanti bakal sering mual mual. Jadi saya kasih resep obat pereda mual dan beberapa vitamin." Sudah Ashel duga, akhirnya seperti ini. Lagi lagi tidak ada hal yang sesuai dengan keinginan nya. ••• TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK Wanda yang baru kembali tertidur, terpaksa bangun kembali karena bunyi ketukan di pintu kamar kos nya. "Aishh... Siapa sih? Gue udah bayar kos perasaan." Gerutu nya. TOK TOK TOK "Iya bentar, woi." Dengan tergesa gesa Wanda membuka pintu, baru ia mau mengumpat dan memarahi siapa saja yang mengganggu waktu tidurnya namun Wanda urungkan saat melihat sahabat sekaligus kakak iparnya, berdiri sambil berlinang air mata di depan pintu. "Gue hamil." Cicit Ashel tanpa Tedeng aling aling. Wanda membulatkan matanya, sungguh? Dirinya akan menjadi seorang aunty dengan 2 ponakan? Tapi mengapa Ashel mendatangi dirinya dengan air mata? Bukan datang ke suaminya?" "Serius lo? Demi apa hamil anak kakak gue?" Tanya Wanda terkejut, namun melihat iparnya hanya menangis Wanda menarik tangan ashel untuk masuk ke dalam kamarnya. "Awhhh.." Desis ashel cukup keras. "Kenapa?" Tanya Wanda dengan panik, ia memeriksa pergelangan tangan Ashel yang tadi ia tarik. "Shel? Lo abis kenapa? Ini kok biru?" Ashel cepat cepat menarik tangan nya, ia bahkan tidak tahu bahwa pergelangan tangan nya membiru akibat di cekal arsen. "Lo di kasarin kak Arsen?" "Engga wan." Jawab Ashel dengan suara seyakin mungkin, tapi dengan air mata yang semakin deras mengalir. "Ayo masuk aja, gue rada pusing." Ashel duduk menyender ke tempat tidur Wanda, bukan hanya untuk berkilah namun sekarang Ashel benar benar pusing dan sedikit mual. "Lo udah ke dokter?" "Udah.. baru dari sana." "Sendirian? Kak Arsen udah tau?" "Iya. Belum, jangan kasih tau dulu." Jawaban Ashel sontak membuat Wanda curiga. "Lo berantem kan sama kakak gue?" "Engga. Gue baik baik aja, gue kangen lo. Nanti malem gue nginep." Ujar Ashel dengan mata terpejam. Merasa sahabatnya menghindari topik tentang suaminya, Wanda menanyakan pertanyaan lain. "Lo siap jadi ibu 2 anak? Lo Nerima baby lo?" Ini adalah pertanyaan yang sangat ingin ia tanyakan ketika mengetahui bahwa sahabatnya hamil. "Engga siap lah, gue baru juga Nerima anak Mel kemarin." "Terus gimana? Lo ngga ada pemikiran mau gugurin ponakan gue kan?" "Liat nanti deh." Jawab Ashel sekenanya. "SHEL." Teriak Wanda frustasi. "Diem deh! Enek gue." ••• Arsen sedang duduk gelisah di ruang tamu, istrinya belum juga pulang padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.35. Tadi adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah, selama 2 Minggu ini. Mereka bertengkar karena masalah sepele, seharusnya Ashel tidak pulang selarut ini. "Ashel belum pulang, sen?" Tanya Mel sembari mengayun ayun Ceiza supaya bisa tidur. Mel malam ini menginap di rumah mereka, setelah imunisasi ceiza sedikit demam dan Ashel tidak kunjung pulang. Itu yang menyebabkan Mel tetap Stay disini. "Belum.. kayaknya bentar lagi." Namun, setengah jam sudah berlalu istrinya tidak kunjung terlihat. Arsen tidak bisa menghubungi karena ponsel istrinya mati. Ia ingat bahwa adik nya adalah sahabat dekat dari istrinya, mungkin Ashel ada disana. AndaAshel ada disitu? Arsen menunggu balasan dari adik tirinya, ia percaya bahwa adiknya belum tidur. Setelah, menunggu 5 menit ponselnya berdenting karena ada pesan yang baru masuk. WandaLah, itu bini Lo. Napa tanya ke gue.. Melihat jawaban dari adiknya yang cuek, arsen memutuskan untuk datang langsung kesana. Ia menyambar jaket dan kunci mobil, tidak lupa ia berpamitan kepada mel bahwa dirinya akan menjemput Ashel. Menggunakan mobil hanya 8 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke kosan adiknya. Tok tok tok Tok tok Arsen mengetuk pintu di depan nya dengan hati hati, sudah sangat larut ia tidak ingin membangunkan seluruh penghuni kos. Ia bahkan bisa masuk ke dalam kos an putri karena sang penjaga sudah tau bahwa Arsen merupakan kakak dari salah satu penghuni disini. Ceklek Begitu pintu di buka, semerbak aroma minyak angin menyambangi penciuman Arsen. Di hadapan nya juga sang adik sedang menatapnya dengan tatapan datar. "Kamar lo bau banget minyak angin. Btw, Ashel mana? Gue tau dia disini." Tanpa mengucap apa apa Wanda melempar amplop surat dengan logo rumah sakit yang tadi Ashel datangi. Plukk "Kak lo jangan brengsek! Jangan main kdrt, kasian bayi lo!!! Emang masalahnya apa sih sampe lo nyakitin Ashel secara fisik?" Ucap Wanda datar. Arsen mengambil surat yang baru saja adiknya lempar. "Maksud lo apa wan?" Tanya Arsen bingung, sambil membuka surat yang ia ambil. "ASHEL HAMIL KAK. HAMIL ANAK LO! DAN LO TEGA TEGA NYA, MAIN TANGAN SAMA DIA? KALO LO NGGA BISA JALANIN RUMAH TANGA ITU YA CEREIN DIA!!! SEKALI LAGI LO MAIN TANGAN, GUE ADUIN LO KE PAPA." Arsen membatu di tempat nya, ia menatap Wanda tidak percaya. "Hamil? Ashel hamil?" Ia balik menatap surat yang berada di tangan nya. Dengan nama istrinya tertulis satu kata yang membuat jantung nya berdegup kencang. POSITIF. Arsen dengan segera masuk ke dalam kamar kos adiknya. Ia melihat sang istri sedang tidur membelakangi kasur. Arsen terlalu shock, tanpa mengucapkan apapun kepada Wanda ia segera menggendong istrinya dan masuk ke dalam mobil. Arsen berkendara dengan hati yang tak menentu, sesampainya di rumah ia meletakan istrinya dengan hati hati ke atas kasur. Ia mengambil pergelangan tangan istrinya yang terlihat membiru. "Shitt! Bego!" Makinya pada diri sendiri. Mengapa arsen tidak bisa mengerti bahwa istrinya hamil? Mengapa dirinya bertengkar dan tidak terima bahwa Ashel memuntahkan makanan yang mel bawa gara gara, anak nya yang sedang Ashel kandung menolak makanan itu? Arsen juga merutuki kebodohannya sendiri, mengapa ia menyakiti istrinya sampai pergelangan tangan ashel membiru? Ashel keluar dari kamar, dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. "Mel, ceiza tidur sama kamu dulu ya." Ujar Arsen tanpa memberi penjelasan apapun. Nanas Dentingan sendok dan cangkir berisi lemon tea, beradu dengan suara tayangan televisi. Hari sudah hampir malam, rintik hujan juga ikut meramaikan suasana hari yang sedikit glommy. Sudah dari siang hari Ashel di rumah seorang diri, ia menikmati gelas lemon tea ke 2 nya untuk hari ini. Setelah kemarin kehamilan nya diketahui, dua hari ini perutnya selalu merasa mual ia tidak bisa memakan makanan apapun karena bayinya menolak. Ashel tidak heran mengapa bangun bangun dirinya sudah berada di kamar, bukan nya berada di kos an Wanda. Sudah pasti, suaminya yang menjemputnya dan sudah mengetahui bahwa dirinya sedang hamil. Derap langkah kaki menaiki tangga terdengar jelas di pendengaran Ashel, namun ia terlalu malas untuk berbalik badan dan memastikan siapa yang datang. "Shel..." Panggil pemilik derap langkah tersebut yang ternyata adalah arsen beserta Ceiza yang ada di dekapan suaminya. "Heum? Udah pulang?" Basa basi nya. Ashel mencoba bersikap biasa saja, seolah olah tidak ada yang terjadi di antara mereka, ia akan segera menjadi ibu 2 orang anak. Egois bukan lah suatu pilihan yang bijak. "Udah makan belum?" Tanya Arsen sembari duduk di samping istrinya. "Belum, tapi ngga laper." "Kenapa ngga makan? Kasian dia...Sorry gue tinggalin lo sendirian di rumah, tadi lo masih tidur. Jadi gue bawa Ceiza ke cafe sama Mel." Ashel meneguk teh hangat untuk meredakan gelombang mual yang kembali datang "Lo udah tau kak?" "Udah." Angguknya mantap. "Akhirnya alesan gue nikahin lo beneran Dateng ke dunia ini, gue sempet kaget kemarin, gue ngga tau harus kaya gimana.. Apa yang lo rasain shel?" Ashel menatap perutnya kosong "Gue bener bener ngga berharap dia Dateng kak. Gue baru nerima Ceiza kemarin, susah buat nerima dia. Apa lagi gue ngga pengin punya anak.. tapi sebentar lagi takdir jadiin gue ibu dari dua orang anak." Arsen mengusap kepala istrinya penuh perhatian, hatinya memang masih untuk wanita lain. Tapi bagaimana pun dirinya sudah menikah dan istri yang ia nikahi sedang mengandung darah daging nya. Mau tidak mau arsen harus mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang nya untuk mereka. "Gue kemarin mikir, kalo gue masih terlalu muda tapi lo juga lebih muda dari pada gue. Gue mikir kalo gue belum siap punya dua anak, tapi gue yakin lo juga ngga siap. Tolong terima dia shel, kaya lo terima ceiza yang notaben nya anak angkat lo." Ashel mengiyakan, ia harus cepat cepat menerima buah hatinya. Pandangan Ashel beralih pada putri nya yang sudah seharian ini belum ia lihat. "Ceiza sama mama sini.." "Mau gendong? Tawar arsen yang segera di angguki istrinya. Arsen menyerahkan putrinya ke tangan sang istri. "Hai cantik, seharian belum ketemu mama ya? Seneng jalan jalan keluar?" Ashel mencoba mengajak ngobrol putri nya yang belum bisa merespon. Ia sangat gemas terhadap ceiza yang hanya bisa menggeliat di dalam dekapan nya. "Ngapain aja di luar hmm? Main sama bunda sama papa ya? Mama ngga di ajakk..." Celoteh Ashel yang membuat arsen sedikit gemas. Saat akan mencium pipi putrinya, tiba tiba mual mendera Ashel karena wangi dari cologne baby yang ceiza pakai. "Huekk." Dengan segera Ashel menyerahkan ceiza kepada suaminya. "Ceiza pake cologne apa kak? Baunya bikin enek, astagaa." "Parfum baru, tadi di beliin Mel." Arsen segera menaruh ceiza di atas sofa, ia beralih mendekat beberapa jengkal ke Ashel yang masih merasakan gelombang mual. Tanpa meminta izin arsen menyingkap kaos yang istrinya kenakan. "Hai? Itu Kaka kamu loh, kenalan ya? Jangan bikin Mama mual." Bisik arsen dengan lembut, di depan perut ashel. Ashel yang di perlakukan seperti itu sungguh kaget buat main, ini adalah kali pertama suaminya berinteraksi dengan anak yang sedang ia kandung. Ia sedikit malu melihat perutnya yang rata terekspos di depan Arsen. Dengan segera Ashel menurunkan kaosnya yang sudah naik hampir setinggi dada. "Mending lo mandi aja deh kak, bau lo sama kaya Ceiza. Gue mual." Setelah mengatakan hal tersebut Ashel berlalu masuk ke dalam kamar dengan pipi yang sedikit merona. ••• Aroma masakan dari dapur memenuhi semua penjuru ruangan, entah apa yang sedang mel masak namun aroma itu membuat arsen sangat lapar, apa lagi dirinyalah sudah berbulan bulan tidak memakan makanan dari mantan kekasihnya itu. "Kamu masak apa?" "Aku masak seafood kesukaan kamu nih..." Mel tidak mempunyai maksud lain ataupun niat terselubung, ia hanya ingin memasakan makanan kesukaan arsen. "Oh ya? Pasti enak." Respon Arsen sembari menata piring di atas meja. 2 Minggu ini hal hal seperti ini istrinya yang mengerjakan, berhubung Ashel sedang hamil muda ia memilih mengambil alih tugas nya. Mel mengedarkan pandangannya mencari Ashel yang belum ia lihat satu hari ini. "Ashel mana? Makanan nya udah siap nih." "Lagi nidurin Ceiza. Bentar lagi juga turun." Mel menatap arsen dengan nanar "Ashel baik banget ya? Dia mau jadi ibu angkat dari anak mantan pacar suaminya sekaligus orang yang udah ngehancurin Masa depan kalian. Kayaknya Ceiza juga lebih nyaman sama mama nya dari pada sama bunda nya." Arsen tidak tahu harus merespon apa, ia tidak tega melihat Mel berbicara seperti itu. Namun tidak bisa di pungkiri bahwa istrinya sangat baik dan berhati lapang. Tangan Arsen terangkat untuk menggenggam tangan mel yang semakin kurus "Jangan mikir kaya gitu ya? Ashel emang jadi orang yang paling Deket sama ceiza. Tapi kamu tetep Bunda yang ngelahirin dia." Mel tersenyum, kata kata dan sentuhan tangan arsen memberinya ketenangan. ••• "Nungguin aku ya?" Ashel mengambil tempat duduk di samping Mel, lebih tepatnya silang dengan arsen. Arsen dan Mel yang terkejut sontak melepaskan genggaman tangan mereka. Berulang kali Arsen mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh terbawa suasana, istrinya sedang hamil. Arsen tidak ingin menjadi lelaki brengsek untuk ke dua kalinya. Ashel mengelus perutnya samar, ia melihat tangan Arsen menggenggam tangan Mel dengan kedua matanya. Ashel tidak ingin berburuk sangka, namun jika suaminya main belakang dirinya tidak akan memperdulikan nya. "Iya nih.. aku udah selese masak loh. Maaf ya mungkin kemarin masakanku engga enak. Ini aku buatin yang mantep pokoknya." Ujar Mel menggebu gebu. "Ngga kok kak, kemarin aku nya yang lagi ga enak badan." Alibi Ashel. Didepan mereka sudah tersedia makanan yang Mel masak, yaitu seafood asam manis beserta nasi goreng ayam. Dengan semangat Mel memindahkan lauk pauk tersebut ke piring Ashel. "Makan yang banyak ya Shel, di wajan masih tuh." Ucap Mel. Ashel hanya tersenyum, ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia makan. Yaitu, NANAS. Ashel dengan cepat menyingkirkan nanas yang sudah mel potong kecil kecil. Ia juga mencicipi sedikit bumbu yang Ashel gunakan. Lidah Ashel mendeteksi bahwa Mel juga menghaluskan nanas dengan bumbu lainnya ke dalam blender. Arsen dan Mel tidak menyadari bahwa Ashel belum memakan makanan yang ada di piring nya. Saat Arsen memasukan sesendok nasi ke dalam mulut, pandangan nya langsung tertuju ke piring istrinya. Arsen menarik piring Ashel "Jangan dimakan." Ucapan arsen sontak mengejutkan Mel, mengapa Ashel tidak boleh memakan makanan yang ia masak? "Kenapa sen? Ngga enak lagi yah?" Tanya Mel dengan raut wajah yang panik. Arsen menggeleng. "Bukan gitu, Mel. Ashel ngga makan nanas." "Ashel alergi nanas? Ah.. maaf ya aku ngga tau. Seafood & nasi gorengnya aku kasih nanas biar asem & seger." Penyesalan jelas tergambar di wajah Mel yang sudah terlihat lelah. Melihat raut wajah Mel yang lelah dan penuh dengan penyesalan, Ashel menarik kembali piring yang suaminya ambil. "Aku ngga alergi kak. Aku makan sekarang ya? Kayaknya enak banget." Sesendok nasi hampir mendarat ke mulut Ashel jika Arsen tidak cepat cepat mengambilnya. "Ashel jangan gila! Lo udah laper banget? Mau gue bikin in telor? Atau mau beli makanan dari luar?" Tawar arsen tegas. Arsen tau bahwa istrinya ingin tetap memakan masakan Mel, karena sikapnya kemarin siang dan ingin menghargai usaha Mel. Tetapi tidak bisa mereka sepelekan bahwa Nanas bisa mempengaruhi kondisi kandungan Ashel. "Tolong panggang in roti tawar, sama lemon tea ya kak. Gue ke atas dulu." "Maaf ya kak Mel. Gue gabisa makan masakan lo lagi. Gue janji besok bakalan abisin makanan yang lo buat." Description: Sering kali takdir tidak berpihak pada keinginan manusia. Sebenarnya, bukan karena takdir ingin mempermainkan hidup kita, tetapi karena Tuhan tau apa yang jauh lebih baik untuk umatnya. Tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi ibu, tidak ingin memiliki anak. Namun, BOOMM!! Karena jebakan yang seseorang lakukan, Ashel terpaksa dan harus menikah, menjadi seorang ibu, merasakan kehamilan, serta merasakan kehidupan Rumah Tangga. Dirinya harus menikah dengan seseorang yang tidak mencintainya atau ia cintai, menikah dengan seseorang yang telah memiliki kekasih, menjadi ibu angkat dari anak kekasihnya, dan bahkan harus mengandung anak dari suaminya berkat kesalahan satu malam yang ia harap bisa berujung manis. Jika di tanya Frustasi tidak? Jawaban nya, iya. Jika di tanya Stres tidak? Jawaban nya, iya. Jika di tanya Repot tidak? Jawaban nya, iya. Ashel tidak sanggup berbohong dan mengatakan bahwa dirinya baik baik saja. Mendapatkan cinta adalah suatu hal yang susah, perlu rintangan dan bersabar menunggu entah dari mana cinta nya akan datang. Namun, pada akhirnya Ashel percaya Rumah Tangga yang ia jalani, akan menemukan titik terang, dan kebahagiaan dalam waktu yang tidak bisa ia tentukan.
Title: Real Identity Category: Cerita Pendek Text: Real Identity "Cepat, cepat, cepat! Permisi! Maaf! Permisi!" Cherry berlari menerobos kerumunan orang yang ramai-ramai menyeberang jalan. Dua kepangan rambutnya melonjak-lonjak mengikuti tubuhnya yang terus bergerak. Topi rajut merahnya hampir jatuh saat ia berbelok tajam ke arah taman. Ia terperangah melihat taman itu sudah ramai oleh para penggemar Neo 127, band idola baru para remaja yang minggu kemarin terpilih sebagai Best Indie Band di sebuah program musik. Cherry segera menghampiri kolam air mancur yang lebih sepi karena terletak agak jauh dari panggung. "Teman-teman benar-benar meninggalkan aku," keluhnya sedih sambil membungkuk dan mengatur napas setibanya di sana. Seharusnya mereka bertiga menunggunya di dekat kolam air mancur ini. Cherry melihat ke arah keramaian manusia berkostum gelap yang menyebar di sekitar panggung. Bagaimana Cherry menemukan mereka di dalam kerumunan sepadat itu? Cherry mengeluarkan ponsel dan mengirimi teman-temannya e-mail. Sei membalas dengan cepat. Katanya, "Konsernya ditunda, Cherry-chan! Katanya vokalisnya hilang! Menyebalkan!" "He?" Cherry membelalakkan mata pada ponselnya. "Vokalisnya hilang? Bagaimana bisa?" Sebentar kemudian, datang balasan dari Rina. Katanya, "Kami akan pergi beli es krim dulu. Kamu tunggu saja di sana, Cherry-chan. Setelah beli es krim, kami akan ke sana." Balasan dari Lua menyambung, "Kami akan membelikanmu es krim cokelat seperti biasanya ^^ Tunggu di sana, ya!" Cherry menghela napas panjang. Ia menegapkan badan dan berkacak pinggang. Setidaknya mereka tidak benar-benar melupakan aku, batinnya lega. "Tapi... Konser ditunda karena vokalis Neo 127 hilang? Lelucon macam apa ini?" "Itu bukan lelucon." Cherry tersentak kaget. Siapa yang bicara?! Ia menoleh ke kanan-kiri dengan tegang, mendapati tak ada siapa pun yang berdiri di dekatnya. Padahal, suara itu terdengar sangat dekat. Seperti berasal dari belakang... Cherry segera menoleh ke belakang melewati bahunya. Seorang laki-laki bermantel hitam sedang duduk di tepian kolam air mancur dengan kaki disilangkan. Tangannya menggenggam sekaleng kopi di pangkuan. Dia tersenyum tipis pada Cherry, yang Cherry balas dengan mata melebar dan alis terangkat tinggi. "Kau... bicara padaku?" Cherry membalikkan badan dan menunjuk hidungnya sendiri. "Itu bukan lelucon," ulang laki-laki itu. Poni rambut hitamnya yang panjang terjatuh hingga menutupi daerah mata sebelah kiri. "Kudengar, vokalisnya memang ingin hengkang. Dia tidak berniat ngeband lagi." "Benarkah? Dengar dari mana?" tanya Cherry sangsi. Teman-temannya sangat aktif meraupi kabar-kabar terbaru tentang Neo 127. Ia yakin yang barusan didengarnya tidak pernah tercantum dalam majalah atau website mana pun. Lagipula, Neo 127 sedang naik daun. Masa, sih, vokalisnya ingin berhenti di saat-saat manis seperti ini? Dan, siapa pula orang ini? "Sumberku terpercaya, kau tahu?" Laki-laki asing itu menyesap kopinya dengan kalem. "Kalau kau tidak percaya, pergilah ke backstage dan lihatlah sendiri kekacauan di sana." Cherry menoleh ke arah panggung, menerka-nerka apa yang mungkin sedang terjadi di belakang panggung. Keempat anggota Neo 127 bisa saja sedang uring-uringan mencari satu anggotanya yang menghilang. Lalu, Cherry menoleh lagi kepada laki-laki tadi. Keningnya berkerut tak suka. "Memangnya kau siapa?" tanyanya langsung. "Siapanya Neo 127?" Laki-laki itu tersenyum. "Namaku Nakamoto Haru," katanya. "Vokalis Neo 127, Nakamoto Yuta, adalah kakakku." "APA?!" Menjerit tak percaya adalah reaksi pertama Cherry. Tanpa ragu, gadis itu mendekati laki-laki bernama Haru itu dan memelototi wajahnya. "Kau adik Yuta? Adik vokalis Neo 127? Adik apa? Kandung?" Cherry menggeleng-geleng. "Tidak mungkin!" "Saat wawancara majalah, Nii-chan pernah menyinggung seorang adik laki-laki kan?" Haru masih tersenyum. "Itulah aku." Cherry berhenti memelototi Haru, tapi tidak berhenti menatapnya. Ekspresi kaget sekaligus tidak percayanya belum hilang dari wajah. Setelah mengatakan kabar yang baru pertama kali didengar Cherry, dia menyebutkan dirinya sebagai adik vokalis Neo 127. Apa-apaan ini? Cherry memang pernah dengar Yuta memiliki adik laki-laki, tapi ia tak pernah dengar informasi lebih lanjut tentang itu. Benarkah adik Yuta itu kini berada tepat di hadapannya, sedang mengopi santai di saat kakaknya tengah menghilang? "Masih tidak percaya?" Haru membaca ekspresi wajah Cherry. "Coba saja perhatikan wajahku. Apakah mirip dengan wajah Nii-chan." Cherry membungkuk sambil berkacak pinggang di depan Haru, memajukan kepalanya untuk memperhatikan wajah laki-laki itu. Keningnya berkerut-kerut dan bibir kecilnya mengerucut. Kegelapan malam membuatnya kesulitan menganalisis, tetapi mata, hidung, dan senyum itu... memang mirip dengan milik Yuta. "Bagaimana?" tanya Haru setelah Cherry berhenti mengamati wajahnya dan menegapkan badan. Cherry mengusap-usap dagu. "Sepertinya memang mirip," jawabnya. "Tapi kau mungkin saja seorang cosplayer yang sedang meniru Yuta...." "Aku Nakamoto Haru," tegas Haru. "Zaman sekarang ada banyak cara untuk mengaku-ngaku, kau tahu...." "Aku tidak akan mau mengaku-ngaku sebagai adik seorang vokalis band yang namanya tidak sebesar X Japan." "Hei! Neo 127 dan X Japan tidak bisa diperbandingkan!" "Aku ingin sekali menjadi adik Yoshiki. Tapi kenyataannya, aku adik Yuta." Cherry memelototi Haru yang tidak lagi tersenyum. Haru balas memelototinya. Setelah sekian detik saling melotot, Cherry menghela napas. "Baiklah, baiklah," desahnya. "Kau adik Yuta. Oke. Sekarang, apa yang sedang kau lakukan di sini saat kakakmu raib ditelan bumi?" "Uh... Duduk sambil ngopi?" Cherry memelototi Haru lagi. "Tidak khawatir pada kakakmu yang hilang?" "Tidak. Untuk apa? Dia tidak seberharga itu untuk diculik. Dan, dia sudah dewasa. Tahu apa yang dia lakukan," jawab Haru ringan. Dia menyesap kopinya dengan mata terpejam. "Kau tidak tahu di mana dia sekarang? Mungkin kau tahu suatu tempat yang sering dikunjunginya jika sedang ingin menyendiri...." "Aku bahkan tidak tahu dia konser di sini kalau tidak mendengar iklannya di radio." "Adik macam apa dia ini," gumam Cherry tak habis pikir. "Kau mengatakan sesuatu?" "Ah, tidak." Cherry menggeleng. "Memangnya benar dia ingin keluar dari Neo 127?" tanyanya. Detik berikutnya ia sadar, sumber terpercaya yang disebut Haru tadi mungkin adalah Yuta sendiri. Haru tak langsung menjawab. Dia menatap Cherry sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Termenung. Cherry menatapnya bingung. "Hei," katanya setelah lama tak mendapat jawaban. Dikibas-kibaskannya tangan di depan pemuda itu. "Hei, kenapa malah melamun?" Haru mengerjap, menatap Cherry, lalu tersenyum. "Sepertinya memang begitu," katanya. "Menurutmu bagaimana?" Alis Cherry terangkat. "Menurutku bagaimana? Menurutku, ya... Jangan. Neo 127 sedang menuju kesuksesan. Tidak seharusnya Yuta merepotkan semua orang dengan berhenti begitu saja. Lagipula, bukankah kesuksesan itu yang dia inginkan?" "Mungkin," kata Haru. "Tapi ada banyak hal di belakang panggung yang tidak dimengerti orang luar, terutama penggemar...." "Hmm... Itu benar juga, sih," Cherry mengangguk-angguk. Detik berikutnya, ia mengerjap bingung. "Hei, apa maksudmu?" Haru berdiri, melempar kaleng kopinya ke dalam keranjang sampah di dekat bangku taman. "Siapa namamu?" tanyanya tanpa menjawab kebingungan Cherry. "Namaku? Bukannya sudah—Eh, oh, aku belum memperkenalkan diri, ya?" Cherry segera berdiri tegap bak tentara dan memperkenalkan diri dengan mantap. "Namaku Kazamasa Chiisa. Tapi teman-temanku memanggilku Cherry." "Sekolah?" "SMU Seiko," jawab Cherry. "Kau? Kelihatannya masih SMA." Haru diam sebentar. "SMU Sakae," katanya kemudian. "SMU Sakae?" Mata Cherry membesar. "Itu salah satu saingan terberat sekolahku! Aku tidak menyangka adik Yuta Neo 127 bersekolah di sana!" Haru mengedikkan bahu. "Memang seharusnya aku sekolah di mana? Walaupun kakakku superstar wanna be, aku tetap orang biasa," katanya. Benar juga, Cherry membatin. "Ngomong-ngomong," Haru memasukkan kedua tangannya di saku mantel. "Kau tidak keberatan kan jika kuminta untuk merahasiakan pertemuan ini?" Melihat gelagat Cherry yang hendak protes, Haru segera menambahkan, "Demi kebaikan kakakku." Cherry terdiam sebentar, berpikir. Tiba-tiba terdengar namanya dipanggil suara cempreng dari kejauhan. Cherry refleks menoleh dan melihat teman-temannya sedang berjalan mendekat dengan es krim di tangan. Jika mereka tahu ia baru saja mengobrol dengan adik Yuta Neo 127, maka Haru akan.... Cherry menoleh, menatap Haru. "Salah jika demi kebaikan kakakmu," katanya sambil tersenyum. "Demi kebaikanmu, akan kulakukan." Haru tidak bisa menahan senyum lebarnya. "Terima kasih," ucapnya. "Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa… Kazamasa Chiisa." Cherry melihat Haru berjalan cepat ke arah keramaian orang, lalu menghilang di balik sekelompok anak muda yang sedang tertawa-tawa. Cherry mengalihkan perhatiannya saat lengannya dipeluk seseorang. Secontong es krim cokelat pun segera tersodor di depan wajahnya. "Ah, terima kasih," Cherry mengambil alih es krim cokelat itu. "Kupikir kalian marah karena aku terlambat." "Kau selalu terlambat setelah pulang kampung ke Jakarta," kata Sei sambil menjilati es krim stroberinya. "Jangan begitu," Cherry meringis. "Aku sempat kesasar tadi...." "Cherry-chan, kau tadi bersama siapa?" Rina yang memeluk lengan Cherry bertanya. "Kau bertemu temanmu?" "Eh, oh, iya," jawab Cherry, segera ingat perjanjiannya dengan Haru tadi. "Uh... Teman SMP." Mata Rina membulat ingin tahu. "Hee? Teman SMP? Dia penggemar Neo 127 juga? Keren tidak? Tampan?" Penggemar? Lebih tepatnya adik vokalis Neo 127, Cherry meralat dalam hati. Tampan? Kalau kakaknya saja tampan, kenapa adiknya tidak? "Kami melihat Elly di depan panggung tadi," celetuk Lua. "Ternyata dia benar-benar datang." "Sial sekali, kan?" sahut Sei. "Dia pasti akan berusaha mencari perhatian Johnny!" "Aah! Konsernya dimulai!" Rina menjerit saat tiba-tiba terdengar gebukan drum yang mengagetkan semua orang. Mereka sontak menoleh dan melihat panggung yang tadinya senyap kini ramai oleh cahaya warna-warni. Dan, hei, Yuta ada di sana! "Ayo cepat ke sana!" Tidak hanya Cherry dan kawan-kawan yang cepat-cepat mendekati panggung, tetapi juga semua orang yang telah menunggu-nunggu kepastian konser. Munculnya Yuta berarti konser berlanjut. Taman segera ramai oleh riuh penonton dan suara khas Yuta yang meminta maaf atas kepergiannya tadi. Cherry memperhatikan wajah laki-laki yang rambutnya dicat burgundy gelap itu, dan disadarinya ia tak bisa lagi melihat laki-laki itu tanpa terbayang adiknya yang baru ditemuinya beberapa menit lalu. Entah di mana Haru sekarang. Apakah dia juga sedang menonton kakaknya yang sekarang membuat ratusan penonton menggila? Cherry melupakan itu saat akhirnya musik mengalun. Meskipun bukan fans berat, Cherry ikut meloncat-loncat bersama para penikmat Neo 127 di sekitarnya, larut dalam hentakan musik rock yang dipimpin Nakamoto Yuta. - Di panggung, Nakamoto Yuta tidak bisa berhenti sedikit-sedikit menoleh ke arah yang sama. Agak di samping dan cukup jauh di belakang. Di sanalah gadis bernama Cherry yang baru ditemuinya tadi berdiri menonton penampilan band-nya. Senyumnya begitu lebar dan ceria. Yuta merasa sedikit bersalah telah membohonginya, tapi senyum itu jugalah yang telah mengembalikan semangatnya. Walau hanya untuk malam ini, walau esok hari ia mungkin akan kabur lagi. Tapi tidak apa-apa. Yuta akan menebus dosanya dengan menemui gadis itu lagi suatu hari nanti. Tentunya bukan sebagai adiknya, melainkan dirinya sendiri. - END Description: Cherry bertemu dengan orang yang mengaku sebagai adik Yuta, vokalis Neo 127 yang menghilang di hari band rock itu seharusnya tampil.
Title: Reuni Rasa Category: Young Adult Text: Kalua Perempuan berambut sebahu itu berkali-kali membenahi posisi kacamatanya yang sedikit melorot dari pangkal hidungnya. Rambut cokelatnya yang dicepol separuh pun beberapa kali berantakan karena terlalu sering diacak-acaknya sendiri. Kalua Maheswari. Merayakan satu tahunnya bekerja di Agave dengan menghirup kopi hitamnya kuat-kuat. Kopi instan yang sudah membuatnya menghamba sejak pertama kali perempuan itu mengenal lembur dan deadline sebagai salah dua teman baiknya selain manusia-manusia nyata yang biasa ia temui di hari Sabtu atau Minggu atau di hari-hari liburnya itu. "Kal, makan siang, yuk!" Kalua menolehkan kepalanya dan mendapati Aggi sudah mengacungkan dompet besarnya. "Mau makan apa? Masih jam segini juga. Nanti jam tiga juga laper lagi, Sis." "Ya makan lagi, dong. Ampun, deh, itu muka nggak mau dicuci dulu? Yakin mau turun ke kantin bawa muka sekucel itu? Mending nggak kenal deh kita.." Kalua langsung mencibir melihat Aggi menunjuk-nunjuk wajahnya yang memang sudah bisa dipastikan sangat kucel itu. Harap maklum, edisi ulang tahun perusaan dan Mbak Brisia yang sedang PMS memang merupakan perpaduan yang sangat tepat untuk menjadi penyumbang terbesar kantung mata sekaligus helaan napas panjang penuh isyarat ingin menyerah. "Tunggu sebentar. Aku ke toilet dulu kalau gitu." Aggi langsung mengacungkan jempolnya di udara. *** "Hari keempat ayam goreng krispi dan sambal tomat. Hari kelima besok kalau sampai masih belum bisa bikin sendiri itu sambalnya, mending nyerah, deh." Kalua terbahak mendengar komentar Aggi yang jelas merujuk pada menu yang memang sudah empat hari berturut-turut ini dia pesan setiap makan siang. "Nggak gitu, lihat sendiri tadi soto ayam Ibuk rame banget. Itu soto datang, mood-ku makan siang yang pergi." Kalua menyeruput es teh-nya sedikit sambil menunjuk stan soto Betawi yang memang selalu ramai di jam-jam makan siang begini. Memiliki satu kantin gedung memang merupakan anugerah karena mempermudah orang-orang malas bergerak macam Kalua, namun seperti kutukan bagi seseorang lain yang memang selalu menjadikan makan siang sebagai salah satu tempat tebar pesonanya, sebut saja seseorang lain itu bernama Aggi. "Lagian situ pesen makanan yang sama empat hari berturut-turut itu emangnya udah lupa gitu sama rasa ayamnya yang kemarin? Kan nggak mungkin, Kal." Kalua mengaduk-aduk gelasnya tidak peduli pada komentar cerewet Aggi. Baginya, memesan makanan yang sama terus-menerus itu seperti upaya menjamin keamanan dirinya sendiri. Kalua memang agak kurang nyaman dengan perasaan baru yang tidak familiar, dan perasaan itu juga termasuk di dalam hal memilih makan siangnya setiap hari. "Besok cobain rujak cingurnya yuk, Kal. Kata Mbak Brisia enak lho. Dia kan paham banget sama kuliner, jadi sarannya sudah pasti akurat." Kalua dengan tegas menggeleng. Mencoba makanan baru saat makan siang sama sekali bukan ide bagus. Membayangkan dirinya sendiri terjebak dalam perasaan dongkol karena sayur kangkung yang direbus kurang matang sehingga masih keras saat digigit, sama sekali tidak menjadi opsi yang akan Kalua ambil. "Ajak Mbak Brisia aja kalau mau nyoba-nyoba makanan. Udah hampir setahun makan bareng masih nggak hafal juga kebiasaan temennya. Heran." Aggi sontak memanyunkan bibirnya saat mendapati respon yang selalu sama dari Kalua. "Jatuh cinta sama orang yang suka banget sama makanan, baru tahu rasa!" Kalua tersenyum lebar. "Nggak akan mungkin, Aggi sayang.." Description: Andai saja Kalua memiliki pilihan untuk tetap bekerja dan mempertahankan posisinya sebagai salah satu tim editing Agave tanpa perlu kembali berhadapan dengan laki-laki itu, Kalua pasti akan dengan senang hati melakukannya. Tetapi seperti pilihan hidup pada umumnya, alasan 'mau bagaimana lagi' pada akhirnya tetap menjadi satu-satunya jawaban karena beberapa hal memang tidak bisa dihindari. Sama seperti pertemuan dengan Jenindra. Dan benarkah 'mau bagaimana lagi' juga menjadi alasan bagi Kalua untuk akhirnya mengambil keputusan itu?
Title: Red Cross Generation Category: Novel Text: Satu 1. Namaku Rania Jeshari. Aku adalah seorang remaja SMK penyuka senja dan hujan. Lahir di Cirebon, tanggal 25 Agustus 1999. Aku tinggal di Kota Cirebon, sekitar Jalan Pramuka. Jalan ini tidak begitu ramai, kendaraan yang lewat hanya kendaraan milik pribadi. Tidak ada angkot, tidak ada transportasi umum di daerah itu. Aku hanya tinggal bersama Ibuku saja, Ayahku telah tiada sejak aku berusia 7 tahun. Di Kota ini aku bersekolah di salah satu SMK favorite yang berada di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Awalnya aku mengeluh, tetapi semua keluh-kesahku tak berarti apa-apa dibanding pengalamanku di sini. Di sekolah ini aku mengikuti salah satu ekstrakurikuler PMR (Palang Merah Remaja). Entah apa yang membuatku tertarik di bidang ini, yang jelas di ekskul ini aku mendapatkan banyak pengalaman. Di sekolah aku terpilih sebagai siswa penghuni kelas 10-Tata Niaga-6. Hari ini adalah hari keduaku mengikuti Lompamer di Universitas Kuningan. Aku masuk dalam bidang bongkar pasang tandu dan mengikuti cabang lomba tersebut. Lompamer bulan ini cukup menantang, karena jarak yang jauh dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa minggu lalu, pelatih kebanggaan kami di PMR baru saja diganti oleh pihak sekolah. Kami semua kecewa karena pelatih yang sekarang sifatnya lebih keras. Aku tahu maksud dan tujuannya baik, namun cara mereka salah dalam menyampaikan sesuatu. Aku dan Juju sebagai wakil plus ketua PMR juga dapat merasakan keluh-kesah anggota. Jujur saja, aku bahkan lebih kecewa dari mereka. Aku selalu mendapat bentakkan lebih keras bersama Juju, karena kami adalah satu tim dalam cabang lomba tandu. Ini adalah perjuangan yang tidak main-main. Selain nama sekolah dan PMR, kami juga harus membuat bangga pelatih dan juga anggota-anggota yang ikut serta dalam perlombaan. Harapan terbesar muncul di salah satu tim yang menurut mereka akan pulang membawa piala dan suatu kebanggaan tersendiri. Tim itu adalah aku dan Juju. Bagaimana rasa nya jika kalian berada di posisiku dan Juju? Bermalam di Kuningan adalah hal yang pernah aku mimpikan sewaktu masa SD, karena kesukaanku terhadap alam pegunungan. Aku menyukai udara dingin. Iya, di malam ini udara sangat dingin. Semilir angin yang menembus kulitku saja sudah bisa membuat bulu merinding. Aku dan teman-teman PMR yang lain menginap di salah satu kelas di kampus ini. Di lantai paling atas, sebelah kanan. Kampus ini memiliki tiga lantai, dan beberapa ruang kelas yang luas. “Gilaaa.. malam ini dinginnya tingkat Dewa!” ujar Juju. Dia adalah Juju, Juriyah Safitri. Seorang ketua PMR yang baru di tahun ini, yang baru diangkat kemarin setelah pelepasan Kak Fatur sebagai ketua. Juju ini orangnya tegas, asik, dan terlihat polos. Tapi, dalam segala hal dia cukup jago, mungkin kebiasaan sedari dulu. Dia menggosok-gosok telapak tangannya. Kemudian, dia tempelkan di kedua pipinya. Cara ini ampuh menepis rasa dingin yang melanda. Aku hanya tertawa. Pada dasarnya, udara di malam hari memang dingin. “Namanya juga daerah puncak, pasti dinginlah. Beda, sama Kota Cirebon yang kadang panas, kadang dingin, kadang nggak ada rasa sama sekali.” ucapku. “Kalau dingin-dingin gini, enaknya minum yang hangat-hangat.” “Ditambah makan yang hangat juga biar pas.” “Cari minuman jahe yuk, atau kopi gitu, supaya hangat nih.” “Mau cari kemana, Ju? Ini kan udah malam. Lihat deh, udah jam 10 malam.” kataku sambil menunjukkan jam tangan yang menempel tepat di pergelangan tangan kiriku. “Di pinggir jalan depan kampus kan, masih ada warung yang buka. Ayolah, temenin gue. Please,” Meski sebenarnya aku takut, tetapi rasa takutku kalah dengan para demonya cacing di perut yang meminta diisi. Tenggorokan kering yang menginginkan kehadiran minuman hangat begitu pas jika disajikan di malam hari dengan udara yang dingin. Akhirnya, aku pergi dengan Juju menuju lantai bawah. Selangkah demi selangkah kami melewati jalanan sepi di dalam kampus besar itu. Jarak gedung yang satu dengan yang lainnya begitu jauh, ditambah dengan tangga yang menjulang tinggi. “Lihat tuh, ada Mamang bakso. Bisa pas gini ya, yuk!” seru Juju. Akhirnya, kami mendekati penjual bakso keliling itu. Rasa dingin yang menyergap tubuh akan kalah dengan sensasi hangat pada makanan yang satu ini. “Pesan dua ya, Mang?” kata Juju. Kami duduk di kursi plastik yang sengaja penjual itu bawa agar si pembeli yang ingin makan langsung di tempat bisa duduk dengan nyaman. “Siap, Neng.” jawab si penjual bakso. “Pedas atau nggak?” “Sedang aja, Mang. Kalau pedas takut sakit perut,” jawabku. “Lo pesan minuman di warung sana, dong. Biar gue yang di sini nunggu bakso, hehe.” ucapnya cengengesan. “Dasar!” Dengan terpaksa aku harus menyebrang jalan menuju warung untuk membeli minum. “Coba aja, si Mamang bakso jualannya sekalian sama minuman, pasti bakal enak. Nggak repot cari sana sini buat beli minum!” gumamku. Kini, aku sudah berada di depan warung. “Bu, pesan susu jahe nya dua, ya?” kataku dengan suara yang agak lebih keras. Aku rasa, minum susu jahe di malam hari dapat menghangatkan tubuh “Oke,” jawab ibu-ibu penjual dari dalam. Kemudian, aku duduk di bangku depan warung. Di sebelah timur warung terdapat beberapa laki-laki yang tengah berkumpul sambil menikmati secangkir kopi hangat di atas mejanya. Laki-laki itu memakai jaket semua. Kompak. “Nih, udah jadi, Neng.” sahutnya. Aku segera menerima minuman hangat itu, kemudian aku membayarnya. Aku kembali melangkahkan kaki menuju Juju yang sedang makan bakso di seberang. “Nih,” Aku menyodorkan segelas minuman pada Juju. ”Lo beli minumnya susu jahe?” “Udah, nggak apa-apa. Berkah akhir semester," jawabku sembari tertawa kecil. Sesekali aku melirik ke salah satu anak yang ternyata dia memperhatikanku saat membeli susu jahe. Dia kembali menoleh ke arah teman-temannya saat aku memergokinya. Wajahnya tidak asing, karena aku tahu betul anak-anak PMR, apalagi dia seperti salah satu anak dari SMA Satria Bangsa. Malam itu aku dan Juju sangat menikmati makanan dan minuman yang benar-benar nikmat di lidah. Perut kosong akibat tidak sarapan sejak siang, kini terbayar dengan berkali-kali lipat. Saat aku masih menikmati makan di pinggir jalan, segerombolan laki-laki yang berkumpul di warung seberang akhirnya masuk ke dalam kampus. Mereka melewatiku yang tengah makan bakso dengan Juju. Rasa nya aneh ketika aku melihat salah satu dari mereka, ada sesuatu yang tidak dapat aku gambarkan. Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk segera kembali. Keadaan malam hari di daerah orang, sangat tidak baik. Begitulah petuah para ibu-ibu zaman dulu. Aku dan Juju berjalan melewati koridor kampus yang nampak sepi. Sepertinya, seluruh penghuni sudah terlelap dalam mimpi, kecuali beberapa orang dewasa yang masih berada di depan ruangan kelas masing-masing. Sambil berjalan kami mengobrol, mengurangi rasa takut yang mulai melanda diri. Kami sudah sampai di lantai tiga tepatnya di ruangan khusus yang disediakan panitia. Aku masih berdiri memandang keadaan sekitar kampus. Mataku tertuju pada salah satu anak laki-laki yang tengah duduk sambil memainkan gitar di lantai dua. Benar, dia adalah anak SMA Satria Bangsa. Saat aku memperhatikannya, dia berhasil memergoki ku. Dia berdiri dari duduknya, kemudian berjalan entah ke mana. Aku tidak peduli. Sekarang, yang ingin aku lakukan hanya memandang malam, menikmati setiap detik dengan gemerlap cahaya bintang. “Hai,” sapa seseorang yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku. Anak-anak yang lain sudah masuk ke dalam ruangan, kecuali aku. Karena aku suka malam dan aku ingin menikmati malam sendirian di luar. “Iya?” jawabku sedikit bingung. Aku tidak mengenalinya walaupun kami satu organisasi yang mengikuti Lompamer di sini. Dia tersenyum. Melihat dia seperti itu, akhirnya aku pun membalas senyumannya meskipun sedikit ragu. “Ini kan, udah malam. Kok, lo belum tidur?” Dia adalah laki-laki yang aku temui beberapa menit yang lalu di pinggir jalan, tepat di warung seberang kampus bersama teman-temannya. “Gue belum ngantuk,” jawabku. “Maka nya jangan minum kopi, jadi nya nggak bisa tidur, deh.” Aku terkekeh. “Jangan sok tahu deh, gue nggak beli kopi,” Dia tertawa, kemudian memandangiku tak biasa. “Lo anak SMK tetangga, ya?” Dia mengangguk-angguk, “pantas.” “Pantas apa?” “Gue sering lihat lo, apalagi setiap ada lomba,” “Maksudnya tetangga, apa?” tanyaku bingung. “Gue sekolah di SMA Satba, letaknya di sebelah sekolah lo,” Aku mengangguk. “Oh,” jawabku singkat. “Tadi lo bilang, sering lihat gue? Tapi kok, gue nggak pernah lihat lo, sih?” tanyaku. “Mungkin karena lo nggak pernah merhatiin anak-anak SMA Satba." “Emang lo merhatiin gue?” Dia mengedikkan bahu. “Biasa aja, tuh.” “Oh." jawabku singkat lagi. “Gue jamin lo bakal suka sama gue,” “Kenapa?” “Karena gue bisa buat lo senang.” “Ge-er banget. Nggak usah mengkhayal deh,” “Iya, terserah.” “Udah deh, mending lo balik ke habitat asal lo di sana!” “Lo kira gue ini satoan?” “Bodo amat,” Dalam bahasa Cirebon arti dari 'satoan' adalah binatang. Terkadang, bahasa Cirebon jauh lebih asik dibanding bahasa lainnya. Saat itu aku langsung masuk ke dalam kelas, berharap mataku bersahabat untuk segera tidur. Aku tidak memperdulikan laki-laki yang berada di luar itu, biarkan saja dia sendirian. Toh, dia bukan anggota ku yang harus aku seret-seret masuk untuk tidur. 2. Saat aku mulai terbaring di lantai yang sudah dilapisi karpet merah jambu, tiba-tiba suara tak diundang menggema, membangunkan beberapa orang di dalam ruangan. Suara itu menimbulkan bau yang tidak sedap, membuat beberapa orang memperhatikan seseorang tersebut. Begitu lelahnya mungkin, mereka langsung tertidur kembali. Sedangkan aku tidak nyaman, akhirnya aku kembali ke luar ruangan. “Gila tuh orang, sembarangan banget kentutnya!” Aku menggerutu tak jelas di luar. Suasana malam di kampus ini benar-benar mengasyikkan karena masih ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar koridor kampus, mungkin sedang patroli jika terjadi apa-apa. Tidak hanya laki-laki saja, perempuan juga ada. Maka nya aku berani keluar dan berdiri kembali melihat suasana malam di pegunungan. Sesekali aku melihat ke lantai dua, tempat dimana anak SMA itu beristirahat. “Kayaknya dia udah tidur,” gumamku sembari menggosok telapak tangan dan diusap ke lenganku. Beberapa menit kemudian, pintunya terbuka. Seorang laki-laki dengan jaket dan celana olahraganya keluar membawa gitar. Aku menatap laki-laki itu, karena keberadaanku yang di atas dengan mudah melihat ke bawah, lantai dua lebih tepatnya. Laki-laki itu adalah orang yang beberapa menit lalu berada disini, di sampingku waktu itu. Aku terus memperhatikan laki-laki tersebut hingga akhirnya laki-laki itu pergi entah kemana. Aku mulai tersadar saat orang yang diperhatikan menghilang begitu saja. “Ke mana dia?” “Di sini.” sahut salah seseorang yang berdiri di belakang punggungku. Aku terkejut saat melihat dia ternyata ada di belakangku. Dia masih membawa gitar, dan beberapa kali dia tersenyum kepadaku. Aku hanya terdiam, aku tidak membalas senyumnya. “Masih belum tidur aja, kenapa?” “Nggak bisa tidur.” “Sini duduk,” Dia duduk di lantai agak jauh dari ruang kelas tempat istirahat organisasiku. Aku mengikutinya karena aku juga lelah harus berdiri terus-menerus. Akhirnya, kita duduk berdua di bawah, tidak ada kursi dan sebagainya, hanya lantai saja. Aku duduk bersebelahan dengan dia. "Lo mau ngapain bawa gitar?” tanyaku sejak beberapa detik saling diam. “Suka aja,” Dia memandangiku. “Kita nyanyi sama-sama, ya?” Dia mulai memainkan petikan gitar. “Eh, mau nyanyi apa? Gue nggak bisa nyanyi lho,” “Hafal lagunya Letto yang judulnya ruang rindu nggak?” Aku mengangguk. “Iya, gue hafal itu,” Aku menatap nya, “tapi, gue nggak mau nyanyi.” “Gue yang bakal nyanyi. Dengar, ya?” Perlahan dia memainkan gitarnya. Jari jemarinya mulai memetik senar gitar miliknya, membuat alunan nada indah yang se-nada dengan lagunya. Letto, Ruang Rindu. Malam itu aku bingung harus senang atau tidak, pasalnya laki-laki itu sangat menghiburku di tengah kesunyian malam. Kira-kira saat itu sudah pukul 23.30 Wib, dan kita masih dengan asik mengobrol sambil memainkan gitar, sedangkan dia bernyanyi. Aku juga tidak sempat berkenalan dengannya, karena dia tidak menyebutkan nama. Rasanya, malam itu akan menjadi kenangan dalam hidupku di tahun 2016. Dia tidak merasa bosan, meski beberapa kali aku cuek kepadanya. Dia bercerita tentang berbagai macam hal, sampai tawa mulai menghampiri setiap detik. Aku tidak tahu mengapa aku bisa semudah itu dekat dengan seseorang yang baru ku kenal. Bahkan di bilang kenal aku pun tak tahu, karena aku tidak mengetahui namanya. Dengan gaya bicaranya yang khas membuat aku merasa ingin terus berada di tempat itu bersamanya. Dia adalah lelaki SMA yang pertama kali ku kenal di tempat ini, meski sebenarnya dia bersekolah di SMA tetangga tetapi ini adalah perkenalan yang unik. Katanya, dia adalah anak PMR bagian tandu, tetapi disini dia mengikuti lomba traveling. Aku juga tidak mengerti mengapa dia mau mengikuti lomba itu, padahal dia adalah anak tandu. Dua 1. Hari ini saatnya pengumuman juara karena lomba telah selesai diadakan kemarin. Waktu pengumuman diundur pada pukul 13.00 Wib, karena peserta yang banyak dan harus dipertimbangkan lebih efektif lagi. Dan pagi ini masih ada satu mata lomba yang belum selesai yaitu traveling. Semua anggota masih setia stay di kelas, kecuali aku, Juju, dan Feli. Kami sengaja pergi untuk menikmati udara segar di pagi hari sekitar kaki gunung, agak jauh dari posisi kampus. Istilah kerennya kami pergi untuk jogging. Berjalan menikmati udara pagi tanpa alas kaki, dan kami membawa sikat gigi. Niatnya kami akan mandi sebelum jalan-jalan, tetapi kami undur karena menurut kami jalan-jalan sebelum mandi lebih mengasikkan. “Wahh.. ternyata lihat matahari terbit asik, ya? Udara di sini juga bagus, tapi dingin.” seru Feli sembari memainkan sikat gigi yang terus di pegangnya. “Camping di sini seru kali, ya. Bakal ada pengalaman baru,” serobot Juju. “Ide bagus Ju, tapi bakal jadi nggak tuh, biasanya cuma wacana doang!” Aku mulai menyambungkan obrolan sambil mencabuti rerumputan liar yang tumbuh di sekitar pinggir jalan setapak itu. Kebetulan kami sedang duduk di sana, tepatnya di pinggir sungai yang jernih dan banyak bebatuan. “Maunya sih, jadi Ran,” Juju menghela napas. “Gimana kalau acara camping nya ramai-ramai?” Aku dan Feli menatap heran. Kita memberikan isyarat kalau dia harus melanjutkan perkataannya. “Kita ajak anak SMA tetangga alias SMA Satba supaya nambah ramai, terus nanti yang bakal jadi penanggungjawab adalah ketua dan wakil masing-masing organisasi.” lanjutnya. “Tapi kita kan, nggak terlalu dekat sama mereka, Ju. Lagian emang mereka mau gabung sama kita?” “Ran, percaya deh sama gue, mereka pasti mau. Anak PMR itu harus menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan.” “Gue sih setuju sama Juju, Ran.” sahut Feli. “Pelatih?” “Udah nggak usah! Pelatih kita kan stress, jadi nggak usah bawa-bawa pelatih. Kita udah sama-sama dewasa, kan?" Aku hanya mengangguk mengerti, ada sedikit lengkungan tawa yang sengaja aku tunjukkan. Anak SMK harus bisa lebih mandiri karena pada masa itu aku dan mereka sudah bukan anak SMP lagi yang harus di jaga sana-sini. Bulan depan sudah jadwalnya bagi rapor kenaikan kelas, jadi kita sudah lebih dewasa dari kemarin. “Berarti sekarang harus ada yang bilang ke salah satu anak SMA itu,” usulku agar acara camping segera terlaksana. “Lo aja Ran, kan lo kenal sama Lisa. Nanti lo bilang ke dia, terus dia pasti bakal bilang ke anggota-anggotanya.” Aku rasa usul dari Juju lumayan juga untuk dilaksanakan. “Menurut aku itu ide yang bagus,” sahut Feli. Dia orangnya suka ikut-ikutan apa kata teman, tidak suka mengusulkan sesuatu yang berpikiran jauh dari otaknya. Jika hal-hal seperti ini, dia hanya setuju-setuju saja. “Ya udah, nanti gue bilang ke Lisa deh, abis pengumuman juara nanti siang.” “Jangan lupa dong, titip salam buat si ganteng!” “Yang ganteng banyak, lo mau yang mana? Bilang aja sama gue, nanti gue sampaikan salam.” “Yang itu tuh, si cowok putih yang suka pakai syal di jidatnya.” Aku tertawa, pada dasarnya kita memang suka bercanda. Yang dimaksud Juju dan Feli adalah lelaki yang berlesung pipit dan berkulit putih anak SMA Satba, namanya Al, Jefri Al Musyirin. Dia salah satu anak tandu yang paling ganteng di SMA Satba, menurut Feli. Tidak tahu kalau besok, pasti dia sudah berpindah ke yang lain lagi. Entahlah, aku tidak begitu suka memperhatikan seseorang sampai sedetail itu. “Fel, inget lho ada yang nunggu di sana. Jangan macam-macam sama yang lain,” ancamku. Iya, Feli sudah mempunyai pacar di Cirebon. Nama pacarnya Abi, lelaki kurus dan berkulit sawo matang. Sebelumnya, aku pernah dikenalkan oleh Feli tentang si Abi itu, maka nya aku sedikit tahu. Meski sudah memiliki pacar, Feli masih suka lirik ini-itu, apalagi kalau ada laki-laki ganteng dan keren. Feli memang mudah sekali menyukai laki-laki, tetapi dia adalah sosok perempuan setia kok, aku jamin. “Eh, tapi serius lho, anak-anak SMA cowoknya ganteng-ganteng. Nggak kayak anak SMK pada jelek-jelek dan bikin ilfeel kalau dilihat.” komentar Feli dengan logat bicaranya yang khas–tipis cempreng. “Yee... jangan salah, anak SMK lebih gentleman lho, dari pada anak SMA,” serobot Juju. Beginilah kalau sudah ngumpul dan mengobrol, selalu melenceng sana-sini sampai tak karuan alur ceritanya. “Apaan, anak SMK mah banci-banci, nggak pada romantis. Lihat deh, anak SMA, mereka tuh romantis semua, tauuk!” “Mentang-mentang pacaran sama anak SMA jadi seenaknya jelekin anak SMK. Ah, lo mah nggak seru, masa belain anak SMA!” “Biarin, lagian gue juga nyesal udah masuk SMK. Udah cowoknya banci, sekolahnya ngebosenin, pelajaran bikin pusing, praktek bikin lesu, ah banyak deh.” “Loh, kok malah nyambungnya ke sekolah, sih! Suruh siapa lo masuk SMK, udah tahu sekolahnya begitu?” “Terpaksa gara-gara Mama nih, jadi nyesal kan.” Semakin lama percakapan mereka semakin jauh topik pembicaraanya. Aku hanya mendengarkan saja, bodo amat mereka debat apa. Pikiranku masih melayang-layang akibat semalam di datangi laki-laki jangkung anak SMA itu. “Ran, lo juga sebenarnya nggak mau masuk SMK, kan? Sama aja kayak gue, nyesel deh jadinya!” Entah, mengapa tiba-tiba Feli bicara seperti itu. Aku hanya diam. “Kalau Rania nggak minat ke SMK, mana mungkin dia bisa semangat belajar pelajaran marketing yang ruwed gitu?” ujar Juju. “Udah deh, kalian pada ngomongin apa sih, nggak jelas. Mending sekarang kita kembali ke kampus, udah jam 7 nih.” Aku mulai beranjak dari duduk. “Ya udah deh, yuk?” Bisa ku lihat dari raut wajah mereka yang tengah malas untuk bangun dan meninggalkan tempat itu. Meski begitu, kami harus tetap kembali ke kampus untuk bersiap-siap dan mengikuti acara selanjutnya. Jarak sungai tadi dengan kampus tidak begitu jauh, jadi kami berjalan santai sambil menikmati pemandangan alam yang mempesona di pagi hari. Terlihat aktivitas warga yang sederhana, jalan raya yang tidak begitu ramai dan tanaman-tanaman hijau di sekeliling jalan. Sesampainya di depan gerbang kampus, aku melihat laki-laki itu sedang memainkan ponsel di bangku taman depan sendirian. Rasanya aku ingin menemuinya, namun keinginanku harus ku pendam karena aku harus mandi dan bersiap-siap. Malu juga jika aku menemui laki-laki dengan keadaan seperti ini. “Nggak usah sok kenal deh, Ran!” gumamku dalam hati. 2. Di dalam aula sangat ramai sekali akibat anak-anak PMR yang tengah berkumpul menunggu hasil pertandingan kemarin. Ada yang tengah berkumpul sambil mengobrol, berdiskusi, atau hanya sekedar memainkan ponsel mereka masing-masing. Aku berjalan mengikuti arah kakiku yang entah mau kemana, mungkin aku hanya jenuh karena waktu pengumuman yang lama. Bisa ku lihat, anggota PMR sekolahku yang tengah duduk berkumpul tanpa pelatih dan juga aku. Berjalan sambil memandangi sekeliling aula adalah cara yang ampuh menghilangkan rasa bosan. Langkahku berhenti saat melihat teman SMA yang juga anak PMR bernama Lisa, dia melihatku dan melangkah persis ke arahku. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengajukan tawaran camping bersama dengan anggota PMR ku. “Lis, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanyaku, saat Lisa sudah benar-benar ada di hadapanku. “Boleh Ran, mau nanya soal apa?” Lisa mengajakku untuk duduk di lantai aula, kebetulan semua anak juga begitu, karena aula ini tidak begitu banyak menyediakan tempat duduk. “Jadi gini, gue sama anggota PMR yang lain mau ngadain camping bareng pas liburan nanti. Rencananya, kita semua mau ngajak anak SMA Satba ikut gabung supaya lebih enak, gitu. Menurut lo gimana, Lis?” jelasku. “Hmm... gue sih, setuju aja Ran, soalnya kan itu acara yang bagus dan pas banget buat kita. Ya udah, nanti gue kasih tahu deh, sama yang lain. Kalau mereka setuju, ya gue bakal kasih tahu lo, oke?” Aku mengangguk, “Anggota cowok di sekolah lo ada berapa, Lis?” tanyaku. “Oh, cowok cuma ada empat orang.” “Ketua PMR lo siapa?” “Ketua PMR gue cowok. Tapi wakilnya cewek kok, namanya Susi.” “Susi?” Aku mengulang perkataan Lisa tadi. Kemudian Lisa menunjukkan siapa Susi, dia menunjuk ke samping pojok. Dia adalah wanita bertubuh tinggi, hitam manis, dan selalu memakai syal kuning PMR di saku celana kebangsaan PMR berwarna putih. “Tapi gue salut sama lo, karena lo bisa jadi wakil ketua PMR. Hebat,” “Apa yang lo banggain dari gue yang kayak gini?” “Nggak semua orang bisa punya jabatan tinggi di sebuah organisasi, apalagi awalnya lo nggak minat jadi anak PMR. Tapi sekarang lo pasti nggak nyangka kan, bisa jadi wakil ketua? Iya, walaupun nggak jadi ketua, tapi wakil juga membanggakan.” jelas Lisa. Sebenarnya apa yang dikatakan Lisa ada benarnya juga, aku bukan peminat ekstrakurikuler PMR. Namun, sekarang keadaan berbalik, aku jadi semakin penasaran dan semangat menjalani kegiatan ekstrakurikuler ini. “Makasih, Lis. Gue nggak nyangka ternyata gue bisa jadi pemimpin diantara mereka, padahal gue nggak punya keahlian apa-apa di bidang PMR!” Aku tertawa samar. ”Aneh ya, dulu gue ikut ekskul pencak silat dan sekarang gue malah ikut ekskul PMR. Ini bukan sesuatu yang gue pengin,” “Hidup itu harus penuh dengan pancarona, karena itu akan membuat hidup terasa lebih berharga. Gue juga awalnya nggak suka PMR, tapi lama-lama gue jadi cinta sampai sekarang. Nggak terasa lho, kita udah jadi anak PMR satu tahun.” “Oh, iya? Udah setahun ya, kita jadi anak PMR? Duh.. gue nggak nyangka, sumpah. Berarti kita kenal udah berapa lama?” “Sekitar enam bulan yang lalu deh, gue juga lupa, nih!” Kita tertawa saat itu. Aku tidak peduli dengan semua orang yang sempat memperhatikan aku dan Lisa mengobrol. Saat itu, aku hanya fokus kepada teman SMA ku yang manis itu, Lisa. Meski baru kenal beberapa bulan yang lalu, rasanya kita sudah saling mengenal lama. Sikapnya yang seperti itu membuatku merasa nyaman dan betah jika berlama-lama dengannya. Beberapa menit lagi pengumuman juara akan segera disiarkan, aku harus kembali ke tempat semula yaitu ke anggota PMR ku. Mereka tengah menunggu di aula bagian kanan, berkumpul lengkap karena sudah ada pelatih. Aku segera berjalan menuju ke arah mereka dengan cepat, karena harus mendengarkan pengumuman sejelas dan detail mungkin. Kakak panitia juga sudah memulai salam pembukaan, kemudian mengumumkan juara Lompamer untuk anak SMP terlebih dahulu. Mulai dari lomba tandu, pertolongan pertama, traveling, mading, photografy, dan lain sebagainya. Sayang, anggota PMR ku harus pulang dengan kekalahan. Kami pulang tidak membawa piala, seperti yang diharapkan sekolah dan pelatih baru itu. Rasa kecewa dan sesal menyelimuti diri kami. Meski begitu, kami harus menunjukkan kepada mereka bahwa kami adalah anggota-anggota PMR yang kuat dan pantang menyerah. Walau pulang dengan tangan kosong, bukan berarti kami sudah kalah sepenuhnya. Tidak! Masih panjang perjuangan kami untuk memajukan generasi PMR yang membanggakan. “Tetap semangat, ya. Kalian semua hebat,” sahut salah seorang laki-laki yang tiba-tiba saja ada di sebelahku. Saat itu, aku tengah berjalan membawa ibu tandu atau bambu panjang berukuran 225 cm. “Kok, lo ada di sini?” tanyaku bingung. Iya, dia adalah laki-laki yang menemuiku tadi malam. Dia yang bernyanyi untukku dan bercerita agar aku tidak merasa bosan. Dia membawa piala, nampaknya dia memenangkan perlombaan itu. Dia berhenti, aku juga ikut berhenti. “Gue tahu lo lagi kecewa karena lomba ini, tapi gue yakin kalau lo adalah pemain tandu yang baik. Tetap semangat, ya!” katanya sambil mengangkat tangannya yang dia kepal, menunjukkan rasa semangat yang antusias. Aku mengangguk, “Thanks ya, gue bakal tetap semangat kok,” Dia tersenyum kepadaku, entah mengapa rasanya aku seperti di hipnotis, terdiam memandanginya. Dia laki-laki yang terlihat akrab dengan siapa saja, tubuhnya tinggi, memiliki badan ideal, kulit sawo matang, dan hidungnya mancung bagaikan keturunan Arab. Senyumnya yang manis membuatku terdiam sejenak, menatap dengan jelas wajahnya. “Sampai ketemu lagi, ya? Gue harus balik ke sana,” “Iya,” jawabku singkat. Entah mengapa aku masih memandanginya berjalan menjauhiku, melangkah ke arah parkiran mobil sebelah kiri. “Woy, cepat tuh udah di tungguin. Malah melamun di sini,” seru Feli yang tiba-tiba datang menghampiriku. “Oh, iya, yuk!” Beruntung, dia tidak memergokiku saat memperhatikan anak SMA itu berjalan. Aku segera pergi dan meninggalkan kampus ini menggunakan mobil yang sudah disediakan sekolah untuk menjemput anak PMR yang sedang berlomba. 3. Di perjalanan kami saling menukar cerita seperti biasanya, tentang apapun pasti cerita, karena kami sudah seperti keluarga. Ingin rasanya aku bercerita tentang si lelaki jangkung itu kepada mereka, namun aku merasa tidak percaya diri, aku takut mereka salah faham. Tak lama dari itu, ponselku bergetar karena mendapatkan pesan dari BBM, sebuah aplikasi yang biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Segera ku buka pesan tersebut, aku harus membacanya dengan jelas. Hati-hati di jalan, Ran. Salam kenal, Yasa:) Aku mengernyit, apa maksudnya orang ini? Dia mengenalku, sedangkan aku tidak mengenalinya. Aku tidak membalas pesannya. Biarkan saja. “Ran, tadi lo udah ngomong belum ke Lisa soal rencana kita?” tanya Juju tiba-tiba. “Udah kok, Ju. Katanya, nanti kalau mereka setuju, Lisa bakal kasih tahu gue. Tenang aja, semua pasti berjalan mulus sesuai rencana.” “Lo yakin anak SMA itu bakal setuju?” tanya Feli. “Gue sih nggak terlalu yakin, tapi positif thinking aja.” Aku tidak tahu kenapa aku bisa semangat akan rencana camping bersama anak PMR dari SMA itu. Mungkin karena aku ingin menambah wawasan dan memperbanyak teman, atau ada hal yang lainnya. “Kalian ada-ada aja deh, pakai acara camping segala! Kenapa nggak jalan-jalan aja ke puncak, kan lebih seru,” komentar Afifa yang juga anggota PMR ku. Dia salah satu anggota yang suka bolos hadir dalam setiap acara. Dia akan hadir jika sahabat dekatnya sejak SMP ikut hadir, namanya Windy. “Makan-makan aja,” “Renang aja,” “Jangan, lebih baik mendaki gunung!” "Makan-makan aja!" “Shoping aja, shoping,” Begitulah komentar para anak PMR yang begitu antusias jika diadakan event-event baru. “Iya, mending jalan-jalan dari pada camping!” serobot Windy. Bisa ku tebak, mereka memang selalu ingin terlihat kompak dalam hal apapun. Aku sih, sudah terbiasa dengan sikap mereka yang seperti kekanak-kanakan. “Jangan Win, mending makan-makan aja yang enak dan mengenyangkan.” Inilah komentar si Tita yang sebenarnya tidak terlalu suka makan, dia memang suka bercanda. “Gue, Juju, sama Feli, udah rencanain ini matang-matang. Dan gue yakin, acara ini akan lebih seru dari pada jalan-jalan kayak yang kalian maksud.” Aku menegaskan mereka bahwa acara yang aku, Juju, dan Feli ini akan lebih bermanfaat untuk anak PMR. “Acara ini itu bagus, bisa menambah wawasan kita dan kita bisa lebih dekat dengan alam. Emangnya kalian nggak suka alam, ya?” Sebenarnya aku agak kesal kepada mereka, ingin rasanya marah-marah, mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam hati. Namun, aku harus dapat menahan karena aku dan Juju telah mempersiapkan waktu yang tepat untuk menyidang anak-anak PMR. Organisasi ini harus benar-benar hidup, memiliki aturan yang harus di taati dan tidak dilanggar oleh para anggota-anggotanya. “Kalian kan, udah pada dewasa, kakak percaya kok sama kalian. Acara camping itu bagus lho,” sahut Kak Yuyun. Dia adalah kakak senior kelas 11 dan akan menginjak ke kelas 12. Mungkin ini adalah hari terakhir bagi kakak senior bergabung dalam event PMR. “Ya udah, kita setuju deh, sama ide mereka.” ucap Windy pasrah. “Jangan ada masalah antara kita. Toh, kalian udah tahu kan, kalau kita itu satu anggota, satu keluarga organisasi, jadi nggak usah nyimpan dendam atau amarah di belakang!” Ini nih, yang paling aku takutin saat Kak Yuyun bicara, sudah seperti marah-marah walaupun niatnya baik. Nada bicaranya yang tinggi membuat semua anggota terdiam, hanya memandang wajahnya dan berusaha mengerti dengan apa yang ia sampaikan. Seperti Afifa dan Windy, mereka terdiam mematung saat Kak Yuyun mulai angkat bicara. Semua anggota hanya bisa mengangguk dan berkata, "Iya." untuk memastikan bahwa kami mengerti. Meski terkesan galak, Kak Yuyun adalah tipe wanita yang humoris dan murah senyum. Dia marah jika ada sesuatu yang membuat hatinya tak enak, seperti coletehan anak-anak PMR tadi. “Semua demi kalian, keluargaku, keluarga kecil kebanggaanku, PMR.” - Rania - Description: -Red Cross Generation- Bagaimana rasanya menyukai sesuatu yang tak pernah kita harapkan sama sekali? Bagaimana rasa nya menjadi bagian dari relawan muda berprestasi? Jika kalian menjadi bagian dari mereka, apakah kalian akan bertahan hingga nanti? Sepanjang masih di bumi, ataukah hanya sebatas menetap kemudian pergi? Ini adalah kisah seorang remaja SMK yang mencoba untuk masuk ke dalam sebuah Organisasi Kepalangmerahan, yang dianggap buruk dan tidak menghasilkan apapun. Jika kalian berpikir anak PMR tidak berprestasi, tidak berguna, atau membosankan, kalian salah besar. Disini terdapat banyak cerita tawa hingga tangisnya para relawan ketika menghadapi suatu masalah. Namun, hal tersebut justru bercabang hingga membuat seseorang bingung. Cinta yang datang dengan tiba-tiba membuat para remaja menjadi lalai? Ataukah justru sebaliknya? Ini kisah mereka, yang dimulai dengan berbagai ketidaksengajaan. Nama : Sri Wulandari Intagram @wulaaan25 Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka2019
Title: Replaced Category: Science Fiction Text: Prologue Awalnya Horace adalah kota menakjubkan dengan tatanan modern dan penampakan yang indah. Kota gemilang sepanjang tahun di bawah siraman sinar matahari yang tidak terlalu terik, kota mewah dalam balutan salju, atau hujan musim panas yang sejuk. Tidak lupa taburan warna-warni bunga di musim semi, pun dedaunan menguning yang merebak indah di sepanjang jalanan musim gugur. Tapi itu dulu sekali, saat Auryn baru bisa menerbangkan pesawat kertas pertamanya bersama sang tetangga--Frank yang hidungnya memerah dan ingusan. Dulu sekali saat gadis itu baru memasuki sekolah dasar di umurnya yang ke lima. Sekarang rasanya Horace hanya serupa dengan bilik sepi yang sangat luas. Beberapa tahun lalu , tepatnya saat Auryn berusia sembilan tahun dengan cara yang paling mengejutkan, sebuah virus langka menyerang salah satu keluarga pemburu di pinggiran kota. Virus itu awalnya hanya seperti virus influenza biasa, namun setelah dua minggu terjangkit si pemburu ditemukan mengejang dan suhu tubuhnya luar biasa panas. Beberapa orang menolongnya dengan panik, mencoba memanggil medis, dan ada pula yang memandang saja, takut terjangkit pula. Dari sanalah , kedamaian Horace terusik. Walikota Horace mulai mengumumkan penemuan virus berbahaya yang dinamai Folkbreak, di mana virus tersebut telah menjangkiti beberapa warga di pinggiran kota. Parahnya, yang terjangkit tidak melulu berakhir pada kematian. Jika kau tetap hidup dalam dua minggu penularan, maka fungsi tubuhmu akan dirusak perlahan. Kau tidak mati tapi kendalimu akan mati. Orang bilang rasanya lebih menyakitkan dari apapapun. Maka walikota menetapkan peraturan , sebelum ada vaksin para penderita akan langsung dibawa dan diisolasi jika tak kunjung pulih dalam dua minggu setelah dinyatakan positif virus. Itu demi keamanan dan kesehatan yang lainnya. Namun nyatanya setelah satu dekade usai penemuan virus itu. Korban justru semakin banyak, sebab para warga yang takut diisolasi malah sembunyi tak ingin diperiksa apalagi diobati, pun meski pemderita telah mati virus masih bisa menyebar, dan berakibat pada populasi manusia yang mulai digantikan dengan robot dan humanoid. Benar saja, Horace semakin sunyi setiap detiknya. Mungkin tak banyak juga yang mereka tarik dalam isolasi atau langsung mati karena virus, tapi Ryn menyadari bahwa orang-orang tak akan pernah keluar dan berkeliling kota seperti dulu. Seluruhnya dikerjakan di rumah , dan di balik jendela kaca rumahnya sepasang iris itu bisa menangkap pergerakan para petugas pemerintahan yang mengendarai kapsul steril untuk menyalurkan kebutuhan para penduduk. Juga beberapa robot asisten yang saat ini jumlahnya bertambah pesat menggantikan kinerja para manusia. Tentu saja, susunan besi pintar itu sangat efektif dan yang terpenting tak akan terkena virus walau tanpa pengaman apapun. "Ryn, makan siang sudah siap." suara kaku itu menyahut dari balik punggung si gadis. "Baiklah , ayo temani aku makan!" balas Auryn. Mereka pun duduk berhadapan di ruang makan. Auryn bisa melihat semangkuk penuh nasi panas dengan asap yang masih mengepul, seipiring lauk-lauk kering, dan semangkuk sup yang entah apa saja di dalamnya, juga segelas air lemon kesukaanya. "Terima kasih Hugo." ujarnya kepada sosok di depannya. Seseorang yang telah delapan tahun belakangan menemaninya di rumah, semenjak kedua orang tuanya ditarik ke kantor penelitian pusat untuk bekerja di sana selama waktu yang tak dapat ditentukan. Sebagai gantinya pemerintah memberikan pria di hadapannya ini berperan sebagai pengasuh, pengawal, pelayan, dan terkadang pula teman untuk sang gadis. Tidak bisa disebut pria juga sih, maksudnya fisiknya memang seperti pria, bahkan pria sempurna yang sangat tampan. Tapi, dia hanyalah humanoid. Kerangka besi yang dibalut lapisan kulit sintetik yang saking sempurnanya sampai-sampai manusia pun kalah menawan dari design si pria robot satu itu. Namanya Hugo, Auryn sendiri yang memberikan nama itu padanya. "Terkadang rasanya aneh, saat aku menghabiskan makanan dan kau hanya akan menatapku dengan raut kaku itu." keluh Ryn di sela makannya. "Aku tidak makan nasi, Ryn." "Aku tau, makanya itu aneh. Jujur saja, melihat keadaanya yang begini aku malah jadi takut." "Ada yang mengancam? Katakan, aku harus mengtasinya." "Bukan, bukan seperti itu. Maksudku sepertinya humanoid sepertimu akan lebih bagus 'kan dibanding manusia? Kau tidak memerlukan bahan pangan, hanya perlu listrik yang itu pun bisa kau olah kembali, juga kau tak ada masalah dalam kecerdasan pun imunitas yang tinggi. Bahkan bisa saja kau ini immortal, kau merawatku sejak masih kanak-kanak, sekarang aku jadi gadis dewasa, dan kau tetap saja rupamu begitu." "Maaf, Ryn. Kau membicarakan hal di luar sistem. Aku tidak bisa menjawabnya." Auryn menghembuskan napas pelan, memilih melanjutkan makan sebab tak punya kata lagi untuk menyambung percakapan dengan Hugo. Sementara, si humanoid duduk tegap sembari menatap tuannya dengan senyum yang tetap kaku meski ribuan kali dilatih dalam tiga tahun terakhir. *** Jauh di pusat pemerintahan kota para peneliti mengembangkan suatu program pemulihan yang dijanjikan sang walikota akan selesai akhir tahun ini. Pemerintah kota sempat mengumumkan tentang human revolution yang diduga masyarakat adalah program pemulihan dengan penemuan vaksin untuk folkbreak virus dan rencana penataan ulang kota beserta penghuninya hingga kembali normal seperti sedia kala. Namun, tak ada yang tahu pasti akan apa yang dilakukan orang-orang di balik sistem pemerintahan. Penduduk Horace hanya menginginkan satu hal, yaitu kembali normal dan hidup tanpa ketakutan. Begitu pula keinginan para rakyat pinggiran kota yang sudah terabaikan. Mereka yang tinggal di perbatasan dekat dengan hutan di mana banyak makhluk buas, pun tempat pembuangan jasad korban terjangkit dan percobaan pemerintah yang gagal. Sisi yang paling jarang dikunjungi di Horace. Namun di sanalah beberapa orang tersisih tinggal, sebuah kelompok kecil dari keluarga-keluarga pemburu yang diusir karena dianggap penyebar wabah. dan beberapa orang yang melarikan diri saat pemeriksaan pemerintah, juga orang-orang yang ditinggalkan keluarganya. Mereka disebut kaum Node, kelompok yang terputus dari pemerintah dan hidup dengan mengandalkan satu sama lain. "Je, kupastikan kali ini kita mendapat banyak makanan dan mungkin barang bagus lainnya." "Diamlah! cepat kerjakan bagianmu, atau suaramu itu justru akan membangunkan para penjaga bodoh itu." "Tenang, Je! Orang-orang itu akan tidur lebih lama. Aku tak pernah meragukan kemampuan Lena dalam meracik obat tidur. Sudah berbulan-bulan kita menyusun rencana dan mencari tempat ini, jadi hari ini aku akan mencuri dengan rajin dan mengumpulkan banyak benda." "Konyol! Kemari sebentar, Zack! Bantu aku menahan talinya! Aku akan turun dan mematikan generator di bawah sana." Dua orang pemuda sedang berada di ruang kendali listrik bagian utara Kota Horace. Mereka adalah bagian dari Node, yang pertama kalinya ingin berbuat nekat dengan mematikan listrik Horace bagian utara untuk dapat menyelinap dan mencuri beberapa persediaan makanan. Sebenarnya mereka tak kekurangan makanan sebab ahli dalam berburu dan bercocok tanam di pinggiran kota. Namun, setidaknya sekali seumur hidup Jean dan Zack ingin memberi pelajaran pada orang-orang kota yang sok sehat dan higienis. "Oke, tarik aku! Mari kita berburu makanan sehat!" Description: Horace dulunya damai dalam segala musim yang burgulir tenang. Namun setelah kejadian menggemparkan di perbatasan kota, virus bernama Folkbreak telah mengubah Horace serupa bilik sunyi yang luas. Auryn Carter , seorang gadis yang menghabiskan satu dekade di balik pagar rumah bersama Hugo, seonggok humanoid yang teramat sempurna. Suatu hari, ia yang hanya bisa menyaksikan keruntuhan Horace dari waktu ke waktu berkesempatan untuk menembus keluar pagar yang mengurungnya. Hingga ia bertemu Jean, si penelusur jalan terakhir yaitu, keluar dari Horace. . . . "Aku akan pergi, Hugo. Jika bukan untuk mengubah keadaan, setidaknya aku ingin kebebasan." . . "Aku selalu bersamamu, Ryn." . . "Di balik gerbang Horace, aku yakin di sana ada harapan sebelum kita semua tergantikan."
Title: rahasia doa Category: Cerita Pendek Text: Doaku Mungkin ini hanya sebuah lelucon, atau hanya sebatas khayalan. Mereka semua tidak ada yang mau percaya tentang ceritaku. Semua mimpi yang pernah aku lalui serta firasat itu. Mereka menganggap semua itu hanya omong kosong. Sakitkan, banget kalou boleh jujur. Hanya segelintir dari mereka yang mau mendengarkan ceritaku. Aku pun tak yakin apa mereka semua tulus mendengarkannya. Atau mereka sebenarnya kasian padaku. Entahlah, aku tak peduli. Setidaknya ada manusia yang mau mendengarkan ceritaku. ''Tau tidak dia datang lagi.'' kataku penuh antusias ''Dia lagi, bawa apa dia? '' jawabnya santai. Kini lawan bicaraku terlihat mulai menggampangkan omonganku. Responnya pun kini berbeda tidak seperti dulu. ''Iya,'' kini diriku yang mulai tidak enak dengan sikapnya.''tapi dia tidak bawa apa-apa." jawabku lirih Terlihat dari sudut bibirnya yang trsenyum kecil. Lebih tepatnya mengejek. ''Sudahlah, lupakan D-ia'' Kini ucapnnya tidak main-main, dalam melafalkan kalimat D-ia pun sedikit ada penekanan. Aku dibuat sedikit kaget ketika dia bicara seperti itu, apa mungkin dia termasuk manusia yang bosan dengan ceritaku. ''Kamu tidak tahu Dia.'' protesku Kini diriku yang terbawa emosi, orang yang selama ini aku kenal telah berubah. ''Emang kamu tahu dia? '' tanyanya Balik Diriku pun tidak berkutik saat pertanyaan itu terlontar. Bagaimana aku mengenal D-ia. Sedangkan aku pun tak tahu siapa D-ia. Melihat wajahnya pun aku tidak pernah. Dengan perasan sedikit hancur, kutundukan kepala ini. Hanya beberapa isyarat gelengan kepala aku tujukan padanya. ''Sudahlah An, lupakan manusia yang tak berwujud itu, halusinasimu terlalu liar. '' Aku tak mengerti dengan kalimat yang di katakan sahabat terbaikku ini. Dia adalah orang yang pertama percaya dengan ceritaku ini. Dia juga yang mengamini setiap harapanku tentang sosok D-ia. Sekarang berubah, apa dia bosan. Ku pandangi lekat wajahnya, tidak ada yang berubah.kenapa kini berbeda. Hatiku bertanya-tanya. ''Kenapa kamu berubah? '' tanyaku lirih Tidak ada jawaban, kini aku melihat wajahnya sedikit geram entah marah atau kesal. ''aku tidak berubah An. A-ku hanya kasian padamu. Ingat kamu bermimpi bertemu D-ia, entah D-ia siapa yang tak berwujud. Terus, kamu berharap si D-ia akan datang menjemputmu atau bagaimana.'' jawabnya kesal Aku melihat kemarahan darinya, lagi-lagi dalam menyebutkan kata D-ia pun sedikit ada penekanan. ''Kamu benar, aku harus melupakan dia.'' Kini aku yang sedikit tidak percaya dengan ceritaku sendiri. Tanganya yang halus menepuk pundakku. mungkin ini hanya bahasa untuk menguatkan diriku. ''Gitu donk, saatnya kamu melihat dunia nyata An, bukan dunia khayalanmu itu. '' Diriku hanya bisa tersenyum getir mendengar ucapannya. Maksudnya apa dengan dunia khayalan, jadi selama ini dia hanya menyakini dan mengamini setiap ceritaku. Hanya bohong, aish! Sama aja dia sama mereka. Hanya kasian padaku. ''Terimakasih Asih yang mau mendengarkan ceritaku selama ini.'' Asih hanya menjawab dengan senyumnya. ''Sudah sore Asih, aku harus pulang.'' pintaku ''Hati-hati An'' Langkah gontaiku mulai menjauh dari sosoknya. Yang sejak tadi menemaniku bercerita. Di sepanjang jalan diriku hanya bisa diam membisu, meresapi kata-kata Asih yang sedikit menyakitkan itu. -------- Malam beranjak naik, hanya suara binatang aneh yang masih terdengar. Sunyi, hawa dingin sisa hujan menjelang isya pun masih terasa. ''Apa aku harus melupakanmu? '' kini diriku di landa kebimbangan, rasa kantuk pun terkalahkan oleh kecemasan. ''Astagefirulloh,'' pekiku tiba-tiba Kulihat jam dinding yang bertengger, pukul 11.49. Diriku teringat sesuatu. ''Aku belum shalat isya.'' Aku bergegas berlari kecil dan mengambil air wudhu. Rasa dingin air sumur membuatku sedikit lega. Kubentangkang sajadah lusuh bekas punya ibuku. Dengan khidmat aku menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, shalat empat rakaat. Di akhir beribadah, aku memohon kepada -Nya. Tentang semua ini, kucurahkan semua kegelisahan yang berkecamuk akhir-akhir ini. Dari Asih yang berubah, dari si D-ia yang selalu menemuiku dalam mimpi. Entahlah aku tak tau, tiba-tiba aku sudah tak berdaya melawan rasa kantukku. Hari-hari berikutnya, aku mulai menghindari Asih. Apa dia mencariku. Atau dia mengkhawatirkan aku.tapi itu tidak mungkin, sampai saat ini Asih tak terlihat menemuiku. Sekarang aku mulai terbiasa tidak bercerita tentang D-ia kepada siapa pun termasuk sahabatku Asih. Mereka tidak percaya, ujung-ujungnya kalimat menyakitkan yang aku dapat. Tapi semenjak aku bercerita kepada Sang Maha Pencipta, ada kedamaian yang ku rasakan, kini diriku terhindar dari rasa kecewa. Setiap habis beribadah, diriku tak lupa selalu bercerita tentang D-ia padaNya. Cerita apapun juga, Tuhan selalu mendengarkan ceritaku. Dan aku mulai nyaman dengan kondisi seperti ini. Hari berganti dengan hari, mimpi tentang D-ia pun sekarang jarang kualami. Tapi kadang -kadang masih muncul menemuiku. Asih pun belum terlihat batang hidungnya semenjak percakapan kemarin. Kelihatannya dia juga tidak peduli denganku atau ia sibuk. ''Mbak, mbak '' Sebuah suara memanggilku, mataku terus menyusuri sumber suara.sedikit kualahan aku mencarinya. Penglihatanku terhalangi oleh tumbuhan mawar, yang tumbuh rapat di halaman rumah. Tak beberapa lama, muncullah sesosok laki -laki tinggi. Berkulit kuning langsat. Dengan kaos putih oblong di padu celana jins. Serta tas ransel terselempang di pundak kirinya. Sedikit lama aku memandanginya. ''Anda siapa? '' ''Kamu Ana kan. '' jawabnya spontan ''Iya, betul. '' Kini wajahnya terlihat senyum mengembang dari sudut bibirnya. ''Aku Langit An, '' Hatiku tercekat, nama itu. Dari namanya aku teringat teman sekolahku dulu, tapi dulu dia kucel dekil. Kini sosoknya berubah. ''Langit, '' jawabku ''Ya, ya betul '' Aku tak menyangka kini bertemu dengan lelaki itu, wajahnya berubah. Lebih bersih dan rapi. Sangat berbeda dari yang dulu. Sudahlah pikiranku kacau kemana-mana. Dari sini aku tau langit baru saja pulang dari kota, dan dia memang sengaja mampir menemuiku. Semenjak dia berdendang kerumahku, langit lebih sering menemuiku. Kadang -kadang ia tak segan membawakan oleh -oleh untuk kedua orang tuaku. Sebuah martabak manis. Pada suatu malam, Langit terlihat berbicara serius pada Bapakku. Sesekali anggukan kecil terlihat dari wajah lelaki paruh baya yang selalu aku hormati. Aku yang berada di dapur merasa was -was, wajahku sengaja kudongakan menjulur keluar. Ingin rasanya mengetahui apa yang di bicarakan mereka berdua. Selang beberapa menit, Langit mohon pamit dengan Bapak, rasa jengkel menyeruak dalam hatiku. Kesal, bisa jadi. Kenapa Langit tak menemuiku dulu. ''An'' Bapak memanggilku. Kubergegas menemui beliau, ''Ada apa Pak? '' ''Sini duduk sini. '' Bapak mempersilahkan diriku untuk duduk di sampingnya Dengan hati -hati bapak mulai bercerita mengenai Langit. Awalnya aku sedikit takut, kesalahan apa lagi yang di buat lelaki itu. ''Ada apa Pak? '' Akhirnya bapak mulai bercerita, kalau Langit kesini ingin melamar anak bapak satu -satunya. Yaitu aku, ''lamar '' Sebuah kalimat yang tak pernah terduga. Hatiku tidak tahu apa ini semua. Senang atau biasa, tidak diriku merasakan bahagia yang sangat luar biasa. Bapak menyerahkan semua padaku, termasuk maksud Langit hari ini. Beliau tidak memaksa. Semua keputusan di kembalikan padaku. Di atas sajadah ya Robb Apa ini jawaban dari doa -doaku Apakah Langit yang kau kirimkan untuku Apa dia, jawaban dari semua mimpiku D-ia apakah Langit Oh ya Robb Kau tak pernah mengecewakan hambamu ini. Aku hanya terisak, menahan tangis bahagia. Description: Ketika semua tak bisa di lalukan, hanya ke pasarahan dalam penantian panjang Gambar :internet
Title: RATU SEJAGAT Category: Novel Text: Hari yang…[mungkin] Menyenangkan “Disiarkan langsung dari pelataran Candi Burubudur. Inilah MISS DIVA INDONESIA 2013!” layar televisi pun memutar logo Miss Diva Indonesia yang berupa perempuan bergaun panjang dengan mahkota megah yang semuanya berlapis warna emas. Panggung yang sebelumnya gelap seketika dipenuhi cahaya, kuning, biru, merah dan banyak warna lainnya. Sehingga lantai yang mengkilap dengan banyak dekorasi khas keraton Solo pun terlihat jelas. Efek asap tidak ketinggalan memenuhi langit dibelakang panggung yang tepat berada di depan kemegahan candi dari abad ke delapan itu. Asap pun membumbung tinggi menerobos cahaya-cahaya lampu sorot, perlahan-lahan begitu angin kencang meniup, asap pun mulai menipis, lalu menghilang. Tidak ketinggalan kembang api pada tepi-tepi panggung meluncur deras membentuk aliran seperti air mancur. Gemerisik dan bau terbakar pun menyeruak. Begitu suara Katy Perry menyanyikan lagu Firework dengan lembut di iringan gamelan, para perempuan cantik dari Sabang hingga Merauke mulai memasuki panggung membawa lampion warna-warni dengan gaun indah kreasi perancang terkenal; Venus yang dipenuhi payet-payet dari bebatuan nusantara yang begitu tersorot lampu, memendar berkilauan.Saat semua perempuan dari seluruh perwakilan provinsi sudah berada di panggung, Kety Perry mengubah suaranya menjadi lebih power full dan bernada panjang. Beat musik yang pelan perlahan-lahan berubah dengan ditambah bunyi-bunyian elektrik yang dimainkan seorang female DJ dikiri panggung tepat di tiruan menara Sangga Buwana yang berdiri menjulang tinggi hampir menyerupai aslinya di keraton Solo. Tepat disaat hentakan beat dan kembang api ditepi panggung menghentak, lampion-lampion itu dilepaskan ke langit menyusul efek asap-asap yang kembali diluncurkan. Lagu Firework pun kembali ke tempo aslinya yang cepat dengan musik yang sudah diubah lebih elektrik dan dipenuhi dentuman-dentuman beat yang mengiringi tarian ke-34 perwakilan provinsi di Indonesia. Tepuk tangan seketika bergemuruh, sesekali jeritan, sesekali teriakan dan kadang suitan panjang. Gemuruh sendiri semakin menjadi begitu stand mic tiba-tiba muncul berderet lima buah ditengah panggung. Beberapa perempuan mendekati stand mic lalu mulai meneriakan nama, usia dan provinsi asal dengan penuh percaya diri. Dengan candi Borobudur disorot video maping memunculkan para konstestan yang tengah menggunakan tradisional costume hasil kreasi designer-designer daerah. Begitu seluruh kontestan selesai memperkenalkan diri, mereka kembali menari dengan lebih energik dibandingkan sebelum-sebelumnya, hingga akhirnya kembang api tidak hanya muncul dari tepi panggung tapi juga meluncur ke langit membuat aroma kembang api terbakar menyeruak tajam di sekitaran pelataran itu. Dentuman beat pun berhenti tepat disaat para perempuan perwakilan dari seluruh wilayah Indonesia berpose bak supermodel. Fierce, bold, strong dan penuh percaya diri. “Sekarang sambutlah, Miss Diva Indonesia 2012!” suara pembawa acara lagi. Sebuah kereta kencana dengan corak bunga-bunga berwarna emas khas kereta para putri keraton Solo meluncur dengan ditarik dua ekor kuda dari kanan panggung secara perlahan diiringi denting gamelan. Kereta baru berhenti saat tepat di tengah panggung. Pintu kereta dengan pegangan berwarna emas pun dibuka oleh seorang laki-laki tinggi dengan menggunakan baju prajurit kerajaan Solo; bertopi tinggi, baju hitam dan kain jarik dipadukan dengan sepatu bot tinggi. Lampu terang pun disorotkan ke arah kereta kencana yang perlahan-lahan mulai menunjukan dalam kereta yang berlapis kain keemasan dengan Miss Diva Indonesia 2012 di dalamnya. Begitu pintu terbuka sempurna, laki-laki berpakaian kerajaan Solo itu pun mempersilahkan untuk turun. Namun, Miss Diva Indonesia 2012 tidak juga memunculkan diri di depan pintu membuat kameramen, penata cahaya dan pembawa acara menunggu. Para penonton sendiri yang ingin melihat kecantikan dan gaun indah yang dikenakan hasil perancang kebaya terkenal Titi Avanie, mulai menengok kekanan-kiri sambil berbisik-bisik. Mana? Laki-laki itu pun terpaksa melongok ke dalam kereta dan mendapati Miss Diva Indonesia 2012 tengah kebingungan. “Buruan keluar,” bisik laki-laki itu mulai panik. Hampir semua mata menuju ke arahnya penuh tanda tanya. Sehingga titik-titik keringat dingin pun mulai membasahi seiring detak jantung mulai terpacu kencang mengalahkan gemuruh music yang masih terus mengalun. “Eh…iya,iya.” Mulai memunculkan kepala dengan bingung, cahaya terang pun semakin diarahkan sehingga menyilaukan mata, membuat samar, hanya bayangan. “Ya, inilah Miss Diva Indonesia!” kata pembawa acara lagi agar suasana tidak semakin kaku. Musik orchestra berpadu dengan gamelan kembali mengalun mengiringi, seiring tubuh miss Diva terlihat semakin penuh memijak panggung ditengah benderangnya cahaya. Orang-orang pun bertepuk tangan dan mulai berteriak-teriak memanggil-manggil, menjerit-jerit. Semua kamera pun mulai menajamkan lensa, memfokuskan ke sosok yang akan menyerahkan mahkota ke penerusnya malam ini. Sementara itu pembawa acara terlihat memicingkan mata membaca kertas yang ada ditangan, bertanya lirih melalui microfone kecil yang menempel dibaju untuk berkomunikasi dengan kordinator acara. Perlahan kepala itu menggeleng-geleng tidak percaya, namun dikertas tidak ada yang salah saat dikonfirmasikan. “SRI ATUN!” kata pembawa acara gemetaran antara yakin dan tidak seiring pendaran cahaya mulai memudar menyorot Miss Diva Indonesia 2012 yang tengah melambai-lambaikan tangannya kaku akibat dipaksa laki-laki berbaju prajurit kerajaan Solo dibelakangnya. Seketika suara musik berhenti, tepuk tangan terhenti, bahkan untuk sekian detik setiap orang menahan nafas. Seolah waktu terhenti sekian detik dan bumi berhenti berputar. Tidak ada kebaya grande kreasi Titi Avanie yang biasa menseponsori, tidak ada sepatu mahal Java Laundry, tidak ada make-up cantik Roar professional make-up artist. Yang ada hanya Sri Atun, bercelana jeant longgar, t-shirt hitam, celemek café Kappa dan sneaker yang mulai pudar warnanya. “Jalan ke depan!” bisik laki-laki berbaju prajurit kerajaan Solo itu lagi. Sri melirik sebentar untuk meyakinkan meski lebih tepatnya ingin mundur namun sorot mata itu terlalu galak untuk ditolak, kemudian perlahan maju menuju anak tangga untuk bergabung dengan para kontestan yang tengah berdiri, mematung bingung antara bertepuk tangan atau tetap diam seiring derap suara sneaker menjilati panggung memecahkan kesunyian. Sri sendiri tidak paham ini dimana, sedang apa. Hanya bisa menuruti untuk terus berjalan sembari menggigit bibir merasakan detak jantung yang mendadak tidak karuan. Ditambah semua lampu-lampu yang menyorot semakin membuat hawa terasa panas menyentuh kulit membuat tiap-tiap titik keringat semakin cepat membentuk kumpulan besar dan meluncur kemudian. Belum lagi silau sehingga semua warna perlahan memudar menciptakan rasa sakit yang menusuk kornea mata, hingga akhirnya semua warna benar-benar hilang berganti menjadi putih. Pada saat itu juga panik mulai menjalari yang akibatnya saat menginjak tangga, kaki terpleset dan tubuh itu pun oleng lalu melayang hingga akhirnya jatuh mendarat dilantai menciptakan bunyi berdebum keras. Rasa perih dan panas seketika menjalari kulit, namun lebih menakutkan lagi saat warna kembali mampu terserap mata dan syaraf telinga mampu menangkap suara dengan jernih. Suara tawa, sorot mata merendahkan dan tepuk tangan mentertawakan lebih mengerikan dibanding rasa perih dan panas yang menjalari kulit. Sri pun menutup telinga, mencoba memejamkan mata, namun suara tawa, sorot mata merendahkannya justru semakin kuat seperti berputar-putar didalam kepala. “TOLONG!” teriak Sri berulang-ulang. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu. “Bangun, udah siang. Masih mimpi aja. Kerja. Biar bisa bayar kontrakannya tepat waktu!” suara mpok Piah galak. Sri pun membuka matanya, dihadapannya tidak ada lagi puluhan orang tertawa, kereta kuda, laki-laki berbaju prajurit kraton yang suka menyuruh atau pun para kontestan. Yang ada hanya cahaya terang dari sinar matahari yang menusuk masuk melalui celah-celah lubang di dinding yang jatuh tepat mengenai mata. “Untunglah Cuma mimpi,” keluh Sri bergeser menghindari sinar matahari agar matanya bisa menangkap warna. Namun, rasa perih dan panas dikulit kembali terasa persis seperti dimimpi. Bahkan dua kali lipat lebih kuat rasanya. Saat itulah Sri baru tersadar jika dirinya tergeletak dilantai, bukan lagi ditempat tidur. Jadi tadi itu mimpi ya? Kok cowok yang menyuruh keluar dari kereta mirip si Dody anaknya pak Guru Beny, teman di SD dulu yang sering sekali digosipkan pacaran dengan Sri. Pacaran dari mana coba. Sri saja tidak tahu cinta. Cuma tahu si Dody itu baik dan manis. Jadi senang dekat-dekat dengan dia. Senang sih, dimimpi bisa melihat dia lagi meski tidak tahu sekarang seperti apa. Meski rasanya badan ngilu. Ini sudah kesekian kali bangun-bangun sudah dilantai. Sepertinya memang ide yang buruk menggunakan ranjang. Lebih baik langsung gelar dilantai saja. Namun, kata mamak di berbahaya. Bisa terkena penyakit paru-paru karena lembab. Jadi mau tidak mau, harus nurut dari pada capek mendengarkan omelan setiap ditelpon jika tidak dituruti. Karena masih ngantuk dan rasa malas masih begitu besar meskipun untuk pindah ke ranjang, tangan pun terpaksa digunakan sebagai bantal. Untuk beberapa saat meski ruangan itu kecil, dengan separuh ruangan permanen dan separuh lain berlapis triplek. Kamar ini adalah yang terbaik dari semua ruangan yang pernah ditempati. Sebelum akhirnya sebuah telpon masuk membuat meja kecil berderit-derit terkena getaran handphone membuat bingkai foto bersama Agus kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atas meja. "Kamu sudah gajian? Mamak ditagih utang lagi tadi, kalau sudah ada tolong kirim dulu buat bayar utang sebelum bunganya semakin besar," begitu suara mamak penuh kekuatiran dan ketakutan. "Belum, nanti kalau sudah Sri tranfer." "Adikmu juga minta motor, katanya diledeki temen-temennya. Terus enggak mau sekolah." "Iya, nanti kalau ada duit." Sri menarik menarif nafas dalam-dalam memendangi apapun yang kira-kira bisa membuat nafasnya kembali terasa lega sekalipun itu adalah bebek-bebek peliharaan mpok Piah yang suka berkeliaran seenaknya keluar dari kandang melalui jendela kamarnya. Untuk hidup saja sudah susah. Masih saja mau barang mewah. Tapi siapa juga yang tidak mau? Sri juga mau. Meski susah payah, ya harus berusaha. Mungkin nanti bisa coba meminta ke Agus. Pasti dia ada uang. Ya, tinggal rayu-rayu sedikitlah. Handphone kembali bergetar dan ada pesan dari Marco yang seketika membuat alis terangkat. Kali ini bisa mati sungguhan kalau tidak buru-buru. Kalau hanya dimarahi masih okelah, apalagi karena memang salah. Tapi, kalau sampai kehilangan pekerjaan bisa repot. Mau makan apa. Belum lagi utang mamak bagaimana. Kalau motor tidak mau berfikir dulu. Dan cerita tentang mati itu semua mungkin saja terjadi jika si bos melihat telat lagi. Tanpa mandi, tanpa sikat gigi dan hanya cuci muka serta memakai deodorant, segera diayunkan langkah kaki seribu. Mengusir bebek-bebek, hingga jemuran mpok Piah yang langsung berjatuhan mendarat ke tanah. Ingin rasanya berhenti mengembalikan ke tiang jemuran tapi tidak ada waktu. Biarlah mpok Piah sendiri saja jika melihat nanti. Toh, dia kerjaannya hanya menonton tivi sambil berkomentar A-Z, seperti seorang ekspert. Maaf, ya mpok... Bahkan saat melihat sekilas si Agus yang tengah membonceng sorang gadis, Sri hanya bisa terhenti sejenak membuang bayangan buruk yang seketika memenuhi pikiran dan hatinya. Namun, keselamatan hidup jauh lebih penting saat ini, sehingga hal negatif apapun yang muncul segera ditepis demi bisa terus berlari menuju angkot yang berlalu-lalang untuk dihentikan satu. Sebenarnya jarak cafe Kappa tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1.5 km. Biasanya kalau bangun pagi atau pulang malam lebih memilih berjalan kaki sekalian olahraga. Meski lebih tepatnya demi menghemat rupiah demi rupiah yang sudah susah payah dikumpulkan. "Bang, jangan ngetem ya. Lagi buru-buru nih. Bisa mati kalau ketahuan bos. Terus enggak bakal bisa naik angkot ini lagi deh. Jadi cus ya, jalan kalau perlu serobot aja." Sopir hanya cengar-cengir, tidak terlalu memperdulikan meski mengabulkan bagian tidak ngetem. Begitu tiba di ITC Permata Hijau yang memiliki pintu gerbang diapit dua patung wanita menggunakan pakaian seperti penari Jawa berukuran raksasa, kaki itu kembali berlari menimbulkan bunyi berderap menaiki tangga, hingga menerobos antrian pemeriksaan barang oleh petugas security. "Mbak-mbak!" panggil petugas security. Sri tidak perduli dan terus berlari menuju lantai satu sambil berdada-dada manis. Sampai tidak menyadari beberapa meter di depan adalah supervisor cafe pak Chiko tengah sibuk mengambil foto diri untuk mengecek apakah sudah oke atau belum. Untung saja ada orang gemuk di depan, sehingga tepat saat menaiki eskalotor bisa menunduk untuk sembunyi tepat dipantat orang gemuk itu yang untuk beberapa saat tercium aroma-aroma tidak sedap. Iyuuuh... Pertanyaan terbesar sekarang adalah bagaimana caranya masuk ke dalam cafe tanpa ketahuan pak Chicko. Sri pun mengintip-intip dari balik tiang. Marco yang tengah menunggu untungnya melihat dan segera mendekati pak Chikco untuk mengalihkan perhatian. "Pak, pak...ada sesuatu yang urgent untuk saya bicarakan!" kata Chicko menarik tangan pak Chicko menjauh dari cafe dan satu-satunya jalan yang bisa Sri gunakan. "Pak-pak...sudah dibilang saya tidak suka dipanggil pak. Panggil mister plis." "Iya, mister. Kesana sebentar yah...saya malu ya kalau ngomongnya disini," Marco memberi kode untuk Sri segera memanfaatkan keadaan. "Apa, buru plis." "Em," mengawasi Sri sampai benar-benar masuk ke dalam cafe. "Itu, saya bingung ya pelembab muka yang cocok buat saya apa ya. Ini kok dimuka saya seperti...kusam begitu ya?" Mister Chicko memandangi Marco dengan waktu yang seolah terhenti membuat orang-orang disekitar mereka mematung. Bahkan handphone mister Chicko nyaris saja terjatuh. "Yang merk Don...itu bagus. Cocok, lihat kulit saya...shining," sambil menunjukan kulitnya. "Ada yang lain?" mister Chicko menunggu Marco. Karena Marco menggeleng mister Chicko pun kembali menuju ke dalam cafe. Dimana Sri sudah duduk membaca koran sambil terus mengatur nafas yang masih tersengal-sengal dengan detak jantung yang kembali mengencang menyadari mister Chicko berada dibelakang. Semoga tidak tahu, tidak menyadari jika hari ini kembali terlambat. Sayangnya tidak, mister Chicko cemberut siap melontarkan kata-kata panas dengan sorot mata yang begitu tajam menelanjangi dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Maaf pak..." "Mister...no no pak!" "Kamu ini, cewek bukan sih. Muka minyakan. Rambut acak-kadut, bau kecut lagi. Meski gaji enggak gede-gede amat. Dandan dikit dong biar menarik. Kali aja ada pelanggan ganteng, suka terus ngajak kawin kan lumayan ya plis." mister Chicko mengelap minyak dihidung Sri kemudian mengoleskan pelembab, bedak hingga parfum. Dalam hitungan menit pun Sri seketika berubah. Tidak lagi secarut-marut seperti beberapa menit yang lalu. "Papa!" teriak seorang perempuan sambil berkecak pinggang dengan mulut membulat penuh, siap untuk mencengkram, mencabik hingga memultiasi dengan sadis. Haduh...mister Chicko menggigit bibirnya, buru-buru berbalik dan menarik tangan istrinya sembari membisiki banyak kalimat yang entah apa hingga perlahan hawa penas menurun dan wanita itu rela dibawa menjauh meninggalkan cafe, meninggalkan Sri yang hanya bisa diam. Begitu benar-benar sudah jauh, Sri pun kembali membuka halaman demi halaman koran dihadapannya. Membaca berita apapun yang sudah menjadi ritual pagi yang semua orang tahu termasuk Marco yang menyodorkan dua bungkus nasi uduk yang sengaja dibelikan tadi. Sambil membaca, dua bungkus nasi uduk porsi besar itu habis dalam hitungan menit. "Loe itu cewek bukan sih ya?" komentar Marco tapi senang, perjuangannya membelikan nasi uduk terbayar lunas dengan nafsu makan Sri yang selalu gila-gilaan. *** "Kenapa sih, cemberut muluk. I hate to see that face, you know!" komentar Marco didekat Sri yang sedang mengelap gelas-gelas. Namun, Sri seolah tengah tenggelam dalam dunianya sendiri, berfikir tentang uang yang harus segera dikirim untuk melunasi utang, tentang Agus yang seperti tengah membonceng perempuan, tentang hidupnya. Ya, kalau Agus tukang ojek sih tidak apa-apa. Agus kan pemilik toko. Di jam seperti tadi masa iya, keluyuran dengan seorang perempuan? Mana ditelpon tidak diangkat, dikirimi whats up tidak dibaca, dikirim SMS tidak dibalas. Sri juga cuma mau tahu kabar Agus gimana. Salah? Ya, meski lebih tepatnya karena ingin meminjam, syukur meminta uang untuk membayar utang mamak. "Eh, lihat-lihat nih...lagi seru ya. Lagi ada perang dimedsos antara fans pageant Indonesia dan Filipina ya. Gara-gara Filipina bilang kita cuma pengoleksi unplace enggak kayak mereka yang udah punya banyak mahkota ya. Ya, iya...tapi kan dulu...sekarang mereka juga langganan unplace ya. Baru tahun 2010 kemarin mulai place lagi sama sih Venus Raj yang bingung juga cantiknya dari mana ya. Suka manjat pohon lagi. Bayar mungkin ya." "Iya, kali." "Tapi mending sih mereka hina-hina kita ya. Dari pada tetangga kita. Udah ikut dari jaman purba, place juga sekali ya. Udah gitu masak nasional costume pakeknya baju Bali. Entar bilangnya serumpun ya. Serumpun dari mana ceritanya suku Bali sama melayu. Terus pake kain NTT, NTT emangnya melayu. Kan lucu ya. Dibilang pembajakan enggak terima. Ya, udah ikutan memaki habis-habisan deh ya." Marco menarik nafas, "Oya, sekarang juga lagi ngehit lho di pageant disini sama photograpfer Dody Alfa. Hasil fotonya bagus-bagus banget kayak Badril Batisha." "Aduh, enggak penting deh. Mau apa, mau gimana. Enggak perduli. Kalau loe cerita gimana dapat duit yang banyak gue baru perduli. Selain itu, bodo!" Sri jengah dan menjauh meninggalkan gelas-gelas yang masih harus dibersihkan. "Ini bisa kok jadi duit, miss Diva Indonesia lagi buka pendaftaran lho ya. Kalau bisa masuk, bisa membuka banyak peluang ya apalagi kalau bisa masuk top 3-nya bakal dapat kontrak kerja setahun. Belum jadi brand ambasador sejumlah produk kecantikan. Kadang diangkat juga jadi duta-duta apalah itu yang anti narkobalah, anti korupsilah, banyak ya. Paling seru ya, ada bonus-bunusnya juga lho kalau bisa masuk top 15 ajang internasional ya." “Seriusan?” “Loe mau daftar?” Marco girang buru-buru mencarikan link tempat download formulir pendaftaran. Sri tersenyum mendekati Marco penuh keyakinan. Marco pun semakin kegirangan mencarikan formulir pendaftaran Miss Diva Indonesia 2013. "Tunggu ya!" Seketika Sri memukul pelan pipi Marco, “Yang bener aja pak. Kulit item gini, dandan aja enggak bisa. Mau ikutan kontes kecantikan!” “Why, lihat aja latinas ya pada cepek-capek tanning biar kulitnya kayak loe ya. Atau juga ada Laila Lopez yang kulit hitam. Tinggi, loe udah cukup lah ya, 170-an. Body ya…tinggal ditrainning sedikit bisa jadi stunning ya.” “Udah ah, kerja-kerja. Cari duit…Cuma itu yang dibutuhin. Lainnya terserah,” Sri menuju meja diluar yang telah datang madam Stella, pelanggan setia yang selalu datang dengan seekor pudle lucu bermata sendu. Berbulu putih lebat dengan tiara bertahta dikepalanya dengan butir-butir bebatuan cantik dengan warna yang selalu senada dengan warna baju yang dikenakan si pudle. Kali ini biru seperti warna pemenang juara tiga Miss Diva Indonesia yang dikirim ke kontes Miss Suprame National yang biasanya diselenggarakan di Polandia. Dari pada baju bagus-bagus seperti itu dikenakan ke doggy mendingan buat baju pemiliknya. Dipandanginya madam Stella yang hanya menggunakan celana kain lusuh hitam, baju berbahan kaus longgar dengan corak bunga-bunga berukuran besar warna senada dengan celananya yang memudar warnanya. "Guuk!" si pudle langsung menyalak galak begitu Sri mendekat membawa daftar menu. Selalu seperti itu, sampai-sampai Sri ingin sekali menggetok dengan daftar menu sekali-kali biar si anjing yang menurut Sri sama sekali tidak lucu akibat galaknya itu agar bisa bersikap ramah sedikit kepadanya. "Aduh, si Trump. Ini mbak-mbak biasanya lho. Masak tidak kenal-kenal juga sih? Mbak, makanya kenalan dong sama Trump." madam Stella membelai lembut si Trump yang masih terus menggonggong galak. Benar-benar membuat Sri semakin ingin menjitak. Amit-amit deh disuruh kenalan sama doggy sombong begitu. "Aduh Trump, sini sama kakak ganteng dulu ya!" Marco ikut bergabung dan mendekati si pudle yang langsung diam menunduk malu-malu. "Ih, unyu ya," Marco bahkan berhasil menggendong lalu membeli lembut bulunya. Dasar doggy ganjen. Maunya sama cowok. "Silahkan, mau pesan apa?" menyerahkan daftar menu, meski tidak akan berfungsi sama sekali tidak berfungsi karena pasti akan memesan green tea dan singkong goreng keju. Tidak ada yang lain. "Hot green tea, singkong goreng keju?" Madam Stella tidak jadi membuka daftar menu, "Sok tahu deh, memangnya saya mau memesan itu?" "Maaf, hanya menebak. Silahkan dipilih pesanannya." Madam Stella pun membuka halaman demi halaman secara perlahan. Membuat detikan jam didinding terus berputar membuat menit berpindah, terus pindah, sampai akhirnya membuat kaki mulai terasa berdenyut akibat bosan menunggu. Kalau saja ramai, ingin rasanya buru-buru berpindah meja melayani yang lain saja. Sayangnya meski akhirnya ada tamu lain yang datang, Marco cekatan mengambil alih setelah meninggalkan si Trump genit yang seketika langsung menyalak galak ke arah Sri. Mungkin dikiranya Sri takut?! Bakal dijitak pokoknya. Meski cuma dalam hayalan, kalau kata mister Chicko pelanggan adalah mesin uang, jangan sampai ditendang terus rusak. Bukan si pelanggan yang nanti mati tapi diri sendiri. Ok, demi uang... "Mau pesan apa?" "Aduh, udah deh...hot green tea dan singkong goreng keju aja. Pusing." Kenapa tidak dari tadi sih? "Masih ada yang ingin ditambahkan?" Madam Stella tidak mengatakan apapun selain gerakan tangan mengusir dan dengan tangan yang lain membelai-belai si doggy jutek agar diam. Pada saat yang sama serombongan ibu-ibu dengan bedak tebal, bulu mata berlapis-lapis, lipstik membara, perhiasan yang hampir seluruh lemari dibawa membuat ramai lorong mall yang masih sepi seketika ramai. Alarm tanda bahaya seketika berbunyi, semoga tidak mampir karena pasti merepotkan sekalipun mereka adalah mesin uang. Sri buru-buru masuk ke dalam membiarkan siapapun yang mau, silahkan melayani. Sudah cukup menu pagi ini dengan nyusahinnya madam Stella dan doggy juteknya. Benar saja, ibu-ibu itu memasuki cafe langsung meminta kursi tambahan empat buah meski sudah ada empat kursi yang cukup untuk mereka duduk. Kursi-kursi itu untuk tas-tas mereka yang dari pendengaran Sri di dapur, itu tas mahal 100 juta baru beli kontan. Entah bohong, entah jujur. Bentuknya saja mirip dengan tas yang dibawa teman Sri yang teronggok disudut ruangan berwarna hitam dengan motif kulit buaya yang dipasar Tanah Abang tujuh puluh ribu juga tidak sampai. "Hu-uh, emak-emak sosialita ribet deh ya!" keluh Marco. "Jeng-jeng ngapain sih kita disini, disini kan enggak keren, enggak bisa buat difoto buat update di facebook!" Marco menirukan. "Ya, udah sih ngaku aja ditempat mana yang keren aja!" tambah Marco lagi dengan luwes. "Males banget deh ya. Masak gue dibilang...ih, jeng...ini tempat yakin nanti enggak bikin sakit perut. Pelayannya aja dekil!" Marco mengeram-ngeram galak mirip si doggy jutek yang terus mengawasi ke arah Sri yang berdiri dibalik kaca dapur. "Gini-gini, gue kan perawatan ya...luluran, mandi susu, peling, maskeran. Seenaknya aja bilang dekil bikin sakit perut!" Sri pun memandangi Marco, "Loe itu cowok atau cewek sih? Gue jadi minder...aku tadi pagi aja enggak mandi. Loe perawatan luluran lah, mandi susulah. Itu apa aja enggak tahu. Duitku enggak cukup buat itu semua. Beli sabun aja kadang sayang." "Ih, bawel deh ya!" Marco memandangi jengkel ke arah ibu-ibu yang sedang menunjukan cincin dengan batu ukuran besar ke teman-temannya. "Awas aja, nanti kapan-kapan kalau ketemu lagi ya, pas gue udah jadi designer top. Kalau sampai merengek-rengek, terus minta ngobrol bareng. Enggak bakal mau ya!" "Marco, layanin dengan baik dan senyum!" kata mister Chicko dari pintu. Mungkin sudah berhasil menjinakan istrinya sehingga bisa kembali. "Susah kalau sudah bete ya!" "Enggak juga, bilang aja HAWAI. Pasti mulut akan membentuk senyuman. Ingat pelanggan itu mesin uang. Kalian cuma kotak uang, kalau mesinnya ngadat enggak ada uang yang masuk plis!" menghentikan Sri. "Sri, bilang HAWAI!" "Aduh mister...buat apaan sih?" "Mau duit enggak?" "HAWAI!" Sri terpaksa mengikuti dan berjalan keluar membawa pesanan madam Stella sibuk bergoyang kanan-kiri karena keasyikan memainkan game balapan lengkap dengan headset menempel ditelinga. Si Trump yang super jutek tidak terlihat dimanapun. Kalau sampai ketemu, awas saja bakal dijitak habis-habisan, mumpung si pemiliknya tidak sedang mengawasi. Sri pun melangkah penuh percaya diri. Namun, beberapa saat kemudian, langkah kaki terhenti, seperti menginjak sesuatu yang kecil dan halus berbulu. Begitu menengok ke bawah si doggy jutek melotot sangat marah, ekornya terinjak sepatu sneaker. Suara lolongan marah pun menyembur kemudian, lengkap dengan aneka emosi yang sudah tertahan sejak bertemu. Si Trump pun berusaha mengayunkan mulutnya ke pergelangan kaki kurus Sri untuk menuntut balas. "Hua!" Sri buru-buru menghindar mengayunkan langkah kaki seribu. Pokoknya, kalau ada yang bilang pudle itu lucu. Sri akan menuntuk ke pengadilan sampai tingkah mahkamah agung. Pudle lucu hanya ada ditelevisi. Kenyataan berkata lain. Galak luar biasa, sensi melebihi perempuan sedang datang bulan. Kejar-kejaran pun terjadi, dengan madam Stella tidak menyadari akibat tenggelam dalam dunia permainan game. Sekalipun Sri sudah berteriak-teriak, hingga histeris. Sampai akhirnya celana jean Sri berhasil digigit si pudle dengan gigi-gigi kecilnya. Sri pun kehilangan keseimbangan akibat kakinya menjadi berat. Baki berisi green tea dan singkong goreng keju lengkap dengan mayonise pun melayang dari tangan, meluncur cepat menuju salah satu kursi berisi tas salah satu ibu-ibu yang malah asyik memfoto ketimbang menolong Sri yang sudah berubah pucat penuh keringat bercucuran. Ibu-ibu itu baru berhenti ketika green tea mendarat diatas salah satu tas, menyiram hingga basah lengkap dengan cream mayonise. "Aduh, ini mahal lho. Baru beli dari Paris!" seru salah satu ibu-ibu dengan panik kemudian dilengkapi dengan tangisan. "Pokoknya enggak mau tahu, harus ganti. Seratus juta!" mengarahkan tangan ke arah Sri. Sri yang sedang menghempas-hempaskan kakinya agar gigi si Trump terlepas dari celananya langsung berhenti. "Apaan itu di Tanah Abang seratus rebu juga enggak ada!" "Ih, norak deh. Tuh lihat didalamnya ada nomer licence-nya kalau enggak percaya!" dengan jijik membuka tas menunjukan sebuah gantungan kecil di dalam berwarna putih dengan nomer-nomer tercetak warna emas. "Ini tuh Hermes ya. Pokoknya ganti rugi seratus juta kontan enggak pake nyicil!" "Enggak mau, dilap juga bersih lagi. Lagi pula nomer kayak gitu, cetak sendiri juga bisa!" Sri melawan sambil menutupi muka karena teman-teman si Ibu yang marah-marah sibuk memfoto dan ada yang memvideokan. Marco yang baru keluar bersama mister Chicko hanya bisa memandangi dengan bingung. Bahkan sampai tidak melihat ada pudle yang asyik menggigit-gigit celana Sri. "Enggak bisa, pokoknya ganti yang baru...Cicilannya belum...Eh, Enggak pokoknya ganti cash!" teman-teman si Ibu langsung berbisik-bisik membahas keceplosan cicilan. "Apa sih, berisik aja. Mengganggu orang!" madam Stella melepas headset dan memandangi celana Sri yang masih digigit si pudle. "Trump ayo sini sayang!" anjing itu pun melepaskan giginya dan berlari menuju sang tuan. "Cuma tas jelek seperti itu nyicil!" "Enggak, enggak nyicil kok...cash beneran beli di Paris. Enggak bohong kok," si Ibu terus berkelit ditengah teman-temannya semakin jadi berbisik-bisik. Madam Stella mengambil tasnya yang lusuh, mengeluarkan sebuah kotak berkarat dengan gambar mahkota Miss Diva International era 80-an. "Ini cukup!" Ibu-ibu itu seketika melotot, kehilangan kata-kata sampai-sampai mengikuti kemana arah tangan madam Stella bergerak. Kekanan-kekiri. Kemanapun. Sembari mengangguk-angguk seperti kucing. “Ya, udah tasnya jadi milik saya. Keluarin semua barang!” Ibu itu menuruti dan keluarlah uang-uang ribuan,kartu-kartu kredit dari aneka bank bersama beberapa alat make up. “Aduh, ini pembantu saya. Sudah dibilangin jangan masukin duit receh. Eh, bandel banget,” kilahnya. Bilangnya orang kaya, tas dari paris…duitnya recehan semua, kartu juga kartu utang. Sri memandangi antara lega, sedih, ingin tertawa sekaligus takut. Pasti madam Stella bukan melakukan dengan cuma-cuma, ada term and condition. Bagaimana kalau ternyata seorang mucikari lalu Sri dipaksa melayani laki-laki belang dari hotel ke hotel. Dan pas ada razia tertangkap bersama pejabat sebagai gratifikasi sehingga dikoran, ditelevisi semua memunculkan wajah Sri membuat mamak mengeluarkan dari daftar kartu keluarga. Bahkan dikutuk jadi bongkahan emas lalu dijual buat makan dan bayar utang. Serem… Madam Stella pun berputar kemudian memandangi Sri dengan senyuman mengerikan bersama sejuta sorot mata penuh rencana memandangi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Membuat tangan Sri buru-buru menutupi bagian dada, memutar sedikit badannya. *** >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Ola, bagaimana bab 1 ini? TERM & CONDITION Tidak ada yang gratis di Jakarta, meskipun itu pipis sekalipun. Apalagi ini seratus juta yang diberikan cuma-cuma oleh madam Stella sebagai ganti kerusakan tas mahal yang disiram dengan green tea dan mayonise. Sudah pasti ada term and condition-nya. Kalau saja punya uang banyak dan tidak harus menanggung hidup mamak dan adik-adik di Lampung. Ingin rasanya kabur entah kemana dibandingkan harus menelusuri gang gelap, dingin ditengah angin yang bertiup kencang, membuat daun-daun dari pepohonan yang banyak tumbuh dari dalam pagar disepanjang gang berguguran. “Ini benar bukan ya alamatnya?” kata Marco sambil bergidik ngeri. “Mana aku tahu, ini juga pertama kali.” Jawab Sri sekenanya sambil meredakan bayangan-bayangan tentang melayani laki-laki hidung belang dan tertangkap razia hingga muncul di koran dan televisi sebagai gadis gratifikasi. No, no, no… Mereka berdua terus berjalan memasuki gang yang semakin gelap dan nyaris tidak ada penerangan apapun. Hanya cahaya dari handphone yang membuat mereka berdua bisa memastikan bahwa tanah yang diinjak masih aman, tidak ada ranjau atau bom yang mendadak bisa meledak menghancurkan apapun. “Klontang!” sesuatu jatuh dari samping. Marco segera berteriak histeris sambil menutup mata, “Setan, setan, setan!” “Ih, apaan sih…Cuma, kaleng jatuh kok!” Sri menenangkan Marco, yang masih ketakutan. “Rumahnya itu deh kayanya…bekas Salon Diva kan?” Sri menunjuk ke sebuah rumah dengan bangunan beratap melengkung khas bangunan Tionghoa dengan dinding-dindingnya yang telah mengelupas. Bahkan debu tebal memenuhi hampir dibanyak bagiannya bersamaan dengan jarring laba-laba yang berhasil menangkap banyak serangga. “Yakin ya?” Sri menggeleng, entah rumah seperti apa ini. Jangan-jangan di dalamnya adalah tempat judi illegal yang dipenuhi oom-oom botak merokok sambil ditemani gadis-gadis belia berbaju sexy yang bergelayut manja mengharapkan uang tips sambil sesekali menuang minuman keras. “Tapi kalo dari kertas yang tadi dikasih, emang ini ya rumahnya.” “Boleh kabur aja enggak? Tapi, kalau kabur cari kerja ditempat lain emangnya gampang?” benar-benar frustasi dibuatnya. Jika saja tidak menjadi tulang punggung keluarga. Jika saja memiliki uang yang banyak. Jika saja si pudle jutek tidak terinjak. Jika saja…Sri lelah. Tidak ada pilihan. Jika memang harus menjadi gadis-gadis seperti dalam bayangannya, ya sudahlah. Pasrah. Dipegangnya handle bulat yang terpasang pada pintu kayu bercat merah, dengan pangkal bulat yang disekelilingnya memiliki garus-garis berjumlah delapan, terhubung dengan garis-garis kecil menyerupai jarring laba-laba. Dihentakan besi itu hingga menimbulkan suara keras yang samar terdengar gema memenuhi ruangan kosong di dalamnya membuat Marco dan Sri saling pandang. Semakin tidak yakin bahwa ini adalah tempat yang benar. Saat hendak melangkahkan kaki, engsel pintu berderit kemudian meringik tajam menyiksa telinga, ngilu. Marco pun merapatkan badannya ke balik badan Sri, merasakan bulu kuduknya seketika berdiri, bahkan kakinya telah bersiap untuk berlari jika sewaktu-waktu yang keluar adalah makluk-makluk yang tidak jelas. Bahkan Sri yang menampakan raut tidak takut, detak jantungnya berpacu kencang. Hampir sama kencangnya seperti pagi tadi saat melihat mister Chicko berada didepannya. “Edalah, mbake yak…itu sudah ditunggu madam Stella lho. Yuk, ikuti nyong!” kata perempuan bertubuh mungil dari balik pintu yang diterangi nyala terang lilin membuat bibir yang berlapis pewarna terlihat berkilauan. “Orang bukan sih?” bisik Marco masih tidak percaya. Malam-malam menggunakan gaun mermaid cantik berwarna kuning lengkap dengan sepatu tinggi warna senada. “Ayuk masuk!” sambil mengibaskan rambut halus luruh yang dibiarkan tergerai. “Gue semakin yakin kalau ini rumah enggak jelas, pasti didalam dipenuhi oom-oom kegatelan,” bisik Sri ikut memandangi perempuan mungil itu. “Eh, mbake, mase…ayo, tho…Saya Rukiyah pembantunya madam Stella. Pasti takjub yak sama kecantikan saya yang sudah mirip miss Diva International?” Rukiyah menengok dengan bahu ditarik kebelakang, punggung dibengkokan membentuk huruf S sehingga dada dan pantat terankat dengan salah satu kaki mengarah jauh persis seperti pose para ratu kecantikan dunia jika diatas panggung. Sri dan Marco saling pandang tidak tahu harus berkomentar apa. “Eh, ayo mbake, mase!” Rukiyah kembali mengajak masuk ke dalam lorong gelap dengan penerangan hanya dari cahaya lilin ditangannya. Hawa pengap segera membaui saraf-syaraf hidung dengan bau air yang terperangkap dilantainya yang sedikit becek. Bahkan seekor tikus berlari saat mereka lewat membuat tangan Sri dan Marco saling menggenggam erat, sangat erat takut terlepas akibat mulailicin dengan titik-titik keringat yang mulai mengaliri dengan deras antara takut, panas akibat pengap dan aneka rasa lainnya yang berputar-putar dikepala sehingga rasanya lorong itu begitu panjang. Sangat panjang. Seperti tidak pernah ada habisnya. "Sampai!" Rukiya mendorong sebuah pintu, cahaya terang menerobos celah-celahnya membuat mata yang sudah beradaptasi dengan minimnya cahaya dilorong menjadi buta untuk sesaat. Entah apa dibalik pintu itu, baik Sri maupun Marco hanya bisa melihat segalanya putih dengan samar bayangan seorang perempuan menggunakan gaun panjang mermaid mendekat. "Selamat datang!" Sri mulai bisa melihat bahwa bayangan itu adalah madam Stella mengulurkan tangan dan didekatnya si pudle Trump yang langsung menyalak galak. "Wow, tempat apa ini ya?" Marco berdecak kagum karena ada sebuah panggung dengan tata lampu warna-warni dengan latarnya sebuah bangunan art deco khas kolonial dengan tiang-tiang menjulang tinggi serta anak tangga, lengkap dengan bangku-bangku penonton diantara pot-pot bunga aneka warna yang tengah mekar. "Keren banget ya. Bisa buat fashion show!" "Jadi saya harus bagaimana untuk membayar seratus juta tadi?" tanya Sri langsung tanpa sedikitpun berdecak dengan tempat itu atau dandanan madam Stella yang tidak ada lagi celana lusuh, baju longgar seadaanya. Namun, tetap dengan si doggy jutek yang terus menyalak galak. Madam Stella hanya tersenyum dan memberi kode ke Rukiyah mengambilkan kota dari dalam rumah. Kotak berwarna merah jambu diletakan di di hadapan Sri yang isinya adalah sebuah celana jeant hot pans dengan t-shirt tanpa lengan ketat serta sebuah sepatu dengan hill 12 cm. "Saya harus pakai ini?" dipandangi tidak percaya wajah madam Stella yang tidak sedikitpun memancarkan keraguan. Bahkan yang ada berjuta keyakinan. "Dan make up yang cantik!" Sri terduduk lemas, bayangannya kali ini adalah benar. Siapa sih yang mau memberi uang cuma-cuma di Jakarta ini? Jika ada pun, pasti seperti sekarang, buntutnya sangat tidak menyenangkan. Apa kata mamak nanti, anaknya akan menjadi wanita penghibur. Semoga saja tidak sampai terkena razia hingga muncul di televisi, koran dan dimanapun. Tertangkap basah menjadi gadis gratifikasi seorang pejabat. No, no, no... *** "Tok-tok-tok!" pintu kamar mandi diketuk. "Cepat keluar!" seru seorang laki-laki dengan tidak sabar sambil bertelanjang dada. Di dalam kamar mandi, Sri duduk diatas kloset sambil memandangi dirinya yang tampak berbeda. bedak warna golden skin tebal, bibir berlapis lipstik warna nude, mata penuh eye liner lengkap dengan bulu mata lima lapis, rambut ponytail, sepatu hill 12 cm dan yang paling tidak menyenangkan celana hot pans gemes yang super pendek dipadukan dengan t-shirt tanpa lengan yang baru kali ini dikenakan. Selama ini mau kemanapun cukup celana jeant longgar, bahkan celana baggy dengan t-shirt longgar yang kadang masih dipadukan dengan jaket super longgar. Sepatu cukup sneaker saja. Sekalipun harus dandan cantik tidak pernah seterbuka ini dan sepatu setinggi ini juga. "Buruan!" teriak laki-laki itu lagi. Kalau bukan demi membayar uang seratus juta rupiah tidak akan mau menjalani ini. Baiklah, silahkan apapun yang dimau...pasrah! Pintu pun dibuka dan laki-laki bertelanjang dada itu langsung menyerbu masuk tanpa memperdulikan sudah siap atau belum. Mungkin karena sudah tidak tertahan lagi ditengah waktu yang semakin mepet untuk menunggu giliran. Sri pun terusir dari kamar mandi itu dan nyaris terjepit pintu jika Marco tidak buru-buru menarik tangannya. Suara berdebum pun menyusul kemudian disusul tidak lama kemudian suara angin yang sudah tertahan bersama aneka partikel di dalam perut diluncurkan. "Iyuuuh, kirain para model tidak sebar-bar itu ya?" celetuk Marco. "Handphone gue dong!" Sri merasa kembali sesak melihat begitu banyak orang yang berlalu-lalang penuh dengan kepanikan menunggu waktu perlombaan model dimulai. Tidak ada pesan, tidak ada telpon dari siapapun layar itu. Meskipun beberapa pesan untuk Agus sudah berhasil terkirim. Apa dia tidak ingin mendukung Sri? Apakah tokonya begitu ramainya sampai-sampai tidak sempat lagi menengok Sri atau sekedar menelpon untuk memberi dukungan. "Si Agus enggak balas juga ya?" "Iya, kadang dia suka begini. Dihubungi ditanyain enggak balas. Kalau dibegitukan balik, dianya marah-marah. Katanya aku tidak pengertian, tidak memahami dia, tidak cintalah apalah. Bingung aku." "Gitu elonya masih mau?" "Enggak ada pilihan, cuma dia yang tinggi. Aku enggak mau punya pasangan lebih pendek dan punya ekonomi yang mapan." "Yah, tetep ya. Ending-endingnya duit. Kapan sih loe enggak isi hidup loe soal duit melulu ya?" Marco memandangi badan Sri yang jauh lebih tinggi dari badannya. Bahkan Marco hanya sepundak Sri. Sri hanya tersenyum. "Para model siap-siap di back stage. lima menit lagi opening!" seru panitia acara. "Mati gue!" kaki seketika gemeteran antara nerves dan sakit menahan ngilu akibat tidak terbiasa menggunakan sepatu tinggi. Sangat tinggi. "Santai, you look so gorgeus ya. Mirip Miss Diva International," puji Marco berdecak kagum membuat Sri tersenyum tapi kemudian menampar pelan. "Pliss deh, enggak penting!" "Iya, enggak penting. Jadi tolong nyingkir ya, jangan halangi jalan!" sahut seorang gadis yang jauh lebih tinggi dari Sri yang tampak begitu percaya diri sehingga menjadi terlihat sok "Diva". Wajar sih, cantik juga. Putih lagi. Sri pun menyingkir tanpa melakukan perlawanan sedikitpun dengan raut semakin jauh dari kemungkinan bisa terus berjalan dipanggung di depan nanti. "Boleh mundur aja enggak?" Sri merasa dirinya bukan apa-apa. Sudah bisa dipastikan akan kalah. Bahkan jauh sebelum pertandingan dimulai. Kulit sawo matang, kesulitan berjalan dengan sepatu 12 cm, tidak percaya diri menggunakan baju terbuka. Jadi buat apa jika jawabannya sudah tahu. Hanya membuat waktu saja. "Em, hadiahnya tau kan berapa? Sepuluh juta pemenang pertama!" bisik Marco sembari berjalan pergi. Seketika lutut Sri berhenti gemetaran. "Beneran?" Marco hanya mengangguk sambil terus berjalan untuk menuju depan panggung. Tiba-tiba seperti ada api yang menyulut badan Sri, begitu besar panas hingga menciptakan sebuah energi besar yang tiba-tiba mengusir keraguan, ketakutan, rasa minder. Bahkan rasa sakit yang ditimbulkan sepatu. Dengan semangat dilangkahkan kaki itu s menuju barisan para model sesuai nomer urutan. Dasar mata duitan! Marco geleng-geleng kepala. Kok, bisa orang seperti ini jadi teman ya? Semoga beruntung dilangkahkan kaki menuju depan panggung. Namun, begitu melihat gown-gown untuk beberapa finalis model yang berhasil masuk ke tahap berikutnya, kaki itu terhenti, "Disaster gown ya!" Marco geleng-geleng melihat payet-payet, renda-renda yang hampir memenuhi setiap bagian baju. "Itu baju apa pasar ya. Rame banget. Mestinya ada titik senternya, sisanya biasanya saja ya. Coba gue yang jadi designernya ya!" keluh Marco memandangi para perempuan cantik termasuk Sri yang mulai berjalan memasuki panggung. Meski hanya kontes model disebuah mall, penontonya memenuhi setiap kursi disekitar panggung, bahkan banyak yang berdiri membawa spanduk, membawa peluit, teriak-teriak, menjerit-jerit hingga panggung terasa seperti terkena gempa bumi. Sri yang sebelumnya bisa fokus dengan membayangkan sepuluh juta rupiah ditangan kembali gemetaran hebat hingga menimbulkan aneka nyeri yang tiba-tiba menggelayuti seluruh tubuhnya dari nyeri di kaki akibat hak sepatu yang terlalu tinggi. Sakit diperut yang melilit begitu hebat. Sakit kepala yang seketika membuat pandangan menjadi melayang hingga sakit ditelinga yang membuat semua suara yang menyentuh gendang telinga berubah hambar. Tanpa warna tanpa rasa. Madam Stella yang duduk dikursi depan memandangi tajam ke Sri, namun tidak terlalu surprise karena sudah diperhitungkan. Pasti akan terjadi hal seperti ini, tinggal sekuat apa akan menghadapinya dan itu hanya Sri sendiri yang bisa menolong dan menggerakan kekuatannya. Ayo, demi sepuluh juta! Sri berusaha mengusir satu demi satu rasa yang menggelayuti tubuhnya. Berjalan tegap melawan cahaya yang menyinari, melawan suara-suara yang membuat nyali ciut. Biarlah malu, biarlah takut pergi. Panggung pun mulai terhentak dengan derap-derap sepatu menyentuh permukaannya yang ternyata licin. Benar-benar tidak semudah kelihatannya. Harus hati-hati, harus tepat menjatuhkan permukaan sepatu. Harus fokus. "Gubrak!" Sri pun terjatuh saat mulai mendekati stand mic diujung panggung untuk memperkenalkan diri. Suara tawa seketika menggema, kamera-kamera fokus mengarah, mengambil foto, menambil video untuk disebarluaskan. Rasa sakit sudah tidak terasa lagi, karena rasa malu jauh lebih besar lagi. Ingin rasanya berlari pergi sambil menutup muka. Namun untuk berdiri saja sudah sulit. Selain itu madam Stella terus memandangi tajam tanpa ampun seolah meminta untuk segera berdiri dan kembali tersenyum. Jika tidak utang akan terus jadi utang tanpa pernah tahu kapan bisa tercicil. Demi melunasi seratus juta rupiah! Sri pun kembali mencoba berdiri sekuat tenaga menuju stand mic tanpa memperdulikan apapun. Termasuk luka yang diakibatkan yang menimbulkan bercak-bercak darah mulai merembes dan perlahan mengalir menuruni kulit yang sudah diberi cream glowing untuk memancarkan warna kulit sawo matang. "Sri Atun, finalis nomer enam belas, dua puluh dua tahun!" kata Sri begitu sampai di depan stand mic tepat disaat terjadi gangguan sehingga suaranya tidak terdengar oleh siapapun meski sudah mengeluarkan suara terkeras mungkin. Suara tawa dan cemohan pun semakin menjadi mengiringi langkah demi langkah kembali ke belakang panggung. *** Mulai hari ini semua orang akan ingat Sri Atun si ratu sial. Sri menundukan wajah tidak berani mengangkat sedikitpun begitu tiba dirumah madam Stella selepas pertandingan. Entah apa lagi yang akan dilakukan si madam demi uang seratus juta yang sudah dipinjamkan untuk membayar ganti rugi tas Hermes yang tersiram green tea dan mayonise. Hari ini keinginannya gagal terpenuhi yang artinya juga utang tetap jadi utang selamanya. Apapun itu Sri pasrah saja, sebagai orang yang tidak beruang. Apa sih yang bisa dilakukan selain diam? Termasuk lolongan si Trump yang berlari-lari memutari dengan galak. Mau gigit, gigit saja! "Duduk!" perintah madam Stella. Sri pun duduk dengan masih menundukan wajah. Marco yang duduk disebrang hanya bisa memandangi. Ikut pasrah tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk membantu selain diam. Uang seratus juta terlalu besar untuk dirinya. Kalau cuma satu atau dua juta bolehlah. "Lukanya sudah baikan?" Sri masih tidak berani mengangkat kepalanya, hanya mengangguk pelan. "It's Ok, ini baru awal. Awal yang sangat bagus!" madam Stella menarik nafas, "Pengalaman adalah guru yang paling luar biasa. Kalau tidak jatuh tidak akan tahu semuanya, tidak tahu kalau lantai licin, tidak tahu kalau suara orang-orang dari atas panggung itu menakutkan, tidak tahu bagaimana harus berdiri lagi. Tanpa jatuh yang diketahui hanya sedikit. Sukses adalah guru yang buruk. Gagal adalah guru yang baik. Kau sudah belajar banyak kan? Sekarang pulang istirahatlah...kali ini cukup sampai disini. Tapi next...akan kita persiapkan dengan sungguh-sungguh. Miss Diva Indonesia!" Sri seketika mengakat kepalanya tidak paham. "Ya, kamu harus lolos audisi dan menjadi juara satu. Jika tidak utang itu akan terus menjadi utang. Dapatkan mahkotanya dan semua selesai!" Entah harus berfikir apa? Bagi Sri berjalan diatas panggung tadi sudah cukup membuktikan bahwa dirinya bukanlah seorang model apalagi beauty queen. Ini masih harus mengikuti miss Diva Indonesia? Apa tidak salah? Apa tidak ada cara lain untuk membayar utang selain dengan mengikuti miss Diva Indonesia? Memangnya ada yang lain? Bekerja tiap hari sebagai pelayan cafe mungkin sampai mati tidak juga lunas. Menjadi TKI ke luar negri saja apa? Seperti banyak teman-teman Sri dikampung. Tapi kan mamak tidak setuju karena tidak mau terjadi nasib buruk seperti terkena pelecehan, penganiyayaan bahkan hukuman mati. Handphone Sri bergetar, ada telpon yang masuk dari Agus. Sri pun buru-buru menjauhi madam Stella. "Kamu kemana aja sih, susah banget dihubungi dari tadi!" omel Agus ditelpon. La, bukannya harusnya Sri yang marah ya?! Dari pagi, dikirimi pesan tidak ada yang dibaca, ditelpon tidak diangkat. Masak iya, toko seramai itu sih? Toh, hanya toko jam tangan. Mau seramai apa? "Kok, kamu jadi nyalahin aku?!" omel Agus tidak terima. "Aku enggak suka, kita putus aja deh kalau begini. Kamunya yang susah dihubungi kok malah nyalahin. Enggak lihat apa aku kerja seharian jaga toko, sibuk." Sri semakin bingung, apa tidak kebalik ini ya? Namun, Sri tidak ingin ditinggalkan Agus, bagi Sri hanya Agus yang tepat untuk dirinya. Sudah mapan finansial dengan memiliki toko yang omsetnya bagus dan terpenting tinggi. Susah sekali mencari cowok yang lebih tinggi dibanding Sri. "Kok bisa sih loe suka sama cowok yang seperti itu?" tanya Marco sesudah Sri mematikan handphone membujuk Agus agar tidak emosi lagi. "Udah terlanjur sayang." "Sayang atau uang?" Sri tidak menjawab, hanya berlalu mengambil tas kemudian pamit. Karena harus kembali ke cafe mencari uang. Utang mamak pun harus dipikirkan. Untuk meminta dari Agus sepertinya bukan waktu yang tepat. Nanti sesudah emosinya mereda. Mungkin seperti si Trump, terus saja menggonggok tidak perduli sudah dipanggil-panggil Rukiyah yang hari ini menggunakan gown merah dengan taburan-taburan kristal dan rambut di cepol lengkap dengan selempang bertulis Jawa Tengah. Sehingga meski Sri bersikap manis, terus saja digonggongin. Mungkin kalau dijutekin balik, dia akan sembuh. Sri pun menghentakan kakinya keras ke lantai tidak jauh dari Trump yang terus menggogong. Tapi bukannya malah diam, Trump malah semakin buas. Kali ini tidak hanya menggonggong tapi berusaha menggigit. Sri pun terpaksa lari pontang-panting menghindari sembari teriak-teriak tidak karuan. Si pudle baru berhenti mengejar setelah Sri mendorong pintu menuju lorong keluar dari rumah itu yang masih lembab, pengap dan sedikit basah. Si pudle pun hanya menggonggong di depan pintu tanpa berani mengejar dengan kaki terlihat enggan merasakan basahnya lorong itu. Bahkan begitu melihat tikus, si pudle buru-buru menjauh ketakutan. Ok, sekarang tahu kelemahannya. Lain kali awas ya, kalau masih jutek. Dah… *** >>>>>>>>>>>>>>>>>> Hayo, masih mengikuti cerita ini? Ikuti kelanjutnya ya ... PERSIAPAN DIMULAI "Kemana aja kamu?" omel Agus memandangi Sri dengan heran, tidak seperti biasanya yang serba dekil. Kali ini wajahnya tampak segar, bahkan lipstik warna nude melapisinya membuat senyuman terasa memikat. Sri sengaja tidak menjawab dan hanya menarik kursi di depan meja tempat Agus berdiri, bahkan tangan itu lebih senang menyapa Bayu pekerja toko yang seketika mencari-cari headset untuk menutupi telinga dari serbuan-serbuan pertengkaran kecil yang akan terjadi. Karena biasanya begitu. "Kok enggak dijawab?" "Oh, itu baru ikut lomba." "Lomba, lomba apaan? Enggak usah aneh-aneh deh. Emangnya bisa menang apa?" Selalu seperti ini, lebih baik memilih diam. Namun, sebentar lagi pasti akan protes kenapa diam saja. Berbicara salah. Diam juga salah. Kalau bisa menjitak, ingin rasanya menjitak keras-keras sampai benjol. "Diam aja?!" protes Agus. "Kemarin pagi mas kemana?" terpaksa bersuara. Agus memandangi tidak suka, "Ya, disinilah masak dimana sih. Enggak usah curiga-curigaan deh. Aku enggak suka!" "Ya, curiga itu siapa sih. Aku kan cuma nanya mas dimana? Salah?" "Iya, salah. Aku enggak suka." "Entar enggak nanya marah, ditanya marah. Aku bingung mas." "Ya, udah kalau bingung putus aja." "Enggak ada pilihan lain apa, terus aja mengancam itu," Sri pindah dari kursinya merasa jengah. Ruangan ini meski dingin penuh dengan udara AC yang dingin, rasanya gerah. Panas. Pengap. Apapun itu yang terasa tidak nyaman. Lebih senang melihat handphone kalau seperti ini, membuka facebook atau apapun itu yang penting bukan membuka percakapan dengan Agus. Meski ternyata membuka handphone adalah pilihan yang juga salah, "Sri, penagih utang datang lagi. Mamak takut. Kamu sudah ada uang belum to?" membaca itu lutut yang sudah lemas akibat hill yang tinggi dipanggung model tadi pagi, menjadi semakin lemas karena pesan ini. Tulang-tulang seperti dilolosi, hilang tinggal daging dan sedikit lemak yang membungkus kulit. Anak macam apa, ibunya sedang kesusahan tidak bisa menolong sedikitpun. Ibu juga sih, sudah tahu hidup pas-pasan masih juga suka ngutang dengan orang-orang kejam untuk membeli barang-barang yang tidak butuh-butuh amat sehingga akhirnya malah menjadi bebani dengan bunga yang besar. "Minum!" perintah Agus membawakan air melihat wajah Sri yang pucat. Sri menggeleng, "Aku bingung, tukang nagih utang datang lagi. Tapi belum gajian." "Memangnya gajianmu cukup buat bayar, bukannya utangnya besar?" "Enggak, tapi lumayan mengurangi bunganya." "Ya, sudah nanti ku pinjemin dulu. Tapi balikin." Sri memandangi Agus lalu memeluk erat lengan kokohnya yang hangat, lembut dan wangi. Seperti mendapatkan malaikat dengan sayap lebar yang melepaskan segela beban berat yang menggelayuti. Bahkan seperti mengajak terbang yang tinggi ke langit biru hingga menyentuh awan putih. Bayu yang melihat itu hanya mendengus, sebentar bentar, sebentar baikan lagi, nanti minta putus lagi. Membingungkan. "Tadi kamu bilang baru ikut lomba? Lomba apa sih? Enggak usah aneh-aneh ya, apalagi model-modelan. Aku enggak suka. Kamu cukup berlenggak-lenggok depanku saja. Kalau kamu sampai begitu mendingan kita putus!" kata Agus lagi yang seketika membuat sayap malaikatnya rontoh dan berganti menjadi tanduk merah dikepalanya. Sehingga Sri pun melepaskan dekapannya. Kehilangan sosok tadi yang sudah membuatnya terbang tinggi hingga ke langit biru menyentuh awan, yang ada hanya sosok yang menjatuhkan begitu saja ke bumi hingga remuk-redam tidak berbentuk. Terus saja mengancam seperti itu... Bagaimana kalau Agus sampai tahu kalau Sri harus mendaftar miss Diva Indonesia. Pasti meminta putus. Kalau itu terjadi dan Sri tidak punya uang untuk membayar utang mamak bagaimana? Agus jangan sampai tahu. Benar-benar top urgent tidak boleh tahu. *** Hari sudah malam, kursi-kursi cafe sudah diangkat. Lantai pun sudah dipel sehingga kembali mengkilap seperti saat baru dibuka. Bahkan lampu-lampu mulai dipadamkan hanya bersisa beberapa lampu di meja kasir dan dapur tempat para pekerja mengambil tas dan barang-barangnya. Beberapa mengeluh capek karena lebih ramai dari hari biasanya. Sehingga ingin segara sampai dirumah, segera tidur agar besok kembali segar. Sri sendiri sudang menguap berkali-kali sembari mendengarkan Agus yang mulai mengomel lagi sambil sesekali mencubit roti bakar buatan Marco. "Hari ini jadi latihan tempat madam Stella ya?" tanya Marco sesudah Sri mematikan handphonenya. "Jadi, dari pagi sudah menelpon terus-terusan. Ya, tidak enak juga sudah membuat dia mengeluarkan seratus juta. Aku harus...balikin kan dengan mengikuti maunya dia itu." "Oke, gue ikut ya." "Iya, temenin. Aku takut sendiri pulangnya." "Enggak minta Agus jemput?" "Jangan, dia jangan sampai tahu. Dia enggak suka aku ikut modeling atau beauty pagent. Nanti langsung minta putus...kalau putus...aku juga ngutang banyak ke dia. Balikinnya gimana?" "Gue makin enggak paham dengan hubungan kalian. Enggak sehat banget, jangan-jangan loe pacaran emang benar-benar demi uang ya?" Handphone Sri bergetar, ada telpon madam Stella yang masuk. "Buruan yuk, sudah ditelpon madam Stella." Sri dan Marco pun pamitan dengan teman-teman serta mister Chicko menuju rumah madam Stella, bersiap dengan gerbang yang lembab, pengap dan dipenuhi tikus. Dan tentunya si pudle jutek yang sudah menunggu untuk menggonggong. Untuk persiapan miss Diva seperti apa, mungkin berhubungan dengan make up dan tentunya jalan diatas panggung menggunakan sepatu 12 cm itu lagi. Jadi tidak masalah meski badan sudah meminta direbahkan ditempat tidur. Sayangnya, salah. Sebuah sumur dengan timba yang diberi ember berukuran sedang justru yang harus dihadapi oleh Sri. "Isi tangki-tangki air itu dengan air dari sumur!" perintah madam Stella. "Kenapa enggak pake mesin air saja?" tanya Sri lirih. "Segera laksanakan atau utang seratus juta tidak juga terbayar!" omel madam Stella tidak bisa diganggu gugat lagi. Sehingga mau tidak mau tali dari karet hitam dengan serat-serat benang pun diturunkan melalui putaran besi yang berderit-derit menggesek penyangga putaran yang juga dari besi. Hal yang gampang untuk Sri, di Lampung biasanya kalau mau nyuci, kalau mau mandi selalu melakukan hal yang sama. "Ingat dilarang membungkuk, harus tegak. Dagu sejajar dengan lantai!" teriak madam Stella sambil membawa rotan yang berkali-kali terpaksa Sri rasakan sedikit perihnya menyentuh kulit akibat lupa harus tegak. Meski begitu, tidak membutuhkan waktu lama satu tanki pun penuh. "Untuk tangki-tangki yang lain tunggu, embernya diganti!" kata madam Stella memberi kode ke Rukiyah untuk mengambilkan ember yang serupa namun sudah dimodifikasi dengan lubang-lubang dibawahnya. "La, kalau begitu kapan bisa penuhnya?!" protes Sri. "Ya, itu pintar-pintarnya kamu mencari cara dan tetap tegak apapun yang terjadi!" balas madam Stella memandangi Rukiyah menganti ember timba. Benar-benar semakin tidak paham untuk apa semua ini. Mendingan juga kelas make up, itu lebih dibutuhkan karena tidak pernah make up. Alat-alat apa saja tidak tahu mana yang eye liner, mana yang eye shadow, mana yang blash-on. Cuma tahu bedak, lipstik, lips gloss, pensil alis. "Ingat harus semua terisi, kalau tidak terisi mulai sekarang akan ada peraturan baru. Utang akan ditambah satu juta rupiah jika tugas setiap tidak tuntas dan juga jika terjadi perlawanan ada denda seratus ribu rupiah." "Enak aja, harusnya dari awal sudah dibilang!" "Oke, karena melawan utang menjadi seratus juta seratus ribu!" "Enggak bisa, seenaknya gitu dung!" "Oke, semakin melawan utang menjadi seratus juta dua ratus ribu. Catat itu Rukiyah!" Ingin rasanya menggigit sesuatu hingga hancur tidak berbentuk lagi. Kemudian disebar dan dilempar kemanapun tapi tidak bisa karena akan semakin menambah denda. Dasar madam Stella Hitler, tega. Tidak tahu apa kalau di Lampung masih punya utang banyak yang juga harus dilunasi? "Sudah, ikuti saja. Bayangin aja lagi nimba air yang kalau airnya berhasil sampai kering didalam sumur ada peti uang jutaan rupiah," bisik Marco mendekat membawa pudle jutek yang lansung menyalak galak begitu dekat dengan Sri. Kemudian dia pergi meninggalkan seorang diri yang masih terus bersungut-sungut tidak terima. Namun, bisa apa. Tidak ada pilihan lain selain harus menerima kenyataan bahwa ada denda jika melawan, ada denda jika tidak tuntas. Jadi ikuti saja maunya meski tidak paham untuk apa selain berguna tangki-tangki terisi. Tali timba pun mulai diturunkan dan mulai terisi air yang ternyata lubangnya sangat banyak sehingga begitu sampai di atas air sudah habis jika tidak cepat. Jika cepat-cepat posisi tubuh tegak pasti terlanggar. Akibatnya rotan kembali menyentuh kulit Sri dengan perih. Benar-benar menyebalkan sekali. Ini terlalu susah. Terlalu absurd. Ingin rasanya menyerah saja namun membayangkan utang menjadi bertambah 1 juta, tidak terima. Mencari uang itu sulit. Sangat sulit di Jakarta ini. Meski emosi, meski jengkel Sri terus menurunkan lagi tali timba dan mengisinya lagi. Selalu habis sampai diatas karena harus menjaga tubuh untuk tetap tegak. Entah berapa kali erangan, teriakan terdengar dari sumur itu membuat orang-orang dibalik pagar itu kaget saat disedang melewati. Marco yang sedari tadi memandangi menjadi tidak tega dan memilih masuk ke dalam rumah yang dipenuhi perabotan-perabotan unik seperti sedang berada diluar angkasa. Mulai dari sofa-sofanya, langit-langitnya hingga hiasan-hiasan kecil seujung kuku di dekat sebuah cermin besar. Bagian paling menarik adalah adanya manekin, mesin jahit lengkap dengan alat-alat untuk membuat baju seperti gunting, benang aneka warna, jarum aneka fungsi, jarum pentul, penandan jahitan serta kertas-kertas untuk pola baju. Bahkan dibelakang mesin jahit itu terdapat banyak kain-kain utuh aneka warna hingga lace dari Paris yang terkenal lembut dan mahal luar biasa. "Ini keren banget ya!" teriak Marco histeris, tidak menduga ada tempat seperti ini. Bahkan ditemukan banyak sketsa-sketsa baju pesta model tahun delepan puluhan hingga sembilan puluhan yang jika dikenakan sekarang akan terlihat aneh. Ada yang memiliki bahu bergelembung, ada yang memiliki sarung tangan putih seperti yang dikenakan pengantin, hingga corak bling-bling yang terlalu norak. Marco pun mengambil satu kertas, mengambil pensil warna dan perlahan-lahan garis demi garis ditorehkan hingga membentuk tubuh perempuan tinggi dan langsing dengan gaun press badan serta rok lebar pada bagian lutut kebawah. Baju yang dari pengamatan Marco setiap kontes Miss Diva International dilangsungkan selalu memperoleh point tinggi disesi evening gown karena membuat si pamakai terlihat elegan dan berkelas. Apalagi jika ditunjang proporsi tubuh yang memadai. Badan tinggi, pinggang yang membentuk curve dan attitude catwalk yang mumpuni sehingga membuat nyawa baju dan si pemakai menyatu. Setelah puas memandangi hasil sketch, Marco menuju ke tumpukan kain-kain dibelakang mencari-cari kain yang kira-kira bisa mewujudkan rancangannya menjadi baju sungguhan. Karena terlalu asyik memilih sampai-sampai tidak memperhatikan tumpukan kain yang oleng sehingga tumpukan kan pun berjatuhan menggelinding lalu menimpa Marco yang tidak sempat menghindari. Suara berdebum pun menggema sampai membuat Sri terhenti memegangi tali hingga ember pun kembali jatuh ke dalam sumur dan juga menimbulkan bumi berdebum. Madam Stella yang tengah menguap dan mulai mengantuk seketika terbangun. Bingung begitu banyak suara berdebum menyentuh telinganya. Rukiyah pun dikode untuk mengawasi Sri sehingga si pudle yang tengan meringkuk ditinggalkan seorang diri sambil memandangi Sri yang terus mengomel. Rukiyah bahkan diperbolehkan memukul jika Sri yang sudah basah kuyub baik oleh keringat maupun air dari ember bocor jika lupa untuk menegakan badan. Sri pun mendengus tidak tahu sampai kapan tangki-tangki bisa terisi kalau embernya bocor dan bukan hal mudah menimba air dengan badan tegak. Membuat tubuh dua kali lebih cepek, pegal, ngilu dan terpenting mengantuk. Madam Stella yang memasuki rumah menemukan Marco tengah tenggelam diantara tumpukan kain. Kesulitan bangun tidak bisa bergerak namun tidak berani berteriak, takut madam Stella marah sehingga raut wajah pun menjadi memucat begitu mendengar suara alas kaki berhak rendah mulai berderap mendekati. Marco pun lebih memilih memejamkan mata tidak berani melihat apapun, apalagi saat langkah itu terhenti tepat di atas kepalanya. Entah bakal dipukul, dijambak, dijitak atau apapun itu pasrah. Namun, hingga detik demi detik berjalan, tidak ada apapun yang mengenai kepalanya yang ada hanya desah nafas penuh kekaguman sehingga perlahan-lahan dibukanya mata itu. "Kamu yang membuat ini?!" tanya madam Stella. Marco tidak berani menjawab apapun, selain sesak akibat tertimpa gulungan-gulungan kain. Bayangan akan dijitak, dipukul atau dijambak masih begitu besar memenuhi kepala. "Ini benar kamu yang membuat?" Kali ini bayangan dijitak, dipukul atau dijambak sirna seperti mendapatkan keyakinan ada sesuatu yang madam Stella ingin ketahui dengan sungguh-sungguh. Namun, belum sempat suara Marco meluncur dari bibirnya. Jeritan-jeritan histeris terdengar dari luar diantara gonggongan galak si pudle yang kembali mengamuk akibat terkena cipratan air. Ketika madam Stella keluar dari ruangan, Sri berlari-lari tidak tentu arah dikejar anjingnya yang sudah berubah beringas. "Ah, TOLONG!" teriak Sri berulang-ulang ketakutan. Sementara itu handphonenya terus bergetar diatas meja disebelah tas tanda ada telpon yang masuk dari Agus yang sudah menghubungi untuk kesekian kali. *** Matahari sudah tinggi ketika Sri meninggalkan kamar kosnya. Seperti biasa mpok Tiah sudah menjemur baju-bajunya sehingga lagi-lagi menjatuhkan baju-baju itu ke tanah yang berlapis debu. Karena terburu-buru kembali lagi dengan terpaksa ditinggalkan begitu saja baju-baju itu tergeletak ditanah. Sri pun segera berlari takut ketahuan mengusir bebek-bebek yang sedari pagi sudah berkeliaran sehingga kotorannya banyak memenuhi halaman itu, yang kadang sebenarnya membuat geli dan jijik. Tapi, hanya ditempat ini yang memberi biaya sewa perbulan dengan harga murah, sangat murah yang cukup dikantong tanpa harus share kamar seperti yang banyak teman-teman pekerja lain lakukan. Satu kamar disewa empat sampai lima orang. Sri tidak bisa, tidak suka jika harus ramai-ramai seperti itu. Ketika tiba dijalan dengan mata yang masih mengentuk dan mulut yang tidak henti menguap, kembali samar-samar seperti Agus melintas membawa sepeda motornya dengan membonceng seorang gadis yang melingkari pinggangnya. Ingin rasanya mengejar tapi seluruh badan masih sakit akibat menimba air dan dikejar-kejar si pudle jutek masih terasa menggelayuti disekujur tubuh. Sri pun mencoba menelpon sebelum akhirnya datang angkot yang melewati ITC Permata Hijau. Karena tidak juga diangkat Sri pun memilih untuk menyerah dan menuju tempat kerjanya. Kembali melupakan bayangan dan kecurigaan yang semakin jelas jika Agus telah memiliki gadis lain. Lalu bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Sri menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapa yang akan membantu membayar utang mamak? Siapa yang mau menerima Sri yang hitam, tinggi dan hanya dari keluarga biasa. Terlalu biasa malah. Nyaris tidak ada yang spesial yang bisa dilakukan. Bahkan menggunakan sepatu tinggi pun jatuh terguling. Dandan tidak bisa. Ada Agus yang mau menjadikan Sri pacar saja sudah harus bersyukur. Apalagi sangat baik sudah banyak membantu keuangan keluarga Sri yang tidak henti terlilit utang. Kurang apa coba? Sekalipun dia jutek, dia suka seenaknya, selalu mau menang sendiri. Bukankah setiap orang memang selalu begitu, memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tinggal diri sendiri seberapa jauh bisa mentoleransi sisi buruknya maka semuanya akan baik-baik saja. Angkot pun tiba di ITC Permata Hijau tepat disaat Marco menelpon untuk kembali membangunkan Sri agar datang sebelum mister Chicko tiba. Dengan sengaja dimatikan telpon itu agar mengomel-ngomel sendiri didalam cafe. Toh, sudah sampai disini. Tinggal mengawasi saja dimana keberadaannya. Kali ini, tidak berlari karena tubuh masih belum sepenuhnya terisi energi. "Untung aja hari ini mister Chicko belum datang. Loe mau bikin gue jantungan?" Marco jengkel memandangi Sri yang hanya tersenyum sambil menahan kantuk yang masih menyelimuti tubunya. Koran pagi pun diambilnya dibaca artikel demi artikel didalamnya seperti pagi yang sudah-sudah lalu menemukan foto dirinya yang tengah terguling dipanggung dengan dipandangi jijik oleh cewek sok "Diva" yang sempat membuatnya minder. "Ini siapa sih, belagu banget tapi keren," puji Sri menunjukan ke Marco. "Enggak kenal ya, tapi dia pageant material banget. Bodynya udah jadi, looknya pun sudah siap lah buat kontes international ya. Kecuali attitudenya. Enggak banget." "Sok tahu deh," "Tahu dong aku kan pageant fans nomer satu. Bahkan nanti kalau aku udah punya duit banyak bakal bikin beauty camp seperti di Pilipina. Terus yang trainning ditempatku ya, bakal ku kasih baju satu-satu yang wajib dipake saat final ya." "Baju, emangnya loe mau jadi fashion designer?" tanya Sri. "Hah, siapa yang mau jadi fashion designer? Biasanya kalo cowok kan...ya itu ya....engggak doyan cewek ya? Bahkan kalau di Eropa denger-denger model cowok yang mau jadi model runaway kudu bobo-bobo cantik bareng gitu. Serem deh." sambung seorang teman Sri yang baru saja datang membawa tas yang mirip tas yang sudah dibuat kotor oleh Sri. Marco pun hanya meringis lalu memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Sri terus membaca koran halaman demi halaman serta yang lain bersiap-siap untuk membuka cafe. *** Selain masih letih, sedikitpun Sri tidak bersemangat. Sepanjang hari ini Agus tidak menerima pesannya, tidak juga menerima telponnya. Semuanya dibiarkan begitu saja. Ingin rasanya menuju tokonya untuk sekedar bertemu beberapa menit tapi sepulang kerja harus buru-buru menuju rumah madam Stella. Apalagi Marco sejak siang seperti tengah kerasukan, ingin segera berlari menuju rumah itu. Seolah ada sesuatu hal besar yang menarik perhatiannya. Begitu tiba di depan rumah madam Stella, ada telpon yang masuk. Telpon dari Agus yang sudah sangat dinantikan, sehingga raut wajah Sri berubah berseri penuh keceriaan yang sedari pagi seolah menghilang tertelan awan gelap. Namun, untuk beberapa saat sesudah Marco mengetuk pintu yang menimbulkan gema di dalam ruangan rona wajah itu perlahan-lahan mulai kehilangan cahaya yang bersinar untuk beberapa saat. "Kok enggak diangkat ya?" "Pasti nanti tanya dimana, sedang apa. Aku kan enggak bisa bilang lagi latihan untuk persiapan Miss Diva. Bisa-bisa dia minta putus nanti." "Biasanya juga begitu kan ya?" "Kali ini beda, dia lebih serius. Kayak sudah ada yang lain jadinya enggak takut ninggalin aku begitu saja. Dan aku enggak mau itu terjadi." "Kerennya dia apa sih ya selain punya duit yang banyak, sampai loe kayak dipelet begitu ya. Kasar iya, egois iya?" Pintu pun terbuka dengan Rukiyah kali ini menggunakan gown merah ballgown lengkap dengan rambut dikonde cepol tinggi. Bahkan matanya diberi eyeliner khusus sampai keluar ditepi kanan-kiri mata. "Ulala, gilak cetar banget!" komen Marco takjub. "Ya, iyalah...inyonge," kata Rukiyah membuat Sri tersenyum sembari terus memandangi handphonenya yang terus bergetar dengan nama Agus disana. "Buruan angkat!" kata Marco kembali ingat tentang telpon Agus dengan wajah jengkel kemudian masuk ke dalam lorong tanpa memperdulikan apa yang akan Sri putuskan. Menerima telpon atau membiarkan begitu saja. Lagi pula apa perduli Marco, toh dirinya hanya teman. Yang penting Sri senang. Sri semakin bingung dibuatnya, begitu banyak kata-kata yang berputar untuk membuat alasan. Namun, tidak ada satu katapun yang tampak pas sehingga jari-jari menjadi kaku tidak sedikitpun bisa memencet tombol terima. Hingga akhirnya telpon pun mati sendiri. Pada saat itu juga Sri mulai berjalan memasuki lorong dengan aneka kata yang masih terus berputar-putar jika nanti ditelpon lagi, kata-kata apa yang akan digunakan. Nafas pun menjadi semakin sesak ditengah lorong yang masih pengap dan lembab dengan masih beberapa tikus tampak berlari-lari ketakutan. Ah, gila rasanya...Sri ingin sekali kepalanya di kaki dan kaki dikepala saat ini. Dan hal itu seketika menjadi nyata begitu kaki menginjak lantai rumah madam Stella. Seperti kelelewara, kaki digantung dan kepala menghadap ke bawah tepat diatas sebuah kolam renang. Untuk apa ini, tidak sedikitpun bisa memahaminya. Mungkin sebagai hiburan madam Stella yang kesepian dan kurang hiburan. Lain kali berharap yang bagus-bagus saja seperti mandi uang. Sri tidak menyukai kegiatan seperti kelelawar ini. Benar-benar tidak suka. Aliran darah terasa berdesiran mengalir deras menuju muka, telinga hingga ubun-ubun lalu perlahan tapi pasti rasa ngilu mulai berpacu dengan rasa pusing yang seketika menjalari. Lalu besok apa lagi setelah kemarin dijadikan alat untuk menghemat listrik menggantikan fungsi mesin pompa air dengan dikerjai memakai ember bocor. Bisa jadi besok disuruh berdiri diatas genting dengan kepala diberi gentong berisi air dan dilarang sampai jatuh. Kalau jatuh utang akan bertambah satu juta. Rasa-rasanya madam Stella itu hanya seorang ibu-ibu tua sakit jiwa yang butuh hiburan! Sinting... Si pudle, Trump dibawah tidak henti menggongong mengelilingi Sri seolah merayakan ketidaknyamanan yang sedang dialami musuh nomer satunya. Rukiah sendiri sudah berusaha menenangkan tapi tidak sedikitpun digubris. "Itu yakin tidak apa-apa madam ya?" Marco mulai kuatir melihat perubahan wajah Sri dari balik kaca diruangan jahit yang sudah menyihirnya kemarin. "Tidak apa-apa, itu bagus untuk tubuhnya agar melawan gravitasi membuat dada, pantat melawan arah gravitasi yang biasa dialami." "Harus banget ya?" "Itu belum seberapa, dulu dilakukan tanpa pengaman diatas kolam lumpur. Yang tidak sanggup bisa byurrr. Kehilang diri, kehilangan malu." "Memangnya madam sudah pernah ya?" "Tentu saja," madam Stella meninggalkan Marco menuju tempat Sri yang wajahnya sudah tidak karuan. Dari ruangan itu sambil memilih bahan yang cocok untuk gambar-gambar yang berserakan dimeja, terlihat madam Stella menurunkan Sri lalu memijit pelan bagian kaki dan bahu. Namun, Sri justru terlihat sangat emosi menghempaskan tangan lalu mengeluarkan segala kata-kata yang sudah berputar-putar dikepalanya sepanjang menjadi kelelawar mengerikan di atas kolam renang. Untuk apa semua latihan ini? Mau dijadikan bahan lelucon? Ini tidak lucu! Marco sendiri tidak bisa berbuat apapun, bagaimana pun Sri dalam posisi yang lemah tidak bisa berbuat apapun selain pasrah karena terlanjur memberikan segelanya melalui uang seratus juta akibat insiden tas Hermes di cafe. Pada saat itu juga Marco terdiam. Mungkin hal yang sama terjadi juga dengan hubungannya bersama Agus. Lagi-lagi terjebak dengan uang. Kasihan Sri. *** Hari telah tengah malam saat Sri tiba di kamar kosnya. Bahkan lampu-lampu kamar lain sudah dimatikan yang sebagai tanda setiap orang sudah tidur pulas mencapai alam mimpi terdalamnya sedangkan Sri baru saja mendorong pintu merasakan sekujur tubuhnya ngilu setelah menjadi kelelawar dan melewati hari yang penuh emosi. Seharusnya tidak boleh marah-marah di depan madam Stella, apalagi dia sudah baik mau meminjami uang seratus juta untuk mengganti tas sialan itu. Syarat mengembalikan uang juga mudah, tidak harus uang cash, hanya perlu mengikuti kontes Miss Diva Indonesia dan memenangkan salah satu dari tiga spot utama. Bahkan lebih mudah dari pada syarat yang sudah Agus berikan jika putus. Sri jadi bingung, orang baik itu seperti apa. Apa Agus baik, atau madam Stella baik? Atau keduanya tidak ada yang baik? Handphone Sri bergetar, kali ini ada telpon dari mamak. "Sri kirimi uang lagi, tadi penagih utang datang lagi." "Lho, uang yang kemarin itu dikemanain. Sri kan baru kirim." "Sudah buat beli motor adikmu, dia marah-marah terus. Tidak mau sekolah." Handphone seketika meluncur dari tangan, jatuh menghantam lantai hingga membuat casing, batrai terburai sehingga suara mamak pun menghilang berganti dengan isak tangis yang perlahan memenuhi ruangan itu. Kok, malah buat beli montor. Padahal ada hal lain yang lebih penting. Memangnya gampang apa mendapatkan uang jutaan seperti itu. Kerja di Jakarta bukan berarti menjadi mesin uang, mesin tangisan iya. Kadang harus terkena marah boss akibat membuat kesalahan. Kadang kesiangan dan harus buru-buru berlari tidak memperdulikan jalan ramai hingga nyaris tertabrak. Kadang sakit pun harus masuk karena tidak mendapatkan izin untuk beristirahat. Sekarang Sri tidak tahu harus bagaimana, dirinya sendiri sedang dalam masalah. Ada uang seratus juta yang harus dilunasi dengan menjadi Miss Diva Indonesia. Harus mengikuti latihan-latihan absurd yang katanya dengan bergelantungan menjadi kelelawar untuk anti gravitasi membuat dada dan pantat diubah arah tarikannya. Menimba air dengan posisi tegak untuk mengencangkan otot tangan dan dada. Semua dada...apa karena dada Sri tidak besar sehingga semua latihan harus mengarah ke sana? Belum lagi, bagaimana jika Agus minta putus? Lalu uang-uangnya yang selama ini digunakan bagaimana. Mana bisa tidak meminta kembali. Rasanya semakin gila. Dunia seperti memusuhi, tidak ada jalan yang mudah. Tidak ada cara yang mudah. Semuanya tembok yang tinggi dan begitu sulit untuk dilewati. Entah bagaimana atau seperti apa, saat ini yang bisa dilakukan hanya terus berjalan tanpa tahu apakah di depan ada pintu yang bisa dilewati atau ada tangga yang bisa digunakan untuk memanjat. Bisa juga tidak ada apapun dan terhenti. Namun, bukankah kata orang Tuhan selalu memberikan jalan. Bahkan tidak sedikit yang bilang jika satu pintu ditutup maka akan dibukakan pintu yang lain? Hanya bisa bilang semoga... *** >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>. Masih semangat? Ayo, ke bab berikutnya ya ... PERTEMUAN "Sekarang katakan HAWAI!" kata mister Chicko jengkel memandangi Sri yang tertangkap basah datang terlambat dengan wajah penuh minyak, mata sembab, rambut acak-acakan dan badan yang kecut akibat tidak mandi. "Saya tidak mau pelanggan melihat pelayan disini tidak ada energi. Kusut. Orang pergi ke cafe pasti ingin merilekan diri dari apapun yang mereka jalani. Entah strees, entah pusing, entah ada masalah. Kalau orang-orang disini juga sama seperti mereka maka jadi seperti apa emosi mereka?" "Maaf." "Dan, mandi...apapun yang terjadi. Air akan membantu merilekan apapun yang terjadi!" mister Chicko melemparkan handuk dan tas kecil berisi alat mandi. Dengan bahasa kode tangan, Sri diusir untuk segera keluar karena sudah tidak sanggup lagi mengatakan apapun. "Loe kenapa?" tanya Marcho begitu Sri keluar. "Enggak apa-apa," jawab Sri datar membuat Marco ingin bertanya lagi. Namun, karena pelanggan sudah mulai berdatangan terpaksa hanya bisa memandangi dari jauh sampai menghilang dari balik dinding menuju toilet yang menyediakan shower. "Kerja, layanin dulu pelanggan. Selain itu ditunda dulu," bisik mister Chicko menyenggol Marco. "Sesudah ini selesai, tolong temui saya sebentar." Marco pun menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Kenapa malah ikutan kena masalah, jadi dipanggil. Hal-hal seperti ini yang sering menyebalkan, ada satu orang saja merusak mod boss, maka yang lain terkena getahnya meski melakukan kesalahan yang begitu kecil hanya kurang fokus melayani pelanggan. Nasib. Dengan takut-takut ditemui mister Chicko yang sedang duduk membelakangi meja. Dari bahasa tubuhnya memang sedang mengalami mod yang tidak baik, yang bukan semata karena Sri. Mungkin bertengkar dengan istrinya karena masalah ekonomi, cemburu atau apapun. Bisa juga cafe ini kurang profit mungkin. Semuanya mungkin. "Permisi pak...mister," kata Marco meringis, sampai salah sebut. "Hem, sebentar," mister Chicko baru berbalik arah dengan muka masam dan, "Brak!" meja dipukul keras-keras sampai-sampai membuat jantung seperti berpindah tempat tidak lagi berada di dalam krongkongan. "Maaf, pak...muka saya hari ini pucat karena tidak pake pelembab yang bapak bilang. Jadinya saya tidak fokus!" cerocos Marco. "Siapa yang mau tanya itu?" mister Chicko bingung, "Saya cuma mau tanya Sri kenapa? Apa karena tas Hermes tempo hari, jadinya terbebani?" Marco menjadi semakin lunglai, dikira ada sesuatu ternyata hanya mau bertanya soal Sri. "Mungkin, mungkin kecapekan karena madam Stella mengharuskan Sri mengikuti kontes Miss Diva Indonesia dan harus menjadi salah satu pemenang untuk melunasinya. Latihannya aneh-aneh pak. Kasihan juga lihat Srinya. Ada suruh nimba air katanya buat membentuk otot tangan dan dada. Lalu jadi kelelawar digantung diatas kolam buat anti gravitasi." "Intinya membentuk badan ya?" guman mister Chicko. Pada saat yang sama madam Stella memasuki cafe dengan baju lusuhnya. Tidak seperti saat berada dirumah yang begitu anggun dengan gaun-gaun indah. Si pudle Trump pun menggonggong kecil seolah memberi tahu Sri kalau dia datang. Namun, karena Sri tidak juga terlihat, anjing kecil itu langsung menunduk di dalam tas yang dibawa madam Stella. "Sana layani dulu pliss!" perintah mister Chicko dengan tangan dihidung dan dahi berkerut tengah mempertimbangkan banyak hal. *** Baru kali ini Sri mandi begitu lama. Biasanya lima menit saja sudah malas. Mungkin benar kata mister Chicko, air membantu tubuh untuk rileks sehingga pikiran pun menjadi lebih tenang. Lebih nyaman dan jadinya mau mandi lebih lama. Sri pun keluar dari kamar mandi dengan sedikit senyuman yang mulai mengambang. "HAWAI!" katanya sehingga senyuman lebar pun terpancar dari wajahnya yang masih tetap tidak bisa meninggalkan sisa-sisa letih dan tangisan semalam saat berkaca. Seperti ini apa iya mengikuti kontes Miss Diva Indonesia? Sudah hitam, pucat, cantik juga tidak. Cowok yang suka juga tidak ada selain Agus. Itu pun perlahan-lahan sepertinya sudah tidak lagi suka, Agus sudah memiliki yang lain meski belum pasti benar atau tidak. Semoga saja tidak, sehingga nanti bisa menikah dan hidup Sri yang terus-terusan digelayuti aneka kekurangan uang bisa menghilang. Sri pun terkekeh, kenapa menjadi seperti Cinderella ya? Si putri miskin yang ingin menjadi istri pangeran. Ya, siapa sih yang tidak ingin bahagia meski tidak pernah tahu apakah sesudah menikah Cinderella benar-benar bahagia atau kembali menderita. Yang penting masih punya harapan. Kalau ada harapan berarti masih hidup dan mau terus berjuang. Ini saja sudah cukup. Kembali senyuman dipancarkan dan buru-buru berjalan keluar, namun belum sempat mencapai pintu Sri sudah harus bertabrakan dengan seorang gadis tinggi yang wajahnya tidak asing. Namun, tampak berbeda dari yang pernah dilihat. Tidak ada make up tebal, hanya make up tipis serta baju sexy yang harus dikenakan. "Lihat-lihat dong kalau jalan. Saya model lho, kulit saya mahal kalau sampai lecet!" omel gadis itu yang seketika membuat Sri ingat suaranya yang menyebalkan saat dibelakang panggung saat kontes model. "Iya, maaf," kata Sri kembali bete dan buru-buru keluar dari toilet, "Masak iya, tabrakan dikit sudah lecet sih? Itu kulit atau penyakitan?" "Brak!" Sri kembali tabrakan yang lebih keras dengan seorang laki-laki kemeja kotak-kotak biru dan celana jeant longgar belel berbadan besar. Tubuh kurusnya yang masih termakan letih latihan aneh-aneh madam Stella dan kurang tidur semalam pun oleng dan langsung mendarat ke lantai menciptakan rasa panas yang seketika menjalari pantat. "Eh, maaf. Aduh, jadi jatuh kan," kata laki-laki itu buru-buru mengulurkan tangan. Mata Sri mendongak, dipandangi tangan dengan bulu-bulu halus yang memenuhi pangkal tangan lurus ke lengan hingga akhirnya menuju kepala. Melihat senyuman manis, hidung yang tegas dan sorot mata yang hangat terbingkai kaca mata hitam berbingkai tebal serta alis tegas yang membuat memori seketika berputar. Seperti pernah melihat dan merasakan sorot mata ini. "Kamu Dody ya?" kata Sri tiba-tiba membuat laki-laki itu kaget. "Iya, itu saya," dengan bingung, "Maaf, memori saya buruk. Anda siapa?" "Ye, formil banget sih. Pake Anda segala...aku Sri temen waktu SD dulu. Inget enggak. Aku sih inget." Dody masih menggeleng memandangi Sri yang masih dilantai sehingga banyak orang yang lewat memandangi dengan heran. "Inget enggak si item dekil, semua orang ngeledekin gitu. Terus loe...eh kamu belain aku dari anak-anak bandel. Tapi pas mereka mau ngajak berkelahi kamunya nangis. Jadinya aku yang hajar-hajaran sama anak cowok deh." "Oh," Dody tersenyum, "Inget-inget...sorry. Udah lama banget apa kabar?" "Em, sekarang lagi enggak baik. Dilantai barusan tabrakan." "Oh, iya sini buruan naik. Enggak enak dilihatin orang." tangan Dody kembali terulur dan dengan senang hati Sri terima. Tangan Dody masih seperti waktu SD dulu, hangat seperti sorot matanya yang selalu ramah. "Sekarang tinggal dimana?" "Deket sini aja." Dody memandangi seragam Sri yang bertulis cafe Kappa dan tiba-tiba terdengar suara derit-derit diperut dan, "Brut!" suara kentut terdengar disusul aroma tidak sedap. Wajah Dody yang cerah berubah memucat, antara malu dan antara menyadari tujuannya ke tempat ini. "Sorry, udah enggak tahan nanti kita ngobrol-ngobrol lagi!" seketika kaki pun diayunkan lebar menuju toilet laki-laki menyisakan aroma yang reflek membuat tangan Sri menutupi lubang hidung. Pertemuan yang menarik. Beberapa orang yang sedang lewat ikut mencium bau yang seketika mengelitik syaraf hidung mengirimkan pesan ke otak bahwa itu aroma yang berbahaya. Mereka langsung memandangi Sri dengan jijik sebagai satu-satunya suspek yang mungkin mengeluarkan aroma tidak sedap itu. "Eh, bukan saya lho!" protes Sri baru sadar terkena tuduhan sehingga buru-buru berlari pergi dan baru tersadar badannya masih sakit semua untuk digerakan akibat latihan aneh bersama madam Stella. *** >>>>>>>>>>>>>>>>>>> Makin aneh atau makin seru ... yuk lanjut ke bab berikutnya AUDISI Sepatu dua belas centimeter berwarna silver sudah dikenakan, baju terusan berwarna hitam press body sudah rapih tanpa kusut, rambut sudah tertata sempurna dan make up minimalis membuat wajah yang biasa berminyak terlihat segar berseri. Sri pun melangkah dengan penuh percaya diri sambil memasang kacamata hitam tepat disaat matahari bersinar dari balik punggungnya. Di belakangnya, Marco dan Rukiyah yang membawa tas berisi file-file serta alat-alat make-up yang mungkin dibutuhkan untuk audisi hari ini. Mereka berdua mengikuti Sri memasang kaca mata hitam. Bahkan, Rukiyah memasang bluetoth headset memutar lagu Anise K feat. Snoop Dogg and Bella Blue yang berjudul Walking on Air. Setapak demi setapak mereka lewati jalanan itu, menghadapi angin yang berhembus, menghadapi genangan air yang membentang ditepi jalan memantulkan bayangan dan menghadapi banyak sorot mata yang tidak henti memandangi. Hingga akhirnya tiba di dekat sebuah mobil Porche yang terparkir, ketiga langkah itu berhenti. Sri pun mengangkat tangannya, "Bajai!" membuat salah satu sopir bajai yang sedang terantuk-antuk membuka mata buru-buru mendekat membunyikan mesin bajai yang berisik. "Ke Queen Palace ya pak!" Mereka bertiga segera duduk dan dari pantulan kaca spion bajai, Sri memandangi dirinya. Apakah dengan cara ini akan mendekatkan dirinya dengan pintu berisi jutaan uang untuk melunasi semua utang-utangnya atau malah menjadi akhir dari hari-hari di Jakarta menuju Batam? Nafas seketika menjadi sesak, disusul getaran-getaran kecil di tangan menciptakan titik-titik keringat yang basah dan dingin. "Everything gonna be alright!" tiba-tiba Marco bernyanyi sambil menggerak-gerakan badannya ke kanan dan kiri membuat Rukiyah yang duduk ditengah tergencet. Tapi, bukannya marah Rukiyah malah mengikuti Marco mengulang-ulang kata yang sama sehingga memecah sesak nafas, getaran-getaran di tangan Sri, bahkan menjadi hilang dan berganti dengan kegilaan yang membuat banyak orang di jalan mengarahkan pandangan matanya. Menimbulkan banyak komentar baik yang positif, maupun yang negatif. Apapun itu yang penting senang. Sampai akhirnya bajai berhenti tepat di depan gedung Queen Palace yang ramai. Selain dipenuhi para gadis dengan badan tinggi-tinggi, wartawan tidak mau ketinggalan meramaikan dengan lampu blitz kamera dan sejumlah pertanyaan. Terutama untuk Dewi Ames yang sudah mengikuti sejumlah peran disinetron, film dan iklan. “Ya, ini bagian dari mimpi saya sih…saya pengen membawa pulang mahkota Miss Diva Internasional untuk pertama kalinya ke Indonesia ya. Jadi ya, saya ikuti acara ini dulu deh. Shooting-shooting dipending dulu aja, kapan lagi ada kesempatan buat membawa nama harum Indonesia ke Internasional gitu.” Banyak orang mengangguk-angguk terkesan. Mungkin, hanya Sri yang menunduk. Tinggi sekali target yang ingin dicapai, kalau semua orang disini tahu target hanya mengambil satu spot pemenang agar hadiahnya bisa digunakan untuk melunasi utang. Kira-kira tanggapan mereka bagaimana? Akan tetap mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng sampai leher putus? "Fokus aja dengan tujuan loe, enggak usah pusing mikirin orang lain," Marco menyentuh tangan Sri yang mulai dingin akibat perlahan-lahan mentalnya mulai menciut. Bagaimana tidak menciut. Selama ini selalu berfikir yang paling tinggi di cafe, begitu berada di tempat ini ternyata belum ada apa-apannya. Ada banyak yang tingginya 175 cm lebih termasuk gadis di depan yang menggunakan tanda pengenal bertuliskan; "MARISA". Belum lagi kulit-kulit mereka seperti batu pualam, putih dan mulus tanpa ada cela sedikitpun khas hasil perawatan salon-salon mahal dengan teknologi tinggi. Sedangkan Sri sudah sawo matang atau mungkin sawo busuk, perawatan jarang-jarang. Malahan, mandi saja sering malas. "Balik aja yuk," bisik Sri. "La, ya jangan tho mbake. Inyong masih betah-e, belum poto-poto buat dikirim ke kampung-e." "Iya, Rempong deh ih." "Aduh, cuma realistis aja. Boro-boro bisa menang, masuk jadi finalis aja jauhnya kayak pergi ke Afrika." "Ya, udah sih. Mau jauh nyampek Afrika juga kalau niat buat jalan ya...bisa-bisa aja. Tinggal mau ama niat aja, tar juga nyampek kok." Marco menarik nafas, memang sepertinya tahun ini lebih berat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mungkin juga karena tahun ini melihat langsung bagaimana proses audisi berjalan, sedangkan tahun-tahun sebelumnya hanya memantau lewat foto-foto di sejumlah fans page pageant. Tepat di depan ruangan tunggu audisi, langkah kaki Sri berhenti. Seperti terjangkiti kram, bahkan lebih parah lagi seperti menancap ke bumi menggunakan ujung hill 12 cm yang runcing. Semakin tidak sanggup untuk melangkah menyaksikan lebih banyak lagi gadis-gadis seluruh nusantara berkumpul, ada yang berambut kriting, ada yang berambut lurus, ada yang ikal, ada yang bermata sipit, ada yang bermata biru dan banyak lainnya. Semua sudah siap untuk mendapatkan mahkota, bukan mendapatkan uang untuk melunasi utang. "Cus ah, masuk sana. Buru, enggak usah pake rempong deh ya. Kalau berhenti disini, loe mau rumah loe di Lampung disita sama entuh dept collector. Terus loe juga mau ke Batam?" Sri menggeleng. "Ya, udah go. Cus!" Marco mendorong Sri sehingga reflek memasuki ruangan tanpa melihat ada Nadine yang berjalan memandangi dinding kaca untuk menyaksikan apakah semua sudah sempurna dari tanan rambut yang dibiarkan lurus, kemeja putih yang dimasukan ke rok ketat selutut hingga sepatu hitam mengkilap merk Loubotin. Tabrakan pun terjadi yang membuat Sri harus merasakan perihnya menyentuh lantai berlapis karpet lengkap dengan bunyi keras; "KRAK!" dari hill sepatu yang patah. "Elo lagi...hello, come on...lihat-lihat dong kalau jalan. Kalau sampai lecet gimana!" omel Nadine memperhatikan seluruh tubuhnya untuk memastikan tidak ada goresan apapun dibandingkan memastikan Sri yang tergeletak di lantai menahan sakit dan menahan malu. "Mbak-mbak tidak apa-apa?" tanya seorang laki-laki berbaju batik dengan sebuah tanda nama di dada sebelah kiri bertuliskan Gede Angkasa. Nama yang sering diucapkan Marco saat tengah membahas pageant yang menurut Marco laki-laki ini semacam Charlie dalam filem Charlie Angels atau sosok yang penting di dunia Miss Diva Indonesia. Sri pun semakin terdiam bahkan nafas seolah terhenti, tidak tahu karena malu, sakit atau kebingungan harus bagaimana menjawab atau menerima tangannya. "Eh, Sri baik-baik saja pak!" Marco buru-buru mengangkat badan Sri dari lantai menuju kursi terdekat yang dipersilahkan gadis dengan tanda pengenal bertuliskan Tika yang buru-buru berdiri. Bahkan mengeluarkan obat luka yang ada ditas dari anyaman enceng gondok begitu melihat lecet dikaki yang perlahan-lahan merembes darah, mengumpul dan kemudian meluncur pelan. "Nerves pasti mbaknya ya? Tenang, enggak diapa-apain kok, cuma perkenalan lebih dekat aja," pak Gede tersenyum memandangi Tika yang sedang menempelkan plester luka tanpa ada rasa jijik atau sungkan sedikitpun. Nadine yang masih memeriksa dirinya baru tersadar yang berdiri dekatnya adalah laki-laki penting yang mungkin saja memiliki peran hingga 100 persen soal penentuan siapa saja yang layak menjadi tiga perempuan beruntung yang memakai mahkota Miss Diva Indonesia. "Aduh maaf, lain kali hati-hati ya...itu luka sakit enggak? Mau minum? Pasti hauskan? Biar aku yang tolong," Nadine seketika mengubah sorot mata dan warna suara dari merah menjadi hijau, mendekati Sri, menyentuh-nyentuh kaki yang tepat dibagian paling perih sehingga terpaksa mendorong pelan agar menjauh. "Sayang-sayang, ini pembalutnya ketemu di mobil!" Hose berlari memasuki ruangan dengan derap-derap kencang sol tebal sepatunya menyentuh lantai. Sri pun menengok dan memandangi tangan Hose begitu juga dengan orang-orang di dalam ruangan itu. Alis tebal Hose seketika terangkat, tidak menduga ada Sri dengan penampilan baru yang jauh berbeda dari yang selama ini dia lihat, tidak ada muka berminyak, rambut lepek, mata sayu kurang tidur, baju seadanya dan bau kecut, yang ada seperti sedang melihat seorang Naomi Cambel. "Pacar mbak?" tanya pak Gede memandangi pembalut, membuat Nadine merasa sudah terjadi hal yang salah, tangannya segera terulur cepat merebut dan langkah kaki segera diayunkan menjauhi ruangan itu dengan langkah-langkah lebar menimbulkan derap-derap keras menahan emosi yang siap-siap meledak. Hose pun seperti mendapatkan sinyal berbahaya yang levelnya lebih tinggi dari sebelumnya membuat otot-otot kakinya segera diperintahkan untuk kembali bergerak mengejar Nadine yang telah menghilang dari balik dinding. "Cih, masih aja dilihatin. Cowok model begitu ya...dipasar loak banyak. Loe bisa cari dapetin dengan gampang. Malah bisa jadi pake diskon 100 persen." "Pacarnya mbak?" "Eh, Iya. Eh, bukan. Oya, makasih ya. Aku Sri...Kamu...Tika ya?" "Iya, kita belum kenalan ya," mengulurkan tangan dengan ramah. "Nah, gitu. Memang sih ini lomba, semua orang saingan tapi ya...Nikmati semua momen aja. Punya teman baru, kenalan baru," pak Gede menangguk-angguk, "Saya sedang ada urusan, mau ngecek ke dalam dulu. Jadi saya tinggal ya? Mbaknya, mbak Sri baik-baik saja ya?" menunggu Sri mengangguk. Sri mengangguk meyakinkan setelah disenggol Tika, meski perlahan-lahan begitu memandangi sepatu ingin rasanya menggeleng. Selain alat make up, tidak ada sepatu cadangan yang sengaja dibawa karena berfikirnya toh hanya audisi. Masak iya, memerlukan sepatu cadangan? Paku dan martil juga tidak dibawa. Jika ada sudah pasti segera diperbaiki saat ini juga. "Gue cus, cari sepatu dulu ya?" "Enggak usah!" Sri menahan tangan Marco. Biarlah seperti ini saja, lagi pula jika melihat peta di ruangan ini melalui pantulan dinding marmer, bukan hanya kecil tapi tidak ada peluang yang bisa digunakan untuk terus maju. Cara duduk saja sudah berbeda, kaki menyilang rapat mirip seperti yang sering Marco tunjukan difoto-foto miss Venezuella jika duduk. Ketika mencoba mengikutinya ternyata ngilu. Benar-benar terlalu bermimpi menjadi salah satu penerus foto-foto di dinding yang tersenyum begitu bangga menggunakan mahkota. *** Ruangan sudah sepi, gadis-gadis dari seluruh nusantara sudah pulang kecuali Sharefa yang jauh-jauh datang dari Eropa demi mendapatkan sash Papua ketika Sri keluar dari ruangan audisi untuk bertemu juri tanpa alas kaki. Marco dan Rukiyah yang menunggu dipojok ruangan dengan duduk di lantai melihat-lihat foto di handphone hasil foto-foto mereka tadi dengan manekin-manekin pada ruangan lain yang berisi baju-baju yang pernah digunakan para Miss Diva Indonesia saat mengikuti kontes internasional. Tika yang tadi menolong Sri ternyata juga belum pulang, dia baru saja kembali dari toilet. "Bagaimana nona-e, lancarkah?" Sharefa berdiri mendekati Sri yang berjalan pelan dengan kaki gemetaran dan badan kedinginan akibat terlalu banyak dihembus dinginnya udara ac sekalipun sudah menggunakan jaket tebal berukuran besar milik Rudy yang ternyata menjadi salah satu juri. Tanpa menjawab pertanyaan Sharefa, Sri memilih menuju kursi untuk duduk merasakan ototnya tidak lagi mampu untuk menahan beban tubuh yang seperti baru saja berlari keliling lapangan sepuluh kali. Tanpa bertanya lagi, Sharefa langsung memeluk Sri erat-erat. Rambutnya yang kribo sampai menggelitik muka dan hidung, menciptakan kegelian yang merangsang syaraf-syaraf hidung mendeteksi benda asing yang harus buru-buru dihalau untuk masuk. Sri malah bersin keras-keras. "Aduh, sorry ya." "Tidak apa-apa nona-e. Su apapun hasilnya nanti, kau tetaplah semangat. Trada itu wajah sedih seperti tadi yang penting su coba." "Iya, ya ini juga pengalaman yang seru kok. Kalau pun gagal masih bisa buat cerita ke banyak orang. Apalagi enggak mudahkan kan?" Tika membelai bahu Sri. "Makasih ya, udah pada nungguin dan semangatin aku." "Tidak juga nona-e, sa pesan taksi tapi tidak datang-datang. Padahal sa tak paham ini Jakarta mana. Hotel dimana!" "Oh, oke." Tika menahan tawa dengan memandangi arah lain membelai lembut bahu Sri. Sabar ya... Seperti kata Sharefa, dia menunggu taksi. Begitu taksinya datang, dia pun pergi. Tika sendiri sudah ditunggu sopir pribadi yang membawa mobil mengkilap merk ternama. Tika sendiri sempat menawari untuk ikut tapi ditolak Sri sehingga membuat Rukiyah dan Marco yang ingin sekali merasakan seperti apa di dalam mobil mewah seketika kehilangan rona ceria di wajahnya. Berganti dengan masam lengkap dengan bulatan kecil di bibir. Kapan lagi coba? Masak bajai terus sih? "Masih belum balik Sri?" tanya Rudy dari belakang membawa segelas kopi yang wanginya sampai menyentuh hidung. "Eh, belum. Ini jaketnya ku kembalikan." "Pake aja dulu, masih kedinginan juga. Nanti-nanti aja balikinnya toh bakal ketemu lagi disini. Tenang aja." "Hah, ciyusan?" >>>>>>>>>>>>>>>>>> Ceritanya masih lanjut kaka ... tapi sementara sampai disini dulu ya .... Description: Tidak menyenangkan ketika bermimpi terjatuh dan ternyata jatuh sungguhan di bawah kolong tempat tidur lengkap dengan terjedut. Mungkin karena Marco sering menceritakan soal beauty pageant sehingga terbawa mimpi, herannya kenapa muncul Rudy cinta pertama Sri yang sekarang entah dimana padahal sekarang sudah punya pacar si Hose yang akhir-akhir ini menjadi sulit sekali ditemui maupun dihubungi melalui telpon, termasuk pagi ini. Malahan, justru Mamak yang menelpon meminta uang karena sudah ditagih penagih utang akibat belum membayar cicilan yang seketika membuat Sri menjadi stress. Sayangnya tidak boleh stress berlama-lama karena Marco sudah menelpon sambil ngomel-ngomel kalau tidak segera datang bisa ketahuan mister Osmel, bisa-bisa kembali terkena potong gaji akibat datang terlambat.
Title: Roda Cinta Category: Novel Text: Prolog “Ayolah, Om kan cuma mau main sama kamu. Ntar Om beliin permen yang banyak deh.”“Gak mau! Kata mama Mika gak boleh ikut sama orang yang gak Mika kenal! Lepasin Mika!”Taman bermain di tengah kompeks perumahan itu sangat sepi pada siang itu. Mika kecil sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak dibawa kabur oleh Oom mencurigakan itu. Awalnya pria itu sangat baik, ia mau menemani Mika dan mengajak Mika berbicara selama Mika bermain. Tapi, ketika Mika lengah, tangannya pun ditarik dengan paksa. Pria itu berkata akan mengajak Mika pergi ke taman bermain, tapi Mika ingat akan pesan ibunya yang melarangnya pergi bersama orang asing. Tentu saja anak sekecil Mika tenggah dilanda ketakutan pada situasi seperti ini. Beberapa kali Mika mencoba berteriak, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ketika keputusasaan melandanya, Mika mendengar suara itu, suara sang penyelamatnya.“Hei Om, lepaskan adikku. Om ngapain narik-narik adikku? Om apain adikku sampai nangis gitu? Aku bilangin mama sama papa lo,” seorang pria kecil kira-kira berusia 12 tahun berdiri di samping Mika sambil mengapit sebuah bola kaki di pinggangnya. Mika hendak melihat wajah pria kecil yang menolongnya, tapi ia tak dapat melihatnya karena sinar mentari yang tepat berada di belakang si pria kecil.“Hei Om, kubilang lepaskan adikku,” ucapnya lagi dengan beraninya.“Hei bocah, ini bukan urusanmu. Pergi sana,” pria itu masih juga tidak mau melepaskan Mika.“Haah, sudah kubilangkan kalau Om gak mau kubilangin ke mama sama papa lo. MAMAAAAAA... PAPAAAAA... Ada Oom-Oom aneh nih!!” tiba-tiba saja pria kecil itu berbalik dan berteriak.“Hei! Hei! Cih, sialan!” dengan panik pria aneh itu pergi meninggalkan mereka berdua di taman itu. Mika terduduk lemas dan mulai menangis. Ia sangat ketakutan.“Hei, dia sudah pergi. Kamu gak papa kan?” pria kecil itu bertanya. Tapi Mika masih terlalu shock dengan kejadian itu dan hanya menjawabnya dengan tangisan. Pria kecil itu sepertinya menyadarinya dan berjongkok di samping Mika sambil mengusap-usap kepala Mika. Usapan lembut itu membuat Mika nyaman, perlahan-lahan Mika mulai tenang. Tapi ia masih terlalu takut untuk mengangkat wajahnya dan menatap penyelamatnya itu.“Woiiii, kalian gak papa?” tiba-tiba sepasang anak seumuran pria kecil itu berlari menghampiri mereka.“Kamu gak papa? Om-Om tadi mana? Udah kabur ya?” tanya si anak perempuan ketika ia tiba di tempat mereka. Pria kecil itu mengangguk.“Wah, kamu berani banget. Hebat-hebat,” ucap si anak laki–laki yang datang bersama anak perempuan itu. Tanpa Mika sadari mereka bertiga telah membuat lingkaran kecil dan bercerita tentang kejadian tadi. Lalu, mereka bertiga menatap Mika yang masih terduduk dengan wajah menatap tanah. “Hei, sudahlah. Ayo kami antar kamu pulang,” ujar anak perempuan itu. Pada akhirnya Mika berhasil mengangkat wajahnya. Dan di saat itulah ia menyesalinya. Mengapa ia baru mengangkat wajah sekarang? Mengapa ia baru mengangkat wajahnya ketika ada dua sosok pria kecil di hadapannya?“Hei, siapa namamu? Namaku Irwan, cowok paling keren disekitaran sini,”ucap seorang pria kecil di hadapannya sambil menjulurkan tangannya.“Keren apanya? Ngaca dulu kalau mau ngomong. Eh, hallo. Namaku Wenny, cewek paling cantik di antara kami bertiga, hahahaha..” kata gadis cilik itu setelah memukul kepala Irwan karena menyebut dirinya sendiri keren.“Kalau aku Angga, namamu siapa?” tanya pria kecil yang ada di hadapannya itu. Mereka bertiga menatap Mika menunggu jawaban.“Mi.. Mika. Namaku Mika,” akhirnya Mika berhasil bersuara. Ketiga bocah dihadapannya itu lalu tersenyum.“Hei Mika, jangan nangis lagi ya. Om jahat itu udah pergi kok,” kata Irwan sambil tersenyum di hadapan Mika.“Yaudah, sekarang kita anter Mika pulang aja yuk,” kali ini Wenny mengusulkan sambil tersenyum manis kearah Mika.“Eh, tunggu. Bolanya ketinggalan nih,” ucap Irwan lagi sambil berlari kecil mengambil bola kaki yang tergeletak di taman itu. Mika menatap Irwan yang berlari saat itu.Bola itu, bola yang di pegang oleh pria kecil penyelamatnya. Bola itu, milik Irwan? Berarti, penyelamatnya adalah Irwan? Dan semenjak kejadian itulah Mika menyukai Irwan. Satu “Gue denger kemarin lo malam mingguan sama Erik,” kata sebuah suara berat memecah keheningan makan malam mereka di sebuah cafe. Gadis ABG yang merasa ditanyapun menoleh kearah cowok dihadapannya yang masih melanjutkan aktifitas makannya. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk melanjutkan makan dan menatap cowok itu dengan sinis. “Yaampun, jangan mulai lagi deh Ngga,” jawab gadis itu kesal. Cowok yang dipanggil Angga itu tetap melanjutkan makan malamnya tanpa terpengaruh dengan tatapan sinis Mika kepadanya. “Mulai apa? Gue kan cuma nanya,” jawabnya lagi-lagi tanpa melihat lawan bicaranya. “Oh God! Jangan pura-pura bego lo. Gue tau lo pengen banget punya adik cewek dan lo udah nganggep gue adik sejak lama, tapi gak gini-gini juga kali Ngga. Gue udah 17 tahun, udah gede, udah saatnya dong punya cowok. Masa gue harus ngabisin malam minggu masa-masa remaja gue dengan jalan-jalan bareng lo, Mbak Wenny, atau Mas Irwan?”"Emang kenapa kalau lo ngabisin seluruh malam minggu lo sama kita-kita? Lo gak suka?"Mika menatap Angga dengan kesal. Bukannya dia tidak suka menghabiskan waktunya dengan Angga, Wenny, atau bahkan Irwan. Oh, jangankan menghabiskan waktu dengan Irwan, bertemu dengan Irwan meskipun cuma sebentar saja sudah membuat Mika bahagia. Tapi, tetap saja sifat overprotective-nya Angga selalu membuatnya kesal. Semenjak Mika bertemu dengan trio sahabat -Angga-Wenny-Irwan- sekitar sepuluh tahun yang lalu, Mika diresmikan masuk ke dalam lingkar persahabatan mereka. Meskipun usianya lebih muda 5 tahun, Mika tidak pernah merasa canggung di sekitar mereka. Bagi mereka, Mika adalah adik kecil mereka yang masih harus dilindungi. Apalagi bagi Angga yang dari dulu selalu menginginkan sosok seorang adik, jadilah ia selalu dan terlalu memanja serta melindungi Mika. Menurut Mika sih, sifatnya itu udah mulai kelewatan, Angga sudah masuk dalam zona Sister Complex yang sangat akut.Mika masih menatap Angga dengan kesalnya. Yang ditatap masih saja makan dengan tenangnya tanpa rasa bersalah. Jika dilihat sekilas Angga memang cakep, apalagi kalau lagi tenang seperti sekarang ini. Angga memiliki wajah serius dengan tatapan tajamnya yang mematikan. Banyak cewek yang sudah terjerumus kedalam tatapan matanya itu, tapi sayang mereka semua hanya bertahan selama 2 bulan tak pernah lebih. Sifat Angga yang overprotective menjadi satu-satunya alasan para cewek itu untuk meninggalkannya.Siapa yang bisa betah kalau setiap ingin pergi harus melapor dulu. Belum lagi kalau deket atau enggak sengaja deket sama cowok, bakalan diintrogasi sama Angga dan topik itu akan menjadi topik utama dalam pembicaraan dengan Angga selama seminggu. Kalau udah begitu, para cewek biasanya pada kabur sambil melambaikan bendera putih kepada Angga. Tapi, hal itu sudah biasa bagi Mika. Sudah sepuluh tahun Mika menghadapi sifat Angga yang seperti itu, dia sudah kebal. Dia sudah tahu bagaimana menghadapinya. Untuk menghadapi seorang Angga yang mulai muncul sifat overprotective-nya hanya perlu menjadi sabar, sebab jika menghadapinya dengan emosi dia bisa balik emosi dan itu sangatlah mengerikan.“Hei kalian! Udah pada makan aja ternyata.” Seorang gadis berjalan kea rah mereka dan langsung mengambil tempat duduk tepat di sebelah Angga. Gadis itu menatap Mika dengan pandangan bingung dan tiba-tiba arah tatapannya berubah kearah Angga dengan kesal.“Lo apain Mika sampe dia kesel gitu?”Yang ditanya hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu. Gadis itu masih menatap Angga sampai ia mendengar helahan nafas Mika.“Dia kumat lagi Mbak Wen.”“Ckckck, kebiasaan banget. Gue yakin lo bakal sering jomblo sebelum sifat lo itu hilang.”“Gue juga mikir gitu Mbak. Kasihan banget yang jadi istri nya ntar.”“Waah, gue malah gak bisa bayangin istri nya ntar gimana, hahahaha…”“Hahahaha…”Yang jadi bahan pembicaraan hanya diam saja melanjutkan makannya. Ledekan seperti ini sudah sering terjadi, dan Angga sudah tidak peduli lagi. Disaat Mika dan Wenny masih tertawa membayangkan seperti apa istri Angga nantinya, Irwan datang menghampiri mereka. Seketika tawa Mika terhenti ketika melihat Irwan yang duduk di sampingnya. Hal kecil seperti itu tak luput dari mata Angga dan dia tidak menyukainya.“Pada ngetawain apa sih?” tanya Irwan sambil menatap Mika. Senyum Mika makin mengembang ketika mulai menceritakan apa yang dia dan Wenny tertawakan kepada Irwan dengan semangat.Dan sekali lagi, cafe di pinggir jalan itu menjadi saksi bisu keempat sahabat tersebut.*** “Ngga.. Ngga..! Angga! Lo gak tidur lagi kan?” “Oh, god! Apaan sih Mik? Ini masih jam 6 pagi dan lo udah berisik. Lo gak tau apa kemarin gue habis begadang, masih ngantuk nih.” “Nggaaaaa.. Anterin gue sekolah dong.. Gue telat nih entar kalau gak berangkat sekarang.” “Biasanya juga lo kan naik angkot, naik angkot gih sana.” “Males ah Ngga. Akhir-akhir ini anak kelas 3 banyak yang nongkrong di halte, ntar gue digodain lagi kayak kemarin.” “Gue jemput lo 5 menit lagi.” “Yeee, makasih ya Mas Angga Dwi Hatmojo.. You are the best lah.. Eh, jangan lupa sikat gigi dulu sebelum jemput gue yaa.” “Iya bawel baget sih lo.. Gue tutup ya, bye.” Klik. Ketika pembicaraan via telepon itu selesai Angga mulai mengusap wajah nya. Tampak sekali bahwa ia masih lelah, tapi demi Mika apapun akan dilakukan oleh Angga. Mendengar bahwa kemarin Mika digodaiin oleh senior nya membuat Angga langsung tersadar dari kantuknya. “Ah, dasar bocah-bocah SMA, mereka pikir mereka siapa sampai ngegodain cewek orang?”*** “Udah sikat gigi?” Itulah hal pertama yang ditanyakan Mika ketika Angga datang untuk menjemputnya. Yang ditanya hanya menatap dengan tatapan malas. “Lo mau Gue anter apa enggak?” balas Angga ketus. “Hehehe.. Mas Angga cakep deh, jangan marah dong,” ucap Mika sambil masuk ke dalam mobil Angga. Ketika Angga sudah memastikan Mika duduk dengan nyaman dan menggunakan sabuk pengamannya, Angga mulai mengemudikan mobilnya menuju sekolah Mika. “Kenapa gak dilaporin aja sih?” ucap Angga tiba-tiba ketika mobil mereka sudah berada di jalanan. “Hah?” “Iya, kenapa gak dilaporin aja?” “Siapa?” “Senior lo lah, siapa lagi?” “Ooooh… Kita lagi ngomongin senior gue yang akhir-akhir ini suka nongkrong d halte itu?” ucap Mika akhirnya mengerti arah pembicaraan Angga. “Dan suka ngegodain adik kelasnya. Jangan lupakan poin penting itu. Kalau lo merasa terganggu kan tinggal laporin ke guru-guru aja, masalah beres.” “Dengan resiko gue terkenal dengan cap ‘adik kelas pengadu yang gak asik’ di antara para senior dan siap untuk di ‘bully’ mereka nantinya?” ucap Mika sewot sambil menatap Angga. “Gue Cuma mau kehidupan SMA yang tenang dan biasa Ngga. Gue gak mau nyari masalah sama senior. Lagian kelakuan anak cowok SMA emang pada dasarnya kayak mereka kan?” “Gue dulu gak kayak gitu.” “Itukan lo, bukan mereka. Lo kan berbeda, lo bukanlah orang yang melakukan hal yang biasanya orang lain lakukan. Lo itu gak biasa, lo itu… Aneh! Hahaha…” “Berisik, turun lo. Nyesel gue nganterin lo,” ucap Angga kesal. Gimana gak kesal, disaat dia mulai tersanjung dengan kata-kata Mika yang mengatakan bahwa dirinya berbeda, dia harus dijatuhkan dengan sangat keras dalam waktu sepersekian detik oleh lanjutan kalimat Mika tadi. Aneh? Iya, dia mungkin lebih pantas disebut aneh daripada berbeda. Tawa Mika masih tidak berhenti ketika mereka sampai di gerbang depan SMA nya Mika. Hal itu menyadarkan Angga, betapa inginnya dia kembali menjadi murid SMA jika ada Mika di SMA yang sama. Betapa ia ingin menghabiskan waktu bersama Mika lebih lama. Melihat Mika yang bersiap-siap hendak turun dari mobil, Angga pun refleks turun mengikuti Mika. Angga menghampiri Mika sambil sesekali melihat kearah gedung sekolah. Angga menyadari beberapa pasang mata berseragam putih - abu-abu itu menatap mereka berdua ingin tahu. “Ngapain lo ikutan turun?” pertanyaan Mika itu sukses membuat Angga kembali fokus kepadanya. Mika sendiri kelihatan rishi ditatap beberapa pasang mata para teman dan seniornya. “Hah? Ooh, kepengen aja, emang gue gak boleh turun?” “Bukannya gak boleh sih, tapi.. Ah, bodo amatlah.. Gue cabut dulu ya, thanks Ga. Bye.. hati-hati pulangnya,” ucap Mika sambil berlalu dari hadapan Angga dengan melambaikan tangan. “Eh, bocah salim dulu napa, dasar.” Meskipun begitu Angga masih berdiri ditempatnya - tersenyum menatap punggung Mika yang perlahan mulai menjauh. Entah sejak kapan berada didekat Mika selalu membuatnya merasa bahagia. Entah sejak kapan senyum Mika selalu membuatnya berdebar. Entah sejak kapan tangis Mika selalu membuatnya sesak. Dan entah sejak kapan Angga mulai menyukai Mika. Tidak, ia mencintainya.*** Description: Tanpa kita sadari, kita berada di dalam roda cinta yang tak berujung dan tak berpangkal. Aku ingin mengubah ini semua. Jadi, biarkan aku pergi... Berkisah tentang 4 orang sahabat yang tak pernah terpisahakan. Mereka terjebak pada roda cinta yang sangat sederhana. Tak ada seorangpun yang mau mencoba keluar dari roda cinta itu. Padahal mereka tahu, mencintai seseorang yang tengah jatuh cinta kepada orang lain sangatlah menyakitkan. Mereka terlalu takut. Takut jika mereka mencoba keluar dari roda cinta itu, maka sosok yang mereka cintai itu akan meninggalkannya untuk selamanya.
Title: Rahasia Rumah Cokelat Category: Teenlit Text: Pindah Mobil berplat AG itu membelah jalan berlubang, melaju pelan. Sunyi di dalamnya, namun Mia terus menoleh ke belakang. Ia melambaikan tangan, tidak pada siapa-siapa. Rumah Cokelat itu semakin mengecil. Mengecil. Dan menghilang dari pandangannya saat mobil berbelok di perempatan. “Mia, jangan sedih,” lirik lelaki berkaca mata yang sedang menyetir. Mia memandang ke depan dan menganjur napas. Mia jangan sedih. Itu kalimat klise yang entah sudah berapa kali didengarnya sejak ayah meninggal. Dan, Mia menghargai siapa pun yang berusaha menghiburnya dengan mengatakan itu. “Iya, Om.” “Insyaa Allah, suatu saat kita kembali ke Rumah Cokelat,” pria itu, Om Bagus, adik kandung Ibu. Kemarin ia dan istrinya datang dari Kediri untuk membantu pindahan. Bukan hal yang mudah pindah meninggalkan sebuah rumah yang penuh kenangan manis, namun Mia dan ibu terpaksa melakukannya. Mia mengangguk, tapi hatinya tak yakin. Ia memandang ibunya yang duduk diam di sebelahnya, hanya menatap kosong ke sisi jalan. Mia mungkin bisa bertahan dalam kesedihan ini. Entah ibu …. Perlahan, Mia mengelus tangan ibunya. Keriput-keriput tipis bermunculan di tangan yang kasar karena memasak tiap hari. Memasak. Pekerjaan yang sangat ibu cintai namun belakangan ini ia tinggalkan. Sesekali, dulu, Mia juga pernah bertanya pada Allah, kenapa mengambil ayah secepat ini? Dan membuat ibu terguncang dalam trauma. Hingga mereka harus meninggalkan Rumah Cokelat yang mereka cintai. Tetapi, sungguh tidak adil mempertanyakan itu kepada Sang Pemilik Kehidupan. Perlahan, Mia harus mengerti dan memahami, meski kata ikhlas rasanya masih jauh darinya. “Mia, kamu harus kuat. Jaga Ibu,” ujar Tante Risna yang duduk di sebelah Om Bagus.Mia mengangguk lagi. Ia menoleh, tepat di belakang mobil yang melaju pelan itu, sebuah truk mengikuti. Membawa hampir semua barang dari rumah. Dan mungkin juga membawa serta kenangan.*** Mobil itu berhenti di sebuah perumahan kecil yang sunyi. Di sekeliling perumahan itu tampak pemandangan hijau yang menyegarkan, khas yang terlihat di beberapa daerah perdesaan di Bantul. Sawah dan kebun tebu yang mereka lewati dalam perjalanan tadi, cukup membuat Mia lebih ceria. Di beberapa tempat, orang sibuk membuat batu bata dalam gubuk-gubuk kecil di tepi sawah. Di sini, sawah sering kebanjiran ketika musim hujan, karena tanah sekelilingnya dikeruk untuk bahan membuat batu bata. “Kenapa sepi sekali?” Om Bagus menatap berkeliling setelah keluar dari mobil. “Mungkin karena masih libur sekolah, Om.” Mia menyeret sebuah koper besar dan membuka pagar. Jadi, ini rumah baru itu? Lebih kecil dari rumah lama mereka, namun cukup besar untuk ditinggali berdua. Halamannya cukup luas untuk sebuah perumahan kecil. Pagarnya besi berwarna putih di bagian depan, dan pembatas dengan rumah lain berupa tembok yang tak terlalu tinggi. “Dari mana Om dapat rumah ini?” tanya Mia penasaran. Om Bagus memang berperan besar dalam kepindahan ini. Sehari setelah datang, Om Bagus langsung sibuk mencari kontrakan di internet. Ia tidak bisa membiarkan kakak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan karena tinggal di Rumah Cokelat. Rumah yang sudah lama ditinggali dengan suami yang tiba-tiba saja pergi selamanya. “Ada di FB. Ini dulunya ditempati sama teman Om,” jawab Om Bagus sambil membawa koper yang lebih besar. “Yuk, kita harus bergegas biar nggak kesiangan.” Semua lalu sibuk, kecuali ibu. Wanita berwajah teduh itu hanya duduk di teras, memandang lalu-lalang orang yang sibuk memindahkan dan menata segala sesuatu. Setiap kali melewatinya, Mia merasa ingin menangis. “Nggak, Mia. Kamu harus kuat. Kuat, Mia.” Hanya itu caranya menghibur dirinya sendiri.Cukup lama juga mereka menyelesaikan angkut-angkut barang. Itu pun belum tertata dengan baik. Tapi paling tidak, sebuah pekerjaan besar sudah mereka lakukan. Mia menggelar tikar di ruang tengah, dan mereka duduk bersandar di tembok dengan napas ngos-ngosan. Pak sopir truk dan rekannya langsung pulang setelah membantu memasukkan barang-barang. Tante Risna memesan makanan dan es buah dari aplikasi ojol. Mereka memang tidak bersiap untuk memasak. Bahkan kompor dan teman-temannya masih teronggok di sudut dapur. “Aku suka dapurnya,” Mia menatap dapur mungil itu. “Aku akan belajar masak di sana.” Mia melirik ibu. Ibu juga menatap tempat yang sama, tanpa senyum. Entah apakah dapur itu kelak akan menggerakkan tangan ibu kembali? Mia paling suka saat melihat ibu memasak. Ibu selalu memasak dengan bahagia, terlihat jelas dari senyumnya yang mengembang saat mengiris bawang, saat meracik bumbu, atau membalik gorengan. Bagi ibu, memasak adalah hiburan ketika penat. Ketika sebagian ibu rumah tangga melepas stress dengan menonton drama Korea, ibu justru sibuk mencari resep baru di aplikasi-aplikasi memasak. Karena itulah, ketika pertama kali ayah memutuskan menjual minuman cokelat, ibu sangat bersemangat memadu padankan resep yang ia temukan. Setelah empat nasi kotak datang, mereka makan dengan lahap. Ibu juga tampak menikmati makanannya. Sudah hampir masuk waktu Ashar saat itu. “Om Bagus nanti nginep di sini apa di Rumah Cokelat?” tanya Mia sambil menyuap lele terbangnya. Sesekali ia mengembus-embuskan napas karena kepedasan. “Di sini sajalah. Kan barang di sana udah nggak ada, Mia.” “Oh iya, ya.” Mia tertawa. Bagaimana ia bisa lupa? “Tapi, setelah ini rumah itu mau diapakan?” tanya Tante Risna. “Dijual?” Mia melirik ibu yang tampak berhenti menyuap. Ibu menarik napasnya panjang, lalu berkata lirih. “Jangan.” “Mungkin jangan dijual, Om,” Mia buru-buru menambahkan. “Biarkan saja.” Membayangkan rumah itu ditempati orang lain, tiba-tiba membuat Mia merinding. “Kalau dibiarkan kosong juga sayang, Mia. Cepat rusak karena nggak ada yang bersihkan.” “Nanti biar diurus sama Mama Dilla,” ujar Mia. “Mama Dilla sekarang masih di kampung. Besok kalau sudah balik, Mia bilangin.” Ah, mereka bahkan tidak sempat pamit pada Mama Dilla yang tinggal di sebelah rumah. Wanita itu sangat baik pada mereka, sudah seperti saudara. Mia sungguh tidak bisa membayangkan jika rumah itu jadi milik orang lain. Tidak. “Sewakan saja rumah itu,” Ibu berkata pelan, setelah sekian lama. Semua memandang Ibu. Mia bahkan menjatuhkan mentimun di tangannya. Terasa aneh karena sudah lama Ibu tidak mau bicara, kecuali jika sangat perlu. “Tabungan kita sudah menipis karena dipakai untuk bayar kontrakan rumah ini dan untuk makan sehari-hari selama sebulan kemarin. Ibu belum tahu kapan akan buka katering lagi. Jadi, sewakan saja Rumah Cokelat. Uangnya bisa untuk beli motor baru untuk Mia.” Mia buru-buru meraih botol air mineral di depannya dan menenggaknya dengan cepat. “Bu … Mia nggak usah beli motor,” ujarnya kemudian. “Mia bisa naik ojek kok. Dan kalau kemana-mana bisa pakai sepeda.” “Om setuju sama Ibumu, Mia. Disewakan saja. Uangnya bisa ditabung untuk keperluan sehari-hari. Nggak beli motor juga nggak apa-apa,” Om Bagus menimpali. Tante Risna mengangguk. “Sepertinya itu ide yang bagus. Sementara saja, dan nanti kita pikirkan lagi akan bagaimana. Mungkin setahun, dua tahun lagi Mbak Dewi sudah siap tinggal di Rumah Cokelat lagi.” Ibu mendongak, mata itu berkaca-kaca. “Maaf, sudah merepotkan ….” Seandainya dirinya lebih kuat. Seandainya bisa bertahan di rumah itu tanpa harus pindah dan menyebabkan kerepotan. “Nggak Mbak, kami nggak repot,” Tante Risna buru-buru memeluk Ibu. “Kami senang melakukannya. Sekalian piknik. Jarang-jarang kami bisa piknik di Jogja.” Lalu Tante Risna melirik Mia. “Mia, besok mau jalan-jalan keliling Jogja?” Mia tersenyum lebar. “Pantai.” Tante Risna mengacungkan jempolnya dan memasang wajah lucu. Saat itu, azan Ashar terdengar. Mia dan Tante Risna buru-buru membereskan semuanya agar ruang itu bisa dipakai untuk salat jamaah.*** Kenangan dalam Es Cokelat Pantai Parangtritis ramai di hari libur seperti itu. Mia duduk memeluk lututnya di tepi pantai, membiarkan air menggulung kakinya dalam pasir. Ia sama sekali tidak terganggu oleh teriakan anak-anak yang main bola atau saling melempar botol bekas di dekatnya. Sesekali terdengar langkah kaki kuda sewaan di belakangnya, membuatnya teringat masa kecil ketika ayah selalu mengajaknya keliling dengan kuda tiap kali ke pantai. Tapi sekarang, ia tidak ingin melakukan itu sendirian.“Mia, mau sesuatu? Ibu beli jagung bakar.” Mia menoleh saat ibu mencolek bahunya dari belakang. Ibu memang tidak suka berendam di air. Jika ke pantai, ibu hanya menunggu di tikar berpayung yang disewa seharga duapuluh ribu. Di sana ibu sudah cukup senang menikmati pemandangan pantai dan membeli jajanan.“Mau satu, Bu. Dan kalau ada es cokelat. Nanti Mia ke sana sebentar lagi. Makasih, Bu.”Ibu mengangguk lalu berbalik pergi.Dan Mia kembali tenggelam dalam lamunan.Memandangi sekeliling, larut dalam suara tawa orang-orang yang berfoto dan berkejaran. Ia bahkan melihat Tante Risna digendong Om Bagus ke sana ke mari sambil tertawa lebar. Mia juga ingin ibu bahagia seperti orang-orang itu jika bisa. Bahagia dan selalu tersenyum seperti dulu. Mia menarik napasnya panjang. Hingga beberapa menit kemudian, ia berdiri untuk menyusul ibu.Di tikar yang berceceran pasir pantai itu ibu meletakkan bekal mereka, dua buah jagung bakar pedas yang baru dibeli, serta satu cup es blender rasa cokelat pesanan Mia.“Ah.” Mia menyesal memesan es. Karena setelah ke luar dari air, ternyata rasanya sangat dingin. Tapi, tidak apa-apa, toh sudah dipesan.Mia duduk di sebelah ibu dan mulai menikmati es cokelatnya.“Lapar, Bu?” tanya Mia.Ibu menggeleng. “Sudah ngemil dari tadi.”Mia tersenyum. Lega karena ibu sudah lebih banyak bicara dan menikmati makanannya.Mia memandangi cup es cokelat di tangannya dan teringat kedai Rumah Cokelat mereka. Dulu, tiap hari ayah meracik es cokelat seperti itu, dengan toping pilihan. Dan es krim buatan ayah juga banyak disukai pelanggan. Lalu ibu melengkapi kedai itu dengan aneka jajanan serba cokelat juga; brownies, cupcake, pisang cokelat, bolu cokelat ....Dahulu, ayah pernah bertanya saat Mia kecil.“Mia cita-citanya jadi apa?”“Jadi perawat di rumah sakit,” jawab Mia, “Sebab seragamnya bagus.”Ayah tertawa. Ada seorang perawat cantik favorit Mia di rumah sakit, saat dulu neneknya dirawat berbulan-bulan sebelum meninggal. Perawat itu sangat cantik, dan seragamnya pas untuknya. Ia ramah, dan merawat nenek dengan baik. Sejak melihatnya, Mia merasa ingin seperti dia.“Tapi sekarang tidak lagi,” ujar Mia seolah bicara pada es cokelat di tangannya. “Sekarang aku ingin meracik minuman cokelat juga seperti ayah ....”***Mia menggantung seragam putih abunya di balik pintu kamar. Jam dinding bergambar pemandangan desa menunjukkan pukul duabelas lebih tiga lima. Hari ini, hari pertama masuk sekolah. Mia kikuk dengan banyak perbedaan yang ia rasakan. Pertama kalinya ia berangkat sekolah bukan dari Rumah Cokelat. Dan bukan diantar oleh Ayah. Tapi, jarak sekolah memang lebih dekat kalau dari rumah ini.Mia mengernyit. Kenapa rumah sesunyi ini? Sejak masuk rumah, tak ditemukannya Ibu di mana-mana. Bahkan ucap salamnya tak ada jawaban. Sambil mengikat rambutnya tinggi di belakang, Mia melongok ke luar jendela kamarnya yang biasanya sepi. Kali ini, ia mendengar suara-suara. Penasaran, Mia melangkah keluar kamar.“Ibu, Ibu di mana?” Mia berteriak.Mengedarkan pandangan ke penjuru rumah, Mia mendesah. Ibu ke mana? Apa Ibu kembali ke Rumah Cokelat? “Tidak mungkin,” Mia membatin. “Ibu masih terpukul dan belum siap kembali ke sana.”Tak lama, Mia memutuskan untuk mencari ke lingkungan perumahan itu. Rumah itu terletak dalam perumahan kecil berisi sepuluh rumah. Masing-masing rumah berhadapan satu sama lain, berbaris lima. Tak seorang pun Mia kenal di sini, kecuali keluarga paling ujung dekat gerbang masuk. Keluarga Bu Tari, Mia mengenal mereka karena Bu Tari membuka warung kelontong. Beberapa kali Mia datang untuk belanja.“Kenapa perumahan sepi sekali, Bu Tari?” tanya Mia waktu itu.Memang dia heran, karena jarang sekali melihat orang lalu-lalang. “Banyak yang liburan atau pulang kampung, Dik. Maklum, libur kenaikan kelas begini. Kebetulan tidak ada anak sekolah yang sedang cari sekolah baru. Jadi semuanya bersantai dan berlibur. Sebentar lagi mungkin mereka sudah pada balik.”Mia mengangguk mengerti. Pantas saja ….Setelah menerima bungkusan belanjaannya, Mia pamit pulang. Rumah Mia terletak di ujung paling dalam. Jadi, dia melewati semua rumah ketika pulang. Selagi berjalan, ia membayangkan, kehidupan seperti apa yang akan dia dan Ibu hadapi setelah ini? Setelah meninggalkan rumah Cokelat yang penuh kenangan. Sakha “Ibu!” Mia penasaran karena belum juga menemukan Ibu.Disambarnya kerudung berlengan warna hitam di paku dan mengenakannya dengan cepat, lalu berjalan ke luar. Heran, Ibu pergi ke mana di perumahan yang sepi ini?Sampai di teras, Mia mendengar suara riuh. Sama seperti yang didengarnya saat membuka jendela kamar. Tak biasanya begini. Apa para tetangga sudah kembali? Ah, tentu saja. Hari ini kan, hari pertama masuk sekolah. Lalu, suara tawa Ibu terdengar. Ibu? Tertawa? Mia mengernyit. Rasanya belum pernah lagi Mia mendengar tawa Ibu sejak peristiwa sebulan lalu.“Ibu?” Mia melongok ke pagar yang memisahkan rumahnya dengan rumah sebelah. Dari sanalah suara tawa itu berasal.“Lho, Mia sudah pulang?”“Iya, pulang cepat karena baru hari pertama sekolah,” jawab Mia.Dilihatnya Ibu duduk di sebuah bangku panjang dari bambu. Di Jogja dan sekitarnya, bangku seperti itu biasa disebut lincak. Kursi bambu itu bagai tertanam di depan rumah tetangga sebelah, dengan kokohnya berada di bawah pohon kersen yang rimbun. Seorang wanita seusia ibu juga berada di sana. Sisanya, dua wanita yang lebih muda dengan seorang balita. Dan cowok berseragam putih abu yang duduk membelakanginya. Sedang apa orang-orang itu? Mia menggumam.“Mia, sini. Kita lagi rujakan,” panggil ibu sambil melambaikan tangan.“Sini, Neng, kenalan dulu sama tetangga sebelah,” timpal seorang ibu berkerudung biru laut dengan senyum ramah. Ibu ini yang duduk tepat di depan ibu Mia. Mungkin dialah pemilik rumah asri itu.Mia mengangguk sopan, lalu mendekat. Sesampainya di sana, matanya tertumbuk pada cowok berseragam abu yang dari tadi sibuk dengan ponselnya.“Lho? Sakha?” Mia mengernyit.“Kalian sudah saling kenal? Jangan-jangan kalian satu sekolah, ya?” Tiba-tiba si ibu berkerudung biru laut tertawa, “Maklum ya Neng, Sakha anaknya sok cuek. Sok jual mahal gitu.”Mia menggeleng dan tersenyum kikuk. Mau dibilang tidak kenal, susah juga karena mereka sekelas sejak kelas sebelas. Tapi untuk disebut teman, itu terlalu berlebihan. Keduanya bahkan tidak pernah bertegur sapa karena sama-sama tidak peduli. Bukan karena benci. Lebih karena lebih nyaman dengan teman masing-masing.Sakha berdecak kesal, lalu tiba-tiba bangkit dan masuk ke rumah. Bahkan tak menoleh ke arah Mia sama sekali.“Sudah Ibu bilang pulang sekolah langsung ganti baju!” Sakha hanya melambaikan tangan.***“Baguslah kalau teman sekelasmu ada di sekitar sini. Kalian bisa belajar bersama,” ujar Ibu malam harinya, saat mereka berdua makan malam.“Tidak mungkin,” Mia terkekeh. “Aku dan Sakha hanya saling kenal nama saja, Bu. Kami sudah punya geng sendiri-sendiri. Lagian kata Ibu, aku harus jaga jarak sama cowok. Ah, masakan Ibu enak banget. Sudah lama aku kangen telur balado ini.”Mia menyendok sebutir telur balado lagi. Setelah sekian lama, akhirnya kompor kesayangan Ibu kembali menyala. Selama ini, mereka hanya makan lewat orderan ojol food. Atau kadang Mia masak sebisanya, tumis-tumisan atau menggoreng ayam yang sudah dibeli dalam bentuk ungkepan.Sejak Ayah meninggal, semangat ibu hilang. Ibu hanya diam seperti patung saat berada di dapur. Ibu selalu ingat bagaimana ia memasak setiap masakan kesukaan Ayah. Saat kejadian itu, ibu pingsan berkali-kali dan menangis sepanjang hari. Itu juga alasan utama mereka pindah dari rumah. Agar ibu bisa bangkit sedikit demi sedikit.“Bu Weni orangnya menyenangkan dan baik. Ibu lega punya tetangga dekat di sini,” ujar ibu. “Mungkin itu sebabnya ibu mulai bisa memasak lagi.”Bu Weni, itu ibunya Sakha. Ibu berkerudung biru laut itu. Bu Weni menikah muda. Jadi sudah punya cucu dari anak pertamanya, Mbak Wirda. Anak keduanya bernama Mbak Winna, masih kuliah. Sedangkan Sakha anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki. Mia mengangguk lega. Dihabiskannya nasi di piring dengan cepat. Ia ingin cepat masuk kamar dan membaca novel baru yang dihadiahkan teman-temannya kemarin saat dirinya berulang tahun. “Mia senang Ibu menemukan teman baik. Tapi, jangan berharap Mia juga bisa berteman akrab dengan Sakha,” ujar Mia sambil membawa piring kotornya ke dapur.Ibu tertawa. “Terserah saja.”Setelah selesai mencuci piring, Mia mengecek semua pintu, memastikan semua sudah terkunci. Saat melewati meja makan, dilihatnya ibu masih duduk, sibuk menulis di selembar kertas. Mia mendekat.“Sedang apa, Bu? Sudah selesai makannya?”“Sudah. Ibu lagi coret-coret. Sepertinya, ibu ingin meneruskan usaha katering kita, Mia,” lirih Ibu, namun membuat Mia terlonjak senang.Serta-merta gadis berambut sebahu itu memeluk Ibu dari belakang. Sepintas dilihatnya Ibu menulis daftar menu di kertas itu. Ibu sudah kembali!“Alhamdulillah, Bu. Mia senang Ibu sudah bangkit. Ayah pasti bangga sama Ibu karena Ibu kuat.”Rasanya ingin menangis. Sekian lamanya melihat ibu hidup seperti patung, sungguh membuat Mia kesulitan. Rupanya mereka memilih tempat baru yang baik, sehingga Ibu lekas menemukan kembali semangatnya.“Ini karena doa Mia juga,” jawab ibu. “Ibu tahu Mia sering menangis mendoakan Ibu setiap salat Tahajjud.”Sekarang Mia benar-benar menangis. “Memangnya Mia bisa beri apa, Bu? Selain doa ….”Mia mengeratkan pelukannya, membuat Ibu kesulitan bernapas.“Aduh, sudah-sudah, sayang,” Ibu tertawa kecil melihat tingkah Mia. “Oh iya. Besok, Sakha ngajak berangkat bareng naik sepeda ke sekolah.”“Apa?”Mata Mia membulat.*** Seseorang yang Tak Hadir Mia memarkir sepedanya di bawah pohon kersen. Dia baru tahu kalau sekolahnya ternyata cukup dekat jika dari sini. Bahkan Sakha naik sepeda setiap hari. Katanya, hanya butuh sepuluh menit. Tentu saja, semua itu hanya Mia dengar dari ibu. Dan ibu dengar dari Bu Weni. Mia membetulkan posisi bros di kerudungnya yang sedikit miring. Dilihatnya jam tangan, sudah sepuluh menit rupanya ia menunggu Sakha di depan rumahnya.“Ck! Harusnya aku pakai gmaps saja,” keluhnya. Ibu memang menyuruhnya menunggu Sakha karena Sakha sudah tahu jalan di sekitar daerah itu. Sedangkan Mia hanya tahu jalan ke rumah Bu Tari saja.Suara pintu terbuka. Mia mendongak. Dilihatnya Sakha menuntun sepedanya dan berjalan melewatinya begitu saja.“Hei!” Mia lekas memutar sepedanya menyusul cowok itu.“Asal tahu saja, ibuku yang memaksa aku bareng denganmu,” Sakha berhenti selama tiga detik hanya untuk mengatakan itu. Lalu mengayuh sepedanya perlahan.Mia melotot. “Astaga, sombongnya makhluk Tuhan satu ini.”Sakha bersepeda dengan pelan. Entah memang setiap hari seperti itu, atau sengaja menunggu Mia yang terengah-engah di belakangnya.“Kurasa ini akan lebih dari sepuluh menit,” Mia berkata sambil terus mengayuh. Ternyata capek.“Cerewet,” balas Sakha tanpa menoleh.Mia merucutkan bibirnya. Ia berjanji dalam hati untuk menghapalkan setiap belokan baik-baik, agar cukup sekali ini saja dia bersepeda bareng tetangganya yang aneh dan menyebalkan ini.Jalan yang mereka lewati sangat indah rupanya. Semacam jalan pintas yang membelah desa, melewati sungai yang masih jernih dan sawah-sawah menghijau. Walaupun capek, Mia menikmati pemandangan itu. Tapi karena matanya tidak fokus ke jalan, dia jadi sering ketinggalan jejak Sakha. Di sebuah perempatan, tiba-tiba Sakha berhenti. Suara rem dari sepedanya membuat Mia kaget. Mau tidak mau, gadis itu ikut berhenti.“Ada apa?”Sakha menunjuk jalan di sebelah kirinya. “Rumah lamamu bisa lewat sini.”Mia terkejut. “Kamu tahu rumah lamaku?”“Siapa yang nggak tahu Rumah Cokelat di daerah ini?” Sakha mengayuh kembali sepedanya. Mana dia peduli Mia sudah siap berangkat lagi atau belum.Ya, siapa yang tak tahu Rumah Cokelat? Ayah Mia yang menamai kedai es krimnya dengan Rumah Cokelat karena seluruh bangunannya berasal dari kayu bercat cokelat. Selain menjual aneka es krim, kedai itu juga menyediakan aneka minuman cokelat dan banyak camilan. Setiap hari Jumat, ibu Mia menyediakan beberapa nasi kotak dari kateringnya untuk dibagikan pada setiap driver ojol yang mengambil pesanan di Rumah Cokelat.Kebanyakan anak muda di kota itu pernah berkunjung ke Rumah Cokelat. Mereka biasanya berkumpul di gubug-gubug yang ada di halaman rumah Mia. Ada lima gubug yang selalu ramai di akhir pekan. Ah, Mia rindu suasana itu. Tapi, mungkinkah Sakha juga pernah datang ke Rumah Cokelat? Rasanya, Mia tak pernah melihatnya sama sekali. Mia biasanya ikut membantu di kedai saat libur sekolah.Haruskah kutanya? Mia membatin.Tapi, belum sempat ia membuka mulutnya, Sakha tiba-tiba ngebut.“Hei!” teriak Mia, takut ketinggalan.Ia melihat Sakha berbelok dengan cepat lalu menghilang di balik pagar pohon turi.Ternyata seratus meter dari situ, gerbang sekolah sudah terlihat. Mia menghembuskan napas lega. Ia melirik jam di tangannya, dan tersenyum saat menyadari memang hanya sepuluh menit yang mereka butuhkan untuk sampai ke sekolah.“Alhamdulillah,” Mia mengayuh lebih cepat.Saat membaca tulisan ‘SMA Karya 2’ tepat di atas kepalanya, Mia tersenyum. Ternyata Sakha tidak sejahat itu, meninggalkan seorang gadis sendirian di tengah jalan.*** “Apa? Kamu naik sepeda?” tanya Nindi sambil tertawa kecil saat menemukan Mia terengah-engah mengatur napas di depan pintu kelas. “Biasanya kan, naik ojol?”“Hmm, ibuku yang nyuruh. Bareng sama Sakha,” jawab Mia sambil berjalan ke mejanya dan meletakkan tasnya di laci.“Ya ampun. Aku masih belum percaya dia tetanggamu,” Nindi melirik ke arah meja Sakha, tempat cowok itu sedang menulis sesuatu di kertas.Nindi, sahabat sekaligus teman sebangku Mia itu ikut duduk. Ia juga baru sampai, seperti biasa, naik motor maticnya yang dicat serba pink.Kemarin, Mia memang cerita padanya soal Sakha. Teman sekelas yang paling dingin sama perempuan. Tak seperti cowok lain di kelas yang biasanya genit, Sakha orangnya cuek. Mungkin sepadan dengan lemari es. Dingin dan kaku.Nindi tertawa saat Mia bercerita soal Sakha. Ia pernah sekali melihat Sakha mengembalikan surat cinta dari seorang adik kelas. Dia bilang pada gadis itu, “Maaf, aku nggak suka sama cewek.”Sakha memang aneh. Dia tidak ada tanda-tanda menyimpang seperti itu, tapi selalu menolak seseorang dengan alasan yang sama.“Tapi, di kelas lain banyak yang suka sama Sakha,” Nindi berbisik.“Bodo amat,” Mia menghempaskan tubuhnya di kursi, tak peduli. “Tapi, bisa jadi dia memang ada kelainan.”Nindi baru saja akan membuka mulutnya lagi saat dilihatnya Sakha mendekat ke bangkunya dan Mia. Cowok itu melemparkan selembar kertas tepat di hadapan Mia. “Nih, peta jalan ke rumah. Nanti nggak usah nungguin aku.”Mia menaikkan alisnya. Oh, jadi ini yang tadi dia coret-coret di kertas?“Di jaman sekarang ini, sudah ada yang namanya google maps, Tuan,” jawabnya setengah mengejek. Peta di kertas? Huh, kuno sekali.“Ya sudah kalau nggak mau.”Dalam satu detik, Sakha mengambil kembali kertas itu, meremasnya dan membawanya pergi untuk dibuang di tong sampah.Mia hanya bisa geleng-geleng kepala. Tenang saja Mia. Sebentar lagi kamu pasti terbiasa dengan segala tingkahnya yang ajaib. Mia menghibur dirinya sendiri.Lalu, bel masuk terdengar. Mia menoleh ke belakang, mengedarkan pandangan.“Maryam nggak berangkat lagi, ya?” tanyanya pada Nindi, yang hanya mengangkat bahu.“Dia di kelas kita nggak, sih?”“Kalau dilihat di daftar, dia masuk kelas kita. Tapi nggak tahu, sejak sebelum libur kan dia sudah lama nggak masuk. Kenapa?”Mia menggeleng. “Nggak, penasaran aja.”Mia meluruskan duduknya, menatap ke depan karena guru mereka sudah masuk kelas. Tapi, pikirannya masih tentang Maryam. Ke mana gadis itu setelah sekian lama? Bahkan mungkin ia tidak mengambil rapornya.*** Keanehan di Rumah Cokelat Suara rem sepeda Sakha berdecit saat berhenti di depan sebuah rumah berhalaman luas. Rumah itu berpagar kayu yang dirambati tanaman morning glory warna-warni. Tak ada pintu gerbang, jadi siapa saja bisa masuk ke pekarangan sekadar untuk numpang duduk di gubug atau mencuci tangan di kran yang disediakan. Memang ada empat buah gubug berjejer di bagian timur halaman rumah itu. Gubug-gubug itu berdiri menghadap rumput gajah mini yang terhampar bagai permadani. Rumah itu sepi. Hampir separuh dari tembok depan rumah itu tertutup rambatan English Ivy, yang seolah tumbuh bersaing dengan mawar rambat merah muda di sebelahnya. Tepat di sebelah rambatan itu, di atas jendela warna putih, tergantung papan bertuliskan “DISEWAKAN”.Sakha mengeluarkan ponselnya untuk mencatat nomor kontak yang tertera di papan itu. Entah mengapa ia merasa, dirinya akan membutuhkan nomor ponsel itu suatu saat, entah kapan. Sakha mengedarkan pandangannya ke pekarangan rumah. Ia memajukan sepedanya hingga sampai di depan sebuah gubug.“Aku yakin melihat dia masuk ke sini kemarin,” Sakha menggumam.Matanya terus beredar mencari-cari seseorang. Ia baru saja hendak turun dari sepedanya, saat terdengar teriakan dari belakangnya.“Hei! Ngapain di rumahku?”Suara cempreng itu! Sakha menoleh.Mia melaju dengan sepedanya, kencang. Matanya memandang penuh selidik.“Astaga! Hati-hati, dong! Kamu hampir menabrakku!” omel Sakha saat lututnya beradu dengan roda depan sepeda Mia.Mia hanya nyengir. “Ngapain di sini? Pantesan nggak mau ditunggu.” Mia teringat peta dalam kertas yang tadi diberikan oleh Sakha.“Oh. Aku ….” Sakha gugup, berusaha mencari jawaban.“Kamu ….” Mia membulatkan matanya.“Hanya mau beli es krim. Maneka pesan es krim tadi,” Sakha menyebut nama keponakannya.“Kamu nggak tahu kalau Rumah Cokelat sudah lama tutup?”“Yah, aku kira sudah buka lagi sekarang. Kenapa jadi curiga begitu? Memangnya aku penjahat?” Sakha berbalik dengan kesal, mengayuh sepedanya pergi dari tempat itu.Mia mengikuti setiap gerakan Sakha dengan pandangan mata sadis. “Dasar orang aneh! Sebentar. Apa benar dia ada kelainan sedikit? Sikapnya nggak ada lembut-lembutnya sama sekali.”Sakha menghilang dengan cepat. Mia memarkirkan sepedanya lalu melemparkan tasnya ke dalam gubug. Tak lama, tubuhnya pun menyusul, berbaring di sana.“Oh iya.” Mia cepat merogoh sakunya untuk mematikan panduan suara google maps yang tadi digunakannya untuk menunjukkan jalan dari sekolah. Tak lupa, mengirim pesan pada ibu bahwa ia mampir ke Rumah Cokelat.Lalu, ia terdiam, memejamkan mata. Ah, Mia rindu Rumah Cokelat. Mia rindu wedang cokelat hangat racikan Ayah. Ia rindu riuh suara saat pengunjung membludak di malam Minggu. Tak terasa air matanya meleleh. “Sudahlah ….” Mia menghapus air matanya lalu berdiri.Cukup baginya melihat ibu yang terpuruk sekian lama. Baginya, ia harus jadi pegangan untuk ibu ketika ibu nyaris ambruk, bukannya ikut terjatuh bersama. Mia menyadari, hanya dirinya yang dimiliki ibu saat ini.Selama beberapa detik Mia sibuk membersihkan bagian belakang roknya yang terkena debu dari lantai gubug. Gubug itu sangat kotor. Ditinggalkannya ranselnya tetap di dalam gubug lalu mulai berkeliling. Pertama-tama, ia hendak menyiram bunga-bunga.“Kenapa ada bekas siraman air?” Mia memerhatikan sebuah pot kamboja.Seperti belum lama disiram. Mia memeriksa pot-pot lain, bahkan rambatan morning glory di pagar. Semuanya segar seperti habis disiram. Bahkan setelah melihat sekeliling dengan saksama, Mia menyadari, halaman rumah itu cukup bersih untuk ukuran rumah yang sudah cukup lama ditinggalkan.Pasti ada tetangga yang berbaik hati melakukan itu semua, Mia membatin. Mungkin Mama Dilla yang tinggal di sebelah.Masih penasaran, Mia melangkah ke kedai yang berada di sebelah barat halaman rumah itu. Kedai itu masih sama. Mia bahkan masih bisa menyentuh bangau-bangau kertas warna-warni yang dulu digantungnya di atap, berjejer-jejer. Sarang laba-laba terbentuk di beberapa sudut. Mia melongok ke bawah, ke papan lebar tempat biasanya bahan-bahan makanan disimpan. Debu bertaburan di sekitar. Tapi, ada yang aneh. Di papan bercat cokelat itu, ada bagian mengkilat tak berdebu. Memanjang. Seolah seseorang pernah berbaring di sana.“Siapa?” Mia mengernyit. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Tidak, Mia. Tidak. Tidak ada hantu, kau kan tahu itu.Setelahnya, pandangan Mia tertumbuk pada galon air yang ada di lantai sudut kedai. Di bawah tempat meracik minuman, galon itu berdiri kesepian. “Bukankah terakhir kali, galon itu masih penuh? Aku ingat tukang galon menaruhnya di sana masih tersegel. Kenapa sekarang tinggal setengah? Jadi, bukan hantu, ya? Hantu kan, tidak minum dari galon?”Mia memukul kepalanya sendiri. Kenapa dia malah memikirkan hantu?Keluar dari pintu kedai, Mia mendengar suara langkah kaki terseret-seret dari arah jalan depan rumah. Ia teringat seseorang yang ia kenal, yang memiliki ciri khas langkah terseret-seret seperti itu.Mia berlari mendekat. “Mama Dilla!”Seorang perempuan paruh baya dengan kaki pincang, berhenti dan menoleh. Ia mengenakan daster panjang dan sandal jepit yang kebesaran. Kulitnya yang terbakar matahari terlihat dari balik lengan dasternya yang digulung ke atas sebagian. Wajah yang mulai dipenuhi keriput tampak memandangi Mia tak percaya. Angin meniup-niup rambut sebahu wanita itu, yang diikat ala kadarnya.“Neng Mia! Ya Allah … Akhirnya ketemu lagi .…” Wanita itu mengelurkan suara parau, seperti hendak menangis.Mia cepat meraih tangan wanita itu dan menyalaminya, mencium punggung tangannya dengan hormat. Berdua, mereka melangkah ke gubug untuk ngobrol.“Mama Dilla sehat?”“Alhamdulillah, sehat, Neng. Sekarang tinggal di mana?”“Kampung sebelah, Ma. Nggak jauh dari sini. Sekitar lima kilo saja. Nanti Mia kirim alamatnya, ya. Biar Mama Dilla bisa main ke sana.”Mia memegang tangan Mama Dilla, merasa bersalah karena dulu pergi dengan buru-buru. Ibu memutuskan pergi dari rumah itu hanya dalam semalam. Setelah tak kuat dengan mimpi-mimpi buruk yang membuatnya tak bisa tidur berhari-hari. Kenangan itu benar-benar menekan ibu kuat-kuat. Sudah tak terhitung berapa kali Mia memergoki ibunya menangis, di setiap sudut rumah. Mia sendiri tidak kuat melihat wanita yang melahirkannya tersiksa seperti itu.Dan …. tidak mudah untuk meminta ikhlas …. bahkan Mia tak berani mengatakannya. Ia bahkan tidak yakin pada dirinya sendiri. Apakah ia sudah ikhlas? Tidak, Mia tidak tahu.Mama Dilla mengangguk. Wanita itu bernama asli Titin. Asli dari Ciamis. Semua orang memanggilnya Mama Dilla, diambil dari nama anak sulungnya yang seumuran Mia. Dulu, Mama Dilla sehari-hari bekerja membantu ibu memasak di katering. Sedangkan Dilla, ikut membantu di kedai Rumah Cokelat saat hari libur.“Mama Dilla sekarang kerja di mana?” Mia bertanya sedih, “Maaf kami tiba-tiba pergi. Tapi, Ibu berencana buka katering lagi. Nanti, Mama Dilla bisa bantu?”Mama Dilla mengangguk. “Mau, Neng. Mama juga kangen sama Ibu. Ibu sehat?”Mia mengangguk, tersenyum. “Ibu sudah jauh lebih baik.”“Mama sekarang kerja serabutan, Neng. Kadang nerima cuci setrika di perumahan sana,” Mama Dilla menunjuk ke arah perumahan tak jauh dari rumah itu.“Oh, ngomong-ngomong, Mama Dilla dari mana?”“Habis belanja, Neng. Siang tadi kami baru balik dari kampung. Jadi, bahan makanan habis semua,” Mama Dilla menunjuk kantong belanjaannya yang berisi sembako.Mia mengernyit. “Baru siang tadi?”“Iya.”“Jadi, bukan Mama Dilla yang menyapu halaman dan menyirami bunga?”Mama Dilla menggeleng bingung. “Nggak, Neng. Mama memang rencana mau ngurus rumah ini, tapi mulai nanti sore, begitu. Sekalian nyalain lampu luar.”Mia terdiam. Dia bingung. Hanya Mama Dilla yang tadinya terpikir di kepalanya. Memang siapa lagi yang akan menyapukan halaman rumah yang kosong? Dan menghabiskan setengah galon air mineral … ah, Mia pusing. Katering Ibu Sakha membuka jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan pagar pembatas dengan rumah Mia. Masing-masing rumah di perumahan itu berukuran sama. Tiga kamar tidur dan dua ruang ekstra. Di rumah Sakha sendiri, dua ruang itu digunakan untuk ruang makan dan ruang tamu. Mereka beruntung karena halaman rumah yang cukup luas, cukup untuk menanam pohon perindang agar rumah tidak terlalu panas.Sakha menarik nafas panjang. Sebentar lagi Magrib. Pikirannya kembali melayang pada gadis itu. Ke mana dia? Dia yakin kemarin melihat sosoknya memasuki pekarangan Rumah Cokelat. Rumah itu disewakan, bukan? Dia mau pindah ke sana? Ah! Sakha mengacak rambutnya dengan kesal. Kenapa juga harus memikirkan gadis itu? Karena merasa bersalah? Entahlah.“Sakha!” panggilan Bu Weni dari luar kamarnya, membuat Sakha menoleh.Dilihatnya ibunya itu membuka pintu kamarnya, dan melongok.“Kata Bu Dewi, Mia belum pulang. Tadi kalian nggak bareng?” “Nggak. Tapi tadi Mia bilang mau ke rumah lamanya. Memangnya dia nggak ijin sama ibunya?”Tiba-tiba saja Sakha merasa kesal. Kok bisa, ada anak seperti itu, bikin bingung orang tua saja!“Oh, ya sudah. Ibu bilang dulu sama ibunya Mia,” ujar Bu Weni sambil pergi.Sakha mengangguk. Diraihnya ponsel di atas meja makan, memeriksa kontak yang tadi dicatatnya di Rumah Cokelat. Ia melihat profil kontak itu di Whatsapp. Terlihat foto seorang gadis dalam jaket biru muda dan kerudung hitam. Wajahnya mungil, dengan hidung mancung dan mata lebar, pipi chubby dan bibir tipis mengkilat oleh lipgloss tipis. “Mia ….” Sakha menatap foto itu kesal.Dengan cepat, diketiknya pesan.Cepat pulang, woy. Ibumu nungguin. Terkirim. Sakha melempar kembali ponsel itu ke atas meja, dan keluar menuju kamar mandi. Jangan sampai bila azan Magrib berkumandang nanti, dia baru berangkat mandi. Itu kan, panggilan untuk salat, bukan untuk mandi.*** Mia sedang mengambil tasnya di gubug dan bersiap untuk pulang, saat ponselnya berdenting pelan. Ia mengernyit mendapati sebuah pesan dari nomor yang belum tersimpan. Penasaran, dia klik profil pengirim pesan itu.“Ih,” Mia mencibir saat mendapati wajah Sakha di sana. Rambut lurus hitam, alis melengkung bagus dan bibir tebal yang nyaris tak pernah tersenyum. Kulit wajahnya kecokelatan dengan beberapa jerawat kecil di dahi. Walapun begitu, hidungnya mancung dan rahangnya tegas. Itu benar-benar Sakha. Mia penasaran dari mana Sakha mendapatkan nomornya.“Dia ini kalau diperhatikan, agak mirip Song Kang. Tapi dikit. Dikiiit banget. Lagian warna kulitnya beda, hahaha ….”Astaga. Mia langsung menepuk mulutnya sendiri setelah mengatakan itu.Teringat Ayah. Ayah berpesan kepada Mia untuk menjaga dirinya baik-baik. Menjaga jarak dengan lawan jenis. Bahkan Ayah memesankan ojol khusus wanita untuk Mia, walaupun tarifnya lebih mahal daripada yang biasanya. Menutup aurat dengan baik walaupun hanya ke halaman belakang untuk mengambil jemuran. Kelak, ayah yang akan ditanya Allah soal bagaimana Mia menjaga aurat. Begitu pesan ayah yang tak pernah Mia lupakan.“Mia, kalau suatu saat, di masa remajamu kamu tertarik pada seseorang, itu wajar. Tugasmu adalah mengalihkannya agar tidak sampai terjerumus pada hal-hal yang tidak bermanfaat.”Mia tergugu. Sampai akhir hayatnya, ayah adalah ayah terbaik sedunia, bagi Mia.Otw. Mia mengirim balasan dengan cepat. Heran, bukannya dia sudah kirim pesan ke ibu? Mia lalu memeriksa pesan yang dikirimnya tadi. Ya ampun, ternyata centang satu. Mia lupa kalau kuota internet ibu habis. Mia menepuk dahinya, lalu tergesa mengayuh sepedanya, pulang.*** “Wah!” Mata Nindi berbinar saat Mia memberikan daftar menu katering ibu padanya.Sahabat Mia itu dulu langganan katering ibu Mia untuk makan siang di sekolah. Begitu pula setengah dari siswa di kelas Mia saat kelas sebelas. Sekarang, Mia membagikan kembali daftar menu dan catatan harga untuk para pelanggan lama ini. Kebanyakan mereka malas berdesakan di kantin saat jam istirahat. Lagipula, masakan ibu Mia sangat enak.“Mana, aku minta lagi. Biar kubagikan ke kelas sebelah,” Nindi mengulurkan tangannya.“Oh, tentu.” Mia tersenyum lebar sambil menyerahkan beberapa lembar kertas lagi.Nindi lalu pamit untuk pergi ke kelas lain. Nindi memang banyak teman. Kenalannya ada di mana-mana. Lumayan-lah, kalau Nindi yang mengiklankan katering ibu, pasti pelanggan bertambah banyak. Sepeninggal Nindi, Mia melirik jam di lengan kirinya. Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi.“Tumben bocah itu belum datang,” batin Mia.Mia memang hanya sekali itu saja berangkat bareng Sakha. Setelahnya, dia menghapal jalan dengan baik dan berangkat sendiri. Karena sudah satu minggu, kaki Mia sudah lumayan lemas dan tidak gampang capek lagi di perjalanan. Perlahan Mia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Maryam juga tidak datang. Ini sudah pertengahan pekan kedua di kelas baru. Mia khawatir.Maryam, sebenarnya tidak akrab dengan Mia. Malah bisa dibilang, tak seorang pun akrab dengannya. Maryam selalu sendirian. Duduknya di sudut belakang. Otaknya cukup encer, tapi jarang sekali bicara. Bawaannya murung, menunduk, dan cuek. Juga, Maryam tak pernah ke kantin. Mia kadang menemukannya dalam keadaan lemas sepulang sekolah. Mungkin tidak makan siang. Atau bahkan tidak makan dari pagi. Mia sudah minta ijin ibu untuk membagi satu porsi khusus katering untuk Maryam setiap hari, jika nanti katering sudah dimulai. Anggap saja pengganti sedekah ojol Jumat yang dulu rutin ibu lakukan. Tapi, sampai hari ini gadis itu tak terlihat.“Masih ada?” sebuah suara yang sangat Mia kenal, membuat Mia mendongak.Entah sejak kapan Sakha berdiri di sebelah meja Mia. Bukannya beberap detik lalu belum ada?“Apanya?” Mia bertanya bingung.Sakha merebut selembar kertas menu di tangan Mia dan membacanya sekilas. “Aku juga mau.”Mia menarik napas. “Ibumu memaksamu juga?”“Nggak. Aku cuma malas ke kantin tiap hari.”“Baiklah. Aku catat,” Mia tak urung tersenyum simpul. Dikeluarkan catatan pelanggan baru untuk menuliskan nama Sakha di sana.“Senin sampai Jumat, kan?”Mia mengangguk. Sekolah mereka memang hanya aktif sampai hari Jumat.“Oke. Uangnya nanti sama Ibu.”Sakha melipat kertas menu di tangannya dan menyimpannya di saku. Sesaat kemudian, ia mengedarkan pandang ke seluruh kelas, persis seperti yang Mia lakukan tadi.Mia menatapnya heran. “Cari siapa?”“Oh,” Sakha terkejut. “Cari Beni. Mau nagih utang.”Sakha lalu berbalik meninggalkan meja Mia yang masih menatapnya curiga.“Waktu kamu celingukan di Rumah Cokelat, kamu cari Beni juga?” selidik Mia.Sakha berhenti, tapi tak menoleh. “Dasar kepo!” Lalu ia meneruskan langkahnya.Bel masuk berdering, tepat saat Nindi datang. Gadis bermata sipit itu memandang Mia heran. “Mukamu kenapa? Kok serius begitu?” tanya Nindi sambil duduk.“Nggak apa-apa,” jawab Mia.Ada yang aneh. Kalau hanya mau beli es krim, dari jalan pun sudah terlihat kalau Rumah Cokelat sedang tutup. Tapi Sakha masuk sampai ke pekarangan dan tampak serius mencari sesuatu. Apa yang kamu cari? Siapa?Mia terus bertanya-tanya. Pertemuan Tak Disangka Mia, tadi Ibu ke toko sembako Pak Abu, tapi ada yang tertinggal. Tepung terigu dua kilo, mau dipakai besok. Bisa tolong bawakan sepulang sekolah? Tepung dua kilo muat di keranjang sepeda Mia. Sepulang sekolah, di tempat parkir Mia membaca pesan Ibu. Setelah menjawab pesannya dengan, “Iya, Bu.”, Mia langsung mengambil sepedanya. Ke toko Pak Abu berarti dia harus melewati jalan berbeda, belokan dekat pasar desa. Tidak terlalu jauh. Lagipula Mia bisa bertemu Dilla yang bekerja di sana. Dilla memang tidak sekolah lagi setelah SMP, ia bekerja di toko Pak Abu di hari kerja, dan biasanya membantu di Rumah Cokelat jika sedang libur. Sekalian Mia ingin mengundang Dilla dan Mama Dilla ke rumah, karena katering ibu akan dimulai awal pekan depan.Toko Pak Abu sedang sepi sore itu. Bagus, karena Mia memang ingin ngobrol sebentar dengan Dilla. Tidak enak kan, kalau di saat sibuk Mia mengajaknya mengobrol?“Assalamualaikum,” Mia berteriak sambil bertumpu tangan di etalase. Seorang gadis berkerudung hitam lusuh muncul dari dalam sambil menjawab salam itu. Suaranya sedikit serak. Saat keduanya bertemu pandang, Mia membulatkan mata, tak percaya. “Maryam?”Gadis berkerudung hitam itu sama-sama terkejut, dan spontan berbalik, lari ke dalam menyelinap di antara tumpukan kardus mie instan. Mia bahkan bisa mendengar saat Maryam meminta Dilla melayani pembeli dengan alasan dia mau ke kamar mandi.Dan Mia masih tertegun saat Dilla datang. Apa benar tadi itu Maryam? Maryam yang sekelas dengannya? Dia di sini?“Kak Mia!” seru Dilla ceria. “Mau ambil tepung, ya?”Mia mendongak. “Dil... Barusan tadi ... siapa?”*** Mia memikirkan Maryam sepanjang perjalanan pulang. Tadinya ia sengaja menunggu, kalau-kalau gadis itu keluar lagi dan mau menemuinya. Tapi sampai sekian lama, Maryam tak muncul. Mia menyimak sedikit cerita Dilla soal Maryam. Ya, hanya sedikit, karena memang hanya sebanyak itu yang Dilla tahu.Maryam melamar kerja di toko itu seminggu lalu. Dia mengaku putus sekolah di kelas sebelas karena tidak ada biaya. Pak Abu langsung menerimanya, karena kasihan. Selain itu memang toko sedang ramai akhir-akhir ini dan membuat Dilla kewalahan jika bekerja sendirian.“Tapi, Kak Mia, hampir tiap hari aku melihat ada luka di badan Maryam. Kadang di sudut bibirnya ada bekas darah. Atau ada memar biru di tangannya.”Mia menarik nafasnya panjang. Ia sudah tahu. Ia beberapa kali melihat itu di sekolah. Dulu. Maryam, ada apa? Boleh kupeluk kamu sebagai sahabat seiman?*** Seperti biasa, hari Minggu kali ini pun cerah. Mia baru selesai menjalankan salat Dhuha, saat terdengar riuh suara di ruang tamu. Dilla dan Mama Dilla datang hari ini. Bahkan Mia mendengar suara Bu Weni juga. Ibu dengan sumringah menyambut tamu-tamunya. Pantas saja, semalaman Ibu hampir tidak tidur karena sibuk membereskan rumah.Setelah melipat mukena, Mia mengambil karet dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Ia juga mengoles wajahnya dengan sunblock. Itu penting dilakukan sebelum memasak, pesan ayah dulu. Selain sinar matahari, panas dari kompor juga bisa membuat wajah rusak, jadi harus dilindungi sebelum memasak.Mia menarik Dilla yang melintas di depan kamarnya.“Eh, ada cowok nggak?” bisiknya. Ia bertanya karena mendengar suara Bu Weni. Ya, siapa tahu Sakha ikut datang.Dilla merasa bingung, lalu celingukan mencari tahu. “Cowok? Nggak ada, tuh.”“Oh, syukurlah,” Mia tersenyum lega. “Nggak usah pakai jilbab di dalam rumah.” Mia keluar dari kamar mengenakan kaos oblong putih dan celana olahraga warna orange terang. Ia tersenyum lebar menyapa semua orang.“Eh, ada Bu Weni juga,” Mia menjabat tangan tetangganya itu dengan sopan.“Iya, Neng. Biar rame. Sekalian ibu belajar masak lagi.”Hari itu ibu mengadakan syukuran kecil, menandai kepindahan ke lingkungan baru, sekaligus promosi katering yang dimulai esoknya. Ibu dan Mia akan mengirim nasi kotak ke semua tetangga, dan diakhiri dengan makan-makan di rumah. Omong-omong soal katering, para pelanggan lama semua kembali memesan menu. Ada tambahan beberapa pelanggan baru, termasuk Sakha dan beberapa guru di sekolah. Selain dari lingkungan sekolah, katering ibu juga mendapat langganan dari kantor-kantor sekitar. Dapur kecil itu riuh, dipenuhi bahan masakan. Mereka akan memasak sayur asem, sambel terasi mentah, bandeng goreng, dan tempe garit. Dalam kotak nasi nanti akan ditambahkan potongan melon dalam wadah mika. Lengkap sudah.Mia duduk bersama Dilla untuk meracik sayur asem. Sedang yang lainnya sibuk dengan bumbu-bumbu dan kompor. Ibu terlihat ceria, senyumnya terus mengembang. Ah, itu adalah pemandangan langka yang sudah jarang Mia lihat.“Bu Dewi, saya tadi bawa nanas dan mentimun. Nanti buat rujakan,” ujar Bu Weni sambil mengupas bawang merah.“Oh ya?” Ibu menjawab dari depan kompor. “Bu Weni sering rujakan, ya?”Bu Weni tertawa. “Iya, kebiasaan sejak Wirda ngidam dulu. Jadinya keterusan.”“Ngomong-ngomong, suami Wirda kerja di mana, Bu Weni? Saya kok belum pernah lihat sama sekali? Merantau, ya?” Ibu bertanya lagi sambil membalik tempe.Bu Weni tak langsung menjawab. Tiba-tiba saja gerakannya terhenti. Sebutir bawang merah meluncur jatuh dari genggamannya.“Oh, iya, Bu. Kerjanya jauh,” Bu Weni menjawab, pada akhirnya. “Ini bawangnya sudah cukup belum, Bu Dewi?”Seakan mengalihkan pembicaraan, Bu Weni bangkit dari duduknya dan mulai menyapu kulit bawang yang berserakan di lantai.“Nanti saja, Bu. Sekalian sama Mia,” tegur Mia.“Oh. Baik, Neng ….”“Sudah segitu cukup, Bu Weni,” Ibu menjawab, “Kayaknya malah cabenya yang kurang.”Dan begitulah waktu berlalu, hingga azan Dzuhur berkumandang.Pekerjaan mereka selesai. Ibu tersenyum puas memandang kotak-kotak nasi di hadapannya. Semua masih panas. Selagi Dilla dan Mama Dilla salat, Bu Weni sibuk mengupas nanas.“Mia, tolong panggil Sakha, biar makan bareng di sini. Sekalian Mbak Winna juga. Kalau ada Mbak Wirda, ajak sekalian,” seru Ibu saat melihat Mia keluar dari kamar, selesai salat.“Nggak usah, Bu. Wirda kerja. Winna main ke temennya. Sakha di rumah lagi ngasuh Maneka. Nggak usah disuruh ke sini, Maneka nanti nangis,” Bu Weni menimpali.“Kalau gitu, antar nasi kotaknya saja,” ujar Ibu, lalu menyiapkan empat kotak nasi.“Aduh, banyak amat, Bu ….” Bu Weni protes.“Sudah nggak apa-apa, Bu, biar cepat habis.”Mia memasukkan kotak-kotak nasi ke dalam kantong, lalu menaruhnya di depan pintu. Ia kembali ke kamarnya untuk mengambil mukena. Lebih praktis memakai atasan mukena karena bisa menutupi seluruh tubuhnya. Tidak usah repot pakai kerudung dan cardigan. Setelah pamit, ia berjalan ke rumah Sakha.Mia melihat Sakha duduk di bawah pohon kersen memangku laptopnya saat ia tiba. Maneka duduk di teras, sibuk dengan sepotong blackforest yang membuat cemong-cemong di wajahnya. Rambutnya yang keriting dikuncir ke atas membentuk menara kecil yang lucu.“Makan dulu, Sakha,” ujar Mia membuat Sakha terkejut.“Eh, Mia. Kaget.” Cowok itu mendelik kesal.Mia nyengir. “Maaf.”“Sudah matang, ya?” Sakha melongok bungkusan yang dibawa Mia. Membaui aroma lezat dari dalamnya. Sakha lalu menutup laptop dan meletakkan benda itu di sebelahnya.“Belum,” Mia berkelakar.“Dasar!”Sakha lalu mengalihkan pandangan ke arah Maneka. “Neka, sini! Makan, yuk. Mas suapin, nih.”Mia takjub. Tak dinyana, Sakha mempunyai sisi lembut seperti itu. Dilihatnya bocah berumur dua tahun itu mendekat. Mia tak tahan, ia berlari dan menggendong Maneka. Gemas.“Neka cuci tangan yuk, sama Kak Mia,” ujar Mia riang. Dibawanya bocah itu menuju keran air yang ada di dekat pagar.Neka mengangguk, lalu mengusap wajah Mia dengan tangannya yang belepotan cokelat. Mia tertawa geli. Ia tak menyadari, sepasang mata Sakha mengawasi gerakannya, membuat sebuah senyum terukir pelan. Tawa Bapak dan Luka Ibu Maryam melangkah pelan menyusuri gang selebar satu setengah meter yang kanan kirinya dipadati rumah-rumah kecil. Di gang padat itulah ia tinggal. Sore yang cerah, namun wajahnya muram. Maryam mengenakan kaos panjang berwarna marun dan celana jins kedodoran, dengan jilbab kaos warna hitam rapi membungkus kepalanya. Di bahunya tersandang tas selempang kecil berwarna abu polos. Ia sampai di depan rumahnya. Rumah kontrakan kecil dengan tembok batu bata dan lantai semen kasar. Cat di pintu depan mulai mengelupas. Maryam berhenti di teras berukuran 3x1 dan mendongak memandang meteran listrik yang berbunyi nyaring sejak kemarin. Ia pun berbalik pergi, menyeberang jalan ke toko pulsa.“Tante Dian, tolong pulsa listrik seperti biasanya, ya.”Wanita berkaos pink dengan kacamata minusnya muncul, melayani dengan ramah. “Baru pulang kerja, ya Maryam?”Maryam mengangguk, lalu menyerahkan selembar uang. Satu-satunya uang yang tersisa di dompetnya.“Sekarang kok nggak pernah beli pulsa?” tanya wanita yang disapa Tante Dian itu sambil menyerahkan kembalian.Maryam menggeleng. “Nggak ada, Tante, ponselku sudah dijual sama Bapak.”Tante Dian melongo. Mungkin merasa kasihan. “Kok bisa dijual? Aduh ….”“Biasalah, Tan.” Maryam tersenyum.“Kebetulan Tante punya ponsel lama, tapi bukan android. Kamu pakai aja, Maryam. Kan penting ponsel buat komunikasi.”Maryam menatap Tante Dian lama. Ia hanya seorang tetangga, bukan saudara. Namun hatinya sangat baik. Seorang wanita muda yang lembut dan ramah. Walaupun bukan tergolong orang kaya, Tante Dian sering berbagi dengan sekitar, terutama untuk keluarga Maryam yang tinggal tepat di depan rumahnya.Tak lama, Maryam menggeleng. “Sudahlah Tante. Nggak usah. Nggak penting juga sekarang aku punya ponsel. Malah takut dijual lagi sama Bapak. Terima kasih sudah ditawari.”Maryam menganggukkan kepalanya untuk pamit. Sedikit banyak, ia bersyukur punya tetangga yang baik. Namun ibunya selalu mengajari, jangan merepotkan orang kecuali terpaksa sekali. Jangan dibiasakan meminta-minta. Jangan memanfaatkan kebaikan orang lain.Maryam berjalan kembali ke arah meteran listrik untuk mengisi token yang dibelinya. Lalu, perlahan ia membuka pintu. Aroma wangi menguar ke segala arah, menandakan ibu sedang mengerjakan setrikaan di kamarnya. Setelah mengucap salam, Maryam melangkah masuk.Yang pertama kali Maryam lakukan adalah memeluk ibunya yang duduk membelakanginya di kamar, sibuk dengan tumpukan pakaian orang-orang.“Eh, Maryam,” Ibu kaget karena dipeluk tiba-tiba. Wanita berwajah teduh itu berbalik dan balas memeluk putrinya setelah meletakkan setrika.“Capek?”Maryam mengangguk. Matanya beredar ke seluruh penjuru kamar. Dilihatnya beberapa keranjang baju sudah siap diantar.“Kan hari Minggu harusnya kamu libur, Maryam. Kenapa memaksa masuk? Maaf ya, kamu sampai harus kerja. Harusnya kamu sekolah seperti dulu.”“Nggak apa-apa kok, Bu. Daripada cuma bengong di rumah. Kalau masuk kerja di hari libur, aku bisa dapat bayaran harian. Oh ya, tadi listrik sudah aku isi.”“Terima kasih, Maryam. Tadinya Ibu sudah hampir ngutang sama Tante Dian.”Maryam tersenyum. Syukurlah, ibu tidak sampai berhutang. “Yang keranjang biru antar ke mana, Bu? Maryam antar sekarang, ya.”“Istirahat dululah ….”“Nggak apa-apa, sekalian mumpung belum mandi,” ujar Maryam lalu berdiri untuk menggantung tasnya di balik pintu.“Itu punya Tante Amoy yang di perumahan.”“Siap.” Maryam membungkuk untuk mengangkat keranjang yang dipenuhi baju-baju seharum bunga. Namun matanya menangkap sesuatu di wajah ibu.“Bapak mukul Ibu lagi?” selidiknya.Jelas-jelas ia melihat bekas darah yang mengering di sudut bibir ibu.Ibu tersenyum. Selalu saja begitu. “Iya, nggak sakit, kok. Tadi Bapak minta uang buat bekal mancing.”Nggak sakit. Nggak apa-apa. Selalu itu yang ibu katakan untuk membela bapak.“Wah,” Maryam mengatupkan bibirnya, amarah mulai muncul tiap kali ibu bicara soal bapak. “Kita sibuk bekerja dan Bapak malah pergi mancing?”“Kan nanti dapat ikan, Maryam. Lagipula, bapak belum dapat kerjaan lagi, kan.”Maryam melengos. Begitulah selalu, ibu membela bapak apapun kondisinya. Entah dipukul, entah dipalak. Entah Bapak mancing seharian atau main judi sampai pagi, ibu selalu membela.“Bapak sedang stress,” begitu kata ibu selalu.“Kenapa bapak nggak mau menerima tawaran pakde dan kakek untuk pulang ke Wonosobo? Bapak lebih suka lihat kita lapar?”Ibu menarik napasnya, berat. “Itu ... nggak semudah itu, Maryam.”Maryam melengos. “Nggak ada yang sulit kalau bapak mencintai kita. Harusnya begitu.”Sejak di-PHK dari agen travel setahun lalu, memang begitulah tabiat bapak. Hilang kasih sayangnya. Suka memukul, suka minta uang. Sulit dapat pekerjaan baru. Entah memang sulit entah karena tidak mau berusaha, Maryam tidak tahu. Tiba-tiba saja bapak sudah bergabung dengan gerombolan penjudi. Ia pikir, dengan berjudi ia bisa dapat uang. Padahal tidak sama sekali.Selama beberapa detik Maryam memandangi wajah ibunya yang sayu. Entah kapan sinar bahagia yang dulu dikenalnya, akan kembali ia lihat.“Bu, Maryam nggak kepingin ikan,” ujar gadis itu kesal, lalu pergi dengan keranjang di tangannya.Sembari melangkah, ia berusaha keras tidak menitikkan air mata.*** Menjelang azan Magrib, Maryam selesai mengantar lima keranjang baju ke semua pelanggan laundry Ibunya. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi rotan usang di depan kamarnya, lalu membuka dompet untuk menghitung uang yang tadi diterimanya dari hasil setrikaan ibu.Begitu dompet terbuka, pandangannya tertuju pada wajah seseorang. Ia pernah mengambil gambar cowok itu diam-diam saat di sekolah. Saat ponselnya masih ada. Ada perasaan spesial tumbuh di hatinya sejak cowok itu tak sengaja menabraknya dengan sepeda. Namun, kini ia sadar, perasaan itu salah.Perlahan Maryam mengambil foto itu dan membaliknya, memperlihatkan sisi putih polos. Ia tidak ingin melihat wajah itu lagi.Perasaan itu salah, ia menggumam. Bukan waktunya memikirkan hati. Bukan waktu yang tepat untuk berpuisi. Hidupnya dan ibu lebih penting sekarang. Mereka harus bertahan hidup dengan baik, saling menjaga. Maryam tak perlu ada rasa dan perhatian yang belum saatnya. Hari ini, ia tutup rasa itu dengan ikhlas.*** Pencuri yang Aneh Matahari mulai redup saat Mia mengumpulkan bibit-bibit kecil ke dalam keranjang sepedanya. Seperti biasa, Rumah Cokelat sunyi sore itu. Dengan seragam yang mulai belepotan tanah, Mia berkeliling untuk memindahkan beberapa bunga. Ia memilih batang yang masih muda tapi sudah berakar, agar mudah dibawa. Mia ingin bunga-bunga tumbuh juga di rumah baru, karena di sana terasa gersang. Ia bahkan ingin memiliki sebatang pohon kersen seperti di rumah Sakha. “Kapan-kapan, aku beli pohon palem kecil saja,” pikir Mia, sambil menyapukan pandangan ke hamparan rumput gajah mini di bawah kakinya.Halaman rumah itu memang dibagi menjadi dua bagian, timur untuk gubug-gubug, bagian barat untuk membangun kedai. Sedangkan di tengahnya ditanami rumput. Mia mulai berpikir untuk mencongkel sedikit rumput itu dan membawanya. Pasti bagus kalau di rumah baru ada rumput gajah mini juga.Mia menatap langit, mulai gelap. Ia harus bergegas agar tidak kesorean. Setengah berlari Mia menuju ke gudang di belakang rumah.Gudang itu gelap, di bagian depannya beberapa kayu bekas melintang. Pintu itu tidak terkunci, entah kuncinya hilang di mana waktu itu. Saat membukanya, udara pengap langsung terasa. Mia terbatuk beberapa saat. Ia masuk dan segera menemukan sekop. Namun, ia mengernyit. Ada yang berbeda.Mia meneliti setiap sudut dengan matanya. Ia ingat, masih ada setengah kardus berisi susu kental manis kaleng tersimpan di sana. Saat pindahan, ia dan ibu tidak terpikir untuk membawanya serta. Harusnya, kardus itu masih di sana. Tapi, tidak ada. “Apa ada maling?” Mia berpikir sambil keluar dan menutup pintu. Ya, dia tidak akan heran karena rumah itu kosong dan gudang tidak dikunci. Mungkin memang belum rezeki mereka.Mia kembali ke halaman depan, dan ia langsung teringat galon air di kedai. Apa galon itu juga hilang sekarang? Mia bergegas memeriksanya. Benar, galon itu sudah tidak ada di tempatnya.Mia mengangkat bahu. Ya sudahlah. Tak lama, ia mencongkel sedikit rumput gajah mini dengan sekop yang ditemukannya. Sambil berjongkok, ia memikirkan sesuatu. Siapa yang waktu itu menyiram bunga dan menyapu halaman? Maling tentu saja, tidak akan repot-repot melakukan itu, bukan?*** Sakha dan Mbak Winna sedang main bulutangkis menggunakan sandal jepit sebagai pengganti raket, ketika Mia lewat. Suara tawa ceria di sana membuat Mia berhenti sebentar dan memerhatikan. Lucu juga. Mia membayangkan apa saja yang akan dilakukannya andai ia punya saudara. Apa akan seseru itu?“Hei, Mia!” seru Mbak Winna yang pertama melihatnya. Ia melambaikan tangan ke arah Mia.Sembari membalas lambaian itu, Mia tertawa, “Hei, Mbak!”“Mampir dulu. Kok baru pulang?” Mia melihat Sakha menghentikan permainannya dan duduk berselonjor di tanah. Napasnya naik turun.“Dari rumah lama, Mbak. Ya sudah ya Mbak, aku mau pulang dulu ….” Mia berpamitan. Diperhatikannya Sakha yang meliriknya sekilas. Membuatnya kembali teringat pada hari itu.Apa yang dicari Sakha di Rumah Cokelat? Apa ada hubungannya dengan halaman yang disapu dan tanaman yang sudah disiram? Mungkinkah Sakha tahu sesuatu?*** Esoknya, Mia banyak terdiam di sekolah. Rasanya ingin cepat pulang untuk memeriksa Rumah Cokelat lagi. Adakah hal baru yang akan ditemukannya?Tring.Ponsel Mia berdenting menandakan ada pesan masuk. Kak, kata Mama, ada barang-barang yang hilang dari rumah. Mama minta maaf karena kurang menjaga. Mama tahu subuh tadi waktu menyapu dan matikan lampu luar.Dari Dilla. Iya, aku sudah ke sana kemarin sore. Nggak apa-apa, Dilla. Maklum rumah kosong. Tapi, apa Mama cerita kalau melihat sesuatu yang aneh? Kalau bisa, nggak usah cerita sama ibuku soal ini. Baru saja pesan itu terkirim, bel masuk berbunyi. Mia mendesah. Ia terpaksa mematikan ponselnya jika tidak mau disita. Perlahan ia memasukkan ponsel itu ke dalam tas bagian depan, lalu mulai menyiapkan buku-bukunya. Ia teringat Maryam. Ditolehnya meja belakang tempat Maryam biasanya duduk. Di sana hanya ada Rita dan Nissa. Sudahlah, Mia. Itu bukan urusanmu. Mia menenangkan dirinya sendiri.*** Sore itu sepulang sekolah, Mia memutuskan untuk tidak mampir ke Rumah Cokelat. Ia teringat bunga-bunga kecilnya yang belum dipindahkan ke tanah. Ia bahkan harus kerja ekstra untuk melepaskan beberapa paving blok agar bisa menanam rumput gajah mini langsung di tanah. Mia mengayuh sepedanya pelan-pelan, karena melihat Sakha beberapa meter di depannya. Ia tidak ingin dianggap sok dekat. Lagipula, Sakha sangat menyebalkan. Tapi entah mengapa, Sakha seperti sengaja melambat-lambatkan sepedanya. Lama-kelamaan, Mia berhasil menjajarinya. Namun Mia memutuskan untuk pura-pura tidak melihat cowok itu.Dari kejauhan, Mia melihat motor Dilla. Ternyata gadis itu baru pulang kerja.“Kak Mia!” seru Dilla sambil menepikan motor.Mia mendekat. Diliriknya Sakha yang tetap meneruskan perjalanannya. Syukurlah, ada alasan untuk tidak pulang bareng dia.“Dilla udah mau pulang? Biasanya jam lima, kan?” tanya Mia sambil menapakkan kakinya di tanah agar sepedanya tidak ambruk.Dilla mengagguk. “Aku ijin pulang cepat, Kak, katanya Ibu kurang sehat.”“Oh. Mama Dilla sakit?”“Cuma masuk angin, sih. Tadi minta dibelikan obat.”“Oh, alhamdulillah ….”“Kak, tadi pagi ada bapak-bapak jual galon kosong dan sepuluh kaleng susu ke toko Pak Abu. Aku hanya lihat sekilas, sih, soalnya Pak Abu langsung yang melayani. Aku nggak tahu soal harga belinya. Maryam juga.”“Mungkin dia pencurinya,” ujar Mia. “Orangnya seperti apa?”“Ya, biasa sih. Seperti bapak-bapak pada umumnya.”Bapak-bapak pada umumnya itu yang bagaimana? Mia menggaruk kepalanya dari balik kerudung. Dilla bikin bingung saja.“Yah, dia nggak terlihat seperti preman gitu. Gak seperti pemulung juga. Badannya masih bersih.”Mia terdiam beberapa saat. Ia bahkan belum mengabarkan pada ibu soal kehilangan barang itu. Takut ibu khawatir. Mia sedang menjaga perasaan ibu saat ini yang mulai membaik. Mia tidak ingin ibu memikirkan yang berat-berat dulu.“Nggak apa-apalah Dilla,” ujar Mia akhirnya. “Uangnya juga nggak seberapa.”Dilla mengangguk. “Iya, Kak. Besok biar Mama panggilkan tukang kunci untuk bikinin kunci gudang.”Mia setuju. Itu pilihan yang bagus, walaupun sebenarnya di gudang sudah tidak ada yang bisa dicuri lagi.“Tapi, Dilla, begini …” Mia setengah berbisik. “Ada seseorang yang pernah berbaring di dalam kedai. Di tempat nyimpan bahan makanan. Saat itu galon berkurang isinya setengah. Waktu itu Dilla dan keluarga masih di kampung, tapi halaman terlihat bersih, bunga-bunga sudah disiram. Menurut kamu, itu ada hubungannya dengan bapak-bapak pada umumnya tadi?”Dilla terlihat bingung. Ia mengerutkan dahinya. “Kok, aneh.”“Iya, maka itu tadi aku tanya, apa Mama Dilla lihat ada yang aneh.”“Mama nggak bilang apa-apa soal itu,” sahut Dilla. “Lagian kalau maling ya maling ajalah, Kak. Ngapain nyapu halaman?” Dilla jadi geli sendiri.Mia akhirnya tertawa. “Iya, sih, kayaknya aku yang berlebihan. Sudahlah, Dilla, pulang dulu. Nanti ditunggu Mama. Salam buat Mama, ya!”Mereka berpisah. Sepanjang jalan, Mia berpikir. Ya, mungkin dirinya hanya berlebihan memikirkan soal halaman yang disapu itu. Emak-Emak Rumpi “Mia, sebaiknya istirahat dulu. Kamu kan baru pulang sekolah,” Ibu berteriak dari teras, memandang Mia yang berjongkok di tengah halaman dengan bibit-bibit bunganya.Mia menoleh. Ia mengenakan kaos panjang olahraga, dan celana kulot longgar berwarna abu muda. Kerudungnya sengaja ia pilih yang berwarna gelap. Ia juga memakai sarung tangan rajut warna pink yang sudah usang, karena ia mau mencongkel beberapa paving blok.“Tanggung, Bu. Keburu Magrib, takut nggak selesai,” Mia menjawab.“Kalau gitu, Ibu buatkan es buah, ya!”“Asyik ….” Mia mengacungkan jempolnya ke arah ibu. Siapa yang bisa menolak es buah di saat begini?“Neng Mia, sibuk amat. Lagi ngapain?” terdengar suara lagi. Kali ini terlihat Bu Weni melongok dari balik pagar rumahnya, menggendong Maneka.Pagar tembok pembatas kedua rumah itu memang hanya setinggi dada orang dewasa.“Ah, nggak sibuk, Bu. Iseng aja, mindahin tanaman,” jawab Mia ramah, lalu melambaikan tangan pada Maneka.Tak lama, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya, dan Bu Weni tampaknya sudah masuk rumah. Selama beberapa menit, Mia bekerja dengan tenang, sampai tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang berjongkok di sebelahnya.“Eh. Sakha? Kamu ngapain?” Mia hampir saja menjatuhkan sebuah paving blok di tangannya demi melihat Sakha yang tiba-tiba muncul.“Nggak lihat?” Sakha tak menoleh, tapi tangannya sibuk mencongkel paving blok di hadapannya. Ia melakukannya dengan cepat. Ia bakhan membawa linggis kecil sendiri dari rumah. Mia sampai melongo.“Jadi, Ibumu memaksamu membantuku?” tanya Mia sambil menahan tawa.Mia jadi mengerti kenapa Bu Weni tiba-tiba menghilang usai menyapanya tadi.“Masih nanya?”“Huh, tinggal jawab aja baik-baik. Sudah, nggak usah bantu kalau terpaksa,” tukas Mia kesal. Lama-lama ia jengkel juga dengan sikap Sakha. Memangnya, apa salah Mia sampai dia ketus begitu? Tapi kalau dipikir lagi, kejadian ini bukan yang pertama kali. Kejadian Sakha yang dipaksa ibunya untuk ini dan itu. Berarti bisa dibilang, Sakha cowok yang patuh pada ibunya. Hmmm ....“Kalau nggak aku bantu, bisa-bisa tengah malam nanti baru selesai. Dasar lambat!” Wah, Sakha berhasil mencongkel satu lagi.Mia cemberut. Benar juga. Untuk melepaskan satu paving saja, ia butuh bermenit-menit. Sedangkan Sakha?“Omong-omong, Sakha. Begini. Aku bukan salah satu dari cewek-cewek yang suka sama kamu. Jadi, sikapmu yang judes padaku ini salah. Kenapa coba, kamu judes sama aku sedangkan aku nggak ada urusan apa-apa sama kamu?”Sudah banyak yang tahu, Sakha punya banyak penggemar, dengan wajahnya yang mirip Song Kang itu. Omong-omong, ternyata Nindi juga mengatakan hal yang sama soal kemiripan itu. Sudah banyak yang tahu juga, Sakha tidak pernah pacaran, dan menolak semua cewek itu dengan sikap judesnya. Menurut Mia sih, itu sok-sok-an saja. Biar populer di sekolah. Huh!“Aku cuma mau melindungi diriku sendiri,” jawab Sakha.“Heh?” Mia mengernyit. Kok, jawabannya nggak nyambung?Kemudian, hening. Mia memilih untuk menutup mulutnya dan terus bekerja. Ibu muncul di teras membawa sebaskom es buah.“Maneka, sini!” teriak ibu saat melihat Bu Weni dan Maneka sedang bermain di halaman rumah mereka. “Sini, ada sup buah nih!”Dalam sekejap, teras itu jadi ramai. Mia tertawa mendengar ibu yang asyik menggosip dengan Bu Weni. Seru sekali. Sepertinya mereka membicarakan arisan dasawisma atau semacamnya. Sedangkan Neka terus berkeliling kemana-mana, membuat Bu Weni terus berteriak.“Nekaaa … jangan deket-deket sama Mas. Kamu kan udah mandi. Di sana kotor!”Mia melirik Sakha. “Kenapa kamu dipanggil Mas? Harusnya kan, Om?”Sakha melotot. “Kan aku masih muda. Masa dipanggil Om-Om.”Mia mencibir, geli. “Yuk, ke sana dulu. Minum,” ujarnya kemudian, sambil melepas sarung tangan.Sakha tak menolak. Perlahan ia berdiri lalu berjalan mengikuti Mia.“Wah, kalian berdua kok mirip suami istri,” ujar Bu Weni tiba-tiba.“Ibu!” Sakha mendelik kesal.Sedangkan wajah Mia memerah. Ia menunduk, tidak tahu harus merespon bagaimana. Memang Mia sudah tahu akhir-akhir ini, kalau Bu Weni tipe emak-emak yang cerewet dan suka godain orang. Lihat saja, Ibu bahkan ikut tertawa. Rupanya ibu sudah ketularan Bu Weni.Sakha dan Mia duduk saling menjauh, pura-pura sibuk menikmati gelas masing-masing. Neka sudah keluyuran lagi, dan Bu Weni tergopoh-gopoh mengikuti. Tapi biar begitu, masih sempat-sempatnya Bu Weni berseloroh, “Cocok kayaknya kalau kita besanan, ya, Bu Dewi.”“Ibuuuu ….” Sakha mendesis.“Kenapa? Kan, kamu nggak mau pacaran, maunya langsung nikah.” Bu Weni lalu ngakak.Sakha terlihat semakin sebal, sedangkan Mia tiba-tiba merasa mulas. Kenapa ia jadi terlibat dalam ocehan para emak ini? Ia tadinya hanya ingin menanam bunga dengan damai ….“Bagus itu, Bu. Mia juga nggak boleh pacaran sama ayahnya.”“Kalau Sakha, bilangnya nggak mau pacaran. Jadi, kalau suka sama cewek, langsung bakal diajak nikah.” Bu Weni tertawa-tawa.Sakha menarik napas panjang. Tak lama, ia meletakkan gelasnya dan berdiri, “Ayo, Mia. Lanjut!”Mia tersedak. Ia buru-buru berdiri menyusul Sakha, semata-mata agar terbebas dari percakapan tidak jelas itu.Sembari merapikan kerudungnya, Mia berjongkok di tempat semula. Ia memerhatikan Sakha. Tiba-tiba, ia merasa harus menanyakan sesuatu.“Sakha …”“Hmmm. Jangan nanya aneh-aneh,” cowok itu memperingatkan.“Aku kan nggak pernah tanya aneh-aneh.”“Halah. Apaan?”“Dulu, saat di Rumah Cokelat? Kamu cari siapa? Boleh jujur?” Mia memasang wajah serius.Sakha terdiam sesaat, memandang kesal ke arah Mia. “Cari eskrim. Masih nanya lagi. Ck!”“Kamu pasti tahu nggak ada jualan es krim waktu itu. Tapi, ada yang aneh di sana. Air galon tiba-tiba berkurang. Dan halaman disapu bersih. Tanaman disiram dengan baik. Menurutmu ….”“Menurutku,” Sakha memotong. Ia menatap Mia dengan serius seolah siap mengungkap sebuah rahasia besar.“Ya?”“Menurutku, kamu terlalu banyak baca novel!”Mia menggembungkan pipinya kesal.“Ish. Jawaban macam apa itu?”Sembari meneruskan pekerjaannya, sesekali ia melirik sadis ke arah Sakha. Ia tahu, pertanyaannya tak akan dapat jawaban. Mungkin memang ia yang terlalu berlebihan.*** Pokoknya, Jangan Terlalu Benci! Maryam sedang ke luar untuk membuang sampah di depan rumah sehabis Subuh, saat Tante Dian menyapu jalan depan tokonya. Wanita itu melambai ke arahnya.“Maryam, sini.”“Kenapa, Tante?”Tante Dian meletakkan sapunya di jalan begitu saja, menunggu Maryam mendekat. “Ibu sehat? Udah beberapa hari nggak ke luar.”“Sehat. Yah, hanya … kadang luka-luka,” Maryam menunduk, tak mau menjelaskan lebih lanjut, tapi ia tahu wanita di depannya itu tahu semua yang dialaminya dan ibunya.Tante Dian menganjur napas. Bukan hanya dirinya, beberapa tetangga sekitar sering juga mendengar keributan dari dalam rumah. Setiap kali ibu Maryam dipukul, beberapa dari mereka berusaha menolong. Tapi bapak Maryam selalu mengamuk. Dan anehnya istrinya selalu membela, seolah suaminya hanya bercanda bukannya menyakitinya.“Maryam, Tante dan para tetangga berpikir untuk melaporkan bapakmu ke polisi. Kasihan ibumu,” Tante Dian berkata dengan hati-hati. “Kamu juga harus sekolah lagi. Tumbuh kembangmu tidak bagus jika ada bapakmu. Kamu bisa pindah ke SMA negeri yang biayanya lebih ringan. Tante bantu nanti.”Maryam terdiam. Ia juga pernah berpikiran yang sama. Tapi ibu …. ibu tidak akan membiarkan bapak ditangkap polisi.“Nggak boleh sama ibu, Tan. Aku juga nggak paham,” Maryam berkata lirih. “Aku bahkan pernah minggat. Tapi aku kembali karena nggak tega sama ibu. Besok-besok kalau aku udah nggak tahan, akan aku bawa ibu pergi.”Tante Dian menepuk pundak Maryam pelan. Ia sungguh ingin membantu, tapi apa? “Kamu pernah minggat dari rumah?”Maryam mengangguk. “Aku capek dipukul terus, Tan.”“Kenapa nggak cerita sama Tante?” Tante Dian menatap Maryam sedih. Gadis itu tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Senyum yang pahit.“Oh ya, ngomong-ngomong, kemarin itu bantuan dari mana?”Maryam mengernyit. “Bantuan apa?”“Kemarin Subuh, bapakmu ke sini, bawa galon kosong sama susu kaleng setengah kardus. Katanya dapat bantuan gitu. Tapi Tante nggak mau beli. Karena takut nggak laku. Toko Tante kan bukan toko kelontong.”Maryam memijat pelipisnya, mencoba mengingat-ingat. Seingatnya kemarin saat baru sampai di toko Pak Abu, Dilla melayani seseorang yang mau menjual susu, tapi akhirnya Dilla memanggil Pak Abu karena tidak tahu harga beli. Jadi, itu bapaknya?“Aku … Nggak tahu apa-apa, Tan. Aku jarang ngomong sama bapak,” jawab Maryam ragu. “Kalaupun bapak menjual sesuatu, toh bukan buat ngasih makan kami.”Tante Dian hanya mengangkat bahu. Dielusnya kepala Maryam pelan, lalu menyuruhnya masuk ke rumah. Ia tahu Maryam harus segera bersiap-siap kerja. Ah, gadis malang itu ….Sembari kembali ke rumah, Maryam terus berpikir. Bantuan? Bantuan berupa susu kaleng masih masuk akal. Tapi siapa yang memberi bantuan berupa galon kosong?***Hari-hari berlalu. Katering ibu mendapat banyak pelanggan baru. Bunga-bunga yang ditanam Mia di halaman sudah tumbuh subur. Begitu juga rumput gajah mini yang ditanamnya bersama Sakha. Satu yang belum berubah, ibu belum mau diajak ke Rumah Cokelat. Ibu masih terus saja merasa tidak siap.“Rumah Cokelat sekarang bersih sekali, Bu. Mama Dilla mengurusnya dengan baik. Besok Minggu aku mau ke sana, bersihin bagian dalam, dibantuin Dilla. Ibu mau ikut?”Selama dua bulan ini, Mia mulai melupakan kejadian orang berbaring di kedai dan halaman yang disapu oleh entah siapa itu. Toh sekarang, halaman itu bersih terus berkat Mama Dilla. Mungkin benar kata Sakha, ia hanya terlalu banyak baca novel.“Apa sudah ada yang berniat menyewa rumah kita?” tanya ibu setelah menarik napas panjang.“Ada beberapa, tapi semua nggak cocok dengan harganya. Yang terakhir kemarin, dia mau harga yang kita tawarkan, tapi maunya menghancurkan kedai, karena mau dibuat tempat usaha lain. Tapi, aku tolak Bu. Sayang kedai itu … aku sangat sayang sama kedai kita. Apa Ibu butuh uang mendesak?”Ibu menggeleng. “Penghasilan katering sudah lebih dari cukup untuk kita berdua, Mia. Ibu malah berpikir, sebaiknya turunkan saja papan tanda disewakan itu.”Mata Mia berbinar. “Yang benar, Bu? Boleh?”Ibu mengangguk. “Iya, Mia. Turunkan saja papan itu.”Mia berucap syukur berkali-kali dalam hati. Baginya, itu sebuah sinyal dari Ibu untuk bisa kembali ke Rumah Cokelat. Walaupun entah kapan.“Oh ya, bagaimana dengan pintu gudang?”“Mama Dilla nggak cerita? Saat tukang kunci ke sana, justru daun pintunya yang sudah rusak. Jadi sementara, masih tetap seperti dulu, Bu.”“Oh. Mama Dilla cuma cerita, galon dan susu di gudang pernah hilang.”“Oh, itu …” Mia kaget, ia kira Ibu tidak tahu soal itu. “Iya, tapi nggak seberapa kok, Bu. Sekarang sudah nggak ada lagi barang yang bisa dicuri dari kedai atau dari gudang. Ibu nggak apa-apa?”Ibu mengangguk. “Nggak apa-apa. Mungkin belum rejeki kita. Tapi, Mia, Ibu sebenarnya mau membelikan kamu motor kalau rumah itu ada yang sewa.”“Motor?” Mia membulatkan matanya, “Nggak, Bu. Mia belum butuh motor. Pakai sepeda nggak apa-apa.”“Kata Bu Weni, Sakha mau beli motor.”“Ya … biarin aja.”“Kamu masih trauma, ya Mia?” ibu bertanya dengan hati-hati. Ibu menatap mata Mia dalam-dalam, tapi yang ditatap justru menunduk. Sulit untuk menceritakan kembali soal perasaan Mia saat itu. Saat ayah ditemukan tewas karena kecelakaan motor. Sakit jika diingat kembali. Namun, walaupun Mia berusaha tidak mengingatnya, memori itu terus berputar-putar di kepalanya. Hari itu, ia menunggu ayah pulang dari pasar di hari Minggu. Tapi yang datang justru motor yang sudah hancur dan berita duka dari rumah sakit. Ayahnya berpulang di hari Minggu yang cerah. Air mata Mia hampir menetes mengingatnya. Kini, ia paham perasaan ibu terhadap Rumah Cokelat. Memang tidak mudah. Tidak semudah itu melupakan dan menerima kepergian ayah….“Nggak apa-apa, Mia. Maaf Ibu mengingatkan Mia sama hari itu,” Ibu mendekat dan memeluk putrinya erat. “Mia pakai sepeda saja. Atau dibonceng Sakha.”“Apa? Nggak mau!” ketus Mia sambil melepaskan diri dari pelukan Ibu. Ibu ini, bisa-bisanya ….Mau tidak mau, Ibu tertawa geli. “Kamu itu kenapa? Sewot amat ….”“Kan, nggak boleh berduaan sama cowok, Bu. Ibu dan ayah sendiri yang bilang lho!”“Iya, iya,” Ibu masih menahan tawanya. Mia menggaruk-garuk kepalanya. Dibonceng Sakha? Mana Sakha mau boncengin cewek? Ibu sih, nggak tahu tingkah Sakha di sekolah.“Jangan terlalu benci, nanti jodoh lho,” Ibu tertawa sambil menjawil hidung Mia yang semakin cemberut. Ketahuan Maryam menyandarkan punggungnya di dinding. Hari ini, ia kembali mampir ke tempat itu. Beberapa kali ia datang sekadar untuk duduk menenangkan diri. Bersembunyi dalam gudang yang tak ada gangguan. Maryam kembali menyesap kopi susu instan dalam cup yang dibelinya di angkringan sambil berangkat tadi. Sudah beberapa hari ia suka mampir ke tempat itu sebelum berangkat kerja. Mungkin, itu hanya sebuah gudang yang sederhana. Bukan taman yang indah dengan pemandangan yang memanjakan mata. Tapi di sana Maryam menemukan ketenangan. Tak ada teriakan. Tak ada jerit kesakitan ibu. Tak ada caci maki bapak.Perlahan, Maryam berdiri. Kopi dalam cup itu sudah habis. Maryam memasukkan cup itu dalam tas kecilnya untuk dibuang nanti sesampai di toko. Setelah membersihkan bagian belakang rok panjang plisketnya, ia membuka pintu untuk ke luar. Tapi ia mendengar suara-suara.“Pintu gudangnya harus diganti,” sayup suara yang semakin mendekat.“Ya ampun,” Maryam bergumam panik. Lari. Ayo lari, Maryam! Hanya itu yang ada di benak Maryam saat itu.Maryam menutup wajahnya dengan tas lalu bergegas lari. Ia yakin suara itu menuju ke gudang. Maryam panik. Tidak. Jangan sampai ketahuan.Alih-alih menuju halaman depan, Maryam justru melompat lewat pagar belakang. Pagar itu berupa rumpun bunga soka yang terpangkas rapi setinggi satu meter.“Hei!” Maryam mendengar seseorang berteriak. Ya, tidak mungkin ia tidak terlihat. Sudah jelas orang itu berada di dekat gudang saat dirinya melompat.Maryam mengaduh saat tubuhnya berguling di sisi jalan. Sakit. Sikunya lecet. Tapi Maryam tak punya banyak waktu. Ia harus bergegas. Diseretnya langkah menjauh dari tempat itu. Ah, sial sekali hari ini. Maryam terus memaksa kakinya untuk berlari. Ia baru berhenti berlari saat yakin tak seorang pun mengejarnya.*** Dilla dan Mia menghentikan langkah saat tiba-tiba seseorang berlari ke luar dari gudang. Wanita berkerudung dengan tubuh ramping dan menutup wajahnya dengan tas. Keduanya sangat terkejut. Tapi setelah beberapa detik, Dilla langsung mengejar ke pagar belakang. Entah kenapa rasanya sosok itu familiar baginya. Namun, ia terlambat. Orang itu sudah jauh.“Udah pergi, Kak. Gila, ya. Dia lompat sampai berguling begitu,” Dilla geleng-geleng kepala. “Mungkin dia pencurinya?”Kedua gadis itu saling tatap. Dan akhirnya Mia mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Yuk, kita periksa apa ada yang hilang dari gudang.”Tapi, tidak ada yang hilang. Justru gudang itu terlihat lebih rapi dari biasanya. Tumpukan kardus yang berserakan sudah dipinggirkan hingga membentuk ruang yang lebih luas. Lantai keramik putihnya juga tampak lebih bersih.Mia mengernyit. “Dia membersihkan tempat ini.”Dilla menoleh. “Dia?”“Orang yang barusan.”“Tempat ini sepertinya rawan dimasuki orang asing, ya Kak. Apa harus kita buat pagar besi di depan? Atau lebih bagusnya kalau ada yang menempati, sih.”Mia menarik napas panjang. “Aku sebenarnya ingin balik ke sini, Dilla. Tapi ibu ….”Dilla tak menjawab, ia hanya menepuk-nepuk pelan bahu Mia, berusaha mengalirkan semangat.“Kurasa, dia bukan orang jahat. Dia hanya mampir, mungkin.” Mia berkata lagi setelah beberapa lama.Ia mengajak Dilla meninggalkan gudang dan mulai membersihkan bagian dalam rumah.“Mungkin dia tunawisma,” sahut Dilla.Mia mengangguk. Mungkin saja. Anehnya, setelah melihat sosok yang kabur tadi, Mia justru tidak lagi khawatir. Sepertinya, orang itu bukan orang jahat. Tak ada salahnya kan, membiarkan seseorang yang tidak punya tempat tinggal untuk istirahat di sana?***Rumah itu sangat pengap ketika Mia membuka pintu. Setelah menyalakan lampu, Mia menatap sekeliling. Ruangan yang kosong dan sunyi. Yang tertinggal hanya kursi goyang ayah yang diletakkan di sudut ruang tamu, tempat ayah istirahat setelah menutup kedai. Di sana, Mia kerap memijit pundak Ayah sambil bercerita seru soal apa yang terjadi di sekolah.Dilla mengambil sapu dan kemoceng, lalu berdiri di sebelah Mia yang sedang memerhatikan kursi goyang dari kayu jati itu. “Kak, sayang ya kalau rumah ini kosong. Belum ada calon penyewa, ya?”Mia menoleh, meminta kemoceng dari Dilla dan mulai membersihkan kursi goyang. “Ada sih yang minat, banyak. Tapi kebanyakan ingin merubuhkan kedai. Aku nggak boleh, Dil.” Mia mendesah.Dilla pun mulai menyapu. Banyak sekali debu setelah rumah itu ditinggalkan selama berbulan-bulan.“Oh ya, Dilla maaf ya, di hari libur kerjamu malah aku mintai tolong,” ujar Mia merasa tidak enak. Sebenarnya bukan Mia yang minta tolong, tapi Mama Dilla yang menyuruh Dilla membantu.“Nggak apa-apa, Kak. Daripada sepi nggak ada kegiatan. Kalau hari Minggu begini, Maryam kerja sendirian.”“Oh ya? Dia nggak libur?”“Dia lembur terus. Kayaknya butuh uang. Maryam pendiam banget. Sepertinya punya masalah yang berat.”Mia menghentikan gerakan tangannya yang memegang kemoceng. Ia serta-merta teringat Maryam. Anak seumur itu, harus memikul masalah sebesar apa? Apa yang bisa Mia lakukan untuk membantu, jika Maryam justru selalu menutup diri?“Besok, sampaikan salam buat Maryam ya. Hmmm, bilang saja, cari aku kalau-kalau butuh bantuan.”Dila mengangguk. Setelahnya, mereka berdua bekerja dengan cepat. Rumah itu tidak terlalu besar, jadi tak makan waktu lama untuk beres-beres. Tau-tau, keduanya merasa lapar.“Dil, jajan lotek yuk di Bulik Sri,” ajak Mia. Setelah mengatakan itu, ia bersandar pada tembok dan tubuhnya merosot ke lantai. Capek.“Ayo. Sudah lama aku nggak jajan lotek, nih.”“Sebentar aku kabari Ibu dulu,” Mia mengeluarkan ponselnya dari saku.Ibu juga suka lotek Bulik Sri. Di daerah Bantul, lotek isiannya banyak. Ada tahu tempe bacem, bakmi kuning, lontong, dan sayuran matang dan mentah, masih ditambah bakwan. Semua bahan itu dicampur dengan sambel kacang yang dibuat mendadak dalam cobek besar. Jadi bisa suka-suka level pedasnya. Dijamin kenyang kalau jajan di sana. Ibu titip lotek Bulik Sri? Mia mengirim pesan.Tak lama, datang balasan. Nggak usah. Ibu lagi makan bareng Bu Weni di kursi bambu ini. Tadi masak-masak bareng. Mia tersenyum sekaligus heran. Bareng Bu Weni lagi? Mia tidak menyangka Ibu cepat sekali akrab dengan tetangga baru itu. Ibu jadi lebih ceria, lebih bersemangat. Di hari Minggu kalau katering libur, ibu bisa menghabiskan waktu seharian di rumah Bu Weni, atau sebaliknya.“Kak, ayo!” Dila menarik tangan Mia. “Laper.”Mia berdiri sambil tertawa, “Siap!”*** Keputusan Maryam Saat bertemu Dilla di tempat kerja, Maryam terus menunduk. Ia takut Dilla tiba-tiba mengatakan sesuatu tentang gudang Rumah Cokelat. Entah mau bilang apa kalau sampai Dilla mengungkit hal itu. Betapa malunya.“Maryam, ada salam dari Kak Mia. Dia dulu teman kamu sekolah, ya? Dia bilang, kalau butuh bantuan bilang aja. Kak Mia baik, pasti mau nolong.”Maryam mendongak, menatap Dilla yang bersikap biasa.Syukurlah, ujarnya dalam hati. Sepertinya Dilla tidak menyadari.Sambil mengatakan itu, Maryam tahu Dilla berusaha memancingnya untuk bercerita. Walaupun tahu kalau Dilla bermaksud baik, tapi Maryam tidak mau menceritakan apa pun. Ia hanya mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan pekerjaannya menimbang terigu. Namun dalam diam, Maryam memikirkan perkataan Dilla. Rasanya, ia memang butuh bantuan.“Dil, omong-omong, katanya bapakmu kerja membuat batu bata, ya?”Dilla mengangguk. “Kenapa?”“Apa susah membuatnya?”“Hmmm .... pertama, kita pilih dulu tanah yang bagus, air dan abu. Tanahnya harus direndam dulu, lalu ....”“Eh, bukan itu ....” Maryam tertawa. “Nggak perlu jelasin langkah-langkahnya. Aku cuma pengen tahu apa semua orang bisa melakukannya.”Dilla menatap Maryam ragu. “Kamu mau memangnya?”“Bukan. Tapi bapak,” jawab Maryam. “Bapak sudah lama nganggur. Kalau memungkinkan, boleh ikut kerja sama bapak kamu?”“Oh itu ... ya, boleh aja sih. Lama-lama kalau udah terbiasa pasti bisa kok.”Maryam tersenyum, tapi hatinya sendiri ragu. Memangnya bapak mau kerja kasar seperti itu? Bapak sekarang walaupun tidak punya uang, tetap sombong. Aneh.“Apa udah ga ada kerjaan lain? Udah cari kerja ke mana?” tanya Dilla.Maryam mengangkat bahu. “Nggak tahu. Nggak niat sepertinya. Sejak nganggur, disuruh pulang ke Wonosobo sama saudara-saudaranya. Tapi, hubungan bapak dengan kakekku dari dulu nggak bagus. Sejak aku bayi bahkan belum pernah diajak ke rumah kakek. Dulunya bapakku itu minggat lalu nikah sama ibu. Haha ...”Entah kenapa Maryam tertawa. Kadang ia merasa memiliki bapak yang sangat kekanak-kanakan. Lucunya bapak rela minggat dari rumah demi menikah dengan ibu, tetapi sekarang ditinggal begitu saja.Dilla menatap Maryam prihatin. Dulu, ia sering malu memiliki bapak seorang pembuat batu bata. Ia jarang diberi uang saku banyak seperti teman-teman sekolahnya. Ia malu karena bapaknya selalu terlihat kotor dan lusuh belepotan tanah. Sampai akhirnya Maryam menyadarkannya perihal rasa syukur memiliki bapak yang masih mau bekerja keras untuk keluarga. “Coba tawari dulu bapakmu, Maryam. Semoga berhasil,” ujar Dilla akhirnya, menepuk bahu Maryam pelan.Maryam mengangguk.*** Maryam berjalan pelan sepanjang perjalanan pulang. Hari itu ia cukup lelah karena banyaknya pembeli. Ia berdiri selama berjam-jam karena toko selalu ramai menjelang siang. Ia menendang-nendang kerikil yang menghalangi langkahnya, sembari memikirkan Mia.Haruskah ia minta tolong pada Mia?Langkah Maryam sampai di depan rumah. Ia ingin sekali menutup telinganya saat terdengar jeritan dari dalam rumah. Badannya yang lelah serasa semakin remuk redam. Ia butuh uang untuk membawa ibunya pergi, jadi ia terus bekerja dengan rajin. Ia bahkan memberanikan diri meminta gajinya di awal bulan ini. Dan jeritan ibu yang ia dengar hari ini, membuatnya berpikir bahwa keputusannya benar. Syukurlah Pak Abu meminjamkan uang di luar gajinya.Di sekeliling rumah kecil itu berkumpul beberapa warga. Mereka semua menatap Maryam iba. Maryam mengangguk kecil menyapa orang-orang itu. Ia malu, tapi merasa tidak berhak mengusir mereka. Maryam tahu semua masalah keluarganya adalah gangguan bagi lingkungan itu.Dengan langkah pasti, Maryam mendorong pintu rumah kontrakan kecil yang mereka tinggali selama bertahun-tahun itu.“Maryam, biar Tante lapor Pak RT, ya?” Tante Dian yang sedari tadi berada di situ, menghentikan langkah Maryam. Wanita itu yang terlihat paling khawatir. Sedari tadi, ia mendengar teriakan kesakitan dan teriakan dari dalam rumah Maryam.“Sebentar, Tante. Yang penting ibu keluar dari rumah ini dulu,” Maryam menjawab lirih.Dari dalam rumah masih terdengar suara pukulan dan teriakan ibu. Maryam berusaha keras untuk tidak menangis. Justru para tetangga yang menangis melihat semuanya. Beberapa kali ada tetangga yang berbaik hati hendak melaporkan bapak Maryam ke polisi, namun ibunya melarang. Entah karena sayang, entah apa. Semua orang ikut gemas. Bagaimana bisa, wanita yang tiap hari dipukuli masih bisa sayang?Saat pintu terbuka, Maryam melihat ibunya meringkuk di sofa, sedangkan bapaknya memandang bengis. Jeritan sang ibu sudah berganti isakan pelan, bagaimana pun, ia malu masalah rumah tangganya jadi konsumsi tetangga.Sejak di-PHK setahun lalu, bapak Maryam berubah. Ia jadi suka berjudi dan mabuk. Ia pikir bisa kaya dengan menghabiskan malam di meja judi. Tapi tidak. Ia pengangguran. Lama-kelamaan ia paksa istrinya bekerja serabutan. Menjadi tukang cuci, menjadi buruh di sawah pun dilakukan. Maryam merasa hidupnya bagai di neraka. Ia memutuskan tak pernah datang lagi ke sekolah. Lagipula, tak ada lagi yang membayar biaya sekolahnya.“Dari mana, Maryam?” Yanto, nama lelaki kasar itu, bertanya.“Kerja, Pak. Cari uang buat makan.” Maryam menjawab datar. “Kenapa? Bapak malu karena makan uang hasil kerjaku tiap hari?”“Yang sopan sama orang tua!” Lelaki itu mendekat, siap mengayunkan tinjunya. Tapi Maryam sigap menutup wajahnya dengan tas.“Benar, bukan? Sudah lama aku dan ibu yang ngasih makan bapak? Terus bapak mau marah? Mau mukul? Emangnya nanti bapak mau makan dari mana kalau kami nggak mau lagi ngasih makan? Di luar banyak tetangga. Akan kusuruh mereka masuk kalau bapak berani menyentuhku!” Maryam berteriak dengan berani, untuk pertama kalinya. Ia memandang tajam tepat ke mata bapaknya itu, yang di sana sudah tidak lagi ia temukan sinar kasih sayang seorang bapak.Bapak Maryam melirik keluar, lalu meludah dengan kesal. Ia lalu berlalu meninggalkan istri dan anaknya yang sama-sama menangis pilu. Sambil pergi, masih keluar kata-kata kotor dari mulutnya.“Ibu, aku nggak tahan lagi.” Maryam mendekati ibunya dan memapahnya ke depan pintu. “Ayo pergi dari sini.”Namun wanita itu menggeleng, “Kita nggak punya tujuan, Maryam. Dan nggak ada uang.”“Aku punya, Bu,” jawab Maryam, lalu pergi ke kamarnya mengambil tas besar yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.Ia menyeret tas berisi beberapa potong baju miliknya dan ibunya, meletakkannya di depan pintu. Ia mengawasi gerak-gerik ayahnya yang kini sudah masuk kamar. Dan tak dinyana, Maryam berlari ke kamar itu untuk mengunci pintunya dari luar. Tidak, kali ini ia tidak akan membiarkan lelaki itu mengejarnya saat minggat. Dan ia akan membawa ibunya pergi selamanya dari neraka ini.Terdengar gedoran pintu diiringi umpatan kasar dari dalam kamar. Bu Hesti ternganga, tak menyangka Maryam akan melakukan itu. Belum habis rasa takjubnya, Maryam sudah menarik tangan kurus itu ke luar rumah.“Ayo, Bu.”Saat membuka pintu, para tetangga berdiri berdesakan.“Maryam, mau ke mana, Nak?” tanya Tante Dian. Airmata wanita itu jatuh, ia sangat sayang pada Maryam.“Pergi, Tante. Maafkan kesalahan kami selama di sini. Maaf, kami harus cepat pergi.”Maryam menganggukkan kepala kepada semua orang, lalu menarik ibunya menjauh. Tante Dian mengejar untuk menyelipkan beberapa lembar uang.“Baik-baik ya, Maryam ….”Maryam menangis, memeluk Tante Dian sekilas. “Makasih, Tante ….”Ia tak berniat menolak uang itu, ia memang membutuhkannya.“Maryam ….”Maryam melihat ibunya sangat bimbang.“Ibu, aku ada tempat untuk kita tidur, paling tidak malam ini. Kita akan aman, Insyaa Allah.”Maryam mengeratkan genggaman tangannya. Tak seperti sebelumnya, kali ini ia bisa pergi bersama ibu.Jangan kejar aku, Pak.Jangan temukan aku.Selamanya ….*** Antara Maryam dan Sakha Bu Hesti membuka mata saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia terduduk dan merasa bingung selama beberapa saat. Pandangannya menyapu sekeliling. Ia kini berada di sebuah ruang kecil dengan banyak barang di sudutnya. Semacam … sebuah gudang?Tepat di bawah tubuhnya, digelar beberapa potong kardus, dan di kakinya ada tas besar yang dibawa Maryam dari rumah. Di sebelahnya ada dua bungkus roti, dan dua botol air mineral. Dengan sebuah surat pendek.Ibu, aku kerja dulu. Ibu jangan keluar dari sini, ya. Aku pulang sore. Kalau butuh air, bisa ke musala di sebelah gudang ini. Tapi, jangan lama-lama dan cepat masuk lagi. Maryam. Wanita itu menegakkan punggungnya dan bersandar di tembok. Entah ke mana Maryam membawa tubuhnya yang ringkih itu. Semalam, ia ingat, mereka berdua berjalan cukup jauh. Bukan sebuah perjalanan yang mudah karena banyaknya luka dan memar di tubuhnya, membuat langkahnya sangat lambat.Ia hanya ingat, Maryam membuka sebuah pintu kayu dan memapahnya ke ruangan seluas 3x3 itu. Lalu, ia tak ingat apa-apa lagi, mungkin langsung tertidur. Berkali-kali Bu Hesti mengucap hamdalah. Di mana lagi ada anak sebaik Maryam? Baginya, Maryam adalah kekuatan tak ternilai dari Allah. Menguatkannya.Wanita itu mengintip ke jendela kecil di atas kepalanya. Sepi. Ia memutuskan ke luar untuk mengambil wudlu. Mungkin jiwanya akan semakin tenang nanti setelah salat.*** Pukul duabelas, seorang kurir datang mengantar katering. Menu hari itu adalah lele terbang, sambal mentah, lalapan dan semangka. Beberapa anak tinggal di dalam kelas untuk makan bersama. Sedangkan yang lain membawa nasi mereka ke bangku-bangku di bawah pohon flamboyan di taman sekolah.Nindi dan Mia malas ke luar kelas di saat cuaca sepanas itu. Mereka makan dengan lahap, sembari sibuk bercerita. Tak sengaja pandangan Mia tertumbuk pada Sakha yang juga sedang menikmati makanannya. Sakha tampak sangat menikmati setiap suapnya. Mia tersenyum geli. Ternyata dia tukang makan ….Lalu, tiba-tiba Mia teringat sesuatu. Ia menghabiskan makanannya dengan buru-buru, lalu pamit pada Nindi.“Aku ke luar sebentar!”Nindi hanya menatapnya bingung. Lelenya masih banyak, jadi ia tak ada niat untuk menyusul.Mia setengah berlari menyusuri lorong sekolah. Cepat. Cepat. Cepat. Sebelum waktu istirahat habis. Ia harus cepat.*** Maryam memikirkan soal Mia baik-baik sepanjang hari itu. Ia hitung lagi uang di dompetnya. Uang gaji yang diminta di awal ditambah pinjaman dari Pak Abu. Ia tidak ingin sembunyi-sembunyi lagi di gudang itu. Ia harus menemui Mia.“Dilla, kamu tahu rumah Mia? Dari sini kalau jalan kaki, jauh nggak?” tanya Maryam pada Dilla yang sedang menimbang gula pasir.Dilla menoleh. “Tahu, lah. Ibuku kan, kerja di sana. Mau aku antar? Sekalian aku jemput ibuku nanti. Tapi kamu pulang sendiri, ya.”“Kamu bisa antar?” mata Maryam berbinar. “Iya, aku nanti ngojek saja pulangnya.”Dilla menatap Maryam geli. Biasanya Maryam hanya menyendiri dan tak banyak bicara. Kali ini, ia berbeda.“Nah Maryam, enak lho kalau kamu mau cerita dan minta tolong sama orang lain. Jangan apa-apa dipendam sendiri.”Maryam tersenyum tipis. “Makasih, Dilla.”Maryam merasa hatinya lebih lapang sekarang. Ia melihat jam dinding. Jam tiga sore. Sesaat, ada rasa sedih menghampiri, ketika ingat, biasanya jam segini ia pulang sekolah naik becak langganan yang dibayar perbulan oleh bapaknya. Pulang ke rumah yang sederhana namun damai. Sekarang, semua jauh berubah. Maryam menarik napasnya sedih. “Hei, gulanya tumpah,” Dilla mencolek Maryam. “Ngalamun, ya?”“Eh, aduh, maaf ….”Tidak, tidak apa. Semua akan segera membaik, Maryam bicara sendiri dalam hati. Ia harus kuat.*** Mia baru saja mengganti seragamnya dengan kaos putih oblong favoritnya, ketika ibu memanggil dari dapur.“Mia, tolong antar cireng ini ke Sakha!”Mia ke luar kamar sambil mengikat rambutnya. Ia tersenyum geli. Ibu dan Bu Weni ini tak ada habisnya, saling tukar makanan. Mia kadang berhayal akankah ia juga jadi begini kelak saat jadi ibu-ibu?“Cireng apa, sih Bu? Mia aja belum ditawari, malah Sakha yang dikasih duluan,” Mia mendekat dan mengendus aroma cireng dari piring yang disodorkan ibu. “Kayaknya enak.”Ibu tertawa. “Kamu sudah ada jatah sepiring,” tunjuknya ke piring lainnya.Mia hanya nyengir. “Sebentar, pakai mukena dulu.”Mia kembali ke kamar untuk mengambil mukena atasan sebelum ke luar rumah.“Hati-hati di jalan!” teriak ibu saat Mia membuka pintu.“Ya ampun Bu, kayak mau ke mana aja,” Mia geleng-geleng kepala sendiri.Ia membawa piring berisi cireng itu ke rumah Sakha. Sakha seperti biasanya, masih berseragam, duduk di kursi bambu mendengarkan musik sambil bersandar di pohon kersen. Cowok itu pasti sudah sampai rumah sejak tadi karena ia naik motor.Namun sebelum Mia sampai di gerbang rumah Sakha, ia berhenti. Dilihatnya Dilla datang bersama seseorang. Motor Dilla yang bersuara berisik berhenti tepat di depan Mia yang hanya bisa mematung.“Hei, Kak!” sapa Dilla. “Mama masih di rumah Kak Mia?”Mia mengangguk. “Masih, lagi goreng cireng tuh.”“Wih, enak. Eh turun, Maryam, udah sampai.”Dilla turun dari motor setelah Maryam turun dari boncengan. Gadis itu tersenyum kikuk pada Mia.“Mia ….” sapanya pelan. Dilla memarkir motornya sembarangan lalu melangkah lebar ke rumah Mia, seolah tak peduli lagi pada Maryam yang tadi diboncengnya.“Maryam,” Mia baru saja hendak membuka mulutnya, saat terdengar seseorang memanggil nama itu.Mia mengernyit saat mendapati Sakha tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. Maryam pun melongo.“Sakha?”“Kamu …. di sini?” Sakha menggantung kalimatnya sejenak, “Syukurlah kamu baik-baik saja.”Mia memandang keduanya bergantian. Suasana canggung seketika menguar di antara mereka. Maryam menunduk memain-mainkan ujung kerudungnya.“Aku baik-baik saja,” ia berkata lirih, lalu menatap Mia. “Aku ada perlu sama kamu.”“Oh, ayo ke rumahku.”Mia menyerahkan piring di tangannya kepada Sakha. Cowok itu mendesis. “Ya ampun, kalian serius mau bikin aku gendut? Setiap hari selalu dikasih makanan enak. Tentu saja, terima kasih. Aku terima dengan senang hati.”Sakha mengambil piring itu lalu berbalik pergi, kembali ke kursi bambunya yang damai.“Jadi itu namanya bersyukur apa protes?” Mata Mia mendelik mengiringi kepergian Sakha.Ia lalu berusaha mengabaikan cowok itu dan kembali fokus pada Maryam. Hei, tapi ada apa antara Sakha dan Maryam barusan? Seperti ada sesuatu ….Mia penasaran, tapi tak mungkin menanyakan hal seperti itu sekarang. Ia memutuskan untuk membawa Maryam ke rumahnya. Kenyataan Dilla tersedak sampai-sampai sepotong cireng yang dikunyahnya meloncat dari mulutnya, saat mendengar cerita Maryam.“Jadi itu kamu?” Dilla melotot. “Kamu yang lompat pagar itu? Ya ampun!”Mia tertawa geli melihat tampang Dilla yang uring-uringan. “Sana Dilla, minum dulu!”Dilla masih mengomel saat meninggalkan kursi teras untuk mengambil minum. Maryam hanya bisa mengangkat bahu menatap Mia.“Sepertinya dia jengkel banget,” ujarnya.Mia menggeleng. “Dia hanya nggak habis pikir. Kamu aneh-aneh aja, sih Maryam.”“Maaf Mia. Aku nggak ada pilihan. Aku sempat ingin melukai diriku sendiri, dulu. Saat pertama sadar harus putus sekolah. Semuanya terasa berat. Aku berjalan jauh dan tiba-tiba sampai di rumahmu. Aku duduk di dalam kedai dan menangis lama di sana. Lalu aku merasa terhibur saat melihat bunga-bunga di halamanmu.”“Ya Allah, Maryam. Kenapa nggak pernah cerita?” Mia menatap Maryam sedih. Untuk pertama kalinya sejak saling kenal di sekolah, mereka bercakap serius seperti itu.“Aku malu, Mia. Siapa yang... Kenangan Menyakitkan Mia duduk di ranjangnya sembari memerhatikan ponsel di tangan. Berulang kali gadis itu menarik napas panjang. Tak disadarinya ibu telah duduk di sebelahnya.“Mia ….”“Eh, Ibu ….”Mia menoleh, lalu bergegas menyalakan kembali lampu kamar yang tadi sudah ia matikan karena bersiap tidur. Ternyata, sulit sekali memejamkan mata.“Kok masih melamun?”“Kok, Ibu tahu?”“Kan pintu kamarnya gak ditutup,” Ibu tersenyum geli.Mia nyengir. Teledor sekali.“Oh ya, Bu, terima kasih sudah mengijinkan teman Mia tinggal di kedai.” wajah Mia tiba-tiba memperlihatkan ekspresi serius.“Kenapa Mia yang berterima kasih?”“Karena aku khawatir, dan juga menyesal. Temanku sedang kesulitan tapi aku nggak tahu. Beberapa hari lalu aku menghadap kepala sekolah dan bertanya soal Maryam. Katanya, memang Maryam sudah keluar dari sekolah. Mungkin solusinya, Maryam bisa mengulang dari awal kelas XII tapi pindah ke SMA Negeri. Tapi, Maryam sepertinya juga nggak yakin apa dia bisa lanjut sekolah.”Sore itu, Maryam datang... Sakha dan Para Wanita “Hei, plastikmu miring,” tegur Dilla melihat Maryam menimbang tepung sambil melamun.Maryam tergeragap. Dipandanginya terigu yang tumpah sedikit dari kantong plastik yang dipegangnya. Sebelum ia sempat menjawab, Dilla sudah merebut kantong plastik itu.“Kamu kenapa lagi? Cerita, kalau ada apa-apa, tuh!” omel Dilla sambil meneruskan pekerjaan Maryam.“Maaf, Dilla,” desis Maryam sambil mengambil satu kantong baru.“Jangan ngalamun terus,” Dilla berkata lagi.“Jadi gini ….” Maryam menganjur napas sebelum bercerita. Rasanya berat. “Aku nggak ngerti kenapa ibuku masih menghawatirkan bapak.”“Setelah semua ini?” Dilla melotot. “Kok bisa, ya?”“Aku juga bingung. Apa pun yang bapak lakukan, ibu selalu membela. Pertama kalinya aku ajak minggat pun, ibu menolak karena nggak tega sama bapak. Dan hari ini ibu menyuruhku menengok bapak. Bayangkan saja, Dilla. Aku berusaha keras kabur dari bapak. Tapi Ibu ….”“Ibumu istri yang baik, pastinya,” Dilla menepuk pundak Maryam pelan. â€œTapi ….”“Nanti, kamu rayu lagi ibumu agar tidak... Secangkir Wedang Cokelat Maryam menarik napas panjang berkali-kali. Ia duduk di musala Rumah Cokelat yang berseberangan dengan gudang tempatnya sering sembunyi, dulu. Sembari melipat mukena, Maryam terus berpikir. Dari masjid terdekat, iqamat salat Magrib baru terdengar, tapi ia sudah menyelesaikan salatnya. Setelah pulang kerja dan menemukan ibunya menghilang, Maryam memutuskan untuk membereskan semua kekacauan di kedai. Ia menata semuanya dengan sedih dan pikiran kosong bagai orang ling-lung. Siapa yang mungkin melakukan semua itu? Bapak? Pastinya, karena tidak mungkin jika ibu.Apakah bapak juga mengacau gudang?Maryam berdiri setelah meletakkan mukena di rak rotan yang disediakan di pojok musala. Ia melangkah ke arah gudang yang lampunya belum dinyalakan. Kemarin-kemarin, ibu yang selalu menyalakan lampunya sebelum salat Magrib. Hatinya terasa diremas ketika kembali mengingat ibu.Pintu gudang yang sudah reyot itu langsung terbuka begitu Maryam mendorongnya.  Betul dugaan Maryam, gudang itu juga berantakan. Entah apa yang dicari bapaknya di sana, mungkin mengira masih ada barang... Secangkir Wedang Cokelat (2) Maryam meminta Sakha menurunkannya di depan toko pulsa Tante Dian. Setelah mengucapkan terima kasih pada Sakha, gadis itu berjalan mengendap-endap memanggil Tante Dian.Tante Dian sedang main game di balik etalase tokonya, saat mendengar suara panggilan.“Ya Allah, Maryam. Kamu pulang?” tanya Tante Dian begitu Maryam muncul di etalase. Wanita itu cepat menyeret Maryam masuk ke toko, lalu menutup pintu.“Aku bukan mau pulang, Tan. Mau cari ibu,” ujar Maryam gusar, saat Tante Dian mendudukkannya di kursi plastik.“Kemarin ibumu datang. Tante juga nggak ngerti. Ngapain ibumu masih nyari bapakmu?”“Katanya mau nengok,” tukas Maryam. “Aku nggak tahu harus gimana sekarang. Ibuku segitu sayangnya sama bapak.” Maryam tertawa garing. Sebenarnya tidak tahu apa yang ia tertawakan. Apakah memang lucu jika ada wanita seperti ibunya? â€œJangan sampai ketahuan. Kemarin saja ibumu langsung dihajar lagi. Ya Allah, Tante nggak tega. Nggak paham juga kenapa ibumu malah pulang. Tapi Maryam, kamu nggak usah... Calon Menantu Ibu “Maryam, kamu udah makan?”Gadis itu menggeleng. Wajahnya masih pucat, dan napasnya naik turun seperti berusaha keras menahan tangis. Mia menatap Maryam penuh perhatian. Rasanya ingin ikut menangis bersamanya.“Ayo makan dulu. Mau ganti baju?”Kedua gadis itu duduk di kursi panjang di depan TV yang masih menyala menayangkan acara kartun yang diulang-ulang tiap hari. Maryam sedari tadi hanya diam, setelah masuk rumah dan memberi salam pada ibu Mia. Di kepalanya, serasa adegan tarik-menarik tangan ibu dengan bapak, terus berputar tak mau berhenti. Dadanya terasa sesak.“Mia, maaf ... aku selalu merepotkan,” ujar Maryam akhirnya, setelah diam yang lama.“Nggak, Maryam. Aku senang bisa membantu. Itulah gunanya teman, kan?”Ibu datang dan tanpa ba-bi-bu, menarik tangan Maryam hingga berdiri.“Eh? Bu ....”“Ayo makan dulu. Udah ibu siapkan. Jangan sampai sakit. Ya?”Ibu membawa Maryam ke meja makan kecil mereka. â€œMaaf, cuma ada sisa-sisa,” Ibu membuka tudung saji. Di sana... Gosip Lama Muncul Kembali Maryam tertidur pulas malam itu. Lelah dengan segala yang terjadi sebelumnya. Ia menumpang di kamar Mia. Untunglah tempat tidur Mia cukup untuk dua orang. Saat Mia bangun untuk salat Subuh, Mia menemukan Maryam sudah sibuk mencuci piring.“Aduh, Maryam, itu tugasku. Nanti aja sama aku,” tegur Mia saat kembali dari kamar mandi.“Nggak apa-apa, Mia. Udah biasa. Oh ya. Aku nemuin buku resep di gudang. Aku taruh di meja belajarmu.”“Resep?”“Hmmm ...”“Oh. Makasih. Nanti kalau mau kerja, pakai bajuku dulu saja. Ambil sendiri ya di lemari. Nggak usah sungkan. Nanti bisa berangkat bareng Dilla. Dilla kan tiap pagi ngantar mamanya dulu ke sini, baru ke toko.”“Aduh, aku selalu merepotkan kamu, Mia.”Mia mengibaskan tangannya. “Jangan bilang gitu. Aku suka kok. Rasanya kayak punya saudara. Aku kesepian lho jadi anak tunggal.”Maryam tersenyum. “Aku juga ...”“Udah ya, aku ke kamar dulu,” pamit Mia akhirnya.Sembari berjalan, ia... Kisah di Tepi Sawah Mia sedang menyirami bunga-bunga marigoldnya, ketika terdengar decit rem sepeda di sebelahnya. Hampir saja ia menjatuhkan selang di tangannya saat melihat Sakha melambaikan tangan sambil tersenyum. Jangan senyum, dasar bodoh! Mia berteriak dalam hati.  Ia lalu cepat-cepat menunduk sambil kembali sibuk dengan selang di tangannya. “Maryam sudah pulang?” “Belum,” jawab Mia singkat. “Jadi gini, Mia ... bilang aja sama Maryam, kalau bapak dan ibunya sudah pergi dari kontrakan. Mereka diusir dari kontrakan, dan terpaksa menjual barang-barang dalam rumah. Semuanya dibeli oleh tante cantik yang jualan pulsa itu,” ujar Sakha. Mia mendengkus. Harus banget ya bilang tantenya cantik? “Oh. Terus? Terus?” “Katanya, mereka pamit kembali ke kampung bapaknya di Wonosobo untuk mengurus kebun sayur warisan kakek Maryam.” “Jadi ... Maryam sekarang sendirian di sini?” Mia menghentikan gerakan tangannya yang mendadak lemas. Bagaimana pun, cerita yang ia dengar membuatnya sedih seketika. Ia berjalan untuk mematikan keran air, lalu duduk di kursi teras.... Mencoba Bercerita Aroma kersen yang manis, dan angin yang bertiup pelan ... matahari mulai menampakkan sinar samar. Menghangatkan. Pak Rusdi sedang duduk di kursi bambu depan rumah, memangku Maneka, saat Sakha datang menuntun sepeda bersama Maryam dan Mia. Suara derak-derak sepeda membuat lelaki berusia limapuluh tahunan itu menoleh ke arah jalan. “Pantesan tadi pintu pagar terbuka,” ujar Pak Rusdi saat ketiga anak itu memasuki pagar.  “Rupanya kamu sudah pergi dari pagi, Ka?”Sakha berjalan pelan dengan salah tingkah sembari menuntun sepedanya. Sementara Mia memarkirkan sepedanya di luar pagar rumah Sakha. Aneh rasanya bagi Sakha saat ketahuan orang tua sedang berjalan bersama dua orang gadis. Walaupun mereka hanya teman biasa, sih. Mia memutuskan untuk mampir sebentar. Ia mengenal Pak Rusdi sebagai tetangga yang ramah. Sama seperti Bu Weni dan anak-anaknya. Eh, kecuali Sakha, sih. Kadang-kadang. Sakha itu tingkat keramahannya hanya sepuluh persen, kalau dibandingkan anggota keluarganya yang lain. “Pagi, Om. Baru datang, ya?”... Kembali Sakha menatap ayahnya selama beberapa saat. Seolah mencari tahu apakah orang tua itu pantas dipercaya untuk jadi pendengar bagi kisah Mia dan Maryam. “Maryam dan Mia mempunyai kisah yang rumit. Seperti yang Ayah tahu, Mia sudah nggak punya ayah. Dan Maryam ditinggal oleh orang tuanya sendirian di Jogja. Maryam sendiri pernah jadi korban kekerasan fisik dari bapaknya, hingga pernah minggat. Maryam tinggal di rumah Mia karena lari dari bapaknya. Kami semua khawatir. Tadi, saat Mia bangun, Maryam menghilang. Mia buru-buru cari Maryam karena takut Maryam mau bunuh diri. Jadi, aku temani Mia ke sana. Aku berusaha menjaga mereka. Cuma itu.” Pak Rusdi terus menyimak, sembari memegangi Maneka yang mulai melonjak-lonjak hendak menggapai grombolan buah kersen merah di atas kepala mereka. “Sebenarnya, wajar saja, di usia kamu merasakan perasaan khusus pada lawan jenis ...” “Aku enggak, Yah!” potong Sakha. “Aku sungguh ....” “Shhhttt, tunggu dulu, dengerin!” Pak Rusdi geli melihat reaksi... Belajar dari Nindi Setelah taksi berhenti di halaman rumah, Mia langsung melompat keluar. Ia membawa sebuah tas selempang kecil untuk wadah dompet dan ponsel. Ia sudah janjian sama ibu dan Maryam untuk jajan lotek di bulik Sri.“Bersih sekali,” komentar Maryam begitu turun dari mobil. “Mama Dilla rajin banget ya.”Setelah beberapa langkah, Maryam berhenti. Ia menoleh ke belakang dan menemukan ibu Mia mematung di tengah halaman dengan mata berkaca-kaca.“Tante, mau aku bantu?” dengan sigap Maryam menggamit lengan ibu Mia dan mengajaknya berjalan pelan-pelan.Sedangkan Mia sudah menghilang ke dalam rumah. Entah bagaimana ia sangat merindukan aroma rumah itu hingga lupa kalau membawa serta ibu.“Makasih, Maryam. Tante nggak apa-apa, kok.”Keduanya melangkah beriringan ke arah pintu rumah. Maryam menoleh ke arah kedai yang mereka lewati, mengingat-ingat bagaimana ia dan ibunya pernah tinggal di dalamnya. Kedai kosong yang dingin itu pernah terasa hangat karena ada pelukan ibu. Betapa kasih sayang itu telah... Wirda Sore itu, Mia mengayuh sepedanya dengan perasaan ringan. Sebulan berlalu sejak ia pergi bertiga dengan Maryam dan Sakha ke tepi sawah sebelum Maryam bertemu lagi dengan ibunya. Sejak saat itu, Mia merasa Sakha menjaga jarak darinya. Mia tahu diri, karena dia pun ingin menjaga jarak dari cowok itu. Ia harus konsentrasi untuk ujian, dan mempersiapkan diri untuk kuliah. Tapi, tidak semudah itu. Memang benar rindu itu berat, apalagi kalau belum halal. Iya, kan?Kadang ia masih berharap Sakha menyapa saat melewatinya di perjalanan pulang pergi sekolah. Kadang, ia masih berharap Sakha yang menerima piringnya saat ibu meminta mengirim makanan. Namun, hari ini, kisah Nindi menguatkan hatinya.Semua itu nggak sebanding dengan cinta dari orang tua kita ... ya, ya, Mia setuju. Din!Mia tak menoleh saat mendengar klakson itu. Dilihatnya Sakha melewati dirinya dengan motor, tanpa menoleh. Dan Mia kini baik-baik saja.Bagus, Mia.Mia memuji dirinya sendiri.“Aku akan... Rahasia yang Diceritakan “Aku juga pernah ingin mati. Dulu. Bahkan sudah hampir mati. Andai saja keluargaku tidak menolongku saat itu, mungkin aku sudah nggak ada di sini. Menemani seorang gadis cantik melamun di pinggir sawah.” Wirda memandang langit di kejauhan, bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis. Terbayang hari-hari saat ia membenturkan kepalanya ke tembok. Mengiris pergelangan tangannya sampai tak sadarkan diri. Mogok makan berhari-hari hingga harus bedrest di rumah sakit karena kondisi kandungannya memburuk. Teringat olehnya hari-hari berat itu ... Sementara Maryam menatapnya bingung. Kenapa malah tersenyum saat bercerita soal hampir mati? Aneh. “Biar kuceritakan satu rahasia,” bisik Wirda.  “Kamu tahu putriku, Maneka?” Maryam mengangguk.  “Dia .... Nggak punya ayah.” Maryam mengernyit bingung. “Maksudnya?”Selama tinggal di rumah Mia dulu, ia memang belum pernah melihat ayahnya Maneka. Gadis kecil nan ayu itu hanya menghabiskan waktu dengan Bu Weni, Mbak Winna atau Sakha.  Namun sama sekali tidak terlihat dirinya kekurangan kasih sayang. Maneka sangat beruntung... The Power of Facebook Matahari belum juga muncul, saat Maryam dan ibunya mengemasi barang mereka yang tak seberapa.  “Pakde Wit nanti ke sini jam berapa, Bu?” tanya Maryam. Pakde Wit itu kakak kandung bapak. Kemarin datang mengantar bapak dengan mobil, bersama Pakde Agus juga. Maryam tidak terlalu mengenal mereka karena memang sangat jarang bertemu.  “Mungkin agak siang. Capek perjalanan kemarin. Biar istirahat dulu di penginapan. Tapi, Pak, apa kita nggak merepotkan Mas Wit dan Mas Agus? Sampai diantar jemput begini,” ibu menyahut sambil melirik bapak yang bersandar di  pintu kedai. Semalam, bapak ikut menginap di Rumah Cokelat, walaupun terpaksa tidur di gudang.  “Biarin saja. Mereka yang maksa, kok.” Maryam tersenyum geli melihat bapak menguap sambil merapatkan lengannya di depan dada karena kedinginan. Bapaknya yang di Jogja bersikap kayak preman itu, ternyata di kampung halamannya sendiri melempem. Tumbang dikeroyok 'preman' lain yang lebih kuat. Merekalah Pakde Wit dan Pakde Agus. Saudara-saudara bapak yang marah dengan... Semacam Curhat Colongan “Bikin apa lagi hari ini?” tanya Sakha sambil meletakkan buku di tangannya. Dari tempatnya duduk, tercium aroma gorengan yang sedap sekali. Ia bertanya begitu karena hampir tiap hari ibu Mia mengirimkan camilan ke rumah. Tapi biasanya, ia sengaja sembunyi agar orang lain yang menerima setiap piring yang Mia antar. Sembunyi, untuk menjaga diri. Sembunyi agar menjaga hatinya, dan juga hati Mia. Tapi hari ini, ia tak  bisa mengelak karena memang tidak ada siapa-siapa di rumah selain dirinya. Semua orang sedang sibuk di kondangan salah satu teman ayahnya. “Lumpia.” Mia mengulurkan piring bergambar pengantin itu pada Sakha, lalu mengangguk untuk berpamitan. Gadis itu merasa, tak ada gunanya berlama-lama. Bukankah selama ini juga begitu? Bahkan sudah lama Sakha tidak menyapanya jika berpapasan di sekolah. Seolah-olah mereka tidak pernah saling kenal. “Eh, Mia. Kamu mau kuliah di mana?” Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba dari mulut Sakha. Ia penasaran, sekaligus ingin mencairkan suasana yang selama... Keceplosan “Ah, leganyaaaa ....” Mia merentangkan lengannya dan menghirup napas sebanyak mungkin. Seolah-olah, dia sudah tidak bernapas selama satu pekan. Ujian akhir sudah selesai. Semua bisa Mia kerjakan dengan baik, entah bagaimana hasilnya, toh ia sudah belajar dengan maksimal. Dan ibu pasti juga tidak akan menuntut banyak, Mia sangat mengenal ibunya. Ibu yang menghargai semua jerih payah Mia. “Aku rasanya pingin melempar semua bolpenku ke atap,” sahut Nindi yang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi depan Mia. Gadis itu menguap panjang. “Jangan,nanti susah ngambilnya. Lagian sayang. Buat aku aja,” sahut Mia geli.  “Dan menyembuyikan semua buku paketku di luar angkasa,” Nindi terus meracau. “Astaga, Nindi.” Mia tahu Nindi berusaha sangat keras di ujian ini. Nindi bukan siswa yang pintar. Dan dia juga tidak suka belajar. Namun menjelang ujian ini, ia ikut berbagai les dan sibuk belajar di waktu luang. Wajar kalau Nindi sampai bosan melihat bolpen dan buku paketnya yang sudah... Memantaskan Diri Mia mengaduk-aduk wedang ronde di hadapannya sambil melemparkan pandangan ke hamparan lampu-lampu kota yang berkelipan seperti bintang di bawah sana. Ia dan Nindi sedang berada di Bukit Bintang, di daerah Pathuk Gunungkidul.  Berdua mereka duduk di lesehan di atas bukit menikmati pemandangan malam. Tadi setelah pulang dari mal untuk nonton film, Mia mengajak Nindi mampir ke Bukit Bintang. Yah, tepatnya bukan mampir sih, karena jaraknya lebih jauh dari rumah mereka, bahkan sudah beda kabupaten. Bukit Bintang terletak di kabupaten Gunung Kidul, cukup dekat dengan kecamatan Banguntapan tempat tinggal Mia. Di pinggir jalan berkelok yang terus menanjak ke bukit, banyak warung lesehan dan kafe yang menawarkan view luar biasa, terutama di malam hari, saat lampu kota di bawah bukit menyala aneka warna, seperti bintang. Entah kenapa Mia tiba-tiba ingin ke tempat itu. Nindi sedari tadi curiga Mia sedang memikirkan sesuatu. “Kamu kenapa, sih?” Nindi menyenggol mangkok ronde Mia hingga gadis berkerudung... Kalau Allah Mengizinkan Sakha menjinjing ranselnya yang penuh sesak oleh buku. Dia baru saja pulang dari perpustakaan daerah, lalu mampir ke kampus menemui ayahnya dan meminjam beberapa buku lagi. Rumahnya di Kabupaten Bandung, tak begitu jauh dari jalan raya. Selama seminggu berada di sana, Sakha sudah kembali terbiasa naik angkot. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan di Bantul karena memang tidak ada angkot di sekitar tempat tinggalnya. Sakha menghentikan langkah di depan pagar besi bercat putih, ketika melihat seorang gadis berambut sebahu sedang menyapu teras rumahnya. Siapa dia? Krek. Gadis itu menoleh saat Sakha membuka pintu pagar. Pandangan keduanya bertemu. Gadis itu tersenyum. “Siang, Mas Sakha.” “Hmm ....” Sakha masih berusaha mengingat apakah gadis itu adalah salah satu teman sekolahnya dulu. Teman SD? Teman SMP? Atau teman les? “Kenalin, aku Jingga. Masih ingat?” Jingga? Sakha mengernyit. Ia rasanya pernah mendengar nama itu. Dia tanya apakah Sakha masih ingat dia, seolah-olah mereka sudah saling... Description: Kehidupan Mia berubah setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan. Ibunya mengalami trauma, hingga mereka harus meninggalkan rumah penuh kenangan itu; rumah mungil dengan sebuah kedai es krim di halamannya; Rumah Cokelat. Mereka pindah ke sebuah perumahan kecil yang sunyi, di dekat persawahan, dan memulai hidup baru. Namun Mia tak pernah bisa melupakan Rumah Cokelat.
Title: Renkarnasi Dewa Pedang Category: Fantasi Text: Memulai Kembali Di suatu malam. Di distrik green bambo, Kota Jin Hai. Shi Feng memegang sebuah dokumen saat dia duduk terdiam di sofa kulit. Menatap kolam di luar melalui jendela, shi feng di penuhi dengan frustasi dan keengganan. Dia adalah Kapten (Shadow), salah satu dari Lokalkarya di Kota Jin Hai, dia telah memimpin puluhan ribu pemain. Terlebih lagi, dia adalah salah satu ahli terkenal di Kota Jin Hai; dia adalah ahli pedang. Namun, sekarang satu-satunya hal yang bisa dia lakukan menyembunyikan kesedihannya di rumah. Sepuluh tahun, dia habiskan dalam game. Sepuluh tahun, dia telah bertarung dalam pertempuran berdarah. Dia telah melalui cobaan dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Di bawah kepemimpinannya, Shadow telah membangun Guild besar di kota God's Domain. Mereka akhirnya mampu menyaingi kelompok di tingkat pertama. Namun, sebelum dia menikmati kemuliaan yang tiada akhir itu, sebuah dokumen mengubah segalanya menjadi seperti asap, sekali pergi, tidak akan pernah kembali lagi. Shi Feng tidak pernah berpikir bahwa usahanya selama sepuluh tahun hanya akan sia-sia. Dia mengorbankan banyak hal untuk game tersebut. Namun, semua yang dia lakukan hanya untuk membuka jalan untuk orang lain. Semua ini memuncak karena dia menentang keputusan Shadow bergabung dengan Super-Guild, (Dominator Dunia). Bahkan tidak sampai satu hari Grup keuangan Lan Hua memberi jawaban mereka. Dia harus menghapus Raja Pedang level 200 miliknya, akun yang telah sepuluh tahun dia miliki dengan darah dan keringat, dan mengambil cek penyelesaiannya di bagian keuangan. Yang dia terima hanyalah 5.000.000 Kredit dan sebuah rumah. Jika dibandingkan dengan sepuluh negara yang dibangun dalam kerajaan virtual, itu bahkan dianggap setetes air di lautan luas. Shi Feng berpikir tentang seberapa banyak dia berkontribusi pada Shadow. tentang bagaimana usahanya mengubah grup Lan Hua menjadi grup keuangan besar. Kemudian, dia berpikir tentang bagaimana mereka tetap membuangnya. seolah dia tak berbeda dari sampah. Shi feng bersumpah akan membalas dendam atas perbuatan mereka. Aku tidak akan membiarkan ini. paling buruk, aku akan memulai kembali dari awal. Mata shi feng menyorotkan keyakinan dan resolusi; tangannya merobek kontrak pemutusan menjadi potongan-potongan kecil. meraih sebotol anggur di atas meja, dia meminum beberapa tegukan. Bahkan jika dia tidak memiliki akun raja pedang, Bahkan jika dia tidak lagi memiliki dukungan dari timnya, dan pengetahuan yang di perolehnya dari game tidak akan menghianatinya. Selama keterampilannya masih ada, dia masih bisa bangkit sekali lagi di dalam God's Domain; Dia bisa membangun kembali kerajaan virtualnya sendiri. Pagi dini hari. Matahari baru saja terbit. Di! Di! Di! Alarm telfon terus berbunyi. Shi Feng terbangun dengan kesal. Dia tidak berdaya meraih telfon di samping nya; efek dari minuman kemarin masih mebayanginya. "Hay Apa Kabar? " "Kakak Feng, ini aku, Blackie. Kamu masih bertanya ada apa? Bukankah kita sepakat untuk menjadi profesional gamer? Lokalkarya Shadow merekrut di sekolah kita hari ini. Bukannya kau selalu ingin menjadi anggota inti Shadow?" Shi Feng sedikit bingung. Grup keuangan Lan Hua baru saja memecatnya. Jadi kenapa dia harus mengikuti Ujian Shadow? "Kakak Feng? Kakak Feng? Kau dengar aku? Mereka menguji pukul sepuluh. Jika kau tidak buru-buru, kau tidak akan berhasil! "Blackie, berhentilah bercanda; Aku baru saja di pecat dari Shadow. " "Dipecat? Kakak Feng berapa banyak yang kau minum kemarin? Bahkan sekarang, kau madih belum bangun? Bagaimana bisa kau di pecat jika Shadow belum merekrut siapapun sampai sekarang? Baiklah, cepat datang." Blackie telah menutup telfon sebelum shi feng bisa merespon. Ketika Shi Feng memandang telfonnya dalam keadaan bingung, dia menemukan bahwa iphone 6 yang lama dan rusak ini bukan miliknya. Ponselnya adalah iphone 12 terbaru. Segera, Shi feng memeriksa sekelilingnya. Yang dia lihat dengan matanya adalah ruangan berantakan, tidak lebih dari lima belas meter persegi. Di sekeliling, ada buku-buku strategi game. Di sudut ruangan, di atas meja belajar, ada laptop yang sangat usang. Di dalam lemari di dinding, ada pakaian yang berantakan di tumpuk bersama. Di dalam lemari, ada cermin; cermin yang saat ini menunjukkan wajah yang di kenalnya. Shi Feng melompat kaget ketika dia melihat wajah yang sangat dikenalnya ini. "Bagaimana aku menjadi muda lagi?" Shi feng segera berjalan menuju cermin. Hanya setelah melihat ke cermin, pada pantulan yang di tunjukkan, berulang kali, bahwa Shi feng memang telah menjadi muda lagi. Dia tidur di kamar tidurnya yang mewah dan luas kemarin dan sekarang dia berada di tempat yang rusak ini setelah bangun tidur. Tidak hanya itu dia menjadi muda kembali. Shi Feng merasa masih bisa mengingat beberapa kenangan tentang tempat ini. Dia pernah tinggal disini sepuluh tahun yang lalu. Selama lebih dari enam bulan, Shi feng menyewa tempat ini dengan enggan, semua agar dia bisa bermain God's Domain sambil kuliah. Hanya setelah dia mendapatkan uang di God's Domain, dia menyewa sebuah kondominium besar. Shi Feng berpikir kembali ke tahun-tahun yang sulit itu. Keadaan keluarganya saat itu tidak dalam kondisi baik. Agar Shi feng bisa kuliah, orang tuanya mengumpul banyak hutang. Meski begitu, orang tua Shi feng masih mengirimkan biaya hidup yang cukup setiap bulan. Mengambil penderitaan diri mereka sendiri sebagai imbalannya. Shi Feng dengan sepenuh hati ingin mengubah keadaan keluarganya. Namun, menemukan pekerjaan dengan gaji yang baik sementara jalan di penuhi dengan lulusan universitas sangatlah sulit; jadi dia memikirkan game Virtual Reality yang menguntungkan. Memutuskan menjadi pemain profesional sebagai tujuannya, dia bahkan membeli helm Virtual Gaming. Berlatih keras di dalam game untuk meningkatkan keterampilannya. Selama itu, roti dan mie instan menjadi makanan sehari-harinya. Untuk menghemat uang, dia juga menghindari berpartisipasi dalam pertemuan sosial yang oleh teman-teman di kelasnya, sehingga menyebabkan dia tidak di pedulikan di kelasnya. Anak laki-laki memandangnya dengan jijik, sementara gadis-gadis menajuh dari dirinya. Setiap kali Shi feng pergi berbelanja mie instan, dompetnya tidak pernah memiliki lebih dari 10 Kredit. Dia bahkan tidak berani membeli sosis ham yang harganya satu Kredit. Karena kasihan, Penjual wanita disana menawarinya sosis ham dengan harga diskon. Namun, perasaan mengenai dompetnya yang kosong membuat Shi feng menolak dengan enggan. "Apakah seseorang sedang menipuku?" Shi Feng menatap dirinya yang lebih muda melalui cermin dan lingkungan yang di kenalnya. Shi feng tidak bisa tidak menggelengkan kepalanya, menyangkal kesimpulan seperti itu. Bahkan Amerika, sebagai negara paling maju di dunia, tidak memiliki teknologi yang meremajakan. Lagi pula, siapa yang akan memainkan lelucon seperti itu kepada paman tua yang malang seperti dia? Shi Feng melihat waktu di ponselnya. 19 April 2129 "Jangan katakan aku telah berenkarnasi?"Wajah Shi feng menunjukkan senyum pahit. Dia ingat hari ini adalah tanggal 5 Agustus, di tahun 2139. Itu tidak munkin menjadi bulan April 2129, tahun dimana dia masih kuliah. Shi Feng menggelengkan kepalanya, mencoba membangunkan dirinya. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia masih berpegangan pada harapan, bahwa dia bisa berenkarnasi, kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu. Dia berjalan menuju meja, menyalakan laptop. Bahkan jika waktu di telfonnya bisa dipalsukan, informasi di internet pasti tidak bisa. Setelah membuka internet beberapa menit.... Shi Feng benar-benar hancur. Semua infotmasi yang dia temukan di internet bahwa hari ini adalah 19 April, 2129. Bahwa tanggal rilis God's Domain yang sangat dinantikan jelas ditampilkan disitus resminya, di hitung dari enam hari dari sekarang. "Aku benar-benar telah berenkarnasi!Apakah aku benar-benar kembali ke sepuluh tahun yang lalu?" Shi feng dengan seksama memandangi laporan berita God's Domain, air mata emosional menetes dari sudut matanya. Perasaan Shi feng pada saat itu sulit untuk di gambarkan. Dia meresa menyesal, sedih dan gembira. Seakan semua yang ada di hadapannya hanyalah mimpi. Meskipun demikian, kicauan burung dan angin dingin di tiup dari AC mengatakan sebaliknya, bahwa semuanya nyata. Melihat ponselnya, di foto keluarga yang dia ambil ketika memasuki universitas, Shi feng tidak pernah menyadari bahwa orang tuanya memiliki rambut putih. Sudut-sudut mata ibunya bahkan memiliki kerutan. Mereka tidak lagi selincah sebelumnya; mereka benar-benar sudah tua sekarang. setahun setengah sejak dirilisnya God's Domain ketika Shi feng menyadari betapa menua orang tuanya. Jumlah hutang yang besar, kerja yang berlebih dan stres telah menyebabkan kedua orang tuanya jatuh sakit, sakit parah. Menyembuhkan mereka membutuhkan jutaan Kredit tetapi, saat itu, Shi feng hanyalah seorang kapten pasukan di Shadow. Uang yang diperoleh jauh dari cukup untuk membiayai biaya yang begitu mahal. Shi Feng mencoba segalanya untuk mengmpulkan cukup uang, namun itu masih belum cukup. Bahkan dengan semua usahanya, orang tua Shi feng tetap meninggalkannya beberapa bulan berikutnya. Dikehidupan sebelumnya, dia gagal merawat orang tuanya dengan benar. Bagaimana dia bisa tahu tentang rasa sakit dan penderitaan? Setelah Shi feng mendapatkan jutaan Kredit, rasa sakit tetap ada dalam hati Shi feng untuk selamanya. Tidak pernah dia berpikir bahwa takdir akan mempermainkannya. Dia tiba-tiba kembali ke titik awal, mulai lagi dari nol. "Hebat, ini terlalu Hebat! Hahahaha! Karena aku telah berenkarnasi, aku harus mengubah segalanya. Aku akan menghasilkan cukup uang untuk mengobati ibu dan ayah dan aku akan membiarkan mereka menjalani hidup tanpa kekhawatiran." Shi feng diam-diam bersumpah pada dirinya sendiri sambil menghapus air matanya. Tepat ketika Shi feng merencanakan tentang masa depannya, Blackie menelfon lagi, tetis mendesak untuk segera pergi ke universitas untuk ujian. Namun, Shi feng tidak terburu-buru. Dia berpakaian dengan santai, merepaikan diri sebelum menuju universitas jin Hai. Dia tidak bisa akrab dengan Shadow. Shi Feng masih ingat. saat dia masih kuliah, putra berharga Grup Lan Hua, Lan Hailong, memulai lokal karya Shadow untuk memasuki God's Domain. Lan hailong juga mengivestasikan banyak dana untuk merekrut ahli-ahli di universitas Jin Hai. Shi feng berpartisipasi dalam ujian Shadow pada saat itu, berhasil menjadi anggota inti dari lokal karya; sedangkan Blackie jadi anggota luar. Shi feng bahagia selama beberapa waktu setelah kejadian itu. Setelah tiga tahun berada di bawah kepemimpinan Shi feng, lokal karya Shadow memungkinkan Grup Lan Hua mendapatkan untung besar dari God's Domain, dengan cepat menjadi kelompok keuangan besar. Namun, Shi feng tidak pernah berpikir bahwa Lan Hailong akan menjadi orang yang memecatnya, secara pribadi. Karena dia telah berenkarnasi, dia memiliki keunggulan penuh di dalam God's Domain yang tidak di miliki oleh orang lain. Tentu, dia tidak akan bergabung dengan Shadow untuk menjadi alat yang menguntungkan orang lain. Dia ingin berjalan dijalan yang berbeda; sebuah jalan dimana dia berjuang bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Dia ingin menghilangkan kebutuhan orang tuanya untuk mengirimkannya biaya hidup. Dia ingin membayar semua hutang yang telah mereka kumpulkan. Untuk melakukan itu, dia menjelajah, memulai lokal karyanya sendiri, memulai perusahaannya sendiri, dan membangun kerajaan Virtualnya sendiri.... Semua untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Begitu Shi feng tiba di blok pengajaran 1, dia melihat sosok yang kurus dan tinggi didepan gedung. Pemuda itu mondar-mandir dengan panik; orang ini adalah Blackie. "Kakak Feng, akhirnya kau memutuskan untuk muncul. Untungnya, pendaftaran belum ditutup, jadi ayo cepat masuk dan mendaftar." Kata Blackie dengan cemas setelah melihat Shi feng. Shi Feng menggelengkan kepalanya, dengan serius berkata, "Blackie, aku tidak bergabung dengan Shadow; aku akan membuka lokal karyaku sendiri. Maukah kau bergabung denganku?" Blackie adalah seseorang yang ditemui Shi feng di game Virtual Reality lain dan yang pertama memiliki keterampilan yang cukup bagus. Mereka berdua telah menghadapi banyak tantangan bersama dan pada saat ini mereka tidak berbeda dengan saudara. Selama waktu mereka bersama-sama bekerja di Shadow, Blackie menunjukkan bakat besar dalam administrasi, meskipun dia tidak memiliki bakat untuk bermain game. Dia mengatur seratus ribu anggota kelompok dengan jelas dan teratur. Jika Shi feng memiliki bantuan Blackie kali ini, rencananya akan selangkah lebih lebih maju. Tapi, bagaimanapun dia akan menghormati keputusan Blackie. Itu karena Shi feng tidak punya apa-apa sekarang, dan keadaan keluarga Blackie juga tidak begitu baik. Blackie hanya memilih untuk menjadi gamer profesional dan bergabung dengan Shadow untuk mendapatkan beberapa Kredit untuk biaya hidup. Blackie kehilangan akal pada kata-kata Shi feng, menundukkan kepalanya dalam diam. Itu terlalu mendadak. Tidak hanya itu, Shi feng yang dia lihat hari ini terasa berbeda. Tidak seperti sikap tidak sabarnya yang biasa, Shi feng saat ini mengeluarkan aura yang tidak tergoyahkan dan percaya diri. Setelah satu menit penuh, Blackie mengangkat kepalanya untuk melihat Shi feng. "Kakak Feng, berhenti berbicara omong kosong. Apakah kau tahu berapa harga Helm Virtual Gaming? Itu 8.000 Kredit. Kau setidaknya butuh enam orang untuk memulai sebuah lokal karya. Bagaimana dengan tempat kerja, gaji, dan lainnya? Dana awal untuk memulai saja akan membutuhkan tujuh hingga delapan puluh ribu. Ada juga investasi lanjutan. Itu Kredit yang sangat banyak. Apa kau punya Kredit yang banyak itu sekarang?" Blackie sangat memahami keadaan Shi feng. Dia tahu Shi feng bukan dari keluarga kaya, jadi dia membujuk Shi feng menjauh dari pemikiran gila semacam itu. "Kamu benar. Saat ini, Aku bahkan tidak memiliki Kredit untuk Helm Virtual Gaming God's Domain." Shi Feng mengangguk setuju. Itu seperti yang dikatakan Blackie. Bahkan hanya tujuh puluh hingga delapan puluh ribu dianggap sejumlah kecil. Shi Feng ingat bahwa Lan Hailong telah menghabiskan lebih dari 5.000.000 Kredit untuk seratus orang Lokakarya yang telah ia rekrut. Dia juga menghabiskan lebih banyak pada tahap-tahap selanjutnya untuk meningkatkan kualitas dan kekuatan Lokakarya. "Kau benar, dari pada mengambil risiko, bukankah lebih aman untuk bergabung dengan Shadow? Paling tidak, Shadow dapat memberi kami Helm Permainan Virtual. Kalau tidak, lupakan menjadi pemain profesional; kita bahkan tidak akan bisa memainkan game ini.” Melihat bahwa Shi Feng memahami inti masalahnya, Blackie menghela napas lega ketika dia menarik Shi Feng ke dalam blok pengajaran. Shi Feng mengibaskan tangan Blackie, menatap Blackie dengan tegas sebelum berkata dengan nada serius, “Aku masih berencana memulai Lokakaryaku sendiri. Aku tidak ingin dikendalikan oleh orang lain. Jadi, Blackie, maukah kamu bergabung denganku?” Melihat ekspresi serius Shi Feng, Blackie merasa Shi Feng bertingkah aneh hari ini. Ini kegilaan. Semua orang tahu Kamu tidak bisa mendapatkan uang selama periode awal game virtual. Apakah Shi Feng punya cara untuk menghasilkan uang di God's Domain? Bahkan jika mereka menghasilkan uang, itu akan terjadi setelah beberapa bulan. Mereka tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan. Setelah ragu-ragu untuk beberapa waktu, Blackie dengan enggan menjawab, “Aku mengerti. Kamu bosnya. Aku akan memulai Lokakarya bersama dengan Kamu tetapi bagaimana dengan Helm Permainan Virtual? Kami tidak bisa bermain tanpa mereka, kan?" Alis Shi Feng yang kencang segera rileks saat dia dengan gembira menepuk pundak Blackie, berkata, “Nah itu baru adikku yang baik! Jangan khawatir tentang helm game. Aku ingat bahwa God's Domain memiliki masa percobaan yang tersedia untuk mahasiswa. Setiap universitas mendapat beberapa helm Virtual gaming untuk percobaan dan, selama Kamu menunjukkan kepada mereka identifikasi siswa Kamu, maka, selama sepuluh hari, Kamu dapat memperoleh helm game secara gratis. Ayo pergi dan melihatnya." "Serahkan masalah uang kepadaku." Shi Feng mengungkapkan senyum percaya diri saat dia menepuk pundak Blackie. Menghasilkan 16.000 Kredit dalam sepuluh hari memang benar-benar fantasi. Namun, dia memiliki semangat sebagai orang yang bereinkarnasi. Tidak peduli apa tantangannya, dia akan menerobos semuanya dan pembukaan God's Domain adalah titik awal kebangkitannya. Setelah itu, Shi Feng membawa Blackie untuk mengambil helm gaming virtual. Dia kemudian menggunakan semua uangnya untuk membeli dua kotak besar mie instan, menempatkannya di bawah mejanya di rumah sewaannya. Itu cukup untuk bertahan selama lebih dari sepuluh hari. Setelah memberi pengarahan kepada Blackie tentang beberapa hal di God's Domain, Shi Feng diam-diam menunggu pembukaan God's Domain. 25 April, jam 9 malam. Di dalam ruangan yang gelap dan sunyi, beberapa kilatan cahaya berkelip hidup. Shi Feng berbaring di tempat tidurnya, dengan lembut menekan tombol start saat dia menutup matanya. "God's Domain, aku datang." Permintaan Sherlock Untuk mengakomodasi sebagian besar pemain, God’s Domain dapat dimainkan saat tidur. Juga, waktu dalam game berbeda dari waktu di dunia nyata, di mana 2 jam dalam game sama dengan 1 jam di dunia nyata. Setiap hari dalam game terdiri dari 48 jam, terdiri dari 30 jam siang hari dan 18 jam malam. Tidak hanya itu, untuk memungkinkan sebagian besar para pemain untuk menikmati game, malam hari di dunia nyata, adalah siang hari dalam game. Shi Feng melewati terowongan warna-warni segera setelah dia tiba di God’s Domain, tiba di sebuah kuil (Kuil Emas). Malaikat perempuan dengan empat pasang sayap terbang menuju Shi Feng. Dia hanya seukuran telapak tangan. “Halo Petualang, selamat datang di God’s Domain. Aku adalah Malaikat Navigasi, Gabriel. Aku akan memperkenalkan kepada anda empat kategori utama dan dua belas job utama. Silakan pilih job yang paling anda sukai.” Dengan lambaian tangan kecil Gabriel, sebuah ilustrasi yang menampilkan dua belas job utama muncul di depan Shi Feng. Kedua belas job ini dikategorikan ke dalam empat kelas utama. Warrior: Shield Warrior, Guardian Knight, Berserker. Spesialis Senjata: Swordman, Assassin, Ranger. Healer: Cleric, Druid, Oracle. Mage: Elementalist, Summoner, Cursemancer. Warrior berspesialisasi dalam bertahan melawan monster; spesialis senjata yang berfokus pada hasil kerusakan fisik; Healer berfokus pada penyembuhan; Mage fokus pada output kerusakan magis. Setiap job memiliki gaya bertarung mereka sendiri, yang merupakan salah satu daya tarik utama God’s Domain. Dalam kehidupan sebelumnya, Shi Feng memilih Swordman (Pendekar Pedang) Spesialis Senjata dan dulu dia bahkan dikenal sebagai Sword Magician. Shi Feng sudah berinvestasi terlalu banyak dalam Job Pendekar pedang, jadi tentu saja, dia tidak akan memilih Job lain. Dia memilih kelas Pendekar pedang yang dia kenal tanpa ragu-ragu. “Seleksi Job selesai. Silakan tentukan nama untuk karakter Anda. ” “Ye Feng.” Shi Feng memilih nama yang sama dengan yang dia miliki di kehidupan sebelumnya. “Berhasil memberikan nama. Apakah anda ingin menyesuaikan penampilan anda? Tingkat penyesuaian terbatas hingga 15%.” Memikirkannya sebentar, Shi Feng memilih untuk menyesuaikan penampilan karakternya sebesar 15% agar tidak menonjol. Dengan ini, tidak ada yang bisa mengenali Shi Feng jika mereka melihat karakternya, meskipun itu tidak setampan yang asli. “Silakan pilih tempat kelahiran di Kerajaan Star-Moon.” Peta yang menampilkan puluhan kota milik Kerajaan Star-Moon muncul di depan Shi Feng. Pembukaan God’s Domain disinkronkan secara global. Untuk mengakomodasi ratusan juta pemain, tanah God’s Domain sangat luas, berukuran hingga dua atau tiga kali Bumi, dan kerajaan di dalamnya bahkan lebih banyak. Namun, ruang tamu dan kota pemain, pada kenyataannya, menentukan negara tempat mereka akan memulai, sehingga pemain hanya dapat memilih kota-kota di dalam negara. “Kota White River.” Shi Feng tidak berencana memilih kota lain, jadi dia memilih Kota White River yang paling dikenalnya. Kota White River adalah kota peringkat kelima Star-Moon Kingdom. Itu adalah kota penting di utara Kerajaan Star-Moon. Ada beberapa Guild yang memilih untuk berkembang di sana demi menghindari konflik antar Guild besar lainnya. “Kota dikonfirmasi. Pemain akan tiba di Kota Red Leaf di Kota White River dalam tiga detik. Kami harap Anda bersenang-senang di dalam game.” Pemandangan di depan Shi Feng segera kabur saat ia dikirim. Kota Red Leaf, bangunan-bangunan yang ditata dengan semrawut di sana memiliki gaya yang mirip dengan abad pertengahan. NPC memenuhi jalan yang ramai, membuat mereka merasa seolah itu adalah dunia lain. Shi Feng tiba di depan sebuah gereja, penampilan barunya menyerupai Pendekar Pedang yang miskin dan memperihatinkan. Dia saat ini mengenakan Armor Kulit Pemula abu-abu dan di pinggangnya tergantung Pedang Pemula. “Aku pasti berada di Kota Red Leaf, pada akhirnya.” Shi Feng tersenyum samar ketika dia melihat pemandangan kota kecil yang sudah dikenalnya, rasa percaya diri muncul dalam dirinya. Pada saat itu, banyak pemain mulai berkeliaran di sekitar kota, berbicara kepada NPC dengan harapan mendapatkan petunjuk untuk Quest. Ada juga beberapa pemain yang keluar dari desa, pergi ke hutan belantara untuk membunuh monster. Masing-masing dari mereka menjalankan tugas mereka seolah-olah hidup mereka bergantung padanya dan berusaha membagi waktu mereka menjadi dua antara dunia Virtual dan nyata. Shi Feng tidak memperhatikan pemain lain. Dengan sedikit gelombang dan sentuhan jarinya, Panel Atribut pemain muncul di depannya. Karakter: Ye Feng (Manusia) Kerajaan Terafiliasi: Star-Moon Gelar: Tidak Ada Job: Pendekar Pedang Level: 0 HP: 100/100 Physical Attack Power : 13 Defense (DEFF) : 4 Attack Speed: 3 Movement Speed: 4 Atribut: Strength (STR) 5, Agility (AGI) 3, Endurance (END) 4, Intelligence (INT) 2, Vitality (VIT) 2. Poin Atribut Gratis: 4 Penguasaan senjata: One-Handed Sword Mastery 5 (Peringkat Apprentice – Meningkatkan Kerusakan Pedang Satu Tangan 5%) Penguasaan Pedang Dua Tangan 5 (Peringkat Apprentice – Meningkatkan Kerusakan Pedang Dua Tangan Sebesar 5%) Poin Penguasaan Gratis: 0 Bakat Job: Pendekar Pedang 1: Penguasaan terkait Pedang 5 Pendekar Pedang 2: Dapatkan 8 Poin Penguasaan Gratis setiap 5 Tingkat. Pendekar Pedang 3: Kecakapan terkait keterampilan pedang meningkat sebesar 50%. Skill: Memotong. Keahlian aktif. Persyaratan: Pedang. Tambahan 8 titik kerusakan. Cooldown: 5 detik. Level Keterampilan: 1 (Kecakapan 0/300) Equipment (EQ): (Baju Kulit Pendekar) (Grey Trash) Level 0 Meningkatkan DEFF 2 END 10/10 (Pedang Novice) (Abu-abu Sampah, Pedang Satu Tangan) Level 0 Persyaratan Peralatan: STR 3 Attack Power 3 END 15/15 Di dalam tasnya, ada sepuluh potong roti dan sepuluh kantong air. Makan Roti akan memulihkan 10 HP per detik saat minum Air akan pulih 10 MP per detik, dan kedua efek berlangsung sepuluh detik. Setiap pendekar pedang memulai dengan Atribut yang sama, satu-satunya perbedaan adalah alokasi Poin Atribut Gratis. Setiap pemain dapat memperoleh 4 Poin Atribut Gratis dengan setiap peningkatan Level. Dengan setiap kenaikan Level, cara pemain yang berbeda menggunakan poin ini akan menghasilkan gaya unik mereka sendiri. Kekuatan meningkatkan Kekuatan Serangan Fisik dan bobot di balik setiap serangan. AGI meningkatkan Kecepatan Serangan dan Kecepatan Gerakan. END meningkatkan HP dan stamina maksimum. INT meningkatkan Kekuatan Serangan Sihir dan MP maksimum dan VIT meningkatkan tingkat pemulihan MP dan HP. Setiap Job menekankan pada Atribut yang berbeda. Karena pendekar pedang itu termasuk dalam Pekerjaan kerusakan fisik, kebanyakan orang akan memprioritaskan STR. Dalam kehidupan sebelumnya, Shi Feng juga membuat pilihan seperti itu, menambahkan 2 poin ke STR, satu poin ke END, dan satu poin ke AGI untuk setiap Level. Itu adalah pilihan yang sangat biasa dan biasa. Namun, Shi Feng tidak berencana melakukannya dalam kehidupan ini. Tanpa ragu, Shi Feng mengklik tanda plus ( ) untuk AGI, menempatkan semua 4 Poin Atribut Gratis ke dalamnya. AGI Shi Feng meningkat menjadi 7 poin; Kecepatan Serangannya berubah menjadi 4 dan Kecepatan Gerakan ke 4. Metode alokasi titik ini adalah sesuatu yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh Assassin, yang dikenal luas karena AGI nya yang tinggi. Mereka akan memprioritaskan STR terlebih dahulu, karena lebih banyak kerusakan berarti waktu yang lebih mudah naik level. Sayangnya, Shi Feng tidak berpikir seperti itu. Untuk Jobs jarak dekat, AGI adalah pilihan terbaik pada tahap awal God's Domain. Ini dirahasiakan, hanya ditemukan beberapa minggu setelah pembukaan God's Domain. Ketika akhirnya diketahui, pemain spesialis jarak dekat yang tak terhitung jumlahnya tidak bisa melakukan apa-apa hanya memukul dada mereka dengan menyesal. Setelah menambahkan Poin Atribut, Shi Feng melihat sekelilingnya. Hanya beberapa saat telah berlalu sebelum sekelompok besar pemain dikirim ke sini. Simbol mirip belah ketupat hijau milik pemain memenuhi udara alun-alun pusat, menghalangi simbol kuning milik NPC. Situasi seperti itu membuat mencari NPC menjadi tantangan yang lebih besar. Di! Di! Di! Komunikasi suara Shi Feng berdering, nama penelepon menunjukkan Black Cloud. Itu adalah panggilan Blackie. “Kakak Feng, Aku memilih Cursemancer dan dikirim ke Kota Falling Moon. kau dimana? ”Sekarang setelah memasuki God’s Domain, Blackie sangat bersemangat, ingin memulai perjalanannya dengan cepat. “Aku di Red Leaf Town, tidak jauh dari Falling Moon Town. Aku akan membantumu naik level, jadi datanglah ke Kota Red Leaf, “kata Shi Feng. ”Kakak Feng, apa kau gila?. Apa kau tahu seberapa jauh Falling Moon Town dari Kota Red Leaf? Peta mengatakan bahwa aku harus berjalan sekitar tujuh jam lamanya untuk sampai kesana. Aku akan ketinggalan banyak pemain lain jika Aku pergi ke sana. Kita harus naik level sendirian dan bertemu di White River City setelah mencapai Level 10. ”Blackie hampir batuk darah karena marah. Menghasilkan 16.000 Kredit dalam sepuluh hari sudah gila. Alih-alih dengan panik menaikkan level setelah memasuki God’s Domain, ia diminta untuk membuang tujuh jam? Dia tidak akan melakukan itu, bahkan jika dia dipukuli sampai mati. “Jangan khawatir. kau hanya perlu datang kesini. aku jamin kau akan mendapatkan kembali waktu yang kau buang dengan sangat cepat, “kata Shi Feng dengan nada datar. Ketika Blackie mendengar nada percaya diri Shi Feng, dia bertanya dengan penuh semangat, “Kakak Feng, mungkinkah kau memiliki informasi Beta Tester?” God’s Domain telah mengundang beberapa orang untuk menguji Game sebelum dibuka untuk umum dan orang-orang ini disebut Beta Tester. Beta Tester ini bisa mendapatkan informasi lebih dulu untuk God’s Domain dan, meskipun perubahan akan dibuat untuk permainan, Beta Tester pasti akan tahu lebih banyak daripada pemain biasa. “Apa yang ada dipikiranmu? bergegaslah kesini.” Shi Feng menjawab dengan nada misterius, tertawa. Mendengar kata-kata Shi Feng, Blackie tahu Shi Feng memiliki informasi yang dapat dipercaya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bersemangat, mengatakan, “Oke, tunggu aku, Kakak Feng; Aku akan langsung ke sana saat ini.” Mengakhiri panggilan Blackie, Shi Feng berjalan menuju gang kecil gelap kota. Ada ratusan NPC di Kota Red Leaf. Namun, NPC yang memberi Quest hanya berjumlah sepuluh, sementara Quest Tersembunyi berjumlah lima, dan Quests unik hanya berjumlah satu. Quest yang unik tidak akan tersedia lagi setelah diselesaikan oleh pemain. Misi Unik di Kota Red Leaf hanya ditemukan dua bulan setelah pembukaan God's Domain dan itu telah menimbulkan sensasi di seluruh Kota White River terakhir kali. Karena Misi itu unik, pemain yang beruntung mengungkapkan metode untuk mendapatkannya, yang membuat iri banyak pemain. Sayangnya bagi mereka, Misi tidak lagi tersedia, bahkan jika mereka ingin melakukannya. Tentu saja, Shi Feng tidak akan membiarkan misi Unik ini pergi dalam kehidupan ini. Shi Feng tiba di gang gelap yang dipenuhi pengemis dengan pakaian compang-camping. Para pengemis itu seperti serigala yang menemukan daging segar ketika mereka melihat Shi Feng berjalan mendekat, dengan cepat mengelilinginya saat mereka meminta makanan. Pernah ada pemain yang memberi banyak pengemis makanan ini. Pengemis-pengemis ini akan meminta barang setelah diisi dan meminta barang lebih mahal setiap kali. Pemain telah menyetujui semua permintaan mereka, secara berturut-turut memenuhi lebih dari sepuluh permintaan mereka. Sayangnya, para pengemis sama sekali tidak memberikan imbalan apa pun, yang menyebabkan pemain itu hampir saja mengeluarkan nada, menjadi lelucon bagi orang lain. “Enyah!” Shi Feng berteriak ketika dia mengeluarkan Pedang Pemula nya, menyebabkan pengemis yang tidak berdaya dengan cepat berlari untuk bersembunyi. Shi Feng berjalan ke sudut setelah para pengemis melarikan diri; seorang pria paruh baya gelandangan berbaring di sana. Tidak ada banyak perbedaan antara pria itu dan pengemis lainnya, tetapi jika ada, itu akan menjadi integritas kuat pria itu, karena dialah satu-satunya yang tidak meminta makanan. “Apakah Anda butuh bantuan, pak?” Shi Feng secara resmi bertanya kepada pria itu. “Bisakah kamu memberiku makanan? Sudah lima hari sejak aku terakhir makan, “jawab pengemis pria itu. Shi Feng tersenyum tipis, dengan serius mengatakan, “sayang sekali pak, Aku tidak bisa menyetujui keinginanmu.” Orang normal mungkin akan memuntahkan darah dalam kemarahan jika mereka mendengar jawaban seperti itu. Namun, pengemis ini hanya menghela nafas, tidak lagi mengatakan sepatah kata pun. “Namun, jika anda bersedia membayar harga yang sesuai, Aku bisa memberi anda makanan yang anda butuhkan.” Kata Shi Feng. Pengemis itu mengangkat kepalanya dan memandangi Shi Feng, matanya membawa sedikit antisipasi ketika dia berkata, “Jika aku punya uang, aku pasti akan membayarmu, tetapi saat ini aku tidak punya apa-apa. Meskipun, jika Kamu bersedia membantuku, Aku akan membayarmu dengan harga yang pantas. Apakah kamu bersedia membantuku? ” “Bolehkah aku bertanya apa yang anda ingin aku lakukan?” Tanya Shi Feng. Pengemis itu berkata dengan serius, “Tolong bantu aku membunuh Walikota Kota Red Leaf, Cross.” Meskipun Kota Red Leaf hanyalah sebuah kota kecil, Walikota masih Elite Level 15. Ada juga Guard Level 25 di sisinya. Selain itu, membunuh NPC akan menghasilkan penangkapan. Apalagi membunuh Walikota. tidak diragukan lagi, ini adalah tindakan gila dan tidak ada pemain yang percaya ini adalah Misi, karena ini tidak berbeda dengan mengatakan kepada para pemain untuk bunuh diri. Tidak ada yang akan menyetujui permintaan terkutuk ini. “Baiklah, aku berjanji.” Shi Feng tanpa ragu setuju dengan senyum. Sistem: Misi Unik “Permintaan Sherlock” diterima. Rincian Misi: Bunuh Cross, Walikota Kota Red Leaf dan bawa Lencana Walikota kembali ke Sherlock. Pemain tidak boleh melebihi Level 10. Shi Feng berbalik dan menuju ke Balai Kota, tempat Walikota tinggal, setelah menerima Misi. Lonely Snow Shi Feng berjalan di jalan menuju balai kota, disepanjang jalan penuh sesak dengan orang orang yang berlalu lalang. Jalan yang kurang luas itu dipenuhi dengan Pemain dan NPC. Mereka bercakap-cakap dengan NPC, mengambil kesempatan untuk mendapatkan Misi. Suasana seperti itu memberi seseorang kesan seperti berjalan di pasar. Sayangnya, itu bukan tugas yang mudah untuk mendapatkan Misi di God’s Domain. Alasan utamanya karena NPC memiliki kecerdasan tinggi, memberi mereka kemampuan untuk melakukan percakapan yang nyambung dengan para pemain. Selain itu, para Pemain harus memperhatikan apa yang mereka katakan atau beresiko di acuhkan oleh para NPC. Dan ada pula gelombang Pemain yang berkompetisi untuk memperoleh Misi Normal. Hanya saja, menemukan 1 Misi Normal saja sudah sangat sulit. Setelah lebih dari 10 menit sejak God’s Domain dimulai, belum ada satu pun Pemain di Kota Red Leaf yang menerima Misi Normal. Sebagai perbandingan, keuntungan Shi Feng sebagai orang yang bereinkarnasi benar-benar hebat. Tidak hanya ia menerima Misi, tapi Misi itu juga Misi Unik. Meskipun sedikit Kelewatan. Namun, hadiah dari menyelesaikan Misi Unik ini sangat luar biasa. Bahkan para Pemain Top yang telah memainkan God’s Domain selama sebulan sekalipun masih akan ngiler saat melihat hadiah dari Misi Unik ini. Sebagai orang yang telah bereinkarnasi, Shi Feng memiliki pengalaman memimpin ribuan orang saat dia berada di Shadow Workshop. Mereka bahkan telah membangun Guild Besar dalam god' Domain. Jumlah informasi di God’s Domain yang berada dalam genggamannya jauh melampaui apa yang diketahui rata-rata Pemain, bahkan Para beta tester sekalipun. Sehingga ia memiliki banyak cara dan strategi mengenai cara leveling cepat dan mendapatkan uang di God’s Domain ini. Ini merupakan hal yang harus dimiliki Oleh Guild dengan ribuan pemain untuk tumbuh lebih kuat. Sekarang dia telah bereinkarnasi dan memainkan God’s Domain lagi, Shi Feng ingin menggunakan informasi ini untuk mengumpulkan sejumlah besar keuntungan. Itu semua untuk membangun fondasi yang lebih baik untuk pengembangan masa depannya. Jadi secara alami, ia tidak akan meniru Pemain rata-rata, yang menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan hanya untuk memperebutkan satu Misi Normal. Terlebih lagi, dia tidak akan meniru para Pemain yang membunuh monster di alam liar karena, pada saat ini, mungkin ada lebih banyak pemain daripada monster di alam liar. Yang Shi Feng ingin lakukan adalah menghindari tumpukan pemain ini, itulah mengapa ia memilih Misi Unik yang memiliki tingkat kesulitan yang tidak masuk akal ini. Namun, menyelesaikan Misi ini membutuhkan uang, sesuatu yang hampir tidak dimiliki Shi Feng saat ini. Setiap pemain akan menerima 10 Koin tembaga pada awal Game. Meskipun itu tidak cukup untuk membeli Senjata atau Peralatan, membeli item penyembuh HP atau MP bukan masalah. Ketika Shi Feng tiba di depan Balai Kota bertingkat dua, dia bertemu dengan pemandangan ratusan orang, dengan antrian yang panjang. Terlepas dari game manapun itu, Jika Target Misinya adalah Kepala Desa atau Walikota, tidak ada pemain yang akan membiarkan kesempatan ini pergi. “Hei si pendatang baru, mengantrilah untuk menerima Misi jika kau tidak ingin menarik kemarahan publik” dari dalam antrian, seorang Warrior laki-laki yang tampak jujur ​​dan tegas ​​memandang Shi Feng. Warrior mengangkat tangannya lalu menunjuk ke belakang barisan orang-orang yang mengantri. “Aku di sini bukan untuk menerima Misi,” kata Shi Feng dengan nada acuh tak acuh saat dia melihat antrian panjang di depan Balai Kota. Dibandingkan dengan lokasi lain, tempat ini sangat tertip. Meskipun akan butuh lebih banyak waktu untuk menerima Misi, itu jauh lebih baik dari pada tidak bisa menerima sama sekali. Setelah Warrior laki-laki itu mendengar Apa yang baru saja dikatakan Shi Feng, ia dengan hati-hati menatap Shi Feng. Semua orang disini curiga, namun tetap mengantri untuk menerima Misi sekarang … tapi ada seseorang yang benar-benar mengatakan bahwa dia tidak tertarik untuk menerima misi? Bahkan hantu pun tidak akan percaya itu! “Aku benar-benar tidak di sini untuk menerima Misi,” Shi Feng memandang Warrior pria itu. Melihat mata orang itu yang penuh kecurigaan yang dia pikir ingin melompati antrian, Shi Feng berkata sambil tersenyum, “Namun, aku menyarankanmu untuk menerima Misi di tempat lain. Kau hanya akan menunggu tanpa tujuan di sini. ” “Ha? Mengapa? Sudah ada beberapa orang yang menerima Misi setelah mengantri disini.” Setelah memastikan bahwa Shi Feng tidak punya niat untuk mengantri, Warrior laki-laki itu menghela nafas lega. Dia sudah berada di antrian selama lebih dari sepuluh menit sekarang dan ia pasti tidak ingin seseorang memotong antrian. Namun, mendengar nada tegas Shi Feng membuatnya penasaran mengapa dia menunggu tanpa tujuan yang jelas. Shi Feng tersenyum tetapi tidak menunjukannya. Sebagai gantinya, dia mengubah topik dengan mengatakan, “Melihat kau bukan orang jahat, Aku akan menyarankanmu sesuatu yang lebih berguna. Bunuhlah gerombolan monster di hutan dan kau tidak akan membuang waktumu dengan percuma” “Tidak, aku tak ingin pergi. Ada terlalu banyak monster di alam liar dan aku tidak bisa bersaing dengan orang-orang lain. Tempat ini masih lebih baik” Warrior laki-laki menggelengkan kepalanya. Dia bukan orang yang bodoh. Saat ini, pasti banyak pemain di Area Lapangan. Kalaupun dia tetap pergi, dia mungkin bahkan tidak bisa mendapat satu monsterpun, jadi memang lebih baik dia hanya menunggu di sini. “Itu karena kau pergi ke tempat yang salah. Jika Kau pergi ke suatu tempat dengan sedikit monster, tentu saja, tidak akan ada orang yang akan bersaing denganmu. Dibandingkan dengan area yang dipenuhi dengan pemain dan monster, efisiensi leveling beberapa kali lebih baik. Tidak hanya itu, tingkat respawn monster di sana lambat, sehingga kau bisa menanganinya seorang diri tanpa perlu khawatir.” kata Shi Feng sambil tersenyum. “Apakah memang ada tempat seperti itu?” Warrior laki-laki bersemangat setelah mendengarkan Shi Feng. Dia sangat tertarik dengan lokasi seperti itu. Dia masih perlu menunggu lebih dari satu jam untuk menerima Misi dan hadiah yang bisa dia dapatkan hanya EXP dan sedikit uang. Jika dia bisa menggiling monster selama satu jam tanpa hambatan, EXP yang bisa dia dapatkan akan jauh melampaui hadiah dari Misi. “Tentu saja ada. Aku akan memberimu harga istimewa 20 koin tembaga jika kau ingin pergi ke lokasi yang berharga. Jangankan EXP; jika kau menggiling monster selama sehari full disana itu akan memberimu lebih dari 40 tembaga. Jika kau beruntung, kau bisa menghasilkan satu ton lebih banyak jika sepotong peralatan jatuh,“ Shi Feng berjalan lebih dekat ke Warrior laki-laki, berbisik ke telinganya. “Kau benar-benar tidak menipuku, kan?” Warrior laki-laki itu menatap Shi Feng dengan keraguan di matanya. Jika ada lokasi berharga seperti itu, dia pasti bisa melampaui banyak pemain lainnya; tetapi 20 tembaga bukan jumlah yang kecil. Monster di God’s Domain jarang menjatuhkan uang atau peralatan, jadi Koin Tembaga sangat berharga. “Jika kau tidak percaya padaku, kamu dapat membayar 10 tembaga terlebih dahulu. Kamu akan tahu hanya dari mencoba setelah kau tiba di tempat. Jika itu benar, maka kau dapat membayarku 10 tembaga lainnya. Aku hanya mengatakan ini kepadamu karena Aku melihatmu sebagai orang yang baik. Lupakan saja, jika kau tidak percaya padaku,“ Shi Feng berbalik dan pergi setelah mengatakan bagiannya. Shi Feng tidak akan melakukan ini jika dia tidak kekurangan uang. Paling buruk, dia hanya akan menggunakan beberapa metode lain untuk mendapatkan uang. Hanya setelah berjalan beberapa langkah, Shi Feng dihentikan oleh Warrior laki-laki itu. “Tuan Ahli, tolong tunggu sebentar. Mari kita bicarakan lagi, oke? Bukankah itu hanya perlu uang muka 10 tembaga? Kemarilah, ambil ini. Aku percaya bahwa seorang ahli sepertimu tidak akan menipuku.“ Warrior laki-laki itu mengungkapkan senyum jujur, dengan tegas menukar 10 tembaga ke Shi Feng. “Melihat dari sikapmu yang baik, Aku akan memberimu lokasi yang baik juga. Meskipun tempat ini agak jauh, hanya ada satu Mage tipe-Level 0 Kurcaci Hijau. Memiliki pertahanan yang rendah dan tingkat respawn yang cepat. Peluang untuk menjatuhkan uang juga lebih besar. Seorang Berserker akan sangat diuntungkan jika menggilas di sana.” Shi Feng memberi Warrior lokasi menggilas monster yang bagus setelah dengan senang hati menerima sepuluh tembaga. Warrior laki-laki itu merasa lega ketika dia menyadari betapa akrabnya Shi Feng dengan monster liar, bahkan sampai pada tingkat mengetahui jumlah uang yang turun. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan seberuntung itu bertemu seorang ahli dari Gods Domain dan bukan seorang ahli biasa. Kemungkinan besar Shi Feng adalah seorang Beta Tester. Warrior laki-laki itu menjadi lebih bersemangat saat dia memikirkan kemungkinan ini. “Kakak ahli, apakah kamu tahu lokasi yang menjatuhkan buku keterampilan untuk Berserker? Sangat sulit untuk bertarung melawan gerombolan monster hanya dengan satu Skill.“ Warrior laki-laki itu lebih menyukai Shi Feng sekarang, bahkan memperlakukan Shi Feng sebagai Bosnya. “Tidak apa-apa jika kau ingin tahu, Tapi itu akan dikenakan biaya 2 perak,” Shi Feng tersenyum. Siapa yang akan memberikan informasi berharga hanya setelah percakapan singkat? Shi Feng tidak akan melakukannya kecuali ada uang yang terlibat, tentu saja. Warrior laki-laki memucat ketika dia mendengar harganya. 2 perak sama dengan 200 tembaga. Bahkan rata-rata Guild tidak akan memiliki uang sebanyak itu. “Kakak Ahli, mari kita tambahkan satu sama lain sebagai teman. Aku lonely Snow. Aku akan menghubungimu lagi setelah Aku sudah menabung cukup banyak,“ Warrior laki-laki itu lalu mengirimi Shi feng permintaan pertemanan. “Baiklah.” Shi Feng menerima permintaan Lonely Snow. “Kalau begitu Kakak ahli, aku akan pergi dulu untuk Menggiling Monster di luar, aku akan mengirimimu 10 tembaga segera setelah Aku menabung cukup banyak. “Lonely Snow dengan senang hati berpisah dengan Shi Feng, meninggalkan antrian panjang dan berlari menuju lokasi penggilingan. Sekarang Shi Feng sudah punya uang, dia berjalan menuju kios buah di dekat Balai Kota. “Bos, berapa harganya buah Tomat ini?” Shi Feng bertanya sambil mengangkat Tomat merah yang matang. Baik Buah dan Sayuran dapat membantu memulihkan HP dan MP pemain. Rasa darinya juga sangat lezat. Satu-satunya kekurangannya adalah tingkat pemulihannya yang buruk. Dalam keadaan normal, pemain tidak akan membelinya sama sekali, terutama selama periode di mana uang adalah masalah besar. Menghabiskan uang untuk Buah dan Sayuran hanyalah perilaku yang sangat boros. “2 tembaga untuk masing-masing buah.” “Kalau begitu, beri aku 10 buah.” Shi Feng membayar 20 tembaga. Dia berjalan ke Balai Kota setelah menerima 10 Tomat itu. “Hei, pendatang baru, mengantrilah. Tidak bisakah kau lihat orang lain juga mengantri?” “Hei pendekar pedang yang di sana, menurutmu apa yang sedang coba kau lakukan? Apa kau tahu berapa banyak dari kami yang mengantri?” Para Player dalam antrian menjadi marah dan mulai mengkritik ketika mereka melihat Shi Feng memotong garis, berjalan langsung menuju Walikota. Mereka sudah lama ingin membunuh Shi Feng, kalau bukan karena fakta bahwa mereka bisa dipenjara kalau mereka menyerang Player lain di dalam kota. “Maaf, tapi aku benar-benar tidak di sini untuk menerima Misi. Aku di sini hanya untuk melihatnya.“ Shi Feng tersenyum pada para Player, dia menoleh untuk melihat Walikota Kota yang gemuk, Cross. (Cross) (Elite, Ramah) Level 15 HP 2400/2400 MP 1500/1500 Tidak ada satu Pemainpun yang bisa mengalahkannya pada tahap ini. Itu tidak mungkin, bahkan dengan tim. Selanjutnya, Shi Feng mengeluarkan Tomat yang dibelinya dan menggigitnya. “Apa yang sedang dilakukan orang ini?” “WTF! Dia makan Tomat! Yang Masing-masing biayanya 2 tembaga! Ini terlalu boros!” Para Pemain lain tidak bisa mengerti apa yang coba Shi Feng lakukan. Dengan datang ke Balai Kota hanya untuk makan Tomat … apakah dia mencoba memamerkan seberapa kayanya dia? Di saat itu, Shi Feng tiba-tiba melempar tomat ke wajah Walikota Cross. Tomat secara akurat mendarat di wajah Cross, menyebarkan cairan merah cerah ke seluruh penjuru. Sistem: Cross ‘Kesukaan terhadap Anda telah berkurang sebesar 100 poin. Tidak puas, Shi Feng mengeluarkan Tomat lain dari tasnya, melemparkannya ke arah Cross. “Munafik! Gendut! Pengisap darah! Kau tidak layak menjadi Walikota!” Shi Feng terus memaki ketika dia melemparkan Tomat, sedangkan kesukaan Cross terus menurun. Tubuh Cross memerah karena jus tomat yang terus menerus mengalir ke tubuhnya. Menambah ekspresi marahnya, itu menciptakan pemandangan yang sangat lucu. Namun, tidak ada seorang pun di Balai Kota yang berani tertawa. Semua pemain menjadi ternganga dan tercengang dengan tindakan Shi Feng. Hanya berselang 20 menit setelah God’s domain diluncurkan, ada Pemain yang berani menyerang NPC dan lagi itu bukan sembarang NPC; dia menyerang pemimpin sebuah kota, Bos Area Pemula! Orang ini gila! Apakah orang ini tidak takut dipenjara sampai mati? Apakah dia tidak lagi ingin tinggal di Kota Red leaf? Bahkan jika kau ingin balas dendam atau punya dendam pada masyarakat, itu masih tetap tidak boleh dilakukan dengan cara seperti itu! Tepat ketika Pemain lain mengharapkan para Pengawal menahan Shi Feng atau Walikota akan membunuh Shi Feng dalam kemarahan, tidak ada hal-hal ini yang benar-benar terjadi. Tidak ada pemain yang tahu bahwa menghina NPC tidak dianggap sebagai serangan. Karena itu mengapa Pengawal maupun pengawal walikota tidak menyerang Shi Feng. Tindakan Shi Feng hanya akan menyebabkan NPC membencinya sampai ke tulang belulang dan dia tidak akan lagi bisa menerima Misi dari NPC yang bersangkutan dalam kehidupan ini. Ketika Tomat terakhir Shi Feng mendarat di wajah Cross, kesukaan Cross jatuh pada titik terendah. Penanda kuning di atasnya kepalanya tiba-tiba dengan cepat berubah menjadi merah padam. “Serangga yang terkutuk! Aku akan mengirimmu ke neraka! ” Wajahnya yang merah meraung keras saat dia bergegas berlari ke arah Shi Feng. Sensasi Yang Disebabkan Oleh Kematian Deru kemarahan Walikota Cross bergema di seluruh Balai Kota. Dengan kecepatan tinggi, Cross langsung tiba di depan Shi Feng, tinjunya membentang ke arah Shi Feng. Para pemain lain saat ini menikmati kemalangan Shi Feng, mengambil kesempatan untuk mengukur kekuatan Walikota Cross. Cross adalah Elite Level 15, dan satu tamparan darinya sudah cukup untuk memukul pemain saat ini hingga mati. Namun, Shi Feng benar-benar bodoh sampai membuat marah walikota. Tidak ada satu orang pun di seluruh Kota Daun Merah yang bisa menyelamatkannya sekarang. Dia akan dipenjara sampai dia berada di ranjang kematiannya atau dia akan diusir dari Kota Daun Merah. Namun, sikap tenang Shi Feng membingungkan para pemain lain. Apakah dia sudah siap untuk mati? Ketika Cross hendak memukul Shi Feng, Shi Feng yang sebelumnya diam akhirnya bergerak. Seperti seorang pemburu menunggu mangsanya, Shi Feng segera menghunus Pedang Novice-nya. Dengan gerakan yang cepat, dia menggunakan pedang untuk melindungi tubuhnya. Peng! Tinju Cross mendarat di Pedang Novice, membuat Shi Feng terbang. Tepat saat Shi Feng hendak jatuh, dia membalik tubuhnya dan mendarat dengan mantap di tanah dengan fleksibilitas seperti seekor kucing. Namun, HP-nya langsung menurun sebanyak 84, dan Novice Sword dalam genggamannya bergetar tak terkendali. Daya tahan pedangnya bahkan berkurang 1 poin; senjata itu akan menjadi tidak berguna begitu durabilitasnya turun menjadi 0. Si …… Semua pemain menarik napas dingin. Melihat pengacau Shi Feng, mereka awalnya menganggapnya sebagai pemula. Namun, setelah penampilan Shi Feng saat ini, siapa pun yang memiliki mata yang jeli dapat mengatakan bahwa ia adalah orang yang sangat terampil. Bahkan jika Cross memiliki kerusakan fisik yang rendah sebagai penyihir Elite Level 15, dia masih bisa membunuh salah satu pemain saat ini dalam satu serangan. Namun, Shi Feng masih hidup. Dia telah menggunakan senjatanya untuk memblokir serangan, mengurangi kerusakan seminimal mungkin. "Dia jelas penyihir, namun kekuatan dan kecepatannya benar-benar mengejutkan." Shi Feng diam-diam kagum ketika dia melihat Pedang Novice yang memekik di genggamannya. Untungnya, dia telah menambahkan semua poinnya ke Ketangkasan (AGI), meningkatkan Attack Speed-nya menjadi 4. Jika tidak, dia pasti sudah mati sekarang, harus memulai misinya lagi. "Mati, kau serangga!" Setelah gagal menyerang, Cross semakin marah. Tiba-tiba, pakaiannya robek, memperlihatkan tubuh ditutupi bulu hitam pekat; Cross telah berubah menjadi Manusia Serigala dengan taring yang tajam. Setiap pemain terkejut saat ini. Mereka tidak akan pernah berpikir walikota adalah Werewolf jahat. Cross dalam sekejap muncul di punggung Shi Feng, mengangkat cakarnya yang bersalju dan menebasnya. Namun, Shi Feng memperlihatkan seringai dingin, meskipun dia hanya memiliki 16 HP yang tersisa. Cakar Cross tiba-tiba berhenti; hanya beberapa sentimeter dari tubuh Shi Feng. Sayangnya, Cross dipukul oleh Penjaga level 25 [Sebuah Serangan], memasuki kondisi tidak sadar (Fainted) selama 1 detik. Shi Feng mengambil kesempatan ini untuk segera menjauh. Tepat ketika Cross hendak memburu Shi Feng setelah bangun, dia sekali lagi dicegat oleh Penjaga lain. Kedua Pengawal adalah Prajurit level 25. Meskipun tidak satu pun dari mereka adalah Elit, kerusakan yang mereka sebabkan relatif tinggi. Sebuah serangan penuh ditambah dengan serangan normal, dengan cepat mengambil 300 HP dari Cross. Dua Penjaga telah mengambil total 600 HP, menyebabkan HP Cross jatuh ke 1700 dalam sekejap. "Seperti yang diharapkan dari Pengawal, kekuatan serangan mereka pasti tinggi." Shi Feng tertawa kecil ketika dia melihat keadaan Cross yang malang. Prajurit adalah pelindung kota. Mereka mengkhususkan diri dalam melindungi warga sipil kota dan melawan invasi makhluk jahat. Pada saat ini, walikota telah berubah menjadi Manusia Serigala; bukti bahwa dia bukan manusia, tetapi mata-mata untuk kekuatan jahat. Para penjaga secara alami tidak akan membiarkannya pergi, membunuhnya seolah-olah dia tidak berbeda dengan monster di alam liar. Di permukaan, kondisi permintaan Sherlock tampak kejam. Namun pada kenyataannya, pemain hanya perlu secara aktif menyerang walikota, setelah itu selamat dari serangan pertama walikota. Setelah itu berlayar lancar saja. Para penjaga akan menangani sisanya setelah walikota mengungkapkan dirinya yang sebenarnya. Dalam kehidupan Shi Feng sebelumnya, alasan Misi Unik ini dapat mengejutkan seluruh Kota Sungai Putih, karena Walikota Kota adalah mata-mata bagi kekuatan jahat. Misi ini telah memungkinkan pemain untuk memiliki perspektif baru terhadap God's Domain; NPC tidak sepenuhnya dapat diandalkan, karena mereka mungkin menjadi salah satu kekuatan jahat yang menyamar. Secara bersamaan, pemain yang menyelesaikan Misi telah mengejutkan semua orang dengan metodenya dalam memancing Walikota. Pemain telah memutar otak untuk menyelesaikan Misi dan, tentu saja, dia ingin memamerkan usahanya dengan mengungkapkan strateginya. Tapi sekarang, itu dimanfaatkan oleh Shi Feng. Karena itu, Cross sekarang diserang oleh dua Pengawal. Meskipun kerusakan yang ditangani oleh Pengawal sangat tinggi, target Cross belum pernah bergeser dari Shi Feng. Dia terus menerus bertujuan untuk membunuh Shi Feng tetapi, sayangnya kedua Pengawal terus menempel padanya seperti lem. Salah satu Pengawal yang menggunakan [Penghancur Tulang], sedangkan yang lain menggunakan [Serangan Petir], menyebabkan kecepatan Cross menurun drastis. Untungnya, Shi Feng bisa lolos dari maut dengan 5 poin Kecepatan Gerakannya. Seperti itulah, HP Cross jatuh lebih dari 2000 hampir habis. Ketika pemain lain melihat Cross sekarat, banyak dari mereka mulai gelisah; mereka ingin mendaratkan serangan terakhir pada walikota. Mereka tidak mengerti mengapa Pengawal menyerang Cross bukannya Shi Feng tetapi seorang Walikota yang juga Elite Tingkat 15 …… jika dia mati, dia pasti akan menjatuhkan beberapa barang bagus. Bersembunyi di suatu tempat yang jauh, Shi Feng tersenyum jijik sehubungan dengan pikiran mereka. Apakah Walikota Kota adalah seseorang yang bisa mereka ketahui siapa? Meskipun walikota telah menjadi salah satu kekuatan jahat, ini hanya bagian dari rencana untuk misinya. Di mata para pemain lain, walikota masih dalam kondisi ramah; sama sekali tidak mungkin untuk menyerang walikota. Ketika Cross hanya memiliki 100 HP yang tersisa, semua pemain lain mulai bergerak. Mereka semua secara bersamaan bergegas menuju Walikota Cross. Mereka semua ingin memberikan serangan terakhir, dan mengambil barang-barang yang jatuh. Melihat Cross hanya satu pukulan dari pintu kematian, Shi Feng juga berlari keluar. Sayangnya, Cross masih mati di bawah pedang Pengawal pada akhirnya. Tidak ada satu pun pemain yang mampu menyerang Cross. Meskipun Shi Feng bisa menyerang, dia tidak mau mengambil risiko. Setelah walikota meninggal, ia segera mengambil [Lencana Walikota] dan menghilang di kerumunan. NPC di dalam kota tidak akan menghasilkan EXP atau jarahan jika terbunuh. Shi Feng bahkan tidak akan bisa mendapatkan Lencana Walikota kalau bukan karena misi. "Sampah! Sistem disadap! Mengapa Aku tidak bisa menyerang walikota? " “Aku ingin mengeluh! Mengapa walikota tidak menjatuhkan apa pun setelah kematian? " Beberapa pemain pemula mengeluh dengan kesal. Elite Level 15 telah mati di depan mata mereka, namun mereka tidak mendapatkan apapun; mereka tidak bisa menerimanya. "Bodoh. Apakah Kamu tidak tahu bahwa Kamu memiliki hubungan yang ramah dengan NPC? Pemain tidak dapat menyerang NPC dengan hubungan ramah. Jika Kamu bahkan tidak tahu pengetahuan umum seperti itu, mengapa repot-repot bermain God's Domain?" Setelah mengejek para pemula, para pemain yang kompeten mencari jejak Shi Feng. Seorang pemain yang bisa membunuh Walikota dengan cara seperti itu jelas merupakan seorang ahli, seseorang yang harus mereka jadikan sekutu. Namun, mereka tidak dapat menemukan Shi Feng, bahkan setelah mencari untuk waktu yang lama. Mereka juga tidak tahu namanya. Sementara itu, berita kematian Walikota Cross menyebar ke seluruh Kota Daun Merah, menciptakan sensasi di antara semua pemain. Pada fase permainan ini, di mana para pemain masih khawatir tentang menggilas monster untuk meningkatkan Level, pemimpin sebuah kota dipermainkan hingga mati begitu saja. Ini terlalu mengejutkan! Bahkan tidak tiga puluh menit sejak pembukaan God's Domain, sebuah rangkaian berita muncul di forum situs resmi. Pendekar Pedang Misterius membunuh Level 15 Elite, Walikota Kota Daun Merah. Pemimpin sebuah kota sebenarnya adalah Werewolf yang menyamar. Sebenarnya God's Domain permainan macam apa? Berita ini langsung menimbulkan sensasi di antara para pemain. Hanya butuh beberapa saat untuk meningkatkan jumlah klik ke halaman situs untuk melewati sepuluh juta. Semua orang tertarik dengan Pendekar Pedang misterius ini. Sayangnya, mereka tidak dapat menghubungi orang tersebut karena tidak ada yang tahu namanya. Sekarang, Shi Feng sudah tiba di gang gelap. "Tuan Sherlock, ini lencana Walikota yang Kamu minta." Shi Feng memberikan lencana Walikota berwarna perak kepada pengemis, Sherlock. Dengan penyelesaian Misi, berita buruk datang ke kedua pemain yang telah menerima misi dan bagi mereka yang saat ini mencoba untuk menerima satu dari walikota. Ini karena Cross tidak mau respawn. Mereka tidak akan memiliki tempat untuk mengirimkan info tentang misi mereka bahkan jika itu selesai. Kota Daun Merah juga tidak lagi memiliki walikota, meskipun Shi Feng tidak peduli tentang itu. "Terima kasih. Terima kasih banyak. Aku akhirnya membalas dendam untuk teman Aku. Hal-hal ini seharusnya bisa membantu Kamu. " Sherlock memberikan Shi Feng kotak kecil yang lembut. Selanjutnya, Sherlock mengambil lencana Walikota dan meninggalkan gang yang gelap. Sistem: Misi Unik "Permintaan Sherlock" selesai. Hadiah 2000 EXP, 20 Poin Penguasaan Gratis, 1 [Kotak Ornamen Mewah]. Dengan suara "Hua", Shi Feng menjadi Level 1, dan ia hanya berjarak 1000 EXP dari Level 2. Level Shi Feng menjadi yang teratas di Kota Daun Merah, hanya tiga puluh menit setelah dimulainya God's Domain. Dalam keadaan normal, pemain rata-rata membutuhkan 1000 EXP untuk naik ke Level 1. Jumlah seperti itu membutuhkan setidaknya enam atau tujuh jam menggilas monster, karena setiap monster Level 0 hanya memberi 3 EXP. Waktu juga diperlukan untuk mencari monster, untuk pulih, dan sebagainya. Mempertimbangkan jumlah besar pemain di awal permainan yang berebut monster, memerlukan lebih dari sepuluh jam untuk sampai di Level 1 bisa dianggap rata-rata. “Mengapa hadiah misi unik begitu berlimpah? Apakah itu karena Aku menyelesaikannya di Level 0? '' Shi Feng menjadi sedikit bingung tetapi dia masih senang dengan hadiah seperti itu. Dalam kehidupan sebelumnya, hadiah yang dipasang tidak semewah itu. Meskipun jumlah EXP sama, jumlah Poin Penguasaan tidak Gratis. Orang lain hanya menerima 10 poin untuk itu, serta Kotak Ornamen Halus, sementara Shi Feng menerima 20 poin dan Kotak Ornamen Mewah. Poin Penguasaan Gratis sangat berharga di God's Domain. Jarang Misi akan memberikan 3 hingga 5 poin. Misi Unik ini telah memberi 20 poin. "Semoga saja, itu tidak mengecewakanku. Meskipun itu bukan Kotak Ornamen Halus, itu masih Kotak Ornamen Mewah yang lebih baik. Itu harus keluar.'' Shi Feng dengan hati-hati memegang kotak Ornament, tegukan gugup datang dari tenggorokannya. Perlahan, dia membuka kotak itu. Meskipun EXP dan Poin Penguasaan Gratis sangat bagus, yang benar-benar diinginkan oleh Shi Feng adalah item di dalam Kotak Ornamen. Itu adalah item penting yang dia butuhkan untuk menyelesaikan leveling dan rencananya menghasilkan uang. Itu juga merupakan item tingkat atas yang di incar banyak ahli. Shi Feng akan menangis sampai mati jika ada yang salah. Tanyangan Pasar Gelap Saat Kotak Ornamen Mewah perlahan-lahan terbuka, serangkaian cahaya warna-warni yang memesona keluar dari dalam. Untungnya, Shi Feng saat ini berdiri di dalam gang gelap; tidak ada pemain yang akan berkeliaran di sini. Kalau tidak, tontonan seperti itu akan menghasut keserakahan di hati mereka dan Shi Feng akan dibunuh dan dirampok. Ketika kecemerlangan sinar memudar, kalung perak sederhana dan cincin ungu-emas bisa terlihat terbaring di dalam Kotak Ornamen Mewah. Yang terukir di luar cincin itu adalah kata-kata yang menyerupai bahasa kuno Peri dan di dalamnya tersimpan kekuatan magis yang luar biasa. "Untunglah, itu Cincin Gravitasi." Shi Feng melepaskan napas ketika melihat penampilan cincin itu. Dengan hati-hati, dia mengeluarkan cincin itu dari kotak dan memeriksanya. (Cincin Gravitasi) (Peringkat Besi Misterius) Level Peralatan: 0 Kekuatan (STR) 2, Ketangkasan (AGI) 1, Daya Tahan (END) 1 Keterampilan Tambahan: ‘Pembebasan Grafitasi’. Mengurangi gravitasi yang bekerja pada pengguna. Durasi 30 detik. Masa Tenang 5 menit. "Hebat! Ini bukan hanya peringkat Perunggu." Setelah membaca pengantar item, Shi Feng menjadi sangat bersemangat. Situasinya jauh lebih baik dari yang dia duga. Peralatan dalam God's Domain dikategorikan ke dalam Sampah, Umum, Perunggu, Besi Misterius, Perak Rahasia, Emas Murni, Emas Gelap, dan Epik. Di awal permainan, pemain hanya menerima Peralatan Sampah dari Sistem. Peralatan ini sama sekali tidak berharga. Pada tahap permainan ini, bagaimanapun, tidak ada pemain yang memiliki Peralatan Umum. Meskipun Kamu dapat membeli Peralatan Umum di kota-kota besar, harganya mahal. Adapun peringkat Perunggu, itu sangat langka dan mereka juga datang dengan atribut tambahan. Peralatan Misterius-Besi, bagaimanapun, hanya turun dari Bos dan tak perlu dikatakan lagi mereka bahkan lebih berharga. Dalam kehidupan Shi Feng sebelumnya, Cincin Grafitasi yang diperoleh pemain hanya berperingkat Perunggu. Itu hanya memberi tambahan 1 poin untuk Kekuatan (STR). Skill ‘Pembebasan Grafitasi,’ juga, hanya bertahan selama 15 detik. Itu mengejutkan bagi Shi Feng bahwa menyelesaikan Misi di Level 0 akan memberinya Cincin Gravitasi Besi Misterius. Adapun kalung itu, itu hanya Item Abu-abu. Pedagang NPC menginginkan barang-barang ini dan mereka bersedia membelinya dengan harga tinggi. Setelah memakai Cincin Gravitasi, Shi Feng menambahkan 4 Poin Kemampuan Gratis yang datang dari naik level ke Ketangkasan (AGI). Ketangkasan Shi Feng naik menjadi 12 poin, Kecepatan Serangannya menjadi 5 poin, dan Kecepatan Gerakannya menjadi 6 poin. Dia hampir bisa menyaingi Ketangkasan (AGI) Pembunuh murni dari Level yang sama sekarang. "Ketangkasanku akan mencapai 20 poin setelah naik ke Level 3. Pada saat itu, Aku dapat membuka Keterampilan Dasar Tersembunyi dari Sistem Ketangkasan." Shi Feng memandang Panel Atributnya mengantisipasi. Shi Feng menggerakkan tubuhnya, merasakannya menjadi jauh lebih hidup dari sebelumnya. Dia tidak akan berada dalam keadaan menyesal sebelumnya jika dia berhadapan dengan walikota Cross, sekarang. Jika Ketangkasannya mencapai dua puluh poin, kondisi tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengaktifkan Keterampilan Dasar (Cepat dan Gesit); dia bahkan bisa menyaingi Ahli Wulin yang digambarkan dalam novel Wuxia. Setelah itu, Shi Feng menambahkan 15 Poin Penguasaan Gratis ke Penguasaan Pedang Satu Tangannya, menyimpan 5 poin sisanya untuk digunakan di masa depan. Dengan Penguasaan Pedang Satu Tangannya sekarang dengan total 20 poin, Shi Feng maju dari Praktisi ke Pendekar Pedang Dasar dan kerusakan tambahan yang ditangani dengan menggunakan pedang satu tangan meningkat menjadi 10%. Dia masih 30 Penguasaan Poin lagi sbelum menjadi Pendekar Pedang Menengah. Serangan biasa hanyalah dasar bagi Pendekar Pedang. Jika seseorang ingin menjadi ahli pedang, Keterampilan adalah hal yang harus dimiliki. Semakin banyak, semakin baik, karena ini akan menciptakan lebih banyak fleksibilitas ketika dalam pertempuran, sehingga memungkinkan Pendekar Pedang untuk mengeluarkan Kerusakan yang lebih besar. Shi Feng adalah seorang ahli pedang dan orang yang telah bereinkarnasi. Sekarang dia memiliki alat khusus seperti Cincin Grafitasi, dia butuh banyak Keterampilan Pendekar Pedang untuk menampilkan potensi sebenarnya dari Pendekar Pedang. Lalu dia bisa naik level dengan cepat. Jika tidak, mustahil untuk meningkatkan efisiensi membunuh monster dengan mengandalkan serangan biasa. “Aku ingat ada Tantangan Pasar Gelap di Area Perdagangan Kota Daun Merah. Pemain yang menyelesaikan tantangan untuk pertama kalinya akan dapat memperoleh buku keterampilan untuk Pendekar Pedang. ”Sebagian besar buku keterampilan jatuh dari monster di sekitar Level 3 hingga 5 dan tingkat penurunan mereka sangat rendah. Pada tahap permainan ini, masih belum ada pemain yang mampu menggilas monster-monster itu. Akan membuang waktu jika Shi Feng ingin mendapatkan buku keterampilan lain untuk Pendekar Pedang. Dia juga tidak punya waktu untuk itu. Jadi, Tantangan Pasar Gelap adalah satu-satunya cara bagi Shi Feng untuk segera mendapatkan buku keterampilan di kota Daun Merah. Area Perdagangan Kota Daun Merah Toko-toko memenuhi kedua sisi jalan. Ada apotek, pandai besi, bar dan banyak lagi; itu sangat berkembang, seperti pasar kecil. Namun, area perdagangan saat ini tidak semeriah seharusnya. Belum lama sejak God's Domain memulai operasinya, jadi sebagian besar pemain sibuk menaikkan level daripada menikmati apa yang ditawarkan God's Domain. Akibatnya, hanya ada sebagian kecil pemain Gaya hidup yang tinggal di sini. Mereka ada di sini untuk mempelajari Pekerjaan tambahan seperti Ahli sihir, Pandai Besi, Apoteker, Koki, Insinyur, Ahli Kimia, dll. "Membeli ramuan herbal dengan harga tinggi, hubungi Aku langsung jika ada." “Membeli bijih; penipu silahkan menjauh. " “Dengan tulus membeli peralatan peringkat tinggi. Harga bisa di tawar. Bersedia membayar dengan Kredit. " Banyak staf logistik dari Lokalkarya dan Persekutuan telah mendirikan sebuah kios kecil di tepi jalan Area Perdagangan. Mereka di sini untuk membeli barang dan peralatan. Shi Feng dengan cepat menuju ke sebuah bangunan bertingkat dua tanpa berhenti. Kurcaci berpangkat tinggi menjaga bangunan, dan di atas gedung tertulis 'Pasar Gelap'. Tempat ini adalah sisi gelap dari Kota Daun Merah dan itu adalah tempat hiburan yang dibangun oleh para kurcaci serakah. Rumah Lelang Kurcaci dapat dilihat tepat setelah memasuki Pasar Gelap. Turun di sepanjang tangga ruang bawah tanah mengarah ke dua bidang kosong; satu adalah Arena Pertempuran, sementara yang lainnya adalah medan untuk Tantangan balapan. Saat ini, beberapa pemain berdiri di depan lapangan. Mereka menerima tantangan para kurcaci. "Semoga berhasil! Kamu harus berhasil kali ini! ” "Semoga berhasil! Menginjak para kurcaci! ” Beberapa pemain saat ini bersorak dengan sekuat tenaga untuk pemain Pembunuh (Assassin) yang berdiri di lapangan. Mata mereka yang memerah membuat mereka terlihat tidak berbeda dari penjudi gila. Tantangan Balapan dapat dianggap sebagai tempat pengujian untuk kemampuan pemain. Begitu seorang pemain memasuki lapangan percobaan, semua Atribut mereka akan ditetapkan pada 10 poin, keterampilan mereka dinonaktifkan, dan peralatan mereka tidak berfunsi. Dalam bidang 30-meter-panjang dan 10-meter-lebar, pemain hanya diizinkan untuk memblokir atau menghindari tembakan masuk dari senapan kurcaci. Kemenangan akan terjadi setelah pemain tiba di titik akhir. Kurcaci memberikan tiga peringkat tantangan: Hadiah Tembaga, Hadiah Perak, dan Hadiah Emas. Setelah tantangan selesai, akan ada cooldown tiga hari. Ada biaya 5 Tembaga untuk Hadiah Tembaga, 5 Perak untuk Hadiah Perak, dan 5 Emas untuk Hadiah Emas. Secara alami, semakin tinggi peringkat tantangan, semakin besar hadiahnya. Bahkan ada kesempatan untuk mendapatkan Peralatan Emas Gelap. Namun, jika seorang pemain menjadi orang pertama yang menyelesaikan tantangan di Kota Daun Merah, Hadiah Tembaga mungkin sebanding bahkan dengan Hadiah Perak. Dalam kehidupan Shi Feng sebelumnya, yang menyelesaikan pertama kali diperoleh oleh Pendekar bernama Fierce Gale dan orang tersebut telah menerima buku keterampilan langka untuk Pendekar Pedang. Setelah beberapa saat, Pembunuh (Assassin) di lapangan dipukul. Tubuhnya terbaring di tanda 20 meter, masih sepuluh meter jauhnya dari titik akhir. "Sial. Sedikit lagi. Apakah kalian masih punya uang? Aku pasti akan menyelesaikannya di lain waktu," kata Assassin pria setelah bangkit dari lapangan. Seorang Pemimpim agama pria menggelengkan kepalanya berkata, “Bos kami berlima telah memberi semua uang kami. Kami tidak punya lagi." Di samping, Shi Feng mengalihkan pandangannya ke arah Pembunuh (Assassin). Dia terkejut setelah mendengar dua kata 'Stabbing Heart'. Tubuh orang itu ditutupi pakaian hitam. Dia bertubuh pendek dan kurus, seperti monyet. Shi Feng hampir tidak percaya bahwa 'monyet' di depannya adalah Stabbing Heart, Assassin yang berada di peringkat 10 Assassin terbaik di kota Bintang Bulan. Assassin yang bernama Stabbing Heart mengalihkan pandangannya ke Shi Feng. Setelah mengukur Shi Feng, matanya menunjukkan tatapan seolah-olah mereka baru saja menemukan mangsa. Sambil tersenyum, dia berjalan mendekati Shi Feng dan berkata, “Senang bertemu denganmu teman. Saya Stabbing Heart, Pemimpin Pasukan Assassin (Aliansi Assassin). Pinjamkan 5 tembaga kepada Aku dan Aku akan mengembalikan 20 tembaga kepada Kamu besok. Bagaimana dengan itu?” Stabbing Heart hanya berjarak sepuluh meter dari titik terakhir kali ini, jadi dia tidak mau menerima kekalahan. Dia sudah menemukan beberapa pola tantangan; dia akan bisa menyelesaikannya jika diberi kesempatan lain. Oleh karena itu, ia berpikir untuk menggunakan nama Aliansinya untuk mengejutkan dan membuat Shi Feng takjub agar meminjamkannya 5 tembaga. Aliansi Assassin adalah Persekutuan besar yang terkenal di dunia game virtual. Setiap gamer veteran akan tahu nama ini. Seseorang yang mampu menjadi pemimpin pasukan untuk Assassins jelas merupakan seorang ahli yang hebat, sosok yang dihormati oleh banyak pemain. Alih-alih meminjamkan uang, pemain rata-rata pasti hanya akan memberikan 5 tembaga untuk mendapatkan bantuan. "5 tembaga, kan?" Setelah berpikir sebentar, Shi Feng menjawab: "Aku dapat meminjamkan 5 tembaga, tetapi Kamu harus membayar kembali 50 tembaga besok." Stabbing Heart terkejut. Dia adalah Stabbing Heart, Pemimpin Pasukan Aliansi Assassin yang terkenal. Namun, reaksi tidak sopan Shi Feng benar-benar berbeda dari apa yang dia bayangkan. Mungkinkah Shi Feng adalah pemain pemula? Melihat Stabbing Heart tetap diam, Shi Feng bertanya, "Masih mau meminjam?" "Aku akan meminjam." Stabbing Heart ingin menangis. Pemain lain berkata 'Ahli, Ahli!' Ketika mereka bertemu dengannya, namun Shi Feng tidak menunjukkan reaksi seperti itu. Namun, ketika dia memikirkan tentang hadiah berlimpah yang menantinya, bahkan 50 tembaga sepadan. "Ini 5 Tembaga. Mari kita tambahkan satu sama lain sebagai teman. Jangan lupa mengembalikan 50 tembaga kepadaku besok." Shi Feng mengambil 5 tembaga dari 60 yang dia peroleh dari menjual kalung itu, tidak lupa mengingatkan Stabbing Heart untuk mengembalikan 50 tembaga. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Stabbing Heart menerima 5 tembaga dan berkata, “Baik. Aku tidak akan lupa." Tidak tahu apa yang dipikirkan Stabbing Heart, Shi Feng berjalan pergi setelah perdagangan selesai. Dia menuju ke arah kurcaci berkulit hijau yang merupakan administrasi dari tantangan balapan. “Tuan, waktu adalah uang. Bisnis apa yang Kau miliki?” Administrasi Kurcaci berkata demikian dengan nada tinggi. "Aku ingin mengikuti Tantangan Hadiah Tembaga," kata Shi Feng sambil menyerahkan 5 tembaga. Setelah membalik koin Tembaga beberapa kali, kurcaci mengangguk setuju. Dia membuka pintu kayu ke tantangan balapan, memungkinkan Shi Feng untuk masuk. “Hadirin sekalian, kami memiliki penantang baru di lapangan. Tolong biarkan kami menyambut pendekar pedang pemberani ini.” Kurcaci itu dengan keras mengumumkan. "Boss Stabbing Heart, anak yang meminjamkanmu uang berpartisipasi dalam tantangan balapan," Pemimpin Agama pria itu berkata. Stabbing Heart yang sedang istirahat itu dengan tertawa berkata, "Anak itu hanya pemula. Apakah menurutnya Tantangan Balapan begitu mudah? Meskipun jaraknya hanya 30 meter, pola serangan kurcaci akan berubah setelah Kamu melewati 15 meter dan tingkat serangan mereka sangat meningkat. Belum lagi, bahkan Aku memiliki kesulitan menghadapi mereka. " "Itu sudah pasti! Bahkan seorang ahli seperti Boss Stabbing Heart hanya bisa mencapai 20 meter. Aku menduga anak itu, paling banyak, akan mencapai lima meter sebelum selesai masuk." Ujar pria itu mengangguk sambil tersenyum. Di dalam lapangan, tiga kurcaci berdiri di garis finish menyiapkan senapan mereka, membidik Shi Feng. Di atas bidang tantangan, pengatur waktu mulai menghitung mundur. 3 …… 2 …… 1 …… Tantangan Mulai! Keterampilan Yang Menakjubkan Seketika hitungan mundur berakhir … Tubuh Shi Feng membungkuk ke depan dan kakinya ditekuk. Sama seperti macan tutul, ia berlari menjauh dari garis start dengan kekuatan penuh. wush! Pada saat suara tembakan senapan sudah mulai terdengar dan menembak ke arah garis start, Shi Feng sudah tiga meter jauhnya, dari garis start. Selanjutnya, tembakan senapan lainnya terdengar; total enam peluru ditembakkan ke arah jalan Shi Feng. Beberapa garis hijau yang menunjukkan lintasan peluru menutupi tubuh Shi Feng. Shi Feng akan menjadi saringan jika reaksinya tidak tajam. Tepat saat peluru akan mengenainya, Shi Feng menghindar ke kanan dengan langkah ke samping. Dia bergegas maju sekali lagi, setelah menghindari tembakan kedua. Selongsong peluru jatuh ke tanah secara konsisten ketika ketiga Kurcaci terus membidik dan menembak. Namun, Shi Feng menghindari mereka seperti macan tutul, sangat gesit. Sebab itu dia tetap selangkah di depan peluru membuatnya seolah-olah memiliki kendali atas mereka. "Tidak mungkin. Dia sudah berada di tanda 10 meter." Melihat Shi Feng yang hanya membutuhkan waktu kurang dari lima detik untuk mencapai tanda 10 Meter, Pemimpin Agama pria tidak bisa berkata-kata selain terkejut; itu hanya setengah dari waktu Stabbing Heart. Stabbing Heart menjadi bisu di samping. Dia diam-diam menyaksikan kemajuan Shi Feng. Dia awalnya menganggap Shi Feng sebagai pemula yang tidak dia kenal dan seseorang yang mengikuti Tantangan Balapan untuk bersenang-senang. Namun, kecepatan dan ketepatan Shi Feng yang baru saja ditampilkan sama seperti seorang veteran yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dalam tantangan balapan. Setiap langkahnya tepat dan efisien, sesuatu yang pasti tidak dapat dilakukan oleh pemula. Bahkan Stabbing Heart sendiri, setelah melalui tantangan beberapa kali, merasa dia tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Dia tidak berpikir bahwa Shi Feng bisa lebih kuat dari dia. Dia menjelaskan, “Dengan kegesitan seperti itu, mungkin pemula ini adalah seorang atlet atau seseorang yang terlatih dalam seni bela diri. Namun, para Kurcaci akan mengubah pola serangan mereka setelah melewati 15 meter. Dia tidak akan bisa menahannya, pada saat itu. " "Kamu benar, bos. Jika itu adalah seseorang yang tidak dikenal oleh Aliansi Assassin kami, dia jelas bukan ahli. Dia pasti akan terkejut setelah mencapai 15 meter. Lalu, dia akan berubah menjadi sarang lebah, yang penuh dengan lubang" "Benar. Setelah 15 meter, jumlah peluru yang ditembakkan adalah dua belas. Targetnya juga tidak akan lagi fokus pada satu titik. Melainkan tembakannya akan terfokus pada area yang luas. Menghindar ke kedua sisi tidak akan menjadi pilihan." Anggota Aliansi Assassin lainnya setuju dengannya. Mereka juga sudah menyaksikan pemandangan seperti itu sebelumnya, tujuh sampai delapan kali, pada saat itu. Stabbing Heart melewati 15 meter pada tantangan pertamanya. Namun, dalam tantangan berikutnya, jarak terjauhnya adalah 20 meter. Kesulitan setelah 15 meter jelas terlihat. "Dia melewati 15 meter," komentar seorang anggota Aliansi Assassin. Stabbing Heart dan yang lainnya dengan cepat memfokuskan pandangan mereka pada Shi Feng, ingin melihat kinerja Shi Feng. Di lapangan, ketiga Kurcaci menjadi marah setelah Shi Feng melangkah melewati garis 15 meter. Mereka tidak lagi membidik karena mereka menembakkan senapan mereka dengan liar. Tiba-tiba, indikator lintasan peluru dalam pandangan Shi Feng menutupi area yang luas. Hanya ada tiga peluru yang akan mengenai Shi Feng. Namun, itu sudah berakhir jika bahkan satu peluru mencapai sasarannya. "Akhirnya, dia menunjukkan perilaku tak tahu malunya?" Shi Feng mengungkapkan senyum acuh tak acuh. Menghunuskan Pedang Novice-nya, Shi Feng menggunakannya untuk menyambut peluru. Dalam kehidupan sebelumnya, Shi Feng selalu sibuk dengan misi dan naik level sebagai kapten Shadow; dia tidak punya waktu untuk bermain tantangan balapan. Namun, dia telah melihatnya beberapa kali, jadi dia masih memiliki pemahaman yang jelas tentang tantangan balapan ini. Dia tahu para kurcaci akan mengubah pola serangan mereka setelah garis 15 meter. Jarak lima belas meter dari Tantangan Balapan Pasar Gelap adalah bar yang menguji keterampilan pemain. Hanya mereka yang lulus dapat dianggap memiliki keterampilan khusus pada level tertentu. Namun, mayoritas pemain membutuhkan dua atau tiga bulan sebelum dapat mencapai level ini; minoritas membutuhkan waktu sebulan. Hanya ada sedikit ahli yang mampu melewatinya dalam satu percobaan. Stabbing Heart adalah salah satu dari sedikit ahli itu. Tiga peluru akan mengenai kepala, dada, dan lengan Shi Feng, tiga titik. "Seperti yang diharapkan, anak ini kurang beruntung. Peluru terlalu banyak dan terlalu menyebar. Dia sudah tidak bisa untuk menghindarinya. Dia bahkan berlari ke depan dengan nekad." Dia kasihan ketika dia melihat Shi Feng bergegas menuju peluru. Apakah dia pikir tantangan akan berlanjut jika dia hanya tertembak oleh satu atau dua peluru saja? Tepat saat itu, kepala Shi Feng bergeser. Dia melambaikan Pedang Novice-nya, menciptakan seberkas cahaya putih. Peng! Sebuah percikan telah dibuat. Shi Feng telah melambaikan Pedang Pemula di tempat yang tepat, dengan mudah mengenai peluru yang mengarah ke dadanya. Ancaman tiga peluru itu diatasi oleh Shi Feng. Dia, sekali lagi, telah maju bagian lain dari kejauhan. Namun, ketiga Kurcaci tidak berhenti menembak. Senjata di tangan mereka seperti senapan mesin, menembakkan peluru demi peluru. Dalam sekejap, Shi Feng berhadapan dengan lima peluru lagi. Ada juga peluru di sekitarnya yang mencegahnya menghindar. Dang! Dang! Dang! Shi Feng dengan cepat menggerakkan tubuhnya sambil melambaikan pedangnya untuk menangkis peluru yang tak terhindarkan. Ketika peluru melewati tubuhnya, telinganya bahkan bisa mendengar udara terbelah. Hanya tiga detik berlalu dan Shi Feng telah melewati tanda 20 meter. Dia hanya 10 meter jauhnya dari titik finish. "Gila. Bos, siapa anak ini? Dia benar-benar menggunakan pedangnya untuk memblokir peluru.” Ujar pria itu membelalakkan matanya karena terkejut. Shi Feng memberinya perasaan kaget yang tak terlukiskan. Meskipun lintasan peluru masih bisa terlihat, tetapi untuk memblokir peluru secara akurat sangat sulit unyuk dilakukan. Tindakan seperti itu membutuhkan ketelitian dan keterampilan yang luar biasa untuk dilakukan. Belum lagi, sedikit saja kesalahan akan mengakhiri tantangan. Tiba-tiba semua menjadi tidak bisa berkata-kata. Membelokkan peluru dengan senjata seperti berjalan di seutas kawat di langit; satu kesalahan langkah akan mengirim Kamu terjun ke jurang. Seolah-olah dia menikmatinya, Shi Feng memblokir peluru yang datang berulang-ulang. Padahal, peluru-peluru itu tampaknya memiliki kehidupan mereka sendiri, dengan sengaja menghindari tubuh Shi Feng saat mereka terbang melewatinya. “Bos, Pendekar Pedang itu berlari sejauh 25 meter. Dia pasti akan melewati garis finish pada tingkat ini." Jantung Pemimpin Agama pria itu menjadi kacau balau ketika dia menyaksikan Shi Feng menari dengan lincah, percikan api sesekali berkedip di depan tubuhnya. "Aku bisa melihatnya. Kamu tidak perlu mengingatkanku," Stabbing Heart berkata dengan jengkel. Dia sangat tertarik dengan tindakan Shi Feng. Saat Shi Feng melewati 25 meter … "Matilah kau." Salah satu Kurcaci di garis finish tertawa. Kurcaci mengeluarkan senapan otomatis, mengirimkan gelombang peluru ke arah Shi Feng. Tiba-tiba, jumlah peluru meningkat menjadi dua puluh empat. Tidak hanya itu, jarak mereka dari Shi Feng hanya 5 meter. Itu jarak yang tak terhindarkan bagi pemain. "Sial! Ini curang!" Shi feng bergumam dalam hati. Para pemain lain menjadi sangat gugup ketika mereka melihat adegan itu dan mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak memaki-maki Kurcaci yang tak tahu malu. Menghadapi hujan peluru, wajah Shi Feng dengan cepat berubah masam. Meskipun dia sudah tahu tentang perubahan kedua pada tanda 25 meter, tetapi dia tidak menyangka akan menghadapi begitu banyak peluru. Shi Feng menekuk lututnya, melompat ke depan seperti macan tutul. Dia melesat lebih dulu menuju ke area dengan jumlah peluru paling sedikit, mengurangi resiko tubuhnya terkena peluru. Setelah itu, dia dengan liar mengayunkan pedang Novicenya, secara bersamaan menciptakan empat garis cahaya putih. Peng! Peng! Peng! Peng! Setelah serangkaian percikan, tubuh Shi Feng melewati badai peluru. Saat tubuhnya hendak terjatuh, lengan bebasnya menekan ke bawah. Shi Feng dengan cepat berdiri dengan sekuat tenaga, bergegas melewati garis finish seperti sambaran petir. Total waktu yang dihabiskan: 14 detik. Diperkirakan catatan waktu 18 detik untuk hadiah Peringkat tembaga sudah jelas berada di genggaman. "Ng … Aku benar-benar tidak terbiasa dengan tubuh yang lembut dan lemah ini," Shi Feng sedikit mengeluh setelah melewati garis finish. Jika dia di atas Level 100, dengan kondisi tubuhnya, dia dapat dengan mudah melakukan empat tebasan pedang secara bersamaan dengan sangat mudah. “Hadirin sekalian, tepuk tangan meriah! Pendekar Pedang ini telah melewati tantangan!” Administrasi Kurcaci mengumumkan dengan keras. Sistem: Pemain adalah Orang yang pertama melewati Tantangan Peringkat Perunggu dan memecahkan rekor. Pemain memdapat hadiah dengan 1 Koin Perak dan buku Keterampilan Pendekar Pedang (Kilatan Petir). "Tidak mungkin. balapan Ini benar-benar memberikan keterampilan super-langka, Kilatan Petir. Ini adalah keterampilan yang bahkan tidak bisa didapatkan oleh Pendekar Pedang dari Level 100," Shi Feng berpikir dia berhalusinasi. Namun, dia terkejut ketika dia melihat buku keterampilan Kilatan Petir di dalam tasnya. (Kilatan Petir) (Tipe Aksi) Membutuhkan: Pedang Cepat kirim tiga lampu pedang ke 10- x 2 meter ke depan. Setiap pukulan akan menyebabkan kerusakan 130% dan juga memberikan efek Penigkatan kerusakan, memperkuat kerusakan serangan Kamu berikutnya sebesar 20% selama 15 detik. Masa Tenang: 30 detik Tanpa berpikir dua kali, Shi Feng mengklik dan mempelajari keterampilannya. Pendekar pedang adalah Pekerjaan yang berfokus pada memberikan kerusakan pada target tunggal; itu tidak memiliki banyak keterampilan AOE yang kuat. Kilatan Petir adalah salah satu dari beberapa keterampilan AOE kuat yang dimiliki Pendekar Pedang. Jika itu dipelajari selama periode awal, itu pasti akan membuat celah besar dari Pendekar Pedang lainnya. Setelah mempelajari Kilatan Petir, Shi Feng mulai merasa dirinya mendapatkan bakat sebagai Pendekar Pedang. “Kalian terus bermain; Aku akan pergi dulu. Jangan lupakan 50 Tembagaku." Shi Feng memandang ke arah mereka yang tercengang, meninggalkan Pasar Gelap setelah memanggil mereka. Dengan keadaan yang tercengan dan kaget mereka mengangguk. "Bos, dia pergi. Dia juga mengambil hadiahnya. Haruskah kita mengejarnya?” Tanya si Pemimpin Agama itu. Dia menatap Pemimpin Agama itu dan memarahinya, “Apakah kamu idiot? Kita akan beruntung jika kita bisa menjelajah dengan ahli pedang seperti itu. Membuatnya menjadi musuh? Apakah Kamu mencari mati?" "Sial. Aku harus mengatakan ini kepada Ketua lokalkarya. Untungnya, Aku menambahkannya sebagai teman. Apakah dia dipanggil Ye Feng? Aku tidak percaya Aku belum pernah mendengar ahli seperti itu. Mungkinkah dia ahli pedang yang menyamar?” Stabbing Heart mengakui bahwa dia tidak bisa melewati tantangan dengan cara yang luar biasa. Terutama pertarungan terakhir setelah tanda 25 meter; itu curang. Tidak mungkin bagi pemain untuk memblokir atau menghindar. Namun, Shi Feng telah melakukannya. Di Area Perdagangan, Shi Feng bertemu dengan Ahli Racun Kevin. Dia menghabiskan 120 tembaga membeli 20 (Berry Peledak), langsung mengurangi kekayaannya menjadi 30 tembaga. Namun, dia masih menghabiskannya, semua untuk manaikan level dengan kecepatan roket. Shi Feng mengambil Berri Peledak dan meninggalkan Kota Daun Merah, berlari ke barat. Pada saat itu, semua pemain berada di Level 0, dan mereka semua membunuh monster Level 0 di sekitar Kota Daun Merah. Ada juga beberapa dengan teknik yang baik membunuh Bayi Serigala Level 1 di sebuah pesta. Prajurit tank di depan dan dealer kerusakan dan tabib di belakang, bertarung bersama dengan tertib. Meskipun EXP dibagi antara beberapa orang, efisiensinya jauh lebih tinggi dan ada lebih sedikit pesaing. Namun, Shi Feng tidak berencana untuk bersaing dengan orang-orang ini. Melewati area monster Level 1, diikuti oleh area monster Level 3, Shi Feng langsung menuju ke Hutan Daun Merah, area monster Level 5. Tidak ada pemain yang akan pergi ke sana. Masih belum ada pemain yang berani menantang monster Level 5 pada tahap ini. Tidak hanya ada penindasan karena perbedaan level tetapi ada juga perbedaan yang signifikan dalam HP dan Kekuatan serangan. Monster Level 5 bisa dengan mudah mengalahkan pemain Level 1. Bahkan dengan tim 6 orang pun bukan tandingan monster Level 5. Ada penalti berat setiap kali seorang pemain meninggal. Tidak hanya mereka akan kehilangan seluruh level EXP, tetapi kemahiran keterampilan mereka juga akan berkurang. Tidak ada pemain yang mau mengambil risiko. Kalau tidak, berjam-jam EXP dan Kemahiran mereka yang diperoleh dengan susah payah akan menjadi sia-sia. Meratakan Dengan Mudah Hutan di bagian barat kota Daun Merah terdiri dari pohon maple yang indah. Monster Level 5 berkeliaran di sekitar hutan. Untuk pemain di bawah Level 3, ini adalah area berbahaya. Shi Feng, juga, bukan tandingan monster Level 5 ini, meskipun dia telah mencapai Level 1. Namun, Shi Feng berlari ke Hutan Daun Merah tanpa ragu-ragu. Dengan hati-hati, dia maju ke bagian dalam hutan. Serigala Hutan Level 5 bisa terlihat berpatroli di sekitar hutan dari waktu ke waktu. Shi Feng saat ini hanya Level 1. Jika dia tidak berada pada jarak yang cukup jauh dari mereka, hidung sensitif Serigala Hutan akan menciumnya. Serigala Hutan Level 5 memiliki 400 HP. Dan juga memiliki Kekuatan Serangan yang tinggi. Hanya perlu dua gigitan dari serigala agar 120 HP milik Shi Feng hilang tak tersisa. Satu-satunya pilihan Shi Feng adalah untuk diam-diam menghindari Serigala Hutan, mengambil jalan memutar. Selain dari Serigala Hutan, Shi Feng juga bertemu dengan Anak Beruang yang menggemaskan. Anak-anak Beruang itu meraba-raba dan terguling-guling di dataran berumput, memberikan tampilan polos dan imut. Namun, mereka masih monster Level 5, dan mereka dibenci oleh pemain jarak dekat. Ini karena HP dan Pertahanan mereka yang tinggi, membuat pertarungan dengan Anak Beruang sangat melelahkan. Saat Shi Feng menggunakan pohon untuk melewati seekor Anak Beruang, dia mendengar suara serigala datang dari belakangnya. "Sial! Sarang serigala!” Bahkan orang setenang Shi Feng tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Dalam kehidupan sebelumnya, banyak pemain datang di Hutan Daun Merah. Sebagian besar dari mereka adalah Level 4 atau 5. Selain menggiling sejumlah besar monster, alasan utama para pemain datang ke sini adalah karena banyaknya harta rampasan. Buku keterampilan, bahan pengerjaan kulit, dan peralatan adalah contohnya. Ada juga sejumlah besar tumbuhan dan bijih yang dapat diperoleh di hutan. Namun, satu kecelakaan masih bisa menyebabkan penghapusan tim di Hutan Daun Merah. Salah satu bahaya yang menyebabkan situasi seperti itu adalah sarang serigala. Sarang serigala disembunyikan dan sulit disadari. Jika para pemain tidak memperhatikan dengan seksama, sekumpulan Serigala Hutan akan menerkam begitu para pemain memasuki area sarang serigala. Mungkin akan ada 3 sampai 5 serigala; jika lebih, 6 hingga 8. Itu adalah jebakan yang efektif. Keberuntungan Shi Feng buruk. Tiba-tiba, 7 Serigala Hutan bergegas keluar dari sarang; daging di tubuh Shi Feng tidak cukup untuk mereka bagikan. Kecepatan Serigala Hutan itu cepat, tapi Shi Feng juga tidak lambat. Dengan semua poin atributnya masuk ke Ketangkasan (AGI), Movement Speednya berada di 6 poin. Dia masih Pendekar level 1. Bahkan jika dia adalah pemain dengan Ketangkasan (AGI) murni, kecepatannya masih lebih lambat dari Serigala Hutan. Melihat serigala mengejar, Shi Feng tidak peduli ketika dia mengaktifkan keterampilan menyelamatkan nyawa, 'Pembebasan Gravitasi'. Shi Feng tiba-tiba merasakan tubuhnya menjadi seringan bulu. Kecepatannya meningkat dengan lompatan besar, dengan mudah mengibas serigala hutan di belakangnya. Pada akhirnya, monster biasa tetap monster biasa. Mereka menyerah setelah mengejar pada jarak tertentu, memungkinkan Shi Feng mempertahankan hidupnya. Setelah berlari selama lebih dari sepuluh menit, Shi Feng tiba di berbagai gunung dan bukit. Beberapa gunung berdiri lebih dari seratus meter, terletak di wilayah tengah Hutan Daun Merah. Puncak gunung dikelilingi oleh awan dan kabut, menciptakan pemandangan tanah abadi. "Akhirnya tiba." Shi Feng memandang ke arah gunung yang menjulang tinggi dan sekitarnya. Dan menemukan air terjun, dia berjalan ke sana. Dalam kehidupan sebelumnya, sebagian besar pemain di atas Level 20 dengan atribut mereka yang tinggi. Mereka bisa melakukan lebih dari yang bisa mereka lakukan sementara mereka level rendah. Banyak yang suka menjelajahi berbagai tempat di God's Domain. Wilayah tengah Hutan Daun Merah adalah salah satu tempat yang terkenal, jadi Shadow Workshop telah mengirim sekelompok kecil Assassin (Pembunuh) untuk menyelidikinya. Mereka tidak akan pernah berpikir untuk menemukan gunung harta di sana. Di salah satu gunung, mereka menemukan banyak barang: bijih langka, tumbuhan, dan bahkan Peti Harta Karun. Di puncak gunung, ada Peti Harta Karun Perak Rahasia. Ada banyak tempat rahasia di belantara God's Domain. Sebagian besar tempat ini menampung Peti Harta Karun, menunggu untuk ditemukan oleh para pemain. Item di dalam Peti Harta sangat bervariasi, mulai dari Koin Tembaga hingga Peralatan Emas Gelap. Kualitas Peti Harta dapat dikategorikan menjadi Umum, Perunggu, Misterius-Besi, Perak Rahasia, Emas Murni, dan Emas Gelap. Namun, jarahan dari Peti Harta Karun bisa menyaingi barang yang di jatuhkan monster Elite. Belum lagi seberapa bagus hasil rampasan dari Peti Harta Karun Perak Rahasia. Peti Harta Karun Perak Rahasia ini dengan cepat memungkinkan Shadow menjadi Lokalkarya terkenal di Kota Sungai Putih. Ini memungkinkan Shadow untuk mengumpulkan cukup banyak uang selama periode awal permainan. Lebih dari sekadar peralatan, Peti Harta Karun Perak Rahasia memiliki resep rahasia untuk farmasi dan Desain Tempa. Dalam God's Domain, tingkat jatuhnya resep farmasi bahkan tidak sampai sepuluh ribu Banding satu; itu bahkan lebih rendah untuk Desain Tempa. Kamu bisa membuat peralatan peringkat Perunggu menggunakan Desain Penempaan, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh pemain. Dengan itu, menghasilkan uang akan menjadi sesuatu yang mudah. Rencana Shi Feng untuk mendapatkan 16.000 Kredit dalam sepuluh hari semuanya tergantung pada Desain Penempaan. Jadi secara alami, dia tidak akan meninggalkannya untuk lokalkarya Shadow. Namun, pemain level rendah tanpa 40 Ketangkasan (AGI) tidak dapat mengaktifkan Kemampuan Dasar Tersembunyi (Langkah Terbang). Tanpa itu, mereka tidak punya cara untuk mendaki gunung berbatu. Juga tidak ada jalan setapak yang mengarah ke gunung, meninggalkan panjat tebing sebagai satu-satunya pilihan. Meskipun Shi Feng tidak memiliki empat puluh poin di Agility, dia memiliki Cincin Gravitasi. Dia masih bisa mendaki gunung setelah mengaktifkannya. Shi Feng dengan mudah mendaki gunung setelah mengaktifkan Pembebasan Gravitasi. Dia sudah 5 meter setelah beberapa saat. Ketika Pembebasan Gravitasi tersisa 5 detik, Shi Feng menemukan tempat untuk beristirahat sambil menunggu masa tenang Pembebasan Gravitasi. Tidak lama setelah Shi Feng duduk, dinding batu tiba-tiba bergetar. Raksasa Batu muncul dengan semburan raungan. (Raksasa Batu) (Monster Biasa) Level 5 HP 550 "Itu sangat cepat." Shi Feng sudah lama siap ketika dia melihat Raksasa Batu berjalan. Dia mengeluarkan Berry Peledak dari tasnya dan melemparkannya ke arah kaki Raksasa Batu; jus berwarna oranye lengket meletus di tanah. Sebagai monster Level 5, Raksasa Batu memiliki Kekuatan Serangan,HP dan Pertahanan yang sangat tinggi. Namun, monster itu memiliki Kecepatan Serangan dan waktu reaksi yang rendah. Laju berbalik tubuhnya bahkan lebih lambat. Seorang pemain hanya membutuhkan 20 poin Ketangkasan (AGI) untuk bermain-main dengan Raksasa Batu dengan mudah. Ada banyak Assassin(Pembunuh) yang suka berurusan dengan monster bodoh seperti itu. Mereka bisa dengan mudah dibunuh tanpa membuang satu HP pun. Meskipun Shi Feng tidak memiliki 20 Agility, dia memiliki Berry Peledak. Masing-masing memiliki area efektif 3 x 3 meter, mengurangi Kecepatan Gerakan sebesar 30%, dan mengubah kecepatan sebesar 70% selama satu menit. Itu adalah alat yang cocok digunakan untuk melawan monster bodoh. Dua bulan setelah God's Domain dimulai, banyak pemain akan menggunakan metode seperti itu untuk membunuh monster berlevel tinggi yang bergerak lambat. Namun, monster yang bergerak lambat seperti itu ada dalam jumlah terbatas di God's Domain, jadi menggiling mereka untuk meningkatkan level dengan cepat tidaklah mungkin. Kecepatan Raksasa Batu itu berkurang tajam setelah terkena ledakan Berry Peledak. Shi Feng mengeluarkan Pedang Novice dan bergegas menuju punggung Raksasa Batu, dan menebasnya. Di atas kepala Raksasa Batu, tiga titik kerusakan muncul. Itu adalah kerusakan yang hampir tidak disebutkan jika dibandingkan dengan 550 HP-nya. Rock Giant juga meregenerasi 1% dari HP-nya setiap 5 detik; itu adalah 5,5 HP setiap 5 detik. Sangat menantang untuk membunuhnya dalam satu menit. Raksasa Batu mencoba untuk berbalik ketika Shi Feng menyerangnya. Namun, kecepatan berbalik tubuhnya lambat. Sekarang ada pengurangan kecepatan extra 70%, itu sangat lambat. Shi Feng menyerang dua kali lagi, menindaklanjuti dengan yang lain (Tebasan), menyebabkan serangkaian -3, -3, -6 muncul. Efek Tebasan tidak terlalu bagus karena penekanannya. Namun, karena Raksasa Batu 4 level lebih tinggi, ada bonus tambahan terhadap Keterampilan Kecakapan. Ditambah dengan salah satu Bakat alami Pendekar Pedang, satu penggunaan telah meningkatkan SP (Skill Poin) Tebasan sebesar 3 poin. Ini adalah lokasi yang cocok untuk meningkatkan Keahlian Keterampilan. Setelah serangkaian masalah, Raksasa Batu berbalik untuk menghadapi Shi Feng. Namun, Shi Feng tidak memberikan kesempatan, dengan cepat berputar ke punggungnya di mana dia terus menyerang. Kilatan Petir! Tiba-tiba, satu cahaya pedang menyebabkan 4 kerusakan, diikuti oleh yang lain yang menghasilkan 5 kerusakan, dan yang terakhir yang menghasilkan 7 kerusakan. Setelah ketiga rentetan Petir mencapai sasarannya, SP (Skill Poin) Kilatan Petir meningkat 3 poin. Beberapa tebasan lagi mengikuti. Serangkaian kerusakan -4, -4, -4 dihasilkan. Meskipun setiap serangan hanya memiliki peningkatan 1 kerusakan, kerusakan total masih akan besar. Meskipun efek dari Kilatan Petir hanya bertahan selama lima belas detik, itu telah sangat menambah kecepatan membunuh Raksasa Batu. Pertempuran bisa berakhir dalam satu menit sekarang, menyimpan Berry Peledak yang berharga. Bahkan jika Raksasa Batu memiliki HP dan serangan yang tinggi, itu tidak berbeda dengan boneka latihan jika itu tidak dapat memukul Shi Feng. Itu hanya memberi Shi Feng EXP dan SP. Keahlian Keterampilan tidak bisa ditingkatkan hanya dengan menggunakan keterampilan. Saat menggunakannya pada monster dengan level yang sama, ada peluang 20% ​​untuk meningkatkannya dengan satu poin. Untuk monster dari level yang lebih tinggi, ada peluang 40% jika itu adalah satu level lebih tinggi, 70% untuk dua level, 100% untuk tiga level, 150% untuk empat level, dan 200% untuk lima level. Batas maksimum adalah 200%. Sekarang Shi Feng membunuh Raksasa Batu Level 5, SP-nya meningkat beberapa kali lipat dari yang lain. Tidak satu menit pun berlalu sebelum Raksasa Batu akhirnya jatuh. Sistem: Level 5 Raksasa Batu terbunuh. Perbedaan level 4. EXP yang diperoleh meningkat 400%. Memperoleh 120 EXP. Bilah EXP Shi Feng bertambah satu potong. Dia sekarang 880 EXP jauh dari Level 2. Itu berarti dia harus membunuh 8 Raksasa Batu lagi untuk mencapai Level 2. Gunung-gunung di wilayah tengah ini adalah tempat yang bagus untuk naik level dan mencari harta karun. Sayangnya, dua bulan telah berlalu baru orang menemukan mereka. Shi Feng menggeledah tubuh Raksasa Batu setelah membunuhnya, memperoleh (Bijih Perunggu). Itu adalah bahan yang digunakan untuk membuat Peralatan Perunggu. Dia juga memperoleh sepotong (Batu Keras). Selanjutnya, Shi Feng mencari di sekitar tanah kosong. Beberapa saat kemudian ia menemukan ramuan langka yang disebut (Bunga Ratusan Jiwa). Itu adalah salah satu bahan inti yang digunakan untuk membuat (Ramuan Regenerasi Dasar). Tepat saat dia mendekatinya, Raksasa Batublain muncul. Shi Feng melempar Berry Peledak lainnya. Kilatan Petir! Tebasan! Hanya dalam waktu singkat, Shi Feng memperoleh Batu Keras lain, 120 EXP dan sejumlah besar SP (Skill Poin). Shi Feng terus mendaki ketika masa tenang Cincin Gravitasi selesai. Dalam perjalanannya, dia mencari ramuan langka sambil membunuh Raksasa Batu. Setelah jatuhnya Raksasa Batu ke-8, Shi Feng menjadi Level 2. Dia menambahkan semua poinnya ke Ketangkasan (AGI), hingga mencapai 16 poin. Dia hanya berjarak 4 poin dari membuka kunci (Cepat dan Gesit). SP untuk Tebasan juga telah mencapai 300 poin, meningkatkan keterampilan ke Level 2; level selanjutnya membutuhkan 600 SP. Keterampilan itu sekarang meningkatkan kerusakan sebesar 12 poin, dan masa tenangnya berkurang 1 detik. Para pemain lain akan menjadi gila jika mereka tahu tentang kecepatan naik level Shi Feng. Sedangkan untuk naik dari Level 1 ke 2, paling tidak, melakukan itu akan membutuhkan tujuh atau delapan jam. Shi Feng menghabiskan kurang dari dua puluh menit untuk mencapai Level 2. Kecepatan naik levelnya seperti peluncuran roket. Shi Feng berjalan menuju Raksasa Batu yang mati dan menggeledahnya. "Sepertinya keberuntunganku tidak buruk sama sekali. Raksasa Itu bahkan menjatuhkan peralatan.” Shi Feng menemukan sepotong baju indah, meskipun dia agak kecewa. (Baju Indah) (Peralatan Umum) Level 4 Pertahanan 3 Kekuatan Sakti 10 Daya tahan 20/20 God's Domain baru saja mulai beroperasi. Tingkat drop peralatan sangat rendah. Peralatan Umum sangat jarang, terutama Peralatan Umum Tingkat 4. Pasti ada seseorang yang akan membelinya dengan harga tinggi. Shi Feng menyimpan peralatan itu ke dalam tasnya. Saat dia hendak melanjutkan perjalanannya ke atas, dia tiba-tiba melihat sebuah gua tidak jauh di depan. Ketika dia berjalan untuk memeriksa, detak jantung Shi Feng bertambah cepat. Shi Feng melihat Raksasa Batu besar sedang tidur di dalam gua. Seluruh tubuhnya terbuat dari batu keperakan, berbeda dari yang berwarna abu-abu normal. (Shrews) (Elite Khusus) Level 6 HP 900 Elit khusus jauh lebih kuat daripada Elit Biasa. Monster Elite biasa bisa memusnahkan 6 pemain dengan level yang sama. Namun, Elite Khusus membutuhkan dua belas pemain dengan level yang sama untuk dihadapi, bahkan mungkin lima belas pemain. Itu berarti Shrews membutuhkan lima belas pemain Level 6 yang bekerja sama untuk membunuh. Namun, Shi Feng bergegas maju tanpa ragu-ragu. Dia menggunakan Kilatan Petir dangan segera, menyebabkan sinar demi sinar dari petir memotong tubuh besar Shrews. Kerusakan -1, -2, -3 muncul di atas kepala Shrews. Membunuh Shrews Meskipun kerusakan yang diberikan oleh Shi Feng dapat diabaikan, Shrews tetap terbangun dari tidur nyenyaknya. Siapa pun akan marah ketika mereka tiba-tiba terbangun. "Aku akan meratakanmu, manusia lemah!" Shrews berteriak. Seluruh gua bergetar saat Shrews berdiri. Dengan langkah raksasa, Shrews berjalan menuju Shi Feng. Tidak memberi Shrews kesempatan, Shi Feng mengeluarkan Berry Peledak dan melemparkannya di depan jalur yang di lalui Shrews. Kecepatan selalu menjadi kelemahan Raksasa Batu. Tidak ada pengecualian bahkan untuk Elite Khusus. Shrews hanya memiliki ukuran lebih besar, Serangan lebih kuat, dan lebih banyak metode serangan. Meskipun Kecepatan ​​Gerak dan Kecepatan Serangan sedikit lebih cepat, di bawah efek Berry Peledak, dia masih selambat kura-kura. Di sisi lain, Kecepatan Gerakan dan Kecepatan Serangan Shi Feng sangat cepat karena 16 Poin Ketangkasannya. Shi Feng segera berputar ke punggung Shrews dan memulai serangan ganasnya. Serangkaian kerusakan muncul di atas kepala Shrews. -2, -2, -2, -2 …… Mereka diikuti oleh Tebasan lain yang memberikan 6 kerusakan. Tak bisa dipungkiri, Shrews memiliki Pertahanan yang menakutkan. Bahkan dengan kerusakan yang diperbesar dari Kilatan Petir, Level 2 Tebasan hanya memberikan 6 kerusakan. Tebasan Level 1 mungkin hanya akan menghasilkan 4 kerusakan. Shrews baru berbalik setelah menerima serangkaian serangan. Itu mengangkat kakinya yang seukuran gunung dan menginjak ke bawah, menuju Shi Feng. Sebagai orang yang bereinkarnasi, Shi Feng telah mengalami pertempuran yang tak terhitung jumlahnya di God's Domain. Dia tidak mengalami kepanikan sedikitpun ketika berhadapan dengan Shrews. Dengan satu langkah, Shi Feng dengan gesit menghindar ke belakang Shrews, menghindari serangan lamban Shrews. Shi Feng kemudian melanjutkan dengan serangkaian sayatan gila. Ketika lima detik berlalu, Shrews meregenerasi 18 HP, meninggalkannya dengan sisa 886 HP. Setengah dari upaya Shi Feng sia-sia dalam sekejap. Dibandingkan dengan yang umum, monster Elite atau lebih akan meregenerasi 2% dari HP mereka setiap 5 detik selama pertempuran. Shrews memiliki 900 HP, jadi 18 HP setiap 5 detik. Regenerasi ini telah melampaui kerusakan yang bisa ditangani Shi Feng menggunakan serangan normal. Meski begitu, Shi Feng masih dengan tenang mengayunkan pedangnya, terus mengurangi HP Shrews. Pemain biasa akan menyerah ketika melihat HP dan regenerasi yang begitu tinggi. Shi Feng tidak akan melakukannya. 16 poin Ketangkasan (AGI) memungkinkan Shi Feng menghindari dan menyerang dengan mudah. Kecepatan Serangannya yang tinggi juga memungkinkan kerusakan yang dia berikan untuk mengurangi regenerasi Shrews sepenuhnya. Namun, membunuh Shrews membutuhkan waktu yang lama. Itu sangat membosankan, hanya menghindari dan menyerang dengan gila-gilaan. Mengatasi serangan yang kuat sangat melelahkan, baik secara fisik maupun mental. Dengan setiap detik berlalu HP Shrew terus menurun. Lima belas detik kemudian … Setelah efek Kilatan Petir menghilang, kerusakan yang disebabkan oleh Shi Feng berkurang tajam. Setiap serangan pedangnya hanya menghasilkan 1 kerusakan, dan Tebasan hanya mengambil 4 HP dari Shrews. Shi Feng segera jatuh ke dalam pertempuran yang sengit. 5 detik lagi berlalu, dan Shrews sekali lagi meregenerasi 18 HP. Namun, Shi Feng hanya memberikan 17 kerusakan dalam 5 detik itu. Itu bahkan tidak cukup untuk mengganti regenerasi Shrews. Shi Feng mengerutkan alisnya. Seperti yang diduga, sulit untuk membunuh Shrews. Itu hanya akan sia-sia tanpa kerusakan yang cukup. Apakah Aku menyerah? Sama seperti Shi Feng berpikir begitu … "Aku ingin meratakanmu!" Shrews meraung ketika dia menginjak kakinya. Tiba-tiba, seluruh gua bergetar. Stalaktit tajam jatuh dari langit-langit gua satu demi satu, menutupi seluruh gua. "Dia bahkan memiliki keterampilan penghapusan tim?" Melihat situasi yang buruk, Shi Feng bergerak cepat menjauh dari sisi Shrews, menghindari stalaktit yang jatuh. Stalaktit terus menerus jatuh dalam jumlah besar. Kecepatan mereka juga cepat. Jika sebuah tim datang ke ruang sempit ini, tidak akan ada tempat untuk menghindar. Mereka pasti akan dihabisi. Jika bukan karena tubuh lincah dan area yang agak luas, Shi Feng akan sulit untuk menghindari batu yang jatuh ini. Shrews memperlihatkan ekspresi lelah setelah menggunakan keterampilan yang kuat. Mata Shi Feng bersinar; dia dengan cepat bergegas ke depan. Kilatan Petir! Tebasan! -4, -5, -6, -10. Tiba-tiba, serangkaian kerusakan yang mengerikan disebabkan. Keadaan (kelelahan), itu adalah periode kelemahan yang muncul setelah Bos menggunakan keterampilan yang kuat. Dalam kondisi ini, Boss akan memiliki Attack dan Defense yang sangat berkurang. Dengan kondisi Kelelahan ini, Shi Feng bisa melihat harapan membunuh Shrews. Shi Feng mengambil kesempatan untuk menyerang dengan lebih kuat lagi. -4, -4, -4 … Setiap serangan pedang mengambil 4 HP sementara Shrews berada di bawah kondisi Kelelahan dan amplifikasi Kerusakan. Selama periode yang melemah ini, regenerasi Shrews juga turun menjadi 1%. Pada saat Shrews kembali ke keadaan normalnya, Shi Feng sudah mengambil 15% HP Shrews. Pertempuran selanjutnya dipenuhi dengan kegigihan. Shi Feng berulang kali menyerang untuk menebus regenerasi Shrews. Setiap 30 detik, ia akan menghasilkan ledakan kerusakan dengan Kilatan Petir. Setelah itu, dia akan menunggu Shrews menggunakan gerakan langkah besarnya lagi. Keterampilan penghapusan tim ini adalah mimpi buruk bagi para pemain. Namun bagi Shi Feng, itu adalah kesempatan. Seperti yang diharapkan, Shrews akan kembali menggunakan langkah besarnya setelah periode waktu tertentu. Shi Feng mengambil kesempatan ini untuk mengambil 16% dari HP Shrews. Waktu berlalu sedikit demi sedikit. Setelah menggunakan 5 Berry Peledak, Shrews memiliki 32% HP yang tersisa. Ketika Shrews mengaktifkan langkah besarnya sekali lagi, Shi Feng mengambil 16% dari HP-nya. Shrews dengan cepat dibiarkan dengan 16% HP tersisa. Sama seperti HP Shrews yang turun menjadi 15%, perubahan mendadak terjadi. Tubuh Shrews terus menyusut, Serangan dan pertahanannya juga berkurang. Namun, Kecepatan Gerakan dan Kecepatan Serangannya terus meningkat. Perubahan ini sangat tidak menguntungkan bagi Shi Feng. Meskipun Berry Peledak masih digunakan, serangan Shrews menjadi lebih cepat. Dia hampir mendaratkan pukulan pada tubuh Shi Feng. Shi Feng hanya Level 2. Bahkan jika Kekuatan Serangan Shrews telah berkurang, satu pukulan saja sudah cukup untuk mengakhiri Shi Feng. Jika Shi Feng meninggal, dia akan kehilangan level dan banyak Keahlian Keterampilan; itu bukan sesuatu yang dia lihat terjadi. "Berjuang!" Kilatan dingin melintas di mata Shi Feng saat dia mengaktifkan Pembebasan Gravitasi. Tiba-tiba, menghindar menjadi mudah. Mustahil untuk dengan mudah menyerah pada Elite Khusus dengan hanya 15% HP yang tersisa. Shi Feng terus berputar-putar dan dengan gila memotong pedangnya pada Shrews. Setiap pukulan menghasilkan 3 kerusakan, perlahan-lahan mengurangi HP Shrews. 14% … 10% … 9% … 8% … 5% … Durasi Pembebasan Gravitasi menjadi lebih pendek dan lebih pendek. Ketika hanya ada 7 detik tersisa, Shrews masih memiliki 5% dari HP-nya. Shi Feng pasti akan menggunakan satu kesempatan segera setelah Pembebasan Grafitasi berakhir. Cepat! Cepat! Cepat! Mata Shi Feng berubah merah darah saat pedangnya menyerang semakin cepat. Sama seperti Shrews yang hanya memiliki 10 HP yang tersisa, Pembebasan Gravitasi berakhir …… Kecepatan Shi Feng turun tajam. Seringai dingin seperti manusia muncul di wajah Shrews saat dia menghantamkan tinjunya yang seperti batu pada Shi Feng. "Mati!" Masa Tenang dari Kilatan Petir akhirnya selesai. Kilatan Petir! Dalam sekejap, tiga garis cahaya melewati tubuh Shrews. -4, -5, -6. 10 HP terakhir Shrews diambil. Boom! Shrews berubah menjadi tumpukan puing. Sistem: (Elite Khusus) Shrews terbunuh. Perbedaan Level 4. EXP yang diperoleh meningkat 400%. Memperoleh 940 EXP. Bar pengalaman Shi Feng tiba-tiba naik sebesar 27%, mendorongnya selangkah lebih dekat ke Level 3. Setelah membunuh Shrews, Shi Feng memeriksa di tumpukan puing. Tetesan Elite Khusus jauh lebih baik daripada Elite normal. Shi Feng memperoleh peralatan, buku keterampilan, dan 16 tembaga. “Hadiah untuk menantang level yang lebih tinggi tentu lebih baik. Bahkan Perisai Perunggu jatuh. Aku pasti bisa menjualnya dengan harga tinggi. Akan sangat bagus jika Aku bisa menggilingnya beberapa kali lagi. '' Shi Feng memandangi perisai biru berbentuk salib di tangannya. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa kelompok akan membayar harga tinggi untuk perisai ini. (Perisai Batu-Besi) (Peringkat Perunggu) Persyaratan Peralatan: Kekuatan 8 Level Peralatan: 5 Pertahanan 21 Tingkat Pertahanan 23% Kekuatan 2, Daya Tahan 4 HP 30 Perisai dapat dianggap berkualitas tinggi dengan atribut seperti itu. Ketika dilengkapi, perisai akan sangat meningkatkan Pertahanan. HP juga akan ditingkatkan 110 poin; ini setara dengan sepertiga dari HP kelas Prajurit level 5. Menggunakannya untuk menyelam ke Dungeon Level 5 sudah lebih dari cukup. Bahkan bisa digunakan untuk menyelam ke Dungeon level 8. Buku keterampilan juga bagus. Itu adalah keterampilan yang bisa digunakan oleh semua Pekerjaan petarung jarak dekat, (Tangkisan). Untuk itu diperlukan senjata jarak dekat. Itu bisa memblokir satu serangan yang datang dari depan, dan memiliki Masa Tenang : 30 detik. Tangkisan adalah keterampilan yang populer di antara semua Pekerjaan petarung jarak dekat. Itu adalah keterampilan yang harus dipelajari untuk kelas Prajurit. Keterampilan itu memiliki Penurunan yang rendah, dan hampir tidak pernah terlihat dijual di pasaran, karena itu adalah Keterampilan yang menyelamatkan nyawa. Kamu dapat mengaktifkannya pada saat yang genting, dan bahkan mungkin dapat membantu Kamu melewati krisis. Itu terutama ketika bertarung melawan Bos. Jika Penyembuh tidak dapat mengikuti, maka Kamu bisa menggunakan Tangkisan untuk memblokir serangan, memberi Penyembuh lebih banyak waktu untuk menyembuhkan Kamu. Melihat keterampilannya, Shi Feng memutuskan untuk mempelajarinya. Meskipun dia bisa mendapatkan harga yang lebih baik jika dia menjual buku keterampilan bersama dengan perisai, aksinya tidak berbeda dengan membunuh ayam untuk mendapatkan telur. Itu sesuatu yang Shi Feng tidak akan lakukan. Shi Feng terus mendaki ke atas setelah membunuh Shrews. Perisai Perunggu hanya bernilai sedikit uang. Kekayaan sebenarnya adalah Peti Harta Karun Perak Rahasia. Shi Feng hanya memiliki 4 Berry Peledak yang tersisa. Namun, dia bahkan tidak sepertiga dari jarak ke puncak. Itu juga sangat mudah untuk bertemu dengan monster di titik istirahat. Ini menyebabkan Shi Feng memilih jalannya dengan lebih hati-hati. Setengah jam kemudian… Setelah dengan hati-hati mendaki seluruh jalan, Shi Feng akhirnya di puncak gunung. Jarak pandang di puncak sangat buruk dengan semua awan putih dan kabut. Shi Feng hanya bisa melihat dua puluh meter di depannya. Dalam perjalanannya, Shi Feng telah menggunakan semua 4 Berries Peledak yang tersisa di Raksasa Batu. Jika monster lain muncul, Shi Feng hanya bisa menyerah dan memulai dari awal lagi. Baru saja Shi Feng berjalan di depan beberapa langkah … Beberapa bayangan buram bisa dilihat di depan. Pada saat ini, pemberitahuan darurat datang dari sistem. Sistem: Pemain telah menemukan The Lost Lands. Misi Tersembunyi Diaktifkan "Kemuliaan Masa Lalu". Nonaktifkan sementara komunikasi pemain ke dunia luar. Tidak dapat meninggalkan peta sampai Misi selesai. "Sial, Assassins itu berbohong." Shi Feng diam-diam mengutuk. Para Assassin itu tidak diragukan lagi menyembunyikan beberapa informasi. Situasi di puncak gunung sama sekali berbeda dari apa yang dilaporkan para Assassin. Ribuan Kekuatan Meskipun kebohongan para Pembunuh (Assassin) itu membuat Shi Feng marah, dia harus tetap tenang dalam menghadapi situasi yang tidak diketahui ini. Bahkan anggota Lokakarya akan memiliki motif egois mereka sendiri. Mereka pasti akan menyembunyikan beberapa penemuan penting untuk mereka sendiri, secara diam-diam mememperkuat diri dan menghasilkan banyak uang. Ada banyak orang seperti itu di sebuah Lokakarya. Baik mereka anggota luar atau anggota inti, setelah beberapa waktu, selalu ada beberapa orang yang sangat kuat yang tiba-tiba muncul, status sosial mereka tiba-tiba meningkat. Shi Feng adalah salah satu contohnya. Kalau tidak, dia tidak akan bisa menjadi anggota inti sekaligus kapten Lokakarya. "Mereka hanya memberi tahu orang lain tentang melihat Peti Harta Karun Perak Rahasia setelah datang ke Kota Yang Hilang dan tidak ada yang lain. Pasti ada sesuatu yang lebih penting dari Peti Harta Karun Perak Rahasia. Apakah ini Misi Tersembunyi?" Shi Feng memanggil Panel Misi Sistem. Misi Tersembunyi dari Kota Yang Hilang "Kejayaan Masa Lalu". Selain dari namanya, tidak ada informasi lain tentang Misi. Shi Feng bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. “Apakah ini Misi wilayah?” Dengan pengalamannya selama sepuluh tahun di God's Domain, Shi Feng dengan cepat menemukan inti dari Misi Tersembunyi. Ada beberapa Misi dengan karakteristik khusus di God's Domain. Mereka hanya dipicu di daerah tertentu. Tidak hanya itu, Misi ini tidak memberikan informasi apa pun. Pemain diminta untuk mencarinya sendiri. Setelah Misi selesai, itu tidak akan dipicu lagi, bahkan jika pemain lain datang ke tempat ini. Itu bisa disebut sebagai jenis khusus dari Misi Unik. Pada saat yang sama, itu adalah Misi yang dipenuhi dengan bahaya ekstrim. Mencari metode untuk menyelesaikan Misi di wilayah yang tidak diketahui juga berarti berurusan dengan monster yang tidak dikenal di wilayah tersebut. Untuk Misi semacam itu, monster di wilayah itu biasanya beberapa tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Seorang pemain rata-rata tidak memiliki kesempatan dalam menyelesaikan Misi itu. Ada 6 Assassin Level 20 yang datang ke tempat ini terakhir kali. Misi juga dipicu di wilayah ini dengan monster Level 5, sehingga Assassin bisa menyelesaikan Misi. "Tidak ada gunanya merasa bimbang. Karena Aku tidak bisa keluar, Aku mungkin bisa melihat-lihat. Paling buruk Aku akan mati dan dikirim kembali ke kota." Shi Feng maju dengan langkah yang pasti setelah memikirkannya. Beberapa saat setelah berjalan melalui kabut, Shi Feng melihat beberapa sosok buram di depan. Itu adalah sebuah kota. Sebuah kota yang telah ditinggalkan berabad-abad lalu. Di sekeliling, ada rumah-rumah yang hancur. Dilihat dari ukuran kota dan keindahan bangunan, tampaknya kota ini pernah berkembang. Itu bahkan lebih makmur dan brilian daripada Kota Sungai Putih. Namun, kota 'berkembang' ini bahkan tidak memiliki bayangan seseorang sekarang . Perlahan Shi Feng memasuki kota. Dia mengamati sekeliling sambil mencari petunjuk tentang Misinya. Mencari petunjuk di seluruh kota yang bisa menampung jutaan orang sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Jam demi jam berlalu dengan cepat. Setelah melalui puluhan jalan dan ratusan rumah, Shi Feng belum menemukan satu petunjuk pun mengenai misinya. God's Domain baru saja dimulai. Itu adalah waktu terbaik untuk memperlebar jarak dengan yang lain, namun Shi Feng telah menghabiskan waktu berjam-jam menjelajahi tempat ini. Ada banyak pemain yang sudah mencapai Level 1, tetapi Shi Feng masih tertahan di 34% dari Level 2. Shi Feng ragu-ragu. Haruskah dia terus mencari petunjuk mengenai Misinya, atau haruskah dia mengakhirinya di sini dan kembali ke kota? "Aku akan mencari satu jam lagi. Jika masih belum ada hasil, maka Aku akan kembali ke kota," Shi Feng menetapkan batas waktu untuk dirinya sendiri. Meskipun Misi seperti ini sangat berharga, dia tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan. Dia masih punya banyak Misi yang bisa dia lakukan. Tidak perlu membuang-buang waktu di tempat ini. Waktu perlahan berlalu, sedikit demi sedikit. Shi Feng tiba di menara pusat kota. Tempat ini dulunya adalah tanah suci bagi penyihir. Itu adalah tempat terbaik untuk belajar sihir. Sekarang hancur berantakan. Bahkan Kristal Ajaib di puncak menarapun telah hancur. Shi Feng naik ke menara. Dia berdiri di observatorium menara, memanjakan matanya dengan melihat pemandangan kota. Shi Feng perlahan-lahan akan menikmati pemandangan itu jika dia tidak terburu-buru. Setelah melihat-lihat, dia masih tidak menemukan lokasi khusus. Ketika Shi Feng hendak pergi. "Petualang muda, selamat datang di Kota di Atas Langit." Seorang lelaki tua berjanggut putih tiba-tiba muncul. Suara orang tua itu penuh dengan kemalangan dan kebijaksanaan. Munculnya pria tua itu mengejutkan Shi Feng hingga melompat. Dia bahkan mengira lelaki tua itu adalah monster yang muncul. Namun, dia menghembuskan napas lega setelah memperhatikan indikator kuning di atas pria tua itu. Kota Di Atas Langit? Shi Feng menjadi terkejut ketika dia memikirkan kota yang terkenal dari God's Domain ini. Kota di Atas Langit, nama kota ini pernah mengguncang seluruh benua God's Domain. Ada Pekerjaan legendaris yang tak terhitung jumlahnya di kota ini. Bahkan ada Peringkat Demigod yang terkenal, Pendekar Pedang Suci, Ultear. Itu adalah kota yang bahkan ditakuti oleh Dewa sendiri. Sayangnya, kota ini telah jatuh selama Perang Dewa Ketiga, menjadi penyesalan God's Domain. "tetua yang Terhormat, adakah yang bisa Aku bantu?" Shi Feng tersenyum dan bertanya dengan nada formal. "Tolong?" Tetua berjanggut putih itu menggelengkan kepalanya, tersenyum ketika berkata, "Tidak, aku tidak butuh bantuan. Aku membayangkan Kamu ingin menjadi lebih kuat. Aku dapat membantu Kamu dengan itu, tetapi apakah Kamu bersedia menerima ujian dariku?" "Tentu saja, aku bersedia menerima ujianmu," Shi Feng merasa lega. Jejak ke Misi, Kejayaan Masa Lalu ada di sini. Dia tidak harus mati kembali ke kota, kehilangan kedua level dan SP. tetua menganggukkan kepalanya dengan puas, dengan serius mengatakan, "Aku akan memberimu tiga pilihan. Yang pertama adalah kesulitan Normal. Setelah Kamu lulus, Kamu akan mendapatkan Peti Harta Karun Besi Misterius. Yang kedua adalah kesulitan Sulit, di mana Kamu akan mendapatkan Peti Harta Karun-Perak Rahasia. Selain itu, Kamu bisa mendapatkan hadiah tambahan tergantung pada tingkat penyelesaian Kamu. Opsi ketiga adalah kesulitan Neraka, di mana Kamu akan diberi Peti Harta Karun Emas Murni. Kamu juga akan menerima hadiah tambahan tergantung pada tingkat penyelesaian Kamu. " "Petualang muda, mana yang kamu pilih?" Tiga pilihan. Masing-masing lebih sulit dari yang lain, dan masing-masing lebih menarik dari yang lain. 6 Assassin yang lebih dari Level 20 telah memilih kesulitan Sulit. Mereka kembali dengan Peti Harta Karun Perak Rahasia tetapi memilih untuk menyembunyikan hadiah tambahan. Ini berarti bahwa hadiah tambahan itu bahkan lebih baik daripada Peti Harta Karun Perak Rahasia. Setelah beberapa saat memikirkannya, Shi Feng memutuskan untuk menantangnya dengan berani. Seseorang yang telah bereinkarnasi harus memiliki keberanian. "tetua Terhormat, Aku memilih kesulitan Neraka." Shi Feng yakin dia bisa mengatasi kesulitan ini. Jika dia bisa menyelesaikannya, maka itu akan memiliki efek besar pada perkembangan dimasa depannya. "Hahaha! Orang-orang muda sungguh penuh energi! Aku benar-benar mengagumi Kamu, tetapi pastikan untuk tidak menyesali pilihan Kamu.” tetua menghilang setelah tawanya yang hangat. Sistem: Misi “ Kejayaan Masa Lalu ” diterima. Menghadapi 1000 monster dari level yang sama. Dianggap Lulus setelah membunuh 500 monster. Batas waktu 4 jam. Hukuman kegagalan misi – semua Atribut dikurangi secara permanen sebesar 10 poin. "Hukuman ini benar-benar kejam." Kulit kepala Shi Feng mulai gatal saat dia melihat Prajurit Momok yang tak terhitung jumlahnya muncul di bawah menara. Hitung mundur dimulai. Ada lima detik tersisa sebelum monster menyerang. (Prajurit Momok) (Monster Biasa) Level 2 HP 230 Berjuang melawan salah satu dari mereka akan mudah. Akan tetapi menghadapi lautan monster, bahkan Shi Feng akan mulai panik. bergegas maju hanyalah bunuh diri; Shi Feng akan dengan cepat dikepung dan dibunuh. Satu-satunya cara adalah bertarung dengan monster satu per satu. Shi Feng memiliki banyak pengalaman dalam bertarung. Dia dengan cepat berlari menuruni menara dan berdiri di tangga. Tangga hanya memungkinkan dua monster untuk melewatinya sekaligus, jadi itu adalah tempat terbaik untuk menyerang. Shi Feng akan bisa menyelesaikan Misi ini selama dia berdiri ditangga. Setelah lima detik naik, setiap Prajurit Momok bergegas menaiki menara dengan liar. Namun, tangga itu terlalu sempit. Akibatnya, mereka saling menghalangi; Shi Feng hanya harus menghadapi 2 Prajurit Momok pada satu waktu. Sehubungan dengan serangan para prajurit, Shi Feng bisa menghindarinya dengan relatif mudah. Kilatan Petir! Tebasan! Tiga garis cahaya melintas, langsung menyebabkan kerusakan tinggi 60 untuk semua Prajurit Momok dalam area dua kali sepuluh yard. Tebasan yang diikuti memberikan 33 kerusakan. Dalam sekejap, Prajurit Momok pertama hanya memiliki setengah dari HP yang tersisa, sedangkan puluhan lainnya di belakang telah kehilangan seperempat HP mereka. Sebelumnya, Shi Feng berhadapan dengan monster berlevel tinggi dengan pertahanan yang juga sangat tinggi; efek dari Kilatan Petir dan Tebasan keduanya sangat berkurang. Sekarang Shi Feng menghadapi monster dari tingkat yang sama, Kilatan Petir dapat dengan jelas menampilkan kehebatannya sebagai keterampilan AOE yang sangat kuat. Dengan efek penguatan kerusakan Kilatan Petir, Shi Feng hanya membutuhkan 5 serangan dari pedangnya untuk menghabisi Prajurit Momok pertama. Untuk meningkatkan kecepatan membunuh, Shi Feng mengaktifkan Pembebasan Gravitasi untuk meningkatkan Kecepatan Serangannya. Ditambah dengan amplifikasi kerusakan, setiap prajurit hanya perlu tiga detik untuk ditangani. Sayangnya, Prajurit Momok tidak memberikan pengalaman apa pun. Sebaliknya, Kemampuan Keterampilan (SP) memiliki peluang 100% untuk meningkat sebesar 1 poin. Dengan setiap kematian Prajurit Momok, SP Shi Feng terus meningkat. Shi Feng menjadi sangat senang setelah melihat pemandangan seperti itu. NPC tua mungkin tidak membayangkan bahwa Pendekar Tingkat 2 akan memiliki keterampilan AOE yang kuat. Dengan keterampilan seperti itu, Shi Feng paling tidak takut pada taktik kerumunan. Shi Feng juga bisa dengan mudah menghindari serangan dalam skenario satu lawan dua. Pemain lain kemungkinan besar akan gagal dalam Misi, namun Shi Feng dapat menyelesaikannya dengan sempurna. Setelah dua jam berlalu, Kilatan Petir telah mencapai Level 2 setelah SP-nya meningkat menjadi 300 poin. Kerusakan Keterampilan itu meningkat dari 130% menjadi 135%, dan Masa Tenangnya berkurang dari 30 detik menjadi 28 detik. SP Tebasan juga meningkat menjadi 426/600. Itu akan mencapai Level 3 dengan hanya sedikit lagi. Kecepatan menggilas monster Shi Feng meningkat sekali lagi setelah Kilatan Petir mencapai Level 2. Prajurit Momok tumbang dalam tumpukan. Ketika hanya ada 20 prajurit yang tersisa, masih ada satu setengah jam yang tersisa untuk Misi. Dengan penggunaan lain dari Kilatan Petir, 20 Prajurit yang tersisa juga tumbang. "Tidak buruk. Ini hadiahmu, anak muda. "Tetua muncul sekali lagi dengan tertawa. Melihat Shi Feng, tetua mengeluarkan Peti Harta Karun Emas Murni dan pedang panjang hitam pekat. Sistem: Misi “Kejayaan Masa Lalu” selesai. Menghadiahi 1 Peti Harta Emas Murni, 1 Senjata Sihir (terkait dengan pekerjaan). Memperoleh gelar "Ribuan Kekuatan". (Ribuan Kekuatan) (Gelar) Saat Gelar ini digunakan, sekutu dalam radius 30 yard akan menerima peningkatan atribut 10%. Secara bersamaan, pengguna Gelar akan mendapatkan efek tambahan Kekuatan (STR) 5 dan Ketahanan (END) 5. "Aku telah memberikan hadiahmu. Kamu bisa pergi sekarang.” Pria tua itu melambaikan tangannya setelah menyelesaikan bagiannya. Penglihatan Shi Feng kabur. Ketika dia membuka matanya sekali lagi, dia kembali di alun-alun Kota Daun Merah. Di! Di! Di! Komunikasi sistem Shi Feng terus berdering. Blackie menghubunginya. "Kakak Feng, akhirnya Kamu menjawabnya. Kenapa Aku tidak bisa menghubungi Kamu sebelumnya? Apa yang harus Aku lakukan sekarang? Aku sudah tertinggal satu level dari pemain lain." Blackie sangat panik. Namun, dia masih dengan sabar bertanya karena dia percaya pada Shi Feng. Dia telah membuang tujuh jam hanya untuk lari ke Kota Daun Merah. Saat dia masih di Level 0, para pemain yang memenuhi jalan sudah Level 1. Bagaimana dia menebus celah ini? Tidak ada yang mau dia berada satu tim dengan pemain lain sekarang; persyaratan minimum mereka adalah Level 1. Level 0 pemula seperti dia hanya akan disingkirkan. "Aku yang salah, Aku sedang melakukan Misi. Datanglah ke alun-alun pusat, Aku akan membawamu bersamaku naik level,” Shi Feng meminta maaf. Sudah lebih dari 8 jam sejak God's Domain dimulai, dan Shi Feng menghabiskan lebih dari 5 jam menyelesaikan Misi. Pada tahap permainan ini, sebagian besar pemain sudah naik ke Level 1, sementara beberapa pemain profesional sudah dekat dengan Level 2. Sebagai orang yang telah bereinkarnasi, membantu Blackie naik level adalah tugas yang mudah. Tidak akan lama sebelum Blackie mengejar para pemain profesional. Bilah Neraka Shi Feng mengamati sekelilingnya setelah menutup telepon Blackie. Melihat bahwa tidak ada yang memperhatikan kedatangannya yang tiba-tiba, ia dengan cepat memasuki lorong kosong. Membuka Peti Harta Karun Emas Murni pasti akan menyebabkan keributan. Membuka dan memamerkan peti harta karun emas murni di alun-alun yang ramai adalah tindakan berani. Itu adalah sesuatu yang hanya dilakukan oleh pemula. Dibandingkan dengan dunia nyata, tidak ada kendala dalam dunia game. Tak perlu dikatakan lagi, kekuatan besar dalam permainan ini lapar akan harta karun. Jika seorang pemain tidak memiliki kemampuan, salah satu skenario kasus terbaik adalah terbunuh kembali ke Level 0 untuk harta karun. Namun, jika harta karun itu tidak jatuh …… Lalu selamat, kamu hanya bisa tinggal di kota selama sisa hidupmu. Sementara pemain lain keluar di alam liar naik level, satu-satunya hal yang bisa Kamu lakukan adalah berkeliaran di kota. Setelah beberapa bulan, Kamu dengan bangga dapat dipromosikan menjadi 'City Guide'. Shi Feng bukanlah seorang Assassin yang mampu menyamar, bersembunyi, dan membunuh. Saat ini, dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi dirinya sendiri, tidak menarik perhatian sangat diperlukan. Shi Feng diam-diam mengamati gang kosong untuk beberapa waktu. Setelah dia memastikan tidak ada yang mengikutinya, dia mengambil pedang panjang hitam itu. Alis Shi Feng berkerut ketika dia melihat pedang panjang hitam itu. (Bilah Neraka) (Senjata Sihir) Persyaratan Pekerjaan: Pendekar Pedang Apakah Kamu ingin mengikat peralatan? "Haruskah aku menggunakannya atau tidak?" Shi Feng menjadi frustrasi ketika dia melihat Bilah Neraka. Shi Feng sangat akrab dengan Senjata Sihir. Senjata Sihir berbeda dari peralatan normal. Mereka tidak memiliki peringkat apa pun untuk membedakan mereka, dan mereka bahkan lebih langka ketimbang Peralatan Legendaris. Kekuatannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, Senjata Sihir adalah pedang bermata dua. Ini karena senjata itu memiliki efek samping yang disebut Serangan Balik (Backlash). Jika pemain yang menggunakan Senjata Sihir tidak berhati-hati, satu kesalahan bisa melumpuhkan akun mereka. Dalam kehidupan sebelumnya, ada beberapa ahli di Kerajaan Bintang Bulan yang menjadi ahli tingkat atas karena Senjata Sihir-nya. Bahkan selama berada puncaknya, Shi Feng hanya bisa memandang mereka. Namun, setelah beberapa waktu, dua ahli dari mereka melumpuhkan akun mereka karena mereka tidak menahan Serangan Balik (Backlash) dengan benar; satu-satunya ialah memulai akun baru mereka. "Lupakan, simpan saja untuk sementara. Aku tidak ingin mengambil risiko sekarang," Shi Feng menggelengkan kepalanya saat dia menyimpan Bilah Neraka. Dia harus mendapatkan 16.000 Kredit dalam sepuluh hari. Beban yang harus dia tanggung sudah sangat besar sekarang. Jika ada kesalahan yang terjadi, maka semua usahanya sebelumnya akan sia-sia. Shi Feng mengeluarkan Peti Harta Karun Emas Murni. Shi Feng memandang peti harta karun berlapis emas, tidak mampu menahan kegembiraan di dalam hatinya, "Peti Harta Karun Perak Rahasia yang mereka bawa keluar terakhir kali sudah mengandung resep farmasi dan desain pandai besi. Aku bertanya-tanya apa yang akan diberikan oleh Peti Harta Karun Emas Murni?” Shi Feng telah memainkan God's Domain selama sepuluh tahun sekarang, dan jumlah Peti Harta Karun Emas Murni yang dia lihat tidak melebihi dua puluh. Shi Feng bahkan tidak berani bermimpi bahwa ia bisa memiliki satu. Shi Feng perlahan membuka peti harta karun. Tiba-tiba, sinar cahaya keemasan keluar dari peti, menyinari gang kecil itu. Itu pasti akan menjadi cahaya yang menyilaukan jika itu malam hari; itu akan menarik perhatian semua orang. Tidak berani mengambil risiko, Shi Feng dengan cepat mengambil semua barang dari peti. Cahaya menyilaukan perlahan memudar setelah peti dikosongkan. Untungnya, itu adalah lorong kosong, jadi tidak ada yang akan melihat periode singkat cahaya. "Pengaturan untuk peti harta karun di God's Domain benar-benar aneh. Untungnya siang hari di sini." Shi Feng melirik peti harta karun di sisinya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah tiga harta karun di tangannya. Ada dua buku kuno dan baju perang. Armor perang itu adalah Peralatan Perak Rahasia. Itu jauh lebih buruk daripada yang dibayangkan Shi Feng. (Armor Langit) (Peringkat Perak Rahasia) Plat Armor Persyaratan Peralatan: Kekuatan (STR) 20 Level Peralatan: 5 Pertahanan 25, Kekuatan (STR) 6, Ketahanan (END) 3, Ketangkasan (AGI) 3 Daya tahan 30/30 Atribut Tambahan: Kekuatan Melemah. Mengurangi kerusakan fisik yang diterima 15% setelah digunakan. Shi Feng menjadi kaget setelah melihat atribut perlengkapan perang. Meskipun tingkat peralatan jauh lebih rendah daripada yang ada di kehidupan sebelumnya, atributnya adalah tingkat teratas. Jika itu dikenakan oleh kelas Prajurit, Pertahanan tinggi ditambah dengan Kekuatan Melemah akan membuat bos tidak lagi menjadi masalah. Jika baju besi ini dijual sekarang, harganya pasti akan sangat tinggi. "Ini terlalu Hebat. Sekarang aku punya armor untuk Level 5.” Shi Feng dengan senang hati menyimpan Armor Langit. Pendekar pedang juga memakai baju besi (Plat Armor). Ketika Shi Feng mengenakannya di Level 5, dia pasti bisa menjadi Prajurit Perisai. Shi Feng mengalihkan pandangannya ke dua buku kuno, dia terkejut sekali lagi ketika dia melihat nama kedua buku itu. (Buku Penempaan) dan (Catatan Ramuan). Keduanya adalah buku berharga yang sangat langka. Semua orang tahu bahwa Penempaan dan Pembuatan Ramuan sangat sulit dipelajari. Setiap Master Tempa dan Master Ramuan adalah simbol kekuatan sebuah kelompok. Bahkan Shadow, yang memiliki persekutuan besar, hanya memiliki dua Master Tempa dan lima Master Ramuan. Setiap dari mereka diperlakukan seperti pangeran. Dengan dua buku ini, Shi Feng bisa membuat Master Tempa dan Master Ramuan. “Aku ingat ada Misi Tersembunyi di Lembah Bulan Kegelapan. Tidak hanya itu akan mengajarkan Penempaan secara gratis, itu juga akan memberi penghargaan kepada Bakat Tempa. Jika Aku memiliki Bakat Tempa dan Buku Penempaan, Aku bisa menjadi Seniman Tempa Terdepan. Lalu aku bisa membuat Peralatan Perunggu dan menghasilkan banyak uang.” Shi Feng mengingat seorang anggota Shadow yang disebut Hammer Trading. Orang itu telah menjadi Master Tempa karena dia menyelesaikan Misi Tersembunyi itu. Lembah Bulan Gelap adalah area monster Level 4. Misi itu juga sulit, dan akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. "Sepertinya aku harus membeli beberapa barang dan membuat persiapan yang tepat." Shi Feng menyimpan dua buku dan mengirim pesan ke Blackie, memberitahunya untuk bertemu di Area Perdagangan. Shi Feng kemudian menuju ke Area Perdagangan, sendiri. Pada saat ini, ada cukup banyak pemain di Area Perdagangan. Pemain yang lelah membunuh monster akan datang ke Area Perdagangan untuk beristirahat, minum dan mengobrol. Ada juga pemain yang menjual hasil jarahan mereka dari menggilas monster. Shi Feng mencari tempat kosong, menutupi tanah dengan selembar kain putih. Dan meletakkan peralatan dan Ramuan yang dia ambil, mebuat kiosnya sendiri. Armor Kain umum Level 4 dihargai 1 Perak 20 Tembaga, sedangkan Perisai Perunggu dihargai 21 Perak. Itu adalah harga yang adil dan murah pada tahap permainan ini. "Herbal langka, peralatan tingkat tinggi, mereka yang tertarik datang dan lihatlah." Shi Feng berteriak. Ada cukup banyak pemain di Area Perdagangan. Namun, sebagian besar dari mereka menjual bahan-bahan seperti Herbal, bijih, dll. Sampai sekarang, belum ada pemain tunggal yang menjual peralatan. Teriakan Shi Feng segera menarik perhatian semua orang. "Tidak mungkin. Benar-benar ada peralatan! Perisai Perunggu!” “Sungguh keberuntungan yang luar biasa. Aku bahkan tidak memiliki Peralatan Umum namun dia sudah memiliki peralatan Perunggu?" “Ini adalah Peralatan Level 5. Apakah ini lelucon? Aku tidak sedang bermimpi, kan?" "Apa yang hebatnya itu? Jangan lupa, ada seorang ahli yang membunuh Walikota. Itu adalah Elite Level 15. Sekarang tidak ada yang bisa menerima Misi dari Walikota. Beberapa pemain yang menerima Misi Walikota dengan marahnya; mereka semua seakan ingin memakan ahli itu hidup-hidup." 21 Perak, harga ini terlalu tinggi. Aku bahkan tidak punya 1% dari uang itu. "Para pemain di sekitarnya semua kaget. God's Domain belum buka selama sepuluh jam sampai sekarang, namun seseorang dapat memperoleh peralatan tingkat atas seperti itu. Bagian yang paling sulit dipercaya adalah bahwa itu bahkan sedang dijual. Harus diketahui bahwa sebagian besar Persekutuan dan Lokakarya akan memakai peralatan yang mereka peroleh, meningkatkan keuntungan mereka sebanyak mungkin. Mereka pasti tidak akan menjualnya. Saat ini, para pemain, rata-rata, Level 1. Peralatan Level 5 adalah sesuatu yang mustahil untuk dibayangkan, belum lagi Perisai Perunggu Level 5. Namun, 21 perak harga terlalu tinggi. Penghasilan rata-rata pemain tidak melebihi 20 Tembaga, dan 21 Perak sama dengan 2100 Tembaga. Itu adalah harga yang tidak mungkin bagi mereka untuk terima. SHi Feng diam-diam tersenyum saat dia melihat semakin banyaknya pemain yang menyaksikan. Dia tidak pernah berharap pemain rata-rata ini membelinya. Yang dia inginkan adalah efek iklan. Hanya sesaat sebelum sekelompok pemain bergegas. Yang memimpin mereka adalah Prajurit Perisai. “Beri jalan, beri jalan. Sekarang kita, Shadow, ada di sini, kita akan membeli semua yang ada di kios. Semua orang pergi begitu saja.” Anggota tim Shadow menciptakan jalan bagi Prajurit Perisai untuk berjalan melewatinya. Shi Feng menatap sekilas, menemukan bahwa Prajurit Perisai itu adalah seseorang yang dia kenal. Pria itu bernama Flaming Tiger; dia adalah Ketua Tim Shadow di Kota Daun Merah. Dalam kehidupan sebelumnya, Shi Feng terus-menerus digunakan sebagai umpan dalam pertarungan, mencegahnya naik dengan cepat. Flaming Tiger bertanggung jawab atas tiga per sepuluh dari 'upaya' itu. Shi Feng tidak pernah berpikir dia akan bertemu dengan pria ini begitu cepat. "Kamu pemilik kios?" Flaming Tiger menjadi bersemangat saat dia melihat perisai berbentuk salib biru. Dia kemudian menatap Shi Feng. Dia tidak memiliki keterampilan (Mengamati Mata), jadi dia tidak bisa mengetahui level Shi Feng. Namun, Shi Feng hanya dibalut dengan peralatan Novice, dan dia tidak memiliki lencana Persekutuan padanya. Dia jelas hanya pemain biasa. Memperoleh peralatan seperti itu seharusnya karena keberuntungan. Shi Feng mengangguk, berkata, "Itu benar." "Bagus, aku ingin semuanya ada di sini untuk 1 Perak." Flaming Tiger dengan bangga mengatakan. Dia mengatakannya seolah-olah semua yang ada di warung itu hanya sampah yang tidak layak, dan bahwa memberi 1 Perak untuk mereka adalah sesuatu sudah cukup besar. “Aku tidak menegosiasikan harga. Tolong jangan menghalangi bisnisku dengan bertindak seperti itu tuan." Shi Feng tidak marah, memilih untuk mengabaikan Flaming Tiger. Pada saat ini, wajah Flaming Tiger menjadi merah. Dia memelototi Shi Feng, dengan dingin berkata, "Apakah kamu yakin ingin menentang kita, Shadow? Aku akan memberi Kamu satu kesempatan lagi, pikirkan baik-baik sebelum Kamu berbicara." Tiba-tiba, kelima anggota Shadow lainnya mengelilingi Shi Feng.Shi Feng memutar matanya pada Flaming Tiger, mengatakan tanpa basa-basi, "Bodoh." Dia benar-benar berani mengancam Shi Feng di dalam Kota Daun Merah. Apakah dia tidak tahu itu dilarang untuk mengambil tindakan di dalam kota? "Kamu ingin mati!" Flaming Tiger mengamuk, kedua matanya memerah. Dia tidak tahan ingin membunuh Shi Feng saat ini juga. “Hahaha, benar-benar menarik. Perisai Perunggu Tingkat 5. Bagaimana mungkin Aliansi Assassin kita diabaikan." Sekelompok lebih dari sepuluh pemain lain datang pada saat ini. Setiap pemain memakai lambang Aliansi Assassin. Orang yang berbicara adalah Stabbing Heart. Dia menjadi kaget ketika melihat pemilik kios. Dia tidak berharap melihat Shi Feng, ahli yang telah menyelesaikan Tantangan Hadiah Perunggu dalam satu percobaan. Shi Feng bahkan telah memperoleh Perisai Perunggu Level 5 sekarang, jadi dia pasti membunuh monster Elite berlevel tinggi. Stabbing Heart menjadi lebih menghormati Shi Feng. "Ini 24 Silver, aku ingin semuanya ada di sini. Mari menjadi teman. Lain kali kalau Kamu memiliki peralatan yang bagus, Kamu harus menghubungi kami, Aliansi Assassin.” Stabbing Heart menyerahkan 24 Perak tanpa ragu-ragu. Meskipun tidak mudah bagi Aliansi untuk mengumpulkan 24 Perak ini, itu sangat berharga jika dia bisa berteman dengan seorang ahli seperti Shi Feng. Karena Kamu sangat terang-terangan, Aku tidak akan meminta 50 Tembaga lagi. Aku akan menghubungi Kamu Nanti," Shi Feng mengerti niat Stabbing Heart. Itu bukan kesepakatan yang buruk jika dia bisa bekerja sama dengan Aliansi sebesar itu. Sementara itu, para pemain di sekitarnya dikejutkan oleh tindakan Aliansi Assassin yang luar biasa, menyerahkan lebih dari 24 Perak tanpa mengedipkan mata. Sekarang, ini adalah Aliansi besar. Tindakan seperti itu telah membuat banyak pemain ingin mendaftar ke Aliansi mereka. Dibandingkan dengan Aliansi Assassin, tidak ada masa depan untuk bergabung dengan Aliansi seperti Shadow. Semua orang mengirim tatapan jijik kepada mereka. Setelah dipandang rendah oleh Shi Feng, kemudian diberi tamparan oleh Aliansi Assassin, wajah Flaming Tiger menjadi merah padam. Matanya nyaris keluar karena marah. Dia memanggil seorang Assassin, dengan dingin berkata, “Quiet Wolf, kamu awasi anak itu. Aku akan membiarkan dia tahu apa yang terjadi ketika dia menentang Shadow." Di sisi lain, Shi Feng sudah lama meninggalkan tempat kejadian. Dia saat ini membeli barang-barang di sekitar Area Perdagangan. Dia sekarang memegang 24 Perak pada dirinya. Itu adalah jumlah yang bahkan lebih besar dari total kekayaan Aliansi biasa. Sekarang Shi Feng adalah taipan yang sesungguhnya, dia mulai membeli barang-barang tanpa tanpa peduli sedikitpun. Dia membeli 20 botol Bir Baja Hitam, masing-masing seharga 25 tembaga. Dia membeli 30 Bom Asap, masing-masing seharga 20 Tembaga. Dia membeli 100 pai apel, masing-masing seharga 5 Tembaga. Memakannya pulih 30 HP setiap detik, berlangsung 10 detik. Dia membeli 100 Air Sihir, masing-masing seharga 5 tembaga. Meminum itu memulihkan 30 MP setiap detik, berlangsung selama 10 detik. Shi Feng menghabiskan banyak kekayaannya dalam sekejap, meninggalkannya dengan hanya 3 Perak. "Kakak Feng, akhirnya Kamu memutuskan untuk muncul. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Blackie telah menunggu di Area Perdagangan selama beberapa waktu sekarang. Dia menunjukkan ekspresi kecewa di wajahnya, dan matanya dipenuhi dengan kebencian. God's Domain sudah terbuka selama lebih dari 9 jam sekarang. Selain mendapatkan gelar (Penjelajah), Blackie tidak mendapatkan apa pun. Dia mendekati titik kematian akibat depresi. "Ayo, menggilas monster," Shi Feng tersenyum, mengirimi Blackie permintaan tim. Bir Baja Hitam Setelah meninggalkan Kota Daun Merah … Shi Feng membawa Blackie bersamanya saat mereka langsung menuju ke Lembah Bulan Gelap. "KakakR Feng, kita berada di jalan menuju Lembah Bulan Gelap. Itu adalah area monster Level 4. Tidak bisakah kita memilih tempat yang lebih aman?" Melihat target Shi Feng adalah monster Level 4, Blackie tidak bisa menahan diri untuk bertanya dengan gugup. Menantang level yang lebih tinggi di God's Domain sangatlah sulit. Biasanya, pemain hanya akan menantang monster yang satu tingkat lebih tinggi dari mereka. Menantang monster dua level lebih tinggi membutuhkan setidaknya Sebuah tim dengan 6 orang pemain untuk itu menjadi mungkin. Namun, bahkan tim dengan 6 orang tidak akan melakukan tindakan seperti itu. Dibandingkan mempersulit diri mereka sendiri hanya untuk membunuh satu monster Level 3, jauh lebih efisien jika membunuh monster Level 2 saja. Shi Feng dan Blackie hanya dua orang. Mengabaikan Shi Feng, yang seorang Pendekar Pedang level 2, Blackie sendiri masih seorang Cursemancer Level 0. Dia hanya makanan gratis untuk monster Level 4. Melawan monster Level 4 hanya dengan mereka berdua sama saja bunuh diri …… Shi Feng hanya tersenyum tentang kekhawatiran Blackie. Dia dengan aman berkata, "Tenang, tidak bisakah kamu melihat bahwa Aku sudah Level 2? Teman Aku itu adalah seorang Penguji Beta (Beta Tester) ahli. Jika itu bukan karena hubungan baik kita, dia bahkan tidak akan memberitahuku rahasia seperti itu. Kamu bisa menunggu untuk naik level dengan sangat cepat.” Shi Feng mendorong semua masalah yang dengan menjadi orang yang bereinkarnasi ke 'teman baiknya'. Sekarang semua tindakannya di God's Domain dapat dengan mudah dijawab juga. Dia juga tidak perlu menjelaskan banyak hal karena Blackie akan dengan mudah memercayainya. Ini karena Penguji Beta adalah penjelasan terbaik. "Seperti yang diharapkan dari Kakak Feng, Kamu masih yang terhebat. Tidak heran Kamu tidak bergabung dengan Shadow Workshop untuk mendapatkan uang. Dengan Penguji Beta ahli yang memberimu petunjuk, Kamu pasti bisa mendapatkan banyak uang di God's Domain. Masa depanku tergantung padamu sekarang," kata Blackie sambil tertawa ketika ia merasa lega. Ketika bergabung dengan Shi Feng sebelumnya, dia sangat terkejut melihat Shi Feng sudah berada di Level 2. Saat ini, belum ada berita tentang pemain Level 2 di Kota Daun Merah. Bahkan elit Lokakarya tidak terkecuali. Namun, Shi Feng telah mencapai itu. Kecepatan naik levelnya benar-benar menakutkan. Blackie mengenal dengan baik Shi Feng. Meskipun keterampilannya tidak buruk, dia pasti tidak sebaik itu. Sebelumnya, Blackie masih memiliki beberapa kecurigaan tentang berita Penguji Beta. Namun, semua kekhawatirannya menghilang setelah melihat level Shi Feng, karena hanya Penguji Beta yang bisa membuat hal seperti ini terjadi. Blackie juga mulai mempercayai kemungkinan Shi Feng mendapatkan 16.000 Kredit dalam sepuluh hari. “Enyahlah! Kejujuran kakak ini!" Shi Feng memutar matanya ke arah Blackie, sedikit memperluas jarak mereka. Namun, tatapan Blackie masih menunjukkan rasa jijik, menyebabkan Shi Feng sedikit panik. “Apa yang kamu pikirkan, Kakak Feng? Kekasih impianku adalah Dewi Salju, Gentle Snow.” Blackie buru-buru menjelaskan. Dewi Salju? Shi Feng memiliki kesan yang sangat mendalam tentang wanita ini. Dia telah tampil sangat luar biasa di game virtual lainnya. Tidak hanya dia memiliki wajah yang benar-benar cantik dan tubuh seksi, tetapi dia juga memiliki sikap bangga yang didukung oleh teknik pertarungannya yang luar biasa. Karena sifat-sifat ini, ia menjadi lebih diterima oleh publik. Setelah tiga tahun sejak pembukaan God's Domain, ia telah menjadi ahli tingkat atas di seluruh negeri. Dia juga merupakan sepuluh Berserker terbaik di negara ini. Dia dijuluki sebagai Dewi Perang. Dia telah membintangi banyak iklan. Kekayaan pribadinya saat itu telah melampaui puluhan miliar Kredit. Bukan hanya itu, tapi dia juga Wakil Pemimpin Aliansi 'Ouroboros'; jutaan pemain akan bergerak dengan satu perintahnya. Selama masa-masa itu, Shi Feng hanya karakter kecil di dalam God's Domain. Dia hanya bisa melihat bayangan Gentle Snow. Sayangnya, beberapa saat kemudian, Gentle Snow tiba-tiba menghilang dari God's Domain. Hilangnya dia menjadi topik hangat di God's Domain selama beberapa waktu. "Kakak Feng, lihat. Itu adalah monster Elite." Blackie menunjuk ke arah rubah putih salju di sawah yang jauh sambil berteriak. Shi Feng memandang ke aras ladang emas dengan cepat, dan melihat rubah berwarna putih. Bahkan ada kelinci kecil di mulut rubah itu. (Rubah Salju Licik) (Elit Langka) Level 2 HP 450 “Blackie, penglihatan dan keberuntunganmu terlalu bagus. Kamu bahkan melihat Elit Langka. Kita akan mendapat banyak uang kali ini." Shi Feng berjalan diam-diam mendekati rubah sambil mengarahkan Blackie," Kamu hanya menyerang dari kejauhan dan serahkan sisanya padaku." Elit Langka adalah tipe khusus Elit. Mereka memiliki kemampuan yang sama dengan monster Elit Normal, tetapi hadiah yang mereka jatuhkan jauh lebih besar. Butuh waktu lama baginya untuk respawn kembali setelah terbunuh. Apakah Kamu dapat ketemu lagi tergantung pada keberuntunganmu. ''Saudara Feng, Kamu pasti gila. Itu adalah Elit level 2. Kita tidak bisa melawannya." Blackie ingin menghentikan Shi Feng. Hanya tim kecil dengan level yang sama yang bisa berurusan dengan Elite. Berjuang sendirian, tanpa penyembuhan, pasti akan menyebabkan kematian. Namun, Blackie sudah terlambat. Shi Feng dengan cepat berada di belakang Rubah Salju, dan melakukan serangan tiba-tiba. Tebasan! Sebuah serangan pedang melayang. Gerakan Rubah Salju sangat gesit. Segera menghindari serangan di titik vital perutnya, hanya menyebabkan 32 kerusakan. “Gerakannya lincah, Pertahanannya juga tidak rendah.” Shi Feng membuat keputusan cepat setelah mengamati bagaimana Rubah Salju mengelak dan menerima kerusakan. Dia memiliki gelar Ribuan Kekuatan, jadi semua atributnya meningkat 10%. Ada juga tambahan 5 poin untuk Kekuatan (STR) dan Pertahanan (END), meningkatkan Kekuatan (STR) menjadi 13 dan Pertahanan (END) menjadi 10. Ketangkasannya (AGI) juga meningkat menjadi 17 poin. Sekarang total Kekuatan Serangannya adalah 29, dan dia memiliki 260 HP. Dengan kecepatan tinggi, Rubah Salju yang marah menggigit leher Shi Feng. Ini mengaktifkan Keterampilan (Pukulan Fatal). Namun, dengan 17 poin Ketangkasan, kecepatan Shi Feng tidak lebih lambat dari Rubah Salju. Pada saat Rubah Salju berlari, Pedang Novice Shi Feng menyerang ke arah kepala rubah. Peng! Shi Feng hanya memiliki 13 poin Kekuatan; itu masih belum cukup untuk menahan serangan Rubah Salju. 49 kerusakan muncul di atas kepala Shi Feng, dan daya tahan Novice Sword-nya berkurang 1 poin, juga. Di sisi lain, Rubah Salju hanya menerima 5 kerusakan. Perbedaan di antara keduanya terlihat sangat jelas. “Kita mati! Kita mati! Kita benar-benar mati kali ini." Keringat mulai muncul di dahi Blackie. Dia telah melihat kerusakan dari monster umum, tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa ada perbedaan besar antara monster umum dan monster Elit. Shi Feng beruntung dia telah memblokir serangan dengan pedangnya, hanya mendekati 50 kerusakan. Jika serangan itu mendarat di tubuhnya, bukankah itu lebih dari seratus? Shi Feng telah mencapai Level 2 dengan susah payah. Jika dia mati kali ini, dia akan kembali ke Level 1; keuntungan besarnya akan hilang. "Bergerak, Blackie!" Teriak Shi Feng. "Dia benar-benar sudah gila. Baik! Baik, paling buruk aku akan mati sekali saja. Lagipula aku masih Level 0." Blackie mulai mengucapkan kutukan dan tangannya membuat gerakan. Sebuah Panah Gelap (Dark Arrow) melesat keluar, memberikan 5 damage pada Snow Fox. Blackie menarik napas dalam-dalam ketika dia melihat kerusakan itu. Dia telah menambahkan semua poinnya ke Intelijen, namun hanya 5 kerusakan yang bisa dia hasilkan. Pertahanan monster Elite yang mengerikan. Shi Feng yang sedang menghadapi Rubah Salju berada di bawah tekanan. Rubah Salju memiliki ketangkasa (AGI) yang sangat tinggi. Bisa dengan mudah mengelak setiap kali Shi Feng ingin menggunakan Tebasan. Pada akhirnya, Shi Feng hanya bisa menggunakan serangan normal, memberikan 18 kerusakan setiap serangan. Namun, jika satu gigitan berhasil mengenai Shi Feng akan menghasilkan 100 kerusakan; itu sangat tidak seimbang. Sepuluh detik kemudian, HP Shi Feng turun menjadi 31poin, sedangkan Rubah Salju masih memiliki 244. "Aku kira masih belum ada cara untuk berhadapan langsung dengan Elit Tipe Ketangkasan (AGI) dengan jumlah Keterampilan yang begitu kecil." Shi Feng memandang HP Rubah Salju yang tersisa setengah. Jika dia terus berlarut-larut dalam pertarungan ini, dia yang akan mati. Dia harus menyerang dengan agresif. Shi Feng mengeluarkan sebotol Bir Baja Hitam dari tasnya. Setelah minum dua tegukan, dia menjadi sedikit mabuk, dan penglihatannya mulai menjadi buram. Dia kemudian mengaktifkan Pembebasan Gravitasi, kecepatannya meningkat dengan sangat pesat. Dia tiba di sisi Rubah Salju dengan kecepatan cahaya. Ketika Shi Feng melihat level Rubah Salju lagi, itu menampilkan Level 0, sedangkan dia Level 2. Tiba-tiba, Tekanan karena perbedaan level telah dihapus, membiarkan kerusakan Shi Feng meningkat. Demikian pula, tubuhnya menjadi sulit dikendalikan. "Mati kau!" Mata Shi Feng sedingin es, cengkeramannya pada Pedang Novice semakin erat. Kilatan Petir! Hua! Hua! Hua! Tiga tebasan cepat kilat menghantam tubuh Rubah Salju, menyebabkannya teriakan tragis. Kerusakan -30, -36, -42 muncul di atas kepalanya, langsung mengambil seperempat dari HP-nya. Setelah itu, Tebasan lain memberikan 43 kerusakan padanya. Rubah Salju mati-matian melawan, tetapi kecepatan Shi Feng setelah mengaktifkan Pembebasan Gravitasi sangat cepat. Bahkan jika dia dalam keadaan mabuk, dengan pengalaman bertahun-tahun pertempuran, Shi Feng masih bisa dengan mudah melakukan manuver dengan tubuhnya. Ini menyebabkan Rubah Salju berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. “Sialan, apa yang kamu minum, Kakak Feng? Kamu tiba-tiba berubah sangat ganas!" Mata Blackie hampir keluar dari rongganya ketika ia melihat aksi Shi Feng. Pada saat ini, Rubah Salju yang ganas telah menjadi mainan Shi Feng. Tidak ada kesempatan untuk melawan. Ketika Rubah Salju memiliki 42 HP yang tersisa, Shi Feng hendak memberikan serangan terakhir. Tiba-tiba, Shi Feng merasa merinding di belakang lehernya. Seolah-olah sebuah belati mengarah ke lehernya; itu adalah perasaan yang mengerikan. Shi Feng secara naluriah melompat kedepan. Pada saat berikutnya, belati putih telah memotong posisi aslinya. Shi Feng secara mengejutkan menghindari serangan itu. Di belakang Shi Feng, sosok dengan ekspresi yang sangat terkejut menampakkan dirinya. Dia sudah menyembunyikan kehadirannya dengan sangat baik; dia bahkan tidak mengeluarkan satu suara pun. Tidak hanya itu, setelah ia naik ke Level 1, Ketangkasannya telah mencapai 10 poin. Namun, serangan menyelinapnya telah dihindari. Intuisi macam apa yang dimiliki Shi Feng? “Teman, kita tidak memiliki masalah atau permusuhan di antara kita. Tidak baik melakukan hal seperti ini." Shi Feng memusatkan pandangannya pada Assassin yang baru muncul sambil mengatakan dengan dingin. "Jika Kamu ingin menyalahkan seseorang, maka salahkan dirimu sendiri karena membuat kami Shadow marah. Sudah terlambat bahkan jika kamu menyesalinya sekarang.” Quiet Wolf berkata dengan penuh semangat. Dia memegang belati dalam genggaman terbalik, memperhatikan setiap gerakan Shi Feng. Quiet Wolf mengikuti Shi Feng sambil juga melaporkan lokasinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan bertemu monster Elit. Target Rubah Salju saat ini adalah Shi Feng. Meskipun Shi Feng memiliki keterampilan yang baik, dengan Rubah Salju menahannya, Quiet Wolf pasti dapat menemukan kesempatan untuk membunuh Shi Feng dengan HP yang tersisa sedikit, lalu dia juga dapat membunuh Rubah Salju. Hanya ada keuntungan baginya. Adapun Cursemancer di samping, dia hanya sampah yang bahkan tidak layak disebut. Secara alami, Rubah Salju tidak akan peduli dengan semua ini. dia hanya tahu bahwa dia harus membunuh Shi Feng. Rubah Salju tiba-tiba berteriak, kulit seputih saljunya berubah menjadi merah menyala. Tubuhnya juga bertambah besar dan HP-nya naik 20%. Kemudian, Rubah Salju mengaktifkan Keterampilan terakhirnya (Gigitan Merobek). Keterampilan memperbesar kerusakannya hingga 50%, juga menyebabkan kerusakan pendarahan 30 yang berlangsung selama 5 detik. “Kamu bisa pergi dan menyesal, sekarang! Aku akan mengurus Rubah Salju ini sebagai gantinya," Quiet Wolf berlari ke arah Shi Feng. Dia siap untuk membunuh Shi Feng saat dia menghindari Rubah Salju. Pesta Menggilas Sistem: Pemain Quiet Wolf telah menyerang Kamu dan memasuki status Nama Kuning. Durasi satu jam. Setiap pemain yang menyerang pemain Nama Kuning tidak akan menerima penalti apa pun. Shi Feng hanya memiliki 31 HP yang tersisa. Diserang dari kedua sisi oleh Rubah Salju dan Quiet Wolf, menempatkan Shi Feng dalam posisi yang sangat berbahaya. "Sangat Hina!" Berdiri di kejauhan, Blackie memarahi Quiet Wolf karena menyelinap menyerang pada saat seperti itu. Namun, dia tidak bisa mengubah apa pun tentang itu. Keduanya terpisah terlalu jauh. Terlalu sulit baginya untuk mendaratkan serangan pada Quiet Wolf. Dia hanya bisa mengarahkan serangannya pada Rubah Salju, berharap untuk membunuhnya sedetik sebelumnya dan tidak membiarkan Quiet Wolf mengambil keuntungan dari mereka. Meskipun penyihir memiliki output tinggi, dibandingkan dengan memukul monster, jauh lebih sulit untuk mendaratkan pukulan pada pemain kecuali mereka berdiri diam tanpa bergerak. Ini karena saat Panah Gelap keluar, akan ada garis prediksi muncul. Dalam situasi di mana jaraknya sangat jauh, pemain dengan kemampuan yang baik biasanya bisa menghindarinya. Jika itu seorang ahli, maka menghindarinya akan menjadi sangat mudah. Sama seperti Rubah Salju dan Quiet Wolf yang terburu-buru… Sudut mulut Shi Feng memperlihatkan senyum dingin. Dia telah berinteraksi dengan Quiet Wolf di Shadow selama bertahun-tahun, jadi dia sangat akrab dengan kekuatan dan kebiasaan Quiet Wolf. Shi Feng mundur dua langkah, membentuk segitiga sempurna antara Rubah Salju dan Quiet Wolf. Shi Feng menggenggam Pedang Novice dengan erat di depan dadanya. Dia berdiri di sana tanpa bergerak sambil menunggu datangnya serangan mereka. "Apakah dia menyerah?" Quiet Wolf mulai meremehkan Shi Feng ketika dia melihat Shi Feng bersiap untuk memblokir dengan pedangnya. Meskipun pemain bisa mengurangi kerusakan yang diterima dengan mempertahankan serangan, Rubah Salju adalah monster Elit. Bahkan jika Shi Feng bisa mempertahankannya, serangan itu masih akan menyebabkan sekitar 50 kerusakan. Dengan hanya 31 HP yang tersisa, Shi Feng bahkan tidak bisa menahan satu serangan. Rubah Salju selangkah lebih maju, menggigit ke arah Shi Feng. Gigitan Merobek! "Tepat pada waktunya." Bukannya mundur, Shi Feng malah maju. Dia berlari menuju Rubah Salju. Pedang Novice menahan mulut Rubah Salju. Menggunakan Keterampilan Tangkisan yang menyelamatkan nyawa, Shi Feng bisa menahan serangan langsung. Shi Feng kemudian melanjutkan dengan mengangkat Rubah Salju. Rubah Salju memiliki kekuatan rendah, jadi Shi Feng dengan mudah melemparkannya ke arah Quiet Wolf. Semua terjadi terlalu cepat. Quiet Wolf yang bergegas menuju Shi Feng tidak bisa bereaksi pada waktunya. Dalam sekejap, bahunya digigit oleh Rubah Salju. Kerusakan -164 muncul di kepala Quiet Wolf. HP-nya langsung jatuh ke nol. "Bagaimana bisa?" Quiet Wolf terkejut luar biasa. Hatinya dipenuhi dengan keengganan saat dia menatap senyum Shi Feng. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pemain bisa melakukan hal seperti itu. Jika dia tahu tentang itu, dia pasti tidak akan berlari ke depan, hanya untuk membuat dirinya terbunuh. Pada titik ini, terlepas dari seberapa serakah Quiet Wolf, HP-nya telah berubah menjadi 0. Tubuhnya hanya bisa jatuh dan berubah menjadi cahaya. Dia bahkan menjatuhkan sebuah peralatan. Di kejauhan, Blackie menjadi tercengang. Dia bahkan lupa untuk menyerang Rubah Salju. "Blackie, berhentilah melamun! Cepat dan serang Rubah Saljunya!” Shi Feng berteriak dan berlari ke arah Rubah Salju lagi. Setelah Blackie mulai bereaksi, dia meneriakkan kutukan, dengan liar menyerang Rubah Salju. Tanpa gangguan Quiet Wolf, Rubah Salju yang hampir mati hanyalah sebuah hiasan. Dalam 10 detik, Rubah Salju melepaskan ratapan sebelum jatuh. Sistem: (Elit Langka) Rubah Salju Licik terbunuh. Memperoleh 130 EXP. Shi Feng Level 2 sekarang, jadi jumlah EXP ini tidak ada artinya baginya. Yang dipikirkan Shi Feng adalah jarahan. Elit Langka adalah monster yang semua pemain sukai di God's Domain karena tingkat jarahan yang mengejutkan mereka. Terlebih lagi, ini adalah Kematian pertama Rubah Salju, jadi jarahannya pasti lebih baik. "Tidak mungkin. Monster itu benar-benar menjatuhkan senjata.'' Shi Feng mendapatkan Tongkat Armguard. (Tongkat Kayu Hitam) (Peringkat Perunggu) Level 1 Persyaratan Peralatan: Kekuatan 5 Kekuatan Serangan 8 Kecerdasan (INT) 3, Tenaga (VIT) 1,Mana 30 Daya Tahan 20/20 Peralatan ini akan sangat memperkuat Ahli Sihir. Tidak hanya Kekuatan serangannya tinggi, ia bahkan memberikan tambahan 3 poin kecerdasan. Jika seorang ahli sihir mengaktifkannya, maka kerusakannya bisa meningkat hingga dua level. (Sarung Tangan Kulit Rubah)(Peringkat Umum, Armor Kulit) Level 1 Persyaratan Peralatan: Kekuatan 3 Pertahanan (END) 4 Daya tahan 20/20 Di sisi lain, Quiet Wolf telah menyumbang sepasang Sepatu Kulit Umum Level 0 dengan Pertahanan 3 miliknya. "Aku pikir ini Peralatan tingkat abu-abu sampah. Sepertinya keberuntungan Quiet Wolf tidak seburuk itu, bisa mendapatkan Peralatan tingkat Umum." Shi Feng memiliki pandangan berbeda tentang Quiet Wolf sekarang. Mendapatkan Peralatan Umum pada periode awal permainan pasti tergantung pada keberuntungan. Namun, keberuntungan Quiet Wolf sekarang menguntungkan Shi Feng. Pendekar pedang bisa memakai Armor pelat dan Armor kain. Sekarang Shi Feng memiliki dua item baru ini, Pertahanannya telah meningkat banyak. "Blackie, perlengkapanmu." Shi Feng menyerahkan Tongkat Kayu Hitam ke Blackie. Namun, Blackie tidak menerima peralatan. Dia memiliki ekspresi ragu-ragu di wajahnya. Membunuh Rubah Salju sepenuhnya bergantung pada Shi Feng. Blackie tidak banyak membantu, namun dia telah menerima peralatan terbaik; sebuah Peralatan Perunggu. Pada tahap permainan ini, tidak banyak pemain yang mampu memiliki item seperti itu. Itu sangat berharga. "Apa yang terjadi padamu; bukankah kita ini saudara? Mengapa kau bersikap sopan kepadaku? Selain itu, Kau seorang Cursemancer. Setelah Kau mencapai Level 1, Kau dapat sepenuhnya menggunakan kemampuan terbesar Tongkat Kayu Hitam. Dengan itu, kita bisa naik level lebih cepat." Shi Feng berkata dengan nada serius seolah dia tahu apa yang dipikirkan Blackie. Setelah beberapa pemikiran, Blackie bisa memahaminya. Dia tidak lagi menolaknya, dan berkata, “Terima kasih. Aku pasti akan menggunakannya dengan baik." "Sekarang. itu jauh lebih baik." Shi Feng tertawa, "Ayo pergi. Kita akan pergi ke Lembah Bulan Gelap." Kota Daun Merah. "Quiet Wolf, apa yang kamu lakukan? Kamu tidak hanya mati, Kamu bahkan menjatuhkan peralatan yang mahal. Apa kamu tahu betapa berharganya Peralatan itu?” Flaming Tiger membentaknya. Ekspresi Quiet Wolf suram. Sepasang sepatu itu adalah sesuatu yang diperolehnya setelah menggilas selama 7 jam, dan sekarang dia benar-benar kehilangan sepatu itu. Bahkan hatinya berdarah saat ini. Meskipun dia ingin menjelaskan, dia tidak tahu bagaimana caranya. Haruskah dia mengatakan bagaimana dia dipermainkan oleh Shi Feng? Itu bukan sesuatu yang mau dia akui. Namun, bahkan jika dia ingin merebut kembali peralatan itu, dia bukan lawan bagi Shi Feng. “Kakak Tiger, Aku menemukan monster Elit Langka di alam liar. Aku tidak berpikir Aku akan bertemu dengan anak itu ketika Aku akan membunuh monster itu. Bocah itu bahkan membawa serta orang lain. Dalam situasi satu lawan tiga, aku sama sekali bukan lawan mereka.” Quiet Wolf pura-pura marah ketika dia merubah kejadiannya. Dia terus menerus memprofokasi Flaming Tiger. “Bocah itu seharusnya sudah membunuh monster Elit Langka itu sekarang. Dia harusnya mendapatkan beberapa peralatan yang bagus. Mereka berada di jalan menuju Lembah Bulan Gelap. Kita masih bisa mengejar mereka. Kita bahkan mungkin bisa mendapatkan kembali peralatan itu.” "Elit Langka!?" Mata Flaming Tiger mulai bersinar. Dia tidak lagi mempertanyakan Quiet Wolf. Sebaliknya, dia sangat tertarik pada jarahan Elit Langka. Dia berkata dengan penuh semangat. "Ayo pergi. Kita kejar mereka. Mereka benar-benar berani mencuri peralatanku. Aku akan membuat mereka menyesal memainkan God's Domain.” Dalam waktu singkat, Flaming Tiger mengumpulkan semua anggota Shadow yang ada di Kota Daun Merah. Dia membawa 11 anggota Lokakarya dan bergegas menuju Lembah Bulan Gelap. Dia ingin membunuh Shi Feng dan mendapatkan peralatannya. Saat ini, Shi Feng dan Blackie sudah tiba di Lembah Bulan Gelap. Ada seorang pandai besi di samping sungai yang mengalir. Shi Feng dan Blackie diam-diam berdiri di depannya. Mereka melihat seorang paman setengah baya yang bertelanjang dada. Di tangan pria itu memegang palu baja. Ding! Dang! Dia terus memalu bijih merah tua. Waktu mengalir perlahan, sedikit demi sedikit. ''Kakak Feng, apakah kita masih akan menunggu? Sudah setengah jam sekarang," kata Blackie. "Kita harus menunggu. Tanpa kesabaran, dia tidak akan memberi kami Misi," Shi Feng menegaskan. Dalam kehidupan sebelumnya, Hammer Trading tidak sengaja melewati tempat ini. Dia telah menemukan seorang pandai besi di sini. Namun, pandai besi di sini tidak memperhatikannya terlepas dari bagaimana Hammer Trading berbicara dengannya. Ini membuat Hammer Trading sangat marah, jadi dia memutuskan untuk menunggu pandai besi itu. Dia terus berdiri di samping, mengirimkan tatapan maut ke pandai besi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa setelah beberapa waktu, pandai besi akan secara aktif berbicara. Tidak hanya itu, pandai besi bahkan memberikan Misi Tersembunyi. Ini telah memungkinkan Hammer Trading untuk mempelajari Bakat Penempaan, menjadi Master Penempaan pada zaman itu. Ketika Shi Feng berpikir tentang mendapatkan Bakat Penempaan, menggabungkannya dengan Buku Tempa, melaju ke Praktisi Penempaan Lanjutan menjadi tugas yang sangat mudah. Ketika waktu itu tiba, Koin Emas akan memenuhi sakunya. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit … "Apakah kalian berdua tertarik untuk menempa?" Pandai besi setengah baya tiba-tiba bertanya. "Ya pak. Kami menyukai Penempaan sejak kami masih muda," Shi Feng segera berkata. Pandai besi setengah baya menganggukkan kepalanya, berkata dengan nada puas, "Kalau begitu karena kamu menyukai Penempaan, aku bisa mengajarkannya padamu. Tapi pertama-tama, bisakah Kamu membantu Aku mengambil 100 Bijih Meteorit? Mereka dapat ditemukan di sisi Barat Tambang Bintang Crimson." "Tentu saja. Kami dengan senang hati akan melayani Anda." Shi Feng menjawab dengan hormat. Sistem: Misi Tersembunyi ‘Jalan Penempaan’ diterima. Pemain diminta oleh Master Penempa Jack untuk mendapatkan 100 bijih Meteorit dari Tambang Bintang Crimson. Tambang Bintang Crimson adalah sarang Kobold Level 4. Monster-monster ini sangat menyukai bijih. Mereka akan menghabiskan waktunya menambang setiap hari di dalam tambang. Karena itu, Kobold terlahir dengan kekuatan besar. Namun, mereka memiliki badan yang pendek. Karena mereka tinggal di bawah tanah untuk waktu yang lama, jangkauan penglihatan mereka pendek. Mereka hanya bisa mendeteksi musuh dalam jarak 35 meter. Jarak ini juga merupakan jarak serangan maksimum bagi ahli sihir. Di pintu masuk tambang, ada banyak Kobold yang berjalan di sekitarnya. Seluruh kelompok mereka akan tertarik bahkan jika hanya satu dari mereka yang diserang. (Kobold) Level 4 HP 420 "Sini. Pertama-tama, makan dan minumlah untuk mengisi perut kita. Kita akan mulai bekerja setelah itu," Shi Feng mengeluarkan Bir Baja Hitam dan Pai Apel. Blackie tidak mengerti apa yang sedang coba dilakukan Shi Feng, tetapi karena itu adalah permintaan Shi Feng, dia pasti punya alasan sendiri. Blackie duduk dan mulai makan. Sepuluh detik setelah makan Pai Apel, semua atribut Blackie tiba-tiba bertambah 1 poin, efeknya bertahan 30 menit. Setelah minum Bir Baja Hitam, Penglihatan Blackie mulai menjadi kabur. Ketika dia melihat Level 4 Kobold yang jauh, Level mereka tiba-tiba berkurang menjadi Level 2. "Baiklah, mari kita mulai. Efek mabuk Bir Baja Hitam hanya bertahan 30 menit." Shi Feng berdiri. Dia mengeluarkan Bom Asap dan berjalan lebih dekat ke pintu masuk tambang. Kemudian, dia melemparkannya ke grup Kobold Level 4; saat ini ada lebih dari sepuluh di sana. (Bom asap) Mampu mengurangi Penglihatan dalam radius 10 kali 10 meter. Durasi satu jam. Bom Asap mampu mengurangi penglihatan monster sebesar 10 meter. Itu tidak terlalu berguna melawan monster lain. Namun, itu cocok ketika menghadapi Kobolds. Penglihatan mereka sekarang dikurangi menjadi 25 meter. Selama penyihir menyerang dari jarak 30 meter, Kobold tidak akan bisa melihat mereka sama sekali. Mereka hanya bisa berdiri di sana dan menunggu kematian mereka. "Serang." Shi Feng menunjuk ke Kobolds dalam asap. Blackie agak meragukan tindakan Shi Feng, tapi dia masih memilih untuk percaya pada Shi Feng. Mulutnya mulai mengucapkan kutukan. Sesaat kemudian, sebuah Panah Hitam melesat keluar, mendarat langsung di tubuh Kobold yang paling depan. Keberuntungan Blackie Kobold di dalam asap terkena misterius, 21 kerusakan muncul di atas kepalanya. Kobold menjadi sangat marah setelah diserang secara misterius. Seperti lampu sorot, Kobold melihat sekeliling ke segala arah dengan mata merah darahnya. Tindakan seperti itu juga menyebabkan Kobold lainnya mulai waspada. Di dalam tambang, detak jantung Blackie terus meningkat. Dia sangat panik. Meskipun Kobold terlihat seperti Level 2, Atribut mereka 100% milik Level 4. Meminum Bir Baja Hitam membuat pemain mabuk, yang secara signifikan meningkatkan keberanian pemain. Akibatnya, semua musuh yang dilihat oleh pemain akan mengurangi Level mereka sebesar 2 level. Namun, ini tidak akan mengurangi Atribut Kobolds. Jika Kobold ini datang menghampiri mereka, hanya kematian yang menunggu Shi Feng dan Blackie. Namun, kekhawatiran Blackie sia-sia. Kobold yang diserang melihat sekelilingnya. Namun, itu tidak menemukan musuh. Setelah merengek sebentar, ia kembali ke keadaan semula. Kobold yang lain juga berhenti memperhatikan teman mereka yang gila ketika mereka terus berjalan. "Tenang saja. Mereka tidak akan menyerang kita selama kamu menjaga jarak sejauh 30 meter," Shi Feng menepuk pundak Blackie saat dia dengan percaya diri berkata. Dia sudah merencanakan semua ini sebelumnya. Kalau tidak, dia tidak akan menghabiskan banyak uang untuk membeli semua barang-barang itu. Blackie menjadi lebih berani setelah Shi Feng menyemangatinya. Dia terus-menerus meneriakkan kutukan dan menembakkan Panah Gelap (Dark Arrows). Kobold hanya memiliki 420 HP, dan itu tidak tahan terhadap serangan Blackie sama sekali. Setelah menerima lebih dari dua puluh Panah Gelap, ia menghembuskan nafas terakhir. Sementara itu, Kobold lain di sisinya tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Blackie menjadi bersemangat ketika dia melihat Kobold pertama jatuh. Dia telah membunuh monster 4 level lebih tinggi. Meskipun EXP dibagikan karena berada dalam tim dua orang, jumlah EXP yang ia terima masih banyak. Pengalamannya meningkat 5% dalam sekejap. Ini berarti bahwa Blackie akan naik level setelah membunuh 20 Kobold. Dia bahkan aman dan tidak terluka. Jika monster tidak menghilang sepenuhnya, kecepatan naik level mereka akan sangat mengerikan. Dengan cara naik level yang hebat seperti itu, mereka akan naik bahkan ke Level 6 dengan sangat efektif. Blackie sekarang mengerti mengapa Shi Feng begitu percaya diri. Bahkan jika mereka telah membuang beberapa jam untuk bepergian, bisa menggiling monster di sini pasti sepadan. Setelah beberapa saat, mereka kira-kira telah menghabisi dua puluh Kobolds di depan pintu tambang. Blackie juga naik ke Level 1. Setelah dia menggunakan Tongkat Kayu Hitam dan menambahkan semua Poin Kemampuan ke Kecerdasan (INT), kerusakannya meningkat dengan sangat besar. Dia sekarang bisa mengurangi 45 HP dari Kobolds dalam satu serangan. Sementara itu, kelompok Kobold telah menjatuhkan 12 Koin Tembaga dan Armor Kain Umum Level 3. Ada juga 5 biji Meteorit. Keberuntungan Blackie cukup bagus. Menurut apa yang diketahui Shi Feng, tingkat jatuhnya Bijih Meteorit dari Kobold tidak tinggi; hanya satu yang akan keluar dari sepuluh dari mereka. Hampir 1000 Kobold perlu dibunuh untuk mendapatkan 100 biji Meteorit, namun sekarang, hanya sekelompok Kobold yang memberi mereka 5 biji Meteorit. Setelah menyimpan semua jarahannya, Shi Feng melanjutkan untuk memikat lebih banyak monster. Dengan keunggulan 16 poin Ketangkasan (AGI)-nya, kecepatan Shi Feng lebih cepat daripada Kobold. Dalam beberapa saat, dia telah memikat lebih dari 30 Kobold. Dia juga menjaga jarak sekitar 20 meter, tetapi tidak melebihi 25 meter. Ketika dia telah memikat semua Kobold ke dalam asap, Shi Feng meningkatkan kecepatannya dengan tiba-tiba. Dia dengan cepat menjauhkan diri dari jarak 25 meter dari Kobold, menyebabkan mereka kehilangan target. Setelah kehilangan target mereka, Kobolds berdiri di tempat dengan linglung. Blackie yang berdiri lebih dari 30 meter mengambil kesempatan untuk menyerang. Untuk membunuh 30 Kobold membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit. Mereka menjatuhkan 21 Tembaga dan 6 biji Meteorit lainnya. EXP Shi Feng dan Blackie juga sangat meningkat. Dengan Shi Feng yangvterus memikat monster sementara Blackie terus memberikan kerusakan. Meskipun prosesnya terasa mekanis dan membosankan, Blackie tidak mengeluh sedikit pun. Sebaliknya, dia menjadi lebih kuat dengan setiap kobold yang dibunuhnya. Dia berharap bisa membunuh sepanjang hari tanpa istirahat. Setelah satu jam, level Blackie juga naik ke Level 2. Panah Gelapnya naik ke Level 3, dan kerusakannya berubah lebih dari 40 menjadi lebih dari 60. Kecepatan naik levelnya seperti roket membuatnya tak bisa berkata-kata, bahkan menambah motivasinya untuk mencapai Level 3. Efisiensi membunuh Kobold mereka juga meningkat sedikit dengan efek kerusakan Blackie. Satu-satunya kekurangan cara itu adalah peningkatan konsumsi MP setelah meningkatnya Kemampuan Panah Gelap. Untungnya, ada Air Ajaib yang telah dibeli Shi Feng. Dengan itu, Blackie dapat meregenerasi semua MP-nya sebelum Shi Feng sempat memikat sekelompok monster baru, yang memungkinkannya untuk memberikan Kerusakan tanpa jeda. Sementara itu, Shi Feng mengamati kondisi Blackie sementara dia memikat sejumlah Kobold. Selain itu, dia hanya mengambil barang jarahan. Jumlah Koin Tembaga dan Biji Meteorit terus meningkat. Setelah satu jam upaya Blackie, mereka berhasil mengumpulkan 73 biji Meteorit, 6 buah Perlengkapan Umum, dan 264 Tembaga. Mereka akan bisa mengumpulkan Biji Meteorit yang tersisa jika mereka terus menggilas selama satu jam lagi. Pemberitahuan sistem terdengar pada saat ini. Sistem: Pemain Lonely Snow telah mengirimi Kamu 10 Tembaga. Selanjutnya, Shi Feng menerima permintaan komunikasi. Orang yang menghubunginya adalah Lonely Snow. "Kamu?" Shi Feng baru saja selesai memikat sekelompok monster. Karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan lagi, dia menjawab permintaan panggilan Lonely Snow. “Halo, Kakak Ahli. Aku Lonely Snow. Kita pernah bertemu sebelumnya di Balai Kota, dan Kamu menunjukanku tempat penggilasan monster. Tempat itu terlalu bagus. Tidak ada orang yang mencuri monster dariku, dan Aku juga bisa dengan mudah menanganinya. Aku sudah Level 2 sekarang. Aku juga menjarah banyak bahan dan koin tembaga. Aku sudah mengirimkan 10 Tembaga kepadamu. Aku ingin tahu apakah kamu menerimanya." Lonely Snow sangat gembira. Sebelumnya, dia khawatir ahli ini tidak akan peduli dengan dia lagi. Ini karena para ahli biasanya sangat sombong; mereka bahkan tidak akan memperhatikan pamain lemah seperti dia. Lonely Snow telah menghasilkan lebih dari 60 tembaga dari lokasi berharga yang dia beli. Levelnya bahkan telah naik ke Level 2, memimpin pemain lain dengan cukup banyak. Menghabiskan 20 tembaga untuk ini pasti sepadan. “Jadi itu kamu. Aku telah menerima 10 tembaga." Shi Feng hanya ingat tentang hal itu setelah diingatkan. Namun, saat itu dia membutuhkan uang untuk membunuh Walikota sedikit lebih cepat, dia memberikan beberapa petunjuk. Dia tidak benar-benar keberatan dengan masalah 10 Tembaga yang tersisa. “Kakak Ahli, Dungeon Level 2 (Hutan Maut) telah dibuka, jadi aku ingin mengajakmu untuk terjun ke Dungeon. Teman-temanku semua veteran, dan mereka semua Level 2 sekarang. Mereka pasti tidak akan mengecewakanmu. Tentu saja, semua Peralatan Pendekar yang diperoleh dari Dungeon akan menjadi milikmu. Apa Kamu punya waktu?” Lonely Snow sedikit gugup. Para ahli biasanya merendahkan orang lain, terutama pemula. Itulah alasan mengapa Lonely Snow menyebutkan bahwa ada veteran Level 2 di timnya; dia takut Shi Feng akan langsung menolaknya. Hutan Maut? Shi Feng memiliki kesan mendalam tentang Dungeon ini. Selama jumlah pemain Level 2 di Kota Daun Merah mencapai jumlah tertentu, Dungeon Level 2 pertama di Kota Daun Merah, (Hutan Maut) akan dibuka. Seiring dengan pembukaan Hutan Maut, para pemain God's Domain diberitahukan tentang kesulitan Dungeon. Hutan Maut baru ditaklukkan setelah banyak pemain mencapai Level 4 atau 5. Sementara itu, tujuan sebenarnya Hutan Maut adalah untuk meningkatkan jumlah keterampilan yang bisa dimiliki pemain. Monster-monster di dalam Dungeon sebagian besar menjatuhkan buku keterampilan dasar untuk setiap Pekerjaan. Namun, item yang paling berharga di dalam Dungeon adalah desain Tempa. Hanya Boss Terakhir, Werewolf Felot menjatuhkannya dengan probabilitas yang sangat rendah. Shi Feng sangat tertarik dengan desain Tempa ini. Jika dia bisa mempelajarinya, maka dia akan dapat lebih maju dalam rencananya. "Baiklah. Tapi, Aku punya syarat. Aku akan membawa Cursemancer, jadi semua peralatan Cursemancer dan Pendekar Pedang akan menjadi milikku. Juga, Aku ingin semua bahan dan kertas desain yang dijatuhkan Bos. Jika Kamu semua bersedia menyetujui syarat ini maka Aku bisa pergi denganmu.'' Shi Feng dengan santai meminta sebagian besar keuntungan. Namun, dia tidak merasa ada yang salah dengan itu. "Ini ……" Lonely Snow mulai berkeringat setelah mendengar syarat dari Shi Feng. Seperti yang diharapkan, harga diminta seorang ahli jelas tinggi. Namun, ketika Lonely Snow mempertimbangkan kekuatan Penguji Beta, dia masih dengan enggan menyetujuinya, “Baiklah kalau begitu, aku setuju. Aku akan menceritakannya kepada yang lain. Kakak ahli, kapan Kamu akan datang?" "Kita akan bertemu di pintu masuk Dungeon dalam dua atau 3 jam lagi," Shi Feng memperkirakan kecepatan pembunuhan Blackie. Dalam lebih dari satu jam, mereka pasti akan bisa menyelesaikan mengumpulkan 100 biji Meteorit. "Itu bagus. Maka Aku akan memulai persiapan di sini. Aku akan menuggumu di pintu masuk Dungeon, Kakak ahli." Lonely Snow mengakhiri panggilan, seolah beban berat terlepas darinya. Pada saat ini, ada tiga orang lain yang berdiri di samping Lonely Snow. Masing-masing dari mereka adalah Level 2. "Apa yang dikatakan ahli itu?" Tanya Ranger yang tampan. Lonely Snow menjelaskannya kepada mereka kata demi kata. "Ahli kentut anjing apa? Dia di sini hanya untuk mengambil keuntungan dan merampas peralatan dari kita. Apa gunanya mengundang dia? Jika kita menambahkan dua dealer kerusakan lagi, kita bisa memasuki Dungeon sama saja.” Prajurit Perisai dengan marah mengumpat. Pemimpin agama pria yang berdiri di samping mengerutkan bibirnya, berkata dengan suasana hati yang buruk, "Lalu dia mengatakan bahwa semua peralatan kelas ahli sihir milik temannya." Lonely Snow menyarankan, “Orang itu adalah seorang ahli sejati. Dia juga seorang Penguji Beta. Dia pasti memiliki pemahaman yang mendalam tentang Dungeon. Dia bahkan mungkin bisa membimbing kita melaluinya. Apakah Kamu semua tidak ingin menyelesaikan Hutan Maut?" "Jadi, kalau dia seorang Penguji Beta? Dia hanya memiliki pengalaman ekstra sebulan di God's Domain. Selain itu, data telah lama diubah setelah rilis resmi game. Bahkan jika dia tahu banyak tentang Hutan Maut, apakah akan ada gunanya?" Prajurit Perisai bertanya dengan jijik. Dia merasa bahwa Penguji Beta itu hanya beruntung. Keterampilan dan kekuatannya yang sebenarnya mungkin bahkan tidak sebanding dengan mereka. "Kita akan lihat bagaimana kelanjutannya setelah mereka tiba. Jika tidak bagus, maka pada saat itu akan ada lebih banyak pemain Level 2. Tidak akan terlambat, bahkan jika kita menemukan orang lain saat itu," kata Ranger yang memimpin. Setelah mendengar Ranger itu berbicara, yang lain mengangguk setuju. Saat ini, ada kilatan cahaya di Lembah Bulan gelap. Shi Feng akhirnya naik ke Level 3. Sayangnya, leaderboard untuk level belum dibuka. Kalau tidak, dia pasti akan ada diperingkat pertama di leaderboard Kota Daun Merah. "Akhirnya Level 3." Shi Feng buru-buru menambahkan 4 poin atribut ke Ketangkasan (AGI), membiarkan Ketangkasan (AGI)-nya mencapai 20 poin. Sistem: Ketangkasan Pemain telah mencapai 20 poin. Mengaktifkan Keterampilan Dasar Ketangkasan yang Tersembunyi (Cepat dan Gesit). (Cepat dan gesit) (Aktif) Saat diaktifkan, memiliki tubuh yang melebihi manusia normal. Tingkat kebebasan tubuh sepenuhnya dilepaskan. Shi Feng tiba-tiba merasakan semburan kekuatan dari seluruh tubuhnya. Dia juga merasakan tubuhnya menjadi sangat lincah. Panca inderanya juga mengalami peningkatan besar. Peningkatan ini memungkinkan Shi Feng untuk lebih mengerahkan potensi tubuhnya. Selain Shi Feng mencapai Level 3, Kobold terakhir yang dibunuh Blackie secara tak terduga menjatuhkan Peralatan Perunggu Level 1: Warboots. Shi Feng mengagumi keberuntungan Blackie. Monster umum Level 1 sampai 3 tidak akan menjatuhkan Peralatan Perunggu apa pun. Tingkat jarahan Peralatan Perunggu dari monster liar Level 4 adalah satu dari sepuluh ribu. Namun Blackie benar-benar mendapatkannya; keberuntungannya telah menantang surga. ''Kakak Feng, apa atributnya? Biar aku lihat juga!” Blackie berkata dengan penuh semangat. "Atribut Warboots cukup bagus." Shi Feng menampilkan atribut. (Warboots) (Peringkat Perunggu, Pelat Baja) Level 1 Persyaratan Peralatan: Kekuatan (STR) 6 Pertahanan (DEF) 8 Kekuatan 1, Ketahana (END) 1 Kecepatan Gerakan 1 Daya tahan 20/20 “Ini terlalu hebat. Dengan peralatan ini, kecepatan Kakak Feng akan menjadi jauh lebih cepat,” kata Blackie dengan gembira. Sebelumnya, hanya dia yang mendapatkan Peralatan Perunggu. Itu mengganggunya tanpa akhir. Sekarang Shi Feng memiliki satu juga, hatinya menjadi lega ketika dia berkata, "Kakak Feng, berapa banyak biji Meteorit yang masih kita kurang?" "Tidak banyak. Hanya 4 biji lagi. Kita akan selesai setelah satu gelombang lagi," Shi Feng melihat ke dalam tasnya. Tanpa sadar, sudah ada 96 buah Biji Meteorit di tasnya. Jika orang lain datang ke sini untuk menggilas monster, mereka mungkin membutuhkan lima hingga enam jam untuk mendapatkan sebanyak ini. Untungnya, ada Blackie. Mereka telah mengumpulkan sebagian besar setelah membunuh beberapa ratus Kobold. Tepat ketika Shi Feng hendak memikat lebih banyak monster, indra tajamnya mendeteksi tiga sosok buram mendekat dari belakang Blackie. "Blackie, cepat menghindar!" Shi Feng berteriak saat dia mengeluarkan Pedang Novice-nya. Dengan kecepatan kilat, Shi Feng berlari mendekat. Blackie tetap tidak tahu apa-apa tentang situasinya. Dia masih terjebak rasa bahagia, tidak menyadari ada yang mendekatinya. “Baru menyadarinya sekarang? Kamu terlambat. Dia akan menjadi yang pertama." Tiga sosok tiba-tiba muncul. Mereka adalah tiga pemain Assassin, dan salah satunya adalah Quiet Wolf, orang yang terbunuh sebelumnya. Seorang Cursemanser yang secara bersamaan disergap oleh tiga Assassin akan mati, tanpa sadar. Tidak ada yang bisa menghindari itu, bahkan jika Blackie 1 level lebih tinggi dari mereka. Description: Renkarnasi dari seorang gamers yang dipecat dari lokalkarya yang dengan susah payah dia kembangkan menjadi salah satu yang terbaik. Dengan keterampilan dan pengalaman di kehidupan sebelumnya, dia mencoba bangkit dan membangun lokalkaryanya sendiri dan menjadi yang terkuat.
Title: Retorika Hati Category: Puisi Text: Gelapnya Cahaya Kini....Hanya tinggal secercah cahayaCahaya yang terlihat begitu gelapCahaya yang tak mampu berharapKenapa ini terus terjadiHanya ada kegelapanDan kegelapan....Semua semakin gelapDitenga segerombolan cahayaBergegas...Cepat tanggkap gerombolan cahaya ituCahaya nan gelap semakin menutupi kalbuMerasuki jiwaerobek hati dalal gelap nya cahayaSiapa yang bertanggung jawab atas semua ini????Apakah kita???Munggkinkah mereka????Atau bahkan dia????Padamkan saja kegelapan ituDan kembalikan indah nya cahaya ituUntuk sekarangBesokLusaDan selamanyaHingga akhir menutup mata Hilang Langit membisuBumi pun terdiamAngin menatap hatiHilang sepiMenjemput matiSuasana iniMembuatku jadi gilaSemua hilangPergiSunyiGelapDan sangat sepiEntah kemana dan dimanaJiwa ku kiniTelah melayang lewati relung ituTapi dia tetap saja diamMembisu hilangDitengah gelap malamMalam pun terasa hanyutDalam genangan dinginBerselimut debuLalu menatap langitMelihat sepiKemudian hilang dan lenyap Nenek Tua Yang Malang Di pinggiran jalan engkau tertatihPeluh mu kian menghujanTurut membasahi raga mu nan rentaTapi mengapa engkau begituBegitu malangTerlalu lemah dan terlukaNenek tua yang malangDerita mu tak sanggup ku pandangKu ingin membuang luka muNamun aku tak akan sanggupAir mata ku turun mengalirMelihat dirimu menahan deritaNenek tua yang malangEngkau sabar dalam rintanganTubuh mu semakin rentanTidur beralaskan bumiBeratapkan langit yang membisuYang turut menjadi saksiDalam sengsara muKau berjuang demi hembusan nafasHidup tanpa belas kasihanTanpa untaian tangan orang lainBagi ku engkau adalah panutanSelama nya..... Tangis Khatulistiwa darah bertabur dalam pasir yang menguningsajak-sajak tangis bersatu dalam tahahmereka perang mereka menangmereka menang mereka menangistangis nya berderai di kahtulistiwasenyum nya pudar bersama angin khatulistiwa menagisnyawa nya hilang juga melayangharinya pergi tinggal sepimenatap tangis khatulistiwadalam perut bumi dia bersyairhilang kan sedihtumbuhkan sukaaku sedih melihat khatulistiwa bersedihketagaran hati nya melawan perang di atas langitlangit yang yang turut menangis melihatnyagugur sudah dia dalam perangdarah bak tinta yang membasahipeluh nya menetes di atas permadani kedamaiancintanya merasuki kalbu khatulisiwawalau sesaatmeski dalamm senja dihatiku selalu Pengharapan Siang yang semakin terik Membakar hingga ke ubun ubunDi hembus anginYang tak sanggup meredamDamai yang tak dapat di jumpaiDarah pun ikut menjadi tintaMenjadi saksi bisuDalam pengharapan yang bertubiAtas panorama iniTak ada tempat tuk mengaduTak ada ruang tuk sembunyiPerlahan tapi pastiAku sudah tak lama lagiPengharapan semakin semuPerang juga ikut membaraHingga aku benar-benar tiadaAku berharap ini mimpiMimpi buruk yang menghantuiNamun itu salahImi benar terjadiBukan hanya mimpiBukan juga bunga tidur yang menyedihkanSungguh...Ini detik terakhir dalam hidupkuSemoga menjadi akhir pertumpahan darah Aku Dan Bayangan ku Senja berganti alam Menerawang dalam kegelapanMenakuti ku dengan bayangan ku sendiriPerlahan ku buka pintu kegelapan yang membekuTubuh kecil ku Kemudian bergetar hebatAku sungguh takut dalam kegelapan iniRasa nya ada sesuatu menatapkuYang ternyata bayangan kuAku dan bayanganku yang menakutkanBersembunyi dalam lorong ketakutan kuDerap langkah mulai menghantui malam kuTubuh ku kembali menggigilAku dan bayangan kuMenerpa segala ketakutanAngin angin malam Kemudian bersiul mentertawaikuBersama dengan bayangan kuSiulannya semakin kerasDan terus mengerasMenusuk hingga ke dalam inti telingakuAku dan bayangan kuTak pernah tahu apa yang akan menimpaSesuatu yang buruk mungkin akan terjadiMenggangguku dan bayanganku hingga malam berlalu.. Tanah Darah Beta Senen malam kini datang lagi Dan ini sudah bulan Agustus Tengah bulan sudah berlalu begitu saja Uang habis dan badan lelah Ini tanah darah Beta Noda Hitam kini mungkin telah berlalusebuah kepiluan yang sulit terlupasebuah noda hitam yang mencemariyang selalu menusuk kalbusanggup menelusuri hatihingga tersesat ke palung cinta terdalamtapi noda hitam itu terus mengusikkudia berkaca pada matahari yang menangisdengan sentuhan embun yang membakarnoda hitam itu benar-benar datangtak pernah puas mengusik hidupkumembelah setiap langkah yang ku tempuhnoda hitam itu benar pintar dia benar-benar hitamdia terus saja mengejar kudalam kegalauan hati kukebencian dalam nyawanyakebodohan dalam kejeniusan ku yang tertinggalnoda hitam itu tak mau mengalahtak bisa menjauh dari hidup kuaku ingin berteriaktapi tak bisaaku juga ingin menangistetap tak bisa Awan Ungu tersenyum aku memandang langittersipu malu di antara ribuan bintang kejoradibawah sungai surga yang memecah kesedihanawan ungu dalam hati kubagai bulan yang terang dalam malamseperti pecahan cintaaku mungkin akan memeluk gunungnamun terlalu besar untukkutapi awan ungu yang indah iniselalu setia bersama kukala gundah dan pasrahwalau enggkau hanya sebonggkah awanwahai tuhan kuaku pasti bersyukur atas nikmataku ikhlas akan bahagiaaku tentram dalam damaikudengan cintabersama awan ungudalam hidup juga matikudalam duka hidupkuhanya berdua dengan awan ungu kuaku akan selalu bahagiadalam doa mujuga sayang tuhan kuuntuk waktu panjang... Palsu Dunia mulai meneriaki bulanBulan terbelah dan pecahDan menjadi puing puingHidup tak berhenti menatapTatapan tajam yang bisuPenuh artiPenuh seribu maknaHngiga lelah dan kembali berteriakSangat kuatSampai merasuki jiwa atmosferNamun semua itu sajak palsuKepalsuan yang tak hilangGelora malam tak mampu menutupnyaTerang pun siang tak dapat melihatnyaIni kisah tentang segala kepalsuanKepalsuan itu telah memeluk bumiDengan kuat hingga membelah inti bumiMembakar samudraMenghanguskan lautanYang sebenarnya hanya kepalsuanTetap saja kepalsuanLagi dan selama nya palsu Seonggok Kematian Dalam setitik kehidupanAda sejuta kematianKehidupan adalah awal kematianNamun kematian bukanlah akhir kehidupanSeonggok kematianTelah terhidang didepan mataSetiap nyawa pasti akan matiDan bukan hanya sekedar matiTapi mati untuk secercahhidupKematian tidak akan lelahUntuk menghampiri nyawa-nyawa iniMenghapus kehidupanLalu mewarnai kehidupan baruDisana telah hidup dua pilihanSenang atau sedihSuka atau tidakItulah seonggok kematianSeonggok racun yang gila membunuhBersalah ataupun tidakTetap harus berakhirPasti akan matiMati dalam kehidupan fanaYang dapat berakhir dalam keindahan... Kemarin Hujan Segerombolan awan hitam di bulan Juni Menetesi hamparan hati yang terluka Kemarin hujan Dan sekarang juga Tetesan nya meleburkan debu di halaman Kemarin hujan Percikan nya membasahi sepatu kanan ku Ini dingin Hujannya benar-benar dingin Aku tak bisa menghindarinya Meski ingin berteduh dari hujan Memar Hakim Kota Tua Tok tok tok Hakim agung yang seram sudah mulai beraksi Dia hakim kota tua Berpasang pasang jiwa ada di palunya Mereka bersalah Mereka tidak bersalah Hakim kota tua Dia tak pandai bermanis muka Seisi kota takut padanya Tapi tidak seorang pemuda Dia berbeda. Dia tak sama Dia benci hakim kota tua Hakim yang seram itu tak bisa menyakitinya Hakim itu kini kalah di palunya Dia hakim kota tua Tuhan Tuhan, mengapa kau beri aku cintaNamun kau rebut lagi dari hidup kuTuhan dosa kah aku????Aku ingin memilikinyaKini semua sirnaMungkin dosa yang dulu kulakukanTuhan, ku ingin menebus semuanyaIzinkan aku tuhanTolong izinkan akuDari palung jiwa ku terdalamKu hanya inginkan cintaCinta kasih nan tulusDari mu tuhan kuBila aku harus menangisAku kan menangisWalaupun kau tumpahkan air samudraItu takkan cukup lagiTuhanDiriku selalu memohon kepadamuEngkau tuhan kuAku hidup pada muDan aku mati juga kembali padamuTuhan ku... Sahabat Kau memberi ku sebuah makna kehidupanMenjaga ku dalam dukaKau membuat ku mengerti pengorbananSungguh tak ku harap perpisahanTak luput dengan dukaSahabat...Kau mampu mengalahkan sinar mentariMenerangi kisah dalam kasihMengusir lelah dalam dukaSahabat...Kau membuatku kian bahagiaMembawa senyum dalam tangis kuIkut tertawa bersama kuSeperti rembulan dalam raga kuSetiap detik menjadi bermaknaSahabat...Dirimu satuAda dalam dirikuBunga tidur dalam mimpikuTerbang seraya angan kuSahabat kuTetaplah di sini dengan kuDalam ada dan tiadaHadir diri ku di hari mu Membelah Langit Denting jam memecah kesunyianMembelah dinginnya embunDiantara taburan bintang dilangitDitengah terpaan kesuramanBurung pun mengendapKemudian membelah langitYang tergores Dengan dosa-dosa pahitNamun bintang tak mau kalahDia ikut tertawa menatap langitLangit memecah Juga membisuAku bertanya pada bulan sabitMengapa ini terjadiNamun ..Bulan sabit itu hanya diamAku bertanya pada bintang-bintangTapi sayangBintang juga tak mendengarAwan gelap yang semakin menghitamKiniAngin lembut pembawa debuTurut membelah langitHingga senja menjelangKemudian berakhir pula Ketika Aku ketika seluruh manusia membencikuketika aku tak lagi memiliki seutas cintaaku hanya bisa diamketika segenggam cinta tak bisa ku rengkuhaku pun tak bisa mengelakketika aku merasa kehilangan segalanyadan itu bener-benarterjadiaku tak munggkin bertahan lagidalam kegaduhan hatibersama dalam kehancuranaku bukan seorang lelakinamum hanya seorang hawayang tidak pula dari surgahidupku yang bermandikan deritaketika tak ada apiyang dapat melemahkan hatiku yang bekuaku akan terpuruk sendiritanpa engkau peduliketika akutak temui air yang menyejukan hati ku kala bimbangkini aku sangat terjatuhdalam jurang-jurang cintadan ketika kebiasaan baru kala gugup karna muaku menjadi sadar betapa aku mencintai mu Semu aku terjatuh di daratan luas yang sunyigemerlap malam yang hilang lenyapdalam kalbu yang semusemua yang ku tatap hanya semugemuruh bernyanyi dalam semukemudianpercikan api di langitmenghantap raga ku yang ketakutanmembelah hati ku bagai puing-puingaku tak tahu apa masih ada jalan untukkusemuanya tampak semu dan palsuaku bimbangaku galauaku takutdalam kesendirian kuawan mulai mengutari kuperlahan menyusup ke benakku sungguh ironi yang menyeramkandalam semu hidupkuuntuk hari inimungkin juga besokdan aku tidak mau tahu dalamkesemuan ini... Awan Ungu tersenyum aku memandang langittersipu malu di antara ribuan bintang kejoradibawah sungai surga yang memecah kesedihanawan ungu dalam hati kubagai bulan yang terang dalam malamseperti pecahan cintaaku mungkin akan memeluk gunungnamun terlalu besar untukkutapi awan ungu yang indah iniselalu setia bersama kukala gundah dan pasrahwalau enggkau hanya sebonggkah awanwahai tuhan kuaku pasti bersyukur atas nikmataku ikhlas akan bahagiaaku tentram dalam damaikudengan cintabersama awan ungudalam hidup juga matikudalam duka hidupkuhanya berdua dengan awan ungu kuaku akan selalu bahagiadalam doa mujuga sayang tuhan kuuntuk waktu panjang... Kebencian Aku bukan debu yang tak berarti Aku bukan jasad yang tak mampu nutuk berbuat sesutu Aku tak ingin lagi diremehkan olehmu Seorang teman namun musuh ku Tapi aku tak akan berharap kau kembali Bersama air mata mu Aku benar — benar benci padamu Benci pada seluruh hidupmu Bahkan hingga kamu mati Kebencian ini akan ku simpan dalam hati kuAku tak akan lemah lagi oleh mu Tak akan pernah berdiam Atas sebuah kekalahan Kamu belum mengenal ku seutuhnya Seperti aku mengenal dirimu seutuhnya Kamu tak tahu aku mampu berbuat apapun pada mu Aku akn menyakitimuLebih dari kamu telah menyakitiku Dan kamu akan melihat betapa kejamnya diriku Aku akan menjadikan mu sampah yang tak berharga dalam duniamuAkan ku usik setiap detik dalam hidupmu Dan setiap langkah yang kamu tempuh Aku juga akan melukai hati mu Hingga tak satu raga pun yang peduli padamu Untuk selamanya..... yang hilang Aku yang selalu berjalan mundur untukmu Tanpa peduli angin yang berhembus Aku yang selalu berlari ke arah mu tanpa peduli derasnya hujan Aku yang selalu menginginkan MU Namun kini kau kini menjadi yang hilang Pada malam dan pada siang Pada angin dan awan awan Berhenti lah Akhiri saja Menghilang saja di bawah bulan merah Seperti angin sejuk di dahimu Bergandeng tangan seperti anak kecil Tersenyum bibir merah merona Bergemuruh gelombang di hati Sepertinya kita malam ini Hanya ada aku dan dirimu Berdua di bawah bulan merah seriosa di gedung 63 Jalan panjang di sepanjang jalan Aku teringat pesan dewa hari itu Pergilah bersama angin angin Maka kau akan bahagia Pergilah bersama sebuah rindu maka kau akan resah Perjalan ke gedung 63 hampir menyebalkan Aku akan datang untuk seorang hamba Dia seriosa seriosa Kemudian aku akan memilih untuk pergi bersama angin tapi ditemani rindu Seriosa di gedung 63 angin bulan maret Semilir angin yang sedikit hangat Mengibaskan rambut yang kusut Januari telah berlalu Februari akan berlalu Kini kita hanya perlu untuk duduk dan menunggu Tanpa perlu lakukan apapun Hanya bernafas dengan angin bulan Maret Ini angin terbaik dalam dua kali dua belas bulan Aku menyukainya Tidak, aku menyukainya bukan karena angin ini hangat Tapi karena kita bergandengan Di sepanjang jalan Bersama angin di bulan Maret Aku bahagia Meski ini Tak Akan datang lagi Description: luka kadang memberi kekuatan. kadang luka juga memberi ketakutan.
Title: RESET Category: Novel Text: Prolog Di malam yang hampir menyapa pagi. Di bawah penerangan lampu lorong yang sepi. Dia berjalan. Tertunduk dalam. Tidak perduli dengan helai rambut hitamnya yang lolos dari pengait, terurai menutupi wajahnya. Manik mata yang tersembunyi menunduk, seakan tengah menghitung setiap jengkal pijakan yang berada dibawah. Omong kosong. Semua pergerakan itu hanya sebuah pantulan yang terekam oleh matanya. Pada kenyataannya yang tersalur ke pikirannya hanyalah sebuah kekosongan. Itulah kebenaran yang terlihat matanya. Dia yang berada di puncak ketidakpedulian mengabaikan semuanya. Bahkan dirinya tetap berjalan tanpa perlu merepotkan diri mengangakat kaki untuk melangkah. Sehingga suara sepatu dan jalan yang saling bergesekan terdengar mengilukan telinga siapapun, tentu saja terkecuali telinganya sendiri. Suara kasar itu perlahan melembut dan kakinya berhenti. Tanpa melihat sekitar, sisa-sisa nalurinya yang hampir mati ternyata masih berfungi dan berhasil mengantarkannya hingga pintu kamar hadapannya ini. Pintu kayu yang warna coklat pliturnya mulai pudar dan tak seberapa kokoh itu adalah batas pemisah terkuat antara dunia luar dengan dunianya. Terbuka, masuk dan tertutup. "Aku pulang," sapanya dengan lemah. Bukan ucapan selamat datang yang akan didengarnya setiap sapa itu terucap. Melain desau udara ketenangan yang akan senantiasa menyambutnya suka cita. Dimana akan hadir sebuah bayangan dengan raut senang melihat raganyakembali. Dia akan senantiasa mengabdikan diri menemani, selagi malam berjalan menuju pagi. Namun, hal itu tidak akan terjadi untuk malam ini. Tak akan ada malam panjang, tak akan ada dongeng keluhan, tak akan ada tangis dalam diam dan tak akan ada jerit kerapuhan yang teredam. Dia hanya sebuah refleksi, hanya mampu mengikuti tanpa tuntutan layaknya pelayan yang patuh terhadap majikan. "Tidurlah dengan lelap, aku tau kau lelah. Jangan bangun bila belum melupakan, jangan kembali jika belum menemukan. Selamat beristirahat," bisik sang bayang di sisa kesadaran raganya. Description: Ketika titik terlalu menakutkan untuk mengakhiri cerita, tak apa kan kita memilih koma untuk menjeda?
Title: Re Love Category: Metropop Text: PROLOG : CLEO DAN WILLIAM Cuaca teduh hari ini diikuti angin yang berhembus riang, rambut dan rok Cleo melambai pelan menyamakan gerakan dengan tarian angin. Sudah sepuluh menit berlalu, Cleo masih saja berdiri tanpa melakukan apapun, buket bunga yang dibawanya masih menggantung di tangan kanan. Dia hanya diam menatap tanpa ekspresi. Batu nisan itu bertuliskan William Suradja 1988 — 2018. Cleo mengela nafas panjang, dia memang tidak menangis namun rasa sakit kehilangan masih sama tidak mengecil sedikitpun. Diumurnya yang masih tergolong muda, Cleo tidak menyangka lulus menjadi wanita tanpa suami. Bahkan menyebut kata janda saja terdengar tabu di telinga Cleo. Kali ini Cleo meletakkan buket tersebut tepat disamping batu nisan, berdiri menyamping seperti memeluk melepaskan rindu. Persis yang dirasakan Cleo saat ini. Dia tertawa kecil mengingat bagaimana William selalu berhasil bangun pagi lebih dulu dari Cleo. Cleo is not a morning person, namun kecupan yang diberikan William setiap pagi sukses menyemangatinya. Sekarang tanpa William, Cleo harus menyediakan empat alarm hanya untuk membangunkannya. “I miss you, really miss you,” ucapnya pelan. Hari ini hari ulang tahun pernikahan mereka, tidak ada kado diam-diam yang biasanya William sembunyikan di tas kerja Cleo. Tahun lalu dia menemukan mainan borgol serupa yang digunakan Grey pada Anna bertuliskan : happy anniversary sayang, nanti kita coba ya. Dua tahun sebelumnya Cleo tidak berhenti tertawa ketika mendapatkan buku Kamasutra yang terselip di file kerjanya. Namun sekarang happy anniversary-nya berubah menjadi sad anniversary. Cleo pun sebenarnya bingung masih pantaskah dia datang kemari untuk mengucapkan happy anniversary? Apakah ucapannya ini akan menyakiti William di dunia sana? Atau mungkin menyakiti dirinya sendiri. Empat bulan telah berlalu, Cleo masih ingat bagaimana ekspresinya saat menerima kabar mengenai kecelakaan William. Dia terduduk lemas, seluruh tulangnya kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Cleo memang belum menangis, tapi pikirannya hampa, tubuhnya terus gemetaran. Feelingnya sudah tidak bagus saat itu, entah mengapa dalam perjalanan ke rumah sakit yang dikhawatirkan Cleo justru masih sempatkah dia mengucapkan kata perpisahan pada William. Dan akhirnya jerit tangis tidak terhindarkan, Cleo hanya bisa memandangi wajah penuh luka William terlelap untuk selamanya sambil berulang kali mengucapkan i love you, tidak peduli William mendengarnya atau tidak. Katanya seseorang yang meninggal dunia akan selalu melekat dihati, tidak pernah hilang. Dan kebenaran itulah yang menyiksa Cleo. Terkadang saat Cleo bangun tengah malam berjalan menuju dapur, dia melihat William di sana sedang membuat kopi seperti biasa, namun saat dia mengedipkan mata untuk kedua kalinya, William sudah kembali hilang. Atau saat pagi Cleo melihat William mencuci mobil sembari memutar John Mayer sebagai musik penggiringnya, dia terlihat bahagia mengikuti setiap lirik dengan fasih. William pernah bilang kalau dia terlahir kembali dia mungkin akan menjadi John Mayer dengan nama William Mayer atau John William, menciptakan lagu yang membuat seluruh wanita dimuka bumi mabuk kepayang tapi Cleo akan tetap menjadi istrinya, tidak berubah. William bilang kapanpun dia dilahirkan kembali, dia akan selalu jatuh cinta pada wanita yang sama, hanya satu, Cleo Putri. Begitulah gombalan ala William. Lagi, Cleo menghela nafas panjang, sudah saatnya pulang namun langkahnya terasa berat. Dia masih ingin bernostalgia mengingat William di sini, William yang romantis tapi lucu, simple namun tegas. Tipe yang dicari oleh Cleo. Waktu pertama kali William mendekati Cleo, kala itu Cleo sedang terluka. Dia tidak yakin mampu menanggapi William dengan tulus namun cara William mendekatinya perlahan tanpa menuntut dan meyakini Cleo kalau dia tidak main-main membuat Cleo luluh. Suatu hari William bilang padanya, “Aku tahu kamu tidak menanggapiku seratus persen, namun selama yang di samping kamu cuma aku. Aku nggak masalah Cleo. Aku akan menunggu sampai kamu siap.” Dan dengan kebodohan ala abege milenial, Cleo malah mempertanyakan mengapa William bisa menyayanginya. Penasaran mengapa ada lelaki yang rela menunggunya. Namun lagi-lagi William berhasil membuatnya tercengang, menanggapi serius pertanyaan konyol Cleo. “Aku nggak tahu kenapa aku bisa sayang kamu Cleo, perasaanku pada awalnya cuma sekedar suka melihat senyummu, lalu seiring waktu bertemu entah mengapa semakin sulit bagiku untuk mendeskripsikannya. Aku rasa perasaan sukaku kian membesar hingga aku sendiri tidak mampu mengontrolnya. Yang pasti tidak mendapat kabar darimu dalam hitungan menit saja aku jadi kalang kabut. Jadi please, jangan buat aku kalut ya.” Cleo tertawa menutupi kegugupannya yang datang tiba-tiba, tawanya renyah bukan tawa meledek jawaban William. Bahkan William menyukai cara Cleo merespon perkataannya, meskipun tertawa pandangannya tidak lepas menatap William, teduh berbinar-binar. Ingin sekali William mengecupnya, sayang dia harus mampu menahan diri. Sedangkan Cleo, dia sadar harus memberi William kesempatan, hanya William. Akhirnya mereka bergandengan tangan untuk pertama kalinya saat itu, menautkan jari-jemari satu sama lain begitu erat, dengan desiran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Padahal Cleo cuma memutar ulang kenangannya bersama William, namun rasa hangat itu ikut menjalar ditubuhnya sekarang. Cleo bisa merasakan bagaimana setiap langkahnya tenggelam dalam pasir Bali kala itu, menciptakan jejak di setiap pijakannya seakan berkata untuk selalu mengingat moment ini. Tepat dihadapannya langit berwarna kuning - oranye memancarkan sinar yang memantul indah di wajah William, William jadi tampan dua kali lipat karenanya membuat Cleo sembunyi-sembunyi melirik William. Malu kalau ketahuan, namanya juga wanita tidak ingin kentara soal perasaan. Padahal suara detak jantungnya sahut - menyahut bernyanyi senada dengan desiran ombak. William bilang dia memang telah mempersiapkan semua ini. William tahu Cleo bukan anak pantai namun menyukai bagaimana perubahan langit menuju malam menghipnotis dirinya. Dan William yakin mengutarakan perasaan seraya menikmati sunset adalah hal sederhana yang akan disukai Cleo. Karena itu saat melihat jadwal tugas Cleo adalah penerbangan ke Bali. William dengan sigap mencari cara untuk bisa berada dalam penerbangan tersebut dan dia berhasil, keuntungan sama-sama bekerja di dunia penerbangan. Tuhkan Cleo kembali melamun, dia harus menghentikan nostalgia ini. Mengingat William selalu begini, bisa-bisa Cleo menginap, malas pulang. “Aku pulang dulu ya,” ucap Cleo lalu diam sebentar, masih ragu untuk melangkah. “Aku… dan Calista baik-baik aja. Kamu juga ya.” Description: Bagi Cleo cinta itu bahagia, jika cinta malah membuatnya menderita dia lebih memilih untuk mundur. Itulah alasannya mundur enam tahun lalu, saat tahu dia mencintai Revano sang pemain hati. Lalu sekarang Cleo dipertemukan lagi dengan Revano. Namun ternyata mencintai Revano kembali bukanlah hal yang mudah. Banyak pertimbangan yang menghalangi Cleo, status janda mudanya, Wiliam yang bahkan belum setahun meninggalkannya, juga gosip Revano akan wanita yang bahkan tidak berubah. Dapatkah kali ini Cleo bersatu dengan Revano? Atau dia harus mundur untuk kedua kalinya? "Cerita ini dibuat untuk mengikuti projek #WriteTheFest yang diadakan oleh Storial & Nulisbuku."
Title: Rain Man Category: Adult Romance Text: Hujan Tengah Malam Hujan katakan pada tanah bahwa setiap leburnya sebuah harapan akan hancur seperti janji tanpa kepastian Aayyon Syair pertama yang rintik-rintik mulai membasahi malamnya. Berhasil keluar dari kerongkongan menjelma kata-kata. Dia adalah penikmat kopi dan hujan paling tabah, meski hati terus diguyur kenangan. Di pojok cafe sambil memantik rokok untuk terakhir kalinya. In a Cafe & Coffe Lelaki itu kembali datang setiap pukul 17.00 di hari Sabtu. Sendirian dan mengambil kursi di pojok dekat pintu masuk. Tempat favoritnya bersama sebungkus rokok dan handphone yang tampak selalu dalam genggaman. Berjam-jam dia menghabiskan malam minggu di cafe and coffe sambil sibuk berkutat dengan gadget. Namun Sabtu kali ini agak berbeda. Wajah yang biasa tampak serius itu sedikit menyunggingkan senyum saat memesan kopi. "Atas nama Aayyon, Americano ice" Barista dengan lesung pipi samar meletakkan segelas es kopi yang tampak hitam pekat. "Thanks". Lelaki itu mendongak sebentar menyambut kopi pesanannya, dan menyunggingkan senyum tipis mengangguk pada barista tersebut. "Maaf mas, saya lihat sering ke sini." Sapa perempuan itu masih berdiri sambil memegang nampan. "Eh iya kak, tempatnya bagus, nggak terlalu berisik, racikan kopinya juga enak." Lelaki yang memiliki sapaan Aayyon itu meletakkan gadget sembari menyesap kopinya. "Wah makasih apresiasinya.. jadi gini mas, kebetulan mumpung masih sepi, saya pengen buat review. Dan saya liat mas sering ke sini.. boleh ya minta bantuannya buat take video. Nggak lama kok..5 menit aja." Ucap perempuan itu sambil menarik kursi di depan Aayyon. "Eh serius? Saya nggak biasa review makanan atau minuman loh kak." Aayyon menggelengkan kepalanya sambil mengangkat tangan. "Nggak papa, ini nanti saya share di Instagram... Sekalian promo, kebetulan ini kan cafe baru... Biar followers tau, dan recommended buat dateng ke tempat ini." "Oh ya udah, sok atuh.." Perempuan itu menatap lelaki di depannya sebentar lalu buru-buru menyalakan layar handphone, dan mulai merekam. Beberapa kali take akhirnya Aayyon berhasil mempromosikan kopi dan cafe itu dengan lancar. "Makasih a, oh iya perkenalkan abdi teh Alya. Aa urang Sunda nya? Sunda nya mana?" Alya mengulurkan tangannya sembari tersenyum manis. Membuat Aayyon sedikit kaget. "Loh kok tahu? saya dari Cianjur. Salam kenal.." Aayyon berucap sambil menjabat tangan Alya dengan hangat. Perbincangan mereka tidak berlanjut lama. Karena pelanggan mulai memenuhi cafe menjelang pukul 19.30. "Ya udah, besok disambung lagi, senang ngobrol sama Aa. Thanks ya review nya. Pelanggan udah banyak nih.. have a good evening." Alya bergegas kembali ke meja kasir meninggalkan Aayyon. Aayyon mengangguk senang sambil mengangkat jempolnya. Hiduplah dan berbuat baiklah seperti kopi dan gula Hidup harus seperti kopi meskipun pahit harus tetap di nikmati Dan berbuat baiklah seperti gula ... Meskipun tak pernah dianggap keberadaan nya tapi sangat terasa manisnya Sabarlah Seperti Gula Kopi terasa nikmat karena manisnya, yang disanjung tetaplah kopi, gula akan diabaikan. Begitu sebaliknya saat kopi terlalu manis, gula yang disalahkan, namun gula tak pernah kehilangan kesabaran Aayyon Pagi yang Hilang "Yon, Besok jangan lupa ada foto prewedding di Taman Bunga Nusantara ya!" Rudi berkomentar sebelum meninggal meja meeting. Aayyon yang masih berkutat pada DSRL miliknya tidak menanggapi. Sore itu fotografer profesional di perusahaan Queen's Studio sedang berkumpul untuk membahas projects cinema yang akan digarap pada Minggu depan. Sebuah projects short movie yang akan diikutsertakan kompetisi Gramedia film and festival. "Wei Yon, busett.. serius banget sih, denger ngga? Gue cuma ngingetin. Besok lu harus dateng lebih pagi, lu gantiin Adit. Adit sama gue diminta pak Hilal ke Jogja." Rudi mundur dua langkah saat ia belum mendapatkan jawaban persetujuan sambil menepuk pundak Aayyon. Yang diajak berbicara menanggapi dengan mengangkat alis namun matanya masih sibuk melihat hasil jepretan di layar kamera. "Iya, tapi gue ngga bisa sendiri.. gue butuh asisten. Banyak yang harus dipersiapkan kalo prewed." "Ya udah, Sindi nanti gua suruh ikut elu aja, lagian kemarin ada anak magang yang bisa gantiin Sindi sebentar di kantor. Kalian kan cuma sehari " "Atur aja, besok lu kirim alamat sama konsep dari calon pengantinnya mau gimana." " Oke,nanti gue serahin ke elu.." Rudi berucap senang sambil berlalu keluar ruangan. Esok harinya sebelum matahari terbit Aayyon tampak sibuk mengemasi kamera, tripod, lensa, dan kawan-kawannya. Setelah semua perlengkapan beres, ia mulai memasukkan ke bagasi mobil. Dia harus menjemput Sindi terlebih dahulu. Tidak sampai 15 menit akhirnya ia sampai di rumah berlantai dua dengan pagar bercat biru. Aayyon mematikan mesin mobil, lalu menelpon Sindi. "Gue udah sampe Sin, nggak usah masuk ya.. gua tunggu di depan aja." "Okey, gue juga udh siap kok." Jawaban dari seberang menutup obrolan singkat mereka. Aayyon memang belum pernah masuk ke rumah Sindi meskipun sesekali suka mengantar pulang. Selain rumah itu hanya dihuni oleh Sindi seorang, karena orang tuanya sedang sibuk mengurus bisnis batik di Jogja. Aayyon memang tipe orang yang cuek dan santai. "Eh nggak nunggu lama kan?" Sindi menyapa Aayyon sambil memasang sabuk pengaman. "Enggak, baru kok. Eh iya lu udah baca konsep prewed yang dikirim Rudi belom? Sorry gua suruh dia kirim ke elu, soalnya cape banget kemarin, gue harus bantu bokap dulu ngerjain desain toko." Aayyon berucap sambil memamerkan deretan giginya yang rapi, sedikit merasa bersalah karena melimpahkan pekerjaan miliknya pada Sindi. "Santai kalik, Udah gue pelajari kok, mereka maunya semi formal ala Jepang gitu.. jadi nanti kita cari spot yang bener-bener banyak bunga dan pepohonan." "Oke.. bagus juga kalo ada properti bunga Sin, biar lebih aestatic, hehe" "Tenang gue bawa buket bunga, sama bunga kering juga.." Sindi berujar sambil menunjuk Tote bag yang dia letakkan di kursi belakang tadi. "Thanks Sin." Setelah kurang lebih 3 jam dalam perjalanan. Akhirnya mereka sampai di lokasi. Namun setelah Sindi menghubungi calon pengantin, sepertinya mereka agak terlambat. "Emang mereka dari mana?" Aayyon bertanya sambil mengunyah sarapan paginya. "Oh, mbak Sila sama mas Fatur dari Bekasi. Emang lu beneran belum baca profil mereka?" Sindi meletakkan handphone lalu mengambil satu gelas coklat panas yang dipesannya. "Siapa? Sila?.. dari Bekasi? Coba gue liat profil mereka deh.." Raut muka Aayyon tampak terkejut, gerakannya reflek buru-buru menyesap kopi. Sindi mengernyitkan dahi, sambil mencari kertas dalam tasnya, lalu menyodorkan pada Aayyon. Aayyon menerima kertas itu dan mencermati setiap tulisan yang ada. Dia menyibakkan rambut beberapa kali, dan meraup muka dengan gusar. "Kenapa?" Sindi dibuat semakin penasaran atas gelagat panik Aayyon. "Sin, gue pernah cerita tentang seseorang di masa lalu gue kan? Ini Sin.. ah kenapa gue ga baca dulu profilnya dari kemarin." "Hah? Yang lima tahun itu? Serius ini orangnya?" Aayyon hanya mengangguk kesal. Wajahnya tampak murung dan serba salah. Ingin rasanya dia beranjak dari tempat tersebut, sebelum mentalnya diuji kenyataan. Sebelum perasaannya diaduk-aduk kembali. Satu per satu kenangan mulai berlalu-lalang dalam otaknya. Luka yang kemarin baru saja ia perban, kini terasa dirobek-robek kembali. Ketika dua orang sudah saling memutuskan hubungan, Padahal kenangan sudah terlanjur terciptakan, Sesopan apapun cara mereka berpamitan, akan tetap ada luka saat mengingatnya Luka Yang Kembali Setelah kurang lebih satu jam menunggu akhirnya kedua calon pengantin terlihat berjalan menuju meja tempat dimana Sindi dan Aayyon berada. Dari kejauhan keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu hal sambil berjalan cepat. Hingga jarak beberapa meter si perempuan menghentikan bicaranya, tatapan tajam menghujam ke arah lelaki yang duduk di meja tujuannya. Langkahnya semakin lambat dan berat, dengan raut muka semakin tak karuan. Namun segera berpura-pura biasa saja, sebelum lelaki yang berjalan disampingnya menyadari perubahan gerak-geriknya. "Selamat pagi, mba Sila dan mas Fatur silahkan duduk" Sindi menyapa terlebih dulu sembari berdiri dan mengulurkan tangan. "Maaf kita terlambat, tadi ada urusan sebentar di rumah." Lelaki yang disapa Fatur pun menjabat tangan Sindi dan Aayyon bergantian diikuti oleh Sila. Jabatan tangan Aayyon dan Sila terhenti sejenak, keduanya tersenyum kecut tanpa memperkenalkan diri. Melihat adegan kurang baik sedang terjadi, dan sebelum Fatur menyadari, Sindi buru-buru menegur. "Oke, gimana? mau langsung aja atau kalian mau sarapan dulu, Mba Sila?" Penekanan nama Sila segera melepaskan jabat tangan antara keduanya. "Oh, em.. tadi udah sempet sarapan kok, nggak papa langsung aja." Sila sedikit gagap menjawab pertanyaan Sindi. "Oke.. kita langsung saja make sure konsepnya .." Aayyon merebut kertas yang dibawa oleh Sindi dan segera mengajak ketiganya berdiskusi. Setelah sepakat mereka segera berjalan menuju spot yang dipilih. "Dia belum move on Yon, gue liat dari tadi matanya fokus banget ke elu sampai berkaca-kaca.. hampir tuh orang nangis." Sindi berbisik pelan agar tidak terdengar oleh klien yang berjalan di depannya beberapa meter itu. "Yah gue rasa dia juga belum lupa ingatan soal kenangan yang sudah terlanjur diciptakan." Aayyon berucap sekenanya sambil memasang muka datar. Antara mengejek dirinya sendiri yang masih terluka, atau memang menyinggung mantan pacarnya dengan sarkas. " Eh tapi salut sih lu masih bisa seprofesional tadi.." "Well, pura-pura biasa saja memang keahlianku" Jawaban itu diiringi dengan seringai dan tatapan menyedihkan. Sindi merasa bersalah telah mengorek luka partner-nya. "Hemm, suatu saat pasti lu bakal dapet yang lebih baik.. percaya sama gue." Tukas Sindi sambil menepuk lengan Aayyon dan menariknya agar berjalan lebih cepat menyusul kliennya. Kedua calon pengantin segera berganti pakaian, Sindi dan Aayyon mempersiapkan peralatan di Taman Jepang. Taman yang didesain oleh seorang desainer berkebangsaan asli Jepang itu memiliki tanaman Cemara yang tertata rapi dan bangunan yang terinspirasi dari rumah Jepang. Selain itu sebuah jembatan kayu dan kolam ikan tampak menawan. Pemotretan berlangsung selama tiga jam, beberapa kali Sila terlihat tidak fokus. Bahkan dia izin ke toilet dengan alasan sakit perut. Fatur terlihat cemas, bahkan sampai minta reschedul pemotretan saja. Namun Sila meminta agar pemotretan tetap dilanjutkan. Dan setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya foto prewedding siap dipilih untuk naik ke percetakan. Sebelum saling berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih, Fatur menghampiri Aayyon. "Sepertinya muka mas ini tidak asing ya, tapi saya lupa pernah lihat dimana. Omong-omong terima kasih saya puas dengan servis Queen's Studio." Aayyon mengangguk dan tidak lupa tersenyum ramah. Lalu ia segera mengemasi perlengkapan fotografinya. Sebelum semua kembali duduk bersama untuk makan siang. Obrolan makan siang berakhir setelah Fatur mendapatkan telfon mendadak dari kantor tempatnya bekerja. Terpaksa ia mengajak Sila segera berpamitan. Fatur dan Sila bergegas meninggalkan tempat makan tersebut. Diikuti Aayyon yang berpamitan hendak mengambil barang yang ketinggalan di taman. "Eh Sin, bentar ya.. tadi ada yang ketinggalan di Taman. Lu tunggu aja disini.. Sindi mengangguk menatap punggung Aayyon yang berlalu. Aayyon duduk bersandar pada pohon Cemara dipinggir kolam ikan. Tangannya masih menggeser gambar demi gambar di layar DSLR. Matanya semakin terasa panas, ada genangan air yang berusaha keras ia jaga agar tidak jatuh. Luka yang tidak pernah sembuh adalah suka yang pernah terlalu dalam ia tanam kepada seseorang yang tiba-tiba menjelma duka tanpa diduga-duga.. Aayyon Description: Kepada pecinta hujan dan kopi di malam hari Diantara senja dan pagi Orang lebih menyadari akan sebuah kehilangan daripada sebuah kehadiran
Title: Rumah Kolong Langit Category: Novel Text: PERJODOHAN “Oma, Dera kan sudah katakana Dera belum berpikir kearah sana, Dera masih 18 tahun oma. Dan lagi pula ini sudah 2020 udah gak jaman main jodoh-jodohan,” Ujar Dera kepada omanya siang itu yang lagi-lagi membahas tentang perjodohan untuk dirinya. “Ya makanya itu Dera, karena kamu masih 18 tahun jadi sementara usia kamu cukup matang untuk menikah kamu bisa dekat dulu untuk saling mengenal calon suamimu,” Balas omanya membuat Dera memutar matanya malas. Ini bukan pertama kalinya Dera di hadapkan dengan pembicaran tentang perjodohan itu. ini sudah untuk kesekian kalinya dalam bulan ini. Derania Abshari, atau yang kerap di sapa Dera. Gadis 18 tahun yang tengah duduk di kelas 12 SMA. Gadis cantik dan cerdas, namun sangat pendiam dan tertutup. Tidak terlalu bersosial dan lebih suka menghabiskan waktunya sendirian. “Sudahlah oma, biarkan Dera yang menentukan urusan pasangan ini untuk Dera. Dera juga berhak dong menentukan pilihan Dera,” Pinta gadis tersebut. “Dera bagaimana kamu bisa mendapatkan orang pilihanmu dengan sikap kamu yang sedingin es begini. Memangnya selama ini kamu ada punya pacar atau seenggaknya teman laki-laki? Enggakkan?!” Ucap omanya lagi. Memang tak banyak orang yang dekat dengannya, lebih tepatnya tak banyak orang yang bisa dekat dengannya. Baik itu sebagai teman ataupun pacar. Bukannya tak ada cowok di sekolahannya yang mau dekat dengannya, tapi Deralah yang tak bisa dekat dengan mereka. Setiap ada yang mendekatinya Dera selalu menghindar. “Tidak terlihat bukan berarti enggak ada oma. Pokoknya Dera gak mau di jodoh-jodohin, kalau oma tetap bersikeras menjodohkan Dera dengan orang pilihan oma. Oma saja yang menikah dengannya!” Ketus Dera sambil berlalu meninggalkan omanya menuju kamarnya. Baru saja ia akan menaiki anak tangga menuju kamarnya sebuah bentakan menghentikan gadis itu, dengan malas ia membalikan badan melihat mamanya yang sudah berdiri di sana dengan tatapan marah padanya. “Dera!!! Apa begini sikapmu kepada oma dimana sopan santunmu?!?” Teriakan Karen mamanya menggelegar di ruangan tersebut. Dera hanya diam menatap orang-orang di ruangan itu dengan tatapan sebal. “Apa tidak bisa sekali saja kamu menurut dengan perkataan orang tua Dera, oma melakukan itu juga untuk kebaikan kamu!” Sambung mamanya. “Kebaikan apanya ma, aku tidak menyukai orang itu bahkan aku tidak mengenalnya bagaimana itu akan menjadi kebaikan untukku,” Sanggah Dera. “Rasa suka dan cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Toh kamu belum mengenal orangnya makanya sekarang kamu kenal dia dulu!” Seru mamanya. “Gak ma, pokoknya Dera gak mau di jodoh-jodohin. Setiap manusia itu punya hak buat menentukan pilihannya ma. Ini urusan kehidupan masa depan Dera, Dera yang akan menjalaninya dan tolong biarkan Dera yang menentukannya!” Bantah Dera mengakhiri percakapan itu dan berlari menuju kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya dengan kasar sehingga menimbulkan suara yang keras. Ia tak habis pikir dengan orang-orang di rumahnya, apa mereka tak memikirkan bagaimana perasaannya. Ia masih 18 tahun dan masih duduk di kelas 12 SMA dan mereka sudah mau menjodohkannya dengan orang pilihan mereka yang sama sekali tak ia kenal. “Lagi pula aku tak mungkin bisa memulai cerita baru dengan orang lain sedang di hati aku masih ada kamu Rel,” Ucap Dera lirih mengusap foto ia bersama seorang cowo yang terbalut bingkai hitam yang berdiri dengan manisnya di atas meja belajarnya. “Ya walau aku tau, kamu sudah pergi meninggalkanku. Aku masih sangat mencintaimu, aku rindu kamu Rel,” Sambungnya sambil mendekap foto tersebut. Matanya indahnya berkaca-kaca, manik mata coklatnya semakin basah tertutupi bulir airmata yang siap untuk terjun dari kelopak matanya. Rasa nyeri di rongga dadanya terasa sangat menyiksanya, kerinduan demi kerinduannya pada sosok istimewa di hatinya tersebt serasa ingin meledak. Namun hanya bisa ia luapkan dengan airmata, nyatanya sosok itu kini sudah lepas dari genggamannya. Bahkan sekarang ia tak tau bagaimana kabar dan dimana keberadaannya. Empat bulan sudah cowok itu menghilang dari hidupnya, sejak sebulan setelah genap satu tahun kebersamaan mereka. Dan sejak itu hidup Dera yang sudah hampa terasa semakin hampa, tak ada lagi orang yang menjadi semangatnya. Dulu cowok itu yang menjadi alasan Dera untuk tetap semangat dan bertahan di sana. Sebab siapa lagi kalau bukan cowok itu, hanya dia yag peduli akan kehadiran Dera. Sedang keluarganya hanya terus-terusan menuntut Dera untuk menurut dengan semua keputusan mereka, tanpa peduli akan perasaan dan keinginan Dara sendiri. Seolah gadis itu adalah boneka yang harus mengikuti semua yang mereka katakana, membuat pergolakan penentangan yang sangat kuat di dalam jiwa Dera. Sudah sejak lama ia ingin meninggalkan itu semua, dan menghilang dari mereka. Tapi kehadiran cowok itu membuatnya kuat dan tetap bertahan di sana. Hingga akhirnya cowok itu menghilang dari hidupnya empat bulan yang lalu. Ia pergi menghilang tanpa alasan, lalu satu bulan kemudian Dera mendapat kabar kalau dia sudah bersama cewek lain. Sakit, sangat sakit yang di rasakan Dera namun rasa cintanya pada cowok itu mengalahkan semua rasa sakit itu. Baginya itu semua belum pasti sebelum cowok itu sendiri yang mengatakan semuanya kepadanya. Ia tidak peduli akan kabar yang berseliweran tentang kedekatan orang yang di cintainya itu dengan cewek lain. Sebelum kepastian datang dari cowo itu sendiri ia tidak terlalu ambil pusing kabar-kabar angin tersebut. Walau di dalam hatinya terasa sakit juga, membayangkan orang yang di cintainya bahkan sangat di cintainya pergi meninggalkannya dan kini bersama orang lain. Tapi ia menepis itu semua dan terus berpokir positif. *** Siang sudah berganti sore dan sore pun sudah beranjak malam, Dera masih mengunci diri di kamarnya. Ia benar-benar tak ingin eluar dari sana sama sekali, ia tak ingin bertemu omanya, mama atau yang lainnya. Walaupun begitu ia tau pembicaraan hari ini masih belum berakhir, tinggal menunggu waktu sebentar lagi ia pasti akan kembali terlibat dalam pembicaraan yang menyebalkan itu. Benar saja tak lama kemudian terdengar suara langkah seseorang mendekati pintu kamar. Dera sudah tau siapa pemilik dari suara langkah kaki yang tegas itu. siapa lagi kalau bukan Hadi Wijaya, papanya Dera. Tok tok tok tok!!! Suara pintu kamar Dera di ketuk, Dera mendengus kesal mendengar itu. “Dera buka pintunya papa mau bicara!” Seru Hadi di luar sana, dengan malas Dera membuka pintu tersebut. Papanya melangkah masuk sedang Dera kembali duduk di meja belajarnya. “Ada apa lagi hari ini Dera? Kata mama kamu membangkang lagi hari ini!” Tanya Hadi tegas. “Aku tidak membangkang pa, aku hanya mempertahankan hak ku!” Jawab Dera dingin. “Hak apa? Hak apa yang kamu bicarakan?! Semua itu untuk kebaikan kamu juga Dera!!!” Bentak Hadi kepada Dera, namun gadis itu terlihat santai. Karena ia memang sudah biasa dengan itu semua. “Kebaikan apa pa? Dera punya hak untuk memilih siapa yang akan jadi masa depan Dera. Dera gak mau di jodoh-jodohin!” Seru Dera sembari bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menatap papanya. “Lalu siapa yang kamu pilih hah! Mana ada laki-laki yang mau dekat dengan kamu yang dingin seperti kamu ini?!” Sergah Hadi kepada putrinya itu. “Oke makasi pa! Makasi sudah merendahkan aku. Terimakasih sudah menghina anakmu ini, aku memang begini tapi bukan berarti aku tidak bisa mendapatkan seseorang pa!” Ujar Dera dengan suara bergetar karena emosi. “Siapa? Siapa yang mau sama kamu. Apa laki-laki ini? Lalu mana dia kenapa tidak pernah satu kalipun papa melihatnya?” Tanya Hadi. Seraya mengambil foto yang di balut bingkai hitam di atas meja belajar Dera, lalu menghempasnya kasar di atas meja tersebut. Menyebabkan kaca dari bungkai itu pecah. “Itu bukan urusan papa. Dan tolong jangan rusak barang-barangku pa!” Seru Dera. “Tentu saja itu urusan papa ....” “Apa peduli papa, bukankah selama ini papa Cuma peduli akan bisnis papa, tanpa peduli bagaimana aku, bagaiman perasaanku!!” Ucap Dera memotong omongan papanya. “Pembicaraan mala mini cukup pa, aku mau belajar untuk persiapan ujian kelulusanku!” Tambah Dera kembali dingin. Tanpa bisa bicara apa-apa lagi Hadi melangkah keluar dari kamar tersebut, dan pintu kembali dikunci oleh Dera dari dalam. Di raihnya bingkai foto yang telah pecah tersebut, lalu membersihkan serpihan kaca yang lepas dari sana. Di keluarkannya foto tersebut dengan hati-hati agar tidak robek ataupun lecet terkena pecahan kaca. Kembali di tatapnya foto tersebut, ia tersenyum tipis melihat sosok yang menggunakan jaket berbahan levis dan kaos berwarna merah yang tengah berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak Dera. Dera masih ingat betul itu 7 bulan yang lalu, saat mereka liburan bersama Tasya dan sepupunya. Satu-satunya sahabat Dera dan beberapa orang lagi yang merupakan teman dari cowok tersebut. Dera memang sangat dingin dan tak terlalu peduli dengan lingkungannya, Salu terlihat datar, tanpa ekspresi dan selalu tertutup. Namun tak mengurangi kadar kecantikannya sama sekali. Walaupun demikian Dera sangat terbuka kepada cowok tersebut, seolah hanya dia satu-satunya orang yang bisa Dera percaya untuk bercerita atau apapun. Dan hanya dia yang bisa membuat Dera tenang dalam keadaan yang sangat berat baginya. Mengingat itu semua membuat Dera semakin merindukan sosok yang bagaikan sudah menjadi sebagian dari hidupnya tersebut. “Rel, aku gak tau apa dan bagaimana kenyataannya saat ini. Yang pasti apapun itu sepahit dan sesakit apapun aku tetap mencintaimu.kamu dimana, dan bagaimana kabarmu sekarang?” Ucap Dera Lirih. Tiba-tiba lamunannya buyar oleh suara pintu kamarnya yang di ketuk halus dari luar. Di simpannya foto tersebut kedalam buku agendanya dan langsung memasukkannya kedalam tas sekolahnya. Lalu membuang bingkai yang sudah pecah itu secara kasar kedalam tong sampah. Lalu segera membuka pintu berwarna coklat tersebut. “Eh ibu, ayo masuk bu,” Ajak Dera kepada wanita yang tengah berdiri membawa nampan makannan di tangannya. “Neng ini ibu bawakan makanan kan dari siang neng Dera belum makan,” Ujar wanit atersebut sambil meletakkan makanan di atas meja belajar Dera. “Makasi ya bu, oh iya apa orang-orang udah tidur?” Tanya Dera kepada orang tersebut. Yang merupakan asisten rumah tangga Dera, Dera memang memanggilnya ibu karena dari Dera kecil beliaulah yang mengurus Dera.Bu Hanum namanya, wanita 45 tahun yang sangat menyayangi Dera seperti putrinya sendiri. Orang tua Dera selalu sibuk mengurus bisnis mereka sehingga tak punya waktu untuk Dera. “Sudah neng, semuanya sudah tidur tinggal tuan yang masih di ruang kerjanya,” Jawab wanita tersebut. *** Sudah 30 menit setelah bu Hanum meninggalakan kamar Dera, tampak gadis itu berdiri di balkon kamarnya. Angin malam menyapu paras cantiknya, dan membuat rambut hitam lurus sepinggangnya melambai-lambai. “indah sekali jalanan itu, terlihat sangat nyaman pasti menyenangkan kalau aku ada di sana dan bukannya di rumah ini. Ah rumah? Ini bukan rumah, rumah seharusnya nyaman untuk pulang. Bukannya terasa seperti neraka seperti ini,” Gumam Dera mengamati pemandangan kota malam itu. Pikirannya untuk kabur dari rumah itu kembali mengendalikan dirinya, sesuatu yang aneh dari diri Dera. Sedari kecil ia sangat terobsesi untuk kabur dari rumahnya sendiri. Bahkan Dera sudah kabur berkali-kali, namun ia selalu berhasil di temukan oleh orang tuanya. Ya bagaimana tidak dengan uang papanya bisa menyewa banyak orang untuk mencarinya. Tapi sejak ia mengenal cowok itu ia tak lagi pernah melakukan percobaan untuk kabur dari rumah, cowok itu selalu berhasil menenangkannya ketika ia benar-benar lelah dengan keadaan rumah dan ingin pergi dari sana. Tapi sekarang cowok itu sudah tak bersamanya, jadi untuk apa lagi dia bertahan di sana. Begitulah pikiran Dera saata ini. Lama berdiri di balkon kamarnya ia kembali masuk karena udara terasa semakin dingin. Dera menghenyakkan tubuhnya di atas kasur. Ia berusaha untuk segera tertidur, dan melupakan semua masalahnya yang sangat pelik ini. Description: Ketika rumah tak senyaman dan semenyenangkan kata rumah itu sendiri. Langkah lelah yang menjejal permukaan bumi untuk mencari tempat pulang. Tempat yang nyaman dan damai sebagaimana seharusnya ketika kata pulang terlintas dalam pikiran. Pulang dan rumah adalah dua kata yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan. Waktu dan tempat untuk melepas segala lelah setelah seharian bergelut di dunia luar. Namun bagaimana dengan seseorang yang malah menganggap rumah adalah tempat asing yang sama sekali tidak nyaman. Dan berpikir dunia luar adalah rumah untuknya pulang, selalu terobsesi dengan kata kabur dari rumah dan menghilang. Terlebih setelah ia kehilangan alasannya untuk tetap bertahan di tempat asalnya. Dan ia pun terancam akan di jodohkan dengan orang pilihan omanya Dan tiba-tiba ada orang yang hadir dalam hidupnya menambah kesengsaraan dirinya. Sehingga ia benar-benar ingin pergi menjauh bahkan menghilang dari sana untuk selamanya. Namun langkahnya terhambat, tak bisa kemana-mana. Sampai luka demi luka ia lalui, perkara demi perkara ia lewati. Dan satu lagi yang paling penting helaian demi helaian rindu yang terus di sulamnya, namun tak kunjung menemukan titik temu ataupun titik terang untuk langkahnya. Sehingga pada akhirnya ia nekat untuk meninggalkan semua yang membuatnya sesak, dan memulai penjelajahannya untuk menemukan rumah yang sebenarnya, tempat yang nyaman untuk ia pulang melepas segala letihnya. Namun siapa sangka ada begitu banyak masalah baru yang akan ia temui sampai nyawanya sendiri yang jadi taruhannya. Lalu bagaimana cara ia untuk menghadapi itu semua setelah ia yakin kalau sudah menemukan rumahnya, yang tak lain adalah sesuatu yang selalu di dalam pikirannya? Akankah ia mampu menyelesaikan itu semua tanpa harus memperdalam lukanya? *** “Dimana kenyamanan dan ketenangan kau temui, disanalah rumah tempatmu untuk pulag.” -Derania Abshari-
Title: Risalah Ingatan Category: True Story Text: Pageblug 27 Maret 2020 Apakah kamu juga melihat apa yang sedang aku lihat? Maut serupa bola-bola cahaya yang kian lama kian mendekat, berputar-putar mengelilingi tubuhku, tubuh tetangga-tetanggaku, tubuh keluargaku di kampung halaman, tubuh teman-temanku di kota-kota yang berlainan. Senja tak pernah lagi aku nantikan, sebab saat itulah kabar kematian datang. Awalnya dari orang-orang yang tak kukenal, lalu orang-orang yang hanya pernah aku baca namanya di surat kabar, lalu teman sekolah dari seorang teman, hingga kemudian orang-orang yang benar-benar aku kenal. Nama-nama mereka pun berubah menjadi angka-angka. Tak ada waktu untuk mengenang, karena kematian baru segera datang. Tapi aku tak ingin bicara soal maut dan kematian di sini. Aku ingin bercerita tentang ingatan-ingatan kecil yang muncul secara acak dan tak terduga selama hari-hari aku mengunci diri, bersembunyi dari percikan cahaya bola-bola maut itu. Hari ini, aku ingat nenekku. Dari Eyang – begitu aku memanggil nenekku - dulu aku pertama kali mendengar kata “pageblug” yang hari-hari belakangan ini sering diucapkan orang-orang. Eyang selalu menandai hari kelahiran tanteku – adik ibuku – dengan peristiwa yang ia sebut sebagai pageblug itu. Eyang yang tak pernah sekolah dan tak kenal satu pun huruf, tak tak tahu tanggal berapa anaknya lahir. Baru kemudian, ketika anaknya harus sekolah, surat kelahiran dibuat di kantor desa, dan petugas desa menulis tanggal kelahiran si anak yang sesungguhnya hanya karangan belaka. Ia hanya ingat anak keduanya itu lahir tak lama setelah pageblug terjadi. Pageblug itu bukan wabah seperti yang sekarang kita alami. Pageblug baginya tak hanya soal penyakit menular. Tapi soal maut yang tiba-tiba menjemput banyak orang, yang membuat orang-orang di sekitarnya tak berdaya dalam ketidakpastian dan ketakutan; Apakah maut akan menjemput malam ini? Pageblug yang menandai kelahiran anaknya yang kedua itu adalah Gestok – begitu ia menyebutnya. Gerakan Satu Oktober. Orang-orang lebih sering menyebutnya Gestapu – Gerakan September Tiga Puluh. Pasti kamu sudah tahu kan apa yang terjadi dalam pageblug itu? Kalau belum tahu, carilah sendiri di buku atau di Google. Aku sedang tak berniat bicara tentang itu. Aku hanya sedang mengikuti ingatan yang muncul di kepalaku. Sekarang aku seperti mencium bau tempe bosok dari lodeh yang baru matang. Ini pasti gara-gara aku baru saja membaca pesan dari Sultan Jogja yang memerintahkan rakyatnya memasak lodeh agar selamat di musim pageblug. Sudah lama sekali aku tak pernah makan lodeh. Sama sekali tidak terpikir juga untuk memasak lodeh sendiri dengan kemampuan memasakku yang pas-pasan ini. Saat kecil dulu aku tak pernah suka makan lodeh. Aku benci semua masakan yang beraroma tempe bosok. Sama seperti bapakku. Aku masih ingat bagaimana dulu Papah selalu kesal setiap kali Mamah memasak tempe bosok. Setiap kali mendapat protes soal tempe bosok, Mamah pasti akan langsung menggerutu dan mengatakan, “Dasar turunan priyayi, kebiasaan makan enak”. Gerutuan yang sama masih terus diulang Mamah hingga hari ini, apalagi belakangan Papah semakin malas makan masakan-masakan ndeso dan lebih memilih makan roti-rotian. Aku jadi tersenyum menulis bagian ini. Sejak wabah tiba di Jakarta, aku jadi lebih sering mengirim pesan ke Mamah. Apalagi, kotaku salah satu wilayah yang sekarang berwarna merah. Kamu tahu kan, kabar orang yang meninggal di kota S itu? Itu orang dari kotaku. Dari Mamah juga aku sejak awal tahu orang itu kena virus saat ikut seminar anti riba di kota B. Loh, kenapa aku jadi bicara soal maut dan kematian lagi! Sudah aku bilang, aku tak akan bicara soal maut dan kematian di sini. Mungkin itu artinya aku sudah capek bercerita. Besok, aku akan cerita lagi tentang ingatan-ingatan yang lainnya. Jaga kesehatan. Jangan lupa cuci tangan. -O- Ibu yang Takut Anaknya jadi Dokter 29 Maret 2020 Sore itu, setelah membaca kabar kematian enam dokter, aku memeluk anakku erat dan berbisik, “Nanti nggak usah jadi dokter ya.” Aku memang tak pernah mengarahkan anakku untuk jadi dokter. Tapi sore itu, entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku. Aku gentar dan merasa perlu untuk mengingatkannya dari awal. Sejak usianya lima tahun. Di mataku kini menjadi dokter tak ubahnya seperti menjadi tentara yang maju ke medan perang. Dan sebagai ibu, aku hanya mau anakku aman. Tak menantang maut, tak mempertaruhkan nyawa – walaupun itu sungguh untuk hal yang mulia. Sesaat kemudian aku merasa malu atas apa yang baru saja aku katakan dan pikirkan. Perlahan aku lepaskan pelukanku. Ingatanku melayang ke masa beberapa tahun lalu, saat aku berbincang dengan suamiku pada tahun-tahun pertama pernikahan kami. Kami berandai-andai tentang masa yang jauh di depan, yang belum tentu juga kesampaian. Terucap dalam percakapan itu, kalau kelak kami punya anak dan ia mau jadi dokter, ia akan jadi dokter di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, di tempat-tempat yang tak punya dokter. Ia tak akan jadi dokter muda yang hanya ingin ditempatkan di kota, yang dengan bantuan koneksi dan uang sogokan tak harus ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumahnya. Ia tak akan jadi dokter yang hanya buka praktik untuk mencari uang. Kami berandai-andai kalau kami jadi orang kaya, kami akan membantu anak kami yang jadi dokter di daerah itu dengan pasokan berbagai obat-obatan setiap bulannya. Kami akan mengirim segala yang ia butuhkan dari kota. Tentu saja itu semua baru omong kosong belaka. Kami masih belum jadi orang kaya dan anak kami juga baru lima tahun. Belum tentu juga ia mau jadi dokter! Aku jadi ingat novel Canting yang ditulis Arswendo Atmowiloto. Di novel itu, Arswendo nyinyir pada keinginan banyak anak muda untuk menjadi dokter, sekolah dengan biaya mahal dalam waktu yang tak sebentar, eee… setelah lulus lagi-lagi merepotkan orangtua untuk dicarikan lokasi penempatan yang enak, kalau perlu PTT di kota sendiri saja, lalu setelah itu jadi PNS di rumah sakit di kotanya sendiri, sambil nyambi buka praktik di rumah sendiri. Tentu saja tak semua dokter demikian. Dan hari-hari ini, kita melihat dokter-dokter di mana pun ia ditempatkan, berbalut jas hujan dan bersarung tangan plastik, berhadapan dengan maut: maut yang hendak menjemput pasiennya maupun maut yang hendak merenggut nyawa si dokter itu sendiri. Aduh, menulis bagian ini aku mendadak gentar lagi. Aku tak mau anakku jadi dokter. Dulu, sebagaimana umumnya anak-anak lainnya, orangtuaku selalu mengharapkan aku jadi dokter. Seolah tak ada profesi lain di luar itu, bahkan ketika sudah jelas minatku bukan itu. Aku masih ingat, Papah berkata dengan penuh keyakinan, “Jadi dokter kan juga tetap bisa jadi artis.” Sampai kemudian tiba saatnya masuk perguruan tinggi, aku pun memilih jurusan kedokteran untuk pilihan pertama. Bukan karena aku mau jadi dokter, tapi karena mau membuat orangtuaku senang dan juga mau pamer ke semua orang di kampungku. Aku juga mengamini apa yang dikatakan Papah, kalau nanti jadi dokter tetap juga bisa jadi artis. Tentu saja artis yang aku maksud ini bukan artis sinetron. Aku lebih membayangkan mungkin aku akan menjadi dokter yang menulis seperti Mira W yang buku-bukunya sudah aku baca sejak SMP. Aku gagal diterima di kedokteran. Aku masih ingat apa yang dikatakan teman SMA-ku setelah hari pengumuman UMPTN itu, “Kowe nek dadi dokter pasiene mati kabeh![1]” Aku tertawa mendengar kata-kata temanku itu. Sebab aku tahu, aku tak benar-benar ingin menjadi dokter. Hari ini, aku kembali memeluk anakku. Aku tak lagi berkata apa-apa. Hanya memejamkan mata sambil mengirimkan doa untuk dokter-dokter dan perawat-perawat yang sekarang sedang bekerja. - O- [1] Kamu kalau jadi dokter pasiennya mati semua. Cerita Cuci Tangan dan Cuci Baju 30 Maret 2020 Yang pertama mampir di ingatanku saat anjuran cuci tangan ramai disuarakan adalah adegan dalam film Aviator yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Dalam film itu, si tokoh utama yang memiliki masalah kejiwaan, digambarkan sejak kecil sangat diwanti-wanti ibunya untuk mencuci bersih tangannya, pakai sabun dan digosok berkali-kali, setiap kali bertemu dengan orang kulit hitam. Setiap hal yang dikatakan ibunya tertanam hingga ia dewasa. Di film ini, aktivitas cuci tangan di washtafel menjadi simbol dari lapis-lapis permasalahan. Ingatanku kemudian terbang ke masa kecilku. Washtafel merupakan benda mewah di desaku dulu. Bahkan sampai sekarang, hanya rumah-rumah tertentu saja yang punya washtafel. Tentu saja bukan berarti orang-orang di desaku tak pernah cuci tangan. Kami semua cuci tangan langsung dari keran air yang terpasang di belakang rumah. Membasuh tangan, kaki, dan muka, di sela-sela ember yang penuh rendaman baju. Belum ada mesin cuci di masa itu. Aku ingat sekali bagaimana mencuci baju selalu menjadi perkara besar. Karena kami tak punya pembantu, bisa dikatakan Mamah sepenuhnya yang mengurusi soal cuci baju. Ia tak mewajibkan anak-anaknya mencuci baju sendiri - kecuali kaus kaki. Mamah selalu marah-marah saat aku lupa merendam kaus kaki, meninggalkannya di sepatu lalu memakainya lagi padahal sudah bau. Papah juga tak pernah mencuci bajunya sendiri. Mamah selalu ngomel setiap kali harus mencuci celana jins Papah yang berat itu. Tapi tak pernah juga membagi pekerjaan agar semuanya mencuci baju masing-masing. Suatu hari tangan Mamah iritasi, perih bahkan lecet, karena sabun cuci merek Rinso. Mamah sampai harus pakai plastik sebagai sarung tangan setiap kali merendam baju. Sebab yang buat lecet itu sabun kering yang belum larut air. Kalau sudah dilarutkan dalam rendaman baju satu atau dua jam, sudah tak lagi bikin iritasi. Ah ya, aku jadi punya kewajiban merendam baju setelah aku mendapat menstruasi di kelas dua SMP. Hari pertama aku datang bulan, celana dalam rok sekolahku banjir darah. Aku yang bodoh dan takut, memasukkannya ke dalam ember yang penuh rendaman baju. Tentu saja kemudian semuanya jadi kena darah. Mamah marah besar. Sejak itu aku harus merendam celana dalam dan rok yang kena darah haid. Sebelum direndam dengan sabun, harus lebih dulu diopyok-opyok berkali-kali dengan air agar darahnya sebagian luruh. Pelajaran soal mencuci darah haid bukan cuma datang dari Mamah. Tak lama setelah aku mendapat haid, semua anak perempuan kelas 2 di sekolahku dikumpulkan di aula. Guru Bimbingan Konseling memberikan pengarahan tentang haid, cara pakai pembalut, dan bagaimana membersihkan pembalut dan baju yang kena darah. Ya, masa itu, pembalut harus dibersihkan sebelum dibuang ke tempat sampah. Darahnya disikat, lalu digulung, dimasukkan plastik, baru kemudian dibuang. Katanya kalau darah tidak dibersihkan, anjing-anjing akan mencium bau darah, lalu mengorek tempat sampah untuk mencari pembalut itu. Katanya juga, ini terkait kepercayaan bahwa pamali untuk membuang pembalut penuh darah. Tentu saja aku terlalu malas untuk membersihkan pembalut yang akan dibuang. Kalau kamu? - O - Wabah Kutu di Kepalaku 31 Maret 2020 Wabah ini meningatkanku pada penyakit-penyakit aneh yang dulu pernah aku alami lalu menghilang begitu saja. Bukan penyakit berat. Penyakit tak bermutu, tapi sangat menganggu. Saat kelas 4 SD, pertama kalinya muncul bisul di kakiku. Bengkak, bernanah, ada mata di tengah-tengah. Ada rasa nyeri yang luar biasa, terutama di bagian yang bengkak memerah mengelingi nanah. Aku oles berbagai salep yang dibelikan Mamah dari apotek, aku kompres air hangat, aku juga minum obat yang katanya bisa menyembuhkan dari dalam. Rasanya tetap tak ada perubahan. Aku harus pasrah menunggu, hingga mata bisul itu pecah sendiri, lalu nanahnya keluar, bengkaknya kempes, meninggalkan semacam lubang basah yang berangsur-angsur kering. Kalau beruntung, tak akan ada bekas sama sekali di kulit. Tapi, ada kalanya, tetap akan berbekas beupa jejak hitam tepat di titik mata bisul. Sialnya, itu bukan yang pertama dan terakhir kali aku bisulan. Sejak bisul pertama itu, aku jadi kerap bisulan. Tapi selalu di kaki dan di tangan. Padahal biasanya bisulan itu di pantat. Konon, akibat duduk di atas bantal yang harusnya jadi alas kepala. Kepercayaan soal duduk di atas bantal bisa bikin bisulan itu sangat tertanam di benakku. Bahkan sampai sekarang, aku takut duduk di atas bantal yang dipakai untuk kepala. Tapi kenapa aku dulu tetap bisulan padahal aku tak pernah duduk di atas bantal? Tentu saja aku tak pernah tahu jawabannya. Mamah pernah memanggil mantri ke rumah untuk menyembuhkan bisulku. Mantri lagi-lagi hanya memberikan salep dan tetap saja tak sembuh. Katanya bisul itu karena aku terlalu banyak makan telur. Aku pun berhenti makan telur, tapi juga tetap tak sembuh. Tapi kemudian, bisul tak datang lagi. Aku tak pernah bisulan lagi tanpa tahu bagaimana dan berkat apa. Selain bisul, hal menjengkelkan di masa kecilku adalah kutu rambut. Tapi masa itu, rasanya tak ada anak yang rambutnya tak berkutu. Sejak kecil rambutku panjang, tebal, lurus dan hitam. Kutu-kutu datang begitu saja saat aku kelas 3 SD. Sepertinya tertular oleh rambut tetangga. Tapi setiap orang juga akan berkata demikian. Mereka akan bilang mereka kena kutu karena ketularan dari Si A atau Si B. Begitu seterusnya. Jadi tak penting aku ketularan dari mana, yang jelas aku kutuan. Karena rambutku panjang dan tebal, kutu-kutu bisa leluasa sembunyi di rerimbunan rambutku. Setiap hari Mamah akan metani, mencari kutu-kutu di rambutku. Mamah akan puas sekali setiap kali menemukan babon, ibu kutu yang gemuk. Ia akan menaruhnya di kuku jempol kiri, lalu menekannya dengan kuku jempol kanan hingga si babon terkapar dan mengeluarkan darah. Yang juga Mamah buru adalah kor. Ini adalah kutu yang agak muda. Tubuhnya tak segemuk babon dan memiliki semacam ekor. Kor inilah yang membuat kepala gatal setengah mati dan membuatku harus terus menggaruk kepala. Selain babon dan kor, tentu yang harus dicari adalah telur-telur kutu berwarna putih yang menempel di rambut. Jumlahnya begitu banyak, tak ada seorang pun yang bisa menghitungnya. Selain dipetani Mamah, yang harus kulakukan sendiri setiap hari adalah menyisir dengan suri, sisir bergigi rapat. Aku akan mencari kertas putih, menundukkan kepala lalu menyisir ke arah luar. Satu per satu kutu-kutu jatuh ke kertas dan aku pun segera menggilas mereka dengan kuku jempolku. Tentu saja aku juga pakai obat kimia. Peditok namanya. Menjelang tidur, aku oleskan cairan peditok ke kepalaku, dari kulit kepala hingga rambut, membungkusnya dengan kain putih. Esok harinya, saat bangun, voila... kutu-kutu mati menempel di kain putih itu. Tapi aku tetap kutuan walaupun berbagai cara telah dilakukan. Kutu-kutu itu tak juga mau pergi. Rasa gatal dan kesal bercampur dengan rasa malu. Hingga suatu hari, tanpa aku tahu kenapa dan bagaimana, tak ada lagi kutu-kutu di kepalaku. Apakah ada kutu di kepala anak-anak zaman sekarang? -O- Sepasang Renta Berkawan Korona 1 April 2020 Tadi malam, wabah ini hadir dalam mimpiku. Pintu masuk ke sekolah anakku kembali normal, anak-anak bisa masuk dengan berlari, bebas bersentuhan dengan siapa saja. Aku berseru, "Korona sudah selesai ya? Korona sudah selesai ya?". Korona masih belum selesai. Itu semua hanya mimpi. Sebelum mimpi itu datang, anakku memang terbangun tengah malam dan berkata, "Aku mau sekolahnya kayak pas nggak ada virus." Tak lama sebelum anakku berkata seperti itu, aku membaca pesan dari profesorku yang menceritakan situasi yang sedang ia hadapi. Keponakannya dan saudara perempuannya positif COVID setelah pulang dari liburan ke Inggirs. Sekarang mereka dirawat di rumah sakit. Anak perempuan si profesor yang sekolah di London, baru mendarat Sabtu lalu dan langsung dibawa petugas ke tempat karantina. Hotel mewah dengan pemandangan laut yang semuanya sudah ditanggung pemerintah. Ia hanya harus tinggal di dalam kamar 14 hari. Tapi bukan itu semua yang membuat sedih risau. Profesorku itu masih punya kakak perempuan dan suaminya yang memang tinggal di London. Umurnya sudah 70an tahun. Keduanya demam tinggi dan sangat lemah sekarang. Tapi mereka tak bisa ke rumah sakit dan mendapat pertolongan. Kamu tahu kan, situasi memang sangat buruk di sana. Sama seperti di Italia, orang berusia lanjut tak lagi mendapat prioritas pengobatan. Dokter dan rumah sakit tak lagi merawat orang tua, alat bantuan pernapasan yang jumlahnya memang sangat terbatas hanya diberikan pada yang muda, yang lebih punya harapan untuk hidup lebih lama. Para orang tua yang kena virus itu sesak napas di rumah mereka masing-masing, hingga akhirnya mereka tak bisa lagi menarik napas. Anak-anak mereka hanya bisa melihat dari kejauhan dan membiarkan semuanya terjadi. Hingga kemudian tentara datang dengan memakai hazmat, membungkus tubuh-tubuh tua itu dengan plastik, membawanya pergi ke kuburan massal tanpa diantar siapa-siapa. Bukankah ini terdengar sangat kejam? Tapi aku pun tak tahu apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan. Aku jadi terbayang sepasang renta di film Titanic yang tetap berpelukan di ranjang saat kapal mau tenggelam. Mereka memilih untuk tak menyelematkan diri, mereka tak ikut berebut sekoci. Di sudut yang lain, kelompok orkestra terus memilih memainkan musik, hingga akhirnya laut menenggelamkan mereka. Tapi kemudian aku teringat seorang yang masih muda, seorang suami dan bapak dari anak-anak yang masih kecil, yang hingga di saat-saat terakhir hidupnya masih mencari pertolongan. Ia meminta bantuan pada presiden lewat linimasa. Ia butuh dirawat di rumah sakit tapi rumah sakit menolaknya. Ia sedang berjuang untuk bisa mempertahankan hidupnya. Harapan hidupnya masih sangat besar dan tak layak diabaikan. Tapi tak ada yang mendengarnya. Twitnya yang meminta bantuan pada presiden viral dan dibicarakan di mana-mana setelah ia meninggal. Sudah terlambat. Ketika nun jauh di sana, para renta hanya bisa menunggu, di negeri kita rupanya yang muda pun harus menerima nasib serupa. Ah, kenapa aku kembali bicara tentang maut dan kematian! Sejak awal aku sudah bilang aku tak bicara tentang itu di sini! - O - Pocong Penjaga Kampung 2 April 2020 Gara-gara korona, pocong-pocong bermunculan di kampung-kampung. Mereka meloncat ke tengah jalan, menakuti semua orang yang masih berkeliaran, menghadang siapa pun yang hendak keluar atau masuk ke kampung. Tentu saja tak tak ada yang benar-benar takut. Sebab kita semua tahu, pocong dan semua bangsa hantu tak pernah muncul dalam wujud yang kasat mata apalagi sampai bisa direkam kamera. Semua hantu selalu hadir dalam wujud yang samar-samar, yang seringkali hanya ada dalam pikiran dan perasaan kita. Mereka hadir dalam bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri, badan yang tiba-tiba kedinginan, angin yang mendadak menderu, malam yang senyap, atau bisikan yang hanya kita sendiri yang mendengar. Saat baru menikah dan tiga bulan tinggal di rumah saudara yang kosong, pembantu yang baru datang dari kampung minta pulang tak sampai seminggu kemudian. Katanya, setiap malam selalu ada yang mendatanginya. Terutama saat ia sendirian karena kami biasa pulang larut malam. Apa dan siapa yang mendatanginya itu hingga kini masih jadi misteri. Selama tinggal di rumah itu, aku tak pernah didatangi makhluk apa pun. Tapi, setiap kali aku sendiri, aku merasa begitu ketakutan tanpa tahu apa sebabnya. Aku tak pernah berani membuka pintu kamar mandi di kamar utama dan selalu memilih memakai kamar mandi di ruang keluarga. Aku bahkan tak berani berada di dalam kamar sampai suamiku datang. Aku tak berani tidur, aku tak bisa melakukan apa-apa. Bayangkan hal seperti itu terus berulang setiap minggu karena ada satu hari di mana aku libur sementara suamiku tidak libur. Sejak kecil aku juga percaya ada hantu di rumah eyangku yang besar itu. Aku tak pernah berani ke kamar mandi yang letaknya jauh di belakang, yang harus melalui lorong penuh balok-balok kayu yang sengaja disimpan untuk sewaktu-waktu dipakai kalau hendak membangun atau merenovasi rumah. Aku merasa ada makhluk-makhluk yang bersembunyi di balik lukisan, di dalam lemari, bahkan di dalam boneka yang duduk di samping tv. Tapi tak ada satu pun hantu yang pernah kulihat, bahkan hingga sekarang. Di desaku, ada dua sungai yang diyakini sebagai tempat hantu. Kali Catur dan Kali Tawang. Kalau melewati dua sungai itu di malam hari, jangan lupa untuk memencet klakson, begitu yang dipercaya orang. Tak ada yang pernah melihat hantu, tapi semua percaya ada banyak hantu-hantu penunggu yang jangan sampai merasa terganggu. Meski hantu tak pernah datang menampakkan diri, pengalaman mistis kerap mendatangi. Yang paling membekas di ingatanku adalah hari-hari ketika Mamah ikut maju dalam pilihan kepala desa. Saat itu aku masih kelas 5 SD. Kalau kamu besar di desa, pasti kamu tahu, pilihan lurah adalah sebuah momentum pertarungan materi dan non-materi. Yang bisa dilihat dan yang tak bisa dilihat. Bukan hanya soal siapa yang bisa memberikan amplop lebih tebal, tapi juga siapa yang lebih kuat upaya batinnya. Dukun-dukun akan didatangi setiap calon. Lelaku dijalankan. Mulai dari berendam di sungai di tengah malam, bertapa diam di tengah hutan, atau yang paling sederhana sekadar lek-lekan, tidak tidur sepanjang malam di rumah masing-masing. Sebab, dalam pertarungan batin itu, kalau sampai kamu tertidur, calon lawan bisa mengirimkan bermacam ajian bahkan santet. Lek-lekan ini juga cara untuk menjaga turunnya cahaya pulung. Agar ketika cahaya keberuntungan itu datang, ia tidak terlewatkan dan malah ditangkap pihak lawan. Aku masih ingat sekali, bagaimana saat itu, justru mataku selalu tak bisa terbuka setiap maghrib datang. Aku ngantuk luar biasa, tak tertahankan. Situasi yang tak masuk akal karena di hari-hari biasa saja aku baru tertidur setelah jam 10 malam. Aku merasakan cahaya lampu rumahku jadi suram, ada rasa sepi yang ngelangut. Begitu terus tiap hari hingga hari pilihan datang. Mamahku kalah dalam pilihan itu. Lampu rumahku terasa kembali terang. Dan mataku kembali bisa terbuka lebar hingga tengah malam. - O - Tiga Hari Lagi Dunia Berhenti 4 April 2020 Tiga hari lagi, Singapura berhenti berlari. Sekolah dan kantor-kantor tutup, kedai makan hanya akan menjual makanan untuk dibawa pulang, orang-orang tinggal di rumah hingga satu bulan lamanya. Memang tak ada tentara yang berjaga seperti di Paris atau polisi yang siap menggebuk orang di jalanan seperti di India. Singapura bekerja dengan caranya: denda, denda, dan denda. Hari-hari ini, tak ada yang bisa mencegah orang untuk tak panik mempersiapkan diri. Meskipun sudah ada jaminan bahwa stok makanan akan selalu cukup dan supermarket akan tetap buka, merasa aman adalah bagian dari kebutuhan dasar dari setiap individu. Dan perasaan aman itu hadir dalam wujud stok makanan yang melimpah di rumah sendiri. Keyakinan bahwa ia dan keluarganya tak akan kelaparan apa pun yang terjadi. Maka di hari-hari terakhir ini, orang-orang menjejali supermarket dan pasar basah. Memenuhi trolley dengan bahan makanan yang bisa disimpan hingga berbulan-bulan: beras, pasta, pizza beku, mie instan. Membeli bertumpuk-tumpuk tissue toilet yang bahkan tak akan habis hingga wabah berlalu. Virus menular, demikian juga kepanikan. Orang yang tadinya merasa aman, jadi ikut panik melihat rak supermarket yang kosong, trolley belanja yang penuh tumpukan barang, dan antrean panjang di depan kasir Aku salah satunya. Aku merasa harus ikut membeli, tapi tak tahu apa yang mau dibeli. Beras masih cukup hingga tiga minggu lagi, mie instan masih ada beberapa dan bukankah tak sehat kalau terlalu banyak makan indomie? Pasta dan pizza... Ah, itu bukan makanan kami sehari-hari. Tissue toilet... Selama ini kami juga hanya memakai air untuk cebok. Belanja rutin kami selama ini tak pernah lebih dari satu keranjang -- bukan trolley! Persediaan yang wajib ada di kulkas hanya telur. Jadi kalau dalam situasi normal saja kami tak beli macam-macam, untuk apa pula kami membeli yang di luar kebiasaan sekarang? Kami pun berbalik meninggalkan supermarket tanpa membeli apa-apa. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang berada di hari-hari terakhir puasa. Saat semua orang berlomba-lomba membeli sesuatu karena tiga hari lagi Lebaran tiba. Saat dunia sesaat berhenti dan semua orang sibuk saling bermaafan sambil makan-makan. Tapi kemudian aku kembali sadar, ini bukan suasana menjelang lebaran. Dunia dipaksa berhenti, bukan hanya untuk satu hari, tapi untuk sebulan. Dan tak ada yang tahu apa yang terjadi dalam hari-hari selama sebulan itu, atau bahkan apa yang terjadi setelah sebulan. Hari-hari ini lebih terasa dekat dengan suasana akhir zaman, ketimbang suasana menjelang perayaan. Aku jadi ingat dengan pertanyaan klise yang dari dulu sering aku dengar: Kalau besok adalah hari terakhirmu di dunia, apa yang akan kamu lakukan? Pertanyaan itu terdengar penuh keputusasaan dan depresif. Tapi pertanyaan itu membantu kita untuk menyaring, untuk bisa memutuskan apa yang benar-benar esensial dalam hidup kita. Apa yang betul-betul harus kita genggam dan apa yang sebenarnya tak layak untuk mati-matian diperjuangkan. Salah satu film terindah yang menggambarkan situasi ini adalah If Only. Saat kamu tahu waktumu hanya tinggal sebentar, apa yang kamu akan lakukan? Tentu saja kamu tak lagi berpikir soal bahan makanan yang bisa disimpan hingga berbulan-bulan atau tumpukan pekerjaan dan berbagai proyek yang terpaksa harus ditunda karena mendadak dunia berhenti berputar. Kamu hanya ingin pulang. Pulang ke mereka yang memberimu rasa aman. - O - Kematian Dua Tukang Bakso 5 April 2020 Belakangan ini aku rindu sekali jajan. Kangen makan bakso, mie ayam, sate, soto, rujak petis, ketoprak, segala jenis makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Kerinduan yang aku yakin juga sedang dirasakan banyak orang di tengah wabah ini. Didorong rasa rindu itu, hari ini aku mencoba buat bakso sendiri dengan daging giling kemasan yang aku beli di supermarket. Aku campur daging itu dengan tapioka, aku uleni dengan tangan hingga menyatu, lalu aku tambah dengan es batu dan putih telur. Rasanya, semua yang ditulis di resep sudah aku ikuti, tapi tetap saja aku gagal. Ini sudah kali ketiga aku mencoba membuat bakso, dan ketiga kalinya aku gagal. Kali ini hasilnya hanya seperti bola-bola aci tanpa ada rasa, bahkan rasa dagingnya pun tak berjejak. Kecewa dan kesal pada diri sendiri, aku justru berjalan menyusuri ingatan. Bakso dalam ingatan pertamaku adalah pentol berisi ati sapi yang dijual Pak Surat di kios kecil pinggir jalan raya, sebelum masuk ke jalan desaku. Bakso Pak Surat adalah satu-satunya bakso yang aku makan di masa kanak-kanak. Aku mendengar cerita berulang-ulang tentang bagaimana dulu Pak Surat berkeliling dengan gerobak, ketika listrik belum masuk ke desaku. Hingga akhirnya Pak Surat bisa menyewa kios sendiri dan semakin dikenal bahkan hingga ke desa dan kecamatan tetangga. Pak Surat sangat mengenalku. Setiap aku makan di sana, ia akan menyebut namaku, memberikan senyuman lebar untukku dan mengajakku bercanda. Aku tak terlalu banyak menanggapi karena aku sibuk mencocolkan pentol ke saos yang aku tuangkan ke cawan kecil. Ini cara makan bakso yang tak lagi aku dapatkan, karena tak setiap warung bakso menyediakan cawan kecil di meja. Warung bakso Pak Surat selalu tutup setiap hari Kamis. Orang-orang selalu berkata - entah serius entah bercanda - itu syarat dari dukunnya. Syarat penglaris. Yang jelas, bakso Pak Surat semakin terkenal hingga penjuru kabupaten. Setahun sekali, setiap digelar perayaan besar untuk ulang tahun kabupaten kami, Pak Surat akan menyewa lapak dengan ukuran paling besar. Ia berjualan di lapak itu dari hari pertama hingga hari penutupan, dan selalu tak pernah sepi pembeli. Pak Surat tak lagi berjualan di kios kecil yang biasa aku datangi. Ia pindah ke bangunan yang lebih besar, tak jauh dari kios itu. Bangunan milik sendiri, tak lagi menyewa punya orang. Belakangan ia juga membangun rumah, rumah tingkat berlantai dua. Hingga kemudian tersiar kabar mengejutkan itu. Pak Surat tabrakan. Ia meninggal. Baksonya masih tetap ada. Tapi rasanya tak lagi sama. Di masa kanak-kanakku itu, meski Pak Surat adalah bakso pertama dalam hidupku, tidak selalu aku pergi ke kiosnya saat ingin makan bakso. Aku justru lebih sering hanya duduk di teras rumah, menunggu Pak Wage, penjual bakso keliling di kampungku lewat. Dua ratus lima puluh harga semangkuk baksonya kala itu. Isinya tiga pentol, kadang tambah tahu isi, lengkap dengan mie kuning atau mie putih. Banyak yang menjual pentol yang lebih berdaging atau lebih besar, tapi tak ada yang bisa menandingi kuah bakso Pak Wage. Campuran saos dan kecapnya selalu pas, walaupun Mamah selalu tak mau diberi saos. Tapi kemewahan anak-anak masa itu, justru saat bisa membeli bakso tanpa kuah dan mie. Hanya pentolnya saja, ditusuk dengan lidi. Tak ada orangtua yang senang anaknya beli pentol saja. Pasti tak kenyang dan hanya bikin boros saja. Maka bagi bocah masa itu, kesempatan untuk bisa membeli bakso hanya pentolnya saja adalah kemewahan. Usai Lebaran saat mereka punya uang sendiri dari hasil silaturahmi, anak-anak akan membelanjakan uangnya untuk membeli pentol bakso saja - tanpa kuah, tanpa mie. Karena sudah langganan, beberapa orang pasti pernah utang bakso ke Pak Wage. Termasuk orangtuaku. Saat tanggal tua dan belum gajian, kami makan bakso dan baru membayarnya dua atau tiga hari kemudian. Kalau tiba waktunya membayar tapi orangnya tak muncul di depan rumah, Pak Wage akan melambatkan langkah dan mengubah caranya membunyikan "tok...tok...tok." Bakso Pak Wage juga hadir dalam acara-acara istimewaku. Saat aku merayakan ulang tahun ke-17 dan saat aku menikah, Mamah memesan bakso Pak Wage dan menyajikannya untuk tamu. Di saat aku menikah itulah, aku terakhir kali menikmati bakso Pak Wage. Pak Wage meninggal tak lama kemudian. Ia ditabrak motor di perempatan jalan saat mendorong gerobak baksonya. Pak Surat dan Pak Wage, baksomu enak tenan! Aku bersaksi kalian adalah orang-orang baik yang telah memberiku kebahagiaan dan ingatan yang tak terhapuskan melalui pentol dan kuah racikan kalian. - O - Telepon untuk Tetangga 8 April 2020 Aku tak mampu membayangkan bagaimana kita menjalani hari-hari isolasi tanpa internet dan teknologi. Bahkan orangtua, nenek dan kakek kita yang tak kenal telepon genggam, mereka semua menghabiskan hari-hari ini di depan televisi. Bersama teknologi. Sejak internet menjadi bagian hidup sehari-hari, aku memang tak pernah lagi menonton acara televisi. Tapi aku adalah bagian dari generasi yang tumbuh bersama televisi. Televisi pertama yang ada di ruang keluarga kami adalah televisi hitam putih merk National. Siarannya hanya TVRI. Samar-samar aku masih ingat drama seri ACI - Aku Cinta Indonesia, dibuka dengan adegan tokoh utama naik sepeda. Selebihnya, aku tak punya ingatan apa-apa tentang siaran yang aku tonton di TV hitam putih itu. Tapi aku masih ingat, Papah berkata saat kita sedang menonton bersama; "Ini kita pulas saja tv nya biar tv kita jadi tv berwarna." Hingga akhirnya kami benar-benar punya tv berwarna. Merknya Digitec Ninja, ukurannya 14 inchi. Di atap rumah kami kini dipasang antena tinggi dengan kotak merah yang menempel di tiang besi. Dengan antena itu, kini bukan hanya TVRI yang muncul di TV, tapi juga RCTI dan SCTV. Rumah kami adalah rumah ketiga di desa kami yang punya antena tinggi itu. Setiap hari, anak-anak tetangga akan datang ke rumah untuk ikut menumpang menonton sinetron, serial Barat atau serial Cina, juga telenovela. Kalau hari Minggu, rumahku sudah penuh sejak pagi. TV tak berhenti menyiarkan tontonan anak-anak, mulai dari Doraemon jam 8, dilanjut Candy-Candy, Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, dan judul-judul lain yang tak mampu lagi aku ingat. Aku tak bisa mengingat kapan orang-orang berhenti menumpang menonton di rumahku. Yang pasti, satu per satu tetangga akhirnya membeli sendiri antena mereka. Bukan hanya menjadi tempat menumpang menonton televisi, rumahku dulu juga menjadi tempat menumpang orang yang hendak menerima telepon. Telepon jadi barang mewah saat itu, bukan semata karena harganya, tapi karena kabel pemasangan telepon tak masuk ke dalam desaku. Kebetulan rumahku berada dekat dari jalan raya, jadi masih kebagian jatah untuk bisa memasang telepon. 894417. Aku bahkan masih ingat nomor telepon rumahku, meski salurannya sudah diputus sejak bertahun-tahun lalu. Aku bahkan masih ingat nomor telepon beberapa tetangga dan teman-temanku. Padahal terakhir kali aku menelepon mereka sudah lebih dari dua puluh tahun lalu. Kembali ke soal orang-orang yang menumpang telepon rumahku, orang pertama sesungguhnya adalah tanteku sendiri. Kala itu, omku baru diangkat sebagai pegawai negeri Departemen Penerangan dan ditempatkan di Manado. Tanteku tetap tinggal di desa kami bersama dua anaknya yang masih balita. Di masa itu, dalam pandangan kami orang Jawa, luar Jawa adalah daerah antah-berantah. Tiket pesawat bukan sekadar mahal, tapi betul-betul tak mampu diakses oleh orang yang hidup di desa. Untuk menuju Manado, omku harus naik bus menuju Surabaya, disambung naik kapal Pelni selama empat hari. Dering pertama telepon di rumahku datang dari Manado. Omku akan memberi pesan jam berapa dia akan menelepon lagi esok hari agar tanteku bisa menunggu. Biasanya mereka selalu janjian setelah jam 9 malam agar biayanya lebih murah. Apalagi telepon dari Manado adalah interlokal, yang tarifnya berlipat kali dari tarif lokal. Setiap kali menerima telepon, tanteku pasti menangis. Lalu kami semua yang mendengar juga ikut berkaca-kaca. Panggilan terakhir dari Manado datang pada hari-hari terakhir sebelum Reformasi 1998. Omku mendapat berkah Reformasi; Ia dipulangkan ke daerah asal, menjadi pegawai Pemda. Selanjutnya yang menumpang telepon rumah kami adalah tetangga-tetangga yang jadi TKI di luar negeri. Panggilan telepon datang dari Arab, Hong Kong, atau Malaysia. Setiap kali usai menutup telepon, Mamah akan menyalakan motor, mengabari keluarga-keluarga yang hendak dipanggil. Kami pun bisa menguping percakapan mereka saat menerima telepon; rencana mereka membangun rumah, rencana membeli motor, atau kabar soal utang yang telah terbayar. Ah, menceritakan ini hatiku jadi hangat.... *** Bertahanlah... 10 April 2020 Kemarin Glenn Fredly dimakamkan. Hari ini Jumat Agung, hari di mana Yesus meninggal dalam penyaliban. Beberapa tahun terakhir ini, aku seperti mencatat sebuah pola yang berulang dari tahun ke tahun. Setiap menjelang Paskah, hidup selalu terasa begitu gelap. Selalu ada beban yang tiba-tiba tak lagi bisa diangkat, selalu ada risau yang begitu mengganggu, selalu ada kesedihan yang mendalam. Dari tahun ke tahun, aku melewati libur akhir pekan panjang Jumat Agung tidak dengan keriaan. Aku sudah pernah menuliskan soal pola aneh yang selalu berulang ini dalam catatan Instagram, tepat di hari Jumat Agung, dua tahun lalu. Hari-hari menjelang Paskah tahun ini, terlalu banyak kesedihan yang tak lagi menyisakan ruang untuk bersedih-sedih lagi. Kamu tahu apa yang menyakitkan dari kesedihan? Tak ada yang menunggu kita untuk menuntaskan rasa sedih itu. Dunia terus berputar, orang-orang di sekitar kita terus berlari, kita pun akan tetap merasa haus dan lapar, harus ke toilet untuk buang air, harus tidur dan kemudian bangun lagi, harus tetap mengumpulkan tugas kuliah, harus tetap ikut ujian, harus tetap punya uang. Bagaimanapun kesedihan kita, kehidupan terus berjalan. Baru saja aku membaca satu twit dari seorang anak muda pintar, mahir bicara dalam berbagai bahasa, pendiri sebuah komunitas yang aktif menyebarkan pengetahuan. Lewat twitnya, ia pamit untuk bunuh diri. "I'll commit suicide this evening. Please don't look after me." Ribuan orang di Twitter langsung berupaya mencegahnya. Semua memberi kata-kata yang menguatkan, mengingatkan bahwa ia berarti, meyakinkan bahwa ia tak sendiri. Aku menulis pesan singkat: Jangan. Bertahanlah. Bukankah memang itu yang harus bisa kita lakukan? Bertahan dan menolak binasa perlahan. Hanya catatan singkat ini yang bisa kutulis untukmu kali ini. Bertahanlah. Gempa-Gempa dalam Ingatanku 11 April 2020 Dentuman besar konon terdengar dini hari tadi di Jakarta. Membuat jendela bergetar, membangunkan orang-orang dari tidurnya, membawa ketakutan dan rasa penasaran yang hingga sekarang belum ada jawaban. Orang-orang yang berwenang bilang itu bukan suara petir, bukan suara meteor, bukan pula suara Anak Krakatau. Jadi apa? Aku selalu punya ketakutan pribadi terhadap gempa dan tsunami. Tahun 2006, saat gempa besar terjadi di Jogja, aku sedang berada di Parangtritis. Lokasi yang dekat sekali dengan pusat gempa. Aku sedang pacaran saat itu. Sesuatu yang normal saja. Kala itu aku baru bekerja di Jakarta, masih punya pacar orang Jogja, maka ketika ada libur akhir pekan panjang, aku memilih menghabiskannya di Jogja. Aku betul-betul merasakan bagaimana bumi bergetar hebat, atap dan dinding bergoyang. Yang ada dalam pikiranku saat itu: Aku pasti mati. Tapi aku tidak mati. Aku meninggalkan Parangtritis dan melihat manusia-manusia kebingungan. Semua berlari menjauhi wilayah selatan, karena takut tsunami. Yang berada di utara, berbondong-bondong menuju selatan karena takut kena letusan Merapi. Bertahun-tahun kemudian, tahun 2018, sepanjang rentetan gempa Lombok aku sedang berada di Bali. Gempa pertama yang melumpuhkan pendakian Rinjani dan membuat ribuan pendaki terjebak, aku rasakan di Sanur. Kali itu belum ada ketakutan menggelanyut. Dalam pikiranku saat itu, gempa terjadi. Ya sudah. Tapi seminggu kemudian gempa terjadi lagi. Saat itu aku di sebuah hotel di daerah Canggu. Semua orang berlarian keluar kamar, air kolam renang terus bergoyang bahkan hingga beberapa menit setelah gempa berakhir. Itulah kali pertama anakku sadar apa itu gempa. Ia terus mengingat apa yang ia lihat dan rasakan di malam itu. Satu minggu kemudian, gempa yang lebih besar lagi terjadi. Tangisku pecah malam itu. Merasa lelah, takut, depresi dengan rentetan gempa yang terus membuat kami harus berlari. Apalagi kala gempa besar itu terjadi, kami sedang berada di kamar di lantai 2, dengan kamar tidur mezanin. Jadi kami harus lari menuruni tangga kayu kecil dari ruang tidur, lalu disambung menuruni tangga hotel ke lantai dasar. Kolam renang bergoyang keras. Jauh lebih keras dari yang seminggu sebelumnya aku lihat. Aku merasa pusat gempa begitu dekat. Padahal pusatnya ada di pulau seberang. Setelah malam itu aku terus merasa ketakutan dan khawatir. Suara tangisan anjing-anjing tetangga sepanjang malam terus menambah gelisah. Apalagi aku ingat sekali, malam sebelum gempa besar itu, anjing-anjing juga menangis, melolong gelisah sepanjang malam. Dalam segala ketakutan itu, aku terus mencari informasi soal gempa. Membuka-buka akun media sosial terkait gempa, mulai dari akun pemerintah sampai akun-akun independen yang memberi prediksi dan selalu dianggap hoax. Salah satu inti prediksi akun tersebut adalah gempa besar dan tsunami akan terjadi di Indonesia. Aku sampai mengungkapkan kekecewaanku di Twitter terhadap sikap pemerintah (dan kebanyakan kita?) yang sekadar bersembunyi dengan kata HOAX untuk menyikapi segala prediksi. Satu minggu berlalu setelah gempa besar itu. Ketakutanku tak semakin reda. Aku bahkan sampai bilang ke suamiku: Aku merasa hal buruk akan terjadi. Yang ada dalam pikiranku tentu saja gempa besar dan tsunami. Dini hari setelah percakapan itu, gempa susulan kembali datang, tapi tak lebih besar dari sebelumnya. Aku merasa lega dan aman. Ketakutanku tak terbukti. Lalu aku - sebagaimana kebanyakan orang - lupa dengan semua yang baru saja terjadi. Episode gempa Lombok perlahan berakhir. Beritanya jerlahan juga menghilang dari televisi. Aku meninggalkan Bali tak lama kemudian, menuju Sulawesi. Lebih dari dua minggu aku berada di pesisir dan kepulauan tanpa ada sedikit pun ketakutan. Hingga kemudian kembali ke Jakarta dan bencana besar itu terjadi tak jauh dari tempat yang baru kami tinggalkan: Palu. Akhir tahun 2018, saat aku sedang menuliskan cerita perjalananku ke Sulawesi itu, gelombang besar menghantam pesisir Anyer.... - O - Ia Perokok dan Pecandu 14 April 2020 Kemarin Mamah mengirim foto Papah yang sedang naik sepeda berkeliling di sekitar rumah. Setelah bertahun-tahun, mungkin itu pertama kalinya Papah naik sepeda. Di usia 61 tahun, Papah sehat dan tak punya masalah kesehatan yang serius. Tapi, sejak setahun terakhir ini seperti ada mental block yang membuatnya takut untuk melakukan banyak hal. Ia berhenti menyetir mobil, ia tak mau lagi mengendarai motor, bahkan ia tak mau ditinggal di rumah sendirian. Semuanya terjadi begitu saja, mendadak, tanpa bisa dijelaskan apa penyebabnya. Yang aneh, perubahan itu sama sekali tak membuatnya stress atau merasa tertekan. Ia biasa saja menjalani hari-harinya setiap hari dengan di rumah aja, sesekali pergi dengan Mamah yang menyetir mobil. Papah pensiun hampir lima tahun lalu. Sejak itu ia memang tak lagi punya alasan serius untuk keluar rumah, selain pergi mengambil jatah uang pensiunan di kantor pos setiap tanggal 1 setiap bulan. Ia juga tak punya kebutuhan apa-apa selain membeli rokok. Ya, Papah perokok berat. Dulu rokoknya Bentoel. Sekarang, sepertinya ia tak peduli lagi soal merk. Yang penting rokok. Saat kecil, aku selalu ketakutan dengan bayangan yang ada dalam pikiranku bahwa rokok akan membuat Papah sakit lalu mati. Aku selalu gemas ingin memaksanya tak merokok lagi, tapi tentu saja tak pernah bisa. Selain kecanduan rokok, Papah sejak dulu seperti kecanduan obat generik; Mixagrip, Panadol, Bodrex, pokoknya merk apapun yang dijual di warung akan ia minum setiap kali ia merasa tak enak badan. Ini juga membuatku terus dibayangi ketakutan bahwa sewaktu-waktu organ tubuhnya akan ambrol karena efek samping obat. Sudah perokok berat, pecandu obat, malas olahraga pula! Papah dulu adalah pegawai negeri di kantor Transmigrasi. Ia mendapat pekerjaan itu berkat saudaranya yang saat itu menjabat sebagai Dirjen di Departemen Transmigrasi. Dulu, itu departemen yang penting dan punya cukup banyak proyek. Yang rutin didapat setiap pegawai adalah kesempatan "ngawal", mengantar rombongan orang yang mau transmigrasi, mulai dari berangkat hingga tiba di negeri seberang; di Sumatera atau di Kalimantan. Jatah ngawal selalu ditunggu karena ini berarti ada uang perjalanan yang bisa didapatkan. Papah selalu menerima uang perjalanannya sebelum berangkat dan seringkali uang itu hampir sepenuhnya ditinggal untuk kebutuhan rumah. Ia akan pergi seminggu atau dua minggu bersama rombongan puluhan orang itu, naik bus lalu disambung kapal laut. Proyek yang lebih besar lagi sebenarnya ketika Papah bisa membujuk orang-orang untuk transmigrasi. Ia datang ke berbagai desa, bertemu kepala desa dan pamong, lalu bertemu orang-orang yang bisa dirayu untuk memulai kehidupan baru. Untuk setiap kepala yang diberangkatkan, Papah mendapat uang dari pemerintah. Kehidupan kami saat itu rasanya normal-normal saja. Keluarga yang pas-pasan karena sepenuhnya bergantung pada gaji pegawai negeri dan sesekali bersuka cita ketika ada pemasukan di luar gaji bulanan. Masa itu, setiap bulan Mamah akan berdandan lengkap dengan eyeshadow dan eyeliner, memakai seragam Dharma Wanita, pergi bersama ke kantor Papah untuk ikut pertemuan Dharma Wanita. Suatu hari Mamah membeli tape karaoke dan latihan karaoke setiap hari karena pertemuan Dharma Wanita bulan depan akan diisi dengan lomba karaoke. Tanpa alasan yang jelas, Papah membuat acara syukuran di rumah dan mengundang semua teman-teman kantornya termasuk kepala kantor dan istrinya untuk datang ke rumah. Katanya, membuat syukuran seperti itu seperti sudah kebiasaan di kantornya. Karena sudah biasa diundang, maka sekarang giliran Papah yang mengundang. Hingga suatu masa, Papah jadi sering tak masuk kantor. Tak pernah lagi ada perjalanan ngawal ke Sumatera atau Kalimantan. Tak ada lagi orang-orang yang dikumpulkan untuk diberangkatkan. Mamah juga tak pernah lagi ikut pertemuan Dharma Wanita. Semua karena ada perubahan besar di negara ini. Departemen Transmigrasi bubar. Di Kalimantan, orang-orang Madura diusir. Di banyak tempat, transmigran dan pendatang Jawa jadi persoalan sensitif. Transmigrasi adalah jawanisasi dan Orde Baru. Papah jadi semakin sering menghabiskan waktu di rumah; tidur, nonton tv, ke warung, mencari-cari kesibukan di halaman rumah. Tapi sama sekali tak pernah mau olahraga. Dari dulu hingga sekarang, Papah selalu tak mau sarapan sebelum mandi lebih dulu. Walaupun sepanjang hari di rumah, ia akan mandi pagi, menganti celana kolor dengan celana panjang, baru kemudian sarapan. Sejak virus memakan korban di kotaku, aku sering memikirkan Papah. Tapi kemudian aku meyakinkan diriku sendiri: "Ah, Papah kan di rumah terus!" - O - Maut Maha Mengelabui 4 Mei 2020 22.57 Aku limbung. Baru empat jam lalu aku mendapat kabar itu: saudara laki-laki suamiku meninggal dunia. Kini semua yang ada di sekelilingku terasa kelam. Pandemi ini terasa begitu menakutkan. Setelah beberapa minggu terakhir aku bisa mengontrol kesadaranku, mengalihkannya ke berbagai bentuk ekspresi yang membuatku tak tersedot sepenuhnya ke dalam pusaran tragedi, malam ini aku kembali kehilangan segala hasrat. Minggu lalu, Papah masuk rumah sakit. Dan oh, kalau kamu baca catatan terakhirku di sini, aku bercerita tentang Papah. Aku mengingat berbagai hal tentang Papah, rokoknya, obat-obat generik yang selalu ia minum kalau tak bisa tidur. Aku khawatir, tapi sekaligus meyakinkan diriku sendiri bahwa Papah akan baik-baik saja. Eee.. malah tak lama kemudian ia masuk UGD. Selama tiga hari ia dirawat di rumah sakit. Dalam tiga hari itu, yang kutakutkan adalah jika terjadi apa-apa, aku tak akan bisa melakukan apa-apa. Aku tak akan bisa pulang, aku tak akan bisa menengok Papah. Adakah yang lebih menyebalkan daripada rasa tidak berdaya? Alhamdulilah, Papah sehat. Ia keluar dari rumah sakit dan aku sempat tersenyum saat melihat ia makan nasi padang dengan lahap. Aku begitu lega. Yang aku takutkan tak terjadi. Tapi hari ini, maut datang menjemput sisi yang lain dari bagian kehidupanku. Maut seperti mengelabuiku. Tapi memang bukankah maut selalu mengelabui semua orang? Askari meninggal hari ini di Bali. Dua malam lalu, almarhum ibu mertuaku mendatangiku lewat mimpi... - O - Description: Kenapa satu ingatan bisa muncul tapi ingatan yang lain tidak? Kenapa membaca satu kalimat di media sosial bisa membangkitkan ingatan yang sama sekali tidak berhubungan? Kenapa kita tak bisa memilih hendak mengingat apa dan bagaimana? Bagaimana ingatan bekerja? Okky Madasari menuliskan apa yang muncul dalam ingatannya dari hari ke hari di tengah wabah korona. Potongan-potongan ingatan hadir dalam cerita-cerita hangat yang ditulis khusus untuk menemanimu hingga pandemi berlalu.
Title: rokok Category: Cerita Pendek Text: karna lapar Sebatang rokok , Setelah sekian lama rebahan ,akhirnya rasa lapar menghantu i , aku pergi ke luar untuk untuk memenuhi hasrat perut ini , aku pergi tepatnya ke warkop tongkrongan ku yg berjarak kurang lebih 100 m , sambil menapaki jalan ke warkop serasa aku ingin merokok ,hehehehe biasa laki ,lalu aku mengambil rokok dari saku ku sebelah kiri yg tinggal sebatang ,hmmm rokoknya sudah kusut macam wajah ku yg blom mandi hhh maklum lahh sisa semalam , sambil baguskan rokok yg kusut rerasa ada yg kurang rupanya mancis ku ketinggalan ,ketinggalan ato gk ada ya hhh , sambil menapaki jalan aku berpapasan dengan seorang perokok juga , laki ato cewe gk ya ? Gk tau dehh jelasnya namun dari tampangnya cowo hhhh , yg penting saat iti rokok ku bisa bisa ngeluarin asa setelah aku pinjam koreknya dan mengucap terima kasih padanya yg berbaik hati , sambil menapaki jalan aku berpikir kena korona gk ya dari korek tadi hhh ,biasa karna virus covid sekarang harus waswas" , sesampi di warkop aku pesan makan 1 dan minumnya , maklum lah jomblo , ehh maksudnya sendiri makanyan cuma pesan satu aja hhh , sambil menunggu di antar aku duduk di kursi spesial gk taulah knapa spesial mungkin karna bisa aku di buat betah hingga berjam" hmmm , aku berpikir " Ternyata pada saat situasi tertentu kebaikan seseorang itu bisa berdampak buruk " dan makanan sudah tersedia makan dlu lahh nanti yg berpikir" itu , sambil ngerokok lagi # cerita tak guna Description: pinjam manciis
Title: Rintik Asmara Category: Teenlit Text: Tetangga Baru "Anoraa... Abimanyu berkelahi lagi!!" teriak salah satu siswa kepada Anora yang sedang bersama dengan teman-temannya di kantin sekolah. "Di lapangan! Mereka berkelahi di lapangan." sahut sang siswa lagi. (Anora dan teman-temannya bergegas menuju lapangan sekolah diikuti oleh siswa lain) "Cukup! cukup hentikan!" teriak Pak Braga sang Kepala Sekolah dan juga sebagai ayah Abimanyu mencoba melerai Abimanyu dan Raka yang keduanya kini sudah terlihat babak belur. "Ya allah... kalian berdua lagi! sebenarnya ada apa ini hah?!!" teriak Bu Ima kepada Abimanyu dan Raka. "Dan kalian semua kenapa diam saja ketika melihat teman kalian berkelahi seperti ini?! Sekarang semuanya bubar! Bubar kalian semua!!" teriak Bu Ima lagi kepada para siswa yang menyaksikan kejadian di lapangan itu. "Kalian berdua ikut saya ke kantor" ucap Pak Braga langsung meninggalkan lapangan. ******** "Sudahlah Anora semuanya pasti akan baik-baik saja." ucap Karin menenangkan Anora yang kini sedang menangis dipelukannya. "Aku takut Abi akan dikeluarkan dari sekolah, kau tahu sendiri kan ini sudah ketiga kalinya." Ucap Anora. "Bukannya mereka sudah berdamai mengapa mereka bertengkar lagi?" tanya Fio kepada Dayu dan Saka tetapi mereka berdua hanya tetap diam dan memandang ke arah ruang Kepala Sekolah. (Beberapa menit kemudian keluar Abimanyu dan Raka dari ruang Kepala Sekolah) "Abi!!" teriak Anora menghampiri Abimanyu dan langsung memeluknya. "Ayo pulang." bisik Abimanyu ke telinga Anora. "Pu.. pulang? " tanya Anora melepaskan pelukannya. "Ta.. tapi ini belum waktunya pulang.Dan.. dan sebenarnya apa yang terjadi denganmu?." tanya Anora terbata-bata sambil memegang pipi Abi yang lebam. "Ayah sudah memberikan kita ijin." ucap Abi menarik tangan Anora menuju kelas Anora. ********** "Ambil tasmu." ucap Abi ketika tiba didepan kelas Anora dan seketik Anora menurut untuk mengambil tasnya. "Dayu menginaplah dirumah Saka malam ini jangan dulu pulang kerumahmu." bisik Abi kepada Dayu dan Saka berusaha agar percakapannya tidak didengar oleh Karin dan Fio. "Kenapa? kenapa kalian berbisik-bisik di depan kami? Dan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Karin. "Sayang, ada apa sebenarnya?" tanya Fio kepada Dayu. " Beib...? "sahut Karin kepada Saka. (Ketika Anora sudah keluar dari kelas Abimanyu langsung menarik tangan Anora tanpa membiarkan Anora mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya.Sedangkan Fio dan Karin hanya bisa terdiam bingung melihat Anora dan Abimanyu yang semakin lama semakin menjauh dari pandangan mereka) "Ada apa sebenarnya sayang?" rengek Fio kepada Dayu. "Kenapa kalian diam saja? Ada apa?" ucap Karin "Dia kembali." ucap Saka "Dia? dia siapa?" ucap Karin "Rani." sahut Dayu "Apa??!!" ucap Fio dan Karin serempak. ********* (Dimotor) "Abi sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Anora kepada Abimanyu yang ada didepannya namun Abi tidak ingin menyahutnya sama sekali. "Abi ada apa lagi antara kau dan Raka? Apakah yang dikatakan Pak Braga tadi? Kau tidak akan dikeluarkan dari sekolah kan?" tanya Anora lagi tak ingin menyerah. "Abi.." ucap Anora lirih. "Kumohon Anora..." ucap Abi sambil memegang satu tangan Anora untuk diletakkan di pinggangnya. (Anora terdiam ia mengerti Abi tak ingin menjelaskannya saat ini dan ia langsung memeluk Abi dengan erat) ******* "Mengapa kau mengajakku ke taman ini?" tanya Anora ketika ia mulai berjalan taman bersama Abi. "Aku hanya ingin menghirup udara segar Anora" ucap Abi menggengam erat tangan Anora. "Apa kau menyesal pernah berpacaran dengan pria brengsek sepertiku?" ucap Abi lagi sambil melihat ke arah lain. "Apa maksudmu?" ucap Anora berhenti dan melepaskan tangan Abi. "Kau adalah pria terbaik yang kutemui.Kau adalah orang yang selalu ada untuk Anora yang bodoh ini.Kau hadir memberi cinta dan membawa kebahagiaan untuk Anoramu ini.Kau.. kau.. ." isak Anora mulai meneteskan air matanya. "Hei.. hei.. Anora jangan menangis. Kau tau kan aku paling tidak bisa jika harus melihatmu menangis seperti ini." ucap Abimanyu memegang kedua pipi Anora mengusap air mata Anora yang mengalir. "Kenapa kau bertanya seperti itu padaku? Sudah tiga tahun kita melakukan semua hal bersama sama-sama menghadapi segala hal bersama-sama dan kau malah menanyakan hal bodoh seperti itu padaku?" isak Anora. "Maafkan aku Anora maafkan aku jangan menangis lagi aku memang bodoh menanyakan hal konyol seperti itu.Aku tahu kau akan selalu menerimaku dan selalu mencintaiku." ucap Abimanyu memeluk Anora. "Kumohon katakan apa yang sebenarnya terjadi tadi? Mengapa kau berkelahi lagi dengannya?" tanya Anora melepaskan pelukanya sedangkan Abimamyu masih terdiam. "Kenapa? apa yang terjadi?" tanya Anora lagi sambil memegang pipi Abimanyu. "Aku tak tahan Raka memprovokasiku lagi ka..ka..rena.."ucap Abimanyu terbata-bata. "Karena apa?" tanya Anora lagi sambil memandangkan Abimanyu yang kini tak berani memandang dirinya. "Ra..Rani telah kembali,dia telah sadar dari komanya." ucap Abimanyu gemetar. "Se.. se.. jak kapan dia bangun?" tanya Anora sangat terkejut. "Tak apa..tak apa.. kita akan menghadapinya bersama-sama." ucap Anora memegang tangan Abimanyu berusaha menenangkan Abimanyu. "Dan kau apakah kau dikeluarkan dari sekolah?" tanya Anora lagi. "Tidak.. ayah tidak akan mengeluarkanku dari sekolah sebagai gantinya Raka juga tidak akan dikeluarkan." ucap Abimanyu. "Tenang... tenang.. semuanya akan baik-baik saja." ucap Anora spontan memeluk Abimanyu untuk menenangkan kekasihnya itu. ******* (Di kamar,Anora mengingat lagi kata-kata Abimanyu ditaman,bahwa Rani telah tersadar dari komanya.Ia mengingat kejadian satu tahun lalu,dimana pada saat itu ia, Abimanyu, Fio, Dayu, Karin, Saka dan Rani masih menjadi murid baru di SMA Nusa Bangsa. Rani bukanlah temannya tapi Rani adalah orang yang selama ini tergila - gila pada Abimanyu sejak Abi masih SMP, padahal Rani tahu bahwa Abimanyu sudah memiliki Anora, tetapi ia terus berusaha mendekati Abi.) "Ya...bagus tangkaplah seperti itu Jino." ucap seseorang diluar membubarkan lamunan Anora. (Anora seperti familiar dengan suara itu,ia pun mengintip melalui jendela kamarnya.Ia melihat seorang laki-laki yang bermain dengan seekor anjing di depan rumah kosong yang ada di depan rumah Anora) "Non Anora ini coklat panasnya." ucap Bik Sumi yang masuk ke kamar Anora mengantar coklat panas yang diminta Anora sebelumnya. "Bik? Apa bibi mengenal orang itu?" tanya Anora menyuruh Bik Sumi mengintip di jendela yang sama dengannya. "Oh itu tetangga baru non,rumah yang didepan sudah ada yang menempati baru tadi pagi non." ucap Bik Sumi. "Kalau begitu saya balik ke dapur ya non." ucap Bik Sumi yang langsung direspon dengan anggukan Anora. "Arsan..." teriak suara perempuan dari dalam rumah kosong yang kini telah ditempati oleh tetangga baru Anora, yang kemudian langsung diikuti masuknya orang yang sedang bermain dengan anjing tadi kedalam rumah. "Arsan?" batin Anora dalam hati. Pertemuan (Di sekolah) "Bukan.. bukan pasti bukan Arsan yang itu." ucap Anora dalam hati dimana ia masih memikirkan kejadian kemarin. "Anora....." teriak Fio dan Karin bersamaan membubarkan lamunan Anora. "Hei.. " ucap Anora langsung memeluk kedua sahabatnya itu. "Kami sudah memanggilmu belasan kali,tapi kau tak menyahut sama sekali." ucap Karin memasang wajah cemberut. "Ha? Benarkah?" tanya Anora. "Pasti tentang Rani ya?" sahut Fio. "Aku tak tahu pasti tentang hal apa yang akan menanti kita,tapi aku yakin kita berenam pasti bisa menyelesaikan masalah ini bersama-sama." sahutnya lagi dikuti anggukan Anora dan Karin. (Dikelas) "Selalu saja mereka bertiga terlambat seperti ini." kata Fio kepada Anora dan Karin dimana kini terdapat tiga kursi kosong di dalam kelas mereka. (Posisi kursi dan meja satu satu berderet kebelakang) (Beberapa menit kemudian Ibu Intan wali kelas mereka masuk ke dalam kelas dengan diikuti oleh seorang siswa baru) "Anak-anak hari ini kelas kita kedatangan siswa baru.Ayo nak silahkan perkenalkan diri." ucap Bu Intan "Selamat pagi teman-teman nama saya Arsan,Arsan Bagas Putra dan saya berasal dari Surakarta." ucap siswa itu seketika Anora terbelalak kaget. "Ja..jadi di.. dia benar benar Arsan teman masa kecilku." batin Anora masih kaget karena didepannya adalah pria yang baru saja pindah di depan rumahnya dan juga ternyata ia adalah teman masa kecilnya. "Baik anak-anak, ibu harap kalian bisa akrab dengan Arsan dan ibu sangat senang jika kalian bisa mengantar Arsan untuk melihat-lihat sekolah kita.Arsan, kamu bisa memilih tempat duduk diantara tiga kursi kosong disana." ucap Bu Intan. "Tapi bu, ketiga kursi ini sudah ada pemiliknya masing-masing." teriak Karin. "Ibu mengerti, tapi mereka saat ini tidak hadirkan? Sudahlah tak apa nanti biar Pak Jono (tukang kebun) menyiapkan satu kursi dan satu meja lagi.Sementara biar Arsan duduk disalah satu kursi itu." ucap Bu Intan lagi. (Kemudian Arsan berjalan menuju kursi dimana kursi tersebut adalah tempat duduk Abimanyu,tepat disamping kanan Anora.Anora dan Arsan sempat melakukan kontak mata sebentar sebelum akhirnya Arsan memalingkan wajahnya untuk membuka bukunya.) "Hei Arsan sebaiknya kau pindah tempat duduk sebelum Abimanyu melakukan sesuatu kepadamu." bisik Panji sang ketua kelas disambut keheran-heranan oleh Arsan. "Kenapa? dan siapa Abimanyu? ." tanya Arsan lagi secara bisik bisik ke orang yang ada disamping kanannya. "Abi adalah pacar dari Anora gadis disampingmu,dan ia tidak segan-segan menghajar siapa saja yang mengganggunya." sahut Panji lagi tanpa digubris Arsan dimana ia kini melihat kearah Anora. "Anora?" batin Arsan yang masih menatap semu ke arah orang yang ada disampingnya." (Di pertengahan saat Ibu Intan menjelaskan tentang materi,Abimanyu,Dayu dan Saka datang ke kelas dengan keadaan yang sangat berantakan) "Abi,Dayu dan Saka selalu saja!" ucap Bu Intan ke arah mereka. "Subhanallah Bu Intan cantik sekali hari ini..." ucap Saka mencoba mencoba meluluhkan hati Bu Intan agar ia tidak marah-marah diikuti cekikik ana-anak kelas. "Saat dijalan, saya tadi membelikan ini untuk Bu Intan." ucap Dayu memngeluarkan setangkai bunga mawar untuk Bu Intan diikuti suara tertawa dari anak-anak lain. "Abimanyu?" goda Bu Intan karena ia tahu Saka dan Dayu sudah mengeluarkan jurus andalan mereka agar Bu Intan tidak marah kecuali Abimanyu. "Mereka sangat kuno dengan hanya memberikan pujian dan bunga.Saya sudah menyiapkan sesuatu yang lebih spesial untuk ibu." ucap Abiamanyu. "Dialah Abimanyu." bisik Panji sang ketua kelas kepada Arsan "Sekarang kalian semua lihat ke arah pintu (pintu ada di depan) dan berhitung sampai tiga dimulai dari... sebentar... tahan... satu..." ucap Abimanyu yang langsung diikuti semua temannya. "Dua.... Tiga...." ucap serempak semua siswa yang ada di kelas Bu Intan. (Saat hitungan ketiga semua hening dan tampak Pak Gino,guru olahraga berjalan melewati kelas Bu Intan tak lupa ia sempat tersenyum menoleh ke arah Bu Intan) "Ciyee... " ucap semua siswa tertawa melihat tingkah laku Bu Intan yang salah tingkah hingga membuat kelas menjadi riuh. "Sudah cukup anak-anak, baik baik sekarang kalian bertiga duduk ditempat kalian." ucap Bu Intan dengan nada yang malu-malu. (Saat Abimanyu menuju mejanya ia sempat kaget karena di mejanya kini duduk seseorang yang belum pernah Abimanyu lihat sebelumnya di sekolah ini) "Siapa kau? Mengapa kau berani... " belum sempat menyelesaikan omongannya Sisi teman sekelas mereka yang centil memotong pembicaraan Abimanyu. "Anak baru,ganteng kan?" ucap Sisi centil yang diikuti dengan suara suara riuhh dari dalam kelas. "Oh ya.. Abimanyu ibu kira kalian bertiga tadi tidak masuk sekolah,jadi sementara ibu menyuruh Arsan untuk duduk diantara ketiga kursi kosong dan Arsan memilih tempatmu.Sekarang cari Pak Jono dan suruh ia menyiapkan satu meja dan kursi yang ada di gudang anggap saja ini hukumanmu terlambat kelas." ucap Bu Intan. "Seharusnya anak baru yang cari dong bu, itu kan tempat duduk Abimanyu." sahut Dayu seperti tak suka kehadiran Arsan. "Biar saya saja yang cari Pak Jono bu,biar Abimanyu tetap duduk disini." ucap Arsan sedikit melirik ke arah Anora. "Tidak biar aku saja,apa kau tahu wajah Pak Jono? Tidakkan? " ucap Abimanyu melihat gerak gerik Arsan ia mendapati Arsan sempat melirik ke arah Anora. "Bagaimana kalau kalian berdua saja bersama-sama." saran Bu Intan. "Baiklah Bu Intan yang cantik." ucap Abimanyu meninggalkan kelas dan diikuti oleh Arsan (Di lapangan) "Abimanyu." ucap Abimanyu mengangkat tangannya kepada Arsan. "Arsan." jawab Arsan menjabat tangan Abimanyu. "Kau dari daerah mana? Masih di sekitaran Jakarta?" tanya Abimanyu tanpa melihat ke arah Arsan. "Surakarta." jawab Arsan dingin. "Pacarku dulu juga sempat tinggal di Surakarta." ucap Abimanyu seketika Arsan. "Surakarta? Anora? ." batin Arsan ia semakin yakin bahwa Anora teman kelasnya adalah Anora teman masa kecilnya dulu. "Hei.. kenapa melamun?" ucap Abimanyu. "Apakah kau tahu siapa pacarku?" ucap Abimanyu diikuti gelengan kepala oleh Arsan. "Dia adalah orang yang kau lirik tadi,dan aku tidak suka itu .Aku hanya akan membiarkan seseorang dapat melihat Anora dan akrab dengannya jika Anora menghendaki itu semua, tapi karena berhubung kau anak baru dan tidak tahu kali ini aku akan berbelas kasihan kepadamu." bisik Abimanyu pergi meninggalkan Arsan menuju Pak Jono yang sedang makan di kantin sekolah. "Anora.. " ucap Arsan lirih melihat punggung Abimanyu yang pergi semakin jauh dari pandangannya. ******* (Saat istirahat di koridor sekolah) "Apakah ini masih sakit?" tanya Anora memegang sudut bibir Abimanyu yang masih sedikit lebam. "Kurasa ini akan sembuh jika aku mendapatkan sebuah ciuman darimu." ucap Abimanyu menggoda Anora,Anorapun langsung menampar pelan pipinya. "Aduhh bukan tamparan, yang kumaksud adalah sebuah ciuman.Apa kau tidak tahu ciuman... seperti ini... seperti ini...." ucap Abimanyu langsung mencium pipi Dayu terus menerus yang diikuti suara tawa mereka berenam ketika melihat ekspresi Dayu. "Kemana saja kalian tadi,kalian sangat membuat kita khawatir. Dan kau mengapa kau tidak membalas pesanku" ucap Karin menunjuk Saka. "Dia bersama gadis lain tadi malam,makanya dia tidak membalas pesanmu." goda Abimanyu lagi. "Eh jangan ngawur kau." ucap Saka sambil menonjor kepala Abimanyu. "Aku tadi malam ketiduran beibb,tapi kan aku langsung membalasmu tadi pagi." sahut Saka lagi. "Alah alasan..." ucap Karin pura-pura marah kepada Saka. "Jangan marah lah beib,kau tau kan cintaku hanya untukmu saja." ucap Saka sambil mencolek dagu Karin diikuti suara tawa mereka berenam. "Bagaimana dengan Rani? Apa yang harus kita lakukan ketika dia kembali kesekolah dan membocorkan semuanya." ucap Karin khawatir "Ssstt.. diam Karin jangan keras keras." ucap Anora menutup mulut Karin dengan satu tangannya. "Anora..." teriak suatu suara yang berasal dari belakang mereka dan ternyata itu adalah suara Arsan yang kini berjalan menuju Anora dan dia langsung memeluknya. "Aku merindukanmu Anora." ucap Arsan memeluk Anora erat. "Arsan..." ucap Anora dengan suara lirih.Dimana hal tersebut membuat teman-temannya kaget tak terkecuali Abimanyu yang menyaksikan kejadian itu. Dia Kembali "Ya tuhan... ternyata kau adalah orang yang selama ini selalu diceritakan oleh Anora,hampir saja aku mau memukulmu tadi." ucap Abimanyu menepuk punggung Arsan. "Jadi kau orang yang melindungi Anora kecil dengan berkelahi dengan preman itu." ucap Fio kepada Arsan yang kemudian ditanggapinya dengan senyuman. "Kau juga orang yang menyelamatkan Anora saat terjadi kebakaran 9 tahun yang lalu kan? hingga masuk koran itu." sahut Karin. "Sudah sudah jangan dibahas lagi,dia akan besar kepala nanti." ucap Anora. "Aku tidak menyangka badan seperti kau ini punya nyali yang cukup besar saat kau masih kecil,Arsan." sahut Dayu. "Hey lihatlah sendiri badanmu seperti apa sebelum menilai orang lain." ucap Saka kepada Dayu yang direspon tawa dari mereka semua. "Terima kasih Arsan,tanpamu mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan Anora yang cantik ini." ucap Abimanyu memeluk Anora dari samping dan ditanggapi senyuman oleh Arsan. "Raka.." ucap Dayu semua tertuju kearah Raka yang entah sejak kapan Raka ada disamping mereka. "Aku ingin mengobrol denganmu sebentar Abi." ucap Raka dengan suara lirih. "Ada apa lagi kali ini?" teriak Saka membuat semua mata siswa tertuju kepada mereka. (Gerombolan Abimanyu langsung pergi meninggalkan Raka tanpa ingin melihatnya.Dayu dan Saka menarik Arsan yang masih diam ditempat dimana ia tidak tahu situasi apa yang sedang terjadi.) "Ini tentang gadis itu." teriak Raka dimana Abimanyu dan kawan-kawannya langsung terdiam ditempat reflek melihat Raka dengan tatapan tidak suka. "Jangan! mau kemana kau." ucap Anora ketika Abimanyu mulai berjalan ke arah Raka,ia menarik lengan Abimanyu. "Sebentar saja Anora biar kuselesaikan semuanya hari ini." ucap Abimanyu memegang pipi Anora dan pergi meninggalkan Anora menuju ke arah Raka. (Setelah beberapa saat berbicara dengan Abimanyu,Raka meninggalkan Abimanyu melewati Anora dan teman temannya.Ia sempat melihat ke arah Arsan begitupun sebaliknya) "Sepertinya aku pernah bertemu dengannya." batin Arsan. "Ada apa?." tanya Dayu kepada Abimanyu. "Raka membica.. " ucap Abimanyu seketika suara berhenti ketika dia melihat Arsan di gerombolan mereka.Mereka semua tahu tentang kode itu dan memutuskan untuk berhenti membicarakannya. "Ada apa? siapa dia tadi?" tanya Arsan kepada teman-temannya yang kini melihat ke arahnya. "Tidak ada apa-apa Arsan,ayo ke kelas Pak Budi pasti sudah marah-marah melihat kita terlambat ke kelas." ucap Saka merangkul Arsan diikuti dengan Dayu "Iya ayo cepat Pak Budi adalah guru yang sangat menakutkan." tambah Dayu. "Ada apa? " tanya Anora kepada Abimanyu ketika teman-temannya mulai menjauh dan mereka tertinggal di dibelakang. "Kaset rekaman CCTV telah dicuri, dan dia menyuruh kita untuk tetap waspada." ucap Abimanyu. ******* "Bukankah aku laki-laki pertama setelah Abimanyu yang pernah mengantarkanmu pulang." ucap Arsan kepada Anora yang kini sedang diboncengnya. "Tidak, Dayu dan Saka pernah mengantarku pulang sebelumnya." jawab Anora. "Tentu itu karena Abimanyu kan? Maksudku selain ketiga laki-laki itu." tanya Arsan lagi yang langsung dibalas anggukan Anora. "Kurasa Abimanyu tidak seburuk yang kupikirkan diawal." sambung Arsan. "Memang apa yang kau pikirkan tentangnya?" tanya Anora. "Kurasa dia pria jahat,keras dan kasar, apalagi saat ehm.. siapa nama ketua kelas itu?" ucap Arsan. "Panji?" jawab Anora. "Ya.. dia bercerita kepadaku tadi bahwa Abimanyu pernah menghajar salah satu guru di sekolah kita." ucap Arsan lagi. "Oh Pak Bambang si guru mesum itu?" ucap Anora. "Guru mesum?" tanya Arsan "Ya si mesum itu memang pantas mendapatkannya.Dia menaruh sebuah kamera di toilet siswi kelas 10 dan juga di toilet guru perempuan dan kebetulan aku,Fio dan Karin yang selama ini curiga dengan gerak geriknya mengetahui hal itu dan kuberitahukan hal ke Abimanyu dan dia langsung menghajarnya." sahut Anora sangat antusias. "Memang dia seperti orang yang agak keras,tapi kau tau sendiri kan tadi dia bukanlah seseorang seperti yang kau pikirkan." ucap Anora. "Apa kau bahagia bersamanya?" tanya Arsan. "Tentu saja,Abi adalah malaikat pelindungku.Dia adalah orang yang paling kucintai di dunia ini." sahut Anora antusias lagi yang hanya direspon senyuman oleh Arsan. "Apakah kau sudah punya pacar?" ucap Anora lagi yang direspon gelengan kepala Arsan. "Aku tidak menyangka pertemuan kita akan seperti ini,dan aku juga tidak pernah menyangka akan tinggal tepat didepan rumahmu.Apa mama,papa,kakak dan nenekmu baik-baik saja?" tanya Arsan. "Nenek sudah tidak ada dari 5 tahun yang lalu,Arsan." ucap Anora. "Oh tidak maafkan aku Anora aku tidak tahu sama sekali tentang hal itu." balas Arsan. "Aku hanya ingat kau pindah ke Jakarta agar tidak jauh dengan nenekmu setelah kepergian kakekmu saat itu." ucap Arsan. "Mengapa kau tidak membalas suratku lagi setelah hari ulang tahunku?" tanya Anora. "Ceritanya panjang Anora saat itu aku,ayah dan ibu juga memutuskan untuk pindah rumah sama seperti keluargamu tapi masih disekitaran Surakarta." jawab Arsan. "Aku,ayah dan ibu sudah berusaha mencari kontak keluargamu tapi tetap tidak ada hasil." sambung Arsan lagi. "Awalnya aku sangat kecewa kukira kau akan melupakanku.Tapi tak apalah sekarang kita menjadi tetangga lagi pasti mama dan papa akan senang mengetahuinya." ucap Anora senang. "Aku tidak akan pernah melupakanmu Anora." batin Arsan ****** (Tepat di taman depan rumah Anora keluarga Arsan dan keluarga Anora berkumpul bersama.) "Tante.. Om... ." ucap Anora sembari memeluk ibu Arsan begitupun sebaliknya dengan Arsan. "Bagaimana kalian bisa pulang berdua?" ucap Papa Anora. "Kami satu kelas pah.. Anoraa tidak menyangka akan bertemu Arsan seperti ini." ucap Anora setelah ia memeluk ibu Arsan. "Anoraa tambah cantik ya nduk." ucap ibu Arsan kemudian ditanggapi oleh senyuman Anora. "Arsan juga semakin tampan dan tinggi." sahut mama Anora. (Setelah itu keluarga Arsan dan keluarga Anora menghabiskan sore mereka dengan berkumpul dan bercerita mengenai kegiatan mereka selama ini.Tak beberapa lama sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Arsan yang sontak dua keluarga itu menatap ke arah mobil tersebut.) "Rani..." teriak Arsan menuju ke mobil tersebut. "Mbak saya pulang dulu ya keponakan saya yang saya ceritakan tadi sudah datang." sahut Ibu Arsan yang diikuti juga oleh ayah Arsan. "Anora sering-sering lah mampir kerumah kami." ucap ayah Arsan menepuk kepala Anora. "Iya om.. " ucap Anora yang menoleh ke arah ayah Arsan sebentar dan meneruskan pandangannya ke arah Arsan yang kini telah menggendong seorang gadis menuju ke dalam rumahnya.Dibelakang gadis itu tampak terdapat satu orang yang membawa barang-barang dan satu orang lagi yang membawa tongkat untuk berjalan. "Rani..?" batin Anora.Ia tidak dapat melihat jelas siapa yang sedang di gendong Arsan saat ini. "Itu siapa ma?" tanya Anora kepada mamanya yang katanya Ibu Arsan tadi telah bercerita kepada mamanya. "Itu sepupu Arsan,dia baru saja keluar dari rumah sakit setelah koma 4 bulan.Dan kalau tidak salah dia juga satu SMA denganmu." sahut mama Anora. "Abi..." batin Anora mengucapkan nama Abimanyu dengan wajah pucat memandang rumah Arsan yang kini semua orang dikeluarga itu sudah masuk ke dalam rumah. Penjelasan "Non.. Mas Abi sudah menunggu dibawah." ucap Bik Sumi dari luar kamar Anora. "Iya bik suruh dia untuk menunggu sebentar." ucap Anora diikuti suara langkah kaki Bik Sumi yang mulai menjauh dari kamar Anora. ********* "Ayah sehat bi?" tanya Papa Anora kepada Abimanyu. "Alhamdulilah sehat om." jawab Abimanyu. "Sudah lama om tidak melihat ayahmu di GOR Rawamangun,sepi sekali rasanya jika tidak ada ayahmu itu." ucap Papa Anora. "Iya om.. mungkin semenjak menjadi Kepala Sekolah ayah sekarang sangatlah sibuk." sahut Abimanyu yang diikuti anggukan Papa Anora. "Nah ini tuan putri sudah siap." ucap Papa Anora ketika melihat Anora turun dari tangga. "Papa, Anora pergi dulu ya." ucap Anora mencium tangan Papanya. "Ingat,pulang jangan malam-malam." ucap Papa Anora. "Dan Abi, kau harus jaga baik-baik tuan putri kita ini." ucap Papa Anora mengelus rambut Anora. "Siap komandan." sahut Abimanyu dengan gerakan hormat. "Assalamualaikum..." ucap seseorang dari balik pintu dan ternyata itu adalah Arsan dengan memebawa sepiring kue. "Waalaikumsalam." ucap Papa Anora, Anora dan Abimanyu. "Loh Arsan?" ucap Abimanyu kaget. "Kau lihat rumah itu?" Anora menunjuk rumah yang terletak tepat di depan rumah Anora. "Itu adalah rumah Arsan,dia menjadi tetanggaku untuk kedua kalinya." ucap Anora kepada Abimanyu. "Wah gila kenapa bisa kebetulan seperti ini." ucap Abimanyu yang diikuti senyuman semua orang yang ada di ruang tamu. "Ini om saya tadi disuruh Ibu untuk memberikan ini." ucap Arsan kepada Papa Anora sambil memberikan sepiring kue. "Terimakasih Arsan,sebentar om panggilkan mama Anora." ucap Papa Anora "Tidak,tidak usah om Arsan langsung pulang saja takutnya Rani nanti butuh apa-apa karena ibu dan ayah sedang keluar tadi." ucap Arsan yang melihat Anora akan keluar dengan Abimanyu. "Kalau begitu saya juga pamit ya om,takut keburu malam." ucap Abimanyu berpamitan kepada Papa Anora. "Kau mau ikut kita?" tanya Abimanyu kepada Arsan ketika mereka bertiga berjalan di halaman depan rumah Anora "Tidak,tidak aku tidak mau menganggu orang berkencan." jawab Abimanyu. "Haha tidak tidak disana juga Dayu, Saka, Fio dan Karin, lagian ini bukan malam minggu kan." tawa Abimanyu melirik Anora yang langsung direspon Anora dengan mencubit pinggang Abimanyu. "Terimakasih telah mengajakku Abi,mungkin lain saja karena sepupuku sedang berada dirumahku sekarang." jawab Arsan. "Kalau begitu ajak saja sepupumu itu." sahut Abimanyu. "Tidak tidak, sepupuku baru keluar dari rumah sakit hari ini kondisinya terlalu lemah untuk saat ini." ucap Arsan yang seketika wajah Anora memucat. "Semoga keadaan sepupumu semakin membaik." ucap Abimanyu kepada Arsan "Kalau begitu aku dan Anora pergi dulu ya." sahut Abimanyu diikuti lambaian tangan Anora kepada Arsan. (Percakapan mereka diintip oleh seseorang dari jendela atas rumah Arsan) "Abi? Anora? " ucap seseorang itu. ****** (Di motor) "Hei tuan putri... kenapa kau diam saja dari tadi." tanya Abimanyu. "Apa ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?" tanyanya lagi. "Kau.. kau tidak sadar Arsan tadi menyebutkan sebuah nama?" ucap Anora. "Siapa? dan kenapa? Apa dia menyebutkan nama seseorang tadi?" tanya Abimanyu "Rani.." sahut Anora. "Oh sepupunya itu,lalu?" ucap Abimanyu yang langsung dibalas keheningan oleh Anora. "Bu.. bukan.. Rani yang itu kan maksudmu?" yang dibalas keheningan lagi oleh Anora kini Abimanyu tahu bahwa sepupu Arsan adalah Rani yang telah keluar dari rumah sakit. ****** (Di Kamar Karin) "Lalu kita harus bagaimana sekarang?" tanya Karin kepada kawan kawannya. "Yatuhan.. aku tidak mau dipenjara usia muda." ucap Fio "Guys.. tenanglah sebentar." ucap Anora. "Kita bisa menyabotase semuanya, jika Rani menunjuk kita,kita harus berdalih kita tidak tahu apa-apa tentang kejadian malam itu." sahut Dayu. "Lalu bagimana dengan rekaman CCTV? itu adalah bukti kuat untuk memenjarakan kita semua.Mengapa seseorang harus mencuri rekaman itu? Pasti orang itu memiliki maksud lain." ucap Saka. "Apa menurutmu Raka berbohong dengan mengatakan hal seperti itu Abi?" ucap Karin. "Aku juga tidak terlalu percaya kepadanya.Kita sudah mengeluarkan uang banyak untuk membungkamnya." ucap Anora. "Tidak,dia tidak berbohong,aku bisa melihat dari matanya dia tidak berbohong." ucap Abimanyu. "Menyabotase saja tidak cukup,pasti dia akan mengacungkan tangannya kepada kita semua dan itu pasti akan menimbulkan kecurigaan kepada kita.Apalagi Rani terkenal sebagai anak yang lugu dan jujur dan semua orang disekolah tau akan hak itu." ucap Abimanyu. "Apa Rani sendiri yang mencuri rekaman itu?" ucap Dayu. "Tidak mungkin, bukankah selama empat bulan ini dia terbaring dirumah sakit." sahut Fio. "Bisa saja ada orang yang juga tau semua kejadian ini selain Raka." sahut Karin yang diikuti dengan anggukan teman-temannya. "Besok jika Rani datang ke sekolah,kalian bersikaplah biasa-biasa saja.Dan jika dia berbicara tentang kita, kita berdalih bahwa kita tidak tahu apa-apa." ucap Abimanyu. "Tapi jika seperti itu kita akan dicurigai satu sekolah." ucap Anora. "Kurasa besok Rani tidak akan pergi ke sekolah,jika kata Anora dia baru keluar dari rumah sakit hari ini kurasa kondisinya masih lemah dan dia tidak akan mampu untuk pergi ke sekolah besok." sahut Dayu. ***** (Dirumah Anora masih memikirkan tentang masalah yang kinisedang ia dan teman-temannya hadapi.Tiba-tiba ia mendapatkan pesan dari seseorang.) "Mau berangkat ke sekolah bersama?" tulis seseseorang itu. "Siapa ini." tulis Anora. "Teman masa kecilmu." balas seseorang itu yang ternyata adalah Arsan. "Oh maafkan aku Arsan,besok Abimanyu menjemputku mungkin bisa lain kali saja." tulis Anora lagi. " OK. " balas Arsan. (Di sekolah) "Mengapa ada mobil polisi?" ucap Abimanyu ketika ia baru tiba disekolah bersama dengan Anora. "Arsan.. Anora... " teriak Dayu dan Saka. "Raka.. ." ucap Dayu. "Raka?" tanya Anora masih bingung. "Ia ditemukan tewas dirumahnya pagi ini." ucap Saka. "Apa? Bagaimana mungkin?" ucap Abimanyu dan Anora yang kaget mendengar hal itu. "Lalu kenapa ada mobil polisi di sini?" tanya Anora. "Polisi sedang menanyai Santi (pacar Raka) sekarang ." ucap Dayu. "Ke.. kenapa Santi? " tanya Anora. "Katanya Santi adalah orang terakhir yang bersama Raka tadi malam." jawab Saka. ****** (Di kantin sekolah) "Apa mungkin dia dibunuh? " tanya Fio. "Tapi katanya tidak ada tanda-tanda pembunuhan di tubuhnya." sahut Karin. "Hai guys! " teriak Arsan menghampiri enam orang itu. "Hei bro kau telat? darimana saja kau kukira kau tidak akan masuk sekolah hari ini." ucap Dayu. "Tidak hanya saja aku harus mengurusi sepupuku dulu." ucap Arsan dimana keenam orang itu memasang wajah pucat seketika. "Sepupumu?" tanya Saka yang pura-pura tidak tahu apa-apa. "Ya.. sepupuku Rani dari kelas IPS, kurasa kalian mengenalnya" ucap Arsan lagi. "Dia baru keluar dari rumah sakit kemarin." sahutnya lagi. "Ada apa? Apa ada yang salah dariku?" ucap Arsan melihat keenam orang yang ada didepannya menatap kearahnya dengan pandangan semu. "Arsan kau sudah menjadi teman kami, kurasa kau harus tau mengenai sesuatu." ucap Anora. "Tidak.. Anora.. jangan." ucap Karin. "Anora.." sahut Fio. Masalah Baru (Di toilet) "Aku sangat takut tadi,kukira kau akan memberitahu Arsan tentang segalanya." ucap Karin membasuh tangannya di wastafel. "Benar kukira juga seperti itu, kau membuat kami sangat kaget Anora." sahut Fio mendorong pelan Anora. "Hei apa yang sedang kalian pikirkan,walaupun dia temanku aku tidak akan memberitahukan tentang segalanya kepadanya.Apalagi kalian tahu sendiri bahwa Rani adalah sepupu Arsan." ucap Anora. "Apa tak apa kita memberitahunya tentang sikap Rani yang selalu mencoba mendekati Abimanyu dan itu membuat kita risih?." sahut Fio. "Mulai kemarin dia telah menjadi teman kita, setidaknya dia harus tau mengenai hal itu.Aku tau betul sikap Arsan ia pasti dapat menilai mana yang benar dan juga mana yang salah." ucap Anora. "Bagaimana jika Arsan mengetahui tentang segalanya?" ucap Karin. "Kuharap itu tidak akan pernah terjadi." ucap Anora pergi keluar toilet yang diikuti kedua sahabatnya. ******* "Lihat dia,dia menatap kita seperti itu lagi." bisik Fio kepada kedua sahabatnya,dimana kini mereka berpapasan dengan Susan (sahabat Rani). "Ada apa? ada masalah? " ucap Karin dengan berani yang diikuti gelengan kepala oleh Susan dan ia bergegas pergi melewati mereka bertiga. "Mengapa ia selalu seperti itu? sepertinya kita tidak punya masalah apapun dengannya." ucap Anora berbalik melihat punggung Susan yang kian menjauh. "Kudengar semenjak Rani tak ada,dia menjadi pesuruh kakak kelas kita." ucap Karin. "Kakak kelas?" tanya Anora. "Siapa lagi kalau bukan Kak Kiara,Kak Bayu dan dua antek antek kembarnya Kak Dino dan Kak Doni." sahut Karin. "Kak Bayu? Bukankah dia yang pernah dihajar oleh Abimanyu karena menggoda orang disamping kita ini." ucap Fio menggoda Anora. "Hahaha aku sangat ingat betul wajahnya sangat ketakutan saat menghadapi Abimanyu." sahut Fio lagi mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. "Tapi bukankah mereka sudah pernah mendapatkan sanksi karena mereka pernah menyuruh dan mengancam adik kelas sebelumnya?" tanya Anora. "Entahlah aku juga tak tahu mengenai hal itu,ah lupakanlah tentang hal itu yang penting kita sekarang harus memikirkan Rani bagaimana kita menghadapinya saat ia sudah benar-benar pulih." ucap Karin ***** (Dikelas) "Dimana Abi,Dayu dan saka?" bisik Anora kepada Arsan. "Entahlah mereka menyuruhku ke kelas terlebih dahulu tadi." jawab Arsan. (Beberapa menit kemudian Abimanyu,Dayu dan Saka memasuki kelas.Saat Anora mengamati Abimanyu, ia melihat sebercak merah seperti darah di seragamnya.) "Darimana kau?" tanya Anora. "Biasa sayang, toilet." ucap Abimanyu tersenyum kepada Anora seperti menyembunyikan sesuatu.Anorapun menanggapinya dengan anggukan kepalanya. ***** (Beberapa siswa mengunjungi rumah Raka untuk menunjukkan belasungkawa mereka kepada keluarga Raka,tak terkecuali Anora,Abimanyu,Arsan,Dayu,Saka,Fio dan juga Karin.) "Bukankah dia yang berbicara dengan Abi kemarin?" tanya Arsan ketika ia melihat foto Raka diruang tamu,yang diikuti oleh anggukan teman-temannya. "Apa kau tak apa Abi? " tanya Anora curiga kepada Abimanyu karena ia beberapa kali memegang perutnya spontan Abimanyu menggelengkan kepala kearahnya. "Apa kita harus menanyai Pak Cahyo (Ayah Raka) tentang kaset itu?" bisik Saka kepada Abimanyu. "Kurasa ini bukan waktu yang tepat." bisik Abimanyu. (Setelah beberapa saat mereka memutuskan untuk pulang) "Anora kali ini kau diantar pulang oleh Arsan lagi ya,aku tidak bisa mengantarmu ayah menyuruhku ke rumah temannya untuk mengantarkan beberapa dokumen." ucap Abimanyu. "Aku ikut denganmu." sahut Anora curiga. "Tidak jangan! ehmm maksudku rumahnya sangatlah jauh sedangkan kau hari ini ada les piano kan." ucap Abimanyu. "Tidak apa apa kan sayang." ucap Abimanyu lagi memegang pipi Anora diikuti anggukan kepala oleh Anora. "Arsan,aku titip Anora lagi ya maaf merepotkanmu." ucap Abimanyu kepada Arsan. "Tak apa Abi,bahkan kalau perlu biarlah Anora setiap hari pulang pergi bersamaku karena rumah kami sangatlah dekat." ucap Arsan antusias yang hanya ditanggapi senyuman oleh Abimanyu. (Setelah Arsan,Anora,Karin dan Saka pergi) "Anora tau kau sedang berbohong padanya." ucap Fio kepada Abimanyu. "Lewat seragamu itu,Anora tau kalian kau telah berkelahi di kamar mandi tadi." sahutnya lagi menujuk ke noda merah seragam Abimanyu. "Kalian habis berkelahi dengan siapa hah? dan apa yang sedang kalian sembunyikan dari kita bertiga?" ucap Fio. "Sayang... tidak seperti itu... kami tidak menyembunyikan apapun dari kalian bertiga." ucap Dayu mencoba memegang tangan Fio namun ditangkis oleh Fio. "Ada apa sebenarnya? Kalau ada masalah pasti kita berenam bisa menyelesaikan masalah itu bersama-sama." ucap Fio namun tidak dijawab oleh Abimanyu dan Dayu. "Baiklah kalau begitu biar kami cari tau sendiri tentang apa ini." ucap Fio meninggalkan mereka. "Sayang kau mau kemana.. " ucap Dayu menarik tangan Fio. "Aku akan pulang naik taksi saja." sahutnya lagi mulai meninggalkan Dayu dan Abimanyu tapi Dayu masih mengejar gadis itu. "Fio.." teriak Abimanyu, ia mendekati Fio yang sudah agak jauh di belakangnya. "Aku akan memberitahumu tapi jangan sampai Anora dan Karin tahu tentang ini." ucap Abimanyu. "Abi..." teriak Dayu berusaha menghentikan Abimanyu untuk berbicara dengan Fio. "Tidak tidak bisa aku tidak mau menyembunyikan apapun dari mereka berdua." sahut Fio. "Ini demi kebaikan kalian juga!" bentak Abimanyu. "Ta... tapi.." ucap Fio terbata-bata. "Sayang.." ucap Dayu memegang tangan Fio (Setelah menceritakan semuanya Abimanyu bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.Tanpa mereka sadari,ada seseorang yang mendengarkan mereka dari balik pohon) "Kumohon jangan katakan apapun kepada mereka,dan buat mereka percaya bahwa tidak terjadi apa-apa tadi." ucap Dayu menatap dan memegang kedua pundak Fio yang diikuti anggukan Fio. ***** (Di motor) "Kalau boleh aku bertanya,apa kau dan teman-temanmu tidak akur dengan orang yang namanya Raka itu." tanya Arsan kepada Anora. "Entahlah,dia adalah salah satu orang yang suka mencari gara-gara dengan Abimanyu." sahut Anora. "Kalau tidak salah dia juga pernah menyukai Rani dahulu,tetapi Rani menolak cintanya." ucap Anora lagi. "Menyukai Rani? Aku pernah melihatnya di rumah sakit ia beberapa kali mengunjungi Rani dan hanya melihatnya dari luar,kalau dipersilahkan masuk ke dalam ia tidak mau dan langsung pamit pergi." ucap Arsan. "Ha.. a.. apa? benarkah? " tanya Anora. "Ya.. dia beberapa kali mengunjungi Rani dirumah sakit aku pernah melihatnya sekali dua kali kukira dia adalah pacar Rani pada awalnya." ucap Arsan. "Apa di.. dia.. pernah mengatakan sesuatu kepada keluarga Rani ataupun kepadamu." tanya Anora lagi. "Tidak.. dia hanya menyapa om dan tante dan setelah itu pergi tanpa mengatakan apapun." jawab Arsan. "Aku pernah bertemu dua kali dengannya sebelumnya." ucap Arsan lagi. "Yang pertama di rumah sakit dan pertemuan yang kedua di pasar waktu itu ia sempat melawan beberapa preman untuk memperebutkan suatu benda seperti kaset,dan saat aku dan beberapa orang ingin menolongnya semua preman itu kabur." ucap Arsan mengingat kejadian di pasar beberapa hari yang lalu. "Ka..ka..set? " batin Anora. "Dimana,ma..maksudku pasar mana? dan apa kau masih ingat wajah preman-preman itu?" ucap Anora. "Ya.. aku masih ingat beberapa wajah dari preman itu.Tapi kenapa kau bertanya Anora? Apa ada sesuatu?" tanya Arsan. "Ti.. tidak tidak ada apa-apa Arsan." jawab Anora. Kepalsuan (Di Kamar Anora) "Halo.. aku telah berusaha menghubungimu dari tadi, tapi kau tidak membalas pesan dan juga panggilanku dari mana saja kau." ucap Anora kesal saat Abimanyu baru saja menjawab panggilannya. "Selamat malam tuan putri." ucap Abimanyu tanpa mendengarkan perkataan Anora. (Hening sesaat karena Anora tidak merespon suaranya) "Baik baik." ucap Abimanyu terdengar sedikit tertawa. "Handphoneku tadi mati Anora,oleh sebab itu aku tidak tau pesan maupun panggilanmu." ucap Abimanyu lagi dan Anora masih tidak mau menjawab. "Halo.. apakah aku sedang berbicara dengan angin saat ini halo.." ucap Abimanyu menggoda Anora. "Sepertinya tidak ada orang disana kututup saja ah paggilan ini." godanya lagi. "Tutup saja kalau berani." ucap Anora menggoda balik Abimanyu. "Oh ternyata ada orang toh,kalau begitu tidak jadi kututup takut diamuk singa." sahutnya lagi. "Siapa yang kau sebut singa hah? aku?" ucap Anora kini ada sedikit senyum diwajahnya. "Kau sendiri ya yang bilang." ucap Abi tertawa. "Abi.." rengek Anora. "Kau tahu kan aku sangat mengkhawatirkanmu, saat ini moodku sangat tidak bagus untuk bergurau." sambungnya lagi. "Aku tahu sayang,oleh sebab itu untuk mengembalikan mood mu aku telah mengirimi mu sebuah hadiah." ucap Abimanyu. "Hadiah?" tanya Anora. "Non.." ketuk Bik Sumi dari balik pintu kamar Anora. "Iya bik.. " ucap Anora menuju pintu kamarnya. "Kurasa hadiahnya sudah datang." sahut Abimanyu. "Ini non tadi ada yang mengetuk pintu pas di buka ada bunga dan coklat disini juga tertulis buat Anora katanya non." ucap Bik Sumi menyerahkan setangkai bunga dan coklat kepada Anora. "Dari den Abi pasti non." goda Bik Sumi kepada Anora. "Iya bik terimakasih ya bik." ucap Anora tersenyum senang kepada Bik Sumi. "Kau romantis sekali memberikan ini kepadaku." ucap Anora yang kini wajahnya penuh dengan senyuman. "Kau senang?" ucap Abimanyu. "Tentu saja aku sangat senang menerima sebatang coklat darimu, tapi kenapa kau hanya memberikanku setangkai bunga saja?" ucap Anora. "Coklat dan setangkai bunga? Aku tidak membe...." ucapan Abimanyu terpotong ketika Bik Sumi mengetuk pintu Anora lagi. "Non.. ini dapat lagi dari kurir non, den Abi luar biasa." goda Bik Sumi sambil menyerah kan seikat bunga ketika Anora membukakan pintu. "Terimakasih ya bik." ucap Anora kepada Bik Sumi dan ia langsung menutup pintu kamarnya. "Halo.. Abi.. " ucap Anora. "Kau romantis sekali memberikanku dua hadiah berturut-turut." ucap Anora tersenyum senang. "Aku tidak mem..." ucap Abimanyu lirih. "Halo.. Abi....kau ngomong apa sih aku tidak mendengarmu dengan jelas." ucap Anora. "Tidak,tidak,apa kau senang dengan hadiah yang kuberikan?" ucap Abimanyu. "Tentu saja aku senang,kurasa mood ku sudah kembali lagi sekarang." ucap Anora sambil menghirup aroma bunga yang ada ditangannya. "Oh iya Abi ada yang harus kukatakan kepadamu." ucap Anora sekarang memasang wajah serius. "Kurasa kaset rekaman itu diambil oleh sekelompok preman." ucap Anora. "Sekelompok preman? Maksudmu? " tanya Abi. (Anora menjelaskan semua kejadian yang dijelaskan oleh Arsan tadi) "Kau harus hati-hati Abi,aku tidak mau kau terluka lagi." ucap Anora. "Tenang sayang,aku tidak akan ceroboh lagi kali ini." balas Abimanyu. "Kurasa ini adaah kesempatan kita untuk mencari siapa dan apa tujuan dari pencuri kaset itu." sahut Abimanyu lagi. ***** (Keesokan paginya ditaman komplek) "Arsan?" ucap Anora ketika ia melihat Arsan di bangku taman. "Hei,sedang apa kau duduk disini." ucap Anora kepada Arsan yang sepertinya sedang membaca buku. "Bisa kau lihat." ucap Arsan mengangkat bukunya memberi tanda bahwa ia sedang membaca buku. "Kau sendiri?" tanya Arsan. "Setiap hari minggu aku selalu jogging disini." ucap Anora. "Taman ini sangatlah indah Anora." ucap Arsan melepaskan headseat yang ada ditelinganya. "Gelora Kertas." ucap Anora melihat judul buku yang sedang dibaca oleh Arsan. "Itu novel yang menyedihkan sekali sang wanita akhirnya mati ditangan ayahnya sendiri." ucap Anora. "Anora..." ucap Arsan. "Terimakasih karenamu aku tidak perlu repot repot menuntaskan buku ini lagi." ucap Arsan menutup bukunya. "Upss sorry." ucap Anora karena ia baru sadar bahwa ia telah memberi spoiler ending cerita novel itu kepada Arsan. "Oh iya,bagaimana keadaan Rani? Aku tidak pernah melihatnya keluar dari rumahmu." ucap Anora. "Dia semakin membaik,dia sangat bersemangat untuk belajar berjalan lagi." ucap Arsan. "Kalau boleh kutanya mengapa ia sekarang tinggal di rumahmu?" ucap Anora. "Orang tuanya sangatlah sibuk bekerja di luar negeri, sebenarnya mereka telah mengajak Rani untuk tinggal disana tapi Rani menolaknya dan ia lebih memilih tinggal disini.Daripada dia kesepian dirumahnya ibu menawarkan agar Rani tinggal di rumah kami.Ketika Rani koma pun orang tuanya tidak selalu ada untuknya mereka cuma melihatnya beberapa kali saja karena mereka lebih mementingkan urusan mereka di luar negeri.Kasian Rani pasti selama ini dia sangat kesepian hanya bersama dengan para pembantunya." cerita Arsan. "Benar kasihan sekali dia." ucap Anora membayangkan betapa kesepiannya Rani selama ini. "Apakah selain selalu berusaha mendekati Abimanyu,dia tidak melakukan hal yang tidak menyenangkan di sekolah?" tanya Arsan. "Tidak Arsan,sesungguhnya Rani adalah gadis yang sangat baik kepada semua orang yah kecuali denganku dan teman-temanku mungkin karena Abi." ucap Anora. "Kurasa aku akan menasehatinya agar dia tidak mendekati Abimanyu lagi." ucap Arsan. "Jika kau bisa,aku sudah pernah mengingatkannya dengan cara yang halus maupun dengan cara kasar bahkan aku pernah menamparnya dan mencaci makinya saat ia mulai bertindak terlalu jauh kau tahu dia bahkan pernah hampir menjebak Abimanyu di sebuah hotel bersamanya." cerita Anora mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. "Yatuhan benarkah dia pernah bertindak sejauh itu." tanya Arsan yang diikuti anggukan oleh Anora. "Sebenarnya ia adalah gadis yang sangat baik,hanya saja ia sangat terobsesi dengan Abimanyu dan ia rela menggunakan segala cara agar Abimanyu dapat menjadi miliknya." sahut Anora. "Aku tidak pernah menyangka ia senekat itu." ucap Arsan. "Bagaimanapun ia adalah sepupumu Arsan,kuharap dia bisa mengerti jika kau yang memberitahunya." ucap Anora diikuti anggukan Arsan. "Tapi.. aku masih curiga tentang satu hal Anora." ucap Arsan memandang ke arah anak kecil yang sedang bermain didepannya. "Curiga?" tanya Anora. "Kurasa ada seseorang yang mendorong Rani hingga ia bisa terjatuh dari lantai empat." sahut Arsan. "Dia tidak mungkin melakukan bunuh diri,pasti dia sengaja didorong oleh seseorang." ucapnya lagi. "Apa..... apakah dia tidak memberitahumu sebenarnya apa yang terjadi saat itu? " tanya Anora dengan perasaan takut kepada Arsan. "Tidak.. dia tidak mengingat apapun mengenai kejadian itu,ia hanya mengingat malam itu ia berada di pesta ulang tahun Roni.Bukankah Roni dari kelas yang sama dengan kita? pastinya kau dan teman-teman yang lain diundang juga." ucap Arsan menatap Anora. "Ehm.. yaa... saat itu kami semua diundang, waktu itu setelah penampilan dari Band Roni tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar, waktu kami semua keluar kami menemukan Rani bersimbah darah disana dan kata Pak Satpam ia melihat Rani jatuh dari lantai empat kami semua mengira bahwa Rani bunuh diri." jelas Anora lagi ia sangat lega karena Rani ternyata tidak mengingat tentang apapun di malam itu. "Tidak dia tidak bunuh diri,kurasa memang benar ada seseorang yang mendorongnya malam itu." ucap Arsan. Terkuak (Di Kamar Anora) "Bukankah itu kabar baik untuk kita?" ucap Dayu. "Jangan lupakan pencuri kaset itu sayang." sahut Fio. "Walaupun Rani tidak ingat apa-apa tentang kejadian itu, kita tidak boleh terlalu senang untuk saat ini karena kita harus mencari tahu siapa yang mencuri kaset itu dan apa tujuan dari orang itu." ucap Anora. "Mengapa dia seperti itu?" ucap Abimanyu menunjuk ke arah jendela di seberang jendela terlihat seorang wanita memandang kearah jendela Anora. "Entahlah apa yang sedang Rani pikirkan, saat jendela ku tertutup aku telah melihat dia memandang ke arah sini berkali-kali dan ,saat jendela kubuka dia cepat- cepat langsung memalingkan mukanya." ucap Anora. "Apa kamarnya tepat di seberang kamarmu ini Anora?" tanya Karin yang ditanggapi Anora dengan anggukannya. "Menakutkan sekali jika dia seperti itu,lebih baik kubuka saja jendela ini." sahut Karin lagi dimana ia langsung membuka jendela Anora dan Rani bergegas pergi. "Ya.. seperti itulah biasanya." ucap Anora ketika ia melihat Rani terburu-buru memalingkan wajahnya dari jendela Anora. ******** (Disekolah) "Anora... Karin... " teriak Fio masuk ke dalam kelas. "Hei... kau pikir kita tidak punya telinga apa,mengapa kau harus berteriak - teriak saat kita berdua ada di depanmu." sahut Karin. "Ah... lupakan saja sekarang kalian harus melihat ini cepat." ucap Fio menarik tangan Anora dan Karin menuju keluar kelas. "Lihat disana.." ucap Fio menunjuk kearah tengah lapangan terlihat Rani yang berjalan dibantu oleh Arsan dan Susan. "Aduh.. kupikir ada apa." ucap Karin. "Tenanglah... jangan terlalu ketara Arsan kan sudah bilang kepada Anora bahwa Rani tidak mengingat apa-apa tentang kejadian malam itu." sahutnya lagi kini dibelakang mereka bertiga sudah berdiri Abimanyu,Dayu dan Saka. "Abi... ." teriak Rani menoleh kearah Abimanyu. "Aku sangat kecewa sekali.. kau tak menjengukku sama sekali." ucap Rani. "Hei.. Anora bagaimana kabarmu? ternyata kau adalah teman yang selalu diceritakan Arsan kecil kepadaku." ucapnya lagi melirik kepada Arsan. "Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu tentang sikapku kepada Abi selama ini,jika kupikir-pikir aku memang sangat keterlaluan benar begitu kan Arsan." ucap Rani kepada Anora melirik Arsan lagi. "Aku tidak akan mengganggu Abi lagi kali ini jadi aku meminta maaf padamu,mau kah kau memaafkanku?" ucap Rani mengangkat tangannya namun Anora enggan untuk menjabat tangan Rani. "Ya.. mungkin lain kali pasti kau akan memaafkanku,dan kau Abi apa kau akan memaafkan aku?" ucap Rani kepada Abi. "Kuharap kau bersungguh-sungguh mengatakan itu." ucap Abimanyu. "Dia pasti sedang berbohong dan pasti akan melakukan hal yang sama lagi seperti sebelumnya." bisik Fio kepada Anora dan Karin yang didengar oleh Rani. "Kurasa aku harus memberitahukan ini kepada kalian bahwa sekarang aku sudah memiliki kekasih." ucap Rani. "Jadi kalian tidak perlu lagi mengkhawatirkan aku mendekati Abimanyu lagi, ya walaupun pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar menghapusnya dari hatiku ini." ucap Rani setelah itu ia dan Susan berjalan melewati mereka berenam namun tiba-tiba ia terhenti dan berbalik badan. "Bukankah malam itu aku sedang mengobrol dengan kalian berdua?" ucap Rani kepada Anora dan Abimanyu. "Apa maksudmu? kau.. me.." ucap Abimanyu terpotong karena tangannya digenggam oleh Anora. "Ya.. saat itu kau sedang berbicara dengan kami berdua,lalu kau pergi bersama Susan bukan begitu Susan?." ucap Anora yang langsung dibalas oleh anggukan Susan.Kemudian Rani berbalik badan dan mulai berjalan menjauhi mereka bertujuh. "Apakah karenamu?" ucap Anora kepada Arsan. "Entahlah kupikir beberapa hari ini aku selalu menasehatinya mengenai hal itu kurasa perlahan dia mulai terbuka mata hatinya." ucap Arsan. "Kerja yang bagus Arsan." ucap Abimanyu menepuk pundak Arsan. "Lalu siapa yang dimaksud kekasihnya itu? bagaimana mungkin dia bisa memiliki kekasih secepat ini." ucap Fio kemudian Arsan mengangkat kedua bahunya pertanda ia tidak tahu. "Kurasa dia berbohong." ucap Karin tertawa. "Bisa jadi."balas Fio. "Arsan.." teriak seseorang dibelakang. "Di.. dimana Rani sekarang." ucap pria itu lagi. "Hei Rendi , kurasa dia menuju kelasnya saat ini." ucap Arsan. "Aduh.. banku tadi mogok jadi aku terlambat menjemput Rani pagi ini, saat aku menuju rumahmu ibumu bilang kau dan Rani sudah berangkat." ucap Rendi. "Oh.. hai guyss." sapa Rendi ketika tahu ada Abimanyu dan teman-temannya di belakang Arsan. "Bukankah dia Rendi anak IPS yang tidak naik kelas dan sekarang menjadi adik kelas kita itu." ucap Anora saat Rendi pergi meninggalkan mereka. "Ya.. itu dia." sahut Fio. "Setelah Rani keluar dari rumah sakit,Rendi selalu menjenguknya setiap hari." ucap Arsan. "Jangan bilang dia.. " ucap Karin curiga kalau Rendi adalah kekasih baru Rani. "Sudahlah ayo kembali ke kelas." ucap Anora mengajak teman-temannya. "Kalian duluan saja aku ada urusan sebentar." ucap Abimanyu melirik bagian bawah badannya yang artinya dia ingin pergi ke toilet.Anora dan kedua temannya bergegas pergi meninggalkan mereka berempat. "Kalian berdua ke kelas duluan saja." ucap Abimanyu kepada Dayu dan Saka. "Ada apa Abi?" ucap Saka. "Tidak.. tidak.. kalian berdua duluan saja aku ada urusan dengan Arsan sebentar." ucap Abimanyu dimana Saka dan Dayu langsung pergi meninggalkan mereka berdua. "Ada apa?" ucap Arsan. "Bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu Arsan." ucap Abimanyu. "Tentu boleh kau tak perlu meminta ijin seperti itu teman." ucap Arsan tersenyum memukul bahu Abimanyu. "Apakah kau menyukai Anora?" tanya Abimanyu. "Tentu saja aku sangat menyukainya dia adalah sahabatku, sahabat terbaikku." ucap Arsan. "Maksudku.. bukan sebagai sahabat,tapi sebagai seorang pria apakah kau mencintai Anora seperti aku mencintainya." ucap Abimanyu. "Maksudmu?" ucap Arsan. "Jika kau memang menyukai nya karena dia sahabatmu,mengapa kau harus diam-diam memberikan coklat dan bunga kepadanya mengapa tak kau berikan secara langsung saja." ucap Abimanyu menepuk pundak Arsan. "A..apa?" ucap Arsan terbata-bata. "Sudahlah Arsan aku tahu kau yang mengirimkan coklat dan bunga kepadanya malam itu." ucap Abimanyu. "Tenang aku tidak akan marah kepadamu Arsan karena kau memang laki-laki pertama yang sangat dekat dengan Anora.Tapi kusarankan kau tidak bertindak terlalu jauh Arsan,kau tahu kan didalam hati Anora kini hanya ada aku dan kau hanyalah sebatas teman masa kecilnya." ucap Abimanyu meninggalkan Arsan yang masih diam ditempatnya. "Apakah kau seyakin itu Abi?" ucap Arsan. "Kau pikir Anora tidak tahu tentang semua kebohonganmu kepadanya." ucap Arsan lagi. "Maksudmu?" Abimanyu berbalik badan. "Ya.. dia tahu semua kebohongan yang kau lakukan kepadanya." ucap Arsan berjalan menuju Abimanyu. "Kebohongan? kebohongan apa maksudmu?" tanya Abimanyu. "Tanya saja sendiri kepadanya,aku telah berjanji kepadanya untuk tidak mengatakan ini kepada siapa-siapa." ucap Arsan tersenyum. "Kau!!" ucap Abimanyu menarik kerah Arsan. "Apa yang akan kau lakukan? memukulku? Bukankah tak lucu jika aku mengadu babak belur karena ulahmu dan bagaimana reaksi Anora nanti." ucap Arsan melepaskan tangan Abimanyu. "Ternyata kau tak selugu yang kupikirkan selama ini." ucap Abimanyu tersenyum memandang Arsan. "Ya... karena kau sudah tahu,aku akan memberitahumu bahwa aku sangat mencintai Anora." ucap Arsan. "Dan aku akan membuat Anora melihatku sebagai seorang pria, bukan lagi sebagai teman masa kecilnya." ucap Arsan meninggalkan Abimanyu. "Coba saja kalau kau bisa!" teriak Abimanyu dari belakang Arsan. Pembenaran "Sudah lama ya kita tidak datang kemari." ucap Anora senang ketika Abimanyu mengajaknya makan di warung pecel Mbok Sri sepulang sekolah. "Ini mbak pesanannya." ucap seorang gadis membawakan pesanan Abimanyu dan Anora. "Makasih ya mbak." ucap Anora. "Mbok Srinya kemana mbak? kok hari ini tidak kelihatan?" tanya Abimanyu. "Mbok Sri sekarang dirumah terus mas,beliau sudah jarang ikut jualan sudah tua mas saya takutnya kecapean, apalagi akhir-akhir ini mbok sering mengeluh itu mas sakit punggung." jelas gadis itu yang diikuti anggukan Abimanyu dan Anora. "Saya titip salam buat Mbok Sri ya mbak semoga Mbok Sri selalu diberikan kesehatan." ucap Anora. "Amin iya mbak terima kasih ya nanti saya sampaikan,kalau begitu saya lanjut layani yang lainnya dulu ya mbak mas." ucap gadis itu lagi dan langsung pergi meninggalkan meja mereka. "Kau ingat Anora, ketika kita pertama kali datang kemari." ucap Abimanyu berusaha mengingat kejadian dua tahun yang lalu ketika ia dan Anora pertama kali ke warung pecel Mbok Sri. "Ya.. tentu saja saat kita kelas 9, kau mengajakku membolos untuk pertama kalinya dan datang kemari." ucap Anora mengenang kejadian dua tahun lalu. "Aku ingat saat itu sedang hujan deras dan Mbok Sri memberi kita nasi pecel gratis hari itu,dan..." sahut Anora lagi. "Dan?" tanya Abimanyu menggoda Anora. "Tidak tidak lupakan." ucap Anora malu-malu. "Dan apa?"tanya Abimanyu lagi. "Sudahlah Abi,kau kesini mau mengobrol atau mau makan." ucap Anora mengingat bahwa hari itu adalah hari dimana Anora mendapatkan ciuman pertamanya. "Aku sangat beruntung memilikimu Anora." ucap Abimanyu kemudian melahap makanannya. "Aku juga Abi.." batin Anora memandang Abi yang makan dengan lahap. "Tenang Anora masih banyak waktu untuk dapat memandangku seperti itu sekarang makanlah terlebih dahulu." ucap Abimayu mendapati bahwa Anora sedang memandang kearahnya. "Dih.. siapa juga yang memandangimu." ucap Anora berusaha menyangkal perkataan Arsan. ***** (Malam hari,di depan rumah Anora) "Kau tak mau masuk dulu?" ucap Anora turun dari motor Abimanyu. "Tidak, titip salam saja buat om." ucap Abimanyu. "Baiklah hati-hati." ucap Anora melambaikan tangannya. "Oke." ucap Abimanyu yang tak kunjung bergegas pergi dan masih berdiam diri di atas motornya. "Kau menunggu apa?" tanya Anora ketika Abimanyu masih berdiam diri diatas motornya. "Aku ingin memastikanmu masuk sampai kedalam rumah dengan aman." ucap Abimanyu. "Ya tuhan kau ini... baiklah dah..." ucap Anora kepada Abimanyu dan ia langsung bergegas berjalan menuju ke rumahnya. "Anora.." ucap Abimanyu memanggil nama Anora.Abimanyu turun dari motornya dan berjalan menuju Anora yang masih berada di luar rumahnya. "Ada apa?" tanya Anora. "Apa kau tak ingin bertanya tentang sesuatu kepadaku?" tanya Abimanyu. "Ada apa?" tanya Anora lagi memegang pipi Abimanyu. "Aku ingin menjelaskan sesutu kepadamu,aku tahu beberapa hari yang lalu kau curiga kepadaku.Sungguh Anora aku tidak ingin menyembunyikan apapun kepadamu aku hanya tak ingin kau terlalu mencemaskan aku." ucap Abimanyu ia teringat perkataan Arsan saiang tadi. "Abi.. kau..." ucap Anora yang langsung dipotong Abimanyu. "Saat ditoilet,aku dikeroyok oleh teman-teman Raka tapi aku berhasil menghadapi mereka semua.Mereka mengira bahwa aku yang telah membunuh Raka." ucap Abimanyu memotong pembicaraan Anora. "A.. apa? Mengapa?" ucap Anora terlihat sangat kaget. "Si..siapa yang mengeroyokmu? Apa kau tak apa-apa sekarang" tanya Anora terlihat khawatir sambil memegangi badan Abimanyu. "Tenanglah Anora sekarang aku tidak apa-apa." ucap Abimanyu memegangi tangan Anora. "Apa kau terluka." ucap Anora mengingat Abimanyu terus terusan memegangi perutnya saat itu. "Hanya hal kecil terkena pisau di bagian ini,tak terlalu dalam" ucap Abimanyu memegangi perutnya. "Pisau? pisau katamu? bagaimana bisa itu adalah hal yang kecil." ucap Anora menatap Abimanyu. "Jika kau tak memberitahuku tak apa, tapi mengapa kau tak mengadukan itu kepada Om Braga saja Abi biar mereka bisa dikeluarkan dari sekolah dan dipenjara,Abi mengapa kau seperti ini..." ucap Anora cemas. "Ssttt tenanglah Anora,aku khawatir jika aku melakukan itu beasiswa mereka akan dicabut, kurasa ini semua hanya salah paham Anora.Mereka tak benar-benar melukaiku mereka hanya tidak sengaja.Bagaimana mungkin pria kutu buku seperti mereka bisa melukaiku Anora." ucap Abimanyu tersenyum. "Bodoh." ucap Anora memeluk Abimanyu. "Mengapa kau harus repot-repot memikirkan mereka sedangkan nyawamu sendiri sedang dalam bahaya.Bagaimana kalau mereka merencanakan sesuatu lagi kepadamu" ucap Anora masih dalam pelukan Abimanyu. "Kau memang bodoh Abi.." sahut Anora lagi. "Berjanjilah kepadaku kau tak akan menyembunyikan apapun dariku sekarang." ucap Anora melepaskan pelukannya. "Anora.. " ucap Abimanyu. "Semua masalah akan kita hadapi bersama,hari itu kau pasti sangat kesakitan dan aku tidak ada disana untukmu saat itu. Jangan kau tangani semua masalah sendiri Abi, apa kau tak percaya padaku kau bilang aku adalah se.." ucap Anora terpotong karena tiba-tiba Abimanyu menciumnya. (Tanpa Anora dan Abimanyu sadari,sedari tadi Arsan telah mengamati sepasang kekasih yang kini sedang berciuman itu dari jendela kamarnya) ****** "Pagi.. ma.. pa.. dan siapa ini.. " ucap Anora menggoda Arsan ia melihat Arsan ada di meja makan bersama mama dan papanya. "Hei..." sapa Arsan yang sudah siap dengan seragamnya kepada Anora. "Arsan memberikan kue ini kepada kita, coba kau cicipi ini enak sekali Anora." ucap mama Anora. "Sudah pasti enak lah ma, tante kan sangat ahli membuat kue." ucap Anora memakan satu potong kue. "Makanlah bersama kami juga Arsan." ucap mama Anora. "Jangan sungkan-sungkan anggaplah rumah sendiri." sahut Anora kepada Arsan. "Jika kau tak mau diantar sopir ke sekolah bukankah sebaiknya kau berangkat sekolah bersama Arsan saja, daripada bersama Abimanyu.Kasihan sekali Abimanyu setiap pagi harus jauh-jauh untuk menjemputmu, kan kau dan Arsan satu tujuan yang sama toh" ucap Papa Anora. "Ih.. papa jangan bilang begitu Abimanyu sangat senang sekali menjemputku setiap hari, dia tidak merasa terbebani dia justru sangat senang.Kan papa tau sendiri Om Braga yang menyarankan hal itu, lagian Arsan kan juga berangkat dengan Rani." ucap Anora. "Oh iya papa lupa tentang Rani." ucap papa Anora. "Tidak... tidak... Rani sekarang diantar jemput oleh Rendi.Kau bisa berangkat dan pulang sekolah bersamaku Anora. " sahut Arsan. "Nah itu.." sahut papa Anora. "Ya.. kurasa aku bisa bersamamu sekali-kali." ucap Anora dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan. (Beberapa menit kemudian) "Nah itu dia." ucap Anora ketika ia mendengar suara motor di depan rumahnya. "Mama.. Papa.. Anora berangkat du.. ya tuhan aku lupa buku yang kupinjam dari Fio." ucap Anora bergegas ke atas menuju kamarnya. "Anak itu selalu saja." ucap mama Anora. "Kalau begitu saya juga mau berangkat ke sekolah dulu ya om tante." ucap Arsan pamit kepada Papa dan Mama Anora. (Didepan Rumah Anora). "Mengapa kau harus jauh-jauh menjemput Anora setiap pagi." ucap Arsan kepada Abimanyu saat ia melihat Abimanyu. "Mengapa kau tak membiarkanku saja yang mengantarnya." ucap Arsan lagi. "Terserah Anora saja biarkan dia yang memilih." sahut Abimanyu cuek karena ia tahu tentu saja Anora akan memilihnya. "Hei.. Abi.. " teriak Anora dari depan pintu. "Anora kau tak ingin berangkat bersama Arsan sekali-kali?" ucap Abimanyu ketika Anora berjalan kearahnya dan Arsan. "Kau ini bicara apa, kalau sudah ada kau mengapa harus orang lain yang mengantarku.Mungkin aku akan berangkat bersama Arsan sekali-kali jika kau tak mau menjemputmu lagi." ucap Anora menggoda Abimanyu. "Tentu saja aku akan selalu menjemput tuan putri." ucap Abimanyu tersenyum ke arah Arsan. "Aku duluan ya Arsan, ayo sebaiknya kau berangkat juga jangan sampai telat Pak Budi ada di jam pertama kau tak mau kan dimarahi oleh guru galak itu kan tentunya." ucap Anora tanpa melihat Arsan karena ia berusaha naik ke motor Abimanyu. "Sini kubantu." ucap Arsan ketika melihat Anora kesulitan memakai helmnya, Abimanyu melihat mereka dari kaca spionnya. "Oke kami duluan Arsan." ucap Abimanyu memegang tangan Anora untuk diletakkan dipinggangnya. "Baiklah." ucap Arsan melihat bahwa Abimanyu kini telah memanas-manasinya. "Dah.. Arsan." ucap Anora ketika motor Abimanyu mulai pergi menjauh. Penemuan "Karin ada apa?" ucap Fio menggoda Karin. "Ada apa ada apa sudah jelas aku sangat jengkel kau tak lihat dari mukaku ini." ucap Karin. "Yasudah lah Karin pelajaran olahraga hanya dua jam, bertahanlah selama dua jam itu." ucap Anora. "Kalian tahu kan aku sangat muak melihat dia, kenapa juga olahraga kita harus bercampur dengan kelas 12 Ips 2." ucap Karin memasang wajah juteknya. "Jika kau muak yasudah kalau begitu tak usah kau pandang mantan terindahmu itu,gampangkan ." ucap Fio menggoda Karin lagi. "Dia? mantan terindah? issh...walaupun tak kupandang dia pasti akan mencari perhatianku lagi dengan lewat di depanku itu sangat menggelikan." ucap Karin. "Kenapa kau harus panik Karin, tenanglah kan ada Saka tinggal kau adukan saja kepadanya, pasti Kak Tomy akan dibabat habis oleh Saka." ucap Anora tertawa bersama Fio. "Ya tapi aku tetap tak ingin melihat wajahnya itu." ucap Karin memasang wajah juteknya. "Hei ada apa?" tanya Saka datang bersama Abimanyu dan Dayu setelah mereka selesai berganti pakaian olahraga.Ia bingung dengan wajah Karin yang terlihat kesal. "Sini, aku ingin dekat denganmu saja selama waktu pelajaran olahraga." ucap Karin menarik Saka agar berdiri di dekatnya. "Entahlah tiba-tiba ia marah marah saat tau kita harus berbagi lapangan dengan kelas 12 Ips 2 hari ini." ucap Fio cekikikan. "Ada apa kau sedang pms hari ini?" tanya Saka kepada Karin. "Kan di kelas 12 Ips ada Kak Tomy saka." sahut Anora. "Lalu kenapa, kau tak bisa move on hah?" goda Abimanyu. "Abi!! ih kau menyebalkan sekali." ucap Karin. "Sayang,kau tahu kan kalau dia mengganggumu aku tak akan tinggal diam jadi tenanglah tak usah cemberut seperti itu." ucap Saka memegang pipi Karin. "Iya sayang tenang lah." ucap Abimanyu menggoda Karin dengan suara menirukan Saka. "Eh dimana Arsan, tumben aku tak melihatnya bersama kita hari ini." ucap Dayu. "Kalian tak ganti baju bersamanya?" tanya Anora disertai gelengan ketiganya. "Kurasa aku melihatnya bersama Panji dan Fariz tadi." ucap Fio. "Itu dia.." ucap Fio menunjuk Arsan yang berjalan bersama Panji dan Deni menuju lapangan. "Hei.. Arsan.." teriak Dayu agar Arsan menghampiri mereka namun Arsan hanya tersenyum kepada mereka tanpa menghampiri mereka. "Ada apa dengannya?" ucap Dayu. "Apa kalian melakukan sesuatu kepadanya atau membuat ia tersinggung mengenai sesuatu?" tanya Anora. "Tidak Anora daritadi bahkan kami telah mencarinya." ucap Saka. "Itu kan mantan pacarmu Karin." ucap Abimanyu mengalihkan pembicaraan mereka soal Arsan ia tahu Arsan tidak bersama mereka karena ia tidak ingin dekat dengan Abimanyu dimana kini Abimanyu adalah saingan Arsan tapi Abimanyu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "Hei Abimanyu jangan tunjuk-tunjuk kau." ucap Karin menarik tangan Abimanyu disertai tawa teman-temannya Arsan hanya dapat melihat itu dari seberang lapangan. ****** (Di Kantin) "Hei Arsan.." ucap Dayu ia dan teman-temannya menghampiri Arsan yang sedang makan di kantin bersama Panji dan Deni "Hei Arsan, ada apa?" tanya Abimanyu bersikap seolah - olah ia tak tahu apa-apa. "Apa kami ada sikap ataupun salah kata kepadamu?" tanya Dayu Saka. "Eh kalian bisa berdua bisa pergi sebentar tidak." ucap Karin ketus kepada Panji dan Fariz yang diikuti pergi kedua pria itu karena mereka takut kepada Abimanyu dan teman-temannya. "Aku hanya ingin mencari suasana yang baru teman-teman." ucap Arsan. "Suasana yang baru? " tanya Anora. "Ya Anora... lagi pula aku juga harus bersosialisasi dengan teman-teman yang lain.Lagipula.. " ucap Arsan. "Lagipula?" tanya Fio. "Kurasa aku tidak pantas berada di antara kalian hanya karena aku adalah teman Anora.Aku tidak suka ditakuti orang lain seperti kalian disini aku kesusahan bersosialisasi dan juga berbaur dengan yang lain karena mereka takut." ucap Arsan. "Maksudmu?" ucap Dayu. "Ayolah Arsan apa yang kau maksud dengan tak pantas jangan berpikiran seperti itu kau telah menjadi bagian dari kami sekarang." ucap Anora membujuk Arsan. "Kau ingin bersosialisasi kepada siapa? biar kamu kenalkan kau dengan orang-orang yang kau inginkan di sekolah ini." sahut Saka. "Tidak tidak aku hanya ingin menjadi Arsan yang independen tanpa berdiri diatas nama kalian." ucap Arsan. "Arsan apa yang sedang kau pikirkan sih." ucap Dayu ia melirik ke arah Abimanyu ia heran mengapa saat itu Abimanyu banyak berdiam tidak seperti Abimanyu yang biasanya yang tanggap menyelesaikan masalah. "Arsan kurasa kau tak usah memiliki pemikiran seserius itu." ucap Abimanyu ia tahu bahwa Dayu sedang curiga kepadanya. "Tidak Abi,dan kurasa kalian juga tak sepenuhnya terbuka terhadapku." ucap Arsan. "Apa maksudmu Arsan?" ucap Anora. "Ya.. kurasa kalian tak sepenuhnya menceritakan segala hal kepadaku." ucapnya lagi ia melihat teman - temannya melihat kearahnya dengan pandangan semu dan ia tahu teman-temannya memang masih ragu-ragu untuk menceritakan segala hal kepadanya. "Arsan.." ucap Fio. "Tak apa hei aku tetaplah teman kalian tapi aku tak ingin bersama kalian terus menerus." ucap Arsan "Baiklah jika itu keputusanmu Arsan." ucap Abimanyu berdiri menepuk pundak Arsan. "Aku ingin menemui Kak Jordy." ucap Abimanyu lagi yang otomatis Dayu dan Saka ikut berdiri. "Kalian masih ingin berbicara dengan Arsan kan tetaplah disini." ucap Abimanyu pergi bersama Saka dan Dayu meningglkan mereka berempat di kantin. "Titip salamku kepada Kak Nora." ucap Anora. "Nora?" ucap Arsan saat Abimanyu dan kedua temannya pergi. "Ya.. Nora,namanya memang sama seperti namaku." jelas Anora yang diikuti anggukan Arsan. ***** "Ada apa Abi?" ucap Saka disamping Abimanyu "Tumben kau banyak diam, apakah ada masalah antara kau dan Arsan?" sahut Abimanyu yang hanya di respon diam oleh Abimanyu,ia dan Saka berpandang pandangan di belakang Abimanyu mereka sadar telah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan diantara Abimanyu dan Arsan. "Kau sudah dapat semua itu kan?" ucap Abimanyu kepada Saka. "Ya.. ini.. ." ucap Saka memberikan foto-foto yang ada di sakunya. "Tapi Abi jika bukan mereka bagaimana? bisa saja yang dilihat Arsan waktu itu bukan benar-benar preman pasar yang ada disitu." ucap Dayu. "Kita coba saja bertanya pada Kak Jordy kuharap ia tahu salah satu dari beberapa preman ini." ucap Abimanyu. ****** "Halo.. Abimanyu lama tak melihatmu." ucap Jordy menyambut Abimanyu dan kedua temannya yang datang dikelas mereka kelas 12 IPS 4 dimana kelas tersebut dipenuhi oleh anak anak nakal dan bodoh. "Justru aku yang harusnya heran kenapa kakak jarang sekali terlihat di mana pun,biasanya kakak kan suka menggoda adik kelas di kantin."goda Abimanyu. "Aku sedang sibuk bisnis akhir akhir ini." ucap Jordy kepada Abimanyu. "Mampirlah ke toilet siswa kelas 12 kapan-kapan." ucap Jordy kepada Abimanyu,Abimanyu dan teman-temannya sudah tahu bahwa Jordy melakukan jual beli narkoba di toilet siswa kelas 12. "Kuharap kakak tak melibatkan adik-adik kelas kakak." ucap Abimanyu. "Tidak Abimanyu kau tahu sendiri kan aku hanya menjual belikan barang itu untuk siswa 12 yang sudah pernah memakainya dan ya mungkin ada juga dari kelas 11 tapi aku tak memaksa mereka sama sekali mereka sendiri yang datang kepadaku." ucap Jordy. "Lalu ada apa kau kemari?" ucap Jordy. "Hei.. Abi.." ucap suara dari ruang kelas. "Hei Kak Nora.." ucap Abi melihat Nora (pacar Jordy masuk ke dalam kelas). "Dimana Anora? katakan kepadanya aku sangat merindukannya, aku jarang sekali melihatnya akhir-akhir ini." ucap Nora menyenderkan tubuhnya ke badan Jordy. "Dan kalian semakin tampan saja." ucap Nora memegang pipi Dayu dan Saka, Dayu dan Saka merasa sangat tidak nyaman walaupun Nora memang sangat cantik dan sexy tapi mereka tidak suka kegenitan Nora itu apalagi ia sudah memiliki pacar.Jika saja para pacar mereka ada disini pasti Nora tidak akan berani melakukan hal itu karena ia sangat menjaga perasaan seorang wanita itulah salah satu kehebatannya walaupun tetap saja dia adalah wanita yang sangat genit. "Kudengar kalian memiliki anggota baru,kudengar dia sangatlah tampan siapa nama lelaki itu?" tanya Nora. "Arsan,ya dia adalah teman masa kecil Anora." ucap Abimanyu. "Oh ya si Arsan Arsan itu ajaklah sekali-kali dia kesini aku ingin melihat seberapa tampannya dia." ucap Nora yang diikuti senyuman Abimanyu. "Aku hanya ingin bertanya apa kakak mengenal salah satu dari mereka?" tanya Abimanyu menyerahkan beberapa foto kepada Jordy. "Dia.." ucap Jordy ketika melihat salah satu foto. Sang Penolong "Ada apa kak? apa kau mengenalnya?" tanya Abimanyu kepada Jordy. "Hei bukankah dia adalah si kampret itu, teman lamamu." ucap Nora kepada Jordy sambil menunjuk ke satu foto. "Apa kalian mengenalnya?" tanya Saka. "Ya,kurasa itu dia." ucap Jordy. "Tapi tunggu mengapa kau ingin mencari orang-orang ini?" tanya Jordy. "Aku ada urusan dengan orang-orang yang ada di dalam foto itu.Kurasa kakak kenal dengan salah satu orang yang ada di foto itu bisakah kakak membantuku untuk mempertemukanku dengan orang itu." ucap Abimanyu. "Tentu saja aku bisa tapi.. " ucap Jordy terpotong. "Kurasa ini cukup." ucap Dayu mengeluarkan tas kecil berisi uang yang entah sejak kapan ia membawanya. "Menarik." ucap Nora yang langsung mengambil dan mengecek isi tas tersebut. ******* "Aduh mengapa harus ada mereka di sana sih." ucap seorang gadis kepada temannya ketika melihat kakak kelas yang terkenal suka membully dan menyuruh nyuruh adik kelas yakni Kiara,Bayu serta si kembar Dino dan Doni dimana kini mereka tepat berada di depan toilet siswi kelas 10. "Laras lebih baik kau tahan saja Laras aku tak mau berurusan dengan mereka." ucap teman gadis itu. "Aduh tapi aku sudah tak tahan perutku sangat sakit Siska." ucap Laras sambil memegangi perutnya. "Bodo amat lah." ucap Laras menuju toilet diikuti oleh Siska. (Beberapa menit kemudian) "Aduh kau ini sekarang bagaimana cara kita keluar,kita pasti akan dihalang-halangi bahkan bisa jadi mereka akan menyuruh nyuruh kita." ucap Siska bingung. "Aduh bagaimana ini sebentar lagi jam istirahat sudah akan berakhir." ucap Laras melihat jam tangan yang ada di tangannya. "Sudahlah apa boleh buat ayo." ucap Laras lagi sambil menarik tangan Siska. "Sudah selesai dek." ucap Kiara yang hanya dibalas senyuman oleh Laras dan Siska. "Eh.. mau kemana." ucap Doni menghalangi jalan mereka. "Eitss.." Dino pun berusaha menghalangi jalan mereka berdua. "Maaf kak saya mau kembali ke kelas,sebentar lagi jam istirahat sudah selesai." ucap Laras kepada mereka berempat. "Kau cantik juga.. siapa namamu?" ucap Bayu mendekati Laras. "Ada apa ya kak? Dan kenapa kalian berempat selalu ada di depan toilet siswi kelas 10 apalagi kalian bertiga kan laki-laki dan untuk kelas 12 sendiri kan sudah ada toiletnya masing-masing." ucap Laras ia dan Siska sama-sama kaget karena tiba- tiba saja Laras sangat berani berkata seperti itu. "Oh hey siapa gadis yang sangat berani ini" ucap Kiara mengangkat dagu Laras keatas. "Hei.." teriak Dayu,Kiara langsung melepaskan tangannya. "Apa yang kalian lakukan?" ucap Abi kepada keempat orang itu. "Abi..ti.. tidak kami hanya.." ucap Kiara terbata-bata ketakutan melihat Abimanyu dan kedua temannya datang menghampiri mereka. "Lebih baik kalian berempat pergi dari sini,atau.." ucap Abimanyu. "Tidak Abi baik baik kami akan pergi." ucap Bayu mengajak tiga temannya itu untuk pergi. "Kalian tak apa-apa?" ucap Saka kepada Laras dan Siska. "Tidak kak,terima kasih ya kak." ucap Siska. "Lain kali melawanlah jangan hanya pasrah,jangan takut pada orang-orang seperti mereka." ucap Abimanyu tersenyum pada mereka,lalu Abimanyu dan kedua temannya pergi meninggalkan mereka berdua. "Ya tuhan mereka ternyata benar-benar sangat tampan." ucap Siska memandang Laras. "Hei, mengapa kau malah bengong." ucap Siska kepada Laras yang terus terusan memandang Abimanyu. "Kak Abi benar-benar.." ucap Laras kepada Siska. "Ya tentu saja semua orang tahu itu mereka bertiga sangat lah terkenal di sekolah ini maupun sekolah lain apalagi Kak Abimanyu." ucap Siska. "Kebanyakan semua perempuan disini sangatlah menyukai mereka bertiga,tapi kau tahu kan mereka.." ucap Siska lagi. "Ya kutahu ada Kak Anora,Kak Fio dan Kak Karin kan." ucap Laras. "Ya itu kau tahu lah kita pasti tak akan bisa menandingi mereka bertiga apalagi kecantikan mereka bertiga aku saja sangat terkejut saat melihat mereka untuk pertama kalinya apalagi Kak Anora memang sangatlah cocok bersama Kak Abimanyu yang sangat tampan." ucap Siska. "Tapi berharap tak ada salahnya kan." ucap Laras tersenyum tiba-tiba merapikan rambutnya. "Tapi kudengar ada satu murid pindahan yang bergabung dengan mereka,dia juga tak kalah tampan aku pernah melihatnya sekali saat di kantin." ucap Siska. "Yaa aku juga pernah mendengarnya tapi aku tak pernah melihat pria itu." ucap Laras. ****** (Saat pulang sekolah di lorong sekolah) "Hei adik ipar." ucap seorang wanita dibelakang Anora dan temannya. "Kak Gea." ucap Anora saat menoleh ke belakang dan langsung memeluk orang tersebut. "Halo kak Gea." ucap Fio dan Karin bersamaan yang juga disambut pelukan oleh Kak Gea. "Aku sangat merindukan kalian bertiga." ucap Gea yang masih memeluk mereka bertiga. "Apa kabar kak?" ucap Anora tersenyum senang. "Seperti yang kau lihat Anora,kalian semakin cantik saja." ucap Gea memandangi ketiga orang yang ada di depannya. "Kapan kakak pulang? Abi tidak memberitahuku sama sekali." ucap Anora. "Baru tadi pagi,dan aku langsung menemui ayah kemari." ucap Gea. "Bagaimana kuliah kakak di London? apakah menyenangkan?" ucap Fio penasaran. "Ya bisa di bilang seperti itu.Kita harus kesana bersama-sama lain kali." ucap Gea yang disertai senyuman ketiga gadis itu. "Bagaimana adik ipar apakah pria gila itu masih gila sampai saat ini,kuharap kau bisa bertahan dengannya hingga kau bisa benar benar menjadi adik iparku seperti yang kuimpikan. " ucap Gea membicarakan adiknya yakni Abimanyu. "Yah.. masi seperti itu lah kak." ucap Anora. "Hei wanita tua sadarlah akan umur, wanita tua sebaiknya bergaul dengan wanita tua saja tak usah bercampur pada para gadis." ucap Abimanyu menggoda kakaknya yang tiba-tiba ada dibelakang para gadis-gadis itu. "Hei idiot umurku masih 22 tahun siapa yang kau sebut wanita tua." ucap Gea melihat Abimanyu. "Yatuhan.. kalian sekarang semakin tampan saja." ucap Gea kepada Dayu dan Saka ia bergantian memeluk mereka. "Dan kau mengapa kau masih begini - begini saja." ucap Gea menunjuk Abimanyu. "Sebenarnya adikmu yang mana mengapa kau memeluk mereka duluan." ucap Abimanyu berpura-pura kesal. "Kak Gea semakin cantik saja." ucap Dayu. "Ya sekarang sudah benar-benar mirip seperti bule ." ucap Saka. "Jangan begitu lihatlah pacar kalian juga tak kalah cantik kan." ucap Gea menunjuk Fio dan juga Karin. "Cantik darimana dia terlihat sangat gemuk begini kalian bilang cantik." ucap Abimanyu menggoda sang kakak lagi. "Kau ini!" ucap Gea sambil berusaha memukuli Abimanyu dengan tas yang dibawanya. "Abi.. kau memang menyebalkan berani-beraninya kau bilang Kak Gea gemuk,dia tak gemuk kau lihat bahkan ia sekarang semakin cantik." ucap Anora kepada Abimanyu. "Kenapa kau yang kesal Anora aku kan mengatakan yang sebenarnya." goda Abimanyu lagi. "Kau lihat Abi..dia memanglah adik iparku." ucap Gea memeluk Anora. "Ayo pulang..." ucap Abimanyu kepada Anora. "Pulang kemana? kali ini aku ingin mengajak mereka bertiga berjalan-jalan biar mereka pulang dengan mobilku." ucap Gea. "Kalian tidak sibukkan?" tanya Gea yang dijawab dengan gelengan kepala dari ketiganya. "Tidak tidak aku ingin pulang bersama pacarku kami ingin berkencan sebentar mengapa kakak mengganggu saja." ucap Abimanyu menggoda kakaknya lagi. "Itu semua terserah adik ipar,bagaimana adik ipar? mobilku ada disana" ucap Gea menunjuk mobilnya. "Tentu saja aku lebih memilih dengan Kak Gea." ucap Anora meledek Abimanyu ia pun bergegas pergi menggandeng kedua temannya menuju mobil Gea. "Lihat itu,adik ipar memang terbaik." ucap Gea juga meledek Abimanyu. "Dayu Saka aku pinjam tuan putri kalian sebentar ya." ucap Gea langsung pergi meninggalkan mereka bertiga. "Nenek lampir itu.." ucap Abimanyu tersenyum saat melihat kakaknya pergi. Kejutan (Di rumah Abimanyu) "Kurasa kau harus secepatnya menikah kak,bukan kah sebaiknya begitu yah?" ucap Abimanyu saat makan malam bersama ayah dan kakaknya. "Enak saja menikah menikah jalanku masih sangat panjang banyak sekali hal yang masih belum kucapai." ucap Gea. "Alah bilang saja kau tak memiliki kekasih yang mau denganmu lagi pula mana ada lelaki yang menyukai wanita pemarah sepertimu." ucap Abimanyu menggoda kakaknya. "Enak saja apa kau tak tahu banyak sekali pria yang mengantri di luar sana untuk meminangku,bukan begitu yah?" ucap Gea. "Ya dan kemarin ada lagi pembicaraan tentang perjodohan, ayah rasa ini sudah sekian kalinya teman-teman ayah ingin kau menjadi menantunya." ucap Pak Braga. "Kau lihat itu?" ucap Gea tersenyum puas kepada Abimanyu. "Ibumu menikah dengan ayah saat seusia denganmu saat ini." ucap Pak Braga tiba-tiba mengenang kejadian saat ia menikah dengan ibu Abimanyu yang kini sudah tiada. "Pasti dia sangat bahagia sekarang melihat putrinya sudah tumbuh sebesar ini, dan putrinya juga merupakan salah satu lulusan terbaik dari Universitas Gartard salah satu Universitas terbaik di dunia." ucap Pak Braga. "Ah ayah..." ucap Gea langsung memeluk ayahnya dari belakang. "Ah kakak.." ucap Abimanyu yang juga langsung memeluk kakaknya dari belakang dimana posisi mereka sekarang saling berpelukan dari belakang. "Apa kau ikut-ikut pergi sana." ucap Gea melepaskan pelukan dari adiknya itu. "Sudah.. sudah mari lanjut makan." ucap Pak Braga tersenyum melihat kelakuan dua anaknya itu. ***** (Di kamar Abimanyu) "Dia sekarang sedang apa ya?" ucap Abimanyu berbicara sendiri penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Anora saat ini. "Kutelfon saja ah." ucap Abimanyu mengambil hpnya yang ada di meja. "Apa ini?" ucap Abimanyu mengangkat sebuah buntelan yang ternyata isinya adalah kaset. "Kaset? " ucap Abimanyu. Abimanyu sangat terkejut ada sebuah kaset di meja nya.Karena ia penasaran ia pun menyetel kaset itu di komputernya.Betapa terkejutnya ia ternyata itu adalah kaset rekaman CCTV detik detik Rani terjatuh dari lantai empat karena Abimanyu yang mendorongnya. (Flashback kejadian beberapa bulan yang lalu saat pesta ulang tahun Roni) "Kumohon kalian ikutlah denganku sebentar ke luar aku ingin berbicara sesuatu kepada kalian,terlalu berisik disini." ucap Rani kepada Abimanyu dan juga Anora. "Ada apa memang? kau bisa berbicara disini saja kan." ucap Anora. "Tidak aku.." ucap Rani terpotong. "Rani.." teriak Susan. "Antarkan aku ke toilet sebentar aku takut sendirian." ucap Susan sahabat Rani mereka berduapun langsung pergi meninggalkan Anora dan teman-temannya tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. "Ada apa dengannya?" ucap Anora kepada teman-temannya tapi teman-temannya menggelengkan kepala pertanda tidak tahu. (30 menit kemudian di toilet wanita ) "Kalian duluan saja sepertinya aku membutuhkan waktu yang lama disini." senyum Anora memegangi perutnya. "Tidak kami akan menunggumu tenang saja lah cepat keluarkan itu.." ucap Fio. "Tidak tidak lihatlah sebentar lagi band The Gulam akan tampil bukankah itu yang kalian nanti nanti kan, pergi duluan saja aku akan menyusul kalian nanti." ucap Anora. "Tidak mau jika tanpamu" ucap Karin. "Sudahlah kalian pergi duluan saja.." ucap Anora mendorong teman-temannya keluar dari toilet ia tahu jika teman-temannya menunggu nya di toilet mereka akan melewatkan penampilan dari band favorit mereka The Gulam. "Ayo cepatlah kesana itu mereka sudah naik ke atas panggung aku akan secepatnya kembali." ucap Anora tetap memegangi perutnya "Baiklah Anora kami duluan,cepatlah menyusul." ucap Fio yang diikuti anggukan Anora. (Beberapa saat kemudian setelah Anora keluar dari toilet tiba-tiba ada yang membekap hidungnya hingga ia pingsan) "Dimana dia lama sekali sudah setengah jam berlalu." ucap Abimanyu melihat jam tangannya. "Dia juga tak menjawab telfonku." ucap Abimanyu berusaha menelfon Anora namun tak ada balasan. "Kita akan menyusulnya." ucap Fio dimana ia dan Karin langsung pergi menuju toilet. "Anora.. kau lama sekali sih kau buang batu atau buang air sih." ucap Karin di dalam toilet namun tak ada suara yang menyaut. "Anora.. " Fio mengetok satu pintu yang terkunci dimana sepertinya ada seseorang disana. "Sorry bukan Anora." ucap seseorang dari dalam dimana itu adalah suara orang lain. "Oh maaf maaf." ucap Fio seketika. "Mungkin dia sudah keluar sebelum kita menuju kemari mungkin sekarang dia sudah bersama Abi." ucap Karin. **** "Dimana Anora?" ucap Abimanyu melihat Fio dan Karin yang kembali tanpa Anora. "Loh bukannya dia telah kemari?" ucap Fio kebingungan. "Belum, setelah pergi ke toilet dia belum kembali kemari sama sekali." ucap Abimanyu. "Dia tak ada di toilet Abi, kami kira dia sudah kemari." ucap Karin. "Aku sudah mencoba menghubunginya tapi dia tak mengangkat panggilanku,kemana dia." ucap Abimanyu memegang handphonenya. (Tiba-tiba handphone Abimanyu berbunyi dan Abimanyu mengangkatnya) "Anora ada bersamaku" ucap seseorang saat Abimanyu mengangkat teleponnya. "Halo siapa kau?" ucap Abimanyu. "Jika kau menginginkan Anora dengan selamat datanglah ke balkon lantai 4 sekarang,dan ingat datanglah sendiri jika aku tahu kau membawa teman-temanmu itu jangan harap kau dapat melihat Anora lagi." ucap seseorang itu lagi. "Brengsek siapa kau." ucap Abi namun sambungan telepon segera diputuskan oleh orang itu. "Ada apa Abi?" tanya Dayu. "Kurasa Anora diculik." ucap Abimanyu mengedarkan pandangannya disekitaran memastikan apakah Anora benar benar tidak ada disekelilingnya. "Apa?" ucap Fio dan Karin serempak. "Bagaimana bisa dan bagaimana kau tahu?" ucap Saka. "Seseorang yang menelponku mengancamku untuk datang ke lantai 4, aku akan mencarinya disana." ucap Abimanyu. "Kami ikut." ucap mereka serempak. "Jangan, dia mengancam akan melukai Anora jika melihat aku datang bersama kalian." ucap Abimanyu. "Tetaplah disini dan jangan beritahu siapapun, jika sampai pesta ini berakhir aku belum kembali kurasa kalian harus menghubungi polisi. Lihatlah gerak gerik orang- orang yang keluar masuk rumah Roni dan awasi setiap pintu keluar jika dia menyuruhku ke lantai 4 untuk bertemu dengannya pasti dia masih berada di dalam rumah ini. " ucap Abimanyu teman-temannya pun mengangguk setuju dan Abipun bergegas pergi menuju lantai 4. ****** "Rani?" ucap Abi saat ia tiba di balkon lantai 4 ia melihat Rani bersama seorang laki-lakii yang memakai topeng sedang memegangi Anora dengan membawa pisau. "Abi.. " teriak Anora. "Anora.. " ucap Abi menghampiri Anora. "Jangan mendekat Abi, kau tak ingin kan gadis yang kau cintai ini terluka." ucap Rani. "Rani kumohon jangan lakukan apapun kepadanya ,apa yang sebenarnya kau ingin kan hah? " ucap Abimanyu melirik ke arah Anora ia takut terjadi sesuatu kepada Anora. "Kau! tentu saja kau! " ucap Rani. Penyesalan "Kau jahat sekali Abi, kau tak pernah tau seberapa berat pejuanganku untuk mendapatkanmu dan kau tak pernah melirikku sedikitpun." ucap Rani. "Rani.. tolong jangan sakiti Anora kau bebas menginginkan apapun dariku tapi jangan sakiti dia." ucap Abimanyu ia sebenarnya bisa melawan orang yang kini sedang memegangi Anora dengan sebuah pisau akan tetapi ia takut jika Anora akan terluka. "Kau.. kau menginginkan apa? aku menjadi milikmu? ba.. baiklah aku akan mengabulkannya tapi kumohon lepaskan Anora."ucap Abimanyu sanat khawatir dengan Anora. "Hahaha.. tak semudah itu Abi." ucap Rani yang semakin menggila. "Jika aku melakukan itu kalian pasti tak akan melepaskanku dan akan merencanakan sesuatu kepadaku atas kejadian hari ini kau pikir aku ini bodoh." ucap Rani. "Aku sadar selama Anora masih ada aku tak akan bisa memilikimu Abi,jadi aku memberikanmu dua pilihan." ucap Rani menatap tajam kearah Abimanyu. "Dua pilihan?" ucap Abimanyu. "Dia yang mati atau kita berdua yang akan mati dengan melompat dari sini." ucap Rani menunjuk Anora. "A.. apa? kau sudah gila Rani." ucap Abimanyu. "Ya.. aku telah gila karenamu hari ini, jika aku tak bisa memilikimu maka dia juga gtak akan bisa memilikimu." ucap Rani. "Cepat katakan! pilihan mana yang kau inginkan aku akan dengan senang hati membunuhnya jika kau menginginkannya untuk mati." ucap Rani. "Abi..." ucap Anora ia tahu Abimanyu pasti akan memilih dirinya untuk menyelamatkan Anora. "Cepat katakan!" ucap Rani ia melirik ke arah pria yang sedang memegangi Anora. "Ah..." ucap Anora ketika lehernya sedikit tersayat oleh pisau yang dibawa pria yang kini sedang memeganginya. "Anora... jangan lakukan apapun kepadanya Rani!" ucap Abimanyu tak kuat melihat Anora meringis kesakitan. "Baiklah jika itu maumu mari kita lompat bersama dari sini." ucap Abimanyu. "Non...." ucap seseorang yang sedang memegangi Anora ia tak percaya bahwa Rani akan benar-benar bunuh diri dihadapannya. "Ayo Abi." ucap Rani menjulurkan tangannya mengajak Abimanyu lompat bersamanya. "Tidak.. Abi... Tolong.." teriak Anora berusaha meminta pertolongan seseorang tetapi tetap saja tak ada yang bisa mendengar mereka karena pesta di bawah sana sangatlah ramai. "Diam kau.." ucap seseorang yang sedang memeganginya. "Anora..." ucap Abimanyu kini bersiap melompat dengan Rani mereka berpegangan tangan. "Abi aku sangat bahagia hari ini..." ucap Rani tersenyum ia seolah-olah ia sangat senang mati bersama dengan Abi. Tiba-tiba saja Abimanyu melepaskan tangannya dari Rani dan ia bergegas mendorong wanita itu seketika itu juga. "Non.." ucap seseorang itu kaget cengkramannya kepada Anora mulai melemah Anora pun langsung berusaha melawan dan kabur namun orang itu malah menusukkan pisau tepat di lengan Anora. "Anora.." teriak Abi berlari ke arah Anora. Ia kemudian memukul bertubi-tubi orang yang memegangi Anora tadi ia pun melepaskan topeng pria itu. "Kau.." ucap Abi ia seperti pernah melihat orang itu dan ternyata ia adalah supir dari Rani. "Berani-beraninya kau." ucap Abi masih melanjutkan pukulan-pukulannya.Tiba-tiba saja Abi mengambil pisau yang dibuat oleh orang itu untuk melukai Anora." "Ti.. tidakk ja jangan bu.. bunuh sa.. sayaa is.. istri.. saya." ucap seseorang itu lemas karena telah dipukuli Abi bertubi-tubi namun Abi tetap menuju ke arahnnya seperti orang kesetanan. "Abi.. tidak.." ucap Anora seketika itu Abi langsung sadar dan menuju ke arah Anora. "Apa kau tak apa.." Abimanyu sangat panik ia merobek bajunya untuk menghentikan darah Anora. "Lehermu Anoraa ya tuhan.." ucap Abi melihat sayatan dan darah di leher Anora ia tahu pasti Anora sangat kesakitan. "Tidak.. aku tak apa Abi.." ucap Anora melihat Abimanyu ia masih sangat kaget dengan apa yang telah terjadi. "Aku tahu orang itu pasti akan membunuhmu walaupun aku sudah melompat bersama Rani aku tahu Rani memeberikan kode kepadanya tadi." ucap Abimanyu memeluk Anora. "Aku rela melakukan apapun demi dirimu Anora." ucap Abimanyu. "Abi..." ucap Anora menangis. "Kumohon... jangan menangis Anora kumohon.." ucap Abimanyu ketika melihat Anora menangis. "Aku akan menyerahkan diriku ke polisi sekarang tenanglah." ucap Abimanyu. "Tidak.. tidak aku tak akan membiarkanmu melakukan itu." ucap Anora. "Tidak ada orang yang melihat kejadian ini.. tak ada kecuali orang itu.." ucap Anora melihat ke arah pria yang memeganginya tadi Anora mengisyaratkan sesuatu pada Abimanyu yakni untuk membunuh orang itu. "Anora.." ucap Abimanyu ketika Anora mengatakan itu itu seperti bukan Anora yang dikenal sebagai Abimanyu saat ini. "Ti.. tidak Anora.." ucap Abimanyu kemudian ia menuju ke arah orang yang telah ia pukuli dengan bertubi-tubi itu. "Siapa kau? dan mengapa kau mau melakukan hal menjijikkan ini." ucap Abimanyu. "Non Ra.. ra..ni adalah majikan saya,saya re...la melakukan hal ini karena saya membutuhkan uang un.. untuk istri saya yang sedang terbaring di rumah sakit." ucap pria itu dengan lemas kemudian ia tak sadarkan diri. "Cepatlah kemari." ucap Abimanyu menelpon seseorang yakni Dayu. ***** "Anora!!" teriak Fio dan Karin bersamaan melihat lengan Anora berdarah. "Ada apa ini Abi? dan siapa dia?" ucap Saka menunjuk seseorang yang pingsan. (Anora dan Abimanyu pun menceritakan semuanya). "A..apa?" teriak Dayu ia langsung mengecek kebawah ia melihat Rani telah bersimpah darah disana. "Ba.. bagaimana hal seperti ini bisa terjadi." ucap Fio. "Kalian cepatlah pergi dari sini bawa Anora pergi dari sini aku akan menyerahkan diri ke polisi." ucap Abimanyu. "Tidak.. tidak aku tidak akan membiarkan itu terjadi." ucap Anora memohon kepada Abi. "Aku juga tak akan membiarkan hal itu terjadi Abi, bagaimanapun kau terpaksa melakukan itu untuk menyelamatkan Anora." ucap Dayu. "Gadis itu benar- benar...." ucap Karin membicarakan Rani dengan marah. "Mari kita turun bersama dan biarkan seolah tak terjadi apa-apa." ucap Saka. "Bagaimana dengan pria itu." ucap Fio. "Ya tuhan aku melupakan dia." ucap Saka ia menghampiri pria yang sedang pingsan itu dan mengecek tubuhnya. "Lehermu Anora." ucap Karin. "Ah.." rintih Anora saat memwgang lehernya ia tak sadar lehernya juga terluka karena ia masih terkejut dengan semua kejadian yang terjadi. "Kami tak akan membiarkan dirimu berada di penjara Abi." ucap Dayu. "Ya tentu saja hal itu tak boleh terjadi." ucap Fio. "Kurasa ia telah mati." ucap Saka terus-terusan mengecek hidung dan dada orang itu. "Apa?" ucap ketiga gadis itu serempak. "Tolong.. tolong.." teriak seseorang dari bawah seperti salah satu orang telah mengetahui kondisi Rani. "Kurasa mereka sudah tahu." ucap Fio panik. "Kalian berdua bawa Anora pergi dari sini kami akan menangani orang ini." ucap Saka. "Tenang Anora kami tak akan membiarkan Abi melakukan semuanya sendiri dan kami juga tak akan membiarkan dia masuk kepenjara." ucap Dayu melihat Anora yang masi diam mematung memandangi Abimanyu. "Cepat kalian pergi lah dahulu." ucap Dayu "Abi.." ucap Anora. "Baik.. baik ayo Anora.." ucap Fio mengambil syalnya untuk menutupi luka di leher Anora. "Sayang... jaketmu! akan sangat mencurigakan jika Anora keluar dengan keadaan seperti ini." ucap Karin kepada Saka untuk menyerahkan jaket yang dikenakan untuk menutupi luka Anora hanya Saka yang memakai jaket saat itu sedangkan Dayu dan Abi memakai kemeja. "Cepat kurasa semua orang sudah menuju kebawah ini kesempatan kita untuk memindahkan mayat ini." ucap Saka. "Kalian bertiga cepat pergi dan bersikaplah biasa saja bersikaplah seolah-olah tak terjadi apa-apa, biar kami yang mengurus ini!" ucap Dayu sedangkan Abimanyu masih tidak percaya dengan kejadian yang telah terjadi ia mematung ke arah mayat supir Rani. "Abi.." ucap Anora melihat Abimanyu yang berdiri mematung ketika Karin dan Fio membawanya pergi. Dibalik Semuanya "Ya tuhan apa yang terjadi kepadanya." ucap seseorang. "Apakah dia bunuh diri?" ucap seseorang yang lain. "Cepat panggilkan ambulance!" ucap seseorang lagi yang lain.Kini semua orang yang ada disana sibuk berbisik bisik sambil memandangi tubuh Rani yang sudah bersimbah darah mereka tidak berani menyentuh tubuhnya hingga ambulance dan polisi datang. ****** (Keesokan harinya di Sekolah) "Dia tak meninggal, dia sedang dirawat sekarang." ucap Dayu. "Seharusnya aku menyerahkan di.." ucap Abimanyu. "Tidak! tak akan kubiarkan hal itu terjadi." bentak Anora. "Ayolah Abi... jika sampai kau dipenjara kami juga akan ikut karena kami juga tahu semua kejadian ini." ucap Saka. "Iya Abi.. tenanglah kau kan sudah mengurus satu-satunya saksi yang dapat memberatkanmu jadi tenanglah." ucap Fio. (Abi mengingat kejadian tadi malam dimana ia , Dayu dan Saka membuang mayat itu kejalan yang sepi sehingga seolah-olah orang itu meninggalkan karena kasus tabrak lari.) "Jika Rani sadar, dia tidak memiliki bukti dan saksi yang kuat untuk menuduhmu Abi jadi tenanglah kita akan mengatasi semuanya bersama-sama." ucap Karin. "Kau lihat itu? banyak sekali yang mendukungmu jadi berhentilah berbicara omong kosong." ucap Anora menggenggam tangan Abimanyu. "Oh ya Abi aku sudah tahu dimana istri orang itu dirawat." ucap Dayu. "Bagus kalian ikut aku kesana sepulang sekolah." ucap Abimanyu. "Kau? kau tak bermaksud mengungkapkan semuanya disana kan?" ucap Anora terkejut. "Tidak Anora aku hanya ingin membantu biaya pengobatannya kau tahu sendiri kan orang itu terpaksa melakukan semua itu demi istrinya, kurasa ini satu satunya cara untuk menebus kesalahanku." ucap Abimanyu. "Abi.." ucap Anora langsung memeluk Abimanyu. (Tiba-tiba saja keenam orang itu mendapatkan pesan masuk, dimana saat mereka melihat itu mereka semua sangat kaget.) "A..apa ini?" ucap Anora ketika ia melihat sebuah video di hpnya dimana video tersebut menampakkan detik-detik ketika Abimanyu mendorong Rani dan juga saat Dayu melihat jasad Rani dari atas. "Bukankah ini rekaman CCTV?" ucap Dayu. "Si..siapa yang mengirim ini?" ucap Fio kaget. "Roni? apa mungkin dia? dia adalah tuan rumah pasti dia tahu semua rekaman cctv yang ada." ucap Karin. "Bisa jadi dia yang melakukan ini, ayo kita hampiri dia." ucap Dayu mengepalkan kedua tangannya. "Tapi.. mengapa dia mengirimkan ini kepada kita? kenapa tidak dia serahkan kepada polisi saja? dan misalkan dia sudah menyerahkan rekaman ini ke polisi pasti polisi akan memanggilkan Abimanyu dan Dayu." ucap Fio. "Kurasa rekaman CCTV ini hanya merekam kearah pingggir balkon saja jadi hanya Abimanyu,Rani dan Dayu saja yang terlihat." ucap Saka. ****** "Kalian bisa tinggalkan kami sebentar?" ucap Karin kepada teman teman Roni. "Apalagi? sungguh aku tak mengetahui apapun aku sudah lelah ditanyai banyak orang tadi malam." ucap Roni. "Eh Roni.. apa dia benar benar bunuh diri atau?" ucap Saka. "Entahlah aku juga tak tahu saat polisi melihat rekaman CCTV hanya rekaman CCTV lantai 4 saja yang tak ada dan mereka menduga bahwa Rani telah melakukan hal itu dari lantai 4." jelas Roni. "Maksudmu?" ucap Abimanyu. "Tiba-tiba saja CCTV di lantai 4 eror dan tak merekam apapun." ucap Roni. "Padahal Pak Cahyo sudah mengecek CCTV sebelumnya dan tak ada yang rusak dengan semua CCTV yang ada." sahutnya lagi. "Pak Cahyo? tunggu aku seperti... ah yaa apakah ayah Raka anak IPS itu? kudengar dia bekerja di rumahmu" ucap Fio. "Raka?" ucap Abimanyu. "Ya.. anak IPS yang mendapatkan beasiswa itu ayahnya bekerja di rumahku." ucap Roni. ******** "Tidak Abi.. jangan sekarang sebentar lagi kita akan masuk." ucap Anora berusaha mengejar Abimanyu yang mencari Raka. "Sayang.." ucap Fio yang juga membujuk Dayu. "Lebih baik kalian masuk dulu sekarang." ucap Saka yang kemudian meninggalkan mereka bertiga. "Siapa yang bernama Raka?" teriak Abimanyu di kelas 11 IPS 1 yang diikuti bisikan semua siswa yang ada di dalam kelas. "Raka? ada apa dia berurusan dengan seorang Abimanyu?" bisik seorang siswi. "Lihatlah ia benar-benar sangat tampan." bisik siswi yang lain. "Mampus kau Raka kurasa Abi sedang marah sekarang." bisik seorang siswa. "Itu di.. diaa yang namanya Raka." ucap seorang siswi yang menunjuk Raka yang duduk di pojokan belakang. "Kau yang namanya Raka?" ucap Dayu. "Iya ada apa?" ucap Raka. "Kami ingin berbicara sebentar denganmu." ucap Saka dimana mereka bertiga langsung keluar kelas. "Hei.. biasa sajalah tak usah tarik-tarik begini." ucap Raka ketika Dayu menyeretnya keluar kelas. "Apa maumu?" ucap Abimanyu. "Abi.." teriak Anora kemudian menyusul mereka berempat bersama dengan Fio dan Karin. "A..apa maksud kalian?" ucap Raka. "Tak usah berbohong kau kan yang mengirim video itu ke kami." ucap Dayu. "Video? ah itu.. bagaimana? keren bukan seorang Abimanyu berusaha membunuh seorang gadis." ucap Raka berbisik kearah Abimanyu. "Tapi tenang saja aku tak akan memberitahu siapun mengenai ini tapi hanya saja.." ucap Raka dengan santainya. "Brengsek..." ucap Dayu memukul Raka yang ada di depannya. "Sayang!" ucap Fio. "Apa?? mau memukulku silahkan... pukul saja.. tapi kalian tahu kan hanya aku satu satunya orang luar yang tahu mengenai kejadian itu jika sampai mulutku ini terbu.." ucap Raka dengan nada mengancam. "Apa maumu?" ucap Abimanyu menarik kerah Raka. "Mengapa kau melakukan ini? kami bahkan tak mengenalmu dan tak memiliki masalah denganmu." ucap Anora. "Ehm.. yaa aku memang tak memiliki masalah dengan kalian, tapi kali ini kurasa tuhan memberikanku keberuntungan lewat kalian semua." ucap Raka. "Cepat katakan apa yang kau mau?" ucap Abimanyu semakin menarik kerah Raka. "Uang! apalagi? " ucap Raka. "Berapa? berapa yang kau minta?" ucap Abimanyu tak sabaran. "1 milliar aku menginginkan 1 milliar!" ucap Raka. "Hei.. kau jangan macam-macam dengan kami... " ucap Saka yang juga menarik kerah Raka. "Mengapa? kalian tak sanggup? aku tak tahu berapa lama lagi mulutku untuk dapat merahasiakan semua ini atau jika kau tak sanggup kau bisa..." ucap Raka melihat penuh arti kearah Anora. "Apa? bisa apa?" ucap Abimanyu mulai emosi ketika Raka melihat ke arah Anora. "Kau tahu kan apa yang kumau." ucap Raka lagi mengkode menunjuk kearah Anora. "Kurang ajar!" ucap Abimanyu memukul Raka bertubi-tubi. "Abi!!" teriak Anora dimana kemudian beberapa siswa keluar melihat kejadian dimana Raka dikeroyok oleh Abimanyu,Dayu dan Saka. ***** "Mengapa kau rela dihajar seperti ini tanpa melawan, sebenarnya apa yang terjadi?" ucap Santi pacar Raka saat ia mencoba mengobati luka luka Raka yang didapatkannya tadi saat di sekolah. "Dan mengapa kau bisa sampai berurusan dengan mereka bagaimana itu bisa sampai terjadi,jangan lupakan tentang beasiswamu kau tahu sendiri kan ayah Abimanyu itu kepala sekolah kau mungkin bahkan bisa dikeluarkan." ucap Santi tetap membersihkan luka-luka Raka. "Tak usah cemas Santi itu tak akan mungkin terjadi, aku melakukan semua ini demi pengobatan ayah kau tahu sendiri kan kondisinya sangatlah parah akhir akhir ini." ucap Raka. "Sayang, apa maksudmu? tentang apa semua ini? kau.. kau berusaha memeras mereka? ta.. tapi tentang apa?" ucap Santi berhenti mengobati luka- luka Raka dan memandangi Raka dengan tatapan curiga. "Maaf Santi aku tak bisa memberitahumu tentang masalah ini, tapi percayalah kumohon percayalah kepadaku semuanya akan baik-baik saja." ucap Raka memegang kedua tangan Santi. Perjanjian "Berani sekali ia bermain secara keroyokan seperti ini, memalukan sangat memalukan." ucap Pak Braga di ruang kepala sekolah dimana juga ada Abimanyu dan Anora. "Coba kau jelaskan Anora sebenarnya apa yang telah terjadi." ucap Pak Braga. "Sebe.." ucap Anora terhenti karena Abimanyu meremas tangan Anora berharap agar Anora tak mengatakan apapun. "Anora.. juga tak tahu om ketika Anora disana mereka sudah berkelahi." ucap Anora memandang Abimanyu. "Ayah.. ayolah ini hanya masalah sepele seperti ayah tak pernah mengalami masa sekolah saja bukankah di antara pria ini adalah hal biasa." ucap Abimanyu. "Kau memukuli orang yang tak melawanmu sama sekali itu sungguh keterlaluan Abi apalagi kalian bertiga, kau tahu kan dia orang yang kau pukuli itu menyumbangkan banyak sekali penghargaan untuk sekolah ini." ucap Pak Braga. "Anak baik-baik seperti dia mana mungkin melakukan sesuatu yang tidak tidak apalagi harus berurusan dengan perkelahian." sahut Pak Braga lagi. "Oh benarkah seperti itu?" ucap Abimanyu dengan nada-nada seolah tak tahu apapun. "Baiklah kalian berdua kembalilah ke kelas dan ayah tak mau melihatmu seperti ini Abi jangan kau ulangi semua kejadian memalukan ini." ucap Pak Braga. ***** "Apa kau lihat-lihat." goda Abimanyu merangkul pundak Anora ketika mereka berdua berjalan menuju kelas mereka. "Kau ini selalu saja tak bisa menahan emosimu." ucap Anora. "Kau pasti tahu dia tadi hanya menggodamu Abi." sahutnya lagi. "Ya aku tahu tapi aku tak suka Anoraku ini dipandang dengan tatapan menjijikkan seperti itu." ucap Abimanyu mencolek hidung Anora. "Hmm.. bau rokok." ucap Abimanyu berhenti saat ia melewati toilet siswa kelas 12. "Ada apa? ayo ce.... Kak Nora!!" ucap Anora saat seorang siswi keluar dari toilet laki-laki. "Anora.. adikku.." ucap Nora memeluk Anora. "Jangan dekat dekat nanti bau rokok." ucap Abimanyu menggoda Nora dengan menarik tangan Anora dari pelukan Nora. "Kau ini aku tak merokok tau." ucap Nora memukul pelan Abimanyu. "Tetap saja bau rokok." ucap Abimanyu tersenyum. "Kakak apa kakak tak bisa baca bukankah ini toilet laki-laki." ucap Abimanyu lagi menggoda Nora. "Mari kita lihat siapa ini." ucap seseorang yang keluar dari toilet diikuti beberapa orang dibelakangnya. "Lihatlah Jordy kembaranku duo Nora ada disini." ucap Nora bersemangat merangkul pundak Anora. "Uhuk.. uhuk.. uhuk.." Abimanyu berpura-pura terbatuk-batuk didepan Jordy. "Kau ini.." ucap Jordy memukul perut Abimanyu pelan. "Terimakasih ya kak Jordy aku kembali ke kelas dulu." ucap seorang siswa yang diikuti anggukan Jordy. "Eh eh tunggu.." ucap Abimanyu menghentikan langkah siswa itu. "Ada apa Abi? " ucap siswa itu menoleh kearah Abimanyu sedangkan Abimanyu hanya memandanginya wajahnya memastikan jika ia benar-benar anak kelas 11. "Tidak.. lupakan." ucap Abimanyu dimana siswa itu kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke kelasnya. "Kau jangan salah paham.. aku tak mengajaknya dia sendiri yang mencariku dari seminggu yang lalu." ucap Jordy. "Kurasa dia sudah menjadi pecandu sebelumnya dia membeli banyak dariku." sahut Jordy lagi. "Kuharap kakak jangan terlalu banyak melibatkan kelas 10 dan kelas 11 dalam hal ini." ucap Abimanyu dengan nada sedikit mengancam. "Hei.. tenanglah Abi tentu kau tahu kan tidak semudah itu bagi orang-orang untuk membeli ini dariku." ucap Jordy mengeluarkan sesuatu yang terbungkus didalam plastik. "Aku benar-benar harus melihat bibit dan bobot mereka,aku tak akan mau jika seseorang yang baru pertama kali memakai ini membeli untuk pertama kalinya kepadaku." ucap Jordy. "Syukurlah kalau begitu." ucap Abimanyu tersenyum ke arah Jordy. "Hei.. Abi kudengar kau habis mengeroyok pria baik-baik." ucap Nora kepada Abimanyu. "Iya.. ada apa? kudengar kau habis menghajar seorang pria culun bukankah itu tak selevel denganmu?" ucap Jordy penasaran. "Ceritanya panjang." ucap Abimanyu memandang ke arah Anora. "Eh.. kami ingin ke kantin mau membolos di jam ini bersama?" ucap Nora kepada Anora dan juga Abimanyu. "Tidak, kurasa Anora.." ucap Abimanyu terpotong. "Ayo kak.. " ucap Anora menggandeng tangan Nora. "Hei kau.. kau sendiri yang bilang kita harus cepat cepat.Tak adil sekali cuman gara-gara Kak Nora kau jadi begini."ucap Abimanyu pura-pura marah padahal ia sendiri juga ingin membolos di jam ini. "Dia memanglah adikku." ucap Nora dimana ia dan Anora perlahan pergi meninggalkan Abimanyu,Jordy dan teman temannya. "Sudahlah ayo.." ucap Jordy menepuk pundak Abimanyu dan mendorongnya agar bergegas berjalan. ***** (Di Rumah Raka) "Le, ada teman - temanmu ini." ucap Pak Cahyo ayah Abimanyu. "Suruh masuk saja pak." ucap Raka dari dalam kamarnya. "Sini mas monggo masuk." ucap Pak Cahyo mempersilahkan ketiga orang yang ada di luar untuk masuk kemudian ia bergegas pergi keluar rumah. "Kurasa bukuku tertinggal di ke.." ucap Raka keluar dari kamarnya sambil membawa buku ia kaget dengan ketiga orang yang ada di depannya ia mengira itu adalah teman-temannya yang akan belajar bersama di rumahnya. "Ka.. kalian.." ucap Raka gemetar. "Ba.. bagaimana bisa kalian tahu rumahku." ucap Raka. "Ada apa? kaget? " ucap Dayu menatap sekeliling rumah Raka. "Tanpa basa basi kami ingin langsung ke intinya saja, kami mau meminta maaf kepadamu tentang kejadian tadi pagi." ucap Abimanyu. "Dan kami setuju dengan perjanjian yang kau buat sebelumnya." ucap Saka. "Ini, hanya jumlah itu yang bisa kami berikan hari ini." ucap Abimanyu menyerahkan amplop yang berisi uang kemudian Raka mengambil amplop itu dan menghitung jumlah uangnya. "Hanya 400 juta? kurasa kalian semua berasal dari keluarga kaya." ucap Raka. "Kau pikir itu adalah uang yang kami minta kepada orang tua kami, tentu saja tidak ingat ini walaupun kami berasal dari keluarga kaya itu adalah uang dari jerih payah kami sendiri." ucap Saka. "Oke langsung saja berikan rekaman yang kau punya kepada kami, dan kau harus tutup mulut mulai sekarang." ucap Dayu tak sabaran. "Tentu sajaaku tidak bisa melakukan itu uang kalian sangatlah kurang dari apa yang kuminta sebelumnya." ucap Raka sedikit gemetar. "Bangsat kau.. " ucap Dayu emosi ingin meninju Raka namun dihalangi oleh Abimanyu dan Saka. "Aku tak tahu mengapa kau melakukan hal menjijikkan seperti ini kudengar dirimu adalah orang yang bahkan tidak mungkin untuk bertindak seperti ini." ucap Abimanyu berjalan menuju ke arah Raka. "Tapi apapun itu, tunggu sampai kita benar benar membayar semuanya dan kau harus benar benar menepati janjimu jika sampai kau membocorkan semua ini dan mengingkari janjimu itu aku tak segan-segan membunuhmu dan semua keluargamu." ucap Abimanyu mengancam Raka kemudian ketiga orang itu bergegas meninggalkan Raka yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Kedamaian (Kembali ke masa sekarang) Tok.. tok.. tok.. (terdengar suara ketukan pintu di kamar Abimanyu dimana hal itu membuat lamunan Abimanyu buyar seketika) "Kau ini membuka pintu saja lama sekali." ucap Gea yang langsung membuka kamar Abimanyu. "Kakak kan biasanya langsung masuk mengapa harus repot-repot mengetuk pintu." ucap Abimanyu cepat-cepat mematikan komputernya. "Jangan pegang-pegang." goda Abimanyu saat kakaknya menelusuri kamarnya. "Ada apa kakak kemari." ucap Abimanyu lagi. "Memangnya tak boleh? aku kan rindu padamu." ucap Gea berusaha memeluk Abimanyu namun Abimanyu berakting seperti tidak mau dipeluk kakaknya itu. "Ah.. kakak kau ini." ucap Abimanyu. "Ayo ikut aku.." ucap Gea kepada Abimanyu. "Kemana malam-malam begini?" ucap Abimanyu. "Sudahlah cepat bersiap kutunggu kau dibawah." ucap Gea pergi meninggalkan kamar Abimanyu. ***** (Di Mobil) "Eh wanita gila bisa tidak kau pelan-pelan saja." ucap Abimanyu saat kakaknya menyetir dengan ugal-ugalan. "Ini sangat menyenangkan Abi.." teriak Gea. "Kakak sini saja aku yang membawanya." ucap Abimanyu. "Sudahlah diam saja di kursimu." ucap Gea. "Bukankah ketika kau balapan malah seperti ini." ucap Gea melajukan mobilnya dengan cepat. "Hei.. kakak pelan-pelan sajalah tentu saja itu berbeda." teriak Abimanyu. "Kuadukan pada ayah baru tau rasa kau." ucap Abimanyu. "Adukan saja apakah dia percaya bahwa putrinya yang manis ini dapat melakukan hal seperti ini." ucap Gea menancapkan gasnya lagi. "Dasar wanita gila." ucap Abimanyu tersenyum kepada kakaknya itu. ****** (Di Cafe) "Dimana ya mereka hm..." ucap Gea memandangi sekitarnya. "Kau mencari siapa sih kak." ucap Abimanyu juga melihat kanan kirinya. "Eh tunggu apakah mataku ini benar." ucap Abimanyu ketika melihat seseorang. "Mengapa?" ucap Gea tetap memandangi sekitarnya. "Ada Anora disini,ah kurasa itu bukan dia mengapa dia disi..." ucap Abimanyu sebelum dia melanjutkan perkataannya kakaknya itu menyeretnya ke arah dimana ia melihat Anora. "Hai Adik ipar..." ucap Gea tersenyum senang. "Kakak.." ucap Anora memeluk Gea. "Anora kau disini? jadi kakak janjian dengan Anora? mengapa tak bilang tega sekali kakak membiarkan dia datang kesini sendirian dan kau Anora kau tak memberitahuku sama sekali." ucap Abimanyu kemudian duduk di depan Anora dengan wajah cemberut menggoda keduanya. "Ehem.. ehemm." kode seseorang di sebelah Anora dimana ia memakai kacamata hitam. "Siapa dia?" tanya Abimanyu kepada Anora. "Hai Irzan.. " ucap Gea. "Kau tak mengenalku adik ipar?" ucap Irzan membuka kacamatanya. "Kak.. kak.. Irzan?" ucap Abimanyu kepada orang yang ada disamping Anora dimana ternyata ia adalah kakak Anora. "Kakak Ipar!!" teriak Abimanyu langsung memeluk Irzan setelah ia benar-benar memastikan bahwa itu adalah Irzan dimana semua orang disitu langsung memandang ke arah mereka berempat. "Hei kau jangan membuat kita malu bodoh." ucap Gea memukul kepala Abimanyu ketika semua orang memandang ke arah mereka berempat. "Hei kau jangan keras-keras kepadanya, kau ini tetap saja seperti dulu." ucap Irzan kepada Gea. "Benar kak lihatlah dia sekarang tumbuh menjadi wanita tua yang menyebalkan." ucap Abimanyu sok polos. "Kau ini justru kau yang semakin menyebalkan Abi." sahut Anora. "Hei.. kau seharusnya berpihak pada kakak dan pacarmu ini kau ini.." ucap Abimanyu menggoda Anora dengan menampar pelan pipi Anora. "Oh maaf maaf." ucap Abimanyu mengelus pipi Anora saat Irzan menatap kearahnya. "Kapan kakak tiba bagaimana Bali? menyenangkan?" tanya Abimanyu. "Tadi sore baru tadi sore,kalian harus ke villa ku bersama dengan Om Braga lain kali." ucap Irzan kepada Gea dan Abimanyu. "Tentu saja,kelak aku dan Anora sudah merencana..." ucap Abimanyu "Merencanakan apa? sekolah dulu sana kau ini pikiranmu sungguh mesum sekali." ucap Gea memukul kepala Abimanyu lagi. "Kakak ini kenapa aku kan belum selesai berbicara biar kuselesaikan dulu semuanya aku Anora,Saka,Dayu,Fio dan Karin merencanakan akan berlibur di Bali dan menginap di villa Kak Irzan." jelas Abimanyu. "Ternyata kau yang mesum yaa." goda Irzan kepada Gea. "Benar sekali kak dia memang sangat mesum." goda Abimanyu lagi dan dibalas pukulan lagi oleh kakaknya. "Kakak tak bilang jika kita bertemu dengan Kak Gea dan juga Abimanyu disini." ucap Anora kepada kakaknya yang ada disampingnya. "Kejutan.." ucap Irzan kepada Anora "Ini kak pesanannya silahkan.." ucap dua orang pelayan kepada mereka berempat. ***** (Di luar Kafe) "Abi, kau bawa mobilku antar Anora pulang aku dan kakakmu ingin pergi ke suatu tempat sebentar." ucap Irzan kepada Abimanyu. "Siap bos." ucap Abimanyu. "Sebentar Abi." ucap Anora meninggalkan Abimanyu dan kedua kakaknya menuju seorang gadis pengamen di pinggir jalan dan memberikannya sejumlah uang. "Lihatlah Irzan adik iparku memang sangat baik sekali,tak seperti orang yang ada di sampingku ini." ucap Gea. "Hei seharusnya kau bersyukur adikmu ini bisa menemukan gadis seperti itu." ucap Abimanyu memukul bahu kakaknya sedangkan Irzan hanya tersenyum melihat kelakuan adik kakak yang ada didepannya. "Eh.. eh.. pencopet!!" teriak Anora ketika tasnya diambil secara spontan oleh dua orang yang naik motor. "Anora!!" teriak Abimanyu ia,Gea dan Irzan bergegas menghampiri Anora. "Kau tak apa kan?" ucap Abimanyu memegang kedua pundak Anora. "Me.. mereka pencopet tasku diambil." ucap Anora kepada mereka bertiga. "Pak saya pinjam motornya sebentar ya pak,nanti saya kembalikan." ucap Irzan kepada seorang bapak-bapak yang diikuti oleh anggukan bapak itu. "Ayo Abi." ucap Irzan menyuruh Abimanyu untuk segera naik dibelakangnya kemudian mereka berdua mengejar pencopet itu. "Yatuhan kasihan sekali mereka..." ucap Anora. "Semoga mereka selamat Anora." ucap Gea sambil sedikit tertawa. "Yaa Anora harap seperti itu." ucap Anora cekikikan. "Loh kok malah ketawa toh mbak, kok malah kasihan berdoa yang sungguh sungguh mbak supaya kedua masnya itu bisa balik dengan selamat karena katanya daerah sini memang rawan mbak banyak sekali pencopet seperti itu." ucap seseorang yang sepedanya tadi dipinjam. "Hahaha bapak bukan kasihan sama mereka berdua, saya malah kasihan sama para pencopet itu." ucap Gea. "Ha? gimana gimana mbak?" ucap bapak itu lagi. "Sudahlah pak mari berdoa saja semoga para pencopet itu tidak sampai mati ditangan mereka berdua." ucap Anora yang kemudian diangguki saja oleh bapak yang masih bingung itu. ****** (Beberapa menit kemudian) "Itu mereka mbak." ucap bapak itu lagi dimana terlihat Irzan memakai kacamata hitam membonceng Abimanyu yang mengkalungkan tas pink Anora di lehernya. "Tidak sampai mati kan?" ucap Gea kepada kedua orang yang kini ada di hadapannya. "Ha?" ucap bapak itu lagi terheran-heran dengan pertanyaan yang diberikan oleh Gea terlebih lagi ia tak melihat Abimanyu dan Irzan babak belur karena katanya pencopet di daerah sini sangat lah kejam bahkan tak segan segan membunuh orang. "Hampir satu, dia sendiri yang menghajar 13 preman itu aku hanya menelepon polisi agar mereka datang ke lokasi." ucap Irzan menepuk pundak Abimanyu. "Anora maafkan aku, aku tak bisa membawa tasmu dengan bersih.Buang saja aku akan membelikanmu yang baru." ucap Abimanyu menunjukkan tas Anora yang ada setitik darah yang tak terlalu besar. "Ha?" ucap bapak itu lagi terheran-heran dengan apa yang ia dengar. "Kau ini.." ucap Anora kemudian memeluk Abimanyu. "Oh iya bapak maaf telah membuat anda menunggu lama, ini saya beri gantinya untuk waktu bapak yang terbuang." ucap Irzan memberikan sejumlah uang kepada bapak yang masih bengong itu. "Terimakasih ya pak." ucap Gea kepada bapak itu kemudian mereka berempat meninggalkan bapak yang masih diam bingung berdiri mematung itu. Kaset (Di mobil) "Sudah buang saja tas itu aku akan membelikanmu yang baru." ucap Abimanyu ketika Anora mencoba membersihkan noda darah di tasnya. "Yatuhan ini cuma sedikit Abi mengapa harus membeli yang baru." ucap Anora mencoba menggsok tasnya dengan tisu basah. "Lihatlah hilang kan." ucap Anora lagi memamerkan tasnya yang sudah bersih kepada Abimanyu. "Baiklah baiklah Anora." ucap Abimanyu mengalah. "Apa kau pikir mereka sedang berkencan berdua sekarang." ucap Abimanyu membicarakan kedua kakaknya. "Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Anora tersenyum kepada Abimanyu. "Yah kau tahu sendiri kan Anora mereka dulunya adalah sepasang kekasih." jelas Abimanyu. "Yaa mungkin saja." ucap Anora tersenyum lagi. "Anora.." ucap Abimanyu tiba-tiba terlihat serius. "Kenapa? mengapa kau tiba-tiba berhenti disini." ucap Anora ketika tiba-tiba Abimanyu menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Kaset itu ada di tanganku sekarang." ucap Abimanyu. "Ha? kaset? ba.. bagaimana bisa? " ucap Anora kaget. "Entahlah Anora kurasa seseorang meletakkanya dengan sengaja di meja kamarku tadi." ucap Abimanyu. "Tenang aku akan mencari tahu siapa yang melakukan semua ini,besok Kak Jordy akan membawa salah satu preman itu kuharap orang itu benar benar salah satu preman yang mengambil kaset itu." ucap Abimanyu ketika Anora memandangnya dengan ekspresi yang bingung. ******* "Selamat datang Abi." ucap Jordy ketika Abimanyu,Dayu dan Saka tiba di basecampnya. "Aku sudah menemukan orang itu silahkan masuk." ucapnya lagi. "Hei kelas berapa kau." ucap Abimanyu ketika ia melihat seorang laki-laki kecil sedang merokok di dalam basecamp Jordy. "SMP kak." ucap laki-laki itu. "Apa?" ucap Abimanyu tertawa mendengar perkataan bocah itu. "Pulanglah sekarang ibumu pasti mencarimu." ucap Abimanyu menepuk-nepuk pipi anak itu.Seketika anak itu meatap ke arah Jordy dan Jordy mengisyaratkan agar anak itu keluar dari basecampnya. "Dimana dia kak?" ucap Dayu karena Jordy tak berhenti berjalan. "Dia di.. sini." ucap Jordy membuka sebuah pintu Abimanyu,Saka dan Dayu kaget karena dibalik pintu terdapat orang duduk yang diikat dengan kondisi babak belur. "Me.. mengapa kakak mengikatnya." ucap Saka. "Oh maaf kan aku teman-teman pada awalnya aku ingin mengajaknya baik-baik kesini tapi dia menolak terpaksa aku melakukan ini, sebenarnya dia juga memiliki urusan yang serius denganku." ucap Jordy. "Baiklah ajak bicara saja dia, aku akan meninggalkan kalian." ucap Jordy kemudian ia menutup pintunya. "Si..siapa kalian, dan apa urusan kalian denganku sepertinya aku tidak mengenal kalian semua." ucap pria itu. "Maaf jika kami membuatmu dalam keadaan seperti ini,tapi langsung ke intinya saja apa kau tahu ini." ucap Abimanyu mengangkat sebuah kaset. "A..apa itu?" ucap pria itu dengan kaget. "Kau tahu apa ini? kau dan teman teman mencuri kaset ini dari seorang pria apa kau ingat?" ucap Dayu. "Ti.. tidak aku tidak pernah melihat benda itu dan aku juga tidak pernah me.. mencurinya." ucap pria itu gemetar. "Siapa yang menyuruhmu?" teriak Saka ia tahu pria itu sedang berbohong. "Tidak tidak aku tidak tahu apa-apa." ucap pria itu. "Benarkah kau tidak tahu?" ucap Abimanyu yang diikuti anggukan orang itu. "Baiklah teman-teman ayo pergi." ucap Abimanyu berbalik badan. "Abi!!" ucap Saka dan Dayu bersamaan dimana mereka jelas-jelas sudah tahu sebenarnya pria itu berbohong. "Ayolah teman-teman,sayang sekali padahal jika ia mau memberitahu kita aku akan menolongnya dari Kak Jordy,aku bahkan tak tahu ia masih hidup atau tidak setelah kita keluar dari sini." ucap Abimanyu mencoba memancing pria itu. "Baiklah ayo Abi, pria yang malang." ucap Dayu. "Ada se..seorang pria yang menyuruh bos kami untuk mencuri kaset itu dari seorang pria." ucap pria itu tiba-tiba ketika Abimanyu akan membuka pintu. "Pria?" ucap Abimanyu berbalik badan menghadap pria itu. "Ya.. seorang pria kalau tak salah dia adalah seorang kepala sekolah." ucap orang itu lagi. "Kepala sekolah?" ucap Saka. "Ya.. ya.. dia adalah kepala sekolah dimana adikku bersekolah sekarang SMA Nusa Bangsa." ucap orang itu lagi. "Hei tepatkah informasi yang kau berikan itu,jangan asal bicara kau!" ucap Dayu menarik kerah pria itu. "Ya.. ya itu benar aku bersumpah." ucap pria itu dimana sekarang Abimanyu, Dayu dan Saka memasang ekspresi terkejut karena kepala sekolah di SMA Nusa Bangsa adalah Pak Braga, ayah dari Abimanyu sendiri. "Se.. sekarang tolonglah aku dari Jordy kau sendiri yang mengatakan jika aku mengungkapkan semuanya kau akan membantuku. "Jika kau mengatakan hal yang tak benar aku akan mencarimu dan menggorok lehermu dengan tanganku sendiri." ucap Abimanyu. ******* "Hei, mengapa kau membebaskannya,dia masih ada urusan denganku." ucap Jordy ketika ia melihat Abimanyu,Saka dan Dayu keluar bersama pria itu. "Aku akan membayar hutang pria ini lunas besok kak,mulai sekarang lepaskan dia." ucap Abimanyu. "Te.. terimakasih." ucap pria itu kepada Abimanyu. "Aku tak tahu sebenarnya apa yang terjadi, tapi baiklah aku akan membebaskan pria ini asalkan hutangnya lunas." ucap Jordy melihat kearah pria itu. "Dan kau jangan pernah menampakkan wajahku dihadapanku,jika aku melihatmu aku akan.." ucap Jordy melotot kepada pria itu. "Bu.. bukankah hutangku akan lunas mengapa kau melakukan ini,hei.. tolong." ucap pria itu berusaha meminta tolong pada Abimanyu. "Aku tak berjanji untuk menjamin hal itu." ucap Abimanyu melepaskan tangan pria itu dari bajunya dan bergegas pergi dari sana. "Kau mau keluar atau mati disini." ucap Raka melihat pria itu tak kunjung pergi dari sana sang pria langsung berlari meninggalkan basecamp Jordy. ****** (Di Kamar Pak Braga) "Hei Abi ada apa?" ucap Pak Braga ketika Abimanyu masuk ke kamarnya dengan penuh emosi. "Mengapa ayah melakukan ini?" ucap Abimanyu kepada ayahnya itu. "Hei.. heii tenanglah ada apa?" ucap Pak Braga menutup pintu kamarnya. "Ini ayahkan yang menaruhnya di kamarku." ucap Abimanyu menunjukkan sebuah kaset di tangannya. "Apa itu Abi? ayah tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan." ucap Pak Braga kepada putranya itu. "Ayah menyuruh preman untuk mengambil kaset ini dari Raka kan?" ucap Abimanyu. "Bukankah itu justru bagus untukmu." ucap Pak Braga tersenyum kepada Abimanyu. "Justru ayah sedang membantu mu nak,sampai kapan kau akan di peras oleh Raka." ucap Pak Braga menepuk pundak Abimanyu. "Ba.. bagaimana ayah tahu?" tanya Abimanyu kepada ayahnya itu. "Sudahlah Abi kau tak perlu tahu yang jelas kaset itu sudah berada di tanganmu sekarang,bukankah semuanya sudah baik-baik saja.Dan ayah ingin tahu sebenarnya apa yang yang telah terjadi di malam itu ayah tak percaya jika kau bisa mencoba membunuh seseorang seberani itu." ucap Pak Braga. (Abimanyu pun menceritakan semua kejadian di malam itu kepada ayahnya itu) "Hanya karena masalah percintaan?" ucap Pak Braga tersenyum. "Untunglah dia tak mengingat semuanya,jika sampai ia mengingat semuanya ayah tak bisa banyak membantumu." ucap Pak Braga. "A..apa ayah tahu tentang kematian Raka?" tanya Abimanyu. Tugas "Apa maksudmu anakku? kau curiga dengan ayahmu ini? bukankah ia meninggal dengan wajar dan tak ada tanda-tanda pembunuhan di badannya?" ucap Pak Braga. "Ti.. tidak ayah aku hanya asal bertanya saja, lupakan yang aku katakan tadi ayah.." ucap Abimanyu. "Kau tahu sendirikan Abi Ayah tak pernah mau untuk melakukan hal-hal kotor seperti itu, kau boleh curiga pada ayah tapi ayah bersumpah atas nama ibumu ayah tak pernah sedikitpun memiliki niatan untuk melakukan apapun ke arah itu." ucap Pak Braga menepuk pundak Abimanyu. ******** (Di Kafe) "Kau seharusnya berterimakasih pada ayahmu Abi." ucap Dayu menepuk pundak Abimanyu. "Syukurlah jika kita sudah jelas mengetahui semua ini,aku bisa lega sekarang." ucap Karin. "Kuharap Rani akan lupa akan kejadian itu selamanya." ucap Fio. "Bukankah sudah tak ada masalah lagi sekarang? kalau begitu mari kita bersulang." ucap Dayu mengangkat gelasnya kemudian diikuti teman-temannya. "Hei teman-teman." ucap Arsan tiba-tiba menyapa teman-temannya dimana di sampingnya juga ada Rani. "Loh Arsan kau disini juga?" ucap Anora ketika melihat Arsan bersama Rani. "Ya.. aku bersama Rani kemari,tapi sepertinya kursi disini semuanya sudah penuh." ucap Arsan melihat sekelilingnya dimana kursi-kursi sudah penuh diduduki oleh orang-orang. "Bergabunglah bersama kami saja." ucap Fio kepada Arsan diamana masih ada tempat duduk tersisa disamping mereka. "Tidak tidak kurasa aku harus mencari tempat lain saja." ucap Arsan memandang Rani dimana sepertinya gadis itu tidak nyaman berada di dekat Abimanyu dan teman-temannya. "Mengapa duduk sini sajalah,ada apa Rani?" ucap Abimanyu melihat wajah Rani yang terlihat tidak nyaman. "Sudahlah Rani kemari saja lupakan masa lalu mengapa kau harus seperti itu." ucap Karin menarik tangan Rani untuk duduk disebelahnya. "Arsan.." ucap Rani melihat ke arah Arsan kemudian melihat ke arah Anora. "Santailah Rani mengapa kau harus memandangku seperti itu? aku jauh lebih baik sekarang karena kau benar-benar tak mengganggu Abiku lagi." ucap Anora menggenggam tangan Abimanyu. "Apa boleh buat Rani jika mereka memaksa." ucap Arsan tersenyum kepada mereka semua. "Ma.. maafkan aku Anora." ucap Rani tiba-tiba. "Hei mengapa kau tiba-tiba ketakutan seperti itu,asal kau tahu itu tak cocok untukmu come on kau biasanya tak seperti ini." ucap Anora kepada Rani. "Sini.." ucap Anora langsung memeluk tubuh Rani dimana kini semua teman-temannya memandang mereka dengan senyuman. "Sudah mulai.." bisik Abimanyu kepada Arsan. "Kau lihat saja nanti." bisik Arsan lagi. ********** (Di Sekolah) "Hei lihat Abimanyu mendapatkan coklat! " teriak Dayu ketika ia menemukan coklat dan surat di meja Abimanyu. "Haha coklat sungguh tak cocok sekali untuk Abi, eh lihat ada suratnya juga hahaha." ucap Saka menunjuk kearah meja Abimanyu. "Hei siapa yang berani-berani mengirimkan ini pada Abi, berani sekali dia belum kenal Anora dia." ucap Karin. "Sayang mengapa kau yang sewot Anora saja biasa aja, kemarin aku juga mendapatkan hal-hal seperti kau biasa saja." ucap Saka kepada Karin. '"Itu berbedaa.." ucap Karin menepuk pundak Saka. "Kubaca ya..." ucap Fio mengambil kertas itu dan langsung membacanya. "Untuk Kak Abimanyu sang penolongku." ucap Fio yang disambut riuh anak-anak yang ada di dalam kelas. "Terimakasih untuk bantuan kakak kemarin itu sangat mengagumkan sebagai tanda terimakasih aku kasih sebuah coklat untuk kakak dimakan yaa." ucap Fio membaca kertas itu. "Sang penolongku." ejek Anora kepada Abimanyu. "Hei siapa yang berangkat paling awal?" ucap Dayu kepada teman-temannya di kelas. "Aku." ucap Panji. "Kau tahu siapa yang meletakkan ini?" ucap Dayu. "Tidak, itu sudah ada disana ketika aku masuk kelas." ucap Panji lagi. "Pasti anak kelas 10 lihat saja ia memanggil Abi dengan Kak." ucap Fio yang diikuti anggukan teman-temannya. "Ini Anora, Abi pasti akan memberikan ini kepadamu." ucap Saka memberikan coklat itu kepada Anora. "Mana mau dia,dia pasti sangat jengkel sekarang." ucap Abimanyu meletakkan kedua tangannya di kepalanya. "Apa sih kau Abi." ucap Anora memukul Abi kemudian langsung duduk dibangkunya berpura-pura membaca buku. "Lihat kan, kalian makan saja." ucap Abimanyu kepada Dayu dan Saka. "Baiklah Abi, lihatlah Dayu kita mendapat sebuah coklat lagi." ucap Saka yang mulai memakan coklat itu bersama Dayu. "Sini.." ucap Dayu kepada Fio menyuapinya sebatang coklat. "Tak usah lah kau cemberut begitu." ucap Abimanyu mendekatkan kursinya ke arah Anora. "Siapa juga yang cemberut." ucap Anora. "Aku kan sudah tahu pasti Abiku tak akan kemana-mana." ucap Anora mendorong Abimanyu. "Kau ini lucu sekali." ucap Abimanyu mencolek pipi Anora.Arsan hanya bisa melihat semua kejadian itu didepannya. "Hei.. hei Bu Ima datang." ucap Sisi si gadis centil. "Selamat pagi Anak-anak." ucap Bu Ima ketika memasuki kelas. "Mohon maaf anak-anak hari ini ibu tidak bisa berlama-lama karena ibu ada urusan,langsung saja ibu akan memberikan kalian tugas." ucap Bu Ima memandang jam tangannya. "Hah? tugas?" ucap Dayu. "Lebih baiklah daripada mendengarkan penjelasan yang membuat kita mengantuk." bisik Abimanyu. "Kau kan tahu sendiri jika ada tugas kita bisa mengandalkan para gadis." bisik Saka memandang Karin. "Oh ya kau benar juga." bisik Dayu. "Tugas kalian adalah membuat sebuah maket.Bagi kalian yang tidak tahu maket maket adalah sebuah miniatur atau model suatu bentuk yang meniru dari bangunan atau objek benda lainnya yang berukuran besar yang dibuat dalam bentuk ukuran yang kecil atau miniatur.Kali ini kalian akan membuat sebuah rumah impian kalian versi kecil.Ibu akan membagi kelompok kalian menjadi 3 orang orang tiap kelompok." jelas Bu Ima. "Kelompoknya memilih sendiri bu?" tanya Fio mengangkat tangannya. "Tidak tidak ibu yang akan memilih kelompok." ucap Bu Ima. "Bukankah bagus Anora jika kita satu kelompok kita akan membuat rancangan rumah masa depan kita sendiri." ucap Abimanyu mendekat ke arah Anora. "Sstt Abi, kau ini!" ucap Anora menaruh telunjuknya ke mulutnya menyuruh Abi untuk berhenti berbicara. "Baik ibu akan membagi kelompok kalian kelompok satu Diora,Rama,Panji.. " ucap Bu Ima menyebutkan nama kelompok satu persatu. "Kelompok delapan Fio,Damar dan Friska." ucap Bu Ima lagi. "Loh bu,Fio biar sama saya aja." ucap Dayu tiba-tiba yang diikuti riuh kelas. "Sudah tidak bisa diganggu gugat Dayu." ucap Bu Ima tersenyum pada Dayu. "Kelompok sembilan Anora...." ucap Bu Ima lagi ketika meneruskan memanggil nama mereka satu persatu. "Abimanyu." ucap Bu Ima. "Yes.. " ucap Abi tersenyum bersemangat mengangkat tangannya. "Lah kok begitu bu.." ucap Dayu tak terima Abimanyu bisa sekelompok dengan kekasihnya sedangkan ia tidak. "Yaelah langsung saja bangun rumah tangga." ucap Saka yang diikuti tawa teman-temannya. "Dan Arsan... " ucap Bu Ima lagi. "Ohoyy.." ucap Dayu menggoda Abimanyu ia dan Saka tahu bahwa Abimanyu sedang ada masalah dengan Arsan. "Kelompok terakhir Dayu,Karin dan Saka." ucap Bu Ima. "Alhamdulilah!" teriak Saka terlihat senang bisa bersama dengan Karin. "Yaampun tidak adil sekali bu." ucap Dayu kesal karena kedua temannya bisa satu kelompok dengan pasangan mereka masing-masing. "Hahaha siap-siap jadi nyamuk kau." ucap Abimanyu kepada Dayu namun ia tidak hanya menoleh ke arah Dayu tapi perkataannya itu juga ditujukan untuk Arsan, karena sekarang ia juga melirik ke arah Arsan. Bersaing (Saat istirahat di koridor sekolah) "Hei lihat itu dia disana." ucap Laras siswi kelas10 kepada temannya Siska. "Lalu kau mau apa? kau ini sejak kejadian hari itu mengapa kau sangat terobsesi dengan Kak Abi." ucap Siska. "Ingat dia sudah memiliki Kak Anora, dan Kak Abi sangat mencintai Kak Anora bahkan ia tak segan segan membunuh orang yang melukai Kak Anora." ucap Siska. "Entahlah mulai hari itu hatiku selalu berdebar kencang saat aku melihat Kak Abimanyu,bukankah enak sekali menjadi pacar Kak Abimanyu bisa diperlakukan selayaknya ratu seandainya saja aku berada di posisi itu." ucap Laras. "Hei.. jangan mimpi kau." ucap Siska mendorong muka Laras. "La.. laras." ucap seorang laki-laki dibelakangnya. "Beni? bagaimana sudah kau taruh di meja Kak Abimanyu?" ucap Laras kepada seseorang berkacamata di belakangnya. "Su.. sudah." ucap Beni dengan terbata-bata. "Bagus terimakasih." ucap Laras memegang kedua pipi Beni. "La..lu bagaimana kita jadi makan di luar bersama kan?" ucap Beni menangih janjinya kepada Laras. "Tentu saja, jemput aku jam 7 ya." ucap Laras tersenyum kepada Beni. "Baiklah aku akan menjemputmu nanti, sampai jumpa nanti Laras." ucap Beni tersenyum bahagia lalu meninggalkan Laras dan Siska. "Hei tunggu kau menyuruhnya untuk menaruh apa di meja Kak Abimanyu?" ucap Siska. "Coklat, kuharap dia menyukainya." ucap Laras menggerak nggerakkan tubuhnya dengan senang. "Apa? Hahaha ." ucap Siska tertawa terbahak-bahak. "Hei kau tak apa? mengapa kau tertawa?" ucap Laras bingung melihat tingkah sahabatnya itu. "Kau ini bodoh atau apa sih mengapa kau memberikannya coklat? pasti dia tak akan memakannya pasti akan diberikan kepada kaka Anora atau teman-temannya.Kudengar dari kakakku setiap orang yang memberikan sesuatu kepada Kak Abimanyu dia tak akan menerimanya bahkan akan membuangnya." ucap Siska. "Be.. benarkah Kak Panji berkata seperti itu?" ucap Laras kepada Siska dimana ternyata Siska adalah adik dari Panji ketua kelas dari kelas Abimanyu. "Ya.. dia memberikan banyak informasi kepadaku tentang geng mereka." ucap Siska. "Kau ini bodoh sekali jangan berharap apapun Laras, justru jika mereka tahu kau yang akan dipermalukan fokus sajalah pada orang seperti Beni yang menyukaimu." ucap Siska menggoda Laras. "Hei aku dan dia tidak ada apa-apa tahu, aku sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa aku hanya menganggapnya hanya sebatas teman tak lebih." ucap Laras. "Lalu mengapa kau nanti akan keluar dengannya?" ucap Siska menggoda Laras. "Sebatas teman untuk menunjukkan rasa terima kasih atas bantuannya saja." jelas Laras. ****** "Hei lihatlah disana dua orang itu mengapa memandangi kita seperti itu." ucap Karin menunjuk Laras dan Siska yang berbisik bisik melihat ke arah mereka. "Mungkin bukan kita santai sajalah." ucap Fio. "Lihatlah Fio dibelakang kita tak ada seseorang yang lain aku sungguh tak suka jika ada orang yang memandangi kita seperti itu." ucap Karin yang diikuti pandangan Fio menoleh ke belakang dan ke samping. "Hei bukankah dua gadis itu adalah orang yang pernah kita tolong." ucap Dayu. "Tolong?" ucap Anora memandang ke arah dua gadis itu. "Yaaa seperti biasa Kakak kelas penganggu itu suka menganggu adik-adik kelas kita siapa lagi kalau bukan Kiara,Bayu,Doni dan Dino." jelas Dayu. "Oh ya yaa aku ingat di depan toilet siswi kelas 10 kan?" ucap Saka mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. "Hei.. kalian! " teriak Karin kepada Laras dan Siska dimana mereka berdua terlihat kaget saat Karin meneriaki mereka berdua. ***** "Eh Kak Karin meneriaki siapa?" ucap Siska kaget ketika Karin berteriak ke arah mereka. "Kita kak?" ucap Laras menunjuk dirinya dan Siska. "Yaa kalian kemari." ucap Karin. "Ke.. kenapa ini,ayo kita pergi saja, kata Kak Panji lebih baik jangan berurusan dengan orang seperti mereka ayo pergi saja." ucap Siska menepuk lengan atas Laras. "Sudahlah tak apa, ini kesempatanku untuk lebih dekat dengan Kak Abimanyu." ucap Laras. "Hei kalau kita nanti hanya akan dipermalukan saja bagaimana?" ucap Siska. "Sudahlah ayo." ucap Laras menarik tangan Siska. ***** "Iya kak? ada apa ya?" ucap Laras ke arah Karin dan melirik sedikit ke arah Abimanyu. "Ada apa? mengapa memandang kami seperti itu adik cantik?" ucap Karin memegang rambut Laras. "Ti.. tidak kak,kami.." ucap Siska. "Hei tak usah takut seperti itu." ucap Anora memeluk pundak Siska. "Siapa namamu?" tanya Fio. "Sis..siska kak." ucap Siska. "Halo Siska." ucap Anora menjabat tangan Siska. "Laras kak." ucap Laras mengangkat kedua tangannya kepada Anora dimana ia juga ingin berjabat tangan dengan Anora. "Jika ingin menyapa sapa saja, tak usah memandang kami dari jauh seperti itu menakutkan sekali tahu." ucap Karin. "Bolehkah kak? kebanyakan anak kelas 10 sangat takut untuk menyapa kalian banyak yang bilang kalian tak ramah,tapi ternyata tidak sama sekali." ucap Laras. "Hahaha benarkah seperti itu?" tawa Dayu dan teman-temannya. "Bilanglah kepada teman-temanmu itu, bahwa kami bukanlah orang yang seperti itu maukah kau memberitahu mereka?" ucap Abimanyu mendekat ke arah Laras dimana itu membuat Laras salah tingkah. "Ten.. tentu saja kak." ucap Laras dengan pelan. "Kalian memang benar benar sangat cantik dan tampan sangat cocok sekali." ucap Siska tiba-tiba memandang kearah mereka berenam yang kemudian diikuti senyuman mereka berenam. "Hei bukankah kalian para gadis yang diganggu Kiara dan teman-temannya tempo hari." ucap Dayu. "Be.. benar kak terimakasih ya kak tentang hari itu." ucap Laras memandang ke arah Abimanyu padahal yang bertanya adalah Dayu. "Lain kali kalau diganggu lagi berteriaklah atau lawanlah jangan hanya pasrah seperti kemarin." ucap Abimanyu lalu pergi dengan menarik tangan Anora menjauh dari kerumunan itu. "Ya jangan ragu untuk melawan jika kau bisa, kalau begitu kami pergi dulu ya dan jangan memandang kami seperti itu lagi sapa saja tak apa." ucap Saka kemudian mereka berenam kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. "Me.. mereka benar-benar mengagumkan." ucap Siska takjub melihat keenam orang itu dari belakang. "Kau kau lihat itu bukankah kita anak kelas 10 yang pertama kali bisa berbicara dengan mereka sedekat ini." ucap Siska sangat senang. "Hu.. tadi saja kau bilang tak mau kemari." ucap Laras yang kemudian duduk dibekas dudukan Abimanyu. "Kak Abi itu.. ." ucap Laras tersenyum memandang atap bangunan. "Sudahlah jangan berangan-angan kau tahu kan kau tak akan dapat mengalahkan kecantikan dari Kak Anora tadi apalagi dia sangatlah baik, dari jauh saja sangat cantik apalagi dari dekat seperti tadi." ucap Siska. "Hei Siska.." ucap Panji yang datang bersama dengan Arsan Fariz. "Kakak.." ucap Siska. "Oh hai Laras." ucap Panji tersenyum kepada Laras. "Ada apa? apa mereka menganggumu?" ucap Panji melihat Abimanyu dan teman-temannya berjalan tak jauh dari mereka. "Tidak.. tidak mereka tak menganggu halo Kak Fariz dan.." ucap Siska terperanjat saat melihat Arsan. "Siapa dia? bukankah dia termasuk dalam geng Kak Abimanyu mengapa dia bisa bersama kakak." ucap Siska berbisik ke kakaknya tapi matanya masih menatap Arsan. "Huss tutup mulutmu itu, oh iya Arsan kenalkan ini adikku Siska dan dia teman adikku Laras." ucap Panji saling memperkenalkan mereka. "Arsan.." ucap Arsan menjabat tangan Siska dan Laras. "Perfect." ucap Siska dalam hati saat Arsan menjabat tangannya. Maket (Di halaman rumah Anora) "Bukankah lebih baik begini?" ucap Arsan mengotak ngatik maket yang ada di depannya. "Tidak-tidak jika kau menaruh kursi itu di situ ruangan ini akan menjadi sempit." ucap Abimanyu. "Ini adalah satu-satunya tempat yang cocok untuk kursi ini." ucap Arsan mengambil miniatur kursi yang di geser oleh Abi. "Tidak-tidak ini..." ucap Abi terpotong. "Arsan benar Abi kursi ini sebaiknya diletakkan disini saja, sudah tak ada tempat lagi." ucap Anora membenarkan perkataan Arsan. "Baik baik lah Anora." ucap Abi kemudian ia mengarahkan badannya dengan posisi tidur terlentang menghadap langit. "Eh ayo kita susun lagi malah tiduran" ucap Anora menarik tangan Abimanyu yang kini bermalas-malasan. "Sudahlah Anora percuma aku akan kalah lagi dari tadi tak ada yang memiliki pendapat yang sama denganku, kau kerjakan saja bersama Arsan sana percuma tak ada yang setuju dengan pendapatku." ucap Abimanyu berpura-pura marah. "Lihatlah Arsan orang ini,kalau begitu kita kerjakan saja berdua biarkan saja dia, kita beritahu Bu Ima bahwa kita hanya mengerjakan berdua saja." ucap Anora kepada Arsan yang hanya dibalas senyuman oleh Arsan. "Eh eh kau ini." ucap Abimanyu segera duduk. "Katakan saja kalau berani." ucap Abimanyu mulai menggelitiki Anora yang ada di sampingnya. "Abi kau ini.." ucap Anora kegelian ketika Abimanyu mulai menggelitikinya. "Ayo katakan saja pada Bu Ima." ucap Abimanyu masih menggelitik Anora. "Ba.. baik aku tak akan mengadu." ucap Anora tertawa agar Abimanyu berhenti menggelitiknya. "Ehem.." ucap Arsan dimana sekarang malah ia sendirian yang menata maket mereka. "Oh.. maaf Arsan terbawa suasana." ucap Abimanyu mengatakan hal itu dengan sengaja. "Sudahlah Abi ayo segera susun lagi ini." ucap Anora mulai menatap ke arah maket lagi. "Kau harus segera punya pacar Arsan, biar kau bisa seperti ini." ucap Abimanyu yang kemudian menggelitiki Anora lagi. "Abi hentikan itu, kau ini." ucap Anora mencubit perut Abimanyu dimana kemudian Abimanyu berhenti menggelitiki Anora. "Benar Abi, kurasa banyak anak kelas 11 yang menyukaimu oh ya bagimana dengan si kutu buku itu." goda Anora kepada Abimanyu. "Kutu buku?" tanya Abimanyu. "Retno, dia mengirimkan pesan kepada Arsan kemarin ia mengaku ia menyukai Arsan sejak ia pertama kali datang ke sekolah." jelas Anora. "Ehm.. gadis itu tak terlalu buruk juga Arsan." ucap Abimanyu mengingat-ngingat wajah Retno. "Tidak tidak aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa aku hanya menganggapnya sebagai teman." ucap Arsan. "Lalu tipe idealmu seperti apa? biar aku carikan nanti." ucap Anora sambil menata maket yang ada di depannya "Sepertimu." ucap Arsan tiba-tiba melirik ke arah Abimanyu. "A.. aku?" ucap Anora kaget mengangkat wajahnya ke Arsan. "Ya gadis cantik dan pintar sepertimu adalah tipeku Anora." ucap Arsan tersenyum kemudian melanjutkan menata maketnya lagi. "Hahahaa kurasa kita memiliki tipe yang sama Arsan, bedanya aku sudah punya tapi kau belum." ucap Abimanyu memeluk tubuh Anora untuk memecahkan suasana yang hening. "Aku akan mengambilkan makanan dan minuman." ucap Anora tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya. "Katakan saja bahwa kau menyukainya apa susahnya." ucap Abimanyu kepada Arsan saat Anora masuk ke dalam rumahnya. "Tapi kau juga harus siap-siap ditolak olehnya juga." ucap Abimanyu tertawa kepada Arsan. "Kau begitu percaya diri Abi, tapi mengapa aku melihat ada ketakutan di matamu saat aku menyebutkan hal itu tadi, apa kau takut jika Anora berpaling kepaku suatu saat." ucap Arsan tersenyum puas. "Takut? mengapa kau sangat konyol Arsan." ucap Abimanyu tak percaya dengan apa yang Arsan katakan. "Hei kalian sedang mengobrol tentang apa sih serius sekali kulihat dari sana." ucap Anora tiba-tiba yang sudah ada di hadapan mereka membawa nampan berisi makanan dan minuman. "Kurasa kita harus cepat menemukan gadis yang cocok untuknya Anora." ucap Abimanyu tertawa kepada Anora. ******** "Mengapa kita harus lewat jalan ini, disini sangat sepi Beni." ucap Laras menoleh ke sekelilingnya. "Ini jalan tercepat Laras, kan kau bilang sendiri kau harus tiba di rumah sebelum pukul 9." ucap Beni. "Ya.. tapi mengapa disini sepi sekali." ucap Laras menengok kanan kirinya lagi. "Kurasa ada seseorang yang mengikuti kita." ucap Laras ketika ia mendengar suara 2 sepeda motor dibelakangnya yang dari tadi sepertinya mengikuti laju mereka berdua. "Lebih cepat sedikit." ucap Laras kepada Beni. "Hei.. hei kalian berhenti." ucap salah seorang dibelakang mereka.Dimana salah satu motor tiba-tiba menyalip mereka dang menghadang mereka. "Kan sudah kubilang untuk berhenti." ucap seseorang turun dari motornya. "Ada masalah apa ya mas?." ucap Beni ketakutan. "Pre.. preman ben." bisik Laras juga ketakutan. "Sepertinya habis kencan nih bang." ucap salah satu orang ke orang yang lainnya. "Eh ngapain jalan di gelap-gelapan habis mesum ya kalian." ucap seseorang lagi. "Apa tak terima?" ucap seseorang itu lagi ketika Beni melotot ke arahnya. "Turun ras." ucap Beni. "Kau mau apa?" ucap Laras turun dari sepedanya. "Mau apalagi melawan mereka lah." ucap Beni. "Kau.. kau tak akan sanggup melawan mereka Ben, biar kuberikan saja uangku kepada mereka." ucap Laras mengeluarkan dompetnya. "Jangan." ucap Beni menyuruh Laras memasukkan dompetnya ke dalam tasnya lagi. "Wah.. berani nih kayaknya bang." ucap salah seorang. "Tenang-tenang kami akan mempersilahkan kalian melanjutkan perjalanan asal kalian memberikan kami semua uang yang ada, hei kau mengapa kau masukkan lagi dompetmu." ucap salah satu preman itu. "Sudah ben kita berikan mereka uang saja." bisik Laras. "Eitss.." ucap salah satu preman berhasil menghindar dari pukulan tiba-tiba Beni. "Wah berani juga nih anak, padahal awalnya kita minta baik-baik loh yaudah apa boleh buat ayo.." ucap seseorang itu mengkode teman-temannya untuk mengeroyok Beni. "Aduh.." ucap salah seorang preman ketika tiba-tiba kepalanya ada yang melempar batu. "Aduh sukanya main keroyokan." ucap seseorang turun dari sepedanya. "Woi siapa yang bera.." ucap salah satu preman itu kaget ketika mengetahui wajah seseorang yang turun dari sepeda itu. "Bang orang ini kan.." ucap salah satu preman yang lain. "Kak Abimanyu." ucap Beni kemudian Laras juga menoleh ke belakang mereka dimana ada Abimanyu. "Kalian lagi kalian lagi bukankah kalian sudah ditangkap polisi beberapa waktu yang lalu." ucap Abimanyu mengingat kejadian saat tas Anora dijambret beberapa hari lalu. "Kabur bang kabur." ucap salah seorang preman kemudian mereka berempat segera kabur dari sana karena sebelumnya mereka pernah babak belur dihajar oleh Abimanyu. "Saat kalian bertemu denganku lagi, jangan harap kalian bisa kabur seperti itu." teriak Abimanyu kepada keempat preman yang kini telah pergi meninggalkan mereka bertiga. "Terimakasih ya kak Abimanyu." ucap Beni. "Tidak perlu berterima kasih aku tak melakukan apapun,eh bagaimana kau tahu namaku?" tanya Abimanyu sadar ketika Beni menyebutkan namanya. "Saya adik kelas kakak disekolah kak." ucap Beni. "Oh begitu, pacarmu?" tanya Abimanyu saat melihat Laras. "Saya Laras kak, yang waktu itu dipanggil Kak Karin.Kak Abimanyu pernah menyuruh saya untuk memberitahu teman-teman bahwa kalian berenam sebenarnya tidaklah seburuk yang teman-teman kami pikirkan." ucap Laras tersenyum kepada Abimanyu. "Oh ya yaa aku ingat." ucap Abimanyu mengingat ngingat. "Sudahlah kalian cepat pulang, putar balik saja jangan lewat jalan sepi seperti ini lagi." ucap Abimanyu kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. "Dia.. tak mengingat namaku sama sekali." ucap Laras sedikit kecewa ketika melihat punggung Abimanyu yang semakin menjauh. "Ayo cepat naik sebelum mereka kembali lagi." ucap Beni ketika Laras hanya bengong melihat ke arah Abimanyu pergi. Description: Kehidupan Anora berubah setelah ia kedatangan sebuah keluarga sebagai tetangga barunya.Dimana keluarga tersebut ternyata adalah keluarga dari Arsan,teman masa kecilnya.Untuk pertama kalinya setelah 10 tahun Anora dan Arsan bertemu.Tetapi Anora merasa ada suatu hal yang berubah dari Arsan,karena ia seperti bukan Arsan yang Anora kenal sebelumnya.Hingga suatu kejadian yang tak disangka-sangka terjadi dimana kejadian tersebut berdampak pada kehidupan keduanya.
Title: Romance Suspense Short Story Collection Category: Adult Romance Text: Cerita 1 - BEHIND Main Cast: Elena. Anthony. ================================== Elena P.O.V Dia tersenyum. Menghabiskan semua masakan yang kumasak dengan bahagia. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan dia menikmati semua hasil kerja kerasku. Dia senang menunjukkan kebanggaannya padaku. Dia selalu memuji-muji segala sesuatu yang kubuat walau aku sendiri tahu hasilnya tidak semua sempurna. Aku menuangkan air putih dalam gelasnya. "Terima kasih sayang." Aku tersenyum dan mengelap sudut bibirnya dengan jemariku. Dia langsung meraih dan mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Hangat," ucapnya mencium punggung tanganku. Aku menarik tanganku dari genggamannya dan mencubit pipinya. "Habiskan makananmu jika tidak ingin terlambat." "Mereka bisa menungguku. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan istriku." "Ck. Jangan menyalahgunakan posisimu sayang." Aku mengingatkannya dengan memasang tampang serius dan dia hanya terkekeh menanggapiku. Dia memasukkan beberapa sendok terakhir ke dalam mulutnya, menegak air dan menyeka sisa-sisa air di bibirnya. Dia bergerak. Berdiri dan mendekati kursiku. Tangannya meraih daguku, membuatku mendongak kemudian mendaratkan bibirnya di keningku. Tangannya menangkup wajahku. Jemarinya mengusap-ngusap lembut kedua sisi pipiku. Bibirnya selalu melengkung, tersenyum padaku dengan mata yang selalu memancarkan kekaguman. "Aku mencintaimu," bisiknya lembut. Mengangguk dan menyembunyikan wajahku dengan menunduk, hanya itu yang bisa kulakukan. Dia tidak menuntutku agar membalas perkataannya, yang dia lakukan hanya memelukku. Sesak dalam dadaku. Rasa sakit yang selalu membuatku ingin menangis. Aku menahan airmataku membalas pelukannya. "Aku akan pulang secepatnya. Maaf, kemarin harus meninggalkanmu hingga larut malam." Dia membelai punggungku. "Tidak apa-apa. Aku mengerti jika dirimu sibuk." Dia mendorong tubuhku. Tangannya berada di kedua bahuku. "Aku memang beruntung memiliki istri sepertimu." Apa dia akan mengatakan hal itu jika tahu apa yang telah kulakukan dibelakangnya? Apa tangan lembutnya yang selalu membelai pipiku akan berbalik menamparku jika tahu seberapa kejam hal yang telah kuperbuat dibelakangnya? Apa akan ada kata maaf untukku darinya jika dia tahu? "Aku tidak seistimewa itu, kau terlalu berlebihan." Aku mengelak tatapannya. Matanya selalu melukiskan perasaannya yang sebenarnya. Hanya melihat matanya, siapa saja yang mengenalnya akan tahu jika dia berbohong atau bersungguh-sungguh. Aku tidak sanggup. Aku tidak bisa masuk dalam sorot matanya yang menenggelamkanku dengan kejujuran. Bagai noktah hitam dalam lingkaran hidupnya yang putih. Aku merasa kotor dan tidak layak. "Ehem." Teguran kecil terdengar, membuyarkan lamunanku sejenak. Anthony menegakkan tubuhnya. Membalas senyum seseorang di balik tubuhku. "William...," sahutnya. Aku diam dalam dudukku. "Selamat pagi Anthony." Anthony menyambut William dan meninggalkanku. Kedua sahabat karib itu asik berbincang sedangkan aku tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Suamiku tidak tahu. Dia tidak pernah tahu jika aku istrinya dengan keji melakukan hal terlarang yang akan sangat menyakitinya. Aku terhimpit. Tak memiliki arah. Aku berjalan di tempat. Tidak ada satupun jalan yang bisa membawaku pada akhir yang bahagia. "Baiklah kalau begitu, Aku pergi dulu. Lanjutkan bisnis kalian," Anthony berujar mendekatiku. Sekali lagi dia mendekap dan mencium keningku. Dia membelai pipiku dan tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkanku dengan William. Meninggalkanku dan memberikanku kesempatan menambah rasa bersalah yang bertumpuk dalam relung hatiku. ** Kami berciuman. Saling menempel. Menggeliat dengan tubuh yang penuh peluh. Bibir William menyapu habis leherku dengan lidahnya. Dia meremas dadaku dengan gemas. Dan kakiku bertengger lemas dikedua bahunya. "Ah.. Ah.. Ouh." Aku mendesah pelan. Mencengkram ujung seprai ranjang dan menikmati William yang bergerak memasukan ereksinya ke dalam lubang kewanitaanku. "Ugh, Elena, Akh~~" "Yeah.. Ah.." Aku meraih tengkuk William dan mendekatkan wajahnya. Aku melumat bibirnya. Suara desahan kami sedikit teredam. Kini hanya bunyi derit ranjang dan suara becek alat kelamin kami yang terdengar. Aku terbuai. Aku menutup mata. Semua kenikmatan ini membuatku gila dan lupa segalanya. ** Aku membereskan pakaianku. Rambutku hanya menggunakan jemari tangan saja sudah tampak cukup rapi. Tak ada yang salah dengan make-up ku kecuali lipstik yang menghiasi sebelumnya telah memudar. Aku terduduk di pinggiran ranjang. Ada air mata yang jatuh begitu semua kegilaan yang kulakukan selesai. Rasa bersalah memenuhi hatiku. Rasanya sesak. Rasanya begitu menyakitkan. Aku menaikkan kakiku. Menelungkupkannya. Menyembunyikan wajahku disana. Isakan kecilku terdengar. Aku kembali menangis. Jika saja aku bisa mengontrolnya. Tak akan ada tangisan ini. Tak akan ada rasa bersalah. Aku begitu kotor. Begitu tidak berperasaan, aku menyakiti banyak orang. Keluargaku dan orang yang mencintaiku. Aku jahat. Sangat. "Elena.." Seruan William yang serak membuatku mendongak. Lekaki tampan itu segera duduk dan mendekatiku. "Sshh.. Jangan menangis." "Aku..." Bahkan menyelesaikan kalimatpun aku tidak bisa. Suaraku tercekat. Tenggorokanku mati rasa. Seluruh kalimat yang ingin kuperdengarkan pada William tertelan kembali dan menghilang. Aku bisu seketika. Yang kulakukan hanya menangis. William meraih tubuhku. Dia mendekapku dengan erat. "Please Elena. Jangan menangis." Aku tidak bisa. Aku tetap menangis. Bahkan ketika secara tak sengaja mataku mencuri pandang pada figura besar yang tertempel tepat didepan ranjang. Menampilkan sosokku dengan Anthony dalam pakaian pernikahan kami. Airmataku tumpah. "William." Rasanya begitu sakit. Sangat sakit. Hatiku menjerit. Aku mencintai William. Aku mencintai sahabat suamiku. ** Sudah berapa lama kegilaan ini berlangsung? Aku tidak mengingatnya. Aku mengenal William sebelum mengenal Anthony. Penyesalanku menjadi orang baik mengoyak-ngoyak hatiku. Seandainya saja. Seandainya ketika William menyatakan cinta padaku, aku menerimanya. Seandainya saja ketika Anthony melamarku aku tidak menerimanya. Seandainya. Semua seandainya. "Elena." "Ya?" "Apa kau berpikir William akan menyukai gaun ini jika aku memakainya?" Aku melihat gaun yang adikku sodorkan. Pilihannya tidak buruk. Aku memberi anggukan setuju pada pilihannya dan dia menepuk tangan senang. Dia jalan terpincang menaruh setelan jas tersebut di atas ranjangnya. Aku melihat kakinya yang tak pernah kembali normal setelah kecelakaan 5 tahun lalu. Kecelakaan yang membuat adikku kehilangan rasa percaya dirinya, membuat adik manisku terpuruk dan hampir mengakhiri hidupnya. "Laila." Aku memanggilnya. "Ya..." Laila menyahut masih menata gaunnya agar tak kusut di atas ranjang. "Jangan lupa gunakan lipstick merah yang kuberikan. William pasti semakin menyukainya." Kedua pipinya merona merah. "Jangan menggodaku Elena..." Tersipu-sipu malu. Aku baru bisa melihatnya lagi ketika Laila mulai menyukai William. Rasa percaya dirinya menghilang karena kakinya yang tidak bisa berjalan baik. Dia kehilangan warna hidupnya. Dia kehilangan senyumnya. Bagaimanapun cara yang kulakukan beserta keluargaku untuk mengembalikan senyumnya tak ada yang membuahkan hasil. Tak ada satupun, sampai ketika dia mulai membuka diri saat bertemu dengan William. Salah satu pengusaha yang menjadi pelanggan butikku. Pria yang juga mampu mencuri hatiku. Pria yang membuaiku dengan senyum. Pria yang menjeratku menjadi wanita egois. Pria yang ternyata juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Dia mencintaiku. Perasaanku terbalas. Tapi, Bagaimana mungkin aku sanggup menerima perasaannya begitu tahu jika adik manisku menaruh harapan padanya. Bagaimana mungkin aku tega merampas satu-satunya jalan agar Laila kecilku kembali tersenyum. Aku rela untuk mengalah. Aku bahkan menerima lamaran Anthony untuk melupakan perasaanku pada William. Namun semuanya sia-sia. Aku terjebak dalam permainan yang menyakitkan. Akhirnya aku kalah pada rasa cinta. Rasa egois dan obsesiku untuk memilikinya. "Aku tidak menggodamu. Aku hanya mengatakan apa yang kuketahui. Kemarilah Laila." Terpincang dan menunduk dengan wajah yang masih memerah dia datang menghampiriku. Laila duduk disisiku dan langsung memelukku menyembunyikan wajahnya dipundakku. "Kau pasti tampak memesona Laila," pujiku. Laila semakin mengeratkan pelukannya pada pinggangku. "Terima kasih Elena, Kau yang terbaik." Betapa aku ingin menampar diriku sendiri. Betapa aku ingin menikam tubuhku. Aku menahan airmataku. Tenggorokanku tercekat. Aku dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangiku dan apa yang kulakukan untuk membalas mereka? Pengkhianatan. Aku tidak ingin dibenci Laila dan Anthony. Tapi aku ingin memiliki William. Hanya sebentar saja. Hanya sampai hari dimana Laila dan William meresmikan pernikahan mereka. Hanya sebatas itu keegoisan kejamku. "Berbahagialah Laila. Seminggu lagi hari pertunanganmu." ** Aku mencium aroma masakan begitu langkah kakiku memasuki rumah. Kulepas wedgesku. Menaruh di rak dekat pintu. Aku langsung berlari kecil ke dapur. Disana Anthony mengenakan apron hijauku tengah sibuk menata piring diatas meja. Aku mendekatinya. "Apa ada sesuatu yang terlewat olehku?" Tanyaku menyadarkan Anthony tentang kehadiranku. "Kau sudah pulang?" Dia menepuk-nepuk apron di depan dadanya. "Tidak ada yang spesial sebenarnya. Aku hanya ingin menyenangkanmu. Aku merasa bersalah selalu meninggalkanmu karena pekerjaanku." "Kau tidak perlu memikirkan hal itu Anthony," ucapku dengan nada pelan. Kenapa dia begitu baik? Aku akan jauh lebih bersyukur jika dia bisa bertindak kasar dan tidak berperasaan padaku. Jika dia seperti ini. Selalu seperti ini, aku sama sekali tidak memiliki alasan yang mampu memperkecil rasa bersalahku. "Duduklah sayang. Aku membuatkan makanan kesukaanmu." Anthony menarik tubuhku. Dia mendudukkan diriku. Mengambil serbet, mengibasnya pelan dan menaruhnya diatas pahaku. "Kenapa dengan tanganmu?" Aku meraih tangannya. Beberapa jari teriris. Luka tersayat kecil. Terlihat masih baru. "Er, Aku tidak begitu berhati-hati saat menggunakan pisau. Kau tahu? Aku lebih sering memegang pena. Jadi tanganku masih kaku un.-" Aku membungkam mulutnya dengan bibirku. "Aku mengerti. Terima kasih makan malamnya." Jemariku mengelus-ngelus pipinya. Aku berharap. Sedikit saja. Walau sedikit, hatiku akan berdebar karena Anthony. Sedikit saja. Aku mohon. "Kenapa kau menangis sayang?" Aku menggeleng dan meregangkan otot pipiku untuk tersenyum. Rasanya pipiku ngilu. Senyum di saat ingin menangis bukan hal yang tepat. Rasanya menjadi berkali lipat perihnya. "Aku hanya terlalu bahagia karena dimanjakan olehmu." "Ck. Kau berlebihan sayang. Akulah manusia yang paling bahagia karena memilikimu." Ucapannya terdengar begitu tulus. "Tolong," aku berbisik amat pelan. Jangan berbicara lagi. Jangan membuatku merasa seperti wanita hina. Aku merasa sesak. Aku tidak bisa bernafas. "Elena..." Aku menangis. "Maafkan aku," aku terisak. "Baby. Kau membuatku takut. Ada yang sakit? Berhenti menangis." Yah, ada yang sakit. Di sudut hati ini ada rasa sakit yang tak pernah pudar. Tak pernah hilang seberapa keras pun aku ingin menghapusnya. Rasa sakit itu selalu ada. Dia tidak akan meninggalkanku sebelum semua kegilaan ini berakhir. Sakit. Rasanya sungguh sakit. "Anthony... Anthony..." Maaf. ** "Akh... Akh..." Wajahku tenggelam di antara kumpulan bantal. Bagian tubuh bawahku disentuh kasar. William memasukiku tanpa henti. Memberikan rasa nikmat yang tak ada habisnya. Pikiranku melayang. Anthony. Laila. Disaat seperti ini aku tidak memedulikan mereka. Aku terbang di dunia tertinggi hingga melupakan semuanya. "William.. Ouhh.... Ah.." "Elena..." "Harder baby.. Akh... Ssshh.." Terakhir kali. Ini yang terakhir. Aku berjanji. Demi Anthony. Demi Laila. Dan demi diriku sendiri. ** "Jika aku tidak bisa memilikimu. Maka tak ada yang berhak untuk memilikimu.Tak ada yang boleh mencintaimu." Jika aku tahu makna dari perkataan William saat aku memutuskan hubungan kami. Maka aku akan mempersiapkan diri merasakan aura benci dari adik yang selalu mengekoriku. Laila duduk mengambil jarak sejauh mungkin dariku. Tangannya melingkar memeluk tubuhnya sendiri seakan dia sedang membuat tameng agar tak ada yang bisa menyakitinya. "Lai.-" "Jangan berbicara." Aku bungkam disudut sofa. Cemas. Takut. "Aku tak menyangka. Aku tak tahu jika kau orang yang sekejam itu Elena." Laila menunjukkan wajahnya. Rona merah. Bias ceria. Aura bahagia sudah hilang tanpa bekas disekitarnya. Semua itu dikarenakan olehku. Orang terdekatnya. Tempat biasa dia mengadu. Aku! Aku yang menyakitinya. "Aku tidak akan sesakit ini jika alasan William membatalkan semua rencana pertunangan dan pernikahan kami karena orang lain. Tidak akan seperih ini Elena." Airmataku mengalir melihat betapa sakitnya raut wajah Laila. Dia sulit bernafas. Sulit berbicara. Bibirnya sibuk menahan isak tangis. Matanya tak habis meneteskan airmata. Pilu rintihannya menyayatku. Menusuk hatiku hingga berdarah. Aku berlari mendekatinya. "Jangan. Kumohon jangan mendekat." Bagai mantra. Perkataannya menahan pergerakan tubuhku. "Lai.-" "Pergi." Suaranya parau. Dia pasti telah menghabiskan waktu semalaman untuk menangis. "Laila." "Kumohon. Pergilah. Rasanya begitu sakit melihatmu. Bayang-bayang wajah kalian yang saling bercumbu dibelakangku. Mungkin menertawakan kebodohanku. Aku tak bisa melihatmu seperti dulu. Kumohon pergi sekarang. Menghilanglah dari hidupku." Menghilang? Apa dia menyuruhku untuk mati? Cara menghilangkan diri yang paling sempurna adalah pergi ke sisi Tuhan yang menciptakan kami. "Laila. Maaf." Percuma saja. Dia tidak mendengar. Tak ada guna, semua sudah berantakan. Aku telah meruntuhkan sendiri kastil kepercayaan antara kami berdua Niat awalku yang bertujuan membuat Laila bahagia menyerang balik dari sisi lainnya. Dia menderita. Dia terluka. "Maaf." Aku menekuk kakiku. Berlutut dihadapannya. Wajahku pias menunduk. "Maaf." "Pergi Elena. Aku tidak ingin melihatmu." Perkataannya menusuk. Bagaimana bisa dia begitu mudah mengatakan tak ingin melihatku jika kami tak pernah terpisah lama. Bola mataku selalu menanti untuk melihat senyum adikku dan begitu juga dengannya. Apa dia begitu tersakiti? Dia sudah tak sudi. Posisiku kini hancur. Kehilangan kedudukkannya di dalam hati Laila. "Pergi." ** PLAK Aku menamparnya begitu masuk ke dalam mobil. "Kenapa?" Aku menadah tangan dihadapannya. Entah bagaimana raut wajahku sekarang. Bersimbah air mata. Tubuh bergetar. Menahan amarah. Menahan rasa sesak yang kian membuncah. Aku kehilangan udara disekitarku. "Kenapa William?" "Kau tahu jawabannya Elena. Kau tahu..." Aku menangis keras. Menyandarkan keningku pada dashboard mobil. Aku mendekap tubuhku. Terasa dingin. Semakin membeku akibat hilangnya kehangatan yang sebelumnya melingkupiku. "Aku juga sudah memberitahu Anthony." Tubuhku membeku. Aku menegakkan badanku. Tak ada suara yang berhasil tercuri dengar di antara kami dari bibirku. Kelu. Mati rasa. "Aku memperlihatkan video kita saat bersama-sama. Saling mencintai. Saling mendekap. Saling mencumbu." Senyum yang terukir di bibir William terlihat begitu mengerikan. Dia mengucapkannya seakan hal itu adalah hal lumrah. Hal biasa yang tak akan berdampak buruk pada siapapun. Tak akan melukai siapapun. Dia salah. Senyum di wajahnya tak boleh ada. Ini salah. Kami menyakiti orang-orang yang mencintai kami. "Kau gila." Aku mendesah pelan. Menarik nafas berulang kali. Tanganku mencengkram ujung bajuku. Buku-buku tanganku memutih. Bibir bawahku lecet tergigit olehku begitu keras. "KAU GILA." Aku meledak. Aku menamparnya sekali lagi. "Apa kau tahu seberapa dalam luka yang kita buat? Apa kau tahu William, mereka terluka." Aku menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti. "Aku? Lalu bagaimana denganku? Aku juga terluka. Rasanya sangat sakit didalam sini. Apa kau tak merasakannya? Apa kau tak terluka? Aku melakukan semua yang kau inginkan. Menerima adikmu. Berpura-pura mencintainya. Bahkan saat kau memintaku menikahinya aku melakukannya. Semua ini. Semua yang kuperjuangkan apa tidak ada harganya bagimu? Kau memutuskan hubungan kita sepihak. Aku mencintaimu, bukan Laila!" William menaikkan nada suaranya, dia menarik nafas, "aku terluka. Apa kau tidak?" Aku ingin berteriak menjawabnya, tapi yang kulakukan hanya kembali menangis keras. Aku terluka. Sangat dalam. Aku terluka. Melihat mereka yang mencintaiku terluka karenaku. William, Anthony dan Laila. Mereka semua terluka karena keegoisanku. Aku tidak boleh berada disisi mereka. Aku harus menghilang. Keberadaanku hanya menyiksa orang-orang di sekelilingku. Aku harus pergi. Tak ada gunanya aku berada disini. Aku ingin membuka pintu mobil dan William segera menguncinya. "Buka pintunya William." "Tidak." "William!!!" "Aku tahu kau akan pergi menemui Anthony dan aku tidak mengijinkannya." "Aku perlu meminta maaf padanya," seruku dengan gigi bergemeletuk menahan amarah dan isakan. "Aku perlu meminta maaf William. Anthony tidak berhak untuk diperlakukan seperti ini. Tolong biarkan aku pergi." Pandangan William tetap mengarah kedepan. Dia tidak melihatku sedikitpun. Tangannya mencengkram kuat kemudi. Dia hanya diam dan kemudian menyalakan mesin mobil. "William...." "Aku tidak akan membiarkan siapapun memilikimu." "Wil...-" Dia memasukkan gigi dan menekan pedal gas. "Kita akan mati bersama Elena..." William melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Tubuhku terdorong kebelakang akibat kuatnya tekanan dari udara yang dihasilkan dari kecepatan laju mobil. Aku tidak takut mati. Aku bahkan merasa kematian satu-satunya caraku untuk menebus dosa. Niat baik yang kulakukan tidak ada artinya jika terselimuti dengan kebusukan. Ini hukumanku. "Anthony..." Tapi aku ingin bertemu dengannya. Meminta maaf. Aku ingin.... Deg. Deg. Aku mencengkram dadaku. Debaran ini. Aku melirik William. Dia memejamkan matanya. Debaran ini.... milik siapa? Pandanganku menghilang. Semuanya menjadi gelap. = = = = = Saat mataku terbuka. Hal pertama kali yang kulihat adalah air mata Anthony. Pria itu menangis begitu dia sadar aku telah siuman. Dia tidak memakiku. Dia tidak menamparku. Dia sama sekali tidak melakukan apapun selain menangis bahagia begitu tahu aku masih diberikan kesempatan untuk hidup. Dia mengurusku. Anthony selalu berada disisiku hingga aku kembali diijinkan keluar dari rumah sakit dan melakukan pemulihan dirumah. Dia tidak pernah menyinggung hubunganku dengan William. Tentang perselingkuhanku, tentang kekejamanku. Dia hanya fokus pada kesehatanku. Aku duduk dikursi roda. Melihat pesakitan menikmati sinar matahari di halaman belakang rumah sakit. Aku baru saja menjenguk William. Pria itu masih tertidur. Belum membuka mata. Luka yang dia peroleh lebih parah dariku. Membuat mata indahnya terpejam tanpa ada yang tahu kapan akan terbuka. Aku merasa bersalah padanya. Aku merasa bersalah pada semua orang yang telah kusakiti. "Anthony." "Hm..." Anthony pindah kesisi tubuhku. Sedari tadi dia hanya berada di belakang tubuhku, membantuku mendorong kursi roda dan diam begitu aku terhanyut dalam pemikiranku. "Apa kau tidak membenciku?" Angin berhembus pelan. Anthony menarik nafas dan bergerak pelan berdiri didepanku. Dia mendongak menatap langit, memejamkan mata dan perlahan lututnya menekuk, dia bersimpuh didepanku. Tangannya berada diatas pahaku, ragu untuk meraih tanganku yang terkulai lemah. Wajah tampannya tak terlihat karena dia menunduk. "Kau mungkin berpikir aku gila jika mengatakannya." Anthony membuka suara, dia mendongak mencari mataku dan mengunci tatapan kami. "Aku masih mencintaimu Elena. Aku mencintaimu. Aku tidak bisa membencimu." Seperti biasanya, perkataan Anthony selalu terdengar jujur hingga membuat hatiku ngilu. Setelah apa yang kuperbuat. Setelah luka yang kutorehkan. Dia masih mencintaiku. Dia tidak bisa membenciku. Apa yang kurang? Kenapa aku begitu buta. Tak bisa melihat ketulusan cintanya yang besar padaku. Dia begitu sempurna. Tak ada cacat. Kenapa aku memilih jalan yang akan melukaiku, jika berada disisinya akan membuatku jauh lebih bahagia? Apa cinta benar-benar membutakan segalanya? Cinta membuatku kehilangan indra penglihatan tidak hanya raga tapi batinku juga. "Seharusnya kau membenciku," aku terisak pelan. "Seharusnya kau menamparku. Memakiku. Bahkan jika perlu kau membunuhku." "Elena..." "Seharusnya kau membiarkanku mati. Tidak mengurusku. Kau salah Anthony. Kau salah. Kau harus mengusirku. Menendangku dari kehidupanmu." "Elena." Lengan kekarnya melingkari tubuhku. Jemari besarnya membelai punggungku. Anthony begitu baik. Dia begitu sempurna hingga membuatku takut. "Kau seharusnya membiarkanku mati Anthony." "Ssstt... Jika kau mati, lalu bagaimana denganku? Jika kau tidak berada di dunia ini, membayangkannya saja aku sudah ingin mati bersamamu," Anthony mendesah pelan. "Aku tidak peduli jika hatimu tidak ditakdirkan untukku. Aku tidak peduli Elena. Kau berhak mencintai William. Aku sudah cukup bahagia mengetahui keberadaanmu. Cukup mencintaimu dari jauh. Aku tidak peduli jika aku memang tidak bisa meraihmu." "Anthony..." "Aku mencintaimu Elena, tapi kau berhak untuk tidak mencintaiku. Aku ingin kau berbahagia, bukankah seperti itu arti dari mencintai seseorang?" "Anthony..." "Sshh, Jangan menangis lagi Elena." Aku semakin mendekap tubuhnya. Hangat. Kini aku baru menyadari jika kehangatan yang selalu melingkupiku berasal dari Anthony. Selama ini aku tidak sadar. Selama ini aku buta. "Maaf. Maafkan aku Anthony." Aku terisak. Aku meraung. "Maaf..." "Tidak apa-apa Elena. Aku mengerti. Aku akan membebaskanmu. Aku akan memberikanmu kebahagiaan. Aku akan mengembalikanmu di tempat seharusnya kau berada." Aku semakin menangis keras. Tersedak hingga membuat tenggorokanku sakit. "Aku akan mengembalikanmu kesisi William. Aku berjanji." ** 2 tahun kemudian. Setelah sekian lama, akhirnya aku berada ditempat seharusnya kuberada. Di sisi pria yang kucintai. Tidak ada beban. Tidak ada rasa sesak seperti sebelumnya. Kini cinta yang kumiliki tidak memberikan rasa sakit dan derita. Aku bebas. Aku bahagia. Aku berjalan pelan menelusuri koridor rumah sakit. "Laila." Aku memanggil adikku. Adik yang telah secara hebatnya mulai memaafkanku dan membiarkanku kembali berada disisinya. Aku melihatnya tersenyum. Senyum yang tidak begitu lebar, tidak ada rona merah atau antusiasme melihatku. Aku kecewa, tapi aku tidak boleh begitu serakah. Ini pantas untukku. Setelah apa yang kuperbuat padanya, ini sudah lebih dari cukup. Aku duduk di sampingnya. "Apa belum selesai?" tanyaku dan dia mengangguk. Aku menyenderkan punggungku dan memeluk perutku. "Bagaimana kandunganmu?" Laila menyahut pelan tapi tetap menolak memandangku. "Baik-baik saja. Anthony masih berbicara dengan dokter. Dia masih memiliki beberapa pertanyaan." "Oh..." Lalu kami terdiam. Tidak bisa seperti dulu. Tidak akan sama. Retakan itu meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. "Apa pemeriksaan William masih lama?" Laila. Setelah mengetahui aku tidak bercerai dengan Anthony datang mengunjungi William. Dia menangis dan memakiku. Seharusnya aku bercerai. Seharusnya aku mengambil kesempatan itu untuk memantapkan posisiku di sisi William. Aku tidak mencintai Anthony. Aku mencintai William, lalu kenapa aku masih berada disisi Anthony? Laila merasa direndahkan olehku. Dia mencapku sebagai wanita serakah. Tapi dia tidak tahu. Dia tidak mengerti sebelum aku menjelaskannya. Detik terakhir aku mengira jika aku akan mati. Anthony. Hanya Anthony yang kupikirkan. Bagaimana hari pria itu jika aku meninggalkannya tanpa kata maaf? Bagaimana dia bisa memulihkan lukanya? Siapa yang mengurusnya? Aku mulai mencintai Anthony. Hanya saja aku belum sadar, karena cinta itu begitu kecil terhalangi cintaku pada William. Tuhan memang begitu baik pada orang kejam sepertiku. Dia memberikan petunjuk di detik akhir hidupku dan kemudian memberikan kesempatan untuk memperbaikinya. Aku memilih Anthony. Aku ingin berada disisinya. Di sisinya adalah tempatku. Laila marah, dia berhak marah dan aku menerima semua caciannya. Butuh waktu yang panjang membuat dia kembali melihatku. Membuat dia mau berada dekat denganku. Sekarang dia berusaha, mengobati luka yang kubuat, membangun kembali hubungan kami. Laila mencintai William. Dia mencintai William sangat tulus. Dia rela menghilangkan rasa sakit hatinya membesuk William dan merawat William. Laila tahu. Dia sangat tahu jika William tidak memiliki siapapun selain orang tua yang mengabaikannya. Aku telah memilih Anthony, karena itu aku tidak berhak lagi muncul dihadapan William. Aku hanya akan menambah luka William. Adikku benar-benar malaikat. Anthony dan dia adalah dua orang manusia yang tak kumengerti memiliki hati sepert apa. Laila selalu berada disisi William. Menunggu William hingga terbangun. Laila merawat William dengan kondisi fisiknya yang tak sempurna. Membuat William akhirnya sadar sepertiku. Sadar akan rasa cinta dan ketulusan seseorang yang peduli pada kami apapun kondisinya. "Mungkin 15 menit lagi selesai." Jawab Laila. Aku mengangguk dan tetap duduk disampingnya. Jadwal pengecekan kehamilanku selalu bertepatan dengan jadwal pengecekan kondisi kesehatan William. Kami selalu bertemu disini. Bertegur sapa beberapa kata. Beberapa menit berselang William keluar dari ruangan, dia menghampiriku. Kami saling melempar senyum. Sudah tidak ada rasa diantara kami. Dia bahagia dengan Laila dan aku bahagia dengan Anthony. Kami sudah menemukan tempat kami. "Maaf membuatmu menunggu." William meraih tangan Laila dan mencium punggung tangan Laila. Dia membuat adikku merona. Aku terkekeh pelan. "Tidak apa-apa, ada Elena yang menemaniku." William melirikku dan mengucapkan terima kasih karena tidak membuat Lailanya kesepian. Lailanya? Itu sangat terdengar manis ditelingaku. "Apa Anthony masih lama? Setelah ini kami masih harus memeriksa undangan pernikahan." William memandangku dengan rasa bersalah. Aku berdecak, "aku tidak akan mati karena kalian meninggalkanku sendiri. Pergilah, Anthony pasti akan datang sebentar lagi." "Baiklah kalau begitu. Kami permisi Elena." Aku mengangguk dan melihat William melingkarkan lengannya di pinggang Laila. Adikku mencuri pandang melirikku dan kuberikan dia senyum terbaikku. Dia masih belum sepenuhnya memaafkanku. Dia hanya mengangguk dan tidak membalas senyumku. Aku mendesah. "Tidak baik seorang ibu hamil mendesah Elena." Anthony menghampiriku. Dia mengulurkan tangan dan meraih tanganku. Dia membantuku berdiri dengan sangat hati-hati. Selama masa kehamilanku, Anthony menjadi super protektif. Aku diperlakukannya seperti bayi yang belum bisa melakukan apapun. "Apa pertanyaanmu sudah terjawab semua?" Aku bertanya dan menyilangkan lenganku dipinggangnya, Anthony mendekap bahuku. "Sudah." "Sebenarnya apa yang kau tanyakan?" "Rahasia." Aku memutar bola mataku. Anthony tersenyum lebar, kami berjalan pelan bersisian keluar rumah sakit dan menuju halaman parkir. Aku menyandarkan wajahku di dada Anthony. Rasanya begitu damai. Manusia memang diciptakan selalu melihat ke depan, mereka selalu berusaha meraih apa yang ada didepan wajah mereka dan mengabaikan apa yang berada di belakang mereka. Sesekali, cobalah untuk menengok ke belakang. Disana, ada sebuah bahagia yang tidak pernah terpikirkan. Disana, ada sebuah kedamaian yang menjanjikan kenyamanan. Disana, ada sebuah cinta yang sebenarnya lebih berharga dari cinta yang berusaha diraih di depan. Cobalah, berbalik dan lihat. Disana ada seseorang yang selalu menatap punggungmu, yang selalu menunggumu, yang selalu tulus mencintaimu, yang selalu menawarkan uluran tangan dan akan memberimu kebahagiaan. Sama sepertiku. Aku selalu melihat William di depanku yang tidak bisa kuraih dan mengabaikan Anthony di belakangku. Aku begitu bodoh jika memikirkannya sekarang. Mengingatnya membuatku terkekeh pelan. "Apa ada yang lucu?" Anthony menatapku, aku hanya mengelus pipinya dan menggeleng. "Tidak ada." Kebahagiaan tidak selalu berada didepan mata, mereka terkadang berada dibelakang, menunggu dengan sabar, menanti tanpa berhenti, sampai suatu saat nanti ketika kau mau menoleh dan tersadar akan seruannya yang memanggilmu pelan. Quote by : vienasoma End. Cerita 2 - BEHIND - Second Chance Main Cast: Laila, William, ================================== LAILA P.O.V Aku tahu semenjak lama, sudah tahu jika semua yang dia lakukan hanya sebuah sandiwara. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui kejanggalan hubungan kami. dan karena kebutaan cinta, aku pura-pura bahwa semua itu tidak ada, bahwa kami bahagia, dan aku tetap berharap. Dia tidak tulus, dia tidak cinta padaku. Realita yang menyakitkan yang tetap membuatku bertahan. Tapi, kini.... Sudah tidak bisa lagi. Aku memandang sendu gambar-gambar kemesraannya bersama kakakku. Aku tersedak sembari tertawa hampa. Aku tahu, aku tahu ada orang lain di matanya. Aku tahu ada orang asing yang memenangkan hatinya, dan aku tahu orang itu bukanlah diriku, tapi aku tidak menyangka, pikiranku tidak sampai kesana, selama ini ternyata aku adalah si bodoh yang sangat buta. Aku dipermainkan dengan kejam. Elena, saudari kandungku, aku tidak akan pernah menduganya. Ironis, ternyata dia yang menusukku, saudari kandungku. Itu lebih menyakitkan daripada siapapun. Jujur, tidak akan semudah itu bagiku untuk percaya jika sebenarnya Elena, orang ketiga dalam hubunganku dengan William, jika William -dengan kedua telapak tangannya- tidak memperlihatkan bukti nyata di depan mataku, dia menyerahkan amplop coklat berisikan foto-foto cumbuan mereka, serta kepingan DVD yang berisikan video-video cumbuan mereka. Aku tidak akan percaya. Aku menyayangi kakakku. Dia orang terakhir yang akan menyakitiku, bahkan jelas itu hal yang tidak sengaja dia lakukan. Dan aku benar-benar bodoh. Semua berakhir saat itu juga, aku ingin muntah. Menangis kesetanan, meraung seperti orang gila. Rasa sakit di hatiku, menyirnakan kewarasanku. "Laila," "Jangan mendekat." Ucapku takut. Aku takut pada Elena. "Lai-" "Jangan bicara." Elena terdiam di sudut sofa. Menatapku dengan wajah ingin menangis yang tidak lagi bisa kupercaya, dia pasti sedang bersandiwara, dia mahir melakukan hal itu. Kecemasan serta ketakutan di wajahnya tampak kosong. Dia ingin membodohiku lagi, aku tidak akan memakan umpan yang sama. Aku menarik nafas dan menyeka air mataku. "Aku tak menyangka. Aku tak tahu jika kau orang yang sekejam itu Elena." Aku mengangkat wajahku untuk pertama kalinya. Entah seperti apa air mukaku sekarang, betapa rapuhnya aku akibat perbuatannya. Dia orang terdekatku. kakakku yang paling berharga, tempatku berkeluh kesah, tapi lihat! Dialah penyebab air mataku hari ini. Dia. Di antara semua manusia dimuka ini, dia orangnya. Semua kekacauan ini karena dia. Dia. Dia yang menyakitiku. "Aku tidak akan sesakit ini jika alasan William membatalkan semua rencana pertunangan dan pernikahan kami karena orang lain. Tidak akan seperih ini, Elena." Aku menggigit bibirku untuk menahan isakan tangis yang ingin keluar. Airmataku tak bisa kukontrol, dia sudah jatuh membasahi wajahku dan lantai tempatku memijakkan kakiku yang lemah. Pandanganku buram, terselubungi kabut tebal. Hatiku sangat sakit. Begitu perih dan pedih. "Jangan. Kumohon jangan mendekat." Sahutku panik begitu melihat Elena berusaha berlari kearahku. "Laila." "Pergi!!" Suaraku terdengar amat parau, rusak akibat semalaman berteriak untuk mengurangi rasa sakit di hatiku. "Laila." "Kumohon. Pergilah! Rasanya begitu sakit melihatmu. Bayang-bayang wajah kalian yang saling bercumbu di belakangku, yang mungkin menertawakan kebodohanku. Aku tak bisa melihatmu seperti dulu. Kumohon pergi sekarang. Menghilanglah dari hidupku. Tolong lakukan itu jika kau benar-benar menyesal." Aku ingin dia pergi. Tak lagi menampakkan diri di hadapanku. Melihatnya, menatap wajahnya yang selalu terbingkai dengan kepolosan, membuka luka dan gambaran percumbuannya dengan William. Rasanya, air mataku siap tumpah karena sakitnya. Aku tak sanggup. "Laila. Maafkan aku. Biar kujelaskan." Aku tidak ingin mendengar. Aku tidak bisa memaafkannya. Jika saja bukan dia. Jika saja William bersama orang lain. Aku tidak bisa memaafkannya karena posisi Elena yang begitu penting di hatiku. Dia adalah segalanya untukku, dia kakakku yang berharga, keluarga yang paling kusayang. Tidak akan semudah itu untuk memaafkannya. Sudah retak. Sudah musnah rasa percayaku padanya. Bagiku kini Elena hanyalah orang asing. Dia asing. Aku tak mengenalnya. Aku kehilangan kakakku yang berharga saat kuterima bukti pengkhianatannya dengan tunanganku. "Maaf." Elena berlutut di depanku. "Maaf." Aku memalingkan wajah. "Pergi Elena. Aku tidak ingin melihatmu." Dia tidak bergeming. "Pergi." . . "Tidak mungkin," Aku menekan dadaku, aku sulit bernafas. "Bagaimana bisa?" Ini sulit dipercaya. Baru beberapa jam lalu dia berada disini, aku mengusirnya. Dan detik ini, Elena dan William mengalami kecelakaan mobil. . . "Mereka krisis, Laila." Anthony pria tegar itu bahkan menangis, duduk di kursi tunggu ruang UGD bersamaku. Bahunya bergetar. Wajahnya menghilang di dalam telapak tangan dan dia menangis. Aku tidak tahu siapa yang lebih tersakiti dan menyedihkan antara kami berdua. Dia masih beruntung karena sempat merasakan kehidupan berumah tangga bersama Elena tapi aku, aku tidak sempat merasakan apapun selain kehampaan sebuah hubungan. Anthony dan aku... Aku menggeleng letih, apa yang kupikirkan? Kenapa aku jadi membanding-bandingkan? Tidak adil bagi kami berdua. Dia begitu mencintai Elena. Dia sama saja denganku, hancur karena orang-orang yang tak pantas kami cintai. Dia pasti terluka. Dia pasti sama sakit hatinya denganku. Tangisnya terdengar sangat memilukan, luapan kesedihan dari rasa sakit hati dan kemarahan. Aku sudah lelah. Bahkan hanya sekedar untuk merasa simpati. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika Elena...," Anthony menarik nafas, "jika dia... Aku tidak bisa hidup tanpanya." Aku menoleh, memandangi sisi wajah Anthony,"dia akan baik-baik saja Anthony. Elena wanita yang kuat dan kau, kau bisa hidup tanpanya. Kau juga pria kuat!" "Aku tidak akan bisa. Dia begitu berarti. Dia nafasku Laila. Aku bisa gila." Anthony berdiri dan berjalan mondar-mandir didepanku seperti pria gila. "Anthony.... Tenanglah..." "Aku tidak bisa tenang sebelum tahu jika di dalam sana dia baik-baik saja. Jika dia tidak akan meninggalkanku. Bagaimana mungkin kau tidak bereaksi sepertiku padahal jelas-jelas William berada dalam posisi yang sama seperti Elena. Mereka sedang berjuang Laila. Tak ada yang tahu jika mereka akan hidup...." Rahangku mengeras. "Mereka pasti baik-baik saja." kataku getir. "Kau begitu yakin." "Mereka tidak akan mati sebelum merasakan balasan dari perbuatan mereka Anthony." "Apa maksudmu?" Aku mendekap tubuhku karena rasa dingin itu kembali datang, dan berdecak sinis. "Kau pasti lupa karena terlalu panik. Kau lupa kan?" "Apa yang kulupakan?" Aku terperangah akan nada kejujuran ketidaktahuan Anthony. "Mereka mengkhianati kita Anthony." Aku menjawab getir, bibirku menipis. "Apa kau lupa? Kau pasti sama sepertiku. Beberapa jam lalu baru saja melihat bukti-bu-" "Stop! Jangan lanjutkan." "Bukti perselingkuhan yang William kirimkan untukmu." "Jangan lanjutkan Laila." Wajah Anthony mengeras. Rahang wajahnya semakin tajam. Airmata perlahan meninggalkan pelupuk matanya. Tanpa perlu memukulnya dengan tangan untuk mengingatkannya, perkataanku sudah cukup membuat Anthony sadar akan rasa kecewa yang kami rasakan. Aku tertawa pelan. Dia benar-benar lupa. Bagaimana bisa? Dia bisa melupakan hal sekejam itu? Berita Elena, pasangan hidupnya mengalami kecelakaan, berjuang untuk bertahan hidup mampu memudarkan ingatannya yang masih segar perihal perselingkuhannya? Hebat. Rasa cintanya pasti membuat dia buta. Sama seperti yang terjadi dulu padaku. Hanya saja aku sudah sadar, sudah tidak menjadi si bodoh yang tidak tahu apa-apa. Kebutaan akan cinta dalam diriku sudah terkikis habis. Tidak ada jejak setitikpun tersisa. "Anthony..." "Tolong jangan bicarakan hal itu, tolong! Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Lewatkan sampai mereka membuka mata, Laila. Lupakan hal itu sekarang," Aku mengangkat kakiku menempelkannya di dadaku. Aku duduk di kursi metal yang dingin, dan kembali mendekap tubuhku agar tidak jatuh. "Sampai mereka membuka mata?" Aku mendesah lelah, "aku tidak bisa lupa Anthony." Gumamku pilu. . . Seberapa keraspun aku berusaha, aku tidak bisa menahan kakiku untuk bergerak berkunjung kerumah sakit dan menjenguk William. Walau hanya berdiri di depan ruangannya. Melihat dia dari balik kaca. Aku sudah cukup puas. Rasa sakit hati itu ada. Rasa ingin memaki dan menamparnya begitu kuat. "Tapi semua rasa itu dikalahkan oleh rasa rindu dan khawatir yang membuatku begitu jijik pada diriku sendiri." Aku menempelkan keningku pada dinding kaca. "Kenapa aku tidak bisa seratus persen membencimu. Kenapa aku begitu bodoh membawa diri setiap hari menjengukmu dan memastikan keadaanmu." Aku menarik nafas. "Padahal jelas-jelas kau tidak mencintaiku. Untuk apa aku memedulikanmu jika kau saja sama sekali tidak peduli padaku." Aku terkekeh hampa. "Aku begitu bodoh. Aku bodoh..." Aku mendongak. Melihatmu terbaring disana, seorang diri, begitu lemah. Tidak ada yang bisa menebak kapan kau akan terbangun, hal itu meruntuhkan rasa sakit di hatiku dengan rasa iba. Jika bukan aku, tak ada yang memedulikanmu. Orangtuamu seperti yang selalu kau ceritakan, mereka tidak pernah ada untukmu. Mereka orangtua egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sahabat? Kau hanya memiliki Anthony. Kekasih? Terbaring sepertimu, di atas ranjang pesakitan. "Aku mencintaimu William, tapi kau tidak menghargaiku." Aku sudah berusaha mencari cara untuk menghilangkan cintaku. Berusaha sangat keras tapi, tetap saja disudut hatiku, kau selalu memiliki ruang khusus yang tidak bisa begitu saja kulengserkan. Aku kehabisan akal. "Kau membuatku gila." Perlahan menghampiri pintu, tanganku bergetar saat memegang knobnya. "....." Aku melakukan semua ini hanya karena rasa kasihan. Kasihan. Kasihan. . . "Biar aku saja." Aku meraih handuk putih dari tangan perawat yang menyeka tubuh William. Aku kembali membasahi handuk tersebut dengan air hangat, memerasnya kemudian mulai menyapukannya perlahan pada wajah William. Rasanya airmataku ingin tumpah. Aku mengatup bibirku. Menahan sesak di dada. Kehangatan tubuhnya yang kuusap memalui jemariku tak bisa meredakan kegundahan yang kurasa. Apa dia akan terbangun? Apa dia akan kembali sehat? Apa dia?? Aku tersedak, menunduk menatap lantai, Hanya setetes. Hanya... Aku menangis. Aku membencinya. Di sudut hatiku yang paling dalam ada bisikan kecil yang menginginkan kematiannya saat dia menghancurkanku tanpa ampun namun, ketika semua itu menjadi nyata, bisikan kecil itu tidak lagi berupa suara melainkan kenyataan yang mengerikan, aku ternyata tidak bisa menerimanya. Aku tidak puas seperti delusiku. Aku merasakan penderitaan tanpa batas. Aku mencintainya. Aku tidak ingin dia pergi. Aku ingin dia hidup. Aku ingin dia hidup hingga aku bisa membencinya. "William... William..." . . Elena sudah sadar. Aku berdiri tepat di hadapan Elena yang duduk di atas ranjang pesakitannya. Gips menyelubungi lengan kirinya, pen terpasang di kedua kakinya. Wajah polos Elena dipenuhi luka goresan yang mengering, dan bibirnya dihiasi lebam biru. Dia menatapku, sedih. "Aku tidak tahu, selain kejam ternyata kau juga serakah." Elena terkesiap, dia memucat. "Kau licik Elena. kau benar-benar licik. Kau memilih Anthony, KAU MEMILIH ANTHONY!!!" Suaraku meninggi tanpa bisa kucegah. "Kau tidak berada di sisi William. Kenapa? Bukankah kau mencintainya? Kau menginginkannya? Kenapa kau masih bersama Anthony? Apa karena William sekarang tidak berdaya? Dia tidak bisa memelukmu? Dia tidak bermanfaat lagi untukmu? kau benar-benar serakah." Dadaku terasa berat. Aku mencengkram ujung meja di sudut ruangan, lalu menyandarkan bahuku pada dinding dingin. Kuatur tarikan nafasku, mencoba menenangkan diri. "Kau serakah Elena. Aku tidak tahu lagi bagaimana harusnya membencimu. Aku bahkan ingin memuntahkan isi perutku melihatmu." "Laila.." "Jangan sebut namaku." Selaku mendesis di antara gigiku yang bergemeletuk. "Aku tidak ingin mendengar apapun dari bibirmu. Penjelasanmu!! Suaramu!! Aku tidak membutuhkan semua itu. Aku kesini hanya ingin meluapkan kemarahanku. Aku tidak akan memaafkanmu. Tidak akan pernah. Aku tidak sama seperti Anthony. Aku tidak bodoh sepertinya. Aku tahu manusia seperti apa dirimu Elena. Ke nerakalah!!!" Aku berjalan terpincang mendekati pintu dan isak tangis yang memilukan di belakang tubuhku mulai terdengar. Elena meraung memanggilku, memohon, menyembah, agar aku berpaling, aku tidak akan menurutinya. Aku tidak akan terpancing. Kupejamkan mataku meraih daun pintu, membukanya perlahan dan suara Elena terbawa keluar. Anthony dengan sigap berdiri, dia menatapku sejenak dengan pandangan tak kupahami lalu dia melewatiku dan menenangkan Elena. "Jangan menangis Elena." Aku menutup pintu. . . Bagaimana? Bagaimana bisa dia serakah seperti itu? Bagaimana bisa dia memilih bersama Anthony sedang dia dan William bermain dibelakang kami? Dia mencintai William dan sebaliknya, William mencintainya. Lalu kenapa?? Lalu kenapa dia memilih tetap bersama Anthony dan meninggalkan William yang masih belum sadarkan diri sendirian? Manusia seperti apa dia? Aku bernafas berat. Aku berhenti berlari dan duduk tersembunyi di antara tikungan anak tangga. Tanganku terkulai lemah pada besi penyangga, mataku panas. Dadaku sesak. Dia seperti mengolok-olokku. Dia begitu mudah mendapatkan cinta siapapun. Anthony dan William. Dia mendapatkan kedua cinta mereka dengan mudahnya. Jelas dia lebih mencintai William, karena itulah dia mengkhianatiku. Lalu kenapa diakhir yang menyedihkan seperti ini dia lebih memilih bersama Anthony? Apa yang mengubah pikirannya? Dia harusnya bisa memilih kebahagiaan yang dinginkannya dengan meninggalkan kebahagiaan palsunya bersama Anthony dan hidup bahagia selamanya dengan William. Kenapa? Dia serakah. Dia kejam. Memamerkan keberuntungannya. Memamerkan kebebasannya memilih. "Ugh..." Kutepuk-tepuk dadaku. "Sakit..." Aku cacat. Tidak bisa berjalan normal. Tidak akan ada yang mau mencintai orang sepertiku. Dan jika adapun itu hanya rasa kasihan, tidak ada yang tulus. Di dunia ini tidak ada siapapun yang mencintaiku. Laila. wanita malang yang menyedihkan. "Hahahahahaha...." Tertawa dalam keadaan yang lupa cara menangis rasanya sungguh mengerikan. Udara mengosong, kehampaan pekat menyambutku dengan rasa bahagia berlimpah, siap menenggelamkanku kapan saja hingga mati. Aku... "Apa yang salah denganku? Kenapa aku harus mengalami hal keji seperti ini?" . . Aku merawatnya yang melukaiku. Aku menjaganya yang tak menghargaiku. Aku mencintainya yang mengkhianatiku. Dia masih terbaring dengan wajah tampannya. Dadanya bergerak turun naik, pemandangan menyakitkan yang tidak pernah kubayangkan akan hadir dalam kebekuan hidupku. Tak seorangpun yang dapat memberi kepastian. Tidak tahu. Semua mengatakan hal yang sama. Kucondongkan wajahku, garis wajahnya masih sama. Dia hanya kelihatan pucat. Tidak ada roman yang biasanya menimbulkan sedikit kemerahan di pipinya. "William..." Tak ada jawaban. Suara yang terdengar di ruangan ini hanya bunyi mesin yang membantu mendeteksi detak jantungnya. Sudah tidak ada alat yang membantu dia bernafas. Kemajuan yang bagus menurut mereka, tapi tidak bagiku. Sebelum dia membuka mata, penderitaanku tidak akan pernah selesai. "Lebih baik kau mati. Aku membencimu." Kalimat terakhirku untuknya terealisasikan dan aku tidak bahagia. "William..." Kutangkup wajahnya, "Bangunlah... Bangunlah" Tuut... Tuut... Tuut... Hanya suara mesin itu yang terdengar. Kudengar knob pintu memutar, kulepaskan pegangan tanganku dari wajah William dan berbalik saat pintu itu terbuka, Anthony berdiri disana, dia melambai dengan kikuk. "Hey..." Sapa Anthony, berjalan dari meraih kursi kecil lalu duduk di depanku. "Hey," Aku menjawab lemah. "Bagaimana perkembangan kondisinya?" Aku mengangkat bahu dan memijit keningku. Kupandangi wajah William dengan menggigit bibirku lalu beralih melihat Anthony yang melakukan hal sama denganku. "Tidak ada kemajuan apapun." Kataku pelan dan menunduk menatap lantai. Aku butuh sandaran, faktanya ini tidak mudah. Pikiranku berkecamuk dengan hal-hal mengerikan dan aku berusaha untuk membayangkan hal menyenangkan. Rasanya aku terjepit. Terlilit, tidak bisa bergerak. Berbulan-bulan aku menunggu. Bahkan dokter menyarankan agar aku menyerah dan membiarkannya pergi. Tidak! Aku tidak ingin dia mati. Aku tidak ingin dia pergi secepat itu. Aku belum membalasnya. Dia harus menderita, terluka, dan setelah itu dia baru boleh mati. Dia belum mendapatkan balasan apapun dari perbuatannya. Jika dia mati sekarang. Penderitaan dan kesakitannya tak akan sebanding dengan penderitaanku di tahun-tahun berikutnya. Dia tidak boleh mati. Aku masih ingin membencinya. Ak- Pikiranku terputus saat tangan Anthony menyentuh bahuku, "Laila." Aku terhikup dan menjatuhkan keningku di bahu Anthony. Dia serta merta menarik kursinya agar lebih dekat denganku. "Laila...." Aku menekan mataku, dan kurasakan semakin banyak air mata yang mengalir. Entah berapa lama kutahan tangisku. Terakhir kalinya airmataku tumpah saat melabrak Elena berbulan lalu. "Ssh..." Aku terhikup dan memengang ujung kemeja Anthony. "Sampai kapan?" "Laila. Tenanglah." "Sampai kapan?" Hari itu aku menangis. Menumpahkan semua airmata yang kutampung begitu lama. . . Terkejut, aku menghentikan langkahku melihat saudariku berdiri di depan pintu apartemenku. Dia kelihatan membaik, hanya ada sebuah kruk di kaki kanannya. Dia menyandarkan punggungnya pada dinding di samping pintu. Ketika dia berbalik dan mendongak, dia melihatku. Dia mengangkat tangan dan melambai dengan wajah getir yang membuatku mual. Aku berjalan, berusaha menambah tempo langkah dengan kaki cacatku. "Laila." Tak kugubris, kukibas lenganku saat dia berusaha meraihnya. Untuk apa dia kemari? Manusia serakah. Manusia tak punya hati, tak punya belas kasih. Serampangan kucari kunci di dalam saku celanaku dan memasukkannya sembrono kedalam lubang kunci. "Tolong biarkan aku menjelaskannya." Tanganku tak berhenti bergerak, dan aku semakin kesal karena kunciku meleset beberapa kalipun kucoba untuk menautkannya. "Laila!" Klik. Buru-buru kuputar knob pintu dan memasukan kembali kunci kedalam saku celanaku. "Laila, tolong..." PLAK. Kutepis dengan keras tangan Elena yang menarik lenganku ketika aku hampir memasuki pintu aparatemen. Dia meringis. Mata yang berkaca sudah tidak mempan padaku. Rasa benci ini menjadi alasan kuat yang selalu mengingatkanku agar menjauhinya, tak memaafkannya. Selamanya. "Bisa kita bicara?" Tanyanya tanpa rasa malu. Aku mendengus, "Tak ada yang perlu kita bicarakan." Kembali aku ingin memasuki apartemenku, dan aku harus menggeram menahan rasa kesal karena Elena sekali lagi menghalangi langkahku. "Please." "Pergi Elena. Aku tidak ingin melihatmu. Sudah kuperingatkan padamu." Kucoba mendorong tubuhnya dengan bahuku, dan dia tidak bergeming. Aku menatap kakiku, amarahku bergejolak. "Tolong, dengarkan aku." Suara paraunya mengusik, dia menangis pelan, mencoba kembali meraih lenganku. "Jangan," peringatku. "Aku minta maaf. Sungguh. Aku tidak bermaksud menyakitimu seperti ini. Aku tidak merencanakan semua ini. Aku menyayangimu. Kau adikku satu-satunya, aku mencintaimu Laila. Aku tidak ingin menyakitimu." Aku tertawa jengah. "Jika caramu menyanyangiku seperti ini, kau salah. Kau kejam." "Aku tahu." Isaknya, "aku tidak tahu apa yang William ceritakan padamu. Dan aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah kami perbuat. Aku sadar dan ingin mengakhirinya. Aku ingin berhenti. Aku buta sesaat. Termakan perasaanku. Semua sudah berakir, dan William tidak mau menerimanya. Aku tidak tahu jika dia tega melakukan itu padaku, terlebih lagi padamu. Aku sudah mencoba... mencoba agar kau tidak tersakiti, mengubur semuanya," Elena menarik nafas dan mencoba mengelap tangis dari wajahnya tapi, hal itu sia-sia, tangisnya malah semakin keras, "aku tidak ingin mencari pembenaran dengan sikapku. Aku hanya ingin maaf darimu. Aku ingin adikku kembali. Berikan aku kesempatan," Dia berdiri di depanku. Terlihat putus asa, wajahnya memerah, cekungan di pipinya membuat dia tampak mengerikan. Lingkaran hitam menandakan dia tidak bisa tertidur lelap. Tubuhnya sudah tidak seindah dulu. "Please. Setidaknya biarkan aku mencoba memperbaiki dan menebus kesalahanku." Aku mendongak. Menantangnya dengan wajah yang mengeras dingin. "Tidak akan. Tidak akan pernah." Aku berbalik, melangkah dengan mantap memasuki apartemenku. "Pergilah. Jangan pernah lagi muncul dihadapanku." Dan aku membanting pintu di depan wajah Elena. . . Dia siuman, Kulihat dari sudut ruangan VIPnya, berdiri dengan kaki goyah, menjaga kesimbangan dari kakiku yang cacat dan hatiku yang rapuh, tubuhku melemas. Aku cemas, bernafas bahkan sulit. Dokter mengerumuni William. Para suster dengan dikte dokter bergerak kesana-kemari tanpa henti. Aku tidak mengerti sebagian ucapan mereka. William sadar, itu yang terpenting. Entah apa yang kulakukan disini menungguinya. Aku tidak berhak. Kami orang asing kan? Tapi kenapa tubuhku tak mau bergerak pergi? Aku ditahan disini. Pada paku yang menahan kakiku, pada tali yang melilit tubuhku. Sudah berakhir. William sadarkan diri. aku bisa membencinya sesuka hati. Aku bisa menikmati saat dia menderita ketika tahu Elena lebih memilih Anthony daripada dia. "Laila," Suara rendah itu memasuki ruangan. "Anthony." "Aku mendapatkan kabar. Bagaimana dia?" Aku menggeleng. "Tidak tahu. Aku harus pergi." Aku menyenderkan tubuhku kedinding, menyeret berat tubuhku. "Apa yang kau lakukan?" "Aku tidak dibutuhkan disini. Aku membencinya. Aku harus pergi." Aku meninggalkan Anthony dan berlari keluar dengan sisa tenaga yang kupunya. Dengan kaki cacatku aku berhasil melarikan diri, mencari taksi dan pergi... Sudah selesai. . . Dia berkunjung. Setelah hampir 6 bulan, dia datang mengetuk pintu apartemenku. Dia menggunakan dua tongkat penyangga untuk menahan tubuhnya. Tidak ada sapaan, kubiarkan dia memasuki apartemenku. Menyuruhnya duduk di ruang tamuku, dan menyajikan kopi pahit untuknya. Lama kami diam, menikmati dentuman jantung yang berdetak pelan dan kegugupan kian merebak. Akhirnya William membuka mulut. "Mereka memberitahuku." Aku mendongak, mendorong punggungku bersandar pada punggung sofa. "Terima kasih Laila." Dia menunduk. Menatap jari-jarinya di atas lutut yang saling terkait. "Terima kasih selalu berada di sisiku. Disaat tidak ada seorangpun yang bersedia, kau menggantikan mereka. Aku tahu aku tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Setelah apa yang kuperbuat, orang hina sepertiku. Dan kau benar-benar baik mau melakukannya" Dia mengangkat wajahnya. matanya basah. "Aku ingin meminta maaf, bukan karena perselingkuhan yang kulakukan. Aku minta maaf atas kelakukan kejamku, aku begitu egois, buta atas cinta yang tidak bisa kudapatkan. Aku menyakiti Elena, menyakiti Anthony dan aku paling menyakitimu." William menutup matanya dengan telapak tangan kirinya. suara nafasnya kian memburu. "Aku mencintainya, dan begitu bahagia saat berhasil meyakinkannya untuk memberiku kesempatan, lalu dia memutuskan hubungan kami sepihak," Aku menahan tangisku. Aku tidak ingin mendengar ini. Tapi bibirku kaku terasa ngilu. "Elena sangat mencintaimu, Laila. Dia merasa sangat bersalah." "Dia tidak mencintaiku! Kau salah." Suaraku bergetar, tanganku mengepal. "Dia mencintaimu. Ada hal yang perlu kau tahu. Sebelum dia bersama Anthony, kami bisa saja bersama, dia mengenalku lebih dulu. Dia bisa saja menerima cintaku, aku sudah menyatakan perasaanku , dan aku tahu perasaanku terbalas, tapi dia menolakku. Dia memilih menikahi Anthony karena dia tahu kau menyukaiku. Demi dirimu dia menolakku." Aku membeku. "Yah, dia melakukan itu, tindakan bodohnya. Merelakan perasaannya demi dirimu." Aku menekan dadaku, "jika dia memang benar melakukannya untukku. Bukannya sekarang dia terlihat sangat munafik? Yang benar saja? Dia menolakmu karena perasaanku, lalu setelah dia menikah, dia berselingkuh denganmu dibelakangku? Aku bahkan tidak tahu harus menamakan hal itu seperti apa? Tapi jika kau menganggapi itu bukti dia mencintaiku," aku mendengus sinis, "kau yakin kau waras?" William membuka mulutnya. Tapi tak ada kata yang terdengar. Akhirnya dia menutupnya dan mengusap wajahnya. "Aku tidak tahu mengapa Elena melakukannya. Aku dibutakan rasa bahagiaku karena memiiki kesempatan bersamanya." "Kau menjijikkan. Kau bahkan tidak berpikir jika dia bersamamu setelah dia menghabiskan waktu bersama Anthony. Kalian berdua menjijikan." "Aku tahu. Aku tahu.." Aku ingin memakinya lebih kejam. Ingin menyakitinya lebih parah. "Aku tidak ingin melihatmu. Pergi." Aku memalingkan wajah. "Aku pantas menerimanya. Aku sangat pantas menerimanya, aku sungguh jahat." "Pergi." Dia tidak menggubris ucapanku. Dia menghampiriku, menyeret kakinya, duduk bersimpuh di depanku. "Aku menyatakan cinta, melamarmu, semua karena permintaan Elena." Aku tersentak. Air mata menggenang disudut-sudut mataku. Itu sakit. "Dulu aku melakukannya karena dia. Aku minta maaf." "Sudah cukup." "Aku mempermainkan perasaanmu. Aku membodohimu. Aku menyakitimu dengan perbuatan tercelaku. Aku minta maaf." Kubiarkan air mata itu jatuh. "Maafkan aku." "Pergi, William." Dia meraih tanganku, aku menariknya dan dia mengukungnya dalam genggamannya. "Kebutaanku sudah menghilang. Kabut itu sudah sirna. Sekarang aku bisa melihat jelas, aku ingin memberi kesempatan pada perasaan yang memenuhi hatiku untukmu. Please, berikan aku kesempatan Laila." Aku tertawa sinis, "manis sekali." Aku menunduk, memandanginya, yang tengah sibuk mencermati genggaman tangannya padaku. "Apa kau kira aku akan sebodoh itu? memberimu kesempatan? Aku sudah melakukannya, dan kau menyia-nyiakannya." Genggamannya mengencang, "aku bukanlah orang yang sama, yang bisa kau bodohi yang bisa kau permainkan seperti dulu William. Kalian telah mengubahmu, aku sekarang mengerti, aku tidak akan menjadi Laila bodoh seperti dulu." "Laila, kumohon." "Jangan buat aku tertawa. Kau melirikku setelah apa yang kulakukan padamu? Kini kau baru sadar keberadaanku? Lucu sekali. Hal-hal berharga yang hilang tidak akan bisa kembali semudah itu William. Aku tidak mau memberimu kesempatan. Aku sudah lelah." Kutarik tanganku, dia melepaskannya tanpa perlawanan. "Aku minta kau pergi sekarang." Dia masih menunduk dengan kaki yang bersimpuh. "Kau begitu berharga, aku sangat menyesal menyakitimu, maafkan aku." Dia mengangkat wajahnya. Dan dia menangis. "Terima kasih." Tergopoh-gopoh dia menarik kakinya, menyeret berat badannya mengambil dua buah tongkat di samping kaki sofa. "Aku tahu mendapatkanmu kembali akan sulit, tapi aku akan berusaha. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Aku tidak akan melepaskanmu. Melepaskan kebahagiaan sejatiku. Aku akan berusaha untuk mendapatkan cintamu lagi, Laila." Aku menatapnya, garis bibirku menipis menahan amarah. "Dalam mimpimu William." . . "Dia datang lagi." Aku menghentikan jemariku yang sedang mengetik. Mengangkat wajah, kulihat rekan kerjaku dibalik pembatas meja kerjaku. "Aku bisa gila." "Dia tidak membawa setangkai mawar kali ini Laila, dia membawa sebuket. Dia menunggu di meja resepsionis. Aku melihatnya bicara dengan Luna. Sepertinya lagi-lagi dia menitipnya disana." Aku kembali mengetik, "biarkan saja." Aku berharap rekan kerjaku akan pergi, tapi tidak, dia berdiri disana dengan segelas kopi di tangannya. "Aku tidak paham Laila." Aku menyembunyikan geramanku. "Jelas sekali William tidak ingin membatalkan pernikahan kalian. Dia mati-matian ingin kembali padamu. Dia melakukannya beberapa bulan ini. Dan kau tidak menghargainya. Kau dingin sekali." Dia mengatakannya dengan suara sinis yang kental. Aku tahu gosip yang beredar. Laila si tidak tahu diri dan berhati kejam. Bayangkan apa yang mereka pikirkan dari sudut pandang orang awam. Laila membatalkan pertunangan dan pernikahan setelah William sadar dari koma dan mengalami cacat sementara. Laila tidak tahu terima kasih, pria tampan seperti William dicampakannya karena efek kecelakaan itu membuat pria itu berjalan dengan tongkat . Apa mereka gila? Aku juga cacat, aku tidak mungkin melakukan hal keji seperti itu. Laila berhati kejam, William yang sudah dicampakkan itu masih memohon-mohon agar Laila ingin kembali padanya. Dan lihat apa yang si Laila tidak tahu terima kasih itu lakukan? Dia tetap bersikeras menolak permintaan William. Padahal pria itu sudah melakukan banyak hal, mengunjungi setiap hari, memberinya mawar, mengirimkannya makan siang dan blaa-blaaa. Dan Laila si tidak tahu terima kasih, bahkan tidak mengizinkan William untuk menemuinya. Garis besarnya pasti sudah terlihat. akulah orang brengsek disini. Kenapa aku tidak menjelaskannya? Aku tidak sebodoh itu untuk mengumbar aibku. Apa yang kukatakan? Lihat, William berselingkuh di belakangku, dan kalian tahu yang paling mengejutkan? Yah, dia selingkuh dengan kakakku. Hahaha. Mengagumkan bukan? Aku memijit pelipisku. "Hubungan kami sudah tidak bisa diselamatkan, hanya itu yang perlu kau mengerti." Dia menatapku seakan tidak percaya. "Kau benar-benar dingin Laila." Dia akhirnya meninggalkanku. . . Aku tidak tahu lagi. Dia memang keras kepala. Dia berdiri, bersandar di samping pintu apartemenku. Tongkat masih menyangga tubuhnya. Terakhir aku melihatnya dia memang kurus, tapi tidak sekurus ini. Pipinya mencekung, tulangnya nampak, dan dia pucat. "Kapan terakhir kali kau bercermin William?" Kubuyarkan pandangan kosongnya. Dia menoleh seketika, menegakkan bahu. "Ah, maaf." Dia mengangkat tubuhnya, aku mengeluarkan kunci dari tasku, dia berdiri berharap. "Aku bercermin tiap hari Laila. Apa ada yang aneh?" Kau tampak kurus, dan mengerikan. Tapi aku tidak mengatakannya. "Mau apa kau kemari?" Dia mengibaskan poninya, "aku ingin bertemu denganmu, kau tidak mau menemuiku jika aku berkunjung ketempat kerjamu." Wajahnya muram, "apa kau menerima bungaku hari ini?" "Yah, Luna membawakannya untukku." "Apa kau menyukainya?" "Apa aku harus menjawabnya?" Aku memutar kunci dan terdengar bunyi klik teredam. "Aku akan mengunjungimu lagi." Dia beranjak pergi. "Aku hanya ingin melihatmu. Sampai jumpa," Dia melewatiku. Betapa berbedanya sekarang dia. Berjalan memerlukan alat bantu, wajah tampannya yang selalu berhasil menarik nafas siapapun kini tampak gelap, kharismanya pun redup, dia seakan tidak memiliki keinginan untuk hidup. Aku melihat punggungnya menjauh. Kurasakan dadaku berdenyut. Aku masih menyimpan ruang untuknya di hatiku. Aku hanya menguncinya. Dan kini ruang itu terketuk, melihatnya seperti itu, Siapa yang merawatnya? Siapa yang berada disisinya sekarang. Dia pasti tidak makan teratur. Dia terlalu kurus. Dia tidak bahagia. Aku tidak bahagia. Kenapa nasib harus mempermainkan kami seperti ini? . . Pandangan itu semakin menusuk. Mereka membenciku. William menjadi buah bibir, sekarang dia hanya memakai satu tongkat penyangga. Dia semakin rajin mengunjungiku, dia berteman akrab dengan Luna, dan wanita itu yang paling membenciku. Dia selalu menaruh bunga di mejaku dengan kasar. Dia selalu memicingkan mata, menaikan dagu tinggi-tinggi jika datang kemejaku. Aku bisa membaca pikirannya. Kenapa orang setampan dan sekaya William mau berusaha mengejar manusia tidak tahu diri dan cacat seperti Laila. Aku tidak menginginkan ini semua, kau tahu. Aku mendatanginya di meja resepsionis. Bisik-bisik itu semakin menjengkelkan. Aku kehilangan rasa hormat rekan kerjaku. Luna berdiri tegak, dia menilaiku. William baru saja menaruh sebuket bunga di meja Luna. Dia bahkan membawa boneka teddy bear mini. Dia tahu aku mencintai mawar. Dia tahu aku suka teddy bear, dia tahu aku penyuka makanan manis. Dan dia melimpahiku itu semua setiap hari. Dia tahu dia tidak diterima di apartemenku. Dia sengaja melakukan hal itu disini, agar aku tidak bisa menolak dan mengabaikan hadiahnya. Dia ingin memenangkan hatiku lagi, tapi bodohnya dia tidak tahu kegiatannya membuatku jadi bahan cercaan kantorku. Dia sangat kaget saat melihatku menghampirinya. Dia setengah menyeret dirinya kearahku, "Laila..." "Bisa kita bicara?" "Tentu." "Ikuti aku." Aku membawanya keluar dari sana, dengan kaki cacatku serta tubuhnya yang memerlukan tongkat, kami terlihat sempurna bersama-sama. Sungguh ironik . . "Hentikan William." "Aku tidak akan berhenti untuk memenangkan hatimu Laila." Katanya keras. Aku menyesap espressoku dan menyilangkan tangan. "Berhenti mengunjungi dan membawakanku hadiah." "Apa kau tidak menyukainya?" "Aku menjadi bahan gunjingan." Dia menekan bibirnya. Menunduk mengaduk kopi pahitnya. "Sepertinya apa saja yang kulakukan membuatmu susah," dia terkekeh dengan nada yang sedih, datar dan kaku. "Maafkan aku Laila. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu tak nyaman." Raut wajahnya berubah sedih, kemuraman menyelubunginya, dan itu memanggil denyut sakit di hatiku. Kupaling wajahku, menatap keluar kaca. "Berhenti saja melakukan hal itu, William." "Aku mengerti. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku benar-benar minta maaf." Dia mengigit bibir bawahnya. "Aku bodoh sekali. Aku lagi-lagi egois dan buta karena keinginanku untuk mendapatkamu." Dia mengusap wajahnya. Matanya menggelap. Dia masih tampak pucat. Sinar itu sudah tidak ada. Dia menjadi pria menyedihkan yang tak lagi kukenal. "Hanya. Stop!" Ucapku lemah. Dia mengangguk, lalu aku berdiri mengeluarkan selembar uang, menaruhnya di atas meja. "Aku permisi," . . Aku kembali berkencan, dengan seorang pria beberapa minggu yang lalu, dan hubungan itu tidak berhasil. Banyak hal yang kubandingkan dalam hubungan baruku, menyedihkannya, William selalu menjadi tolak ukurku. Pria itu, aku merasa bersalah. Dia sungguh pria yang baik, tapi dia bukan William. Aku merindukan si brengsek yang mengkhianatiku. Dia berhenti mengunjungiku. Luna semakin membenciku. Secara terang-terangan dia mengibarkan bendera perang padaku. Dia memang sudah menyebalkan, ditambah lagi dengan masalah William, dia semakin menyebalkan. Tidak ada mawar lagi yang disinggahkan di atas mejaku. Bisik-bisik itu masih terdengar, tapi tidak berdengung hebat seperti sebelumnya. Aku merasakan kehampaan. Aku mencoba menerima pria pertama yang menyodorkan diri padaku, dan yah seperti yang kukatakan tidak berhasil. William sudah ada. Dia ada. Dan aku tidak bisa menepisnya. Kenapa perasaan dan logikaku tidak bisa sejalan? Aku membencinya, sangat membencinya, tapi hati ini mencintainya. Aku setengah mati ingin membencinya. Tidak bisa kubayangkan betapa hebat luka yang dia buat, seberapa menderita hidupku karena dia. Aku ingin hidup untuk membencinya dan aku tidak bisa, tidak berhasil. Aku menarik selimutku hingga ke dagu. Kupeluk guling mencari kehangatan kecil. Mataku basah, dan aku tidak mengerti kenapa aku sesedih ini. Apa karena si pengkhianat itu? Aku merindukannya? "Sial. Pergi dari pikiranku." Aku ingin membencimu... Drrt... Drrt... Kuraih ponselku yang bergetar dari meja kecil di samping kepala ranjang. Anthony Calling... "Halo..." "Laila..." . . Aku berlari secepat kaki cacatku bisa membawaku. Dia berada di sayap kiri rumah sakit, aku tergopoh-gopoh menuju ruangannya. Berbelok disudut kiri, mencari-cari gelisah, aku melihat Anthony serta kakakku, Elena. Aku mendekati mereka, menghindari kontak mata dengan Elena. "Dimana dia?" Tanyaku pada Anthony, "Di dalam. Dia menolakku dan Elena." "Apa aku bisa masuk?" "Ya, kau pastilah satu-satunya orang yang ingin dia temui." Aku melirik Elena dari sudut mataku. Dia mencoba untuk meraihku namun syukurlah dia menghentikannya. Aku belum memaafkannya, dan belum atau tidak akan sama sekali. Aku melewati Anthony. Menarik kakiku memasuki ruangan William. Oh, aku membekap mulutku. Dia terbaring disana. Dia seperti mayat, gerak dadanya yang naik turun satu-satunya penanda jika dia masih hidup. Setiap tarikan nafasku menyakitkan. Selang-selang infus menodai pergelangan tangannya, aku memburu langkah, meraih tangan kurus itu dan menggenggamnya. "William..." Kenapa dia bisa seperti ini? Pipinya sangat cekung. Lingkaran di bawah matanya menghitam dan meninggalkan lekuk yang dalam. Kemana si pria tampan yang dulu mencuri hatiku? Bagaimana bisa aku bersikeras membencinya jika dia seperti ini? "William..." Aku menggenggam tangannya dengan kedua tanganku. Meraihnya hingga menyentuh bibirku dan menciumnnya. "William..." Tolong bangun. "William..." Kudengar suara nafas tertahan. Aku mendongak, mendekatkan tubuhku ke arah William. "William, kau bisa mendengarku?" aku melepaskan tangannya dan menangkup wajahnnya. "William..." aku meneteskan airmataku ke wajahnya, kulihatnya matanya berkedut. "William, oh, apa yang kau lakukan pada tubuhmu sendiri?" Aku membelai pipinya. "Kenapa kau melakukan hal ini pada dirimu sendiri?" William, dia mencoba bunuh diri. Dia menegak sebotol pil tidur. Pembantu sewaannya yang datang beberapa minggu sekali menemukannya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi. Dia sekali lagi diberikan kesempatan. Dia hidup, berhasil diselamatkan. "Kenapa William? Kau sangat bodoh." Aku menempelkan pipiku ke wajahnya. Dia dingin, aku mengusapnya. "Buka matamu William..." Kurasakan lagi gerak-gerak kecil itu. Aku mengangkat tubuhku. Matanya perlahan membuka. Lalu aku menangis dan mencium keningnya. "Lai-la..." "Yah, ini aku..." "La..." "Ya, William..." Aku ingin menekan tombol di atas kepala ranjang, dan tanganku berhenti ketika kurasakan jemari William menggenggam tanganku yang bertumpu di samping tangannya di atas ranjang. "Laila, oh Laila!" Suaranya serak, dia meringis ketika menelan air liurnya. "William." Aku menunduk. Tanganku menangkup kembali wajahnya. "Kau datang. Aku kira aku sudah kehilanganmu." Aku menyeka air matanya. "Kau tidak kehilanganku." "Aku melihatmu bersamanya." William menggapai kerah bajuku. Dia menarikku, "aku melihatmu bersama pria lain. Dan aku merasa mati rasa. Aku ingin membunuhnya tapi aku tidak berhak. Kau memang pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau..." William terbatuk, dia menarik nafas dengan sulit. "Ssh, jangan bicara lagi. Kau tidak kehilanganku. Aku disini. William, aku disini." "Tapi aku melihatmu, dia memelukmu. Dan oh Laila, itu rasanya sakit sekali. Aku..." kali ini dia tersedak. Aku menepuk-nepuk dadanya dengan pelan. "William..." "Aku sangat jahat. Aku melukaimu. Aku tahu sekarang bagaimana rasa sakitnya. Aku ingin mati Laila." "Hentikan. Kau tidak boleh melakukannya William. Itu tindakan bodoh." "Aku ingin mati, aku tidak memiliki apa-apa lagi." William menjadi sangat emosional, dia menarik nafas dengan sulit. Aku membujuknya untuk tenang. "William..." "Aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi Laila, kau satu-satunya alasanku hidup, dan kau sudah bersama orang lain. Aku tidak ingin..." dia kembali tersedak. Aku menangis keras. Aku tidak bisa membencinya, aku mencintai si pengkhianat ini. Melihatnya menderita sama saja bunuh diri. Aku tidak tahan lagi. Aku memeluknya dan membasahinya dengan tangisku. "William..." "Laila. Jangan tinggalkan aku, jika kau melakukannya lebih baik biarkan aku mati." Dia pria yang kuat. Melihatnya sangat putus asa seperti ini aku menjerit karena kesedihan ini tak tertahankan. William. Williamku yang sangat malang. Elena tak memilihnya. Orangtua mengabaikannya. Sahabat tak pernah ada di masa susahnya. William yang malang. Aku mencoba membencinya, dan itu usaha mengerikan yang melukai dia dan diriku. "Aku disini. Aku tidak akan meninggalkamu. Aku disini. Aku mencintaimu." Dia menjerit kecil, aku mengira dia kesakitan, aku mencoba melepaskan dekapanku dan dia mencengkram tubuhku. "Jangan lepaskan. Jangan tinggalkan aku. Aku merindukanmu, aku mencintaimu, Laila. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Kau tidak tahu betapa bahagianya aku mendengar kau mencintaiku. Laila. Lailaku." "Aku mencintaimu William. Jangan lakukan hal ini lagi." "Tidak akan. Tidak selama kau bersamaku." Kami menangis. Tidak peduli dengan waktu, tidak peduli dengan keadaan. Menumpahkan semua perasaan yang terpendam selama ini. Kami mencoba mengeluarkan penderitaan serta kepahitan selama kami berpisah. William, memelukku seperti tak akan ada hari esok. Aku membelai lengannya. "Aku mencintaimu, Laila." "Aku tahu. Aku juga mencintaimu, William." Kubiarkan dia menangis, kubiarkan diriku menangis. Hanya saat ini, kubiarkan kami menumpahkan tangis ini. Tapi besok, kupastikan tidak akan ada lagi airmata. Aku sudah menemukan tempat bahagiaku. Kami akan bahagia. Aku akan memastikannya. END Quote vienasoma : beri kesempatan pada hatimu, beri kesempatan pada luka yang tidak kau tahu kapan akan sembuh. Berikan dia kesempatan, bolehkan dia untuk kedua kalinya merasakan bahagia. Kau tidak akan pernah tahu sebelum mencoba, terkadang kesempatan kedua melebihi apapun dari kesempatan pertama. Cerita 3 - GRAZE Main cast : Annabelle, Anastasia, Simon, Bastian =================== Annabelle POV. "Aku ingin uang dan kau ingin anak dariku, lalu?" Kunaikkan satu alisku menjawab pertanyaannya. "Apa kau sama sekali tidak memperdulikan anak yang akan kau berikan pada kami?" "Bukankah sudah ada kau yang akan memedulikannya?" Dia terdiam menerima pertanyaan alih-alih jawabanku. Dia tampak berusaha mencerna perkataanku dan aku bisa melihat keraguan dalam matanya. "Apa lagi yang kau ragukan Anastasia?" Aku mengubah posisi dudukku. Kaki bersilang dan tanganku melipat didepan dada. Jujur kukatakan jika aku sudah sangat lelah membahas perihal yang sama berulang kali. Anastasia selalu ingin membahasnya. Selalu mencari kesempatan sekecil apapun untuk membicarakannya. Dia benar-benar membuang waktuku. Sedari awal kami sudah sepakat tentang semua hal. Lalu apa lagi yang ingin dia diskusikan? "Aku hanya tidak ingin jika ditengah jalan kau berubah pikiran Annabelle. Bagaimana jika tiba-tiba kau tidak ingin memberikan anak itu pada kami." Yang benar saja. Apa dia benar saudariku? Seingatku kami sudah hidup bersama selama belasan tahun. Bagaimana bisa Anastasia masih tidak mengenal kepribadianku. "Aku bukan wanita seperti itu Anastasia, apa kau lupa?" Anastasia menggigit bibir bawahnya. Masih banyak keraguan terpancar dalam bola matanya yang bisa kulihat jelas. Sepertinya memang sangat sulit untuk meyakinkan Anastasia jika dia tidak perlu mencemaskan apapun. "Tapi Anna, aku.... Jika aku ya-." "Dengar Anastasia." Kusela perkataannya dan kuhirup udara sebanyak-banyaknya kemudian berdiri dari posisi dudukku dan duduk disisi kiri tubuhnya. "Bisakah kau berhenti berpikir terlalu keras? Bisakah kau berhenti untuk menyamakan persepsimu denganku? Apa lagi yang ingin kau dengar dariku agar kau berhenti ragu dan menjalani semuanya dengan tenang? Apa kita benar - benar perlu mendiskusikan semua dari awal? Apa kau tidak bosan? Tidak lelah?" Dalam satu tarikan nafas panjang aku berbicara tanpa berhenti. Anastasia kembali terdiam. Sunyi menaungi ruangan kami. Hanya ada suara deru nafasku dan suara isakan kecil Anastasia yang mulai terdengar. "Maafkan aku." Ucap Anastasia. Suaranya parau dan dia berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis keras. "Jika saja aku tidak seperti ini. Aku tidak akan merepotkanmu." Kubelai bahunya dan dia menyenderkan wajahnya pada lekuk bahuku. "Tidak ada yang salah Anastasia, kau tidak perlu meminta maaf. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Bukankah ini hubungan mutualisme? Kita sama - sama di untungkan. Aku akan mendapatkan uang darimu dan kau akan mendapatkan anak dariku dan kita berdua tidak rugi apapun." Aku menangkup wajah Anastasia, menyeka tetesan air mata yang mengalir di kedua sudut matanya dengan jemariku. "Tenanglah Anastasia, semuanya akan baik - baik saja." Tubuhnya semakin berguncang dan tanpa berpikir panjang kudekap dia dengan erat. Saudariku satu - satunya. Saudara perempuanku. Dia begitu menderita dan akupun sama. . Aku tidur bermalas - malasan diranjang besarku. Merenungi nasib dan kesialan. Aku ditipu dan di tinggalkan kekasihku. Dia meninggalkanku dengan hutang yang sangat banyak. Membuatku di kejar-kejar oleh rentenir yang bisa saja membunuhku jika aku tidak melunasi hutang. Nasib burukku bahkan tidak berakhir disitu. Rumah yang setengah mati kucicil dari jerih payahku bekerja selama beberapa tahun musnah begitu saja. Dia menjualnya tanpa sepengetahuanku sehingga membuatku berakhir menjadi gembel tanpa tempat tinggal sebelum Anastasia memungutku. "Fuh." Anastasia benar-benar beruntung bisa menikahi Bastian. Pria itu selain kaya juga tampan. Kamar yang kutempati seperti kamar mewah yang sering kulihat dilayar televisi dalam drama-drama romantis. "Aku memang sial." Aku tidak akan pernah lagi mau mempercayai orang lain. Tidak akan pernah. Pria yang menjalin hubungan denganku selama lima tahun saja sanggup melakukan hal kejam itu padaku. Apa lagi dengan orang-orang baru yang kukenal. Aku tidak mengerti apa yang salah denganku? Aku hidup dengan baik. Tidak pernah menyakiti orang lain. Tidak pernah menuntut lebih pada orang tua yang tidak bisa memenuhi keperluanku. Tidak pernah iri pada Anastasia yang selalu bersinar. Annabelle Peyton? Tidak ada yang memperhatikanku karena seorang Annabelle Peyton tidak bersinar seperti seorang Anastasia Peyton. Aku tidak menyalahkan Anastasia karena dia selalu mendapatkan perhatian lebih dariku. Aku cukup puas dengan kekasih yang menipuku dulu, cukup puas dengan pekerjaanku, rumah kecilku, usaha kecilku dan impian-impianku. Itu sudah membuatku bahagia. Tapi nasib berkata lain. Aku sama sekali tidak diberkati. "Apa yang kau lakukan Anna?" Aku memiringkan kepalaku, melirik dengan sudut mataku kearah pintu kamar. Bastian masih dengan jas kerjanya mengunjungiku. "Tidak ada. Aku hanya merenungi nasibku." Dengan malas aku mengangkat tubuhku dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Bastian mendekat. Dia menunduk agar wajahnya sejajar dengan wajahku. "Apa kau menginginkan sesuatu? Anastasia bilang kau tidak memakan makananmu lagi." Bastian mengacak rambutku sembari tersenyum ramah. Belasan tahun aku hidup bersama Anastasia baru kali ini aku merasa iri pada hal yang dia miliki. Dia benar-benar beruntung menikahi Bastian. Aku sampai harus menahan air mataku ketika secara tidak sengaja membandingkan mantan kekasihku dengan suaminya. "Aku ingin sesuatu yang dingin." "Es krim?" Dia langsung menebak. Aku mengangguk malas. "Tapi Anastasia tidak akan memberikannya padaku." Aku menunduk. Memeluk perutku. "Tunggulah, aku akan membawakannya untukmu." "Tapi bagaimana dengan Anastasia?" Aku mendongak untuk melihat wajahnya. Dia mengedipkan matanya sebelah dan kembali mengacak rambutku. "Jangan beritahukan padanya. Anggap ini rahasia kecil kita." Apa yang membuatku tambah ingin menangis adalah INI. Kandunganku sudah mencapai usia dua bulan dan aku masih 'akan' merasakan morning sick entah sampai kapan. Tiap pagi selalu berlari kekamar mandi memuntahkan air. Tidak bernafsu untuk makan, dan selalu memiliki keinginan aneh yang disebut sebagai "mengidam". Bastian begitu memedulikan perasaan dan keinginanku. Walau Anastasia juga seperti itu tapi sekarang dia lebih fokus pada bayi yang kukandung. Aku tidak bisa menyalahkannya karena dia begitu menginginkan bayi ini lahir dengan sehat hingga tidak bisa lebih fokus padaku yang mengandung dan memiliki keinginan memakan sesuatu yang tidak sehat. Aku mengangguk sebagai persetujuan dan Bastian menghilang dari hadapanku. "Huft" Aku kembali merebahkan diri. Tanganku menjulur keatas seakan ingin meraih langit-langit kamar yang tinggi. Anastasia tidak bisa memberikan anak kepada keluarga Bastian karena dia mandul. Kenyataan itu dia ketahui setelah mengecek kondisi tubuhnya beberapa bulan lalu. Dia datang menemuiku menceritakan semuanya. Menangis dan hampir mengiris pergelangan tangannya karena kecewa pada dirinya sendiri. Dan nasib sungguh mempermainkan kami dengan baik. Saat Anastasia terpuruk saat itu pula aku mengetahui jika aku telah di tipu oleh kekasihku. Tidak tahu siapa yang awalnya mencetuskan ide jika aku akan menjadi sukarewalan yang mengandung benih Bastian. Kejadiannya begitu cepat dan samar-samar dalam ingatanku. Aku dan Anastasia sama-sama dalam kondisi tidak bisa berpikir logis. Aku hampir gila dan Anastasia hampir mati. Aku butuh uang. Anastasia butuh anak. Kami akhirnya menjadi relasi yang saling menguntungkan. Aku memiliki rahim yang Anastasia butuhkan untuk memberikan anak pada Bastian dan Anastasia memiliki banyak uang yang kubutuhkan dari suaminya, Bastian. Akhirnya aku hamil melalui proses inseminasi buatan. Aku tidak perlu melakukan hubungan intim dengan Bastian. Untunglah perkembangan kodokteran memudahkan segalanya. Membayangkan berhubungan dengan Bastian yang notabene adalah suami dari Anastasia aku merasa jijik pada diri sendiri. Walau kuakui aku memiliki sedikit rasa terhadap Bastian tapi tetap saja akal sehatku masih berjalan. "Huahhh." Aku mengelus-ngelus perutku. Disini. Dalam perutku ada sebuah jiwa dari seseorang yang dicintai oleh saudariku. Disini. Dalam perutku ada sebuah raga yang akan terus berkembang dan akan kuberikan pada mereka yang membantuku. Apa aku sedih? Tidak! Aku sama sekali tidak merasakan kesedihan apapun karena akan memberikan bayi yang kukandung pada Anastasia. Aku merasa jika bayi ini memang bukan hakku. Bayi ini hanya sekedar singgah dalam rahimku dan begitu lahir dia akan berada dalam dekapan orang-orang yang mencintainya. "Aku mengurus bayi?" Mengurus diri sendiri saja aku tidak becus. Aku masih egois dan tidak mau terikat. Maka dari itu aku lebih memilih hidup bersama dengan mantan kekasihku tanpa menikah. "Cepatlah lahir dengan begitu aku bisa bebas untuk kembali ke klub malam bersama teman-temanku." . . "Bastian!!!! Kau ingin membuatku terlihat seperti babi?" Aku merengek menjauhkan piringku. "Annabelle dia hanya membantumu mengambil makanan." Anastasia membela suaminya. Mereka berdua memang pasangan yang serasi, selalu menyuruhku memakan makanan yang sangat banyak. Aku sudah kenyang dan mereka masih saja menyuruhku makan. Lihat saja lemak-lemak ditubuhku. Aku bahkan tidak berani lagi berhadapan dengan cermin. "Tapi tidak sebanyak ini!!! Huh, ini banyak sekali. Aku bisa gemuk kalau memakan semuanya." "Tubuh ibu hamil memang seperti itu Anna, nanti jika kau sudah melahirkan tubuhmu akan kembali langsing. Aku tahu kau ingin memakannya, jadi jangan memaksakan diri untuk menahan nafsu makanmu karena takut gemuk." Bastian mengedipkan matanya padaku dan kembali menaruh udang goreng dalam piringku. Aku ingin membantahnya namun melihat makanan yang dia sodorkan aku menutup mulutku. Nafsu makanku mengerikan. Aku benci menjadi ibu hamil. . . 5 bulan. Aku semakin sulit untuk bergerak dan Anastasia menyiksaku dengan membawaku berkeliling Mall membeli perlengkapan bayi. "Kenapa kau tidak pergi membelinya bersama dengan Bastian saja Anastasia? Aku lelah!" Aku berhenti berjalan mengikutinya. Dia menoleh kearahku. "Bastian nanti akan menyusul Anna!Ayolah, masih ada baju-baju bayi yang ingin kubeli di toko sana." Aku mengerutkan keningku. "Masih?" "Yah!!!" "Kita sudah berbelanja banyak Anastasia!! Kau menghambur-hamburkan uang dengan percuma!" "Tidak ada yang percuma untuk anakku." Dia melihat perutku dengan mata yang bersinar bahagia. Dia benar-benar membuatku lelah. Tingkahnya seperti anak kecil. Tiap hari dia memaksaku untuk melakukan hal-hal aneh. Memutar lagu klasik yang membuatku mengantuk demi bayi diperutku. Mendaftarkanku senam khusus ibu hamil. Mengajakku berjalan-jalan agar kondisi tubuhku tetap fit. Aku lelah! Aku ingin bersenang-senang. Dan aku merindukan alkohol. Aku mual selalu minum susu. "Ayolah Anna!!! Semangat." "Terserah." . . Bukan Bastian yang menyusul kami tapi seorang pria tampan lainnya. Dia mengenakan jas seperti direktur-direktur muda pada umumnya. Dia membungkuk pada Anastasia kemudian mereka berbincang sejenak tidak menyadari keberadaanku yang terduduk kehabisan tenaga di sofa toko. Aku mengelus perutku. Kebiasaan yang muncul tanpa bisa kucegah. Kebiasaan itu datang sendiri dengan semakin membesarnya perutku. "4 bulan lagi Anna. Semangat." Anastasia menoleh kearahku, bersama pria tadi dia mendekatiku. "Anna, Perkenalkan. Ini Simon. Dia assisten Bastian. Bastian tidak bisa menyusul dan menjemput kita karena itu dia mengirim Simon." Aku berusaha berdiri. Pria yang bernama Simon itu membantuku dengan meraih lenganku dan menarik tubuhku agar aku tidak perlu merasakan beban saat berdiri. Kalau kuperhatikan dia benar-benar tampan. Huft. Sepertinya penyakitku yang gampang tertarik pada pria tampan tidak terpengaruh oleh rasa traumaku pada tragedy penipuan mantan kekasihku. "Hi Simon. Perkenalkan Annabelle Peyton." Aku mengulurkan tangan padanya setelah sanggup berdiri dengan kakiku sendiri. Tangannya menyambut uluranku. Senyumnya indah. Aku memajukan tubuhku untuk lebih jelas melihat wajahnya. Dia memundurkan wajahnya dan kudengar Anastasia berdehem untuk menegurku. "Senyummu sangat indah Simon." Simon hanya terkekeh menutup mulutnya dengan punggung tangan dan mengangguk sembari menatapku dengan malu. Shy man? Aku tidak pernah menyicipi pria seperti itu. Aku menyeringai. . . 7 bulan. "Sejak kapan Annabelle menjadi dekat dengan Simon?" Aku mendengar suara Bastian dari arah ruang tengah ketika aku ingin mengambil beberapa buah untuk kumakan. Aku mengendap seperti pencuri bersembuyi dianak tangga terakhir yang dekat dengan ruang tengah. Aku berjongkok. "Simon? Sejak beberapa minggu belakangan. Mereka sepertinya memiliki hobi yang sama. Kenapa?" "Tolong peringatkan saja Annabelle agar jangan terlalu dekat dengan Simon." Eh? Aku mengerutkan keningku. Kenapa aku tidak boleh dekat dengan Simon? Pria itu baik. Dia bahkan mau mengerti tentang kondisiku yang tengah hamil anak mereka. Dia selalu menghilangkan rasa sepiku ketika Bastian maupun Anastasia terlalu sibuk untuk mengurusku. Dia selalu membalas semua pesan singkatku. Simon sering menelponku hanya sekedar mengobrol. Lantas apa yang salah? Bastian tidak mempercayai assistennya sendiri? "Kenapa?" "Lakukan saja apa yang kukatakan." "Setidaknya kau memberikan alasan yang jelas Bastian." "LAKUKAN SAJA." Aku tersentak. Baru pertama kali aku mendengar Bastian berteriak seperti itu. Aku membatu dalam posisiku berjongkok. Dadaku bergemuruh. Aku tidak bisa membayangkan di balik senyum Bastian dia bisa melakukan hal seperti terhadap Anastasia. Dia berteriak didepan Anastasia. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Anastasia saat ini karena aku bersembunyi dari mereka, tapi dari pengalamanku hidup bersamanya selama belasan tahun aku yakin dia akan menangis. Anastasia tidak tahan dengan perlakuan seperti itu. Dia tidak suka dengan hal-hal yang kasar. "Lakukan saja apa yang kukatakan." Aku berlari pelan kekamarku. Tidak ingin lagi mengetahui apa yang mereka bicarakan. Tidak mau mendengar suara isakan Anastasia yang begitu memilukan. Ada apa dengan Bastian? . . Aku duduk bersandar pada kursi goyangku dihalaman belakang rumah. Didepanku kolam renang besar terpampang mengundangku untuk berenang. Aku ingin sekali menyeburkan diri kedalam sana. Mengambang seperti mayat agar aku tampak bodoh. Aku menghela nafas. "Apa ada hal sulit yang kau pikirkan?" Waktu yang tidak tepat. Sengaja aku menghindari Bastian setelah beberapa malam dia berteriak pada Anastasia. Aku belum sanggup menghilangkan suara kasarnya dalam benakku. Aku mengacuhkannya dengan mengangkat bahu berlagak bosan dan dengan kesialanku dia duduk disampingku. "Apa yang kau pikirkan Anna?" "Tidak ada!" Aku memejamkan mata. "Kau tidak bisa membohongiku. Kau dan Anastasia tidak pandai melakukannya." Bastian memang pria baik. Dia memang sangat baik dan itu membuatku sekarang muak. Bagiku saat pertama kali dia memperlakukanku begitu istimewa aku berpikir itu karena dia menghormatiku yang mengandung anak mereka. Aku bahkan merasa bagai diatas angin karena diperlakukan istimewa dan begitu berharga olehnya. Membuatku hampir menangis dan bahkan membuatku iri terhadap Anastasia untuk pertama kalinya. Tapi sekarang? Sikapnya berlebihan. Aku masih tersanjung dan merasa bahagia karena dia begitu fokus padaku, tapi aku tidak suka jika dia terlalu melebih-lebihkan. Bagaimana dengan Anastasia? Dia terlihat tidak baik beberapa hari ini. Dia tidak lagi secerewet biasanya. Dia berhenti mengerecokiku. Dia menghindariku lebih tepatnya. "Aku benar-benar, baik-baik saja Bastian." Aku berdiri dan dia segera meraih bahuku untuk membantu. Aku tidak menepisnya karena aku memang butuh bantuan. Tubuhku sekarang membengkak. "Tidak perlu lagi membantuku. Aku bisa berjalan sendiri." Aku menolaknya halus ketika dia mulai bergerak untuk mengikutiku. Aku berharap jika ini semua hanya pemikiranku. Aku berharap. Aku berharap jika Bastian tidak menyukaiku. Jika semua ini hanya halusinasiku. . . "Apa kau menyembunyikan sesuatu yang mengerikan dariku?" Aku bertanya pada Simon. Walau aku sudah di peringatkan oleh Anastasia agar tidak lagi menemuinya dengan alasan berdalih jika sebaiknya aku tidak mengganggu pekerjaan Simon tapi aku tetap bersikeras menghubungi pria didepanku. Kami duduk saling berhadapan disebuah resto yang menyajikan fried chiken. Aku sedang ingin memakan paha ayam. "Apa kau anak seorang gangster? Atau kau seorang kriminal?" Simon terkekeh. Aku ingin tahu. Aku ingin mencari tahu alasan di balik sikap Bastian yang melarangku untuk berdekatan dengan Simon. Aku ingin mengenyahkan asumsiku yang berbisik setiap malam dalam tidurku jika Bastian melakukan hal itu karena dia merasa terancam. Dia merasa cemburu karena keberadaan Simon yang dekat denganku. Aku menggeleng. Jangan sampai hal seperti itu terjadi. Itu gila. "Apa Bastian menyuruhmu menjauhiku?" Dia tahu. Dia memajukan tubuhnya. Sikunya bersandar diatas meja. Dagunya dia tempatkan diatas punggung tangannya. Simon memiringkan wajahnya dan mengedipkan matanya padaku. "Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Aku tidak akan menjelaskan apapun padamu. Aku hanyalah Simon. Percayai apa yang ingin kau percayai, lakukan apa yang ingin kau lakukan. Apa jawabanku cukup membuatmu puas?" . . Bulan terakhir kehamilan. Aura yang terasa di ruangan ini sangat menekan. Bastian tidak bisa menyembunyikan aura marahnya pada Simon yang duduk disisiku. Berkali-kali aku mendapati dia melirik Simon dengan tatapan ingin membunuh. Tak ada yang bisa mencairkan suasana. Aku ingin melarikan diri dari tempat ini. Kalau aku tahu kejadiannya akan seperti ini, aku tidak akan menyuruh Simon datang. Aku tidak mengira jika Bastian dan Anastasia akan pulang cepat malam ini. Beberapa hari ini mereka sangat sibuk sehingga selalu pulang larut malam. Nasib sialku memang tidak ada habisnya. "Sebaiknya aku pulang, ini sudah larut malam." Simon melihat jam di pergelangan tangan kirinnya. Dia beranjak dari sofa ditempat kami duduk. "Aku akan mengantarmu." "Tidak perlu, biar aku yang mengantarnya Anna." Bastian menahanku. Dia sudah lebih dulu berdiri dan menekan bahuku agar tidak bergerak dari posisiku. Kulihat punggung mereka menjauh dari hadapanku dan aku tidak bisa mengabaikan sebuah tatajam tajam dari saudaraku sendiri. Anastasia. "Annabelle bisa kita bicara sebentar?" Aku menelan air liurku. . . Dia duduk ditepi ranjang disampingku. Mungkin kami sudah menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit, setengah jam atau mungkin sejam. Aku tidak begitu memperhatikan waktu. Tak ada yang mencairkan suasana diantara kami. Kecanggungan ini pertama kalinya kurasa selama aku hidup bersamanya. Aku tidak berani membuka mulut. Aku takut jika aku bersuara ada hal buruk yang akan terjadi. "Apa kau menyukai Bastian?' Aku membatu mendengar pertanyaan Anastasia yang tiba-tiba. Dapat kurasa bibirku bergetar ketika ingin menanggapinya. "Apa maksudmu Anastasia?" Aku mencoba bersikap santai. Masalah ini. Aku benci dengan suasana seperti ini. "Jawab saja Anna, apa kau menyukai Bastian?" "Tidak! Aku tidak be-." "Tolong kali ini bisakah kau bersikap jujur." Anastasia memotong perkataanku. "Aku tahu selama ini kau selalu mencoba mengabaikan perasaanmu. Aku tahu selama ini kau selalu menyimpan perasaanmu demi kebaikanku. Tolong kali ini. Bisakah kau jawab dengan jujur, kau menyukai Bastian?" Aku tergagap. Seperkian detik pikiranku kembali melayang di awal bulan aku tinggal dengan mereka. Sikap Bastian, perlakuan Bastian yang mengistimewakanku. Segala sesuatunya. Aku hampir mengubah jawabanku menjadi "Ya" untuk pertanyaan Anastasia. "Aku ti-." "Aku mengerti." Anastasia kembali menyelaku. "Aku akan memberikannya padamu. Aku merasa jika Bastian menyukaimu. Dan jika kau juga menyukainya aku akan mem-." PLAK. Aku menamparnya. Pipiku terasa panas. Dadaku bergemuruh. Aku menutup mulutku rapat-rapat dan kemudian aku menjerit. "Anna...." Aku merasa bagian punggungku begitu sakit. Perutku terasa mulas. "Anna..." "Rumah sakit, Akh! Cepat! Sakit sekali." Aku menekan punggungku. Anastasia mengangguk mengerti dan berlari keluar kamarku dan kudengar dia berteriak memanggil Bastian. Aku meringis menahan sakit dan pikiranku melayang jauh pada proses melahirkan yang akan segera kuhadapi. "Kenapa bayi ini ingin keluar disaat yang tidak tepat?" . . Aku terbangun. Mengedipkan mataku berkali-kali hingga mataku kembali bisa merefleksikan bayangan dengan jernih. "Ouch." Aku meringis saat mencoba menggerakkan tubuhku. Bodoh! Aku baru saja melalui proses mengerikan. Tentu saja badanku akan terasa seperti ini ketika terbangun. Aku tidak begitu mengingat prosesnya dengan jelas karena aku terlalu fokus pada rasa sakit yang kurasa. Dan demi apapun didunia ini aku bersumpah ini pertama dan terakhir kalinya aku mengandung. "Anna." Aku menoleh ke asal suara. Bastian yang duduk disofa tak jauh dari ranjangku menyadari kesadaranku. Dia beranjak dan berdiri disampingku. Tangannya membelai rambutku kemudian beralih ke pipiku. Aku ingin menepisnya tapi aku tak cukup kuat untuk melakukannya. Aku mencari sosok Anastasia dan dia berdiri menopang diri pada handle pintu. Wajahnya terlihat lelah dan matanya sama sekali tidak bisa membohongiku jika dia terluka. Tersakiti karena melihat sikap Bastian terhadapku. Belum sempat aku membuka mulut Anastasia menggeser tubuhnya. Seorang perawat masuk membawa buntalan kecil dalam lengannya. Bayiku. Bukan, bayi mereka. Perawat itu mendekat dan dia menidurkan bayi yang dia gendong disamping tubuhku namun Bastian langsung meraihnya dan menyuruh Perawat itu alih-alih menidurkan bayi itu disampingku kedalam gendongannya. Mata Bastian berbinar bahagia. "Halo cantik." Bastian mencolek pipi bayinya. Cantik? Aku lupa bayi yang kukandung adalah seorang perempuan. Aku tidak begitu bersemangat saat mereka melakukan pengecekan jenis kelamin beberapa bulan lalu hingga tidak memperhatikan dan akhirnya melupakannya begitu saja. "Kau wangi sekali." Bastian mencium pipi bayinya dengan penuh kasih. Keningku berkerut. Bukankah sekarang ini seharusnya perasaanku menjadi tersentuh melihat pemandangan didepan mataku? Seharusnya aku menangis bahagia penuh haru biru melihat bayi yang kuperjuangkan untuk hidup di dunia ini telah lahir dan begitu di cintai oleh orang-orang sekitarnya.Tapi, mengapa tak ada sedikitpun perasaan itu muncul memenuhi hatiku. Aku tetap tidak memperdulikan bayi yang baru saja kulahirkan dengan mempertaruhkan nyawa. Tidak perduli jika Bastian dan Anastasia akan mengambilnya. Aku malah merasa LEGA. Akhirnya kebebasanku kembali. Kulirik Anastasia. Dia seperti terkucil dalam ruangan ini karena Bastian begitu terhanyut dengan bayi yang berada dalam buaiannya. Anastasia tampak ingin berlari keluar dan berteriak kemudian menangis untuk menghilangkan sesak yang dia rasa. Aku bergerak mengabaikan rasa sakit dari tubuhku dan lagi sebelum aku sempat berbicara Bastian mendahuluiku. "Anastasia..." Bastian memanggilnya dengan nada terindah yang pernah kudengar. Dia tersenyum dengan air mata yang tergenang disudut mata besarnya. Dia mengangkat bayinya kearah Anastasia. Menyodorkannya agar Anastasia meraihnya. "Dia cantik sekali. Anak kita Anastasia. Kau tidak ingin menggendongnya?" Tangis Anastasia pecah dan kulihat Bastian menjadi panik. Dia menyerahkan bayinya padaku dan aku tergagap menerimanya. Bagaimana posisi yang benar menggendong bayi? Aku meletakkan kepala mungilnya pada lengan atasku dan sebagian tubuhnya bersender diatas perutku. Apa ini sudah benar? Aku begitu sibuk mencoba mencari posisi yang nyaman untuk bayi mereka sehingga terkesiap begitu pertama kali aku melihat wajahnya. Bastian benar. Dia cantik sekali. Bayi mereka benar-benar sempurna. Aku mulai membelai pipinya dan dia membuka mulut mungilnya. "Kau benar-benar cantik." Aku mencoba mencari rasa keibuan yang sering kudengar oleh orang lain. Insting yang akan datang ketika kau menjadi seorang ibu. Dimana seorang ibu akan memiliki rasa menyayangi dan melindungi yang tinggi untuk anak mereka dan lagi keningku berkerut. Aku tidak menemukannya bahkan ketika bayi dalam buianku menghisap telunjukku. Perasaan atau insting keibuan tidak ada dalam nadi-nadiku. Aku memang menganggumi bayi dalam dekapanku tapi untuk menjaga dan memilikinya? Sama sekali tak terbersit dalam pikiranku. "Hiduplah yang baik. Tumbuh yang cantik dan bahagia bersama orang tuamu. Mengerti?" Aku mencium keningnya yang wangi. Kubiarkan pasangan didepanku berbicara mengenai perasan mereka. Sekarang ini aku hanya ingin menikmati rasa hangat yang menyelimuti hatiku. Bukan karena bayi ini. Aku masih berasumsi jika dia bukan milikku tapi milik mereka. Aku akhirnya mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Aku melihat dari mata Bastian ketika dia menyodorkan bayi ditangannya kearah Anastasia. Dia tidak memiliki perasaan khusus untukku. Perlakuannya murni hanya karena Bastian perduli padaku yang mengandung anak mereka. Dia hanya mencintai saudariku. Dimatanya hanya ada Anastasia. Aku yakin selama ini Bastian pasti selalu berspekulasi jika aku adalah duplikat Anastasia. Jika aku hanyalah sekedar wanita yang agak mirip dengan Anastasia yang meminjamkan rahim demi kebahagiaan mereka. Wanita yang dia hargai karena telah rela mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak mereka. Semua perlakukannya murni karena rasa keperdulian dan menghormatiku. Bastian mencintai Anastasia. Asumsiku sangat salah dan itu membuatku ingin tertawa. Tapi satu hal yang masih mengganjal dalam pemikiranku. Kenapa Bastian melarangku untuk berhubungan dengan Simon jika dia tidak memiliki perasaan apapun terhadapku? . . "Jadi?" "Seperti itulah." Aku duduk diatas meja ruang kerja Anastasia yang berada di rumahnya. Pasca melahirkan 4 bulan yang lalu aku memutuskan untuk pergi dan tinggal di apartemenku sendiri. Walau aku harus menghadapi penolakan Anastasia dan Bastian terlebih dahulu, mati-matian menyakinkan mereka jika aku lebih nyaman hidup sendiri dan tidak ingin membebani mereka. Akhirnya sekarang aku hidup bebas sendirian. "Apa maksudmu seperti itulah Anastasia?" Aku menaikkan satu alisku. Tanganku menyilang. Yang benar saja. Bastian begitu bodoh. Sangat bodoh. Dia kuberikan predikat pria terbodoh di planet ini. "Dia melarangku berdekatan dengan Simon karena dia tahu Simon adalah pria bejat yang suka mempermainkan wanita?" Anastasia mengangguk. "Dan dia merahasiakan alasannya karena dia takut begitu dia mengatakan hal itu kau akan bertanya lebih jauh dan mengorek dari mana dia mendapatkan informasi itu dan kemudian jika dia menjelaskan dia dulunya bersama Simon adalah pria seperti itu dia takut kau akan meninggalkannya?" Lagi Anastasia mengangguk. Aku tertawa. "Anna.." "Suamimu itu bodoh. Dia tidak mengenalmu. Hanya karena dia dulu brengsek bukan berarti kau akan meninggalkannya kan?" "Dia takut aku kecewa Anna. Dia begitu takut jika aku meninggalkannya jika tahu masa lalunya yang 'hitam'. Dia tidur dengan siapapun yang menawarkan diri padanya. Dia suka mempermainkan hati orang yang menaruh hati padanya, dia takut jika aku mengetahuinya pandanganku terhadapnya akan berubah." "Dia bodoh." Ucapku. "Aku tahu. Dia begitu bodoh hingga aku menghajarnya." Menghajarnya? Aku turun dari meja kerja dan menghampiri Anastasia. Dia bisa menghajar orang lain? Ini informasi baru untukku. "Bagaimana kau menghajarnya?" Tanyaku. "Itu rahasia!!!" Wajah Anastasia memerah. "Yang jelas mulai sekarang jangan dekati Simon karena menurut Bastian, Simon belum berubah sama sekali. Saat bersamamu pun Simon selalu menggandeng wanita yang berbeda-beda. Maka dari itu Bastian begitu cemas padamu." Aku hanya diam tak memberikan reaksi apapun. "Anna, Jangan dekati dia lagi. Mengerti?" Aku memiringkan wajahku dan menatap mata Anastasia. Bibirku menyeringai. "Kau tidak perlu memikirkan hal itu Anastasia. Kau mengenalkukan?" "Karena aku mengenalmu maka-" "Sst, tenang saja. Aku bisa menjaga diri, lagipula ada hal penting yang ingin kutanyakan. Bagaimana dengan anakmu?" Air muka Anastasia berubah. Berseri-seri dan tampak sangat bersemangat. Aku harus menyiapkan diri selama berjam-jam dari sekarang karena Anastasia akan mulai berdongeng begitu anaknya di bahas. . . Aku menjatuhkan tas channelku begitu saja diatas meja dan duduk menyenderkan punggungku pada sofa. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Kau sepertinya frustasi." Aku tidak menoleh untuk melihatnya. Aku hanya diam duduk dengan nyaman. Kurasakan pergerakkan kecil disamping tubuhku. Dia duduk dan menaruh gelas berisi air putih diatas meja. Aku langsung menyambarnya dan tanpa pikir panjang menegaknya sampai habis. Jemari tangannya mengusap bibir bawahku. Menyeka air yang menetes. "Ada apa, eoh?" Aku menolak untuk menjawabnya. Aku mengalungkan tanganku dilehernya dan mengangkat tubuhku mengangkang diatas pahanya. Tangannya secara otomatis melingkar dipinggangku. "Anastasia baru saja mengingatkanku untuk menjauhimu." Simon terkekeh. "Lalu? Apa sekarang aku harus mengucapkan salam perpisahan denganmu?" Aku berpura - pura berpikir. Simon menantiku. Aku mengangkat bahu. "Tergantung." Kataku mulai menciumi lehernya dan membuat nafas Simon mulai memburu. Tangannya mulai bermain dipahaku. "Tergantung?" Tanyanya meraih daguku agar wajah kami saling berhadapan. "Kalau kau mulai mengajakku menikah aku akan meninggalkanmu." Simon tertawa keras. "Ck, kau wanita teraneh yang pertama kalinya kutemui! Selama ini aku selalu dituntut untuk menikahi wanita-wanita yang kukencani dan kau? Kau malah mengancam akan meninggalkanku jika aku memintamu menikahiku?" Aku memutar bola mataku. "Kau tahu aku tidak suka terikat." "Aku tahu, maka dari itu aku lebih menyukaimu daripada wanita-wanita lain yang kukencani." "Apa masih ada wanita lain selain aku?" Aku memicingkan mataku dan Simon terkekeh geli. "Apa kau sekarang perduli dengan wanita-wanita lainnya? Bukankah kau memberikanku kebebasan selama aku berada diluar? Bukankah kita hanya menc-" "God Simon! Aku hanya bertanya!" Aku memukul pelan bahunya. "Aku tidak peduli dengan wanita yang kau kencani. Tidak peduli jumlah mereka. Selama kau bisa memberikan apa yang kuinginkan, selama kau tidak menuntutku menikah itu semua tidak masalah. Mengerti?" "Aku mengerti Anna, tidak menikah. Tidak terikat. Tidak mencampuri urusan pribadi." Aku membelai kedua sisi pipinya dan tersenyum. "God Boy. Sekarang bisa kita mulai kesenangan kita?" Aku mengedipkan sebelah mataku dan Simon langsung bereaksi mengangkat tubuhku. Dia berjalan perlahan menuju kamar utama. Aku menyeringai. . . Belakang kepalanya tampak jelas kulihat tenggelam diantara selangkanganku. Kedua tangannya menahan pahaku agar terbuka lebar hingga tak menghalanginya bergerilya menjilati kewanitaanku. Tanganku mencengram ujung seprai. Mendesah seperti pelacur, merintih dan memohon seperti budak dan dia tetap tidak mengindahkanku. Aku membusungkan dadaku. Menghirup nafas panjang dan menggeram. Lidahnya bermain lincah diantara klitorisku. Menusuk lubang kewanitaanku. "Ahh, Simon!" Entah berapa jari yang dia masukkan kedalam lubang kewanitaanku. Dia menusukannya dengan cepat. Dinding - dinding kewanitaanku berkedut. Semakin banyak cairan yang merembes membanjiiri daerah sensitifku. "Ahh.. Please.. Simon.. Ahh." Aku memohon padanya agar dia segera membebaskanku dari rasa hampa yang memenuhi selangkanganku. Aku ingin dimasuki. Ingin merasakan dirinya dalam tubuhku. "Simon.. Oh... Akh." Aku menarik kepalanya dengan sisa-sisa tenagaku. Menangkup wajahnya yang penuh dengan seringai licik ketika dengan haus aku meraup bibirnya dan menghisapnya. Aku memasukkan lidahku begitu mendapat ruang kosong. Lidahku bermain indah menelusuri tiap ruang dalam bibirnya. Tanganku bahkan tak bisa diam untuk selalu membelai dadanya. "Ahh." Desahan disela bibirku menjadi awal teriakan keputusaanku yang lain. Simon hanya menggesekkan miliknya didepan bibir kewanitaanku. Dia senang membuatku memohon. Dia senang jika aku merubah diriku menjadi wanita murahan yang haus akan sex. "Oh Simon. Shit!!! Masukkan. Please." Aku meremas lengan kokohnya yang berdiri kedua sisi tubuhku. Mata sipitnya terpejam. Senyum di bibirnya semakin terkembang. Aku ingin menampar wajahnya. "Kau memang selalu tidak sabaran Anna." Aku memutar bola mataku. Sudah hampir setengah jam Simon menyentuhku. Membuatku basah dan menginginkan miliknya agar segera memasukiku. Dia hanya ingin mempermainkanku. "Ouch. Akh." Pikiranku kembali kosong begitu perlahan kurasa ujung kepala ereksinya mulai memasuki. Simon melebarkan kakiku yang kuturuti dengan senang hati. Aku melingkarkan kakiku pada pinggangnya. Tanganku berada tepat diatas bokongnya kemudian meremasnya. Simon meraih tanganku dan mengalungkan di lehernya. "Sshh.. Bergerak Mr. Simon" Ucapku tak tahu malu. "Ck.. Ride me Anna." Simon membalik posisi kami. Kini aku berada diatas tubuhnya. Aku mendorong tubuhku kebelakang. Tanganku bertumpu pada pangkal pahanya. "Akh.. Sssh... Akh.." "Akh.. Akh... Ah.." Tubuhku bergerak lambat. Sengaja memperdalam jangkauan ereksi Simon didalam kewanitaanku. Desahan kami begitu erotis untuk didengar, keringat Simon bahkan terlihat sangat lezat untuk kucicipi. Aku mencium keningnya. Lidahku menelusuri tiap sudut wajahnya. "Akh.. Simon." "Kau lambat sekali Anna." Simon memompa pinggulnya dan membuatku diam. Sepertinya sekarang giliran Simon yang kehabisan kesabaran. Dia menjatuhkan tubuhku terbaring disamping tubuhnya. Aku membelakanginya. Dan dari posisiku Simon menusukkan ereksinya dengan kasar ke dalam kewanitaanku. Aku meremas bantal. Desahanku semakin terdengar menyedihkan. "Lebih cepat. Akh.. akh.. fuck. Yes.. Simon" "Anna.. Akh.. Akh!" Simon mengangkat sebelah kakiku agar akses ereksinya semakin lancar untuk memasukiku. Aku menoleh. Lenganku mengalung dilehernya. Aku mendekatkan wajah kami. Aku mengincar bibir Simon yang sedari tadi mengalunkan desahan-desahan merdu yang menaikkan birahiku. Lumatan kasar dan menuntut. Erangan kami. Peluh keringat. Bunyi gesekan kelamin. Aku terbuai. "Simon... Akh.. Baby.. Akh.." . . Sampai kapanpun aku tetaplah aku. Aku tidak peduli dengan kepopuleran. Tidak peduli dengan perhatian yang berlebihan. Tidak ada dalam kamusku untuk merasa iri terhadap orang lain. Aku tidak membenci orangtuaku yang mengabaikanku dan lebih perhatian pada adikku. Aku malah bersyukur. Kebebasanku lebih besar. Aku bebas melakukan apapun dan aku merasa kasihan pada Anastasia. Aku tidak ingin terikat karena aku senang dengan kebebasan. Aku ingin bersenang - senang. Menjalin hubungan dengan sistem menguntungkan. Simon memberikan apapun yang kuinginkan. Apartemen. Mobil. Uang dan kenikmatan ranjang. Aku tidak peduli dengan kehidupannya yang hitam. Tidak perduli dengan wanita-wanita lain dalam hidupnya. Selama aku bisa bersenang-senang. Selama aku bebas. Selama aku bernafas. Aku akan selalu seperti ini. Tidak menggunakan perasaan hanya mengandalkan kesenangan. Berpikir rasional tidak emosional. Aku Annabelle Peyton wanita bebas yang tidak terikat. END Cerita 4 - GRAZE - GAMOPHOBIA Main cast : Annabelle, Anastasia, Simon, Bastian Author Note : Gamophobia adalah phobia/rasa takut akan pernikahan/berkomitmen =================== Annabelle POV. Dentuman hak sepatuku terdengar nyaring sepanjang koridor jalan. Kunaikkan gagang kacamata hitam yang bertengger manis menutupi mataku, semua pasang mata yang menyorotiku kuacuhkan dengan arogan. Aku tetap melangkah begitu cepat, aku terburu - buru. Aku tidak sabar bertemu dengan seseorang yang menghancurkan hidupku. Wanita lain berpakaian dinamis dan mengesankan keangkuhan menyambutku begitu aku berdiri didepan pintu yang menjadi tujuan kedatanganku. Dia berlagak sopan namun tersirat merendahkanku dengan menghalangi jalan. Lengannya menahanku untuk melanjutkan langkah untuk meraih handle pintu, aku meliriknya. Kubuka kacamata dan kukaitkan pada kerah baju, kukibaskan rambutku kebelakang bahu, "aku ingin bertemu dengan direktur kalian." Dia tersenyum, senyum yang dapat kupastikan tidak memiliki ketulusan. "Maaf nona, apa anda sudah membuat janji?" Aku berdecak dan berkacak pinggang. Aku mengambil selfon dari tas hitam yang bertengger dilengan kiri, kusentuh layarnya dan mencari nama Simon. Aku mendial nomornya. Beberapa detik bunyi klik terdengar, "aku ingin masuk dan sekretarismu yang sangat cantik menghalangiku," seruku memandang sinis wanita yang kini terlihat salah tingkah memandangiku. "Bicaralah dengannya, aku terlalu malas menjelaskan." Kusodorkan seflon dalam genggamanku pada wanita sekretaris berblazer merah menyala. Kulihat dia menyapa salam Simon. Mereka berbincang sejenak. Wanita itu membungkuk meminta maaf pada suara diselfon. Aku menyeringai begitu dia selesai berbicara dengan Simon dan memberikan selfonku kembali lalu meminta maaf. Kukibaskan tangan malas, "sudahlah, tidak perlu meminta maaf. Bukakan saja pintu ini untukku." Berlagak seperti nyonya besar, aku langsung melewatinya setelah pintu itu terbuka dan menampilkan ruang kerja mewah milik Simon. Kujelaskan, aku terkejut ketika mengetahu pria yang kukencani ternyata seorang pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan maju dikota ini. Pertama kali kami bertemu, Simon hanyalah assiten Bastian, dan beberapa bulan kemudian barulah dia memberitahuku, jika dia menjadi assisten Bastian karena bosan menjadi pengusaha, lelah selalu memerintah orang lain. Dia ingin tahu bagaimana rasanya menjadi bawahan, maka dari itu dia membuat perjanjian konyol dengan Bastian, menyembunyikan statusnya dan berlagak seperti assiten yang baik. Sungguh! Wow! itu adalah alasan gila yang membuat darahku terbakar, berani-beraninya dia meremehkan posisinya yang seperti itu. Dia tidak waras memakai alasan bosan untuk memainkan pekerjaan. apa dia tidak tahu bertapa banyak manusia diluar sana yang rela membunuh demi mendapatkan posisinya, lalu dia? dia malah jengah dan bosan. "Selamat siang Annabelle." Sambut Simon, Aku melihatnya duduk bersandar pada kursi kebanggaannya. Ada sebuah pena mengait yang dia mainkan dalam jalinan jemarinya. Aku mendengus. "Wah, kunjungan yang menyenangkan." Katanya merubah posisi menegakkan tubuh. Sikunya bersandar diatas meja dan dagunya berada diatas punggung tangan. Aku jalan menghentak. Kulempar tasku kearah sofa berseberangan dengan mejanya,"aku sudah memperingatkan padamu Simon yang terhormat!!!" Ucapku amat pelan, aku menarik nafas dan mengatur emosiku. "Tenang baby, ada apa?" "Don't baby me! Sudah beberapa kali kukatakan Simon, hati - hati!! HATI - HATI! Apa kau tidak tahu artinya?" tanganku mencengkram sisi - sisi pahaku. Aku berdiri didepannya, siap untuk menerjang jika memiliki kesempatan. "Kau tahu seberapa besar bencana yang kau akibatkan padaku?" Gumamku, aku berjalan pelan kesisinya. "Kau berlebihan sayang." Dia meraih tanganku dan memaksaku duduk diatas pahanya, aku memukuli dadanya. "Kau menghancurkan hidupku." "Tidak." Bantahnya. "Yah! Kau menghancurkan hidupku! Kau menghamiliku!" Perkataan terakhirku membuat cengiran diwajahnya menghilang. Tak ada lagi senyum yang menjengkelkan. Wajahnya datar. "Aku hamil Simon. Aku hamil." 3 tahun yang lalu aku bersumpah, jika menjadi ibu hamil adalah masa yang hanya akan kujalani sekali seumur hidupku. Dan sekarang sumpah itu menjadi serpihan debu yang menyedihkan. Kini didalam perutku ada janin yang akan berkembang. Ada darah dagingku dan Simon didalam sana. "Bagaimana? Aku tidak menginginkan anak ini. Aku tidak ingin kebebasanku hilang." Simon tidak meresponku. Aku menengadah melihatnya dan terkesiap. "Kenapa kau tersenyum?" Tanyaku gusar, "kenapa kau bisa memasang tampang seperti itu disaat kebebasan kita terancam Simon?" Apa berita ini begitu mengejutkannya hingga dia bereaksi aneh dan tidak wajar? Pria tampan yang menopang tubuhku terkekeh, menambah alasanku untuk marah. Darah berkumpul disekitar wajahku. Sebentar lagi aku akan meledak. "Tenanglah Annabelle, kenapa kau begitu kalut? Bukankah ini berita bahagia? Kita akan menjadi orang tua." Benar ada yang salah dalam sistem - sistem otaknya. Dia bukan Simon yang kukenal. "Sebentar......" Aku membatu. Logikaku mulai bekerja. Beberapa minggu lalu dia menyinggung sebuah perencanaan keluarga, dia ingin mencoba serius dalam suatu hubungan. Aku menatap ngeri dirinya. "Simon, jangan bilang kau merencanakan semua ini?" Tanyaku curiga. Aku menarik kerah bajunya. Wajah kami hanya beberapa inchi jauhnya. "Simon..." Simon sedikit mencondongkan tubuh dan menempelkan bibirnya padaku. Dia melumat bibirku. Jemari tangannya mengelus pipi kiriku. Aku terduduk takut diatas pangkuangannya dan menunggu tautan bibir kami terlepas. "Aku tidak tahu cara seperti apa lagi yang bisa mengikatmu denganku selain yah, kau tahu menghamilimu." Dia mengangkat bahu santai, "Aku ingin serius denganmu Annabelle," dia kembali melumat bibirku. Kami berciuman cukup lama. Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. "Kenapa bisa kau berubah seperti ini?" Tanyaku setelah berhasil lepas dari lumatan bibirnya. Simon menyandarkan punggungnya. Beberapa menit dia memejamkan mata dan menyantaikan bahunya. "Aku hanya lelah Annabelle, aku sudah puas dengan kebebasanku. Aku ingin hidup damai sekarang, membangun sebuah keluarga." "Kau bercanda?" Pekikku. Aku berdiri menjauhinya. Aku mendekap tubuhku. Menggeleng, mengeluarkan semua konsep pemikiran Simon yang baru saja dia kemukakan. Aku tidak percaya jika dia bisa mengubah sudut pandang hidupnya. Selama ini kami baik - baik saja. Hubungan kami berjalan mulus, hubungan mutualisme yang saling menguntungkan. Dia ingin menghancurkan semuanya? "Anna..." "Simon Hunt," kupastikan tatapanku memancarkan niat membunuh, "mulai hari ini kita tidak saling mengenal." Putusku dan berjalan, membelakanginya, menjauh dari virus - virus yang kuyakini mendiami tubuh Simon hingga membuat dia merubah rotasi hidupnya. "Kau tidak akan bisa lepas dariku Annabelle, Kau mengandung anakku." Kalimat terakhir Simon yang kudengar sebelum menutup pintu membuatku merinding. Aku berlari cepat, berusaha keras dengan heels yang begitu tinggi. Aku bermimpi buruk. ** Anastasia duduk gusar didepanku, jika tidak ada Bastian dan Rose -anak mereka- dia mungkin sudah menarikku masuk kedalam mobilnya dan menyidangku. Aku menyesal mengadu padanya lewat telfon. Lihat betapa terluka wajahnya sekarang. Dia merasa terkhianati olehku karena membohonginya selama tiga tahun ini. Aku berbohong, aku bermain dibelakangnya, aku tidak mengikuti sarannya. Aku tetap menjalin hubungan dengan Simon. Dan sekarang dia tahu aku hamil, bisa jelas kulihat dari wajahnya dia gatal ingin bertemu dengan penabur benih dalam rahimku. Dia pasti ingin sekali mengeksekusi Simon, menguliti pria itu hingga kedasar - dasarnya. Kualihkan pandanganku melihat keponakanku, bibirnya bagai duplikat bibirku. "Rose... sini sama bibi." Aku mengambil balita dalam dekapan Bastian. Kugendong dia dengan sedikit rasa canggung. Sampai kapanpun aku tidak akan terbiasa dengan balita, atau anak kecil. Aku menciumi pipinya. Wangi khasnya belum menghilang. Aku bermain - main dengan menggelitik perutnya. Kekehannya mengundang gelak tawaku dan orangtuanya. "Jadi, apa kali ini kita akan merayakan ulang tahun Rose di hotel bintang lima?" Tanyaku dengan nada sinis. Anastasia memutar bola matanya mendengar nada suaraku. Dia menyeruput jus alpukatnya. "Tahun ini kami tidak merayakannya, Bastian harus keluar negeri menemui kolega bisnis." Satu alisku terangkat. "Bastian? Keluar negeri? Berpisah dengan Rose?" Aku menggeleng. Tertawa geli membayangkan ayah yang over protektif, mengidap daughter-complex seperti Bastian berjauhan dengan anaknya. "Aku sedang merayu Anastasia agar mereka ikut bersamaku Anna." Bastian kembali menadahkan tangan meminta Rose padaku. Lihat saja, baru beberapa menit aku menggendongnya Bastian sudah tidak tahan untuk merebutnya. Kuberikan Rose pada Bastian, "lalu?" Tanyaku. "Anastasia belum memberikan jawabannya." Keluh Bastian. Aku mendengus. "Turuti saja Anastasia. Apa kau tidak takut jika Bastian jatuh sakit karena berpisah dengan Rose?" Hasutku "Tidak semudah itu Annabelle." "Kau terlalu banyak berpikir seperti biasanya Anastasia." "Kau tidak mengerti." Ucapnya. "Yah aku tidak mengerti. Aku memang tidak tahu apa - apa." Aku mendorong tubuhku kebelakang, bersender tidak nyaman pada kursi kayu yang keras. Aku tidak tahu apa - apa. Aku tidak mengerti. Bagaimana sebuah keluarga. Bagaimana rasanya memiliki suami dan anak. Aku tidak tahu dan tidak ingin mengalami fase itu. Anastasia meraih tanganku. "Nanti sehabis makan malam aku akan berkunjung ke apartemenmu. Aku ingin mendiskusikan hal yang kau bicarakan ditelfon." Aku membeku. Aku menyesal! Aku menyesal mengadu padanya. ** Melarikan diri dari Simon tidak segampang melarikan diri dari Anastasia. Aku bisa mengelak dari Anastasia tapi tidak dengan Simon. Dia memegang kunci apartemenku, dia tahu tempat kerjaku, dia tahu semua mengenai tempat - tempat favoritku dan yang terpenting dia memegang kartu kreditku. "Jadi pernikahan seperti apa yang kau inginkan Annabelle?" Dia duduk santai membungkukkan bahu dengan menahan kedua siku tangan diatas paha. Matanya sibuk menyoroti halaman - halaman katalog pernikahan. Aku menggeram dan duduk disampingnya. "Kenapa kau masih merecokiku?" Getir dalam suaraku terdengar jelas. Aku kesal dan ingin meledak. Sudah lebih dari sebulan hal ini berlarut - larut tanpa ada akhirnya. Simon datang. Menggangguku membahas satu hal yang paling kubenci. Pernikahan. "Sepertinya gaya luxury sangat cocok untuk karaktermu." Lanjutnya mengacuhkan pertanyaanku. Mendesah malas, aku bangkit dan berjalan menuju dapur, kubuka kulkas dan masih tak ada wine yang bisa kutemukan. Simon sudah membinasakan semua simpanan alkoholku. Dia membuang semua junky food dalam lemari penyimpan makanku. Dia membabat habis segala sesuatu yang berkaitan dengan "Larangan" untuk ibu hamil. Bahkan koleksi Wedges dan Heelsku menghilang, hanya ada slipper dan sepatu flat dalam wardrobeku Aku meraih sebotol susu. Kuambil gelas dan kuisi setengah. "Sampai kapan kau melakukan hal ini?" Aku menghabiskan susuku dalam sekali teguk. Kutaruh gelas dalam konter cuci piring dan kembali duduk disofa yang berhadapan dengan Simon. "Simon... " Panggilku. Akhirnya pria itu mendongak. Lekuk rahangnya tampak mengeras. "Aku sudah memberitahu keluargaku. Ibuku ingin bertemu denganmu akhir minggu ini." Mataku terbelalak. "KAU GILA." Kataku tak percaya. Dia mengangguk. "Kau benar! Aku gila." Simon menghela nafas, dia memijit pelipis kanannya. Aku tak bersuara begitu juga dia, seperti sedang menyusun rangkaian kata, Simon memejamkan mata dan bergumam amat pelan. Dia berdiri dan mengambil duduk disisiku. "Apa kau benar - benar tak ingin menikah?" Tanyanya. Aku mengangguk. "Aku sudah menjelaskan padamu sejak lama Simon. Dari awal, saat kita memulai hubungan ini. Begitu kau membahas pernikahan aku akan meninggalkanmu." "Meninggalkanku?" Simon mengulangi perkataanku dengan wajah yang mengguratkan kekesalan pada kata itu, "walau kau mengandung anak kita? Kau tetap akan meninggalkanku?" Aku menggigit bibirku dan mencoba mengalihkan wajah. "Annabelle Peyton." Desaknya. Aku menarik nafas, "aku tidak ingin terikat Simon, kau tahu itu. Aku bukan tipe wanita yang terobsesi dengan sebuah ikatan, aku mencintai kebebasan. Pernikahan bukanlah kata yang cocok untukku." Simon duduk diam. Dia menantiku. Aku berusaha keras untuk tidak mendesah. "Aku tetap akan meninggalkanmu walau sedang mengandung anak kita." "Kau bercanda?" "Tidak." Tegasku, "Aku bahkan akan menggugurkannya jika kau memaksaku menikah menggunakan alasan kehamilanku." Simon menggebrak meja. Kusembunyikan wajahku lebih dalam dengan menunduk menatap kakiku. Nafas Simon menderu cepat dan perlahan dia mulai bergerak. Dia meninggalkanku, mengambil jasnya yang tergeletak disudut sofa tempat dia duduk sebelumnya. Aku tidak berani mengangkat wajah. Kediaman Simon adalah sesuatu yang dapat kuartikan jika dia sedang menahan amarah. Aku cukup mengenalnya selama hampir tiga tahun menjalin hubungan dengannya. "Kita tetap akan menikah. Bahkan jika kau menolak, menggugurkan kandunganmu dan mencoba melarikan diri dariku. Kau tahu siapa aku Annabelle, tidak ada yang bisa lepas dariku begitu aku menginginkannya." Aku merinding mendengar perkataannya. Dia serius. Amat serius. ** Baru beberapa jam lalu Simon pergi, kini aku harus menghadapi Anastasia. Aku duduk malas menonton acara reality ditelevisi. Dari sudut mataku, kulihat Anastasia duduk disofa untuk satu orang. "Susah sekali bertemu denganmu 1 bulan ini Annabelle." Anastasia terdengar kesal. "Aku sibuk Anastasia." "Sesibuk apa sampai beberapa jam saja kau tidak bisa luangkan untukku?" Nada sinis dalam suaranya mengalihkan pandanganku dari layar telivisi kewajahnya. "Baiklah! Aku minta maaf!! Aku belum siap membicarakan apapun yang ingin kau bicarakan denganku." Anastasia menghela nafas, "aku hanya ingin tahu tindakan apa yang Simon lakukan mengenai kehamilanmu Anna. Apa dia bertanggung jawab atau dia lari dan meninggalkanmu?" Nafas Anastasia terdengar berat. Opsi terakhirlah yang membuat dia terlihat begitu geram. Konsep pria brengsek yang Simon sandang dimata Anastasia tidak menghilang. Adikku tetap memegang teguh ucapan Bastian. Simon berbahaya. Simon hanya akan melukai setiap wanita. Sekarang aku baru mau mengakuinya. Simon benar - benar berbahaya jika dia menginginkan sesuatu. "Dia memaksaku menikah." Gumamku acuh, Kuambil remot diatas meja dan memindah saluran lain. "Benarkah?" Tanya Anastasia. Aku menaikkan sebelah alisku mendengar pertanyaannya yang kental dengan keraguan. Dia tidak mempercayai ucapanku. Sebegitu burukkah Simon dimatanya hingga dia yakin Simon akan meninggalkanku begitu tahu aku telah dihamilinya? "Kau tidak bisa membayangkannya Anastasia." Aku melempar remot asal. "Akhir minggu ini aku akan bertemu keluarganya. Dia sudah memberitahu ibunya." Aku mengerang. Kututupi wajahku dengan telapak tangan. "Well, itu mengubah semuanya kalau begitu." Ucap Anastasia. "Padahal aku sudah menyiapkan peralatan perang jika Simon meninggalkanmu." "Anastasia!" Aku memekik tidak percaya, "kau tahu bagaimana aku. Bagaimana mungkin kau mendukung keinginan Simon menikahiku." Protesku. Pandangan mata Anastasia melembut. "Kapan penyakit gamophobia dalam dirimu akan menghilang Anna?" Satu alisku terangkat. "Aku tidak memiliki penyakit itu Anastasia." "Kau tidak bisa mengelak! Akui saja Annabelle!" "Tidak!" "Yah!" "Tidak Anastasia." "Kau sakit Annabelle." Anastasia bersikeras, airmata mulai menghiasi pelupuk matanya. "Kau memiliki rasa takut akan komitmen! Kau takut dengan pernikahan! Kau takut terikat!!! Selama ini aku membiarkannya karena itu hidupmu, tapi.." Anastasia terisak dan menyeka airmatanya. "Kali ini, bisakah kau berusaha untuk menghilangkan phobiamu. Demi anak yang kau kandung. Demi dirimu sendiri. Aku ingin kau bahagia Annabelle." "Aku bahagia dengan diriku sekarang Anastasia." Sahutku dingin. Kami saling menatap cukup lama. Anastasia berhenti menangis. Dia menepuk pipinya dan mengambil tas dibalik punggungnya. Dia merogoh sebuah kaca kecil dan mulai memperbaiki riasan wajahnya. "Pikirkan perkataanku baik - baik. Kau akan jauh lebih bahagia jika kau hidup dengan seseorang dan membangun sebuah keluarga. Aku hanya ingin kau bahagia kak." Aku tersentak. Sudah cukup lama Anastasia tidak memanggilku kakak. Terakhirnya kalinya, seingatku ketika kami berusia 10 dan 8 tahun. Aku melarangnya memanggilku kakak, karena aku tidak ingin orang lain tahu aku lebih tua darinya. Aku selalu ingin tampil lebih muda, selalu sehat dan cantik. Menua dan menikah adalah dua kata yang paling kutakuti. "Jaga kesehatanmu Annabelle. Sekarang ini tidak hanya ada jiwamu dalam tubuhmu, ada jiwa lain yang sedang tumbuh dalam rahimmu." Anastasia mengecup puncak kepalaku sebelum dia pergi. Aku mendekap tubuhku semakin dalam. Aku sakit? Aku benar - benar sakit? ** Aku tahu, dalam fase kehamilan hal - hal sepele dapat menyebabkan kefatalan. Banyak larangan serta mitos - mitos yang tak boleh dilakukan. Dari makanan hingga kegiatan, semua sudah memiliki aturannya sendiri. Maka dari itu aku sangat membencinya. Dan sekali lagi aku dihadapkan dalam fase itu. Aku memandang sinis Simon yang sedang berbicara dengan dokter pribadi keluarganya. Dia membawaku ke rumah sakit secara paksa disetiap akhir bulan untuk mengecek kandunganku. Aku benar - benar sudah tidak bisa melarikan diri darinya setelah seluruh keluarganya bertemu denganku dan mengenalku. Ayah ibunya -yang tidak kumengerti alasannya- sangat mencintaiku. Aku bisa melihat dari mata ibunya jika wanita itu memujaku. Dia akan memandangiku dengan pandangan yang membuatku risih. Pandangan terima kasih dan kekaguman. Aku tidak bisa membenci mereka karena hal itu. Aku jadi tidak bisa mengecewakan harapan mereka yang selalu memandangi perutku dengan penuh harap. Aku terikat sekarang. Aku tidak bisa bernafas. "Semuanya baik - baik saja Simon. Anak kalian sehat." Kudengar dokter Ford memberitahu Simon. Aku duduk dengan menjalin jemari tangan dibawah meja. Kubiarkan semua diambil alih oleh Simon, aku sama sekali tidak berpartisipasi dalam hal apapun. Semua hal yang menyangkut kehamilanku Simon yang mengurusnya. Aku hanya 'lagi - lagi' menyumbangkan rahimku. "Terima kasih dokter." Mereka berjabat tangan. "Jaga kesehatan anda Annabelle itu juga kunci utama." Kudengar namaku disebut. Aku mendongak dan mengangguk malas. "Aku mengerti." Bisikku. Genggaman Simon dibahuku mengeras. Hampir terasa sakit. Aku tidak tahu jika Simon bisa menjadi seposesif ini. ** Tidurku tidak tenang. Tidak nyaman walau aku diberikan ranjang paling mahal sekalipun. Aku tidur melengkung, menyamping dengan bentuk tubuh seperti udang. Mataku terpejam, tapi pikiranku melayang jauh pada sesuatu hal yang sangat kabur. Aku seperti memandang masa depanku. Tak ada gambaran pasti. Hanya ada kabut tebal yang menyeramkan. Aku berusaha keras bernafas. Kehangatan yang kurasa dibelakang tubuhku. Deru nafas yang kudengar, Simon bisa terlelap nyenyak sedangkan aku tidak. Kehadirannya menambah kegugupan yang menyebabkanku tidak bisa tidur. Aku dan Simon sekarang tinggal dirumah mewah orangtuanya, ibunya memaksa kami untuk hidup bersama mereka, wanita ramah itu memakai alasan kehamilanku hingga membuatku bungkam. Dia ingin menjagaku. Dia ingin mengetahui segala perkembangan mengenai calon cucunya. "Bagaimana? Bagaimana?" Aku terus bergumam kecil. Mataku terbuka kembali menatap dinding putih kamar mewahku dan Simon. Aku masih berharap mendapatkan cara untuk keluar dari masalah ini. "Kau belum tidur?" Kecupan ringan mendarat manis dipipi kiriku. Jemari Simon mulai menari dilenganku. "Kau Ingin sesuatu, eoh?" Tanyanya, kini bibirnya bermain manis dilekuk leherku. Aku sedikit mendesah. Simon terkekeh, "atau kau ingin melakukan sesuatu yang mesum?" Kudorong tubuhnya dengan sikuku. "Biarkan aku beristirahat, Simon." Aku memejamkan mata kembali, kali ini nafas hangatnya berhembus disekitar pundakku. Simon mengecupnya berkali - kali. Aku mengeratkan kepalan tanganku yang bersembunyi dibalik selimut. "Tidurlah yang nyaman Anna. Selamat malam." Ada hal baru yang kuketahui semenjak Simon mengubah pola pikir dan hidupnya. Dia bukan lagi Simon yang tidak peduli dengan orang lain. Bukan lagi Simon yang suka mempermainkan orang lain dan bersikap seenaknya. Dia sudah melepaskan topeng malaikatnya dan bermetamorfosis menjadi 'The Real Simon', dia menampilkan dirinya sendiri, yang baru kuketahui sekarang, Dia serius ingin membangun sebuah keluarga denganku. Konsentrasinya pada kehamilanku bukan sekedar kepura - puraan atau dia anggap sebagai tantangan. Setiap kali dia memandangku atau perutku raut wajahnya menjadi lembut. Dia berubah menjadi Simon lain yang tak kukenal. Dia selalu disisiku. Selalu membawaku kemanapun dia pergi. Jam kerjanya dia kurangi hanya untuk mengurusku. Seharusnya, seperti yang dikatakan Anastasia beberapa minggu lalu, aku beruntung. Aku bisa merubah Simon menjadi orang yang lebih baik. Lelaki bertanggung jawab. Lelaki yang sekarang mencoba memperbaiki hidupnya demi sebuah keluarga yang ingin dia ciptakan bersamaku. Tapi aku tidak merasa demikian, aku masih merasa ini kutukan. Banyak wanita yang rela menjadi diriku sekarang, aku yakin dengan hal itu dan aku bersumpah, aku rela memberikan posisiku saat ini pada wanita manapun. Aku tidak ingin menikah. Aku sakit? Tidak! Aku takut. Aku takut terikat. Aku takut memiliki hubungan serius. ** Kehamilanku sudah mencapai bulan keenam. Sudah tidak ada harapan lagi. Simon benar - benar memegang teguh perkataannya ketika aku memutuskannya diawal pemberitahuan kehamilanku. Aku tidak akan bisa lepas darinya Aku tidak akan bisa larinya begitu dia menginginkanku. Aku duduk lemas begitu bulan pernikahanku ditetapkan. Semua sudah diatur oleh ibu Simon beserta keluarga besarnya. Mereka hanya memberitahuku tanggalnya dan menyuruhku untuk tetap tenang menunggu proses persalinan. Aku akan menikah dengan Simon 7 bulan lagi dari sekarang. Sengaja aku meminta agar kami menikah setelah aku melahirkan, alasanku sederhana karena aku ingin tampil cantik dalam balutan gaun pernikahanku tanpa ada tonjolan diperutku. Semua mempercayainya, walau sebenarnya alasan itu kugunakan untuk mencegah proses pernikahan menjadi lebih cepat. Aku masih mencari cara untuk lepas dari ikatan yang menakutiku dihampir setiap malam. Mataku terpejam. "Kau terlihat lelah." Aku membuka mata dan melihat Simon berjalan pelan kearahku. Dia berlutut dihadapanku dan mulai meraih kakiku kemudian memijit telapak kakiku. Aku menikmati sentuhannya. "Menjadi ibu hamil apa begitu melelahkan dari pada mengurus perusahaan dengan ribuan karyawan?" Nada bercanda dalam suara Simon begitu tulus, tapi aku mengacuhkannya dengan merapatkan bibirku. Rasa lelah dikakiku mulai membaik. "Kau perlu bersabar 3 bulan lagi, Anna." Aku membuka mata. "Lalu?" Sahutku, "lalu setelah 3 bulan aku harus terikat denganmu seumur hidupku?" Simon menghentikan gerak tangannya. Dia menarik nafas. Aku sudah siap menghadapi amarahnya. Aku sudah membentengi diri siap mendengar bentakannya, tapi sampai beberapa menit berselang Simon tidak melakukan apa - apa. Aku melihat dia berdiri kaku didepanku. Bibirnya bergerak tapi tak ada suara terdengar. "Aku sudah tidak tahu lagi." Bisiknya pelan. Dan Simon meninggalkanku. Dia terlihat begitu terluka akan keenggananku menikah dengannya. Aku mendesah dan kembali menutup mata, aku lelah. Sudah berapa malam aku tidak terlelap dengan nyaman. ** Simon mengacuhkanku beberapa minggu ini, hanya ibunya saja yang sibuk mengurusku. Aku berterima kasih untuk itu. Setidaknya sekarang aku bisa bernafas bebas. Ditempeli olehnya membuat tenggorokanku tercekik sehingga sulit untuk menarik nafas. "Apa kalian bertengkar?" "Eoh?" Aku menengadah dan melihat ibu Simon. Aku berhenti mengolesi selai diatas rotiku. "Kulihat Simon menjaga jarak denganmu, apa kalian bertengkar?" Senyumnya, senyum ibu Simon begitu menghanyutkan. Sama persis dengan senyum yang Simon miliki. Aku menggeleng pelan, "kami tidak bertengkar. Mungkin pekerjaan Simon sedang sibuk - sibuknya jadi kami terlihat seperti menjaga jarak." Jemari tangan wanita cantik yang duduk disampingku mulai membelai sisi - sisi wajahku. "Tolong tetaplah disisinya. Mencintainya dan menjaganya. Hanya dirimu saja yang bisa melakukan hal itu untuk anakku." Kini bebanku semakin bertambah berkali lipat. Pundakku terasa berat. Ibu Simon memelukku. Dia membelai punggungku dengan penuh kasih. ** Hari ini pesta anniversary pernikahan orang tua Simon diselenggarakan. Disebuah hotel bintang lima aku duduk seperti badut yang menyemarakkan acara. Aku tidak percaya diri dengan tubuhku yang membengkak di 7 bulan kehamilanku. Lemak berada dimana - mana. Aku bahkan hampir memutuskan untuk berpura - pura sakit untuk menghindari acara ini, tapi mengingat bagaimana orang tua Simon dan Simon sendiri, aku yakin mereka akan sibuk mengkhawatirkanku dan akhirnya akan membatalkan acara ini. Aku memperhatikan sekelilingku, aku duduk nyaman pada kursi istimewaku. Kulihat Simon disapa beberapa kolega bisnisnya. Kakak perempuan Simon yang lainnya sibuk menyambut tamu yang berdatangan. "Annabelle apa kau ingin sesuatu?" Aku menggeleng cepat menolak tawaran ayah Simon. "Tidak, aku tidak ingin apa - apa." Kupijit belakang pinggangku. "Kau baik - baik saja?" Kini ini giliran Ibu Simon yang memandangku dengan raut wajah khawatir, sekali lagi aku menggeleng. "Aku baik - baik saja. Tak usah memikirkanku. Kita harus menikmati acara ini bukan?" Aku memang pandai berakting. Kedua orang tua Simon termakan bakatku dengan mudah. Mereka kembali menikmati acara dan tidak lagi meributkanku. Selama acara berlangsung, kulihat Simon selalu dikelilingi oleh para wanita-wanita -yang kuyakini sangat bernafsu untuk menggodanya-. Ibu Simon sesekali menepuk pundakku dan berbisik jika Simon melayani semua permintaan wanita - wanita itu karena tuntutan kesopanan. Sebenarnya hal seperti tindakan ibu Simon yang menenangkanku tidak diperlukan, aku cukup tahu bagaimana Simon sekarang. Jika dulu, bisa kupastikan semua wanita yang mengerumuninya akan dapat jatah bergilir untuk tidur dengannya, tapi tidak sekarang. Wajah Simon mengerenyit setiap mendapati sentuhan tangan nakal para wanita itu. Dia akan tersentak dan menjauhkan tubuhnya. Dia bahkan akan mencuri pandang kearahku jika ada seorang wanita bergelayut tanpa rasa malu padanya. Dia tulus sekarang. Dadaku menjadi sesak. "Aku tidak bisa." Ucapku nyaris tak terdengar. Aku mengalihkan arah pandang dan tatapanku terpaku pada sepasang suami istri yang baru melewati pintu masuk dan disambut kakak Simon. Anastasia dan Bastian serta anak mereka mengikuti dari belakang. Kupandangi sepasang wanita dan pria didepan Anastasia. Kutatap wajah ibuku. "Tak akan pernah berubah." Aku bergumam. Kudekap tubuhku. Tiba - tiba suhu ruangan terasa lebih dingin. Aku membeku. "Annabelle.." Kulihat ibu dan ayahku melenggang menghampiriku. Tubuhku semakin gemetar. "Annabelle.." Suara ibu Simon terdengar panik, pandanganku menjadi buram. Pusing menghantamku begitu sadis, aku terhuyung. "Annabelle." ** Terdengar suara samar yang terasa begitu jauh. Bayang - bayang kabur, kabut menyelimuti mataku. "Sebaiknya panggilkan dokter Ford." "Aku sudah menghubunginya, dia sedang menuju kemari." "Apa tak sebaiknya kita langsung membawanya ke rumah sakit?" Aku membuka mataku pada suara terakhir yang kudengar, Anastasia dia yang mengusulkan agar aku dibawa ke rumah sakit. "Tidak perlu." Kataku. Suaraku terdengar serak dan lemah. Ada tangan yang setia menggengam tanganku, kuperhatikan dan tangan itu milik Simon. Dia membantuku menegakkan tubuhku. Dia mengambil bantal kecil untuk dijadikan sandaran punggungku. Bagaimana aku menjelaskan? Wajahnya begitu kusut. Emosinya tak terlihat. Simon sangat kacau. "Kau baik - baik saja?" Suara Simon bergetar. Hatiku sedikit terasa ngilu melihat genangan dipelupuk matanya. "Aku baik - baik saja." "Syukurlah, kau membuatku takut." Dia menghembuskan nafas dan mencium keningku. Aku bergerak, beringsut mendekat kearah Simon dan kemudian meringkuk menyembunyikan diri dalam dekapannya. "Aku ingin berdua saja denganmu. Suruh mereka pergi." Pintaku, berbisik hingga hanya Simon yang mendengarku. Aku tidak melepaskan rangkulan tanganku dipinggangnya. Aku bahkan tidak menyahut pada suara - suara yang bernada simpati untukku. Aku menunggu sampai kami ditinggalkan berdua saja dalam -yang baru kusadari- kamar hotel. "Kau ingin tidur?" Simon meraih helaian rambutku dan menaruhnya dibelakang telingaku. Aku menggeleng. "Aku ingin bicara denganmu." "Tidak bisakah kau menunggu, kau harus beristirahat. 30 menit lagi dokter Ford akan datang untuk memeriksamu." "Tidak, aku ingin berbicara denganmu sekarang." Kataku keras kepala. Simon menurutiku. Dia mendorong tubuhku kembali bersandar pada kepala ranjang dan dia duduk ditepiku. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Aku menarik nafas. Kedatangan ibuku, melihatnya kembali setelah sekian tahun tak pernah bertemu dengannya menambah keyakinanku untuk mempertegas masalah ini dengan Simon. Masa depan yang berkabut. Aku tidak bisa membayangkan hidup dalam pusaran seperti itu. "Setelah aku melahirkan, bebaskan aku." Tubuh Simon membeku. Dia bereaksi seperti yang kuduga. "Kumohon. Ambilah anak yang kukandung, setelah itu carilah wanita lain untuk kau nikahi dan merawatnya. Tolong, bebaskan aku! Aku benar - benar tidak bisa." Aku lupa kapan terakhir kalinya aku menangis, rasanya aneh. Mataku begitu perih dan panas. Aku terisak dan sangat sulit berbicara. "Jangan paksa aku. Kumohon," Aku mencengkram ujung kerah tangannya, menangis. Membiarkan airmataku tumpah. "Apa begitu sulit bagimu untuk hidup denganku? Apa benar - benar tak ada harapan kau mencintaiku?" Aku mengangkat wajahku. Rahang Simon mengeras. Dia pasti sangat terluka. Aku menggeleng. "Aku hanya mencintai diriku sendiri. Aku makhluk egois Simon." "Apa sampai anak kita yang sekarang kau kandung sama sekali tidak kau cintai?" Aku reflek mendekap perut besarku. "Kau rela memberikannya padaku dan dirawat wanita lain? Apa kau tidak ingin menjadi orang yang spesial disisinya. Menjadi ibu yang mengajarkannya semua hal? Kau tidak ingin tahu perkembangannya? Begitu Annabelle?" Aku terhikup dan kurasakan tendangan kecil dalam perutku. "Aku tidak tahu." Kataku menangis keras. Simon menarik tubuhku. Dia memelukku. "Aku tahu kau takut. Aku mengerti Annabelle." Aku terisak lebih keras ketika kurasakan tendangan ringan dalam perutku semakin bertubi - tubi. Bayiku. Bayiku???? Sejak kapan aku menamakan janin yang kukandung dengan nama itu? Sejak kapan aku memedulikannya? Dan kenapa rasanya begitu sesak. Pikiranku menjadi sedikit terbuka. Aku berada dalam sudut pandang ketiga yang memaki diriku sendiri karena selama ini selalu memanggil bayiku dengan 'janin'. "Ohhh," aku membekap mulutku dan menggeleng keras. Aku tidak boleh berpikir seperti itu, aku harus mengenyahkan rasa aneh yang memenuhi dadaku. Aku tersedak. Menarik nafas. "Tolong bebaskan saja aku Simon, rawat dia dan biarkan aku sendiri dengan keegoisanku." Aku menyeka air mataku. "Anna.." Suara Simon begitu lembut. Dia meraih daguku dengan telunjuknya. "Jangan takut. Aku tidak akan melakukan apapun yang kau takutkan, jangan takut Annabelle." Dia kembali memelukku. Aku mencengkram punggungnya. Aku takut! Aku sangat takut. "Katakan padaku, Anna! Beritahu aku! Rasa takut itu, rasa yang menghimpitmu hingga kalut, aku ingin tahu." Simon mendorong wajahku, melumat bibirku kemudian menyeka airmataku. "Aku ingin menjadi penopangmu. Aku ingin menghilangkan rasa takutmu. Please, beritahu aku Annabelle." Pintanya, Aku melihat pelupuk matanya dipenuhi air mata. Simon menangis bersamaku. Aku menarik nafas dan lagi aku bukannya menjawab tapi menangis, isakanku begitu mengerikan bahkan untuk pendengaranku sendiri. "Anna... Baby, Please..." Simon menciumku kembali. Lumatan yang cukup lama dan bercampur rasa asin karena air mata kami. "Beritahu aku." Simon kembali meminta penjelasanku. Aku mendekap tubuhku sendiri dan dengan gerak cepat Simon menarikku dalam pelukannya. Wajahku bersandar nyaman pada bahunya. "Aku.." Aku terhikup. "Aku begitu membenci ayahku. Dia mengekang ibuku. Dia memenjarakan ibuku." Aku memejamkan mata perlahan untuk menghilangkan genangan air mata yang bersarang pada pelupuk mataku karena membuat penglihatanku menjadi buram. "Aku tidak ingin menjadi seperti ibuku." Aku kembali menangis. "Shh... Tenanglah Anna..." Simon membelai punggungku, "keluarkan semua. Ceritakan padaku." Aku mengangguk patuh pada kata - katanya. "Aku tidak ingin menjadi wanita yang diikat hanya karena sebuah status seorang istri. Ibuku tidak bebas. Dia tidak bisa melakukan apapun yang dia inginkan, ayahku selalu mengatur hidupnya karena dia adalah istri ayahku. Hidup ibuku seperti robot, dikendalikan oleh remote kontrol yang dipegang ayahku dan sekeras apapun ibuku ingin melepaskan diri dia tidak bisa, dia tidak mau berlari dan meninggalkan ayahku karena dia terlalu mencintainya." Aku tertawa hampa. "Dia sering menangis, dia sering mengurung diri dan memasang topeng bahagia. Dia menghancurkan hidupnya sendiri. Dia tidak bahagia." Aku mendorong tubuh Simon dan menatapnya. "Aku tidak ingin menjadi wanita seperti ibuku. Hidup terikat. Dikendalikan, tidak bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Kebahagiaannya hancur karena statusnya dan rasa cintanya. Aku tidak ingin mencintai jika itu akan merampas kebahagiaanku. Tidak ingin menikah jika itu mengekangku. Aku tidak ingin menjadi ibuku." Aku mengerang dan menyandarkan diri kekepala ranjang. Rasa takut yang kurasa setiap kali melihat wajah datar ibuku. Topeng yang dia pakai begitu mengerikan hingga melihatnya saja aku ingin memuntahkan isi perutku. Dia memberikanku mimpi buruk. Dia memberikan gambaran yang membuatku takut. Rasa hampa yang dia percikan padaku tiap kali dia memandang iri teman - temannya. Rasa kosong, kehilangan jiwa dan semangat untuk hidup. Dia seperti boneka porselin ayahku. Aku mendekap tubuhku. Anastasia mungkin tidak begitu tahu karena dia tidak dekat dengan ibuku, hanya aku saja yang menjadi sandaran ibuku selama ini. Hanya aku saja yang diperciki rasa kesepian dan terkekangnya. Aku takut. Sangat takut. "Anna..." Simon memanggilku dengan lembut. Jemari tangannya yang halus membelai sisi wajahku. Dia tersenyum padaku, mencodongkan wajahnya dan mencium keningku. Rasanya begitu hangat. Aku sampai memejamkan mata karena begitu terbuai. Simon menarik nafas berat seolah separuh hidupnya telah ditarik keluar. Simon menaruh ujung bibirnya didaun telingaku kemudian berbisik lembut. "Aku tidak akan membiarkan siapapun bahkan diriku sendiri menjadikanmu robot. Kau salah mengira sayang, jika aku pria yang akan menuntut wanitanya untuk selalu mengekori dan menerima perintah." Aku mengangkat wajahku agar bisa melihat ekspresinya. "Apa kau lupa jika kita memiliki sifat yang sama. Bagaimana mungkin aku yang begitu mengenalmu akan mengikatmu seperti itu. Aku hanya ingin sebuah status yang terikat Anna sayang, hanya sebuah ikatan yang tak terlihat namun begitu kuat. Aku akan membebaskanmu untuk melakukan semua hal yang kau sukai. Tolong jangan menyalahartikan keinginanku untuk menikahimu sebagai saranaku menghancurkan kebebasanmu. Aku..." Simon tak tahan untuk tidak menyeka air mataku. Dia merengkuh wajahku, memenjarakan bola mataku. "Aku mencintaimu, aku ingin kau berada disisiku. Menemaniku. Menjadi sandaranku. Aku tidak butuh wanita yang suka dikontrol. Aku tidak butuh wanita yang mengekori dan menuruti semua perintah, aku tidak ingin menikahi boneka Annabelle sayang. Aku ingin menikahi wanita bebas sepertimu. Begitu banyak wanita diluar sana yang rela menjadi bonekaku, tapi aku tidak menginginkan wanita seperti itu. Mereka membosankan." Nada jahil dalam suaranya kembali. Dia mencium bibirku. "Hanya kau yang membuat hidupku berwarna. Hanya kau yang mampu mendampingiku, please sayang jangan takut. Aku tidak akan membuatmu menderita. Aku berjanji kita akan selalu bahagia. Aku berjanji." Aku menahan nafas. Bagian dalam telapak tanganku terasa perih, mungkin terluka karena terkena kuku. Aku menggenggam tanganku begitu erat menjadi gumpalan. "Sayang..." Bisik Simon. Aku menunduk. "Aku takut. Bisa saja setelah ini kau berubah. Tak ada siapapun yang bisa menjamin jika kau akan menepati janjimu." Kekeraskepalaanku berdasar pada rasa takut yang tak kunjung habis. Anastasia benar. Aku sakit. Siapapun yang berada dalam posisiku pasti bisa merasakan ketulusan dari perkataan Simon dan aku dengan hebatnya masih tidak mempercayainya. Simon membuka laci disamping ranjang. Dia mengeluarkan sebuah pena dan sebuah note kecil. Dia menaruh note diatas pahanya sebagai sandaran dan mulai menulis. "Apa yang kau lakukan?" Tanyaku penasaran. Suaraku masih serak dan airmataku masih menggenang. "Membuat surat perjanjian untuk meyakinkanmu." Alisku bertaut mendengar penjelasannya. Kubiarkan dia menulis. "Jika kau tidak percaya dengan omonganku maka perjanjian diatas hitam dan putih akan membuatmu yakin." Simon mengulurkan notenya padaku. Aku mengenali tulisannya yang rapi. Hanya ada dua paragraf yang tertulis. Aku Simon Hunt bersumpah akan selalu mencintai Annabelle Peyton dan memberikannya kebebasan untuk melakukan apapun yang dia inginkan. Dan Jika Aku Simon Hunt melanggar sumpah, maka Annabelle Peyton berhak untuk meninggalkanku dan mengambil seluruh harta kekayaanku dan bonus dia boleh mengkebiriku. TTD, Simon Hunt yang siap dikebiri. Aku tertawa tapi anehnya aku juga menangis. Perasaan yang begitu rumit. Aku menggeleng dan memukul dadanya. "Kenapa kau bisa sebodoh ini? Jika aku mengambil hartamu kau masih bisa bertahan hidup, tapi jika aku mengkebirimu bagaimana dengan masa depanmu?" Simon mengangkat bahu. "Well, aku sudah tidak membutuhkan organ "itu" setelah kau meninggalkanku, aku tidak bisa menggunakannya dengan wanita lain selain dirimu." Betapa konyol alasannya. Aku tertawa kembali, sesekali terbatuk karena airmataku merembes masuk ketenggorokan dan membuatku tersedak. Kemudian aku terdiam kaku merasakan sesuatu keluar dari organ bawahku. Aku menyibak selimut dan terkesiap dengan mata membulat melihat darah menembus permukaan dressku. "Sayang.." Kudengar Simon memanggilku kalut. "Bayiku... Simon..." Aku mengusap darah dan melihat tanganku bermandikan cairan mengerikan dari selangkanganku, bibirku terkatup rapat, Simon didepanku tak kalah pucatnya denganku Lalu aku berteriak. Aku sadar apa yang telah terjadi. "Bayiku!!!" "Anna... tenang! Jangan bergerak." "Bayiku Simon, lakukan sesuatu!" Aku berteriak putus asa. Simon perlahan meninggalkanku dengan ragu. Aku memeluk perutku. "Please..... Please jangan pergi, setelah aku menerima kehadiranmu kau tidak boleh meninggalkanku," aku bergumam, berbisik pada perutku. Tak ada gerakan sama sekali, kemana tendangan sebelumnya yang kurasa? Aku semakin berteriak histeris. Bayiku. "Tolong jangan ambil bayiku." Aku menangis keras, menunggu Simon datang menghambur kedalam pelukanku dan menenangkanku. ** *** **** Pemakaman hari ini juga lenggang. Aku duduk dipusara anakku. Yah, aku kehilangan bayiku. Dia tidak mampu bertahan. Aku tidak menjaga kondisiku dengan baik hingga kandunganku melemah dan akhirnya aku kehilangan dirinya. Dia pergi. Tidak sempat membuka mata untuk melihatku dan melihat dunia dimana seharusnya dia berada. Tak ada gunanya raungan keputusasaanku saat itu, siapapun tidak ada yang bisa mengembalikannya. Sudah tidak bisa lagi untuk kuperjuangkan. Dia pergi disaat aku sadar jika ada jiwa lain yang lebih penting dari jiwaku sendiri. Ini pukulan hebat untukku. Sebuah teguran kasar yang begitu mengena. Aku hidup dalam rasa rindu untuk melihatnya dan rasa bersalah karena menyebabkan kepergiannya. Aku membelai pinggiran makamnya. "Maafkan aku." Walau sudah 5 tahun berlalu tetap saja aku tidak bisa untuk tidak meminta maaf, bayiku tidak bisa melihat dunia karena kebodohanku. Ini semua salahku. "Ibu begitu bodoh. Maaf." "Anna sayang, sudah kukatakan dia akan bosan melihatmu jika setiap kau berkunjung kau hanya menangisinya." Aku merasakan tepukan ringan dibahuku. Kuangkat wajahku dan melihat Simon tersenyum mengerti padaku. "Aku tidak bisa mencegahnya, sayang." Aku mengusap permukaan tangannya yang bertengger dibahuku. Simon menyapu sudut mataku dengan jemarinya. "Cobalah, dia pasti bosan melihat airmatamu." Aku mengangguk dan mataku menangkap sosok balita bersembunyi dibalik tubuh Simon. Lenganku seketika terangkat, terulur pada balita manis itu. "Ah~~ Aleeeeeeeeex~~~~ Sini sama mommy." Anak lelakiku perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memamerkan gigi putihnya beserta senyum super duper cute 1000megavolt yang dia miliki padaku. Rasanya menyilaukan. Aku bepura - pura menamengi mataku. "Ah... Alex menyilaukan." Kudengar anakku terkekeh. Dia menghamburkan dirinya dalam dekapanku. Aku langsung menggelitik pinggangnya. "Geli mommy..." Suara tawa renyahnya melingkupi tempat kami berada. Simon berjongkok, dia mendekat dan mencium batu nisan anak kami. "Hi.." Sapanya. Aku menempatkan Alex diatas pahaku dan melihat Simon berbincang pelan didepan makam Isabella -nama bayi kami yang Simon siapkan untuknya saat dia tahu jenis kelamin anak kami dibulan ke 5 kehamilanku-. Kubiarkan Simon yang berdongeng, kami biasanya bergiliran untuk bercerita saat mengunjungi Isabella. Aku mendekap erat tubuh Alex, rasa hangatnya mampu menghilangkan kesedihan yang melandaku setiap berkunjung kemari. Kukecup pipinya dan dia menggeliat geli sesekali menjauhkan wajahku dari wajahnya. Setelah Simon selesai berbicara. Dia menyodorkan tangannya padaku, aku tersenyum dan meraihnya. "Alex ucapkan selamat tinggal pada kakakmu." Simon mengusap puncak kepala Alex. Anakku melambaikan tangan didepan nisan Isabella. "Bye - bye kak." Dia mengucapkannya dengan begitu manis. Aku langsung meraih dan menggendongnya. "Good boy." Pujiku dan dia mengalungkan lengannya pada leherku. "Ayo, sebentar lagi ibu akan gila mencari cucunya." Ucap Simon. Aku memutar bola mataku. Mertuaku, dia tidak tahan berpisah dengan Alex. Aku tertawa pelan. Alex melengket dalam gendonganku, lengan kananku menumpu tubuhnya agar dia bisa bersender nyaman pada bahuku dan lengan kiriku bergelayut manis dipinggang Simon. Kami berjalan pelan meninggalkan tempat peristirahatan anakku. Beberapa tahun telah berlalu. Banyak rasa sedih dan pilu serta rasa sakit yang kulalui untuk menjalani hidupku yang sekarang. Rasa takut itu masih ada, membekas dalam relung hatiku, akan tetapi bentuknya tidak lebih dari sekedar noktah kecil yang tak bisa terlihat oleh mata. "Aku berjanji kita akan selalu bahagia." Dia menepati janjinya. Si Simonku. Sumpahnya dia pegang dengan kukuh. Aku bebas melakukan apapun yang kuinginkan. Dia tidak menuntut apapun selain tanggung jawabku pada anak kami dan statusku sebagai istrinya, hanya harus pintar menjaga diri. Aku tidak lagi menggigil ketika berada dekat dengan ibuku. Kini sudah terasa biasa. Aku malah mengasihaninya. Dia masih tidak bahagia. Senyum palsunya tak pernah hilang, dia masih semenyedihkan sebelumnya. Aku dan Anastasia bergantian mengunjunginya agar dia tidak selalu kesepian. Aku masih membenci ayahku, aku menghindarinya. Aku masih mencoba untuk mengerti tentangnya dan kuharap suatu saat hubungan kami tidak seburuk sekarang. Suatu saat nanti. Pasti ada saatnya semua akan membaik. Seperti pesan - pesan orang yang berpengalaman. Sekarang aku sudah mengerti setelah melaluinya sendiri. Harus mencoba walau ketakutan yang menghantui hampir membuat gila. Jika tak pernah mencoba maka kita akan kalah oleh rasa takut yang menghalangi hal besar dalam hidup. Jika selalu pasrah pada rasa takut maka kita akan berjalan ditempat, tak maju juga tak mundur. Hidup hanya akan berotasi pada satu titik hingga mati. Kebahagiaan harus dikejar dengan mencoba membuka mata dan memberanikan diri mengalahkan rasa takut. Aku mencoba. Berusaha sekuat tenaga untuk bahagia. Dan aku berhasil, rasa takutku hilang dan aku bahagia. Walau tak kupingkiri untuk mencapai titik batas diperlukan seseorang yang menjadi penegur dan pendamping. "Simon."aku berseru begitu menempatkan Alex pada kursi khususnya didalam mobil. Aku membalikkan tubuh menghadapi Simon. Kurengkuh wajahnya dan kulumat bibirnya. "Thanks baby, I love you." END. Cerita 5 - TWO SIDES Main Cast: Sally, Lisa, Danniel ========================================= Sally POV. Blak. Pintu kamar mandi terbuka. Kulihat seorang pria membulatkan matanya saat melihatku. Dia berdiri mematung. Matanya membesar. Aku bisa melihat arah pandangnya yang mengeksploitasi tubuh telanjangku, dari wajah, leher, hingga matanya menatap dadaku kemudian beralih pada kewanitaanku. Jakunnya bergerak naik turun. Dan akhirnya dia tersadar. "Maaf, aku kira tak ada siapapun yang menggunakan kamar mandi." Dia membalikkan badannya membelakangiku. Buru-buru memegang knop pintu ingin pergi. O~~ Tak akan kubiarkan kesempatan ini begitu saja. Aku sudah menunggu dan merencanakan ini semua. Aku menarik tubuhnya sebelum dia bisa berlari keluar. Merapatkan tubuhku yang basah pada tubuhnya. Dia bergetar, mungkin karena merasa dinginnya air yang kini melekat pada kemeja putihnya akibat ulahku menempelinya. Aku sengaja menekan dadaku pada dadanya. "Sally.." Suaranya bergetar. Dia menutup mata. "Hm, kau tidak menyukai apa yang kau lihat Danniel ?" Aku mengalungkan lenganku dilehernya. Berbisik dengan seksi di telinganya. Kurasakan dadanya berdetak dengan hebat. Suhu tubuhnya pun memanas seiringan dengan tubuhku yang gencar melekat pada tubuhnya. Aku menciumi lehernya. Mengeluarkan lidahku menjilati jakunnya. Dia terkesiap, "Sally!! Apa yang kau lakukan?" Aku memegang Ereksinya. Memijatnya dengan lembut. Kemudian menaikkan kakiku hingga lututku menggesek Ereksinya yang mengeras. "Oh, god!" Aku suka kesempatan ini. Kesempatan yang kutunggu-tunggu semenjak dia masuk dalam lingakaran hidupku. Menghipnotis diriku untuk menjadikannya candu dalam semua imajinsai liar fantasi seksku. Danniel Everett. Pria manis dengan senyum yang melelehkan hatiku. "Kau tidak menyukainya Dann?" Aku berbicara disudut bibirnya, lalu menempelkan bibirku disana. Kemudian sebelum sempat dia menjawab aku melumat bibirnya, menikmati kelembutannya. Hatiku bergelenyar, sekarang aku tahu bagaimana rasanya. Bibirnya begitu manis hingga membuatku mabuk dan ingin terus merasainya. Dia mencoba mendorong tubuhku dan sebagai seorang wanita, aku pasti kalah kuat. Aku berhasil mundur darinya. Beberapa langkah menjauhinya. Aku menyeringai melihat hasil pekerjaanku. Ereksinya mendesak di balik celananya. Dia mati-matian mengatur tempo nafasnya. Aku menyeringai, aku tahu sungguh sulit menolak pesonaku. "Astaga! Oh, Tuhan. Apa yang sedang kau lakukan Sally?" Apa yang sedang kulakukan? "Tentu saja aku sedang menggodamu Dann." Matanya kembali membulat. Mulutnya tergagap. Aku tahu dia terkejut. Terkejut menghetahui sisi lain dalam diriku yang selama ini kusembunyikan dengan baik. Sally Ascot yang sebenarnya sekarang ada dihadapannya. Sally yang di kenalnya sebelum ini adalah Sally dengan topeng anak baik, Sally yang penurut serta menyedihkan. Sekarang tidak lagi, aku akan mengenalkannya dengan duniaku yang sebenarnya. Aku kembali mendekatinya. Aku mengerti perasaannya saat ini, semua dapat kubaca dari raut wajahnya. Antara ingin berlari keluar dan ingin menikmati hidangan yang tengah kusajikan untuknya. Aku tahu dia juga sedikit tertarik padaku. Aku bisa merasakannya saat dia menatapku dan saat aku berada disekitarnya. Dan tujuanku saat ini adalah membuat rasa tertariknya padaku menjadi berkali lipat lebih besar dari sebelumnya. Aku meraih tangannya dan membawanya ke dadaku. Aku menggigit bibirku dengan sensual. Membuat ekspresi seterangsang mungkin untuk memancingnya. Aku membimbing tangannya meremas dadaku. Meraih tangannya yang lain agar menyentuh kewanitaanku. "Akh...." Aku mendesah disela-sela sentuhan tangannya pada tubuhku. Aku ingin melihat sampai mana dia sanggup menahan hasrat untuk menyerangku. "Agrhhh!" Dia berteriak frustasi, akhirnya dia menyerah. Dia mendorong tubuhku menempel pada dinding yang dingin, Aku menyeringai sangat puas. Aku menang dan dia terjebak dalam umpanku. "Ahh..." Aku meremas rambutnya, membelai tengkuknya, membawa wajahnya menghadap dadaku. Dia memandanginya dengan nafsu yang tidak bisa disembunyikan. "Sentuh aku Dann!" dia menangkup dadaku, dan seperti yang kuharapkan dia mulai menghisap nippleku. Dia bermain-main disana. Sibuk menjilati dan meremasnya. Aku mengerang. "Uh, Dann..." Jarinya berpindah membelai paha dalamku. Perlahan dan memabukkan dia mengarahkan telunjuknya menyentuh kewanitaanku dan mencoba memasukkannya kedalam diriku. Kutahan rasa sakit yang mendera kewanitaanku, kutahan air mataku. Aku memikirkan tujuanku. Mengalihkan rasa sakit itu dengan membayangkan hasil akhir dari semua hal yang tengah kulakukan sekarang. Berpura-pura seolah aku adalah wanita nakal yang berpengalaman dalam seks dan melupakan fakta bahwa ini adalah kali pertama seseorang melihat serta menyentuh tubuh telanjangku. Kegilaan pertama yang kulakukan. Dosa pertama yang kubuat. Dan setelah hari itu, dimulailah kehidupanku yang penuh dosa. . . "Akh... Shit... Akh..." Aku mencengkram pinggiran meja tempatku menopang tubuhku. Di belakangku Danniel sibuk menggerakkan pinggulnya. Menusuk lubang kewanitaanku dengan cepat. Aku mendesah. Berteriak tertahan tiap kali dia meremas bokongku. "Yeah...Lebih... Lebih dalam Danniel... Akh..." "Sally..." "Lebih cepat... Please... Ahhhh..." Aku menggigit punggung tanganku. Ereksinya berhasil menyentuh dinding rahimku. Kenikmatan yang menjalar memburamkan mataku. Aku menikmati tiap hentakannya, mengerang tak ada habisnya dan meminta lebih padanya. Aku menggeram kecewa ketika Danniel menghentikan kegiatannya di kewanitaanku dan mengeluarkan Ereksinya. Dia terkekeh, menggodaku. "Santai, sayang." Dia membalikkan tubuhku dan menarik wajahku menghadap keselangkangannya. Aku menelan air liurku, pemandangan yang indah dan menggairahkan melihat ereksinya berdiri dengan gagah di depan wajahku. Aku tahu apa yang dia inginkan. "Suck it!" Dia membelai pipi kiriku, tersenyum dengan penuh nafsu. Tatapannya begitu membara. Dia menang, aku tidak akan bisa menolaknya, lagipula aku senang memberikan blowjob pada ereksinya. "Seperti yang kau inginkan, Dann." Aku mengatakan kalimat itu sembari menjilati bibirku. Aku meraih ereksinya dengan tanganku. Memberi pijatan-pijatan sebelum memasukkannya kedalam mulut. Danniel memejamkan matanya. Dia menggigit bibirnya. Wajah bernafsunya membuatku semakin basah. Aku memainkan dadaku sendiri. Kemudian mengecupi kepala ereksinya, kudengar Danniel mendesis. Aku mulai memasukkan ereksinya kedalam mulutku, membawanya lebih dalam, membawanya masuk hingga mencapai ketenggorokan. Lidahku mulai bermain. Menjilati bagian-bagian batangnya sebelum bergerak memberikannya kepuasan. "Akh..." Erangan yang indah. Aku mempercepat laju gerakan bibirku. Memasukkan ereksinya dan mengeluarkannya. "Oh... God!! Sally... Akh...Sshh..." Aku mengalihkan bibirku dari ereksinya dan kini menciumi buah zakarnya yang terletak dibawah ereksinya. Lidahku menjilatinya, kemudian aku membenamkan bibirku pada lekuk yang membelah buah zakar tersebut. "Akh... Akh..." Selama bibirku sibuk dengan buah zakar miliknya, tanganku tidak tinggal diam. Aku mengocok ereksinya. Membiarkan tanganku penuh cairan precum Danniel. Aroma kelamin semakin menguar. Ereksi Danniel menegang, berkedut, siap meledak dan aku menghentikan kegiatanku. Kudengar dia mengeluh. Geraman kecil dari bibirnya membuatku terkekeh. Ini adalah sebuah pembalasan. "Aku ingin kau mengeluarkannya didalam tubuhku." Aku berbisik. Mendongak melihat wajah kecewanya yang kini berubah menjadi cerah. Aku mendudukkan diri diatas meja. Mendorong tubuhku kebelakang dan menopang tubuhku dengan telapak tanganku menempel pada meja. Aku mengangkang melebarkan kakiku dihadapannya. Tanganku yang lain kumainkan, meremas dadaku sendiri kemudian memindahkannya tepat di luar bibir kewanitaanku, menekan dan mengusap klitorisku, kemudian perlahan aku memasukkan jariku sendiri kelubang kewanitaanku dan mendesah. Danniel menatapku tanpa berkedip. Dia menyambar leherku, menarik wajahku, lalu dengan rakus melumat bibirku. Ereksinya sudah berada didepan mulut kewanitaanku. Dia memasukkannya kembali. "Akh..." Dan permainan di mulai lagi. . . Kami berciuman hebat. Tanganku melingkar dilehernya. Aku duduk mengangkang diatas pahanya. Bibirnya melumat bibirku. Tangannya memainkan dadaku. Dan selangkangan kami saling menempel dan menggesek. "Hm... Uhhh..." Daguku bersandar pada pundaknya dan lidah Danniel menciumi belakang leherku. Dia mendorong tubuhku kemudian melepas satu persatu kancing bajuku. Danniel terlihat tidak sabaran. Belum sempat baju atasku terbuka lebar dia sudah membenamkan wajahnya pada belahanku. Kurasakan lidahnya yang basah menjilati bagian atas dadaku. Aku terkekeh dan dia pun ikut terkekeh. Tok...Tok... Kami terdiam. Aku menoleh ke arah pintu. "Danniel... Boleh aku masuk?" Suara seorang wanita terdengar dibalik pintu. Aku segera beranjak dari atas Danniel. Mengitari seluruh ruangan mencari tempat untuk bersembunyi. "Di bawah meja." Danniel menunjuk ruang kosong di bawah meja kerja. Aku menunduk. Memasukkan tubuhku kedalam sana. Menekuk tubuh agar muat bersembunyi. Wajahku tepat berada diantara selangkangan Danniel. Dia menyilangkan kakinya. Dan kudengar dia berseru menyuruh wanita itu masuk. Aku mengalihkan pandanganku ke arah suara langkah kaki. Suara dentuman hak wanita itu bergema nyaring di telingaku. Dia mendekat dan aku bisa melihat dia memilih duduk di sofa alih- alih kursi di depan meja kerja Danniel. "Bukankah kau sedang berada di London?" Tanya Danniel. "Aku baru saja sampai beberapa jam lalu. Dan kurang dari 3 jam lagi aku harus segera ke Paris." "Jangan terlalu memforsir dirimu. Kau harus menjaga kesehatan." Ucap Danniel tenang. Aku menahan senyumku. Sudah tak ada lagi nada kecewa yang sering kudengar. Dia seakan tidak peduli lagi jika wanita itu tidak ada disisinya. Aku sangat puas. "Maaf, aku selalu meninggalkanmu, sayang." "Jangan terlalu dipikirkan. Aku tidak mempermasalahkannya selama hal yang kau lakukan membahagiakanmu." Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Sebelum akhirnya wanita itu bergerak dari tempatnya. "Aku tidak bisa lama-lama. Aku ingin segera sampai rumah dan bertemu dengan Sallyku. Aku merindukan adikku." Ada satu hal yang membuat ini semakin membuatku berdosa dan kotor. Kenyataan yang memperburuk posisiku. Wanita itu adalah kakak perempuanku. Saudari kandungku. Dan dia adalah istri dari Danniel Everett, kakak iparku. . . Setelah kepergian kakakku aku keluar dari bawah meja. Aku segera meraup bibir Danniel yang sebelumnya di kecap oleh wanita itu. Aku melumatnya. Mengeluarkan lidahku dan memasukkannya ke dalam mulut Danniel. Kami bercumbu cukup lama, sampai akhirnya aku menarik diri karena teringat sesuatu. "Aku harus pulang, kakakku akan mencariku." Aku mengecup pipinya. Dan tersenyum saat melihat Danniel mengangguk. "Hati - hati." Dia mengingatkan pelan begitu aku sampai didepan pintu. Aku hanya melambai dan kemudian pergi. . . Aku hanya memiliki satu keluarga didunia ini. Kedua orang tuaku sudah meninggal, hanya ada aku dan kakakku sekarang. Aku dan kakakku dulu tinggal di petak kecil sebuah apartemen, sebelum akhirnya kakakku bertemu dengan Danniel dan menikahinya dan membuat hidup kami berubah. Dulu hidup kami sederhana bahkan terkadang kekurangan, namun sekarang, kami hidup dengan harta berlimpah. Aku tinggal bersama kakakku dan keluarga Danniel. Dan kami menjadi seperti sekarang. Kakakku berhasil menjadi model sesuai mimpinya. Dan aku berhasil menjadi designer sesuai mimpiku. "Sally... Lihat! Aku membelikanmu tas, bagaimana? Cantikkan? Dan ini, masih banyak lagi, tunggu sebentar." Dia menghamburkan kantong-kantong belanjaannya dalam kamarku. Mengeluarkan beberapa tas, baju, serta bermacam-macam aksesori lainnya lalu menyodorkannya padaku. Matanya berbinar senang ketika memamerkan semua hadiahnya untukku. Dia sangat menyayangiku dan aku tahu itu. "Bagaimana Sally, kau suka hadiahku?" Dia membelai rambutku sayang. Mengelus pipiku, menunggu jawaban dariku. Aku hanya mengangguk dan itu cukup membuat dia memekik senang. Memiliki seorang kakak seperti dia, seharusnya aku merasa bersalah karena sudah bermain-main dengan suaminya. Aku menusuknya dari belakang, berpura-pura menjadi adik yang baik. Membodohinya dengan memakai topeng sebagai Sally yang penurut dan pendiam. Aku tidak seperti ini sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu aku menyayanginya, tulus ingin membuat dia bahagia, sampai suatu ketika dia mencapai mimpinya sebagai seorang model internasional, dia sering keluar negeri, dan meninggalkan Danniel. Dia mengabaikan Danniel begitu saja. Membuat pria itu kesepian dan kecewa. Itu membuatku sakit hati kemudian membencinya. Aku menahan perasaanku yang mencintai Danniel karena aku tahu mereka saling mencintai satu sama lain. Namun ketika melihat kakakku menyia-nyiakan pria yang kucintai, aku menjadi buta dan bertekad untuk merebut Danniel dari sisinya. Aku tidak memedulikan seberapa besar dosa yang kubuat. Tidak menghiraukan betapa besar luka yang akan kutorehkan kehatinya. Aku hanya ingin mengambil Danniel, aku ingin memiliki pria itu. "Sally...!" "Yah?" Aku membuyarkan lamunanku. "Lihat! apa menurutmu dia tampan?" Dia menyodorkan iphonenya ke wajahku, menunjuk sebuah gambar seorang pria tampan-lagi. Aku mencoba menahan desahanku, entah ini sudah yang keberapa kali dia mencoba menjodohkanku dengan teman-temannya. Aku hanya mengangguk. "Ck, Sally... Kenapa kau irit sekali bicara? Kalau seperti ini kau akan susah bersosialisasi! Pria-pria akan segan mendekatimu." "Aku tidak membutuhkan pria, Lisa" Bagiku hanya ada Danniel. "Kau polos sekali. Kau pasti membutuhkan seorang pria. Kau butuh seseorang disisimu. Tenang saja, aku akan mencarikan pria baik untukmu." Aku melihat semangat didalam matanya, dia serius. . . "Uhhh...." Aku menutup mulutku. Segan memberikannya kepuasan karena berhasil membuatku menginginkannya. Aku melihat kepala Danniel dari sudut mataku yang terpejam, dia tengah sibuk mencumbui kewanitaanku. "Akh..." Jarinya menusuk liar kelubang kewanitaanku dan bibirnya belum berhenti menghisap klitorisku. "Akh... uhh... Dann." Aku melenguh, bernafas berat. Mengatur udara yang masuk kedalam tubuku dengan mulut. Danniel berhenti. lalu memandangiku, dia tersenyum senang. Aku yakin dia bangga dengan pekerjaannya. "Kau sangat basah, eoh?" dia menyeringai. Aku meraih wajahnya. Mengalungkan lenganku kelehernya dan mendekapnya. "Masuki aku, Dann. Sekarang!" Kudengar dia mengerang. . . Semua terlihat bahagia. Bersemangat membicarakan sesuatu yang tak kumengerti. Kakakku tiba-tiba menyeretku ke ruangan keluarga, yang dimana disana tengah menanti kedua mertuanya serta Danniel. Aku duduk manis diantara mereka. Tidak ingin sedikitpun masuk dalam pembicaraan tak masuk akal yang mereka bangun. Danniel menatapku, mencuri kesempatan melihat ekspresiku. Aku di jodohkan. Kakakku seenaknya membuat keputusan. Pria yang dia tunjukkan gambarnya sebelum dia pergi ke Paris adalah calon suamiku. Pria yang bahkan sama sekali tidak kuingat wajahnya. "Kau ingin pernikahan yang seperti apa Sally?" "Yah?" "Kau tidak mendengarkan? Ck. Lihat, kau ingin tema pernikahan yang seperti apa?" Kakakku menaruh sebuah kalatog pernikahan diatas pahaku. Menunjuk-nunjuk gambar yang menarik perhatiannya. Aku bahkan belum mengatakan "YA" untuk perjodohan ini dan mereka sudah memutuskan tanggal pernikahannya. Sudah merancang semuanya. Hanya menyuruhku memilih tema dan gaun pengantin yang ingin ku kenakan. Menurut kakakku ini adalah sebuah kejutan untukku dan dia benar, sekarang aku sangat terkejut. "Ah, gaun ini bukannya sangat cantik? Pasti ini sangat serasi dengan Sally." Dia memamerkan gaun pilihannya pada orang tua Danniel. Mereka mengangguk setuju dan aku hanya diam. Selama ini memang dia yang selalu memutuskan semuanya. Mengatur hidupku. Merencanakan masa depanku. Dan aku mencoba mengerti karena dia lebih tua dariku, dan dia ingin menjagaku. tapi aku tidak mengira, jika dia akan sampai mengatur dengan siapa aku ingin menghabiskan hidupku. Itu berlebihan. Ini salah. Dia tidak bisa seenaknya. Bukan dia yang akan menghabiskan waktu dengan pria itu, tapi aku. "Sally, cincinnya ap-" "Aku tidak mau." Aku menyelanya. "Eh? Apa yang kau katakan Sally?" "Aku tidak mau dijodohkan dan menikah dengannya." Mata kakakku membulat. Ini adalah pertama kali aku membantahnya. Dia bergerak salah tingkah didepanku. "Jangan bercanda Sally! Semua sudah diatur." Dia membelai rambutku dan menarik tubuhku, memelukku. Aku mendorong tubuhnya. Menatap matanya dengan serius "Aku tidak bisa. Aku sedang hamil." . . Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kulihat kakakku menangis keras seperti anak kecil. Dia menangis dalam dekapan Danniel. Aku menyaksikannya dengan wajah datar tanpa emosi. Aku tidak merasakan apa-apa karena telah membuatnya seperti itu. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada rasa apapun. Obsesiku telah membutakan perasaan dan hatiku, aku sudah tidak peduli pada hal lain. Aku hanya memedulikan satu hal, aku ingin mendapatkan Danniel. Aku menatap mereka, menunggu sampai mataku bertemu dengan mata Danniel. Dia menatapku cukup lama, dan aku tidak bisa membaca raut wajahnya. Apa yang dia pikirkan? Aku tidak bisa menebak. Aku tidak yakin. Aku menggigil. Untuk pertama kali lainnya, aku takut kalah oleh taktikku sendiri. Aku menutup pintu. Mengakhiri tautan mata kami. Dadaku bergemuruh. Aku menangis. Dadaku sesak sesaat melihat matanya memancarkan keraguan dan rasa bersalah saat kakakku menangis dalam pelukkannya. Tidak. Jangan! Kumohon, jangan biarkan cinta yang sempat mereka rasakan kembali. Biarkan perasaan mendingin yang menyertai mereka kekal. Aku tidak ingin kembali menjadi sekedar Sally si adik ipar bagi Danniel. Aku tidak mau! Aku menginginkan lebih. . . Aku menolak mengatakan siapa yang menghamiliku. Aku menutup bibirku rapat-rapat pada kakakku, atau pada siapapun yang mengenalku. Aku menunggu. Duduk dikursi kerja yang berlapis sofa lembut. Menggambar sketsa design baju untuk projek baruku. Matahari begitu tinggi. Cahayanya memasuki kamarku dan menebarkan kilau yang agak menyakitkan. Sesekali aku mendongak menikmati angin yang masuk dan membelai tubuhku. Beberapa hari ini terasa berat. Terasa sepi karena tak ada seorangpun yang menemuiku. Kakakku mengunciku. Tiap hari dia akan datang kekamarku dan memaksaku untuk mengatakan siapa pria brengsek yang telah berani menodaiku. "Masih tidak ingin bicara?" Aku mendongak. Menoleh pada kakakku yang duduk di sampingku. "Tidak ada yang perlu di bicarakan." Aku kembali pada sketsa gambarku. Berkutat pada pola-pola yang kubayangkan lalu menuangkannya keselembar kertas dalam koleksi folderku. "Kenapa kau tidak bisa memberitahuku? Kenapa kau tidak mau mengatakannya?" "Kau hanya akan terluka dan membenciku jika aku mengatakannya." Dia terdiam dan aku menaruh folder skestaku diatas meja. Lelah dengan semua sandiwara yang kubuat. Sepertinya sudah saatnya aku melebarkan sayapku ke dunia luar dan menjadi diriku sendiri. "Lusa aku akan pindah." Kakakku terkejut. "Kau tidak boleh keluar dari rumah ini sebelum aku tahu siapa yang menghamilimu!" . . Aku tidur menyamping. Menyandarkan kepalaku pada lengan. Sudah berapa lama aku terjaga, waktu sudah melewati tengah malam namun mataku masih enggan untuk menutup. Ada sesuatu yang kutunggu, yang membuat dadaku tak henti bergemuruh. Aku selalu menanti, memandangi pintu dengan penuh harap. Danniel belum datang menemuiku setelah pengakuan kehamilanku. Aku merindukannya. Ingin dia berada disisiku bukan berada disisi kakakku. Aku berdiri. Menyibak selimut yang menutupi tubuhku, berjalan mendekati kursi goyang yang berada diberanda kamarku. Aku mendudukkan diri disana. Angin malam yang begitu dingin menusukku sampai ke tulang-tulang. Tanganku otomatis mendekap tubuhku. Semua taktik yang kulakukan apa benar akan membawaku pada hasil yang kuinginkan? Dari awal aku sudah merencanakan untuk selalu mencoba menggunakan kamar mandi di kamar pribadi Danniel dan kakakku, menunggu kesempatan saat pria itu melihatku lalu aku akan menggodanya, mencoba peruntunganku. Dewi fortuna berada disisiku. Aku berhasil mendapatkan Danniel dengan menghilangkan harga diriku, berubah menjadi wanita jalang yang menawarkan Danniel kesenangan untuk bersetubuh. Aku selalu berada disisi Danniel setelahnya. Aku tidak pernah meninggalkannya seperti yang kakakku lakukan padanya. Aku berusaha membuatnya nyaman. Aku melaksanakan tugasku melayani dia di tempat tidur dengan sangat baik. Aku memuaskan dia, dari segala sisi. Apa posisiku belum sederajat dengan kakakku di hatinya? Apa masih berat sebelah? Atau sama sekali memang tidak ada tempat untukku? Aku menekuk lututku menaikannya diatas kursi, menenggelamkan wajahku disana. "Maaf membuatmu menunggu." Aku terlonjak, tapi kembali tenang begitu mengenali suaranya. Aku merasakan tangannya membelai kepalaku. Terasa hangat dan nyaman. Oh, aku sangat merindukan sentuhannya. Aku meraihnya, menggenggamnya namun tetap menyembunyikan wajahku darinya. Danniel bergerak, mengambil posisi didepanku dan kemudian berlutut. Tangannya meraih kedua tanganku. Menggenggamnya kemudian menciumnya. "Aku tidak memintamu bertanggung jawab." Kuberanikan diri mengangkat wajahku. Gurat letih terukir sangat jelas diwajahnya. Sepertinya dia baru saja melakukan kegiatan besar yang membuat dia bekerja terlalu keras. Matanya berkantung. Dan dia tampak pucat, tapi aku mencoba membuang perasaan kasihanku untuknya. Fakta dia mengacuhkanku beberapa hari ini membuatku sakit hati. "Jangan berbohong padaku. Kau tidak pandai melakukannya." "Aku tidak berbohong!" aku membentaknya. "Aku tidak minta pertanggungjawabanmu." Dia sedikit kaget, lalu dia menunduk, menatap lantai. Dan kami kembali diam. "Aku akan menceraikannya!" Katanya, membuatku tersentak. Mataku membulat. "Aku sibuk mengurusi itu beberapa hari ini hingga tidak bisa mengunjungimu, maafkan aku membuatmu cemas." Aku menarik tanganku dan membekap mulutku. Danniel memandangku. Danniel membelai pipiku, menyeka air mata di kedua sudut mataku. Bibirnya mendesis lembut menenangkanku. Aku menghamburkan tubuhku dalam dekapannya. Melingkarkan tanganku dilehernya dan mencengkram punggungnya. Aku menangis. Menyembunyikan wajahku pada bahunya, membuat baju yang dia kenakan basah terkena air mata yang tidak bisa kubendung karena emosiku. Danniel menenangkanku. Membelai punggung atau kepalaku. "Dann..." "Sshh..." Aku bahagia. Aku ingin berteriak. Danniel menjadi milikku. . . Suara pertengkaran mereka bahkan terdengar dalam kamarku. Suara nyaring memekakkan telinga mereka bahkan kuyakini sanggup membuat semua orang di sekitar daerah perumahan elit ini mengetahuinya. Aku menyeringai. Tanganku melipat didepan dada, mataku fokus melihat halaman penuh bunga yang tengah di rapikan oleh tukang kebun. Aku duduk di kursi goyang di beranda kamarku. Sengaja kubiarkan pintu kamarku terbuka. Aku sangat menikmati teriakan keputusasaan kakakku. Suara tangisannya begitu indah di telingaku. Ratapan pilu serta rasa kecewanya memenuhi hatiku dengan rasa puas. Puas dengan pekerjaanku. Setidaknya jika dia tidak mengabaikan Danniel, tidak terlalu serakah ingin meraih semuanya. Sudah merasa puas dengan apa yang dia miliki, aku tidak akan tega melakukan hal ini padanya. Bagaimanapun juga dia adalah kakak tersayang yang telah merawatku. Aku selalu mengalah untuknya, sejak dulu mendahulukan kepentingannya. Aku menghormatinya, dia berjuang keras menjagaku. Aku tidak lupa masa-masa dia menjadi batu sandaranku. Aku tidak lupa. Tapi sekarang, dia menghilangkan perasaan itu. Melakukan kesalahan yang mengubahku. Dia membangkitkan sisi gelapku yang telah kukunci. Aku menginginkan apa yang dimilikinya. Dulu aku menyerah, namun dia mengabaikannya. Bukan salahku jika aku ingin merebutnya. Dia yang tidak menghargai apa yang dimilikinya. PRANG. Suara pecahan barang yang dibanting membuyarkan lamunanku. Aku bersenandung, menikmati tiap teriakan yang tercuri dengar oleh telingaku. "Melodi yang indah." . . Kupikir kakakku tidak akan pernah lagi menemuiku setelah Danniel memberitahu semuanya, dan aku salah. Dia berdiri didepanku. Menghalangiku untuk masuk dalam kamarku. Dia menarik tanganku. Membawaku pergi ke kamar pribadinya. Bugh. Dia melemparku ke atas ranjang dengan kasar. Ini mengejutkanku. Dia tidak pernah bersikap sebrutal itu terhadapku. Tapi, aku mencoba mengerti, hal itu wajar jika mengingat apa yang telah kulakukan padanya. "Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku? Apa aku kurang memperhatikanmu? Kurang baik? Kurang menyayangi dan mencintaimu?" Tatapan matanya terselimuti kemarahan besar. Matanya merah dan sembab. Dia pasti menangis tanpa henti. Lingkaran hitam dimatanya juga memperparah wajahnya. Dia sekarang sama sekali tidak cantik. Dia menyedihkan. Dan, well aku tetap tidak merasa bersalah. "Sally! Jawab! Apa yang salah dariku? Aku menyayangimu, tapi lihat apa yang kau lakukan padaku?" Yah... Yah!! Tidak perlu kau katakan seperti itu semua orang di rumah besar ini tahu perbuatanku. Adik tidak tahu diri. Menusuk kakaknya dari belakang. "Sally Ascot!!" "Kalau aku mengatakan alasannya apa ada bedanya? Bukankah yang terpenting kau sudah mengetahui semuanya. Apa lagi yang ingin kau ketahui? Kau hanya menambah luka dihatimu jika mengorek informasi dariku." Aku duduk, menyenderkan punggungku pada kepala ranjang. "Kau..." Dia terperangah. "Siapa Kau? Kau kemanakan adikku?" Pertanyaan klise! Dia hanya tidak pernah tahu jika aku memiliki sisi gelap yang mengerikan. Yang tertanam dengan rapi tidak terdeteksi karena aku menekannya. Menekan sampai aku muak dan tidak tahan lagi untuk menyembunyikannya. Salahnya yang membangkitkan sisi gelapku. Salahnya memberikan alasan untukku melakukan semua ini. Wanita yang mencintai itu sangat menakutkan ketika cinta membuatnya buta dan terobsesi. Jika dia bahagia meninggalkan Danniel karena mimpinya, maka tak ada keraguan bagiku untuk mengambil Danniel darinya. Cintaku lebih besar. Bagiku Danniel adalah segalanya. Berbeda dengannya. "Aku Sally Ascot. Itu sudah jelas." "Tidak! Bukan! Adikku tidak mungkin seperti itu. Dia tidak akan melakukan semua ini pada padaku! Dia menyaya-...." "Terimalah kenyataan, Lisa. Sally adik manismu itu tidak semanis seperti yang kau pikirkan! Dia adik tidak tahu diri yang melakukan seks dengan suamimu diranjang kalian. Dia mengandung anak suamimu dengan kebanggan yang tidak setengah-tengah! Apa itu semua tidak cukup menjadikan bukti jika Adikmu sangat ko-" PLAK. Panas! Terasa panas ketika tangannya menyentuh pipiku. Nafasku memburu. Bukan karena ingin menangis, tapi karena sedang berusaha menahan diri agar tanganku tidak membalasnya dengan tamparan yang jauh berkali lipat lebih sakit dari miliknya. "Apa yang kau lakukan?" Aku mendongak, melihat Danniel berdiri di ambang pintu, matanya membulat, kaget. Dia menatap kakakku dengan garang. Bukankah ini seperti drama-drama kebanyakkan? Pemeran pria akan muncul memisahkan dua wanita yang bertengkar. Dan aku senang karena posisiku menguntungkan. Aku menjadi korban karena aku yang terduduk disofa dengan wajah menunduk dan pipi yang memerah karena tamparan. Danniel berlari mendekatiku dan langsung memelukku. Aku tersenyum membalas tatapan sendu kakakku. Aku ingin memamerkan padanya jika Danniel adalah milikku. Danniel mencintaiku. Posisinya telah lama hilang. Dia... Lisa Everett itu sudah tidak ada artinya lagi untuk Danniel. "Kau baik - baik saja?" Tanya Danniel padaku. Suara isakan Lisa terdengar di balik punggung Danniel. Aku dan Danniel saling berhadapan dan kakakku berada dibelakang tubuh Danniel, aku menatap mata kakakku yang memandang penuh harap pada punggung Danniel. Sekarang dia baru sadar, betapa berharganya Danniel yang telah dia sia-siakan. Wajah piasnya membuatku terhibur. Aku menyaksikannya menangis seperti menonton sebuah film favoritku. "Aku mencarimu di kamar dan kau tidak ada, lalu aku mendengar suara-suara dan aku mengecek kemari, kau baik-baik saja?" Aku menaruh wajahku di atas dadanya. Membiarkan dia membelai pipiku yang sudah tidak terasa panas. Nafas Danniel memburu. Aku tahu dia menahan amarah. Danniel berbalik menghadap kakakku. "Kenapa kau menamparnya?" Suaranya tertahan. Danniel berusaha untuk tidak berteriak. Dan kakakku? Dia hanya menangis. Tidak menjawab apapun. Diam berdiri dengan tubuh berguncang. "Pergilah! Jangan pernah lagi muncul dihadapan kami!" Danniel menarik tubuhku berdiri. Dia melingkarkan lengannya pada pinggangku. Membawaku keluar dari kamar. Meninggalkan kakakku disana. Menangis sendirian. Aku sempat menoleh sejenak dan dia sedang menatap kami. Aku memberikan Lisa senyum terbaikku. Dan dengan gerakkan bibirku aku berucap "Selamat tinggal" padanya. . . Menjadi egois dan tidak berperasaan adalah sebuah pilihan. Jika hatimu terlalu lembut hingga tidak bisa menyakiti perasaan orang lain, maka terima nasibmu untuk menjadi orang yang selalu mengalah dan selalu ditindas. Tapi, jika hatimu seperti hatiku, maka nasibmu berada dalam genggaman tanganmu. Kau bebas membuat pilihanmu. Aku bisa menjadi sangat baik, namun aku bisa menjadi sangat jahat. Tergantung orang lain bersikap padaku serta bagaimana kondisi disekitarku. Untuk kasus kakakku, aku sudah menahan diri mengabaikan cintaku untuk kebahagiaannya. Namun dia tidak menghargainya, dia menyia - nyiakannya, membuat hatiku sakit dan akhirnya gelap mata dan hati. Aku tidak jahat untuk pemikiranku sendiri. Aku hanya ingin bahagia. Bahagia dengan caraku sendiri. Bahagia dengan caraku memperolehnya. Merasa benar dengan perbuatanku. Merasa tindakanku tidak salah karena aku melakukannya hanya untuk memperoleh kebahagian kecil yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Dalam duniaku, mendapat kebahagiaan diatas penderitaan orang lain itu tidak masalah jika orang itu memang pantas untuk menderita dan kurampas kebahagiaannya. Aku hanya menciptakan duniaku sendiri. Menjadi baik dan jahat tergantung dengan kondisi dan orang-orang disekitarku. END. Cerita 6 - PRIVATE PUNISHMENT Main Cast: Ashley, Jason Miller FOREWORD: Cerita ini sama sekali tidak mendidik, hanya fiktif biasa. Tidak ada pesan moral apapun, tidak ada kebaikan apapun. Cerita ini hanya sebuah penyaluran STRESS. Terima kasih. ========================================= Ashley POV. "Mr. Miller, ini sakit..." Kuulurkan tanganku yang terikat dengan bra ke depan wajahnya. Masih mengenakan rok biruku, aku setengah telanjang. Aku tidak mengenakan apapun dibagian atas tubuhku, pakaianku sudah berada di lantai, sedang braku melilit pergelangan tanganku, dan itu terasa sakit. "Mr. Miller, tolong lepas..." aku merengek lagi pada pria dewasa yang duduk menopang dagu di hadapanku. Dia acuh, bahkan tidak mempedulikan rengekanku yang berakhir dengan beberapa bulir air mata. Dia jahat. Huks. Mr. Millerku yang tampan namun sangat jahat. "Mr. Jason Miller... Leepaasss..." Aku mencoba menggerakkan pergelangan tanganku, kali ini dia mengikatnya terlalu kencang, membuatnya sakit dan tidak nyaman. Aku semakin cemberut, dia tidak bereaksi sedikitpun, hanya memperhatikanku seperti menonton sebuah drama opera sabun. "Maafkan aku Mr. Miller... Lain kali aku pasti mendapatkan nilai sempurna, aku akan rajin belajar."Kucoba merayunya. Memasang wajah memelas, lalu kembali menyodorkan tanganku di depannya dan duduk di bawah kakinya dengan menyeret tubuhku. Aku menggigil saat dingin AC menerpaku. Dan astaga, putingku mengeras. Oh, aku malu. Tubuhku bereaksi berlebihan. Aku berusaha menutupi dadaku. Wajahku memerah, aku menunduk untuk menyembunyikannya. "Ash..." Dia meraih daguku dengan telunjuknya, mengangkat wajahku, membuatku menatap mata birunya yang berada di balik kacamata ber-frame hitamnya. "Aku sudah mengingatkanmu. Benar, kan?" tanyanya masih menatapku lekat. "Ya... " Aku menjawab dan kembali menundukkan kepalaku. Tatapannya begitu menakutkan sehingga aku tak sanggup untuk berlama-lama melihatnya. "Kau tidak belajar, kan?" "Aku belajar, tapi... " "Tapi?" Umh... Apa yang harus kukatakan? Aku tahu dia akan selalu marah jika aku mendapat nilai yang tak sempurna. Dan semua itu kesalahanku. Aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri, sehingga aku melupakan midtest hari esoknya. Nasibku sungguh malang, karena tak cukup waktu untuk belajar dan merasa panik, hasil ujianku buruk. Dan sekarang aku harus siap dengan hukuman dari Mr. Jason Miller. "Tidak mau memberitahuku? Apa kali ini lagi-lagi menonton AV (Adult Video)?" Deg. Aku menunduk. "Ck... Untuk apa kau selalu menontonnya, Ashley?" Aku menggigit bibirku. Dia tidak akan mengerti. Sampai kapanpun, dia yang sempurna tidak akan pernah mengerti. Aku hanyalah salah satu murid dari ratusan murid yang dia punya, aku takut. Jauh dalam lubuk hatiku aku selalu takut jika Mr. Miller akan meninggalkanku. Terlalu banyak wanita dan gadis muda mengincarnya. Dia sangat tampan. Dia berwibawa serta berkharisma. Dia pria yang bertanggung jawab. Dia baik hati dan, ugh, sangat banyak hal yang bisa membuat dia begitu populer. Aku merasa terancam. Dia bisa direbut jika aku berleha-leha. Siapapun ingin memilikinya. Begitu pula dengan diriku sendiri. Aku mati-matian berusaha agar selalu menarik baginya. Aku tidak akan kalah dengan siapapun. Mr. Miller itu milikku. "Kali ini apa alasanmu?" "Er..." "Kau menonton AV untuk apa?" "Mr. Miller..." "Jangan menatapku seperti itu!" Ugh! Tanganku kebas. Braku yang dia gunakan untuk mengikat tanganku terjalin sangat ketat. Dia benar-benar marah. "Aku hanya ingin menambah pengetahuanku tentang seks." Aku menjawab dengan berbisik. Sungguh memalukan. Semenjak kami mulai berkencan, semenjak kami resmi menjadi sepasang kekasih. Yah. Walau tidak seorangpun yang mengetahuinya, mengingat dia salah satu guru di sekolahku dan aku muridnya, hubungan kami tidak boleh diketahui, dan aku membenci hal itu. Banyak wanita dan gadis yang masih mencoba menarik perhatiannya, masih berusaha bersikap bitch di depannya. Aku ingin sekali berteriak di tengah lapangan, memakai pengeras suara agar mereka tahu Mr. Miller sudah memilihku. Dia kekasihku. Dan karena masalah itu pula, aku selalu berusaha untuk menambah pengetahuanku tentang seks. Mr. Miller sangat mahir ketika dia meng-oral diriku. Permainannya sangat hebat, dia bisa membuatku mencapai puncak dalam hitungan menit yang minim. Dan untuk mendapatkan teknik seperti itu dia pasti memiliki banyak pengalaman dengan wanita-wanita. Aku tidak ingin kalah. Aku juga akan membuatnya puas dengan permainanku, hingga dia tergila-gila dan tidak bisa lepas dariku. Pemikiranku mungkin terdengar bodoh. Aku menonton Adult Video atau bahasa kasarnya film porno demi mendapatkan pengetahuan seks yang bisa memuaskan Mr. Miller. Melihat buku-buku panduan tidak membantu. Tidak ada gambaran sama sekali ketika menatap deretan kalimat yang membosankan. Aku butuh visualisasi. "Menonton AV demi pengetahuan seks? Ash, Kau menjatuhkan nilaimu hanya demi itu?" Nada kecewa dalam suaranya membuatku ingin menangis. Kami memiliki perjanjian, yaitu aku harus selalu menjadi nomor satu di sekolahku. Aku berjanji padanya ketika kami memutuskan untuk menjalin hubungan, kisah cinta kami tidak akan mempengaruhi prestasiku. Aku meyakinkannya jika hubungan kami tidak akan memberi dampak negatif padaku. Aku tetap bisa menjadi top di kelasku. Dan kini, aku mengecewakannya-lagi. "Aku ingin mahir memuaskanmu Mr. Miller." Aku mendongak, mulai merasa kedinginan. AC yang berada di ruangan ini sudah menggelitik tubuhku. Hukumanku tak pernah jauh dari hal-hal mesum seperti ini. Dia selalu menyiksaku dengan membuatku bergairah atau menelanjangiku. Aku bahkan pernah di hukum untuk masturbasi di hadapannya. Itu hukuman yang lebih kejam dari sekedar membersihkan seluruh toilet di sekolahku selama sebulan. Hukuman pervert!!! Mr. Miller menyenangi hal-hal sempurna. Tak ada kata gagal dan kalah baginya. Dia dididik seperti itu semenjak dia lahir. "Mr..." aku terkesiap. Tubuhku tiba-tiba diangkat. Mr. Miller mendudukkanku di atas meja ruang kerjanya. "Kau tidak perlu memuaskanku. Cukup aku yang memuaskanmu. Mengerti?" Dia mencolek ujung hidungku. "Tapi, A-" "Konsentrasilah untuk menjadi yang terbaik, kau tahu aku tidak suka dikecewakan, hem?" Mr. Miller mengais poniku, mendekatkan wajahnya mencium keningku. Aku senang ketika dia melakukannya. "Aku mengerti." Setelah merasa dia sudah tidak terlalu marah denganku, kusodorkan kembali tanganku di depannya. Berharap dia mau melepaskannya sekarang. Aku sudah tak tahan ingin memakai bra dan blusku. Ruangan ini sangat dingin, putingku sudah mengeras dan terasa sakit. Dan aku semakin bergairah setiap menitnya. "Lepas, please..." suaraku sengaja kubuat menggemaskan. Dan percuma saja. bukannya dia terkecoh, dia menyeringai sembari melebarkan kakiku mengangkang di hadapannya. "Siapa bilang hukumanmu akan semudah itu, heh?" Aku menelan airliurku. Dia mengelus punggungku dengan ujung-ujung jari tangannya. Membelainya dengan lembut dan sensual. Aku menutup mataku, pasrah dengan apa yang akan dilakukannya. Lalu dengan satu gerakan cepat, dia sudah melepaskan celana dalamku. "Ahhh, Mr. Miller..." aku merasakan tangannya berpindah mengelusi paha dalamku. Aku membuka mataku. Dia menunduk, mengecupi pahaku, perlahan, dengan kelambatan yang di sengajanya. Dia mendekati kewanitaanku. Lidahnya yang kenyal sudah mencapai bibir kewanitaanku. Dia mengecupnya dan aku meremang saat dia mengisap klitorisku. Mr. Miller membawa lidahnya menari dan menusuk lubang kewanitaanku. Sesekali dia mengisap bagian tersebut, membuatku mendesah tak ada habisnya. Aku tahu dia terhibur. Mr. Miller senang menyiksaku seperti ini. Dia suka melihatku mendesah, mengerang meminta lebih padanya. "Mr. Miller... Akh..." Mr. Miller mengangkat wajahnya, melepaskan bibirnya dari selangkanganku yang basah, lalu dia membuka laci atas mejanya, mencari sebuah kunci, dan kemudian memasukkan kunci tersebut pada laci terakhir, aku bisa mendengar suara gaduh saat Mr. Miller membuka dan mencari sesuatu disana. Grek. Mr. Miller menutup kembali laci tersebut. Ditangan kanannya ada sebuah kotak berwarna dominasi hitam dan merah. Oh-oh. Mataku membulat, melihat gambar covernya, aku gemetar, ketakutan. "TIDAK! Jangan itu Mr. Miller... Hikss..." "Kenapa? Aku tahu kau menyukainya, Ash." Dia membuka kotak tersebut dan mengeluarkan satu set celana dalam vibrator. Oh~No! Celana dalam berwarna hitam dan merah itu memiliki sedikit aksen pita di tengahnya. Sangat seksi dan tipis. Tapi aku tahu itu akan menjadi biang deritaku. "Mr. Miller, kumohon jangan." Dia tetap acuh, suaraku tidak didengar. Aku menggigit bibirku. Perlahan dia mendorong tubuhku hingga terbaring di atas meja kerjanya yang dingin. Tanganku yang terikat menyandar di atas dadaku. Kakiku dia cengkeram agar tidak bisa bergerak. "Pakai ini hingga jam terakhir selesai, Ash." "Please, sudah cukup Mr. Miller! Benda Itu sangat menyiksa." "Menyiksa? Terakhir kali kau memakainya kau tak henti-hentinya merasakan kepuasan." "Itu karena aku memakainya ketika kita akan bermain, Mr. Miller. Siksaan yang keras tapi tak berlangsung lama. Sekarang? Aku tidak akan tahan memakainya sampai jam terakhir. Aku tidak akan tahan. Aku akan merasa kosong. Aku akan..." Aku menahan diri untuk tidak merengek lagi. Dia jahat. Pertama dia membuatku bertelanjang dada dengan suhu AC yang sangat dingin. Membuat putingku menjadi sangat sensitif dan sakit, mengeras minta perhatian. lalu dia juga mengikat tanganku dengan bra agar aku tak bisa melawan. Dan sekarang?? Dia menyuruhku mengenakan celana dalam itu? "Tolong jangan itu... Ugh!" Dia tak menggubrisku. Mr. Miller mengangkat kedua kakiku dan mulai memasukkan celana dalam vibrator itu dari ujung kakiku. Mengangkat sedikit bokongku hingga benda penyiksaan itu merapat sempurna menutupi daerah kewanitaanku. "Akh..." Aku tersengat merasakan getarannya dimulai. Celana dalam vibrator adalah benda paling menyiksa yang pernah kutahu. Bagaimana bisa menahan hasratmu untuk dimasuki ketika benda tersebut terus memberikan getaran-getaran yang memicu nafsu. Membuatmu sangat basah. Membuatmu tidak tahan untuk merasakan pelepasan. "Ah, Mr. Miller!" "Kembalilah kekelas dan renungi kesalahanmu, Ash" . . "Ashley, kau baik-baik saja? Kau sedikit pucat!" salah seorang sahabatku bertanya sambil mengamati wajahku. "Hhm..?" Kataku sedikit linglung, "aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja, Kim." Aku mendongak menatapnya, melengkungkan bibir keatas khas seorang Ashley. Dia tidak terkecoh, terbukti dengan rentetan pertanyaannya yang tak habis. Dia mengibaskan tangan. "Apa perlu ke ruang kesehatan? Kau menggigil." dia memeriksa keningku dengan punggung tangannya. "Kau tidak demam," Aku tidak demam! Aku bergairah! "Apa kau sedang sakit bulanan? Terasa kram? Kau menekan perutmu dari tadi." Lanjutnya lagi karena tak mendapat jawaban dariku. "Aku tidak apa-apa. Ayo kita segera berkumpul di lapangan" Aku mengalihkan pembicaraan dan mengajaknya keluar dari ruang ganti wanita. Dia kembali menatapku heran, dan aku pura-pura tak menyadarinya. Aku berjalan di depannya, sesekali jalanku sedikit terhuyung, berpegang pada dinding-dinding dingin lorong kelas bahkan beberapa kali bersender untuk mengatur nafas. Mr. Jason Miller, kau benar-benar jahat. Nampaknya dari suatu tempat dia memperhatikanku dengan intens dan kurasa dia menaikkan volume getaran celana dalam vibrator ini perlahan-lahan. Kupaksakan untuk berjalan seperti biasa dan memasang tampang polos kemudian sesekali mengajak berbicara sahabat wanitaku mengenai hal-hal lain agar dia tak terus-terusan melihatku dengan curiga. . . "Hari ini kita akan bermain dodge ball, jadi bagi menjadi dua tim!" Mr. Griffin memberikan instruksi untuk kami. Setelah melakukan pemanasan yang begitu menyiksa, aku merasa energiku terkuras habis. Benda sialan berbentuk segitiga itu terus bergetar dan bergetar. Aku hampir saja terjatuh saat peregangan ketika volume getarannya semakin naik, semakin menekan klitorisku. Aku membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan hasratku dari benda yang terus bergetar di kewanitaanku. Sedari tadi benda itu memijit dan memberikannya getaran-getaran sadis yang membuatku melayang dan sangat basah. Heran, cairan precumku tak ada yang merembes dari celana training yang kukenakan. Penyiksaan dimulai saat permainan sahabat-sahabatku yang lain menjadi liar dengan melemparkan bola kesana kemari. Mereka bermain dengan semangat. Sedangkan aku, berdiri saja rasanya tidak sanggup, suara bola yang berdentam-dentam memenuhi telingaku dan aku tak bisa fokus. Getaran ini bisa membuatku gila. "HEY! Ashley!! Ambil bolanya!! Kita bisa kalah kalau kau hanya berdiri di situ!" Aku tersentak dan mulai bergerak mencari bola dan melemparkannya. DRRT!! AH! Aku jatuh duduk bersimpuh, vibratornya bergetar semakin kuat dan kuat! Hampir saja sebuah erangan terlepas dari bibirku, benda ini menyiksa sekali. Aku mendongak dan menenangkan sahabat setimku jika aku baik-baik saja dan saat hendak bangkit pandanganku bertemu dengan pemilik mata biru cerah yang berdiri dengan wajah dinginnya di lantai 2. Dia dengan sengaja menunjukkan benda kecil segiempat dengan banyak tombol di jepitan jari telunjuk dan ibu jarinya. Remote control sialan yang sangat-sangat kubenci! Dia menyeringai simpul, seakan hendak mengatakan ini-akibat-tak-patuh-denganku. Aku tak akan kalah! Akan kubuktikan kalau aku tak akan kalah dengan benda sialan yang menutupi daerah sensitifku yang sekarang bergetar dan bertambah liar. Dengan semangat baru, aku berdiri tegak dan mulai mengikuti permainan. Frustasi, kulemparkan bola kesana-kemari, tak memedulikan siapa saja lawan timku yang kulempari dan sesekali aku berteriak untuk menyamarkan eranganku "Hei, Ash! Aku teman setimmu!! Kenapa malah melemparku?" "Eoh?" Aku berhenti mengambil bola dan berbalik, benar saja, aku buta arah. Posisi tubuhku kini membelakangi musuh. Aku berdiri tepat di depan sahabat setimku. Konsentrasiku benar-benar kacau. Sahabat setimku melewatiku dan menuduk mengambil bola lalu balas melemparnya ke arahku, dia mungkin kesal karena lemparanku yang mengenainya cukup keras. BUGH. "Auch." Seharusnya aku tidak akan kenapa-kenapa, tenaga lemparannya bahkan tidak terasa, tapi kondisiku sekarang bukan dalam keadaan normal dan sehat. Ada benda mengerikan yang menempel pada bibir kewanitaanku dan bermain-main dengan klitorisku. "Ah~~~" Aku mengerang menjatuhkan diri tengkurap pada tanah. Teman setimku yang lain langsung mengelilingiku, bertanya-tanya. Dengan kondisiku yang seperti ini aku tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku hanya menggigit bibirku dan menelan air liur. Aku begitu takut jika aku membuka mulut yang terdengar malah desahanku. "Ash..." Pandanganku buram, dan aku pingsan. . . Terbaring di atas ranjang bersprai putih yang monoton, aku mencium bau desinfektan yang sedikit menyengat di hidung. Apa yang terjadi padaku? Kepalaku sedikit berat saat aku bangkit untuk duduk dan memandang kesekitar. "Kau cukup kuat juga, Ash. Kupikir kau akan menyerah ketika pertama kali jatuh." Itu dia. Dengan seringai berbahayanya, duduk di kursi tepat di hadapanku. Aku jadi ingat dengan celana dalam vibrator sialan yang menempel seperti parasit di kewanitaanku. Eh, tunggu, aku tak merasakan lagi getaran atau tekanan di kewanitaanku. Sedikit heran, aku meraba selangkanganku. "Aku mematikannya." Sahutnya seakan tahu pikiranku. Mr. Miller beranjak dari kursi dan berjalan mendekatiku. Tatapannya berbahaya, aku tak tahu lagi hukuman apa yang ada dipikirannya. Aku mengerut dan menciut takut ketika dia duduk di pinggir ranjang. Dia mengangkat tangannya. "Mr. Miller..." dia menyentuh pipiku pelan, lembut sekali hingga aku mendesah. Nafsuku sudah di puncak, sentuhan pelan seperti ini saja membuatku semakin basah. Dia mendekatkan wajahnya dan mulai mengecup bibirku. Aku menyambar bibirnya seperti orang kehausan, membuka bibirku dan memasukkan lidahku. "Kau sudah sangat menginginkanku, hah, Ashley?" Dia membuatku frustasi saat melepaskan ciumannya dari bibirku. "Kau sangat nakal, aku akan menghukummu sedikit lagi." Benda kecil persegi dengan banyak tombol itu dikeluarkannya lagi, sembari menyeringai dia menekan salah satu tombol. DRRTTT!!! DRRRTTT!!!! "Arhhh... Arh..." Aku menghempaskan punggungku ke ranjang. Vibrator itu kembali bergerak, dan kali ini lebih kencang dan liar dari sebelumnya, dia menekan tombol volume maximal. Sial. Aku bergerak dan menggelinjang liar, aku tak peduli, aku mengerang keras. "Sssht! Pelankan suaramu, Ash. Kita tidak ingin mengambil resiko ada yang mendengarmu." Dia menempelkan telunjuknya dibibirku, membungkamku. Aku menggeliat dan mengangguk. Dia melepaskan tekanan telunjuknya dan mengelus kepalaku. "Bagaimana rasanya, Ashley? Masih tidak mau belajar lagi, heh?" Aku menggeleng kuat dan menggigit bibirku, aku sudah tidak tahan. "Ah..." aku semakin basah. "Berjanji padaku. Kau tidak akan menonton video dewasa yang tidak mendidik itu!" Tangannya menjelajahi leherku dan turun ke dadaku lalu dia meremasnya. "A... A... Aku akan belajar, Mr. Miller... A-aku jan-janji tidak akan menonton video itu lagi.., Ah," Aku terbata. Nafasku menderu, seiring tangannya mulai masuk kedalam baju olahragaku yang penuh peluh, dan menyelinap masuk ke dalam braku lalu memainkan puttingku. "Benarkah? Kenapa yah aku tak percaya padamu..." dia berbisik di telingaku, "aku akan menghukummu sedikit lagi." "ARGHHH~~~ MR. MILLER!!!" Dan kali ini, vibrator itu kembali bergerak dengan kecepatan yang lebih liar dari sebelumnya. sebenarnya benda terkutuk itu memiliki berapa volume? Getarannya semakin meningkat tanpa ada habisnya!!! Energiku sudah terkuras habis. Aku sudah di ambang batas menahan gairahku. Aku terkulai lemah mencengkeram bahunya setelah dia mematikan benda itu. Lalu tanpa jeda sedetikpun dia dengan kasar membanting tubuhku berbaring di atas ranjang, dan merangkak naik keatas tubuhku. Aku benar-benar tak berdaya, tak bisa menggerakkan seinchi pun tubuhku, yang kuinginkan saat ini hanyalah Mr. Miller memasuki kewanitaanku. Sekarang, aku butuh dia. "Hmm, benar-benar basah." Dia menggelengkan kepalanya seakan prihatin memandang kondisiku yang mengenaskan. "Kasihan sekali kau Ash!" ujarnya. Aku masih merasa berada di awang-awang. Tanpa kusadari dia sudah membuka celana training dan celana dalam vibrator yang kukenakan. Dia membuangnya asal di lantai dan aku kembali mengerang saat merasakan jarinya menjelajahi bibir kewanitaanku dan perlahan memasukkannya ke dalam lubang kewanitaanku. "Arhhh, Mr. Miller!" Jari tengahnya menusuk lubang kewanitaanku dan ibu jarinya menekan dan mengusap klitorisku. "Wah... Sungguh sangat-sangat basah," aku bisa mendengar kebanggaan dalam nada suaranya. Aku menahan diri untuk tidak mencibir. Yah. Sangat basah. Silahkan menikmati kemenanganmu, Mr. Miller. Silahkan tertawa melihatku menderita dengan nafsu yang sudah berada di puncak tertinggi. "Mr. Miller!" "Hem?" "Akh... Akh..." dia kembali menambah kecepatan laju jarinya yang keluar-masuk di dalam tubuhku. Di sela penglihatanku yang berkabut kulihat matanya fokus melihat tangannya yang bergerliya tanpa henti menusukku. Dari sebuah jari dan kini entah berapa jari yang dia gunakan, aku tak bisa membedakannya. Aku hanya bisa merasakan jika lubangku semakin melebar sesuai dengan besar dan jumlah jari yang dia masukkan. Aku mengumpulkan semua kekuatanku dan menghentikan invansi tangannya di kewanitaanku. "Mr. Miller, cepat masukkan! Berhenti bermain-main! Aku sudah tak tahan..." aku merengek dengan bulir air mata dan airliur yang merembes dari bibirku. Mr. Miller menaikkan kaos olahragaku dan menelanjangiku. Semua pakaian yang kukenakan kini berserakan di bawah lantai, terlupakan. Dan seakan dia sangat ingin menyiksaku dan mengejekku, dia hanya berdiam diri tanpa menyentuhku. Memandangi tubuhku yang bersemu karena nafsu. "Please, do it now!" Mr. Miller melipat tangan di dadanya, lalu dia menyeringai. Aku menelan air liurku. "Mr..." Mataku membulat, jarinya yang baru saja dia pakai untuk menusuk kewanitaanku yang masih terselubung oleh cairanku, berada dibibirnya. Dan secara perlahan, dengan gerakan sensual yang disengaja dia menjilati cairan itu dengan ujung lidahnya. Dia menyesapnya tanpa sisa. "Mr. Miller... ouh." "Hmm?" "Please..." Aku melebarkan kakiku. Meraih tangannya dan menariknya agar dia kembali mendekat. Tangan kirinya kutaruh di atas dadaku agar dia meremasnya sedang tangannya yang lain kumasukkan kedalam mulutku. Aku menjilati jemarinya satu-persatu, menggerakan lidahku sesensual yang sering kulihat di video porno beberapa waktu lalu. Dia terkesiap pelan saat lidahku menjilati jari telunjuknya dari atas hingga kebawah dan menghisap keras di ujungnya. Aku melakukannya hingga Mr. Miller bergerak dan menciumi leherku. Mendorong tubuhku kembali berbaring. "Ah," Lidahnya yang basah dan hangat menari di rahangku, mengecapnya dan menghisapnya. Beberapa kali kurasakan deru nafasnya yang hangat berada di daun telingaku, Menggelitikku saraf-sarafku. Aku membalas dengan meremas ereksinya dan Mr. Miller menggigit daun telingaku. "Kau ingin di hukum, eoh?" tanyanya, "tanganmu sangat nakal!" dia meraih tanganku agar berhenti memberi pijitan pada ereksinya. Aku mengangguk. "Ya, aku ingin di hukum! Hukum aku Mr. Miller. Kumohon! Aku membutuhkanmu!" Aku mendesah di telinganya dan menyeringai bahagia merasakan remasan tangannya di dadaku. Jari telunjuk dan ibu jarinya tengah memelintir putingku. Aku mengerang, mendongak mempersilahkan bibirnya bermain-main di leherku dan mendesah nikmat menerima hisapan-hisapan kecilnya. Aku membuka ikat pinggangnya tak sabaran. Cukup sulit dengan tubuhku yang tertindih dengan tubuh Mr. Miller yang besar. "Sudah kukatakan padamu! Kau diam saja dan biarkan aku memuaskanmu," Dia menarik tanganku dan menaruhnya melingkar di lehernya. "Tapi aku ingin sekarang... Huks... Aku ingin dimasuki sekarang Mr. Miller. Aku sudah tidak tahan." Oh... Berapa lama sudah aku menahannya? Tak tahukah dia jika aku ingin segera di masuki! Aku ingin ereksinya berada dalam lubang kewanitaanku. Ingin dia menghujamiku dengan desak-desakan kasarnya. Aku ingin dipenuhi olehnya. Mr. Miller mengecup bibirku, dengan lembut. Akhirnya! Sepertinya kemarahan serta rasa kecewanya padaku telah hilang. Mr. Miller membelai rambutku dan menarik diri kemudian berdiri di kaki ranjang. Tangannya membuka ikat pinggangnya, setelah dia merogoh kantong celananya dan menarik sebuah benda kecil berbentuk persegi tipis berbungkus plastik. "Ugh, Bisakah tidak menggunakan kondom, Mr. Miller? Aku tidak begitu menyukainya." Aku melihat benda itu dengan malas. Selalu saja menggunakannya. Dari pertama kalinya hingga sekarang! Aku tahu dia bersih dan aku juga masih perawan ketika pertama kali kami berhubungan seks. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Apa dia tidak tahu itu tidak nyaman? Aku kesal, bagaimana bisa disaat kalian ingin bersatu dengan orang yang kalian kasihi ada benda yang menghalanginya? Dia membuang benihnya di luar tubuhku ketika dia sudah mencapai klimaks atau dia bisa menaruh benihnya di dalam tubuhku. Aku tidak akan peduli jika aku hamil. Aku memang ingin mengikatnya dengan berbagai cara. Mengandung anaknya salah satu metode yang tengah kupikirkan. "Tidak boleh Ashley..." Katanya mulai menggulung kondom menyelubungi ereksinya. "Tapi rasanya sangat sakit ketika menggesek kewanitaanku." Kumajukan bibirku yang langsung dilumatnya. Dia mendesakku kembali, berbaring. Aku mencium aroma kondom yang dia gunakan. Aku tidak menyukai benda itu. Membuat lubang kewanitaanku lecet, seberapa basahpun aku. Tapi terserahlah. Kapan memangnya Mr. Miller pernah mendengarku? Aku membalas ciumannya dengan ganas. "Umphh... Akh..." Mr. Miller naik di atas tubuhku, menopang tubuh dengan kedua tangannya yang berada di sisi kiri dan kanan kepalaku, kakiku melingkar di pinggangnya, menempelkan bagian bawah tubuh kami. Bibirnya turun dari bibirku menjarah daguku. Tangannya meremas dadaku dan kakinya melebarkan kakiku agar aku semakin mengangkang di depannya. Kurasakan ereksinya yang panas dan keras berada di mulut kewanitaanku. Aku meraih wajahnya dan melumat bibirnya. "Akh...." Aku merasakan sakit dan ngilu bersamaan Mr. Miller memasukkan ereksinya dengan sekali hentak. Langsung menghantamku yang memang sudah sangat menginginkannya. Nafasku kembali menderu hebat. Aku mengalungkan tangan di lehernya. Menciumi pundaknya yang bidang. Perlahan Mr. Miller menggerakkan pinggulnya hingga kakiku ikut bergerak seirama dengan tubuhnya. Walaupun kami sudah sangat sering melakukannya, tapi tetap saja, bagiku setiap kali kami berhubungan seks itu akan terasa sangat berarti dan menggairahkan. Walaupun kadang cara kami memulainya sangat tidak masuk akal dan sedikit sadisme. Semua pasti berawal dari sebuah hukuman dari Mr. Miller akan kesalahan yang tak sengaja kubuat yang membuatnya kecewa. Well, walau terkadang aku sengaja membuat kesalahan. Memberinya alasan untuk memberiku sebuah hukuman khusus seperti ini. Dia menyetubuhiku namun menyiksaku terlebih dahulu. Itu cara aneh kami dan aku menikmatinya. "Akh... Akh... Akh..." Aku mendesah seiring dengan hentakan Mr. Miller yang semakin cepat. "Ash... Akh..." Gerakan Mr. Miller semakin cepat dan mendesak, terasa nikmat dan hangat. Gesekan-gesekan dari gerakan alat vital kami, memberi rangsangan pada otak yang membuatku gila. Aku suka berhubungan seks, tapi hanya dengan Mr. Millerku. "Mr. Miller, Akhhhh!" Aku mencintainya. Karena itu aku senang melakukannya. Karena itu aku membiarkan dia terus-menerus memberiku hukuman. Karena itu aku mencari-cari kesalahan sengaja maupun tidak untuk menarik perhatiannya. Karena itu, walaupun aku menderita awalnya, aku tidak memedulikannya. Pada akhirnya aku akan menikmatinya. Aku mencintai Mr. Miller. Dan apa dia juga mencintaiku? "Ash... Umphh..." Bibirnya meraup bibirku. Melumatnya bahkan menggigitnya ketika dia tidak tahan merasakan sensasi ereksinya yang bergerak masuk dan keluar dari lubang kewanitaanku. "Mr. Miller... Akh... Apa kau... Akh... Mencintaiku?" Aku membalas, mencium bibirnya dengan ganas dan menuntut. Dia terlalu sibuk menggerakkan pinggulnya kedalam tubuhku, matanya terpejam dan karena itu dia membiarkan diriku bermain-main dengan bibirnya. "Kau tahu jawabannya Ash... Akh..." Katanya disela-sela desahan dan bibirnya yang mengatup. Aku mengangguk. Mr. Miller pernah menjelaskan padaku. Jika dia hanya melakukan seks dengan orang yang menarik perhatiannya. Bagi dia yang terlahir dengan kesempurnaan, sangat sulit untuk merasa tertarik pada orang lain. Dan aku mabuk kepayang ketika mengetahuinya, bangga pada diriku karena bisa menarik untuknya. Aku akan bersabar menunggu hingga dia mencintaiku, membalas rasaku. Walau aku tak akan pernah bosan untuk menanyakan padanya di setiap waktu. Aku tak akan menyerah sampai dia juga mengatakan "aku mencintaimu". Dan tentang hukuman ini... Jangan menyia-nyiakan waktu untuk menanyakan padaku. Aku tidak tahu semenjak kapan ini bermula dan kenapa hukumannya harus seperti ini. Ini belum dimulai ketika awal hubungan kami, lalu... hm... lalu sudah seperti ini. Aku tidak pernah memusingkannnya. Akh..." Aku menggigit bibirku, satu hentakan yang sangat dalam. Aku mendengar suara decakan tubuh kami yang menimbulkan bunyi karena sangat basah, suara derit kaki ranjang yang bergesekan dengan lantai. Desahan dan erangan dari bibir kami. Bunyi lenguhan panjang. Deru nafas yang semakin memburu. Suhu udara yang memanas. Sedikit lagi. Sedikit lagi...aku sudah berada di ujung kenikmatanku. "Akh..." Aku mencapai orgasmeku. Sedangkan Mr. Miller masih bergerak di tubuhku, keluar dan masuk, ereksinya menegang. Kurasa tak lama lagi dia akan mencapai orgasmenya juga. "Keluarlah, Mr. Miller." Aku mencengkeram bahunya. Hujamannya semakin meningkat. Dadaku bergerak naik turun. Tubuhku bergeser naik. "Akh!!!!" Mr. Miller ambruk dan menindih tubuhku. Aku mencari udara. Bernafas dengan mulutku. Aku membelai rambut coklatnya yang basah karena peluh. Nafasnya yang hangat menerpa leherku. Dia bangkit memisahkan tubuh kami. Dia membelai wajahku. Mengusap keringat yang berada disana. "Lain kali jangan lupa belajar, janji?" Aku mengangguk mengaitkan kelingkingku dengannya, kemudian memejamkan mata saat bibirnya mencium lembut keningku. "Mr. Miller..." "Yah?" "Bisa sekali lagi?" END. Cerita 7 - YOU'RE MINE Main Cast: Sofia, Tyler Note : Worth it di baca sampai habis... ^^ ========================================= Sofia POV. "AGH! SAKIT!! CUKUP! Tyler cukup!" Aku menangis, berteriak, meraung dan menggigit bibirku hingga berdarah. Kucengkram pinggiran kayu ranjang lalu memohon seperti manusia rendahan, sedikit saja, aku ingin dia mengerti jika dia menyakitiku. "Hiks... Cukup... Sakit..." Aku kembali mencoba menyadarkannya, dengan suaraku yang begitu parau dan lemah. Aku menangis keras melihat wajahnya yang menahan kenikmatan dari rasa sakit yang kurasakan. Dia tampak seperti berada jauh. Dia tidak mendengarku. Dia tidak memperdulikan apapun. Dia mengacuhkan aku yang berada di bawah tubuhnya sedang mengemis sebuah permohohan, "AKH!!! Tyler, cukup! Sakit sekali, hiks... Kumohon." Plak. Wajahku terhempas ke samping kiri saat tangan besarnya dia layangkan ke pipiku. Sangat perih. Teramat menyakitkan. Air mataku kembali berurai semakin deras, bahkan aku bisa merasakan keperihan lingakaran bawah mataku yang lecet karena dia selalu menyekanya dengan kasar. Aku menangis dalam kebisuan. Bibirku terkatup rapat hingga otot rahangku terasa mengejang. Rasa asin menyelimuti sudut bibirku, lagi-lagi tamparannya membuat bibirku pecah. Mengeluarkan darah dan berdenyut dengan detuman yang menyakitkan. Aku memejamkan mataku. "Kau berani memerintahku?" Bentaknya, marah. Aku menggeleng lemah, masih dengan wajah yang berpaling darinya. "Bukan perintah, aku memohon Tyler." Jelasku. "Tatap aku!" Aku tidak bergeming Plak. "Akh!" Sakit. "Tatap aku, Sofia!" Tyler menangkup wajahku dengan kedua tangannya, mencengkram dengan sangat kuat hingga kukunya merobek kulit wajahku yang tipis, dan memaksaku menatapnya. "Kenapa?" Suaranya memelan mengerikan. "KENAPA KAU SELALU MENOLAKKU, HAH?" "Tyler..." Aku meringis. Mencoba dengan keputusasaan menjauhkan wajahku darinya. Tapi percuma, cengkramannya tidak mengendur sedikitpun, semakin kuat. Sudut bibirku yang pecah terasa berkali lipat menyakitkan. "Kenapa kau selalu dan selalu MENOLAKKU?" Katanya lagi, "Aku bu-AKH..." Tyler menjambak rambutku. Menarik kepalaku mendekati wajahnya. Mata birunya yang indah memandangku. "Kenapa Sofia? Apa yang kurang? Kenapa kau tidak bisa menerimaku? Apa cinta yang kuberikan untukmu tidak cukup?" Bukan. Bukan itu! Cintamu bahkan sangat besar, tidak, terlalu besar hingga tak ada tempat yang cukup untuk menampung luapannya. Aku tidak bisa menerimanya. Wadahku bukanlah tempat yang tepat untuk menampung cintanya. Aku bukan orang tepat. Sangat salah. Kucoba untuk membuka mulut, namun sangat sulit untuk berbicara. Bibirku tidak bisa bergerak karena dia mencengkram wajahku. "Kenapa kau tidak bisa mencintaiku?" Oh, Tyler. Ada gumpalan bersarang di tenggorokanku, rasanya menghimpit, menghentikan jalur pernafasanku. Aku bukan tidak mencintainya, hanya ini salah. "Kenapa?" dia berteriak, melepas jambakannya pada rambutku dan kembali menidurkan kepalaku pada bantal yang telah basah oleh air mataku. Dia membuka lebar kakiku. Tidak! Aku gemetar ketakutan. Tekanan itu kembali datang, mendorong dirinya kembali memasukiku. "Tyler .. Hiks...AKH!!!! SAKIT!!!! CUKUP... KU MOHON... AKH... SAKIT... HUHUHUHU... SAKIT TYLER ..." Deritan kaki ranjang pada lantai marmer. Desahan yang lolos dari mulut Tyler. Raunganku yang kembali terdengar. Bunyi becek saat Tyler mendorong dan menarik ereksinya keluar masuk pada kewanitaanku yang sangat lecet. Sakit. Sakit. Lubang kewanitaanku yang di masukinya berkali-kali dengan kasar, tanpa memberinya pelicin, membuatnya lecet dan berdarah. Rasanya sungguh perih. Sakit yang tak bisa siapapun bayangkan kecuali merasainya. Aku sudah sekarat. "AGHH!" Aku mendorong dadanya dengan tangan lemahku dan dia menepisnya amat mudah. "Tyler..." Dia meremas dadaku dan menjilati leherku. Tubuhku bergeser ke atas, semakin naik mendekati kepala ranjang. Hujaman Tyler semakin kuat dan mendesak. Aku menjerit. "PLEASE STOP..." Terlalu banyak rasa sakit yang kurasa. Aku sama sekali sudah tidak bisa menahannya. Tenagaku terkuras habis. Kakiku yang berada di bahu Tyler terkulai. Tak ada lagi pemberontakan yang bisa kulakukan. Mataku terpejam, terasa berat. PLAK. "Jangan terlelap. Lihat aku saat kita bercinta... akh.. akh.. uhh.." Tubuhku berguncang. Membiarkan Tyler terus menggerayangi dan memasuki tubuhku. Menghujamku tanpa henti dan tanpa belas kasihan. Apa Ini yang dia sebut cinta? Menyakitiku hingga mati rasa. "Akh... ssshh... akh..." Hanya ada desahan dari bibirnya. Hanya ada jeritan dari bibirku. Aku menangis dalam diam. Percuma memohon padanya. Percuma mengatakan padanya jika seluruh tubuhku menjerit karena rasa sakit. Rasa sakit yang datang dari kewanitaanku yang lecet dan berdarah, dari sudut bibirku yang pecah, dari mataku yang memerah dan terluka. "Sakit... hiks..." . . Terkurung dalam kamar gelap tanpa jendela. Tertidur tak dapat bergerak dengan kedua tangan dan kakiku yang terikat pada palang ranjang. Aku bertelanjang, tanpa pakaian, tak ada selehai kainpun yang menutupi tubuhku. Lukaku yang semakin memburuk tak terobati. Selangkanganku ternodai beberapa bercak darah yang mengering karena tak di bersihkan. Aku menatap langit kamar, terisak pelan. Takdirku berubah sempurna. Seperti membalikkan tangan yang tak memakan waktu hingga sedetik. Tiba-tiba sudah menjadi seorang tahanan yang siap mati. Perih. Sakit. Seluruh tubuhku menjeritkan dua kata itu. Seluruh hatiku meneriakan dua kata itu. "Hiks... Huhuhu..." Aku rela mati alih-alih diperlakukan seperti ini. Lebih baik tusukkan sebilah pisau pada jantungku, yang hanya akan terasa sakit awalnya saja dan kemudian kematian akan datang menghilangkan rasa sakit itu selamanya dan mengakhiri penderitaanku. Aku tidak ingin disiksa seperti ini. Aku lelah, kematian jauh lebih menjanjikan kedamaian. Siksaan ini lebih mengerikan dari pada membayangkan tinggal di neraka. "Hiks...." Entah sudah berapa lama waktu yang ku habiskan di tempat ini. Aku diculik adikku sendiri. Tyler Morgan. Adik kandungku, adik lelaki yang mencintaiku. Adik yang terobsesi untuk memilikiku. Cintanya yang sangat besar kepadaku membuat kewarasannya mengikis, lalu akhirnya dia gila, menculikku dari keluarga kami sendiri. Aku tak bisa membayangkan bagaimana khawatirnya ayah dan ibu kami. Bagaimana rasa sakit mereka. Oh, mereka pasti sangat menderita. Anak gadis mereka menghilang. "Tyler... Hiks..." Aku menyayangi adikku. Aku mencintainya, Bagaimana mungkin aku tidak mencintai Tyler? Akulah yang merawat dan menjaganya, dia mengambil hatiku semenjak dia berbalut selimut biru berada dalam dekapan ibuku. Dia adikku yang sangat manis dan tampan. Dia memiliki senyum khas yang mampu meluluhkan apapun, yang mampu mencairkan apapun. Dia tumbuh menjadi pemuda luar biasa tampan dan mempesona, yang selalu memperlihatkan keberhasilannya untuk menjadi nomor satu, dalam segala hal. Dia ingin membuatku bangga menjadi kakaknya. Dan aku sangat bangga mendapat predikat itu. Namun semua itu berakhir ketika dia menyatakan cinta. Hancur lebur, bahkan serpihan tak ada, bekas setitikpun tak ada. Semuanya berakhir. Tak ada lagi adik manis yang selalu bermanja dalam dekapanku. Tak ada lagi adik manja yang selalu merengek dan mengekoriku. Tak ada lagi adik tampan yang selalu bisa ku banggakan. Dia, adikku yang sempurna telah hilang, kini hanya ada pemuda dengan pandangan kosong yang bernafsu dan tega memperlakukanku seperti seorang budak hina. "Hiks...." "KENAPA KAU SELALU MENOLAKKU, HAH?" Aku tersedak tangisku. Oh, Tyler, Aku tidak bisa. Aku tidak di izinkan. Menerima cinta adikku sendiri? Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa memandanginya seperti itu, dari sudut pandang seorang wanita yang tertarik pada seorang pria. Tyler Morgan, kau adalah adik manisku. "Hiks..." Aku merindukan sosok Tyler yang dulu. Kemana dia? Di bawa kemana adikku? Apa dia telah disembunyikan di suatu tempat? Atau dia terkurung di suatu ruangan menunggu untuk ku jemput? Adik manisku, kau dimana? "Tyler..." Aku menutup mataku, gelap. Aku mencoba mengingat kenangan yang tertinggal saat semua masih berjalan sesuai dengan alur kebahagiaan. Sebelum adikku teracuni oleh obsesi liarnya. "Sofia..." Aku bisa mendengar seruan khas Tyler dalam kegelapan mataku. Aku memanggilnya dan dia menoleh dengan senyum yang mengembang, membuat matanya menjadi segaris dan memamerkan gigi kelincinya. Itulah Tyler yang kuingat. Seperti itu seharusnya. Tyler yang kusayang selalu tersenyum tak pernah menyeringai. Tak akan mampu menyakitiku, apa lagi melukaiku. Dan adikku yang seperti itu telah menghilang, sudah tidak ada lagi. Aku merindukannya. CKLEK, KRIEEEET. Cahaya perlahan masuk melalui sela pintu yang terbuka. Aku menahan nafas. Aku bergetar ketakutan. Sosok tinggi itu berjalan mendekat setelah kembali menutup pintu dan menguncinya. Hanya ada seorang pengunjung yang selalu datang, yang selalu menyetubuhi dan menyiksaku. "Tyler..." Aku bergumam pelan. Dia duduk di samping kakiku. Tersenyum dengan senyum yang sama sekali berbeda dengan Tylerku yang dulu, tidak ada kehangatan, sama sekali tidak ada ketulusan. Senyumnya yang sekarang membuatku menggigil kedinginan dan ketakutan. "Sofia." Dia mendekat, mendorong tubuhnya ke arahku. Jari-jari tangannya menyusuri lekuk wajahku, dia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi keningku, kemudian mengalihkannya ke pipi, hidung, bibir dan akhirnya dadaku. Aku terkesiap ketika dia meremasnya. "Merindukanku?" Tanyanya, menyeringai. . . Tyler melepas ikatan pada tangan dan kakiku. Membuatku sedikit meringis kesakitan. Pergelangan tanganku memerah penuh bekas luka lilitan. Tyler meraih tanganku dan menciumi setiap jemari kurusku, setelah puas menghisap telunjukku, dia turun ke kaki ranjang dan membungkuk. Dia melebarkan kakiku, menatap kewanitaanku. "Please... Jangan Tyler." Tangannya membelai pahaku. Bibirnya yang dingin menciumi bibir kewanitaanku. Menjilatinya dengan perlahan. Kembali aku mencengkram seprai ranjang. "AKH!!!!" Dia memasukkan jari tangannya pada lubang kewanitaanku. Terasa terbakar. Terasa perih. Aku meringis. Aku menjerit, berteriak memintanya berhenti. Masih sakit. Masih terasa amat perih. Lukaku tidak pernah sembuh, dia menambah luka baru pada luka yang masih basah. "AKH... SAKIT... TYLER... PLEASE... STOP..." Dengan kedua tanganku aku mencoba mendorong kepalanya agar menjauh dari selangkanganku. Dengan tenaga minim yang kumiliki aku berusaha menjauhkan tangannya. Mungkin baginya jeritan memilukanku seperti sebuah melodi merdu yang sangat indah. Tyler tidak mengindahkan teriakanku. Kini dia berdiri, membalikkan tubuhku hingga tengkurap. Aku menggigit telapak tanganku ketika kudengar dia membuka kancing resleting celananya. "Oh. Sofia." Dia meremas bokongku. Menunggingkan bagian bawah tubuhku. "Tidak, Tyler! AGHHHHH!" Kewanitaanku yang kering dimasukinya. Kulit tipis dikewanitaanku kembali terluka, lecet karena dipaksa bergesekkan dengan ereksinya. Air mataku mengalir deras. Kusembunyikan wajahku, meredam isakanku. Aku berharap rasa sakit itu menghilang. Aku ingin semua ini berakhir. Aku ingin... "Bunuh aku Tyler ..." Sahutku, menoleh dan memandanginya. Dia berhenti bergerak, menatapku dengan raut wajah yang sangat sedih. Ekspresi terluka, kecewa, dan marah terlukis di wajahnya. Tyler membalikkan tubuhku. Aku mengernyit sakit saat dia mengeluarkan ereksinya. PLAK. Wajahku terhempas mengukir jalur tamparannya. "KAU INGIN MENINGGALKANKU? KAU TIDAK MENCINTAIKU?" PLAK. "Kau lebih memilih mati dari pada bersamaku? Apa kau begitu membenciku?" suaranya serak, bergetar dan terdengar lemah. Aku mengintipnya dari balik kelopak mataku yang berbayang. "Sofia... kenapa? Tyler menenggelamkan wajahnya di pundakku. Menangis tersedu seperti balita. Aku merasakan hangat air matanya yang jatuh di leherku. Tergerak, tanganku yang mencekram seprai beralih membelai belakang kepalanya. Sisi Tyler yang dulu kembali melintas dalam bayanganku. Adikku yang cengeng, yang selalu berlindung di belakang tubuhku. "Tyler ..." "Kau ingin meninggalkanku, Sofia? Huhuhu... Kau sudah tidak menyayangiku? Dia mengangkat wajahnya, mendorong tubuhnya di atasku sejarak panjang lengannya. Kedua tangannya menekan pundakku. Mata birunya terbingkar air mata, dia terisak, tubuhnya bergetar. Tyler menggigit bibirnya dan berteriak frustasi di atas tubuhku. Aku menangis sejadinya. Tidak bisakah kami kembali seperti dulu? Aku ingin adikku kembali. "Tyler, berhentilah! Mari kita kembali! Ayah dan ibu, mereka pasti khawatir, Kumohon." Aku mengangkat tangan untuk membelai wajahnya, tapi Tyler menepisnya "Kembali?" Matanya berkilat marah. "Aku tidak akan pernah kembali bersama mereka! TIDAK AKAN!! Mereka akan memberikanmu pada pria lain. Mereka akan mengambilmu dariku! Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Aku mencintaimu. Aku yang berhak memilikimu. Kau milikku!" Wajahnya yang seperti malaikat di rusak oleh aura yang terpancar di sekitarnya. Gelap, kelam, dingin dan sadis. Lalu penyiksaanku kembali berlanjut. Mataku membulat melihatnya yang kembali bergerak, ingin menyetubuhiku. Tangannya mengarah pada ereksinya. Aku berteriak ketika dia mulai kembali memasukiku. Bibirku berdarah, aku menggigit terlalu keras untuk menahan rasa sakitku. "Kau milikku, Sofia!" Aku memukul dadanya, Menggerakkan tubuh memberontak. Dan semua sia-sia. "AGH... SAKIT!!!" "Ah... Ah... Ssshh..." Desahannya berbanding terbalik dengan jeritan keputusasaanku, kenikmatannya bertolak belakang dengan penderitaanku. Dengan tidak peduli dan keacuhan yang mengerikan, Tyler tetap menggerakkan pinggulnya, bahkan menambah kecepatannya yang membuat lubang kewanitaanku berdarah. "Akh... Akh... Sofia, Akh..." Aku tidak ingin mendengar. Aku tidak ingin melihat. Aku ingin mati. . . Author POV. Tyler meluruskan kaki, duduk di ujung kaki ranjang. Wajahnya menunduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir dari kedua sudut matanya. Tyler terisak. Tersedu-sedu, menangis seperti anak kecil. Perlahan dia mendongak, menyandarkan punggungnya kebelakang. Lengan menutupi matanya. "Sofia, Maaf... Maafkan aku." Cinta bisa menghilangkan akal, meleburkan logika. Cinta bisa membutakan mata. Menulikan telinga. Cinta... Memanjakan hati, saat kita merasakannya. Menyakiti hati, saat kita kehilangannya. Tyler berdiri. Memungut dan mengenakan kembali pakaian yang dia kenakan sebelumnya. Tangannya bergetar ketika memasukkan kancing baju pada lubangnya. Dia kembali terisak ketika memakai kembali celananya. Bayangan serta jeritan itu masih segar. Jeritan Sofianya. Rintihannya. "AKH... MAAF!!!" Tyler menutup telinganya, menggelengkan kepala dengan kasar. Kakinya melemas. Dia jatuh terduduk, sebelah tanganya berada di atas ranjang. Dekat dengan kaki Sofia. Ujung jemarinya bersentuhan dengan jemari kaki Sofia. Matanya yang sayu menatap sedih tubuh Sofia yang terbaring tak berdaya dengan tangan dan kaki terikat. "Sofia. Maaf..." Tyler memeluk kaki Sofia. Menangis lagi dengan kepala yang berada tepat di atas kaki wanita itu. "Aku tidak ingin mereka mengambilmu! Aku tidak ingin mereka memisahkan kita." Butuh beberapa waktu bagi Tyler untuk kembali berdiri. Menghapus air matanya dengan punggung tangan dan mengeringkannya dengan ujung bajunya. Tyler mengambil sebuah mangkok kecil yang berada di samping ranjang di atas meja kecil. Mengisinya dengan air hangat yang berada di kamar mandi apartemen itu. Dia mencari sebuah handuk kecil di dalam laci kemudian membahasinya dengan air hangat tersebut. Perlahan dia duduk di samping tubuh Sofia. Tyler memeras handuk kecil itu dan mulai menyeka tubuh halus Sofia. Dari kening hingga pundaknya. Pelan dan lembut. Dan saat dia mulai menyeka bagian paha Sofia airmatanya kembali jatuh melihat darah segar berwarna merah melekat di sana. "Maaf." Membungkuk pada tubuh yang tidak berdaya. Tidak bergerak. Hanya dada Sofia yang naik turun membuat dia terlihat hidup. Wanita itu terlalu lelah untuk bergerak. Terlalu banyak luka yang diterimanya. "Maaf, Sofia.." Sejenak Tyler membaringkan dirinya di samping Sofia, lalu pindah menyandarkan kepalanya di atas perut wanita itu. Dia memejamkan mata, tangannya melingkar di sekitar pinggang Sofia. Tyler memeluknya erat. "Tidak ada yang boleh mengambilmu dariku, Sofia." Tidak ada yang boleh merebut Sofia dari tangan Tyler. Pemuda itu telah lama menaruh perhatian lebih pada kakaknya sendiri. Dia sangat mencintai dan menyayangi Sofia yang memanjakannya. Hingga dia menjadi posesif dan terobsesi. Bagi Tyler, Sofia adalah miliknya. Sudut pandang saat dia melihat kakaknya berbeda. Dia melihat Sofia sebagai wanita yang dia cintai, yang dia inginkan menjadi wanita pendamping hidupnya. Hidup yang bahagia, hanya ada dia, Sofia dan kedua orang tuanya. Tyler tidak menginginkan apapun lagi. Dia sudah merasa memiliki segalanya. Hidupnya diberkahi. Dan Itulah yang dia pikirkan sebelum orang tuanya menjodohkan Sofia dengan pria lain. Takut dan frustasi. Sosok wanita yang selalu menjaganya akan di rebut oleh orang lain. Tyler menjadi gelap mata.Tidak! Tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Sofia hanya milik Tyler. Begitulah seharusnya. Tyler menculik Sofia, memperkosanya, dan menyekapnya di apartemen kecil yang dia sewa, tanpa seorangpun yang curiga. Kekejamannya telah berlangsung hampir sebulan lebih dan masih akan berlanjut hingga Tyler merasa cukup aman jika tak ada seorangpun yang berpikir akan memisahkan dirinya dengan Sofia. "Aku mencintaimu Sofia... Aku mencintaimu." Tyler menutup matanya. Terlelap dengan bayangan Sofia balas memeluknya dan membelai rambutnya. . . . END. PS : Apa cerita begini boleh di publish di sini? Kalau gak boleh kasih tahu yah, nanti aku hapus. Makasih! Kenapa gak ada yang komen yak? Cerita 8 - CRAZY - Guilty Pleasure part 1 Main Cast: Miranda, Logan Harris ========================================= Miranda POV. Aku simpanannya, tempat dimana dia menghabiskan malam jika dia merasa bosan dengan kehidupan mewah yang telah merampas hidupnya. Dia selalu datang padaku, membiarkanku mendekapnya, lalu melayani dia hingga puas. Dia memberiku segalanya, harta berlimpah serta kepuasan berhubungan intim yang menggairahkan. Dia memiliki istri, dia memiliki dua orang anak. Dia memiliki materi yang tak akan pernah habis hingga ke anak cucunya. Lantas, apa itu menjamin kebahagiaannya? Sayangnya, tidak! Dia pria yang menyedihkan. Dia pria yang kesepian. Dia tidak memiliki siapapun yang mengerti tentang kesedihannya. Dia datang padaku, di suatu malam yang penuh dengan bau alkohol dan seks di bar tempatku bekerja. Aku dibayar untuk memberikannya hiburan. Awalnya dia menolak sopan rayuanku, menjelaskan padaku bahwa dia memiliki keluarga yang menunggunya di rumah, dan dia berkunjung ke Bar tempatku bekerja karena sebuah paksaan dari rekan kerjanya. Aku hanya menyeringai. Aku tahu pria sepertinya, polos dan bertanggung jawab, baik hati dan gampang dipermainkan. Jadi, sebagaimana pengalaman mengajariku dalam dunia kotor ini, aku berhati-hati menjeratnya. Aku yakin dia pasti akan tunduk dihadapanku seperti pria-pria lainnya. Tidak ada yang bisa menolakku. Rasa percaya diri itu mendarah daging padaku. Karenanya, malam itu aku hanya diam dan duduk disisinya walau dia bersikeras menolakku dan menyuruhku meninggalkannya seorang diri. Aku tersenyum, membelai lengannya, mendengarkannya berbicara, merespon dengan benar semua ceritanya. Aku berusaha menjadi teman yang dia impikan dalam dunia kebasnya. Aku sudah hapal tabiat pria-pria kaya yang kesepian sepertinya. Mereka butuh teman, lalu setelah mendapatkan kepercayaannya, aku bisa mendapatkan segalanya. Dibutuhkan waktu beberapa minggu sampai dia kembali datang padaku, bahkan yang mengejutkanku dia datang seorang diri, tanpa rekan kerjanya. Itu bagus, sangat bagus, membuatku tersenyum karena kini tidak ada alasan baginya untuk menolakku karena kesopanan, dia datang dengan kemauannya sendiri. Seperti yang kurencanakan dan kuharapkan, dia memesanku. Dan kami hanya mengobrol. Itu menguntungkan. Aku tidak dirugikan. Dia pria yang baik. Sangat baik. Hingga terkadang aku ingin menangis karena pria baik sepertinya harus mencari setitik kebahagiaan ke dunia nista tempatku mencari nafkah. Lalu semenjak hari itu, -saat pertama kali dia datang dengan suka rela-, aku semakin mengenalnya karena kunjungan rutinnya setiap minggu. Kami menjadi teman dekat. Kami tidak melakukan apapun. Dia tamu pertama untukku yang menolak memakai jasa tubuhku. Kami hanya mengobrol. Aku membuatnya tertawa dan dia memberikanku uang tips sebagai imbalannya. Lagi-lagi aku diuntungkan. Dan akhirnya di bulan kelima dia mengunjungiku, hasrat itu sudah tidak bisa dipendamnya. Dia tidak lagi bisa menolak untuk menikmatiku tubuhku. Pengakuannya manis tentang nafsunya yang dia pendam, menggunakan kata-kata memabukkan. Memujiku tidak ada habisnya, menyanjungku hingga kulitku merona malu. Dia manis dan dia sudah lama menaruh minat padaku. Sudah terlalu lama hingga menyakitkannya untuk selalu berpura-pura. Dia menginginkanku. "Kau cantik Miranda. Kau terlalu berharga untuk berada di tempat seperti ini," Aku menimpalinya dengan tersenyum malu-malu seperti seorang perawan yang suci, aku ingin memberikan tepuk tangan pada bakat aktingku. Dia termakan dengan kepolosan yang kubuat-buat. Atau benarkah aku membuat-buatnya? Aku tidak selalu yakin pada diriku sendiri jika berada dekat dengannya. Lagipula apa peduliku? Malam itu juga dia mendekapku. Memelukku dan menyatukan tubuh kami. Membuatku melayang dan untuk pertama kalinya menikmati pekerjaanku dengan tulus, itu karena dia. Dia merasa bersalah. Dia terbangun dengan ekspresi menyedihkan yang pertama kalinya kulihat di wajah seseorang. Aku bertanya apa dia menyesal melakukan seks denganku dan dia menjawab tidak. Dia merasa bersalah, pada istri dan dua anaknya. Perasaan murni yang tidak bisa dielakkannya karena dia orang yang baik. Dia bersikeras meyakinkan aku, malam yang kami habiskan adalah malam terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya dan aku mempercayainya. Sudah kukatakan dia pria baik yang sangat jujur. "Kau satu-satunya yang membuatku merasa hidup." Dia pintar berbicara. Dia pria bermulut manis dan aku tidak bisa untuk tidak menyukai tutur bahasanya yang selalu memujaku. Kemudian setelah malam itu, aku mendapatkan apa yang selama ini selalu kuidamkan. Kebebasan. Dia melarangku bekerja, menyuruhku berhenti, dan tentu saja aku menurut dengan suka rela. Sudah lama sekali aku ingin keluar dari tempat terkutuk ini. Bertemu dengan Logan adalah kesempatanku, menikmati hidup. Kesempatan keduaku untuk mengarungi nasib yang tak pernah baik. Dia memberiku apartemen mewah, mobil, gadget mahal dan kartu kredit unlimited. Aku bahagia. Tidak perlu lagi menelanjangi diri di depan tamu asing. Membuka kaki agar aku bisa menghidupi diri. Hidupku indah. Tidak semua orang bisa mendapatkan posisiku yang sekarang. Hanya perlu memuaskannya, memberikan pelayanan yang akan membuatnya selalu datang padaku daripada keluarganya. Sesederhana itu dunia sudah berada dalam genggaman tanganku. "Apa yang kau lamunkan, eoh?" Aku berbalik perlahan, dengan nyaman merasakan sepasang lengan kekar sudah bergelayut di pinggangku, memberiku kehangatan. Aku tersenyum ringan menyandarkan punggungku bersandar di permukaan dada bidangnya. "Kau." Ucapku pelan dan serak. Terkekeh geli, dia menciumi leherku, "aku tersanjung. Dipikirkan olehmu adalah sebuah kehormatan." Aku membelai lengannya. Kudorong tubuhnya dan aku menaiki pahanya. Mengangkang dengan erotis. Menumpukkan tangan di kedua sisi kepalanya, menyodorkan dadaku yang telanjang di depan bibirnya. "Apa kau akan bermalam disini?" Tanyaku nakal, dia melenguh, tanganku bermain di sekitar putingnya. Baru beberapa jam lalu kami melakukan hubungan badan, baru beberapa jam lalu dia memasukiku dengan lembut, tapi aku masih haus akan dirinya. Aku tidak pernah puas dengan belaiannya. Dia canduku. Obat terlarang yang tidak bisa ditolak. Aku menunduk dan menjilati lehernya. Rahangnya mengeras. Kurasakan tangannya meremas bokongku. "Ugh... Mira." Dia meremas -lagi- bokongku dengan sedikit kuat, aku menyeringai. Dia mulai terangsang, aku merasakan ereksinya di antara bokongku, menyodok ingin dipuaskan. "Ronde kedua sepertinya, Logan sayang." . . Kulihat di balik kaca mobilku mereka keluar dari restoran keluarga yang mewah. Logan berjalan di depan mereka, wanita cantik di belakangnya diapit oleh dua bocah, keduanya masing-masing menggenggam tangan ibu mereka. Kukeluarkan ponselku dan menghubungi Logan . "Sayang..." Suara manisku mengalun. Kulihat senyum Logan terkembang di depan sana. Dia berhenti dan menyuruh keluarganya untuk berjalan di depannya. "Yah, Mira." "I miss you..." Sahutku, kulihat seketika itu ekspresinya melembut. "I miss you too, Mira." "Apa kau akan datang malam ini?" tanyaku mengelus dashboard di depanku hanya untuk menyentuh sesuatu. Kulirik Logan di seberang sana, dia menatap keluarga kecilnya lalu kemudian menarik nafas. Apa kali ini dia akan memilih keluarganya alih-alih diriku? Kugigit bibirku untuk menahan rengekan yang ingin keluar dari tenggorokanku. "Tunggulah, aku akan datang." Aku menghela nafas yang sedari tadi kutahan, senyumku mengembang. Aku mengangguk seperti orang bodoh. . . Logan terlahir dalam keluarga kaya yang dingin sehingga dia tumbuh besar dengan tidak mengenal kata bahagia. Dia tumbuh menjadi anak penurut, tidak pernah membantah, bahkan jika dia disuruh untuk mengesampingkan perasaannya, dia tidak pernah berkata tidak. Oh~ Pria malangku. Apa yang tidak dia lakukan demi keluarganya? Dia merelakan hidupnya terikat pada sebuah display rumah tangga harmonis dan bahagia, sedang didalam hatinya dia mengunci diri, meringkuk di pojok ruang gelap, menangis dan menderita karena kesepian. Mengenalnya, tahu mengenai seluk beluk dirinya, aku lantas menyamakan penderitaan kami pada timbangan yang sama. Dia tidak bahagia dengan hidupnya, tak beda hal dengan diriku. Dunia sangat kejam pada kami berdua. Tidak ada yang sempurna, masing-masing memiliki kekurangan. Dia memiliki harta berlimpah yang kuimpikan, dan dia terobsesi pada kebebasan kotor yang kumiliki. Kubelai pelan lekuk lehernya dengan ujung jemariku. Matanya berkedut pelan, menikmati sentuhanku. "Eung..." Dia pria tampan yang sangat maskulin, tapi dalam hitungan detik seperti ini, dia bisa menjadi pria manis yang menggemaskan. Aku tak bisa menahan diri untuk mengembangkan senyum. Dia benar-benar manis. Logan merentangkan tangannya. Meregangkan otot bahunya. "Pagi, Miranda ..." Senyumnya. Senyum tulus yang jarang dia perlihatkan. Aku menyukai senyum itu. Aku menunduk malu. Jantungku berdegup. "Pagi Logan." Tangan besarnya menangkup wajahku. Dia mendekat dan mengecup keningku dengan mesra. Kukerjapkan mataku berkali-kali. Semakin hari, pengaruh keberadaan Logan menakutiku. Aku merasa menjadi orang lain yang menyeramkan. Dadaku sesak akan sesuatu yang beberapa bulan ini kusangkal. "Kau wangi sekali Mira." Logan menciumi leherku. "Logan ..." "Eng?" Kudorong tubuhnya. "Breakfast?" Dia menyeringai dan kembali menyerang pundakku. Lidah basahnya membuat buluku meremang. "Aku sedang menikmati breakfastku Mira." Aku tak sempat membalasnya, bibirku sudah dilumat oleh bibirnya. Dia menutup mulutku. Melanjutkan kenikmatan persetubuhan kami semalam, yang kusambut dengan tangan terbuka. . . Aku menyesap mocca pagiku, meniup uap yang menguap, menghidu aroma yang menguar di sekitar dapur. Kemeja besar Logan membungkus tubuhku dengan hangat. Kumainkan tanganku di atas meja. mengetuk-ngetuk telunjukku agak kalut. Perasaan ini semakin menenggelamkanku. Perasaan yang entah kapan mulai menggerogoti hatiku. Rasa obsesi. Rasa tidak puas. Bibir bawahku kugigit kuat. Aku menarik nafas dan menggenggam cangkir moccaku erat. Perlahan aku menggigil, tanganku gemetar hingga cangkirku bergoyang dan menyipratkan mocca -yang masih panas- ke jemariku. "Ah." Prang. Cangkirku jatuh, pecah menjadi beberapa bagian dan serpihan. Aku menghisap jari telunjukku. "Miranda!!!!" Suara Logan mengalihkan perhatianku. Dia berdiri di depan pintu kamar yang berhadapan langsung dengan dapur. Dia hanya mengenakan celananya kemudian dia berlari mendekatiku dan berhenti ketika melihat pecahan di bawah kakiku. "Logan..." Gumamku, sambil masih mengamati profilnya yang panik. "Kau terluka?" tanyanya, mengambil langkah hati-hati di atas lantai yang berserakan dengan beling dari cangkirku. "...." "Miranda?" Dia meraih tanganku yang memerah dan menggantiku menghisapnya Aku mendongak menatapnya. Matanya langsung membulat. "Kenapa kau menangis?" Terkaget aku mengarahkan tanganku ke sudut mataku, basah. Aku menangis. "Mira ..." Suaranya melembut. "Tidak apa-apa. Aku hanya tidak sengaja terkena cipratan mocca dan menjatuhkan cangkirnya." Ekspresi wajahnya melega. Dia menarikku dengan menaruh telapak tangannya di belakang leherku kemudian mendekapku hingga terasa sesak. "Oh, God! Kau membuatku takut. Berhati-hatilah. Aku hampir terkena serangan jantung." Aku mengangguk di dadanya. Tanganku mulai melingkar saat dia mendaratkan bibirnya di atas kepalaku. Kukencangkan pelukanku. "Logan... Logan..." Seperti bisikan mantra, aku mengulang-ulang menyerukan namanya. Tak ada gunanya lagi aku menyangkal. Tak ada gunanya lagi aku menekan perasaanku. Aku menginginkannya. Aku menginginkan Logan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin berbagi. Logan hanya milikku. Logan satu-satunya pria yang tidak bosan padaku, menerima keadaanku dengan senyum bahkan setelah mendengar berapa banyak pria asing yang menikmati tubuhku. Logan adalah pangeran berkuda putihku, yang menyelamatkanku dari siksaan kehidupan yang menaruhku pada jalanan gelap sarat akan hinaan. Logan selalu memperlakukanku seperti barang berharga, barang mudah pecah. Dia selalu lembut dan berhati-hati padaku. Dari cara dia bertutur kata dan berinteraksi denganku. Dia selalu menomorsatukan perasaanku. Dia menghargaiku. Loganku. Dia hanya Loganku. Aku tidak ingin membaginya. . . "Sekarang bukan hanya kau yang berhasil menjeratnya. Bahkan dia menjeratmu, bahkan lebih buruk, kau korban yang terjerat lebih dalam." Aku berjalan cepat memasuki toko lainnya. Ruby meniruku dan mengimbangi langkahku. "Apa kau harus mengatakannya segamblang itu?" Ruby mengangkat bahu. "Aku hanya mengingatkan." Mataku menyipit dan rahangku mengeras. Aku menaruh kembali baju yang baru saja kuangkat. "Aku sudah tahu hal itu, kau tak perlu lagi mengingatkanku." Aku kembali melihat deretan baju lainnya dan Ruby mengekoriku. "Aku hanya khawatir Mira. Bagaimana jika akhirnya kau yang akan terluka lebih parah?" Kuhentikan tanganku. "Aku tahu apa yang kulakukan Ruby. Aku tahu apa yang Logan rasakan padaku. Aku yakin aku akan menang." Kataku dingin. Ruby mendesah dan mengangkat kedua tangannya. "Jadi apa kau akan melanjutkan rencanamu?" Aku mengangguk dan mendorong baju-baju yang tergantung dan mencari baju yang menarik minatku. "Semua sudah beres. Aku tinggal bertemu dengannya dan melihat, apa aku yang akan terluka atau bahagia selamanya." Aku menutup mataku. Semua akan berjalan lancar. Dewi Fortuna akan berpihak padaku. Sekali ini saja, untuk terakhir kalinya aku ingin egois. . . Aku mengikuti istri Logan Harris beberapa minggu ini. Aku sudah hafal kegiatannya. Mengantar anak-anak sekolah, bekerja, makan siang di restoran favoritnya, menjemput anak-anak, kembali bekerja, dan malamnya kadang aku mendapatinya berkumpul di kafe/restoran/bahkan bar bersama teman-temannya dari asosiasi istri-istri pengusaha kaya. Rencanaku sederhana. Menemuinya dan memberitahukan keberadaanku dalam hidup Logan. Aku tahu dari mengamatinya, di saat akhir pekan yang Logan katakan sebagai hari kumpul keluarga, dari wajahnya saat memandangi Logan, wanita itu mencintai Logan. Cinta sepihak yang menyedihkan. Logan tidak mencintainya, tidak akan pernah mencintainya. Hari ini aku akan menjalankan rencanaku. Aku duduk, menunggunya datang di restoran favoritnya pada jam makan siang. Sudah kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktuku. Wanita itu tak kunjung datang. Aku mengecek kembali jam tanganku. Wanita itu tidak biasanya terlambat. Dia..... Pandanganku teralihkan. Pintu kaca itu terbuka. Pelayan pria yang biasa membuka pintu membungkuk pada pasangan yang baru masuk. Aku tertohok. Wanita itu datang bersama Loganku. Dia melingkarkan lengannya yang kotor di lengan Logan sembari tersenyum pada siapa saja yang melihat ke arah mereka. Aku menunduk. Menyembunyikan wajahku di antara kedua bahu. Rasanya sudah sesesak ini. Sangat sesak. Aku sudah mencapai batasku untuk membaginya. Aku rakus. Aku marah pada siapapun yang menyentuh Logan. Keobsesianku semakin mengerikan. Logan harus menjadi milikku secepatnya. Aku tidak bisa menundanya lagi. Amarah ini meluap mengaburkan pandanganku. Terluka yang aneh. Merasa milikku dirampas. Aku berdiri dan membelakangi pasangan palsu itu keluar, menghirup udara, menyegarkan paru-paruku yang terpolusi oleh udara kotor di dalam. "Shit!!! He's Mine!" . . . Bersambung..... Description: Romance Dark! Enjoy! Indonesia Langue! Be Nice or Leave ^^!
Title: Run.. Runa! Category: Spiritual Text: Run.. Runa! RUN.. RUNA! Bayu Rifky Syahputra Ini bukan kisah nyata. Ini kisah tentang kenyataan. Maaf!. Seorang pemuda menuntun motornya sore ini. Ia mengikuti seorang gadis yang ia sukai, berjalan di sampingnya. Gadis itu cukup rupawan meski hanya dengan seragam putih abu abu. Si pemuda sebenarnya tidak kalah keren, dan mungkin sulit bagi beberapa gadis untuk menolaknya. Tapi yang ini sangat mudah. "Kenapa sal?"tanya Pemuda itu dengan memelas. Salma menoleh kesal. "Apanya sih?" "Kenapa kamu gak mau sama aku?"tanya si pemuda. Salma berhenti berjalan dan mendekati pemuda itu. Matanya melotot tanda ketidak setujuan yang amat sangat. "Dengar ya!. Gak semua orang bisa ngejalanin hubungan kaya gitu, aku udah gede ya, aku cari imam bukan cari pacar buat main main". Salma berjalan pergi lebih cepat setelah melihat pemuda itu cukup mengerti. Si pemuda terdiam dengan motornya. Ia melihat rosario yang ada di dadanya sendiri. Butuh waktu beberapa menit bagi pemuda itu untuk menyalakan motor bebek paling kurang ajar di dunia. Pagi ini, butuh banyak sekali engkol, lebih banyak daripada hari biasanya. Pemuda itu meringis puas saat motonya mulai berbunyi. Usianya 17 tahun. Pertarungan menyalakan motor tadi memunculkan beberapa noda keringat di kemeja putih seragamnya, setelan dengan celana abu abu. Ibunya yang baru masuk ke pekarangan tergopoh gopoh membawa bahan makanan bersama kakak perempuan si pemuda. Ibunya berteriak "kau akan ibadah jum'at di sekolah kan?"tanya Ibu. Aruna, si pemuda tadi menggeleng. Ia menjawab "Tidak ada ibadah jum'at disekolah bu!" Ibunya menggeleng geleng tanda tidak setuju dengan apapun yang diajarkan zaman sekarang. "Ya sudah. Yang penting kau masih ke gereja hari minggu nanti!". Ayah Aruna mendekati anaknya hanya untuk mendekati motor itu. Melihatnya apa masih bisa digunakan. Setidaknya ia memaksa bisa, ekonomi cukup sulit jika harus beli motor dengan kelima anggota keluarga yang butuh pangan. Anak terakhir masih sangat kecil. "Motornya tidak apa apa kok yah!"ucap Aruna "Tentu saja, kalau kau mau motor kau beli sendiri!" Ayah dan anak itu tertawa kemudian. "Jangan terlalu dengarkan kata ibumu, ayah dulu juga jarang ke gereja"ujar Ayah. Aruna tertawa kecil. "Tidak kah ayah pikir itu tidak pantas keluar dari mulut seorang pastur"kata Aruna. Hari bergulir begitu saja. Aruna mencintai apa yang ia lakukan di sekolah dengan teman temannya meski dia sering terkena masalah kecil. Aruna duduk di teras masjid sekolah menunggu teman temannya sholat dhuhur. Mendongak kesana kemari dan sendirian. Dia mengelap kaca jendela gereja ditemani suara paduan suara gereja latihan. Ini gereja yang di kelola oleh ayahnya, pastur di area ini. Dari jendela itu dia melihat Salma pertama kali dan setiap hari dia terbiasa melihat Salma berjalan disana. Mungkin mau ke taman, kadang dengan teman, kadang ibunya, kadang sendirian. Beruntung dia tak pernah melihatnya dengan pria. Aruna makan di kantin bersama teman temannya, mereka mempercepat makan saat mendengar adzan. Aruna kembali duduk di teras masjid dan untuk pertama kalinya sekarang dia menatap ke barisan barisan jamaah sholat dhuhur yang kebanyakan siswa itu. Aruna mengambil nafas panjang. Aruna tidak datang ke gereja minggu ini. Dia membonceng Salma, Salma dan Aruna bertemu dengan imam masjid besar di kota. Aruna mulai sering pergi bersama dengan Salma. ibu Aruna mendongak ke cahaya jendela gereja di tengah doanya. Lebih tepatnya ke dunia luar mencari dimana Aruna sekarang. Ibu Aruna melihat anaknya membaca beberapa buku di kamarnya. Ada sedikit rasa khawatir dan tanda tanya yang ia sendiri tidak tau apa maksudnya. Sepengetahuannya anaknya baik baik saja tapi kenapa dia merasa ada yang sedang terjadi. Dan yang paling buruk wanita itu tidak tau apa itu. Makan malam yang nikmat. Ayah Aruna duduk di ujung meja makan. Ibu dan adik kecilnya di sisi meja sementara Aruna dan kakak perempuannya di sisi yang lainnya. Mereka tenggelam dalam hangatnya suasana makan dengan obrolan obrolan ringan. Ayahnya melihat Aruna lebih banyak diam ketimbang makan. Dia bertanya apa yang terjadi pada Aruna. "Aruna mau masuk islam!"jawab Aruna dengan jelas dan penuh keyakinan. Ayahnya menarik napas panjang. Kakak perempuannya mangap di dekat Aruna. Ibunya beranjak dari kursi kemudian. Membereskan piring piring makan. Aruna hanya melihatnya dengan getir. Ibu Aruna meninggalkan ruang makan. Tapi orang orang yang tersisa di meja dapat mendengar isak tangisnya. Aruna menatap ibunya dari area gelap di pojok dapur. Ibunya sibuk mencuci piring. Aruna memilih duduk disana lama untuk melihat gerak gerik dan semua yang dilakukan ibunya. Terlebih lagi sejak pengakuan Aruna soal keinginannya masuk Islam. Yang terbaik dari tempat itu adalah, Aruna dapat melihat ekspresi ibunya tapi ibunya tidak bisa melihat ekspresi Aruna. Terlalu gelap. Aruna melihat ada kesedihan dan kekesalan tergambar di wajah ibunya. "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah". Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah utusan Alloh. Salma menelungkungpan kedua tangannya di muka tanda syukur. Diikuti imam masjid dan orang orang lainnya yang ada di masjid besar. Maha suci alloh. Aruna tersenyum. Ia sangat senang sampai tergambar matanya berkaca kaca. Ayah Aruna sibuk mengotak atik motor Aruna, ibunya memilah kacang di dekatnya. Keluarga Aruna adalah penganut kristen yang taat. Tidak ada satupun dalam sejarah keluarga Aruna terdapat anggota kelurga yang keluar dari agama kristen. Itu lebih buruk lagi karena ayah Aruna adalah pastur. Saat Aruna pulang, semuanya sudah berbeda. Keluarganya tidak mengiyakan tapi tidak juga membenarkan. Tidak, untuk orang orang yang menyukai balada yang sangat amat dalam kesenangan tidak berakhir disitu. Aruna dan Salma sangat berbahagia berminggu kemudian. Dan malam kemarin mereka membicarakan obrolan santai tapi berbobot tentang bulan ramdhan yang sangat diresapi oleh Aruna. Itu kesekaian kalinya mereka bertemu membahas keislaman sejak tiga bulan mereka bersama. Tapi manusia cepat berubah. Sepertinya itu sudah jadi kepastian. Bahwa berkembang artinya berubah dan tidak mudah menerima banyak hal dalam perkembangan. Karena tidak semuanya dapat dirasa baik. Contoh baiknya adalah Aruna yang masuk islam adalah satu satu kebahagian bagi sesama saudara muslim tapi itu juga adalah perubahan yang memalukan, aib, bagi keluarga pastur, tidak semua, tapi iya untuk keluarga Aruna. Dan yang berikutnya ini akan sulit diterima oleh Aruna. Ia mengikuti langkah Salma yang cepat bagai atlet jalan cepat di trotoar sore. Menjelang maghrib. Aruna belum mau mengerti apa maksud Salma. "Aku punya kendali untuk memilih run!"teriak Salma. "Tapi.. , aku kira itu yang kamu mau!"ujar Aruna "Itu juga yang aku kira, tapi ternyata enggak, dan aku berhak dong untuk menyudahi ini" "Aku kira kita akan bahagia, oh karena di islam gak boleh pacaran, harusnya kamu bilang ke aku dari awal sal, aku kan jadi tau" "Aku gak se suci itu run, bukan soal itu. Karena tiba tiba aku merasa gak nyaman dan aku berhak untuk menyudahinya, cuma itu run" Aruna muntab. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini. Ia menuruti kemauan Salma, semuanya. Hanya agar dia bisa bersama Salma tapi sekarang Salma bertindak seenaknya. "Aku masuk islam karena kamu sal, atau jangan jangan kamu cuma jebak aku untuk jadi mualaf biar... " belum selesai Aruna bicara satu tamparan keras mendarat di pipinya dari tangan Salma. Salma menatap Aruna berkaca kaca. Entah kenapa Aruna juga ingin menangis melihat gadis itu. Salma memeluk Aruna lalu berjalan pergi meninggalkan pria itu. Hari semakin gelap. Aruna berdiri terpaku merasakan perih di pipinya. Hidunganya sembap dan sepertinya ia ingin menangis. Tapi ia menahan itu. Angin terasa semakin dingin sore itu. Sesuatu yang pasti sekarang adalah bahwa Aruna kehilangan keluarganya. Aruna kehilangan Salma. Dan butuh beberapa kekalutan jika kemungkinan Aruna kehilangan keimannya. Aruna tidak pernah ke gereja, dia islam sekarang. Tapi dia belum benar benar mengerti apa islam baginya. Padahal saat belajar ia sudah mengerti dengan hatinya. Tapi sekarang itu semua terasa kabur. Kakak perempuan Aruna masuk ke kamar Aruna. Dia menatap Aruna sebentar yang dibalas tatapan Aruna dengan penuh tanda tanya. "Kita akan ke gereja kakek. Bukan berati kau sudah islam kau tidak akan mengunjungi kakek kan?". Aruna tersenyum mendengar bahwa ia masih di ajak mengunjungi keluarga. Kakak perempuannya membalas dengan senyuman yang sama. Mereka menyewa mobil menuju rumah Kakek. Ayah duduk di samping si supir. Aruna masuk di belakang. Duduk di dekat kakak dan ibunya yang memangku si kecil. Kakaknya tersenyum, ibunya malah terlihat berpikir. Mungkin dia memikirkan apa yang akan dia katakan tentang Aruna pada ayah mertuanya nanti. Kakek Aruna tinggal di ujung kota. Sepuluh kilometer dari pantai. Gereja tua yang dikelola adalah tempat tinggalnya. Keluarga itu masuk. Memberi salam pada pria berambut putih memakai pakaian hitam yang duduk di ruangan remang itu. Ibu Aruna menangis. Mungkin dia sedang berbicara soal Aruna. Aruna tidak mau masuk dan megintip dari pintu. Pertama dia tidak mau melihat ibunya sedih, kedua dia benci ibunya sedih karena kadang terlihat menjengkelkan. Aruna pergi berkeliling. Gereja tua cukup besar dan megah. Kuno. Estetic.dikelilingi hutan. Memanjakan mata. Dan lebih baik lagi ketika Aruna melihat seorang gadis dengan kulit yang bersinar dan rambut hitam legam. Matanya hitam terang. Alisnya tajam. Gadis itu tersenyum dan menyapa. Dan sifat manusia masih tetap sama. Manusia mudah berubah. Mungkin ada beberapa alasan kenapa Aruna seharusnya mendapat penanganan yang tepat. Ketika ia mengalami krisis iman harusnya dia dikelilingi orang yang satu iman dengan dia. Atau yang akan terjadi adalah Aruna, dengan usia muda dan jiwa pemberontak, kembali ada pada pertanyaan tentang tuhan. "Aku kristin. Aku sering bantu bantu di gereja" ucap gadis itu. Aruna kembali ke keluarganya, tapi mungkin bisa dibilang terlambat. Ayah Aruna mendekatinya dan berbicara. Aruna akan ditinggalkan di gereja bersama kakeknya. Itu di anggap dapat membuat Aruna mendapat pendidikan agama lagi. Dia masih sangat muda dan keluarganya menganggak itu keputusan yang tepat. Aruna merasa sangat marah. Pertama karena dia merasa dibuang oleh keluarganya. Dia merasa baru saja di usir. Kedua, bahwa keluarganya mencoba menghilangkan keislamannya. Tidak ada lagi yang bisa dimaafkan dari keluarganya. Tidak ada lagi alasan dia akan mencintai keluarganya. Aruna memandangi kopor yang tidak dia sadari saat berangkat tadi. Itu ada di mobil dan berisi kebutuhannya. Semua ini sudah terencana. Kenyataan memang sepahit itu pikir Aruna. Kristin tiba tiba berbicara "kau mau diam disana atau melihat kamarmu?"tanya Kristin. Aruna mengangguk dan berdiri. Ia menenteng kopornya mengikuti Kristin. "Kau tinggal disini?"tanya Aruna "Tidak. Hanya bantu bantu" Kristin membuka pintu sebuah ruangan yang akan kita tau sebagai kamar Aruna. Aruna masuk. Kristin bersandar di pintu sambil menyilangkan tangan. Aruna melihat Kristin. Separuh wajahnya tersiram cahaya matahari dari luar. Cukup menawan. Kristin tersenyum. "Kalo butuh apa apa. Panggil aku ya"jelas Kristin. Malam yang dingin. Itu tidur pertama Aruna di gereja. Dan dia dihinggapi ratusan pertanyaan. Jadi dia menyadari bahwa dia dengan mudahnya jatuh hati pada Kristin. Dan ketika itu menjadi cinta bukan tidak mungkin bahwa dia akan menjadi kristen lagi. Tapi dia melihat dirinya sangat marah. Bahkan pada keluarganya ketika mereka hendak menghilangkan keislamannya. Artinya dia sangat mencintai agamanya sekarang. Dan bahwa memang ia meyakini dengan hati saat mengucap dua kalimat syahadat di masjid besar. Pagi lagi. Aruna duduk di pekarangan di kerindangan pohon. Entah apa yang dilakukan orang orang di halaman pagi ini. Mungkin agenda senam. Aruna hanya melihatnya. Kristin berbelok masuk dengan sepedanya. Ia mengayuh dengan anggun dan memarkirnya di tembok gereja. Ia sandarkan begitu saja. Tersenyum pada Aruna dan menggerakkan tangannya tanda mengajak Aruna untuk ikut. Aruna berjalan terus sampai ke bagian lain dari gereja. Ia melihat Kristin di dekat gerbang. Berbicara santai dengan seorang gadis lain. Gadis itu memakai kerudung. Bukan kerudung yang digunakan para suster. Tapi kerudung layaknya wanita muslim di indonesia. Kristin menoleh pada Aruna yang mendekat. "Ini Zahra, dia jual susu untuk orang orang di gereja!"jelas Kristin. Aruna terus menatap Zahra. Zahra bingung dan tertawa kikuk. Zahra menatap Kristin, Kristin menggeleng tanda tidak megerti juga ada apa dengan Aruna. "Dia muslim?"ucap Aruna pada akhirnya. Zahra tertawa sinis. Kristin tersenyum. "Itu cukup tidak sopan!"kata Zahra. "Dia islam juga!"jelas Kristin pada Zahra. Sekarang Zahra yang terkejut. Aruna. Dengan segala kelabilannya. Menganggap kedatangan Zahra dalam hidupnya adalah sebagai mukjizat. Bahwa dia masih dapat bertemu dengan muslim lain. Mungkin Zahra adalah orang yang dapat membantunya menebalkan keimanannya. Dia memutuskan untuk mencari Zahra. Tinggal mencari rumah dengan peternakan. Zahra duduk manis di padang. Ada Aruna di dekatnya. Mereka sudah berbicara banyak tentang Aruna. "Emang wanitamu itu gak ngajarin apa apa soal islam. Di masjid besar sebelum jadi mualaf pasti di ajarin kan?". Ucap Zahra. "Iyah udah, tapi aku kan masih mudah lupa". "Aku bukan ustadzah ya, kenapa sih gak minta orang lain yang lebih paham" "Aku cuma kenal kamu ra" "Heh, orang kita gak kenal" Aruna menunduk dan memalingkan muka dari Zahra. Zahra jadi merasa bersalah. "Iya!"ucap Zahra. Aruna mendongak. "Iya apa?"tanya Aruna. "Ya iya"jelas Zahra. Zahra setuju, Aruna tersenyum. Pastur besar yang adalah kakek Aruna melihat Aruna meninggalkan gereja saat maghrib. Hari berikutnya ia melihat Aruna memakai baju koko meninggalkan gereja saat maghrib. "Makasih ya ra!"ucap Aruna. "Itu bekas kakak aku" "Kakakmu kemana?" "Meninggal!"jelas Zahra "Astaghfirulloh"Aruna terkejut. Zahra tersenyum senang mendengar Aruna kaget. "Innalillahi"ucap Zahra. Aruna tersenyum. Sholat maghrib berjamaah di musholah desa adalah bagian yang di ajarkan Zahra untuk mempertebal iman Aruna. Kakek memperhatikan Aruna yang sedang berbincang dengan Kristin. "Run, sini run!"ujar Kakek. Aruna datang menghampiri kakeknya. "Musholla desa jauh ya dari sini?"tanya Kakek. "Lumayan"jawab Aruna. "Nanti minta bantuan pak kardi. Yang biasanya bersih bersih itu. Ambil sepeda di gudang belakang". Aruna tersenyum senang. Dengan kata lain kakeknya mendukungnya dalam beribadah. Muncul pertanyaan pada Aruna. "Tapi kakek kan disuruh ayah untuk.. memperbaiki Aruna! Gimana?"tanya Aruna. "Memperbaiki kan tidak harus jadi persis seperti yang orang lain mau!. Kakek bukannya tidak paham islam. Kakek tau sedikit. Run. Saling mempelajari kebaikan dari masing masing itu hal yang sempurna. Dan setau kakek kamu baik baik saja". Aruna semakin senang. Kakeknya adalah satu satunya dari keluarganya yang mendukung pilihannya saat ini. Aruna jadi semakin bersemangat. Aruna dan Kristin bersepeda di jalanan desa. Angin mengibaskan rambut Kristin membuatnya terlihat semakin cantik. Aruna menghentikan sepedanya hanya untuk memperhatikan gadis itu berlalu dengan sepedanya. Satu adegan yang akan menentukan pilihan yang hanya mempersulit hidup Aruna. Zahra memperbaiki kerudungnya yang berantakan karena angin di peternakan. Aruna hanya memperhatikan. Abah Zahra ada di dekat mereka memberi makan sapi. "Menurut aku kamu harus selesaikan masalah kamu yang ada dulu!"ujar Zahra. "Yang apa?"tanya Aruna. "Ya Salma, mungkin ada yang perlu dijelaskan. Dan mungkin... keluarga kamu" "Gak usah lah. Mereka jauh. Dalam artian yang lain. Bukan jarak. Mereka juga jauh" Abah tiba tiba menyahut "abah punya motor di samping rumah. Jarang dipakai jauh. Masih kuat!"jelas Abah. Zahra tersenyum. Abah tersenyum. Aruna mau tak mau harus tersenyum dan setuju. Aruna tidak bisa tidur. Dia dihinggapi mimpi buruk yang lebih sulit dari kelihatannya. Mungkin dia harus segera memutuskan semua masalah persis seperti yang dikatakan Zahra. Agar dia bisa cepat tenang dan fokus pada keislamannya. Pagi ini, Aruna mencoba menyamai langkah Kristin di koridor. "Aku mau. Aku... kita punya hubungan yang lebih dari teman!"jelas Aruna. Kristin mengerutkan dahi. Ia menggeleng dan meninggalkan Aruna. "Kristin!" "Kamu gila!". Ucap kristin dengan sedikit nada tinggi. "Apa?" "Ya kamu gila. Kenapa sih kamu mau maunya jatuh ke lubang yang sama dua kali!" Aruna terdiam. Aruna dan Kristin duduk di beranda. Membicarakan apa yang harusnya tidak pernah dilakukan oleh Aruna. Kristin memulai. "Zahra, aku, dan semua orang yang di gereja. Hidup berdampingan run. Sebuah kebaikan dari botol susu. Semudah itu kita dibiarkan hidup bersama" Aruna diam mendengarkan. Tidak begitu mengerti kemana Kristin akan membawa pembahasan ini. Kristin melanjutkan. "Kaya kita. Kaya Salma. Mungkin itu alasannya di agamamu gak boleh adanya hubungan pacaran. Cuma ngerusak. Waktu kita diberikan kesempatan untuk hidup bersama. Meski dalam perbedaan run. Kamu gak lihat itu indah ya. Kenapa sih kamu suka banget ngerusak itu cuma karena hubungan yang gak ada untungnya yang kamu damba damba kan". Kristin menatap Aruna. Menunggu rekasinya. Aruna berpikir sejenak. Kristin banyak benarnya. Toleransi. Dia baru saja membahas itu dan menghubungkannya dengan masalah percintaan sepele. Salma dan Aruna. Kristin dan Aruna. Mereka baik baik saja meski waktu itu berbeda dan berantakan saat hal hal yang jauh dari keislaman mendatangi. Aruna tersenyum. Kristin tertawa kecil. "Maaf ya kris"ucap Aruna. Keduanya tertawa kemudian. Aruna membonceng Zahra meninggalkan desa pagi ini. Mereka sudah rapi dan siap dengan rencana bertemu orang orang yang ada di kehidupan Aruna. Di persimpangan, karena alasan tertentu Aruna membatalkan rencana Zahra. "Kalo ke pantai ke kanan kan?" Tanya Aruna. Zahra mengiyakan. "Ke pantai aja!"jelas Aruna. Zahra tidak setuju, tapi ia diam, Aruna pasti tau apa yang dia lakukan. "Aku gak mau ngemis!"jelas Aruna. Aruna dan Zahra sekarang duduk di pohon landai di pantai. Ombak besar tapi tidak bisa menyentuh mereka karena pasirnya luas. "Mereka udah buang aku, aku ngemis ke Alloh dulu, doain mereka!"tambah Aruna. Zahra tersenyum. "Bagus sih!"ucap Zahra "Hah gimana?" "Ya bagus, tapi memutuskan tali persaudaraan ada dosanya juga, belum lagi ini kan orang tua kamu, anak durhaka kamu tuh" Aruna diam sejenak. Dia sedang dihakimi Zahra sekarang. "Tapi gapapa deh, semua orang butuh waktu run!"imbuh Zahra. Membuat Aruna bernafas lega. Dan dia tersenyum pada Zahra karena senang. Zahra mau mengerti Aruna. Aruna bercerita banyak hal pada Zahra. Termasuk soal Kristin. Membuat Zahra sedikit marah dan terkejut. "Kamu rapuh ya run!"ucap Zahra. Kemudian keduanya tenggelam lagi dalam banyak percakapan. "Ra, kenapa ya, rasanya aku sedang di uji, padahal aku baru masuk islam, masa iya amal ku udah banyak dan pantas di uji? Atau jangan jangan aku terlalu banyak dosa?" Zahra tertawa. "Alloh mengenal setiap makhluknya run!". Aruna tertidur lelap hari ini. Dia merasaha bahagia. Hanya karena semua terasa sudah baik baik saja. Islam memberikan kedamaian pada Aruna dan semua orang di sekitarnya. Mungkin hanya Salma dan keluarganya saja yang kurang beruntung, mungkin nanti. Tepat enam bulan Aruna mengenal semua orang di tempat ini, tepat enam bulan dia mengenal Zahra. Dan tidak ada keraguan lagi, atau mungkin hanya perasaan menuju pendewasaan. Dalam hidup seringkali hal terjadi tiga kali. Dan ini ketiga kalinya Aruna mencoba memperoleh cinta dunia. "Aku mau nikahi kamu Ra!"jelas Aruna. Zahra menatap Aruna, matanya berkaca kaca. Aruna mau bicara lagi tapi Zahra mengisyaratkan untuk diam. Zahra pergi. Begitulah kita mengenal Aruna dan masalah peliknya mengejar dunia. Aruna sangat rapuh. Dia baru belajar. Aruna mengintip ibadah minggu. Ia masih sedikit hafal lagu lagu gereja. Dia ingin sekali masuk. Semuanya akan kembali dari awal. Bahkan saat sebelum Salma ada. Dia akan kembali bersama keluarganya, maka tidak ada pengasingan, tidak ada Kristin, dan tidak ada Zahra beserta penolakkannya. Sedikit demi sedikit dia merasa dicurangi. Karena meskipun dia telah merasa melakukan semuanya dengan benar dia tetap tidak mendapatkannya. Aruna sangat Muda. Bodo. Dan Terluka. Kristin menarik tangan Aruna. "Apa bedanya Kris?"tanya Aruna. "Aku tidak mendapatkan apapun!"tambah Aruna. "Aku kira kamu sudah belajar. Aku kira kamu sudah dewasa!"ucap Kristin. Aruna merasa muak pada Kristin, ia melepaskan tangannya. Aruna berjalan melintasi padang mendekat ke Zahra di dekat sapi sapinya. "Ra seenggaknya jelasin Ra!"ucap Aruna. Zahra hanya diam. Dia mencoba berjalan cepat menjauhi Aruna. "Perasaan untuk menjauhi Alloh selalu ada Ra setiap kali aku dikecewakan dunia!"jelas Aruna Zahra berbalik. Jelas dia menangis saat ini. "Jahat kamu Run, itu jadi salahku sekarang?" "Kenapa ra?"kata Aruna lirih. "Kamu pantas dapat yang lebih baik. Agar kamu, semakin dekat dengan Alloh, agar semua ini berhenti mengganggumu" "Dan kupikir itu kamu ra" Zahra menahan tangis sambil menutup matanya. Ia menghela nafas. "Aku gak perawan run!". Aruna terkejut. Dia mengira bahwa Zahra adalah gadis baik baik. Bahkan dia memakai hijab. Mungkin saja itu tidak dikehendaki. "Oh, siapa ra, siapa biar aku yang urus laki laki itu.. " "Itu kesalahnku juga!" Zahra tercekat di akhir katanya. Aruna terdiam. Tak pernah terpikirkan. Tapi rasanya ia mau menangis. Kenapa semuanya sesulit itu. Serumit itu. Ia menatap Zahra. Ia menangis sekarang. "Run... !" Ujar Zahra. "Itu ra. Kalo kamu aja bisa jatuh apalagi aku ra"teriak Aruna. Zahra masih tetap menangis. Aruna duduk di rerumputan memikirkan segalanya. Zahra duduk di sampingnya masih tersedu sedu. "Cari cinta Alloh dulu ya run!". Aruna bangun lagi pagi ini dengan perasaan kosong. Tapi dia merasa damai. Untuk pertama kalinya dia tidak memikirkan apapun. Aruna menikmati halaman gereja untuk pertama kalinya sejak dia datang kesini. Aneh rasanya ia tidak pernah melakukannya padahal itu selalu ada disana. Zahra mengundangnya makan nanti sore. Dan sesuai permintaan Zahra, Aruna datang. Zahra tersenyum di teras rumah. Ada beberapa orang di dalam rumah. Cukup ramai. Lalu dari dalam rumah muncul seorang laki laki. Terlihat baik budinya dan kuat agamanya. Aruna tersenyum. "Mas faisal. Orang yang dipilih abah, orang tuanya sahabat Abah. Mereka tau juga cerita soal aku!"jelas Zahra. Aruna mengangguk. "Aku kemarin berterima kasih ke Alloh karena sudah mengenalmu Ra!"kata Aruna. Zahra sekarang yang mengangguk. Sholat berjamaah. Hanya ada Aruna, Zahra dan Faisal. Aruna menunggu Faisal siap siap jadi imam. Tapi Faisal diam dan melihat Aruna. "Aruna saja yang jadi imam, sekalin belajar"ujar Faisal. Zahra mengiyakan. Aruna merasa sangat beruntung menjadi muslim. Dan dia mulai bangga. Itu bagus. Dia jadi baik sekarang. Aruna berdiri tegap. Mengambil nafas dan membaca niat sholat. Ia mengangkat kedua tangannya. "Allohhu Akbar". Aruna berada di halaman rumah Zahra. Ia meminjam telfon Abah untuk menelpon kedua orang tuanya. Tidak di angkat. Jadi Aruna meninggalkan pesan suara. "Ayah, Ibu. Kemarin Aruna mau datang tapi belum siap. Aruna mau cerita tapi... kita belum benar benar bersama. Yah, Bu. Pernah gak kalian merasa bahwa kebaikan kecil itu sangat berarti saat kita hendak dewasa. Karena saat Aruna mau dewasa Aruna ingat semuanya. Setiap hal baik yang Aruna lakukan. Saat itu, Aruna tidak membeda beda kan apapun dan itu baik. Aruna cuma mau bilang... terima kasih. Aku... Terima Kasih!". Run.. Runa!. Aruna!. Description: Bayu Rifky Syahputra/boyvoyje Instagram : @bforboyvoyje "Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #RahmatUntukSemua2020 - Santri/Pelajar"
Title: Rasa Kopi Gayo Category: Cerita Pendek Text: Rasa, Kopi, Gayo “Harusnya Cut beri kabar padamu, Pohan” Kata Pak Said nikmat kopi terasa bila diseruput saat embun terkena cahaya. Seperti sekarang, Pak Said juga menyeruputnya kala kepul asapnya mulai berkurang. Lelaki baya itu memicing sebentar. Memperhatikan bagaimana cara angin menggesek kepada dedaunan. “Ia sedang pergi ke dusun bukan ke nagari, lamanya seperti mengayuh sepulau.” Aku tersenyum pelan. Ikut menyesap kopi khas yang selalu kusukai. “Tak apa, Pak. Saya bisa menunggu disini.” “Hah, harusnya ko tak menunggu, Pohan, selalu begitu jika Cut kusuruh keluar sebentar, pastilah dia ambil jalan memutar agar tak digoda berandalan di seberang sungai sana” Kami baru mengenal 3 jam, namun seperti kawan lama yang baru bertemu, sangatlah akrab. Kupikir mengambil bincang awal dengan orang yang dituakan akan sangat canggung, nyatanya semua mengalir begitu saja. “Kenapa Bapak tak ungsikan saja Cut ke rumah kerabat atau pindahkan ia ke Jawa?” Wajah tegasnya menatapku. Sedikit memberi kesan serius pada gurat keriputnya. “Sama saja aku keluarkan ia dari kandang singa lalu masukkan ke sungai penuh buaya” Ia menyesap kembali kopinya. Agaknya memang sudah menjadi candu baginya. “Dia anak perempuanku satu-satunya, Pohan, dia hanya kuizinkan belajar di pusat kota. Tidak di Banda Aceh ataupun Jawa.” Pak Said begitu menyayangi Cut. Itu sudah pasti. Ah, pastilah jika aku menuruti kata Ibu untuk mengambil kuliah di Surabaya, aku pasti tak akan merasa sangat bersalah karena bersikeras berkuliah di metropolis Jakarta. Agaknya semenjak aku injakkan kaki di Dataran Tinggi Gayo, rasa bersalah dan menyesal selalu menghinggap pada perjalanan. Jika saja Ibu tak suruh aku untuk singgah ke Gayo agaknya aku takkan mau kemari. Tujuanku hanya ingin mengunjungi Toba untuk menengok 2-3 hari Opung di Balige, namun saat hari terakhir Ibu memintaku untuk menengok Gayo sehari dua hari, memastikan Ibi dan Pon sehat. Ibu menipuku, nyatanya Ibi dan Pon tengah perjalanan ke Jawa, tepatnya kerumahku Surabaya. Niat hatiku hendak pulang, tapi agaknya badan terlalu lelah hingga Ibi merekomendasikan tempat di Aceh Tengah, tempat milik kawan karib Pon untuk menampungku tinggal sementara. Ya beginilah sekarang aku, terdampar di tempat Pak Said, hitung-hitung melaksanakan wisata yang entah kapan aku terakhir melakukannya. “Bagaimana kabar kuliahmu? Kudengar ko berkuliah di salah satu tempat yang dielu-elukan banyak orang” Pak Said masih duduk menatap dedaunan. Kali ini angin agak berhembus kencang, namun aku suka, hawa dataran tinggi adalah hal yang selalu kurindukan. “Sebenarnya hanya universitasnya yang dielu-elukan, tapi sayanya tidak” Lelaki paruh baya itu tertawa ringan menanggapi candaanku. Beginilah aku mencoba membuat candaan ringan tentang kuliahku yang aku saja malas untuk membahasnya. Sepertinya aku tengah menganut prinsip milik Pak Adi, dosen Statistika dan Probabilitas, ‘setidaknya jika kau lelah dengan studimu, jadilah gila, temukan sisi lelucon darinya’. “Semester ini masih disibukkan dengan mencari bahan penelitian untuk skripsi, Pak, yah sebelum saya benar-benar berkutat dengan buku tebal selama 24 jam, singgah ke Gayo sejenak mungkin pilihan tepat” Ia menganggukkan kepala pelan. Kembali mengambil cangkir lorek kopinya yang tinggal setengah isi. “Ko agaknya suka kopi, Pohan?” Aku menoleh sekilas. “Kopi telah jadi kawan lama saya sejak awal di Jakarta. Sejak kantung mata saya belum sebesar ini” Pak Said kembali tertawa. Kutunjukkan kantung mataku yang telah beranak 3. Buah cinta istirahat yang kurang dan tumpukan tugas. “Ah, itu dia Cut” Tunjukan tangannya mengarah kearah barat aku duduk. Kepalaku ikut mencari sosok yang sejak tadi kami tunggu. Ia, Cut, anak perempuan tunggal dari keluarga Said Amrillah. Ia tersenyum. Mempertemukan dua telapak tangannya mengajukan salam sopan. “Kau Pohan kan? Sebentar, sepertinya namamu seperti kompas” Gadis itu terlihat berpikir keras. Aku mengernyitkan dahi, kembali mengingat nama panggilan aneh saat masih sekolah dasar. “Ah, iya! Angkasa Utara Pohan!” Sepertinya gadis ini memang kelebihan kata seru setiap bertemu sesuatu baru. Kuambil senyum simpul. Pak Said menceritakan diriku terlampau baik pada Cut. Hingga nama ‘kompas’ juga tersalur darinya. “Kau…. Cut Keumala Said, kan? Aku ingat Pon pernah menyinggung namamu saat aku kecil” Sudut bibirnya tertarik keatas. Menampilkan wajah cantik khas gadis Melayu dengan kepala yang tertutup rapi dengan jilbab monokromnya. “Pohan, kau---“ “Heh, ia lebih tua 3 tahun darimu, panggil dia Abang, tak sopan.” Selaan Pak Said menghentikan ucapan Cut. Pak Said menaruh koran yang ia baca. Beranjak dari kursi rotan rendah yang bagiku sangat estetik. “Iya, Ama, Bang. Ka. Sa.” Cut memanyunkan bibirnya. Disambut kekehan kecil dari Pak Said. Belum sehari disini. aku sudah merasa akan sangat nyaman berada diantara mereka. Hal yang sangat jarang kutemukan di Ibukota. Pak Said dan Cut mempersilahkanku masuk. Memulai obrolan-obrolan ringan tentang apa saja yang mereka ingin tanyakan padaku. Nampaknya, aroma segelas kopi Gayo membawa rasa hangat tak terdefinisikan bagiku. === Langkahan kakiku mendominasi rumoh kayu. Mencari tata letak dapur yang bahkan aku bisa lupa disaat genting seperti ini. Air. Aku butuh air. Kusambar teko alumunium besar yang ada di meja kayu seberang ruang tamu. Menenggak dalam tegukan besar-besar. Tadi malam aku dan Pak Said bermain catur dilanjut menonton bola hingga larut. Suaraku saja hampir habis meneriakkan gol kemenangan untuk kesebelasan dukunganku. Rumoh sepi sekali. Kokok ayam pun tak terdengar. Kutengok jam. Hah, pantas sudah pukul 09.16. Selagi aku disini, biarlah kubawa tubuhku berkeliling sejenak di pekarangan bawah rumah. Kuturunkan kaki di teras bawah. Ada Pak Said disana. Memberi makan ayam dengan setoples jagung kering di pelukan tangan kirinya. “Kemana Bu Aminah dan Cut?” Pak Said menoleh agak terjengit. Kaget rupanya ia. Aku terkekeh. Kadang aku suka sekali mengageti Ibu jika ia memasak di dapur. Mengingat Ibu saja entah kenapa rasanya rinduku padanya ingin segera tertuntaskan. “Pohan, ko buat kaget saja.” “Aminah ke pasar dengan Malik sejak tadi. Sedang Cut, sepertinya tadi ia izin hendak mengajar di rangkang milik Pak Abi” “Mengajar, Pak? Mengajar apa?” Pak Said mengambil sapu lidi panjang. Menyapu sisa remahan jagung kering terbuang tak pada tempatnya. “Sejak Cut kelas satu sekolah atas, ia sudah sering mengajar anak-anak usia sekolah dasar di desa ini” “Boleh saya tengok Cut kesana?” Pak Said memberiku denah sederhana menuju rangkang yang dimaksud. Ia tak bisa antar. Mesti ke kota untuk beberapa urusan. Untunglah beberapa orang desa memberi tunjuk cukup jelas. Denah dan mulutku kali ini sungguh berfungsi. Rangkang milik Pak Abi cukup besar cukup untuk beberapa puluh orang didalamnya. Atap rumbianya menyalurkan suara angin yang segar. Mataku bertemu dengan hamparan sawah milik orang desa sini. Bungong jeumpa bungong jeumpa meugah di Aceh Bungong teuleube, teuleube indah lagoina Senandung riang mengalun dari dalamrangkang. Kutengok kedalamnya. Gadis berkerudung pastel lembut itu bernyanyi dikelilingi sekitar 20 anak kecil dengan pakaian sederhana mereka. Benar kata Pak Said, Cut mengajar. Suara renyah khas anak kecil mulai mengikuti ketukan tongkat yang bergerak pelan berirama. Agaknya aku terlalu asing dengan lagu yang mereka dendangkan. Sepertinya lagu berbahasa Aceh ataupun aksen Gayo. Kalaupun lagu daerah Nusantara pun tak mungkin aku ingat. Pasalnya, saat guru seniku mengajar, kuhabiskan waktu dengan bermain rubik berukuran sedang yang baru 2 bulan Ayah belikan. “Oh, Bang Kasa kemari?” Cut menaruh tongkatnya. Lalu menyuruh seorang bocah laki-laki untuk mengambil beberapa buku bacaan di tas besar yang diletakkan disamping pintu masuk. “Mari duduk, Bang” Ia mempersilahkan duduk. Kami duduk bersisian. Memandang sawah dengan padi yang agak menguning. Duduk kami agak berjauhan. Pak Said sudah beritahu tentang hukum qanun yang diterapkan di Aceh. Lagi-lagi aku melupakan hal satu ini. Untung saja kata Pak Said aku tak datang dengan celana pendek. Tentulah akan disanksi aku. “Abang tak tersesat kan menuju rangkang ini?” “Tidak, Ama-mu beri Abang denah” Cut mengangguk. Pandangan kami masih tertuju pada sawah. “Oh, ya, kau mengajar apa tadi?” “Hanya beberapa buah lagu daerah dari Nusantara, yang tadi itu Bungong Jeumpa, khas Aceh” Aku agak kikuk ketika Cut beritahu judul lagu tadi. Aku yakin pertanyaanku padanya membuatnya berpikir aku tak tahu lagu yang tadi ia nyanyikan. Aku malu mengakuinya, namun faktanya memang seperti itu. Cut tersenyum melihat raut muka kikukku. Ah, ini sungguh memalukan. Harus ada topik pengalihan. “Kata Ama-mu sudah hampir 4 tahun kau mengajar” “Ah, iya, dulu aku banyak senggang, daripada kuhabiskan bermain lebih baik aku mengajari adik-adik disini. Apalagi sekarang senggangku setiap hari. Karena Ama juga tak izinkan untuk kuliah, yah kenapa tak aku buat saja sekolah singgah” Aku memandangnya sekilas. Pandanganku kembali tertuju pada sawah dibawah kami. “Bukankah mereka juga bersekolah?” “Mereka putus sekolah, kebanyakan juga tak diberi izin untuk bersekolah. Alasannya karena ekonomi. Aku tahu mereka sangat ingin sekolah. Aku bisa membaca dari raut riang mereka saat kuajar” “Kau ingin menjadi guru, Cut?” Ia menghela napas sebentar. “Sangat. Ama pasti punya alasan tertentu melarangku kuliah. Tak apalah, ikut andil dalam mencerdaskan generasi bangsa ada banyak cara kan?” Cut tersenyum. Aku tahu itu senyum paksanya. Aku malu padanya. Ia sangatlah patuh pada perintah ibu bapaknya. Terakhir kali aku patuh pada Ayah dan Ibu adalah saat sekolah menengah. Mereka ikut andil dalam pemilihan akademikku. Tapi, sejak pengaruh hormon remajaku, aku memberontak untuk memilih sendiri sekolah tinggi yang kumau. Ya walau Ibu agak berat mengiyakannya. “Ohiya, kudengar dari Pon Zul bahwa Abang hendak lanjut di luar negeri ya?” Aku agak tersentak dari lamunan. “Iya, aku sudah cari juga beberapa beasiswa dan beberapa persyaratan sudah terpenuhi, kemungkinan aku hendak ke Jerman, meneruskan studi Teknik-ku disana” “Kenapa tak lanjut disini saja, Bang, bukankah juga banyak sekolah tinggi dan institut yang bergengsi?” “Aku bosan disini, butuh suasana baru” Kekehanku terlontar. Memang, aku sudah lama ingin pindah ke negeri orang. Bagiku disini sama saja dengan tempat lain, tak ada istimewanya. “Abang saja yang terlalu lama dikota, cobalah sesekali pergi ke pelosok, seperti disini, aku yakin pemikiran Abang berubah untuk pergi keluar negeri” Aku diam. Sebenarnya perkataan Cut ada benarnya. Aku terlalu lama di kota besar. Aku lupa kali terakhir ke Toba ataupun ke tempat wisata. Kenalku hanya pusat perbelanjaan dan tempat wisata buatan manusia, bukan buatan alam. “Pemuda disini banyak. Tapi mereka tak tahu menahu akan negerinya. Buat apa memiliki penduduk ratusan juta jika secuilpun tak ada yang mau cinta tanah airnya. Kadang aku juga heran, sebenarnya mereka ini lahir disini atau bukan, lagak mereka macam orang Barat yang kelebihan gaya. Miris aku ketika mendengar banyak pelancong yang jatuh hati pada negara ini, tapi penduduk lokal sendiri tidak” Aku merasa tertohok kali ini. Ucapan Cut benar-benar mengena. Aku, seorang Angkasa Utara Pohan yang tak tahu apapun mengenai budaya negeriku sendiri. “Bang Kasa mungkin 50% masih seperti mereka, namun aku yakin 50% lagi Abang sayang dengan tanah ini, hanya saja Abang tak tahu, karena Abang tak coba cari tahu” “Abang suka Kopi Gayo kan?” Ah, tahu darimana dia pasal aku suka kopi jenis arabika itu. “Ama beritahu aku kemarin malam, makanya aku buatkan kalian berdua kopi yang sama” Aku mengangguk. Memberi tanda agar ia melanjutkan perkataannya. “Apa yang Abang rasakan setiap menyesapnya?” Pandangan kami beradu. Aku mengalihkan muka. Sedikit berpikir apa saja yang aku rasakan saat meminumnya. “Ketenangan, sunyi yang tenteram juga hawa kampung halaman. Rasanya setiap aku meminumnya entah dimanapun aku berada, ada sebuah suasana aneh yang menurutku itu menggambarkan setiap inchi rasa sayangku pada rumah. Macam aku bangun tidur lalu disuguhkan hamparan rumput dan pegunungan.” Cut mengangguk mantap. “Lewat kopi Gayo, Abang telah merasakan atmosfer tanah ini. Coba Abang resapi setiap budaya yang Abang tak tahu. Resapi mereka seperti Abang menyesap secangkir kopi Gayo. Aku jamin, Abang takkan pernah bosan mencobanya.” Tatapan Cut menghadap troposfer biru dengan sedikit awan. Aku mengikuti arah pandangnya. “Ada 34 provinsi, 17 ribu lebih pulau, 700 lebih bahasa dan 300 lebih suku, kita beragam Bang, keindahan kita sangat melimpah, lantas apalagi yang Abang cari?” Ia menoleh padaku sambil tersenyum. Cut lalu beranjak. Anak muridnya memanggil. Benar, apa yang aku cari selama ini? Penuntasan rindu yang membuncah pada rumah? Tidak. Rumahku disini. Di negeri ini. Atau pelarian rasa bosan? Tidak. Sejak aku jejakkan kaki kemari, bosanku hilang. Lalu apa yang sebenarnya aku cari? ==== Penerbanganku nanti siang. Sebelum itu, kucoba untuk bangun lebih awal. Mencoba menikmati tanah Gayo yang belum kujamah. Sebelum matahari muncul, kakiku beradu. Berjalan menuju tempat orang bertemu maksud tujuannya ke Gayo. Dingin pagi agak menusuk tubuhku. Untunglah badan telah terbungkus jaket dengan rapi. Kuarahkan bidikan kameraku pada arah surya yang mengintip. Fokus bidikanku berubah. Bukan. Bukan aku menemukan objek yang lebih baik. Tapi, fokusku. Fokusku mengarah pada hamparan danau tenang dihadapanku. Suasana dan rasa ini. Aku menemukannya kembali. Suasana dan rasa yang kutemukan saat menyesap secangkir kopi Gayo. Rasa hawa tanah lahir, rasa itu. Cut benar. Aku tersenyum. Aku tak perlu pergi kemanapun. Aku tak harus mencari cela apapun. Nyatanya disini aku tetap merasakan atmosfer gila akan negeri ini. Atmosfer membuncah yang hanya didapatkan oleh setiap pemuja keindahan mahakarya tangan Tuhan. Ya, aku mendapatkannya. Jawaban yang selama ini aku cari. Berakhir. Description: (Rizky K.P. : Rasa, Kopi, Gayo) "Rasa yang tersirat dalam setiap tegukan hitam kopimu, atmosfer tanahmu yang kau rasakan" Perjalanan Kasa ke Gayo awalnya hanya sebuah hal yang tak terencana. Berniat melepas penat sebentar di rumah kawan pamannya, ia justru menemukan suasana aneh yang begitu ia sukai. Lalu, ia bertemu Cut, gadis yang merubah cara pandangnya selama ini. Pertanyaannya selama ini terjawab. Lalu, bagaimana Cut mengubah cara pandang yang bertahun-tahun Kasa anut? Jawaban apa yang ditemukan Kasa selama di Gayo?
Title: Red Spider Lily Category: Novel Text: Chapter 1 Lycoris POV Seingatku, aku hanyalah gadis pendiam yang selalu duduk di pojokan kelas, menyendiri di ruang perpustakaan, dan selalu sendirian. Aku bukan gadis yang terkenal di sekolah ini, bahkan teman-teman sekelas pun masih ada yang tidak mengenalku. Yah, salahkan hawa keberadaanku yang lemah ini. Biarpun menurutku hal ini bukan masalah sama sekali, malahan aku menyukainya. Kehidupan remajaku menjadi sangat tenang, tanpa teman yang buruk, tanpa pergi ke diskotik setiap malam, ataupun kencan dengan pacar yang memuakkan. Tapi kurasa, kehidupan tenang ini takkan bertahan lama. Lihat saja, betapa menyebalkannya makhluk yang berdiri dihadapanku ini. Dia menyodorkan sebuket bunga, sorot matanya membuatku ingin muntah. Sok tampan sekali dia. aku berpura-pura menatapnya bingung, meminta penjelasan. Dia tersenyum dan berkata dengan lantang. "Aku mau kamu jadi pacarku." aku mengerjab, sedikit kebingungan akan apa yang dia maksud. Namun sedetik kemudian, aku membelalak kaget. Apa aku tak salah dengar? Dia bilang apa tadi? Ingin menjadi pacarku? Oh, astaga, semoga ini bukan pertanda hancurnya planet bumi. Kerumunan yang mengelilingi kami pada awalnya membisu, namun sekarang mereka mulai berbisik-bisik. Bahkan beberapa siswi mulai melotot padaku, mengisyaratkan kebencian mereka. Yah, sepertinya sekolah bukan lagi tempat menyenangkan buatku. "Aku menolak." kujawab sesingkat dan sedingin mungkin. Lagipula, apapun jawabanku, semua siswi di sekolah ini pasti akan menjadikanku target pembullyan. Apalagi Fans-nya yang super duper fanatik itu, aku yakin mereka tidak akan ragu jika harus membunuhku. Bisa kalian bilang, mereka semua sinting. Aku berjalan keluar kelas, dapat kulihat wajahnya yang menunjukkan kemarahan. Oke, ini benar-benar gawat. Kurasa aku akan bolos selama sisa pelajaran. Di sepanjang jalan, aku terus berpikir bagaimana cara menghindari hal-hal menyebalkan yang sebentar lagi pasti akan terjadi. Hingga aku tanpa sadar telah melangkahkan kaki ke tempat ini, perpustakaan. Tempat menyendiri favoritku, tempatnya sangat tenang dan nyaman. Terlebih penjaga perpustakaan yang ramah membuatku betah berlama-lama disini. Kubuka pintu kayu itu, ukurannya luar biasa besar, sekitar 3 meter. Ukirannya pun indah dan kelihatan mewah. Maklum lah, sekolah ini memang sekolah terkenal, jadi wajar jika semuanya serba mahal. Hanya anak orang kaya ataupun murid super pintar yang bisa masuk ke sekolah ini. Dan yang pasti, aku bukan anak orang kaya. Aku berjalan masuk ke perpustakaan, menyapa Bu Redina sekilas dan menuju ke bagian belakang perpustakaan, di sana ada kubikel kecil tempatku menyendiri. Tak banyak yang tau tentang kubikel ini, karena letaknya yang memang diujung perpustakaan. Lebih tepatnya, tak ada yang berani datang ke bagian ini, perpustakaan yang luasnya ratusan meter, serta rak-rak tinggi menjulang yang penuh buku, juga rumor yang beredar tentang makhluk halus penghuni perpus, cukup untuk membuat mereka menjauhi tempat ini. Segera kuhempaskan tubuhku di sofa, tak lupa sebelumnya mengunci pintu kubikel. Saat ini, yang paling kubutuhkan adalah ketenangan, juga memikirkan nasibku kedepannya. Aku menghela nafas keras-keras, aku tidak pernah berpikir akan mengalami kejadian merepotkan seperti itu. Memang, bagi kebanyakan siswi, ditembak oleh The Most Wanted Boy di sekolah ini adalah sebuah keajaiban. Namun bagiku, hal itu merupakan kutukan. Karena jelas, berpacaran dengan Ferox berarti perang dengan seluruh siswi penghuni sekolah. Ferox memang sempurna, berasal dari keluarga kaya raya dan juga merupakan murid terpintar yang dimiliki sekolah ini. Selain itu, parasnya yang tampan dan rupawan, serta tubuh tinggi atletis berhasil membuatnya menjadi idaman satu sekolah dalam sehari. Biarpun kelakuannya agak sombong dan suka memaksa, siapa yang peduli soal itu? Lagipula, kenapa Ferox ingin menjadikanku pacarnya? Bahkan orang katarak pun tau betapa tidak menariknya aku. Dari segi tampilan pun, aku terlihat culun dan nerd. Apa yang dia inginkan dariku? Apa mungkin dia benar-benar menyukaiku? Tunggu, tunggu, apa yang kupikirkan? Tidak, tidak boleh! Aku tidak boleh tertipu olehnya. Dia itu pembohong ulung. Tok, tok, tok... Hm? Siapa yang mengetuk? Apakah Bu Redina? Segera saja aku bangkit dari tempat duduk dan membuka pintu. Ah, memang Bu Redina ternyata. Aku mencoba tersenyum seramah mungkin dan bertanya padanya. "Ada apa Bu?" aku melembutkan suara. "Lycoris, kamu tidak ikut jam pelajaran?" tanya Bu Redina. "Hehehe, maaf Bu, saya ingin bolos hari ini. Tidak apa-apa kan Bu?" aku meringis. Sedikit berharap Bu Redina akan memperbolehkanku tetap disini. "Ooh, ya sudah kalau begitu, Ibu tidak masalah. Tapi jangan sampai ketahuan ya? Nanti kamu dapat masalah." kata Bu Redina sembari tersenyum lembut. Owh, sungguh baik guruku yang satu ini. Bu Redina tetap akan menjadi guru favoritku selamanya. "Terima kasih Bu." aku tersenyum sumringah. "Baiklah, Ibu tinggal dulu ya?" Bu Redina beranjak pergi, sepertinya akan mengajar. Ya, terserahlah. Lagipula itu bukan urusanku. Kututup pintu kubikel ini, dan kembali duduk. Kupasang earphoneku dan mulai memutar lagu secara acak. Mengambil sebuah novel dan mulai terhanyut membacanya. . . . . . . Ferox POV Kuhempaskan tubuhku di ranjang UKS, jangan tanya kenapa aku ada di sini padahal sekarang jam pelajaran sedang berlangsung. Salahkan saja Lycoris, si cewek cupu itu. Berani-beraninya dia menolakku di depan teman-teman. Lagipula, jika bukan karena taruhan menyebalkan dengan Ixory aku tidak akan sudi mendekatinya. Sungguh, rasanya image sempurna yang kubuat dengan susah payah selama ini hancur dengan mudahnya karena satu cewek nerd. Oh Tuhan, sebegitu bencinya kah kau padaku? Arrgghhh.... Benar-benar menyebalkan. Bagaimana caranya aku menghadapi hari? Ck, dia bahkan menghilang entah kemana setelah menolakku dengan sombongnya. Aku akan membencinya seumur hidupku. Drrtt, drrtt, drrtt... Owh, sepertinya ada pesan masuk. Kubuka handphone ku dengan cepat. Ternyata dari Pranata, temanku yang paling bisa kupercaya. Apa isinya ya? Kubaca pesannya dengan teliti, maklumlah ini kebiasaanku sejak dulu. Apa? Apa ini? Astaga! Rasanya baru semenit kutinggalkan dia, dan sekarang dia sudah membuat masalah baru? Ixory! Aku akan membalasmu secepat mungkin. Aku bangkit berdiri dan segera berlari keluar dari UKS, kupelankan langkahku saat mencapai atap. Ya, memang inilah tempatku dan geng ku berkumpul. Kuedarkan pandanganku dan dengan satu lirikan aku berhasil menemukan Ixory. Segera kuhampiri dan menjitaknya sekencang mungkin. "Aw! Apa-apaan kamu ini? Sakit tau!" Ixory berkata sambil mengelus-elus kepalanya yang aku yakin sebentar lagi akan benjol. "Kamu yang apa-apaan? Apa maksud gosip ini hah? Ferox Logan Ditolak Cewek Nerd?? Apa maksudmu??" aku hampir berteriak padanya, kuakui gosip itu memang benar. Aku memang ditolak cewek nerd, tapi letak permasalahannya bukan disitu. Maksudku, betapa baiknya temanku yang satu ini. Dia menyebarkannya di blog sekolah? Oh, terima kasih. Dengan begini semua orang bahkan yang dari luar sekolah dapat melihatnya. Dia benar-benar menyebalkan. "Tenang, kawan. Lagipula, itu memang benar kan? Dan lagi, aku akan terus menyebarkan aibmu ke seluruh dunia jika kamu tidak segera menyelesaikan taruhan ini." Ixory menyeringai jahil. Astaga, ingin sekali aku mendorongnya dari atap ini. Aku menghela nafas lelah, percuma juga beradu argumen dengannya, aku tidak akan pernah menang. "Aku sedang berusaha, jadi jangan menggangguku, oke?" "Aku mengerti. Tapi ingat, dia harus menerimamu, lalu setelah itu kamu harus mencampakkannya." Yah, Ixory benar-benar menyebalkan. Dia licik juga keji, kenapa aku bisa berteman dengannya ya? "Baiklah, baiklah. Aku paham." aku melenggang pergi dari atap. "Kamu mau kemana?" Ixory berkata, setengah berteriak tepatnya. "Ke UKS." aku membalas teriakannya. Yap, aku mau lanjut membolos. Dan UKS adalah tempat terbaik untuk itu. . . . . . Lycoris POV Ting, tong... Ting, tong... Kuangkat kepalaku dari tumpukan buku. Jam berapa ini? Sepertinya aku terlalu terhanyut membaca buku, sampai-sampai tidak terasa sudah jam pulang. Biar kutunggu sebentar lagi, aku akan keluar saat sekolah sudah lebih sepi. Tentunya untuk menghindari fans-nya Ferox yang sadis itu. Setelah kurasa aman, aku mulai melangkah keluar perpustakaan. Kuedarkan pandangan berkeliling, tidak ada orang. Kurasa aku bisa tenang sekarang. Kulangkahkan kaki sembari bersenandung pelan, kulihat keluar jendela, mendung. Sebentar lagi pasti akan hujan, aku harus bergegas. Lagipula, malam ini aku harus bekerja. "Serius kamu? Yang benar saja, masa kamu langsung kalah?" "Yah, namanya juga melawan pro, makanya kalah." Kualihkan pandanganku kedepan, masih ada siswa ternyata. Tunggu, kenapa rasanya familiar sekali? Siapa dia? Kusipitkan mataku, mencoba melihat lebih jelas lagi. Astaga, itu Ferox dan temannya. Sial, apa yang harus kulakukan? Tanpa sadar langkahku berhenti. Aku juga tidak sadar jika saat ini aku tengah melotot padanya. Ferox juga menghentikan langkahnya, tawanya lenyap seketika. Kami saling berdiri mematung satu sama lain. Oh Tuhan, kenapa aku harus bertemu lagi dengannya? Dia akan membunuhku, aku yakin itu. Chapter 2 Lycoris POV Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba dia tersenyum manis. Apa-apaan itu? Dia tersenyum? Apa aku tidak salah lihat? Belum sempat dia membuka mulut, tiba-tiba ada yang menarik rambutku dengan keras. Tarikannya benar-benar sangat keras hingga aku terhuyung ke belakang. "Ini si cupu yang menolak kamu kan? Ferox, biar aku yang beri dia pelajaran. Kamu tenang saja ya? Serahkan hal ini padaku." Oh, ternyata Alisya. Yap, aku akan langsung berurusan dengan bosnya disini. Kira-kira apa yang akan dia lakukan padaku? Melemparku dari atap? Memukuliku sampai mati? Astaga, ini benar-benar hari yang buruk. Apalagi dia tipe orang yang sukanya main keroyokan, bagaimana caraku kabur darinya? Aku meringis kesakitan saat dia menjambak rambutku lebih keras. Ck, kenapa semua cewek suka sekali menjambak rambut? Aku memutar mataku, tentunya diam-diam. Jika aku melakukannya terang-terangan aku pasti sudah menghadap Tuhan saat ini. "Tidak perlu Alisya, lepaskan dia. Dia tidak salah apa-apa, biarkan dia pergi." Ferox berkata sambil menatapku khawatir. Cih, itu pasti akting. "Tapi Ferox, dia sudah menolakmu. Cewek menjijikan ini harus dihukum." Alisya melirikku sinis. Kamu hanya cemburu, aku tau itu. "Alisya, itu haknya ingin menerimaku ataupun menolakku. Kamu tau, hal itu sama sekali tidak membuatku menyerah. Aku akan terus mencoba sampai dia menerimaku. Jadi kumohon jangan ganggu dia Alisya" Kulihat wajah Alisya yang menatap Ferox penuh kekaguman, dia kemudian beralih menatapku dengan penuh kebencian. Tuh, kan. Pasti pada akhirnya aku yang akan disalahkan. Ayolah, kamu harus lebih memperhatikan. Dia berbohong, sungguh. Alisya kemudian melepas jambakannya padaku, meskipun aku yakin dia masih tidak rela. "Kamu memang sangat baik Ferox, baiklah aku tidak akan menggangunya lagi." Alisya berkata dengan melebih-lebihkan suaranya. Aku tau itu bohong, dia akan menyiksaku jika ada kesempatan. "Terima kasih atas pengertianmu Alisya." Ferox tersenyum lembut. "Tentu, apapun untukmu. Oh, ya. apa kamu ingin pulang bersamaku? Kebetulan aku membawa mobil hari ini." "Oh, benarkah? Terima kasih sekali lagi Alisya. Tapi, apa kamu tidak keberatan membawa Ixory juga? Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian seperti orang bodoh." Ferox menahan senyuman. "Oh, tidak apa. Kamu juga boleh ikut kok, Ixory." Alisya berkata tanpa senyuman, atau lebih tepatnya dia tidak benar-benar menginginkan keberadaan Ixory. "Cih, aku tidak mau menjadi obat nyamuk. Lagipula aku ada janji dengan Aster. Aku duluan." Ixory berjalan terlebih dahulu dan meninggalkan kami. Dia mentapku penuh arti saat berjalan melaluiku. Alisya dan Ferox saling berpandangan dan tersenyum geli. "Ayo kita pergi." Alisya berkata sambil merangkul lengan Ferox. Cih, dasar cabe-cabean. Mereka berdua berjalan melaluiku, Ferox tersenyum namun Alisya menatapku tajam. Aku tidak peduli, aku ingin mereka cepat pergi. Langkah kaki mereka terdengar makin menjauhiku, aku bisa bernapas lega sekarang. Aku membalik badanku dan berjalan cepat, ingin sekali aku sampai rumah. Aku berjalan keluar sekolah dan menghentikan ojek yang lewat. Memberitahukan alamat rumahku dan kamipun mulai melaju. Tidak sampai 15 menit aku sudah sampai di depan rumahku. Segera kubayar ojek tadi, dan melangkah memasuki pekarangan rumah. Kubuka pintu dan secepat mungkin melepaskan sepatuku, melemparkan tas ku asal ke atas sofa lalu terbaring lelah di karpet ruang tengah. Masa bodoh dengan kamar, aku lelah sekali sekarang. Berbagai kejadian yang menimpaku hari ini kesemuanya menyebalkan dan menguras tenagaku. Aku menghela nafas lelah, benar-benar letih saat ini. Namun aku tetap bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, sebentar lagi aku harus bekerja. Ya, aku memang tinggal sendiri, kedua orang tuaku sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Tidak ada yang mau mengasuhku, jadi aku harus berusaha memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Untuk itu, aku bekerja di salah satu restoran yang jaraknya sekitar 5 blok dari sini. Cukup jauh memang, tapi gaji disana lumayan. Aku bisa memenuhi kebutuhanku tanpa kekurangan. Aku mandi secepat mungkin, aku memang tidak suka air, tapi karena mandi memang kebutuhan yang diperlukan, aku harus melakukannya. Kupakai seragam kerjaku, mengambil tas dan beranjak keluar rumah menuju tempat kerja. Aku akan pulang jam 10 malam nanti. Melelahkan memang, tapi bekerja disana sangat menyenangkan. Hal itu pasti akan membantuku melupakan sejenak masalah yang menimpa. Description: Lycoris, anak cupu dan kuper ini tiba-tiba ditembak oleh pangeran sekolah. kehidupan tenang yang selalu dia banggakan berubah menjadi sesuatu yang dia anggap menyebalkan.
Title: Rara Category: Teenlit Text: Prolog "Ra aku beliin sesuatu buat kamu," dengan ragu ia mengeluarkan suara seperti cicitan di depan perempuan itu. "Beliin apa?" tiba-tiba, orang itu mengeluarkan kalung berinisial namanya dan Rara. Perempuan yang bernama Rara hanya mengamati barang yang dikeluarkan oleh laki-laki itu. "Kamu suka nggak?" tanya laki-laki itu hati-hati, ia hanya takut akan reaksi Rara dan penolakan yang bisa saja Rara berikan karena faktanya, ini pertama kalinya ia memberikan sesuatu yang berharga bagi Rara. Anggap saja kalung itu berharga. "Aku suka banget, makasih ya," kalung itu pun Rara pakai, ini kali pertamanya ia diberi sesuatu oleh seseorang kecuali keluarganya dan orang itu adalah orang spesial yang sudah memberi warna di hidup Rara. Description: ketika dua remaja jatuh cinta, tanpa mereka ketahui kekecewaan yang mengajarkan akan arti cinta sebenarnya. benar kata orang, kita akan merasakan kehilangan ketika orang itu pergi menjauh dari kita. Karena ego yang tinggi itu, dia akan kehilangan semuanya; cinta sekaligus orang yang dicintainya. Copyright © 2019 by cuptainbee Cover by paeueo
Title: Ruang Basi Category: Puisi Text: Otakku Ku titipkan Di Kamar Mandi Jangan sekali ajak aku berdebat saat aku sedang bermimpi Jangan ajak aku bersintesa ketika aku sedang ngopi Tapi, ajak aku berimaji Atau membincangkan negeri Saat aku sedang masturbasi Karena aku sedang di kamar mandi - Louis Herdian Malang, 4 juli 2017 Di mana Otakku? Sudah pagi Aku harus bergegas pergi Sebelumnya, ku cari-cari Otakku sudah tidak ada di kamar mandi Oh mungkin dibawa wanita tadi -Louis Herdian Yasudah Sial sekali Otakku digondol pergi Aku bisa apa sehabis ini Di kamar mandi sudah tidak berisi Untuk dinikmati sendiri pun terasa basi Yasudah, buat tempat mandi lagi Merindukan setiap malam Malam ini aku merindukanmu Sapa hangatmu, senyum dan peluk kasihmu Rawat manjamu, teriak marahmu Ciuman bibir pertama kita, sudut-sudut kota Kecupan bercak di leher dan seluruh tubuh, kamar di vila puncak, kenyal lembut dadamu, Kamarku, selaput daramu yang robek dan berdarah Pertemuan pertama kita, jamuan malam di rumahmu Tangismu dan tangisku Malam-malam kita bertemu di setiap doa Dan, restu yang gagal kita genggam. Aku sekarang sepi, tanpamu–yang menyebalkan Description: Ruangan ini sudah terlalu basi. Aku rasa, hari-hari sekelabat dan membosankan. Ruangan ini sudah usang dan dindingnya dibiarkan korosi. Sedang ruang yang lebih luas dirawat, dipedulikan. Tapi di sana, sungguh banyak orang yang lebih memilih mati.
Title: Relife: Edelweiss Category: Fantasi Text: Nyx Edelweiss Hari itu aku kembali terbangun disuatu tempat yang aneh. Yang aku ingat baru saja kemarin aku mengalami peristiwa dengan ‘sesuatu’ namun kali ini aku melupakannya. Satu-satunya yang dapat kuingat restart hanyalah mengenai pengetahuan-pengetahuan umum tentang dunia yang aku tinggali saat itu. Yang aku ketahui saat itu adalah bahwa aku sedang berada di tempat bernama ‘Stryli Island’. Nama yang agak aneh menurutku. Di tempat itu, terdapat penduduk Stryli Island yang berisi sekitar 5 anak anak 10 orang dewasa, dan 4 lansia serta 1 tetua yaitu pemimpin Strli Island tersebut. Disana setiap orang diberi tugasnya masing-masing. Laki-laki melakukan perkerjaan keras dan perempuan pekerjaan ringan serta anak-anak ada yang membantu juga ada yang bermain. Rumah rumah tersebut berbentuk bundar dan tingginya lumayan. dengan jerami sebagai atapnya dan kayu sebagai dindingnya. Jika ingin masuk kedalamnya maka kalian harus menaiki tangga dengan 3 pijakan yang Nampak cukup kokoh Cuaca disana stabil dan bisa dibilang tidak pernah berubah. Walau aneh namun hujan datang hanya pada hari-hari tertentu dan tidak jarang juga. Saat aku terbangun disana aku berada diatas ranjang yang cukup nyaman dengan selimut yang lembut dan tidak terlalu tipis juga meja kecil disebelah kananku. Lalu saat aku melihat kearah sampingku aku meilhat anak-anak kecil lucu yang berderet melihat kearahku. Tinggi mereka bisa dibilang sepantaran denganku hanya berbeda beberapa centi saja. Tapi tunggu sejak kapan mereka ada disana?. Aku sampai tidak menyadarinya. Mereka memberi salam padaku dengan serampak. Lalu mulai memperkenalkan diri mereka masing-masing. #1 Dimulai dari anak perempuan yang terlihat paling dewasa dari yang lainnya, dia berkata “Namaku Ellie Hestia” dengan nada yang datar juga muka yang datar. Kurasa anak ini terlihat cuek dengan keadaan. Dilanjutkan dengan anak laki-laki disebelahnya yang terlihat seumuran dengan Ellie, ia berkata “Namaku Mono Atlas, apakah kau sudah baikan? Atau kepala mu pusing?” Katanya dengan nada ceria sambil menunjuk kearah kepalanya. Kurasa anak ini adalah anak yang paling aktif dan ceria dari yang lain. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepalaku sedikit. Selanjutnya seorang gadis kecil yang terlihat lebih pendek 2 cm dari Mono dan Ellie walau tidak jauh beda namun ia Nampak lebih kecil dari Mono dan Ellie, kurasa mereka seumuran. Ia berkata “N-n-namaku..”. Belum selesai berkata, seorang anak laki laki lain yang terlihat sepantaran dengannya berkata pada anak pemalu itu. Katanya “Tak apa kak”. Hm? ‘kak’?. Ohh jadi anak ini adalah adiknya anak pemalu itu. Ia melanjutkan berbicara padaku “Namanya adalah Sheni Iris, maaf dia sedikit gugup, dia memang pemalu apalagi kalau bertemu dengan orang baru. Dan aku adalah Sholton Iris, adiknya Kak Sheni senang bertemu denganmu” katanya dengan lancar. Sepertinya dia adalah orang yang cukup terbuka dengan siapapun dan berani berbicara dengan tenang didepan semua orang. Adik kakak yang sungguh berkebalikkan. Dan orang yang terakhir adalah.. Oh anak ini terlihat cukup unik. Dengan setelan baju yang sederhana namun berkelas seperti seorang bangsawan primitive. Apakah dia anak tetua?. Ia berkata “Namaku Daedalus Leander, sedang bertemu denganmu” Gayanya yang sopan, ia mengenalkan dirinya sambil sambil membungkukkan badannya dengan tangan kiri di dada dan tangan kanan di belakang lalu berdiri tegak dengan kaki selebar bahu sembari tersenyum tipis padaku. Dan sekarang aku harus memperkenalkan diriku. Aku merapikan rambutku lalu berkata ”Hai Ellie, Mono, Sheni, Sholton, dan Daedalus. Perkenalkan namaku adalah Nyx Edelweiss” sambil tersenyum dan memiringkan kepala. Mereka semua tersenyum namun Daedalus… dia berbeda. Dia hanya membatu dengan tatapan terkejut. Namun sesaat sebelum aku semakin menyadarinya ia langsung berpura pura tersenyum juga seperti anak-anak yang lainnya. Tak lama seseorang datang. Seorang wanita muda dengan celemek. Kurasa ia adalah pemilik rumah ini. Sungguh bahkan aku saja tidak tahu aku berada dirumah siapa sekarang, siapa orang itu, ataupun kamar siapa ini. “Anak-anak ayo keluar, ibu sudah membuatkan cookies untuk kalian di meja makan. Jangan berebutan ya” kata wanita itu sambil mengelus kepala salah dua dari anak tersebut. Merekapun menjawab “ya” dan segera pergi keluar ruangan. Tanpa aba-aba aku langsung melontarkan berbagai pertanyaan yang terlintas dikepalaku saat itu. Maksudku selagi ada kesempatan untuk bertanya maka mengapa tidak bukan. Setelah mendengar pertanyaanku, ia hanya tersenyum dan tertawa kecil lalu berkata “Mungkin kau memang memiliki banyak pertanyaan saat ini tapi tenang saja akan kuceritakan semua yang aku tahu. Namun sebelumnya bolehkah aku mengetahui namamu dulu?. Namaku adalah Pheills.” Tanpa basa basi aku juga segera memperkenalkan diriku padanya “Halo Pheills, namaku adalah Nyx Edelweiss” Iapun melepaskan celemeknya duduk disampingku kemudian mulai menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Honesty “Apa katanya?” Tanya laki laki itu padaku. Tanpa menjawab pertanyaannya aku hanya melanjutkan bercerita. Dari informasi yang kutangkap, kesimpulannya adalah aku pingsan di sebuah padang rumput yang hijau di tempat anak-anak biasanya bermain. Saat itu Mono yang memiliki indra penglihatan yang tajam melihatkku terkapar di tengah-tengah padang rumput lalu segera berlari menghampiriku. Mengecek keadaanku seperti apakah aku masih bernafas atau apa aku masih sadarkan diri. Mono segera memberi tahu kepada teman-teman lainnya dan merekapun datang menghampiri Mono datang kebingungan melihatku terkapar disana. Di padang rumput…. “Eh? Seperti ada seseorang disana, siapa itu?” Mono melihat seseorang yang terkapar di tengah tengah padang rumput lalu segera berlari menghampirinya. “Ah! Seorang anak perempuan! Sedang apa ia tertidur disini?” ucap Mono dalam hati. Tanpa berpikir panjang ia segera menaruh jari telunjuknya yang kecil itu didekat hidungku, mengecek apakah aku masih bernafas. Dan jawabannya tentu saja iya. Setelah begitu ia menaruh kedua telapak tangannya pada lenganku dan mulai mengguncang tubuhku kecil, berharap aku bangun dari tidur. Namun tentu saja tidak ada respon yang muncul dariku. Ia segera berteriak kearah teman-temannya yang juga sedang bermain disekitar sana “OIIIII, TEMAN-TEMAN AKU MENEMUKAN SESEORANG DISINI! CEPAT KEMARII” Dari beberapa temannya yang mendengarnya, yang memiliki indra pendengaran paling tajam yaitu Sheni Irislah yang merespon pertama kali. “Kenapa?” Tanya Ellie pada Mono. “Wahhh cantiknya” kata Sheni dalam hati. Padahal kalau menurutku Sheni itu juga cantik, gayanya yang sederhana dan pemalu membuatnya terlihat polos dan pendiam. “Siapa dia? Kenapa dia bisa disini ya? Apakah kau tahu sesuatu Mono?” Tanya Sholton yang mencoba membaca situasi yang terjadi saat itu. “Aku tidak tahu, aku menemukannya terkapar disini” “Apa kita bawa kerumah saja?” Ucap Daedalus. ”Ah benar juga, kalau begitu bagaimana kalau kerumah Ellie saja?” Kata Mono menyampaikan ide. “Kenapa harus aku?” Kata Ellie sedikit tidak menyetujui. “Karena rumahmulah yang paling dekatt, jika dibawa terlalu jauh maka kita tidak akan kuat bukan” “Hm yasudah” Kata Ellie menyetujui dengan nada yang tentu saja datar. Namun daritadi Daedalus hanya menatap kearah anak perempuan tersebut heran seperti ‘sepertinya aku mengenalinya’ begitu. Lalu Daedelus teringat akan sesuatu. Rambutnya yang berwarna hitam pekat namun nampak kemerahan saat tersentuh cahaya matahari, lalu warna kulitnya yang putih, pipinya yang kemerahan, juga bulu matanya yang panjang dengan gaun putih yang nampak sederhana namun selaras. Aku merasa pernah mendengar kisah tentang seorang gadis yang nampak sangat mirip dengannya. Kisah tentang Seorang Gadis dengan Mata Sebiru Laut. Nasturtium Carnation (pink) Hei.. Apakah kau pernah mendengarnya? Apa? Tentang seorang gadis yang yang memiliki mata sebiru laut segelap malam namun juga seterang bulan purnama. Memangnya ada apa dalam cerita itu? Mau kuceritakan? Boleh. Simaklah… Kala itu hidup seorang anak laki-laki berumur 5 tahun bersama dengan ibunya yang sakit-sakitan di sebuah rumah kecil yang kumuh dekat hamparan padang bunga. Ayahnya yang pergi bersama istri lain, meninggalkan mereka begitu saja. Menjadikan ibunya stress bahkan meluapkan emosinya kepada anaknya. Ibunya yang mulai memukuli dan menendangi anaknya tanpa belas kasihan, yang lalu menangis lalu berteriak dan gemetar kemudian terjatuh kelantai dalam posisi terduduk dan meringkuk. Saat itu juga anaknya yang memar dan luka-luka menghampirinya dengan menyeret tubuhnya menggunakan kedua tangannya. Memeluknya juga menenangkannya. Tidak ada rasa takut sama sekali. Ia menyayanginya. Ia sangat menyayangi ibunya. “Kenapa? Kenapa hanya aku yang merasa begini. Aku tidak bahagia!. Karena itu.. anakku.. kau anakku bukan? Kau tidak boleh bahagia sepertiku!. Kan kukutuk kau untuk tidak akan pernah merasa bahagia sepertiku! SEPERTIKU! TIDAK BAHAGIA! TIDAK BAHAGIA!” ibunya berteriak sembari mengguncangkan pundak anaknya dengan kuat sehingga badannya juga ikut terguncang terus menerus. Anak laki-laki itu hanya menyentuh tangan ibunya lembut sembari berkata “Baik ibu, aku adalah anakmu dan aku tidak akan bahagia. Aku tidak akan pernah merasa bahagia. Aku berjanji.” Suara anak tersebut terdengar pelan dan menenagkan hati. Anak yang tadinya ceria itu kini menangis, sambil menatap mata ibunya dengan dalam… ia menangis. Tidak bersuara. Namun terasa sungguh menyesakkan dada. Dengan janjinya yang telah ia ucapkan itu ibunya hanya tetap menangis. Bukan menangisi anaknya tentunya. Ia hanya menangisi hidupnya. Menangis adalah ungkapan hati setiap orang ketika ia merasa bersedih akan sesuatu. Anak ini, matanya yang selalu terlihat bersinar dan ceria kini layu bagaikan bunga diantara semak belukar. Tatapannya yang mengartikan berbagai perasaan. Kadang membuat merinding orang yang meilhatnya. Setelah saat itu, tidak ada yang berubah dari ibunya, malah lama-kelamaan semakin menjadi tindakannya. Namun tentu saja anaknya hanya tetap diam dan tidak melawan ataupun mengeluarkan setetes air mata. Ia hanya pasrah. ‘Aku pantas menerimanya’ begitulah pikirnya. #1 Pernah suatu kejadian dimana ibunya untuk setelah sekian lamanya berbicara pada anaknya kembali “Beli sebotol minyak” dengan suara yang lirih. Anaknya yang mendengarnya saat itu terkejut dan hampir merasa sangat bahagia saat itu, namun ia terngat kembali akan janjinya lalu menampar dirinya mencoba untuk membuang perasaannya sendiri. Ia berlari dengan semanga mengambil beberapa lembar uang dari tabungannya lalu pergi membuka pintu. Cahaya masuk melewati sela pintu yang terbuka. Bau busuk tercium sampai keluar. Untung saja tak ada orang diluar. Matanya yang sayu dan terlihat mati juga rambutnya hitamnya yang kusut juga bajunya yang lusuh dan memar di segala bagian tubuhnya, untuk pertama kalinya kembali menyentuh sinar hangatnya matahari. Ia berlari dan membeli sebotol minyak. Penjual yang melihatnya merasa heran, orang disekelilingnya mulai membicarakannya. Namun dari sekian banyaknya orang taka da saatupun yang mau menghampirinya, bertanya ‘Apakah kau baik baik saja?’ dan semacamnya. Mereka hanya menatapnya, membicarakannya lalu mengabaikannya seperti angina yang berlalu. Dengan sebotol minyak yang ia peluk sambil berlari, ia sampai dirumah. Membuka pintunya lalu memberinya kepada ibunya. Terlihat ibunya berdiri sambil menggengam sebatang korek api dan pemantik di tangan kanannya. Tanpa basa basi ibunya membuka tutup botolnya dan menuagkannya pada anaknya. Anak laki-laki tersebut kebingungan ‘Bukankah ibu ingin memasak?’ katanya dalam hati. Ibunya melempar botol minyak yang sudah kosong tersebut lalu menyalakan korek api yang ia genggam di tangan kirinya menggunakan pemantik. Terang nyalanya korek terpantulkan pada mata anak laki laki tersebut. Semakin dekat dan dekat lalu… BYARR!!. Ia mulai merasa panas disekujur tubuhnya. Mengulurkan tangannya, ia lihat api yang embara di kedua tangannya. Pandangannya beralih kearah ibunya. Senyum tipis terpampang dari balik rambut ibunya. Tanpa bisa ditahan, anak tersebut ikut tersenyum. Walau ia sudah berjanji namun hal tersebut tak dapat ia pungkiri. Ingin dikubur sedalam apapun kebahagiaan it uterus memancar keluar dari dalam hatinya. ‘Senyum ibu.. Ah senangnya, maaf.. maaf…’ Dengan rasa bersalah juga bahagia yang bercampur dengan membaranya kobaran api disekujur tubuhnya. Panas api mulai membakar kulitnya. Mesi terasa sakit namun yang ia pikirkans aat itu hanyalah satu, bukan rasa dendam, rasa sedih, ataupun kecewa namun bahagia. Ibunya mengambil seember air yang telah ia siapkan disebelahnya. Lalu BYURR! Api pandam perlahan bersamaan dengan tetesan air yang mulai menggenangi sekeliling anak tersebut. Luka bakar bukanlah masalah besar baginya. Yang terdapat di otaknya saat itu hanyalah ‘Ibu tersenyum’ Mungkin bagi sebagian orang yang mendengarnya adalah bahwa anak tersebut sudah tidak waras seperti ibunya. Mungkin memang benar, kesehatan emntal anak tersebut telah hancur. Namun daripada itu ia masih memiliki hati yang sama lembutnya seperti dulu. Ia hanyalah anak yang tak dapat bahagia. Beberapa hari setelahnya, ibunya yang sudah tidak memiliki kewarasan tersebut menyiramkan sepanci air panas yang baru ia masak pagi itu hanya untuk disiramkan ke anaknya. Tentu anaknya terkejut. Ia merasa kesakitan namun hanya diam. Setelah saat itu ia memperban tubuhnya sendiri. Luka bakar yang melepuh, membayangkannya saja aku tak bisa. Membalut sekujur tubuhnya yang terkena luka bakar akibat siraman air panas dari ibunya. Beberapa hari setelahnya, ibunya meninggal. Tidak tahu apa penyebabnya. Ia sudah tidak makan berhari-hari. Apakah mati kelaparan? Ia sering menyakiti dirinya sendiri. Terinfeksi? Ataukah… “AHHHHHH” seorang wanita berteriak histeris di depan pintu rumah anak tersebut. Tebak apa yang terjadi #2 Seorang anak kecil dengan mata sayu yang kosong sekosong hatinya, menggenggam sebilah pisau berteteskan darah di tangan kanannya sambil melihat kearah wanita yang berteriak dibelakangnya tersebut. Lantai yang penuh darah. Darah ibunya sendiri. Ya.. dia membunuh ibunya yang paling ia sayangi itu. Wanita yang ketakutan itu langsung berlari dengan muka yang ketakutan sembari meneriakkan ‘PEMBUNUH!” dengan histeris. Warga yang mendengar tentang cerita dari wanita tersebut hanya tutup kuping dan mulai membicarakannya, pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi lalu berbondong bondong mengusir anak tersebut dari rumahnya sendiri beberapa jam setelahnya. Itu adalah tindakan yang paling tepat, begitulah pikir mereka. Tidak ada yang peduli padanya. Bahkan kejamnya mereka tahu tentang siksaan yang diberikan ibunya tersebut. Mereka membiarkannya. Bagaimana dengan mayat ibunya? Ia menyeret ibunya keluar rumah membekaskan darah disepanjang jalan, lalu menggali tanah di dekat padang bunga semalaman. Menguburnya lalu berdoa “Apakah ibu bahagia? Semoga ibu bahagia disana” harapnya. Esok harinya ia pergi untuk mengambil beberapa bunga di padang bunga. “Sedang apa kau?” seorang wanita cantik yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya berbicara padanya. Anak laki-laki yang kebingungan itu untuk pertama kalinya, matanya bersinar kembali. Walau masih sayu namun bersinar, tatapannya menenagkan hati yang melihatnya. Tingginya yang sekitar 153 cm dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam pekat namun nampak kemerahan saat tersentuh oleh cahaya matahari, lalu warna kulitnya yang putih, pipinya yang kemerahan, juga bulu matanya yang panjang dengan gaun putih yang nampak sederhana namun selaras. Hal yang paling mencolok adalah matanya yang besar namun terlihat menyimpan banyak kepedihan. Berwarna biru laut. Perempuan itu untuk sesaat ia membuat hati anak tersebut terasa hangat. Tubuh kecilnya yang kedinginan terbalut perban. Suaranya yang lembut membuat nyaman siapapun yang mendengarnya Ia menjawab “Aku sedang memetik beberapa bunga” dengan nada datar. “Untuk apa?” “Ibuku. Ibuku menyukai bunga. Bahkan ia lebih menyukai bunga daripada aku. Maka aku akan membawakan bunga untuknya agar ia bahagia” sambil tersenyum kecil dan menatap kearah bunga yang sudah ia petik beberapa dengan tatapan penuh kehangatan. Ia tersenyum.. batin wanita tersebut. Anak yang tak pernah keluar rumah tersebut akhirnya bisa membawakan bunga yang paling disukai untuk ibunya yang ia sayangi itu. “Dimana ibumu?” “Di surga, kata papa orang baik nanti akan bahagia saat meninggal nanti. Mama adalah orang yang sangat baik namun ia tidak bisa bahagia” “Ah.. begitu, Apa kau… yang membunuhnya?” Tanya wanita tersebut yang heran dengan bau dan noda darah pada bajunya. “Ya, aku membunuhnya. Agar ia bisa cepat meninggal lalu bahagia. Aku menghentikan penderitaan mama” “Kau sungguh berpikir begitu?” “Ya” anak tersebut menjawab dengan yakin. “Bukankah perpisahan itu menyakitkan?” kini raut muka perempuan tersebut berubah. Menjadi lebih tenang namun juga semakin terlihat menyedihkan. “Entahlah. Aku tak pernah berpisah dengan siapapun. Mama masih bersamaku. Dibawah gundukan tanah itu” jawabnya sembari meihat kearah makam ibunya. “Semoga… semoga kau bisa bertemu dengan ibumu lagi ya. Dikehidupan selanjutnya” Suara perempuan tersebut mengecil walau masih terdengar samar. Ia mengatakannya dengan mata yang berkaca-kaca sambil tersenyum. Rambutnya yang tertiup angina membuatnya semakin terlihat cantik tapi.. ia tidak terlihat bahagia sama sekali. Senyuman itu tidak terlihat palsu melainkan tulus namun kenapa terlihat memaksakan?. “Maksudmu?” “Kalau begitu aku permisi dulu” Perempuan tersebut pergi lalu menghilang diantara hamparan bunga nan indah yang menyejukkan mata. ‘Ahhhh.. dia benar-benar melupakannya. Melupakan..nya..’ batin wanita tersebut sesaat sebelum ia menghilang bersamaan dengan angin. Kosong… Kini tatapannya kembali kosong, sesaat setelah wanita itu pergi. Di beberapa kesempatan, ia selalu mencari perempuan tersebut. Namun tanpa sempat bertemu kembali dengan perempuan tersebut, tak butuh waktu lama, anak itu telah mencapai batasnya. Tanpa makanan, ia kelaparan. Bunga.. bungalah yang menjadi santapannya setiap hari. Untuk saat-saat terakhirnya, ia berkata “Mama.. maaf walau hanya sesaat tapi saat itu aku bertemu dengan seorang wanita uhuk uhuk” ia terbatuk. Lalu dengan suara yang parau dan hampir tak terdengar ia melanjutkan “ia sempat memberiku secercah harapan, hanya dengan mengingatnya saja aku merasa tenang dan aku merasa… bahagia. Apa aku pernah bertemu dengannya?”. ‘Mama… terima kasih dan maaf karena aku telah melanggar janjiku. Aku menyayangimu” Anak tersebut untuk terakhir kalinya kembali meneteskan air mata. Begitu pedih dan menyakitkan. Rasanya lebih menyesakkan daripada luka fisik yang selama ini ia terima. Ia terbaring tepat disebelah makam ibunya yang ia buat. Kenapa perpisahan itu sungguh menyakitkan? Sesaat sebelum ia menutup matanya, ia melihat seseorang berdiri sambil menangis juga tersenyum. Senyuman yang sama persis seperti waktu itu. Namun kali ini terlihat lebih tulus dan terlihat lebih memaksakan dari sebelumnya. Tangisan yang setiap tetes air matanya mengartikan begitu banyak arti. Berisikan kepedihan disetiap isakannya. “Selamat jalan. Istirahat yang tenang” begitu katanya. Suaranya lembut dan menenangkan hati. Suaranya kecil namun juga terdengar dengan jelas. ‘Ahh… aku ingat sekarang’ batin anak laki laki tersebut. ‘Aku menemukanmu’ katanya dalam hati. ‘Aku pergi dulu’ Ia pergi dengan tenang, menyusul ibunya. Aku tidak begitu mengerti, apa makna dari cerita ini? Temukan potongan yang hilang… Apa maksudmu? Baby Breath /dari pandangan Daedelus/ ‘Ah aku tahu, Gadis dengan Mata Sebiru Laut, maid pernah menceritakannya padaku saat aku masih kecil’ kata Daedelus dalam hati. Perempuan ini.. terlihat sangat mirip dengan yang diceritakan waktu itu. Aku yakin itu. Hanya saja… ia terlihat seumuran denganku. Walau aku sedikit lebih tinggi. Saat ia terbangun, aku melihatnya. Matanya!. Warnanya… biru. Dan yang pertama kali terlintas dalam pikiranku saat itu adalah Laut. Matanya yang biru sebiru laut dan menenangkan hati orang yang melihatnya. Ini.. sangat mirip dengan yang ada di cerita. Sekilas semuanya nampak kembali dalam ingatanku. Bagaikan kilat cahaya yang bahkan tak butuh waktu satu detik untuk ku mengingatnya. Cerita yang diceritakan maid kepadaku waktu itu hanyalah bagian dari akhir cerita. Isinya… tidak pernah kudengar sama sekali. Itu adalah cerita favorit Tetua dulu. Tetua yang sekarang digantikan oleh Pamanku yaitu Tetua Theoderu. Aku Daedelus adalah anak Tetua dulu yaitu Mantan Tetua Daedelus. Nama ayahku sama denganku bahkan nama kakekku juga sama. Aku tidak menganggapnya aneh karena menurutku itu adalah tradisi turun menurun. ‘Temukan potongan yang hilang’ begitulah katanya. Dari semua cerita yang pernah diceritakan maid padaku, cerita itulah yang paling berbeda dari yang lainnya. Bukan seperti dongeng belaka. Namun aku merasa seperti masuk kedalam bagian cerita. Merasakan apa yang dirasakan oleh anak laki-laki tersebut. Semua penderitaannya. Cerita favoritku. Tapi kenapa aku bisa lupa?. ‘Ah sekarang giliranku untuk memperkenalkan diri’ “Namaku Daedalus Leander, senang bertemu denganmu” aku memperkenalkan diriku dengan tata cara yang diajarkan padaku oleh guru untuk persiapanku menjadi Tetua nanti. Ia mulai merapikan rambutnya lalu memperkenalkan dirinya. ”Hai Ellie, Mono, Sheni, Sholton, dan Daedalus. Perkenalkan namaku adalah Nyx Edelweiss” sambil tersenyum dan memiringkan kepala. Saat aku mendengar namanya, aku terkejut. Cerita favoritku adalah cerita tentang kehidupanku sebelumnya. Nama anak laki-laki dalam cerita adalah Daedelus Leander. Dan yang perempuan dalam cerita adalah Nyx Edelweiss. Aku ingat sekarang. Walau tak sepenuhnya tapi aku mengingat potongan kecilnya. Aku mengingatnya! #1 Aku Mengingatnnya! Apa yang kau ingat? Eh suara siapa itu? Tak perlu tahu Anak perempuan itu, dia adalah temanku. Teman? Apa itu teman? Aku tak terlalu mengerti tapi dia adalah temanku. Dikala aku disiksa oleh ibuku, dialah yang selalu menemaniku. Ia datang lewat jendela kamarku. Mengetuk jendela pelan lalu aku membukakannya. Dia bercerita banyak dan kita saling berbagi cerita setiap harinya. Ia pernah menceritakan sesuatu padaku. ‘Kisah Nyata’ katanya. Aku merasa tersentuh akan cerita yang ia ceritakan saat itu. Bisa kau ceritakan? Ya. Tentang seorang gadis yang tahu tentang kebenaran akan dunia. Mencintai seorang laki-laki. Ia menamakannya Dandeli- maksudku Daedelus dalam cerita tersebut. Ya, namaku. dan Edelweiss untuk gadis dalam ceritanya. Edelweiss adalah seorang gadis berumur ribuan tahun dengan wujud gadis muda dan tak pernah berubah. Daedelus adalah seorang laki-laki yang berumur 22 tahun. Mereka saling mencintai dengan latar belakangnya masing masing. Daedelus yang memiliki masalah keluarga dan Edelweiss yang membenci kehidupan, mereka menjalani hidup bersama dengan bahagia. Bibi Daedelus pergi kerumah yang lebih besar milik Daedelus peninggalan orang tuanya yang berpisah akibat kekerasan rumah tangga pada saat Daedelus berumur 14 tahun. Namun sayangnya kisah mereka berakhir dengan tragis. Perpisahan mereka sesingkat pertemuan mereka. Atas kehadiran orang ketiga. Wanita dengan hati mawar yang indah namun berduri. Ia cemburu atas kedekatan Daedelus dengan wanita bernama Edelweiss. Suatu hari ia berkata pada Daedelus sembari menggenggam sebilah pisau ditangan kanannya “Jika kau tidak bisa mencintaiku karena wanita itu maka aku akan membunuhnya untukmu” perkataannya itu bukan gurauan belaka. Itu serius. Sorot matanya tajam. Daedelus yang terkejut saat itu langsung berlari ke padang bunga mencari Edelweiss untuk memperingatinya. Wanita tersebut marah. Ia merasa sedih karena ditinggalkan begitu saja. Tanpa berpikir panjang ia segera berlari menyusul Daedelus. Daedelus yang saat itu masih memanggil manggil nama Edelweiss ditengah hamparan bunga, ditusuk dari belakang dengan sebilah pisau oleh tangan kanan wanita tersebut.. Darah bercucuran membuat bunga disekitarnya berubah warna menjadi merah. Disetiap tetes darahnya. “Matilah” begitulah katanya. “Jika kau tidak ingin dan tidak bisa mencintaiku maka matilah” ia berbicara dengan tenang dan tanpa penyesalan sama sekali. Ia membaringkan dirinya didekat Daedelus yang sekarat diantara hamparan bunga, memeluknya lalu menusukkan pisau yang ia pakai tadi kearah perutnya sambil menangis. “Aku akan ikut denganmu. Aku mencintaimu hidup dan mati. Aku akan ikut denganmu kemana saja bahkan jika itu adalah kematian. Matilah bersamaku Daedelus” Wanita tersebut memilih untuk mati bersama. Menurutnya itu adalah pilihan terbaik. Ia tidak menyesalinya sedikitpun. Ia mati lebih cepat dari Daedelus. Beberapa saat setelahnya, Edelweiss datang. Namun ia tidak melihat siapapun disana. Hanya hamparan bunga. Saat itu sedang malam jadi tidak nampak terlalu jelas. Namun ia mencium bau darah. Ia menghampirinya dan… terduduk. Matanya membelalak terkejut atas apa yang dilihatnya didepan matanya. Daedelus mati?. #2 Ia menjulurkan jari telunjuknya kearah hidung Daedelus. Masih bernafas… Tapi pendarahannya. Sudah terlambat. Edelweiss menyadarinya. Tak ada yang bisa ia lakukan dan ia tahu itu. Ia datang terlambat. Ia mulai menangis. Matanya penuh air mata kini. Pipinya juga basah sekarang. Isakannya menggambarkan kepedihan yang mendalam. “Dapatkah aku bertemu denganmu lagi nanti?” Kata Daedelus dengan suara serak dan seperti sedang menahan sakit. “Daedelus..” “A-aku. Maaf aku datang terlambat” Daedelus hanya tersenyum seperti ‘itu bukan salahmu’ begitu. “Sampai jumpa lagi” itulah kata kata terakhir yang ia ucapkan pada Edelweiss. Kini tangisan Edelweiss semakin menjadi. Air matanya deras membanjiri pipinya. Menetes yang disetiap tetesnya berisikan ratusan kepedihan. Rasanya sungguh menyesakkan. Aku tak menyukainya. Aku lagi-lagi kehilanganmu. Aku tak menyukainya. Jangan pergi. Kumohon… Dandelion.. Kumohonnn. Aku akan menunggumu dikehidupanmu selanjutnya. Bahkan jiika itu butuh waktu ratusan tahun lamanya asal kau ada. Aku akan tetap disini. Aku akan selalu ada. Begitulah yang ia ceritakan padaku. Siapa Dandelion? Entahlah. Ia hanya diam saat aku menanyakannya. Aku juga bertanya padanya “Kenapa kau menggunakan nama kita untuk kisah yang tragis?” “Entahlah, kenapa ya?” ia hanya menjawab seperti itu sambil menatap kebawah luar jendela kamarku. Tapi memangnya sudah berapa lama itu terjadi? Zinnia Roses (bouquet of full bloom) Seusai Pheilss menceritakan kejadian di padang rumput kepadaku, aku berterima kasih padanya lalu ia mengantarku menuju ke meja makan dan menawarkan cookies yang ia buat padaku. Aku melihat anak-anak yang lainnya disana. Ada Mono dengan remahan cookies di pipinya tersenyum kearahku. Ellie yang duduk tenang sambil mengunyah dengan potongan cookies di tangannya. Sholton yang sedang berbincang dengan Daedelus dan Sheni yang sedang melihat kearahku. Ya, dialah yang melihatku pertama kali bahkan sebelum aku muncul. Dia mendengar suara langkah kakiku dan Pheils. Lalu Daedelus… seperti dugaanku. Ia makan dengan tenang sambil tertawa akan gurauan dari Sholton. Lalu melihat kearahku dan tersenyum. Aku balas tersenyum lalu duduk disebelahnya karena hanya ada satu kursi kosong disana yaitu disebelahnya. Aku mengambil cookies yang masih ada beberapa di piring. Pelayan Ellie membuatnya cukup banyak. Pheils bukanlah ibu Ellie melainkan pelayan yang bekerja disana. Karena ibu Ellie cukup sibuk bekerja dan ayah Ellie yang bekerja di militer maka mereka memutuskan untuk mempekerjakan pelayan dirumahnya. Bisa dibilang Ellie adalah anak dari orang kaya. Walau tidak terlihat begitu. Tak butuh waktu lama untukku akrab dengan mereka. Mereka adalah anak-anak yang baik dan ramah. Setelah cukup makan cookies, aku mendengar seseorang mengetuk pintu sesaat setelah Sheni berkata “A-a-da or-rang” dengan suara kecil namun masih dapat terdengar dengan jelas. Pheils membukakan pintu dan ternyata mereka adalah orang suruhan dari istana Tetua. Mereka menyuruhku untuk menghadapnya katanya. Ya.. wajar sih menurutku. Lagipula aku ini orang asing. Mungkin memang begitu syaratnya. Daedelus memutuskan untuk ikut denganku. “Sekalian pulang” katanya. Kamipun berpamitan dan pergi menggunakan kereta kuda bersama menuju ke istana Tetua yang letaknya bisa dibilang cukup jauh dari rumah Ellie. Aku duduk bersebelahan dengan Daedelus dengan 2 penjaga diseberang kami. Daedelus hanya menatap kearah jendela sambil menopangkan dagunya. Aku hanya diam dan menatap keluar jendela juga. ‘Situasi canggung macam apa iniiii’ teriakku dalam hati. Tapi lama kelamaan aku mulai menikmatinya. Pemandangan sepanjang jalan benar benar menyejukkan mataku. Orang orang desa yang menyapa kita saat berpapasan. Aku yang tersenyum sambil melambaikan tangan juga dibalas senyum dan lambaian. Orang-orang disana sangat ramah dan baik hati. Aku harus mempelajari semuanya. Setelah sekitar setengah jam kami mengendarai kereta kuda, kamipun turun. Penjaga yang duduk diseberang kami tadi, salah satunya membukakan pintu kereta untukku. Mengulurkan tangannya untuk membantuku turun. Aku menerimanya lalu turun dengan hati-hati. Daedelus dan aku berpisah saat memasuki ruang tengah yang sangat megah. Ia berjalan kearah yang berlawanan denganku. “Sampai bertemu lagi” katanya sambil melambaikan tangan. Aku yang tidak mengerti apa apa saat itu hanya balik melambaikan tangan lalu mengikuti penjaga menuju ke ruang yang dimana Tetua menungguku. #1 Terdapat dua tangga disana. Yang satu untuk kearah kanan dan yang satu lagi untuk kearah kiri. Saat itu aku menuju kearah kiri. Sedangkan Daedelus kearah kanan tanpa naik tangga. Struktur bangunannya cukup rumit untuk dijelaskan. Tapi satu hal yang pasti lukisan-lukisan disana terdapat lukisan seorang gadis bermata biru dan seorang laki-laki yang katanya adalah tetua dari ratusan tahun lalu. Lukisan tersebut tidak terlihat tua sama sekali. Masih bagus. Bagaimana bisa ya?. Terdapat ukiran ukiran halus di pegangan tangganya. Aku tidak terlalu mengerti gambar ukirannya. Aku tidak terlalu berusaha memahaminya karena nanti mungkin aku juga tahu pikirku. Sesampainya di depan ruang Tetua, aku berdiri di depan pintu kayu dengan ukiran bergambarkan lambang kerajaan disetiap ujungnya yang diukir khusus pengrajin professional. Penjaga yang mengantarku mengetuk pintunya 3 kali lalu membuka pintu yang terlihat berat tersebut lalu berkata “Sudah sampai” dengan singkat. Ia menyuruhku masuk lalau menutup pintu sambil berkata “Saya permisi dulu” sambil membungkukkan badannya. Aku yang tidak tahu apa-apa saat itu hanya terdiam. ‘Apa yang harus aku lakukannn’ batinku menjerit kebingungan. Suasananya mencekam. Disana aku melihat seoang pria dengan setelan baju khas yang Nampak mewah sedang menatapku tajam. Aku yang tak tahu harus berbuat apa akhirnya memutuskan untuk memperkenalkan diriku terlebih dahulu untuk membuka pembicaraan. Namun belum berkata sepatah katapun Tetua mulai berbicara padaku. “Siapa namamu?” Suaranya yang rendah namun terdengar biasa dengan nada yang datar, dengan cepat aku menjawab “Nyx Edelweiss” “Kenapa kau bisa ada disini?” Ia lanjut bertanya. “Saya… tidak tahu pasti” “Apa tujuanmu?” “Tidak ada” Dia pasti melihatku sebagai musuh atau ancaman. Tapi itu wajar sih, maksudku aku tiba-tiba datang tanpa permisi kesebuah tempat yang dimana aku sendiri tidak tahu dimana. “Apa kau ingat sesuatu?” “Tidak ada” “Kalau begitu untuk menghapuskan kecurigaan ini maka kau akan dibawa ke pengadilan. Namun sebelum itu kau akan ditempatkan di penjara bawah tanah untuk beberapa hari kedepan apa kau keberatan?” “Tidak sama sekali” “Kalau begitu, PENJAGA” ia berteriak memanggil penjaga yang ada di sudut ruangan lalu menyuruhnya untuk membawaku ke penjara bawah tanah yang ia sebutkan tadi. Aku hanya pasrah dan membiarkan mereka membawaku. Lagipula melawan juga tidak ada gunanya pikirku. Selama perjalanan aku melihat kesekelilingku. Setiap pintu di ruangan, terdapat ukiran yang sama dia setiap ujung pintunya. Lambang kerajaan. Lambang kerajaan disini bentuknya hanya separuh. Dimana potongan yang lainnya? Dan kenapa hanya sepotong?. Entahlah. Sebelum memasuki penjara bawah tanah, penjaga yang membawaku menyalakan obor yang ia genggam dengan tangan kanannya lalu melanjutkan menuruni tangga. Lalu sesampainya aku di penjara bawah tanah, gelap. Namun tidak terlalu gelap. Terdapat cahaya kecil yang menerangi disepanjang jalan tembok. Disana aku melihat beberapa orang lain yang juga dipenjara disana. Kira kira apa yang mereka perbuat ya? #2 Padahal penduduk disekitar sini ramah ramah dan tidak terlihat adanya tanda-tanda kejahatan sama sekali. Mereka menatap kearahku. Ada yang menatapku tajam seperti ‘aku akan membunuh Tetua!’ ada juga yang menatapku seperti meminta pertolongan dan menyesal juga ada yang menatapku dengan tatapan aneh. Aku masuk kedalam sel kosong. Terdapat kasur yang terbuat dari kayu tanpa alas dipojok ruangan dan meja kecil disebelahnya. Penjaga yang membawaku tadi menutup sel dan menguncinya. Mengurungku didalam. Dingin.. aku kedinginan. Didalam sana tidak ada satu barangpun yang dapat ku jadikan selimut. Kepala dan sekujur tubuhku juga merasa sakit bergesekan dengan kerasnya serat kayu yang dijadikan tempatku tuk berbaring saat itu. Aku benar benar tidak bisa tidur saat itu. Akupun bangun lalu melihat keluar. Ada yang sudah tertidur ada juga yang tidak. Sudah berapa lama mereka disini ya? Dan apa alasannya?. Akupun duduk didekat tiang tiang besi tersebut. Menyenderkan tubuhku kearah dinding batu dibelakangku yang sudah mengikis. Lalu memejamkan mataku mencoba untuk tidur walau tidak bisa setidaknya aku harus beristirahat sedikit. Tak lama, aku mendengar suara langkah kaki seseorang, sambil tetap memejamkan mata pura-pura tidak tahu. Lalu aku merasa orang itu berhenti disampingku. Berlutut lalu menyentuh bahuku. Akupun langsung membuka mataku dan yang kulihat saat itu adalah seorang laki laki yang nampak seumuran denganku yaitu Daedelus! Saat kumelihatnya dari dekat, aku merasa damai. Hatiku yang dingin mulai menghangat sepenuhnya tanpa perlu selimut untuk menyelimutiku. Seperti ‘walau berdiri ditengah bada saljupun asal ada dirinya, cukup dirinya saja sudah dapat menghangatkan sekujur tubuhku. Apa… aku berlebihan? Tapi jujur itulah yang kurasakan saat itu. Terlintas dalam hatiku berkata ‘Aku menemukanmu’. Namun aku tak mengerti kenapa. “Sudah kuduga mereka akan mengurungmu disini” katanya sambil tersenyum dengan tangan yang dia ulurkan padaku lewat jeruji besi sambil memegang sebuah selimut. “Pakailah” katanya. Dia memberiku sebuah selimut yang terasa sangat lembut saat bersentuhan dengan kulit. Cukup untukku menyelimuti diriku dari dinginnya malam di penjara bawah tanah. Harum… Selimut ini wangi membuatku merasa seperti sedang berada di sebuah padang bunga yang luas. Warnanya putih bersih, seperti salju. Aku berterima kasih padanya dan mulai menyelimuti diriku sendiri. ‘Ah…’ batinku. Rasanya hangat. Lalu dia duduk menyender pada dinding batu yang dibuat untuk membatasi antar sel. “Apa kau tidak kembali?” aku bertanya padanya. “Tidak. Bukankah sendirian itu tidak menyenangkan?” Ah… begitu. Dia ingin menemaniku disini. “Aku tak apa. Kadang sendiri itu lebih baik” “Begitu ya..” Lagipula maksudku apa dia tidak akan merasa kedinginan? Pembicaraanpun berakhir dengan singkat dan aku mulai merasa mengantuk. Selimut ini memang nyaman dan hangat batinku. Akupun tertidur. Pagi harinya, aku terbangun lebih dulu. Malam kemarin aku tertidur sangat nyenyak berkat selimut yang Daedelus berikan padaku. Saat aku melihat keluar, Daedelus… dia masih ada disana. Tertidur sambil meringkuk. Apa dia kedinginan semalam?. Aku sudah tertidur pulas kemarin. Aku tidak berniat membangunkannya. Tapi Daedelus yang peka akan sekitarnya terbangun. Lalu melihat kearahku lalu seperti ‘ah ternyata kau’ dan tersenyum sambil berkata “Selamat pagi” begitu. Akupun balas menjawab “Selamat pagi Daedelus” sambil tersenyum. Ah iya juga. Dia adalah anak Tetua yang sebelumnya yang berarti dia adalah orang penting dari Kerajaan!. Haruskah aku memanggilnya ‘Tuan Daedelus’?. Tapi dia diam saja saat aku memanggilnya ‘Daedelus’. Tapi apakah itu sopan?. Sepertinya aku memang harus memanggilnya dengan panggilan ‘Tuan’. Ah anak anak yang lain. Bagaimana anak anak yang lain memanggilnya?. Aku belum pernah mendengarnya. Bagaimana ini aku jadi merasa bingung dan tidak enak. Daedelus hanya duduk diam saja disana, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya “E-emmm. T-t-tuan Daedelus?. Bagaimana saya harus memanggilmu?” Ia yang mendengarnya hanya tertawa kecil lalu bangkit berdiri sambil melihat kearahku “Panggil aku sesukamu. Apa saja boleh kok. Tak perlu pakai gaya bahasa yang baku juga tak apa” Kalau begitu sudah kuputuskan, aku akan memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’ karena menurutku itu adalah panggilan yang terbaik untuknya. Kurasa anak-anak yang lain juga memanggilnya begitu.. Pasque Flower Setelah beberapa hari dipenjara, Daedelus menemaniku setiap malam. Mendatangi selku dengan cemilan yang ia dapat dari dapur, makan bersama, dan berbincang denganku di berbagai kesempatan. Anak-anak yang lain sudah tahu tentang keadaanku saat itu. Daedelus yang menceritakannya pada mereka. “Tak perlu khawatir” katanya pada mereka. Membuat anak anak yang lain merasa tenang dan tentunya tidak khawatir lagi. Dan hari pengadilanpun dimulai. Hari ini, siang ini, aku akan dibawa ke pengadilan untuk memutuskan bagaimana nasibku kedepannya. Aku mendengar suara langkah penjaga menuju kearah sel tempatku berada. Membuka selku lalu membawaku ke tempat pengadilan akan dimulai. Ada dua orang penjaga yang membawaku. Aku mengikuti mereka dengan tenang. Lalu sesampainya di depan pintu ruang pengadilan yang letaknya masih didalam istana hanya saja beda wilayah. Pintu kayu berwarna coklat yang besar dan tampak kokoh terpampang jelas didepanku. Kedua penjaga tersebut membukakan pintunya untukku sambil berkata “masuklah”. Ketika aku menapakkan kakiku kedalam, suasananya benar benar mencekam. Semua mata dalam sekejap tertuju padaku. Suasana riyuh sebelumnya kini menjadi hening membuat langkah kakiku terdengar jelas kini. Aku benar benar gugup dan kebingungan saat itu. Saat aku melihat kesekeliling mereka semua terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok warga biasa, kelompok orang-orang kerajaan, para pengusaha tinggi, juga saksi, serta Tetua yang berada di depanku persis. Duduk dengan tenang sembari menatap tajam kearahku, memberi tekanan besar padaku. Rasanya aku ingin keluar saja. Dalam sekejap tanganku di borgol menggunakan brogol besi dan tiang kayu sebagai penyangganya. Orang-orang mulai membicarakanku sembari menatapku jijik seperti aku telah melakukan perbuatan yang keji. Padahal saat aku naik kereta kuda bersama Daedelus, para warga yang berpapasan dengan kami nampak sangat ramah padaku. Kini aku tak bisa kemana mana lagi. Aku benar-benar sudah pasrah dan memutuskan untuk mengikuti alurnya saja. Tetua mulai berbicara menandakan mulainya jalannya pengadilan. “Saya yang akan memimpin jalannya pengadilan kedepan” katanya dengan tegas. Dalam sekejap suasana menjadi hening kembali. Orang-orang bermulut besar itu kembali bungkam. Aku mulai dipertanyakan berbagai pertanyaan kembali. “Nyx Edelweiss” Tetua memanggil namaku dengan tegas. “Ya!” sautku. “Dengan identitas yang masih belum diketahui lengkap bernama Nyx Edelweiss berjenis kelamin perempuan, apakah dalam keadaan sehat hari ini, baik jasmani maupun rohani dan siap mengikut persidangan hari ini?” “Ya, saya dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani dan saya siap mengikuti persidangan pada hari ini” Wohhh, semuanya benar-benar terlihat seperti pengadilan. Ini kali pertama aku melihat secara langsung jalannya pengadilan. Meski aku yang jadi tersangkanya sih. “Aku akan langsung menuju ke topiknya, Apakah... kau musuh atau teman?” Aku tak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Teman? Musuh? Memangnya apa yang salah dariku hingga membuat semuanya berpikir begitu?. “Te..Teman!” Kataku lantang meski sedikit ragu. “Dengan apa kau bisa membuktikannya?” Eh? Aku bingung saat itu. Apa yang harus aku lakukan agar ia- maksudku mereka percaya? Apa yang harus aku jawab? Apa yang harus aku katakan? Seseorang tolong aku!! Kegugupanku sudah hampir sampai puncaknya. Keheningan itu membuat orang-orang mulai meragukanku. Lalu kudengar pintu masuk dibelakangku terbuka. Aku tak bisa melihat siapa itu. Lalu beberapa saat kemudian seseorang berbicara dari belakang. Suara yang sepertinya pernah aku dengar sebelumnya. “Yang Mulia Theoderu mereka telah sampai. Atas nama Ellie, Mono, Sheni, Sholton, dan Tuan Daedelus yang datang sebagai saksi yang menemukan tersangka Edelweiss” Seorang penjaga berteriak dengan tegas agar terdengar ketelinga semua orang. Eh? Mereka? Mereka datang?. Dalam sekejap kagugupanku tadi mereda. Walau tak tahu pasti apa mereka bisa membantuku tapi, mereka datang sebagai saksikan katanya? Hanya dengan itu, hanya dengan keberadaan mereka aku sudah merasa sedikit lebih tenang. Padahal kita belum kenal terlalu lama. Tapi rasanya sudah sangat lama. #1 Kesaksian mereka menyelamatkanku. Keahlian berbicara Sholton membangkitkan kepercayaan hampir seisi orang yang berada dalam ruangan. Ketegasan Ellie yang menegaskan pernyataan Sholton membuat orang-orang berpikir terbalik menjadi kearah yang positif. Keceriaan Mono membuat orang-orang yang tegang dan risau menjadi lebih tenang sehingga dapat berpikir dengan jernih. Kepolosan Sheni juga membangkitkan kepercayaan orang-orang bahwa mereka tak berbohong. Kebijakan Daedelus juga membungkam orang-orang yang buka mulut dengan kecurigaan yang berlebihan. Mereka tampak sangat lihai dalam hal tersebut. Mereka benar-benar datang menyelamatkanku!. Dengan pernyataan-pernyataan yang mereka berikan pada seisi ruangan, membuatku dapat menarik sebuah kesimpulan yang dapat kujadikan alasan yang pasti. Namun semua itu belumlah cukup. Aku adalah orang asing yang bahkan tak dapat mengingat darimana asalku. Dengan perdebatan panjang tadi akhirnya aku mengetahui apa yang membuat mereka sampai securiga ini. Malam hampir tiba dan keputusan sudah bulat. Aku akan menjalankan pelatihan militer untuk kedepannya. Aku tak begitu masalah. Yang mana saja boleh. Lebih tepatnya aku tak peduli. Tetua menyediakan kamar khusus untukku di istana. “Agar mudah mengawasimu nantinya” begitulah alasannya. Kamarnya bisa dibilang cukup luas. Sederhana namun terlihat berkelas. Terdapat kasur dengan sprei berwarna hitam di pojok ruangan sebelah kiri dengan jendela disebelah pojok kanan ruangan. Juga ada meja rias disamping kasur. Dengan lemari berukuran sedang berawarna coklat gelap di pojok sebelah kanan bersebrangan dengan jendela. Semua barang-barang perabotan disana terdapat ukiran yang sama seperti di pintu menandakan milik kerajaan. Akupun membaringkan tubuhku diatas kasur dan kepalaku diatas bantal yang empuk dan nyaman tersebut. Nyaman… itulah yang pertama kali kupikirkan. Teksturnya yang lembut membuatku ingin segera memejamkan mata dan tertidur. Ah.. rasanya aku capek sekali. Aku akan tidur sejenak. Tak butuh waktu lama untukku tertidur pulas diatasnya. Saat aku terbangun, pagi hari telah tiba. Matahari menyerobot masuk menembus gorden jendela kamarku. Aku membangkitkan diriku dari atas kasur lalu melakukan beberapa peregangan. Malam kemarin aku tidur sangat lelap. Aku berjalan kearah jendela, membuka gorden mempersilakan cahaya hangat masuk. Membuka jendela sembari berbisik “Selamat Pagi” lalu menarik nafas panjang. Lalu aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku sebanyak tiga kali. Aku berjalan kearah pintu lalu membukanya. Disaat aku menarik pintu tersebut ternyata selama ini aku salah mengira. Pintu yang terlihat berat tersebut ternyata tidaklah seberat yang aku kira. Di hadapanku saat itu aku melihat seorang anak laki-laki yang tak lain dan tak bukan ialah Tuan Daedelus. Aku sempat terkejut. Ia sudah berpakaian rapi. Pakaiannya.. tetap sederhana dan berkelas. Senyumannya.. lagi-lagi menghangatkanku rasanya sangat damai.. “Eh? Tuan Daedelus. Ada apa? Apa ada perlu?” tanyaku padanya. “Sekarang kau tinggal di istana ya. Maukah kau berkeliling bersamaku?” Tanyanya padaku sambil mengulurkan tangannya. Namun tanpa belum sempat menerima ajakannya, seseorang memanggilnya. “Tuan Daedelus!!. Dimana kau?!” teriak seorang wanita. ‘Eh? Siapa itu?’ tanyaku dalam hati. Aku melihat kearah Tuan Daedelus. Dia terlihat sedikit terkejut lalu tersenyum. “Ah sepertinya dia akan menemukanku. Kalau begitu maaf ya kapan kapan saja. Aku permisi dulu dan terima kasih atas waktunya” Dia berkata dengan nada kecewa sambil tertawa kecil dengan tangan kiri dibelakang kepalanya lalu pergi menuju kearah suara wanita yang memanggilnya tadi. Aku hanya diam dan kembali masuk kedalam kamarku. Bersiap untuk mandi. Aku membuka lemari baju yang telah disiapkan untukku beserta isinya. Dan semuanya terlihat bagus. Terdapat gaun dengan berbagai macam style disana. Ada pakaian formal dan informal juga ada gaun tidur untukku. Walau lemarinya tidak terlalu besar tapi dapat mencangkup banyak hal disana. Aku memilih gaun berwarna putih motif bunga lalu berjalan kearah kamar mandi. Setelah selesai mandi aku membuka pintu kamarku lalu berjalan kesekeliling. Di pertengahan jalan, aku berpapasan dengan Daedelus. Aku menyapanya dan dia balas menyapa sambil tersenyum. “Kau ikut pelatihan khususkan?” Aku menjawab “Ya” Lalu dia menarik tanganku sambil berjalan cepat. Membawaku ke suatu tempat. Yang tentunya aku pasrah membiarkannya menarik tanganku. Sesampainya disana, Daedelus melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Aku melihat kearah pergelangan tangan yang ia sentuh tadi, berbekas… batinku, ia menggenggamnya terlalu kencang mungkin karena ia terlalu bersemangat. Disana aku melihat banyak sekali alat alat perang. Di tengah tengah hamparan rumput hijau yang luas, tanpa diberitahukanpun aku sudah tahu tempat apa itu. Disanalah aku akan berlatih nantinya. Bersama dengan anak-anak yang lainnya. “Disini kita akan berlatih bersama dengan anak-anak yang lainnya”. Katanya sambil tersenyum menatap kearah luasnya hamparan rumput hiaju yang memanjakan mata. “Um” sautku sambil menganggukkan kepala. Keesokan harinya pelatihan khususpun dimulai. Sebelum matahari terbit aku sudah bersiap dan menuju ke tempat pelatihan khusus bersama Daedelus. Periwinkle (blue) Sesampainya disana, aku melihat Mono, Ellie, Sholton, Sheni, dan ketiga anak lainnya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Sheni melihat kearahku dan Daedelus sambil tersenyum tipis dari kejauhan. Lalu Sholton yang sedang… um.. berbicara dengan rumput?. Lalu Mono yang sedang mengobrol dengan Ellie yang hanya mendengarkan sambil berdiri diam. Dan ketiga anak yang lainnya adalah seorang perempuan dengan rambut berwarna biru yang terlihat highclass seperti anak dari salah satu petinggi di kerajaan. Gayanya yang berkelas dengan pakaian yang terlihat sederhana namun mewah dan rambutnya yang diponi. Dia terlihat cantik. Dan yang kedua adalah seorang anak laki-laki dengan rambut yang berwarna merah. Berdiri diam sembari melipat tangannya. Walau terlihat terlalu bersemangat namun kurasa dia adalah anak yang baik. Lalu yang terakhir adalah seorang anak laki laki dengan rambut yang berwarna putih dan mata yang terlihat tajam dan mati. Melihat kearahku dan menatap kearah Daedelus tajam, seketika juga Daedelus memasang wajah serius kearahnya. Mereka terlihat memiliki masalah pribadi. Entahlah aku tak mau ikut campur. Mereka bertiga memiliki warna rambut yang unik. Tidak seperti Ellie yang memiliki warna rambut hitam, Mono yang berwarna cokelat, Sheni dan Sholton yang berwarna hitam dan coklat saat terkena sinar matahari. Aku dan Daedelus berjalan kearah mereka. Hampir semuanya menatap kearahku dan Daedelus. Lalu tak lama kemudian, saat matahari mulai menyinari seisi tempat. Seorang pria dengan baju militer datang kehadapan kami. “SEMUANYA SIAP!” teriaknya dengan tegas menyuruh kami untuk bersiap. Dan sekejap bak disihir kami langsung memasang badan bersiap dengan kedua tangan dibelakang dan kaki yang dilebarkan sebahu. “SAYA DARI KELOMPOK ALPHA 3 FINN REMINGTON AKAN MENJADI PELATIH KALIAN BERSAMA DENGAN” perkataanya terhenti dengan kedatangan seorang wanita dengan baju militer yang sama. “SAYA DARI KELOMPOK ALPHA 1 ISABELLA CHARLOTTE” “PERKENALKAN DIRI KALIAN” Tuan Finn melanjutkan. Kami yang berbaris berderet mulai memperkenalkan diri kami masing masing, dimulai dari sebelah kanan. Yaitu seorang anak perempuan berambut biru sedada. “Ishidora Calla” katanya sambil berdiri tegak lalu menaruh tangannya kembali kebelakang dan melebarkan kakinya seperti semula. Suaranya terdengar tegas dan sorot matanya tajam. Dilanjutkan dengan seorang anak laki-laki dengan rambut berwarna coklat. “Mono Atlas” Disambung dengan anak laki-laki disebelahnya yang memiliki rambut berwarna putih dengan mata yang nampak mati. “William Dextan” Dan kembali dilanjutkan oleh seorang anak perempuan berkacamata dan rambut yang dikepang satu. “Ellie Hestia” Katanya dengan tegas namun terdengar santai. Kemudian dilanjutkan olehku. “Nyx Edelweiss” Kemudian seorang perempuan yang terlihat sangat gugup namun berusaha dengan keras untuk menutupinya. “S-Sheni, Sheni Iris!” katanya sambil berteriak. Ia benar benar berusaha keras. Lalu seorang anak laki-laki dengan wajah yang tersenyum. “Sholton Iris” Seperti biasanya, dia terlihat sangat ceria. Kemudian dilanjutkan oleh seorang anak laki-laki dengan tubuh tegap dan tegas. “Daedelus Leander” Setelahnya ia melihat kearahku dan tersenyum tipis. Kemudian seorang laki-laki disebelahnya yang daritadi terlihat tidak sabar menunggu gilirannya dengan muka yang penuh dengan semangat yang membara. “Mildread Everett” seketika wajahnya berubah menjadi serius lalu kembali bersemangat seperti sebelumnya. Setelah semuanya memperkenalkan diri, pelatihanpun dimulai. Namun sebelum itu, kita diperkenalkan dengan tempat pelatihan dan apa apa saja yang tidak boleh dilakukan serta peraturan peraturan lainnya. Kita tinggal di sebuah asrama dengan kamar sendiri-sendiri sesuai dengan peran dan kebutuhan kita masing-masing. Dan diperbolehkan pulang dalam hari-hari tertentu kecuali jika ada keadaan mendesak. Pelatihanpun dimulai. Informasi Tim dalam militer dibagi menjadi beberapa bagian. Yaitu yang pertama ialah Tim Alpha. Sesuai dengan peringkatnya masing-masing, tim Alpha adalah tim utama dengan orang-orang terbaik dari militer. Terdapat 3 bagian dalam Tim Alpha yaitu Tim Alpha 1 untuk barisan pertama atau bisa dibilang untuk melakukan penyerangan langsung. Tim Alpha 2 berguna untuk memimpin aksi penyusupan, penyamaran, dan pemasangan ranjau dan jebakan lainnya. Kemudian Tim Alpha 3 yang berguna untuk menjadi pendukung dari masing-masing tim lainnya. Mereka mampu melakukan penyerangan jarak jauh dan tanpa ketahuan. Yang kedua ialah Tim Beta. Merupakan orang-orang pendukung atau tambahan untuk melakukan penyerangan dalam berbagai hal. Serta merupakan penyedia senjata. Yang dimana ayah Ellie berada. Kami Tim Pelatihan khusus juga dibagi dalam beberapa bidang seperti Tim diatas. Yaitu Tim 1 yang berisikan Mildread, Daedelus. Tim 2 yang berisikan Ishidora, Mono, Sholton, dan aku. Tim 3 yang berisikan William, Sheni, Ellie Tapi karena aku tidak hanya baik dalam bidang penyusupan dan penyamaran sehingga aku masuk dalam Tim 4 yang berfungsi sebagai pendukung yang berisikan diriku (penyamaran, penyusupan), William (penyusupan), Ishidora (penyerangan jarak dekat/langsung). Tapi tentunya kami juga dilatih dalam hal lain selain peran yang diperankan pada kami untuk menghindari hal yang tidak sesuai dengan rencana nantinya. Kesimpulan TIM PELATIHAN KHUSUS: Tim 1 (Penyerangan langsung): Mildread, Daedelus. Tim 2 (Penyusupan): William, Edelweiss, Ishidora (Penyamaran): Edelweiss, Ishidora, Sholton. Tim 3: William, Sheni, Ellie. !!TAMBAHAN!! Dikarenakan beberapa hari lagi adalah saatnya saya masuk sekolah dan saya harus belajar, maka dari itu untuk jadwal update akan dikurangi dan diusahakan update seminggu sekali. ୧ʕ ◕ o ◕ ʔ୨ Terima kasih banyak kepada para pembaca yang sudah baca cerita saya sampai saat ini. Kalau ada suatu kekurangan bisa disampaikan, saya akan berusaha semaksimal mungkin demi kepuasan kalian semua ᕦʕ ⊙ ◡ ⊙ ʔᕤ. Sekali lagi Terima Kasih banyakk ʕ≧㉨≦ʔ Begonia 6 tahun kemudian… Saat itu sedang siang. Matahari bersinar dengan terangnya. Membuat kami mengucurkan keringat. “SEMUANYA BERKUMPUL!” teriak Pelatih Finn kepada kami. Kami yang sudah terbiasa saat itu langsung berkumpul dan bersiap. “Kita… DISERANGG!” Semuanya terkejut. Mungkin ini adalah serangan balasan pada kami. Sebulan sebelumnya, kami melakukan penyerangan bersama dengan bantuan dari Tim Beta dan bisa dikatakan sukses besar. Kami berhasil memasang bom suara dan bom ledakan disekitar hutan yang menjadi pemisah antar dua kerajaan. Kami yang mendengar kabar tersebut langsung bersiap-siap mengambil senjata untuk berperang. Walau mungkin saja ini adalah latihan simulasi. Dikatakan tempat penyerangan berada di dekat hutan. Yaitu hutan tempat dimana kami memasang ranjau sebelumnya. Kami segera menuju ke hutan tersebut. Sesampainya disana, kami berpencar. Tidak ada yang tahu dimana letak ranjaunya. Semuanya diletakkan secara acak dan tanpa bekas. “Jangan sampai termakan ranjau sendiri” kata Ishidora mengingatkan. Kamipun mulai berpencar. Kami berpencar menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah aku, Sholton, dan William. Kedua adalah Daedelus, Ishidora, dan Mono. Ketiga adalah Ellie, Mildread dan Sheni. Tak butuh waktu lama untuk kami bertemu dengan musuh dari kerajaan lain tersebut. Tapi, tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya, musuh didepan kami hanyalah seorang saja! Tapi dia tidak terlihat seperti seorang biasa. Dia menatap kearah kami dengan tatapan lugu. Matanya membesar lalu tersenyum. Rambutnya dikuncir dua dengan sebuah panah ditangan kanannya dan beberapa anak panah yang tersimpan disebuah tempat di punggungnya. Tanpa basa-basi, ia mulai menarik busurnya menargetkannya kepada salah satu dari kami. Ia mulai menargetkannya kepada Sholton yang pada saat itu bersama dengan kami. Tentu kami tidak membiarkannya begitu saja. Sebelum ia mulai melepas anak panahnya, kami menyerangnya dengan senjata kami masing-masing secepat mungkin. BATS!. Tanpa aku sadari, sebelum melangkahkan kaki, ia mengubah targetnya dan melepaskan anak panahnya kearahku. Untungnya aku masih dapat menghindar. Atas bantuan dari William yang menarik lenganku kearahnya. “Awas!!” katanya. Tapi tangan sebelah kananku tergores cukup dalam. Darah mengucur namun tak terlalu banyak. Rasanya perih dan sakit, begitulah seharusnya. Tapi yang aku rasakan adalah biasa saja. Tidak terlalu sakit juga tidak terlalu perih. Hanya seperti luka gores biasa. William yang bersamaku juga saat itu dengan cepat merobek kain dari bajunya lalu mengikatkannya pada lenganku. Tanpa mengatakan sepatah katapun, tatapannya masih saja tajam. “Te-Terima kasih” kataku padanya. Ia melirik kearah wanita yang menembakkan anak panah kepadaku tadi lalu berkata “Matilah” dengan nada datar namun terdengar penuh dengan amarah. Wanita tersebut hanya tersenyum sambil berkata dengan nada tak bersalah. “Ehhh? Kenapa? Bukankah itu hanya goresan kecil. Tak perlu khawatir. Hahahaha” Aura disekitar William sekejap berubah menjadi mencekam dan menekan. Rasanya sesak. Dan tanpa aku sadari dalam sekejap mata dia sudah menembakkan anak panah tepat dijantungnya. Sangat cepat!. Aku bahkan sempat tak percaya. Aku melihat kearahnya. Lalu dia juga menengok kearahku. Menaruh telapak tangannya diatas kepalaku dan menepuknya tipis sambil berkata “Berhati-hatilah” dengan nada yang datar namun terdengar nyaman. Sholton yang bersama kami saat itu sedang mengecek keadaan wanita yang tertembak panah terebut. “Sudah mati” katanya. ‘Semudah itu??!!’ batinku bertanya-tanya. “Ayo lanjutkan pencariannya” kata William pada kami. Kamipun melanjutkan pencariannya. Setelah beberapa jam kamipun kembali. Ternyata penyerangan tersebut bukanlah penyerangan yang besar. Bahkan bisa dibilang jauh berbeda dengan saat kita melakukan misi bulan lalu. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ketitik awal setelah memastikan keadaan aman dan tidak ada tanda bahaya. Tapi William tidak ikut bersama kami. “Aku ada urusan sebentar” katanya. Kalu dipikir-pikir, dia memang suka menghilang secara tiba-tiba. Tak ada yang menaruh kecurigaan sedikitpun terhadapnya. Itu seperti ‘sesuatu yang normal’ untuknya. Akupun kembali bersama dengan Sholton berdua. Selama perjalanan kami berbincang-bincang kecil sambil tetap bersiaga akan keadaan sekitar. “Menurutmu apa aku cukup baik untuk Ellie?” “Eh?” aku terkejut akan pertanyaan yang ia lontarkan padaku saat itu. ‘Jadi benar ya dia suka Ellie’ kataku dalam hati. “Menurutku kau adalah pria yang baik tapi… bukankah Mono-“ belum selesai aku berbicara, dia berkata. “Ya, aku tahu. Mono juga menyukainya dan sepertinya Ellie juga begitu” katanya sambil tersenyum tipis dengan tatapan mata kebawah dan terlihat cukup sedih. Aku hanya diam melihatnya seperti itu. Aku tak mau salah bicara. #1 Tak lama kemudian, kami telah sampai di tempat awal. Namun tak banyak orang disana. Kami berpencar menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah aku, Sholton, dan William. Kedua adalah Daedelus, Ishidora, dan Mono. Ketiga adalah Ellie, Mildread dan Sheni. Yang aku lihat disana hanyalah Ishidora, Mildread, Sheni, dan Ellie. “Ellie!” Kata Sholton berlari kearah Ellie. “Dimana yang lainnya?” aku bertanya pada mereka. “Tidak tahu” Ishidora menjawab sambil tertunduk. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Sholton bertanya. “Tidak ada yang tahu. Seseorang mengambil mereka dengan cepat tanpa sempat kami menyadarinya.!” Jawab Mildread. Bicaranya masih saja tetap penuh semangat. “Bagaimana denganmu. Bukankah William bersama dengan kalian tadi?” Tanya Ellie pada kami. “Dia bilang dia pergi dulu karena suatu urusan” Jawab Sholton. “Kalau begitu ayo kita kembali dan melapor ke markas sebelum semakin gelap” Kata Mildread. Kamipun setuju dan segera kembali ke markas bersama. Setelah kami sampai di markas, kami melaporkan keadaan yang terjadi pada pelatih Finn dan pelatih Charlotte. “Begitu ya… kalau begitu mari kita lakukan pencarian besok” kata pelatih Finn kepada kami. “Untuk saat ini silahkan kalian beristirahat terlebih dahulu. Untuk yang terluka silahkan ke ruang perawatan” kata pelatih Charlotte melanjutkan. Kamipun dengan serentak memberi salam dan pergi menuju kamar kami masing-masing. Walau mereka bilang akan melakukan pencarian besok, aku tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Walau kami tidak ikutpun mereka pasti sudah mengirim orang untuk segera mencari mereka. Mereka adalah pelatih yang baik. 6 tahun aku bersama mereka namun tak pernah ada kesan yang buruk dariku padanya. Walau tegas namun tak mengekang. Aku masuk kedalam kamarku, mengunci pintu kamarku, melepas pakaianku lalu pergi mandi. Sebelumnya aku pergi ke ruang perawatan untuk diobati oleh Dokter Lax. Ia adalah seorang dokter wanita berkacamata dengan rambut pendek yang lurus dan sangat terampil dalam bidangnya. Setelahnya aku berniat untuk keluar sebentar sekadar mencari udara segar, lalu aku melihat Ellie yang pada saat itu juga sedang menatap kearah langit malam. Ia berdiri dengan mata yang nampak bersinar juga menyimpan kekhawatiran. Aku hanya diam dan ikut menatap kearah langit. Dari jutaan bintang dilangit, aku hanya menatap pada satu bintang yang nampak paling terang diantaranya. “Indah bukan” Ellie berkata padaku. Aku diam sekejap lalu menyaut “Um” sambil mengangguk kecil. “Pernahkah kau merasa bosan untuk hidup tetapi saat mendekati kematian kau malah berusaha mati-matian untuk tetap hidup” Jujur saja pertanyaan yang Ellie tanyakan padaku saat itu membuatku sedikit terkejut. Tak seperti Ellie yang biasanya, begitulah pikirku. “Entahlah” jawabku singkat. Aku tak tahu kemana pembicaraan ini akan membawaku nantinya. “Kenapa manusia ingin sekali hidup jika itu hanya akan membawa tangisan nantinya?” Kini kulihat mata Ellie berkaca-kaca. Aku menghampirinya lalu berkata “Karena tujuan dan pengertian hidup setiap orang berbeda. Bahkan tak banyak dari mereka yang mati karena memperjuangkannya. Aku tak begitu tahu alasannya tapi bagi sebagian orang hidup adalah pilihan. Ketika ada harapan maka mereka memilih untuk hidup tapi saat muncul keputusasaan maka tak banyak orang yang akhirnya menyerah pada hidup” Ia terdiam sebentar. “Aku… tidur dulu. Selamat malam” kata Ellie sambil menunduk. Aku membalas “Selamat malam” Aku juga masuk kedalam kamarku lalu pergi tidur. #2 Sejak penyerangan bulan lalu Ellie terlihat menyembunyikan sesuatu setiap saatnya. Aku tak ingin bertanya, karena sepertinya aku sudah tahu alasannya mengapa. Saat penyerangan bulan lalu, ibu Ellie sedang sakit waktu itu dan bisa dibilang cukup parah. Ellie belum mengetahuinya karena ibu Ellie menyembunyikannya darinya. Setelah penyerangan bulan lalu, kami diperbolehkan pulang ke rumah kami untuk beberapa hari (3 hari) juga sebelum melakukan penyerangan. Mirisnya, ibu Ellie sudah menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah ibunya berkata “Selamat datang” sambil tersenyum lemas di ranjangnya. Ellie hanya terpaku saat itu. Aku melihatnya. Rencananya aku ingin berkunjung saat itu. Ia tak bergerak sedikitpun. “Kenapa?” kata Ellie dengan suara yang terdengar kecil. Padahal aku yakin ia sudah mengerti dengan keadaannya saat itu. Dengan suara tangisan Pheilss dan wajah ibunya yang pucat tak bergeming. Aku yakin Ellie sudah memahami semuanya dalam sekejap mata saja. Aku yang berada disana juga saat itu hanya diam. Beberapa saat setelahnya Ellie pergi menuju ke dekat pintu keluar. Ia terduduk disana. Aku mengikutinya dari belakang. Lalu berdiri dibelakangnya. Berpikir akan apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya merasa baikkan. “Aku tahu… aku tahu ibuku sedang sakit. Sejak sebelum kita berangkat saat itu..” “Eh?” aku tak mengerti apa yang ia katakan. “Sejak awal bertemu dengannya, ia terlihat berbeda. Aku tahu ada yang tak beres dengannya. Tapi ia bilang itu hanya karena ia bekerja lebih keras akhir-akhir itu” Jujur saja aku bingung ingin menjawab apa saat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mendengarkannya saja karena orang yang sedang curhat hanya butuh didengarkan saja. Aku duduk disebelahnya. “Ini… ini adalah kebohongan yang paling menyakitkan.. yang pernah aku dengar dan pernah aku buat” kini suaranya semakin menipis. Ia menahan tangis sekuat-kuatnya. “Tak apa…” kataku dengan tenang sambil merangkulnya dan memeluknya. Sekejap air matanya mulai mengalir dengan deras membasahi pipinya. “Ceritakan tentang dua Kerajaan tersebut” Tanya seorang laki-laki padaku. “Baiklah” jawabku. Padahal saat ini aku sedang menceritakan kisah yang emosional… Chysanthemum (white) Kerajaan Hylmph dan Kerajaan Dewmire, dulunya merupakan satu Kerajaan yang sama bernama Kerajaan Tenitory. Namun dikarenakan adanya perang saudara, merekapun terpecah menjadi 2 Kerajaan yang berbeda. Perang besar-besaran selama 5 tahun lamanya. Menyebabkan pertumpahan darah tanpa henti, kelaparan, dendam hingga mati, juga pengkhianatan. Merupakan 5 tahun terburuk yang pernah ada. Kerajaan Hylmph yang dipimpin oleh Raja Daedelus dan Kerajaan Tenitory yang dipimpin oleh Raja Daelon merupakan saudara tiri dari ibu yang berbeda. Sudah sekitar 3000 tahun sejak saat itu dan tak banyak yang berubah. Kedua Kerajaan tersebut masih tetap menyimpan dendam yang sama. Atas pemerintahan Ratu Aniwa di Kerajaan Dewmire saat ini, penyerangan menjadi semakin sering terjadi. Bahkan dari informasi yang kami dapat dari Ishidora dan Sholton saat mereka menyusup waktu itu, dikatakan bahwa mereka membesarkan anak-anak yang nantinya akan dijadikan eksperimen agar menjadi ‘sempurna’. ‘Sempurna’ yang dimaksudkan adalah kepintaran, kekuatan, dan segalanya diatas 100%. Begitulah yang Daedelus ceritakan padaku 2 tahun yang lalu. Namun sebenarnya penyebabnya adalah karena sebuah adu domba dari Kerajaan tetangga. Niatnya adalah untuk mengambil alih kekuasaan namun sebelum tercapainya, Kerajaan tersebut lebih dulu hancur. Alasannya? Aku tak tahu. Lalu lambang yang terpotong tersebut seharusnya satu dengan lambang Kerajaan Dewmire. Kerajaan yang sedang aku tinggali saat ini adalah Kerajaan Hylmph. Lukisan seorang gadis dengan mata biru dan seorang pria dengan rambut coklat yang asli berada di kamar Tetua 3000 tahun lalu. Sedangkan yang dipajang di luar adalah copy-annya. Ah aku hampir lupa. Ada satu Kerajaan lagi. Walau hanya rumor tapi besar kemungkinannya adalah mereka penyebabnya. Berada di dekat sungai dan gunung dengan awan yang tebal menyelimutinya. ‘Kerajaan yang Hilang’ begitulah orang-orang memanggilnya dulu. Letaknya juga bisa dibilang cukup jauh dari Kerajaan Hylmph. Katanya bagi siapapun yang pergi kesana, tak akan dapat kembali lagi. Hilang ditelan kabut yang tebal. Walau terdengar meragukan, sampai saat ini tak ada lagi yang berani pergi kesana. Description: Dia abadi Kisah yang bercampur dengan berbagai macam perasaan. Seorang gadis bernama Edelweiss dan seorang laki-laki bernama Daedelus bertemu kembali setelah ribuan tahun lamanya. Apakah ini takdir yang membahagiakan atau justru menyedihkan? Bunga jugalah memiliki makna tersendiri, setiap judul dibuku ini adalah arti dari bunga tersebut.
Title: ROMANSA KENANGAN Category: Puisi Text: Yang Mencabik Ingatan 1/ Yang Mencabik Ingatan Engkau yang bertahan menyusun kisah dalam suwung kepalaku tidakkah kau letih menyimak detak jantungku kuyu? Sebab satu ruang di sana telah hitam sejak kau pelihara Detak jantungku tak ditakdirkan sejalan dengan hembus nafasmu tak seiring kedip matamu maka rengkah-rengkah memoriku menahan perih dari jajahan pikirmu Kau yang bermukim di rumah perasaanku tak kah kau memiliki jadual pulang ke bumi yang memilih hatimu? lepaslah tali jantungku dari detak nadimu biar tak makin cabik ingatan oleh gula kenangan yang menjadi pisau 2/ Kosong Dalam perpisahan kau sesap seluruh ingatan akan silam menutup pintu akan esok nafas menjelma kosong mata menjelma lamur kabut-kabut merundung jendela rintik gerimis menggigilkan dada di sudut kamar sisa sedap parfumu membius luka 3/ Lagu Perpisahan Kita sama berdiri bersisian di depan bayang masing-masing kau bujuk bayanganku bersepakat melupakan cara mengikuti arah ingatan tapi kau lupa bayanganku tak dapat kau bujuk lupa tentang kemaren tertera dalam kalender kenangan romantika Kini kita berdiri bersisian membelakangi bayangan bersiap berjalan bersimpangan biarlah tak ku jujur bayanganmu tetap di samping langkahku 4/ Menjelang Keberangkatan Oto menderu asap mengabut sekejap menjajah terang Kalimpanan mata pekat rusuh di dada jemarimu pada bahuku mengabar sedu Berangkatku membaca peta rantau namun ingatan tertinggal pada wajahmu Epitaf Kesetiaan /5 Memorabilia Langkah yang Menjauh Sepasang kaki yang menjauh dalam gontai langkah menghitung berat perjalanan dulu menempuh jarak dua pasang kakihilang sepasang kaki dalam badai Sepasang kaki yang melangkah pada tiap ayun kini adalah bayangan langkah terseok di esok hari menghitung jarak yang dekat menjadi jauh setelah sepasang kaki itu pergi /6 Memorabilia Diri dalam Solitude Aku membaca diri meringkuk dalam sunyi hiruk pikuk jiwa berkeriut. Mengeriput. Sesap lenyap ke dalam masa selesai pada ketaksudahan jejakmu Di sudut rongsokan kenangan kubaca diri tanpa kesedihan tanpa rutukan hanya lautan hampa menenggelamkan ingatan lembar-lembar doa dilarikan musim perpisahan tanah-tanah dalam dada kering dihukum tawa yang pergi bersama libas kisah dari rambutmu yang pernah berhimpun di pundakku /7 Epitaf Kesetiaan Kau meminta hayatku menjadi epitaf—kata terakhir yang kan selalu kau kenang untuk kesetiaan pada arti kejujuran kutambatkan diri pada seru inginmu Sebelum Tuhan mengantarkan ajal telah kupahatkan hati sebagai epitaf itu --kesetiaan yang selalu kau sangsikan Berbilang masa aku menulis kesetiaan atas semua seru inginmu kupahatkan ia di setiap sudut kisah yang kau rindukan hingga punah ragaku dalam racun kesetiaan epitaf itu kuampungkan menjadi janji jiwa menjaga jiwa namun kau kubur aku bersama jasad kebohongan Akulah epitaf itu—riwayat kesetiaan yang kau kubur di negeri dongeng Description: ROMANSA KENANGAN adalah sekumpulan kisah yang diungkapkan dalam bentuk puisi dengan tema perciontaan, luka, kenangan, dan perpisahan. Dalam kumpulan puisi Romansa Kenangan terdapat puisi-puisi yang mengeksplorasi perasaan manusia, sikap manusia, pemikiran bijak manusia, serta sisi kuat dan sisi lemah manusia ketika berhadapan dengan permasalahan cinta dan perpisahan. Setiap judul yang terhimpun dalam kumpulan puisi Romansa Kenangan mewakili satu kisah, satu cerita, dan satu pesan bijak untuk semua orang yang pernah mengalami jatuh cinta, merasakan indahnya cinta, pahitnya luka karena kehilangan cinta, serta bagaimana semua itu kembali hadir menjadi sebuah romansa kenangan
Title: Rose Parker Category: Fantasi Text: Episode 1 EPISODE PERTAMA Suara ayam terdengar bersahut-sahutan. Satu-dua lampu di Distrik Aprola menyala remang. Hawa dini hari berhembus. Dingin hingga menusuk kulit. Mataku mengerjap pelan. Melirik malas ke arah jendela kamar. Selarik cahaya terlihat di seberang lautan. Menandakan pagi sudah datang. Sudah pagi. Jam pertama nanti akan ada ujian biologi. Kenyataan itu dengan segera membuatku terduduk. Sebelum sarapan, aku harus berada di perpustakaan untuk belajar. Biarpun kemarin malam aku sudah begadang untuk belajar, aku harus tetap belajar agar mendapatkan nilai sempurna. Mataku yang sudah sempurna terbuka menyapu kamar asrama. Aku sebenarnya sekolah di Akademi Zyogosh. Akademi itu adalah salah satu sekolah dari tiga sekolah terbaik di Planet Zuanda. Dan aku juga tinggal di asrama putri Zyogosh. Setiap kamar asrama terdiri dari dua orang. Aku menempati kamar kecil itu bersama dengan Mona Lewis. Dengan cahaya penerangan dari lentera yang samar-samar, aku melangkah turun dari ranjang Kasur. Meraih kain dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. Aku menggunakan baju berwarna navy yang baru kurajut beberapa pekan lalu. Dipadukan rok hitam selutut dan kaos kaki berwarna hitam juga. Di depan cermin, aku menyisir rambut coklat panjangku. Menatap lurus ke dalam cermin. Menghela napas. Sudahlah. Aku tak boleh merenung dan ketakutan seperti itu. Itu sungguh sikap yang tak pantas. Lebih baik, aku segera bersiap-siap menuju ke perpustakaan, batinku. Segera aku melangkah menuju meja kayu yang sudah tua termakan usia. Mengambil note kecil dan pensil. Merapikan anak rambut di dahi. Mataku menangkap Mona, teman sekamarku yang masih tertidur pulas. Otakku segera mengambil inisiatif untuk membangunkannya. “Mona, bangun,” suaraku terdengar. Naik di atas ranjang sambil menggoyang-goyangkan tubuh Mona. “Na, bangun, Na. Sudah pagi.” Sekali lagi aku membangunkan Mona. Mona tampaknya tertidur sangat pulas. Ia tak bergerak sedikit pun. “Mona. Bangun, dong.” Aku sedikit mengeraskan suara. Tangan Mona bergerak sedikit. Matanya mulai terbuka pelan. “Apa?” Aku tersenyum senang. Akhirnya teman sekamarku itu bangun. “Bangun, yuk. Sudah pagi. Nanti kan kita mau—” “Berisik.” Mona memotong kalimatku. Menatapku datar. Mulutku terbungkam. Tatapan elang Mona terlihat sangat menyeramkan. “Jangan sok peduli, mata mawar.” Kata Mona lagi. Aku menggigit bibir. Disini, Mawar termasuk bunga yang sangat tidak diinginkan. Dikarenakan, Mawar memiliki duri di tangkainya yang melambangkan hal buruk akan terjadi bagi orang yang memeliharanya. Itu kata orang-orang. Padahal, dari buku lama yang kubaca, duri itu digunakan sebagai alat pertahanan untuk mawar. Entahlah orang-orang itu. Hanya pemikiranku, Daisy (sahabatku), dan Dalton (Guru biologi) lah yang sama. Di sekolah inipun pembahasan tentang Mawar dihapus. Oleh karena itulah, dikarenakan namaku ‘Rose Parker’ yang berarti mawar, aku dikucilkan. Selain itu, mataku berwarna pink. Karena itulah aku disebut ‘mata mawar’. “Pergi.” Mona dengan dingin mengusirku. Aku diam saja. Menunduk. Mencoba untuk melawan. “Tapi bukankah ini juga kamarku?” “Berisik. Pergi segera. Kamu hanya membawa kesengsaraan.” Kalimat itu terasa sangat menusuk. Membawa kesengsaraan? Benarkah aku hanya memberikan kesengsaraan pada— “Pergi.” Kepalaku terangkat. Mengangguk patah-patah. Melangkah keluar kamar. Di mataku, terlihat kenangan-kenangan masa lalu menyakitkan. Tante Iva… semuanya… Aku menggeleng kepalaku cepat. Bukankah sudah berulang kali sahabatku dan satu-satunya temanku, Daisy Greggory berkata kalau aku harus melupakan masa lalu itu? Aku tak akan bisa melangkah ke depan jika aku terus mengingat masa lalu. Oke. Baiklah. Aku mengambil napas dalam-dalam. Hari ini harus berjalan sempurna. Jangan khawatirkan apapun. Jalani dengan baik. Aku menguatkan diriku sendiri. … Kakiku melangkah pelan menuju perpuskataan. Melewati taman besar. Di taman itu, terdapat air mancur yang dikelilingi empat patung kuda. Bunga-bunga juga membuat taman itu indah dalam keremangan. Mulai dari lily, anggrek sampai Peony terlihat indah berjejeran mengelilingi taman—tanpa bunga mawar. Di seberang taman, ada bangunan-bangunan tinggi yang tampak kuno. Penerangan dengan lentera, jendela terukir klasik, dan lainnya. Ukiran-ukiran itu semakin menonjolkan ciri khas sebuah akademi. Langkah kakiku terhenti tepat di depan pintu perpustakaan. Aku segera membuka pintu. Suara berderit terdengar menandakan engsel pintu yang kurang minyak. Suasana di perpustakaan adalah hal yang paling kusuka. Cahaya remang, tumpukan buku, dinding yang terbuat dari buku, dan sebuah kesunyian. Itu menjadi hal yang paling menyenangkan. “Eh, halo.” Senyuman mengembangku terhapus begitu melihat seorang anak laki-laki duduk fokus di depan meja. Hei, bukankah biasanya sepagi ini tidak ada siswa yang berada di perpustakaan? Hanya diriku dan petugas perpustakaan? Siswa laki-laki itu mengangkat kepalanya. Menatap sekilas kemudian kembali membaca. Cuek. Aku tersenyum miring. Aku mengenal siswa ini. Dia adalah Ryan Adams, cowok populer di akademi Zyogosh. Level II kelas A. Berwajah tampan hingga disebut sebagai Noe—penyanyi kerajaan—laki-laki cerdas kesayangan para guru, dan anak dari saudagar kaya. Dia sepertinya benar-benar laki-laki yang sempurna. Bahkan, siswi-siswi di sekolahku lebih mengidolakan Ryan di bandingkan Roy, anak Menteri kerajaan. Tapi, menurutku sih dia gak sesempurna itu. Hei, hei, lihatlah. Orangnya sungguh cuek dan dingin sedingin es batu. Ya pantas saja aku selalu menyebutnya kulkas berjalan. Satu hal lagi, dia termasuk orang yang sering—atau mungkin kadang—mengejekku dengan kata-kata pedas seperti Mona. Pedas, dingin dan menusuk. Mona dan Ryan sepertinya cocok. Sama-sama pendiam dan dingin. “Selamat datang.” Salah seorang Pustakawan menyapaku. Terlihat jelas di matanya bahwa ia juga sebenarnya enggan bertemu denganku. Pustakawan itu sepertinya juga merendahkanku. Tapi karena aku adalah pengunjung setia perpustakaan ini, dia mungkin mencoba lebih ramah—walau sebenarnya enggan. Aku berusaha tersenyum lebar. Menutupi dugaan-dugaanku. “Sekarang mau baca buku apa?” “Rak AD-17.” Kataku pendek sambil tetap mengembangkan senyuman. Pustakawan itu mengangguk. Ia mengambil tangga kayu dan meraih buku biologi yang kupilih. “Terima kasih.” Hahh… Pustakawan itu lebih dulu meninggalkanku sambil membawa tangga kayu. Aku tersenyum miring. Biarlah. Lebih baik sekarang fokus pada buku yang akan dipelajari. … Satu jam berlalu. Matahari semakin lama semakin naik. Aku cepat membereskan buku-buku. Setelah itu meninggalkan perpustakaan. Ryan lebih dulu pergi beberapa menit lalu. Kakiku melangkah lebar-lebar. Tiga puluh menit lagi bel tanda makan berdering. Aku harus segera siap-siap. “Wow, wow, wow! Pelan-pelan, Nona.” Sebuah suara terdengar. Suara itu menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh. Tiga orang siswi perempuan berdiri di sampingku. “Ada apa?” Tanyaku seraya mengumbar senyum. “Yaaa, tidak ada apa-apa, Nona. Hanya saja, kenapa kamu terburu-buru seperti itu?” Salah satu siswi tersebut bertanya dengan nada mengejek. “Sebentar lagi mau bel.” Tiga orang siswi itu tertawa terbahak-bahak tidak jelas. “Oi, Putri. Si mawar jelek ini sepertinya mau menuju ke kantin.” Siswi berkepang yang bertanya tadi menyikut teman di sampingnya. “Iya, Putri. Bukankah anak seperti dia tak seharusnya menerima makanan dari sekolah terhebat dan terbaik ini?” Siswi berambut bob itu mengejek. Siswi yang sejak tadi di sikut tersenyum. Senyum mengejek. “Ya, kalian benar, teman-teman.” Katanya dengan nada sombong. “Anak pungut sepertinya tak pantas berada disini. Benar, tidak?” Mereka semua tertawa centil. Mukaku merah padam. Aku mengenal tiga cewek centil ini. “Diam, Clara!” Teriakku marah. Clara, ketua geng itu menatapku seolah terkejut. “Wah, wah, wah. Kamu bersikap begitu di depan seorang Putri?” Clara mengibaskan rambut panjangnya dengan tangan. “Sangat tidak sopan.” Ia kemudian melipat tangan di depan dada. Aku diam saja. Menghela napas. Berusaha tenang. Kakiku melangkah santai untuk pergi dari wanita-wanita aneh ini. “Eits!” wanita berambut bob itu menghalangiku. “Sebelum itu kamu harus menerima hukuman karena tidak sopan pada seorang Putri!” “BERHENTI!!” Suara teriakan menggelegar terdengar. Seorang laki-laki paruh baya, dengan rambut memutih dan kaca mata di wajahnya tampak marah. Clara segera menyuruh teman-temannya berhenti mengejekku. “Clara, Lisa, Yuki! Nama kalian akan terus saya ingat. Mengejek teman sendiri juga termasuk kesalahan!” Dalton, guru biologi yang kuceritakan itu muncul. “Ta-tapi Prof, anak pungut seperti dia tak pantas di akademi ini.” “Iya, Prof, lagipula, dia juga bukan teman saya, jadi—” “DIAM!” Mulut mereka terbungkam. Aku tersenyum senang karena ada yang membelaku. “Nanti, datang ke kantor saya pukul 10. Tepat waktu!” Siswi-siswi itu saling lirik. Muka mereka seperti kepiting rebus. “Ma-maafkan saya, Prof. Saya sudah memperingatkan mereka agar tidak membully Rose, tapi mereka tidak mendengarkan.” Clara, gadis itu terlihat menunduk. Aku mengusap pipi bekas tamparan Clara. Hah! Memperingatkan? Bukankah dia yang menyuruh geng-nya untuk membully-ku? Dalton menyipitkan matanya. Menatap Clara yang membungkuk. Setelah berpikir sejenak, Dalton mengangguk. “Oke. Baiklah. Untuk kali ini, kalian di maafkan.” Dalton mengambil keputusan. Berbicara dengan setiap kata yang ditekankan. “Tapi, besok-besok, jika saya melihat kalian mengejek Rose lagi, siap-siap saja.” Ujar laki-laki itu sambil menunjukkan senyum menyeramkan. Clara and the geng sama sekali tak takut dengan senyuman itu. Mereka malah memberikan senyuman ancaman kepadaku. Aku yang kecewa karena Dalton tak menghukum mereka menggangga tak percaya. Bukankah biasanya jika ada siswa yang nakal Dalton langsung menghukum mereka? Sedangkan ini, Clara dan teman-temannya mengejekku berulang kali, tak satu kalipun Dalton memberikan hukuman. Bukankah ini sudah keempat kalinya Dalton melihatku dibully? … Episode 2 EPISODE KEDUA “Prof, bisakah saya bertanya?” Kataku sambil menyejajari langkah kaki dengan Dalton. “Oh, tentu saja. Bukankah kamu sudah bertanya?” jawab Dalton. Aku mengerutkan dahi bingung. Dalton tertawa. “Saat kamu berkata ‘Prof, bisakah saya bertanya?’ bukankah itu sudah termasuk pertanyaan?” Jelas Dalton sambil terkekeh. Aku diam sebentar. Mencerna kalimat Dalton untuk kemudian ikut tertawa. “Tapi ini serius, Prof.” aku memasang wajah serius. Aku dan Dalton sedang menuju kantin. Dalton mengangguk. Dia juga sedang bercanda tadi. “Eh, maaf kalau lancang,” Aku diam sejenak. Menatap Dalton takut-takut. “Tapi kenapa Prof membiarkan geng itu berlaku jahat seperti itu. Maksudku, mereka jahat bukan kepada saya saja. Kepada siswa lainpun begitu.” Dalton menoleh. Menatap wajahku dengan mata tuanya. Kemudian tersenyum lebar. “Biarkan saja. Saya percaya kok, nanti juga mereka sadar. Kali ini, biarlah mereka bersenang-senang dulu.” Kata Dalton bijak. Membelai kepalaku lembut. “Nanti, kalau sudah kelima kalinya mereka membully mu, saya akan segera bertindak. Bak pahlawan super yang menyelamatkan seorang Putri. Oke?” Dalton duduk bertumpu pada lututnya. Membelai lembut pipiku. “Rose. Kamu gak boleh lemah seperti itu. Sebelum Mawar layu, ia harus memberikan keindahan kepada orang-orang. Sekarang, kamu sedang berusaha untuk mekar, bukan?” Aku diam saja. Menunduk. Dalton memperlakukanku seolah aku adalah anak kandungnya. “Bukankah Mawar hanya melambangkan keburukan? Kesengsaraan?” Dalton segera berdiri. Menepuk pundakku. “Jangan berpikir seperti itu. Dahulu, Mawar termasuk bunga yang paling mewah. Jadi, percayalah, kamu akan menghapus kalimat yang menyebutkan Mawar adalah bunga yang buruk.” Dalton berkata tegas. “Sekarang, pergi ke kantin. Kamu telat 10 menit.” Mendengar kalimat Dalton, wajahku menjadi tegang. Ah-iya! Karena mendengarkan ejekan Clara dan asyik Bersama Dalton, aku lupa waktu. “Pe-permisi, Prof. Saya harus segera pergi.” Pamitku lalu berlari menuju Kantin. Dalton tertawa. Padahal dirinya juga sedang dalam perjalanan menuju kantin. … “Rose, kamu telat banget.” Daisy mengomel saat aku menghampirinya di meja makan. Aku yang sedang terengah-engah menarik napas. “Maaf.” Daisy tersenyum tipis. “Sini, duduk. Itu makanannya tadi udah aku siapkan.” Ujar Daisy sambil menunjuk piring makanan yang sudah ia ambil. “Thanks, Sy,” Aku membalas senyuman Daisy. Biasanya, aku memanggil Daisy dengan sebutan ‘Sy’. Dai-sy. Aku mulai makan dengan lahap. “Memangnya, kamu kenapa telat banget ke kantin?” Daisy mencomot sembarang topik. Aku diam. Menyeruput segelas susu. “Ya, tadi aku habis bicara sama Dalton.” “Dalton guru biologi?” Aku mengangguk. Menyendok pudding di piring kecil. Daisy berpikir sejenak. Matanya menyipit, menatapku lurus. “Eh, ada apa?” tanyaku. Aku sedikit takut kalimatku salah. Daisy menggeleng. “Pasti bukan itu saja kan, yang buat kamu telat ke kantin?” Aku tergagap. Kalau Daisy tahu aku dibully, dia pasti akan mengomel habis-habisan. “E-enggak, kok. Maksudku, aku memang ngobrol sama Prof Dalton. Itu doang.” Aku mengelak. “Dih. Mulutmu berbicara seperti itu, tapi wajahmu mengatakan tidak.” Kata Daisy sambil menunjuk wajahku dengan sendok. Aku tersenyum miris. “Jangan asal bicara. Emang benar, kok, aku cuma ngobrol sama Dalton.” Kataku sambil membucungkan bibir. Pura-pura marah. “Benarkah?” Mata Daisy semakin menyipit. “I-iya.” Hening sejenak di meja kami. Daisy menghela napas. “Jangan bohong, Rose!” matanya menatapku tajam. “Maksudnya?” aku menyeringai pura-pura tak paham. Daisy memutar bola mata hitamnya. “Kamu diejek Clara lagi. Benar kan?!” serunya. Aku tergagap. “Eh, kenapa kamu tahu?” Tanyaku refleks. “Berarti benar kan, kalau kamu diganggu?” Daisy tersenyum miring. “Eh. Tidak, tidak—” “Kalau begitu, kenapa kamu bilang ‘kenapa kamu tahu’?” Tanya Daisy lagi. Dia berada di atas angin. Aku semakin tergagap. “Bukan… itu tadi, karena, itu tadi karena refleks!” aku mencari-cari alasan. Daisy menyeruput air putih nya. “Sudahlah. Jangan cari-cari alasan, Ros.” Dia bangkit dari tempat duduk. Makanannya sudah habis. Sekejap, dia sudah berada di sampingku. “Jujur saja.” Aku terdiam. Memejamkan mata. “Benar. Aku memang diejek.” Aku berkata jujur. Daisy menatapku. Dia sepertinya adalah teman curhat yang baik. “Aku dibilang anak pungut. Anak ingusan, pembawa kesengsaraan.” Kataku seraya menunduk. Sambil menggigit bibir, aku berusaha agar air mataku tidak jatuh. “Memangnya apa salahku? Salahkah jika dulu aku dibuang? Salahkah jika aku diangkat Tante Iva sebagai anak angkat? Salahkah aku hidup?” serakku. Aku mendongakkan kepalaku. Menahan agar air mataku tidak jatuh. “Kalau bisa memilih, aku tak ingin muncul di dunia.” Ucapku pelan. Menatap langit-langit kantin. “Aku tidak ingin menjadi Rose, sy. Aku benci menjadi Rose. Hanya sebagai pembawa kesengsaraan. Dibuang, dibully, dikucilkan, dijauhi—” aku terisak. Air mataku mulai keluar. “Aku membencinya.” Tanganku bergerak mengusap air mata. Menangis tanpa suara. Sehingga tak ada orang lain yang mendengarku. Kalaupun mereka mendengar tangisanku, peduli apa mereka? Hanya menatap sinis lalu dengan mulut runcing mereka membicarakanku. Aku bukan siapa-siapa disini. Hanya sebagai— “Sudahlah,” Daisy tersenyum. Mengusap punggungku pelan. “Ada aku di sini. Kamu tak perlu khawatir lagi.” Aku mengusap pipiku yang basah oleh air mata. “Tidak semua orang yang membencimu. Aku dan Dalton, tidak membencimu, bukan?” “Tapi hanya dua orang saja,” Ujarku tersendat-sendat. “Ssshhh.” Daisy mengangkat telunjuknya. Menyuruhku diam. “Sudah. Habiskan makananmu. Nanti kita mau ujian.” Aku mengangguk. mulai menghabiskan makanan. “Aku tunggu di kelas, ya.” Daisy melambaikan tangan ke arah ku. Aku mengangguk, balas tersenyum. Sekarang, giliranku fokus menghabiskan makanan yang ada di depanku sekarang. Sebenarnya, aku benar-benar tidak memiliki nafsu makan. Tapi, aku harus makan sedikit agar tak lemas saat ujian. Sayangnya, Daisy mengambilkanku banyak sekali nasi. Padahal menurutku, makan banyak sebelum ujian itu tidak baik. “Selamat pagi, pendengar. Kembali lagi bersama saya, Aron, di siaran langsung Radio PUZ. Sekarang, seperti yang dibicarakan oleh banyak orang, di Kerajaan Zuanda, ada sebuah seleksi untuk pengambilan prajurit yang dilakukan setiap tahun. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Baginda Raja akan mengambil 200 orang prajurit, bukan 100 prajurit lagi.” Lamat-lamat, aku mendengar suara penyiar radio. “Menurut Baginda Raja sendiri, pengambilan prajurit yang banyak ini dilakukan untuk menambah kewaspadaan di daerah istana. Karena, baru-baru ini terdengar rumor yang mengatakan bahwa Istana sedang berada dalam bahaya…” Aku yang sedang meneguk susu berpikir. Ganjil sekali menambah 100 orang sebagai prajurit hanya untuk menambah kewaspadaan? Bukankah di Istana sudah banyak sekali prajurit? Dan seperti kata Dalton, prajurit yang keluar atau pensiun hanya 25 orang setiap tahun. Itu berarti selama lima tahun, terdapat 500 prajurit disana. Dan yang keluar hanya 125. Itu berarti, yang tersisa 375 prajurit. Bukankah itu terasa masih sangat banyak? Apalagi jika ditambah sejak tahun berdirinya kerajaan ini. Entah berapa ratus prajurit yang berada di kerajaan. “Dua puluh menit lagi, bel masuk kelas berbunyi!” Salah satu petugas kantin berteriak mengingatkan anak-anak yang masih sibuk makan. Aku segera tersadar. Bergegas menghabiskan nasi yang sedikit lagi mau habis. … Episode 3 EPISODE KETIGA Bel masuk kelas berbunyi. Anak-anak berlarian di Lorong-lorong kelas. Begitu juga aku. Aku bersama Daisy berjalan cepat menuju kelas II-B. Pelajaran pertama adalah biologi. Apalagi nanti ulangan. Harus dapat nilai seratus!! Napasku terengah-engah. Tepat sekali. Sedetik sebelum Dalton masuk kelas, aku sudah duduk di bangku. “Selamat pagi, anak-anak,” Dalton menyapa murid-murid nya. Seperti biasa, ia mengumbar senyum dari wajah tuanya. Menatap satu persatu ke arah siswa. Kami membalas sapaan Dalton. Dalton memulai pelajaran pagi dengan lancar. Ah, dasar nasib. Saat Daisy bertanya kapan ujian akan mulai, Dalton tertawa sambil menggaruk tengkuk. “Ah, ah, tentang itu. Aku minta maaf karena ujiannya tidak jadi.” Ujar Dalton sambil menyeringai. Aku menghembuskan napas panjang. Sedikit kesal. “Jadi, sebagai pengganti ujian tadi, kita akan tanya jawab mengenai sistem ekskresi. Setuju?” Aku mengangguk tak semangat. Namun, Daisy disana mengangguk semangat sekali. Memang ya, pecinta biologi. Apapun itu, biarpun disuruh mengerjakan essai sebanyak selembar, akan menerima dengan senang. Dalton tersenyum lebar. “Baiklah, kita mulai,” Dalton menarik napas. Mulai memberikan pertanyaan. “Dari pertanyaan yang paling mudah. Apa itu Ekskresi?” Daisy mengangkat tangan cepat. Begitu Dalton mengangguk mempersilakan Daisy menjawab, sahabatku yang berambut pendek itu segera berbicara. “Ekskresi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh dan benda yang sudah tidak digunakan lagi di tubuh.” Kata Daisy singkat. Dalton tersenyum. “Tepat sekali. Singkat dan jelas.” Dalton memuji Daisy. “Sekarang, ada yang bisa menjelaskan tentang organ-organ ekskresi?” Aku mengangkat tanganku cepat. Itu mudah. Di belakangku, Clara juga ikut mengangkat tangan. Dia juga sepertinya tahu. “Baik, Rose Parker. Silahkan menjawab.” Aku tersenyum lebar saat Dalton memilihku. “Kulit, ginjal, paru-paru, dan hati,” Kataku dengan percaya diri. “Wow. Luar biasa. Jawaban yang tepat dan lengkap, Rose!” Dalton bertepuk tangan. Daisy yang bangku nya agak jauh dariku ikut bertepuk tangan. “Gak terlalu hebat, kok,” Teman sebangkuku menyikutku. Tersenyum miring. Aku menoleh. Tersenyum takut-takut. “Ah-iya, benar,” Kataku mengiyakan. Malas memperpanjang masalah. Dari telingaku, terdengar suara sass-siss-suss bisik-bisik dari anak-anak lain. Mereka sepertinya membicarakanku. Haha, aku tertawa dalam hati. “Syutt…” Dalton yang mendengar suara bisik-bisik menyuruh diam. “Sudah, sudah. Mari lanjutkan pelajarannya!” … Sebentar lagi, pelajaran biologi akan selesai. Aku sudah mendapatkan enam bintang. Daisy mendapatkan tujuh bintang. Dan Clara mendapatkan tiga bintang. Aku mengerti, kalian pasti bingung apa maksud bintang-bintang ini. Jadi, setiap Dalton mengajar. Jika ada siswa yang bisa menjawab pertanyaannya akan mendapatkan satu bintang. Setiap dua bulan akan dihitung. Siapa yang dengan bintang paling banyak, Namanya akan ditambahkan ke dalam daftar murid teladan. “Baik. Sisa 4 pertanyaan, ya!” Semua siswa mengangguk. “Tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida dimana?” Clara mengangkat tangan lebih dulu. “Alveolus!” “Great!” Dalton mengacungkan jempol. Beberapa saat, Dalton masih tetap memberikan pertanyaaan. Dan dalam dua soal, aku, Daisy, Clara mengangkat tangan bersamaan. “Ginjal mengekskresikan…??” Segera, aku mengangkat tangan. Dalam detik yang bersamaan, Daisy dan Clara ikut mengangkat tangan. “Rose!” Dalton memilih. “Mengekskresikan urin, Prof!” seruku lantang. “Ba—” “Professor!” Clara memotong kalimat Dalton. Untuk siswa yang derajatnya lebih rendah daripada guru, nyali nya sangat besar memotong kalimat Dalton. Tapi, yah, karena itu Dalton guru yang sangat lembut, memang tak jarang ada anak yang memotong penjelasan Dalton. “Ada apa?” “Ini curang, Prof. curang!” Seru Clara dengan wajah merah. “Maksudnya?” Dalton bertanya lembut. Clara tersenyum tipis, tapi matanya menatap tajam ke arahku. “Saat saya, Rose, dan Daisy mengangkat tangan, selalu saja mereka berdua yang dipilih. Bukan saya. Saya hanya bisa menjawab Ketika saya mengangkat tangan sendiri.” “Lalu letak tidak curangnya dimana?” Aku bertanya pelan. Clara melirikku sinis. “Tidak curangnya adalah, Prof selalu memilih mereka berdua. Bukan saya.” Mendengar penjelasan Clara, delapan belas siswa di kelas berteriak setuju—mereka tidak ada yang menjawab pertanyaan Dalton sejak tadi. Hanya kami bertiga saja. “Iya, Prof! Professor pilih kasih! Hanya kepada mereka saja.” Yuki menyahut. Semua siswa ikut mengangguk. “Anak kesayangan!” “Selalu dimanja!” Seruan-seruan di lempar untuk aku dan Daisy. Kami berdua saling tatap. Tersenyum kecut. Biarkan saja, itu maksud tatapan Daisy. Aku mengangguk pendek. Memilih membaca buku tebal di depanku. “Woy, kalau dikasih nasihat, harusnya di dengar.” Teman sebangkuku menyikut. “Iya, ih. Gak dengar nasihat orang. Apanya yang siswa terbaik, coba?” Teman yang duduk di belakangku ikut menyahut. Aku tetap diam. Mengabaikan mereka, walau sebenarnya aku ingin membalas kalimat kejam mereka. “Berhenti!” Dalton berteriak dengan wajah seraknya saat melihat para siswa mulai melempar kertas ke aku dan Daisy. Mereka tak mendengarkan. Tetap melempar. “Anak-anak, SEMUA BERHENTI!!” Sekali lagi Dalton berteriak lebih keras. Tangan-tangan itu berhenti melempar. “Tidak ada namanya curang disini, dan jangan pernah membahas hal itu lagi. Paham, Clara?!” Dalton berkata dengan wibawa. Singkat, padat, jelas. Clara mengangguk takut. Jarang-jarang Dalton yang terkenal lemah lembut ini marah. “Yang lain, termasuk Clara, bersihkan kelas ini, cepat!! Dan Rose juga Daisy, bantu saya membawa buku-buku ke kantor!” Semua murid mengangguk patuh. Aku dan yang lain takut melihat wajah Dalton. “Rose, Daisy, kalian bawa buku-buku itu.” Aku dan Daisy mengangguk. Menyusul Dalton yang sudah berjalan duluan dengan menunduk. Hening. Tak ada percakapan. Biasanya, Dalton yang memulai topik duluan. Tapi, sekarang dia hanya diam sambil memandang lurus lorong-lorong kelas. Aku dan Daisy hanya berbicara lewat tatapan mata—telepati istilah kerennya. Kami sudah sampai di ruangan Dalton. Ruangan khususnya sebenarnya tidak jauh dari kelas. Hanya terpisah beberapa kelas. Tapi, karena setiap kelas sangat luas, jadilah rasanya perjalanan menuju ruangan Dalton terasa jauh. “Taruh di atas meja.” Kata Dalton sambil menunjuk meja kayu di tengah-tengah ruangan. Ruangan ini cukup besar. Hampir sebesar kamarku dan Mona. Setelah selesai membawa buku-buku yang lumayan berat itu, aku dan Daisy saling sikut. Bingung ingin melakukan apa. Apakah balik ke kelas atau bagaimana? Semenit saling sikut, Dalton yang sedang membuka lembaran-lembaran entah apa isinya tak memedulikan kami. Akhirnya, kami memutuskan balik ke kelas. “Benar, nih, balik ke kelas?” aku berbisik pada Daisy. “Iyalah. Memang kamu mau diam di sini?” Daisy balas berbisik. Aku menggeleng. “Ya sudah. Gitu saja repot.” Aku memayunkan bibir. Baiklah, baiklah, aku tidak akan banyak tanya lagi. Daisy memang gini kalau ada masalah. Sedetik sebelum kaki kami melangkah keluar ruangan, sesuatu menghentikan kami. “Hei, hei. Kalian mau kemana, Rose, Daisy?” Aku menelan ludah. Daisy memejamkan matanya. Dalton memanggil kami. Apakah dia akan memarahiku dan Daisy? Tapi apa salah kami? Bukankah kami hanya duduk diam saja? Yaaaa, baiklah, kecuali aku yang tadi keceplosan bilang kalian yang pengecut. tidak menjawab pertanyaan satupun. Jadi jangan ikut campur! Tapi hanya tiga kalimat saja, lho! Dan, itu tidak kasar, bukan? “A-ada apa, Prof?” Daisy lebih dulu bertanya sambil membalikkan tubuhnya. “Kesini. Ke dekat saya.” Kata Dalton kalem. Daisy mengangguk. mendekat perlahan. Meninggalkan aku yang masih memikirkan segala kemungkinan. “Rose Parker, kau juga mendekat.” Aku menoleh. “Eh, iya, Prof.” Aku menyeringai malu. Aku dan Daisy sudah duduk di kursi kayu. Tepat di hadapan Dalton, guru biologi sekaligus ilmuwan terkenal yang lembutnya pun dikenal banyak orang. Senyap. Dalton menatapku dan Daisy horor secara bergantian. Aku menelan ludah. Daisy menggigit bibir. Biarpun jarang marah, tapi jika sekalinya marah wah wah wah, Dalton tak tertandingi. Semenit. Mata Dalton semakin tajam menatap kami dan semakin membuat kami bergidik ngeri. "Apa salah kami, Prof?" Aku memberanikan diri bertanya dengan dua alasan. Satu, takut berlama-lama menatap mata Dalton. Dua, karena sudah lelah menunggu. Dalton tak menjawab. Sekarang matanya menatapku khusus. Tertawa. Dalton tertawa. Sampai sampai, air matanya keluar. Tubuhnya terguncang-guncang. Aku dan Daisy saling tatap. Menyeringai bingung. "Ada apa, Prof? Ada yang salah dengan wajah saya?" Aku bertanya hati-hati. Daisy di sampingku ikut menatap Dalton. Dalton tetap saja tertawa. Ah, sampai kapan dia akan berhenti? "Baiklah, baiklah," Akhirnya Dalton berbicara. Mengusap ujung matanya. "Maafkan aku yang tadi sok dingin kepada kalian," tawanya berhenti. Daisy mengangkat alis. Dia masih bingung. Sedang aku menunduk, mencoba saling menyambungkan hal-hal lain. "Aaahhh!!" Aku tiba-tiba berseru. "Aku tahu, aku tahu!" "Tahu apa?" "Akhirnya kamu tahu." Dalton berbicara setelah Daisy bertanya. Aku nyengir. "Prof sengaja bukan sok marah begitu?" Dalton tertawa. Mengangguk. "Ya. Lucu sekali melihat wajah ketakutan kalian." Aku memutar bola mata sambil ikut tertawa. Disusul tawa Daisy. "Kami jadi takut, Prof!" "Iya. Maafkan aku, anak-anak." Dalton mengaku. "Nah, sekarang masalahnya adalah teman-teman kalian mengira aku lebih sayang kalian. Ah, sebenarnya aku salah juga karena memilih kalian terus. Kasian Clara." Aku mengangguk setuju. Yaahh, walaupun aku tidak suka kalimat Clara, sebenarnya sikap Dalton juga salah, sih. Apalagi saat mengatakan, 'tidak ada curang'. "Yes, Prof. Prof harusnya sesekali pilih Clara juga," Daisy ikut mengiyakan. Mungkinkah dia akan mengomeli Dalton juga seperti saat mengomeli ku? "Iya, iya, Daisy-ku sayang," Dalton mengangguk. Daisy adalah anak kesayangan nya. "Nah, sekarang mari kita kembali ke kelas. Prof akan meminta maaf pada mereka." Aku dan Daisy mengangguk bersamaan. ... Episode 4 EPISODE KEEMPAT Jam istirahat. Lonceng terdengar dari menara. Berlarian murid-murid keluar. Menuju kantin, taman, asrama. Melepas lelah karena pelajaran. Aku bersama Daisy juga berjalan keluar. Tentunya menuju taman. Tadi aku sudah mengusulkan Daisy untuk ke perpustakaan, namun ia menolak. Ah, dia sama sekali tidak tahu keseruan berada di perpustakaan. Kami berdua berjalan menyusuri taman. "Hei, Ros. Duduk di dekat air mancur, saja." Daisy berseru. Aku menoleh ke arah nya. Mengangguk kalem. Berjalan ke arah air mancur. Terlambat! Clara and the genk terlebih dahulu menghalangi jalan kami. Mereka merentangkan tangannya. Membuat benteng yang menghalangi kami untuk jalan. "Clara!" Daisy berseru. Melotot. Aku yang berjalan di depan berhenti mendadak. Hampir terjatuh. Untung saja, Daisy memegang lenganku. "Kamu kenapa sih? Datang tak diundang. Gak ada yang undang kamu kesini." Seru Daisy sebal. Menatap Clara galak. Clara tertawa centil. "Iyalah. Kamu memang gak undang aku," Sahutnya. "Terus?" Tanya Daisy masih melotot. "Tapi, aku hanya ingin memberi kalian hadiah." Dan tepat kalimat itu berakhir, sebuah pukulan telak mengenai pipiku. "Aw!!" Aku merintih. Memegang pipi kiriku yang memerah. "Sakit." Clara tertawa. "Kamu harusnya berterima kasih karena aku sudah memberikan hadiah yang pantas, Mawar!" "Dasar tidak tahu terima kasih!" Teman di sebelahnya ikut berseru. Menyetujui kalimat Clara. Mukaku merah padam. Aku ingin sekali balas meninju nya. Tapi aku harus bertindak baik. Gak ada gunanya pukul mereka. Puk! Justru Daisy yang lebih dulu meninju anak-anak itu. Pas sekali dia meninju hidung Clara. Tepat di tengah-tengah nya. Yaaaa, ngapain juga mereka melawan ahli karate yang sejak kecil sudah di ajarkan. "Kenapa kalian memukul Rose, hah?!!" Daisy berteriak marah. Tangannya terkepal. Clara mengusap wajahnya. Menatap Daisy tajam. "Rose di pukul tapi kenapa aku juga tidak dipukul?!" Tanya Daisy lagi. Mendengus kencang. Aku yang berada di belakang Daisy memegang lengannya. Aneh sekali pertanyaan Daisy. Lisa dan Yuki membantu Clara berdiri. Sok khawatir. "Itu karena, kamu anak menteri. Makanya aku tidak memukulmu. Dan karena anak itu anak pungut, dia pantas mendapat hukuman." Dengan pedas Clara menjawab. Memandang Daisy tajam lalu kemudian menatapku marahm "Jadi karena itu, hah?!!" Lisa yang tak mengerti mengangguk polos. "JADI KARENA HAL SEPELE ITUU KALIAN MEMUKULNYA?!!!!" Daisy berteriak kencang. Kesiur angin memainkan rambut coklat pendek nya. Lisa, dan Yuki menelan ludah. Seram sekali melihat wajah galak Daisy. Clara justru hanya menatap Daisy dalam. Seolah tidak takut apapun. "IYA! Memang karena itu. Dia harusnya di buang dari Akademi ini. Bahkan kalau perlu dari dunia ini!!" Pedas Clara. Daisy melotot. "Kurang ajar!" Serunya. "Kamu manusia gak sih?!" Daisy menampar pipi kiri Clara. Kemudian lanjut dengan pipi kirinya. Clara mengaduh. Memegang kedua pipinya. Tak mau kalah, ia menendang kaki Daisy keras. Membuatnya terjatuh. Giliran Daisy yang meringis. Mengusap kakinya yang terasa sakit. Murid-murid lain berdatangan. Ribut. Mereka ingin melihat perkelahian ini. Tertatih-tatih, Daisy bangkit berdiri. Tangannya terkepal. Ingin memukul Clara lagi. "Berhenti Daisy!" Aku berseru. Berusaha menghentikan Daisy yang sudah bersiap memukul. "Tapi dia harus dihajar, Rose," kata Daisy. Aku menggeleng. "Gak papa. Ini tidak sakit." Kataku lembut. Daisy menurunkan tangannya. "Benar begitu?" Aku mengangguk. Tersenyum--sebenarnya aku malas sekaligus malu dilihat oleh banyak orang. Daisy menghembuskan napas panjang. Menatap Clara tajam. "Baiklah, Nona Clara. Kali ini kamu beruntung di tolong oleh orang yang kau siksa sendiri." Clara tidak menjawab. Mengusap bibirnya yang sedikit berdarah. "Maaf sudah mengganggu waktumu, aku dan Rose pergi dulu," Daisy pamit dengan suara pedas. Memegang lengan ku. Mengajak menuju Asrama. "ROSE! DAISY! CLARA! Kalian di panggil Mrs. Amy!" Suara menggelegar itu berhasil menghentikan langkah kami. Episode 5 EPISODE KELIMA Aku dan Daisy duduk bersebrangan. Tangan kami terasa basah karena gugup berkeringat--aku bisa melihat tangan Daisy yang basah. Di sebelah Daisy, Clara juga duduk dengan wajah tegang. Mrs Amy, kepala sekolah akademi Zyogosh memanggil kami. Mungkinkah salah satu murid melaporkan nya? Terdengar suara hentakan kaki. Aku dan Daisy yang sejak tadi berbisik-bisik dengan bahasa isyarat segera duduk rapi. Clara pun memperbaiki posisi duduknya. Ceklek! Suara pintu di buka. Mrs. Amy, wanita berbadan besar dan berambut hitam pendek itu melangkah duduk di kursi kayu. Beliau menatap kami satu persatu. Menyelidik. "Kalian tahu, kenapa kalian dipanggil, bukan?" Suara berat berwibawa ala Mrs. Amy terdengar. Aku, Daisy, dan Clara mengangguk cepat. Kami tahu pasti. Jawabannya hanya satu kata: berkelahi. "Bagus!" Mrs. Amy tersenyum miring. "Sekarang, masing-masing jelaskan kisah yang terjadi." Kata Mrs. Amy tegas. Aku terlebih dahulu menjelaskan. Pergi ke taman, tiba-tiba dipukul oleh Clara, dan ia memancing perkelahian. Jelas dan singkat tanpa bumbu cerita sama sekali. "Bohong!" Clara berseru kencang. Sejak tadi dia sudah ingin memotong kalimatku. Tetapi karena disuruh Mrs Amy diam, maka dia tak berani memotong. "Maksudnya, Clara? Bisa kau jelaskan?" Tanya Mrs. Amy datar. Clara mengangguk. "Sebenarnya, aku, Lisa, dan Yuki sedang bermain di taman. Tapi tiba-tiba Rose menyenggol tubuhku dengan keras. Daisy tertawa, Mrs. Lisa kemudian memarahi mereka, tapi justru Daisy balas memukul kami." Kata Clara mengarang-ngarang. "Ceritamu lebih jelas kebohongan nya, Clara Lucas!!" Daisy berteriak. "Yang benar adalah, mereka yang mengajak berkelahi. Lebih dulu memukul Rose, seperti yang ia ceritakan. Aku tentu tidak akan memaafkan mereka yang memukul sahabatku sendiri!" Aku terharu mendengar kalimat Daisy. Tapi wajahku segera menjadi datar saat Mrs. Amy memandangiku. "Benar begitu?" Aku mengangguk gugup. Mrs. Amy melipat tangannya di depan dada. "Semua cerita itu tidak ada yang bisa di percaya." Katanya bergumam. Kemudian, ia menyuruh salah satu guru untuk memanggil murid yang melaporkan kami kelahi tadi. KEJUTAN! Aku benar-benar tak menyangka siapa yang datang. Seorang lelaki, tinggi dengan wajah putih yang membuat semua siswi klepek-klepek. Yup! Tentu saja Ryan Adams. Laki-laki yang kutemui di perpustakaan. "R-ryan?!" Daisy dan Clara berseru kaget. Aku hanya membelalakkan mataku. Menggangga. Ryan menatap kami bertiga sekilas. Tak peduli. Lalu kemudian menunduk hormat pada Mrs. Amy. "Baik, Ryan, silakan duduk." Mrs. Amy mempersilahkan anak populer itu duduk. Ryan mengangguk. Karena yang tersisa adalah tempat di sebelahku, maka ia duduk di sebelahku--model kursi ini memanjang seperti sofa. Clara duduk dengan Daisy, dan aku duduk sendiri di tambah Ryan yang baru saja datang. Aku melirik ke arah kanan. Risi duduk berdua dengan Ryan biarpun itu adalah impian semua murid di akademi ini--siapapin pasti ingin duduk berdua dengan anak populer ini, bukan? Kecuali aku dan Daisy tentunya. "Baik, Ryan, jelaskan semuanya dengan detail." Tegas Mrs. Amy. Ryan mengangguk kalem. "Rose dan Daisy memulai perkelahian. Memukul Clara dan Clara balas melawan." Dia berkata pendek. Aku menggangga tak percaya. Oi, cowok cerdas ini apakah membela Clara yang licik itu?! "Clara membalas?" Mrs Amy bertanya. Ryan mengangguk. "Menurutku, itu wajar untuk membela diri." "Cerita yang bagus, Ryan. Anak seorang saudagar memang hebat. Aku mempercayainya." Di seberang, Clara tampak tersenyum sumringah karena dibela Ryan, juga karena dibebaskan dari masalah yang dibuatnya sendiri. "Jadi, Mrs. Amy mempercayai Ryan hanya karena dia anak saudagar?!" Daisy berseru. Bangkit dari duduknya sambil memukul meja. Mrs. Amy menatap Daisy kesal. Tentu saja ia marah, karena memukul meja termasuk tidak sopan. Daisy tidak memedulikan tatapan Mrs. Amy. "Mrs mempercayai yang salah tapi tidak mempercayai yang benar. Bukankah itu benar-benar tidak masuk akal?!" "Saksi sendiri mengatakan bahwa kalian Rose yang salah!" Mrs. Amy berkata ketus. "Rose? Hanya Rose?" Daisy tertawa tak jelas. Aku sampai bingung melihat tingkah sahabatku ini. "Bukan Rose saja, yang salah! Aku juga salah! Maka hukumlah aku!!" Ah, kalimat itu lagi. Aku bingung dengan Daisy. Mengapa dia juga ingin dihukum sepertiku. "Kamu tidak salah, Daisy Greggory." Tegas Mrs. Amy. "Tidak salah?" Daisy semakin tertawa keras. Mrs. Amy sampai bingung dibuatnya. Juga Clara. Dia menatap Daisy sambil memandang jijik. Hanya Ryan yang tetap memasang wajah datar. Cuma sekali saja dia mengangkat alis kanannya--mungkin itu wajah bingungnya. "APAKAH KARENA AKU ANAK MENTERI MAKA MRS MEMBEBASKAN KU?!!" Daisy berteriak. Level kesalahannya dua kali lipat lebih tinggi daripada saat Clara memotong kalimat Dalton. "Diam, Daisy!" "Aku tidak mau. Ini tidak adil!" Teriak Daisy. "Rose selalu disalahkan. Padahal yang buat salah orang lain. Padahal yang berulah Clara dan teman-teman nya. Ini tidak adil, Mrs! Apakah begini hukum dari kerajaan? Apakah yang benar harus disalahkan?!" "KUBILANG DIAM, DAISY!!!" Mrs. Amy sudah merasa sangat kesal. Berteriak. Clara menutup matanya takut. Aku menggigit bibir melihat Mrs. Amy bangkit dari duduknya. Sedang Ryan? Memasang wajah datar dan dingin--aku sedari dulu bingung, manusiakah dirinya?? "Aku tidak mau diam, sampai Clara diberikan hukuman dan Ryan mau mengatakan yang sebenarnya. Aku bingung, mungkin saja Ryan datang melihat kami saat sudah berada di tengah perkelahian. Mungkin saja dia tidak melihat seluruh perkelahian." "Aku melihat sejak kalian datang di taman." Dengan dingin Ryan menjawab. Mrs. Amy melotot pada Daisy. Dengusan napasnya terdengar keras. "Meskipun kalian berdua benar, seharusnya jangan membalas memukul, bodoh!" Kesal Mrs. Amy. Daisy tergangga. "Jadi begini ya, sikap kepala sekolah." Dia mangut-mangut. "Sangat tidak--" "Berhenti, Daisy!" Aku memotong kalimat Daisy. Dengan isyarat, aku menyuruhnya duduk dan tenang. Daisy menutup matanya. Menarik napas. "Kalian semua, keluar!" Teriak Mrs. Amy. Aku dan Ryan bangkit. Ryan segera keluar tanpa pamit. Aku dan Daisy--setelah memaksanya--menunduk pamit pada Mrs. Amy. Mrs. Amy hanya menatap sekilas. Tak peduli. Kami berdua keluar dari ruangan. Aku masih bisa mendengar hembusan napas kesal Daisy. "Semuanya yang mendengar, jangan kalian ceritakan masalah ini ke orang lain! Bahkan biarpun itu murid dan guru!" Juga samar-samar suara Mrs. Amy yang berkata pada pegawainya. ... Episode 6 EPISODE KEENAM Aku mengelap peluh. Biarpun tidak terkena sinar matahari, menjalankan hukuman seperti ini terasa sangat melelahkan. "Kamu baik-baik saja, Rose?" Daisy bertanya. Iba melihat peluhku yang banyak. Mrs. Amy benar-benar menjatuhkan hukuman. Dia menyuruhku membersihkan Kantin. Gila sekali! Membersihkan Kantin! Kantin ini sangaaaaaaaaaaaaaaaat luas. Sangatnya malah double. Double sangat sangat luas. Bagaimana tidak? Seluruh murid makan disini. Maka pastilah luas. "Bagian kiri aku saja yang bersihkan," Daisy berkata sambil membantuku mengelap meja. Aku menggeleng. "Aku bilang jangan bantu, Sy," kataku sembari meraih lap yang dipegang Daisy. "Kamu duduk manis saja." Daisy menggeleng tegas. "Bagaimana mungkin aku duduk manis, sedangkan sahabatku sendiri sedang berkerja?" Aku tersenyum. "Aku tahu persis niatmu baik. Tapi, ini adalah hukumanku. Kalau kamu membantu, malah hukumanku bertambah banyak," ucapku lembut. Masih mengelap meja. "Tidak, Rose. Kalau Mrs. Amy menghukum mu lagi, aku akan laporkan ke Mama!" "Aku tidak mau memberikan masalahku sendiri ke orang lain." "Tapi, Rose--" "Sudahlah. Kamu duduk saja di sana." Ucapku. "Jangan membantah!" Daisy memanyunkan bibirnya. Ingin membantah lagi. "Ini permintaanku, Daisy... Kamu gak mau turuti?" Tanyaku dengan suara manja sebelum Daisy bersuara lagi. Memasang puppy eyes andalanku. Daisy diam. Menutup mata. "Baiklah, baiklah. Tapi kalau besok kamu sakit atau kelelahan, aku gak akan tinggal diam!" "Siap, bos!" Aku memberi hormat. Daisy tertawa. Aku kembali melanjutkan bersih-bersih setelah ikut tertawa. ... "Aku bingung sekali dengan Mrs. Amy. Mengapa yang salah dipercaya tapi yang benar, gak dipercaya? Dia kepala sekolah, gak, sih? Gak adil, banget!" Daisy bersungut-sungut. Aku tertawa. "Husss... Kalau di dengar sama Mrs. Amy gimana? Celaka lah!" "Biarin!" Dengus Daisy sebal. Kami berdua sedang berada di lorong-lorong menuju gerbang akademi. Ini hari libur. Jadi, semua siswa boleh pergi kemanapun mereka mau. Setelah menjalankan hukuman, aku dan Daisy berniat pergi ke toko di luar akademi. Sekaligus mengunjungi orangtua Daisy yang baru pulang dari kerajaan Zuanda. Tiga menit berlalu, kami sudah melewati gerbang pembatas. Daisy terus berceloteh. Sekarang, celotehannya bukan tentang Mrs. Amy. Tapi tentang Mama Papa nya yang baru pulang. "Ah, percaya, deh. Kamu bakalan di bawakan hadiah!" Aku terkikik. "Gak mungkin. Aku bukan siapa-siapa keluarga mu." Daisy menggeleng. "Kamu itu siapa-siapanya keluargaku! Kamu itu sahabatku!" Aku menghentikan langkahku. Daisy yang sudah dua langkah di depan ikut berhenti. "Kenapa?" Tanya Daisy. Aku menggeleng. Lalu tanpa aba-aba, aku memeluk Daisy erat dari belakang. "Makasih," kataku lirih. Aku sungguuh bersyukur memiliki sahabat seperti Daisy. Daisy tersenyum lembut. Balas memelukku. "Sama-sama, Ros. Padahal sebenarnya aku yang minta ke Mama untuk membelikan mu hadiah. Yaaa, biar besok-besok aku ada alasan untuk memintamu mentraktirku!" Daisy menjulurkan lidah. Menepuk-nepuk punggung ku. Sial! Aku melepaskan pelukanku. Melotot. "Kamu nih bercanda terus!" Daisy terkekeh. "Biarin! Terserah aku lah." Katanya kemudian berlari. Aku mendengus sebal. Mengejar Daisy. "Hei! Ini kereta nya, Rose!!" Aku yang sedang berlari sambil celingak-celinguk mencari Daisy terhenti. Menoleh ke belakang. Di belakang, wanita berambut pendek sedang melambaikan tangannya. Daisy! "Kalau gak mau ikut aku tinggalin, yaaa!! Bye bye!! Jalan Pak, jalan!" Usil Daisy. Dia menyuruh supir nya untuk menjalankan kereta kuda. "Daisy, tunggu!!" Aku berteriak kencang. Tak peduli dengan para pejalan kaki yang menatapku bingung. Kakiku langsung kupacu. "Tungguin, Daisy!" Ulangku. Akhirnya, setelah melihatku kelelahan, Daisy menyuruh untuk menghentikan kereta kuda. "Jahat sekali." Aku ngos-ngosan memegang kereta bercat putih dengan ukiran indah itu. "Padahal sudah tahu aku baru habis dapat hukuman, eh, malah di suruh lari." Tambahku sambil melotot. "Ya sorry. Lagian, salahmu sendiri sih. Dulu siapa deh yang bilang gak mau beratnya 42? Penginnya beratnya 38? Makanya, aku kasih kamu latihan biar makin kurus." Aku semakin melotot. Kalimat Daisy lama-lama semakin ngaco. "Yasudah, Pak. Go go go!!" "Eehhh!!" Aku yang belum duduk di kursi hampit terjatuh. Untung aku memegang dinding kereta. "DAISY JAHAAAATTT!!!" ... Description: Namaku Rose, Usiaku tiga belas tahun. Aku tinggal di Planet Zuanda. Semua orang di Planet ini mengatakan bahwa aku hanya memberikan penderitaan Dikarenakan namaku berarti mawar yang melambangkan kesengsaraan. Benar. Aku dikucilkan, dibuang, dijauhi dan dibully. Tetapi, tiga orang Malaikat berbaik hati mengajakku ke petualangan yang menyenangkan Petualangan atas takdirku. Ya. Aku memang dinamai Rose agar aku bisa menghapus kalimat-kalimat orang tentang Mawar. Ya. Aku memang dinamai Rose agar aku bisa indah di mata orang lain. Layaknya mawar merah yang mekar.
Title: Resonance Category: Humor Text: Pendahuluan dulu eakk... sudah kayak skripsi Bau keringet. Sumpah bau keringet. Ditambah lagi nih sikil sape sih, sumpah jiik banget. Kenapa sih cowok tuh kalo olahraga mesti banget ada bau-bau macam ini. Perasaan kalo cewek biasa aja deh. Emang yah, beda masukannya beda pula keluarannya. Tapi meski begitu, semua ini terbayarkan dengan angka 110-112 di papan skor. Menandakan kalo salah satu tim bakal lanjut ke pertandingan final. Sisanya tinggal guenya aja yang bisa lanjut nemenin mereka atau nggak. *** “Rez jan duduk di belakang mulu. Kayak Rycca dong di depan kali-kali.” “Ogah gua. Ini adalah tempat yang memang dibikin khusus buat gua.” “Halah ga asik lo.” “Lagi gua juga ogah kali duduk deket Mahrez. Bau tanahnya suka kecium soalnya.” “Sialan lo!” Seperti biasa. Kelas memang selalu dihiasi oleh canda tawa murid-muridnya. Ada yang tertawa bahagia, suka cita, terharu, dan miris karena tahun ajaran baru udah dimulai lagi, dan sekarang udah kelas 3 coyy.. sehingga sulit untuk bersenang-senang di tengah-tengah ke tegangan ini. Plus apapun pertanyaanya semua jawaban harus pake embel-embel “maaf, aku mau fokus UN”. HILIH “Ry, menu latihan buat hari ini udah dibuat?” Yaampun ini baru hari pertama dan bahkan upacara aja belom mulai udah ditanyain kek gini, gimana coba. Tapi untungnya aku adalah anak yang rajin dan tydac pemalas seperti mahkluk suram di belakang itu. Sehingga semua kemungkinan pertanyaan yang akan ditanyakan sudah kusiapkan. Apalagi yang ditanyakan oleh diktator yang satu ini. Harus bisa menjawab tanpa kesalahan sedikitpun. “Nanti pas istirahan bakal aku kasih tau kapten.” “Oke sip.” “Woy upacara udah mau dimulai. Gece ke lapangan. Si satpol PP udah bangkit dari singgasananya.” Setelah ada yang ngomong gitu, seisi kelas mulai rusuh siap-siap buat upacara. Yang pada galengkap atribut auto teriak-teriak minta pinjeman. “Woy topi woy!” “Gesper! Gesper!” “Dasi lo nih! Jan lupa, mau dirajam lo?!” “Eh gua lupa kaos kaki gua pake punya adek lagi yang pink-pink barbi.” Eh gimana-gimana? Kerusuhan kelas pun berlanjut sampai peringatan kedua diucapkan oleh si penjaga pintu. Mengatakan kalau ancaman sudah sampai dua kelas sebelum kelas kami. Berpacu dalam waktu dan keinginan hidup kami pun langsung keluar kelas dan menuruni tangga menuju lapangan sekolah. Btw bikin menu latihannya nanti aja pas pelajaran. Iya, gua belom bikin kok. Yang tadi cuma pengalih pertanyaan aja, biar aman dari Raja Besar. Hehe.. Perkenalan dulu Sore hari yang nikmat nan sejuk ini harusnya bisa di nikmati dengan secangkir kopi, sebuah novel, dan lagu-lagu penuh makna di setiap liriknya. Ala-ala anaks indieehh gitu. Tetapi apalah daya, tubuh dan otak masih harus dikuras sore ini bersama orang-orang hebat nan bodoh berikut ini. Lapangan indoor olahraga udah mulai dipake buat pemanasan sama beberapa orang. Ada yang lari-lari kecil, ada yang streaching, push up, sit up, ada juga yang lari dari kematian. “MAHREZ! LO APAIN BUKU CETAK MTK GUAA!!” “Sumpah ya Dan bukan gua, sumpah bukan!” “Apaan bukan! Tadi gua liat lo numpahin thai tea di atasnya!!” Lah itu tau, kenapa nanya lagi Bartolomew? Seperti biasa keadaan harus banget diawali dengan Mahrez yang kena marah sama salah satu diantara kami. “Kenapasi mereka tuh. Heboh banget kayaknya.” sahut seseorang yang baru memasuki wilayah lapangan indoor. “Eh, tumben gaperlu diseret dulu. Ada badai apa nih tuan?” “Nggak ada apa-apa kok. Aku dateng karna keinginan sendiri.” … Halah bullshit. Gua liat itu kantong celana olahraga lo penuh camilan. Tapi karna aku orang yang baik hati maka aku akan pura-pura galiat. “Ohh.. bagus dong.” bales gua samblin ancungin jempol. Yang di ajak ngomong pun cuma senyum-senyum bangga pada diri sendiri. Terserah lo Darwin. “Tolong semuanya kumpul dulu” gelegar sang Kapten. “Hari ini pelatih nggak dateng, guru pembimbing juga nggak. Katanya sih mereka masih liburan di pulau Pari. Gatau kalo liburan bareng, apa cod-an disana. Yang pasti mereka gabakal dateng kesini. Jadi hari ini latihan ga diawasi sama mereka berdua.” ucapnya lagi. “Lah kalo gitu kenapa kita nggak pulang aja dah. Kan gaada pelatih ini.” ini adalah contoh orang yang memang suka dekat dengan kematian. “Kan masih ada gua.” “Tapi kan-” “Kenapa? Mau gua kirim juga ke pulau Pari pake paket on the same day?” “Nggak tuan. Terima kasih.” Aku sih cuma diam aja di samping Kapten sambil liatin tali sepatu. Siapa tau tiba-tiba ikatannya berubah menjadi ikatan cintah. “Rycca, jadwal.” minta sang Kapten. “Oh iya siap. Sebenernya sih hari ini sama aja kek hari-hari biasa. Tapi aku rendahin sedikit porsinya. Soalnya kan kalian-kalian ini baru pada abis liburan, sehingga kalo langsung di hantam begitu keras, bisa-bisa tubuh kalian jadi lemah gemulai tak bertulang lagi.” ucapku sambil mulai memperhatikan ekspresi setiap pemain di depan. “Kan pasti kalian gamau itu terjadi. Sehingga untuk permulaan kita latihan yang ringan-ringan dulu aja.” akhirku dengan tersenyum manis ke hadapan para pemain. Bisa gue lihat wajah mereka satu-persatu mulai membinar. Seakan berucap beribu-ribu terimakasih sama gua. Iyalah gua tau kalian pasti pada males kan latihan hari pertama masuk gini. Makanya aku kasih mudah. Aku orangnya peka kok. Yah sebenernya karna gua mau pulang cepet juga sih. “Oke. Udah denger kan. Langsung aja latihan sana!” perintah sang Kapten. Gue pun menyingkir menuju ke arah tempat duduk pemain, ngambil keranjang botol minum dan keluar buat ngisi. Iya gue tau kok, kek babu kan. Bahasa kerennya si manager tim basket. Entah kenapa gua bisa tiba-tiba jadi manager, padahal awalnya nggak tahu menahu soal basket. Yaelah kalo kelas olahraga aja seringnya bolos ke kantin, kalo nggak izin sakit di uks. Sungguh teladan sekali aku ini. Seinget gue sih waktu itu ada senior yang tiba-tiba ngajak ke lapangan indoor sekolah pas hari ketiga mos. Gua kira gua bakal dilabrak waktu itu, kek scene di tipi-tipi tuh kan. Di bawa ke tempat sepi terus diabisin. Eh ternyata oh ternyata, gua diminta buat jadi manager ngegantiin dia, karna dia udah kelas 3 dan harus lebih fokus sama pelajaran daripada ekskul. “Sori banget nih ngedadak. Tapi kamu jadi manager yah?” “Hah? Saya kak?” “Iya kamu. Kan bentar lagi saya harus fokus belajar sama lulus nih. Nah, kamu yang nanti gantiin saya jadi manager. Anak-anak basket kalo gaada manager bisa ngancurin satu gedung lapangan ini sih. Makanya harus diawasin.” Eh gimana gimana? Kok serem yah. “Tapi tenang aja, setengah semester ini saya bakal masih disini kok. Ngajarin kamu macem-macem biar kamu tau job manager tuh kek gimana. Tapi kayaknya kamu udah tau yah. Soalnya badan kamu atletis sih, pasti dulunya ikut ekskul olahraga-olahraga kan yah..” Gua pun cuma melongo aja, masih kaget sama keadaan. Padahal ini mah karna ikut ekskul paskib. Sering push up, makanya lengan jadi gedhe :(. Dan karna waktu itu takut nolak senior, gua malah jadi ngangguk-ngangguk aja. Akhirnya gua malah terjebak sampe sekarang (niatnya sih cuma sampe kelas satu, terus cari pengganti. Apalah daya aku mageran kalo ngomong sama orang) plus bersama enam orang seangkatan yang udah gabung di tim basket dari kelas satu. Pertama ada Akazi Aran a.k.a sang Kapten. Diktator terkejam yang pernah gua temui, ayahanda aja gapernah segalak itu. Konon katanya, emaknya ngidam buku biografi Hitler waktu ngandung dia, makanya keluarannya begini. Tapi begitu-begitu dia emang jago sih, dalam permainan maupun membawa tim menuju kemenangan. Mottonya, “bersatu kita teguh, bercerai kita- gua rajam lo semua!” Kedua ada Rio Mahawira a.k.a siapapun yang minta kehadirannya sepenting atau senggak penting apapun mesti, kudu, harus, wajib memberikan sesajen. Sesajennya berupa apa aja sesuai tingkat kepentingan kehadirannya itu. Memang orang yang satu ini seperti demit, meskipun kadang kelakuannya unyu-unyu gajelas. Mottonya, “ada makanan nya ga? Kalo gaada aku pulang aja.” Ketiga ada Rafardhan Kalandra a.k.a model jadi-jadian yang bertampang kek gembel. Kerjaannya tiap hari sosial mediaan mulu, ig kek, twitter, snapchat, line, wa, fb, frienster juga keknya masih. Orang tipe kek gini sudah pasti tidak jauh-jauh dari kata dan kegiatan selfie. Di kelas selfie, pas pelajaran selfie, di kantin selfie, bahkan selfie juga sama pedagangnya. Pernah waktu itu sg nya sampe berbentuk titik-titik, cuma karna ngeriview baso mas pandji yang di pengkolan ojek deket sekolah. Mottonya, “hidup itu harus kek sosial media, rame sama bacotan netijen.” Keempat ada Faresta Keanu a.k.a orang paling kalem dan gatau diri yang pernah gua temui. Gak pedulian juga si dia orangnya. Apa-apa cuek, sama temen cuek, sama pelajaran cuek, sama latihan cuek, sama omelan Akazi juga cuek, saking cueknya pernah waktu itu ketinggalan pas lagi camp minggu petama liburan, kita udah pada di bis mau pulang, dia tiba-tiba ngechat. “Rycca, aku ketinggalan btw.” gua bingung kirain ada barang dia yang ketinggalan. Pas dicari di bis, ternyata dianya yang ketinggalan dong. Auto puter balik mas-mas supirnya. Mottonya, “santuy ma men.” Kelima ada Zaidan Syahreza a.k.a team mom. Bahkan Ibunda dirumah nggak separah ini kalo ngemarahin :’). Apa-apa harus perfek, apa-apa harus bener, cape aku tuh nurutinnya. Yang lain si gak terlalu ngerasain, lah gua yang ngurusin mereka semua kalo salah sedikit pasti langsung di omelin. Udah ngomelinya panjang lebar kek mak-emak. Kalo kita jawab dibilang ngeyel, kalo ga jawab dibilang gabisa ngomong. Makanya kalo dimarahin sama dia kudu ngucap terus. Tapi Zaidan ini orang paling tepat untuk diajak curhat. Nasehatnya memang kadang menohok hati, tapi emang bener. Dan solusinya selalu tepat, macam peramal aja. Mottonya, “makanan aja empat sehat lima sempurna, masa kamu satu usaha zero doa.” Dan yang terakhir.. Duh cape, lanjut besok aja deh.. Canda eaaa.. Aurora takut terkena karma oleh orang suram. Keenam ada Mahrez Delvin a.k.a jelemaan cerberus dari neraka. Kalo Rafardhan tadi bertampang gembel, yang ini bertampang pengemis. Dimana-mana kerjaannya minta mulu, minta makan, minta minum, minta catetan, minta contekan, minta dimatiin.. eh. Meskipun begitu kita ini udah temenan sejak masa orok. Soalnya rumah kita tetanggan, dan kebetulan Ibunda berteman baik dengan tante semenjak masa SMA. Dan berharap kalo anak-anaknya juga berteman baik. Boro-boro, muak si iya. Kecepatannya dalam berlari menembus apapun yang menjadikannya bisa bertahan sampe sekarang, kalo nggak ada mah udah di musnahkan sama Akazi sejak pertama kali bergabung. Mottonya, “karena tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah, maka dengan itu gua menjadikan lo semua orang baik. Berterimakasih lah sama gua nanti.” Dan gua sendiri? Gua hanyalah bidadari dari kahyangan yang jatuh terdampar pada situasi bobrok ini, dengan teman-teman bobrok ini, dan kehidupan bobrok ini. Tapi meskipun begitu gua gamau keadaan ini berganti atau berubah. Karna hidup itu gak harus sempurna. Malah ketidak sempurnaan itu yang membuat hidup ini jadi sempurna. Pulang Cekulah “Hari ini ada kegiatan apa gaes?” “Gua si ada pemotretan buat endorse minyak goreng, emang elu gapunya kerjaan.” “Aku sih udah janjian sama kucingku mau ngajak dia nyalon di vet, emang situ yang gapernah nepatin janji.” “Gue sih udah dipastiin bakal makan malem sama ayahanda di restoran mewah bintang kejora, emang lo miskin” “Aku sih mau ditraktir sama mamake karna kemaren abis disuruh nganterin loyang kue ke tetangga sebelah, emang kamu yang gapernah dipercaya sama ortu buat ngelakuin apa-apa.” “Gua si mau pulang. Mau bantuin Bunda dirumah. EMANG LO YANG GAPERNAH BANTUIN ORANG TUA. DURHAKA EMANG!” “Gaes pliss.. gua cuma nanya abis ini pada mau ngapain. Gausah gitu-gitu amat kali.” Mulai lagi.. Pasti setiap pulang cekulah hari jumat pertanyaanya kayak gini. Sungguh berfaedah sekali teman-temanku ini. Kenapa cuma setiap hari jumat? Karna tiap hari jumat itu latihan ditiadakan. Akazi bilang.. “Karna dari senin sampe kamis latihan, maka di hari jumat adalah hari liburnya, sehingga latihan ditiadakan.” Iya ditiadakan. Sebagai gantinya hari sabtu kita latihan. Sama aja dong, Nicolas Tesla. Suka bingung aku tuh. Makanya tiap pulang sekolah hari jumat, karna Mahrez gaada kegiatan apapun dan sangat amat gabut dia sering nanya begitu ke yang lain. Berharap ada yang bisa ditumbalin. Btw perasaan gua gaenak nih. “Lo gimana Ry? Abis ini ada kegiatan ga?” Kan bener.. apakah kali ini adalah giliranku ditumbalin? “Gaada sih. Mau balik aja. Capek kuping gua dengerin setorinya Bu Ada. Pengang.” jawab gua sambil gosok-gosok kuping. “Lah lo masuk BK lagi Ry?” yang ini Rafar yang nanya. “Iyes.” “Kok bisa?” kali ini Ibu team yang nanya. Matanya udah nyipit-nyipit seakan bersiap untuk menyulut api kebencian. “Noh tanya Mahrez aja.” “Gimana Rez?” “Dia ngelempar sepatu ke kepala orang pas pelajarannya Mr. Made.” Dan semua pun langsung natep gua. Shock. “Ee buset Ry.. bar-bar amat lo.. tahan emosi dikit napa.” ucap Rafar sambil nabok punggung gua. Sakit anjayy. “Iya.. lagipula jangan pas pelajaran banget Ry. Kan bisa pas nanti pelajarannya selese. Emang apa sih masalahnya?” Akazi juga mulai ikut-ikut nasehatin. “Tau tuh, kan juga bisa diselesein baik-baik, gak harus lempar sepatu. Lo itu cewe loh Ry.. kalem dikit napa.” Mahrez. “Nah, bener tuh si Mahrez.” “Apalagi ke orang lain. Kalo ke kita-kita mah yaa gapapa. Karna gua juga bakal kek gitu.” ini si Zaidan kayaknya emang dendam banget ke kita yah. “Ya itu gua ngelemparnya ke Mahrez!” … Sekarang giliran Mahrez yang ditatap. “Pantes.. gajadi terkejut aku.” kali ini Fares buka mulut. “Kalo dia mah jangan pake sepatu Ry. Cutter aja.. biar sekalian dikembalikan.” Sumpah ini Zaidan dendam banget yahh :( “Elu gausah sok-sok an nasehatin si Rycca tadi kalo itu semua gara-gara lu bangsul.” ucap Rafar sambil nempeleng pala Mahrez. Mahrez cuma senyum senyum unyu ke kita semua. … “Oh.. si Mahrez ini memang menginginkan kematian sekali yah..” ucap Akazi sambil mulai ngeluarin penggaris besinya dari dalam tas. :) Senang sekali aku. “Btw masih mau tau kenapa masalahnya kapten?” tanya gua. “Gak. Gausah. Gak mutu biasanya.” balesnya singkat. :) Yaudah setelah penebusan dosa Mahrez, kita mulai jalan pulang. Karna dari sekolah sampe tempat nunggu angkot cuma ada satu jalur, makanya kita kalo pulang bareng-bareng. Nanti naik angkotnya sendiri-sendiri deh. Kecuali buat gua ama Mahrez. Kita ganaek angkot. Karna jarak rumah dengan sekolah lumayan deket, jadi jalan kaki aja. Dah juga gaada angkot yang ke arah sana mah. “Btw pertandingan antar kelurahan kapan dah?” tanya Zaidan. “Perkiraan dari sananya si bulan Septemberan.” jawabku. “Lah masih lama ternyata. Kirain aku udah deket.” balas Rio. “Justru karna masih lama kita harus latihan serius ini.” balasku lagi. “Buat apa kalo ujung-ujungnya juara lagi.. haaa.. cape baginda..” kali ini Mahrez yang ngomong. “Tau.. kita itu tidak boleh mencapek-capekan diri sendiri gaes.” Rafar. “Gausah sombong ya kalian. Disini aku yang megang kendali porsi latihan kalian.” ucapku sebal. “Toh masih ada Akazi diatas lo Ry.” Sialan. “Yaudah Ry, buat Mahrez sama Rafar porsinya jadi 5 kali lipat yah.” “Siap kapten.” Mampus kan lo. Mereka berdua cuma diem sambil menyunggingkan senyum memaksa. Seperti sudah terbiasa dengan kekejaman kapten. “Eh tuh angkot gua udah keliatan. Dah yak gua duluan.” ucap Zaidan sambil ngangkat tangan kanannya. “Dan bareng dong!” teriak gua, sambil lari-lari kecil nyusul Zaidan yang udah mau masuk angkot. “Hah bukannya lo jalan kaki?” “Baru inget mesti ke RS. Ni angkot lewat RS kan ya?” “Iya lewat si.” Mahrez narik tangan gua. “Ngapain lo ke RS? Sakit lo?” tanyanya mendesak. “Iya.” “Lah sakit apaan Ry?” tanya Rafar, keliatan khawatir. “Jiwa.” … “Oh kalo sakit jiwa angkotnya bukan yang ini. Noh yang dinaikin si Rafar. Dia tiap hari kan kesana. Minta pertolongan.” ucap Zaidan sambil dorong-dorong gua. “E anjir.. di iyain lagi.” “Yaa.. lo bercanda ke Zaidan coba. Udah tau dia muka tembok.” Iya sih. Zaidan ini emang susah banget kalo diajak bercint- salah bercanda maksudnya. Mukanya gitu-gitu doang. Ga asik ah. Makanya sering dikerjain Mahrez sama Rafar. Emang sebenernya dua mahkluk itu pantang menyerah orangnya. Cumah disalah gunakan aja. “Mau jengukin sepupu gua. Dia dirawat di RS kemaren malem. Makanya gua mau kesana sekarang.” jelas gua. “Ha? Kok bisa sih?” Rafar pun memulai sesi interviwenya. “Ya dia sakit.” “Yaa kalo gitu gua juga tau Ry. Maksudnya sakit apa bisa sampe dirawat gitu?” “Kepo banget si lo. Udah sana sana sana. Gua mau naek. Byee gaess..” ucap gua sambil lambai-lambai mandjah. Untung angkotnya ga rame jadi gua bisa langsung naek, gaperlu nunggu lagi. Bahaya kalo sampe ditanyain lagi. “Emang sepupu lo rumahnya deket-deket sini yah?” Waduhh lupa kalo gua seangkot sama mak-emak. Bakal ribet dah nih. Mereka yang selalu dimarahi Yang Mulia Akhirnyaaa… bisa bebas dari jeratan Ibu tiri. Sumpah Zaidan tuh kalo nanya gak kira-kira. Untung udah gua siapin skenario untuk menghindari setiap pertanyaannya dengan baik dan benar. Emang si gak separah Akazi, tapi tetep aja kek ditanyain malaikat maut. Emangnya kenapa gua bisa sepanik ini? Hemm.. karna.. karna.. karna gua bohong.. Iya gua bohong. Sebenernya gua gak ke RS buat jengukin sepupu gua. Yaiyalah orang sepupu gua tinggal di pulau seberang, masa iya harus nyebrang laut dulu. Kan nyusahin aja itu namanya. Jadi alasan gua ke RS, yaa karna gua. Karna diri gua sendiri. “Kenapa gak di opname aja? Dengan begitu saya bisa ngelihat perkembangan kamu lebih detail loh.” ucap dokter yang nanganin gua. Kita sebut saja Pa Dok. Pa Dok ini umurnya udah 40 an menuju 50. Tapi masih aja ganteng. Sepertinya muka-muka duda ini. Hemm.. menggugah selera. “Ah nggak Pa Dok, saya kan masih harus sekolah. Nanti kalo di opname saya gak sekolah dong Pa, jadi bodoh saya.” jawab gua malu-malu. “Ya kalo kondisi kamu makin parah, kamu juga gak sekolah kan. Hayo jadi bodoh juga nanti.” Tapi entah kenapa Pa Dok ini mirip sama seseorang dah :’). “Ehehe.. Pa Dok bisa ajaa..” tawa gua. Pa Dok pun ngelepas kacamatanya, terus nyingkapin poninya ke atas. Uwaduh. “Tapi saya serius loh. Ini udah minggu keempat kamu kesini dan saya belum menemukan pengobatan yang cocok buat kamu. Masa harus nunggu parah dulu baru ngambil tindakan.” jelas Pa Dok. Gua pun cuma nunduk sambil ngeliatin jari-jari tangan. Bingung mau jawab apa. Bunda juga udah nyaranin buat di opname aja, biar penyakitnya gak nambah parah. Tapi ya gimana dong, aku kan tidak se-free itu. Aku punya anak-anak lembu yang harus diawasin, yang jika ditinggal barang sedetik saja akan menyengsarakan seisi dunia. Lebay aih aku. Tapi ya emang gak mungkin kan gua ninggalin mereka gitu aja. Apalagi kalo dalam waktu lama, gua mau izin apa sama Akazi? “Akazi aku izin re-sign dari kerajaan dulu yah. Aku akan kembali 2 bulan kemudian.” Yang ada pas gua balik langsung di taro di penjara bawah tanah. Dan lebih nggak mungkin lagi gua izin karna gua sakit. Apalagi sampe di opname. Bisa-bisa orang-orang suram itu mengejek dan memakiku karna terlalu lemah. “Em.. gimana ya Pa Dok. Saya..” jawab gua menggantung. “Saya ngerti ini pasti berat buat kamu. Tapi ini buat kebaikan kamu juga. Kalo ini semakin parah, nanti kamu juga yang susah kan. Kamu tau sendiri apa yang bakal terjadi kalo penyakit ini makin parah.” jelas Pa Dok lagi, sekarang agak menekan nada bicaranya. “Iya tau Pa Dok.” “Yaudah, kalo gitu apa lagi yang kamu sesali nantinya ?” Apa lagi yang gua sesali nantinya? Banyak. “Rycca saya ngomong ini untuk kebaikan kamu loh.” lanjut Pa Dok. Dan gua pun hanya bisa bales dengan suara kecil, “Iya.” *** “HEH! Kalian tuh serius mau latihan gak sih?! Kenapa pada leyeh gini?! Kejuaraan udah deket! Kalo gini terus, gimana kita bisa menang?! Yang ada cuma mimpi di pa*t*t lo semua!” “MAHREZ! Timing lo ancur banget! Mending lo keluar terus lari-lari di kolam lele Pa kepsek dah!” “ZAIDAN! Tembakan lo udah meleset berapa kali hah?! Perlu gua tambah minus kacamata lo?!” “Ini lagi FARES! Itu tangan digerakin dikit kek, jangan kayak ulet uget uget doang!” “HEH! ARTIS SNAPGRAM BAU KENCUR! KELUAR DARI LAPANGAN GUA SEKARANG! MENDING LO JOIN KLUB VOLI KALO CUMA LEMPAR-LEMPAR BOLA DOANG!” “RIO! SAMPAH MAKANAN LO BERSERAKAN!” Hehhhh~ Paling males dah kalo liat Akazi udah hype up gini. Kek malah dia yang dedemitnya dibanding Rio. Sebenernya udah biasa sih, tiap kali mau lomba pasti Akazi bakal latihan sambil marah-marah gini. Apalagi kalo mereka latihannya nggak bener. Akazi, Mahrez, Rio, Rafar, Zaidan, dan Fares adalah anggota tim inti basket sekolah ini. Iya tau kok memang cuma ada lima pemain di lapangan, maka dari itu mereka mainnya ganti-gantian. Tapi bukan berarti nggak ada pemain lain. Ada kok, dan mereka juga main, tapi emang nggak sesering enam orang ini. Karena bisa dibilang mereka ini adalah pondasi dari tim basket. Semua bermula dari kelima orang ini yang digabung di satu tim pas latih tanding. Dan kalian tau hasilnya? Ancur. Ancur banget gusti. Malu aku kalo nginget-nginget. Dibandingin main mereka lebih banyak berdebatnya, lebih banyak bacotnya, lebih banyak berkoar-koar. Akazi yang waktu itu cuek banget, apatis, sama sekali nggak mau kerja sama, dan cuma ngeliatin temen setimnya dengan tatapan jijik. Mahrez yang mainnya sok jago, emang jago sih, tapi sifat pamernya yang bikin naik darah gaada ampun. Zaidan, dia keliatan gamau banget temenan sama Mahrez, jadi jaraknya bener-bener berjauhan. Rio, gausah ditanya, males, dateng karna ditarik senior, katanya karna dia tinggi. Rafar, gausah gua sebut lah, ketebak pasti dia gimana orangnya. Untungnya Fares waktu itu nggak setim sama mereka. Kalo sampe iya, mungkin aku udah mengundurkan diri sejak saat itu. Tapi semakin diasah, dan digabungkan, mereka malah semakin kompak. Ya, nggak segampang itu sih ngomongnya, cuma ya begitulah intinya. Mereka mulai mencoba mensinkronkan waktu, mencoba mengerti gerakan satu sama lain, mencoba bersabar. Dan hasilnya, mereka yang sekarang. Mereka yang selalu menang. Jadi bisa dibilang mereka yang mengangkat drajat tim basket ini. Dari yang awalnya bobrok banget, sampe sekarang yang dipandang ‘wah’ oleh sekolah-sekolah lain. Makanya mereka lebih sering main dan diandalkan setiap kali ada kejuaraan. Anggota sisanya tetap dalam pengawasan kok, nggak ada diskriminasi sama sekali. Tapi meski begitu ekskul basket sekolah kami ini memiliki anggota yang bisa dibilang nggak banyak. Untuk ukuran sekolah elit, yang tim basketnya terkenal, asik. Kami memiliki anggota regular yang sedikit. Kenapa? Ya karna itu. Lihat aja tuh, saiton yang ada di lapangan sambil marah-marah keji. Siapa yang nggak takut ngelihat bentukan kayak gitu. Apalagi memegang posisi sebagai kapten. Maka dari itu, banyak anak-anak baru yang keluar gara-gara ngeliat Akazi kayak gini, mereka langsung mundur dengan teratur. Sedangkan Akazinya sendiri malah merasa tidak terganggu dengan hal itu. Dia selalu bilang, “Yaudah sih.. biarin aja kalo mereka mau keluar. Toh kalo mereka merasa gak mampu ngehadepin gue, berarti mereka nggak mampu ngehadepin kekalahan.” Gitu katanya. Gua nggak ngerti sih sebenernya.. “Heh! Rycca! Siapa suruh bengong! Lo belum nyiapin minum kalo lo lupa!” Bahkan sama gua pun tak ada diskriminasi. Sungguh pemimpin yang adil. :’) Tapi, meski Akazi bersikap kayak gitu ke kita, nggak ada satupun dari kita yang bener-bener ngebenci dia. Yaa kayak, sebenci-bencinya kita paling cuma bercandaan atau paling ngedumel. Nggak ada yang sampe ngirimin kutukan ke rumahnya atau apalah itu. Malah kita bener-bener respek sama Akazi. Karna dia suka traktir. Hehe.. Nggak, nggak. Akazi emang suka traktir, tapi yahh.. kita respek sama dia karna emang dia merupakan leader yang baik. Serius ini. Aku nggak disogok Akazi kok. Kita pernah kalah, sering malah. Dan disetiap kekalahan itu Akazi selalu berdiri paling depan. Mau itu memalukan, menyedihkan, ataupun menyakitkan dia selalu ada di depan sana. Seakan-akan jadi tameng buat kita semua. Selalu memberikan penghormatan pertama dan terakhir buat para penonton. Nggak tau sih yang lain gimana, tapi kalo gua yang ada di posisinya, gua pasti bakal malu banget, sedih banget, ga akan kuat buat nahan semua itu. Apalagi sendirian. Dan dari tiap kekalahan itu Akazi gapernah marah ke kita. Iya, dia selalu marah tiap kali mau kejuaraan. Tapi, sehabis kita kalah dia gapernah marah. Sekali pun. Pertama kali gua juga kaget dan terheran-heran. Dia cuma bilang, “Udah terima aja kekalahannya. Gausah muluk-muluk.” Mungkin itu, yang membuat kita jadi respek sama Akazi. Dari mulai kita latihan gapernah sinkron, selalu kalah tiap pertandingan, sampe sekarang dimana kita selalu menang tiap kejuaraan. Akazi selalu disana, selalu berdiri paling depan. Jadi gimana pun sikap Akazi, gaada yang bisa membencinya seserius itu. Yaa ngedumel sih iya. Apalagi aqu.. ;) “Sudah saya bawakan minumannya baginda.” “Ya ya.. makasih..” “Apa ada yang anda perlukan lagi yang mulia?” “Nggak. Udah sana lo catet tembakan si Zaidan masuk berapa.” “Baiklah, siap yang mulia.” Tenang ini belom pindah jaman kok. “FARES!! UDAH GUA BILANG GERAK SEDIKIT NAPA! LEYEH BANGET JADI COWO!” Mulai lagi.. “Stamina aku kan kecil Akazi, nggak segede para gorila itu. Ya jelas aku udah capek. Minta istirahat dong.” “Heh! Siapa yang lo bilang gorila, kerdil?!” “Ya kamu lah Rez, siapa lagi?” “Sini lo kutu rambut!” “Woii! Rez bolanya jangan dibawa, mau gua buat shoot itu!” “Duhhh~ laperrrr.. Akazi mau minta waktu makan dong.” “Lo baru makan lima menit yang lalu demit! Masa udah laper lagi sih.” Yah pada dasarnya memang mereka ini yang suka nyari gara-gara. “Kalian… LARI PUTERIN LAPANGAN 20 KALI!! SEKARANGGG!!” “Siap kapten!” :) Tapi kadang gua juga merasa kasian sih sama mereka.. “Gausah segitunya Akazi, kasian juga kan merekanya. Toh dikasih istirahat sebentar juga gapapa kan?” tanya gua pelan, sembari nenangin Akazi. Akazi mulai dudukin badannya di bench sambil ngambil handuk buat ngelap keringet. Ini mereka yang lari-lari, kenapa dia yang keringetan dah. “Gabisa Ry. Mereka tuh kalo udah dikasih kelonggaran, bakal menjelema menjadi malapetaka!” bales Akazi sambil masang muka kesal. Gua berinisiatif buat duduk di sampingnya. Mencoba menenangkan suasana. “Nggak segitunya juga kali haha.. lo itu terlalu khawatir, tenang dikit lahh. Lagipula ini bukan pertama kalinya kan. Ini tahun terakhir kita loh, mungkin sedikit lunak ke mereka nggak ada salahnya.” ucap gua lagi. “Justru karna ini tahu terakhir kita. Gua gamau menyesal. Gua mau memberikan yang terbaik sampe akhir. Lagi, kalo kita menang kan semuanya juga seneng.” “Iya, memang. Tapi ini malah buat lo jadi stress kan?” “Nggak gua baik-baik aja kok. Gua cuma khawatir aja, kayak biasa.” “Nah justru itu. Buat apa sih emangnya khawatir memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi? Itu cuma nyia-nyiain waktu lo aja. Lo cuma jadi ketakutan dua kali.” “Malah sebaliknya.” Heh? Gua pun sedikit memiringkan kepala, nggak ngerti sama bahasannya Akazi barusan. Akazi disisi lain malah natep gua. Pas banget dimata. “Lebih baik memikirkan apa-apa yang belum terjadi, agar nggak kaget pas hal itu beneran terjadi. Karna menurut gua, lebih baik gua merasa ketakutan dua kali, daripada ketakutan tersebut beneran terjadi.” Dan gua pun bengong menatap Akazi. Ini anak kalo lagi serius keren juga bicarannya. Tapi entah kenapa kata-kata barusan malah membuat gua sadar akan sesuatu. . . . . . . “Apalagi yang kamu sesali nantinya?” Banyak Pa Dok. Salah satunya saya takut. Saya takut menyesal udah ninggalin mereka. Perkara Yutub dan Bakso “Hae gaes kembali lagi bersama gua Rafardhan Kalandra diiiiii… My Life My Bacothand!!! uwuuuu!!” Haaa.. ini bisa langsung dikirim ke RSJ aja gak sih? “Kali ini gua akan mereview makanan favorit gua lagi nih gaes. Yaitu baksooo.. masss… Pandji!!” :) “Nih liat ya gaes. Baksonya enak banget nih, porsinya banyak, harganya murah, tempatnya strategis, dannnn.. muanchayy banget di mulut gaesss!!” “Rafar sumpah bacod banget sih lo!” teman seper begoannya pun mulai bersuara. “Duhh..! suara lo kenceng banget si Mahrez! Nanti masuk vidio gua, jadi jelek.” protes sang seleb. “Apa maksud lo hah?” protes balik sang pengemis. “Ya ini snepgeram gua jadi jelek gara-gara suara lo!” “Apa kata lo! Sini lo!” Dan terjadilah baku hantam. Memang benar bukan? Untuk apa diciptakan dua tangan jika bukan untuk baku hantam? “Buset dah gua mau makan bakso aja gabisa tenang. Mau gua rajam sama penggaris besi?” kali ini titah sang raja keluar. Dan semua pun terdiam. Bahkan mas Pandji yang lagi masukin basonya ke panci juga terdiam tak berkutik. Sungguh titah raja memang dahsyat. “Pokoknya salah lo ya kalo bakso mas Pandji jadi sepi, trus mas Pandjinya ga jualan lagi gara-gara bangkrut. Pokoknya itu salah lo ya Rez!” masih belum jera rupanya. Mahrez pun udah mau nyalak lagi, tapi gua hentiin. Begini-begini aku juga masih peduli temen yah. Kalo Mahrez beneran K.O ditangan raja besar nanti gimana. Ya sebenernya karna dia belom bayar utang aja sih. “Udahlah Far, cuma gituan doang kok dipermasalahin.” kali ini Ibu tiri berbicara. “Masalahnya gua lagi ngeriview nih Zai..” “Kamu udah ngereview bakso ini berkali-kali Rafar. Aku dengernya sampe muak, pengen masukin baksonya ke gendang telingamu.” suara lembut dari orang gatau diri ini pun membuat yang lain menusuk baksonya.. berniat bersiap-siap.. “Jahat ih Fares! Fares tuh harusnya nyemangatin tau!!” “Ogah.” Pffttt! “Yaudah si. Ini juga karna snepgeramnya kan gak bertahan lama. Kasian orang yang belom liat. Nanti gatau bertapa enaknya baso mas Pandji.” Plisss.. mas Pandjinya aja ga peduli. “Yaudah bikin akun yutub aja. Terus ngevlog.” usul Rio, sambil motong baksonya jadi kecil-kecil. Sumpah, padahal badan segede gaban, makannya dicuil-cuil, sok imut. “Iya yah! Bener juga! Nanti kalian kasih like, komen, dan subskraib ya?” balas Rafar, kali ini dia sambil bergaya mengancungkan ibu jarinya. Jari kaki tapi. “Ya nggak lah. Nanti kita report biar diblokir.” jawab Zaidan ketus. “Terus ngapain nyuruh gua bikin akun yutub, Newton?” “Biar bisa ngereport lo. Habis kesel gua.” Zaidan pliss kendalikan dirimu.. . . . . “Eh! Tapi ide bagus tuh! Kita bikin akun yutub aja yok!” Semua kepala pun mulai menengok ke arah Mahrez, bahkan mas Pandji ikut nengok. Ide gila apa lagi yang ada di kepala si belatung ini. “Jadi kita bikin satu akun yutub. Terus kita isi vidio vidio kita. Vidionya apa aja terserah, yang penting menggugah hawa nafs- maksudnya menggugah penonton.” jelas Mahrez. Akazi yang mulai iritasi akan usul orang-orang ini pun akhirnya buka suara juga, “Buat apa, gapenting banget ngeliatin hidup lo.” OHOKK!! Tertohok mass.. “Ya buat seru-seruan aja sih.. buat kenang-kenangan. Kan kita udah kelas 3 nih. Nanti kita bakal jarang ketemu. Jadi kita bikin kenang-kenangan aja sekarang.” Kenang-kenangan..? “Yaampun sehari-hari udah sama kalian masa kenang-kenangan aku mesti sama kalian juga sih.” ini Fares. Dia itu sebenernya sopan, cuma mulutnya emang pedes. Jadinya gitu. “Kelas 3 tuh harusnya belajar bukan ngevlog.” Haidan, selaku orang paling rajin dan pintar diantara kita. “Ngabis-ngabisin kuota aja nonton lo pada.” ini Rafar antara heman atau emang miskin sih. “Mending aku makan daripada ngevlog sama kalian.” sudah bisa ketebak siapa yang ngomong begini. Setelah tertohok 4 kali Mahrez yang awalnya bersinar-sinar, sekarang menjadi beredup-redup. Memang hidup itu susah Rez. Udah tau temen-temen lo begini semua, masih aja diusulin begituan. . . . Tapi.. “Kayaknya gak buruk juga sih.. toh kita ngelakuinnya pas lagi gabut aja. Biar gaterlalu ngebebanin.” ucap gua. Mahrez pun nengok ke gua. Wajahnya mulai bersinar-sinar kembali. “Gaada salahnya juga kan buat kenang-kenangan. Biar nanti pas udah pada sendiri-sendiri, bisa mengingat kebodohan apa aja yang dilakuin pas SMA, sehingga gak terulang ladi di masa depan.” jelas gua lagi panjang lebar. “Hmm.. boleh juga kalo tujuannya untuk menghentikan virus kebodohan mereka Ry.” ucap Akazi sambil memotong-motong basonya. “Mengambil pelajaran dari masa lalu yahh..” Zaidan mulai lepas kacamatanya gegara keringetan. Pedes boyy.. “Nanti aku juga bisa mengingat makanan apa aja yang enak dan yang nggak enak..” ucap dedemit satu ini, setelahnya menyeruput kuah baso dari mangkuknya. :’) “Okeyy gaesss.. jadi kita sepakat bikin akun yutub yahh. Pertama-tama mau dinamain apa nih yutubnya??” “Oooo tentu saja Mahrez and the frend!” ucapnya sambil berbangga ria. Seketika semua orang langsung mengangkat garpunya. Bahkan mas Pandji juga ikutan. Lagi. “Candaa gaes.. kalian kalo terlalu serius cepet tua nanti.” “Yang gampang diinget dan gak norak dong namanya.” usul Fares. “Ya bener tuh. Dan kalo bisa nggak mengandung nama salah satu diantara kita. Memalukan nama baik keluarga. Mau ngomong apa ayahanda kalo tau anaknya bersekongkol dengan pemuda macam gini.” ucap Akazi, dengan agak jijik-jijik gitu. Duh mau balik ngehina tapi takut dirajam. “Yaudah ‘The Basketball’ aja gimana?” ini Rafar ngusulin. “Lah emang kita bola basket apa?” kalo ini biasa, kebegoannya Mahrez. “Maksudnya tuh kita kan pemain basket, jadi ada kesan basket basketnya sedikit. Ah bego ni Mahrez.” ucap Rafar menjelaskan. “Lah dah dari dulu kan.” Haidan. “Iya iya iya.. tapi gua gasetuju.” “Guts and Glory? Seperti tim kita yang bakal menang terus sampai akhir?” ucap Akazi. “Wihh bagus tuhh Zi.. tapi jan yang bahasa inggris inggris dong. Susah nyebutnya. Hehe..” Protes Mahrez. “Yaudah’ Kita Makan’ aja namanya.” “Heh demit. Emang lo pikir kita kerjaannya cuma makan doang apa? Harus ada gairahnya dong..” Mahrez. “Pemuda Perubahan? Karna kita sebagai seorang pemuda millenial harus dapat menjadi agen perubahan pada dunia ini, dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik, bagi kita sendiri maupun orang lain.” Duhh gatau lagi deh kalo sama Zaidan.. alim banget orangnya. “Dan, itu norak dan sama sekali gak estetik. Gua gasetuju.” Mahrez. Lagi. Gua pun deketin Mahrez dan ngasih kode kalo gua mau bisikin dia. Mahrez pun nunduk sedikit. Maklum meskipun kita duduk Mahrez tetep lebih tinggi dari gua. Gua pun mulai deketin mulut gua ke telinganya. Bersiap siap. Tarik nafas… Dan teriak sekenceng-kencengnya. “MAHREZ BACODD!!!” Mahrez langsung nutup telinganya, hampir ngejengkang ke belakang. Yang lain mah cuma pada tepuk tangan. “Duhh Rycca gasia sia emang selama ini kita sering ngobrol.” ucap Akazi, sambil ngusap mata, pura pura nangis. “Ry, lain kali kalo mau kayak gitu lagi kode dulu ke gue, sayang telinga yang satu lagi belom.” kali ini Zaidan yang ngomong. “Bisa diulang nggak? Aku mau jadiin ini snapgram pertamaku.” ucap Fares udah siap dengan hp ditangannya. “Hoi elaah!! Udah ahh, temen macam apa kalian ini sih!?” “Macam cogan lah..” “Dan cecan.” “Dan kaya raya.” “Dan cool.” “Dan berbudi pekerti baik.” “Dan mencintai sesama makanan.” “Haaaa.. salah gua nanya.” Dan kita semua pun balik lagi makan basonya. “Yaudahlah, urusan nama mah nanti aja, toh kita juga galangsung mau bikin kan.” ucap gua, sambil nambahin kecap ke mangkok baso. “Oke siap. Tapi btw untuk vidio vidio gitu bukannya harus diedit yahh? Biar bagus gitu keluarnnya? Masalahnya gua gajago begituan.” cetus Rafar, tumben dia agak bener kali ini. Yang lain pun cuma memandang balik Rafar, seakan bilang ‘gue juga gabisa lah’ dan aku sendiri pun gabisa. “Rafar, ini fungsi lo punya temen kek gua sekarang.” ucap Mahrez. Entah kenapa aku curiga, merinding-merinding seer. “Ohh!! lo bisa Rez?” “Bro, muka muka kayak gua ini mah gausah di edit. Gantengnya udah maksimal.” . . . . . Sedetik kemudian kita semua harus nahan mas Pandji yang udah nodong-nodong garpu ke Mahrez. Description: “Gua dulu! Gua dulu! Gua dulu pokoknyaa!!” “Gak gak. Lo kalo main ini mah cupuu! Langsung kalah ntar! Mending gua dulu!” “Duhh.. kalian berisik banget sih. Kuping aku pengang nih.” “Ini makanannya mana ya? Kok gaada? Kita kan tamu disini. Kalo gaada mending aku pulang aja.” “Kalian ini.. udah numpang ke rumah orang, numpang main, numpang makan, numpang bacod pulak. Jadi orang gaada martabatnya.” “Seiinget gua, kita kesini buat ngerjain pr bareng. Kenapa kalian malah pada asik sendiri? Gua keluarin martil bunda baru tau rasa kalian!” . . . . . Ya gini nih kalo bertemen dengan sekumpulan orang yang punya satu otak dibagi enam. Riweh gitu isinya..
Title: Retrospective Category: Novel Text: Prolog Salahkah?Jika akhirnya aku hanya ingin berdiri di depanmuMemandang wajahmu yang hanya sejangkauankuLalu mencoba untuk memahami dirimuSekaligus memahami perasaankuLalu bisakah?Kau pahami semua itu Kereta yang dia tumpangi melaju kencang ke arah timur. Terhitung sudah tujuh jam sejak dia berangkat dari Jakarta bersama seseorang yang sekarang masih tertidur pulas di sampingnya. Dia terjaga selama perjalanan karena dia memang tidak pernah bisa tidur di kereta. Fajar sudah muncul beberapa saat yang lalu, menyemburatkan kemerahan di balik barisan awan di kaki langit sebelah timur. Dia mengulet sesaat melemaskan punggungnya yang sudah terasa pegal. Dia mencepol rambut panjangnya dan mulai membereskan beberapa barangnya. Sebentar lagi dia sampai di tempat tujuannya. Tempat yang selalu membuatnya ingin pulang, bukan pulang pada suatu tempat tapi pada seseorang. Sudah lima tahun dia menunggu dengan segala ketidakpastian. Meski tidak pernah ada janji yang terucap di antara mereka, tapi mereka tahu persis kemana mereka harus pulang. Perjalanan hanya tersisa setengah jam lagi, dia menoleh ke samping dan mendapati wajah tampan itu tertidur pulas dengan segala kepolosannya. Auranya semakin kuat saja seiring dengan kedewasaan yang menyertai perubahan mereka. Seketika dia terkikik mendapati wajah tampan itu sangat berantakan saat ini. Tapi dia sudah biasa melihat wajah tampan tapi beler itu, karena mereka sudah dekat selama beberapa tahun terakhir. “Heh bangun!” dia menyenggol bahu lelaki itu dan hanya mampu membuatnya bergerak sedikit sambil bergumam tidak jelas. “Bentar lagi sampai!” serunya lagi membuat lelaki itu membuka sedikit kedua matanya. “Serius, Ris?” tanya lelaki itu kembali menutup matanya yang masih terasa berat. Tapi cubitan di lengannya membuatnya terpaksa langsung membuka mata lebar-lebar. “Radit! Bangun!” “Iya Carissa... udah melek, nih!” Radit membuka matanya lebar-lebar agar Carissa berhenti mengomel. “Muka lo tuh kacau banget! Sana cuci muka dulu, ntar image lo langsung jatuh.” “Udahlah biarin aja, cuma lo doang yang lihat.” Laju kereta mulai melambat karena stasiun sudah dekat di depan sana. Mereka berdua mulai membereskan barang-barang dan mengambil koper dari bagasi yang ada di atas tempat duduk mereka. Saat kereta benar-benar berhenti sempurna, mereka langsung turun dan masing-masing menarik satu koper berukuran sedang. “Akhirnya pulang juga...” gumam Radit saat mereka berjalan menuju peron. “Lebay! Padahal setengah tahun yang lalu kita juga pulang.” Bruk! Tiba-tiba seorang pemuda menabrak bahu kiri Carissa hingga membuat buku agenda kecilnya terlepas, jatuh dan membuat beberapa lembaran yang terselip di sana berceceran. “Maaf Mbak, saya buru-buru!” seru pemuda itu sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada lalu kembali bergegas kemudian melompat masuk ke gerbong kereta jurusan Yogya-Solo yang pintunya sudah hampir menutup. Carissa hanya menghela napas lalu memungut kertas-kertas yang berceceran itu. Ada dua lembar foto di antara kertas-kertas berisi coretan tangannya. Satu foto berempat dengan sahabat-sahabatnya, Gafin, Nabila, dan Meyca. Foto kedua adalah fotonya dengan dua laki-laki yang sangat dia sayangi. Bibirnya tersenyum kecil sambil mengusap debu yang mengotori wajah manis yang sangat dia rindukan itu. “Carissa buruan!” seru Radit yang sudah sampai di dekat peron membuat Carissa bergegas menyusul. Mereka menaiki beberapa anak tangga menuju lobi. Carissa hendak menjinjing kopernya namun Radit langsung mengambil alih pekerjaan itu. “Thanks! Lo memang selalu bisa diandalkan.” “Iyalah, kalau dia nggak ada lo bisa ngandelin siapa lagi selain gue?” ujar Radit membuat Carissa merengut. “Padahal udah empat tahun lebih, tapi dia nggak balik-balik. Kayaknya dia punya pacar deh di sana.” lanjut Radit membuat wajah Carissa semakin tertekuk. “Radit, udah deh nggak usah bahas itu!” geram Carissa yang mulai kesal dengan candaan Radit yang tidak lucu. “Daripada lo makan hati mulu, mending lo sama gue aja.” Kata Radit lagi tanpa sadar Carissa yang ada di sampingnya sudah sangat geram. “Radit!!!!” seru Carissa membuat Radit langsung berjalan cepat menjauh darinya sebelum mendapat serangan darinya menuju papanya yang sudah berdiri di luar peron. Menjemput kepulangan mereka. > “Halo Carissa! Apa kabar?” tanya papa Radit ketika Carissa bersalaman dengannya. “Kabar Carissa sangat baik Om, hehe...” Carissa nyengir kecil ke arah papa Radit yang juga sudah lama dikenalnya itu. Radit merengut ke arah papanya, “Carissa doang yang ditanyain kabar? Sebenarnya anak Papa siapa sih? Radit apa Carissa?” gerutunya seperti bocah. Papa dan Carissa terkikik singkat, “Kamu ini kayak anak kecil saja!” canda Papa lalu menoleh ke arah Carissa. “Carissa sudah seperti anak Papa karena Papa kan nggak punya anak perempuan.” Lanjut Papa membuat Carissa tersenyum lebar dan menjulurkan lidahnya ke arah Radit. Radit menatapnya masam. Mereka bertiga berjalan ke arah parkiran yang ada di samping lobi. “Kalau aja Carissa mau jadi menantu Papa, pasti Papa akan bahagia banget.” Celoteh Radit sambil membuka bagasi mobil. Carissa meliriknya tajam dan Papanya tertawa lagi. “Tapi sayang banget Radit nggak bisa jadiin Carissa menantu Papa soalnya Carissa cintanya sama orang lain.” Lanjut Radit yang justru mendapat cubitan yang lebih keras di lengannya. “Heh! Sembarangan banget kalo ngomong.” “Sudah ayo kita segera pulang, kalian pasti lelah, kan?” ujar Papa retoris lalu masuk mobil diikuti Carissa yang duduk di belakang dan Radit di samping Papanya. “Tidak masalah Carissa jadi menantu Papa atau tidak yang penting Carissa selalu bahagia.” “Tuuuuuuh! Dengerin Papa kamu ngomong, Dit!” seru Carissa di samping telinga Radit. Radit mengedikkan bahu sambil memonyong-monyongkan bibir menirukan kalimat Carissa. Dia mendapat tepukan keras di pundaknya dari Carissa tapi dia cuek saja dan Papanya tertawa lagi melihat tingkah mereka berdua. “Kalian ini ada-ada saja!” gumam Papa yang mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. “Kalian mau sarapan dulu nggak?” “Mauuuu! Kita beli soto yang deket Pasar Gede itu yuk Pa!” seru Radit yang sudah merindukan masakan itu. “Oke, pagi-pagi cocok nih makan soto.” Mereka berbelok ke daerah Pasar Gede untuk menikmati menu Soto yang menjadi sarapan mereka kali ini. Jalanan yang mereka lewati pagi ini mengingatkan Carissa ketika dia pindah ke kota ini sekitar enam tahun yang lalu. > Update setiap Minggu dan Rabu :) #Kepingan 1: Lingkaran Carissa Suatu pagi di akhir bulan Juni , enam tahun sebelumnya Mereka duduk di dalam sebuah taksi yang akan mengantarkan mereka ke rumah eyang setelah semalaman di kereta. Carissa lebih banyak diam semenjak turun dari kereta. Berkali-kali menatap kosong keluar kaca, saat ini mereka sedang melintas di kawasan Gladak. Mulai saat dia akan hidup bersama dengan eyangnya di kota Surakarta atau lebih dikenal dengan kota Solo. Sebuah kota yang berada di antara jalur Surabaya-Yogya dan berada di simpul Yogyakarta-Semarang. Kota dengan bermacam budaya Jawa di berbagai sisinya yang menjadi nyawa dari kota ini menyatu dengan keramah-tamahan penduduknya, membentuk satu keselarasan di dalamnya. “Kamu capek, Rissa?” tanya ayah membuat pandangan Carissa berpaling dari patung Slamet Riyadi yang berdiri tegak di tengah persimpangan jalan. Di sebelah selatan terlihat gapura kuno yang ada di kiri kanan jalan masuk keraton dan sentral batik di sisi lainnya. Inilah yang disebut kawasan Gladak. Di sinilah hotel, keraton, kawasan perbankan, sentral batik, dan kantor wali kota Solo berada. Carissa tersenyum simpul pada ayahnya, “Iya nih rasanya badanku kaku banget. Udah lama nggak naik kereta, sih.” “Ayah ajak naik pesawat, kamu nggak mau.” Carissa nyengir mengingat dia yang ngotot ingin naik kereta saja. “Aku, kan, kangen naik kereta. Dulu sama Ibu kalau pulang ke Solo seringnya naik kereta.” Carissa tersenyum saat menangkap memori itu dalam kepalanya. “Iya... iya...” sahut Ayah melegakan. “Ayah, makasih banyak udah mengijinkan aku tinggal di sini,” jawab Carissa lalu tersenyum lagi. Dari dulu dia ingin sekali bisa merasakan kehidupan di kota ini. Kebetulan juga ayahnya sedang memiliki proyek di luar pulau untuk waktu yang lama. “Iya, Nak, asalkan kamu bahagia, Ayah nggak apa-apa sendirian di Kalimantan sana.” jawab ayah sambil mengusap kepala Carissa. Keduanya terkekeh singkat. “Kamu akan menemukan banyak hal yang luar biasa di sini, percaya sama Ayah! Dan Ayah juga tenang karena di sini ada Eyangmu dan kamu bisa dekat dengan Ibumu.” Ayah menepuk pelan pundak Carissa yang tersenyum lebar. Taksi sudah memasuki sebuah gang menuju rumah eyangnya. Dia memandang sekelilingnya saat taksi berhenti di depan sebuah rumah joglo dengan halaman rumput yang luas dan pohon mangga besar di pojok halaman. Rumah ini memang tidak asing lagi baginya karena dia sering datang ke sini saat liburan sekolah. “Ayo masuk!” seru ayah yang sudah berdiri di samping Carissa. Mereka membuka gerbang depan setinggi dada itu. Lagi-lagi Carissa terpaku ketika hawa hangat itu terasa melingkupi hatinya saat ini. Seperti pelukan ibu yang menyambutnya pulang. Carissa segera menyusul ayahnya yang sudah memasuki pendopo dan berdiri di depan pintu gebyok[1] rumah eyangnya yang setengah terbuka. “Hermawan, Carissa...” seorang wanita paruh baya yang memakai daster panjang bermotif batik serta sehelai selendang yang menutupi kepalanya tersenyum hangat menyambut kedatangan menantu dan cucunya. “Selamat datang…” “Assalamualaikum, Uti[2]!” Carissa menghambur ke pelukan eyang putrinya. “Apa kabar?” Eyang mengelus lembut punggung cucunya “Baik sayang…” bibirnya tersenyum dan rasa haru melingkupinya saat dia melihat cucunya yang tumbuh dewasa. Wajah yang selalu tersenyum manis itulah satu-satunya yang bisa mengobati rasa rindu pada putrinya. “Assalamualaikum, Ibu,” sapa ayah sambil bersalaman dengan eyang. “Walaikumsalam...” jawab eyang yang masih merangkul pinggang Carissa. “Uti sudah nunggu-nunggu dari tadi lho, bagaimana perjalanan kalian? Pasti capek ya?” tanya eyang sambil menuntun Carissa memasuki rumah utama sementara ayahnya mengikuti dari belakang. > Pintu dari kayu jati itu terkuak saat Carissa memutar kenopnya. Kamar dengan ranjang, nakas, dan lemari dari kayu dengan motif ukir jepara ini memang kamar yang biasa dia pakai saat liburan ke sini, tapi mulai hari ini, kamar ini akan menjadi kamarnya. Mulai hari ini hidupnya sudah benar-benar pindah ke kota ini. Carissa membuka lebar-lebar daun jendela yang juga terbuat dari kayu itu dan menghirup sedalam-dalamnya udara luar yang terasa begitu menyegarkan paru-parunya. “Selamat datang Cah Ayu[3],” suara wanita yang sudah akrab di telinganya itu membuatnya kembali membuka mata dan menoleh ke arah pintu. “Hai Mbok!” sapa Carissa riang pada wanita paruh baya yang selalu memakai jarik dan rambutnya yang memutih tergelung rapi. “Aku kangen sama si Mbok,” kata Carissa manja sambil memeluk Mbok Narsi, wanita yang sudah puluhan tahun ikut eyangnya dan turut membesarkan ibunya. “Iya, si Mbok juga kangen sama kamu,” kata Mbok Narsi lembut. “Lho? Kok si Mbok nangis?” tanya Carissa saat dia mengurai pelukannya dan melihat setitik air mata yang meluncur dari kedua mata tua Mbok Narsi. “Ndak apa-apa,” kilah Mbok Narsi sambil cepat-cepat mengusap air matanya. “Si Mbok hanya terharu saja, kamu sudah sebesar ini. Si Mbok jadi ingat sama Ibumu Nduk,” lanjut mbok Narsi pelan lalu tersenyum haru. “Aaaaah si Mbok...” gumam Carissa sambil memeluk mbok Narsi lagi, tanpa sadar kedua pelupuk matanya juga menitiknya butiran bening. Aku kangen sama Ibu... > Menjelang petang Carissa baru selesai merapikan barang-barangnya dibantu oleh eyang dan Mbok Narsi. Sekarang dia sudah duduk manis di tepi tempat tidur menghadap ke jendela yang daunnya masih terkuak lebar. Dia baru saja selesai mandi. Carissa meletakkan handuknya di kasur dan menggeser duduknya mendekati nakas. Tangannya meraih sebuah novel yang tergeletak di atasnya dan membukanya. Jari tangannya berhenti saat membuka suatu halaman novel yang menemani perjalananannya semalam itu. “Kemana foto itu?” tanya Carissa seorang diri. “Harusnya di sini,” gumamnya lagi sambil membolak-balik halaman novel itu. Dia masih ingat betul dengan selembar foto yang dia jadikan pembatas novel itu. Carissa menutup novel itu sambil terus berusaha mengingat. Mungkin foto itu jatuh, yah sudahlah masih ada soft file-nya masih bisa dicetak lagi. Masalah selesai. Ponselnya berdering, Carissa beranjak cepat menuju meja belajarnya dan mengangkat telepon itu sebelum dering kedua selesai. “Hai,” sapanya saat mengangkat telepon itu. “Iya udah sampai dari tadi pagi.” Lanjutnya setelah orang itu bertanya kapan dia sampai. Percakapan mereka berlanjut hingga 10 menit berikutnya. > Kali ini Carissa berjalan seorang diri memasuki pelataran gedung sekolahnya. Gedung yang masih sangat asing baginya meskipun sudah dua kali dia ke sini sebelumnya saat mengurus perpindahannya, kemarin-kemarin Utinya masih menemaninya tapi hari ini dia ingin merepotkan Utinya. Jam tangannya menunjukkan pukul 06.40 saat dia menginjakkan kaki di lobi gedung yang sudah ramai dengan lalu-lalang siswa berseragam batik berwarna biru itu. “Ini dia,” ujar Carissa lega saat menemukan tulisan ruang kepala sekolah lalu mengetuk pintu dan masuk dengan sopan. Dia menunggu di sana sampai bel masuk berbunyi sambil sesekali ngobrol dengan ibu kepala sekolah bernama Rahmi itu. Sudah jam tujuh. Inilah saatnya dia bersama ibu kepala sekolah menuju kantor guru untuk mempertemukan Carissa dengan Pak Herman yang akan menjadi wali kelasnya. Carissa berjalan bersisian dengan Pak Herman, matanya tidak pernah berhenti memandang sekelilingnya. Aksen-aksen budaya jawa sangat terlihat di setiap sudutnya. Nama-nama ruangan yang tertulis dengan aksara jawa dan lukisan-lukisan batik yang tertempel setiap beberapa jengkal dinding koridor. “Ini kelas kita Carissa,” kata Pak Herman sambil berbelok memasuki sebuah ruang kelas. Carissa memperkenalkan diri ala kadarnya sebelum akhirnya duduk di samping seorang gadis berkerudung. Dialah orang pertama yang dikenal Carissa di kelasnya. Nama gadis berwajah ayu itu adalah Nabila. Sorot matanya selalu berbinar saat dia tersenyum. Selesai dua mata pelajaran diselingi dengan istirahat selama lima belas menit. Dua orang dari arah belakang tiba-tiba maju dan duduk di depannya, mereka berdua nyengir lebar padanya lalu memperkenalkan diri. “Hai Carissa, aku Meyca,” gadis berambut pendek itu berkata riang. Carissa menyambut uluran tangan Meyca sambil tersenyum. “Gafindra,” sahut seseorang bertubuh kurus tinggi di samping Meyca lalu tersenyum menampakkan lesung pipit di pipi kirinya. “Panggilan aja Gafin.” Carissa tersenyum pada Gafin yang balas nyengir lebar padanya, dan Meyca tiba-tiba memotret ke arahnya. “Kita bertiga berteman baik, dari kelas sepuluh,” sambung Nabila memperjelas hubungan mereka bertiga. “O gitu? Senang ketemu sama kalian,” ucap Carissa tulus dan ketiga orang di sekitarnya tersenyum juga ke arahnya. “Kamu suka fotografi?” tebak Carissa. “Yaps!” sahut Meyca riang dan kembali sibuk dengan kameranya. “Aku suka motret, apapun itu yang menurutku menarik.” Mereka bertiga mengajak Carissa ke luar kelas sekedar untuk jalan-jalan sambil sekalian mampir jajan di kantin. Saat mereka di kantin, Nabila memisahkan diri, dia harus pergi ke gedung ekskul. > [1] Papan besar penuh ukiran yang berbentuk pintu dan jendela pada rumah joglo. [2] Panggilan untuk Eyang Putri [3] Panggilan kesayang untuk anak perempuan. Update setiap Minggu dan Rabu :) #Kepingan 2: Sketsa Halaman Pertama Matahari sudah tergelincir jauh saat ia memarkir motornya di depan garasi rumah. Dia melepas helmnya kemudian mengelap dahinya yang tertutupi ujung-ujung rambutnya yang mulai memanjang, bahkan bagian belakangnya sudah menyentuh kerah kemejanya. Langkah-langkah lebar kakinya yang jenjang memasuki rumahnya lalu meletakkan tas punggungnya di meja makan. Terakhir kali dia pulang ke rumah ini seminggu yang lalu. Dia memang tidak tinggal di rumah ini bersama orang tuanya sejak kelas XI. Dia tinggal dekat dengan sekolah karena kesibukannya dan untuk memudahkannya pergi ke sekolah. Rumah itu adalah rumah yang dulu mereka tempati sebelum ayahnya membangun rumah lagi di pinggiran kota yang memiliki halaman luas, udara yang lebih sejuk, kebun di belakang rumah, dan juga lingkungan yang lebih tenang. Rumah yang ditempati kedua orang tuanya sekarang. Selain itu, rumah ini lebih dekat dengan rumah kakek­-neneknya. Ibunya akan jauh lebih tenang dan lebih mudah merawat kakek-neneknya yang sudah renta. Dari sini ke sekolah membutuhkan waktu satu jam lebih. Jadi, dia memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah yang dekat dengan sekolah itu. Rumah yang mungkin akan dijual atau dikontrakan jika nanti dia sudah lulus SMA. “Eh Mas Kendra pulang,” ujar Mbak Sarti saat menyadari kehadiran Kendra. Kendra mengambil minum di kulkas, “Ibu belum pulang, Mbak?” “Udah, sekarang lagi di teras samping kayaknya,” jawab Mbak Sarti yang sedang menyetrika pakaian. Mbak Sarti hanya datang dua atau tiga kali seminggu ke rumahnya untuk membantu ibunya bersih-bersih pekarangan dan menyetrika pakaian, selebihnya ibunya melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Kendra bergegas ke teras samping untuk menemui ibunya. Di sana tampak seorang wanita yang masih kelihatan cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi. Dia kelihatan anggun dengan rambutnya yang tergelung rapi. Tapi ada yang berbeda, wajahnya terlihat murung. Tatapannya kosong kearah rak kayu yang diatasnya terdapat berbagai jenis kaktus yang tumbuh dengan baik. Sepertinya sedang ada yang menganggu pikirannya saat ini. “Ibu.” Kendra memanggil ibunya. Wanita itu menoleh karena mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya dan tersenyum kecil pada putranya. Tapi tetap saja senyum itu tidak seperti biasanya. “Kenapa nggak bilang dulu kalau mau pulang?” tanyanya halus. “Kan, Ibu bisa masakin kamu sesuatu.” “Iya Bu, maaf. Lagian aku juga cuma mau ngambil sepatu kok,” jawab Kendra sambil duduk di samping ibunya lalu mencium tangan ibunya. “Jadi kamu nggak nginep?” “Nggak Bu, nanti malam aku balik,” Kendra meletakkan gelas di sebuah meja kecil yang terbuat dari rotan yang ada di sampingnya. “Ibu kenapa?” tanya Kendra hati-hati karena dia melihat raut wajah ibunya yang tidak seperti biasanya. “Ha?” ibu merasa kalau pertanyaan Kendra aneh. “Ibu nggak apa-apa,” jawabnya datar kemudian ia melengos. “Ibu pasti lagi mikirin sesuatu, apa ada masalah?” tanpa berkata apapun, tiba-tiba pandangan ibu meredup lalu menghela napas berat. “Tuh kan, Ibu kenapa? Ada masalah apa?” Kendra menyentuh bahu ibunya. Sesaat setelahnya ibu meraih sebuah foto berfigura di atas meja. “Kamu masih inget siapa dia?” tanya ibu sambil memperlihatkan foto itu. Kendra mengangguk pelan, meskipun sebenarnya dia hanya mengenal wanita itu sebatas dalam foto dan cerita dari ibunya saja. “Minggu depan tepat tujuh belas tahun Tante kamu meninggal. Tidak terasa sudah lama sekali, tapi Ibu masih merasa sangat kehilangan,” kata ibu pelan, Kendra kembali mengelus pelan bahu ibunya. “Nanti Ibu bisa dateng ke makamnya, Ibu bisa tengokin Tante,” Kendra tahu sedikit tentang adik-ibunya itu. Tapi dia sama sekali tidak ingat tantenya itu semasa hidupnya, karena tantenya meninggal saat usianya belum genap dua tahun. “Ibu masih kepikiran terus sama dia, karena Ibu belum bisa memenuhi janji Ibu padanya,” kata ibu mulai berbagi isi hatinya. “Ibu punya janji apa sama Tante?” Ibunya hanya tersenyum tanpa menjawab dan dia tidak bertanya lagi meskipun dia sangat penasaran. > Hari ini Carissa pulang bersama dengan Nabila. Mereka duduk di bangku halte menunggu angkot atau bus yang masih mampu mengangkut mereka di jam pulang sekolah begini. Nabila sudah naik ke dalam angkot hanya beberapa saat setelah mereka tiba di halte. Sekarang tinggal Carissa sendirian menunggu bus di sana. “Ck, yah lewat lagi, kan...” gerutu Carissa saat dia melihat sebuah bus yang sudah jauh karena dia terlalu asyik membaca komik. Dia mendumel kesal sambil berkacak pinggang masih menatap bus yang sekarang sudah berbaur dengan kendaraan lain itu. Carissa duduk kembali di bangku halte yang sekarang hanya dihuninya seorang diri. Dia asyik membaca komik lagi. Setelah beberapa menit akhirnya dia bisa tersenyum lega saat ada sebuah bus merapat ke halte. Carissa langsung menutup komiknya dan berjalan mendekati pintu bus yang sekarang sudah benar-benar berhenti di depannya. Carissa menjejakkan satu kakinya di pintu bus, tapi tiba-tiba ada seseorang yang juga akan masuk ke dalam bus. “Aduh! Pipi gue!” umpatnya sambil mengelus tulang pipinya yang nyeri karena pundak orang itu membertur pipinya cukup keras. “Ini orang apaan sih?! Rese’ banget!” omel Carissa sambil masuk ke dalam bus. Carissa hanya bisa menghela napas panjang sambil melangkah naik ke dalam bus. Busnya hanya setengah penuh, menyisakan banyak kursi kosong. Carissa berjalan dari pintu depan dan mendapati kursi kosong di bagian tengah. Di samping Carissa sudah ada seorang wanita paruh baya yang menatap ke luar jendela. “Klutak!” sebuah ponsel terjatuh menghantam lantai bus. Carissa melihat ke arah ponsel yang jatuh dekat kakinya. Sebuah tangan dari bangku seberang terulur untuk memungutnya, Carissa memandang pemilik tangan itu. Sepasang mata itu menatapnya sejenak. “Makanya jangan suka nyerobot, Mas!” umpat Carissa pelan pada orang yang menyerobotnya masuk bus itu. Selanjutnya cowok itu hanya sibuk dengan ponselnya tanpa menghiraukan sekitarnya lagi. Carissa melirik sebal ke arah cowok yang satu sekolah dengannya itu. Carissa kembali menikmati perjalanan pulangnya, melihat apa saja yang sedang dilewatinya sekaligus menghapal jalan menuju rumahnya, hingga sejenak membuat Carissa terlarut dalam pikirannya. Perjalanan menjadi sedikit lama karena ada penutupan jalan dan trayek bus dialihkan. “Grek! Grek! Grek!” sejenak bus berjalan tersendat-sendat dan kemudian berhenti. Orang-orang mulai ribut ingin tahu apa yang terjadi. Termasuk juga dengan Carissa. “Aduh, maaf ya Mbak, Mas, Bapak, Ibu semuanya, busnya mogok,” ucap kondektur bus dengan logat Jawa yang kental. Semua orang mulai turun sambil mengomel dengan bahasa yang sedikit tidak dia mengerti. Carissa ikut turun dan orang yang tadi menerobosnya, berjalan tepat di belakangnya. Adanya pengalihan jalan membuat para sopir itu mencari jalan sendiri-sendiri. Setelah semua orang turun, sopir dan kondektur bus itu juga pergi entah kemana meninggalkan bus mogok itu terparkir di pinggir jalan. Sekarang ini, dia sama sekali tidak tahu ada di mana. Dia mengambil ponselnya untuk melihat di mana posisinya sekarang melalui salah satu aplikasi yang dia miliki. “Argh sial! Mati lagi!” umpatnya kesal saat mendapati ponsel itu hanya bergeming saat dia menekan tombol lock. Orang-orang sudah mulai berkurang karena mereka dijemput, tapi Carissa masih berdiri di tempatnya bersama beberapa orang. Dia tidak tahu harus ke mana dan harus bagaimana. Saat ini saja dia tidak bisa menghubungi siapapun. Carissa menoleh kanan-kiri. Jalan ini tidak begitu ramai, akan sangat sulit juga mencari taksi bahkan tukang ojek sekalipun. Cowok menyebalkan di bus tadi juga masih berdiri tidak jauh di sampingnya. Carissa sudah sangat pegal berdiri di sini, apa dia harus menyusuri kembali ke jalan besar yang jauh di depan sana? Oh my God...... > Matahari sudah semakin turun di sebelah barat. Sesekali Kendra melirik jam tangannya. Ternyata sudah cukup lama dia berdiri di sini dan orang-orang yang tadi bersamanya sudah mulai berkurang satu demi satu. Sekarang hanya ada satu cewek yang berdiri beberapa meter di sampingnya yang sesekali kali terlihat melemaskan pergelangan kakinya. Kendra menoleh sejenak ke arah cewek itu dan kembali menatap ke depan, beberapa kali dia melakukan hal itu sejak mereka masih di dalam bus, bahkan hingga tanpa sadar ponselnya jatuh dan meninggalkan goresan yang cukup mengganggu di layarnya, padahal jatuhnya cuma pelan. Dia berharap di masa depan layar ponsel bisa dibuat lebih kuat, tahan benturan kalau bisa tahan air sekalian. Dia menoleh ke samping lagi, lalu berpikir. Dia merasa ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan cewek itu. Tapi dia tidak ingat di mana atau kapan. Sejak tadi dia terus berpikir tapi dia tidak juga menemukan jawaban yang dia cari. Kendra sudah akan melangkah pergi dari tempat ini, tapi separuh hatinya ingin tinggal. Dia ingin bertanya, tapi dalam hati dia juga ragu. Tiba-tiba cewek itu berbalik dan melangkah pelan kembali ke arah sebelumnya. Memang sejak tadi tidak ada angkutan umum yang lewat. Kendra melangkah lebar-lebar dan berhasil menjangkau tas punggung cewek itu dalam beberapa langkah. > “Apaan sih?!” sentak Carissa saat seseorang menarik tas punggungnya dan membuat langkahnya terhenti tiba-tiba. “Lo siapa sih? Narik-narik tas gue seenaknya?!” sahut Carissa ketus setelah dia berhasil menghempaskan tangan cowok menyebalkan yang sama sekali tidak dikenalnya itu. “Kalo mau cari bus bukan ke sana,” sahut cowok itu datar dan Carissa terus menatap penuh selidik. “Ada jalan pintas ke arah sana, terserah mau ikut apa enggak.” Cowok itu langsung berbalik dan melangkah santai meninggalkan Carissa yang masih terpaku. Carissa menoleh ke belakang, jalan utama jaraknya lebih dari 1 km. “Iya, jauh banget lagi,” gumam Carissa seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dia benar-benar bingung, apalagi ini juga sudah hampir gelap. Dalam hati bingung mau percaya pada orang yang tidak dikenalnya itu atau dia mau berbalik arah saja, tapi itu jauh sekali. Sendirian pula. Dia menatap cowok yang berjalan santai beberapa langkah di depannya. Kelihatannya bukan orang jahat, meskipun tatapannya agak dingin. Kalaupun cowok itu macam-macam, setidaknya mereka masih satu sekolah. “Tunggu!” seru Carissa tapi cowok itu tidak menghentikan langkahnya. Akhirnya Carissa melangkah cepat menyusul. Cowok itu yang hanya menatapnya sekilas saat langkah mereka sudah sejajar. “Ini masih jauh nggak?” tanya Carissa lagi setelah beberapa saat mereka berjalan tanpa bicara apapun. “Nggak,” jawabnya singkat lalu menunjuk ke depan, di ujung gang terlihat jalan besar. Carissa hanya diam di samping orang yang tidak dikenalnya sama sekali ini saat mereka berdiri di pinggir jalan itu menunggu bus. Sesekali dia menoleh ke samping, matanya hanya menangkap bahu orang itu. Dia harus sedikit mendongak untuk melihat wajah dingin itu. Tanpa diduga, cowok itu menoleh pada Carissa, mungkin dia juga merasa kalau Carissa beberapa kali menatap kearahnya. “Kenapa?” tanyanya sinis. “Nggak apa-apa,” jawab Carissa cepat-cepat. Dia itu menoleh lagi dan memandang Carissa seksama. Carissa langsung mengalihkan matanya. “Gue Carissa, lo siapa?” Carissa mengulurkan tangannya dan mencoba membuka pembicaraan lagi. Tidak enak juga, dari tadi bersama tapi tidak tahu namanya. “Kendra,” jawabnya singkat tanpa menyambut tangannya, Carissa segera menarik lagi tangannya sambil merengut kesal. “Kelas berapa?” tanya Carissa lagi. Kendra tidak menjawab pertanyaannya, dia justru langsung masuk ke dalam bus yang merapat ke arah mereka. Bus jurusan yang sama dengan bus mogok yang tadi ditumpanginya. Meninggalkan Carissa begitu saja, sedetik kemudian Kendra berbalik. “Mau pulang, nggak?” tanya Kendra dingin. “Iyalah pulang!” jawab Carissa cepat lalu mengikuti Kendra naik ke dalam bus. Mereka berdua duduk di deretan kursi paling belakang, karena memang hanya kursi itu yang tersisa. Seperti sebelumnya, mereka hanya saling diam. Carissa sendiri bingung untuk memulai percakapan dengan Kendra sementara Kendra sibuk sendiri mencoret-coret sketchbook. Hingga akhirnya kondektur bus berjalan ke arah mereka untuk menarik ongkos. “Sekalian sama dia, Mas,” kata Kendra sambil memberikan sejumlah uang pada kondektur. “Lho?! Gue punya uang buat bayar,” sahut Carissa sebal. Kendra menoleh pada Carissa, mata bulat itu mengerjap dan menatapnya tajam. Dia balik menatap wajah Carissa yang kemudian memaling darinya. “Tadi ongkosnya pas untuk berdua, biar nggak perlu kembalian. Jangan salah sangka, kamu bisa ganti lain kali. Jadi kita harus ketemu lagi.” Ujar Kendra seolah bisa mengerti apa yang ada dalam kepala Carissa. “Gue turun di perempatan depan itu. Makasih ya udah bantuin dan udah bayarin ongkosnya,” kata Carissa sebelum dia berdiri. Pada saat itu Kendra hanya menatapnya sejenak lalu mengangguk. Carissa tersenyum pada Kendra sebelum melangkahkan kakinya, dan Kendra tidak memberikan reaksi apa-apa. Huh! “Duluan ya?” pamit Carissa lalu berjalan ke arah pintu bus. Dia memberitahukan pada kenek bus di mana dia turun lalu menoleh lagi ke belakang, Kendra sedang memandang ke arahnya tapi segera berpaling saat mata mereka bertemu. Bus berhenti dan Carissa segera turun. Pada saat yang sama, Kendra melihat hasil gambarnya yang sudah setengah jadi. Berantakan, karena dibuat di atas bus yang berjalan. Tidak masalah, nanti bisa dia rapikan di rumah. Dia baru membeli sketchbook baru, dan sketsa wajah seorang yang masih asing mengisi halaman pertamanya. Carissa. > Update 2 kali dalam seminggu :) #Kepingan 3: Rumah (?) Musik SKA mengalun dari radio dengan volume rendah. Radit bersandar santai di tempat tidurnya. Jendela kamarnya terbuka lebar membiarkan angin sore memasuki ruangan yang tidak begitu luas itu. Saat dia sedang asyik membaca komik detektif seri terbaru, Papanya mengetuk pintu dan membukanya pelan. “Ada apa, Pa?” tanya Radit tanpa beranjak dari ujung tempat tidurnya. “Nggak apa-apa,” jawab papa singkat sambil berjalan memasuki kamar. “Gimana? Udah selesai semua kan, urusan kamu dengan sekolah?” lanjut papa hati-hati. “Udah beres, kok. Besok tinggal masuk aja,” jawabnya tanpa menatap papanya yang duduk di kursi yang ada di samping jendela. “Rumah yang mau kita pakai udah siap, kan? Radit pengin cepet-cepet pergi dari sini, Pa,” lanjut Radit tanpa melihat perubahan ekspresi papanya. Papa berdehem sejenak sebelum menjawab pertanyaan Radit. Dia memang berencana membeli sebuah rumah di Solo untuk ditempatinya bersama Radit. Tapi rencana itu tidak terealisasi, bukan karena masalah uang tapi masalah yang jauh lebih rumit. “Dit, kita akan tinggal di sini sama Eyang,” jawab papa hati-hati. Radit menutup komiknya dan memandang papa dengan seksama. Kedua alisnya yang tebal berkerut, “Papa bercanda?” tanya Radit tidak percaya. “Bukannya Papa udah janji sama aku? Aku mau pindah ke sini tapi nggak tinggal di rumah ini, Pa.” tuntut Radit yang masih sulit menerima keputusan papanya yang mendadak. Radit dan papanya sudah sejak dua minggu yang lalu berada di Solo. Radit memang akan pindah sekolah ke kota ini karena papanya harus mengurus bisnis kakeknya yang belum lama ini meninggal. Dalam keluarganya, papanya adalah anak laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara, dan memang hanya papanya yang diharapkan untuk meneruskan usaha batik yang sudah turun-temurun itu. “Iya, Papa minta maaf karena tiba-tiba Papa membatalkan tentang rumah itu,” kata papa sabar. Radit hanya diam menatap ke arah laki-laki yang tidak kehilangan kegagahannya meski usianya sudah pertengahan empat puluh. “Papa nggak mungkin menolak kemauan Eyang kamu untuk tinggal di sini. Lagian sekarang, kan, Eyang Kakung kamu udah nggak ada. Apa salahnya sih kita di sini?” “Aku nggak bisa, Pa!” seru Radit membuat papanya menatap tajam ke arahnya. “Papa tahu kan, kalau dari dulu Eyang nggak suka sama aku. Tapi kenapa Papa malah...” kalimat Radit menggantung, tidak tahu lagi harus bicara apa. Dia sudah menuruti kata-kata papanya untuk sekolah di Solo tapi dengan satu syarat kalau dia tidak mau tinggal di rumah Eyangnya. Tapi sekarang? “Kenapa aku harus ke sini Pa? Aku bisa tetap sekolah di Jakarta, nggak apa-apa kalau aku sendirian di sana. Lagian juga di sana aku punya banyak teman.” “Papa tidak mungkin membiarkan kamu sendirian di Jakarta, Nak. Di sana tidak ada siapa-siapa, semua saudara kita ada di sini. Papa takut jika terjadi sesuatu sama kamu dan Papa tidak ada,” jelas Papa memberi alasannya. “Tapi kan aku bukan anak kecil lagi, Pa. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” potong Radit ketus. Dia sudah benar-benar kesal dengan situasi ini. “Radit,” kata papa masih mencoba sabar. “Semua itu akan ada waktunya, kapan kamu harus bertanggungjawab atas diri kamu sendiri, tapi sekarang tolong ikutlah Papa dulu, Dit. Bukan berarti Papa mau mengekang kamu, ini semata-mata karena Papa ingin menjaga kamu. Nanti, kalau kamu sudah lulus SMA kamu boleh kuliah ke Jakarta atau ke luar negeri sekalipun, karena itu memang sudah saatnya kamu bertanggungjawab atas diri kamu sendiri.” Radit tidak menggubris kata-kata panjang dari papanya. Dia sudah terlalu malas mendengar omelan papanya, memang terkadang papanya bisa menjadi sangat bawel dan overprotektif melebihi ibu-ibu, hah kalau saja..... “Dit, Papa minta maaf sama kamu. Papa tidak punya pilihan lain, Nak,” kata papa pada Radit yang menyibukkan diri dengan komiknya. “Papa minta kebesaran hati kamu untuk mau tinggal di sini sama Eyang. Ya?” bujuk Papa. Radit menoleh ke arah papanya yang menatapnya dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda papanya akan marah besar. Itu justru membuatnya tidak sampai hati melihat papanya seperti itu. Semua ini memang menjadi beban untuknya dan kalau dia marah pada papanya, maka hal ini juga akan menjadi beban bagi papanya. “Hmm, ya sudahlah. Aku nggak akan bisa menolak kemauan Papa. Semoga keadaan menjadi lebih baik, Pa,” kata Radit terpaksa. Semua ini dia lakukan hanya demi papanya. Bukan berarti dia mau tinggal di rumah ini dengan senang hati. Nanti akan dia pikirkan lagi bagaimana bisa keluar dari rumah yang seperti neraka baginya ini. Papa hanya tersenyum penuh arti sambil merangkul bahu Radit, lalu mengelus kepala putranya. “Besok Papa akan urus semuanya dan Papa juga akan suruh orang ngirim barang-barang kamu yang masih di Jakarta,” kata papa sambil berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu. “Makasih Pa,” kata Radit berusaha setulus mungkin. “Papa yang harusnya bilang makasih ke kamu. Makasih banyak ya, Dit,” sahut papa sebelum menutup pintu kamar Radit. Radit melemparkan punggungnya ke atas tempat tidur lalu menghela napas berkali-kali, banyak yang dia pikirkan, terutama bagaimana caranya dia pergi dari rumah ini. Pikirannya terasa sangat sumpek, akhirnya dia meraih ponsel dan satu map berisi bermacam dokumen lalu bergegas keluar dari kamarnya. Barangkali udara dingin di luar bisa sedikit mengurai sumpek pikirannya saat ini. > Carissa menyalakan laptopnya untuk mengecek lagi artikel yang baru saja selesai dibuatnya. Dia sudah mencari tahu tentang oprec[1] majalah sekolah kemarin. Salah satu persyaratan untuk bisa bergabung, dia harus membuat dua buah artikel dengan dua tema yang sudah ditentukan. Untung dia masih sempat mendaftar di hari terakhir pendaftaran. “Oh iya, printer di sini, kan rusak!” Carissa menepuk jidatnya sendiri. Di rumah memang ada satu printer tapi sudah lama rusak karena tidak ada yang memakai. Di luar sedang gerimis, Carissa meraih payung yang ada di dekat pintu dan segera berangkat ke tempat fotokopian. Setelah berjalan sekitar 600 meter dari rumah, akhirnya Carissa menemukan fotokopian itu di area depan kompleks rumah, tidak jauh dari gapura masuk gang rumahnya. Carissa meletakkan payung yang dibawanya dan segera masuk ke fotokopian. Selokan besar yang ada di depan tempat itu sekarang penuh dengan air hujan dan berarus cukup kencang. Ruangan itu tidak terlalu besar, dua mesin fotokopi berjajar di belakang lemari etalase dan dua komputer ada di sisi kirinya. “Permisiii Mas,” kata Carissa pada seorang laki-laki bertubuh tambun yang berdiri membelakanginya sedang sibuk dengan mesin fotokopi. “Mau nge-print bisa, Mas?” “Monggo, langsung saja di situ.” Laki-laki itu menujuk komputer yang ada di dekat Carissa. Dia menunggu sejenak file yang sedang dicetak sambil sesekali ngobrol dengan pemilik fotokopian itu. “Ada yang lain lagi, Mbak?” tanya laki-laki itu pada Carissa sambil merapikan hasil cetakan yang baru saja keluar dari printer. “Udah itu aja Mas,” jawab Carissa sambil menyerahkan sejumlah uang. “Maaf ya Mbak plastiknya lagi habis dan ini kembaliannya.” laki-laki itu meletakkan sejumlah uang di atas sebendel kertas cetakan milik Carissa. “Itu FD-nya jangan lupa, matur nuwun[2] Mbak…” lanjutnya ramah pada Carissa. “Iya Mas, sama-sama. ” Carissa berjalan ke pintu. Tapi saat dia baru selangkah keluar dari pintu, tiba-tiba air menetes mengenai kertas-kertas di tangan kirinya. Tinta itu langsung luntur. “Loh! Loh! Loh!” seru Carissa kaget sambil menyeka tetesan air yang datang entah dari mana itu. Tapi malam membuat huruf-huruf cetak itu malah menjadi kabur tidak jelas. Carissa mendongak dan mendapati sumber air itu yang ternyata menetes dari ujung-ujung payung milik seseorang. “Woi Mas! Payungnya.” seru Carissa menahan kesal. “Iya Mbak?” cowok berpayung itu menoleh pada Carissa tanpa meletakkan dulu payungnya dan itu justru menambah hancur kertas Carissa. “Heh! Payung lo tuh.” seru Carissa lagi sambil menjauhkan kertasnya sebelum semakin hancur. Pada saat yang bersamaan, Carissa tidak sadar ada sesuatu yang meluncur turun hingga jatuh ke selokan dan terbawa arus. “Oh, maaf Mbak, saya nggak sengaja,” sahut cowok jangkung yang kelihatannya masih seumuran dengannya itu sambil menurunkan payungnya. “Lihat nih! Hancur, kan artikel gue.” sahut Carissa bersungut-sungut sebal. Carissa langsunng berbalik dan masuk lagi untuk mencetak ulang artikelnya. “Saya minta maaf, Mbak.” katanya lagi terlihat merasa bersalah. Carissa tidak menghiraukannya lagi dan langsung masuk ke fotokopian. “Ada yang ketinggalan, Mbak?” tanya laki-laki tambun pemilik fotokopian itu saat Carissa kembali masuk. “Nggak Mas, saya mau print lagi yang tadi, basah semua nih,” sungut Carissa sambil memperlihatkan kertas-kertasnya yang basah pada pemilik rental itu dan selanjutnya menatap sebal ke arah cowok berpayung itu yang sekarang berdiri di sampingnya. Carissa mengorek isi dompetnya untuk mencari FD-nya, tidak ketemu. Carissa beralih ke saku celananya, tidak ketemu juga. Dalam hati Carissa mulai panik. Sedetik kemudian Carissa berlari ke depan siapa tahu FD itu jatuh di depan. Carissa sudah berkeliling di teras bangunan yang sempit itu dan tidak menemukan benda kecil dengan gantungan boneka doraemon berwarna biru itu. Kemudian Carissa melongok ke selokan. “Sial! FD gueeee!” seru Carissa sebal dan cowok berpayung itu keluar. “FD gue hanyut!” seru Carissa kesal ketika melihat gantungan FD-nya yang berupa boneka doraemon yang sedang berlayar, timbul-tenggelam di selokan berarus kencang. “Eh Mbak tunggu! Hujan. Bawa payung!” cowok itu mengambil payung dan menyusul Carissa. Pemilik fotokopian itu hanya geleng-geleng kepala saat melihat dua anak muda itu meninggalkan tempatnya. “Itu penting banget ya?” dia berjalan di samping Carissa, masih memayungi Carissa. “Iyalah!” Carissa balik menatap cowok itu dengan sengak. “Artikel gue.” “Maaf, gue udah bikin artikel lo rusak. Terus sekarang gue harus ngapain? Gue ngerasa nggak enak sama lo.” Carissa hanya mengernyit pada cowok berkulit bersih itu. “Gue juga nggak tahu lo harus ngapain?” ujar Carissa sambil mempercepat langkah menuju ke rumahnya sambil mengelap lengannya yang basah karena rintik hujan. “Lo nggak tahu ya kalo ini masih gerimis?” kata cowok itu sambil mempercepat langkah menyusul Carissa dan berjalan disisinya sambil masih terus memayunginya. Selanjutnya tidak ada pembicaraan di antara dua orang yang masih merasa asing satu sama lain itu hingga Carissa sampai di depan rumahnya. Dia langsung berlari memasuki rumahnya tanpa menghiraukan cowok asing itu. Cepat-cepat dia meng-copy artikel itu ke dalam FD yang lain dan bergegas kembali ke fotokopian . Saat dia keluar dari pintu, dia menatap heran saat melihat cowok itu masih berdiri di depan pagar rumahnya. “Ngapain lo masih di sini?” “Nungguin lo, kita jalan bareng ke fotokopian. Payung lo juga masih di sana, kan?” Carissa hanya menghela napas dan kembali berjalan bersisian dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Lagi-lagi tidak ada yang memulai percakapan. “Rumah gue juga masih di daerah sini, kapan-kapan gue ganti FD lo. Gue masih ngerasa enggak enak sama lo.” “Nggak usah, namanya juga apes.” Sahut Carissa tepat kerika mereka sampai di tempat fotokopian, dia segera menyelesaikan urusannya. Orang yang tadi bersamanya sedang mencetak file dan memfotokopi dokumen-dokumen yang entah apa. Saat Carissa keluar dari fotokopian cowok itu mengikutinya, Carissa tidak peduli lalu mengambil payungnya dan melangkah di bawah gerimis yang tidak kunjung berhenti. “Sekali lagi sorry ya!” Carissa masih bisa mendengar seruan cowok itu di antara gemeritik suara gerimis yang menimpa payungnya. Gerimis yang mempertemukan mereka dalam percakapan singkat tanpa sempat saling mengenal. Apakah ini hanya akan menjadi cerita singkat tak berarti di penghujung senja yang dingin? > [1] Open Recruitment [2] Terima kasih. Update dua kali seminggu :) #Kepingan 4: Magenta Koridor kecil itu tidak begitu ramai oleh lalu-lalang orang. Dia sudah sampai di deretan ruang ekskul yang memang terpisah dari gedung utama sekolah. Gedung ini memang agak tersembunyi berada di belakang gedung perpustakaan dekat dengan parkiran. Orang baru seperti dirinya akan sedikit kesulitan menemukan tempat ini pada awalnya. Carissa segera menuju sekretariat Magenta. Pintu sekretariat Magenta setengah terbuka saat dia sampai di depannya dan mengetuk ringan pintu itu sebelum melangkah masuk. “Permisi, Kak,” katanya sopan pada seorang cowok dan dua orang cewek berjilbab yang duduk lesehan di atas karpet dan tampak sibuk dengan berlembar-lembar kertas di depan mereka. Mungkin itu adalah artikel-artikel dari calon-calon anggota baru Magenta seperti dirinya. “Ya? Mau ngumpulin artikel? Foto? ” tanya salah seorang dari ketiga orang itu. “Saya mau ngasih formulir pendaftaran yang kemarin, Kak. Artikelnya sudah kemarin.” jawab Carissa berusaha seramah mungkin sambil menyerahkan artikelnya “Oke,” jawab cowok yang ada di sana sambil memeriksa sekilas formulir Carissa. Pada saat yang bersamaan, masuklah seorang cewek berambut pendek ke dalam ruangan itu. Carissa menoleh dan langsung tersenyum cerah saat dia melihat siapa yang datang. Dia langsung mengisi formulir penyerahan berkas sambil menunggu cewek yang ada di sampingnya. “Nggak nyangka kamu mau gabung ke Magenta juga,” ujar Meyca setelah mengisi formulir. Saat yang bersamaan, seseorang keluar dari pintu sebuah ruangan yang hanya disekat oleh dua buah lemari besar yang ada di sekretariat itu. “Balik dulu ya,” suara orang itu membuat Carissa dan Meyca mendongak seketika dan membuat Carissa tertegun sejenak. “Elo? Kendra, kan?” tanya Carissa spontan membuat tiga orang yang ada di depannya menatapnya heran, begitu juga Meyca yang tiba-tiba menyikutnya agak keras. “Heh! Dia kakak kelas! Nggak sopan, kamu!” seru Meyca di telinga Carissa yang justru menatapnya bingung. Carissa menatap bingung ke arah Meyca sejenak lalu kembali menatap Kendra yang masih berdiri tidak jauh di depannya. Dia bingung apa yang harus dia lakukan sekarang sebelum akhirnya Kendra hanya mengernyit kearahnya lalu keluar begitu saja. “Ih kamu parah banget, Ris!” omel Meyca saat mereka keluar dari sekret. “Kenapa memangnya?” kata Carissa membela diri. “Cara kamu manggil dia tadi, Carissa...” sahut Meyca sedikit geram, Carissa kembali mengerutkan kening kearahnya. “Kamu harusnya manggil dia pake kata ‘kak’ atau ‘mas’ kayak kamu manggil kakak-kakak yang tadi,” jelas Meyca. “Aku nggak tahu Ca, kalau dia senior.” sahut Carissa lalu menghela napas sejenak. Waktu itu Kendra tidak menjawab waktu dia tanya kelas berapa. Mana tahu kalau ternyata Kendra ternyata senior. “Ngomong-ngomong gimana ceritanya kamu bisa kenal sama dia?” “Ketemu nggak sengaja, sih, terus kamu sendiri?” tanya Carissa balik. “Waktu ada kumpul pertama kali oprec Magenta. Kamu nggak ikut, sih.” “Iya, aku kan telat dapet info oprec-nya, hehe...” jawab Carissa lalu nyengir lebar. “Emang dia jadi apa di Magenta?” “Nggak tahu juga, orang waktu itu dia cuma duduk diem mainan laptop doang. Dia juga nggak ngenalin diri. Aku juga nggak tahu sebenernya dia itu anggota Magenta apa bukan,” jelas Meyca dan mereka sudah sampai di parkiran motor. “Mau pulang bareng, nggak?” tawar Meyca. “Kamu nggak balik sama Gafin?” “Nggak, dia lagi main basket di belakang, kamu mau bareng aku nggak?” ulang Meyca sebelum memakai helm. “Nggak usahlah, aku naik bus aja. Lagian rumah aku sama rumah kamu jauh banget,” tolak Carissa. “Oke kalau kamu nolak, yang penting aku udah nawarin ya?” sahut Meyca lalu memundurkan motornya dan men-starter-nya. “Iya, Meyca, hati-hati di jalan...” seru Carissa saat Meyca berlalu. Carissa meneruskan langkah menuju gerbang belakang sekolah. > Sore itu Radit berjalan seorang diri di tengah koridor yang cukup sepi itu, dia sedang mencari ruang ekskul. Maklum karena dia masih baru dan belum sempat keliling-keliling sekolah. Dia mendapati sebuah persimpangan di ujung koridor. “Permisi, maaf...” katanya menghentikan langkah seorang cewek yang berjalan ke arahnya, menunduk fokus pada ponsel. “Ya?” tanya gadis itu sambil mendongak menatap wajahnya. Seketika dia terkesiap kaget, gadis itupun terlihat kaget juga seperti dirinya. “Lo? Yang waktu itu, kan?” tanya cewek itu menatapnya penuh selidik. “Iya, ternyata lo masih inget gue,” sahut Radit pada orang yang tentu saja masih melekat dalam ingatannya. “Oh iya, gue mau tanya nih, sekretariat ekskul di mana ya?” tanya Radit setelah dia teringat apa tujuannya memotong jalan cewek itu. “Lo tinggal lurus aja, mentok belok kiri ngelewati gang antara masjid sama perpus. Gedung ekskul ada di belakang perpus,” jawab cewek itu ringan. Tapi muncul pikiran lain dalam otak Radit. Radit menelan ludah mendengar rute yang cukup rumit itu. “Lo bisa nganterin gue nggak?” Cewek di depannya menghela napas sejenak sambil mengerling ke arahnya. “Ya udah ayo gue anterin!” dumel cewek itu walaupun akhirnya meng-iya-kan permintaan Radit. Mereka pun berjalan bersisian menuju arah belakang gedung utama sekolah. “Nggak nyangka gue ketemu sama lo lagi di sini,” ujar Radit membuka percakapan. “Dunia sempit banget ya? Ternyata kita satu sekolah.” “Lo baru masuk sini?” tanya Carissa dan cowok itu mengangguk. “Wajar sih kalo lo nggak tahu dimana gedung ekskul. Kelas berapa?” “Kelas Sebelas.” sahut Radit lalu tersenyum sambil menunduk, tidak ingin orang di sampingnya ini tahu kalau dia tersenyum tanpa alasan yang jelas. “Kita udah dua kali ketemu, tapi gue nggak tahu nama lo. Gue Radit, lo siapa?” “Carissa,” jawab cewek itu pendek tanpa menoleh ke arahnya. “Lo dari mana?” “Jakarta.” Jawab Radit dan pada saat yang bersamaan mereka sudah tiba di depan gedung ekskul. “Hm... terlalu banyak kebetulan.” Gumam Carissa palan seperti biacara pada dirinya sendiri. “Maksudnya?” Radit mengernyit ke arah Carissa yang tersenyum lalu menggeleng pelan. “Kita udah sampai, lo tinggal masuk aja. Gue pergi duluan ya? Lo bisa balik sendiri, kan?” pamit Carissa sebelum pergi tanpa menunggu jawaban Radit. “Makasih, Carissa!” seru Radit pada Carissa yang sudah melangkah pergi. Dalam hatinya terselip secuil rasa kecewa. Kenapa jarak gedung ini dengan koridor tadi begitu pendek? Gerutunya dalam hati. Sebenarnya dia masih ingin tahu beberapa hal tentang Carissa. Radit baru masuk ke dalam gedung setelah Carissa berbelok di samping masjid, seperti yang dia lakukan tiga hari yang lalu saat gerimis di senja hari itu. > Carissa mempercepat langkah meninggalkan G-eks, berbelok di samping masjid. “Astaga!” seru Carissa kaget sambil mengelus dada saat orang lain tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. “Ngagetin aja!” “Makanya jangan bengong!” sahut Kendra datar. “Mau ke mana?” “Pulang,” jawab Kendra lalu beranjak ke arah parkiran. “Nggak naik bus?!” seru Carissa pada Kendra yang sudah beberapa langkah pergi darinya. “Nggak!” seru Kendra tanpa menoleh dan tetap melangkah cepat menuju parkiran. Carissa mengernyit menatap Kendra yang makin menjauh, “Padahal aku mau ganti ongkos bus yang waktu itu loh!” Seru Carissa tapi Kendra tidak menyahut, menoleh pun tidak, tetap melangkah cepat menuju parkiran. Krik! Krik! > Update 2 kali seminggu :) #Kepingan 5: Pelunasan Hutang Setelah pelajaran terakhir usai Carissa, Nabila, dan Gafin keluar bersamaan dari kelas mereka. Setelah ini mereka rencananya mau ke kantin untuk sekedar mencari minum atau snack. Tapi saat itu juga ponsel Carissa bergetar cukup lama. “Ya Ca, ada apa?” kata Carissa saat menempelkan ponselnya ke telinga. “Kamu cepet ke G-eks sekarang ya, pengumuman anggota baru Magenta udah keluar!” kata Meyca menggebu-gebu. Terlihat sebuah kerumunan kecil di depan papan informasi yang ada di lobi gedung. Carissa bisa melihat Meyca berada di sana berdiri menunggunya dan sambil sesekali mengambil gambar dari balik kameranya. Meyca langsung menarik tangannya menuju papan. Jemari Carissa menelusuri nama-nama yang berderet dalam dua lembar kertas HVS itu. Carissa Aliya Madina Kedua mata Carissa membelalak membaca namanya tertera di sana. “YESSSS!” teriaknya senang. “Kamu lolos juga kan, Ca?” tanya Carissa pada Meyca. “Lihat tuh, empat nama di bawah kamu!” jawab Meyca membuat Carissa kembali menelusuri kertas itu. Meyca Afriandani “Yeeeee!!! Kita lolos Ca!” seru Carissa senang sambil memeluk Meyca. Memang mereka belum resmi menjadi anggota Magenta tapi setidaknya mereka sudah melewati tahap satu seleksinya. Tinggal satu tahap lagi yang harus mereka kalahkan, karena memang tidak banyak orang yang bisa menjadi crew majalah sekolah. > Latihan ringan hari ini sudah selesai. Radit duduk di salah satu sisi lapangan futsal sambil mengganti sepatunya dengan sandal bersama teman-teman barunya di ekskul ini. Sayangnya, kenapa harus ada Saga di sini? Lagi-lagi dia harus kalah dengan keadaan, dari sekian banyak sekolah kenapa mereka harus berada di sekolah yang sama? Kalau saja dia tahu Saga ada di sini dia akan mencari sekolah lain. Tinggal beberapa orang saja yang masih ada di lapangan. Termasuk Saga dan beberapa orang lain yang duduk di sisi lain lapangan. Sesaat Saga memutar leher menatap kearahnya. Radit tidak mengalihkan matanya, dia balas menatap dingin Saga, tatapan yang selalu menyorotkan persaingan. Dari dulu mereka selalu berada di garis yang berlawanan. Radit memsukkan botol minumnya dan bergegas pergi dari tempat yang tiba-tiba membuatnya sesak dengan rasa sakit di masa lalu yang terungkit kembali. Tapi pada saat yang bersamaan, Saga melangkah ke arahnya lalu menepuk pundaknya dua kali saat lewat di depannya. Saga itu tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. Tetapi, lagi-lagi senyum yang mengundang perang. Membuatnya semakin muak! > Setelah Carissa dan Meyca selesai mengikuti penjelasan tentang teknis seleksi tahap kedua sekaligus tahap terakhir keanggotaan Magenta, mereka berbegas mencari minuman dingin di kantin. Gafin ternyata sudah menunggu mereka di sana karena dia baru saja selesai main basket bersama anak-anak kelas mereka dan beberapa dari kelas tetangga. “Maaf ya, kamu udah nunggu lama,” kata Carissa sambil duduk di depan Gafin yang sedang menikmati jusnya. Sementara Meyca sedang memesan jus untuk mereka berdua. “Santai aja, aku juga baru lima menit kok di sini,” jawab Gafin sambil mengaduk jusnya dengan sedotan. Berkas-berkas keringat masih terlihat di dahinya. “Nih, jus kamu,” kata Meyca sambil memberikan segelas jus semangka yang terlihat sangat menggiurkan pada Carissa. “Makasih, Ca...” ujar Carissa sambil mengaduk jusnya sebelum meminumnya. “Kita mau pergi sekarang apa kapan?” tanya Gafin. “Sekarang ajalah, keburu sore juga. Kamu bawa motor nggak, Ca?” tanya Carissa sambil menoleh kearah Meyca. “Iya.” jawab Meyca. Oke! Kalau gitu ayo kita jalan!” pungkas Gafin. Mereka berjalan melewati samping lapangan futsal lalu menuju pintu kecil yang menghubungkan dengan tempat parkir. “Carissa!” seru Radit membuat langkah ketiganya terhenti. “Eh lo, Dit. Habis main bola?” tanya Carissa yang melihat Radit menghampirinya dari arah dalam lapangan futsal dengan badan masih berkeringat. “Iya. Lo mau pulang?” “Iya, nih sama temen-temen,” jawab Carissa sambil memandang Meyca dan Nugrah. Meyca terus saja menatapnya aneh seperti berusaha menyampaikan pesan dari sorot mata itu, tak lupa sikutnya menyenggol lengan Carissa beberapa kali. “Eh iya, kenalin ini Meyca,” Carissa menunjuk Meyca yang langsung tersenyum lebar. “Yang ini Gafin.” “Hai gue Radit, maaf ya nggak salaman, tangan gue kotor,” katanya lalu membuat Meyca kecewa dan hanya nyengir melihat kekecewaan cewek itu. “Yaudah, Dit, kita balik dulu ya?” pamit Carissa sambil menjauh bersama Meyca dan Gafin. Pada saat yang bersamaan Radit pun meneruskan langkah menuju arah yang berbeda. Meyca menghentikan langkahnya seketika, Gafin dan Carissa yang berjalan di depannya tidak menyadari kalau dia berbalik dan membidik setiap gerak Radit untuk beberapa saat dengan kameranya. “Centil banget sih kamu?!” seru Gafin tepat di telinga Meyca membuatnya kaget. “Ya’elah apaan sih?!” sergah Meyca kesal menutupi rasa malunya karena ketahuan diam-diam memotret Radit. “Woi! Kalian ngapain?!” seru Carissa yan sudah ada di dekat pintu menuju tempat parkir. Dia bisa melihat keributan kecil antara Gafin dan Meyca di sana, Gafin yang ingin sekali melihat hasil jepretan Meyca yang justru berusaha sebisa mungkin menjauhkan kameranya dari jangkauan Gafin. Meyca berlari menyusul Carissa sekaligus menghindari Gafin. “Ris! Ris! Kamu bisa kenal dia, gimana ceritanya?” tanya Meyca yang amat penasaran bagaimana Carissa bisa kelan dengan anak baru dari kelas tetangga dan menjadi perbincangan umum selama beberapa hari karena kehadirannya sangat mencolok. “Iya, pernah nggak sengaja ketemu.” Jawab Carissa enteng sambil menerima uluran helm dari Meyca. Gafin juga sedang mengeluarkan motor di sisi lain parkiran yang masih padat karena banyak siswa yang belum pulang meski jam pelajaran sudah usai 2 jam yang lalu. Meyca mengernyit heran, “Kok kamu kebetulan mulu ketemu sama orang-orang sini?” maksud Meyca tertuju pada Radit-si anak baru dan Kendra-si senior yang nggak jelas. Carissa tidak menyahut, hanya tertawa sesaat sebelum naik ke boncengan Meyca. > Di hari berikutnya, Carissa baru saja menyelesaikan tahap terakhir seleksi keanggotaan Magenta di sekretariat. Daerah sekitar G-eks sudah sepi jam begini. Carissa mempercepat langkah menuju gerbang belakang dan segera pulang. Sebelum dia menyeberang, dia melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk di halte dan menatap ke arahnya. “Hai, Mas Kendra!” sapa Carissa ceria. Sejenak Kendra menoleh padanya yang sudah duduk di samping Kendra. Dia sudah mengubah gayanya memanggil Kendra yang ternyata kakak kelasnya itu, dan yang dia tahu kalau di Jawa cowok yang lebih tua itu biasanya dipanggil ‘Mas’. “Aneh denger kamu manggil kayak gitu,” gumam Kendra membuat Carissa mengernyit kearah Kendra yang tetap menatap lurus ke depan. “Aku... kamu...” gumam Carissa seorang diri lalu terkikik pelan dan membuat Kendra mengernyit ke arahnya, dia pun hanya tersenyum garing menyadari Kendra menatap aneh ke arahnya. “Terus aku harus manggil apa? Kak Kendra? Bang Kendra? Kayaknya ‘Mas Kendra’ yang paling cocok.” Carissa mengambil kesimpulan sendiri. “Ck!” Kendra berdecak pelan. “Terserah, deh!” Kendra yang sedang sibuk mencoret-coret buku sketnya sejak tadi. Tapi Kendra hanya menatapnya sesaat tanpa menjawab. “Suka ngegambar ya?” pertanyaan basa-basi tiba-tiba saja meluncur dari bibir Carissa kepada Kendra. “Lumayan.” Pada saat itu juga sebuah bus yang lengang berhenti di depan mereka. Layaknya dikomando Kendra dan Carissa langsung berdiri dan masuk ke dalam bus. “Tadi kamu di sekret Magenta juga, ya?” pertanyaan tidak penting kembali meluncur dari mulut Carissa karena bosan sekali di dalam bus hanya saling diam. Dia memang masih sebal tapi dia tidak nyaman suasana seperti ini. Mana penumpang busnya tinggal mereka berdua. “Iya, kenapa?” Kendra tak menoleh sedikitpun pada Carissa. Masih fokus pada buku sketnya, selalu seperti biasanya. “Nggak apa-apa,” Carissa memilih mengakhiri pembicaraan. Ternyata Kendra masih membatasi diri, mungkin itu salah satu usaha untuk mencegah orang lain mengetahui lebih banyak tentang dirinya. “Aku turun di tugu depan. Ntar bayarin ya!” kata Kendra setelah sekitar lima menit mereka hanya diam. Dia langsung memasukkan buku sketnya ke dalam tas. “Hah?!” Carissa mengenyit tidak mengerti. “Kamu pikir aku nungguin kamu buat apa?” Sekarang Carissa baru mengerti kenapa Kendra menunggunya dan pulang bersamanya. Ya ampun..... Hanya karena Carissa harus membayar ‘hutang’ yang kemaren. Hhuu…!! Memangnya siapa yang mau dibayarin? Gerutu Carissa dalam hati. Padahal kemarin dia tidak minta, tapi Kendra sendiri yang mau bayarin. Eh, ternyata minta ganti juga. Dasar aneh! “Kok kamu turun di sini? Kemarin kan duluan aku yang turun?” “Suka-suka akulah!” jawabnya masih sengak seperti sebelumnya. “Ah terserahlah!” sahut Carissa ketus, lama-lama kesabaran Carissa untuk menghadapi manusia yang ada di sampingnya ini habis juga. Sampai pada akhirnya Kendra turun di tempat yang dikehendakinya. Tanpa sepatah katapun! “Dasar aneh!” umpat Carissa setelah Kendra turun. > Kendra memasuki halaman kecil rumahnya lalu memarkir motor di teras saat hari sudah beranjak gelap. “Kemana aja, Ken? Baru nyampe jam segini. Perasaan tadi balik duluan.” Suara Saga yang duduk di kursi teras menyambutnya. “Tadi busnya muter dulu.” Kendra merogoh kunci di saku celananya dan memasuki ruang tamu yang yaah... sedikit berantakan. “Lah?! Ngapain naik bus? Kan kamu bawa motor tadi?” Saga mengikutinya masuk ke rumah dan langsung ke ruang tamu yang sudah diubah jadi ruang yang bisa untuk apa saja. Di sana hanya ada TV dan karpet yang tergelar di depannya. Dua sofa digeser mepet ke dinding pembatas ruangan itu dengan kamar Kendra. Kendra langsung menuju ke dapur untuk mencari minuman dingin di kulkas. “Nggak apa-apa.” Dia kembali ke depan dan Saga sudah bersantai sambil nonton TV. Seketika Saga mengernyit heran ke arah Kendra, tapi dia tidak ambil pusing karena Kendra memang kadang aneh. “Dasar aneh!” cibir Saga pelan. Kendra sudah cukup lama kenal dengan Saga, sejak pertengahan kelas sepuluh. Sejak saat itu pula Saga sering kali main ke rumahnya karena dia sendiri tidak begitu senang di rumah. Ayah dan Ibu Saga jarang di rumah, sementara kakak Saga sudah bekerja di Surabaya sejak beberapa tahun lalu. Rumah Kendra sudah seperti rumah kedua bagi Saga, dan Kendra juga tidak terganggu dengan kehadiran Saga. Tak lama kemudian Kendra meninggalkan Saga yang tertawa terbahak-bahak menonton acara komedi. Seusai mandi, Kendra kembali ke ruang depan dan Saga sudah pergi entah kemana bahkan tanpa mematikan TV juga tidak menutup pintu depan. “Dasar jelangkung! Dateng nggak diundang pulang nggak pamitan!” Kendra menutup pintu depan lalu dia duduk di sofa sambil mengganti saluran TV. “Carissa....” gumamnya menyebut satu nama yang belum saja dikenalnya. Ingatannya masih berputar-beputar penuh dengan rasa penasaran juga penyesalan kenapa dia harus bersikap seketus itu pada orang yang baru dikenalnya dan tidak punya salah apa-apa padanya. Selalu saja begini, apa yang ada dalam hatinya dan apa yang dia ucapkan selalu saja tidak singkron. Bahkan untuk menarik sedikit saja ujung bibirnya untuk tersenyum terasa begitu sulit. Namun, rasa penasaran terus menjalari pikirannya. Di mana? Di mana? Di mana? > Update seminggu dua kali :) #Kepingan 6: Tidak Ada Rumah Untuk Radit “Assalamu’alaikum…” kata Radit saat memasuki pintu rumahnya dan ada eyangnya yang sedang duduk di ruang tamu bersama Saga, sepupunya. Mereka terlihat mengobrolkan sesuatu. “Wa’alikumsalam,” jawab eyangnya datar tanpa menghiraukan Radit. Sejak kecil Radit selalu merasa iri dengan Saga yang sangat dekat dengan eyang, yang selalu diperhatikan dan dibangga-banggakan oleh eyang. Radit kecil selalu menangis diam-diam saat eyangnya memeluk Saga dengan penuh sayang sambil memberikan hadiah spesial di hari ulang tahun sepupunya itu. Saat itulah hanya papanya yang selalu menghibur dan menguatkan hatinya. Setiap saat papanya selalu berusaha memberikan pengertian padanya. Hingga seiring waktu berjalan, Radit kecil pun perlahan tumbuh dan mulai belajar menerima semuanya. Menerima semua sakit hati tanpa alasan yang jelas. “Hei, Ga,” sapa Radit pada Saga, sebatas basa-basi yang tak berarti. “Hm,” gumam Saga dingin. “Aku masuk dulu, Eyang,” pamit Radit pada eyang yang hanya meliriknya sekilas. Radit langsung masuk ke kamarnya, karena hanya ruangan itulah yang bisa membuatnya nyaman karena tidak akan yang mengusiknya. Sebenarnya ini salah satu caranya untuk meminimalisir pertemuan dengan eyangnya. Radit sudah lelah mencoba mendekati eyangnya yang nyatanya sampai sekarang masih selalu dingin padanya. Radit bahkan lebih senang menyibukkan dirinya di luar rumah dan pulang kalau sudah sore. Dia tidak betah berada di rumah lama-lama. Jadi dia lebih suka menghabiskan waktunya di sekolah atau ditempat lain. Meskipun di sana dia juga harus selalu bertemu dengan Saga. Saga juga merupakan anggota futsal di sekolahnya. Radit tidak ambil pusing dengan hal itu. Dia tidak akan meninggalkan futsal hanya karena Saga. Terserah Saga mau bersikap sinis padanya, tapi dalam tim futsal ada lebih banyak orang yang bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Ironis sekali, dia bisa diterima dimanapun, sedangkan dia selalu tidak punya tempat dalam keluarganya sendiri, di rumahnya sendiri. Radit duduk di tepi tempat tidurnya, jendela kamarnya terbuka lebar. Membuatnya leluasa memandang halaman kecil di samping rumah. Cahaya matahari sore jatuh di atas rumput yang berwarna hijau segar di sana. Dia berniat mengambil komik di laci nakasnya, dan saat itulah matanya terpaku pada sebingkai foto seorang wanita yang tidak akan pernah bisa dilihatnya lagi. “Mama,” gumam Radit pelan sambil mengelus foto itu. Radit menghela napas panjang sambil terus memandangi foto mamanya. Selama ini hatinya selalu sesak oleh banyak pertanyaan yang belum terucapkan. Selama ini rasanya hanya sepi yang dia rasakan. Rasa sepi karena sebuah penolakan yang tidak dia mengerti. Rasa hampa karena dia tidak pernah menemukan satu tempat yang bisa disebutnya rumah. Rasa lelah karena dia selalu kalah dengan keadaan, kenapa takdir begitu kuat menariknya ke tempat yang justru paling dia hindari. “Radit,” seseorang berseru pelan di depan pintu. “Ya, Pa?” tanya Radit sambil mengembalikan foto mamanya ke tempat semula dan menyeka ujung matanya yang basah. “Kamu inget kan, besok hari apa?” “Iya Pa.” jawab Radit yang pasti ingat hari yang sangat penting baginya dan bagi papanya itu. > Matahari sore yang menerobos dari barisan pohon pinus menghangatkan wajah Radit saat dia baru saja turun dari mobil di pelataran parkir sebuah pemakaman umum. Radit berjalan bersisian dengan papanya memasuki pemakaman. “Eh, iya bunganya masih di mobil, Pa,” kata Radit tiba-tiba. “Ya sudah, sana ambil dulu!” seru papa sambil memberikan kunci mobil. Radit langsung berbalik arah dan berjalan cepat-cepat kembali ke mobil mengambil sebuket bunga mawar putih yang tertinggal di sana. Radit menekan satu tombol untuk membuka kunci mobil. Kemudian dia membuka pintu belakang dan meraih bunga yang tersandar di jok belakang itu. “Maaf Pa, jadi nunggu lama,” Radit duduk di sisi lain pusara itu sehingga sekarang dia berhadapan dengan papanya dan menyerahkan sebuket mawar itu. “Siapa yang datang sebelumnya ya, Pa?” tanya Radit saat papa meletakkan serangkai mawar putih yang masih segar itu di depan nisan. Sebelumnya di sana juga sudah ada sebuket mawar putih. “Tidak tahu, mungkin keluarga atau teman Mamamu,” jawab papa tanpa mengalihkan matanya dari sebaris nama yang tertulis di muka nisan. “Keluarga Mama? Kok aku nggak pernah tahu keluarganya Mama, sih, Pa?” tanya Radit lagi dan papa hanya tersenyum padanya. “Apa keluarga Mama juga tidak bisa menerima kehadiranku seperti Eyang?” lanjut Radit membuat papa menatapnya sejenak. Tatapan yang sulit diartikan. “Bukan begitu, Dit. Sudah, kita tidak perlu membicarakan hal ini di depan Mama. Maafkan Papa, ya, Dit…” kata papa sambil menyentuh kepala Radit dengan sayang. Kalau sudah begini Radit tidak berani bertanya macam-macam lagi. “Aku juga minta maaf, Pa. Biarpun semua orang tidak bisa menerima Radit, tapi Radit udah sangat beryukur, Papa selalu ada,” sahut Radit sambil menunduk. Susana berubah hening. Mereka berdua terlarut dengan pikiran masing-masing. Papa masih memandangi nisan mama, sementara Radit hanya sibuk berdoa dalam hati dan merenungkan semua yang terjadi padanya. Apa kabar Mama hari ini? Terima kasih Ma sudah melahirkan aku di hari yang sama tujuh belah tahun yang lalu, makasih Ma.... Hari ini juga ada orang lain yang datang ke makam mamanya, menaruh bunga kesukaan mamanya. Pastilah orang ini sangat dekat dengan mamanya. Bahkan mungkin juga orang ini adalah keluarga mamanya. Andai saja dia datang lebih cepat, mungkin dia bisa tahu keluarga mamanya, bagaimana wajah mereka, dan terutama apakah mereka bisa menerimanya? Atau malah sudah melupakan kehadirannya di dunia? Entahlah… Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terasa seperti bom waktu bagi Radit. Bisa meledak kapan saja. Tentang siapa mamanya? Tentang siapa keluarga mamanya? Kenapa mereka menutupi semua ini darinya? Apa salahnya sampai mereka tidak menerima dirinya? Dan kenapa dia harus terjebak di kota ini? Kota yang sejauh dia mengingat hanya memberikan rasa sakit. > Sabtu yang seharusnya libur ini Carissa harus mengikuti kegiatan Magenta sejak tadi siang. Hari sudah sore saat Carissa keluar dari sekretariat Magenta. Sebenarnya masih banyak teman-temannya yang kumpul-kumpul di sana, tapi dia memilih langsung pulang karena langit juga terlihat mendung. Musim hujan memang sudah mulai menayapa kota Bengawan ini. Carissa berjalan sendirian menuju gerbang kecil di belakang sekolah. Dia melewati lapangan futsal yang tidak jauh dari G-eks, masih banyak yang berlarian di lapangan dan berkerumun di sekeliling lapangan. Carissa juga sempat melihat Radit yang bermain futsal dengan teman-teman dan ada juga Kendra yang duduk di pinggir lapangan memegang sebuah gitar dan sesekali memetik senar gitar sambil ngobrol dengan yang lain. “Ris, bareng ke fotokopian belakang yuk!” Meyca tiba-tiba datang dari arah belakang membuatnya tersadar dari pikirannya. “Mau fotokopi apa?” tanya Carissa sambil berjalan bersama Meyca yang menggamit lengannya. “Laporan kimia punya Nabila. Hehe... aku kalau nggak ada contoh suka lama banget ngerjainnya.” Celoteh Meyca dan secara otomatis lehernya memutar ke arah lapangan futsal. Ada satu orang di sana yang benar-benar menyita perhatiannya. “Dasar kamu, kebiasaan deh!” ujar Carissa dan Meyca kembali nyengir lebar. Akhirnya dia menemani Meyca ke fotokopian dulu barulah dia bergerak ke halte. Carissa sampai di halte dan duduk di bangkunya. Ada dua orang lain yang sedang menunggu angkutan umum juga. “Eh Mas Kendra.” “Apa?” sahut Kendra singkat. “Perasaan tadi aku lihat kamu di lapangan futsal, deh.” “Itu kan tadi,” sahut Kendra singkat. “Ehm, aku udah nggak punya hutang sama kamu, kan?” tanya Carissa hati-hati, jangan-jangan dia masih punya hutang sama Kendra dan hari ini Kendra akan menagihnya seperti beberapa waktu yang lalu. “Nggak ada. Aku emang mau pulang naik bus, nggak boleh?” “Ya boleh, sih. Itu kan terserah kamu. Aku pikir aku masih punya hutang sama kamu,” kata Carissa menjelaskan maksud hatinya. Sampai mereka duduk di dalam bus pun, tidak ada yang berinisiatif untuk memulai percakapan. Seperti biasa, Kendra hanya sibuk sendiri dengan buku sketnya. Carissa yang biasa banyak biacara, merasa sangat tidak nyaman. “Kamu di Magenta divisi apa?” tanya Carissa sambil membuka-buka majalah Magenta edisi sebelumnya. Kendra tidak menjawab pertanyaan Carissa tapi malah membuka halaman majalah yang masih ada di tangan Carissa. Kemudian dia menunjuk gambar ilustrasi pada sebuah artikel, kemudian cerpen, dan puisi. “Itu kerjaanku di Magenta,” Kendra kembali fokus kepada buku sketnya. “Kadang juga bantu-bantu buat layout.” Sesekali Carissa juga bertanya tentang gambar yang dibuat Kendra. Disetiap sudut gambar itu selalu ada tulisan K.R.F yang ternyata inisial dari nama panjang Kendra. “Kenapa tadi nggak ke sekret?” Celoteh Carissa ceria. “Nggak kerjaan di sana.” Sahut Kendra singkat sambil mencoret-coret buku sketnya. Sesekali Carissa melongok ingin tahu apa yang sedang digambar Kendra. Dia heran, Kendra masih bisa menggambar dengan tenang saat di dalam bus yang jalannya tidak selalu mulus. Hingga akhirnya Kendra turun dari bus. Kali ini mereka membayar sendiri-sendiri. Setelah Kendra turun, Carissa menoleh ke belakang dan melihat Kendra yang menyeberang jalan. Mau kemana dia? tanya Carissa dalam hati. Tiga kali bareng Kendra naik bus, Kendra turun di tiga tempat yang berbeda pula. Tapi dia tidak tahu jika Kendra menyetop bus yang ke arah sebaliknya. > Update dua kali seminggu :) #Kepingan 7: Ruang Pribadi Sebuah novel ada di depan Carissa. Matanya fokus menatapi baris-baris kalimat itu hingga dia tidak begitu menghiraukan keramaian di sekitarnya. Bahkan makanan yang sudah ada di depannya sejak lima menit yang lalu pun belum ia sentuh sama sekali. “Kamu nggak makan dulu?” tanya Meyca yang heran dengan Carissa. “Bentar,” gumam Carissa tanpa mengalihkan matanya dari novel yang sedang ditekuninya. “Nabila ke mana, sih?” tanya Gafin saat ia baru saja duduk di samping Meyca setelah mendapatkan sepiring siomay. “Nggak tahu nih, aku chat nggak dibales-bales,” jawab Meyca sambil kembali mengecek ponselnya. “Cring!” ada pesan masuk ke ponselnya Carissa yang tergeletak di atas meja. Carissa meraih ponselnya dan membuka Whatsapp yang masuk, dari Radit yang menanyakan keberadaannya sekarang. Carissa mengernyit sejenak lalu meletakkan ponselnya tanpa membalas lagi pesan Radit yang terakhir. Baru kemudian dia mulai menyantap baksonya yang tentunya sudah mulai dingin. Baru beberapa saat, Radit sudah muncul di pintu kantin. “Hei Ris!” sapa Radit lalu duduk di samping Carissa. Kedua teman Carissa menatap Radit yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di depan mereka. Apalagi Meyca, dia sempat tersedak. “Ada apa lo ke sini?” tanya Carissa. “Mau ketemu sama lo,” jawab Radit lalu duduk di samping Carissa. Meyca langsung menatap dua orang di depannya dengan seksama. Sepertinya ada hal yang tidak dia ketahui tentang Radit dan Carissa. Kedua mata Meyca menyipit penuh selidik. Carissa menelan baksonya susah payah. “Mau ngapain?” tanya Carissa heran. “Nggak ngapa-ngapain, pengen ketemu aja,” jawab Radit. “Baca apaan sih?” “Sherlock,” jawab Carissa singkat. “Yang itu gue udah punya,” komentar Radit. “Lo suka Sherlock juga?” tanya Carissa antusias dan sejenak melupakan perubahan sikap Meyca. “Suka banget!” Radit juga mantap. Wajah Carissa langsung berbinar cerah karena bertemu sesama penggemar Sherlock Holmes. “Lo punya apa aja?” tanya Carissa dengan wajah berbinar senang, sejenak melupakan kehadiran Meyca dan Gafin di antara mereka. “Banyak deh di rumah, gue sampe lupa, lo mau lihat?” “Iya mau!” Carissa langsung berseru dengan semangat mendengar ajakan Radit. “Hmmm, ntar sore aja gimana? Lo ada acara nggak?” “Enggak!” jawab Carissa sambil menggeleng cepat takut Radit berubah pikiran. Pada saat yang bersamaan Meyca menatap ke arah mereka untuk beberapa saat tanpa mereka sadari. Tatapan yang sulit diurai. “Gue mau ke kantor guru dulu nih, duluan ya keburu masuk,” kata Radit sambil melihat jam tangannya. “Ntar gue jemput di rumah lo ya?” pamit Radit lalu beranjak pergi setelah menyapa ala kadarnya pada Gafin dan Meyca. “Wah, kayaknya kalian makin akrab aja nih...” seloroh Gafin lalu terkikik sendiri. Dia tidak tahu ada sesuatu yang meletup di kedua bola mata Meyca. “Ih! Apaan sih?!” sahut Carissa sambil menepuk lengan Gafin. “Orang kita juga baru kenal,” lanjutnya memberi penjelasan sekaligus pada Meyca secara tidak langsung. “Baru kenal, tapi Radit udah tahu rumah kamu. Aku aja belum pernah ke sana.” Lanjut Gafin, Carissa semakin melotot geram sambil melempar kerupuk siomay ke arahnya. Selama ini Carissa sangat mengerti bagaimana tertariknya Meyca pada sosok Radit. Bahkan sejak pertama kali Meyca menatap Radit dengan mata berbinar-binar atau diam-diam memotret Radit di beberapa kesempatan. Tapi sampai sekarang Meyca masih berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu. Carissa memijat pelipisnya, satu hal mulai menjadi rumit. > Radit menepati janjinya untuk menjemput Carissa sore ini. Dia sudah duduk di ruang tamu saat Carissa keluar dari kamarnya. Tidak butuh waktu lama untuk mencapai rumah Radit, karena rumah mereka masih di daerah yang sama. Rumah berdesain Joglo Jawa tanpa pendhopo, berpagar tinggi, halaman yang luas dengan pohon-pohon yang rindang. Carissa segera menyusul Radit yang sudah sampai di teras. “Selamat datang,” Radit membukakan pintu dengan gaya selayaknya membuka pintu untuk tuan putri. Carissa terkikik geli melihat tingkah Radit. “Makasih,” Carissa segera masuk rumah diikuti Radit. Perabotan-perabotan di dalam rumah mayoritas dari kayu dan tampak begitu elegant. “Langsung aja yuk!” Carissa menguntit Radit memasuki rumah dan akhirnya mereka keluar dari bangunan utama, menyeberangi tanah berumput yang terawat, baru mereka sampai pada sebuah bangunan yang desainnya lebih modern dan terpisah dari rumah utama. Mereka meniti sebuah tangga naik ke lantai dua. Mereka menuju sebuah ruangan yang cukup luas. “Ini koleksi keluarga gue Ris,” kata Radit saat ia membuka pintu sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat rak-rak buku yang menempel di dinding. Dalam rak buku itulah tersusun rapi puluhan buku dan ada juga majalah dan novel. Bahkan ada beberapa buku tebal yang terlihat kuno. Di bagian lain ruangan ada juga seperangkat komputer, sebuah kursi panjang di pinggir jendela menghadap halaman tengah, dan beberapa foto yang tergantung manis di dinding. Yang paling menyita perhatian Carissa adalah sebuah kain batik tulis yang dibingkai dengan frame ukiran yang ukurannya cukup besar tertempel di dinding. Mungkin bisa dibilang ruangan ini adalah perputakaan keluarga Radit. “Lo liat-liat aja dulu, gue keluar bentar ya?” “Jangan lama-lama ya!” pesan Carissa sebelum Radit keluar dari pintu. Takut juga dia sendirian di tempat yang masih asing baginya. Radit mengangguk sekilas kemudian keluar dari ruangan itu meninggalkan Carissa sendirian. Carissa mulai menjelajah koleksi komik Radit. Radit punya komik Conan yang serinya hampir lengkap, novel-novel serial detektif, majalah-majalah dan banyak katalog batik. Carissa mengambil salah satunya. Sampul katalog tebal itu bertuliskan “Widya Kusuma” dengan warna emas. Carissa membuka-buka katalog yang tentu saja berisi puluhan gambar-gambar motif batik dan penjelasan sedikit tentang motif tersebut. “Itu katalog batik yang udah dibuat sama Eyang gue, ‘Widya Kusuma’ itu nama brand-nya.” Kata Radit saat kembali. “Keren banget, Dit,” komentar Carissa sambil mengamati setiap corak batik yang masing-masing memilki makna yang berbeda. Carissa mengembalikan katalog itu ke tempat semula. Selain katalog itu masih ada banyak katalog-katalog yang lain, dia baru tahu kalau ternyata keluarga Radit itu pengusaha batik. “Hmm, iya. Gue pinjem ini ya?!” Carissa menunjukkan tiga buah serial Sherlock Holmes dan beberapa komik Conan yang ingin dipinjamnya. “Iya, apa sih yang nggak buat lo?” kata Radit pelan lebih kepada dirinya sendiri. “Apa Dit?” tanya Carissa yang tidak mendengar jelas kalimat terakhir Radit. “Nggak! Nggak apa-apa.” Radit jadi salah tingkah dan segera mengalihkan pembicaraan. Untunglah Carissa tidak terlalu menghiraukannya dan perhatiannya kembali ke buku yang ada di tangannya. > Carissa duduk di beranda depan menghadap halaman tengah yang hijau dan sejuk. Beberapa buku bertumpuk di atas meja yang ada di sampingnya. Radit sedang pergi mengambil minum untuk mereka berdua. “Maaf, gue malah bikin lo nunggu di sini,” kata Radit membuat Carissa sedikit tersentak karena tidak menyadari langkah kaki Radit yang mendekat ke arahnya. Di teras belakang bangunan utama seorang wanita dengan sanggul sederhana berpakaian jawa yang anggun melintas dan melihat ke arah mereka sedikit, Carissa pun tersenyum pada wanita tua itu. “Itu Eyang lo?” tanya Carissa sambil menoleh ke arah Radit. “Iya,” jawab Radit pelan bahkan suara itu seperti tertelan di tenggorokannya. “Lo kenapa?” tanya Carissa heran dengan perubahan ekspresi Radit. “Lo punya keluarga yang lengkap nggak sih? Lo bener-bener ngerasain punya keluarga?” tanya Radit pelan sekaligus menjawab pertanyaan Carissa. Dia sadar kalau memang belum lama kenal dengan Carissa. Tapi dia hanya merasa tidak ada salahnya berbagi sedikit tentang beban dalam hatinya pada Carissa. “Maksudnya?” tanya Carissa yang sebenarnya masih merasa aneh dengan kalimat Radit yang baru saja. “Lo jawab aja pertanyaan gue tadi,” sahut Radit setengah bercanda. Seketika Carissa menoleh ke arah Radit. Radit menoleh ke arahnya dan menatapnya sesaat, ada rasa lelah dari sorot mata Radit yang biasanya selalu menatap hangat pada orang yang diajaknya bicara. Ada sisi rapuh yang terlihat di sana. “Sejak SMP kelas delapan gue udah ditinggal sama Ibu gue karena kecelakaan pesawat dan gue hidup berdua sama bokap gue karena gue anak tunggal. Sejak saat itu gue emang selalu merasa nggak lengkap, nggak seperti anak-anak lain yang punya ayah-ibu. Tapi gue bersyukur karena kasih sayang yang gue dapet tuh lengkap, dari Ayah gue, Uti gue, keluarga gue, temen-temen gue, dan seeeeemuanya.” ungkap Carissa panjang lebar, tanpa tahu dari tadi Radit menatapnya iri. “Lo masih bisa merasakan bareng Ibu lo, bisa melihat dan menyentuh Ibu lo. Gue dari lahir udah nggak punya kesempatan lagi buat melihat wajah Mama gue kecuali lewat foto doang, karena Mama gue meninggal setelah melahirkan gue,” sahut Radit sambil menunduk lalu suara seolah tertahan di beberapa kata terakhir. “Ya, kan masih ada Papa lo, sama keluarga lo, Eyang lo misalnya.” “Gue nggak pernah dapet seperti apa yang lo dapet dari keluarga lo,” kata Radit sambil menatap Carissa. “Eyang gue? Dia sepertinya nggak pernah menganggap gue ada, begitu juga dengan yang lain, bibir mereka memang bilang simpati tapi nggak dengan sorot mata mereka.” Radit menghela napas sejenak. “Tanpa gue tahu kenapa.” Lanjutnya pelan. “Lo kayak hidup sendiri aja sih?! Di dunia ini ada banyak manusia, ada Papa lo, sahabat-sahabat lo, dan mungkin pacar lo yang bisa sayang sama lo.” Carissa mencoba memancing informasi lebih dari Radit, tidak ada maksud apa-apa hanya ingin tahu saja. “Sayangnya gue nggak punya pacar,” sahut Radit lalu terkekeh singkat. “Ya’elah ternyata kita berdua sama-sama jomblo!” sahut Carissa lagi lalu mereka terkekeh bersamaan. Setidaknya dia bisa memecah suasana yang terasa begitu sendu ketika mereka menceritakan sebuah kehilangan. Singkat, tiba-tiba keduanya terdiam dan terlarut dalam pikiran masing-masing, tak lama kemudian mereka menoleh dan saling tersenyum garing saat mata mereka bertemu. Entah mengapa keadaan berubah menjadi serba tidak jelas begini. “Apaan sih! Kita malah jadi nggak jelas begini. Gue pulang ajalah, Dit,” ujar Carissa mengakhiri atmosfer aneh di sekitar mereka. Dia langsung memasukkan novel dan komik itu ke dalam tasnya dan beranjak dari duduknya. “Yaudah yuk gue anterin,” sahut Radit ikut berdiri juga. “Nggak usah, gue balik sendiri aja. Lo tadi udah berbaik hati jemput gue, minjemin gue buku. Masak iya gue minta lo nganterin gue balik juga?” tolak Carissa. Sekarang dia memang harus tahu diri. “Emang lo minta? Kan, gue yang nawarin.” Radit masih bersikeras. “Nggak usah! Gue masih harus ke tempat lain dulu soalnya,” tolak Carissa lagi sambil berjalan menyeberangi halaman tengah menuju bangunan rumah induk. “Yaudah nggak apa-apa, gue anterin dulu lo ke sana,” ujar Radit yang mengikuti langkah Carissa dari belakang. “Nih gue nggak jadi pinjem buku lo!” sahut Carissa sambil menyerahkan novel-novel itu pada Radit. “Oke, gue ijinkan lo balik sendiri,” akhirnya Radit menyerah sambil mendorong pelan buku-buku itu ke arah Carissa. “Nah, gitu dong... memangnya gue anak TK yang harus dianter kemana-mana?” gerutu Carissa sambil memasukkan kembali novel-novel itu ke dalam tasnya. “Makasih ya!” lanjutnya sebelum meninggalkan teras rumah itu. “Hati-hati di jalan. Kabarin gue ya kalau lo udah sampai rumah,” kata Radit sambil tersenyum memperlihatkan satu lesung pipit di pipi kirinya. “Memangnya lo siapa gue?” sahut Carissa dan membuat senyum Radit langsung punah. “Iya iya, ntar gue kabarin lo kalau gue udah sampai rumah,” lanjut Carissa lalu naik ke angkot yang berhenti di depannya. > Update dua kali seminggu :) #Kepingan 8: Satu Janji Suara gitar terdengar pelan dari petikan jari-jari Kendra. Sore ini dia sedang duduk menghadap ke arah barat di samping G-eks. Kontur tanah sekolahnya dan lingkungan sekitar sekolah memang tidak rata, sekolahnya berdiri da atas permukaan tanah yang lebih tinggi. Jadi sekarang ini dia bisa melihat ke bawah dan jauh ke arah barat, ke sebuah taman kota yang mulai ramai karena hari sudah sore. Anak-anak kecil berlarian, beberapa orang bermain bulu tangkis, segerombol anak berseragam SD yang main bola atau beberapa orang yang sekedar duduk-duduk santai. Buku sketnya terbuka dan tergeletak di sampingnya dengan sebuah pensil di atasnya. Ada coretan-coretan pensil yang menampakkan sebuah gambar di atas lembaran buku sket itu. Gambar berbagai ekspresi wajah satu orang yang sama. Tangannya sudah hafal setiap lekuk itu, ujung pensilnya dengan lihai menggores setiap garis wajah itu. Kendra menghentikan petikan gitarnya dan mengambil buku sket itu kemudian membuka-buka sekilas sambil seekali mengingat. Sudah cukup lama sejak pertemuan tidak sengaja di bus yang mogok itu. Kalau semua ini hanya kebetulan, maka terlalu banyak kebetulan yang sudah terjadi selama ini. Meski terkadang tak mau, tapi waktu yang memaksa mereka bertemu dan akhirnya justru itu menjadi candu disela-sela waktu yang dia miliki. Celotehan panjang Carissa seperti sudah menjadi teman baginya saat menggoreskan isi kepalanya di atas kertas. Apalagi kesabaran Carissa menghadapinya meskipun dia selalu bersikap ketus, membuatnya semakin pensaran dengan Carissa. Biasanya cewek-cewek tidak betah berada di dekatnya lama-lama karena sikapnya yang seperti itu. Tapi Carissa? Nyatanya sampai sekarang masih terus mengganggunya. Ditengah keseriusannya menatap gambar yang baru saja selesai dibuatnya itu, dia dikagetkan oleh gumpalan kertas yang menimpa kepalanya yang kemudian menggelinding ke bawah. Kendra mendongak ke atas, ke arah gedung G-eks mencari dari mana kertas tadi berasal. Seseorang tersenyum nakal di ambang jendela sekretariat Magenta melihat wajah bingungnya. “Heh! Sembarangan banget sih?!” teriak Kendra. “Kirain nggak ada orang!” sahutan dari atas tak kalah keras. Pura-pura mengelak padahal sudah jelas dia sengaja. Kendra hanya mentap kesal dan tidak menghiraukan Carissa lagi. Tidak ada sahutan lagi, Kendra kembali mendongak dan jendela itu sudah kosong. Kemana dia? tanya Kendra dalam hati. Dia kembali ke gitarnya. “HAI!!” seruan keras dan tepukan di pundak itu tak urung menyentakkan Kendra. Siapa lagi kalau bukan Carissa. “Astaga!” sahut Kendra kesal sambil cepat-cepat menutup rapat buku sketnya. “Ngapain kamu ke sini?!” lanjut Kendra ketus karena dia masih kesal campur kaget dengan kemunculan Carissa yang tak terduga. “Ya ampun, aku salah apa sih sama kamu? Setiap kita ketemu, kamu marah-marah terus?” cerocos Carissa. “Iya iya, maaf…” Kendra menjauhkan buku sketnya dari Carissa yang masih berdiri diam di sebelahnya. “Apa lagi?” tanya Kendra sambil mendongak mengernyit pada Carissa. “Ya udah aku pergi deh,” jawab Carissa kecewa sambil berbalik. Padahal dia kan hanya bercanda, tidak ada niat buruk sama sekali. Dia lupa kalau Kendra itu manusia luar biasa yang tidak pernah terlihat bercanda atau bersikap manis padanya. Apa-apa selalu saja salah di matanya. “Eh,” Kendra mencekal pergelangan tangan Carissa tanpa berdiri dari duduknya. “Maksudku bukan gitu,” lanjutnya kini dengan suara yang lebih enak didengar. Kendra menarik lengan Carissa agar duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya, apa yang dia lakukan pada Carissa singkron dengan apa yang ada di otaknya. “Aku kan cuma bercanda, soalnya sejak aku kenal kamu, aku nggak pernah lihat wajah kamu tuh ramah, seneng, tertawa, yang ada cuma dieeeeem aja, seriuuuus terus. Kamu terlalu asyik sama dunia kamu sendiri. Coba deh lihat sekeliling kamu,” kata Carissa panjang sambil mengayunkan kakinya. Kendra mengikuti kata-katanya, melihat sekeliling mereka yang tentu saja sepi. “Sepi,” jawab Kendra singkat dan membuat Carissa geram. “Bukan itu maksudnyaaaaaaaa!” geram Carissa nyaris berteriak pada Kendra. “Maksudnya tuh, kamu jangan terlalu asyik sama dunia kamu sendiri! Di sekitar kamu tuh juga ada kehidupan lain yang berjalan. Coba deh kamu tuh membuka mata, membuka diri ke lingkungan sekitar kamu. Sekali-kali bercanda, ketawa gitu. Jangan serius-serius nanti gampang stress!” lanjut Carissa sambil menahan emosi yang siap meledak. Susah sekali bicara dengan makhkluk luar angkasa ini. “Sok tahu!” kata Kendra singkat. Hanya dua kata yang menyebalkan, ‘sok tahu!’. Carissa menghela napas berkali-kali menahan emosi. Ada ya orang menyebalkan seperti ini? batin Carissa geram. Carissa melihat buku sket yang tergeletak di samping Kendra lalu mengambilnya. Saat dia akan membuka buku itu Kendra langsung merebutnya dan menjauhkan buku itu darinya. “Apaan sih?! Aku kan mau lihat,” gerutu Carissa saat Kendra merebutnya. Dia hanya penasaran apa saja yang digambar Kendra. Selama ini dia selalu melihat Kendra sibuk mencoret-coret buku sket itu. “Nggak boleh!” sentak Kendra yang merasa privasinya sudah diusik dia langsung menjauhkan buku itu dari jangkauan Carissa, menyembunyikannya di belakang punggungnya. Bukan apa-apa, kalau saja bukan buku sket yang ini, dia pasti akan memberikannya pada Carissa dan mengijinkan Carissa melihat-lihat sampai puas. Kalau yang ini, apapun yang terjadi dia tidak akan mengijinkan Carissa melihatnya. “Memangnya kenapa sih? Ada apanya sampai kamu panik kayak gitu? Ada gambar jorok ya?” protes Carissa. “Aku kan cuma mau lihat aja, masak nggak boleh?!” “Nggak!” tukas Kendra, Carissa langsung merengut dan menatap Kendra penuh kebencian. “Aduh! Susah banget, sih, ngomong sama kamu?! Iya ntar aku lihatin tapi bukan yang ini,” lanjut Kendra tidak tahan dengan Carissa yang terus menatapnya seperti itu. “Janji?” “Iya janji!” Kendra melegakkan Carissa yang kemudian tersenyum senang. Senyum Carissa langsung punah, “Kapan?” dia harus memastikan kalau Kendra akan menepati janji, bukan sekedar basa-basi. Kendra berpikir sejenak, mencari hari kapan dia tidak sibuk. “Sabtu, mau?” “Nggak!” tolak Carissa. “Sabtu ada kerjaan di Magenta, pasti selesainya siang.” “Yaudah Minggu.” Tawar Kendra lagi. “Minggu?” Carissa menimbang-nimbang dalam hati karena hari Senin pagi dia harus mengumpulkan laporan Fisika, sekarang sudah hari Kamis dan dia belum menyentuhnya sama sekali Jumat dan Sabtu dia sibuk sekali padahal. “Seninnya aku harus ngumpulin laporan Fisika,” gumam Carissa pelan. “Nggak mau juga?” tanya Kendra tidak sabar, Carissa masih terlihat mempertimbangkan, “Oke! Berarti aku nggak perlu nunjukin apa-apa.” Kendra langsung mengambil keputusan sepihak. “Kendra!!!” seru Carissa kesal menyebut nama Kendra tanpa ‘Mas’ atau ‘Kak’. Otomatis Kendra langsung melotot tajam ke arahnya. “Oke, kita pergi Minggu!” Akhirnya Carissa mengiyakan, masak dia kalah sama Kendra? “Makanya jangan jadi deadiners! Kan waktunya seminggu.” Komentar Kendra ringan. “Kamu pikir tugas cuma fisika doang?” seru Carissa kembali kesal. “Time management itu...” kata-kata Kendra terputus “Nggak usah ngomong! Ujung-ujungnya pasti ngeselin!” sela Carissa sebelum Kendra menyelesaikan kata-katanya. Kendra tidak menyahutnya lagi. Sedetik kemudian Carissa langsung berdiri dan pergi begitu saja tanpa pamit. Kendra mengernyit ke arah perginya Carissa lalu memilih tak ambil pusing dan kembali memetik gitarnya, memainkan nada-nada asal yang penting masih enak di dengar. > Update seminggu sekali :) #Kepingan 9: Manusia Batu! Radit berjalan santai menuju kelas Carissa sambil membawa beberapa novel. Sebenarnya Carissa yang akan menghampirinya tapi mana mungkin dia membiarkan cewek itu mengambil novel ke kelasnya. “Hai Radit…” sapa beberapa teman sekelasnya yang dilewatinya. “Hai,” jawab Radit lalu tersenyum ramah menanggapi mereka semuanya ala kadarnya. Sepanjang jalan dia beberapa cewek yang tersenyum manis padanya, atau diam-diam melirik mencuri pandang ke arahnya saat berpapasan dengannya. Menurutnya dia biasa-biasa saja, dia juga bingung pada orang-orang yang mengatakan bahwa dia ramah, baik hati, gampang diterima di mana aja, dan bahkan ada yang mengatakan kalau hidupnya hampir sempurna. Omong kosong! Mereka memang hanya melihat semua itu dalam diri Radit. Mereka tidak pernah tahu sisi gelap dalam hidupnya yang selalu membuatnya merasa sepi dan sendiri. Mereka tidak pernah melihat ada rasa sakit dibalik setiap senyum ramahnya. Kecuali satu orang yang bisa melihatnya dari sisi yang berbeda. Radit juga tidak memungkiri kalau perhatian mereka semua bisa memberi sedikit warna dalam hidupnya. Terutama teman-temannya yang selalu welcome padanya, mereka adalah orang-orang yang sedikit banyak berhasil meramaikan hidupnya, dan mereka adalah orang-orang yang dianggapnya keluarga. Radit sampai di koridor kelas Carissa, dia melongok ke dalam ruang kelas yang sepi itu, hanya ada beberapa orang yang ada di dalam kelas. “Ini novel lanjutan yang lo pinjem kemarin,” kata Radit sambil memberikan beberapa novel pada Carissa yang menghampirinya di ambang pintu kelas. “Makasih ya, tapi yang kemarin masih di rumah. Besok aja ya gue kasih ke lo?” “Iya, santai Ris, kayak nggak ketemu lagi aja,” jawab Radit lalu tersenyum. “Emm, Ris, Minggu besok ke toko buku yuk! Cari Sherlock atau Dan Brown gitu,” ajak Radit. Carissa langsung mendongak dari halaman novel yang sedang dilihatnya sekilas-sekilas itu. “Dit, bukannya gue nolak, tapi kebetulan banget Minggu besok gue udah ada acara. Jadinya gue nggak bisa. Maaf ya?” kata Carissa hati-hati karena memang Minggu besok dia sudah ada janji dengan Kendra. “Oh gitu ya?” sahut Radit kecewa. “Ya udah nggak apa-apa, lain kali aja.” “Maaf ya, Dit…” ulang Carissa yang melihat Radit begitu kecewa. “Iya iya,” Radit tersenyum seolah meyakinkan jika dia tidak apa-apa, meski dalam hati sedikit kecewa. “Lain kali masih bisa, kan?” Lanjutnya lalu berpamitan pada Carissa karena jam istirahat sudah habis. Dia harus segera kembali ke kelas. > Seperti biasa pulang sekolah Carissa lewat pintu belakang lalu menyeberang menuju halte di depannya. Dia menghela napas sejenak saat melihat Kendra yang juga sedang duduk di halte. “Dunia ini sempit banget ya? Kemana-mana yang ada muka kamuuuu… terus,” kata Carissa di depan Kendra sesampainya ia di halte. “Nggak suka? Pergi aja! Gampang, kan?” sahut Kendra sekenanya. Tapi Carissa malah duduk di sampingnya. Dia biarkan saja, selanjutnya seperti biasa dia mengeluarkan buku sketnya dan sibuk dengan pensilnya yang menggores-gores permukaan kertas. Tiba-tiba Kendra menghentikan aktivitasnya karena teringat suatu hal. “Heh!” serunya pada Carissa. “Aku punya nama,” sahut Carissa ketus. “Hari Minggu besok kita ketemu di sini jam sembilan,” sahut Kendra datar. “Pagi banget jam sembilan?! kan malemnya aku harus beresin laporan Fisika dulu, biar Minggu malem aku free.” Protes Carissa. “Jangan banyak alasan! Carissa...” Kendra tidak menerima protes Carissa. “Kok di sini?” “Terus mau dimana lagi? Kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa.” “Iya iya, gitu aja ngambek.” “Enggak!” “Lah itu tadi?” balas Carissa sambil menatap Kendra. Saat Carissa sedang mendumel dalam hatinya, tangan Kendra terulur untuk meraih botol air minumnya yang dia letakkan di sampingnya. Kendra membuka tutup botol itu, Carissa menatap Kendra agak lama. “Kenapa?” sahut Kendra yang merasakan tatapan aneh dari Carissa. Carissa hanya menggeleng cepat-cepat dan langsung mengalihkan pandangannya. “Tenang aja, aku juga nggak mau kok berbagi mulut,” lanjut Kendra kemudian meminum air mineral itu tanpa menyentuhkan bibirnya ke mulut botol itu. Setelah itu Kendra tidak berkata apa-apa lagi, dia langsung berdiri saat melihat ada sebuah bus yang mendekat ke halte. Setelah bus berhenti dia langsung masuk diikuti oleh Carissa di belakangnya. Bus kali ini penuh dan hanya sisa satu tempat duduk, dia berikan itu pada Carissa yang tentu saja tersenyum senang. Dia berdiri di samping Carissa, tak lama bus berjalan Carissa memejamkan mata, tidur. Kendra menatap wajah Carissa beberapa saat. Tanpa sadar dia juga turut tersenyum. Tapi begitu dia sadar telah terjadi sesuatu yang ganjil di antara mereka, dia langsung mengalihkan matanya. Bahkan sore itu dia turun dari bus saat Carissa masih tertidur dan dia tidak berniat membangunkan Carissa. Dia hanya berpesan pada kenek bus agar membangunkan Carissa saat sudah dekat rumah Carissa. > Sekolah Carissa memang libur pada hari Sabtu dan hari itu adalah hari untuk melakukan aktivitas ekstrakulikuler sekolah. Pukul sembilan pagi, Carissa sudah sampai di G-Eks. Tanpa menunggu lama, Carissa segera masuk ke dalam sekret. Ruangan ini lantainya dilapisi karpet. Ada seperangkat komputer di pojok ruangan. Di dinding terdapat banyak sekali hiasan. Ada juga foto-foto anggota crew Magenta di salah satu sisi dinding ruangan. “Udah di sini aja Ris,” sapa seseorang pada Carissa yang baru saja masuk dan melihat Carissa yang sedang memperhatikan foto-foto pose gokil yang tertempel di dinding. Carissa menoleh, “Aku baru nyampe kok,”. Ternyata Deni alias gepeng yang muncul. Dia dipanggil ‘Gepeng’ karena tubuhnya yang kurus dan tinggi, jadi terlihat gepeng atau tipis seperti papan. Satu orang berkaca mata datang beberapa saat setelahnya, Arya. “Kamu dateng jam berapa, Ris?” tanya Meyca yang baru masuk ke sekret. “Belum lama, Ca.” Setelah itu anggota-anggota lainnya mulai memasuki sekret, ternyata kalau kumpul semua anggota Magenta sekitar 20 orang. Itu gabungan dari kelas X dan kelas XI dan juga sebagian kecil anggota dari kelas XII yang sudah tidak full time ikut kegiatan. Setelah semuanya berkumpul, masuklah dua orang cewek ke ruangan yang tidak ada mejanya itu. Jadi aktivitas dilakukan dengan sistem lesehan. Karena lebih leluasa katanya. Jadinya kalau ada rapat atau apa ya dilaksanakan lesehan. “Oke teman-teman,” cewek berambut pendek bernama Sherin yang menjadi ketua umum Magenta membuka kegiatan mereka hari ini. “Ini bahan mading yang dikirim para siswa untuk edisi minggu depan. Jadi nanti kita seleksi mana yang mau ditempel di mading dan mana yang nggak. Atau kalau kalian punya bahan buat mading ntar bisa kok ditempel,” Sherin memberikan sedikit penjelasan sambil meletakkan map-map itu di depan anggota lainnya. “Aku punya bahan buat mading nih Sher, kemaren aku baru ngeliput pameran motor modifikasi di GOR,” Indra yang berada di Divisi Reporter menyerahkan beberapa file tentang liputannya pada Sherin. “Oke kita mulai sekarang aja ya,” Dinda-sekretaris Magenta mulai mengkoordinir para anggotanya yang mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara Sherin langsung keluar karena ada urusan sama pembina Magenta. Biasalah orang penting. Carissa membantu Arya untuk menyeleksi artikel-artikel yang dikirim para siswa kelas X. Kadang mereka tertawa-tawa sendiri ketika membaca puisi ciptaan adik kelas yang isinya mellow abis. Ada juga yang terang-terangan menyebut cewek atau cowok yang disukainya lewat puisi atau pesan singkat. “Eh, ini ada titipan leaftet dari English Club, ntar gabungin sama yang mau ditempel ya!” sela Deni sambil memberikan leaflet tentang speech contest itu. “Oke!” sahut Arya. > Update seminggu sekali :) #Kepingan 10: Posesif Kendra sudah berada di halte sejak setengah jam yang lalu tapi Carissa belum juga datang. Apa jangan-jangan Carissa lupa dengan janji mereka hari ini? Kendra mengeluarkan ponselnya dari saku celana tapi kemudian dia hanya memandang kosong ponselnya. Mau telpon ke mana? Kendra baru sadar betapa pentingnya sebuah nomor telepon. Kalau begini, yang bisa dia lakukan hanya menunggu dan berharap kalau Carissa tidak lupa. Lima menit kemudian sebuah motor merapat ke halte dan Kendra bisa bernapas lega. Dia benar-benar takut kalau Carissa lupa janji mereka hari ini, karena kemarin dia rela pulang malam-malam ke rumahnya untuk meminjam mobil ayahnya. Selain itu, dia sudah menyusun banyak rencana untuk hari ini. Kendra bernapas lega melihat Carissa turun dari motor tapi senyum itu langsung hilang saat Carissa menoleh padanya. Carissa tersenyum lebar sambil melangkah mendekati Kendra yang duduk sendirian di halte. “Hai, udah lama ya?” “Iya udah dari tadi. Kamu telat setengah jam!” Kendra langsung memberondong Carissa. “Maaf tadi aku hampir lupa, hehehe…” Kendra hanya menatap sebal ke arah Carissa sejenak lalu beranjak. “Mau ke mana? Nggak naik bus? Kita jalan kaki nih?” tanya Carissa beruntun membuat Kendra menghentikan langkahnya. Cewek itu benar-benar cerewet. “Udah ayo!” gerutu Kendra pada Carissa yang langsung menyusulnya. Kendra mendekat ke sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari halte. Dia langsung membuka pintu dan masuk ke mobil. “Cepet masuk!” seru Kendra pada Carissa. “Pakai mobil segala?” tanya Carissa setelah duduk di samping Kendra. “Takut kalau hujan,” jawab Kendra menyalakan mesin. “Ihh! Cupu banget! Cowok, kok, takut kehujan,” cibir Carissa. “Bukan aku, tapi kamu,” sahut Kendra datar sambil menginjak gas pelan. Carissa tidak menyahut kalimat Kendra karena dia sendiri bingung harus berkata apa. Dia langsung memalingkan wajah dari Kendra dan lebih memilih melihat apa saja yang dia lewati. Cukup lama mereka hanya saling diam. Mood Carissa sudah rusak bahkan sebelum mereka memulai acara mereka hari ini. Sikap Kendra lama-lama keterlaluan juga, kayaknya memang benar bawaan dari orok. Sesekali Kendra menoleh ke samping, Carissa masih memalingkan wajah darinya. Carissa yang biasanya cerewet sekarang hanya diam. Carissa yang biasanya selalu tidak mau mengalah darinya sekarang tidak menoleh sedikitpun padanya. Kendra jadi merasa serba salah, ketika Carissa yang biasa cerewet jadi diam seperti ini justru membuatnya tersiksa. “Tumben diem aja? Biasanya kamu bawel,” Kendra mencoba memecah hening dan situasi serba salah ini. Carissa masih diam dan tidak menghiraukannya. “Kamu kenapa, sih? Kok jadi marah gini?” tanya Kendra pada Carissa yang tidak juga merespon kata-katanya. “Biarin! Emang cuma kamu yang bisa marah-marah?! Aku juga bisa! Enak aja kamu marah-marah mulu sama aku. Aku tahu aku salah dan aku udah minta maaf, masak cuma gara-gara aku telat aja kamu ketus gitu sama aku?! Kalau kamu kayak gini terus mana ada yang mau jadi pacar kamu? Sampai sekarang kamu masih jomlo, kan?!” omel Carissa panjang tanpa bisa disela. Anehnya Kendra tidak balik menatapnya tajam tapi malah tertawa kecil. Kendra menoleh ke arah Carissa yang kalau sudah bicara tidak bisa disela, “Memangnya ada korelasinya antara kamu yang telat setengah jam dan aku jomlo?” Kendra menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir. “Kalau kamu suka marah-marah terus kayak gitu, mana ada cewek yang mau deket-deket sama kamu?! Yang ada mereka pada lari semua!” Carissa masih melanjutkan omelannya. “Terus kamu?” Kendra mengernyit ke arah Carissa. “Nyatanya kamu masih deket-deket dan gangguin aku terus tiap hari.” Lanjut Kendra Hening. “Lebih mending dengerin kamu ngoceh daripada cuma diem aja kayak gini, rasanya jadi aneh,” Kendra berbelok ke sebuah pusat perbelanjaan. Dia melirik ke samping dan Carissa kembali merengut. > Carissa berjalan di samping Kendra, ikut saja ke mana cowok itu akan pergi. Ternyata Kendra menuju ke sebuah toko buku. Mereka berkeliling sebentar lalu Carissa memisahkan diri dengan Kendra. Carissa langsung pergi ke bagian novel. Matanya langsung berbinar melihat sederet novel-novel baru terpajang di etalase. “Kamu beli apa?” tanya Carissa saat Kendra menghampirinya. “Nih,” jawab Kendra menunjukkan buku kumpulan soal UN. “Ya’elah rajin amat, sih?!” tanya Carissa sambil kembali membaca sekilas salah satu sample novel. “Aku bayar dulu, tunggu sini jangan ke mana-mana!” pesan Kendra pada Carissa saat Carissa sedang membuka-buka novel di tangannya. “Kamu nggak beli sesuatu?” “Enggak, udah sana cepetan bayar!” Carissa mendorong pundak Kendra agar Kendra cepat ke kasir dan mereka bisa langsung pergi dari sini. “Carissa!” sentak seseorang dari arah belakang. “Radit?! Mau cari Sherlock ya?” tanya Carissa kaku. “Iya dong, kemarin gue ngajak lo, tapi lo nggak bisa. Eh ternyata kita malah ketemu disini. Kebetulan banget ya? Katanya ada acara?” tanya Radit beruntun. “Ya... ini salah satu acaranya,” jawab Carissa tersendat, tidak enak dengan Radit. Dia mana tahu kalau Kendra tiba-tiba mengajaknya ke toko buku juga. “Lo sama siapa?” tanya Radit sambil mengambil satu judul komik. Radit langsung mendongak dari cover komik yang sedang dilihatnya saat menyadari seseorang berdiri di samping Carissa. “Yuk keluar!” ajak Kendra pada Carissa tidak memberikan kesempatan pada Radit untuk mengatakan sesuatu. “Radit maaf ya gue…” “Ayo, Carissa!” potong Kendra sambil meraih tali tas selempang yang menggantung di pundak Carissa, menariknya menjauh dari Radit. “Gue duluan ya!” teriak Carissa pada Radit. Sesampainya di luar toko buku, Kendra baru melepaskan Carissa. Dia tidak tahu, perasaan posesif itu muncul begitu saja saat dia melihat Carissa berbicara pada Radit di toko buku tadi, yang ada di kepalanya dia hanya ingin cepat-cepat membawa Carissa menjauh dari Radit. Itu saja. > Update seminggu sekali :) #Kepingan 11: Markas Mobil terus melaju meninggalkan kota terus menuju ke utara. Perlahan-lahan keramaian kota hilang. Hanya satu dua kendaraan yang menyalip atau bertemu dengan mereka saat ini. Selama di perjalanan pun mereka tidak bicara apapun. “Nggak capek cemberut terus?” gumam Kendra pada membuat Carissa yang sejak tadi menatap lurus ke depan menoleh padanya. Meski Carissa terus diam tapi dia tahu Carissa tidak benar-benar marah padanya. “Kamu nggak capek marah-marah terus?!” balas Carissa tanpa menatap Kendra yang terkekeh singkat. Matanya tetap lurus kedepan ke arah jalanan yang sepi. Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara mereka berdua. Hanya tenggelam dalam diam. Carissa membuka kaca mobil. Dia biarkan angin semilir menyapa wajahnya. Mereka memasuki area perbukitan yang lumayan sejuk. Kendra hanya menatap Carissa dalam diam. “Kita turun di sini. Soalnya mobil nggak bisa masuk,” Kendra membukakan pintu untuk Carissa. Membuat Carissa kembali berpikir, Kendra memang ajaib. Tadi sengak sekarang langsung jadi baik. “Di sini?” tanya Carissa bingung setelah keluar dari mobil dan menyadari keadaan sekitarnya. Tidak ada yang istimewa di sini. Hanya ada bangunan-bangunan yang kelihatannya sudah rapuh juga banyak bekas gudang yang berbaris di pinggir jalan. “Ayok, Carissa...” Kendra menarik pelan tangan Carissa turun dari mobil. Mereka menyusuri gang sempit dan sedikit becek. Semakin banyak pertanyaan dalam benak Carissa. Sebenarnya mau kemana sih? Perasaan dari tadi muter-muter aja. Kendra berhenti di depan sebuah rumah kecil yang juga sudah tua dan terlihat rapuh. Mereka melewati jalan sempit yang ada tepat di samping rumah itu. Carissa hanya mengikuti saja di belakang Kendra. Tapi ternyata di sinilah surprise-nya. Di belakang rumah kecil itu ternyata ada sepetak tanah yang cukup luas yang berbatas tembok-tembok tinggi yang memanjang. Sepertinya tembok-tembok itu adalah pagar sebuah pabrik. Di tembok itu banyak sekali mural dan grafiti warna-warni yang terlihat artistik. “Woi Ken!” seorang cowok menyapa Kendra saat mereka datang. Kendra mendekat ke arah cowok yang ternyata bernama Yudha itu. “Siapa, nih?” Yudha menatap Carissa beberapa saat sambil menaik-turunkan alisnya dan tersenyum sangat lebar. “Carissa,” Kendra memperkenalkan Carissa pada Yudha. “Hai,” Carissa bersalaman sama Yudha. “Hai juga Carissa,” Yudha menunjukkan sikap yang super ramah pada Carissa. “O ya, kenalin ini Bagas,” Yudha menunjuk cowok yang memakai topi. “Dan yang sebelahnya namanya Dimas,” mereka bergantian bersalaman sama Carissa. Mereka ini adalah teman-temannya Kendra sesama penyuka street art. Tempat ini juga menjadi markas mereka. Hampir setiap weekend mereka berkumpul di sini untuk sekedar kumpul-kumpul, menuangkan ide atau mengekspresikan diri lewat bermacam-macam mural yang mereka buat. Gambar-gambar yang ada di sini semuanya hasil karya mereka. Mereka juga sering membuat grafiti di tembok-tembok kosong di kota sana. Mural yang mereka buat di sana tentunya mengandung pesan moral atau protes sosial. Mereka kadang juga menerima job untuk membuat grafiti di rolling door toko-toko yang ada di pinggir jalan, meskipun karya mereka hanya bisa dilihat saat toko sudah tutup di malam hari atau saat toko belum buka di pagi buta. “Hai guys!” seorang cewek datang dengan kantong plastik yang penuh dengan snack dan soda. Carissa langsung bisa mengenali siapa cewek yang tiba-tiba datang itu. “Sherin?” ucap Carissa kaget melihat Sherin di tempat ini. “Hai Carissa.” Sherin sama terkejutnya. “Kalian udah saling kenal?” tanya Bagas keheranan. “Iya Gas, kita satu ekskul di sekolah,” Sherin menjawab rasa penasaran Bagas diikuti dengan anggukan kepala Carissa. “Oh gitu ceritanya,” Bagas mengangguk paham. “O ya nih aku bawa cemilan sama minum,” Sherin meletakkan bawaannya. “Thanks Sher,” Yudha membuka kantong palstik itu dari tangan Sherin dan langsung ia bagikan pada yang lain. “Oke oke,” sahut Sherin sambil berjalan menuju salah satu mural yang belum selesai dikerjakan. “Kendra! Sini bentar, deh!” teriak Sherin dari kejauhan. “Aku ke sana dulu ya?” pamit sambil Kendra menunjuk mural yang ada di depan Sherin. “Kamu ngobrol aja dulu sama mereka,” setelah pamitan pada Carissa, dia langsung menghampiri Sherin. “Mereka deket ya?” tanya Carissa pada ketiga orang yang ada di depannya. “Ya gitu, deh Ris. Bukan deket lagi tapi deket banget!” jawab Dimas mantap. “Mereka sering ngobrol bareng bahkan sering bikin mural bareng,” penjelasan Dimas semakin menyakinkan. Tiba-tiba tangan Yudha menyikut Dimas. “Tapi mereka nggak ada apa-apa kok Ris,” sahut Yudha cepat. “Kamu pacaran sama Kendra?” Yudha masih menanyakan seputar hal itu. “Enggak.” Carissa menggeleng. “Dia kelihatan ‘beda’ sama kamu, sebelumnya Kendra nggak pernah kayak gini lho,” sambung Dimas dan di-iyakan teman-temannya. “Kayaknya Kendra ada rasa sama kamu,” Yudha menebak. “Masak sih? Biasa aja kok, lagian kita juga belum lama kenal,” Carissa mengelak. “Dia tuh nyebelin! Kadang baik sedetik kemudian bisa berubah kayak singa. Galak! Nggak bisa di bantah! Maksa lagi!” Carissa menggerutu. “Aslinya dia baik kok, dia cuma bego aja menunjukkan perhatiannya.” Bagas dan yang lain seketika tertawa. Mereka tah sekali sifat Kendra yang satu ini. “Tapi beneran aku jamin Kendra tuh baik,” lanjut Bagas sembari menunjukkan dua jempolnya dan Carissa hanya tersenyum tipis. Selanjutnya Carissa lebih banyak bertanya tentang seni mural pada mereka yang dengan senang hati menjawab setiap tanya Carissa, bahkan diselingi dengan guyonan-guyonan ringan membuat Carissa sering tertawa disela-sela obrolan mereka. “Ke sana yuk!” Kendra menyela obrolan Carissa dengan teman-temannya. “Yailah mau dibawa kemana sih?! Lagi seru ngobrol nih.” Protes Dimas ketika Kendra menyela menarik pelan lengan Carissa, meminta cewek itu berdiri. Kendra langsung menarik pelan tangan Carissa dan mengajak Carissa menjauh dari teman-temannya. “Kalian ngobrolin apa aja? Ketawa-ketawa terus dari tadi,” tanya Kendra setelah mereka menjauh. “Banyak.” Sahut Carissa dengan wajah yang cerah dan ceria seperti biasanya. Kendra mengajak Carissa melihat mural yang ada dinding itu. Setiap melewati satu mural, maka Carissa akan berhenti sejenak, memandangi dan terkandang bertanya-tanya tentang mural itu sama Kendra. “Apa sih yang bikin kamu suka bikin mural gini?” tanya Carissa setelah saat mereka berdiri di depan mural yang ukurannya paling besar di antara yang lain. “Nggak tahu juga, tapi bagiku setiap mural itu punya cerita, punya emosi, dan punya makna. Aku bisa menuangkan semuanya dalam gambar-gambar itu,” jawab Kendra sambil menatap mural karyanya itu. Carissa hanya mengangguk-angguk kecil di sampingnya. “Bedanya mural sama graffiti apa sih?” celetuk Carissa. Kendra memutar tubuh menghadap ke arah Carissa. “Mural itu konsepnya lebih luas, bisa berbentuk gambar, tulisan, atau gabungan keduanya. Kalau graffiti itu lebih ke arah tulisan seni.” Kendra menjelaskan secara singkat sambil menunjuk beberapa contoh mural atau graffiti yang ada di sekitar mereka. “Habis ini balik ya? Udah sore.” “Iya, nanti Uti bingung nyariin aku.” Mereka berjalan mendekat ke arah Dimas, Bagas, dan Yudha yang masih berkumpul di sebuah bangku panjang. Sementara Sherin masih sibuk dengan grafitinya. “Kita duluan ya?” pamit Carissa pada semuanya. “Oke Ris! Hati-hati ya! Kapan-kapan main lagi ke sini ya...” seru Dimas ketika Carissa dan Kendra menjauh. “Siap!” seru Carissa sebelum memsuki gang kecil untuk keluar dari tempat ini. “Kamu baru sebentar aja langsung akrab banget sama mereka,” ujar Kendra saat mereka berjalan melewati gang becek itu. Carissa mempercepat langkah hingga ia bisa sejajar dengan Kendra. “Hal yang paling aku suka tuh kalo aku bisa kenalan sama orang baru, karena dengan begitu temenku bisa nambah terus.” ujar Carissa lalu tersenyum cerah. Kendra terus menatap kedua mata Carissa saat cewek itu menceritakan tentang dirinya. Karena di saat itu, kedua matanya begitu hidup dengan binar cerah. Sepertinya Carissa memang bisa membuat lingkungan sekitarnya jadi ceria dengan senyum lebarnya dan tatapan hangatnya yang begitu nyaman. Hari ini, satu keputusan besar telah dibuatnya. Keputusan untuk mengijinkan Carissa memasuki kehidupannya. > Update seminggu sekali :) #Kepingan 12: Sisi Lain Kendra Setelah dari markas suasana berubah menjadi lebih baik daripada waktu perjalanan menuju markas yang hanya diliputi kesunyian, karena mereka hanya saling diam. Mereka kembali bisa ngobrol seperti biasanya, Carissa yang banyak bertanya lebih tepatnya. Hingga akhirnya Carissa menyadari sesuatu. “Mau kemana nih? Ini bukan jalan pulang, kan?” tanya Carissa was-was. Karena mobil terus melaju ke arah timur dan jalan pun juga mulai menanjak. “Emang siapa yang mau ngajakin kamu pulang?” jawab Kendra retoris. “Kamu jangan main-main deh! Ini udah sore banget,” Carissa semakin was-was melihat sikap Kendra yang cuek bebek seperti itu. Kalau pulang kemalaman kan bisa dimarahi Uti, soalnya tadi Carissa minta ijinnya hanya sampai sore. “Siapa juga yang main-main?” sambung Kendra masih dengan sikap yang sama. Kali ini ditambah dengan senyum misterius. “Kita mau ke mana sebenarnya?” tanya Carissa yang kesabarannya mulai habis sementara Kendra masih sok-sok misterius. “Kamu tenang aja bisa nggak sih?” kata Kendra sambil menatap ke arah Carissa. Bisa ditebak Carissa merengut ke arah Kendra kemudian mengambil ponsel di dalam tasnya yang ternyata sudah mati karena baterainya habis. “Ada charger nggak?” tanya Carissa. “Ada, di dalam dasbor,” jawab Kendra. Carissa meletakkan ponselnya di sampingnya dan kembali memperhatikan sekitarnya. Kini mereka memasuki sebuah perkampungan. Sesaat kemudian sampailah mereka pada sebuah tanah kosong yang tidak begitu lapang dan diujung tanah itu langsung curam ke bawah. Kendra menghentikan mobilnya, jauh di depan sana di sisi barat terlihat kota Solo terhampar luas. “Nih!” Kendra memberikan sebuah kantong berlabel toko buku yang tadi mereka datangi pada Carissa. “Buat kamu.” Lanjutnya. Carissa menerima kantong itu dengan kening berkerut. Kendra membuka pintu mobil di samping Carissa dan mengisyaratkan Carissa agar keluar. Carissa membuka kantong yang diberikan Kendra tadi. Ternyata isinya buku yang tadi sempat dibacanya di toko buku. Sebenarnya Carissa tertarik juga sama buku ini, tapi tidak ada keinginan untuk membelinya, ternyata Kendra malah memberikannya. “Makasih ya,” tukas Carissa lalu tersenyum manis dan keluar dari mobil. “Iya.” “Serius nih buat aku?” Carissa masih tidak yakin, jangan-jangan nanti Kendra minta ganti, seperti ongkos bus waktu itu. “Iya serius.” Jawab Kendra pendek. Carissa meletakkan buku itu di atas tasnya yang ada di atas jok. “Sekarang kita mau ngapain di sini?” tanya Carissa sambil menyusul Kendra yang berada di depan mobil. “Nggak ngapa-ngapain,” jawab Kendra datar. Matanya menatap lurus ke depan dengan tangan bersedekap di bawah dada dan menyandarkan tubuhnya di kap mobil. “Kita jauh-jauh ke sini cuma buat bengong kayak gini?” Carissa ikut-ikutan menyandarkan tubuhnya pada kap mobil. “Terus kamu maunya ngapain?” Kendra menatap Carissa yang ada di sampingnya. Rambut panjang Carissa bergerak tidak beraturan tertiup angin senja yang sejuk. “Hmm, aku juga bingung,” Carissa pun tidak memiliki ide. “Eh, fotoin aku dong, bagus nih tempatnya,” lanjut Carissa. “Cepetan!” seru Kendra yang sudah mengelurkan ponselnya dan mengarahkan kamera pada Carissa yang berdiri di depannya, membelakangi kota Solo dan awan jingga yang menggantung di cakrawala. “Cekriikk!” satu foto tersimpan. “Lagi, lagi!” kata Carissa dan langsung berganti gaya, Kendra hanya bisa menghela napas sejenak. Akhirnya Kendra menjadi fotografer dadakan. “Lihat hasilnya dong!” kata Carissa langsung merebut ponsel dari tangan Kendra. Dia melihat-lihat hasil fotonya, bagus. Kendra yang berdiri tepat di depan Carissa. Hanya bisa menatap cewek itu seksama dalam diam. Tiba-tiba dia merasakan gejolak yang aneh dalam hatinya, apalagi saat Carissa mendongak dan menatapnya sambil tersenyum lembut. Argh!! Umpat Kendra dalam hatinya. “Kamu kan belum foto, sana-sana! Biar aku gantian fotoin kamu,” kata Carissa sambil mendorong-dorong bahu Kendra agar mau berpose di depan sana. “Nggak!” tolak Kendra cepat. “Heh! Apaan, sih?!!” sahut Kendra sambil berusaha merebut ponselnya dari Carissa, tapi dia tidak berhasil. “Wah… cool banget! Kamu pantes loh jadi cover boy.” gumam Carissa sambil melihat hasil jepretannya. Beberapa pose natural Kendra justru membuat Kendra terlihat berbeda. “Ternyata kalau di foto kamu ganteng juga, ya?” “Apaan sih?! Cepet hapus!” Kendra berusaha merebut ponselnya lagi. “Sini handphone-nya!” sentak Kendra yang mulai merasa dipermainkan. “Bentar! Nggak sabar banget, sih?!” Carissa balas menyentak Kendra. Cowok itu berhenti berusaha merebut ponsel itu dari tangannya. “Jangan dihapus, ini kan hasil karya aku, kamu harus menghargai hasil karya orang lain dong. Kamu kan seniman, harusnya kamu paham hal itu,” dumel Carissa sambil kembali melihat-lihat hasil jepretannya. “Iya,” jawab Kendra singkat. “Sini!” “Bentar, kita foto berdua yuk!” tanpa menunggu persetujuan Kendra, dia langsung menggamit lengan Kendra dan tersenyum lebar di depan kamera. “Cekrikk!” satu momen terabadikan. Mereka masih bersandar di kap mobil dan menatap langit sebelah barat. Menyaksikan matahari turun menuju batas cakrawala merapat pada horizon. Langit perlahan berubah menjadi jingga karena sinar matahari senja. Semakin lama sinar jingga berubah menjadi gelap. Inilah alasan kenapa Kendra mengulur-ulur waktu, agar dia bisa mengajak Carissa ke tempat ini tepat saat matahari mulai tenggelam. “Dari mana kamu tahu tempat yang view-nya bagus kayak gini?” tanya Carissa sambil menggosok lengannya karena udara yang mulai dingin. Tempat mereka berada saat ini memang cukup tinggi. “Ayahku pernah ngajak ke sini.” “Terus kenapa tiba-tiba kamu ngajak aku ke sini?” tanya Carissa sambil menggeser tubuhnya sedikit menghadap Kendra. “Pengen aja, aku udah lama nggak ke sini.” Setelah langit benar-benar gelap, dan hamparan kota Solo yang tadinya terlihat bangunan-bangunan kecil saja, kini berubah menjadi lautan cahaya dari lampu-lampu yang menyala. Lalu mereka duduk bersisian, menikmati cahaya-cahaya di bawah sana. “Eh iya aku belum ngabarin Uti,” kata Carissa yang akan mengambil ponselnya yang masih di-charge di dalam mobil, tapi Kendra berhasil menahan tangannya. “Please sekali ini aja waktu ini buat kita berdua. Bentar aja. Bisa, kan?” nada bicara Kendra sangat halus, berbeda dari biasanya. Kini sosoknya terlihat begitu manis dan hangat. Tidak seperti sebongkah es yang dingin dan sulit ditembus. Inikah Kendra yang sebenarnya? Carissa hanya diam mendengar semua permintaan Kendra baru saja. Keduanya kembali terdiam memandang hamparan cahaya itu. “Makasih ya, kamu udah tepatin janji kamu.” “Aku ngeri aja ngebayangin kamu yang akan terus menggangguku kalau aku nggak nepatin janji,” ujar Kendra pada Carissa yang kini tertawa kecil. “Aku ikhlas deh ntar dimarahin Uti.” Sahut Carissa. Beberapa saat kemudian Kendra menyentuh kedua lengan Carissa dan membuatnya menoleh pada Kendra yang tersenyum singkat. Baru kali ini Carissa melihat Kendra tersenyum setulus itu. “Balik yuk! Udah mulai dingin.” “Oke,” jawab Carissa. Di tengah perjalanan pulang mereka, hujan turun lebat. Benar perkiraan Kendra, untung dia sudah memperhitungkan semuanya. “Bener kata kamu, hujan gede.” Gumam Carissa. “Kalo kita pake motor dan kehujanan di tempat sedingin ini, kita bisa mati beku." > Update seminggu sekali ;) #Kepingan 13: Gambar-Gambar Yang Berbicara Malam itu, Kendra termenung di tepi tempat tidurnya menghadap ke arah jendela yang terbuka lebar. Dia menatap ke atas, ke langit malam yang gelap dan mendung sisa hujan yang baru mereda. Dia membuka lagi foto-foto di ponselnya. Satu persatu dia perhatikan foto-foto Carissa, foto Carissa habis dan berganti dengan foto-foto dirinya yang menghindari kamera atau berusaha menutupi kamera. Dia memang tidak suka berada di depan kamera. Foto tidak jelasnya habis dan terpampanglah foto terakhir di layar ponsel Kendra. Carissa yang menggamit lengannya dan tersenyum lebar di depan kamera. Tiba-tiba bibirnya tersenyum geli memandang foto itu. Kendra menoleh ke samping. Tangannya tergerak untuk meraih gitar akustiknya yang bersandar pada meja belajarnya. Ia memainkan gitar yang belum lama dibelinya itu dengan lembut sambil bersenandung kecil. “Argh!” Kendra mengumpat pelan saat ia merasakan nyeri di salah satu jari tangannya yang mengeluarkan darah segar karena tergesek senar. Bersamaan dengan itu, ponsel Carissa yang ada di atas kasurnya berdering. Kendra mendekati ponsel yang tertinggal di mobil tadi. Ada pesan masuk. Mungkin dari Carissa yang sudah menyadari ponselnya masih ada padanya. Kendra membuka ponsel Carissa yang ternyata tidak ada password-nya. “Dasar ceroboh!” gumamnya sendirian. * Radit : Rissa? Kendra mengerutkan alis saat membaca pop-up notification pesan singkat yang ternyata datang dari Radit. Ia mengacuhkan pesan itu, tapi tak berapa lama kemudian menyusul pesan kedua. * Radit : lo lg sibuk ya? Kendra tetap saja tidak menghiraukan chat dari Radit itu. Selang satu menit ponsel Carissa kembali berdering. Tapi kali ini lebih lama, ada telepon masuk. Kendra kembali melihat layar ponsel itu. Kendra tambah tidak peduli setelah tahu kalau yang telpon adalah Radit. Akhirnya Kendra hanya melempar pelan ponsel itu ke atas bantal. Dia kembali memainkan gitarnya dengan sedikit emosi, terdengar dari suara petikan senarnya yang sama sekali tidak harmonis. “Telepon aja teruuuus!!” sungut Kendra sambil menatap ponsel Carissa yang terus berkedip-kedip hingga beberapa saat kemudian barulah Radit berhenti menelepon. Kendra meraih lagi ponsel Carissa dan menekan nomor ponselnya sendiri lalu dia menekan tombol hijau, beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil sambil menyimpan nomor teleponnya sendiri di ponsel Carissa. > Carissa dan Meyca memasuki arena lapangan multifungsi milik SMA mereka. Terkadang dipakai untuk basket, tenis, dan futsal. Di samping lapangan beberapa anak pecinta alam sedang berlatih di wall climbing. Sore ini lumayan ramai, banyak yang duduk di samping lapangan atau sekedar latihan ringan di sisi lain lapangan. Radit yang sedang melakukan pemanasan dengan beberapa orang temannya langsung berlari kecil ke pinggir saat melihat Carissa dan Meyca memasuki lapangan yang dibatasi dengan dinding kawat di sekelilingnya itu. “Kalian ngapain ke sini?” tanya Radit pada dua cewek itu. “Nih, si Meyca mau ngambil foto-foto latihan kalian buat bahan mading minggu depan.” Jawab Carissa. “Sekalian mau ngobrol-ngobrol dikit sama kalian,” timpal Meyca lalu tersenyum. “Tuh, ketuanya ada,” sahut Radit sambil menunjuk Saga yang sedang memakai sepatu di pinggu lapangan. “Sama dia aja kalau mau tanya-tanya.” “Hmm...” gumam Meyca sambil manggut-manggut, “Oke, aku ke sana dulu. Nanti kamu juga ya, Dit.” lanjut Meyca mulai melayangkan jurus modus pada Radit. Carissa meliriknya sambil tersenyum jahil. Radit langsung terkekeh pelan. “Ck! Janganlah... ntar gue terkenal, gue belum siap jadi artis.” Seloroh Radit membuat Meyca terkekeh. “Idih! PD banget lo!” cibir Carissa, Meyca segera mendekati Saga untuk memulai tugasnya. “Terus lo ngapain di sini?” tanya Radit setelah Meyca menjauh dan Carissa langsung merengut. “Sengaja mau ketemu gue?” lanjut Radit jahil. “Enak aja!” sergah Carissa. “Udah sana lo! Pergi! Pergi!” usir Carissa sambil mengibaskan tangannya ke arah Radit. Radit kembali terkekeh melihat tingkah Carissa, dia mundur beberapa langkah dan sebelum berbalik dia teringat sesuatu, “Lo nggak buka handphone dari semalem?” Seketika Carissa menelan ludah dan terdiam sejenak. “Hmmm... iya, hmm gue ke sana dulu ya?” Carissa langsung berbalik menuju Meyca yang sedang ngobrol dengan Saga, meninggalkan Radit yang mengernyitkan bingung ke arahnya. Sejak setengah jam yang lalu Carissa hanya bisa duduk di pinggir lapangan menunggu Meyca yang masih sibuk mengambil banyak foto mereka yang sedang latihan. Tapi sebenarnya lensanya sejak tadi terfokus pada satu orang saja. Meyca masih setia menunggu istirahat mereka demi bisa sedikit ngobrol sama Radit seperti perjanjian mereka tadi. Sebenarnya dia masih kepikiran ponselnya yang masih ada di Kendra dan sampai saat ini mereka belum bertemu. Satu sesi latihan sore ini selesai, mereka langsung menepi ke pinggir lapangan untuk istirahat sebentar. Radit berjalan menuju tempatnya menaruh tas dan botol minum. Tidak jauh darinya ada Carissa yang tersenyum sekilas padanya saat dia mengambil botol minum dari tasnya. Pada saat yang sama Kendra memasuki lapangan dan berjalan cepat menuju ke arahnya tapi ternyata Kendra berhenti di depan Carissa. “Ternyata kamu di sini,” ujar Kendra saat berhenti di depan Carissa. “Nih, handphone kamu, kemarin ketinggalan di mobil.” Kendra mengulurkan ponsel Carissa dan langsung melangkah pergi tanpa menunggu respon dari Carissa. Refleks Carissa langsung berdiri dari duduknya dan menyusul Kendra yang baru beberapa langkah menjauh darinya. Dia menyadari sejak tadi Radit memperhatikannya dan Kendra. Dia berhasil menjangkau lengan Kendra dan menghentikannya. “Kamu mau pulang?” tanya Carissa setelah Kendra memutar badan menghadap ke arahnya. “Iya,” jawab Kendra singkat. “Makasih ya,” kata Carissa dan Kendra hanya mengangguk lalu berbalik dan pergi begitu saja. > “Mas, mie ayam satu ya pake bakso,” kata Radit saat memasuki warung di depan sekolah. “Lo makan apa?” tanya Radit pada Carissa yang berhasil dipaksanya untuk menemaninya makan. “Gue mie ayam aja deh nggak usah pake bakso terus sayurnya yang banyak ya, Mas.” Mereka langsung duduk di salah satu meja di sana, sore hari begini lumayan ramai karena sebagian siswa masih beraktivitas di sekolah, entah itu untuk ekskul ataupun organisasi. Sekolah mereka selalu ramai bahkan sampai malam pun masih banyak yang berkeliaran di sana. “Emang udah beres latihannya, Dit?” tanya Carissa setelah Radit mengambil dua botol air mineral dingin. “Biarin, bentar lagi juga paling pada udahan. Gue laper, mau makan.” jawab Radit sekenanya sambil membuka botol untuk Carissa dan untuknya. Sebenarnya ada yang harus dia klarifikasi dari Carissa, ada tanda tanya besar dalam kepalanya yang harus terjawab. “Ntar lo jangan lupa nonton pertadingan ya, awas loh kalo sampe lo nggak nonton!” “Nggak ah!” canda Carissa membuat Radit melotot ke arahnya. “Lo nggak asik, Ris! Kayak gitu yang namanya temen?” sahut Radit sewot. “Kapan sih kalian tanding?” “Jumat malem jam tujuh,” jawab Radit lalu meneguk air dingin itu langsung dari botolnya. Rasa segar membanjiri tenggorokannya yang kering. “Oke oke, ntar gue lihat jadwal gue dulu ya?” seloroh Carissa ketika pesanan mereka datang. Aroma dari dua mangkuk mie ayam itu semakin membuat perut mereka meronta. “Emang udah ada janji mau jalan bareng?” Radit mengambil dua pasang sumpit lalu mengulurkan salah satunya pada Carissa. “Pantes aja semalem chat gue nggak dibales. Yakali Kendra bales chat gue.” Kedua mata Carissa langsung menatap Radit sesaat sambil menerima sumpit dari cowok itu. Sebenarnya apa maksud dari pertanyaan itu, padahal dia benar-benar hanya bercanda dan dia tidak ada janji dengan siapa-siapa di hari itu. “Apaan, sih Dit?!” sergah Carissa sambil mengaduk mie ayamnya. Radit tidak menyahutnya dan beralih menikmati mie ayam-baksonya. Mereka tidak saling bicara sampai Radit menghabiskan isi mangkuknya. “Kemarin kalian kemana aja?” tanya Radit setelah mengelap ujung bibirnya dengan tisu. Dia berusaha untuk terlihat biasa saja meskipun itu tidak sepenuhnya berhasil. Carissa menghentikan gerak tangannya yang menggulung mie dengan sumpit. Tiba-tiba dia merasa aneh dengan pertanyaan Radit, dan dia sendiri juga bingung akan menjawab apa. Rasanya tidak mungkin kalau sekarang dia berceloteh menceritakan semuanya pada Radit. Tidak, waktunya tidak tepat. “Hmm... jalan-jalan aja, kok,” jawab Carissa lalu buru-buru menyeruput mie ayamnya tanpa berani melihat ke arah Radit yang terus menatapnya. Sorot mata yang terasa dingin. Untungnya Radit tidak bertanya-tanya lagi sampai mereka selesai makan. > Update sekali seminggu :) #Kepingan 14: Luka Masa Lalu ______Sometimes when i say “i’m fine”, i want someone to look me in my eyes and say, “tell me the truth”. Turnamen taunan futsal SMA se-Solo Raya sudah berjalan selama seminggu ini. Hari ini jadwal pertandingan sekolah mereka dimulai pukul tujuh malam. Suasana di salah satu GOR di kota Solo yang dipakai untuk pertandingan itu sudah padat oleh pendukung kedua tim tentunya. Tim Futsal sekolahnya akan bertanding di babak penyisihan dan perjalanan tim mereka masih panjang untuk sampai di final. Pertadingan berjalan seru karena dua tim yang sama kuatnya. Saling kejar skor pun juga tak terhindarkan. Meyca terus membidik dari balik kameranya mencari best moment selama pertandingan. Terlihat sekali, malam ini Radit menjadi bintang yang bersinar di sana. Hingga akhirnya mereka bisa melaju ke babak berikutnya setelah berhasil menaklukkan lawan. Ruang ganti mulai sepi dari hiruk pikuk karena para anggota futsal mulai pergi dari ruang itu satu per satu. Radit masih duduk di tengah ruangan. “Sekali lagi selamat dan terimakasih banyak, Dit” kata Pak Mardi, pelatih mereka sambil menepuk-nepuk pundak Radit lalu beranjak keluar. “Iya, Pak sama-sama,” sahut Radit. “Selamat ya! Jadi bintang hari ini.” seseorang berujar sinis kepada Radit. “Makasih,” jawab Radit dingin. Orang yang berdiri di depannya tersenyum sinis. “Heran deh, kamu selalu mengganggu ketenangan orang,” sahutnya mencibir. “Maksud lo apa, sih, Ga?” tanya Radit mencoba untuk tidak tersulut emosi. “Kenapa kamu harus masuk futsal? Merusak suasana!” tandas Saga sambil menatap tajam ke arah Radit yang juga balas menatapnya tajam. Selalu begini, hanya sorot mata tajam yang saling ditunjukkan dua orang yang masih punya hubungan darah itu. “Sorry ya, gue cuma ngelakuin apa yang gue suka, kalo lo nggak suka tinggal pergi aja. Gampang, kan?” balas Radit yang mulai kesal dengan kata-kata tajam yang terlontar dari Saga. Saga menutup pintu lokernya setengah membanting hingga terdengar bunyi yang cukup keras. “Enak aja! Memangnya kamu siapa?!” seru Saga keras. “Kenapa, sih, kamu pake pindah ke sini segala? Udah bagus kamu sama Papamu pergi jauh dari sini, kenapa sekarang balik lagi?” tanya Saga menyebalkan. Tak urung membuat emosi Radit yang berusaha dipendamnya naik ke permukaan. Dia langsung berdiri dan menatap Saga penuh kebencian. “Gue nggak pernah mempermasalahkan kehadiran lo, tapi lo selalu mempermasalahkan kehadiran gue!” tandas Radit. Selama ini dia memang lebih memilih untuk mengalah, menjadi tidak peduli terkadang memang jalan terbaik. “Karena kamu memang nggak seharusnya ada di keluargaku!” “Lo banyak omong ya!” sahut Radit ketus sambil menatap tajam ke arah Saga. Dia sudah benar-benar naik darah. Rahangnya mengeras mencoba menahan diri untuk tidak berbuat berlebihan. “Lo udah punya segalanya yang gue nggak punya dan gue nggak minat sedikitpun untuk mengusik hidup lo!” pungkas Radit lalu berbalik dan keluar dari ruangan yang membuat sesak itu. Wajah tengil itu sangat ini dipukulnya tapi dia masih bisa menahan diri untu tidak bertindak bodoh. Bola mata Saga mengerling ke arah pintu dan Radit pun mengikuti pandangan Saga. Seseorang baru saja berlalu meninggalkan pintu. Radit langsung berjalan cepat keluar ruangan meninggalkan Saga. “Carissa!” seru Radit menghentikan langkah Carissa yang terlihat tergesa menjauh dari ruang ganti. Cewek itu berbalik menghadapnya. “Maaf Dit, gue dateng di saat yang salah,” ucap Carissa merasa tidak enak menyaksikan secuil pertengkarang Radit dan Saga tadi. “Udah ya, gue balik dulu,” lanjut Carissa yang masih merasa canggung dan buru-buru berbalik dan tapi tangan Radit menahannya. “Lo ikut gue bentar ya, please...” Radit menatap Carissa penuh harap. Di saat yang sama seseorang melintas hendak masuk ke ruang ganti. “Mas Ken?” gumam Carissa pada Kendra yang menatapnya dan Radit bergantian dan berlalu masuk ke ruang ganti. Radit terdiam sejenak sampai Kendra menjauh dari mereka. Tiba-tiba atmosfir di sekitar mereka terasa membeku. “Yuk! Ikut gue bentar aja,” kali ini tanpa menunggu persetujuan Carissa, dia langsung menarik Carissa keluar dari GOR lewat pintu samping. Tanpa mereka sadari ada tiga pasang mata yang mengawasi gerak mereka. Meyca yang tanpa sengaja menangkap bayangan mereka di balik kameranya hanya bisa menghela napas pelan. > Mereka sekarang sedang berada di kawasan Galabo atau Gladak Langen Boga, arena kuliner yang hanya dibuka pada malam hari, berlokasi di sebelah timur bundaran Gladag. Di depan mereka gedung Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo yang merupakan sentral batik masih terlihat ramai. Pusat jajanan malam hari ini menawarkan aneka macam makanan dan minuman khas tradisional di Kota Solo. Jika siang hari area tetap sebagai jalan raya, sedangkan pada malam hari menjadi area kuliner. Mereka duduk bersisian di sebuah bangku menunggu dawet pesanan mereka yang belum datang. “Jadi ceritanya hari ini lo menang dan lo cuma mau traktir gue dawet sama serabi gitu?” tanya Carissa bercanda. Memang sebelumnya Radit sempat bersikap dingin padanya tapi dia selalu berusaha untuk tidak terpengaruh dengan sikap Radit dan perlahan itu berhasil mengembalikan suasana di antara mereka seperti sebelumnya. “Daripada enggak sama sekali,” sahut Radit lalu tersenyum melihat Carissa yang manyun. “Sekalian, kan, kita bisa ngobrol-ngobrol bentar, hehe...” kata Radit membuka percakapan. “Ya’elah nggak usah pake basa-basi, lo mau ngomong apa?” ujar Carissa sambil menatap keramaian di depan matanya. Dia sudah paham gelagat Radit. Kendra menyeruput dawetnya menguarkan wangi santan bercampur gula jawa. “Ini soal apa yang lo lihat tadi, soal gue sama Saga.” kata Radit membuka ceritanya. “Sebenernya lo ada masalah apa sama dia? Perasaan lo masih baru di sini tapi lo udah punya musuh aja,” sahut Carissa yang sebenarnya belum mengerti arah pembicaraan Radit. Radit tersenyum miring sesaat. “Dia sepupu gue, Ris.” Kata Radit datar. Carissa yang sedang menyendok cendol dari gelasnya langsung menoleh ke arahnya. Wajahnya terlihat begitu kaget dengan apa yang baru saja dia ucapkan. “Serius?” tanya Carissa kaget. “Iya, dia sepupu gue sekaligus kesayangan nenek gue dan semuanya.” jawab Radit sambil tertawa hambar, jelas bukan tawa yang bahagia, matanya tidak bisa berbohong. “Dia selalu aja iri sama apa yang gue punya, padahal dia udah punya semuanya yang nggak gue punya.” Lanjut Radit sambil mengaduk gelasnya membuat cendol yang ada di dasar gelas menggeliat naik. “Padahal gue udah capek musuhan terus sama dia jadi gue udah bodo amat.” sahut Radit lalu terkekeh singkat. Carissa menepuk-nepuk pundaknya sambil tersenyum simpul. Ini yang dia suka dari Carissa, sekalipun Carissa tidak menunjukkan rasa kasihan padanya, tapi tatapan dua mata itu selalu menyampaikan sebuah pengertian. > Update seminggu sekali :) #Kepingan 15: Sketchbook Udara malam masih terasa menusuk meskipun dia sudah memakai jaket. Ditambah dengan rintik hujan sejak beberapa saat dia meninggalkan GOR. Rintik lembut itu mengulas kabut tipis yang terlihat di setiap sinar lampu jalan yang dilewatinya. Lengannya sudah sebagian basah tapi dia terlalu malas untuk sekedar berhenti dan memakai jas hujan. Sudahlah biarkan saja, toh hanya rintik-rintik. Sekaligus mendinginkan hati dan pikirannya yang terasa sesak saat ini. Jalanan kota sudah tidak begitu ramai karena sudah hampir malam malam ketika ia memasuki daerah rumah orang tuanya. Malam ini entah mengapa dia ingin pulang, meskipun lelah, hujan, dan cukup jauh tapi rasa ingin pulang itu mengalahkan semuanya. “Tok! Tok! Tok!” tangannya yang membeku mengetuk pintu depan beberapa kali. Lampu di dalam rumah sudah padam, mungkin Ibunya sudah tidur. “Assalamualaikum, Ibu...” katanya setelah tidak ada sahutan dari dalam. Barulah beberapa saat kemudian lampu ruang tamu menyala dan terdengar langkah tergesa mendekati pintu.... #Kepingan 16: Bicara Cinta “Ibu, saya ingin bicara sebentar,” kata Alfian saat ibunya sedang melihat katalog motif batik di ruang tamu. “Mau bicara apa, Le[1]?” sambil menatap putranya, ia melepas kacamata bacanya dan meletakkannya di atas katalog batik yang tadi dia buka-buka. Alfian menarik napas panjang setelah duduk di samping ibunya, entah dari mana dia harus memulai pembicaraan ini. Rasanya sudah sangat lama dia tidak berbicara serius dengan ibunya sendiri menyangkut hal yang sangat pribadi. Satu hal yang mengendap dalam hati dan pikirannya selama bertahun-tahun. “Ibu, saya tahu ada hal-hal yang belum selesai antara saya dengan keluarga kita atau mungkin sampai kapanpun tidak akan pernah selesai.” Alfian membuka pembicaraan dan terdengar napas berat dari Ibunya, sudah pasti topik ini akan membuat sesak jika diungkit di tengah-tengah keluarganya, sebuah luka masa lalu yang hingga kini masih menganga lebar. “Saya tidak masalah kalau memang Ibu atau keluarga yang lain masih tidak bisa menerima saya.... #Kepingan 17: Tentang Pulang “Pulang...” gumam Radit saat dia dan Carissa menikmati es degan di teras kelas. “Impian terbesar dalam hidup gue tuh sederhana, Ris. Pulang.... Gue selalu ingin pulang dalam arti sebenarnya, tapi mau pulang ke mana? Gue nggak akan pernah menemukan Nyokap di rumah gue. Bahkan gue nggak akan pernah bisa ketemu Nyokap gue lagi, karena Nyokap gue udah pergi sejak gue belum sempat mengenalnya.” “Dit, setiap orang punya jalan hidup sendiri-sendiri. Lo harus bisa melewatinya.” Carissa masih terus mencoba menghibur Radit. Ternyata dibalik senyumnya, wajahnya yang tampan dan ceria, Radit tetaplah manusia biasa. Radit tetaplah memiliki sisi rapuh dalam dirinya. “Sebelumnya gue nggak pernah tahu alasan Eyang dan keluarga besar gue kenapa mereka nggak nerima keberadaan gue. Gue selalu bertanya dalam hati setiap hari sampai membuat gue hampir gila. Sekarang akhirnya gue tahu, Ris, karena gue lahir dari seorang wanita yang tidak mereka inginkan menjadi bagian dari keluarga mereka.”... #Kepingan 18: Renggang Jam pelajaran olah raga selesai pada istirahat pertama. Carissa dan Nabila berpisah di depan kelas, Nabila ingin ganti baju dulu sedangkan Carissa langsung ngacir ke kantin untuk beli minuman dingin. Meyca sudah pergi duluan dari lapangan dan sekarang entah dimana. Carissa terus berjalan sendirian menuju kantin sambil mengipasi dirinya dengan sobekan kardus yang tadi dia pungut dari salahs satu bangku di depan kelas. Memasuki kantin, beberapa meja terisi teman-teman sekelasnya dan juga beberapa dari siswa kelas 12 yang tadi juga ada jam olahraga. Carissa berjalan cepat menuju salah satu meja di deretan pinggir, “Gaf!” serunya sambil menepuk pundak kiri Gafin membuat cowok itu mendongak. Carissa langsung duduk di samping Gafin. “Sendiri? Nabila nyangkut dimana?” tanyanya sambil menuangkan saus cabai di atas mendoan yang sedang dia pegang. “Dia ganti baju dulu, Meyca mana?” “Tuh! Lagi beli es jeruk di Mas Darto.” Sahut Gafin dengan gerakan dagu. Carissa mengikuti arah pandang Gafin... #Kepingan 19: Serba Salah Carissa keluar dari sekret Magenta, dia tampak berpikir sambil berjalan. Baru saja Sherin memberinya tugas meliput tentang sebuah komunitas, apapun komunitas itu terserah dia. Semua anggota baru mendapat tugas sesuai dengan divisi masing-masing dan karya-karya yang memenuhi syarat akan bisa tampil di majalah sekolah edisi bulan depan. Carissa hanya punya waktu satu minggu untuk meliput dan membuat artikelnya. Dari arah berlawanan, Meyca melangkah ke arah Carissa. Memasang wajah datar dan ketika mereka bertemu pandang, Meyca hanya tersenyum kikuk dan ingin segera pergi. Namun Carissa meraih lengannya dan menghentikan langkahnya. “Mau ke komunitas apa?” Tanya Carissa berusaha sekuat tenaga untuk mencairkan suasana dengan cara apapun yang ia tahu. “Hmm belum kepikiran,” jawab Meyca singkat sambil melepaskan tangan Carissa dari lengannya. “Aku ke sekret dulu.” Pamitnya dan langsung melangkah pergi sebelum Carissa mengatakan apapun. “Ca…” panggil Carissa pelan, namun Meyca tidak menggubris, ia pun tidak ingin mengyusul Meyca yang sudah jelas tidak... #Kepingan 20: Ruang Bincang Laut tak selamanya tenang, gelombang pasti akan datang entah sekarang atau nanti. Lingkaran pertemanan mereka yang belum lama terjalin sedang melewati riak-riak kecil yang jika dibiarkan akan semakin membesar. Setelah Kendra dan Carissa pergi, Nabila segera mengemasi barang-barangnya dan berjalan meninggalkan kantin sambil menelepon seseorang. Dia terus berjalan menuju lapangan sekolah, dan menemukan Gavis sedang bermain voli bersama teman-teman kelasnya dan juga dari kelas lain. “Gafin!” teriaknya kencang dan berhasil membuat Gafin langsung menoleh ke arahnya. Gafin langsung keluar dari lapangan dan menuju Nabila. “Kenapa?” “Temenin aku ke tempat kakakku, ya?” “Mau ngapain?” “Mau ngajakin Meyca ke sana dan biar rame aku ngajakin kamu juga. Mau, ya?” “Oke!” jawab Gafin riang dan ringan, dia langsung mengambil tas yang tergeletak di pinggir lapangan dan berpamitan pada yang lain. Nabila berjalan lebih dulu menuju G-Eks dan dia setengah berlari menyusul Nabila. “Rissa gak ikut?” “Dia barusan pergi.” “Sama Radit?” tebak Gafin, entah... #Kepingan 21: Teman Bincang Sesampainya di markas grafiti, teman-teman Kendra sudah berkumpul semua. Carissa langsung melaksanakan tugas yang diberikan Sherin padanya. Mulai dari sejarah berdirinya komunitas itu, siapa saja anggotanya, apa saja kegiatan mereka, serta karya-karya yang telah mereka hasilkan selama ini. “Balik yuk!” ajak Kendra setelah sesi foto selesai. “Udah mendung, keburu hujan,” sahut Kendra sekenanya, tapi memang langit sudah terlihat mendung. “Iya juga, sih,” sambung Carissa sambil mendongak ke atas. “Ya udah, deh, pulang yuk!” lanjutnya mengajak Kendra pulang. “Yah, kok pulang, sih Ris?” Yudha tampak kecewa. “Udah ayo pulang!” potong Kendra tegas. Carissa langsung berdiri dan berpamitan pada yang lain yang jelas tidak bisa mencegah lagi kemauan Kendra. Daripada dia pulang sendiri, repot. Carissa berjalan bersisian dengan Kendra keluar dari gang sempit yang harus mereka lewati untuk mencapai jalan di depan sana di mana Kendra memarkir motornya. Gerimis mulai turun sebelum mereka sempat mencapai jalan di depan. Ternyata gerimis semakin deras... #Kepingan 22: Kembali ke Rumah Hari lahir mestinya menjadi satu hari bahagia yang patut dirayakan dengan penuh rasa syukur setelah berhasil menjalani hari demi hari dan atas kesempatan untuk menapaki hari-hari selanjutnya. Namun, di sisi lain mengulang hari lahir sama artinya dengan berkurangnya umur manusia di dunia ini. Lalu, dengan begitu ulang tahun sudah tidak berlaku lagi untuk seseorang yang sudah meninggalkan dunia ini. Hal itu tidak terlalu berlaku bagi Kinanthi, dia tidak ambil pusing. Hari ini mestinya adiknya merayakan hari lahir bersama suami dan putra atau mungkin sudah ada putra atau putrinya yang lain. Namun, hal itu hanya menjadi angan karena Tuhan telah memanggilnya bahkan sebelum dia bisa menimang putra yang dia lahirkan di hari yang sama. Kinanthi berjalan santai dari parkiran menuju makan adik tersayangnya. Sore yang tenang, dengan langit biru membentang dan semburat jingga di yang menghangatkan. Kali ini dia sendiri, langsung ke sini sepulang kerja. Satu buket bunga krisan di tangannya... Description: Pulang bukan sekedar tujuan, tapi dimana hati mendapatkan tempat ternyaman.
Title: Rindu Dengan Cinta Category: Slice of Life Text: Pertemuan Seorang wanita yang aku kenal di sebuah kampus ternama , dia seseorang yang merindukan sebuah rasa cinta. Hanya sebuah ketegaran dan senyuman palsu yang dia miliki. Dia selalu tertawa dan tersenyum pada semua orang, semua orang mengenalinya sebagai seorang wanita yang kuat dan ceria. Namun berbeda dengan apa yang aku tau dan aku lihat, dia rapuh dan menderita, hingga saatnya dia bertemu denganku dan menceritakan semua. Awalanya aku sungguh tak percaya, namun dia benar-benar sangat kuat. Air mata di pipiku pun mengalir tanpa aku sadari. Dan kini yang aku tau hanyalah betapa harus aku bersyukur atas apa yang aku miliki. Perkenalan Aku masih melihatnya tersenyum dan menyapa beberapa orang yang dia kenal. Dia sangat mencolok, namun aku tak memperdulikan. Hingga dia menghapiriku dengan menyapaku . "Hay! kamu mahasiswa baru ya? kenalkan namaku Syna." Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan hanya ucapan kata ’Hay’ yang dapat aku lontarkan. Tak lama setelah itu dia berbicara padaku "sampai jumpa lagi ya" dengan senyumnya dia pergi dari tempat dudukku di sebuah kantin tempat aku berkuliah. Aku masih mersa heran mengapa dia bahagia sekali. ____________ Ruang Kelas___________ Setelah kejadian di kantin aku menuju kelas mata kuliahku . Ruang kelas masih terlihat sepi, aku merasa bosan. Ku duduk di bangku nomor tiga dari depan dekat jendela. Ku melamun terdiam memikirkan hal-hal yang tidak penting yang membuatku mengeluarkan imajinasi-imajinasi dari pikiranku. Hingga pada akhirnya seseorang berhasil membangunkan lamunanku. "Hay, ngelamunin apa neng?" suara dan tawa ringannya membuatku tersadar bahwa aku harus kembali kepada dunia nyata. "Oh hay, ternyata kamu" aku masih tidak peduli dan cuek. "Wah, ternyata kamu orangnya cuek juga ya?! oh iya tadi namamu siapa? kamu belum sempat memperkenalkannya." "Grice." Begitulah bagaimana aku berkenelan dengan Syna seorang wanita yang tangguh dan ceria. Cahaya dan Sebuah Pertanyaan Setelah kejadian hari itu tiap aku berangkat menuju kampus aku selalu melihatnya dan dia selalu menyapaku dengan senyumannya. Dia sangat sibuk dengan orang-orang di sekitarnya dia tersenyum, tertawa, berbicara dengan orang-orang di sekitanya. Ku tak pernah melihatnya sedih ataupun susah. Aku selalu melihatnya dimanapun, kita bertemu di kantin , perpustakaan bahakan kelas, ya dia selalu menyapaku menanya kabarku tersenyum kepada yang lain. Sebenarnya siapa dirimu? aku tidak terbiasa dengan semua ini apalagi dengan dirinya. Tidak menutup kemungkinan kami juga teman satu kampus dan satu jurusan. Hingga suatu saat aku duduk di taman kecil di kampusku termenung sendiri, membuat pertanyaan pertanyaan tidak masuk akal mengenainya. Adakah orang yang bahagia seperti itu? tidak merasa susah atau sedih? tidakkah dia merasa bosan? dan pertanyaan itu membuatku bergerak berlari untuk bertemu dengannya dan menanyakannya. "Syna?!!!" ku berteriak memanggilnya. "Ya?" "Mengapa kau selalu terlihat bahagia dan tersenyum?" aku merasa malu bertanya padanya. Dia tertawa sambil menepuk pundakku "Syna begitu karna ingin melihat Grice juga melakukan hal yang sama." Aku terdiam dan masih tidak mengerti apa yang dia katakan. "Jangan di pikir suatu saat kamu akan mengerti. Lalu setelah terjadi percakapan singkat itu, dia pergi meninggalkanku dengan membawa buku di tangannya dan tersenyum kepadaku. Senyuman Semenjak perkataan itu aku selalu memikirkannya, sambil berjalan menelusuri malam ini. Tak sengaja aku mendengarkan sebuah keributan dalam suatu rumah aku tak peduli, dan aku tetap melanjutkan langkahku , dan ku berhenti di suatu taman. Ku melihat Syna ada disana , aku tak tau mengapa ada dia disana, duduk di sebuah ayunan dan aku tetap melihatnya dengan senyuman. Aku menghampirinya dan menanyakan sedang apa di sana. "Apa yang kau lakukan di sini ? bukannya ini sudah malam?" aku heran melihatnya sendirian di taman dan tetap tersenyum seperti biasanya. "Aku hanya ingin melihat bintang dan indahnya sebuah kesunyian, penuh kedamaian." Lalu dia melihatku dengan senyumannya. "Lalu kenapa Grice ada di sini?" "Aku hanya ingin berjalan dan menikmati malam ini." Dia mendengarkanku dengan sembari memainkan ayunan yang ia duduki dengan di balut senyuman, "Mengapa kau tersenyum?" aku bertanya. "Lalu, mengapa kau tidak pernah tersenyum? apa kau tak punya gigi?" celotehnya setelah mendengarkan pertanyaanku. "Apa maksudmu? tentu saja aku mempunyai gigi!" Dia tertawa mendengarkan jawabanku. "Apakah kau tak mempunyai suatu masalah? sehingga kau tetap terlihat tersenyum dan bahagia?" Ku kembali bertanya padanya. "Tentu saja aku mempunyainya, namun terlalu banyak sehingga membuatku ingin selalu tersenyum." Dia mengatakan padaku dengan tenang dan tetap memainkan ayunannya, aku melihatnya tanpa beban tidak seperti apa yang dia katakan. Mungkin dia juga memiliki sebuah masalah namun aku selalu melihatnya tenang dan tetap tersenyum bahagia. "Tunggu sebentar di sini Grice!" Tiba-tiba lamunanku terhenti. Dia meninggalkanku tiba-tiba, entah kenapa aku tetap menunggunya di sini. "Tadaaaaa! aku mari kita bersenang-senang dan tersenyum dengan ini!" Dia datang kembali dengan membawa kembang apinya, entah mengapa aku merasakan kesenangan yang tidak pernah aku rasakan dan sehingga terpaksa membuatku tersenyum menikmati hal konyol ini. Sebuah Cerita Pagi mulai menyambutku, setelah kejadian semalam aku merasakan sebuah perasaan yang berbeda pada diriku. Aku merasa aku hanya bermimpi dapat bertemu dengan seseorang seperti Syna. Pagi seperti biasa sebelum memulai aktifitas aku menikmati secangkir teh yang telah di siapkan oleh ibuku, dan seperti biasa pula aku selalu sendirian di rumah karena orang tuaku selalu bekerja di pagi hari. Ya, tak ada yang spesial dalam hidupku seperti selembar kertas putih yang tak pernah terisi. Hari-hariku hanyalah menunggu seseorang mengisinya, aku sudah terbiasa sendiri tanpa sebuah perasaan. "Prangggg!!!!" suara yang membuat lamunanku terhenti. Ya setiap pagi pula aku mendengarkan suara piring tetangga sebelah terjatuh entah berapa banyak piring yang telah rusak. Aku tak memperdulikan hal itu aku lekas bergegas merawat diri untuk segera berangkat menuju kampus, hari ini adalah hari sabtu sebagaimana seharusnya libur namun kegiatan kampus memaksaku untuk hadir. Itulah pagiku dimana aku masih mencari sebuah rasa, rasa yang pas untuk menuliskan sebuah tulisan dalam lebar putih. Dirinya dan Sebuah Sedikit Coretan Kecil Kumulai berjalan melewati jalanan dimana terdapat banyak sebuah perasaan yang mungkin tak ku mengerti dan yang tak ku pahami. Aku tak tau mengapa aku tak depat merasakannya, aku berusaha keras merasakannya, "hey, are you ok?" suara yang menghentikan kosentrasiku untuk mengerti sebuah perasaan di sekitarku. "Ohh ya hay" sapaku padanya. Ya dia Syna, seseorang yang aku temui di malam hari yang telah membuat sebuah coretan kecil di lemar kertas putih yang aku miliki, dia yang sangat ceria dan selalu tersenyum pada semua orang yang tak henti ku pandangi . "You ok Grice?" "Ya.... aku ok!" ku masih terkejut dengan adanya dirinya di sampingku, "emmhh Syna ngapain disini?" ku merasa aneh dengan pertanyaan ini namun ku lihat dia terdiam dan aku mulai tertunduk. "Inikan jalan menuju kampus, dan ini jalan satu-satunya yang dapat aku lewati." Dia kembali menebarkan senyumannya, dan semua orang menatap kami dan tersenyum pada Syna. "Hey kau, gigimu hilang lagi ya? tersenyumlah semua orang mencoba menyapa kita." Hari ini adalah dimana hari aku mencoba tersenyum pada orang di sekitarku, dan dia kembali menorehkan sedikit coretan di lembar kertas putihku. Penikmat Setelah kejadian tersebut kau mencoba tersenyum pada orang sekitarku, sungguh aku menikmati hal ini aku sempat berfikir inikah sebuah senyum namun aku juga sempat berfikir apa senyumku ini sudah tulus? aku termenung sejenak memikirkan hal tersebut. "Kamu berhasil Grice!" dia membuat pikiran dan lamunanku terhenti dia tersenyum melihatku , aku berfikir sudahkah aku berhasil? sudahkah aku tulus? tolong katakan. "Baiklah kita sudah sampai, hey acaranya segera di mulai ayo kita segera masuk." Kami segera memasuki ruangan acara tersebut, di kampus kami mengadakan acara pentas seni untuk semua jurusan, di dalam sangat ramai bercanda, tawa, senyum, sapa, aku harus apa? bagaiamana aku menikmati acara ini? "Baiklah acara pentas seni kali ini akan segerah di mulai mohon perhatiannya , dan selamat menikmati penampilan pertama." seorang pembawa acara di atas panggung. Baiklah aku harus bisa menikmati acara ini, ujarku dalam hati. suara alunan musik mulai menggema, semua tanpak menikmati lagi demi lagu ku nikmati, hingga ada sebuah lagu yang membuatku semangat entah mengapa ini membuatku tersenyum dan menikmati lagu ini, hingga membuatku tersenyum dan beberapa teman di dekatku ikut menyanyikannya. Aku sangat menikmati ya menikmati, seperti bebas dan terlepas. Lagu tersebut adalah lagu pembuka yang membuatku mendengarkan lagu lainnya. Hingga puncak acarapun telah di mulai kami menyanyikan lagu Fight Song- Rachel Platten kami semua bernyanyi dan menyalakan kembang api yang telah di sediakan peserta. Aku tak pernah sebagia ini, acarapun selesai aku segera kembali pulang namun ketika aku ingin pulang aku tak melihat Syna sama sekali. Aku mencari di sekiling gedung dan mencarinya di sekitar kampus, aku termenung terdiam di mana dia sekarang. "Hey, kau mencariku? aku habis dari kamar mandi." Tiba-tiba dia datang dari arah belakang , aku pun merasa terkejut. "Kau sangat menikmati Grice." Aku pun tertawa mendengarnya dan aku memeluknya. "Thanks Syna! aku sangat menikmati" Hari ini akan berlalu dan aku sangat menikmati hari ini. Akankah aku menikmati hari yang akan datang? Isabella "Sudah ku bilang kau itu seorang suami, kenapa kau seperti ini? dasar laki-laki tak tau malu!!!" Suara berisik mengganggu pagiku, ya seperti biasa tetangga sebelah adu mulut. Aku tidak habis pikir bagaimana keluarga mereka bersatu jika akhirnya seperti itu, bagaimana kehidupan keluarga dan anak mereka. Sebenarnya aku tidak tidak ingin memikirkan hal ini, menurutku sunggu tidak penting. Namun kegiatan mereka sungguh menggangguku. "Grice!! Grice!! ayo turun, teh kamu sudah ibu buatkan." Yah hari ini hari minggu ibuku tidak begitu sibuk , namun tak jarang ada panggilan kerjaan di hari minggu. Ya ku rasa tiap hari rumah ini selalu kosong dan hampa seperti tidak ada kehidupan. Perlahan ku menuruni tangga untuk mendapatkan teh hangat buatan ibuku. Ku duduk di sebelah ibuku di sebuah kursi kecil taman rumahku. "Bagaimana kuliahmu, apakah baik-baik saja?" ujarnya padaku sambil menyeduh teh buatannya. Aku hanya menjawabnya dengan jawaban sederhana dan tidak bertele-tele. Dan ibuku pun tidak masalah dengan hal itu, dia tersenyum dan mengusap kelapaku. Suara telefon pun mulai mengganggu ibuku, "ya hallo, ...??" Ibukupun segera menjauh dari tempat duduk dan menjawab telfonnya, seburuk inikah hariku. inikah sebuah keharmonisan keluarga? "Emhh Grice, Ibu sepertinya tidak dapat menemanimu lama hari ini, ibu minta maaf karena kesibukan ibu." Aku sudah terbiasa dengan perkataan itu, dan aku hanya mampu membalasnya dengan anggukan kepala. Lalu ibuku segera bergegas menyiapkan diri aku hanya dapat melihatnya naik turun tangga untuk mengambil barang keperluannya. "Grice, antarkan ibu ke depan." Akupun segera mengantarkan ibuku kedapan untuk melihatnya pergi menjauh dari rumah, "Kamu pasti tidak nyaman dengan keadaan rumah." Ya sepertinya ibu juga mendengarnya, setelah perkataan itu ibu segera masuk kedalam mobilnya dan suara mobil yang ia naikipun mulai menghilang secara perlahan. Aku segera masuk ke dalam rumah, namun ada suara anak kecil menangis, di sebelah halaman rumah ku coba mendatangi sumber suara dan ternyata aku menemukan seoarang anak kecil yang mungkin umurnya 8 tahunan yang sepertinya di anak tetangga sebelah rumahku. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Aku tidak suka di rumah, aku takut." Aku tidak tau harus berbuat apa, aku menanyakan namanya, namanya adalah Isabella setelah itu akupun menyuruhnya masuk kedalam rumahku untuk sementara, karena kurasa dia benar-banar ketakutan. "Mau secangkir teh?" tawarku padanya. Dia hanya terdiam dan ketakutan, aku hanya terdiam melihatnya seperti inikah rasa takut. Aku sungguh tak mengerti apa yang dia pikirkan dan rasakan sampai setakut ini. Masih terdiam dia memeluk bantal di ruang tamuku, aku melihatnya. "Kak aku mau pulang, aku takut mereka mencariku." Lalu iapun berlari keluar rumah akupun tidak sempat mengatakan apa-apa namun ia sudah berlari keluar rumahku, aku mengerjarnya namun tiba-tiba suara telfon rumah berdering, sehingga membatalkan pengejaranku. Ternyata telfon itu dari seseorang yang telah salah sambung menelefon nomor rumahku. Ku kembali keluar untuk mencari Isabella, namun sepertinya dia sudah pulang ke rumahnya. Ya hari ini di mana aku mengenal seorang Isabella. Kesendirian Setelah pertemuanku dengan isabella , aku kembali di rumah sendirian dengan segelas tehku yang telah aku seduh dengan ibuku tadi, suasana rumah kembali sepi dan hening seperti biasanya hanya ada aku dan kehidupanku yang selalu sendiri. Ku mencoba menikmati keadaan dengan berjalan menuju sebuah sofa yang berada dekat jendela melihat awan yang mulai menghitam menunjukan hujan akan segera turun ke bumi angin kencan berhembus semakin menusuk kesendirian dalam kehidupanku. Ku sempat kembali melihat jendela sebelah tampak rumah isabella yang sepi, yang semakin membuatku penasaran dengan apa yang terjadi pada isabella. namun aku tak memikirkan berlarut-larut yang aku ingin adalah sebuah kehidupan yang normal. "Kriiing...kring...kriinggg...!!" suara telefon berdering, aku segera berjalan menuju sumber suara dan mengangkatnya. "Hallo?" "Hallo sayang, ini ibu..." "Iya..." "Maaf ibu mungkin pulang terlambat karena cuaca buruk di sini dan ibu masih ada meeting" "Iya bu tak apa." "Maaf ya sayang, kamu baik-baik di sana. ibu sayang kamu." Aku terdiam dan telfon segera berhrakhir. Kehidupan kesendirian sepertinya sudah menjamur di dalam kehidupanku, aku tak pernah merasakan indahnya kebersamaan. Aku hanya menemukan sebuah kesendirian dalam hidupku, tidak ada hal spesial atau membahagiakan dalam hidupku. Aku tak tau bagaimana caranya tersenyum dan bagaimana caranya bahagia, namun sesekali aku dapan merasakannya bersma Syna namun itu tetap tidak berpengaruh dalam hidupku, aku kembali dalam kesendirian. Semua itu hanya dapat membuatku merenung dan terdiam memikirkannya. Setangkai Bunga Mawar Pagi menjelang, ku terbangun untuk bersiap melanjutkan kehidupan sesungguhnya. Masih dengan keadaan rumah yang sepi dan hening seperti tanpa kehidupan, sepertinya ibuku tidak pulang. Ya beliau terkadang suka tertidur di kantor dan mungkin sekarang beliau sedang tidur disana. Ku turun dari kasur yang nyaman dan empuk, ku berjalan menuju kamar mandi. Rasanya tidak ingin kemana-mana ingin menikmati kesendirian ini cukup dengan di rumah ini, namun semua harus berjalan dengan seharusnya. Ku menuruni tangga, membuat teh hangat. Seperti biasa ku duduk di depan teras yang menghap taman belakang rumah, namun ada yang berbeda hari ini tidak ada suara ribut-ribut dan tidak ada suara piring berjatuhan di rumah sebelah, mungkin mereka sudah baikan. Setelah menikmati teh hangan yang hampir habis aku bersiap berangkat menuju kampus, ku menutup pintu rumah dan ternyata secara kebetulan ibu juga telah pulang dari kantor. Dia datang lalu mencium keningku, "Maafkan ibu tidak pulang semalam." Ku hanya terdiam dan membalasnya dengan anggukan kepala, lalu aku melanjutkan jalanku menuju pagar rumah. Ku tak sengaja melihat Isabella lagi setelah kejadian sehari yang lalu. Dia masih sama dengan yang pertama ku temui, masih terdiam, lalu dia memberiku setangkai bunga mawar, "Hey,..." sebelum aku berbicara dia kembali lari . "Grice? ada aapa? kau berbicara dengan siapa?" Ku mendengarkan suara ibuku yang ternyata dia masih melihatku , "Tidak ada bu." Ku kembali melihat kearah berlarinya Isabella dan ku kembali kehilngan Isabella. Ku segera melanjutkan perjalananku dan berharap aku dapat bertemu dengannya lagi. Es Kream Coklat Kacang dan Sebuah Rasa "Grice!" Seperti biasa aku bertemu dengan Syna di perjalan menuju kampus, dan seperti biasa dia tersenyum hingga membuat orang di sekitar kembali menyapanya. "Masih belum mau senyum nih?" dengan tawanya dia berbicara seperti itu padaku. Setiap aku beretemu dengan Syna aku selalu berfikir sepertu itukah sebuah kebahagiaan? Mengapa aku tidak bisa merasakannya. Aku hanya mampu terdiam. "Hey ada Es Kream Grice, ayo kita beli sebelum mengikuti kelas di kampus." "... (terdiam sejenak), Ohh iya ayo kita beli." aku pun dan Greace berjalan menuju si penjual. "Pak..., saya pesan..." "Coklat kacang 2 ya pak." Tiba-tiba Grice memotong pembicaraanku dengan si penjual, aku terkejut. "Hey kenapa kamu aku suka yang rasa coklat kacang?" aku merasa terkejut dan bingung. "Kebetulan mungkin." Dia kembali tersenyum kepadaku dan setelah kami selesai memesan kami segera melajutkan perjalanan menuju kampus. Sepanjang perjalanan kami, aku hanya mampu melihat Syna tersenyum dan menikmati es Kream yang kita beli hingga akhirnya kami telah menginjak lantai kampus. "Apa kau teringat sesuatu?" tiba-tiba Syna menanyakan sesuatu padaku. "Ah tidak, aku hanya sedikit teringat hal yang dulu membuatku bahagia." "wah!! seru pasti." Aku melihatnya dengan antusiasnya yang ingin mendengarkanku, mendengarkan ceritaku. Namun aku tidak ingin mengatakannya karena aku sudah lupa dengan perasaan yang terjadi di kala itu. "Jadi bagaimana Grice, ayo lah katakan padaku." Dia masih memaksa untuk aku mengatakannya. "Emhhh ok baiklah." Aku tidak sanggup namun aku ingin menceritakannya. "Jadi? bagaimana Grice?" "Ya yaa, aku teringat waktu dulu ayahku senang membelikan es Kream coklat kacang di setiap minggu kami selalu jalan-jalan bersama, namun semenjak..." Namun tiba-tiba kenangan itu membuatku meneteskan air mata dan aku tak sanggup menceritakannya lagi, akupun berlari meninggalkan Syna. "Hey!! Grice?!" Aku tidak peduli ku terus berlari. (Brakkk,..) Tak sengaja aku nabrak seseorang namun aku tak peduli aku terus melanjutkan pelarianku, aku tidak peduli siapa yang telah aku tabrak hingga es kream yang aku beli tumpah di bajuku. Aku menuju kamar mandi kampus dan aku meneteskan air mata. Apa ini ? bagaimana aku bisa seperti ini, mengapa perasaanku sakit sekali. Kenapa aku mengelurkan air mata? Apa ini sebuah kesedihan? Aku tidak pernah merasakannya, ini seperti bukan aku . Aku harus bagaimana? Pertanyaan itu terus timbul di fikiranku dan membuat dadaku terasa sakit. Dia Berjalan menelusuri lorong di kampusku dengan perasaan yang masih sama dengan kejadian sebelumnya. Aku masih belum percaya mengapa aku bisa merasakan hal seperti itu, ku hanya bisa terdiam menunduk. "Hey!!" Tiba -tiba kau mendengar suara teriakan dari belakangku. Ku menoleh. "Hey, kau yang mengotori bajuku dan skrng aku pergi seenaknnya tanpa menghiraukan yang telah kau lakukan." DIa, dia adalah seorang laki-laki yang sempat aku tabrak ketika ku berlari menjauh dari Syna dan tanpa sengaja aku mengotori bajunya dengan es kream coklat kacang yang aku bawa. "Maafkan aku, aku tidak sengaja." Ku tertunduk sembari mencupkan kata maaf atas kesalahanku. Setelah itu dia pergi meninggalku dengan gestur tubuh yang amat kesal, aku tidak tau dia siapa namun aku sudah meminta maaf. Kuharap dia memaafkanku. Berdetak Kencang Pertemuan itu sangatlah singkat, aku tak pernah berbicara lagi dengannya. Akupun menjalani kehidupan kuliahku seperti biasa, dengan perasaan yang selalu sepi. Syna pun akhir" ini jarang terlihat, aku berjalan di perpustakaan yang biasa aku datangi hanya untuk membaca buku dan mengisi ke kosongan aku mengambil beberapa buku dan duduk di sebuah tempat baca, tidak terlalu banyak orang di sana namun aku menikmatinya. Aku sangat menikmati buku yang aku baca hingga mulai tertidur. "Hey, kacamatamu!" dia berusaha mengambil kacamataku yang aku gunkan tertindih karena aku tertidur di atas buku. "Ahh iya terima kasih, aku akan segera bangun." aku terkejut dan segera duduk tegap dan membenarkan kacamataku. "Terima kasih, emm.. permisi" aku segera pergi dan meninggalkannya, hatiku merasakan hal aneh berdegub kencang perasaan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya namun aku tak peduli. Aku segera menuju kelas karena kelas akan di mulai. aku tidak fokus perasaanku terus berdetak kencang aku hanya melamun sembari memperhatikan dosen menjelaskan. Aku mencoret" bukuku , ku terus memikirkan perasaanku dengan memegang dadaku . Kelaspun berakhir, aku segera kembali ke rumah dengan menikmati tiap langkahku dan seperti biasa orang-orang memperhatikanku namun aku tak pedulu , aku masih memegang dadaku yang terasa berdetak kencang seakan ingin keluar. Langkahku terhenti di taman dimana aku biasa bertemu Syna. Aku duduk di sebuah ayunan smbil menundukan kepalaku. "Kak, main yuk!" Aku terkejut, karena Isabella tiba-tiba datang dan berbicara. "Hey kau dengan siapa?" Menunjukan sepedah yang dia gunakan menuju ke taman ini, ya memang taman ini tidak jauh dari rumahku dan rumahnya. "ohhh, sepertinya kakak lagi tidak ingin main." aku menolaknya dengan senyuman. "Kakak sedang jatuh cinta!" "Hah? apa? hey isabella?" tiba-tiba dia berlari sambil tertawa menuju sepedahnya, seperti dia puas dengan ledekannya. Akupun terdiam, aku tidak tau pasti namun hatiku makin berdegub kencang setelah isabella mengatakan hal itu. Telfon Darinya Hari pun berlalu, seperti biasanya aku menikmati hariku . Kali ini tanggal merah dan aku seperti biasa hanya berdiam di rumah. Ku termenung sambil membayangkan perasanku. Aku bingung dengan perasaan ini, ya aku hanya bisa diam berfikir apa yang aku harus aku lakukan. "TIng Tong..." Tiba-tiba suara bel di rumahku berbunyi sehingga menghentikan lamunanku, namun aku tak beranjak membukakan pintu hingga akhirnya bel rumah berbunyi terus menerus yang memaksaku turun dari kasurku dan membukakan pintu. "Hei, ku kira kau sudah mati ahahaha" "Dasar, ku kira kau ibuku makannya aku diam saja." "Dasar bodoh memang ibumu tiap mau masuk rumah harus pencet bel? lagian dia kan juga tinggal di rumahmu." "Yaaa, mungkin..." Ternyata suara bel tersebut adalah Syna, setelah percakapan bodoh kami didepan pintu aku mempersilahkan dia masuk dan ku ajak masuk ke kamarku. "Sepi ! pada kemana?" tanya Syna padaku. "Entahlah , setiap hari memang seperti ini." "Kau tidak keluar? hari libur, memangnya mau di rumah terus!?" aku terdiam dan hanya mendengarkan Syna berbiacara. Untuk beberapa saat kami terdiam, tidak berbicara dan Syna asik tertawa membaca komikku. "Hey komikmu bagus juga, aku sampai tak henti tertawa" "itu komik sudah lama, semasa aku SMP, ayahku yang membelikan katanya komik ini dapat membuatku bahagia." "Ohhhh, di baca dong.." "Sudah ku baca berkali-kali tapi aku tidak merasakan kebahagiaanku dulu, entahlah.." "Santai suatu saat kau akan menemukan kebahagianmu kok." Tiba-tiba suara ponselku berdering, "Woi ada telfon noh, angkat" "Biarin aja, orang asing." "Dasar, yaiyalah orang asing mana bisa tau kalau kamu gak angkat, angkatlah kali aja ibumu ganti nomor, hehehe." "Emmmhh ok" Akhirnya aku mengangkat telfon yang berkali-kali tidak aku angkat. "Hallo" "Hallo, Grice ini aku laki-laki yang waktu itu.." Aku terdiam dan hatiku tiba-tiba berdetak kembali, ya dia dia laki-laki yang waktu itu terkena es creamku dan dia orang yang menegurku di perpustakaan untuk membetulakan kaca mataku. Tapi mengapa dia tau namaku dan tau nomorku? "Hallo Grice?? apakau sudah lupa?? kan waktu itu..." "Ahh iya ya , maaf ada apa?" aku memotong pembicaraannya. "Besok kita bertemu di perpustakaan kampus, aku ingin bicara" "Ohhh, okee tapi ada apa ya?" "Sudah datang saja, aku tunggu besok.... Bye" tiba-tiba telfon terputus tanpa aku tau apa maksudnya. ------- "Ada apa?" "Entahlah" "Siapa dia?" "Entahlah" "Jangan-jangan dia penculik..!!!!" "Gila apa ya..!!" "Hahahahha, peculik hatimu... HAHA" Syna tertawa puas dengan menggodaku. "Gila... " "Sudah ahh kau mau pamit pulang, kita bertemu di kampus ya.." Aku pun mengantarkan Syna kedepan rumah , dan diapun segera pulang. Aku masih termenung dengan kejadian tadi, mengapa dia telfon, dan perasaanku tiba-tiba kembali berdegub kencang. Aku bingung dan semoga esok tidak terjadi apa-apa. Pertemuan Singkat Hari mulai berganti entah mengapa aku melakukan pertemuan ini dengannya, kami bertemu di suatu tempat dekat rumahku. Aku menunggunya dengan santai dan tidak berharap setidaknya aku tidak mengingkari janjiku. "Grice!" seseorangpun memanggilku dari jarak jauh, dan ia segera berlari kearahku. "Hay, Grice?" "Iya.." "Oh iya kenalkan aku Alex, ya yang kemarin telefon kamu". "Oh ya, hay.." aku pun terdiam dan tidak tau harus berbicara apa lagi, dan sepertianya dia juga begitu. Kamipun diam sejenak, tidak ada pembicaraan satu sama lain, hingga akhirnya dia memulai pembicaraan. "Apakah kau tidak ingin bertanya padaku?" kata Alex padaku. "Entahlah.... eh tapi Alex mengapa kau bisa mendapatkan nomor Hpku?" "HAHAHA.... kau lucu sekali, aku mendapatkannya dari teman sekelas kita". "Pasti Syna!?" "Syna??" jawab Alex tampak bingung. "Ah sudahlah lupakan" mencoba mengentikan pembicaraan. "hahaha, aku mendapatkannya dari ketua himpunan jurusan kita ketika pertama kali meminta data diri mahasiswa baru. Ya .. kebetulan ketua himpunan itu sepupuku, hehehe". Akupun hanya terdia mendengarkan perkataannya. "Oh iya Grice lain kali kita bertemu kembali bisa kan? hari ini aku harus cepat kembali ke rumah karna ibuku butuh bantuan di toko." Diapun berpamitan kembali padaku, dan dia segera berjalan meninggalkanku. Sesekali dia berpaling dan berkata padaku "Grice lain kali aku ajak ke toko rotiku ya...". Tak sempat ku menjawab namun melihatnya tersenyum perasaanku menjadi sangat aneh, dan pada waktu itu pula dia mulai hilang dari pandanganku. Apa Ini Cinta? Pertemuan dengannya pun berlalu aku tak henti memikirkan apa yang aku rasakan ini, rasanya aku ingin tertawa bahagia namun aku bingung mengapa harus begitu. Sesampainya di rumahpun aku tak henti memikirkan hal itu, ada hal yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Nada telefon pun membuyarkan lamunanku, dan ternyata itu adalah Alex. "Iya halo, Alex?" "Hay, apakah aku sudah sampai rumah?" "Iya sudah." "Syukurlah, oh iya besok pulang dari kampus ke toko rotiku ya?" "Emmm.... ok" "Ok, aku tutup dulu ya telfonnya. Bye" dia pun menutup telfonnya dan mengakhiri percakapan. Tak lama kemudian ibuku memanggilku untuk makan malam, aku pun segera turun menemui ibuku. "Kamu habis telfon siapa?" katanya sambil tersenyum padaku. "Emm... temen ma" ibuku pun tersenyum mendengarkan jawabanku dan kamipun makan bersama di meja makan, tiba-tiba Syna pun meneleponku di tengah makan malamku dengan ibuku. "Hallo Syna? ada apa?" "Bagaimana sukses? hahaha" "Gila... apaan sih, udah nanti aja aku lagi makan malam." aku pun menutup telepon dari Syna. "Siapa?" ibuku pun bertanya kembali "Syna" "Syna? kok mama ndak pernah tau?" "Loh kan dia pernah main ke sini kan ma." "Emmm... begtu" ibuku pun nampak bingung melihat apa yang aku ceritakan. Aku dan mamaku pun selesai makan dan membereskan meja makan, akupun kembali ke kamar untuk menelefon Syna. "Grice?" tiba-tiba ibuku memanggilku ketika ku menaiki tangga untuk menuju kamar. "Ya?" "You ok Grice?" "Ok" "Ok, Mama pergi dulu ya! mama ada urusan mendadak, tidak akan lama." "Ok" Akupun segera naik ke atas dan mengakhiri percakapan singkat dengan ibuku, sesampainya di kamar akupun menelefon Syna. "Hallo, Syna?" "Bagaimana? ahaha" "Apanya yang bagaimana?" "Itu si cowok itu, sapa sih namanya. Emmm ahh iya Alex" "Ya begitulah." "Ya begitulah gimana?" "Entahlah Syna aku bingung apa yang aku rasakan ini, ketika aku bertemu dengannya aku berdebar-debar dan ketika aku pulang aku tak henti memikirkannya. Lalu rasanya seperti Bahagia." "Hemmm.. kau ini masak gitu aja tak tau!?" "Memangnya apaan?" "Itu namanya rasa cinta! gimana sih nih anak." Syna pun menjawabnya dengan canda. "Apaan sih Syna, udahlah aku mau tidur." "Yee dasar, yaudah tidur sana." Akupun mengakhiri percakapan dengan Syna, percakapan yang dimana membuatku bingung. Entah mengapa perasaan ini sulit aku mengerti dimana aku berdebar-debar bertemu dengan sesorang, rasanya aku ingin tersenyum bahagia, dimana tiba-tiba aku memikirkannya. Sebuah percakapanku dengan Syna menjadi jawaban, apakah ini Cinta? aku tidak tau apakah ini adalah rasa cinta, namun aku akan tau jika melaluinya untuk membuktikan rasa cinta ini. Toko Roti dan Perasaan Cinta "Grice!?" terdengar dari kejauhan suara alex memanggil. "Hay" "Hay, sudah lama nunggunya?" "Enggak kok" "Yaudah yok ke toko roti ibuku" "Sebentar deh nungguin Syna kemarin dia aku sempat ajak" "Syna?" Alex pun sedikit penasaran dengan Syna. "Iya, masak kamu enggak tau sih?" "Enggak, emmm.. mungkin lain kali aku harus kenal deh sama dia" "Iya boleh, anaknya baik kok. Anak jurusan bahasa" "Ahhh begitu, ok! jadi gimana masih lama kah dia?" "Gak tau nih.." Tiba-tiba suara handphone yang di genggam Grice berbunyi, dan Alex pun melihat Grice sedang mengangkat telefon. Setelah beberapa menit melakukan panggilan Gricepun mematikan panggilannya. "Siapa?" "Syna" "Syna?" Alex pun tampak sedikit bingung. "Iya! kayak dia gak jadi ikut deh" Grice sedikit kecewa. "Emmhh yaudah deh yuk kita langsung ke toko aja" "Yaudah deh ayo" Selama perjalanan menuju toko roti milik orang tua alex , Grice pun berbincang banyak dengan Alex mulai dari perbincangan tentang pribadi mereka masing-masing , bercanda , bahkan mereka berbicara mengenai hal serius tentang pelajaran dan perkuliahan. Grace pun juga bercerita tentang kehidupan orang tuanya ,dan dirinya sedikit tidak harmonis, Alex pun mendengarkannya dengan baik dan memberika suport untuk Grice, sebaliknya mengenai Alex yang bercerita bagaimana perjuangannya orang tuanya untuk sukses dan sempat berfikit untuk berhenti bersekolah. Mereka saling bertukar cerita tanpa tersa mereka pun telah sampai di toko roti milik orang tua Alex. "Yuk udah sampek nih" ujar Alex seraya menuju ke dalam toko roti dan seorang wanita yang masih tampak cantik pun menyapa mereka. "Hay nak" "Hay Ma, kenalin ini temen Alex" "Hallo tante saya Grice" Grice pun memperkenalksn diri ke ibu Alex. "Wahh!!! Anaknya cantik ya!?" Ibu Alex pun memuji kecantikan Grice. Grice pun tersenyum malu mendengan pujian dari ibu Alex, "Yuk mari masuk ngobrol di dalam aja, jangan di depan kasir ndak enak di lihat pelanggan" ibu Alex pun mempersilahkan Alex dan Grice masuk dengan suranya yang lebut. "Bentar ya tante buatin minum" ibu Alex pun segera membuatkan minum untuk Alex dan Grace namun Alex menahannya. "Ma, udah biar Alex aja mama duduk aja sini sama Grice" "Beneran bisa?" "Bisa dong" "Yaudah deh buruan gih" "Siap" Alex pun segera membuat minuman, di samping itu Grace tampak canggung di depan ibunya Alex. "Grice jangan tegang gitu dong, tante enggak ngegigit kok" ibu Alex pun sedikit bercanda pada Grice "Hehe, iya tante" Sedikit banyak pun mereka mulai mengobrol Alex pun melihat ibunya dan Grice mulai akrab, "Wah udah mulai akrab ini" Alex pun sedikit menggoda sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat 2 gelas teh hangat. "Ini Tehnya, nyonya-nyonya" Alex pun menggoda lagi. "Kamu ini bisa aja lex, udah tehnya di minum aja bareng Grice mama mau ke depan ngejagain toko lagi nanti gak ada yang layani pelanggan lagi" "Yaudah deh ma" "Grice tante kedepan dulu ya, kamu minum dulu deh teh buatan Alex" sambil tersenyum kepada Grice "Ahh iya tante, terima kasih" Ibunya alex pun segera meninggalakan mereka berdua , mereka pun melanjutkan obrolan ringan mereka. "Ohh iya Grice gimana suka sama tempatnya nggak?" "Emmhh suka kok, enak dan nyaman" "Syukurlah, ini designan aku loh" "Hahaha serius?? Keren !" Grace pun takjub dengan desainan toko roti milik ibunya Alex yang dia design. "Nanti aku juga mau mendesign rumah impianku sendiri" "Hahaha, pasti keren! aku juga mau dong kamu designin" Alex pun ersenyum dengan ucapan Grice. "Oh iya Grice aku pingin ngomong sesuatu dong sama kamu "Iya ngomong apa, kan kita sudah ngobrol dari tadi" "Emhh Grice, maaf sebelumnya mungkin ini terlalu cepat" "Apaan sih Lex?" "Aku suka sama kamu Grice" Grice pun terdiam dan tak mampu berkata-kata , ini adalah hal yang pertama kali dia dengan dari seorang laki-laki yang ia kenal yaitu Alex. "Emhh, gak usah di jawab sekarang enggak apa kok Grice kita saling berkenalan dulu. Maaf ya Grice aku membuatmu tidak nyaman mungkin" "Iya enggak apa kok Lex" Alex pun tersenyum dan merasa lega dengan ungkapan perasaannya terhadap Grice, namun mereka sedikit merasa canggung saat melanjutkan obrolan. Tak terasa waktu telah berlalu, Alex pun segera berpamitan pada ibuny dan segera mengantarkan Grice pulang ke rumahnya. Setelah sesampainya di rumah Alex pun segara berpamitan kembali ke Grice "Grice, aku pamit dulu ya! maaf sebelumnya mungkin aku sedikit membuatmu tidak nyaman namun aku berharap kamu memikirakan kembali soal perasaanku padamu ini." Grice pun terdiam kembali dan berusaha mengalihkan perhatian "Udah Lex buruan pulang gih, nanti keburu malem" "Yaudah aku pergi dulu ya?" "Iya hati-hati" Grice pun segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya, dia pun memegang dadanya yang rasanya sangat sesak dan berdebar kencang dia teringat dengan perkataan Alex yang mengungkapkan perasaannya. Grice merasa ini adalah hal baru yang belum pernah iya rasakan dia bingung dengan apa yang dia rasakan dimana itu membuat dia berfikir perasaan apa yang harus dia balas ke Alex. Sedikit Tau Tentang Syna Setelah hari pernyataan itu Grice dan Alex selalu bersama seperti seorang pasangan pada umunya mereka berangkat ke kampus bersama, makan dan jalan-jalan bersama. bahkan mereka juga belajar bersama hari-hari Grice pun selalu menyenangkan bersama Alex, Grice pun kembali menjadi remaja yang bahagia yang tidak memiliki beban bahkan dia mulai ramah pada beberapa orang namun tanpa Grice sadari ia mulai kehilngan sosok Syna yang menemani dia dan membuatnya tersenyum. "Hey kanapa kamu melamun?" ujar Alex pada Grice. Grice yang mendengar perkataan Alex kaget dan segera menghentikan lamunan dan pikirannya tersebut. Alex yang melihat ekspresi Grice kembali bertanya "Kamu kenapa Grice? apa ada yang kamu pikirkan?" "Emmm, bukan apa-apa kok" "Bener? tapi sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu" "Emm... sebenarnya aku sempat memikirkan Syna" "Syna?" "Iya, akhir-akhir ini aku merasa jarang bertemu dengannya padahal dulu dia yang selalu menemaniku di kampus hingga akhirnya aku bertemu denganmu" Alex yang mendengarkan pernyataan Grice pun sedikit bingung dengan sosok Syna, Alex merasa di kampusnya tidak pernah ada anak yang bernama Syna. Alex pun yang penasaran dengan sosok Syna meminta Grice untuk menceritakan sosok Syna . "Sebenarnya Syna itu anaknya seperti apa sih?" "Dia itu baik, dia ceria, terus dia selalu ada ketika aku bersedih dan membutuhkannya. Nanti ya kalau aku ketemu sama dia aku kenalin ke kamu" Grice yang dengan bangga menceritakan teman terbaiknya itu dengan sangat bersemangat , Alex yang mendengarkan cerita Grice ikut merasakan kebahagian Grice. Setelah percakapan mereka yang asik di sebuah rumah makan. Alex pun mengantarkan Grice untuk pulang ke rumah mereka pun segera meninggalkan tempat mereka makan dan segera masuk ke dalam mobil. Ketika dalam perjalanan pulang tiba-tiba di dalam mobil Grice mendapatkan telfon dari Syna , Alex pun ikut senang melihat Grice mendapatkan pesan dari sahabatnya itu. Grice pun mulai mengobrol dengan Syna, Alex yang sedari tadi menyetir hanya bisa mendengarkan percakapan Grice kepada Syna. Tiba-tiba Grice mengarahkan ponselnya ke arah Alex. "Siapa?" "Syna! ngobrol aja sana!" ujar lirih Grice pada Alex. "Hallo? Hallo? Syna??" Alex yang berkali-kali mengucap "Hallo" tetap tidak ada jawaban. "Grice mana kok mati telfonnya?" "Hah masak iya?" Grice pun melihat layar ponselnya "Mana sih Lex masih nyambung juga" Alex yang tidak fokus karena sambil menyetir mobil mengiyakan perkataan Grice, Alex masih berfikir mungkin itu karena dia tidak fokus dan tidak melihat layar ponsel Grice dengan teliti namun Alex merasa yakin bahwa ponsel Grice dalam keadaan off dan tidak ada panggilan masuk sama sekali. Tak lama kemudian Grice mengakhiri telfon dengan Syna. "Udahan telfonnya? Ngomongin apaan? kelihatannya asyik banget tadi" "Emmm.. rahasia dong" jawab Grice menggoda Alex. "Oh iya lex, besok makan malam di rumah ya, kebetulan mama lagi libur kerja besok." "Iya boleh, nanti kamu kabarin aja jamnya ya" "Oke" Alexpun kembali fokus menyetir dan tidak ada pembicaraan sama sekali hingga sesampainya di depan rumah Grice. Grice pun berpamitan kepada Alex dan segera masuk ke dalam rumanya, setelah meninggalkan rumah Grice di sepanjang jalan Alex pun berfikir tentang kejadian yang telah dia alami tadi. Alex menebak-nebak apakah dia salah fokus mengenai telfon dari Syna. Alex pun memutuskan untuk mencari tau besok dengan bertanya tentang Syna ke pada orang tua Grice. Description: Halusinasi membuat wanita remaja bertemu dengan seseorang yang merindukan kehidupan bersama dengan mereka yang dicintai.
Title: Regret and Decision Category: Adult Romance Text: Nay, dara dan tama nayna adhista gadis yang kini memasuki tingkat akhir sekolah menengah atas, yang tentunya beberapa bulan lagi akan lulus itu seperti biasa melalui jendela kelas, menatap langit yang sedikit mendung dan mungkin sebentar lagi akan menumpahkan airnya, salah satu dari kegiatan yang nayna sukai selain menggambar pada buku tulisnya dan juga mengobrol dengan kedua sahabatnya, sebelum guru memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran yang bagi sebagian murid terasa membosankan nayna memiliki perspektif sendiri bagaimana dunia menatapnya, nayna lebih banyak diam dan lebih memikirkan segala hal menjadi lebih mendalam, yang orang-orang sebut sebagai salah satu ciri dari introvert yang menurut sebagian orang membosankan dan tidak asik. "Nay?! Ngeliatin langit Mulu, ngeliatin apaan sih?" Anuradha chandara, teman-teman memanggilnya dara, gadis cantik dengan sikap periang jauh berbeda dengan nayna, bertanya dan mengikuti arah pandang nayna melihat langit dibalik jendela kelas. "Ada cogan ya? Atau ada duit jatuh dari langit?" Tanya dara lagi sambil menjulurkan kepalanya kejendela menatap langit mendung yang menjadi objek pusat perhatian nayna. "Duit jatuh dari langit cuma ada dicerita waktu kita masih kecil, dan sampai sekarang gue belum pernah liat duit jatuh dari langit" Ardika diratama menyanggah teori tak masuk akal yang diucapkan oleh dara. "Dan kalau mau liat cogan, bukan Silangit tempatnya, tapi ada disini nih cogannya,didepan kalian berdua" ujar Tama sambil menunjuk dirinya sendiri dan mendapat dengusan tanda tak setuju dari dara dan senyuman geli dari nayna. Nayna adhista,anuradha chandara dan Ardika diratama adalah ketiga remaja yang sudah menjalin persahabatan sedari kecil dan sekarang sudah menginjak sepuluh tahun persahabatan mereka , dengan memiliki keyakinan pada perasaan masing-masing, bahwa tak ada satupun dari mereka yang memiliki perasaan lebih satu sama lain, dan di dalam perjanjian tersirat mereka bahwa 'jangan ada yang boleh jatuh cinta satu sama lain' jika melanggar maka bagi yang jatuh cinta harus mentraktir makan mereka yang tidak melanggar ,dan itu dilakukan selamanya. "LAPOR KOMANDAN, JARAK 500 METER, TANDA-TANDA BAGIAN DEPAN KEPALA PAK ABDUL YANG BIKIN SILAU KARENA BOTAK NYA SUDAH TERLIHAT DARI SINI!!" Seru salah satu teman sekelas yang bernama bagus sedari tadi sudah memantau keadaan di depan pintu kelas, dan entah komandan siapa yang dia maksud seketika berhasil mencuri perhatian seisi kelas termasuk nayna, dara dan Tama. Kelas yang tadinya ricuh malah semakin ricuh karena semuanya bergegas kembali menempatkan dirinya pada tempat duduk masing-masing sebelum guru mereka-pak Abdul memasuki ruangan kelas dan memulai pelajaran nya. "Pssssst, nay, lo yakin gak mau ungkapin perasaan Lo ke si ketua OSIS?masa sampai kita lulus Lo gak mau ungkapin?" Bisik dara pada nayna yang duduk disampingnya, dan tanpa mereka berdua tau ada seseorang yang mendengar percakapan mereka, menunjukkan wajah pias mewakili hatinya yang terluka. Namun itu tidak berlangsung lama, karena rasa penasaran yang besar, pikiran tentang cinta, serta hati yang terluka dan perihal masalah anak remaja belasan tahun lainnya yang mengisi kelas ini harus disingkirkan terlebih dahulu seiring dengan masuknya guru keruang kelas dan memulai pelajaran , karena bagaimanapun tugas seorang pelajar adalah belajar serumit apapun pikiran dan perasaan mereka saat ini. anomali hati Bukannya nayna tidak memikirkan perkataan yang diisi dengan rasa kepo dari seorang dara yang mengatakan 'lo gak mau ungkapin perasaan Lo ke si ketua OSIS?' Justru kata-kata dara selalu terngiang dibenak nayna dan mulai memikirkannya secara mendalam seperti biasa, entah apakah ini karena sifat introvert nya yang kadang suka meragu dan akhirnya terlambat untuk mengeksekusi atau memang perasaan memang sulit untuk diucapkan, atau mungkin karena stereotip kalau perempuan bukan pihak yang menyatakan perasaan terlebih dahulu, karena bagi beberapa orang hal itu akan terlihat 'murahan' padahal tidak demikian. Nayna, dara dan Tama berjalan beriringan menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah mulai minta untuk diisi. "Lo nggak ada jadwal basket?" Tanya dara sambil merangkul kan tangannya kepundak nayna, nayna sendiri tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. "Gak ada , tim udah diganti sama Adek tingkat, kita yang udah sepuhkan bentar lagi ujian" ujar Tama yang berjalan beriringan disamping nayna. "Omongan Lo pake sepuh segala" dara mengernyit dengan istilah sepuh yang disematkan oleh Tama "Ye emang sepuh kan, Lo juga tim cheers udah pensiun kan? Diganti sama dedek gemes yang masih muda" "Ishh gue nggak setua itu begok!!!" Seru dara sambil melayangkan pukulan tangannya pada pundak Tama, dan sementara dara dan Tama ribut tiba-tiba nayna menghentikan langkahnya yang otomatis membuat dara dan Tama heran "Nay? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Tanya dara heran "Untung rem gue gak blong"ucap Tama tidak masuk akal padahal dia sedang berjalan bukan menggunakan kendaraan. "Iya, tapi otak Lo yg blong" timpal dara kesal "Itu....." ucap nayna ragu, Dara dan Tama otomatis mengikuti arah pandang nayna, sosok itu mulai mendekat kearah nayna ,dara dan tama Ketua OSIS dengan nametag 'gilang anugrah' yang saat ini sudah semakin dekat kearah tiga orang yang secara impulsif menghentikan langkahnya, ini merupakan peristiwa yang cukup menarik bagi beberapa murid yang ada di lorong menuju kantin, karena ketua OSIS yang menjadi salah satu the most wanted disekolah ini walaupun sebentar lagi pensiun itu, kini berdiri tepat dihadapan nay, dara dan tama. Perlahan banyak murid yang mulai membentuk lingkaran mengerubungi mereka karena melihat sosok Gilang yang menyembunyikan rangkaian mawar merah dibalik punggungnya, dan sepertinya akan terjadi suatu hal yang menarik Rangkaian mawar yang semula berada dibelakang punggung gilang, kini sudah berpindah tempat didepan Gilang dan terulur didepan gadis incarannya. Gilang berlutut dengan satu kaki ditekuk mengikuti gestur persis saat pria melamar kekasihnya, bak adegan romantis ala-ala remaja belasan tahun- yang mungkin jika disaksikan oleh para jomblo sepuh akan terlihat menggelikan dan 'dasar bocah' akan keluar dari mulut mereka- gilang menyatakan perasaannya berharap terbalas dengan baik. "Izinin aku untuk jadi pacar kamu" ucap Gilang sedikit gugup dan terlihat memaksakan diri untuk terlihat keren Sorak sorai dari para murid semakin ricuh dan otomatis membuat Tama dan nayna yang semula berada di dekat dara mulai tersingkir karena dorongan para siswa dan siswi yang tertarik untuk melihat lebih dekat Baik Tama, nayna dan dara sama-sama terkejut nya karena tembakan perasaan tiba-tiba dari si ketua OSIS pada dara, salah satu siswi tercantik di SMA ini yang dari awal dia masuk sudah menjadi incaran para senior dan junior nya. Tama memandang khawatir kearah nayna, sedangkan nayna menatap terluka kearah Gilang , dan dara terus memandangi kedua sahabat nya Seperti waktu yang tiba-tiba berhenti berputar dan seolah membeku, ingatan dibenak nayna berputar kembali seperti kaset rusak mengingat tentang antara Gilang sebagai ketua OSIS dan juga dirinya sebagai sekretaris yang perlahan membuatnya dekat dengan gilang, dan diantara semua kenangan saat nayna mengobrol dengan gilang, bercanda dan tertawa walaupun nayna hanya sebagai pihak yang tersenyum saja , beberapa kali makan dikantin bersama, dan Gilang selalu terlihat bahagia dihadapan nayna , saat itu selalu ada dara dalam kenangan yang diingat oleh nayna, dan nayna tidak menyadarinya, yang membuat Gilang tersenyum bukanlah dirinya , tapi anuradha chandara. Pada akhirnya lagi-lagi nayna hanya menjadi sosok bayangan disamping dara, tak terlihat dan hanya sebagai figuran dalam cerita romansa yang ditulis semesta. Keadaan yang semakin tak terkendali dengan sorakan dari siswa dan siswi yang membuat Gilang senang tentu saja karena hal itu menguntungkan bagi Gilang. "IZININ!!! IZININ!!!! IZININ!!!" "IZININ AJA, KAPAN LAGI BISA NGELIAT KETUA OSIS MINTA IZIN BUAT DIJADIIN PACAR!!" "YA AMPUUN JIWA KEJOMBLOANKU MERONTA-RONTA!!" "WUUUUU DASAR JOMBLO" Dan celetukan beberapa murid tadi membuat keadaan semakin ricuh tak terkendali. Tiba-tiba tanpa sengaja nayna terdorong dengan sedikit keras yang hampir saja membuatnya membenturkan kepalanya pada salah satu tiang penyangga bangunan ini kalau saja Tama tidak sigap menangkapnya dan mengorbankan punggungnya sebagai pengganti kepala nayna untuk membentur tiang, posisi memeluk nayna seperti ini membuat jantung Tama semakin berdebar dan wajahnya mulai merah karena gugup, apalagi saat wajah nayna yang awalnya berada didada bidang Tama kini beralih mendongakkan kepalanya, mata mereka bertemu, wajah nayna dan Tama hanya berjarak beberapa centimeter saja, baiklah kini bukan hanya sistem jantungnya yang bermasalah, sistem pernapasannya pun kini mulai ikut tersumbat , Tama rasanya tidak bisa bernafas. Teriakan semua siswa dan siswi mewakili perasaan bahagia gilang, karena dara mengambil mawar yang ada ditangan Gilang, namun entah disadari atau tidak, tatapan dara tidak lepas dari adegan yang tanpa sengaja menimbulkan gestur romantis antara Tama dan nayna. Bunga mawar yang semula berada ditangan Gilang kini berpindah dalam genggaman dara, diiringi sorak riuh gembira, dan siapapun akan tau dan mengerti bahwa perasaan Gilang terbalaskan. Itu artinya Gilang dan dara resmi menjadi sepasang kekasih baru. Nayna melihat semua itu dengan posisi yang masih dalam pelukan tama, tatapan tidak percaya terhadap dara, Tama semakin mengeratkan pelukannya dan membuat nayna menoleh kearah tama lagi, seolah Tama mengerti patah hati yang dirasakan nayna, dan Tama pun sama patah hatinya. Dan tanpa nayna dan Tama tau, ada satu hati juga yang patah saat ini, karena dia tau bahwa tama, laki-laki yang dia cintai ternyata mencintai nayna, bukan dirinya Anuradha Chandara kotak pandora Setiap manusia mempunyai rahasia dalam kehidupan nya yang tentunya mereka simpan dengan baik, berbagai macam alasan kenapa rahasia harus tetap menjadi rahasia dan tidak diungkapkan, dan semua alasan itupun terkadang ikut tersimpan dengan baik bersama dengan rahasia itu sendiri. Sama halnya dengan rahasia yang tersimpan baik antara nayna, dara dan Tama, tentang rahasia perasaan mereka masing-masing, sedekat apapun mereka sebagai sahabat, yang namanya manusia pasti menyimpan misteri rahasianya sendiri, namun satu hal yang pasti mereka memiliki alasan yang sama untuk tetap merahasiakan nya, mereka takut jika mengungkapkan nya akan sama dengan membuka kotak Pandora dan menyebabkan hal yang buruk terjadi. Nayna mengagumi sosok ketua OSIS sejak dia menjabat sebagai sekretaris, sikap kepemimpinan, rendah hati dan selalu membuat nayna tersenyum lambat laun menumbuhkan cinta dalam diam yang tersimpan baik, tidak ada yang tau sampai akhirnya dara sahabat nya tanpa sengaja melihat nayna bersemu setiap berada didekat si ketua OSIS. "Lo suka sama si ketua OSIS?" Celetuk dara tiba-tiba saat menangkap basah nayna yang sedang bersemu malu dengan perubahan warna merah pada pipinya Celetukan dara membuat nayna gugup bukan main, padahal biasanya dara bukan orang yang terlalu peka dalam banyak hal termasuk tentang perasaan. Dan mulai saat itu juga dara selalu membantu nayna agar menjadi lebih dekat dengan gilang Satu kotak Pandora telah terbuka dan membuat perubahan dalam hubungan antara dara, nayna dan Tama. *** 10 tahun kemudian "Jadi... Apa keluhan anda?" "Saya merasa jantung saya berdebar" "Lalu?" "Hmmm.... Dan saya merasa sedikit panas" "Ya mungkin karena cuaca saat ini memang panas" "Trus saya merasa gemetar" "Mungkin ada yang membuat anda cemas?" "Bukan dok, tapi itu semua terjadi karena saya...... Lapar" "Tamaaaa....." "Hehehe ,ayok makan, Lo gak liat ini pasien Lo udah gemetar karena lapar? Tama saat ini sedang mengunjungi sahabat nya yang berkerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit Nayna Adhista "Tapi Lo kan bukan pasien" "Iya ,iya , ayok makan siang, dokter sibuk kayak Lo susah banget sih buat diajak makan siang doang" "Ya udah ayok" "Mau makan dimana?"Tama bangkit dari duduknya setelah barusan membuat parodi sedikit bersama nayna sebagai dokter dan juga pasien diruang kerja nayna "Mmmm..... Rumah makan depan rumah sakit aja ya, gue gak bisa lama-lama soalnya" ucap nayna sambil melepas jas dokternya "Iya deh ibu dokter yang sibuk"Tama memutar bola mata nya malas, susah sekali mengajak nayna untuk sekedar makan siang saja dikarenakan baik nayna ataupun Tama juga sama-sama sibuk Nayna dan Tama berjalan beriringan dilorong rumah sakit "Kayak Lo gak sibuk aja, Lo kan juga baru balik dari luar kota" ucap nayna "Hehehe iya juga sih, capek banget gue, baru tadi pagi gue balik dari luar kota" ujar Tama sambil meregangkan otot-otot nya Nayna menghentikan langkahnya seketika dan menatap Tama tidak habis pikir "Apa?" Tanya Tama heran dan ikut berhenti juga kerena ditatap oleh nayna "Lo baru balik tadi pagi? Kenapa gak bilang sih? Tau gitu gue gak minta ketemu sama Lo hari ini ,biar Lo bisa istirahat, pasti capek banget kan?" Ucap nayna panjang lebar dan membuat Tama gemas sendiri "Lo makin hari makin cerewet aja ya?, Padahal dulu lu dieemm banget" perkataan Tama membuat nayna mendengus dan melanjutkan langkahnya diikuti oleh tama "Tapikan gue cerewet nya sama Lo doang" ujar nayna yang membuat Tama merasa sedikit diistimewakan. "Gue seneng Lo cerewet nya sama gue doang hehehehe, tapi bisa juga karena Lo mungkin sebenarnya punya kepribadian ganda?" ucap Tama sambil menengok kekiri dan kekanan untuk menyebrang jalan, memastikan sudah tidak ada lagi kendaraan yg lewat dan menggandeng tangan nayna memastikan agar nayna aman. "Bukan kepribadian ganda sih" ucap nayna "tapi lebih tepatnya ini adalah salah satu dari tiga wajah yang gue perlihatkan ke Lo" sambung nayna sambil menunjuk deretan meja dan kursi yang akan mereka tempati untuk makan Saat mereka sudah sampai ketempat rumah makan yang dituju dan segera mendudukkan diri mereka dikursi yang saling berhadapan "Tiga wajah? Maksud Lo?" Tanya Tama menyambung lagi pembicaraan nya yang sempat terpotong karena memesan makanan dan minuman tadi "Iya, Lo tau nggak? Kalau kata pepatah Jepang tua, manusia itu punya tiga wajah" "Buset banyak juga ya, pasti kalau cewek bakalan ribet buat make up-an, punya satu wajah aja make-up nya hampir satu jam" ucap Tama sambil membayangkan seorang perempuan bermake up dengan ketiga wajahnya dan terkekeh sendiri. "Bukan punya wajah dalam arti sebenarnya tapi cuma kiasan" ujar nayna sambil menerima pesanan makanan dan minuman yang dibawa oleh pelayan dan tidak lupa nayna dan tama mengucapkan terimakasih pada sipelayan "Terus? Maksudnya gimana?" Tanya tama sambil mengunyah makanannya "Jadi gini, wajah yang pertama adalah wajah yang kita tunjukkan sama teman atau kenalan yang gak terlalu kita kenal atau akrab" "Hmmmm... Ok" Tama manggut-manggut mengerti "Wajah yang kedua wajah yang kita tunjukkan sama orang yang udah bikin kita klop banget dan nyaman, jadi mau segila apapun sikap kita, kita gak akan malu buat nunjukinnya, karena urat malunya udah putus, dan untuk nunjukin wajah ini butuh waktu yang lama" "Oh... Oke... Jadi wajah yang Lo tunjukkan saat ini ke gue pasti wajah yang kedua, iyakan?, Karena gue ngerasa Lo udah nyaman sama gue" ucap Tama sambil tersenyum jahil "Hhhhh iya bisa dibilang kayak gitu" nayna setuju dengan ucapan Tama, nayna sudah lebih dari nyaman bersahabat dengan tama, kurang lebih 20 tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar. "Trus kalo wajah yang ketiga gimana?"tanya tama sambil terus mengunyah makanannya. Nayna menghentikan suapannya dan meletakkan kembali sendoknya diatas piring lalu fokus untuk menjawab Tama "Yang ketiga adalah wajah yang cuma kita sendiri yang tau, dan katanya ini adalah wajah yang sesungguhnya saat kita lagi sendiri" "Gue jadi pengen tau, Lo kalo sendiri tuh kayak gimana" ucapan Tama sambil menatap nayna dalam. Selama beberapa detik tatapan mereka bertemu seolah mencari tau arti dari tatapan masing-masing "Ah..hahahahhahahha lanjutin makannya" ucap Tama gugup setelah tersadar, Tama tidak bisa menatap nayna lama-lama, itu membuat kerja jantungnya berkali-kali lipat Nayna hanya tersenyum, tanpa Tama tau, nayna pun sama gugupnya. "Ah iya, Lo tau nggak....."Tama agak ragu untuk mengucapkan kata selanjutnya dan membuat nayna bingung namun tetap menunggu Tama untuk melanjutkan ucapannya "Dara..... Satu bulan lagi bakalan balik dari London" Nayna mengerjap, bingung harus menanggapi bagaimana, karena sekeras apapun nayna berusaha terlihat baik-baik saja, dia tetap tidak bisa, sikap dara dimasa lalu membuat hubungan antara dirinya dan dara menjadi canggung Satu kotak Pandora yang terbuka tanpa sengaja antara nayna dan dara berujung buruk dan menyebabkan nayna dan dara tidak berhubungan lagi kurang lebih 10 tahun terakhir ini , dan nayna selalu berharap bahwa kotak Pandora yang lain tidak terbuka lagi, dan tersimpan dengan baik....... Semoga saja. memori Kenangan baik dan buruk akan selalu dan akan terus diingat, karena bagaimanapun kenangan itu adalah bagian dari diri kita yang akan terus melekat tak lekang oleh waktu. Kenangan baik dan buruk bisa menjadi penghancur, namun juga bisa menjadi penguat saat kita berproses menjadi dewasa dan menjadi orang dewasa. Begitu pula yang dirasakan oleh nayna, kenangan rasa sakit yang diberikan dara tidak serta Merta membuat nayna membenci dara seutuhnya, rasa tak suka itu ada, namun untuk membenci adalah salah satu hal yang berat untuk nayna, karena bagaimanapun dara pernah membuat nayna tersenyum dan tak merasa sendiri sebagai orang yang sangat individualis dan tertutup, tangan dara lah yang terulur pertama kali dan membuat nayna bangun dari keterpurukannya saat ia kehilangan ibunya dulu, dan dara jugalah yang membawa Tama sebagai pelengkap persahabatan mereka. Namun disisi lain nayna terlalu canggung untuk memulai kembali ikatan persahabatan yang sudah mulai renggang diakibatkan karena cinta dimasa lalu. Setelah kejadian penerimaan cinta dara pada Gilang secara tak terduga itu, hubungan antara dara dan nayna menjadi renggang, tentu saja, saat itu mereka masih remaja yang mempunyai hati dan pikiran yang labil, dan tentunya mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan saat jatuh cinta ataupun saat cinta nya dipatahkan, dan juga saat itu nayna bahkan belum mengungkapkan sama sekali perasaannya pada Gilang karena dara secara impulsif menerima pernyataan cinta Gilang dan hal itu menjadi tanda tanya besar kenapa dara melakukan itu. "Dokter nay" "Dokter......" "Ah! Iya? Kenapa sus?" "Ada pasien yang kemarin udah minta janji untuk konsultasi hari ini" "Ah iya, persilahkan masuk" "Baik dok" Nayna terlalu hanyut dalam lamunannya sendiri "Fokus nay..... Fokus...." Gumam nayna sendiri "Selamat Siang dokter nay" sapaan pasien nayna mengalihkan pikirannya yang semula melanglang buana kemana-mana kini beralih fokus pada pasiennya , harus profesional. "Selamat siang juga, silahkan duduk"ucap nayna menampilkan senyum terbaiknya "Bagaimana kabar fina hari ini?" Tanya nayna sambil membuka lembar catatan riwayat pasiennya yang bernama adia dafhina "Kabar saya hari ini lumayan baik dibandingkan kemarin" "Apa terjadi sesuatu kemarin?" "Saya bertengkar dengan teman saya, tapi beberapa jam kemudian setelah bertengkar kami langsung mengutarakan perasaan kami masing-masing, dan ternyata kami hanya salah paham" "Jadi apa sekarang fina sudah lega?" "Iya, walaupun kemarin tingkat kecemasan saya meningkat karena saya takut ditinggalkan sendirian lagi, tapi sekarang saya sudah baik-baik saja" "Syukurlah kalau begitu" ujar nayna menjadi seorang dokter psikiater memberikan banyak pelajaran bagi nayna, beberapa orang menjadi depresif bukan hanya faktor dari diri manusia itu sendiri ,melainkan dari banyak faktor ,termasuk dari orang-orang terdekat dalam lingkungannya, maka dari itu memperlakukan orang lain dengan baik adalah hal yang harus kita lakukan, karena bagaimanapun, kita terkadang secara tidak sadar ikut andil dalam hal sekecil apapun rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain karena perilaku kita yang buruk. Dan pasien nayna kali ini adalah salah satu dari banyak contoh korban dari perlakuan buruk orang-orang disekitarnya,dengan diagnosa persistent depressive disorder (distimia) adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi. Memori masa lalu kembali berputar dalam ingatan nayna, dimana ibunya tiba-tiba ditemukan tak bernyawa, saat itu nayna belum mengerti mengapa ibunya tiba-tiba tertidur sangat lama, lalu setelah 2 tahun Kematian sang ibu barulah nayna mengerti bahwa ibunya meninggal karena bunuh diri dengan meminum pil yang menyebabkan overdosis , mungkin ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa nayna menjadi psikiater dibanding mewujudkan cita-cita awalnya dulu yang ingin menjadi seorang pelukis. **** "Nay, Lo ada waktu free kapan?" Ucap Tama , nayna dan Tama sedang melakukan panggilan telepon "Hari Minggu gue free sih, kenapa?" "Jalan yuk, udah lama kita gak jalan bareng, karena Lo sibuk, gue nya juga sibuk terus" "Oke deh" "Gue jemput kerumah Lo ya besok mmm sekitar jam 9? Gak apa-apa kan, atau itu terlalu pagi buat Lo?" "Nggak lah, jam segitu juga oke" "Dan besok ada yang mau gue omongin sama lo" ucap Tama gugup "Mau ngomongin apa?, Ngomong lewat telpon aja" "Gak bisa kalo lewat telpon, gue maunya bicara langsung.... penting" "Hmmm oke deh" "Ya udah kalo gitu istirahat ya nay" "Iya Lo juga" Telepon keduanya sudah terputus ,namun tidak dengan pikiran mereka berdua terhadap satu sama lain, nayna yang gugup kira-kira hal penting apa yang ingin dibicarakan oleh Tama. Dan disisi lain Tama pun jauh lebih gugup karena besok semua rencana nya harus berjalan lancar, Tama sudah tidak ingin menundanya lagi, semoga Tuhan memihaknya, itulah do'a Tama malam hari ini. Ting! Bunyi tanda pesan masuk di handphone nayna membuyarkan lamunannya tentang tama, nayna pikir Tama menghubunginya lagi melalui pesan, namun nayna mengernyit bingung karena pesan yang masuk merupakan nomer baru. -Hai nay, gimana kabar kamu?- nayna tambah bingung, dan saat hendak membalas pesan tersebut dengan menanyakan ini siapa, ketikan jari nayna pada keyboard hp nya terhenti dengan pesan masuk yang menyusul dari nomer yang sama dan membuat nayna terkejut. -ini aku... Gilang- beautiful chaos Ada satu masa dimana sebaik apapun manusia, dia akan lebih mementingkan ego nya, mementingkan dirinya sendiri, mementingkan perasaannya sendiri dibandingkan orang lain, dan itu adalah hal yang humanis, manusia memang seperti itu, berbagai macam alasan dibalik tindakan itu, namun apapun itu tentu ada harga yang harus dibayar atas semua tindakan karena keegoisan itu. Ardika diratama masih ingat apa yang sudah dia lakukan dimasa lalu, setelah sampai pada 5 tahun persahabatan tama dan nayna , mulai tumbuh perasaan cinta, namun Tama pikir dulu perasaan itu hanya akan bertahan sebentar ,namun tama salah besar, perasaan itu justru semakin berkembang menjadi lebih besar dan terasa menyakitkan saat dia tau kalau nayna menyukai orang lain, bukan dirinya. Saat itu Tama, nayna dan dara memasuki masa SMA kelas 11, saat itu Tama tau kalau nayna menyukai seseorang dari rekan organisasi nya ,siapa lagi kalau bukan siketua OSIS Gilang anugrah. Saat Tama, nayna dan dara makan bersama dikantin, tiba-tiba saja Gilang datang dan bergabung lalu bertingkah sok akrab, dan yang paling menyebalkan adalah Gilang selalu bisa membuat nayna bersemu malu, hal yang tidak bisa dilakukan oleh Tama, mulai saat itulah Tama mulai menggencatkan senjata tanda perang pada Gilang , walaupun gilang sendiri tidak menyadari gencatan senjata secara sepihak dari Tama. BYURRRR "Uhuk uhuk, sori ,es teh yang gue minum asin..., sori banget" ucap Tama pura-pura panik sambil membersihkan muka Gilang setelah dia tanpa sengaja, lebih tepatnya pura-pura tidak sengaja menyemburkan es teh 'asin' yang dia minum menurut deskripsinya, tepat ke muka Gilang, dan saat membersihkan muka Gilang pun, Tama menggunakan tisu bekasnya makan tadi dengan kurang ajarnya. Hingga pada akhirnya Tama tau saat hari itu, dimana dua jam sebelum jam istirahat, tanpa sengaja Tama mendengar rencana Gilang untuk menyatakan perasaannya pada seseorang, awalnya Tama lagi-lagi berniat menghalangi Gilang karena takut kalau perempuan yang di maksud Gilang adalah nayna , namun saat mendengar kalau bukan nama nayna yang dimaksud oleh gilang, Tama membiarkan hal itu terjadi, membiarkan Gilang menyatakan perasaannya pada dara yang berujung renggang nya hubungan nayna dan dara, lalu berujung patah hatinya perempuan yang Tama cintai, namun Tama berjanji tidak akan membiarkan nayna meneteskan air matanya lagi. Rasa bersalah tentu ada dalam diri tama, karena tidak bisa mencegah kekacauan dalam persahabatan mereka, dan bagaimanapun semuanya sebenarnya sudah kacau saat mereka mulai menumbuhkan perasaan yang tidak seharusnya, namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan apa yang ingin tama dapatkan saat ini, dia sudah menunggu terlalu lama kali ini lagi-lagi dia ingin menjadi egois. "Aku hanya tidak ingin, aku yang selalu berusaha mendekat padamu, tapi berakhir dengan hanya melihat punggung mu dari belakang, yang perlahan menjauh dariku, nay......." Tama akhirnya memutuskan bahwa tama harus memiliki dia, hanya untuk dirinya. *** Akhirnya hari ini datang, hari dimana Tama akan jalan berdua dengan nayna , hanya Tama dan nayna, ya walaupun sebelumnya mereka memang sering jalan berdua saja , tapi tentu atmosfer saat jalan berdua sebelumnya akan berbeda dengan hari ini, sebelum nya hanya sebagai sahabat tapi hari ini mungkin bisa merubah 'sahabat saja' menjadi 'sahabat hidup selamanya' "Hmmm oke... Udah ganteng, semangat!!" Ucap Tama sambil mengepalkan jari-jarinya didepan dadanya membentuk gestur itu didepan cermin. Tama keluar dari kamarnya dengan penampilan yang rapi sambil bersiul bahagia yang membuat adiknya yang sedang menonton tv heran dengan Abang nya. Biasanya abangnya ini akan tidur dari malam sampai malam lagi saat baru pulang dari luar kota karena pekerjaannya "Abang mau kencan ya?"ucap sang adik yang bernama kia, usianya berjarak 5 tahun dibawah tama "Anak kecil gak perlu tau" ujar Tama lalu melanjutkan langkahnya lagi "Anak kecil darimananya , Adek udah 22 tahun masih dibilang anak kecil" ujar kia sambil memutar bola matanya malas. Begitulah kakak laki-laki, bagaimana pun adik perempuan akan terus dianggap sebagai anak kecil. "Tama! Kamu mau kemana?" Ujar sang ibu dari arah dapur masih sambil memegang sendok sayur karena sedang memasak "Mau cariin calon mantu buat mamah" ucap adiknya dengan niat bercanda "Calon mantu? Bagus kalo gitu , bawain mamah secepatnya calon mantu, capek mamah liat kamu jadi bujang lapuk" "Yaelah mah aku masih muda ini dibilang bujang lapuk"protes tama tak terima "Tau nih Abang , cepetan lah cari jodoh , biar aku gak ngelangkahin Abang, aku kan pengen cepet nikah" "Kelarin dulu tuh kuliah baru nikah, dasar anak kecil" ujar Tama sambil pamit mencium tangan ibunya. Ucapan Tama membuat adiknya mendengus sebal dan terus bertekad akan menikah diusia muda. "Doain Tama ya mah ,biar Tama lancar gebet jodoh Tama hari ini" "Hmmm iya iya sana pergi" usir sang ibu, rupanya ibunya Tama sudah bosan melihat anaknya jomblo terus. Tama melangkah kan kakinya keluar dari dalam rumah dengan perasaan bahagia dan positif, dan saat hendak membuka pintu mobilnya- hasil membeli dari tabungannya selama 4 tahun setelah bekerja dan dibayar cash- dan sebelum Tama berangkat dia ingin memastikan apakah nayna sudah siap atau belum ,jadi Tama menelpon nayna terlebih dahulu. Tuuuuttt.... Diangkat "halo nay... Gue bera-" belum sempat Tama menyelesaikan kalimatnya ,nayna langsung memotong pembicaraan dari telepon diseberang sana "tama maaf banget ya, janji hari ini dibatalin gak apa-apa kan? , Gue ada kepentingan mendadak soriiiii banget" "Kepentingan mendadak ap-" lagi-lagi belum sempat Tama menyelesaikan kalimatnya , tama mendengar nama seseorang yang di panggil nayna sebelum nayna mematikan telponnya secara sepihak. Seperti nya nayna berbicara dengan seseorang yang ada bersamanya disana. "Gilang ayok berangkat" Tuuuuutttt..... Tama mencelos ~Gilang?, Gilang siapa yang nayna maksud diseberang sana?~ ~Apa jangan-jangan.... Gilang... Anugrah?~ ~Pacarnya dara dulu?~ ~Gilang yang pernah nayna suka dulu? Atau mungkin sampai sekarang?~ "Kenapa..... Nayna bisa sama Gilang?" Tama kecewa, sangat kecewa lebih tepatnya hancur ,Tuhan bahkan membuat nya gagal bahkan sebelum dia mencoba. Begitu pikir tama Tama melangkah kembali masuk kerumahnya dengan langkah yang lunglai dan tambah lemah saat adiknya bertanya heran kenapa Abang nya masuk kerumahnya lagi "Abang kok balik? Ada yang di lupa bawa?" Ibunya datang dari arah dapur seperti nya sudah selesai dengan masakannya lalu mengernyit heran melihat anak bujangnya belum pergi "Tama, kamu kok belum pergi?" Tanya sang ibu "Mah, kayaknya mamah harus nunggu lebih lama sampe aku dapet jodoh" ucap Tama lemas lalu melangkah menuju kamarnya dan menutup pintu, baik ibu ataupun adiknya hanya menatap prihatin melihat Tama Didalam kamarnya , Tama membaringkan diri ditempat tidur, memejamkan mata berharap sakitnya mereda namun nyatanya sakit itu bertambah lebih dahsyat "Lagi-lagi, gue cuma bisa mendekat ke Lo hanya untuk ngeliat Lo semakin menjauh dari gue, karena posisi gue gak lebih penting dari dia , orang yang ada di hati Lo.... Bahagianya seandainya orang yang ada di hati Lo itu adalah gue......nay........" Tanpa sadar Tama meneteskan air matanya, inilah sakitnya mencintai tapi tak dibalas fortune telling Jika saja manusia dianalogikan sebagai cicak, dan cinta dianalogikan sebagai ekornya, maka cinta yang menyakitkan dan membunuh secara perlahan bisa dilepaskan dengan mudah, sama seperti seekor cicak yang melepaskan ekornya saat terancam. Seandainya manusia mempunyai insting seperti itu, mungkin tidak akan ada yang namanya korban dari cinta yang menyakitkan dan membuat hancur secara perlahan. Seperti yang dialami Tama saat ini, korban dari cinta yang dipatahkan bahkan sebelum dia turun ke Medan perang untuk menyatakan perasaan nya. Ingin melepaskan diri namun tidak bisa Kasihan sekali "Abang!!!! Makan siang bang!!" Teriak kia , miris melihat abangnya yang sejak tadi terus bergelung dalam selimut seperti anak ABG yang baru putus cinta, padahal Abang nya bukan lagi ABG tapi sudah bangkotan. "Abaaang!!!! Ish kenapa sih bang? Patah hati?" Tanya kia sambil duduk dipinggir tempat tidur Tama "Jangan ganggu abang" ujar Tama sambil mengeratkan selimut untuk menutupi dirinya "Ish... Bang!! patah hatinya nanti aja, sekarang Abang makan dulu, Abang belum makan dari pagi, terus siang juga belum, dan ini udah hampir sore bang" "Perhatian juga kamu sama Abang" "Iya dong, harus, nanti kalo Abang sakit Abang gak bisa kerja ,terus kalo gak kerja Abang gak dapet duit buat di kasi ke Adek, ujungnya Adek juga yang repot ngurusin Abang yang sakit" "Ck... Dasar Adek durhaka" "Abang.... Patah hati sama siapa sih? "Abang bahkan belum dikasi kesempatan, tapi udah dibuat patah hati duluan" ujar Tama terdengar seperti bisikan dibalik selimut nya namun masih bisa didengar oleh kia "Emangnya Abang udah berjuang?" "Kesempatan buat merjuangin pun gak ada" "Bukannya gak ada, tapi emang Abang aja yang gak bisa lihat celah kesempatan itu buat berjuang"ujar kia yang membuat Tama bangun dari posisi bergelung dengan selimutnya menjadi menghadap sang adik dan menatapnya "Abang emang udah berjuang?, Udah sampe mana emang perjuangan Abang?" "Gak tau... Abang cuma takut kalo dia masih suka sama orang dimasa lalunya" "Emang Abang yakin, dia masih suka sama orang dimasa lalunya? Tanya kia gemas "Gak tau....." "Abang gak tanya ke dia?" Ujar kia semakin gemas dan ingin mencekik abangnya agar dia sadar "Gak......" Jawaban Tama benar-benar ingin membuat kia sekarang menenggelamkan Tama kedasar palung Mariana, Palung terdalam dimuka bumi. "Ya di tanya duluuuuuu abaaang..... Itu namanya Abang pengecut , belum apa-apa udah nyerah" Ucapan kia membuat Tama menatap adiknya lamat-lamat lalu langsung bangun dan menuju meja kerjanya untuk mengambil konci mobil "Abang mau kemana?" Tanya kia heran saat Tama sudah sampai diambang pintu kamarnya "Kamu bilang Abang harus tanyain, ini Abang mau nanyain orangnya" ujar Tama Belum sempat kia menyahut ucapan Tama, ibu mereka datang dari arah ruang tamu mendekat ke arah Tama yang masih berdiri diambang pintu "Tama, kamu dicariin tuh" ucap sang ibu "Siapa mah?"tanya Tama heran "Nayna" "NAY? NAYNA KESINI?!!?" teriak Tama yang membuat ibu dan adiknya terlonjak kaget dan memegang dada karena teriakan Tama "Masya Alloh.... Jangan teriak!! Kamu bikin mamah jantungan tau gak!!" "Aku nemuin nayna dulu" Tama bergegas pergi menuju ruang tamu meninggalkan ibu dan adiknya yang masih heran dengan perubahan sikap Tama secara mendadak *** Tama dan nayna saat ini sedang berada dikafe sekitar tempat tinggal Tama, Tama memutuskan sebaiknya berbicara dengan nayna dikafe dibandingkan dirumahnya,Tama hanya takut, jika mereka berbicara dirumahnya, yang ada bukan Tama yang berbicara dengan nayna, melainkan ibu dan adiknya yang pasti ujungnya nayna akan menjadi ajang tempat curhat dan konsultasi dari ibu dan adiknya karena profesi nayna sebagai psikiater, dan juga karena nayna sudah akrab dengan keluarga tama. "Sori banget ya, gue ngebatalin janji" tadi itu benar-benar ada urusan mendadak....." Ucap nayna merasa tidak enak "mmm.....ya gak masalah kok,tapi kenapa Lo tiba-tiba batalin janji kita?" "Gue tadi tiba-tiba ada panggilan telpon dari salah satu keluarga pasien gue, kondisinya... Buruk, karena pasien gue ini rawat jalan jadi dia dirawat di rumah sama keluarganya, makanya begitu Nerima telpon darurat itu, gue langsung kerumah pasien gue itu dan lupa hubungin Lo.... Sory banget ya Tama...." "Oh... Gitu, terus kondisinya sekarang gimana? "Udah mendingan kok, sekarang udah dirawat di rumah sakit" "Lo.....tadi sama Gilang?" "Kok Lo bisa tau?" Tanya nayna heran "Iya , tadi gue denger Lo nyebut nama Gilang sebelum sambungan telpon kita keputus" "Ah.... Gitu, sebenarnya Gilang tadi malem hubungin gue...." "Dia..tau nomer lo darimana?" "Kayaknya dunia emang terlalu sempit ya, kebetulan pasien gue ini adik sepupunya Gilang, jadi Gilang dapet nomer gue dari mereka, dan pas gue kerumah pasien gue ini gue jadi ketemu Gilang dan Gilang juga yang anterin Adek sepupunya ini kerumah sakit sama gue juga... Ya pokoknya gitulah" "Ah gitu....." Ada sedikit perasaan lega dalam diri tama karena nayna bertemu Gilang hanya sebagai dokter dan keluarga pasien, tapi ada juga rasa ketakutan dalam diri tama, takut jika nayna bisa saja masih menyukai Gilang. "Abang gak mau tanya kedia?" Ucapan adiknya kembali terngiang dipikiran Tama, apa dia tanya kan saja? Atau tidak? "Lo.....masih suka sama Gilang?" Ujar Tama hati-hati ,dan membuat atensi nayna semula fokus pada minumannya kembali menatap Gilang. "Jawab nggak nay....gue mohon.... " Dalam hati, Tama memohon Nayna termenung sejenak "Gue rasa........" "Apa?" "Lo inget nggak? dulu Lo pernah bilang sama gue kalau suatu saat semuanya bakalan baik baik aja, bakalan ada titik dimana rasa sakit yang kita rasakan sekarang akan terasa biasa aja, dan gak terluka lagi dimasa depan, seiring berjalannya waktu" ujar nayna sambil menerawang mengingat kembali ucapan Tama dulu saat nayna patah hati pada cinta pertamanya, gilang dan kecewa pada sahabatnya dara "Iya.. gue inget"Tama ingat betul apa yang dia ucapkan pada nayna untuk menghibur gadis yang dia cintai ini. "Semoga aja suatu saat nanti, Lo berada dititik dimana Lo ngeliat dia biasa aja, dan mengingat dia, Lo gak lagi terluka" harapan dan do'a Tama untuk nayna "Dan sekarang gue rasa gue udah berada dititik itu, gue udah nggak seberdebar itu pas ketemu Gilang kemarin dan udah gak sesakit itu saat ketemu dia" nayna tersenyum pada Tama Tama tersenyum membalas senyuman nayna, benar kata adiknya, seharusnya dia menanyakan langsung pada nayna daripada harus menerka-nerka , dan berpikir buruk pada apa yang akan terjadi dimasa depan, dengan begitu Tama bisa tau keputusan apa yang harus dia ambil "Kepergian ibu gue dulu sempat bikin gue menarik diri dari semua orang , sejak itu gue selalu berpikiran buruk tentang masa depan, sampai akhirnya gue ketemu Lo sama dara, yang bikin gue keluar dari zona ketakutan gue" "Sama halnya dengan dulu, gue selalu ngerasa kalo gue gak bakalan bisa lupa rasa patah hati yang gue rasakan karena Gilang, dan gue pikir itu bakalan terus jadi mimpi buruk buat gue" "Dan nyatanya sekarang gue baik-baik aja, semuanya berkat lo, yang masih ada disisi gue sebagai sahabat terbaik gue" Sahabat terbaik, apakah gue bisa lebih dari hanya sekedar sahabat buat Lo? "Nay....... Apa gue cuma bisa jadi sebatas sahabat buat Lo?" "Apa?" Tama tidak tau apa yang akan terjadi setelah dia mengungkapkan perasaanya pada nayna, apakah berakhir buruk atau tidak, tapi yang jelas setidaknya dia harus berusaha. fortune telling (2) Nayna tidak tau harus menjawab Tama bagaimana, karena pernyataan Tama barusan tidak pernah nayna duga , nayna selalu berpikir bahwa perhatian yang diberikan Tama kurang lebih 20 tahun ini hanyalah sebatas perhatian antara sahabat. "Nay..... Gue punya perasaan lebih sama Lo, gue...cinta sama Lo" Nayna merasa ada yang menggelitik didalam perutnya, entah sensasi apa yang dia rasakan saat ini "Tama.....ini..Gue gak tau....." Tama hanya bisa pasrah "Lo..bisa kasi jawaban ke gue nanti saat Lo udah siap dan yakin, gue... Juga gak maksa Lo untuk bales perasaan gue, gue akan hargai semua keputusan Lo"ujar Tama sambil tersenyum meringis, kemungkinan terburuk adalah Tama akan ditolak dan persahabatan antara mereka mungkin akan terasa canggung. "Tama....gue...." "Gue akan nunggu kapanpun Lo siap untuk ngejawab perasaan gue nay......" Sampai kapanpun. *** "Pola pikir selanjutnya adalah pola pikir yang dinamakan Fortune telling, ini adalah pola pikir dimana seseorang cenderung membayangkan masa depan, tapi dalam bayangan yang buruk, contohnya seperti 'masa depan saya pasti akan sia-sia, dimasa depan saya bukanlah siapa-siapa" nayna menjelaskan pada para audiens dikelas kuliah umumnya kali ini. "Saat anda sudah mendapatkan pasien anda sendiri, anda akan menghadapi berbagai macam kasus unik, disana anda akan memahami lebih dalam arti dari depresi bukan hanya tentang pengertian dari kata saja, tapi bagaimana anda memahami itu, penegakan diagnosa bukan hanya sekedar kalimat ,tapi bagaimana anda memahami nya melalui mereka yang mengalaminya" Nayna sudah selesai menyampaikan materinya pada para audiens, nayna memang beberapa kali menjadi pengisi materi dibeberapa kampus untuk membantu menggantikan seniornya jika ada halangan tidak bisa mengisi materi. Hari-hari nayna diisi dengan setumpuk pekerjaan yang merupakan tanggung jawab dia sebagai seorang psikiater, itulah mengapa terkadang nayna sampai tidak sempat untuk memikirkan masalah pendamping hidup, bukannya tidak ingin mencari atau mencoba dekat dengan lawan jenis untuk merasakan kasih sayang dan dicintai, hanya saja ada keengganan dalam melakukan hal itu, bisa jadi karena efek dari patah hati dengan cinta pertamanya dulu, atau mungkin......... Selama ini nayna sudah merasa lebih dari cukup untuk mendapatkan kasih sayang itu dari seorang tama, ya walaupun nayna selalu menganggap perhatian Tama adalah bentuk kasih sayang dari seorang sahabat, sampai saat kemarin Tama mengungkapkan perasaannya, selama ini nayna tidak pernah sadar dengan arti dibalik perlakuan Tama padanya. Pikiran nayna tentang tama kembali berkelebat didalam benaknya, apalagi dari tadi malam sampai saat ini tama belum menghubunginya sama sekali, sejak nayna berpisah dengan Tama dikafe, suasananya memang terasa canggung, nayna yang pendiam semakin diam, dan Tama yang terlihat salah tingkah dan juga malu menambah atmosfer kecanggungan mereka. Bahkan nayna bisa melihat wajah dan telinga Tama yang memerah menandakan dia tengah malu, dan itu terlihat imut Dimata nayna. Nayna tersenyum sendiri diruang kerjanya mengingat tingkah Tama yang menurut nayna sangat menggemaskan. Lima detik kemudian nayna cemberut karena mengingat sampai saat ini ,Tama belum juga menghubunginya, apa Tama menyesal telah mengatakan perasaannya kemarin? Lalu nayna tersenyum lagi, lalu cemberut lagi "Dokter nay......" Tuk tuk tuk "Dokter....'' suster ana yang menjadi asisten nya hari ini mengetuk meja yang ada didepan nayna mencoba untuk menyadarkan sang dokter siapa tau dokter nayna ketularan depresi dari pasiennya, tapi semoga saja tidak Tuk tuk tuk! "Ah!! Suster sejak kapan disini?"tanya nayna kaget "Sejak saya ngeliat dokter senyum terus cemberut, trus senyum lagi, begitulah dok" kata suster ana sambil memberikan status riwayat pasien Nayna menahan malu karena tingkahnya sendiri "Hari ini jadwal konsultasi nya Fina, dia sudah menunggu diluar" "Ah iya, persilahkan masuk" "Baik dok" suster ana melangkah keluar membuka pintu lalu mempersilahkan sipasien untuk masuk. "Silahkan duduk Fina" "Iya dok" Fina menampilkan senyum bahagianya "Gimana kabar Fina hari ini?" Nayna memulai sesi konseling nya "Baiiikk banget dok, terutama kemarin" "Apa kemarin terjadi sesuatu?" "Iya dok, kemarin temen saya... Bilang, kalau dia suka sama saya" Nayna tersenyum dan masih terus mendengarkan "Dia nyatain perasaan nya kesaya, dan akhirnya kami resmi pacaran" "Wah.... Selamat ,semoga kalian langgeng"ucap nayna tulus "Iya makasih dok" "Apa dia teman yang waktu itu kamu ceritakan? Teman yang sempat sama kamu salah paham?" "Iya dok, dia orangnya, ternyata waktu itu dia cemburu karena saya dekat dengan orang lain, dan saya pikir dia melakukan itu karena membenci saya, tapi ternyata tidak, dia melakukan itu karena takut kehilangan saya, dan akhirnya dia menyatakan perasaannya sama saya kemarin" "Fina...langsung menerimanya?" "Ya tentu saja dok, dia yang selama ini selalu menemani dan paling mengerti saya" "Syukurlah ada orang baik disisi kamu" "Tapi dok, ada ketakutan dalam diri saya" "Apa yang kamu takutkan?" "Saya takut kehilangan dia, saya takut jika suatu saat perasaanya akan berubah untuk saya, saya takut pada akhirnya ditinggalkan sendirian lagi" "Fina... Ketakutan yang kamu rasakan dimasa depan, jangan sampai menghalangi kamu untuk bahagia saat ini" ucap nayna sambil menggenggam tangan pasiennya yang berada diatasnya meja. "Kamu harus bisa melawan ketakutan itu, dengan membuat diri kamu bahagia saat ini" "Apa saya bisa dok?" "Selama kamu percaya dengan diri kamu sendiri, kamu pasti bisa" nayna tersenyum tulus tanda menguatkan Apa ini juga yang dirasakan oleh nayna? Pikiran buruk tentang masa depan, karena sebenarnya mereka yang tanpa terdiagnosa depresi pun bisa selalu berpikiran buruk tentang apa yang akan terjadi dimasa depan. Sekali lagi nayna menyadari bahwa alasan dia masih belum mengetahui bagaimana perasaannya sendiri pada Tama adalah, karena tembok yang dia bangun sendiri selama bertahun-tahun untuk mempertahankan dirinya dari sakit yang dia rasakan masih berdiri kokoh,dia takut suatu saat hatinya akan patah lagi , namun satu hal yang pasti dalam dasar hatinya, nayna berharap ,Tama bisa meruntuhkan tembok itu, atau mungkin Tama sudah meruntuhkan tembok itu namun nayna belum menyadarinya. Seharian ini, Tama lah yang mengusik pikiran nayna , Tama tidak ada kabarnya dari kemarin semenjak dia menyatakan perasaannya pada nayna. Kesal? Tentu saja nayna kesal, bahkan saat nayna menghubungi nya pun, tama tidak mengangkat telpon nya Menyebalkan!!! Dan nayna mulai frustasi sendiri Sedangkan ditempat lain tanpa nayna tau ada orang yang masih terus-menerus bertingkah seperti orang gila, sebentar-sebentar melamun , lalu teriak seperti orang yang menahan malu, lalu bertingkah biasa saja, lalu berguling-guling ditempat tidurnya, siapa lagi kalau bukan Tama , laki-laki yang baru kemarin menyatakan perasaannya pada sahabatnya sendiri Kia , adik tama yang kini tengah berdiri diambang pintu kamar Tama , menatap Tama dengan sedikit miris melihat tingkah gila abangnya yang sekarang berguling diatas tempat tidurnya. "Abang jangan gila dulu dong, Adek masih butuh duit dari Abang" ucapan kia membuat Tama menghentikan aktivitas 'gila' nya dan memicing kearah sang adik, lalu melanjutkan kembali aktivitas 'gila' nya. "Ck... Udah gak waras emang" kia menggeleng melihat tingkah Tama. "Bang, ya udah sih gak usah takut gitu kalo di tolak, yang pentingkan Abang udah niat baik nyatain perasaan Abang, daripada kependem terus lama-lama membusuk"ujar kia setelah tadi abanya ini curhat padanya ,namun menggunakan tokoh samaran dalam curhatnya itu Bukan itu masalahnya... Masalah nya adalah entah kenapa Tama malu setelah mengungkapkan perasaanya pada nayna , bagaimana kalau nanti nayna menolaknya, pasti akan terasa makin canggung lebih dari ini... "Gue akan nunggu kapanpun Lo siap untuk ngejawab perasaan gue nay......" Kata-kata Tama kemarin kembali berputar dalam memori otaknya, jujur saja dia tidak tahan jika harus menunggu seperti ini. Menunggu adalah hal yang menyebalkan, apalagi menunggu hal yang belum pasti seperti ini. Tapi bagaimanapun, rasa cinta yang dirasakan Tama pada nayna jauh lebih besar dibandingkan rasa menyebalkan yang dirasakan Tama. Mungkin inilah alasan mengapa orang-orang kuat bertahan untuk menunggu , karena orang yang ditunggu membuat mereka merasakan kebahagiaan semenyebalkan apapun kata 'menunggu' itu. "Kalo Abang gak mau nunggu, ya diangkat itu telponnya dari mbak nay, mungkin dia mau kasih jawaban ke Abang" ujar kia lelah melihat tingkah abangnya "Masalahnya Abang belom siap dengan jawaban yang akan dikasi sama nayna ke ab" Tama mengehentikan kalimatnya lalu bangun dan menatap adiknya bingung "Apa?" Tanya kia, karena abangnya sekarang tengah menatapnya "Kamu tau darimana kalo perempuan yang Abang maksud itu nayna?"tanya Tama shock dan berpikir apa mungkin adiknya ini adalah cenayang, karena Tama tidak pernah menyebut nama nayna saat curhatannya tadi, melainkan menggunakan tokoh samaran dengan nama ferguso dan Jubaidah. Kia memutar bola matanya malas, lalu menggeleng kan kepalanya dan berkata 'inilah laki-laki gak pernah peka sama keadaan sekitar nya, sungguh miris' ambivalensi "Tama kenapa sih gak angkat telpon gue!?!?" "Apa dia marah?" "Hah? Dan sekarang nomor nya gak aktif??" Nayna terus bergumam sambil terus berjalan melewati lorong rumah sakit hendak pulang - dan dari tadi Tama tidak bisa dihubungi ,padahal ada yang ingin disampaikan oleh nayna. Karena terlalu fokus dengan handphone nya, tanpa sengaja nayna menabrak seseorang yang membuat bokongnya hampir mencium lantai kalau saja orang yang ditabrak oleh nayna tidak dengan cepat menangkap pinggangnya, beberapa saat nayna tertegun lalu buru-buru menjauhkan diri nya "Lain kali jangan terlalu fokus sama hp, untung aku cepet nangkep kamu" "Gilang?" Nayna meringis karena kecerobohan nya, untung saja orang yang ditabraknya adalah gilang, setidaknya mungkin dia tidak akan dituntut karena kecerobohan nya. "Maaf ya, aku tadi kurang fokus" ucap nayna "It's okay ,Kamu udah mau pulang?" Tanya Gilang dengan melihat nayna yang sudah menenteng tasnya "Iya, kamu mau jenguk adik sepupu kamu?" "Iya, barusan aku udah jenguk"ujar Gilang sambil melihat jam tangannya "Kamu sibuk nggak? Tanya Gilang Nayna mengangkat kedua alisnya bingung "Aku boleh minta waktu kamu sebentar?"sambung Gilang lagi "Ya..gak masalah"ucap nayna pada gilang Entahlah apa yang ingin dibicarakan oleh gilang, tapi sepertinya hal yang serius "Kita duduk disini aja ya" Gilang mengajak nayna kesebuah taman yang ada di rumah sakit, taman yang cukup nyaman untuk mengobrol. Dan mereka berdua duduk berdampingan dikorsi taman "Gimana kabar dara?" Tanya nayna membuka percakapan dan membuat Gilang menoleh heran seolah-olah pertanyaan nayna adalah hal yang aneh, atau mungkin memang aneh "Kamu? Gak tau gimana kabar dara?" Tanya Gilang heran. Sepertinya dara tidak pernah menceritakan perihal yang terjadi antara dara dan nayna , sehingga yang dilihat nayna saat ini adalah ketidaktahuan Gilang tentang yang terjadi diantara mereka dimasa lalu. Seharusnya nayna tidak menyebutkan nama dara tadi. "Bukannya kalian sahabatan?" Sambung Gilang lagi. Nayna masih terdiam, tidak tau harus menjawab apa. "Pasti terjadi sesuatu kan diantara kalian?, Sebenernya kalian ada masalah apa sih?" Tanya Gilang "Ekhem aku- sama dara sebenarnya udah lama gak saling berhubungan lagi" ujar nayna ragu. "Tapi aku gak bisa cerita ke kamu alasannya" sambung nayna sebelum Gilang menanyakan lebih jauh, nayna hanya tidak ingin kotak Pandora yang lain terbuka , pasti akan berakhir jauh lebih buruk lagi. "Pantesan aja, pasti terjadi sesuatu kan antara kalian? Aku mulai ngerasa aneh sejak setelah aku jadian sama dara dulu" "Kamu dan dara kayak dua orang asing, padahal dulu kalian nempel terus kayak kembar siam" Gilang sedikit terkekeh, entah apa yang lucu "setiap aku tanya, apa yang terjadi antara kamu dan dara, dara gak pernah mau cerita, padahal aku pacarnya, dan kamu pun semakin menjauh dari aku, sampe akupun kehilangan kontak sama kamu" kenang Gilang Nayna masih dengan mode diamnya dan mendengarkan gilang "Aku tanya Tama pun, hanya satu hal yang Tama tekankan ke aku" Nayna mengerutkan alisnya heran ,hal apa yang tama kasih tau ke Gilang? "Dia bilang, jangan pernah ngerubah keputusan ku, baik yang dulu ataupun dimasa depan, aku gak ngerti maksud Tama gimana" ujar Gilang sambil menatap nayna dan nayna pun membalas tatapan Gilang Gilang mungkin tidak tau apa yang dimaksud Tama itu, tapi nayna tau, nayna sangat mengerti arti dibalik ucapan Tama pada gilang. "Dan kalo kamu tanya gimana keadaan dara..." Ujar Gilang ragu "aku gak tau gimana keadaan dara sekarang" sambungnya lagi Nayna bingung, dan tidak menyangka "Aku udah lama putus sama dara semenjak dia memutuskan kuliah dilondon, aku gak tau kenapa dia putusin aku tanpa kasih alasan yang jelas, dia cuma bilang minta maaf, cuma itu kata terakhir yang aku denger dari dia, sampai sekarang aku belum ngerti kenapa dia lakuin itu" terjawab sudah , namun teka teki itu seolah bertambah dibenak nayna, semuanya seperti potongan-potongan puzzle yang masih berserakan. Sebenarnya apa dan kenapa dara melakukan semua itu? *** Setelah pembicaraan nayna dan Gilang selesai dan berakhir dengan tanda tanya besar yang membuat nayna pusing memikirkan nya, nayna langsung menuju ke rumah Tama, berniat menanyakan banyak hal pada Tama, termasuk kenapa Tama tidak mengangkat telpon dan justru menonaktifkan hp nya. Namun nayna harus menelan kekecewaan nya karena sesampainya di rumah Tama, karena Tama tidak sedang berada di rumah nya. "Loh? Tama gak kasih tau kamu, kalau dia ke luar kota? ,Ada masalah sama proyeknya jadi dia buru-buru tadi" ibunya Tama menjelaskan panjang lebar pada nayna "Ah.... Gitu ya, Tama gak hubungin aku tadi" nayna meringis menelan kekecewaannya akan sikap Tama "Ya udah kalo gitu, aku pamit dulu ya Tante" ujar nayna hendak pergi namun langsung dicegah oleh ibunya Tama "Eits!! Tunggu dulu, kamu makan malem disini aja gimana? Sekalian Tante mau konsultasi gitu sama kamu, curhat curhat gitu" nayna tidak bisa menolak dan akhirnya mengiyakan keinginan ibunya tama menjadi tempat konsultasi dan ajang curhat. Setelah mendengar curhatan ibunya Tama panjang kali lebar dan nayna memberikan sedikit saran akhirnya nayna pamit undur diri dan pulang kerumahnya, dan saat sampai dirumah, nayna dikejutkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu didepan rumah. "Ayah?" Nayna mendekat kearah ayahnya yang sedang duduk di kursi teras depan. "Ayah kenapa gak bilang dulu kalau mau kesini" nayna menunduk enggan menatap ayahnya dan lebih fokus membuka pintu dengan kunci yang diambil dari tasnya. "Ayah kesini cuma mau mampir aja, mau ngeliat keadaan kamu" tatapan ayah nayna sedih melihat putrinya yang masih enggan menatap nya. "Ayo masuk yah" ucap nayna mempersilahkan ayahnya masuk "Ayah mau minum apa?" "Kopi aja" Nayna beranjak membuatkan sang ayah kopi lalu meletakkan nya dimeja depan ayahnya. Dan nayna ikut duduk di sofa bersama sang ayah. "Kamu... Masih gak mau pulang kerumah?" Tanya ayahnya sedih Nayna meringis, dia memang sudah tidak tinggal dirumahnya yang dulu sejak dia mulai kuliah, nayna terlalu enggan untuk kembali kerumahnya itu, karena disana tersimpan kenangan pahit tentang ibunya dan perihal ayahnya yang masih nayna simpan sendiri sampai sekarang. "Aku udah nyaman disini yah" ujar nayna pelan "Ini udah malem, ayah nginep aja disini, aku siapin kamar tamunya dulu" ujar nayna sambil beranjak dari duduknya, nayna tidak tahan berlama-lama dengan sang ayah, karena bagaimanapun dalam memori nayna ayahnya adalah penyebab dari kematian ibunya dulu. Jujur saja dalam hati nayna , dia tidak bisa menyukai ataupun membenci ayahnya, terkadang nayna membutuhkan sosok ayah dalam hidupnya,namun nayna selalu menjauh dan menjaga jarak dari ayahnya, ada pikiran yang saling berkontradiksi yang keduanya sama-sama nayna rasakan. Dan nayna membenci situasi seperti ini. *** Sudah 5 hari sejak obrolan terakhir nayna dengan sang ayah dan juga dengan Tama , nayna kesal karena Tama benar-benar tidak pernah menghubungi nya sama sekali Dan keseriusan Tama akan perasaannya pada nayna membuat nayna ragu dengan menghilangnya Tama saat ini, namun disisi lain nayna benar-benar merindukan Tama, sepertinya perasaan nayna sudah mulai berkembang pada Tama menjadi lebih dari sahabat, mungkin. "Pagi suster ana" sapa nayna ramah dan hendak masuk keruang kerja nya, namun dicegat oleh suster ana "Kenapa sus?" "Fina tadi nerobos masuk kedalam dok" "Loh? Bukannya jadwal konsultasi nya besok ya?" Nayna mengernyit heran Suster ana meringis tak enak dan bingung "Ya udah biarin aja, mungkin ada hal mendesak yang mau dia omongin" nayna maklum "Pasien yang udah ada jadwal konsultasi hari ini tolong di handle" "Baik dok" Nayna melihat Fina sudah duduk dikorsi dan nayna merasakan sesuatu yang sedikit berbeda dari Fina hari ini, Fina terlihat jauh lebih murung dibanding terakhir kali dia konsultasi waktu itu "Pagi Fina" ucap nayna tersenyum, namun Fina hanya terdiam dan menatap kosong ke depan, keadaan Fina saat ini sama saat ia pertama kali konsultasi pada nayna, dan itu tak luput dari perhatian nayna. "Fina apa kamu baik-baik aja?" Tanya nayna yang sekarang sudah duduk didepan Fina dan terus memperhatikan sesuatu yang janggal dari keadaan Fina saat ini "Dokter pernah bilang, kalau saya percaya pada diri saya, saya tidak perlu takut akan masa depan yang buruk" Nayna masih mendengar kan "saya sudah melakukan itu , percaya pada diri saya sendiri, tapi nyatanya hal buruk yang saya takutkan benar-benar terjadi" Fina masih menatap kosong "Fina......-" belum sempat nayna melanjutkan perkataannya , tiba-tiba saja tanpa bisa nayna cegah karena kalah cepat dari gerakan Fina , nayna melihat pasiennya ini ambruk seketika kearah lantai setelah dia menyayat sendiri pergelangan tangannya , entah darimana Fina mendapatkan sebuah cutter untung memotong nadinya sendiri, nayna terdiam beberapa detik karena syok dan sekilas peristiwa ini mengingatkan nya kembali tentang kematian ibunya, sampai akhirnya nayna berhasil menguasai diri dan mencoba menghentikan perdarahan yang terus mengalir dari tangan Fina ,dan segera memanggil suster yang ada diluar. Nayna masih terus menatap Fina yang masih terbaring di ranjang , setelah tadi dilakukan penanganan pada Fina dan untungnya nyawa Fina terselamatkan. "Kita memang gak akan pernah tau apa yang ada dipikiran orang yang mengalami depresi seperti ini, mereka bisa mengambil tindakan yang ekstrim secara tiba-tiba dan menyakiti dirinya sendiri ataupun orang lain" Senior nayna profesor Ando sekaligus yang menjadi mentor untuk nayna selama ini mengingatkan agar nayna lebih berhati-hati. "Saya minta maaf prof" ujar nayna masih menunduk merasa bersalah Profesor Ando menepuk pundak nayna mungkin untuk menguatkan, karena profesor ando tau semuanya bukan kesalahan nayna semata dan hal seperti ini merupakan bagian dari resiko pekerjaan sebagai seorang psikiater yang bisa berujung buruk ,baik bagi sipasien ataupun yang menangani pasien itu sendiri, lalu profesor Ando berlalu pergi meninggalkan nayna yang masih terus berdiri menatap fina. Sebenernya apa yang terjadi sampai Fina melakukan tindakan ekstrim seperti ini, padahal selama ini Fina terlihat membaik ,apa ada yang terlewat yang tidak diketahui oleh nayna? Pertanyaan itu terus berputar dibenak nayna. Kedatangan ibu Fina setelah dikabarkan oleh pihak rumah sakit membuat rasa bersalah nayna semakin dalam, padahal nayna dipercayakan untuk merawat Fina dengan baik. Suara tangisan ibu Fina menjadi pengisi keheningan yang sempat beberapa waktu lalu terjadi, dan itu terdengar menyedihkan "Ini semua salah saya" ujar ibu Fina sambil menggenggam tangan putrinya yang masih terbaring lemas dan belum sadarkan diri "Fina melakukan ini karena saya tidak merestui dia dengan pacar nya"ujarnya lagi dan air matanya semakin deras Nayna hanya terus menjadi pendengar yang baik tanpa berniat menyela sedikit pun, dan membiarkan ibu Fina mengeluarkan semua kesedihan yang dia alami. Beberapa saat kemudian datang seseorang yang terlihat seumuran dengan Fina, seorang perempuan yang baru datang itu, menangis sambil menggenggam tangan Fina, dan ibu fina melihat siperempuan dengan tatapan benci, nayna mulai mengerti saat melihat cincin yang melingkar dijari manis Fina sama dengan cincin yang terpasang dijari manis perempuan itu, sebuah cincin pasangan, nayna mengerti mengapa ibunya Fina tidak merestui hubungan anaknya. Setelah nayna pamit undur diri dan membiarkan ibu Fina menyelesaikan masalahnya , nayna sampai di rumahnya dengan keadaan yang lemas dan masih gemetar, akhirnya tangisan nayna pecah yang dari tadi dia tahan saat berada di rumah sakit, bersamaan dengan itu, nayna melihat sosok yang selama ini dia rindukan tengah berdiri diteras rumahnya menatap nayna dengan senyuman yang menghangatkan hati nayna, melihat sosok itu membuat tangisan nayna semakin kencang, setidaknya dimasa-masa sulitnya selama ini, nayna punya seseorang yang selalu ada disisinya. Ardika diratama finally Tangisan nayna membuat Tama mendekatinya dengan tampang bingung, nayna masih berdiri, Tama yang tidak tau apa penyebab nayna menangis hanya bisa memeluk nayna tanpa banyak bertanya. "Kenapa...hiks..lo baru Dateng se-sekarang?!?!" Kata kata nayna tercekat oleh tangisannya dan Tama yang mendengar pertanyaan itu menjadi lebih mengeratkan pelukannya pada nayna seperti sebuah pesan tersirat kalau dia meminta maaf karena tanpa mengabari nayna selama lima hari ini. Nayna terus menangis melepaskan semua rasa sesak yang ada didadanya tentang ayahnya, tentang ibunya, tentang kejadian dirumah sakit, tentang dara, dan terutama tentang tama yang seolah menjauh darinya, semuanya nayna tumpahkan dalam pelukan tama, nayna sekarang mengerti diantara waktu senja yang kian tertelan malam saat ini,diantara warna langit jingga yang mulai tergantikan oleh gelap nya malam, saat dia lelah, saat dia merasa tidak ada tempat pulang, nayna menyadari Ardika diratama adalah satu tempat yang nayna butuhkan, sebuah rumah yang lebih dari nyaman yang perlahan membuat nayna mencintai sosok yang selalu ada untuknya. Tangisan nayna kini sudah agak mereda, setelah hampir kurang lebih tiga puluh menit nayna menangis didepan rumahnya, nayna yang masih enggan untuk beranjak dari tempatnya pada akhirnya Tama mau tidak mau menggendong nayna untuk membawanya masuk kerumah, takut orang-orang sekitar berpikiran macam-macam tentang tama, padahal dengan Tama menggendong nayna masuk kerumah saja sudah mengundang kecurigaan siapapun yang melihatnya, namun untungnya saat itu Tama sudah memastikan kalau tidak ada yang melihat kejadian itu tadi, semoga saja. "Nih diminum dulu teh angetnya" Tama menyodorkan teh hangat dimeja depan nayna yang kini tengah duduk di sofa nya, Tama sudah seperti sang pemilik rumah padahal dialah yang menjadi tamu disini. Tama lalu menyusul disamping nayna untuk duduk di sofa. Nayna masih takut untuk mengangkat kepalanya dan terus menatap teh hangat yang kini sudah tergenggam oleh kedua tangannya seolah-olah hangat dari teh yang ada di cangkir warna hijau tosca dengan asap tipis yang mengepul yang dia pegang saat ini mengalirkan ketenangan yang dibutuhkan nayna. Sangat menghangatkan Seperti Ardika diratama "Lo kenapa gak ada kabar sama sekali?, Lo gak ngabarin gue karena marah sama gue?" "Marah? Gak, gue gak marah" "Trus kenapa telpon dari gue gak Lo angkat, dan Lo malah gak aktifin nomer Lo!?!?" "Nay, jangan marah dulu... ,Jadi gue gak angkat telpon lu waktu itu karena gue masih- ma-lu buat ngomong sama lo dan gue takut Lo nelpon gue buat ngasih Jawaban untuk nolak gue" "Trus setelah itu kenapa nomer Lo gak aktif ,dan Lo gak ngabarin gue kalo Lo keluar kota" "Gue bener-bener minta maaf, karena buru-buru pergi, gue gak tau hp gue jatuh dimana...... Tapi yang penting sekarang gue ada disini kan?" "Perasaan Lo...masih belum berubah kan buat gue?" Tanya nayna "Dulu ataupun sampe sekarang atau mungkin suatu saat nanti gue rasa perasaan gue gak akan berubah buat Lo" ucap Tama membuat nayna berdebar dan menatap laki-laki yang kini duduk disampingnya itu. "Kalau gitu gue harap perasaan Lo gak akan pernah berubah buat gue" Tama mengunci tatapannya pada nayna dengan tampang bingungnya. "Maksud Lo?....Lo... Nerima gu-e? Nayna mengangguk canggung dan tersipu malu , pemandangan ini tak luput dari perhatian Tama dan membuat jantungnya semakin berdebar. "Jadi... Sekarang kita udah boleh lebih dari sahabat?" Tanya Tama tak percaya, perasaannya yang terbalas seperti sebuah keajaiban "Emangnya kita gak boleh lebih dari sahabat?" Tama langsung berselebrasi seolah-olah tim sepak bola andalannya menang. Akhirnya penantian panjang akan perasaannya berakhir dengan baik. . . . . Ada tujuh hormon yang berperan penting saat manusia jatuh cinta dan membuat perasaan gembira, bersemangat, berdebar, berkeringat dingin, berani dan menjadi agak gila Tama merasakannya, dia memang sudah lama jatuh cinta dan terus mencintai nayna sampai saat ini, namun dengan perasaannya yang dibalas dengan baik tentu membuat rasa bahagia Tama menjadi berkali-kali lipat, karena bagaimana pun menurut Tama saat orang yang dia cintai juga mencintai nya ,itu adalah sebuah keajaiban. Dan menjadi gila adalah salah satu ciri orang yang sedang dimabuk asmara, Tama sedang memasuki fase ini hingga membuat adiknya heran saat dia pulang. "Abang kena wabah menular dari luar kota ya?" Kia menatap kakak laki-lakinya ngeri, karena saat pulang Tama senyum-senyum sendiri dan lama-lama terlihat creepy Dimata kia. Kia berpikir mungkin abang nya tertular wabah siput gila, namun Tama justru acuh dan berlalu masuk ke kamarnya tidak menghiraukan praduga tak berdasar dari adiknya. "Ckckck emang beneran gila'' kia menggeleng kan kepalanya prihatin. Menggulingkan dirinya kesana kemari ditempat tidur adalah kegiatan tama saat ini, Tama ingat sesaat sebelum dia pulang dari rumah nayna, dan hal yang diingatnya ini membuat Tama malu dan bersemu Tama dan nayna terus saling berpegangan tangan saat duduk berdampingan disofa sambil menonton tv yang ada didepan mereka walaupun tv itu hanya sebagai pajangan saja padahal pikiran mereka saling berfokus memikirkan satu sama lain, sampai akhirnya Tama tiba-tiba berdiri dan hal itu membuat nayna sedikit terkejut "Kenapa?" Tanya nayna bingung "Aku harus pulang sekarang" "Sekarang?" Tanya nayna seakan berat ditinggalkan "Iya nay, ini udah hampir jam dua belas malem, gak mungkin kan aku nginep disini, nanti kita disangka kumpul kebo" Tama menanahan senyumannya dan mulai menyadari panggilan lo- gue kini berubah menjadi aku-kamu dan itu membuatnya semakin bersemu sendiri. Dan mungkin saja bisa berkembang menjadi sayang,honey?, Bunny? Swetty? Apa itu terlalu berlebihan? "Ah iya, aku kira masih jam delapan....hehe" nayna tertawa canggung dan berdebar, jatuh cinta memang membuat orang lupa waktu. Tama pamit dan sesaat sebelum Tama keluar dari pintu rumah nayna, Tama berbalik dan menatap nayna lalu secara sadar atau tidak , Tama mencium kening nayna dan membuat nayna terkejut namun hanya sesaat karena tergantikan oleh sensasi seperti kupu-kupu yang berterbangan diperut nayna. Tama mencoba mengendalikan dirinya agar tidak menyentuh nayna lebih dari ini, karena bagaimanapun Tama sadar mereka belum sah dalam ikatan pernikahan dan Tama harus bisa mengendalikan dirinya sampai hari itu tiba, Tama tidak ingin menyakiti nayna dan itu jugalah salah satu alasan kenapa Tama harus segera pulang, dan menyingkir dari situasi seperti ini, dimalam hari, dirumah yang sepi, hanya diisi oleh mereka berdua saja, mereka sama-sama dewasa dan sedang jatuh cinta yang takutnya akan meningkatkan salah satu hormon yang cukup membuat mereka lupa diri, tentu saja orang dewasa dan segala pemikirannya. Ting!! Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunan Tama , dari username yang awalnya bernama 'nayna' kini sudah berubah menjadi 'punyaku' dan ada lambang hatinya, entah kapan Tama merubahnya. 'selamat tidur, mimpi yang indah' Tama menahan senyumannya ketika membaca pesan masuk dari username 'punyaku' dan mengetikkan balasannya. 'selamat tidur juga, mimpiin aku' send Terkirim! Tama merasakan wajahnya memanas "Arrrggggghhh!!!!!" Tama menelungkup kan wajahnya dibantal berharap teriakan bahagianya teredam , Tama benar-benar bahagia, sangat. *** Nayna berjalan menyusuri lorong rumah sakit, hari-hari yang dilaluinya kini sudah jauh lebih berwarna, tentu karena Tama yang selalu bisa membuat nya tersenyum, tersenyum bukan dalam status sebagai sahabat, namun sebagai pacar, dan rasanya jauh lebih mendebarkan. "Dokter nay, Fina sudah datang" ucap suster ana "Persilahkan masuk" "Baik dok" Fina yang sudah dipersilahkan masuk, duduk di hadapan nayna, sudah dua Minggu ini sejak kejadian terakhir kali saat Fina menyayat pergelangan tangannya didepan nayna, keadaan Fina kini sudah mulai membaik. Nayna bertahan untuk bisa merawat Fina , sesaat setelah kejadian itu, profesor Ando memberikan saran pada nayna agar menyerahkan Fina pada dokter lain , namun nayna bersikeras ingin merawat Fina, dan begitupun dengan fina, Fina merasa hanya nayna yang bisa mengerti perasaanya disaat seperti ini. Dua hari setelah kejadian itu, Fina tersadar dari fase kritis nya, dan nayna terus memantau kondisi fina, lalu pada akhirnya terjadilah pembicaraan dari hati kehati yang lebih dalam, bukan sebagai dokter dan pasien, namun sebagai teman, sahabat, dan keluarga untuk berbagi perasaan sakit masing-masing. Satu hal yang Fina sadari saat dia mengungkapkan semua perasaanya pada nayna malam itu, bahwa dia tidak pernah sendiri, dia hanya merasa sendiri , padahal ada banyak orang-orang disekitarnya yang menyayanginya, nayna bilang Fina hanya tidak menyadarinya. "Saya berangkat Minggu depan, dan hari ini saya mau pamit dok" ucap Fina menampilkan senyum terbaiknya dihadapan nayna. "Saya harap pengobatan kamu di sana bisa berjalan dengan baik" ucap nayna tulus, Fina memilih mengikuti saran ibunya untuk berobat ke singapur. "Terima kasih dokter nay, sudah menjadi lebih dari psikiater untuk saya, dokter sudah saya anggap sebagai kakak saya" "Kamu boleh memanggil saya kakak" nayna tersenyum dan dibalas senyuman dari Fina. Fina dan nayna mengakhiri sesi perpisahan mereka dengan saling berpelukan lama seolah enggan untuk berpisah karena bagaimanapun Fina sudah memberikan pengalaman terbaik untuk nayna selama menjadi seorang psikiater, Fina dan nayna berjanji satu sama lain untuk terus saling menghubungi satu sama lain. Nayna merasa semua pasien yang ditangani nayna selama ini justru adalah guru bagi nayna, karena mereka memberikan pengalaman yang membuat nayna sadar bahwa Pengalaman terbaik datang dari orang-orang disekitar kita, dari mereka yang tinggal ataupun dari mereka yang pergi, semuanya adalah hal yang berharga, karena bagaimanapun baik mereka yang tinggal dan pergi dengan cara yang baik ataupun buruk, semuanya pernah memberikan cerita dan menjadi bagian dari hidup kita, sekali lagi nayna menyadari mereka yang meninggalkan luka adalah mereka yang pernah memberikan kebahagiaan, sebenci apapun, sebenarnya kita tidak pernah benar-benar membenci. *** Senyum nayna merekah saat melihat siapa yang ada dihadapannya yang sedang memunggunginya saat ini, pemandangan yang indah bagi nayna , Tama berada satu frame dengan latar langit senja, Tama belum menyadari keberadaan nayna yang terus memperhatikan nya, nayna membentuk sebuah bingkai dengan ibu jari dan jari telunjuknya dari kedua tangannya seolah-olah memotret momen ini dan menyimpannya dalam ingatan nayna, dan akan selalu menjadi memori terbaik untuk nayna, Tama yang selalu menunggunya di depan rumah sakit tempat dia bekerja, Tama yang selalu bertanya apakah dia lelah, bagaimana pekerjaan nya hari ini, apakah ada yang membuatnya bahagia, atau mungkin sedih, atau kesal, Tama yang selalu mendengar kan semua celotehan nayna, Tama yang memperhatikan nya dengan baik , nayna mencintai Tama, sangat. "Oh? Sejak kapan kamu disitu?"Tama mendekat kearah nayna yang berdiri didepan pintu masuk rumah sakit. "Barusan, kamu udah lama nunggu?" Tanya nayna tanpa bertanyapun padahal nayna tau ,Tama selalu menunggunya 30 menit lebih awal dari jadwal nayna pulang "Gak kok, aku baru sampai" ucap Tama sambil mengambil alih tas nayna dan kini berpindah pada Tama "Bohong , aku dari tadi liat kamu berdiri disitu" ucap nayna dan melingkarkan lengannya pada Tama Mereka lalu melangkah menuju tempat mobil Tama terparkir di bagian kiri gedung rumah sakit "Kamu? Udah keluar dari tadi? Dan malah diem ngeliatin aku dari belakang?" "Iya hehehehe, aku cuma mau motret momen kamu yang lagi nungguin aku" "Terus mana hasil fotonya? Sini aku liat" ucap Tama sambil mengulurkan tangannya yang Tama pikir nayna memotret nya menggunakan handphone "Apa?" "Handphone kamu" "Aku gak motret pake handphone" "Terus pake apa?" Tama mengernyit bingung "Pake ini" nayna menunjuk bagian matanya "Terus aku simpen disini" nayna menunjuk bagian kepalanya, "terus aku simpeeeenn baik-baik di bagian sini" nayna menunjuk bagian dadanya yang menunjukkan bahwa penyimpanan terakhir tentang tama adalah diperasaannya yang paling dalam. Tama tersenyum tertahan , wajahnya mulai memerah diantara senja yang mulai tergantikan dengan langit malam, begini rasanya digombalin sama orang yang dicintai, membuat melayang. "Kamu belajar gombal darimanaaaa?" Ucap Tama sambil mencubit pipi nayna gemas "Hahahahaha" Tama dan nayna tertawa bersama dengan tingkah manis satu sama lain. Dari rasa lelah pekerjaan yang mendera bertubi-tubi, rasa kesal , sedih, stres ,memuakkan ,semuanya hilang begitu saja saat tempat pulang yang kita tuju, yang menanti kita merentangkan dan memeluk kita dengan hangat. Dan tempat pulang bagi nayna saat ini dan mungkin sampai suatu saat nanti adalah laki-laki yang kini bersamanya. Ardiaka Diratama the truth Hari ini Tama dan nayna sudah janjian untuk makan siang bersama, seperti pasangan baru pada umumnya , sebisa mungkin Tama dan nayna menyempatkan diri untuk saling bertemu disela-sela pekerjaan mereka yang semakin menggila. "Maaf ya, kita makan disini" ucap nayna sedikit merasa bersalah karena hanya bisa menyempatkan diri untuk makan siang di kafetaria rumah sakit bersama Tama "Gak masalah,asal makannya sama kamu sih dimana aja aku suka" "Ihh cheessy banget, udah mulai gombal ya kamu" "lagian kamu sibuk juga, kalo kita paksain buat makan di tempat yang jauh dari sini yang ada habisin waktu diperjalanan, dan besok aku harus langsung ke luar kota lagi, buat ninjau proyek aku" "Kamu berapa hari disana?" "Dua Minggu " "Hmmm.... Lama ya" "Lama? Dulu biasanya aku sampe satu bulan gak ketemu kamu pun, kamu gak pernah bilang lama" "Itu kan dulu, kalo sekarang beda lah, dua Minggu sekarang tuh rasanya lama" "Satu hari gak ketemu aku aja udah lama banget ya kan?, Aku tau kamu gak bisa lama-lama gak ketemu aku, pasti kamu langsung kangen, aku emang ngangenin sih orangnya" "Ah..... Jadi nyesel ngomong, pede banget kamu, kamu pergi aja, sebulan lebih juga gak apa-apa" "Yakiiiinn?? Awas ya kalo kamu kangen sama aku nanti" "Gak akan, yang ada kamu yang kangen sama aku, liat aja nanti" Obrolan Tama dan nayna terinterupsi oleh sapaan seseorang yang langsung duduk di samping nayna bahkan sebelum Tama dan nayna mempersilahkan nya untuk duduk "Hay nay aku boleh duduk disini gak?" "Udah duduk gitu ngapain pake nanya" ucap Tama sinis pada sosok yang bagai jelangkung tiba-tiba datang bergabung ditengah romansa antara Tama dan nayna "Boleh, duduk aja" ucap nayna sambil menampilkan senyum nya, dan itu membuat Tama semakin panas "Makasih ya nay, dari tadi aku udah cari tempat duduk, tapi liat semuanya penuh gitu" Tama semakin panas karena merasa dirinya tidak dihiraukan, dan kenapa dia dan nayna pake 'aku kamu' segala? "Lo ngapain sih disini? Ganggu tau gak?" "Aku emang ganggu ya nay?" Tama dicuekin "Eh? Nggak kok, santai aja, kamu kesini jenguk adik sepupu kamu?"tanya nayna, adik sepupu gilang memang sudah bukan dibawah penanganan nayna, tapi diserahkan pada proffesor ando sejak satu minggu yang lalu karena berbagai pertimbangan. ''iya, kondisi nya masih gitu-gitu aja, aku harap dia cepet sembuh'' ucap gilang sambil menghela nafasnya lelah ''kamu yang sabar aja, dan tetep support adik kamu, dukungan dari orang-orang terdekat itu penting banget''nayna menguatkan agar gilang tetap semangat ''iya makasih ya nay''gilang memberikan senyumannya pada nayna, dan itu membuat tama mendengus kesal "Apa kabar tam?"ucap gilang menoleh pada akhirnya mengakui keberadaan tama "Akhirnya Lo nyadar juga gue disini?"ucap tama sinis ''ngapain sih lo disini?''sambung tama lagi ''lo budeg ya? gue kesini jenguk adik gue'' ''bukan itu maksud gue, ngapain lu disini, di kafetaria ini, padahal banyak banget tempat makan diluar sana'' ''terserah gue dong, mau makan dimana, lagian inikan tempat umum, jadi semua orang bebas termasuk gue, iyakan nay?'' ucap gilang dan membuat nayna tersenyum mengiyakan ''lo mau lunch apa breakfast?'' ucap tama sewot melihat makanan dan minuman yang dibawa gilang berupa sebungkus roti dan juga satu cup kopi nayna hanya pasrah melihat kedua laki-laki yang ada bersamanya saat ini, saling bersahutan terlihat seperti orang musuhan, dan juga terlihat dekat dimata nayna entah kenapa mereka terlihat lucu dan membuatnya terenyuh sendiri,apa tama dan gilang sedekat ini? setau nayna tama tidak pernah menyinggung gilang saat bersamanya sebaliknya pun gilang. tama, nayna dan gilang seperti kembali pada masa mereka sma dulu, hanyut dalam obrolan dikantin sekolah, bercanda sambil mengisi perut mereka,dan juga diisi dengan kesinisan tama pada gilang,bahkan sampai sekarang, namun tentunya banyak juga hal yang berbeda -selain latar tempat mereka yang sekarang berada dikafetaria rumah sakit bukan dikantin sekolah seperti dulu- perbedaan ketidak hadiran dara saat ini dan juga perasaan yang sudah berubah terhadap satu sama lain. ''kalian lanjutin aja ngobrolnya ya, aku mau balik kerja lagi'' ucap nayna sambil berdiri dari duduknya menginterupsi perdebatan tama dan gilang. ''apa?!?! waktu kamu udah habis?'' tama heran ''iya, aku harus balik kerja, dah.... nanti aku hubungin kamu'' ucap nayna sambil beralu pergi sebelum sempat dicegah oleh tama. ''gara-gara lo sih, gue jadi gak punya waktu sama nayna'' ''hahhahaha rencana gue berhasil dong'' ''apa maksud lo?!?!'' ''rencana bikin lo gak bisa berdua-duaan sama nayna''gilang tersenyum mengejek ''jadi lo sengaja?!?!'' ucap tama tak terima ''ini balasan buat lo, karena dulu pernah nyembur gue pake air teh'' gilang masih mengingat kejadian itu ternyata, tentu saja, gilang sudah berusaha mati-matian terlihat sempurna didepan gebetan, eh malah disembur pake es teh 'asin' ''dendaman banget sih jadi orang'' ''gue tau lo sengaja nyembur gue dulu'' ''dan gue tau sekarang lu udah jadian kan sama nayna'' ucap gilang lagi sebelum tama menginterupsi nya. ''trus kalau lo tau emang kenapa?'' ''jadi ini alasan lo waktu itu minta gue untuk gak ngerubah perasaan gue'' ''baguslah kalau lo ngerti,dan gue harap lo nepatin janji lo'' ''kapan gue janji sama lo?, gue gak pernah janjiin apa-apa sama lo, perasaan gue dulu ataupun sekarang untuk siapa, itu urusan gue'' gilang seperti memulai sebuah gencatan senjata pada tama ''apapun yang lo rencanain, gue gak akan biarin lo bikin nayna jatuhin air matanya lagi'' tama berdiri dari duduknya ''gue gak tau perasaan lo dari dulu atau sekarang untuk siapa, tapi yang jelas gue gak akan biarin lo ngerusak semuanya yang udah susah payah gue bangun'' sambung tama hendak pergi namun terhenti karena ucapan gilang selanjutnya ''dara..... cinta sama lo'' tama berbalik menatap gilang , tatapan tama pada gilang menyiratkan tatapan tak percaya sekaligus terkejut, dan di mata tama, tatapan gilang saat ini seperti terluka bercampur amarah ''hhh..... jangan ngaco kalo ngomong'' tama pergi meninggalkan gilang yang masih duduk. selepas kepergian tama, gilang seperti memutar kembali memori kejadian dua hari yang lalu, saat gilang tau kebenaran tentang alasan mengapa dara memutuskan gilang tiba-tiba, kebenaran yang membuat gilang amat sangat terluka, kebenaran yang membuat gilang berada di posisi yang serba salah , namun ada hal lain yang membuat gilang merasa jauh lebih buruk dari ini, karena lambat laun baik gilang, tama, nayna dan dara akan sama-sama terluka dengan keadaan menyakitkan ini. dara telah kembali, membawa rahasia yang dia simpan dengan rapat, yang akhirnya gilang tau tanpa sengaja dan yang lebih menyakitkan lagi bagi gilang,dara akan semakin terluka jika dia bertemu dengan tama. "Kenapa harus jadi serumit ini sih?" Gilang menghembuskan nafasnya kasar. Description: Nayna adhista yang selalu merasa hanya menjadi bayangan bagi sahabatnya anuradha chandara, jika dianalogikan selalu menjadi figuran tak penting dalam cerita romansa yang ditulis semesta, bagi dirinya, dia hanyalah tokoh tak penting, padahal tanpa nayna tahu- ardika diratama begitu memujanya dalam do'a, yang selalu dia tumpahkan setiap malam pada Tuhan. nama: MiaAdi twitter @miaADI3
Title: Red Eyes Raven Category: Science Fiction Text: RE : Raven -Prologue- New of New York adalah sebuah nama sebuah kota terbesar dan terpadat di Titik Balik Bumi yang berada di benua barat. Kota ini dikenal dengan gedung pencakar langitnya dan juga keindahan lainnnya akan tetapi sekarang. *Bomm* Seluruh daerah perkantoran disini sekarang menjadi sebuah puing-puing bangunan yang tidak nampak lagi seperti semula. Semua bangunan itu hancur tak tersisa dan hanya tesisa beberapa bangunan yang telah hancur yang masih sedikit kokoh untuk berdiri. Dan di salah satu bangunan tersebut ada seorang gadis yang sedang memeluk erat seseorang yang tidak tampak sebagai seorang manusia maupun setengah manusia. Dalam situasi yang mencekam yang dihadapinya sekarang, gadis ini masih saja memeluk pria ini yang sudah pasti akan mati karna terlalu banyak kehilangan darah. *Booom* Ledakan terjadi di beberapa tempat yang agak jauh dari bangunan dimana gadis ini berada, tapi sepertinya gadis ini tidak peduli sama sekali akan suara yang dia dengar. Dia hanya melirik ke sumber suara itu berasal, akan tetapi- Gelap? Pandangan gadis ini sebenarnya dapat melihat apa yang ada di luar sana, gadis ini tidaklah buta maupun buta warna, namun entah kenapa di sudut pandangan mata gadis ini dunia ini begitu gelap. *Drippp* Suara hentakan dari langkah kaki terdengar dari kegelapan yang di lihat oleh gadis ini. tapi dia tidak tahu apa dan siapa orang yang ada di depannya dan apa urusannya. Gadis ini benar-benar tidak peduli. “Jaga dia!, …Apapun yang terjadi, …jaga dia. Aku akan membereskan ini dengan cepat” Itu adalah suara seorang pria dan itu terdengar masih sangat muda dan juga terlalu muda untuk mengatakan hal tersebut. Pemuda itu berkata demikian sambil berjalan menuju kearah gadis ini, itu terdengar jelas karna suara langkahnya semakin dekat dan mendekat setiap kali pemuda itu melangkah. Siapa? Pikir gadis ini, ketika pemuda ini berkata demikian dan mendekatinya. Di dalam pandangan yang tak berwarna yang diselimuti kegelapan yang ada di mata gadis ini, mulai muncul setitik cahaya. Cahaya itu muncul dari sosok yang dia peluk. Gadis ini tahu apa yang akan terjadi. Suara langkah pemuda itu berhenti di dekat gadis ini, mungkin dia ada di sampingnya sekarang. *trennnnnnnnnkg* Gadis itu menyadari sesuatu. Pemuda itu mengambil benda di sampingnya dan benda itu bergesekan dengan lantai sehingga membuat suara yang membuat telinga terasa gatal. “apa yang kau-“ “bawa aku!, Berikan Aku segalanya!, dan bunuhlah aku!, …Aku tidak peduli apapun yang akan kau ambil dariku, aku tidak peduli. …Sekarang!, aku hanya inginkan kekuatan, dan BERIKAN KEPADAKU!” “sesuai dengan keinginanmu” Sebuah suara manis terdengar menjawab pemuda tersebut, dan suasana disanapun berubah dalam seketika. Bahkan gadis ini-pun tahu meskipun di matanya hanya ada kegelapan dan setitik cahaya di pelukannya. Udara disana terasa menjadi panas seakan udara itu sendiri menguap layaknya air yang di panaskan. Seiring perubahan tersebut pemuda itu kembali berjalan dan sekarang dia menjauh dari gadis tersebut. Gelap. Itulah yang masih di rasakan oleh gadis ini. “sudah saatnya” “haah!?” Gadis ini melihat sumber suara tersebut, itu adalah suara dari pemuda tersebut tapi suara itu bukanlah suara yang asing baginya, karena dia sudah mengenal suara itu sejak dulu. Dan dia mulai menyadari sesuatu. Cahaya yang ada di pelukan nya menghilang. “A-..” Gadis ini memalingkan pandangannya kearah pemuda dan disana dia melihat sosok makhluk yang sedang ia peluk. Tangan gadis ini mencoba menggapai sosok itu tapi- "...#############..." Air mata menetes. “Jangan Tinggalkan aku sedirian, …AYAH!” RE : Raven Part.1 'Girls Called by Raven' Capter 1 “Red Eyes” Part 1 “Gadis yang di panggil Raven” Diana membawa nampan makanan yang di tutup dengan tutup stenlis yang biasa di pakai di restoran mewah manapun untuk disajikan kepada pelanggannya. Biasanya, Diana yang mendapat kehormatan dengan disajikan dengan cara seperti ini namun, hari sabtu ini dia mengalami kebalikannya. Dia mengalami kebalikan ini selama 3 hari mulai hari kamis sampai hari sabtu, ini bukanlah pekerjaannya sesungguhnya namun merupakan tugas yang memang diberikan padanya, mungkin lebih tepatnya lemparan pekerjaan dari orang yang lebih atas darinya, dalam kata lain para pemimpin bedebah. Diana membawa nampan tersebut mengunakan Lift dan menuju ruangan dari anak yang akan dia beriakan pukulan nampannya dan anak itu ada di lantai Sweet yang berada paling atas lantai ke 56 dari gedung organisasi ini. Setelah tak berapa lama dia sampai di lantai Sweet, dia keluar dan berjalan beberapa meter menuju tepat anak tersebut. Diana berhenti di depan sebuah pintu yang besar dan terlihat mewah. Di depan pintu Diana berkata “Ecra tolong buka”, setelah berbicara demikian pintu itu terbuka dan diapun masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan ini terlihat sangatlah gelap, bahkan tidak ada seberkas cahayapun menyinari ruangan ini seakan gelap merupakan interior dalam ruangan ini sendiri. Ruangan gelap ini merupakan ruangan termewah dan terbesar didalam gedung organisasi dan merupakan kamar dari ketua dan komandan utama atau sering dipanggil sebagai “yang mulia” oleh para bawahannya meskipun panggilan itu kurang cocok untuk pemilik kamar ini. Dan didalam kegelapan ruangan tersebut ada seorang gadis kecil berumur 15 tahun yang masih tertidur diranjangnya dengan telanjang bulat dan tertidur pulas. “Raven aku masuk” Diana berbicara dengan menekan tombol speaker diluar Ruang kamar anak yang di panggil Raven ini. Seharusnya seseorang atau siapapun yang akan masuk kedalam ruangan Raven haruslah mendapat persetujuan dari Raven telebih dahulu. Ini dikarenakan banyak hal yang telah terjadi sebelumnya. Bahkan para anggota oraganisasi ini tidak berani membuka pintu ruangan kamar Raven jika Raven tidak berkata untuk masuk, bahkan mereka masih ragu dan takut setelah Raven berkata masuk. Beberapa dari anggota organisasi pernah berkata : “yang mulia sangat menakutkan, aku tak ingin melakukannya lagi” “Bos seperti monster” “hanya seorang iblis yang berani membangunkan yang mulia” “ah Raven sangat cantik ketika tidur”, dan sebagainya. Kebanyakan, bahkan hampir semua dari anggota organisasi sangatlah takut akan gadis kecil berumur 15 tahun ini, akan tetapi apabila semua anggota dari organisasi takut akan Raven maka Diana berbeda, Diana malah sebaliknya. *jzz* Suara pintu terbuka. Pintu tersebut terbuka dengan efek suara yang mengejutkan itu karna pintu kamar Raven adalah pintu paling ketat dengan 3 lapisan pintu yang kokoh yang dilindungi sensor di setiap sudutnya yang bahkan tidak terhitung. Diana melangkah maju dalam kegelapan. Pada umumnya manusia atau makhluk lainnya akan kesulitan melihat dalam kegelapan total seperti sekarang, namun, Diana yang merupakan Ras Elf memiliki visi penglihatan malam layaknya kerabat dekatnya Dark-Elf yang hidup di malam hari. Karna ini pula Diana melangkah maju menuju tempat tidur Raven yang ada di tengah ruangan dengan mudah. “kau masih tidur?” ujar Diana kepada Raven yang masih terbaring di tempat tidurnya. “..zzzz.” “haaaaaaaaaaah!” Diana menghela nafas panjang melihat kelakukan anak kurang ajar di depannya, dia masih belum bisa menerima anak di depannya sebagai Bosnya sekarang yang memimpin Organisasi ini. Namun,… Meskipun aku membencinya karna alasan pribadi, dia memanglah anak tengik yang luar biasa. Diana menyingkirkan perasaannya terlebih dahulu dan Diana yang masih membawa nampan kemudian menaruh nampan makanan tersebut di meja kecil di dekat tempat tidur Raven, kemudian dia duduk dan membelai wajah Raven yang terlihat sangat cantik dengan rambut hitam yang di potong pendek. Pipinya yang memerah membuat Raven nampak seperti boneka. Wajahnya terlihat sangat imut, mungkin itu karna dia masih berusia 15 tahun dan masih duduk di kelas 3 smp. Diana selalu terpesona ketika melihat Raven, tapi, di dalam rasa terpesona itu juga ada rasa sedih ketika melihat Raven. Diana selalu membelai beberapa bagian di tubuh Raven terutama bagian dada dan paha kiri yang mendekati organ intim Raven. Disana terdapat bekas luka akibat tembakan senjata api dan itu terlihat sangat jelas dan belum lagi luka sayatan dan berbagai luka goresan lainnya yang terlihat sangat mengerikan, tubuh dari Raven lebih mirip seperti lukisan horor bagi Diana. Namun rasa itu semua harus Diana kesampingkan dan Setelah puas dengan membelai wajah mungil Raven, Diana berdiri dan pergi menuju salah satu sudut dinding di ruangan tersebut. “Ecra!, Buka gerbangnya!” “YES MAM” Diana kembali berbicara kepada Ecra dan memerintahkan Ecra yang merupakan Program Komputer AI yang khusus dibuat untuk pertahanan di dalam gedung ini, agar membuka-kan gerbang yang bisa diartikan lapisan baja yang menyelubungi seluruh ruangan Raven ini. Dengan jawaban singkat dari Ecra, lempengan demi lempengan yang menutupi seluruh ruangan ini terbuka. Dan mulai tampaklah sedikit cahaya yang datang dari luar melalui celah-celah jendela yang masih tertutup tirai. Diana tanpa pikir panjang membuka jendela yang mengarah tepat ke arah Raven. *creeeek* rasakan ini, gesekan kebisingan. Suara jendela terbuka terdengar lebih nyaring dari biasanya, mungkin ini karna Diana melakukannya dengan sengaja agar Raven terbangun dengan suara bising yang dia buat namun hal itu membuahkan hasil yang lain. Ketika cahaya dari luar mengenai Raven, Raven-pun terbangun dengan penuh air mata sambil berteriak : “AYAH!” Tangannya menggapai langit-langit dan matanya dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir. Apa yang aku lakukan? Diana terkejut dan dia mulai berlari, dia berpikir bahwa tindakannya membuat Raven mengalami hal buruk dalam tidurnya dan membuatnya mengalami hal buruk pula sekarang. Walaupun sebenarnya hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Namun Diana bertingkah seperti ini, mungkin karana hal lain juga sehingga dia bersikap berlebihan seperti ini. Ketika Diana sampai di sisi Raven dia langsung memeluknya. “Maaf, Raven jangan menangis” Raven terdiam sejenak dan melihat sekitar dan menoleh kearah Diana dan dia membuat wajah aneh dan kemudian berkata :“mimpi?” Diana merenggangkan sedikit pelukannya dan melihat raut wajah Raven yang terlihat lebih sedikit cerah. Diana yang masih memeluk Raven kemudian melepaskan Raven ketika Raven menepuk pundak Diana dan sambal berkata “aku baik-baik saja” dengan nada datar seperti dia biasanya. Setelah Diana melepaskan pelukannya Diana menatap Raven untuk memastikan apakah dia baik-baik saja atau dia masih menangis. Diana kemudian bertanya “Apa yang terjadi?’ Namun Raven menjawab dengan nada datarnya “bukan urusanmu” Jawaban dari Raven ini membuat kerutan di dahi Diana bertambah dan karakternya berubah menjadi seperti biasanya. *plak* Diana menapar wajah cantik dan imut Raven yang sebenarnya menjadi sedikit menyebalkan karna tatapan seperti ikan mati dan wajah yang tampak tidak memiliki gairah hidup sama sekali. Pipi Raven yang seharusnya merah karna tamparan Diana tidak terluka bahkan tergores sama sekali “Cih” Sialan Timingnya tepat sekali dasar Red Eyes Sialan. Raven mengelus-elus bagian pipinya yang di tampar oleh Diana sekan dia merasakan sakit disana. Seharunya aku menaparnya mengunakan nampan tadi, haaah menyebalkan. “cepat bangun!. Makan dan cepatlah turun, kita akan kedatangan pengurus cabang dari Djakarta” “eh?” “jangan cuman bilang 'eh' cepat bangun dan mandi lalu pakai pakaianmu” “Oi” Kerutan mulai muncul lagi di dahi Diana, “aku akan cepat tua karna ini”. Meskipun itu mungkin tidak akan terjadi karna Diana adalah Elf. Diana berkata demikian dan meninggalkan ruangan Raven dengan langkah kaki yang dihentakkan karna marah. **** Suasana menjadi lebih sepi setelah perginya Diana dan Raven mulai berbaring diranjanganya kembali. Itu terlihat sangat nyata. “Nyonya!” “ada apa Ecra?” “ada pesan dari Madam Diana!, Beliau berpesan : ‘Cah tengik, …jika kau tidur lagi akan kujatuhkan kau dari atas gedung’, dia berpesan dengan nada marah” “dia pasti akan cepat tua dan tidak akan bisa menikah nantinya” “Madam mengirim pesan lagi dia berkata ‘jika kau berpikir aku tidak akan menikah jika aku terus-terusan marah, maka kau akan aku bawa juga di dalam groupku sehingga kau akan menjadi PRAWAN SELAMANYA, Brengsek’, sekian pesan dari Madam Diana” “hemmp” Raven tersenyum samar. Dan kemudian berkata “sayang sekali aku bukanlah ‘prawan’, Ecra!, siapkan berkas untuk rapat hari ini dan siapkan bajuku dan katakan pada Dikson untuk siapkan segala peralatan untuk operasi nanti malam dan? …jam berapa sekarang?” “jam 11 siang nyonya” Kenapa dia memberiku sarapan pada jam segini?, apakah dia?, …hah, …dasar. Raven terdiam dan termenung. Dan kemudian kembali bericara “siapkan semuanya, …aku akan berbicara dengannya nanti” “baiklah Nyoya” RE : Raven Part.2 'Guardian Leader' Part 2 “The Guardian Leader” Sudah lebih dari 1500 tahun lebih sejak Organisasi ini berdiri. Sudah lebih dari 100 Pemimpin dari berbagai Ras pernah menjabat di Organisasi ini. Dan dari semua pemimpin yang pernah tercatat dalam buku. Dia adalah pemimpin termuda yang pernah menjabat sebagai pemimpin dari Organisasi ini. Organisasi yang bernama “Guardian”. Guardian adalah sebuah Cabang dari sebuah Organisasi besar yang didirikan oleh salah satu dari 12 bulan yang bernama November(Nova). Nama dari Organisasi besar yang di dirikan November(Nova) bernama “Legend”. Namun, nama ini mengalami perubahan beberapa ratus tahun lalu menjadi nama “Hero Organisasion” dan “Guardian” adalah cabang dari Organisasi Hero tersebut. Organisasi Guardian selalu berpindah-pindah tempat dan bahkan dahulu keberadaan markasnya tidak diketahui sama selali. Bahkan Organisasi Guardian hanya dianggap sebagai mitos belaka. Namun, 1 tahun setelah kepemimpinan dari pemimpin yang sekarang, Organisasi secara mengejutkan muncul ke permukaan dan tampil ke depan publik. Organisasi ini juga memutuskan menetap di suatu tempat di Kota “Hasenburg”, di negara Jerman bagian barat. Kejadian ini menuai banyak kontra terutama sesama Organisasi tersembuyi seperti Guardian dulu. Banyak Oraganisasi terselubung atau tersembunyi yang memprotes tindakan berbahaya ini kepada pemimpin yang sekarang. Namun, kebanyakan dari mereka mundur setelah bertemu dengan pemimpin Guardian yang sekarang. Dan sekarang, Guardian dipimpin oleh pemimpin termuda yang pernah menjabat sebagai pemimpin di dalam Guardian dan dia adalah Gadis muda yang sekarang berumur 15 tahun bernama “Raven”. Perubahan di dalam Organisasi ini memang selalu terjadi setiap pergantian pemimpin namun, pergantian itu hanya secuil dan tidak menimbulkan masalah besar sama sekali bahkan kebanyakan pemimpin terdahulu hanya meneruskan program dari pendahulunya. Akan tetapi Raven mengubah seluruh bentuk Organisasi ini menjadi bentuk yang lain. Raven memulainya dengan memecat para bawahannya yang tidak berguna atau tidak becus dan juga menghukum para staf, para orang penting yang melakukan kecurangan atau korupsi dan berbagai hal yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan mereka. Selanjutnya Raven mendirikan kantor cabang organisasi di 3 kota di dunia dan membentuk regu-regu yang bersifat umum, khusus dan rahasia. Perubahan dalam system ini pula mendapatkan banyak kontra. Kebanyakan dari para pemimpin dari instansi yang di turunkan jabatannya dan yang kebanyakan dipecat secara tidak hormat karna ketahuan menyalah gunakan kekuasaannya. Namun semua itu di tangani semuanya oleh Raven dan semuanya beres. Di usianya yang masih 15 tahun dia sudah menjadi seorang diktaktor yang kejam dan di takuti. Namun sepertinya Raven tidak menyadarinya sama sekali. Bahkan sampai detik ini. Raven berjalan menuruni tangga di ruangan Aula utama yang berada di lantai 3 yang memang di peruntukan untuk pertemuan bagi para anggota Guardian. Hal yang aneh di aula ini adalah, …aula ini tidak memiliki kursi untuk anggotanya. Disana hanya ada kursi satu dan meja satu yaitu milik pemimpin meraka Raven sendiri. Namun, bukan tidak ada kursi mereka malah akan berdiri. Mereka, para anggota di bebaskan untuk bertindak seenak mereka selama itu tidak menggganggu Raven. Dan hari inipun juga, tapi sepertinya hari ini tidak seperti rapat pada biasanya karna semua anggota dari Regu Khusus yaitu regu 3 yang bertugas dalam Tugas Penyerangan dan Pengumpulan Informasi berbaris dengan rapi di sisi kanan dan kiri membentuk 4 barisan ke belakang yang setiap barisan di isi 5 orang. Namun yang aneh tidak ada satupun manusia disini yang ikut dalam rapat. Raven berpendapat bahwa dari banyaknya sepesies makhluk hidup dan banyaknya ras mereka, manusialah yang paling tidak bisa dipercaya dan manusia juga terlalu serakah. Namun pendapat Raven ini bukan berarti di dalam Guardian tidak ada anngota dari Golongan Manusia. Dalam masa kekuasaaan Raven yang sudah berlangsung selama 3 tahun terakhir tercatat hanya ada 1 manusia yang berhasil bertahan dari masa pergantian dan dia seorang perempuan berusia 24 tahun Bernama Dita. Dan sekarang dia masuk dalam Regu 1 khusus di dalam bagian Intellegent. Raven yang yang masih menuruni tangga sambil membolak-balik dokumen tidak memeperhatikan para anggota rapat sama sekali, meskipun semua anggota dari regu yang di jadwalkan rapat hari ini sudah berkumpul. Tapi tetap saja Raven mengabaikan mereka dan terus membaca dokumen yang dia pegang, wajahnya yang tidak memiliki gairah hidup dengan mata ikan matinya terlihat agak terganggu akan suatu hal. “Ecra, periksa halaman 23 dan 24 mengenai informan kita di Down Town, cari data mengenainya dan bilang kepada Kapten Regu 1 Efran untuk menyelam” “baiklah Nyonya” “ah!?” 41x Semua anggota regu yang disana yang berjumlah 41 orang beserta kapten Regu mereka terlihat dipenuhi tekanan, setelah mendengarkan Raven yang berbicara dengan Ecra. “yang mulia apa ada yang salah akan laporan yang saya kumpulkan itu?” Seorang pria dari barisan no 2 dari kiri, yang merupakan seorang bloodelf mengangkat tangannya kemudian berbicara kepada Raven. Melihat bawahannya yang mengkat tangan dengan cemasnya sampai wajahnya dipenuhi keringat dingin membuatnya berkata : “tidak ada, hanya saja ada-, …lupakan itu, ini bukanlah kesalahan dari penerima informasi atau bagian pengumpul informasi ataupun para mata-mata” Pria Bloodelf inipun menurunkan tanggannya dan keringat dinginnya sepertinya tidak menetes lagi. Raven yang sudah menuruni tangga langsung menuju tempat duduknya. Raven kemudian memperhatikan sekitarnya. Dia tidak ada? “Kapten Ari, …dimana Diana?” “Diana sedang ke Toilet tadi, dia bilang, ‘kalau Anda bertanya tentang dia terus maka dia akan melemar anda dari atas gedung’, maafkan saya yang mulia, karna saya tidak bisa mendidik anak itu dengan baik, ….hah!, aku harap dia sedikit sopan kepada anda” “Aku tidak peduli akan hal itu selama itu masih aku anggap tidak melampaui batas yang aku tentukan, akan tetapi leluconnya selalu garing seperti biasa” Kapten Ari tersenyum kecut mendengar penjelasan Bosnya, wajahnya sekan mengucapkan “yang benar saja, dia berbicara dengan serius ketika akan melempar anda, apa anda tahu itu?”. Kemudian seorang Pria kecil dari Ras Dwarf yang sedari tadi berada di bagian lain ruangan datang dari belakang Kapten Regu 3, melihat Pria kecil ini Ravenpun langsung bertanya : “Dickson!, apa semuanya sudah siap?” “Semuanya sudah Siap Nyonya, apa kita harus bergerak sekarang, …maksudku malam ini?” “Tidak, kita akan tunda keberangkatan kita, paling lambat selama 3 atau sampai 5 hari kedepan, maaf soal ini karna mendadak, ada hal yang membuatku penasaran” “Apa karna laporan tadi?” “Begitulah, maafkan aku, tollong tetap siaga sampai aku perintahkan, …apa kau mengerti Dickson!” Dickson yang mendengar ini, langsung memberikan hormat sekan berkata “siap” dengan semangat yang luar biasa. Kemudian dia pamit undur diri. Selepas Dickson pergi Raven kembali menyambung Perkataannya. “Kalau begitu, Kapten Ari Perintahkan kepada Regu Khusus “Penembak jitu” untuk bersiap-siaplah di Downtown, dan kirimkan Diana kesana, ini sebagai hukuman baginya karna sudah menamparku tadi” “…Anak itu. hah! Harus aku akui, …Diana memang seekor iblis” “Aku mendengarmu Kapten” Ah dia kembali. “kapan kau kembali” “Tadi Kapten, dan…perkataanmu benar-benar membuatku sakit hati apa kau tahu itu. Haaaah, …bocah!, kenapa harus aku. Bukankah hari ini merupakan hari tenang ku, …hah!?” “Apa kau tidak mau, kalau begitu kau bisa mengirim surat pengunduranmu ke mejaku siang ini” “hai bukan itu maksudku, …hah! kau ini, maksudku kenapa aku bukankah masih ada yang lebih baik” “karna ini hukuman untukmu dan aku memilihmu karna kau yang terbaik dan tak ada yang bisa aku percaya lagi selain kau, …kenapa dengan wajahmu?, kau terlihat aneh” “Brisik, diam kau” Apa dia demam? Wajah Diana memerah dia sangat senang dipuji seperti itu oleh Raven, mungkin ini pertama kalinya dia melihatkan sisi lainnya kepada Raven ketika Raven tidak sedang tertidur. “kata-katamu pedas seperti biasa Raven, itu bisa membuat bawahanmu tak peduli lagi padamu bukan” Seekor Beruang Grizli yang merupakan hewan sihir datang kedalam ruangan entah dari mana. “Oh Bear?, …apakah begitu, aku kira tidak juga” “Yo Diana lama tidak jumpa, …tentu saja, dan kalimatnya itu tidak enak di dengar apa kau tahu itu yang mulia Raven” “apakah begitu, bagiku memang sudah wajar bagi seorang pemimpin untuk meragukan bawahannya” “ya ampun” Semua bawahannya yang ikut rapat semunya tertawa geli mendengar bosnya berkata demikian mungkin juga karna tingkah dari Bear yang terlihat kebingungan menangani bos mereka. “Apa ada pesan dari Mutiara?” “Ada, tapi beliau bilang ‘bicaralah 4 mata dengannya’, jadi-” Tidak biasanya, apa ada yang terjadi dengan anak itu? “baiklah, kita akhiri semua ini, Bear ikut denganku katakan dengan jelas dan ringkas, aku sangat mengantuk hari ini” “Oi, jangan lupa kita kedatangan tamu dari cabang kita” “tolong urus dia Diana?” “Hoi Bocah Brengsek Kau bilang tadi apa?. Apa kau tidak dengar ketika aku membangunkanmu, Djakarta loh, apa kau tak ingat itu dimana?” “!?” “Apa kau berubah pikiran?” “hahahahahhahaha”41x Muka Raven Terlihat merah karna dia malu. Dan itu merupakan hal yang jarang sekali di lakukan Raven dan ini merupakan pemandangan langka bahkan sangat langka dan 41 orang yang ada di sini berkesempatan melihat wajah cantik raven yang dipenuhi dengan senyuman dan sedang malu. Namun Senyuman itu berakhir ketika pertemuan dengan pemimpin cabang dari Djakarta telah berjalan 10 menit. “Bunuh Dia” Raven memerintahkan semua Anggota Guardian untuk membunuh Pemimpin Cabang Djakarta. RE : Raven Part.3 'Follys' Part 3 “Follys” Baron Unspera adalah seorang keturunan Red Eyes dari ibunya. Penampilannya yang biasa-biasa saja dengan rambut merah Khas Red Eyes dan mata merahnya membuat dirinya menjadi individu yang cukup di akui. Sedangkan mengenai kemampuan. Baron memiliki kemampuan atletik yang luar biasa jika di bandingkan dengan makhluk hidup disekitarnya, bahkan sebelum dia mengalami evolusi Red Eyes dia sudah memilki kemampuan atletik yang luar biasa. Sedangkan dalam kemampuan di bidang inteleqtual dia sangatlah tidak bagus dalam artian buruk sekali. Sekarang Baron ber-umur 27 tahun dan menjabat sebagai pimpinan cabang dari organisasi Guardian. Baron mendapatkan posisi ini karena kekuatan dari “Uang berbicara”. Namun sepertinya ada alasan khusus kenapa dia mengunakan kekuatan ini. Baron yang hidup di atas rata-rata ingin mengubah dunia di sekitarnya agar lebih baik dan untuk itu, …Baron Berpikir, bahwa dia harus menjadi seseorang yang memiliki otoritas yang tinggi, bahkan melebihi hukum negaranya sendiri. Itu kenapa dia mendaftarkan diri ke dalam Organisasi Guardian di mana Otoritas mereka setara dengan Hukum Internasional. Dan setelah satu tahun bergabung akhirnya ada kesempatan untuk menjadi yang teratas. Maka dari itu dia mengunakan kekuatan “Uang berbicara”, dan benar saja setelah pemimpin yang lama lengser dan dia mengantikannya. Dia melakukan tugasnya dengan benar, mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tapi dia memang melakukannya. Lalu siapa yang mendapatkan kekuatan “Uang berbicara” tentu saja, pemimpin lama. Akan tetapi meskipun dia melakukan tugasnya dengan benar, itu tidaklah sepenuhnya benar. Sial aku masih mengingat senyuman bodohnya setelah menerima 1 juta WEM(World Electric Money). Hari ini, Baron sedang memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di atas mejanya, Dia terlihat sangat kesakitan terutama di bagian kepala itu terlihat sangat jelas karna sekarang dia sedang memegangi kepalanya dengan satu Buku Laporan di tangan kanannya. Baron sadar bahwa dia tidak memiliki hal penting yang setiap seorang pemimpin miliki yaitu sebuah pemikiran cerdas dan efektif. Akan tetapi, Baron yang seorang pemimpin ini, tidak memilikinya sama sekali. Itu kenapa dia memengangi kepalanya yang serasa kapanpun bisa meledak. Ah kenapa aku dilahirkan bodoh, …Ibu!. Baron menagis di dalam hati kecilnya. Berkas-berkas yang sedang Baron periksa sekarang adalah Kumpulan berkas dari tahun lalu, tepatnya Berkas ketika pemimpin lama masih menjabat. Namun sepertinya banyak sekali berkas yang melenceng dari tugas utama Organisasi Guardian ini. Dan entah Baron menyadarinya atau tidak, …namun, sepertinya tidak. Bagaimana bisa diketahui?, oh Itu terlihat jelas karena sedari pagi sampai siang hari ini, Baron masih saja memegang satu buku laporan yang sama. Sedangkan berkas yang ada di mejanya hampir ada lebih dari 50 buku laporan yang tertutmpuk tinggi. Belum lagi yang ada di bawah mejanya. Mungkin totalnya lebih dari 150 buku Laporan. “Ah! …apa yang hahus aku lakukan, …aku hahus menyehahkan hasil lapohan tahunan ini, dan tehlebih lagi kenapa lapohan tahun lalu tidak dilapohkan oleh pak tua Bangka itu, …hah!, hasanya aku menyesal membehikannya 1 juta WEM untuk posisi ini, …hah!, kepalaku tehasa mau meledak” *tok-tok* Suara ketukan pintu terdengar dari luar kantor Baron, Ketukan pintu ini diselingi dengan suara lembut seorang wanita untuk di persilahkan masuk, dengan suara lembutnya itu, wanita ini di ijinkan masuk. Itu adalah seorang wanita manusia dari penampilannya dia tampak masih berumur 26 tahunan, namun sebenarnya dia sudah berumur 34 tahun dan sudah memiliki anak dan suami. Rambut kecoklatan yang panjangnya sedang di tata rapi dengan gaya rambut poni, gaya rambut poni itu membuatnya tampak lebih muda lagi. Meskipun dia tidak tampak seksi. Tapi tetap saja memikat. Bahkan bagi Baron. Dia selalu menelan ludah ketika wanita ini masuk ke kantornya. Dan ngomong-ngomong dia adalah Sekretaris Baron. “masuk Hoho, …Ada apa?” Roro pak!” Setelah keluhan kecil akan namanya, wanita Sekretaris yang di panggil Hoho/Roro masuk. “Permisi pak!, Gawat pak, Lampu Merah!, …Ketua Regu Elit Pusat Mrs.Valen datang untuk menemui Bapak” Regu Elit, …Mis.Walen?, sepertinya orang Pusat di penuhi oleh orang dengan nama aneh, …ya mungkin sudah wajar sih, lagian Luar Negri sih. “Kenapa Ohang sepenting beliau datang ke cabang Djakahta, ada perlu apa beliau?” “ya, sudah jelaskan!, lalu buat apa bapak me-!?, …ah!, yang benar saja?, ini gawat!” “Oi kenapa diam”, Roro menatap lurus ke arah Baron yang sebenarnya menatap buku yang tadi pagi dia lihat, “itu masih sama”. pikir Roro. “Hei, Hoho, kenapa kau diam kenapa ga njawab” “…RORO!!. …sudahlah biarkan saja, aku tidak peduli, …Oh, tadi saya sudah bilang bukan!?, Beliau bilang mau bertemu sama Bapak” “heh, apa iya?” Apa iya? “baiklah, suhuh dia masuk” “ya!, kurasa itu agak!” “kenapa?, …Oi, kenapa kau menatapku seakan behkata “wah ga behotak” begitu hah!” “ya bukannya begitu pa” “memang bukan begitu!” “heee” “kenapa kau sekahang hehan begitu, …haaah kenapa aku jadi mahah-mahah begini, dah suhuh saja dia kesini, suhuh dia masuk ke kantoh ku” “baiklah Pak, …tapi kalau ada masalah jangan salahkan saya ya Pak!, kalau begitu, permisi ,…BA~KA” “Oo” Ba~, apa tadi? Dengan jawaban singkat dari Baron, Roro pergi setelah menutup pintunya, …tak berapa lama, suara ketukan kedua terdengar. Dengan biasanya Baron berkata “masuk”. Pintu kantorpun terbuka, disana ada Roro dan seorang wanita berusia sekitar 35-an yang tampak masih sangat cantik dan sexy dengan rambut pirang panjang dan kulitnya yang agak kecoklatan membuatnya tampak lebih hot dengan pakaian kantornya. Meskipun wajah dewasa miliknya tidak bisa di ubah menjadi muda. Tapi tetap saja. “Yang dewasa lebih berpengalaman”, itulah yang dipikirkan di perjaka Baron ini. Wah Mantap Abis. Baron tanpa sadar membuka mulutnya dan tersenyum aneh. Bisa di bilang itu tampak menjijikan. Bahkan Roro-pun tak ingin melihatnya, meskipun sebenarnya Roro sudah puluhan kali mendapatkan senyuman menjijikan itu, tapi tetap saja dia tidak ingin ada korban lain. "uwah disgusting!" Roro tanpa sadar mengatakannya “Heh! …apa kau tadi bilang sesuatu Hoho” Perkataan dari Roro membuat Baron tersadar dan menutup mulut dengan senyum menjijikannya. "Hahahahah, you're right it's really disgusting, I want to ask? (“yes”) Why is Mrs. Roro still working on this job?" "Actually ?, I also want to ask myself that, ... why am I still here?" "hahahahah, ... oh no, ... my stomach" Mrs.Valen tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari Roro, hal ini membuat Roro merasa malu dan akhirnya meminta maaf. "I'm sorry about that, Mrs. Valen (" oh okay, don't worry ") at that time, excuse me, have a nice day" "Thank you". “Oi kalian bicara apa, pake Bahasa Internasional oi!” “Ah maaf soal itu Mr.Baron, kami hanya berbicara tetang beberapa urusan wanita, tak usah di pikirkan” “Begitukah!, ah silahkan duduk, Hoho tutup pintunya sekalian, …Oh, lirikanmu tajam, tapi mantep” Baron memberikan acungan jempol kepada Roro. Pintupun tertutup cukup keras. Baron bangun dari meja kerjanya untuk menuju meja di tengah ruangan yang memang di peruntukan untuk meja tamu. Baron sedikit heran ketika Mrs.Valen melihat-lihat sekitarnya. Baron yang sudah duduk di seberang Mrs.Valen kemudian bertanya, “apa ada yang salah?” “Tidak juga, …ah kita langsung saja ke point utama, maaf soal itu, tapi saya ada urusan lagi, …tidak apa kan?” “heh, kenapa hahus tebuhu-buhu, kenapa tidak santai saja” “Anda bisa saja Mr. Baron, …maaf tapi saya tidak bisa. …Jadi kedatangan saya kesini adalah untuk memeriksa bagian informasi yang telah di kumpulkan anda selama satu tahun selama anda menjabat menjadi pimpinan cabang dan berdasarkan perintah dari pusat juga anda harus menyerahkan laporan tahun lalu juga” “ah benahkah, tapi!” “Ah aku bisa menduganya, itu cukup panjang juga, sampai menjulang seperti gedung saja” “heh, apa yang kau maksud” Baron memengangi selangkangannya. Sedangkan Mrs.Valen yang sepertinya tidak suka dengan candaan Baron hanya tersenyum kecil. “Kalau begitu karna saya ada urusan penting, saya harus pergi. …Tapi karna urusan anda yang masih sangat panjang, saya memberikan anda tenggang waktu selama 2 bulan untuk menyelesaikan semua yang ada dibelakang anda dan karana kesibukan saya, anda harus mengantarkannya sendiri ke kantor pusat dan bertemu pemimpin kantor pusat “Raven”, …kalau begitu saya pamit undur diri” “ah baiklah” Sial tadi dia bilang apa!?, …aku tidak mendengarkannya sama sekali, …aku terlalu banyak berfantasy dengan kemolekan Mrs.Valen. ah sial, nanti aku cek aja dari Rekaman Audio disini. “Ah ngomong-ngomong butuh setidaknya 3 minggu untuk menuju kantor pusat dari Djarkta, jadi pikirkan waktu juga ok, Dah” “dah” Pintu menutup dan suasanapun berubah, Baron sepertinya masih berfantasy dan dia menghampiri tempat duduk Mrs.Valen kemudian mengosok-gosokkan wajahnya ke tempat duduk yang tadi di duduki Mrs Valen. “ah ini masih hangat” “Pemisi, …Ah sudah kuduga?” “…AAAa!!!, …HoHo!, sehahusnya kau mengetuk pintu dulu” “O begitu ya, …kalau begitu nanti saja, silahkan di lanjutkan” Baron merasa urat malunya putus sekarang. RE : Raven Part.4 'FirstLove' Part 4 “First Love” Sudah lebih dari satu bulan berlalu sejak kantor Organisasi cabang Djakarta kedatangan tamu dari pusat Organisasi Guardian. Dan selama satu bulan lebih tersebut, kantor cabang menjadi sangat sibuk, bahkan tak ada seorang staff-pun dari 30 staff darurat, terlihat mengangangur selama satu bulan lebih ini. Bahkan untuk Baron sekalipun, walaupun dia tidak terlalu bermanfaat dalam penyelesaian pelaporan. Setelah berlalunya waktu yang selama itu, berkas pelaporan-pun akhirnya selesai dan siap untuk diserahkan kepada Pimpinan Pusat “Raven”. Dan Pada akhirnya mereka-pun berangkat menuju Jerman. Dengan di damping oleh Roro, 4 staff anggota dari 30 staf darurat yang dibentuk oleh Roro {(William Turnip (manusia), Hurson (manusia), Remes Hermes ( Manusia) dan Julia Wiran (manusia)} dan juga 10 Guardian dari Regu Khusus 1 {Aron Burnet (Dark-Elf), Warsan (Orge), Mirael (Elf), Juvia Nuel (Orc), Marcuis Selvan (Druid), Western (Wolfverine), Bore (Dwarf), Mincu (Tauren), Bolen Cevrut ( Elf), dan Jimmy Ruis ( HobGoblin). Mereka-pun berangkat dari Djakarta menuju Jerman Mengunakan kereta Api Super Express. Pada umumnya ada beberapa cara untuk berpergian ke tempat yang jauh apalagi ke negara lain atau ke benua lain. Mulai dari mengunakan Sihir “Jump” dan mengunakan alat transportasi lainnya. Namun karena beberapa alasan yang cukup tidak masuk akal, mereka tidak bisa melakukannya dan ini juga merupakan bagian dari Kamuflase dari identitas mereka sebagai Guardian. Dan pada akhirnya mereka menggunakan Kereta Api Super Express yang biasa di gunakan untuk perjalanan antar Negara dan Benua. Perjalanan menuju Negara Jerman menggunakan kereta api ini, membutuhkan kurang lebihnya 19 hari, di tambah dengan jadwal pemberhentian selama 3 hari di sebuah kota di Tengah Benua bernama Hendirabad dan lamanya waktu perjalanan di hitung mulai dari Kota Djakarta yang ada di Negara Tak-Bernama. Perjalanan Baron dan yang lainnya, menggunakan kereta api Express selama 8 hari terakhir tidak mengalami masalah besar sama sekali, bahkan identitas mereka sebagai Guardian-pun belum diketahui oleh siapapun, …setidaknya begitu. Dan setelah hari ke 9 perjalanan. Pemberhentian Kereta Api ini-pun tiba. Mereka ber-enam belas akhirnya tiba di kota Hendirabad. Sebuah kota pelabuhan, yang di tengah kotanya terdapat beberapa sungai besar yang alirannya langsung mengalir ke lautan Arabian. Sebuah kota yang cukup indah jika di pandang dari sisi yang agak berbeda. Disini kereta api berhenti untuk menyuplai bahan bakar, bahan makanan dan juga untuk pengecekan mesin kereta api. Dan disisni pula Baron dan para anggota lainnya akan menginap selama 3 hari sampai persiapan kereta api selesai. Jum’at 14 September, Pukul 08.12 pagi waktu setempat. “Ah akhirnya bisa keluar juga dari kereta api benarkan Mr.Aron” “Ah benar, …tidur di tempat tidur seperti itu sangatlah tidak nyaman, seharusnya aku pinjam bulumu saja, Western” “Enak saja” “kau benar Mr. Aron, aku bahkan tidak bisa membalikkan badan sama sekali, lain kali aku pinjam bulumu ya Western” “Diam kau Juvia” “Ah aku bahkan tidak bisa tidur di tempat tidur” “ya itu karna tubuhmu terlalu besar saja Mr. Warsan” “Hahaha, juvia kau suka bercanda, kalau itu memang sudah Gen saya sebagai seorang Orge bukan, hahahahahh, ” Para Anggota Regu khusus 1yang baru saja keluar berbicang-bincang satu sama lain dan terlihat sangat menyenangkan, melihat ini Roro sedikit kesal dan berkata : “Apa kalian Keberatan, JIka tidak…aku sedang keberatan disini” “Aa!!” 10x. Roro dan 2 sataf di belakanggnya yang masing-masing sedang membawa 3 buah koper, di punggung dan ke dua tangannya mengeluh kepada para anggota elit yang sedang asik mengobrol satu sama lainnya. Tak lama setelah keluahan itu, Baronpun turun dari kereta dengan di topang oleh 2 Staf dari anggota darurat. “Hueeeeeee” Baron yang baru saja turun kemudian muntah dan semua makan malamnya keluar. “Aku tidak akan pehnah naik keheta api lagi, …Hoho, tollong panggilkan ambulance untukku” “ya Ampun” Roropun pergi menuju Telfon umum terdekat di stasiun untuk memanggil ambulance Selama 9 hari di dalam kereta Baron mengalami mabuk kendaraan dan harus dirawat di ruang perawatan yang ada di dalam kereta, selama 9 hari disana dan sepetinya dia sudah tidak kuat. Beberapa menit kemudian Ambulancepun datang. “Western dan Juvia tollong jaga bapak” “baik Bu?” 2x “Saya akan mencari hotel untuk menginap, nanti saya akan kabari kalian nanti setalah kita Cek in” “Siap Bu”2x “jangan palingkan mata kalian dari dirinya mengerti” “Siap”2x Dengan penjelasan yang tak panjang lebar oleh Roro, Baronpun dibawa bersama dengan 2 anggota khusus pergi bersamanya dengan ambulance. Sedangkan Roro akan pergi mencari Hotel. “benar-benar tidak berguna” Roro berkata sembari melihat ambulance yang mulai menjauh dari sana. **** 6 jam berlalu sejak Baron di bawa ambulance dan anehnya dia sudah keluar dari rumah sakit dan sekarang dia sedang berjalan-jalan di pinggi kota sendirian. Dia menyelusuri daerah pinggir sungai yang merupakan daerah pemukiman dan juga daerah perkantoran(Textill), yang terlihat sedikit kumuh dengan gedung yang catnya mulai kusam. Hari ini sudah sore, namun keadaan disini agak terasa aneh, cuaca disini terlihat lebih sore daripada sore hari pada biasanya, mungkin juga karna banyaknya awan hitam dilangit atau lainnya, tapi ini terlihat aneh sekan ada seorang yang sedang mengatur cuacanya. “apa akan tuhun hujan?” Baron berkata pada dirinya sendiri. “Ah apa akan turun hujan, aku benci hujan” “Aku juga, seharunya kita beli payung tadi” “Bukankah kau bilang tadi tidak usah” “Ah apa benar hahahahah…hahha” Baron memalingkan wajahnya kearah sumber suara, di sana ada 2 orang gadis belia sekitar umur 14-17 tahun yang sedang berbicara satu-sama lain di dekatnya. Mungkin lebih tepatnya mereka ada di seberang jalan di dekat sebuah restoran keluarga. Baron tidak henti-hentinya melihat mereka berdua terutama anak perempuan dengan rambut hitam pendek yang memakai seragam sekolah. Dari seragamnya dia masih duduk di bangku Sekolah menengah pertama. Sedangkan yang satunya, “apa dia masih Sekolah Dasar?” pikir Baron ketikamelihat gadis satunya. Namun, dia memalingkan pandangannya kembali ke gadis berambut hitam, Baron memperhatikan gadis berambut hitam itu dengan seksama, tidak biasanya dia melakukan ini, biasanya dia selalu tertarik kepada wanita dengan postur tubuh yang ramping dan memiliki body yang sexy seperti gadis yang sedang berbicara dengan anak berambut hitam disana. Namun dia tidak melakukannya. Apa ini?, …kenapa jantungku berdetak sangat kencang, …Padahal aku tidakmelakukan Akselerasi apapun. Tapi kenapa? “pehasaan apa ini?, aku belum pehnah mengalaminya sebelumnya” “Ah hujan” gadis berpostur tinggi dengan rambut pirang keemasan berteriak, merekapun masuk ke dalam restoran. Baron memperhatikan mereka yang sudah ada di dalam restoran. Mereka sepertinya membahas sesuatu di dalam sana, namun Baron tidak mendengar mereka sama sekali. Kemudian perasaan aneh muncul, Baron merasa sedang di awasi. Pandangan Baron berubah, dia menoleh kearah atap disebuah gedung. “tidak ada siapapun disana, …ah aku basah kuyup” Baron yang baru menyadari dirinya kehujanan dan basah kuyup berlari menuju restoran keluarga diamana kedua gadis belia tersebut masuk untuk berteduh. *Clining* Bel pintu terdengar nyaring di telinga siapapun di dalam sana ketika Baron membuka pintu. Sambutan hangat menghampirinya dari salah satu pelayan elf perempuan disana. Setelah sambutan hangat tersebut Baron mencari tempat untuk duduk di dekat jendela. “Hei apa dia Red Eyes?” “Benar, dia Red Eyes” “Hei apakah tidak apa? …Mengijinkan Red Eyes masuk” “hei diamlah dia bisa mendengarmu” Beberapa pelanggan yang ada disana berbisik satu sama lain dan itu terdengar jelas di telinga Baron. Ini sering sekali terjadi, bahkan sejak dari dulu. Reputasi Red Eyes di mata Makhluk hidup lain yang saling hidup berdampingan di dunia ini sangatlah buruk. Para Red Eyes di anggap sebagi hama dan juga di anggap sebagai teroris. Para Red Eyes juga di anggap sebagai ancaman, Ras ini sangat di takuti. Hal ini juga di akibatkan karena peringat mereka yang merupakan evolusi paling atas yang diketahui di dunia ini. Evolusi dari ras paling sombong dan tamak di dunia ini, “Manusia”. “Bisa saya tulis pesanan anda pak?” “Ah tunggu sebentahz” Baron mengambil buku pesanan di atas meja dan dia memesan Coklat panas. Setelah memesan pesanannya pelayan pun pergi. Baron yang masih memikirkan perkataan para pelanggan lainnya mulai menundukan kepalanya. Aku masih belum bisa merubah apapun. “Ah permisi bisa kami ikut bergabung?” Baron yang masih merenung, terkejut dengan suara lembut dari seorang wanita muda yang tiba-tiba berbicara dengannya. Mereka adalah 2 gadis muda yang Baron amati sedari tadi. Disana yang berbicara dengan Baron adalah gadis dengan berambut hitam, di sampingnya adalah gadis dengan rambut pirang keemasan dengan postur tubuh tinggi dan sexy. oh tidak jantungku kembali mengalami akleserasi. “A..AA..Ah , Silahkan” “Apa anda tidak apa?” “Tidak, tidak, aku tidak apa” “Ini pesanan anda, silahkan dinikmati” Seorang pelayan pria dari Ras Elf datang dan menaruh pesanan di meja Baron, sedangkan ke dua gadis tersebut mulai duduk, namun-, “apa ada yang salah?” “ah maaf, hanya saja kami kehilangan dompet kami, jadi kami, …” *kruyuuuuuuukkkkk* Ah mereka kelaparan. “maaf, ketidak sopanan kami” “tidak apa, Pelayan, saya ingin memesan lagi” “iya, saya datang” Setelah memesan makanan dan minuman untuk 2 gadis di depannya Baron menutup menu dan meletakkan kemabali. Tak lama setalah itu gadis berambut hitam berbicara kepda baron. “Terimakasih atas kebaikannya, …Ah nama saya Maria,salam kenal, …Aww” “jangan seenaknya seperti itu, M-A-R-I-A” “Apa kau harus mengeja namaku seperti itu Valen?” “haah, terserahlah, ah maafkan saya nama saya Valen salam kenal” “Tidak apa, nama saya Baron Unspera salam kenal” Merekapun berbicara banyak hal di dalam sana dan setelah kurang lebih 3 jam berlalu hujan-pun reda, hal ini juga berlaku utnuk perbincangan mereka. Merekapun berpisah di depan restoran ini karna waktu sudah benar-berna larut dan kedua gadis ini harus pulang kerumah mereka. Setelah salam perpisahan merekapun berpisah satu sama lain. Hah hatiku terasa tentram ketika aku berbicara dengannya, jantung ku berdetak kencang. Aku ingin tahu?, …perasaan macam apa ini?. “aku mehindukannya” “Mr. Baron, apa yang ada lakukan, …saya mencari anda kemana-mana” salah seorang guardian yang di tugaskan untuk menjaga Baron berlari kearah Baron dan akhirnya dia sampai di depan Baron. “Ah Western, …Aku ingin bertanya” “…Hah , …hah, …Aku kelelahan” “Hei Western, jika kau merasa nyaman di dekat seseorang, namun jantungmu terus saja berdetak kencang tidak karuan dan perasaan yang aneh merambah keseluruh tubuhmu, dan juga kau akan merasa rindu jika dia jauh darimu, kau namakan apa itu?” “…heh?, …ah tentu saja itu Cinta bukan!, …ah, aku benar-benar kelelahan, seharusnya aku mendengarkan nasihat Bu Roro” “Cintakah?” Aku jatuh cinta. RE : Raven Part 5 'Hendirabad Incident' Part 5 Insiden di Kota Pelabuhan Hendirabad. Mabuk berat, itu adalah kata-kata yang tepat yang bisa di katakan, setelah melihat Roro di malam terakhir mereka di kota ini. Dia duduk sendirian dalam Bar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel. Dengan tangan kiri yang masih memegang gelas berisikan Wisky, dia meminta bartender untuk menyajikan minuman lain untuk dirinya. Bartender-pun melakukannya, dan dia meneguk habis Wisky dalam sekali minum. Shit! Roro gemetaran dan memukul meja dengan sekuat tenaga. Bartender hanya bisa menghela nafas melihat pelanggannya melakukan hal itu, dan minuman selanjutnyapun datang kearah Roro. Dia langsung menyambarnya, dan meneguk habis gelas yang dia pagang dengan sekali teguk lagi. Siklus ini berlanjut sampai Bartender sedikit Khawatir akan stock minumannya yang kemungkinan akan habis malam ini. “Nyonya, apa anda baik-baik saja?” “Ahh, …aku hanya sedang patah Hati, …Aku baik-baik saja, tuangkan lagi!” “…Ah, kalau begitu” “…Apa kau tahu?!, …si brengsek itu mengenalkanku dengan 2 gadis imut kemarin. Memang, aku sudah berkeluarga dan sudah memiliki anak, tapi aku masih mencintainya sama seperti dulu. Apa dia tidak suka dengan wanita yang lebih tua, …hah!” Roro mengoceh, tanpa mempedulikan bartender yang mendengarkannya atau tidak. Roro yang hendak meminum Wiskynya berhenti. Sudut pipinya memerah sejenak. “Apa kau tahu?, (“tidak Nyonya”) sebenarnya aku sangat senang ketika dia masuk di Guardian, (“?!”), aku bahkan mengajukan pindah, dari Cabang 1 Hamamatsu, setelah di lempar dari pusat kesana. Aku melakukannya hanya untuk menemuinya tahu.(“Tidak”), Tapi, apa yang dia katakan setelah kami bertemu, ‘kau cantik sekali, tapi sayang sekali kau tidak punya payudara’ …Kutil Badak!!, Brengsek bukan, …dia mengatkannya secara blak-blakan seperti itu, …Dasar Pedofil Sialan” Roro menundukan kepalanya. “Aku sebenarnya sangat mencintainya, hanya saja, dia tidak mengetahuinya sama sekali. Dia bahkan datang di pernikahanku 2,5 tahun yang lalu. Hah!, Aku sangat benci pada diriku sendiri karna aku tak bisa mengatakan apa isi hatiku ini” “Nyonya anda mabuk” “hei tuan Bartender apa anda tidak ingin bertanya sesuatu?” “Oh!, bertanya tentang apa?” “tentang semua itu!, …apa kau tidak ingin tahu” “sayang sekali saya tidak tertarik, nyonya” “hah!, …kau sama saja sepertinya, apa semua laki-laki semuanya bodoh” “ah?!,” “Hah!, …aku sangat senang ketika dia menunujukku sebagai sekertarisnya, bahkan ketika dia memandangku dengan tatapan konyolnya itu, meskipun itu bukanlah cinta” “huh?!, …Aa?, …nyonya!, …kenapa anda sangat menyukai pria dalam cerita anda?” “Huh?!”, Roro tersenyum meledek “Heeeeeh, …bukannya anda bilang tak mau Tanya, …hare!,” Ledekan ini membuat Tuan Bartender sedikit kesal. Tapi dia hanya diam saja. “Dulu ketika aku baru masuk dalam Organisasi, ada sebuah kejadian besar yang sekarang dikenal sebagai insiden Berdarah 30 September. Apa kau tahu?” “Insiden Perang Saudara Di Kota Paling menyeramkan di Titik Balik Bumi, ‘Palung Marina’ Jerman Bagian Barat, Saya mendengar Para Red Eyes saling membunuh satu sama lain, tapi insiden ini berhenti setelah Para Anggota Hero datang ke sana” “Benar, …Disana aku di tugaskan untuk mengevakuasi kota terdekat untuk mengungsi. Disana aku melawan 4 Red Eyes, …sayangnya, aku kalah saat itu, dan saat itu ada seorang Pemuda dari Ras Red Eyes datang. Dia memilki mata merah ruby yang indah dan rambut merah menyala yang sangat indah, dia adalah penyelamatku. Mungkin ini hanya cinta sepihak, tapi aku selalu mencarinya sejak itu, hari-hariku dipenuhi oleh Dirinya, setelah umurku menginjak 30 tahun, orang tuaku menjodohkanku dengan seseorang yang sama sekali tidak aku cintai, dan kamipun sekarang menikah” *Clining* “Cih!, …dia brengsek, kenapa dia tidak mengingatku” “Ah?!, …itu dia disana, Hoho Apa yang kau lakukan!?, …bukankah kita akan berangkat Besok” “Ah itu dia si brengsek” Baron yang baru masuk, langsung mendapat hujatan kebencian yang langsung menusuk hatinya sangat dalam. “Ah itu menyakiti ku, …Ayo kita pulang, akan aku gendong” “?!” “Hemmp?, apa ada yang salah Tuan Bartendeh” “Tidak, …Ah tuan!, sebelum anda pergi, …silahkan” Bartender menyodorkan Bon minuman yang di minum oleh Roro kepada baron yang sudah menggendong Roro. “hah?, …500,000 Hibu, yang benah saja, apa ini penipuan!?. …Aa?!, …Ah kuhasa tidak” Bartender tersenyum ketika Baron mengetahui dia tidak menipunya, ketika memperlihatkan semua minuman di sana kosong, sedangkan tak ada orang lain selain Roro. Baronpun membayar semua itu tanpa pertanyaan berkepanjangan dan pergi dari Bar tersebut. *clining* “Ah tuan!,(“iya?”), jaga nyonya itu baik-baik”, Baron menanggapinya dengan anggukan kecil, dan meninggalkan Bar tersebut. *** Baron bertingkah aneh semenjak dia keluar dari Bar. Roro yang melihat ini sepertinya sedikit terganggu dan memukul kepala Baron. Baron yang merasa kesakitan menoleh kebelakang dan memarahi Roro. “Apa yang kau lakukan!” “Kenapa kau baru melakukannya sekarang?, …kenapa tidak dari dulu, hah!, …dasar bodoh, tak peka, Pea” “Hoho, kau mabuk” “Aku tahu aku mabuk, dan namaku Roro!” Kenapa Nada bicaranya terlalu Waspada, Apa yang sedang dia pikirkan. Kenapa dia sangat cemas. Tak berselang lama setelah Roro berpikir demikian. Seekor anjing besar, muncul di samping mereka. Anjing di penuhi oleh luka sayatan yang mengeluarkan cairan seperti lava. Anjing itu menyemburkan Api dari mulutnya ke arah Baron. Melihat ini Roro terkejut dan berteriak, sedangkan Baron yang mengetahui ini bersikap tenang dan melakukan Akselerasi, dan menghindar. Cahanya merah tepancar dari tubuh Baron, terutama dari rambut dan matanya. Itu seperti menyala seakan ada lampu di dalamnya. “Sial, …aku kiha kita bisa pehgi tanpa gangguan, sepehtinya aku salah” “siapa mereka Baron!” “Huh?!, …tumben sekali kau tidak memanggilku Bapak” Baron yang bercanda, sedangkan mereka sedang menghadapi masalah di depannya bersikap sangat tenang, sedangkan musuhnya bertambah satu. Seorang Perempuan berambut coklat datang dari gang gelap, dia dipenuhi luka juga, namun tubuhnya di balut dengan perban, tapi sepertinya perban, tidak terlalu beguna. Dia memilki ekor kucing dan dia memakai semacam Helm/topi yang memilki telinga kucing. Pakiannya lusuh dan dia kotor sekali. “Oh!, Pehempuan?, manusia? …Kuhasa Bukan?, Dia memilki ekoh, …hei dari Has apa kau ini?, aku tak pehnah melihat Has sepehtimu!. …Hoho apa kau mengetahuinya?” “Tidak, dia seperti demi-human tapi, demi-human, hanya memilki penampilan layaknya manusia, tapi bukan berarti mereka manusia, tapi!, …dia memiliki tubuh manusia” “Hei bukannya kau mabuk?” “Diamlah, mana mungkin aku mabuk?” “Heh?” Baron terlihat kebingungan dengan keadaan Roro yang berubah secara mendadak. Tapi sepertinya ini menguntungkan untuk Baron. Baronpun tersenyum puas. “Hoho apa kau membawa senjatamu.” “Tidak” “hmmp, kalau begitu, ini, kau membutuhkannya”, Baron memberikan sebuah Pisau bayonet yang selalu dia bawa kemana-mana. “Bukankah ini?” “Apa ada yang salah” “Tidak” Dia masih menyimpannya. “Tidak aku sangka, aku akan mengunakannya lagi” “apa kau bicaha sesuaatu Hoho (“tidak”), baguslah, kalau begitu, bisakah kau menghadapi anjing itu, memang dia cukup cepat tapi dia bukanlah tandinganmu, …iyakan?!” “Terimakasih, …kalau begitu, …ayo!” *** Cakar, taring, nafas api, dan sentuhan api, …benar-benar menyusahkan. Roro sedikit kesusahan disana. Dia terlihat sudah lelah, mungkin ini akibat dia meminum banyak sekali minuman keras. Dia melihat Baron yang bertempur di tempar lain. Pertempuran itu terlihat seimbang, tapi sebenarnya Roro lebih tahu, bahwa pertempuaran itu terlalu berat sebelah. Makhluk Perempuan jadi-jadian itu akan kalah, …hei-hei bukankah aku yang akan kalah disini. Pertempuan antara Baron dan makhluk jadi-jadian benar-benar intens dan membuat gedung disekitarnya roboh, tapi untungnya tidak ada sedikitpun percikan api. Yang keluar dari sana. Karna setiap ledakan yang terjadi, Baron selalu memadamkannya mengunakan sihir pembekuan. Dan dia melakukannya sangat sigap. Para Warga berhamburan keluar menghindari reruntuhan dan para orang yang berada di dalam gedung semua keluar karna keributan, mereka lari dan sebagian ada yang melihat mereka bertarung. “kalu begitu, aku juga akan sama. sepertinya aku harus mengamuk sekarang”, Roro menekan sesuatu di tangan kirinya itu terlihat seperti jam tangan yang hanya berisi tulisan dan angka, disana ada angka 14, Roro menurunkannya menjadi 0. “Ayo kita mulai pestanya” Roro memutar pisaunya tanda, dia siap untuk ronde ke 2. Roro melesat dengan cepat, bahkan itu terlalu cepat untuk seorang manusia. Dia melesat dan sampai di depan anjing api, dia mengayunkan bayonetnya. Bayonet itu menganai kaki anjing api dan kaki depannya itu terputus. Roro kembali, untuk mengindar dari gerakan perlawanan dari anjing. Anjing itu yang kehilangan kaki depannya tumbang karna ketidak seimbangan. Akan aku akhiri. Api menyembur dari tubuh anjing api itu dan membuat kumparan api layaknya tornado, kemudian meledak dan membakar anjing tersebut sampai tak terlihat. Roro yang menyadari akan bahaya melompat mundur. Lompatannya tinggi dan cepat itu, Tapi- Api yang ada di bawahnya sudah menghilang. Dan dia tidak melihat anjing api di bawah sana. Roro yang masih di udara, menyadari sesuatu di belakangnya. Hawa panas yang lebih panas dari tadi menerpa punggung Roro, sampai membuat pakaian belakangnya terbakar dengan rambutnya. Disana ada seekor anjing Demi-human yang berdiri dengan kaki dan dia memiliki tangan yang kekar dan tubuh setinggi Dwarf dewasa. Dengan sebuah pintu jeruji di punggung belakangnya yang menyatu dengan tubuhnya, di dalamnya terdapat api yang menyala-nyala. Tanggannya Pulih. Roro yang menyadari ini, membalikan badanya untuk menyerang, tapi sepertinya dia tidak sempat. Pukulan tangan api yang besar menghantam Roro dengan sangat kuat. Roro bahkan tidak sempat memblock serangnnya. Roro terhempas dan terbang kearah sebuah gedung dan menambrak gedung tersebut dengan sangat keras sampai membuat lubang disana. Roro berlumuran darah dan beberapa tulangnya patah. Dia tidak bisa bangun. “Aaa” Roro mencoba bangun dari sana, tapi dia lagi-lagi terlambat. Anjing itu sudah berdiri di sana, anjing itu menedang Roro sampai terhempas kembali dan menabrak jendela. Roro merasa nyawanya akan di cabut hari ini. Benar-benar hari yang tidak bagus untuk mati. Roro yang terbang di udara di kepung dengan kepulan asap tebal. Kemudian asap itu terhempas oleh panas dari anjing yang sekarang ada di depannya yang siap untuk menendangnya kembali. Berakhir sudah. Roro memejamkan matanya, dia tidak ingin melihat Malaikat kematiannya sendiri yang merupakan seekor anjing Demi-human api. Ah. Hangat, dan halus. Aa?!. Roro membuka matanya, dia melihat Baron sedang memeluknya dengan tangan kananya sedangkan tangan kirinya sedang memblok tendangan dari anjing api. Tapi sepertinya tendangan itu terlalu kuat sehingga membuat Baron terhempas dan mendarat di jalan raya dengan sedikit dentuman. Roro yang tidak kuat lagi kan keadaannya memuntahkan beberapa darah dari mulutnya dan membasahi baju dari baron. Tapi sepertinya Baron tidak peduli akan baju mahalnya yang dia kotori. Tapi dia malah memberikan sihir penyembuhan tingkat 2 pada Roro untuk mencegah pendarahan berlanjut dan memberikan sihir lainnya untuk mengurangi rasa sakit. Di bahkan melakukannya tanpa mengucapkan mantra sihir sama sekali. Ini sama seperti 7 tahun yang lalu. Dia menyelmatkanku lagi. Baron menurunkan Roro di kursi duduk di trotoar jalan. Sambil menangkis serangan dari anjing jalan yang sangat cepat, tapi sepertinya baron tidak mengalami masalah sama sekali. Dia sedang Mode Akselerasi. “Tunggu disini”, Baron tersenyum kepada Roro, itu adalah senyuman yang membuatnya jatuh cinta sama seperti 7 tahun yang lalu, hanya saja keadaannya sangatlah berbeda. Dia tidak membutuhkan pisau kecil ini lagi. “hei Hoho, tolong jaga pisau itu, itu adalah hahta kahunku” “Heh?!” Baronpun maju, tanpa melihat kebelakang. Pertempuan itu berakhir cukup singkat, dengan pukulan yang sangat keras yang di lontarkan Baron yang membuat anjing itu terhempas ke sebuah gedung di depan Roro. Debu mengepul menutupi pandangan Roro, tak lama kemudian Baronpun datang dari atas dan turun dengan meomentum yang menakjubkan, sampai membuuat getaran ditanah yang sampai kearah Roro. “Siapa itu?!” Baron bericara lantang ke arah jatuhnya anjing tersebut, kemudian asap tebal muncul dari sana menutupi pandangan mereka berdua menjadi lebih parah. *Clink* Terdengar bunyi sesuatu yang sepertinya membeku seketika. Disana ada banyangan seseorang, tapi hal yang aneh mata dari banyangan itu menyala. Nyalanya berwarna biru dan itu terlihat seperti hantu dan bayangan itu menghilang begitu saja. Baron mencoba memukul udara dengan sekuat tenaga agar asap itu menghilang, tapi dia tidak bisa. Asap ini terbuat dari sihir. “Apa itu tadi?” *** Setelah Kepolisan setempat datang dan membereskan kekacauan yang terjadi baron melarikan diri berserta Roro. Dia tidak ingin mendapat masalah, terutama berkas pelaporan yang akan membuatnya botak lebih awal. Baron kembali menggendong Roro setelah memberinya pertolongan pertama dan membawanya ke klinik terdekat setelah mereka kabur, agar mendapatkan penyembuhan dengan cepat. Dan setelah pertempuran yang tak lebih kurang dari 2 jam tersebut, merekapun kembali ke Hotel setelah Roro benar-benar sembuh. Di tengah perjalanan mereka, Roro bertanya. Baron-pun kembali mengendong Roro menuju Hotel. Karna alasan Roro masih Mabuk. “hai Pak Baron?” “Hemmp?!” “Dari mana Kau mendapatkan Pisau itu?” “Ah pisau ini, aku mendapatkan dari seohang wanita cantik yang menolongku dulu, mungkin itu 7 tahun yang lalu, wah sudah sangat lama ternyata” Apa maksudnya menolongnya, bukankah aku yang di tolong saat itu “7 tahun yang lalu ketika aku masih kualiah di Jehman, aku terjebak dalam insiden 30 Septembehg, …Maah, Disana Aku hahus bertahung untuk behtahan hidup. Sayangnya aku hahus menghadapi sesama bangsaku sendihi saat itu, sedangkan aku belum mengalami Evolusi, …Saat itu aku menghadapai 5 orang Red Eyes Dewasa, dan aku kalah telak, aku hanya bisa mengalahkan satu dari meheka, kemudian seohang wanita muncul, dia cukup dewasa, tapi sayangnya dia tidak punya payudaha sama sekali, …Aw” “lalu” “kenapa kau memukulku, …Ah lalu dia menyelamatkanku, dia bertahung dengan gagah berani, layaknya pahlawan pehempuan sepehti di cehita-cehita. Tapi sayangnya dia gagal, ..Dia tumbang dan dia behkata ‘Pehgilah’ sambil tersenyum padaku. Saat itu dia terlihat sangat cantik, dan terlihat seperti ibuku, …ah aku masih mengingat snyuman itu sampai saat ini, …saat itu aku hanya berpikihg, aku tak ingin dia mengalami hal yang sama sepehti ibuku dulu, dan ada kemungkinan lain, …kuhasa aku jatuh cinta padanya pada saat itu. …Kuhasa.” Heh?! “lalu apa kau masih mencintainya?” “Mungkin, …tapi sepehtinya itu hanya cinta sepihak (“lalu”), …ah aku tak tahu apa yang sebenahnya terjadi, tapi aku mengalami evolusi menjadi Red Eyes, saat itu, dan tubuhku bergehak dengan sangat cepat” Baron berhenti sejenak untuk menaikkan Roro yang merosot ke bawah. “Hei jangan sentuh sembarangan” “ya maaf, bokongmu membuatku behg-Akslesrasi, …Aw” “Maaf, … lalu, Aku behgtahung dengan 4 Red Eyes yang tehsisa dan behghasil mengalahkan meheka, meskipun aku benahg-benahg berantakan saat itu. Aku tehjatuh dan tidak mengingat apapun lagi, yang aku tahu, aku hanya membalas senyuman dari wanita itu, setelah itu aku tidak tahu lagi, kahna saat aku sadahg aku ada di rumah sakit” ah jadi begitu, ternyata kita saling terhubung, Tapi tetap saja, itu tidak membuat perubahan apapun. Aku sudah menikah sekarang. “Hoho, kenapa kau diam “ “Tidak tidak ada” “Ah kau?” “kenapa?” “ya senyuman itu indah sekali, mantap!, ….Aw” Ck!, …aku kira dia ingat. “Tapi tadi apa yah?” Roro mengubah topik pembicaraan mereka. “Ah aku tidak tahu, tapi itu bukan makhluk hidup, itu terlihat sangat menyehamkan, bahkan itu membuatku gemetahg ketakutan” “banarkah?, lalu bagaimana dengan makhluk jadi-jadian yang Napak lawan?” “Sama seperti tadi, asap mengepul dan mereka menghilang, hanya saja!, ….makhluk yang aku lihat adalah seorang Red Eyes, matanya sangat merah di dalam kumpulan asap tersebut, dan Auhanya sangat mengerikan, seakan di penuhi dengan kegelapan dan kebencian” “Ternyata ada Makhluk mengerikan seperti itu di dunia ini” RE : Raven Part 6 'Raven Wrath'' Part 6 Raven Wrath Sembilan hari di penuhi dengan muntahan dan pusing berakhir, di awali dengan pingsannya Baron di Stasiun Kereta Kota Hasenburg, Jerman Barat. Roro kembali memangil Ambulance dan menugaskan Western dan Juvia, untuk menemani Baron, dan berpesan jangan mengalihkan pandangannya dari Baron. Setelah Ambulcance datang dan kemudian pergi, Roro mulai menggerutu. “De Javu” Salah satu anggota dari anggota Khusus berbicara demikian. Mungkin benar juga, karna rentetan kejadiannya hampir sama persis seperti di Hendirabad. Bahkan Roro berpikir juga sama. De Javu. *** Minggu, 23 September, Pukul 12.45 Waktu setempat Siang ini, Mrs. Valen harus mendatangi rapat untuk pelaporan tugas Dari Cabang Djakarta. Dia masuk dari Ruangan atas dan mulai menuruni tangga yang biasanya hanya Raven yang menggunakannya. Hanya Raven saja yang boleh mengunakan tangga itu baik ketika rapat maupun tidak. Tapi, Mrs. Valen adalah sebuah pengecualian dari semua pengecualian. Mrs. Valen sepertinya datang terlambat, tapi bukan terlambat dalam rapat yang harus dia hadiri. Melainkan dia terlambat untuk ikut serta dalam Rapat Penyelaman, yang akan dilakukan malam ini. Meskipun dia bukanlah Regu Khusus 3 yang di pilih untuk penyelaman, tapi dia masih memiliki wewenang sebagai penasihat Raven dan juga Wakil Ketua dari Oraganisasi ini. Meskipun dia pikir Raven tidak membutuhkannya sama sekali. Raven sangatlah Perfecsionis, Baik dalam bidang Kekuatan, Atletik, Intellegent, Sihir dan juga Karismanya sebagai pemimpin. Raven benar-benar mumpuni dalam hal tersebut. Hanya saja Mrs. Valen tetap harus disana, karna sifat Raven yang sesekali terbawa perasaan pribadianya, meskipun itu tidak pernah terjadi dalam rapat, dan ada juga alasan lain kenapa dia tidak bisa melepaskan Raven. Dia harus di sampingnya terus. Dan alasan lain Itu adalah alasan utamanya disini sebagai wakil ketua sekaligus penasihat Raven. Alasan lain ini yang membuatnya menyerahkan jabatannya kepada Raven, sekitar 3 tahun lebih beberapa bulan yang lalu. Alasan lain ini juga yang dia bicarakan kepada Ayah Raven ketika dia selesai dari Cabang Djakarta, bebrapa bulan yang lalu. Sebuah pembicraan yang amat sangat serius dan terkesan berat. Mrs. Valen yang sudah turun dari anak tangga pertama berhenti untuk melihat perdebatan antara Diana dan Raven, yang tentu saja dimenangkan oleh Raven. Tapi di saat terakhir Raven akan pergi, raut wajah Raven membuat Mrs. Valen mengunakan sihir ‘Jump’, langsung kearah Raven, dan memeluk, juga mencium Raven yang wajahnya merona merah. “hahahahaha, imutnya anakku ini, hahahaha, mcuah, mcuah, mcuah” “Maria, apa yang kau lakukan” “aku hanya memberi ciuman kasih sayangku pada anak angkat ku ini, apa itu salah”, Mrs. Maria Valendes, menerangkan ke pada Raven yang melihatnya dengan tatapan ikan matinya. “Lepaskan pelukanmu, aku ada pertemuan dengan Bear” “Bear?, Oh!”, “Apa kau tak menyukainya, …kau boleh ikut Rapat denganku!, …Itu tidak apakan?, …Bear!” “Jika itu Nyonya Maria kurasa tidak apa, …Lama tidak bertemu Nyonya, Sudah 6 tahun berlalu saya rasa” “Ah memang, …apa kau berguna baginya, jika tidak, sangat memuakkan, karna aku telah menanamkanmu padanya” Suaranya terdengar menghina dan raut wajah Mrs. Valen berubah menjadi mode pembenci, bahkan pandangannya sekan melihat sampah ketika melihat Bear. Di dalamnya terdapat kebencian mendalam yang tidak di ketahui. “seharusnya kau tak berbicara seperti itu pada anak perempuan mu sendiri” Pembicaraan merekapun terhenti disana, dan mereka masuk ke dalam ruangan di atas, dimana Raven selalu mendapatkan laporan baru untuk di periksa. Bisa dikatakan ini adalah Ruang kerja Raven. Raven duduk di mejanya kerjanya seperti biasa, sedangkan Bear berdiri dengan kaki belakangnya menghadap Raven. Sedangkan Mrs. Valen di belakang Raven sedang memeluk Raven dan sesekali mencubit pipi Raven. “apa kita bisa mulai” “tentu saja Raven, Ini adalah laporan yang Mutiara berikan padaku” Bear mengeluarkan beberapa kertas yang sudah di clip dari dalam tubuh berbulunya dan menyerahkannya ke arah Raven. “Mutiara berpesan, ‘mungkin kau perlu mempertimbangkannya lagi, Orang itu memiliki potensi yang cukup besar, tak bagus jika kau membunuhnya, meskipun dia adalah tahanan hukuman mati’, begitulah” “Hemmp!?, …untuk saat ini, …akan kuturuti perkataannya, dan …jika informasi yang di kumpulkannya benar, maka mereka ada sangkut pautnya dengan semua ini” Mrs. Valen ikut melihat isi dokumen yang diberikan Bear yang sedang dibaca oleh Raven. “Oh para Milliter Lepas Russia?, …hemp dari jumlah mereka sepertinya akan merepotkan, …sebaiknya kita fokuskan terlebih dahulu kepenyelaman malam ini, dan serahkan bagian itu ke bagian Pusat Hero” “Maria kita tidak menyelam malam ini, ada hal yang membuatku penasaran. Dan mengenai Anggota militer dalam laporan ini, Aku mendapat laporan bahwa anak laki-lakimu sudah menyelidikinya sejak 5 tahun terakhir” “Dio?!” “benar, dia perwakilan dari pusat Organisasi Hero langsung. Tapi aku tidak tahu kenapa harus membutuhkan waktu selama itu.” “hah!, …kenapa Ayahmu tak mengatakan apapun soal itu” “Apa kau bertemu ayah?” Wajah Raven Berseri, “Begitulah, dia bilang dia akan kemari bulan depan di ulang tahunmu”, “kuharap Ayah memberiku hadiah yang bagus” “baguslah, lalu apa yang kau mau dari ibu?” Raut wajah Raven berubah seketika menjadi biasa, tatapan ikan mati tanpa gairah. “berbaikanlah dengan Adik, …Maria lakukan itu!. …Kenapa kau malah memalingkan wajahmu, JIka kau melakukan apa yang kau lakukan padaku kepada Mutiara, pasti dia akan sangat senang. Bahkan dia akan menciummu setiap hari dan selalu mengatakan ‘Ibu aku menyanyangimu’, dan yang penting dia baru berusia 11 tahun sekarang. Meskipun dia terlihat seperti wanita dewasa berumur 23 tahun dan memiliki pemikiran dewasa dan otak yang luar biasa, dia tetap masih anak-anak, dan yang paling utama Dia Anak kandungmu. Bukankah begitu, Bear!?” “A?!” Bear tidak menjawab, karna dia tahu akan kondisi ibu dan anak tersebut yang rumit. “kalu begitu, sepertinya hanya itu laporan yang harus saya sampaikan saat ini, meskipun ada hal lainnya lagi, tapi karna ada batasan penyampaian pesan maka semua itu di cancel. (“!?” 2x), kalu begitu saya pamit, permisi, …Raven, Nyonya Maria” Bearpun menghilang entah kemana seakan dirinya lenyap beserta udara. Dan di kra percakapan rinagn mereka menyita waktu lebih dari setengah jam. *tok-tok* Seseorang mengetuk pintu ruangan Raven. Ketika Raven masih melanjutkan obrolannya dengan Mrs. Valen. “Cebol aku masuk, …Apa yang sedang kalian laukan, Oi?!” Saat Diana Masuk Raven sedang menghalangi Mrs. Valen yang mencoba menciummnya. “Ayolah sekali saja, ibu ingin mencium bibir meronamu itu” “Hentikanlah, …lakukan saja pada adik” “hentikan semua ini!, kita kedatangan tamu dari cabang Djakarta, bersiaplah!, atau aku lempar kalian dari atas” “Yes MAM!” “hentikan itu Maria, dia tidak pantas di panggil Mam, dia masih sendiri” “Benar juga dia Jomblo” “apa kaliam sedang meledekku?!” *** Raven duduk kembali di kursi Rapat di damping Mrs. Valen berdiri disampingnya. Sedangkan para Anggota Regu Khusus 3, yang masih ada di ruang rapat mengosongkan bagian tengah untuk 16 orang dari cabang Djakarta. Mereka duduk santai di lantai dan sebagian lainnya melihat dari lantai atas. Susana menjadi tegang, ketika Orang dari cabang Djakarta masuk ke dalam Ruang Rapat. Mereka(Regu khusus 3) memperhatikan Orang-orang dari Cabang Djakarta, terutama perhatian mereka adalah Baron. “Mrs. Roro, apa anda menyelesaikannya?” “Biarkan saya mewakili semuanya untuk meminta Maaf terlebih dahulu karna keterlambatan ini, dan Terimakasih telah memberikan kelonggaran waktu pada kami, Mrs. Valen dan Yang Mulia Raven” “Maria?” Heh, kenapa dia tahu namaku. “hei Maria apa kau tidak mengenalku, ini aku Baron Unspera. Tidak aku sangka kita akan behtemu denganmu disini” “Bapak, apa yang bapak lakukan” “Hoho, apa kau tidak ingat, …Dia!, Maria, …gadis yang aku kenalkan padamu waktu itu” “tidak mungkin, Beliau berbeda, Yang Mulia bukanlah Maria” Gadis?, …Ah jadi begitu, sekarang dia menggunakan namaku, Hah Dasar!. Dan bisakah kalian hentikan itu, namaku sepertinya sudah jadi pasaran sekarang. “R-Raven?!” “Apa?!” Dia bertingakah seperti tidak pernah melakukannya, …hah beginilah sifatnya, dan mungkin dia juga lupa. Dia hanya akan memikirkan misinya saja. Mana mungkin dia akan ingat mereka. “Mrs. Baron, sepertinya anda salah orang, Dia adalah Raven, Pemimpin Guardian. Kurasa anda salah orang” “Tidak!, dia sama. …Bahkan tatapan itu masih terlihat indah bagiku, dan buktinya adalah khasa rindu ini yang terbayahkan” Orang ini sudah gila. Dan Hah!?, Apa kau jatuh cinta pada Putriku, takkan ku biarakan Orang bodoh sepertimu merebut malaikat pencabut nyawa milikku. Dengan Reflesk kedua tangan Mrs. Valen memeluk Raven dengan memasang wajah mirip seekor kucing yang sedang marah. Raven yang merasa terganggu menepuk tangan Mrs. Valen untuk melepaskannya. Suasana entah kenapa memanas ketika Baron berkata “indah” kepada Raven. Seakan tatapan semua orang disana tertuju pada Baron, entah itu tatapan senang atau tatapan murka. “kita sudahi percakapan membuang waktu ini. Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu, …apa kau pernah pegi ke Hellios sebelumnya!?” “Ah aku pekhnah” “Apa kau bertemu dengan Hellios ke 2 disana?, …bagiamana keadaannya?, Apakah Wanita kurang ajar itu masih tinggal bersamanya?, dan …” Rentetan pertanyaan menghujani Baron diselingi oleh Raut wajah Raven yang memerah dan tampak cantik ini yang membuat siapapun di ruangan ini terpesona. Tapi sepertinya wajah ini malah membuat Baron cemburu. “…Ah!, aku pernah bertemu dengan kadal itu, memangnya siapa yang peduli dengan kadal itu” “HAH?!, …Apa kau bilang?” “Kadal” “Raven tenanglah, …Raven!”, Mrs. Valen Tampak sangat panik dengan keadaan Raven sekarang. Dalam Dunia ini hanya ada satu hal yang dapat membuat Raven benar-benar marah, yaitu : apapun yang menyinggung ayahnya, “Hellios ke 2”. Dan Raven takkan mengampuni siapapun yang menjelek-jelekkan orang yang paling di cintai dari apapun di dunia ini. Ya ampun anak ini tidak bisa menahan diri lagi, kenapa si bodoh itu malah mengejek Dragna. “hai brengsek berani sekali kau berkata seperti itu, akan kuhancuran kau” “benar, hancurkan dia” “hajar dia” para anggota regu khusus yang ikut dalam rapat, ikut terpengaruh akan perkataan Baron. “BUNUH DIA?” Raven seketika berbicara demikian, dengan nada sangat marah. Amarahnya membuat udara di sekitanya menguap. Bahkan semua anggota Regu Khusus 3 semuanya ketakutan dengan kata yang di ucapkan Raven. Bagi mereka kata itu adalah kebenaran yang akan terjadi. Raven menendang mejanya sampai terbang dan menghantam Orge pengawal dari Baron dan Orge itu ikut terhempas sampai mengenai dinding di belakangnya. Tak lama setelah meja, Raven mengeluarkan sihir listrik di tangan kanan dan kirinya dan langsung menembakkanya kearah Baron. Sihir ini di hadang oleh Elf pendamping Baron, mengunakan sihir perlindungan tapi sihir tersebut hancur dalam sekejap dan petir menyambar Elf tersebut. Elf itu-pun tumbang. “Minggir, atau kalian akan aku bunuh” Gawat. “Semuanya tahan Raven” Mrs. Valen memerintahkan Regu Khusus 3. Tapi sepertinya tidak ada seorangpun anggota dari Regu Khusus 3 yang berani untuk menahan Raven. Mereka semua ketakutan akan Raven. Bahkan dengan Otoritasnya sebagai mantan pemimpin dan wakil pemimpinnya sekarang, tidak bisa memerintahkan anggotanya untuk terjun kedalam jurang kematian yang sekarang di panggil Raven. “Ah dasar anak yang menyusahkan”, Mrs. Valen-pun bergegas maju. Raven kembali menyambarkan petirnya kearah Baron, tapi Baron tidak bergeming sama sekali, *Duar* Petir itu mengenai dinding gedung dan membuat lubang besar disana. “Raven, Hentikan!” Mrs. Valen berteriak kearah Raven. Mrs, Valen berhasil membelokkan sihir Raven sehingga tidak membunuh Baron dan kelompoknya. “Mr. Baron Cepat minta maaf”, Mrs. Valen berteriak kebelakangnya, menyuruh Baron untuk meminta maaf, tapi dia malah diam. “Yang Mulia Raven, kami minta maaf karna kelancangan pemimpin kami” Roro menudukan kepalanya sampai ke bawah untuk meminta maaf. Kakinya gemetaran, mungkin dia berpikir dia sudah mati sekarang. “Tidak!, aku tidak akan meminta maaf” Si bodoh ini. Mrs. Valen hanya bisa menepuk kepalanya mendengar jawaban dari Baron. Dia mulai tidak menyukai situsinya sekarang. Dan akhirnya dia menyerah melakuan perlindungan kepada Baron dan yang lainnya. Setelah melihat tekad baron yang sepertinya tidak akan menyerah. Dan Dia juga tidak mau melawan Raven dalam mode Serius, karna tidak ada jaminan dia menang. “Maria lawan aku” Hoi!, hentikan mengunakan namaku. “Apa kau gila!, kau bisa mati, apa kau tahu itu Mrs. Baron!?” “Aku tidak peduli, jika itu mati di tangan ohang yang aku cintai, aku tidak apa” Ah jadi ini semua karna cemburu ternyata. “kalu begitu, aku akan membunuhmu, …Maria!, Buka area pelatihan dan undang semua regu yang masih ada di dalam markas, Aku ingin semua anggota melihat kematiannya.” “…Apa kau yakin Sayang!, …hah!, …Kalau begitu, Ecra!, Umumkan keseluruh lantai, ‘Pertarungan antara pemimpin pusat dan pemimpin cabang Djakarta, Raven vs Baron Unspera, akan di laksanakan Sore ini, diharapakan semuanya regu hadir, perintah dari atasan kalian adalah mutlak’, (“Yes Mam”). …Kalau begitu, siapakan peti kematianmu, …Mr. Baron!” RE : Raven Part 7 'Raven vs Baron' Part 7 Pertarungan 2 Red Eyes Raven Vs Baron “Medic!” Teriak Mrs. Valen setelah kemarahan Raven mulai sedikit reda. Raven, dibawa secara paksa oleh Diana ke ruangannya agar dia tidak mengamuk lebih lanjut. Sedangkan para anggota lainnya membubarkan diri, sebagian melakukan pembersihan. Petugas medic yang datang menangani orge yang terhempas. Sedangkan Mrs. Valen, sedang membuat lingkaran sihir untuk Elf yang tersambar petir. Dia merasa cemas karna sihir yang di gunakan Raven merupakan sihir tingkat paling tinggi, dan hanya ada beberapa orang saja yang bisa melakukannya, bahkan Mrs. Valen yang merupakan penyihir jenius sekalipun kesulitan untuk melakukannya. “Apa yang anda lakukan?”, Tanya Baron. “Tollong minggir, jika mau teman anda selamat, Mr. Baron” Baron terkejut dengan jawaban dari Mrs, Valen. Dia-pun dengan sekejap menutup mulutnya. Dan melihat Mrs. Valen yang sedang menggambar lingkaran sihir dengan Darah. “Barikan aku kantong darah lagi!” “baik” Petugas medic dengan sigap langsung memberikan kantong darah kepada Mrs. Valen. Pembuatan lingkaran sihir ini membutuhkan lebih dari 5 kantong darah tranfusi. Anehnya semua darah itu tidak terlihat tercecer. Darah itu membentuk tulisan dan simbol yang rapih. Darah itu langsung menempel ke lantai dan kering seketika. Lingkaran sihirpun selesai. Mrs. Valen langsung merapalkan mantra sihir, dan dari lingkaran itu muncul seekor iblis yang menyeramkan. Mrs. Valen meminta agar dia membalikkan keadaannya beberepa jam yang lalu. Permintaan itupun di turuti oleh iblis, dan setelah pertukaran tak seimbang yang dilakukan untuk membayar iblis, iblis itupun lenyap. “Bawa dia ke ruang perawatan, beri dia perawatan pertama” “Baik nyonya” Petugas yang ada disana langsung mengangkat Elf tersebut mengunakan tandu, dan membawa 2 korban pergi dari ruang rapat. Mrs. Valen-pun bangun dari lantai. Dan menghadap kearah Baron kemudian berkata : “Mr. Baron, apa yang anda rasakan ketika orang tua anda, di hina oleh orang lain” “Heh?” Ibu! Baron mengingat ibunya ketika, Mrs. Valen bertanya kepadanya, dan ingatan menyakitkan memenuhi dirinya saat itu. “Tentu saja aku akan marah, dan aku akan memukul orang itu sampai dia meminta maaf” “Itulah yang Raven rasakan. (“hah?”), Dia tidak suka Ayahnya di hina” “Tunggu, Hellios adalah Ayah dari Maria” “Benar dan aku adalah Ibu angkatnya, dan asal anda tahu, Maria adalah nama depan ku, sedangakan dia adalah Raven, tolong ingat itu” Baron terlihat bingung, mungkin dia terlalu bodoh. Kemudian dia bertanya lagi, dia sedikit takut ketika bertanya, itu terdengar jelas dari pertanyaannya, karna suara nya bergetar ketakutan. “Mrs. Valen, Apa tadi anda benar-benar serius tentang peti matinya” “Tentu saja, ketika Anak ku berkata ‘Bunuh dia’, artinya dia akan membunuhmu, dan Aku berkata jujur dia adalah seekor monster yang sangat kuat. …Kalau begitu sampai nanti, dan tollong beri kami pertunjukan yang menarik, …Mr. Baron. Dan juga nikmati hari terkahirmu” *** “Maria!!!” Diana berlari menuju Maria yang terjatuh selepas masuk ke dalam ruangan dimana Diana membawa Raven pergi. Kondisi Mrs. Valen sangatlah mengerikan, dia mengalami luka sihir yang parah, seluruh tubuhnya. Terbakar oleh sihir petir. “Apa yang kau lakukan?” Raven yang sedari tadi merasa tidak senang pun, mendekati Mrs. Valen. Di dalam perkataannya yang dia lontarkan terkadung nada cemas terhadap Maria. “Apa kau melakukan pertukaran dengan iblis, dengan iblis siapa?” “Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja” “satu-satunya iblis yang bisa melakukan pertukaran seperti ini hanya Laplace. Sialan, Diana Berikan aku kantong darah,(“Ah bailklah aku akan ke-”) tunggu, tidak usah, itu akan memakan waktu, aku akan mengambarnya dengan darahku sendiri” “Raven!” Mrs. Valen merasa cemas akan anaknya yang selama ini tidak pernah memperhatikannya tapi sekarang dia terlihat sangat kesakitan melihat ibu angkatnya seperti ini. “Diamlah, tak berapa banyak darah yang aku keluarkan, aku takkan pernah kehabisan itu, Kau sudah tahu itu bukan!, seharunya sudah, karna kau terlalu dekat dengan ayah” “anak baik” Mrs. Valen tersenyum bahagia. Raven akhirnya selesai menyelesaikan lingkaran sihir, dan membaca mantra sihir yang panjang. Seekor iblis menyeramkan dengan tubuh dipenuhi oleh api yang membara, dan menetes-netes, bahakan dia seperti tidak memiliki muka sama sekali. Baunya busuk sebusuk bangkai, tingginya mungkin sampai 2 meter lebih. Iblis ini adalah Laplace. “Siapa yang memanggilku kesini” Raven tanpa basa basi mencekik leher Laplace, dan berkata : “kembalikan Maria seperti semula!” “Raven!, Apa yang kau lakukan terhadap iblis sepertiku?, aku bisa saja membunuhmu!, apa kau ingat itu?” “Dan apa kau juga ingat, aku juga bisa membunuhmu, dan apa kau lupa, bahwa kaum kalian tidaklah abadi sepenuhnya?” “JIka kau begitu-” “Cepat lakukan atau akan ku bunuh kau sekarang juga” Laplace sepertinya takut akan Raven. Bahkan Laplace sempat gemetaran, dia bahkan tidak berani menyentuh Raven sama sekali padahal tangan Raven sedang mencekik lehernya. Dan pada akhirnya, Laplace melakukan apa yang diperintahkan Raven, kemudian dia dilepaskan oleh Raven. Tapi disaat dia akan pergi. “Aku menantikan dimana kau mati, Raven!” Raven tanpa basa basi lagi menyerang Laplace dengan tangannya mengunakan sihir Air dan Es secara bersamaan. Tapi sayangnya Laplace sudah hilang dari sana. “Iblis sialan” Diana memngumpat. “Diana bawa Maria ke dalam ruang perawatan, jangan biarkan dia bangun sampai dokter mengatakan dia sehat” “Baiklah” Monster macam apa kau ini,Raven. Bahkan iblis sekalipun takut padamu. *** Pukul 18.33 waktu setempat. Tempat ini di penuhi oleh banyak sekali orang. Ruang ini adalah salah satu dari sekian banyaknya ruangan di dalam gedung organisasi. Ini adalah ruangan paling bawah, atau lebih tepatnya ini adalah area pelatihan yang berada di bawah tanah yang memiliki luas 100 meter persegi, dengan ruang latihan untuk sparing sekitar 70 meter persegi, yang dikelilingi dengan tembok yang terbuat dari kaca tebal, dan di sinilah Baron dan Raven akan bertanding sampai salah satu dari mereka mati. Baron yang melihat sekelilingnya merasa aneh. Entah kenapa dia merasa, ini adalah hari dimana dia akan mati. Tapi entah kenapa juga dia ingin menarik ucapan yang dia ucapkan sebelumnya. Aku tak ingin mati di tanggannya. Baron tahu bahwa di dalam pandangan orang yang ada di depannya, adalah pandangan dengan hasrat membunuh, dan jika harus terus terang, Baron tidak ingin bertarung seperti ini sampai mati dengan orang didepannya. Tangan Baron gemetaran. Suasana dalam arena mulai memanas ketika Seorang Elf yang amat ter-amat cantik masuk ke dalam arena. “Saya akan menjadi wasit dalam pertandingan ini. Kalian berdua di ijinkan memakai senjata, sihir, dan kekuatan masing-masing kalian. Tidak aturan yang mengikat kalian, kalian bisa bermain curang sekalipun. Pertandingan ini akan berakhir apa bila salah satu dari kalian mati. Kalau begitu. Pertandingan ini akan di mulai di bunyi Bel ke 3” Baron menelan ludahnya karna takut untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Seumur hidupnya baru kali ini dia takut akan kematian, sedangkan kematian itu tepat di depannya. Elf tersebutpun menekan tombol hologram yang ada didepannya dan puluhan senjata muncul dari bawah lantai yang terususn rapi dalam rak-rak, disana ada senjata api, sampai senjata tajam dan juga tongkat sihir. Bahkan bom. Elf tersebutpun pergi dari arena. *BIP* Bunyi bel pertama berbunyi. Baron semakin gemetaran, *BIP* Bunyi bel kedua, Baron bersiap, sesaat dia tidak ingin mengambil senjata di dalam rak, karna Raven tidak mengambil apa-apa, tapi dia berubah pikiran. Baron mundur dan mengambil beberapa pistol dan magazin, dan juga beberapa senapan laras panjang, sebuah pisau dan beberapa bom. Dan akhirnya-, *BIIIPPP* Bunyi bel ke 3-pun berbunyi. Dalam sekejap Raven menghilang dari pandangan Baron. Baron memperhatikan sekitarnya tapi dia tidak menemukannya dimanapun, tak lama kemudian sebuah pisau terbang dan mengenai kaki kanannya. Shit!, Dimana dia, dia benar-benar ingin membunuhku. Baron dengan sigap mencabut pisau tersebut, dan memgangnya untuk mengembalikannya kepada Raven. Tapi dia tidak melihat Raven sama sekali. Tak lama, lemparan pisau ke dua muncul dari atas mengarah langsung kearah leher bagian atas Baron tapi Baron, menyadarinya dan berhasil mengelaknya. Baron menembakkan beberapa peluru keatas untuk membalas Raven, tapi itu terlambat, Raven sudah berada di depannya untuk memukulnya. Pukulan-pun mendarat kearah Perut Baron. Baron terkena Pukulan telak Raven dan terhempas, 2 meter ke belakang. Dia merasakan panas di bagian perutnya. Empedunya terkena serangan dan empedunya, sepertinya pecah. Baron tidak bisa berbuat apa-apa, perutnya yang terasa panas membuatnya susah bernafas. Satu-satunya harapan baginya adalah melakukan Akselerasi. Dia harus melakukannya, jika tidak racun dari empedunya akan menyebar kedalam tubuhnya dan akan membuatnya mati secara perlahan. Jadi satu-satunya harapan, dia harus melakukan Akselerasi untuk meregenerasi bagian yang rusak dalam tubuhnya. Cahaya merah darah terang memancar di dalam arena, Raven sedikit terkejut akan kejadian tersebut. “Hoh!?, Keparat Red Eyes ternyata, ….ini membuatku mual” Ekspresi Raven berubah, dia langsung menerjang dari depan, dan kembali memukul Baron. Kali ini wajah Baron yang terkena pukulan. Baron kembali terhempas ke belakang, kali ini dia terhempas sampai ujung arena dan mengenai dinding kaca yang setebal 5 cm. sampai membuat retakan disana. Baron mendapatkan cedera lebih parah dari sebelumnya, bahkan setelah dia melakukan Akselerasi. Raven yang kembali maju menerjang dengan kecepatan yang menakjubkan membuat Baron mau, tidak mau menembakkan beberapa peluru dari pistol yang dia ambil yang masih menyangkut di kantongnya. Tembakan itu melesat kearah titk vital Raven dan mengenainya, seharunya. Peluru itu menembus Raven. Namun Raven tidak mengalami luka sama sekali. Baron yang menyadari monster yang didepannya harus memaksa tubuhnya bergerak, meskipun dia sangat ingin pingsan sekarang karna kerusakan yang di timbulkan oleh Raven dari serangan kedua. Dia rasa, dia mengalami gagar otak sekarang. “mau lari kemana kau!” Raven berteriak kepada Baron. Baron melihat sekitar apakah ada senjata yang bisa dia gunakan sekarang. Raven yang masih ada di sana karna serangannya meleset dan mengenai kaca, terlihat kesal, sedangkan Baron yang hanya berjarak sekitar 5 meter dari Raven terlihat sudah setengah mati sekarang. Sial jika terus begini aku akan mati. Dia!?, dia tersenyum!?. “monster macam apa kau ini?” “HAH!”, Raven mendengar apa yang dikatakan oleh Baron. Tatapannya menjadi semakin tajam dan sadis, rasa hausnya untuk membunuh meningkat, sedangkan Baron semakin mundur untuk membuat jarak antar mereka berdua. “Moster macam apa aku ini!”, Udara dalam arena menguap drastis, ini seperti waktu siang di dalam ruang rapat, namun ini sedikit berbeda. Cahaya merah menyinari tubuh Raven matanya menjadi merah dan rambut hitamnya berubah menjadi merah juga. “RED EYES?” “Benar aku adalah Monster yang sama sepertimu, tapi sayangnya aku membeci monster semacam ku” Baron sekarang merasa hampa, dia tidak memliki apapun untuk dilakukan sekarang. Perbedaan kekuatannya sangatlah besar. Mungkin, sedari tadi dia hanya bermain-main saja denganku, seharunya dia bisa menghasbisiku dengan mudah dengan sihirnya, tapi dia tidak melakukannya. Baron tersadar monster macam apa yang dia injak ekornya sekarang. Baron yang selama ini merasa percaya diri akan kekuatannya sendiri, sekarang dia tahu, dia masih belum apa-apa dibandingkan Raven. “Aku akan mati disini?” “benar sekali” “kalau begitu lebih baik, aku melawan sekuat tenagaku, Bukankah Begitu, …RAVEN!!” Baron bangun dengan susah payah dan langsung menerjang Raven dengan kecepatan yang luar biasa, namun itu terlalu lambat bagi Raven. Tapi sepertinya Raven tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Dia tersenyum jahat dan memukul Baron sekuat tenaga. “Aaaarghhhhhh!!!” Raven!. Tubuh bagian atas Baron terbang dan menghatam dinding yang kurang lebih 30 meter di belakangnya. Baron Telah Terbunuh dalam satu serangan. Tubuhnya hancur berkeping-keping, tubuhnya yang menghantam dinding hanya bagain tubuh bagian perut ke atas, sedangkan bagian bawahnya terbang kerah lain. Pembantaian sepihak. Minggu, 23 September, Pukul 18.58 Waktu setempat, Baron Unspera Wafat. *** “Kenapa kau bisa berbuat sekejam itu terhadap bawahanmu sendiri!?” Roro menghadang Raven setelah pembantaian ini selesai. Dia hendak menampar Raven namun di halangi oleh Diana. Bahkan tatapan Diana seperti menatap sampah terhadap Roro. “Hentikan. Atau kau selanjutnya, Mrs. Roro” Diana terlihat kesal. “Lepaskan tanganku!, kenapa?” “karna aku membenci Red Eyes dan juga manusia. Mereka semua sama saja, baik Red Eyes, maupun manusia, mereka semua hanyalah sampah yang mementingkan diri mereka sendiri, mereka hanya memandang satu sisi dan tidak mempedulikan di sisi lainnya. Mereka sampah. Dan, yang paling penting dia mengatakan hal buruk kepada ayahku, tak peduli itu iblis maupun dewa, akan aku lawan dan akan aku bunuh” “Aa!” Bukankah kau juga sama?, kau sampah. “JIka begitu, kau juga sama seperti mereka bukan!?” “Aku adalah sampah terbesar dari mereka semua” Roro tak tahu harus berkata apa lagi, dia roboh dengan harapan yang telah hancur. Sedangkan Raven dia berjalan menjauh dengan tatapan biasanya. Tatapan orang yang tidak peduli akan dunianya sama sakali, tatapan hampa dan gelap segelap dunianya ini. Dunia Para Red Eyes. RE : Raven Part 8 'life full of Pain' Capter 2 Reason of Life of she is “Nothing”. Part 1 Life is full of pain 3 hari setelah kematian Baron Unspera. Hari ini turun hujan lebat sedari subuh sampai sore hari ini. Seakan Suasana mengetahui isi hati Roro yang masih di turuni hujan. Roro sampai saat ini masih tinggal di kota ini. Dia masih harus mengurus berkas lanjutan dari pelaporan berkas yang sudah diserahkan ke Raven setelah kejadian 3 hari yang lalu, bahkan Roro tak menyangka Raven tidak peduli akan orang yang telah dia bunuh dengan tangannya sendiri. Raven bertingkah tak terjadi apapun. Alasan lain Roro masih disini juga karna dia harus menunggu teman-temannya yang masih dirawat di ruang medis, yang jumlahnya kini bertambah menjadi 10 orang. Sejujurnya Roro sangat ingin pergi dari sini. Dia bahkan berpikir untuk keluar dari Organisasi. Roro mulai bangun dari tempat kerja yang disediakan oleh pihak pusat bagi Roro untuk menyelesaikan tugasnya. Tempatnya di lantai 5, bersama ruang kerja staf kantor lainnya. Mereka(staf kantor) masuk dalam Anggota Regu Umum. Disni Roro menjadi sorotan karna dia adalah satu-satunya manusia disana. Sebenarnya Di Titik Balik Bumi, Penggolongan Evolusi ini tidak berlaku bagi ras-ras yang di golongkan didalamnya. Terutama adalah 10 Ras yang di golongkan sebagai Evolusi Manusia. Mulai dari peringkat terbawah : 1. Hobbit 6. Elf 2. Dwarf 7. Druid 3. Human 8. Enchanter 4. Giant 9. Elemnter 5. Half 10. Red Eyes 9 ras dari 10 Ras yang di golongkan, tidak pernah mengakui mereka adalah manusia. Mereka membenci hal tersebut, karena mereka disamakan dengan manusia. Meskipun ini di anggap “Rassis”, tapi mereka tidak peduli, kebanyakan di dunia ini memanglah seperti ini, Dimana Ras tertentu lebih mementingkan Ras mereka sendiri. Jadi satu-satunya yang dianggap Manusia adalah Manusia itu sendiri. Sehingga wajar saja Roro merasa terganggu dalam kondisi ini. Roropun bangun dari meja kerjanya dan keluar dari kantor, dan langsung menuju lift. “Apa mereka sudah sembuh?:” Roro sedang membicarakan teman-temannya yang sedang dirawat setelah kejadian kemarin sore. Jumlah yang seharunya 2 kini menjadi 10. Semua pengawal yang ikut dengan Roro berusaha menyerang Raven karena mereka marah seperti Roro. Tapi semuanya di kalahkan dalam sekejap oleh Elf cantik bernama “Diana” yang mengawal Raven. Hanya Roro yang tidak mengalami cedera sama sekali dalam insiden itu. Roro pikir mereka akan dibunuh juga seperti Baron, tapi mereka malah tidak dipedulikan oleh Raven. Raven malah menyuruh mereka dirawat sampai sembuh. Roro tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Raven, bahkan sedikitpun dia tidak tahu, semua pemikiranya akan Raven hangus terbakar, Raven adalah makhluk yang tidak bisa di prediksi oleh Roro. Roro yang sedari tadi berjalan sudah sampai didepan lift, dia menekan tombol turun dan mengunggu disana. Angka di atas lift terus saja turun dari, 40 ke bawah,dan sampai ke no5. Dan pintu lift terbuka. Di dalam Lift ada seorang perempuan dan dia : “Manusia”. Roro mengatakan ini cukup keras tapi perempuan itu tidak mendengarkannya sama sekali. Dia masih saja di sibukkan oleh dirinya sendiri. Perempuan tersebut mamakai seragam yang sama persis seperti bebrapa dari para Anggota Khusus yang berkumpul di Arena, 3 hari yang lalu. Roro sedikit terkejut melihat seorang Manusia disini, sedangkan dirinya saja adalah manusia. Roro yang sedari tadi diam, kini tersentak ketika pintu lift akan menutup, dia belari kecil untuk masuk kedalm lift sebelum pintu lift tertutup. Dia sedang membaca sebuah buku? …itu terlihat seperti buku Novel, Dia benar-benar manusia-kan, bukan penyihir maupun Half-kan?, …Ya, jika penyihir maka mereka akan mengenakan sepatu runcing tapi dia tidak, dia memakai sepatu hitam biasa, dan jika half, mereka akan memilki karakteristik tertentu di tubuhnya, hemp!, sepertinya tidak ada. Roro semakin penasaran akan perempuan yang ada didalam lift bersamanya dan terus memperhatikan perempuan tersebut. Pintu Liftpun tertutup, Roro menekan tombol angka 1. Perempuan yang ada disisi Roro sepertinya tidak menyadari Roro yang ada disampingnya. “heh?. kenapa kau jadi seperti ini, ah sial!” Perempuan itu berbicara sendiri dan kemudian menghentakkan kakinya ke lantai lift. Hal tak terduga terjadi. Lift sedikit bergetar. “HAAH!” Roro berteriak ketakutan, tapi perempuan itu tidak menyadari apapun. Dia kembali membaca buku Novelnya kembali. Liftpun mulai turun secara normal kembali setelah guncangan. Dia bukan Manusia!, kekuatannya terlalu besar. “heh!” Perempuan tersebut tersentak, dia sepertinya menyadari sesuatu, melihat reaksi ini Roro sedikit terganggu. “Ahhh!, Tidak Makananku tertinggal, apa yang harus aku lakukan, ah Raven pasti akan memakannya, Ah sial!, Aku harus kembali ” Heh, aku kira dia menyadari ku disni. Kemudian perempuan tersebut menekan tombol ke lantai 40. Tapi setelah dia menekan, dia kemudian kaget setelah melihat kearah Roro yang sedang berdiri di sampingnya. “heh, manusia?” “Hallo!” “WOW!, Ah maafkan saya, hanya saja, sangat jarang saya melihat manusia di sini” “begitupun dengan saya” Perempuan tersebut kemudian menaruh bukunya di dalam Saku seragamnya.. “Apa kau anggota baru?” “tidak aku anggota lama hanya saja aku bukan dari pusat, aku dari cabang Djakarta” “Ah, begitu, …Ah! aku lupa namaku Yusa. Salam kenal” “Roro, salam kenal” *ting* Pintu litf terbuka dan Roropun turun. “Ah padahal aku ingin mengobrol sesama manusia lebih lama. Apa kau masih lama disini Roro?” Ah dia benar-benar manusia!, dan Dia sudah merasa akrab saja, aku rasa aku lebih tua dari mu Yusa. “Saya rasa saya masih 5 sampai 7 hari lagi disni” “Ah bagus kalau begitu, aku kan mengunjungimu nanti, Dah” “Dah” Roro mengucapkan sampai jumpa lagi dengan lambaian tangan. Dan merekapun berpisah disana. Roro berdiam sejenak di depan Lift, dia melihat kearah nomor lift yang terus naik sampai ke angka 30 lebih. Orang itu Anggota Khusus, Seragam yang dia pakai sangat mirip dengan Elf itu, dan lantai 30 keatas diperuntukan untuk Anggota Khusus, Namanya Yusa, kurasa itu hanya Kode-Name atau Nama samaranya. Sudah searusnya Anggota Guardian Bagian Khusus dan Elit mengunakan nama samara bukan!?. Roro yang puas akan pemikirannya kembali berjalan menuju Ruang di mana teman-temannya sudah menunggunya untuk dijenguk. Dari10 anggota yang dirawat hampir tidak ada satupun yang terlihat terluka terlalu parah, meskipun ada satu yang terluka parah yaitu Bolen Civrut, namun berkat Mrs.Valen, dia bisa selamat dan sudah sedikit sehat. Roropun sampai di dalam ruangan perawatan, dia membuka pintu. Disana ada seorang wanita setengah baya dengan wajah yang cantik dan menawan yang sedang mengunakan sihir penyembuhan terhadap salah satu teman-temannya, dia adalah Mrs.Valen, didampingi oleh salah seorang anggota dari Regu Elit dari Ras Orc. Orc tersebut melirik Roro ketika masuk, lirikannya biasa tanpa ada maksud apapun, hanya saja itu membuat Roro ketakutan. Roro ketakutan karna Roro merasa bersalah, akan kondisi Mrs. Valen sekarang. Sehari setelah pertandingan, Roro Melapor ke Atasan kantor Pusat “Raven” untuk menyerahkan laporan. Tapi Raven tidak ada dikantor. Yang ada disana adalah seorang Wanita muda cantik yang mirip dengan Mrs. Valen. Hanya saja itu hanyalah Robot AI bernama “Nu Ecra”. Saat itu Roro bertanya akan Mrs. Valen, dan dia terkejut akan jawaban dari Nu Ecra. Melihat pintu yang terbuka Mrs.Valen menyapanya dengan tanggan yang dia angkat sedikit keatas, dia terlihat lemah. Roro, tak ingin Mrs. Valen melihat rasa bersalahnya sehingga dia bertingkat seperti pertama kalinya mereka bertemu dan menyapa Mrs. Valen seperti dulu. “Anda terlihat kurang sehat Mrs. Valen?” “Nyonya sedang menderita kutukan dari sihir petir yang beliau balikkan pada beliau sendiri, …Aw, …tapi nyonya dia berhak tahu itu” Mrs. Valen mencubit perut bawahannya cukup keras saat bawahannya menjawab pertanyaan Roro. Roro yang sudah tahu kan kenyataan yang ada hanya termenung, sedangkan para anggotanya yang mendengarkan-pun bersikap sama seperti Roro, mereka bahkan meminta maaf dan berterimakaih terhadap Mrs. Valen yang menyembuhkan mereka. Kini Roro merasa tidak bisa menyembunyikan perasaan bersalahnya lagi. Mrs.valen tersenyum melihat Roro dan teman-temannya melakukan hal itu padanya. Mrs. Valen menhentikan pengobatannya kepada teman Roro. Tak lama setelah itu Mrs.valen menyodorkan beberapa foto kepada Roro yang entah dia ambil dari mana. Itu adalah foto beberapa tahun yang lalu. Foto itu adalah foto Raven, Entah Foto seperti apa yang di tunjukan oleh Mrs. Valen kepada Roro, tapi Roro merasa perasaannya campur aduk ketika melihat Beberapa foto tersebut. Roro tidak tahu kenapa dia di tunjukan foto tersebut oleh Mrs.Valen, tapi dia mulai mengetahui Mrs. Valen ingin mengatakan “ini bukanlah salah Raven. Ini adalah salah Dunia yang membuatnya seperti ini”. “Apa anda menginginkan saya untuk memaafkan dia?” “T-Ti-da-k” Roro kembali diam sambil menundukan kepalanya. Roro mengambil kursi dan duduk disebelah Mrs. Valen. Mrs. Valen kembali mengunakan sihir penyembuhan kepada teman-temannya. Mrs. Veln sepertinya tidak ingin mengatakan apapun lagi. Tapi Roro tahu, Mrs. Valen sangat menyanyangi Putrinya ini, dan melihat jejak karir Mrs. Valen, di harus berterimakasih akan beliau, karna tanpa beliau dia tidak akan pernah bisa hidup sampai sekarang. Roro melihat Mrs. Valen dan dia berkata : “Akan aku usahakan untuk memaafkannya, Jendral Penyihir Guardian Mrs. Underworld” “T-Tha-nks”. Intermission Intermission Seorang anak berumur sekitar 9 tahun-nan berlarian di dalam lorong istana yang terlihat begitu mewah, di dampingi oleh pengasuh pribadi di belakangnya. Istana ini adalah kediaman dari seorang Raja dari Ras Elementer Tertua yang pernah di ketahui sampai saat ini. Elementer Bumi “Raja Adam”. Beliau telah berumur lebih dari 400 tahun sekarang. Anak ini yang sedari tadi berlarian akhirnya berhenti di ujung lorong. Di ujung Lorong ini ada sebuah ruangan besar tanpa pintu. Ruangan ini adalah ruang santai milik Raja. Disana ada Raja Adam yang sedang duduk bermain “Catur” dengan seorang kenalannya dari Kemiliteran Rusia “Tuan Willis”. Anak itu masuk dan langsung menuju Raja Adam dan temannya. Dia melihat mereka berdua yang bermain dengan serius, seakan itu adalah taktik perang yang menemui jalan buntu terutama untuk Raja Adam. Dia hanya memiliki Raja dan Kuda sedangkan Tuan Willis hanya kehilangan beberapa pion saja. “Ah sepertinya aku kalah lagi kali ini, Willis” “Hahahha, Anda selalu berbaik hati Tuanku, Anda bisa saja menang dengan mudah melawan saya, tapi tuanku selalu sengaja mengalah bukankah begitu!” “Apa kau mengejek saya, …Ya ampun kenapa aku bisa selalu kalah dari mu” “Apa Catur terlalu sulit Adam?” “Oh Alan, Ada apa kau kesini?” Anak kecil yang di panggil Alan ini yang sedari tadi hanya mengamati mereka berdua bertanya, tapi pertanyaan tersebut memberikan jawaban yang malah membuatnya bingung. “Bukankah ini adalah hari dimana kita biasa melakukan Rapat Bulanan” “Apa Iya?, Aku lupa, Apa kali ini di tempatku?” Alan hanya mengangguk menanggapi kakek bertubuh kekar yang sudah terlanjur uzur tersebut. Alan memang masih muda dan masih belum mengenal akrab Adam dan satu temannya lagi, tapi ada hal yang membuatnya tak ragu untuk mengenal mereka berdua lebih lanjut yaitu Sang Ratu Besar. Beliau adalah orang yang membuat Alan menjadi seperti ini dan dia sangat menghormati Sang Ratu Besar tersebut. “Oh ya!. …Raja kecil sudah datang mendahuluiku” Yang berbicara adalah seorang perempuan setengah baya yang berdiri di belakang Alan. Beliau adalah Ratu Dari Elementer Air “Ratu Ais”. Alan yang merupakan Raja Elementer Angin tak terlalu senang di sebut dengan Raja Kecil, dia menganggap bahwa panggilan itu terlalu meremehkan dirinya. Itu kenapa Alan lebih suka berbicara dengan kakek tua Adam daripada Ais. “Sepertinya aku akan lebih di sanjung oleh Yang Mulia dari pada engkau Ais!” “Aku tidak perlu sanjungan dari Yang Mulia Ratu Besar, Bagi ku kehadiaran Beliau sudah menjadi berkah bagiku” Jawaban dari Ratu Ais membuat Alan sedikit kesal. Alan berusaha selama beberapa bulan terakhir untuk menunjukan kesetiannya kepada Ratu Besar, akan tetapi Ais tidak melakukan apa-apa untuk mendapat sanjungan dari Ratu Besar namun dirinya selalu saja dipuji oleh Yang Mulia Ratu Besar, ini membuat Alan kesal. Alanpun mengerutkan alisnya karna kesal. Sedangkan Raja Adam yang mendengarkan mereka merasa terganggu, itu juga karna dia kalah dalam permainannya. “kalian berdua terlalu berisik, aku sedang ada tamu disini” “Tuan Willis!, Apa anda ada kepentingan dengan Yang Mulia?” “Kurang lebih begitu Ratuku, saya membutuhkan sampel untuk penelitian saya, …saya mendapatkan bahan yang bagus kali ini” “Seberapa Bagus?” “Kualitas tertinggi yang pernah kami kembangkan, …bahan ini sanggup bertahan sampai 1000 suntikan yang kami berikan padanya” “Itu terdengar menyenangkan, Tuan Willis” “Terimakasih Ratu Ais” “Lalu kenapa anda butuh sampel dari Ratu?, …Apa ada hal buruk terjadi?” “Saya sudah melaporkan ini kepada Yang Mulia Ratu, jadi kurasa tidak apa memberikan informasi ini kepada anda. …Salah satu bahan yang kami kembangkan berhasil melarikan diri, dia mencapai angka 517 suntikan, Dia adalah bahan pertama yang mencapai angka fantastis tersebut, saya ingin membawanya pulang. Untuk itulah saya membutuhkan sampel dari Ratu Besar” “itu terdengar menyenangkan juga” Alan melirik kedua orang penyiksa yang saling berbicara penderitaan orang lain ini. Sedangkan Raja Adam sepertinya tidak terlalu mempedulikan mereka berdua dan focus akan papan catur didepannya. Alan-pun memilih tempat dan duduk di dekat Raja Adam. “Apa kau tak mau duduk, Ais!” “Ya ampun, kau baik sekali Raja Kecil” Ais yang sudah duduk kembali berbicang mengenai bahan dari tempat Tuan Willis. Pembicaraan mereka tak pernah berhenti, sampai seorang perempuan dengan Bau yang sanngat wangi, masuk ke dalam ruangan tersebut dan menyapa mereka semua. “Apa kabar semuanya” Perempuan itu menyapa 4 orang yang sedang duduk di kursi, mendengar ini mereka semua berdriri dan memberi salam hangat kepada perempuan itu. “Baik, …Yang Mulia Ratu Besar” 4x Keempat orang disana menudukan kepala mereka sedikit dan memberi salam setulus hati mereka. Perempuan tersebut tersenyum hangat menyambut salam mereka berempat. Yang Mulia terlihat sangat cantik hari ini. Alan terpukau dengan Ratu Besarnya yang sangat cantik yang sedang berdiri didepannya. Perempuan didepannya terlihat indah dengan pakaian layaknya seorang bangsawan kelas tinggi dengan warna merah cerah sebuah cadar khas permaisuri yang menutupi wajanya. Tubuhnya yang terlihat indah dengan lekuk tubuh yang akan membuat wanita mana saja merasa iri melihatnya. Postur tubuhnya tegap dan tingginya semapan, kulitnya putih pucat. Rambutnya yang diikat kebelakang dan dicat ungu memberikan kesan berbeda darinya. “Yang Mulia saya tersanjung akan kecantikan anda yang tak ada duanya di dunia ini, ...ijinkan saya mengantarkan anda ke kursi anda” “Terimakasih Willis” Sial. Aku keduluan. Mereka berlima-pun pergi ke sebuah ruangan di sebelah ruang santai Raja Adam. Ruangan itu merupakan ruangan yang sudah biasa di gunakan untuk rapat bulanan seperti ini. Ruangan bergaya arsiterktur Cina lama dengan dihiasai dengan banyak guci dan juga ukiran hewan dan corak merah dan emas yang indah menghiasi ruangan ini, dan di tengah ruangan ada sebuah meja rapat berbentuk bundar beri isi 4 kursi mewah. Para Raja dan Ratu duduk sesuai kursi mereka masing-masing, sedangkan Willis berdiri di samping Raja Adam. “Kita mulai saja rapat kali ini, Yang Mulia silahkan” “Terimakasih Kakek” Ratu Besar menepukkan kedua tangannya untuk memanngil seorang pelayan setianya yang sudah siap di luar ruangan. Mendengar suara tepukan dari Ratunya dia masuk dengan membawa beberapa dokumen di tangannya dan kemudian membagikannya kepada Raja dan Ratu. Dan kemudian Ratu Besar berkata : “Aku punya kabar gembira dan juga kabar buruk, tapi pertama saya ingin menyampaikan kabar baiknya terlebih dahulu, …kalian bisa melihatnya di dalam dokumen yang sedang kalian pegang sekarang” Para Raja dan Ratu membuka dan semuanya terlihat gembira. Akhirnya penantian kamipun datang. “dan kabar buruknya, …oh!, seperti yang saya duga kalian tahu. …Tapi aku tegaskan saja, sekarang ada dua Seorang Pengendali di dunia ini” “Sudah kuduga, perasaan aneh selama beberapa bulan terakhir ini ternyata benar, lalu dimana dia sekarang?” “Dia ada di Tanah tak bernama, di Kota Bukit Tinggi, terserah kalian akan memlih siapa, aku atau dia, tapi…” “kami tentu akan memilih anda Yang Mulia Ratu”, Ais yang sedari tadi bersikap biasa saja kini terlihat gugup setelah mendengar nada bicara dari Ratu Besar yang penuh arti penekanan dikata “tapi” di akhir kalimatnya. “Tanah tak Bernama Bukit Tinggi, Yang benar saja!, artinya kita tidak bisa menyentuhnya sama sekali” Suasana di dalam Ruangan sedikit mencekam ketika Adam menjelaskan situasi mereka sekarang. Alan yang masih tidak tahu hanya terdiam. “Apa Makhluk itu campur tangan lagi” “Begitulah” Ratu Besar menjawab pertanyaan Ais dengan senyuman. Dan kemudian menyambung perkataannya kembali. “Tidak perlu Khawatir, Kita akan merubah keadaan ini dan —“ *Bip-Bip* Bunyi apa itu? “Apa ada sesuatu yang salah Ratu” Alan bertanya dengan nada cemas ketika Ratu Besar Berhenti menjelaskan dan fokus dengan perhiasan kecil di jari manis di tangan kanannya. Ratu Besar berdiri. Dia melepaskan cadarnya dan memperlihatkan wajahnya yang cantik dan kemudian berkata : “Ah…, Ada tikus yang masuk kedalam bajuku” Ratu Besar berkata dengan nada lucu dengan senyuman lebar di wajahnya. RE : Raven Part 9 'Operasion, Start!' Part 2 Operasion, Start! Setelah menyapa dan menyembuhkan luka dari para anggota Roro di ruang perawatan medis, Mrs. Valen dan pengawalnya pergi ke lantai 40 untuk menerima laporan dan memulai Operasi Penyusupan. 3 hari semenjak Kapten Regu Khusus 1 Efran beserta bawahannya dan juga Diana dan kawan-kawannya dari Regu Khusus 3 Penembak jitu menuju “Kota Palung Mariana”, dan seharunya setelah 3 hari ini, mereka sudah sampai di sana dan sudah masuk sampai sektor 2. Untuk itulah Mrs.Valen pergi ke lantai 40, untuk melihat keadaan mereka sekarang. Keselamatan anggota mereka adalah yang terpenting dalam sebuah misi. Itulah yang dikatakan oleh Raven ketika operasi Pertamanya. Sedangkan melihat kejadian beberapa hari yang lalu, Mrs.Valen kadang tidak tahu apa yang dipikirkan anak perempuannya tersebut. Matanya kososng dan hampa, terkadang dia seperti menatap sesuatu yang jauh, dia sering melamun, dia tidak tertarik kepada apapun kecuali ayahnya, bahkan dia tidak peduli akan rasa sakit yang dia alami, dan dia juga sangatlah kejam, seakan hatinya sudah tidak ada. Mungkin memang benar, dia tidak punya hati. Mrs. Valen mengambil sebuah foto dari saku jas hitam yang dia pakai untuk hari ini. Itu satu-satunya foto asli yang tidak diberikan kepada Roro yang ada di tumpukan foto yang dia berikan kepada Roro. Sebuah foto lama (hitam putih). Mrs. Valen melihatnya dan tampak sedih, tubuhnya gemetaran, dan setetes air mata mengalir dari mata kirinya. “Nyonya apa anda baik-baik saja” “Ibu tidak apa Evan, tidak perlu mengkhawatirkan ibu” Orc yang mendampingi Mrs. Valen yang bernama Evan sepertinya tidak setuju akan apa yang di utarankan oleh Mrs. Valen. “Sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri anda Nyonya, Anda masih sakit” “Terimakasih Evan,meskipun sudah setua ini, ibu masih membuatmu khawatir” Mrs.Valen membelai lembut pipi Evan penuh dengan kasih sayang. “Sudah lama sekali ibu tidak bicara denganmu Evan, Maafkan Ibu, ibu terlalu sibuk ” “Tidak perlu minta maaf Nyonya, tapi itu sedikit-“ “Tidak perlu hormat seperti itu, Panggil aku seperti dulu, Ibu tidak keberatan” “Sepertinya aku yang akan keberatan. Tapi, terimakasih Ibu” Regu Elit/Rahasia yang sekarang adalah sekumpulan orang-orang yatim piatu yang memiliki potensi besar. Mereka dibesarkan di dalam sebuah fasilitas khusus yang didirikan oleh Mrs.Valen. Fasilitas tersebut adalah sebuah Panti Asuhan Milik Pribadi dan disana Evan beserta lebih dari 100 anak lainnya hidup Bersama. Dibesarkan oleh Mrs.Valen dengan penuh kasih sayang. Disana mereka di didik dan diberi pengetahuan yang luas, dan menumbuhkan mereka menjadi sejata mematikan yang patuh. Meskipun Fasiitas ini di tutup setelah Pemerintah setempat mengadukannya kepada badan Perserikatan Bangsa dengan Tuduhan Eksploitasi Anak. Sekitar 5 tahun yang lalu. Akibat ini pandangan Dunia Kepada Mrs. Maria Valendes atau Mrs. Underworld semakin memburuk, tetapi lain lagi dengan anak-anak dari fasilitas tersebut, mereka lebih memilih Mrs. Valen ketimbang Badan Perlindungan Anak. Dan meskipun Mrs.Valen membesarkan mereka menjadi senjata, dia sangatlah menyayangi mereka dari lubuk hatinya. Dia hanya tidak ingin melihat anak lain bernasib sial seperti dirinya yang kehilanagan seorang ibu dan ayah. Tapi meskipun begitu sekarang, dia memilki 2 anak kandung yang manis dan jenius yang mewarisi kekuatan dirinya sebagai seorang penyihir dan juga sebagai … Mrs. Valen terlalu banyak berpikir, dan membuat dirinya memperlambat penyembuhan dirinya sendiri. Hal ini juga yang membuat Evan khawatir. Dia sudah sangat lama tidak berbicara dengan ibunya. Sudah lebih dari 20 tahun mungkin. Semenjak dirinya di pindahkan ke divisi lain di periode kepemimpinan ibunya. Dan semenjak dia tahu dia dibesarkan oleh ibunya yang merupakan pimipinannya sendiri, dia menjaga jarak dan menjadi sangat royal kepada ibunya. Dan di matanya Mrs.Valen adalah sosok ibu yang luar biasa. “Ibu, apa itu asli?” Evan bertanya mengenai foto yang sedang dipegang oleh ibunya, tapi mendengar hal itu Mrs.Valen langsung tersadar. Foto di tangannya kemudian terbakar dengan sendirinya, dan foto itu-pun menjadi abu. “Evan!” “Iya Ibu!” Mrs.valen tersenyum dan mengelus kembali pipi Evan dengan lembut. “Lupakan yang kau lihat tadi!” *** Gelap, itulah yang bisa digambarkan dari ruangan Raven. Tidak ada setitik cahanyapun masuk kedalam ruangan ini, suhunya-pun dingin. Di dalam ruangan gelap ini Raven yang baru pulang dari sekolahnya, langsung merebahkan dirinya ke ranjang dan bersiap untuk tidur, tanpa melepaskan pakaiannya sama sekali, meskipun begitu ketika dia bangun dia sudah tidak memakai apapun, hanya ada selimut hangat yang menutupi tubuhnya dan pakaiannya sudah terlipat rapi di kursi santai yang ada dikamarnya. Raven yang mencoba tidur teringat akan sekolahnya. Raven masih tidak mengerti Mengapa dia masih harus pergi ke sekolah, padahal dia bekerja di Organisasi yang jadwalnya begitu Padat dan mengharusakan dirinya selalu ada. Tapi Maria selalu memaksanya, meskipun ayahnya bilang tidak perlu memaksakan diri, tapi setelah ayahnya mendengar Maria yang membujuknya semua keadaan berubah. Ayah Raven menginginkan kehidupan Normal untuk Raven. Meskipun begitu, kehidupan sekolah Raven sangatlah buruk. Dia tidak memiliki banyak teman, bahkan bisa dikatakann tidak ada. Meskipun begitu Raven menjadi murid tercerdas di sekolahnya. Dia menempati rangking teratas selama 3 tahun berturut-turut, dan sebentar lagi dia akan masuk Sekolah Menengah Atas. Sekolah Menengah Atas dari berbagai daerah di kota ini menawarkan Beasiswa sekolah kepada Raven dan bersedia memberikan fasilitas yang menunjang untuk Raven, akan tetapi Raven yang tidak terlalu peduli akan hal seperti itu hanya diam dan hanya memberikan jawaban : “Aku akan tanyakan itu pada ayah nanti”, tapi meskipun dia berkata begitu, sampai semester akhir ini ayahnya belum mengunjunginya sama sekali. Meskipun Maria bilang, Ayahnya akan datang bulan depan kemungkinan ayahnya akan datang di bulan November tepat di ulang tahun mereka. tahun-tahun yang lalupun sama seperti itu. Ayah. Setelah pikiran yang memelahkan memenuhi benaknya diapun tertidur lelap. 30 menit berlalu dipenuhi mimpi yang terus terulang kembali, cahanya itu mulai menjauh dan terus menjauh. Lampu Menyala terang. Ecra datang kembali dengan tubuh Robot Android miliknya, Dia membangunkan Raven dengan susah payah dan akhirnya Ravenpun terbangun dengan tangan meraih keatas dengan mata berlinang air mata. Setelah berdiam diri sejanak dan menganggap Atasananya tenang, Ecrapun menyerahkan beberapa dokumen yang tertata rapi kepada Raven. Raven langsung mengabilnya dan membacanya. Mereka sudah sampai. Mereka baru saja masuk ke sektor3. “Ecra Apa Maria ada disana?” “Ya Nyonya” “katakan pada Maria dan yang lainnya aku akan kesana segera” “baik Nyonya”. Ecra pun pergi meninggalkan ruangan Raven. Raven bangun dan mencuci mukanya, mengambil baju untuk dia pakai, Kemudian dia pergi menuju lantai 39.5 yang pintu masuknya hanya ada dilantai 40. Lantai 39.5 adalah lantai penerimaan informasi bersifat Rahasia, hanya anggota yang terdaftar saja yang bisa masuk ke dalam lantai ini. Dan dari semua anggota Guardian hanya Kapten dan Wakilkapten dari masing-masing regu saja yang bisa masuk kedalam ruangan ini. Raven yang sudah berganti pakaian langsung menuju lift untuk menuju lantai 40. Bisanya jika di luar ruangan dia akan mengunakan sihir “jump” untuk ke tempat tujuan, tapi jika di dalam ruangan pengunaan sihir ini akan terbatas. Tak lama Raven Sudah mencapai lantai 40 dan masuk ke salah satu ruangan dan dia menghilang di sudut ruangan disana. Lantai 39.5 Raven yang baru datang di sambut oleh seorang manusia yang langsung menyerang Raven dengan mengangkat Raven ke udara dan berkata : “Diamana makananku?” dengan nada marah. Tapi tindakan seperti ini tidaklah berlaku untuk Raven. “kami sudah memakannya, terimaksih atas hidangannya, Dita” “Apa!?, Hei kalian bilang Yang Mulia memakan semuanya, kalian membohongiku hah!, kalian tak sanyang nyawa kalian huh!” “Yusa Hentikan itu, kau bisa membelinya lagikan?” “Bisa tapi itu sangat jauh aku tak suka mondar mandir kesana lagi, Mrs. Underworld bisakah kau membilakannya untukku” “Apa kau ingin aku bakar” Mrs.Valen mengeluarkan Api di telapak tangannya “Tidak terimaksih, aku tidak suka jadi kambing bakar, Hei apa kalian tidak merasa bersalah” “Dita hentikan tindakan konyolmu ini, aku kesini bukan untuk mendengarmu mengeluh, Maria suruh Evan untuk membeli makanan Dita, aku tadi merlihatnya di sekitar lantai 40” “baiklah” Ravenpun di turunkan Oleh Yusa dan duduk di kursi miliknya. Di dalam ruangan ini ada 4 orang jenius dari 4 Organisasai Internasioanal yang mengawasi Kota Palung Mariana Antara lain : Raven(Guardian), Mira(Februari), Dion (Desember), dan Kael (Januari), dan juga Kapten Regu Elit/Rahasia “Maria Valendes” dan juga “Ananda Dita Yusanti” Wakilkapten Regu Khusus 1. “Kita Mulai Operasinya” RE : Raven Part 10 'Deep Town' Bagian 1 Part 3 Sector 3 “Deep Town” Bagian 1. Kapten Efran dan Diana baru saja menyusup ke Sector 3 “Deep Town”. Di sector 3 ini suasana terasa lebih menyeramkan daripada Sector 1 dan 2. Di Sector 3 ini mereka harus menyetel ulang alat-alat mereka. System komunikasi mereka harus di perbaiki sebelum mereka masuk lebih dalam lagi, penambahan beberapa alatpun dilakukan untuk menangulangi adanya penyadapan dan perentasan akan alat-alat yang mereka gunakan. Kewaspadaan adalah hal yang perlu di prioritaskan untuk keselamatan mereka. Baik Kapten Efran dan Diana, maupun rekan mereka yang ikut dalam Operasi ini tahu betul, berbahayanya masuk ke dalam Kota Palung Mariana. Kota ini adalah tempat paling menyeramkan di Titik Balik Bumi. Julukan tersebut bukanlah hanya sekedar bualan belaka. Ketika seseorang mencoba menyelam ke dalam Kota Palung Mariana, mereka harus menangung resiko yang tinggi, bahkan resiko itu bisa saja nyawa mereka. Meskipun begitu, ada hal yang lebih mengerikan daripada kehilangan nyawa mereka dalam sekali tebasan atau sekali tembak. Ini adalah beberapa kasus 18 tahun yang lalu. Di beberapa media social tersiar video penyiksaan yang begitu kejam oleh beberapa orang yang di perkirakan dari Dasar Kota Palung Marina. Siaran itu menampakkan beberapa orang dengan wajah yang menyeramkan, dengan wajah putih pucat yang bundar dan dengan mulut tanpa bibir yang menunjukan gigi putih berlumuran darah dan mata yang bulat kecil yang menyeramkan, sedang menyiksa seorang elf laki-laki, sampai elf tersebut mati bahkan setelah Elf tersebut matipun mereka masih memainkan jasadnya dengan memotong-motongnya dan memberikannya pada anjing yang terlihat hampir mirip mereka. Para hacker internasional mencoba mencari dari mana asal video tersebut, dan gagal. Video ini tidak memiliki alamat resmi untuk di jadikan bahan penyelidikan bahkan tidak di ketahui pengirimanya, sampai saat ini video itu menjadi hal yang tabu untuk mereka yang pernah melihatnya, dan keberadannya di media social telah sepenuhnya di hapuskan. Dan kasus lainnya. Dibeberapa negara banyak orang mendapatkan terror. Mereka dikirimi berbagai hal, mulai dari boneka vodoo yang berlumuran darah dengan paku yang tertancap, Foto dirinya dengan orang menyeramkan di belakangnya, sampai sebuah organ dalam seseorang. Dan semua itu di sinyalir adalah salah satu ulah dari orang di pedalaman Kota Palung Mariana. Nama Palung Mariana sendiri di ambil dari sebuah nama Palung terdalam di dunia Asli sana. Nama ini juga di beri karna kebanyakan informasi rahasia dari berbagai negara, ada di dalamnya. Meskipun menyandang nama tersebut banyak orang yang pensaran dan menyelam. Orang yang menyelam biasanya mendapatkan informasi yang berharga, tapi semua itu mendapatkan resiko yang setimpal pula. Kebanyakan yang berhasil keluar dari sana menjadi orang yang berbeda. Ada pula Kisah para hacker yang mencoba membobol Mariana dengan internet, tapi semuanya berakhir mengenaskan. Mereka di temukan di dalam kamar mereka tak bernyawa dan sudah membusuk dengan sebuah karangan bunga bertulisakan “Mari kita bersenang-senang” dengan Huruf Romawi kuno kecil di bawahnya yang bertulisakan “Marianas”. Nama Kota paling merngerikan ini juga dikarenakan Kota Palung Mariana adalah tempat tinggal, sekaligus tempat asal dari Para Red Eyes. Ras Peringkat pertama di penggolongan Ras Manusia. Hampir 97% populasi Red Eyes ada di sana, hal itulah yang membuat satu kota ini membuat hampir semua negara ketakutan. Kekuatan yang besar di bandingi dengan kekuatan informasi yang luar biasa. Meskipun begitu Raven ingin menuntaskan tugasnya yang sudah terbengkalai selama 2 tahun terakhir. Tugas yang harus dia tuntaskan dengan kekuatannya sendiri. Tugas yang yang berasal dari sebuah surat kecil bertulisakan : “Tangkap Aku Raven” yang di bawahnya terdapat tulisan Romawi kuno dengan tulisan “Marianas”. Meskipun Raven tidak terlalu peduli akan hal tersebut, Namun namanya merupakan Perwakilan dari Organisasi ini juga. Jadi… “Apa kau sudah selesai Diana?” “Sedikit lagi, Aku perlu menyetel ulang Frekuensiku, Mereka juga kelihatnya belum selesai” Diana melihat teman-temannya yang berjumlah 5 orang yang semunya merupakan penembak jitu dan juga seorang mata-mata yang hadal. Begitu juga Kapten Efran dia hanya membawa 5 anak buahnya yang handal dalam teknis dan juga pertempuran. Tapi dari 5 orang hanya tersisa 2 dari mereka, 3 diantara berada di sector 1 dan 2 dan di luar Marianas, mereka bertugas untuk menerima pesan berantai dari Efran. Sistem ini dilakukan karna penerimaan gelombang Frequensi di Kota ini sangatlah terbatas, paling jauh hanya sampai 10 km saja. Sedangkan kota ini sangatlah luas. Jadi mereka harus meletakkan pemancar di setiap titik tertentu untuk mengirimkan pesan berantai dan juga untuk menerima informasi. Maka dari itu untuk menjaga pemancar ini hilang atau mengalami kerusakan anggota dari Kapten Efran bertugas menjaganya. “Apa kita kan bermalam disini?, Kurasa akan menyulitkan bagi kita untuk bergerak di malam hari, kau tahu itu bukan?” “Tentu, berdasarkan informasi, makhluk mengerikan akan bermunculan di jam 11 malam sampai 4 pagi dan mereka akan memakan siapapun yang ada di jam tersebut, bahkan kucing liar, Maka dari itu-” Kaptern Efran mengeluarkan peta yang dia buat berdasarkan penelusurannya selama 2 tahun terakhir. Peta Kota Palung Mariana Dari Sector 1 sampai Sector 4b. “JIka melihat koordinat kita sekarang maka kita ada disini, …kita ada di sebuah desa Bernama Oldenburg” “Kapten apa maksudnya lingkaran semu ini?” “itu menandakan pembagian Sector di Kota ini, yang paling luar adalah Sector 1 dan terus ke dalam Sector 2,3,4b dan mungkin samapi ke sector 5” “Bukankah kau pernah kesini sebelumnya?” “Memang tapi itu sudah sangat lama, 7 tahun yang lalu mungkin, tapi kenapa di petamu sector 4 hanya setengah?” “ Sector 4 terbagi menjadi 2 sector 4a dan 4b, dan Down Town ada diluar yaitu sector 4b, itu adalah tujuan kita 2 hari dari sekarang” “Sector 1 dan 2 dibuat pendek sedangkan Sector selanjutnya di buat lebar, apa yang ada di sector 4a?” “lalu dimana Safe house kita?” “Disini” “Baiklah, kawan-kawan apa kalaian sudah selesai” “Sudah Wakil Kapten” 5x “Bagiamana dengan Kalian?” “Kami sudah siap” 2x “Kalau begitu kita akan bermalam di sector 3. Cari informasi sebanyak mungkin yang kalian bisa sebelum jam 10 malam, ingat jam 10. Jam 10 lebih 30, aku ingin kalian sudah ada di dalam safe house. Aku tak ingin salah satu dari kalian menjadi mayat di jalanan ketika pagi menjelang” “Baik Kapten” 8x “Dan Waspadalah” Kapten Efran dan yang lainnya menuju Safe House seperti apa yang di rencanakan, tidak ada hal yang terjadi selama mereka ke safe house. Disana Anggota Guardian yang bertugas untuk menjaga safe housepun baik-baik saja. Para anggota yang masih ada beristirahat dengan tenang, mereka meletakkan senjata mereka dan makan sebelum kembali beraktifitas dan mencari informasi ke penjuru kota ini. Sedangkan Kaptern Efran dan Diana menuju ruang bawah tanah yang menjadi gudang penyimpanan senjata dan juga tempat pengiriman informasi lewat kabel yang tersamabung ke pusat komando di luar Kota Palung Mariana. “Apa semunya baik-baik saja?” Kapten Efran bertanya dengan Petugas yang menjaga safe house. “semuanya baik-baik saja, hanya saja disini sedikit lebih tenang selama 2 hari terakhir” “Maksudnya?” “Ya bagiamana yah?, biasanya banyak wanita penghibur disana sini sebelum jam 10 lewat, tapi sekarang mereka sekarang menjadi sedikit” “Hah!?” Diana menatap rendah terhadap penjaga safe house yang merupakan seorang Goblin. “Ya!, maksudku, itu sedikit mencurigakan” “kenapa?” “karna ini adalah Salah satu Daerah Prostitusi, …kalian tahu?” “Lalu!” “Akan aneh jika Daerah ramai seperti daerah prostitusi malah menjadi sepi bukan!. Seakan akan terjadi penyergapan saja, kau tahu kami para Goblin selalu berpikir seperti itu, ketika suasana sepi. Seakan musuh sedang mengincar kepala kami dari kejauhan” Kapten Efran dan Diana terkejut. Memang benar itu terlihat mencurigakan. “Siapa namamu?” “Ernes Tuan” “Ernes cepat tinggalkan Kota sekarang!, masih ada waktu 7 jam sebelum para monster muncul, cepatlah!, dan bawa senjata untuk perlindungan, ingatlah jika ada musuh, menghindarlah. Kau tak perlu mati di tempat ini” “baiklah Tuan, tapi kenapa?” “Kemungkinan besar kau benar. Kita sedang di incar”. RE : Raven Part 10.5 'Deep Town' Bagian 2 Part 3.5 Sector 3 “Deep Town” Bagian 2 Diana tidak menyukai dengan pemikiran dari Ernes dan juga pemikiran dari Kapten Efran. Bukannya Diana tidak suka akan perbedaan pendapat akan pemikiran seseorang atau juga bukan karna dia tidak menaruh rasa hormat akan atasannya tapi-, …Diana lebih suka hal yang berbau “Pasti” daripada pemikiran sesaat atau filling. Diana bukanlah orang yang menetapkan suatu situasi hanya dengan insting belaka. Dia selalu menghitung, mengamati keadaan sekitar dan menetapkan situasi kelompok nya, dan selanjtunya dia akan menetapkan tindakan seperti apa yang harus mereka lakukan. Layaknya bermain catur. Diana harus mengerti posisinya, mengatur langkah selanjutnya, dan memperhitungkan langkah selanjutnya dari lawan dan mengatur lagi rencana kedepannya. Sebuah pemikiran yang terinci dan terencana. Dan itulah sosok Diana yang sekarang. Saat Diana memikirkan ini, dia teringat Insiden memilukan yang memakan banyak korban dari kalangan masyarakat umum yang dikenal dengan “Pembersihan Dosa oleh Hitler”, yang berhasil di bersihkan oleh seorang anak perempuan berumur 12 tahun, yang baru memimpin beberapa bulan. Dan Dialah yang mengajarkan Diana cara berpikir seperti ini. Kau harus melihat strategi lawan dan mencoba memprediksinya. Itulah yang diajarkan Raven kala itu. Dia adalah guru tidak langsung bagi Diana, meskipun Diana sangat sulit menerimanya. Penolakan Diana akhirnya tidak bisa di tahan lagi dan akhirnya bendungan dalam diri Diana meluap dan jebol. Dianapun mulai menyuarakan dirinya. “Kapten!, dari mana anda pikir-kan kata-kata itu!. Itu tidak lucu!. …Jika kita memang sudah ketahuan maka prioritas utama kita adalah mundur secara bertahap, melapor ke kantor pusat dan merancang rencana baru. Tapi dari mana anda tahu kalau kemungkinan kita sedang di incar!?” “Heh?, aku hanya berpikir seperti itu, kurasa Instingku berkata seperti itu” “Aku juga sama” “JIka kalian terlalu memepedulikan isting kalian, kembalilah ke alam liar!. Hidup disana bersama hewan-hewan disana!” Diana yang mencoba menahan amarahnya kini tak bisa menahannya lagi. Sudut matanya menjadi mengerikan dan seperti melihat serangga. Diana mulai mencoba memegang pistol yang masih didalam saku pistol di sebelah kanannya. Melihat ini Kapten Efran tahu dia dalam masalah besar dan amat teramat sulit. Temannya Kapten Ari pernah berkata mengenai Diana ketika dalam Mode Pembunuh. Kapten Ari bercerita bahwa Mode Pembunuh Diana adalah sifat alami dari Diana. Karna sifat ini pula yang membuatnya direkrut langsung oleh Mrs.Underworld kala Itu. Diana adalah seorang pembunuh berdarah dingin dari kemiliteran Jerman kala itu. Dan mode ini terjadi ketika Diana mulai memegang senjata. Dan saat itulah terjadi, Sebuah Senyuman dari pembunuh yang akan mengahantuimu. Seperti itulah yang diceritakan oleh Kapten Ari kepada Kapten Efran dikala minum kopi bersama. “Diana tunggu!” kapten Efran yang ketakutan menghentikan Diana yang masih berusaha memegang pistolnya. “jangan buang-buang pelurumu hanya untuk candaan tidak berguna ini, Ok!” “Candaan?!, …Anda kira kita sedang tamasya atau apa?. …Apa anda lupa kita ada dimana!?, …oh OK, kalau begitu. Biarkan aku membuat satu lubang di tubuh anda kapten. Anda adalah Troll bukan!. Aku dengar Ras anda memiliki tingkat regenerasi yang luar biasa. Jadi kurasa itu tidak masalah bukan” “Ya tollong jangan lakukan, aku minta maaf” Diana yang masih marah, masih sangat ingin memegang pistolnya. Diana tahu Troll memiliki regenerasi yang tinggi jadi serangan seperti tembakan peluru dari pistol caliber sedangnya miliknya takkan berarti bagi Kaptern Efran. Sedangkan kenyatannnya Kapten Efran yang tahu hal tersebut berpikir. Meskipun dia memiliki tingkat regenerasi yang luar biasa selama perkembangannya dalam peraihan point-point ketika pelatihan untuk menjadi Regu Khusus dulu hingga sekarang, tapi tetap saja dia akan kalah dari Diana. Dan juga meskipun satu tembakan saja, tetap saja itu terasa sakit. Pikirnya. Dan yang terlebih lagi Point Diana lebih tinggi darinya, setidaknya 12 point lebih tinggi. Kapten Efran tahu betul perbedaan 1 point saja sangatlah terlihat perbedaannya. Dianapun menyerah akan pelubangan bagian tubuh. Dia akan melampiaskannya nanti kepada boneka tempur di ruang pelatihan nanti. Dan sekarang Diana mencoba focus kembali dengan apa yang akan mereka lakukan sekarang. Diana menarik tangannya kembali untuk tenang. Dan dengan helaan nafas yang berat semua percakapan membuang waktu ini berakhir. “seharusnya anda memberikan perintah kepada kami sekarang Kapten” “Terimakasih Diana, baiklah kalau begitu-” Kapten Efran tersenyum dengan terpaksa, didalam hatinya dia berterimaksih akan temannya Kapten Ari, karna pernah menceritakan bawahannya ini. Dia juga berpikir untuk mentarktirnya minum sehabis pulang nanti dan menceritakan pengalamannya kali ini. Meskipun dia akan tahu jawaban dari temannya nanti. Kapten Efarn membanyangkan dalam pikirannya, Kapten Ari tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya. Kapten Efran membuka peta yang telah dia buat sebelumya, dia menunjukan lokasi yang sama seperti sebelumnya. Dengan bantuan dari Ernes yang merupakan Anggota masyarakat disini mereka mengetahui infomasi-informasi baru mengenai tempat yang bisa mereka kunjungi untuk meraih informasi. Ernes juga menyerahkan daftar para Informan yang bisa dipercaya. Susunan untuk rencana pencarian Informasipun akhirnya selesai ditangan ke2 orang tersebut dengan bantuan Ernes. Hanya saja- “Ernes, dari tadi kau kelihatan gelisah” kapten Efran yang menyadari gerak gerik dari Ernes penjaga Safe House bertanya. Kapten Efran Tidak tahu mengapa Ernes ini begitu terlihat gelisah saat ini. “Tak perlu takut, kita masih sama-sama melanyani orang yang sama, selama itu, aku takkan membedakan perbedaan apapun” “jangan samakan aku denganmu Kapten” “ya, ya, aku tahu!, …bicaralah jika ada yang menggangumu” Ernes yang merasa sedikit tenang, dan akhirnya membuka mulutnya, “ini tentang penyergapan yang aku bicarakan tadi, Bisakah Nyonya Diana mempertimbangkan hal ini kembali!?” “untuk apa?” “maafkan saya, tapi entah kenapa ini sungguh menggangu saya, dan apakah rencana untuk saya meninggalkan safe house masih bisa dilakukan?” “…!?” Diana bertanya-tanya, kenapa?, Ada Apa?, dan sebagianya, Diana pernah membaca buku mengenai berbagai ras yang ada di Dunia ini, dan tak luput salah satunya adalah Goblin, Mereka adalah ras yang terlahir dengan keunikan tersendiri. Tapi keunikan mereka berasal dari tindakan mereka. Ras Goblin sangat mudah mempelajari apa yang meraka lihat. Itu kenapa meskipun mereka Ras yang digolongkan lemah, tapi jika meraka dilatih dengan benar maka meraka akan menjadi Ras yang lebih unggul dibandingkan Manusia bahkan Elf sekalipun. Diana mulai melihat Ernes yang merupakan Ras Goblin tersebut. Dalam Evolusi atau perkembangan atau juga pertumbuhannya, Goblin di kategorikan menjadi beberapa dan dia antara yang paling tinggi adalah Evolusi menjadi Lord Goblin, Dan Elder Goblin. Sedangkan Ernes sudah berevolusi menjadi High Goblin, jika dalam tatanan kekuasaan Ras mereka, maka Ernes memiliki paringkat sebagai Jenderal, meskipun tubuhnya kecil, tapi kenyataanya kemampuannya dan pemikirannya setingkat dengan jabatan itu. Diana juga berpikir apakah pemikiran dari Goblin ini perlu dia pertimbangkan. Dianapun mulai memikirkannya. Dia juga melihat Kapten Efran. Dia mengingat pula bahwa ada beberapa Ras Troll yang system regenerasi alaminya meningkat setelah point mereka bertambah. Apakah Goblin juga?, pikir Diana. Tapi kenapa tidak!?, jika Troll Elf, Orc, Siren, maupun Ras lainnya mengalami peninkatan ketajaman kemampuan yang memang sudah meraka punya sejak dari dulu atau bawaan,dari ras mereka, kemungkinan besar Ernes Juga. Diana mulai memikirkan ulang Apa yang harus dia lakukan. Jika dia musuh Apa yang akan dia lakukan?. Kemana aku harus bertindak?. Diana mulai terdiam dan tenggelam dalam pemikirannya. Dia mulai berpikir banyak hal. Tapi kenyataannya semua pemikirannya hanyalah sebuah spekulasi belaka karna Informasi terlalu sedikit bahkan hampir tidak ada dan Diana-pun tidak memiliki ide apapun dikepalanya sekarang, dan saat ini yang memiliki otoritas untuk memutuskan bukanlah dia, tapi Kapten Efran, dia hanya bertugas untuk mengarahkan jika Kapten salah atau melenceng seperti kejadian tadi. Tapi Diana berspekulasi bahwa, jika semua ini benar maka- “Orang Ini sangat pintar” Diana berpendapat demikian. Dan pada akhirnya Diana hanya membuat keputusan untuk memberitahukan ini kepada rekan-rekannya diatas dan bertindak untuk waspada dan untuk Ernes dia tidak di ijinkan untuk pergi dari Safe House. Malam itupun meraka menyebar keseluruh penjuru kota di Sector 3. RE : Raven Part 11 'Groaning in the middle of the night' Part 4 Groaning in the Middle of the Night Semua regu yang berpencar kembali ke Safe House tepat waktu atau lebih tepatnya, mereka pulang sebelum jam 10.30. Mereka yang sudah berkumpul memberikan informasi yang mereka dapatkan dari para informan. Pukul saat ini masih menujukan pukul 10.22 malam waktu setempat. Dan ini adalah malam ke empat mereka di Palung Mariana. Diana sempat khawatir akan penyergapan yang di katakan Ernes. Tapi semuanya baik-baik saja, …mungkin!. Tapi meraka tidak tahu bahwa malam inilah yang akan menjadi malam paling menyeramkan dalam hidup meraka bahkan lebih menyeramkan dari pada penyergapan itu sendiri. Para anggota yang berkumpul yang terdiri dari 2 anggota dari Kapten Efran dan 5 anggota dari Diana berkumpul di Ruang tengah membahas titik selanjutnya untuk menuju sector 4b “Down Town”. Ketika mereka sedang membahas ini, Ernes mematikan lampu setelah 5 menit mereka membahas rencana mereka. “Ernes kenapa kau mematikan lampu” Tapi Ernes membalasnya dengan berbicara pelan dan berkata kepada lainnya agar tidak bersuara sedikitpun. Kapten Efran dan Diana mulai mengingat akan sebuah laporan. Laporan yang bertuliskan makhluk mengerikan yang berkeliaran di jalanan Sector 3 dan sector 4. Dan Pukul sudah menunjukan 10.27.56 detik, sebentar lagi monster-monster ini akan muncul ke jalanan. Mungkin ini pula yang membuat Ernes terlihat sangat waspada. Kemudian Ernes berkata “Mereka sangat rentan dengan suara mahluk hidup terutama ucapan yang memiliki makna, dengan kata lain adalah kita”, meskipun tidak ada kasus dimana mereka “para monster”, menjebol pintu untuk masuk kedalam rumah. Tapi ada kasus dimana makhluk ini terus-terusan berada di dekat pintu atau jendela sepanjang malam hanya karna suara kecil. dan itu sering terjadi dulu. Tapi bagaimana dengan sekarang?. Itulah yang dipikirkan yang lainnya, tak luput Diana juga bertanya-tanya. Diana mulai bertanya “bagaimana sekarang?” tapi Ernes menggelengkan kepalanya yang artinya “tidak ada”, meskipun Diana penasaran akan hal tersebut, tapi waktu mulai bergerak dan waktu mulai menunjukan pukul 10.29.44 detik. Dan Ernes menyuruh mereka untuk tidur di ruang bawah atau ruangan di bagian tengah yang dibuat oleh Ernes sendiri, yang di bagian temboknya di beri tambahan. Dinding di kamar ini dilapisi dengan karpet dan bahan lainnya untuk meredam suara Kenapa harus begitu waspada? Mereka tidak bertanya akan hal ini kepada Ernes, mereka hanya diam dan mengikuti instruksi Ernes yang sudah bertahun-tahun hidup disini, dan dia yang lebih tahu akan kondisi disini dari pada meraka. Dan itu fakta. Dan yang lebih penting, mereka harus fokus akan penyusupan mereka besok agar lebih dekat ke sector 4b untuk menemui seseorang disana, yang merupakan informan mereka. Pukul-pun menunjukan 10.30.01. Ketika waktu menunjukan pukul tersebut, hawa didalam rumah menjadi berubah menjadi lebih dingin dan terus bertambah dingin. Dan itu bukan hanya firasat saja, nafas mereka mulai mengeluarkan uap karna dinginnya udara. Ernes yang bertindak cukup tenang, sekarang mulai mendorong Kapten Efran dan yang lainnya ke bagian dalam kamar tengah. Dengan menyuruh mereka untuk diam dengan isyarat dari jari telunjuknya yang dia tempelkan kebibirnya. Ernes yang sudah mendorong mereka langsung menutup pintu secara perlahan. Setelah pintu tertutup Ernes bernafas lega. Seperti dia terbebas dari pekerjaan berat yang menumpuk selama seminggu. Suhu ruangan tengah ini lebih hangat, dan ada cahaya dari lentera kecil yang cahaya tidaklah terlalu terang, tapi itu cukup untuk mereka. Ernes membawakan beberapa selimut untuk mereka dan kemudian berkata : “maukah kalian berjanji untuk tidak keluar dari ruangan ini apapun yang terjadi” “Kenapa!?” “Aku tak ingin mengingatnya lagi, kumohon Tuan dan Nyonya!” “baiklah jika kau memaksa” Diana yang tak mau pikir panjang, menjawabnya dengan mudahnya. Diana yang mengiyakan perkataan Ernes tidak tahu akan kejadian untuk kedepannya nanti. Diana tidak pernah terpikirkan akan hal itu?. Pukul 23.55 malam. Diana terbangun dari tidurnya. Diana yang terbangun karna dia ingin buang air kecil. Diana sangat ingat akan perkataan Ernes. Diana-pun kembali berbaring dan menahannya, tapi ketika dia mencoba menahannya lama-kelamaan, akhirnya tidak bisa dia tahan lagi dan diapun keluar dari kamar tengah tanpa pikir panjang untuk menuju toilet yang tak berada jauh dari kamar tengah. Diana membuka pintu kamar tengah perlahan-lahan agar tidak membangunkan siapapun. “hah syukurlah mereka tertidur lelap” Diana berbicara pelan ketika berhasil menutup pintu kembali. “tapi mengapa bisa sangat dingin di sini” Diana mulai berjalan menuju toilet dan masuk ke dalamnya. Tak berselang lama di sertai dengan suara air mengalir Diana keluar dari sana. *Dogk* Suara seperti benda terbentur terdengar dari depan pintu dan itu tidak hanya sekali. Diana mendengarnya berkali-kali seakan ada sesuatu yang mencoba masuk namun tidak bisa. Dianapun penasaran akan suara tersebut. Diapun berjalan mendekat kearah pintu depan yang terbuat dari kayu yang kokoh yang dilapisi dengan baja yang terkunci rapat dari dalam. Diana tidak bisa melihat apapun dari pintu yang tertutup rapat tersebut. tapi berbeda lagi jika- “jendela!?” Diana melihat sebelah kanan dan kiri pintu. Seharusnya ada sepasang jendela di kanan dan kiri pintu tersebut. Diana menuju kearah kiri pintu dan menemukan juntaian tirai yang panjang dari atap sampai menuju kelantai bahkan sampai menyentuh lantai bahkan terlihat terserak dilantai. Itu bukanlah ukuran yang pantas untuk sebuah tirai untuk jendela kaca yang terbilang tidak terlalu besar, lagian rumah ini hanya seluas 4 kali 6 meter dengan lantai bawah tanah ukuran 2 kali 2 meter. Dianapun mulai membuka tirai, dan dia terkejut dengan apa yang dia lihat. “he~h!, berapa banyak tirai yang Ernes pasang disini?”, Diana mulai membuka tirai-tirai tersebut satu-persatu. Di tangan kanannya sudah ada 3 tirai dan tirai keempat mulai dia pegang tapi masih ada tirai ke 5 dan mungkin selanjutnya. Diana yang tidak sabar akan apa yang membuat suara tersebut, akhirnya menggengam semua tirai yang ada dan membukanya dan- “HIii!!!” Diana tersentak kebelakang dan hampir jatuh tapi seseorang menopangnya dari belakang, sedangkan mulutnya yang hendak berteriak sudah tertutup oleh sepasang tangan kecil yang meraihnya dari belakang. Itu adalah tangan Ernes. Ernes benar-benar terlihat gemetaran ketika menutup mulut Diana. Tepat saat itu juga suara garukan ke jendela dan pintu terdengar, dan mulai menjadi banyak. Suara benda mendorong-dorong ke pintu terdengar semakin jelas, bahkan semakin keras. Jika pintu itu tidaklah kokoh dan tidak dikuci dengan rapat pasti pintu itu sudah roboh. …Mungkin. Ernes melepaskan satu tangannya untuk meraih tangan Diana dan menariknya secara paksa ke dalam kamar tengah. Diana yang merasa Shock melihat apa yang dia lihat hanya bisa menurut ketika di tarik oleh Ernes. Disaat yang besamaan pula rintihan yang terdengar sangat nyaring dan membuat seseorang ingin menutup telinganya terdengar ke telinga mereka. Tak hanya itu semua anggota yang ada di dalam pun terbangun karna mendengarnya. Ini karna pintu ruang tengah terbuka. Mereka mencoba melihat siapa yang membuat suara tersebut tapi ketika melihat Ernes dengan ekspresi ketakutan sambil menggelangkan kepalanya yang seakan berkata “jangan lakukan” sambil menarik Diana yang terlihat Shock mereka terdiam atau lebih tepatnya membisu. Suara rintihan ini terdengar sangat nyaring sampai Ernes menutup pintu kamar tengah dan suara tersebut hilang sepenuhnya. Ernes yang baru masuk langsung meringkuk setelah melepaskan tangan Diana. Ernes langusng memakai selimut dan menutupi kedua telinganya dan tubuhnya terus gemetaran ketakutan. Kapten Efran yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi akhinrya bertanya kepada Diana yang masih Shock. Dengan lirih Kapten Efran bertanya ,“Apa yang terjadi?”, Diana menatap Kapten Efran dan berkata “Aku kira Setan itu tidak ada” Kapten Efran terkejut mendengar jawaban dari Diana. Kapten Efran mulai mengerti apa yang terjadi. Diana telah melihat Monster tersebut. Kaptenpun membuka sedikit pintu karna penasaran seperti apa setan yang dimaskud oleh Diana atau lebih tepatnya monster yang dilihat Diana. Tapi Dia tidak melihat apapun. Dia hanya mendengar suara rintihan monster yang terdengar sangat mengerikan dan membuat bulu kuduk seseorang berdiri yang berjumlah 10, tidak mereka bertambah, bahkan mungkin menjadi 50 suara rintihan yang mengerikan. Rintihan ini mungkin lebih mirip seperti jeritan seorang wanita yang sedang dicap dengan besi panas dan ditusuk-tusuk dengan besi panas. Mendengar ini, Ernes semakin meringkuk dan menutupi telinganya. “Aku sempat kaget akan wajah itu, tapi sekarang, ,,,,,haaaaaaaahhhh(Embun nafas berhembus dari mulut), …aku ingin membunuh mereka” Diana yang tadi terlihat Shock mendekat kearah Kapten Efran dengan Ekspresi mengerikannya (Senyuman lebar seorang spikopat), dengan Senjata andalannya di kedua tangganya “M107A1”. Diana kini dalam Mode Serius untuk membunuh. “Akan ku lubangi wajah itu” RE : Raven Part 12 'a Cofe' Part 5 A Cofe Mrs. Valen yang pulang terlebih dahulu, karna dia memiliki kehidupan di dua dunia yang berbeda, menyisakan 4 orang di lantai 39.5. Mereka adala para jenius yang bekerja hingga larut malam sampai sekarang ini. Pukul di Monitor depan Raven menunjukan 23.33 malam. Artinya sudah sangat lama sejak Kapten Efran mengiriman laporannya kepada Kantor Pusat. Sejujurnya, Raven sedikit merasa gelisah dengan sedikitnya laporan yang dia terima dari Efran. Tapi karna Raven sudah pernah memberikan laporan yang dia baca sebelumnya kepada Efran dan Diana, dan berkata, agar tidak perlu melaporkan hal yang sudah tercatat di dalamnya, …tapi, tetap saja, Raven merasa cemas dan bosan akan keadaan sekarang ini. Ini terlalu hening. Dan itu mengganngu Raven. Misi kali ini adalah misi penyusupan sekaligus misi penyelidikan akan seorang informan dari Down Town. Raven merasa Informan ini perlu di bawa ke kantor pusat. Raven tertarik akan banyaknya informasi yang dia dapatkan hanya dari satu orang tersebut. Dia berpikir akan lebih baik jika dia membeberkan semua yang dia tahu. Tapi kondisi di Down town takkan memungkinkannya, jadi dia mengirim Efran dan Diana untuk mengawasi informan tersebut. Raven juga berpendapat, ada 2 kemungkinan akan informan tersebut, yang pertama, informan ini asli dan dalam status darurat, yang ke2 informan palsu dengan status menjebak. Kedua kemungkinan ini semuanya tidak menguntungkan bagi Raven maupun Organisasi, jadi pilihan yang terbaik yang Raven punya hanya mengirim seseorang untuk misi penyelidikan, dan menyimpulan mana!, dari 2 kemungkinan ini, yang benar. Raven yang mulai bosan mulai memutar-mutar pulpen yang dia gunakan untuk mengerjakan PR sekolahnya. Dan dalam sekejap pikirannya berubah kearah kehidupan lain dari kehidupannya, kehidupan sosial dan sekolahnya. Terutama Sekolah, sejujurnya Raven sedikit kecewa bahwa sekolah regular diaman dia bersekolah sangat membosakan daripada pelatihan dalam peraihan point-point yang mengharuskan Raven berpikir dalam situasi darurat dalam tekanan Gravitasi yang terus di tingkatkan. Point-point ini ditentukan oleh sebuah system, yang dibuat khusus oleh seorang jenius dimasanya bernama “Muncen Huero”, Seorang Profesor di bidang Terkonologi dan Seorang Profesor di Universitas Totenham Inggris di bidang Pengembangan Terknologi Masa Depan. Beliau adalah seorang Druid kebangsaan Inggris, beliau menerapkan pengembangan kemampuan yang berupa system khusus yang bisa mempengaruhi system otak. Sebuah system yang di rubah dalam bentuk gelang sabuk bernomer. Setiap nomor yang muncul mewakili kecerdasan, keterampilan, dan kekuatan, Untuk menaikkan angka atau point demi point mereka(para pengguna gelang) akan menghadapi ujian berturut-turut, Dimana mereka akan di uji akan kecerdaasan mereka, keterampilan mereka dan kekuatan meraka di dalam gravitasi yang terus-menerus naik. Satu angka mewakili 1 gravitasi Bumi, jadi setiap angka naik maka gravitasi akan di tambahkan. Dalam situasi inilah mereka di uji. Kehebatan dari system ini juga berupa perekaman mutlak, jadi keterampilan mereka akan terekam jelas dalam otak mereka selama mereka masih hidup. Dan selama nomor tidak di turunkan maka Gravitasi yang mereka rasakan akan terus di rasakan, jadi bisa dikatakan para pengguna gelang, hidup dalam gravitasi yang berbeda dari orang lain disekitarnya setiap harinya. Kebanyakan anggota Guardian tidak pernah menurunkan angka mereka dalam keseharian meraka. Mereka mulai terbiasa dengan gravitasi yang mereka rasakan sekarang. Tapi ada juga dimana para anggota Guardian menurunkan angka tersebut. Jika hal itu terjadi maka keteramapilan dan kekuatan mereka akan meningkat drastis, terutama kecepatan meraka. Tapi tanpa penggunaan yang baik, semua itu hanyalah sebuah lelucon. Meskipun begitu Guardian masih menerapkan system ini dalam pemilihan Regu atau perekrutan anggota baru. Hanya saja dalam perekrutan, kemampuan otak seseorang akan mempengaruhi nilai meraka untuk bisa bergabung. Raven yang berpikir akan mudahnya sekolahnya dari pada peraihan poin, mulai mendesah ringan. Teman-temannya yang melihat Raven bertingkah tidak seperti biasanya mulai memandangi Raven. “Nona muda!, kenapa kau tidak istirahat saja. Kapten takkan mengirimkan iformasi lagi sampai besok?” Kael memulai percakapan antara mereka berempat. Tapi Raven hanya terdiam dan tak membalas sepatah katapun kepada Kael. “Bloodelf yang kasihan”, Mira (Penyihir) menyeletuk. “Mira hentikan itu!, kau akan membuatnya menangis!” Dion (Half Orc) menambahi, “Apa kalian ingin aku hajar, hah!” “Ah menakutkan, OH?, …Aku punya saran!, …bagaimaa aku menyihirnya jadi kodok agar Raven menciummu, seperti pangeran kodok dan putri” “A-Apa yang kau katakana!, tapi Mira!?, …itu boleh juga” “Maniac, dan seorang pedofil” Dion memegang keningnya sambil menggelengkan kepalanya dan berkata “kenapa aku harus bekerja bersama seorang pedofil?” “Diamlah, dasar Homo” “Siapa yang kau sebut homo!” “Homo-homo” Suasana menjadi ramai di bawah sana, Raven yang duduk di kursi di lantai pertama melihat ke 3 orang di bawahnya ribut, meributkan kelainan jiwa meraka. “Ecra!” Raven berbicara biasa yang nadanya terdengar sangat pelan. Dia memanggil AI ciptaannya, dan tak butuh waktu lama Ecra menjawab panggilan tuannya “Iya Nyonya!” Dengan nada seperti seorang pekerja kantoran yang ingin melepaskan penatnya pekerjaan sambil berbaring diatas sofa, Raven berkata “bisa buatkan aku kopi!” “Siap nyonya” Ecra menjawab dengan sopan kepada tuannya. Ecra yang melihat dari dari berbagai sudut (camera) melihat ke 3 orang yang masih berdebat satu sama lain. “Apakah tuan dan nyonya di bawah sana perlu saya buatkan kopi juga?” “terserah, kau saja” “baiklah Nyonya” Raven bangun dari kurisnya dan mulai bergabung dengan ke 3 orang bodoh di bawah sana. Dia berpikir mungkin dia bisa mengisi hal kososng di dalam dirinya, jika ikut bergabung dengan mereka. Raven menuruni tangga, dan berkata : “Bisakah aku ikut bergabung dengan lawakan konyol kalian” “Heh?!” ketiga orang yang dibawah sana terlihat bingung, ini adalah pertama kalinya Raven mau ikut bergabung dengan mereka dalam candaan bodoh mereka. Meskipun di masa lalu mereka selalu mengajak Raven, tapi mereka selalu di anggap sebagai pengganggu, bahkan untuk Kael, dia dia anggap sebagai sampah, …dulu. Mungkin karna dia seorang pedofil. “Apa kau yakin nona muda?” “selama kau tidak mencoba memeluk atau menciumku seperti dulu” “Tidak akan!” “jika kau melakukannya akan kupotong benda yang menggantung di selangkanganmu itu!” “Tollong hentikan, jika kau memotongnya aku kan jadi sasaran empuk Dion” “hei aku tak tertarik dengan laki-laki tanpa itunya” “wah pengakuan” “sudah kuduga dia HOMO” “bukankah di negara ini kaum LGBT itu di larang!?” “Raven kau juga ikut-ikutan” “aku tidak ikut-ikutan aku hanya menerangkan” “itu sama saja” “Raven ternyata kau bisa lebih rilesk sekarang!?” Mira tersenyum kepada Raven. Tapi Raven tak tahu apakah itu benar, sedangkan Raven tidak merasakan perbedaan sama sekali dalam dirinya. Raven kemudian terdiam. Di akhir kediamannya dia bertanya kepada Mira, “memangnya aku ini makhluk seperti apa di mata kalian?” Dion, Kael, dan Mira terkejut akan pertanyaan Raven. Mereka tak tahu harus berkata apa. Yang pertama menjawab adalah Kael. “makhluk itu bukan kata yang cocok, Orang, lebih pantas Raven. Dan menurutku kau adalah orang paling menawan di mataku. Dan jika boleh jujur, kau adalah belahan jiwaku, menikahlah denganku!?” “Tidak terimakasih” “Penolakan yang ke?” “Diamlah” Kael menangis. “ya ampun pedofil” Mira menambahkan. Tapi nada Kael berubah menjadi lebih seirus setelah, dia menangis sebentar. “kau adalah monster ganas Raven!” “Oi kael hentikan kau-” “tidak apa Mira” Raven menghentikan Mira yang ingin berbicara dengan mengangkat tangannya untuk menyela, “lalu bagaimana dengan kalian berdua?” Dion mulai berbicara “Tak ada kata yang pantas, tapi aku sependapat dengan Kael” Dion menghakhiri perkatannya dan pandangan mata Raven menuju Mira. “hah, jika kau memaksa, sebagai perempuan aku tak tahu apa yang kau pikirkan, kau terlalu misterius. Sebagai perempuan juga, kau tak punya belas kasihan, dan kau tidak peduli akan apapun. Sebenanarya apa yang kau inginkan dan apa tujuanmu hidup, aku tidak tahu sama sekali. Kau terlalu dingin, tatapanmu buruk sikapmu buruk, tak punya etika, dan kau menyebalkan” “sangat banyak” “Sebenarnya aku ingin menambahinya lagi tapi kurasa tidak akan mengubah apapun, …hey!, Raven!?, kau baik-baik saja?” Tujuan hidup? Raven terdiam ditempatnya. Dengan tatapan kosong. *Jezh* pintu ruangan terbuka. Ecra yang datang, mulai menghampiri mereka dengan mengunakan tubuh Androidnya yang berbentuk manusia. Dia membawa nampan berisikan 4 cangkir kopi panas. Dia berjalan melewati ke 3 orang yang sedang memandangi Raven yang terdiam. “Nyonya Kopi anda!” Raven yang terdiam tersentak mendengar suara Ecra yang sudah ada didepannya persis dan dia pun kembali ke kenyataan. “Ecra!” Ecra tersenyum kepada Raven dan dia memberikan kopi kepada Raven dan kemudian kepada yang lainnya. “silahkan menikmati, tuan dan nyonya” setelah berkata demikian Ecra pergi dari ruangan dan meninggalkan mereka berempat kembali. Raven yang sudah memegang secangkir kopi, kemudian menyeruputnya dengan elegannya, dan setelahnya - “Terimakasih Diriku!” RE : Raven Part 13 'Im Not Find It, My Life Reason?' Red Eyes : Raven Capter 2 - Reason Of Life - Part 6 Im Not Find It, My Life Reason? Banyak hal yang dipikirkan Raven saat ini, dia masih tidak tahu apa yang membuatnya berpikir demikian. Tujuan hidup? ‘Tujuan Hidup’ Sebuah kata yang kecil dengan arti yang sangat besar di dalamnya. Raven yang menanyakan ini pada dirinya sendiri, sampai di buat tenggalam kedalamnya, yang berupa dasar jurang laut yang dia buat sendiri. Dan itu membuatnya ketakutan. Rasa takut ini menjalar keluar dari dalam dirinya. Ini adalah pertama kali untuknya merasa takut akan dirinya sendiri. Kemudian rasa takut yang di rasakan Raven hilang dari dalam dirinya. Rasa hangat menjalar ke dalam dirinya. …Sebuah rasa nyaman. Di saat itulah Raven di tarik dari dalam jurang miliknya. “Nyonya!” suara yang terdengar manis dan lembut, yang di penuhi dengan rasa hangat dari kasih sayang, memanggil Raven, dan diapun tersadar. Di depan matanya kini ada seorang ibu yang hangat, sedang membawakan secangkir kopi panas untuknya. Maria!?. Meskipun itu bukanlah Mrs. Valen. Yang ada didepannya sekarang adalah Nu Ecra. Sebuah Robot Android dengan kecerdasan buatan yang Raven buat dengan penampilan yang serupa dengan Mrs. Valen. Meskipun Raven membenci Mrs. Valen. Dia juga mencintainya tanpa sadar. Dan tanpa ia sadari pula!, dia menginginkan sosok seorang ibu dalam kehidupannya. Dan ketika dia mengingat sosok seorang ibu. Maka hanya ada satu ingatan yang dia masih ingat akan hal tersebut. Ingatan ini sangatlah buyar, tapi itu masih meninggalkan rasa hangat, di sebuah kata tertentu yang tertinggal di ingatannya. Dalam ingatannya yang tak jelas itu. Raven di panggil oleh seseorang yang dia anggap sebagai ibunya. Suara itu sangat merdu dan hangat kepada Raven. Di dalam ingatannya, ibunya memanggilnya untuk mendekat dengan melebarkan kedua tanggannya dan berkata “Nu Ecra”. Sebuah nama yang indah, yang masih teringat oleh Raven sejak dia siuman di rumah sakit, 1 bulan lebih beberapa hari, tepatnya pada bulan November tanggal 5, setelah kejadian 30 September. Dan hanya kata-kata itulah yang dia ingat dari masa lalunya, dan yang lainnya tidak. Tapi ketika Raven melihat dengan teliti sosok didepannya. Dia menyadari bahwa itu bukanlah Mrs. Valen. Raven yang kaget, berkata dengan nada datar yang terkesan heran “Ecra!?”. Ecra yang mendengar ini dari tuannya, tersenyum hangat dan memberikan kopi panas ke Raven. Raven yang merasa hatinya tentram, kini memegang kopi yang hangat, sehangat hatinya sekarang, dan meminum kopi tersebut sambil berkata “terima kasih diriku”, setelah Ecra sudah meninggalkan ruangan di mana mereka berempat berkumpul. Raven berkata demikian, karna robot Android ciptaannya memiliki nama yang sama dengan dirinya. Jadi dia pikir itu sama saja dirinya. Lalu kenapa dia membuatnya mirip dengan Mrs. Valen?, …Itu masih misteri. Raven kemudian menarik kursi yang ada didekatnya kemudian duduk. Dia menyeruput kopi tanpa mempedulikan teman-temannya yang sedari tadi melihat Raven dengan tatapan heran. Di setiap tegukan kopi yang dia nikmati sepenuh hatinya. Raven mulai berpikir kembali. …Apa tujuan dari hidupku?. Raven berusaha memikirkannya secara matang. Meskipun Raven saat ini masih berusia 15 tahun, belum tentu dia tidak memiliki kemauan akan kehidupannya. Tapi kemauan dan tujuan hidup sangatlah berbeda. Raven yang meneguk setiap tetes dari kopinya mulai termenung kembali. Apa?, Apa?, Apa?. Dia berpikir keras akan tujuan hidupnya. Tapi hasilnya tidak ada. Dia selama ini hanya menuruti perkataan dari Mrs. Valen dan juga ayahnya. Jika ayahnya berkata demikian, maka dia kan melakukannya sama seperti apa yang di ucapkan ayahnya. Dan jika ayahnya berkata jangan, maka dia tidak akan melakukanya. Meskipun disaat Mrs. Valen mengatkan ini dan itu, Raven selalu menolak. Tapi pada akhirnya Raven selalu diarahkan oleh mereka berdua. Kedua orang tuanya. Apakah setiap makhluk memiliki tujuan hidup? Raven mulai bertanya-tanya. Jika mereka mempunyai tujuan hidup maka mereka memiliki apa yang disebut alasan untuk hidup, lalu kenapa aku hidup?, apa alasan ku hidup? Pertanyaan lain mulai muncul di kepala Raven. Namun tetap saja dia tidak memiliki jawaban akan pertanyaannya itu. Ravenpun terus termenung. *** “SIAL!,SIAL!,SIAL!, MATI!, MATI!, MATI!” Diana menembakkan peluru dari Rifle-nya dengan penuh emosi dan Dia sampai berteriak-teriak karna kesal di sebuah atap bangunan yang cukup tinggi, jauh ke dalam Down Town dan mereka sekarang sangat jauh dari dari safe house. “Kapten!, Kita tak bisa mundur. Jumlah mereka terlalu banyak” Salah seorang dari regu Kapten Efran yang bertarung di barisan depan bersama Kapten Efran dan satu teman regunya melaporkan keadaan mereka, yang memburuk sejak 20 menit terakhir. - 20 menit yang lalu ketika Diana memegang Rifle miliknya. “Akan ku lubangi wajah itu!” Diana yang akan menarik pelatuk sejatanya yang merupakan tipe Rifle yang juga merupakan tipe senjata berat, sudah siap untuk menembakan setiap pelurunya kearah jendela. “hentikan Bodoh!, Kita bisa ketahuan” “ketahuan oleh siapa? Hee~” “Hiiii!!!” Ernes yang masih terkelungkup dengan memakai selimut, berteriak ketakutan ketika mendengar suara tersebut. Seseorang dengan kulit pucat berambut merah dan mata bulat merah tanpa alis dan bibir, dan dia memliki gigi yang hanya di penuhi gigi taring, muncul dari atas pintu. Dia menggelantung di atas sana dan dia sangat menyeramkan saat dia tersenyum. Bahkan membuat Kapten Efran dan yang lainnya kaget dan langsung bersikap siaga. “Selamat tinggal, Makhluk Menjijikan” *Dorghh* Sfx Tembakan Peluru Diana menembakkan pelurunya tepat kearah monster dan mengenai kepala monster yang muncul didepannya. Kepala monster tersebut hancur berkeping-keping tanpa menyisakan bagian yang terlihat utuh. Darah yang di akibatkan pecahnya kepala monster tersebut, menyebar kemana-mana. Tubuhnya-pun yang menggelantung di atas pintu jatuh. Dan membuat suara. “Flatt”. “ya ampun kalian tak tahu tata krama sama sekali, hihihihihi” Suara berbeda muncul kembali, itu adalah makhluk yang sama, namun berbeda, karna nada suara mereka berbeda. Monster itu muncul di dekat pintu. “Semuanya bersiap untuk pertempuran!, siapkan senjata kalian” “tanpa perlu diperintahkan kapten, kami sudah siap!” salah satu anak buah Kapten Efran mengangkat senjatanya. “Ernes dan kalian Regu Diana!, kembalilah ke ruang bawah, bawa senjata cadangan untuk kita, bawa juga senjata tajam, …bawa magazine sebanyak yang bisa kalian bawa. Kami akan mengurus monters ini” “hei-hei, tak sopan memanggil ku monster. Padahal aku ini cukup imut loh, Jika di padang dari hal mengerikan, hihihihihihi” “Diana ku serahkan bagian belakang padamu” Diana mengangguk dengan senyuman kejam diwajahnya. “Hemmmmp!?, …Ha~h, sayang sekali tapi aku tak bisa bermain-main dengan kalian!, tapi mereka akan menemani kalian bermain” Monster yang ada disana mengetuk pintu, dan pintu yang kokoh remuk layaknya krupuk yang diremas. Dan akhirnya hancur. Sihir Pengrusakan. “Cih!”. Diana yang berada di belakang mendecikan lidah nya karna kesal. Tak lama, Puluhan Monster dengan wajah yang jauh mengerikan daripada makhluk yang megetuk pintu dan yang ditembak mati Diana, muncul dari balik pintu. Wujud merekapun bervariasi, ada yang seperti manusia, hewan, dan makhluk dari ras lainnya. Tapi ada satu hal yang pasti, mereka jelek dan mengerikan “Diana pergi ke bawah. bilang kepada mereka, Prioritas utama ‘MUNDUR’, …Cepat!!” Diana yang mendengar ini tersadar sejenak, dan berlari menuju ruang bawah. Sedangkan Kapten Efran berusaha menghalau monster-monster ini dengan bertarung mengunakan pisau bayonet, dan dia berhasil membunuh beberapa monster mengerikan yang mulai masuk. Sedangkan makhluk yang mengetuk pintu sudah pergi entah kemana. “Kapten kami sudah siap!” Diana keluar bersama dengan regunya dan Ernes, membawa tas yang cukup besar dan berkata demikian. Melihat mereka sudah siap untuk pergi, Kapten Efran memberikan Perintah lanjutan. “LEDAKKAN TEMPAT INI!” “BAIK!” Tanpa memikirkan hal aneh-aneh akan perintah dari kapten. Mereka semua bergegas, dan salah satu anggota Regu Diana mengambil Bom waktu dan mengatur waktunya, 1 menit. Dan melemparkannya ke ruang persenjataan di ruang bawah. “59 detik sebelum ledakan, semuanya keluar!” Mendengar ini dari rekannya, anggota regu Kapten Efran, memukul tembok dengan keras dan membuat tembok jebol. Mereka kabur dari sana. SEdangkan Kapten Efran mengulur waktu, sembari dia memancing monster-monster tersebut masuk ke dalam safe house. Kapten Efran yang masih didalam, keluar 5 detik, sebelum bom meledak. Kapten Efran yang melompat keluar dari safe housepun, berteriak “Besiap untuk ledakan!” Tak berselang lama dari teriakannya, *BOOOMMM* Sfx Ledakan Bom meledak dengan daya ledakan yang luar biasa. *BOOMMM* Sfx Ledakan Ledakan susulan terjadi dan meratakan tempat tersebut dan sekitarnya. Ledakan ini pula, membuat Kapten Efran sampai terpental dan terjatuh, karna daya ledakan yang luar biasa. “MUNDUR!!!” Kapten Efran yang baru saja terjatuh, langsung memberikan perintah mundur kepada kelompoknya, yang tak berada terlalu jauh darinya. Mereka yang mendengar hal tersebut langsung begerak menuju sector 3 untuk Mundur dan keluar dari Mariana, tapi- “Yoo!. Itu ledakan yang indah. Tak kusangka aku bisa melihat kembang api didalam Mariana” Monster yang menghilang kini kembali di depan pasukan Kapten Efran. Dan dia membawa banyak pasukan monster dibelakangnya. Kemudian Monster tersebut mengangkat tangannya menunjuk Kapten Efran dan kelompoknya kemudian, dia berkata “Serang mereka, saudara-saurdaraku, yang manis” Bersama dengan berakhirnya ucapan monster tersebut. Monster-monster yang ikut dengannya langsung menyerbu Kapten Efran dan yang lainnya. “Kembali!!!” Kapten yang bingung, membuat keputusan dan akhirnya mereka kembali mundur ke belakang. Dan sekarang 20 menit berlalu. Kapten Efran dan yang lainnya sedang ada di atas sebuah bangunan. Sekarang kedaan mereka semakin memburuk. Persedian peluru mereka semakin menipis, sedangkan jumlah musuh yang harus mereka bunuh, kini semakin bertambah banyak dari waktu ke waktu. “Aku kehabisan Peluru, …Apa yang harus kita lakukan?” salah seorang bawahan Diana yang memegang Rifle berkata demikian ketika dia sudah kehabisan peluru. “Sepertinya kita tak punya harapan selain menunggu pagi” Kapten mengingat laporan yang dia baca bahwa mereka akan menghilang setelah pagi tiba. Tapi itu masih sangat lama. Mereka harus betahan setidaknya selama 5 jam, karna sekarang baru 00.32 Dini hari. “Nyo-nya, La-ri!” Salah satu kelompok Diana yang merupakan Sniper tumbang dan jatuh ke tanah. Diana yang memegang Riflenya yang berada didepan anak buahnya menengok kebelakang. Diana terkejut melihat semua anak buahnya sudah tumbang, dan salah satunya sedang dicekik oleh seorang laki-laki Half-Orc Ras Red Eyes dan kemudian dia di lempar ke bawah dengan mudahnya. “ya ampun!. Tikus-tikus yang begitu bersih. Tak kusangka ada tikus bersih dari luar yang mencoba masuk kedalam rumahku” “Diana!, menjauh!” Diana yang mendengar ini dari Kapten Efran langsung mundur ke barisan depan dan mendekat ke Kapten Efran dan 2 anak buahnya. “Hei kalian!!!, …JANGAN SENTUH TIKUS KU!!!, JIKA KALIAN TAK INGIN AKU BUNUH!” Half-Orc Red Eyes berbicara menghadap kebawah dengan nada penuh amarah yang mengintimidasi, yang mengarah kearah kelompok Diana yang sudah tumbang. Disana para monster dengan air liur yang menetes-netes sedang memperebutkan anggota Diana. *Dorrg* Sfx Tembakan peluru Diana menembakkan pelurunya dan menembakkannya kesalah satu monster yang sudah menggigit tangan salah satu temannya, dan monster itupun mati dengan kepalanya pecah berkeping-keping. “hei-hei tenang!, mereka patuh akan perintah Raja mereka” Half-Orc Red Eyes tersenyum, dan kemudian kembali berbicara. “kalian yang dibelakang mundur!. Mereka adalah mangsaku. …Akan ku persembahkan kalian kepada Ratu. …Ah mungkin kalian bertanya-tanya siapa aku ini!?, …Maafkan ketidak sopananku ini. Namaku, Juraha Half Orc Ras Red Eyes, Seorang Penguasa di Sector 4 pertama ‘Down Town’, …ah!, mungkin lebih pantas disebut sebgai Raja daerah , …mungkin!, …hahahahaha. Tapi!, Sungguh aku senang berkenalan dengan kalian. Meskipun aku tak tahu nama kalian. Dan Kurasa, perkenalan ini tidak berguna karna kalian sebentar lagi akan mati. Tapi nikmatilah saat-saat terakhir kalian” *Dorrg* Sfx Tembakan Peluru Suara memekakan teliga dari Rifle Diana kembali terdengar. Diana menembakkan pelurunya kepada Juraha, tapi meleset. “ya ampun!, kau wanita yang mengerikan, Apa Elf selalu saja seperti itu, tapi, kau sangat cantik, Aku ingin ber-, …ah terserahlah, akan kuakhiri ini, selamat tidur di alam baka” 3 menit kemudian. “ha~h!, tak kusangka kalian sangat lemah” 2 Anak buah Kapten Efran terbunuh secara brutal sampai tubuh mereka tidak bisa dikenali lagi. Diana sedang terbaring diatas atap bangunan rumah tanpa ada tanda dia sadarkan diri. Sedangkan Kapten Efran sedang dicekik oleh Juraha dan mencoba melepaskan diri dari cekikan tersebut. Yang benar saja, Dia terlalu kuat, bahkan setelah aku menurunkan angka ku sampai Nol, i-ni sung-guh- Kapten Efran kehilangan kesadaran dirinya. “ya ampun mereka lemah” “hihihihi, …Tuan Juraha memang kuat, tak kusangka anda akan mengalahkan mereka seorang diri. Padahal saudara saya mati. dalam satu tembakan dari wanita disana. …hihihih anda memang luar biasa” “berhentilah menjilat. Bawa mereka ke Ratu. Aku tak mau mengotori bajuku dengan darah” “Siap Tuan Juraha” *** Raven yang masih memikirkan akan tujuan hidupnya dan alasan dia untuk hidup hanya terdiam selama berjam-jam dikursi yang dia duduki. Dan pada akhirnya dia tidak memiliki jawaban apapun dari pertanyaan tersebut, dia tidak tahu akan tujuan hidup dan alasan dia hidup. Dia hampa. “Tidak ada” “Hah!?, …Oh!, Raven kau masih bangun. …Sebaiknya kau istirahat. Ini sudah~, (Meliihat monitor), … jam 3 pagi loh. Tidak baik untuk anak seumuranmu masih bangun sampai selarut ini. Tidurlah!. Hari ini Dion yang bertugas untuk mengontrol dan memonitoring situasi” Mira berkata dengan nada mengantuk dari atas kursinya yang dia turunkan agak kebelakang agar dia digunakan untuk tidur. “hemp!?, …kita! Dapat pesan video!?” “Sial!” “Raven ini!” “Putar Videonya” Dion yang sudah curiga mulai, membuka pesannya dan memutar video, dia menapilkannya dilayar tengah yang merupakan layar terbesar agar bisa dilihat siapapun. (“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”) Suara jeritan seorang Pria paruh baya terdengar sangat keras, membuat Kael dan Mira terbangun karna kaget akan suara mengerikan tersebut. “Apa ini?, apa yang terjadi” “Informan kita” Raven mengingat wajah didalam foto didalam laporannya. Jadi ini jelas, Dia asli. Tapi ini terlalu aneh. Video itu adalah video penyiksaan informan yang Raven cari. Video berdurasi 9 menit 11 detik ini, menunjukkan informan mereka disiksa dengan cara, dagingnya di iris secara sedikit demi sedikit dan akhirnya di akhiri dengan di bedahnya isi perut sang informan ketika dia masih hidup. Dan dengan dilakukannya pembedahan tersebut, informan itupun mati. Tapi ada hal yang membuat Raven merasa terganggu. Di akhir video tersebut. Di akhir tertawaan mengelikan pelaku penyiksaaan. Ada suara lain yang ikut dalam video tersebut, meskipun terdengar sangat samar, tapi itu ada. “Dion cek audio didetik-detik terakhir, ada berapa jumlah suara yang ada disana cek dengan gelombang audio, cepat!” Dion menuruti perkataan Raven dan dia menemukan hal yang membuat Dion tercengang dan membuatnya tak percaya. Gelombang audio yang dihasilkan dimenit-menit terakhir ada sekitar 5 gelombang berbeda, 3 berukuran besar dan 2 berukuran kecil dan yang kecil merupakan suara seseorang wanita. Dan setelah di pisahkan dan diperjelas. maka terdengar (“Ra-ven!”) Raven dan yang lainnya mengenal siapa suara itu. Suara itu adalah “Diana!” RE : Raven Part 14 'The Beggining of Big War' Red Eyes : Raven Capter 2 - Reason Of Life - Part 7 The Beggining of Big War. Dion yang tak menyangka hal ini hanya memegangi kepalanya, karna tidak bisa menerima apa yang terjadi. Yang lainnya juga melakukan hal demikian, sedangkan untuk Raven, dia langsung memberikan perintah kepada Dikcson melalui pesan khusus, bertuliskan ‘Bersiap untuk perang’. Raven yang biasanya memiliki wajah datar tanpa ekspresi diikuti mata ikan matinya yang seperti tidak adanya kehidupan ditatapannya. Kini berubah, wajah Raven kini dipenuhi penuh amarah yang meluap-luap, bahkan matanya kini seakan berkata ‘Besiaplah’. Raven yang tak ingin membuang waktunya, memberikan perintah kepada temannya yang masih berada di rungan ini, untuk menghubungi organisasi mereka masing-masing untuk mengirimkan berita ini, dan memberikan pasukan mereka untuk persiapan penyerangan Mariana. Sedangkan Raven memanggil Nu Ecra agar menyampaikan kepada semuanya akan keadaan mereka saat ini. Selain itu dia memerintahkan Nu Ecra untuk menghubungi semua pasukan Khusus dan Elit tanpa terkecuali dan Dia juga memberikan pesan darurat kepada 3 cabang mereka, untuk mengirimkan pasukan Elit mereka ke kantor pusat Guardian dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan. 5 hari setelah kejadian. Ruang Rapat Raven lantai 3 Gedung Organisasi Guardian. Raven kini sedang bernegosiasi dengan seorang perempuan dengan paras cantik berambut emas dengan sebuah sayap di belakangnya, dengan memakai pakaian resmi yang indah, dan dia adalah Dewi Jane(January). “Raven!, Tunggu!!, kami tidak bisa membantumu!” Dewi Jane, berkata demikian mewakili semua Dewi dari 12 bulan, setelah Raven menjelaskan panjang lebar akan situsai yang di hadapi Guardian dan Setelah dia membahas rencananya, seperti langkah apa yang harus mereka lakukan. Dia juga merancang rencana yang tersusun rapi, bahkan dia menghitung berbagai kemungkinan lainnya untuk persiapan perang melawan sosok dari pedalaman Mariana, dan menulisnya secara rapi dalam sebuah laporan yang dia berikan ke Dewi Jane, yang sekarang ada di atas meja dan belum di baca sama sekali. Tapi sepertinya semua tindakan itu tidaklah cukup. Dan perkataan dari Dewi Jane ini membuat Raven kehilangan arah dan membuatnya frustasi. “Jangan Bercanda!” “maafkan kami, tapi, kami tak menginginkan perang Raven!, kami tak ingin kejadian 30 September dan kejadian 1500 tahun yang lalu terjadi kembali. Itu adalah masa memilukan bagi dunia ini. Kami tak ingin kejadian yang sama seperti itu menimpa dunia ini lagi” Raven yang mendengar ini melakukan Akselerasi. Rambut dan juga matanya berubah warna. Menandakan dia sangat marah saat ini. Dia sedang tidak seperti biasanya. Biasanya Raven akan berpikir secara dingin dan mengambil keputusan yang paling masuk akal dan mengembalikan keadaan, tapi sekarang!, Raven kehabisan akalnya, karna dia terlalu marah. “Apa kau benar-benar tak ingin membantu!?, …Maka!, cukup sampai disini!. …Ucapkan selamat tinggal pada hidup mu Jane!, …A-argh~” Raven yang mencoba menyerang Dewi Jane. Kini Merasakan kantuk yang amat ter amat sekali dan akhirnya membuatnya tertidur. Hal ini dikarenakan dia disuntik oleh seseorang dari belakang dengan obat penenang dengan dosis tinggi. “Terimakasih James!, Dia membutuhkannya saat ini, Bawa dia ke ruangannya dan suruh 10 orang Elit kita mengawasinya. Jangan biarkan dia melakukan hal sesuka hatinya. Aku akan melaporkan ini pada adikku Nova, jadi!, aku serahkan ini pada kalian” “Baik Dewi!”. Orang yang merupakan Ras Lycantrope yang bernama James mengendong Raven untuk kembali ke kamarnya dan keluar dari ruang Rapat Raven di lantai 3. “Kurasa ini cukup Mrs. Underworld!, kau sudah bisa keluar dari sana!” Dewi Jane berkata demikian ke pojok ruangan dimana, disana hanya ada hiasan berupa patung Beruang. Tapi setelah Dewi Jane berkata demikian, muncul seseorang dari sana, dia adalah Mrs. Valen. Dia muncul dari ketiadaan. Dia sedari tadi memakai sihir decoy untuk menghilangkan dirinya. “Terimakasih Dewi Jane, Maafkan aku!, sebagai seorang ibu, aku tak bisa mendidiknya dengan baik” “seharusnya aku yang berterimasih. Kepadamu Mrs. Underworld, tidak!, …maaf ketidak sopananku Mrs. Maria Valendes, kurasa nama panggilan itu harus di hapuskan” Mrs. Valen menundukkan kepalanya, menunjukan ketikdak sukaannya. “Tapi ingatlah kami masih mengawasi kalian berdua, kalian juga masuk masuk dalam catatan kami ingat itu!. …Meskipun kau mendapat perlindungan dari adikku Nova, tapi tetap saja kau adalah tahanan Dunia ini, …ya Ampun, aku mulai lagi, …sebagai seorang penyelamat, aku malah memperlakukanmu sebagai seorang penjahat. Maafkan aku sungguh!. …hanya saja aku masih belum bisa menerimanya” Mrs. Valen hanya terdiam, mendengarkan semua perkataan menyakitkan dari Dewi Jane, dia tidak meyangkalnya sama sekali, karna semua itu adalah kenyataan baginya. “kalau begitu aku menyerahkan urusan disini kepadamu Mrs. Maria Valendess”, Dewi Jane bangun dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan Raven. Tak berselang lama tangan Mrs. Valen gemetaran dan dia mengepalkan tanggannya dengan keras dan suara “Krak” terdengar. Patung Beruang retak dan kemudian hancur menjadi serpihan di atas lantai. *** 2 hari setelah rapat. Negara Jerman di gemparkan dengan bermunculannya video menyeramkan ke berbagai media elektronik di seluruh negara. Video penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan video monoton monster yang berbicara akan kekuasaan mutlak dan sebagainya terus bermuculan. Dan karna tidak bisa di bendung akhirnya, video-video ini tersebar luas ke negara tetangga dan membuat mereka ketakuatan. Badan yang menangani penyeabaran informasi melalui media elektronik duniapun tidak bisa membendung atau menghentikan penyebaran video-video ini. Meskipun penghapusan data-data video tersebut sudah dilakukan, tapi penyebaran tetap terjadi dan ini membuat teror baru ke berbagai negara berlanjut. Hal ini juga membuat para Organisasi dari 12 bulan mulai kwalahan. Dan untuk mencegah penyebaran lebih luas, negara-negara yang terkena imbas dari video ini membuat penanganan berupa penonaktifan semua aktivitas yang berhubungan dengan penyebaran informasi. Dan benar saja semua itu cukup berhasil. Tapi hanya berlaku untuk 2 hari saja. Teror kembali berlangsung ke berbagai negara tidak hanya di Jerman saja. Sekarang, negara yang jauh sekalipun seperti di benua barat. Mereka mendapatkan teror tersebut seperti menerima kiriman organ, kulit wajah mengerikan, boneka vodo, bahkan di negara Jerman sampai ada patung mengerikan yang terbuat dari potongan tubuh makluk hidup yang di pajang di setiap tiang-tiang lampu jalanan di Ibu kota Berlin. Hal ini membuat pemerintah mau tidak mau melakukan pencegahan pengamanan lebih ketat lagi. Tapi hal ini tidak membaik sama sekali. Semakin ketat penjagaan yang dilakukan pemerintah, semakin parah pula terror yang terjadi. Kini tidak hanya kiriman organ dan sebagianya. Tapi kini berubah menjadi pengiriman jasad. Dan teror berubah menjadi pembunuhan masal, yang terjadi disana-sini. Ini sama persis sebelum terjadinya 30 september beberapa tahun yang lalu. 3 bulan berlalu sejak Raven mengirim pesan ke 3 cabang. Teror masih saja terjadi di berbagai tempat. Bahkan setelah di adakannya Konferesni Internasional untuk membahas hal ini, tapi semua itu hanyalah bualan belaka dan tidak membuahkan hasil dan akhirnya membuat pemerintah Jerman terjun ke medan perang secara langsung dan memusatkan semua kekutan militer mereka ke Mariana, yang sudah pasti menjadi sumber dari kekacauan ini. Mereka juga meminta bantuan dari Mrs. Underworld, yang di angkat menjadi pimpinan Guardian sementara mengantikan Raven. Tapi Mrs. Underworld menolaknya. Tapi di lain sisi. Selama 3 bulan berlalu sejak Raven meminta semua anggota Guardian cabang mengirimkan anggota Elit mereka. Sekarang semua anggota Elit dari 3 cabang sudah berkumpul di kota Hasenburg, secara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan dan tanpa diketahui oleh Mrs. Underworld. Mereka semua mendapatkan perintah khusus dari pimpinan cabang mereka. Untuk membantu Raven apapun yang terjadi. Bahkan jika nyawa mereka taruhannya. Dan setelah mendengar ini, meraka malah bersemangat. Meraka adalah para bawahan Raven yang setia. Di lain sisi. Raven yang sudah mendekati hari kelulusannya. Hari ini Raven sedang pulang dari sekolahnya, meskipun ini sudah bulan Desember. Raven yang di kawal oleh 6 elit dari Dewi Jane sedang berjalan untuk pulang ke gedung Organisasi. Di sepanjang jalan tak ada kendaraan apapun lewat bahkan pejalan kaki. Raven kini di awasi dengan sangat ketat oleh 10 orang elit dari Dewi Jane. 6 bertugas mengawal dan 4 lainnya bertugas mengawasi dari jauh. Raven yang berjalan di trotoar berjalan seperti biasanya. kemudian seorang wanita dari ras manusia yang sedang memakai sepeda motor melaju dengan cepat di pinggir jalan dan setelah dia sangat dekat dengan Raven, dia berkata “AKU LAPAR!” dengan keras. Pengendara itu melesat dengan cepat tanpa di curigai sama sekali oleh pengawal yang mengawal Raven. Tapi Raven tersenyum mendengar kata ini. “Hei apa kalian lapar?” Raven berbalik dan bertanya kepada para pengawalnya. Para pengawalnya menjawabnya “Tidak, kami tidak lapar” “Ah!, sayang sekali. Tapi sekarang aku sangat kelaparan” Raven menatap pengawalnya dengan tatapan sadis dan melakukan Akselerasi. Raven mulai mengahajar semua pengawalnya. Dan berakhir. Semua pengawalnya terkapar tak sadarkan diri di trotoar. Tak lama kemudian pengedara motor tadi kembali dan berhenti di pinggir trotoar di dekat Raven dan berkata “Apa kau masih lapar Raven!?” “Aku masih sangat lapar!, Dita?” “kalau begitu kenapa kita tak makan” Dita tersenyum. “Ayo Raven!, Naik!” Raven yang mendengar ini naik ke sepeda motor Dita dan melesat pergi. Waktunya Perang. RE : Raven Part 15 'The Winter is Coming' Red Eyes : Raven Capter 3 -Mariana Quen - Part 1 The Winter is Coming 3 hari setelah Tahun baru. Sofia melemparkan batang kayu kedalam perapian didepannya. Musim Dingin datang kedalam Mariana, dan membawa hawa dingin yang menusuk sampai ketulang-tulang, setiap makhluk hidup yang tinggal disana. Bahkan rasa dingin ini dirasakan oleh Sang Ratu Besar dari Mariana yang sedang duduk di sofa dekat perapian di kamar bergaya klasik yang dia tempati hari ini. Sejujurnya Sofia sangat membenci akan adanya perapian yang ada di dalam rumah-rumah setiap makhluk hidup. karna perapian itu sendiri adalah symbol dari sebuah keluarga yang dilambangkan oleh Dewi Hestia. Akan tetapi untuk hari ini saja, dia tidak membecinya. Hangat. Itulah yang dia rasakan saat ini. Saat-saat dimana rasa dingin ini bisa membunuhmu. Bahkan seekor kelinci yang keluar di malam hari, dari lubangnya hanya untuk mencari wortel bisa mati membeku begitu mudahnya. Dan Sekarang Sofia masih bisa merasakan rasa hangat, yang kebanyakan makhluk hidup di Mariana tidak bisa merasakannya. Rasa hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya dari sebuah perapian didepannya membuatnya bersyukur. Sebagai Makhluk hidup yang tinggal di Mariana, Sofia masih dikatakan beruntung, karna dia adalah seorang Ratu Besar dari Mariana. Tapi apa benar!?, Menjadi Seorang Ratu Besar Mariana bisa dikatakan beruntung baginya. Sofia kembali melemparkan batang kayu ke dalam perapian. “Kletek” Sfx. Batang kayu yang terbakar Sofia. Dia adalah perempuan yang mempunyai paras yang begitu cantik, …bahkan kecantikannya menandingi Diana dari “Guardian”, yang mungkin saat ini, Diana sedang di siksa oleh para bawahan Sofia di ruang penyiksaan yang juga sekaligus merupakan ruang Tahta milik Sofia. Paras yang cantik dengan kulit putih pucat karna jarang terkena sinar matahari, di dampingi dengan mata berwarna merah khas Red Eyes, dan juga rambut Panjang yang tebal dan ikal di setiap ujungnya, yang dicat dengan warna ungu muda, yang memberi kesan dingin yang elegan. Tubuhnya yang tinggi semapan dan berisi, diikuti dengan 2 buah payudara besar yang kencang dan menggoda, membuatnya menjadi perempuan yang benar-benar, menjadi sosok dari sebuah harta Nasional. Sebuah kecantikan Kelas Dunia, Itulah Ratu Besar dari Mariana, yang sebenarnya sekarang dia sedang duduk di sofa melemparkaan balok kayu kedalam perapian berulang-ulang untuk menghangatkan tubuhnya. “hacuh” *** 26 hari Sebelum Tahun baru Raven yang berhasil melarikan diri bersama Dita, Kini sedang menuju ke sebuah pabrik kosong di kota tetangga yang berjarak 30 km ke selatan dari Hasenburg. Sebuah Kota yang sudah mati, yang kini di tinggalkan oleh para penduduknya. karna kejadian 30 Sepetember beberapa tahun yang lalu, dan sekarang seluruh daerah ini tidak berpenghuni. Baik bangunan kantor, rumah, infrastruktur dan sebagainya telah di tinggalkan. Namun untuk listrik dan air masih bisa di gunakan cukup baik. Dan di pabrik kosong yang dulunya merupakan pabrik tekstil ini, Raven dan para anak buahnya yang patuh berkumpul. Raven dan Dita yang sudah sampai sangsung menuju ruangan yang sudah di sediakan oleh kawan-kawan meraka untuk mengadakan rapat penyerangan. Seorang Dwarf berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Raven,dan setelah sampai didepan Raven, dia melihat Raven dengan mata berlinang air mata, sekan hujan akan turun saat itu juga. “Yang Mulia syukulah anda baik-baik saja!” “Terimaskih Diskson. Bagaimana persiapannya?” “eh!, …Semuanya sempurna Yang Mulia” Dikson terkejut ketika Raven mengatakan kata “Terimaksih” kepadanya. Itu adalah hal tak terduga setelah dia mengalami hal buruk ini. Dikson pikir dia akan dimarahi habis-habisan karna menghalanginya. “Bagus, lalu dimana yang lain?” “Para Kapten dan Wakil kapten dari seluruh unit dari seluruh cabang ada di Ruang Rapat” “kalu begitu sebaiknya kita cepat” “Raven!, …aku membawakan ini dari kantormu!, …kurasa kau memerlukannya?” Dita menjulurkan sebuah dokumen yang tampak tidak asing. Benar, Itu adalah dokumen yang di ajukan Raven ke Dewi Jane waktu itu. “Terbakarlah”. Raven mengunakan Sihir api dan Dokumen yang Dita pegang terbakar sampai habis dan itu membuat Dita sedikt terkejut, Dita tak habis pikir dokumen yang Raven buat sendiri dengan segala pemikirannya, malah dia bakar, Seperti itu bukanlah apa-apa. “Apa kau yakin!?” “Hemmp!, Kita tak membutuhkannya. Dan Dita!, rawat luka di tanganmu itu. Kemampuanmu sangat di butuhkan saat ini” “Siap Komandan” Ravenpun kembali menuju ruang rapat yang dikatakan oleh Dita dan Dikson. Sedangkan untuk Dita, dia mengambil peralatan P3k untuk merawat luka bakar yang dia alami. Tak membutukan waktu lama. Raven dan Dikson sudah sampai kesebuah ruangan yang cukup luas dan bersih dengan banyak kursi rapat yang sudah di bersihkan pula. Ruangan ini tidak tampak seperti tempat yang sudah di tinggalkan. Tempat ini lebih mirip kantor pertemuan rapat di kantor-kantor biasa yang bisa di temui di kantor manapun. Ruagan yang bersih dan harum. Suasana ini membuat Raven sedikit merasa lega. Saat Raven masuk ke dalam ruangan. Semua Kapten dan wakilnya berdiri secara serentak postur tubuh mereka benar-benar tegap. Mereka tak memberi hormat layaknya seorang bawahan dalam kemiliteran yang wajib memberikan hormat kepada komandan tertinggi mereka. Dan untuk memulai pembicaran maka, salah satu dari mereka yang merupakan seorang Druid yang merupakan seorang Dokter, siapapun tahu itu, karna terlihat dari pakaiannya yang merupakan pakaian seorang Dokter. Dia mewakili semua yang hadir dan mulai menyapa Raven. “Yang Mulia anda terlihat kacau?” “Apa semuanya sudah hadir?” “Seberanya, ada sedikit masalah Nyonya” “Apa!?” “Selain Regu Khusus dan Elit dari Cabang, Regu Khusus dan Elit dari Pusat tidak bisa ikut serta. Nyonya Maria, memberikan peraturan kepada mereka, agar tidak mematuhi semua printah dari anda. Tapi ada beberapa, seperti Dian, dan yang lainnya ikut dalam misi kali ini” “Apaa Maria mengetahui kalian disini?” “Tinggal menunggu waktu beliau mengetahui kita disini” “Berapa banyak anggota yang ada disni sekarang?” “789 Regu Khusus, 1203 Regu Elit dan 900 Regu Medis” Doktor merogoh saku kirinya dan menemukan selembar kertas yang terlipat dan dia-pun membukanya dan membacanya. “15 Kapten dan 16 Waki kapten Regu Khusus, ..15 kapten dan 15 wakil kapten dari regu Elit, …430 ahli persenjataan, 400 Pembawa barang, dan 788 Pembawa bekal makanan” “bagaimana dengan sejaata dan amunisi?” “kami sudah menyediakan semua senjata dan amunisi untuk para anggota, tak terkecuali para pembawa barang dan bekal makanan kita” “berapa banyak?” “jika digunakan sering maka akan habis dalam waktu 1 sehari tapi, setidaknya amunisi kita cukup untuk 4 hari untuk per-orangnya” “masih kurang!, (“Anda Bercanda bukan!?”) …Dikson!,” “ya Yang Mulia?” “Sediakan amunisi dan senjata cadangan, begitu juga untuk senjata tajam. …Dan siapkan senjata berat dan bom dalam jumlah banyak, kita akan membutuhkannya, setidaknya sediakan untuk waktu samapi 30 hari” “tapi Nyonya,itu akan memebani kita” “kita membutuhkannya!” “Ah, baiklah” “Berapa lama waktu yang kau butuhkan” “2 bulan nyonya?” “Sediakan dalam waktu 5 hari. Kita akan mulai lima hari lagi?” “Itu terlalu cepat nyonya, bahkan dengan jumlah kami itu sangatlah sulit” “maka kau harus mencarinya dari sekarang, kita tak punya waktu” Dikson yang tak ingin berdebat lagi kini memberikan penghotmatan dan mulai pergi dari ruang rapat. Dikson yang mulai mengerti akan kecemasan dari Raven,mulai berlari dengan kaki kecilnya menuju regu yang dia pimpin dan regu lainnya untuk mulai bekerja. Pembicaran yang dilakukan oleh Raven dan Diskon membuat para Kapten dan Wakilnya merasa cemas. Dan mereka tak bisa berbicara banyak.tak berselang lama Raven melangkah menuju kursi yang seharunya menjadi tempat duduknya dan dia mulai duduk. Dan, “kita mulai rapatnya” RE : Raven Part 16 'No Hope!' Red Eyes : Raven Capter 3 -Mariana Quen - Part 2 No hope! Kira (Elf Red Eyes), duduk di salah satu atap rumah di Distrik 3 Mariana. Mengawasi keadaan daerah yang dia jaga/pimpin. Beberapa hari yang lalu, Kira di panggil bersama dengan para Raja lainnya ke pusat Mariana di Distrik 5, untuk mengikuti acara pertemuan, yang berakhir dengan rencana besar-besaran yang akan berlanjut sampai 2 bulan kedepan. “Aku tak menginginkan hal ini terjadi” Kira menggerutu. “jika kau tak mengnginkannya!, kenapa kau masih melanjutkannya” Resla (Elf Red Eyes) yang baru memanjat ke atap rumah membalas perkataan Kira. “Resla!?, Ada keperluan apa, kau kesini?” Kira mendongak ke belakang untuk membalas Resla. “Aku hanya ingin menyapa sesama Raja Daerah. …Ngomong-ngomong, apa yang kau minum?, …boleh aku minta?, aku cukup haus disini!” Resla mengelus tenggorokannya sambil berbicara demikian. Kira-pun melemparkan botol minumannya kearah Resla dan di tangkap dengan cantik oleh Resla. “Dasar pemalas!” “Terserah” Kira melanjutkan menatap jauh ke daerah yang dia pimpin. Resla mulai meminum air di dalam botol yang merupakan sake. “Oh enak!” Resla mulai meminumnya sampai habis, “Ah enaknya!, …Kira!?, apa kau punya lagi?” Kira diam tak membalas Resla. “Dinginnya!, …Lalu, tentang perkataannmu tadi?, mengapa kau tak menginginkan ini?” “aku hanya tak suka perang. Tak ada hal yang baik di dalamnya” “Kita hanya menjalankan perintah. Jika kita di perintahkan untuk membunuh dalam misi kita ini, maka kita harus melakukannya bukan!” “Jika hidup hanya untuk mengikuti perintah, apa gunanya?” Mereka berdua terdiam. Sambil melihat jauh ke arah kota di Distrik 3. Resla mendekati Kira dan duduk di samping Kira, dan ikut memandang jauh juga. Dia mulai menikmati pemandangan kelam di Distrik 3 yang di terpa oleh angin dingin di bulan Desember. “Tak ada hal baik dalam perang!, kah?.” Resla mulai bertanya-tanya. “Kesengsaraan, penderitaan, kehilangan, kematian, dan perbudakan. Tak ada satu-pun kata yang terdengar baik. …Bagiku saat-saat ini adalah yang terbaik ‘The Golden Time’, meskipun kehidupan dikota ini busuk, …tapi aku menyukainya” Kira yang sedari tadi memandangi daerah miliknya mulai menghelas nafas “Ha~H!” Kira bangun dan mulai merapikan bajunya. “Kurasa cukup!, Kita kedatangan tamu” “Tikus yang bersih, dan mereka sangat banyak” *** Rencana awal, untuk perang melawan sosok dari pedalaman Mariana berjalan sesuai rencana. Dengan dibaginya kelompok menjadi 8 kelompok, yang di bagi menjadi 4 kelompok penyerangan dan 4 kelompok pencegahan. Raven dan kawan-kawannya mulai masuk ke Distrik 2 tanpa masalah. Dita yang merupakan kelompok ke 2, yang diarahkan untuk mengepung sisi selatan Mariana mulai bergerak di Distrik 2. Sedangkan kelompok lainnya mengepung daerah lain di 3 arah mata angin yang berbeda. Dita bersama dengan kelompok yang dia pimpin yang berjumlah 200 orang mulai menyerang secara terang-terangan ke dalam Distrik 2, tapi anehnya, tidak ada satupun pasukan pertahanan dari dalam Mariana di Distrik 2 yang mencoba menghentikan mereka. Bahkan para Red Eyes yang menghuni Distrik 2 lenyap entah kemana. “Miss Dita!?, Ini terlalu sepi” Salah satu Kapten yang ikut Bersama Dita yang cukup dekat dengannya menyampaikan pendapatnya, “Aku tahu, ini sangat aneh!, ini terlalu tenang” Dita mulai khawatir akan keadaan mereka. Sekarang Dita paham akan pemikiran Raven. Seperti yang dikatakan Raven dalam Rapatnya. “Kemungkinan besar ini adalah perangkap dan bersiap-siaplah untuk di serang dari belakang(disergap)”. Dan Raven yang terlalu khawatir sampai mengatakannya berulang-ulang dalam rapat. Kemungkinan besar dia sangat khawatir, Mungkin karna dia sangat peduli akan keselamatan anak buah nya. Sepertinya?. Dan mengingat ini, Dita-pun membuat keputusan dan mulai memberi komando/perintah. Dia memberikan komando/perintah dengan isyarat tangan, yang memiliki arti “Waspada dan siap bertempur”. Dita kini memulainya dengan membagi kelompoknya menjadi beberapa kelompok untuk mempermudah dalam penyisiran daerah dan melakukan pencarian musuh sambil terus maju. Ini terlalu tenang dan membuatku tak nyaman. Pikirnya sekali lagi Setelah penyisiran tempat, selama 1 jam lebih. Dipastikan tidak ada satupun musuh terlihat dan tidak ada tanda-tanda adanya penyergapan. Dan dengan ini, Dita cukup merasa tenang dan dia berhenti untuk menyusun rencana lanjutan, sesuai keadaan mereka masing-masing, dan sesuai arahan dari Raven. Dita dan para Kapten-pun, masuk ke dalam sebuah bangunan yang cukup besar dan mewah. Untuk memulai penyusunan rencana lanjutan mereka. Melakukan penyusunan ulang dalam rencana mereka, bukanlah hal sulit bagi Dita. Dita yang merupakan anggota Regu Khusus di bidang Intelegentsy, dan dia merupakan salah satu orang terpintar di Guardian. Jadi hal ini adalah hal yang mudah. …Tapi!, menyusun rencana untuk mencegah apa yang di pikirkan oleh sosok dari pedalaman Mariana agar tidak menjadi kenyataan atau sesuai dengan keinginan sosok tersebut sangatlah sulit. Dita-pun merasa kesusahan, ini karna dia tak pernah bertemu, bahkan dia tidak pernah berbicang dengan sosok tersebut. Jadi dia hanya bisa menduga, bahwa sosok ini jauh lebih cerdas dari pada Raven dan Mrs. Valen. Dan akibat ini Dita berpikir terlalu keras untuk menyusun rencana lanjutan. Dita yang di dampingi oleh para Kapten dari Regu Elit dan Khusus, mereka ikut dalam menyusun rencana ini. Kini waktu mereka untuk berpikir sangat keras. Mereka mengerahkan segala kemampuan berpikir mereka dan segala informasi yang mereka punya. Dan setelah 30 menit lebih berdebat satu sama lain, rencana lanjutan inipun tercipta dan akhirnya disimpulakan bahwa mereka harus mundur. “Kirimkan Informasi ini ke Regu 1 ,3,dan 4”. Dita menyodorkan catatan yang dia buat sebanyak 4 bendel, untuk dibagikan ke Regu lainnya. Dan Wakil Kapten dari salah satu Regu Elit mengambilnya dan mulai keluar dari ruangan yang mereka pakai untuk rapat. “Arrghhh!” jeritan kesakitan terdengar. Wakil Kapten Regu Elit yang memegang catatan yang diberikan Dita tiba-tiba tersungkur ke lantai bersimpah darah dengan leher sudah tergorok. “Aaa, Ah!, Kalian menyentuh pantat kami. …Sial! rencana kami terbongkar dalam kurun waktu yang sangat singkat” Seorang Pria Elf Red Eyes dengan memakai pakaian kasual orange ditambah dengan dasi merah, masuk kedalam rungan dengan memegang pisau dapur yang berlumuran darah di tangan kanannya yang terkulai kebawah, sedangkan di tangan kirinya dia memengang catatan dari Dita. “kau berbahaya!” Pria tersebut menunjuk Dita dengan pisau dapur yang dia pegang. *Duar* Sfx. Sihir Listrik mengenai sebuah benda Sambaran petir menyambar pria Elf Red Eyes yang berada di pintu masuk ruangan dan menimbulkan bunyi ledakan petir yang mengelegar. Tapi pria Elf Red Eyes tersebut masih berdiri di sana. “Sudah kuduga kalian berbahaya. Pilihan ku cukup tepat dengan mengawasi kalian. Dari 4 kelompok yang masuk, ada 2 kelompok yang membuatku risau. Kelompok pertama di utara, …seorang gadis kecil berambut hitam membuatku sangat risau. Pengambilan keputusannya dan pergerakannya sangatlah mengerikan, kemungkinan dia adalah pimpinan kalian bukan!?, dan dia yang paling kuat. Dan yang kedua adalah kau!. Kau sangat waspada, bahkan memperhatiakan hal-hal kecil, dan yang terpenting kalian membongkar rencana kami” Pria Elf Red Eyes tersenyum, sambil membaca catatan yang dia pegang. “ini mengagumkan, bagaimana kau tahu bahwa kami akan melakukan penyerangan dari belakang secara besar-besaran dan mengepung kalian” Pria Elf Red Eyes membuka lembaran ke dua, “ini!, …kau bahkan mengetahui letak dari tempat-tempat penting kami di Distrik-ku ini. Sebagai Raja, aku merasa telah kehilangan kartu As ku” “Raja?” “Oh, aku kira kalian akan menyerangku secara bersamaan setelah mendengarkan perkataanku tadi!, Apa kau mengenalku, manusia?” Pria Elf Red Eyes tersebut memandang Dita yang satu-satunya manusia disana. “Raja Distrik 2 Resla!” “Benar!, Dan boleh aku bertanya!?” “Apa?” “bagiamana kau mendapatkan informasi Distrik 2 secara detail seperti ini!, dari mana kau mendapatkannya?” “Miss Dita!, kurasa cukup basa-basinya” Para Kapten sudah siap di posisi masing-masing. Pria Elf Red Eyes/Resla menjentikkan jarinya cukup keras. “Oh!, Dita!, …aku ingat!. Kau tikus kurang ajar yang suka mondar-mandir ke Distrik ku, …Kau!, Kau tikus yang sangat susah di tangkap” Dimana pasukanku, kenapa mereka tidak datang?, apa mereka tidak mendengar ledakan tadi? dan Kenapa Elf ini tidak terluka sama sekali akibat sihir tadi?. Dita mulai resah. Para Kapten yang sudah siap dalam posisi menyerang, akhirnya mulai bergerak. Dita yang mengetahui situasi mengerikan yang dia hadapi, kini menyerang secara bersamaan kearah Resla. Para Kapten yang bisa menggunakan sihir, mulai menembakkan sihir mereka. Dan mereka yang mahir dalam serangan jarak dekat mulai melancarkan serangan fisik jarak dekat dan Dita mulai menembakkan peluru dari pistolnya yang dia bawa di pinggangnya dan mengarahkannya ke kepala Resla. “Ini berbahaya” Resla berbicara sendiri akan keadaannya sambil tersenyum jahat. *Boom* Sfx. Ledakan Sihir *Duar* Sfx Suara Tembakan Pistol Dan sekali lagi ledakan terjadi. Tapi kali ini berbeda. Serangan sihir dari para Kapten meleset dan mengenai bagian pintu, …begitu juga serangan jarak dekat dan peluru Dita, semuanya meleset atau lebih tepatnya tidak mengenai apapun yang ada disana. Dimana dia? “Jump!?” Seorang Kapten menyimpulkan. “Kurang tepat!” Resla kini berada di belakang Dita, dan mengarahkan pisau dapur ke leher Dita. Resla menunjuk dengan tangan kirinya yang sekarang tidak memegang lembaran kertas. Dan kemudian dia kembali menjetikkan jarinya, dan berkata : “Jika kalian tak ingin manusia ini mati, buang senjata kalian dan berlututlah, lalu menyerahlah tanpa perlawanan” Para Kapten yang melihat Dita di tahan, tertawa, “apa kau pikir hanya dengan menyandera nya, akan menghentikan kami!?” “Ah sangat di sayangkan” “Argh!” Pisau dapur bergerak dengan mulus ke kulit tenggorokan Dita dan menyayatnya dengan mudah. Ditapun disembelih. Darah segar menyembur dari leher Dita.dan Dita-pun ambruk ke lantai. “Selanjtunya kalian” Resla tersenyum Jahat. Description: Gadis belia berumur 15 tahun yang duduk Di Bangku kelas 3 Smp terlihat Biasa saja seperti anak seumuran dengannya. namun di balik semua itu gadis ini adalah seorang Red Eyes, satu dari 10 Ras yang di golongkan dalam Evolusi Manusia dan memperingkati peringkat pertama. dan yang lebih mengejutannya lagi Dia adalah seorang pimpinan dari sebuah Organisasi Internasioanal terkemuka Bernama Guardian. gadis ini Seringg di panggil dengan nama Raven. Update setiap Sabtu.
Title: Ratu dan Raja Category: Cerita Pendek Text: Dunia Terbalik Terburu-buru Ratu berlari mengejar lift yang akan tertutup. Di tekannya tombol supaya pintu lift terbuka. Namun bukannya segera masuk ke dalam lift ,yang ada mata Ratu terbuka lebar. "Ratu, tidak jadi naik?" suara bariton dari salah satu lelaki yang ada di depannya menyadarkannya. Pemilik suara itu masih ingat namanya ternyata. "Eh,... Iya. Naik, saya ikutan naik"gugup Ratu menjawab. " Wah, kamu pakai gesper yang aku belikan Raja. Gesper baru untuk hari pertama masuk kerja. " Entah mengapa mendengar suara itu Ratu rasanya ingin muntah. Iya ingin muntah seperti beberapa tahun silam, saat dia melihat adegan tak senonoh yang meracuni mata dan pikirannya. Tuhan, semoga adegan itu tak terulang lagi. Siapa sangka Ratu harus bertemu lagi dengan pasangan sejoli ini. Ratu pura-pura tak mengenal keduanya. Raja tentu saja dia ingat seumur hidupnya. Bahkan dia juga sudah menyiapkan hatinya ketika tahu ada manajer baru yang akan menjadi atasannya. Makanya hari ini Ratu dandan maksimal. Tetapi adegan hadiah gesper sudah meruntuhkan nafsunya untuk terlihat menakjubkan di depan mantan pujaannya yang lebih tertarik pada gantengnya Bram direktur di kantornya. "Kita di lantai 20 ya, Bram?" tanya Raja. "Hemmm... " Bram hanya berdehem. Ratu merapikan dandan rambutnya ketika lift sudah sampai di lantai 20. Demi menjaga ke sopanan, Ratu mempersilahkan kedua pejabat kantornya untuk keluar terlebih dahulu. Berjalan pelan di belakang Raja dan Bram mengingatkan betapa konyolnya tingkah Ratu beberapa tahun lalu. Memalukan, Ratu tertawa pelan. Ratu memperhatikan Raja dari belakang. Ah, kenapa postur Raja semakin menggoda. Dulu badannya memang sudah bagus. Apalagi selama ini Ratu tahu Raja rajin berolah raga, sekolah saja dia bersepeda dari rumahnya. Jelas badannya padat berisi dengan tinggi 180cm. Berbeda dengan Ratu yang hanya 158cm. Terlihat mungil. "Ok, Raj sampai ketemu meeting nanti ya. " suara Bram membuyarkan lamunan Ratu. Oh, jadi panggilan mesranya Raj. Idih nggak banget, Ratu mencibir. "Kita satu ruangan kan Ratu? " sapa Raja. "Itu tempat duduk saya, Pak, " jawab Ratu sambil menunjuk kearah tempat duduknya. Beberapa temannya menatap penuh tanda tanya. Raja hanya melihat sekilas tak menjawab. Kemudian masuk ke ruangannya. Ratu menepuk jidatnya. Dia lupa levelnya sudah berbeda dengan Raja. Bos dan buruh korporat bukan lagi idola dan penguntit. "Cie... Udah kenal aja sama manajer baru. Gercep banget ye, " Mala menyenggol bahunya. "Kakak tingkat ku waktu kuliah, " jawab Ratu malas. Lagian tidak mungkinkan Ratu menjelaskan siapa Raja bagi Ratu. Apalagi ditambah Bram. Duh,... Menyakitkan. "Serius, kalian sudah saling kenal? Tapi engga pacaran kalian? Secara nama kalian kompak banget. Raja dan Ratu, " celoteh Samuel. "Boro-boro pacaran. Nengok juga nggak tuh si Raja, " sambil bersungut Ratu melempar tasnya. Kemudian dia duduk dan menguncir rambut sebahunya dengan asal. "Masak sih, emang kamu kurang apa ya. Cantik iya, tajir iya, kok Raja engga tertarik sama kamu, " Mbak Nia teman sekantornya yang sedang hamil tua ikut menimpali. "Bukan seleranya kali mbak, " jawab Ratu asal. "Hah, yang bener.? Emang seleranya kayak apa bos kita? " Ratu menggeleng malas. Masih terlalu pagi untuk bergosip selera manajer barunya. Tabu dibicarakan. "Amati nanti dan simpulkan sendiri. Oke? Kerja jangan merumpi, " Ratu menjawab dengan kesal. Moodnya sudah ambyar sejak di lift tadi. Sebenarnya Ratu terkejut waktu masuk pertama kali diperusahaan Bram. Dia tidak menyangka perusahaan tempatnya bekerja milik orang tua Bram,lelaki yang dilihatnya di kolam renang waktu itu. Namun Ratu tidak mau ambil pusing sampai kemudian kejadian tadi pagi membuatnya tak bersemangat bekerja. "Ratu, Mas Raja minta kamu ke ruangannya, " suara Samuel kemayu. Temannya tertawa melihat gaya bicara Samuel. Ratu menggeser tempat duduknya malas. Diseret kakinya keruangan Raja. Pelan di ketoknya pintu. "Masuk, " suara bariton Raja membuat kupu-kupu di perutnya melayang. Sexy suaranya apalagi orangnya. Ratu ketawa sendiri sambil mendorong pintu yang terasa berat. "Duduk, Ratu, " perintah Raja tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop. Ratu memandangi wajah Raja. Masih saja ganteng, semakin ganteng malah. Aura dewasa memancar diraut wajah Raja. Ingin rasanya Ratu menggoda Raja seperti dulu. Yang membuat Raja tersenyum tipis melihat kearahnya. Tetapi itu dulu sebelum.... "Sudah puas menatap saya? Sudah hilang rasa kangennya? " tanya Raja sambil memajukan wajahnya kearah Ratu. Gubrak. Ratu terkejut setengah mati. "Kamu kemana saja selama ini, dari semester 3 kamu tidak lagi jadi penguntitku Ratu? " Raja menatap mata Ratu dalam. Sedangkan Ratu merasa dunia tempatnya berpijak terbalik. Malu. Rayuan Maut Ratu Ditutupnya ruangan Raja dengan kesal. Terduduk lemas di kursinya. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Gila, di hari pertama masuk kerja, Raja sudah mengaduk perasaannya. Di raba dadanya yang masih berdetak kencang, perasaannya masih sama seperti dulu. Masih ada rasa yang tertinggal di sana. Hari yang dilalui berasa lambat. Sesampainya di rumah, Ratu langsung masuk kamar. Dibaringkan tubuhnya. Ingatannya berkelana ke masa lalu. Saat pertama kali masuk SMP. Teringat di benaknya dengan seragam putih merah dan di kuncir ekor kuda, Ratu menatap Raja yang memimpin perkenalan siswa baru. Raja terlihat menonjol dibanding kakak kelasnya yang lain. Tubuhnya menjulang,paras tampan dan sikapnya yang pendiam membuat Ratu langsung kagum. Setiap hari Raja berangkat sekolah naik sepeda. Dan Ratu hanya memandanginya dari dalam mobil. Tubuhnya akan menghadap kebelakang dan meminta sopirnya untuk berjalan perlahan. Ratu tersenyum mengingat kelakuan konyolnya saat itu. Ratu beruntung karena Raja melanjutkan sekolahnya di SMA yang sama dengan SMP Ratu. "Bang Raja, kenalan dong, " goda Ratu saat Raja melintas didepannya. Ratu mulai berani menggoda Raja ketika SMA. Bersama temannya Ratu mulai gencar melakukan aksinya. "Bang Raja tahu ga siapa jodoh terbaik abang? " Raja menatapnya cuek. Ratu tak gentar, bersama dengan teman satu genknya menggoda Raja. Dengan semangat Ratu minum teh botol digenggamannya. "Jodoh yang cocok dengan abang ya cuma satu. Ratu Bang... Nama kita saja sudah cocok." "Flirting terus,.... Ayo Ratu jangan kasih kendor, "temannya mentertawakanya. Ratu tidak ambil pusing. Melihat Raja tersenyum simpul kemudian meninggalkannya, Ratu cukup puas. Satu sekolah tahu Ratu menyukai Raja. Semua termasuk wali kelasnya. Selama Raja tidak marah, Ratu terus saja maju. Maju pantang mundur sampai hati Raja luluh. Pernah suatu kali Ratu dan Raja secara tidak sengaja bertemu. Mereka duduk berhadapan sambil makan bakso. Dengan berdebar Ratu menyampaikan perasaannya. "Bang Raja, kenapa ya Ratu dari dulu suka sama abang, " tanpa tahu malu Ratu berbicara. Raja yang mendengarnya tersedak. Tak menyangka ditembak Ratu di kantin sekolah. "Kenapa Ratu suka sama saya? " "Idih, abang pakai bahasanya kok saya. Kayak Ratu ngobrol sama pemilik sekolah aja, " Ratu mencibir. Wajah Raja memerah karena malu. "Nah, melihat Bang Raja malu begini, Ratu tambah gemes deh. Beneran Bang, Ratu suka ama abang. Abang suka engga sama Ratu? " Ratu mengedipkan matanya genit. "Bang Raja engga suka sama Ratu. " Raja menunduk sambil makan baksonya. Ratu menelan ludah. Malu sebenarnya tetapi kepalang tanggung. " Belum kali,Bang. Liat wajah Ratu baik - baik Ratu kurang apa, Bang. Ratu putih, cantik ada bulenya loh bang, kan nenek moyang Ratu nikah ama penjajah. Cuma Ratu pendek aja bang. Maklumin aja kan imut kayak syahrini, "kata Ratu menahan tawa. Raja bertawa terbahak. Itu pertama kalinya Ratu melihat Raja tertawa. Meleleh hati Ratu. "Udah deh, sekolah yang bener. Masih bocah tau engga, " kata Raja, " Bakso nya udah abang bayar ya. " Raja pergi meninggalkan Ratu yang cemberut. "Awas ya, bang. Nanti Ratu pelet abang engga bisa kabur dari Ratu, " gerutunya. *********** Ratu mengusap wajahnya mengingat kilasan ceritanya dulu. Ratu tidak pernah menyesali sikapnya yang tak tahu malu itu. Bahkan Ratu sering tertawa jika temannya menjadikannya bahan becanda kisah cintanya yang tak terbalas. Kuliah di Harapan Bangsa itu adalah tujuan Ratu. Sekeras apapun orang tua Ratu menyarankan kuliah di tempat lain, tidak menggoyahkan pendiriannya. Kemanapun Bang Raja kuliah disanalah Ratu akan kuliah. Cinta memang sebuta itu. Keberanian Ratu mendekati Raja semakin menjadi. Berbekal nomer Whatsapp dari temannya berapa kali Ratu menghubungi Raja. Raja selalu menjawab setiap sapaan Ratu dengan singkat atau emotion. Bahkan Raja pun tak menolak jika Ratu menelepon. Seakan suara Ratu yang ceriwis menjadi hiburan Raja. Semua berubah saat sore itu Ratu ke kolam renang dan tak disangka dia melihat Raja berada di atas laki-laki yang sekarang menjadi bosnya di kantor. Setelah peristiwa itu Ratu tak lagi menghubungi Raja. Raja pun tak ada niatan menanyakan kabar Ratu. Ratu membuka hatinya. Dan Arby adalah pilihannya. Hubungannya dengan Arby hanya seumur jagung. Bayangan Raja selalu menghantuinya. Sekarang hantu yang bermain dikepalanya ada dua. Raja dan Bram. #Hallo ..... Renjana datang lagi melanjutkan cerita Ratu dan Raja. Masih menunggu ceritanya? Jangan lupa kasih tanda hati ya dan komenmu menambah semangatku menulis... PDKT Raja Haii , Bang Raja comingHappy Reading yessss.......**** Kunikmati cinta sendiri duluMembiarkan aksara asmara Bercanda padakuKamu ...Belum seutuhnya coba cintakuWalau harus masih kutungguDirimu meninggalkan dirinyaDia...yang bukan untukmu... Lagu UN1TY "Coba Cintaku" menemani perjalanan Ratu ke kantor. Biasanya Ratu selalu bersemangat berangkat kerja. Namun kali ini semangatnya menguap entah kemana. Tidurnya tak nyenyak semalam. Bayangan Raja terus menghantuinya. Mobil merah Ratu memasuki gedung ketika dilihatnya Raja keluar dari mobil.Ratu merutuki hatinya yang selalu berdebar setiap kali bertemu Raja. Ratu terdiam di parkiran. Kalau tidak ingat bolos kerja gajinya harus dipotong, Ratu pasti akan balik arah terus pergi ke pantai merenungi nasib cintanya. Lesu langkahnya memasuki gedung perkantoran milik Bram. Ratu berhenti ketika netranya menangkap Raja masih berdiri didepan lift. Ratu tetap diam menunggu Raja memasuki lift. “Kamu mau bareng saya atau naik tangga?”tanya Raja. Ratu tak menjawab. Diayunkan kakinya memasuki kotak berjalan itu. Ratu memilih berdiri didekat pintu. Dikibaskan rambutnya. Terdengar Raja tertawa kecil, Ratu menengok kebelakang dan memicingkan matanya menatap Raja. “Ada yang lucu?”tanya Ratu kesal. “Kamu tuh selalu lucu,” jawab Raja sambil mendekati Ratu. Ratu bergeser menjauh. Tawa Raja masih terdengar saat pintu lift terbuka. Raja berjalan terlebih dahulu meninggalkan Ratu. Ratu bengong tidak menyadari sudah sampai ruangannya. Hatinya sudah tak lagi selaras dengan pikiran Ratu. Bip Bip Suara pesan singkat masuk ketelepon genggamnya. Nanti siang maksi bareng yuk. Dahi Ratu berkerut. Abang Ganteng yang mengirim pesan. Bukannya abang ganteng itu Raja. Iya ,Raja yang ada diruangan didepannya. Ternyata si abang masih menyimpan nomer kontaknya namun Raja tidak pernah menghubunginya. Ratu membiarkan pesan itu tidak terbalas. Ratu merenggangkan tubuhnya. “Makan siang, yuk,”ajak Samuel. “Kemana?” jawab Ratu sembari merapikan berkas yang ada di meja kerjanya. Diambilnya dompet dan telepon genggamnya. Sebaris pesan belum terbaca, Ratu membukanya. Kok engga dijawab pesanku. Maksi yuk. Ada emotian senyum. Idih, Ratu merasa geli. Ditutupnya pesan itu. “Kamu mau makan apa?”tanya samuel. “Kemana aja, yang penting jangan di kantin.Buruan yuk..”ajak Ratu. Di tariknya tangan samuel. Saat melirik ruangan Raja, tiba-tiba Raja keluar. “Mau makan siang ya?Dimana?” tanya Raja menatap Samuel. Ratu gelisah takut Raja ikut bergabung. “Belum tahu nih, Pak. Ratu maunya keluar kantor.” “Oh begitu, boleh gabung Sam?” “Tentu ,Pak.”jawab Samuel dengan senyum lebar. Cih, Ratu tahu arti senyum Samuel. Pasti dipikirannya Raja akan mentraktirnya. “Bertiga aja atau ajak yang lain?” tanya Raja. “Tadinya sih mau berdua aja,Pak” “Wah, ada yang sedang pdkt rupanya. Saya ganggu engga,Sam?” Raja melirik Ratu.Ratu melotot. “Maunya begitu, Pak. Tak apa Pak, lain waktu aja pdktnya. Masih jomlo ini, si Ratu,"canda Samuel. Ratu mendengus. Baru saja mereka menuju tempat parkir ketika suara Bram memanggil Raja. “Raj, mau kemana?” Serentak mereka menoleh ke arah suara.Ya Tuhan, Bram. “Eh, Bram. Kita mau keluar makan siang nih. Kamu sudah makan?” tanya Raja tetap berdiri disebelah Ratu. Ratu bergerak gelisah. Bram menatap Raja kemudian beralih ke Ratu dan Samuel. Samuel menggangguk sopan sedangkan Ratu memutar bola matanya ingin segera pergi dari sana. “Saya sudah makan tadi saat meeting bareng klien. Ya udah, setelah makan siang kamu keruanganku ,Raj,” kata Bram sambil berlalu. Mereka pergi dengan mobil Bram. Ratu duduk di belakang tak berniat untuk ikut dalam obrolan Raja dan Samuel. Lagu UN1TY mengalun di mobil Raja. Eh, kok bisa sama ya seleranya, batin Ratu. “Ratu,kok diam saja dari tadi? Sakit gigi?”tanya Raja membuyarkan lamunan Ratu. #Yess, Raja mulai tebar pesona ya ke Ratu. Apa pelet Ratu waktu SMA baru bereaksi sekarang? Mungkin kali ya,tunggu lanjutannya aja. Jangan lupa, tinggalkan jejakmu biar Renjana semangat.... Salam dari Bang Raja. Tembakan Raja Happy Reading yesss Minggu. Waktunya Ratu tidur sampai siang. Setelah salat subuh Ratu masih bergelung selimut dan memejamkan matanya. Tiba-tiba pintu kamarnya di gedor Doni, kakaknya. "Ratu, bangun... Di depan ada temanmu tuh" "Abang enggak usah boong. Ratu ga punya teman yang kelakuannya enggak sopan datang pagi buta, " teriaknya sambil menutup mukanya dengan selimut. "Beneran, tuh didepan lagi ngobrol sama babe." "Suruh pulang aja,Bang. Paling itu tukang bubur kesasar, " Ratu terkekeh menjawabnya. "Oke, aku bilang Raja, si tukang bubur biar pulang, " teriak Doni. "Iya, suruh pul,.., " Ratu melompat dari ranjangnya. Berlari mengejar Doni. "Emang siapa yang datang , Bang? " "Tau tuh, katamu tukang bubur, " jawab Doni sambil menunjuk tamu yang ngobrol di teras dengan Babe Rozak ayah Ratu. Babe Rozak, betawi campuran Belanda. Iya, nenek moyang Ratu ada keturunan penjajah. Jadi wajahnya babe Rozak ada bau bulenya gitu. Ratu memutar kepalanya, dikucek matanya kasar. "Ngapain Pak Raja datang pagi-pagi ke rumahnya Ratu? " tanya Ratu setengah berteriak. "Kata Raja sudah janjian mau jogging. Gimana sih, kamu lupa? " jawab babe tersenyum lebar. "Janjian? Jogging? Perasaan..., " "Hahaha... Iya Be, Ratu pasti lupa kalau semalam sudah janji mau jogging ke senayan. Cuci muka dulu sana, enggak usah mandi keburu panas, " jawab Raja santai. "Eh, tunggu jangan mutusin sepihak ya, " Ratu melotot menatap Raja. "Sudah, Ratu, daripada molor aja sepanjang hari. Sana olahraga, biar ga tambah lebar tuh badan, " Ibu Ratu ikutan nimbrung sambil meletakkan roti bakar dan segelas teh hangat di meja. Kemudian mempersilahkan Raja untuk mencicipi. Raja dengan sok akrab langsung mengambil satu roti bakar. "Terimakasih, Bu. Kebetulan belum sarapan tadi kesini. Maklum buru-buru. Rencananya makan bubur nanti di senayan. "Ratu duduk di kursi dengan malas. Matanya menatap tajam ke arah Raja. "Buruan ganti baju, " Raja bicara sambil mengunyah roti bakarnya. "Ogah, mending tidur. " "Ya, udah aku tungguin aja disini sampai kamu bangun." "Ratu, jangan begitu. Kasian Nak Raja nunggu kelamaan." Ratu berdiri dari duduknya sambil menghentakkan kedua kakinya menuju kamar. Samar dia mendengar babe dan ibunya mengatakan supaya Raja memaklumi tingkahnya yang masih kekanakan. Ratu mendengus kesal. ***Memakai celana pendek, kaos kebesaran dan sepatu kets Ratu terlihat santai. Walaupun tadi orang tuanya melotot saat Ratu keluar dari kamar dan memintanya ganti baju tetapi Ratu tetap tak bergeming. "Aku bawa diri aja ya. Enggak usah bawa dompet. Pokoknya kalau Ratu haus dan kelaparan situ yang tanggung jawab, " kata Ratu sambil menutup pintu mobil Raja. Raja hanya tertawa tak menimpali. Sampai di senayan bukannya jogging Ratu malah mendatangi tukang bubur yang mangkal di sana. "Eh, kita jogging dulu, " Raja menarik tangan Ratu. "Buryam, satu ya Bang, enggak usah kacang sama daun bawang, " Ratu malah memesan makanan. Kemudian duduk, Raja melihatnya sambil berkecak pinggang. "Ratu harus isi bensin dulu, Bapak. Kalau Ratu pingsan emang situ mau gendong Ratu? " Kata Ratu sambil minum segelas teh hangat. Raja mencibir tetapi malah ikutan memesan semangkuk bubur. Ratu tertawa mengejek. Setelah makan bubur ayam, Ratu dan Raja berjalan mengelilingi senayan. Sekali-kali mereka bercanda dan saling mengejek. Berulang kali Raja meminta Ratu buat memanggil namanya Bang Raja. "Kita kan enggak di kantor Ratu. Masak manggil Bapak. Berasa tua nih. Panggil Bang Raja aja ya, " Raja merajuk. "Nggak ah, takut kualat manggil bos enggak sopan, " Ratu melirik Raja menggoda. Raja berhenti. "Abang jadi ingat waktu Ratu nembak abang di kantin sekolah, " Raja menatap Ratu. Ratu yang ditatap Raja memerah mukanya. "Itu kan dulu, Pak. Khilaf Ratu, di maklumin aja. Namanya juga abege labil, "jawab Ratu sembarangan. "Abang sebenernya suka sama Ratu, " Suara Raja terdengar pelan. Matanya menatap tajam ke mata Ratu. "Pak Raja, kesambet dedemit senayan, ya, " Ratu meninggalkan Raja. Jantung nya berdebar kencang. Ini salah, enggak mungkin. "Ratu, dengerin Abang. Serius, Abang suka sama Ratu. Jangan tolak abang ya, " Raja mengikuti langkah Ratu yang berjalan cepat. Mendengar ucapan Raja, Ratu berhenti melangkah. Ratu ternganga. Mulutnya terbuka. Siapa yang dulu menolak cinta Ratu dan membuat Ratu patah hati, batin Ratu. Sekarang Raja dengan alay mengungkapkan perasaannya dan minta Ratu jangan menolak cintanya. Ratu sebal, Ratu enggak suka, Gelay. #Hay.... Ratu dan Raja sebentar lagi tamat ya. Kira - kira Ratu dan Raja jadian enggak ya? Jangan ketinggalan ceritanya. Btw Renjana ada cerita baru. Cerita yang lebih seru. Menari di Atas Takdir. Ikuti ya.... Ciaaooooo. Pertanyaan Mengejutkan Happy Reading Yess, Selamat menjalankan ibadah puasa, Bacalah selagi waktu luang saja. Sejak ungkapan perasaan Raja, hubungan komunikasi Raja dan Ratu bukannya membaik tetapi malah memburuk. Ratu terus menghindari Raja. Kalau bisa malah inginnya Ratu resign dari kantor. Tetapi Ratu pikir kenapa harus Ratu yang berkorban 'kan cari kerja susah. Jadi, Ratu hanya main petak umpet. Pesan singkat Raja tidak dijawabnya. Ratu, kamu balas dendam ya. Jangan gitu. Kalau memang sudah enggak suka sama abang bilang saja terus terang. Abang tunggu jawaban Ratu. Berulang kali Ratu membaca pesan Raja. Ratu bingung mau jawab apa. Hatinya ingin menerima tetapi ingatan kenangan itu menyiksanya, menolak Raja sama saja membuatnya patah hati berkali-kali. Ah,Ratu bingung. “Ratu, melamun terus?” Doni melempar kulit kacang. Ratu mendengus kesal. Matanya menatap layar televisi tetapi pikirannya melayang entah kemana. “Bang, kalau ada yang suka sama Abang tetapi masa lalunya kelam menurutmu gimana?” “Maksudnya masa lalunya kelam itu seperti apa?” Doni mengerutkan dahinya. “Eh,gimana ya, ceritanya?”Doni memutar duduknya menatap Ratu. Matanya menelisik, Ratu menunduk. Apa harus cerita ya ke abangnya? Ratu menimbang. Berat hati Ratu menceritakan semua yang dia rasakan. “Sudah menanyakan ke Raja apa yang kamu lihat?” “Ratu takut kalau semua itu benar, Bang.” “Tidak ada salahnya kamu menanyakan langsung sebelum memutuskan menerima atau menolak. Jangan mengambil kesimpulan secara sepihak.” “Ratu takut,Bang” “Enggak ada alasan untuk takut. Mengetahui kebenarannya lebih baik.” Ratu memilin kaos yang dia kenakan. Kebimbangan menyelimutinya. “Kamu masih suka sama Raja?” “Mungkin. ” "Kalau masih suka temui Raja. Tanyakan kebenarannya." Ratu mengangguk. Membayangkan wajah Raja saja sudah membuat hati Ratu berdebar tak karuan. Apalagi harus tanya ke Raja, Bang apa benar Abang suka yang ganteng? Ratu menggeleng dan menutup wajahnya. "Dasar bocah.... Apalagi sih. Sudah sana tidur, besokkan kerja. Budak korporat itu ga boleh telat kerja." "Ratu resign aja deh. Kerja sama abang aja ya. Tapi gaji Ratu 5kali lipat dari gaji sekarang ya. " Ratu mengedipkan matanya menggoda Doni. "Enak aja. Sana tidur. "Ratu tertawa dan melangkah ke kamar. Dia harus tidur pulas supaya esok hari bangun dengan hati riang. *** Bukannya bangun dengan fresh yang ada Ratu malah lesu. Semalam tidak bisa tidur memikirkan cara bicara langsung dengan Raja. Ratu berada di pantry membuat kopi ketika Raja sudah berdiri dibelakangnya. Matanya tajam menatap Ratu. "Kamu menolak abang." Ratu heran. Perasaan dia dulu ditolak Raja, biasa saja. Malah Ratu sering dijadikan bahan candaan temannya karena cinta bertepuk sebelah tangan. Kenapa sekarang Raja ribet banget ya. "Kan, Ratu belum jawab, Bang. " "Lama banget jawabnya." "Terserah Ratu dong. Dulu aja Abang nolak Ratu ga usah pakai mikir. " Raja terdiam. Wajahnya memerah. Ratu paling suka melihat wajah Raja yang memerah karena malu. "Itukan dulu, Ratu. Abang dulu kan nggak pede nerima cinta Ratu. " Eitss, enggak salah dengar apa ya, Ratu. Raja enggak pede menerima cinta Ratu? Enggak pede atau emang masih belok. Hish, enggak boleh berprasangka buruk. Batin Ratu. "Kayaknya kita harus bicara deh, Bang. Pulang nanti ya. Sekalian Abang antar Ratu pulang. Tadi pagi Ratu nebeng Bang Doni. " kata Ratu meninggalkan Raja sendiri di pantry. Berulang kali Ratu melirik Raja yang konsentrasi menyetir. Suara Rey Mbayang mengalun dengan sepertiga malamnya. Ratu jadi melow. Kira-kira ini akankah nasibnya seperti Dinda yang tiba-tiba dilamar Rey Mbayang. Atau berakhir tragis jadi jomlo sejati? "Kita ngobrol dimana? " tanya Raja. "Abang serius suka sama Ratu? Abang sudah sembuh ya? "Raja melihat ke arah Ratu . Menatap Ratu tak mengerti. "Sembuh? Emang abang sakit apa? " Ratu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maksud Ratu, abang sudah lurus ga belok lagi? Suka sama yang cantik kayak Ratu? "Tiba-tiba Raja mengerem mobil mendadak. Wajahnya menahan amarah. "Maksud kamu apa? " teriak Raja tak terima. Ratu menutup wajahnya. Dan menangis ketakutan. Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Ratu dan Raja happy ending atau sad ya... Baca kelanjutan ceritanya yess. Bukan Bertepuk Sebelah Tangan Happy Reading yesss.... "Maksud kamu apa, bilang aku sakit? Belok? " tanya Raja setelah menepikan mobil. Wajahnya terlihat kesal. Ratu mengusap air matanya. "Ratu lihat abang beberapa tahun lalu ciuman di kolam renang sama Bram." Takut Ratu menjawabnya. Kening Raja berkerut mencoba mengingat. "Di kolam renang ya? Ya Tuhan, Ratu.... " teriak Raja. Ratu menggeser duduknya menempel pintu mobil. Bersiap kalau Raja ngamuk, Ratu bisa segera kabur. "Apa kamu tidak bisa membedakan mana orang berciuman dan orang memberi nafas buatan? " Raja mencondongkan wajahnya mendekati wajah Ratu. Ratu menggeleng dan tidak berani menatap wajah Raja. "Kamu mau, Abang kasih contoh supaya bisa bedakan mana ciuman mana cara memberi nafas buatan? " Mata Ratu berkedip. Mungkin pilihan pertama terdengar menggoda tetapi Ratu menggelengkan kepalanya. "Bisa dilepas enggak tangannya? Sakit tahu. "Raja melepaskan tangannya. "Abang heran, waktu itu kamu udah kuliah kan. Udah cukup dewasa untuk berani bertanya. Bukannya kabur dan membuat prasangka. " "Ratu kaget, Bang. Ratu datang pas banget Abang cium eh kasih nafas buatan ke Bram. " "Waktu itu Bram sakit ada masalah dengan tulang belakangnya. Dokter menyarankan untuk berenang. Saat berenang tiba-tiba kaki Bram kram karena panik Bram malah tenggelam. Abang ada di sana menolong Bram. " "Jadi Abang enggak ciuman sama Bram? " "Menurut kamu? " jawab Raja sambil melotot. Ratu membuang muka ke jendela. Tak mau melihat kemarahan Raja. "Bram banyak membantu Abang. Bram meminta Abang mengajarinya berenang walaupun Abang tahu Bram sudah bisa berenang. Dari pekerjaan itu Abang mendapat penghasilan." Ratu melirik Raja yang terlihat bersedih. "Kenapa Abang menolak Ratu waktu sma? "Raja menarik nafas panjang. Menghembuskan perlahan. "Ratu tahu, Abang sudah tidak punya ayah. Ibu Abang yang bekerja sendiri. Ada adik yang juga membutuhkan biaya. Kehidupan kita jauh, Ratu. Abang tidak siap kalau kita pacaran. " "Tapi Ratu enggak berpikir begitu, Bang. Kan, kita masih SMA, pacaran buat bersenang-senang aja. Bukan mau nikah besoknya," jawab Ratu tak mau kalah. "Abang tahu. Tapi memang abang enggak mau pacaran, Ratu. " "Itu sama saja Abang menolak Ratu. " Raja menyentil hidung Ratu gemas. "Iya, itu dulu. Ratu, masih marah sama Abang? ""Marah sih enggak. Ratu pasrah aja, cuma malu aja dulu ditolak Abang tanpa perasaan. " Mereka berdua tertawa. Ratu merasa lega. Apa yang selama ini dia takutkan ternyata salah. Raja lelaki normal. "Bang, lapar banget. Jadi makan enggak sih? ""Jadi dong. Tetapi jawab dulu pertanyaan Abang.""Pertanyaan yang mana? ""Ratu menolak Abang? " Ratu terbelalak. Mana mungkin Ratu menolaknya. Bertahun-tahun dipendamnya perasaan ketika semua terbuka di depan mata mana mau dihilangkan kesempatan itu. "Abang serius suka sama Ratu? "Raja mengangguk. "Tapi, Ratu enggak mau pacaran Bang. Seperti Abang bilang tadi. " "Lalu? " tanya Raja sambil mencari tempat parkir. Mereka memutuskan makan di pinggir jalan. Raja tertawa saat Ratu ingin makan pecel lele pinggir jalan. Wajahnya sih boleh cakep ada keturunan bule, tetapi selera masih pecel lele pinggir jalan. "Ratu serius sama, Abang. Kalau Abang juga serius datang aja ke rumah Ratu. Minta Ratu ke babe, "kata Ratu malu-malu. Seketika Raja menghentikan mobilnya. Tak dihiraukan klakson dan umpatan pengendara lainnya. " Kita menikah? " Ratu mengangguk mantap. Raja terlihat gusar. "Abang enggak mau, ya? Ah, abang menolak Ratu lagi nih. " "Eh, bukan begitu. Tetapi Abang punya adik yang masih harus Abang biayai. Jangan sekarang ya, dua tahun lagi. Mau? " Ratu menggeleng. "Pacaran dosa, Bang. Dilarang agama. Sama saja seperti zina. Abang, mau banyak dosa? " "Bukannya dulu, Ratu punya pacar namanya Arby? " Raja menggandeng tangan Ratu saat menyebrang jalan. Jantung Ratu berdebar kencang. Ratu semakin yakin menikahi Raja. "Ratu enggak mau mengulangi masa itu, Bang. Makanya Ratu putus sama Arby. Ratu yakin jodoh Ratu cuma Abang. " Rayuan Ratu memang maut. Sekali ada kesempatan Ratu harus memanfaatkan sebaik mungkin, itu prinsip Ratu. Duduk bersebelahan di warung tenda, tidak menghalangi Ratu melancarkan ke gombalannya. Raja menatap Ratu dengan menahan senyum. "Kenapa Abang jadi ingat lagi waktu ditembak Ratu ya di kantin. Abang enggak pernah bisa lupain. " Ratu cemberut. Kalau Raja mengingat sambil tersenyum, Ratu mengingat itu sebagai hari yang memalukan. "Bang, enggak mau ya nikah sama Ratu. Daripada pacaran kita buang waktu, biaya, dan dosa lagi Bang. Apalagi Ratu enggak bisa bayangin gimana kalau kita ternyata enggak jodoh setelah itu. Duh, Ratu enggak mau ah." Ratu berbisik di telinga Raja. Raja tak dapat menahan tawanya. Pengunjung warung tenda menatap mereka. Raja tidak peduli. Dari dulu Raja selalu gemas dengan Ratu. Bicaranya yang ceplas ceplos seperti tanpa beban. Sikapnya yang manja membuat Raja tidak dapat melupakan Ratu. "Nanti Abang bicarakan dengan Ibu. Ratu harus kenalan dulu dengan keluarga Abang. Biar mereka tahu, calon istri Abang ini cantik dan menggemaskan." "Tenang, Bang. Ratu akan jadi istri yang baik, mantu baik hati dan kakak ipar yang enggak pelit sama adik iparnya. Ratu janji. " kata Ratu sambil mengacungkan kedua jarinya padahal masih ada sisa sambal di jari. Hati Ratu berbunga-bunga. Tidak pernah membayangkan akhir cerita cintanya sangat menyenangkan. Menikah dengan Raja adalah impiannya. Raja menatap Ratu. Tak salah menjatuhkan pilihannya. Ratu memang selalu menjadi Ratu dihatinya. "Jadi kita nikah ya, Bang. Ya, ya, ya... "Raja mengangguk mantap. Ratu dan Raja bersatu yesss... Terima kasih sudah mengikuti Ratu dan Raja. Jangan lupa Menari Di Atas Takdir. Description: Wajah cantik, kulit putih, imut dan unyu ternyata tak cukup jadi modal untuk memikat lelaki pujaan Ratu. Bahkan Ratu sudah kerja keras menjadi penguntit sejati. Tanpa tahu malu Ratu terus mengikuti kemana Raja , sang kakak kelas pujaan hati,bersekolah. Dari SMP hingga kuliah semester 3 akhirnya Ratu berhenti memuja Raja. Pasalnya dengan mata kepala sendiri Ratu melihat Raja mencium seorang laki-laki di pinggir kolam renang. Sejak saat itu Ratu tak hanya percaya wajah cantik tak cukup meruntuhkan hati Raja tetapi laki-laki ganteng berotot pasti pacarnya juga ganteng. Dan Ratu merasa dunianya terbalik saat mereka berada di satu kantor yang sama.